perbandingan deklarasi djuanda dan uu 6 1996

31
1 PERBANDINGAN KONSEP NEGARA KEPULAUAN DALAM DEKLARASI JUANDA 13 DESEMBER 1957 DENGAN KONSEP NEGARA KEPULAUAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia di mana terdapat sekitar kurang lebih 13.466 pulau besar dan kecil. 1 Kondisi Indonesia yang demikian menyebabkan Indonesia memiliki luas mencapai kurang lebih 5.193.250 km 2 yang mencakup wilayah daratan dan perairan di antara dan sekitar pulau- pulaunya. 2 Selain itu, posisi geografis Indonesia juga sangat strategis karena terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik), tepatnya antara 6 o 08’ Lintang Utara dan 11 o 15’ Lintang Selatan serta 94 o 5’ dan 141 o 05’ Bujur Timur dengan jarak 3.443 mil dari Barat ke Timur dan 1.272 mil dari Utara ke Selatan. Hal ini menyebabkan perairan Indonesia sejak zaman dahulu hingga sekarang ramai oleh pelayaran internasional. Juga karena 1 Berdasarkan data hingga tahun 2010, jumlah pulau adalah 17.508, tetapi berdasarkan hasil survey dari tahun 2007 hingga 2010 oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (Timnas PNR) jumlah pulau tercatat menjadi 13.466 pulau besar dan kecil. 2 Luas darat dan laut setelah dianutnya Konsepsi Nusantara.

Upload: astlit

Post on 16-Sep-2015

277 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

PERBANDINGAN KONSEP NEGARA KEPULAUAN DALAM DEKLARASI JUANDA 13 DESEMBER 1957 DENGAN KONSEP NEGARA KEPULAUAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA

TRANSCRIPT

123

PERBANDINGAN KONSEP NEGARA KEPULAUAN DALAM DEKLARASI JUANDA 13 DESEMBER 1957 DENGAN KONSEP NEGARA KEPULAUAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA

I. PENDAHULUANIndonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia di mana terdapat sekitar kurang lebih 13.466 pulau besar dan kecil. Kondisi Indonesia yang demikian menyebabkan Indonesia memiliki luas mencapai kurang lebih 5.193.250 km2 yang mencakup wilayah daratan dan perairan di antara dan sekitar pulau-pulaunya. Selain itu, posisi geografis Indonesia juga sangat strategis karena terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik), tepatnya antara 6o08 Lintang Utara dan 11o15 Lintang Selatan serta 94o5 dan 141o05 Bujur Timur dengan jarak 3.443 mil dari Barat ke Timur dan 1.272 mil dari Utara ke Selatan. Hal ini menyebabkan perairan Indonesia sejak zaman dahulu hingga sekarang ramai oleh pelayaran internasional. Juga karena kekayaan alamnya, Indonesia telah menjadi pusat perhatian dunia.Sejarah hukum perairan Indonesia menunjukkan bahwa sistem wilayah perairan Indonesia telah mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat mendasar yang mampu mempengaruhi perkembangan hukum laut internasional. Di mana Indonesia telah membawa perubahan terhadap sistem hukum laut internasional di akhir abad ke-20 dengan dibentuknya Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on the Law of the Sea) 10 Desember 1982.Perubahan dalam sejarah hukum perairan Indonesia yang dimaksud adalah perubahan yang terjadi karena dikeluarkannya Pengumuman Pemerintah pada tanggal 13 Desember 1957 mengenai Konsepsi Nusantara yang dikenal dengan Deklarasi Juanda, yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dan akhirnya diperbarui dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Sebelum lahirnya Konsepsi Nusantara, Indonesia menganut sistem wilayah perairan yang didasarkan pada Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim (Territoriale Zee en Maritieme kringen Ordonnantie) tahun 1939, Stb. 1939 No. 442. Dalam ordonansi tersebut antara lain ditentukan: (a) lebar laut teritorial Indonesia adalah 3 mil; (b) penetapan lebar laut teritorial diukur dari garis pangkal yang menggunakan garis air rendah (pasang surut) yang mengikuti liku-liku pantai dari masing-masing pulau Indonesia; (c) perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal merupakan laut lepas dengan batas laut teritorial 3 mil.Dengan demikian perairan yang berada di sekitar dan di antara pulau-pulau Indonesia yang terletak pada sisi bagian luar dari batas luar (outer limit) laut teritorial yang lebarnya hanya 3 mil itu, tunduk pada rezim laut lepas di mana kapal-kapal asing mempunyai kebebasan berlayar sebagai bagian dari kebebasan laut lepas. Adanya rezim laut lepas di perairan Indonesia dengan lebar laut teritorial hanya 3 mil dari garis pangkal biasa tersebut, telah memberatkan fungsi perlindungan negara Indonesia sebagai negara kepulauan.

