peranan pendidikan formal dalam ... pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah...

15
1 PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM MEREVITALISASI SEMANGAT PUPUTAN UNTUK MENJAGA KEUTUHAN NKRI Oleh: I Ketut Suda Dosen pada Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan, UNHI ABSTRAK Studi ini bermaksud mengkaji peranan pendidikan formal dalam merevitalisasi semangat puputan untuk menjaga keutuhan NKRI. Hal ini penting sebab di era yang serba kapitalistik dewasa ini, peran pendidikan yang secara ideal seharusnya mampu meneruskan nilai-nilai budaya bangsa yang sangat adiluhung, termasuk nilai-nilai puputan kepada para peserta didik, kini tampak mulai didominasi oleh nilai-nilai kapitalisme yang hanya berbicara soal untung dilihat dari dimensi ekonomi. Berangkat dari kondisi inilah maka, kajian ini diarahkan pada bahasan di seputar pelaksanaan pendidikan formal di Indonesia saat ini. Beberapa bahasan tersebut di antaranya meliputi, pendidikan seharusnya dilaksanakan untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa, bukan sebagai alat pembodohan kemudian pendidikan yang berkualitas di Indonesia juga seharusnya dapat dinikmati oleh setiap warga negara Indonesia tanpa kecuali. Tetapi dalam kenyataannya pendidikan saat ini hanya menjadi milik kaum borjuasi, sementara anak dari kalangan keluarga miskin, meski pun memiliki kecerdasan yang sangat tinggi di bidang akademik tidak serta merta dapat menikmati pendidikan berkualitas jika tidak didukung oleh modal ekonomi yang tinggi pula. Kata-Kata kunci: revitalisasi, semangat puputan, dan keutuhan NKRI I. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan sampai pada ketertinggalan (Paulo Freire, 2002:12—13). Berangkat dari pandangan Freire ini, maka manusia sebagai pusat pendidikan harus menjadikan pendidikan sebagai alat pembebasan untuk mengantarkan manusia menjadi mahluk yang bermartabat. Atau dengan kata lain pendidikan seharusnya dipandang sebagai alat pencerahan bagi kehidupan umat manusia. Namun, yang terjadi selama ini khususnya di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia pendidikan, khususnya pendidikan formal sering tidak

Upload: dinhthuan

Post on 11-May-2018

227 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM ... pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah melakukan kekerasan simbol terhadap para terdidik (siswa) ketika siswa menerima begitu

1

PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM MEREVITALISASI SEMANGAT PUPUTAN UNTUK MENJAGA KEUTUHAN NKRI

Oleh: I Ketut Suda

Dosen pada Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan, UNHI

ABSTRAK

Studi ini bermaksud mengkaji peranan pendidikan formal dalam merevitalisasi semangat puputan untuk menjaga keutuhan NKRI. Hal ini penting sebab di era yang serba kapitalistik dewasa ini, peran pendidikan yang secara ideal seharusnya mampu meneruskan nilai-nilai budaya bangsa yang sangat adiluhung, termasuk nilai-nilai puputan kepada para peserta didik, kini tampak mulai didominasi oleh nilai-nilai kapitalisme yang hanya berbicara soal untung dilihat dari dimensi ekonomi.

Berangkat dari kondisi inilah maka, kajian ini diarahkan pada bahasan di seputar pelaksanaan pendidikan formal di Indonesia saat ini. Beberapa bahasan tersebut di antaranya meliputi, pendidikan seharusnya dilaksanakan untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa, bukan sebagai alat pembodohan kemudian pendidikan yang berkualitas di Indonesia juga seharusnya dapat dinikmati oleh setiap warga negara Indonesia tanpa kecuali. Tetapi dalam kenyataannya pendidikan saat ini hanya menjadi milik kaum borjuasi, sementara anak dari kalangan keluarga miskin, meski pun memiliki kecerdasan yang sangat tinggi di bidang akademik tidak serta merta dapat menikmati pendidikan berkualitas jika tidak didukung oleh modal ekonomi yang tinggi pula.

Kata-Kata kunci: revitalisasi, semangat puputan, dan keutuhan NKRI I. PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi

manusia menjadi manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan,

kebodohan sampai pada ketertinggalan (Paulo Freire, 2002:12—13). Berangkat

dari pandangan Freire ini, maka manusia sebagai pusat pendidikan harus

menjadikan pendidikan sebagai alat pembebasan untuk mengantarkan manusia

menjadi mahluk yang bermartabat. Atau dengan kata lain pendidikan seharusnya

dipandang sebagai alat pencerahan bagi kehidupan umat manusia.

