peran media massa dalam menyuarakan kebijakan...
TRANSCRIPT
PERAN MEDIA MASSA DALAM MENYUARAKAN
KEBIJAKAN ORDE BARU: STUDI KASUS HARIAN
SUARA KARYA 1971-1974
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Humaniora (S, Hum.)
Oleh
Dicky Prastya
11140220000033
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
ii
iii
PERAN MEDIA MASSA DALAM MENYUARAKAN
KEBIJAKAN ORDE BARU: STUDI KASUS HARIAN
SUARA KARYA 1971-1974
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Humaniora (S, Hum.)
Oleh
Dicky Prastya
11140220000033
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
iv
v
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Dicky Prastya
NIM : 11140220000033
Jurusan : Sejarah dan Peradaban Islam
Judul Skripsi : Peran Media Massa dalam Menyuarakan Kebijakan Orde
Baru: Studi Kasus Harian Suara Karya 1971-1974
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi ini adalah hasil karya saya
sendiri yang merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya
sendiri serta bukan merupakan replikasi maupun saduran dari hasil
karya atau hasil penelitian orang lain.
Apabila terbukti skripsi ini merupakan plagiat atau replikasi maka skripsi
dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun
skripsi baru dan kelulusan serta gelarnya dibatalkan.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul
dikemudian hari menjadi tanggung jawab saya.
Ciputat, 26 April 2019
Dicky Prastya
vi
vii
PERAN MEDIA MASSA DALAM MENYUARAKAN
KEBIJAKAN ORDE BARU: STUDI KASUS HARIAN
SUARA KARYA 1971-1974
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S, Hum.)
Oleh
Dicky Prastya
11140220000033
Pembimbing
Prof. Dr. Jajat Burhanuddin, M.A.
NIP. 19670119 199403 1 001
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
viii
ix
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul Peran Media Massa dalam Menyuarakan Kebijakan
Orde Baru: Studi Kasus Harian Suara Karya 1971-1974 telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 Mei 2019.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Humaniora (S. Hum) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban
Islam.
Ciputat, 27 Mei 2019
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
H. Nurhasan, M.A. Sholikatus Sa’diyah, M.Pd.
NIP: 19690724 199703 1 001 NIP: 19750417 200501 2 007
Anggota
Penguji I Penguji II
Prof. Budi Sulistiono, M.Hum. Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag.
NIP: 19541010 198803 1 001 NIP: 19590115 199403 1 002
Pembimbing
Prof. Dr. Jajat Burhanuddin, M.A.
NIP. 19670119 199403 1 001
x
xi
ABSTRAK
DICKY PRASTYA. Peran Media Massa dalam Menyuarakan
Kebijakan Orde Baru: Studi Kasus Harian Suara Karya 1971-1974
Penelitian ini membahas tentang peran Suara Karya dalam pusaran
politik era Presiden Soeharto. Suara Karya terbit pertama kali pada
tanggal 11 Maret 1971 yang juga bertepatan dengan perayaan Surat
Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Tujuan diterbitkannya media ini
didasari untuk menaikkan elektabilitas Golongan Karya (Golkar) selaku
kendaraan politik Soeharto dalam memenangkan Pemilihan Umum
1971. Kehadiran Suara Karya mampu menjadikan Golkar sebagai
pemenang dengan raihan suara 62,8%. Usai pemilu, Suara Karya
kemudian berperan sebagai surat kabar yang berfungsi sebagai mediator
antara pemerintah dengan masyarakat. Melalui rubrik Tajuk Rencana,
Suara Karya menyuarakan berbagai kebijakan pemerintah dalam
pelaksanaan pembangunan yang juga menjadi jargon Orde Baru, mulai
dari kebijakan politik dan ekonomi. Selain itu, media ini juga menjawab
kritikan yang beredar di masyarakat melalui rubrik Tajuk Rencana.
Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana dari Tajuk Rencana
Suara Karya dari Agustus 1971 hingga Januari 1974. Dari Tajuk
Rencana ini kemudian membentuk sebuah narasi yang menganalisis
tentang sikap Suara Karya dalam menanggapi kebijakan Orde Baru.
Melalui narasi ini, ditemukan kesimpulan bahwa Suara Karya termasuk
ke dalam kategori media partisan karena sikapnya cenderung membela
pemerintah. Pembahasan penelitian ini dibatasi hingga terjadinya
peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) yang sekaligus menjadi
akhir dari masa Rancangan Pembangunan Lima Tahun (Repelita) Jilid I.
Kata Kunci: Suara Karya, Pers, Pembangunan, Golkar, Soeharto,
Orde Baru.
xiii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah memberikan rahmat dan hidayah kepada penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa pujian kepada Nabi Muhammad Saw
beserta keluarga, sahabat yang turut memberikan pengaruh besar kepada
umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Skripsi yang telah hadir di depan pembaca sekalian, merupakan
hasil karya penulis yang merupakan kebanggaan besar. Sejak November
2018 silam, penulis telah menyempatkan waktu untuk mengerjakan
sebuah maha karya yang menjadi sebuah hasil dialektika di bangku
perkuliahan. Dengan lika-liku kehidupan yang tiada akhir, akhirnya
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Peran Media
Massa dalam Menyuarakan Kebijakan Orde Baru: Studi Kasus
Harian Suara Karya 1971-1974.
Penyelesaian skripsi ini tidak akan berhasil tanpa adanya
dukungan dari berbagai pihak. Banyak nasihat dan masukkan yang
diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih
sebesar-besarnya ke para kalangan, terutama:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat ini, Prof. Dr. Hj.
Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A dan Rektor sebelumnya,
Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.
2. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) saat ini, Saiful
Umam, M.A., Ph.D. dan Dekan sebelumnya, Prof. Dr. Syukron
Kamil, MA.
3. Ketua Jurusan (Kajur) Sejarah dan Peradaban Islam (SPI) saat
ini, Dr. Awalia Rahma, MA. dan Sekretaris Jurusan (Sekjur) Dr.
Imas Emalia, M.Hum. dan Kajur SPI periode sebelumnya,
xiv
Nurhasan, MA dan Sekjur SPI, Sholikatus Sa’diyah M,Pd.
Terima kasih telah memberikan pelayanan akademik selama saya
berkuliah di jurusan ini.
4. Seluruh Dosen Jurusan SPI yang tak mampu disebut namanya
satu per satu. Terima kasih saya ucapkan kepada mereka yang
telah membentuk penulis sebagai akademisi SPI di bangku
perkuliahan.
5. Prof. Dr. Jajat Burhanuddin, MA, selaku Dosen Pembimbing
Skripsi dan Akademik penulis. Tanpa arahan dan masukkan
beliau, mungkin sampai sekarang saya masih terlena dengan
status mahasiswa.
6. Kedua Dosen Penguji Skripsi, Prof. Dr. H. Budi Sulistiono,
M.Hum. dan Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag. Terima kasih telah
memandu penulis dalam untuk menjadikan skripsi lebih baik
lagi.
7. Seluruh Staf FAH dan Universitas. Terima kasih telah membantu
penulis dalam menyelesaikan administrasi di UIN Jakarta.
8. Pihak Perpustakaan, baik itu tingkat universitas maupun fakultas.
Terima kasih telah membantu penulis dalam menemukan
wawasan baru melalui aset buku perpustakaan.
9. Kedua orang tua penulis, Bapak Warto dan Ibu Umiyati, yang
telah mengizinkan penulis untuk mengenyam pendidikan di
bangku kuliah. Semoga mereka tetap sehat dan sabar dalam
mendidik penulis yang selalu berusaha untuk menjadi manusia.
10. Seluruh mahasiswa SPI angkatan 2014, terutama kelas A dan
kelas C. Mereka adalah teman-teman saya dalam menciptakan
xv
nalar kritis di bangku perkuliahan. Terima kasih telah mau duduk
dan berdiskusi dengan saya.
11. Keluarga Besar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut UIN
Jakarta, baik itu dari senior maupun adik-adik junior. Dari sinilah
saya dididik sebagai akademisi yang juga organisatoris. Terima
kasih telah memberikan amanah kepada saya untuk memimpin
lembaga ini pada periode 2017 lalu. Tanpa lembaga ini, bakat
kepenulisan dan nalar kritis saya mungkin tak akan terbentuk.
12. 14 Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang tergabung
dalam Forum UKM 2017. Terima kasih telah menciptakan pola
pikir kritis terhadap kebijakan kampus.
13. Kawan-kawan Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ). Terima
kasih telah mau duduk dan diskusi tentang kebijakan pers
kampus, sekaligus isu-isu nasional yang membangkitkan gairah
penulis.
14. Dua kawan jurusan, Abdurrahman Heriza dan Tri Raharjo.
Terima kasih telah menjadikan penulis sebagai manusia yang
beretika. Semoga ke depan masih bisa kumpul dan berdiskusi
mengenai masalah kehidupan.
15. Erik Syarifuddin, teman jurusan di kelas C. Terima kasih telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.
16. Aisyah Nursyamsi, Eko Ramdani, Eli Murtiana, Jannah Arijah,
Lya Syam Arif, Yayang Zulkarnaen, dan Zainuddin. Terima
kasih telah sudi menerima penulis sebagai bagian dari keluarga
di LPM Institut angkatan 2015. Terkhusus Yayang dan Zain,
terima kasih telah menjadi teman dalam bertukar pikiran di dalam
satu atap indekos.
xvi
17. Dua teman masa SMA saya, Irsyad Mohammad dan Wahyu Dwi
Apriyanto. Terima kasih kepada Irsyad sebagai inspirasirator
penulis dari masa SMA hingga perkuliahan. Terima kasih kepada
Wahyu yang mau menjadi pendengar saya dalam menanggapi
isu-isu kehidupan. Semoga kita masih bisa silaturahmi ke
depannya.
18. Terima kasih kepada pihak Mokuton Coffee & Co. Berkat listrik
dan fasilitas lain, penulis berhasil menyelesaikan dua bab skripsi
di sana. Sering-seringlah kasih diskon biar bisa jadi decacorn.
Hanya itu yang bisa penulis sampaikan kepada para pihak yang
sudah membantu saya dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih
sebesar-besarnya kepada seluruh pihak di atas. Semoga Allah swt
membalas semua kebaikan yang kepada seluruh pihak, dan juga alam
semesta. Amin.
Ciputat, 26 April 2019
Penulis
Dicky Prastya
xvii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................... v
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................... ix
ABSTRAK .................................................................................. xi
KATA PENGANTAR ............................................................. xiii
DAFTAR ISI ........................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................... 9
C. Batasan Masalah ................................................................. 9
D. Rumusan Masalah .............................................................. 9
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................... 10
F. Metode Penelitian ............................................................. 10
G. Sistematika Penulisan ....................................................... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA ..................................................... 15
A. Landasan Teori ................................................................. 15
B. Kajian Pustaka .................................................................. 17
C. Kerangka Berpikir ............................................................ 20
BAB III PERS DAN POLITIK DI INDONESIA ................... 21
A. Pers Pra Kemerdekaan ...................................................... 21
B. Pers Orde Lama ................................................................ 30
C. Pers Orde Baru ................................................................. 37
BAB IV ORDE BARU ............................................................... 43
A. Lahirnya Sebuah Era Baru ................................................ 43
B. Menciptakan Stabilitas Politik .......................................... 56
C. Merancang Ekonomi......................................................... 70
xviii
BAB V SIKAP SUARA KARYA DALAM MELEGITIMASI
KEKUASAAN ORDE BARU ................................................... 85
A. Pandangan tentang Soeharto ............................................. 92
B. Menyuarakan Pembangunan............................................. 95
C. Mengulas Dinamika Politik ............................................ 113
D. Menanggapi Kritik .......................................................... 122
BAB VI PENUTUP .................................................................. 139
A. Kesimpulan ..................................................................... 139
B. Implikasi ......................................................................... 141
C. Saran ............................................................................... 141
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 143
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................... 155
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Media massa menjadi unsur yang tidak bisa dilepaskan tatkala
membahas pemerintahan. Media massa sendiri memiliki sikap terhadap
kebijakan politik. Dalam pembagiannya, orientasi media massa sendiri
terbagi menjadi dua. Di satu sisi, media bisa memihak kepada
masyarakat. Sedangkan di sisi lain, media juga bisa menjadi corong
pemerintahan atau negara. Media bisa dikatakan membela masyarakat
apabila mereka cenderung memberitakan segala sesuatu yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Jika pers membela pemerintah, maka
media itu condong pro terhadap segala bentuk kebijakan yang dijalankan
oleh negara.1
Dalam sejarah Indonesia, satu periode penting yang
menyaksikan pentingnya peran media dalam politik adalah masa awal
pemerintah Orde Baru pada awal 1970-an. Sebagaimana diketahui,
setelah memerintah selama kurang lebih 20 tahun, Soekarno digantikan
Soeharto untuk menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada 27 Maret
1968, kekuasaan Soeharto, yang dikenal sebagai Orde Baru, disahkan
melalui ketetapan MPRS Nomor XLIV Tahun 1968.2 Ketetapan ini
sendiri bermula dari kemunculan Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) yang ditandatangani sendiri oleh Soekarno. Kemunculan
1 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, (Yogyakarta: LKiS,
1995), 13-14. 2 Peter Kasenda, Sarwo Edhie dan Tragedi 1965, (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2015), 168.
2
Supersemar sendiri bertujuan untuk memulihkan keadaan dari berbagai
kekacauan yang terjadi di Indonesia.3
Peralihan dari Soekarno ke Soeharto menjadi titik awal dalam
mengembalikan kondisi yang telah kacau. Saat itu, Soeharto
memutuskan untuk memperbaiki keadaan ekonomi demi mencapai
adanya keamanan, ketertiban, serta stabilitas politik ekonomi nasional.4
Pada 1966, Indonesia mengalami inflasi mencapai 660%. Tak hanya itu,
Indonesia juga memiliki utang luar negeri yang jumlahnya US 2.357
juta.5
Soeharto harus memutar otak. Bagaimanapun juga, ini menjadi
masalah serius dalam masa kepemimpinan awalnya. Dari sana, ia pun
mengundang kalangan akademisi di bawah naungan Widjojo Nitisastro
demi merancang sebuah strategi ekonomi Orde Baru. Tim ini sendiri
terdiri dari Ali Wardhana, Mohammad Sadli, Emil Salim, Saleh Afiff,
dan Johannes Baptista Sumarlin. Tim yang bertugas sebagai penasihat
ekonomi Soeharto ini kemudian dikenal dengan nama Mafia Berkeley
karena kebanyakan dari mereka adalah lulusan Universitas California,
Berkeley.6
Para penasihat ekonomi ini memberi jawaban pertamanya lewat
sebuah kebijakan landasan ekonomi keuangan dan pembangunan.
Kebijakan ini berisi tentang program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi
untuk jangka pendek dan program pembangunan untuk jangka panjang.
3 Peter Kasenda, Sarwo Edhie dan Tragedi 1965, 141. 4 Ali Moertopo, Strategi Pembangunan Nasional, (Jakarta: Centre for
Strategic and International Studies, 1982), 32-34. 5 Aria Wiratma Yudhistira, Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde
Baru terhadap Anak Muda Awal 1970an, (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2010), 30. 6 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-
1992, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2005), 53.
3
Nantinya, kebijakan ini dikenal sebagai Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita) yang sesuai Ketetapan MPRS no. 23 tahun 1966.7
Dalam memulihkan stabilisasi ekonomi, syarat pertama untuk
memenuhi kebutuhan itu ialah melakukan rehabilitasi dan stabilisasi,
baik itu untuk masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu
tindakan untuk memulihkan kepercayaan luar negeri ialah mengakhiri
konflik dengan Malaysia yang digagas oleh Soekarno pada tahun 1962
hingga 1966. Selain itu, Soeharto juga mengirimkan utusannya kepada
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk kembali menjadi anggota
PBB. Hal ini dilakukan karena pada saat pemerintah Soekarno, Indonesia
pernah menyatakan keluar dari PBB untuk agar tidak berada dalam kubu
manapun.8
Selain pembenahan pada bidang ekonomi, Soeharto juga
memfokuskan dirinya untuk mengendalikan kondisi politik. Pada masa
pemerintahan Soekarno, masyarakat turut andil dalam pembangunan di
bidang politik. Menurut Soekarno, masyarakat harus ikut serta dalam
kegiatan berpolitik. Sebab, pembangunan politik adalah unsur utama
dibandingkan pembangunan di bidang lain. Namun, Orde Baru
memandang partisipasi masyarakat dalam politik akan menimbulkan
ketidakstabilan baru. Alasannya, mereka belajar dari masa lalu bahwa
7 Ketetapan ini berisi tentang Kebijakan Landasan Ekonomi Keuangan dan
Pembangunan. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat lewat laman
http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/1966/XXIII~MPRS~1966TAP.HTM
(Diakses pada 9 November 2018 pukul 03.06 WIB). 8 Frans Seda, Simponi Tanpa Henti: Ekonomi Politik Masyarakat Baru
Indonesia, (Jakarta: Yayasan Atmajaya dan PT. Gramedia, 1992), 123-129.
4
konflik yang terjadi di masa Soekarno karena adanya pertentangan
ideologi dan politik yang tak kunjung berhenti.9
Dari sana, Soeharto pun mencoba sebuah ideologi baru yang
berbeda dengan ideologi-ideologi sebelumnya. Ideologi yang tidak
disukai elit Orde Baru adalah Komunisme. Namun di sisi lain, mereka
juga menolak ideologi baru yang muncul pada tahun 1950-an, yaitu
Demokrasi Liberal, yang melibatkan terlalu banyak kelompok politis,
seperti golongan islamis yang diwakili Masyumi dan Darul Islam,
golongan Nasionalis seperti PSI dan PNI.10
Dalam menerapkan sistem baru, Soeharto merujuk pada
Pembukaan UUD 1945, bahwa tujuan utama negara adalah menciptakan
kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan kesejahteraan, demokrasi
menjadi pilihan tepat dalam sebuah ideologi negara. Namun bedanya,
Soeharto tak lagi menggunakan istilah Demokrasi Liberal maupun
Terpimpin seperti yang digaungkan Soekano. Ia memperkanalkan istilah
baru bernama Demokrasi Pancasila.11 Kata Pancasila digunakan untuk
membedakan sistem yang sebelumnya sudah diterapkan, seperti
Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Istilah ini sendiri
berdasarkan pada sila ke empat pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”12
9 Aria Wiratma Yudhistira, Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde
Baru terhadap Anak Muda Awal 1970an, 33-34. 10 Aria Wiratma Yudhistira, Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde
Baru terhadap Anak Muda Awal 1970an, 33-34. 11 Herbert Feith dan Lance Castles (ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-
1965, (Jakarta: LP3ES, 1995), 132-135. 12 Krissantono (ed.), Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila,
(Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1984), 58-59.
5
Sebagai mantan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat
(Pangkostrad), Soeharto sendiri sudah tergabung dengan Golkar. Golkar
sendiri bermula dari sebuah organisasi bernama Sekretaris Bersama
(Sekber) Golkar yang digagas oleh Angkatan Darat pada 20 Oktober
1964. Sekber ini mewadahi berbagai organisasi yang terdiri dari berbagai
kelompok, seperti organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan
juga nelayan.13 Sekber Golkar ini ditujukan agar kelompok-kelompok di
atas, bersama AD tentunya, bisa berpartisipasi dalam kegiatan berpolitik.
Terlebih, mereka ingin meredam dominasi PKI dan menjadi alat ketika
berhadapan dengan Presiden Soekarno. Namun setelah Soekarno
tumbang dan penguasa baru berasal dari kalangan militer, maka Golkar
menjadi sebuah legitimasi baru untuk menampung masyarakat sipil.
Golkar juga berfungsi sebagai wadah untuk para kelompok yang pro
terhadap Soeharto. 14
Menjelang Pemilu 1971, Soeharto memerlukan sebuah langkah
agar bisa kembali menjadi Presiden RI. Sebagai partai baru, Golkar
memerlukan sebuah cara untuk mendongkrak namanya di masyarakat.
Hal ini bertujuan agar para politisi Golkar bisa duduk di kursi parlemen.
Sebab, masih banyak anggota masyarakat yang masih condong kepada
pemerintah Soekarno. Belum lagi, banyaknya partai-partai sejak awal
kemerdekaan sudah memiliki pijakan yang jelas. Golkar sebagai partai
baru harus bisa menang dari tantangan tersebut. 15
13 Partai Golkar, Sejarah Partai, https://partaigolkar.or.id/sejarah, (Diakses
pada 4 Desember 2018 pukul 16.16). 14 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia
1965-1968, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014), 126. 15 Saat itu beredar cerita bahwa kader Golkar memiliki reputasi yang kurang
baik. Anggotanya ada yang terlibat kasus korupsi, memiliki klub malam, hingga
6
Saat itu, Golkar sendiri belum memiliki media untuk
memperkenalkan eksistensinya di kalangan masyarakat Indonesia.
Padahal, media sendiri memiliki peranan ketika menjadi alat kampanye
politik. Kampanye lewat media cetak sendiri bisa disampaikan lewat
berbagai unsur, seperti judul, isi, maupun narasumber. Selain itu, media
juga bisa menyampaikan sikap melalui tajuk rencana atau editorial.
Rubrik ini juga menjadi saluran yang berperan penting dalam
melaksanakan kampanye politik.16
Demi menaikkan elektabilitas Golkar, pada 8 Maret 1971, Ali
Moertopo memberikan usul agar Golkar memiliki sebuah koran sendiri.
Dalam pertemuan yang dilaksanakan di Tanah Abang, Jakarta Pusat,
usul ini memang tak langsung diterima. Salah satu pihak yang menolak
adalah Rahman Tolleng. Menurut Rahman, jika partai memiliki media
sendiri, maka tak ada bedanya dengan orde lama yang sudah mereka
gulingkan.17
Namun Ali tetap kukuh dengan usul tersebut. Ia pun memberikan
kucuran dana sebesar Rp50 juta untuk modal dalam pembuatan media.
Terbentuklah Harian Umum Suara Karya sebagai media untuk
menaikkan elektabilitas Golkar. Sumiskum terpilih sebagai Pemimpin
Umum dan Djamal Ali sebagai Pemimpin Redaksi Harian Umum Suara
Karya. Rahman Tolleng sendiri terpilih sebagai Wakil Pemimpin
Redaksi. Sedangkan dalam jajaran redaksi ada beberapa tokoh seperti
bermain perempuan. Lihat lebih lengkap di Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde
Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1968, 127. 16 Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media,
(Bandung: Remadja Karya CV, 2010), 230.
17 Tempo, Koran 50 Juta Rupiah, dalam Majalah Tempo edisi Khusus
Rahasia-Rahasia Ali Moertopo tanggal 14-20 Oktober 2013, 48.
7
Syamsul Bisri, Sayuti Melik, David Napitupulu, dan Cosmas Batubara.
18
Tiga hari setelah, Suara Karya terbit untuk pertama kalinya yang
juga bertepatan dengan Peringatan Supersemar 1971. Pada terbitan
pertama, Suara Karya membahas tentang berita utama yang berisi
dukungan kepada Soeharto atas perannya dalam Supersemar. Dalam
berita itu, Supersemar bermanfaat kepada Soeharto agar memberikan
pembaruan setelah era Soekarno berakhir. Untuk Tajuk Rencana, Suara
Karya menulisnya dengan judul Misi Suara Karya. Isinya tertulis bahwa
Golkar akan memiliki peran dalam melakukan pembaharuan di segala
bidang. Hal ini sesuai dengan cita-cita yang selaras dengan Orde Baru
dengan berlandaskan pembangunan.19 Terciptanya Suara Karya mampu
memberikan efek positif kepada Golkar dan Soeharto dalam Pemilu
1971. Dalam tahun itu, Golkar mampu mendulang suara hingga 62,8%
dari total sepuluh partai politik yang turut berpartisipasi dalam pemilu.20
Di tahun pertama terbit, Suara Karya mampu menerbitkan
sebanyak 25 ribu eksemplar. Tahun selanjutnya, permintaan akan Suara
Karya melonjak tinggi. Di tahun 1972, Suara Karya berhasil mencetak
lebih dari dua kali lipat, yakni 57,4 ribu eksemplar. Sedangkan di tahun
1973, terbitnya Suara Karya semakin naik mencapai 67,75 ribu
18 Tempo, Koran 50 Juta Rupiah, dalam Majalah Tempo edisi Khusus
Rahasia-Rahasia Ali Moertopo tanggal 14-20 Oktober 2013, 48. 19 Rizal Mallarangeng, Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara
Karya, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), 63. 20 Ilham Khoiri, Pemilu 1971, Demokrasi Semu,
https://nasional.kompas.com/read/2014/01/11/1932246/Pemilu.1971.Demokrasi.Semu
, (Diakses pada 4 Desember 2018 pukul 17.25).
8
eksemplar. Barulah pada tahun 1974, Suara Karya mengalami
penurunan yang berjumlah 60,9 ribu eksemplar.21
Tak hanya menciptakan Suara Karya, Soeharto juga mampu
mengonsolidasikan berbagai elemen di pemerintahan demi
melanggengkan kekuasaannya. Ia memulainya dari menyingkirkan para
pejabat yang simpati terhadap Soekarno dan menggantinya dengan yang
pro terhadap Orde Baru. Selain itu, Soeharto juga membentuk Asisten
Pribadi (Aspri) yang diisi oleh orang-orang kepercayaannya. 22 Namun
sebelum pelaksanaan Repelita jilid II, kekuasaan Soeharto mengalami
guncangan politik yang dikenal dengan peristiwa Malapetaka 15 Januari
(Malari) 1974.
Melihat uraian di atas, penulis ingin meneliti tentang peran Suara
Karya dalam menaikkan elektabilitas Golkar dalam Pemilu 1971
sekaligus Soeharto. Kemudian, penulis ingin mengungkapkan tentang
pikiran Suara Karya mengenai kondisi negara di bawah pemerintahan
Orde Baru melalui Tajuk Rencana. Oleh karenanya, penulis memutuskan
untuk mengkaji dan menjadikannya sebagai objek kajian skripsi dengan
judul, “Peran Media Massa dalam Menyuarakan Kebijakan Orde
Baru: Studi Kasus Harian Umum Suara Karya 1971-1974”.
21 Rizal Mallarangeng, Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara
Karya, 67-68. 22 Soeharto memadukan beberapa elemen di pemerintahan untuk
melanggengkan kekuasaannya. Mulai dari menyingkirkan pejabat pro Soekarno,
memasukkan para perwira untuk menjadi pejabat pemerintahan, hingga membentuk
asisten pribadi yang juga dikenal sebagai Kabinet Bayangan Soeharto. Lihat lebih
lengkap di Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 229-238.
9
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah yang tertulis di atas, penulis ingin
mengungkapkan beberapa permasalahan. Pertama, profil tentang Harian
Umum Suara Karya. Kedua, kondisi politik negara Indonesia di masa
pemerintahan Orde Baru, mulai dari kebijakan, pertentangan, hingga
strategi pembangunan yang digencarkan oleh Soeharto pada 1971-1974.
Ketiga, peran Harian Umum Suara Karya dalam menyikapi kebijakan
Soeharto dari tahun 1971 hingga 1974. Sehingga dari sini penulis perlu
mengkaji, apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu sehingga dijadikan
pembahasan oleh Harian Umum Suara Karya.
C. Batasan Masalah
Dari tiga masalah yang telah diidentifikasi, penulis ingin
membatasi permasalahan pada skripsi ini pada sikap Harian Umum Suara
Karya melalui tajuk rencananya tentang kebijakan politik dan ekonomi di
bawah pemerintahan Orde Baru pada tahun 1971-1974. Pembahasan
penulis tak menyentuh keseluruhan berita yang tertulis pada Harian
Umum Suara Karya.
D. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang sudah penulis paparkan, ada beberapa
rumusan masalah yang dipaparkan sebagai berikut:
1. Bagaimana profil Harian Umum Suara Karya?
2. Bagaimana kondisi politik di masa pemerintahan Soeharto
pada 1971 hingga 1974?
10
3. Bagaimana peran Harian Umum Suara Karya dalam
menyikapi kebijakan Orde Baru melalui rubrik Tajuk
Rencana?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis adalah:
1. Menjelaskan tentang profil Harian Umum Suara Karya.
2. Mengkaji tentang kondisi negara Republik Indonesia di
bawah pemerintahan Orde Baru hingga 1974.
3. Melihat peran Harian Umum Suara Karya melalui Tajuk
Rencana dalam menyikapi kebijakan pemerintahan Orde
Baru dari tahun 1971 hingga 1974.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran kepada
pembaca untuk mengetahui kondisi perpolitikan di masa
Orde Baru.
2. Diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada
pembaca mengenai peranan Harian Umum Suara Karya di
masa pemerintahan Soeharto.
3. Bisa menjadi salah satu sumber informasi kepada peneliti lain
untuk melakukan penelitian lanjutan dalam bidang Sejarah.
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan metode
penelitian Sejarah. Menurut Kuntowijoyo, terdapat lima tahap dalam
melakukan penelitian sejarah. Tahapan-tahapan itu sendiri adalah
11
pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi atau kritik sejarah,
interpretasi, dan penulisan atau historiografi.24
1. Pemilihan Topik
Pemilihan topik adalah langkah pertama dalam melakukan
penelitian. Nantinya, peneliti akan menemukan permasalahan yang akan
menjadi kajian penelitiannya. Biasanya, pemilihan topik ditentukan
berdasarkan ketertarikan si peneliti, baik itu kedekatan emosional
maupun kedekatan intelektual.25 Oleh karena itu, penulis menentukan
topik penelitian ini dengan judul “Peran Media Massa dalam
Menyuarakan Kebijakan Orde Baru: Studi Kasus Harian Umum
Suara Karya 1971-1974”.
2. Pengumpulan Sumber
Dalam bentuknya, sumber dibagi menjadi dua. Ada sumber lisan
dan sumber tulisan. Sumber tertulis merupakan sumber yang berbentuk
dokumen maupun foto. Sedangkan sumber lisan terdiri dari narasumber
yang berkaitan dengan topik yang akan ditulis peneliti. Nantinya,
narasumber itu akan menceritakan pengalaman dia terkait pertanyaan
yang ditanya si peneliti, kemudian argumen si narasumber akan disajikan
ke dalam bentuk tulisan.26
Sedangkan dalam penyampaiannya, sumber dibagi ke dalam dua
macam, yakni sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer
adalah hal yang disampaikan oleh si pelaku sejarah, seperti saksi mata.
Sumber primer sendiri juga bisa berbentuk arsip, dokumen, maupun foto.
24 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013),
69. 25 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 70-72. 26 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 73-76.
12
Sumber sekunder adalah sumber yang disampaikan namun bukan dari si
saksi sejarah. Sumber sekunder biasanya sudah terbentuk ke dalam buku-
buku bacaan yang membahas tentang topik si peneliti.27
Dalam penelitian ini, penulis mendapatkan beberapa sumber
pendukung dari berbagai lokasi. Teruntuk sumber primer, penulis
menemukan sumber koran Suara Karya dari Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia yang berlokasi di Salemba, Jakarta Pusat. Sedangkan
sumber sekunder, penulis mendapat berbagai sumber dari Perpustakaan
UIN Jakarta, Perpustakaan Universitas Indonesia, koleksi buku pribadi,
koleksi buku teman, aplikasi daring Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia yang berisi kumpulan buku elektonik, hingga sumber artikel
dari internet.
3. Verifikasi
Verifikasi bisa juga dikatakan sebagai kritik sumber. Setelah
sejarawan menemukan sumber pendukung, baik itu primer maupun
sekunder, peneliti wajib untuk memilah sumber-sumber mana saja yang
bisa digunakan untuk bahan penelitiannya. Terkadang, ada beberapa
sumber yang belum otentik, belum akurat, ataupun kredibilitasnya masih
diragukan. Oleh karenanya, verifikasi menjadi metode penting dalam
menentukan sumber untuk dimasukkan ke dalam rujukan penelitian.
4. Interpretasi
Interpretasi merupakan sebuah penafsiran dari sejarawan yang
dilakukan setelah melakukan verifikasi sumber sejarah. Dari sana,
sejarawan akan melaksanakan analisis berdasarkan temuan-temuan yang
sudah diperoleh. Walaupun tentunya interpretasi penelitian yang
27 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 75.
13
dilakukan sejarawan tetap tergolong subjektif. Akan tetapi, subjektivitas
penelitian sejarah bisa dinilai dari hasil-hasil yang didapat oleh
sejarawan. Tentunya, para pembaca bisa menilai apakah sejarawan yang
menulis penelitian tersebut mampu mempertanggungjawabkan hasil
penelitiannya.28
5. Penulisan atau Historiografi
Penulisan atau historiografi merupakan langkah terakhir dalam
metode penelitian. Penulisan ini adalah hasil dari kumpulan sumber yang
sudah diolah dan dipadukan ke dalam bentuk penelitian.29 Pedoman yang
digunakan dalam penelitian ini sendiri merujuk pada Surat Keputusan
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 507 Tahun 2017. Surat
keputusan ini berisi tentang pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi,
tesis, dan disertasi) untuk civitas academica UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Untuk menjaga fokus penelitian ini, maka diperlukan suatu
sistematika penulisan agar tidak terjadi kerancuan dan ambigu dalam
penguraiannya. Oleh karenanya, penulis membaginya ke dalam enam
bab. Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut:
Bab pertama, pendahuluan. Dalam bab ini penulis akan
menguraikan latar belakang, permasalahan yang akan dijawab.
Kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penelitian. Berikutnya
sebagai pedoman dan arahan yang akan menjadi parameter sekaligus
acuan dalam penelitian. Barulah yang terakhir sistematika penulisan.
28 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 78. 29 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 81.
14
Bab kedua, dalam bab ini akan diuraikan landasan teori, kajian
pustaka, dan kerangka berpikir.
Bab ketiga, diuraikan sejarah kemuculan pers di Indonesia. Dari
awal kemunculannya pada masa pergerakan hingga di masa
kepemimpinan Soekarno dan Soeharto. Namun, pembahasan pers ini
hanya sampai pada tahun 1974 saja, yakni dimulainya Peristiwa
Malapetaka 19 Januari 1974 yang berpengaruh kepada awal mula
pembredelan pers.
Bab keempat, bab ini membahas tentang kondisi sosial-politik
yang terjadi di masa pemerintahan Soeharto. Dari transisi pemerintahan
Soekarno menuju Soeharto, hingga masa kepemimpinannya pada tahun
1974.
Bab kelima, bab ini berisi sikap media Harian Umum Suara
Karya melalui rubrik Tajuk Rencana yang dimulai dari tahun 1971
hingga 1974. Bab ini membahas tentang Tajuk Rencana Suara Karya
dalam menanggapi kebijakan pemerintah, seperti sikap terhadap
Soeharto selaku penguasa, mewacanakan pembangunan, membahas
politik, hingga menanggapi kritik yang dilakukan masyarakat terhadap
pemerintah Soeharto.
Bab keenam, bab penutup yang terdiri dari kesimpulan,
implikasi, dan saran sebagai jawaban eksplisit atas apa yang
dipersoalkan dalam rumusan.
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
Media massa merupakan salah satu dari unsur saluran
komunikasi. Saluran komunikasi bisa terdiri dari berbagai alat, seperti
mesin cetak, radio, telepon, atau komputer. Menurut sosiolog Charles
Wright, media massa menyajikan jenis khusus komunikasi yang
melibatkan tiga perangkat kondisi khusus, yakni sifat khalayak,
pengalaman komunikasi, dan komunikator. 30
Hubungan pemerintah dan pers sendiri dibagi ke dalam empat
teori komunikasi massa, yakni teori auteriter, teori libertarian, teori
komunis, dan teori pertanggungjawaban sosial. Teori auteriter menyebut
bahwa kekuasaan pemerintah harus dipusatkan pada satu orang atau elit
politik, sedangkan pers berfungsi sebagai kontrol sosial untuk menjaga
keamanan dan ketertiban. Teori libertarian menulis bahwa pers tidak
boleh terkekang, harus bebas, dan bertujuan untuk membentuk opini
antara pemerintah dan rakyat secara bebas dan terbuka. Teori komunis
menuliskan bahwa pers merupakan alat untuk menyampaikan kebijakan
sosial demi kepentingan ideologi yang dibuat oleh partai komunis.
Sedangkan teori pertanggungjawaban sosial berargumen bahwa prinsip
pers adalah kebebasan. Namun pers tetap melaksanakan pelayanan
30 Wright berpendapat bahwa komunikasi massa menjadi salah satu faktor
dalam unsur kampanye politik. Ia berpendapat bahwa pengalaman komunikasi itu bisa
diperoleh dalam waktu singkat, secara sepintas, lalu serentak. Untuk lebih jelas liat
kutipan Wright dalam karya Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan,
dan Media, 185-186.
16
masyarakat melalui kritik sosial dan pendidikan masyarakat yang
bertanggung jawab. 31
Untuk perihal kampanye, media cetak sendiri bertindak sebagai
sarana yang membantu pembinaan citra dan penyajian masalah. Akan
tetapi, peran utama dalam media cetak sebagai sarana kampanye adalah
membangun citra dari lembaga yang terafiliasi dengan media tersebut.
Doris Graber menyebutkan bahwa media cetak menyajikan informasi
mengenai kandidat politik yang membahas kredibilitas, watak, gaya,
hingga reputasinya. Penyampaiannya bisa lewat judul, isi, maupun sosok
narasumber. Sedangkan dalam rubrik editorial atau tajuk rencana,
dukungan lebih ditekankan pada profil si kandidat, bukan masalah yang
dikemukakan dalam pidatonya.32 Rubrik editorial atau tajuk rencana ini
menjadi saluran signifikan dalam persuasi kampanye.33
Dalam penelitian ini, penulis merujuk pada teori Eriyanto
mengenai Analisis Wacana. Analisis Wacana merupakan sebuah kajian
mengenai teks dalam media. Namun, bukan berarti jika Analisis Wacana
hanya terfokus kepada kajian Ilmu Komunikasi. Analisis Wacana juga
bisa mengungkapkan ideologi yang dianut oleh si media, yang kemudian
menjadi landasan untuk mempresentasikan realitas sosial, budaya, dan
alat perjuangan.34 Analisis Wacana digunakan tak hanya berpacu pada
pertanyaan apa (what), namun lebih melihat pada poin bagaimana (how)
dari sebuah pesan atau teks yang disampaikan dalam media tersebut.
31 Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, 294. 32 Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, 230. 33 Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, 232. 34 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Teks Analisis Media, (Yogyakarta:
LKiS, 2006), xv-xvi.
17
Melalui Analisis Wacana, pembaca dapat mengetahui pesan yang
disampaikan dari isi berita.
B. Kajian Pustaka
Jika ditelisik, kajian tentang kiprah Harian Umum Suara Karya
dalam kancah perpolitikan di masa Orde Baru memang tak banyak.
Padahal, sebagai media yang memiliki afiliasi dengan Partai Golkar,
partai penguasa, maka sangatlah naif apabila tak ada yang meneliti
tentang media tersebut. Oleh karenanya, penelitian yang penulis lakukan
menjadi sangat menarik karena belum ada yang fokus dengan kiprah
Harian Umum Suara Karya.
Walaupun demikian, masih ada beberapa literatur yang
menyinggung sedikit mengenai Harian Umum Suara Karya dalam
kancah Orde Baru. Di bawah ini, penulis akan menjabarkan berbagai
referensi yang nantinya akan menjadi rujukan dalam penelitian ini,
antara lain:
1. Buku 34 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman yang
ditulis oleh tim penyusun Ricky Rachmadi dkk. Buku ini
merupakan sebuah refleksi 34 tahun Harian Umum Suara Karya
dari 1971 hingga 2005. Buku ini membahas tentang profil,
sejarah, hingga perkembangan koran itu sampai tahun 2005.35 Di
dalamnya juga tertulis beberapa mantan wartawan Harian Umum
Suara Karya, dari Dahlan Iskan hingga Trias Kuncahyono.