Dengan adanya Konsepsi Nusantara dalam Deklarasi Juanda, maka lebar laut teritorial Indonesia berubah menjadi 12 mil; penetapan lebar laut teritorial diukur dari garis pangkal lurus berupa garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari ujung-ujung pulau Indonesia terluar; dan semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus tersebut berubah statusnya dari laut teritorial atau laut lepas menjadi Perairan Pedalaman, di mana kedaulatan negara atas perairan tersebut praktis sama dengan kedaulatan negara atas daratannya.Meskipun status perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal itu tunduk pada rezim perairan pedalaman, tetapi pemerintah Indonesia tetap menjamin adanya hak lintas damai bagi kapal-kapal asing selama tidak merugikan kepentingan dan tidak mengganggu ketertiban perdamaian serta keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih menghormati kepentingan internasional di samping melindungi kedaulatannya sebagai negara kepulauan. Namun demikian, keputusan Indonesia ini masih mendapat pertentangan dari negara-negara maritim yang merasa terancam kepentingannya, antara lain yaitu Belanda. Oleh karena itu, Indonesia perlu melakukan upaya untuk mendapat pengakuan internasional terhadap Konsepsi Nusantara.Upaya pemerintah Indonesia dalam mengukuhkan Deklarasi Juanda 1957 adalah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan terkait dengan hukum perairan Indonesia. Di antaranya adalah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang Lintas Damai, Keppres No. 103 Tahun 1963 tentang Lingkungan Maritim, dan Undang-Undang No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen yang didasarkan pada Undang-Undang No. 4 Prp. Tahun 1960, dan diterimanya Konsepsi Nusantara itu dalam TAP MPR No. IV Tahun 1973 tentang Wawasan Nusantara. Sementara di luar negeri, upaya Indonesia dalam mendapat pengakuan hukum lautnya adalah dengan menjelaskan hakikat dan isi konsepsi dalam berbagai forum ilmiah internasional maupun usaha-usaha diplomatik dan konferensi-konferensi internasional resmi.

Upaya-upaya yang dilakukan Indonesia ini mencapai puncaknya pada tanggal 10 Desember 1982 yaitu diadakannya Konferensi PBB III tentang Hukum Laut di Montego Bay, Jamaica. Konferensi ini telah melahirkan Konvensi Hukum Laut baru yang bernama United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS 1982) yang selanjutnya disebut sebagai Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982). Konvensi ini ditandatangani oleh 119 negara dan sampai saat ini telah diratifikasi oleh sejumlah negara.

Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 yang berasal dari Konsepsi Nusantara (Pengumuman Pemerintah RI tanggal 13 Desember 1957) tersebut, mengakui dan menerima konsep Negara Kepulauan yang dimuat dalam bab tersendiri yakni pada Bab IV yang berjudul Archipelagic States (Negara Kepulauan). Dengan demikian, Indonesia mendapat pengakuan internasional atas prinsip negara kepulauan dan secara resmi mempertegas kedaulatan penuh Indonesia atas seluruh wilayah perairannya, termasuk ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dan perairan yang berada pada sisi dalam dari garis pangkal kepulauan dinyatakan sebagai Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters) sehingga Indonesia berhak mengatur Hak Lintas Damai dan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan.

