peraturan daerah kabupaten sikka nomor 9 tahun
TRANSCRIPT
1
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIKKA
NOMOR 9 TAHUN 2012
TENTANG
PENGELOLAAN TERNAK DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI SIKKA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pemenuhan kebutuhan protein asal
ternak serta pengembangan aspek sosial ekonomi
kerakyatan berbasis peternakan, perlu adanya intervensi
Pemerintah Daerah dalam hal penyediaan sarana dan
prasarana peternakan serta kepastian hukum dan
kepastian berusaha bagi masyarakat;
b. bahwa untuk meningkatkan populasi ternak yang
dipelihara masyarakat, serta menjamin pemerataan
kepemilikan ternak dalam meningkatkan pendapatan
petani ternak, perlu dilakukan pendistribusian ternak
kepada masyarakat yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sikka;
c. bahwa untuk menjamin kepastian hukum pengelolaan
Ternak Daerah, perlu dibuat aturan yang menjadi
landasan semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan
Ternak Daerah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu
membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Ternak Daerah;
2
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II Dalam Wilayah
Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 18, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SIKKA
dan
BUPATI SIKKA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN TERNAK
DAERAH.
3
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Sikka.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Sikka.
3. Bupati adalah Bupati Sikka.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD
adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sikka.
5. Dinas adalah Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten
Sikka.
6. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kabupaten Sikka.
7. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya
fisik, benih, bibit dan/atau bakalan, pakan, alat, dan mesin
peternakan, budidaya ternak, panen, pasca panen, pengolahan dan
pemasaran serta pengusahaannya.
8. Kesehatan Hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan
perawatan hewan, pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan,
pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, penolakan
penyakit, medik reproduksi, medik konservasi, obat hewan dan
peralatan kesehatan hewan, serta keamanan pakan.
9. Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukan
sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa dan/atau hasil
ikutannya yang terkait dengan pertanian.
10. Ternak Daerah adalah ternak besar, ternak kecil, dan unggas yang
pengadaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten Sikka.
11. Produk Hewan adalah semua bahan yang berasal dari hewan yang
masih segar dan/atau yang telah diolah atau diproses untuk keperluan
konsumsi, farmakoseutika, pertanian dan/atau kegunaan lain bagi
pemenuhan kebutuhan kemaslahatan manusia.
12. Peternak adalah pelaku usaha peternakan baik perorangan dan/atau
kelompok yang berada dalam wilayah Kabupaten Sikka.
4
13. Pendistribusian kembali Ternak Daerah sebagai salah satu
pengembangan ternak yang selanjutnya disebut Redistribusi adalah
penyebaran keturunan ternak layak bibit yang berasal dari
pengembalian pengontrak.
14. Sistim Kontrak adalah sistim penyebaran Ternak Daerah dimana
ternak yang dikontrakkan kepada petani ternak yang menerima
dikembalikan berupa ternak dan dapat dinilai dengan uang.
15. Peternak Penerima Ternak Daerah yang selanjutnya disebut
Pengontrak adalah petani yang berdasarkan suatu perjanjian tertentu
memelihara Ternak Daerah.
16. Ternak Layak Bibit adalah ternak bibit daerah yang diserahkan kepada
Pengontrak untuk dikembangbiakan atau digemukan.
17. Ternak Setoran adalah turunan Ternak Daerah yang diserahkan oleh
pengontrak sebagai kewajiban pengembalian kredit sesuai dengan
Peraturan yang berlaku.
18. Ternak Setoran Tidak Layak Bibit adalah ternak setoran yang
dikeluarkan dari jalur redistribusi setelah melalui proses seleksi sesuai
dengan prosedur yang berlaku.
19. Ternak Majir adalah ternak bibit jantan/betina yang alat reproduksinya
tidak dapat berfungsi secara normal dan dinyatakan majir oleh petugas
yang berwenang.
20. Penghapusan Ternak Daerah adalah tindakan penghapusan ternak
dari administrasi penyebaran dan pengembangan Ternak Daerah dari
asset daerah.
21. Pelunasan Tertunda adalah pembayaran lunas setoran ternak yang
tertunda atas permintaan pengontrak.
22. Harga patokan Penjualan Ternak Tidak Layak Bibit adalah harga per
ekor ternak yang ditetapkan oleh Bupati melalui penilaian dan
penetapan harga oleh Tim Penilai dan Penetapan Harga Ternak Daerah.
