peran tata ruang

Upload: herizal-fachry

Post on 08-Feb-2018

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 Peran Tata Ruang

    1/7

    78

    Prosiding Seminar Hasil Penelitian KebencanaanTDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

    ISSN 2088-4532

    Peran Tata Ruang Tingkat Desa dalam Upaya Mitigasi

    Bencana Tsunami di Kepulauan Mentawai, IndonesiaSyamsidik 1,2 Dinar Catur Istiyanto 3 Try Al Tanto 4 Reno Arief Rachman 5 1) Peneliti pada Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala,

    Jl. Tgk Abdurrahman, Gampong Pie, Banda Aceh, Indonesia, email: [email protected] 2) Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Jl. Syeh Abdurrauf No. 7

    Darussalam, Banda Aceh Indonesia 231113) International Center for Water Hazard and Risk Management, Public Works Research Institute, 1-6 Minamihara, Tsukuba, Ibaraki,

    305-8516, Japan, email:[email protected]) Loka Riset Kerentanan Pesisir dan Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan

    Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan PerikananBadan Pengkajian dan5) Penerapan Teknologi (BPPT), Balai Pengkajian Dinamika Pantai (BPDP)

    Yogyakarta, Indonesia

    AbstrakKejadian tsunami di Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 25 Oktober 2010, menimbulkanbeberapa pertanyaan penting terkait terkait upaya mitigasi bencana tsunami. Bencana tersebut menyebabkan setidaknya461 jiwa meninggal dunia. Angka ini relatif kecil dibandingkan dengan total jumlah penduduk di Kabupaten ini. Olehkarena itu, sekalipun berada di lokasi yang sangat dekat dengan sumber bencana tsunami tersebut, masih cukup banyakwarga yang selamat. Studi ini dilakukan untuk mengetahui peran tataruang tingkat desa dalam upaya mitigasi bencanadan membandingkan kondisi tataruang tingkat desa antara satu desa dan desa lainnya serta jumlah korban dankerusakan yang timbul akibatnya. Melalui studi ini diharapkan akan diperoleh lesson learnt baru dari peristiwa tsunamiyang bersumber dekat ( nearfield ) dan dapat diaplikasikan bagi model upaya mitigasi bencana tsunami di kawasan lain.

    Kata Kunci: vegetasi pantai, nearfield tsunami, evakuasi , kesiapsiagaan.

    1. PENGANTARTsunami adalah tipe jenis bencana dengan frekuensirendah namun sering menimbulkan kerusakan dan

    korban jiwa yang masif. Dengan sifat tersebut,seringkali suatu wilayah memiliki tingkat kewaspadaandan kesiapsiagaan yang rendah terhadap tsunami. Halini telah terjadi di Aceh pada peristiwa tsunami tanggal26 Desember 2004 yang lalu. Meskipun kearifan lokalyang tercermin dari cerita turun temurun mengenaitsunami hidup dengan baik di beberapa tempat, sepertilegenda smong di Pulau Simeulue yang terletak disebelah barat daya dari Kota Banda Aceh, namunmayoritas penduduk yang tinggal di wilayah pantai diAceh tidak mengenal dengan baik bencana ini. Inilahsalah satu penyebab besar tingginya angka korban jiwayang timbul akibat bencana tsunami tersebut.

    Frekuensi kejadian tsunami dalam catatan

    dunia bersifat fluktuatif (Nirupama, 2009). Pada abadke-20, frekuensi kejadian tsunami sangat tinggidibandingkan frekuensi kejadian pada abad-abadsebelumnya. Ini dapat saja terjadi karena beberapa hal.Dua alasan utamanya adalah membaiknya sistempencatatan bencana di dunia dimulai pada abad ke-20.Meskipun gambaran tersebut tidak nyatamenggambarkan frekuensi kejadian tsunami duniasesungguhnya, namun setidaknya hal ini menyiratkanbahwa tingkat kewaspadaan dan kesiapsiagaanmasyarakat dunia terhadap bencana tsunami pada masa

    abad sebelum abad ke-20 masih cukup rendah. Di sisilain, jumlah penduduk dunia yang tinggal di kawasan

    pantai berjumlah sekitar 1,2 Milyar orang atau setaradengan 23% dari populasi dunia dan diperkirakan

    angka ini akan terus meningkat seiring perjalananwaktu (Nicholls dan Lowe, 2004).

