peranan pendidikan formal dalam ... pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah...
TRANSCRIPT
1
PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM MEREVITALISASI SEMANGAT PUPUTAN UNTUK MENJAGA KEUTUHAN NKRI
Oleh: I Ketut Suda
Dosen pada Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan, UNHI
ABSTRAK
Studi ini bermaksud mengkaji peranan pendidikan formal dalam merevitalisasi semangat puputan untuk menjaga keutuhan NKRI. Hal ini penting sebab di era yang serba kapitalistik dewasa ini, peran pendidikan yang secara ideal seharusnya mampu meneruskan nilai-nilai budaya bangsa yang sangat adiluhung, termasuk nilai-nilai puputan kepada para peserta didik, kini tampak mulai didominasi oleh nilai-nilai kapitalisme yang hanya berbicara soal untung dilihat dari dimensi ekonomi.
Berangkat dari kondisi inilah maka, kajian ini diarahkan pada bahasan di seputar pelaksanaan pendidikan formal di Indonesia saat ini. Beberapa bahasan tersebut di antaranya meliputi, pendidikan seharusnya dilaksanakan untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa, bukan sebagai alat pembodohan kemudian pendidikan yang berkualitas di Indonesia juga seharusnya dapat dinikmati oleh setiap warga negara Indonesia tanpa kecuali. Tetapi dalam kenyataannya pendidikan saat ini hanya menjadi milik kaum borjuasi, sementara anak dari kalangan keluarga miskin, meski pun memiliki kecerdasan yang sangat tinggi di bidang akademik tidak serta merta dapat menikmati pendidikan berkualitas jika tidak didukung oleh modal ekonomi yang tinggi pula.
Kata-Kata kunci: revitalisasi, semangat puputan, dan keutuhan NKRI I. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi
manusia menjadi manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan,
kebodohan sampai pada ketertinggalan (Paulo Freire, 2002:12—13). Berangkat
dari pandangan Freire ini, maka manusia sebagai pusat pendidikan harus
menjadikan pendidikan sebagai alat pembebasan untuk mengantarkan manusia
menjadi mahluk yang bermartabat. Atau dengan kata lain pendidikan seharusnya
dipandang sebagai alat pencerahan bagi kehidupan umat manusia.
Namun, yang terjadi selama ini khususnya di negara-negara dunia ketiga,
termasuk Indonesia pendidikan, khususnya pendidikan formal sering tidak
2
memberikan ruang kebebasan kepada peserta didik untuk mengekspresikan
segala bentuk potensi yang dimilikinya. Akibatnya, pendidikan sekolah yang
berlangsung selama ini lebih diorientasikan pada makna pengajaran daripada
memberikan makna sebenar-benarnya atas realitas sosial yang terjadi di dalam
masyarakat. Misalnya, para siswa/mahasiswa diajari memahami berbagai teori
sosial tanpa tahu sedikitpun realitas sosial yang dibahas dalam teori tersebut.
Demikian pula para siswa lebih ditekankan untuk menghafal rumus-rumus dari
pada diajak berempati pada realitas sesunguhnya. Dengan sistem seperti itu,
boleh jadi mahasiswa/para siswa jenius menghafal teori-teori, rumus-rumus,
ataupun membuat robot yang bisa diperintah sesuka hati, tetapi sebagian besar
diantara mereka buta akan realitas sosial, realitas penindasan, realitas
kemiskinan, dan buta realitas pembodohan, serta tidak memiliki empati sosial
yang baik (Susetyo,2005:6).
Terjadinya reduksionisme atas tujuan pendidikan di sekolah yang
seharusnya diarahkan untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa, akan tetapi
yang terjadi malah sebaliknya, tidak jarang dapat bermuara pada ancaman akan
keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini. Berangkat dari
kenyataan tersebut, tulisan ini bermaksud untuk mengeksplorasi berbagai solusi
atau pemecahan berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat, berbagngsa, dan
bernegara, yang seharusnya dapat dibangun melalui penerapan pendidikan di
sekolah. Salah satunya adalah ingin mengeksplorasi peran pendidikan dalam
merevitalisasi berbagai nilai kehidupan termasuk semangat puputan dalam
rangka menjaga keutuhan NKRI. Dari latar belakang masalah di atas, maka
permasalahan yang muncul adalah (1) bagaimanakah seharunya pendidikan itu
dijalankan di sekolah? (2) bagaimanakah penerapan pendidikan di era yang
serba kapitalis dewasa ini? dan (3) bagaimanakah peranan pendidikan formal
dalam merevitalisasi semangat puputan dalam menjaga keutuhan NKRI?