2. Buku Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya
yang ditulis Rizal Mallarangeng. Skripsi yang diolah menjadi
35 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman,
(Jakarta: Badan Litbang Harian Umum Suara Karya, 2005).
18
buku ini membahas tentang isi pemberitaan yang diterbitkan oleh
dua media Indonesia saat pemerintahan Soeharto, yakni Kompas
dan Harian Umum Suara Karya. Rizal membandingkan tinjauan
isi dua media tersebut lewat penulisannya di rubrik Tajuk
Rencana. Fokusnya tertuju kepada bagaimana sikap kedua media
itu terhadap kebijakan Orde Baru.36 Ia juga membandingkan
oplah dan target pembaca dua media tersebut melalui data-data
dengan bentuk statistik dan tabel. Namun, karya Rizal lebih
memaparkan tentang jumlah pembaca, narasumber, hingga jenis
tajuk rencana yang dibahas−baik itu politik, ekonomi,
sosial−dalam bentuk tabel. Artinya, Rizal menggunakan
penelitian kuantitatif sebagai penyelesaian masalah. Sedangkan
penulis ingin menjabarkan isi tajuk rencana dengan bentuk
deskriptif dan kualitatif yang nantinya akan terbagi ke dalam
beberapa fokus pembahasan.
3. Buku Pers di Masa Orde Baru karya David T. Hill. Buku ini
membahas tentang seluk beluk pers yang ada di Indonesia.
Berawal dari sebuah pengantar tentang geliat pers sebelum era
Soeharto sampai pada tahun 1990-an. Fokus kajian buku ini
terletak pada masa-masa di mana kebijakan Orde Baru yang
berujung pada pembredelan pers Indonesia selama 1974 hingga
1990-an.37 Selain itu, buku ini juga membahas tentang
industrialisasi pers, pers kedaerahan, hingga pers alternatif
semacam pers mahasiswa yang ada di era Soeharto.
36 Rizal Mallarangeng, Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara
Karya, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010). 37 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2011).
19
4. Buku 1966-1974: Kisah Pers Indonesia karya Akhmad Zaini
Abar. Skripsi yang telah dibukukan ini membahas tentang
fenomena sosio-politik yang terjadi dalam masa Orde Baru yang
dimulai pada 1966 dan berujung pada Peritiwa Malari 1974.38
Dari fenomena itu, Akhmad kemudian menjabarkan dampak dari
kebijakan orde baru kepada pers yang ada di Indonesia. Tak
hanya itu, ia juga menjelaskan perkembangan mengenai sikap
kritik yang dilontarkan pers Indonesia saat itu.
5. Buku Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia
karya Abdurrahman Surjomihardjo dkk. Buku ini sendiri
membahas tentang kiprah media massa yang ada di Indonesia.
Buku ini dibagi menjadi beberapa pembahasan. Pembahasan
pertama diawali dengan kiprah pers di masa pergerakan dan
perkembangannya menuju kemerdekaan 1945. Setelahnya, buku
ini mengkaji tentang zaman pembredelan pers di masa Orde
Baru, yang dimulai dari Tragedi Malapetaka 15 Januari (Malari)
1974. Tak hanya itu, buku ini juga membahas tentang kiprah pers
daerah, seperti pers yang ada di wilayah Sulawesi Utara dan
Kalimantan Selatan.39
38 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia. 39 Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah
Pers di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004)
20
Bagaimana sikap Suara Karya
dalam menanggapi kebijakan
pemerintahan era Soeharto.
C. Kerangka Berpikir
Suara Karya dan Pemerintah
Masalah
Metodologi
Sikap Suara
Karya sebagai
media partisan
pemerintah
Orde Baru
lewat Tajuk
Rencana
Temuan
Suara Karya menjadi corong
kampanye Golkar dan
Soeharto dalam menghadapi
Pemilu 1971.
Pendekatan Analisis
Wacana
Teori
Empat teori
pers: auteriter,
libertarian,
komunis, dan
pertanggungja
waban sosial
Usai memenangi
Pemilu 1971,
Suara Karya
menyuarakan
pembangunan
yang menjadi
jargon
Pemerintah Orde
Baru.
Suara Karya
menjelaskan
berbagai
kebijakan politik
yang diterapkan
pemerintah
Soeharto.
Suara Karya
menjawab
berbagai kritik
terhadap
pemerintahan
yang beredar di
masyarakat .
21
BAB III
PERS DAN POLITIK DI INDONESIA
Pers, atau media cetak, tak bisa lepas dalam sejarah berdirinya
Republik Indonesia (RI). Dalam perkembangannya, pers Indonesia
terbagi ke dalam beberapa periode. Periode pertama dimulai di masa
pemerintahan Hindia-Belanda. Era selanjutnya dimulai pada masa
kemerdekaan Indonesia. Sedangkan periode ketiga dimulai sejak masa
pemerintahan Orde Baru.40
Dalam bab ini, penulis ingin menjabarkan perkembangan pers di
Indonesia yang dibagi ke dalam tiga poin. Poin pertama adalah
perkembangan pers Indonesia sebelum merdeka. Kedua yakni
perkembangan pers saat pemerintahan Soekarno. Sedangkan poin
terakhir membahas tentang perkembangan pers di era Orde Baru,
tepatnya hingga tahun 1974.
A. Pers Pra Kemerdekaan
Awal mula perkembangan pers di Indonesia tak lepas dari
pengaruh Belanda. Sejarah pers di Indonesia sendiri bercorak tentang
keadaan masyarakat, kebudayaan, serta kondisi politik. Di masa itu,
Indonesia sendiri memiliki ragam golongan penduduk yang terpisah,
yakni Belanda, Tionghoa, Arab, hingga pribumi. Oleh karenanya, pers
di Indonesia saat itu juga terbagi ke dalam berbagai kelompok, ada yang
menggunakan bahasa Belanda, Tionghoa, hingga Indonesia.
40 Suf Kasman, Pers dan Pencitraan Umat Islam di Indonesia: Analisis Isi
Pemberitaan Harian Kompas dan Republika, (Jakarta: Balai Litbang dan Diklat
Kemenang, 2010), 72-73.
22
Dikarenakan pembagian kelompok itu, pers juga menyesuaikan
bagaimana penyampaian informasi sesuai dengan ideologi yang dianut
oleh masyarakat tersebut.41
Di masa pemerintahan Belanda, terbitnya pers berfungsi sebagai
bagian dari usaha orang-orang Belanda. Pers saat itu hanyalah menjadi
sarana untuk memberitakan kepentingan perusahaan perkebunan dan
industri minyak yang dikuasai oleh Belanda. Media-media belum
memberitakan tentang keadaan sosial politik yang terjadi di Indonesia.
Pemerintah Hindia-Belanda sendiri memang mengorientasikan berita-
berita yang terbit haruslah mendukung kebijakan pemerintah dan
menghindari sikap-sikap yang menjurus pada tindakan berbahaya.42
Dari sana, pemerintah kemudian membuat kebijakan tentang pers
yang bernama Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie
tahun 1856. Dalam peraturan tersebut, tertulis bahwa sebelum semua
karya cetak diterbitkan, pihak media itu harus mengirimkan satu contoh
eksemplar kepada kepala pemerintahan setempat, pejabat justisi, dan
Aglemene Secretarie (Lembaga Arsip).43 Media itu juga harus
mencantumkan nama dan lokasi penerbitan. Apabila peraturan itu
dilanggar, maka pihak media harus merelakan karya cetaknya untuk
41 Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah
Pers di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), 6. 42 Bisa dibilang, awal mula pers di masa kolonial Belanda cenderung netral
dalam sikap berpolitik. Sejak awal, pers Belanda merupakan pers resmi pemerintah
dikarenakan isinya harus disetujui lebih dulu. Barulah sejak akhir abad 19, pers mulai
menunjukkan sikapnya terhadap kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda. Lebih
lanjut lihat Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah
Pers di Indonesia, 30-31. 43 Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah
Pers di Indonesia, 172.
23
disita dan memungkinkan adanya penyegelan yang akan dilakukan oleh
pemerintah Hindia-Belanda. 44
Pada tahun 1906, terjadi perubahan dalam Reglement op de
Drukwerken in Nederlandsch-Indie. Di aturan sebelumnya tertulis
bahwa apabila media ingin mencetak terbitan, maka mereka wajib
memberikan kompensasi sebesar f200-f5.000. Dalam aturan baru pada
1906, uang tanggungan itu dihilangkan. Kemudian, sanksi berupa
penyitaan terhadap media yang sudah dicetak diganti menjadi denda f10-
f100. 45
Berlanjut pada 1918, pemerintah menerbitkan peraturan bernama
Haatzaai Artikeln. Peraturan ini berisi tentang hukuman kepada siapa
saja yang menyebarkan permusuhan, kebencian, dan penghinaan
terhadap pemerintah Hindia-Belanda. Dalam sanksinya, apabila
melanggar akan mendapat hukuman penjara selama empat sampai tujuh
tahun atau denda maksimal 300 gulden.46
Kemudian pada 7 September 1931, muncul peraturan
Persbreidel Ordonantie. Aturan ini berisi tentang wewenang Gubernur
Jendral untuk melarang percetakan, penerbitan, dan penyebaran pers
yang dirasa akan mengganggu ketertiban umum. Sanksinya adalah
pelarangan terbit dengan jangka waktu delapan hari. Namun, larangan
44 Wina Armada, Menggugat Kebebasan Pers, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1993), 51. 45 Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah
Pers di Indonesia, 172. 46 Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah
Pers di Indonesia, 173-174.
24
terbit ini bisa dicabut apabila media tersebut mengubah sikapnya
menjadi lebih lunak kepada pemerintah Hindia-Belanda.47
Dalam perkembangan pers di Indonesia, media massa pertama
yang dicetak oleh pemerintah Hindia-Belanda adalah Bataviasche
Nouvelles pada 1744. Media cetak yang terbit di Jakarta ini tak berumur
panjang, hanya berusia dua tahun.48 Adanya pers pertama ini berbuntut
pada kelahiran media cetak baru yang muncul di berbagai daerah yang
ada di Indonesia, seperti di Semarang (De Locomotief, 1851), Surabaya
(Soerabajaasch Handelsblad, 1852), Surakarta (Vorstenlanden, 1871),
Bandung (De Preanger Bode, 1895), Yogyakarta (Mataram, 1903),
Sumatera Utara (Deli Courant, 1884), Padang (Sumatra Bode, 1893),
Palembang (Nieuws en Advertentie blad voor de Residentie Palembang,
Djambi en Banka, 1898), hingga Makassar (Makassaarsche Courant,
1894).49 Pers-pers ini masih dalam bentuk bahasa Belanda. Seperti yang
dijabarkan sebelumnya, kehadiran pers ini dimaksudkan untuk menjadi
sumber informasi oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dalam artian, pers
ini merupakan pers resmi yang disetujui pemerintah.
Teruntuk pers berbahasa Melayu, Douwes Dekker
mengemukakan bahwa surat kabar pertama yang menggunakan bahasa
Melayu adalah Bintang Soerabaja pada tahun 1861 dengan pemimpin
redaksinya bernama Courant. Media ini sangat berpengaruh bagi
kalangan orang Tionghoa di Jawa Timur. Hampir sama dengan Bintang
47 Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah
Pers di Indonesia, 172-173. 48 Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah
Pers di Indonesia, 25. 49 Lihat lebih lengkap di Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi
Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, 25-30.
25
Soerabaja, Pewarta Soerabaja juga menjadi konsumsi bagi kalangan
orang Tioghoa di sekitar Jawa Timur. Media yang dipimpin oleh H.
Hommer ini terbit pada 1902. Berpindah ke Sumatera Barat, muncul juga
Sinar Soematra pada 1897 yang dinaungi Lim Soen Hin, R. Datoek
Soetan Maharadja yang mengepalai Tjahaja Soematra, dan Pemberita
Atjeh di bawah Dja Endar Moeda. Ada juga Pertja Barat yang dipimpin
oleh Soetan Negeri. Di Jakarta, terbit juga Pemberita Betawi (1874)
dinaungi J.Hendriks dan Taman Sari (1898) di bawah pimpinan F.
Wiggers. Di Bandung ada Pewarta Hindia (1894) dibawahi Raden
Ngabeho Tjitro Adiwinoto. Di Semarang ada Bintang Pagi (1907)
dibawahi oleh The Mo Hoat dan Sinar Djawa (1899) yang dipimpin oleh
Sie Hang Lang. Di Surakarta, ada Taman Pewarta (1901) dipimpin oleh
Thjie Siang Liang dan Ik Po (1904) di bawah naungan Tan Soe Djwan.
Di Bogor terdapat terbitan mingguan bernama Tiong Hoa Wie Sin Ho
(1905) yang dikepalai Tan Soei Bing. Di Malang terdapat Tjahaja
Timoer (1907) yang dikepalai Raden Djojosoediro.50
Pers yang diperuntukkan untuk penduduk Hindia-Belanda
sendiri dimulai lewat cetaknya Bromartani pada tahun 1855. Bromartani
adalah media pertama yang menggunakan bahasa lokal, khususnya
bahasa Jawa, yang terbit di Surakarta. Tahun 1856, muncul juga Soerat
Kabar Bahasa Melaijoe yang terbit di Surabaya. Pers ini menggunakan
huruf Arab yang bahasanya adalah Melayu. Kemudian pada 1858,
50 Secara keseluruhan, perkembangan pers berbahasa Melayu di Indonesia
pada 1861-1907 menurut Douwes Dekker berjumlah 33 media, yang tersebar di 12
kota. Lihat dalam bentuk tabel di Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi
Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, 77-79.
26
muncul juga Soerat Chabar Betawie di Jakarta yang menggunakan
bahasa Melayu rendah.51
Dari penjabaran di atas, perkembangan pers di Indonesia tak bisa
lepas dari peranan orang-orang Belanda dan Tionghoa. Awal mula
kemunculan pers di Indonesia sendiri dinamakan babak putih.52 Hal ini
dikarenakan pers berfungsi untuk memberikan informasi kepada orang-
orang Belanda yang ada di Hindia-Belanda dan tak adanya kaitan dengan
para kalangan pribumi Hindia-Belanda. Para petinggi media di atas
kebanyakan diisi oleh orang-orang Belanda dan Tionghoa. Namun, ada
juga orang asli Indonesia yang turut berperan dalam susunan redaksi,
seperti Abdoel Rivai, Sosrokartono, Wahidin Soediro Hoesodo, R.
Dirjoatmojo, Datoek Soetan Maharaja, dan lain-lainnya.53
Munculnya pers berbahasa Melayu yang juga dimiliki oleh orang
asli Indonesia dipelopori oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (1880-
1918). Kiprahnya dalam pembentukan pers nasional dimulai pada 7
Februari 1903 lewat terbitan Soenda Berita di Cianjur, Jawa Barat.54
Namun sayang, media ini tak bertahan lama. Pada 1905-1906, Soenda
Berita mengalami krisis finansial yang kemudian berhenti cetak.55
Tak lama setelahnya, Tirto kembali menerbitkan sebuah media
bernama Medan Prijaji (1907) dan Soeloeh Keadilan (1908). Medan
Prijaji menjadi surat kabar mingguan pertama yang terbit di Jawa.
51 Teruntuk Soerat Kabar Bahasa Melaijoe dan Soerat Chabar Betawie, media
ini tak mencantumkan struktur redaksi. Penjelasan lebih lanjut lihat di Abdurrahman
Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, 80. 52 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, (Jakarta: Hasta Mitra, 1985), 34. 53 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, 52-54. 54 Jajat Burhanudin, “The Fragmentation of Religious Authority: Islamic Print
Media in Early 20th Century Indonesia”, Studia Islamika 11, No. 1, 2004, 35. 55 Muhidin M. Dahlan dan Iswara N. Raditya, Karya-Karya Lengkap Tirto
Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan, (Jakarta: I:Boekoe, 2008), 17.
27
Dibandingkan dengan Soenda Berita, Medan Prijaji jauh lebih radikal
dalam mengkritisi kebijakan pemerintah Hindia-Belanda. Medan Prijaji
berperan sebagai corong dalam mengekspresikan pandangan kaum
terpelajar pribumi, khususnya pada isu-isu sosial dan politik yang ada di
Hindia-Belanda. 56
Terbitnya Medan Prijaji menjadi peluang kepada para pribumi
Hindia-Belanda untuk menerbitkan pers lain. Seperti yang dilakukan
Sarekat Islam. Organisasi yang berdiri pada 1911 itu melahirkan
beberapa media cetak, seperti Oetoesan Hindia (1913) di Surabaya,
Sinar Djawa (1914) di Semarang, Pantjaran Warta (1913) di Betawi,
Saroetomo (1913) di Surakarta, dan Sinar Hindia (pengganti Sinar
Djawa, 1918). 57
Selain Sarekat Islam, organisasi pergerakan di Indonesia yang
juga menerbitkan pers adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Organisasi yang lahir pada 1914 ini melahirkan beberapa pers, yakni di
Semarang (Sinar Hindia, 58 Soeara Ra’jat, Si Tetap, dan Barisan
56 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran
Keindonesiaan, (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), 188-189. 57 Perkembangan pers Sarekat Islam bisa dilihat di Ahmat Adam, Sejarah
Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, 171-172 dan Dewi Yulianti,
Semaoen, Pers Bumiputera, dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang, (Semarang:
Bendera, 2000), 65-66. 58 Awal mulanya, Sinar Hindia memang menjadi media dari Sarekat Islam.
Perpecahan SI Semarang dimulai ketika H.O.S Tjokroaminoto berselisih dengan
Semaoen dan Sneevliet. Tjokro menilai gejolak muda dalam diri Semaoen terlalu
radikal, terutama ketika mengkritik kebijakan pemerintah Hindia lewat Sinar Djawa.
Karena tak bisa dikendalikan oleh Tjokro, Semaoen dan Sneevliet pun hengkang dari
Sinar Djawa pada tahun 1922. Mereka pun dan bergabung dengan Sinar Hindia. SI
Semarang yang berhaluan ‘merah’ itu kemudian turut mengambil alih penerbitan Sinar
Hindia pada 1923. Setahun setelahnya, SI ‘merah’ pun mengganti namanya menjadi
Sarekat Rakjat yang nantinya menjadi cikal bakal lahirnya PKI. Setelah berganti nama,
otomatis Sinar Hindia juga otomatis menjadi bagian organisasi baru tersebut. Lihat
lebih lanjut di Azhar Irfansyah dan Nella A. Puspitasari, “Tentang Pasang Surutnya
Badai Itu: Riwayat Pers Kiri di Indonesia (Bagian I)”, Harian IndoPROGRESS, 16 Mei
28
Moeda), Surakarta (Islam Bergerak, Medan Moeslimin, Persatoean
Ra’jat, Senopati, Humbromarkoto, dan Mowo), Surabaya (Proletar),
Yogyakarta (Kromo Mardiko), Bandung (Matahari, Mataram,
Soerapati, dan Titar), Batavia (Kijahi-Djagoer dan Nyata), Pekalongan
(Senjata Ra’jat), Purwokerto (Doenia Merdeka), Padang (Petir dan
Torpedo), Padang Panjang (Djago! Djago! dan Pemandangan Islam),
Bukittinggi (Doenia Achirat), Solok (Sasaran Ra’jat), Sawahlunto
(Signal), Langsa (Oetoesan Ra’jat dan Batterij), Sibolga (Persamaan),
Medan (Goentoer), Palembang (Djam), Pontianak (Halilintar, Berani,
dan Warta Borneo), Makassar (Pelita Ra’jat), dan Ternate (Bendera
Merah).59
Muhammadiyah juga memiliki peran dalam perkembangan pers
di Indonesia. Terbitan pertama organisasi yang didirikan oleh Ahmad
Dahlan (1868-1923) adalah Majalah Bintang Islam (1923). Majalah ini
membahas tentang kehidupan sosial-agama, khususnya Islam, yang
terjadi di Indonesia. Selain itu, majalah ini juga menginformasikan
berbagai kegiatan-kegiatan kaum Muslim yang tersebar di penjuru dunia.
Dalam perkembangannya, Muhammadiyah terus mencetak berbagai
pers, seperti Bendera Islam (1924), Adil (1932), Pantjaran Amal (1936),
al-Kirom (1928), Ichtiyar (1938), Al-Chair (1926), Soengoenting
Moehammadijah (1927), Swara Islam (1931). Selain Muhammadiyah,
Persatuan Islam (Persis)60 juga memiliki beberapa terbitan pers. Di
2014, 9. Baca juga pengaruh Semaoen dalam SI di Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera
Merah, (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1999), 18. 59 Lihat dalam bentuk tabel di Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa
Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, 89. 60 Persis adalah sebuah organisasi Islam yang didirikan oleh H. Zamzam dan
H. Muhammad. Persis terbentuk pada 12 September 1923 di Bandung, Jawa Barat.
29
antaranya adalah Pembela Islam (1929), al-Fatawa (1931), dan Sual-
Djawab (1930). 61
Tahun 1942, Jepang pun menggantikan Belanda untuk
menduduki pemerintahan Indonesia. Pers Belanda dan Pers Tionghoa
pun diambil alih oleh Jepang. Pers Pribumi sendiri masih mendapat izin
untuk diterbitkan, namun tetap diawasi oleh militer Jepang. Jepang
sendiri memiliki kebijakan dalam pembagian kekuasaan. Secara teritori,
Indonesia terbagi menjadi dua bagian wilayah. Daerah Sumatera dan
Jawa dikuasai oleh Angkatan Darat, sedangkan untuk wilayah
Kalimantan, Sulawesi, dan daerah bagian timur lain dikuasai oleh
Angkatan Laut. Mereka pun mendirikan media sendiri dalam penyaluran
komunikasi. Di Sumatera ada Sumatera Shinbun, Jawa ada Jawa
Shinbun, Kalimantan ada Borneo Shinbun, Sulawesi ada Celebes
Shinbun, dan Pulau Seram, Maluku ada Ceram Shinbun.62
Selain itu, Jepang juga menerbitkan beberapa media yang
berbahasa Indonesia. Media itu terbagi ke dalam beberapa daerah, di
Jakarta ada Asia Raya (1942) dan Pembangoenan (1942), Bandung ada
Tjahaja (1942), Yogyakarta ada Sinar Matahari (1942), Semarang
terdapat Sinar Baroe (1942), Surabaya ada Pewarta Perniagaan (1942),
lanjutan dari surat kabar Belanda Soerabajaasch Hendelsblad) dan
Soeara Asia (1942), terusan dari surat kabar Tiongkok). Pengelolaannya
Persatuan Islam, Sejarah Persatuan Islam¸ http://persis.or.id/sejarah-persatuan-islam,
(Diakses pada 18 Desember 2018 pukul 21.55 WIB). 61 Jajat Burhanudin, “The Fragmentation of Religious Authority: Islamic Print
Media in Early 20th Century Indonesia”, 47-48. 62 Edward C. Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, (Jakarta:
Pustaka Grafiti Pers, 1986), 71.
30
sendiri dikelola oleh serikat persuratkabaran di bawah pemerintah militer
bernama Jawa Shimbun Kai. 63
Di masa pemerintahan militer Jepang, orang-orang Indonesia
diberikan wewenang untuk menduduki jabatan staf redaksi senior yang
menggantikan peran orang-orang Belanda. Sebab, kalangan terdidik
Indonesia masih belum mampu menguasai bahasa Jepang dalam waktu
yang singkat. Jepang juga memberikan program pelatihan bagi para
jurnalis Indonesia. Dari sana, bahasa Indonesia kemudian menjadi sarana
komunikasi dalam sektor birokrasi maupun pers. 64
B. Pers Orde Lama
Sejak Soekarno-Hatta memproklamasirkan kemerdekaan pada
17 Agustus 1945, semua media massa seolah berhenti mendadak.
Indonesia tak memiliki corong komunikasi untuk menyebarkan deklarasi
kemerdekaan itu. Memang pada saat itu kemerdekaan Indonesia
didukung oleh segelintir tokoh elit Jepang. Namun, menyebarkan
peristiwa pembacaan naskah proklamasi menjadi hal yang tak disukai
kalangan militer Jepang. 65
Di dalam kondisi seperti itu, muncul seorang pemuda Indonesia
berusia 20 tahun bernama Burhanuddin Mohammad Diah. Bersama
sekelompok orang lain, mereka menguasai percetakan Koran Asia Raya
(Koran yang dibuat oleh pemerintah Jepang saat itu). Diah pun
63 Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah
Pers di Indonesia, 101-102. 64 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 22. 65 Petrik Matanasi, Prabowo Harus Belajar Sejarah: Wartawan adalah Bidan
Lahirnya RI, https://tirto.id/prabowo-harus-belajar-sejarah-wartawan-adalah-bidan-
lahirnya-ri-da99, (Diakses pada 18 Desember 2018 pukul 19.06 WIB).
31
berencana menerbitkan sebuah surat kabar untuk menyebarkan peristiwa
bersejarah ini. Sebelumnya, Indonesia memiliki Kantor Berita Nasional
bernama Antara yang lahir pada tahun 1937. Namun, kantor itu diambil
oleh oleh Jepang untuk dijadikan Kantor Berita DO-MEI. Setelah Antara
direbut kembali, kantor ini pun dijadikan kebangkitan pers Indonesia. 1
Oktober 1945, terbit Harian Merdeka yang bertujuan untuk
menyebarkan proklamasi kemerdekaan RI.66 Dalam penyebaran
informasi kemerdekaan Indonesia, Merdeka menjadi satu-satunya
sumber informasi yang menjadi bahan berita untuk media asing. 67
Selain Diah, muncul juga sosok Mochtar Lubis yang membentuk
harian Indonesia Raya (1949). Indonesia Raya menjadi media
independen dan sangat keras terhadap komunis. Selain Indonesia Raya,
Mochtar Lubis juga mendirikan media The Times of Indonesia (1952).
Media ini kemudian diambil alih wartawan asal Sri Lanka Charles
Tambu. The Times of Indonesia adalah media di Indonesia yang
menggunakan bahasa Inggris.68
Tak hanya kemunculan pers Indonesia, Pers Belanda dan Pers
Cina ikut muncul setelah dilarang di masa pendudukan Jepang. Tahun
1948, Belanda menerbitkan 13 media cetak. Sedangkan Cina
menerbitkan harian Sin Po dan Keng Po.69
66 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 23. 67 Pada 3 Oktober 1955, The Times of Indonesia merayakan peringatan ulang
tahun kesepuluh harian Merdeka. Lewat tajuk rencananya, media yang dipimpin oleh
Mochtar Lubis menceritakan tentang sejarah lahirnya Merdeka dan menyampaikan
terima kasih karena telah menyebarkan informasi kemerdekaan. Lihat di Edward C.
Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, 93. 68 Edward C. Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, 93-94. 69 Edward C. Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, 76.
32
Namun, seiring berjalannya waktu, pemerintahan Soekarno
mulai menyikapi peredaran pers asing seperti Belanda dan Cina.
Terlebih, saat itu kondisi pers nasional sedang mengalami ekonomi yang
kembang-kempis. Di lain pihak, perusahaan Belanda tak mau
menanamkan modalnya ke dalam perusahaan pers Indonesia. Hal ini
menimbulkan kecemburuan dari perusahaan pers Indonesia yang saat itu
tengah merintis modal, dengan pers Belanda yang kondisinya lebih
stabil. 70
Puncaknya pun terjadi ketika Indonesia tengah gencar untuk
merebut wilayah Irian Barat dari Belanda. Hal ini pun menjadi ancaman
bagi pemerintah Belanda, termasuk perusahaan yang menangani
kegiatan pers yang ada di Indonesia. Tak hanya Belanda, pers Cina pun
turut terancam karena seringkali mengkritik kebijakan pemerintah
Indonesia. Golongan pers Cina ini seringkali bergaung bahwa
masyarakat Cina yang ada di Indonesia tak perlu berbaur dengan
masyarakat Indonesia. Sebab, mereka menganggap diri mereka adalah
minoritas. Pemerintah Indonesia pun merespons bahwa ideologi asing
nantinya akan mengancam undang-undang dasar yang telah ditetapkan.
Lambat laun, pers Belanda dan pers Cina pun tenggelam dan tak terbit
lagi.71
Pascakemerdekaan menjadi era kejayaan pertumbuhan media
cetak di Indonesia. Ketika Belanda mengakui pemerintahan Indonesia
secara konstitusional pada 1949 hingga 1950an, tercatat ada 75
penerbitan dengan jumlah persebarannya yang mencapai 413 ribu untuk
70 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 24. 71 Merosotnya pers Cina di Indonesia bisa dilihat di Edward C. Smith, Sejarah
Pembredelan Pers di Indonesia, 76. Sedangkan mundurnya pers Belanda bisa dilihat
di David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 24.
33
masing-masing terbitan.72 Hal ini dikarenakan kemunculan pers sebagai
pendukung negara dalam menyebarkan informasi kemerdekaan ke
berbagai penjuru. Pers pada zaman ini seolah mendapat angin segar
untuk menyampaikan ide dan gagasannya. 73
Memasuki tahun 1949-1950an, pers Indonesia memasuki era
baru. Pada tahun ini, pers menjadi bagian dari sebuah corong partai
politik. Bisa dikatakan, pers zaman ini menjadi pers partisan partai
politik. Sebab, mereka dengan terang-terangan mendukung partai yang
seidelogi dengannya.74 Dimulai pada tahun 1947, Partai Masyumi75
menerbitkan harian Abadi. Harian ini ditujukan untuk membawakan
ideologi pemikiran Masyumi.76 Pada 1948, muncul juga harian Pedoman
yang dibawahi oleh Rosihan Anwar. Pedoman muncul sebagai media
yang mendukung Partai Sosialis. Selain itu, ada juga Nahdatul Ulama
(NU)77 yang turut meluncurkan Duta Masjarakat (1951) di Jakarta. Dari
72 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 24. 73 Kasiyanto Kasemin, Sisi Gelap Kebebasan Pers, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2014), 25. 74 A.S. Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature,
Panduan Praktis Jurnalis Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 20. 75 Awalnya, Masyumi adalah sebuah kumpulan dari organisasi Islam bernama
Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI). MIAI sudah terbentuk sejak September 1937.
Organisasi ini sendiri memiliki anggota yang berasal dari Muhammadiyah, NU, Persis,
Al-Irsyad, serta organisasi Islam lain. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah
menganjurkan kepada masyarakat untuk mendirikan partai-partai politik sebagai
penampung aspirasi masyarakat. MIAI pun memanfaatkan momentum ini dengan
melaksanakan Muktamar Islam di Yogyakarta pada 7-8 November 1945. Muktamar
yang dihadiri oleh para tokoh Islam ini kemudian melahirkan sebuah partai bernama
Majelis Syuro Muslimin Indonesia dengan pemimpin pertama bernama Hasyim
Asy’ari. Lihat Delian Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis
Perkembangan Politik Indonesia 1945-1960, (Bandung: Mizan, 2000), 10. 76 Edward C. Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, 76. 77 Nahdatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam yang didirikan pada 31
Januari 1926 di Jawa Timur. Organisasi yang diinisiasi oleh Hasyim Asy’ari bertujuan
untuk mewakili dan memperkokoh ajaran Islam tradisional di Hindia Belanda. Lihat
lebih lengkap di Muhammad Iqbal, Nahdatul Ulama Didirikan untuk Membendung
34
PKI sendiri menerbitkan Harian Rakjat (1951). Sedangkan dari Partai
Nasionalis Indonesia (PNI)78 membuat Suluh Indonesia (1953) sebagai
corong suaranya. 79
Selain pers partisan, di era ini juga melahirkan sebuah pers
mahasiswa, yang dalam istilah David T. Hill adalah pers pinggiran.
Sebenarnya, pers mahasiswa sendiri sudah muncul ketika zaman Hindia-
Belanda oleh golongan terpelajar di luar negeri bernama Indonesia
Merdeka. Pada tahun 1955, sebanyak 35 penerbitan pers mahasiswa
muncul yang tersebar di berbagai fakultas, universitas, serta kelompok
politik dan agama. Di tahun ini juga, muncul sebuah organisasi pers
mahasiswa, yakni Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia dan Serikat
Pers Mahasiswa Indonesia. Dua organisasi ini kemudian tergabung
dalam Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) pada 1958.80
Pemerintah Indonesia juga membentuk organisasi bernama
Dewan Pers pada 17 Maret 1950. Organisasi yang diisi oleh orang-orang
berlatar media, cendekiawan, dan pejabat pemerintah ini berfungsi untuk
menghadapi pertanyaan dan majalah-majalah pers. Dewan Pers ditugasi
untuk mengajukan usul tentang pergantian undang-undang pers baru
untuk mengganti undang-undang pers kolonial, memberikan dasar
Puritanisme Agama, https://tirto.id/nahdlatul-ulama-didirikan-untuk-membendung-
puritanisme-agama-cDLL, (Diakses pada 18 Desember 2018 pukul 22.03 WIB). 78 PNI sendiri didirikan pada 4 Juli 1927 di Bandung. Partai yang ketua
pertamanya Soekarno ini berdiri dengan tujuan menampung gagasan nasionalisme dan
menyatukan berbagai perbedaan yang nantinya berujung pada kemerdekaan Indonesia
dari pemerintah Hindia-Belanda. Lihat Bonnie Triyana, Riwayat Berdirinya PNI¸
https://historia.id/modern/articles/riwayat-berdirinya-pni-PGj0V, (Diakses pada 19
Desember 2018 pukul 02.15 WIB). 79 Edward C. Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, 92-95. 80 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 138-139. Lihat juga pembentukan
IPMI di Satrio Arismunandar, Zaman Bergerak! Peran Pers Mahasiswa dalam
Penumbangan Rezim Soeharto, (Jakarta: Genta Press, 2005), 86.
35
sosial-ekonomis kepada pers Indonesia, meningkatkan mutu pers
Indonesia, dan membuat aturan mengenai kedudukan wartawan, seperti
gaji, perlindungan hukum, kode etik jurnalistik, dan lain sebagainya.81
Selain itu, peraturan Persbreidel Ordonnantie82 dicabut pemerintah pada
Juni 1954.
Para pers partisan ini mulai melancarkan kritiknya kepada
pemerintah. Dimulai pada tahun Juni 1953 yang bertepatan dengan
pernikahan Soekarno dengan seorang janda bernama Hartini. Kemudian,
Soekarno dikritik karena condong terhadap ideologi Komunis. Kritik tak
hanya kepada Soekarno, tetapi juga menyerang perdana menteri, kabinet,
pejabat daerah yang korupsi, hingga kondisi perekonomian Indonesia
yang mengalami inflasi tinggi. 83
Kritik yang terus digaungkan membuat pemerintah Indonesia
menerbitkan Undang-Undang Darurat (yang dikenal sebagai Keadaan
Bahaya dan Darurat Militer) pada Maret 1957. Sejak diberlakukan
peraturan itu, pemerintah Indonesia melakukan tindakan keras kepada
para punggawa pers, seperti interogerasi, penahanan, hingga
pembredelan.84
Pada 1 Oktober 1958, muncul juga Surat Izin Terbit (SIT) yang
kemudian diperbarui lagi pada 1960. Kemudian, Soekarno
memunculkan sebuah aturan baru bernama Pedoman Penguasa Perang
Tertinggi untuk Pers Indonesia pada 12 Oktober 1960. Isinya adalah
aturan yang mengharuskan bahwa pers Indonesia harus mendukung
81 Edward C. Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, 95. 82 Lihat penjelasan tentang peraturan ini di sub bab sebelumnya. 83 Lihat kritik-kritik yang dilontarkan oleh pers Indonesia dalam Edward C.
Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, 126-145. 84 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 27.
36
manifesto politik yang diusung Soekarno.85 Soekarno mengakui bahwa
revolusi Indonesia masih belum selesai karena umur negara ini masih
sangat muda. Oleh karenanya, ia membatasi kritik-kritik yang
dilontarkan oleh pers agar revolusi tidak berjalan kacau.86
Tak hanya itu, muncul juga izin yang dikeluarkan oleh militer
Jakarta Raya pada 1 Oktober 1960 lewat Peraturan Penguasa Perang
Tertinggi No. 10/1960. Aturan yang tadinya berisi pelarangan
menerbitkan berita sensasional, kemudian dirinci lagi dengan
menambahkan ketentuan untuk menyesuaikan dengan syarat aspek
ideologi dan kekuasaan lewat Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1963.
Dalam Pasal 6, tertulis bahwa SIT wajib dimiliki oleh setiap media yang
ada di Indonesia. Jika mereka tak memiliki izin terbit, maka media itu
akan dikenakan sanksi berupa penjara maksimal setahun atau denda
maksimal Rp50 ribu, juga aset yang dimiliki media itu bisa dihancurkan
atau disita oleh negara. 87
Aturan yang diterapkan Soekarno ini pun berdampak pada
pembredelan yang ada di Indonesia. Hal ini dialami oleh PSI dan
Masyumi. Abadi pun bubar pada 1960. Sedangkan Pedoman terpaksa
berhenti cetak pada 1961.88
Peran pers dalam Demokrasi Terpimpin ini pun terbagi ke dalam
dua bagian. Di satu sisi, pers dibilang sebagai kawan ketika mereka
menyampaikan berita-berita yang pro terhadap pemerintah. Sedangkan
di sisi lain, pers dianggap sebagai lawan ketika mereka mengkritik
85 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 61-62. 86 Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, (Jakarta: Yayasan
Bung Karno, 2011), 338-339. 87 Kasiyanto Kasemin, Sisi Gelap Kebebasan Pers, 26. 88 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 27.
37
kebijakan pemerintah. Mereka pun harus siap menerima konsekuensi
seperti dipenjara ataupun dipaksa berhenti cetak.89
C. Pers Orde Baru
Pada masa akhir kepemimpinan Soekarno di tahun 1962-1965,
pers sendiri terbagi menjadi beberapa kategori ideologi. Abar
membaginya ke dalam dua kategori. Pertama ada Pers Komunis beserta
simpatisannya. Kedua ada pers non-komunis yang disebut Abar sebagai
pers periferal. Pers periferal ini terdiri dari pers agama, pers kelompok
Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) dan pers militer.90
Pers ideologi Komunis beserta simpatisannya terbagi ke dalam
beberapa wilayah. Di Jakarta ada Harian Rakyat, Bintang Timur, Warta
Bakti, Suluh Indonesia, Gelora Indonesia, Ekonomi Nasional, Huo Chi
Pao, dan Bintang Minggu. Sedangkan di Bandung ada Warta Bandung,
di Semarang ada Gema Massa, di Surabaya ada Jalan Rakyat dan Jawa
Timur, di Yogyakarta ada Waspada, di Pontianak ada Suara
Khatulistiwa dan Kalimantan Membangun, di Medan ada Harian
Harapan dan Gotong Royong, dan di Palembang ada Pikiran Rakyat.
Pers ideologi Komunis kemudian hilang setelah 1 Oktober 1965. 91
Di sisi lain yakni pers non-Komunis, kelompok pertama seperti
pers agama terdapat Duta Masyarakat (afiliasi dengan NU), Sinar
Harapan (afiliasi dengan Partai Kristen Indonesia), serta Harian
Kompas (afiliasi dengan Partai Katolik). Sedangkan untuk pers
kelompok BPS, penyebarannya terbagi ke dalam berbagai wilayah. Di
89 Kasiyanto Kasemin, Sisi Gelap Kebebasan Pers, 26. 90 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 52. 91 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 54.
38
Jakarta ada harian Merdeka, Berita Indonesia (simpatisan Partai Murba),
Indonesian Observer, dan Warta Indonesia. Sedangkan di Medan ada
Indonesia Baru dan Waspada, di Semarang ada Suara Merdeka, di
Yogyakarta ada Kedaulatan Rakyat, di Surabaya ada Suara Rakyat, dan
di Bandung ada Pikiran Rakyat. Teruntuk pers militer sendiri ada Berita
Yudha dan Angkatan Bersenjata. 92
Keruntuhan Soekarno sekaligus hilangnya sistem Demokrasi
Terpimpin yang dimulai lewat Gerakan 30 September 1965 menjadi
awal mula kebangkitan pers di masa Orde Baru. Ketika masa akhir
Demokrasi Terpimpin pada 1965, surat kabar yang beredar berjumlah
111 surat kabar harian dengan total 1,4 juta eksemplar dan 84 surat kabar
mingguan dengan total 1,1 juta eksemplar. Sedangkan pada tahun 1966,
jumlahnya naik menjadi 132 surat kabar harian dengan total 2 juta
eksemplar dan 114 surat kabar mingguan dengan total 1,5 juta
eksemplar.93
Kenaikan pers ini disebabkan adanya beberapa media yang
kembali terbit setelah dibredel pada zaman Demokrasi Terpimpin.