Selanjutnya ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 tersebut diatur oleh Pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Dikeluarkannya undang-undang tersebut sekaligus menggantikan Undang-Undang No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang menjadi tidak sesuai setelah diberlakukannya Konvensi Hukum Laut 1982. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk memperbandingkan konsep negara kepulauan yang ada di dalam Deklarasi Juanda 1957 (Konsepsi Nusantara) dengan konsep negara kepulauan yang terkandung dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 berdasarkan pada ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut 1982.II. LATAR BELAKANG DEKLARASI JUANDA 1957Sejarah lahirnya Deklarasi Juanda 1957 tidak terlepas dari status wilayah negara Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang terletak pada posisi yang sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan dunia. Terlebih letak geografis Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa yang mendapat cahaya matahari sepanjang tahun, dengan angin musim yang menguntungkan, serta ditambah kekayaan alam yang luar biasa yang sangat dibutuhkan oleh bangsa-bangsa lain, telah membuat Indonesia tidak hanya menjadi sarana lalu lintas kapal dagang asing tetapi juga menjadi tujuan pelayaran itu sendiri.Oleh karena itulah, sejak zaman dahulu Indonesia telah menjadi daerah tujuan negara-negara dagang besar seperti Spanyol, Portugis, dan Belanda. Sejak Belanda berhasil mengalahkan Portugis, Belanda yang menguasai seluruh kepulauan Nusantara selama kurang lebih tiga setengah abad. Belanda memegang Doktrin Kebebasan Laut (freedom of the seas) sebagaimana yang dikemukakan oleh Grotius yang juga turut mendukung keberhasilan Belanda mengalahkan Portugis. Doktrin tersebut tecermin dalam Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie, Stb. 1939 No 442 (TZMKO 1939) yang diwariskan ke dalam sistem wilayah perairan Indonesia. Di mana di dalam TZMKO 1939 tersebut Indonesia menganut lebar laut teritorial 3 mil disertai dengan penggunaan garis pangkal biasa, yaitu garis air rendah yang mengikuti liku-liku pantai pulau-pulau Indonesia, kecuali di muara sungai dan teluk yang lebar mulutnya kurang dari 10 mil laut, di mana garis lurus dapat digunakan sebagai garis pangkal laut teritorial di mulut teluk tersebut (Gambar 1.). Dalam hal ini, sebuah gugusan pulau yang terdiri dari dua atau lebih pulau, lebar laut 3 mil diukur dari garis lurus yang menghubungkan titik terluar pada garis-garis air rendah pada bagian luar pulau dari gugusan kepulauan itu di mana jarak antara titik ini tidak melebihi 6 mil. Maka selat yang lebarnya kurang dari 6 mil dan menghubungkan dua wilayah laut bebas dan Indonesia (Hindia Belanda) bukan satu-satunya negara-negara pantai, maka pembagian garis batas antara kedua negara ditarik pada tengah-tengah selat itu.Sistem wilayah perairan yang menganut lebar laut teritorial 3 mil yang diukur dari garis pangkal biasa (normal base lines) sangat tidak menguntungkan bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil. Sistem tersebut telah menyebabkan masing-masing pulau memiliki laut teritorialnya sendiri, dan di antara pulau-pulau yang jaraknya lebih dari enam mil terdapat kantong-kantong laut lepas di mana masih berlaku rezim laut lepas. Hal ini sangat menyulitkan tugas pengawasan laut untuk berbagai kepentingan, seperti keamanan, kepabean, imigrasi, dan kesehatan. Namun sebaliknya, sistem yang demikian justru memberikan keuntungan kepada negara-negara maritim seperti Belanda, Portugis, Spanyol, dan Inggris, karena mereka memiliki keleluasaan untuk melewati wilayah negara lain.

Gambar 1.

Peta Batas Wilayah Indonesia Berdasarkan TZMKO 1939(sebelum Deklarasi Juanda)

Keadaan inilah yang mendorong bangsa Indonesia untuk mencari suatu pemecahan yang berpangkal pada pendirian bahwa kepulauan Indonesia itu merupakan satu kesatuan (unit) dan bahwa lautan di antara pulau Indonesia itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bagian darat (pulau-pulau) negara Indonesia. Kata tanah air dalam bahasa Indonesia, telah cukup menjadi bukti bahwa pendirian itu secara sadar atau tidak sudah meresap pada pikiran rakyat Indonesia. Berdasar pada pendirian ini maka laut teritorial haruslah terletak sepanjang garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar dari kepulauan Indonesia.Pemikiran yang berujung kepada lahirnya Konsepsi Nusantara ini juga dilatarbelakangi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di tanah air setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Setelah berakhirnya revolusi fisik antara tahun 1945-1950, di Indonesia banyak terjadi peristiwa-peristiwa pemberontakan yang berlatar belakang kedaerahan, keagamaan, dan politik penjajah dengan menggunakan nama-nama yang bermacam-macam. Adanya kantong-kantong laut bebas di tengah-tengah wilayah perairan Indonesia, terutama bagi Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi yang sangat terbuka dari laut dan udara disinyalir dapat mempermudah masuknya pihak luar untuk mendekati daerah-daerah yang sedang bergejolak.Pada periode yang sama, Indonesia juga sedang berjuang untuk mengembalikan wilayah Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, melalui saluran diplomatik dengan membawa masalah tersebut dalam forum PBB. Masalah Irian Barat ini berawal dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di mana Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1949. Namun, dalam KMB tersebut Belanda tidak mengakui Irian Barat masuk dalam wilayah kedaulatan Indonesia. Belanda berjanji akan menyelesaikan masalah Irian Barat paling lambat tanggal 27 Desember 1950. Tetapi pada kenyataannya, masalah Irian Barat menjadi berlarut-larut karena Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja daerah ini kepada Indonesia. Bahkan secara terang-terangan Belanda telah mengirimkan kapal-kapal perangnya ke wilayah perairan Indonesia tanpa Indonesia berhak menghalanginya, karena Indonesia masih menganut sistem wilayah perairan yang didasarkan pada TZMKO 1939. Indonesia tidak memiliki hak untuk melarang karena laut di antara pulau-pulau masih termasuk laut lepas. Kondisi yang demikian jelas menempatkan Indonesia pada posisi yang sulit.