Namun, yang terjadi selama ini khususnya di negara-negara dunia ketiga,

termasuk Indonesia pendidikan, khususnya pendidikan formal sering tidak

Page 2: PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM ... pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah melakukan kekerasan simbol terhadap para terdidik (siswa) ketika siswa menerima begitu

2

memberikan ruang kebebasan kepada peserta didik untuk mengekspresikan

segala bentuk potensi yang dimilikinya. Akibatnya, pendidikan sekolah yang

berlangsung selama ini lebih diorientasikan pada makna pengajaran daripada

memberikan makna sebenar-benarnya atas realitas sosial yang terjadi di dalam

masyarakat. Misalnya, para siswa/mahasiswa diajari memahami berbagai teori

sosial tanpa tahu sedikitpun realitas sosial yang dibahas dalam teori tersebut.

Demikian pula para siswa lebih ditekankan untuk menghafal rumus-rumus dari

pada diajak berempati pada realitas sesunguhnya. Dengan sistem seperti itu,

boleh jadi mahasiswa/para siswa jenius menghafal teori-teori, rumus-rumus,

ataupun membuat robot yang bisa diperintah sesuka hati, tetapi sebagian besar

diantara mereka buta akan realitas sosial, realitas penindasan, realitas

kemiskinan, dan buta realitas pembodohan, serta tidak memiliki empati sosial

yang baik (Susetyo,2005:6).

Terjadinya reduksionisme atas tujuan pendidikan di sekolah yang

seharusnya diarahkan untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa, akan tetapi

yang terjadi malah sebaliknya, tidak jarang dapat bermuara pada ancaman akan

keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini. Berangkat dari

kenyataan tersebut, tulisan ini bermaksud untuk mengeksplorasi berbagai solusi

atau pemecahan berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat, berbagngsa, dan

bernegara, yang seharusnya dapat dibangun melalui penerapan pendidikan di

sekolah. Salah satunya adalah ingin mengeksplorasi peran pendidikan dalam

merevitalisasi berbagai nilai kehidupan termasuk semangat puputan dalam

rangka menjaga keutuhan NKRI. Dari latar belakang masalah di atas, maka

permasalahan yang muncul adalah (1) bagaimanakah seharunya pendidikan itu

dijalankan di sekolah? (2) bagaimanakah penerapan pendidikan di era yang

serba kapitalis dewasa ini? dan (3) bagaimanakah peranan pendidikan formal

dalam merevitalisasi semangat puputan dalam menjaga keutuhan NKRI?

Page 3: PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM ... pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah melakukan kekerasan simbol terhadap para terdidik (siswa) ketika siswa menerima begitu

3

II. PEMBAHASAN 2.1 Pendidikan Seharusnya Berperan sebagai Alat Pencerahan (Aufklarung)

dan Bukan Alat Pembodohan

Sampai saat ini pendidikan dalam berbagai bentuknya masih dipercaya

oleh masyarakat sebagai satu-satunya alternatif untuk mengembangkan diri,

membuka cakrawala, mencerdaskan pikiran, dan sebagai alat pencerahan

(aufklarung) guna mencerdasakan kehidupan para generasi muda. Dalam

konteks ini mungkin semua akan sepakat jika dikatakan bahwa masa depan

bangsa ada di tangan generasi muda, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali

memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup kepada generasi muda

demi masa depan suatu bangsa. Terkait dengan hal itu, Suharja (1992:147)

mengatakan bahwa muatan nilai tertentu selalu dibebankan kepada kaum

muda, sehingga idealisme dan daya hidup yang vital dianggap melekat pada

sebutan pemuda dan generasi muda. Sementara pendidikan yang dimaksud

dalam kajian ini lebih mengarah pada pendidikan dalam arti sempit, yakni

pada sistem persekolahan (lembaga pendidikan sekolah). Oleh karena itu,

fokus pembahasanya akan banyak mengarah pada berbagai kebijakan

sekolah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang seharusnya

dapat dijadikan media untuk melakukan revitalisasi berbagai nilai kehidupan,

termasuk semangat puputan dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.

Sebagaimana telah disinggung dalam uraian di atas, pendidikan

seharusnya mampu membebaskan manusia dari berbagai kebutaan, seperti

buta akan penindasan, buta kemiskinan, buta realitas sosial, dan lain-lain.

Ketika institusi pendidikan sebagai sebuah ruang tempat dibangunnya

kesadaran kritis, sikap objektivitas, dan sikap kebebasan bagi para peserta

didik, maka ketika itu pula lembaga pendidikan dapat dijadikan sebagai ajang

untuk menanamkan berbagai nilai kehidupan berbangsa dan bernegara

sehingga cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat adil dan

makmur berdasarkan Pancasila segera dapat terwujud.