3
II. PEMBAHASAN 2.1 Pendidikan Seharusnya Berperan sebagai Alat Pencerahan (Aufklarung)
dan Bukan Alat Pembodohan
Sampai saat ini pendidikan dalam berbagai bentuknya masih dipercaya
oleh masyarakat sebagai satu-satunya alternatif untuk mengembangkan diri,
membuka cakrawala, mencerdaskan pikiran, dan sebagai alat pencerahan
(aufklarung) guna mencerdasakan kehidupan para generasi muda. Dalam
konteks ini mungkin semua akan sepakat jika dikatakan bahwa masa depan
bangsa ada di tangan generasi muda, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali
memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup kepada generasi muda
demi masa depan suatu bangsa. Terkait dengan hal itu, Suharja (1992:147)
mengatakan bahwa muatan nilai tertentu selalu dibebankan kepada kaum
muda, sehingga idealisme dan daya hidup yang vital dianggap melekat pada
sebutan pemuda dan generasi muda. Sementara pendidikan yang dimaksud
dalam kajian ini lebih mengarah pada pendidikan dalam arti sempit, yakni
pada sistem persekolahan (lembaga pendidikan sekolah). Oleh karena itu,
fokus pembahasanya akan banyak mengarah pada berbagai kebijakan
sekolah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang seharusnya
dapat dijadikan media untuk melakukan revitalisasi berbagai nilai kehidupan,
termasuk semangat puputan dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.
Sebagaimana telah disinggung dalam uraian di atas, pendidikan
seharusnya mampu membebaskan manusia dari berbagai kebutaan, seperti
buta akan penindasan, buta kemiskinan, buta realitas sosial, dan lain-lain.
Ketika institusi pendidikan sebagai sebuah ruang tempat dibangunnya
kesadaran kritis, sikap objektivitas, dan sikap kebebasan bagi para peserta
didik, maka ketika itu pula lembaga pendidikan dapat dijadikan sebagai ajang
untuk menanamkan berbagai nilai kehidupan berbangsa dan bernegara
sehingga cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila segera dapat terwujud.
Terkait dengan hakikat pendidikan itu, Sastrapratedja (dalam Widiastono,
2004:22) menegaskan bahwa pendidikan seharusnya mampu menyiapkan
4
warga negara menjadi partisipan aktif dalam pembangunan bangsa dan
negara. Pembangunan bangsa dan negara di sini tidak terbatas pada
pemahaman pembangunan dalam arti fisik, tetapi juga membangun sikap
nasionalisme peserta didik yang lingkupnya mengatasi kesatuan
primordialisme yang sempit yakni kesatuan sosial yang didasarkan atas
kesamaan agama, suku, budaya, dan bahasa. Jadi, pendidikan juga harus
mampu mengembangkan wawasan kebangsaan para peserta didik yang di
dalamnya terkandung unsur kewajiban moral untuk meningkatkan diri pada
kepentingan yang lebih luas, yaitu bangsa dan negara.
Terkait dengan pendidikan sebagai alat pencerahan ada beberapa prinsip
baru yang harus disosialisasikan lewat pendidikan menurut Sastrapratedja
yakni, (1) kesejahteraan seluruh bangsa bukan hanya untuk kepentingan
pribadi atau kelompoknya; (2) keharusan untuk bekerja sama antarberbagai
kelompok untuk menghindari destruksi dan untuk menciptakan
kesejahteraan bersama (3) penerimaan asas pluralisme, yang berarti
memberi ruang bagi keanekaragaman dan artikulasi keanekaragaman dalam
kerangka kesatuan bangsa dan negara dalam negara kesatuan Republik
Indonesia. Jadi, dalam konteks ini lembaga pendidikan merupakan institusi
di mana kesetiaan dan komitmen kepada bangsa ditanamkan.
