perancangan perbaikan supply chain management (scm) bawang merah

22
1 LAPORAN ROPP PPI C.4 PERANCANGAN PERBAIKAN SUPPLY CHAIN MANAGEMENT (SCM) BAWANG MERAH Witono Adiyoga, Thomas Agoes Soetiarso, Mieke Ameriana dan Wiwin Setiawati Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung 40391 Pengelolaan rantai pasokan telah menjadi topik yang sangat populer dibahas dalam penelitian bisnis moderen. Rantai pasokan merupakan suatu sistem yang konstituennya termasuk pemasok material, fasilitas produksi, pelayanan distribusi serta pelanggan yang dihubungkan oleh aliran ke depan, informasi umpan balik dan modal finansial (Stevens, 1989). Rantai pasokan dapat dianalogikan sebagai bentuk organisasi industrial dimana pembeli maupun penjual yang dipisahkan oleh waktu dan ruang dapat secara progresif menambah serta mengakumulasikan nilai, sejalan dengan berpindahnya suatu produk dari satu mata rantai ke mata rantai lainnya ((Hughes, 1994, Fearne, 1996, Handfield & Nichols, 1999). Rantai pasokan pada dasarnya mengakomodasi (a) pergerakan produk dari produsen ke konsumen, (b) perpindahan pembayaran, kredit dan modal kerja dari konsumen ke produsen, (c) diseminasi teknologi antar produsen, pengepak dan pengolah, (d) perpindahan hak kepemilikan dari produsen ke pengolah dan akhirnya ke pemasar, serta (f) aliran umpan balik menyangkut informasi permintaan konsumen dan preferensi dari pengecer ke produsen (Cooper et al., 1997). Rantai pasokan produk pertanian juga merupakan sistem ekonomi yang mendistribusikan manfaat maupun risiko antar partisipan. Dengan demikian, rantai pasokan mendorong pemberlakuan mekanisme internal serta mengembangkan insentif sepanjang rantai untuk memastikan jadwal produksi dan komitmen penghantaran tepat waktu (Iyer & Bergen, 1997, Lambert & Cooper, 2000). Untuk bertahan dalam kondisi persaingan yang ketat, suatu unit usaha agribisnis harus berupaya memiliki rantai pasokan yang efisien, agar dapat mengurangi faktor ketidak-pastian serta memperbaiki pelayanan terhadap pelanggan. Individu pemasok, produsen dan pemasar yang berasosiasi melalui suatu rantai pasokan akan mengkoordinasikan nilainya masing-masing untuk menciptakan kegiatan bersama, sehingga nilai yang terakumulasi menjadi lebih besar dibandingkan jika setiap mata rantai tersebut beroperasi secara independen. Rantai pasokan dapat menciptakan sinergi karena: (a) rantai tersebut memperluas pasar tradisional melewati batas-batas orijinalnya, sehingga meningkatkan volume penjualan setiap partisipan yang bergabung, (b) rantai tersebut mengurangi biaya penghantaran produk sampai lebih rendah/kecil dibandingkan dengan rantai pasokan pesaing, sehingga dapat meningkatkan marjin bersih untuk modal kerja yang dikeluarkan partisipan, dan (c) rantai pasokan mentargetkan segmen pasar tertentu dengan produk yang spesifik, serta melakukan diferensiasi pelayanan, kualitas produk atau reputasi merek untuk segmen-segmen pasar tersebut, sehingga dapat memperbaiki persepsi konsumen terhadap produk dan memungkinkan partisipan memasang harga lebih tinggi (Mahoney, 1992, Giupero & Brand, 1996, Gattorna, 1998).

Upload: wietadiyoga

Post on 26-Jun-2015

893 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

1

LAPORAN ROPP PPI C.4

PERANCANGAN PERBAIKAN SUPPLY CHAIN MANAGEMENT (SCM) BAWANG MERAH

Witono Adiyoga, Thomas Agoes Soetiarso, Mieke Ameriana dan Wiwin Setiawati

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung 40391

Pengelolaan rantai pasokan telah menjadi topik yang sangat populer dibahas dalam penelitian bisnis moderen. Rantai pasokan merupakan suatu sistem yang konstituennya termasuk pemasok material, fasilitas produksi, pelayanan distribusi serta pelanggan yang dihubungkan oleh aliran ke depan, informasi umpan balik dan modal finansial (Stevens, 1989). Rantai pasokan dapat dianalogikan sebagai bentuk organisasi industrial dimana pembeli maupun penjual yang dipisahkan oleh waktu dan ruang dapat secara progresif menambah serta mengakumulasikan nilai, sejalan dengan berpindahnya suatu produk dari satu mata rantai ke mata rantai lainnya ((Hughes, 1994, Fearne, 1996, Handfield & Nichols, 1999). Rantai pasokan pada dasarnya mengakomodasi (a) pergerakan produk dari produsen ke konsumen, (b) perpindahan pembayaran, kredit dan modal kerja dari konsumen ke produsen, (c) diseminasi teknologi antar produsen, pengepak dan pengolah, (d) perpindahan hak kepemilikan dari produsen ke pengolah dan akhirnya ke pemasar, serta (f) aliran umpan balik menyangkut informasi permintaan konsumen dan preferensi dari pengecer ke produsen (Cooper et al., 1997). Rantai pasokan produk pertanian juga merupakan sistem ekonomi yang mendistribusikan manfaat maupun risiko antar partisipan. Dengan demikian, rantai pasokan mendorong pemberlakuan mekanisme internal serta mengembangkan insentif sepanjang rantai untuk memastikan jadwal produksi dan komitmen penghantaran tepat waktu (Iyer & Bergen, 1997, Lambert & Cooper, 2000). Untuk bertahan dalam kondisi persaingan yang ketat, suatu unit usaha agribisnis harus berupaya memiliki rantai pasokan yang efisien, agar dapat mengurangi faktor ketidak-pastian serta memperbaiki pelayanan terhadap pelanggan. Individu pemasok, produsen dan pemasar yang berasosiasi melalui suatu rantai pasokan akan mengkoordinasikan nilainya masing-masing untuk menciptakan kegiatan bersama, sehingga nilai yang terakumulasi menjadi lebih besar dibandingkan jika setiap mata rantai tersebut beroperasi secara independen. Rantai pasokan dapat menciptakan sinergi karena: (a) rantai tersebut memperluas pasar tradisional melewati batas-batas orijinalnya, sehingga meningkatkan volume penjualan setiap partisipan yang bergabung, (b) rantai tersebut mengurangi biaya penghantaran produk sampai lebih rendah/kecil dibandingkan dengan rantai pasokan pesaing, sehingga dapat meningkatkan marjin bersih untuk modal kerja yang dikeluarkan partisipan, dan (c) rantai pasokan mentargetkan segmen pasar tertentu dengan produk yang spesifik, serta melakukan diferensiasi pelayanan, kualitas produk atau reputasi merek untuk segmen-segmen pasar tersebut, sehingga dapat memperbaiki persepsi konsumen terhadap produk dan memungkinkan partisipan memasang harga lebih tinggi (Mahoney, 1992, Giupero & Brand, 1996, Gattorna, 1998).

Page 2: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

2

Kontribusi rantai pasokan dalam proses pembangunan pertanian tercermin dari potensinya yang dapat (a) memberikan panduan/acuan alokasi sumberdaya untuk memaksimalkan nilai produksi dan kepuasan konsumen, serta (b) mendorong pertumbuhan melalui promosi inovasi teknologi dan peningkatan penawaran/permintaan. Potensi ini tidak terlepas dari tingkat harga yang tercipta sebagai titik temu respon partisipan pasar terhadap permintaan dan penawaran. Pada dasarnya, harga produk merupakan rangkuman dari sejumlah informasi yang menyangkut ketersediaan sumberdaya, kemungkinan produksi dan preferensi konsumen (Buccola, 1989). Khusus untuk sayuran yang memiliki sifat mudah rusak, pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, sifat dan perilaku rantai pasokan sangat diperlukan oleh seluruh partisipan. Dalam rantai pasokan bawang merah, khususnya di sentra produksi Brebes, penetapan harga dilakukan secara tawar menawar dengan mempertimbangkan harga pada tingkat penjual. Unsur monopoli atau monopsoni tidak teridentifikasi dalam struktur pasar komoditas bawang merah (Institut Pertanian Bogor & Badan Urusan Logistik, 1996). Namun demikian, penelitian deskriptif yang dilakukan oleh Koster dan Basuki (1991) menunjukkan adanya kecenderungan (a) kesulitan petani untuk menjual produknya secara langsung ke pasar pengumpul, (b) pedagang besar yang ada di pasar grosir tidak memberikan keleluasaan kepada pedagang besar lainnya untuk melaksanakan aktivitas pemasaran di pasar yang sama, dan (c) bias terhadap petani atau pedagang besar. Secara implisit, penelitian ini mengindikasikan adanya kebutuhan untuk memperbaiki rantai pasokan yang ada. Beamon (1999) mengusulkan tiga alternatif untuk mengukur keragaan suatu rantai pasokan, yaitu pengukuran (a) sumberdaya – biaya, (b) keluaran/output – keuntungan dan kepuasan pelanggan, serta (c) fleksibilitas – keleluasaan dalam pengaturan volume dan penghantaran. Setelah mempertimbangkan kompleksitas dalam pemodelan suatu rantai pasokan, Li et al. (2001) menyarankan digunakannya pendekatan pemodelan rantai pasokan terkoordinasi yang juga memperhitungkan skenario, saling ketergantungan, proses dan informasi. Spekman et al. (1998) menggaris-bawahi tantangan-tantangan dalam menerapkan konsep pengelolaan rantai pasokan. Bergantung pada tingkat kompleksitas dan komitmennya, dikategorikan empat jenis rantai pasokan, yaitu (a) negosiasi pasar terbuka, (b) koperasi, (c) koordinasi, dan (d) kolaborasi. Koperasi merupakan titik awal dari upaya pengelolaan rantai pasokan pada saat partisipan terlibat dalam kontrak yang bersifat jangka panjang. Tingkat intensifikasi berikutnya adalah koordinasi, dimana aliran pekerjaan yang telah dispesifikasi serta informasi mulai saling dipertukarkan. Mitra dagang dapat melakukan koperasi/kerjasama dan koordinasi untuk aktivitas-aktivitas tertentu, namun belum berperilaku sebagai mitra kolaboratif. Kolaborasi memerlukan tingkat saling percaya, komitmen dan berbagi informasi yang tinggi antar mitra pemasok. Lebih jauh lagi, partisipan rantai pasokan harus berbagi visi yang sama mengenai masa depan bersama. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa hasil kajian Cunningham (2001) menyimpulkan bahwa penelitian mengenai rantai pasokan dalam dekade terakhir masih didominasi oleh penelitian di sektor manufaktur, sedangkan penelitian serupa di sektor pertanian relatif masih sangat terbatas. Sementara itu, studi yang dilaksanakan belum lama ini di sektor petanian di Australia berhasil mengidentifikasi beberapa prinsip kunci keberhasilan suatu rantai pasokan, yaitu: (a) fokus kepada pelanggan dan konsumen, (b) rantai menciptakan dan share nilai dengan semua partisipan, (c) memastikan bahwa produk yang ditransaksikan sesuai dengan spesifikasi yang dikehendaki pelanggan, (d) logistik dan istribusi yang efektif, (e) strategi informasi dan komunikasi harus melibatkan semua partisipan, serta (f) hubungan kemitraan efektif yang dapat menjadi titik ungkit dan kepemilikan bersama (AFFA et al., 2002). Searah dengan konteks permasalahan yang dihadapi, penelitian ini bertujuan untuk merancang perbaikan pengelolaan rantai pasokan bawang merah di dua lokasi pengembangan, yaitu di Brebes, Jawa Tengah dan Buleleng, Bali.

