bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah i fix.pdf · yang telah diperjuangkan sejak 1959...

21
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengakuan dunia internasional kepada Indonesia sebagai negara kepulauan yang telah diperjuangkan sejak 1959 melalui Deklarasi Djuanda telah meletakkan dasar bagi Bangsa Indonesia sebagai kesatuan kewilayahan yang berbentuk kepulauan dan merupakan satu kesatuan dari seluruh wilayah darat, laut, termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya, serta udara diatasnya. Deklarasi tersebut telah diperkuat secara internasional dengan berlakunya Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Convention on the Law of the Sea) UNCLOS tahun 1982, sehingga luas wilayah laut Indonesia menjadi 5,8 juta kilometer persegi, dengan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km dan jumlah pulau 17.504 pulau. 1 Terbagi atas sekitar 0.8 juta km 2 perairan territorial; 2.3 juta km 2 perairan nusantara dan seluas 2.7 juta km 2 mendapatkan kewenangan memanfaatkan zona ekonomi eksklusif (ZEE) dalam hal eksplorasi, eksploitasi, dan pengelolaan sumber daya hayati dan nonhayati. 2 Suatu kenyataan, bahwa setiap bagian lingkungan hidup sekalipun menjadi bagian wilayah suatu negara atau berada dibawah hidup sebagai suatu keseluruhan. Setiap bagian lingkungan merupakan bagian dari suatu kesatuan ( a wholeness) yang 1 Didik Mohamad Sodik, 2011, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h.49. 2 Andi Iqbal Burhanuddin, 2011, The Sleeping Giant, Potensi dan Permasalahan Kelautan, Brilian Internasional, Surabaya, h. vii.

Upload: trannhu

Post on 09-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pengakuan dunia internasional kepada Indonesia sebagai negara kepulauan

yang telah diperjuangkan sejak 1959 melalui Deklarasi Djuanda telah meletakkan

dasar bagi Bangsa Indonesia sebagai kesatuan kewilayahan yang berbentuk

kepulauan dan merupakan satu kesatuan dari seluruh wilayah darat, laut, termasuk

dasar laut dan tanah dibawahnya, serta udara diatasnya. Deklarasi tersebut telah

diperkuat secara internasional dengan berlakunya Konvensi Hukum Laut Perserikatan

Bangsa-Bangsa (United Nation Convention on the Law of the Sea) UNCLOS tahun

1982, sehingga luas wilayah laut Indonesia menjadi 5,8 juta kilometer persegi,

dengan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km dan jumlah pulau 17.504 pulau.1

Terbagi atas sekitar 0.8 juta km2

perairan territorial; 2.3 juta km2

perairan nusantara

dan seluas 2.7 juta km2

mendapatkan kewenangan memanfaatkan zona ekonomi

eksklusif (ZEE) dalam hal eksplorasi, eksploitasi, dan pengelolaan sumber daya

hayati dan nonhayati.2

Suatu kenyataan, bahwa setiap bagian lingkungan hidup sekalipun menjadi

bagian wilayah suatu negara atau berada dibawah hidup sebagai suatu keseluruhan.

Setiap bagian lingkungan merupakan bagian dari suatu kesatuan (a wholeness) yang

1 Didik Mohamad Sodik, 2011, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia, Refika Aditama,

Bandung, h.49. 2 Andi Iqbal Burhanuddin, 2011, The Sleeping Giant, Potensi dan Permasalahan Kelautan, Brilian Internasional, Surabaya, h. vii.

2

tidak dapat dipisah-pisahkan dan satu sama lain, membentuk satu kesatuan tempat

hidup yang disebut lingkungan hidup.3

Salah satu aspek lingkungan yang akan dibahas adalah lingkungan laut. Yang

mana laut merupakan wilayah territorial yang memiliki peran besar dalam penyediaan

sumber daya alam yang tidak terbatas bagi manusia, laut adalah bagian dari

lingkungan hidup yang kaya akan keanekaragaman hayati, Pengelolaan sumber daya

di laut memberikan manfaat yang besar bagi manusia.4 Namun dalam pengelolaan

lingkungan laut tersebut, tentunya memiliki dampak terhadap lingkungan laut itu

sendiri. Laut sangat riskan dari aktifitas manusia, yang seringkali dieksplorasi oleh

tangan-tangan tidak bertanggung jawab. Hal ini dikarenakan wilayahnya yang luas

dan lemahnya pengawasan.