Namun, dalam kenyataannya institusi pendidikan seperti dikatakan
Piliang (2004:359) melalui konsep kekerasan simbol telah menciptakan
sebuah mekanisme sosial yang di dalamnya relasi pengetahuan saling
bertautan dengan relasi kekuasaan (knowledge is power and power is
knowledge) sebagaimana dikatakan pula oleh Foucault. Artinya, dalam
proses pembelajaran di sekolah pendidik (guru) tanpa disadari telah
melakukan kekerasan simbol terhadap para terdidik (siswa) ketika siswa
menerima begitu saja konsep, citra, gagasan, ide, kepercayaan atau
pengetahuan dalam bentuknya yang distorsi, untuk kemudian menggiring
mereka menerapkan apa yang sesungguhnya telah distorsi tersebut di dalam
kehidupan sosial mereka.
Ketika hal ini terjadi, maka pendidikan seperti harapan Freire yang
menekankan setelah tersadar dari penindasan manusia terdidik harus segera
5
melakukan rekayasa sosial untuk memulai hidup baru yang merdeka, sulit
diwujudkan. Padahal itu merupakan fungsi pokok pendidikan, yakni
membebaskan manusia dari berbagai belenggu kezaliman, baik oleh
penguasa maupun oleh unsur-unsur sosial lainnya yang menindas dan
merampas kemerdekaan berpikir dan berpendapat para peserta didik. Jadi,
pendidikan seharusnya merupakan sebuah proses untuk mencerahkan dan
sekaligus membuka mata untuk memandang segala persoalan secara adil
dan bijaksana.
Namun, dalam kenyataannya yang sering terjadi di sekolah adalah
reduksionisme tujuan pendidikan, yang seharusnya bertujuan mencerdaskan
kehidupan anak bangsa, tetapi yang terjadi malah sebaliknya, yakni
pembodohan siswa sebagaimana ditulis Joko Susilo, (2007) dalam bukunya
‘’Pembodohan Siswa Tersistematis’’. Dalam bukunya setebal 239 halaman
itu, Joko Susilo secara gamlang mengemukakan beberapa kasus
pembodohan siswa yang terjadi di sekolah seperti, terjadinya manipulasi
nilai, guru tidak percaya diri, gaya mengajar yang membodohkan siswa, soal
ujian yang sama persis dengan soal ujian tahun seblumnya, pemberian
hukuman yang tidak mendidik, dan guru yang tidak ideal. Dari beberapa
kasus pembodohan yang terjadi di sekolah sebagaimana dikatakan Joko
Susilo (2007), yang sangat memperihatinkan adalah terjadinya manipulasi
nilai dan soal ujian yang sama persis dengan soal ujian tahun sebelumnya.
Beberapa kisah yang digambarkan Joko Susilo, di antaranya adalah bahwa
sudah menjadi rahasia umum bila guru sering melakukan manipulasi
terhadap nilai ujian yang diperoleh siswa di sekolah. Alasannya macam-
macam, ada yang melakukannya karena merasa kasihan terhadap siswa yang
memperoleh nilai ujian rendah, sehingga terancam tidak lulus. Ada yang
melakukannya karena tekanan dari kepala sekolah karena kepentingan
tertentu, ada pula yang hanya karena faktor kedekatan dengan siswa,
bahkan yang sangat memperihatinkan adalah ada yang melakukannya
karena mendapat imbalan tertentu dari orang tua siswa itu sendiri.
Ketika hal ini terjadi, maka apa yang diraih oleh siswa dalam bentuk
hasil belajar, sesunguhnya tidak mencerminkan keadaan kemampuan siswa
6
yang sebenarnya. Artinya, anak yang secara akademik sesungguhnya
memiliki kemampuan yang masih sangat jauh dari apa yang diharapkan,
tetapi karena hasil belajarnya dalam bentuk nilai raport cukup tinggi, bahkan
sangat tinggi karena dimanipulasi oleh gurunya, maka dengan demikian
telah terjadi pembodohan siswa tersistematis di sekolah. Akibatnya, anak
yang sesungguhnya memiliki kemampuan sangat rendah, akan merasa
dirinya sudah pintar sehingga tidak ada upaya untuk meningkatan
kemampuan dirinya di bidang akademik. Setelah dilepas ke masyarakat
hampir dapat dipastikan mereka tidak akan mampu bersaing secara afair di
lapangan dengan lulusan pendidikan yang benar-benar diproses secara
sistemik.