Page 3: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

3

METODE PENELITIAN

Kegiatan SCM dilaksanakan di Nganjuk (Jawa Timur) dan Buleleng (Bali) antara bulan Mei sampai September 2005. Penelitian ini memanfaatkan metode survai yang mengandalkan wawancara informal dengan informan kunci, observasi langsung pada mata rantai yang kritikal di sepanjang alur produksi-transformasi-distribusi serta data/informasi sekunder yang mungkin tersedia. Berdasarkan pertimbangan bahwa kegiatan ini sebagian besar dirancang sebagai penelitian deskriptif, responden yang terlibat dipilih secara purposif. Pertanyaan pemandu disusun sebagai acuan materi wawancara dengan produsen, pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer serta partisipan lain sepanjang rantai pasokan bawang merah. Berbagai pertanyaan yang disusun dalam pertanyaan pemandu diantaranya:

• Siapa sajakah pelaku/pemain di dalam rantai pasokan? • Bagaimanakah peran mereka (pelaku/pemain) masing-masing? • Bagaimanakah tingkat teknologi yang berlaku/ada sekarang dan penghela organisasional

seperti apakah yang dibutuhkan? • Bagaimanakah tingkat pelayanan dari sistem pasokan yang ada sekarang? • Bagaimanakah struktur biaya dan nilai tambah dari rantai pasokan yang sedang diamati?

Melalui penggunaan analisis SWOT, dua hal yang disintesis adalah: (a) identifikasi kekuatan dan kelemahan dari rantai pasokan, dan (b) identifikasi kesempatan dan ancaman dari lingkungan rantai pasokan. Parameter yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari: deskripsi aktivitas di setiap mata rantai, deskripsi perdagangan/transaksi dan aliran produk, formasi harga, risiko harga, volume perdagangan, risiko pasar, kualitas, penyimpanan dan risiko penyimpanan, keuntungan/marjin, penanganan, sortasi dan pengemasan, transportasi, likuiditas, kompetisi di setiap mata rantai, integrasi pasar spasial, keterampilan dan pengetahuan pasar, inovasi dan informasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

• Deskripsi Rantai Pasokan Bawang Merah

Rantai pasokan bawang merah merupakan saluran yang memungkinkan:

• Produk bawang merah bergerak dari produsen ke konsumen • Pembayaran, kredit dan modal kerja usahatani bawang merah bergerak dari konsumen ke

produsen sayuran • Teknologi produksi, pra dan pasca panen bawang merah didiseminasikan diantara

partisipan rantai pasokan, misalnya produsen, pengepak dan pengolah • Hak kepemilikan berpindah dari produsen bawang merah ke pengepak atau pengolah,

kemudian ke pemasar • Informasi mengenai permintaan konsumen serta preferensinya mengalir dari pedagang

pengecer ke produsen bawang merah Uraian di atas menunjukkan bahwa rantai pasokan bawang merah merupakan suatu sistem ekonomi yang mendistribusikan manfaat dan juga risiko diantara berbagai partisipan yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, rantai pasokan bawang merah secara tidak langsung telah mengembangkan

Page 4: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

4

mekanisme internal serta insentif untuk menjamin ketepatan berbagai komitmen produksi maupun delivery.

Lokasi geografis Nganjuk dan Buleleng memungkinkan produk bawang merah dipasarkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga antar wilayah/regional. Rantai pasokan yang terjadi pada dasarnya merupakan bentuk pelayanan yang sudah melembaga untuk menjembatani produsen dan konsumen bawang merah. Intervensi pemerintah terhadap rantai pasok bawang merah ini cenderung terbatas pada dukungan ketersediaan infrastruktur fisik, misalnya jalan dan bangunan pasar. Perdagangan bawang merah seluruhnya ditangani oleh pihak swasta. Hal ini mengimplikasikan bahwa rantai pasok bawang merah di Nganjuk dan Buleleng secara umum cenderung beroperasi berdasarkan kekuatan penawaran dan permintaan. Beberapa jenis rantai pasok bawang merah di Nganjuk dan Buleleng yang berhasil diidentifikasi diantaranya adalah: 1. produsen – pedagang pengumpul desa atau bandar – pedagang pengumpul antar wilayah –

pedagang besar/grosir – pedagang pengecer - konsumen

2. produsen – pedagang pengumpul desa atau bandar – pedagang besar/grosir – pedagang

pengecer - konsumen

3. produsen – pedagang pengumpul desa atau bandar – pedagang pengecer - konsumen

4. produsen – pedagang besar/grosir – pedagang pengecer – konsumen

5. produsen – pedagang pengecer – konsumen

Rantai pasokan pertama dan kedua diestimasi menyerap sekitar 80% dari total pasok bawang merah dari Nganjuk dan Buleleng. Sisanya sekitar 20% dipasarkan melalui rantai pasok yang lainnya. Perlu menjadi catatan bahwa pedagang besar bawang merah dapat berlokasi di pasar lokal (Sukomoro, Nganjuk atau Sririt, Buleleng) atau di luar pasar (di sekitar sentra produksi). Outlet bawang merah dari Nganjuk tidak hanya pasar-pasar lokal, tetapi juga pasar-pasar Tulungagung, Sragen dan Surabaya. Outlet bawang merah dari Buleleng termasuk Denpasar, Tabanan, Badung dan Klungkung, bahkan ke Jawa, Lombok dan Bima, terutama pada sekitar bulan Oktober-November. Sementara itu, rantai pasokan untuk bibit bawang merah cenderung lebih pendek. Konsumen umbi bibit biasanya dapat langsung membeli dari petani penangkar atau pedagang bibit bawang merah. Outlet bibit ini tidak hanya petani bawang merah lokal/sekitar, tetapi juga petani di sentra produksi lain (misalnya petani Karangasem membeli bibit dari Buleleng). Gambaran tersebut menunjukkan bahwa rantai pasokan bawang merah di Nganjuk dan Buleleng pada dasarnya masih didominasi oleh rantai pasokan tradisional yang outlet utamanya adalah pasar-pasar tradisional. Secara umum, lama partisipan rantai pasokan berkecimpung dalam usahanya masing-masing ternyata cukup bervariasi: pedagang pengumpul (5-40 tahun), pedagang besar (6-50 tahun) dan pengecer (3-25 tahun). Beberapa partisipan rantai di Nganjuk dan Buleleng, terutama pedagang besar, menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukannya merupakan usaha keluarga dan turun menurun. Lebih lanjut dikemukakan pula bahwa skala usaha tersebut dari tahun ke tahun cenderung semakin berkembang. Komoditas utama yang diperdagangkan oleh partisipan di kedua lokasi pada umumnya adalah bawang merah. Namun demikian, pada saat/musim tertentu dan dengan proporsi lebih kecil, partisipan tersebut juga mengusahakan komoditas sayuran lain, misalnya mentimun, kacang panjang, cabai merah, cabai rawit, terong dan tomat. Beberapa partisipan bahkan juga mengusahakan komoditas pangan/non sayuran, misalnya padi dan kedelai. Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan elemen, deskripsi dan nilai tambah dalam rantai pasokan bawang merah di Nganjuk, Jawa Timur dan Buleleng, Bali

Page 5: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

5

Tabel 1 Elemen, deskripsi dan nilai tambah dalam rantai pasokan bawang merah di Nganjuk, Jawa Timur dan Buleleng, Bali

Elemen Deskripsi Nilai Tambah

Produsen

Petani yang menghasilkan serta memanen bawang merah, dan untuk beberapa saluran distribusi tertentu terkadang juga melakukan kegiatan pengkelasan

o Produksi o Panen o Pengkelasan (grading)

Pedagang tebasan

Pedagang yang membeli bawang merah pada saat tanaman masih berada di lapangan (sebelum panen).

o Pemeliharaan sampai saat panen

o Pemanenan

Pedagang pengumpul lokal/desa

Pedagang lokal yang mengumpulkan/ membeli bawang merah dalam volume yang relatif besar dari petani atau beberapa petani dan memasarkannya ke pusat-pusat konsumsi.

o Pengumpulan o Sortasi o Pengkelasan (terkadang) o Pengangkutan

Pedagang pengumpul antar wilayah

Jenis pedagang yang berdomisili di luar sentra produksi ini membeli bawang merah dan memasarkannya ke pasar-pasar grosir dan pengecer. Bawang merah dapat dibeli langsung dari petani atau bandar/ pedagang pengumpul lokal.