Terkait dengan hakikat pendidikan itu, Sastrapratedja (dalam Widiastono,

2004:22) menegaskan bahwa pendidikan seharusnya mampu menyiapkan

Page 4: PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM ... pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah melakukan kekerasan simbol terhadap para terdidik (siswa) ketika siswa menerima begitu

4

warga negara menjadi partisipan aktif dalam pembangunan bangsa dan

negara. Pembangunan bangsa dan negara di sini tidak terbatas pada

pemahaman pembangunan dalam arti fisik, tetapi juga membangun sikap

nasionalisme peserta didik yang lingkupnya mengatasi kesatuan

primordialisme yang sempit yakni kesatuan sosial yang didasarkan atas

kesamaan agama, suku, budaya, dan bahasa. Jadi, pendidikan juga harus

mampu mengembangkan wawasan kebangsaan para peserta didik yang di

dalamnya terkandung unsur kewajiban moral untuk meningkatkan diri pada

kepentingan yang lebih luas, yaitu bangsa dan negara.

Terkait dengan pendidikan sebagai alat pencerahan ada beberapa prinsip

baru yang harus disosialisasikan lewat pendidikan menurut Sastrapratedja

yakni, (1) kesejahteraan seluruh bangsa bukan hanya untuk kepentingan

pribadi atau kelompoknya; (2) keharusan untuk bekerja sama antarberbagai

kelompok untuk menghindari destruksi dan untuk menciptakan

kesejahteraan bersama (3) penerimaan asas pluralisme, yang berarti

memberi ruang bagi keanekaragaman dan artikulasi keanekaragaman dalam

kerangka kesatuan bangsa dan negara dalam negara kesatuan Republik

Indonesia. Jadi, dalam konteks ini lembaga pendidikan merupakan institusi

di mana kesetiaan dan komitmen kepada bangsa ditanamkan.

Namun, dalam kenyataannya institusi pendidikan seperti dikatakan

Piliang (2004:359) melalui konsep kekerasan simbol telah menciptakan

sebuah mekanisme sosial yang di dalamnya relasi pengetahuan saling

bertautan dengan relasi kekuasaan (knowledge is power and power is

knowledge) sebagaimana dikatakan pula oleh Foucault. Artinya, dalam

proses pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah

melakukan kekerasan simbol terhadap para terdidik (siswa) ketika siswa

menerima begitu saja konsep, citra, gagasan, ide, kepercayaan atau

pengetahuan dalam bentuknya yang distorsi, untuk kemudian menggiring

mereka menerapkan apa yang sesungguhnya telah distorsi tersebut di dalam

kehidupan sosial mereka.

Ketika hal ini terjadi, maka pendidikan seperti harapan Freire yang

menekankan setelah tersadar dari penindasan manusia terdidik harus segera

Page 5: PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM ... pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah melakukan kekerasan simbol terhadap para terdidik (siswa) ketika siswa menerima begitu

5

melakukan rekayasa sosial untuk memulai hidup baru yang merdeka, sulit

diwujudkan. Padahal itu merupakan fungsi pokok pendidikan, yakni

membebaskan manusia dari berbagai belenggu kezaliman, baik oleh

penguasa maupun oleh unsur-unsur sosial lainnya yang menindas dan

merampas kemerdekaan berpikir dan berpendapat para peserta didik. Jadi,

pendidikan seharusnya merupakan sebuah proses untuk mencerahkan dan

sekaligus membuka mata untuk memandang segala persoalan secara adil

dan bijaksana.

Namun, dalam kenyataannya yang sering terjadi di sekolah adalah

reduksionisme tujuan pendidikan, yang seharusnya bertujuan mencerdaskan

kehidupan anak bangsa, tetapi yang terjadi malah sebaliknya, yakni

pembodohan siswa sebagaimana ditulis Joko Susilo, (2007) dalam bukunya

‘’Pembodohan Siswa Tersistematis’’. Dalam bukunya setebal 239 halaman

itu, Joko Susilo secara gamlang mengemukakan beberapa kasus

pembodohan siswa yang terjadi di sekolah seperti, terjadinya manipulasi

nilai, guru tidak percaya diri, gaya mengajar yang membodohkan siswa, soal

ujian yang sama persis dengan soal ujian tahun seblumnya, pemberian

hukuman yang tidak mendidik, dan guru yang tidak ideal. Dari beberapa

kasus pembodohan yang terjadi di sekolah sebagaimana dikatakan Joko

Susilo (2007), yang sangat memperihatinkan adalah terjadinya manipulasi

nilai dan soal ujian yang sama persis dengan soal ujian tahun sebelumnya.

Beberapa kisah yang digambarkan Joko Susilo, di antaranya adalah bahwa

sudah menjadi rahasia umum bila guru sering melakukan manipulasi

terhadap nilai ujian yang diperoleh siswa di sekolah. Alasannya macam-

macam, ada yang melakukannya karena merasa kasihan terhadap siswa yang

memperoleh nilai ujian rendah, sehingga terancam tidak lulus. Ada yang

melakukannya karena tekanan dari kepala sekolah karena kepentingan

tertentu, ada pula yang hanya karena faktor kedekatan dengan siswa,

bahkan yang sangat memperihatinkan adalah ada yang melakukannya

karena mendapat imbalan tertentu dari orang tua siswa itu sendiri.

