mengutuk diri menjadi petani membela harga diri, menyuarakan...

115
1 Mengutuk Diri Menjadi Petani Upaya Pengentasan Jerat “Menjadi Buruh di ladang Sendiri” Para “Petani Gurem Lahan Marginal” Tepi Hutan Pegunungan Surojoyo Kabupaten Rembang Dalam Pemenuhan Sektor Pangan Ditengah Konversi dan Eksploitasi Lahan Sebagai Imbas dari Kapitalisme Tebu Oleh Kholil Rachman dkk Tanah adalah unsur terpenting dalam kegiatan pertanian. Tanah menjadi bagian dari diri petani yang diikat oleh tradisi dan perasaan. Cara berpikir demikian tidak menuntut petani memiliki tanah, namun menguasai atau mengelola tanah sudah merupakan bagian dari kehidupan. Tanah subur, jaringan irigasi, dan subsidi pemerintah nyatanya tak cukup untuk mengangkat hidup Paiman (65), puluhan tahun membanting tulang di sawah, ia akhirnya takluk oleh tuntutan kebutuhan hidup. Paiman adalah aktivis petani di wilayahnya. Ia menjabat Ketua Kelompok Tani Sido Mukti di Desa Jentir, akan tetapi, kebutuhan keluarga mengubur aktivitas itu. Lahan seluas 0,5 hektar (ha) warisan orangtua, dijual untuk menyekolahkan anaknya. Pasangan Sunarwi (60)- Ngatmi (50) memiliki kisah yang nyaris sama. Ketiadaan uang untuk membayar biaya sekolah anak, berobat, dan kebutuhan dapur memaksanya menyewakann 1 ha sawahnya di Desa Nglakeh, seharga Rp 20 juta ke Bos Tebu tahun 2010. Hingga lima tahun kemudian, keduanya harus bekerja serabutan sebagai buruh tandur (tanam), tukang ngarambet (pembersih rumput liar), atau buruh panen, sekadar untuk bertahan hidup. Ketidakseimbangan pendapatan dan beban kebutuhan hidup mendorong petani gurem menjual dan menyewakan lahan. Akibatnya, mereka tidak hanya kian terjebak dalam kemiskinan, tetapi juga pada kekalahan karena kehilangan tanah Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementrian Agama Republik Indonesia TAHUN 2015 Membela Harga Diri, Menyuarakan Kata Hati: Perspektif Anak Seorang Petani Sebuah Pengantar Singkat Oleh: KHOLIL LUR ROCHMAN Ratapan Petani Kecil By. Anonymous Aku ini sakit, sementara kalian berseminar tentang keadaanku di Hotel- Hotel Mewah Aku ini lapar, sementara kalian menumpuk-numpuk laporan tentang keadaanku Aku ini terlantar, dan kalian masih melakukan konferensi yang kurang berarti Kalian Menjual kemiskinanku demi ambisi pribadi Kalian menyelidiki semua yang menjadi kekhawatiranku namun sampai sekarang aku ini tetap sakit lapar dan terlantar Aku hanyalah anak petani gurem. Lahir jauh dari peradaban kota. Disebuah kampung kecil yang masyarakat sebut kampung Pandansili. Disinilah aku dilahirkan. Ditengah-tengah hiruk-pikuk para petani yang berjuang untuk mencapai kesejahteraan. Daun tembakau, bulir-bulir padi, biji-biji jagung menjadi roda penggerak perekonomian masyarakat. Namun beberapa waktu lalu, terdengar

Upload: phungque

Post on 08-Mar-2019

325 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

1

Mengutuk Diri Menjadi Petani Upaya Pengentasan Jerat “Menjadi Buruh di ladang Sendiri”

Para “Petani Gurem Lahan Marginal” Tepi Hutan Pegunungan Surojoyo Kabupaten Rembang Dalam Pemenuhan Sektor Pangan

Ditengah Konversi dan Eksploitasi Lahan Sebagai Imbas dari Kapitalisme Tebu

Oleh

Kholil Rachman dkk

Tanah adalah unsur terpenting dalam kegiatan pertanian. Tanah menjadi bagian dari diri

petani yang diikat oleh tradisi dan perasaan. Cara berpikir demikian tidak menuntut petani memiliki tanah, namun menguasai atau mengelola tanah sudah merupakan bagian dari

kehidupan. Tanah subur, jaringan irigasi, dan subsidi pemerintah nyatanya tak cukup untuk mengangkat hidup Paiman (65), puluhan tahun membanting tulang di sawah, ia

akhirnya takluk oleh tuntutan kebutuhan hidup. Paiman adalah aktivis petani di wilayahnya. Ia menjabat Ketua Kelompok Tani Sido Mukti di Desa Jentir, akan tetapi,

kebutuhan keluarga mengubur aktivitas itu. Lahan seluas 0,5 hektar (ha) warisan orangtua, dijual untuk menyekolahkan anaknya. Pasangan Sunarwi (60)- Ngatmi (50) memiliki

kisah yang nyaris sama. Ketiadaan uang untuk membayar biaya sekolah anak, berobat, dan kebutuhan dapur memaksanya menyewakann 1 ha sawahnya di Desa Nglakeh,

seharga Rp 20 juta ke Bos Tebu tahun 2010. Hingga lima tahun kemudian, keduanya harus bekerja serabutan sebagai buruh tandur (tanam), tukang ngarambet (pembersih

rumput liar), atau buruh panen, sekadar untuk bertahan hidup. Ketidakseimbangan pendapatan dan beban kebutuhan hidup mendorong petani gurem menjual dan

menyewakan lahan. Akibatnya, mereka tidak hanya kian terjebak dalam kemiskinan, tetapi juga pada kekalahan karena kehilangan tanah

Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementrian Agama

Republik Indonesia TAHUN 2015

Membela Harga Diri, Menyuarakan Kata Hati: Perspektif Anak Seorang Petani

Sebuah Pengantar Singkat

Oleh: KHOLIL LUR ROCHMAN

Ratapan Petani Kecil By. Anonymous

Aku ini sakit, sementara kalian berseminar tentang keadaanku di Hotel-Hotel Mewah Aku ini lapar, sementara kalian menumpuk-numpuk laporan tentang keadaanku Aku ini terlantar, dan kalian masih melakukan konferensi yang kurang berarti Kalian Menjual kemiskinanku demi ambisi pribadi Kalian menyelidiki semua yang menjadi kekhawatiranku namun sampai sekarang aku ini tetap sakit lapar dan terlantar

Aku hanyalah anak petani gurem. Lahir jauh dari peradaban

kota. Disebuah kampung kecil yang masyarakat sebut kampung Pandansili. Disinilah aku dilahirkan. Ditengah-tengah hiruk-pikuk para petani yang berjuang untuk mencapai kesejahteraan. Daun tembakau, bulir-bulir padi, biji-biji jagung menjadi roda penggerak perekonomian masyarakat. Namun beberapa waktu lalu, terdengar

Page 2: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

2

kabar pembatasan produksi tembakau. Sungguh berita tersebut sangat menyayat masyarakat. Soalnya dari sekian tanaman yang dibudidayakan tembakaulah yang mampu memberikan nafas lebih dari tanaman yang lain. Dengan tembakaulah masyarakat dapat bertahan hidup lebih lama. Walaupun lahan pertanian dikampung kami tak begitu besar, namun menjadi harapan satu-satunya masyarakat.

