peranan negara mengatasi kegagalan pasar.pdf
TRANSCRIPT
-
Halaman 1 dari 46
PERANAN NEGARA MENGATASI KEGAGALAN PASAR
SEBAGAI DAMPAK PELAKSANAAN
ASEAN CHINA FREE TRADE AGREEMENT - ACFTA
Sasmito Jati Utama
A. Pengantar
(Tak penting kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus)
(Deng Xiaoping)
Pameo yang diungkapkan Deng Xiaoping yang dikenal sebagai Bapak Cina
Modern pada perkembangannya telah telah mampu membumikan paradigma Mao
sarat akan nilai-nilai ideologis-utopis menjadi program modernisasi Cina yang
berorientasi empiris-pragmatik. Sikap pragmatik ini juga sangat dirasakan dalam
kebijakan dan komunikasi politik yang berusaha mengombinasikan kebijakan modernisasi
ekonomi Cina melalui pendekatan kombinatif dan . Cina dengan
sepenuhnya menyadari bahwa modernisasi tidak selalu menyediakan jalan untuk meraih
kedua tujuan pokok yang menjadi mimpi setiap bangsa kemakmuran ekonomi dan
demokratisasi secara bersamaan. Akan tetapi, diantara tujuan tersebut salah satunya
harus ada untuk mendahului yang lain. Seperti halnya modernisasi yang berlangsung di
negara-negara sedang berkembang pada umumnya, Cina menempatkan kemakmuran
ekonomi sebagai prioritas utama, dan sambil perlahan-lahan membangun sistem politik
demokratis. Orientasi tersebut menempatkan Cina untuk menempuh model
pengembangan . Pendekatan
tersebut merupakan suatu model yang menempatkan negara sebagai pemegang kendali
kebijakan reformasi ekonomi; sambil perlahan membuka keran demokratisasi. Cina
adalah fenomena kontras yang sedang memacu proyek modernisasi untuk menjadi
raksasa ekonomi dunia yang tampil elegan di pertengahan abad ke-21 ini.
Fenomena supremasi Cina senada dengan pemikiran futurolog John Naisbitt
dalam Megatrend Asia (1997)1, yang telah memprediksi bahwa dalam abad XXI ini,
perekonomian kawasan Asia Pasifik akan beralih ke perekonomian yang dikuasai Cina
dan orang-orang Cina perantauan (hoakiao) yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Pada
perkembangannya ramalan Nasbitt jelas bukan tanpa bukti. Kebangkitan ekonomi China
benar-benar menjadi fakta yang semakin jelas konsekuensinya bagi setiap negara.Pada
1 John Naisbitt, ,
dialihbahasakan oleh Danan Priyatmoko, Gramendia, Jakarta, 1997
-
Halaman 2 dari 46
Tahun 2010 China telah mengambil alih kedudukan Jepang sebagai negara dengan
ekonomi terbesar di dunia, dengan (GDP) nominal yang
mencapai USD 5,87 triliun.2
Seperti diketahui bahwa melambungnya data Gross Domestic Product (GDP)
China pada tahun 2010 yang mencapai 10,3% dari 9,2% di 2009 menggambarkan bahwa
kondisi ekonomi china tersebut sudah overheating. Hingga saat ini China merupakan
negara tujuan ekspor utama dunia, khususnya komoditas, sehingga perlambatan
ekonomi akan mendorong melemahnya permintaan komoditas di dunia. Investor
khawatir kondisi tersebut akan mempengaruhi kinerja perusahaan-perusahaan berbasis
ekspor di dunia 3. Lebih fantastis lagi, Produk Domestik Bruto (PDB) Cina pada tahun 2011
dan 2012 yang diperkirakan oleh IMF meningkat 9,6% dan 9,5%, dan merupakan negara
yang pertumbuhan ekonominya paling cepat dalam anggota G20 4. Angka pertumbuhan
ekonomi China tahun 2010 mencapai 10,3%, sedangkan untuk 2011, China menargetkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Sementara itu, target pertumbuhan ekonomi dalam
5 tahun ke depan rata-rata 7%. Perkiraan IMF lebih tinggi daripada target perkiraan
pemerintah China. Sementara itu, IMF juga memperkirakan angka inflasi China pada
2011 akan mencapai 5%, tahun 2012 akan mencapai 2,5%, menduduki tingkat yang lebih
rendah dalam negara-negara berkembang, tapi tergolong tinggi dibanding negara-negara
maju 5.
Sehubungan dengan tumbuh berkembangnya kekuatan ekonomi Cina yang
fantastis tersebut, apakah para pemimpin kita sudah memikirkan atau membuat kalkulasi
terkait masa depan ketahanan ekonomi Indonesia dalam konteks ASEAN China
(ACFTA) dalam 15 atau 25 tahun ke depan? Apakah ketika pemerintah
menandatangani perundingan ACFTA tahun 2003 lalu sudah menyiapkan dengan matang
prasyarat-prasyarat penting yang harus dipenuhi, semisal kesiapan infrastuktur,
sinkroninasi regulasi (baik dalam rangka menjaga dan meningkatkan daya saing produk
nasional maupun pengamanan pasar dalam negeri), sumberdaya manusia dan
pendidikan, skenario industri, peran UMKM dan sektor pertanian yang bisa diandalkan,
kebijakan finansial dan suku bunga perbankan yang kompetitif, tata kelola pemerintahan
dan kualitas layananan publik yang efektif, reformasi birokrasi dan pemangkasan
dan pemberantasan korupsi serta selusin aspek penting
2 Harian Seputar Indonesia, Dalam Bayangan Supremasi China, 27 April 2011. Electronic Copy Available At
http: //www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/395238/ 3 Nurul Qomariyah, Detik Finance, 24 Januari 2011, Ulasan Sepekan | IHSG Dibayangi Tingginya Inflasi
Bulan Januari. Electronic Copy Available At http://www.financeindonesia.org/showthread.php?2292-
Ulasan-Sepekan-IHSG-Dibayangi-Tingginya-Inflasi-Bulan-
Januari&s=e4ca621f6baf484cdd312ae660de9ef6 4 Harian Analisa, IMF Perkirakan Pertumbuhan Ekonomi China Capai 10%, April 2011. Electronic Copy
Available At http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=93023:
imf-perkirakan-pertumbuhan-ekonomi-china-capai-10&catid=982:20-april-2011&Itemid=215 5 Ibid
-
Halaman 3 dari 46
lainnya dalam konteks implementasi ASEAN China (ACFTA) yang
berlaku efektif per Januari 2010 lalu ?
Apabila menelaah terhadap kondisi pasar domestik Indonesia tanpa kesepakatan
ACFTA pun, kondisi Indonesia saat ini sudah kalah bersaing dengan produk impor yang
terus membanjiri pasar domestic dalam negeri, khususnya barang Cina. Selain Cina,
produk impor dari AS, Jepang, Uni Eropa, Korea Selatan, dan India juga kian sesak
menjejali pasar kita. Kenyataan menunjukkan bahwa, sepanjang tahun 2009 bahkan
terjadi lonjakan produk impor dari Cina di pasar domestik indonesia. Fakta ini sejalan
dengan hasil perhitungan BPS, dimana neraca perdagangan antara Indonesia dan Cina
kini mengalami defisit. Artinya, nilai impor dari Cina masih lebih besar dibanding ekspor
Indonesia ke Cina. Mengutip catatan BPS (2010)6, nilai ekspor Indonesia ke Cina pada
Februari 2010 ini mencapai US$ 986,2 juta, turun dari US$ 1,01 miliar dari Januari 2010.
Sementara data tahun 2008 lalu menunjukkan, impor dari Cina telah mengambil alih 70
persen pangsa pasar domestik yang semula dikuasai sektor usaha kecil dan menengah
nasional.
Dari sisi dampak perdagangan bebas Cina-ASEAN dalam konteks kemampuan
daya tahan dan daya saing industri nasional, mengutip Martin Manurung (2010)7,
setidaknya terdapat 10 sektor industri manufaktur Indonesia yang tercatat akan terimbas
dampak negatif jika ACFTA benar-benar direalisasikan. Jika kita mau jujur, saat ini saja
kondisi industri nasional berada dalam posisi sulit dan kalah bersaing dengan produk
impor. Kesepuluh sektor industri tersebut meliputi industri tekstil dan produk tekstil
(TPT), industri makanan dan minuman, industri petrokimia, industri peralatan dan mesin
pertanian, industri alas kaki, industri fiber sintetik, industri elektronik (termasuk kabel
dan peralatan listrik), industri permesinan, industri rancang bangun serta industri baja.
Jika dampak deindustrialisasi itu benar, maka bisa dipastikan kampanye pemerintahan
Susulo Bambang Yudhoyono-Boediono untuk memerangi kemiskinan dan menekan
angka pengangguran hanya tinggal wacana. Selanjutnya, diprediksi, ancaman
deindustrialisasi itu berpotensi bagi terjadinya PHK massal terhadap 3 hingga 7,5 juta
pekerja Indonesia. Sebagai catatan, sebelum ACFTA diberlakukan, sektor tekstil dan
produk tekstil kita sudah jauh-jauh hari kalah bersaing. Di tahun 2009 lalu saja,
setidaknya sekitar 271 pabrik atau perusahaan tutup. Akibatnya 18.396 buruh yang
bekerja di industri ini harus rela menjadi penganggur karena ter-PHK. Sementara, ditilik
dari aspek neraca perdagangan Indonesia- Cina, menurut catatan Faisal Basri,8 setidaknya
6 BPS. 2010. Data Perdagangan Internasional. Electronic Copy Available At http://www.bps.go.id 7 Martin Manurung, 2010, Transkrip diskusi edisi kedelapan Jurnal Sosial Demokrasi, 17 Februari 2010,
PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CINA: $ Jurnal Sosial Demokrasi Volume 8 No. 3
Februari - Juni 2010, Penerbit Pergerakan Indonesia dan Komite Persiapan Yayasan Indonesia Kita,
Jakarta. Electronic Copy Available At http://library.fes.de/pdf-files/bueros/indonesien/07003/2010-
08.pdf 8 Faisal Basri, FTA ASEAN-China dan Deindustrialisasi, Senin, 21 Desember 2009, Kompas.Com, Electronic
Copy Available At http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/12/21/06350379/fta.asean-
china.dan. deindustrialisasi
-
Halaman 4 dari 46
sejak tahun 2008, neraca perdagangan Indonesia-Cina mendadak sontak berbalik arah
menjadi defisit bagi pihak Indonesia sebesar US$ 3,6 miliar. Padahal, setahun
sebelumnya Indonesia masih menikmati surplus sebesar US$ 1,1 miliar. Lebih
mencengangkan lagi, defisit neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan Cina
meroket dari US$ 1,3 miliar pada tahun 2007 menjadi US$ 9,2 miliar pada tahun 2008,
atau meningkat lebih dari 600 persen. Selama Januari-Oktober 2009, defisit sudah
mencapai US$ 3,9 miliar. Pelonjakan defisit perdagangan dengan Cina pada tahun 2008
disebabkan sebelum tahun 2008 data impor tidak memasukkan barang yang berasal dari
kawasan berikat. Berarti, sebenarnya, defisit perdagangan dengan Cina sangat boleh jadi
sudah berlangsung sebelum tahun 2008.