23. Penggemukan Ternak adalah pemeliharaan ternak yang tidak untuk
dikembangbiakkan dan/atau majir untuk dijadikan ternak potong.
24. Ternak yang dipotong paksa adalah ternak yang berdasarkan
pemeriksaan Tim Pemeriksa harus dilakukan pemotongan.
5
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Asas Pengelolaan Ternak Daerah adalah:
a. kemanfaatan dan keberlanjutan;
b. keamanan dan kesehatan;
c. kerakyatan dan keadilan;
d. keterbukaan dan keterpaduan;
e. kemandirian;
f. kemitraan; dan
g. keprofesionalan.
(2) Pengelolaan Ternak Daerah dapat dilaksanakan secara mandiri
dan/atau terintegrasi dengan tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, perikanan, dan kehutanan.
Pasal 3
Pengaturan Pengelolaan Ternak Daerah bertujuan untuk :
a. mengelola sumber daya ternak secara bermartabat, bertanggungjawab
dan berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
b. mencukupi kebutuhan pangan, barang dan jasa asal ternak secara
mandiri, berdaya saing dan berkelanjutan bagi peningkatan
kesejahteraan peternak dan masyarakat menuju pencapaian ketahanan
pangan daerah;
c. mengembangkan sumber daya ternak bagi kesejahteraan peternak dan
masyarakat; dan
d. memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi peternak
yang memperoleh bantuan Ternak Daerah.
BAB III
SISTIM PENDISTRIBUSIAN DAN PENGEMBANGAN TERNAK DAERAH
Pasal 4
(1) Sistim pendistribusian dan pengembangan Ternak Daerah dilaksanakan
dengan mewajibkan pengontrak mengembalikan sejumlah ternak
tertentu.
6
(2) Pendistribusian dan pengembangan Ternak Daerah kepada pengontrak
dimaksudkan untuk mempercepat pengembangbiakan ternak,
pemerataan kepemilikan ternak, meningkatkan populasi dan produksi
hasil peternakan, serta meningkatkan pendapatan petani ternak
pengontrak.
(3) Pendistribusian dan pengembangan Ternak Daerah diberikan kepada
pengontrak dengan suatu ikatan dalam jangka waktu tertentu.
(4) Pengontrak wajib menyerahkan sebagian keturunannya dan/atau
beserta bunga yang telah ditentukan atau sebagian pertambahan harga
ternak yang digemukkan.
(5) Pendistribusian dan pengembangan Ternak Daerah diutamakan pada
wilayah dengan tingkat populasi yang rendah, serta memiliki potensi
pengembangan ternak tertentu.
Pasal 5
(1) Pendistribusian dan redistribusi Ternak Daerah dilaksanakan dengan
sistim kontrak.
(2) Sistim kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
dengan Surat Perjanjian Kerja.
(3) Surat Perjanjian Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditandatangani oleh Pengontrak, Kepala Desa/Lurah, Camat, dan Kepala
Dinas.
BAB IV
PELAKSANAAN PENDISTRIBUSIAN DAN
PENGEMBANGAN TERNAK DAERAH
Bagian Pertama
Lokasi Pendistribusian
Pasal 6
Lokasi pendistribusian Ternak Daerah harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat;
7
b. sesuai tata ruang kabupaten;
c. mendukung penyediaan kebutuhan ternak dan produk ternak;
d. mendukung efisiensi dan efektifitas pembinaan; dan
e. didukung oleh potensi sumber daya yang memadai.
Pasal 7
Lokasi pendistribusian Ternak Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Bagian Kedua
Ternak
Pasal 8
Ternak Daerah yang didistribusikan harus memenuhi persyaratan teknis
bibit/bakalan, serta persyaratan teknis kesehatan hewan yang telah
ditetapkan.
Pasal 9
(1) Sarana dan prasarana pendistribusian Ternak Daerah meliputi:
a. kandang Penampungan Sementara yang dilengkapi dengan : Gudang,
Tempat Pakan, Tempat Minum, Sarana Bongkar Muat, dan Deeping;
dan
b. ketersediaan pakan ternak yang dibutuhkan selama masa
penampungan.
(2) Alat angkut yang digunakan untuk pengangkutan ternak harus
memenuhi standar teknis yang ditetapkan untuk menghindari kerugian
serta menjamin kesejahteraan ternak.