Ketika hal ini terjadi, maka apa yang diraih oleh siswa dalam bentuk

hasil belajar, sesunguhnya tidak mencerminkan keadaan kemampuan siswa

Page 6: PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM ... pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah melakukan kekerasan simbol terhadap para terdidik (siswa) ketika siswa menerima begitu

6

yang sebenarnya. Artinya, anak yang secara akademik sesungguhnya

memiliki kemampuan yang masih sangat jauh dari apa yang diharapkan,

tetapi karena hasil belajarnya dalam bentuk nilai raport cukup tinggi, bahkan

sangat tinggi karena dimanipulasi oleh gurunya, maka dengan demikian

telah terjadi pembodohan siswa tersistematis di sekolah. Akibatnya, anak

yang sesungguhnya memiliki kemampuan sangat rendah, akan merasa

dirinya sudah pintar sehingga tidak ada upaya untuk meningkatan

kemampuan dirinya di bidang akademik. Setelah dilepas ke masyarakat

hampir dapat dipastikan mereka tidak akan mampu bersaing secara afair di

lapangan dengan lulusan pendidikan yang benar-benar diproses secara

sistemik.

Demikian pula dengan pembodohan dalam bentuk soal ujian yang sama

persis dengan soal ujian tahun sebelumnya. Siswa yang memperoleh nilai

tinggi karena diberikan soal ujian yang sama persis dengan soal ujian tahun

sebelumnya mempunyai implikasi yang tidak jauh berbeda terhadap diri

siswa dengan pembodohan dalam bentuk manipulasi nilai yang dilakukan

guru sebagaimana diuraikan di atas. Anak yang diberikan soal ujian yang

sama dengan soal ujian tahun sebelumnya, tidak akan mau membaca buku

teks untuk mendalami materi yang diajarkan oleh guru, akan tetapi mereka

cenderung hanya membaca soal-soal yang telah dipegangnya dan berusaha

untuk menghafal soal tersebut tanpa pernah mau memahami makna apa

yang terkandung di balik soal tersebut. Hal demikian berakibat pula

munculnya sikap pemalas, tidak suka bekerja keras, dan mudah menyerah

pada berbagai persoalan hidup yang dihadapinya yang tentu sangat

bertentangan dengan semangat puputan yang menjadi trade mark sikap

kepahlawanan masyarakat Bali secara umum.

2.2 Penerapan Pendidikan di Era Kapitalisme-Global

Ada suatu pandangan yang mengatakan bahwa di era kapitalisme-

global dewasa ini logika pendidikan saling bertautan dengan logika

kapitalisme. Seperti yang dikatakan Piliang, (2004:365) bahwa :

Page 7: PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM ... pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah melakukan kekerasan simbol terhadap para terdidik (siswa) ketika siswa menerima begitu

7

berbagai ilmu seperti manajemen, perbankan, akuntansi, ekonomi, teknologi, arsitektur dan disain yang diajarkan di berbagai lembaga pendidikan dalam model dan paradigmanya yang sekarang adalah ilmu-ilmu yang dikembangkan dalam citra kapitalisme. Artinya, paradigma-paradigma keilmuan serta logika-logika yang dikembangkan di dalamnya mempunyai hubungan yang saling menghidupkan dengan logika-logika kapitalisme itu sendiri. Dengan mengacu pada Piliang di atas, dan jika dikaitkan dengan

penerapan pendidikan di era sekarang, maka dapat dikatakan bahwa logika

kapitalisme telah masuk jauh ke dalam sistem pendidikan di Indonesia

dewasa ini. Akibatnya, dunia sekolah pun tidak luput dari kekuasaan

kapitalisme yang hanya bicara soal untung dan uang. Bahkan dapat

dikatakan bahwa kapitalisme telah mengajarkan kepada umat manusia

prihal nilai berlebih yang harus dihasilkan oleh suatu kapital tertentu dalam

kurun waktu secepat mungkin. Dengan logika demikian, maka logika

pendidikan yang senantiasa mengajarkan nilai-nilai kebenaran, nilai

kejujuran, nilai kesabaran, nilai kemanusiaan, dan bahkan nilai-nilai

keagamaan sering tersingkirkan.

Meskipun sesungguhnya kapitalisme dalam arti ideologi banyak

dikriktik dan ditentang oleh masyarakat Indonesia, akantetapi dalam

kenyataannya kapitalisme telah tumbuh dan berkembang menjadi ideologi

baru masyarakat Indonesia yang hidup dan bermetamorfosis dalam tuntutan

perubahan zaman. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan hidup dalam

masyarakat dewasa ini bahwa ‘’siapa yang memiliki kapital lebih banyak

dialah yang lebih kuasa’’, sehingga masyarakat yang mampu membeli akan

lebih dihargai daripada masyarakat yang kurang mampu membeli. Demikian

pula dalam konteks penerapan pendidikan di negeri ini, hanya masyarakat

yang mampu membeli pendidikan dengan harga yang tinggilah yang berhak

menikmati pendidikan yang berkualitas. Sementara masyarakat yang tidak

mampu membayar dengan harga yang tinggi jangan pernah bermimpi untuk

menikmati pendidikan yang berkualitas.