    Dari segi kesiapsiagaan terhadap bencanatsunami, secara umum Indonesia belum cukupmumpuni dari segi fasilitas fisik pendukung danpengelolaan risiko. Oleh karena itu, proses belajarterhadap bencana tsunami yang terjadi di wilayah-wilayah lain tetap menjadi penting untuk diadopsi kedalam proses mitigasi tsunami. Salah satu kejadiantsunami yang menarik untuk dipelajari adalah bencanatsunami yang terjadi di sekitar Kepulauan Mentawaipada tanggal 25 Oktober 2010.

    Bencana tsunami yang terjadi di KepulauanMentawai tersebut dipicu oleh gempa laut berkekuatan

    7.7 Skala Richter pada kedalaman 20,6 km dari dasarlaut, berpusat di 3.464 o Lintang Selatan dan 100.084 o Bujur Timur, atau berjarak sekitar 150 km sebelahbarat Bengkulu. Gempa tersebut menyebabkangelombang tsunami antara 3-10 m di sekitar pulau-pulau di Kepulauan Mentawai. Menurut data dari PusatPengendalian dan Operasi (Pusdalops) BadanPenanggulangan Bencana Sumatera Barat, tsunami disekitar Kepulauan Mentawai ini menyebabkansetidaknya 461 jiwa meninggal dunia, 43 orang hilang,24 luka-luka, dan 7000 lebih mengungsi.

  • 7/22/2019 Peran Tata Ruang

    2/7

    79

    Prosiding Seminar Hasil Penelitian KebencanaanTDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

    ISSN 2088-4532

    Yang menarik dari kejadian tsunamiMentawai ini adalah bagaimana kejadian tsunami dipulau-pulau kecil ini masih dapat diantisipasi olehwarga pulau-pulau tersebut meskipun dengan sisteminformasi yang sangat minim plus waktu tempuhtsunami yang pendek.

    Ada dua hal yang menarik dipelajari darikejadian tsunami Mentawai ini. Pertama, dibandingkandengan total jumlah penduduk kepulauan, jumlahkorban yang meninggal relatif kecil. Kedua, meskipundengan sistem informasi yang sangat minim ditambahlagi dengan waktu tempuh gelombang tsunami yangcukup pendek, banyak warga kepulauan ini yangselamat. Pertanyaannya adalah apakah tindakan yangtelah dilakukan oleh warga pulau dan pemerintahkepulauan sebelum kejadian tsunami ini yangmenyebabkan jumlah korban yang jatuh relatif kecil?Oleh karena itu, tujuan studi ini adalah untuk

    menginvestigasi peran tataruang di tingkat desa sertametode evakuasi warga pada saat terjadinya tsunami disekitar Kepulauan Mentawai.

    2. LOKASI STUDIKepulauan Mentawai merupakan salah satu kabupatendi bawah Provinsi Sumatera Barat. Kepulauan inimemiliki 4 buah pulau utama, yaitu Pulau Siberut(pulau terbesar), Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, danPulau Pagai Selatan. Ibukota Kabupaten KepulauanMentawai ini berada di Tua Pejat yang terletak disebelah utara dari Pulau Sipora (Gambar 1).

    Kondisi geografis Kepulauan Mentawai,menyebabkan pulau-pulau yang ada di kawasan ini

    relatif lebih sulit dijangkau, terutama desa dan dusunyang tersebar di hampir semua pulau yang ada.

    Secara tektonik, Kepulauan Mentawaimemiliki kemiripan dengan kondisi Pulau Simeulue,Kepulauan Banyak, Pulau Nias, dan Pulau Engganoyang terletak sejalur di sebelah barat dari PulauSumatera. Kepulauan Mentawai diduga terjadi akibatadanya aktifitas tektonik antara subduksi lapisanlitosfir dari lempeng Indo-Australia dengan lempengbenua Eurasia. Pertemuan kedua lempeng tersebutmendorong sejumlah sedimen timbul ke permukaandan membentuk deretan pulau-pulau yang dikenalsebagai istilah forearc ridge (McCaffrey, 2009).