Media-media itu adalah Merdeka dan Indonesian Observer. Ada juga
surat kabar baru seperti Harian Kami (1966), Angkatan Baru (1966),
Angkatan 66 (1966), Mahasiswa Indonesia edisi Jakarta (1966),
mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat (1966), Trisakti
(1966), Harian Operasi (1966), dan mingguan Abad Muslimin (1966).94
Namun, kejayaan pers di masa ini tak bertahan lama. Saat
peralihan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, Indonesia
92 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 52-53. 93 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 45. 94 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 45-46.
39
mengalami inflasi yang cukup tinggi. Tahun 1966, inflasi di Indonesia
mencapai kenaikan hingga 660%. Tak hanya itu, Indonesia juga
memiliki utang luar negeri yang jumlahnya US 2.357 juta.95
Inflasi itu pun menjadi faktor pengaruh dalam penerbitan pers di
Indonesia. Sebelumnya, Pemerintah Soekarno memang membantu biaya
penerbitan yang dilakukan pers Indonesia. Namun sejak inflasi,
Pemerintah Orde Baru sendiri mengurangi subsidi untuk pers.96 Di
berbagai wilayah Indonesia, tepatnya pada 1967, pers harian berkurang
menjadi 101 buah dengan total 893 ribu eksemplar. Sementara pers
mingguan berkurang ke 20 buah dengan total 908 ribu eksemplar. Hal
itu pun terus berlanjut sampai pada tahun 1968-1969.97
Selain dari perubahan eksemplar, pers Indonesia di masa Orde
Baru juga mengalami perubahan orientasinya kepada pemerintah. Pada
masa Demokrasi Terpimpin, hampir semua pers melancarkan
kritikannya kepada pemerintah Soekarno. Di masa itu, memang
pemerintah seolah menyatakan bendera perang dengan pers Indonesia
lewat berbagai kebijakannya. Soekarno seolah menjadi musuh bersama
bagi mayoritas pers di Indonesia.98
Turunnya Soekarno yang kemudian digantikan Soeharto menjadi
momentum baru bagi pers Indonesia. Soeharto menggunakan pers
95 Aria Wiratma Yudhistira, Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde
Baru terhadap Anak Muda Awal 1970an, 30. 96 P.K Ojong menulis, subsidi yang dilakukan pemerintah kepada pers
Indonesia adalah subsidi kertas. Semenjak dihapus, biaya percetakan pun ikut naik. Tak
hanya itu, kenaikan biaya juga berdampak pada biaya distribusi dan biaya langganan
dengan kantor berita itu sendiri. Lihat tulisan P.K Ojong dalam Akhmad Zaini Abar,
1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 47-48. 97 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 46. 98 Lihat kritik pers Indonesia terhadap rezim Soekarno di pembahasan sub bab
sebelumnya.
40
Indonesia untuk membentuk opini publik bahwa pemerintahan Soekarno
adalah merupakan pemerintahan terburuk. Mulai dari pers nasional
hingga pers mahasiswa memandang bahwa Angkatan Darat menjadi
penyelamat dari sebuah rezim otoriter. Pemerintah menjadikan pers
sebagai mitra dalam menyelamatkan negara Indonesia, terutama dari
cengkraman komunis yang waktu itu sangat kuat. Bahkan, Soeharto
memuji peran pers karena sikapnya yang lebih dewasa dan mampu
mewujudkan kekuatan keempat. 99
Sebagai bentuk dukungan, Pemerintah juga menerbitkan
Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers.
UU ini menyatakan bahwa pers nasional tak lagi dapat disensor. Selain
itu, pers akan dijamin kebebasannya sebagai hak warga negara. Jika pada
Demokrasi Terpimpin pers harus memiliki SIT, maka lewat UU ini surat
izin itu dihapus. Akan tetapi, penerapan UU ini hanya sebatas omong
kosong belaka. Pers di zaman itu tetap memerlukan SIT dari Departemen
Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari lembaga Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).100
Seiring berjalannya waktu, pers Indonesia kembali memunculkan
sikap kritisnya terhadap penguasa Orde Baru, tepatnya pada tahun 1967.
Mereka mengkritik berbagai isu-isu nasional yang dijalankan
pemerintah. Hal pertama yang menjadi bahan adalah isu korupsi yang
dilakukan oleh para pejabat pemerintahan. Berlanjut pada tahun 1971,
isu pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang digagas
oleh Tien Soeharto tak luput pula dari kritik. Menurut kalangan pers,
pembangunan TMII merupakan hal yang sia-sia karena menghambur-
99 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 65-69. 100 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 34-35.
41
hamburkan uang. Kebijakan Penanaman Modal Asing (PMA) pada akhir
1960-an juga menjadi sasaran kritik yang dilakukan pers. Puncak kritik
terjadi ketika Perdana Menteri Tanaka ke Jepang yang berujung pada
demo besar-besaran di tanggal 15 Januari 1974. Peristiwa ini kemudian
dikenal dengan nama Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974. Setelah
Malari 1974, Orde Baru mulai bersikap represif terhadap pers dan juga
mahasiswa. 101
Dalam perkembangan pers di era Orde Baru, David T. Hill
membaginya ke dalam enam kelompok. Kelompok pertama adalah pers
yang berhaluan radikal, yakni pers mahasiswa (Harian KAMI dan
Mahasiswa Indonesia), Nusantara, dan pers yang kembali terbit setelah
dibredel oleh Soekarno, yaitu Pedoman dan Indonesia Raya. Dua media
ini berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Kelompok kedua
adalah kelompok media yang terbit dengan jumlah sirkulasi tinggi,
seperti Kompas dan Sinar Harapan. Kelompok ketiga adalah pers di
kalangan militer, yakni Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Hill juga
memasukan Harian Umum Suara Karya (afiliasi Golkar dan
pemerintah) ke dalam kelompok ini. Kelompok keempat adalah koran-
koran radikal berhaluan nasionalis, seperti El Bahar, Merdeka, dan Suluh
Marhaen (afiliasi dengan PNI). Kelompok kelima adalah pers yang
menyalurkan aspirasi kaum Muslim, yakni Abadi, Jihad, dan Duta
Masyarakat (afiliasi dengan NU). Kelompok terakhir adalah koran
bergenre hiburan dan apolitis, yakni Pos Kota. 102
Di tahun 1970, surat kabar Indonesia rata-rata hanya mampu
menjual cetakannya sebanyak 20 ribu eksemplar. Beberapa media yang
101 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 163-208. 102 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 35-36.
42
menjual di atas 40 ribu hanya empat media saja, yakni Merdeka (82 ribu),
Kompas (75 ribu), Sinar Harapan, yang kemudian mengubah namanya
menjadi Sinar Pembaruan (65 ribu), dan Berita Yudha (75 ribu). Pada
perkembangannya, hanya Kompas dan Sinar Pembaruan yang berhasil
mengembangkan medianya menjadi sebuah industri pers yang berjaya di
masa Orde Baru. Mereka berhasil mencapai masa keemasannya karena
mengambil sikap berhati-hati dalam menyikapi urusan politik dan
berpihak kepada kelas menengah sekuler yang tumbuh subur di masa itu.
Sedangkan untuk Merdeka dan Berita Yudha kemudian berhenti terbit
karena tak mampu memenuhi kebutuhan pasar.103
Hubungan pers dengan pemerintah Orde Baru pada 1965-1974
sendiri seolah menjadi dua sisi koin yang berlawanan. Di dua tahun
pertama kepemimpinan Soeharto, pers menjadi sebuah koalisi untuk
menggulingkan Soekarno dan melahirkan sebuah era yang bernama
Orde Baru. Namun di sisi lain, pers kembali menjadi sebuah momok
menakutkan bagi pemerintah karena kritiknya yang dianggap
mengganggu proses pembangunan. Gelombang pembredelan pada
peristiwa Malari 1974 secara dramatis menghancurkan hubungan antara
pemerintah, pers, dan juga mahasiswa.104
103 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 36-37. 104 Suf Kasman, Pers dan Pencitraan Umat Islam di Indonesia: Analisis Isi
Pemberitaan Harian Kompas dan Republika, 78.
43
BAB IV
ORDE BARU
Naiknya Soeharto sebagai Presiden RI menjadi sejarah baru
dalam narasi sejarah Indonesia. Bergantinya rezim Orde Lama (Orla)
Soekarno ke Soeharto ini dikenal dengan nama Orde Baru (Orba).
Dimulainya Orba sendiri terdiri dari beragam versi. Versi pertama yakni
dari hasil Seminar Angkatan Darat (AD) di Bandung. Ada yang
menyatakan Orba lahir setelah Peristiwa G30S 1965. Kemudian ada
yang mengatakan Orba dimulai pada kemunculan Supersemar 1966. Ada
pula yang berpendapat bahwa Orba lahir sejak Ketetapan MPRS 1967
yang isinya peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.105
Terlepas dari berbagai versi, pergantian kekuasaan Soekarno ke
Soeharto adalah lahirnya sebuah era baru dalam sejarah Presiden RI. Bab
ini akan membahas tentang kemunculan Soeharto di panggung politik
Indonesia pada 1965-1971. Bab ini juga membahas terkait kebijakan
politik dan ekonomi Soeharto untuk melakukan konsolidasi
pemerintahan yang puncaknya terjadi pada 1974.
A. Lahirnya Sebuah Era Baru
Di penghujung tahun 1965, terjadi sebuah peristiwa yang
menggegerkan rakyat Republik Indonesia. Sebuah kelompok bernama
Dewan Revolusi Indonesia beramai-ramai menuju kawasan Menteng,
Jakarta Pusat. 1 Oktober 1965 pukul 03.15 WIB, kelompok ini menyasari
105 Martin Sitompul, Asal-usul Istilah Orde Baru,
https://historia.id/politika/articles/asal-usul-istilah-orde-baru-DAoE7, (Diakses pada
29 Januari 2019 pukul 21.44 WIB).
44
rumah sekelompok pejabat pemerintahan. Incaran mereka adalah
Menteri Pertahanan A.H Nasution, Panglima Angkatan Darat (AD)
Letnan Jenderal (Letjen) Achmad Yani, dan lima Staf Umum AD, yakni
Mayor Jenderal (Mayjen) S. Parman, Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono,
Mayjen R. Suprapto, Brigadir Jenderal (Brigjen) Soetojo
Siswomihardjo, dan Brigjen Donald Ishak Pandjaitan. Namun Nasution
berhasil melarikan diri ke rumah Duta Besar Irak dan yang tertembak
adalah putri Nasution dan ajudan pribadinya. 106
Pukul 07.15 WIB, Dewan Revolusi Indonesia mengumumkan
penangkapan ini melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI) pusat.
Mereka memaksa sang penyiar untuk membacakan sebuah dokumen
tentang penangkapan para jenderal tersebut. Sang penyiar
mengumumkan bahwa jenderal-jenderal ini (yang dikenal dengan nama
Dewan Jenderal) diduga akan melakukan kudeta terhadap Presiden
Soekarno. Dewan Jenderal ini juga akan melakukan pameran kekuatan
pada hari Angkatan Bersenjata yang bertepatan pada 5 Oktober 1965.107
Peristiwa penculikan para jenderal ini kemudian dikenal dengan
nama Gerakan 30 September 1965 (G30S). Dari sinilah, nama Soeharto
selaku Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad)
muncul sebagai Panglima AD pengganti Letjen Achmad Yani.
Penggantian Soeharto bukan disepakati sendiri. Pukul 08.00 WIB, Umar
Wirahadikusumah selaku Panglima Kodam V Jaya yang memiliki
pasukan terbesar di Jakarta langsung memosisikan dirinya di bawahan
106 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan
Kudeta Soeharto, (Jakarta: Institut Sejarah dan Sosial Indonesia dan Hasta Mitra,
2008), 53-55. 107 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan
Kudeta Soeharto, 52-53.
45
Soeharto. Kemudian, para Jendral AD yang selamat dari peristiwa
penculikan itu melakukan rapat darurat di Gedung Kostrad yang
menyimpulkan bahwa Soeharto akan mengisi jabatan sebagai Panglima
AD. Sedangkan Nasution sendiri hadir di gedung itu pada pukul 18.00
WIB.108
Sebelumnya, Soeharto tak dikenal oleh para petinggi militer saat
itu. Karir militer pertama Mayor Soeharto terjadi ketika ia ditugaskan di
Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung pada
Oktober 1959. Pada akhir 1960, ia naik pangkat menjadi Brigadir
Jenderal dan ditempatkan di Markas Intelijen sebagai Deputi I Kepala
Staf Angkatan Darat. Kemudian pada 1961, Soeharto dilantik menjadi
pemimpin satuan tentara bernama Kostrad. Januari 1962, ia naik pangkat
menjadi Mayor Jenderal yang diberi tugas untuk memimpin Operasi
Mandala yang tujuannya adalah merebut Irian Barat dari Belanda.
Langkahnya sebagai Panglima AD pengganti Achmad Yani menjadi
perhatian kalangan masyarakat.109
Langkah pertama Soeharto selaku pimpinan AD adalah
menelepon para perwira ABRI, seperti Resimen Pangkalan Angkatan
Laut (Men/Pangal) Laksamana Madya Laut R.E. Martadinata, Resimen
Pangkalan Angkatan Udara (Men/Pangu) Laksamana Madya Udara
Omar Dhani, Resimen Panglima Angkatan Kepolisian (Men/Pangak)
Inspektur Jenderal Polisi Sutjipto Judodijardjo, untuk memberitahu
bahwa perannya adalah mengambil alih kepemimpinan AD. Ia juga
108 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan
Kudeta Soeharto, 79-80. 109 Julie Southwood dan Patrick Flanagan, Teror Orde Baru: Penyelewengan
Hukum dan Propaganda 1965-1981, (Depok: Komunitas Bambu, 2013), 41-42.
46
memberitahu kepada mereka agar jangan menggerakkan pasukan
masing-masing tanpa seizin Soeharto.110
Berbeda dengan Soeharto yang bergerak cepat, Soekarno
menganggap bahwa peristiwa G30S adalah peristiwa yang biasa terjadi
dalam revolusi. Langkah pertama yang dilakukan Soekarno bukanlah
mencari tahu siapa dalang peristiwa ini.111 Soekarno memilih untuk
memanggil para petinggi, seperti Men/Pangal, Men/Pangak, Panglima
Kodam V Jaya, Jaksa Agung, dan Wakil Perdana Menteri II untuk
melaporkan keadaan saat itu. Namun, Panglima Kodam V Jaya Umar
Wirahasikusumah tak berada di kantor. Dirinya tengah menemui
Soeharto selaku Pangkostrad di markasnya. Panggilan Soekarno pun
lantas ditolak Soeharto ketika Komisaris Besar Polisi Sumirat
menghadapnya. Soeharto menuturkan bahwa Panglima Kodam V Jaya
tak bisa menghadap karena Panglima AD sedang tak ada di tempat. Oleh
karenanya, Soeharto menyuruh Sumirat agar perintah Soekarno harus
mendapat instruksi darinya. Presiden Sukarno jelas tidak senang
mendapat jawaban seperti itu dari Panglima Kostrad. Sebab berdasarkan
Pasal 10 UUD 1945, Presiden Indonesia memegang kekuasaan tertinggi
atas AD, AL, dan AU. 112
Setelah mengambil alih RRI dan menyampaikan
pengumumannya pada pagi hari, kelompok G30S kembali menyiarkan
pengumuman pada siang hari. Isinya adalah pembentukan Dewan
Revolusi Indonesia yang terdiri dari orang-orang pendukung G30S.
110 Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Sukarno, (Depok: Komunitas Bambu,
2013), 81. 111 Salim Haji Said, Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto,
(Bandung: Penerbit Mizan, 2016), 9. 112 Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Sukarno, 81-82.
47
Pengumuman ini sendiri berbentuk dokumen tertulis yang dibacakan
dengan tanda tangan dari Ketua Dewan Revolusi Indonesia Letnan
Kolonel Untung.113
Soeharto pun melancarkan serangan balik. Ia menuntut dua
batalion di Lapangan Merdeka untuk menyerahkan diri. Dirinya
mengancam jika G30S tidak menyerahkan diri pada 18.00 WIB, maka
Soeharto bersama pasukannya akan menyerang batalion ini. Soeharto
sendiri menggunakan pasukan Resimen Pasukan Komando Angkatan
Darat yang berasal dari Cijantung, Jakarta Timur. Ancaman itu
kemudian berhasil dan tak menggunakan senjata sama sekali.
Selanjutnya, Soeharto melancarkan serangannya pada Gedung RRI,
Telekomunikasi, dan Halim Perdana Kusuma sebagai markas kelompok
G30S. Padahal, Soekarno saat itu tengah berdiskusi dengan kelompok
G30S untuk menghindari pertikaian. Soekarno pun memilih menyingkir
ke Istana Bogor demi menghindari gempuran yang dilancarkan Soeharto.
Pada akhirnya, G30S tamat dan semua pelakunya berpencar melarikan
diri menghindari serangan Soeharto.114
Peristiwa G30S ini menjadi awal peralihan kekuasaan dari
Soekarno ke Soeharto. Soeharto yang mulai menancapkan taringnya di
kursi rezim memutuskan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah
dalang di peristiwa tersebut. Menurutnya, PKI mengadu domba pada
kalangan AD agar turut ambil bagian dalam kudeta yang mengancam
113 Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Sukarno, 83-87. 114 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan
Kudeta Soeharto, 80-84.
48
keamanan. Selain itu, Soeharto juga menuduh bahwa PKI lah yang
menyiksa sekaligus membunuh enam jenderal di Lubang Buaya.115
Sebenarnya ada banyak versi mengenai dalang dari peristiwa
G30S ini. Jusuf Wanandi dalam memoarnya bercerita, ada beberapa
tafsiran terkait kejadian ini. Poin pertama, memang PKI-lah yang
berperan dalam peristiwa tersebut. Ada juga yang bilang Soeharto adalah
dalang dari peristiwa kudeta ini. Versi lain mengatakan bahwa G30S
merupakan masalah internal yang terjadi di AD.116 Sedangkan ada juga
teori yang menyebutkan bahwa Central Intelligence Agency (CIA,
Badan Intelijen Amerika Serikat) turut andil dalam gerakan tersebut.117
Terlepas dari siapapun dalangnya, Soeharto terus memanfaatkan
momen G30S untuk memunculkan namanya dalam sejarah Indonesia. Ia
memulainya lewat pemberitaan propaganda yang disebarkan di media
massa. 4 Oktober 1965, para wartawan ramai berkumpul di Lubang
Buaya untuk menyaksikan pengangkatan mayat para jenderal. Soeharto
menyatakan, luka sayatan yang terdapat pada mayat itu adalah ulah dari
Pemuda Rakyat dan Gerwani (kelompok simpatisan PKI). Media massa
pun gencar memberitakan bahwa sebelum jenderal wafat, mereka disiksa
terlebih dulu oleh Gerwani dan Pemuda Rakyat. Macam-macam
115 Julie Southwood dan Patrick Flanagan, Teror Orde Baru: Penyelewengan
Hukum dan Propaganda 1965-1981, 2. Lihat juga pengakuan Soeharto tentang
peristiwa G30S dalam R.E. Elson, Suharto: Sebuah Biografi Politik, (Jakarta: Pustaka
Minda Utama, 2005), 242-243. 116 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia
1965-1968, 46-47. 117 Keterlibatan Amerika Serikat dalam gerakan tersebut terdiri dari beberapa
faktor. Pertama, Amerika Serikat sangat tidak menyukai ideologi Komunis. Kedua,
nasionalisme radikal Soekarno terhadap negara asing juga menjadi momok mengerikan
bagi Amerika. Ketiga, hubungan AD dengan Amerika Serikat memang sudah terjalin.
Lihat penjelasan keterlibatan Amerika Serikat yang dijabarkan oleh Julie Southwood
dan Patrick Flanagan, Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum dan Propaganda
1965-1981, 1-46.
49
penyiksaannya sendiri berupa pencungkilan mata, sundutan rokok,
hingga penyayatan alat kelamin. 118
Propaganda yang disulutkan media massa, terutama pers berlatar
militer seperti Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha119,
membuahkan hasil. Sebagian besar rakyat Indonesia ikut terpengaruh
dan membenci PKI beserta simpatisannya. Aksi menentang PKI dimulai
dari Aceh, kemudian berlanjut ke wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Rentetan pembunuhan terhadap kader PKI dan simpatisannya terus
dilakukan hingga Jawa Barat, Bali, hingga Sumatera Utara.120 Sepanjang
akhir 1965 hingga 1966, diperkirakan para tentara sudah menghabisi
lebih dari 1,5 juta orang, baik kader PKI maupun simpatisannya.121
Soekarno bukan tak diam melihat ketika mendengar aksi
pembunuhan besar-besaran terhadap kader dan simpatisan PKI. Dalam
pidatonya pada 27 Oktober 1965, Soekarno menyatakan bahwa revolusi
Indonesia seharusnya adalah revolusi kiri yang berarti adalah memenuhi
kebutuhan rakyat. Setelah mendengar pembunuhan yang terjadi di
daerah, ia menyatakan bahwa revolusi justru bergerak ke kanan.
118 Amurwani Dwi Lestariningsih, Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp
Plantungan, (Jakarta: Kompas, 2011), 69-70. 119 Pemberitaan tentang peristiwa G30S hanya dikabarkan oleh dua media
tersebut. Sejak 1 Oktober 1965, terdapat 46 dari 163 surat kabar yang dilarang terbit.
Alasannya, mereka dituduh terlibat dan mendukung kelompok G30S ini. Lihat di
Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 55. Lihat juga peran AD dalam
mengatur pemberitaan G30S di John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30
September dan Kudeta Soeharto, 29-30. 120 Tragedi Pembantaian terhadap kader dan simpatisan PKI melibatkan
banyak orang. Mulai dari pemuka agama, sipil, hingga tentara. Bahkan, keluarga sendiri
juga menjadi target pembunuhan karena korban adalah simpatisan PKI. Narasi
pembunuhan terhadap PKI ini bisa dilihat dalam Kurniawan et al., Pengakuan Algojo
1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965, (Jakarta: Tempo Inti Media Tbk,
2013), 1-174. 121 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan
Kudeta Soeharto, 5.
50
Menurutnya, itu merupakan sebuah awal dari malapetaka terbesar di
Indonesia.122
Soekarno menilai, pembunuhan massal yang terjadi di Jawa
Tengah dan Jawa Timur turut melibatkan orang-orang yang tak bersalah.
Ia menyatakan kepada para mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) untuk memperlakukan korban sesuai dengan
nilai Islam. Menurutnya, banyak mayat-mayat dari simpatisan PKI yang
tak sekadar dibunuh secara brutal, tetapi para jagal PKI ini meninggalkan
saja mayat yang sudah dibunuh. Soekarno menyarankan kepada para
mahasiswa HMI agar memberitahu masyarakat di daerah untuk
memperlakukan mayat sesuai ajaran Islam, yakni dikuburkan secara
layak.123
Keterlibatan media massa juga tak lepas dari pengamatan
Soekarno. Lagi-lagi lewat pidatonya, ia mengkritik pemberitaan media
yang menyantumkan peran Gerwani dalam menyilet alat vital para
jenderal dan penyiksaan jenderal-jenderal lewat kursi listik. Menurutnya,
pemberitaan itu tak masuk akal karena bisa menimbulkan kebencian
terhadap PKI. Ia meminta para wartawan untuk menyebarkan peristiwa
yang sebenarnya dan memberitakan hal-hal yang positif untuk
membangun bangsa. Namun, peran AD dalam memblokade media
massa jauh lebih kuat. Hingga akhirnya, kritik Soekarno pun tak menjadi
bahan pemberitaan dalam media massa.124
122 Julius Pour, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang,
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), 268-269. 123 Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan,
1986), 169-174. 124 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan
Kudeta Soeharto, 279-281.
51
Pembelaan mati-matian Soekarno terhadap PKI bukan tanpa
alasan. Ia sadar, kekuasaannya sudah menemui ujung tanduk. Saat itu,
AD sudah mulai berani melawan perintahnya. Padahal, status Soekarno
sendiri adalah panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI). Gagasannya tentang Nasionalis-Agamis-Komunis
(Nasakom) masih dipegang kuat untuk menjaga keutuhan RI. Oleh
karenanya, ia menilai bahwa PKI menjadi penyeimbang untuk
menghadapi ABRI karena sikap loyalnya terhadap Presiden Soekarno.125
Namun, hubungan AD di bawah naungan Soeharto dengan
Presiden Soekarno justru makin meruncing. Soeharto lewat militer
memiliki koalisi baru dengan cara menggandeng mahasiswa untuk
menyusun kekuasaan. Mahasiswa yang anti Komunis pun membentuk
suatu kelompok bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Lewat KAMI, gerakan mahasiswa semakin gencar. Demonstrasi
semakin menjadi ketika para mahasiswa menyatakan tiga tuntutan
kepada Soekarno yang kemudian dikenal dengan nama Tri Tuntutan
Rakyat (Tritura) pada 12 Januari 1966. Isi dari tuntutan itu adalah
bubarkan PKI, perombakan Kabinet Dwikora, dan turunkan harga
barang. Tritura digerakkan secara masif lewat kertas selebaran,
demonstrasi, hingga coretan-coretan di tembok.126
Melihat tuntutan mahasiswa yang semakin keras, Soekarno
menerbitkan Keputusan Presiden No. 41/Kogam/1966 yang isinya
125 Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, 169-174. 126 Lihat tulisan Abdul Mun’im DZ, Gerakan Mahasiswa 1966 di Tengah
Pertarungan Politik Elit dalam Muridan S. WIdjojo et al., Penakluk Rezim Orde Baru:
Gerakan Mahasiswa ‘98, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 29-30. Lihat juga
narasi tentang demonstrasi mahasiswa yang berisi kritikan terhadap pemerintah
Soekarno sepanjang Januari 1966 dalam Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran,
(Jakarta: LP3ES, 1989), 159-209.
52
adalah pembubaran KAMI. Namun, gerakan mahasiswa semakin keras
lewat pembentukan Laskar Arief Rahman Hakin yang terdiri dari
gabungan 42 perguruan tinggi yang berada di Jakarta. Keadaan ini
membuat Soekarno untuk menyelenggarakan sidang kabinet dengan
tujuan mempertimbangkan tuntutan mahasiswa.127
Sidang untuk pembaruan Kabinet Dwikora pun dimulai pada 11
Maret 1966 yang bertempat di Istana Negara, Jakarta. Dalam sidang itu,
semua anggota Kabinet dipanggil. Hanya Soeharto yang tak datang
waktu itu dikarenakan sedang sakit flu. Saat sidang tengah berjalan,
pengawal Soekarno melaporkan adanya sebuah pasukan tak dikenal
dalam lingkaran demonstrasi. Takut terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan, Soekarno pun meninggalkan sidang itu dan pergi
meninggalkan Istana Merdeka menuju Istana Bogor. Sidang Kabinet pun
diteruskan oleh Wakil Perdana Menteri II J. Leimena.128
Di Istana Bogor, Soekarno pun didampingi oleh Soebandrio,
Chaerul Saleh, Hartini, dan dikawal oleh beberapa pasukan Tjakrabirawa
(Pasukan Pelindung Presiden, sekarang disebut Paspampres). Adanya
pasukan tak dikenal itu, Soeharto pun mengirimkan sebuah pesan lewat
Pangdam Jaya Mayjen Amir Mahmud, Menteri Perindustrian Dasar
Mayjen Muhammad Jusuf, dan Demobilisasi Mayjen Basuki Rahmat.
Mereka diutus Soeharto untuk memberitahu Soekarno agar memberikan
perintah untuk memulihkan keadaan yang semakin karut marut dan
menemui Soekarno di Istana Bogor. Dari perkumpulan di Istana Bogor,
127 Suharsi dan Ign. Mahendra K, Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah Gerakan
Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia, (Yogyakarta: Resist Book, 2007), 72-
74. 128 James Luhulima, Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965: Melihat
Peristiwa G30S dari Perspektif Lain, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), 169-170.
53
lahirlah sebuah keputusan yang sekarang dikenal dengan Surat Perintah
11 Maret 1966 (Supersemar) yang ditandatangani sendiri oleh Soekarno.
Setelah mendapatkan Supersemar, ketiga jenderal itu pulang kembali ke
Jakarta dan menyerahkan surat itu kepada Soeharto.129
Melalui Supersemar, langkah pertama yang dilakukan oleh
Soeharto adalah membubarkan PKI. Kemudian, Soeharto juga
mengganti anggota kabinet Dwikora yang disempurnakan dengan
anggota baru versi Soeharto. Anggota Kabinet Dwikora yang diganti
pada 17 Maret 1966 yakni:
1. Dr. Soebandrio (Wakil Perdana Menteri I/Menteri
Kompartemen Luar Negeri)
2. Dr. Chaerul Saleh (Wakil Perdana Menteri III/Ketua MPRS)
3. Ir. Setiadi Reksoprodjo (Menteri Urusan Listrik dan
Ketenagaan)
4. Sumardjono (Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan)
5. Oei Tjoe Tat SH (Menteri Negara yang diperbantukan pada
Presidium Kabinet)
6. Ir. Surachman (Menteri Pengairan Rakyat dan Pembangunan)
7. Jusuf Muda Dalam (Menteri Urusan Bank Sentral/Gubernur
Bank Indonesia)
8. Armunanto (Menteri Pertambangan)
9. Sutomo Mardopradoto (Menteri Perburuan)
10. Astrawinata SH (Menteri Kehakiman)
11. Mayjen Achmadi (Menteri Penerangan)
12. Drs. Moch. Achmadi (Menteri Transmigrasi dan Kooperasi)
129 Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, 208-213.
54
13. J. Tumakaka (Menteri/Sekjen Front Nasional)
14. Mayjen Dr. Sumarno (Menteri/Gubernur Jakarta Raya)
15. Letkol. Inf. Imam Sjafie (Menteri Khusus Urusan
Keamanan)130
16.
17.
Kemudian Soeharto mengganti mereka dengan anggota baru
yang terdiri dari:
1. Sri Sultan Hamengu Buwono IX (Wakil Perdana Menteri I)
2. Adam Malik (Wakil Perdana Menteri II/Menteri Luar Negeri
dan Hubungan Ekonomi Luar Negeri)
3. Dr. Roeslan Abdulgani (Wakil Perdana Menteri III)
4. Idham Chalid (Wakil Perdana Menteri IV)
5. Dr. J. Leimena (Wakil Perdana Menteri V)
6. Wirjono Prodjodikoto SH (Menteri Kehakiman)
7. Sumarsono SH (Menteri Urusan Bank Sentral/Menteri
Koordinator)
8. Drs. Frans Seda (Menteri Perburuhan)
9. Mayjen Dr. Ibnu Sutowo (Menteri Pertambangan)
10. Ir. Sutami (Menteri Listrk dan Ketenagaan/Menteri
Koordinator)
11. Ir. PC Harjosudirdjo (Menteri Pengairan Rakyat)
12. Brigjen Drs. A. Sukendro (Menteri Transmigrasi dan
Koperasi)
130 Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Sukarno, 152-153.
55
13. Sjarif Thajeb (Menteri Pendidikan Dasar dan
Kebudayaan/Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan)
14. K.H. A. Sjaichu (Menteri/Sekretaris Jenderal Front Nasional)
15. Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Dalam Negeri/Gubernur
DKI Jakarta)
16. Letjen Hidajat (Menteri Pos dan Telekomunikasi)131
Perombakan Kabinet Dwikora yang dilakukan oleh Soeharto ini
ditengarai karena 15 orang itu merupakan pendukung Soekarno dan juga
simpatisan PKI. Dengan Supersemar yang ada di tangan Soeharto, para
elit pemerintahan Soekarno tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, Soekarno
sendiri yang menandatanginya. Perlahan tapi pasti, peran Soekarno dan
pendukungnya tergantikan oleh Soeharto.132
Kekuasaannya yang meningkat drastis tetap membuat Soeharto
was-was. Ia mengganggap Supersemar belum cukup untuk
melanggengkan kekuasaanya. Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) menyelenggarakan sebuah sidang pada 21 Juni 1966
untuk meninggikan keputusan Supersemar. Sebab, Supersemar sendiri
berawal dari keputusan presiden yang bisa dicabut kapan saja.
Mengingat, Supersemar adalah sebuah upaya khusus untuk melindungi
pemimpin RI dari segala bahaya yang mengancam kekuasaan. Lewat
sidang MPRS pada 21 Juni hingga 5 Juli 1966, status Supersemar
dinaikkan ke dalam Ketetapan MPRS No.5/MPRS/1966. Ketetapan itu
juga menuntut laporan pertanggungjawaban Soekarno dalam
131 Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Sukarno, 153-154. 132 Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Sukarno, 156.
56
Nawaksara133 yang tak mencantumkan sikapnya kepada peristiwa
G30S.134
Enam bulan berlalu, Soekarno kembali membuat laporan khusus
yang isinya adalah pendapatnya tentang G30S. Namun, tuntutan
mahasiswa semakin menjadi lantaran mereka ingin Soekarno dicopot
dari jabatannya sebagai Presiden RI. MPRS menganggap bahwa peran
Soekarno gagal dalam menciptakan keamanan dan ketertiban di negara
Indonesia. Pada 12 Maret 1967, MPRS mencabut status Soekarno
sebagai Presiden RI seumur hidup lewat Ketetapan MPRS
No.XXXIII/MPRS/1967.135 Setahun kemudian, berakhirlah sudah
kepemimpinan Soekarno sebagai Presiden RI. Ia resmi digantikan
Soeharto melalui Sidang MPRS pada 27 Maret 1968 dan ditetapkan
dalam ketetapan MPRS Nomor XLIV Tahun 1968. 136
B. Menciptakan Stabilitas Politik
Setelah resmi menjadi Presiden RI, Soeharto mulai membenahi
lawan-lawan yang akan mengancam jalan politiknya. Langkah pertama
yang dilakukan Soeharto adalah memberangus PKI dan simpatisannya.
Sepanjang tahun 1965-1968, Soeharto, tentara, masyarakat sipil, hingga
133 Nawaksara adalah sebuah pidato Soekarno yang berisi laporan
pertanggungjawaban kepada MPRS. Laporan itu terdiri dari sembilan poin yang isinya
adalah peran Soekarno selama menjabat sebagai Presiden RI. Lihat Nawaksara dalam
Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Soekarno, 158-164. 134 Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Soekarno, 167-168. 135 Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Soekarno, 186-189. 136 Peter Kasenda, Sarwo Edhie dan Tragedi 1965, 168.
57
pemuka agama, menghancurkan simpatisan PKI hampir di seluruh
Indonesia yang jumlahnya diperkirakan mencapai 1,5 juta orang.137
Perlu diketahui, penolakan AD terhadap PKI dimulai ketika
adanya pergolakan pada 1948. Saat itu, PKI di bawah naungan Musso
memberontak kepada Pemerintahan RI yang dipimpin Soekarno.138 AD
pun menilai bahwa jika PKI sangat berbahaya. Prinsipnya adalah,
membunuh atau dibunuh. Konflik antara PKI dengan AD pun berlanjut
lewat isu agrarian. Pada 1965, wilayah tanah di bagian Jawa Tengah dan
Jawa Timur dikuasai oleh kalangan pemuka agama, sedangkan petani
miskin cenderung lebih abangan. Propaganda AD pun semakin larut
ketika mereka menyatakan kepada masyarakat bahwa Komunis tak
bertuhan. “PKI Anti Tuhan”, “Aidit Setan”. Slogan-slogan di dinding itu
cukup untuk meruncingkan hubungan AD dengan PKI saat itu.
Puncaknya pun terjadi ketika terjadinya G30S. AD menganggap bahwa
peristiwa itu didalangi oleh PKI.139
Dampak dari peristiwa G30S terhadap PKI terus berlanjut. Di
bawah naungan Soeharto, anti-komunis seolah menjadi sebuah agama
resmi negara. Propaganda anti komunis terus dilekatkan lewat museum,
monumen, upacara, film, buku, hingga tanggal-tanggal yang membuat
rakyat membenci Komunis hingga akhir kepemimpinannya pada tahun
1998. 140
137 Julie Southwood dan Patrick Flanagan, Teror Orde Baru: Penyelewengan
Hukum dan Propaganda 1965-1981, 79-99. Lihat juga narasi pemberangusan terhadap
PKI di bahasan sub bab sebelumnya. 138 Julie Southwood dan Patrick Flanagan, Teror Orde Baru: Penyelewengan
Hukum dan Propaganda 1965-1981, 28-30. 139 Julie Southwood dan Patrick Flanagan, Teror Orde Baru: Penyelewengan
Hukum dan Propaganda 1965-1981, 83-90. 140 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan
Kudeta Soeharto, 9-13.
58
Soeharto selaku pewaris kepemimpinan dari Orde Lama memang
tak setuju dengan ideologi Komunisme. Namun, ia juga tak menyukai
sistem Demokrasi Terpimpin yang diterapkan Soekarno. Selain itu, ia
juga tak mau golongan Islam kembali berpolitik lewat Partai Masyumi,
yang sebelumnya sudah dibubarkan oleh Soekarno. Soeharto lebih
memilih kembali kepada Pancasila sebagai sebuah ideologi negara.
Soeharto pun mengesahkannya lewat lobi politik yang kemudian
tercantum dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Isinya adalah
peranan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 sebagai sebuah cita-cita
bangsa Indonesia yang menjadi dasar negara Indonesia. Pancasila tak
boleh diubah oleh kelompok manapun karena akan bertentangan dengan
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.141
Penegasan Soeharto terhadap Pancasila bukanlah sebuah alasan.
Setelah menumpas Komunisme lewat G30S, ia mendapat sebuah usulan
dari kelompok Islam yang berasal dari Partai Masyumi. Mereka
menginginkan agar pembahasan mengenai penerapan syariat Islam
dalam Pembukaan UUD 1945 kembali dikaji. Kelompok ini juga
menginginkan untuk kembali mendirikan Partai Masyumi sebagai wadah
berpolitik untuk umat Islam. Walaupun naiknya Soeharto menjadi
Presiden RI dibantu oleh Kelompok Islam ini, Soeharto dengan tegas
menolak usulan tersebut. Sebagai gantinya, Soeharto membentuk sebuah
partai baru bernama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).142 Soeharto
juga melarang para petinggi Masyumi untuk kembali berpolitik dan
terpilih ke dalam anggota parlemen di pemilu nanti. Dalam artian,
141 Peter Kasenda, Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan
Selama 32 Tahun?, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2013), 90-93. 142 Martin van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam, dan Politik, (Yogyakarta:
Penerbit Gading, 2013), 291.
59
Soeharto tak menginginkan adanya wacana negara Islam yang digagas
oleh kaum Islam. Soeharto lebih menginginkan prinsip negara sekuler
ketimbang negara yang bersyariat Islam.143
Soeharto sendiri bukan berarti tak memiliki partai politik.