o Pengumpulan o Sortasi o Pengkelasan (terkadang) o Pengangkutan

Transportasi

Pemberi jasa angkutan produk bawang merah dari sentra produksi ke pengecer. Kegiatannya mencakup pengangkutan produk ke lokasi-lokasi spesifik dalam kerangka waktu yang telah ditentukan.

o Pengangkutan

Pedagang besar/grosir

Jenis usaha yang menjual bawang merah dalam volume yang relatif besar dan melayani berbagai klien.

o Pemasaran, penjualan dan distribusi ke pengecer

o Jaminan kualitas o Penyimpanan jangka pendek

(1-30 hari) o Penyimpanan jangka

menengah untuk bibit (3-8 bulan)

Pedagang pengecer

Jenis usaha yang menjual bawang merah secara eceran atau dalam volume kecil

o Jaminan kualitas o Distribusi o Promosi

• Formasi dan risiko harga

Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan kesepakatan harga pada saat membeli dan menjual ternyata serupa. Faktor-faktor tersebut berdasarkan urutan kepentingannya adalah sebagai berikut: (1) ukuran, (2) warna, (3) bentuk, (4) kenal dengan pembeli atau penjual – langganan, dan (5) volume pembelian/penjualan Tabel 2 memperlihatkan bahwa sebagian besar partisipan rantai pasokan di Nganjuk menganggap bahwa harga beli bawang merah relatif lebih stabil dibandingkan dengan harga jualnya. Hal ini juga direfleksikan oleh koefisien variasi harga mingguan bawang merah di tingkat grosir di pasar Surabaya yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan koefisien variasi harga mingguan untuk komoditas sayuran lainnya. Sementara itu, hanya sebagian kecil partisipan rantai pasokan di Buleleng yang menyatakan bahwa harga beli dan jual bawang merah tidak stabil Tabel 4). Sebagian besar partisipan justru berpendapat

Page 6: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

6

Tabel 2 Tanggapan responden di Nganjuk tentang stabilitas harga beli dan jual bawang merah, 2005

Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Stabilitas harga beli

• Agak stabil

• Tidak stabil

• Dalam tiga bulan terakhir Rp. 3000 – Rp. 4000 per kg

• Relatif lebih stabil dibandingkan dengan harga jual

• Dalam tiga bulan terakhir Rp. 3000-Rp. 5300

• Fluktuasi harga Rp 100-200 per kg per hari

• Hari Raya tdk berpengaruh

• Tanggal muda 1-10 harga lebih baik

• Agak stabil

• Dalam tiga bulan terakhir, harga beli berkisar Rp. 3000-4500 per kg

Stabilitas harga jual

• Tidak stabil

• Tidak stabil

• Dalam tiga bulan terakhir Rp. 3000 – Rp. 4000 per kg

• Fluktuasi cukup tajam dan cepat (setelah jam 12.00 biasanya harga menurun)

• Harga tiga bulan terakhir Rp. 4000-Rp. 6000/kg

• Agak stabil

• Harga tiga bulan terakhir Rp. 3500 – Rp. 5000/kg

Tabel 3 Koefisien variasi harga mingguan bawang merah, Nganjuk (Surabaya), 2004

Komoditas Rata/rata

Rp/kg

Standar Deviasi

Koefisien

Variasi

Komoditas Rata/rata

Rp/kg

Standar Deviasi

Koefisien

Variasi

Kubis bulat 1560.58 636.037 40.8 Buncis 1961.54 470.671 24.0

Kubis gepeng 1093.27 362.998 33.2 Sawi 1391.35 743.318 53.4

Kentang 2598.08 736.843 28.4 Bawang putih lokal 4033.70 890.212 22.1

Tomat 2638.46 873.836 33.1 Bawang putih impor 5367.50 1295.829 24.1

Bawang daun 1894.23 400.203 21.1 Bawang merah 5688.46 956.434 16.8

Wortel 1737.50 780.012 44.9 Cabai merah 4301.92 1984.992 46.1

Seledri 2721.15 1585.515 58.3 Cabai rawit 7222.12 4909.948 68.0

Labu siam 965.38 243.652 25.2

bahwa harga beli dan jual bawang merah agak stabil. Hal ini juga didukung oleh koefisien variasi harga mingguan bawang merah di tingkat grosir di pasar Denpasar yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan koefisien variasi harga mingguan untuk komoditas sayuran lainnya. Koefisen variasi harga mingguan bawang merah di Denpasar bahkan lebih rendah dibandingkan dengan di Surabaya. Dengan kata lain, harga bawang merah di tingkat grosir di Denpasar relatif lebih stabil dibandingkan dengan di Surabaya. Tabel 4 Tanggapan responden di Buleleng tentang stabilitas harga beli dan jual bawang merah, 2005

Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Stabilitas harga beli

• Agak stabil – tidak stabil

• Agak stabil - tdak stabil

• Dalam tiga bulan terakhir Rp. 2500 – Rp. 6000 per kg

• Tidak stabil

• Dalam tiga bulan terakhir Rp. 4000-Rp. 6000

• Agak stabil

• Dalam tiga bulan terakhir Rp. 4000– Rp. 6000 per kg

Stabilitas harga jual

• Tidak stabil • Agak stabil - tidak stabil

• Dalam tiga bulan terakhir Rp 3000 – Rp. 7000 per kg

• Agak stabil

• Dalam 3 bln terakhir Rp. 4500-Rp. 6000

• Agak stabil

• Dalam tiga bulan terakhir Rp. 4000– Rp. 6500 per kg

Tabel 5 Koefisien variasi harga mingguan bawang merah, Buleleng (Denpasar), 2004

Komoditas Rata/rata

Rp/kg

Standar Deviasi

Koefisien

Variasi

Komoditas Rata/rata

Rp/kg

Standar Deviasi

Koefisien

Variasi

Kubis bulat 2133.33 591.656 27.7 Cabai merah 4508.33 1233.335 27.4

Kubis gepeng 2301.67 598.442 26.0 Cabai rawit 7741.67 3312.140 42.8

Tomat TW 3028.33 678.006 22.4 Kubis bunga 7291.67 1998.499 27.4

Tomat lokal 2455.00 658.562 26.8 Selada 8675.00 4405.144 50.8

Buncis 2941.67 611.276 20.8 Kacang panjang 2866.67 708.703 24.7

Wortel 4218.33 1886.661 44.7 Prey 10008.33 2812.640 28.1

Kentang 4731.67 1328.755 28.1 Brokoli 11275.00 5889.106 52.2

Sawi 2350.00 625.855 26.6 Bawang merah 8106.45 773.277 9.5

Seledri 6366.67 1401.775 22.0 Bawang putih impor 6106.45 749.193 12.3

Labu siam 996.67 169.712 17.0 Bawang putih lokal 9951.61 687.445 6.9

Page 7: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

7

• Integrasi Pasar Spasial

Koefisien korelasi harga bawang merah antar beberapa kota di Jawa Timur dan Bali memberikan indikasi sederhana sampai sejauh mana pasar-pasar di berbagai kota tersebut terintegrasi. Observasi sementara menunjukkan bahwa walaupun terdapat integrasi yang moderat sampai kuat di antara berbagai pasar, namun perbaikan-perbaikan lebih lanjut masih diperlukan. Integrasi pasar yang lebih tinggi dapat mengurangi tingkat absolut harga konsumen serta volatilitasnya. Dalam kaitan ini, produsen dapat memperoleh keuntungan melalui adanya peningkatan oportunitas pasar. Tabel 6 Matriks korelasi harga 3-harian bawang merah di Surabaya, Malang dan Nganjuk (Jan-Sept 2005).

Pasar Surabaya Malang/Batu Nganjuk

Surabaya 1.0000 0.4059*** 0.9935***

Malang/Batu 1.0000 0.3598***

Nganjuk 1.0000

*** signifikan pada tingkat kepercayaan 0.001

Tabel 7 Matriks korelasi harga bulanan bawang merah di Buleleng, Tabanan, Gianyar, Bangli, Klungkung,

Karang Asem dan Denpasar (2004).

Pasar Buleleng Tabanan Gianyar Bangli Klungkung Kr. Asem Denpasar

Buleleng 1.0000 0.5255* 0.6401** 0.5474* 0.6011** 0.4104 0.6648**

Tabanan 1.0000 0.4671 0.3351 0.4821 0.7134*** 0.6547**

Gianyar 1.0000 0.5275* 0.8481*** 0.7765*** 0.7537***

Bangli 1.0000 0.3851 0.5482* 0.3152

Klungkung 1.0000 0.8316*** 0.8234***

Kr. Asem 1.0000 0.7775***

Denpasar 1.0000

*** Signifikan pada tingkat kepercayaan 0.01 ** Signifikan pada tingkat kepercayaan 0.05 * Signifikan pada tingkat kepercayaan 0.10

• Skala Operasi

Dari semua partisipan yang diwawancarai, tampaknya hanya pedagang besar skala besar dan pedagang antar wilayah yang memiliki peluang untuk mencapai skala ekonomis. Partisipan rantai lainnya, terutama petani dan pedagang pengecer beroperasi dalam skala kecil serta tidak memiliki (kurang) spesialisasi, sehingga cenderung termasuk ke dalam usaha/bisnis biaya tinggi. Namun demikian, perlu pula dicatat bahwa skala dan spesialisasi ini seringkali terkendala oleh rendahnya likuiditas, risiko tinggi serta rendahnya keterampilan manajemen bisnis. Outlet untuk bawang merah yang berasal dari Nganjuk dan Buleleng terutama adalah pasar-pasar lokal serta beberapa kota besar di Jawa Timur dan Bali. Pedagang lokal dan antar wilayah yang terlibat di dalam rantai pasokan pada umumnya tidak memiliki spesialisasi untuk menangani bawang merah saja, tetapi beberapa jenis komoditas sayuran secara sekaligus. Jumlah pedagang ini secara intuitif dipastikan akan mempengaruhi perilaku operasionalnya di pasar. Observasi lapangan dan

Page 8: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

8

wawancara petani di Nganjuk dan Buleleng mengindikasikan tidak adanya pedagang atau perusahaan tunggal yang secara individual beroperasi memaksimalkan keuntungan tanpa ada reaksi dari pedagang atau perusahaan lain untuk mengganggu harga produk yang sedang berlaku. Dengan kata lain, tidak ada praktek monopoli di dalam rantai pasokan bawang merah dan setiap pedagang atau perusahaan akan berupaya meningkatkan share pasarnya melalui berbagai strategi pemasaran yang Tabel 8 Kisaran volume yang diperdagangkan oleh partisipan rantai pasokan bawang merah di Nganjuk, 2005.

Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Jumlah produk? • 5 - 15 ton per minggu

• 10 -50 ton per hari

• Volume transaksi mencapai puncak pada bulan-bulan Juli, Agustus dan September

• 0.5 - 2 kuintal per minggu

Variasi? Bervariasi

• MK 10 - 15 ton per minggu

• MH 5 - 10 ton per minggu

Bervariasi

• MK 10 - 50 ton per hari

• MH 5 – 30 ton per hari

• Pada musim hujan biasanya produksi lebih rendah sehingga pasokan juga menurun

Bervariasi,

• MK 1 - 2 kuintal per minggu

• MH 0.5 - 1 kuintal per minggu

Tabel 9 Kisaran volume yang diperdagangkan oleh partisipan rantai pasokan bawang merah di Buleleng, 2005.

Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Jumlah produk? • 0.4 - 2 ton per minggu • 4 - 10 ton/hari • 1.5 – 2 ton per minggu

Variasi? Bervariasi

• MK 1.2 - 8 ton per minggu

• MH 0.6 - 5 ton per minggu

Bervariasi

• 100-500 ton per musim

Bervariasi

• MK 1.5 – 10 ton per minggu

• MH 0.3 - 2 ton per minggu Catatan: Musim raya adalah bulan April

dimiliki. Tabel 8 dan 9 memperlihatkan kisaran volume perdagangan bawang merah oleh pedagang pengumpul, besar dan pengecer, masing-masing di Nganjuk dan Buleleng. Produk bawang merah yang diperjual-belikan sepanjang rantai pasokan pada dasarnya homogen. Dalam hal ini, konsumen yang menganggap bahwa produk dari seorang penjual tidak berbeda dengan produk dari penjual lainnya. Sebagai contoh, produsen bawang merah akan sukar meyakinkan pedagang bahwa bawang merahnya lebih baik dibandingkan dengan bawang merah petani lain, kecuali hanya dari perbedaan visual, misalnya ukuran atau kelas. Pada dasarnya, partisipan bebas untuk terlibat atau keluar dari rantai pasokan bawang merah. Faktor yang berpengaruh terhadap keluar atau masuknya partisipan dari rantai pasokan, diantaranya adalah absolute cost advantage dan keunikan manajemen serta kompetensi teknis yang dimiliki oleh masing-masing partisipan. Perlu dicermati bahwa pengetahuan pasar sebenarnya tidak hanya mencakup penguasaan informasi harga dan kualitas produk. Pengetahuan pasar tersebut juga harus mencakup pengetahuan mengenai aksi yang akan dilakukan oleh kompetitor, maupun pertimbangan-pertimbangan matang mengenai kondisi pasar pada saat yang akan datang. Pada batas-batas tertentu, pengetahuan pasar setiap partisipan yang terlibat dalam rantai pasokan bawang merah tampaknya cukup baik dalam mendasari pengambilan keputusan-keputusan operasional yang dibutuhkan. Berbagai karakteristik rantai pasokan di atas memberikan gambaran bahwa struktur pasar yang dihadapi oleh rantai pasokan bawang merah di Nganjuk dan Buleleng cenderung mendekati pasar persaingan sempurna. • Risiko pasar/pasokan

Risiko kekurangan pasokan biasanya dialami oleh semua partisipan di setiap tingkatan pada saat musim hujan atau pada saat banyak petani yang gagal panen. Kekurangan pasokan biasa terjadi di Buleleng antara bulan Juni - November. Pedagang pengumpul skala kecil di Buleleng juga sering

Page 9: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

9

mengalami kekurangan pasokan jika pedagang bermodal besar langsung datang ke petani membeli dan membayar tunai, sehingga pengumpul kecil hanya dapat membeli/mengebon sisanya. Sementara itu, kesulitan memperoleh pembeli relatif lebih jarang dialami oleh pedagang di Nganjuk dan Buleleng. Kesulitan mendapatkan pembeli terkadang dialami oleh pedagang besar karena ada kompetisi dari sentra produksi lain dengan harga yang lebih murah. Tabel 10 Risiko pasar/pasokan partisipan rantai pasokan di Nganjuk, 2005

Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Pernah mengalami masalah dalam memperoleh pasokan?

• Ya • Ya, kekurangan pasokan terutama pada musim hujan

• Ya, pada saat petani memperoleh informasi dari pedagang lain bahwa harga bawang merah naik

• Ya, karena petani mengalami kegagalan panen

Pernah mengalami kesulitan dalam memperoleh pembeli?

• Ya, jika harga sedang mahal

• Tidak ada masalah karena sudah ada langganan dan kepercayaan

• Ya, terutama jika ada kompetisi pasokan dari daerah lain dengan harga yang lebih murah

• Tidak pernah ada masalah

Tabel 11 Risiko pasar/pasokan partisipan rantai pasokan di Buleleng, 2005

Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Pernah mengalami masalah dlm memperoleh pasokan

• Ya, jika pedagang bermodal besar langsung datang ke petani membeli dan membayar tunai, maka pengumpul hanya dapat membeli/mengebon sisanya

• Ya, jika ada kegagalan panen

• Ya, kekurangan pasokan biasanya terjadi antara bulan 6 dan bulan 11

• Tidak pernah

Pernah mengalami kesulitan dalam memperoleh pembeli

• Ya, pada saat harga berfluktuasi tajam

• Tidak pernah • Tidak pernah

• Kriteria kualitas

Kriteria kualitas bawang merah yang digunakan pada saat membeli/menjual di kedua lokasi, maupun di setiap level partisipan rantai pada dasarnya hampir sama, yaitu ukuran, warna dan bentuk umbi. Tabel 12 dan 13 menunjukkan bahwa bawang merah yang kualitasnya lebih baik hampir selalu Tabel 12 Kriteria kualitas bawang merah yang digunakan pada saat membeli/menjual, Nganjuk

Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Kriteria yang digunakan pedagang dalam menaksir kualitas pada saat membeli dari anda?

• Ukuran • Warna

• Ukuran • Bentuk • Warna

• Ukuran • Warna • Bentuk • Keseragaman

• Ukuran • Warna

Mendapat harga jual yang lebih tinggi untuk produk yang kualitasnya lebih baik?

• Ya • Belum tentu karena harga yang tidak stabil

• Ya • Ya

Menyepakati harga beli yang lebih tinggi untuk produk yang kualitasnya lebih baik?

• Ya Ya • Ya • Ya

Kualitas produk yang dihargai paling tinggi atau kualitas super?

• Ukuran besar • Warna merah

tua

• Ukuran besar • Bentuk bulat • Warna merah

• Ukuran diameter 3 cm

• Warna merah tua • Bentuk bulat • Kering • Relatif seragam

• Ukuran sedang dan besar

• Bentuk bulat • Warna merah

Page 10: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

10

Tabel 13 Kriteria kualitas bawang merah yang digunakan pada saat membeli/menjual, Buleleng.

Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Kriteria yang digunakan pedagang dalam menaksir kualitas pada saat membeli dari anda?

• Ukuran • Warna

• Ukuran • Warna • Bentuk

• Ukuran yang diminta pasar

• Bentuk bulat • Warna umbi

menarik

• Ukuran • Warna

Mendapat harga jual yang lebih tinggi untuk produk yang kualitasnya lebih baik?

• Ya • Ya. • Ya • Ya

Menyepakati harga beli yang lebih tinggi untuk produk yang kualitasnya lebih baik?

• Ya • Ya. • Ya • Ya atau belum tentu, misalnya membeli di dalam karung, di atasnya baik, ternyata bagian tengahnya jelek

Kualitas produk yang dihargai paling tinggi atau kualitas super?

• Ukuran besar • Warna merah

tua

• Ukuran besar • Warna merah tua • Bentuk normal • Relatif seragam • Aroma tidak

penting

• Ukuran besar • Warna merah tua • Bentuk bulat • Relatif seragam

• Ukuran besar • Warna merah • Bentuk normal

memperoleh harga beli atau harga jual yang lebih tinggi. Sementara itu, bawang merah yang dihargai paling tinggi adalah produk yang memenuhi kriteria kualitas: (a) ukuran diameter 3 cm; (b) warna merah tua; (c) bentuk bulat; (d) kering; dan (e) relatif seragam. • Penyimpanan bawang merah

Lama penyimpanan untuk bibit di tingkat petani berkisar antara 3-4 bulan, sedangkan untuk umbi konsumsi berkisar antara 2-10 hari. Lama penyimpanan ini terutama dipengaruhi oleh persyaratan teknis bibit dan harga yang berlaku. Petani memperkirakan bahwa kehilangan hasil sebesar 1-15% dapat terjadi selama penyimpanan. Di tingkat pedagang pengumpul, penyimpanan dilakukan selama 1-10 hari. Hal-hal yang berpengaruh terhadap lama penyimpanan diantaranya adalah (a) banyak barang dari luar daerah masuk, sehingga harga relatif rendah, (b) menunggu harga jual tinggi, dan (c) persyaratan teknis tanaman bawang merah untuk bibit. Kehilangan hasil dapat mencapai 3-40%. Di tingkat pedagang besar, lamanya penyimpanan terutama tergantung pada tujuan penggunaan bawang Tabel 14 Penyimpanan dan kehilangan hasil bawang merah, Nganjuk, 2005

Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Lama penyimpanan produk

• 3-4 bulan untuk bibit

• 5-10 hari untuk konsumsi

• 3-7 hari • 3-6 bulan untuk bibit

• 1-4 minggu sampai 3 a’ 4 bulan untuk konsumsi (jika harga mencapai Rp. 3000/kg di bulan Januari)

• 1-7 hari

Faktor yang mempengaruhi lama penyimpanan

• Persyaratan teknis bibit

• Harga

• Menunggu harga jual tinggi

• Pengunaan: untuk bibit atau konsumsi

• Faktor non-tenis, misalnya harga yang sedang baik atau kebutuhan likuiditas mendesak

• Harga

• Stok

Kehilangan hasil selama penyimpanan

• 1-15% • 20-40% • 5-30% dipengaruhi oleh:

• Kondisi awal hasil panen

• Kerusakan atap gudang

• Cuaca

• Lama penyimpanan

• Jenis bawang, ketahanan simpan

• 5-10%

Page 11: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

11

merah. Di Nganjuk sebagian besar pedagang besar tidak hanya menjual bawang merah konsumsi, tetapi juga bibit. Penyimpanan bawang konsumsi bahkan dapat berlangsung cukup lama, yaitu 1-4 minggu sampai 3 atau 4 bulan jika harga mencapai Rp. 3000/kg, terutama di bulan Januari. Kehilangan hasil dapat mencapai 5-50% karena faktor-faktor: kondisi awal hasil panen, kerusakan atap gudang, cuaca, lama penyimpanan, jenis bawang, dan ketahanan simpan. Lama penyimpanan di tingkat pengecer relatif lebih singkat dan terutama dipengaruhi oleh adanya stok/persediaan. Tabel 15 Penyimpanan dan kehilangan hasil bawang merah, Buleleng, 2005

Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Lama penyimpanan produk

• 3-4 bulan untuk bibit

• 2-7 hari untuk konsumsi

• 1 – 10 hari • 2 hari sampai 1 bulan

• 1-3 hari

Faktor yang mempengaruhi lama penyimpanan

• Kualitas segar hasil panen

• Harga

• Banyak barang dari luar masuk, sehingga harga relatif rendah

• Menunggu harga jual tinggi

• Keadaan atau kondisi teknis tanaman bawang merah

• Menunggu harga jual tinggi

• Pasokan berlimpah

Penyebab utama kehilangan hasil

• Kualitas hasil panen • Kondisi awal hasil panen • Kondisi awal hasil panen yang masih basah

• Kondisi awal hasil panen yang masih basah

Kehilangan hasil selama penyimpanan

• 1-10% • 3 – 5% • 50% • 2-4%

• Penanganan, sortasi, pengemasan dan pengangkutan

Pedagang pengumpul dan pedagang besar menjual serta membeli produk dengan kelas kualitas yang berbeda-beda. Tabel 16 dan 17 menunjukkan bahwa kegiatan sortasi hanya dilakukan oleh pedagang pengumpul dan pedagang besar. Pada umumnya, material kemasan yang digunakan oleh semua partisipan rantai pasokan adalah karung jala. Hanya sebagian kecil partisipan rantai pasokan yang menggunakan alat transportasi sendiri untuk mengangkut hasil panennya. Sementara itu, hanya satu orang responden pedagang besar yang juga menyediakan jasa transportasi. Tabel 16 Penanganan, sortasi, pengemasan dan pengangkutan bawang merah di Nganjuk

Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Membeli produk dengan kelas kualitas berbeda-beda

Tidak Ya, ukuran lebih besar dan warna merah lebih mahal

Ya

• A Rp. 5000

• B Rp. 4750

• C Rp. 4500-4000

Tidak

Menjual produk dengan kelas-kelas kualitas yang berbeda

Tidak Ya, ukuran lebih besar dan warna merah lebih mahal

Ya dan tidak (dioplos) Tidak

Melakukan sortasi produk ke dalam kelas-kelas yang berbeda

Tidak Tidak • Tidak, yang melakukan sortasi biasanya pengecer kecil (10-20 kg)

• Ya, pada saat penyimpanan dan pengemasan

Tidak

Bahan/material kemasan yg digunakan

Karung jala Karung jala Karung jala (warna merah atau biru) dengan kapasitas 110-120 kg/karung

Karung jala

Melakukan transportasi untuk produk sendiri

Tidak Tidak • Tidak (tidak punya kendaraan dan tidak ingin menanggung risiko)

• Ya, memanfaatkan kendaraan yang dimiliki, menghemat biaya transportasi

Ya, sepeda motor untuk efisiensi waktu

Menyediakan jasa transportasi

Tidak Tidak Ya dan tidak, jika ya:

Ya, mobil sendiri (L300, 2-2,5 ton) disewakan jika tidak sedang digunakan

Tidak

Page 12: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

12

Tabel 17 Penanganan, sortasi, pengemasan dan pengangkutan bawang merah di Buleleng

Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Membeli produk dengan kelas kualitas berbeda-beda

Tidak Ya

• Kls I merah, besar, kering Rp. 5000/kg

• Kls II agak kecil, kurang merah Rp. 4000/kg

• Kls III kecil-kecil, merah pudar Rp. 3000/kg

• Ada kelas I dan II berdasarkan ukuran

• Tidak

• Ya, makin besar makin mahal

Menjual produk dengan kelas-kelas kualitas yang berbeda

Tidak Ya

• Kls I Rp. 6000/kg

• Kls II Rp. 4500/kg

• Kls III Rp. 3250/kg

• Ada kelas I dan II berdasarkan ukuran

• Ya, agar ada tambahan keuntungan

Melakukan sortasi produk ke dalam kelas-kelas yang berbeda

Tidak • Ya dan tidak • Ya • Tidak

Bahan/material kemasan yg digunakan

Karung jala • Karung jala • Karung jala • Karung jala

Melakukan transportasi untuk produk sendiri

Tidak • Ya dan tidak • Ya • Tidak

Menyediakan jasa transportasi

Tidak • Tidak • Tidak • Tidak

• Biaya dan marjin tataniaga

Marjin tataniaga adalah harga atau nilai dari sekumpulan jasa pemasaran yang harus dikeluarkan untuk biaya transfer komoditas tertentu dari sisi produksi ke sisi konsumsi. Pengeluaran ini tidak saja berupa pembayaran untuk masukan yang dikeluarkan oleh partisipan rantai pasokan dalam melakukan fungsi pemasaran (biaya tataniaga), tetapi juga porsi keuntungan bagi pemberi jasa tataniaga tersebut. Secara sederhana, marjin tataniaga merupakan selisih antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima produsen. Jika salah satu parameter berubah, maka kedua parameter lainnya juga turut berubah. Dengan kata lain, marjin tataniaga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh penting terhadap efisiensi penetapan harga (pricing efficiency), stabilitas harga di tingkat konsumen, stabilitas harga di tingkat petani dan bagian petani (farmer’s share). Tabel 18 menunjukkan informasi cross section harga beli/jual per kilogram bawang merah di Nganjuk yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan di Buleleng. Namun demikian, biaya tataniaga dan marjin keuntungan di setiap tingkat partisipan rantai pasokan di Nganjuk ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan di Buleleng. Konsekuensinya, bagian yang diterima petani Nganjuk per kilogram bawang merah relatif lebih rendah dibandingkan dengan petani Buleleng. Namun demikian, berbagai indikasi yang diperoleh ini belum dapat dinyatakan sebagai sesuatu yang bersifat konklusif sebab kegiatan wawancara untuk memperoleh data harga hanya dilakukan secara cross-section. Beberapa studi empiris terdahulu menunjukkan bahwa besar/nilai marjin tataniaga dari hari ke hari atau dari bulan ke bulan (jangka pendek) cenderung bersifat konstan (Gardner, 1975; Brorsen, 1984), sehingga disebut sebagai marjin tataniaga yang tidak fleksibel (sticky or inflexible marketing margin). Marjin yang tidak fleksibel memungkinkan perubahan harga di sisi konsumsi segera ditransmisikan ke sisi produksi dan perubahan harga di sisi produksi segera direfleksikan ke sisi konsumsi. Hal ini dalam jangka pendek dapat mengakibatkan ketidak-stabilan harga di tingkat petani serta bagian yang diterima petani. Dalam studi ini, tidak diperoleh data harga untuk memperkirakan variasi marjin tataniaga bawang merah dari Nganjuk dan Buleleng. Seandainya informasi tersebut tersedia dan ternyata marjin tataniaga memiliki tingkat keragaman yang tinggi (koefisien variasi > 40%), maka besaran/nilai marjin yang terjadi tidak lagi bersifat konstan. Marjin ini dapat dikategorikan sebagai flexible marketing margin yang besaran atau nilainya secara serempak (simultaneously) akan menyesuaikan dengan adanya perubahan harga di

Page 13: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

13

sisi produksi atau sisi konsumsi. Dalam jangka pendek, mekanisme marjin tersebut dapat mendorong harga di tingkat petani maupun bagian petani menjadi lebih stabil. Namun, flexible margin ini secara implisit menunjukkan bahwa biaya tataniaga yang seharusnya berhubungan langsung dengan volume fisik komoditas ternyata juga dipengaruhi oleh harga produk. Sebenarnya tidak beralasan jika marjin berubah sejalan dengan perubahan harga. Salah satu komponen marjin adalah biaya tataniaga yang pada dasarnya didominasi oleh pengeluaran untuk tenaga kerja. Dalam jangka pendek, upah tenaga kerja ini tidak berubah dengan adanya perubahan harga produk. Hal ini memberikan indikasi bahwa komponen lain dari marjin tataniaga yang kemungkinan berubah adalah keuntungan pedagang. Dengan demikian, marjin yang bersifat fleksibel memungkinkan terjadinya penurunan (pada saat harga di tingkat petani rendah) atau peningkatan (pada saat harga di tingkat petani tinggi) keuntungan pedagang. Kondisi seperti ini membuka peluang bagi pedagang melakukan tindakan-tindakan spekulatif yang diarahkan untuk meningkatkan keuntungan. Kenaikan harga produk yang diakibatkan oleh tindakan spekulatif tersebut akan dibebankan kepada konsumen dan pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi pasar. Tabel 18 Biaya tataniaga, marjin keuntungan dan bagian petani per kilogram bawang merah di Nganjuk dan