Demikian pula dengan pembodohan dalam bentuk soal ujian yang sama
persis dengan soal ujian tahun sebelumnya. Siswa yang memperoleh nilai
tinggi karena diberikan soal ujian yang sama persis dengan soal ujian tahun
sebelumnya mempunyai implikasi yang tidak jauh berbeda terhadap diri
siswa dengan pembodohan dalam bentuk manipulasi nilai yang dilakukan
guru sebagaimana diuraikan di atas. Anak yang diberikan soal ujian yang
sama dengan soal ujian tahun sebelumnya, tidak akan mau membaca buku
teks untuk mendalami materi yang diajarkan oleh guru, akan tetapi mereka
cenderung hanya membaca soal-soal yang telah dipegangnya dan berusaha
untuk menghafal soal tersebut tanpa pernah mau memahami makna apa
yang terkandung di balik soal tersebut. Hal demikian berakibat pula
munculnya sikap pemalas, tidak suka bekerja keras, dan mudah menyerah
pada berbagai persoalan hidup yang dihadapinya yang tentu sangat
bertentangan dengan semangat puputan yang menjadi trade mark sikap
kepahlawanan masyarakat Bali secara umum.
2.2 Penerapan Pendidikan di Era Kapitalisme-Global
Ada suatu pandangan yang mengatakan bahwa di era kapitalisme-
global dewasa ini logika pendidikan saling bertautan dengan logika
kapitalisme. Seperti yang dikatakan Piliang, (2004:365) bahwa :
7
berbagai ilmu seperti manajemen, perbankan, akuntansi, ekonomi, teknologi, arsitektur dan disain yang diajarkan di berbagai lembaga pendidikan dalam model dan paradigmanya yang sekarang adalah ilmu-ilmu yang dikembangkan dalam citra kapitalisme. Artinya, paradigma-paradigma keilmuan serta logika-logika yang dikembangkan di dalamnya mempunyai hubungan yang saling menghidupkan dengan logika-logika kapitalisme itu sendiri. Dengan mengacu pada Piliang di atas, dan jika dikaitkan dengan
penerapan pendidikan di era sekarang, maka dapat dikatakan bahwa logika
kapitalisme telah masuk jauh ke dalam sistem pendidikan di Indonesia
dewasa ini. Akibatnya, dunia sekolah pun tidak luput dari kekuasaan
kapitalisme yang hanya bicara soal untung dan uang. Bahkan dapat
dikatakan bahwa kapitalisme telah mengajarkan kepada umat manusia
prihal nilai berlebih yang harus dihasilkan oleh suatu kapital tertentu dalam
kurun waktu secepat mungkin. Dengan logika demikian, maka logika
pendidikan yang senantiasa mengajarkan nilai-nilai kebenaran, nilai
kejujuran, nilai kesabaran, nilai kemanusiaan, dan bahkan nilai-nilai
keagamaan sering tersingkirkan.
Meskipun sesungguhnya kapitalisme dalam arti ideologi banyak
dikriktik dan ditentang oleh masyarakat Indonesia, akantetapi dalam
kenyataannya kapitalisme telah tumbuh dan berkembang menjadi ideologi
baru masyarakat Indonesia yang hidup dan bermetamorfosis dalam tuntutan
perubahan zaman. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan hidup dalam
masyarakat dewasa ini bahwa ‘’siapa yang memiliki kapital lebih banyak
dialah yang lebih kuasa’’, sehingga masyarakat yang mampu membeli akan
lebih dihargai daripada masyarakat yang kurang mampu membeli. Demikian
pula dalam konteks penerapan pendidikan di negeri ini, hanya masyarakat
yang mampu membeli pendidikan dengan harga yang tinggilah yang berhak
menikmati pendidikan yang berkualitas. Sementara masyarakat yang tidak
mampu membayar dengan harga yang tinggi jangan pernah bermimpi untuk
menikmati pendidikan yang berkualitas.
Akibat dari penerapan sistem pendidikan yang sangat kapitalistik
seperti ini, meskipun anak memiliki kecerdasan akademik yang sangat
8
tinggi tetapi jika tidak didukung oleh kemampuan ekonomi yang tinggi pula,
maka keinginan untuk menikmati pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
hanya merupakan mimpi belaka. Namun, sebaliknya meskipun anak itu
tidak memiliki kemampuan akademik yang memadai, tetapi memiliki
kemampuan ekonomi yang tinggi mereka bisa dengan mudah memilih
sekolah manapun yang mereka mau.
