peran pemerintah daerah dalam pembangunan indonesia

184
PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA Editor: Dr.M.R. Khairul Muluk,S.Sos,M.Si

Upload: nazkasih

Post on 09-Apr-2016

210 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Artikel

TRANSCRIPT

Page 1: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

PERAN PEMERINTAH DAERAH

DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA

Editor:

Dr.M.R. Khairul Muluk,S.Sos,M.Si

Page 2: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

i

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

ISBN : 978-602-203-446-9

Copyright@Mei, 2013

Published by :

Universitas Brawijaya Press (UB Press)Veteran St., Malang 65145 IndonesiaPhone: 0341-551611 Ext. 376Fax: 0341-565420e-Mail: [email protected], [email protected]://www.ubpress.ub.ac.id

Bekerja sama dengan:

Faculty of Administrative ScienceUniversity of BrawijayaJl. MT Haryono 163Malang

Page 3: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

ii

Daftar IsiDaftar Isi........................................................................................................... ii

Kata Pengantar ................................................................................................. iv

Prakata.............................................................................................................. vi

TANTANGAN BAGI BIROKRASI UNTUK MEWUJUDKAN

PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN1

Kerjasama Pemerintah Daerah Dalam Melayani Pengelolaan Sampah

(Sebuah Gambaran Pada Pemkot Malang)

Abdullah Said ................................................................................................. 1

e-Government Sebagai Inovasi Pelayanan Publik Di Indonesia

Antara Harapan Dan Kenyataan

Choirul Saleh .................................................................................................. 18

Implementasi Undang-Undang Pelayanan Publik:

Siapkah Daerah Otonom?

Abdul Hakim dan Siti Rochmah................................................................... 30

Penyelenggaraan Pelayanan Publik Yang Berkualitas

Sebagai Upaya Memberikan Pelayanan Prima Kepada Masyarakat

Abdul Yuli Andi Gani........................................................................... ........ 46

Komparasi Konsep Demokrasi Dengan Konsep Syuro Dalam Islam:

Pengambilan Keputusan

Trisnawati .............................................................................................. ........ 61

PEMERINTAHAN YANG INOVATIF SEBAGAI KUNCI

KEBERHASILAN PENGELOLAAN SEKTOR PUBLIK

Kompleksitas Kerjasama Antar Daerah

M.R. Khairul Muluk ............................................................................. ........ 85

Page 4: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

iii

Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah Melalui Integrasi Sektor Industri

Kreatif (Creative Industry) Dengan Sistem Inovasi Daerah

Hermawan.............................................................................................. ........ 98

Kerjasama Antar Daerah Dalam Perspektif Sound Governance

Tjahjanulin Domai ................................................................................ ........ 110

Segitiga Inovasi: Analisis Membangun Inovasi Pada Pemerintahan Daerah

Irwan Noor............................................................................................. ........ 136

Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam Rangka Mempercepat Pembangunan

Ekonomi Indonesia

Bambang Supriyono ............................................................................. ........ 151

Profil Penulis........................................................................................... ........ 172

Page 5: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

iv

KATA PENGANTAR

Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas BrawijayaProf. Dr. Sumartono, MS

Assalamualaikum Warrahmatullah Wabarakatuh.

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas

terselesaikannya Proceeding Seminar Nasional dan Konferensi Percepatan dan

Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang diadakan oleh Jurusan Ilmu

Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik

(Humanistik).

Sebagaimana ditetapkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 32 Tahun 2011 Tertanggal 20 Mei 2011, Tentang Masterplan Percepatan

dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada Tahun 2011 –

2025, diperlukan langkah langkah konkrit yang tepat untuk mewujudkan tujuan

mulia sebagaimana tertera dalam Master Plan ini. Sesuai dengan Visi dalam

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), maka visi dari MP3EI adalah

untuk “Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan

Makmur”.

Melalui Instrumen MP3EI diharpkan terjadi percepatan dan perluasan

pembangunan ekonomi sehingga akan menempatkan Indonesia sebagai negara

maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita yang berkisar antara USD

14.250-USD 15.500 dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD

4,0-4,5 triliun. Untuk mewujudkannya diperlukan pertumbuhan ekonomi riil

sebesar 6,4-7,5 persen pada periode 2011-2014, dan sekitar 8,0-9,0 persen pada

periode 2015-2025. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh

penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen pada periode 2011-2014 menjadi 3,0

persen pada 2025. Kombinasi pertumbuhan dan inflasi seperti inilah yang diyakini

merupakan cerminan dari Negara maju. Seminar Nasional dan Konferensi ini,

merupakan salah satu bentuk wujud Kepedulian Fakultas Ilmu Administrasi,

Page 6: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

v

khususnya Jurusan Ilmu Administrasi Publik, untuk terus memberikan kontribusi

dan berperan dalam Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.

Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh Panitia

Pelaksana yang telah menyelenggarakan Seminar Nasional dan Konferensi ini.

Juga kepada seluruh Narasumber Seminar, Pemakalah Konferensi dan para

peserta yang telah meluangkan waktu untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini.

Tanpa adanya dukungan dan kerja keras dari berbagai pihak, kegiatan ini tidak

akan terlaksana dengan baik.

Akhirnya, kami berharap ada sumbangsih pemikiran yang dihasilkan,

sehingga dapat dimanfaatkan dari terselenggaranya Seminar Nasional dan

Konferensi ini. Tentu tak lain, sebagai bagian dari kontribusi dan kecintaan kami

terhadap Negeri ini.

Waalaikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh.

Malang, 30 Juli 2012

Prof. Dr. Sumartono, MSDekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

Page 7: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

vi

PRAKATA

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atasterselesaikannya Proceeding Konferensi Nasional “Percepatan dan Perluasan

Pembangunan Ekonomi Indonesia” yang diadakan oleh Jurusan IlmuAdministrasi Publik bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa IlmuAdministrasi Publik (Humanistik), Fakultas Ilmu Administrasi UniversitasBrawijaya.

Proceeding yang merupakan kumpulan dari makalah (paper) konferensiini, merupakan kegiatan yang diselenggarakan dalam rangkaian Seminar Nasionaltentang Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia. Makalah makalahdalam konferensi ini merupakan karya dari Dosen Jurusan Ilmu AdministrasiPublik FIA UB, yang dipersembahkan sebagai bentuk kepedulian akademisijurusan Ilmu Administrasi Publik FIA UB terhadap proses pembangunan bangsa.Konferensi ini adalah bentuk sumbangsih nyata bagi suksesnya Master Plan

Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang merupakan salahsatu kebijakan penting yang diambil oleh Pemerintah baru baru ini. Berbedadengan sudut pandang kajian yang selama ini ada, konferensi ini inginmemberikan perspektif yang berbeda, yaitu perspektif keilmuan AdministrasiPublik.

Konferensi nasional yang diselenggarakan pada kegiatan kali ini terdiridari dua Kluster. Kluster pertama bertemakan “Tantangan Bagi Birokrasi untuk

Mewujudkan Percepatan dan Perluasan Pembangunan”. Dalam tema inipemakalah memaparkan tentang bagaimana tantangan berat yang dihadapi olehbirokrasi, untuk mewujudkan Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia.Hal ini mengingat bahwa birokrasi kita masih dirudung berbagai kompleksitaspermasalahan. Makalah pertama adalah makalah karya Dr. Chairul Shaleh, M.Siyang merupakan salah satu dosen senior di Jurusan Administrasi Publik FIA UB.Makalah yang berjudul “E-Government sebagai inovasi pelayanan publik di

Indonesia : Antara Harapan dan Kenyataan” membahas dan mendiskusikanmengenai sentralnya peran Electronic Government (E-Government) dalammemberikan pelayanan publik yang lebih baik di Indonesia. Makalah kedua yangberjudul “ Implementasi Undang Undang Pelayanan Publik : Siapkah Daerah

Otonom” membahas mengenai berbagai permasalahan pelik yang akan dihadapidaerah otonom ketika mengimplementasikan Undang Undang Nomor 25 Tahun2009 tentang Pelayanan Publik. Makalah ini merupakan karya dari Prof. Dr.

Page 8: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

vii

Abdul Hakim yang merupakan Guru Besar FIA UB dan Dr. Siti Rochmah M.Siyang merupakan dosen senior jurusan ilmu administrasi publik FIA UB.Selanjutnya adalah makalah dari Prof. Abdul Yuli Andi Gani yang memaparkanmengenai “Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang Berkualitas sebagai upaya

Memberikan Pelayanan Prima Kepada Masyarakat”. Makalah ini menekankanbegitu penting dan besarnya peran pelayanan prima dalam proses pembangunan.

Sedangkan kluster kedua mengambil tema “Pemerintahan yang Inovatif

sebagai Kunci Keberhasilan Pengelolaan Sektor Publik”. Tema ini menekankanbahwa Pemerintahan yang inovatif merupakan kunci suksesnya pembangunan.Pengalaman dari berbagai Pemerintah, baik di Pusat maupun daerah, merupakanpelajaran yang nyata, bahwa Inovasi memegang peran yang sangat penting dalamproses pembangunan. Makalah pertama yang didiskusikan dalam konferensi iniadalah makalah dari Guru Besar bidang Pemerintahan Daerah FIA UB, Prof. Dr.Bambang Supriyono, MS dengan judul “Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam

Rangka Mempercepat Pembangunan Ekonomi Indonesia”. Dalam makalah inibeliau mendiskusikan bagaimana Inovasi yang dilakukan oleh PemerintahanDaerah merupakan salah satu factor kunci untuk menunjang proses percepatanpembangunan, termasuk percepatan pembangunan di bidang ekonomi. Makalahselanjutnya adalah makalah dari Dr. Hermawan M.Si yang saat ini sedangmenjabat sebagai Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan JurusanAdministrasi Publik FIA UB. Makalah yang berjudul “Perencanaan

Pembangunan Ekonomi Daerah Melalui Integrasi Sektor Industri Kreatif

(Creative Industry) Dengan Sistem Inovasi Daerah (SIDA)” mengelaborasi secarateoritis maupun praktis tentang perencanaan pembangunan di daerah yangseharusnya sudah mulai melirik sektor industri kreatif sebagai tumpuan. Agarlebih optimal, selain dikembangkan sistem inovasi nasional oleh PemerintahPusat, perlu pula dikembangkan system inovasi daerah (SIDA) oleh PemerintahDaerah. Paper selanjutnya yang berjudul “Segitiga Inovasi: Analisis Membangun

Inovasi Pada Pemerintah Daerah” merupakan karya Dr. Irwan Noor, MA, yangmemang menekuni bidang inovasi Pemerintahan Daerah. Segitiga inovasi yangdidisuksikan dalam makalah ini, berusaha mengungkapkan sebuah model didalam membangun inovasi pemerintahan daerah yang disebut dengan LPC Model,yaitu Leadership, Political and Climate Model. Makalah selanjutnya adalahmakalah dengan judul “Kerjasama Antar Daerah dalam perspektif Sound

Governance”, ditulis oleh Dr. Tjahjanulin Domai, MS, yang merupakan pakar darikerjasama antar daerah khususnya dalam perspektif Sound Governance.Kerjasama antar daerah yang dipaparkan dalam makalah ini, menggunakanperspektif Sound Governance, yang akhir akhir ini hangat dibicarakan di kalanganilmuwan administrasi publik. Masih soal kerjasama antar daerah, makalah

Page 9: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

viii

selanjutnya adalah makalah yang disampaikan oleh Drs. Abdullah Said, M.Sidengan judul “Kerjasama Pemerintah Daerah dalam Melayani Pengelolaan

Sampah (Sebuah Gambaran pada Pemerintah Kota Malang)”, yangmendiskusikan tentang permasalahan sederhana –tapi penting- namun tak pernahselesai : sampah. Dalam makalah ini ditawarkan mekanisme kerjasama antardaerah dalam pengelolaan sampah.

Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan, baik dalam prosesseminar maupun penyusunan proceeding ini. Namun, kami berharap perspektifkeilmuan Administrasi Publik ini, dapat memperkaya dan ikut berkontribusidalam proses Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Negara ini. Semoga.

Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Malang, 30 Juli 2012Hormat Kami,Ketua Jurusan Administrasi Publik,Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

Dr. M. R. Khairul Muluk, M.Si

Page 10: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

1

TANTANGAN BAGI BIROKRASI UNTUK MEWUJUDKAN

PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN

KERJASAMA PEMERINTAH DAERAH DALAM MELAYANI

PENGELOLAAN SAMPAH

(SEBUAH GAMBARAN PADA PEMKOT MALANG)

Abdullah Said

PENDAHULUAN

Sampai saat ini sampah merupakan masalah serius di negeri ini. Kota-kota

besar dengan jumlah penduduk yang padat dan lahan yang terbatas tetapi masih

mengelola sampah secara tradisional mengakibatkan pengelolaan sampah

terbengkalai. Lahan yang dipakai sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

seringkali melewati batas kota dan berada di wilayah kabupaten di sekitar kota.

Hal ini bisa terjadi bilamana terdapat kerjasama dan pengertian yang baik antara

dua institusi atau lebih. Kota yang tidak mempunyai kerjasama dengan kabupaten

dalam pengelolaan sampah akan menghadapi keterbatasan lahan yang lambat laun

tidak akan mampu menampung produksi sampah setiap harinya. Alternatif

pengolahan sampah dengan cara modern harus menjadi pertimbangan seperti

penghilangan/pemusnahan sampah dengan incinerator.

Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa

kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.

Pengelolaan sampah dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh,

dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.

Berdasarkan sifat fisik dan kimianya sampah dapat digolongkan menjadi: 1)

sampah ada yang mudah membusuk terdiri atas sampah organik seperti sisa

sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain; 2) sampah yang tidak mudah membusuk

Page 11: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

2

seperti plastik, kertas, karet, logam, sisa bahan bangunan dan lain-lain; 3) sampah

yang berupa debu/abu; dan 4) sampah yang berbahaya (B3) bagi kesehatan,

seperti sampah berasal dari industri dan rumah sakit yang mengandung zat-zat

kimia dan agen penyakit yang berbahaya

Keterbatasan dana dapat menjadi penyebab kenapa kebanyakan kota

belum/tidak memakai teknologi modern pengelolaan sampah ataupun karena

masih berjalannya kerjasama antar dua institusi pemerintah kota dan kabupaten

dalam menyediakan TPA. TPA memang menjadi alternatif pengelolaan sampah

yang murah akan tetapi apabila tidak ditangani dengan baik akan menjadi sumber

penyakit, kotor, sumber bau dan pencemaran lingkungan yang serius.

Dengan teknologi yang tepat, sampah yang tadinya menjadi masalah

sebagai barang buangan, kotor, berbau, menimbulkan penyakit dan mencemari

lingkungan dapat menjadi barang yang bisa dimanfaatkan dan memiliki nilai

ekonomi tinggi. Teknologi tersebut bisa berupa pemanfaatan sampah menjadi

kompos, daur ulang, maupun pemakaian kembali. Hal ini bisa terlaksana apabila

terdapat pemisahan sampah dan menjadi semakin efektif apabila pemisahan

sampah dipahami dan dilakukan dengan baik oleh penghasil sampah (Rumah

Tangga, Industri, Kantor, dll).

Pemerintah Kota/Kabupaten dengan kebijakannya dapat mengendalikan

polusi melalui pengelolaan sampah yang baik. Instrumen kebijakan tersebut bisa

berupa strategi yang dituangkan dalam peraturan sehingga semua pihak terikat

untuk melaksanakan hak dan kewajiban serta sanksi yang jelas. Pengelolaan

sampah selain didukung oleh instrumen kebijakan, didalamnya mengandung

aspek ekonomi, aspek budaya masyarakat dalam memandang sampah dan

kebersihan, aspek partisipasi dan aspek manajemen.

Global Warming akibat menipisnya lapisan ozon bisa disumbangkan oleh

pengelolaan sampah yang buruk seperti pembakaran sampah dalam

pemusnahannya tanpa memperhatikan materi sampah. Plastik dan barang kimia

lainnya yang dibakar akan menyumbangkan polusinya dalam merusak lingkungan

yang akan berakibat jangka panjang. Isu tersebut harus segera ditanggapi untuk

Page 12: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

3

mengontrol polusi yang dihasilkan untuk menjaga dan melindungi udara, air, air

bawah tanah dan sampah padat yang berbahaya.

Buruknya pengelolaan sampah bisa membuat air dan sumber air tidak

dapat dipakai karena tercemar oleh sampah industri dan rumah tangga, berbau dan

berbahaya seperti yang terjadi di Australia pada tahun 1800an seperti kutipan

berikut:

By the 1820s, the Tank Stream on which Sydney had

depended, had become so polluted that it could not be used for

domestic water. In Victoria, Batman’s Swamp—a lake with

clear water and abundant wildlife—became “a receptacle for

the industrial and household waste of expanding Melbourne”

and by the 1860s was foul-smelling and dangerous. (Australian

Government, National Waste Report 2010).

Sejak lahirnya kebijakan lingkungan di sebagian besar negara-negara

industri, pemerintah cenderung untuk menggunakan kekuasaan dan pengawasan,

(berupa peraturan yang langsung secara terus-menerus dengan pengawasan dan

sistem penyelenggaraan) sebagaimana strategi penguasa dalam pengendalian

polusi dan pengelolaan sampah. Pendekatan yang umum ini memerlukan

pemerintahan yang sehat berkenaan dengan ketetapan standar dalam pengelolaan

sampah.

Pada kasus yang lebih umum, pendekatan kekuasaan dan pengawasan juga

mempunyai jadwal pertemuan dan standar, memberikan ijin serta prosedur

penyelenggaraan untuk fasilitasi, penetapan tanggungjawab, dan hukuman bagi

yang tidak memenuhi. Tanggungjawab untuk menetapkan dan menjalankan

standar dan persyaratan lain dibagi dalam cara menetapkan perundangan-udangan

antara pemerintah pusat, propinsi, dan pemerintah lokal.

Pendekatan kekuasaan dan pengawasan memberikan pengaturan

kekuasaan yang maksimum untuk mengontrol dimana dan bagaimana sumber-

sumber daya akan digunakan untuk mencapai sasaran yang berwawasan

lingkungan. Keuntungan utama dari pendekatan ini adalah dengan menyiapkan

Page 13: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

4

aturan yang rasional untuk memprediksi tentang berapa banyak tingkat polusi

yang bisa dikurangi. Pendekatan ini juga membatasi kompetisi diantara fasilitas-

fasilitas yang tidak mangadopsi teknologi ramah lingkungan.

“Pada kasus-kasus pengendalian polusi udara, sebagai

contoh, semua fasilitas baru harus mengadopsi teknologi

penyusutan yang seragam. Pada kasus pengendalian polusi air,

polusi yang sama di kontrol dengan teknologi yang diterapkan

pada kelas industri, dengan mengabaikan usia fasilitas”

(Moore 1989).

Pada pihak yang mendatangkan pencemaran, prinsip upah-pengguna

membayar hukuman yang bersifat finansial untuk tingkat polusi yang lebih tinggi

dan membayar hukuman lebih kecil atau menerima hadiah finansial untuk tingkat

polusi yang lebih rendah.

“Menurut prinsip pengguna-upah, pengguna sumber

upah merupakan biaya sosial yang penuh untuk menyediakan

sumber-sumber, seperti untuk air dan dihubungkan pada

pelayanan-pelayanan termasuk biaya pengurusan pengobatan”.

Sementara instrumen ekonomis menerapkan biaya langsung

(contoh, dasar tuntutan untuk pembatasan volume dan

pencemaran kota, pembayaran-per-sistim per karung untuk

buangan limbah padat, biaya izin untuk pengeluaran udara

dimana perubahan-perubahan biaya dengan yang dipancarkan,

yang disetorkan dibayar ulang, instrumen lain meliputi biaya-

biaya tidak langsung seperti pajak-pajak polusi yang di

masukkan (sebagai contoh, pajak-pajak bahan bakar). (OECD

1990).

Secara keseluruhan, pendekatan ekonomis mempunyai beberapa

keuntungan:

Hemat biaya promosi yang berarti mencapai tingkat yang dapat diterima

tentang polusi;

Page 14: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

5

Pengembangan stimuli terhadap teknologi pengendalian polusi dan

keahlian di sektor swasta;

Penyediaan pemerintah dengan sumber pendapatan untuk mendukung

program pengendalian polusi;

Menyediakan teknologi pengendalian polusi yang fleksibel;

Mengeliminasi syarat-syarat dari pemerintah untuk memperbesar jumlah

informasi detil yang diperlukan untuk menentukan layak dikerjakan dan

pengendalian pada tingkat yang tepat untuk setiap tanaman atau produk

(OECD 1989).

Sebagaimana hal tersebut di atas, instrumen ekonomis sering

mempersatukan prinsip-prinsip pembuat pencemaran-upah. Maksudnya prinsip

untuk digabungkan, pada biaya sosial yang minim, pengeluaran pada proteksi

lingkungan dihubungkan dengan standar atau tuntutan. Menurut Coase dalam

Pearce dan Turner:

“hal ini tidak efisien, alasannya bagi pemerintah

terhadap peraturan yang berbelit-belit tentang kerusakan

polusi, kecuali untuk penyelenggaraan bagi hak milik.

Tergantung pada siapa yang memiliki hak milik, salah satu

pembuat pencemaran akan membayar korban untuk kerugian

sebagai toleransi atau korban akan dibayar oleh pembuat

pencemaran yang tidak mencemari” (Pearce dan Turner 1990).

Keabsahan pendekatan ini, walaupun didasarkan pada dua anggapan

yakni: biaya transaksi tidak penting (khususnya, dimana jumlah korban dan

pembuat pencemaran tidak besar) dan perundingan berhasil dengan persetujuan

yang kuat. Dalam ketiadaan salah satu kondisi, walaupun intervensi publik

mungkin hanya satu-satunya solusi yang efektif menurut laporan internal Bank

Dunia.

Sampah anorganik bisa membantu mengembangkan industri daur ulang

(recycling). Kertas bekas akan di daur ulang oleh industri kertas, sampah plastik

dan kaca akan di daur ulang menjadi bahan baku industri, sedangkan sampah

Page 15: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

6

organik dapat mengembangkan industri pengolah kompos menjadi pupuk organik

dan juga dapat diolah menjadi industri energi/industri bahan bangunan.

Daur ulang adalah salah satu cara yang digunakan untuk meminimalkan

jumlah sampah yang ada untuk meningkatkan nilai ekonomisnya menjadi barang-

barang yang berguna. Daur ulang merupakan proses untuk mengurangi

penggunaan bahan baku yang baru, mengurangi penggunaan energi, mengurangi

polusi, kerusakan lahan, dan emisi gas rumah kaca jika dibandingkan dengan

proses pembuatan barang baru.

Dari gambaran tersebut di atas perlu kiranya pemerintah untuk melakukan

reformasi dalam pelayanan pengelolaan sampah yang merupakan tugas sebagai

pelayanan kepada publik. Maksimalisasi pelayanan kepada publik yang diberikan

oleh pemerintah akan tercapai jika birokrasi mampu bersifat impersonal, tidak

memihak dan berdiri di atas kepentingan demi pemberian layanan yang bersifat

rasional dan lepas dari kepentingan sesaat (Usman, 1999:93). Sehingga dalam

konteks globalisasi fungsi public service harus diubah dan lebih menekankan pada

fungsi kewirausahaan (entrepreneurialship) (Thoha dan Dharma, 1999:39) karena

bentuk pemerintahan yang berkembang di era industri dengan birokrasi yang

lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan, serta rantai

hirarki komando, tidak lagi berjalan dengan baik (Osborne dan Gaebler, 1992:29).

Lontaran yang disampaikan dalam bukunya yang berjudul Reinventing

Government tersebut merupakan serangan terhadap prinsip birokrasi yang

dikemukakan oleh Weber yang di dalam ideal typenya salah satunya, adalah a

hierarchiecal system of authority (sistem kewenangan yang hirarkis), yang

terbukti tidak mampu lagi memenuhi tuntutan jaman dalam memberikan layanan

yang terbaik kepada publik.

Permasalahan sampah merupakan permasalahan yang harus di atasi

terutama di kota-kota besar, karena lahan pembuangan sampah semakin

menyempit, bisa karena memang ukurannya atau produksi sampah semakin

meningkat karena penggunaan barang-barang juga meningkat akibat peningkatan

jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk ini bisa disebabkan oleh dua

faktor di kota besar yaitu tingkat kelahiran dan tingkat urbanisasi.

Page 16: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

7

Sampah yang tidak terangkut dari tempat penampungan sementara ke

tempat penampungan akhir dapat menyebabkan bau yang tidak sedap dan sumber

penyakit, karena biasanya tempat penampungan sementara tidak terlalu jauh

jaraknya dengan pemukiman apabila di bandingkan dengan tempat penampungan

akhir yang di kondisikan (harusnya) jauh dari lingkungan pemukiman.

Permasalahan Indonesia khususnya di kota besar Pulau Jawa khususnya

Malang Raya di dalam pengelolaan sampah yang seharusnya dengan mudah

dilaksanakan adalah transportasi dari tempat penampungan sementara ke tempat

penampungan akhir. Data mengenai transportasi sampah dari tempat

penampungan sementara ke tempat penampungan akhir dapat dilihat pada tabel di

bawah ini.

Tabel 1. Pelayanan dan Kuantitas Sampah Padat

Kabupaten/KotaKuantitasSampah(ton/hari)

Sampah yangdiangkut dari TPSke TPA

Prosentase

KabupatenSerang

170 4526,47

Kota Tangerang 750 40053,33

Kota Jakarta 6.000 5.30088,33

Kota Bekasi 1.100 26023,64

KabupatenBekasi

290 21072,41

Kota Depok 750 23030,67

Kota Bogor 520 36069,23

Kota Bandung 2.000 1.55077,50

KabupatenBandung

2.250 40017,78

Kota Cirebon 150 13086,67

Kota Surabaya 2.200 1.30059,09

Total16.180 10.185

62,95

Page 17: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

8

Sumber: dikutip dan diolah dari Mangkoedihardjo, Journal of Applied

Sciences in Enviromental Sanitation, 2007

Tabel.1 menggambarkan bagaimana sampah diangkut dari Tempat

Penampungan Sementara (TPS) ke Tempat Penampungan Akhir (TPA) hanya

mencapai 62,95% dari 11 kabupaten/kota yang menjadi tempat penelitian.

Sebanyak 37,05% sampah tidak terangkut dan terangkut pada keesokan harinya

sehingga sampah yang bagian bawah menjadi membusuk dan menyebabkan

polusi udara dan bisa menyebabkan penyakit. Kabupaten Bandung menghasilkan

2.250 ton sampah perhari dan hanya 400 ton diantaranya yang mampu

dipindahkan ke TPA dari TPS, sisanya mungkin menumpuk dan membusuk di

TPS, di bakar, di tanam di lahan kosong. Kinerja Kota Bekasi hanya mencapai

23,64% dalam memindahkan sampah dari TPS ke TPA, untuk ukuran kota maka

dapat dipastikan Kota Bekasi tidak mampu memberikan pelayanan kepada

penduduknya. Kabupaten Serang mampu mentransportasikan sampah dari TPS ke

TPA sebanyak 26,47% perharinya. Kabupaten/kota lainnya juga menunjukkan

kinerja yang tidak cukup baik, karena sampah seharusnya diangkut semuanya

setiap hari dari TPS ke TPA.

Di Kota Malang persoalan sampah dari tahun ke tahun sangat krusial.

Volume sampah yang tak terangkut ke LPA (lahan pembuangan akhir) Supit

Urang makin banyak.

Data tahun 2006, sampah tak terangkut hanya 160 meter kubik. Namun,

tahun 2007 volume sampah tak terangkut meningkat sampai 3.240 meter kubik.

Itu belum termasuk data 2008 dan 2009 hingga Juni. Kepala Dinas Kebersihan

dan Pertamanan (DKP) Kota Malang mengakui persoalan itu. “Tidak semua

sampah bisa terangkut karena jangkauan pengangkutan,” ungkap dia kemarin.

Menurut Kepala Dinas (DKP) Kota Malang, produksi sampah di Kota

Malang rata-rata menembus 900 meter kubik per hari. Bahkan bisa lebih. Tetapi,

yang mampu terangkut ke Supit Urang hanya 700-800 meter kubik. Bahkan,

kondisi Supit Urang diprediksi 10-15 tahun lagi tak akan sanggup menampung

sampah dari Kota Malang. Pasalnya, dari enam sel yang digunakan untuk

Page 18: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

9

menampung sampah, lima sel di antaranya telah penuh. Sel yang masih kosong

adalah sel IV. Saat ini, pembuangan sampah terfokus di sel VI. Itu pun akhir 2009

diprediksi sel VI sudah penuh. “Kami berupaya pengangkutan itu tetap stabil.

Yang tak terangkut dicarikan jalan alternatif. Salah satunya dengan komposting.

Pada tahun ini (2001) Kota Malang menghasilkan sampah cukup tinggi

yakni sebesar 400 ton perhari. Sebagian besar sampah tersebut berasal dari rumah

tangga. Sedangkan sisanya berasal dari sampah pasar hingga sampah industri yang

dikumpulkan dari 75 TPS dari seluruh sudut Kota Malang.

Kepala DKP Kota Malang, Drs. Wasto, SH. MH. membenarkan jika

volume sampah di Kota Malang sudah mencapai ratusan ton per hari. Melihat

volume yang sangat besar ini, sampah menjadi persoalan yang cukup pelik.

Bahkan, saat ini dana operasional komposting di sembilan lokasi itu hanya

mengandalkan penjualan pupuk. Padahal, harga pupuk kompos per kilogramnya

hanya berkisar antara Rp 150-Rp 300. Selain optimalisasi sembilan lokasi sentra

pembuatan pupuk kompos, DKP juga gencar melakukan sosialisasi pentingnya

pemilahan sampah untuk skala rumah tangga. Sosialisasi ini terkait dengan

program penyebaran keranjang takakura kepada penduduk di lima kecamatan

Kota Malang. “Dengan membuat kompos sendiri, diharapkan volume sampah

yang terangkut tetap stabil. Sedangkan yang tak terangkut bisa diatasi sendiri oleh

masyarakat.

Permasalahan sampah akan berlanjut apabila sampah yang dikumpulkan

tidak dipilah-pilah menurut jenis sampahnya karena apabila dibakar, bahan-bahan

anorganik akan menjadi sumber polusi yang sangat berbahaya bagi kesehatan

manusia dan lingkungan. Sampah yang tidak dipilah dengan benar menjadikan

teori 3R mengenai sampah tidak dapat dijalankan dengan baik.

Konsep 3R adalah prinsip pengolahan sampah yang terdiri dari Recycle,

Reuse dan Reduction. Pengelolaan sampah mengikuti hirarki pertama yaitu

reduction, mengurangi sampah yang dihasilkan dengan bijaksana. Hirarki kedua

adalah re-use, sebelum membuang barang, kita harus melihat apakah barang

tersebut masih bisa digunakan kembali atau tidak baik digunakan sendiri atau oleh

Page 19: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

10

orang lain seperti furnitur, komputer, gelas, kaca dan lain-lain dan hirarki terakhir

adalah recycle atau daur ulang, barang yang dihasilkan pada zaman sekarang

sebisa mungkin adalah barang yang bisa di daur ulang.

Menurut Visvanathan (2006), permasalahan penanganan sampah yang

didasarkan pada studinya di negara-negara Asia Selatan ada pada aspek teknik,

manajemen, keuangan, hukum dan pendukung. Diantaranya yang menjadi

permasalahan penanganan sampah pada aspek teknik meliputi ketentuan fasilitas

penampungan sampah primer, transportasi sampah dan sistem pengelolaan

sampah. Pada aspek manajemen terdapat permasalahan diantaranya adalah

pelaksanaan masterplan yang tidak sesuai, lemahnya pengawasan penanganan

sampah dan kurangnya dukungan LSM dan organisasi berbasis masyarakat.

Aspek keuangan mempunyai permasalahan pada transparansi dan belum ada

pembedaan biaya pada penghasil sampah yang banyak dan sedikit. Aspek hukum

mempunyai masalah pelaksanaan standar polusi dan emisi, zona bebas bangunan

sekitar 500m2 di sekitar TPA dan aspek yang terakhir adalah aspek pendukung

yang mempunyai permasalahan kurangnya dukungan swasta, pendidikan publik

mengenai sampah, dan mendorong pemisahan sampah.

Permasalahan yang terjadi di negara-negara Asia Selatan bisa mungkin

terjadi di Indonesia karena karakteristiknya tidak terlalu beda baik geografi,

penduduk maupun kebudayaan. Permasalahan yang sesuai dengan kondisi di

Indonesia merupakan titik masuk untuk melakukan identifikasi masalah dalam

membuat model di penelitian ini.

Pemerintah melalui aparatnya dalam mengelola sampah harus dengan cara

profesional seperti yang telah dilakukan oleh pihak swasta. Menurut Wahab

(1999:89) model pelayanan publik yang dianjurkan salah satunya adalah

menggunakan model pelayanan yang telah lama berlangsung di sektor

bisnis/swasta (market like-modes). Ungkapan ini sejalan dengan pemikiran

Osborne dan Gaebler (1992:91) yang mengungkapkan bahwa swasta lebih baik

dalam melaksanakan fungsi-fungsi bisnis, meskipun tidak dipungkiri bahwa ada

perbedaan antara swasta dan publik. Penggunaan kepada model swasta

menyebabkan terjadinya perubahan orientasi yang menurut Wahab :

Page 20: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

11

”Pada dasarnya mencoba menempatkan warga negara

sebagai konsumen yang harus dilayani kepentingannya dengan

sebaik-baiknya sehingga makna konsumen dalam konteks

pelayanan publik yang semula berkiblat pada kepentingan

birokrasi (bureaucratic-oriented) atau berorientasi kepada

produsen (producer-oriented) berubah kepada orientasi

konsumen (consumen-driven approach)”, Wahab (1994:59)

Dalam bahasa Tjokrowinoto (1999:28) perubahan dilakukan terhadap

birokrasi dengan mengubah corak rule-driven bureaucracy menjadi market-driven

bureaucracy. Sehingga dengan pendekatan ini publik tidak lagi diperlakukan

sebagai obyek melainkan sebagai warga negara yang aktif (Wahab, 1994:82).

Namun demikian model pelayanan sebagaimana yang disarankan oleh

Osborne dan Gaebler (2002) tersebut banyak mendapat kritikan. Kettl (1998)

mengungkapkan bahwa dalam new public management melahirkan usaha

membuat praktek-praktek seperti bisnis dan perubahan yang diarahkan ke pasar

merupakan serangan agresif terhadap tradisi akuntabilitas demokratis. Alasan lain

yang dikemukakanya adalah:

Pertama, privatisasi dan usaha-usaha meniru sektor swasta akan

mempersempit cakupan akuntabilitas dan menempatkan perhatian utama

pada memenuhi standar dan memuaskan pelanggan. Pendekatan ini tidak

merefleksikan aneka ragam, canel-canel akuntabilitas tumpang tindih di

dalam sektor publik karena standar-standar dalam sektor swasta kurang

kuat.

Kedua, new public management tidak menempatkan penekanan yang

tepat pada undang-undang publik dan norma-norma demokratis.

Akuntabilitas publik berkurang bila layanan pemerintah yang dilakukan oleh

organisasi swasta atau non profit tidak terikat dengan prinsip-prinsip hukum

publik.

Ketiga, dalam new public management administrator publik dianggap

sebagai wiraswasta, mencari kesempatan untuk menciptakan kemitraan

Page 21: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

12

swasta dan melayani pelanggan. Pandangan terhadap peran administrator

publik ini adalah sempit, dan disesuaikan untuk mencapai prinsip-prinsip

demokratis seperti kewajaran, keadilan, partisipasi, dan artikulasi

kepentingan bersama. Kualitas yang membuat administator menjadi

wiraswastawan yang baik bisa membuatnya menjadi pelayan publik yang

tidak efektif. (Kettl (1998)

Kritikan tersebut di atas juga didukung oleh Denhardt dan Denhardt

(2003). Oleh karenanya keduanya menyarankan untuk meninggalkan prinsip-

prinsip old public administration ataupun new public management dan beralih ke

prinsip new public service yang lebih melayani warga masyarakat bukan sebagai

pelanggan. Dengan demikian pemerintah akan lebih tanggap terhadap keinginan

masyarakat.

Di sisi lain, perlu ditinggalkannya prinsip-prinsip old public

administration ataupun new public management dan beralih ke prinsip new public

service disebabkan karena kinerja birokrasi pelayanan publik saat ini menjadi isu

kebijakan yang semakin strategis karena perbaikan kinerja birokrasi memiliki

implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi dan politik. Dalam kehidupan

ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki iklim investasi yang

amat diperlukan oleh bangsa ini untuk bisa segera keluar dari krisis ekonomi yang

berkepanjangan. Buruknya kinerja birokrasi publik sering menjadi determinan

yang penting dari penurunan minat investasi. Sayangnya, kinerja birokrasi publik

dari berbagai studi dan observasi tidak banyak mengalami perbaikan bahkan

cenderung menjadi semakin buruk.

Kesan umum (public image) akan rendahnya kinerja birokrasi

pemerintahan dalam memberikan kepada publik, yang kental dengan fenomena

kurangnya kesadaran pejabat birokrasi, yang dikatakan Amin Rais dalam Islamy

(1998) sebagai elitis dan kurang berpihak kepada kepentingan masyarakat, perlu

diakhiri. Masih menurut Islamy (1998) masyarakat kini telah kritis dan telah

memenuhi kewajiban-kewajibannya. Maka, memenuhi hak-hak masyarakat

adalah suatu keharusan, bukan (sebaliknya) memasung hak-haknya seperti yang

terjadi sekarang ini. Salah satu prasyarat legitimasi kekuasaan negara yang harus

Page 22: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

13

disadari ialah apabila negara, melalui aktivitas pemerintahan dapat mengusahakan

kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat (Kumorotomo, 1999). Sedangkan

Dwiyanto (2002) dalam pengantarnya mengatakan bahwa banyak perhatian

diberikan untuk mereformasi sistem dan lembaga politik, tetapi hal yang sama

tidak dilakukan dalam birokrasi publik. Reformasi politik yang tidak dikuti oleh

reformasi birokrasi ternyata tidak banyak menghasilkan kinerja pelayanan publik.

Pelayanan publik yang profesional perlu diwujudkan untuk mengatasi

rendahnya kinerja birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan publik. Hal

ini penting mengingat dalam sistem pemberian pelayanan kepada masyarakat

akhir-akhir ini menunjukkan banyak kemunduran, sebagaimana dinyatakan oleh

Sherwood (1997) bahwa :

“profesionalisme pemerintah sedang mengalami

kemunduran. Saat ini lebih banyak pejabat politik dalam

birokrasi, dan lingkungan kerja belum mendukung atau dapat

dipercaya. Tetapi pejabat pemerintah mempunyai peran penting

untuk memulihkan lingkungan kerja agar sesuai dengan standar

profesionalisme. Untuk itu dibutuhkan orientasi layanan yang

baru. Demikian juga alternatif struktur formal dan layanan

eksekutif yunior mungkin banyak membantu”

Ada banyak penjelasan yang bisa digunakan untuk memahami mengapa

pemerintah dan birokrasinya gagal mengembangkan kinerja pelayanan yang baik.

Osborne dan Plastrik (1997) menggunakan:

”metafora biologi menjelaskan lima DNA, kode

genetika, dalam tubuh birokrasi dan pemerintah yang

mempengaruhi kapasitas dan perilakunya. Sikap dan perilaku

di suatu birokrasi dan pemerintah dalam penyelenggaraan

pelayanan publik akan sangat ditentukan oleh bagaimana

kelima DNA dari birokrasi yang dikelola, yaitu : misi,

akuntabilitas, konsekuensi, kekuasaan, dan budaya”.

Page 23: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

14

Kemampuan dari suatu sistem pelayanan publik dalam merespon dinamika

yang terjadi dalam masyarakatnya secara tepat dan efisien akan sangat ditentukan

oleh bagaimana misi dari birokrasi dipahami dan dijadikan sebagai basis dan

kriteria dalam pengambilan kebijakan oleh birokrasi itu. Sehingga kemampuan

untuk merespon (responsibilitas) dijadikan sebagai asas etika bagi aparat

pemerintah menyangkut hasrat seorang petugas untuk merasa memikul

kewajibannya secara penuh dan ikatan yang kuat dalam pelaksanaan semua tugas

pekerjaan secara memuaskan. Petugas administrasi pemerintahan harus

mempunyai hasrat besar untuk melaksanakan fungsi-fungsi secara efektif,

sepenuh kemampuan, dan dengan cara yang paling memuaskan pihak yang

menerima pertanggungjawaban. Pertanggung jawaban itu dapat ditujukan kepada

masyarakat atau publik, instansi pemerintah maupun kepada pihak atasan

langsung. Kebiasaan untuk melepaskan tanggung jawab atau keinginan untuk

melempar tanggung jawab kepada pihak lain apapun dalihnya harus disingkirkan

dari para petugas pemerintahan.

”Setiap administrator pemerintahan harus bersedia

memikul pertanggung jawaban mengenai apa saja yang

dilakukannya. Ia tidak boleh terjebak pada alasan bahwa

dirinya hanya menjalankan perintah (just following orders), ia

hanya menjalankan petunjuk atau melaksanakan kebijakan

pemerintah” (Gie, 1987).

”Namun demikian, pada kenyataannya kinerja birokrasi

publik di Indonesia seringkali tidak memiliki misi yang jelas

sehingga fungsi-fungsi dan aktivitas yang dilakukan oleh

birokrasi itu cenderung semakin meluas, bahkan kemudian

menjadi semakin jauh dari tujuan yang dimiliki ketika

membentuk birokrasi itu” (Tangkilisan, 2005).

Selain itu ketidakjelasan misi juga membuat orientasi birokrasi dan

pejabatnya pada prosedur dan peraturan menjadi amat tinggi. Apalagi dalam

birokrasi pelayanan publik di Indonesia yang cenderung menjadikan prosedur dan

peraturan sebagai panglima, maka ketidakjelasan misi birokrasi publik mendorong

Page 24: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

15

para pejabat birokrasi publik menggunakan prosedur dan peraturan sebagai

kriteria utama dalam penyelenggaraan pelayanan.

Di Indonesia, secara normatif telah di atur dengan UU No. 23 Tahun 1997

tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tetapi efektifitas implementasinya belum

dapat mencapai tujuan yang diharapkan karena adanya persoalan pada masalah

substansial, struktural maupun kultural. Kemudian diterbitkan regulasi yang baru

yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup yang baru sebagai instrumen pelaksanaan kebijakan ke depan

yang mempunyai peran penting. Dengan peraturan perundang-undangan yang

baru disyahkan ini pemerintah pusat dan daerah berkewajiban membuat kajian

lingkungan hidup strategis. Kajian itu untuk memastikan pembangunan

berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam kebijakan, rencana, dan

program pembangunan. Pemanfaatan sumberdaya alam juga harus didasarkan

pada rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH) yang

menjadi dasar penyusunan rencana pembangunan jangka panjang dan menengah.

Malang Raya merupakan daerah pertama yang akan dijadikan pilot project

penanganan sampah secara regional dan terintegrasi. Apabila berhasil akan diikuti

oleh daerah-daerah lain di Jatim.

Salah satu solusi untuk menangani permasalahan sampah di Jatim,

khususnya di Malang Raya penanganannya harus dilakukan secara regional dan

terintegrasi. Hal tersebut sebagai langkah ideal, karena sistem ini terbukti efektif

dan efisien ditengah keterbatasan daya dukung lingkungan, keuangan, dan Sumber

Daya Manusia (SDM) di masing-masing kabupaten/kota. Penanganan sampah

yang efisien dan efektif dimulai dari Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota

Batu. Daerah ini didukung SDA dan SDM yang nantinya disusul daerah lain di

Jatim.

KESIMPULAN

Page 25: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

16

Berdasarkan kenyataan, membuktikan bahwa penanganan sampah yang

tidak bagus akan berdampak buruk bagi sebuah wilayah. Bukan hanya secara

estetika pada sebuah daerah, tetapi sampah juga bisa menyebabkan penyakit.

Dalam menangani dan mengelola sampah, membutuhkan waktu serta memerlukan

konsep sinergi antar aspek, seperti aspek hukum, organisasi, teknis operasional,

pembiayaan serta peran aktif masyarakat.

Selain itu dibutuhkan komitmen beberapa kalangan, dan meniadakan ego

sektoral dan ego teritorial. Perlu ada kerjasama dari berbagai pihak baik

pemerintah maupun masyarakat dalam menangani sampah ini, karena sudah ada

beberapa daerah di Indonesia yang mampu mewujudkan penanganan sampah

secara regional dan terintegrasi, antara lain SARBAGITA (Denpasar, Badung,

Gianyar, dan Tabanan).

DAFTAR PUSTAKA

Almond, Gabriel & Bingham Powel, 1996, Comparative Politics Development Approach, LittleBrown Company, Bombai, India

Caiden, G.E., 1982, Public Administration, Second Edition, California : Palisades PublishersDenhardt, J.V; Denhardt, R.B, 2003, The New Public Service, M.E. Shaper, Inc, 80 Business Park

Drive, Armont, New YorkDonovan, F. dan A.C. Jackson, 1991, Managing Human Service Organization, New York, N.Y. :

Prentice HallDwiyanto, 2002, Reformasi Birokrasi Publik, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan

Universitas Gadjah MadaEffendi, Sofyan, 1990, Kebijaksanaan Publik Berwawasan Pemerataan, Dalam Buku Beberapa

Aspek Pembangunan Orde Baru, Rhamadhani, SoloHandayaningrat, Suwarso, 1988, Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional, PT.

Gunung Agung, JakartaHenderson Keith, dan Parson, 1947, Bureaucracy and The Alternatives in Owrld Perspective, ST

Martin’s Press Inc Hood, 1991, New Public ManagementHughess, O., 1994, Public Management and Administration : An Introduction, N.Y., New York :

St. Martin PressIslamy, M. Irfan, 1998, Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara, Pidato Pengukuhan

Jabatan Guru Besar, Universitas Brawijaya, MalangJames, O., 2005, Public Service : Expectations, Performance and Satisfaction, Journal of

Economic Social Research CouncilKearns, Kevin P., 2000, The Strategic Managemen of Accountability in Nonprofit Organizations ;

An Analytical Framework, Public Administration Review March/April, 1994, Vol. 54, No.2Kettl, D.F., 1998, Public Administration : The State of the Field, dalam Political Science : The

State of the Dicipline II, diedit oleh Ada W. Finifter Washington, DC : the American PoliticalScience Association.