Aku ingin menengok kebelakang. Mengenang masa kecilku dulu. Mengenang masa-masa bermain dengan lumpur dan tanaman itu. duapuluh tahun yang lalu atau lebih aku masih kecil. Aku masih duduk di bangku SD. Aku belum mengenal mengenai bertani. Walaupun bapakku seorang petani. Walaupun kakek dan seluruh keluarga besarku seorang petani. Namun lembat laun seiring berjalannya waktu aku mulai terjun. Aku mulai turun. Aku mulai merasakan hidup sebagai petani. Awalnya aku hanya ikut membantu orang tua. Ketika itu usiaku baru menginjak SD. Bukan membantu sih, tapi lebih tepatnya mengganggu pekerjaan orang tua. Namun waktu berganti, hari berganti, minggu, bulan dan tahun berganti. Aku benar-benar terjun sebagai petani. Ketika duduk dibangku SMP aku mulai membantu lebih intensif pekerjaan orang tua. Sebagai petani gurem. Ketika musim tanam tiba. Aku membantu untuk Daud ( memanen benih padi yang telah ditanam untuk dibesarkan). Aku juga ikut tandur (menanam benih padi). Disaat padi mulai tumbuh aku ikut menyiangi atau orang kampung menyebutnya matun. Disaat musim panen tiba aku ikut derep (panen padi). Terus beranjak usia, aku beranikan diri untuk mencoba menerjunkan sepenuhnya untuk bertani. Aku sisikan waktu lebih dimasa SMA untuk mengurus ladang. Ketika itu aku kelas dua SMA. Dimusim tembakau aku niatkan untuk mencoba belajar menanam tembakau dari kecil sampai panen. Walaupun lahan yang aku coba tanami tidak begitu besar. Sekitar 1/8 HA. Dengan bantuan orang tua dan masukan dari berbagai orang didekatku sangat membantuku dalam bertani tembakau. Aku merasakan menjadi petani sebenarnya. Aku merasakan begitu nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan surya yang mengepakkan cahayanya aku telah berada di ladang kecil itu. Ditemani sebuah cangkul, arit, dan beberapa alat pertanian lain aku habiskan masa remaja ku itu. Aku menemukan kenikmatan itu.

Aku menemukan kenikamatan ketika makan. Disaat keringat mulai bercucur deras di tubuhku. Disaat sinar mentari menghantam wajahku. Disitulah kenikmatan nasi bercampus sayur dan sebuah lauk tempe. Disaat siang yang menyala, disaat sore yang hangat aku merasakan semilirnya angin surga menerpaku. Aku merasakan kedamaain seorang petani. Aku merasakannya itu. Mungkin inilah yang membuat para petani betah menjalani rutinitas hidupnya. Terlepas dari penghasilan dan kebutuhan hidupnya. Terdapat kepuasan yang tak ternilai.

Andai saja mereka saudara-saudaraku para petani yang selalu setiap menghidupi rakyat negeri kehidupannya lebih sejahtera. Maka itu adalah puncak kepuasan dari sebuah perjalanan hidup petani. Itulah puncak segalanya hidup mereka. Walaupun kini mereka masih berkutat dengan berbagai kendala mulai mahalnya harga pupuk, rendahnya harga hasil panen, minimnya peran pemerintah tak membuat mereka patah arang. Semoga saja mereka saudaraku semua tetap bertahan menjadi petani dan semoga kesejahteraan akan segera datang sebagai puncak kenikmatan hidup sebagai petani.

Ratapan Petani Kecil merupakan puisi yang aku dapat dari sebuah forum petani, dan inilah yang saya alami sebagai anak seorang petani yang akrab dengan keterbatasan dan kemiskinan. Sebagai pewaris profesi petani kadang saya menjadi sangat emosional jika melihat ulasan atau tulisan yang menjelaskan tentang “kematian” para petani kita, petani Indonesia. Apalagi jika melihat dari dekat fakta bahwa petani kita memang bisa dianggap bukan petani “pengusaha”, melainkan petani “buruh”. Baiklah saya menerima karena itu memang kenyataannya. Saya adalah cucu petani, saudaranya petani dan tetangga para petani. Tapi kenyataan itu tidak lantas membuat kita harus terus menangisi petani kita. Apakah ada solusi dari masalah diatas. Saya yakin selalu ada. Karena tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Saya ingin melihat masalah ini dari kacamata saya sendiri sebagai orang yang tidak bisa dikatakan dekat tetapi sejak kecil melihat kehidupan para petani.

Ternyata masalah yang sangat mengganggu para petani yang saya lihat adalah bagaimana sulitnya mereka mengontrol harga dari hasil pertaniannya, kelangkaan pupuk saat tanam dan mahalnya

Page 3: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

3

harga-harga obat pembasmi hama yang menyerang tanaman mereka. Selalu itu yang menjadi masalah terutama sejak era reformasi berlangsung. Nenek saya pernah bercerita, dulu menanam apapun di ladang rasanya sangat mudah. Tidak perlu pupuk macam-macam dan obatan-obatan kimia yang aneh-aneh.Ketiga masalah diatas adalah konsekuensi dari adanya tiga pilar utama industri yang menunjang kehidupan seluruh masyarakat kita. Industri pupuk, industri obat-obatan, dan industri tani itu sendiri, yaitu petani yang menjadi pekerja lapangan yang langsung berhadapan dengan sawah, ladang dan kebun yang mereka miliki. Disinilah keuletan dan ketrampilan para petani yang dibutuhkan. Sayangnya untuk menjadi petani umumnya masyarakat kita tidak harus mengenyam pendidikan yang tinggi. Kultur dari masyarakat negara Indonesia adalah kultur tani, sehingga sekuat apapun tenaga yang diberikan oleh para penyelenggara negara untuk menyejahterakan rakyatnya tidak akan pernah berhasil jika negara tidak memberi perhatian yang serius kepada ketiga industri diatas.

Sedangkan dua industri yang lain yaitu pupuk dan obat-obatan yang notabene para praktisinya harus mengenyam pendidikan yang tinggi selalu menjadi momok yang menakutkan bagi para petani. Industri penunjang pertanian ini juga tidak bisa disalahkan karena mereka berdiri atas dasar dedikasinya yang diperuntukkan untuk para petani, sehingga menghasilkan produk-produk yang bermanfaat untuk memajukan industri pertanian. Bagaimanapun kedua industri tersebut tidak boleh mati, karena sebagai penunjang bagi berlangsungnya kehidupan petani dan industri pertanian itu sendiri. Sebuah Solusi

Malu sebenarnya mengatakan ini sebuah solusi, tapi menurut saya, sah-sah saja kita menyampaikan sebuah pendapat, syukur-syukur jika pendapat itu menjadi pertimbangan bagi penyelesaian sebuah masalah. Menurut hemat saya, para petani yang terhormat itu tidak dapat dipersalahkan karena mereka adalah korban dari buruknya sebuah sistem dan ketidaktahuan, atau ketidakmauan para penyelenggara negara dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di negeri ini. Mimpi saya kelak jika para penyelenggara negara tidak lagi menganggap dirinya sebagai manusia yang harus dilayani serta dihormati dan berganti menjadi manusia pelayan, maka semua

masalah yang melingkupi hidup berbangsa dan bernegara ini akan berangsur-angsur akan selesai dengan sendirinya. Mudah-mudahan itu tidak lama lagi. Lalu apakah kita akan menunggu masalah akan selesai dengan sendirinya ? saya harap tidak.

Pertama, berkaca kepada fakta di lapangan, saya sering melihat ketika seorang tengkulak menawar harga padi yang dipanen seorang petani. Para tengkulak ini menawar dengan harga rendah dengan memberi alasan logis, “karena harga dipasaran memang segitu, kalau tidak segitu nanti saya tidak dapat untung”. Jadi siapa sebenarnya yang menciptakan pasar. Tentu saja penyelenggara negara. Faktanya adalah tempat terakhir dari padi yang dihasilkan oleh petani ini nantinya akan lari ke lumbung-lumbung yang telah disediakan pemerintah. Artinya pemerintahlah yang membeli padi dari para petani. Karena mayoritas dari masyarakat di Indonesia ini adalah petani, maka saya kurang setuju jika pemerintah membuat lumbung (gudang-gudang) hanya di pusat kota yang disiapkan untuk mengantisipasi agar tetap tersedia bahan-bahan pokok untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh Indonesia. Yang saya maksud adalah pemerintah menentukan harga jual bahan-bahan hasil tani ini dengan harga yang menyulitkan masyarakat dengan alasan yang sekali lagi “logis” karena mahalnya proses pembelian bahan pangan ini dari petani sampai berada di lumbung milik pemerintah. Proses itu adalah termasuk transportasi, pemeliharaan tempat, dan manajemen penyaluran kembali kepada masyarakat.