    Untuk mencapai Tua Pejat dari Kota Padang,

    maka satu-satunya cara yang paling umum dilakukanadalah dengan menumpang Kapal Ferry yang berlayardua kali dalam seminggu. Diperlukan waktu sekitar 10

    jam perjalanan laut dari Kota Padang ke Tua Pejat.Sebagai sebuah kabupaten kepulauan, desa dan dusundi kabupaten ini tersebar dan berjarak cukup jauhantara satu sama lain.

    Untuk mencapai satu dusun ke dusun lain,warga pulau ini menggunakan boat-boat kecil.Perjalanan menjadi semakin sulit jika dusun yang akandikunjungi berada di sebelah barat dari KepulauanMentawai mengingat kawasan tersebut langsung

    menghadap ke Samudera Hindia yang ganas. Jaringantelepon selular hanya dapat diakses di dua kota utamakepulauan ini, yaitu di Kota Tua Pejat dan KotaSikakap. Listrik hanya ada di beberapa desa saja yangumumnya digerakkan dengan sistem swadayamasyarakat. Seluruh desa dan dusun yang terkenabencana tsunami tahun 2010 tersebut tidak memilikiakses informasi memadai, baik berupa jaringan telefonselular maupun televisi.

    Total jumlah penduduk di tiga kecamatanyang menjadi fokus penelitian ini, yaitu KecamatanSipora Selatan, Kecamatan Pagai Utara, danKecamatan Pagai Selatan adalah 20.836 jiwa. Sebarandemografi penduduk di tiga kecamatan tersebutmenurut pendidikan tertinggi dapat dilihat pada Tabel1.

    Gambar 1. Lokasi Studi

    Tabel 1. Komposisi Penduduk menurut JenjangPendidikan Tertinggi

    Sumber: BPS Kabupaten Mentawai, 2010a, 2010b, 2010c.

  • 7/22/2019 Peran Tata Ruang

    3/7

    80

    Prosiding Seminar Hasil Penelitian KebencanaanTDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

    ISSN 2088-4532

    3. METODOLOGIStudi ini terdiri atas dua bagian, yaitu estimasi waktukedatangan gelombang tsunami ( Estimated Time of

    Arrival/ETA) dan studi terhadap hubungan antarapilihan tataruang desa dengan jumlah korban jiwaakibat tsunami di sekitar Kepulauan Mentawai. Surveydi dusun-dusun yang terkena tsunami telahdilaksanakan dimulai dari tanggal 9 Maret sampaidengan 16 Maret 2011.

    3.1 Estimated Time of Arrival (ETA)Bagian pertama dan kedua dari studi ini berhubunganerat dengan waktu evakuasi dan jumlah korban yangselamat di setiap desa/dusun dalam wilayah studi ini.

    ETA di sekitar Kepulauan Mentawai dilakukan dengansimulasi numerik menggunakan Delft3D . Piranti lunak

    ini dibangun oleh Perusahaan Deltares, Belanda. Untuksimulasi ETA ini, Tsunami Toolkit akan digunakanuntuk menghasilkan bangkitan gelombang tsunami disekitar epicenter gempa sebagai data awal atau initialcondition (Vatvani dkk, 2011). Skenario patahan yangmenyebabkan tsunami di sekitar Kepulauan Mentawaiini didasarkan pada informasi dari USGS, yaitu terletakpada titik -3.484 oLS dan 100.114 o BT dengankedalaman pusat gempa sekitar 20.6 km. Kondisipatahan yang terjadi adalah strike 325 o dan dip 11.6 o.Kondisi patahan inilah yang dijadikan sebagai dasarperhitungan pembangkitan gelombang tsunami padaTsunami toolkit dengan menggunakan Model Okada.