Konfigurasi persoalan ketidakseimbangan keuntungan akibat dilaksanakan ACFTA
khususnya bagi perdagangan Indonesia, kurang ditanggapi secara oleh pemerintah
Indonesia, bahkan pihak pemerintah melalui Menteri Perdagangan mengungkapkan
pelaksanaan ACFTA tidak perlu dibatalkan akan tetapi dengan negosiasi ulang.9
Padahal upaya renegosiasi terkait perjanjian perdagangan bebas atau (ACFTA), kandas
ditengah jalan. Pemerintah memutuskan untuk melakukan pendekatan bilateral dengan
China sebagai pengganti renegosiasi ACFTA.10 Hal ini ditanggapi pula oleh pengamat
ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Anggito Abimanyu tidak yakin dengan
kemampuan negosiasi pejabat Indonesia, bahkan disebutkan bahwa gagalnya renegosiasi
sebagai bukti bahwa pejabat Indonesia tidak mampu bernegosiasi.11
Hendri Saparini, Ekonom dari ECONIT Advisory Group menanggapi sikap dari
Menteri Mari Pangestu yang mengabaikan hasil kajian Satuan Tugas (Satgas) ACFTA yang
dibentuk Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang menemukan beberapa indikasi
pelanggaran terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan terkait penggunaan tenaga kerja
asing. Dari hasil kajiannya, Satgas ACFTA Menakertrans menunjukkan bahwa pelaksanaan
ACFTA diprediksi akan memunculkan banyak perselisihan dalam hubungan industrial
karena akan terjadi banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak.12
Sayangnya, pemerintah Indonesia yang diwakili Menteri Mari Pangestu justru dengan
mudah menyetujui usulan China untuk membatalkan renegosiasi dan sepakat untuk
mengkompensasi dampak buruk ACFTA bagi industri Indonesia dengan janji investasi di
sektor infrastruktur oleh China. Logika dari kesepakatan ini sulit diterima karena investasi
infrastruktur dari China jelas tidak akan dapat memperlambat laju percepatan
deindustrialisasi yang telah dan akan terus terjadi akibat gempuran produk impor China.
9 Pemerintah negosiasi ulang ACFTA, Arrahmah.com, & Electronic Copy Available At
http://m.arrahmah.com/read/2011/04/12/11865-pemerintah-negosiasi-ulang-acfta.html 10
Negosiasi ACFTA Gagal, Surabaya Post Online, Rabu, 27/04/2011 | 10:52 WIB, Electronic Copy Available
At http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=6756cd0e4c74ef32aaa21e358b076
7b8& jenis=d41d8cd98f00b204e9 800998ecf8427e 11
Ibid 12
Hendri Saparini, Dampak ASEAN China Free Trade Agreement: Negosiasi Setengah Hati, Jurnal Ekonomi
Pembangunan | JEP FE UMS, 25 Mei 2011, Juga dimuat dalam Dimuat di Harian Republika, Senin, 18
April 2011, Electronic Copy Available At http://www.developmenteconomic.com/2011_05_01_
archive.html
-
Halaman 5 dari 46
Industri yang bangkrut akibat ACFTA tentu tidak mudah dan murah untuk dibangkitkan
lagi meskipun dibantu dengan pembangunan infrastruktur. Lebih lanjut menurut Hendri
Saparini, sikap Indonesia yang mendukung pembatalan renegosiasi tarif justru semakin
jelas dengan kedatangan Perdana Menteri China Wen Jiabao untuk membicarakan
investasi China di Indonesia. Wakil Presiden Boediono bahkan menyambut dan
menyatakan bahwa bagi Indonesia yang lebih penting adalah menyiapkan infrastruktur
bukan merevisi kesepakatan ACFTA yang telah dibuat. Jadi, fokus pemerintah Indonesia
memang bukan memperjuangkan renegosiasi tariff yang akan menyelamatkan industri
manufaktur nasional.13 Penolakan Indonesia untuk melakukan renegosiasi ACFTA juga
sudah terlihat sebelumnya. Pada pertengahan tahun 2009, jauh sebelum penerapan
ACFTA secara penuh, Menteri Mari Pangestu juga mengabaikan masukan Asosiasi
Pertekstilan Indonesia (API) yang menyampaikan bahwa tidak hanya pengusaha
Indonesia, tetapi juga pengusaha tekstil yang tergabung dalam koalisi tekstil ASEAN
merasa keberatan dengan ACFTA sehingga meminta kepada pemerintahannya masing-
masing untuk mengajukan penundaan AC-FTA. Upaya ini merupakan langkah lanjutan
pengusaha setelah pada awal 2009 pengusaha perikanan Filipina juga mengajak
pengusaha ASEAN mendorong penundaan liberalisasi sektor perikanan dalam kesepatan
ACFTA.
Indonesia sebagai salah satu negara penting di ASEAN dan saat ini bahkan
menjadi ketua ASEAN, ternyata bukan memanfaatkan forum ASEAN dan kerjasama
dengan para menteri ASEAN lainnya untuk mencari solusi bagi penyelamatan
kepentingan nasional, tetapi justru cenderung berlindung dibalik berbagai kesepakatan
untuk tidak melakukan renegosiasi ACFTA dengan sungguh-sungguh. Fenomena ini jelas
merupakan problema dilematik khusunya dalam perspektif peranan negara terhadap
kegagalan pasar (market failure) dalam konteks ACFTA saat ini.
B. ASEAN Cina Free Trade Area (ACFTA)
Zona Perdagangan Bebas/Regional Free Trade Area (R-FTA) merupakan
perwujudan dari fenomena integrasi ekonomi. R-FTA memunculkan banyak pro dan
kontra diantara para ahli ekonomi. R-FTA memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih
baik dengan mengeliminasi tarif, sehingga masyarakat memiliki daya beli barang yang
lebih tinggi. ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) diimplementasikan dengan menghapus
dan mereduksi segala penghalang dalam proses perdagangan barang (baik tarif maupun
non-tarif), memperbaiki akses ke pasar jasa, peraturan dan regulasi investasi dan juga
perbaikan kerja sama ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas ASEAN dan
Cina. ACFTA membawa banyak keuntungan, dan juga kerugian bagi negara-negara
ASEAN. Pemerintah Indonesia berharap bahwa ACFTA akan membawa hasil yang
menggembirakan kedepannya, seperti kesempatan yang lebih luas bagi Indonesia untuk
memasuki pasar Cina dengan mendayagunakan tarif yang relatif rendah dan populasi
13 Ibid
-
Halaman 6 dari 46
yang besar; meningkatkan kerja sama antar pengusaha di kedua negara melalui
pembentukan aliansi strategis; meningkatkan daya beli atas barang-barang Cina dengan
penurunan tarif dan biaya; dan meningkatkan kemungkinan transfer teknologi antar
pengusaha kedua negara. Semua ekspektasi diatas, lepas dari tercapai atau tidaknya,
akan butuh bertahuntahun untuk melihat dampak nyata dari ACFTA.
Perdana Menteri Cina, Zhu Rongji adalah orang yang menelurkan ide zona
perdagangan bebas antara Cina dan ASEAN pada Cina-ASEAN Summit, November 2000.
Di bulan Oktober 2001, sebuah kelompok ahli ekonomi dari Cina dan ASEAN
mengeluarkan sebuah rekomendasi pembentukan ASEAN-Cina dalam waktu 10 tahun
kedepan. Satu bulan kemudian di bulan November 2001, pada Cina-ASEAN Summit
lainnya, para pemimpin dari negara-negara tersebut memulai negosiasi atas
kemungkinan diwujudkannya ide tersebut. Satu tahun kemudian, para pemimpin negara-
negara ASEAN dan perdana menteri Cina, Zhu Rongji, menandatangani Perjanjian
Kerangka Kerja ACFTA14. Perjanjian ini berfungsi sebagai roadmap pembentukan zona
perdagangan bebas antara Cina dan ASEAN. Perjanjian ini merumuskan bahwa zona
perdagangan bebas harus diselesaikan pada tahun 2015. Perjanjian Kerangka Kerja
ACFTA merupakan dokumen yang inovatif bagi negara ASEAN, karena ASEAN sebagai
sebuah organisasi, meski telah menjalin perjanjian perdagangan bebas antar anggotanya,
belum pernah membuat perjanjian semacam ini dengan negara non-anggota. Selain itu,
Perjanjian Kerangka Kerja ACFTA merupakan perjanjian perdagangan bebas pertama Cina
dengan negara asing. Sejak hadirnya Perjanjian Kerangka Kerja ACFTA, baik Cina dan
ASEAN telah memasuki tahap negosiasi perjanjian perdagangan bebas lainnya dengan
negara-negara lain.
ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) adalah sebuah persetujuan kerjasama
ekonomi regional yang mencakup perdagangan bebas antara negara anggota ASEAN
(Assosiation of South East Asian Nation) dengan China. Persetujuan ini telah disetujui dan
ditandatangani oleh negara-negara ASEAN dan China pada tanggal 29 November 2004.
Dalam kerjasama ini, hambatan-hambatan tarif dan non-tarif dihilangkan atau dikurangi
dalam rangka mewujudkan perdagangan bebas dalam kawasan regional ASEAN dan
China15. Secara historis perjalanan ACFTA ini diawali dengan adanyan Framework
Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and Peoples
Republic of China ditandatangani oleh para Kepala Negara ASEAN dan China pada tanggal
4 Nopember 2002 di Phnom Penh, Kamboja. Protokol perubahannya telah
ditandatangani oleh Para Menteri Ekonomi pada tanggal 6 Oktober 2003 di Bali.
Selanjutnya penjanjian Agreement Trade in Goods dan Agreement Dispute Settlement
14 Wirapati et al, Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang
Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan, Buletin Ekonomi Militer dan Perbankan,
Volume 13, Nomor 1, Juli 2010, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, hal 77 15
Agreement on Trade in Goods of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation
between the Association of Southeast Asian Nations and the Peoples Republic of China Electronic Copy
Available At http://www.aseansec.org/16646.htm pada tanggal 23 April 2011 pukul 18: 39 WIB.
-
Halaman 7 dari 46
Mechanism telah di tandatangani di Vientiane, Laos oleh para Menteri Ekonomi Negara
ASEAN dan China pada tanggal 29 November 2004. Perkembangan berikutnya di
Indonesia dilakukan ratifikasi Framework Agreement ASEAN-China FTA melalui
Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004. Lebih lanjut Landasan
hukum terhadap seluruh perjanjian perdagangan bebas ASEAN di Indonesia
pemerintahan SBY meratifikasi Piagam ASEAN (ASEAN Charter) melalui UU No 38 tahun
2008. Piagam ASEAN berisikan garis besar haluan kebijakan ASEAN. Dalam piagam
tersebut sangat jelas disebutkan bahwa ASEAN adalah kawasan pasar bebas. Atas dasar
perjanjian tersebut disepakatilah penurunan tarif secara bertahap hingga nol persen
untuk kategori normal track terhadap 1880 pos tarif hingga mencapai 0 % pada awal
tahun 2010. Pemberlakuan kesepakatan penurunan tarif perdagangan dalam kerangka
ACFTA terakhir kali ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan RI No. 235/PMK.
011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk.
Namun, tidak semua anggota ASEAN menyetujui penghapusan tarif dalam waktu
bersamaan. ASEAN yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei
Darussalam, dan Filipina menyetujui penghapusan per 1 Januari 2010 sedangkan CMLV
(Cambodia, Myanmar, Laos,dan Vietnam) baru akan mengeliminasi dan menghapus tarif
per 1 Januari 2015. Tidak hanya itu, negara-negara yang telah menyetujuinya juga akan
meningkatkan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi serta meningkatkan
aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak ACFTA.
Di dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the
ASEAN and Peoples Republic of China, kedua pihak sepakat akan melakukan kerjasama
yang lebih intensif di beberapa bidang seperti pertanian, teknologi informasi,
pengembangan SDM, investasi, pengembangan Sungai Mekong, perbankan, keuangan,
transportasi, industri, telekomunikasi, pertambangan, energi, perikanan, kehutanan,
produk-produk hutan dan sebagainya. Kerjasama ekonomi ini dilakukan untuk mencapai
tujuan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China.16 Adapun Road
Map Perjanjian ACFTA ini dapat dilihat pada gambar berikut :
16 ASEAN-China Free Trade Area Electronic Copy Available At http://ditjenkpi.depdag.go.id/Umum/
Regional/Win/ASEAN %20-%20China%20FTA.pdf pada tanggal 23 April 2011 pukul 21: 50 WIB.