Korten, David C., 1990, Getting to The 21st Century : Voluntary Action and Global Agenda, USA ;Kumarian Press

Lincoln dan Guba, 1985, YS dan Egon GB, 1985, Naturalistic Inquiry, London : Sage PublicationLovelock, Ch Ristoper, 1988, Product Plus : How Product Plus Service = Competitive Advantage,

Mc Graw Hill, New York

Page 26: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

17

Martin, L.L. dan P.M. Kettner, 1996, Measuring the Performance of Human Service Program,New Delhi : Sage Publications

Moenir, H.A.S., 2002, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Bumi Aksara, JakartaOsborne, D. and Gaebler T., 1992, Reinventing Government : How the Entrepreneurial Spirit is

Transforming the Public Sector, Reading, MA : Harvard University PressPollitt, Christopher, & Geert Bouckaert, 2000, Public Management Reform ; A Comparative

Analysis, Oxford University Press, LondonSalusu, Jonathan, 1997, Pengambilan Keputusan Strategik Dalam Organisasi Publik dan Non-

Profit, PT. Gramedia, JakartaTangkilisan, H.N.S., 2005, Manajemen Publik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia: JakartaThe Liang Gie, 1987, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III,

Liberty Offset, YogyakartaThoha, Miftah, 2003, Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, JakartaTjokrowinoto, Moeljarto, 1989, Pembangunan : Dilema dan Tantangan, Tiara Wacana,

YogyakartaTownley, B., 1994, Reframing Human Resource Management : Power, Ethics and the Subject at

Work, London : Sage PublicationsWahab, Solichin Abdul, 1999, Globalisasi dan Pelayanan Publik dalam Prespektif Teori

Governance, Jurnal Administrasi Negara, Vol. II No. 1, Jurusan Administrasi Negara, FIA,Universitas Brawijaya Malang

Page 27: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

18

E-GOVERNMENT SEBAGAI INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI

INDONESIA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN1

Choirul Saleh2

PENDAHULUAN

Penggunaan internet yang diistilahkan sebagai e-commerse yang telah

diterapkan secara meluas di dunia bisnis sekitar 10 dasawarsa yang lalu, secara

ekonomis telah membawa keberuntungan secara memuaskan bagi mereka.

Bertolak daricerita keberhasilan sektor bisnis itulah yang dijadikan sebagai

inspirasi baru dan mendorong para policymaker pada organisasi sektor publik di

beberapa negara maju untuk melakukan reformasi organisasinya dalam

menggunakan Information Communication Tehnology (ICT) sebagai sarana

kerjanya, terutama dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja organisasi

atau institusi mereka. Beberapa negara yang pertama kali memanfaatkan internet

sebagai sarana kerja mereka di antaranya adalah AS dan Singapora (Joseph&

Ezzedeen, 2009) serta Inggris (Indrajid; 2002). Bahkan karena ketiga negara

tersebut tidak saja menggunakan sarana ICT dalam meningkatkan efisiensi dan

efektivitas kerja yang bersifat teknis, lebih dari pada itu mereka juga

memanfaatkan ICT tersebut secara intensif dalam rangkameningkatan kualitas

pelayanan publik, serta meningkatkan akuntabilitas hampir di seluruh bidang

kegiatan mereka, sehingga ketiga negara tersebut dianggap sebagai negara-negara

pioner di dalam mengaplikasikan E-Government (E-Gov).

Menanggapi tentang besarnya manfaat yang dapat diraih oleh negara-

negara maju melalui pengaplikasian E-Gov ini, Farazmand (2004) mengatakan

bahwa E-Gov yang sangat sarat dengan ICT itu, di samping mampu meningkatkan

kuantitas dan kualitas transaksi, juga merupakan cara jitu yang mampu

mengefisienkan waktu, biaya serta dapat menyederhanakan birokrasi berbelit yang

sering terjadi di dalam organisasi pemerintahan. Sehubungan dengan berbagai

1 Disampaikan pada acara Seminar Nasional Jurusan Ilmu Administrasi Publik Dalam Rangka Dies NatalisFIA UB ke 51 pada tanggal; 08 Oktober 2011

2 Dosen Tetap Jurusan Ilmu Administrasi Publik FIA UB Malang.

Page 28: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

19

kelebihan dari penerapan E-Gov tersebut, baik secara langsung maupun tidak

langsung dapat menumbuhkan tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap

negara atau pemerintah.Walaupun berbagai bukti nyata telah memberikan

petunjuk bahwa banyak negara maju yang bisa memperoleh manfaat besar dari

pengaplikasian E-Gov, tetapi secara umum banyak negara yang terlambat

mengadopsi ICT tersebut ke dalam tubuh organisasi pemerintahannya, terutama

bagi negara-negara sedang berkembang, sebagaimana halnya yang terjadi di

Indonesia hingga di pertengahan tahun 2001 saat ini. Jangankan untuk

menyelenggarakan program E-Gov, bahkan untuk mengaplikasikan E-Service pun

pada umumnya mereka sangat terlambat, dengan berbagai alasan yang seolah-olah

logis, mengapa mereka, segera mengadopsi ICT secara konsekwen dalam rangka

meningkatkan kinerja mereka, terutama dalam melakukan public services delivery

bagi warga negaranya.

Tidak berbeda dengan negara-negara sedang berkambang pada umumnya,

Indonesia hingga saat ini juga masih termasuk sebagai negara yang sangat

terlambat dalam mengodopsi ICT sebagai sarana utama dalam pelaksanaan

kerjanya. Bahkan berdasarkan UN Goverment Survey (2008) Indonesia belum

termasuk sebagai salah satu dari 70 negara di dunia yang memiliki tingkat

kesiapan dan kemampuan yang cukup dalam mengimplementasikan prinsip-

prinsip E-Govke dalam kehidupan organisasi pemerintahannya.

E-GOVOVERNANCE SEBAGAI TINDAKAN INOVASI PELAYANAN PUBLIK.

Sejak penggunaan ICT telah merambah secara luas ke dalam kehidupan

organisasi sektor publik, ternyata pemanfaatan teknologi tersebut tidak hanya

mampu menggiring atas terjadinya pergeseran yang positif dibidang proses dan

prosedur penyusunan kebijakan publik, tetapi juga mampu menciptakan terjadinya

peningkatan tranparansi dan akuntabilitas hampir diseluruh fungsi pemerintahan,

dan dapat pula meningkatkan jumlah cost saving pada kegiatan administrasi

pemerintahan. Bahkan lebih dari pada itu penerapan E-Gov secara kuantitatif

mampu memperluas cakupan pelayanan, sedangkan secara kualitatif juga sangat

efektif dalam menumbuhkan tingkat kepuasan masyarakat penerima jasa layanan

yang disedikan oleh pihak pemerintah. Dengan kata lain dapat pula dikatakan

Page 29: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

20

bahwa penerapan E-Gov secara esensial merupakan tindakan inovatif bagi

terselenggarakannya pelayanan publik yang dapat menciptakan kepercayaan dan

kepuasan masyarakat kepada pemerintah.Dalam hal ini Pathak et al (2008: 68)

pernah mengtakan sebagai berikut:

E governance, reformers aspire to reincorce the

connection between public officials and communities thereby

leading to a stronger, more accuntable and inclusive

democracy. The success of E-Governance requires fondamental

chnges in how goverment works and how people view the

provisions throgh which government is helping them.

Memperhatikan pendapat yang telah diutarakan oleh Pathak et al tersebut

di atas, dapatlah diambil sebuah pemahaman bahwasannya penerapan E-Gov.

pada saat ini tidak boleh dipandang hanya sebagai bentuk-bentuk penyelenggaraan

pemerintahan berbasis ICT dengan memanfaatkan jaringan internet semata. Ada

banyak hal yang lebih penting dan dari pada itu, sehingga E-Gov. harus

dipandang sebagai sebuah model aktivitas kepemerintahaan integratif yang

dicirikan oleh adanya sebuah proses aktivitas kerja seluruh organisasi sektor

publik yang mampu menciptakan terjadinya demokratisasi pemerintahan yang

lebih terpercaya, maupun berbagai aspek tindakan pemerintah lainnya yang lebih

transparan, akuntabel, cepat, tepat dan akurat melalui aplikasiICT, karena

kehadliran E-Gov. ternyata mampu menciptakan serta memperbaiki kualitas

interaksi antara pemerintah dengan berbagai pihak. Berbagai interaksi yang lajim

dapat ditingkatkan kualitas interaksinya itu diantaranya adalah interaksi antara

pemerintah dengan warga negaraatau Government to Citizen (G to C), interaksi

pemerintah dengan swastaGovernment to Business (G to B), serta interaksi yang

terjadi antara pemerintah dengan pemerintah Government to Government (G to

G)maupun bentuk-bentuk interaksi lainnya, baik yang berjalan secara upward

interaction,downward interaction maupun yang berjalan secara backward

interactionserta forward interactionsehingga dapat mengefektifkan dan

mengefisienkan kinerja internal organisasi pemerintahan yang lajim disebut

sebagai internal government operation (Backus; 20010).

Page 30: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

21

Pendek kata,bahwa dengan kehadliran E-Gov. yang diaplikasikan secara

konsekwen oleh negara-negara maju ternyata mampu membuka peluang yang

seluas-luasnya bagi negara itu untuk melakukan perbaikan kinerja mereka.

Mereka dengan sangat meyakinkan telah melakukan pergeseran pola kerja yang

semula bersiofat negatif dan banyak mendapat kecamanan serta menimbulkan

kekecewaan warga negara itu, telah menjelma menjadi pola kerja yang penuh

dengan pujian dan kepuasan dari berbagai pihak karena kualitasnya yang menjadi

semakin meningkat dengan terciptanya interaksi antara pemerintah dengan

masyarakat yang semakin harmonis. Sementara itu kinerja internal organisasi

sektor publiknya juga menjadi sangat efektif dan efisien sehingga cost of public

service delivery yang ditanggung oleh masyarakat menjadi sangat murah yang

berdapak positif pada peningkatan kualitas interaksi yang terjadi antara negara

dengan warga masyarakatnya, baik mereka yang berstatus sebagai

users,citizenmaupun yang berstatus sebagaicustomer.Menanggapi tentang

berbagai manfaat positif yang dapat dirasakan oleh negara-negara maju yang telah

mengaplikasikan E-Gov. secara konsekwen tersebut, Bhatnagar dalam Pathak et al

(2008) mengatakan “Online system have not only helped achieve efficiency gains

by cutting overal time to process applications but also made transactions more

traceable, transparent and eaisier to access”.

Mengomentari tentangberbagai hasil dan dampak positif yang telah

dirasakan oleh berbagai negara maju melalui penerapan E-Gov. tersebut,

Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) dalam UU

Government Survey (2008: 3) mengatakan sebagai berikut:

Innovation in information and communication

technologies have also provided an apportunity for effective

working modalities across government agencies. Whereas at an

early stage ICT was viewed as an important tool for improving

efficiency, as organizations become more mature and more

complex, the role of ICT needs to evolve to enable onter-

organizational linkages and, with it, the need for e-government

Page 31: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

22

coordination as such, ICT is being viewed as a key tool to bring

about a change in service delivery.

Menyimak tentang apa yang disampaikan oleh OECD tersebut,

memberikan pemahaman yang lengkap bagi kita bahwa kehadliran E-Gov bagi

organisasi sektor publik atau organisasi pemerintahan itu adalah merupakan

sebuah keniscayaan yang tidak mungkin bisa dihindarkan, apabila negara itu

benar-benar memiliki keinginan yang kuat dalam rangka memperbaiki kualitas

kinerja mereka. Pada umumnya ada 3 (tiga) aspek dari kinerja organisasi sektor

publik yang mampu ditingkatkan kualitasnya melalau penyelenggaraan E-Gov.

yang meliputi:

- Penyerahan atau pemberian e-service kepada masyarakat secara efisien, efektif,

yang dilakukan oleh pemerintah dengan memegang teguh pada prinsip-prinsip

equity, impartiality dan equality.

- Peningkatan kepuasan bagi warga negara maupun pihak swasta karena adanya

pelayanan pemerintah yang dilakukan secara cepat, tepat dan akurat karena

proses pelayanan yang diberikan oleh pemerintah selalu didasarkan pada sikap

dan perilaku public servants yang penuh semangat, proaktif, progresif dan

positif tanpa.

- Peningkatan kepercayaan masyarakat kepada organisasi sektor publik, karena

adanya interaksi yang berjalan secara lancar, transparan dan akuntabel.

Sementara itu menurut hasil survey yang pernah dilakukan oleh Pathak et

al (2008) bahwa pengaplikasian program E-Gov yang dilakukan secara

konsekwen itu ternyata juga terbukti sangat ampuh dan efektif untuk memberantas

korupsi, khususnya korupsi di bidang pemberian atau penyerahan jasa pelayanan

publik yang dilakukan olehpihak pemerintah kepada mereka yang

membutuhkannya. Salah satu bentuk korupsi bidang pelayanan publik yang bisa

diminimalisir secara efektif melalui penyelenggaraan E-Gov itu adalah apa yang

lajim disebut sebagai petty bureaucratic corruption maupun yang disebut sebagai

low-level administrative corruption (Pathak et al; 2008) yang sering dilakukan

oleh kelompok birokrat kelas bawah yang oleh Lipsky (1980) diistilahkan sebagai

Street Level Bureaucrats.

Page 32: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

23

Berkaca dari berbagai fakta keberhasilan oleh negara-negara maju dalam

menerapakan E-Gov tersebut, pada saat ini banyak negara-negara sedang

berkembang termasuk Indonesia yang berusaha mengikuti langkah-langkah yang

telah diambil oleh berbagai negara maju tersebut, yakni mulai berusaha untuk

mengaplikasikan E-Gov di republik tercinta ini. Sudah barang tentu bahwa

Indonesia juga memiliki harapan yang besar, bahwa dengan diterapkannyaE-

Govini juga akan dapat membawa hembusan angin segar dan kesuksesan yang

memuaskan banyak pihak,sebagaimana yang telah diraih oleh berbagai negara

maju yang telah lebih dahulu menerapkan E-Gov di negaranya. Dengan kata lain

bahwa Indonesia melalui E-Gov. nya juga sangat menaruh harapan untuk

dapatmeningkatkan efektivitas kerja, efisiensi biaya, serta bertujuan untuk

mempermudah dan memperlancar jalannya proses pelayanan publik bagi warga

negaranya, baik bagi mereka yang berstatus sebagai citizens, client, users maupun

customers. Bahkan melaluiE-Gov itu juga bahwa Indonesia juga memiliki cita-cita

mulia untuk menciptakan tewujudnyaclean government atau menekan

terjadinyakorupsi di negeri ini.

MENAKAR KESIAPAN DAN KEMAMPUAN INDONESIA DALAMMENGAPLIKASIKAN E-GOVERNANCE.

Sampai dengan selesainya penulisan paper singkat ini, penulis belum

berhasil untuk mendapatkan informasi yang akurat, tentang kapan sesungguhnya

peletakan fondasi pertama atas penerapan E-Gov maupun E-Service telah dimulai

oleh Pemerintah Indonesia. Namun berdasarkan data dari hasil survey yang

dilakukan oleh UN Government Survey (2008: 34) menginformasikan bahwa

penerapan E-Gov. yang telah dilakukan oleh Indonesia menempati rangking ke 96

ditingkat Asia Tenggara pada tahun 2005. Bertolak dari informasi tersebut

menunjukkan bahwa penerapan E-Gov. di Indonesia telah dimulai beberapa tahun

sebelum tahun 2005, walaupun tidak dapat menunjukkan secara pasti tahun perapa

program tersebut telah dimulai kegiatannya. Ironisnya setelah penilaian atau

survey yang dilakukan oleh UN Government Survey tersebut berjalan selama 3

(tiga) tahun, ternyata prestasi Indonesia dalam mengaplikasikan E-Govjustru

mengalami penurunan yang sangat tajam, karena kedudukan Indonesia pada tahun

Page 33: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

24

2008 hanya berada pada rangking 106, yang berarti dalam kurun waktu sekitar 3

tahun, penerapan E-Gov di Indonesia telah mengalami penurunan sebesar 10 poin.

Mengapa prestasi Indonesia dalam mengaplikasikan E-Gov mengalami

kemerosotan yang drastis?, sementara itu apabila dilihat secara faktual, bahwa

program penggunaan ICT pada berbagai organisasi sektor publik di Indonesia

semakin tahun jumlahnya menjadi semakin meningkat. Boleh jadi bahwa secara

kuantitatif jumlah organisasi sektor publik di Indonesia yang menerapkan E-

Service sebagai embrio dari penerapan E-Gov.memang semakin besar jumlahnya,

tetapi apabila dilihat dari segi kualitas penerapannya, sebagian besar dari mereka

belum menampakkan kondisidan prestasi yang optimal, apa lagi untuk

meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi sektor publik penyedia

jasa layanan pada khususnya maupun kepercayaan publik terhadap negara pada

umumnya, ternyata masih jauh dari harapan yang dinginkan.

Secara garis besar untuk menakar tingkat kesiapan dan kemampuan

Indonesia dalam mengaplikasikan E-Gov. dapat dilihat melalui 3 (tiga) aspek

dasar yang terdiri dari:

1. Berdasarkan proses internal atas penyelenggaraan E-Gov. terkait dengan

pelaksanaan pekerjaan organisasi sektor publik “tertentu” yang bertujuan to

improving of internal government operation yang bermuara pada

terciptannya proses kerja yang tebih transparan, efisien dan efektif sehingga

dapat menekan biaya operasional sampai pada batas minimal yang paling

rendah dengan waktu pelaksanaan yang tercepat.

2. Berdasarkan output yang mampu dihasilkan melalui penyelenggaraan E-

Gov.yang dapat menyederhanakan dan mempermudah bagi pihak

masyarakat untuk mengakses jasa layanan publik yang disediakan oleh

organisasi sektor publik sebagai provider-nya, sehingga dapat mempercepat

dan meningkatkan adanya pemerintahan yang demokratis melalui

penerapan ICT sebagai basis dari penyelenggaraan E-Gov.

3. Berdasarkan outcome yang dapat dilihat dari munculnya kepuasan

masyarakat penerima jasa layanan yang berdampak pada meningkatnya

public trustpihak masyarakatterhadap proses penyerahan jasa pelayanan

Page 34: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

25

yang diberikan oleh pemerintah, karena penyerahan jasa pelayanan tersebut

benar-benar diselenggarakan melalui prinsip a better relationship between

citizens and government, yang bermuara padasemakin melemahnya petty

bureaucratic corruption sampai pada batas yang paling rendah yang biasa

dilakukan oleh low-level bureacratic yang berhadapan langsung dengan

masyarakat penerima jasa layanan publik.

Oleh karena penerapan E-Gov. di negeri ini belum mampu menciptakan

atas ke 3 (tiga) aspek dasar tersebut secara optimal apalagi ideal, maka tidaklah

berlebihan apabila pihak UN E-Government Surveymenilai bahwa penerapan E-

Gov di Indonesia semakin hari kualitasnya tidak menjadi semaikan baik, dan

justru berapa pada posisi yang sebaliknya. Hal ini mengandung pengertian bahwa

Indonesia belum memiliki kesiapan dan tingkat kemampuan yang optimal dalam

menerapkan E-Govsecara konsekwen.

Berdasarkan hasil studi pernah dilakukan oleh penulis, tentang kualitas

penyelenggaraan E-Passport Servicesyang diasumsikan sebagai langkah awal atas

terbentuknya E-Gov di negeri ini, dilihat berdasarkan prosesnya, hasilnya maupun

dari segi dampaknya juga menunjukkan adanya hasil yang kurang optimal.

Ketidak optimalan penyelenggaraan E-Passport Services yang didesakkan oleh

International Civil Assosiation Organization kepada Indonesia pada tahun 2006

itu, sampai dengan kondisi awal tahun 2011 ternyata belum bisa dilaksanakan

secara tuntas, karena Indonesia belum mampu menyelesaikan aplikasi program E-

Passport Services secara menyeluruh sebagaimana tahap-tahap yang telah

ditetapkan, sehingga sampai saat ini penerbitan E-Passport Books yang berbasis

micro chips belum bisa diproduksi secara masal. Oleh sebab itu dapatlah

dikatakan bahwa penerbitan E-Passport Book yang dilakukan oleh indoneia

hingga saat ini, teknis belum sesuai dengan standard yang telah ditetapkan oleh

ICAO. Kendatipun hasil studi ini bukan merupakan representasi dari keseluruhan

dari penyelenggaraan E-Service maupun E-Gov. yang telah dilakukan oleh

indonesia selama ini, setidaknya data tersebut adalah merupakan salah satu potret

wajah dari sebuah proses penyelenggaraan E-Gov yang belum tuntas

Page 35: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

26

diimplementasikan secara konsekwen, apabila kurang tepat untuk disebut sebagai

penyelenggaraan E-Gov. yang masih dilakukan setengah hati.

Adapun indikator yang dijadikan sebagai tolok ukur oleh UN Government

Survey dalam menilai tingkat kesiapan dan kemampuan sebuah negara dalam

mengimplementasikan E-Govyang disebut sebagai phases of web measure index

UN Government Survey (2008: 17)itu adalah berupa tahapan penerapan E-Gov

yang dilakukan oleh sebuah negara yang terdiri dari;a) emerging stage, b)

enhance stage, c) interctive stage, d) transactional stage, dan e) connected

stage.Sementara itu agak berbeda dengan apa yang disusun oleh pihak UN

Goverment Survey, Sakowitcz mengidentifikasi kesiapan dan kemampuan sebuah

negara dalam mengimplementasikan E-Govberdasarkan 4 (empat) tahapan yang

meliputi;a)information available on-line, b) one-way interaction, c) two way

interaction and d) full on-line transactioin, including delivery and payment.

Meskipun antaraUN Government Survey dan Sakowitcz menggunakan

indikator tahapan penyelenggaraan E-Gov saling berbeda antara satu dengan

lainnya, tetapi keduanya memiliki indikator yang hampir sama ketika mereka

melihat proses penerapan E-Govyang dilakukan oleh sebuah lembaga atau

institusi sektor publik yang bertindak sebagai providers dalam memberikan jasa

pelayanan publik kepada pihak-pihak yang membutuhkannya. Beberapa kesamaan

process indicatorsyang dimaksud oleh kedua pihak tersebut di antaranya adalah;

there are available on-line 24h/7 days, ease of use and one-stop shop (Sakowitcz;

2003) dan (UN Government Survey; 2008).Tanpa harus memaparkan secara rinci

dan detil tentang tahapan pelaksanaan E-Gov yang telah dicapai oleh Indonesia,

maupun kemampuan Indonesia dalam melakukan proses pemberian jasa yanan

berbasis ICT sebagaimana yang disusun dan diutarakan oleh UN Government

Survey maupun Sakowitcz, yang jelas Indonesia hanya menempati urutan yang ke

106 di tingkat Asia Tenggara pada tahun 2008 yang lalu.

Kondisi yang semacam ini baik secara langsung maupun tidak langsung

mengadung pengertian bahwa Indonesia belum bisa mencapai tahapan yang

tertinggi dengan proses pemberian jasa pelayanan yang masih relatif sulit, lamban,

kurang menyenangkan dan tidak berjalan secara terpadu dalam kurun waktu 24

Page 36: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

27

jam/hari selama 1 (satu) minggu penuh tanpa berhenti. Terlebih lagi apabila

penerepan E-Gov. tersebut dihubungkan dengan menurunnya angka korupsi

sebagaimana yang terjadi di Fiji dan Etiopia ( Pathak; 2008) maka Indonesia

masih berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan, sebab E-Gov. yang telah

diaplikasikan selama ini tidak berdampak sedikitpun terhadap terjadinya

penurunan angka korupsi di negeri ini. Oleh sebab itu dilihat dari sisi penerapan

E-Gov, masih banyak Pekerjaan Rumah (PR)yang harus segera dilakukan oleh

Indonesia agar pelaksanaan E-Gov benar-benar dapat menghasilkan sesuatu yang

positif di segala bidang sebagaimana yang telah terjadi diberbagai negara lainnya.

Masih relatif rendahnya kemampuan Indonesia dalam mengaplikasikan E-

Gov ini salah satu diantaranya adalah diakibatkan oleh rendahnya kualitas Sumber

daya aparatur (SDA) yang yang secara teknis diberi kepercayaan atau

kewenangan dalam mengoperasional E-Gov dalam menjalankan tugas mereka

sehari-hari. Banyak para pemerhati tentang pelaksanaan E-Gov di Indonesia

mengambil sebuah kesimpulan bahwa rendahnya kemampuan Indonesia dalam

menerapkan E-Govselama ini adalah merupakan akibat dari masih rendahnya ICT

literacy yang melekat pada SDA, karena mereka belum memiliki profesionalitas

ataupun kompetensi yang cukup memadai dibidang ICT, karena dengan berbekal

profesionalitas kompetensi tersebut dapat mengakibatkan seseorang dapat

melakukan pekerjaan secara efisien, efektif dan ekonomis. Mungkin saja

sinyalemen yang semacam ini tidak terlalu salah, apabila kita melihat kondisi

SDA yang bekerja pada organisasi sektor publik di indonesia sekitar 5 tahun atau

10 tahun yang lalu, tetapi sinyalemen yang semacam ini barang kali sudah kurang

tepat lagi apabila digunakan untuk menganalisis keadaan SDA yang bekerja pada

organisasi sektor publik di indonesia ada pada saat ini. Dalam hal ini Witthon

(2007) tidak menafikkan bahwa pelaksanaan kerja secara efisien, efektif dan

ekonomis memang bisa diraih oleh para SDA yang memiliki profesionalitas dan

kompetensi teknis yang tinggi. Namun demikian, selanjutnya Ia mengatakakan

bahwa prinsip 3E yang terdiri dari efisiensi, efektifitas dan ekonomis dalam

penyelenggaraan administrasi publik tidaklah cukup, oleh sebab itu harus

ditambah dengan 1 prinsi E lagi yang Ia sebut sebagai professional ethic atau

ethical competence.

Page 37: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

28

Apabila profesionalitas dan kompetensi teknis adalah merupakan prasyarat

yang harus dimiliki oleh para SDA dalam mengaplikasikan E-Gov demi

terwujudnya kualitas kerja yang dapat menciptakan terjadinya penurunan biaya

operasional, percepatan waktu pelayanan dan lain sebagainya, sedangkan

professional ethic atau ethical competence sangat mujarab dalam menciptakan

attitude dan aptitudeketika mereka menjalin interaksi dengan pihak users, client,

customer maupun citizen, sehingga interaksi pemerintah dengan warga negara

maupun pihak swasta menjadi lebih baik, yang secara tidak langsung juga dapat

menekan terjadinya tindak kejahatan korupsi yang biasa dilakukan oleh para

bureacrats yang tidak bertanggungjawab dalam memberikan jasa pelayanan

publik bagi mereka yang membutuhkannya. Sehubungan dengan hal tersebut

dapatlah diambil sebuah pemahaman bahwa dalam rangka meningkatkan

kemampuan Indonesia dalam mengaplikasikan E-Gov tidak saja harus ditempuh

melalui peningkatan kompetensi dan profesionalitas teknis bagi SDA-nya saja,

melainkan lebih dari itu juga harus ditempuh dengan cara melakukan

perbaikanterhadap etika profesionalitas atau perbaikan padakompetensi etik yang

telah mereka miliki selama ini.

KESIMPULAN

Dewasa ini intensitas penggunaan ICT di dalam organisasi sektor publik

yang diistilahkan sebagai E-Gov. semakin hari menjadi semakin tak terhidarkan.

Bahkan penggunaan E-Gov. sudah dianggap sebagai representasi dari kemampuan

organisasi pemerintah di dalam meningkatkan proses pelayanan publik di segala

bidang. Oleh sebab itu, sangatlah beralasan apabila penerapan E-Gov. lebih

dianggap sebagai proses otomatisasi yang harus dilakukan oleh organisasi

pemerintah dalam memberikan jasa pelayanan kepada publik secara lebih efisien,

efektif, transparan dan tepat sasaran. Sudah barang tentu bahwa berbagai

anggapan tersebut bermuara dari berbagai fakta keberhasilan gemilang yang

pernah dicapai oleh negara-negara maju dalam menerapkan E-Gov. diseluruh

sektor organisasi pemerintahan yang dimilikinya.

Namun demikian, ketika E-Gov. tersebut diimplementasikan di negara-

negara sedang berkembang, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh Indonesia,

Page 38: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

29

ternyata hasilnya tidak se-efektif sebagaimana yang terjadi pada negara-negara

maju, apabila kurang tepat untuk dikatakan gagal. Efisiensi, efektivitas dan

perbaikan kinerja internal organisasi akibat penerapan E-Gov. sebagaimana yang

dirasakan oleh negara-negara maju, ternyata belum bisa diwujudkan akibat

diterapkannya E-Gov. Demikian pula hanya dengan perbaikan interaksi antara

pemerintah dengan warga negaranya ternyata juga belum tumbuh secara

sempurna, dan penurunan tindakan yang bersifat koruptif juga masih belum

kentara. Berdasarkan beberapa studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa

belum optimalnya hasil atas penerapan E-Gov tersebut, salah satu diantaranya

adalah disebabkan oleh masih rendahnya profesionalitas dan kompetensi SDA

yang ada. Namun yang perlu digaris bawahi di sini adalah profesionalitas dan

kompetensi yang dimaksud bukan semata-mata terletak pada kompetensi teknis,

melainkan lebih disebabkan oleh rendahnya kompetensi etis yang sangat

berpengaruh dalam membentuk perilaku mereka dalam menjalankan sebuah

pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya.

DAFTAR PUSTAKAAncarani, Alessandro, 2005, Towards Quality E-Service In The Public sector, The Evolution of

Web Sites In The local Public Sercice Sector, Managing Service Quality, Vol 15 No 1, Pp. 6-23, Emerald Group Publishing Ltd.

Backus, M, 2001, E-Governance and Developing Countries – Introduction and Examples, IICDResearch Report No 3.

Farazman, A, 2004, Innovation In Strategic Human Resource Management, Building Capacity InThe Age of Globalization, Public Organization Review, 4, 3-24.

Joseph, Rhonda, C, 2009, E-Government And E-HRM In The Public Sector, dalam Enciclopediaof Human Resource Management System,: Challenges in HRM, Hersly New York,Information Science Refference, Publisher.

Lipsky, M., 1980, Street Level Bureaucracy, Dilemmas Of Individual In Public Services, RussellSage Foundation, New York.

Pathak, R., D, et al (2008), E-Governance, Corruption and Public Service Delivery: AComparative Study of Fiji and Ethiopia, JOAAC, Vol 3 No. 1.

Sakowitcz, Marcin, 2003, How to Evaluate E-Government?, Different Methodologies andMethods, Warsaw School of Economics, Departement of Public Administration, Email:[email protected], downloaded 19 January 2010.

United Nation, 2008, UN E-Goverment Survey From E-Government to Connected Governance,UN, Publication

Page 39: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

30

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PELAYANAN PUBLIK:

SIAPKAH DAERAH OTONOM?

Abdul Hakim dan Siti Rochmah

PENDAHULUAN

Secara hukum Undang-undang No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

Publik telah diundangkan pada tanggal 18 Juli 2009 dan dimuat secara resmi

dalam Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 112. Namun sampai sekarang

implementasi undang-undang, yang sangat dinantikan oleh publik tersebut, belum

terlaksana karena Peraturan Pemerintah yang menjadi petunjuk pelaksanaannya

bagi para penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik belum terbit sampai saat

ini. Menarik untuk disimak, bahwa undang-undang tersebut lahir atas dasar

beberapa pertimbangan sebagai berikut: pertama, bahwa negara berkewajiban

melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan

dasarnya dalam kerangka pelayanan publik. Kedua, untuk membangun

kepercayaan publik terhadap penyelenggara pelayanan publik. Ketiga, sebagai

upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk

serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan

pelayanan publik; dan keempat, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan

menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum

pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberikan perlindungan bagi

setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam

penyelenggaraan pelayanan publik.

Terlepas dari alasan-alasan tersebut, disadari bahwa ada suatu fenomena

empirik yang mendorong ke arah pentingnya aturan hukum dan manajemen

pelayanan publik, yaitu kondisi kualitas pelayanan publik yang dirasakan buruk,

atah bahkan santa buruk, oleh warga negara dan penduduk Indonesia. Menurut

Tjokrowinoto (2001), sikap dan perilaku birokrasi publik pada tataran

pemerintahan lokal yang berfungsi untuk memberikan pelayanan kepada

masyarakat sebagian besar terkooptasi kepentingan-kepentingan pribadi dan

Page 40: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

31

kelompok yang cenderung vested interest. Birokrasi publik di daerah memiliki

jarak sosial yang terlalu jauh dengan masyarakat dan pengguna jasa yang

dilayaninya. Pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur birokrasi cenderung

bersifat sentralistik sehingga banyak pelayanan yang diberikan tidak sesuai

dengan kebutuhan masyarakat. Rendahnya aksesibilitas dan kualitas pelayanan

publik yang terefleksikan melalui akuntabilitas kinerja birokrasi publik dalam

berbagai penyelenggaraan pelayanan publik yang terjadi di daerah-daerah telah

memunculkan berbagai bentuk protes sosial yang diwujudkan dalam berbagai

bentuk, mulai dari tulisan di media, unjuk rasa sampai dengan tindakan anarkis

yang merugikan dan mengancam legitimasi pemerintahan. Ketidakmampuan

birokrasi publik untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal dalam

pelayanan publik, antara lain disebabkan oleh faktor-faktor rendahnya kapabilitas,

profesionalisme, dan kompetensi pejabat birokrasi publik. Kenyataan ini telah

mengakumulasikan ketidakpuasan publik yang selanjutnya menjelma menjadi

tuntutan yang terus meningkat menjadi gerakan reformasi pelayanan publik.

Kesadaran akan pentingnya payung hukum yang melandasi pelayanan

publik yang berkualitas sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1993, jauh sebelum

undang-undang tersebut diundangkan. Misalnya, Keputusan Menpan No. 81/1993

yang dipertegas dengan Inpres No. 1/1995 tentang Peningkatan Kualitas

Pelayanan Aparatur Pemerintah. Kemudian Surat Edaran Menko Waspan No.

56/MK/WASPAN/6/1998 tentang Langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan

Masyarakat, yang intinya meminta agar seluruh Menteri Kabinet Reformasi

Pembangunan, Gubernur BI, para Gubernur seluruh Indonesia, para Pimpinan

Lembaga Pemerintah Non-Departemen dan para Bupati/Walikota Kepala Daerah

di seluruh Indonesia agar dalam waktu secepat-cepatnya mengambil langkah-

langkah perbaikan mutu pelayanan masyarakat pada masing-masing unit

kerja/kantor pelayanan termasuk BUMN/BUMD.

Tidak dapat disangsikan bahwa undang-undang pelayanan publik tersebut

memuat banyak hal yang menjadi kewajiban para penyelenggara dan pelaksana

pelayanan publik. Dalam Pasal 15 disebutkan sebanyak dua belas kewajiban yang

harus dipenuhi oleh Penyelenggara Pelayanan Publik, dan lima kewajiban yang

Page 41: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

32

harus dilakukan oleh Pelaksana Pelayanan Publik. Dalam Ketentuan Umum

undang-undang tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Penyelenggara

Pelayanan Publik atau disebut Penyelenggara adalah setiap institusi

penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan

undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang

dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Sedangkan Pelaksana

Pelayanan Publik atau disebut Pelaksana adalah pejabat, pegawai, petugas, dan

setiap orang yang bekerja di dalam Organisasi Penyelenggara yang bertugas

melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.

Dengan demikian jelas bahwa Pemerintah Daerah adalah Penyelenggara

Pelayanan Publik, dan segenap aparatur Pemerintah Daerah adalah Pelaksana

Pelayanan Publik. Hal ini sekaligus memperjelas pula bahwa kewajiban-

kewajiban yang ada dalam undang-udang tersebut haruslah dilaksanakan sehingga

tujuan undang-udang pelayanan publik untuk mewajudkan sistem

penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas

pemerintahan yang baik (good governance) dapat tercapai. Pertanyaannya adalah

sejauhmana kesiapan Pemerintah Daerah dan jajaran birokrasinya untuk

mengimplementasikan undang-udang tersebut? Tema inilah yang menjadi bahan

diskusi dalam artikel ini.

KEWAJIBAN PENYELENGGARA DAN PELAKSANA DALAMPELAYANAN PUBLIK

Komitmen untuk melaksanakan pelayanan publik yang berkualitas

sebenranya sudah ada sejak dikeluarkannya Surat Edaran Menwaspan No.

56/MK/WASPAN/6/1998 tentang Langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan

Masyarakat. Dalam surat edaran tersebut dinyatakan tentang kewajiban yang

harus dilaksanakan oleh organisasi pemerintah dan juga BUMN/BUMD sebagai

berikut:

1. Menerbitkan pedoman pelayanan, yang antara lain memuat persyaratan,

prosedur, biaya/tarif pelayanan dan batas waktu penyelesaian pelayanan,

baik yang bentuk buku panduan atau pengumuman maupun melalui media

informasi lainnya;

Page 42: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

33

2. Menempatkan petugas yang bertanggung jawab melakukan pengecekan

kelengkapan persyaratan permohonan untuk kepastian mengenai diterima

atau ditolaknya berkas permohonan tersebut pada saat itu juga;

3. Menyelesaikan permohonan pelayanan sesuai dengan batas waktu yang

telah ditetapkan dan apabila batas waktu yang telah ditetapkan terlampaui,

maka permohonan tersebut berarti disetujui;

4. Melarang dan atau menghapus biaya tambahan yang dititipkan pihak lain

dan meniadakan segalka bentuk pungutan liar di luar biaya jasa pelayanan

yang telah ditetapkan;

5. Sedapat mungkin menerapkan pola-pola pelayanan secara terpadu bagi

unit-unit kerja kantor pelayanan yang terkait dalam memproses atau

menghasilkan satu produk pelayanan;

6. Melakukan penelitian secara berkala untuk mengetahui kepuasan

masyarakat atau pelayanan yang telah diberikan, antara lain dengan cara

masyarakat atau pelayanan yang telah diberikan, antara lain dengan cara

penyebaran kuesioner kepada masyarakat dan hasilnya perlu dievaluasi dan

ditindaklanjuti;

7. Menata sistem dan prosedur pelayanan secara berkesinambungan sesuai

tuntutan perkembangan dinamika masyarakat.

Secara substantif, isi surat edaran tersebut termuat di dalam dua belas

kewajiban bagi Penyelenggara Pelayanan Publik, sebagaimana diatur dalam Pasal

15, sebagai berikut:

1. Menyusun dan menetapkan standar pelayanan;

2. Menyusun, menetapkan dan memublikasikan maklumat pelayanan;

3. Menempatkan pelaksana yang kompeten;

4. Menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang

mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai;

5. Memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas

penyelenggaran pelayanan publik;

6. Melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan;

Page 43: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

34

7. Berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-udangan yang

terkait dengan penyelenggaran pelayanan publik;

8. Memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang diseleng-

garakan;

9. Membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung jawabnya;

10. Bertanggung jawab dalam pengelolaan organisasi penyelenggara pelayanan

publik;

11. Memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku

apabila mengundurkan diri atau melepaskan tanggung jawab atas posisi

atau jabatan;

12. Memenuhi panggilan atau mewakili organisasi untuk hadir atau

melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas permintaan pejabat yang

berwenang dari lembaga negara atau instansi pemerintah yang berhak,

berwenang, dan sah sesuai dengan perraturan perundang-udangan.

Sedangkan untuk Pelaksana Pelayanan Publik memiliki lima kewajiban,

sebagai berikut:

1. Melakukan kegiatan pelayanan sesuai dengan penugasan yang diberikan

oleh Penyelenggara;

2. Memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan pelayanan sesuai

dengan peraturan perundang-udangan;

3. Memenuhi panggilan untuk hadir atau melaksanakan perintah suatu

tindakan hukum atas permintaan pejabat yang berwenang dari lembaga

negara atau instansi pemerintah yang berhak, berwenang, dan sah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan;

4. Memberikan pertanggungjawaban apabila mengundurkan diri atau

melepaskan tanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

dan

5. Melakukan evaluasi dan membuat laporan keuangan dan kinerja kepada

Penyelenggara secara berkala.

Page 44: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

35

Uraian tentang kewajiban-kewajiban tersebut menunjukkan betapa banyak

dan luasnya aspek yang harus disiapkan oleh daerah otonom dalam rangka

implementasi undang-undang pelayanan publik. Untuk pembahasan dalam artikel

ini, kita ambil saja sebagai contoh, lima kewajiban pertama dari Penyelenggara,

yaitu: (a) menyusun dan menetapkan standar pelayanan; (b) menyusun,

menetapkan dan memublikasikan maklumat pelayanan; (c) menempatkan

pelaksana yang kompeten; (d) menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas

pelayanan publik yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai;

dan (e) memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas

penyelenggaran pelayanan publik.

Untuk yang pertama, pertanyaannya adalah: “Sudahkah setiap SKPD yang

ada menyusun dan menetapkan standar pelayanan sesuai dengan tupoksinya

masing-masing?” Dalam Ketentuan Umum Undang-undang Pelayanan Publik,

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan standar pelayanan adalah tolok ukur

yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian

kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji Penyelenggara kepada masyarakat

dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur.

Komponen standar pelayanan ini diatur dalam Pasal 21 undang-undang tersebut,

yang meliputi sekurang-kurangnya empat belas aspek:

a. Dasar hukum;

b. Persyaratan;

c. Sistem, mekanisme, dan prosedur;

d. Jangka waktu penyelesaian;

e. Biaya atau tariff;

f. Produk pelayanan;

g. Sarana, prasarana, dan/atau fasilitas;

h. Kompetensi pelaksana;

i. Pengawasan internal;

j. Penanganan pengaduan, saran, dan masukan;

k. Jumlah pelaksana;

Page 45: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

36

l. Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan

sesuai dengan standar pelayanan;

m. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen

untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan;

dan

n. Evaluasi kinerja pelaksana.

Salah satu pedoman yang dapat digunakan oleh SKPD untuk menyusun

standar pelayanan agar dapat menyajikan pelayanan prima kepada masyarakat

adalah dengan mengimplementasikan sendi-sendi pelayanan, sebagaimana yang

diatur dalam Keputusan Manteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) No.

81/1993 tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan. Sendi-sendi tersebut adalah

sebagai berikut:

a. Kesederhanaan dalam arti prosedur atau tata cara pelayanan

diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah

dipahami dan mudah dfilaksanakan.

b. Kejelasan dan kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan kepastian

mengenai:

1) Prosedur atau tata cara pelayanan umum;

2) Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif;

3) Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab

dalam memberikan pelayanan umum;

4) Rincian biaya atau tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya;

5) Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum;

6) Hak dan kewajiban, baik dari pemberi maupun penerima pelayanan

umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan dan

kelengkapannya untuk memastikan pemrosesan pelayanan umum;

7) Pejabat yang menerima keluhan masyarakat;

c. Keamanan, dalam arti proses serta hasil pelayanan umum dapat

memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian

hukum

Page 46: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

37

d. Keterbukaan, dalam arti prosedur atau tata cara atau persyaratan, satuan

kerja atau pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu

penyelesaian dan rincian biaya dan hal-hal yang berkaitan dengan proses

pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka kepada masyarakat

agar mudah dan diketahui masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta

e. Efisiensi, dalam arti persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal

yang berkaitan langsung dengan maksud dan tujuan pelayanan yang

diberikan, mencegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan

persyaratan, kelengkapan sebagai persyaratan dari satuan kerja atau instansi

pemerintah lain yang terkait.

f. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan

secara wajar dengan memperhatikan nilai barang dan atau jasa pelayanan

umum dan tidak menuntut biaya yang tinggi di luar kewajaran, kondisi dan

kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum serta sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

g. Keadilan yang merata, dalam arti cakupan atau jangkauan pelayanan umum

harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan

diperlakukan secara adil.

h. Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat

diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

Hal lain yang harus dipertimbangkan dalam menyusun standar pelayanan

adalah dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pengguna

jasa layanan atas pelayanan yang diberikan. Dalam konteks ini, Parasuraman et al.

(1985) setelah meneliti lima perusahaan yaitu: perbankan, kartu krdit, perbaikan

dan perawatan peralatan elektronika, broker saham, dan perusahaan telepon SLJJ,

dan dengan menggunakan 22 instrumen pengukur kualitas layanan (dikenal

dengan SERVQUAL) menyimpulkan terdapat lima dimensi kualitas layanan yang

berpengaruh pada kepuasan pengguna jasa layanan, yaitu: (1) bukti langsung

(tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, sarana komunikasi; (2)

keandalan (reability), meliputi kemampuan memberikan pelayanan yang

dijanjikan dengan segera; (3) daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para

Page 47: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

38

staf dan karyawan untuk membantu para pengguna jasa layanan dan memberikan

pelayanan dengan tanggap; (4) jaminan (assurance), yang mencakup:

pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat yang dapat dipercaya yang

dimiliki oleh para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan; dan (5)

perhatian (emphaty) yang meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan,

komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan pengguna

jasa layanan.

Aspek kedua yang harus disiapkan oleh Pemerintah Daerah adalah

menyusun, menetapkan dan memublikasikan maklumat pelayanan. Hal yang

dimaksud dengan Maklumat Pelayanan adalah pernyataan tertulis yang berisi

keseluruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pelayanan.

Dengan demikian, Maklumat dapat disusun jika standar pelayanan telah disusun

terlebih dahulu. Oleh karena itu sangatlah penting bagi Pemerintah Daerah untuk

memiliki sistem informasi pelayanan publik yang berbasis website. Hal yang

dimaksud dengan Sistem Informasi Pelayanan Publik adalah rangkaian kegiatan

yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme

penyampaian informasi dari Penyelenggara kepada masyarakat dan sebaliknya

dalam bentuk lisan, tulisan Latin, tulisan dalam huruf Braille, bahasa gambarm

dan/atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun elektronik. Sistem

Informasi ini seharusnya sudah mulai dibangun sejak sekarang dan bukan

menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaannya. Dalam

Undang-Undang Pelayanan Publik, Pasal 23 ayat (4), disebutkan bahwa

Penyelenggara berkewajiban mengelola Sistem Informasi yang terdiri atas sistem

informasi elektronik atau nonelektronik, yang meliputi sekurang-kurangnya: (a)

profil Penyelenggara; (b) profil Pelaksana; (c) standar pelayanan; (d) maklumat

pelayanan; (e) pengelolaan pengaduan; dan (f) penilaian kinerja.

Jalan keluar yang dapat dilakukan oleh Pemda adalah dengan

mengembangkan fungsi website yang sudah ada sekarang, sehingga memiliki situs

khusus untuk Sistem Informasi Pelayanan Publik, dengan berbagai menu sajian,

sesuai dengan yang diharapkan dalam Undang-undang Pelayanan Publik.