    3.2 Intervensi tataruang dan korban tsunamiInvestigasi hubungan antara intervensi tataruang ditingkat desa/dusun terhadap korban yang selamatdilakukan melalui dua metode, yaitu melaluipengamatan langsung dan survey kuesioner.Pengamatan langsung dilakukan untuk melihat apakahproses intervensi tataruang telah dilakukan atau tidak,dan apakah latar belakang intervensi yang dilakukantersebut berhubungan dengan upaya mitigasi tsunamiatau tidak. Survey kuesioner dilakukan untuk melihatapakah beberap hal penting menyangkut tindakanevakuasi yang dilakukan oleh warga yang selamat disekitar waktu kejadian tsunami tersebut. Beberapapertanyaan kunci seperti latar belakang situasi/waktu

    respondent memutuskan untuk mulai berlari, kegiatanyang dilakukan sesaat sebelum evakuasi, benda yangturut dibawa oleh warga saat evakuasi, dan estimasiketinggian gelombang tsunami yang menerpa tubuhpara warga diajukan melalui kuesiner tertutup kepadasejumlah responden.

    Kedua bagian dari studi ini dijalankan dibeberapa lokasi. Untuk wawancara mendalam terhadaptokoh kunci dilakukan di 3 lokasi, yaitu wawancaraterhadap Kepala Bagian Logistik BadanPenanggulangan Bencana Daerah Sumatera Barat diKota Padang, wawancara dengan Asisten II Pemerintah

    Kabupaten Kepulauan Mentawai di Kota Tua Pejat,dan wawancara dengan Kepala Dusun Malakopa diKecamatan Pagai Selatan. Survey intervensi tataruangdan survey kuesioner tertutup dilakukan di DusunSurat Aban, Dusun Tapak, dan Desa Malakopa diKecamatan Pagai Selatan. Selanjutnya survey jugadilakukan di Desa Sabeugungung, Desa MonteiTeikaku, Desa Montei Baru-baru, dan DusunBetumonga di Kecamatan Pagai Utara.

    Secara umum, responden dalam survey inirelatif cukup mewakili strata pendidikan wargaKepulauan Mentawai. Hal ini dapat dilihat dari grafikpada Gambar 2 yang menunjukkan perbandinganantara strata pendidikan masyarakat KepulauanMentawai dan strata pendidikan responden yangdiperoleh selama survey dilakukan. Pada kelasresponden yang tidak menamatkan SD dan yang hanyamenamatkan SD terlihat sedikit tidak sebangun dengan

    data statistik kependudukan yang ada. Namundemikian, jika dilihat dari tingkat keterwakilan, makaresponden dalam survey ini telah mewakili seluruhtingkat strata kependidikan masyarakat di KepulauanMentawai. Strata kependidikan ini memiliki hubunganpenting dengan tingkat persepsi masyarakat terhadapancaman dan peningkatan kesiapsiagaan mereka.

    Gambar 2. Perbandingan Strata PendidikanResponden dan Data Statistik.

    Tabel 2. ETA Hasil Simulasi Delft3DNamaDusun/Desa

    Kecamatan ETA(menit)

    JarakEvakuasi

    Surat Aban PagaiSelatan

    9 470 m

    Malakopa PagaiSelatan

    10 490 m

    Sabeugunggung PagaiUtara

    12 612 m

    Sipora bagianselatan

    Sipora 15 796 m

    Siberut bagianselatan

    Siberut 20 1.102 m

  • 7/22/2019 Peran Tata Ruang

    4/7

    81

    Prosiding Seminar Hasil Penelitian KebencanaanTDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

    ISSN 2088-4532

    4. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 ETA pada beberapa titik pantauanBerdasarkan hasil simulasi dengan menggunakan

    Delft3D diperoleh sebagaimana dapat dilihat padaTabel 2. Tabel tersebut menggambarkan bahwa waktuyang dimiliki oleh penduduk di Pulau Pagai Selatanrelatif sangat singkat. Mengingat kejadian tsunami diKepulauan Mentawai ini adalah saat malam hari, makadiperlukan waktu jeda antara kejadian gempa sampaidimulainya proses penyelamatan diri. Diperkirakanmembutuhkan waktu setidaknya 2 menit sampai wargamulai bereaksi. Dengan demikian, seluruh waktuefektif penyelamatan diri harus dikurangi sebanyak 2menit dari nilai Tabel 2 tersebut. Dengan waktu yangsedemikian, maka dapat diperkirakan jarak tempuhevakuasi penduduk. Menurut Sugimoto (2003),penduduk yang menggendong anak dapat berlari