-
Halaman 8 dari 46
Bagan 1. Road Map Perjanjian ACFTA17
Sumber : Ibrahim et al (2010).
Secara lebih spesifik, ACFTA antara lain bertujuan untuk :
Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi
antara negara-negara anggota.
Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa
serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah
investasi.
Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan
kebijaksanaan
yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota.
Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru
17 Ibrahim et al, DAMPAK PELAKSANAAN ACFTA TERHADAP PERDAGANGAN INTERNASIONAL
INDONESIA, Buletin Ekonomi Militer dan Perbankan, Volume 13, Nomor 1, Juli 2010, Direktorat Riset
Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, hal 31-33
4 Nov 6 Oktober 15 Juni 7 Juli 15 Maret 6 Feb 23 Des 29 Jan
Kepala negara ASEAN dan Cina menandatangani kerangka persetujuan Comprehensive Economic Cooperation Pnom Penh
Menteri Ekonomi ASEAN dan Cina menandatangani protocol perubahan kerangka persetujuan di Bali
Indonesia meratifikasi kerangka-persetujuan ACFTA melalui Kepres No.48/2004
Terbit: Permenkeu No.56/PMK.010/2 005 tentang Penurunan / Penghapusan Tarif BM dl Rangka Normal Track ASEAN-China
Terbit: Permenkeu No.21/PMK.010/ 2006 tentang Penetapan Tarif BM dlm Rangka Normal Track ACFTA thn 2006
Terbit: - Permenkeu No. 07/KMK.04/2007 tentang perpanjangan SK Menkeu No.355/2004 Permenkeu No. 08/PMK.04/20 07 tentang perpanjangan SK Menkeu No.356/KMK. 01/2004
Terbit: Permenkeu No. 235/PMK.011/2008 tentang Penetapan Tarif BM dalam rangka ACFTA
Depperin meminta penundaan ACFTA dari 2010 hingga 2012 akibat krisis
21 Juli 2 Des
Terbit: - SK Menkeu No.355/KMK/01/2004 tentang Penetapan Tarif BM atas impor barang dalam Kerangka Early Harvest Package (EHP) AC-FTA.- SK Menkeu No.356/KMK/01/2004 tentang Penetapan Tarif BM atas Impor Barang dl Kerangka EHP Bilateral Indonesia-China FTA
10 Asosiasi industry meminta penundaan ACFTA ke DPR.
25 Des
\ Dibentuk tim bersama untuk ACFTA yang dipimpin Menko, dg melibatkan Apindo, Kadin, dan Depdag
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
-
Halaman 9 dari 46
(Cambodia, Laos, Myanmar, dan VietnamCLMV) dan menjembatani kesenjangan
pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota.18
Adapun katagori produk yang terdapat pada perjanjian tersebut meliputi Early
Harvest Program (EHP), produk-produk yang tercakup dalam Normal Track, dan Sensitive
serta Highly Sensitive. Pada tanggal 1 Januari 2006 tarif bea masuk ke China untuk semua
produk-produk yang tercakup dalam Early Harvest Program (EHP) sudah menjadi 0 %.
Adapun cakupan produk tersebut adalah Chapter 01 sampai dengan 08 (yaitu 01. Live
Animals; 02. Meat and Edible Meat Offal; 03. Fish; 04. Daily Products; 05. Other Animal
Products; 06. Live Trees; 07. Edible Vegetables dan 08. Edible Fruits and Nuts) dengan
pengecualian Sweet Corn (HS 07 10 40000). Selain itu untuk menyeimbangkan nilai
ekspor Indonesia dan China terhadap produk-produk di atas, disepakati produk-produk
EHP yang dinegosiasikan secara bilateral sebanyak 47 pos tarif (10 digit) antara lain Kopi,
Minyak kelapa (Kopra), Lemak dan minyak hewani, margarine, Bubuk Kakao (HS
1806.10.00.00), Sabun, perabotan dari rotan dan Stearic Acid. Dari beberapa produk
dalam EHP mengalami pelonjakan nilai ekspor Indonesia ke China yang sangat nyata yaitu
antara lain Maniok (HS 0714); Fish, Frozen (HS 0303); Kopra dan turunannya, (HS 1513);
Margarine (HS 1517); Glass envelope (HS 7011).
Sedangkan pada program penurunan bertahap dan penghapusan tarif bea masuk
produk-produk yang tercakup dalam Normal Track berlaku efektif mulai tanggal 20 Juli
2005, dengan cakupan produk yang menjadi andalan ekspor Indonesia ke China
diantaranya produk Coal (HS 2701); Polycarboxylic acids (HS 2917); Wood (HS 4409);
Copper wire (HS 7408). Produk andalan Indonesia yang oleh China dimasukkan dalam
Sensitive dan Highly Sensitive antara lain Palm Oil dan turunanya (HS 1511); Karet Alam
(HS 4001); Plywood, vennered panels (HS 4412). Sebaliknya, Indonesia juga memasukkan
produk-produk unggulan Ekspor China ke Indonesia antara lain Barang Jadi Kulit; tas,
dompet; Alas kaki: Sepatu sport, Casual, Kulit; Kacamata; Alat Musik; Tiup, petik, gesek;
Mainan: Boneka; Alat Olah Raga; Alat Tulis; Besi dan Baja; Spare part; Alat angkut;
Glokasida dan Alkaloid Nabati; Senyawa Organik; Antibiotik; Kaca; Barang-barang Plastik;
Produk Pertanian, seperti Beras, Gula, Jagung dan Kedelai; Produk Industri Tekstil dan
produk Tekstil (ITPT); Produk Otomotif; Produk Ceramic Tableware. Adapun tabel
penurunan bea tarif beserta penjadwalannya dapat dilihat pada tabel berikut :
18 Ibid
-
Halaman 10 dari 46
Tabel 1. Program Penurunan Tarif Bea masuk dalam ACFTA19
Katagori Jenis Time frame
I EHP 1 Januari 2004 dan menjadi 0% pada 1 Januari 2006
II Normal Track I dan II 20 Juli 2005 untuk Normal Track, yang menjadi 0%
pada tahun 2010; dengan fleksibilitas pada produk-
produk yang akan menjadi 0% pada tahun 2012
III Sensitive list Mulai tahun 2012, dengan penjadwalan bahwa
maksimun tariff bea masuk pada tahun 2012 adalah
20% dan akan menjadi 0-5% mulai tahun 2018
Highly sensitive list Tahun 2015, dengan maksimum tariff bea masuk pada
tahun 2015 sebesar 50%
Sumber : ASEAN-China Free Trade Area, 2010
Legal enactment penurunan dan penghapusan tarif untuk EHP telah dilakukan
melalui SK MENKEU Nomor: 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 tentang Penetapan
Tarif Bea Masuk atas Impor Barang Dalam Kerangka EHP ASEAN-China Free Trade Area
(FTA) serta SK MENKEU Nomor 356/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 tentang
Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang Dalam Kerangka EHP Bilateral Indonesia-
China FTA. Sedangkan untuk produk Stearic Acid telah masuk ke dalam program EHP dan
mulai berlaku penurunan tarifnya pada tanggal 1 Januari 2005 dengan Peraturan Menteri
Keuangan No. 09/PMK.010/2005 tanggal 31 Januari 2005.
Lebih lanjut untuk program penurunan dan penghapusan tarif bea masuk untuk
Normal Track berlaku efektif mulai tanggal 20 Juli 2005. Sedangkan Legal Enactment
Penurunan dan Penghapusan tarif untuk Normal Track telah dilakukan melalui Keputusan
MENKEU Nomor: 56/PMK.010/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang Jadwal Penurunan Tarif
dalam Kerangka ACFTA serta Keputusan MENKEU Nomor: 57/PMK.010/2005 tanggal 7
Juli 2005 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam Kerangka ACFTA untuk tahun 2005.
Adapun jadwal program penurunan dan penghapusan tarif bea masuk untuk Normal
Track sebagai berikut:
Tabel 2. Program Penurunan Tarif Bea masuk untuk Normal Track dalam ACFTA20 Tariff Rate (x) 2005 2007 2009 2010
X > 20 20 12 5 0
15 < x < 20 15 8 5 0
10 < x < 15 10 8 5 0
5 < x < 10 5 5 0 0
X < 5 5 5 0 0
Sumber : ASEAN-China Free Trade Area, 2010
Program penurunan tarif dimulai tahun 2012, dengan penjadwalan bahwa untuk
produk-produk Sensitive tarif bea masuk maksimum pada tahun 2012 adalah 20%.
Selanjutnya dilakukan penghapusan bertahap atas bea masuk produk-produk dimaksud,
sehingga mulai tahun 2018 tarif bea masuknya menjadi 0-5%. Program penurunan tarif
19 Ibid
20 Ibid
-
Halaman 11 dari 46
bea masuk untuk produk-produk Highly Sensitive, dimulai pada tahun 2015, dengan
penjadwalan bahwa pada tahun 2015 tarif bea masuk maksimum 50%.
Sejak pembentukan ACFTA Januari 2010, banyak reaksi negatif diterima dari para
pemain di sektor riil dan bidang terkait lainnya. Kebanyakan dari mereka menyatakan
bahwa pihaknya belum siap berkompetisi dengan Cina dan mereka meminta pemerintah
untuk menunda implementasi dari perjanjian ACFTA. Terutama untuk kasus ACFTA and
Common Effective Preferential Tariff-ASEAN Free Trade Agreement (CEPT-AFTA),
Indonesia masih menyetujui penurunan tarif sesuai daftar, dimana produk-produk yang
termasuk dalam Normal Track (NT1) ACFTA dan Inclusion List (IL) CEPT-AFTA untuk
ASEAN, direncanakan akan diberikan tarif masuk 0% mulai 1 Januari 2010. Menteri
Perdagangan telah menunda penghapusan tarif masuk untuk beberapa produk karena
ketidaksiapan dari beberapa sektor domestik. Pada saat ini, Indonesia sedang dalam
posisi menunda pemotongan tarif 227 kategori produk. 21
Sehubungan dengan pelaksanaan ACFTA Park et al (2008) dalam Ibrahim et al
(2010)22, menganalisa keunggulan dan prospek ACFTA dan mengungkapkan bahwa
ACFTA, yang terdiri dari 11 ekonomi dengan total populasi dan GDP yang cukup besar,
sangat memungkinkan untuk menjadi suatu kawasan kerjasama ekonomi yang efektif.
Relatif besarnya level tarif intra wilayah juga merupakan potensi yang dapat
meningkatkan trade creation. Pada perkembangannya, meskipun Cina dan ASEAN telah
berupaya meliberasikan perdagangannya, ternyata tingkat tarif dan hambatan antara
keduanya ternyata masih cukup tinggi, sehingga memungkinkan untuk terciptanya trade
creation. Cina memberlakukan tarif rata-rata sebesar 9,4% untuk barang dari ASEAN.
Sebaliknya, tarif yang diberlakukan negara ASEAN terhadap barang dari Cina secara rata-
rata hanya sebesar 2,3%.
Namun tak dapat dipungkiri bahwa selain peluang terdapat pula tantangan
dengan berlakunya ACFTA. Tantangan terbesar yaitu peningkatan kompetisi produk.
Ketakutan akan ketidakmampuan untuk bersaing produk dalam negeri menghadapi
serangan produk impor dari Cina maupun ketakutan akan ketidakmampuan produk
ekspor untuk masuk ke potensi pasar Cina yang terbuka lebar merupakan tantangan yang
apabila dikelola dengan bijaksana maka dapat menjadi peluang yang cukup potensial.
