bab ii tinjauan pustaka a. sejarah lahirnya deklarasi djuanda

51
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Lahirnya Deklarasi Djuanda Indonesia sendiri memulai sejarah baru di bidang hukum laut ketika pada tanggal 13 Desember 1957 Perdana Menteri Djuanda mengeluarkan sebuah deklarasi mengenai Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut: 10 Bentuk geografi Indonesia sebagai suatu Negara Kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat corak tersendiri. Bagi keutuhan territorial dan untuk melindungi kekayaan Negara Indonesia semua kepulauan serta laut terletak di antaranya harus dianggap sebagai kesatuan yang bulat. Penentuan batas laut territorial seperti termaktub dalam Territoriale Zeen en Maritime Kringen Ordonnantie 1939 Pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan pertimbangan-pertimbangan di atas karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagianbagian terpisah dengan teritorialnya sendiri-sendiri. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu maka Pemerintah menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau- pulau yang termasuk Negara Indonesia dengan tidak memandang daratan Negara Indonesia dan dengan demikian bagian dari pada wilayah pedalaman atau Nasional yang berada di bawahkedaulatan mutlak Indonesia. Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selamat dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia. Penentuan batas laut territorial yang lebarnya 10 Pasal 1 TZMKO 1939 berbunyi : “ Laut territorial Indonesia : daerah laut yangmembentang ke arah laut sampai jarak tiga mil laut dari garis air surut pulau-pulau atau bagian- bagian pulau-pulau yang termasuk wilayah Republik Indonesia …”. TZMKO 1939 ini adalah produk kolonial yang harus segera dinyatakan tidak berlaku lagi karena semua ketentuannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea) atau disingkat UNCLOS 1982.

Upload: others

Post on 16-Jan-2022

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Lahirnya Deklarasi Djuanda

Indonesia sendiri memulai sejarah baru di bidang hukum laut ketika pada

tanggal 13 Desember 1957 Perdana Menteri Djuanda mengeluarkan sebuah

deklarasi mengenai Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia yang

berbunyi sebagai berikut:10

Bentuk geografi Indonesia sebagai suatu Negara Kepulauan

yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat corak

tersendiri. Bagi keutuhan territorial dan untuk melindungi

kekayaan Negara Indonesia semua kepulauan serta laut terletak

di antaranya harus dianggap sebagai kesatuan yang bulat.

Penentuan batas laut territorial seperti termaktub dalam

Territoriale Zeen en Maritime Kringen Ordonnantie 1939 Pasal

1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan pertimbangan-pertimbangan

di atas karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam

bagianbagian terpisah dengan teritorialnya sendiri-sendiri.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu maka Pemerintah menyatakan

bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-

pulau yang termasuk Negara Indonesia dengan tidak memandang daratan

Negara Indonesia dan dengan demikian bagian dari pada wilayah pedalaman

atau Nasional yang berada di bawahkedaulatan mutlak Indonesia. Lalu-lintas

yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selamat

dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan

keselamatan Negara Indonesia. Penentuan batas laut territorial yang lebarnya

10 Pasal 1 TZMKO 1939 berbunyi : “ Laut territorial Indonesia : daerah laut

yangmembentang ke arah laut sampai jarak tiga mil laut dari garis air surut pulau-pulau atau bagian-

bagian pulau-pulau yang termasuk wilayah Republik Indonesia …”. TZMKO 1939 ini adalah

produk kolonial yang harus segera dinyatakan tidak berlaku lagi karena semua ketentuannya

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan Konvensi Hukum Laut 1982 (United

Nations Convention on the Law of the Sea) atau disingkat UNCLOS 1982.

14

12 mil diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar

pada pulau-pulau Negara Indonesia.”11 Pasal 1 TZMKO 1939 berbunyi :

Laut territorial Indonesia : daerah laut yang membentang kearah

laut sampai jarak tiga mil laut dari garis air surut pulau-pulauatau

bagian-bagian pulau-pulau yang termasuk wilayah

RepublikIndonesia.

TZMKO 1939 ini adalah produk kolonial yang harus segera dinyatakan

tidak berlaku lagi karena semua ketentuannya bertentangandengan peraturan

perundang-undangan dan Konvensi Hukum Laut 1982(United Nations

Convention on the Law of the Sea) atau disingkatUNCLOS 1982.Deklarasi

Djuanda itu disiapkan dalam rangka menghadiriKonferensi Hukum Laut di

Jenewa pada bulan Februari 1958.Pengumuman Pemerintah Indonesia yang

menyatakan Indonesia sebagainegara kepulauan itu mendapat protes keras dari

Amerika Serikat,Australia, Inggris, Belanda, dan New Zealand, tetapi

mendapat dukungandari Uni Soviet (sekarang Rusia), dan Republik Rakyat

Cina, Filipina,Ekuador.12 Deklarasi Djuanda dipertegas lagi secara juridis

formal dengandibuatnya Undang-Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960 tentang

PerairanIndonesia. Dengan adanya UU No.4/Prp/ Tahun 1960

tersebut,menjadikan luas wilayah laut Indonesia yang tadinya 2.027.087

km2(daratan) menjadi 5.193.250 km2, suatu penambahan yang wilayahberupa

perairan nasional (laut) sebesar 3.166.163 km2.13

Di pihak lain, yaitu dalam tataran internasional masyarakatinternasional

melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa terus melakukanberbagai upaya

11 Lihat teks utuh Pengumuman Pemerintah mengenai Wilayah Perairan Negara

Republik Indonesia yang dibuat di Jakarta pada tanggal 13 Desember 1957. 12 Mochtar Kusumaatmadja. 1978. Bunga Rampai Hukum Laut, Binacipta: Bandung,

hlm.29 13 Ibid Hlm 34

15

kodifikasi hukum laut melalui konferensi-konferensiinternasional, yaitu

Konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 (UnitedNations Conference on

the Law of the Sea - UNCLOS I) yangmenghasilkan 4 (empat) Konvensi, tetapi

Konferensi tersebut gagalmenentukan lebar laut territorial dan konsepsi negara

kepulauan yangdiajukan Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan Konferensi

kedua(UNCLOS II) yang juga mengalami kegagalan dalam menetapkan dua

ketentuan penting tersebut, yang penetapan lebar laut teritorial dan

negara kepulauan.

UNCLOS I dan UNCLOS II telah gagal menentukan lebar lautterritorial

dan konsepsi Negara kepulauan karena berbagai kepentingansetiap Negara,

maka PBB terus melanjutkan upaya kodifikasi dan unifikasihukum laut

internasional terutama dimulai sejak tahun 1973 di mana tahun 1970an itu

merupakan awal kebangkitan kesadaran masyarakatinternasional atas

pentingnya mengatur dan menjaga lingkungan globaltermasuk lingkungan laut,

sehingga melalui proses panjang dari tahun1973-1982 akhirnya Konferensi

ketiga (UNCLOS III) itu berhasilmembentuk sebuah Konvensi yang sekarang

dikenal sebagai KonvensiPBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations

Convention on the Law ofthe Sea) yang ditandatangani oleh 119 Negara di

Teluk Montego Jamaikatanggal 10 Desember 1982.48 Ketika Konvensi

Hukum Laut 1982 tersebutmasih dalam proses perdebatan, Indonesia adalah

telah mengumumkanpada tanggal 21 Maret 1980 tentang Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesiaselebar 200 mil, dan ternyata bersinergi dengan

terbentukya Konvensitersebut, sehingga sesuai dengan praktik Negara-negara

dan telahdiaturnya ZEE dalam Konvensi Hukum Laut 1982, maka

16

Indonesiamengeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi

EksklusifIndonesia yang mempunyai karakter sui generis itu.14

A.1 Konsep Wawasan Nusantara Dalam Konvensi Hukum Laut

Internasional (UNCLOS 1982)

Konvensi Hukum Laut 1982 sekarang sudah diratifikasi oleh lebih

160 Negara. Sekarang yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.

Wawasan Nusantara yang dalam status juridisnya adalah negara kepulauan

(archipelagic states) sudah diakui oleh masyarakat internasional dengan

adanya Konvensi Hukum Laut 1982 yang diatur dalam Bab IV Pasal 46

yang berbunyi sebagai berikut :15

a) “archipelagic State” means a State constituted wholly by one

or more archipelagos and may include other islands;

b) “archipelago” means a group of islands, including parts of

islands, interconnecting waters and other natural features

which are so closely interrelated that such islands, waters

and other natural features form an intrinsic geographical,

economic and political entity, or which historically have

been regarded as such.”

Negara kepulauan adalah suatu Negara yang seluruhnya terdiri

darisatu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau

lain.Kepulauan berarti suatu gugusan pulau termasuk bagian pulau,

perairandi antaranya dan lain-lain wujud ilmiah yang hubungannya satu

14 Laporan Akhir Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum

LautInternasional (UNCLOS 1982) Departemen Kelautan Dan Perikanan Tahun 2008, hlm.11 15 Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 Bab IV Pasal 46

17

sama lainnya demikian erat, sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud

alamiah

lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik

yanghakiki atau yang secara histories dianggap sebagai demikian. Di balik

keberhasilan Indonesia yang telah memperjuangkan lebarlaut teritorial

sejauh 12 mil laut dan perjuangan yangterpenting diterimanya konsep

wawasan nusantara menjadi negarakepulauan oleh dunia internasional

adalah tersimpannya tanggung jawabbesar dalam memanfaatkan perairan

Indonesia (perairan pedalaman,perairan kepulauan dan laut teritorial) dan

kekayaan sumber daya alam didalamnya dengan seoptimal mungkin bagi

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.16

Tanggung jawab besar yang diembanoleh NKRI ini untuk

menjadikan negara ini menjadi negara besar yangmemberikan

kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia sesuai denganUndang-Undang

Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.Pemerintah Indonesia mempunyai

peranan yang mahapenting untukmenjaga Indonesia sebagai negara

kepulauan yang mempunyai wilayahlaut sangat luas dan mengelola

kekayaan sumber daya alamnya dengan baik dan benar. Peranan tersebut

dapat berupa adanya anggaran yangmemadai untuk pembangunan di

bidang kelautan dan penegakan hukumdan kedaulatan NKRI di Perairan

Indonesia, zona tambahan, zonaekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen,

16 Mochtar Kusumaatmadja. 1978. Bunga Rampai Hukum Laut, Binacipta: Bandung,

hlm. 34

18

dan laut lepas sebagaimanadiatur oleh Konvensi Hukum Laut 1982 dan

hukum internasional lainnya.