Mungkin saat inilah saatnya pemerintah memberikan keleluasaan kepada para petani untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan daerah-daerahnya masing-masing, kemana hasil tani itu akan disalurkan. Gambaran jelasnya adalah menggalakkan kembali penyediaan lumbung-lumbung di desa-desa seperti jaman dulu jadi tidak hanya di pusat kota saja. Jaman dulu masyarakat dikenal makmur dalam hal pertanian karena di setiap rumahnya memiliki lumbung-lumbung untuk menaruh bahan makanan yang tahan lama. Para petani menentukan sendiri harga dari hasil taninya kepada pedagang, sehingga petani bisa dianggap sebagai petani pengusaha, karena penentu harga pertama dari bahan pokok yang dihasilkan dari keringatnya.

Page 4: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

4

Tidak ada salahnya jika saat ini pemerintah menyelenggarakan kajian ke desa-desa penghasil pangan. Jika memungkinkan membuat lumbung di setiap desa, kecamatan dan kabupaten sehingga proses distribusi bahan pangan dari petani ke pemerintah tidak memakan biaya mahal. Pemerintah cukup membuat regulasi yang mengatur bagaimana bahan-bahan makanan ini bisa sampai kembali ke masyarakat dengan harga terjangkau. Sedangkan penentuan berapa persen alokasi dari hasil pertanian yang didistribusikan kepada daerah lain yang bukan darah petani sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, semisal di kota-kota dan daerah lainnya. Disinilah nanti akan tercipta pasar daerah, jadi sederhananya pemerintah tidak bisa memberikan harga beras di kota sama dengan harga beras di desa karena dampaknya akan sangat menyengsarakan masyarakat desa yang notabene adalah petani.

Kedua, Pemerintah secara ketat mengawasi jika perlu mengkaji bahan-bahan obat pembasmi hama yang digunakan petani harus benar-benar aman dari lingkungan. Saya sering mendengar para petani berujar “jaman sekarang hama yang memakan tanaman sepertinya lebih kuat dari jaman dulu, dan bahkan kadang lebih banyak”. Jaman sekarang tidak mungkin menghasilkan tanaman yang baik tanpa obat-obat kimia. Yang dimaksud pak tani adalah mereka tidak akan bisa membasmi hama yang meyerang tanaman mereka jika tidak membeli obat dengan harga mahal. Para petani sudah pengalaman bahwa obat yang mahal harganya ternyata lebih baik dan bisa membunuh hama dengan cepat. Ironisnya yang saya dengar dari petani sendiri, obat-obat yang mahal itu bisa membunuh hama penyerang tanamannya sekaligus membunuh hewan-hewan yang semestinya menjadi penunjang bagi keberlangsungan kehidupan tanamana mereka, seperti katak-katak kecil, cacing tanah dan hewan-hewan lain yang seharusnya tidak ikut mati.

Sedangkan mengenai masalah harga yang tidak terjangkau, pemerintah harus turun tangan membereskan kejahatan mafia industri obat-obatan bagi pertanian yang sengaja mencari untung sebesar-besarnya tanpa mengindahkan efek dari lingkungan akibat produk yang dihasilkan mereka. Para akademisi yang nantinya bergerak dibidang industri obat-obatan pembasmi hama tanaman

juga harus diperhatikan. Jika perlu memberikan alokasi dana yang besar untuk melakukan riset dan kajian-kajian yang mendalam bagaimana menghasilkan obat yang aman bagi lingkungan yang menjadi media bagi kelangsungan industri pertanian. Juga harus berani memberikan kesejahteraan lebih bagi para insinyur-insinyur terbaik yang menyumbang lebih banyak dibidang pertanian.

Ketiga, Masalah kelangkaan pupuk sebenarnya hanyalah sandiwara yang sudah diketahui umum. Pupuk yang disediakan pemerintah tidak terdistribusi dengan baik dikarenakan ulah nakal para distributor dan kentalnya kong kalikong antara penegak hukum dan para distributor penimbun pupuk. Jika memang pemerintah serius mengatasi masalah kelangkaan pupuk dan pemalsuan pupuk maka harus berani jika perlu membentuk satgas mafia industri perpupukan Indonesia.

Melihat kenyataan diatas, mungkin kita tidak perlu ikut campur terlalu banyak dengan keadaan politik negara kita. Sudah banyak orang yang akan mengurusnya. Lebih baik kita peduli dengan keadaan petani kita. Karena sudah tidak ada yang peduli lagi kepada mereka. Kita kaum muda yang mulai harus memperhatikannya. Agar dikemudian hari anak cucu kita tetap bisa melihat sawah, tetap tahu padi itu sepeti apa, beras itu asalnya dari mana. Dan agar anak cucu kita bisa menghargai usaha jerih payah nenek moyang. Karena Indonesia adalah titipan anak cucu kita. Bukan warisan nenek moyang. Perlu dibedakan dan dipahami artinya. Agar tidak salah dalam mengambil tindakan.

Peduli dengan kehidupan petani berarti sama halnya dengan peduli kepada seluruh rakyat Indonesia. Karena petani lah yang menjadi tulang punggung dari masalah pangan rakyat Indonesia. Bisa dibayangkan jika ditiap daerah ada gerakan peduli terhadap petani yang jika dikumpulkan akan berkumpullah anak muda Indonesia yang bisa membawa perubahan besar terhadap kehidupan rakyat Indonesia selanjutnya. Pastinya juga akan membantu mengurangi kemiskinan, kelaparan dan membantu mensejahterakan kehidupan petani. Ini adalah hal yang sangat bagus jika bisa dilakukan. Karena akan membawa dampak positif ke berbagai bidang. Jika masyarakat Indonesai sudah terpenuhi kebutuhan pangan, maka kehidupan pun akan membaik. Selain itu anak muda Indonesia akan dipandang dengan baik pula. Karena

Page 5: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

5

telah melakukan hal yang sangat baik untuk kehidupan rakyat Indonesia selanjutnya.

Ada Contoh bagus dari Bunga Amalia Safitri, anak muda dari Bali yang berkesampatan memberikan resentasi di 10 SMA tentang keadaan pertanian Indonesia di Belgia. Dia menceritakan keadaan sebenarnya tentang pertanian Indonesia. Luar biasa tanggapan anak muda disana. Mereka mau bekerja menjadi apa yang mereka mau dalam 1 hari, lalu upahnya mereka sumbangkan untuk program pertanian di Indonesia. Bayangakan mereka yang jauh disana, tidak mempunyai sawah, tidak pernah melihat sawah seperti apa, tidak tahu bertani itu seperti apa tapi mau membantu kehidupan petani di Indonesia.

Tulisan ini hanyalah sikap emosional saya terhadap “yang katanya” matinya petani indonesia. Maka mohon jangan dianggap sebagai sikap pembelaan terhadap petani, walaupun saya adalah anak petani. Para petani adalah orang-orang luar biasa yang sangat berjasa bagi keberlangsungan hajat hidup orang banyak, tanpa dibela pun mereka dengan ikhlas berusaha menyuburkan tanah mereka dan berusaha memberikan hasil tani terbaiknya untuk orang banyak. Karena manusia tidak akan bisa hidup tanpa petani. Apabila hal-hal diatas terlaksanan mungkin fenomena “menjadi buruh diladang sendiri” tidak akan terjadi dan saatnya diakhiri.