Yue (2004) Ibrahim et al (2010)23 mencontohkan peningkatan perdagangan intra industri
pada produk mesin dan perlengkapan elektrik sebagai contoh dari dampak ACFTA
terhadap peningkatan perdagangan yang cukup berhasil. Terdapat berbagai penelitian
yang telah membahas dampak perdagangan ACFTA sebagai berikut :
21 Wirapati et al, Juli 2010Op cit, hal 79
22 Ibrahim et al, Juli 2010, Op cit, hal 31-33
23 Ibid
-
Halaman 12 dari 46
Tabel 3. Penelitian-Penelitian terkait dengan ACFTA24
Peneliti Tahun Metode Analisis Temuan
Park et al 2008 Indikator
Perdagangan dan
GTAP
- Secara keseluruhan akan meningkatkan net trade, output dan
welfare regional
- Dampak masing-masing negara sangat beragam
- Keuntungan yang besar untuk negara seperti Singapura, Malaysia,
Indonesia dan Thailand dibandingkan negara anggota yang relatif
lebih miskin seperti Kamboja, Laos dan Myanmar.
- Optimis mengenai prospek penerapan ACFTA.
Park
2007
Kualitatif - ASEAN merupakan potensi pasar yang besar bagi ekspor China
sekaligus alternatif sumber impor
- China merupakan pasar potensial bagi produk ekspor ASEAN
terutama barang intermediate dan capital
- ACFTA akan memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan
terhadap perekonomian ASEAN dan China
- Tekanan kompetisi dari China akan membawa dampak negatif
dalam jangka pendek namun akan berdampak positif berupa
peningkatan produktivitas dan efisiensi di jangka panjang
Jiang &
McKibbin
2008 GTAP Studi ini membandingkan dampak dari berbagai kerjasama
perdagangan yang diikuti oleh China. Hasil temuan untuk kasus
ACFTA menyatakan bahwa China akan mendapatkan keuntungan
dari keikutsertaannya dalam ACFTA
Tambunan
2005
Indikator
Perdagangan
- Peningkatan ekspor ASEAN ke China
- Kompetisi terhadap produk impor dari China
- Terjadi trade creation dari ASEAN-China yang cenderung lebih
tinggi dibandingkan pertumbuhan intra trade antar negara ASEAN
Okamoto 2005 Indikator
Perdagangan
Singapura dan Malaysia memperoleh keunggulan dari spesialisasi
inter dan intra industri sementara Thailand memperoleh keunggulan
dari spesialisasi intra industri. Namun Indonesia dan Filipina tidak
banyak memperoleh keuntungan
Universal
Acces to
Compititive-
ness and
Trade
(UACT)
GTAP - Peningkatan Ekspor ASEAN ke China dan sebaliknya
- Manfaat terbesar dari sisi ekspor dirasakan Indonesia, Malaysia,
Singapura dan Thailand
- Komoditi ekspor andalan ASEAN merupakan barang
intermediate China sehingga peningkatan ekspor China akan
mendorong peningkatan ekspor ASEAN
- PDB ASEAN meningkat 0,9% sementara PDB China meningkat
0,3%
Yue
2004
GTAP
- Manfaat ekonomi : peningkatan speasialisasi dan
perdagangan. Namun demikian, juga akan terjadi trade
diversion dengan non member yang signifikan.
- Dampak perdagangan : peningkatan eskpor ASEAN ke China dan
sebaliknya. Peningkatan ekspor terbesar akan dialami oleh
Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand. Secara sektoral,
keuntungan terbesar akan dinikmati oleh produk tekstil dan
pakaian, mesin dan perlengkapan elektrik, serta industri
lainnya. Terdapat peningkatan yang signifikan untuk perdagangan
intra industri.
- Dampak terhadap PDB : PDB ASEAN akan meningkat 0,9% dan
China 0,3%. Vietnam akan mengalami peningkatan terbesar.
Sementara Indonesia akan mengalami penurunan PDB.
- Keuntungan non-ekonomi : peningkatan hubungan poilitik dan
sosial.
Sumber : Ibrahim et al (2010).
24 Ibrahim et al, Juli 2010, Op cit, hal 33
-
Halaman 13 dari 46
C. ACFTA : Menguntungkan Atau Merugikan
I like to see a man proud of the place in which he lives. I like to see a man live
so that his place will be proud of him
(Saya ingin melihat seseorang bangga pada tempat di mana dia hidup. Saya
ingin melihat orang itu hidup sehingga tempat di mana dia hidup, bangga
terhadapnya) (Abraham Lincon)
Jargon sebagaimana yang disampaikan oleh Abraham Lincon (1809-1865)
tersebut penuh dengan muatan makna, yang mana menjadi suatu kepastian bahwa
segala sesuatu yang diinginkan membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Hal inilah
yang dapat dianalogikan dalam perjuangan menghadapi ACFTA. Indonesia harus
introspeksi dan berbenah diri, mau tidak mau ACFTA memang harus dihadapi mengingat
inilah medan pertempuran yang nyata. Indonesia tidak bisa berdiam diri dan menyerah
pada keadaan, terus berjuang bukan saja untuk menghadapi ACFTA, tetapi juga untuk
Indonesia yang lebih baik.
Eksistensi ACFTA merupakan manifestasi dari globalisasi. Padahal dalam
perjalanannya, globalisasi memang mengalami berbagai perkembangan yang tidak
memberikan pola yang pasti. Pengandaian semua negara mendapatkan keuntungan yang
setara dari hilangnya batas-batas territorial negara dalam aktivitas ekonomi tidak
berjalan secara sempurna. Berbekal realitas yang demikian ini, maka pelaksanaan
globalisasipun mengalami beberapa perubahan. Menurut Andrianto (2009) globalisasi
yang menyatukan aktivitas ekonomi dunia menjadi terpolarisasi menjadi dua pola
aktivitas ekonomi global, yakni (i) kelompok perdagangan yang dibentuk atas dasar
kedekatan wilayah (integrasi regional); dan (ii) kelompok perdagangan yang dibentuk
berdasarkan skala ekonomi tertentu.25
Pola pertama itulah yang menjadi pijakan atas pelaksanaan kesepakatan
perdagangan bebas antara ASEAN dan Cina (serta Taiwan dan Hongkong) sejak 1 Januari
2010, Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-Cina/ ASEAN - China Free Trade Agreement
(ACFTA), telah sepenuhnya efektif memperkenalkan bebas tariff terhadap 6682 pos tarif
mencakup 17 sektor usaha, termasuk 12 di sector manufaktur dan 5 di pertanian,
tambang dan maritim. Hal itu telah memunculkan banyak perdebatan publik yang serius
di Indonesia; beberapa pendapat menegaskannya sebagai peluang, sedangkan yang lain
menganggapnya sebagai ancaman bagi perekonomian Indonesia.
Polemik itu memang disadari, sehingga Farrel (2004) berargumentasi bahwa
perdagangan bebas regional yang sampai sekarang ini telah terjadi memang memberikan
gambaran bahwa tidak ada keadilan ekonomi setara yang diperoleh setiap negara
25 Andrianto, Jati. 2009. Ekonomi Politik Globalisasi. Dalam Ahmad Erani Yustika. Ekonomi Politik: Kajian
Teoritis dan Analisis Empiris. Pustaka Pelajar. Yogyakarta hal 77
-
Halaman 14 dari 46
peserta kesepakatan perdagangan bebas tersebut.26 Perdebatan akademik tentang
kesepakatan perdagangan bebas regional ini memang belum selesai. Walau demikian
Eichengreen (2006) menanggapi bahwa, terdapat konsep pasti akan integrasi regional ini.
Polanya, setelah integrasi perdagangan, dilanjutkan dengan integrasi keuangan, integrasi
moneter, dan integrasi politik.27
Lebih lanjut dalam melakukan analisis atas eksistensi ACFTA dalam bingkai
keuntungannya, kerugiannya yang ditunjukkan dengan beberapa sektor yang terancam,
serta beragam problem kontekstual di Indonesia dalam menghadapi ACFTA dapat
dirangkum dalam bagan berikut :
Bagan 2. Analisa Problem, Kerugian dan Keuntungan Penerapan ACFTA
Sumber : diolah oleh penulis, 2011
Analisa Neraca Perdagangan
Kajian tentang neraca perdagangan menunjukkan berdasarkan data ASEAN
Investment Fact Sheet 2009, selama 2009 perputaran uang akibat aktivitas ekonomi Cina
di ASEAN mencapai US$ 200 miliar. Angka yang demikian ini memang wajar karena
selama 2009 Cina merupakan negara terbesar ketiga di dunia dalam melakukan trading
partner. Mempertimbangkan realitas perdagangan bebas regional tersebut, maka
26 Farrel, Mary. 2004. Regional Integrasion and Cohesion Lessons from Spain and Ireland in the UE.
Journal of Asian Economics. 14:927-946 27
Eichengreen, Barry. 2006. On the Sequencing of Regional Integration: General Considerations and an
Application to Asia. North American Journal of Economics and Finance. 17: 329334
NERACA
PERDAGANGAN
INDONESIA
AACCFFTTAA ANALISA
SEKTOR
PELUANG
ANALISA
SEKTOR
TERANCAM
ANALISA
PROBLEM
KONTEKSTUAL
-
Halaman 15 dari 46
implementasi ini akan kian meningkatkan nilai perdagangan yang terjadi di kawasan
ASEAN + Cina. Selain itu, berdasarkan data yang ada, selama 2008 Cina telah melakukan
investasi langsung (FDI) di ASEAN senilai US$ 6,1 miliar. Sementara itu, ASEAN sendiri
selama 2008 melakukan investasi ke Cina sebesar US$ 5,6 miliar.28 Data ini memiliki arti
bahwa kontribusi Cina di ASEAN lebih tinggi dibandingkan kontribusi yang diberikan
ASEAN terhadap Cina. Lebih dari itu, data ini juga mengambarkan bahwa pertumbuhan
ekonomi Cina yang paling tinggi di dunia bukan hanya memberikan manfaat sekaligus
ditopang oleh perekonomian domestik tetapi juga memberikan kontribusi bagi
perekonomian regional.
Sementara itu, dalam konteks perdagangan antara Cina dan Indonesia, pola yang
terjadi di wilayah regional tidak sama dengan perdagangan bilateral ini. Dalam konteks
neraca perdagangan misalnya, selama Januari - Oktober 2009, neraca perdagangan
Indonesia terhadap Cina mengalami defisit yang mencapai US$ 2 miliar. Lebih lanjut,
berdasarkan data BPS, struktur neraca perdagangan Indonesia ke Cina tersebut dikuasai
oleh sektor manufaktur, yakni sebesar 80%. Sisanya diikuti dengan mining 16% dan
agriculture 4%. Namun jika struktur ekspor tersebut ditelaah, sebenarnya yang paling
dominan itu adalah ekspor berbasiskan natural resources, yaitu mencapai sebesar 50,6%.
Sedangkan, yang non-natural resources sebanyak 49,4%. Data yang demikian ini memang
menggambarkan bahwa nilai ekspor Indonesia ke Cina memiliki nilai tambah yang
rendah.
Lebih lanjut, Kementerian Perdagangan dan Badan Pusat Statistik belum lama
melansir keadaan terakhir neraca perdagangan Indonesia dengan China periode Januari-
November 2010. Data tersebut mengungkapkan bahwa ekspor Indonesia ke China telah
meningkat dari US$ 12,4 miliar menjadi US$ 17,7 miliar AS. Sisi positif lainnya juga
dikatakan bahwa ekspor didominasi oleh produk industri, bukan bahan mentah.
Sayangnya, neraca perdagangan total tetap tak bisa bohong bahwa defisit neraca
perdagangan Indonesia-China pada periode yang sama mencapai US$ 5,3 miliar,
meningkat US$ 1 miliar dibanding tahun sebelumnya.29 Hal ini tentunya menjawab
kekhawatiran berbagai khalayak terhadap dampak berlakunya ACFTA. Apalagi China kini
menjadi tujuan ekspor nomor dua menggeser posisi Amerika Serikat. Keadaan ini juga
mengubah kerangka ketergantungan ekspor Indonesia dari Amerika Serikat ke China.