Page 48: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

39

Kewajiban ketiga dari Pemda sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik

adalah menempatkan pelaksana yang kompeten. Kewajiban ini ada hubungannya

dengan tuntutan akan pelayanan yang berkualitas. Karena jika pelaksanaan

pelayanan dilakukan oleh aparatur yang tidak menguasaia pekerjaannya, dan tidak

memiliki keterampilan, maka dikhawatirkan masyarakat tidak memperoleh

pelayanan yang baik dan berkualitas. Dalam hubungannya dengan faktor manusia

atau faktor pelaksana pelayanan publik ini, Moenir (1995) menyebutkan tentang

perlunya memperhatikan tiga hal penting sebagai berikut: (a) adanya kesanggupan

dalam melakukan pekerjaan dengan motif mulia, yaitu ikhlas; (b) adanya

keterampilan khusus untuk mengangani pekerjaan, dan untuk itu pekerja harus

memiliki keterampilan yang disyaratkan, atau jika belum memiliki harus terlebih

dahulu mendapatkan pendidikan atau pelatihan yang sepadan; dan (c) disiplin

dalam hal waktu, prosedur dan metode yang telah ditentukan.

Urgensi pelaksana pelayanan publik yang memiliki kompetensi yang

disyaratkan dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan pelayanan publik

dikarenakan adanya tuntutan pertanggungjawaban atas pelayanan yang diberikan,

dan juga adanya kemungkinan masyarakat pengguna jasa layanan untuk

mengajukan tuntutan hukum dan atau melaporkan Penyelenggara dan Pelaksana

Pelayanan Publik kepada pihak yang berwenang. Sebagaimana diatur dalam Pasal

51, bahwa masyarakat dapat menggugat Penyelenggara atau Pelaksana melalui

peradilan tata usaha negara apabila pelayanan yang diberikan menimbulkan

kerugian di bidang tata usaha negara. Oleh karena itu, dalam undang-undang

tersebut juga diatur tentang perilaku aparatur pelaksana dalam penyelenggaraan

pelayanan publik. Perilaku tersebut, meliputi: (a) adil dan tidak diskriminatif; (b)

cermat; (c) santun dan ramah; (d) tegas, andal, dan tidak memberikan putusan

yang berlarut-larut; (e) profesional; (f) tidak mempersulit; patuh pada perintah

atasan yang sah dan wajar; (g) menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan

integritas institusi penyelenggara; (h) tidak membocorkan informasi atau

dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang-udangan;

(i) terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan

kepentingan; (j) terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari

benturan kepentngan: (k) tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta

Page 49: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

40

fasilitas pelayanan publik; (l) tidak memberikan informasi yang salah atau

menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam

memenuhi kepentingan masyarakat; (m) tidak menyalahgunakan informasi,

jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki; (n) sesuai dengan kepantasan; dan

(o) tidak menyimpang dari prosedur.

Dalam penyelenggaraan pelayanan public dibutuhkan dibutuhkan aparatur

yang memiliki komitmen dan semangat kerja tinggi untuk mencapai kinerja

pelayanan public yang sesuai standar pelayanan yang telah ditentukan, dan

menghasilkan kepuasan dari para pengguna jasa layanan. Hasil penelitian tentang

kinerja di antaranya menunjukkan bahwa kinerja (performance) akan tercapai jika

secara internal pegawai memiliki komitmen dan semangat kerja yang tinggi dan

dari sisi eksternal dilibatkan dalam berbagai bidang kerja, sesuai dengan

kompetensinya; di samping tersedianya informasi yang tepat berkaitan dengan

bidang kerjanya (Vogel, 1981). Faktor eksternal dan internal tersebut akan

berpengaruh terhadap kinerja pegawai atau sikap pegawai di lingkungan

organisasinya. Dalam kerangka perilaku organisasi terdapat sejumlah sikap yang

berkaitan dengan pekerjaan. Kebanyakan riset dalam ilmu perilaku organisasi

memperhatikan ketiga sikap tersebut, yaitu: kepuasan kerja, semangat kerja, dan

komitmen terhadap organisasi (Brooke, 1988:139-145). Hasil survey yang

dilakukannya menunjukkan bukti yang nyata bahwa terdapat kerugian organisasi

yang disebabkan oleh sikap, keinginan, motivasi dan komitmen pegawai yang

rendah di bidang kerjanya. Misalnya, 50 persen menyatakan mereka tidak

berusaha lebih keras dalam pekerjaan dan mereka hanya bekerja sekedarnya agar

tidak dikeluarkan; 52 persen percaya bahwa bekerja keras tidak menghasilkan

pekerjaan yang lebih baik; 60 persen mengakui mereka tidak bekerja keras seperti

sebelumnya; dan 77 persen mengatakan mereka tidak bekerja sekeras yang dapat

mereka lakukan.

Berdasarkan pendapat tersebut, maka dalam konteks implementasi

Undang-undang Pelayanan Publik, Pemerintah daerah membutuhan aparatur

pelaksana pelayanan publik yang tidak hanya memiliki komitmen terhadap

organisasi sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik tetapi juga memiliki semangat

Page 50: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

41

kerja. Komitmen pada organisasi sebagai suatu sikap yang diambil pegawai,

bagaimanapun juga menentukan perilakunya sebagai perwujudan dari sikap.

Konsekuensi perilaku yang muncul sebagai perwujudan tingginya tingkat

komitmen pegawai pada organisasi antara lain: rendahnya tingkat pergantian

pegawai, rendahnya tingkat kemangkiran, tingginya motivasi kerja, menyukai

pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, dan berusaha mencapai kinerja yang

tinggi, sebagaimana yang dicerminkan dari model hubungan antara nilai, sikap

dan perilaku (Davis dan Frederick, 1984:75). Sedangkan semangat kerja dapat

dilihat dari aspek-aspek seperti motif, motivasi dan hasrat yang kuat untuk

melakukan sesuatu. Semakin tinggi semangat kerja pegawai semakin kuat

dorongan untuk melaksanakan tugas. Jadi komitmen dan semangat kerja memiliki

kaitan yang erat.

Komponen yang keempat yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah

dalam menyelenggarakan pelayanan publik adalah menyediakan sarana dan

prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang mendukung terciptanya iklim

pelayanan yang memadai. Dalam Pasal 25 UU Pelayanan Publik disebutkan

antara lain: (a) Penyelenggara dan Pelaksana berkewajiban mengelola sarana,

prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik secara efektif, efisien, transparan,

akuntabel, dan berkesinambungan serta bertanggung jawab terhadap pemeliharaan

dan/atau penggantian sarana, prasarsana, dan/atau fasilitas pelayanan publik; (2)

Pelaksana wajib memberikan laporan kepada Penyelengara mengenai kondisi dan

kebutuhan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik sesuai dengan

tuntutan kebutuhan standar pelayanan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, sudah saatnya Pemerintah Daerah untuk

membuat pemetaan kebutuhan sarana, prasarana dan fasilitas pelayanan publik,

untuk kemudian melakukan analisis dan menyusun daftar kebutuhan sarana,

prasarana dan fasilitas pelayanan publik pada masing-masing SKPD. Daftar

kebutuhan tersebut tidak hanya untuk kebutuhan Penyelenggara, tetapi juga

kebutuhan Pelaksana Pelayanan Publik. Daftar kebutuhan inilah yang kemudian

digunakan oleh masing-masing SKPD untuk melakukan pengadaan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan prinsip efektivitas,

Page 51: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

42

efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan berkesinambungan. Menurut Lovelock

(1988), organisasi publik harus merespon faktor-faktor internal dan eksternal yang

mempengaruhi kualitas jasa layanan yang mereka berikan. Faktor internal adalah

prasarana dan sarana pendukung layanan, kapasitas dan kompetensi sumberdaya

manusia pelaksana, waktu dan biaya layanan yang ditetapkan. Sedangkan faktor

eksternal adalah tingkat kepuasan yang dirasakan masyarakat pengguna jasa

layanan. Perlu diperhatikan faktor-faktor apa yang menjadikan mereka puas dan

faktor apa yang membuat mereka tidak puas atas jasa layanan yang diberikan.

Kemudian perlu pula ditelusuri sumber-sumber ketidakpuasan tersebut, apakah

dari prasarana dan sarana ataukah dari sumberdaya manusianya.

Komponen terakhir (dalam bahasan ini) yang harus disiapkan oleh

Pemerintah Daerah dalam penyelenggaran pelayanan publik adalah kewajiban

untuk memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaran

pelayanan publik. Dalam Pasal 4 UU Pelayanan Publik disebutkan dua belas asas

pelayanan public, yaitu: (1) kepentingan umum; (2) kepastian hukum; (3)

kesamaan hak; (4) keseimbangan hak dan kewajiban; (5) keprofesionalan; (6)

partisipatif; (7) persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif; (8) keterbukaan; (9)

akuntabilitas; (10) fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; (11)

ketepatan waktu; dan (12) kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

Keduabelas asas ini haruslah diperhatikan dalam proses pemberian pelayanan

publik sehingga tercipta pelayanan publik yang berkualitas.

Dalam pelayanan publik yang berkualitas, unsur kepedulian terhadap

pengguna jasa layanan menjadi fokus utama bagi setiap penyelenggara pelayanan

publik. Menurut Kotler (2003), pengguna jasa layanan (customers) adalah value

maximizers, artinya mereka selalu menginginkan produk yang dapat memberikan

nilai atau tingkat kepuasan paling tinggi. Pengguna jasa layanan selalu memiliki

harapan tinggi akan produk atau jasa yang diterima dari penyelenggara pelayanan

publik. Menurut Kotler, kepuasan adalah perasaan seseorang yang muncul atas

persepsinya pada produk atau jasa yang mereka dapatkan. Pengguna jasa layanan

akan memperoleh kepuasan jika produk atau jasa tersebut berkualitas tinggi atau

sesuai dengan yang diharapkan.

Page 52: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

43

Adapun prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan

kualitas layanan menurut Lovelock (1998), adalah:

1. Tangibles (berwujud), baik bentuk maupun fasilitas, misalnya penampilan

fasilitas fisik, peralatan, personil, dan komunikasi;

2. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang

dijanjikan dengan tepat;

3. Responsiveness (daya tanggap), memiliki rasa tanggung jawab terhadap

kualitas layanan dan responsif atas kebutuhan dan keluhan pengguna jasa

layanan;

4. Assurance (jaminan atau kepastian), baik pengetahuan tentang pelayanan,

perilaku dan kemampuan pegawai dalam memberikan layanan;

5. Empathy (empati), yaitu rasa perhatian yang penuh secara personal kepada

pengguna jasa layanan.

Selain Lovelock, Maxwell (2000), juga mengungkapkan beberapa kriteria

untuk menciptakan pelayanan yang berkualitas, yaitu:

1. Tepat dan relevan, artinya pelayanan harus mampu memenuhi keinginan,

harapan dan kebutuhan individu atau masyarakat;

2. Tersedia dan terjangkau, artinya pelayanan harus dapat dijangkau atau

diakses oleh setiap orang atau kelompok yang membutuhkan pelayanan

tersebut;

3. Dapat menjamin rasa keadilan, artinya terbuka dalam memberikan

perlakuan kepada individu atau sekelompok orang dalam keadaan yang

sama tanpa membedakan ras, jenis kelamin, asal usul, dan identitas lainnya;

4. Dapat diterima, artinya layanan memiliki kualitas jika dilihat dari teknik,

cara, kualitas, kemudahan, kenyamanan, menyenangkan, dapat diandalkan,

tepat waktu, cepat, responsif, dan manusiawi;

5. Ekonomis dan efisien, artinya dari sudut pandang pengguna jasa layanan

dapat dijangkau dari segi tarif yang ditentukan;

6. Efektif, artinya menguntungkan pengguna jasa layanan dan semua lapisan

masyarakat yang dilayani.

Page 53: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

44

Jika prinsip-prinsip tersebut dijalankan, maka yang diharapkan tercipta

oleh penyelenggara pelayanan publik adalah kepuasan pengguna jasa layanan,

yaitu sejauh mana layanan yang diberikan dapat memenuhi harapan pengguna jasa

layanan, baik dilihat dari segi kuantitas maupun kualitas jasa layanan yang

diterimanya. Indikasi kepuasan dapat dilihat dari tidak ada atau minimalnya

intensitas komplain yang dilakukan pengguna jasa layanan terhadap penyedia jasa

layanan. Bagi aparatur pemerintah pemberi jasa layanan, ukuran kepuasan

pengguna jasa menjadi sangat penting untuk menentukan tindakan-tindakan yang

diperlukan untuk menyempurnakan prasarana dan sarana pelayanan maupun

untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi aparatur pemberi jasa layanan.

Oleh karena itu, Osborne dan Plastrik (1997), menyarankan penggunaan sistem

dan prosedur pelayanan yang berorientasi kepada pelanggan atau pengguna jasa

layanan. Menurut mereka, organisasi publik yang berorientasi kepada pengguna

jasa layanan, akan memperoleh manfaat sebagai berikut:

1. Sistem yang berorientasi pelanggan akan memaksa pemberi jasa layanan

untuk bertanggung jawab kepada pelanggannya;

2. Mendepolitisasi keputusan terhadap pilihan pemberi jasa;

3. Merancang lebih banyak inovasi;

4. Memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memilih di antara

pelbagai macam layanan;

5. Tingkat pemborosan lebih rendah, karena pasokan disesuaikan dengan

permintaan;

6. Mendorong pelanggan untuk membuat pilihan dan menjadi pelanggan

yang berkomitmen;

7. Menciptakan peluang lebih besar bagi terciptanya keadilan.

Walaupun apa yang disarankan oleh Lovelock, Maxwell, dan Osborne,

namun inti yang terkandaung di dalamnya adalah bahwa untuk menciptakan

pelayanan publik yang berkualitas, terdapat sejumlah prinsip yang harus

diperhatikan oleh penyedia jasa layanan atau penyelenggara dan pelaksana

pelayanan publik. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah harus membangun sistem

Page 54: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

45

pelayanan publik yang berorientasi kepada kepentingan pengguna jasa layanan,

dan bukan kepada kepentingannya sendiri.

PENUTUP

Berdasarkan uraian tersebut, sudah saatnya Pemerintah Daerah dan

segenap SKPD yang menjadi penyelenggara pelayanan publik, untuk menyiapkan

segala sesuatunya dalam rangka pelaksanaan kewajiban mereka dalam posisi

sebagai penyelenggara pelayanan publik. Demikian pula dengan para aparatur

yang bertugas sebagai pelaksana pelayanan publik harus memiliki komitmen dan

semangat untuk menyesuaikan diri dengan era baru Undang-undang Pelayanan

Publik, agar tidak terjadi banyak complain maupun tuntutan sebagai akibat

ketidakmampuan mereka dalam menerapan asas-asas dan standar pelayanan

publik.

Reformasi manajemen pelayanan publik sudah selayaknya menjadi suatu

keharusan bagi Pemerintah Daerah, dengan memeta-ulang segenap komponen

penentu pelayanan publik yang berkualitas, dan berupaya maksimal untuk

menerapkannya dalam proses pemberian layanan, sehingga kinerja institusi

pemerintah sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik dapat terus ditingkatkan

secara berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA

Brooke, Russel Price, 1988. “Discriminant Validation of Measures of Job Satisfaction:Realtionship to Motivation and Satisfaction”. Dalam Journal of Applied Psycology.

Davis, Keith dan William Frederick, 1984. Bussiness and Society. Fifth Edition. Japan:McGrawHill.

Kotler, Philip, 2003. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation and Control.Englewood Cliffs N.J.: Prentice-Hall International Inc.

Lovelock, Ch., 1988. Product Plus: How Product Plus Service Competitive Advantage. New York:McGraw-Hill Book Co.

Moenir, A.S, 1995. Pendekatan Manusia dan Organisasi Terhadap Pembinaan Kepegawaian.Jakarta: Gunung Agung.

Osborne, David, dan Petter Plastrik, 1997. Banashing Bureaucracy the Five Strategies forReinventing Government. California: Addson-Wesley Publishing Co. Inc.

Parasuraman, A., V.A. Zeithaml, and L.L. Berry, 1985. “A Conceptual Model of Service Qualityand Ist implications for Future Research”. Dalam Journal of Marketing, Vol. 4, 1985, p.48.

Tjokrowinoto, Moeljarto, 2001. Birokrasi dalam Polemik. Jakarta: Pustaka Pelajar.Vogel, Ezra F., 1981. Japan as Number One: Lesson for American Bussines Leader. Tokyo:

University Press.

Page 55: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

46

PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK YANG

BERKUALITAS SEBAGAI UPAYA MEMBERIKAN PELAYANAN

PRIMA KEPADA MASYARAKAT

Abdul Yuli Andi Gani

ABSTRACT: Societal demand in the decentralization era towardqualified public service has grown rapidly. Government credibility is highlydetermined by its ability to cope with various problems of public service. Thus, acapable government would gain more and more support from the people toprovide satisfying public service. The quality of service should become all parties’concern within the government either in the implementation or leadership level inaccordance with its role. Regional government needs an integrated managementwithin its administration particularly in licensing service. The service wouldhighly depend on 3 (three) aspects, those are the implementation pattern, humanresources support, and institution /organization. Therefore, to improve theservice, order, mechanism, and implementation procedures for taskforce isneeded.

Keywords: Quality Public Service, Implementation Pattern, HumanResources Support, Institution / Organization.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kajian dan praktek administrasi publik di berbagai negara terus

berkembang. Berbagai perubahan terjadi seiring dengan berkembangnya

kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh administrator publik. Kompleksitas ini

ditanggapi oleh para teoritisi dengan terus mengembangkan Ilmu Administrasi

Publik. Hal ini disebabkan karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya

adalah masyarakat, maka administrator publik seharusnya memusatkan

perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara

melalui pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan publik.

Perubahan orientasi tentang posisi warga negara, nilai yang dikedepankan, dan

peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru administrasi publik yang

disebut sebagai new public service.

Page 56: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

47

Perspektif new public service menghendaki peran administrator publik

untuk melibatkan masyarakat dalam pemerintahan dan bertugas untuk melayani

masyarakat. Dalam menjalankan tugas tersebut, administrator publik menyadari

adanya beberapa masalah yang kompleks seperti tanggung jawab, etika, dan

akuntabilitas dalam suatu sistem demokrasi. Administrator yang bertanggung

jawab harus melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program

guna mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Hal ini harus dilakukan tidak saja

karena untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik tetapi juga sesuai dengan

nilai-nilai demokrasi.

Dengan demikian, pekerjaan administrator publik tidak lagi mengarahkan

atau memanipulasi insentif tetapi pelayanan kepada masyarakat. Perwujudan

paradigma diatas akhirnya akan sangat bergantung pada adanya komitmen dan

keinginan yang kuat dari para aparat pemerintah sehingga dapat melaksanakan

pelayanan publik dengan benar dan sungguh-sungguh.

Untuk menyelenggarakan pelayanan publik berdasarkan paradigma

tersebut dan yang sesuai dengan kebutuhan serta tuntutan masyarakat di era

globalisasi ini, maka pemerintah memberikan keleluasaan pada pemerintah daerah

untuk mengembangkan, memperbaiki dan mengelola sumberdaya yang

dimilikinya, yang telah ditetapkan dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan pemberian otonomi kepada

daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, adalah: Pertama, mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta

peningkatan daya saing daerah. Kedua, bahwa efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih

memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar

pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan

persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada

daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi

daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Page 57: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

48

Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan

prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu

daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penampilan birokrasi

yang baik mensyaratkan otonomisasi, dan sebaliknya otonomisasi akan

meningkatkan efektifitas dan daya tanggap administrasi terhadap kebutuhan lokal.

Secara teoritis desentralisasi dan otonomi daerah dapat mendekatkan pelayanan

pemerintah kepada masyarakat, antara lain melalui pemotongan jalur birokrasi

pelayanan, sehingga masyarakat dapat lebih mudah mengakses pelayanan

pemerintah, terutama pelayanan pemerintah daerah. Mayoritas dari warga negara

hanya peduli pada pelayanan administrasi yang lebih baik, lebih cepat, lebih

sederhana prosedurnya, lebih terbuka, dan dengan biaya yang murah.

Desentralisasi diyakini oleh banyak orang sebagai sistem pemerintahan

yang lebih baik dari pada sentralisasi, terutama dalam pelayanan publik dilihat

dari segi manajemen pemerintah desentralisasi dapat meningkatkan efektifitas ,

efisiensi dan akuntabilitas publik. Sedangkan dilihat dari segi percepatan

pembangunan, desentralisasi dapat meningkatkan persaingan (perlombaan) antar

daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya, dan ini mendorong

pemerintah local untuk melakukan inovasi guna meningkatkan kualitas pelayanan

publik kepada warganya.

Perbaikan pelayanan tersebut akan makin baik kalau didukung oleh sistem

pemerintahan yang demokratis, terbuka, akuntabel dan memberi ruang partisipasi

yang luas bagi masyarakat. Dengan sistem seperti itu maka tujuan akhir dari

desentralisasi dan otonomi daerah berupa peningkatan kesejahteraan serta

kemandirian masyarakat akan dapat tercapai. Sehingga kualitas layanan aparatur

pemerintah kepada masyarakat menjadi salah satu indikator keberhasilan otonomi

daerah.

Dan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara

masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik, maka pemerintah

menetapkan Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang

bertujuan:

Page 58: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

49

1. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung

jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan

penyelenggaraan pelayanan publik;

2. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai

dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik;

3. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan

perundang-undangan; dan

4. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam

penyelenggaraan pelayanan publik

Komitmen untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada para

masyarakat sesuai dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2009 serta

terselenggaranya otonomi daerah sesuai dengan tujuan dalam Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 disusun pada perencanaan strategis. Rencana strategis

sangat terkait dalam upayanya utuk memaksimalkan semua potensi dan

sumberdaya yang dimilikinya, yaitu dengan mengidentifikasi kekuatan,

kelemahan, peluang dan ancaman yang mungkin terjadi di masa depan. Kondisi

lingkungan global yang penuh persaingan menuntut organisasi untuk lebih

dinamis dengan perubahan lingkungannya. Sehingga setiap pegawai harus

memandang, memelihara dan meningkatkan kualitas pelayanan.

Perencanaan strategis adalah suatu cara untuk membantu organisasi dan

komunitas masyarakat dalam mengatasi lingkungan mereka yang telah berubah

serta mampu berjalan seiring dengan ketidakpastian keadaan. Gejolak yang makin

meningkat dan saling bertautan ini memerlukan tanggapan dari organisasi dan

komunitas publik. Pertama, organisasi harus berpikir strategis yang tidak pernah

dilakukan sebelumnya. Kedua, organisasi harus bisa menerjemahkan inputnya

untuk strategi yang efektif guna menanggulangi lingkungan yang senantiasa

berubah. Ketiga, organisasi harus mengembangkan alasan yang diperlukan untuk

meletakkan landasan bagi pemakaian dan pelaksanaan strateginya. Perencanaan

strategis dapat membantu organisasi dan komunitas untuk merumuskan dan

memecahkan masalah terpenting yang mereka hadapi. Selain itu, perencanaan

strategis dapat pula membantu organisasi dan komunitas membangun kekuatan

Page 59: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

50

dan mengambil keuntungan dari peluang penting, sembari organisasi dan

komunitas mengatasi atau meminimalkan kelemahan dan ancaman serius,

sehingga dapat membantu organisasi dan komunitas menjadi lebih efektif dalam

dunia yang penuh persaingan.

Bryson (2007:3) menyebutkan bahwa para pemimpin pemerintahan,

lembaga publik dari semua jenis, organisasi nirlaba, dan komunitas menghadapi

banyak tantangan sulit dalam tahun-tahun mendatang. Perubahan-perubahan

tersebut misalnya perubahan demografis, perubahan nilai, privatisasi pelayanan

publik, perubahan ekonomi global dan sebagainya.

Jadi baik organisasi besar maupun kecil, tetap harus menyadari adanya

pergeseran yang sangat penting di dalam fokus dan kegiatan organisasi di era

globalisasi. Artinya, untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian, hal ini

disebabkan tantangan-tantangan yang semakin sulit di tahun-tahun yang akan

datang tidak bisa dipandang remeh. Oleh karena itu strategi diperlukan untuk

menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Dalam kondisi seperti itu maka setiap

organisasi publik atau privat, maupun masyarakat sendiri bila ingin tetap survive

dan bertahan hidup harus mampu merespon perubahan itu dengan langkah-

langkah yang tepat, dengan berpikir dan bertindak makin strategis, mungkin

dengan menigkatkan kualitas kegiatannya atau bahkan bila perlu melakukan

perubahan fokus atau kegiatannya.

Kualitas pelayanan harus menjadi kepedulian seluruh pihak yang terlibat

di Pemerintahan baik yang berada ditingkat pelaksana maupun pimpinan sesuai

dengan peranannya. Mengingat Pemerintah Daerah merupakan pelaksana kegiatan

pelayanan publik kepada masyarakat, sehingga memerlukan penanganan secara

terpadu dalam bidang administrasi khususnya pelayanan perijinan.Sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah antara lain

ditegaskan bahwa tujuan pemberian otonomi adalah berupaya memberikan

peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang semakin baik kepada masyarakat,

pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan. Maka Pemerintah

Daerah membentuk Badan Pelayanan Terpadu dengan Peraturan Daerah masing-

masing. Badan Pelayanan Terpadu kemudian dilengkapi dengan Badan Perijinan

Page 60: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

51

Terpadu melalui Peraturan Daerah masing-masing. Sehingga semua proses

perijinan dilaksanakan di daerah mulai dari penerimaan berkas, pemrosesan

dokumen, penandatanganan ijin sampai dengan penyerahan dokumen ijin.

Badan Perijianan Terpadu telah menerapkan sistem pelayanan satu pintu

(one stop service/OSS) sejak tahun 2002, yang dimaksudkan untuk mempermudah

masyarakat dalam mengurus perijinan yaitu dengan memberikan perijinan secara

terpadu pada satu tempat/lokasi sesuai dengan kewenangan masing-masing

instansi. Hal ini mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana

pelayanan sehingga pelayanan perijinan dapat diselenggarakan secara

berhasilguna dan berdayaguna serta untuk mendorong laju perekonomian dan

kesejahteraan masyarakat.

Sebagai salah satu contoh bahwa dengan OSS pelayanan perijinan yang

efektif dan efisien dibandingkan dengan pelayanan sebelum OSS misalnya pada

perijinan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan). Jika dibandingkan dengan pelayanan

sebelum OSS perijinan IMB baru akan selesai hingga waktu 1 bulan dari awal

permohonan diajukan, sedangkan dengan menggunakan sistem OSS Perijinan

IMB akan selesai dalam waktu 10 hari. Dilihat dari prosedur pelayanan OSS yang

diawali dengan pemohon yang mengajukan berkas permohonan perijinan di loket

pelayanan sesuai dengan bidang perijinan (IMB). Berkas permohonan perijinan

tersebut disampaikan kepada masing-masing Instansi/Unit Kerja Teknis dan

diproses dengan melalui tahap: pemeriksaan berkas, ceking lokasi, evaluasi,

penetapan biaya, dan pengesahan surat perijinan oleh pejabat yang berwenang.

Kemudian berkas yang telah disahkan diserahkan ke loket pengambilan yang

selanjutnya dapat diambil oleh pemohon ijin setelah membayar bisya retribusi

sebesar yang telah ditetapkan. Untuk penetapan biaya IMB telah ditentukan dalam

Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan. Saat ini di dalam

setiap perijinan selalu memberikan perincian biaya yang jelas dan transparan.

Selain itu, pemohon dapat melakukan tindakan seperti pengecekan, pemeriksaan,

pengukuran dan complain kepada petugas jika biaya maupun pelayanannya tidak

sesuai dengan peraturan yang ada.

Page 61: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

52

Sebagai organisasi publik dalam pelayanan perijinan BPT harus mampu

memberikan pelayanan kepada masyarakat secara lebih efektif dan efisien jika

dibandingkan dengan pelayanan perijinan yang dilakukan tidak satu pintu atau

ketika ditangani oleh masing-masing instansi secara langsung. Efektif dan efisien

ini baik dalam prosedur perijinan, waktu penyelesaian maupun biaya yang harus

ditanggung oleh masyarakat.

Berkembangnya arus informasi dan komunikasi yang saat ini hampir tidak

terbatas oleh jarak dan waktu serta didukung pula dengan tingkat pendidikan dan

ekonomi masyarakat yang semakin tinggi membuat masyarakat semakin menuntut

agar pelayanan yang diberikan bisa lebih baik atau paling tidak seimbang dengan

biaya atau kontribusi yang telah diberikan masyarakat. Dalam menghadapi

berbagai tuntutan masyarakat atas pelayanan publik, bagi suatu organisasi

diperlukan penerapan strategi yang sesuai dengan keadaan dan kendala yang

dihadapi agar mampu meningkatkan kualitas pelayanannya. Begitu pula dengan

Pemerintah Daerah memerlukan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas

pelayanan agar lebih baik dari yang selama ini diberikan yaitu dengan

memberikan pelayanan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Tanpa

adanya penerapan strategi yang efisien dan efektif dalam upayanya meningkatkan

kualitas pelayanan publik, maka pelayanan perijinan yang dilakukan oleh

Pemerintah Daerah kepada masyarakat akan statis, tidak berkembang dalam arti

tidak mampu menyesuaikan dengan kondisi saat ini. Pelayanan kepada

masyarakat akan selalu terpaku pada kebiasaan yang terjadi sehari-hari tanpa

memperhatikan perubahan-perubahan yang dihadapi oleh Masyarakat itu

sendiri.Sehingga Pemerintah Daerah perlu melakukan upaya meningkatkan

kualitas pelayanan publik kepada masyarakat agar layanan prima dapat tercapai.

Permasalahan

Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada 3 aspek, yaitu

bagaimana pola penyelenggaraannya, dukungan sumberdaya manusia, dan

kelembagaan/ institusi/organisasi.

1. Pola Penyelengaraan

Page 62: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

53

Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik di Indonesia

masih memiliki beberapa kelemahan, antara lain:

a. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur

pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line staff) sampai

dengan tingkatan penanggung jawab instansi. Respon terhadap berbagai

keluhan, aspirasi maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan

diabaikan sama sekali.

b. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan

kepada masyarakat, lambat penyampaiannya atau bahkan tidak sampai sama

sekali kepada masyarakat.

c. Kurang aksesibel. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari

jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang

memerlukan pelayanan.

d. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan

lainnya kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih

ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan

instansi pelayanan lain yang terkait.

e. Terlalu birokratis. Pelayanan, khususnya pelayanan perijinan pada

umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari beberapa meja

yang harus dilalui, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang

terlalu lama.

Dalam hal penyelesaian masalah dalam proses pelayanan, staf pelayanan

tidak mempunyai kewenangan menyelesaikan masalah, dan di lain pihak

masyarakat sulit bertemu dengan penanggung jawab pelayanan. Akibatnya,

berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk

diselesaikan.

Bukan rahasia lagi bahwa panjangnya meja birokrasi dalam pengurusan

perijinan/untuk mendapatkan pelayanan, dimanfaatkan oleh oknum aparat

untuk mengambil Pungutan Liar (Pungli), sehingga mengakibatkan

Page 63: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

54

tingginya harga pelayanan, menjamurnya korupsi di tubuh birokrasi dan

ketidakpuasan masyarakat penerima pelayanan.

f. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya

aparat pelayanan kurang peduli terhadap keluhan/saran/ aspirasi dari

masyarakat. Akibatnya, pelayanan diberikan apa adanya, tanpa ada

perbaikan dari waktu ke waktu.

g. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan khususnya dalam pelayanan

perijinan, seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.

2. SDM

Dilihat dari sisi sumberdaya manusianya, kelemahan utama pelayanan

publik Pemda adalah tentang kurangnya profesionalisme, kompetensi, empati, dan

etika. Dan salah satu unsur utama yang sangat perlu dipertimbangkan untuk

perbaikan/peningkatan mutu pelayanan publik adalah masalah sistem remunerasi

(penggajian) yang sesuai bagi birokrat, sehingga Pungli dan korupsi di tubuh

birokrasi dapat dikurangi atau dibersihkan.

3. Kelembagaan

Kelemahan utama kelembagaan birokrasi Pemda terletak pada desain

organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan

kepada masyarakat yang efisien dan optimal; tetapi justru hirarkis sehingga

membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis) dan tidak terkoordinasi

dengan baik. Kecendrungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, yaitu

fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat dominan dilakukan

oleh pemerintah, sehingga pelayanan publik menjadi tidak efisien. Sebaiknya,

kedua fungsi tersebut dibagi secara seimbang antara pemerintah dan masyarakat,

yaitu pemerintah sebagai pemegang fungsi pengaturan, sedangkan dalam hal-hal

tertentu yang memungkinkan, masyarakat dilibatkan dalam fungsi

penyelenggaraan, misalnya perencanaan dan pembangunan.

Oleh karena itu untuk peningkatanan pelayanan dan pengaduan

masyarakat terhadap layanan birokrasi local. Serta upaya realisasi quality service

Page 64: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

55

performance maka perlu disusun tata cara, mekanisme dan prosedur pelakasanaan

bagi unit kerja.

Pemecahan Masalah

Tuntutan masyarakat pada era desentralisasi terhadap pelayanan

publik yang berkualitas telah semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas

pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai

permasalahan pelayanan publik seperti telah disebutkan di atas. Sehingga

pemerintah yang mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan

masyarakat akan terus mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Penyelesaian Secara Mikro

Masalah-masalah pelayanan publik secara mikro dapat diatasi dengan:

a. Penetapan standar pelayanan

Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting, karena merupakan

suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan

suatu kualitas tertentu, sesuai dengan harapan-harapan masyarakat dan

kemampuan penyelenggara pelayanan.

Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi

jenis pelayanan, identifikasi penerima layanan, identifikasi harapan penerima

layanan, perumusan visi dan misi layanan, analisis proses dan prosedur, sarana

dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan

memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, akan

tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung

terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan

standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah

informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumberdaya manusia

yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan

ditanganinya.

Sebagai salah satu standar pelayanan mutu untuk Pemda adalah IWA

2:2005 (International Workshop Agreement 4) yang mengadopsi sistem

Page 65: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

56

manajemen mutu ISO-9001:2005 untuk dapat diterapkan secara spesifik di

pelayanan publik Pemda.

b. Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP)

Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara

konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures (SOP). Dengan

adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit

pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan

secara konsisten.

Di samping itu SOP juga bermanfaat untuk:

- Memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterrupted. Jika terjadi hal-hal

tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu

berhalangan hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya. Oleh karena

itu, proses pelayanan dapat terus berjalan;

- Memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan

peraturan yang berlaku;

- Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap

kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan;

- Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-

perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan;

- Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan;

dan

- Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang

akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses

pelayanan tertentu. Atau dengan kata lain, bahwa semua petugas yang

terlibat dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas dan tanggung jawab

yang jelas.

c. Pengembangan survei tentang kepuasan penerima layanan

Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu

mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah mereka

Page 66: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

57

terima dari Pemda. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan penerima

layanan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia

pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu,

survei kepuasan penerima layanan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan

pelayanan publik.

d. Pengembangan sistem pengelolaan pengaduan

Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi yang sangat

penting bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk memperbaiki

kesalahan yang mungkin terjadi, sekaligus secara konsisten menjaga dan

meningkatkan pelayanan yang dihasilkan agar selalu sesuai standar yang telah

ditetapkan. Oleh karena itu, perlu didesain suatu sistem pengelolaan pengaduan

yang secara efektif dan efisien mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi

bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan di waktu yang akan datang.

Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang berkualitas di maksudkan agar

tercipta akses untuk kemudahan serta efisiensi dalam memberikan pelayanan

kepada masyarakat.

PENUTUP

Kesimpulan

1. Komitmen untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada para

masyarakat sesuai dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2009 serta

terselenggaranya otonomi daerah sesuai dengan tujuan dalam Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 disusun pada perencanaan strategis, Rencana strategis

sangat terkait dengan upayanya utuk memaksimalkan semua potensi dan

sumberdaya yang dimilikinya, yaitu dengan mengidentifikasi kekuatan,

kelemahan, peluang dan ancaman yang mungkin terjadi di masa depan.

2. Kualitas pelayanan harus menjadi kepedulian seluruh pihak yang terlibat di

Pemerintahan baik yang berada ditingkat pelaksana maupun pimpinan sesuai

dengan peranannya.

Page 67: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

58

3. Pengembangan kelembagaan daerah, mulai dari rumusan pengembangan tata

laksana pemerintahan yang mendukung percepatan pencapaian visi dan misi

pembangunan 2008-2013, penyusunan berbagai peraturan daerah untuk

mendukung pengembangan kelembagaan tersebut, implementasinya yang

disertai dengan monitoring dan evaluasi, hingga inovasi dalam berbagai

pelayanan publik oleh pemerintah.

4. Untuk pengembangan Pelayanan Prima melalui Teknologi Informasi di

Pemerintahan, maka terdapat tiga hal pokok yang akan dikembangkan, antara

lain: Sistem Layanan Pengaduan Masyarakat On-line, Pengembangan Website

sebagai media informasi, dan komunikasi serta Pengembangan Sistem

Informasi Pelayanan Terpadu.

5. Dengan adanya orientasi baru dalam manajemen publik tersebut, maka

pemerintah daerah tidak saja dituntut akuntabilitasnya ke dalam tetapi justru ke

luar (masyarakat). Melalui akuntabilitas publik, pemerintah akan dipantau dan

dievaluasi kinerjanya oleh masyarakat. Pemantauan dan evaluasi terhadap

kinerja pemerintah daerah akan lebih mudah jika pemerintah daerah sudah

membuat indikator dan target-target yang disusun dalam Standar Pelayanan

Minimal (SPM). SPM yang telah tersusun akan menjadi pedoman bagi kedua

belah pihak, pemerintah daerah maupun masyarakat. Bagi pemerintah daerah

SPM dijadikan pedoman dalam melakukan pelayanan publik, sedangkan bagi

masyarakat SPM merupakan pedoman untuk memantau dan mengukur kinerja

pemerintah daerah.

Rekomendasi

1. Berdasarkan Ombudsman Republik Indonesia, sesuai pasal 6 UU No.37/2008

berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan

oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah,

termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, badan hukum milik

negara atau badan swasta yang menyelenggarakan pelayanan publik.

2. UU No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI adalah wajib dilaksanakan dan

sifatnya mengikat bagi pejabat atau lembaga penerima rekomendasi,

penyelenggara negara dan pemerintahan yang menjadi objek pengawasan

Page 68: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

59

Ombudsman RI meliputi berbagai lembaga negara dan pemerintahan di tingkat

pusat dan daerah, (termasuk MA, pengadilan tinggi, pengadilan negeri,

pengadilan agama, PTUN, pengadilan militer), lembaga kepolisian, kejaksaan,

departemen dan kementerian, lembaga pemerintah non departemen (LPND),

BPN, pemerintah daerah, perguruan tinggi negeri, dan sebagainya sedangkan

badan swasta atau perseorangan yang menjadi objek pengawasan Ombudsman

RI adalah badan swasta atau perseorangan yang mendapat/melaksanakan tugas

menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh

dananya bersumber dari APBN/APBD. Penyimpangan, pelanggaran,

pengabaian atau ketidakpatutan dalam proses pemberian pelayanan publik

disebut maladministrasi.

3. Dalam pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa maladministrasi adalah perilaku atau

perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang

untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut.”Termasuk

kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan

publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang

menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang

perseorangan,”

4. Pengawasan Ombudsman dilakukan untuk mencegah dan memberantas

perilaku koruptif yang banyak terjadi dalam proses pemberian pelayanan

publik. “Perilaku koruptif dimaksud dapat berupa penundaan pelayanan secara

berlarut (undue delay), penyalahgunaan wewenang (abuse of power), tidak

kompeten, tidak memberi pelayanan atau diskriminatif,”

5. Melakukan pemekaran wilayah kecamatan yang telah ditentukan menjadi

kecamatan baru dalam rangka peningkatan pelayanan publik dan

pemberdayaan masyarakat.

6. Bentuk akuntabilitas dalam aspek pelayanan publik harus memuat beberapa hal

seperti:

1) Adanya rumusan standar kualitas yang jelas dan disosialisasikan kepada

masyarakat.

2) Adanya sistem penanganan keluhan yang responsif.

Page 69: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

60

3) Adanya ganti rugi yang diberikan kepada klien atau pengguna jasa apabila

mereka tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah

daerah.

4) Adanya lembaga banding apabila terjadi konflik antara klien dengan aparat

pelaksana pelayanan publik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichien, 2008, Analisa Kebijakan Publik, UMM Press, Malang.Depkofindo, Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional

Pengembangan e-goverment, 2003.---------------, 2006, Panduan Pengelolaan Situs Web Pemerintah Daerah.Depdagri, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor Tahun 2008 tentang Pelaksanaan e-

government di Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah.Eddy Satriya, 2003, Electronic Government, Bulettin Pemerintahan, (30) Maret 2003.Eko Bambang, 2009, Strategi Pelayanan Prima dalam Layanan Publik, Banyumedia, Malang.Indrajit, Richardus, 2002, Electronic Government, Penerbit Andi Yogjakarta.Kushandajani. Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Peningkatan Pelayanan Publik di Era

Otonomi DaerahKominfo Newsroom. 2009. Ombusman Republik Indonesia. Jakarta.Laguboti, Toba, 2005, Peluang Indonesia untuk Bangkit Melalui Implementasi E-government,

Depkofind0.LGSP/USAID Amerika. 2008. Peningkatan Kinerja Pelayanan Publik Dengan Skema Tindakan

Peningkatan Pelayanan (STPP).Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2007, Manajemen Pelayanan Publik, Pustaka Pelajar

Yogjakarta.Sosiawan, Edwi Srif, 2004, Implementasi E-government pada Pemerintah Daerah di Indonesia,

Pustaka Pelajar, Yogjakarta.Suparjo, 2007, Arsitektur Website Pemerintah yang Ideal, Radjawali, Jakarta.United Nations, 2005, Global e-government Readiness Repport.Widodo, Joko, 2007, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Banyumedia, Malang.www.lgsp.or.id. Tantangan dalam Penyelenggaraan Evaluasi Kinerja Berbasis Hasil (Outcome-

Bbased) untuk Pemerintah Daerah di Indonesia

Page 70: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

61

KOMPARASI KONSEP DEMOKRASI DENGAN KONSEP SYURO

DALAM ISLAM: PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Trisnawati

ABSTRACT: Democracy is governance system mechanism or form anstate as effort realize democracy (power of citizen) of state to be run bygovernment of state. Principle of Syura (musyawarah) - asking for opinion andconvert to convert idea is symbol progress of taught by civilization is Islam. Mayeven exist a letter of Al so called Qur'An of letter of Syura. Democracy and ofSyuro in course of decision making have different characteristic especially inmajority voice where in concept of syuro that is not have the character of absolutethough remain to be especial consideration in deliberation. Principal anddemocracy concept which in line with islam is people taking part in in controlling,lifting, and degrading government, and also in determining a number of policypass its proxy.

PENDAHULUAN

Dasar Pemikiran

Demokrasi merupakan konsep yang dimulai zaman renaissance dengan

bangkitnya pemikiran rasional melahirkan sain dan teknologi, muncullah

kapitalisme dengan sistem ekonominya yang non agraris yang tidak mau dikekang

lagi oleh monarchi dan theokrasi, secara politik mengajukan konsep

DEMOKRASI. Disini "rakyat" hakekatnya adalah kelas yang baru muncul, yaitu

kaum kapitalis. Dari konsep demokrasi, mau tidak mau akan memunculkan

konsep KEBEBASAN yang akan membentur konsep KETERIKATAN dalam

folosofi Timur.

Menurut beberapa literature yang lain3, kira-kira 500 tahun Sebelum

Masehi, sejarah demokrasi dicatat karena ada sekelompok kecil manusia di

Yunani dan Romawi yang mulai mengembangkan sistem pemerintahan yang

memberikan kesempatan yang cukup besar bagi publik untuk ikut serta dalam

merancang keputusan. Perkembangan yang paling penting bagi sejarah demokrasi,

3 Arif, Saiful et.al, Demokrasi, Sejarah, Praktik dan Dinamika Pemikiran, 2006, Program Sekolah Demokrasidan Averroes Press, Malang.

Page 71: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

62

dalam berbagai literatur, telah terjadi di Eropa. Tiga di antaranya di sepanjang

Pantai Laut Tengah (Yunani dan Romawi), yang lainnya di Eropa Utara.

Sudah lazim diceritakan, istilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno,

democratia. Plato yang memiliki asli Aristocles (427-347 SM) sering disebut

sebagai orang pertama yang memperkenalkan istilah democratia itu. Demos

berarti rakyat, kratos berarti pemerintahan. Demokrasi menurut Plato kala itu

adalah adanya sistem pemerintahan yang dikelola oleh para filosof. Hanya para

filosoflah yang mampu melahirkan gagasan dan mengetahui bagaimana memilih

antara yang baik dan yang buruk untuk masyarakat. Belakangan diketahui

sebetulnya yang diinginkan oleh Plato adalah sebuah aristokrasi.

Selain Plato dan Aristoteles, salah satu nama lain yang dianggap

memberikan kontribusi adalah Chleisthenes. Dialah tokoh yang telah mengadakan

berbagai pembaruan Athena dalam sebuah sistem pemerintahan kota (Hornblower

dalam Dunn, 1992). Pada 508 SM, Chleisthenes membagi peran warga Athenda

ke dalam 10 kelompok, di mana masing-masing terdiri dari beberapa demes yang

mengirimkan wakilnya ke Majelis yang terdiri dari 500 orang wakil.

Selain Chleisthenes, juga dikenal nama lain seperti Solon (638-558 SM

yang dikenal sebagai tokoh pembuat hukum, Pericles (490-429 SM yang dikenal

sebagai jenderal yang negarawan, Demosthenes (385-322 SM) yang dikenal

sebagai orator (Ghofur, 2002).

Sering dikisahkan bahwa di Yunani dan Romawi pada 500 SM itulah

pertama kali dilahirkan suatu sistem pemerintahan yang memberi partisipasi

rakyat melalui sejumlah besar warga negara. Sistem pemerintahan yang demikian

merupakan perkembangan dari model sebelumnya yang didominasi oleh sistem

kerajaan, kediktatoran, aristokrasi atau oligarki.

Tetapi harus dipahami bersama, Yunani Kuno bukanlah sebuah negara

dalam pengertian kita yang modern saat ini, yaitu suatu tempat di mana semua

orang Yunani hidup dalam sebuah negara dengan satu pemerintahan (Dahl, 2001).

Yunani Kuno masa itu adalah sebuah tempat di mana berkumpul ratusan kota

yang merdeka, yang masing-masing dikelilingi oleh daerah pedalaman. Negara

Page 72: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

63

Yunani saat itu adalah gambaran tentang sebuah negara-kota atau polis. Sebuah

negara-kota tentu saja sangat berbeda dengan ciri khas negara-negara modern saat

ini yang kita sebut sebagai negara-modern, negara-bangsa atau negara-nasional,

seperti Amerika, Prancis, Jepang ataupun Indonesia.

Dari sekilas sejarah demokrasi yang dimunculkan oleh Barat menunjukkan

adanya sebuah ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan yang ada.