Peristiwa-peristiwa dalam negeri inilah yang lebih mendorong Pemerintah Indonesia untuk melakukan perubahan sistem wilayah perairan dari sistem lama berdasarkan TZMKO 1939 menjadi sistem baru yang dapat menjamin kesatuan dan keutuhan wilayah Negara Republik Indonesia. Sebenarnya pemikiran untuk mengubah TZMKO 1939 tersebut sudah dimulai pada tahun 1956. Pada tahun itu pimpinan Departemen Pertahanan Keamanan RI mendesak pemerintah untuk segera merombak hukum laut warisan kolonial yang secara nyata tidak dapat menjamin keamanan wilayah Indonesia. Desakan ini juga didukung oleh departemen-departemen lain seperti Departemen Dalam Negeri, Perlanian, Pelayaran, Keuangan, Luar Negeri, dan Kepolisian Negara. Pada tanggal 17 Oktober 1956 Perdana Menteri Ali sastroamidjojo memutuskan membentuk suatu panitia interdepartemental yang ditugaskan untuk merancang RUU (Rencana Undang-Undang) Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956. Panitia ini di bawah pimpinan Kolonel Laut R.M.S. Pirngadi. Setelah bekerja selama 14 bulan akhirnya panitia Pirngadi berhasil menyelesaikan konsep RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Pada prinsipnya RUU ini masih mengikuti konsep Ordonansi tahun 1939 hanya bedanya adalah bahwa laut teritorial Indonesia ditetapkan dari 3 mil menjadi 12 mil. Panitia ini belum berani mengambil berbagai kemungkinan resiko untuk menetapkan asas straight base line atau asas from point to point mengingat kekuatan Angkatan Laut Indonesia masih belum memadai. Sebelum RUU ini disetujui, Kabinet Ali bubar dan digantikan dengan Kabinet Djuanda.Sejalan dengan ketegangan-ketegangan yang terjadi antara Belanda dengan RI maka Pemerintah Djuanda lebih banyak mencurahkan perhatiannya untuk menemukan sarana yang dapat memperkuat posisi RI dalam melawan Belanda yang lebih unggul dalam pengalaman perang dan persenjataannya. Untuk itu sejak 1 Agustus 1957, Ir. Djuanda mengangkat Mr. Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar hukum guna mengamankan keutuhan wilayah RI. Akhirnya ia memberikan gambaran Asas Archipelago yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1951 seperti yang telah dipertimbangkan oleh RUU sebelumnya namun tidak berani untuk menerapkannya dalam hukum laut Indonesia. Sebagai alternatif terhadap RUU itu maka dibuatlah konsep Asas Negara Kepulauan. Dengan menggunakan Asas Archipelago sebagai dasar hukum laut Indonesia, maka Indonesia akan menjadi negara kepulauan atau Archipelagic State yang merupakan suatu eksperimen radikal dalam sejarah hukum laut dan hukum tata negara di dunia. Dalam sidangnya tanggal 13 Desember 1957 akhirnya Dewan Menteri memutuskan penggunaan Archipelagic state Principle dalam tata hukum di Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia. Dalam pengumuman ini pemerintah menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan dan/ atau mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titiktitik ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut.Dengan keluarnya pengumuman tersebut maka wilayah Indonesia menjadi suatu kesatuan antara pulau-pulau dan laut-laut yang menghubungkan antara pulau-pulau itu. Dengan demikian wilayah Indonesia tidak terpisah-pisah lagi oleh laut antara satu pulau dengan pulau yang lainnya. Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, makaOrdonantie 1939sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, dan garis teritorial laut Indonesia yang sebelumnya 3 mil menjadi 12 mil.

III. KONSEP NEGARA KEPULAUAN DALAM DEKLARASI JUANDA 1957Penggunaan asas archipelago (Archipelagic state Principle) dalam perumusan rancangan isi Deklarasi Juanda mengubah konsep negara Indonesia menjadi negara kepulauan atau Archipelagic State dan digunakan sebagai dasar hukum laut Indonesia. Asas archipelago ini berbeda dengan konsep RUU tentang Wilayah Perairan Hasil Panitia Interdepartemental, di mana dalam RUU tersebut, masih digunakan ketentuan dari TZMKO 1939 dalam penetapa lebar laut teritorial yakni menggunakan garis pangkal biasa (normal base line). Hal ini menyebabkan wilayah Indonesia tidak dapat menjadi satu wilayah kesatuan karena masih menganut rezim TZMKO 1939. Penggunaan asas archipelago dalam Deklarasi Juanda yang dijelaskan sebagai Konsepsi Nusantara telah membawa suatu perubahan yang mendasar dalam sistem wilayah perairan Indonesia dari sistem wilayah perairan yang terpisah-pisah menjadi suatu unit wilayah perairan yang di dalamnya tidak ada lagi kantong-kantong bagi laut lepas. Lebih dari itu, bahwa dengan terbentuknya kesatuan antara wilayah darat dan seluruh perairannya, dengan sendirinya wilayah udara yang berada di atas wilayah darat dan laut tersebut menjadi satu kesatuan sehingga tidak ada lagi wilayah udara bebas. Adapun diktum yang terpenting dalam Deklarasi Juanda 1957 mengenai Wilayah Perairan Indonesia itu berbunyi:

Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penetapan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik yang terluar daripada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-Undang.Dengan memperhatikan isi dari Pengumuman Pemerintah yang kemudian dikenal sebagai Konsepsi Nusantara itu, maka jelas bahwa ada satu solusi untuk menyatukan wilayah-wilayah Indonesia yang selama ini terpecah-pecah oleh adanya kantong-kantong laut lepas, sebagai akibat dianutnya lebar laut wilayah berdasarkan Ordonansi 1936 No. 442 yang pada saat itu masih berlaku. Dengan adanya Deklarasi Juanda tersebut maka istilah negara kesatuan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu tidak hanya mengandung pengertian kesatuan politik semata-mata tetapi juga kesatuan fisik berupa kesatuan wilayah darat, laut dan dasar laut dan tanah di bawahnya, udara di atasnya dan seluruh kekayaan alamnya secara utuh.

Gambar 2.

Peta Batas Wilayah Indonesia Setelah Deklarasi Djoeanda

Penetapan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik yang terluar dari pulau-pulau dan bagian pulau Indonesia terluar tersebut telah mengubah status perairan Indonesia yang semula laut lepas (tanpa ada kedaulatan negara) menjadi perairan kepulauan yang berada di bawah kedaulatan penuh Negara Republik Indonesia. Dengan demikian wilayah laut yang dulunya menjadi pemisah antar wilayah daratan Indonesia (pulau-pulau) telah berubah fungsi menjadi penghubung dan alat pemersatu seluruh wilayah daratan Indonesia (Gambar 2.).IV. HAK-HAK YANG DIKLAIM INDONESIA DALAM DEKLARASI JUANDA 1957

Konsep Nusantara yang terkandung dalam Deklarasi Juanda 1957 dituangkan dalam bentuk Undang-Undang No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam undang-undang tersebut, Indonesia kembali menegaskan hak-hak sebagai negara kepulauan (Archipelagic state) melalui penjelasan dalam pasal-pasal. Undang-Undang No. 4 Prp Tahun 1960 ini memuat 4 pasal disertasi dengan lampiran peta yang menunjukkan letak titik-titik serta garis-garis batas wilayah negara Indonesia. Secara garis besar, undang-undang tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:1. Untuk menjamin dan menegaskan kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan ekonomi Indonesia, ditarik garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar;

2. Jalur laut wilayah (laut teritorial) selebar 12 mil diukur terhitung dari garis-garis pangkal lurus tersebut;

3. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak dalam garis-garis pangkal lurus ini termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya maupun ruang udara di atasnya, dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya;

4. Hak lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui perairan nusantara (archipelagic waters) dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara pantai dan mengganggu keamanan dan ketertibannya.

Dari poin-poin isi Undang-Undang No. 4 Prp Tahun 1960 tersebut, dapat disimpulkan beberapa perubahan mendasar dari sistem TZMKO 1939 yang sebelumnya dianut oleh Indonesia. Yang pertama adalah perubahan status hukum wilayah perairan Indonesia yang berada di antara pulau-pulau. Poin pertama undang-undang di atas, cara penetapan lebar laut teritorial dengan menggunakan garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar ujung pulau-pulau terluar sebagai garis pangkal (straight base lines) menjadikan status hukum perairan yang tadinya berstatus laut lepas menjadi perairan pedalaman di mana negara berkedaulatan penuh.Poin kedua menyangkut perubahan lebar laut teritorial Indonesia yang semula 3 mil (TZMKO 1939) menjadi 12 mil. Perubahan ini mengakibatkan pertambahan luas negara yang sebelumnya tidak menyertakan luas perairan pedalaman. Jadi setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 4 Prp Tahun 1960 ini, perairan Indonesia terdiri dari laut wilayah (laut teritorial) yaitu jalur laut yang berada antara garis pangkal dengan garis luar (outer limit), perairan pedalaman yang merupakan akibat dari dipergunakannya garis pangkal lurus, dan perairan pedalaman tradisional yaitu perairan yang berada pada sisi dalam dari garis pangkal biasa (normal base lines). Sementara perubahan luas wilayah Indonesia yang semula sekitar 2.027.080 km2 (daratan saja) menjadi sekitar 5.193.250 km2.