Dalam Pasal 193 UNCLOS 1982 memuat prinsip penting dalam pemanfaatan

sumber daya di lingkungan laut, yang berbunyi : “Bahwa setiap negara mempunyai

hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya sesuai dengan kebijakan

lingkungan mereka dan sesuai dengan kewajibannya untuk melindungi dan

melestarikan lingkungan laut.” Serta Pasal 192 menegaskan “Bahwa setiap negara

mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.” Pada

tanggal 21 Agustus 2009, terjadi kebocoran akibat meledaknya kilang minyak dan gas

lepas pantai Perusahaan PTT Exploration and Production (PTTEP) Australasia

3 Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional, Perspektif Bisnis Internasional, Refika Aditama, 2003, (selanjutnya disingkat Ida Bagus Wyasa Putra I), h.2.

4 Ririn Ambarwati, 2014, Membangun Kelautan untuk Mengembalikan Kejayaan sebagai Negara Maritim, http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/ver2/news/read/115/membangun-kelautan-untuk-mengembalikan-kejayaan-sebagai-negara-maritim.html diakses pada 7 Desember 2014.

3

selaku operator dan pemilik ladang minyak dan gas Montara Sea Drill Norway Pty

Ltd di Blok Atlas Barat Laut Timor. Diperkirakan, sebanyak 500 ribu liter minyak

bocor setiap harinya selama 74 hari.5 Tumpahan minyak Montara telah mencemari

sedikitnya 90.000 km2 wilayah perairan Laut Timor. Selain tumpahan minyak,

disertai pula dengan zat timah hitam bercampur bubuk kimia dispersant jenis Corexit

9500 dan 9572 yang beracun untuk menenggelamkan tumpahan minyak ke dasar Laut

Timor. Kasus di kilang Montara ini, juga dikenal dengan sebutan "Montara Timor

Sea Oil Spill Disaster”6

Kita dapat bercermin dari kasus Exxon Valdez Oil Spill 1989 di Laut Alaska,

Amerika Serikat, keadaan lingkungan perairan di sana belum mampu untuk

dipulihkan. Demikian halnya dengan kasus tumpahan minyak mentah di Teluk

Mexico 2010 akibat dari meledaknya sumur minyak Deep Horizon. Dalam Pasal 235

UNCLOS 1982 diatur mengenai tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi kaitannya

dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Bahwa setiap negara

bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban internasional mengenai

perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, sehingga semua negara harus memikul

kewajiban ganti rugi sesuai dengan hukum internasional. Setiap negara harus

mempunyai peraturan perundang-undangan tentang kompensasi yang segera dan

memadai atas kerugian (damage) yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut

5Muhaimin, 2014, Protes Tumpahan Minyak, RI minta Australia Bekerjasama, http://international.sindonews.com/read/906514/40/protes-tumpahan-minyak-ri-minta-australia-bekerjasama-1412050603, diakses pada tanggal 15 Mei 2015.

6 Marine Pollution Montara Oil Spill, http://www.environment.gov.au/marine/marine-pollution/montara-oil-spill, diakses pada tanggal 5 Oktober 2014.

4

yang dilakukan orang (natural person) atau badan hukum (juridical person) yang

berada dalam jurisdiksinya. Karenanya, setiap negara harus bekerja sama untuk

mengimplementasikan hukum internasional yang mengatur tanggung jawab dan

kewajiban ganti rugi untuk kompensasi akibat pencemaran lingkungan laut, serta

prosedur pembayarannya.