Indonesia secara juridis formal sudah sangat kuat atas wilayah

lautnya tetapi konsekuensinya adalah Indonesia harus menjaga kekayaan

sumberdaya alam di laut dan memanfaatkannya dengan optimal bagi

kepentingannasional dan seluruh rakyat Indonesia. Apabila Indonesia

tidak maumenjaganya dengan baik, maka apa yang terjadi selama berupa

illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan-nelayan asing, transaksi atau

perdagangan ilegal, perompakan (piracy), pencemaran/perusakan

lingkungan laut, terus berlangsung, maka akan terkuras kekayaan

lautIndonesia dan Indonesia akan menjadi negara miskin. Oleh karena itu,

Indonesia harus bangkit membangun bidang kelautan termasuk

membangun infrastruktur, peralatan, dan penegakan hukumnya,

sehinggastatus Indonesia sebagai negara kepulauan tidak hanya di atas

kertasperjanjiannya saja, tetapi harus menjadikan negara besar

yangmemberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat

Indonesia.

a. Kedaulatan Negara

Kedaulatan atau dalam bahasa asingnya souverangnity bermakna

kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang di dalam negara tersebut

tidak dihinggapi adanya kekuasaan lain. Masalah kedaulatan ini Jean

Bodin yang hidup pada abad XVI mengungkapkan bahwa kedaulatan

merupakan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara untuk menentukan

hukum dalam negara tersebut dan sifatnya: tunggal, asli, abadi serta

19

tidak dapat dibagi-bagi.17 Ditilik dari sejarahnya adanya negara itu

karena perkembangan kebutuhan manusia yang ingin hidup dalam

keteraturan dengankoordinasi mapan, tidak saling menciptakan rasa

kekhawatiran antara sesama. Dengan berawal dari bentuk organisasi

yang akhirnya tumbuh berkembang menjadi negara.

Menurut Plato dalam teorinya tentang asal mula negara dikatakan

bahwa negara itu timbul atau ada bersama karena adanya kebutuhan dan

keinginan manusia yang beraneka macam, untuk memenuhi kebutuhan

tersebut berakibat mereka harus bekerjasama, apabila masing-masing

hidup sendiri-sendiri tidak dapat memenuhinya mengingat bahwa

setiap orang mempunyai kecakapan masing-masing. Sesuai dengan

kecakapan dan kemampuan yangdimilikinya maka mereka mempunyai

tugas sendiri-sendiri dan bekerjasama untuk memenuhi kepentingan

mereka bersama. Kesatuan inilah yang kemudian disebut masyarakat

dan negara.18 Dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat dunia

yangmerupakan negara berdaulat bukan berarti telah mengagung-

agungkan kekuasaan yang dimilikinya tanpa memperhatikan dan

menghormati kekuasaan lain di luar batas kekuasaannya.

Apabila kekuasaan tertinggi yang secara teoritis tidak mengakui

adanya kekuasaan lain di dalam negaranya secara prinsip terlalu

dipegang teguh, hal ini akanmengganngu pergaulan internasional,

dalam artian masing-masing memegangnya, kecuali apabila sudah

17 Soehino, Ilmu Negara Yogyakarta: Libarty, 198, hlm. 17. Sebagaimana dikutip

dalambuku P. Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009, hlm. 15 18Ibid. hlm. 15-16

20

menyangkut masalah kepentingan dan prinsip negara yang

bersangkutan maka kedaulatan dapat berbicara. Seperti contoh dalam

kenyataan masyarakat internasional dimana pergaulan dan hubungan

antar negara merupakan suatu hal yang sangat diperlukan, sebab suatu

negara tidak dapat memenuhi kepentingan di dalam negerinya tanpa ada

kerjasama dalam bentuk bantuan tenaga ahli, teknologi, ekonomi,

keuangan dan sebagainya.19 Kebiasaan Internasional di sini merupakan

suatu pola tindak dari serangkaian tindakan-tindakan mengenai suatu

hal dan dilakukan secara berulang-ulang, tindakan yang dimaksud

adalah yang berkaitan dengan hubungan internasional. Batas waktu

tindakan yang dilakukan itu tidakada batasnya berapa kali tindakan itu

dilakukan secara terulang, hal ini tergantung dari suatu dan kondisi

setempat serta kebutuhannya.

Apabila secara pergaulan internasional sudah cukup mendapatkan

pengakuan dalam arti tidak menimbulkan pertanyaannya maupun

permasalahanya yang dapat berjalan secara lancar di dalam pergaulan

tersebut. Contoh dengan ini diterimanya konsep hukum laut dan landas

kontinen (Contintal Shelf) di dalam hukum laut internasional sebagai

suatulembaga hukum. Sebagai konsep hukum baru muncul setelah

proklamsi Presiden Truman tahun 1945 mengenai Continental Shelf.

Proklamasi ini disusul oleh proklamasi yang serupa oleh negara-negara

lain dalam tahun 1958. Kemudian Konferensi Hukum Laut di Jenewa

19Ibid. hlm. 17

21

telah menerima konvensi mengenai Landasan Kontinen.20 Perjanjian

Internasional diadakan oleh bangsa sebagai subyekhukum

internasional, bertujuan untuk menggariskan hak dan kewajiban yang

ditimbulkan serta akibat lainnya yang berpengaruh bagi para pihak

pembuat perjanjian. Para pihak terikat dan tunduk pada perjanjian

sesuai dengan ketentuan yang menjadi kesepakatan bersama. Perjanjian

ini dapat dilakukan oleh 2 (dua) negara (bilateral) atau lebih

(multilateral).

Pada umumnya perjanjian di buat dengan memperhatikan

kepentingan para pihak dengan saling menguntungkan dan tidak

meninggalkan landasan-landasan masing-masing pihak serta

memperhatikan segala ketentuan hukum internasional yang ada.21

Dalam pemikiran tentang kedaulatan negara dan pergaulan antarnegara

sebagaimana dilukiskan di muka yaitu adanya kekuasaan tertinggi

delam negara. Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja bahwa

kekuasaan tertinggi mengandung dua pembatasan penting dalam

dirinya yaitu kekuasaan itu pada batas-batas wilayah negara yang

memiliki kekuasaan tertinggi itu, dan kekuasaan itu berakhir di mana

kekuasaan suatu negara lain mulai.

b. Kewenangan dalam Wilayah Lautan

Setiap negara, baik negara pantai maupun negara tidak

berpantaimempunyai kebebasan untuk kegiatan-kegiatannya dengan

20 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bina Cipta

1982 Cet. 4, hlm 136-137. Sebagaimana dikutip dalam buku P. Joko Subagyo, Hukum

LautIndonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009, hlm. 18 21 P. Joko Subagyo, Op.Cit., hlm. 18.

22

tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah disyaratkan oleh

Hukum Internasional, yang merupakan kesepakatan bersama antara lain

kebebasan tersebut meliputi Kebebasan melakukan navigasi;

Kebebasan penangkapan ikan;Kebebasan memasang kabel dan pipa

saluran di bawah permukaan air laut; Kebebasan melakukan

penerbangan di atas laut lepas, dan kebebasan tersebut bukannya

dilaksanakan bebas sebebasnya ini tetap dibaregi dengan selalu

menjaga situasi dan kondisi yang adadi dalam lingkungan laut

(ekologinya).

Kebebasan yang ada dalam laut lepas dapat dilakukan secara

adiloleh negara pantai untuk kepentinagn negara yang tidak

berpantai,dengann posisinya berada di antara negara-negara pantai

dapatmenikmati laut lepas dengan segala sumber daya. Sebagaimana

diatur dalam konvensi Hukum Internasional bahwa:

1. Bagi negara tidak berpantai untuk mengadakan lalulintas

bebasmelalui daerahnya. Hal ini dimaksudkan dengan lalu

lintas bebas dantujuan damai dapat menggunakan daerah

berdaulat tanpa harusdipersulit untuk melaluinya;

2. Memberikan perlakuan yang sama sebagaimana halnya

kapalkapalnyasendiri bagi kapal-kapal yang berbendera

negara tidakberpantai. Bagi kapal-kapal asing dari negara

tidak berpantai, agardiberikan fasilitas untuk lewat

sebagaimana halnya kapal merekasendiri (negara berpantai)

yang berlayar di wilayahnya sendiri;

3. Demikian halnya seperti pada poin 2 bagi kapal-kapal dari

negaratidak berpantai dimaksud masuk ke pelabuhan laut dan

pemakaianpelabuhannya.22

22Ibid. hlm. 22-23

23

c. Lintas Damai Kendaraan Asing

Menurut Ketentuan hukum internasional, pada umumnya

lautmerupakan wilayah lintas damai bagi kendaraan asing,

sehinggatidakmenunjukkan adanya monopoli bagi negara hukum

dalammemanfaatkan sarana laut sebagai lintas transportasi air. Pada

bagianumum penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun

1962diungkapkan bahwa hak lalu lintas laut damai dijamin oleh

hukuminternasional di laut wilayah (territorial sea) suatu negara dan

bukanperairan pedalaman (internal waters), kecuali kalau perairan

pedalamanmerupakan akibat dari cara-cara menarik gas dasar (base

line) yang barusebagai pangkal untuk menarik/mengukur laut wilayah.

Mengingat bahwa tidak semua perairan pedalaman hak lalu lintas laut

damai dijaminoleh hukum internasional.

Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 menjamin hak

lalu lintas di perairan pedalaman Indonesia dengan tidak

membedakanlebih lanjut, antara perairan pedalaman sebelum

berlakunya Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960, di mana tidak ada hak

lalu lintas laut damaimenurut hukum internasional. Dan perairan

pedalaman yang baru terjadikarena cara-cara menarik garis dasar

dengan berdasarkan pada Pasal 1ayat (2) Undang-Undang Nomor

4/Prp/1960, bahwa laut wilayahIndonesia ialan jalur laut selebar 12 mil

laut, di mana hal ini lalu lintasdamai dijamin.