Pasal 10
Keputusan mengenai paket kontrak Ternak Daerah ditetapkan oleh Bupati
atas permohonan calon pengontrak yang tergabung dalam kelompok tani
ternak, berdasarkan hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan dan
hasil kajian teknis dinas terkait.
8
Pasal 11
Ternak Daerah sebagai asset tidak tetap daerah yang dikelola oleh
pengontrak, harus mendapat pembinaan yang layak oleh Dinas.
BAB V
JUMLAH DAN JENIS TERNAK DAERAH
Pasal 12
Jumlah Ternak Daerah yang didistribusikan kepada pengontrak dalam
bentuk bantuan paket ternak yang terdiri dari ternak betina dan/atau
ternak pejantan untuk dikembangbiakan, serta paket ternak untuk
digemukan.
Pasal 13
Jumlah paket Ternak Daerah yang didistribusikan kepada pengontrak
untuk setiap jenis ternak terdiri atas:
a. Sapi untuk dikembangbiakkan 1 (satu) paket yang terdiri dari :
1. 1 (satu) atau 2 (dua) ekor ternak sapi betina umur 18-24 bulan; dan
2. 1 (satu) ekor ternak sapi jantan umur 18-24 bulan.
b. Kuda untuk dikembangbiakkan 1 paket yang terdiri dari :
1. 1 (satu) atau 2 (dua) ekor ternak kuda betina umur 18-24 bulan; dan
2. 1 (satu) ekor ternak kuda jantan umur 18-24 bulan.
c. Kambing untuk dikembangbiakan 1 (satu) paket yang terdiri dari 3 (tiga)
ekor ternak kambing, yaitu 1 (satu) ekor jantan dan 2 (dua) ekor betina
umur 8–12 bulan;
d. Babi untuk dikembangbiakan 1 (satu) paket yang terdiri dari 3 (tiga) ekor
ternak babi, yaitu 1 (satu) ekor jantan dan 2 (dua) ekor betina umur 8–
12 bulan;
e. Unggas untuk dikembangbiakan 1 paket yang terdiri dari 10 (sepuluh)
ekor ternak unggas, yaitu 2 (dua) ekor jantan dan 8 (delapan) ekor betina
umur 8–12 bulan; dan
f. Sapi untuk digemukkan 1 (satu) paket yang terdiri dari 1 (satu) sampai
dengan 3 (tiga) ekor ternak sapi berumur paling kurang 24 bulan.
9
BAB VI
PENGONTRAK
Pasal 14
(1) Calon pengontrak yang telah diseleksi dan memenuhi syarat sebagai
pengontrak, selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(2) Syarat umum calon pengontrak adalah:
a. mempunyai tempat tinggal tetap;
b. berumur 17 tahun atau lebih yang dibuktikan dengan Kartu Tanda
Penduduk;
c. berbadan sehat;
d. berkelakuan baik;
e. mampu memelihara ternak yang diterima dan bersedia memenuhi
ketentuan kontrak ternak serta persyaratan lain yang berlaku;
f. bersedia menandatangani Surat Perjanjian Kerja;
g. terdaftar sebagai anggota kelompok tani; dan
h. bukan berstatus sebagai PNS/Pengusaha.
BAB VII
HAK DAN KEWAJIBAN PENGONTRAK
Pasal 15
(1) Pengontrak wajib menyerahkan sebagian keturunan atau sebagian hasil
ternak yang dipelihara kepada Pemerintah Daerah melalui Dinas.