Lebih lanjut apabila dicermati kondisi tersebut terlihat jika nilai perdagangan akan
meningkat secara drastis di wilayah regional, namun secara bilateral terus mengalami
defisit, maka bisa dipastikan bahwa volume perdagangan produk dalam negeri kurang
kompetitif tatkala bersaing di Cina. Selain itu, jika struktur makro ekonominya seperti itu,
28 Andrianto, Jati et al, Memetakan Sektor Berpeluang dan Terancam, Jurnal Sosial Demokrasi Volume 8
No. 3 Februari - Juni 2010, Penerbit Pergerakan Indonesia dan Komite Persiapan Yayasan Indonesia Kita,
Jakarta, hal 43-44. Electronic Copy Available At http://library.fes.de/pdf-files/bueros/indonesien/
07003/2010-08.pdf 29
Pamungkas Ayudhaning Dewanto, Satu Tahun ACFTA, Electronic Copy Available At http://niamchomsky.
wordpress.com/2011/01/17/satu-tahun-acfta/
-
Halaman 16 dari 46
bagaimana dengan struktur mikro ekonominya, spesifik tentang sektor-sektor ekonomi
yang ada. Berpijak pada tujuan inilah, maka uraian-uraian selanjutnya akan mengupas
secara mendalam sektor-sektor ekonomi mana sajakah di Indonesia yang akan akan
berkembang dan terancam akibat implementasi kesepakatan perdagangan bebas antara
ASEAN dan Cina (ACFTA).
Analisa Sektor Berpeluang
Ciri-ciri sektor usaha yang berpotensi meraih kesempatan dengan adanya ACFTA
ialah apabila sector usaha itu mampu menjadi penopang ekonomi domestik, memiliki
basis industri yang kokoh dari hulu ke hilir, tidak masuk dalam pos tarif penundaan
ACFTA, memiliki comparative advantage index yang cukup tinggi, dan tingkat ekspor yang
tidak terganggu dengan adanya ACFTA, serta memiliki perangkat kebijakan dan undang-
undang yang telah siap diimplementasikan. Berdasarkan analisis dan perhitungan yang
dilakukan oleh Warta Ekonomi Intelligence Unit 30, terdapat dua sektor industri Indonesia
yang memiliki peluang tumbuh dalam implementasi ACFTA.
Pertama, sektor otomotif. Tren pertumbuhan industri otomotif Indonesia
memiliki kecenderungan untuk tetap stabil. Hal ini didasarkan pada indeks pertumbuhan
produksi otomotif yang mengalami kenaikan selama tiga tahun (2006 - 2008). Walaupun
sektor kendaraan bermotor mengalami defisit sebesar 46,46% pada 2006, tetapi pada
dua tahun berikutnya meningkat ke angka 29,65% dan 22,41%. Adapun pada bagian
subsector (alat angkutan selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih), memiliki
porsi kenaikan lebih tinggi dan persentase penurunan yang fluktuatif. Jika dilihat dari
angka selama tiga tahun, pertumbuhan produksi per 2006 defisit di angka 36,62% dan
dua tahun ke depan mengalami perbaikan dan peningkatan ke angka 8,89% dan 35,45%.
Sektor otomotif sangat sensitive dengan faktor daya beli masyarakat dan sistem kredit
perbankan. Hal ini pulalah yang memberikan dampak signifikan terhadap indeks
pertumbuhan sektor otomotif di Indonesia. Pada 2006 Indonesia memiliki permasalahan
pada faktor inflasi dan rezim suku bunga yang tinggi, sedangkan pada 2008-2009
Indonesia dihadapkan pada krisis global. Kondisi yang mengundungkan adalah Indonesia
mampu menjaga stabilitas system keuangan, sehingga mampu menjaga tingkat inflasi
secara seimbang dan memperkuat daya beli masyarakat Indonesia. Jika pada tahun ini
pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil dan positif, maka hal itu akan sangat membantu
memperkuat fundamental sektor otomotif terkait penerapan ACFTA pada 2010. Sebagai
tambahan, insentif pemerintah dalam menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI)
akan sangat membantu industri otomotif, terutama untuk sektor komponen manufaktur
dalam negeri dan sebagai peningkatan standar kualitas barang yang dihasilkan.
Kedua, sektor pertambangan. Pertambangan merupakan sektor usaha di
Indonesia yang termasuk memiliki comparative dan competitive advantage. Faktor
utama dari potensi sector ini ialah luasnya sumber daya alam yang dimiliki oleh
30 Andrianto, Jati et al, 2010, Op cit, hal, 44
-
Halaman 17 dari 46
Indonesia. Komoditas-komoditas yang dihasilkannya pun sukses menjadi komoditas
dunia. Indonesia memiliki potensi pasar yang besar, baik di dalam negeri maupun di luar
negeri. Untuk salah satu komoditas dalam sektor ini, secara comparative advantage
berhasil mencapai angka 41,05% pada 2008 dengan trend yang meningkat setiap
tahunnya.
Analisa Sektor Terancam
Tentu saja, di samping yang berpotensi mendapat peluang, ada pula sektor-sektor
usaha yang tergolong terancam terkait hadirnya era ACFTA. Ciri-ciri sektor usaha yang
diperkirakan terancam terkait ACFTA ialah memiliki perangkat undang-undang dan
kebijakan yang masih lemah, memiliki basis industri yang masih lemah dari hulu ke hilir,
masuk dalam pos tarif penundaan ACFTA, comparative advantage index yang cukup
rendah, dan ekspor terganggu dengan adanya ACFTA. Reaksi dari para pelaku usaha dan
asosiasi industri setidaknya mencatat 10 sektor industri dalam negeri potensial bakal
terimbas dampak buruk pemberlakuan ACFTA. Sektor tersebut meliputi pakaian, tekstil,
tas, sepatu, mainan anak, sandal, sepatu, jamu, makanan, minuman, pertanian dan
holtikultura serta perikanan/peternakan. Kategori sektor industry lainnya yang diprediksi
akan terpuruk meliputi industri manufaktur (seperti besi dan baja, petrokimia, elektronik,
kabel, dan serat sintesis) serta industry padat karya (seperti mebel, benang dan kain, alas
kaki, dan mainan).
Berdasarkan analisis dan perhitungan yang dilakukan oleh Warta Ekonomi
Intelligence Unit, ada delapan sektor industri di Indonesia yang terancam akibat
implementasi ACFTA. Pertama, sektor alas kaki. Walaupun ekspor alas kaki diprediksi
akan meningkat dalam beberapa tahun mendatang, tetapi implementasi ACFTA diyakini
akan membuat industri alas kaki di dalam negeri ikut tergerus. Pasalnya, proporsi
kenaikan ekspor itu ditaksir belum mampu menutupi kerugian dalam negeri akibat
penerapan ACFTA. Melihat indeks pertumbuhan produksi industri alas kaki, maka selama
2006, rata-rata produksinya mengalami pertumbuhan defisit sebesar 3,45% dan pada
2007 defisit itu mulai berkurang menjadi 0,47%. Sedangkan pada 2008, walaupun
mengalami kenaikan, tetapi porsi kenaikan tersebut terbilang kecil, yakni menjadi positif
14,07%. Sebagai salah satu sektor padat karya di Indonesia, sudah barang tentu industri
alas kaki harus mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Dengan penerapan
ACFTA, otomatis kualitas dan harga-harga produk murah dari Cina akan menjadi
konsumsi utama konsumen dalam negeri. Hal ini tentu memprihatinkan. Jika pemerintah
tidak segera merelokasi tarif masuk dan jangka waktu penerapannya, dikhawatirkan hal
ini akan membuat industri alas kaki gulung tikar. Selain itu, yang patut digarisbawahi,
tujuan ekspor alas kaki Indonesia selama ini ialah negara-negara maju seperti Amerika,
Jepang, dan kawasan Uni Eropa, bukanlah Cina. Dengan kondisi ekonomi yang belum
pulih dan melihat keuntungan yang akan diambil dari ekspor akan tetapi lebih rendah,
maka sungguh beralasan untuk cemas atas kemungkinan membanjirnya produk Cina di
Indonesia saat ini.
-
Halaman 18 dari 46
Kedua, sektor tekstil dan produk tekstil. Comparative advantage (CA) yang rendah
untuk tekstil dan produk tekstil (TPT) selama delapan tahun terakhir memberikan opsi
ancaman bagi industri TPT di Indonesia dalam menghadapi ACFTA. Berdasarkan kalkulasi
Institute for Development of Economics and Finance Indonesia (Indef) misalnya, pada
2008 CA TPT hanya sebesar 1,81%. Pada 2007 dan 2006 pun tidak jauh berbeda, hanya
1,9% dan 2,03%. Sektor TPT juga menjadi penyumbang eksportir terbesar jika
dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Tercatat terdapat 187 eksportir yang
melakukan ekspor ke luar negeri. Berdasarkan data BPS, indeks pertumbuhan produksi
TPT juga mencatat pertumbuhan fluktuatif selama tiga tahun terakhir (2006-2008), yang
secara berurutan sebesar 6,04%, 11,17%, dan 3,38%. Atas dasar ini, tampaknya
pemerintah perlu meratifikasi kebijakan terkait penentuan standar tarif dan bea dumping
yang diterapkan bagi produk-produk TPT.
Ketiga, sektor kimia. Kapasitas produksi bahan kimia pada 2008 mencapai 38,24
juta ton, sedangkan untuk ekspor pada periode yang sama mencapai 5,63 juta ton.
Sementara itu, kebutuhan bahan kimia yang diimpor pada 2007 mencapai 3,7 juta ton
dan pada 2008 mengalami peningkatan menjadi 3,8 juta ton. Industri kimia terbilang
salah satu industri yang terancam akibat penerapan ACFTA. Hal ini disebabkan masih
terjadinya kesenjangan antara pasokan dan permintaan produk kimia nasional,
khususnya polypropylene. Dengan kesenjangan kualitas mutu standar yang tinggi
antarjenis barang kimia, hal ini menjadi celah negatif yang dapat mengakibatkan
rendahnya daya saing barang kimia di pasar domestik. Sementara itu, tingkat
comparative advantage industri kimia hanya 0,47% pada 2008. Tampaknya, kesiapan dan
kesungguhan dari para pelaku industri kimia dan pemerintah dalam memproteksi
industry kimia pada era ACFTA ini sangat besar manfaatnya. Apalagi jika melihat indeks
pertumbuhan produksi kimia rata-rata selama 2008 menurun menjadi 6,84% dari tahun
sebelumnya yang mampu mencapai 35,84%.
Keempat, sektor besi dan baja. Dari usulan total 228 pos tarif yang disepakati
untuk ditunda dalam proses negosiasi ACFTA, sebanyak 114 pos tarif berasal dari sektor
industry besi dan baja, dengan jumlah kompensasi sebanyak 53 pos. Hal ini makin
meyakinkan bahwa industry besi dan baja dalam negeri akan mengalami kesulitan
menghadapi serbuan produk-produk Cina. Seperti diketahui, industri besi dan baja di
Tanah Air belum memiliki perangkat counter measures seperti antidumping duty (AD),
countervailing duty (CVD), dan safeguard. Faktor-faktor tersebut cukup untuk
memperlihatkan kurang seriusnya pemerintah dalam menghadapi persaingan global
tingkat ACFTA. Menimbang kondisi di atas, maka seharusnya baja dimasukkan ke dalam
kategori Highly Sensitive List (HSL). Hal ini untuk meyakinkan setidaknya industri besi dan
baja tidak kalah telak dalam persaingan dalam negeri dengan produk-produk dari Cina.