Lalu lintas laut damai untuk kendaraan air asing dengan

pelayaranmaksud damai, yaitu pelayaran selama tidak bertentangan

24

dengan keamanaan, ketertiban umum serta kepentingan lainnya yang

tidakmengganggu kepentingan dan perdamaian negara Republik

Indonesia. Maksud dari pelayaran adalah untuk melintasi laut wilayah

dan perairan pedalaman Indonesia dengan lintas ialah dari laut bebas ke

suatu pelabuhan Indonesia dan sebaliknya; kemudian dari laut bebas ke

laut bebas Pasal 12 ayat (1). Dalam pelayarannyadari laut bebas ke laut

bebas, pelayarannya digunakan untuk penangkapan ikan, maka selama

berada atau malointasi laut wilayahdan perairan pedalaman Indonesia

diharuskan menyimpan alat-alat yang digunakan dalam keadaan

terbungkus dan disimpan di dalam palkah-palkah.23

Diakuinya secara resmi Indonesia sebagai negara

kepulauan(konvensi hukum laut III/1982) maka dalam wilayah

lautannya dikenal adanya perairan kepulauan, dalam wilayah ini bagi

negara kepulauan asih memberikan kekuasaan negara lain untuk

melakukan pelayaran, karena dalam perairan tersebut berlaku hak lintas

damai (right ofinnocent parsage). Sebagai alternative bagi negara

kepulauan dengan adanya hak lintas damai tersebut dapat menentukan

kebijaksanaannya:

1. Menangguhkan untuk sementara hak lintas damai tersebut

padabagian-bagian hukum dari perairan kepulauannya;

2. Hal ini dilakukan mengingat adanya keadaan yang dianggap

segerauntuk perlindungan dalam kepentingan keamanan;

3. Negara kepulauan dapat menetapkan alur laut kepulauan dan

rutepenerbangan di atas alur tersebut. Hak lintas alur laut

kepulauan olehkapal-kapal atau pesawat udara asing, untuk

transit dari suatubagian laut lepas atau ZEE ke bagian lain

dari laut lepas atau ZEE.Dengan ditentukannya sebagai

perairan kepulauan yang merupakanterritorial negara

23Ibid. hlm. 28-29

25

kepulauan berarti negara tersebut berwenangmengatur segala

kepentingan bi bagian wilayahnya.24

Mengenai hak lintas alur kepulauan diatur dalam Pasal 53 Konvensi

Hukum Laut1982 memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Suatu Negara kepulauan dapat menetapkan alur laut dan

rutepenerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk

lintas kapaldan pesawat udara asing guna melakukan terus

menerus danlangsung serta secepat mungkin melalui atau

di atas perairankepulauannya dan laut teritorial yang

berdampingan dengannya.

2. Semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas

alurkepulauan dalam alur laut dan rute penerbangan

demikian.

3. Lintas alur laut kepulauan berarti pelaksanaan hak

pelayaran danpenerbangan sesuai dengan ketentuan-

ketentuan Konvensi inidalam cara normal semata-mata

untuk melakukan transit yangterus menerus, langsung dan

secepat mungkin serta tidakterhalang antara satu bagian

laut lepas atau zona ekonomieksklusif dan bagian laut lepas

atau zona ekonomi eksklusiflainnya.

4. Alur laut dan rute udara demikian harus melintasi

perairankepulauan dan laut teritorial yang berdampingan

dan mencakupsemua rute lintas normal yang digunakan

sebagai rute atau alurkepulauan dan di dalam rute demikian,

sepanjang mengenaikapal, semua alur navigasi normal

dengan ketentuan bahwaduplikasi rute yang sama

kemudahannya melalui tempat masukdan keluar yang sama

tidak perlu.

5. Alur laut dan rute penerbangan demikian harus ditentukan

dengansuatu rangkaian garis sumbu yang bersambungan

mulai daritempat masuk rute lintas hingga tempat keluar.

Kapal danpesawat udara yang melakukan lintas melalui

alur laut kepulauantidak boleh menyimpang lebih dari pada

25 mil laut pada sisi kiridan kanan garis sumbu demikian

dengan ketentuan bahwa kapaldan pesawat udara tersebut

tidak boleh berlayar atau terbangmendekati pantai kurang

dari 10% jarak antara titik-titik yangterdekat pada pulau-

pulau yang beebatasan dengan alur lauttersebut.

6. Suatu Negara Kepulauan yang menetapkan alur laut

menurutketentuan pasal ini dapat juga menetapkan skema

pemisah lalulintas yang diperlukan bagi lintas kapal yang

aman melalui terusan sempit dalam alur laut demikian.

24Ibid. hlm. 30-31

26

7. Suatu negara kepulauan, apabila keadaan menghendaki,

setelahuntuk itu mengadakan pengumuman sebagaimana

mestinya,dapat mengganti alur laut atau skema pemisah

lalu lintas yang telah ditentukan atau ditetapkan

sebelumnya dengan alur lautatau skema pemisah lalu lintas

yang baru.

8. Alur laut dan skema pemisah lalu lintas demikian harus

sesuaidengan peraturan internasional yang diterima secara

umum.

9. Dalam menetukan atau mengganti alur laut atau

menetapkan ataumengganti skema pemisah lalu lintas,

suatu negara kepulauanharus mengajukan usul-usul kepada

organisasi internasionalberwenang dengan maksud untuk

dapat diterima. Organisasitersebut hanya dapat menerima

alur laut dan skema pemisah laulintas yang demikian

sebagaimana disetujui bersama dengannegara kepulauan

dapat menentukan, menetapkan ataumenggantinya.

10. Negara kepulauan harus dengan jelas menunjukkan garis-

garissumbu untuk alur-alur laut dan skema pemisah lalu

lintas yangditentukan atau ditetapkannya pada peta yang

diumumkansebagaimana mestinya.Kapal yang melakukan

lintas alur lautkepulauan harus mematuhi alur laut dan

skema pemisah lalulintas yang berlaku yang ditetapkan

sesuai dengan ketentuanpasal ini.

11. Apabila suatu negara kepulauan tidak menentukan alur laut

danrute penerbangan, maka hak lintas laur laut kepulauan

dapatdilaksanakan melaui rute-rute yang biasanya

digunakan untukpelayaran internasional.25

Hak lintas alur-alur laut kepulauan melalui perairan

kepulauanIndonesia diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6

Tahun 1996.Dalam pasal ini ditetapkan bahwa pemerintah menentukan

alur-alur lauttermasuk rute penerbangan di atasnya yang cocok

digunakan untukpelaksanaan lintas alur kepulauan tersebut dengan

menentukan sumbu-sumbunya yang dicantumkan pada peta-peta laut

yang diumumkan sebagaimana mestinya untuk melaksanakan

ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 ini telah

25Lihat Pasal 53 Konvensi Hukum Laut UNCLOS 1982

27

dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak

dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan

Hak Lintas Alur Kepulauan Melalui Alur LautKepulauan yang

Ditetapkan.Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

2002dinyatakan bahwa kapal dan pesawat udara asing dapat melakukan

haklintas alur kepulauan, untuk pelayaran atau penerbangan dari

satubagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif ke bagian lain laut

lepas atau zona ekonomi eksklusif melintasi laut teritorial dan

perairankepulauan Indonesia.26

d. Pengaruh Konferensi Hukum Laut Bagi Negara Kepulauan

Masalah kelautan timbul adanya keperluan berbagai pihakyangingin

memanfaatkan segala fasilitas laut. Tumbuh berkembangnyaHukum

Laut selain karena adanya kepentingan dengan alasan milik bersama,

juga perlu dijaga seperti halnya Kepentingan yang berkaitan dengan

keamanan dan stabilitas negara; Terbatasnya sumber daya, apabila

tanpa memperhatikan keamananlaut; Pembagian kepentingan; Menjaga

dan menuju pelestarian lingkungan laut dengan segala ekosistemnya,

dan sebagainya. Khusus bagi negara kepulauan sebagaimana halnya

Indonesia adanya konferensi hukum laut tahun 1982 yang

diselenggarakan oleh PBB di Montego Bay Jamaica, telah membawa

angin segar dengan pengaruh baru dalam wawasan internasional.

Dengan dikukuhkannya lebar laut, territorial sepanjang maksimal 12

26 Didik Mohammad Sodik. 2011, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di

Indonesia, hlm. 61-62

28

mil laut, memberikan kesempatan bagi negara pantai yang koneksinya

memungkinkan untukdilakukan perluasan.

Di sisi lain pengaruh konfrensi tersebut, bahwa yang sebelum

konferensi merupakan perairan internasional yang merupakan laut

bebas (flight sea) berubah menjadi laut territorial dibawah kedaualatan

suatu negara dengan perlindungan hukum nasional suatu negara

tersebut dan sudah barang tentu kebebasan bagi negara-negara lain

lebih terkendali. Secara rinci pengaruh konferensi hukum laut tersebut

di atas bagi negara pantai maupun negara lainnyasebagai berikut:

1. Dapat membentuk negara kepulauan, menjamin kepentingan

negaratersebut;

2. Memberikan kesempatan negara pantai untuk

memperlakukanperluasan wilayah laut;

3. Memperluas tanggung jawab negara pantai terhadap lautan;

4. Berkurangnya wilayah laut bebas (flight sea) menjadi laut

territorial;

5. Mendukung pelestarian lingkungan laut yang harus di jaga

oleh hukum nasional suatu negara;

6. Mengurangi kebebasan yang semula ada bagi para

pengelolalautan.27

Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau-

pulaudengan 2/3 wilayahnya merupakan wilayah lautan. Dalam

sejarahnegara Indonesia di mana wilayahlautannya dalam jarak 3-6 mil

lautdiubah menjadi 12 mil laut sebagai perkembangan diundangkannya

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 yang meratifikasi konvensi

hukum laut tersebut, lebih jauhakan menyatukan dan mewujudkan cita-

citabangsa sebagai negara kepulauan.Negara kepulauan yang diakui

secara resmi melalui konvensi Hukum Laut II tersebut mempunyai

27Ibid. hlm. 35-36

29

kewajiban seperti halnya Menghormati perjanjian internasional yang

sudah ada; Menghormati kegiatan-kegiatan lain yang sah dari negara

tetanggayang langsung berdampingan; Menghormati hak-hak

tradisional penangkapan ikan; Menghormati dan memperhatikann

kabel laut yang ada dibagian tertentu perairan pedalaman yang dahulu

merupakan laut bebas.

Kewajiban tersebut yang perlu diperhatikan sehingga

tidakmenumbuhkan kesewenang-wenangan atas perjanjian atau

bentukkepentinagn lainnya yang bersifat damai diwilayah negara

kepulauan. Dengan timbulnya negara kepulauan bukan berarti bagi

negaratersebut dapat pula meninjau kembali atau membongkar yang

sudah adatanpa memperhatikan jangka waktu yang ada, melainkan

yang sudahada tetap dihormati dan berlaku ketentuan sebagaimana

sebelummerupakan wilayah kepulauan, sepanjang bentuk-bentuk

perjanjianmasih berlaku atau belum dicabut.28

B. Asas Cabotage

B.1 Asas Hukum

Ilmu hukum adalah suatu ilmu Sui Generis yang tidak dapat

dibandingkan dengan bentuk ilmu lain yang mana pun.29 Asas hukum

memiliki sifat empirik analitikal, yang berati asas hukum mampu

memberikan suatu pemaparan dan analisis tentang isi dan struktur dari

hukum yang berlaku.30 Berdasarkan hal tersebut, maka jelas bahwa asas

28Ibid. hlm. 37 29Meuwissen. 2013. Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan

Filsafat Hukum, dialihbahasakan oleh B. Arief Sidharta, Cetakan ke-4, Bandung: PT Refika

Aditama.Hlm. 55. 30Ibid

30

hukum merupakan suatu hal yang sangat fundamental dalam pembicaraan

tentang Ilmu Hukum. Asas hukum juga merupakan salah sau bagian atau

objek dari dogmatika hukum (selain Peraturan Hukum konkret, sistem

hukum, dan penemuan hukum).31

Dijelaskan dalam kamus hukum karya Sudarsono, bahwa asas

hukum meliputi hukum dasar, dasar sebagai tumpuan berpikir atau

berpendapat, dan dasar cita-cita dari perkumpulan atau organisasi.32

Berikutnya, jika merujuk dari pendapat para ahli terkemuka, maka

gambaran tentang asas hukum akan jauh lebih jelas. Adapun menurut Paul

Scholten yang menyatakan bahwa asas hukum ialah kecenderungan yang

ditetapkan oleh moral pada hukum.33 Hal ini pun diamini oleh Mochtar

Kusumaatmadja yang menyatakan bahwa asas hukum berkaitan dengan

nilai-nilai moral tertinggi, yaitu Keadilan.34 Asas hukum juga dapat ditafsir

sebagai prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum. Asas-

asas tersebut juga dapat disebut pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang

menjadi tolok berpikir tentang hukum. Asas-asas hukum tersebut

merupakan titik tolok juga bagi pembentukan undang-undang dan

interpretasi undang-undang tersebut. Bahkan menurut Bellefroid, bahwa

asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan

yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih

31Sudikno Mertokusumo. 2014. Teori Hukum (Edisi Revisi), Yogyakarta: Cahaya Atma

Pustaka. Hlm. 44. 32Sudarsono.2007. Kamus Hukum Edisi Baru, Cetakan ke-5, Jakarta: Rineka Cipta.