Dengan kondisi kehidupan yang serba kapitalistik, masyarakat yang
menjalani peran kapitalisme akan membuat koloni output siswa yang
mutunya diragukan oleh masyarakat. Sementara di sisi lain dengan sistem
seperti itu, pembodohan siswa pun semakin marak terjadi dengan mencoba
memasukan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah favorit, meskipun
sesungguhnya tidak memiliki kemampuan secara akademik, tetapi memiliki
kemampuan untuk membeli dengan harga yang tinggi (Joko
Susilo,2007:110—111).
Penerapan sistem pendidikan seperti itu, dapat mengakibatkan hak
setiap warga negara untuk menikamati pendidikan bermutu sebagaimana
dijamin oleh UUD 1945 dan Undang-Undang No.20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menjadi terabaikan. Sebab secara faktual hak untuk
menikmati pendidikan berkualitas di negeri ini hanya menjadi milik kaum
borjuasi (kaum pemilik modal) sementara bagi kalangan masyarakat miskin
(kaum termaginalkan) harus rela menikmati pendidikan seadanya sesuai
kemampuan ekonomi yang mereka miliki. Bukan hanya itu, dalam sistem
pendidikan demikian, harapan masyarakat untuk melakukan mobilitas sosial
secara vertikal melalui jenjang pendidikan pun ikut terganjal. Sebab sampai
saat ini lembaga pendidikan masih dipercaya oleh masyarakat sebagai salah
satu ajang untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa, dan dengan
kehidupan yang lebih cerdas diyakini pula akan dapat memperbaiki taraf
kehidupan yang pada gilirannya akan berimplikasi pada struktur sosial
seseorang dalam kehidupan masyarakat.
Jadi, melalui proses pendidikan sebenarnya seseorang dapat
meningkatkan taraf kehidupannya ke jenjang yang lebih baik. Akan tetapi
ketika pendidikan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan
9
kehidupan manusia mulai disusupi oleh ideologi kapitalisme, maka ketika itu
pula idealisme pendidikan akan mulai tergadaikan. Akibatnya, pendidikan
(baca:sekolah) yang diharapkan dapat dijadikan sebagai arena sosial untuk
mencerdaskan kehidupan masyarakat, dalam kenyataannya justru sering
dijadikan alat pembodohan siswa tersistematis.
Melihat kondisi pendidikan seperti itu, dan jika meminjam gagasan
Anurropiq Dawam (2003:51) maka dapat dikatakan bahwa sekolah dewasa
ini telah kehilangan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan yang
sebenarnya. Sebab menurut Dawam sekolah kini telah menjadi agen-agen
kapitalisasi, agen hegemoni, agen dominasi, agen penyebaran virus
globalisasi, dan lain-lain. Hal ini diperkuat dengan memperhatikan beberapa
aspek yang menyebabkan menghilangnya nilai pendidikan dari dunia sekolah
antara lain:
Pertama, aspek siswa maksudnya peserta didik di sebagian besar
sekolah dianggap seseorang yang masih kosong dan siap untuk dijadikan ahli
apapun sesuai pesanan dan kebutuhan pasar. Anggapan demikian tentu
akan berimplikasi pada proses pendidikan yang mengutamakan peserta didik
untuk mencapai nilai terbaik dalam bidang tertentu untuk dijadikan manusia
yang ahli sesuai jurusannya. Sementara latar belakang perilaku, moralitas,
dan sikapnya terhadap sesama manusia bukanlah pertimbangan utama
dalam perekrutan peserta didik.
Kedua, aspek pendidik, para pendidik pada sebagian lembaga pendidikan
dewasa ini merupakan hasil didikan dari model pendidikan yang berorientasi
pasar. Artinya, para pendidik yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga
pendidikan yang terkontaminasi oleh paham kapitalisme. Misalnya, banyak
para pendidik kita yang berhasil menyelesaikan studi di negara-negara
kapitalis sehingga dengan sendirinya mereka akan terpengaruh oleh sistem
pendidikan di negara di mana mereka belajar. Atau dengan kata lain mereka
talah dijadikan agen kapitalis atau agen neolibarisme dengan penyesuaian
kultur di negara kita.