Saat ini ratusan ribu masyarakat NTT berdomisili di sepanjang garis pantai

selatan dan utara Pulau Timor, Rote Ndao, Sabu Raijua, Alor, Sumba dan Flores serta

Lembata, tak lagi bisa membudidayakan rumput laut yang dilukiskan sebagai "emas

hijau" karena wilayah perairan budidaya mereka sudah terkontaminasi dengan

minyak mentah, zat timah hitam dan bubuk kimia, serta rusaknya terumbu karang

sampai seluas sekitar 65.000 hektare, yang menyebabkan petaka kemanusiaan,

lingkungan global dan perubahan iklim. Masyarakat Timor bekerjasama dengan

Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), terus berupaya mendapatkan hak mereka, agar

Pemerintah Australia dan Indonesia segera mengambil langkah-langkah pertanggung

jawaban. YPTB adalah yayasan yang telah memiliki legitimasi hukum dari Australia

serta mendapat kepercayaan dari masyarakat serta pemerintah di berbagai daerah di

NTT.7

Berangkat dari pemaparan fakta-fakta di atas, penulis rasa perlu untuk

melakukan sebuah penelitian tentang bagaimana pertanggungjawaban secara hukum

atas peristiwa ini menurut perspektif hukum internasional. Penelitian ini akan ditulis

7 Kasus Pencemaran Laut Timor, Agenda APEC 2013, http://news.liputan6.com/read/670636 /kasus-

pencemaran-laut-timor-agenda-apec-2013, diakses pada tanggal 1 Oktober 2014.

5

secara sistematis dalam suatu rangkaian tugas akhir/skripsi yang berjudul:

“TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PENCEMARAN MINYAK

MENTAH LINTAS BATAS NEGARA DI LAUT TIMOR” dengan harapan, para

pihak dapat berbuat sesuai kapasitasnya menurut ketentuan hukum serta di kemudian

hari tidak ada lagi peristiwa serupa yang terjadi.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis mengangkat

dua permasalahan yang penting untuk dibahas secara lebih lanjut. Adapun

permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Pertanggungjawaban Pihak Pemerintah Australia dan Perusahaan

PTT Exploration and Production Australasia Kepada Pemerintah Indonesia

atas Pencemaran Minyak Mentah di Laut Timor ?

2. Bagaimana Metode Penyelesaian Sengketa Antara Pemerintah Indonesia dan

Pemerintah Australia Akibat Meledaknya Kilang Minyak Montara ?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah perlu ditegaskan mengenai materi

yang diatur di dalamnya. Hal ini sangat diperlukan untuk menghindari agar isi atau

materi yang terkandung di dalamnya tidak menyimpang dari pokok permasalahan

yang telah dirumuskan sehingga dengan demikian dapat diuraikan secara sistematis.

Untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan, diberikan

6

batasan-batasan mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas. Adapun

ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

Akan diuraikan mengenai bagaimana bentuk pertanggung jawaban pemerintah

Australia dan Perusahaan PTT Exploration and Production Australasia kepada

Pemerintah Indonesia, karena akibat meledaknya kilang minyak, yang tumpahan

minyaknya telah mencemari Laut Timor. Serta, bagaimana penyelesaian sengketa

pencemaran minyak mentah di Laut Timor antara Pemerintah Indonesia, perusahaan

PTT Exploration and Production Australasia dan Pemerintah Australia.

Pada Bab kedua dibahas mengenai tinjauan umum tentang pencemaran lintas

batas negara, pertanggungjawaban serta penyelesaian sengketa. Pada Bab ketiga

membahas mengenai pertanggungjawaban dari pihak perusahaan yang telah

melakukan pencemaran serta pertanggungjawaban pihak Pemerintah Australia selaku

regulator. Dan pada Bab keempat membahas mengenai metode penyelesaian sengketa

yang dapat ditempuh berdasarkan ketentuan United Nation Convention on the Law of

the Sea tahun 1982.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Tulisan ini merupakan benar dari pemikiran sendiri. Sebagai referensi sekaligus

menghindari plagiasi pada tulisan ini, maka penulis menggunakan skripsi lain dengan

kasus sejenis, yang mana akan membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.