Buleleng, 2005

No. Uraian Nganjuk (Rp./kg) Buleleng (Rp./kg)

1. Petani

Harga jual Rp. 4 150 Rp. 5 110

2. Pedagang pengumpul

Harga beli Rp. 4 150 Rp. 5 110

Harga jual Rp. 5 120 Rp. 5 875

Marjin kotor Rp. 970 Rp. 765

Biaya tataniaga Rp. 315 Rp. 205

Keuntungan Rp. 655 Rp. 460

3. Pedagang besar

Harga beli Rp. 5 120 Rp. 5 875

Harga jual Rp. 5 760 Rp. 6 340

Marjin kotor Rp. 640 Rp. 465

Biaya tataniaga Rp. 180 Rp. 130

Keuntungan Rp. 460 Rp. 335

4. Pedagang pengecer

Harga beli Rp. 5 760 Rp. 6 340

Harga jual Rp. 6 250 Rp. 6 700

Marjin kotor Rp. 490 Rp. 360

Biaya tataniaga Rp. 100 Rp 85

Keuntungan Rp. 390 Rp. 275

Bagian petani (farmer’s share) 66.4% 76.3%

Total marjin tataniaga Rp. 2 100 Rp. 1 590

• Likuiditas

Wawancara dengan petani dan pedagang memberikan indikasi bahwa masalah likuiditas ternyata sangat membatasi skala usaha secara individual. Dari sisi tataniaga, hal ini mengarah pada inefisiensi biaya di tingkat eceran dan grosir. Sangat sedikit partisipan rantai yang menyatakan mendapatkan kredit dari lembaga keuangan formal (bank), namun beberapa diantaranya memperoleh pinjaman tanpa bunga/bunga rendah dari teman atau keluarga. Walaupun ketersediaan kredit formal

Page 14: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

14

ditingkatkan, keengganan dan kehati-hatian dari petani maupun pedagang sehubungan dengan tingkat bunga, agunan serta prosedur yang agak berbelit, tampaknya masih akan menjadi kendala utama peningkatan serapan kredit. Tabel 19 Kredit, sumber pinjaman dan akses kredit formal, Nganjuk dan Buleleng, 2005

Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Nganjuk:

Menggunakan kredit dan sumbernya

Ya Ya Ya Ya

Sumber pinjaman Tetangga, keluarga dan pedagang

Bank dan tetangga Bank, teman/tetangga atau mitra dagang

Keluarga

Ketersediaan dan akses kredit formal

Prosedur agak panjang dan harus ada agunan

Prosedur agak panjang dan harus ada agunan

Harus memiliki dan menggunakan SIUP

Prosedur berbeli-belit

Buleleng:

Menggunakan kredit dan sumbernya

Ya Ya Ya Tidak

Sumber pinjaman Keluarga Keluarga Bank -

Ketersediaan dan akses kredit formal

Prosedur agak panjang dan harus ada agunan

Prosedur agak panjang dan harus ada agunan

Prosedur agak panjang dan harus ada agunan

Prosedur agak panjang dan harus ada agunan

• Kompetisi

Pengamatan selama survai menunjukkan bahwa persaingan di dalam rantai pasokan bawang merah di Nganjuk dan Buleleng dapat dikategorikan antara tidak ketat dan agak ketat. Monopoli atau monopsoni tidak tercermin dari cukup banyaknya jumlah pembeli dan penjual yang terlibat di dalam transaksi. Dengan demikian, pasar berperilaku tidak kolusif, tetapi cenderung kompetitif. Tabel 20 dan 21 mengindikasikan bahwa persaingan diantara pedagang, misalnya pedagang besar, dipersepsi sebagai akibat dari ketidak-merataan ketersediaan dan lokasi lapak di pasar, kemampuan permodalan, kepercayaan dari pelanggan dan jaringan hubungan Sementara itu, tidak ada persyaratan khusus untuk terlibat di dalam rantai pasokan, kecuali persyaratan umum menyangkut kepemilikan modal, fasilitas, kemampuan berdagang, pengalaman dan pelanggan. Tabel 20 Persaingan dan persyaratan untuk berpartisipasi dalam rantai pasokan bawang merah, Nganjuk, 2005

Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Jumlah pedagang serupa dan pedagang lain di sekitar anda

4-20 orang pedagang 4-15 orang pedagang 20 orang pedagang

Persaingan yg terjadi seringkali disebabkan oleh hal apa saja

Persaingan ketat masalah jual-beli

Persaingan tidak ketat karena saling menghargai sesama pedagang. Jika terjadi biasanya disebabkan oleh:

• Ketersediaan dan lokasi lapak di pasar

• Kepercayaan dari pelanggan

• Jaringan hubungan

Persaingan di usaha bi bit lebih ketat dibandingkan dengan konsumsi krn banyak petani yang membibitkan sendiri

Persaingan tidak ketat, karena saling membantu dalam memperoleh pasokan bawang merah

Persyaratan yng hrs dipenuhi orang baru utk terlibat sebagai partisipan rantai pasokan

Pengalaman dan mau belajar

• Modal

• Fasilitas

• Pengalaman

• Rekanan

• Pengalaman di bidang ini

• Modal

Page 15: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

15

Tabel 21 Persaingan dan persyaratan untuk berpartisipasi dalam rantai pasokan bawang merah, Buleleng, 2005

Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Jumlah pedagang serupa dan pedagang lain di sekitar anda

• 3-5 orang pedagang • 2-6 orang pedagang • 4 orang pedagang

Persaingan yg terjadi seringkali disebabkan oleh hal apa saja

• Persaingan tidak ketat karena masing-masing sudah punya pelanggan

• Besarnya modal

• Kepercayaan

• Persaingan tdk ketat, pedagang msh sedikit

Persyaratan yng hrs dipenuhi orang baru utk berpartisipasi sebagai pedagang

• Modal

• Pengalaman

• Memiliki kemampuan menaksir produksi dan harga

• Modal

• Kemampuan berdagang

• Modal

• Kemampuan berdagang

• Pengetahuan berdagang dan inovasi

Sebagian besar petani di Nganjuk dan Buleleng menyatakan pernah menerima penyuluhan mengenai budidaya bawang merah. Latar belakang pendidikan partisipan rantai bawang merah di Nganjuk (SD-SLTA) tampaknya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan di Buleleng (mayoritas SD). Sementara itu, semua partisipan rantai pasokan yang diwawancara menyatakan tidak atau belum melakukan pencatatan usahanya secara teratur. Inovasi di sepanjang rantai pasokan bawang merah dapat dikategorikan sangat rendah. Selama observasi lapangan, tidak tertangkap adanya partisipan pasar yang berupaya penuh mencari informasi teknis maupun pasar yang diarahkan untuk mengurangi/menekan biaya, meningkatkan profitabilitas serta menggali oportunitas pasar baru. Seandainya kewiraswastaan eksis di rantai pasokan, hal ini juga seringkali dirongrong oleh rendahnya tingkat likuiditas, transportasi yang mahal dan informasi pasar yang buruk. Tabel 22 Pengetahuan dan inovasi partisipan rantai pasokan bawang merah, Nganjuk

Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Pernah menerima pelatihan/penyuluhan Ya Tidak Penyuluhan mengenai kredit, permodalan dan kemitraan

Tidak

Latar belakang pendidikan SD - SLTP SLTA SD – SLTA SLTA

Melakukan pencatatan secara teratur Tidak Tidak Belum Belum

Berpartisipasi dalam Asosiasi/kelompok/ paguyuban petani/pedagang

Ya Kelompok pedagang

Ya dan tidak. Jika ya, pagu-yuban pedagang Sukomoro

Tidak

Aktif mencari pasar atau daerah baru untuk menjual produk bawang merah

Tidak Tidak Tidak Tidak

Bersikap responsif terhadap perubahan-perubahan yang dikehendaki pasar

Tidak tahu Tidak tahu Tidak tahu Ya

Tabel 23 Pengetahuan dan inovasi partisipan rantai pasokan bawang merah, Buleleng

Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Pernah menerima pelatihan/penyuluhan Ya Tidak Tidak Tidak

Latar belakang pendidikan SD SD SD SD

Melakukan pencatatan secara teratur Tidak Tidak Belum Belum

Berpartisipasi dalam Asosiasi/kelompok/ paguyuban pedagang

Ya Tidak Tidak Tidak

Aktif mencari pasar atau daerah baru untuk menjual produk bawang merah

Tidak Tidak Ya Tidak

Bersikap responsif terhadap perubahan-perubahan yang dikehendaki pasar

Tidak tahu Tidak Ya Tidak

Page 16: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

16

• Aliran Informasi

Terbatasnya ketersediaan informasi pasar menyebabkan petani dan pedagang memberikan/memper-oleh informasi satu sama lain atau dari partisipan lain di sepanjang rantai pasokan. Dengan demikian, pedagang yang beroperasi antar wilayah/kota memiliki akses lebih baik terhadap informasi pasar. Konsekuensi yang mengkhawatirkan dari buruknya informasi pasar adalah terjadinya ketidak-percayaan (distrust) antar partisipan rantai pasokan. Negosiasi harga bawang merah, terutama antar individual dapat memakan waktu lama, karena penjual tidak memiliki informasi terkini, sehingga takut tertipu oleh pembeli. Hal ini mengakibatkan biaya transaksi menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan yang sebenarnya dibutuhkan. Observasi lebih lanjut mengindikasikan bahwa petani pada umumnya memiliki akses buruk terhadap informasi pasar. Tabel 24 Akses terhadap informasi harga di Nganjuk dan Buleleng, 2005

Informasi Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Nganjuk: Harga di pasar lokal • Sesama petani