    sekitar 1,02 m/detik. Sedangkan untuk penduduk yangtidak membawa apa-apa dapat berlari rata-rata 1,07m/detik. Berdasarkan angka tersebut maka estimasi

    jarak tempuh datar penduduk dapat dilihat pada Tabel2. Hasil pada Tabel 2 tersebut menyiratkan bahwa

    jarak tempuh dan ETA yang dimiliki oleh DusunSabeugunggung lebih baik daripada Dusun Surat Aban.Namun demikian, kenyataannya adalah tidak adakorban jiwa yang tercatat dari Surat Aban. Sebaliknya112 jiwa warga Dusun Sabeugunggung tewas akibattsunami ini.

    Hasil perhitungan ETA dan jarak tempuhevakuasi tersebut menyiratkan hal penting adanyaintervensi tataruang dalam proses mitigasi tsunami di

    Kepulauan Mentawai. Ini cukup beralasan jika dilihatdari distribusi jumlah korban berdasarkan ada tidaknyaintervensi tersebut.

    4.2 Peran pemerintah dan tokoh masyarakatSejak awal tahun 2005 setelah gempa dan tsunami diAceh dan Nias, Badan Penanggulangan BencanaDaerah Sumatera Barat telah melakukan serangkaianupaya mitigasi struktural dan nonstruktural baik diSumatera Barat daratan maupun di KepulauanMentawai. Ini dapat dilihat dari relatif rutinnya tsunamidrill yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintahkhususnya di Kota Padang.

    Menurut temuan pada wawancara yangdilakukan dengan BPBD Sumatera Barat, diperolehbahwa upaya mitigasi tsunami di KabupatenKepulauan Mentawai telah dimulai sejak tahun 2007.Upaya tersebut dilakukan dengan meminta masyarakatagar mau menjalani proses relokasi dari kawasanpantai ke kawasan yang relatif tinggi dan aman darigelombang tsunami. Wawancara yang dilakukanterhadap Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai,yang diwakili oleh Asisten II Pemda KabupatenMentawai, Bapak Pujo Rahardjo (Gambar 3),ditemukan bahwa intervensi yang semi-memaksa juga

    dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten dengan carameminta kepada masyarakat yang tidak bersedia untukrelokasi untuk menandatangi surat. Surat tersebutmenyatakan bahwa jika sewaktu-waktu terjadi bencanatsunami maka segala risiko yang akan timbul tidakakan mempersalahkan pemerintah. Proses ini menjadidorongan positif suksesnya proses relokasi tersebut.

    Kepala Dusun Malakopa menyatakan bahwatidak ada warganya yang mengalami musibahmeskipun banyak rumah-rumah mereka di kawasanpantai yang rusak. Namun perlu diketahui bahwarumah-rumah tersebut telah ditinggalkan olehpenduduk sejak tahun 2007 untuk mengantisipasikejadian tsunami. Beberapa bagian rumah yang rusakdapat dilihat pada Gambar 4.

    Sekitar 40% responden menyatakan bahwasebenarnya mereka telah mengetahui apa itu tsunamidan bagaimana tsunami terjadi sebelum peristiwa ini

    (lihat Gambar 5). Jumlah tersebut hampir berimbangdengan jumlah responden yang tidak mengetahuitentang tsunami sebelum peristiwa tsunami 2011 initerjadi atau sekitar 32% menjawab tidak tahusebelumnya. Penggalian tentang sumber pengetahuanwarga terhadap bahaya tsunami memperlihatkan bahwaupaya advokasi beberapa lembaga swadaya masyarakatdan aparatur pemerintah kabupaten sangat berperandalam menyebarluaskan informasi tentang tsunami danpotensi tsunami di sekitar Kepulauan Mentawai. Halini menjadi menarik mengingat tipikal penyebarluasaninformasi kebencanaan di sebagian wilayah daratanPulau Sumatera sangat mengandalkan media cetak danelektronik (TV atau radio). Kedua media ini tidak