Sebagai militer, ia tergabung ke dalam Sekretariat Bersama (Sekber)
Golongan Karya (Golkar). Awalnya, Golkar bukanlah sebuah partai
politik. Golkar hanyalah sebuah organisasi yang digagas oleh Angkatan
Darat pada 20 Oktober 1964. Golkar mewadahi berbagai organisasi
yang terdiri dari berbagai kelompok, seperti organisasi pemuda, wanita,
sarjana, buruh, tani, dan juga nelayan.144 Sekber Golkar ini ditujukan
agar bisa berpartisipasi dalam kegiatan berpolitik. Terlebih, mereka
ingin meredam dominasi PKI dan menjadi alat ketika berhadapan dengan
Presiden Soekarno. Namun setelah Soekarno tumbang dan penguasa
baru berasal dari kalangan militer, maka Golkar menjadi sebuah
legitimasi baru untuk menampung masyarakat sipil. Golkar juga
berfungsi sebagai wadah untuk para kelompok yang pro terhadap
Soeharto. 145
Pada 1966, Golkar masih diisi oleh orang-orang pro Soekarno,
seperti Brigjen Djuhartono, Imam Pratignyo, dan JK Tumakaka, yang
semuanya duduk di dalam Dewan Pengurus Pusat (DPP) Golkar.
Karenanya, Golkar masih menggunakan istilah-istilah yang sering
diagungkan Soekarno dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
143 Peter Kasenda, Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan
Selama 32 Tahun?, 74-75. 144 Partai Golkar, Sejarah Partai, https://partaigolkar.or.id/sejarah, (Diakses
pada 4 Desember 2018 pukul 16.16). 145 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia
1965-1968, 126.
60
Tangga Organisasi (ADART). Waktu itu, Sekber Golkar adalah
organisasi yang berdasarkan Pancasila dan Manifesto Politik (Manipol).
Sedangkan dalam tujuannya, Sekber Golkar ditujukan kepada
Masyarakat Sosialis Indonesia. Setelah diadakan Musyawarah Kerja
Nasional (Mukernas) I Golkar pada 9-11 Desember 1966, Soeharto dan
Nasution maju sebagai Pembina Sekber Golkar. Barulah pada Munas II
yang diselenggarakan pada 2-7 November 1967, petinggi sebelumnya
pun mulai diganti. Brigjen Djuhartono diganti oleh Mayjen Suparto
Sukowati sebagai Ketua Umum. 146
Untuk menyelesaikan misinya dalam pemerintahan RI, Soeharto
membutuhkan beberapa penasihat. Pada 1966, Soeharto membentuk
sebuah Staf Pribadi (Spri) yang ditugaskan untuk membantu urusan
ekonomi, politik, maupun intelijen di dalam atau luar negeri. Soeharto
menunjuk Mayjen Alamsjah Ratu Perwiranegara sebagai Koordinator
Spri. Alamsjah pun menambahkan draf untuk menambah anggota Spri.
Dari sana, terpilih beberapa orang untuk membantu Soeharto, yakni:
1. Mayjen Alamsjah Ratu Perwiranegara (Koordinator Spri)
2. Mayjen Soenarso (Bidang Politik)
3. Kolonel Sudjono Humardani (Bidang Ekonomi)
4. Kolonel Slamet Danusudirjo (Bidang Pembangunan)
5. Kolonel Abdul Kadir (Staf Organisasi dan Administrasi)
6. Brigjen Surjo Wiryohadipuro (Bidang Keuangan
7. Kolonel Yoga Sugama (Urusan Intelijen Dalam Negeri)
8. Letkol Ali Moertopo (Urusan Intelijen Luar Negeri)147
146 Peter Kasenda, Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan
Selama 32 Tahun?, 139-140. 147 David Jenkins, Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer
Indonesia 1975-1973, (Depok: Komunitas Bambu, 2010), 27-28.
61
Penunjukan para perwira tentara bukan tanpa alasan. Soeharto
menggunakan jasa mereka karena kedekatannya ketika masih bertugas
sebagai tentara. Alamsjah misalnya, ia merupakan teman dekat Soeharto
saat masih menjalankan misi di Markas Besar AD pada 1960. Sementara
Yoga Sugama, Ali Moertopo, dan Sudjono Humardhani pernah menjadi
pembantu Soeharto ketika masih bertugas sebagai Panglima Kodam
Diponegoro, Jawa Tengah, pada akhir 1950 dan kembali bersama saat
menjabat di Kostrad. Ali Moertopo sendiri pernah bertugas sebagai unit
intelijen khusus untuk menyelesaikan konflik dengan Malaysia semasa
menjadi Pasukan Operasi Khusus (Opsus) pada 1964.148
Tak hanya dari kalangan militer, Soeharto juga menambahkan
orang-orang sipil untuk menjadi pembantu pribadinya. Mereka adalah
Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Sadli, dan Emil Salim yang bertugas
di bidang Ekonomi. Sedangkan di bidang politik ada Sarbini
Sumawinata, Fuad Hasan, Hariri Hadi, Delian Noer, dan Sulaeman
Sumardi. Pembantu Soeharto ini bertugas di Jalan Merdeka Barat Nomor
15 yang sebelumnya adalah Rumah Dinas Wakil Perdana Menteri di
zaman Soekarno, Soebandrio. 149
Namun, keberadaan Spri Soeharto tak bertahan lama. Hal ini
dikarenakan adanya kritik dari mahasiswa dan media massa. Walaupun
148 David Jenkins, Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer
Indonesia 1975-1973, 27. Lihat juga keterlibatan Ali Moertopo dalam menyelesaikan
hubungan diplomatik dengan Malaysia di Tempo, Intel Diplomat Modal Semangat,
dalam Majalah Tempo edisi Khusus Rahasia-Rahasia Ali Moertopo tanggal 14-20
Oktober 2013, 58. 149 Petrik Matanasi, Pembantu-Pembantu Khusus daripada Soeharto,
https://tirto.id/pembantu-pembantu-khusus-daripada-soeharto-cFxD, (Diakses pada 16
Januari 2019 pukul 23.32 WIB).
62
Spri dibubarkan pada Juni 1968, para anggotanya masih berada di
lingkaran pemerintahan. Februari 1968, Alamsjah diangkat menjadi
Sekretaris Negara yang bertugas untuk mengawasi kinerja staf resmi
presiden. Yoga Sugama dialihkan menjadi Wakil Kepala Bakin yang
kemudian naik menjadi Ketua Bakin di tahun yang sama. Sementara
Surjo Wirjohadipuro, Sudjono Humardhani, dan Ali Moertopo kemudian
dijadikan Asisten Pribadi (Aspri) Soeharto, yang sejatinya adalah
perpanjangan tangan dari Spri.150
Polemik mengenai ideologi politik Soeharto kembali terjadi
ketika ia memiliki perbedaan pendapat dengan Nasution selaku Ketua
MPRS. Menjelang Sidang MPRS untuk menetapkan Soeharto sebagai
Presiden RI secara penuh, pembahasan tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) menjadi sebuah adu argument yang panjang. Isu-isu
GBHN yang akan dibahas Nasution melalui Sidang MPRS adalah
pelarangan orang untuk pindah agama, pembentukan kabinet bersama
parlemen, dan kabinet harus mendapat dukungan penuh dari rakyat,
dalam artian adalah partai politik. Fraksi Nasution memandang, apabila
amandemen UUD 1945 bisa diterima ketika sidang umum, maka MPRS
bisa melihat bagaimana kemampuan Soeharto saat menjabat sebagai
Presiden RI. Oleh karenanya, apabila Soeharto gagal, maka pada tahun
1971 Soeharto bisa dicopot dari jabatannya selaku Presiden RI.151
Jusuf Wanandi dalam memoarnya menilai, GBHN yang digagas
oleh Nasution akan menjadi beban terhadap Soeharto ketika resmi
dilantik menjadi Presiden. Bersama Ali Moertopo dan Sudjono
150 David Jenkins, Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer
Indonesia 1975-1973, 28. 151 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia
1965-1968, 108-114.
63
Humardhani, Jusuf meyakinkan Soeharto bahwa ini akan menjadi
perangkap apabila gagal untuk dijalankan. Jusuf memandang bahwa
fraksi Nasution yang berhaluan kanan memang bertentangan dengan
kubu Jusuf yang diisi oleh kelompok Nasionalis-Kristen. Akhirnya,
Soeharto berhasil menang dan menolak gagasan yang diluncurkan oleh
Fraksi Nasution pada Sidang MPRS tahun 1968 itu.152
Peran Aspri Soeharto lainnya terjadi saat perebutan Papua dari
cengkraman Belanda melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.
Awal sengketa Papua antara Belanda dengan Indonesia sebenarnya
dimulai pada 1962, yakni ketika Soekarno menjabat sebagai Presiden RI.
Soeharto yang saat itu menjadi Panglima Pasukan Operasi Mandala.153
Pada 1967, Soeharto menunjuk Ali Moertopo selaku pihak intelijen
untuk melihat kondisi di wilayah Irian Barat. Mei 1967, Ali pun
mengirimkan Jusuf Wanandi beserta tim untuk mencari fakta di Irian
Barat.154
Selama seminggu, Jusuf mendapati kondisi Irian Barat yang
memprihatinkan. Di sana, ia mendapati bahwa kondisi penduduk
mengalami krisis. Hal ini dikarenakan ulah Angkatan Bersenjata yang
152 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia
1965-1968, 115. 153 Pasukan ABRI yang bertugas untuk merebut Irian Barat dari Belanda.
Sebelumnya, Indonesia dan Belanda sudah melakukan perundingan untuk mengakui
kedaulatan wilayah Indonesia lewat Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda
pada 1949. Namun, perjanjian itu mengecualikan Irian Barat dari wilayah kedaulatan
Indonesia. Sehingga terciptalah Operasi Perebutan Irian Barat. Istilah Tri Komando
Rakyat (Trikora) dimunculkan dari Pidato Soekarno yang isinya adalah merebut Irian
Barat. Lihat penjelasan tentang Operasi Mandala lewat laporan Petrik Matanasi,
Sejarah Pidato Trikora dan Ambisi Sukarno Kuasai Papua, https://tirto.id/sejarah-
pidato-trikora-dan-ambisi-sukarno-kuasai-papua-db2m, (Diakses pada 17 Januari 2019
pukul 2.19 WIB). 154 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia
1965-1968, 119.
64
menjarah semua persediaan. Mulai dari makanan, alat-alat listrik, hingga
botol bir dibawa ke luar Irian Barat. Laporan Jusuf tentang kondisi Irian
membuat Ali Moertopo segera memutuskan untuk mengirimkan barang-
barang untuk kebutuhan penduduk. Ali mencari bantuan dana lewat
perusahaan perkapalan dengan cara menyelundupkan karet dan barang
lain, baik itu yang masuk atau keluar dari Indonesia. Dari penyelundupan
itu, Ali berhasil mengumpulkan U$17 juta yang uangnya tersimpan di
bank Malaysia dan Singapura. Setelah mendapat restu dari Soeharto, Ali
menggunakan dana ini untuk mengirimkan bantuan ke Irian Barat berupa
makanan, tembakau, hingga merek bir yang disukai oleh penduduk Irian
Barat.155
Selain mengirim bantuan, Jusuf juga melakukan berbagai
konsolidasi demi menarik hati masyarakat Irian. Mula-mula, ia
menggunakan pemuka Gereja Katolik Romo Jesuit Sunandar untuk
menjembatani umat Protestan dan Katolik. Mereka diyakinkan oleh
Romo Jesuit bahwa Indonesia adalah negara Pancasila yang nantinya
akan merangkul mereka yang beragama minoritas. Selain itu, Jusuf juga
menyuruh relawan mahasiswa untuk melakukan perbaikan fasilitas di
Irian. Dengan bantuan Ali Moertopo, ia mengirimkan lebih dari 250
mahasiswa untuk memperbaiki rumah, membagikan kebutuhan pokok,
mengkondisikan transportasi, hingga bersikap ramah kepada masyarakat
Irian Barat.156
Hal ini terus menerus dilakukan selama kurang lebih dua tahun.
Usaha Jusuf dan Ali Moertopo tak sia-sia. Pada Penentuan Pendapat
155 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia
1965-1968, 119-120. 156 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia
1965-1968, 120-121.
65
Rakyat (Pepera) 1969, sebuah dewan yang terdiri dari 1.025 orang yang
mewakili setiap kabupaten di Irian memilih bergabung dengan
Indonesia. Soeharto kemudian mengirimkan tim khusus untuk melobi
negara anggota PBB agar setuju dengan keputusan Pepera sebelum
disidangkan di Kantor PBB yang ada di New York, Amerika Serikat.
Kemudian, Ali Moertopo selaku Intelijen Urusan Luar Negeri pergi ke
New York untuk menemui sejumlah delegasi di New York dan
Washington DC. Sidang PBB pun memutuskan bahwa Irian Barat
kembali ke kedaulatan Indonesia dan disepakati oleh mayoritas negara
anggota PBB.157
Pemilu pertama pada 1971 menjadi tantangan Soeharto
selanjutnya. Soeharto membutuhkan dukungan masyarakat agar kembali
dipilih. Dalam menghadapi pemilu itu, sebenarnya Soeharto menggaet
militer yang pada dasarnya anti partai politik. Militer sendiri
menganggap bahwa partai politik adalah sebuah pesaing dalam
mencapai kekuasaan, menimbulkan keresahan pada rakyat, dan
mengganggu integritas ABRI. Namun, Soeharto menyiasatinya dengan
menggunakan Golkar sebagai kendaraan politik dalam melanggengkan
kekuasaanya di Pemilu 1971 tersebut.158
Soeharto memulai pemanasan melalui perintahnya kepada
sebuah kelompok yang terdiri dari kalangan mahasiswa Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta. Kelompok ini yakni Mashuri, Sumiskum,
Soelistio, dan Jusuf Wanandi. Jusuf mengaku, kehancuran Soekarno
karena tak adanya partai politik untuk melanggengkan kekuasaannya. Ia
157 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia
1965-1968, 121-122. 158 Peter Kasenda, Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan
Selama 32 Tahun?, 140.
66
tak mau hal itu kembali terjadi kepada Soeharto. Soeharto pun
menyetujui ide kelompok ini. Ia menyarankan agar mereka tergabung ke
dalam Golkar sebagai tim sukses kemenangan Soeharto. 159
Bersama tim itu, Jusuf Wanandi segera mengelola Badan
Pengendalian Pemilu (Bappilu) Golkar. Jusuf menyaring 50 orang yang
terdiri dari kelompok aktivis mahasiswa. Setelah diseleksi, mereka akan
disebar ke beberapa daerah untuk mengkampanyekan Golkar. Tim ini
merangkul kekuatan dari Pertahanan Sipil (Hansip) yang memang
dikelola oleh militer. Hansip diarahkan untuk berkeliling dari rumah ke
rumah untuk mengajak masyarakat. Mereka melakukan sosialisasi
bahwa Golkar adalah jalan untuk menuju era pembangunan dan
keamanan nasional. Tak hanya itu, para hansip ini juga mengatakan
bahwa jika tidak ada yang memilih Golkar, maka akan dicap sebagai anti
militer, bahkan juga dicap sebagai pro PKI. 160
Selain hansip, mereka juga menyelenggarakan hiburan dengan
menggaet bintang film, penyanyi, hingga model. Sembari mengadakan
acara hiburan, Bappilu tak lupa menyelipkan pidato pemimpin Golkar di
sela-sela acara. Para pemimpin rakyat juga diberi kesempatan untuk
menaiki pesawat terbang. Hal ini ditujukan demi menaikkan perhatian
masyarakat kepada Golkar. Birokrasi juga tak luput dari pengawasan
Bappilu Golkar. Mereka mengandalkan Departemen Dalam Negeri dan
Departemen Pertahanan dan Keamanan untuk mengadakan kampanye
pada Golkar. Para pegawai pemerintahan diharuskan untuk bergabung
dengan Golkar lewat Korps Pegawai Negeri (Korpri). Golkar dianggap
159 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia
1965-1968, 125-126. 160 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia
1965-1968, 128-129.
67
sebagai organisasi alternatif yang ingin memajukan pembangunan untuk
Republik Indonesia. 161
Usaha mereka tak sia-sia, Golkar berhasil meraup suara hampir
63% dalam Pemilu 1971 sekaligus mendapat jatah kursi sebanyak 236
dari 360 kursi yang ada di DPR.162 Golkar menang telak dari sembilan
partai lainnya, yakni NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katolik,
Perti, IPKI, dan Murba.163
Kesuksesan Tim Bappilu yang diisi oleh Jusuf Wanandi dan
kawan-kawannya ini jadi perhatian Soeharto. Setelah kemenangan
Golkar, Soeharto membentuk sebuah lembaga think-tank yang bertujuan
untuk membantu kebijakan Presiden RI. 1 September 1971, lahirlah
sebuah lembaga bernama Centre for Strategic dan International Studies
(CSIS) yang dipimpin oleh Hadi Soesastro dan Clara Joewono yang
keduanya berlatar aktivis mahasiswa. Kendali Soeharto terhadap CSIS
ini diwakili oleh Ali Moertopo dan Sudjono Humardhani selaku Aspri.164
Kemenangan Soeharto dan Golkar dalam Pemilu 1971 tak
membuat Soeharto puas. Ia merasa harus kembali menang pada Pemilu
1977 nanti. Soeharto menganggap bahwa partai politik itu adalah biang
dari kekacauan stabilitas politik, terutama pada saat sistem Demokrasi
Parlementer yang terjadi di masa Soekarno. Soeharto pun membuat
kebijakan baru yang bertujuan untuk membagi partai ke dalam dua
161 David Reeve, Golkar: Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran, dan
Dinamika, (Depok: Komunitas Bambu, 2013), 313-317. 162 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia
1965-1968, 129-130. 163 Hasil Pemilu 1971 bisa dilihat di laman KPU, Pemilu 1971,
https://kpu.go.id/index.php/pages/detail/2018/9/PEMILU-1971/MzQz, (Diakses pada
18 Januari 2019 pukul 21.32 WIB). 164 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia
1965-1968, 134-136.
68
kelompok. Kelompok pertama diisi oleh kelompok nasionalis yang
terdiri dari PNI, Partai Katolik, IPKI, Parkindo, dan Murba. Sedangkan
kelompok kedua diisi oleh kelompok agamis yang terdiri dari Parmusi,
NU, PSII, dan Perti. Pada 1973, Soeharto pun membentuk dua partai
yang terdiri dari kelompok tersebut. Kelompok Nasionalis melebur ke
dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sedangkan Kelompok Agamis
melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dari semuanya,
hanya Golkar saja yang tak kebagian jatah fusi partai ala Soeharto
tersebut. Dari kebijakan ini, Golkar hanya memiliki saingan yang lebih
sedikit saat Pemilu 1977 dimulai.165
Strategi politik yang digencarkan Soeharto tak bisa lepas dari
pengaruh militer. Peran militer yang diterapkan Soeharto sendiri karena
konsep Dwifungsi ABRI yang digagas oleh A.H Nasution pada 18
November 1958 di Akademi Militer Nasional. Awalnya, gagasan
Nasution ditujukan agar militer mampu mengendalikan situasi keamanan
yang lewat lembaga politik, birokrasi politik, partai politik, hingga
organisasi non politik, terutama untuk melawan PKI yang saat itu
menjadi musuh bersama pihak militer.166
Hingga pertengahan 1970-an, komposisi pemerintahan Soeharto
didominasi oleh militer. David Jenkins pun mendata mereka ke dalam
berbagai jabatan pemerintah, yakni:
1. Jenderal Maraden Panggabean (Menteri Pertahanan dan
Keamanan serta Panglima ABRI)
2. Letjen Amir Machmud (Menteri Dalam Negeri)
165 Mahrus Irsyam dan Lili Romli (ed), Menggugat Partai Politik, (Depok:
Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI, 2003), 118-120. 166 Peter Kasenda, Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan
Selama 32 Tahun?, 6-8.
69
3. Letjen Yoga Sugama (Kepala Badan Koordinasi Intelijen
(Bakin))
4. Letjen Ali Moertopo (Wakil Kepala Bakin)
5. Laksamana Sudomo (Panglima Kopkamtib)
6. Mayjen Leonardus Benyamin Moerdani (Asisten Intelijen
Menteri Pertahanan)
7. Letjen Sudharmono (Menteri Sekretaris Negara)
8. Letjen Darjatmo (Kepala Staf Urusan Nonmiliter Menteri
Pertahanan)
9. Letjen Ibnu Sutowo (Presiden Direktur Pertamina)
10. Jenderal Sumitro (sebelumnya Panglima Kopkamtib dan
merangkap Wakil Panglima ABRI)
11. Letjen Sutopo Juwono (sebelumnya Kepala Bakin,
dilengserkan setelah Malari 1974).167
Kemesraan Soeharto dengan militer mulai regang ketika
memasuki awal 1990-an. Perubahan Soeharto dimulai ketika ia membuat
organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada
Desember 1990. Kemudian pada 1991, Soeharto melaksanakan ibadah
haji bersama sang istri, Tien Soeharto. Hal inilah yang makin
meruncingkan hubungan kubu sekuler-militer yang sudah terbentuk
sejak 1970 hingga akhir 1980.168
167 David Jenkins, Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer
Indonesia 1975-1973, 26. 168 Salim Haji Said, Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto,
122-127.
70
C. Merancang Ekonomi
Setelah berhasil menduduki jabatan Presiden RI, misi pertama
Soeharto adalah memperbaiki kondisi ekonomi. Di akhir pemerintahan
Soekarno pada 1966, Indonesia mengalami inflasi mencapai 660% dan
memiliki utang luar negeri yang jumlahnya US 2.357 juta.169 Melihat
kondisi seperti itu, ia pun mengundang kalangan akademisi di bawah
naungan Widjojo Nitisastro demi merancang sebuah strategi ekonomi
Orde Baru. Tim ini sendiri terdiri dari Ali Wardhana, Mohammad Sadli,
Emil Salim, Saleh Afiff, dan Johannes Baptista Sumarlin. Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, tim yang bertugas sebagai penasihat
ekonomi Soeharto ini kemudian dikenal dengan nama Mafia Berkeley
karena kebanyakan dari mereka adalah lulusan Universitas California,
Berkeley.170
Di masa pemerintahan Soeharto, para Mafia Berkeley ini
menempati beberapa jabatan vital. Widjojo menjabat Kepala Bappenas
(1967-1983); Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri
(Menko Ekuin) pada 1973-1983; dan Penasihat Ekonomi Presiden
(1983-1998). Ali Wardhana menjadi Menteri Keuangan (1973-1983)
dan Menko Ekuin (1983-1988). Sementara itu, Emil Salim menjabat
Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara
merangkap Wakil Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(1971-1973), Menteri Perhubungan (1973-1978), Menteri Negara
Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1978-1983), serta
Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup
169 Aria Wiratma Yudhistira, Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde
Baru terhadap Anak Muda Awal 1970an, 30. 170 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-
1992, 53.
71
(1983-1993). Sedangkan Mohammad Sadli menjadi Menteri Tenaga
Kerja (1971-1973) dan Menteri Pertambangan (1973-1978).171
Para penasihat ekonomi ini memberi jawaban pertamanya lewat
sebuah kebijakan landasan ekonomi keuangan dan pembangunan.
Kebijakan ini berisi tentang program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi
untuk jangka pendek dan program pembangunan untuk jangka panjang.
Nantinya, kebijakan ini dikenal sebagai Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita) yang didasari Ketetapan MPRS no. 23 tahun 1966.172
Kebijakan pasar bebas menjadi awal mula terbukanya
perekonomian Indonesia. Saat Soekarno menjadi Presiden RI,
perekonomian Indonesia memang tertutup oleh investor asing. Di masa
transisi ini, Soeharto berhasil menarik para investor untuk memulihkan
kondisi ekonomi Indonesia. Sebelum modal asing kembali masuk, para
pembuat kebijakan diharuskan membujuk kreditor dan investor asing
yang potensial untuk memperbaiki hutang-hutang Indonesia. Dalam
Konferensi Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI)173 pada 1967
di Amsterdam, Belanda, Delegasi Pemerintahan Indonesia yakni Sri
171 Husein Abdulsalam, Kwik Kian Gie, Prabowo Subianto, dan Benang
Merah Mafia Berkeley, https://tirto.id/kwik-kian-gie-prabowo-subianto-dan-benang-
merah-mafia-berkeley-cZTu, (Diakses pada 1 Februari 2019 pukul 17.47 WIB). 172 Ketetapan ini berisi tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan
Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan. Lebih jelas lihat dalam
http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/1966/XXIII~MPRS~1966TAP.HTM(Diaks
es pada 9 November 2018 pukul 03.06 WIB). 173 IGGI yang terbentuk pada tahun 1967 ini memiliki anggota yang terdiri
dari Australia, Belgia, Jerman, Itali, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika, Austria,
Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, International Monetary Fund
(IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB), United Nations Development Programs
(UNDP), serta Organitation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Berdirinya IGGI diperuntukkan untuk memberikan bantuan pembangunan kepada
Indonesia. Lihat lebih lengkap dalam M. Faisal, IGGI dan Asal-Usul Utang Luar
Negeri Indonesia, https://tirto.id/iggi-dan-asal-usul-utang-luar-negeri-indonesia-
cEW3, (Diakses pada 1 April 2019 pukul 23.56 WIB).
72
Sultan Hamengkubuwono IX memberikan beberapa pernyataan untuk
meyakini para investor asing menanamkan modalnya, yakni:
1. Kekuatan pasar akan memainkan peran pokok dalam
rehabilitasi
2. Perusahaan-perusahaan nasional (Indonesia) akan melakukan
kompetisi bebas dengan perusahaan swasta, mengakhiri
akses preferensi ke kredit dan alokasi valuta asing. Monopoli
negara di bidang impor akan diakhiri. Sedangkan di pihak
lain, perusahaan akan dibebaskan dari kewajiban menjual
dengan harga rendah. Mereka dapat melakukan penjualan
berdasarkan harga pasar dan bekerja secara ekonomis.
Dengan demikian, para perusahaan nasional tak memerlukan
subsidi dari negara.
3. Sektor swasta harus dirangsang dengan menghapuskan
pembatasan lisensi impor bahan baku dan peralatan.
4. Investasi swasta asing akan digalakkan dengan
dikeluarkannya undang-undang investasi baru yang akan
menjamin insentif perpajakan dan lainnya.174
Dengan adanya pernyataan itu, mulailah langkah baru dalam
penanaman modal asing di Indonesia. Pemerintah Indonesia pun
mengembalikan sebagian besar aset milik asing yang disita pada 1963-
1965. Dari sana juga, pemerintah Indonesia membuka jaringan-jaringan
ekonomi kepada para investor internasional, baik yang sumbernya dari
pemerintah maupun dari sektor swasta. Demikian juga dengan institusi
174 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia,
(Depok: Komunitas Bambu, 2012), 107.
73
keuangan seperti Bank Dunia dan International Monatery Fund (IMF).
Peminjaman modal kepada investor asing ini pun menjadi
keberuntungan bagi pemerintahan Indonesia. Dalam jangka pendek,
Indonesia mampu mengimpor berbagai kebutuhan pokok untuk
mengendalikan inflasi. Sedangkan dalam jangka panjang, pinjaman luar
negeri ini mampu menambah modal pemerintah dalam melakukan
rehabilitasi infrastruktur lewat anggaran pembangunan yang kemudian
dilaksanakan lewat Repelita I.175
Pernyataan itu pun benar-benar dibuktikan Soeharto. Pemerintah
Indonesia segera membuat Undang-Undang (UU) yang mengatur
tentang kebijakan investor di Indonesia. 1 Januari 1967, muncullah UU
No. 1 Tahun 1967 yang dikenal dengan UU Penanaman Modal Asing
(PMA). Dalam UU ini, ada bebebapa poin penting terkait kebijakan
pemerintah terhadap para investor asing di Indonesia, yakni:
1. Jaminan tidak ada nasionalisasi aset perusahaan asing.
Apabila terjadi, perusahaan itu akan mendapat kompensasi
yang memadai.
2. Perusahaan asing mendapat izin operasi selama 30 tahun dan
bisa diperpanjang.
3. Perusahaan asing mendapat kebebasan terhadap beban bea
masuk serta pajak dalam periode tertentu.
4. Perusahaan asing mendapat jaminan untuk memilih sendiri
manajemen dan pekerja teknis. Perusahaan asing juga bisa
175 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 107-
108.
74
membawa pulang keuntungan dan modal mereka dengan
leluasa.176
UU baru ini dinilai sangat liberal jika dibandingkan dengan
kebijakan ekonomi di masa pemerintahan Soekarno yang anti asing.
Sekalipun menguntungkan, aturan itu masih dianggap berat terhadap
investor asing. Rizal Mallarangeng mencontohkan, urusan perizinan
masih menjadi kendala. Perizinan menanamkan modal memerlukan
waktu selama enam hingga sembilan bulan. Tak hanya itu, beberapa poin
yang berkaitan dengan investasi, perburuhan, perpajakan, hingga hak
atas tanah juga tak menentu. Namun dari semua itu, UU PMA menjadi
pintu utama dalam keterbukaan pemerintah untuk investor asing. Dari
UU ini, nilai total investasi asing meningkat drastic. Dari yang awalnya
hanya U$3 juta pada 1968, kemudian meningkat menjadi U$130 juta
pada 1970 dan naik lagi menjadi U$302 juta pada 1972. Pada 1967,
investasi asing yang disetujui di luar minyak, perbankan, dan asuransi
hanya 13 proyek. Setelah adanya UU ini, investasi meningkat menjadi
63 proyek (1970) dan 84 proyek (1971). 177
Selain UU PMA, pemerintah Indonesia juga menerbitkan UU
penenaman modal kepada perusahaan domestik. Agustus 1968, terbitlah
sebuah aturan yang dikenal dengan nama UU Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN). Namun berbeda dengan UU PMA yang sudah jelas
menguntungkan investor asing, UU PMDN lebih proteksionis. Para
investor tetap masuk ke dalam posisi strruktural yang tidak
176 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-
1992, 53-55. 177 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-
1992, 53-55.
75
menguntungkan. Menurut persyaratan, perusahaan yang melakukan
investasi harus menyisihkan depositonya sebesar 25% kepada bank
negara sebagai bentuk jaminan. Sedangkan untuk bidang-bidang di luar
kehutanan, pertanian, dan substitusi impor, jaminan deposito harus
disisihkan sebesar 50%. Akibatnya, hanya sedikit saja perusahaan
domestik yang asetnya lancar setelah diguncang inflasi tinggi 1957-
1967. Belum lagi, mereka juga harus berhadapan dengan bunga tinggi
dan kebijakan barang impor dari asing yang tentu saja lebih murah. 178
Namun di sisi lain, UU PMDN juga memuat aturan yang
menguntungkan untuk menarik investasi dalam negeri. Perusahaan
domestik diberikan peluang pembebasan dan peringanan pajak apabila
mereka sudah memenuhi persyaratan. Dari UU PMDN, jumlah investasi
perusahaan domestik ikut tumbuh. Pada 1968, jumlah investasi yang
disetujui pemerintah hanya U$13 juta. Investasi kemudian meningkat
pada 1970 yang jumlahnya mencapai U$319 juta dan naik lagi menjadi
U$1.465 juta pada 1973.179
Investasi Modal yang Disetujui PMA/PMDN Desember 1973180
Sektor
Jumlah Investasi
Disetujui (dalam U$
juta)
Persentase
PMA PMDN PMA PMDN
Kehutanan 495,5 356,8 58 42
Pertanian dan Perikanan 113 232,5 33 67
Pertambangan 860 46,2 95 5
178 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 108-
109. 179 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-
1992, 53-55. 180 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 111.
76
Manufaktur 1.045,1 1.740,9 38 62
Tekstil 436,9 749 37 63
Pariwisata, Hotel, Real
Estate
195,9 200 50 50
Lainnya (termasuk
infrastruktur dan
konstruksi)
183,3 207 37 63
Jumlah Disetujui 2.828,3 2.978,5 49 51
Jumlah Realisasi 1.131,2 876 56 44
Keterangan: Kurs U$ pada Rupiah pada 1971-1973, U$1 = Rp415.
Dengan modal dari para investor baik dalam negeri maupun luar
negeri itu, Soeharto kemudian mencanangkan sebuah konsep yang berisi
tentang pembangunan RI selama lima tahun ke depan. Konsep ini
kemudian dikenal dengan nama Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) periode pertama. Repelita I dimulai sejak tahun 1969. Dalam
konsep ini, Repelita I diprioritaskan untuk perkembangan substitusi
impor. Investasi yang digunakan dalam Repelita I digunakan ke dalam
berbagai fokus, yakni Rp305 miliar untuk pertanian, Rp380 miliar untuk
industri dan pertambangan, Rp265 miliar untuk komunikasi, Rp172
miliar untuk kesejahteraan sosial, Rp100 miliar untuk tenaga listrik, dan
berbagai bidang lain yang jumlah keseluruhan anggarannya mencapai
Rp1.420 miliar.181
Meskipun begitu, pembangunan yang gencar dilakukan Presiden
Soeharto tak lepas dari kritik. UU PMA dan PMDN dianggap terlalu
181 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 109-
110..
77
menguntungkan investor asing. Sebab, UU PMDN dinilai lebih
memberatkan industri pribumi sekaligus menciptakan pola masyarakat
yang cenderung konsumtif terhadap produk asing. Belum lagi besarnya
biaya politik, sosial, dan moral strategi untuk mengembangkan bisnis
terlalu besar. Para kritikus yang berlatar ekonom itu menyarankan agar
dana investor asing diintegrasikan ke dalam strategi pembangunan
nasional yang menyeluruh dan juga ditentukan oleh orang Indonesia
sendiri.182
Sasaran kritik juga dilancarkan kepada Direktur Pertamina Ibnu
Sutowo. Dalam masa kepemimpinannya, Sutowo dianggap
memperlakukan Pertamina sebagai kerajaan bisnis pribadi. Secara legal,
Pertamina bertugas untuk mengatur sumber daya minyak Indonesia
melalui alokasi konsesi pengeboran, melakukan administrasi kontak
kerja dan kemitraan produksi, dan melakukan koordinasi industri minyak
secara menyeluruh. Di bawah arahan Sutowo, Pertamina berkembang
menjadi suatu pusat kekuatan ekonomi paling besar. Terlebih pada saat
itu harga minyak dunia sedang meningkat. 183
Sumber Pendapatan Pemerintah RI184
Tahun Minyak Non
Minyak
Bantuan Jumlah
1969/1970 65,8
(19,7)
178,1
(53,2)
91,1
(27,2)
334,8
182 Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi
Indonesia 1950-1980, (Jakarta: LP3ES, 1990), 64-65. Kritik juga dilancarkan oleh pers
mahasiswa lewat media Mahasiswa Indonesia. Lihat dalam Francois Raillon, Politik
dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-
1974, (Jakarta: LP3ES, 1989), 310-311. 183 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 118. 184 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 133.
78
1970/1971 99,2
(21,3)
245,4
(52,8)
120,5
(25,9)
465,1
1971/1972 140,7
(25)
287,3
(51)
135,5
(24)
563,5
1972/1973 230,5
(30,8)
360,1
(48,1)
157,8
(21,1)
748,4
1973/1974 382,2
(32,6)
585,5
(50)
204
(17,4)
1.171,7
1974/1975 957,2
(48,4)
789,1
(39,9)
232
(11,7)
1.978,3
Keterangan: Angka non-kurung dalam hitungan miliar rupiah, sedangkan
angka dalam kurung dalam hitungan persentase.
Gebrakan Ibnu Sutowo dalam mengembangkan Pertamina
dilakukan dengan dua cara. Pertama, ia meningkatkan kegiatan
Pertamina lewat investasi ke bidang yang luas melalui anak perusahaan
Pertamina, seperti bidang petrokimia, perusahaan logam, permesinan,
telekomunikasi, perumahan, penerbangan, dan pelayaran. Salah satu
yang menonjol adalah PT. Krakatau Steel yang memerlukan modal
Pertamina sebanyak U$6 juta dari keselurahan modal berjumlah U$10
juta. Kedua dilakukan dengan cara memanfaatkan akses ke minyak dan
gas alam Indonesia sebagai modal untuk mencari dana ke investor asing
dalam melakukan proyek pembangunan di bidang petrokimia dan gas
alam. Dalam hal ini, Sutowo mengandalkan investor Jepang dibanding
IGGI, IMF, atau IBRD. Jepang lebih dipilih karena lebih simpatik dalam
memberikan pinjaman modal. Peminjaman itu pun juga mendapat restu
dari Presiden Soeharto. Namun momentum yang dilakukan Ibnu Sutowo
79
ini berhenti tiba-tiba pada 1975/1976. Alasannya, Pertamina tidak
mampu membayar kebijakan yang tercantum dalam perjanjian utang
jangka pendekya. Kebijakan IMF yang mendesak kuat bahwa korporasi
negara Indonesia harus dibatasi untuk peminjaman utang luar negeri
antara satu hingga 15 tahun memaksa Sutowo untuk memilih utang
dengan jangka pendek. Pinjaman dana AS sebesar U$1.200 juta selama
20 tahun ini tiba-tiba gagal. Hal ini pun berujung pada pemecatan
Sutowo dari jajaran petinggi Pertamina, juga bersama para pejabat yang
memiliki hubungan dengan Sutowo.185
Sasaran kritik selanjutnya kemudian berlanjut kepada Tien
Soeharto. Tien dikritik karena ia mengusulkan untuk membangun sebuah
mega proyek miniatur Indonesia yang dikenal dengan Taman Mini
Indonesia Indah (TMII). TMII sendiri diibaratkan seperti Disneyland
yang isinya adalah beberapa pulau Indonesia yang berbentuk kecil yang
terpusat di danau. Di situ juga disediakan rumah tradisional Indonesia
yang nantinya akan memamerkan unsur kebudayaan daerah masing-
masing provinsi. Tien terinspirasi dari kunjungannya ke tempat wisata
Thaiin-Miniature Land yang ada di Bangkok, Thailand. Usulan yang
digagas pada 1971 ini memancing kemarahan mahasiswa Indonesia
karena memakan biaya hingga U$50 juta.186 Meskipun proyek ini
mempunya tujuan mulia yang sesuai dengan motto Bhineka Tunggal Ika¸
mahasiswa menilai bahwa negara terlalu menghambur-hamburkan uang.
185 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 119-
122. 186 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 180-181.
80
Menurut mereka, alangkah lebih bijak apabila uang tersebut digunakan
untuk mengatasi kemiskinan yang tak kunjung selesai.187
Mendengar istrinya diserang, Soeharto berang. Dalam pidatonya
pada Januari 1972, ia menuduh bahwa kritikus TMII bertujuan untuk
menggulingkan pemerintahan yang sah. Soeharto mengatakan bahwa
aktivis itu sudah diorganisir oleh para oposisi yang sudah ada sejak 1968.
Ia mengancam akan menggunakan kekuatan militer apabila protes terus
digencarkan kepada istrinya. Peringatan ini pun dieksekusi oleh
Kopkamtib. Jenderal Sumitro selaku Panglima Kopkamtib akan
menindak semua demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan juga
kritik yang digencarkan oleh media massa terkait isu pembangunan
TMII.188 Langkah itu berhasil meredam gerakan mahasiswa selama 18
bulan dan berujung pada minggatnya Arief Budiman (pelopor gerakan
mahasiswa) meninggalkan Indonesia.189
Kritik berlanjut pada tahun 1973. Namun, protes dan kritik tak
hanya disampaikan oleh pers dan mahasiswa, cendekiawan, pebisnis,
hingga pemimpin politik turut mengkritik pemerintahan. Kritik disasar
pada strategi ekonomi Bappenas yang diduga akan membuat jurang
kemiskinan untuk masyarakat Indonesia. Ditariknya investor Cina
sebagai penanam modal menjadi pemicu kemarahan kelompok ini, selain
perilaku korupsi para pejabat pemerintahan tentunya. Menurut kelompok
ini, pemanfaatan sumber daya minyak tak selaras dengan role
pembangunan Indonesia. Sebab, keuntungan yang didapat malah
menambah penanaman investasi yang ditujukan untuk masyarakat-
187 Adrian Vickers, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Insan Madani,
2005), 252-255. 188 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 185. 189 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 125.