Dalam poin terakhir, Indonesia menegaskan bahwa meskipun telah berganti status menjadi perairan pedalaman, hak lintas damai kapal asing tetap diberikan selama tidak mengganggu ketertiban dan keamanan negara. Dalam Undang-Undang No. 4 Prp Tahun 1960 pasal 3 disebutkan (1) Lalu-lintas damai dalam perairan pedalaman Indonesia terbuka bagi kendaraan air asing. (2) Dengan Peraturan Pemerintah dapat diatur lalu-lintas damai dimaksud pada ayat (1). Dalam pelaksanaan pasal 3 ayat 1 ini selanjutnya dinyatakan bahwa lintas damai di perairan pedalaman ini berbeda dengan lintas damai di laut teritorial. Lintas damai di perairan pedalaman Indonesia bersifat kelonggaran, sedangkan di laut teritorial adalah hal yang diakui oleh hukum internasional.

V. UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA SEBAGAI IMPLEMENTASI KONVENSI HUKUM LAUT INTERNASIONAL 1982Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia merupakan implementasi dari ketentuan-ketentuan hukum laut sebagaimana telah diatur dalam Konferensi PBB III tentang Hukum Laut Internasional 1982. Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasi KHL 1982 tersebut melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS. Dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia maka Undang-Undang No. 4 Prp Tahun 1960 resmi dicabut. Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 ini kemudian dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1996 No. 73 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3647 sebagai landasan hukum yang mengatur wilayah perairan Indonesia, kedaulatan, yurisdiksi, hak dan kewajiban serta kegiatan di bidang perairan.

Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tersebut ditegaskan kembali bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan (Archipelagic State) di mana segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Penjelasan ini mengacu pada ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Ketentuan-ketentuan tentang negara kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 adalah rezim baru yang tidak terdapat di dalam konvensi-konvensi Geneva tentang hukum laut tahun 1958. Dalam KHL 1982 ketentuan tersebut tertuang dalam Bab IV tentang Negara Kepulauan (Archipelagic States). Definisi yang diberikan terhadap negara kepulauan sendiri adalah sebagai negara-negara yang terdiri seluruhnya dari satu atau lebih kepulauan. Selanjutnya ditentukan bahwa yang dimaksud dengan kepulauan ialah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling bersambung (interconnecting waters) dan karakteristik alamiah lainnya dalam pertalian yang demikian eratnya sehingga membentuk suatu kesatuan intrinsik geografis, ekonomis, dan politis atau secara historis memang dipandang sebagai demikian.

Dalam KHL 1982 juga ditentukan garis pangkal kepulauan, bahwa untuk keperluan menetapkan zona maritimnya, negara-negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan (straight achipelagic baselines) sampai sejauh 100 mil laut, yang menghubungkan titik-titik paling luar dari pulau terluar dan batu-batu karang. Selama rasio perbandingan antara air dengan daratan tidak melebihi 9 : 1 serta dengan ketentuan bahwa wilayah yang dihasilkan tidak memotong negara lain dari laut lepas dan zona ekonomi eksklusif. Namun, dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1996, Indonesia menetapkan garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan. Garis pangkal lurus kepulauan adalah garis -garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang- karang kering terluar dari kepulauan Indonesia. Panjang garis pangkal lurus kepulauan tersebut tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan garis -garis pangkal

yang mengelilingi kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut (Gambar 3.).

Wilayah perairan Indonesia dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Indonesia memiliki kedaulatan penuh di wilayah perairan yang meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Laut teritorial adalah bagian laut atau jalur laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal dan sebelah luarnya dibatasi oleh garis atau batas luar. Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan, laut teritorial merupakan jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis

pangkal kepulauan Indonesia. Sementara Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus

kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup. Perairan pedalaman terjadi sebagai akibat dari penarikan garis lurus dari ujung ke ujung. Dengan penerapan garis pangkal lurus pada pantai yang berliku-liku atau pada pantai yang di depannya terdapat pulau atau gugusan pulau, maka akan mengakibatkan adanya bagian perairan atau laut yang terletak di sebelah dalam dari garis pangkal lurus tersebut. Sebagimana halnya dengan laut teritorial, perairan pedalaman ini juga merupakan bagian dari wilayah negara sehingga negara memiliki kedaulatan penuh di dalamnya.

Selain itu, dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 juga disebutkan hak-hak Indonesia dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sebagaimana ditetapkan dalam KHL 1982. Adapun hak-hak negara pantai dalam ZEE adalah:

1. Hak berdaulat (sovereign rights) untuk mengadakan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengurusan dari sumber kekayaan alam hayati atau non hayati dari perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya;

2. Hak berdaulat atas kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi seperti produksi energi dari air dan angin;

3. Yurisdiksi untuk pendirian dan pemanfaatan pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah kelautan, perlindungan dan penjagaan lingkungan maritim. Namun demikian Negara pantai tidak boleh mendirikan instalasi yang membahayakan pelayaran di daerah yang sudah menjadi lintasan pelayaran internasional.