Akibat dari penerapan sistem pendidikan yang sangat kapitalistik

seperti ini, meskipun anak memiliki kecerdasan akademik yang sangat

Page 8: PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM ... pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah melakukan kekerasan simbol terhadap para terdidik (siswa) ketika siswa menerima begitu

8

tinggi tetapi jika tidak didukung oleh kemampuan ekonomi yang tinggi pula,

maka keinginan untuk menikmati pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi

hanya merupakan mimpi belaka. Namun, sebaliknya meskipun anak itu

tidak memiliki kemampuan akademik yang memadai, tetapi memiliki

kemampuan ekonomi yang tinggi mereka bisa dengan mudah memilih

sekolah manapun yang mereka mau.

Dengan kondisi kehidupan yang serba kapitalistik, masyarakat yang

menjalani peran kapitalisme akan membuat koloni output siswa yang

mutunya diragukan oleh masyarakat. Sementara di sisi lain dengan sistem

seperti itu, pembodohan siswa pun semakin marak terjadi dengan mencoba

memasukan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah favorit, meskipun

sesungguhnya tidak memiliki kemampuan secara akademik, tetapi memiliki

kemampuan untuk membeli dengan harga yang tinggi (Joko

Susilo,2007:110—111).

Penerapan sistem pendidikan seperti itu, dapat mengakibatkan hak

setiap warga negara untuk menikamati pendidikan bermutu sebagaimana

dijamin oleh UUD 1945 dan Undang-Undang No.20/2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional menjadi terabaikan. Sebab secara faktual hak untuk

menikmati pendidikan berkualitas di negeri ini hanya menjadi milik kaum

borjuasi (kaum pemilik modal) sementara bagi kalangan masyarakat miskin

(kaum termaginalkan) harus rela menikmati pendidikan seadanya sesuai

kemampuan ekonomi yang mereka miliki. Bukan hanya itu, dalam sistem

pendidikan demikian, harapan masyarakat untuk melakukan mobilitas sosial

secara vertikal melalui jenjang pendidikan pun ikut terganjal. Sebab sampai

saat ini lembaga pendidikan masih dipercaya oleh masyarakat sebagai salah

satu ajang untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa, dan dengan

kehidupan yang lebih cerdas diyakini pula akan dapat memperbaiki taraf

kehidupan yang pada gilirannya akan berimplikasi pada struktur sosial

seseorang dalam kehidupan masyarakat.

Jadi, melalui proses pendidikan sebenarnya seseorang dapat

meningkatkan taraf kehidupannya ke jenjang yang lebih baik. Akan tetapi

ketika pendidikan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan

Page 9: PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM ... pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah melakukan kekerasan simbol terhadap para terdidik (siswa) ketika siswa menerima begitu

9

kehidupan manusia mulai disusupi oleh ideologi kapitalisme, maka ketika itu

pula idealisme pendidikan akan mulai tergadaikan. Akibatnya, pendidikan

(baca:sekolah) yang diharapkan dapat dijadikan sebagai arena sosial untuk

mencerdaskan kehidupan masyarakat, dalam kenyataannya justru sering

dijadikan alat pembodohan siswa tersistematis.

Melihat kondisi pendidikan seperti itu, dan jika meminjam gagasan

Anurropiq Dawam (2003:51) maka dapat dikatakan bahwa sekolah dewasa

ini telah kehilangan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan yang

sebenarnya. Sebab menurut Dawam sekolah kini telah menjadi agen-agen

kapitalisasi, agen hegemoni, agen dominasi, agen penyebaran virus

globalisasi, dan lain-lain. Hal ini diperkuat dengan memperhatikan beberapa

aspek yang menyebabkan menghilangnya nilai pendidikan dari dunia sekolah

antara lain:

Pertama, aspek siswa maksudnya peserta didik di sebagian besar

sekolah dianggap seseorang yang masih kosong dan siap untuk dijadikan ahli

apapun sesuai pesanan dan kebutuhan pasar. Anggapan demikian tentu

akan berimplikasi pada proses pendidikan yang mengutamakan peserta didik

untuk mencapai nilai terbaik dalam bidang tertentu untuk dijadikan manusia

yang ahli sesuai jurusannya. Sementara latar belakang perilaku, moralitas,

dan sikapnya terhadap sesama manusia bukanlah pertimbangan utama

dalam perekrutan peserta didik.

Kedua, aspek pendidik, para pendidik pada sebagian lembaga pendidikan

dewasa ini merupakan hasil didikan dari model pendidikan yang berorientasi

pasar. Artinya, para pendidik yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga

pendidikan yang terkontaminasi oleh paham kapitalisme. Misalnya, banyak

para pendidik kita yang berhasil menyelesaikan studi di negara-negara

kapitalis sehingga dengan sendirinya mereka akan terpengaruh oleh sistem

pendidikan di negara di mana mereka belajar. Atau dengan kata lain mereka

talah dijadikan agen kapitalis atau agen neolibarisme dengan penyesuaian

kultur di negara kita.