81
masyarakat konsumtif perkotaan. Solusi yang mereka tawarkan adalah
menunjukan pembangunan dengan prinsip kesetaraan, pembukaan
lapangan kerja, penggunaan teknologi yang cocok, hingga pembangunan
bidang industri dan pertanian yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat
Indonesia.190
Demonstrasi masyarakat mencapai puncak saat kedatangan
Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia pada 15 dan 16
Januari 1974. Kedatangan Tanaka sendiri untuk menanamkan investasi
dari dana Pemerintah Jepang yang mendominasi lewat organisasi Asian
Development Bank (ADB). Para demonstran pun melancarkan protesnya
di seluruh wilayah Jakarta. Huru-hara pun terjadi. 807 mobil dan motor
buatan Jepang harus dibakar massa, sebelas orang meninggal dunia, 300
orang luka-luka, 114 bangunan rusak, juga 160 kg emas raib dari tokoh-
tokoh perhiasan.191 Namun mereka tak hanya mengincar perusahaan
Jepang, Perusahaan Coca-Cola, pasar-pasar di wilayah Senen dan Blok
M juga turut dijarah. Kerusuhan ini kemudian dikenal dengan istilah
Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974.192
Akibat Malari ini, pemerintah pun menanggapinya dengan
represif. Mereka memberangus media massa yang dinilai terlalu kritis
dengan pemerintahan, seperti Indonesia Raya, Nusantara, Harian Kami,
Mahasiswa Indonesia, The Jakarta Times dan Pedoman. Selain itu, 775
aktivis juga turut ditangkap. Beberapa di antaranya yakni Pemimpin
190 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 125-
127. 191 Husein Abdulsalam, Malari 1974: Protes Mahasiswa yang Ditunggangi
Para Jenderal, https://tirto.id/malari-1974-protes-mahasiswa-yang-ditunggangi-para-
jenderal-cDe9, (Diakses pada 3 Februari 2019 pukul 17.09 WIB). 192 Peter Kasenda, Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan
Selama 32 Tahun?, 53.
82
Gerakan Mahasiswa Hariman Siregar, Tokoh PSI Soebadio
Sastrosatomo, Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Adnan Buyung
Nasution dan J.C. Princen, dan akademisi Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.193
Beberapa sumber mengatakan, insiden ini bukan hanya protes
akibat kebijakan ekonomi. Peristiwa Malari juga merupakan peristiwa
yang berlatar belakang politik lantaran perseteruan dua jenderal
berpengaruh saat itu, yakni Pangkopkamtib Soemitro dan Kepala Bakin
Ali Moertopo. Gagasan-gagasan Soemitro mengenai kebijakan politik
(seperti masa jabatan pejabat negara) dan ekonomi (mengorientasikan
pejabat domestik ketimbang asing) dianggap berbahaya oleh Ali
Moertopo. Ali menilai bahwa Soemitro bisa menjadi ancaman untuk
menggulingkan kekuasaan Presiden Soeharto. Usai Malari, keduanya
pun secara bertahap disingkirkan oleh Soeharto. Soemitro dicopot dari
jabatannya sebagai Panglima Kopkamtib, sedangkan Ali Moertopo
diturunkan sebagai Wakil Kepala Bakin dan Yoga Sugama naik
menggantikan Ali.194 Kemudian secara berangsur, Benny Moerdani yang
juga pernah menjadi anak buah Ali, dilantik Soeharto untuk
memperbaiki intelijen Indonesia.195
Dampak dari Malari cukup mengguncang pemerintahan
Indonesia dalam membangun kembali kebijakan ekonominya. Seminggu
setelahnya, beberapa perubahan mengenai kebijakan investasi dan
193 Husein Abdulsalam, Malari 1974: Protes Mahasiswa yang Ditunggangi
Para Jenderal, https://tirto.id/malari-1974-protes-mahasiswa-yang-ditunggangi-para-
jenderal-cDe9, (Diakses pada 3 Februari 2019 pukul 17.09 WIB). 194 Salim Haji Said, Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto,
57-64. 195 Arif Zulkifli, dkk, Seri Buku Saku Tempo: Benny Moerdani yang Belum
Terungkap, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018), 52-53.
83
perkreditan dibuat secara buru-buru oleh Dewan Stabilisasi Ekonomi
Nasional. Perubahan itu yakni:
1. Saham kapital pada perusahaan patungan baru secara
progresif dialihkan kepada mitra Indonesia hingga mencapai
51% dalam jangka sepuluh tahun.
2. Semua proyek investasi asing dalam bentuk patungan dengan
mitra pribumi Indonesia.
3. Jika mitra lokal bukan pribumi Indonesia, maka 51% saham
nasional harus dicapai lebih cepat melalui pasar saham dan
50% dari saham nasional harus ada di tangan kaum pribumi
Indonesia.
4. Bidang investasi yang tertutup bagi modal asing bertambah
jumlahnya dengan mempertimbangkan kejenuhan bidang
tersebut serta menciptakan potensi investor domestik untuk
mengambilalih investasi dan produksi.
5. Kredit investasi dari bank-bank pemerintah dialokasikan
hanya kepada investor pribumi.
6. Proyek investasi domestik diminta memenuhi 75% saham
kaum pribumi atau jika manajemen sebagian besar di tangan
kaum pribumi, maka saham pribumi cukup 50%.196
Modifikasi kebijakan ekonomi oleh pemerintahan Indonesia
memiliki dua tujuan. Pertama, untuk memperbaiki tekanan sosial dan
ekonomi yang terus menerus meningkat selama masa pemerintahan Orde
Baru. Pemerintah tak akan mengistimewakan investor asing untuk
196 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 130.
84
menanamkan modalnya di Indonesia. Bersama investor asing, pebisnis
domestik kini ditarik masuk ke dalam penggerak ekonomi. Alasan kedua
adalah untuk memperbaiki stabilitas sosial dan politik akibat kritik yang
dilaksanakan oleh masyarakat, terutama cendekiawan, mahasiswa,
hingga media massa. Sebab, pemerintahan Orde Baru tak ubahnya
dengan pemerintahan Orde Lama yang memiliki budaya korupsi oleh
para pejabatnya. 197
197 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 129.
85
BAB V
SIKAP SUARA KARYA DALAM MELEGITIMASI KEKUASAAN
ORDE BARU
Harian Umum Suara Karya merupakan sebuah surat kabar yang
diterbitkan oleh Yayasan Suara Karya pada 11 Maret 1971. Seperti
dijelaskan sebelumnya, kehadiran Suara Karya memang diperuntukkan
untuk menaikkan elektabilitas Golkar dalam Pemilu 1971. Berawal dari
usulan Ali Moertopo pada 8 Maret 1971, para punggawa Golkar pun
melaksanakan pertemuan yang diadakan di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Pertemuan itu pun menjadi asal muasal lahirnya Harian Umum Suara
Karya. 198 Ali Moertopo, Sudjono Humardani, dan Sapardjo tercatat
sebagai penggagas media ini. Sedangkan kader Golkar yang turut terlibat
antara lain Sumiskum, David Napitupulu, Jusuf Wanandi, Moerdopo,
Sugiharto, Rahman Tolleng, Djamal Ali, Cosmas Batubara, dan Soedjati
Djiwandono.199
Edisi perdana Suara Karya bertepatan dengan Peringatan Surat
Perintah 11 Maret (Supersemar) 1971 dan mencakup empat halaman.
Pada halaman pertama, tertulis sambutan dari Presiden Soeharto yang
berisi ucapan selamat atas terbitnya Suara Karya. Dalam isi
sambutannya, Soeharto mengharapkan harian ini mampu membawa
angin segar pembaruan untuk masyarakat, menggerakkan dan
menggairahkan masyarakat, serta membuat masyarakat lebih paham
198 Tempo, Koran 50 Juta Rupiah, dalam Majalah Tempo edisi Khusus
Rahasia-Rahasia Ali Moertopo tanggal 14-20 Oktober 2013, 48. 199 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman,
4.
86
tentang paham demokratis. 200 Sedangkan Suara Karya sendiri memiliki
alasan untuk menerbitkan media harian tersebut. Mereka menulisnya
melalui Rubrik Tajuk Rencana dengan judul Missi Suara Karya.
Missi “Suara Karya”201
BERTEPATAN DENGAN HARI “SUPERSEMAR” 11 MARET
1971, Harian “SUARA KARYA” memulai pengabdiannja dalam perdjuangan
bangsa Indonesia mencapai tjita²-nja seperti jang termaktub dalam Undang²
Dasar 1945.
Apakah mission jang hendak dibawakan oleh “SUARA KARYA”?
Sedjak tahun 1966 sebagian dari lapisan kepemimpinan bangsa Indonesia telah
memilih dan meletakkan trace baru atau strategi baru dalam memperdjuangkan
pelaksanaan tjita² Bangsa Indonesia. Strategi baru ini melalui berbagai-bagai
ketetapan MPRS dan perundang-undangan telah diterima dan mendjadi milik
seluruh bangsa Indonesia.
Tracee baru jang telah diletakkan itu adalah alternatif jang tepat dan
merupakan konsekwensi logis dari proses perkembangan bangsa berdasarkan
kondisi dan situasi, baik didalam maupun diluar negeri. Mendjadi pula suatu
kejakinan, bahwa tracee baru itu akan memberikan hasil bagi bangsa dan rakjat,
apabila dapat didjamin kontinuitasnja untuk djangka waktu jang tjukup lama.
Sudah tiba saatnja lapisan kepemimpinan bangsa Indonesia berpikir dan
berentjana dalam djangkauan waktu jang tjukup pandjang, sedikit-dikitnja
seperempat abad.
Pelaksanaan kebebasan, pelaksanaan Demokrasi jang telah diletakkan
dalam Undang² Dasar 1945, mendjadi salah satu dasar atau tjiri dari Tracee
200 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman,
5. 201 Pindaian Dokumen Tajuk Rencana edisi pertama Harian Suara Karya.
Lihat dalam Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman,
6.
87
Baru. Pemilihan umum sebagai salah satu sisi pelaksanaan demokrasi akan
mendjadi kenjataan dalam perdjalanan sedjarah bangsa Indonesia mendatang.
Adalah mendjadi keharusan bagi setiap insan Indonesia, jang menghendaki
kontinuitas Tracee Baru itu agar melalui pemilihan umum akan tetap pula
terdjamin kontinuitas Tracee Baru. Golongan Karya adalah sarana untuk
memperdjuangkan kontinuitas melaksanakan Tracee Baru jang telah diletakkan
pada tahun 1966.
Proses perkembangan sedjarah telah mendjadikan Golongan Karya
untuk sarana guna mentjapai pembaharuan dan pembangunan disegala bidang,
termasuk didalamnja Pembaharuan Struktur Politik, jaitu suatu Struktur jang
meninggalkan sama sekali perdjoangan politik jang berpola pada pertentangan
ideologi dan perebutan kekuasaan semata-mata, untuk digantikan mendjadi
perdjoangan berdasarkan suatu program pembangunan.
Demikianlah mission jang hendak dibawakan oleh Suara Karya jang
kami namakan “Karya Restoration” atau Karya Restorasi.
Dari Tajuk Rencana itu, Suara Karya melancarkan misinya untuk
menjadi corong Golkar dalam pelaksanaan pembangunan oleh
pemerintah Orde Baru. Dalam artian, fungsi Suara Karya memang
diperuntukkan untuk kemenangan Golkar dalam Pemilu 5 Juli 1971. Tak
ayal, Golkar mampu mendulang suara hingga 62,8% dari total sepuluh
partai politik yang turut berpartisipasi dalam pemilu tersebut.202
Selepas pemilu, Suara Karya menjadi media yang menjembatani
antara pemerintah Orde Baru dengan masyarakat. Dengan motto “Suara
Rakyat Membangun”, Suara Karya memberitakan berbagai kebijakan
202 Ilham Khoiri, Pemilu 1971, Demokrasi Semu,
https://nasional.kompas.com/read/2014/01/11/1932246/Pemilu.1971.Demokrasi.Semu
, (Diakses pada 4 Desember 2018 pukul 17.25 WIB).
88
yang dilakukan oleh pemerintahan, baik itu mengenai politik maupun
ekonomi yang sesuai dengan slogan pemerintah, yakni pembangunan.
Lewat kerja sama dengan lembaga think-thank CSIS, Suara Karya
mencoba untuk memberikan berbagai perkembangan berita
pemerintahan kepada masyarakat yang ada di berbagai pelosok negeri.203
“Untuk itu harian “Suara Karya” sebagai pembawa suara Golongan
Karya tidak sadja berusaha menterdjemahkan kebidjaksanaan2
pemerintah, djuga sedjauh mungkin mentjoba menjuarakan aspirasi
dan dinamik jang hidup dalam masjarakat. Apakah harian ini telah
berhasil mengabdikan dirinja dalam pengertian itu tentulah para
pembatja sendiri jang berhak menilainja.”204
Sebagai media partisan Golkar, Suara Karya juga menjadi
penghubung antara pemerintahan pusat, yang dikuasai Golkar tentunya,
dengan kader-kader Golkar yang berada di daerah. Sebab, Suara Karya
sendiri memanglah menjadi corong utama dalam memberikan
perkembangan kebijakan pemerintah pusat. Media harian ini menjadi
lingkaran pertama dalam menyebarkan informasi dari pemerintah pusat,
baik itu kebijakan politik maupun kebijakan ekonomi.205
Dengan modal politik seperti itu, Suara Karya mencoba merebut
pasar pembaca. Seperti dijelaskan sebelumnya, pada tahun pertama
terbit, Suara Karya mampu menerbitkan sebanyak 25 ribu eksemplar. Di
tahun 1972, Suara Karya berhasil mencetak lebih dari dua kali lipat,
yakni 57,4 ribu eksemplar. Sedangkan di tahun 1973, terbitnya Suara
203 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman,
5. 204 Satu Tahun Mengabdi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 11 Maret 1972. 205 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman,
23.
89
Karya semakin naik mencapai 67,75 ribu eksemplar. Barulah pada tahun
1974, Suara Karya mengalami penurunan yang berjumlah 60,9 ribu
eksemplar. Persentase pembaca Suara Karya pun terbagi ke dalam dua
kategori, yakni dari kalangan instansi dan masyarakat umum. Pada 1972,
dari 57,4 ribu eksemplar, persebaran pembaca dari kalangan masyarakat
umum mencapai 90,6%, sedangkan dari kalangan instansi mencapai
9,4%. Tahun 1973, pertumbuhan pembaca dari kalangan instansi
pemerintahan meningkat m enjadi 16,4%, sedangkan dari pembaca
umum menjadi 83,6%. Di tahun 1974, pembaca dari kalangan instansi
bertambah mencapai 16,8% dan dari kalangan masyarakat berjumlah
83,6%.206
Seiring berjalannya waktu, Suara Karya mencoba untuk melepas
citranya yang melekat kuat dengan Golkar. Pertumbuhan media massa
dan semakin kritisnya masyarakat akan informasi membuat harian ini
harus tetap bertahan hidup demi memenuhi kebutuhan pembaca. Sekitar
tahun 1982 hingga 1987, Suara Karya mencoba menjaga jarak dengan
Golkar. Menurut Pemimpin Redaksinya waktu itu, Syamsul Bisri,
mengatakan bahwa Suara Karya memberikan kritiknya terhadap Partai
Golkar. Lebih lagi, mereka juga memberikan porsi pemberitaan yang
lebih banyak terhadap dua partai lainnya, yakni Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). 207
Tak hanya itu, Suara Karya juga memisahkan pengelolaan media
dari Partai Golkar. Sebelumnya, media ini dikelola oleh sebuah Yayasan
Suara Karya, yang statusnya langsung di bawah naungan Partai Golkar.
206 Rizal Mallarangeng, Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara
Karya, 67-69. 207 Rizal Mallarangeng, Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara
Karya, 67-69.
90
Seperti dijelaskan di atas, Harian Suara Karya memang menjadi sebuah
media yang menghubungkan antara petinggi dengan kader Golkar yang
berada di bawahnya. Dengan demikian, rumus para pembaca Suara
Karya adalah para kader Golkar yang mendominasi struktur
pemerintahan. Hal ini kemudian disadari oleh para pengurus Suara
Karya karena media ini tidak akan bisa bergantung terus menerus kepada
para pembaca yang memiliki latar belakang partai. Perubahan orientasi
pembaca ini yang menyebabkan harian Suara Karya mengganti
manajemen organisasinya.208 Pada 1 Maret 1986,209 Yayasan Suara
Karya selaku institusi yang membawahi media ini diganti dengan PT.
Suara Rakyat Membangun. Perubahan ini diharapkan mampu untuk
mengubah citra Suara Karya, yang awalnya merupakan media partisan
menjadi media umum sekaligus independen, terhadap para pembacanya.
210
Selain media harian, Suara Karya juga memiliki beberapa
produk jurnalistik lain. Beberapa bulan setelah edisi pertama terbit,
Suara Karya menerbitkan media cetak mingguan bernama Suara Karya
edisi Minggu (SKM). Berbeda dengan edisi harian yang cenderung lebih
serius, SKM berisi kumpulan berita soft yang ditujukan untuk para
remaja dan keluarga. Di dalamnya berisi kumpulan berita yang
208 Roos Anwar, Penampilan Informasi Pembangunan di Surat Kabar
Indonesia (Suatu Perbandingan Melalui Analisis Isi Berita Pembangunan di Harian
Suara Karya dan Harian Suara Pembaruan), (Tesis, Program Pascasarjana,
Universitas Indonesia, 1992), 66-67. 209 Arief Hidayat, Pemimpin Redaksi Suara Karya Bantah Korannya Akan
Tutup, https://nasional.tempo.co/read/766858/pemimpin-redaksi-suara-karya-bantah-
korannya-akan-tutup/full&view=ok, (Diakses pada 19 Maret 2019 pukul 16.35 WIB). 210 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman,
23-24.
91
bertemakan olahraga, hiburan, sastra, hingga budaya.211 Selain cetak,
Suara Karya juga melebarkan sayapnya ke media berbentuk daring. Pada
1999, Suara Karya membuat situs www.suarakarya-online.com atau
yang dikenal dengan nama Suara Karya Online (SKO). SKO diharapkan
mampu untuk beradaptasi dengan tuntutan zaman yang mengharuskan
berbagai media untuk beralih ke ranah teknologi. Keberadaan SKO ini
juga terpisah dari divisi media cetak Suara Karya. 212
Dari uraian di atas, penulis ingin mengemukakan peranan Suara
Karya dalam periode pemerintahan Orde Baru, tepatnya pada tahun 1971
hingga 1974. Bab ini akan menjabarkan pandangan media Suara Karya
terhadap berbagai kebijakan pemerintahan Soeharto, khususnya
kebijakan politik dan ekonomi, melalui rubrik tajuk rencana. Dalam
pembuatannya, Tajuk Rencana sendiri ditulis oleh pihak redaksi Suara
Karya. Mereka bertanggungjawab ketika ada opini yang berisi tentang
berita-berita yang bahasannya di luar partai. Namun jika Tajuk Rencana
memuat opini tentang Partai Golkar, maka pembuatannya melibatkan
pihak Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Golkar. Pihak DPP Golkar
akan memberikan kisi-kisi terkait penulisan tajuk sebelum koran
diterbitkan. Singkatnya, pihak DPP Golkar turut berperan dalam
pembuatan Tajuk Rencana apabila bahasannya berisi tentang dinamika
yang turut melibatkan partai.213
Setelah penulis telisik, Tajuk Rencana Suara Karya terbagi ke
dalam berbagai topik, yaitu pandangan tentang Soeharto, isu
211 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman,
5. 212 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman,
39-41. 213 Wawancara dengan Agoes Sofyan, Ciputat, 10 Juli 2019 pukul 22.00 WIB.
92
pembangunan, isu politik, hingga bagaimana Suara Karya menanggapi
kritik. Namun, adanya keterbatasan sumber menjadi masalah tersendiri
dalam penelitian ini. Sebelumnya dijelaskan, Harian Suara Karya sudah
terbit sejak 11 Maret 1971. Namun, penulis hanya dapat menemukan
cetakan harian itu pada terbitan Agustus 1971. Penulis menyadari, masih
ada beberapa tema yang nantinya tidak terbahas dalam bab ini
dikarenakan terbatasnya sumber dan minimnya penelitian khusus yang
membahas Suara Karya. Terlepas dari masalah di atas, analisis
mengenai Tajuk Rencana tersebut akan dijelaskan lewat penjabaran
berbentuk sub bab di bawah ini.
A. Pandangan tentang Soeharto
Masa transisi pemerintahan Orde Lama (Soekarno) ke Orde Baru
(Soeharto) sebenarnya sudah dimulai sejak penandatanganan
Supersemar 1966. Seperti dijelaskan bab sebelumnya, kepemimpinan
Soekarno digantikan Soeharto disahkan melalui ketetapan MPRS Nomor
XLIV Tahun 1968. 214 Sesuai amanat itu, Soeharto sendiri memiliki
beberapa tugas dalam periode pemerintahannya, yakni menciptakan
stabilitas politik dan ekonomi, menyusun dan melaksanakan repelita,
melaksanakan pemilu sesuai TAP MPRS No. XLII/68, mengembalikan
ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis G30S, serta
melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan aparatur negara secara
menyeluruh, baik di tingkat pusat maupun daerah.215 Kemudian,
214 Peter Kasenda, Sarwo Edhie dan Tragedi 1965, 168. 215 Pertanggungan Jawab Presiden, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 13
Maret 1973.
93
Soeharto kembali menjadi Presiden ketika dilaksanakannya Pemilu yang
diselenggarakan pada 5 Juli 1971.
Suara Karya menyebutkan, transisi pemerintahan melalui
Supersemar 1966 ini menjadi sebuah hari bersejarah dalam tonggak
kemenangan pemerintah Orde Baru. Soeharto dianggap sebagai jalan
pembuka bagi bangsa Indonesia dalam meneruskan perjuangan,
terutama di bidang pembaruan dan pembangunan.216 Menurutnya,
Soeharto menjadi sebuah solusi untuk membangun kembali sebuah
warisan yang ditinggalkan oleh pemerintahan Orde Lama.
“Rongsokan jang diwarisi pemerintah Suharto dari redjim orde lama,
tak memungkinkan kita untuk mentjiptakan kesempurnaan sekaligus
dalam waktu pendek dengan kemampuan2 jang terbatas. Semua ini
memerlukan suatu sistem prioritas jang sepenuhnya harus didasarkan
pada data2 objektif tentang diri sendiri. Untuk itu perlu ada keberanian
mengenal diri, sebagaimana adanja, dengan penuh kedjudjuran,
sebagai salah satu sarana mutlak diperlukan guna mentjapai tudjuan2
selandjutnja. Dalam hal ini peranan mereka jang menamakan dirinja
pemimpin rakjat adalah sangat menentukan.”217
Dari tulisan di atas, Suara Karya menunjukkan sikap optimisnya
kepada Presiden Soeharto untuk memberikan kesempatan dalam
memimpin Indonesia. Media ini menganggap bahwa sosok Soeharto
mampu memberikan arah terhadap kebangkitan Indonesia, khususnya
dalam unsur pembangunan. Suara Karya kembali mempertegas makna
pembangunan yang digaungkan oleh Soeharto.
216 Satu Tahun Mengabdi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 11 Maret 1972. 217 26 Tahun Merdeka, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 16 Agustus 1971.
94
“Dalam sebuah pidato kenegaraan didepan Sidang Pleno DPRGR pada
tanggal 16 Agustus Presiden Suharto untuk kesekian kalinja
membitjarakan masalah pembangunan dengan menekankan bahwa
proses pelaksanaannja harus dipertjepat, sebab rakjat sudah ingin
segera menikmati hasil kemerdekaan, sedangkan djumlah dan
kebutuhannjapun makin lama makin bertambah.
Dalam pembangunan masjarakat, ekonomi merupakan faktor jang
sangat penting, sebab itu dalam rangka dan proses pelaksanaannja
Pemerintah sampai tahap tahun ini tetap memberikan prioritas dibidang
ekonomi jang dianggap dapat mengambil peranan jang menentukan.
Kebidjaksanaan jang memang tepat dan sudah mulai memperlihatkan
hasil positifnja.”218
Dengan terpilihnya Soeharto sebagai pemimpin baru, Suara
Karya berpandangan bahwa Soeharto adalah tonggak utama dalam
pelaksanaan pembangunan dalam negeri. Suara Karya mengharapkan
bahwa Soeharto menjadi sebuah tokoh yang akan menjalani era baru bagi
pembangunan Indonesia.
“Pemilu telah menundjukkan bahwa Pemerintah mampu
menggerakkan rakjat dan berhasil mengadakan perubahan2 jang
strukturil sifatnja dan mudah2an dalam rangka menudju kepada
kesedjahteraan dan pendewasaan rakjat, Pemerintah djuga mampu
mendorong masjarakat untuk melihat, menerima, dan menghajati nilai2
baru jang dibutuhkan untuk pelaksanaan dalam proses pembangunan
serta modernisasi dalam djangka 25 tahun mendatang.”219
218 Pembangunan jang Menjeluruh, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 22
Agustus 1971. 219 Pembangunan jang Menjeluruh, Tajuk Rencana Suara Karya edisi 22
Agustus 1971.
95
B. Menyuarakan Pembangunan
Seperti tujuan awalnya, Suara Karya memang difungsikan untuk
menyuarakan kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintahan, baik itu mengenai politik maupun ekonomi kepada para
pembacanya. Dalam tajuk rencana pertamanya yang berjudul Missi
Suara Karya, jelas tertulis bahwa pembangunan menjadi poin penting
bagi Suara Karya untuk melaksanakan cita-cita bangsa Indonesia ke arah
yang lebih baik.
Dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, ekonomi merupakan
unsur terpenting dalam pelaksanaan pembangunan. Namun, Suara
Karya berpendapat bahwa pembangunan tak hanya mengkhususkan
terhadap poin ekonomi saja. Harian ini menuturkan bahwa pembangunan
tidak mencakup bidang materi saja, tetapi juga melibatkan bidang
spritiual, sosial, budaya, intelektual, serta kesusilaan.
“Kita bertitik tolak dari filsafat Pantjasila, jang melihat manusia
sebagai kesatuan harmonis antara badan dan djiwa, sehingga dalam
hidup, aktivitas serta keputusannja selalu didasari dan digarisi oleh dua
dimensi materiil dan spirituil jang saling kait-mengait, lagi pula sama
esensiil dan fundamentilnja dalam pribadi manusia. Sebab itu dalam
rangka perkembangan pribadi jang harmonis, pembangunan materiil
setjara eksplisit harus diimbangi dengan pembangunan dibidang
spirituil, dan peningkatan hidup materiil harus didjamin dengan
peningkatan hidup spirituil (djadi hidup spirituil tidak terbatas dalam
kehidupan keagamaan sadja, tetapi dalam arti jang lebih luas, jaitu
mentjakup bentuk2 hidup intelektuil, kesusilaan, sosio-budaja, politis).
Pembangunan jang diorientasikan pada peningkatan hidup ekonomi
semata2 memang akan membawakan pengaruhnja dalam bidang
mental-spirituil, akan tetapi tidak setjara otomatis mendatangkan
96
perbaikan serta peningkatan kesadaran mental-spirituil. Dan disinilah
letak perbedaannja dengan pandangan marxistis, jang meredusir
bentuk2 mental-spirituil (sosial dan politik) sebagai projeksi belaka
dari relasi2 ekonomi.”220
Dalam hal ini, Suara Karya memaknai bahwa unsur-unsur non-
materi juga merupakan hal yang penting. Bahkan, media ini berpendapat
kemungkinan perombakan mengenai mental masyarakat juga perlu
diubah. Karena pada hakikatnya, apabila mental masyarakat masih
saklek, pembangunan secara ideal tak akan pernah terwujud.
“Djelaslah bahwa untuk melaksanakan pembangunan dan modernisasi
dibutuhkan adanja partisipasi rakjat, dan partisipasi hanja diberikan
dengan sepenuhnja djika ada kesadaran dan penghajatan nilai2 jang
tjukup dinamis. Perombakan sistim nilai2 bukanlah perhitungan
matematis, tetapi proses rohani jang dialektis dan membutuhkan waktu
jang lama. Proses perombakan nilai dapat dipertjepat apabila
Pemerintah mengarahkan wewenang serta kekuasaannja dalam bentuk
keputusan, tindakan, lagi pula memanfaatkan lembaga2 jang ada dalam
bentuk perundang2an dan lain2. Tudjuan undang2 tidak hanja
terdjadinja perbuatan2 jang taat pada undang2, tetapi djuga manusia2
jang taat, sebagai sumber dari perbuatan jang baik. Dengan demikian
undang2 sekaligus mempunjai aspek pedagogis.”221
Dari unsur-unsur pembangunan di atas, kebijakan sosial juga
menjadi perhatian dari Suara Karya. Unsur kebijakan sosial yang turut
220 Pembangunan jang Menjeluruh, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 22
Agustus 1971. 221 Pembangunan jang Menjeluruh, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 22
Agustus 1971.
97
disoroti harian ini adalah masalah pertumbuhan penduduk. Demi
memperbaiki masalah itu, pada 6 September hingga 4 Oktober 1971,
Pemerintahan Orde Baru akan melaksanakan sensus penduduk. Sensus
penduduk, menurut Suara Karya, bertujuan untuk mendapatkan data
kependudukan yang menjadi landasan untuk pembangunan, terutama di
bidang kesejahteraan sosial.
“Selama ini masalah penduduk dengan segala seginja, merupakan salah
satu faktor utama penghambat pembangunan. Salah satu tjontoh,
peningkatan produksi beras, umpamanja, jang tidak didasarkan pada
djumlah penduduk dan peningkatannja jang rill (karena belum adanja
sensus), dapat dikatakan selalu mengalami perhitungan jang kurang
tepat. Demikian pula fasilitas2 pendidikan, dan lain2.
Salah satu aspek sangat penting dari hasil sensus ini nanti adalah
masalah man-power (ketenaga-kerdjaan). Banjak sinjalemen
mengatakan, bahwa sekarang ini terdapat pengangguran para sardjana.
Tapi dilain pihak kita merasa kekurangan tenaga2 ahli dan
berpendidikan. Suatu paradox djustru pada saat kita sedang
melaksanakan pembangunan.
Untuk itu perlu adanja man-power planning jang menjeluruh. Dan ini
hanja mungkin dilakukan dengan adanja keterangan2 jang lengkap dan
terperintji mengenai kependudukan jang akan diperoleh melalui
sensus.”222
Selain masalah sensus penduduk, Suara Karya turut berkomentar
soal masalah transmigrasi. Transmigrasi sendiri merupakan sebuah
program yang bertujuan untuk mengendalikan persebaran penduduk
222 Sensus Penduduk 1971, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 6 September
1971.
98
yang terlalu banyak berpusat di Pulau Jawa. Masalah persebaran
penduduk yang tidak rata, menurut Suara Karya, sudah muncul sejak
zaman kolonial Belanda. Pemerintahan Hindia-Belanda kemudian
menerapkan kebijakan transmigrasi kepada penduduk yang berada di
Pulau Jawa dengan cara mempekerjakan mereka di luar Pulau Jawa,
demi kepentingan penjajah juga tentunya.
Pada zaman kemerdekaan, transmigrasi tetap menjadi masalah
utama pemerintahan Orde Lama. Suara Karya menyebut, transmigrasi
saat itu masih belum memberikan hasil yang signifikan. Mereka
mengganggap ada beberapa aspek yang kurang diperhatikan, seperti
biaya, mental-sosiologis, hingga sarana pendukung transmigrasi.
Masa pemerintahan Orde Baru, Soeharto melantik Prof. Dr.
Subroto untuk memimpin Departemen Transmigrasi dan Koperasi.
Dalam pelantikannya, Subroto mengatakan bahwa transmigrasi
memerlukan niatan suka rela untuk pindah ke luar Pulau Jawa. Faktor
kedekatan dengan daerah asal juga berperan penting dalam program
transmigrasi tersebut. Dari pernyataan itu, Suara Karya turut angkat
bicara lewat tulisannya di Tajuk Rencana.
“Tentang unsur daja tarik, kiranja perlu mendapat perhatian pelbagai
aspek jang menjangkut pembangunan sarana-sarana jang diperlukan,
antara lain djenis2 projek; apakah dalam bentuk centra ekonomis jang
berwudjud pabrik dll, ataukah sarana untuk membuka hutan dan
lapangan baru. Dalam hal ini aspek menumbuhkan semangat pionir
kiranja tak boleh diabaikan.
Tentang unsur hubungan dengan daerah asal, hal ini perlu mendapat
pemikiran dan pengolahan lebih landjut. Memang benar bahwa unsur
tersebut selama ini tjukup banjak mempengaruhi usaha2 transmigrasi.
Tapi selain dari bertudjuan mengurangi kepadatan penduduk Djawa,
99
transmigrasi djuga mempunjai aspek lain jang tak kurang penting, jaitu
pembinaan bangsa sebagai kesatuan.”223
Dari tulisan di atas, bisa disimpulkan bahwa Suara Karya juga
menyoroti masalah transmigrasi sebagai masalah yang serius. Oleh
karenanya, media ini tetap optimis kepada pemerintahan selaku
pelaksana kebijakan untuk bekerja secara maksimal.
Selain transmigrasi, kebijakan pemerintah untuk mengatasi
masalah kependudukan di Indonesia adalah program Keluarga
Berencana (KB). Meledaknya jumlah penduduk dan meningkatnya
permintaan lapangan pekerjaan menjadi alasan untuk pelaksanaan
program ini. Bahkan pemerintah Orde Baru memprediksi, masalah ini
juga bisa bermuara ke revolusi sosial yang nantinya bisa terjadi di
Indonesia.
Suara Karya sendiri memprediksi, program KB belum tentu bisa
menyelesaikan masalah ledakan jumlah penduduk. Mereka mengatakan,
apabila KB benar-benar dilaksanakan, maka hasilnya baru bisa menekan
jumlah penduduk dari yang awalnya berjumlah 250 menjadi 238 juta
orang. Mereka juga mengatakan bahwa angkatan kerja yang harus
diserap adalah masyarakat yang lahir pada masa-masa saat itu. “Projek
keluarga berentjana masih berada pada tahap lunturnja.”224
Suara Karya menganggap bahwa KB bukanlah satu-satunya
solusi untuk menanggulangi masalah kependudukan. Mereka
menganalisa bahwa masih ada unsur-unsur yang harus juga diperhatikan
223 Masalah Transmigrasi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 21 September
1971. 224 Mentjegah Revolusi Sosial, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 13 April
1972.
100
pemerintahan Orde Baru. Menurutnya, mencegah masalah itu diperlukan
adanya pemerataan ekonomi di masyarakat.
“Untuk berbitjara dalam bahasa jang sering dipakai, sementara itu perlu
diingat bahwa memang supaja bisa dibagi merata, kue nasional harus
ada dulu. Perekonomian sudah harus bisa memberikan hasil, supaja
hasi itu bisa dibagi. Maka kalau diwaktu-waktu jang lalu Pemerintah
kelihatannja tidak memperhatikan keharusan membagi-bagi
pendapatan nasional itu, soalnja adalah karena kita masih para taraf
membuat kue itu supaja ada dulu. Ditjiptakanlah iklim jang
menjenangkan akumulasi modal, supaja ada penghasilan nasional jang
bisa dibagi.
Tetapi bahkan sementara itu, motif supaja hasil pembangunan nasional
jang kita namakan kue itu bisa dinikmati oleh seluruh lapisan rakjat
tidak pernah ditinggalkan oleh Pemerintah. Presiden djuga telah
mengungkapkan bahwa motif itulah antara lain jang didukung ketika
Pemerintah menetapkan untuk hanja menerima kredit2 djangka
pandjang dengan sjarat2 ringan. Disamping itu, berbagai
kebidjaksanaan Pemerintah jang lebih chusus dalam bidang
perdagangan, industri, dan moneter, bahkan djuga pertanian, seperti
bimbingan dan penjuluhan dalam koperasi, projek BIMAS, asuransi
kredit Indonesia, dllsb, semuanja tidak sadja terarah kepada perataan
penikmatan hasil pembangunan, tetapi djuga perataan partisipasi dalam
pembangunan.”225
Walaupun demikian, Suara Karya mengakui bahwa Pemerintah
Orde Baru bukan berarti pemerintahan yang sempurna. Pemerintah
sudah melaksanakan tugas pembangunan dengan sebaik-baiknya.
225 Mentjegah Revolusi Sosial, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 13 April
1972.
101
Mereka menyarankan, masyarakat hanya tinggal menunggu apa yang
nantinya dijalankan pemerintahan sebagai langkah selanjutnya dalam
melakukan pembangunan ke arah yang lebih baik. Sebab, pembangunan
manusia yang dilancarkan pemeritah memang belum bisa langsung
dilaksanakan begitu saja. Pembangunan manusia memerlukan proses-
proses tertentu yang juga sesuai dengan keadaan yang dialami
masyarakat Indonesia.226
Masalah sosial-ekonomi lain yang dibahas Suara Karya adalah
koperasi. Koperasi sendiri memiliki peran penting dalam perekonomian
Indonesia. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 menyebutkan,
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. Kemudian dipertegas lagi dalam penjelasan Tajuk
Rencana Suara Karya, bahwa bangunan perusahaan yang sesuai dengan
itu adalah koperasi. Harian ini menyebutkan, pelaksanaan koperasi di
masa Orde Lama masih menggunakan sistem secara komando yang
menyingkirkan pembinaan pengertian dan kesadaran untuk para anggota
koperasi itu sendiri. Menurutnya, koperasi zaman itu hanya dimanjakan
dengan fasilitas-fasilitas istimewa yang keuntungannya hanya
diperuntukkan untuk para anggotanya saja. Tak hanya itu, kebijakan
koperasi juga sekadar kancah pertentangan politik yang cenderung bisa
menghancurkan kepercayaan masyarakat. 227
Dari masalah di atas, pemerintah Orde Baru berusaha untuk
menarik koperasi agar turut berperan penting dalam pelaksanaan
pembangunan nasional. Tahun 1972, Pemerintah mendirikan Lembaga
Jaminan Kredit Koperasi yang telah menyediakan dana sebesar Rp840
226 Perentjanaan Sosial, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 18 Agustus 1972. 227 Pembinaan Koperasi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 15 Mei 1972.
102
juta. Dari kebijakan ini, Suara Karya mengharapkan bahwa pemerintah
bisa mencapai sasaran jangka panjang dalam pelaksanaan ekonomi.
“Mengingat tingkat perkembangan sosial ekonomis masjarakat
chususnja dan perekonomian pada umumnja, sudah barang tentu tjara2
mengembangkan perkoperasian disegala sektor kegiatan ekonomi
masjarakat seperti dimasa lalu tidak pada tempatnja lagi dilaksanakan,
apalagi setjara besar2an dan sekaligus. Seharusnjalah sekarang ini
dipilih djenis2 koperasi jang sesuai dengan kegiatan ekonomi dan
lingkungan masjarakat tertentu. Dilingkungan pegawai negeri dan
buruh misalnja, akan sukar diharapkan koperasi konsumsi jang
menjediakan barang2 jang kini banjak dan beraneka ragam dipasar
dengan harga jang stabil. Mungkin koperasi simpan pindjam, terutama
dikaitkan pembangunan perumahan bagi anggotanja, akan lebih
menarik bagi kedua lingkungan tersebut. Sedangkan bagi kaum tani
jang lemah kedudukannja terhadap pasar, kiranja koperasi pemasaran
dan pengolahan hasillah jang kini lebih mungkin untuk tepat
berkembang.”228
Wacana pembangunan lain yang dibahas oleh Suara Karya
adalah proyek miniatur Indonesia yang dikenal dengan Taman Mini
Indonesia Indah (TMII). Seperti dibahas sebelumnya, TMII merupakan
sebuah ide yang digagas oleh Tien Soeharto, istri Presiden Soeharto.
Menurut Suara Karya, pembangunan TMII sarat dengan nilai
kebudayaan yang menjadi harapan nantinya di masa mendatang.