Sehingga memunculkan ide demokrasi sebagai penyelesaian permasalahan dalam

kepemimpinan dan hokum-hukum pemerintahan. Namun sampai detik ini belum

ada Negara yang mampu membangun negaranya dengan konsep demokrasi.

Amerika sebagai Negara besar pengusung demokrasi belum mampu menunjukkan

hasil tentang penerapan demokrasi.

Berbeda dengan Islam yang telah memberikan bukti selama 7 abad

lamanya dalam pemerintahan ke-Nabi-an dan ke-Khalifah-an yang ditunjukkan

dengan terbentuknya masyarakat yang tenang, damai dan sejahtera. Sehingga

sampai saat ini tersebar Islam keseluruh penjuru dunia dengan konsep yang sama

dalam pembentukan pemerintahan Islam dengan mencontoh Rasulullah dan para

Khalifah sebelumnya.

Yang menjadi pokok permasalahan dalam isu demokrasi Barat dalam

pemikiran dan peradaban Islam adalah:

1. Bagaimana konsep syuro dalam Islam?

2. Bagaimana konsep demokrasi Barat?

3. Bagaimana Perbandingan konsep syuro dan demokrasi Barat?

KAJIAN PUSTAKA

1. Konsep Syura

Pemerintahan yang diterapkan dalam Islam adalah pemerintahan yang

berprinsip atas dasar syura (musyawarah), kemaslahatan dan keadilan, ini menjadi

kunci pokok dalam kemasyarakatan, dan mengurus (mengelola) negara. Dalam

Page 73: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

64

Islam tidak ada cara khusus dalam melaksanakan syuro. Ini merupakan system

yang bersifat intern yang bisa berubah sesuai dengan situasi dengan

mempertimbangkan waktu dan tempat. Dan merupakan kebebasan dari jama’ah,

lembaga dalam ketentuannya dan penerapannya, namun tetap dalam aturan-aturan

yang tidak bertentangan dengan syariat (hukum Islam).

Syura ini telah diterapkan pada masa Rasulullah, dan para Khulafaur

Rasyidin sebagai contoh abadi dari perjalanan sejarah syura. Kekhalifahan Abu

Bakar As Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib

itu berdiri di atas dasar pemilihan kaum muslimin secara mutlak. Kalaupun Abu

Bakar mewasiatkan kekhalifahan sesudahnya kepada Umar, tetapi pengangkatan

Umar menjadi khalifah setelah ada baiat dari umat Islam masa itu. Apabila Umar

mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk memilih seorang khalifah diantara

enam orang yang ditunjuk sebelum wafatnya, maka perbuatan itu sekedar nasehat

kalau orang Islam mau memilih salah satu diantara mereka, karena nyatanya

mereka itu pribadi-pribadi umat yang utama dan paling sesuai. Kalaupun Ali tidak

diberi kekuasaan kekhalifahan setelah wafatnya nabi, khususnya setelah

kekhalifahan Umar, padahal Ali keluarga terdekat Rasulullah. Maka bukanlah

karena kepentingan politik belaka, namun lebih pada hasil syuro yang menjadi

dasar pemerintahan dalam Islam.

Abu Bakar As Siddiq sesudah di baiat menjadi khalifah pertama di antara

khalafaur rasyidin mengatakan, ”wahai manusia sesungguhnya aku telah dipilih

menjadi pemimpinmu, tetapi bukanlah orang yang paling baik diantara kalian, bila

aku berlaku baik, maka bantulah aku, apabila keliru maka luruskan aku. Orang

yang lemah diantara kamu itu kuat disisiku sampai aku berikan hak kepadanya,

jika Allah menghendaki. Tak ada suatu kaum yang mau meninggalkan jihad di

jalan Allah melainkan Allah akan membalas mereka dengan kehinaan. Dan

tidaklah kejahatan itu tersebar disuatu kaummelainkan Allah akan menyebarkan

cobaan bagi mereka. Taatilah aku selama aku mentaati Allah dan RasulNya,

apabila mendurhakai Allah dan RasulNya, maka janganlah kalian mentaatiku”4.

4 Dr. Mahdi Fahulullah, Titik Temu Agama dan Politik: Analisa Pemikiran Sayyid Qutub, CV. Ramadhani,Solo, 1991, hlm. 124-125.

Page 74: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

65

Lain itu, sebagaimana Ali yang enggan untuk tinggal di Istana Putih di

kota Kufah, sebab ia lebih suka untuk tinggal bersama masyarakat, sehingga lebih

dekat – mengetahui keinginan masyarakat dan untuk bermusyawarah dalam

urusan dunia yang tidak bertentangan dengan nash, seperti ilmu perang, bertani

dan sebagainya. Rasulullah mengajak para sahabat untuk membawa aspirasi umat

ke kota Madinah dalam musyawarah tentang urusan yang tidak terdapat dalam

wahyu dan nashnya5. Pada waktu situasi dan kondisi berubah seperti di zaman

Abu Bakar, penduduk Mekkah dan Madinah bermusyawarah tentang peperangan

Syam, karena masalah itu adalah masalah oerang yang akibat dan pengaruhnya

kembali kepada penduduk Mekah dan Madinah. Pemerintahan dalam Islam tidak

dimaksudkan seperti yang diduga oleh sebagian pemuka.pemuka agama. Tak ada

Iclarius dalam agama Islam6. Setiap muslim yang mengerti,ia mempunyai hak

mutlak untuk menduduki pangkat tertinggi dalam negara sampai pun pangkat

kekhalifahan7. Nabi sendiri tidak memakai jubah.

a. Pengertian Syura/ Musyawarah

Dalam bahasa arab, perkataan Syura berasal dari kata dasar syuwara –

yasy’uru – musyawarah atau syura yang artinya tanda, petunjuk, nasehat,

pertimbangan. Dengan demikian secara etimologis musyawarah merupakan kata

kerja yang dibendakan (masdar) yang mengandung arti ”saling memberi isyarat,

petunjuk, atau pertimbangan yang bermakna resiprokal dan mutual”8.

Di dalam ajaran Islam perkataan syuro merupakan konsep ketatanegaraan

yang berasal dari Al Qur’an. Pentingnya syura dalam Islam bisa disaksikan ketika

ajaran ini banyak dimuat dalam ayat Al Qur’an – terdapat empat ayat yang

berkaitan dengan akar kata yang sama dengan syuro yaitu, yang pertama

berhubungan dengan persoalan keluarga (QS. Al Baqarah 2:233, QS. Maryam

5 Seperti masalah tawanan orang musyrik Mekah pada perang Badar, Rasulullah bermusyawarah dengan parasahabat dalam strategi perang, strategi benteng pertahanan perang Badar dan Rasulullah menerima usulansahabat. Diantaranya Al Habab Ibnu Al Munzir dan Salman Al Farisi. ibid.hlm. 125.

6 Tidak ada Iclarius dalam Islam. Kewajiban orang Islam menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran.Menghubungkan Islam dengan sekularisme. Henri Laoust, Las Schismes daus I’Islam. P.370. Opcid

7 Negara sekuler dan persamaan karena tidak ada sistem kependetaan dalam Islam kekuasaan hukum kembalikepada tiap muslim yang berpengetahuan cukup. Dominique Saurdel, ap.L. Gardet.I’Islam.p.70. Opcid.

8 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, lihatdalam Aidul Fitriciada Azhari, Sistem Pengambilan Keputusan Demokrasi MenurutKonstitusi,Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2000, hlm. 78.

Page 75: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

66

19:29), sedangkan dua ayat berikutnya berhubungan dengan kemasyarakatan dan

ketatanegaraan (QS. Al Imran 3:159, dan QS As Syuura 42:38)9.

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)

seruan Tuhan dan melaksanakan sholat, sedang urusan mereka

(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka

menginfakkan sebagian dari rizqi yang Kami berikan kepada

mereka.10

Namun, syura tidak hanya diperuntukkan bagi umat Islam, tetapi juga

untuk orang non muslim. Sebagaimana makna yang terkandung dalam QS Ali

Imran 3: 159.

Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku

lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap

keras dan behati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari

sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah

ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka

dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah

membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah.

Abdullah Yusuf Ali dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat tersebut

adalah salah satu tanda bahwa Islam adalah ”rahmat untuk semesta alam”11, dan

dari ayat syura tidak menunjukkan kekhususan hanya pada umat Islam (mukmin).

Maka musyawarah ini tidak terbatas pada sebagian orang, tetapi bagi mereka yang

berada dalam urusan yang harus diselesaikan dengan syura.

Disimpulkan bahwa syura (musyawarah) adalah meminta atau

mengeluarkan pendapat yang baik untuk mendapatkan yang terbaik, menemukan

9 Mahmud Fuad Abdul Baqi’,Mazmu Faruz Li-afadhil Qur-anil Karim, Darul Fikr, Beirut 1987 yang terdapatdalam Aidul Fitriciada Azhari, ibid.

10 Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, PT. Syaamil Cipta Media, Bandung. Penjelasan:Ayat ini turun pada periode dimana belum terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan politik,atau dengan kata lain sebelum terbentuknya negara Madinah di bawah pimpinan Rasulullah saw. Turunnyaayat yang menguraikan syura pada peride Mekah, menunjukkan bahwa bermusyawarah aalah anjuran AlQur’an dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan dalam petunjuk Allah.

11 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1997, hlm.96.

Page 76: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

67

yang paling sesuai diantara yang sesuai, sehingga memberikan kemaslahatan bagi

umat.

b. Prinsip dan Kaedah Syura

Prinsip syura (musyawarah) – meminta pendapat dan tukar menukar ide

adalah symbol kemajuan peradaban yang diajarkan Islam. Bahkan ada sebuah

surat Al Qur’an yang bernama surat Syura. Selain itu, pentingnya syura dalam

agama Islam yang suci ini juga ditegaskan fakta-fakta, yaitu : Allah swt. sebagai

Dzat Maha Mengetahui rahasia dan hakikat segala sesuatu ketika hendak

menciptakan Nabi Adam sebagai khalifah yang memakmurkan bumi ini meminta

pendapat dan komentar para malaikat (QS Al Baqarah 2:30).

Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para

Malaikat,”Aku hendak menjadikan khalifah dibumi”, mereka

berkata,”apakah Engkau hendak menjadikan orang yang

merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami

bertasbih memujiMu dan menyucikan namaMu?”. Dia

berfirman ”sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu

ketahui”.

Dalam studi Sirah, tercatat banyak sekali aktifitas Rasulullah yang

dilakukan dengan syura – mengumpulkan para sahabat guna bertukar fikiran dan

meminta pendapat seputar masalah yang dihadapi oleh Beliau sendiri atau secara

umum yang menyangkut kepentingan kaum muslimin sebagaimana pada tahun

pertama hijriah ketika jumlah kaum muslimin terus bertambah banyak, maka

Beliau bermusyawarah tentang cara memberitahukan masuknya waktu sholat serta

mengajak kaum muslimin berkumpul untuk sholat berjama’ah. Beberapa usulan

masuk, ada yang mengusulkan menggunakan api, ada yang usul dengan

genderang dan ada pula yang usul dengan lonceng. Sayang usulan-usulan itu tidak

disepakati oleh forum ketika itu, karena api menyerupai kaum majusi, gederang

menyerupai yahudi dan lonceng menyerupai nasrani. Akhirnya musyawarah pada

kesempatan itu pun gagal mendapatkan sebuah kesepakatan. Malam harinya,

beberapa masyarakat bermimpi, termasuk Umar r.a bertemu dengan seseorang

Page 77: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

68

yang mengajarkan lafadz-lafadz adzan. Salah seorang yang bermimpi waktu itu

adalah Abdullah bin Zaid bin Abduh. Rabbih Al Anshari yang kemudian menjadi

orang pertama yang menceritakan perihal mimpinya pada Rasulullah saw.

Berdasarkan teori Al Baqillani dan Al Mawardi, keputusan musyawarah

tersebut harus dilakukan melalui pemilihan (ikhtiyar), artinya ajaran Islam

menghendaki berlakunya system mayoritas. Ini dikuatkan oleh pandangan ulama

kotemporer Yusuf Qardhawi, yang menyatakan bahwa “logika penalaran, syariat

dan kenyataan tentu akan menyatakan ‘harus ada yang diunggulkan’” 12.

Menurutnya, yang diunggulkan apabila terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah

yang terbanyak. Pendapat dua orang akan lebih dekat pada kebenaran daripada

pendapat satu orang. Qardhawi menyitir sebuah hadits yang mengatakan

bahwa ”Sesungguhnya syetan itu bersama satu orang, dan dia lebih jauh dari dua

orang” (RH. At Thirmidzy dan Al Hakim)13.

Kemudian Yusuf Qardhawi, dengan mengutip Al-Imam Abu Hamid Al

Ghazaly, berpendapat bahwa untuk nash-nash (kaidah ototitatif) yang kuat, jelas,

dan tidak menimbulkan perbedaan pendapat, maka yang harus diunggulkan atau

dikedepankan adalah tidak terletak pada suara terbanyak, tetapi ada pada pendapat

yang benar, sekalipun hanya mendpat satu suara. Sedangkan untuk masalah-

masalah yang ijtihadiyah yang tidak ada nashnya atau ada nashnya tetapi banyak

mengundang penafsiran atau ada nash lain yang bertentangan atau lebih kuat,

maka tidak menutup kemungkinan untuk mengikuti suara terbanyak dengan

model pemungutan suara dalam pengambilan keputusannya. Yusuh Qardhawi

menyatakan dalam kitabnya ”Adapun sistem voting yang sudah diketahui dan

disepakati manusia, termasuk pula orang-orang Muslim, merupakan cara yang

paling tepat untuk itu. Tidak ada alam syari’at yang melarang sistem ini”14

12 Yusuf Al Qardhawi, Fiqih Daulah dalam Perspektif Al Qur’an dan Sunnah, Pustaka Al Kautsar, Jakarta,1997, hlm. 199. Yusuf Al Qardhawi adalah seorang ulama’ Mesir kontemporer dan guru besar diUniversitas Al-Azhar. Pandangannya terkenal dengan Al Wasathiyatul-Islamiyah atau Islam moderat yangmemadukan anatara ajaran salaf dengan yang kontemporer, yang tetap dengan yang berubah, dan rasional.Dalam bidang ketatanegraan ia mengenalkan konsepsi daulah madaniyah (pemerintahan sipil) dan daulahsyar’iyah dusuriyah (Negara berdasarkan hukum syariah dan konstitusional), oleh Aidul Fitriciada Azhari,op cid, hlm. 80.

13 Menurut Al Bany hadits ini isnadnya dhaif, ibid.14 Ibid. hlm. 81

Page 78: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

69

Dengan demikian, benang merah yang dapat diambil dari beberapa ulama’

tersebut bahwa syura dalam pengambilan keputusan juga dapat mengikuti suara

terbanyak (mayoritas) selama mengandung kebenaran dan kemaslahatan umat dari

sebuah keputusan yang diambil. Syura adalah mencari yang baik diantara yang

tidak baik.

Namun dari hasil syuro dalam Islam, keputusan tetap ada pada seorang

pemimpin (imamah) sebagai pengambil keputusan yang telah diamanahi oleh

Allah sebagai penerus para nabi, sebagaimana dalam surat An Nisa’ 4:29

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan

taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (Pemegang

Kekuasaan) diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda

pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah

(Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada

Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama

(bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah dalam beberapa

kejadian yang harus melibatkan beberapa orang sahabat untuk dimintai

pertimbangan, dan kepetusan dari masukan atau pendapat dari para sahabat ada

pada Rasulullah. Dan tidak semua sahabat yang diajak untuk syuro, hanya-sahabat

yang memiliki kemampuan dan keilmuwan. Konsep pengambilan keputusan

dalam Islam ada pada seorang imamah dengan otoritas pemimpin ((imamah).

Konsep syura digunakan Rasulullah sebagai mempersatukan umat atau

melibatkan umat untuk peduli terhadap permasalahan yang harus dipecahkan,

namun sesungguhnya kepatusan ada pada Rasulullah.

Mohammad Asad dalam memaknai ayat potongan ayat wa syawirhum fil

amr (وشاورھم فى االمر) adalah menunjukkan pemerintahan berdasarkan persetujuan

dan perwakilan (goverment by consent and council). Persetujuan artinya

pemerintahan menurut ajaran Islam harus dijalankan berdasarkan hasil

persetujuan yang dihasilkan oleh musyawarah. Ini merupakan implikasi dari

perkataan ”azm” yang mengandung arti ”taking councel with knowledgeable

Page 79: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

70

people (ahl ar-ra’y) and thereupon following them (therein)”, (mengambil

keputusan bersama orang yang memiliki pengetahuan, kemudian mengikutinya).

Dengan demikian, meurut Asad, pemerintah terikat oleh hasil pemusyawaratan

yag dilakukan oleh para ahli yang mengetahui bidang tersebut. Ini kemudian

mengantarkan konsep perwakilan yang disebut Al Baqillani (meninggal 1013 M),

seorang pengikut madzhab Imam Malik, sebagai ahl al-hall wal al-‘aqd dan

kemudian dilembagakan dalam tradisi daulah Islamiaya sebagai majlis syura.

Selain itu pula, Islam juga mengenal konsep imamah dalam musyawarah yang

tidak didasarkan pemilihan (voting), tetapi pada otoritas pemimpin ((imamah).

c. Pengambilan Keputusan dalam Islam

Pengambilan keputusan merupakan proses pemilihan diantara alternatif

yang ada dan juga segera memikirkan apa implikasi dan dampaknya jika terjadi

kesalahan dalam mengambil keputusan, termasuk alternatif pemecahannya15.

Mengambil keputusan tidak serta merta tanpa ada pertimbangan. Namun

didasarkan pada informasi yang dikumpulkan mengenai permasalahannya, nasihat

dari orang yang lebih expert, dan juga sangat diperlukan analisa dan penilaian

subyektif dari pengambil keputusan itu sendiri.

Firman Allah SWT:

Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan apapun. (Ali

Imran 159)

Urusan mereka (orang Islam) dimusyawarahkan sesama mereka.

(Asy Syura 38)

Rasulullah SAW pun bersabda:

Hajat tercapai bagi mereka yang membuat 'istikharah', dan tidak

ada penyesalan bagi mereka yang bermusyawarah, dan tidak susah

mereka yang berhemat dengan cermat. (Riwayat At Tabrani)

15 Chester I. Barnard dalam “The Function of Executive”

Page 80: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

71

Berdasarkan ayat-ayat Allah dan sabda Rasulullah yang tertulis di atas,

Islam menggalakkan umatnya mengadakan syura (musyawarah). Karena

berdasarkan pengalaman kita, syura memang besar faedahnya kepada hidup kita

dan masyarakat. Sebab itu Allah sendiri yang memerintahkan supaya syura

dipraktekkan. Manusia selalu berhadapan dengan:

1. Masalah-masalah hidup di rumah, dalam masyarakat dan dalam negara.

2. Keperluan-keperluan ekonomi, pendidikan, pembangunan dan lain-lain

lagi.

3. Gangguan musuh.

4. Kebuntuan fikiran.

Maka semuanya itu, kalau disyurakan baru dapat menghasilkan keputusan

yang sebaik-baiknya, dibandingkan dengan keputusan-keputusan yang dibuat

secara pribadi.Arti syura menurut bahasa ialah berunding atau bertukar fikiran.

Manakala dari segi istilah syariat Islam, arti syura atau musyawarah ialah bertukar

fikiran atau berbincang antara dua orang atau lebih dalam menghadapi hal-hal

yang dibenarkan oleh syariat sesuai dengan adab-adab, cara cara yang syar’i

untuk memperoleh hasil yang baik dan benar yang akan menjadi tindakan

bersama, seseorang atau satu kelompok.

Perkara-perkara yang disyurakan itu ialah masalah kehidupan seperti

menyelesaikan krisis, masalah ekonomi, pendidikan, ketentaraan, pertanian dan

lain-lain lagi. Setiap anggota diminta mengeluarkan fikiran, kemudian

dipertimbangkan bersama. Mana pendapat yang benar atau kuat dan tepat

alasannya atau lebih munasabah (memungkinkan) dan lebih mendekati kebenaran,

maka itulah keputusan syura yang wajib diterima bersama untuk menjadi tindakan

bersama, tindakan seseorang atau tindakan suatu kelompok.

Dalam syura, perbincangan mesti dua arah atau lebih. Tidak dikatakan

syura kalau satu pihak saja yang berbicara dan memberi pendapat. Syura secara

Islam mesti dilakukan dengan bertata-tertib, beradab, berperaturan dan cara-cara

yang ditetapkan oleh Islam. Syura yang tidak mengikuti kaedah syar'i tidak

Page 81: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

72

dianggap syura Islam walaupun diberi nama syura Islam. Nama tidak penting,

yang penting ialah ciri-cirinya.

Berikut ini ialah tata tertib atau disiplin dan adab-adab syura menurut

Islam:

Tujuan dan niat anggota syura ialah mencari dan menegakkan kebenaran

karena Allah. Masing-masing mesti mengawal diri dari maksud riya', bermegahan,

ujub atau untuk hobi semata-mata. Sebaiknya masing-masing mempunyai rasa

takut pada Allah, kalau-kalau terjadi perbincangan yang tidak tepat dan tidak

selaras dengan kehendak Allah dan Rasul. Untuk mengelak dari riya', ujub dan

bermegahan, caranya ialah masing masing mengharapkan kebenaran itu

datangnya dari orang lain, bukan dari dirinya. Dan dia akan merendahkan diri

untuk menerima dan mendukung kebenaran yang sudah ditemui itu.

Sekiranya kebenaran itu keluar dari mulut kita sendiri, segeralah banyak

bersyukur pada Allah, karena memperlihatkan kebenaran itu kepada kita.

Bukankah kita dhaif untuk menemukannya kalau bukan dengan petunjuk

dari Allah? Dengan ilmu dan keyakinan yang demikian, Islam menyelamatkan

majelis syura dari timbulnya rasa sombong, bermegahan, menunjuk kepandaian,

merasa diri lebih tinggi, mujadalah (debat tidak menentu), keras kepala, hina-

menghina, jatuh-menjatuhkan dan akhlak lain yang keji.

Di waktu seorang anggota syura berbicara, anggota- anggota yang lain

mesti menghormati pandangannya dan sama-sama mendengarnya. Biarkan dia

menghabiskan bicaranya walaupun kita tidak setuju pendapatnya. Memotong

bicara kawan atau minta dia berhenti sebelum habis berbicara adalah tidak

beradab dalam syura. Sikap itu sangat dibenci.

Bila seorang anggota syura selesai memberi pandangannya, ucapkan

terima kasih. Kalau didapatkan ucapannya benar, beri tahniah dengan sepotong

doa:

Moga-moga Allah membalas kamu dengan kebaikan.

Page 82: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

73

Sekiranya pendapat yang diberi salah, jangan sekali-kali menghinanya.

Betulkan dengan mesra dan kasih sayang menggunakan hujah-hujah yang bernas.

Sekiranya kita sendiri yang melakukan kesalahan atau mengeluarkan

pendapat yang salah, minta ampunlah kepada Tuhan dan merendah dirilah untuk

menerima hakikat kesalahan itu.

Misalnya terjadi perbedaan pendapat yang serius hingga sukar untuk

menyatukan pandangan, maka demi perpaduan, pandangan ketua atau

pemimpinlah yang mesti diterima.

Dalam syura Islam jangan sekalipun terjadi mujadalah, berburuk sangka,

sakit hati, caci maki, berkelahi, lempar kursi, pukul meja, tunjuk pistol, geram,

dendam dan sebagainya. Anggota-anggota syura akan sanggup untuk mengalah,

bersabar untuk mencari nas (dalil) atau bersikap tawakuf (menerima tidak,

menolak pun tidak). Bahkan demi menjaga ukhuwah karena Allah, di akhir

majelis, masing-masing akan saling bermaaf-maafan dan berbaik sangka serta

bersabar untuk menanti bantuan Allah dalam masalah apapun yang timbul. Di

penutupnya, sama-sama membaca surah Wal ‘Ashr dan doa kifarah, yakni

meminta ampun kepada Allah. Insya Allah dengan cara itu, umat Islam akan

senantiasa membuat keputusan yang tepat, bersih dan diberkati Allah.

2. Konsep Demokrasia. Hakekat Demokrasi

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu

negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara)

atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi

ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk

diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan

berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi

ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa

saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.

Page 83: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

74

Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga

pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan

kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang

menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat

(DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan

legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau

oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang

diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum

legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.

Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil

penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan

umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh

warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela

mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak

untuk memilih (mempunyai hak pilih).

Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya

kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung,

tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota

parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara

demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden

hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam

sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta

demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang

masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang

bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin

negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem

yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya

memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya

umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau

bekas narapidana).

b. Prinsip Demokrasi Barat

Page 84: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

75

Istilah "Demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena

kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal

dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun,

arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah

berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem

"Demokrasi" di banyak negara16.

Kata "Demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat,

dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai

pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat,

oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci

tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat

ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.

Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan

dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica)

dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk

diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah

(eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat

yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali

menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain,

misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri

anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan

aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.

Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable),

tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap

lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya

secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.

16 Insiklopedia wikipedia

Page 85: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

76

Demokrasi berasal dari perkataan Yunani, demokratia, yang berarti

kekuasaan rakyat, atau suatu bentuk pemerintahan negara, dimana rakyat

berpengaruh di atasnya, atau pemerintahan rakyat.

Ide-die tentang demokrasi dan prakteknya diketahui manusia lebih kurang

dua ribu lima ratus tahun yang lalu, akan tetapi sampai sekarangpun demokrasi

sebagai suatu cara hidup hanya terdapat di sebagian kecil dunia saja dan cara

hidup yang demokrastis adalah suatu hal yang paling sulit.

Demokrasi yang diinginkan adalah adalah terjadinya pemilihan umum

yang jujur dan adil, berkembangnya pers yang merdeka, adanya kemerdekaan

mengadakan perkumpulan politik, kebebasan beragama, kebebasan berpikir dan

berbicara, adanya hak untuk memilih pekerjaan sendiri, adanya hak untuk

membentuk serikat-serikat kerja bebas, hak untuk bergerak bebas dalam negara

sendiri dan secara umum serta hak setiap orang bebas mengembangkan

kesanggupan pikiran moralnya.

Pemerintahan demokrasi yang tulen adalah suatu pemerintahan yang

sungguh-sungguh melaksanakan kehendak rakyat yang sebenarnya, akan tetapi

kemudian penafsiran atas demokrasi itu berubah menjadi suara terbanyak dari

rakyat banyak.

Penafsiran demokrasi sebagai suara terbanyak dari rakyat banyak ini tidak

asli lagi, oleh karena tidak melaksanakan kehendak seluruh rakyat. Dalam hal ini

demokrasi dapat disalahgunakan oleh golongan yang lebih besar dalam suatu

negara untuk memperoleh pengaruh pada pemerintahan negara, dengan selalu

mengalahkan kehendak golongan yang kecil jumlah anggotanya.

Dalam demokrasi tulen dijaminlah hak-hak kebebasan tiap-tiap orang

dalam suatu negara. Demokrasi itu juga diartikan sebagai perbandingan separuh

ditambah satu, jadi golongan mana telah memperoleh suara paling sedikitnya

separuh ditambah satu suara.

Makna sebenarnya demokrasi didalam suatu pemerintahan rakyat adalah

bahwa rakyat sangat yakin bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan

Page 86: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

77

diperhatikan oleh wakil-wakil rakyat. Pemerintahan yang tidak termasuk dengan

demokrasi adalah cara pemerintahan yang dilakukan oleh dan atas nama seorang

diri atau pemerintahan yang dilakukan oleh segolongan kecil manusia saja, yang

menganggap dirinya tercakap dan berhak untuk mengambil dan melakukan segala

kekuasaan di atas segenap rakyat.

Pemerintahan dalam arti demokrasi adalah dimana golongan yang

memerintah dan golongan yang terperintah itu adalah sama dan tidak terpisah-

pisah, yang artinya satu sistem pemerintahan negara dimana dalam pokoknya

semua orang/rakyat adalah berhak sama untuk memerintah dan juga untuk

diperintah.

Suatu demokrasi menghargai setiap person sebagai makhluk moral dan

rasional yang memiliki kebebasan dan tanggung jawab atas dirinya sendiri. Sistem

demokrasi pada prinsipnya menolak setiap campur tangan dari luar atas jalan

hidup seseorang, dan pada yang saat yang sama menuntut bahwa hak individu

untuk menentukan diri sendiri secara politis harus mendapat prioritas

dibandingkan dengan hak-hak politik lainnya.

Oleh karena itu, demokrasi sebagai sistem politik juga merupakan refleksi

yang paling nyata dari pengakuan akan hak individu atas kebebasan. Secara

politik pengakuan ini terwujud melalui terbukanya peluang yang sebesar-besarnya

bagi partisipasi politik semua warga. Hak yang sama atas partisipasi politik

sebagai sebuah prinsip terutama dimaksudkan untuk memberi peluang sebagai

semua warga secara aktif.

Sehingga analisis, bahwa calon politisi bersanding dengan politisi atau

birokrat atau bahkan independen yang tidak ada basis partai, maka ini juga adalah

usaha untuk menjalankan makna demokrasi yang sebenarnya, dimana siapa saja

bisa menjadi calon untuk memegang tampuk pemerintahan, tanpa harus

terkendala dengan ''perahu'' partai politik.

Saat ini, sebagai ciri demokrasi ialah bahwa tiap-tiap keputusan

bersandarkan atas dasar kelebihan suara. Di sini timbul perjuangan untuk merebut

suara terbanyak pada tiap-tiap persoalan di antara golongan. Golongan yang besar

Page 87: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

78

memperoleh suara terbanyak sedang golongan kecil menderita kekalahan.

Walaupun demikian, perjuangan demokrasi dalam perebutan suara terbanyak itu

bukanlah suatu hal antara hidup dan mati, sebab golongan kecilpun tetap berhak

untuk duduk dalam pemerintahan.

Titik berat pada cara hidup demokratis adalah berdasarkan keinsafan akan

adanya tujuan yang tidak dapat dipisahkan dari cara mencapainya, yang senantiasa

menentukan bentuknya. Perbincangan dan persetujuan adalah cara yang menjadi

ciri bagi masyarakat demokratis dalam usahanya untuk menyelesaikan perbedaan-

perbedaan pandangan dan kepentingan. Telah menjadi pandangan demokratis,

karena tidak seorangpun yang mempunyai kebenaran mutlak, kedua belah pihak

dalam suatu argumen dapat memberikan sumbangan ditemukannya jawaban

paling tepat. Satu-satunya jalan untuk menemukan kesalahan dalam jawaban itu

adalah dengan mengerahkan segala bakti yang ada.

Dalam teori masyarakat demokrasi, pemerintah mendapatkan

kekuasaannya yang sah berkat persetujuan dari yang diperintah. Karena itu tidak

ada alasan bagi negara untuk eksis selain untuk melayani kepentingan rakyat.

Apabila negara mulai menindas dan tidak mengacuhkan hak-hak rakyat, maka

kewajiban bagi rakyat untuk memberontak melawan pemerintah.

Dalam negara demokrasi ada persamaan kemerdekaan bagi tiap-tiap orang.

Jadi kemerdekaan atau kebebasan manusia diatur oleh pemerintah. Oleh karena itu

demokrasi hanya dapat dicapai, jika rakyat dengan perantaraan wakil-wakilnya

yang dipercaya mengatur atau ikut mengatur ketentuan-ketentuan peraturan

pemerintahannya.

c. Prinsip Demokrasi Dalam Pandangan Islam

Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip

yang menjadi standar baku diantaranya:

1. Kebebasan berbicara setiap warga negara.

2. Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak

didukung kembali atau harus diganti.

Page 88: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

79

3. Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol

minoritas

4. Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik

rakyat.

5. Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

6. Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum).

7. Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh

dibelenggu.Pandangan Ulama tentang Demokrasi

Berikut adalah pemikiran beberapa tokoh muslim tentang konsep dan

pemikiran demokrasi17.

1. Al-Maududi

Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya,

Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar

kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan

manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga

cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern

(Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam

menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan

teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah

memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.

2. Mohammad Iqbal

Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh

intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan

kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi

kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang

merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah

mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar

demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai

17 Sumber: http://globalisasi.wordpress.com/islam-global-politics

Page 89: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

80

agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam

tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis

moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep

demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang

ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang

berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi

sebagai berikut:

a. Tauhid sebagai landasan asasi.

b. Kepatuhan pada hukum.

c. Toleransi sesama warga.

d. Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.

e. Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.Muhammad Imarah

Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan

juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan

legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di

tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut

merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum

tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan

hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk

sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.

Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara

manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan)

hukum-Nya. Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang

batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan

alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki

kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam,

Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman

Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha

Suci Allah, Tuhan semesta alam. (al-A’râf: 54).

Page 90: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

81

Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan

Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas

persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum,

dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.

3. Yusuf al-Qardhawi

Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa

dilihat dari beberapa hal. Misalnya:

a. Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk

mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus

keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu

yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak

seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di

belakangnya.

b. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan

dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta

memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.

c. Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu,

barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat

yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh

kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi

perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.

d. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak

bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang

tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat

khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk

menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang

tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan

tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar

mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan

pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara

Page 91: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

82

mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan

nash syariat secara tegas.

e. Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta

otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang

sejalan dengan Islam.

4. Salim Ali al-Bahnasawi

Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak

bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan

dengan Islam.

Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak

bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan

hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan

yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan

adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:

a. menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.

b. Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas

lainnya.

c. Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak

ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).

d. Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga

hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.

PENUTUP

Kesimpulan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep

demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan

Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah

keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan

pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.

Page 92: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

83

Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan

secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang

keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem

demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu di antaranya:

1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.

2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya

3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.

4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi

pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika

mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum

yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-

bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat

minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup

mengambil pajaknya.

5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada

persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.

6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-

nilai agama.

7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Saiful, et.al, 2006, Demokrasi, Sejarah, Praktik dan Dinamika Pemikiran, Program SekolahDemokrasi dan Averroes Press, Malang.

Anshori, Abdul Ghofur. 2002. Hukum kewarisan Islam di Indonesia : eksistensi dan adaptabilitas.Yogyakarta : Ekonisi

Chester I. Barnard dalam “The Function of Executive”Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, PT. Syaamil Cipta Media, Bandung.Dahl, Robert, 2001. Democracy and its Critics. New Haven: Yale University Press.Dunn, John, ed., 1992. Democracy. The Unfinished Journey. Oxford: Oxford University PressFahulullah, Mahdi, Dr., 1991. Titik Temu Agama dan Politik: Analisa Pemikiran Sayyid Qutub,

CV. Ramadhani, Solo.Furqon, 1982, penelitian pustaka (library research)Ensiklopedia wikipediaK.H. M. Ihya’ Ulumuddin, 2009, Inaarud Dujaa fi MaghazikKhaiil waraa 1/91, Majalah Al

Mu’tashim, Tahun XII, Shafar 1430 H, Pebruari 2009 M, Persyarikatan Dakwah AlHaromain, Surabaya.

Kuntowijoyo, 1997. Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung.Mahmud Fuad Abdul Baqi’, 1987, Mazmu Faruz Li-afadhil Qur-anil Karim, Darul Fikr, Beirut

yang terdapat dalam Aidul Fitriciada Azhari.

Page 93: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

84

M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah Volume 12: Pesan dan Kesan Serta Keserasian Al Qur’an,Lentera Hati, Jakarta

Nurcholish Madjid, 2000, Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru IslamIndonesia, lihat dalam Aidul Fitriciada Azhari, Sistem Pengambilan Keputusan DemokrasiMenurut Konstitusi,Muhammadiyah University Press, Surakarta.

Page 94: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

85

KOMPLEKSITAS KERJASAMA ANTAR DAERAH

M.R. Khairul Muluk

Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah untuk mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan sesuai dengan aspirasi dan pilihan masyarakat

setempat. Penyelenggaraan otonomi ini perlu juga mempertimbangkan keragaman

potensi antar daerah. Terdapat daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam

yang besar dan didukung oleh kemampuan atau kualitas masyarakatnya dalam

memanfaatkan potensi tersebut. Sebaliknya, terdapat pula daerah yang memiliki

potensi sumberdaya alam yang kurang, bahkan rawan bencana, sekaligus tidak

didukung oleh kualitas sumberdaya masyarakat yang memadai untuk menghadapi

tantangan tersebut. Kondisi yang demikian berakibat pada munculnya masalah

kemiskinan, baik menyangkut kemiskinan kultural, kemiskinan natural maupun

kemiskinan struktural.

Menghadapi keragaman potensi daerah dalam mencapai tujuan bernegara

dan berbangsa diperlukan peran pemerintah daerah untuk menekan disparitas

antar daerah sekaligus meningkatkan sinergi dalam meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Upaya menekan disparitas dapat dilakukan melalui berbagai cara.

Pertama, meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan

dan pembangunan di berbagai bidang oleh pemerintah kabupaten/kota. Upaya ini

diantaranya: penyediaan infrastruktur, pembangunan ekonomi melalui

peningkatan peran usaha kecil dan menengah, pembangunan sosial dan

ketenagakerjaan. Kedua, peningkatan peran Pemerintah Pusat atau Provinsi

melalui intervensi kebijakan dalam rangka mengurangi tingkat disparitas. Di Jawa

Timur, upaya ini diantaranya dilakukan melalui kebijakan pro-poor, penciptaan

kesempatan kerja di sektor pertanian, kebijakan pendidikan dan kesehatan untuk

masyarakat miskin, pembangunan infrastruktur jalan diwilayah lingkar selatan.

Ketiga, kerjasama antar daerah yang berorientasi pada pengurangan disparitas.

Upaya ini dapat dilakukan melalui kerjasama antar daerah untuk memanfaatkan

setiap potensi yang dimiliki agar dapat memacu perkembangan daerah masing-

masing hingga terjadi pengurangan disparitas.

Page 95: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

86

HUBUNGAN ANTARPEMERINTAHAN

Kebutuhan akan pelayanan publik dan pembangunan yang lebih efektif

serta partisipatoris menyebabkan pentingnya Hubungan antar Pemerintahan

(intergovernmental relations) yang efektif sekaligus efisien. Hubungan antar

pemerintahan juga merupakan konsekuensi logis dari adanya federalisme bagi

negara federal dan desentralisasi bagi negara kesatuan. Di negara federal,

hubungan antar pemerintahan terjadi pada hubungan antara Pemerintah Federal

dengan Negara Bagian (federal and state relations), hubungan antar Negara

Bagian (interstate relations), dan hubungan antar daerah otonom (relationship

among local government) (Rosenbloom, 1989).

Sementara itu, untuk negara kesatuan Smith (1985) memberikan batasan

yang menarik tentang hubungan antar pemerintahan, yakni: the relationships

between levels of government. Mengacu pada ruang lingkup tersebut maka

hubungan antar pemerintahan pada dasarnya merupakan hubungan antar susunan

atau jenjang pemerintahan, yakni hubungan antara pemerintah pusat dengan

pemerintah provinsi, antara pemerintah pusat dengan pemerintah kabupaten/kota,

antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota dan antar

pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah kabupaten/kota.

Tentang batasan hubungan antar pemerintahan ini, Henry (2004) telah

memberikan ruang lingkup menarik seperti hubungan antara Pemerintah Federal

dengan Negara Bagian, hubungan antar Negara Bagian yang menghasilkan dua

kajian khusus yakni interstate cooperation dan interstate conflict. Penekanan

khusus diberikan Henry pada hubungan antara Negara Bagian dengan daerah

otonom, dan kerjasama antar daerah otonom (interlocal cooperation). Penekanan

pada kerjasama antar daerah juga diberikan oleh Cooper, dkk (1998) yang

memasukkan local government cooperation sebagai bagian penting dalam

hubungan antar pemerintahan.

Penyelidikan tentang hubungan antar pemerintahan telah mengklasifikasi

hubungan tersebut dalam tiga penafsiran (Smith, 1985), yakni: pendekatan hukum

dan administrasi, politik masyarakat, dan politik antar-organisasi. Tiga pendekatan

Page 96: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

87

ini umumnya digunakan oleh para ahli ilmu sosial, politik, dan administrasi untuk

melakukan analisis terhadap fenomena hubungan antar pemerintahan.

Pendekatan pertama, pendekatan hukum dan administrasi (law and

administration approach) lebih menekankan pendekatan yang bersifat top-down

dengan melihat praktek hubungan antar pemerintahan dari kacamata pemerintah

pusat. Pendekatan ini lebih memandang bagaimana hubungan antar pemerintahan

memberi manfaat besar bagi kepentingan nasional sehingga perlu dikembangkan

instrumen untuk memadukan beragam kepentingan daerah dengan kepentingan

nasional. Instrumen utama dalam pendekatan ini adalah kontrol dan pengaruh

(influence) pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Kontrol merupakan

instrumen yang lebih keras sementara pengaruh memiliki sifat yang lebih lembut

dan halus.

Pada dasarnya baik kontrol dan pengaruh tetap merupakan instrumen

penting bagi pemerintah pusat untuk mengendalikan daerah baik dalam

kepentingan pemberian standar pelayanan yang merata secara nasional, atau

upaya pengurangan disparitas kesejahteraan antar daerah, maupun penciptaan

stabilitas nasional. Kontrol merupakan pengendalian langsung pemerintah pusat

kepada daerah otonom yang bisa berlangsung dalam dua bentuk, yakni: kendali

administrasi dan kendali legislasi atau yudisial. Sementara itu, pengaruh

merupakan pengendalian yang bersifat tak langsung namun memiliki efek

membangun ketaatan daerah otonom pada pemerintah pusat. Pengaruh dapat

berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu: komunikasi dan konsultasi antara daerah

dan pusat, dan pemberian bantuan keuangan yang bersifat spesifik (specific

grant), serta pengawasan pemerintah pusat kepada daerah. Pengawasan ini tentu

melibatkan kualitas pelayanan publik, pembangunan, dan pemerintahan umum di

daerah.

Pendekatan kedua yakni pendekatan politik masyarakat (community

politics approach) merupakan sebuah pendekatan analisis yang bersifat bottom-up

karena melihat praktek dan fenomena hubungan antar pemerintahan lebih pada

penekanan perjuangan kepentingan masyarakat setempat ketika berhadapan

dengan kepentingan pemerintah pusat. Politik masyarakat cenderung lebih

Page 97: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

88

memperjuangkan otonomi masyarakat setempat (local autonomy) yang

diwujudkan dalam aspirasi dan pilihan masyarakat (local voice dan local choice).

Dalam pendekatan ini, desentralisasi dipandang sebagai instrumen yang

seharusnya mampu menampung pemerintahan daerah yang benar-benar bekerja

untuk kepentingan masyarakat setempat baik dalam pembuatan kebijakan maupun

dalam pelaksanaan daripada kebijakan tersebut. Desentralisasi dilihat sebagai cara

untuk memberikan otonomi yang lebih besar kepada masyarakat sehingga

pendekatan ini juga mewaspadai beragam bentuk penetrasi dan intervensi

pemerintah pusat kepada daerah. Intervensi pemerintah pusat dipandang sebagai

situasi yang dapat mengancam atau paling tidak mengurangi kadar otonomi

daerah.

Pendekatan politik masyarakat ini memandang bahwa aspirasi dan pilihan

masyarakat setempat dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat yang berbeda satu

sama lain sehingga antar daerah memiliki kepentingan yang berbeda satu sama

lain. Keberpihakan pada karakteristik setempat ini menunjukkan kadar otonomi

yang dimiliki daerah sehingga seringkali pula perhatian besar diberikan pada

karakteristik masyarakat. Adapun karakteristik tersebut mencakup: sumberdaya

alam, sosial, dan ekonomi sebuah daerah otonom, perbedaan kultural dengan

daerah lainnya, dan struktur politik di dalam masyarakat daerah otonom tersebut.

Tiga karakteristik ini yang harus diperjuangkan menjadi aspirasi dan pilihan

masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik (fungsi mengatur) dan

pelaksanaannya (fungsi mengurus). Adapun keluaran dari pendekatan ini adalah

pemerintahan berbasis lokal yang kuat yang tercermin dari adanya nilai-nilai lokal

yang dominan dalam penyelenggaraan otonomi daerah, derajat kekuasaan yang

terkonsentrasi di daerah, kadar integrasi masyarakat, serta struktur formal

pemerintahan daerah.

Pendekatan ketiga, yaitu: pendekatan politik antar organisasi (inter-

organizational politics) yang menempatkan posisi pemerintah pusat dan daerah

lebih setara dan dipadankan sebagai hubungan antar organisasi yang saling

membutuhkan satu sama lain dan bekerja sama guna mencapai tujuan masing-

masing. Kata kunci dalam pendekatan ini adalah jaringan (network) karena

Page 98: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

89

mengandaikan hubungan organisasional antara pemerintah pusat dengan daerah

otonom seperti tipe jaringan dalam teori struktur organisasi. Sebagai jaringan

maka metafora hierarki diabaikan dalam pendekatan ini dan menggantikannya

seperti organisasi yang setara satu sama lain. Beberapa pandangan yang mendasari

pendekatan ini antara lain sebagai berikut. Pertama, pemerintah pusat tidak selalu

berkehendak atau bahkan mampu menggunakan kekuasaannya untuk

mendominasi daerah otonom. Kedua, daerah otonom memiliki sumber daya yang

cukup untuk menahan tekanan pemerintah pusat. Ketiga, daerah otonom memiliki

kehendak yang beragam untuk menggunakan sumber daya politik, keuangan,

hukum, dan administrasi untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat.

Keempat, terdapat asumsi bahwa posisi pusat dan daerah dijalankan oleh aktor-

aktor yang berlawanan namun saling tergantung satu sama lain dalam mencapai

tujuan masing-masing. Untuk itu senantiasa ada ruang yang terbuka lebar untuk

negosiasi, tawar-menawar, dan inisiasi program kerjasama.

Dalam pendekatan politik antar organisasi ini, istilah ‘interaksi’ dipandang

lebih baik untuk menggambarkan hubungan pusat dan daerah. Kata interaksi

dipandang lebih baik daripada istilah pengendalian pusat kepada daerah atau

perlawanan daerah terhadap pusat. Kata interaksi pusat dan daerah dianggap jauh

egaliter dibandingkan dua pendekatan terdahulu. Interaksi dan interdependensi

antara berbagai jenjang pemerintahan amat dipengaruhi oleh banyak faktor politik

dan organisasional, yaitu: konsistensi kebijakan pemerintah pusat, pengaruh

daerah otonom terhadap proyek dan prioritas pemerintah pusat, perangkat

teknologi, dan jarak fisik antar jenjang pemerintahan.