Aku hanyalah anak petani gurem. Lahir jauh dari peradaban kota. Disebuah kampung kecil yang masyarakat sebut kampung Pandansili. Disinilah aku dilahirkan. Ditengah-tengah hiruk-pikuk para petani yang berjuang untuk mencapai kesejahteraan. Daun tembakau, bulir-bulir padi, biji-biji jagung menjadi roda penggerak perekonomian masyarakat. Namun beberapa waktu lalu, terdengar kabar pembatasan produksi tembakau. Sungguh berita tersebut sangat menyayat masyarakat. Soalnya dari sekian tanaman yang dibudidayakan tembakaulah yang mampu memberikan nafas lebih dari tanaman yang lain. Dengan tembakaulah masyarakat dapat bertahan hidup lebih lama. Walaupun lahan pertanian dikampung kami tak begitu besar, namun menjadi harapan satu-satunya masyarakat.

Aku ingin menengok kebelakang. Mengenang masa kecilku dulu. Mengenang masa-masa bermain dengan lumpur dan tanaman itu. duapuluh tahun yang lalu atau lebih aku masih kecil. Aku

masih duduk di bangku SD. Aku belum mengenal mengenai bertani. Walaupun bapakku seorang petani. Walaupun kakek dan seluruh keluarga besarku seorang petani. Namun lembat laun seiring berjalannya waktu aku mulai terjun. Aku mulai turun. Aku mulai merasakan hidup sebagai petani.

Awalnya aku hanya ikut membantu orang tua. Ketika itu usiaku baru menginjak SD. Bukan membantu sih, tapi lebih tepatnya mengganggu pekerjaan orang tua. Namun waktu berganti, hari berganti, minggu, bulan dan tahun berganti. Aku benar-benar terjun sebagai petani. Ketika duduk dibangku SMP aku mulai membantu lebih intensif pekerjaan orang tua. Sebagai petani gurem. Ketika musim tanam tiba. Aku membantu untuk Daud ( memanen benih padi yang telah ditanam untuk dibesarkan). Aku juga ikut tandur (menanam benih padi). Disaat padi mulai tumbuh aku ikut menyiangi atau orang kampung menyebutnya matun. Disaat musim panen tiba aku ikut derep (panen padi). Terus beranjak usia, aku beranikan diri untuk mencoba menerjunkan sepenuhnya untuk bertani. Aku sisikan waktu lebih dimasa SMA untuk mengurus ladang. Ketika itu aku kelas dua SMA. Dimusim tembakau aku niatkan untuk mencoba belajar menanam tembakau dari kecil sampai panen. Walaupun lahan yang aku coba tanami tidak begitu besar. Sekitar 1/8 HA. Dengan bantuan orang tua dan masukan dari berbagai orang didekatku sangat membantuku dalam bertani tembakau. Aku merasakan menjadi petani sebenarnya. Aku merasakan begitu nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan surya yang mengepakkan cahayanya aku telah berada di ladang kecil itu. Ditemani sebuah cangkul, arit, dan beberapa alat pertanian lain aku habiskan masa remaja ku itu. Aku menemukan kenikmatan itu. Aku menemukan kenikamatan ketika makan. Disaat keringat mulai bercucur deras di tubuhku. Disaat sinar mentari menghantam wajahku. Disitulah kenikmatan nasi bercampus sayur dan sebuah lauk tempe. Disaat siang yang menyala, disaat sore yang hangat aku merasakan semilirnya angin surga menerpaku. Aku merasakan kedamaain seorang petani. Aku merasakannya itu. Mungkin inilah yang membuat para petani betah menjalani rutinitas hidupnya. Terlepas dari penghasilan dan kebutuhan hidupnya. Terdapat kepuasan yang tak ternilai.

Page 6: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

6

Andai saja mereka saudara-saudaraku para petani yang selalu setiap menghidupi rakyat negeri kehidupannya lebih sejahtera. Maka itu adalah puncak kepuasan dari sebuah perjalanan hidup petani. Itulah puncak segalanya hidup mereka. Walaupun kini mereka masih berkutat dengan berbagai kendala mulai mahalnya harga pupuk, rendahnya harga hasil panen, minimnya peran pemerintah tak membuat mereka patah arang. Semoga saja mereka saudaraku semua tetap bertahan menjadi petani dan semoga kesejahteraan akan segera datang sebagai puncak kenikmatan hidup sebagai petani.

Ada pameo yang mengatakan: ”kalau ingin hidup tentram jadilah petani, kalau ingin dihormati jadilah pegawai negeri, dan kalau ingin kaya jadilah pedagang” Nampaknya kini pomeo tersebut sudah tidak sepenuhnya berlaku. Kehidupan petani jauh dari kesan tentram dan sejahtera. Bahkan menurut Sastraatmadja (2006) petani hidup dalam suasana ketertinggalan dengan kondisi kehidupan yang mengenaskan. Kita yang selalu bangga mengklaim diri sebagai bangsa agraris dan atau negara maritim, ternyata setelah sekian lama membangun, masih belum meraih kemakmuran dari kedua bidang tersebut. Impor beras dan produk- produk pertanian lainnya masih saja terjadi.

Kesan kuat yang muncul sekarang ini adalah bahwa petani merupakan profesi inferior, dan sektor pertanian identik dengan sektor marjinal. Kesan tersebut tidak sepenuhnya salah karena data secara umum menunjukkan hal tersebut. Padahal pada tahun 1970-an antara kesejahteraan petani dengan kesejahteraan tenaga kerja industri tidak begitu jauh berbeda. Namun kini, keadaan tidak lagi berpihak pada petani. Industri melaju jauh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian. Serapan tenaga kerja pertanian memang bertambah, namun kalau sektor pertanian lebih banyak dijejali dengan petani gurem maka sektor pertanian akan menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan. Dalam periode 10 tahun antara 1993-2003 jumlah petani gurem yang semula 10,8 juta telah bertambah menjadi 13,7 juta orang. Oleh karenanya kesejahteraan petani hingga kini masih merupakan mimpi. Pada tahun 2002 dari total penduduk miskin di Indonesia, lebih dari separonya adalah petani yang tinggal di pedesaan. Jumlah rumahtangga pertanian pada tahun 2003 adalah 24,3 juta, sekitar 82,7% di antaranya

termasuk kategori miskin. Demikian juga data persentase penduduk miskin usia 15 tahun keatas menurut provinsi/kabupaten/kota dan sektor bekerja pada tahun 2003 (BPS, 2004) menunjukkan prosentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh kabupaten/provinsi adalah bekerja di sektor pertanian.

Sektor pertanian terus saja terpuruk, sehingga nasib petani tak kunjung sejahtera. Pendapatan keluarga petani disinyalir hanya Rp 500 ribu per bulan sehingga kemiskinan petani menjadi masalah kronis yang sulit terpecahkan. Ketua HKTI pernah mengkritisi kebijakan pertanian yang belum konsisten antar instansi. Contohnya adalah penetapan harga dasar gabah. Kebijakan Deptan untuk menetapkan harga dasar gabah adalah untuk mensejahterakan petani, namun di tempat lain Deperindag membuka kran impor beras sehingga petani tak bisa menikmati harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah. Sementara Bulog belum berperan sebagaimana yang diharapkan sebagai penyangga harga gabah dan mengamankan harga beras. Selain itu nasib petani semakin tidak menentu karena bencana alam seperti banjir atau kekeringan yang menyebabkan hancurnya persawahan Tampaknya nasib petani Indonesia belum secerah yang diharapkan, mereka harus rela hidup prihatin entah sampai kapan.

Besarnya angka kemiskinan di sektor pertanian, mungkin juga berkaitan dengan kemampuan pertanian sebagai buffer pengangguran. Di masyarakat, mata pencaharian sebagai petani kadang digunakan sebagai perlindungan dari status pengangguran. Daripada disebut nganggur, ya mendingan bekerja di pertanian, walau dengan ala kadarnya dan dengan curahan waktu dan kapasitas yang sangat minimal. Hal tersebut turut menjelaskan laporan dalam World Development Report 2003, dimana penduduk desa yang tinggal di area “fragile” (dan umumnya bermata pencaharian petani), meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun ini.