Indonesia sendiri merupakan negara dengan hasil perpaduan budaya-
budaya daerah yang disatukan ke dalam satu negara. Kebudayaan
daerah, lanjut Suara Karya, harus dilestarikan. Sebab kebudayaan daerah
228 Pembinaan Koperasi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 15 Mei 1972.
103
merupakan sebuah ciri khas yang melekat dengan kehidupan masyarakat
Indonesia.229
Selain dengan sarat budaya dan ciri khas Indonesia, proyek TMII
juga dianggap Suara Karya sebagai proyek yang menunjang dalam segi
ekonomi. TMII bisa digunakan sebagai unit industri pariwisata yang
akan melibatkan prospek ekonomi. Walaupun proyek ini memakan dana
yang besar, Suara Karya menganggap bahwa dana itu tak akan sia-sia
karena nantinya akan kembali lagi kepada masyarakat.230
Dalam Tajuk Rencana lain, Suara Karya turut membahas tentang
peran pengusaha-pengusaha lokal yang berpartisipasi dalam
pembangunan pemerintahan Orde Baru. Suara Karya berpandangan,
peran pengusaha memanglah bertujuan untuk menumpuk kekayaan
secara individu. Namun di sisi lain, media ini menganggap bahwa
pengusaha lokal menjadi sebuah gerbang baru dalam menciptakan era
pembangunan. Pengusaha nasional, lanjutnya, menjadi sesuatu yang
dibutuhkan dalam kebijakan pembangunan Orde Baru. Dari pengusaha-
pengusaha ini, mereka bisa memberikan pengaruh langsung kepada
masyarakat lain untuk segera terlibat dalam proses kemajuan dalam
negeri. 231
Tak hanya pada pengusaha, Suara Karya juga memberikan
apresiasinya pada Pertamina. Pertamina sendiri merupakan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan
229 J.A. Dungga, Projek Miniatur “Indonesia Indah”, Tajuk Rencana, Suara
Karya edisi 15 November 1971. 230 Projek Miniatur “Indonesia Indah”, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 16
November 1971. 231 Tanda Penghargaan untuk Pengusaha2 Swasta, Tajuk Rencana, Suara
Karya edisi 2 September 1972.
104
sumber daya minyak di Indonesia. Pada Januari 1973, Pemerintah
menerbitkan sebuah Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang
Perusahaan Tambang Minyak dan Gas Bumi Negara. UU itu mengatur
tentang neraca dan perhitungan laba rugi perusahaan yang telah disahkan
oleh Dewan Komisaris Pemerintah, termasuk Pertamina sendiri.
Pertamina menjadi salah satu badan usaha yang menunjukkan prestasi
gemilang dalam pelaksanaan pembangunan. Terbukti dari hasil ekspor
pada tahun 1972, Pertamina berhasil memperoleh U$1.000juta dari total
neraca ekspor yang keseluruhan pendapatan mencapai U$1.77,5 juta.
Dari perannya itu, Suara Karya mengemukakan bahwa Pertamina
memerlukan sebuah pertanggungjawaban kepada masyarakat demi
terciptanya stabilitas pembangunan. Dari UU itu, tambah Suara Karya,
masyarakat bisa optimis tentang kinerja Pertamina dalam pelaksanaan
pembangunan di Indonesia.232
Pelaksanaan pembangunan era Soeharto tak hanya melibatkan
unsur dalam negeri. Pemerintahan Orde Baru juga memanfaatkan
investor-investor yang berasal dari luar negeri. Kebijakan itu sendiri
tertuang dalam UU Penanaman Modal Asing yang disahkan sejak tahun
1967 lalu. UU inilah yang menjadi landasan pemerintah untuk menggaet
investor asing dalam rangka melaksanakan pembangunan.233 Dalam hal
ini, Suara Karya berpandangan bahwa modal asing bukan menjadi
persoalan kepada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Media
ini berkaca dari pengalaman-pengalaman di luar negeri bahwa modal
asing menjadi unsur penting dalam pelaksanaan pembangunan.
232 Pertanggungan Jawab Pertamina, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 24
Januari 1973. 233 Perlu Investment Board Tunggal, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 8
September 1971.
105
“Memang meningkatnya kecenderungan sekarang ini untuk
menggunakan modal asing bukanlah terbatas pada negara2 sedang
berkembang seperti Indonesia, tapi negara2 yang menurut prinsip
ideologinya semula dengan keras menentang modal asing seperti Uni
Soviet dan RRC umpanya, kinipun membuka pintunya. Walaupun
belum ada pemastian secara konkrit, tapi kabarnya Soviet Uni mulai
menjajagi kemungkinan membuka Siberia untuk modal Amerika
Serikat. Demikian pula RRC mulai mengadakan penjagagan yang sama
untuk mengekploitir potensi perminyakan buminya. Dengan demikian
prinsip2 politik dan ideologi yang betapapun ketatnya terpaksa
mengalah terhadap kenyataan2 yang dihadapi, bila hal itu sudah
menyangkut masalah bagaimana memanfaatkan sebanyak mungkin
kekayaan alaminya demi untuk dapat memberikan taraf kehidupan
yang lebih baik dan maju kepada rakyatnya.”234
Kecenderungan Suara Karya dalam mendukung kebijakan PMA
dibuktikan dengan pandangannya lewat Tajuk Rencana yang berisi
langkah-langkah pemerintah dalam menggaet investor asing. Dalam
beberapa edisi, Suara Karya berkali-kali menulis tentang metode
menggaet investor luar negeri, seperti kedatangan petinggi negara ke
Indonesia, kunjungan Presiden Soeharto ke luar negeri, kerja sama
pemerintahan Indonesia dengan berbagai organisasi.
Pada Agustus-September 1971 misalnya, Suara Karya menulis
Tajuk Rencana yang berisi tentang kunjungan kenegaraan Pemerintah
Belanda ke Indonesia. Mereka menulis empat edisi tentang kedatangan
negara tersebut. Dari keempat tulisannya, Suara Karya sepakat bahwa
234 Penanaman Modal Asing, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 1 September
1972.
106
kerja sama dengan Belanda membutuhkan kepercayaan lebih, terutama
dalam hal tentang sejarah. Sebab sebelum Indonesia merdeka, Belanda
pernah menjajah pemerintahan Indonesia. Kedua negara harus
menyingkirkan stigma masa lalu dan berani berpandangan ke depan agar
bisa kerja sama lebih lanjut.235
Kemudian, Suara Karya juga menuliskan kerja sama pihak
Indonesia dengan Amerika Serikat. Kerja sama ini diawali dengan
adanya penemuan ladang minyak di Aceh dengan persediaan yang
diduga lebih banyak dari ladang minyak Minas. Penemuan ini membuat
pihak Amerika Serikat untuk memberikan bantuan dana kepada
Indonesia sebesar U$45,7 juta. Suara Karya menganggap bahwa kerja
sama ini tak perlu ditanggapi secara panik. Sebab dengan adanya bantuan
dana, maka sumber kekayaan alam yang ada di Indonesia akan bisa
diolah secara efisien. 236 Esoknya, Suara Karya menuliskan sebuah tajuk
yang berisi tentang kedatangan Menteri Keuangan Amerika Serikat saat
itu, John Conally. Kedatangan yang memakan waktu tiga hari ini
dianggap Suara Karya sebagai kesempatan pemerintah untuk
menjalankan misinya dalam pelaksanaan pembangunan. Pemerintah bisa
belajar dari negara maju seperti Amerika Serikat untuk menjalankan
kebijakan pembangunan ke arah yang lebih baik.
“Dalam rangka kerdjasama jang saling menguntungkan ini, tentu pula
akan dapat dibitjarakan persoalan2 tradisionil, antara lain problem
hubungan dengan antara negara2 sedang berkembang dengan negara2
235 Edisi kerja sama pemerintah Belanda dengan Indonesia tertuang dalam
lima judul Tajuk Rencana Suara Karya dengan judul Selamat Datang edisi 25 Agustus
1971, Tamu Agung dari Nederland edisi 29 Agustus 1971, Pembitjaraan Schmelzer-
Adam Malik edisi 30 Agustus 1971, dan Selamat Djalan edisi 4 September 1971. 236 Memang Tak Perlu Panik, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 4 November
1971.
107
madju jang selama ini masih selalu berada dalam keadaan pintjang.
Bahkan malah memperbesar gap antara negara2 industri dan negara2
sedang berkembang.”237
Kerja sama ekonomi Indonesia dengan negara lain juga
melibatkan beberapa negara dan organisasi yang tergabung dalam Inter-
Governmental Group on Indonesia (IGGI). Organisasi yang terbentuk
pada tahun 1967 ini memiliki anggota yang terdiri dari Australia, Belgia,
Jerman, Itali, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika, Austria, Kanada,
Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, International Monetary
Fund (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB), United Nations
Development Programs (UNDP), serta Organitation for Economic Co-
operation and Development (OECD). Berdirinya IGGI diperuntukkan
untuk memberikan bantuan pembangunan kepada Indonesia.238 Pada
tahun 1967, IGGI memberikan dana U$200 juta, 1968 berjumlah U$320
juta, 1969 mencapai U$500 juta, 1970 sebanyak U$600 juta, 1971
berjumlah U$640 juta, dan pada 1972 bantuannya mencapai U$670
juta.239
Suara Karya menganggap bahwa bantuan dana dari IGGI
merupakan komponen yang menentukan dalam perkembangan
pembangunan Indonesia. Semua bantuan ini, tambahnya, merupakan
bagian dari proses penggerak pembangunan. Bantuan ini memberikan
237 Kedatangan Menkeu AS, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 5 November
1971. 238 M. Faisal, IGGI dan Asal-Usul Utang Luar Negeri Indonesia,
https://tirto.id/iggi-dan-asal-usul-utang-luar-negeri-indonesia-cEW3, (Diakses pada 1
April 2019 pukul 23.56 WIB). 239 Kepertjajaan Tambah Besar, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 16
Desember 1971.
108
proyek-proyek yang sudah selesai maupun bantuan yang masih terus
berjalan.240 Dengan demikian, Suara Karya turut mengapresiasi langkah
pemerintah dalam mencari bantuan dana untuk pelaksanaan
pembangunan.
Sorotan Suara Karya dalam proses kebijakan pembangunan tak
hanya dalam bentuk apresiasi. Media ini juga memberikan saran dan
masukkan kepada pemerintah untuk melaksanakan cita-cita
pembangunan yang lebih ideal. Menjelang akhir pelaksanaan Pelita I
pada 1973, Suara Karya menganggap bahwa pembangunan yang
dilakukan pemerintahan Soeharto masih sebatas di wilayah perkotaan.
Pembangunan belum mencakup ke bagian-bagian pedesaan. Suara
Karya pun menilai bahwa gejala desentralisasi pembangunan ini yang
menjadi penyebab banyaknya urbanisasi yang dilakukan penduduk dari
desa ke kota karena pelaksanaan pembangunan yang tidak seimbang.241
Suara Karya juga menyorot masalah tentang peran industri kecil
yang ada di dalam negeri. Menurutnya, peran industri kecil, terutama
yang sifatnya industri rumahan, memiliki peran yang penting.
Sayangnya, industri kecil di masa itu belum terlihat menonjol. Pemeritah
sendiri memiliki solusi terhadap masalah tersebut, yakni pembentukan
Panitia Pembiayaan Tekstil Kecil dan Industri Tenun Tangan. Kebijakan
ini diharapkan mampu untuk memperbaiki usaha yang dialami oleh
pihak-pihak industri kecil untuk meningkatkan perusahaannya dengan
baik dengan cara memberikan pinjaman. Dari kebijakan itu, Suara Karya
menilai bahwa solusi kredit bukanlah satu-satunya masalah yang
240 Sidang IGGI jang Akan Datang, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 8
Desember 1971. 241 Renungan 17 Agustus, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 16 Agustus 1973.
109
dihadapi oleh pengusaha kecil tersebut. Mereka mengatakan bahwa
masih ada unsur yang lebih penting, yakni pemasaran dan mutu barang.
“Mengembangkan industri kecil melalui pembinaan pemasaran dan
mutu ini agaknya akan lebih mempunya hari depan dengan
menggunakan lembaga koperasi. Berbeda dengan pengertian koperasi
yang menjadi kurang begitu menarik selama ini, koperasi2 produksi
semacam itu, disamping dapat menjadi wadah pembinaan dari segi
permodalan, juga harus mampu membina dari segi management pada
umumnya, terutama pemasaran dan peningkatan serta standarisasi
mutu. Agaknya hal ini dapat dimulai dengan menerapkan prinsip
semacam apa yang dilakukan dengan BUUD untuk mengembangkan
Koperasi Unit Desa, dengan membimbing pengusaha2 industri kecil ini
sehingga mereka menyadari bahwa adanya unit2 koperasi seperti ini
memang diperlukan demi perkembangan industri mereka sendiri.”242
Topik selanjutnya yang dibahas Suara Karya adalah masalah
inflasi yang terjadi di Indonesia. Berkaca dari masa lalu, Indonesia
mengalami gejolak inflasi yang cukup besar. Pada 1972, inflasi
mencapai 25%. Kemudian Suara Karya memprediksi bahwa pada 1973,
inflasi nantinya akan mencapai 20%. Media ini berpandangan, faktor
terjadinya inflasi adalah karena sifat ekonomi Indonesia yang cenderung
terbuka dengan internasional. Apabila situasi dunia tengah mengalami
inflasi, maka kondisi ekonomi Indonesia juga akan terpengaruh. Selain
itu, timbulnya inflasi juga disebabkan keadaan negara sendiri, terutama
masalah produksi dan distibusi bahan makanan. Dari masalah di atas,
242 Pengembangan Industri Kecil, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 30
Agustus 1973.
110
Suara Karya mencoba menyalurkan pandangannya kepada pemerintah
untuk menghadapi inflasi ke depannya.
“Bahwa pembangunan dalam suatu jangka waktu tertentu membawa
pengaruh inflatoir, memang sudah tidak menjadi persoalan. Yang
menjadi masalah adalah, sampai seberapa jauh tenggang waktu antara
peningkatan arus barang selalu bisa diperkecil sehingga pada akhirnya
ia jatuh pada suatu titik yang sama, yang akan menandai tercapainya
stabilisasi.
Masalah lain yang timbul adalah, bagaimana mengatur agar golongan
masyarakat berpendapatan tetap yang biasanya banyak dirugikan
karena terjadinya inflasi, dapat ditolong. Memang dengan menaikkan
gaji pegawai negeri dan upah golongan berpendapatan tetap secara
periodeik misalnya, mereka ini banyak sedikitnya tertolong. Akan
tetapi bila diingat bahwa kenaikan gaji dan upah ini biasanya pula
selalu diikuti dengan kenaikan harga2 yang terjadi dalam pelbagai
sektor kehidupan ekonomi lainnya, maka dalam ukuran daya beli,
kenaikan gaji dan upah itu lambat laun semakin berkurang.”243
Dari berbagai solusi di atas, Suara Karya memberikan saran
kepada pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang
terjadi selama pelaksanaan Repelita I. Sebab tahun 1973 menjadi tahun
terakhir periode Repelita I. Pada 1974 nanti, barulah pemerintah
memasuki periode kedua dalam pelaksanaan pembangunan yang dikenal
dengan Repelita II. Suara Karya sendiri menganalisa poin-poin yang
terjadi dalam pelaksanaan Repelita II dan membaginya ke dalam lima
poin. Pertama, Repelita II merupakan kelanjutan dan peningkatan dari
243 Menghadapi Kenaikan2 Harga, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 23
Oktober 1973.
111
Repelita I. Kedua, Repelita II akan melaksanaan pembangunan yang
lebih seimbang, baik dalam sektor ekonomi maupun non-ekonomi.
Ketiga, perataan hasil pembangunan mendapat perhatian lebih besar.
Keempat, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup akan
lebih diperhatikan. Kelima, aparatur negara akan lebih dikembangkan
melalui peningkatan kesejahteraan, kemampuan, pengawasan, dan
penertiban administrasi.
“Dari ciri2 pokok dan sasaran2 yang hendak dicapai dengan Repelita
II, agaknya dapat dilihat, bahwa pembangunan yang hendak dilakukan
dalam lima tahun mendatang ini mempunya perbedaan yaf mendasar
dari Repelita I. Bila Repelita I, sesuai dengan mandat yang diberikan
MPRS waktu itu kepada Presiden/Mandataris, adalah bertujuan pokok
rehabilitasi kehidupan ekonomi, maka Repelita II bertujuan, disamping
melanjutkan apa yang telah dikerjakan, juga dan terutama sekali
menjadikan hasil pembangunan bisa dinikmati secara merata.”244
Dari pandangan di atas, bisa dilihat bahwa Suara Karya tetap
optimis dengan kebijakan yang akan dilaksanakan oleh pemerintahan
Soeharto. Media ini berpandangan bahwa nantinya, pelaksanaan
Repelita II haruslah mendapat perhatian khusus dari masyarakat. Dengan
demikian, pemerintah bisa melaksanakan pembangunan masyarakat
Indonesia secara ideal. Walaupun Suara Karya sendiri menilai bahwa
pemerintah sudah melaksanakan tugasnya secara maksimal, namun
program pemerintah tetap perlu mendapatkan apresiasi lebih dari
masyarakat.
244 Rancangan Repelita II dan RAPBN 1974/75, Tajuk Rencana, Suara Karya
edisi 8 Januari 1974.
112
“Berhasil atau tidaknja pekerdjaan “institutionalization” ini pertama2
tentulah ditentukan oleh “intensitas menanam” jang dilakukan, tetapi
sementara itu masih ada faktor lain jang turut menentukan, dalam hal
ini faktor “kekuatan melawan dari masjarakat” dan faktor “waktu”.
Ketiga faktor ini tidaklah berdiri sendiri2, tetapi harus dilihat dalam
interaksinja satu sama lain. “Intensitas menanam” misalnja mungkin
masih bisa lebih ditingkatkan, tetapi harus pula diingat bahwa
peningkatan “intensitas menanam” bisa mengakibatkan “kekuatan
melawan dari masjarakat” mendjadi lebih besar jang djustru
mempunjai efek negatip terhadap proses penanaman dan penguatan
pranata2 jang dikehendaki. Begitu pula halnja dengan faktor “waktu”,
semakin tergesa2 pekerdjaan pembangunan pranata2 dilakukan, maka
semakin baik hasilnja, namun sebaliknja bila “waktu” penanaman itu
terlalu diulur2 akan bisa sangat memperlemah “intensitas menanam”
jang dalam keseluruhan proses institutionalization berakibat negatip
karenanja. Maka masalahnja bagaimana mengkombinasikan ketiga
faktor tersebut sebaik2nja, sehingga dapat diperoleh hasil jang
seoptimal2nja dalam proses “institutionalization” dalam rangka
pembaharuan dan pembangunan tadi. Dan ini adalah tugas dari semua
komponen masjarakat untuk terus menerus mendjaga agar kombinasi
ketiga faktor itu dalam kedudukan jang betul2 optimal, hal mana hanja
mungkin dipenuhi apabila kita berdiri diatas realitas masjarakat sebagai
pangkalan bertolak serta selalu memahami perkembangan masjarakat
dalam dinamiknja.”245
245 Satu Tahun Mengabdi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 11 Maret 1972.
113
C. Mengulas Dinamika Politik
Seperti dijelaskan di awal, tujuan dibentuknya Harian Suara
Karya memang diperuntukkan untuk menerjemahkan kinerja pemerintah
kepada masyarakat selaku pembaca. Selain condong kepada pemerintah,
Suara Karya juga condong kepada Golkar sebagai kendaraan Soeharto
menuju tahta kekuasaan. Dari latar belakang itu, beberapa tajuk rencana
Suara Karya pun tak luput untuk membahas Golkar. Pascapemilu 1971,
Suara Karya menuliskan kepercayaan masyarakat terhadap Golkar lewat
tulisan berikut.
“Dalam hubungan ini kiranja perlu ditjatat, bahwa Golkar tentunja
commited untuk memperdjuangkan kepentingan seluruh rakjat sesuai
dengan program djangka pendek maupun djangka pandjang (25 tahun)
jang telah berulang kali dikemukakannja. Tapi bukan hanja
kepentingan sebagian sadja, atau sebagian mereka jang menganggap
dirinja berjasa. Karena seperti dikatakan Presiden Suharto, jang
menang dalam pemilu jang lalu adalah rakjat seluruhnja.”246
Menurut Suara Karya, tujuan Golkar adalah menyukseskan
pembangunan yang tengah dijalankan oleh pemerintah. Dari
pembangunan ini, maka pemerintah sedang menciptakan kehidupan
ekonomi dan demokrasi yang sehat. Apabila pembangunan tak sukses,
maka pemerintah tak bisa menjamin akan terciptanya perbaikan dan
peningkatan kehidupan masyarakat. Dari tujuan inilah, masyarakat
memilih Golkar dalam Pemilu 1971 lalu.
246 Kelesuan & Overacting, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 3 September
1971.
114
Untuk melaksanakan program pembangunan berjangka panjang
itu, Golkar selaku pemenang membutuhkan langkah-langkah. Selepas
pemilu, Suara Karya menyebut bahwa Golkar tengah melakukan
konsolidasi di internal pemerintahan. Menurutnya, Golkar tengan
menata kembali organisasi yang nantinya akan disusul dengan
pembentukan lembaga pemerintahan (DPD) di beberapa daerah.
Langkah Golkar ini dinilai Suara Karya sebagai langkah politik yang
sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945.247
Geliat Golkar selanjutnya kemudian tertuju pada pembentukan
Korps Pegawai Negeri (Korpri). Korpri sendiri dibentuk pada 29
November 1971 lewat Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971. 248
Pembentukkan Korpri diperuntukkan untuk menghimpun segenap
pegawai negeri untuk tidak memosisikan dirinya sebagai partisan politik.
Suara Karya berpandangan, terbentuknya Korpri sendiri dikarenakan
agar para pegawai negeri tidak berafiliasi dengan partai politik sekaligus
menanamkan ideologi Pancasila yang didengungkan oleh pemerintah
saat itu. Deparpolisasi pegawai negeri, lanjutnya, menjadi suatu langkah
awal dalam proses permulaan yang dinamakan dengan istilah
monoloyalitas.
“Pembinaan monoloyalitas tersebut penting sekali artinya demi
terpeliharanja kontinuitas kegiatan administrasi negara jang sekaligus
mewujudkan terselenggaranja fungsi pemersatu bangsa (integrative
247 Golkar sebagai Akselerator Pembangunan, Tajuk Rencana, Suara Karya
edisi 20 Maret 1972. 248 Petrik Matanasi, Sejarah Korpri dan Cara Soeharto Mempolitisasi
Pegawai Negeri,
https://tirto.id/sejarah-korpri-dan-cara-soeharto-mempolitisasi-pegawai-negeri-c97N,
(Diakses pada 9 April 2019 pukul 00.44 WIB).
115
function) dari lembaga administrasi negara tersebut. Tidak boleh tidak
monoloyalitas ini mengandung makna lebih landjut sebagai suatu
usaha untuk meningkatkan pengabdian pegawai negeri pada tugas dan
djabatannya melalui merit system dan career service planning jang
dimasa lalu di abaikan.”249
Walaupun dalam kenyataannya, para anggota Korpri ini
diwajibkan berafiliasi terhadap Golkar. Semua pegawai negeri
diwajibkan untuk memilih Golkar dalam pelaksanaan pemilu
mendatang. Apabila pegawai negeri ini tidak patuh, maka mereka
diancam akan dimutasi ke daerah terpencil di Indonesia. 250
Tak hanya di dalam instansi pemerintahan, Golkar juga
melebarkan sayapnya ke dalam lingkungan masyarakat lewat
mengaktifkan kembali program Rembug Desa. Suara Karta menulis,
pembentukan kembali Rembug Desa dikarenakan berkaca dari
pandangan masa lalu. Saat itu, banyak masyarakat desa yang memiliki
kecenderungan terhadap partai-partai politik. Rembug Desa ini
diharapkan mampu menyalurkan aspirasi dalam lingkungan pedesaan,
membina mastarakat, serta menghayati asas-asa dan tujuan kehidupan
bersama pada ruang lingkup nasional.251
“Ini berarti, lebih daripada sekedar menginginkan pengaktipan
lembaga rebug-desa itu, jang ditudju adalah membuat lembaga itu
kreatif berpartisipasi dalam pembangunan, suatu hal jang sulit untuk
249 Pantjasilaisasi Pegawai Negeri, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 18
April 1972. 250 Petrik Matanasi, Sejarah Korpri dan Cara Soeharto Mempolitisasi
Pegawai Negeri, https://tirto.id/sejarah-korpri-dan-cara-soeharto-mempolitisasi-
pegawai-negeri-c97N. 251 Demi Kontinuitas Kehidupan Nasional, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi
10 April 1972.
116
ditjapai dalam suatu suasana politisasi oleh organisasi2 politik. Maka
adalah sangat kekanak2an, djika ada sementara pihak jang
beranggapan bahwa pengaktipan rembug-desa jang menjertai gagasan
floating mass jang ditjetuskan Golkar adalah sebagai suatu usaha jang
bertjorak politik. Djustru sebaliknja, Golkar menghendaki de-politisasi
masjarakat pedesaan dari pola dan tjara berpolitik lama, de-politisasi
jang mungkin lebih tepat disebut de-polarisasi masjarakat pedesaan
dari ideologi politik golongan.”252
Gagasan Golkar di atas dalam mewacanakan depolitisasi
masyarakat, baik itu dalam lingkungan pemerintahan maupun
lingkungan sosial masyarakat, dikenal dengan istilah floating mass atau
massa mengambang. Konsep massa mengambang yang sudah
diperkenalkan pada Pemilu 1971 lalu ini dianggap Suara Karya sebagai
gagsaan pembaruan kehidupan politik, terutama tentang masyarakat di
wilayah pedesaan. Sebab, 85% penduduk Indonesia menempati wilayah
pedesaan.
“Istilah floating mass semakin penting dan berarti lagi setelah diambil
alih dan diutjapkan pula oleh beberapa pedjabat pemerintahan, jang
dalam hal ini memberikan indikasi jang tjukup kuat, bahwa usaha
pembinaan the floating mass itu bukanlah sekedar issue politik belaka,
melainkan setjara sadar telah ditetapkan untuk dilaksanakan, -- tentu
sadja dengan melalui proses per-undang2an. Terlebih2 setelah masalah
pembinaan floating mass tersebut setjara resmi ditjantumkan dalam
strategi politik Golkar dalam rapat kerdjanya baru2 ini.”253
252 Pengaktipan Rembug-Desa, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 19 April
1972. 253 Kenapa Floating Mass, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 23 Maret 1972.
117
Suara Karya menyambut baik gagasan massa mengambang yang
dicanangkan Golkar dalam rapat kerjanya tersebut. Menurutnya, konsep
ini sangat diperlukan lantaran masyarakat harus fokus kepada strategi
pembangunan yang dijalankan pemerintah. Masyarakat, terutama di
wilayah pedesaan, harus dijauhkan dari sikap-sikap simpati partai politik
agar terhindar dari konflik ideologis seperti di masa pemerintahan
Soekarno. Dari gagasan ini, masyarakat tidak lagi dijadikan target utama
sasaran partai politik demi memperkokoh kekuasaan.
Kebijakan politik lain yang disoroti Suara Karya lainnya yakni
tentang fusi partai. Seperti dijelaskan di bab sebelumnya, fusi partai
adalah suatu peleburan berbagai partai yang kemudian disatukan ke
dalam satu partai. Peleburan partai ini terdiri dari dua kelompok, yakni
kelompok agamis (PPP) dan kelompok nasionalis (PDI). Hanya Golkar
saja yang kebagian jatah dalam konsep fusi partai tersebut. Dalam
kebijakan ini, Suara Karya mendukung apa yang sudah dicanangkan
oleh Menteri Dalam Negeri Amir Machmud tersebut. Menurutnya,
kebijakan ini sudah sesuai dengan pelaksanaan Ketetapan MPRS No.
XXII/1966 yang menuntut adanya penyederhanaan partai agar keadaan
politik menjadi lebih stabil.254 Namun, Suara Karya juga menambahkan
bahwa kebijakan fusi partai ini belm tentu dengan sendirinya
menciptakan iklim politik yang sehat.
“Untuk itu agaknya diperlakukan adanya kondisi kompetitif dalam
bidang program, yang selain akan merupakan proses pengalihan
orientasi yang bersifat edukatif, juga memungkinkan dihasilkannya
program2 yang lebih teruji dengan spectrum yang lebih luas dipandang
dari pelbagai segi. Sudah tentu kompetisi program ini jangan sampai
254 Tentang Fusi Partai, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 5 April 1972.
118
mengganggupenentuan prioritas, tapi justru disatu pihak hendaknya
dapat memperkuat penentuan prioritas itu, sedangkan dilain pihak lebih
menggairahkan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan
pembangunan sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan
bersama.”255
Unsur elemen pemerintahan yang disorot Suara Karya adalah
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI sendiri
termasuk ke dalam bagian pemerintahan Soeharto. Ini dikarenakan
adanya hak berpolitik dalam ABRI yang dikenal dengan nama
Dwifungsi ABRI. Seperti dijelaskan bab sebelumnya, gagasan
Dwifungsi ABRI dicetuskan oleh Abdul Haris Nasution pada 18
November 1958 di Akademi Militer Nasional. Gagasan Nasution
ditujukan agar militer mampu mengendalikan situasi keamanan yang
lewat lembaga politik, birokrasi politik, partai politik, hingga organisasi
non politik, terutama untuk melawan PKI yang saat itu menjadi musuh
bersama pihak militer. 256
Dalam memandang dwifungsi, Suara Karya berpendapat bahwa
kebijakan ini menjadi salah satu yang terpenting dalam masa
pemerintahan Soeharto. Berkaca dari masa lalu, Suara Karya
menuliskan bahwa ABRI menjadi unsur penting dalam menjaga
kehidupan aman, damai, adil, bahagia, dan sejahtera. Dwifungsi ABRI
menjadi kekuatan sosial dalam menjaga stabilitas politik, entah di masa
kemerdekaan maupun di masa pemerintahan Soekarno. Dalam hal ini,
255 Lahirnya Partai Persatuan Pembangunan, Tajuk Rencana, Suara Karya
edisi 8 Januari 1973. 256 Peter Kasenda, Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan
Selama 32 Tahun?, 6-8.
119
Dwifungsi ABRI merupakan manifestasi dari keatuan batin, kebulatan
tekad, keinginan, dan kemampuan untuk berjuang membentengi
Republik Indonesia.257
“Kita saksikan ABRI dengan sadar, telah dan sedang membina terus
landasan yang stabil bagi pembangunan, dan mendorong maju
pembangunan itu dengan tidak lupa menyerakan sektor2 pembangunan
kepada ahli2 yang bersangkutan. Seluruh perhatian Bangsa
didorongnya dan diarahkannya kepada pembangunan.”258
Peranan ABRI dalam dwifungsi tak terlepas dari pertentangan
ideologi yang terjadi di masa Soekarno. Saat itu, terjadi pertempuran
horizontal di masyarakat lewat pedebatan ideologis. Di zaman Orde
Baru, satu-satunya ideologi yang masih membekas dan masih dijadikan
perbincangan adalah pengaruh Komunis yang diinisiasi oleh PKI.
Terlebih, masa transisi dari Soekarno ke Soeharto diawali dengan
peristiwa G30S. Dari peristiwa ini, Soeharto menyuarakan bahwa di
masa jabatannya masih ada sisa-sisa dari simpatisan PKI dan para pelaku
G30S.
Hal itu turut pula diamini oleh Suara Karya. Media ini berkali-
kali menyuarakan bahwa masyarakat harus selalu waspada dengan gejala
kebangkitan PKI, baik yang menginisiasi G30S maupun simpatisannya.
Menurutnya, Kaum Komunis bukanlah Komunis apabila mereka
mundur hanya karena kegagalan seperti yang dilakukan ketika adanya
peristiwa G30S. Kaum Komunis akan selalu mencari peluang untuk
257 Perlu Penilaian Berdjangkauan Djauh, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi
8 Oktober 1971. 258 Hari Sumpah Pemuda, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 28 Oktober
1972.
120
menciptakan perjuangan baru dan akan terus menerus hingga mereka
berhasil. 259
“Sesuai dengan cara kerja sisa2 PKI ini agaknya perlu pula diambil
langkah2 yang lebih intensif untuk mengurangi gejala2 yang isa
berkembang menjadi kontradiksi sosial itu. Misalnya gejala2 di mana
dirasakan jurang antara mereka yang masih hidup miskin cenderung
membesar. Gejala yang menunjukkan bahwa generasi muda semakin
tidak mempunya pegangan menghadapi hari depannya, pengusaha2
ekonomi lemah yang merasa semakin terpojok, peranan modal asing
yang dirasakan cenderung melebihi proporsi sebagai pelengkap, dan
sebagainya.”260
Cara lain untuk menangkal ideologi Komunis yakni dengan
menanamkan ideologi yang sering diserukan Soeharto, Pancasila.
Pancasila sendiri, menurut Suara Karya, merupakan prinsip yang sudah
tertanam dalam masyarakat Indonesia sejak kemerdekaan. Media ini
mengatakan, Pancasila sejak dulu menjadi sebuah ideologi sakti yang tak
bisa dilawan oleh Komunis. Sejak dulu, kaum Komunis selalu gagal
dalam menanamkan ideologinya, mulai dari peristiwa Madiun, Sidang
Konstituante 1956, hingga G30S. Kehancuran Komunis pada 1 Oktober
1965 pun dinamakan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila. 261
“Dibawah panji2 Pancasila, semua kekuatan yang anti G30S bersatu
dengan melupakan perbedaan2 yang ada di antara mereka sendiri. Daya
pemersatu yang berhasil menyatukan pelbagi kekuatan yang anti G30S
259 Djauhkan Sikap Konfrontatif, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 27
Desember 1971. 260 Menghadapi Sisa2 G30S/PKI, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 29
November 1973. 261 Hari Kesaktian Pantjasila, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 1 Oktober
1971.
121
inilah yang dinamakan “kesaktian” yang hari ini kita peringati kembali.
Kesaktian dalam arti bahwa pengalaman2 cukup teruji yang kita lalui
membuktikan, bahwa Pancasila yang dapat menampung semua aspirasi
yang hidup dalam masyarakat Indonesia itu, merupakan satu2nya
ideologi yang sampai demikian jauh mampu mempersatukan semua
kekuatan dan golongan yang ada dalam masyarakat.”262
Dari ideologi Pancasila ini, Suara Karya menganggap bahwa
sampai di mana penerapan ideologi ini yang menampung semua aspirasi
masyarakat. Cita-cita masyarakat Indonesia sendiri sudah tertampung
dalam sila ke lima, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari sana, Suara Karya meyakini bahwa ideologi Pancasila tak akan
terganti dengan ideologi lain. Tinggal masyarakatnya saja yang betul-
betul menerapkan sesuai dengan yang tertanam dalam lima sila
tersebut.263
Dalam menyikapi dinamika politik Orde Baru, Suara Karya
menyatakan bahwa kehidupan politik ideal adalah terciptanya stabilitas
politik. Dari kehidupan politik yang stabil inilah, maka pembangunan
yang dijalankan pemerintahan akan bisa terwujud. Terlebih, pemerintah
juga harus menerapkan prinsip dalam tata cara kehidupan di masyarakat,
seperti pembaruan budi pekerti, moral, serta menciptakan tanggung
jawab demi melaksanakan program-program nasional. Dari sana, maka
262 Hari Kesaktian Pancasila, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 1 Oktober
1973. 263 Hari Kesaktian Pancasila, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 1 Oktober
1973.
122
rakyat akan turut berpartisipasi dan berkontribusi dalam pelaksanaan
pembangunan yang sesuai dengan kepentingan rakyat itu sendiri.264
“Akhirnya ingin kita tegaskan di sini bahwa jangalah hendaknya kita
mempunyai ilusi yang bukan-bukan, karena kemantapan Pimpinan
Nasional tidak boleh diragukan. Jalan masih panjang bagi kita untuk
membawa kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi rakyat.
Kemantapan dalam Pimpinan Nasional dan kemantapan dalam
kehidupan politik adalah prasyarat bagi berhasilnya pembangunan
untuk membina hari esok yang lebih cerah dan berguna bagi
masyarakat kita. marilah kita buka tahun baru ini dengan menghabskan
isyu2 yang jahat dan kejam dan mengkonsentrasikan pikiran kita pada
penyempurnaan Pelita Kedua.”265
D. Menanggapi Kritik
Seperti dijelaskan sebelumnya, terbitnya Suara Karya memang
ditujukan untuk menjadi corong Golkar. Selain itu, media ini juga
memberitakan capaian-capaian pemerintahan, baik itu mengenai politik
maupun ekonomi yang sesuai dengan slogan pembangunan. Lewat tajuk
rencana, Suara Karya menyampaikan pikirannya lewat awak redaksi
mengenai kebijakan pemerintah agar mudah dicerna masyarakat. Dalam
menyampaikan misi itu, Suara Karya tetap tak lepas dari kritik. Kritikan
terhadap Suara Karya sendiri dilakukan dari berbagai golongan, seperti
partai politik non Golkar, media, hingga mahaasiswa. Berbagai kritikan
ini juga dijawab oleh Suara Karya melalui rubrik tajuk rencananya.
264 Kehidupan Politik yang Kita Inginkan, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi
5 September 1973. 265 Membuka Tahun Baru dengan Menutup Isyu, Tajuk Rencana, Suara Karya
edisi 3 Januari 1974.
123
Kritik pertama yang menjadi sorotan Suara Karya adalah
mengenai pembangunan TMII. Protes terhadap proyek ini datang dari
kalangan mahasiswa. Dalam tajuk rencana tanggal 30 Desember 1971,
Suara Karya menyimpulkan ada tiga tuntutan yang disuarakan
mahasiswa. Poin pertama adalah pembangunan TMII yang tidak sesuai
dengan prioritas pembangunan pemerintah. Kedua, cara pemerintah
pusat untuk meminta bantuan dana kepada pemerintah daerah akan
berakibat berkurangnya amunisi pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah. Sedangkan poin ketiga berisi tentang akan adanya
penyelewangan terhadap dana sumbangan yang dilakukan oleh
pemerintah pusat kepada para pengusaha. Menurut mahasiswa, para
pengusaha ini memungkinkan adanya tindakan manipulasi, terutama
pada sistem fasilitas.266
Dalam tajuk rencana ini, Suara Karya juga mencantumkan poin-
poin penjelasan yang dijawab oleh pemerintah. Media ini mengutip
perkataan dari Ketua dan Wakil Ketua Project Officer TMII, Ali Sadikin
dan Ali Moertopo. Penjelasan kedua tokoh ini dirangkum Suara Karya
menjadi enam kesimpulan. Pertama, pemerintah tidak menjadikan
proyek TMII sebagai pembangunan prioritas. Maka dari itu, pemerintah
tidak menjadikan anggaran negara sebagai sumber dana proyek itu.
Kedua, pemerintah daerah (Pemda) tidak dipaksa untuk ikut
berpartisipasi dalam pembangunan TMII. Hal ini diperkuat Suara Karya
dengan pernyataan Gubernur Nusa Tenggara Timur yang tidak ikut serta
dalam pembangunan tersebut. Ketiga, pemda juga tidak dipaksa untuk
menyumbangkan dana daerah terhadap pembangunan TMII. Namun
266 Sekarang Sudah Djelas, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 30 Desember
1971.
124
apabila mereka bersedia, maka pemerintah pusat siap menerima
sumbangan. Keempat, investor tidak terikat dengan keputusan mengenai
pembentukan fasilitas. Investor hanya ditawarkan untuk
menyumbangkan dana terhadap pembangunan TMII. Kelima,
pembangunan tidak ditargetkan selesai dalam jangka waktu tertentu.
Selesainya pembangunan TMII tergantung dari persediaan dana yang
telah dikumpulkan. Poin terakhir, investor swasta diperbolehkan
menerapkan kebijakan yang sekiranya sesuai dengan tujuan
pembangunan.267
Namun, pernyataan ini tetap tidak membuat mahasiswa puas.