Sebagai acuan kerangka berfikir maka penulis menggunakan 3 buah skripsi/karya

7

ilmiah melalui penelusuran di ruang koleksi skripsi Fakultas Hukum Universitas

Udayana. Adapun skripsi yang penulis maksud adalah sebagai berikut :

No Judul Penulis Rumusan Masalah

1 “Pengaturan

Mengenai

Penanggulangan

Pencemaran

Lingkungan Lintas

Batas Maritim yang

Berasal dari Tambang

Minyak Lepas Pantai”

Dita Andika

Bhaskara Putra,

2012

1. Bagaimana pengaturan

pencemaran lingkungan laut

akibat tumpahan minyak

lintas batas dilingkungan

maritim Indonesia?

2. Bagaimanakah peranan

kerjasama antar Negara dalam

menanggulangi pemcemaran

lingkungan lintas batas

maritime akibat kebocoran

tambang minyak lepas pantai?

2 “Pelaksanaan The

ASEAN Agreement on

Transboundary Haze

Polution dalam kasus

polusi asap lintas

batas Negara-negara

ASEAN”

Diah Ratna Sari,

2014

1. Apakah AATHP telah

mengatur karakteristik polusi

sebagaimana yang terdapat di

dalam kasus polusi asap

Indonesia – ASEAN ?

2. Bagaimanakah bentuk

pertanggungjawaban

Indonesia terhadap akibat

polusi asap lintas batas negara

dalam kasus kebakaran hutan

dan lahan Riau berdasarkan

AATHP ?

3 “Konektivitas Maritim

ASEAN (ASEAN

Maritime

Connectivity) Ditinjau

dari Aspek Penegakan

Hukum Laut”

Renfred

Valdemar, 2014

1. Apa Relevansi Konektivitas

Maritim ASEAN bagi Negara

Kesatuan Republik Indonesia?

2. Bagaimana Konsekuensi

Hukum dari Pelaksanaan

ASEAN Maritime

Connectivity Apabila Ditinjau

dari Aspek Penegakan Hukum

Laut Internasional?

8

1.5. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain:

a. Tujuan Umum

Mengenai tujuan umum yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah

untuk mengkaji dan menganalisa pengaturan mengenai pencemaran lingkungan

khususnya laut dan lintas batas serta untuk mengetahui dan memahami posisi

subjek hukum internasional baik individu organisasi maupun negara dalam

pertanggungjawabannya.

b. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang diharapkan dapat tercapai dari penulisan skripsi

ini adalah :

1. Untuk mengetahui secara yuridis normatif, pertanggung jawaban pihak

Pemerintah Australia kepada Pemerintah Indonesia akibat kasus

meledaknya Kilang Minyak Montara

2. Untuk menganalisis metode penyelesaian sengketa pencemaran minyak

mentah di Laut Timor antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah

Australia

1.6. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai

pengaturan pencemaran lingkungan khususnya laut dalam UNCLOS 1982,

9

memberikan pengetahuan tentang latar belakang dirancangnya UNCLOS 1982,

dan pertanggungjawaban Australia terhadap Negara, terkait tumpahan minyak

mentah akibat meledaknya kilang minyak yang menyebabkan pencemaran lintas

batas Negara. Selain itu diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk

pengembangan Ilmu Hukum secara umum, khususnya di bidang hukum

internasional mengenai penerapan UNCLOS 1982.

b. Manfaat Praktis

Dari segi praktis, berguna sebagai upaya yang dapat diperoleh langsung

manfaatnya, seperti peningkatan keahlian meneliti dan keterampilan menulis,

sumbangan pemikiran dalam pemecahan suatu masalah hukum, acuan

pengambilan keputusan yuridis, dan bacaan baru bagi penelitian ilmu hukum.8

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat internasional

sebagai sarana pengembangan pemikiran serta meningkatkan daya nalar terhadap

masalah-masalah hukum lingkungan internasional khususnya dibidang

pencemaran laut lintas negara, sehingga diharapkan lebih aktif dan kritis dalam

menjaga dan melindungi lingkungan khusunya laut luasnya dua kali lipat dari luas

daratan Indonesia.

8 Abdul Kadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

h. 66.