(2) Kewajiban menyerahkan sebagian ternak turunan atau sebagian hasil
ternak yang dipelihara adalah sebagai berikut:
a. seekor sapi betina, paling lama dalam jangka waktu 5 (lima) tahun,
pengontrak harus menyerahkan keturunannya sebanyak 1 (satu) ekor
umur 18-24 bulan;
b. seekor sapi jantan, paling lama dalam jangka waktu 5 (lima) tahun,
pengontrak harus menyerahkan keturunannya sebanyak 1 (satu) ekor
umur 18 – 24 bulan;
c. seekor kuda betina, paling lama dalam jangka waktu 5 (lima) tahun,
pengontrak harus menyerahkan keturunannya sebanyak 1 (satu) ekor
umur 18-24 bulan;
10
d. seekor kuda jantan, paling lama dalam jangka waktu 5 (lima) tahun,
pengontrak harus menyerahkan keturunannya sebanyak 1 (satu) ekor
umur 18 – 24 bulan;
e. seekor kambing betina, paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun pengontrak harus menyerahkan keturunannya sebanyak 2
(dua) ekor umur 8-12 bulan;
f. Seekor kambing jantan, paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun pengontrak harus menyerahkan keturunannya sebanyak 1
(satu) ekor umur 8-12 bulan;
g. seekor babi betina, paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
pengontrak harus menyerahkan keturunannya sebanyak 2 (dua) ekor
umur 8-12 bulan;
h. seekor babi jantan, paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
pengontrak harus menyerahkan keturunannya sebanyak 2 (dua) ekor
umur 8-12 bulan;
i. seekor unggas betina, paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
pengontrak harus menyerahkan keturunannya sebanyak 2 (dua) ekor
umur 8-12 bulan;
j. seekor unggas jantan, paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
pengontrak harus menyerahkan keturunannya sebanyak 1 (satu) ekor
umur 8-12 bulan;
k. paket ternak sapi yang digemukkan:
1) pengontrak wajib menyerahkan hasil penjualan ternak sapi
penggemukan kepada Pemerintah Daerah dalam jangka waktu 12
– 24 bulan sejak ternak diterima sesuai Surat Perjanjian Kerja;
dan
2) hasil penjualan ternak sapi tersebut, pengontrak mendapat bagian
sebesar 50% dan Pemerintah Daerah sebesar 50%.
Pasal 16
(1) Apabila paket ternak bibit yang didistribusikan, berdasarkan hasil
pemeriksaan dokter hewan berwenang ternyata majir, maka Pengontrak
wajib menyerahkan ternak tersebut untuk dijual, dan dari hasil
11
penjualan pengontrak memperoleh bagian sebesar 50% dan Pemerintah
Daerah sebesar 50%.
(2) Apabila karena alasan tertentu, Ternak Daerah yang dikontrak harus
dipotong paksa, pengontrak wajib menyerahkan ternak tersebut kepada
Pemerintah Daerah untuk dijual, dan dari hasil penjualan ternak
tersebut, pengontrak memperoleh bagian sebesar 50%, dan Pemerintah
Daerah memperoleh sebesar 50% dari hasil penjualan.
Pasal 17
(1) Pengontrak dilarang menjual paket Ternak Daerah yang dikontrak.
(2) Pengontrak dilarang menyerahkan Ternak Daerah yang dikontrak
kepada orang lain tanpa izin tertulis dari Pemerintah Daerah yang
diterbitkan oleh Dinas.
BAB VIII
RESIKO DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 18
(1) Apabila Ternak Daerah yang dikembangbiakkan pengontrak mati dan
bukan disebabkan oleh kesalahan dan/atau kelalaian pengontrak, maka
pengontrak bebas dari tanggung jawab untuk mengganti ternak.
(2) Apabila ternak daerah yang digemukan pengontrak mati dan bukan
karena kesalahan dan/atau kelalaian pengontrak, maka pengontrak
yang bersangkutan bebas dari tanggung jawab untuk mengganti ternak.
Pasal 19
Apabila Ternak Daerah yang didistribusikan pada pengontrak mati karena
kesalahan dan/atau kelalaian pengontrak, maka pengontrak harus
memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Surat Perjanjian Kerja.
Pasal 20
(1) Apabila kewajiban penyetoran ternak turunan oleh pengontrak melewati
jangka waktu penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
12
(2) yang disebabkan bukan karena kesalahan dan/atau kelalaian
pengontrak, maka pengontrak akan diberikan tenggang waktu
penyetoran yang lamanya ditetapkan oleh Bupati.
(2) Apabila kewajiban penyetoran ternak turunan oleh pengontrak melewati
jangka waktu penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(2) yang disebabkan karena kesalahan dan/atau kelalaian pengontrak,
maka ternak yang didistribusikan akan ditarik kembali oleh Pemerintah
Daerah, yang dilaksanakan oleh Dinas.
Pasal 21
Penetapan suatu kejadian yang menimpa Ternak Daerah adalah kesalahan
dan/atau kelalaian pengontrak, atau bukan kesalahan dan/atau kelalaian
pengontrak, akan ditentukan oleh Tim Pemeriksa yang ditetapkan dengan
Keputusan Bupati.