KERJASAMA ANTARDAERAH

Selanjutnya, perkembangan perekonomian, politik, dan teknologi telah

menyebabkan hubungan antar daerah menjadi lebih banyak dan pelik. Banyak

kegiatan yang kini memiliki dampak melampaui batas-batas daerah baik yang

bersifat positif maupun negatif (positive and negative externalities). Lokasi rumah

sakit, lembaga pendidikan, pergerakan kepemilikan kendaraan bermotor, investasi

aktivitas ekonomi dan lain-lain kini seringkali melampaui batas-batas daerah

otonomi. Dinamika aktivitas masyarakat menyebabkan tak satupun daerah kini

Page 99: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

90

benar-benar dapat mempertahankan beragam aktivitas selalu berada dalam batas

wilayahnya.

Rosenbloom (1989) memandang hubungan antar daerah otonom dalam

tiga perspektif. Dari sisi manajerial, aktivitas regional dalam beberapa daerah

otonom akan sangat mahal apabila diselenggarakan oleh masing-masing daerah

otonom. Skala ekonomi regional membutuhkan penyelenggaraan secara regional

pula sehingga efisiensi dan efektivitas pemerintahan dapat direalisir. Oleh karena

itu, untuk menghadapi pemenuhan kebutuhan pada skala regional dibutuhkan

konsolidasi daerah otonom jika daerah tersebut sama besar dan kuatnya, atau

dengan melakukan aneksasi daerah yang lebih kecil oleh daerah yang lebih besar,

atau penguatan kerjasama antar daerah.

Dari perspektif politik, Rosenbloom (1989) mengungkapkan pandangan

yang agak bertentangan dengan apa yang diungkap penting dalam sisi ekonomi.

Semakin kecil daerah otonom-nya maka kemampuan sistem politik lokal untuk

memperkuat daya tanggap dan keterwakilan akan menjadi lebih baik. Daerah

otonom pada dasarnya merupakan perwujudan dari demokrasi aras lokal.

Sehingga penguatan pelayanan publik dan pembangunan pada level daerah

otonom akan menekankan arti penting pemerintahan yang berbasis pada aspirasi

dan pilihan masyarakat. Dari sisi ini sebenarnya hubungan antar daerah dianggap

agak kurang menguntungkan bagi kemandirian masyarakat dalam

menyelenggarakan pemerintahan daerahnya. Untuk menyeimbangkan tuntutan

pemenuhan kebutuhan dan pelayanan publik yang bersifat lintas daerah otonom,

sekaligus menyeimbangkan kepentingan dari sisi ekonomi dan politik di atas

maka Rosenbloom(1989) menyampaikan gagasan tentang pentingnya

pembentukan Dewan Regional (regional council). Dewan ini bertugas untuk

mengkoordinasikan kebijakan dan aktivitas administrasi dari berbagai

pemerintahan daerah dalam wilayahnya sehingga memperkuat koordinasi antar

daerah otonom. Beberapa urusan yang dianggap penting untuk dikelola oleh

dewan regional ini antara lain: perencanaan wilayah, keamanan, kualitas

pelayanan air bersih, perumahan, dan pembangunan ekonomi.

Page 100: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

91

Sifat hubungan antar daerah (interlocal relations) dapat diidentifikasi tidak

sebagai suatu nilai tunggal (single value) namun justeru banyak nilai (multi-

value). Rosenbloom (1989) menegaskan bahwa kebutuhan akan kemandirian

daerah dan kebutuhan akan pelayanan yang lebih baik justeru akan mengarahkan

hubungan antar daerah sebagai bersifat kompetitif. Masing-masing daerah

bersaing untuk memperoleh insentif ekonomi yang diperoleh dari institusi

pemerintahan suprastruktur sekaligus berlomba-lomba pula untuk menghindari

disinsentif yang diberikan olehnya. Pada sisi lain, masing-masing daerah juga

bersaing agar mampu menyediakan layanan publik yang lebih baik dibanding

daerah lainnya guna meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan

publik yang disediakan.

Dengan menggabung pendapat Nicholas Henry dan David Rosenbloom

tentang sifat hubungan antar daerah (interlocal relations) maka diperoleh adanya

tiga kategori yakni kompetisi (Rosenbloom, 1989), kerjasama dan konflik antar

daerah (Henry, 2004). Tampaknya masing-masing kategori tersebut membutuhkan

kajian lebih lanjut untuk pengembangan teoritisnya yang disebabkan oleh masih

langkanya perhatian pada hubungan antar daerah ini. Kajian tersebut penting

untuk mengungkap latar belakang, bentuk, dan konsekuensi serta dampak dari

setiap kategori hubungan antar daerah.

Cooper, dkk. (1998) menyatakan bahwa kerjasama antar daerah otonom

senantiasa berdasar pada kesepakatan kerjasama (cooperative agreements) antar

pemerintah daerah. Karakteristik dari kesepakatan kerjasama tersebut adalah:

Kesepakatan tersebut umumnya merupakan kesepakatan antara dua pemerintahan

berkaitan dengan aktivitas tunggal tertentu; Kesepakatan tersebut cenderung pada

pemberian pelayanan publik daripada penguasaan fasilitas tertentu; Kesepakatan

tersebut tidak bersifat permanen dan mengandung adanya peluang untuk negosiasi

ulang dan bahkan penghentian kerjasama oleh masing-masing pihak; Kesepakatan

tersebut mengandung klausul pemberlakuan jika memenuhi persyaratan tertentu

yang telah dikemukakan sejak awal; Kesepakatan tersebut diperbolehkan oleh

peraturan perundangan yang lebih tinggi yang memberikan kewenangan untuk

Page 101: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

92

melakukan kerjasama antar daerah dalam wilayah tertentu; Kerjasama antar

daerah juga bisa berbentuk kerjasama regional dengan atau tanpa institusi baru.

Kerjasama regional bisa dilakukan pada perihal yang sulit dikerjakan oleh

satu daerah otonom tertentu dan harus dikerjakan dalam bentuk kerjasama.

Cooper (1998) menunjukkan manfaat yang bisa dipetik dari kerjasama regional:

konsistensi kebijakan atau peraturan daerah beserta penerapannya yang

menjangkau batas-batas politik daerah; Manajemen sumberdaya yang efisien;

Pembagian tanggung jawab; Gabungan kekuatan politik multi pihak; Kemampuan

gabungan dalam meraih dukungan publik untuk mendukung program-program

regional.

Kerjasama antar daerah dijalankan melalui kesepakatan pelayanan antar

daerah (interlocal service arrangements). Kesepakatan tersebut merupakan

kesepakatan suatu pemerintah daerah dengan pemerintah daerah lainnya untuk

memberikan pelayanan publik kepada warganya. Motivasi utama dari pemerintah

daerah untuk mengadakan kerjasama antar daerah dalam pelayanan publik adalah

adanya pertimbangan skala ekonomi pelayanan. Diyakini bahwa pelayanan publik

tertentu lebih efektif dan efisien jika dijalankan oleh batas yurisdiksi dan wilayah

yang lebih luas (Henry, 2004). Selanjutnya Henry juga menggambarkan baha

terdapat tiga bentuk kesepakatan kerjasama antar daerah, yakni:

Intergovernmental service agreements, Joint service agreements,

Intergovernmental service transfer.

Intergovernmental service agreements merupakan kesepakatan yang

menjamin pelayanan publik dapat dinikmati oleh masyarakat tidak hanya dari

pemerintah daerahnya sendiri namun juga dari pemerintah daerah lainnya

terutama yang berdekatan batas wilayahnya. Konsekuensinya adalah pemerintah

daerah tempat penduduk tadi tinggal (pemda asal) harus membayar kepada

pemerintah daerah lainnya (pemda pelayan) sebagai pengganti biaya dari

pelayanan publik yang diberikan. Dengan demikian, pemda asal tidak harus

membentuk institusi pelayanan sendiri bagi seluruh penduduknya terutama bagi

penduduk yang tinggal di daerah yang berbatasan dengan daerah otonom lain.

Efisiensi pemerintahan tetap dapat dicapai dan pada saat yang sama pelayanan

Page 102: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

93

publik tetap dapat diberikan dengan baik. Bagi pemda pelayan, adanya tambahan

penduduk dari daerah lain yang harus dilayaninya berarti bertambahnya konsumen

dan meningkatkan skala ekonominya sehingga ada pemasukan tambahan untuk

menutup overhead cost yang menjadi bebannya.

Joint service agreements merupakan kesepakatan yang berlangsung antara

dua atau lebih pemerintah daerah otonom untuk menjalankan pelayanan publik

tertentu. Kesepakatan ini berbentuk penggabungan aktivitas pelayanan mulai dari

perencanaannya, pembiayaannya, dan penyelenggaraan layanannya sampai pada

pengawasannya. Dengan demikian biaya dan sumber daya pelayanan publik

tertentu diperoleh dari kekuatan gabungan pemerintah daerah yang bersepakat

tersebut. Umumnya bentuk kesepakatan ini dijalankan bagi pelayanan publik yang

membutuhkan biaya dan sumberdaya besar yang tidak dapat dipenuhi oleh hanya

satu daerah otonom saja dan sekaligus pengguna layanannya berasal dari

penduduk yang tinggal di berbagai daerah. Dengan demikian, efisiensi dan

efektivitas pelayanan publik akan diterima secara optimal oleh berbagai daerah

tersebut.

Intergovernmental service transfer terdiri dari tiga bentuk kesepakatan

penyerahan kewenangan dalam pelayanan publik tertentu. Pertama berupa

kesepakatan penyerahan pelayanan publik secara tetap kepada daerah otonom

lainnya yang berdekatan. Kedua penyerahan pelayanan publik secara permanen

kepada daerah otonom lainnya yang berbeda level. Bentuk kedua ini bisa berupa

penyerahan pelayanan publik yang tidak mampu dilaksanakan semata oleh

kabupaten/kota tertentu kepada pemerintah provinsi atau begitu pula sebaliknya.

Ketiga penyerahan pelayanan publik secara permanen kepada institusi di luar

pemerintah, yakni perusahaan swasta atau organisasi nirlaba atau sosial. Jenis

kesepakatan ini membawa resiko lebih serius dibandingkan dua jenis kesepakatan

sebelumnya karena dijalankan dengan mengorbankan kewenangan yang dimiliki

suatu daerah otonom. Ini berarti berkurang pula kekuasaan daerah otonom

tersebut.

BELAJAR DARI PENGALAMAN TIGA DAERAH

Page 103: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

94

Kendati terdapat beragam potensi, salah satu permasalahan yang dihadapi

Provinsi Jawa Timur adalah adanya disparitas antar wilayah. Terdapat 38

kabupaten/kota di Jawa Timur yang masing-masing wilayah tidak memiliki

potensi sama. Sebagai gambaran, di wilayah Jawa Timur bagian barat terdapat

Kabupaten Magetan dan Kabupaten Ponorogo memiliki lahan pertanian yang

relatif subur kendati tidak merata di seluruh wilayah. Kabupaten Ngawi, kendati

secara umum memiliki lahan yang relatif subur tetapi terdapat sebagian wilayah

yang merupakan lahan kering yang dihuni oleh penduduk miskin. Kabupaten

Pacitan, memiliki potensi sumberdaya alam dan hutan tetapi secara geografis

merupakan daerah yang sulit dijangkau dibanding daerah lainnya. Kabupaten Madiun

memiliki wilayah yang luas, tetapi potensi alamnya belum dikelola secara optimal.

Demikian pula Kota Madiun, memiliki potensi perdagangan dan jasa yang jauh lebih

tinggi dibanding daerah lainnya tetapi daerah ini belum menjadi daya dukung yang kuat

untuk memajukan daerah-daerah lain di sekitarnya.

Sebagai pusat pengembangan Jawa Timur wilayah barat, posisi Kota

Madiun menjadi sangat strategis dan memiliki potensi bekerjasama dengan daerah

lainnya dalam wilayah pembangunan tersebut. Sebenarnya Pusat Pengembangan

Jawa Timur Wilayah barat mencakup juga wilayah Kabupaten Madiun, Ngawi,

Pacitan, ponorogo dan Magetan. Dengan luas wilayah sebesar 33 km2 yang terdiri

dari 3 (tiga) kecamatan, 27 kelurahan dan jumlah penduduk sebesar kurang lebih

203 ribu penduduk, PDRB Kota Madiun didukung dari sektor perdagangan dan

industri (GADIS) sebagai salah satu sektor yang menonjol di daerah tersebut.

Pertumbuhan yang masih rendah dialami sektor pertanian dan sebesar 0,04%.

Pergeseran sektor pertanian ke industri pengolahan dan perdagangan jasa sangat

nampak akibat meningkatnya konversi lahan pertanian menjadi lahan non

pertanian sebagai akibat dari perkembangan kota.

Kajian yang dilakukan oleh Soeadi, dkk (2011) menunjukkan hasil yang

mencengangkan tentang hubungan antar daerah karena sulit menyebut terjadinya

kerjasama antar daerah dalam pembangunan daerah yang terkoordinasi. Kerjasama di

tiga daerah yang diteliti (Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Kabupaten Ngawi)

disimpulkan belum terjadi. Meskipun demikian, perkembangan perekonomian,

Page 104: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

95

politik, dan teknologi menyebabkan hubungan antar daerah menjadi lebih banyak

dan pelik. Banyak kegiatan yang kini memiliki dampak melampaui batas-batas

daerah baik yang bersifat positif maupun negatif (positive and negative

externalities). Pelayanan rumah sakit dan lembaga pendidikan, pergerakan

kepemilikan kendaraan bermotor, investasi aktivitas ekonomi dan lain-lain kini

seringkali melampaui batas-batas daerah otonomi. Dinamika aktivitas masyarakat

menyebabkan tak satupun daerah kini benar-benar dapat mempertahankan

beragam aktivitas selalu berada dalam batas wilayahnya.

Fenomena lain yang terjadi adalah adanya “egoregional”. Hal ini nampak

pada konteks kerjasama antar daerah yang tidak tertulis secara legal formal.

Selama ini kerjasama antar daerah tersebut adalah bersifat informal. Komunikasi

antar pimpinan lembaga Satuan Kerja Perangkat Daerah antar daerah sudah sering

dilakukan, dan sebatas mengungkapkan pemikiran-pemikiran tentang pentingnya

kerjasama antar daerah dalam bidang-bidang tertentu seperti jalan, pariwisata, dan

pendidikan. Namun pada prakteknya kerjasama resmi tidak terjadi dan bahkan

konflik muncul karena eksternalitas dari jenis layanan tertentu yang tidak

ditanggung oleh daerah yang diuntungkan. Masing-masing daerah masih berjalan

sendiri-sendiri dan hanya berkutat dengan kepentingannya sendiri tanpa

memandang kebutuhan daerah lainnya.

Meski belum ada kerjasama dan terjadi egoregional, ternyata ada potensi

kerjasama antar tiga daerah yang dikaji. Yang dibutuhkan oleh Kota Madiun

adalah perencanaan tata ruang wilayah yang menyebabkan sinergi pembangunan

wilayah Jawa Timur bagian barat. Kabupaten Madiun membutuhkan kerjasama

yang baik dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan sehingga membantu

aksesibilitas pemenuhan kebutuhan kualitas dua layanan tersebut bagi warganya.

Sementara itu, Kabupaten Ngawi tidak terlalu merasa membutuhkan kerjasama

dengan Kabupaten Madiun dan Kota Madiun sebagai daerah yang paling dekat

berbatasan dalam Provinsi yang sama. Aktivitas ekonomi justeru menempatkan

beberapa Kabupaten di Provinsi tetangga, yakni Jawa Tengah, sebagai daerah

yang lebih dibutuhkan untuk pengembangannya.

Page 105: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

96

Situasi yang terjadi pada Kabupaten Ngawi justeru menarik untuk

ditindaklanjuti. Jika ketergantungan ekonomi Kabupaten Ngawi jauh lebih besar

kepada daerah yang berada di Provinsi Lain dibandingkan kepada daerah

tetangganya yang berada dalam Provinsinya sendiri maka hal ini menunjukkan

beberapa pertanda. Pertama telah terjadi pertanda situasi discatchment area dalam

Provinsi Jawa Timur karena Kabupaten Ngawi merupakan remote area dari pusat

pemerintahan dan ekonomi Provinsi Jawa Timur. Kedua berarti ada pertanda

bahwa Kabupaten Ngawi bukan kesatuan ekonomi dari Wilayah Pengembangan

Kawasan Barat Jawa Timur atau Kabupaten Ngawi termasuk yang termarjinalkan

dalam pengembangan wilayah yang mungkin saja terlalu terpusat pada Kabupaten

dan Kota Madiun. Ketiga berarti daya tarik ekonomi daerah-daerah di wilayah

perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur jauh lebih baik dibandingkan dengan

daerah-daerah di wilayah Provinsi Jawa Timur yang terdekat dengan Kabupaten

Ngawi.

KESIMPULAN

Penyelenggaraan otonomi daerah yang efektif dan efisien membutuhkan

ketersediaan sumber daya yang cukup baik yang berasal dari internal maupun

eksternal daerah otonom. Dalam banyak hal penyelenggaraan urusan daerah juga

akan bersinggungan dengan urusan, sumber daya, dan masyarakat daerah lain

yang tidak bisa dihindari karena faktor mobilitas orang dan barang, perkembangan

teknologi komunikasi dan informasi, dan eksternalitas aneka hal. Oleh karena itu,

kerjasama antar daerah sebagai bagian dari hubungan antar pemerintahan

diperlukan untuk menjamin ketersediaan layanan publik yang memadai. Namun

demikian, meski kerjasama antar daerah dipandang penting oleh banyak pihak

ternyata tidak semua daerah menjalankan kerjasama antar daerah dengan tingkat

kesungguhan yang memadai. Persoalan egoregional merupakan penghalang besar

bagi terjadinya kerjasama antar daerah meskipun terdapat potensi besar dan

kebutuhan akan terjadinya kerjasama antar daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Cooper, P.J., et. al. 1998. Public Administration for the Twenty-First Century. Orlando: HarcourtBrace & Company.

Page 106: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

97

Henry, N. 2004. Public Administration and Public Affairs. 9th edition. New Jersey: PearsonEducation, Inc.

Rosenbloom, D.H. 1989. Public Administration: Understanding Management, Politics, and Lawin the Public Sector. 2nd edition. New York: McGraw Hill.

Smith, B.C. 1985. Decentralization: the Territorial Dimension of the State. London: George Allen& Unwin.

Soeaidi, S., dkk. 2011. Pengembangan Kerjasama Antar Daerah: Studi di Kabupaten Madiun, KotaMadiun, dan Kabupaten Ngawi. Balibang Provinsi Jawa Timur bekerja sama denganRCCP Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.

Page 107: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

98

PEMERINTAHAN YANG INOVATIF SEBAGAI KUNCI

KEBERHASILAN PENGELOLAAN SEKTOR PUBLIK

PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH

MELALUI INTEGRASI SEKTOR INDUSTRI KREATIF

(CREATIVE INDUSTRY) DENGAN SISTEM INOVASI DAERAH

(SIDA)

Hermawan

ABSTRAK: Dalam penyelenggaraan pembangunan ekonomi daerah makaproses inovasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian kesejahteraan daerah.Salah satu sektor ekonomi yang selama ini belum banyak dibidik untukmendongkrak perekonomian masyarakat lokal adalah sektor industri kreatif.Padahal sektor ini sudah menjadi perhatian pemerintah pusat sejak dikeluarkannyaCetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia pada tahun 2008.Pemerintah kemudian semakin menunjukkan perhatiannya terhadap ekonomikreatif dengan mencanangkan Tahun Indonesia Kreatif di tahun 2009. Pada tahun2009 Presiden mengeluarkan Inpres No. 6 Tahun 2009 untuk mendorong semuainstansi pemerintah terkait meningkatkan komitmennya dalam pengembanganekonomi kreatif. Salah satu langkah inovatif adalah penggabungan denganprogram yang sudah ada seperti sSistem Inovasi Daerah dengan programpengembangan Industri Kreatif

Kata Kunci: Industri Kreatif, Sistem Inovasi daerah

PENDAHULUAN

Pendekatan ‘hybrid’ dalam penyelenggaraan pembangunan daerah dewasa

ini merupakan bagian inovatif dalam pencarian model terbaik pembangunan di

daerah. Dalam kontek perencanaan pembangunan, berbagai bentuk pendekatan

inovatif dimungkinkan setelah banyaknya kritik terbuka terutama dari ekonom

akan kecenderungan ‘failure of planning’ dalam kegiatan perencanaan

pembangunan. Menurut Choudhury & Kirkpatrik (2007:2), “Models can more

Page 108: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

99

easily be designed to match the constraints and policy objective.. rather than

using a standart framework “. Dalam dunia perencanaan, berbagai tawaran model

pendekatan baru bisa memberikan cara alternatif yg lebih fleksibel di luar

kerangka pendekatan standar yang ada. Untuk mendukung peningkatan ekonomi

di daerah, upaya memadukan unsur praktis berupa program pengembangan

industri kreatif (ekonomi kreatif) dengan Sistem Inovasi Daerah dapat secara

luwes ditarik menjadi suatu kegiatan menyeluruh dalam kesatuan proses dan

sistem perencanaan.

Dalam kontek pembangunan ekonomi lokal, perencanaan pembangunan

yang baik berarti perencanaan yang bisa mengoptimalkan penggunaan setiap

potensi dan kreatifitas di daerah. Wheeler (2004:133) mengistilahkan

perencanaan yang best approached at a regional scale. Hal ini berkaitan dengan

kemampuan daerah pengalokasian berbagai sumber daya serta peningkatan peran

masyarakat guna mencapai level kesejahteraan tertinggi sekaligus mengurangi

ketimpangan pembangunan antar daerah. Pada dekade terakhir ini, pemanfaatan

sektor ekonomi alternatif berupa kebijakan pengembangan ekonomi kreatif

(industri kreatif) sudah mulai dikenal dan diperhitungkan.

Dalam hal konteks ekonomi kreatif, setiap daerah sebenarnya telah

memiliki potensi dan resource-nya masing-masing. Misalnya, Propinsi Jawa

Timur ternyata mempunyai potensi yang tinggi dalam industri kreatif. Diantara

indikator potensi pendukung ekonomi kreatif Jawa Timur adalah: Konstribusi

industri kreatif mendekati 7,9 % dari PDRB Jatim. Kinerja perekonomian Jawa

Timur yang berada dalam posisi kedua setelah Jakarta (15,1 %) di level nasional,

lebih dari 51 % ekonomi Jatim ditopang oleh sektor industri dan perdagangan.

Disamping itu, adanya Komitmen yang tinggi dari masing-masing Pemda

kabupaten/kota di Jawa Timur; potensi jumlah penduduk Jatim cukup tinggi

dengan ragam budaya yang telah berkembang; perangkat pendukung kualitas

SDM berupa pendidikan tinggi, pendidikan vokasi bidang teknologi, pendidikan

bisnis, desain dan pendidikan lainnya tersedia cukup banyak menjadi poin

potensial bagi berkembangnya ekonomi kreatif Jawa Timur. Target peran

ekonomi kreatif Jawa Timur jika mengacu pada blue print ekonomi kreatif

Page 109: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

100

nasional, maka pada RJPJ tahun 2016 - 2025 kreatif propinsi Jawa Timur harus

dapat memberi konstribusi diatas 10 % dari PDRB atau 12 % dari total ekspor.

Ada optimisme melebihi target dibalik capaian ekonomi daerah dan propinsi

Jatim terkini. Namun demikian, dibalik potensi berkembangnya ekonomi kreatif

yang cukup tinggi di Jawa Timur tersebut tetap harus didukung oleh kebijakan

pemerintah daerah yang kondusif bagi berkembangnya ekonomi kreatif Jawa

Timur. Masih ada beberapa permasalahan yang harus diantisipasi, diantaranya

adalah:

1. Masih belum terstrukturnya pembinaan Sumber Daya Insani (SDI) sebagai

aset pokok dalam pengembangan ekonomi kreatif

2. Status dan kegiatan industri kreatif hingga sekarang masih relatif baru dan

belum begitu dikenal oleh masyarakat sehingga belum diakui sebagai

penggerak roda ekonomi dan pembangunan yang signifikan.

3. Belum jelas dan efektifnya perencanaan pembangunan daerah untuk

pengembangan ekonomi kreatif yang dapat menopang pertumbuhan

ekonomi Jawa Timur.

Oleh karena itu, guna mendukung berkembangnya ekonomi kreatif yang

tangguh perlu dibuat arah perencanaan yang inovatif searah optimalisasi

pengelolaan sumberdaya dan potensi ekonomi lokal.

KONSEP PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL

Pembangunan ekonomi lokal pada dasarnya sarat dengan kreatifitas dan

inovasi. Sebagaimana Edward J. Blakey (1994) berpendapat bahwa “…..The

central feature of locally based economic development is in the emphasis on

endogenous development using the potential of local human and physical

resources to create new employment opportunities and to stimulate new locally

based economic activity”. Dinamika pembangunan daerah menyerupai proses

perencanaan yang pada hakekatnya suatu sintesis antara intelegensia dengan

ketersediaan aneka pendukung kemakmuran dan kesejahteraan. Berbagai faktor

pendukung kemakmuran sebagaimana juga diuraikan Blakey antara lain; natural

Page 110: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

101

resouces, labor, capital, investment, entrepreneurship, transport, communication,

industrial composition, technology, size, export market, international economic

situation, local government capacity, national and state government spending and

development support. Dari uraian ini sebenarnya begitu banyak peluang dan

sumber daya yang bisa dieksploitasi untuk memajukan ekonomi lokal, tentunya

tergantung kecerdasan dan kemauan para aktor di daerah.

Masih dalam wacana pembangunan ekonomi lokal, The World Bank

(2001) mendefinisikan “…Local Economic Development (LED) is the process by

which public, business, and non governmental sector partners work collectively to

create better conditions for economic growt and employment generation”. Bisa

dimaknai bahwa kegiatan pembangunan daerah merupakan cerminan dari

penerapan nilai-nilai governance yang terdiri dari berbagai aktor; masyarakat,

bisnis dan sektor non-pemerintah lainnya. Dengan demikian sebagaimana pola

pengembangan ekonomi kreatif, kemampuan menjaga komunikasi diantara semua

lembaga atau stakeholder (pemerintah, dunia usaha dan masyarakat).

Lebih lanjut tujuan dari pembangunan daerah sebagaimana dikemukakan

Bank Dunia adalah untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat yang tinggal di

dalamnya dan untuk menjamin masa depan ekonomi daerah di tengah

meningkatnya persaingan pasar “…to improve the quality of life for all.

Practicing local economic development means working directly to build the

economic strength of all local area to improve its economy future and the quality

of life of its inhabitant. Prioritizing the local economy is crucial if communities

today depend upon them being able to adopt to the fast changing and increasingly

competitive market environment. Aspek improvisasi, adopsi yang tercermin dari

pernyataan ini menunjukkan suatu nilai perlunya pembebasan keterbatasan

(inhibit) pola pikir yang menyumbat inovasi.

Dari sisi masyarakat, pengembangan ekonomi lokal diartikan sebagai

upaya untuk membebaskan masyarakat dari semua keterbatasan yang

menghambat usaha untuk membangun kesejahteraan. Kesejahteraan tersebut

dapat diartikan secara khusus sebagai jaminan keselamatan bagi semua aspek

kehidupannya seperti pekerjaan, pendidikan, kesehatan, hubungan sosial, agama,

Page 111: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

102

harga diri, dan lain-lainnya. Semua jaminan tersebut tidak akan dapat diperoleh

apabila sistem masyarakat kacau, poor quality dan tidak berkelanjutan. Dengan

demikian pembangunan ekonomi lokal merupakan upaya pemberdayaan

masyarakat ekonomi dalam suatu wilayah dengan bertumpukan pada kekuatan

lokal, baik itu kekuatan nilai geografis, sumber daya alam, SDM, teknologi,

capacity of the institution, maupun aset pengalaman (Haeruman, 2000).

Industri Kreatif

Industri kreatif merupakan perkembangan lain dari fenomena ekonomi

kreatif yang ada di suatu masyarakat. Definisi berdasarkan UK DCMS Task force

1998: “Creatives Industries as those industries which have their origin in

individual creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job

creation through the generation and exploitation of intellectual property and

content” Sehingga Industri kreatif dapat didefinisikan sebagai: “Industri yang

berasal dari pemanfaatan kreatifitas, ketrampilan serta bakat individu untuk

menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan

mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut “. Sedangkan

Howkins (dalam Moelyono, 2010:218) mendefinisikan ekonomi kreatif sebagai

kegiatan ekonomi yang menjadikan kreativitas, budaya, warisan budaya dan

lingkungn sebagai tumpuan masa depan.

Industri kreatif bukanlah sebagaimana UKM yang pada umumnya

mengelola produk-produk konvensional yang biasa ada di pasar. Kementerian

Perdagangan RI menganggap bahwa sektor Ekonomi kreatif merupakan era

ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreatifitas dengan

mengandalkan ide dan stock of knowledge dari sumber daya manusianya sebagai

faktor produksi utama dalam suatu kegiatan ekonomi. Perkembangan Ekonomi

kreatif ditopang oleh berlembangnya industri kreatif yang mulai diyakini dapat

memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional secara signifikan.

Sedangkan Deperindag RI, mendefinisikan industri kreatif sebagai industri

yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk

menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan

Page 112: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

103

mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Berangkat dari

kreativitas individual, ketrampilan dan bakat Industri ini berpotensi untuk

menciptakan pekerjaan dan pengkayaan melalui produksi dan eksploitasi

Intelectual Property (Kekayaan hak intelektual). Klaster inidustri ini

dibangkitkan oleh ide – ide yang terletak dipersimpangan antara seni, bisnis dan

teknologi.

Dalam ranah administrasi publik kajian Industri Kreatif mendapatkan

maknanya setelah menjadi salah satu fokus pengembangan ekonomi dari

pemerintah sejak diluncurkannya buku hasil studi pemetaan industri kreatif. Buku

pemetaan industri kreatif ini kemudian diikuti peluncuran Cetak Biru

Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia pada tahun 2008. Pemerintah

kemudian semakin menunjukkan perhatiannya terhadap ekonomi kreatif dengan

mencanangkan Tahun Indonesia Kreatif di tahun 2009. Pada tahun 2009 Presiden

mengeluarkan Inpres No. 6 Tahun 2009 untuk mendorong semua instansi

pemerintah terkait meningkatkan komitmennya dalam pengembangan ekonomi

kreatif, yang menetapkan 14 subsektor industri kreatif Indonesia , yaitu;

1. Periklanan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan produksi iklan,

antara lain: riset pasar, perencanaan komunikasi iklan, iklan luar ruang,

produksi material iklan, promosi, kampanye relasi publik, tampilan iklan di

media cetak dan elektronik.

2. Arsitektur: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan cetak biru bangunan dan

informasi produksi antara lain: arsitektur taman, perencanaan kota,

perencanaan biaya konstruksi, konservasi bangunan warisan, dokumentasi

lelang, dll.

3. Pasar seni dan barang antik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi

dan perdagangan, pekerjaan, produk antik dan hiasan melalui lelang, galeri,

toko, pasar swalayan, dan internet.

4. Kerajinan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan distribusi

produk kerajinan antara lain barang kerajinan yang terbuat dari: batu

berharga, aksesoris, pandai emas, perak, kayu, kaca, porselin, kain, marmer,

kapur, dan besi.

Page 113: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

104

5. Desain: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain grafis, interior,

produk, industri, pengemasan, dan konsultasi identitas perusahaan.

6. Desain Fashion: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian,

desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode

dan aksesorisnya, konsultansi lini produk fesyen, serta distribusi produk

fashion.

7. Video, Film dan Fotografi: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi

produksi Video, film, dan jasa fotografi, serta distribusi rekaman video,film.

Termasuk didalamnya penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron,

dan eksibisi film.

8. Permainan interaktif: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi,

produksi, dan distribusi permainan komputer dan video yang bersifat hiburan,

ketangkasan, dan edukasi.

9. Musik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, distribusi,

dan ritel rekaman suara, hak cipta rekaman, promosi musik, penulis lirik,

pencipta lagu atau musik, pertunjukan musik, penyanyi, dan komposisi

musik.

10. Seni Pertunjukan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha yang

berkaitan dengan pengembangan konten, produksi pertunjukan, pertunjukan

balet, tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musik

teater, opera, termasuk tur musik etnik, desain dan pembuatan busana

pertunjukan, tata panggung, dan tata pencahayaan.

11. Penerbitan & Percetakan : kegiatan kreatif yang terkait dengan dengan

penulisan konten dan penerbitan buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan

konten digital serta kegiatan kantor berita.

12. Layanan Komputer dan piranti lunak: kegiatan kreatif yang terkait dengan

pengembangan teknologi informasi termasuk jasa layanan komputer,

pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem,

desain arsitektur piranti lunak, desain prasarana piranti lunak & piranti keras,

serta desain portal.

13. Televisi & radio: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha kreasi,

produksi dan pengemasan, penyiaran, dan transmisi televisi dan radio.

Page 114: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

105

14. Riset dan Pengembangan: kegiatan kreatif yang terkati dengan usaha inovatif

yang menawarkan penemuan ilmu dan teknologi dan penerapan ilmu dan

pengetahuan tersebut untuk perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses

baru, material baru, alat baru, metode baru, dan teknologi baru yang dapat

memenuhi kebutuhan pasar.

Industri kreatif dapat memberi konstribusi pada beberapa aspek

pembangunan daerah, tidak hanya ditinjau pada aspek ekonomi semata, tetapi

juga dapat memberikan dampak sosial yang positif serta identitas dan ikon atau

citra daerah bahkan negara. Dari hasil studi Deperindag tahun 2007, Industri

kreatif di Indonesia telah terbukti mampu menyerap kurang lebih 5,4 juta tenaga

kerja dan mendukung hampir 9,13 % dari total eksport. Industri semacam ini

dapat dianggap berbahan baku energi terbarukan yang seolah tiada habis selama

sumber daya manusia yang kreatif masih ada.

Ditinjau dari aspek pembangunan ekonomi daerah dapat digambarkan

lebih jelas bahwa kratifitas dapat merangsang terjadinya lingkungan urban di

daerah dengan terciptanya wilayah-wilayah kreatif. Di suatu kawasan tertentu

dapat lahir dampak multiefek di setiap sektor, mulai pembangunan infrastruktur

pendukung hingga kebijakan pemerintah daerah. Kreativitas ketika memproduksi

barang baru yang unik dan berkualitas atau kreativitas dalam memanfaatkan,

mengelola dan mengatur anugrah kekayaan alam yang ada melalui teknik dan

kebijakan kreatif, akan memberi kesan kondusif dan citra positif serta identitas

(ikon) suatu daerah, bangsa atau negara oleh investor. Digambarkan pula bahwa

Industri kreatif sesungguhnya merupakan industri yang bukan termasuk capital

intensive (padat modal), namun dapat digunakan sebagai pemicu reaksi berantai

dampak multi industri lainnya. Dengan demikian, industri kreatif sangat ideal

dikembangkan di setiap wilayah tergantung pada bagaimana bisa menyusun

kebijakan atau perencanaan yang tepat.

Model Perencanaan Industri Kreatif bagi Pembangunan Ekonomi Daerah

Di era otonomi, pemerintah daerah kini memiliki kewenangan yang lebih

besar dalam pembangunan ekonominya. Salah satu kreativitas yang dapat

Page 115: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

106

ditawarkan adalah bagaimana memikirkan sebuah sistem yang kondusif demi

berlangsungnya perkembangan ekonomi kreatif melalui proses inovasi teknologi

dan birokrasi yang terus menerus. Yakni model perencanaan melalui

penggabungan program pengembangan Industri kreatif bersama kegiatan Sistem

Inovasi daerah (SIDA), yang dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1 : Integrasi Program Industri Kreatif dengan SIDA

Perencanaan program industri kreatif sebagaimana diilustrasikan di atas

merupakan sistem kreatifitas daerah berkelanjutan yang merupakan mobilisasi

seluruh kekuatan sistem teknologi dan birokrasi daerah. Perencanaan di awali

dengan pendekatan dan sosialisasi kegiatan ekonomi kreatif secara komprehensif

di setiap sektor pemerintah daerah. ini di harapkan dapat menciptakan local

inconporated untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi kreatif dan pendapatan

daerah maupun kesejahteraan daerah sehingga menjadi masyarakat yang mampu

dalam pengertian yang sesungguhnya.

Lembaga Perumus dan

Koordinasi (KEK)

1. Universitas2. Industri3. Organisasi Profesi Ilmiah4. Tokoh masyarakat (pemuda

pelopor)

1. Lembaga pengembang(LPM/Universitas/BBI)

2. Lembaga profesi3. Lembaga Pengguna (Industri/

IKM, Koperasi, org.masyarakat)4. Lembaga Keuangan

Lembaga Pelaksana

1. Universitas2. Organisasi profesi

ilmiah

INDUSTRI KREATIF(14 Sub sektor)

Lembaga Pengawas

Kepala Daerah DPRD

Page 116: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

107

Kegiatan-kegiatan yang dapat di lakukan pemerintah daerah dalam

suksesnya pelaksanaan perencanaan pengembanagn industri kreatif adalah sesuai

dengan misi dan tujuan kebijakan pengembangan ekonomi kreatif:

1. Mendukung pengembangan SDM daerah dengan memberikan pelatihan,

pendidikan, dan dukungan anggaran. Bertujuan untuk meningkatkan kualitas

SDM Jatim menjadi masyarakat yang kreatif dan berdayaguna dalam

membangun ekonomi kreatif.

2. Mendukung kerja sama multiparti (industri, lembaga riset pemerintah,

universitas dan lembaga keuangan) tingkat daerah, antar daerah, dan dalam

skala nasional. Menguatkan aktifitas dan fungsi institusi riset daerah untuk

menjadi pendorong industri kreatif daerah dengan implementasi program aksi

mendukung Sumber Daya Insani Kreatif Jawa Timur di masing-masing wilayah

di seluruh Jawa Timur

3. Memindahkan sebagian dari fungsi riset pemerintah Pusat ke daerah dalam

Balai Besar Industri (BBI) atau membentuk beberapa badan Pengkajian dan

Penerapan Teknologi Daerah (BPPTD) dalam beberapa kawasan industri

kreatif tertentu. Untuk itu mendorong peran riset dan pengembangan di

daerah sebagai basis dalam menggali, menemukan, memanfaatkan teknologi

serta membuat kebijakan untuk meningkatkan peran dari unit atau lembaga

terkait dengan pengembangan ekonomi kreatif.

4. Mengembangkan kebijakan yang kreatif terkait hasil analisis kebijakan

ekonomi kreatif (ada di pembahasan pada bab sebelumnya) yakni; Kebijakan

pembiayaan dan penjaminan pinjaman, Kebijakan pemasaran, Kebijakan

tentang penyediaan bahan baku, Kebijakan perizinan usaha, mengantisipasi

peluang dan tantangan bagi Kebijakan Industri Kreatif Jawa Timur, termasuk

dengan perlindungan terhadap pelaku/industri kreatif, seperti fasilitasi dan

apresiasi HAKI, sarana prasarana pendukung (seperti IT, alternative financial

support, pasar) dan iklim investasi yang kondusif dalam persaingan global.

Peran pemerintah daerah yang sesungguhnya selaku fasilitator sebenarnya

tidak boleh terlalu dominan. Pemerintah daerah adalah salah satu entitas yang

memberikan agenda perhatian pada pertumbuhan komunitas kreatif di daerah.

Page 117: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

108

Artinya sebaiknya komunitas ekonomi kreatif tetap dibiarkan berjalan mandiri

sementara pemerintah berperan sebagai partner pendukung dengan menelorkan

kebijakan yang proaktif. Kesuksesan komunitas kreatif yang cukup populer

dimana kebijakan pemerintah daerah memberi suasana kondusif seperti

dicontohkan di Bandung yang berhasil dibangun akar rumput dalam program

ekonomi kreatifnya dengan perhelatan kreatif Festival setiap momen tertentu.

Kegiatan ini telah menelorkan branding Bandung yang diterima oleh pemerintah

daerahnya sebagai official branding Bandung sekaligus konsep membangun

Bandung sebagai creative city menunjukkan hal itu dapat bekerja dengan baik.

Contoh lain, gagasan creative economy banyak lahir didalam komunitas kreatif di

Bali yakni mampu membangun budaya kreatif secara lebih meluas, nurturing

local talent dan creative community member to grow, dan menanamkan

kewirausahaan serta network bagi para pelaku kreatif. Di Bali, mengembangkan

industri kreatif melalui komunitas juga merupakan sebuah upaya mencetak

potensi unggul mengiringi tourism yang terlebih dulu telah membentuk pencitraan

Bali.

PENUTUP

Metode pendekatan yang inovatif bagi pembangunan ekonomi daerah

dapat dilakukan melalui progtram Industri kreatif yang fleksibel dan

berkelanjutan. Industri kreatif memiliki potensi besar di masa depan bagi daerah

mengingat: Industri Kreatif merupakan pilar utama dalam mengembangkan sektor

ekonomi kreatif yang memberikan dampak yang positif bagi kehidupan berbangsa

dan bernegara. Karakteristik industri kreatif cenderung berbeda dengan industri-

industri yang sudah ada, karena inputnya sebagian besar bersifat intangible, yaitu

idea dan kreativitas individu. Sehingga dianggap rendah capital.

Ketika kewenangan pemerintahan pusat semakin banyak diberikan kepada

daerah, maka pendekatan perencanaan ekonomi selain mengacu sistem inovasi

nasional yang kokoh perlu juga di topang oleh sistem Inovasi Daerah (SIDA).

Dalam hal ini kegiatan industri kreatif dapat diintegrasikan dalam sistem inovasi

daerah. Untuk mendukung berjalannya industri kreatif-SIDA dengan baik, ada

beberapa hal yang bisa di lakukan pemerintah daerah; al. (1) Mendukung

Page 118: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

109

pengembangan SDM kreatif daerah dengan memberikan pelatihan, pendidikan,

dan sebagainya; (2) Mendukung kerja sama tripartit (industri, lembaga riset

pemerintah, universitas) tingkat daerah, antar daerah. Menguatkan aktifitas dan

fungsi institusi riset daerah untuk menjadi pendorong industri kreatif daerah

dengan mempermudah terbentuknya klaster-klaster ekonomi kreatif di daerah; (3)

Memindahkan sebagian dari fungsi riset pemerintah Pusat ke daerah dalam Balai

Besar Industri (BBI) atau membentuk beberapa badan Pengkajian dan Penerapan

Teknologi Daerah (BPPTD) dalam beberapa kawasan tertentu yang memiliki

potensi industri kreatif; (4) Untuk mendukung terciptanya SIDA-Industri Kreatif

yang baik perlu ada komunikasi yang intensif antara eksekutif di daerah, legislatif,

lembaga pelaksana, lembaga pengawas, dan lembaga perumus dan koordinasi.

DAFTAR PUSTAKA

Blakely, Edward. J (1994) Planning Local Economic Development. Theory and Practice, 2nd SagePublication

Chowdhury, Anis and Colin Kirkpatrick (2005) Development Policy and Planning, anIntroduction to models and Techniques, NY:Routledge

Depdagri (2007) Studi Industri Kreatif Indonesia, JakartaDepdagri (2008), UK DCMS Task force 1998Moelyono, Mauled (2010) Menggerakkan Ekonomi Kreatif antara Tuntutan dan Kebutuhan,

Jakarta: Rajawali PressTarigan, Antonius dan Tatag Wiranto (2002) “Kemitraan bagi Pengembangan Ekonomi Lokal”,

dalam Forum Inovasi, Capacity Building & Good Governance, Vol. 4: September-Nopember2002

Wheeler, Stephen M (2004) Planning for Sustainability, Creating Livable, Equitable, andEcological Communities, NY: Routledge

Page 119: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

110

KERJASAMA ANTAR DAERAH

DALAM PERSPEKTIF SOUND GOVERNANCE

Tjahjanulin Domai

ABSTRACT: The recent decentralization and local autonomy policies inIndonesia has brought some implications such as the changing pattern of therelationship between the governmental levels and the greater authority on thelocal government, as well as the opening of the opportunity for the local to dointerregional cooperation. However, Farazmand observes some barriers againstthis cooperation involving: untrustworthy, power domination, excessiveexpectation, political and cultural environment, religion, ethnic and racial.

Keywords: Decentralization, Intergovernmental Relation and SoundGovernance

PENDAHULUAN

Kerjasama Antar Daerah

Dalam periode pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, kerjasama

antar daerah di Indonesia menunjukkan perkembangan yang demikian signifikan.

Muncul dan berkembangnya bentuk-bentuk lembaga kerjasama ini merupakan

respon terhadap perubahan pola relasi antar lapis pemerintahan dan kewenangan

yang besar pemerintah daerah sebagai implikasi dari diterapkannya kebijakan

desentralisasi di Indonesia (Pratikno dkk, 2007).

Perubahan-perubahan ini semakin membuka lebar jalan bagi pemerintah

daerah untuk melakukan kerjasama, baik dengan pemerintah daerah lain maupun

dengan aktor non negara.

Pada sisi yang lain, desentralisasi juga membuka tantangan dan peluang

baru di ranah daerah, yang akan menjadi sangat sulit bagi daerah untuk

meresponnya secara efektif tanpa terbangunnya suatu kerjasama yang memadai

(Pratikno dkk, 2007). Sebagai contoh, peluang pengembangan ekonomi, misalnya

pariwisata, yang berada dalam suatu kawasan daerah tertentu akan sangat tidak

efektif pengelolaannya jika hanya dilakukan secara sendiri-sendiri. Bahkan tidak

jarang pula yang malah menimbulkan konflik baru antar daerah.

Page 120: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

111

Senada dengan pendapat Pratikno dkk (2007) tersebut Paterson (2008)

mengatakan banyak pemerintah lokal saat ini yang mencari metode baru untuk

mengurangi pengeluaran dan menjaga kualitas jasa, mereview sistem layanan,

menetapkan prioritas, dan menentukan layanan mana yang diberikan lewat tatanan

alternatif.

Alternatif untuk pemberian jasa yang digunakan pemerintah lokal bisa

meliputi: kontrak dengan perusahaan privat, organisasi sukarela, kelompok

lingkungan, waralaba, subsidi kepada pemberi jasa langsung, penggunaan buruh

berdonasi, penentuan ongkos dan beban user untuk menutup biaya jasa, dan

negosiasi persetujuan kooperatif antar-pemerintahan. Penggunaan persetujuan

kooperatif untuk pemberian jasa adalah salah satu alternatif bagi pemerintah lokal.

Paterson (2008) mengatakan kerjasama antar-pemerintah adalah sebagai

tata cara yang digunakan antara satu atau lebih pemerintahan dalam mencapai

tujuan bersama, pemberian jasa atau pemecahan masalah. Contoh dari kerjasama

ini berkisar dari tindakan informal dan/atau pertukaran informasi atau peralatan,

kepentingan pengadaan layanan bersama atau proyek pengairan, sampah, limbah,

dan drainase bersama, sampai tatanan formal, termasuk persetujuan legal yang

mengikat. Survey yang dijalankan New York State Department of State di tahun

1981 dan 1982 menunjukkan kooperatif formal dan informal dengan pemerintah

lain.