Hlm 37. 33 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., Hlm. 46. 34 Mochtar Koesoemaatmadja. 2006. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan,

Cetakan ke-2, Bandung: Alumni. Hlm. 6

31

umum.35 Merujuk pula pada pendapat Kraan, maka asas hukum dapat

didefinisikan sebagai bagian dari hukum yang lebih merupakan “sweeping

statements”, jalan keluar yang dirumuskan secara mutlak untuk

pemecahan suatu permasalahan hukum.36

Berdasar beberapa pengertian awal tentang asas hukum diatas, maka

dapat ditarik benang merah atau simpulan bahwa sesungguhnya asas

hukum itu tidak dapat dianggap sebagai norma-norma hukum yang

konkret, melainkan harus dipandang sebagai dasar-dasar umum terhadap

berlakunya suatu aturan-aturan hukum yang dibentuk berdasarkan

tingkatan atau hierarki hukum. Oleh sebab itu, setiap pembentukan hukum

praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Asas hukum juga

menjadi penting dalam hukum dikarenakan asas hukum-lah yang membuat

sistem hukum menjadi luwes, fleksibel dan supel. Tanpa adanya asas

hukum, sistem hukum menjadi kaku dan tidak fleksibel. Maka,

dikarenakan sifatnya yang umum, asas hukum tidak dapat diterapkan

secara langsung pada peristiwa konkret. Asas hukum harus dicocokan dan

disesuaikan dengan peristiwa konkret terlebih dahulu. sebagaimana

hukum itu sendiri merupakan cita-cita manusia, merupakan harapan,

dengan demikian asas hukum memberi dimensi etis pada hukum.37

Asas hukum juga dianggap sebagai suatu yang melahirkan (sumber,

inspirasi, filosofis, materiil dan formiil) dari peraturan hukum, dengan

35Sudikno Mertokusumo. 2009. Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Yogyakarta:

Liberty. Hm 5. 36Ibid 37Ibid. Hlm 47-48

32

demikian asas hukum menjadi ratio-logis peraturan-peraturan hukum.38

Melanjutkan kembali mengenai asas hukum menurut ahli hukum lainnya,

seperti Van der Velden yang menyatakan bahwa, asas hukum adalah tipe

putusan tertentu yang dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai

situasi atau digunakan sebagai pedoman berprilaku.39 Asas-asas hukum

memiliki arti penting dalam pembentukan hukum, penerapan hukum, dan

perkembangan hukum. Bagi pembentukan hukum, asas hukum

memberikan landasan secara garis besar mengenai ketentuan-ketentuan

yang perlu dituangkan dalam aturan hukum. Bagi penerapan hukum, asas

hukum sangat membantu bagi digunakannya penafsiran dan penemuan

hukum maupun analogi. Sedangkan bagi perkembangan ilmu hukum, asas

hukum dapat menunjukan berbagai aturan hukum sesuai dengan

hierarkinya. Maka daripada hal tersebut, penelitian terhadap asas hukum

memiliki nilai yang sangat penting bagi dunia akademis, pembuat undang-

undang, maupun prkatik peradilan.40

B.2 Pengertian dan Dasar Filosofi Asas Cabotage

Asas Cabotage merupakan salah satu dari asas yang terdapat dalam

hukum laut (Maritim Law), terutama hukum Pengangkutan Laut.41 Asas

ini mengandung arti bahwa penyelenggaraan pelayaran dalam negeri

adalah sepenuhnya hak negara pantai. Negara pantai berhak melarang

38 Abdullah Marlang, Irwansyah, dan Kaisaruddin Kamaruddin, Pengantar Hukum

Indonesia, Makassar: Yayasan Aminuddin Salle (A.S. Center), 2009, hlm. 35. 39 Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit. 40 Peter Mahmud Marzuki. 2008. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, Hlm. 79. 41 Asas lain yang juga dikenal adalah asas Fair Share (asas pembagian muatan secara

wajar) yairu bahwa kapal-kapal dalarn negeri alau kapal-kapal yang diaperasionalkan

olehperusahaanperusahaan dalarn negeri mempunyai hak untuk mengangkut bagian yang wajar dari

muatan-muatan yang diangkut ke atau dari luar negeri.

33

kapal-kapal laut asing berlayar dan berdagang sepanjang pantai dalam

wilayah perairan negara pantai yang bersangkutan. Asas ini sering

diartikan juga sebagai pelayaran niaga nasional dari pelabuhan ke

pelabuhan yang lain dalam wilayah suatu negara.42

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Asas Cabotage ini diartikan

sebagai asas atau prinsip yang menyatakan bahwa kegiatan pelayaran

dalam wilayah perairan suatu negara hanya dapat dilakukan oleh kapal-

kapal yang bersangkutan. Asas Cabotage ini juga merupakan asas yang

diakui didalam hukum dan praktik pelayaran seluruh dunia serta

merupakan penjelmaan kedaulatan suatu negara untuk mengurus dirinya

sendiri, dalam hal ini pengangkutan dalam negeri (darat, laut, dan udara),

sehingga tidak dapat begitu saja dianggap sebagai proteksi, yaitu

perlindungan atau perlakuan istimewa yang kurang wajar bagi perusahaan

domestik yang dapat menimbulkan persaingan tidak sehat.43

Atas diberlakukannya asas ini, maka berbagai kalangan menilai

pemberlakuan asas ini sebagi suatu tindakan proteksi yang

memperlakukan istimewa bagi perusahaan domestik, sehingga dianggap

menimbulkan persaingan yang tidak sehat (unfair competition), padahal

asas ini merupakan upaya dari kebijakan pemerintah suatu negara yang

bertujuan untuk meningkatkan kemampuan industri dalam negeri.

Disamping itu pula, kekeliruan yang dilakukan pemerintah dalam

42 M. Hussen Umar. 2001. Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di

Indonesia. Buku 2. Jakarta: Pusataka Sinar Harapan. Hlm.13 43 Mochtar Kusumaatmadja dalam makalah “Pembinaan Pelayaran Nasional

dalamRangka Penegakan Wawasan Nusantara”, disampaikan pada Seminar tentang Pelayaran

Naional, tanggal 19-20 Oktober 1994 di Kanindo Plaza, Jakarta, hlm.7

34

menyerap arus globaliasasi dan perdangan bebas yang penerapannya

kedalam kebijakan pembangunan indsutri nasional seringkali merugikan

keberadaan perusahaan atau industri dalam negeri. Padahal, sebenarnya

pemerintah harus senantiasa mengadakan penyesuaian dengan kondisi

dalam negeri. Sama halnya pada dunia angkutan laut, pembinaan dan

dukungan pemerintah juga mutlak diperlukan untuk menjadikan angkutan

laut nasional menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.44

Hak Cabotage dalam kegiatan angkutan laut (pelayaran) sebenarnya

oleh negara-negara maju pun pada era globaliasasi dan perdagangan bebas

ini maish tetap diberlakukan, misalnya saja pada negara Amerika (Minland

United States) dan kepulauan Hawaii, yang mana hanya boleh dilakukan

oleh perusahaan-perusahaan pelayara Amerika Serikat saja.45 Apabila hak

cabotage masih berlaku dan diterapkan serta ditegakan (enforced) di

negara maju layaknya Amerika Serikat, maka Indonesia sebagai negara

berkembang sekaligus yang merupakan negara kepulauan, dimana

perhubungan laut merupakan faktor integrasi wilayah dan bangsa yang

penting, maka Asas Cabotage perlu diberlakukan di Indonesia secara

konsekuen dan menyeluruh pula.46

B.3Asas Cabotage dalam Hukum Nasional

Asas Cabotage dalam hokum nasional dimulai secara yuridis melalui

Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran

Nasional ditandatangani oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono

44 Hasim Purba, Hukum Pengangkutan di Laut, Perspektif Teori dan Praktek,

(Medan:Pustaka Bangsa Pers, 2005) hlm. 22-23 45 Mochtar Kusumaatmadja, Loc.Cit 46Ibid

35

pada tanggal 28 Maret 2005. Inpres ini ditujukan pada satu Menteri

Perekonomian, satu Menteri negara, sebelas Menteri dari departemen

teknis, dan para gubernur/bupati/walikota seluruh Indonesia. ruh daripada

Inpres ini ialah penerapan Asas Cabotagesecara konsisten dan konsekuen.

Pengangkutan barang antarpelabuhan laut di dalam negeri wajib

diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut nasional, penyelenggara

angkutan laut khusus dan perusahaan pelayaran rakyat dengan

menggunakan kapal berbendera Indonesia dan diawaki oleh Awak Kapal

berkewarganegaraan Indonesia.

Pokok-pokok kebijakan Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang

Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional sebagai berikut:

a. Perdagangan

1) Muatan antarpelabuhan didalam negeri wajib diangkut oleh kapal

nasional dan diorientasikan oleh perusahaan pelayaran nasional

(Asas Cabotage).

2) Muatan impor yang pengadaan dan pengangkutannya dibiayai oleh

APBN/APBD wajib menggunakan kapal berbendera Indonesia.