    tersedia dengan baik di wilayah dusun/desa yangmenjadi wilayah survey. Dalam beberapa wawancaraterhadap responden, ditemukan bahwa terdapathubungan antara kesiapsiagaan masyarakat dikepulauan ini dengan peristiwa tsunami tahun 2004yang terjadi di Aceh. Namun demikian, tingkatkesiapsiagaan masyarakat yang tidak mengalami secaralangsung bencana tsunami tidak berada di tingkat yangmaksimal jika dibandingkan dengan masyarakat yangtelah pernah merasakan dampak peristiwa tsunamisebelumnya (Rachmalia dkk, 2011).

    Pengetahuan masyarakat tentang karakterbencana tsunami juga berhubungan dengan metodepenyelamatan diri yang dilakukan oleh warga

    Kepulauan Mentawai pada saat tsunami terjadi.Gambar 6 menunjukkan bagaimana cara evakuasi diriwarga yang selamat saat tsunami terjadi. Hampir 50%responden menjawab bahwa mereka segeramemutuskan berlari ke dataran yang tinggi dan jauhdari pantai setelah gempa terjadi.

  • 7/22/2019 Peran Tata Ruang

    5/7

    82

    Prosiding Seminar Hasil Penelitian KebencanaanTDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

    ISSN 2088-4532

    Gambar 4. Kondisi rumah-rumah yang rusak diDusun Malakopa, Kecamatan Pagai Selatan.

    Gambar 5. Persentase pengetahuan masyarakattentang tsunami sebelum peristiwa tsunami di

    Mentawai tahun 2010.

    Gambar 6. Reaksi responden sekitar waktuterjadinya tsunami di Kepulauan Mentawai

    tahun 2010

    Tabel 3. Kondisi Intervensi Tataruang dan KorbanTsunami

    3.1 Intervensi tataruang dan korban tsunamiTabel 3 menunjukkan jumlah korban tsunami yangterjadi akibat tsunami dan kondisi intervensi tataruangdi tingkat dusun/desa yang telah dilaksanakan.Berdasarkan hasil tersebut, diketahui bahwa perantataruang di tingkat desa yang dilakukan denganmerelokasi warga ke wilayah yang relatif lebih jauhdari garis pantai telah berperan menurunkan angkakorban akibat tsunami di wilayah tersebut. Total

    jumlah korban tsunami yang meninggal dunia adalah509 jiwa dengan jumlah korban terbesar berada diKecamatan Pagai Utara. Di Kecamatan Pagai Utara ini

    jumlah korban yang meninggal adalah 292 jiwa(BNPB, 2011). Lokasi Kecamatan Pagai Utara beradalebih jauh daripada Kecamatan Pagai Selatan darisumber tsunami. Namun demikian, jumlah korban diPagai Selatan lebih kecil.

    Survey ini menemukan bahwa intervensitataruang di tingkat desa/dusun di Kecamatan PagaiSelatan lebih baik dibandingkan dengan KecamatanSipora Selatan, Sipora Utara, dan Pagai Utara.Intervensi yang menonjol ditemukan di Desa SuratAban, Tapak, dan Malakopa di Kecamatan PagaiSelatan. Di tiga desa/dusun tersebut, ditemukanrelokasi permanen terhadap pemukiman dan fasilitaspublik (gereja, sekolah, dan kantor desa). Hal iniberbeda dengan yang ditemukan di beberapadesa/dusun di Kecamatan Pagai Utara seperti DusunSabeugunggung. Di desa ini, pemukiman penduduksebelum tsunami terjadi berada hanya sekitar 20 meterdari pinggir pantai. Kondisi morfologi alam di sekitar

    Dusun Sabeugunggung yang tertutup oleh semakbelukar dan relatif jauh dari dataran tinggi, membuatwarganya kesulitan melarikan diri saat terjadi tsunami.Mayoritas korban yang selamat menyatakan bahwamereka terselamatkan karena tersangkut di pepohonanyang ada di sekitar bukan karena berhasil lari saatgelombang tsunami mendekat.