BAB IX
FORCE MAJEURE
Pasal 22
Pengontrak akan dibebaskan dari kewajiban yang telah ditetapkan, apabila:
a. terjadi kematian akibat wabah yang dinyatakan dengan surat
pernyataan wabah oleh Bupati;
b. terjadi kematian yang disebabkan oleh penyakit, didukung oleh visum
dokter hewan pemerintah, dan dibuktikan dengan Berita Acara Kematian
Ternak oleh Kepala Dinas; dan
c. terjadi kematian Ternak Daerah akibat bencana alam.
BAB X
PENILAIAN DAN PENJUALAN TERNAK SETORAN BIBIT
Pasal 23
(1) Ternak setoran tidak layak bibit dan hasil penggemukan, dijual sesuai
ketentuan yang berlaku.
(2) Ternak yang disetor oleh pengontrak, akan diseleksi oleh Tim Penilai
Ternak Daerah.
13
(3) Tim penilai Ternak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Pasal 24
(1) Ternak setoran ditetapkan dalam 2 (dua) klasifikasi, yakni Ternak Layak
Bibit dan Ternak Tidak Layak Bibit.
(2) Ternak setoran Layak Bibit, selanjutnya akan diredistribusikan kepada
pengontrak lain yang memenuhi syarat yang telah ditetapkan,
sedangkan ternak setoran Tidak Layak Bibit akan dijual oleh Tim
Penjualan Ternak Daerah.
(3) Tim Penjualan Ternak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Pasal 25
(1) Harga jual ternak setoran Tidak Layak Bibit dan Ternak Penggemukan,
ditetapkan berdasarkan penilaian dan penetapan harga oleh Tim Penilai
dan Penetapan Harga Ternak Daerah berdasarkan standar harga yang
berlaku.
(2) Transaksi penjualan Ternak Daerah harus dibuktikan dengan Berita
Acara Penjualan Ternak Daerah.
(3) Tim Penilai dan Penetapan Harga Ternak Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
BAB XI
REDISTRIBUSI TERNAK DAERAH
Pasal 26
(1) Keturunan ternak setoran yang dinyatakan Layak Bibit oleh Tim Penilai
Ternak Daerah, selanjutnya diserahkan kepada Dinas untuk
diredistribusikan kepada pengontrak baru yang telah memenuhi syarat
yang ditetapkan.
(2) Keturunan ternak yang diredistribusikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. keturunan ternak betina layak bibit; dan
14
b. keturunan ternak jantan, paling kurang 10% dari populasi ternak
yang disetor.
BAB XII
PENGELOLAAN DAN PENGGUNAAN DANA HASIL PENJUALAN
TERNAK SETORAN
Pasal 27
Seluruh hasil penjualan Ternak Daerah yang menjadi hak Pemerintah
Daerah, wajib disetor ke Kas Daerah.
Pasal 28
Bukti administrasi penyetoran Ternak Daerah diserahkan kepada Bupati
melalui Kepala Dinas.
BAB XIII
PENGAHAPUSAN TERNAK DAERAH
Pasal 29
(1) Penghapusan Ternak Daerah adalah tindakan administrasi
penghapusan Ternak Daerah dari Kekayaan Daerah.
(2) Penghapusan Ternak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. ternak mati/ternak yang dipotong paksa;
b. majir;
c. ternak lunas;
d. ternak setoran tidak layak bibit; dan
e. pelunasan macet.
BAB XIV
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 30
(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Republik Indonesia, Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang
15
khusus sebagai penyidik sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat
oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau
laporan berkenaan dengan tindak pidana agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan dan meneliti keterangan
mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan
yang dilakukan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana yang terjadi;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen
yang berkenaan dengan tindak pidana yang terjadi;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
pembukuan, pencatatan, dokumen lain serta melakukan
penyitaan terhadap barang bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana yang terjadi;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan
ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung
dan memeriksa identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa
sebagaimana dimaksud pada huruf e; dan
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana retribusi
daerah.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada
Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
16
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 31
(1) Pengontrak yang melanggar ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat
(2), diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
denda paling banyak Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pelanggaran.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
(1) Surat Perjanjian Kerja yang telah menjadi pedoman pelaksanaan
pengelolaan Ternak Daerah sebelum penetapan Peraturan Daerah ini,
dinyatakan tetap berlaku sampai akhir masa berlaku Surat Perjanjian
Kerja tersebut.