Kelima, sektor furnitur. Dalam usulan rekapitulasi perubahan pos tarif
pemberlakuan ACFTA, terdapat 5 pos (terkait sektor furnitur) dari total 228 pos tarif yang
diusulkan untuk ditunda. Dalam hal indeks pertumbuhan produksi, sektor furniture
mengalami fluktuasi kenaikan dan penurunan yang drastis. Pada 2006, rata-rata
-
Halaman 19 dari 46
pertumbuhan produksi furniture sebesar -1,87%, lalu pada 2007 sebesar -14,12%, dan
pada 2008 menjadi positif di level 33,56%. Data ini menandakan bahwa sektor tersebut
belum stabil dalam laju pertumbuhan produksinya. Sektor ini pun mengalami keadaan
sensitif terkait krisis global di wilayah Amerika Serikat dan Eropa. Dengan kondisi
perekonomian di kawasan tersebut yang belum pulih, maka permintaan belum tersedia
secara normal. Padahal, dari sisi jumlah, ekspor ke negara-negara tersebut cukup tinggi,
sehingga jika ACFTA diberlakukan, substitusi target tujuan ekspor belum tersedia. Hal ini
dikhawatirkan akan membuat produsen mebel dalam negeri gulung tikar karena
permintaan yang menurun dan membanjirnya produk Cina di pasar domestik dengan
harga murah dan kualitas yang lebih baik.
Keenam, sektor elektronik. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan Warta
Ekonomi Intelligence Unit, implementasi ACFTA diprediksi mampu menggerus lima
produk elektronik dalam negeri. Di antaranya, radio kaset jinjing, televisi jenis cembung,
kipas angin, setrika berkapasitas 350 watt, serta pompa air 125 watt. Kelima produk
tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpendapatan rendah dan jumlah populasi
segmen masyarakat tersebut sebanyak 20 juta kepala keluarga di Indonesia. Maka, Cina
yang memang menyasar segmen middle-low level di bisnis elektronik punya banyak
alasan untuk menjadikan ACFTA sebagai waktu yang tepat untuk mengeruk keuntungan
di pasar elektronik di Indonesia. Selain itu, berdasarkan data yang dirilis oleh Electronic
Marketer Club (EMC), hingga 2009, terdapat 18 produsen elektronik yang masih
memproduksi peralatan elektronik rumah tangga skala menengah. Untuk sector
elektronik ini sendiri, produk Cina lebih murah 20% - 30% disbanding produk Indonesia
ditambah dengan kualitas yang hampir sama.
Ketujuh, sektor permesinan. Berdasarkan hasil rilis yang dilakukan oleh Indef,
Comparative advantage (CA) sektor ini selalu konsisten di bawah 0,5% selama delapan
tahun terakhir. Terakhir pada 2008, CAnya sebesar 0,28%. Dalam rekapitulasi usulan
perubahan pos tarif seiring pemberlakuan ACFTA, jumlah penundaan di sektor ini
sebanyak 10 pos. Persentase impor mesin dari luar negeri sangat besar. Jika melihat data
BPS, pada 2005 sektor permesinan melakukan impor sebesar 72,3%. Bisa dibayangkan,
defisit neraca pembayaran yang terjadi dengan fakta ini.
Kedelapan, sektor makanan dan minuman. Menurut laporan Gabungan
Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), terdapat empat
produk olahan khusus yang perlu diproteksi, yaitu yang berbahan baku jagung, kedelai,
gula, dan beras. Produk-produk tersebut diyakini belum dapat bersaing dengan Cina.
Sektor ini pun telah mendapat perhatian Kementerian Perdagangan, dimana dengan
dikeluarkannya Permendag No. 56/2008. Peraturan ini mengatur ketentuan impor
produk tertentu yang mengizinkan impor lima produk, yakni alas kaki, garmen, produk
elektronik, mainan, serta makanan dan minuman, hanya melalui lima pelabuhan utama.
Pertumbuhan indeks produksi sektor makanan dan minuman Indonesia, seperti yang
dilansir oleh BPS (lihat Tabel Pertumbuhan Indeks Produksi), mengalami penurunan
jumlah produksi dari tahun ke tahun. Rata-rata pertumbuhan per tahun sector ini selama
-
Halaman 20 dari 46
kurun waktu 2006-2008, yaitu 11,98%, -5,19%, dan -2,65%. Hal ini seharusnya menjadi
fokus perhatian pemerintah mengingat sector makanan dan minuman merupakan sektor
yang padat karya. Hal-hal yang perlu diperbaiki sebaiknya mengarah pada faktor
peningkatan competitive advantage, yaitu berjalannya fair trade seperti yang telah
digariskan serta penguatan hambatan-hambatan teknis (technical barrier) seperti izin
edar dan kewajiban label Indonesia. Secara garis besar, sektor makanan dan minuman
cukup dikhawatirkan terimbas masuknya produk Cina ke Indonesia. Lebih lanjut
perbandingan antara peluang dan ancaman dari keberadaan ACFTA bagi Indonesia dapat
dipaparkan dalam tabel berikut :
Tabel 4. Sektor Peluang dan Terancam bagi Indonesia dengan Keberadaan ACFTA
Peluang Terancam
Sektor otomotif. Sektor alas kaki
Sektor pertambangan Sektor tekstil dan produk tekstil
Sektor kimia
Sektor besi dan baja
Sektor furnitur
Sektor elektronik
Sektor permesinan
Sektor makanan dan minuman
Sumber : data diolah, 2010
Paparan tabel 4 diatas menunjukkan bahwa, banyak sektor dalam negeri yang
terancam dengan adanya ACFTA. Walaupun demikian pilihan kebijakan yang tepat serta
keberpihakan Negara dalam menghadapi kesepakatan ACFTA adalah sebuah keharusan
yang tidak dapat ditawar. Indonesia tentu sangat sulit untuk mundur dari kesepakatan
ACFTA. Pakta perdagangan bebas suka tidak suka telah datang dan Indonesia harus siap
menyongsongnya. Kesepakatan tersebut harus mampu diarahkan sejalan dengan strategi
meningkatkan perekonomian bangsa dengan bentuk kebijakan pembangunan yang
benar-benar mampu menunjukkan sense of urgency.
Analisa Problem Kontektual
Lets Do Our Homework, merupakan kata yang tepat bagi semua problema
Indonesia dalam menghadapi ACFTA. Pemetaan atas neraca, peluang dan sektor yang
terancam di dalam negeri merupakan komponen-komponen riil sebagai input strategi
kebijakan ekonomi pemerintah, yang perlu dirumuskan dan dilaksanakan sebagai
bumper dari eksistensi ACFTA. Sehubungan dengan hal tersebut, disamping persoalan
industry manufaktur yang terancam, problem-problem kontekstual perlu diselesaikan
untuk dapat menstabillisasikan beragam dampak negative dari ACFTA.
Problem kontekstual bagi Indonesia yang demikian rentan untuk menghadapi
ACFTA adalah ekonomi biaya tinggi (high cost) yang kerap mewujud dalam retribusi, uang
keamanan, uang sumbangan, biaya pengawalan barang, uang jago, dan beragam bentuk
-
Halaman 21 dari 46
biaya siluman lainnya. Dari seluruh biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan negeri
ini, ditaksir sekitar 12-15 persennya adalah biaya siluman. Pola rente ekonomi ini
menyebabkan harga produk barang kita Indonesia (terutama untuk pasar ekspor)
menjadi berbiaya tinggi dan sulit bersaing. Problemnya, hingga kini pemerintah tak
terlihat serius memberantas bandit-bandit berseragam dan preman jalanan yang menjadi
penyebab tingginya biaya produksi ini. Jika kondisi ini terus berlanjut, jelas daya saing
produk industri nasional kita sampai kiamat sekalipun tak akan pernah bisa kompetitif.
Berikutnya, infrastruktur yang tidak memadai, seperti jalan, pelabuhan, kereta
api, listrik, saluran telepon, dan seterusnya. Lemahnya infrastruktur ini menyebabkan
akselerasi pembangunan (terutama dalam rangka memacu investasi asing) sampai detik
ini terus berjalan tertatih-tatih. Kendala utama pembangunan infrastruktur ini adalah
biaya. Sebagai contoh, pendanaan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi 6,3-6,9 persen sepanjang 2009-2014 diperkirakan baru mencapai Rp 2.019
triliun. Ironisnya, kemampuan APBN/APBD untuk belanja infrastruktur hanya berkisar 15
persen. Kemampuan belanja infrastruktur APBN yang minim ini antara lain disebabkan
pembayaran cicilan utang periode 2009 sebesar Rp 92,242 triliun. Cicilan ini terus
membengkak disebabkan volume utang yang juga terus membengkak, ditambah deficit
APBN 2010 sebesar Rp 77,1 triliun.
Soal lain adalah birokrasi yang tidak efisien, misalnya mekanisme pengurusan izin
usaha yang kerap berbelit dan memakan waktu lama. Kondisi tak hanya berdampak
psikis, yakni melemahkan etos dan spirit berusaha masyarakat kita, namun juga
membuat gerah para investor untuk menanamkan berinvestasi di Indonesia. Berikutnya,
akses kredit yang terbatas, terutama bagi usaha-usaha mikro dan kecil. Padahal, jenis
usaha inilah yang paling banyak menampung tenaga kerja. Diperkirakan 80-90 persen
angkatan kerja ada menggantungkan hidupnya pada sektor ini. Faktor teknis lainnya
adalah tingkat suku bunga kredit yang masih tinggi. Berbeda dengan Indonesia, bunga
pinjaman yang diterapkan pemerintah Cina dalam rangka menggairahkan usaha rakyat
hanya dipatok pemerintah antara 4-6 persen per tahun, sedangkan di Indonesia suku
bunga kredit masih bertengger di angka 14-16 persen. Dengan suku bunga pinjaman
sebesar itu, bisa dipastikan iklim usaha di Indonesia akan terus melesu.
Berikutnya, terkait sumberdaya angkatan kerja dan tenaga kerja yang mayoritas
(60 persennya) masih berpendidikan level SD ke bawah. Kondisi itu tentu sangat
mempengaruhi kualitas kerja dan tingkat produktivitas tenaga kerja kita. Soal lain yang
juga tak kalah penting adalah terkait penegakan dan kepastian hukum. Di tengah
komitmen pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, memberantas korupsi,
dan mereformasi birokrasi agar belaku sebagai abdi negara dan pelayan rakyat, yang
mencuat ke permukaan justru beragam ironi, mulai dari kasus Century Gate yang
merugikan uang negara sebesar 6,7 triliun, perampokan pajak perusahaan yang
dilakukan Gayus Cs di Kantor Dirjen Pajak (dengan total kerugian negara mencapai Rp 28
-
Halaman 22 dari 46
miliar), hingga tindak pidana manipulasi pajak 350 perusahaan yang dilakukan oknum
Kanwil Pajak Surabaya yang merugikan keuangan negara sebasar Rp 300 miliar.
Faktual, korupsi dan penggerogotan uang negara masih terus berlangsung intens
di negeri ini. Sinyalemen Daniel Lev tentang birokrasi pencuri (cleptocracy) yang terus
menguat di Indonesia pasca reformasi memang benar adanya. Aktor-aktor parasitis
semacam Mafia kasus, mafia peradilan, broker jabatan, dan sejenisnya dipastikan masih
eksis dan terus mengintip celah hukum yang bisa dipakai untuk menguras uang negara;
tentu dengan kiat dan modus korupsi yang lebih canggih. Law enforcement yang lemah
adalah titik masuk dari mewabahnya beragam kasus korupsi dan penyimpangan
keuangan negara. Jangan salahkan jika komunitas ekonomi dan bisnis internasional
memberi stempel Indonesia sebagai negeri sejuta transaksi, dimana hukum dan
keadilan tak lebih dari komoditas yang bisa diperjualbelikan.
Lebih lanjut persoalan lainnya adalah perlunya perbaikan hubungan koordinasi
antar departemen dan antar pemerintah pusat dan daerah. Tidak kooperatifnya
pemerintah daerah membuktikan tidak berfungsinya line of command. Ini terkait
langsung dengan persoalan perijinan, dan persoalan pembebasan tanah yang selama ini
menjadi kendala terbesar pembangunan infrastuktur. Tidak jelasnya sistem tata ruang di
banyak daerah, apakah tanah tersebut termasuk hutan lindung, hutan tanaman industri,
hutan kelapa sawit atau lainnya telah dimanfaatkan oleh oknum aparat hukum untuk
mengambil keuntungan dari pengusaha yang berinvestasi, kesimpangsiuran yang
menyebabkan ekonomi biaya tinggi itu harus diatasi.