10

1.7. Landasan Teoritis

a. Teori Kerjasama Internasional

Kerjasama internasional muncul karena keadaan, kebutuhan,

kemampuan serta potensi dari suatu negara yang berbeda-beda. Hal ini

menyebabkan suatu negara bekerjasama dengan negara lainnya agar dapat

memenuhi kepentingan nasionalnya di luar negeri.9

Kerjasama internasional

dapat dilakukan jika suatu negara sekurang-kurangnya memiliki dua syarat

utama, yaitu adanya keharusan menghargai kepentingan masing-masing

negara yang terlibat bekerjasama serta adanya keputusan bersama negara-

negara yang melakukan kerjasama dalam mengatasi setiap persoalan yang

timbul dalam perjanjian tersebut.10

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengaitkan teori ini dengan

kerjasama yang dilakukan antara Negara Indonesia dan Negara Australia,

dalam menangani pencemaran laut lintas batas negara.

b. Teori Tanggung Jawab Negara

Timbulnya tanggung jawab negara atas lingkungan didasarkan pada

adanya tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan yang berada

9 Sjamsumar Dam dan Riswandi, 1995, Kerjasama ASEAN, Latar Belakang, Perkembangan, dan

Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 15.

10. Ibid. h. 16.

11

di wilayah suatu negara atau di bawah pengawasan negara tersebut yang

membawa akibat yang merugikan terhadap lingkungan tanpa mengenal batas

negara. Hukum lingkungan internasional mengatur bahwa setiap orang berhak

atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan

dirinya.11

Teori tanggung jawab negara menyatakan bahwa suatu negara

bertanggung jawab kepada negara lain bilamana tindakan yang terjadi di

negaranya menyebabkan kerugian bagi negara lain tersebut.12

Dapat pula

diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan pemulihan terhadap setiap

kerugian yang timbul dari akibat setiap kegiatan, baik yang timbul dari

kegiatan yang dilarang maupun yang tidak dilarang oleh hukum internasional,

termasuk kewajiban untuk mencegah timbulnya kerugian dalam hal dimana

kerugian tersebut tidak dapat diselesaikan melalui pembayaran ganti rugi.13

Tanggung jawab negara terhadap akibat-akibat dari tindakannya terhadap

negara lain dan hak-hak negara terhadap lingkungan ditegaskan pula dalam

Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972.14

11. The Universal Declaration of Human Rights: A guide for Journalist. 2000, terjemahan Hendriati Trianita,

Deklarasi Universal Hak Asasi, cet. 2, Jakarta, h. 36.

12. Sendi Nugraha, 2013, State Responsibility, http//sendinugraha/2013/04/state-respon sibility.html/m=1.

diakses pada tanggal 2 Oktober 2014.

13. Ida Bagus Wyasa Putra, 2001, Tanggung jawab Negara terhadap Dampak Komersialisasi Ruang Angkasa, Refika Aditama, Bandung, h. 61. (selanjutnya disebut Ida Bagus Wyasa Putra II)

14. Ida Bagus Wyasa Putra I, Op Cit, h. 7.

12

c. Teori Tanggung Jawab Mutlak

Tanggungjawab mutlak atau strict liability diartikan sebagai kewajiban

mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah satu ciri

utamanya tidak adanya persyaratan perlu adanya kesalahan. Hal yang senada

dikemukakan pula oleh James E. Krier dalam tulisannya 'Environment

Litigation and the Burden of Proff", bahwa strict liability dapat merupakan

bantuan yang sangat besar dalam peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan,

karena banyak kegiatan-kegiatan yang menurut pengalaman menimbulkan

kerugian terhadap lingkungan merupakan tindakan-tindakan yang berbahaya,

untuk mana dapat diberlakukan ketentuan tanggung jawab tanpa kesalahan.15

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengaitkan teori ini dengan

bentuk tanggung jawab Perusahaan PTTEP Australasia dan Pemerintah

Australia kepada Indonesia atas meledaknya kilang minyak Montara dimana

Pemerintah Australia merupakan regulator dan Perusahaan PTTEP Australasia

sebagai operator dalam pengeboran minyak mentah di Anjungan Montara,

yang mana tumpahan minyaknya hingga ke perairan Indonesia serta

berdampak buruk dan dapat merusak ekosistem dan keanekaragaman hayati

bawah laut di Laut Timor.