Ketiga, aspek kurikulum, maksudnya kurikulum yang dikembangkan di
sekolah-sekolah di Indonesia cenderung kurikulum positivistik. Artinya
10
lembaga pendidikan kita sekarang diam-diam telah menjadi agen dan anak
manis yang mewarisi pikiran positivisme, seperti objektivitas, mendewakan
empirisme, netral, rasional, dan bebas nilai. Padahal di sisi lain penerusan
nilai-nilai positivisme seperti ini di sekolah dapat menghambat proses
pembebasan dan pemberdayaan. Sebab dalam pandangan positivisme
hanya mengakui adanya kebenaran tunggal yang disebut logosentrisme,
padahal di luar realitas tunggal itu ada realitas lain yang harus diakui pula
kebenarannya. Sementara sekolah yang menganut paham positivisme juga
tidak toleran terhadap segala bentuk non-positivistik dengan
mengatakannya sebagai yang tidak ilmiah.
Keempat, Aspek lingkungan, dalam perkembangan pendidikan dewasa ini
banyak sekolah yang seakan terlepas dari lingkungannya yang disebut
sebagai ahistoris. Artinya, dalam pelaksanaan proses pembelajaran sekolah
lebih mengutamakan peningkatan kecerdasan intelektual, keterampilan dan
keahlian teknis siswa untuk memenuhi tuntutan pasar kerja, sementara
komitmen, keyakinan, dan kepercayaan terhadap sistem yang lebih adil,
serta motivasi untuk menentang atau menolak sistem yang tidak adil,
hegemonik, dan dominatif sama sekali tidak pernah disentuh.
Jika benar apa yang dikatakan oleh Dawam mengenai kondisi pendidikan
sebagaimana terurai di atas, maka pendidikan sebagai ‘’jalan landai’’ untuk
melakukan revitalisasi semangat puputan akan berubah menjadi ‘’jalan
terjal’’ yang penuh berliku. Sebab lembaga pendidikan yang seharusnya
berfungsi sebagai institusi pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan
kini telah berubah menjadi institusi pabrikasi dan mekanisasi pendidikan
untuk memproduksi alumni yang sesuai dengan ‘’pangsa pasar’’. Artinya,
sebuah lembaga yang mampu mencetak learning out come yang memiliki
nilai-nilai kuantitaif yang tinggi di atas sehelai kertas Ijazah, sementara
kemampuan afeksi yang mencakup sikap moralitas, sikap spiritualitas, dan
sikap toleransi terhadap sesama kurang mendapat perhatian. Akhirnya,
revitalisasi semangat puputan akan dapat dilakukan melalui proses
pendidikan di sekolah bila tugas dan fungsi pokok sekolah dikembalikan
pada hakikatnya.
11
2.3 Peranan Pendidikan dalam Merevitalisasi Semangat Puputan untuk Menjaga Keutuhan NKRI
Semangat puputan sebagaimana ditengarai oleh Jendra (dalam Jurnal
Widya Satya Dharma, 1996:23) adalah semangat mewujudkan rasa bhakti
manusia Bali terhadap tanah airnya. Menurut Jendra, perincian tentang
keunikan manusia Bali belum bisa dikatakan cermat bila orang melupakan
kecenderungan budayanya untuk melakukan perang puputan bila
menghadapi kekuatan yang amat besar di medan laga. Berangkat dari
pandangan tersebut, maka perang puputan dapat diartikan sebagai perang
yang dilakukan dengan penuh semangat dan keberanian di mana dalam
perang puputan tersebut orang bertempur habis-habisan sampai titik darah
penghabisan.
Dari penelusuran terhadap beberapa sumber ditemukan beberapa
penapsiran tentang perang puputan diantaranya, ada anggapan yang
mengatakan bahwa perang puputan itu lebih banyak dilatar belakangi oleh
sikap putus asa. Kemudian sejumlah pakar sejarah, seperti (Mirsha, 1963,
Sujana, 1981, dan Rama, 1982) memberi definisi yang bermacam-macam
tentang perang puputan. Beberapa di antaranya memberi pengertian yang
kurang tepat dan malahan memberikan evaluasi yang negatif.
Dalam konteks ini perang puputan diberi definisi sebagai suatu bentuk
pernyataan sikap yang pelakunya mati konyol, bodoh, ceroboh, tak tahu
taktik dan strategi perang, putus asa, tidak berani menghadapi kenyataan,
dan lain sebaginya. Jika dicermati secara lebih mendalam definisi demikian
mencerminkan pemikiran yang kurang mendalam dan kurang memahami
dimensi psikologis sehingga gagal untuk mendapatkan latar belakang
emosional para pelaku atau prajurit yang terlibat di dalamnya.