Ketiga, aspek kurikulum, maksudnya kurikulum yang dikembangkan di

sekolah-sekolah di Indonesia cenderung kurikulum positivistik. Artinya

Page 10: PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM ... pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah melakukan kekerasan simbol terhadap para terdidik (siswa) ketika siswa menerima begitu

10

lembaga pendidikan kita sekarang diam-diam telah menjadi agen dan anak

manis yang mewarisi pikiran positivisme, seperti objektivitas, mendewakan

empirisme, netral, rasional, dan bebas nilai. Padahal di sisi lain penerusan

nilai-nilai positivisme seperti ini di sekolah dapat menghambat proses

pembebasan dan pemberdayaan. Sebab dalam pandangan positivisme

hanya mengakui adanya kebenaran tunggal yang disebut logosentrisme,

padahal di luar realitas tunggal itu ada realitas lain yang harus diakui pula

kebenarannya. Sementara sekolah yang menganut paham positivisme juga

tidak toleran terhadap segala bentuk non-positivistik dengan

mengatakannya sebagai yang tidak ilmiah.

Keempat, Aspek lingkungan, dalam perkembangan pendidikan dewasa ini

banyak sekolah yang seakan terlepas dari lingkungannya yang disebut

sebagai ahistoris. Artinya, dalam pelaksanaan proses pembelajaran sekolah

lebih mengutamakan peningkatan kecerdasan intelektual, keterampilan dan

keahlian teknis siswa untuk memenuhi tuntutan pasar kerja, sementara

komitmen, keyakinan, dan kepercayaan terhadap sistem yang lebih adil,

serta motivasi untuk menentang atau menolak sistem yang tidak adil,

hegemonik, dan dominatif sama sekali tidak pernah disentuh.

Jika benar apa yang dikatakan oleh Dawam mengenai kondisi pendidikan

sebagaimana terurai di atas, maka pendidikan sebagai ‘’jalan landai’’ untuk

melakukan revitalisasi semangat puputan akan berubah menjadi ‘’jalan

terjal’’ yang penuh berliku. Sebab lembaga pendidikan yang seharusnya

berfungsi sebagai institusi pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan

kini telah berubah menjadi institusi pabrikasi dan mekanisasi pendidikan

untuk memproduksi alumni yang sesuai dengan ‘’pangsa pasar’’. Artinya,

sebuah lembaga yang mampu mencetak learning out come yang memiliki

nilai-nilai kuantitaif yang tinggi di atas sehelai kertas Ijazah, sementara

kemampuan afeksi yang mencakup sikap moralitas, sikap spiritualitas, dan

sikap toleransi terhadap sesama kurang mendapat perhatian. Akhirnya,

revitalisasi semangat puputan akan dapat dilakukan melalui proses

pendidikan di sekolah bila tugas dan fungsi pokok sekolah dikembalikan

pada hakikatnya.

Page 11: PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM ... pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah melakukan kekerasan simbol terhadap para terdidik (siswa) ketika siswa menerima begitu

11

2.3 Peranan Pendidikan dalam Merevitalisasi Semangat Puputan untuk Menjaga Keutuhan NKRI

Semangat puputan sebagaimana ditengarai oleh Jendra (dalam Jurnal

Widya Satya Dharma, 1996:23) adalah semangat mewujudkan rasa bhakti

manusia Bali terhadap tanah airnya. Menurut Jendra, perincian tentang

keunikan manusia Bali belum bisa dikatakan cermat bila orang melupakan

kecenderungan budayanya untuk melakukan perang puputan bila

menghadapi kekuatan yang amat besar di medan laga. Berangkat dari

pandangan tersebut, maka perang puputan dapat diartikan sebagai perang

yang dilakukan dengan penuh semangat dan keberanian di mana dalam

perang puputan tersebut orang bertempur habis-habisan sampai titik darah

penghabisan.

Dari penelusuran terhadap beberapa sumber ditemukan beberapa

penapsiran tentang perang puputan diantaranya, ada anggapan yang

mengatakan bahwa perang puputan itu lebih banyak dilatar belakangi oleh

sikap putus asa. Kemudian sejumlah pakar sejarah, seperti (Mirsha, 1963,

Sujana, 1981, dan Rama, 1982) memberi definisi yang bermacam-macam

tentang perang puputan. Beberapa di antaranya memberi pengertian yang

kurang tepat dan malahan memberikan evaluasi yang negatif.