d. Teori Penyelesaian Sengketa Internasional

15 Hendrik Salmon, 2014, Eksistensi dan Fungsi Prinsip Strict Liability Dalam Penegakan Hukum

Lingkungan, http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel/hukum-tata-negara/292-eksistensi-dan-fungsi-prinsip-strict-liability-dalam-penegakan-hukum-lingkungan, diakses pada tanggal 12 Maret 2015

13

Dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatur 2 bentuk

penyelesaian sengketa internasional, yaitu penyelesaian sengketa secara damai

dan penggunaan kekerasan. Dalam pasal 33 Piagam PBB menyebutkan

Perundingan (Negotiation), Penyelidikan (Enquiry), Mediasi (Mediation),

Konsiliasi (Conciliation) dan Arbitrase (Arbitration) sebagai cara-cara damai

dalam menyelesaikan sengketa internasional.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengaitkan teori ini dengan

mekanisme penyelesaian sengketa damai yang di terapkan dalam penyelesaian

sengketa antara Australia dan Indonesia.

1.8. Metode Penelitian

Skripsi sebagai salah satu bentuk dari penulisan karya tulis, tentunya harus

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Untuk itu mutlak diperlukan suatu

penelitian dan dalam mencari kebenaran ilmu hukum, diperlukan suatu metodologi

yang tentunya bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan ilmiah

yang bersahaja. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan

skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini termasuk

ke dalam penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif berarti

penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem

14

norma. Peter Mahmud Marzuki menyatakan pendapatnya mengenai penelitian

hukum normatif, adalah:

“… suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-

prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab

permasalahan hukum yang dihadapi. … Penelitian hukum normatif dilakukan

untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi

dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi….”16

Soerjono Soekanto juga menyatakan, bahwa penelitian hukum

normatif terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap

sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan

horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.17

Maka dari itu, penulis

menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu, dari sejumlah pendekatan

yang dikenal dalam penelitian hukum normatif.

b. Jenis Pendekatan

Sebuah karya tulis ilmiah agar dapat mengungkapkan kebenaran

jawaban atas permasalahan secara sistematis, metodologis, dan konsisten serta

dipertanggungjawabkan keilmiahannya, hendaknya disusun dengan

menggunakan pendekatan-pendekatan yang tepat. Dalam penelitian hukum

terdapat beberapa pendekatan, antara lain pendekatan peraturan perundang-

undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan

16 Peter Mahmud Marzuki dalam Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum

Normative & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 34.

17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 14.

15

historis, pendekatan komparatif, dan pendekatan konseptual.18

Dalam buku

pedoman fakultas hukum universitas udayana, penelitian normatif umumnya

megenal 7 jenis pendekatan yaitu:

1. Pendekatan Peraturan (the statute Approach)

2. Pendekatan Fakta (the fact Approach)

3. Pendekatan Kasus (the case Approach)

4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (analytical and conceptual

approach)

5. Pendekatan Frasa (word and phrase approach)

6. Pendekatan Sejarah (historical approach)

7. Pendekatan Perbandingan (comparative approach)19

Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach),

pendekatan fakta (fact approach), dan pendekatan kasus (case approach).

Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) adalah

metode penelitian dengan menelaah semua undang-undang, memahami hirarki

dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. Dikatakan bahwa

pendekatan perundang-undangan berupa legislasi dan regulasi yang dibentuk

oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara

18 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I), h. 93.