Kerjasama pembangunan dan pemanfaatan sumber daya antar daerah

dimaksudkan agar dapat mengurangi kesenjangan antar daerah, mengendalikan

konflik, meningkatkan pelayanan, pemberdayaan peran serta masyarakat dan

meningkatkan efisien dan efektivitas pemanfaatan sumber daya, sehingga

terwujud pembangunan yang serasi, selaras dan seimbang sesuai kedudukan,

peran dan fungsinya dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi,

keanekaragaman potensi masing- masing dalam satu manajemen terpadu.

(Tasmaya, 2007).

Dalam literatur disebutkan bahwa “kerjasama” memiliki derajat yang

berbeda, mulai dari koordinasi dan kooperasi sampai pada derajat yang paling

Page 121: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

112

tinggi yaitu “collaboration” (Thomson, 2001; Thomson dan Ferry, 2006). Para

ahli pada dasarnya menyetujui bahwa perbedaan terletak dalam kedalaman

interaksi, integrasi, komitmen, dan kompleksitas dimana “cooperation” terletak

pada tingkatan terendah, sedangkan “collaboration” pada tingkatan yang paling

tinggi. (Keban, 2007).

Ramses dan Bowo (2007) mengatakan kerjasama pada hakekatnya

mengindikasikan adanya dua pihak atau lebih berinteraksi secara dinamis untuk

mencapai suatu tujuan bersama. Dalam pengertian ini terkandung tiga unsur

pokok yang melihat pada suatu kerangka kerja sama, yaitu unsur dua pihak atau

lebih, unsur interaksi, dan unsur tujuan bersama. Jika satu dari tiga unsur tidak

termuat dalam suatu obyek yang dikaji, dapat dianggap bahwa pada obyek

tersebut tidak terdapat kerjasama.

Unsur dua pihak, selalu menggambarkan suatu himpunan dari

kepentingan-kepentingan yang satu sama lain saling mempengaruhi, saling

interaksi untuk mewujudkan tujuan bersama urgen dilakukan. Apabila hubungan

atau interaksi itu tidak ditujukan pada terpenuhinya kepentingan masing-masing

pihak, maka hubungan dimaksud bukanlah suatu kerjasama. Suatu interaksi

meskipun bersifat dinamis, tidak selalu berarti kerjasama. Suatu interaksi yang

ditujukan untuk memenuhi kepentingan salah satu pihak, dan pada saat yang

bersamaan merugikan kepentingan pihak- pihak lain yang terlibat dalam proses

interaksi, juga bukan suatu kerjasama. Kerjasama senantiasa menempatkan pihak-

pihak yang berinteraksi pada posisi yang seimbang, serasi dan selaras.

Pelaksanaan kerjasama hanya dapat tercapai apabila diperoleh manfaat bersama

bagi semua pihak yang terlibat didalamnya. Apabila suatu pihak dirugikan dalam

proses kerjasama, maka kerjasama tidak lagi terpenuhi. Dalam upaya mencapai

keuntungan atau manfaat bersama dari kerjasama, perlu komunikasi yang baik

antar semua pihak dan pemahaman yang sama terhadap tujuan bersama.

Alasan lain dilakukannya kerjasama antar pemerintah daerah adalah:

1. Pihak-pihak yang bekerja sama dapat membentuk “kekuatan yang lebih

besar”. Dengan kerja sama antar pemerintah daerah, kekuatan dari masing-

Page 122: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

113

masing daerah yang bekerja sama dapat “disinergikan” untuk menghadapi

ancaman lingkungan atau permasalahan yang rumit sifatnya daripada kalau

ditangani sendiri-sendiri. Melalui bekerja sama untuk mengatasi hambatan

lingkungan atau mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi.

2. Pihak-pihak yang bekerja sama dapat mencapai “kemajuan yang lebih

tinggi”. Dengan bekerja sama masing-masing daerah akan menstransfer

kepandaian, keterampilan, dan informasi, misalnya daerah yang satu

belajar kelebihan atau kepandaian dari daerah lain. Setiap daerah akan

berusaha memajukan atau mengembangkan diri dari hasil belajar bersama.

3. Pihak-pihak yang bekerjasama “dapat lebih berdaya”. Dengan kerja sama,

masing-masing daerah yang terlibat lebih memiliki posisi tawar yang lebih

baik, atau lebih mampu memperjuangkan kepentingannya kepada struktur

pemerintahan yang lebih tinggi. Bila suatu daerah secara sendiri

memperjuangkan kepentingannya, mungkin kurang diperhatikan, tetapi

bila masuk menjadi anggota suatu forum kerjasama daerah, maka suaranya

akan lebih diperhatikan.

4. Pihak-pihak yang bekerja sama dapat “memperkecil atau mencegah

konflik”. Dengan kerja sama, daerah-daerah yang semula bersaing ketat

atau sudah terlibat konflik dapat bersikap lebih toleransi dan berusaha

mengambil manfaat atau belajar dari konflik tersebut.

5. Masing-masing pihak lebih “merasakan keadilan”. Masing-masing daerah

akan merasa dirinya tidak dirugikan karena ada transparansi dalam

melakukan hubungan kerjasama. Masing-masing daerah yang terlibat

kerjasama memiliki akses yang sama terhadap informasi yang dibuat atau

digunakan.

6. Masing-masing pihak yang bekerjasama akan memerlukan “keberlanjutan”

penanganan bidang- bidang yang dikerjasamakan. Dengan kerja sama

tersebut masing-masing daerah memiliki komitmen untuk tidak

menghianati patnernya tetapi memelihara hubungan yang saling

menguntungkan secara berkelanjutan.

7. Kerjasama ini dapat menghilangkan “ego daerah”. Melalui kerjasama

tersebut, kecenderungan “ego daerah” dapat dihindari, dan visi tentang

Page 123: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

114

kebersamaan sebagai suatu bangsa dan negara dapat tumbuh (Keban,

2007).

Selanjutnya Hamdi (2007) mengatakan bahwa: Pertama, setiap daerah

dalam semua tingkat perkembangan, telah memiliki pemahaman bahwa akan

memetik manfaat dari pengembangan jaringan kerjasama untuk lebih

meningkatkan kemajuan daerahnya. Kedua, kerjasama tersebut berlangsung

secara sukarela dan merupakan suatu kebutuhan atas dasar pemahaman bahwa

terdapat saling ketergantungan atau saling pengaruh-mempengaruhi antar daerah.

Oleh karena itu untuk mengembangkan pemahaman dan kesediaan bekerjasama

dalam rangka pembelajaran untuk secara terus menerus membangun kapasitas

tersebut diperlukan kepemimpinan pemerintah nasional dalam memotivasi

pemerintah daerah untuk bekerjasama, terutama melalui instrumen kebijakan dan

peraturan yang berskala nasional.

Ramses dan Bowo (2007) mengatakan kerjasama antar pemerintah daerah

otonom pada semua jenjang dan lembaga lainnya adalah kebijakan yang penting

karena alasan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan urusan-urusan yang bersifat lintas daerah otonom yang terkait

dengan pelayanan masyarakat dapat efektif dan efisien jika dilaksanakan

bersama secara sinergi antar daerah otonom. Aspek- aspek pelayanan

masyarakat tertentu menjadi optimal jika dilaksanakan secara terpadu oleh

daerah yang berbatasan

2. Solusi yang optimal atas masalah tata ruang, lalu lintas dan transportasi,

penanggulangan sampah, penyediaan air bersih, penanggulangan banjir dan

pelestarian daerah aliran sungai sebagai masalah bersama, hanya dapat

dicapai melalui kerjasama. Hubungan sebab akibat pemanfaatan ruang,

mobilitas penduduk dengan segala implikasinya menimbulkan masalah-

masalah bersama yang harus diselesaikan secara bersama

Berdasarkan kompleksitas masalah dan meluasnya tuntutan demokratisasi

dan keterbukaan, maka kerjasama antar daerah otonom urgen agar

Page 124: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

115

penyelenggaraan pemerintahan menjadi lebih efektif, efisien dan responsif

terhadap kebutuhan daerah otonom sekitar.

Bentuk Kerjasama Antardaerah

Secara teoritis, istilah kerjasama (International Relation) telah lama

dikenal dan dikonsepsikan sebagai suatu sumber efisiensi dan kualitas pelayanan

(Rosen dalam Keban, 2007). Kerjasama telah dikenal sebagai cara yang jitu untuk

mengambil manfaat dari ekonomi skala (economies of scales). Pembelanjaan atau

pembelian bersama, misalnya, telah membuktikan keuntungan tersebut, dimana

pembelian dalam skala besar atau melebihi “threshold points”, akan lebih

menguntungkan dari pada dalam skala kecil. Dengan kerjasama tersebut biaya

overhead (overhead cost) akan teratasi meskipun dalam skala yang kecil. Sharing

dalam investasi, misalnya, akan memberikan hasil akhir yang lebih memuaskan

seperti dalam penyediaan fasilitas dan peralatan, serta pengangkatan spesialis dan

administrator. Kerjasama juga dapat meningkatkan kualitas pelayanan, misalnya

dalam pemberian atau pengadaan fasilitas, dimana masing-masing pihak tidak

dapat membelinya sendiri. Dengan kerjasama, fasilitas pelayanan yang mahal

harganya dapat dibeli dan dinikmati bersama, seperti pusat rekreasi, pendidikan

orang dewasa, transportasi. Kerjasama antar Pemerintah Daerah adalah suatu

bentuk pengaturan kerjasama yang dilakukan antar pemerintahan daerah dalam

bidang-bidang yang disepakati untuk mencapai nilai efisiensi dan kualitas

pelayanan yang lebih baik.

Secara historis, mekanisme kerjasama antar pemerintah lokal telah

menjadi isu penting di negara maju (Henry dalam Keban 2007) dimulai dari

bidang yang sangat terbatas seperti kepolisian dan pemadam kebakaran dimana

antara satu kota dengan kota lain telah dilakukan perjanjian kerjasama saling

bantu membantu menghadapi krisis seperti kebakaran dan bencana lainnya.

Dalam perkembangan lanjutan, mekanisme kerjasama ini tidak hanya diterapkan

pada situasi “emergency” saja tetapi juga pada pengaturan kerjasama untuk

membeli jenis-jenis pelayanan tertentu dari perusahaan swasta atau dari

pemerintah lain, ataupun dari NGOs. Khusus “cooperative agreements” yang

dilakukan antar Pemerintah Daerah semula lebih ditujukan pada (1) kegiatan

Page 125: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

116

tunggal, (2) berkenaan dengan pelayanan ketimbang fasilitas, (3) tidak bersifat

permanen, (4) sebagai “stand-by provision” yang baru dilaksanakan bila kondisi

tertentu terjadi, dan (5) diperkenankan/diijinkan oleh badan legislatif.

Bentuk dan metode kerjasama antar Pemerintah Daerah meliputi (1)

Intergovernmental Service Contract; (2) Joint Service Agreement, dan (3)

Intergovernmental Service Transfer (Henry, 1995). Jenis kerjasama yang pertama

dilakukan bila suatu daerah membayar daerah yang lain untuk melaksanakan jenis

pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan sampah, kontrol hewan atau

ternak, penaksiran pajak. Jenis kerjasama yang kedua di atas biasanya dilakukan

untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan

tertentu kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturan

perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam kebakaran, kontrol

kebakaran, pembuangan sampah. Jenis kerjasama ketiga merupakan transfer

permanen suatu tanggung jawab dari satu daerah ke daerah lain seperti bidang

pekerjaan umum, prasarana dan sarana, kesehatan dan kesejahteraan,

pemerintahan dan keuangan publik.

Sementara itu, ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa suatu

kerjasama antar Pemerintah Daerah, dapat dilakukan dalam beberapa bentuk yaitu

bentuk perjanjian dan bentuk pengaturan (Rosen dalam Keban, 2007). Bentuk-

bentuk perjanjian (forms of agreement) dibedakan atas :

a. Handshake Agreements, yaitu pengaturan kerja yang tidak didasarkan

atas perjanjian tertulis

b. Written Agreements, yaitu pengaturan kerjasama yang didasarkan atas

perjanjian tertulis.

Bentuk “handshake agreements” merupakan bentuk yang banyak

menimbulkan konflik dan kesalahpahaman (misunderstanding), sementara bentuk

yang tertulis dibutuhkan untuk melakukan program kontrak, kepemilikan

bersama, atau usaha membangun unit pelayanan bersama. Hal-hal yang harus

diucapkan dalam perjanjian tertulis ini meliputi kondisi untuk melakukan

kerjasama dan penarikan diri, sharing biaya, lokasi, pemeliharaan, skedul, operasi

Page 126: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

117

dan aturan kepemilikan sumberdaya bersama, kondisi sewa, dan cara pemecahan

konflik.

Disisi lain menurut Rosen dalam Keban (2007) dalam pengaturan

kerjasama (forms of cooperation Arrangements) terdiri atas beberapa bentuk

yaitu:

a. Constantia, yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing sumberdaya,

karena lebih mahal bila ditanggung sendiri-sendiri; misalnya pendirian

perpustakaan dimana sumberdaya seperti buku-buku, dan pelayanan

lainnya, dapat digunakan bersama-sama oleh mahasiswa, pelajar dan

masyarakat publik, dari pada masing-masing pihak mendirikan sendiri

karena lebih mahal.

b. Joint Purchasing, yaitu pengaturan kerjasama dalam melakukan

pembelian barang agar dapat menekan biaya karena skala pembelian

lebih besar.

c. Equipment Sharing, yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing peralatan

yang mahal, atau yang tidak setiap hari digunakan.

d. Cooperative Construction, yaitu pengaturan kerjasama dalam

mendirikan bangunan, seperti pusat rekreasi, gedung perpustakaan,

lokasi parkir, gedung pertunjukan, dan sebagainya.

e. Joint Services, yaitu pengaturan kerjasama dalam memberikan pelayanan

publik, seperti pusat pelayanan satu atap yang dimiliki bersama, dimana

setiap pihak mengirim aparatnya untuk bekerja dalam pusat pelayanan

tersebut.

f. Contract Services, yaitu pengaturan kerjasama dimana pihak yang satu

mengontrak pihak yang lain untuk memberikan pelayanan tertentu,

misalnya pelayanan air minum, persampahan, dan sebagainya. Jenis

pengaturan ini lebih mudah dibuat dan dihentikan, atau ditransfer ke

pihak yang lain.

Meskipun demikian, pengalaman menunjukan bahwa bentuk dan metode

kerjasama di atas seringkali mengalami masalah dalam pelaksanaannya (Rosen,

1993). Karena berkaitan dengan keterlibatan masing-masing daerah yang

Page 127: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

118

memiliki jurisdiksi yang berbeda, maka terjadi kesulitan dalam pengaturan jadwal

penggunaan sumberdaya yang disepakati dan pembebanan biaya untuk kerjasama,

yang pada gilirannya sering memunculkan friksi atau konflik. Hal tersebut sering

terjadi karena ada daerah merasa adanya pembebanan lebih (overcharge) terhadap

dirinya, sementara yang lainnya merasa kurang mendapat pelayanan yang

seharusnya ia terima. Masyarakat juga merasa terbebani bila lokasi pelayanan

tersentralistis (gabungan) karena harus mengeluarkan biaya transport yang relatif

lebih besar dibandingkan dengan ketika memiliki pelayanan sendiri. Disamping

kesulitan transport sering diungkapkan masyarakat yang membutuhkan pelayanan,

juga masyarakat merasa terasing bila dilayani oleh pihak-pihak baru.

Pembelian secara terpusat melalui suatu kerjasama (joint purchasing) juga

tidak luput dari kritikan. Standardisasi barang yang dibeli sering menjadi masalah,

karena ada daerah yang merasa barang yang dibeli telah sesuai dengan standard

keinginannya, sementara yang lain belum. Seringkali, terdapat kesulitan dalam

memenuhi harapan dari pihak-pihak yang bekerjasama (Rosen, 1993).

Di negara sedang berkembang, kerjasama antar Pemerintah Daerah sering

nampak dalam kegiatan perencanaan pembangunan, seperti “Integrated Area

Planning” (IAP). Bentuk ini merupakan terobosan untuk mengisi kekosongan atau

kompleksitas dari masalah-masalah yang dihadapi karena tidak dapat ditangani

dengan perencanaan pembangunan berdasarkan batas-batas wilayah administratif.

Memang harus diakui bahwa selama ini kerjasama antar daerah belum nampak

sebagai suatu kebutuhan. Padahal, berbagai permasalahan atau keputusan internal

suatu Kabupaten atau Kota ataupun juga Provinsi sering berkaitan dengan

permasalahan atau keputusan di luar batas wilayahnya. Pengalaman menunjukan

bahwa banyak permasalahan pada suatu Kabupaten atau Kota atau juga Provinsi

justru muncul ke permukaan karena adanya kebijakan yang berasal dari daerah

lain seperti sampah, kriminalitas, kependudukan, pendidikan, kesehatan. Pendek

kata, suatu perencanaan atau kebijakan yang dibuat oleh suatu Kabupaten atau

Kota, atau juga Provinsi, sering kurang memperhitungkan dampaknya bagi

Kabupaten atau Kota, ataupun Provinsi lain. Dalam kondisi seperti ini, fungsi

Page 128: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

119

perencanaan yang bersifat integratif dan koordinasi horisontal merupakan kunci

utama.

Munculnya model “integrated area planning” ini diharapkan dapat

mengurangi berbagai konflik antar wilayah administratif, yaitu dengan

mengefektifkan pembangunan sektor-sektor tertentu dan institusi yang

berhubungan dengan sektor tersebut dalam suatu area (dengan mengesampingkan

batas-batas wilayah administratifnya). Model ini muncul sebagai reaksi terhadap

kekurangan-kekurangan perencanaan sektoral khususnya koordinasi antar sektor,

dan juga terhadap pemenuhan kebutuhan bagi area geografis khusus (yang

mungkin tidak sesuai dengan batas-batas wilayah administratif yang ada) seperti

daerah aliran sungai (DAS) dan pembangunan pedesaan yang kemudian dikenal

dengan “integrated rural development”.

Meskipun model ini cukup diandalkan pada masa lalu, tetapi terdapat

hambatan penting yang perlu diperhatikan. Hambatan tersebut menyangkut

masalah struktur (organisasi) yang menangani “integrated area development”.

Struktur yang ada adalah struktur yang formal yang dibentuk sesuai unit-unit

politik dan administratif yang ada, seperti dinas-dinas dan lembaga-lembaga

teknis masing-masing Kabupaten/ Kota atau Provinsi. Struktur formal ini tidak

dirancang untuk menangani hal tersebut, akibatnya model ini kurang mendapat

dukungan otoritas formal, yang berarti sulit diimplementasikan dan sulit berhasil.

Jalan keluar yang pernah ditawarkan adalah (1) membentuk suatu struktur

yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat yang ditempatkan di

area yang bersangkutan, atau juga dibuat oleh pemerintah lokal atau perusahaan

swasta yang diberi status khusus; (2) membentuk tim konsultan perencanaan dari

luar area, untuk mempersiapkan perencanaannya; dan (3) melakukan reformasi

struktur organisasi yang ada dan memperbaiki kemampuan para staff yang ada

untuk mempersiapkan dan mengimplementasikan rencana dan memperkuat

hubungan horisontal antar sektor serta memperlemah hubungan vertikal.

KEBIJAKAN KERJASAMA ANTARDAERAH DALAM KAJIANNORMATIF

Page 129: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

120

Kerjasama antar daerah secara formal telah diberikan payung hukum

melalui Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah pasal

87 ayat (1) yang menyatakan bahwa beberapa daerah dapat mengadakan

kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama, (2) daerah dapat

membentuk badan kerjasama antar daerah, (3) daerah dapat mengadakan

kerjasama dengan badan lain yang diatur dengan keputusan bersama, (4)

keputusan bersama dan/atau badan kerjasama, sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) yang membebani masyarakat dan daerah harus

mendapatkan persetujuan DPRD masing-masing.

Selanjutnya pada pasal 88 ayat (1) daerah dapat mengadakan kerjasama

yang saling menguntungkan dengan lembaga/ badan di luar negeri, yang diatur

dengan keputusan bersama, kecuali menyangkut kewenangan pemerintah,

sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) tata cara, sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) ditetapkan oleh pemerintah.

Peluang adanya kerjasama Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 diganti

dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 195 ayat (1) yang

menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah

dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada

pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi dan saling

menguntungkan.

Selanjutnya pada pasal 196 lebih menegaskan perlunya kerjasama

pelayanan publik. Ayat (1) pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan

dampak lintas daerah ditata bersama oleh daerah terkait, ayat (2) untuk

menciptakan efisiensi, darah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama

dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat, ayat (3) untuk

pengelolaan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), daerah

membentuk badan kerjasama, ayat (4) apabila daerah tidak melaksanakan

kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pelayanan publik

tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintah.

Page 130: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

121

Kebijakan kerjasama tersebut di atas diperkuat dengan terbitnya Peraturan

Pemerintah Nomor 50 tahun 2007 tentang tata cara pelaksanaan kerjasama daerah.

Khusus pasal 4 pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan bagi

masyarakat oleh pemerintah yang berupa pelayanan administrasi, pengembangan

sektor unggulan dan penyediaan barang dan jasa rumah sakit, pasar, pengelolaan

air bersih, perumahan, perparkiran dan persampahan.

Lebih lanjut dikatakan bahwa kerjasama daerah merupakan sarana untuk

lebih memantapkan hubungan dan keterikatan daerah yang satu dengan daerah

yang lain, menyerasikan pembangunan daerah, mensinergikan potensi antar

daerah serta meningkatkan pertukaran pengetahuan teknologi dan informasi.

Melalui kerjasama daerah diharapkan dapat mengurangi kesenjangan

daerah dalam penyediaan pelayanan umum khususnya yang berada di wilayah

terpencil, perbatasan antar daerah dan daerah tertinggal. Obyek yang dapat

dikerjasamakan meliputi seluruh urusan yang menjadi kewenangan daerah

otonom, aset daerah dan potensi daerah serta penyediaan pelayanan umum.

Pelaksanaan kerjasama harus berpegang pada prinsip efisiensi, efektivitas, sinergi,

saling menguntungkan, kesepakatan bersama, itikat baik, persamaan kedudukan,

transparansi, keadilan dan kepastian hukum. Obyek kerjasama merupakan faktor

utama yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan kerjasama untuk selanjutnya

menentukan pilihan bentuk kerjasama yang akan dilaksanakan.

Dalam rangka mewujudkan keserasian pembangunan yang bertumpu pada

laju pertumbuhan antar daerah di wilayah Perkotaan Yogyakarta yang semakin

pesat, serta untuk mengantisipasi permasalahan yang timbul di wilayah Kabupaten

Bantul, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta, maka perlu mengadakan

kerjasama pengelolaan prasarana dan sarana perkotaan, tindak lanjut tersebut

ketiga pemerintah daerah mengeluarkan keputusan bersama Bupati Bantul, Bupati

Sleman dan Walikota Yogyakarta Nomor: 18 tahun 2001, Nomor: 01/PK-

KDH/2001, dan Nomor: 01 tahun 2001 tentang kerjasama pengelolaan prasarana

dan sarana perkotaan antar Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kota

Yogyakarta.

Page 131: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

122

Apabila dicermati secara teliti pada dasarnya keempat regulasi tersebut

memiliki prinsip dasar yang sama dan saling melengkapi. Kerjasama antar daerah

dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat didasarkan pada

pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinkronisasi program

kegiatan, sinergi dan saling menguntungkan serta untuk mengatasi permasalahan

bersama untuk daerah.

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KERJASAMA ANTAR DAERAHDALAM KAJIAN EMPIRIK

Kebijakan yang diambil dalam melaksanakan kerjasama antar daerah

meliputi kerjasama dengan daerah perbatasan dan kerjasama dengan daerah lain

yang tidak berbatasan. Kajian kerjasama daerah dengan daerah yang berbatasan,

dilakukan terutama dengan penekanan untuk menyelesaikan dan mengantisipasi

timbulnya masalah perbatasan serta mengoptimalkan dan mengefisiensikan

penggunaan sumberdaya dan sumber dana daerah.

Kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah Kota Yogyakarta, Kabupaten

Sleman dan Kabupaten Bantul, sebagai implementasi dari kerjasama ketiga daerah

tersebut adalah aktivitas untuk mengatasi masalah-masalah aglomerasi perkotaan

seperti jalan, air bersih, air limbah, transportasi, persampahan, dan drainase.

Diharapkan dengan terjalinnya kerjasama ketiga daerah ini dapat meningkatkan

efisiensi dan efektivitas pencapaian kepentingan bersama dalam pengelolaan

kawasan Perkotaan Yogyakarta.

Menurut Suryakusumo (2008) keterbatasan masing-masing daerah

merupakan suatu peluang untuk bekerjasama dengan daerah sekitarnya. Dalam hal

ini masing-masing daerah dapat mengambil keuntungan dari pada melakukan

secara sendiri. Kerjasama antar daerah akan dapat terlaksana jika terdapat dua

atau lebih daerah yang berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama dalam posisi

yang setara, seimbang serasi dan selaras dan dituangkan kedalam nota

kesepahaman.

Kenyataannya kerjasama antar daerah dibeberapa daerah, bisa dikatakan

berhasil dilaksanakan. Karena dengan adanya kerjasama antar daerah, setiap

Page 132: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

123

masalah yang muncul bisa diatasi bersama. Sehingga masing-masing pemerintah

daerah bisa mensinergikan konsep pembangunannya.

Terbentuknya Badan Kerjasama antar daerah dibeberapa daerah memang

cukup bervariasi. Karena dasar terbentuknya pada nota kesepahaman yang dibuat

masing-masing daerah. Contohnya BKAD di kawasan Banjarnegara, Banyumas,

Purbalingga, Cilacap dan Kebumen. Badan kerjasama juga dibentuk di Kabupaten

Boyolali, Sukoharjo, Karangayar, Wonogiri, Sragen dan Klaten. Lembaga

kerjasama yang diberi nama Pengembangan Ekonomi Wilayah atau Regional

Economic Development terbentuk atas kerjasama pemerintah Indonesia dengan

pemerintah Jerman.

Kerjasama lintas wilayah provinsi juga terbentuk di Kabupaten Pacitan

(Jawa Timur), Wonogiri (Jawa Tengah) dan Gunung Kidul (Daerah Istimewa

Yogyakarta), dengan nama “Pawonsari” kerjasama antar kota Surabaya dan

Kabupaten Sidoarjo dengan nama “Su-Si”, kerjasama Kota Bogor dengan Kota St.

Louis, Amerika Serikat. Kerjasama Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Kota

Hue Vietnam, Provinsi Thua Thien Hue. Kerjasama juga dilakukan oleh Provinsi

Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Riau dan Kalimantan Barat.

Mencermati uraian tersebut di atas sejalan dengan dimensi-dimensi sound

governance dari Farazmand (2004) yaitu dimensi proses yang mengatur interaksi

stakeholders yang terlibat dalam kerjasama, dimensi struktur, proses ini

menjelaskan bagaimana governance dijalankan, dimana struktur ini

mendefinisikan dan memberikan arahan bagi proses.

Sound governance memiliki sebuah struktur yang padat, legitimat,

kompeten dan dinamis dalam bentuk dan substansinya. Dimensi konstitusi adalah

dokumen pembimbing fundamental yang merupakan cetak biru bagi governance

dan konstitusi adalah sumber legitimasi. Dimensi organisasi dan institusi

mengungkapkan institusi tanpa organisasi yang jelas dikatakan rapuh dan

cenderung hancur sebaliknya organisasi tanpa institusi yang rapuh dan berpeluang

kecil untuk bertahan. Karena itu dimensi ini menjadi komponen integral bagi

sound governance. Dimensi manajemen dan kinerja adalah ibarat sebuah lem,

Page 133: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

124

tepatnya transmisi sistem yang membuahkan hasil yang diinginkan. Manajemen

harus didukung oleh pengetahuan, teknologi, kapasitas, sumberdaya dan

keterampilan. Dimensi kebijakan ini memandu dan memberikan arahan bagi

institusi dan organisasi governance untuk mencapai tujuan dan target yang

diinginkan.

Dimensi kesadaran dan nilai mewakili sistem nilai yang unik dan tidak

biasa dalam struktur/proses governance misal sistem governance yang tidak sehat,

korup dan miskin biasanya tergantung pada kekuatan eksternal, tingkat

kompleksitas, keragaman dan intensitasnya rendah. Sound governance memiliki

nilai-nilai yang sehat dan dinamis, misalnya: keadilan, kesetaraan dan integritas.

Dimensi etik, akuntabilitas, dan transparansi merupakan hal yang penting dalam

sound governance. Etika yang implementatif dapat mencegah potensi

penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, juga mencegah orientasi kerja birokrasi

yang hanya murni ekonomis dan administratif belaka. Birokrasi bekerja untuk

mencapai efektivitas dan efisiensi dan berorientasi kepada kepentingan publik.

Dimensi sektor dari governance dikatakan penting karena difokuskan pada sektor

spesifik, seperti industri, pendidikan, kesehatan, dan transportasi, dalam dimensi

ini diperlukan adalah partisipasi langsung dari masyarakat, manajemen yang

handal, pengetahuan dan skill dalam hal kinerja organisasi.

Kerjasama antar daerah adalah sebagai bentuk respon atas kompleksitas

persoalan yang berkembang harus dibangun dalam kerangka yang komprehensif, dengan

melibatkan banyak pihak yang terkait.

Oleh karena itu setiap kerjasama antar daerah harus didasarkan pada kepentingan

bersama, maka proses pembentukan kerjasama antar daerahpun haruslah bersifat

partisipatif dan fleksibel sehingga dapat melahirkan konsensus. Konsesus ini tidak akan

terbentuk tanpa adanya pengakuan kesetaraan, kesukarelaan dan otonomnya setiap pihak

yang terlibat. Sehingga, kerjasama antar daerah merupakan bentuk relasi secara

horizontal antar daerah.

Nilai kerjasama antar daerah yang berbasis old public administration berbeda

dengan nilai New Public Management dan nilai sound governance. Kerjasama antar

daerah yang berbasis old public administration pola organisasinya memiliki nilai pola

Page 134: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

125

hubungan yang bersifat hirarkhis, yang melihat forum organisasi kerjasama sebagai unit

yang koheren dengan tujuan yang jelas, prosesnya terstruktur dari atas, diarahkan pada

tujuan tertentu, dalam pengambilan keputusan didominasi oleh pusat sebagai aktor

tunggal.

Kerjasama antar daerah yang berdasarkan New Public Managemen lebih

didasarkan pada inter relasi antar daerah yang masing-masing daerah bersifat bebas,

fleksibel dan mandiri. Untuk melakukan relasi satu daerah dengan daerah yang lain.

Selain itu tidak ada struktur kewenangan yang bersifat hirarkhis dan terpusat. Dalam

kerjasama antar daerah yang berbasis New Public Management lebih menekankan pada

pembuatan “performance” indikator sebagai ukuran dalam kerjasama antar daerah

sehingga diperoleh nilai ekonomis, efisien dan efektif.

Kerjasama antar daerah yang berdasarkan “sound governance” ada empat aktor,

dan sepuluh dimensi. Keempat aktor membangun inklusifitas relasi politik antar negara,

masyarakat, dunia bisnis dan kekuatan internasional.

Dalam kerjasama antar daerah keempat aktor tersebut saling berinteraksi dalam

posisi yang setara, mandiri, saling menguntungkan, bersifat partisipatif dalam

aktivitasnya didukung oleh dimensi proses, struktur, kesadaran dan nilai, konstitusi,

organisasi dan institusi, manajemen dan kinerja, kebijakan, sektor, globalisasi, dan etika,

akuntabilitas dan transparansi.

Dari gambar tersebut di atas dapat dilihat ada hubungan secara konseptual

antara ketiganya, namun bila dilihat dimensinya Sound Governance sebenarnya

adalah pikiran-pikiran yang lebih kritis dan dinamis.

Untuk lebih jelasnya ketiga konsep tersebut di atas dapat dilihat pada tabel

berikut ini.

Sound

Governance

Old Public

Administration

New Public

Management

Page 135: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

126

Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Old Public Administration, New PublicManagement dan Sound Governance

Old Public Administration New Public Management Sound Governance Hirarkhis Tujuan jelas Keputusan dari pusat Aktor tunggal

pemerintah

Hubungan bebas Fleksibel Mandiri Kewenangan tidak

hirarkhis Efisien, ekonomi dan

efektif

Setara Mandiri Saling

menguntungkan Partisipatif Demokratis

BEBERAPA MASALAH POKOK IMPLEMENTASI KERJASAMAANTAR DAERAH

Kerjasama antar pemerintah daerah harus dilihat sebagai suatu kebutuhan

yang tidak terelakkan, sebagaimana dikatakan oleh Peterson (2008) kerjasama

antar pemerintah untuk mencari metode baru untuk mengurangi beban

pengeluaran, menjamin kualitas pelayanan jasa, menetapkan prioritas dan

menentukan layanan mana yang diberikan lewat kerjasama. Lebih lanjut

dikatakan kerjasama antar pemerintah sebagai tata cara yang digunakan antara dua

atau lebih pemerintahan dalam mencapai tujuan bersama, pemberian jasa atau

pemecahan masalah. Contoh dari kerjasama ini berupa tindakan informal,

pertemuan informasi atau peralatan, sampai tatanan formal, termasuk persetujuan

legal yang mengikat. Lebih lanjut dikatakan bahwa pejabat municipal di New

York memilih otoritas luas untuk membuat persetujuan antar pemerintah. Seperti

dikatakan pemerintah bisa menjalankan fungsi atau jasa yang dulunya dijalankan

secara individu, tapi sekarang secara bersama.

Kerjasama antar pemerintah adalah sebuah langkah signifikan. Meski

kondisi yang berbeda bisa menciptakan kerjasama, beberapa pertimbangan

mendasar mendapat perhatian pemerintah yang melakukan persetujuan kerjasama

sebagai berikut :

1) Ekonomi skala, sejumlah layanan yang diberikan pemerintah

mempermudah pencapaian ekonomi skala dimana biaya unit dari layanan

tersebut sekarang ketika volume layanan bertambah, layanan ini

memberikan peluang bagi kerjasama. Contoh layanan di pekerjaan umum,

Page 136: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

127

pengelolaan air limbah, fasilitas kapital, air bersih, persampahan, sering

mengurangi biaya unit untuk operasi hingga pada biaya yang optimal.

2) Distribusi sumberdaya alam yang tidak sama, seperti lahan, air bersih,

transportasi, jalan dan drainase, sumberdaya ini dibutuhkan oleh

pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, contoh kerjasama

layanan air bersih, tempat pembuangan akhir sampah.

3) Kegiatan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat suatu

pemerintah daerah tidak dapat dibatasi oleh wilayah administratif. Contoh

masalah drainase, pembuangan sampah, jalan, transportasi, pelayan

kesehatan, pendidikan, hal semacam memerlukan kerjasama antar

pemerintah daerah yang berbatasan.

Dalam pelaksanaan kerjasama antar pemerintah daerah, yang menjadi cara

kerja dominan dan yang penting diperhatikan adalah membangun konsensus antar

aktor. Oleh karena itu, bentuk kerjasama seharusnya dibangun dengan fleksibel,

sehingga peluang perubahan dan penyesuaian selalu terbuka dalam pelaksanaan

kerjasama. Namun dalam kenyataannya ada beberapa hambatan dan pelaksanaan

kerjasama tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Kecenderungan “ego daerah” lebih menonjol dalam membangun kerjasama

antar pemerintah daerah

2. Saling dan ketidakpercayaan antar aktor yang terlibat dalam kerjasama

3. Gap sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah daerah yang bekerjasama

4. Kecenderungan adanya dominasi suatu daerah terhadap daerah yang lain

dalam pengambilan keputusan terhadap sektor yang dikerjasamakan

5. Visi-misi yang berbeda antar pemerintah daerah

Permasalahan- permasalahan implementasi kerjasama tersebut di atas

sejalan dengan pemikiran Farazmand (2004) dalam sound governance. Bahwa ada

beberapa hambatan dalam implementasi membangun kerjasama antara lain

sebagai berikut :

(1) Ketidakpercayaan adalah hambatan utama dalam membentuk kerjasama

antar aktor yang terlibat dalam kerjasama

Page 137: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

128

(2) Kecenderungan struktur kekuasaan untuk mendominasi secara global agar

yang bekerjasama menjadi patuh

(3) Harapan yang terlalu tinggi terhadap keberhasilan kerjasama yang

dilaksanakan

(4) Kondisi lingkungan potensial antar aktor ini berkaitan dengan idiologi,

politik dan budaya

(5) Agama dan budaya menjadi penghambat kerjasama antar pemerintah

(6) Etnis dan rasial juga menjadi hambatan dalam implementasi/ membangun

kerjasama antar pemerintah

KERJASAMA ANTARPEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PILIHANKEBIJAKAN

Dalam kebijakan publik model apa yang ditempuh suatu negara atau

pemerintah daerah dalam rangka menyelesaikan masalah secara bersama-sama

tidak lain dari bentuk pilihan kebijakan. Dalam memecahkan masalah lewat

kerjasama, ada kekurangan, ketidakefektifan, ketidakefisienan bahkan kegagalan

akan dapat dilihat dari tepat tidaknya kebijakan yang dipilih, dengan melihat pada

relung kebijakan yang paling mendasar, maka dapat dilihat dari sepuluh dimensi

dari Sound Governance, salah satunya berkaitan dengan “Policy”, yang

memberikan panduan, arahan dan kendali yang jelas bagi dimensi proses, struktur

dan manajemen. Salah satunya adalah eksternal dari organisasi governance, dan

ini berasal dari otoritas legislatif dari rakyat. Jenis kebijakan ini memandu dan

memberikan arahan bagi institusi dan organisasi governance untuk mencapai

tujuan dan target yang diinginkan. Tipe kedua kebijakan adalah yang internal

organisasi dan institusi governance, ini adalah kebijakan organisasi atau panduan

kepada peran yang mendefinisikan dan menetapkan aturan, regulasi, prosedur dan

nilai yang digunakan untuk menghasilkan kinerja organisasi dalam misi dan

tujuan Sound Governance. Secara bersama, kebijakan eksternal dan internal

menjadi mekanisme kendali bagi kinerja organisasi Sound Governance. Semakin

tinggi keterlibatan warga negara dalam perumusan Policy semakin tinggi

kredibilitas dan legitimasi governance system.

Page 138: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

129

Kerjasama antar pemerintah daerah sebagai pilihan kebijakan, mengingat

bisa saja pemerintah-pemerintah daerah dihadapkan pada masalah tertentu tidak

memanfaatkan untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah yang lain dalam

rangka mencari solusi yang diinginkan masih banyak pemerintah daerah di

Indonesia tidak menggunakan sebagai suatu pendekatan dalam memecahkan

masalah-masalah yang mereka hadapi.

Hubungan antar pemerintah salah satu konsep pilar karena adanya suatu

janji, karena kalau pilihan kebijakan itu dengan benar maka dimungkinkan

pemerintah daerah itu memainkan peran kunci dalam rangka menjamin

keseluruhan sistem pemerintah daerah itu dikuasai dan digunakan untuk

kesejahteraan masyarakat daerah baik untuk kepentingan internal dan eksternal,

maka kerjasama antar pemerintah daerah harus direncanakan secara terintegrasi.

Sebagai suatu konsep hubungan antar pemerintah masih banyak para pakar

belum sepakat apa sebenarnya hubungan antar pemerintah. Menurut Kamus

Webster’s :

Hubungan antar pemerintah adalah keberadaan, atau

timbulnya kerjasama atau secara bersama-sama dua

pemerintah atau jenjang atau level antar pemerintah, adanya

dua atau lebih pemerintah menjalin kerjasama.

Bagaimana memahami hubungan antar pemerintah tersebut menurut

Wahab (2009) mencoba menjelaskan suatu model cara pemerintah daerah

menjalin kerjasama satu sama lain. Adapun model tersebut :

1. The Coordinate Authority Model

Adapun cirinya adalah :

a. Pemerintah federal/ pusat dan daerah keduanya secara positif memiliki

kewenangan yang sama (setara)

b. Pemerintah federal/pusat dan daerah mempunyai kewenangan otonom di

masing-masing wilayahnya

c. Hanya batas-batas yang tegas antara kekuasaan pusat dan daerah, satu

sama lain tidak bisa mencampuri

Page 139: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

130

d. Pemerintah daerah, kota, kabupaten, provinsi mengikuti sistem satu

kesatuan (unitary)

Kritik terhadap The Coordinate Authority Model adalah :

a. Tidak ada batas yang tegas antar kewenangan pusat dan daerah,

demikian sebagian besar kekuasaan bulat jadi dinikmati baik oleh pusat,

pemerintah daerah

b. Aliran kewenangan kekuasaan dalam sistem ini tidak dengan sendirinya

punya arah yang jelas misal pusat ke daerah atau provinsi ke daerah-

daerah meskipun pemerintah atasannya mempunyai kewenangan yang

dijamin oleh undang-undang atas pemerintah lokal

2. The Inclusive Authority Model

Adapun cirinya adalah :

a. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sama-sama dipengaruhi oleh

keputusan-keputusan yang dibuat oleh para aktor politik di tingkat

nasional dan dipengaruhi juga oleh kepentingan-kepentingan ekonomi

nasional.

b. Kekuasaan lembaga-lembaga di luar lembaga nasional seperti misal

Gubernur, anggota dewan sangat terbatas. Contoh Amerika Serikat

mengikuti pola ini sistem politik diatur secara hirarkhi dipengaruhi oleh

pusat. Tumbuhnya peluang kesempatan kerjasama hampir dipastikan

terjadi pada tingkat pusat dan daerah. (Negara bagian-pemerintah

provinsi-pemerintah daerah) kombinasi antara anggota provinsi dan

daerah cenderung menyamai anggaran yang dibutuhkan pada tingkat

pusat.

3. The Overlaving Authority Model

Adapun cirinya adalah :

a. Kekuasaan tersebut menyebar secara luas tidak semua tingkatan

pemerintah itu saling tergantung

Page 140: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

131

b. Sinerginya tinggi masing-masing pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/

kota mempunyai wilayah-wilayah otonom yang eksklusifitasnya terbatas

masing-masing tingkatan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota

c. Antar hubungan diantara pemerintah atau lingkungan pemerintah dijalin

dalam suatu yang kompetitif maupun kooperatif

4. Federal dan Negara Bagian yang Memiliki Otonom di Wilayah Masing-

Masing

Adapun cirinya adalah :

a. Tujuan pemerintah federal bersifat egaliter dan universal

b. Tujuan pemerintah daerah itu terbatas bersifat partikularistik hanya

terbatas pada wilayahnya sendiri

Apa dasar, basis hubungan antar pemerintah pusat, pemerintah provinsi

dan pemerintah daerah adalah :

1. Pemerintah pusat jelas pemegang uang,

2. Pemerintah pusat itu butuh sumberdaya manusia, sumberdaya keorganisasian,

instansi-instansi tidak punya membutuhkan pihak yang menerima uang

pemerintah

3. Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota punya sumberdaya manusia dan

sumberdaya keorganisasian dan instansi yang beragam pemerintah daerah

butuh uang untuk itu

Kalau dilihat model apapun pada hubungan antar pemerintah dan

ditempatkan sebagai bentuk wujud kebijakan yaitu bahwa rasanya tidak mungkin

memahami yang menyangkut model hubungan antar pemerintah jika kita tidak

memahami keunikan yang tersembunyi keberhasilan dan kegagalan kalau

mengimplementasikan kebijakan itu.

Konsep hubungan antar pemerintah untuk suksesnya memahami benar

konsep “partnership” sebagaimana dikatakan oleh Hetifah (2009) Partnership

adalah perspektif baru yang merupakan penjabaran dari governance. Partnership

diperlukan untuk melipat gandakan dukungan dari sektor publik dan sektor privat

Page 141: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

132

dalam upaya membangun komunikasi. Pemerintah lokal terlibat dalam

partnership karena mereka harus memanfaatkan sumberdaya mereka yang

terbatas sebaik mungkin. Banyak program membangun komunikasi yang tidak

dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah maupun oleh lembaga non profit. Mereka

menyadari bahwa membangun komunikasi akan lebih efektif jika dilakukan

bersama.

Menurut Wahab (2009) partnership membutuhkan komitmen yang tinggi

agar supaya proses perubahan yang diinginkan mampu untuk memperkuat posisi

masing-masing. Sebagai contoh dalam partnership masing-masing pihak harus

mematuhi ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam peraturan Undang-

Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maupun ketentuan-

ketentuan dalam Memorandum of Understanding mereka, karena tidak lain itu

menyangkut peran dan tanggung jawab masing-masing. Misal kerjasama antar

pemerintah daerah tidak dirumuskan yang kuat untuk menjalankannya maka besar

kemungkinan terjadi kemacetan atau kegagalan dalam proses pengambilan

keputusan, dan menyepakati prosedur yang disepakati untuk menjalankannya.

Dengan kata lain Memorandum of Understanding dan bentuk prosedur serta

negosiasi yang lain perlu dijabarkan, dirasionalkan, dipahami dengan tepat dan

benar oleh masing-masing pemerintah daerah agar dapat menghindari penggunaan

yang sia-sia atas sumberdaya atau pemberian jasa layanan kepada masyarakat

yang berkualitas rendah atau capaian-capaian hasil yang tidak memuaskan, karena

itu perlu dilakukan secara teratur dan konsisten evaluasi terhadap pelaksanaan

peran dan tanggung jawab masing-masing secara lebih terbuka oleh pemerintah

yang menjalankan kerjasama tersebut dan dalam evaluasi tersebut perlu juga

melibatkan masukan dari masyarakat.

Harapan orang awam dan policy maker masalah-masalah yang ada dapat

mudah dipecahkan lewat kerjasama tersebut. Pengambilan keputusan akan mulus

tujuan tercapai secara efisien dan efektif.

Pastinya ada beberapa contoh Network Governance yang fleksibel dan

proaktif dengan dampak nyata kepembuatan kebijakan publik. Tapi masalahnya

adalah bahwa network governance, menggunakan proses sosial dan politik yang

Page 142: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

133

banyak dan terjadi dalam konteks politik dan ekonomi yang tidak terkontrol.

Realitanya banyak hal yang bisa salah dan menghambat terjadinya network

governance yang efektif: yaitu (1) sulit memotivasi aktor untuk ikut serta karena

adanya biaya transaksi yang tinggi dan adanya peluang kecil dari seorang aktor

untuk mendapatkan pengaruh politik riil, (2) tidak mungkin menyelesaikan

konflik internal dalam network bisa mencapai solusi bersama, (3) penciptaan

network governance yang mandiri juga dianggap sulit karena minimnya legitimasi

dan sumberdaya, (4) kegagalan pemerintah untuk memahami tata cara

pelaksanaan network governance atau perlawanan politik dari aktor network

governance kegangguan eksternal, (5) perbedaan persepsi dari network

pemerintah dan network governance.