Telah banyak dilakukan penelitian dan kajian faktor-faktor yang mempengaruhi keterpurukan petani. Salah satu diantaranya adalah kesulitan pembiayaan usahatani dan kebutuhan dana cash untuk keperluan hidup selama masa menunggu penjualan hasil panen, menyebabkan banyak petani terjebak sistem ijon dan atau hutang kepada para tengkulak yang mematok harga pertanian dengan harga rendah, dimana para petani sudah tidak memiliki

Page 7: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

7

bargaining position lagi. Demikian halnya dengan rendahnya produktivitas petani kecil sebagai konsekuensi beragam masalah seperti keterbatasan sumber daya manusia petani, penyusutan luas lahan produksi, tidak memadainya sarana produksi dan prasarana yang dibutuhkan usaha tani yang efisien, dan berbagai masalah lainnya. Merujuk World Development Report 2003, penduduk desa miskin yang umumnya petani berhadapan dengan beberapa tantangan yang mempengaruhi potensi pembangunan/ perkembangannya yaitu : 1) terbatas bahkan rusaknya sumberdaya alam, 2) terbatasnya kebijakan dalam pengembangan teknologi produksi dan proses “secondary crops”, 3) jeleknya infrastruktur (transportasi, komunikasi, energi) dan tidak memadainya perhatian dari institusi pembangunan (pendidikan, kesehatan, investasi), 4) marjinalnya Social budaya (kekuasaan, suara, hak tanah, tenure) dan terbatasnya kesempatan ekonomi lokal (pertanian, off-farm, kesempatran kerja di kota). Demikian banyak permasalahan yang dihadapi petani kecil dan miskin, menyebabkan kedaulatan petani semakin jauh dan sepertinya masih sekedar wacana dan angan-angan.

Dibalik kuatnya kesan keterpurukan kehidupan petani, dalam kenyataannya di lapang terdapat sekelompok petani yang maju dan hidupnya sejahtera. Namun karena jumlahnya yang relatif sedikit, keragaan sekelompok petani maju tersebut seakan-akan seperti sebuah penyimpangan yang positif (meminjam istilah yang berkembang dalam penelitian pertumbuhan dan perkembangan psikososial anak "positive deviance”). Bayangan yang segera muncul dalam mengasosiasikan petani sukses adalah kepemilikan lahan yang luas. Padahal tidak semuanya demikian. Petani ikan hias atau petani tanaman hias terkadang memiliki lahan yang relatif sempit atau tidak jauh berbeda dengan petani tanaman pangan pada umumnya, namun bisa memberikan keuntungan yang jauh lebih besar. Bagi petani maju, kepemilikan lahan yang luas bisa disebabkan baik karena kemampuannya mempertahankan asset yang sudah dimiliki dan diturunkan keluarga besar (warisan) sebelumnya, dan atau kemampuan mengembangkan dan menambah luasan kepemilikan lahan sebagai konsekuensi keberhasilan usahataninya. Kedua penyebab tersebut sama-sama

berkaitan dengan kemampuan manajerial usaha pertanian sebagaimana pengelolaan bisnis-bisnis lainnya.

Pada umumnya petani maju memiliki visi yang lebih baik berkaitan dengan usahataninya; bahwa menjalankan usaha pertanian bukan hanya kegiatan usaha rutin yang harus dijalani, melainkan sebagai pilihan hidup yang membutuhkan kreativitas dan prasyarat bisnis lainnya. Para petani maju adalah mereka yang berani menanggung resiko dan mampu keluar dari situasi yang membelenggu dinamika dan kreativitas usaha. Mereka menjalankan usaha tani sebagaimana bisnis lainnya dengan prinsip-prinsip bisnis, dan bukan semata menjalankan usahatani sebagai kegiatan budaya terkait dengan kegiatan turun temurun yang telah dilakukan nenek moyangnya. Pengamatan secara acak menunjukkan bahwa petani maju dan sukses kebanyakan yang bergerak dalam usaha pertanian yang memiliki kekhasan seperti tanaman hias, ikan hias, komoditas perkebunan seperti karet, kopi, lada, atau petani yang mengelola lahannya dengan beragam komoditas yang memiliki nilai jual yang baik. Hal tersebut berbeda dengan para petani tanaman pangan yang menunjukkan keterampilan pengelolaan usahatani yang sangat beragam. Karena besarnya prosentase petani Indonesia yang mengusahakan pertanian tanaman pangan, maka jumlah petani miskin banyak yang bergerak di sektor ini.

Pertanian adalah kegiatan usaha yang sama saja dengan usaha lainnya, di dalamnya bekerja kaidah-kaidah bisnis seperti pengambilan keputusan, pengelolaan sumberdaya, tuntutan untuk menciptakan nilai tambah, ke-uniq-an produk, kepioniran, juga dinamis. Jika kaidah tersebut dijalankan maka pertanian dapat mensejahterakan petaninya. Beberapa contoh aplikasi kaidah bisnis tersebut antara lain adalah :

Menuntut daya inovasi, kepioniran, juga keunikan. Hal tersebut ditunjukkan oleh kisah sekelompok pemuda yang pertama kali memperkenalkan buah Melon di Indonesia tahun 1980-an. Juga kisah petani yang pertama mengintroduksi kultivar baru tanaman hias Aglonema di tahun 2000-an. Daya inovasi dan kepionirannya berbuah kesejahteraan bagi yang bersangkutan.

Berlaku kaidah efisiensi, produktivitas dan nilai tambah. Sama dengan bisnis lainnya, pertanian adalah kegiatan pengelolaan

Page 8: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

8

sumberdaya untuk memperoleh nilai tambah. Keberhasilan optimal akan diperoleh jika pengelolaan dilakukan dengan efisien, produktivitas yang tinggi dan nilai tambah yang tinggi pula.

Menuntut kemampuan leadership dan manajerial. Pertanian dalam skala yang paling kecil sekalipun tidak dapat dikerjakan sendiri, tetapi harus dikerjakan oleh lebih dari satu orang, sehingga mebutuhkan kemampuan leadership dan managerial si petaninya. Pada skala yang lebih besar kemampuan tersebut akan lebih menonjol dan menjadi salah satu faktor kunci keberhasilan. Leaderhip dibutuhkan dalam mengelola para pekerja yang digunakan. Manajerial dibutuhkan untuk mengelola semua sumberdaya yang dikerahkan mulai dari managemen personalia, keuangan, pemasaran, produksi, persediaan dan sebagainya. Butuh informasi akurat dan teknologi. Bagi petani /pelaku bisnis pertanian, disamping kemampuan penguasaan teknologi budidaya, pasca panen dan pengolahan, juga dituntut penguasaan atas informasi yang akurat. Bagi komoditas hortikultura (sayuran) yang perubahan harganya harian, informasi harga sangat penting bagi penentuan waktu panen dan tanam.

Oleh karena itu, salah satu masalah sekaligus tantangan pembangunan pertanian selama ini adalah bagaimana meningkatkan keterampilan petani agar mengimplementasikan kaidah bisnis dalam usahataninya. Peningkatan keterampilan usahatani petani dapat dilakukan baik melalui penyuluhan pertanian maupun melalui peningkatan keterpaparan petani terhadap informasi pembangunan pertanian. Dengan demikian petani dapat mengambil keputusan penting terkait komoditas pertanian yang layak diusahakan, karena diprediksi akan memberi keuntungan yang besar serta resiko yang terkontrol.