Sementara dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 hanya dijelaskan tentang pengaturan hak lintas damai di wilayah ZEE Indonesia. Di mana segala jenis kapal dan pesawat udara negara asing, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, dapat menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui perairan kepulauan Indonesia, antara satu bagian dari laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia lainnya. Semua kapal dan pesawat udara asing mempunyai kebebasan pelayaran dan penerbangan untuk tujuan transit yang terus-menerus, langsung dan secepat mungkin melalui laut teritorial Indonesia di selat antara satu bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia lainnya.

Gambar 3.

Peta Wilayah Indonesia Menurut KHL 1982

VI. PENUTUP

Deklarasi Juanda 1957 telah membawa perubahan besar dalam hukum laut, tidak hanya untuk Indonesia sendiri, tetapi hukum laut internasional yang diakui oleh negara-negara lain. Konsepsi Nusantara yang dituangkan dalam Deklarasi Juanda tersebut telah mengilhami lahirnya Konvensi PBB III tentang Hukum Laut Internasional pada tahun 1982. Dengan adanya konvensi ini, hak-hak negara kepulauan seperti Indonesia tercantum jelas dalam bab tersendiri tentang Negara Kepulauan (Archipelagic State). Ketentuan-ketentuan ini menegaskan kedaulatan negara-negara pantai atas wilayah perairannya yang menjadi satu kesatuan utuh negara dan bukan lagi menjadi wilayah laut lepas yang bebas dilalui dan dimanfaatkan oleh negara lain. Oleh karena itu, Deklarasi Juanda 1957 juga disebut-sebut sebagai Proklamasi Indonesia kedua, terutama untuk wilayah perairannya, yang dalam Proklamasi 1945 belum diakui karena masih menganut rezim TZMKO 1939 di mana batas laut teritorial hanya 3 mil dan diukur dari garis pangkal biasa. Perubahan dalam KHL 1982 menjadikan lebar laut teritorial Indonesia menjadi 12 mil dan diukur dari garis pangkal lurus. Dengan status Indonesia sebagai negara kepulauan yang diakui dalam KHL 1982, maka keamanan, kesatuan dan keutuhan Negara Republik Indonesia dapat terjamin dan dihormati negara-negara lain.DAFTAR PUSTAKA

Anwar, C. 1989. Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut. Penerbit Djambatan, Jakarta, 362 hlm.

Hadiwijoyo, S. S. 2008. Batas Wilayah Negara Indonesia. Gava Media, Yogyakarta, 214 hlm.

Hukum Online. 2012. Kepala Daerah Belum Paham UNCLOS, Kebijakan dan pengelolaan sumber daya laut jadi tumpang tindih. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50879b8dbc7de/kepala-daerah-belum-paham-unclos (13 Juli 2014).

Indonesia Top. 2013. Negara-negara tetangga Indonesia dan hubungannya sejak zaman dulu. http://indonesiatop.blogspot.com/2014/05/negara-negara-tetangga-indonesia-dan.html (15 Juli 2014).

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 2011. Di Indonesia Ada 13. 466 Pulau, Bukan 17.508 Pulau. http://www.menkokesra.go.id/content/di-indonesia-ada-13-466-pulau-bukan-17508-pulau (21 Mei 2014).

Konvensi Hukum Laut Internasional (KHL/UNCLOS) 1982.Kurdi, A. 2010. Peta Batas Wilayah Indonesia Berdasarkan TZMKO 1939. http://indonesiaputra.blogspot.com/2010/11/peta-batas-wilayah-indonesia.html (15 Juli 2014).

_______. 2010. Konsep Wawasan Nusantara dalam Konvensi Hukum Laut 1982. http://indonesiaputra.blogspot.com/2010/11/konsep-wawasan-nusantara-dalam-konvensi.html (15 Juli 2014).

Muhjiddin, A. M. 1993. Status Hukum Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing. Penerbit Alumni, Bandung, 374 hlm.

Sulistiyono, S. T. 2010. Konsep Batas wilayah Negara di Nusantara. http://eprints.undip.ac.id/3258/2/13_artikel_pak_Singgih.pdf. (15 Juli 2014).Supramono, G. 2011. Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang Perikanan. PT Rineka Cipta, Jakarta, 338 hlm.Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Berdasarkan data hingga tahun 2010, jumlah pulau adalah 17.508, tetapi berdasarkan hasil survey dari tahun 2007 hingga 2010 oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (Timnas PNR) jumlah pulau tercatat menjadi 13.466 pulau besar dan kecil.

Luas darat dan laut setelah dianutnya Konsepsi Nusantara.

Pergantian ini didasarkan pada ketidaksesuaian pengaturan hukum negara kepulauan dalam Undang-Undang No. 4 Prp. Tahun 1960 dengan perkembangan rezim hukum negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam Bab IV Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea 10 Desember 1982).