(2) Ternak Daerah yang didistribusikan sebelum Peraturan Daerah ini
ditetapkan, namun penyetoran ternak turunan, atau akibat pelanggaran
terhadap Surat Perjanjian Kerja ditarik oleh Pemerintah Daerah, dan
berdasarkan penilaian Tim Penilai Ternak Daerah dinyatakan sebagai
ternak layak bibit, maka redistribusi ternak tersebut wajib mematuhi
ketentuan yang tercantum dalam peraturan daerah ini.
(3) Ternak Daerah yang didistribusikan sebelum peraturan daerah ini
ditetapkan, namun penyetoran ternak turunan atau akibat pelanggaran
terhadap Surat Perjanjian Kerja ditarik oleh Pemerintah Daerah, dan
berdasarkan penilaian Tim Penilai Ternak Daerah dinyatakan sebagai
ternak tidak layak bibit, maka penjualan ternak tersebut wajib
mematuhi ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Daerah ini.
BAB XVII
PENUTUP
Pasal 33
Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
17
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
peraturan daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Kabupaten Sikka.
Ditetapkan di Maumere
pada tanggal 31 Desember 2012
BUPATI SIKKA,
CAP.TTD.
SOSIMUS MITANG
Diundangkan di Maumere
pada tanggal 17 Januari 2013
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN SIKKA,
CAP.TTD.
VALENTINUS SILI TUPEN
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SIKKA TAHUN 2013 NOMOR 1
Salinan sesuai dengan Aslinya
KEPALA BAGIAN HUKUM
SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN SIKKA,
CAP.TTD.
MADERLUNG
18
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIKKA
NOMOR 9 TAHUN 2012
TENTANG
PENGELOLAAN TERNAK DAERAH
I. UMUM
Ternak sebagai salah satu sumber pangan dengan nilai
ekonomis tinggi, serta dapat mempengaruhi sendi-sendi
perekonomian masyarakat, membutuhkan perhatian pemerintah dan
semua pemangku kepentingan, agar pengelolaan ternak dapat
memberikan dampak positif bagi pembangunan perekonomian
masyarakat, serta kesinambungan suplai ternak dan produk ternak
untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Mengingat nilai ternak yang
sangat strategis, usaha untuk mengembangkan ternak sebagai
penghasil produk ternak, daging, dan hasil sampingan yang
bermanfaat untuk tujuan produktif, akan memberikan dampak
signifikan bagi kesejahteraan masyarakat Kabupaten Sikka.
Memahami berbagai Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku, serta berdasarkan pengalaman empiris dalam hal
pengelolaan peternakan dan kesehatan hewan, maka pembuatan
aturan hukum yang memayungi berbagai aktivitas di bidang
peternakan dan kesehatan hewan, sangat diperlukan untuk
mempercepat akselerasi pembangunan di Kabupaten Sikka. Upaya
yang dilakukan adalah dengan membuat produk hukum daerah yang
dapat memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha di
bidang peternakan dan kesehatan hewan.
Pengembangan usaha peternakan dapat dilakukan dengan
menjalin kemitraan, antara pengusaha yang bergerak dibidang
peternakan dengan peternak, juga antara pemerintah dengan
masyarakat dalam hal ini petani ternak.
19
Kemitraan dalam usaha pengelolaan peternakan, harus
memberikan dampak saling menguntungkan berbagai pihak yang
menjalin kemitraan tersebut. Usaha yang dikembangkan oleh
Pemerintah Kabupaten Sikka dalam menjalin kemitraan pengelolaan
ternak dengan petani ternak, telah memberikan dampak positip bagi
pengembangan ternak di Kabupaten Sikka, namun usaha ini perlu
didukung aturan-aturan yang memadai dalam memberikan kepastian
pengelolaan Ternak Daerah yang didistribusikan kepada masyarakat.
Pembuatan Peraturan Daerah mengenai Pengelolaan Ternak
Daerah adalah salah satu tindakan untuk memberikan kepastian
hukum dalam pengelolaan ternak yang didistribusikan kepada
masyarakat dengan menggunakan dana APBD Kabupaten Sikka.
Peraturan Daerah ini diharapkan dapat menata Ternak Daerah yang
telah didistribusikan maupun akan didistribusikan pada tahun yang
akan datang.