Rembang Desember 2012

DAFTAR ISI

Bab I: Pendahuluan

A. Obyek penelitian B. Alasan memilih obyek dampingan C. Kondisi subyek dampingan saat Ini D. Kondisi subyek dampingan yang diharapkan E. Staregi yangdilakukan

Bab II: Memperjuangkan Nasib: Deskripsi Keberadaan Petani Padi dan Petani Tebu dalam Belenggu Kemiskinan

A. Nasib petani padi: kemiskinan di lumbung pangan 1. Tanah subur petani tak makmur: belajar dari Pak

Sukardi 2. Belajar dari kisah petani miskin 3. Kemiskinan Petani ditengah kenaikan produktifitas

padi B. Nasib petani tebu: tak semanis yang diharapkan C. Beragam upaya pemberdayaan dari belenggu

kemiskinan

Bab III: Mengutuk Diri Menjadi Petani: Telaah terhadap Realitas Kehidupan Petani Gurem Lahan Marginal Pegunungan Surojoyo Kabupaten Rembang

A. Petani Gurem: Tipologi Masyarakat Tepi Hutan B. Diagnosis Kemiskinan Masyarakat Tepi Hutan

1. Konsep Kemiskinan 2. Gambaran Umum 3. Permasalahan Kemiskinan 4. Kegagalan Pemenuhan Hak Dasar

a. Terbatasnya Kecukupan dan Mutu Pangan b. Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu

Layanan Kesehatan c. Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu

Layanan Pendidikan

Page 9: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

9

d. Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Berusaha e. Terbatasnya Akses Layanan Perumahan f. Terbatasnya Akses Terhadap Air Bersih g. Lemahnya Kepastian Kepemilikan dan

Penguasaan Tanah h. Memburuknya Kondisi Sumberdaya Alam i. Kurangnya Keamanan dan Ketertiban Umum j. Lemahnya Partisipasi k. Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Gender

C. Isu Strategis

Bab IV: Upaya Pemberdayaan Ditengah Konversi dan Eksploitasi Lahan sebagai Imbas Dari Kapitalisme Tebu Bab V: Collective Parming: sebagai Alternatif Strategi Pemberdayaan Bab VI: Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN

Selama ini kita hanya memahami bahwa, petani adalah produsen pangan. Kalau direnungi mendalam, kenyataan tidak sesederhana itu. Di tengah mainstream penafsiran produsen pangan, petani sebenarnya konsumen. Seluruh tahapan proses produksi petani jadi konsumen sejati. Sebelum olah tanah, petani membeli benih (padi), setelah olah sawah, petani membeli segala jenis pupuk. Hingga tahap pertumbuhan padi, petani membeli segala macam obat-obatan, pestisida1 sampai insektisida2. Petani juga pangsa pasar aktif, jadwal konsumsinya jelas dan pasti. Menggiurkan bagi perusahaan saprotan (sarana produksi pertanian). Tak ada proteksi signifikan terhadap petani selaku konsumen. Pupuk, komoditas paling banyak menguras modal, meski telah disubsidi, kenyataan petani tak pernah menikmatinya. Di sentra pangan, pupuk sampai ke tangan petani, selalu lebih mahal. Subsidi hanya dinikmati pedagang di rantai distribusi pupuk. Belum lagi benih yang "nir-subsidi", juga obat-obatan. Proses transaksi sepenuhnya liberal, produsen seenaknya menaikkan harga. Perusahaan saprotan berpikiran, bila petani tidak membeli, dengan apa hama sundep, kelep atau wereng cokelat yang menyerang sawah diberantas. Petani jelas tak mau kehilangan momen satu-satunya yang jadi andalan, ialah panen. Apakah

1Pestisida adalah substansi kimia dan bahan lain serta jasad renik dan

virus yang digunakan untuk mengendalikan berbagai hama, yang dimaksud hama di sini adalah sangat luas, yaitu serangga, tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria dan virus, kemudian nematoda (bentuknya seperti cacing dengan ukuran mikroskopis), siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan. Pestisida juga diartikan sebagai substansi kimia dan bahan lain yang mengatur dan atau menstimulir pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman. Sesuai konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), penggunaan pestisida ditujukan bukan untuk memberantas atau membunuh hama, namun lebih dititiberatkan untuk mengendalikan hama sedemikian rupa hingga berada dibawah batas ambang ekonomi atau ambang kendali.

2Insektisida adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh serangga (biasanya dengan mengusapkan atau menyemprotkannya); obat pembunuh serangga

Page 10: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

10

setelah panen petani senang. Tidak demikian. Memang ada proteksi harga dasar (HD), tetapi mekanisme pasar bebas yang mengepung HD jauh lebih kuat hingga gabah tetap saja berharga rendah. Dominasi mafia gabah lebih ampuh dalam memainkan harga. Kapan harga dikerek dan kapan harus dibanting, mereka lebih paham, dan memiliki instrumen riil di lapangan.

Liberalisme di sektor pertanian penyebab petani tak memiliki posisi tawar. Dalam proses produksi pangan, kewenangan terbatas di lingkup on-farm, sedangkan off-farm3, sepenuhnya di luar kuasa petani. Belum lagi ketimpangan sosiologi, bahwa apa yang disebut petani kenyataannya buruh tani. Modal produksi cuma tenaga, sedangkan tanah, sepenuhnya milik tuan tanah yang punya gabah menumpuk tanpa sebercak pun lumpur sawah mengotori bajunya. Proses produksi pertanian tak ubahnya industri manufaktur. Ada buruh dan pemilik modal. Buruh jual tenaga lalu dibayar, pemilik modal mutlak memegang policy perusahaan. Hal sama pada buruh tani. Celakanya, tidak ada undang-undang yang memproteksi "hubungan industrial" di petak-petak sawah berlumpur itu, termasuk dalam kapasitas petani (buruh tani) sebagai konsumen.

Berdasarkan lapangan pekerjaan, dari 95,5 juta penduduk yang bekerja, sekitar 42,05% dari mereka bekerja di sektor pertanian. Sektor-sektor lain yang cukup besar peranannya dalam penyerapan tenaga kerja di antaranya sektor perdagangan (20,13%), industri (12,46%) dan jasa (11,90%). Di negara yang

3 Kegiatan on farm yaitu usaha budidaya tanaman dilakukan petani pada

musim hujan, sedangkan pemeliharaan ternak dilakukan secara tidak intensif. Kegiatan of farm yang umum dilakukan yaitu sebagai buruh tani di lahan kering pada musim hujan sedangkan pada musim kemarau menjadi buruh tani di lahan sawah. Kegiatan non farm yang umum dilakukan petani adalah sebagai tukang, buruh bangunan dan menjadi TKI ke luar negeri. Allokasi waktu yang digunakan petani untuk kegiatan on farm lebih sedikit dibandingkan kegiatan of farm dan non farm. Di bidang on farm yaitu dalam hal budidaya tanaman, petani umumnya tidak bertanam secara monokultur tetapi lebih banyak bertanam secara tumpangsari. Jenis tanaman yang ditumpangsarikan umumnya yang memiliki umur panen berbeda atau tanaman tersebut sengaja ditanam dengan waktu tanam yang berbeda sehingga waktu panennya berbeda pula. Teknik bertanam ini merupakan strategi petani untuk mendapatkan sumber pendapatan berkesinambungan selama satu tahun disamping mengurangi resiko kegagalan panen karena ketidak pastian curah hujan

didominasi penduduk yang menggantungkan ekonominya pada sektor pertanian (baik secara langsung maupun tak langsung) ini, sektor pertanian ibarat "benang kusut". Carut-marutnya problem pertanian di Indonesia tak menemui ujung dan pangkal. Kompleksnya permasalahan menempatkan petani pada strata masyarakat yang lemah dari jaman ke jaman. Selama itu pula, petani selalu hanya menjadi objek dalam setiap peristiwa politik dan "pembangunan". Sebagai objek, petani selalu ditempatkan pada posisi tidak menguntungkan dalam setiap kondisi. Pada saat musim penghujan datang (air melimpah dan banjir) petani harus merugi karena tanamannya rusak. Begitu musim kemarau tiba kondisi juga tidak membaik, petani dihadapkan pada kekeringan yang membuat menurunnya tingkat produksi atau bahkan gagal panen karena puso. Hal yang sama terjadi pada persoalan harga produk pertanian, terutama padi. Pada saat produktivitas tinggi, petani berharap mendapat untung. Nyatanya saat produksi melimpah harga pun jatuh. Lebih buruk lagi saat produktivitas kurang yang berarti stok pangan menipis. Harga yang tinggi justru menimbulkan masalah karena mayoritas petani kita (75 persen) hanya buruh tani atau petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar4 yang merupakan net consumer (mengonsumsi lebih banyak daripada yang dihasilkan).