3) Kemitraan angkutan laut jangka panjang antara perusahaan

pelayaran nasional dan pemilik barang.

b. Keuangan

1) Perpajakan

2) Lembaga Keuangan, mendorong perbankan nasional untuk

menyediakan pendanaan pengadaan kapal, mengembangkan

LKNB khusus pendanaan pengembangan industri pelayaran

36

nasional

3) Asuransi, setiap kapal dan muatan wajib diasuransikan

c. Perhubungan

1) Angkutan Laut:

a) Menata penyelenggaraan angkutan laut khususnya dalam

negeri, sehingga angkutan dalam negeri seluruhnya dilayani

oleh kapal-kapal berbendera Indonesia

b) Menata kembali jaringan trayek angkutan laut tetap/teratur

c) Menata kembali proses ganti bendera kapal

d) Mempercepat ratifikasi konvensi IMO tentang maritime Lines

and Mortage sertaKonvensi Arrest of Ship

e) Memberikan dukungan pengembangan pelayaran rakya

f) Mempercepat pembentukan IMRK

2) Pelabuhan

a) Menata kembali penyelenggaraan pelabuhan agar efektif dan

efesien

b) Menata kembali pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan LN

dan lintas batas

c) Mengembangkan sarana dan prasarana pelabuhan untuk

mencapai pelayanan yang optimal

d) Mengembangkan manajemen pelabuhan, pemisahan fungsi

regulator dan operator

e) Menghapuskan biaya jasa kepelabuhanan yang tidak ada

pelayarannya

37

f) Menata kembali sistem prosedur pelayaran kapal, barang, dan

penumpang

d. Perindustrian

1) Mendorong tumbuh dan berkembangnya industri perkapalan skala

UKMBK (Usaha Kecil dan Menengah Besar & Koperasi)

2) Mengembangkan pusat desain, penelitian, dan pengembangan

indsutri kapal

3) Mengembangkan standarisasi dan komponen kapal

4) Mengembangkan indsutri bahan baku dan komponen kapal

5) Memberikan insentif kepada perusahaan pelayaran yang

membangun/mereparasi kapal dalam negeri

6) Pembangunan, pemeliharaan, dan reparasi kapal dengan biaya

APN/APBD wajib dilaksanakan di galangan kapal dalam negeri

e. Energi dan Sumber Daya Mineral

Memberikan jaminan penyediaan BBM yang proporsional kepada kapal

bender Indonesia yang beroperasi didalam negeri.

f. Pendidikan dan Latihan

Pemerintah daerah dan swasta bersinergi mengembangkan pusat

pendidikan/pelatihan kepelautan berstandar IMO serta mengembangkan

kerjasama antara lembaga pendidikan dan pengguna jasa pelaut dalam

rangka menghasilkan tenaga pelaut profesional.

Inpres Nomor Tahun 2005 menginstruksikan penerapan Asas

Cabotagesecara konsekuen dan merumuskan kebijakan serta mengambil

langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan kewenangan masing-

38

masing untuk memberdayakan indsutri pelayaran nasional.Guna

mengetahui kewenangan Indonesia sebagai negara pantai dalam

menegakkan hukum di wilayah laut di bawah kedaulatannya, maka

penting untuk diketahui mengenai yurisdiksi yang merepresentasikan hak

dan kewenangan negara tersebut atas penerapan hukum nasionalnya.

Penegakan hukum di wilayah laut Indonesia menggunakan yurisdiski yang

berasaskan teritorial. Asas teritorial menetapkan bahwa yurisdiksi negara

berlaku bagi orang, perbuatan, dan benda yang ada di wilayahnya.

Berlakunya yurisdiksi teritorial berdasarkan kedaulatan negara yang

bersangkutan atas wilayahnya. Yuridiksi teritorial juga diartikan sebagai

kekuasaan negara secara geografis yang menggambarkan bagian

permukaan bumi dan ruang angkasa di atasnya serta tanah di bawahnya

yang merupakan kedaulatan atas wilayahnya baik meliputi orang maupun

benda di dalamnya.

Pada peraturan perundang-undangan nasional Indonesia, Asas

Cabotagediatur dalam ketentuan mengenai Pelayaran. Indonesia sendiri

mempunyai peraturan nasional di bidang pelayaran sejak tahun 1992, yaitu

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Sebelum

diberlakukannya Undang-Undang ini, dalam bidang pelayaran Indonesia

masih mengacu pada aturan-aturan yang dibuat pada masa pemerintahan

kolonial Belanda. Maka, mulai diberlakukannya Undang- Undang Nomor

21 Tahun 1992 tentang Pelayaran ini, dalam ketentuannya mencabut dan

tidak memberlakukan lagi beberapa peraturan produk pemerintahan

kolonial Belanda tersebut yang mengatur tentang pelayaran. Dalam

39

ketentuan Undang-Undang ini Asas Cabotagesudah mulai diatur walaupun

masih belum tegas dan ketat, sebab dalam ketentuannya masih dibuka

peluang adanya ketentuan pengecualian bahwa dalam keadaan tertentu dan

persyaratan tertentu, pemerintah dapat menetapkan penggunaan kapal

berbendera asing untuk dioperasikan didalam negeri. Dimaksud dengan

keadaan tertentu adalah apabila belum terpenuhinya kebutuhan ruang

kapal bagi angkutan laut dalam negeri, sedangkan persyaratan tertentu

adalah bahwa kapal berbendera asing tersebut harus dioperasikan oleh

badan hukum Indonesia atau perusahaan pelayaran nasional Indonesia.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 belum

memberikan suatu kepastian berlakunya Asas Cabotagesecara konsekuen,

kondisi seperti ini sebagai salah satu penyebab kapal-kapalberbendera

asing menguasai pangsa muatan angkutan dalam negeri. Keadaan ini terus

berlanjut sampai dengan tahun 2005, dimana dikeluarkannya Instruksi

Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran

Nasional. Dalam amanatnya Presiden menginstruksi untuk menerapkan

Asas Cabotagesecara konsekuen dan merumuskan kebijakan serta

mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai fungsi dan

kewenangan masing-masing guna memberdayakan industri pelayaran

nasional. Instruksi Presiden ini ditujukan kepada 13 Kementrian dan para

Gubernur/Bupati/Walikota di Seluruh Indonesia. Instruksi Presiden ini

berlaku sejak ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 28 Maret 2005.

Seiring dengan perjalanannya, Menteri Perhubungan mengeluarkan

peraturan untuk menindaklanjuti Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005

40

tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Indonesia dengan Peraturan

Menteri Perhubungan Nomor KM 71 Tahun 2005 tentang Pengangkutan

Barang/Muatan Antar Pelabuhan Laut Dalam Negeri. Ketentuan ini

menegaskan pelaksanaan pengangkutan seluruh barang/muatan

dilaksanakan pada saat peraturan Menteri ini ditetapkan, kecuali

pengangkutan barang/muatan terhadap pengangkutan minyak kelapa

sawit, bahan galian tambang (mine and quarry), biji-bijian lainnya

(othergrains), sayur, buah-buahan dan ikan segar (fresh product),

pengangkutan muatan cair dan bahan kimia lainnya dan bijian hasil

pertanian, pengangkutan minyak dan gas bumi, pengangkutan batu bara,

pengangkutan penunjang kegiatan usaha hulu dan hilir minyak dan gas

bumi. Bagi pengangkutan barang/muatan antarpelabuhan laut di dalam

negeri yang melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan oleh peraturan

menteri tersebut, akan dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha

angkutan laut/izin operasi angkutan laut khusus sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.47

Saat ini aturan tentang pemberlakuan Asas Cabotagesemakin

dipertegas dengan di undangkannya Undang-Uandang Nomor 17 Tahun

2008 tentang Pelayaran beserta aturan turunan lainnya baik itu peraturan

pemerintah maupun peraturan menteri terkait.

47Dalam Pasal 3 KM 71 tahun 2005 disebutkan untuk pengangkutan barang/muatan

sebagai berikut diberi jangka waktu untuk pemberlakuannya sbb: 1. pengangkutan minyak kelapa

sawit, bahan galian tambang (mine and quarry), biji-bijian lainnya (other grains), sayur, buah-

buahan dan ikan segar (fresh product) dilaksanakan selambat-lambatnya1 Januari 2008; 2.

pengangkutan muatan cair dan bahan kimia lainnya dan bijian hasil pertanian, dilaksanakan

selambat-lambatnya 1 Januari 2009; 3. pengangkutan minyak dan gas bumi, dilaksanakan

selambatlambatnya 1 Januari 2010; 4.pengangkutan batu bara, dilaksanakan pada saat berakhirnya

masa kontrak dan selambat-lambatnya 1 Januari 2010; 5. pengangkutan penunjang kegiatan usaha

hulu dan hilir minyak dan gas bumi, dilaksanakan selambat-lambatnya 1 Januari 2011.

41

B.4 Asas Cabotage Perspektif Hukum Internasional

Hukum Laut Internasional melalui Konvensi Hukum Laut 1982

telah memberikan keleluasaan sepenuhnya kepada suatu negara pantai

untuk mempertahankan serta mengelola sumber daya yang ada di wilayah

laut teritorialnya secara mandiri. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2

ayat 1 dan 2 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)

yang berbunyi:

kedaulatan suatu negara pantai, selain wilayah daratan dan

perairan pedalamannya, dan dalam hal suatu negara kepulauan

dengan perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut

yang berbatasan dengannya yang dinamakan laut teritorial.

Kedaulatan ini meliputi ruang udara diatas laut serta dasar laut

dan lapisan tanah dibawahnya.

Dimana, Indonesia merupakan negara pantai yang perlu diketahui pula

bahwa kedaulatan laut indonesia termasuk hak lintas di wilayah laut dalam

hal ini berkaitan dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Perihal

kedaulatan laut pula, Indonesia harus tunduk pada Konvensi dan aturan-

aturan lainnya yang berkaitan dengan Hukum Internasional.48

Apabila ditinjau dari sisi pertahanan dan keamanan suatu negara,

maka armada angkutan dalam negeri suatu negara pantai dapat

dimobilisasikan sebagai pendukung pertahanan negara di laut. Ini dapat

dilakukan apabila negara dalam keadaan yang berbahaya, oleh karenanya

sistem pelayaran yang kuat harus menjadi tujuan suatu negara pantai

dengan memiliki kapal-kapal sendiri sebagai implementasi Asas Cabotage

secara utuh.

Sesuai dengan dasar dan kepentingan utama penerapan Asas

48Lihat dalam UNCLOS Pasal 2 ayat 3

42

Cabotage, maka Asas Cabotage dalam hukum laut internasional memiliki

tujuan untuk menjamin dan melindungi infrastruktur pembangunan

kelauatan negara pantai, terutama pada saat negara dalam kondisi darurat,

dibandingkan jika infrastruktur itu dimiliki oleh negara asing yang

sewaktu-waktu semua itu dapat ditarik. Tujuan berikutnya ialah,

membangun armada niaga yang kuat dan memadai, mengisi kebutuhan

angkutan dalam negeri, dan mendukung kegiatan ekonomi kelautan

lainnya.49

Kedudukan daripada Asas Cabotage dalam Hukum Laut

Internasional dijelaskan dalam Pasal 45 UNCLOS sebagaimana berikut:

“ (1) Rezim lintas damai menurut ketentuan Bab II bagian 3,

harus berlaku dalam selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional:

a. Yang menurut ketentuan pasal 38 ayat 1 dikecualikan

dari pelaksanaan rezim lintas transit, atau

b. Antar bagian laut lepas atay suatu zona ekonomi

eksklusif dan laut teritorial suatu negara asing”

C. Tinjauan Energi Sumber Daya Mineral Minyak Dan Gas di Indonesia

C.1 Pengelolaan Migas di Indonesia

Indonesia adalah Negara dengan cadangan minyak bumi dan gas

alamyang cukup besar di Asia Tenggara. Cadangan terbukti minyak

Indonesia tercatatberjumlah 3,741.33 juta barel (MMSTB/Million Stock

Tank Barrel). Lokasi daricadangan minyak bumi Indonesia dapat dilihat

dalam peta di bawah ini:

49Indonesia Maritime Institue. Diakses pada tanggal 10 Desember 2017.