    Berdasarkan hasil ini, pola intervensitataruang yang terjadi di sebagian desa/dusun diKecamatan Pagai Selatan menjadi titik kunci dalamupaya mitigasi bencana tsunami. Pola intervensi inidapat menjadi model bagi desa/dusun yang berada dipulau-pulau kecil yang lokasinya dekat dengan sumbertsunami. Upaya pembentukan desa tangguh ( village

    resilient) terhadap bahaya tsunami dapat memakai polaini.

    5. KESIMPULAN

    Studi ini menyingkap beberapa pelajaran penting disekitar peristiwa tsunami di Kepulauan Mentawai yangterjadi pada Oktober 2010. Dengan kondisi pulau-pulau yang berdekatan dengan sumber tsunami,mayoritas warga masyarakat dapat menyelamatkandiri. Intervensi tataruang di tingkat desa yangdilakukan oleh pemerintah dibantu advokasi oleh

  • 7/22/2019 Peran Tata Ruang

    6/7

    83

    Prosiding Seminar Hasil Penelitian KebencanaanTDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

    ISSN 2088-4532

    beberapa lembaga swadaya masyarakat telah berhasilmenekan jumlah korban tsunami di kepulauan ini.Korban dalam jumlah besar di suatu dusun/desa terjadikarena belum adanya proses relokasi kawasanpemukiman di sekitar wilayah pantai ke wilayah yanglebih tinggi atau jauh dari garis pantai. Model mitigasibencana tsunami untuk pulau-pulau kecil yangberdekatan dengan sumber tsunami seperti yangditerapkan di sebagian desa/dusun di KepulauanMentawai dapat diaplikasikan dengan beberapapenyesuaian untuk kasus serupa di wilayah lain.

    UCAPAN TERIMAKASIH

    Survey ini terselenggara berkat dukungan ICHARM diTsukuba Jepang dan Program Disaster Risk Reduction

    for Aceh (DRR-A) output 3 melalui bantuan Multi Donor Thrust Fund (MDF) dan UNDP.

    DAFTAR PUSTAKA

    Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB.(2011). Rencana Aksi Mentawai .http://www.bnpb.go.id/website/asp/content.asp?id=20 .Diakses terakhir tanggal 2 April 2011.

    Badan Pusat Statistik BPS KabupatenMentawai,(2010a) . Kecamatan Pagai Selatan dalam

    Angka . Tua Pejat, Kepulauan Mentawai.

    Badan Pusat Statistik BPS Kabupaten

    Mentawai,(2010b) . Kecamatan Pagai Utara . TuaPejat, Kepulauan Mentawai.

    Badan Pusat Statistik BPS KabupatenMentawai,(2010c) . Kecamatan Sipora dalam Angka .Tua Pejat, Kepulauan Mentawai.

    McCaffrey, R. (2009). The Tectonic Framework ofSumatran Subduction Zone. Annual Rev. Earth PlanetSci. No.37, 345-366

    Nicholls RJ dan Lowe, J.A. (2004). Benefit ofmitigation of climate change for coastal areas. Global

    Environ. Change No. 14, 229-244.

    Nirupama, N., (2009). Analysis of the global tsunamidata for vulnerability and risk assessment. Natural

    Hazards No. 48, 11-16.

    Rachmalia, MNS., Hatthakit, U..,dan Chaowalit, A.(2011). Tsunami Preparedness of people living inaffected and non-affected areas: A comparative studyin coastal area in Aceh, Indonesia. Australasian

    Emergency Nursing Journal No. 14, 17-25.

    Sugimoto, T., Murakami, H., Kozuki, Y., danNishikawa, K., (2003). A Human Damage PredictionMethod for Tsunami Disaster Incorporating EvacuationActivities. Natural Hazards No. 29, 585-600.

    Vatvani, D., Schrama, E.J.O., dan van Kester, J.(2007). Hindcast of Tsunami Flooding in Aceh-Sumatra. delftsoftware.wldelft.nl/index.php?option=com_docman&task=doc (diakses terakhir 4 April 2011).

  • 7/22/2019 Peran Tata Ruang

    7/7

    69

    Prosiding Seminar Hasil Penelitian KebencanaanTDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

    ISSN 2088-4532