Mahasiswa terus menerus menganggap bahwa proyek yang digagas Tien
Soeharto tidak berguna. Dijelaskan dalam bab sebelumnya, Soeharto
menuduh bahwa kritikus TMII bertujuan untuk menggulingkan
pemerintahan yang sah. Ia mengancam akan menggunakan kekuatan
militer apabila protes terus digencarkan kepada istrinya. 268
Pidato ini lantas mendapat sorotan dari Suara Karya. Media ini
menganggap bahwa celoteh Soeharto diibaratkan cara seorang ayah
dalam mengomeli anaknya. Sebagai presiden, apa yang diucapkan
Soeharto adalah untuk membendung gelombang kritik demi tujuan
pembangunan. Suara Karya menyerukan agar semua pihak yang kontra
terhadap pembangunan TMII harus mampu menahan diri.269
“Achirnja suasana berkembang begitu rupa, sehingga Presiden merasa
bahwa demi kepentingan umum wibawanja perlu ditegakkan dengan
keras, bahkan dirasakan orang teramat keras. Ketika Presiden
267 Sekarang Sudah Djelas, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 30 Desember
1971. 268 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 185. 269 Seruan Ali Sadikin, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 13 Januari 1972.
125
menundjukkan sikap ini, kita pertjaja banyak kalangan merasa
tersinggung. Tetapi kita pertjaja sepenuhnja bahwa dalam
mengemukakan semua itu, Presiden membedakan mereka jang
mempunjai iktikad baik dari mereka jang mempunjai iktikad buruk.
Generalisasi tidak pernah masuk dalam proses berfikir orang jang biasa
menundjukkan kebidjaksanaan seperti beliau.”270
Tak hanya Soeharto, Suara Karya juga menjawab berbagai
kritikan terhadap Golkar. Tuduhan ini disuarakan oleh Harian Abadi
lewat tajuk rencananya dengan judul Golkar Berdebat Kusir? Dalam
tulisannya, Abadi mengatakan bahwa permainan politik massa
mengambang yang dimainkan Golkar adalah cara politik yang
mematikan iklim demokrasi di masyarakat. 271
Dalam menanggapi kritikan massa mengambang itu, Suara
Karya beberapa kali menjelaskan mengenai esensi kebijakan tersebut
lewat rubrik Tajuk Rencana. Tuduhan yang dijawab Suara Karya adalah
gagasan massa mengambang sama dengan prinsip negatif yang dipakai
oleh negara dengan paham liberal. Media ini tak menyangkal bahwa
kebijakan massa mengambang memanglah dipakai oleh negara liberal
seperti Amerika Serikat. Namun, Suara Karya menyebutkan bahwa
masih ada negara liberal yang menerapkan sistem partai massa, seperti
Jerman Barat dan Belanda. Sistem partai massa inilah yang diterapkan di
Indonesia dan diterapkan oleh Golkar.272
270 Kehendak Baik Sadja Tidak Tjukup, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 8
Januari 1972. 271 Debat Kusirnya “ABADI”, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 11 April
1972. 272 Sekali Lagi Floating Mass, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 27 Maret
1972.
126
Kemudian, Suara Karya juga menjawab tuduhan bahwa gagasan
massa mengambang tidak sesuai dengan pasal 27 dan 28 UUD 1945.
Dalam pasal 27 tertulis bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Sedangkan pasal 28
berbunyi bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya, ditetapkan dengan
Undang-Undang. Suara Karya menjelaskan bahwa Golkar tidak setuju
dengan kepengurusan organisasi-organisasi politik yang berada di
tingkat II seperti wilayah pedesaan. Mereka menganggap bahwa
peniadaan organisasi-organisasi partai politik di wilayah pedesaan tidak
bertentangan dengan dua pasal tersebut.273
Suara Karya menegaskan bahwa gagasan massa mengambang
diterapkan untuk mencegah ketegangan-ketegangan konflik ideologi
yang terjadi di masa pemerintahan Soekarno. Menurutnya, jumlah partai
yang besar mampu memberikan doktrin yang akan menghancurkan
stabilitas politik di wilayah pedesaan. Bahkan, perbedaan politik juga
bisa menyebabkan adanya perebutan jabatan yang dilakukan oleh
pemimpin partai di wilayah pemerintahan pusat.
“Boleh sadja “Abadi” berbitjara tentang hak2 azasi dari rakjat desa jang
banjak itu untuk berserikat dan berkumpul, bahkan untuk memperoleh
kepemimpinan dari luar desa sekalipun. Tetapi jang samasekali tak
dapat dimengerti adalah kalau eksistensi hak2 asasi itu selalu
dihubungkan dengan, dan seolah2 tergantung kepada kehadiran
organisasi2 politik di desa2. Padahal fakta selama 20 tahun lebih
membuktikan bahwa kehadiran partai2 didesa hanja menundjukkan
273 Hak Berserikat dan Floating Mass, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 6
April 1972.
127
inkompetensi dan penjalahgunaan tingkat kesadaran rakjar desa jang
masih sederhana.”274
Kritik lain yang disuarakan Abadi yakni tentang hubungan
Golkar dengan ABRI. Lewat tulisan di Tajuk Rencana, Abadi
menuliskan bahwa Golkar adalah badan penyalur aspirasi strategi dan
politik yang dikehendaki oleh ABRI. Media ini juga berpendapat bahwa
Golkar adalah suatu organisasi politik yang dibina dan dipimpin oleh
ABRI, mirip dengan sistem yang diterapkan oleh Adolf Hitler di Jerman
dan Franco di Spanyol.
Mendapat tuduhan itu, Suara Karya menuding bahwa tuduhan
Abadi sangat naif dan tidak berdasarkan argumen yang jelas. Bahkan,
tindakan Abadi seolah sama dengan yang propaganda yang dilakukan
oleh PKI atau pun Darul Islam (DI). Apabila Suara Karya mengikuti cara
Abadi dalam menyampaikan tuduhan, maka Suara Karya juga
menganggap bahwa Abadi adalah koran yang menjadi corong dari partai
PKI atau pun DI. Walaupun Suara Karya mengakui bahwa tuduhan
seperti ini akan ditolak juga oleh Abadi karena sama-sama tidak
menggunakan argumen yang logis.
“Begitu pula halnja dengan program dan strategi Golkar, adanja suatu
kesamaan dengan kehendak ABRI tidak dengan sendirinja berarti
bahwa Golkar adalah badan penjalur dan pelaksana dari keinginan
ABRI. Dan djika kesamaan itu ada, hal itu memang sudah semestinja,
karena ABRI sendiri merupakan salah satu komponen dari keluarga
besar Golongan Karya. Dalam konperensi persnja baru2 ini, Sekdjen
Golkar Sapardjo telah menerangkan bahwa hubungan antara Golkar
274 Debat Kusirnja “ABADI”¸Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 11 April
1972.
128
dengan ABRI “bukan semata-mata sebagai partner tetapi lebih dari itu,
sebab Golongan Karya terdiri dari komponen2 ABRI, Pegawai Negeri,
dan komponen non-ABRI, non-pegawai negeri.” Maka adalah logis
djika persamaan itu ada karena setiap sikap dan pendirian jang diambil
oleh Golkar adalah merupakan suatu interaksi diantara komponen2nja,
dimana ABRI termasuk didalamnja.”275
Kritik yang selanjunya disorot Suara Karya adalah isu tentang
investor asing yang disebut cukong. Istilah cukong sendiri berasal dari
bahasa cina yang berarti seseorang dengan pemilik modal tinggi. Dalam
tajuk rencananya, Suara Karya menganggap istilah cukong ditujukan
untuk seorang Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Cina yang
kebetulan mempunyai modal yang masuk ke dalam kategori modal
domestik. Dalam hal ini, Suara Karya mengakui bahwa modal domestik
dari kalangan tersebut juga menjadi potensi yang perlu dimanfaatkan
untuk pembangunan pemerintah. Menurut media ini, tak masuk akal
apabila pemerintah pusat hanya mengandalkan modal asing lewat UU
PMA tanpa memikirkan adanya peluang pembangunan lewat modal
domestik yang sudah diatur dalam UU PMDN No. 6 Tahun 1968.
“Kini munculnya kembali soal percukongan ini menjadi masalah, bisa
saja karena dalam proses pelaksanaan ketentuan2 yang diterapkan UU
bersangkutan terjadi praktek2 yang dirasakan kurang adil dipandang
dari segi pembinaan golongan ekonomi lemah, atau memang UU itu
sendiri belum mencakup ketentuan2 yang secara konkrit
memungkinkan pembinaan tersebut. Dan bila memang demikian
keadaannya, agaknya sudah waktunya pula dipikirkan untuk
mengadakan penyempurnaan2 dalam pelaksanaan atau UU itu sendiri,
275 Inilah Posisi Golkar, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 24 Maret 1972.
129
hingga kecuali pemberian kelonggaran2 itu dirasakan cukup adil, juga
golongan ekonomi lemah merasa mendapat kesempatan yang
wajar.”276
Timbulnya isu ini dianggap Suara Karya sebagai sebuah pintu
ancaman baru terhadap stabilitas politik. Media ini menyarankan agar
pemerintah segera bersikap dengan isu yang berkembang di tengah
masyarakat tersebut. Walaupun sikap berdiam diri dan menunggu apa
yang terjadi selanjutnya masih menjadi tindakan yang wajar. Namun
Suara Karya menganggap bahwa isu ini harus menjadi perhatian agar
tidak menjalar kepada isu horizontal yang menimbulkan perpecahan di
masyarakat.
“Dalam hubungan ini peninjauan kembali peraturan2 pelaksanaan
penanaman modal yang sedang dilakukan pemerintah seyogyanya
harus dapat menjamin berkurangnya ketidak selarasan, umpamanya
dalam soal perkreditan. Selain itu, perbaikan dan penertiban aparatur
negara yang sedang dilakukan, disamping bertujuan memperbaiki
struktur, prosedur dan personalia, juga harus memungkinkan
terlaksananya pengawasan intern yang memperkecil kemungkinan
terjadinya penyelewangan2, karena pada akhirnya kontrol yang
lemahlah yang lebih banyak menimbulkan kesempatan yang
menjadikan seseorang, pencuri. Efektivitas dari pengawasan intern ini,
disatu pihak harus dijamin dengan sanksi2 yang cukup berat, dan dilain
pihak dengan kepastian hukum bagi mereka yang memegang teguh
ketentuan2 yang ada.”277
276 Issue Percukongan, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 15 November 1972. 277 Cegah Emosi Rasialisme, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 23 November
1972.
130
Kritik selanjutnya terhadap pemerintahan ditujukan kepada isu
korupsi. Suara Karya dalam Tajuk Rencananya menjelaskan, isu korupsi
diawali dengan kedatangan Ketua IGGI/Menteri Kerja Sama
Pembangunan Belanda, JP. Pronk berkunjung ke Indonesia. Dalam
kunjungan itu, ia mengatakan bahwa penggunaan bantuan IGGI yang
diberikan kepada pemerintah Indonesia telah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Namun di sisi lain, muncul sebuah pernyataan Pronk
dalam berita di Singapura bahwa Pronk menuduh 30% bantuan IGGI
telah disalahgunakan Indonesia.
Berita ini kemudian ditanggapi oleh beberapa pihak di Indonesia,
termasuk Pronk sendiri. Pronk mengatakan bahwa ia sama sekali tidak
mengatakan apa pun lewat keterangan pers. Kemudian Menteri Negara
Penertiban Aparatur Negara Indonesia, J.B Sumarlin, mengatakan
apabila korupsi telah menjamur, maka pembangunan di Indonesia tak
ada gunanya. Kemudian muncul juga pernyataan Direktur Lembaga
Pendidikan dan Pembinaan Management (PPM), Dr. Kadarman yang
menanggapi pernyataan Sumarlin. Dalam kutipannya di Kompas, ia
mengatakan bahwa korupsi di Indonesia lebih merajalela dibandingkan
masa-masa sebelumnya. Kadarman mengatakan bahwa sebanyak 30%
anggaran dari pendapatan nasional telah dikorupsi oleh para pejabat.
Pernyataan Kadarman kemudian ditanggapi kembali oleh Jaksa Agung
yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Pemberantasan Korupsi (TPK),
Ali Said. Menurutnya, volume korupsi tahun ini relatif mengecil
dibandingkan sebelumnya. Ia melihat dari jumlah uang yang beredar
dibandingkan dengan uang yang dikorupsi. Selain itu, Ali juga
131
menyatakan bahwa kasus korupsi di Indonesia hingga Juni 1973, telah
ditangani oleh TPK dengan jumlahnya yang mencapai 362 kasus.278
Dari penjelasan di atas, Suara Karya pun turut menanggapi isu
korupsi yang ada di Indonesia. Dalam penjelesannya, media ini
mengemukakan bahwa korupsi memang terbukti ada dan menjadi hal
yang biasa terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Untuk
memberantas korupsi, Suara Karya menganjutkan bahwa pemerintah
harus memenahi sistem pemerintahan dan menertibkan aparatur negara.
Tak hanya itu, para pengkritik korupsi juga perlu menjabarkan data
secara khusus dan bisa dipertanggungjawabkan. Dari data itu,
pemberantasan korupsi akan mampu diberantas oleh pemerintah dan
tidak membingungkan masyarakat.279
Berbagai kritik di atas kemudian berpuncak pada diskusi panel
yang diselenggarakan Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) di
Student Center Universitas Indonesia pada 24 Oktober 1973. Diskusi ini
ditujukan untuk memperingati Sumpah Pemuda sekaligus mengundang
berbagai tokoh lintas generasi. Para hadirin tersebut yakni Menteri Luar
Negeri Indonesia Adam Malik, Mantan Walikota DKI Jakarta Sudiro,
Tokoh Pers sekaligus Pendiri Harian Merdeka BM Diah, Tokoh PSI
Soebadio Sastrosatomo, Mantan Presiden Pemerintah Darurat Republik
Indonesia Sjafruddin Prawiranegara, Tokoh PNI Ali Sastroamidjojo,
Mantan Kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang, dan Dosen
Fakultas Ekonomi UI Dorodjatun Kuntoro-Djakti.
278 Isyu2 tentang Korupsi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 19 Desember
1973. 279 Isyu2 tentang Korupsi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 19 Desember
1973.
132
Usai diskusi, para peserta kemudian menutup acaranya dengan
kegiatan ziarah ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Timur. Di
sana, mereka membacakan ungkapan ketidakpuasan dan tuntutan pada
pemerintah yang dikenal dengan nama Petisi 24 Oktober 1973. Petisi itu
berisi beberapa poin yang di antaranya: meninjau kembali strategi
pembangunan dan menyusun satu strategi yang di dalamnya terdapat
keseimbangan di bidang sosial, politik, dan ekonomi yang anti-
kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan; segera bebaskan rakyat dari
cekaman ketidakpastian dan pemerkosaan hukum, merajalelanya korupsi
dan penyelewengan kekuasaan, kenaikan harga, dan pengangguran.280
Dalam menyoroti petisi itu, Suara Karya menjelaskan bahwa
masalah yang tercantum sudah berulangkali diucapkan oleh Presiden
Soeharto. Menurut media ini, masalah yang tertulis dalam petisi sudah
dilaksanakan oleh pemerintah lewat Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN). GBHN sendiri menetapkan bahwa pembangunan juga
memerlukan aspek keadlian dan perataan demi mewujudkan konsep
pembangunan ideal. Selain itu, Suara Karya juga menyarankan bahwa
partisipasi mahasiswa juga diperlukan dalam memperlancar konsep
pembangunan. Dalam kata lain, partisipasi mampu memberikan umpan
balik terhadap penerapan konsep, juga mampu memperbaiki masalah-
masalah yang terjadi dalam pelaksanaan.
“Betapapun perlunya kita setiap kali sama2 mengingatkan kembali
pokok2 masalah yang tercantum dalam Petisi, agaknya lebih perlu lagi
sama2 menginsyafi, bahwa kita sama2 bertanggungjawab
memecahkan masalah dengan cara2 dengan cara2 pelaksanaan yang
280 M.F. Mukthi, Petisi 24 Oktober, historia.id/politik/articles/petisi-24-
oktober-D8Joo, (Diakses pada 12 April 2019 pukul 18.08 WIB).
133
terbaik. Menekankan kembali apa2 yang telah digariskan dalam GBHN
dengan perincian yang terkait dengan kenyataan2 yang belum
memuaskan seperti dinyatakan Petisi, adalah tanggunghawab setiap
warga negara termasuk generasi muda. Tetapi adalah tanggungjawab
bersama –jadi juga tanggungjawab generasi muda– untuk secara kreatif
menemukan jalan2 pelaksanaannya, baik secara makro maupun
mikro.”281
Kritik mahasiswa mencapai puncaknya pada Peristiwa Malari
1974. Seperti dijelaskan bab sebelumnya, Malari 1974 adalah proses
mahasiswa terhadap kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakei Tanaka
ke Indonesia pada 15-16 Januari 1974. Kedatangan Tanaka sendiri untuk
menanamkan investasi dari dana Pemerintah Jepang yang mendominasi
lewat organisasi Asian Development Bank (ADB) kepada pemerintah
Indonesia. Suara Karya sendiri sudah membahas Tanaka sejak
kemenangannya menjadi Perdana Menteri pada 1972. Menurut media
ini, pemimpin muda seperti Tanaka akan lebih berani dalam mencari
prospek-prospek baru terhadap peluang kerja sama dengan pemerintah
Indonesia. Dari pemerintahan Tanaka yang muda, gesit, dan dinamis,
Suara Karya mengharapkan bahwa akan ada sebuah gagasan baru dan
serta dalam pembangunan untuk Indonesia, juga untuk negara-negara
lain yang ada di Asia Tenggara.282
Setahun kemudian, Suara Karya kembali menuliskan tajuk
rencana tentang peluang kerja sama dengan pemerintah Jepang. Pada
1973, Jepang memang sudah membuka gerbang kerja sama dengan
281 Petisi 24 Oktober dan Partisipasi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 30
Oktober 1973. 282 Kemenangan Tanaka, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 6 Juli 1972.
134
negara-negara yang ada di Asia Tenggara. Suara Karya menyoroti
peristiwa demonstrasi yang terjadi di Thailand. Masyarakat Thailand
melakukan protes dengan memboikot barang-barang buatan Jepang. Ini
disebabkan karena kemajuan besar-besaran yang dilakukan oleh Jepang
mendapat sorotan dari berbagai negara di dunia. Negara ini menganggap
perlunya pembatasan terhadap kebutuhan barang-barang impor dari
perusahaan Jepang.
Dalam peristiwa itu, Suara Karya menganggap bahwa kegiatan
bisnis yang dilakukan perusahaan Jepang adalah sesuatu yang wajar
untuk dilakukan. Sebab, bisnis adalah kegiatan moral yang biasa terjadi
dalam kerja sama antar negara. Selama tidak menyimpang dari aturan
yang disepakati, bisnis tetaplah harus berjalan demi kemajuan
pembangunan.
“Hal tersebut tentulah bukan karena kecurangan Jepang, tapi selain
karena posisi obyektif kita waktu itu, juga karena belum seimbangnya
kemampuan bisnis, hingga persoalan kita selanjutnya adalah bagimana
meningkatkan kemampuan bisnis ini. Umpamanya kerjasama
exploitasi hasil2 laut, yang karena posisi kita sewaktu persetujuan
kerjasama ini dimulai, agaknya memang merupakan pilihan yang
paling mungkin diambil. Tapi pengalaman hingga sekarang
menunjukkan, bahwa perlu diadakan penyempurnaan2 yang bukan saja
dapat menjamin kelanjutan persediaan kekayaan laut itu sendiri, tapi
juga sekaligus memberi kesempatan untuk menanggulangi korban2
yang memang tidak terelakkan, seperti terdesaknya nelayan2 kita
sendiri. Demikian pula di bidang2 lain.” 283
283 Sorotan Terhadap Jepang, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 19 April
1973.
135
Sehari sebelum kedatangan Tanaka, Suara Karya turut
menuliskan apresiasinya lewat Tajuk Rencana. Menurutnya, kedatangan
Tanaka nanti akan membahas tentang pertukaran pikiran antara situasi
Indonesia dengan Jepang, baik itu di masalah ekonomi dan perdagangan
maupun masalah politik dan keamanan yang menyangkut kepentingan
bersama. Media ini berharap bahwa kedatangan Tanaka nantinya akan
menjadikan suatu hubungan antar negara yang serasi, tentunya dengan
konsep hidup saling membutuhkan antar negara-negara di dunia.284
Namun, demonstrasi tetap tak terelakkan. Pada peristiwa Malari
itu, para demonstran pun melancarkan protesnya di seluruh wilayah
Jakarta. Huru-hara pun terjadi. 807 mobil dan motor buatan Jepang harus
dibakar massa, sebelas orang meninggal dunia, 300 orang luka-luka, 114
bangunan rusak, juga 160 kg emas raib dari toko-toko perhiasan.285
Menanggapi peristiwa ini, Suara Karya menyatakan prihatin atas apa
yang terjadi. Media ini menganggap bahwa peristiwa kerusakan yang
dilakukan para demonstran tak bisa ditolerir. Mereka mencela sekeras-
kerasnya terhadap perusakan dan tindakan anarkis yang hakikatnya
adalah mengganggu ketentraman dan keamanan masyarakat.286
“Sebagai mahasiswa, yang seyogyanya telah terlatih didalam berpikir
secara analitis dan tidak berdasarkan emosi, seharusnya telah dapat
memperhitungkan apa yang mungkin akan timbul dan terjadi dari
tindakannya. Seharusnya disadari dan diperhitungkan akibat-akibat
284 Membina Pola Hubungan yang Serasi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi
14 Januari 1974. 285 Husein Abdulsalam, Malari 1974: Protes Mahasiswa yang Ditunggangi
Para Jenderal, https://tirto.id/malari-1974-protes-mahasiswa-yang-ditunggangi-para-
jenderal-cDe9, (Diakses pada 3 Februari 2019 pukul 17.09 WIB). 286 Suatu Malapetaka Nasional, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 16 Januari
1974.
136
yang mungkin secara ekstrim akan terjadi dari setiap tindakan. Dan
setiap kemungkinan yang sampai betapa jatuhnya dan betapa
ekstrimnya haruslah diperhitungkan.”287
Akibat peristiwa Malari 1974 ini, pemerintah Soeharto
mengambil tindakan cepat. Mereka menertibkan pelaksanaan hak-hak
dalam berdemokrasi, pers, hingga melakukan penertiban terhadap
kehidupan di dalam universitas maupun sekolah dari berbagai kegiatan
politik. Mereka juga menindak tegas terhadap orang-orang yang
bertindak sebagai provokator dalam kerusuhan Malari.288 Seperti
dijelaskan dalam bab sebelumnya, pemerintah menertibkan beberapa
media massa seperti Indonesia Raya, Nusantara, Harian Kami,
Mahasiswa Indonesia, The Jakarta Times dan Pedoman. Selain itu, 775
aktivis juga turut ditangkap. Beberapa di antaranya yakni Pemimpin
Gerakan Mahasiswa Hariman Siregar, Tokoh PSI Soebadio
Sastrosatomo, Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Adnan Buyung
Nasution dan J.C. Princen, dan akademisi Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.289
Tak hanya itu, pemerintah juga mengambil beberapa langkah
dalam pembenahan struktur politik. Soeharto mencopot Soemitro selaku
Panglima Kopkamtib dan menggantinya dengan Laksamana Soedomo.
Kemudian, Soeharto juga membubarkan lembaga aspri yang diisi oleh
Ali Moertopo dan Soedjono Humardani. Menurut Suara Karya, dengan
287 Pertanyaan kepada Hati Nurani Bangsa, Tajuk Rencana, Suara Karya
edisi 17 Januari 1974. 288 Menegakkan Demokrasi dengan Tanggung Jawab dan Disiplin, Tajuk
Rencana, Suara Karya edisi 18 Januari 1974. 289 Husein Abdulsalam, Malari 1974: Protes Mahasiswa yang Ditunggangi
Para Jenderal, https://tirto.id/malari-1974-protes-mahasiswa-yang-ditunggangi-para-
jenderal-cDe9, (Diakses pada 3 Februari 2019 pukul 17.09 WIB).
137
peralihan jabatan itu, maka penanganan akibat peristiwa Malari bisa
dilakukan secara efektif dan praktis, serta dapat
dipertanggungjawabnkan sesuai dengan konstitusi yang berlaku.290
Usai terjadinya Malari, Suara Karya pun beranggapan bahwa
masalah terpenting yang harus dihadapi pemerintah adalah
mengembalikan kehidupan ekonomi di atas puing kehancuran. Dalam
Tajuk Rencananya, Suara Karya mengajak masyarakat untuk introspeksi
dari kesalahan yang terjadi. Dari sana, maka Indonesia akan lebih bersiap
dalam menghadapi Rencana Pelita periode II dan menjamin stabilitas
nasional demi pelaksanaan pembangunan. 291
“Kita menyambut gembira keputusan yang diambil Presiden ini, karena
dalam waktu singkat Presiden sudah turun tangan untuk memulihkan
kembali mekanisme Pemerintahan. Dengan adanya dua keputusan
penting ini, jelas sekali bahwa Presiden bertekad untuk melaksanakan
tugas pembangunan untuk mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat dengan kemantapan nasional yang tetap
terpelihara.”292
290 Memulihkan Kembali Mekanisme Pemerintahan, Tajuk Rencana, Suara
Karya edisi 29 Januari 1974. 291 Membangun Diatas Puing2 Kehancuran, Tajuk Rencana, Suara Karya
edisi 19 Januari 1974. 292 Memulihkan Kembali Mekanisme Pemerintahan, Tajuk Rencana, Suara
Karya edisi 29 Januari 1974.
138
139
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Media massa menjadi unsur yang tidak bisa dilepaskan tatkala
membahas pemerintahan. Media massa sendiri memiliki sikap terhadap
kebijakan politik. Orientasi media dalam kekuasaan pemerintah terbagi
ke dalam dua jenis, bisa membela masyarakat (oposisi) ataupun menjadi
media partisan pemerintah.
Salah satu media di Indonesia yang terlibat dalam pusaran politik
pemerintah adalah Suara Karya. Awalnya, Suara Karya sendiri
merupakan media yang berfungsi untuk menaikkan elektabilitas Golkar.
Media yang digagas oleh Ali Moertopo dan beberapa tokoh Golkar lain
mampu menjadi faktor dalam mengkampanyean gagasan Golkar dan
Soeharto untuk memenangkan Pemilu 1971. Alhasil, Golkar mampu
mampu menguasai suara terbanyak dengan capaiannya mencapai 62,8%.
Selepas pemilu, mereka tetap menjadi corong pemerintah dalam
gagasan dan kinerja. Namun dalam pelaksanaan pemerintahan, berbagai
dinamika kritik dan kekecewaan memang tak bisa dibantah. Kebijakan
Soeharto selaku Presiden Indonesia tetap tidak bisa dianggap sempurna.
Masih banyak lubang yang perlu dibenahi dalam penerapan kebijakan
pembangunan.
Dari Suara Karya inilah, suara pemerintah kepada masyarakat
menjadi wadah dalam menjelaskan apa yang terjadi dalam lingkungan
dalam pemerintahan. Melalui tulisannya di Tajuk Rencana, Suara Karya
berusaha menyuarakan apa yang dilakukan pemerintah dengan bahasa
yang dimengerti masyarakat. Bahkan, Suara Karya menganggap bahwa
140
peranan pers dalam pemerintahan adalah menyuarakan pembangunan
demi berlakunya stabilitas dalam negeri. Pers, menurut Suara Karya,
harus menjadi penghubung antara pemerintahan dan masyarakat sebagai
dialog pelaksanaan pembangunan.
“Dalam hubungan ini maka ingin dipetikkan disini bahwa bagi negara-
negara berkembang pers mempunyai pula tugas sebagai penunjang
pembangunan. Ia tidak hanya merupakan alat untuk “entertainment” dan
informasi, akan tetapi jauh daripada itu, ia juga merupakan alat memberikan
motivasi kepada rakyat, supaya tumbuh partisipasi masyarakat dalam
pembangunan. Ia haruslah merupakan dinamisator dan katalisator
perusahaan.”293
Pemerintahan Soeharto masih dianggap stabil sebelum terjadinya
peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974. Sifat Soeharto sebagai
harapan dari pemerintahan Soekarno tetap tak bisa disembunyikan.
Dengan latarnya yang militer, Soeharto semakin bertindak agresif dalam
membuktikan kekuasaan terhadap lawan politiknya. Ia membuktikannya
dengan kebijakan membredel pers, mengganti sejumlah pejabat, hingga
menertibkan mahasiswa sebagai pelopor peristiwa tersebut.
Suara Karya sebagai corong pemerintah tetap menyatukan
kepalanya demi pelaksanaan stabilitas dalam negeri. Seperti yang
dijelaskan dalam penelitian ini, Suara Karya memfokuskan fungsinya
sebagai sarana dialog antara pemerintah dengan masyarakat untuk
pelaksanaan pembangunan. Dari sana, media ini tak keberatan dengan
berbagai tindakan repreif yang dilakukan pemerintah, selama tujuan
293 Pers, Sarana Dialog Pemerintah-Rakyat, Tajuk Rencana, Suara Karya
edisi 1 Desember 1973.
141
pembangunan tetap berjalan sesuai fungsinya. Suara Karya bahkan
mengajak masyarakat agar fokus dan tetap menatap masa depan lewat
rencana Repelita II.
Seiring berjalannya waktu, kekuasaan Soeharto kemudian
berhenti pada Mei 1998. Turunnya Soeharto hampir sama dengan
Soekarno, yakni adanya krisis moneter dan minimnya kepercayaan
masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Bersama Soeharto, Suara
Karya turut kena dampaknya. Kekuasaan Soeharto, Golkar, tenggelam
bersama Suara Karya yang kemudian media ini berhenti cetak pada 2017
lalu.
B. Implikasi
Penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan gambaran
mengenai peranan pers dan pemerintahan. Menurut penulis, penelitian
mengenai pers partisan dalam melanggengkan kekuasaan pemerintah
masih minim. Banyak penelitian yang membahas tentang pers sebagai
anjing penjaga untuk menyoroti kebijakan penguasa (oposisi). Dari
penelitian mengenai Suara Karya ini, penulis berharapkan agar pembaca
mampu memiliki gambaran tentang peranan pers partisan kepada
penguasa sebagai pelaksana kebijakan pemerintahan.
C. Saran
Penulis sendiri tak memungkiri bahwa penelitian ini masih jauh
dari kata sempurna. Sebagai contoh, penulis hanya menemukan sumber
yang ditulis pada Agustus 1971. Padahal, peranan Suara Karya menjadi
hal penting dalam awal-awal penerbitannya. Mengingat Suara Karya
sudah terbit sejak 11 Maret 1971. Padahal jika dokumen Suara Karya
142
sudah ada sejak awal penerbitan, maka para pembaca sekalian akan lebih
mengetahui bagaimana peranan media dalam mengkampanyekan
penguasa pada Pemilu 1971 lalu.
Oleh karenanya, tersedianya sumber menjadi hal yang penting
menurut pribadi penulis. Dari sumber yang ada, maka para sejarawan
akan mampu mengkonstruksikan wacana yang dilakukan dalam
penelitiannya. Selain itu, para pembaca akan mampu membayangkan
apa yang sebenarnya terjadi di saat awal-awal pemerintahan Soeharto,
terutama pada awal 1971.
Kemudian, masih ada beberapa kejadian saat pemerintahan
Soeharto. Konsolidasi yang dilaksanakan pemerintah Soeharto berjalan
sempurna ketika menjelang masa 1980-an. Di masa itu, Soeharto sudah
melakukan pembredelan terhadap pers, pengawasan terhadap
mahasiswa, hingga pelaksanaan pemilu 1977. Menurut penulis, apabila
ada yang mengingkan terusan dari penelitian ini, maka penulis
menyarankan agar penelitian Suara Karya selanjutnya dilaksanakan
pada tahun-tahun tersebut.
143
DAFTAR PUSTAKA
Koran
Dungga, J.A. Projek Miniatur “Indonesia Indah”. Tajuk Rencana. Suara
Karya edisi 15 November 1971.
26 Tahun Merdeka. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 16 Agustus 1971.
Cegah Emosi Rasialisme. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 23
November 1972.
Debat Kusirnja “ABADI”. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 11 April
1972.
Demi Kontinuitas Kehidupan Nasional. Tajuk Rencana. Suara Karya
edisi 10 April 1972.
Djauhkan Sikap Konfrontatif. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 27
Desember 1971.
Golkar sebagai Akselerator Pembangunan. Tajuk Rencana. Suara
Karya edisi 20 Maret 1972.
Hak Berserikat dan Floating Mass. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 6
April 1972.
Hari Kesaktian Pancasila. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 1 Oktober
1973.
Hari Kesaktian Pantjasila. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 1 Oktober
1971.
Hari Sumpah Pemuda. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 28 Oktober
1972.
Inilah Posisi Golkar. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 24 Maret 1972.
Issue Percukongan. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 15 November
1972.
Isyu2 tentang Korupsi. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 19 Desember
1973.
144
Kedatangan Menkeu AS. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 5 November
1971.
Kehendak Baik Sadja Tidak Tjukup. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi
8 Januari 1972.
Kehidupan Politik yang Kita Inginkan. Tajuk Rencana. Suara Karya
edisi 5 September 1973.
Kelesuan & Overacting. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 3 September
1971.
Kemenangan Tanaka. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 6 Juli 1972.
Kenapa Floating Mass. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 23 Maret
1972.
Kepertjajaan Tambah Besar. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 16
Desember 1971.
Lahirnya Partai Persatuan Pembangunan. Tajuk Rencana. Suara Karya
edisi 8 Januari 1973.
Masalah Transmigrasi. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 21 September
1971.
Memang Tak Perlu Panik. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 4
November 1971.
Membangun Diatas Puing2 Kehancuran. Tajuk Rencana. Suara Karya
edisi 19 Januari 1974.
Membina Pola Hubungan yang Serasi. Tajuk Rencana. Suara Karya
edisi 14 Januari 1974.
Membuka Tahun Baru dengan Menutup Isyu. Tajuk Rencana. Suara
Karya edisi 3 Januari 1974.
Memulihkan Kembali Mekanisme Pemerintahan. Tajuk Rencana. Suara
Karya edisi 29 Januari 1974.
Menegakkan Demokrasi dengan Tanggung Jawab dan Disiplin. Tajuk
Rencana. Suara Karya edisi 18 Januari 1974.
145
Menghadapi Kenaikan2 Harga. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 23
Oktober 1973.
Menghadapi Sisa2 G30S/PKI. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 29
November 1973.
Mentjegah Revolusi Sosial. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 13 April
1972.
Pantjasilaisasi Pegawai Negeri. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 18
April 1972.
Pembangunan jang Menjeluruh. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 22
Agustus 1971.
Pembinaan Koperasi. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 15 Mei 1972.
Pembitjaraan Schmelzer-Adam Malik. Tajuk Rencana. Suara Karya
edisi 30 Agustus 1971.
Penanaman Modal Asing. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 1
September 1972.
Pengaktipan Rembug-Desa. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 19 April
1972.
Pengembangan Industri Kecil. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 30
Agustus 1973.
Perentjanaan Sosial. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 18 Agustus
1972.
Perlu Investment Board Tunggal. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 8
September 1971.
Perlu Penilaian Berdjangkauan Djauh. Tajuk Rencana. Suara Karya
edisi 8 Oktober 1971.
Pers, Sarana Dialog Pemerintah-Rakyat. Tajuk Rencana. Suara Karya
edisi 1 Desember 1973.
Pertanggungan Jawab Pertamina. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 24
Januari 1973.
146
Pertanggungan Jawab Presiden. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 13
Maret 1973.
Pertanyaan kepada Hati Nurani Bangsa. Tajuk Rencana. Suara Karya
edisi 17 Januari 1974.
Petisi 24 Oktober dan Partisipasi. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 30
Oktober 1973.
Projek Miniatur “Indonesia Indah”. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi
16 November 1971.
Rancangan Repelita II dan RAPBN 1974/75. Tajuk Rencana. Suara
Karya edisi 8 Januari 1974.
Renungan 17 Agustus. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 16 Agustus
1973.
Satu Tahun Mengabdi. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 11 Maret
1972.
Sekali Lagi Floating Mass. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 27 Maret
1972.
Sekarang Sudah Djelas. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 30 Desember
1971.
Selamat Datang. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 25 Agustus 1971.
Selamat Djalan. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 4 September 1971.
Sensus Penduduk 1971. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 6 September
1971.
Seruan Ali Sadikin. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 13 Januari 1972.
Sidang IGGI jang Akan Datang. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 8
Desember 1971.
Sorotan Terhadap Jepang. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 19 April
1973.
Suatu Malapetaka Nasional. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 16
Januari 1974.
147
Tamu Agung dari Nederland. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 29
Agustus 1971.
Tanda Penghargaan untuk Pengusaha2 Swasta. Tajuk Rencana. Suara
Karya edisi 2 September 1972.
Tentang Fusi Partai. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 5 April 1972.
Buku
Abar, Akhmad Zaini. 1995. 1966-1974: Kisah Pers Indonesia.
Yogyakarta: LKiS.
Adam, Ahmat. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran
Keindonesiaan. Jakarta: Hasta Mitra.
Adams, Cindy. 2011. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Jakarta:
Yayasan Bung Karno.
Arismunandar, Satrio. 2005. Zaman Bergerak! Peran Pers Mahasiswa
dalam Penumbangan Rezim Soeharto. Jakarta: Genta Press.
Armada, Wina. 1993. Menggugat Kebebasan Pers. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Bruinessen, Martin van. 2013. Rakyat Kecil, Islam, dan Politik.
Yogyakarta: Penerbit Gading.
Crouch, Harold. 1986. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Sinar
Harapan.
Dahlan, Muhidin M. dan Iswara N. Raditya. 2008. Karya-Karya
Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan.
Jakarta: I:Boekoe.
Elson, R.E. 2005. Suharto: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Pustaka
Minda Utama.
Eriyanto. 2006. Analisis Wacana: Pengantar Teks Analisis Media.
Yogyakarta: LKiS.
148
Feith, Herbert dan Lance Castles (ed.). 1995. Pemikiran Politik
Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES.
Gie, Soe Hok. 1989. Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES.
Gie, Soe Hok. 1999. Di Bawah Lentera Merah. Yogyakarta: Yayasan
Benteng Budaya.
Hill, David T. 2011. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Irsyam, Mahrus dan Lili Romli (ed). 2003. Menggugat Partai Politik.
Depok: Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI.
Jenkins, David. 2010. Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim
Militer Indonesia 1975-1973. Depok: Komunitas Bambu.
Kasemin, Kasiyanto. 2014. Sisi Gelap Kebebasan Pers. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Kasenda, Peter. 2013. Hari-Hari Terakhir Sukarno. Depok: Komunitas
Bambu.
Kasenda, Peter. 2013. Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan
Kekuasaan Selama 32 Tahun?. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kasenda, Peter. 2015. Sarwo Edhie dan Tragedi 1965. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Kasman, Suf. 2010. Pers dan Pencitraan Umat Islam di Indonesia:
Analisis Isi Pemberitaan Harian Kompas dan Republika. Jakarta:
Balai Litbang dan Diklat Kemenang.
Krissantono (ed.). 1984. Pandangan Presiden Soeharto tentang
Pancasila. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Kurniawan, et al. 2013. Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo
Perihal Pembantaian 1965. Jakarta: Tempo Inti Media Tbk.
Lestariningsih, Amurwani Dwi. 2011. Gerwani: Kisah Tapol Wanita di
Kamp Plantungan. Jakarta: Kompas.
149
Luhulima, James. 2007. Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965:
Melihat Peristiwa G30S dari Perspektif Lain. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Mallarangeng, Rizal. 2005. Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia
1986-1992. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Mallarangeng, Rizal. 2010. Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan
Harian Umum Suara Karya. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Moertopo, Ali. 1982. Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta: Centre
for Strategic and International Studies.
Muhaimin, Yahya A. 1990. Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi
Indonesia 1950-1980. Jakarta: LP3ES.
Nimmo, Dan. 2010. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan
Media. Bandung: Remadja Karya CV.