43

Gambar 1.1 Peta Cadangan Minyak Bumi Indonesia (per 1 Januari

2012)50

(sumber: Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementrian Energi dan Sumber daya

Mineral)

Cadangan minyak bumi Indonesia secara total berjumlah 7,408.24

jutabarel (MMSTB). Sebagian besar cadangan minyak bumi Indonesia

tersebar diIndonesia bagian Barat, terutama Pulau Jawa dan Sumatera.

Cadangan migas dilaut dalam belum banyak di ekplorasi kendati

potensinya sangat besar. Dari petatersebut dapat dilihat bahwa cadangan

terbesar berada di Sumatera Tengah (Riau)yang berjumlah 368.595 juta

barel (MMSTB).

Melihat cadangan terbukti gas alam Indonesia sebanyak 3,741.33

jutabarel (MMSTB) dan asumsi produksi minyak rata-rata 1 juta bph,

maka rasiocadangan minyak terhadap produksi (Reserve to Production

ratio- R/P)51adalah12 tahun. Hal ini berarti dengan tingkat produksi yang

sama dengan Indonesiaakan mampu mencukupi kebutuhan akan minyak

bumi selama 12 tahun. Bilamencakup cadangan potensial sebesar 3,666.91

50 Sumber: Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementrian Energi dan Sumber daya

Mineral, (2012), Peta Cadangan Minyak bumi Indonesia tahun 2011. 51 Rasio cadangan minyak terhadap produksi di peroleh dari Jumlah cadangan minyak

di bagiproduksi pertahunnya.

44

miliar, R/P Indonesia dapatmencapai 23 tahun.Disisi lain, cadangan gas

alam Indonesia masih cukup banyak yaitusebanyak 103,53 trilliun kaki

kubik (TSCF/Trillion Standard Cubic Feet) dengancadangan potensial gas

alam Indonesia sebanyak 47.35 trilliun kaki kubik (TSCF).Hal ini

membuat Indonesia berada di urutan ke 14 diantara Negara

pemilikcadangan gas alam terbesar di dunia dan berada di peringkat ke tiga

di AsiaPasifik.52

Gambar 1.2 Cadangan Gas Alam Indonesia (per 1 Januari 2012)53

(sumber: Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementrian Energi dan

Sumber daya Mineral)

Mengikuti pola yang sama pada peta cadangan minyak bumi,

gasalamIndonesia juga memusat di Indonesia bagian Barat. Peta di atas

menunjukanbahwa cadangan gas alam terbesar berada di Natuna,

Kepulauan Riau sebesar50.27 TSCF. Indonesia memiliki cadangan gas

alam terbukti sebesar 103.35TSCF dan bila asumsi produksi gas pada

52 Op.cit. EIA (US Energy Information Administration) 53 Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementrian Energi dan Sumber daya Mineral,

(2012), Peta Cadangan Gas Alam Indonesia tahun 2012. Diperoleh dari tanggal 10 Desember 2017

darihttp://www.migas.esdm.go.id/show.php?fd=5&id=gerbang_273_7.jpg

45

tingkat produksi saat ini, maka rasiocadangan gas terhadap produksi

(Reserve to Production ratio- R/P) Indonesia akanmampu mencukupi

kebutuhan selama 56 tahun. Ditambah cadangan potensialsebesar 47.35

TSCF maka prospek cadangan Indonesia masih optimis untukpuluhan

tahun kedepan. Indonesia sebenarnya memiliki banyak lapangan

hidrokarbon yangpotensial namun belum tereksplorasi. 65 Saat ini terdapat

22 lapangan hidrokarbonyang belum di ekplorasi yang kebanyakan

terletak di laut dalam khususnya dibagian wilayah timur Indonesia.54

Perlunya modal yang besar untuk melakukaneksplorasi di laut dalam

membuat proses pencarian ladang minyak dan gas alamterhambat.Sejalan

dengan cadangan minyak bumi Indonesia yang makin berkurang,produksi

minyak pun ikut berkurang. Hal ini terlihat dalam grafik berikut ini :

Grafik 1.1 Perbandingan produksi dan konsumsi minyak Indonesia

(1965-2010)55

(sumber: Diolah dari BP Statistical Review of World Energy)

54 Sekretaris Jenderal DPR-RI, (2010), Politik Ketahanan Energi Nasional,

Jakarta:Gema Insani,

hal. 12 55 Diolah dari BP Statistical Review of World Energy, (2011). Di peroleh dari

http://www.bp.com/liveassets/bp_internet/china/bpchina_english/STAGING/local_assets/downloa

ds_pdfs/statistical_review_of_world_energy_full_report_2011.pdf

46

Grafik diatas menunjukan bahwa Indonesia telah mencapai dua kalipuncak

produksi yaitu pada tahun 1977 dan 1991 dengan produksi sebesar 1,7

jutabph. Setelah itu produksi minyak bumi Indonesia menurun dan stagnan

padaangka produksi 1 juta bph. Sebaliknya konsumsi minyak bumi

Indonesia terusmengalami peningkatan sehingga produksi minyak bumi

Indonesia tak mampulagi memenuhi konsumsi minyak bumi dalam negeri

di tahun 2002. Tak lamasetelah itu, Indonesia menjadi negara net-importir

minyak bumi.Lain halnya dengan gas alam yang memiliki jumlah produksi

yang cukupseimbang dengan laju konsumsi di Indonesia. Hal ini dapat

terlihat dalam grafik berikut:

Grafik 1.2 Perbandingan produksi dan konsumsi gas alam Indonesia

(2001-2011)56

(sumber: diolah dari

http://www.eia.gov/countries/analysisbriefs/Indonesia/indonesia.pdf)

Grafik di atas menunjukkan bahwa produksi gas alam meningkat seiring

seiring dengan konsumsi yang juga meningkat. Seiring tahun berjalan

tingkatproduksi gas alam Indonesia masih lebih banyak di bandingkan

56 Satuan grafik dalam miliar kaki kubik (billion cubic feet/bcf). EIA(US Energy

InformationAdministration, (2013), Data di peroleh tanggal 10Desember 2017 dari

http://www.eia.gov/countries/analysisbriefs/Indonesia/indonesia.pdf

47

konsumsi gasalam. Sehingga Indonesia disebut sebagai net eksportir gas

alam. Dalam rentang10 tahun tersebut produksi tertinggi gas alam terjadi

pada tahun 2010 denganjumlah sekitar 2,800 miliar kaki kubik (billion

cubic feet/bcf). Konsumsi gas alampun meningkat di tahun 2010 dengan

jumlah sekitar 1,400 bcf.

Walaupun Indonesia memiliki cadangan gas yang cukup bsear

namunkonsumsi energi Indonesia di dominasi oleh bahan bakar minyak.

Presentasi jenisenergi yang di konsumsi dapat terlihat dalam grafik

berikut:

Grafik 1.3 Bauran Energi Primer Indonesia tahun 2005-201157

Grafik di atas menunjukan presentase bauran energi primer

Indonesiadimana bahan bakar minyak mendominasi sebesar 47.74 persen.

Batubara dan gasmenempati urutan selanjutnya dengan presentase 27.03

persen dan 21.17 persen.Dapat dilihat bahwa energi terbaharukan seperti

tenaga angin, panas bumi danbiofuel hanya menempati 4.05 persen dari

57 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, (2012), Handbook of Energi &

EconomicStatitics Indonesia, hal.25

48

total keseluruhan bauran energi primer Indonesia. Indonesia di pasok oleh

energi fosil yaitu minyak, gas alam dan batubara sebesar 95 persen.

Minyak mentah yang dipompa dari perut bumi perlu untuk diolah

agardapat dimanfaatkan secara optimal. Proses pengolahan minyak

mentah terjadi dikilang minyak yang akan mengubah minyak mentah

menjadi produk produk seperti bensin, minyak tanah, LPG, minyak

distilat, minyak residu, kokas, danbahan kimia pelarut. Saat ini Indonesia

memiliki total kapasitas pengilangansebesar 1,157.10 barel per hari (bph).

Tidak semua minyak mentah yang ditambang dari perut bumi

Indonesiadapat diolah kilang-kilang minyak dalam negeri. Karena tidak

semua spesifikasiminyak mentah cocok untuk diolah kilang minyak dalam

negeri, dari seluruhproduksi crude oil Indonesia hanya sekitar 55 persen

yang bisa dimanfaatkankilang Indonesia. Kilang Cilacap, misalnya,

walaupun kilang ini merupakankilang dengan kapasitas terbesar namun

hanya bisa menerima jenis crude oil Saudi Aramco dan beberapa Negara

Timur Tengah. Indonesia harus mengimpor minyak mentah yang cocok

dengan spesifikasi kilang domestic dalam jumlahcukup besar. Secara

keseluruhan Indonesia bergantung pada pasokan minyak dariluar neger

sebanyak 70 persen.71Impor minyak Indonesia sejak tahun 2000 mulai

meningkat,hal ini bisadilihat dalam tabel berikut :

49

Tabel 1.1 Impor dan Ekspor minyak bumi Indonesia dari tahun

2000-201158

Tabel di atas menunjukkan bahwa produksi minyak mentah

Indonesiasemakin menurun tiap tahunnya, dari produksi berjumlah

517,489 ribu barelmenjadi 329,265 ribu barel. Ekspor minyak mentah

Indonesia pun turut menurunseiring dengan turunnya jumlah produksi. Di

sisi lain, impor minyak Indonesiameningkat walaupun memiliki pola yang

tidak teratur namun dari total 78,615ribu barel pada tahun 2000 meningkat

menjadi 96,862 barel per hari. Sumber impor minyak Indonesia sendiri

banyak di datangkan dari TimurTengah. Hal ini bisa dilihat pada grafik pia

berikut ini:

58op.cit., Handbook of Energi & Economic Statitics Indonesia, hal. 30

50

Gambar 1.3Diagram Presentase impor minyak mentah Indonesia

berdasarkan sumbernegara 201159

Grafik di atas menunjukan bahwa Saudi Arabia mendominasi sumber

impor Indonesia sebanyak 27 persen. Timur tengah menjadi sumber

imporminyak Indonesia yang paling banyak yaitu sebesar 35 persen.