Dalam konteks ini perang puputan diberi definisi sebagai suatu bentuk

pernyataan sikap yang pelakunya mati konyol, bodoh, ceroboh, tak tahu

taktik dan strategi perang, putus asa, tidak berani menghadapi kenyataan,

dan lain sebaginya. Jika dicermati secara lebih mendalam definisi demikian

mencerminkan pemikiran yang kurang mendalam dan kurang memahami

dimensi psikologis sehingga gagal untuk mendapatkan latar belakang

emosional para pelaku atau prajurit yang terlibat di dalamnya.

Padahal jika dilihat secara lebih mendalam dan lebih dipahami dimensi

psikologis para pejuang puputan itu, sebenarnya terdapat makna yang lebih

hakiki, yakni perang yang dilakukan para pejuang puputan itu dilatari oleh

semangat juang yang gagah berani dan didorong oleh tekad pantang

mundur yang dilakukan oleh kesatria-kesatria sejati. Jadi, dalam semangat

Page 12: PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM ... pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah melakukan kekerasan simbol terhadap para terdidik (siswa) ketika siswa menerima begitu

12

puputan sebenarnya terkandung dimensi psikologis yang sangat mendalam,

yakni mengandung semangat juang yang tinggi dan pantang menyerah. Atau

dengan kata lain jika ingin memperoleh pemahaman yang lebih mendalam

terhadap semangat puputan maka orang harus melihat kasus tersebut

secara integral-holistik. Artinya, seluruh dimensi yang ada yang secara aktual

atau potensial ikut berperanan dalam pemunculan atau pelaksanaan perang

puputan harus diberi porsi yang seimbang, kendati dimensi batin

diasumsikan paling besar peranannya.

Dalam konteks kajian ini semangat puputan yang perlu direvitalisasi

adalah semangat batinya, yang intinya adalah semangat juang yang gagah

berani dan sikap pantang menyerah dalam menghadapi persoalan hidup,

yang secara teks ideal sebenarnya nilai-nilai ini dapat ditransformasikan

melalui sistem pendidikan sekolah. Institusi pendidikan sebagai media

transformasi berbagai nilai kehidupan seharusnya mampu memainkan

perannya secara optimal dan dapat berlangsung secara alamiah serta

sekaligus harus dijiwai oleh semangat puputan itu sendiri. Artinya, roh

pendidikan yang diselenggarakan melalui sistem persekolahan di Indonesia

ini seharusnya mampu meniru semangat puputan sehingga learning out

come dari sebuah proses pendidikan memiliki semangat juang yang tinggi,

memiliki keberanian untuk membela kebenaran, dan pantang menyerah

dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.

Untuk mewujudkan hal itu, mulai dari penyusunan kurikulum sekolah,

memilih materi ajar, merumuskan tujuan pembelajaran sampai pada tahap

evaluasi pendidikan seharusnya selalu dijiwai oleh semangat puputan itu

sendiri. Dalam arti para pelaku pendidikan seharusnya memiliki semangat

juang yang tinggi dan keikhlasan mengabdi untuk kepentingan nusa dan

bangsa tercinta ini, melalui dharma bhaktinya sebagai pelaku pendidikan.

Para pendidik di sekolah juga harus selalu menanamkan semangat juang

yang tinggi, menanamkan nilai-nilai patriotisme, berani membela kebenaran,

berani berkoban, dan senantiasa menanamkan kepada peserta didik agar

selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dalam menjalani kehidupan di

dunia ini. Hal ini dapat diselipkan oleh guru melalui berbagai materi ajar

Page 13: PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM ... pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah melakukan kekerasan simbol terhadap para terdidik (siswa) ketika siswa menerima begitu

13

yang diberikan lewat proses pembelajaran di ruang kelas dan melalui sikap

keteladanan guru (pendidik) dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, seperti yang dikatakan Suhartono (2008:27) bahwa ironis dalam

realitas kehidupan sosial kini sedang terjadi. Pasalnya, ketika pendidikan

mengalami puncak ‘’kemajuan’’ justru moral keserakahan ekonomi, moral

kekuasaan otoriter politik, dan moral ketidakadilan hukum mewabahi

kehidupan masyarakat. Faktor dominan yang mengakibatkan munculnya

kontradiksi ini adalah karena pendidikan tidak difungsikan untuk mengawal

teknologi sampai pada tingkat pemberdayaanya. Dalam arti pendidikan tidak

ditumbuhkembangkan dalam prilaku keseharian peserta didik.

Di sinilah sebenarnya kekeliruan proses transformasi nilai-nilai kehidupan

melalui sistem pendidikan itu berawal. Dikatakan demikian sebab

pendidikan saat ini tidak dilibatkan secara fungsional dalam hal

pemberdayaan teknologi. Melainkan pendidikan dibiarkan begitu saja

terseret mengikuti kecenderungan pemanfaatan teknologi secara praktis

dan pragmatis. Akibatnya, kehidupan ini didominasi oleh pemanfaatan

teknologi yang bermuara pada perilaku hidup kapitalistik-hedonistik.