Batas laut teritorial 3 mil didasarkan atas Teori Cornelius Van Bijnkerhoek tahun 1702 di mana kedaulatan negara dapat diperluas keluar sampai kepada kapal-kapal di laut sejauh jangkauan tembakan meriam. Pada abad ke-18 jangkauan rata-rata dari tembakan meriam adalah 3 mil. Chairul Anwar, Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1989, hlm. 15.

Atje Misbach Muhjiddin, Status Hukum Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing, Penerbit Alumni, Bandung, 1993, hlm. 4.

Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Prof.Dr. Mochtar Kusumaatmadja, selaku Guru Besar Hukum Internasional Unpad pada Konferensi Tahunan The Law of the Sea Institute tahun 1972 di Rhode Island, USA. Sementara forum resmi di luar PBB antara lain forum Afro Asian Legal Consultative sejak 1971 di Colombo dan New Delhi, Indonesia diwakili oleh Dr. Hasjim Djalal, yang dalam tahun 1971 menyampaikan papernya dengan judul The Concept of Archipelago Applied to Archipelagic States.

Ibid., hlm. 4-5.

Sampai tahun 1992 sudah ada 51 negara yang meratifikasi dan sampai tahun 2010 sudah mencapai 155 negara. Hukum Online, Kepala Daerah Belum Paham UNCLOS, Kebijakan dan pengelolaan sumber daya laut jadi tumpang tindih, HYPERLINK "http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50879b8dbc7de/kepala-daerah-belum-paham-unclos" http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50879b8dbc7de/kepala-daerah-belum-paham-unclos, diakses tanggal 13 Juli 2014

Lihat Pasal 49, 52, 53 KHL 1982.

Tertuang dalam bukunya yang terkenal, Mare Liberum tahun 1609 yang berisi tentang kedaulatan, kebebasan berlayar di Samudera Hindia dan perdagangan internasional. Atje Misbach Muhjiddin, op.cit., hlm32.

Amirudin Kurdi, Peta Batas Wilayah Indonesia Berdasarkan TZMKO 1939, HYPERLINK "http://indonesiaputra.blogspot.com/2010/11/peta-batas-wilayah-indonesia.html" http://indonesiaputra.blogspot.com/2010/11/peta-batas-wilayah-indonesia.html, 2010, diakses tanggal 15 Juli 2014.

APRA di Sulawesi Selatan dan Bandung; RMS di Maluku; PRRI di Sumatera; PERMESTA di Sulawesi Utara; dan DI/TII di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.

Singgih Tri Sulistiyono, Konsep Batas wilayah Negara di Nusantara, HYPERLINK "http://eprints.undip.ac.id/3258/2/13_artikel_pak_Singgih.pdf.%20Diakses%2014%20Juli%202014"http://eprints.undip.ac.id/3258/2/13_artikel_pak_Singgih.pdf. , 2010.

Ibid.

Atje Misbach Muhjiddin, op.cit., hlm 49.

Amirudin Kurdi, Konsep Wawasan Nusantara dalam Konvensi Hukum Laut 1982, HYPERLINK "http://indonesiaputra.blogspot.com/2010/11/konsep-wawasan-nusantara-dalam-konvensi.html" http://indonesiaputra.blogspot.com/2010/11/konsep-wawasan-nusantara-dalam-konvensi.html, diakses tanggal 15 Juli 2014

Mochtar Kusumaatmadja dalam Atje Misbach Muhjiddin, op.cit., hlm 55.

Ibid., hlm. 57.

Gatot Supramono, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang Perikanan, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2011, hlm. 9-10.

Lihat Pasal 2 UU No. 6 Tahun 1996.

Lihat Pasal 46 KHL 1982.

Lihat Pasal 47 KHL 1982.

Lihat Pasal 5 UU No. 6 Tahun 1996

Lihat Pasal 4 UU No.6 Tahun 1996

Lihat Pasal 3 UU No. 6 Tahun 1996

Suryo Sakti Hadiwijoyo, Batas Wilayah Negara Indonesia, Gava Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 70. Lihat Pasal 4 UU No. 6 Tahun 1996.

Chairul Anwar, op. cit., hlm. 45-46. Lihat Pasal 56-60 KHL 1982.

Lihat Pasal 18-20 UU No. 6 Tahun 1996.

Indonesia Top, HYPERLINK "http://indonesiatop.blogspot.com/2014/05/negara-negara-tetangga-indonesia-dan.html" Negara-negara tetangga Indonesia dan hubungannya sejak zaman dulu, HYPERLINK "http://indonesiatop.blogspot.com/2014/05/negara-negara-tetangga-indonesia-dan.html" http://indonesiatop.blogspot.com/2014/05/negara-negara-tetangga-indonesia-dan.html, diakses tanggal 15 Juli 2014