Fenomena yang sama terjadi pada masalah saprodi atau asupan pertanian. Pada saat harga saprodi (pupuk, bibit, pestisida) mahal dan distribusi kurang, petani tidak dapat menjangkau. Ironisnya saat petani kita mampu menghasilkan sendiri bibit/benih unggul dengan harga murah, justru mereka dihadapkan dengan masalah baru di "meja hijau" dengan dalih hak paten. Ujungnya bisa ditebak, argumentasi sederhana dari orang sederhana seperti petani jarang menang bertarung pendapat dalam logika hukum yang berpihak pada pemodal. Seringkali justru terjadi kriminalisasi kepada rakyat sebagai korban sehingga menimbulkan trauma

4 Pada tahun 2000, sekitar 42 juta keluarga di Indonesia (sekitar 124 juta

orang) terdata sebagai petani. Sekitar 10 juta dari keluarga-keluarga petani ini tidak punya tanah sama sekali, sedangkan 10 juta keluarga lainnya hanya memiliki tanah kurang dari setengah hektar. Dari 190 juta hektar bidang tanah, petani memiliki 8 juta hektar, sedangkan perkebunan negara memiliki 23 juta hektar

Page 11: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

11

psikologis. Fakta lain paling mutakhir petani juga dihadapkan pada persoalan semakin meyempitnya lahan pertanian. Nyatanya ada sekitar 120.000 hektar lahan pertanian beralih fungsi pada setiap tahunnya.

Me-review sejarah panjang pertanian di negeri ini, membuat kita mendapatkan gambaran (meski tidak lengkap) tentang berbagai persoalan yang dihadapi petani dari jaman ke jaman. Beberapa persoalan tersebut dapat dikategorikan dalam beberapa simpul, diantaranya adalah:

Pertama, salah satu persoalan pokok dalam pembangunan pertanian di Indonesia adalah sempitnya rata-rata penguasaan lahan oleh petani, sehingga petani tidak dapat melakukan produksi pertanian secara efisien. Termasuk beberapa program yang dijalankan pemerintah melalui Kementrian Pertanian juga kurang berjalan. Ini merupakan problem mendasar yang dialami oleh kaum tani di Indonesia. Kepemilikan lahan kecil sangat susah untuk memacu penghasilan dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tahun 1993-2003, rata-rata luas lahan pertanian turun dari 0,80 ha menjadi 0,72 ha. Di Jawa, rata-rata luas lahan pertanian turun dari 0,47 ha menjadi 0,38 ha. Akibatnya, jumlah petani gurem, yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha, meningkat 2,17 persen per tahun, jumlahnya 13,3 juta rumah tangga tahun 2003. Ini berarti bahwa lebih dari 55% rumah tangga pengguna lahan adalah kategori petani gurem. Penyempitan lahan pertanian selain karena penambahan jumlah rumah tangga tani juga karena industrialisasi dan konversi lahan. Celakanya, struktur petani di Indonesia didominasi oleh pemilik lahan sempit itu. Hasil penelitian Departemen Pertanian pada tahun 2000 menunjukkan bahwa 88 persen rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 ha. Dengan luas lahan ini, petani hanya mendapatkan keuntungan semusim berkisar antara Rp 325.000 hingga Rp 543.000, atau hanya Rp 81.250 hingga Rp 135.000 per bulan (Kompas, 21/5/2002). Jika setiap rumah tangga petani memiliki anggota keluarga lima orang, maka pendapatan per kapita komunitas petani hanya sekitar Rp 25.000 per bulan atau setara dengan Rp 300.000 per tahun (pendapatan ini bahkan lebih rendah dari tingkat upah minimum per bulan yang diterima oleh tenaga kerja di sektor formal).

Kedua, masalah ketersediaan dan keterjangkauan saprodi (pupuk, bibit, pestisida). Banyaknya kebocoran dalam sistem distribusi selalu menyulitkan petani untuk mendapatkan pupuk dengan mudah dan harga terjangkau. Padahal, saat ini petani kita sudah terlanjur tergantung dengan penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan herbisida akibat program revolusi hijau yang dipaksakan oleh pemerintah Orde Baru. Jika ada yang memulai kembali ke sistem pertanian organik, petani masih dihadapkan pada persoalan pasar.

Ketiga, lemahnya peran pemerintah dalam memberikan proteksi terhadap petani. Jika ada upaya untuk itu, pemerintah seringkali memberikan program yang tidak tepat. Baik waktu, sasaran, dan kebutuhan terutama dalam peningkatan infrastruktur. Hal ini diperparah dengan liberalisasi impor beras yang telah memukul produksi petani dalam negeri, sehingga keuntungan yang mereka dapatkan hampir tidak ada. BPS mencata penuruan NTP (Nilai Tukar Petani) pada tahun 2006 hingga sebesar 15,55% yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi pertanian tidak diimbangi dengan jaminan harga di pasar. Salah satu pendorong dari liberalisasi perdagangan dunia adalah World Trade Organization (WTO), dimana Indonesia merupakan salah satu negara anggotanya. Dengan menjadi anggota WTO, Indonesia harus tunduk atas aturan di dalamnya, yang mengikat secara hukum (legally binding). Dalam konteks pertanian, negosiasi WTO tertuang dalam Agreement on Agriculture (AOA). Negara kaya sangat kuat mengendalikan AOA untuk kepentingan pasar mereka dan sesungguhnya yang terjadi adalah perdagangan yang tidak adil. Pemerintah Indonesia tidak berani mengambil resiko berhadapan dengan kepentingan negara maju dalam melinduangi dan membuka akses perdagangan yang menguntunkan untuk produk pertanian.

Keempat, lemahnya organisasi petani yang mampu menyuarakan aspirasi sekaligus memperjuangkan keluhan petani. Kondisi ini bukan hanya melemahkan posisi petani dihadapan penguasa, tetapi juga menempatkan petani hanya sebagai objek dari jaman ke jaman. Kreativitas petani untuk keluar dari jerat ketergantungan yang merugikan tidak dapat dilakukan karena kalah dalam proses politik dan hukum.

Page 12: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

12

Kelima, permainan harga oleh tengkulak dan pemodal yang merugikan petani. Tingginya kebutuhan hidup dan kebutuhan produksi yang dialami petani memaksa petani harus terjerat sistem ijon. Akibatnya petani tidak mempunyai kedaulatan dalam menentukan harga. Tengkulak dan para pemodal-lah yang memegang rule game pasar

Keenam, rendah dibidang teknologi, membuat petani masih mengolah pertanian dengan cara-cara konvensional yang sangat tidak efisien, boros tenaga kerja, dan butuh waktu lama. Penyebab mahalnya teknologi pertanian adalah karena ketidakmanpuan pemerintah dalam menemukan dan menciptakan teknologi untuk pertanian. Sekolah-sekolah pertanian dan fakultas pertanian yang ada tidak dibekali karakter kerakyatan, sehingga kalaupun ada temuan teknologi mereka tidak segera dimassalkan tetapi malah di jual kepada korporasia. Mestinya, untuk meningkatkan produktifitas pertanian pemerintah membantu menfasilaitasi petani dengan pengadaan teknologi murah. Caranya bisa dengan memberikan subsidi kepada petani agar sanggup beli, atau menurunkan bea-impor teknologi pertanian agar harganya lebih murah dan bisa dijangkau5.