• Pedagang Antar pedagang Antar pedagang Informasi yang

beredar di pasar Harga, penawaran dan permintaan di pasar lain

Siaran radio Siaran radio Sesama pedagang melalui telpon Tidak tahu

Buleleng: Harga di pasar lokal • Sesama petani

• Pedagang • Sesama pedagang • Setiap hari ke pasar

mencari informasi

Sesama pedagang Setiap hari ke pasar Buleleng

Harga, penawaran dan permintaan di pasar lain

Siaran radio Berita radio Sesama pedagang di Probolinggo dan Bima melalui telpon

Berita radio

• Kendala

Masalah utama yang secara umum berhasil diidentifikasi sepanjang rantai pasokan bawang merah di Nganjuk dan Buleleng diantaranya adalah: (a) kurangnya likuiditas/permodalan; (b) fluktuasi harga ke-hilangan hasil dan susut yang relatif tinggi; (c) respon terhadap pemesanan yang relatif lambat; (d) kurangnya pengawasan kualitas sepanjang rantai, termasuk kurangnya alat transportasi serta gudang penyimpanan; (e) kurangnya perencanaan produksi secara umum serta metode produksi yang relatif masih sederhana/konvensional; (f) kurangnya informasi pasar sepanjang rantai pasokan; (g) kurang-nya rasa kepercayaan antar elemen yang terlibat di dalam rantai pasokan; and (h) kesulitan koordinasi antar pemasok-pemasok skala kecil Bobot masalah (berdasarkan jumlah √) secara spesifik dapat dilihat pada Tabel 25 di bawah ini: Tabel 25 Bobot masalah sepanjang rantai pasokan bawang merah di Nganjuk dan Buleleng

Produsen Pedagang pengumpul

Pedagang besar

Pengecer

a. Kurang modal √ √√√ √√ √√√√

b. Kesulitan memperoleh kredit/pinjaman √ √√ - √

c. Keuntungan yang diperoleh cenderung semakin menurun √ √√ - -

d. Persaingan antar pedagang kurang sehat - - √√ √

e. Kurang dukungan/bimbingan dari pemerintah (peraturan/regulasi dsb.) √ - √√ -

f. Kurang keterbukaan antar pedagang √ - √ -

g. Fluktuasi harga tajam √ √ - -

Page 17: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

17

• Analisis SWOT Hasil survai memberikan gambaran bahwa situasi dan masalah yang dihadapi rantai pasokan bawang merah di Nganjuk dan Buleleng hampir serupa. Oleh karena itu, analisis SWOT di bawah ini berlaku untuk keduanya. Kekuatan: • Rantai pasok bawang merah di Nganjuk dan Buleleng secara umum cenderung beroperasi berdasarkan kekuatan

penawaran dan permintaan.

• Koefisien variasi harga mingguan bawang merah lebih rendah dibandingkan dengan koefisien variasi harga mingguan untuk komoditas sayuran lainnya.

• Terdapat integrasi pasar bawang merah yang moderat sampai kuat di antara berbagai pasar di Nganjuk dan Buleleng

• Tidak teridentifikasi adanya praktek monopoli atau monopsoni di dalam rantai pasokan bawang merah, tercermin dari cukup banyaknya jumlah pembeli dan penjual yang terlibat di dalam transaksi.

• Pedagang pengumpul dan pedagang besar menjual serta membeli produk dengan kelas kualitas yang berbeda-beda (pemberlakuan pengkelasan).

Kelemahan: • Rantai pasokan pada dasarnya masih didominasi oleh rantai pasokan tradisional yang outlet utamanya adalah pasar-

pasar tradisional.

• Kehilangan hasil dapat mencapai 5-50%, karena faktor-faktor: kondisi awal hasil panen, kerusakan atap gudang, cuaca, lama penyimpanan, jenis bawang, dan ketahanan simpan.

• Semua partisipan rantai pasokan yang diwawancara menyatakan tidak atau belum melakukan pencatatan usaha (record keeping) secara teratur.

• Inovasi di sepanjang rantai pasokan bawang merah dapat dikategorikan sangat rendah, belum ada partisipan pasar yang berupaya penuh mencari informasi teknis maupun pasar yang diarahkan untuk mengurangi/menekan biaya, meningkatkan profitabilitas serta menggali oportunitas pasar baru.

• Sebagian partisipan rantai, terutama petani dan pedagang pengecer beroperasi dalam skala kecil serta tidak memiliki (kurang) spesialisasi.

• Inefisiensi biaya di sebagian besar partisipan rantai pasokan, sehingga cenderung termasuk ke dalam usaha/bisnis dan tataniaga biaya tinggi.

Peluang: • Kondisi agroekosistem yang masih sangat memungkinkan untuk peningkatan produktivitas bawang merah

• Lokasi geografis Nganjuk dan Buleleng memungkinkan produk bawang merah dipasarkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga antar wilayah/regional.

• Rantai pasokan yang ada ternyata relatif pendek dan alternatifnya relatif sempit (tidak kompleks) sehingga memungkinkan peningkatan efisiensi tataniaga.

Ancaman: • Terbatasnya ketersediaan informasi pasar cenderung menyebabkan terjadinya ketidak-percayaan (distrust) antar

partisipan rantai pasokan.

• Risiko kekurangan pasokan biasanya dialami oleh semua partisipan di setiap tingkatan pada saat musim hujan atau pada saat banyak petani yang gagal panen

• Masalah likuiditas yang sangat membatasi pengembangan skala usaha untuk mencapai skala ekonomis.

• Kompetisi pasokan bawang merah dari sentra produksi lain dengan harga yang lebih murah.

Berbagai aspek di atas diringkas dan dihimpun di dalam tabel berikut ini:

Page 18: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

18

Tabel 26 Hasil analisis SWOT rantai pasokan bawang merah di Nganjuk dan Buleleng, 2005

Kekuatan:

• Rantai pasok beroperasi berdasarkan kekuatan penawaran dan permintaan.

• Koefisien variasi harga bawang merah lebih rendah dibandingkan dengan koefisien variasi harga komoditas sayuran lainnya.

• Terdapat integrasi pasar moderat sampai kuat di antara berbagai pasar di kedua lokasi

• Tidak ada praktek monopoli atau monopsoni di dalam rantai pasokan bawang merah.

• Sistem pengkelasan produk sudah mulai diberlakukan.

Kelemahan:

• Rantai pasokan masih didominasi oleh rantai pasokan tradisional.

• Kehilangan hasil mencapai 5-50%.

• Semua partisipan rantai pasokan tidak atau belum melakukan pencatatan usaha (record keeping) secara teratur.

• Inovasi di sepanjang rantai pasokan bawang merah dapat dikategorikan sangat rendah.

• Sebagian partisipan rantai beroperasi dalam skala kecil serta tidak memiliki spesialisasi.

• Inefisiensi yang mengarah pada usaha/ bisnis dan tataniaga biaya tinggi.

Peluang:

• Kondisi agroekosistem memungkinkan peningkatan produktivitas bawang merah

• Lokasi geografis memungkinkan produk bawang merah juga dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan antar wilayah/regional.

• Rantai pasokan yang pendek dan alternatifnya yang sempit memungkinkan peningkatan efisiensi tataniaga.

Exploit:

• Menerapkan strategi peningkatan kualitas dan nilai tambah

• Menjajagi kemungkinan spesialisasi

Adjust - chance:

• Memperbaiki teknologi budidaya

• Memberdayakan kelompok tani dan asosiasi/paguyuban pedagang melalui peningkatan penyuluhan dan pembinaan

Ancaman:

• Keterbatasan informasi pasar cenderung menyebabkan terjadinya ketidak-percayaan (distrust) antar partisipan rantai pasokan.

• Risiko kekurangan pasokan dialami pada musim hujan atau pada saat gagal panen

• Masalah likuiditas merupakan kendala untuk mencapai skala ekonomis.

• Kompetisi pasokan bawang merah dari sentra produksi lain dengan harga yang lebih murah.

Improve - attention:

• Memperbaiki sistem informasi pasar

• Mengembangkan sistem monitoring pasar

• Memperbaiki infrastruktur pasar

• Memperbaiki akses terhadap kredit

Beware - pitfall:

• Ketergantungan terhadap bibit impor

• Konsolidasi yang mengarah pada perilaku pasar kolusif

• Usulan intervensi Beberapa upaya intervensi di bawah ini diusulkan untuk meningkatkan kebersaingan atau posisi kompetitif rantai pasokan bawang merah di Nganjuk dan Buleleng: 1. Menerapkan strategi peningkatan kualitas dan nilai tambah

Upaya peningkatan kualitas dan nilai tambah harus dilakukan secara berkesinambungan untuk meminimalkan persentase kehilangan hasil yang masih cukup tinggi serta memperbaiki kebersaingan produk. Upaya ini tidak hanya terbatas pada perbaikan dari sisi budidaya, tetapi juga dari sisi penanganan serta penyimpanan produk. Salah satu upaya yang biasa dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan menetapkan persyaratan standarisasi atau grading. Pengkelasan yang terstandarisasi dapat membantu usaha peningkatan pendapatan usahatani,

Page 19: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

19

menawarkan alternatif opsi bagi konsumen, memungkinkan pedagang menetapkan pembeliannya berdasarkan sampel, serta memperbaiki kegunaan informasi pasar. Namun demikian, perlu dicatat bahwa edukasi terhadap petani dan pedagang merupakan cara yang paling efektif untuk mencapai tujuan di atas, dibandingkan dengan pengawasan resmi (official controls).

2. Menjajagi kemungkinan spesialisasi

Partisipan rantai, terutama petani dan pedagang pengecer beroperasi dalam skala kecil serta tidak memiliki (kurang) spesialisasi, sehingga usahanya dapat dikelompokkan ke dalam usaha/bisnis biaya tinggi. Upaya ke arah spesialisasi merupakan cara yang paling memungkinkan agar partisipan rantai pasokan memiliki peluang untuk mencapai skala ekonomis. Namun demikian, upaya ke arah spesialisasi harus dilakukan secara hati-hati karena perlu dicatat bahwa skala dan spesialisasi ini seringkali terkendala oleh rendahnya likuiditas, risiko tinggi serta rendahnya keterampilan manajemen bisnis.