Artinya, sistem pendidikan sekarang ini membiarkan begitu saja moral

keserakahan kapitalisme merasuki dirinya, sehingga orientasi pendidikan

pun ikut bergeser ke arah titik kenikmatan ekonomi materialis. Hal ini

pulalah yang mendorong munculnya kapitalisasi pendidikan yang secara

faktual sangat memberatkan orang tua siswa.

Melihat kondisi masyarakat seperti digambarkan Suhartono di atas, jika

mau sistem pendidikan sekolah sebenarnya masih memiliki peranan penting

dalam merevitalisasi semangat puputan untuk menjaga keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Sebab sebagaimana telah disinggung dalam

uraian di atas sampai saat ini pendidikan dalam berbagai bentuknya masih

dipercaya sebagai satu-satunya alternatif untuk mengembangkan diri,

membuka cakrawala, mencerdaskan pikiran, dan sebagai alat pencerahan

sekaligus sebagai media transformasi yang efektif untuk meneruskan

berbagai nilai kehidupan kepada generasi muda. Kata kuncinya adalah pada

komitemen dan kemampuan para pendidik untuk melakukan transformasi

Page 14: PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM ... pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah melakukan kekerasan simbol terhadap para terdidik (siswa) ketika siswa menerima begitu

14

nilai-nilai kehidupan yang diwarnai oleh semangat puputan itu sendiri. Ketika

para pendidik memiliki semangat dan komitmen yang tinggi untuk

melakukan revitalisasi terhadap semangat puputan melalui proses

pembelajaran di sekolah, tentu hal ini bukan sebuah keniscayaan untuk

membentuk para siswa yang memiliki semangat juang yang tinggi, berani

membela kebenaran, menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran sebagaimana

tercermin dalam semangat puputan tersebut. Hal demikian tentu akan

berimplikasi pula pada upaya kita untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang akhir-akhir ini rasa persatuan dan kesatuan bangsa

tampak mulai tercabik-cabik.

III. SIMPULAN

Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa pendidikan pada

hakikatnya mempunyai peranan yang cukup penting untuk melakukan

revitalisasi terhadap semangat puputan dalam rangka menjaga keutuhan

NKRI. Namun, dalam pelaksanaannya lembaga pendidikan yang bernama

sekolah kini telah kehilangan jati diri sebagai lembaga pendidikan yang

sebenarnya. Bahkan dalam pelaksananaanya pendidikan telah terjebak pada

ideologi kapitalisme, sehingga dalam praktiknya masyarakat yang mampu

menikmati pendidikan bermutu hanyalah anak-anak yang berasal dari

kalangan keluarga berduit (kaum borjuasi), sementara dari kalangan keluarga

miskin (kaum duapak) hanya bisa gigit jari ketika mendengar orang berbicara

soal pendidikan berkualitas. Terkait dengan itu, maka disarankan agar tugas

pokok dan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan hendaknya

dikembalikan pada hakikat yang sebanranya.

Page 15: PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM ... pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah melakukan kekerasan simbol terhadap para terdidik (siswa) ketika siswa menerima begitu

15

DAFTAR BACAAN

Dawam Anurropiq, 2003. ‘’Emoh’’ Sekolah Menolak ‘’Komersialisasi Pendidikan’’ dan ‘’Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikulturalisme. Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press.

Freire Paulo, 2002. Politik Pendidikan Kebudayaan, dan Pembebasan.

(Penerjemah: Agung Prihantoro dan Agung Arif Pudiartanto) Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Jendra, I Wayan. Perang Puputan sebagai Wujud Rasa Bhakti terhadap Tanah Air.

Dalam Widya Satya Dharma Jurnal Kajian Hindu, Budaya dan Pembangunan Volume 1 No. 2 Edisi September 1996—Februari 1997. Halaman 23—31.

Mirsha, I Gusti Ngurah Rai, 1963. Puputan Badung. Skripsi (S-1) Yogyakarta:

Universitas Gajah Mada. Piliang, Yasraf Amir, 2004. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas

Kebudayaan. Bandung: Jalasutra. Rama Ida Bagus, 1982. Revolusi marga Skripsi (S-1) Fakultas sastra UNUD. Sastraprateja, M. 2004. Apa dan Siapakah Manusia? Dalam Tonny D. Widiastono,

(ed.) Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Kompas. Hal. 3—23. Suharja, Arya, 1992. Generasi MudaHindu: Kelana Atau Tawaran Sejarah. Dalam

Putu Setia (ed.) Cendekiawan Hindu Bicara. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha. Hal. 147—162.

Sujana, I Made, 1981. Perlawanan Rakyat Kelungkung (Skripsi S-1) Denpasar:

Fakultas Sastra Unud. Suhartono Suparlan, 2008. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta AR-RUZZ MEDIA

GROUP. Susetyo, Benny, 2005. Politik Pendidikan Penguasa. Yogyakarta: LKiS. Susilo, Joko, 2007. Pembodohan Siswa Tersistematis. Yogyakarta: Pinus.