Permasalahan tersebut di atas berlawanan dengan pemikiran dari

Farazmand (2004) berkaitan dengan dimensi proses, dalam sound governance

melibatkan proses pemerintahan, dimana terjadi interaksi seluruh elemen atau

stakeholder yang ada, dimana proses menjelaskan bagaimana governance bekerja.

Disamping itu pula berlawanan dengan dimensi struktur dimana struktur adalah

kumpulan elemen, aktor, peraturan, prosedur, kerangka pengambilan keputusan

konstitutif. Sound governance memiliki struktur yang solid, berbekal informasi,

sah, kompeten, dan dinamis dalam bentuk maupun substansi, misal dalam public

governance pejabat-pejabat yang terpilih dan ditunjuk, stakeholder, lembaga

swadaya masyarakat adalah bagian dari struktur pemerintahan.

Merumuskan dan mengimplementasikan solusi memuaskan bagi kebijakan

yang tidak jelas dan kompleks jelas membutuhkan: (1) agar semua aktor yang

relevan dan yang terpengaruh bisa terlibat dalam negosiasi network, (2) agar aktor

mau mengumpulkan sumberdayanya. (3) agar mereka sepakat dalam konsepsi

sifat masalah, ragam opsi dan dalih pembuatan keputusan yang paling penting.

Tidak ada jaminan bahwa kebutuhan ini bisa dipenuhi. Realitanya, ada

serangkaian hambatan yang harus diatasi untuk menghasilkan penyelesaian

masalah yang sesuai dengan “network governance”.

Partisipasi aktor bisa terhambat oleh sifat tertutupnya network governance.

Schapp dan Van Twist (1997) dalam Sorensen dan Torfing mengatakan empat

Page 143: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

134

bentuk ketertutupan dimana aktor tertentu mengabaikan aktor lainnya. Pertama,

ada ketertutupan sosial yang tidak disadari jika aturan, norma dan prosedur yang

meregulasi akses ke network governance ternyata mengabaikan aktor tertentu dari

network. Kedua, ketertutupan sosial bisa nyata jika aktor network menyadari

bahwa beberapa aktor relevan diabaikan. Ketiga, ada ketertutupan kognitif yang

tidak disadiri, dalam arti bahwa kerangka aktor network yang diskursif, aktor lain

diabaikan dari negosiasi dalam network governance. Terakhir ketertutupan

kognitif bisa jadi sadar ketika aktor network mempertimbangkan efek eksklusi

kerangka referesinya, tapi tidak mau merubahnya untuk menghasilkan untuk

menghasilkan partisipasi dalam network governance.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Farazmand (2004) dalam dimensi

kognisi dan nilai dimana kognisi dan nilai mewakili sistem nilai yang unik atau

tidak biasa dalam struktur dan proses governance. Misalnya: sistem governance

yang tidak sehat, korup dan miskin biasanya tergantung pada kekuatan eksternal,

tingkat kompleksitas, keberagaman dan intensitasnya rendah. Sound governance

memiliki nilai-nilai yang sehat dan dinamis misalnya keadilan, kesetaraan dan

integritas.

DAFTAR PUSTAKAAbdul Wahab, Solichin. (1997). Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi

Kebijaksanaan Negara, Edisi Kedua. Bumi Aksara. Jakarta.Farazmand Ali (ed). (2004). Sound Governance Policy and Administrative Innovation. Praeger,

Westport, Connecticut. London.Hamdi, M. (2007). Organisasi Kerjasama Antar Daerah. Jurnal Ilmu Pemerintah Indonesia,

Jakarta.Henry, N. (1995). Public Administration and Public Affair. Sixth Edition. Engle Wood Cliffs, N.J.

Prentice- Hall.Hetifah, SJ. S. (2009). Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Yayasan Obar Indonesia.

Jakarta.Keban, Jeremias, T. (2007). Membangun Kerjasama Antar Pemerintah Daerah

Dalam Era Otonomi. Jurnal Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.Paterson, DA. (2008). Intergovernmental Cooperation James A. Coon Local Government

Technical Series. Department of State, Lorraine A. CortesVazquez. Secretary of State NewYork State.

Pratikno (ed). (2007). Kerjasama Antar Daerah: Kompleksitas dan Tawaran FormatKelembagaan. Program S2. PLOD. UGM. Yogyakarta.

Ramses, A. dan Bowo Fauzi. (2007). Kerjasama Antar Daerah Format Pengaturan danPengorganisasian. Jurnal Ilmu Pemerintahan Indonesia. Jakarta.

Rosen, E.D. (1993). Improving Public Sector Productivity: Concept and Practice. London, SagePublications, International Educational and Professional Publisher.

Sorensen, Eva and Torfing. Jacob (2007) Theories of Democratic Network Governance PolgraveMac Milan Hound Mills Basingstoke, Hampshire RG21 GXS and 175 F1 7th Avenue, NewYork, N.Y. 10010.

Page 144: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

135

Suryokusumo, F.A. (2008). Pelayanan Publik dan Pengelolaan Infrastruktur Perkotaan. PenerbitSinergi Publishing, Yogyakarta.

Tasmaya, R.H. (2007). Kerjasama Antar Jabodetabekjur (Dalam Rangka Solusiatas Masalah Bersama). Jurnal Ilmu Pemerintahan Indonesia. Jakarta.

Thomson. (2007), Thomson dan Ferry (2006). Dalam Keban. Membangun Kerjasama antarPemerintah Daerah Dalam Era Otonomi, Jurnal Ilmu Pemerintah. MIPI. Jakarta.

Page 145: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

136

SEGITIGA INOVASI: ANALISIS MEMBANGUN INOVASI PADA

PEMERINTAHAN DAERAH

Irwan Noor18ABSTRAK: Inovasi menjadi bagian integral di dalam membangun

kemajuan suatu daerah. Namun sayangnya, tidak semua daerah terpicu untukmengembangkannya. Tiga faktor yang diidentifikasi berpengaruh di dalammengembangkan inovasi pada pemerintah daerah, yaitu kepemimpinan, iklimorganisasi, dan lingkungan politik. Dengan analisis segitiga inovasi sertamempergunakan pendekatan sistemik, tulisan ini mengajukan sebuah model didalam mendesain inovasi pemerintahan daerah, yang disebut dengan LPC Model.

PENDAHULUAN

Dalam ranah administrasi publik, konsep inovasi mulai merebak sekitar

tahun 1990-an. Perkembangan ini dipicu dengan terjadinya pergeseran paradigma

administrasi publik, dari classic administration ke new public management

(NPM). Sebuah konsep yang memiliki banyak nama. seperti: Managerialism

(Pollit)19; Market-Based Public Administration (Lan and Rosenbloom)20; Post-

Bureaucratic Paradigm (Barzeley)21; Entrepreneurial Government (Osborne and

Gaebler)22. Dalam hal ini Christopher Pollitt (1993) melihat New public

management sebagai contoh 'managerialism', yang dianggap lebih mirip sebuah

ideologi daripada teori.

Secara teoritis, konsep NPM merupakan adopsi nilai-nilai bisnis yang

dicoba-terapkan dalam sektor publik. Oleh karenanya, nilai-nilai kompetisi

menjadi sentra perbincangan dalam banyak kajiannya. Istilah Steering, not

rowing”, sebagaimana dikemukakan Osborne and Gaebler (1993) seakan

18 Dosen Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya19 Pollitt, Christopher, 1993, Managerialism and the public services: the Anglo-American experience,

Oxford, Blackwell20 Lan, Zhiyong and Rosenbloom, David H,1992, Public Administration in Transition?, Public

Administration Review, November/December, Vol. 52 No. 621 Michael Barzelay, 1992, Breaking through bureaucracy: a new vision for managing in government,

University of California Press22 David Osborne, Ted Gaebler, 1993, Reinventing government: how the entrepreneurial spirit is

transforming the public sector, Plume

Page 146: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

137

menjustifikasi sektor publik untuk mempraktekan nilai bisnis dalam

perkembangan organisasinya. Keberhasilan pemerintah lokal (sektor publik)

diukur dari nilai-nilai kompetitif daerah bersangkutan. Istilah daya saing daerah

(local competitive advantage) kemudian muncul beriringan dengan maraknya

keberhasilan beberapa pemerintah lokal. Keberhasilan beberapa pemerintah lokal

di Selandia Baru, Canada, maupun di Indonesia (Gorontalo, Sragen, Jembrana)

kemudian dijadikan kiblat keunggulan konsep tersebut. Adapun pilar memicu

keunggulan bersaing atau kompetitifnya suatu daerah adalah keberhasilannya

dalam inovasi di pemerintah lokal tersebut.

Berangkat dari analogi keberhasilan beberapa pemerintah lokal karena

inovatif, menjadikan konsep “inovasi” merebak dan menjadi isu di dalam

mengukur keberhasilan suatu daerah. Gaung mantra inovasi didukung pula oleh

pembenaran secara teoritis, yuridis, maupun praktis. Secara teoritis atau

konseptual, beberapa laporan tentang makna pentingnya inovasi banyak

dipublikasikan. Seperti Publin Report (2005), yang berisi beragam hasil kajian

inovasi di sektor publik, seperti: On the differences between public and private

sector innovation (D9); The structure and size of the public sector in an enlarged

Europe (D14); Policy learning, what does it mean and how can we study it?

(D15); Studies of innovation in the public sector, a theoretical framework, (D16) ;

Report on the Publin surveys (D17); Innovation in the social sector – case study

analysis (D18); Innovation in the health sector – case study analysis (D19).

SCALES, Research Report H200303 (2003), Leadership as a determinant of

innovative behaviour, CESIS (2007), Paper No.105, Innovation Policy

Instruments. Atau beberapa kajian yang dilakukan beberapa ahli. Shapiro,

(2002:7), misalnya mengungkapkan: The winners will be the government that find

ways to release their innovative potential and apply it to the way they think and

the way they work, sedangkan Groot (2007), menyatakan bahwa: “Innovative

local government: making public services more responsive”. Farazmand

(2004:19) mengungkapkan “Without policies and administrative innovation,

governance fall into decay and effectiveness, loses capacity to govern, and

becomes a target of criticism and failure”. Jones, sebagaimana dikutip Martin

(993:2), menyatakan bahwa:

Page 147: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

138

local government’s main role is to help local

communities to learn to make strategic choices by balancing the

costs and benefits of efficiency, effectiveness, economic growth,

quality of life, social justice, participation and legitimacy. This

role, one suspects, demands a high level of innovation if local

government organizations are to be effective in their work

Sedangkan Mulgan dan Albury, (2003:2), menyatakan:

Innovation should be a core activity of the public sector:

it helps public services to improve performance and increase

public value; respond to the expectations of citizens and adapt

to the needs of users; increase service efficiency and minimise

costs. Moreover the public sector has been successful at

innovation in the past - effective government and public services

depend on successful innovation – to develop better ways of

meeting needs, solving problems, and using resources and

technologies

Secara yuridis, khususnya pada pemerintah daerah di Indonesia, Undang-

Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, khususnya pasa 2

ayat 3 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2008 tentang Pedoman

Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, jika dielaborasi lebih jauh

peraturan tersebut mengarah pada kemampuan daerah untuk kompetitif.

Sedangkan inovasi berdasarkan beberapa studi yang telah dilakukan (Ebner, 2004;

Lin, 2007) merupakan bagian integral bagi pencapaian kompetitif.

Secara praktis, keberhasilan beberapa daerah di Indonesia, seperti

Kabupaten Jembrana dalam melaksanakan program inovasi terbukti secara

signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Hasil studi yang dilakukan

PPKSD FISIP UI dan Yayasan TIFA (2004) dalam kurun waktu 3-4 tahun,

Jembrana, dengan inovasi dalam kebijakan kesehatan, dapat mengurangi keluarga

miskin sebesar 44 persen (Tahun 2001 19,4 berkurang menjadi hanya 10,9 pada

tahun 2003). Prestasi lainya adalah kematian bayi per seribu lahir hidup pada

tahun 2001 sebesar 15,25 berkurang menjadi 8,39 atau berkurang 45 persen.

Page 148: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

139

Inovasi bidang pendidikan, dapat mengurangi tingkat drop out (do) sekolah dasar

pada tahun 2001 menjadi 0,02 atau berkurang 75 persen. Selain itu beberapa

daerah telah banyak pula melakukan inovasi program untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyatnya. Kabupaten Banjarnegara melalui Pembenahan

Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banjarnegara. Kabupaten

Deliserdang melalui pembentukan LEPP-M3 sebagai upaya pemberdayaan

ekonomi masyarakat pesisir. Kabupaten Gianyar melalui Gianyar Sejahtera

(Tifa,2004). Kabupaten Sumba Timur melalui pelatihan aparatur pemerintah desa

(Apkasi,2003 dalam Tifa 2004). Selain itu, Desember 2007, Kementerian Dalam

Negeri memberikan penghargaan tiga daerah paling inovatif (setelah disaring dari

36 daerah – 10 daerah – hingga jadi 3 daerah), yaitu: Kabupaten Sragen

merupakan daerah paling inovatif dalam hal manejemen pengelolaan

pemerintahan daerah. Kabupaten Jembrana, inovatif dalam pelayanan publik,

sedangkan Kabupaten Kutai Timur menjadi daerah paling inovatif dalam

pemasaran promosi investasi daerah dan perizinan investasi (Harian Berita Sore,

2007). Selain itu, dampak signifikan bagi dari inovatif tergambar pada

peningkatan Indeks Pembangunan Manusia daerah bersangkutan.

Makna pentingnya inovasi sebagaimana diungkapkan di atas, menjadikan

inovasi bagian integral bagi pembangunan sebuah daerah. Namun dibalik itu

semua, tidak semua pemerintah daerah di Indonesia inovatif. Inovasi belum

menjadi bagian integral pada aktivitas pemerintahan, terutama pemerintahan lokal

di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Maret 2009, The Boston

Consulting Group (BCG), the National Association of Manufacturers (NAM), dan

The Manufacturing Institute (MI) mempublikasikan Global Innovation Index,

yang merupakan ukuran tingkat inovasi suatu negara, mengungkapkan negara-

negara berkembang, termasuk Indonesia tidak seberuntung negara –negara maju.

Rata-rata berada dalam rangking menengah ke bawah.

Pertanyaan yang dapat diajukan adalah “mengapa pemerintah lokal

(daerah), terutama di Indonesia kurang inovatif?” Pertanyaan ini sebagai

reaksi makna pentingnya inovasi tersebut bagi kemajuan dan kesejahteraan

masyarakat suatu daerah. Sebagaimana dinyatakan di atas, inovasi memiliki

Page 149: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

140

landasan teoritis yang kuat. Didukung secara yuridis di dalam pengembangnnya.

Banyak contoh (praktis) daerah-daerah menjadi maju karena inovasi. Pertanyaan

inilah yang dicoba elaborasi dalam artikel ini, yang didasarkan pada hasil

penelitian yang penulis lakukan.

METODE SEGI TIGA INOVASI

Secara teoritis, ada dua faktor dominan di dalam memahami inovasi

pemerintahan lokal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Secara empiris Kim

menunjukkan dengan pengujian secara multiple regression analysis, bahwa faktor

internal dan eksternal berhubungan secara signifikan serta positip terhadap

perkembangan inovasi. Dalam faktor internal, dua komponen sangat berperan di

dalam pengembangan inovasi, yaitu kepemimpinan (gaya dan visi) dan iklim

organisasi (struktur organisasi dan pemberian imbalan). Selman (2004)

mengungkapkan: Innovation and leadership are closely related. Leadership

always has some focus on bringing about a better future. In this sense, leaders are

necessarily innovators. Pada pandangan lain, dalam studi yang dilakukan

Gumusluoglu (2009:2) dinyatakan, bahwa “leadership has important effects on

creativity at both the individual and organizational levels”. Beberapa studi yang

dilakukan, seperti Senge (1990), Yoon (2006); Gumusluoglu (2009); Paulsen et.al

(2009); Makri and Scandura (2010), umumnya menunjukkan pentingnya

kedudukan pemimpin di dalam mengembangkan inovasi pada organisasi yang

dipimpimnya.

Berkenaan dengan konsep kepemimpinan dalam inovasi, beberapa kajian

memusatkan perhatian akan pentingnya gaya (leadership style) dan visi

kepemimpinan (leadeship vision) dalam menumbuhkan kembangkan inovasi.

Hansenfeld (2010:495), misalnya menyatakan : “Innovation process require

different leadership style”. “Leadership styles have an important impact on

innovativenss” (Katrinli, 2009:121). Pernyataan Bossink (2004:211) “The

leadership styles and their characteristsics relate to process and product

innovations”. Pada pandangan lain Jung, et.al (2003) maupun Zaccaro (2001)

menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah salah satu faktor kunci dalam

mempromosikan kinerja inovatif. Sedangkan Daft (2008:434) menyatakan “the

Page 150: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

141

leadership style of the top exucutive sets the tone for how effective organization is

at acontinuous adaption and innovation”. Sedangkan keterkaitan visi

kepemimpinan dengan inovasi dikemukakan oleh Robertson (2002). Sedangkan

Hitt et.all (2007:428) dalam menjelaskan kaitan antara visi kepemimpinan dengan

inovasi menyatakan: “Effective leadership and shared values promote

integration and vision for innovation”.

Faktor internal kedua yang sangat erat bagi perkembangan inovasi adalah

iklim atau budaya organisasi. Menurut Tushman (2006), budaya organisasi

terletak di jantung inovasi. a deeper understanding of how values and norms

induce innovative behaviour of individuals and firms is still lacking (Hartmann,

2006) organizational culture can foster motivation to innovate by stressing the

importance of innovation and defining the way to behave innovatively. (Hartmann,

2006). Martin (2000) mengungkapkan: “A culture of innovation is seen as

essential if local government organisations are to effectively manage and survive

in ever-changing environments”. Oleh karenanya, A culture of innovation

provides an opportunity for local government to respond to pressing local needs

within legislative and financial constraints. Adapun untuk membentuk budaya

inovasi di perlukan kepemimpinan yang sangat bagus dalam arti ia mampu

berkomunikasi dengan apa yang dia kelola, baik langsung maupun tidak langsung.

Gumusluoglu dan İlsev (2009) menyebutkan “Leadership has been suggested to

be an important factor affecting innovation. A number of studies have shown that

leadership positively nfluences organizational innovation”. Pada bagian mereka

mengungkapkan “Innovation is defined as the successful implementation of

creative ideas within an organization .It has been suggested that leadership is

among the most important factors affecting innovation”

Salah satu faktor yang jarang dikaji dalam membangun inovasi pada

pemerintah lokal adalah lingkungan politik (supra dan inpra struktur politik),

sebagai faktor eksternal. Padahal lingkungan politik merupakan faktor yang

sangat berperan di dalam merumuskan maupun di dalam pengimplementasian

sebuah kebijakan di dalam pemerintah daerah. UU 12 tahun 2008, sebagai revisi

UU 32 tahun 2004, menunjukkan peran lingkungan politik di dalam kehidupan

Page 151: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

142

pemerintah daerah di Indonesia, terutama di dalam memilih kepala daerah

(pemimpin daerah). Berkenaan dengan peran pentingnya lingkungan politik ini

dikemukakan Doner (2009:2), dengan mengutip pendapat Bates (1995), political

leaders or “ruling elites” are thus key to the creation of institutional capacities,

whether in the bureaucracy, the private sector, or public–private networks.

Pernyataan ini senada dengan pandangan Parker dalam laporan IdeA (2009:19):

“essential condition for innovation is that of political leadership and support”.

Hal ini dikarenakan, sebagaimana dikemukakan Hambleton (2009:106),

politicians can play a powerful role in how particular

issues are framed, articulating why they matter, and creating

popular support for new approaches. When innovation is

needed not only in how services are delivered, but also in the

very relationship between citizens, professionals and the state,

public service managers need the support and the engagement

of politicians as well

Dengan demikian, lingkungan politik, di samping memiliki peran sebagai

faktor pengaruh di dalam mendesain inovasi di pemerintahan daerah, ia juga

menjadi faktor pengungkit di dalam mendesain inovasi. Dengan bahasa lain,

lingkungan ekternal banyak memberikan pengaruh yang signifikan bagi

pengembangan inovasi suatu organisasi.

Berangkat dari tiga komponen di atas, kepemimpinan, iklim organisasi dan

lingkungan politik, dapat dikemukakan bahwa inovasi pada pemerintahan lokal

sangat dipengaruhi oleh tiga faktor tersebut. Dengan mengadopsi model yang

dikembangkan Johannessen (2009)23, inovasi dapat digambarkan dalam segitiga,

seperti gambar 1 berikut:

23 Johannessen, Jon-Arild (2009), A systemic approach to innovation: the interactive innovationmodel,Kybernetes, Vol. 38 Nos 1/2, pp. 158-176

Page 152: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

143

Gambar 1. Innovation as Interactive Learning: a Systemic Model

Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa inovasi pemerintahan daerah

dipengaruhi oleh tiga faktor secara sistemik, Untuk membuktikan model

konseptual di atas, dilakukan penelitian di daerah kabupaten Jembrana. Pilihan

daerah didasarkan keberhasilan kabupaten Jembrana sebagai salah satu daerah

yang paling inovatif di Indonesia. Analisis sistem dipergunakan dalam kegiatan

penelitian ini. Dengan mengikuti alur pemikiran yang dikemukakan Sterman

(2000), yaitu (1) Problem Articulation: The Importance of Purpose; (2)

Formulating a Dynamic Hypothesis; (3) Formulating a Simulation Model; (4)

Testing, dan (4) Policy Design and Evaluation, dilakukan analisis sistem dengan

bantuan program Stella.

LPC MODEL: TEMUAN PENELITIAN

Simulasi tiga komponen dengan sistem dinamis memberikan petunjuk,

kendatipun iklim organisasi tidak langsung memberikan pengaruh pada

pertumbuhan inovasi, namun pengabaian terhadap faktor ini akan memberikan

Page 153: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

144

pengaruh negatip bagi pertumbuhan inovasi. Berbeda dengan dua faktor lainnya,

yaitu kepemimpinan dan lingkungan politik, sangat berperan bagi pertumbuhan

inovasi. Pertumbuhan inovasi secara eksponensial mengikuti perkembangan

kedua faktor tersebut. Eksponensial positip maupun negatip dipengaruhi secara

langsung oleh kedua faktor tersebut. Hal ini digambarkan lebih lanjut pada grafik

di bawah ini.

Gambar 2. Analisis Sistem Dinamis terhadap Inovasi

Kepemimpinan yang memberikan nilai positip di dalam perkembangan

inovasi sangat dipengaruhi oleh faktor gaya kepemimpinan, visi kepemimpinan

yang inovatif dan partai politik pemenang pemilu. Adapun gaya kepemimpinan

(leadership style) maupun Visi kepemimpinan (leadership vision) dipengaruhi

oleh dukungan politik terhadap kepala daerah dan berpengaruh positip bagi iklim

organisasi. Demikian pula dengan iklim organisasi yang memberikan pengaruh

bagi pertumbunan inovasi suatu pemerintahan daerah, dipengaruhi oleh faktor

imbalan dan struktur organisasi maupun gaya kepemimpian kepala daerah.

Dimana masing-masing faktor sangat dipengaruhi oleh partai politik pemenang

pemilu. Dengan demikian, faktor supra maupun infra struktur politik, yang

merupakan faktor bagi lingkungan politik, merupakan faktor krusial untuk

mendesain inovasi suatu pemerintahan daerah. Temuan ini menunjukkan bahwa

analisis di dalam mendesain inovasi pemerintahan daerah sangat didukung oleh

faktor tersebut.

Dengan demikian, temuan dalam penelitian ini memberi petunjuk akan

kebenaran kontruksi teoritis yang diajukan dalam penelitian ini. Pertama. Inovasi

Page 154: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

145

pemerintahan daerah sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal,

yang terdiri dari kepemimpinan (visi dan gaya kepemimpinan) dan iklim

organisasi (struktur dan pemberian imbalan) serta faktor eksternal, yaitu

lingkungan politik (supra dan inpra struktur politik). Penelitian ini memberikan

kontribusi di dalam penguatan pandangan teoritis yang dibangun sebelumnya dan

memperjelas hipotesis dari Yoon (2006) “leadership is a key factor for the success

of innovation”. Hal ini dikarenakan pemimpin adalah aktor sentral yang berperan

dalam pengembangan inovasi. Seorang pemimpin yang memiliki visi dan gaya

kepemimpinan yang memahami lingkungan dimana ia berada. Visi kepemimpinan

seorang pejabat daerah adalah visi yang berangkat dari pemahaman akan potensi

daerah yang dilandasi oleh nilai-nilai kemasyarakatan. Tanpa pemahaman hal

tersebut, visi terkadang hanya menjadi kebutuhan administratif tanpa perwujudan

yang nyata. Namun sebaliknya, pemimpin yang memahami nilai di atas, maka

akan memunculkan dorongan untuk mewujudkannya. Keberhasilan pemerintahan

daerah Kabupaten Jembrana dalam berinovasi dilandasi oleh visi Bupati Jembrana

yang didasari oleh nilai-nilai kemasyaraatan dan nilai potensi daerah yang ada.

Oleh karenanya, dalam berinovasi tidak dijumpai inovasi dalam bidang

parawisata. Kendatipun jika diperhatikan provinsi Bali selalu mengandalkan

bidang parawisata. Namun, inovasi di Jembrana lebih diarahkan pada perbaikan-

perbaikan nilai dasar kemasyarakatan. Hal ini disebabkan secara sosial ekonomi

masyarakat di Kabupaten Jembrana lebih rendah dibanding daerah yang ada di

provinsi Bali. Pemahaman akan nilai kemasyarakatan sebagai visi kepemimpinan

Bupati Jembrana menjadikan inovasi dalam bidang pendidikan, kesehatan maupun

kepemerintahan berhasil dengan baik. Ini sama artinya, inovasi pada pemerintahan

daerah lebih banyak berhasil jika pejabat di daerah dapat memahami kebutuhan

dan nilai yang ada di masyarakat

Faktor kedua yang perlu diperhatikan di dalam mendesain inovasi adalah

pemahaman akan iklim organisasi, khususnya dalam varian struktur organisasi

dan kebutuhan karyawan yang berada di pemerintahan. Pemahaman kedua varian

ini sebenarnya pemahaman akan indikasi vertikal dan horinzontal. Seorang

pemimpin di daerah, khususnya dalam kapasitasnya sebagai pejabat di daerah

tidak terlepas dari dua kutub arah tersebut. Sebagai seorang pejabat, ia tidak

Page 155: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

146

terlepas dalam kaitannya dengan pemerintah pusat. Oleh karenanya perhatian

terhadap struktur organisasi sebenarnya refleksi dari kepatutan daerah terhadap

pemerintahan pusat. Desentralisasi bukan berarti pemerintah daerah terlepas

penuh terhadap pemerintah pusat. Dalam koridor negara kesatuan, desentralisasi

masih ternaungi oleh negara kesatuan yang terkoordinir oleh pemerintah di

atasnya, baik provinsi maupun pemerintah pusat. Varian kedua yang membawa

dampak cukup signifikan bagi iklim organisasi adalah perhatian terhadap

karyawan yang ada di lingkungan pemerintahan daerah. Pembenahan mesin

birokrasi tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusian karyawan yang ada di

lingkungan organisasi tersebut menjadikan karyawan sebagai mesin birokrasi

yang kaku. Oleh karenanya perlu perhatian terhadap karyawan dalam bentuk

pemberian motivasi yang bersifat instrinsik pada karyawan. Dalam hal ini dapat

berwujud pemberian reward bagi karyawan yang inovatif. Perhatian organisasi

terhadap mesin birokrasi ini menjadikan karyawan dihargai. Penghargaan dapat

menumbuhkan kreativitas. Faktor inilah awal berkembangnya nilai-nilai inovatif

dalam organisasi.

Faktor ketiga yang perlu diperhatikan adalah lingkungan politik. Di

dasarkan pada uji statistik maupun simulasi terhadap masing-masing faktor,

ternyata faktor lingkungan politik memiliki kepekaan yang sangat signifikan bagi

pertumbuhan inovasi. Ketidak-seimbangan di dalam kondisi lingkungan politik

sangat berpengaruh bagi pertumbuhan inovasi. Dalam bahasa lain, lingkungan

politik adalah faktor yang sangat krusial bagi pengembangan nilai-nilai inovasi.

Sebagai pengungkit, jika faktor politik berjalan dalam kondisi yang stabil,

maka akan memberikan pengaruh positip bagi perkembangan yang cukup pesat

bagi inovasi. Namun, jika faktor politik berjalan daam ketidak seimbangan, yaitu

dalam arti sebagai disruption factors, maka inovasi yang dicanangkan tidak akan

berjalan.

Faktor politik inilah yang perlu mendapat perhatian bagi komponen

pemerintah daerah. Kemajuan daerah bukan tanggung jawab pemerintah daerah

semata. Lingkungan politik (partai politik maupun lembaga legislatif) mempunyai

tanggung jawab dan beban moral bagi kemajuannya. Inovasi tidak akan berjalan

Page 156: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

147

dalam kondisi lingkungan yang tidak kondusif. Perhatian terhadap faktor inilah

sering terbaikan. Hal ini terpampang dari kebijakan yang dilakukan pemerintah.

Kebijakan inovasi lebih terarah pada membangun pemerintah daerah

inovatif, bukan membangun inovasi pemerintahan daerah. Dua konsep ini

memiliki makna yang berbeda. Jika membangun pemerintahan daerah inovatif

bermakna perombakan akan struktur, pola, budaya organisasi pemda agar mampu

menghasilkan sesuatu yang inovatif (ini membutuhkan waktu yang cukup lama),

maka membangun inovasi pemerintahan berarti mendesain cara yang dapat

diterapkan di pemerintahan daerah dengan tujuan agar dapat diterapkan di

pemerintahan daerah. Dalam hal ini, tanpa terjadi perombakan struktur, budaya

dan organisasi pemerintahan daerah.

Berangkat dari pengertian di atas, penelitian yang dilakukan ini, dengan

mempergunakan segitiga inovasi, mengungkapkan sebuah model di dalam

membangun inovasi pemerintahan daerah yang disebut dengan LPC Model, yaitu

Leadership, Political and Climate Model.Model ini digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3. LPC Model

LPC Model di atas merupakan kontruksi hasil temuan lapangan yang

didasarkan pada model konseptual yang diajukan di atas (gambar 1). Model

pengembangan inovasi bagi pemerintah lokal (daerah) dilihat dari hubungan yang

bersifat sistemik dari berbagai faktor, baik internal maupun ekstenal. Khusus pada

faktor eksternal, yaitu lingkungan politik, baik supra maupun infra struktur

Leadership

PoliticalEnvironment

Organizational Climate

LocalGovernmentInnovation

Page 157: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

148

politik, dipandang sebagai faktor yang sangat krusial bagi pengembangan inovasi

pada pemerintahan daerah. Jika tingkat kerentanan sistemik inovasi pada

lingkungan politik yang tidak stabil cukup tinggi, maka muncul kelambatan dalam

pertumbuhan inovasi. Oleh karenanya, ada dua kemungkinan yang dapat

dilakukan berkenaan dengan kondisi ini. Pertama, ketika kerentanan inovasi

dalam lembaga pemerintah rendah, sedangkan lingkungan politik relatif stabil,

maka reformasi kelembagaan di tubuh pemerintah perlu dilakukan. Sebaliknya,

ketika iklim inovasi di lembaga pemerintah cukup baik, namun lingkungan politik

kurang stabil, maka reformasi politik perlu dilakukan. Dalam hal ini reformasi

politik bermakna penataan kelembagaan politik yang memiliki kemampuan

menyerap aspirasi dan mampu mengimpelmentasikan harapan publik. Dalam hal

ini, perlu pembenahan terhadap UU politik, baik lembaga legislatif maupun partai

politik, khususnya berkaitan dengan peran dan kedudukannya terhadap

pemerintah daerah, perlu dicerna lebih lanjut. Dan ini tentunya perlu kebesaran

dan keberanian untuk merubahnya. Jika tidak, capaian daerah yang inovatif boleh

jadi hanya sebatas persyaratan politik demi memenuhi UU pemerintahan semata.

PENUTUP

Inovasi merupakan kosa kata yang menjadi bagian integral bagi

pemerintah daerah. Ia dibutuhkan tidak hanya semata sebagai pemenuhan tuntutan

paradigma dalam kajian-kajian administrasi publik, tetapi telah menjadi tuntutan

dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat. Berangkat dari paparan di atas, ada

tiga komponen yang perlu memperhatikan di dalam membangun inovasi pada

pemerintahan daerah di Indonesia.

Pertama dibutuhkannya kepala daerah (pimpinan) yang memiliki

entrepreneurship visión, yaitu seorang pemimpinan daerah yang mampu membaca

nilai-nilai kemasyarakatan yang ada. Di samping itu, untuk mencapai nilai

pertama ini dibutuhkan gaya kepemimpina yang meletakan dirinya dalam

berbagai lingkugan. Untuk itu dibutuhkan gaya kepemimpinan situasional.

Berkenaan dengan hal ini, ada ada dua perilaku yang perlu diperhatikan seorang

pemimpin, yaitu perilaku tugas dan perilaku hubungan. Kedua, iklim organisasi.

Kendatipun komponen ini tidak begitu besar pengaruhnya di dalam membangun

Page 158: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

149

inovasi, namun satu faktor yang sangat penting untuk diperhatikan, yaitu

pemberian imbalan (kompensasi) bagi karyawan yang inovatif. Nilai ini menjadi

penting jika dikaitkan dengan motivasi karyawan di dalam menumbuhkan inovasi

dalam organisasi. Pemberian imbalan menjadi persyarat bagi pemerintah daerah di

dalam memicu inovasinya. Pemberian imbalan kepada karyawan merupakan

faktor pendorong muncul ide-ide kreatif dan inovatif. Ketiga, lingkungan politik.

Komponen ini merupakan faktor yang sangat krusial di dalam membangun

inovasi. Kegagalan di dalam memahami lingkungan politik, menjadikan inovasi

yang telah dicanangkan pemerintah daerah tidak akan terwujud. Supra dan infra

struktur politik adalah faktor pengungkit bagi terlaksananya inovasi. Kondisi

kondusif antara kepala daerah dengan lingkungan politik merupakan pemicu

utama di dalam mendesain inovasi. Sebaliknya, kegagalan yang terjadi di

pemerintah daerah di dalam inovasinya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor

lingkungan politik yang tidak kondusif.

DAFTAR PUSTAKA

Andreas Hartmann, (2006) "The role of organizational culture in motivating innovative behaviourin construction firms", Construction Innovation: Information, Process, Management, Vol. 6Iss: 3, pp.159 – 172

Bates, Robert H. 1995. Social Dilemmas and Rational Individuals: An Assessment of the NewInstitutionalism. In The New Institutional Economics and Third World Development, JohnHarriss, Janet Hunter and Colin Lewis, eds., 27-48. New York: Routledge.

Bossink, Bart A.G, 2004, Effectiveness of innovation leadership styles: a manager’s influence onecological innovation in construction projects, Construction Innovation; 4: 211–228

CESIS (Centre of Excellence for Science and Innovation Studies), 2007, Innovation PolicyInstruments, Electronic Working Paper Series, Swedish Governmental Agency

Daft, Richard L., 2008, Organization Theory and Design, South-Western Cengage Learning 2191Natorp Boulevard, Mason, USA

David Osborne, Ted Gaebler, 1993, Reinventing government: how the entrepreneurial spirit istransforming the public sector, Plume

Doner, Richard F., Allen Hicken, Bryan K. Ritchie, 2009, Political Challenges of Innovation inthe Developing World, Review of Policy Research, Volume 26, Numbers 1–2

Ebner, Alexander, 2004, Innovation Policies and Locational Competitiveness : Lessons fromSingapore, Journal of Technology Innovation 12, 2

Farazmand, Ali, 2004, Sound Governance: Policy and Administrative Innovations, PraegerPublisher, 88 Post Road West, New York

Groot, Lucy de, 2007, New Local Government Network Conference, I&DeA: Improvement andDevelopment Agency, 15 November, http://www.idea.gov.uk/idk/core/page.do?pageId=1

Gumusluoglu, Lale, 2009, Transformational Leadership and Organizational Innovation: TheRoles of Internal and External Support for Innovation, Journal of Product InnovationManagement, Vol. 26, pp. 264-277, 2009

Gumusluoğlu, Lale; Ilsev, Arzu, (May 2009), Transformational Leadership and OrganizationalInnovation: The Roles of Internal and External Support for Innovation, Journal of ProductInnovation Management, Volume 26, Number 3, May 2009 , pp. 264-277(14)

Page 159: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

150

Hambleton, Robin, 2009, In Parker, civic leadership and public service innovation more thangood ideas: the power of innovation in local government, Idea,http://www.idea.gov.uk/idk/aio/9524940

Hartmann, Andreas, 2006, The role of organizational culture in motivating innovative behaviourin construction firms, Construction Innovation; 6: 159–172

Hasenfeld,Yeheskel, 2010, Human Services as Complex Organizations, Sage Publications Ltd,United Kingsom

Hitt, Michael A. R. Duane Ireland,Robert E. Hoskisson, 2007, Strategic management:competitiveness and globalization 7ed, Thomson Higher Education, Mason, USA

Johannessen, Jon-Arild (2009), A systemic approach to innovation: the interactive innovationmodel, Kybernetes, Vol. 38 Nos 1/2, pp. 158-176

Jung, D.I., Chow, C. and Wu, A, 2003, The role of transformational leadership in enhancingorganizational innovation: hypotheses and some preliminary findings, Leadership Quarterly,Vol. 14 Nos 4/5, pp. 525-44.

Katrinli, Alev, Gulem Atabay, Gonca Gunay, Burcu Guneri, and Ahenk Aktan,2009,Innovativeness: Is It a Function of the Leadership Style and the Value System ofEntrepreneur? In Neslihan Aydogan, Innovation Policies, Business Creation and EconomicDevelopment, Springer Science, Business Media, LLC, New York

Lan, Zhiyong and Rosenbloom, David H,1992, Public Administration in Transition?, PublicAdministration Review, November/December, Vol. 52 No. 6

Lin, Chieh-Yu, 2007, Factors affecting innovation in logistics technologies for logistics serviceproviders in China, Journal of Technology Management in China, Vol. 2 No.1, pp.22-37

Makri, Marianna; Terri A. Scandura, , February 2010, Exploring the effects of creative CEOleadership on innovation in high-technology firms, The Leadership Quarterly, Volume 21,Issue 1Pages 75-88

Martins, E.C, and Terblance F, 2003, Building Organizational Culture that Stimulates Creativityand Innovation, European Journal of Innovation Management, Volume 6, Number 1, pp. 64-74

Michael Barzelay, 1992, Breaking through bureaucracy: a new vision for managing ingovernment, University of California Press

Mulgan, G. & Albury, D, 2003, Innovation in the Public Sector, Working Paper Version 1.9,October, Strategy Unit, UK Cabinet Office

Paulsen, Neil; Diana Maldonado; Victor J. Callan and Oluremi Ayoko, 2009, Charismaticleadership, change and innovation in an R&D organization, Journal of OrganizationalChange Management, Vol. 22 No. 5, pp. 511-523

Pollitt, Christopher, 1993, Managerialism and the public services: the Anglo-Americanexperience, Oxford, Blackwell

Publin Reports, 2005, NIFU STEP, Studies in Innovation, Research and Education., NIFU STEP,Hammersborg torg 3, N-0179 Oslo, Norway

Robertson, Robert and Rob Ball, 2002, Innovation and Improvement in the Delivery of PublicServices: The Use of Quality Management Within Local Government in Canada, PublicOrganization Review: A Global Journal 2: 387–405

Scales Research Reports, 2003, Leadership as a determinant of innovative behaviour, EIMBusiness and Policy Research, Netherlands

Senge, Peter M., 1990, The Fifth Discipline: The Art & Practice of The Learning Organization,Currency Doubleday, New York

Shapiro, Stephen M., 2002, 24/7 innovation: a blueprint for surviving and thriving in an age ofchange, McGraw-Hill, United States of America

Sterman, J. 2000. Business Dynamics: Systems Thinking and Modeling for a Complex World.,Boston, MA: McGraw-Hill.

Yoon, Jong In, 2006, Korean Government Innovation: Strategies and Methodologies forAdministrative Innovation, Fifth Meeting of the Committee of Experts on PublicAdministration, United Nations, New York, 27-31 March

Zaccaro, S.J., Rittman, A.L. and Marks, M.A.,2001, Team leadership, Leadership Quarterly, Vol.12 No. 4, pp. 451-83.

Page 160: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

151

INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH DALAM RANGKA

MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA*

Bambang Supriyono**PENDAHULUAN

Dalam perspektif administrasi publik, pembangunan dapat diartikan

sebagai suatu upaya yang dilakukan secara sadar dan melembaga untuk

kepentingan pembangunan masyarakat; development is a conciuous and

institutionalized attempt at societal development (Riggs (1971). Upaya secara

sadar dan melembaga sebagaimana dimaksud dalam pengertian ini adalah upaya

yang dilakukan pemerintah melalui berbagai kebijakan pembangunan dalam

kerangka pembangunan masyarakat. Beberapa paradigma pembangunan sejak

awal kemerdekaan hingga saat ini telah dijadikan acuan di Indonesia, mulai dari

pertumbuhan ekonomi (economic growth), pemerataan, pembangunan

sumberdaya manusia, hingga paradigma pembangunan partisipatif (participatory

development). Implementasi berbagai paradigma tersebut tentu saling berkaitan,

tidaklah mungkin mengedepankan paradigma partisipatif lalu mengabaikan

pertumbuhan ekonomi, atau menekankan konsep pemerataan dan mengabaikan

pembangunan sumberdaya manusia dan pendekatan partisipatif. Penerapan

berbagai paradigma pembangunan secara integratif adalah bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Upaya yang dilakukan pemerintah melalui berbagai kebijakan

pembangunan sebagaimana mengacu pada berbagai paradigma di atas belum

membuahkan hasil secara signifikan. Masalah-masalah empiris yang dapat

diidentifikasi diantaranya: belum adanya pemerataan pembangunan, terjadinya

ketimpangan antara pembangunan di Jawa dan di luar Pulau Jawa, pembangunan

yang lebih terpusat di kawasan perkotaan daripada di pedesaan, dan tingginya

disparitas antara daerah-daerah maju dengan daerah tertinggal. Mencermati

* Makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Peran Local Government Dalam Percepatan dan PerluasanPembangunan Ekonomi Indonesia” yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Jurusan AdministrasiPublik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya. Malang, Hotel Agrokusuma, 8-10-2011.

** Dosen Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang.

Page 161: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

152

masalah-masalah empiris tersebut dapat dipahami jika dalam era reformasi

menetapkan adanya kebijakan desentralisasi sebagai salah satu kebijakan penting

dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Tujuannya adalah

berupaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat di berbagai daerah melalui

pembangunan berbagai bidang di seluruh wilayah Indonesia.

Reformasi kebijakan desentralisasi yang telah berlangsung selama lebih

dari satu dasawarsa, dimulai sejak berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan berlakuknya UU Nomor 32

tahun 2004, hingga saat ini belum dapat mewujudkan tujuan pembangunan

sebagaimana dikemukakan di atas. Jika dicermati, terdapat persoalan yang bersifat

dilematis dalam hal implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia, dilema

antara kecenderungan penggunaan pendekatan politik (political approach) dan

penggunaan pendekatan manajerial (managerial approach).

Ketika kebijakan desentralisasi lebih mengedepankan pendekatan politik

yang berorientasi pada nilai-nilai demokrasi ada kecenderungan melemahnya

nilai-nilai manajerial, menurunnya nilai-nilai efektivitas dan efisiensi layanan

publik dan pembangunan. Desentralisasi politik yang disertai dengan

desentralisasi fiskal belum berdampak signifikan terhadap kemandirian

pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

Anggaran pendapatan yang mestinya lebih banyak dialokasikan untuk

pembiayaan pembangunan banyak terserap untuk membiayai proses politik. Patut

diapresiasi bahwa proses politik di tingkat pusat dan daerah lebih berjalan secara

demokratis dan dinamis kendati dalam beberapa hal justru terjadi praktek-praktek

politik yang melemahkan manajemen pemerintahan dan pembangunan. Pada saat

yang bersamaan manajemen pembangunan di daerah juga mengalami ineffectivity

and inefficiency, banyak ditemukan fenomena masih rendahnya tingkat

pendidikan dan kesehatan pada sebagian besar lapisan masyarakat, tingginya

angka kemiskinan di daerah-daerah, masih rendahnya indeks pembangunan

manusia, dan terbatasnya penyediaan sarana dan prasarana pembangunan di

berbagai daerah.

Page 162: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

153

Sebaliknya, ketika kebijakan desentralisasi lebih mengedepankan

pendekatan manajerial yang berorientasi pada nilai-nilai efektivitas dan efisiensi

ada kecenderungan melemahnya nilai-nilai demokratisasi. Sebagai gambaran,

ketika kebijakan desentralisasi masih mengacu pada berlakunya UU Nomor 5

tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, manajemen

pembangunan cenderung lebih efektif dan efisien. Ketika itu banyak program-

program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dalam skala

besar, program transmigrasi, program intensifikasi dan ekstensifikasi bidang

pertanian, pembangunan prasarana transportasi, prasarana pengairan, dan

sarana/prasarana lainnya. Meskipun demikian proses politik di tingkat pusat

hingga di daerah dapat dikatakan jauh dari nilai-nilai demokrasi, penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan cenderung bersifat sentralistis dan

mengesampingkan otonomi, kemandirian masyarakat ataupun local self

government. Dampaknya terjadi ketimpangan pembangunan antara pusat dan

daerah, antara perkotaan dan pedesaan, rendahnya pertumbuhan ekonomi di

daerah disertai tingginya angka kemiskinan. Bahkan pemerintahan yang

cenderung sentralis memunculkan masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme di

tingkat pusat yang berdampak pada melemahnya manajemen pembangunan di

daerah.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan

yang lebih mengedepankan penggunaan pendekatan politik akan melemahkan

nilai-nilai manajerial, sebaliknya penggunaan pendekatan manajerial yang

berlebihan akan melemahkan proses politik yang demokratis sebagai persyaratan

penting untuk menjamin kokohnya suatu sistem pemerintahan. Dengan kata lain

penggunaan political approach dan administrative/managerial approach secara

seimbang sangat diperlukan dalam penyelanggaraan pemerintahan daerah.

Meminjam konsep Smith (1985 : 46-60) diperlukan keseimbangan antara

administrative needs and political demands. Tuntutan proses politik yang

demokratis sangat diperlukan untuk menjamin keinginan, pilihan, dan representasi

hak-hak warga; sebaliknya proses administratif/manajerial juga sangat dibutuhkan

untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien dalam

rangka memenuhi dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat lokal. Peningkatan

Page 163: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

154

kesejahteraan warga diantaranya bertumpu pada pemenuhan kebutuhan ekonomi,

baik ditandai dengan indikator pendapatan perkapita, pendapatan regional,

berkembangnya usaha kecil menengah hingga skala besar. Karena itu dapat

dipahami bahwa salah satu orientasi penting penggunaan dua pendekatan dalam

penyelenggaraan pemerintahan di atas perlu diarahkan untuk mempercepat

pertumbuhan ekonomi dalam rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan

warga/masyarakat lokal.