Noer, Delian. 2000. Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis
Perkembangan Politik Indonesia 1945-1960. Bandung: Mizan.
Pour, Julius. 2010. Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan
Petualang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Rachmadi Ricky, dkk. 2005. 32 Tahun Harian Umum Suara Karya:
Berlayar Menembus Zaman. Jakarta: Badan Litbang Harian
Umum Suara Karya.
Raillon, Francois. 1989. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia:
Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974. Jakarta:
LP3ES.
Reeve, David. 2013. Golkar: Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran, dan
Dinamika. Depok: Komunitas Bambu.
Robison, Richard. 2012. Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme
Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
150
Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September
dan Kudeta Soeharto. Jakarta: Institut Sejarah dan Sosial
Indonesia dan Hasta Mitra.
Said, Salim Haji. 2016. Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter
Soeharto. Bandung: Penerbit Mizan.
Seda, Frans. 1992. Simponi Tanpa Henti: Ekonomi Politik Masyarakat
Baru Indonesia. Jakarta: Yayasan Atmajaya dan PT. Gramedia.
Smith, Edward C. 1986. Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia.
Jakarta: Pustaka Grafiti Pers.
Southwood, Julie dan Patrick Flanagan. 2013. Teror Orde Baru:
Penyelewengan Hukum dan Propaganda 1965-1981. Depok:
Komunitas Bambu.
Suharsi dan Ign. Mahendra K. 2007. Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah
Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia.
Yogyakarta: Resist Book.
Sumadiria, A.S. Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan
Feature, Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Surjomihardjo, Abdurrahman dkk. 2004. Beberapa Segi Perkembangan
Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Toer, Pramoedya Ananta. Sang Pemula. 1985. Jakarta: Hasta Mitra.
Vickers, Adrian. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Insan
Madani.
Wanandi, Jusuf. 2014. Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik
Indonesia 1965-1968. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014.
Widjojo, Muridan S. et al. 1999. Penakluk Rezim Orde Baru: Gerakan
Mahasiswa ’98. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Yudhistira, Aria Wiratma. 2010. Dilarang Gondrong! Praktik
Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970an.
Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
151
Yulianti, Dewi. 2000. Semaoen, Pers Bumiputera, dan Radikalisasi
Sarekat Islam Semarang. Semarang: Bendera.
Zulkifli, Arif, dkk. 2018. Seri Buku Saku Tempo: Benny Moerdani yang
Belum Terungkap. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Tesis
Anwar, Roos. 1992. Penampilan Informasi Pembangunan di Surat
Kabar Indonesia (Suatu Perbandingan Melalui Analisis Isi
Berita Pembangunan di Harian Suara Karya dan Harian Suara
Pembaruan). Tesis. Program Pascasarjana. Universitas
Indonesia.
Jurnal
Burhanudin, Jajat. “The Fragmentation of Religious Authority: Islamic
Print Media in Early 20th Century Indonesia”. Studia Islamika
11. No. 1. (2004). 35, 47-48. Juga dapat diunduh di
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-
islamika/article/view/652.
Irfansyah, Azhar dan Nella A. Puspitasari, “Tentang Pasang Surutnya
Badai Itu: Riwayat Pers Kiri di Indonesia (Bagian I)”. Harian
IndoPROGRESS (16 Mei 2014). 9. Juga dapat diunduh di
https://indoprogress.com/2014/05/tentang-pasang-surutnya-
badai-itu-riwayat-pers-kiri-di-indonesia-bagian-i/.
Majalah
Majalah Tempo edisi Khusus Rahasia-Rahasia Ali Moertopo tanggal 14-
20 Oktober 2013.
152
Internet
Abdulsalam, Husein. Kwik Kian Gie, Prabowo Subianto, dan Benang
Merah Mafia Berkeley. https://tirto.id/kwik-kian-gie-prabowo-
subianto-dan-benang-merah-mafia-berkeley-cZTu. Diakses pada
1 Februari 2019 pukul 17.47 WIB.
Abdulsalam, Husein. Malari 1974: Protes Mahasiswa yang Ditunggangi
Para Jenderal. https://tirto.id/malari-1974-protes-mahasiswa-
yang-ditunggangi-para-jenderal-cDe9. Diakses pada 3 Februari
2019 pukul 17.09 WIB.
Faisal, M. IGGI dan Asal-Usul Utang Luar Negeri Indonesia.
https://tirto.id/iggi-dan-asal-usul-utang-luar-negeri-indonesia-
cEW3. Diakses pada 1 April 2019 pukul 23.56 WIB.
Golkar. Sejarah Partai. https://partaigolkar.or.id/sejarah. Diakses pada 4
Desember 2018 pukul 16.16.
Hidayat, Arief. Pemimpin Redaksi Suara Karya Bantah Korannya Akan
Tutup.
https://nasional.tempo.co/read/766858/pemimpin-redaksi-suara-
karya-bantah-korannya-akan-tutup/full&view=ok. Diakses pada
19 Maret 2019 pukul 16.35 WIB.
Iqbal, Muhammad. Nahdatul Ulama Didirikan untuk Membendung
Puritanisme Agama.
https://tirto.id/nahdlatul-ulama-didirikan-untuk-membendung-
puritanisme-agama-cDLL. Diakses pada 18 Desember 2018
pukul 22.03 WIB.
Ketetapan MPRS No. XXIII Tahun 1966 tentang Pembaharuan
Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan
Pembangunan. Diakses dari laman Kemenkeu
Http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/1966/XXIII~MPRS~
1966TAP.HTM pada 9 November 2018 pukul 03.06 WIB.
Khoiri, Ilham. Pemilu 1971, Demokrasi Semu.
153
https://nasional.kompas.com/read/2014/01/11/1932246/Pemilu.
1971.Demokrasi.Semu. Diakses pada 4 Desember 2018 pukul
17.25.
KPU. Pemilu 1971.
https://kpu.go.id/index.php/pages/detail/2018/9/PEMILU-
1971/MzQz. Diakses pada 18 Januari 2019 pukul 21.32 WIB.
Matanasi, Petrik. Pembantu-Pembantu Khusus daripada Soeharto.
https://tirto.id/pembantu-pembantu-khusus-daripada-soeharto-
cFxD. Diakses pada 16 Januari 2019 pukul 23.32 WIB.
Matanasi, Petrik. Prabowo Harus Belajar Sejarah: Wartawan adalah
Bidan Lahirnya RI. https://tirto.id/prabowo-harus-belajar-
sejarah-wartawan-adalah-bidan-lahirnya-ri-da99. Diakses pada
18 Desember 2018 pukul 19.06 WIB.
Matanasi, Petrik. Sejarah Korpri dan Cara Soeharto Mempolitisasi
Pegawai Negeri. https://tirto.id/sejarah-korpri-dan-cara-
soeharto-mempolitisasi-pegawai-negeri-c97N. Diakses pada 9
April 2019 pukul 00.44 WIB.
Matanasi, Petrik. Sejarah Pidato Trikora dan Ambisi Sukarno Kuasai
Papua. https://tirto.id/sejarah-pidato-trikora-dan-ambisi-
sukarno-kuasai-papua-db2m. Diakses pada 17 Januari 2019
pukul 2.19 WIB.
Mukthi, M.F. Petisi 24 Oktober. historia.id/politik/articles/petisi-24-
oktober-D8Joo. Diakses pada 12 April 2019 pukul 18.08 WIB.
Persatuan Islam, Sejarah Persatuan Islam.
http://persis.or.id/sejarah-persatuan-islam. Diakses pada 18
Desember 2018 pukul 21.55 WIB.
Sitompul, Martin. Asal-usul Istilah Orde Baru.
https://historia.id/politika/articles/asal-usul-istilah-orde-baru-
DAoE7. Diakses pada 29 Januari 2019 pukul 21.44 WIB.
Triyana, Bonnie. Riwayat Berdirinya PNI.
154
https://historia.id/modern/articles/riwayat-berdirinya-pni-
PGj0V. Diakses pada 19 Desember 2018 pukul 02.15 WIB.
155
LAMPIRAN-LAMPIRAN
a. Suara Karya edisi harian.
156
b. Suara Karya edisi mingguan
157
c. Profil Suara Karya
158
d. Struktur Redaksi Suara Karya
Penasehat: Sapardjo
Pemimpin Umum: Sumiskum
Wakil Pemimpin Umum: Djamal Ali
Pemimpin Redaksi: A. Rachman Tolleng
Wakil Pemimpin Redaksi: A. Sjamsul Basri
Dewan Redaksi:
Sajuti Melik, Hendro Budijanto (non-aktif), Pintor Simandjuntak, A.
Rachman Rangkuti, Kadjat Hertojo, B. Massora, Herutjahjo.
Staf Redaksi:
Breyman Purwoto, Harris Sjarnaun, Yop Pandie, Saptari K, Herman
Roempoko
Staf Ahli:
Midian Sirait, Sudjati, Cosmas Batubara, David Napitupulu.
159
e. Tajuk Rencana Suara Karya
Tajuk Rencana edisi 1 Desember 1973
Tajuk Rencana edisi 11 Maret 1972
160
Tajuk Rencana edisi 20 Maret 1972 (kiri).
Tajuk Rencana edisi 16 Agustus 1971
(kanan).
161
Tajuk Rencana edisi 16 November 1971.
Tajuk Rencana edisi 16 November 1971.
162
Tajuk Rencana edisi 16 Januari 1974
163
Tajuk Rencana edisi 29 Januari 1974.
164
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama : Agoes Sofyan
Jabatan : Jurnalis Senior di www.suarakarya.id (sekarang)
Media Support di Harian Umum Suara Karya
Tempat, Waktu: Ciputat, 10 Juli 2019 pukul 22.00 WIB.
Keterangan Wawancara:
M: Moderator (Dicky Prastya)
R: Responden (Agoes Sofyan)
R : Sekarang masuk tiga tahun.
M : Berarti 2016 Suara Karya (edisi cetak) sudah tidak ada?
R : Lalu yang validnya saya tidak tahu ya. Ada yang menyatakan
berhenti itu ada memang.
M : Waktu saya cari di google itu ada, tapi dia bicarakan tentang
bantahan. Jadi (pihak) Suara Karya itu membantah kalau sudah
tidak ada.
165
R : Jadi waktu itu sempat berhenti.
M : Vakum jatuhnya ya?
R : Vakum. Kemudian dibantah sama tim redaksinya.
M : Iya saya sudah baca tentang itu.
R : Bangkit lagi Suara Karya.
M : Akhirnya berhenti total?
R : Iya berhenti. Kalau Suara Karya sebetulnya kamu tau kan awal
mulanya suara karya itu ada bagaimana?
M : Iya tau.
R : Mulanya dari partai kan, kamu sudah diulas ya?
M : Sudah, tapi tidak apa-apa kalau mau diulas kembali.
R : Jadi berdirinya suara karya itu tidak terlepas dengan Partai
Golkar, di tahun itu ya. Karena saya masuknya di saat zaman
reformasi. Saya ini kan kuliah sejarah dulu. Saya ketika zaman
reformasi itu, Ketua Umum Partai Golkar Pak Akbar.
M : Siapa?
R : Akbar Tanjung
M : Akbar Tanjung? oh iya.
R : Kemudian pemimpin umunya suara karya Teo Sandiaga.
M : Nanti Saya google aja.
R : Pemimpin Redaksinya Bambang Sadono. Kemudian
Pemimpin Perusahaannya Ms Hidayat. Itu setalah pasca
reformasi, tapi sebelumnya kalau kilas balik antara tahun 1970
dan 1972 itu suara karya untuk menopang Partai Golkar inti
dari pemberitaannya. Pemberitaan pemerintahlah sebutnya.
Untuk menopang Partai Golkar, berita Golkar tapi pemerintah.
Artinya ditunjukkan kepada pemerintah Soeharto. Selang
berjalannya waktu, reformasi terjadi kan. Hal itu
mengakibatkan yang namanya turbulensi pada Partai Golkar
dan Suara Karya tentunya terkena dari dampaknya. Bukan
hanya dari rezim yang lama saja tapi Suara Karya ikut juga
mendapatkan imbas pascareformasi. Apa imbasnya? Ya ini
seperti oplah koran, dari oplah iklan dan dari kerjasama yang
166
menjadi penopang Suara Karya dulu adalah kementerian,
departemen, dan semuanya terkait pemerintah saat itu.
M : Berarti orang pemerintah semuanya?
R : Semuanya, jadi untuk setiap PNS itu mendapatkan koran
tersebut secara gratis. Tiap hari itu mereka tidak mengeluarkan
duit.
M : Tapi lembaganya atau bagaimana?
R : Lembaganya sebenarnya tidak secara merta-merta
melanggankan koran kepada PNS nya. Misal kementerian
perdagangan semua pegawainya dilanggankan koran Suara
Karya. Maka kementerian itu yang membayar kepada pihak
Suara Karya. Dan Suara Karya kan tidak pernah meminta
kepada kementerian itu untuk berlangganan korannya. Mereka
sendiri. Hebatnya di situ mengapa Suara Karya kuat. Jadi orang
Suara Karya tugasnya hanya mengurus administrasi, jadi tidak
perlu meyakinkan kepada klien. Karena dengan sendirinya
mereka dihubungi oleh lembaga terkait. Bahkan Suara Karya
pernah dihubungi menteri.
M : oh iya.
R : Jadi kekuatannya Suara Karya sangat dahsyat pengaruhnya
terhadap Partai Golkar. Bisa kita katakanlah orang-orang yang
duduk di pemerintahan zaman reformasi, otomatis tidak berani.
Karena Pak Harto lengser maka dikurangi, berhenti tidak.
Mereka zaman reformasi tidak enak jadi akhirnya dikurangi,
termasuk segi iklannya. Kalau dahulu itu loyal. Kita malah
tidak meminta mereka memberi. Sekarang reformasi malah
kebalikannya, kita yang meminta.
M : Semenjak tahun 1998 ya?
R : Iya berdekatanlah. Dengan Suara Karya itu jaga jarak karena
mereka berkaitan dengan rezim Soeharto duitnya itu kan. Dia
takut itu diganti. Namun masih eksis sampai tahun 2016.
M : Terakhir terbit pada 2016, apakah masih ingat dengan jumlah
halaman saat itu? Ada 16 halaman atau tetap delapan halaman?
R : Jadi sebelumnya koran Suara Karya berjumlah 32 halaman
hingga 36 halaman saat pada zaman keemasannya ya. Bahkan
167
Suara Karya punya anak media lain yang namanya Suara Karya
Mingguan (SKM).
M : Itu saya lihat pada tahun 1971.
R : Dulu eksis itu. Jadi SKM lebih nuansa beritanya entertaiment.
Atau hiburan walaupun ada sedikit-sedikit berita tentang
kriminalnya. Dan juga ada bintang-bintang film lah dalam
SKM itu.
M : Artis-artis ya?
R : Iya. Bahkan SKM oplahnya malah lebih tinggi pada koran
Suara Karya sendiri. Suara Karya itu bahkan pernah 15ribu
exemplar lho.
M : Tahun berapa itu mas?
R : Di zaman orba, baru setelah orde baru lengser hanya bertahan
7ribu eksemplar. Tapi SKM ketika saya masuk itu sudah tidak
ada.
M : Tidak ada SKM itu dari kapan?
R : Ketika saya masuk ke suara karya itu antara 1999, 2000, 2001,
atau 2002.
M : itu udah tidak ada tuh 2001?
R : Saya tidak tau ya, sebenarnya SKM itu sudah tidak ada sejak
kapan.
M : Kalau sekarang sebagai apa mas? Maksudnya jabatan terakhir
di Suara Karya sebagai apa?
R : Saya sebetulnya begini. Jadi ketika saya masuk Suara Karya,
saya menginginkan masuk ke dalam redaksi karena menarik
di sini. Zaman dahulu kan bagian redaksi sama bagian
usaha/iklan. Redaksi itu murni mencari berita, sedangkan usaha
kan urusannya mengenai iklan, kerja sama, dan promo-promo
lain- lain. Lalu kenapa ketika saya masuk pemred kala itu
namanya Mas Sadono.
M : Bambang Sadono namanya ya?
R : Iya, dulu wakil pemimpin Suara Merdeka di semarang. Suara
Merdeka kala itu saling merajai tirasnya di daerah Jawa
Tengah. Ketika dia masuk menjadi anggota DPR, maka dia
168
diminta menjadi Pimred Suara Karya oleh Teo sama Akbar,
supaya membenahi Suara Karya. Dia Bambang Sadono
dianggap telah mewakili dari kalangan pers. Dia merupakan
Ketua PWI Jawa Tengah. Bahkan dia juga punya kans menjadi
Ketua PWI pusat saat itu. Namun ternyata setelah kontestasi
tersebut, dia menjadi Sekjennya Pak Bambang dan membenahi
Suara Karya. Pertanyaan anda kan apa jabatan saya di Suara
Karya itu di mana? Pada saat itu kan saya menginginkan
menjadi wartawan Suara Karya. Karena saya sudah lama
bersama dengan Pak Bambang. Saya sudah sering membantu
Suara Merdeka dan juga medianya dia. Baik media internal
atau yang kita bikin seperti buku, majalah, indomagazine. Saya
sendiri merupakan anak buahnya dia.
M : Oh anak buahnya. Oke.
R : Jadi dia punya perusahaan sendiri dengan istilahnya menopang
dari Suara Merdeka. Suara Merdeka kan koran, tapi ini
majalahnya, bukunya, kumpulan-kumpulan tokoh
perusahaannya Pak Bambang berada di bawah benderanya
yakni citra almamater. Ketika saya masuk di Suara Karya, saya
sudah mengerti petanya ataupun targetnya dari Bambang
Sadono yakni untuk menyehatkan kembali Suara Karya, dan
ditargetkan sama bos-bos ini untuk mengembalikkan Suara
Karya. Ini tidak otomatis, tidak bisa serta merta. Maka saya pun
diposisikan antara di keduanya. Yakni saya juga bisa masuk ke
bagian redaksi karena sudah profesi. Kita ini istilahnya berbeda
dengan media-media mainstream pada saat itu, karena modal
kelompok-kelompok seperti Dahlan Iskan. Kalau di sini jadi
wartawan itu juga harus bisa mencari iklan. Karena ia harus
survive. Sedangkan Jawa Pos tidak seperti itu. Jadi belum
menyentuh. Untuk independensi redaksi sendiri tidak boleh
dipengaruhi oleh pemimpin pusatnya. Kalau itu saja tidak
boleh apalagi saya kan. Saya bisa saja, semisal ada peliputan
terkait itu segala macam, bisa saja saya mengambil berita
tersebut tanpa koordinasi dengan redaksi. Misalnya isu politik,
saya bisa masuk di politik atau ekonomi juga bisa masuk.
Meskipun ya di situ ada orang-orang redaksi juga tapi sudut
pandangnya yang saya buat itu adalah kerja sama. Istilahnya
tidak terkait isu sentralnya.
M : Paham-paham.
169
R : Misalkan kementerian ini ada isu terkait impor beras. Maka
saya itu tidak masuk ke dalam ranah itu. Di kementrian itu baik-
baiknya aja yang kita blow up. Tapi kita akan masuk misalnya
ketika kawan di desk redaksi tidak bisa menembus di situ.
Namun selanjutnya apakah nanti itu produk beritanya atau
karya jurnalistiknya dibuat oleh kawan-kawan saya di redaksi
atau sebaliknya saya tetap diperbolehkan tau kan.
M : Iya.
R : Itu dinamakan dengan sebutan Media Support. Sekarang saya
bisa dikatakan sebagai Senior dalam Media Support. Itu dulu
ya. Tapi sekarang sudah di redaksi. Intinya saya lebih kepada
redaksi online. Jadi kami media online itu tidak se-intens pada
bidang usahanya sekarang. Melainkan berita-berita yang kalau
ada pertanyaan online sama cetak.
M : Online itu dari tahun 2000-an ya mas? Saya sempat baca buku
yang judulnya 34 Tahun Suara Karya.
R : Itu online-nya sudah ada. Jadi online sama cetak sudah ada, tapi
online persisnya hanya menempatkan begitu saja. Bedanya, dia
digital, sedangkan ini tidak. Pada saat itu Suara Karya sudah
ada online secara masif.
M : Tapi sekarang nama web-nya apa?
R : suarakarya.id
M : suarakarya.id? Nyambung berarti ya? Soalnya saya nyari saat
itu ada tiga yang mengatasnamakan Suara Karya.
R : Apa iya?
M : Suara strip karya, terus suara dot karya. Kalau sekarang saya
tidak tau, waktu saya mengerjakan skripsian, saya juga pusing
mencari yang online mana web-nya yang benar.
R : Sekarang sudah tidak ada ya? Perlu saya ceritakannya tidak?
M : Oh sudah mas, sudah ketemu. Dari cetak kan terakhir.
Sedangkan cetaknya berapa jumlah halamannya?
R : Pada saat jatuhnya itu ya berjumlah 12 halaman.
M : Oh 12 halaman, selanjutnya edisi terakhir kan mas di bagian
redaksi. Itu ada rubrik editorial atau tajuk rencana. Apa saja
170
yang terlibat dalam editorial, apakah pihak redaksi aja? dari
tadi mas sempet bilang marketing juga. Apakah marketing juga
terlibat? Dari Petingginya Golkar mungkin apakah masih
berafiliasi atau tidak? Saya tidak tau mengenai siapa pihak di
balik tajuk rencana? Peran orang di balik itu siapa aja?
R : Jadi namanya tajuk rencana itu didasarkan atas isu yang
muncul. Kita kan punya isitilah rapat redaksi dari pagi. Kalau
zaman era saya masuk ke Suara Karya itu ada empat
pimrednya. Zaman masa Sadono, Bambang Soesatyo sekarang
Ketua DPR, dia bertanggung jawab. Ketiga Ricky Rachmadi.
Kemudian Lalu Mara di posisi keempat. Itu yang akhirnya
Suara Karya menjadi bubar. Kalau Pimrednya sekarang, Atal
S. Depari, ini membidangi online dan mereka semuanya ini
orang Golkar.
M : Oh semuanya orang Golkar?
R : Komisaris. Pengurus 2,3,4 selain Atal. Dia eksnya Suara
Karya.
M : Berarti bisa dibilang kalau pengurus, anggota atau apapun
sebutan, mereka anggota Partai Golkar?
R : Jadi begini lazimnya, Suara Karya sejak era sebelumnya saya
yang mewakili Pak Bambang ini. Profesional tidak ada
pengurus Golkar. Bedanya, Bambang Sadono bukan pengurus
DPP. Dia hanya sebagai fungsionaris, dan bisa menjadi
pengurus DPP di provinsi. Bambang Sadono itu rumahnya di
daerah. Tapi juga bisa sebagai DPP tapi anggota juga. Ia tidak
punya peran penting, baru kemudian pas Bambang Soesatyo
jadi. Dia pengurus sebagai sesuatu experience. Biasanya
menjadi Pemimpin Suara Karya adalah mereka yang menjadi
pengurus DPP Golkar. Sehingga jalur komando itu nanti
memengaruhi tajuk rencana. Dan setelah Bambang Soesatyo ke
Ricky Rachmadi, mereka terikat Pengurus eks DPP. Kenapa
dijadikan mereka itu ketimbang Bambang Sadono sebagai
Pemimpin Redaksi. Setelah itu Golkar pecah. Akbar waktu itu
dia membela pak Harto, angkatan darat, Habibi yang kemudian
ini menjadi pecah. Suara Karya yang menjadi medianya
Golkar menyatakan keluar. Yang memuat berita-berita PKPI
Pak Bambang mendapat teguran. Ini koran golkar mengapa
anda memuat PKPI? Jadi mereka sudah melanggar terkait
171
profesional. Karena ini melihat iklan selama ini dari Bambang
Sadono harus menjadi pengurus DPP Golkar. Sehingga dia
tidak bisa tidak untuk menyuarakan Golkar. Menceritakan
berita Golkar terus menerus. Agar jalur komando Golkar
menjadi jelas serta misi-misinya Golkar. Sudah bisa
dikolaborasikan oleh redaksi dan jadi cita-citanya Golkar harus
diberitakan oleh Suara Karya gagasan Golkar. Berita-berita
miring-miriing tidak dipublikasikan, kecuali kalau dia mau
terkena sanksi.
M : oh kena sanksi juga?
R : Dicopot dari Suara Karya sanksinya. Kalau dari Golkar tidak
diganti, tapi selama ini sanksi tidak pernah terjadi. Hanya
misalnya ada mohon maaf, kasus dari bupati berasal dari
Golkar. Kemudian selagi itu tidak bersinggungan dengan DPP
itu tidak ada masalah meskipun itu tidak cantumkan. Misalnya
nama mas?
M : Saya Dicky
R : Misalnya Bupati Dicky tidak menjadi Ketua DPP Serang,
untuk diberitakan akan menjadi warning. Itu sudah ada
pertanyaan dan ada batasan-batasan kalau si x boleh
dipublikasi. Ada juga saatnya lagi tidak boleh. DPP harus nurut
terkait ini. Ini bicara berita. Sekarang tentang tajuk rencana
kalau yang isinya redaksi dari kontennya. Misal politik itu
bagian redaksi sendiri yang membuat tajuk rencana. Dan
bergilir membuatnya, mulai dari Redpel, kemudian redaksi,
serta masing-masing desk. Misalnya tentang kegiatan Sea
Games, tajuk rencananya ya Sea Games. Misalnya lagi tentang
fenomena k-pop atau hiburan atau masalah mengenai ada
penyakit malari. Maka dari pihak redaksi atau dari masing-
masing desk itu politik ya politik yang membuat tajuk rencana.
Itu kan tidak bersinggungan dengan kepentingan Golkar. Tapi
ada berkepentingan dengan Golkar terkait tajuk rencana tapi itu
pesan dari DPP saja. Hanya kisi-kisi saja. Misalnya sekarang
ini munas Golkar, tau kan sekarang ini pertarungan dari kubu
Airlangga sama kubu Bambang Soesatyo? Itu Suara Karya
harus hati-hati kalau berkaitan dengan raksasa-raksasa ini jadi
Suara Karya harus hati-hati membuat tajuk rencana.
172
M : Oh gitu. Berarti dari dahulu pun waktu Golkar pecah juga kan
kubu-kubuan, Habibie sama yang kubu satu lagi, Suara Karya
hati-hati juga tuh berarti? Maksudnya Golkar pecah, Suara
Karya di pihak mana gitu?
R : Begini, Akbar dengan Edi Sudrajat sudah keluar dari partai
berarti sudah keluar dari Golkar itu tidak masalah ya. Misalnya
Suara Karya memuat tentang partai Golkar saja tidak ada
hubungannya jadi problem itu ketika masih abu-abu jadi
pertarungannya belum final. Misalnya tajuk rencana tidak
boleh menohok kepada salah satu kandidat, baik itu Bambang
atau Airlangga. Dan hati-hati kejadian yang tragis ketika
perpecahan Agung Laksono dengan Aburizal Bakrie tragis
karena pimred kita harus di-banned.
M : Maksudnya di-ban itu?
R : Ya dilengserkan.
M : Siapa pimrednya?
R : Ricky Rachmadi itu.
M : Oke ini contoh kasus ya?
R : Beritanya itu lucu, unik, aneh. Suara Karya pun terkena
imbasnya yang padahal tidak ada urusannya dengan politik.
Kenapa pimred ini lebih condong ke salah satu calon ketua?
Jadi saya ceritakan ya, Ricky itu menjadi pimred pada dua
periode zaman Jusuf Kalla. Dia pimred dan Airlangga itu
sebagai pemimpin perusahaan pada periode pertamanya JK.
Periode keduanya JK, Ricky menjadi lagi sebagai pimred.
Kemudian JK jadi wakil presiden. Ketika JK lengser,
dijadikanlah Aburizal Bakrie sebagai ketua. Masih sama
dengan Airlangga. Ketika Prabowo dan Jokowi bertarung pada
periode pertama itu. Kemudian suara Golkar kan ke Prabowo,
dan kemudian ada ketidakpuasan di dalam internal Golkar,
seperti Agung Laksono yang istilahnya ingin Jokowi. Berita-
beritanya Suara Karya karena pimred kita berafiliasinya ke
Agung Laksono. Jokowi kan bukan kader Golkar, makanya dia
diwakili oleh Agung, kemudian lebih seringnya Agung
Laksono menyuarakan jokowi akan masa depan sama JK. Ini
menjadi pertanyaannya mengapa harus kena ban dan ketuanya
saat itu masih Aburizal Bakrie, dan istilah menurut mereka
173
anda melanggar. Ternyata terkena pada saat munas Golkar
akhirnya pak Ricky diganti dan dinonaktifkan tidak di bagian
redaksi lagi. Dia dicopot sebagai redaktur pelaksana. Fatalnya
itu pernah depannya ada Aburizal Bakrie tapi belakangnya
Agung Laksono. Satu hari pernah gara-gara konflik itu, terjadi
pertarungan antar dua orang ini. Gara-gara konflik di atas
sehari tidak terbit.
M : Mengerikan juga.
R : Ini bukan bohong, tapi betul itu. Namun tidak ada konflik yang
tidak bisa diselesaikan. Buktinya mereka kemudian bergabung
kembali dengan Aburizal Bakrie di DPP Golkar. Suara Karya
belum, nyatanya belum di fase kita-kita.
M : Berarti di zamannya Airlangga tidak ada berhubungan dengan
Golkar ya?
R : Oh iya tidak ada.
M : Berarti sudah putus sama Golkar?
R : Tidak putus secara hukum. Tapi secara ini istilah begini ya.
Saya menggambarkan anda sudah suami istri tapi tidak satu
rumah.
M : Tidak se-ranjang gitu ya analoginya?
R : Kita masih terikat secara emosional Baik kultural ya secara
legal masih tidak ada SK-nya. Secara serta-merta kawan ini
besok tidak dibayar jadi tidak usah ada biaya cetak. Risiko-
risiko pemimpin itu belum ada kasih keputusan berhenti secara
tertulis baik itu pemegang sahamnya. Berhenti aja gitu aja
bahkan bukti otentiknya tidak ada. Sekarang ini perlawanan
kita di situ.
M : Kalau untuk sekarang kan online sudah ada. Tapi masih ini kan,
dan siapa aja yang turut berpengaruh dari investor baik Golkar
pasti, atau dari yang lain? Semisal lembaga masih menyokong
atau masih memberikan sumbangan sebagai pemasukan seperti
dulu untuk online ini?
R : Sekarang ini tidak ada keterikatan, secara struktural tidak ada.
Namun secara emosional, secara pertemanan, dan juga
mungkin kultural yang bisa menjadi hubungan alamiah antara
awak media dengan narasumber. Yang biasa memberi
174
kontribusi tidak hanya pemerintah, atau BUMN, dan
kemeterian saja. Terserah dari apapun. Jadi tidak ada hubungan
dan tidak ada pengaruh dari partai Golkar. Pengaruhnya lebih
kepada hubungan emosional. Bisa saja dari faktor-faktor lain.
Semisal di online ketemu sama dirjen atau Direktur BUMN,
atau swasta, mereka memandangnya ada kepentingan politik
ini yang di cetak ya. Karena memang dalam box/kotak itu
masih ada nama-nama petinggi dari partai Golkar. Mulai dari
Ali Moertopo, atau Pak JK, semua ada di situ. Sekarang mah
tidak ada, buat apa? Mereka juga tidak ada. Jadi pertanyaan
apakah masih kan gitu? Tidak melihat secara emosional,
tingkat Garuda Food, sektor ya dirjen ini. Atau direktur ini,
menteri ini. Juga pernah bersentuhan sebagai narasumber dan
sebagai jurnalis. Itu aja, tidak ada faktor-faktor teknis. Tapi dia
kalau bertanya, saya jawab, kalau tidak ada maka dia mikir
sendiri. Pasti kalo ada hubungannya.
M : Tapi emang berubah ya secara ini?
R : Berubah. Sekarang lebih profesional. Kemudian ini kan boxnya
tidak ada lagi. Ada yang bertanya, seperti yang saya ceritakan.
Tapi masih ada tidak secara institusi saya masih ketemu para
petinggi Golkar.
M : Tapi iya secara struktural tidak ya?
R : Tidak. Malahan tidak ada. Tapi kita ada positif dan negatifnya.
Apa itu positifnya? Ya kita independen, tidak terikat sama
mereka. Ada berita yang menyerang kasus hukum kita pernah
memuat di Suara Karya. Saya ketawa saja, ini baru aja karena
apa website Suara Karya temen saya sendiri, Suara Karya ya
dari kemarin itu.
M : Maksudnya berarti Suara Karya yang kemarin saya cari ada tiga
mas?
R : Pernah Suara Karya ada cetak, pada saat kelompok asli saya
kan bilang menyatakan berhenti semuanya taruh kata ada 80
awak. Malah kita terbit kan mereka tidak mau tau. Yaudah kita
begini saja. Selanjutnya gimana bos awal Suara Karya saja.
Awal-awal Suara Karya begitu saja, kita menunggu saja
bagaimana situasi Golkar akan membaik mulai dari pecah
zaman Agung dengan Bakrie. Itu zamannya Novanto sempet
175
adem. Namun bergejolak lagi, tidak selesai lagi. Jadi cobaan
yang menimpa Golkar dan Suara Karya. Kita sempat kaget
terbitlah itu. Loh kita tidak tau di antara kawan kita ini yang
mendirikan itu juga dibiayai oleh partai Golkar. Malah mereka
mengambil keuntungan di antara orang lain, bahasanya gitu.
Tadinya mayoritas ada 80 orang yang harusnya ini yang diajak
bicara. Ini yang tidak jelas nasibnya, apakah PHK juga tidak
kan? Namun pesangon juga tidak dikasih. Semua tidak dikasih.
Kita pun menunggu status dari pemegang saham ya itu Golkar
maksudnya. Kita kan tidak seperti orang yang sedang marah-
marah. Tapi kita legowo dulu lah, sabar. Tapi ada tidak sabar
itu di antara 80? Ya mereka tujuh orang yang tidak sabar.
Misalnya ini si X. Kita juga berkomunikasi dengan orang
orang Golkar. Tiba-tiba, Dia dikasih amanah Setya Novanto,
Ketua Golkar kan? Misalkan si orang ini, si x ini tidak ada
jabatan di Golkar struktural media seperti Ace Hasan di bidang
redaksi, bidang opini informasi golkar lah misalnya. Si x tidak
ada hubungannya karena dia punya banyak. Novanto
memberikan mandat sama si x, tiba-tiba 7 orang ini
bermanuver, muncullah koran Suara Karya, Harian Suara
Karya namanya. Otomatis kan kita berkomunikasi dengan
tujuh orang ini, bahasanya pengkhianat kali ya. Anda tidak ada
memperjuangkannya dengan kita. Orang ini perwakilan tim di
Suara Karya untuk berkomunikasi di DPR-RI. Sekarang ia
berkhianat, ada tujuh orang, alasannya dia bilang bahwa bos
besar tidak bisa mem-backup kalian semua. Jadi berdasarkan
ceritanya begitu. Tapi tidak dikomunikasikan dengan ini saya
tidak tau. Iyakan yang jelas faktanya kita tidak diajak. Hanya
bertahan tujuh bulan apa setahun gitu.
M : Tujuh bulan? Masih ingat tidak terakhir 2018 atau apa?
R : 2016, selang tujuh bulan kemudian terbit itu Suara Karya baru,
cukup lama juga tapi persisnya tidak tau ya.
M : Setelah tujuh bulan?
R : Di Google ada kok. Tapi tidak mempublikasikan secara terang-
terangan. Ini kesannya koran jadi nih kan anggap tujuh orang
di bidang redaksi, tapi beredarnya hanya di DPR sama DPP
Golkar, di internal gitu. Kemudian akhirnya bubar koran itunya
si bandarnya itu masuk penjara sama novanto.
176
M : Oke saya tau mas. Hahaha.
R : Anda sudah tau lah. terkena kecipratan mereka. Terkena
dosanya jadi orang itu ketika kita ya, mohon maaf ketika di
lapangan kita bingung.
M : Berarti yang fix suarakarya.id ya?
R : Ada sebuah kebingungan. Ini isinya tentang Golkar aja. Kok
ada kebingungan juga beda dengan Suara Karya dulu? Karena
ini anak kemarin sore.
M : Belum berpengalaman gitu ya?
R : Iya, mereka ini orang-orang baru. Jadi kita era lama lah, jadul
begitu. Jadi sentuhan milenialnya tidak ada. Mesti kalau anda
baca Suara Karya yang beredar itu tidak ada jiwanya tentang
seperti dulu. Dan ke Golkaran biasanya menampilkan,
katakanlah orang Golkar itu sangat sarkas.
M : Di Suara Karya yang lama itu maksudnya?
R : Jadi keliatan banget orang Golkar kok narasinya begitu.
M : Oke. Jadi media baru ini beda dengan Suara Karya gitu ya mas?
Oke saya paham. Pertanyaan terakhir nih mas mungkin minum
dulu aja, ada nggak kans buat Suara Karya untuk cetak atau
terbit lagi. Ada harapan atau ada peluang?
R : Sebetulnya kita hanya kembali bersumber pada kapitalisasi ya.
Bisa mengganti ini. Itu faktor logistik iya kan. Ada lah kans
sebetulnya ada. Seharusnya megapa saya mengatakan ada. Ini
dapat ditarik sebagai orang yang pernah dilahirkan oleh partai
dan sekarang masih ada. Berbeda dengan partai politik lain loh,
tidak ada, taruh seperti punya Demokrat, bubar kan? Kemudian
orang-orangnya juga tidak merasa peduli.
M : Bodo amat gitu ya?
R : Pragmatis aja, padahal dia di Demokrat hanya sebagai
kepentingan politiknya. Berbeda dengan Golkar, mereka unik,
ini Suara Karya tidak pernah bisa diambil oleh satu orang.
Orang kaya zamannya pernah memimpin Sriwijaya,
konglomerat. Dia bendahara Golkar, jadi Pemimpin di Suara
Karya. Dari bendehara Golkar, biasanya jadi selama saya di
Suara Karya, satu bendehara Golkar, kedua jadi Pemimpin
177
Perusahaan Suara Karya. Jadi istilah menurut saya, bandarnya
urusan duit. Suara karya itu. ya sisi negatif bergantung pada itu
tapi cost-nya selalu tinggi makanya seperti menyusui. Mungkin
ada yang mau, tapi Suara Karya dominasi satu orang tidak
boleh, sehingga tidak dimiliki satu orang, semisal Aburizal
Bakri, dia Ketua Umum. Jadi semacam ada hukum tidak tertulis
kenapa seperti itu kayanya. Saya bisa menganalisa jangan
samapi seperti tadi, dikuasai satu fraksi. Sama aja ini bukan
pengaruhnya, lebih baik kalau mau bikin aja sendiri, kamu kan
orang kaya konglomerat begitu, tapi tau negatif kita tidak bisa
menuntut siapa.
M : Tak bisa menuntut itu seperti apa?
R : Misal Trans TV bangkrut itu kemudian grupnya Hari Tanoe
tidak gajian, tidak dibayar, yang tanggung jawabn kan Hari
Tanoe. Sedangkan kita tidak jelas. Saking bingungnya Suara
Karya itu siapa kita, ya kembalikan ke partai. Secara hukum
tidak ada partai. Tidak ada notaris itu partai Golkar tidak ada.
Rumit tidak itu? Kebaikannya, pemimpin tunggal itu golkar.
Pertanyaan anda terjawab. Berarti bola di tangannya Ketua
Umum, dia mau menghidupkan apa tidak? Semua
dikumpulkan, bukannya hanya yang mau pengurus partai
Golkar. Tapi ini masih statusnya tidak jelas.
M : Bisa terbit lagi kalau Ketua Umum Golkar bilang iya?
R : Iya asal ketua umum. Tapi tidak tau apakah ketua umum masih
berpihak pada 80 orang itu? Atau kah tidak? Wallhualam.
Yakan bisa aja dia mengambil orang tidak jelas. Kalau begitu,
ini tidak jelas pasti hancur.