3. Memperbaiki teknologi budidaya

Perbaikan teknologi budidaya terutama diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan menjaga kontinuitas pasokan, terutama pada pengusahaan bawang merah di musim hujan. Komponen teknologi yang perlu mendapat penekanan diantaranya adalah pengembangan metode pengendalian hama penyakit yang tidak terlalu bergantung pada penggunaan pestisida kimiawi, serta pengunaan varietas unggul lokal, terutama untuk penanaman musim kemarau yang akhir-akhir ini cenderung semakin bergantung pada penggunaan bibit impor – Philippines atau Illocos.

4. Memberdayakan kelompok tani dan asosiasi/paguyuban pedagang

Langkah ini pada dasarnya merupakan upaya integrasi horisontal yang didukung oleh perbaikan penyuluhan dan pembinaan bagi petani maupun pedagang. Beberapa manfaat yang dapat ditawarkan kepada petani/pedagang dari upaya integrasi ini diantaranya adalah: akses lebih luas untuk berpartisipasi di dalam pelatihan-pelatihan teknis; berbagi pengetahuan dan pengalaman; kesempatan lebih luas untuk memperoleh input dengan harga lebih murah; berbagi informasi harga; pemahaman lebih mendalam mengenai operasionalisasi pasar; peningkatan kepercayaan diri dan kekuatan tawar menawar pada saat melakukan transaksi; pemahaman lebih baik mengenai pengkelasan produk dan pengetahuan dasar jaminan kualitas; serta hubungan komunitas yang lebih baik.

5. Memperbaiki sistem informasi pasar

Informasi pasar harus tersedia pada saat dibutuhkan sehingga petani dapat segera menentukan kepada siapa menjual produknya dalam spot transaction, serta untuk mengurangi ketidak-seimbangan akses terhadap informasi antara petani dengan pedagang. Upaya perbaikan informasi pasar bukan hanya seumur proyek, tetapi harus dirancang sebagai program pelayanan berkelanjutan. Perlu pula dipahami bahwa pengetahuan pasar bukan hanya sekedar informasi mengenai harga dan kualitas produk, tetapi juga termasuk pengetahuan mengenai aksi atau perilaku kompetitor dan pedagang, serta sinyal atau prediksi kondisi pasar di masa datang (future market conditions).

6. Mengembangkan sistem monitoring pasar

Berdasarkan pertimbangan peluang yang masih terbuka untuk perluasan pasar, maka pengembangan sistem monitoring pasar menjadi sangat penting. Sistem ini terutama akan meliput perekaman transaksi yang terjadi di berbagai pasar, sehingga dapat meningkatkan transparansi di dalam kegiatan bisnis serta pemahaman menyangkut peluang pasar di masa datang.

Page 20: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

20

7. Memperbaiki infrastruktur pasar

Pengalaman sering menunjukkan bahwa perbaikan atau pengembangan infrastruktur pasar terkadang terlalu berlebihan (terlalu luas), atau gagal menarik pengguna, sehingga secara ekonomis, finansial dan sosial menjadi tidak layak. Perluasan infrastruktur pasar yang sudah ada atau konstruksi fasilitas pasar baru merupakan suatu proses yang sangat kompleks. Proyek semacam ini memerlukan investasi kapital yang signifikan. Keputusan investasi tersebut harus didasarkan pada pengkajian cermat kondisi pemasaran yang ada, analisis permintaan terhadap fasilitas pasar, serta pengkajian kelayakan finansialnya. Pengguna fasilitas pasar harus dilibatkan di dalam perancangan pasar, serta dalam pembuatan kesepakatan awal menyangkut prosedur operasional dan besarnya fee yang mungkin akan diberlakukan. Pelaksanaan kegiatan ini memerlukan konsultasi dan kampanye kepedulian (awareness campaigns) yang ditargetkan kepada petani, pemasok, penyedia jasa transportasi, pedagang, petugas pasar dan otoritas lokal.

8. Memperbaiki akses terhadap kredit

Akses terhadap kredit merupakan mekanisme penting untuk menjaga kelangsungan standar kehidupan serta memberikan kemungkinan investasi sumberdaya produktif untuk meningkatkan standar kehidupan tersebut di masa datang. Dalam konteks perbaikan rantai pasokan bawang merah, kemudahan akses terhadap kredit sangat diperlukan oleh partisipan agar usahanya memiliki skala ekonomis. Program kredit akan memberikan peluang keberhasilan lebih baik jika dikombinasikan dengan kegiatan motivasi kelompok, asistensi teknis, serta bentuk bantuan lain yang berkaitan dengan pengembangan bisnis.

9. Mengurangi ketergantungan terhadap bibit impor

Penggunaan bibit bawang merah impor untuk penanaman musim kemarau menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dalam 3-5 tahun terakhir ini. Ketergantungan yang semakin tinggi terhadap bibit impor harus segera direspon dengan upaya lebih keras dalam menghasilkan varietas unggul bawang merah lokal yang produktivitas dan kualitasnya setara atau lebih baik dibandingkan dengan Philippines atau Illocos.

10. Menghindarkan konsolidasi yang mengarah pada perilaku pasar kolusif

Inovasi teknologi di sepanjang rantai pasokan yang biasanya mengarah ke kegiatan produksi intensif padat-modal dan padat-pengetahuan, akan menghasilkan bisnis yang memiliki skala ekonomis, serta menimbulkan konsekuensi terjadinya peningkatan ketergantungan antar partisipan. Peningkatan konsolidasi vertikal/horisontal dan pembentukan aliansi jika tidak dicermati dan diatur secara hati-hati, dapat berpotensi menimbulkan struktur pasar yang kolusif (potential for abuse of market power).

Page 21: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

21

KESIMPULAN Sehubungan dengan upaya perbaikan rantai pasokan bawang merah, berbagai usulan intervensi di atas disimpulkan berdasarkan pengelompokannya di bawah enam prinsip (keberhasilan) pengelolaan rantai pasokan, sebagai berikut: Prinsip SCM Usulan intervensi

1. Produk yang diusahakan memiliki spesifikasi sesuai permintaan konsumen

• Menerapkan strategi peningkatan kualitas dan nilai tambah

• Memperbaiki teknologi budidaya

• Mengurangi ketergantungan terhadap bibit impor

2. Fokus perhatian terhadap pelanggan dan konsumen

• Menjajagi kemungkinan spesialisasi

3. Rantai pasokan menciptakan dan berbagi nilai dengan seluruh partisipan yang terlibat

• Menerapkan strategi peningkatan kualitas dan nilai tambah

• Memperbaiki akses terhadap kredit

4. Logistik dan distribusi yang efektif • Memperbaiki infrastruktur pasar

5. Informasi dan strategi komunikasi yang melibatkan seluruh partisipan rantai

• Memperbaiki sistem informasi pasar

• Mengembangkan sistem monitoring pasar

6. Hubungan efektif yang memberikan daya ungkit serta kepemilikan bersama (shared ownership)

• Memberdayakan kelompok tani dan asosiasi/paguyuban pedagang

• Menghindarkan konsolidasi yang mengarah pada perilaku pasar kolusif

PUSTAKA :

AFFA (Department of Agriculture, Forestry and Fisheries Australia). 2002. Forming and managing supply chains in agribusiness: Learning from others. CD-ROM. University of Queensland and National Food Industry Strategy, Canberra, Australia.

Beamon, B. M., 1999. Measuring supply chain performance. International Journal of Operations &

Production Management, Vol. 19 No. 3, 1999, pp. 275-292. Buccola, S.T. 1989. Pricing efficiency in agricultural markets: Issues, methods, and results. Western J.

Agr. Econ., 14(1):111-121. Cooper, M.C., D.M.Lambert and J.D. Pagh. 1997. Supply chain management: More than a name for

logisitcs. International Journal of Logistics Management, Vol. 8, No. 1. Cunningham, D.C. 2001. The Distribution and extent of agrifood chain management research in the

public domain. Supply Chain Management, Vol, 6 No. 5, pp.212-215.

Page 22: Perancangan Perbaikan Supply Chain Management (SCM) Bawang Merah

22

Fearne, A. 1996. Editorial Note. Supply Chain Management, Vol. 1, No. 1, pp.3-4. Gattorna, J. 1998. Strategic supply chain alignment: Best practice in supply chain management,

Gower. Giunipero, L.C. and R.R. Brand. 1996. Purchasing’s role in supply chain management. International

Journal of Logistics Management, Vol. 7, No. 1 Handfield, R.B. and E.L. Nichols, 1999, Introduction to supply chain management. Prentice Hall, N.J. Hughes, D. 1994, Breaking with traditions: Building partnerships and alliances in the European Food

Industry. Wye, Wye College Press. Institut Pertanian Bogor & Badan Urusan Logistik. 1996. Identifikasi pola ketersediaan dalam hubungan

dengan distribusi, konsumsi dan produksi bawang merah sebagai upaya mengendalikan kontribusinya terhadap inflasi. Laporan Penelitian Kerjasama Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Urusan Logistik.

Iyer, A.V. & M.E. Bergen. 1997. Quick response in manufacturer-retailer Channels”, Management

Science, Vol.43, No. 4, pp. 559-570. Koster, W.G. and R.S. Basuki. 1991. The structure, performance and efficiency of the shallot marketing

system in Java. Internal Comm. LEHRI/ATA-395 No. 35. Lambert D.M., Cooper M.C., 1998, "Issues in supply chain management’’. Industrial Marketing

Management. 29, 65-83. Li, Z.P., Kumar, A., and Lim, Y. G. 2002. Supply chain modelling – A co-ordination approach.

Integrated Manufacturing Systems, 13/8, 551-561. Mahoney, J.T. 1992. The choice of organizational from: Vertical financial ownership versus other

methods of vertical integration. Strategic Management Journal, Vol. 13. Spekman, R. E., Kamauff Jr, J. W., and Myhr, N. 1998. An Empirical Investigation into Supply Chain

Management, International Journal of Physical Distribution & Logistics Management. Vol. 28 No. 8.

Stevens, 1989. Integrating the Supply Chain, International Journal of Physical Distribution & Materials

Management, 19 (8), 3-8.