Berbagai perangkat kebijakan di tingkat pusat hingga di daerah telah

tersedia guna menjamin terlaksananya kedua pendekatan di atas. Hal ini tercermin

dari banyaknya produk perundang-undangan yang dihasilkan baik oleh

pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah. Persoalan mendasarnya adalah:

mengapa produk perundang-undangan tersebut belum dapat diimplementasikan

dengan baik (well implemented) untuk mewujudkan penyelenggaraan

pemerintahan di tingkat pusat dan daerah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut

dalam kajian ini akan dipaparkan mengenai pentingnya pemerintahan yang

inovativ dalam rangka mempercepat pembangunan ekonomi guna meningkatkan

kesejahteraan masyarakat lokal. Berangkat dari kerangka berfikir di atas, inovasi

yang diperlukan adalah menyangkut inovasi penyelenggaraan pemerintahan baik

ditinjau dari pendekatan politik maupun pendekatan administratif/manajerial.

INOVASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

Mengkaji inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu

diawali dari memahmi kreasi (creation) dan inovasi (innovation) sebagai dua

istilah yang digunakan secara berkaitan. Create adalah cause (something) to exist;

make (something new or original); bring to existence. Sedangkan innovate berarti

make change; introduce new things atau dengan kata lain bring in novelties or

bring changes. Kreasi bermakna munculnya sesuatu yang semula tidak ada

menjadi ada, sementara inovasi berarti mengubah sesuatu hal menjadi baru, inti

dari inovasi adalah perubahan menuju hal-hal baru (Muluk, 2007). Baik makna

kreasi maupun inovasi sangat diperlukan untuk mewujudkan efektivitas

penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam arti diperlukan adanya gagasan-

gagasan baru ataupun penyempurnaan sistem yang telah ada untuk meningkatkan

Page 164: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

155

kinerja pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan.

Mulgan & Albury (2003) menunjukkan bahwa “Successful innovation is

the creation and implementation of new process, products, services, and methods

of delivery which result in significant improvements in outcomes efficiency,

effectiveness or quality.” Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan

dalam inovasi penyelenggaraan pemerintahan daerah ditentukan oleh inovasi

produk dan layanan, inovasi proses, ataupun inovasi metode yang dilakukan

secara efekif, efisien, dan berkualitas. Menyangkut inovasi proses terdapat pula

inovasi system atau inovasi strategis yang mengandung pemahaman cara baru

atau yang diperbaharui dalam berinteraksi dengan aktor-aktor baik di dalam

ataupun di luar sistem dalam hal tata kelola penyelenggaraan pemerintahan

(changes in governance).

Inovasi penyelenggaraan pemerintahan juga mencakup perubahan dan

pembaharuan struktur ataupun kebiasaan yang telah berlangsung secara rutin.

Brown (2008) mengemukakan adanya dua konsep inovasi yaitu Expansive

Learning Theory (ELT) dan Socio Cultural Theory (SCT). Konsep perluasan

pembelajaran mengandung pemahaman bahwa inovasi terjadi ketika pandangan

tradisional menyediakan suatu pedoman pelaksanaan suatu pekerjaan tetapi tidak

cukup dalam menghadapi tantangan dan situasi yang baru, karenanya diperlukan

pengembangan dan praktek yang baru melalui alih teknologi (technology

transfer). Bagian penting dari pandangan ini adalah memadukan antara pandangan

lama dan baru dalam melaksanakan sesuatu yang diarahkan pada perubahan dan

pembaharuan.

Sementara SCT berpandangan bahwa proses penciptaan pengetahuan dan

pedomannya terarah pada konsepsi inovasi sebagai kolaborasi antara difersifikasi

organisasi dan hasil yang diperoleh individu dalam pembelajaran organisasi. Di

samping diperlukan alih teknologi dan perubahan sistem, diperlukan pula

pembelajaran individu dan organisasi untuk mempercepat transformasi sosial

budaya baik di tingkat organisasi maupun di komunitas masyarakat yang lebih

luas. Kedua teori ini dalam proses inovasi penyelenggaraan pemerintahan perlu

Page 165: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

156

dipadukan agar diperoleh hasil yang optimal, dari perspektif ELT siklus

pembelajaran dapat diperluas melalui berbagai aktivitas kolaborasi dua atau lebih

komunitas, baik di tingkat nasional, tingkat regional, hingga di tingkat lokal.

Sebagaimana dikemukakan Brown (2008 : 9)

National governments have develoved much of the

responsibility for innovation policies to regions. Consequently,

it is possible to compare the implementation of local

experiments to transform an industrial and manufacturing

region into a knowledge economy. Different types of policies

are affected by different contextual conditions and carry with

them different possibilities for implementation

Mencermati pemahaman tersebut menunjukkan bahwa proses

implementasi kebijakan dalam inovasi penyelenggaraan pemerintahan seharusnya

mempertimbangkan konteks lokal yang spesifik, sebagaimana terlihat dalam

Gambar 1.

Gambar 1. The Transformation of Policy During ImplementationSource: Brown (2008 : 10-11)

Mencermati Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa inovasi penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan adalah bersifat sistemik, inovasi pemerintahan

Design of National

Innovation Policy

Concept (MACRO)

Policy implementation

at regional level

(MESO)

Implementation of

local innovation

projects (MICRO)

Direction of feedback from

practitioners to policy

makers

Direction of

communication of

theoretical policy goal

Page 166: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

157

yang ada di tingkat nasional pada dasarnya saling berkaitan dengan inovasi di

tingkat regional ataupun di tingkat lokal. Pemahaman ini terasa semakin penting

untuk diimplementasikan di Indonesia sebagai suatu negara yang menganut

paham negara kesatuan (unitary state), karena hubungan antara pemerintah pusat

dan daerah adalah bersifat coordinate dan sekaligus subordinate. Keberadaan

pemerintah daerah adalah merupakan bagian dari pemerintah pusat, sehingga

inovasi pemerintahan yang ada di tingkat lokal kendati memiliki kemandirian

seharusnya tidak menyimpang dari desain inovasi pemerintahan yang telah

ditetapkan di tingkat nasional.

Pemerintah pusat memiliki peran dalam hal desain konsep inovasi

kebijakan tingkat nasional (makro) yang akan diimplementasikan di tingkat pusat

dan daerah. Desain kebijakan inovatif ini perlu dikomunikasikan dengan berbagai

tingkatan pemerintahan agar tujuan inovasi dapat dipahami dan

diimplementasikan dengan baik. Desain dan strategi inovasi yang diperlukan

adalah dalam hal melaksanakan fungsi mengatur (policy formulation) dan

mengurus (policy implementation) penyelenggaraan pemerintahan termasuk

dalam pemanfaatan teknologi yang dapat diimplementasikan pada semua

tingkatan pemerintahan.

Desain kebijakan yang telah ditetapkan selanjutnya diimplementasikan di

tingkat regional (meso) dan di tingkat lokal (mikro) dalam bentuk program dan

kegiatan pengelolaan urusan pemerintahan. Makna inovasi implementasi

kebijakan ini adalah berkaitan dengan fungsi pengaturan (policy making) dan

fungsi pengurusan (policy executing) di tingkat regional dan di tingkat lokal.

Kepala Daerah dan DPRD sebagai pejabat politik yang dipilih melaksanakan

fungsi pengaturan, yaitu menetapkan inovasi peraturan daerah (Perda) dan

perundang-undangan lainnya sesuai dengan keinginan dan tuntutan kebutuhan

masyarakat. Selanjutnya Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah (local

bureaucracy) sebagai pejabat yang diangkat, melaksanakan inovasi fungsi

pengurusan (policy implementation) penyelenggaraan pemerintahan secara

profesional dengan mengacu pada perundang-undangan yang telah ditetapkan

sebelumnya.

Page 167: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

158

Hingga saat ini banyak institusi DPRD dan Kepala Daerah yang telah

menetapkan regulasi atau kebijakan inovatif dalam upaya meningkatkan kualitas

layanan publik dan pembangunan, pengelolaan sumber pendapatan, dan

pengelolaan urusan pemerintahan yang bersifat wajib atau pilihan. Prinsip

perumusan inovasi kebijakan yang diperlukan di tingkat regional dan lokal adalah

prinsip menjungjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dalam arti kebijakan yang

ditetapkan harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Kebijakan yang inovatif dan demokratis dapat dirumuskan dengan baik jika dalam

prosesnya melibatkan partisipasi masyarakat dari berbagai lapisan. Dengan

demikian keberadaan Kepala Daerah dan DPRD harus benar-benar

merepresentasikan tuntutan kebutuhan warga dan mengakomodasikan partisipasi

warga, diperlukan prinsip representative democracy dan participatory democracy

dalam perumusan kebijakan inovatif di tingkat regional dan di tingkat lokal.

Kebijakan inovatif yang telah ditetapkan selanjutnya diimplementasikan

oleh Perangkat Daerah (local bureaucracy) dibawah kendali Kepala Daerah dan

Sekretaris Daerah. Dalam hal ini diperlukan kinerja berbagai institusi Perangkat

Daerah yang inovatif dalam mengelola urusan pemerintahan, pembangunan, dan

layanan publik. Birokrasi yang inovatif ditandai dengan adanya kreativitas,

ketrampilan, dan kompetensi profesional untuk melakukan perubahan dalam

mengelola urusan pemerintahan yang membawa manfaat sebesar-besarnya untuk

kepentingan masyarakat. Implementasi kebijakan yang inovatif dalam hal ini

dapat diwujudkan jika mengedepankan nilai-nilai kreativitas, efektivitas, dan

efisiensi atau nilai-nilai manajerial. Efisiensi yang dimaksud termasuk dalam hal

pengelolaan dana, pemberian insentif, yang memungkinkan birokrasi untuk

bekerja secara profesional dan proporsional.

Dalam pandangan Miller (2008 : 11) penyelenggaraan pemerintahan

daerah yang inovatif adalah ditandai dengan adanya pergeseran makna local

government ke local governance, yang memiliki dua ciri. Pertama, terjadinya

pergeseran struktur dan fungsi institusi pemerintahan dalam berbagai tingkatan

baik menyangkut tugas dan tanggung jawabnya. Kedua, terjadinya perubahan

dalam ciri-ciri pemerintahan, perluasan tanggungjawab dalam badan-badan yang

Page 168: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

159

ditetapkan dan kerjasama organisasi untuk jangka panjang dengan pengutamaan

kewenangan lokal. Pejabat politik yang dipilih dan perangkat birokrasi yang

bekerja secara profesional dan penuh waktu merupakan modal dasar yang kuat

dalam membangun kerjasama dengan berbagai aktor, baik untuk pengguna,

kepentingan warga, maupun sektor swasta.

Pergeseran struktur dan fungsi pemerintahan, perluasan kerjasama dengan

berbagai aktor, atau makna local governance dapat diwujudkan jika tercipta

pemerintahan berpengetahuan (knowledge governance). Heiman (2009 : 29-30)

mengemukakan bahwa satu diantara tantangan utama dalam mewujudkan

pemerintahan berpengetahuan adalah menciptakan nilai secara seksama

(deliberate value creation), baik menyangkut penemuan masalah (problem-

finding) maupun pemecahan masalah (problem-solving). Pertanyaan kunci untuk

penemuan masalah adalah bagaimana pimpinan dapat mengidentifikasi, memilih,

dan menemukan resolusi yang diharapkan dengan derajat nilai yang signifikan.

Sedangkan pertanyaan kunci tentang pemecahan masalah adalah bagaimana

pemimpin dapat mengelola secara efisien mengenai pemecahan masalah bernilai

tinggi sesuai dengan masalah yang diidentifikasi.

Kepala Daerah sebagai pemimpin tertinggi dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah, secara bertahap perlu melakukan perubahan kultural dan

struktural karena konsekuensi dari perubahan tersebut akan berdampak pada

kualitas local governance and democracy. Perubahan struktural dalam

pemerintahan daerah dapat terkait dengan tiga hal (Grindle, 2007 : 4-6). Pertama,

perubahan dalam pengelolaan keuangan (fiscally), yakni menyangkut kejelasan

menganai kewenangan daerah dalam hal tanggungjawab pengelolaan anggaran,

meningkatkan pendapatan (generating revenue), pengeluaran sesuai dengan

kebutuhan. Kedua, perubahan politik (politically) yakni menyangkut optimalisasi

peran dan fungsi council (DPRD) sebagai pejabat politik yang dipilih atas dasar

demokrasi perwakilan dan mayor (Kepala Daerah) yang dipilih berdasarkan

demokrasi partisipatif. Keberadaan pejabat politik ini harus benar-benar dapat

menjalankan mandat yang diberikan oleh masyarakat setempat. Ketiga, perubahan

administrasi pemerintahan (administratively) yakni tanggungjawab bagi local

Page 169: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

160

bureaucracy atau perangkat daerah untuk senantiasa meningkatkan kualitas

distribusi penyediaan layanan publik dan pembangunan secara profesional.

Pemerintahan daerah yang telah melakukan inovasi sebagaimana

dikemukakan di atas perlu diukur tingkat keberhasilannya, dalam hal ini dapat

digunakan metode perbandingan dan sifat pengukuran kinerja. Metode

perbandingan dilakukan dengan cara membandingkan antara keberhasilan dengan

kegagalan (success versus failure) menyangkut partisipasi warga dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan adanya

hubungan yang simetris antara: dependensi versus otonomi dalam hubungan

layanan formal, terpenuhi atau tidak terpenuhi usulan untuk intervensi, ada atau

tidak adanya motivasi untuk melakukan perubahan atau intervensi (Kane and

Marylyne, 2008 : 84).

Sedangkan keberhasilan inovasi berdasar sifat pengukuran kinerja perlu

ditekankan pada struktur pekerjaan, kepemimpinan dan insentif yang diberikan

secara proporsional dan profesional. Mengacu pada pendapat Klerman (2005 :

349), perlu dihindari pengukuran kinerja yang bersifat kasar (Gross Performance

Measure), karena dengan cara ini akan menimbulkan: misidentify best

practice,misidentify best workers, incentives to migrate, incentives to chose

clients. Karena itu diperlukan pendekatan untuk memperkirakan kinerja bersih

(net performance or estimating net/causal effects). Tahapan pendekatan ini

meliputi: random assignment, value added, regression adjustment, cohort

comparison.

Inovasi yang dilakukan oleh berbagai tingkatan memiliki resistensi yang

tinggi terhadap hambatan-hambatan yang muncul dalam proses inovasi yang

sedang berlangsung. Mengacu pada identifikasi yang dilakukan Mulgan & Albury

(2003) terdapat hambatan-hambatan dalam melakukan inovasi penyelenggaraan

pemerintahan daerah meliputi :

Adanya tekanan dan beban administratif (delivery pressures and

administrative burdens). Pada umumnya jajaran birokrasi di tingkat manajer dan

operasional memiliki keterbatasan waktu untuk berfikir tentang pekerjaan yang

Page 170: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

161

berbeda atau melakukan inovasi mengenai layanan publik yang lebih efektif. Hal

ini perlu dilakukan secara terus menerus dalam organisasi, penyediaan layanan

dan melaporkannya ke manajemen di tingkat atasnya, lembaga-lembaga, dan

inspektorat.

Anggaran jangka pendek dan perencanaan ke depan (short-term budgets

and planning horizons). Ketidakmampuan untuk berfikir di bawah tekanan dari

hari ke hari memperburuk penganggaran jangka pendek dan perencanaan jangka

panjang.

Kurangnya ganjaran dan insentif inovasi (poor rewards and incentives to

innovate). Upaya penerapan nilai-nilai privat ke sektor publik dalam hal ini

mengalami hambatan. Tingginya ketentuan yang telah berlangsung lama

menyebabkan kegagalan inovasi, termasuk dalam hal memberikan ganjaran untuk

mewujudkan keberhasilan inovasi. Lebih lanjut hal ini berkaitan dengan sistem

manajemen sumberdaya, sebagai contoh : kompetensi inti untuk rekrutmen,

pengembangan dan perencanaan kinerja yang tidak menekankan pada nilai-nilai

inovasi.

Budaya menghadapi resiko (culture of risk aversion). Dalam sektor publik,

kewajiban untuk menyediakan layanan yang akseptebel merupakan kunci

keberhasilan layanan, mengelola kontinuitas, memperhitungkan pembayar pajak

sesuai kewenangan lokal dan parlemen. Pusat perhatian utamanya adalah

akuntabilitas, standard dan kontinyuitas untuk menghadapi resiko sebagai bagian

dari kerangka inovasi.

Rendahnya ketrampilan dalam menghadapi resiko dan manajemen

perubahan (poor skills in active risk or change management). Tiga kondisi yang

diperlukan untuk keberhasilan inovasi, yakni : peluang, motivasi, dan

ketrampilan. Selagi peluang dan motivasi dapat dihadirkan, biasanya terkait

dengan kurangnya ketrampilan dalam perubahan dan manajemen resiko. Relatif

langka untuk memenuhi ketrampilan yang diharapkan dapat menjembatani proses

inovasi.

Page 171: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

162

Keseganan untuk mengakhiri program-program atau organisasi yang tidak

berhasil (reluctance to close down failing programes or organizations). Walaupun

nilai-nilai sektor privat dibutuhkan dalam inovasi sektor publik, pada

kenyataannya organisasi sektor publik jarang melakukan inovasi. Hal yang

paradoksal, dalam pelayanan publik memerlukan standarisasi kualitas untuk

program-program baru, sementara inovasi dihadapkan pada masalah-masalah

yang tidak terkendali walaupun ketekunan melalui layanan baru atau proses yang

dihasilkan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Ketersediaan teknologi tetapi menghadapi kendala budaya dan penataan

kelembagaan (technologies available but constraining cultural or organizational

arrangements). Munculnya inovasi dalam kontek teknologi dan faktor organisasi

berkaitan dengan perlunya inovasi yang sistematis dengan dukungan budaya

organisasi, sistem, metode dan proses manajemen. Dalam inovasi sektor publik

telah terhalang sebab resistensi atau kegagalan

Penelitian empiris menunjukkan tingginya variasi mengenai cara

menanggulangi hambatan inovasi, dalam hal ini terdapat tiga pendekatan

menyangkut tingkatan dan cara (classes of tactical), yakni meliputi :

1. Persuasi (persuasion), dengan cara menunjukkan keuntungan suatu inovasi,

kemapanan melaksanakan kegiatan, dan melakukan sosialisasi secara

optimal.

2. Akomodatif (accommodation), menyangkut konsultasi dengan lembaga

legislasi untuk memahami inovasi dalam kerangka governance, pelatihan

untuk penyamaan pemahaman, hilangnya kompensasi, dan menjamin

pelaksanaan program sesuai dengan budaya setempat.

3. Pendekatan lainnya (others). Kategori ini meliputi keragaman tanggapan,

seperti : ketersediaan sumberdaya, dukungan masalah logistik, adanya

upaya secara berkesinambungan, dukungan politik, kejelasan visi utamanya

mengangkut pentingnya inovasi, modifikasi teknologi, perubahan regulasi,

tersedianya program-program partisipasi, dan dukungan pekerja.

Diperlukan pula perubahan tanggungjawab pimpinan dalam implementasi

berbagai program inovasi.

Page 172: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

163

INOVASI PEMERINTAHAN DALAM RANGKA PERCEPATANPEMBANGUNAN EKONOMI

Konsep pembangunan dalam arti pembangunan masyarakat (societal

development) sebagaimana dikemukakan dalam paparan awal dapat juga dipahami

dari konsep administrasi pembangunan. Semula administrasi pembangunan

dimaknai sebagai upaya terorganisir untuk melaksanakan program dan kegiatan

guna mencapai tujuan pembangunan. Salah satu tujuan mendasar yang ingin

diwujudkan di negara sedang berkembang adalah peningkatan pertumbuhan

ekonomi, pemerataan pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat di seluruh

wilayah negara yang bersangkutan. Hal yang perlu disadari, ide dasar

pembangunan terletak pada kemampuan human societies yang berkembang untuk

membentuk lingkungan fisik, aktivitas pemenuhan kebutuhan ekonomi, maupun

budayanya.

Dengan ide dasar pembangunan yang demikian, inovasi pemerintahan

untuk mengubah lingkungan fisik, aktivitas ekonomi, dan budaya masyarakat

perlu ditempatkan dalam suatu variabel tersendiri. Variabel lain yang tidak kalah

penting adalah peningkatan kemampuan mengurus pemerintahan secara simultan

dalam pelaksanaan pembangunan. Variabel yang kedua ini menempatkan konsep

administrasi pembangunan tidak hanya mengacu pada upaya pemerintah

melaksanakan inovasi program dan kegiatan yang dirancang untuk mengubah

lingkungan fisik, manusia, pemenuhan kebutuhan ekonomi dan budayanya

(administration of development), tapi juga pada usaha memperbesar kapasitas

pemerintah secara inovatif untuk terlibat dalam program tersebut (development of

administration).

Peningkatan kemampuan kapasitas pemerintah secara simultan pada

kenyataannya tidak mudah dilakukan. Banyak faktor berpengaruh yang

menyebabkan tersendatnya upaya peningkatan kemampuan pemerintah. Faktor

tersebut ada yang bersumber dari institusi pemerintahan itu sendiri, keragaman

masalah sosial ekonomi dan budaya masyarakat, hingga masalah yang berkaitan

dengan aspek kewilayahan. Dalam kerangka pembangunan administrasi dan

administrasi pembangunan, terdapat faktor penentu yang perlu dipahami jika

Page 173: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

164

menginginkan pembangunan administrasi yang inovatif, memiliki relevansi dan

mendapatkan dukungan dari lingkungannya. Faktor penentu tersebut adalah

pemahaman tentang kontek administrasi pembangunan (context of development

administration) dan kondisi lingkungan yang dapat menimbulkan masalah bagi

administrasi pembangunan (problems in the administration of development).

Faktor lainnya yang juga perlu mendapat perhatian adalah dimensi spasial (spatial

dimension) dalam administrasi pembangunan.

Kontek administrasi pembangunan mencakup : kontek politik, kontek

ekonomi, dan kontek organisasi sosial. Dalam kontek politik di suatu negara

ataupun di suatu daerah dapat terjadi adanya kondisi lemahnya birokrasi sehingga

memicu spoil system yang berakibat kurang mendukung pengembangan birokrasi.

Kondisi lainnya adalah adanya birokrasi yang dominan sehingga para birokrat

hanya berjuang mencapai kekuasaan dan berakibat dikorbankannya nilai-nilai

administrasi untuk kepentingan politik. Untuk itu diperlukan pemahaman

mengenai keseimbangan antara institusi birokrasi dengan institusi ekstra birokrasi

(constitutive systems) dengan cara memisahkan antara faktor politik dan

administrasi dalam pelaksanaan program pembangunan yang inovatif.

Dalam kontek ekonomi yang perlu dipahami adalah berkaitan dengan

pembangunan administrasi. Dapat terjadi bahwa pengembangan birokrasi dan

proliferasi badan khusus pemerintah baik di pusat maupun di daerah

membutuhkan biaya yang sangat besar. Di lain pihak dengan keterbatasan dana

menyebabkan pagu yang rendah untuk usaha tersebut, sehingga pilihan aktivitas

yang tersedia dalam pelaksanaan program-program pembangunan juga menjadi

terbatas. Dalam kontek organisasi adalah menyangkut keterkaitan antara

organisasi formal dengan organisasi sosial. Efektifitas organisasi formal berperan

penting dan dapat meningkatkan kemampuan masyarakat untuk merubah

lingkungannya. Hal yang tidak kalah penting adalah memahami keberadaan

organisasi sebagai suatu sistem sosial yang dapat menunjang pelaksanaan program

pembangunan.

Mengenai pentingnya memahami kondisi lingkungan dalam administrasi

pembangunan adalah mencakup : masalah lingkungan fisik (problems in the

Page 174: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

165

physical environment), masalah lingkungan manusia (problems in the human

environment), dan masalah lingkungan budaya (problems in the cultural

environment). Memahami masalah lingkungan fisik diperlukan kemampuan

administrasi dalam rangka mengatasi masalah lingkungan agar menjadi faktor

pendukung keberhasilan pembangunan sebagai suatu sistem, bukan kontek sistem

sosial yang memberikan parameter dalam rangka mengubah lingkungan.

Lingkungan fisik dan ketersediaan sumberdaya perlu dikelola dengan baik agar

berdampak pada berkembangnya aktivitas ekonomi guna mewujudkan

peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Memahami masalah lingkungan manusia didasarkan pada pengertian

bahwa manusia dapat membentuk kemampuan suatu sistem sosial, sebaliknya

karakteristik manusia juga dapat diubah oleh sistem sosial. Dengan pengertian ini,

untuk kepentingan analisis dapat dipahami adanya lingkungan manusia dalam

beberapa pengertian yang berpengaruh terhadap administrasi pembangunan.

Beberapa pengertian tersebut adalah meliputi : pengertian demografi, biologi,

psikologi, dan kesempatan/kualifikasi. Mengenai pemahaman terhadap masalah

lingkungan budaya ditempatkan dalam kerangka sistem sosial, artinya sistem

sosial secara terus menerus selalu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh budaya.

Sistem sosial yang lebih maju adalah sistem yang lebih mampu melakukan

transformasi lingkungan budaya sesuai dengan tuntutannya dan tidak terhalangi

oleh karakteristik lingkungan budayanya. Berdasarkan pemahaman tersebut,

dalam konteks pembangunan administrasi yang dibutuhkan adalah informasi

mengenai berbagai persoalan yang timbul karena perubahan budaya dan perbaikan

program administrasi untuk mengatasi perubahan budaya tersebut.

Faktor lainnya yang juga perlu mendapat perhatian agar inovasi

pemerintahan mendapatkan dukungan dari lingkungannya adalah dimensi spasial

(spatial dimension). Secara umum, pembangunan dapat dipahami sebagai

pembangunan masyarakat (societal development) atau pembangunan negara-

bangsa (nation-states). Salah satu dimensi penting yang perlu diperhatikan dalam

pembangunan negara-bangsa adalah dimensi spasial (spatial dimension). Terlebih

untuk suatu negara yang memiliki wilayah luas dan masyarakatnya beragam,

Page 175: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

166

perhatian terhadap dimensi spasial semakin diperlukan untuk mewujudkan

efektifitas pencapaian tujuan pembangunan. Pentingnya dimensi spasial ini juga

menjadi perhatian penting dari administrasi pembangunan. Sebagaimana

dikemukakan Heaphey (1971) : Government, economic development, and nation-

building are closely interwoven spatialy, none being quite the cause of the others,

yet all three being inextricably bound together.

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa konteks administrasi pembangunan

dalam pembangunan negara-bangsa sangat terkait dengan dimensi spatial,

keterkaitan tersebut dalam bentuk hubungan sebab-akibat dan terjadi secara

bersama-sama. Pembangunan ekonomi yang berlangsung di berbagai daerah

terjadi karena adanya kewenangan politik dan administrasi untuk

mengimplementasikan kebijakan ekonomi yang dilokalisir secara geografis.

Dimensi spasial juga diperlukan dalam pembangunan politik untuk menentukan

batas-batas ukuran agar pengambilan keputusan benar-benar demokratis. Budaya

masyarakat dalam spasial yang berbeda-beda dapat dijadikan dasar bagi

pemerintah untuk merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial,

sebaliknya pemerintah perlu membangun suatu budaya nasional yang menjadi the

visual world bagi masyarakat negara-bangsa. Dimensi spasial juga diperlukan

untuk mempromosikan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah

melalui kebijakan desentralisasi. Sistem desentralisasi dalam pembangunan

dikatakan berhasil apabila terjadi penggabungan nilai (value integration) dan

profesionalisme (professionalism), dengan tidak mengabaikan aspek sentralisasi

untuk kepentingan pembangunan negara bangsa (centralization and the need for

nation-building).

Karakteristik faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan administrasi

dapat berbeda antar daerah, sehingga upaya melakukan inovasi pemerintahan

untuk mendapatkan dukungan dari lingkungan yang dilakukan oleh suatu daerah

juga akan berbeda dengan yang dilakukan oleh daerah lainnya. Demikian pula

tidak ada jaminan bahwa pembangunan administrasi yang berhasil diterapkan di

suatu daerah akan berhasil diterapkan pada daerah lainnya. Tepat kiranya bahwa

menamakan pembangunan administrasi sebagai a subject matter in search of a

Page 176: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

167

discipline dari administrasi publik, penamaan tersebut didasarkan pada beberapa

pertimbangan kepentingan (set of pragmatic concerns.) Pemahaman yang

demikian tentunya juga berlaku dalam pembangunan kapasitas administrasi

publik. Pembangunan struktur dan fungsi pemerintahan untuk menunjang

pelaksanaan program pembangunan dapat berbeda antar negara, antar daerah,

bahkan antar jenis program yang berbeda. Terdapat kesimpulan dari Siffin (1972)

bahwa pembangunan institusi adalah sebagai teori (institution building as theory)

dan bukan teori pembangunan institusi (institution building theory). Kesimpulan

ini dapat dimaknai bahwa konsep pembangunan termasuk pembangunan ekonomi

yang berhasil diterapkan di suatu daerah belum tentu akan berhasil pula jika

diterapkan di daerah lain, pemahaman aspek lokalitas sangat diperlukan dalam

inovasi pembangunan.

Inovasi pemerintahan daerah untuk daerah yang ciri-ciri kesukuan dan

budaya lokalnya menonjol diperlukan pembangunan struktur dan fungsi institusi

pemerintahan yang lebih ramping dan sekaligus memanfaatkan berfungsinya

struktur dan fungsi institusi lokal. Sedangkan untuk daerah yang memiliki

perbedaan pelapisan sosial, politik, dan ekonomi lebih menonjol diperlukan

pembangunan struktur pemerintahan yang dapat meningkatkan efektivitas

administrasi dan pembangunan ekonomi (Supriyono, 2010). Pembangunan

struktur birokrasi yang tambun dan lebih berorientasi pada kepentingan internal

agar para birokrat tidak kehilangan jabatan harus dihindari. Struktur birokrasi

yang dibangun atas dasar karakteristik masyarakatnya akan menjadikan birokrasi

tersebut lebih responsif dalam melayani masyarakat yang bersangkutan. Dalam

kerangka penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan birokrasi pusat ataupun

daerah, nilai-nilai yang ingin dicapai melalui pembangunan struktur dan fungsi

institusi ini bukan hanya nilai produktivitas, efisiensi, dan sentralisasi, melainkan

mencakup pula nilai partisipasi, otonomi dan desentralisasi. Indikator

keberhasilan struktur birokrasi dalam menjalankan fungsinya diukur dari:

kemampuan birokrasi meningkatkan efisiensi dan produktivitas, menjalankan

prinsip-prinsip manajemen rasional, menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan

disiplin kerja, profesionalisme, meritokrasi, impersonalitas, dan kemampuannya

dalam mengembangkan budaya korporasi (corporate cultural).

Page 177: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

168

Mengacu pada pendapat Julie & Rosenbloom (2003 : 3-6), diperlukan

beberapa persyaratan agar menjamin terwujudnya birokrasi pemerintahan yang

merepresentasikan pemenuhan kebutuhan public dan pembangunan. Persyaratan

yang dimaksud adalah perlunya perhatian terhadap representasi pasif (passive

representativity) artinya tidak hanya menciptakan kinerja institusi berdasar

tupoksi semata tetapi perlu memperhatikan karakteristik unit institusi, ataupun

pihak-pihak yang terkait. Di samping itu, diperlukan perhatian terhadap

representasi aktif (active representativity) artinya lebih menekankan pada

responsibilitas dalam pelaksanaan pekerjaan, nilai-nilai kesepakatan diantara unit

institusi ataupun antar birokrat. Birokrasi yang representatif tersebut dapat

terwujud apabila kinerja institusi pemerintahan tidak semata-mata mendasarkan

pada impersonalitas tetapi melihat kemampuan dan latar belakang birokrat secara

mendalam. Persyaratan yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya menerapkan

nilai-nilai institusi privat dan penegakan nilai-nilai normatif yang mencerminkan

representasi institusi pemerintahan (representative bureaucracy).

Inovasi pemerintahan untuk percepatan pembangunan juga dapat

diwujudkan jika terdapat kemandirian dalam pengelolaan kewenangan. Dalam hal

ini terdapat beberapa prinsip yang harus dipenuhi. Pertama, stigler principle:

pengambilan keputusan harus terjadi pada tingkatan terendah pemerintahan yang

konsisten dengan tujuan efisiensi alokasi sumberdaya. Ukuran optimal yurisdiksi

bervariasi sesuai dengan skala ekonomi dan keuntungan biaya spillovers. Kedua,

principle of fiscal equivalency: keselarasan batasan politik dengan kemanfaatan

atau keuntungan yang diperoleh, untuk itu diperlukan kejelasan yurisdiksi untuk

setiap jenis layanan publik. Ketiga, correspondence principle: kejelasan

yurisdiksi yang berhubungan dengan kewenangan pusat dan daerah menyangkut

penyediaan setiap barang publik untuk semua lapisan masyarakat secara

memuaskan. Keempat, decentralization theorem: setiap pelayanan publik harus

disediakan dengan batasan yurisdiksi yang jelas melalui mekanisme kontrol yang

bersifat terbatas, melembagakan keuntungan dan biaya layanan. Kelima,

subsidiarity principle: belanja dan fungsi regulasi harus berada pada tingkatan

pemerintahan terendah meskipun demikian untuk daerah yang tidak mampu perlu

bantuan secara proporsional yang dikoordinasikan oleh pemerintah pusat.

Page 178: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

169

Perluasan jaringan antar aktor juga sangat diperlukan dalam inovasi

pemerintahan dan pembangunan. Inovasi pemerintahan yang dapat dilakukan,

untuk daerah yang ciri-ciri kesukuan dan budaya lokalnya menonjol diperlukan

pengelolaan urusan pemerintahan dan pembangunan yang lebih menekankan

peran sektor pemerintah dan komunitas masyarakat setempat. Sedangkan untuk

daerah yang memiliki perbedaan pelapisan sosial, politik, dan ekonomi lebih

menonjol diperlukan arah kebijakan pengelolaan urusan pemerintahan yang lebih

menekankan peran pemerintah dan sektor swasta. Dalam lingkup administrasi

publik, mengacu pada pemetaan kajian Kickert dan Stilman (1999 : 29-33)

diperlukan keseimbangan antara implementasi konsep pluralitas (pluralist)

dengan konsep dominasi negara (state centrists). Konsep pluralitas dapat

diimplementasikan dengan baik jika didukung dengan pengurangan dominasi

negara (statelessness) melalui kebijakan desentralisasi yang komprehensif,

sedangkan konsep state centrists dapat diterapkan jika didukung pemahaman

tentang kompleksitas masyarakat dan meningkatnya intervensi negara secara

positif untuk kemakmuran rakyat.

Terdapat empat proposisi yang dapat menjelaskan mengapa pemerintah

daerah perlu melakukan inovasi dalam rangka meningkatkan pertumbuhan

ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Grindle, 2007 : 10-12).

Pertama, political competitions: dinamika kompetisi politik lokal adalah inti dari

pendekatan yang menjelaskan variasi kinerja pemerintahan daerah secara

demokratis. Kedua, state entrepreneurship: terpusat pada aktivitas institusi

pemerintahan daerah dalam hal kewenangan mengembangkan ide-ide inovatif,

dan membuat pilihan strategis tentang bagaimana nilai tambah dari sebuah

kebijakan. Ketiga, public sector modernization: pemberian insentif tambahan

untuk pejabat publik yang telah melakukan restrukturisasi institusi, privatisasi

layanan atau contracting out, dan inovasi teknologi untuk mengembangkan

kapasitas sektor publik. Keempat, civil society activism: meningkatkan derajat

partisipasi dan akuntabilitas, kelompok sosial dalam komunitas lokal yang

diarahkan pada penyediaan layanan publik yang berkualitas termasuk melalui

partisipasi dalam proses kebijakan. Mencermati keempat proposisi tersebut dapat

dipahami bahwa keterlibatan komunitas masyarakat ataupun sektor swasta dalam

Page 179: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

170

inovasi penyelenggaraan pemerintahan memerlukan dukungan proses politik yang

demokratis, wawasan entrepreneurial penyelenggara pemerintahan, modernisasi

dalam pengelolaan sektor publik, dan peningkatan derajat partisipasi masyarakat.

PENUTUP

Inovasi pemerintahan daerah selama ini telah dilakukan di Indonesia

secara terus menerus, hal ini ditandai dengan adanya perubahan kebijakan

desentralisasi yang telah dilakukan di beberapa era pemerintahan. Di era orde baru

transformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah diimplementasikan dengan

mengedepankan nilai-nilai manajerial, sebaliknya di era reformasi inovasi

pemerintahan daerah dilakukan dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi.

Pengabaian salah satu nilai berakibat pada tersendatnya proses inovasi

pemerintahan dalam upaya peningkatan kualitas layanan publik dan pembangunan

sosial ekonomi masyarakat.

Mencermati hal tersebut diperlukan kajian ulang mengenai konsep inovasi

pemerintahan daerah yang memungkinkan untuk mewujudkan keseimbangan

antara penerapan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai manajerial guna

mempercepat pencapaian tujuan pembangunan. Konsep yang dimaksud adalah

inovasi pemerintahan sistemik yang didalamnya menyangkut saling keterkaitan

antara pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan inovasi ke arah perubahan

yang bersifat transformatif. Pemerintah pusat perlu merancang kebijakan inovasi

yang berbasis penemuan masalah (problem-finding) maupun pemecahan masalah

(problem-solving) dengan dukungan implementasi di daerah yang berbasis pada

kearifan lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Helen. 2008. Knowledge and Innovation, A Comparative Study of the USA, the UK,andJapan. Routledge Taylor & Francis Group. Madison Ave, New York.

Eckardt, Sebastian and Anwar Shah. 2006. “Local Government Organization and Finance:Indonesia.” in Anwar Shah (ed). Local Governance in Developing Countries.The WorldBank. Washington DC.

Grindle, Merilee S. 2007. Going Local, Decentralization, Democratization, and the Promise ofLocal Governance. Princeton University Press. New Jersey.

Heaphey, James J. (ed.). 1971. Spatial Dimensions of Development Administration. Durham,North Carolina : Duke University Press.

Page 180: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

171

Heiman, Bruce; Jackson Nickerson, and Todd Zenger. 2009. “Governing Knowledge Creation: aproblem-finding and problem-solving perspective” in Nicolai J Foss and Snejina Michailova(ed). Konwledge Governance, Process and Perspective. Oxford University Press. New York

John & Albury. 2003. Strategic and Organization Innovation. Routledge Taylor & Francis Group.Madison Ave, New York.

Kane, Lester T and Marylyne R Poweller.2008. Citizenship in the 21st Century. Nova SciencePublishers. New York.

Kickert, Walter JM and Richard D Stilman. 1999. The Modern State and its Study. Edward Elgar.Cheltenham, UK.

Klerman, Jacob Alex. 2005. “Measuring Performance” in Robert Klitgaard & Paul C Light (ed).High-Performance Government, Structure,Leadership, Incentives. Pardee Rand GraduateSchool. Pitsburg.

Miller, William; Malcom Dickson and Gerry Stoker. 2008. Models of Local Governance,PublicOpinion and Political Theory in Britain. Palgrave, Macmillan, England.

Muluk, Khairul. 2007. Knowledge Management, Inovasi Pemerintahan Daerah. Bayu Media.Jakarta.

Riggs, Fred W. 1971. “The Context of Development Administration”, dalam Mulgan, Fred W.Riggs (ed). Frontiers of Development Administration. Durham : Duke University Press.

Siffin, William J. 1972. “Institution Building As Vision and Venture”dalam Joseph W Eaton.Institution Building and Development, From Concepts to Application. Baverly Hills, London: Sage Publications.

Supriyono, Bambang. 2010. Sistem Pemerintahan Daerah Berbasis Masyarakat Multikultural.Pidato Pengukuhan Guru Besar. Fakultas Ilmu Administrasi. Universitas Brawijaya. Malang.

Page 181: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

172

PROFIL PENULIS

Prof.Dr.Bambang Supriyono,MS

Prof.Dr.Bambang Supriyono,MS merupakan salah satu profesor di

bidang pemerintahan daerah pada Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu

Administrasi Universitas Brawijaya. Menamatkan S1 Administrasi Negara di

Unibraw (1984), S2 Sosiologi di Universitas Padjadjaran (1991) dan S3 di

bidang Pembangunan Institusi Pemerintahan Daerah di UI (2007). Sekarang

menjabat sebagai Pembantu Dekan I bidang Akademik di Fakultas Ilmu

Administrasi, Universitas Brawijaya.

Prof.Dr.Abdul Hakim,M.Si

Prof.Dr.Abdul Hakim,M.Si, merupakan profesor di bidang

Sosiologi Birokrasi pada Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu

Administrasi Universitas Brawijaya. Menamatkan S1 Administrasi Negara di

Unibraw (1984), S2 Sosiologi di Universitas Padjadjaran (1993) dan S3 di

bidang Sosial di Universitas Padjadjaran (2007). Beberapa karya ilmiah yang

pernah diterbitkan beliau adalah Sistem Informasi Manajemen Sektor Publik

(FIA, Buku Ajar),Pengantar Sosiologi (Surya Pena Gemilang, 1999, Buku

Ajar), Kapita Selekta Metodologi Penelitian untuk Ilmu-ilmu Sosial (Surya

Pena Gemilang, 2006, Buku Ajar), Statistika Sosial (Citra Media, 1997),

Dinamika Sosial Ekonomi Masyarakat Perdesaan (Bayu Media,

2008).Sekarang menjabat sebagai Staf ahli PR III Universitas Brawijaya

serta Ketua UJM Jurusan Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya.

Prof.Dr.Abd.Yuli Andi Gani,MS

Prof.Dr.Abd.Yuli Andi Gani,MS merupakan profesor di bidang

Kepemimpinan pada Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu

Administrasi Universitas Brawijaya.

Page 182: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

173

Dr. Tjahjanulin Domai, MS.

Dr. Tjahjanulin Domai, MS. merupakan salah satu pengajar di

Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas

Brawijaya. Menamatkan S1 Administrasi Negara di Unibraw (1979), S2

Administrasi Negara, FISIPOL UGM (1987 dan S3 Administrasi Negara di

Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Sekarang menjabat

sebagai ketua Laboratorium Pemerintahan serta Ketua Pengelola

Dokumentasi, Informasi dan Keluhan di Universitas Brawijaya

Dr.M.R.Khairul Muluk,S.Sos,M.Si

Dr.M.R.Khairul Muluk,S.Sos,M.Si merupakan salah satu pengajar

di Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas

Brawijaya. Menamatkan S1 Jurusan Administrasi Negara Spesialisasi

Pemerintahan Umum, Universitas Brawijaya (1994), S2 Program

Pascasarjana, Program Studi Administrasi Niaga Kekhususan Pengembangan

Sumber Daya Manusia, Universitas Brawijaya, (1999; cumlaude) dan

Program S3 Ilmu Administrasi di Universitas Indonesia, (2006; cumlaude).

Beberapa karya ilmiah yang pernah diterbitkan beliau adalah Peta Konsep

Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah (Surabaya: ITS Press, 2009);

Knowledge Management: Kunci Sukses Inovasi Pemerintahan Daerah

(Malang: Bayu Media, 2008); Menggugat Partisipasi Publik dalam

Pemerintahan Daerah: Sebuah Kajian dengan Pendekatan Berpikir Sistem

(Malang: Bayumedia & LPD FIA Unibraw, 2007) dan Desentralisasi dan

Pemerintahan Daerah (Malang: Bayumedia, 2006). Sekarang menjabat

sebagai Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Publik , Fakultas Ilmu

Administrasi, Universitas Brawijaya, Ketua Departemen Pengembangan

Profesi Administrasi Publik, Pengurus Pusat Asosiasi Sarjana & Praktisi

Administrasi Indonesia (ASPA Indonesia/ dh PERSADI), Ketua Departemen

Pengembangan Profesi Administrasi Negara/Publik, Pengurus Pusat

Indonesian Association for Public Administration (IAPA), Ketua Umum

Pengurus Pusat Lembaga Sertifikasi Profesi Administrasi Negara/Publik

Indonesia, dan Asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi

Page 183: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

174

Dr.Hermawan, SIP,M.Si.

Dr.Hermawan, SIP,M.Si. merupakan salah satu pengajar di Jurusan

Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.

Menamatkan S1 Bidang Ilmu Hubungan Internasional di UGM (1998), S2

dan S3 Administrasi Publik di Unibraw (2002 dan 2008). Sekarang menjabat

sebagai Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan di Jurusan Jurusan

Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.

Dr. Irwan Noor,MS,

Dr. Irwan Noor,MS, merupakan salah satu pengajar di Jurusan

Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.

Menamatkan S1 Administrasi Publik di Universitas Brawijaya (1984), S2

Ilmu Politik di UI (1990) dan S3 Administrasi Publik di Unibraw (2010).

Sekarang menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perpustakaan Jurusan

Administrasi Publik, Fakultasi Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya.

Dr. Choirul Saleh,M.Si

Dr. Choirul Saleh,M.Si merupakan salah satu pengajar di Jurusan

Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.

Menamatkan S1 Administrasi Negara di Unibraw (1986), S2 Sosiologi di

UGM (1995) dan S3 Administrasi Publik (2010). Sekarang sebagai

koordinator Jurnal Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi

Universitas Brawijaya.

Dr.Siti Rochmah,M.Si

Dr.Siti Rochmah,M.Si adalah salah satu pengajar di Jurusan

Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

dengan bidang keahlian Kebijakan Publik. Menamatkan S1 Sarjana

Pendidikan dengan bidang Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris di IKIP Malang

pada tahun 1983, S2 Magister Sains dengan Bidang Ilmu Sosial di

Universitas Padjadjaran (1995) dan S3 Administrasi Publik di Unibraw

(2007). Sekarang menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perpustakaan

Jurusan Administrasi Publik, Fakultasi Ilmu Administrasi, Universitas

Brawijaya. Sekarang menjabat sebagai Ketua Laboratorium Bahasa Inggris

FIA Universitas Brawijaya.

Page 184: Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Indonesia

175

Drs.Abdullah Said,M.Si

Drs.Abdullah Said,M.Si adalah salah satu pengajar di Jurusan

Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

dengan bidang keahlian Kebijakan Publik. Sekarang menjadi Anggota RCCP

(Research Center for Conflict and Policy).

Trisnawati,S.Sos,MAP

Trisnawati,S.Sos,MAP adalah salah satu pengajar di Jurusan

Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

dengan bidang keahlian Kebijakan Publik. Menamatkan S1 S1 Administrasi

Negara di Unibraw pada tahun 2002, S2 Magister Administrasi Publik di

Universitas Brawijaya (2005).