Negara tetanggaIndonesia yaitu Malaysia dan Brunei Darussalam

menempati posisi ke dua dengantotal 17 persen.

Pengolahan gas alam terutama dilakukan oleh kilang-kilang gas

alamdiAceh dan Kalimantan TImur. Kilang – kilang tersebut mengolah

gas alammenjadi LNG dan LPG. Total kapasitas terpasang kilang LNG

jumlahnya mencapai 31 juta metrik per tahun, terdiri atas Arun di Aceh (6

train, 12,5 jutaton) dan Bontang di Kalimantan Timur (8 train 18,5 juta ton

per tahun).60

59op.cit,.EIA(US Energy Information Administration, hal. 4 60 Hanan Nugroho, (2004), Pengembangan Industri Hilir Gas BUmi Indonesia:

Tantangan dangagasan, Perencanaan Pembangunan, NO. IX/04, hal. 1 -25.

51

C.2 Kondisi Migas Di Indonesia dan Strategi Pengelolaan Migas Untuk

Menopang Ketersediaan Energi Di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa hal yang

dianggapmerupakan usaha untuk menopang ketersediaan energi yaitu

denganmengeluarkan Undang undangn mengenai Energi di tahun 2006.

Hal ini tentusangat terlambat mengingat energi Indonesia baru di bahas

disaat negara ini diambang krisis energi. Setelah berpuluh-puluh tahun

lamanya migas Indonesiabanyak di kelola oleh pihak asing, barulah tahun

2006 keluar peraturan yangberusaha mengamankan energi tersebut.

Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menjadi mandat dari Undang-

Undang mengenai Energi hingga sekarang masih dalam proses

pembahasan diDPR. Padahal kondisi energi fosil yang banyak di konsumsi

masyarakatIndonesia telah mencapai kondisi kritis. KEN ini sangat

diperlukan sebagaistrategi jangka panjang pemerintah Indonesia dalam

persoalan yang menyangkutmigas di Indonesia.Ditengah penantian

disahkannya KEN di DPR-RI, pemerintah Indonesiaperlu memiliki

kebijakan yang lebih dari sekedar menaikkan harga BBM untukmenekan

konsumsi. Diperlukan kebijakan jangka panjang untuk mengubah pola

konsumsi masyarakat ke energi yang lebih terjamin seperti gas alam

ataupunenergi terbaharukan. Perubahan pola konsumsi ini akan sulit

terjadi jikapemerintah tidak mendorong seluruh elemen masyarakat

maupun swasta untukmengembangkan teknologi yang mampu

mendukung pemakaian energiterbaharukan. Diversifikasi energi tak ayal

memang merupakan strategi terbaikuntuk mengurangi resiko akan

ketidakamanan energi.

52

Selain itu, pemerintah juga perlu untuk memikirkan kembali migas

yang diekspor keluar negeri oleh perusahaan migas asing. Pemasukan atas

cadangandevisa dari ekspor tersebut memang cukup besar, tapi apakah

perlu dikorbankandengan krisis energi yang mengancam negar ini jika

semua cadanganya akhirnyadigunakan oleh negara lain.Pemerintah perlu

tegas dalam hal tersebut mengingat pemerintahIndonesia bertanggung

jawab atas kesejahteraan rakyatnya dan perlu melihatkembali pemanfaatan

hasil yang ada di darat dan laut. Energi merupakan hal yangpenting, dan

hal ini harus dilihat oleh pemeirntah dengan menetapkan peraturantegas

mengenai ekspor migas.

D. Harmonisasi Hukum

Secara ontologis kata harmonisasi hukum berasal dari kata harmoni yang

dalam bahasa Indonesia berati pernyataan rasa, aksi, gagasan, dan minat:

keselarasan, maupun keserasian. 61 kata harmonisasi di dalam bahasa Inggris

disebut harmonize, dalam bahasa Prancis disebut Harmonie, dan dalam bahasa

Yunani disebut Harmonia.62 Istilah harmonisasi hukum sendiri lahir dalam

kajian ilmu hukum pada tahun 1992 di Jerman, dimana kajian harmonisasi

hukum ini dikembangkan dengan tujuan untuk menunjukan bahwa dalam dunia

hukum, kebijakan pemerintah, dan hubungan keduanya terdapat

keanekaragaman yang dapat mengakibatkan disharmoni.

Adapun cakupan harmonisasi hukum, L.M Gandhi yang mengutip buku

Tussen Eenheid En Verscheidenheid: Opstellen over harmonisatie instaat en

61Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, www.kamusbahasaindonesia.org, diunduh

tanggal 10 Desember 2017 62Suhartono. 2011. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pelaksanaan

Anggaran Belanja Negara (Desertasi: Fakultas Hukum Universitas Indonesia). Hlm 94

53

bestuurecht (1998), yang bermakna bahwa harmonisasi dalam hukum adalah

mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah,

keputusan hakim, sistem hukum dan asas-asas hukum dengan tujuan

peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan (justice,

gerechtigheid) dan kesebandingan (equit, billijkeid), kegunaan dan kejelasan

hukum tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum kalau

memang dibutuhkan.63 Sementara menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional

dalm buku yang disusun oleh Moh. Hasan Wargakusumah dan kawan-kawan,

harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses

pengharmonisasian tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis,

sosiologis, ekonomis maupun yuridis. 64

Berdasar uraian diatas, maka harmonisasi hukum diartikan sebagai upaya

atau proses penyesuaian asas dan sistem hukum, agar terwujud kesederhanaan

hukum, kepastian hukum dan keadilan. Harmonisasi hukum sebagai suatu

proses dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, mengatasi hal-hal

yang bertentangan dan kejanggalan diantara norma-norma hukum di dalam

peraturan perundang-undangan, sehingga terbentuk peraturan perundang-

undangan nasional yang harmonis, dalam arti selaras, serasi, seimbang,

terintegrasi, konsisten, dan taat pada asas.

Terkait dengan ruang lingkup harmonisasi hukum, sejatinya penerapan

peraturan perundang-undangan dalam jumlah yang banyak secara bersamaan

dalam waktu dan ruang yang sama, sudah tentu membawa konsekuensi

63Ibid. Hlm 95 64Ibid. Hlm 101

54

terjadinya disharmoni hukum.65 Misalnya, terjadi tumpang tindih kewenangan

dan benturan kepentingan. Peenrapan berbagai macam peraturan perundang-

undnagan secara bersama-sama tanpa upaya-upaya harmonisasi hukum sudah

tentu akan menimbulkan benturan kepentingan antar lembaga. Masing-masing

peraturan perundang-undnagan memiliki tujuan, strategi untuk mencapai

tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi, dimana ketiganya ini sering

dirumuskan dalam bentuk kebijakan-kebijakan.

Kebijakan terdiri dari dua macam, yaitu kebijakan yang bersifat tetap

atau regulatory policies, yang diterapkan dalam berbagai bentuk perraturan

pelaksanaan dari peraturan yang lebih tinggi tingkatannya dan kebijakan yang

bersifat tidak tetap, yaitu mudah diubah dalam rangka mengikuti

perkembangan.66 Dalam kaitannya ini, harmonisasi hukum dapat diawali

dengan melakukan penyelarasan dan penyesuaian tujuan, strategi, dan

pedoman dari masing-masing peraturan perundang-undangan melalui

penafsiran hukum, konstruksi hukum, penalaran hukum, dan pemberian

argumentasi yang rasional dengan tetap memperhatikan sistem hukum dan asas

hukum yang berlaku.

Harmonisasi hukum dalam sisi pencegahan, yaitu upaya harmonisasi

yang dilakukan dalam rangka menghindarkan terjadinya disharmoni hukum.

Disharmoni hukum yang telah terjadi memerlukan harmonisasisistem hukum

untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, dan disharmoni hukum yang

belum terjadi harus dicegah melalui upaya-upaya penyelarasan, penyerasian,

65 Kusnu Goesniadhie. 2010. Harmonisasi Sistem Hukum: Mewujudkan Tata

Pemerintahan Yang Baik. Malang: Nusa Media. Hlm 14 66 Ibid

55

dan penyesuaian berbagai kegiatan harmonisasi hukum. Disamping itu pula,

harmonisasi hukum dilakukan guna menanggulangi keadaan disharmoni

hukum yang telah terjadi. Keadaan disharmoni hukum yang terlihat dalam

realita, misalnya tumpang tindih kewenangan, persaingan tidak sehat,

sengketa, pelanggaran, benturan kepentingan, dan tindak pidana. Sehingga

dalam menanggulangi disharmoni antara kepentingan yang menyangkut

masalah diatas, harus ada upaya harmonisasi. Misalnya dalam upaya kasus

perdata dapat melalui Alternative Dispute Resolution (ADR).

Harmonisasi hukum untuk menanggulangi terjadinya disharmoni hukum,

dilakukan melalui:67

a. Proses non-litigasi melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) untuk

menyelesiakan persoalan sengketa perdata diluar pengadilan.

b. Proses litigasi melalui court-connected dsipute resolution (CCDR)) untuk

mendamaikan para pihak yang bersangkutam di bidang perdata sebelum

dimulai pemeriksaan di pengadilan.

c. Proses litigasi sebagai peemriksaan perkara perdata di pengadilan.

d. Proses negosiasi atau musyawarah, baik dengan mediatir atau tidak untuk

menyelesaikan disharmoni hukum publik yang tidak bersifat pidana, seperti

tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan antar instansi

pemerintah.

e. Proses pemeriksaan perkara pidana untuk mengadili pelanggaran atau

tindakan kejahatan.

Maka dapat disimpulkan bahwa harmonisasi hukum berfungsi untuk

67Ibid. Hlm 11-12

56

mencegah dan menanggulangi disharmoni hukum. Hal ini selaras dengan

definisi dan ruang lingkup harmonisasi hukum yang telah dijabarkan

sebelumnya. Bahwa harmonisasi hukum dapat digunakan untuk

pengharmonisasian peraturan perundang-undangan dan juga untuk peraturan

perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya (penanggulangan).

Pendekatan yang dapat dilakukan dalam upaya pengharmonisasian

hukum, menurut Goesnadhie dalam bukunya yang berjudul “Harmonisasi

Sistem Hukum: Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik”, ialah ada empat

macam pendekatan, yaitu:

a. Harmonisasi hukum mengacu pada perundang-undangan,

dimana dalam hal ini harmonisasi hukum dimulai sejak tahap

perencanaan agar memudahkan proses selanjutnya (hingga

lahirnya hierarki).

b. Harmonisasi hukum mengacu ruang lingkup, dimana

harmonisasi dilakukan dalam mencapai tujuan sesuai pedoman

dalam melakukan strategi agar tujuan perundang-undangan

dapat tercapai.

c. Harmonisasi hukum mengacu pada keterpaduan kelembagaan,

dimana aspke hukum atau kelembagaan dalam tata

pemernitahan yang baik diwujudkan dalam bentuk interaksi

hukum dan kelembagaan. Oleh karenanya, disetiap komponen

kegiatan kelembagaan bernuansa taat dengan aturan dan asas

yang ada.

d. Harmonisasi hukum mengacu pada kodifikasi dan unifikasi,

dimana upaya untuk membatasi dan mengunci hasil harmonisasi

hukum agar tidak berubah lagi. Jika memang nantinya terjadi

perubahan, maka perubahan tersebut harus mengacu pada

unifikasi hukum yang telah terkodifikasikan.