Pemerintah juga harus segera menyelesaikan persoalan undang-undang,
peraturan yang saling bertentangan dan tumpang tindih (overlapping). Ini dapat dimulai
dari UU dan aturan-aturan yang paling perlu, seperti UU Ketenagakerjaan dan UU
Perpajakan. Pemerintah perlu mengoreksi kembali aturan jumlah pemberian pesangon,
ini penting agar pengusaha tidak ragu untuk mengerjakan usaha yang sifatnya labor
intensive . Disamping itu pembangunan harus menyentuh seluruh lapisan masyarakat .
Indonesia perlu menciptakan pembangunan yang melibatkan rakyat banyak, labor
intensive, sehingga pembangunan dapat dinikmati masyarakat luas. Peraturan
perpajakan harus dibuat sedetail mungkin, sehingga tidak ada lagi gray area dalam UU
Perpajakan. Pemberlakuan amnesti pajak, sebagaimana dilaksanakan di Afrika Selatan,
Italia dan negara-negara Eropa lainnya, dibutuhkan untuk menghapus kekhawatiran
wajib pajak dari tuntutan pajak masa lalu.
Persoalan lainnya yang tidak kalah menarik adalah mentalitas pengusaha juga
harus berubah. Sangat diperlukan pengusaha yang berhati nasionalis, tidak banyak
mengeluh, more action, talk less. Lagi pula, pengusaha jangan hanya memikirkan
keuntungan pribadi. Keuntungan yang diperoleh harus dikembalikan ke institusi melalui
investasi. Mindset keuntungan tidak salah, tapi harus juga memikirkan kelangsungan
hidup institusi. Pabrik, misalnya, sungguh sangat baik jika keuntungan diinvestasikan
dengan membeli mesin berteknologi tinggi, hemat energi, dan ramah lingkungan. Bukan
-
Halaman 23 dari 46
meningkatkan derajat pribadi, tetapi derajat institusi, supaya lebih baik di mata
masyarakat dan pemerintah. Ibarat punya anak, pasti kita perlu berpikir jauh ke depan
supaya generasi selanjutnya bisa hidup terus dan lebih baik dari generasi sebelumnya.
Selanjutnya problem yang perlu diwaspadai adalah pelepasan ketergantungan.
Sebagaimana diketahui bahwa nilai strategis Indonesia dalam konteks ekonomi
belakangan mencuat. Ketahanan usaha sektor informal Indonesia yang masih kuat
menjadikan negara ini tidak rentan terhadap potensi krisis finansial berskala global
sehingga pasarnya masih mampu menyerap produk-produk industri. Yang terpenting,
berbagai pemberitaan internasional belakangan turut memersepsikan Indonesia sebagai
negara dengan potensi pasar menggiurkan.
Dalam keadaan seperti ini, jika kapasitas negara tidak segera berlari mengejar
persepsi internasional yang berkembang, ketergantungan terhadap negara lain akan
membayangi prospek ekonomi kita. Keohane dan Nye (1989) berpendapat dalam teori
interdependensi bahwa negara yang bergantung lebih kepada pihak lainnya akan
semakin rentan mempertahankan independensinya. Pada akhirnya negara hanya
mengikuti yang dikehendaki mitra-(dagang)-nya (Kroll, 1993). Jika defisit ini diteruskan,
China berpotensi mengontrol pengambilan kebijakan di Indonesia. Kekhawatiran ini terus
menguat karena beberapa alasan.
Pertama, China belum menganggap perjanjian perdagangan bebas yang ia jalin
selama ini sebagai satu hal yang serius. China masih berkonsentrasi mengakselerasi
pertumbuhan industri lokal, pemetaan industri strategis domestik, serta mengamankan
pasokan energinya (energy security). Lain halnya dengan Jepang atau Korea Selatan yang
menjalin perdagangan bebasnya dengan negara-negara maju, perjanjian perdagangan
bebas terbesar China baru dijalin dengan ASEAN. China juga membangun perdagangan
bebas hanya pada sektor-sektor ringan, seperti pertukaran barang dan jasa. Negeri Tirai
Bambu itu belum berpikir untuk masuk ke ranah investasi, kompetisi, proyek pengadaan,
hak kekayaan intelektual, lingkungan, dan perburuhan (M.Wan, 2011: 32). Belakangan
para pengamat domestik China tengah mendesak pemerintahnya agar lebih serius
menggarap lahan perdagangan bebas ini.
Kedua, China serius mendongkrak bantuan pembangunan infrastruktur di
Indonesia. Setelah Jembatan Suramadu, Pemerintah China meminjamkan 800 juta dollar
AS untuk empat proyek pembangunan jalan, dua di antaranya jalan tol Cileunyi-
Sumedang-Dawuhan (Cisundawuh) dan Medan-Kualanamu; serta dua lainnya dibiayai
oleh Bank Exim China, yakni Jembatan Tayan, Kalimantan Barat, dan Jembatan Teluk
Kendari, Sulawesi Tenggara. Diplomasi infrastruktur memang belakangan diperkenalkan
Chinayang tidak hanya di Indonesia, melainkan di hampir semua negara mitra bisnisnya.
Metode ini merupakan cara baru yang belum pernah dilakukan negara Asia Timur mana
pun. Beberapa proyek lain di ASEAN adalah pengelolaan Greater Mekong River dan
Tumen River Project, serta rencana pembangunan jalur kereta cepat Bangkok-Vientiane-
China selatan.
-
Halaman 24 dari 46
Ketiga, China disebut-sebut sebagai The Nation of Wal-Mart oleh Shenkar
(2005). Kemampuan produksinya yang tinggi menggiurkan pedagang (retailer) karena
harganya bersaing di pasar asing. Inilah alasan mengapa belum ada satu pun negara maju
yang menyepakati perdagangan bebas dengan China (kecuali Selandia Baru). Australia,
misalnya, masih alot bernegosiasi dengan China sejak 2005. Lebih lanjut analisis problem
kontekstual ini dapat dirangkum secara sederhana dalam tabel berikut :
Tabel 5. Analisis Problem Kontekstual Terhadap Keberadaan ACFTA
No. Problem Temuan Dampak
1. Ekonomi biaya tinggi (high cost)
berwujud dalam retribusi, uang
keamanan, uang sumbangan, biaya
pengawalan barang, uang jago, dan
beragam bentuk biaya siluman
lainnya.
Pemerintah Kurang Serius dan implikasinya pada
tingginya biaya produksi
2. Infrastruktur yang tidak memadai Keterbatasan biaya, dampak akhirnya adaah harga
barang tidak dapat bersaing
3. Birokrasi yang tidak efisien Etos dan spirit berusaha masyarakat yang lemah,
dan kegerahan investor dalam menanamkan modal
4. Sumberdaya angkatan kerja dan
tenaga kerja yang rendah
Kualitas tenaga kerja tidak dapat bersaing
5. Penegakan dan kepastian hukum Sentimen negatif dan banyaknya kerugian negara
6. Hubungan koordinasi antar
departemen dan antar pemerintah
pusat dan daerah
Ekonomi biaya tinggi, kesimpangsiuran informasi
dan tidak berkembangnya pembangunan
infrastruktur.
7. Peraturan yang saling bertentangan
dan tumpang tindih (overlapping)
Kekhawatiran investor, dan ekonomi biaya tinggi
8. Mentalitas Pengusaha kurang
nasionalis
Kerugian negara, dan ketimpangan kemakmuran
9. Adanya ketergantungan Intervensi kepentingan terhadap kebijakan
pemerintah dan menimbulkan kerugian pada
negara dan masyarakat
Sumber : data diolah, 2010
D. Dialektika Sistem Ekonomi : Kerangka Pijakan Hadapi ACFTA
I am convinced there is only one way to eliminate these grave evils, namely
through the establishment of a socialist economy, accompanied by an
educational system which would be oriented toward social goals
(Saya yakin bahwa ada satu jalan, singkirkan kejahatan (kapitalisme) ini, untuk
itu usahakanlah membentuk sistem sosial, disertai dengan system pendidikan
yang berorientasi pada tujuan sosial) (Albert Einstein, 1949)31
Paparan Albert Einstein (1949) seolah mengingatkan kita akan bahaya kapitalisme
yang melanda dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Mungkinkah kita membangun
31 Albert Einstein, 1949, Why Socialism? Electronic Copy Available At http://www.zionism-
israel.com/Albert_Einstein/Albert_Einstein_Why_Socialism.htm
-
Halaman 25 dari 46
fondasi ekonomi nasional yang kokoh sebagaimana yang ditempuh Cina? Atau kita punya
jalan (skenario) lain?. Sebagai bangsa yang pernah hidup terjajah dalamk system
kapitalisme kolonial, kita pernah punya gagasan ekonomi sosialis model Indonesia,
dengan prinsip ekonomi berdikari yang pernah ditawarkan Bung Karno. Sementara
Bung Hatta juga pernah menawarkan ide koperasi yang dianggapnya lebih sesuai dengan
ciri khas ekonomi masyarakat Indonesia. Secara konseptual, kedua ide the founding
fathers itu lebih mengarah ke prinsip populisme ketimbang sosialisme atau nasionalisme
ekonomi sebagaimana semangat yang pernah diuangkapkan oleh Albert Einstein
tersebut.
Telaah secara historis menunjukkan bahwa, terdapat sejumlah alternatif
mekanisme ekonomi di luar sistem kapitalisme-neoliberal yang kini telah dianggap gagal
oleh banyak pihak. Pertama, adalah sistem sosialisme. Ide dasar sistem ini menempatkan
proses produksi dan pemasaran hasil produksi di bawah kontrol kelas pekerja. Dengan
demikian, kelas pekerja tidak hanya menjual tenaganya, tapi juga menguasai dan
mengontrol hasil kerjanya. Saat ini, sistem ekonomi sosialis masih beroperasi secara
terorganisir di Kuba. Tetapi secara umum, pascaruntuhnya Uni Soviet, sistem ekonomi
sosialis telah dianggap sebagai moda ekonomi masa lalu.
Kedua, sistem ekonomi nasionalistik. Kendati tidak secara tegas menolak
kapitalisme, secara ideologis system ini berwatak anti modal asing. Sekelompok
akademisi menyebut system ini sebagai etatisme, istilah lain dari kapitalisme negara.
Blue print system ini adalah pembangunan ekonomi nasional wajib dibimbing, dikawal,
dan difasilitasi negara agar tidak terjungkir ke dalam persaingan pasar bebas. Kendati
tidak seluruhnya, model ini sepertinya juga menginspirasi gaya pembangunan ekonomi
Cina saat ini. Namun, di mata para pembela sistem pasar (neoliberal), model ini
dipandang sebagai handycap kemajuan ekonomi karena campur tangan negara yang luas
dan deep dalam kehidupan ekonomi. Rigiditas ekonomiyang menjadi konsekuensi
model nasionalisme ekonomidianggap sebagai biang keladi krisis ekonomi yang pernah
melanda Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Timur dan Tenggara pada medio
1990-an lalu. Campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi menjadi penyebab dari
suburnya korupsi, pungli, perilaku disinsentif, dan berbagai bentuk moral-hazard lainnya.
Korea Selatan masa kediktatoran militer, Taiwan masa Chiang Khai Shek, dan Iran di
bawah rejim Mullah adalah prototipe sistem ekonomi bercorak nasionalistik. Dalam
batasan yang lebih ketat, model ekonomi Soviet dan Cina saat ini bisa dimasukkan dalam
kategori ini.