19 Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Denpasar, h.75

16

umum.20

Namun demikian, dalam penulisan penelitian ini, penulis

menganalisis instrumen-instrumen hukum internasional dan Melalui

pendekatan peraturan ini akan dilihat fakta-fakta yang terjadi dilapangan

selanjutnya dikaitkan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Pendekatan Fakta (fact approach) adalah pengkajian yang dilakukan

oleh penulis terkait suatu peristiwa hukum yang berkaitan dengan kasus yang

diangkat. Pendekatan Kasus (the case approach) Penulis menelaah kasus-

kasus khususnya yang berkaitan dengan kasus pencemaran laut lintas batas

untuk mendapatkan informasi tambahan mengenai skripsi.

c. Sumber Bahan Hukum

Di dalam penelitian ini, jenis data dibedakan antara :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang digunakan

sifatnya mengikat terutama berpusat pada peraturan perundang-

undangan. Bahan hukum primer ini bersifat otoritatif, artinya

mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan

yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.21

Bahan

hukum primer yang digunakan, yaitu:

20 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,

(selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki II), h.97.

21. Peter Mahmud Marzuki I, op.cip, h.144.

17

1. Undang-undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan

Indonesia,

2. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang

Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan

Hidup,

3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

4. United Nation Charter tahun 1945.

5. United Nations Conference on The Human Environment or

Stockholm Declaration (Deklarasi Stockholm) tahun 1972.

6. United Nations Conference on Environment and

Development (Deklarasi Rio) tahun 1992.

7. United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)

tahun 1982.

8. International Conventions on Civil Liability for Oil

Pollution Damage 1969.

9. Convention on the Prevention of Marine Pollution by

Dumping of Wastes and Other Matter 1972 (London

Dumping Convention).

10. The International Covention on Oil Pollution Preparedness

Response And Cooperation (OPRC) tahun 1990.

18

11. Draft Articles on the Responsibility of States for

Internationally Wrongful Acts, ILC, 2001.

12. Memorandum of Understanding between the Government of

Australian and Indonesia on Oil Pollution Preparedness

and Response tahun 1996

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer.22

Bahan hukum sekunder

yang digunakan berasal dari buku literatur, majalah, makalah dan

internet yang ada hubungannya dengan hukum lingkungan

internasional khususnya mengenai laut dalam kasus pencemaran laut

lintas batas Negara.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan non hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder.23

Bahan hukum tersier yang digunakan seperti kamus

hukum yang dapat menjelaskan mengenai defisini suatu kata yang

berhubungan dengan hukum lingkungan khususnya mengenai laut

dalam kasus pencemaran laut lintas batas Negara.

22. Ibid.

23. Johnny Ibrahim, 2005, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing,

Malang. h. 318.

19

c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang dipergunakan adalah

teknik studi dokumen, yaitu dalam pengumpulan bahan hukum terhadap

sumber kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dengan

cara membaca dan mencatat kembali bahan hukum tersebut yang kemudian

dikelompokkan secara sistematis yang berhubungan dengan masalah dalam

penulisan skripsi ini. Untuk menunjang penulisan skripsi ini pengumpulan

bahan-bahan hukum diperoleh melalui :

1. Pengumpulan bahan hukum primer dengan cara mengumpulan

instrument nasional maupun internasional yang berkaitan dengan

masalah yang dibahas.

2. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara

penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk mendapatkan bahan

hukum yang bersumber dari buku-buku, karya tulis hukum atau

pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun

berita di internet yang terkait dengan permasalahan yang hendak

dibahas dalam skripsi ini.

3. Pengumpulan bahan hukum tersier dilakukan dengan

menggunakan kamus hukum.

20

d. Teknik Analisa Bahan Hukum

Adapun teknik pengolahan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum

terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan

memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.24

Bahan

hukum primer dan sekunder yang terkumpul selanjutnya diberikan penilaian

(evaluasi), kemudian dilakukan interpretasi dan selanjutnya diajukan

argumentasi. Argumentasi disini dilakukan oleh peneliti untuk memberikan

preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang seyogyanya

menurut hukum terhadap peristiwa yang terjadi. Dari hal tersebut nantinya

akan ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi

antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain.

Teknik lainnya yang penulis gunakan adalah teknik Analisis, yaitu

pemaparan secara mendetail dari keterangan-keterangan yang didapat pada

tahap sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini

sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan

secara logis.

24 Ronny Hanitijo, 1991, Metode Penelitian Hukum, Cet. ke II Ghalia Indo, Jakarta, h. 93.

21