Padahal jika dilihat secara lebih mendalam dan lebih dipahami dimensi
psikologis para pejuang puputan itu, sebenarnya terdapat makna yang lebih
hakiki, yakni perang yang dilakukan para pejuang puputan itu dilatari oleh
semangat juang yang gagah berani dan didorong oleh tekad pantang
mundur yang dilakukan oleh kesatria-kesatria sejati. Jadi, dalam semangat
12
puputan sebenarnya terkandung dimensi psikologis yang sangat mendalam,
yakni mengandung semangat juang yang tinggi dan pantang menyerah. Atau
dengan kata lain jika ingin memperoleh pemahaman yang lebih mendalam
terhadap semangat puputan maka orang harus melihat kasus tersebut
secara integral-holistik. Artinya, seluruh dimensi yang ada yang secara aktual
atau potensial ikut berperanan dalam pemunculan atau pelaksanaan perang
puputan harus diberi porsi yang seimbang, kendati dimensi batin
diasumsikan paling besar peranannya.
Dalam konteks kajian ini semangat puputan yang perlu direvitalisasi
adalah semangat batinya, yang intinya adalah semangat juang yang gagah
berani dan sikap pantang menyerah dalam menghadapi persoalan hidup,
yang secara teks ideal sebenarnya nilai-nilai ini dapat ditransformasikan
melalui sistem pendidikan sekolah. Institusi pendidikan sebagai media
transformasi berbagai nilai kehidupan seharusnya mampu memainkan
perannya secara optimal dan dapat berlangsung secara alamiah serta
sekaligus harus dijiwai oleh semangat puputan itu sendiri. Artinya, roh
pendidikan yang diselenggarakan melalui sistem persekolahan di Indonesia
ini seharusnya mampu meniru semangat puputan sehingga learning out
come dari sebuah proses pendidikan memiliki semangat juang yang tinggi,
memiliki keberanian untuk membela kebenaran, dan pantang menyerah
dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.
Untuk mewujudkan hal itu, mulai dari penyusunan kurikulum sekolah,
memilih materi ajar, merumuskan tujuan pembelajaran sampai pada tahap
evaluasi pendidikan seharusnya selalu dijiwai oleh semangat puputan itu
sendiri. Dalam arti para pelaku pendidikan seharusnya memiliki semangat
juang yang tinggi dan keikhlasan mengabdi untuk kepentingan nusa dan
bangsa tercinta ini, melalui dharma bhaktinya sebagai pelaku pendidikan.
Para pendidik di sekolah juga harus selalu menanamkan semangat juang
yang tinggi, menanamkan nilai-nilai patriotisme, berani membela kebenaran,
berani berkoban, dan senantiasa menanamkan kepada peserta didik agar
selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dalam menjalani kehidupan di
dunia ini. Hal ini dapat diselipkan oleh guru melalui berbagai materi ajar
13
yang diberikan lewat proses pembelajaran di ruang kelas dan melalui sikap
keteladanan guru (pendidik) dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, seperti yang dikatakan Suhartono (2008:27) bahwa ironis dalam
realitas kehidupan sosial kini sedang terjadi. Pasalnya, ketika pendidikan
mengalami puncak ‘’kemajuan’’ justru moral keserakahan ekonomi, moral
kekuasaan otoriter politik, dan moral ketidakadilan hukum mewabahi
kehidupan masyarakat. Faktor dominan yang mengakibatkan munculnya
kontradiksi ini adalah karena pendidikan tidak difungsikan untuk mengawal
teknologi sampai pada tingkat pemberdayaanya. Dalam arti pendidikan tidak
ditumbuhkembangkan dalam prilaku keseharian peserta didik.
Di sinilah sebenarnya kekeliruan proses transformasi nilai-nilai kehidupan
melalui sistem pendidikan itu berawal. Dikatakan demikian sebab
pendidikan saat ini tidak dilibatkan secara fungsional dalam hal
pemberdayaan teknologi. Melainkan pendidikan dibiarkan begitu saja
terseret mengikuti kecenderungan pemanfaatan teknologi secara praktis
dan pragmatis. Akibatnya, kehidupan ini didominasi oleh pemanfaatan
teknologi yang bermuara pada perilaku hidup kapitalistik-hedonistik.
Artinya, sistem pendidikan sekarang ini membiarkan begitu saja moral
keserakahan kapitalisme merasuki dirinya, sehingga orientasi pendidikan
pun ikut bergeser ke arah titik kenikmatan ekonomi materialis. Hal ini
pulalah yang mendorong munculnya kapitalisasi pendidikan yang secara
faktual sangat memberatkan orang tua siswa.