Ketiga, sistem ekonomi berwatak populis. Dalam sistem ini, pemerintah yang
berkuasa memberi prioritas pada sektor usaha kecil dan menengah dalam negeri. Tetapi,
berbeda dengan sistem nasionalistik, sistem ekonomi populistik juga memberi ruang
yang relatif luas bagi serikat pekerja dan serikat tani untuk terlibat dalam pengelolaan
ekonomi negara. Argentina di masa Peronisme adalah prototype sistem ini. Saat ini,
sistem ekonomi Kuba di bawah Castro, Venezuela di bawah Chavez atau Bolivia di bawah
-
Halaman 26 dari 46
Moralesdengan spirit ekonomi sosialis-Bolivariannya (ALBA) yang menjadi alternatif
sistem kerjasama regional negara-negara di kawasan Latin Amerika untuk menentang
sistem perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA)ditengarai banyak pengamat, tengah
berjalan menuju ke arah sistem ekonomi ini.
Keempat, sistem ekonomi negara kesejahteraan (welfare state). Asumsi yang
mendasari model ini adalah, pasar kapitalisdengan logika maksimasi profitnyatidak
mungkin bisa menjawab kebutuhan yang berbau sosial, seperti pendidikan dan
kesehatan gratis atau jaminan sosial bagi rakyat miskin. Sementara negara dianggap
sebagai institusi yang wajib menyejahterakan dan melayani publik. Negeri-negeri di
kawasan Skandinavia (seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia) adalah prototipe negara
yang hingga kini masih konsisten menerapkan model welfare state.
Beragam pendekatan sistem ekonomi tersebut , maka dalam konteks ACFTA,
penelahaan pendekatan sistem ekonomi yang reliable perlu mengutip pendapat Karl
Polanji (1944)32. Filosof ini mengatakan,membiarkan mekanisme pasar menjadi satu-
satunya penguasa nasib manusia dan lingkungan alam, akan berakhir pada penderitaan
dan kehancuran masyarakat itu. Karl Polanyi (1886-1964) dalam buku klasik dan
ternamanya, The Great Transformation (1944), berbicara tentang bagaimana karakter
pasar secara kualitatif berubah sekitar 1500-1600-an di Eropa. Menurut Polanyi
kelangsungan hidup manusia tidak sepenuhnya tergantung pada pasar. Polanyi
beranggapan bahwa ekonomi bukanlah ranah kegiatan yang terpisah. Hal ini demikian
berbeda dengan yang terjadi sekarang, dahulu tidak ada konsep tentang ekonomi yang
berfungsi menurut hukum-hukumnya sendiri tanpa ada kaitan dengan masyarakat atau
keinginan manusia. Pedagang tidak mengendalikan negara. Pada saat itu ada pasar,
tetapi kegiatan dan wilayahnya termaktub dalam hubungan-hubungan komunal,
kekerabatan, keagamaan dan politis. Transformasi besar-besaran yang merupakan
judul buku Polanyi adalah proses komodifikasi tiga hal pada awal era modern Eropa, yaitu
tanah, buruh dan waktu, yang sebelumnya tak pernah terjadi. Polanyi, yang sampai taraf
tertentu mengikuti pemikiran Karl Marx pada abad ke-19, berpendapat bahwa
kapitalisme bukanlah suatu sistem ekonomi di mana pasar menjadi lebih bebas atau di
mana para pedagang dibebaskan dari pembatasan yang diterapkan kekuasaan feodal.
Yang mendefinisikan kapitalisme adalah penggusuran orang dari tanah mereka secara
besar-besaran. Begitu orang tak memiliki tanah, seperti yang terjadi di Inggris sejak abad
ke-16, mereka harus bergantung pada pasar untuk bertahan hidup.
Lebih lanjut, apabila mengamati hubungan sosial kepemilikan, maka tentu akan
muncul pemahaman bahwa pasar di bawah kapitalisme berkaitan dengan desakan, yaitu,
desakan untuk berpartisipasi dalam pasar. Mereka yang tak bermilik hanya punya pilihan
terbatas antara bekerja atau kelaparan. Sekarang mayoritas orang di negeri-negeri
kapitalis maju seperti di Amerika Serikat tidak memiliki modal; mereka hidup dari
32 Polanyi, Karl, The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time (first published
1944; reprint, Boston: Beacon Press, 1957).
-
Halaman 27 dari 46
pekerjaan yang berupah jam-jaman. Mereka tidak hidup dari perolehan keuntungan
saham, bunga, atau pembagian keuntungan perusahaan. Sejarah kapitalisme sebenarnya
adalah sejarah penggusuran orang dari tanahnya dan penciptaan pasar tenaga kerja yang
terus-menerus berkembang meluas.
Mereka yang mendukung perkembangan kapitalisme dan pasar bebas di
Indonesia harus mengamati dengan serius negara-negara berkembang. Hal ini
sebagaimana terjadi di Amerika Serikat, konsekuensi tak terhindarkan dari
perkembangan kapitalisme adalah pesatnya pertumbuhan kelas orang-orang bermilik
(propertied class). Konsentrasi kekayaan di Amerika Serikat dewasa ini luar biasa
besarnya, yang mana di satu sisi ada surplus penduduk yang masif dan tidak mendapat
bagian apa-apa dari pasar bebas. Sedangkan di sisi lain, hidup segelintir milyuner.
Pemerintah Amerika Serikat banyak mengerahkan pendapatan pajak mereka untuk
mendisiplinkan surplus manusia yang tidak bermilik ini dengan kekuatan polisi. Lebih
dari 1 juta orang Amerika berada di penjara jumlah total narapidana terbesar dan
perkapita tertinggi di seluruh dunia.
Lebih lanjut dari sekian banyak pemikir-pemikir yang mengunggulkan pasar
bebas, memuja filsuf Skotlandia Adam Smith (1723-90), yang menulis buku The Wealth
of Nations (1776),33 sebagai pemikir tentang pasar bebas. Buku teks standar ilmu
ekonomi ini disebut neoklasik karena berisi pembaruan ide-ide Adam Smith yang
bersama David Ricardo (1772-1823), dianggap sebagai ekonom klasik. Pembaharuan ini
dilakukan dengan menghilangkan pendapat Smith dan Ricardo mengenai teori kerja
tentang nilai (labor theory of value), yaitu teori tentang nilai komoditi yang ditentukan
oleh jumlah waktu kerja yang termaktub di dalamnya. Pikiran-pikiran ekonomi
marginalist yang muncul pada paruh akhir abad ke-19, diwakili oleh ekonom-ekonom
seperti W.S. Jevons (1835-82) dan Alfred Marshall (1842-1924), menyatakan bahwa nilai
komoditi pada dasarnya ditentukan oleh persediaan dan permintaan. Dan itulah ajaran
utama yang bisa diperoleh dari ilmu ekonomi standar dewasa ini.
Adam Smith sebenarnya bukanlah penjelmaan awal ekonom IMF di masa kini.
Apabila kita baca karyanya, kita akan melihat bahwa Smith masih tetap mengharapkan
negara mendukung kesejahteraan publik dan tidak begitu saja menghilang, seperti yang
diinginkan IMF. Ia bahkan berpikir bahwa pedagang, kaum yang hidupnya dari
keuntungan, akan menciptakan anarki apabila mereka mengendalikan negara karena
mereka terutama dimotivasi oleh kepentingan mereka pribadi dan bukannya
kepentingan umum. Ia mengkhawatirkan munculnya anarki pasar, dan kesewenang-
wenangan pedagang menjadi prinsip-prinsip pemandu kehidupan sosial. Smith
33 Adam Smith, 1776, Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, in Two Volume,
Volume I, Hartford Printed for Oliver D Cooke 1811, Peter B Gleason & Co. Printers, Pricenton University
Library. Electronic copy available at http://books.google.co.id/books/download/An_
inquiry_into_the_nature_and_causes_of.pdf?id=QItKAAAAYAAJ&output=pdf&hl=id&capid=AFLRE708yC
moNTfl3FhnqeI3PP1411pX9e8bMbFeV1zjm_tocq325llkA0OLoZ5xPn9iSe-Kn2_TpBpfxw2DzBmmtKn
GiJO-bJo_HEPuQJ_dD83gJTDbgo0&captcha=alimag
-
Halaman 28 dari 46
mendukung perkembangan kapitalisme, itu pasti ia menginginkan buruh menjadi lebih
produktif melalui pembagian tenaga dan kemajuan teknologi yang lebih canggih. Tetapi
ia ingin supaya pasar dikendalikan secara bijaksana oleh negarawan, sedemikian rupa
sehingga pasar itu bisa melayani kepentingan sosial yang berguna bagi publik. Ia
menyatakan bahwa bukunya merupakan latihan di bidang ekonomi politik, yaitu ilmu
bagi negarawan atau pembuat undang-undang supaya mereka bisa meningkatkan
kesejahteraan seluruh bangsa.
Salah satu ajaran Smith yang perlu kita pertimbangkan benar dewasa ini adalah
Usulan perundang-undangan atau aturan perdagangan baru apa pun yang datang dari
tatanan ini (para majikan yang hidup dari keuntungan) harus selalu didengarkan dengan
kewaspadaan luar biasa, dan tidak pernah boleh diberlakukan sebelum dikaji secara
seksama dan mendalam, bukan hanya dengan perhatian yang paling teliti, tetapi juga
dengan kecurigaan. Usulan itu datang dari kaum yang kepentingannya tidak pernah
sepenuhnya sama dengan kepentingan publik, yang secara umum berkepentingan untuk
menipu dan bahkan menindas publik. Smith mungkin akan terperanjat membaca karya
Milton Friedman yang begitu polos berasumsi seakan-akan kepentingan kaum kapitalis
berjalan selaras seimbang dengan kepentingan masyarakat luas.
Umumnya dipercaya bahwa pada masa depresi mendunia di 1930-an pasar di
bawah kapitalisme bersifat anarkis. Pasar bergerak mengikuti siklus liar ledakan dan
kemerosotan perdagangan. Ketika begitu banyak orang bergantung pada pasar untuk
bertahan hidup (menjual tenaga kerja mereka untuk upah dan membeli kebutuhan
sehari-hari dengan upahnya) jenis fluktuasi tak terkendali serupa ini menyebabkan
penderitaan sosial secara massal. Ekonomi terencana di Republik Sosialis Uni Soviet
kemudian tampak sebagai pilihan yang sepenuhnya rasional dan praktis bagi banyak
orang pintar karena kinerja kapitalisme yang kacau balau saat itu. Kapitalisme tampak tak
bisa bertahan lama kecuali jika pasar dikendalikan oleh aturan-aturan negara. Itulah
sebabnya karya ekonom John Maynard Keynes (1883-1946) menjadi penting. Tulisan-
tulisannya menunjukkan bagaimana investasi dan pengeluaran negara bisa mencegah
keliaran fluktuasi siklus perdagangan dan menjaga supaya kapitalisme bisa lancar
bekerja. Keberhasilan pertumbuhan ekonomi paska PD II di Eropa barat, AS dan Jepang
diraih oleh kaum elit ekonomi yang bekerja sejalan dengan ide-ide Keynes.
Ide-ide dan praktek Keynesian ditinggalkan pada 1970-an dan 1980-an ketika para
kapitalis menganggap bahwa anarki pasar itu hanyalah dongeng masa lalu. Gagasan
Milton Friedman meraih pengaruh lebih besar. Di banyak negara maju, industri negara
diswastakan dan tunjangan kesejahteraan bagi pengangguran dan kaum miskin dihapus.
Negeri-negeri ini memulai peperangannya terhadap kaum miskin. Pertumbuhan pesat
jumlah narapidana di AS beranjak pada awal 1980-an.
Dalam logika standar para ekonom dewasa ini pilihan yang ada hanyalah antara
pasar bebas dan ekonomi terencana, dan pilihan terakhir telah terbukti salah dengan
runtuhnya Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur. Tapi sebenarnya ada lebih dari dua
-
Halaman 29 dari 46
pilihan di atas. Bagi mereka yang selalu berbicara tentang pasar bebas, kita harus
mengama