E. Ketahanan Energi Nasiona dari Industri Migas

Keberadaan migas sebagai salah satu bentuk energi yang tidak dapat

diperbaharui dan memiliki pengaruh penting terhadap stabilitas perekonomian,

keamanan dan pertahanan nasional. Dengan mempertimbangkan kedudukan

migas yang begitu strategis maka pihak regulator memerlukan 5 pilar untuk

57

mencapai ketahanan energi migas dan pembangunan berkelanjutan di industri

hulu dan hilir migas nasional, kemudian mampu memonitoring

implementasinya sampai pada level korporasi.Adapun pilar pemikiran

ketahanan energi sudah dicantumkan di dalam Undang-Undang No.30 Tahun

2007 tentang energi. Di dalam UU No. 30 Tahun 2007, pada pasal 2 dinyatakan

bahwa:

Energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, rasionalitas,

efisiensi, berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan,

kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup,

ketahanan nasional dan keterpaduan dengan mengutamakan

kemampuan nasional.

Kemudian dalam UU No. 30 Tahun 2007, pada pasal 3 ayat 2 dinyatakan bahwa:

Dalam rangka mendukung pembangunan nasional secara

berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan nasional, tujuan

pengelolaan energi antara lain untuk kemandirian, penyediaan,

pengelolaan, pemanfaatan energi, efisiensi, akses masyarakat, industri

energi dan lingkungan hidup.

Dari kedua pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa ketahanan energi

bukan hanya meliputi upaya pemenuhan kebutuhan energi saja tetapi juga

merupakan kemampuan masyarakat untuk memperoleh dan memanfaatkan

energi serta mempertimbangkan aspek pengelolaan energi termasuk aspek

lingkungan hidup. Berikut ini definisi ketahanan energi yang diambil dari

berbagai sumber.

Menurut Dewan Energi Nasional (DEN),68ketahanan energi adalah suatu

kondisi terjaminnya ketersediaan energi, akses masyarakat terhadap energi

pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan

68Hanan Nugroho, (2004), Pengembangan Industri Hilir Gas BUmi Indonesia:

Tantangan dangagasan, Perencanaan Pembangunan, NO. IX/04, hal. 32.

58

perlindungan terhadap lingkungan hidup.Ada 4 aspek yang menunjukkan

kondisi ketahanan energi:69

1. Ketersediaan, yaitu kemampuan untuk memberikan jaminan pasokan

energi (security of energy supply)

2. Aksesibilitas, yaitu kemampuan untuk mendapatkan akses terhadap energi

(infrastructure availability)

3. Daya beli, kemampuan untuk menjangkau harga (keekonomian) energi

4. Lingkungan Hidup

World Energy Council (WEC) & Asia Pacific Energy Research Centre

(APERC), indikator ketahanan energi yaitu Availability

(ketersediaanKetersediaan energi dalam jumlah yang memadai untuk

keberlangsungan kegiatan perekonomian, baik didapatkan dari sumberdaya

lokal, maupun mengimpor dari negara lain), Affordability (Aspek

keterjangkauan energi bagi konsumen dari sisi tingkat keekonomian dan daya

beli masyarakat), Accessability (Aspek keterjangkauan energi bagi masyarakat

yang membutuhkan dari sisi spasial), Acceptability (Penerimaan seluruh

elemen bangsa terhadap pengusahaan dan pemanfaatan jenis sumberdaya

energi tertentu, terutama terkait dengan aspek sosial), dan Sustainability

(Ketersediaan energi secara terus menerus).70

F. Politik Hukum Kedaulatan Energi Indonesia

Politik hukum yang dimaksud dalam penulisan skripsi ini adalah arah

kebijakan pemerintah atau negara mengenai arah pengaturan hukum dalam

rangka mewujudkan kedaulatan energi, yang dituangkan dalam peraturan

69 Ibid 70 Ibid

59

perundang-undangan.71 Dengan kata lain bahwa salah satu perwujudan dari

politik hukum kedaulatan energi di antaranya berupa peraturan perundang-

undangan. Sub bab ini akan menguraikan politik hukum kedaulatan energi

yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi,

sebagai UU utama (terkait langsung), dan juga politik hukum UU lain yang

terkait dengan kedaulatan energi. Dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN)

2010-2050 terdapat 9 (Sembilan) kebijakan yang menjadi acuan bagi

pemerintah dalam pemanfaatan energi dalam negeri, yaitu:72

1. Mengubah paradigma sumber daya energi sebagai komoditas menjadi

modal pembangunan nasional;

2. Meningkatkan efisiensi, konservasi, dan pelestarian lingungan hidup dalam

pengelolaan energi;

3. Meningkatkan pangsa sumber daya energi baru dan terbarukan (EBT);

4. Meningkatkan cadangan terbukti energi fosil dan mengurangi pangsanya

dalam bauran energi nasional;

5. Meningkatkan pengelolaan energi secara mandiri, penciptaan lapangan

kerja, kemampuan penelitian, pengembangan penerapan (litbang RAP),

dan peran industri dan jasa energi dalam negeri;

6. Memeratakan akses terhadap energi minyak dan gas bumi dan listrik bagi

masyarakat kota dan desa;

7. Mengamankan pasokan energi, khususnya listrik dan minyak dan gas bumi

untuk jangka pendek, menengah, dan panjang;

71http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/480-politik-

perundangundangan.html 72Ibid.

60

8. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya energi dalam pembangunan

ekonomi nasional;

9. Menetapkan dan mengamankan cadangan penyangga energi nasional.

Mengenai Politik Hukum Kedaulatan Energi dalam UU Nomor 30 Tahun

2007 tentang Energi Politik hukum dalam rangka mewujudkan kedaulatan

energi, secara umum dapat merujuk pada Undang-undang Nomor 30 Tahun

2007 tentang Energi). UU tentang Energi ini dikategorikan sebagai peraturan

perundang-undangan utama yang mencerminkan politik hukum Kedaulatan

Energi. Mengapa utama, karena dalam konsiderans menimbang UU tersebut,

memuat masalah umum sumber daya energi di Indonesia baik dari aspek

filosofis, yuridis maupun sosiologis. Hal ini menunjukkan bahwa politik

hukum Kedaulatan Energi secara umum (pada tingkat nasional) tertuang dalam

UU ini. Dengan demikian UU tentang Energi dapat dijadikan rujukan

(mempunyai fungsi payung) bagi peraturan perundang-undangan lain yang

akan mengatur terkait dengan sumber daya Energi. Dalam konsiderans

menimbang dan penjelasan umum dari UU ini terkandung makna bahwa

peranan energi sangat penting bagi peningkatan kegiatan ekonomi dan

ketahanan nasional, olehkarenanya, pengelolaan sumber daya energi harus

dilaksanakansecara berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal dan

terpadu.Selain itu juga ditegaskan bahwa cadangan sumber daya energitidak

terbarukan terbatas jumlahnya, maka perlu diadakankegiatan

penganekaragaman sumber daya energi agarketersediaan energi terjamin bagi

61

generasi yang akan datang.Materi pokok yang diatur dalam UU ini diarahkan

untukmengatur masalah:73

a) Penguasaan sumber daya energi;

b) Cadangan penyangga energi guna menjamin ketahanan energinasional;

c) Penanggulangan keadaan krisis dan darurat energi, serta hargaenergi;

d) Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalampemanfaatan,

penyediaan dan peningkatan energi baru danenergi terbarukan, sesuai

dengan kewenangannya;

e) Kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah dalampengaturan di

bidang energi;

f) Kebijakan energi nasional, rencana umum energi nasional

danpembentukan dewan energi nasional;

g) Hak dan peran masyarakat dalam pengelolaan energi;

h) Pembinaan dan pengawasan kegiatan pengelolaan energi;

i) Penelitian dan pengembangan, yang diarahkan terutama

untukpengembangan energi baru dan energi terbarukan dalammenunjang

pengembangan industri energi nasional yangmandiri.

Dalam Penjelasan Umum UU ini termaktub pula politikhukum kedaulatan

energi, yang diarahkan pada penyediaan,pemanfaatan dan pengusahaan sumber

daya energi dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat, dan harus selaras,

serasi danseimbang dengan fungsi lingkungan hidup.

Politik hukum dalam rangka Kedaulatan Energi dalam UUtentang Energi

yang sangat ideal, perlu disandingkan dengan politikhukum yang terkandung

73Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM. 2016. Laporan

Akhir Kelompok Kerja: Analisis dan Evaluasi Hukum dalam Rangka Kedaulatan Energi. Hlm 24

62

dalam undang-undang terkait lainnya,untuk dapat menilai apakah saling

mendukung satu sama lain atautidak. Untuk mengukur apakah politk hukum

undang-undangterkati lainnya mendukung terrwujudnya kedaulatan energi

atautidak, maka Pokja menentukan beberapa kriteria yang diambil darikata

kunci arah kedaulatan energi yang terkanadung dalamKonsiderans Menimbang

dan Penjelasan Umum dari UU tentangEnergi, yang merupakan politik hukum

dari UU Energi itu sendiri.Beberapa kriteria tersebut adalah:74

a. Pengelolaan sumber energi dilakukan secara berkeadilan,berkelanjutan,

rasional, optimal dan terpadu;

b. Penyediaan, pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya energidalam

rangka peningkatan kesejahteraan rakyat;

c. Pengelolaan sumber daya energi yang memperhatikankeselarasan,

keserasian dan keseimbangan dengan fungsilingkungan hidup;

d. Berorientasi pada penganekaragaman sumber daya energi agarketersediaan

energi terjamin bagi generasi yang akan datang;

e. Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalampemanfaatan,

penyediaan dan peningkatan energi baru danenergi terbarukan, sesuai

dengan kewenangannya;

f. Penelitian dan pengembangan, yang diarahkan terutama

untukpengembangan energi baru dan energi terbarukan dalam menunjang

pengembangan industri energi nasional yangmandiri;

74Ibid.

63

g. Kemudahan prosedur dan insentif bagi pihak-pihak yangmelakukan

pemanfaatan, penyediaan dan pengusahaan sumberenergi baru dan

terbarukan;

h. Jaminan hak dan peran masyarakat dalam pengelolaan energi.