Dengan penetapan Peraturan Daerah ini diharapkan bahwa
peran serta semua pihak dalam mengelola serta mengawasi
penerapan aturan yang berhubungan dengan pengelolaan Ternak
Daerah, agar pengelolaan Ternak Daerah dapat memenuhi produk
ternak kebutuhan masyarakat akan daging dmeningkatkan
perekonomian masyarakat, serta memberikan kontribusi positif bagi
peningkatan pendapatan petani ternak dan daerah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas Pasal 2
Asas Pengelolaan Ternak Daerah adalah :
a. kemanfaatan dan keberlanjutan adalah penyelenggaraan
peternakan dan kesehatan hewan dapat meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan mengupayakan
kelestarian fungsi lingkungan hidup dan memperhatikan kondisi
sosial budaya.
20
b. keamanan dan kesehatan adalah penyelenggaraan peternakan
dan kesehatan hewan harus menjamin produknya aman, layak
untuk dikonsumsi, dan menjamin ketentraman batin masyarakat.
c. kerakyatan dan keadilan adalah penyelenggaraan peternakan dan
kesehatan hewan memberikan peluang dan kesempatan yang
sama secara proporsional kepada semua warga Negara sesuai
dengan kemampuannya sehingga dapat meningkatkan
kemakmuran seluruh rakyat.
d. keterbukaan dan keterpaduan adalah penyelenggaraan
peternakan dan kesehatan hewan dilakukan dengan
memperhatikan aspirasi masyarakat dan didukung dengan
ketersediaan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat serta
dilaksanakan secara terpadu dari hulu sampai hilir dalam upaya
meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya.
e. kemandirian adalah penyelenggaraan peternakan dan kesehatan
hewan dilakukan dengan mengutamakan penggunaan bahan,
sarana produksi, dan sarana pendukung lainnya dari dalam
negeri untuk mencapai penyediaan ternak dan produk hewan bagi
masyarakat.
f. kemitraan adalah penyelenggaraan peternakan dan kesehatan
hewan dilakukan dengan pendekatan kekuatan jejaring pelaku
usaha dan sumber daya yang mempertimbangkan aspek
kesetaraan dalam berusaha secara proporsional.
g. keprofesionalan adalah penyelenggaraan peternakan dan
kesehatan hewan dilakukan melalui pendekatan kompetensi dan
berorientasi pada kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 3 Cukup Jelas Pasal 4
Cukup Jelas Pasal 5
Cukup Jelas Pasal 6 Cukup Jelas
Pasal 7 Cukup Jelas
21
Pasal 8 Cukup Jelas
Pasal 9 Cukup Jelas
Pasal 10 Cukup Jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Ternak jantan yang didistribusikan kepada pengontrak, digunakan untuk mengawini ternak betina yang dipelihara oleh
pengontrak dan ternak – ternak betina lain dilokasi penyebaran.
Pasal 13
Cukup Jelas Pasal 14
Cukup Jelas Pasal 15 Cukup Jelas
Pasal 16 Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Yang dimaksudkan dengan alasan tertentu adalah Ternak Daerah yang mengalami cacat tetap berdasarkan
pemeriksaan dokter hewan dan/atau para medis berwenang sehingga harus dipotong paksa atau dijual.
Pasal 17
Cukup Jelas Pasal 18
Cukup jelas Pasal 19 Cukup Jelas
Pasal 20 Cukup Jelas Pasal 21
Cukup Jelas Pasal 22
Cukup Jelas Pasal 23 Ayat (1)
Yang dimaksud ternak “ tidak layak bibit” adalah
ternak yang berdasarkan penilaian Tim Penilai Ternak Daerah, mengalami kelainan fisik dan/atau reproduksi,
sehingga tidak mungkin dipelihara untuk menghasilkan keturunan.
Ayat (2)
Cukup jelas
22
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan Tim Penilai Ternak Daerah adalah tim yang dibentuk oleh Bupati untuk menilai
ternak setoran, apakah ternak tersebut layak atau tidak layak sebagi ternak bibit.
Pasal 24 Cukup Jelas Pasal 25
Cukup Jelas Pasal 26
Cukup Jelas Pasal 27 Cukup Jelas
Pasal 28 Cukup Jelas Pasal 29
Huruf a Cukup jelas
Huruf b Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksudkan dengan pelunasan macet adalah pelunasan oleh pengontrak sebagai kewajiban yang harus
dilunasi namun tidak dapat dilaksanakan sesuai batas waktu yang ditentukan.
Pasal 30
Cukup Jelas Pasal 31
Cukup Jelas Pasal 32 Cukup Jelas
Pasal 33 Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SIKKA NOMOR 68