Melihat kondisi masyarakat seperti digambarkan Suhartono di atas, jika
mau sistem pendidikan sekolah sebenarnya masih memiliki peranan penting
dalam merevitalisasi semangat puputan untuk menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sebab sebagaimana telah disinggung dalam
uraian di atas sampai saat ini pendidikan dalam berbagai bentuknya masih
dipercaya sebagai satu-satunya alternatif untuk mengembangkan diri,
membuka cakrawala, mencerdaskan pikiran, dan sebagai alat pencerahan
sekaligus sebagai media transformasi yang efektif untuk meneruskan
berbagai nilai kehidupan kepada generasi muda. Kata kuncinya adalah pada
komitemen dan kemampuan para pendidik untuk melakukan transformasi
14
nilai-nilai kehidupan yang diwarnai oleh semangat puputan itu sendiri. Ketika
para pendidik memiliki semangat dan komitmen yang tinggi untuk
melakukan revitalisasi terhadap semangat puputan melalui proses
pembelajaran di sekolah, tentu hal ini bukan sebuah keniscayaan untuk
membentuk para siswa yang memiliki semangat juang yang tinggi, berani
membela kebenaran, menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran sebagaimana
tercermin dalam semangat puputan tersebut. Hal demikian tentu akan
berimplikasi pula pada upaya kita untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang akhir-akhir ini rasa persatuan dan kesatuan bangsa
tampak mulai tercabik-cabik.
III. SIMPULAN
Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa pendidikan pada
hakikatnya mempunyai peranan yang cukup penting untuk melakukan
revitalisasi terhadap semangat puputan dalam rangka menjaga keutuhan
NKRI. Namun, dalam pelaksanaannya lembaga pendidikan yang bernama
sekolah kini telah kehilangan jati diri sebagai lembaga pendidikan yang
sebenarnya. Bahkan dalam pelaksananaanya pendidikan telah terjebak pada
ideologi kapitalisme, sehingga dalam praktiknya masyarakat yang mampu
menikmati pendidikan bermutu hanyalah anak-anak yang berasal dari
kalangan keluarga berduit (kaum borjuasi), sementara dari kalangan keluarga
miskin (kaum duapak) hanya bisa gigit jari ketika mendengar orang berbicara
soal pendidikan berkualitas. Terkait dengan itu, maka disarankan agar tugas
pokok dan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan hendaknya
dikembalikan pada hakikat yang sebanranya.
15
DAFTAR BACAAN
Dawam Anurropiq, 2003. ‘’Emoh’’ Sekolah Menolak ‘’Komersialisasi Pendidikan’’ dan ‘’Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikulturalisme. Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press.
Freire Paulo, 2002. Politik Pendidikan Kebudayaan, dan Pembebasan.
(Penerjemah: Agung Prihantoro dan Agung Arif Pudiartanto) Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Jendra, I Wayan. Perang Puputan sebagai Wujud Rasa Bhakti terhadap Tanah Air.
Dalam Widya Satya Dharma Jurnal Kajian Hindu, Budaya dan Pembangunan Volume 1 No. 2 Edisi September 1996—Februari 1997. Halaman 23—31.
Mirsha, I Gusti Ngurah Rai, 1963. Puputan Badung. Skripsi (S-1) Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada. Piliang, Yasraf Amir, 2004. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas
Kebudayaan. Bandung: Jalasutra. Rama Ida Bagus, 1982. Revolusi marga Skripsi (S-1) Fakultas sastra UNUD. Sastraprateja, M. 2004. Apa dan Siapakah Manusia? Dalam Tonny D. Widiastono,
(ed.) Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Kompas. Hal. 3—23. Suharja, Arya, 1992. Generasi MudaHindu: Kelana Atau Tawaran Sejarah. Dalam
Putu Setia (ed.) Cendekiawan Hindu Bicara. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha. Hal. 147—162.
Sujana, I Made, 1981. Perlawanan Rakyat Kelungkung (Skripsi S-1) Denpasar:
Fakultas Sastra Unud. Suhartono Suparlan, 2008. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta AR-RUZZ MEDIA
GROUP. Susetyo, Benny, 2005. Politik Pendidikan Penguasa. Yogyakarta: LKiS. Susilo, Joko, 2007. Pembodohan Siswa Tersistematis. Yogyakarta: Pinus.