5 Sebagai perbandingan model pertanian Taiwan dapat di jadikan

contoh. Salah satu model yang patut dijadikan acuan adalah soal kecilnya gap antara sektor pertanian dan sektor industri dan jasa. Walaupun sebagian besar rumah petani di Taiwan memiliki lahan kurang dari 1 hektar (46,9% dari total petani tergolong pemilik lahan kurang dari 0,5 hektar, dan 28 % tergolong pemilik lahan kurang dari 1 hektar), petani Taiwan tidak merasa berada pada posisi social yang rendah dalam struktur sosial-ekonomi Taiwan. Mereka tidak perlu merasa terpaksa menjadi petani. Sebabnya, antara lain, adalah, karena mereka sangat berkesempatan mengoptimalkan penggunaan jam kerja untuk mendapatkan penghasilan yang tinggi dengan tidak bergantung seratus persen pada kegiatan usaha tani tersebut. Seperti petani di negeri manapun, mereka masih punya waktu luang yang cukup banyak di luar kegiatan bertani. Bedanya, sistem ekonomi Taiwan memberi lapangan kerja nonpertanian yang cukup luas karena dari segi lokasi usaha pertanian, industri, jasa dan sebagainya tumbuh berdampingan di berbagai wilayah. Di dalam kota Taipei sekalipun, kecuali di kawasan inti pusat bisnis, kita akan melihat orang Taiwan menggunakan lahan sekecil apapun untuk menanam tanaman produktif. Mengapa keserasian social-ekonomi ini bisa terwujud? Pertama, sejak tahun 1950-an para pemimpin pendahulu mereka sudah merancang dan terus menyempurnakan adminsitrasi pertanahan yang efesien untuk menampung semua fungsi. Kedua, kebijakan pendidikan terhadap anak-

Ketujuh, tidak cukup modal bagi petani untuk mengembangkan pertaniannya. Pemerintah memang beberapa tahun menyediakan KUT kepada petani tetapi dilapangan KUT banyak di korupsi dan kalaupun sampai di tangan petani dikenai syarat-syarat pemimjaman yang berat, sehingga petani enggan menggunakan KUT. Mayoritas petani (85 persen) bergantung pada modal sendiri untuk membiayai pertaniannya. Hanya tiga persen mendapat kredit bank, dua persen kredit nonbank, dan 10 persen kredit lain. Padahal, modernisasi pertanian menuntut biaya lebih besar. Banyak kasus menunjukkan bahwa akibat kurangnya modal yang dimiliki kaum tani, memaksa mereka mensiasati dengan pengelolaan sederhana yang tentunya berpengaruh pada kualitas dan kuantitas. Misalnya tanaman padi mestinya di berikan pupuk tiga kali tetapi banyak petani karena keterbatasan modal hanya sekali dan dua kali. Kenaikan harga BBM telah memicu kenaikan bahan-bahan dan alat kebutuhan untuk pertanian, kurangnya modal membuat petani mikir untuk mengolah lahannya, sehingga banyak diantara mereka yang malah menjual lahannya.

Kedelapan, lemahnya infrastktur lain seperti jalan raya, alat angkutan hasil pertanian, dan sistem pengairan. Lemahnya infrastuktur ini memaksa petani mengeluarkan biaya tinggi untuk memaksa hasil poduksinya laku dipasar. Selain itu, kelemahan infrastrktur seperti transfortasi yang menghubungkan produk pertanian dengan pasar membuka peluang bagi pedagang, penimbun, atau makelar untuk mematoka harga tinggi dan memainkan harga di kota. Padahal value yang di terima petani sungguh sangat kecil.

anak petani mendapat perhatian lewat visi yang komprehensif. Anak-anak keluarga petani mendapat perhatian khusus untuk mendapatkan pendidikan agar tidak terjadi ketimpangan social di kemudian hari.. Hasil dari kebijakan ini tidak terbantahkan manfaatnya untuk berbagai aspek pembangunan. Jumlah masyarakat kelas menengah membesar dan kelas bawah terus menciut. Banyak pengusaha nasional dan tokoh politik nasional Taiwan berlatar belakang keluarga miskin. Chen Sui-bian, Presiden Taiwan yang baru-baru ini terpilih kembali untuk masa jabatan kedua berasal dari keluarga petani yang sangat miskin. Dr. Wang pemilik perusahaan komputer terbesar di Taiwan sebelum perusahaannya kolaps akibat krisis manajemen, juga berasal dari keluarga miskin. Bahkan, sejumlah CEO perusahaan-perusahaan IT terkemuka di AS berasal dari putera Taiwan dengan latar belakang keluarga miskin tadi

Page 13: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

13

Realitas Memprihatinkan ini bisa kita bisa lihat dari sejarah kehidupan petani, dari jaman kerajaan dulu hingga era global sekarang. Pada zaman kerajaan dulu, petani bukan saja dijadikan sebagai tenaga kerja murah, bahkan gratis, tapi juga objek pajak. Misalnya pada zaman Kerajaan Majapahit, di satu pihak raja membebaskan tanah milik komunitas agama dari pajak, pada saat yang sama memungut pajak dan menuntut kerja rodi kepada warga desa. Bagi para petani yang mengurangi produksi pertaniannya, entah dengan cara apa, disamakan dengan pencuri yang gisa dihukum mati. Praktek seperti itu terus hingga masa penjajahan Belanda. Periode cultuurstelsel (tanam paksa) selama 1830-1870 adalah sisi lain lembaran hitam yang menghiasi sejarah kelam petani. Sistem tanam paksa menyebabkan kesengsaraan luar biasa pada rakyat (para petani) di Pulau Jawa. Demikian pula pada jaman Jepang, meski tidak lama, tapi kesannya mendalam. Petani diharuskan menyerahkan hasil bumi, sementara tenaganya diperas sebagai pembantu tentara (heiho) dan romusha. Kebijakan kolonial Hindia Belanda (1619-1942) adalah membawa produk pertanian dari Jawa yang subur ke pasar dunia, di mana produk-produk tersebut sangat dibutuhkan dan laku, tanpa mengubah secara fundamental struktur ekonomi pribumi. Namun, pemerintah kolonial tak pernah berhasil mengembangkan ekonomi ekspor secara luas di pasar dunia, seperti halnya Inggris pada masa yang sama, sehingga kepentingan utama Pemerintah Belanda tetaplah bertumpu pada koloninya: Hindia Belanda. Upaya pemerintah kolonial untuk meraih pasar internasional adalah mempertahankan pribumi tetap pribumi, dan terus mendorong mereka untuk berproduksi bagi memenuhi kebutuhan pasar dunia. Keadaan ini mewujudkan struktur ekonomi yang secara intrinsik tidak seimbang, yang oleh JH Boeke (1958) disebut dualisme ekonomi.

Pada sektor domestik, ada satuan pertanian keluarga, industri rumah tangga, dan perdagangan kecil. Kalau pada sektor ekspor terjadi peningkatan yang dipicu oleh harga komoditas dunia, maka sektor domestik justru mengalami kemerosotan dan kemunduran. Tanah dan petani semakin terserap ke sektor pertanian komersial yang dibutuhkan Pemerintah Hindia Belanda untuk perdagangan dunia. Akibatnya adalah semakin meningkatnya populasi petani yang berupaya melakukan kompensasi penghasilan uang-hal ini

semakin dimantapkan menjadi kebiasaan-dengan intensifikasi produksi pertanian subsisten. Proses pemiskinan di pedesaan Jawa dijelaskan Geertz dalam konteks ini. Kemiskinan di Jawa adalah produk interaksi antara penduduk pribumi (petani di Jawa) dan struktur kolonial pada tingkat nasional dalam konteks politik-ekonomi. Adapun keterkaitan proses pemiskinan dan tesis involusi pertanian di Jawa, dijelaskan Geertz sebagai suatu pola kebudayaan yang memiliki suatu bentuk yang definitif, yang terus berkembang menjadi semakin rumit ke dalam. Pertanian dan petani Jawa secara khusus, dan kehidupan sosial orang Jawa secara umum, harus bertahan untuk menghadapi realita meningkatnya jumlah penduduk dan tekanan kolonial melalui proses kompleksifikasi internal. Ketika negara kita sudah merdekapun, nasib petani tetap saja menyedihkan. Pada periode pemerintahan Presiden Soekarno, para petinggi negara lebih sibuk mengurus politik. Nasib petani diabaikan. Memang ada yang cukup menggembirakan, yakni disahkannya UU Pokok Agraria pada 1960 dan UU Pokok Bagi Hasil. Sayangnya, kedua UU tersebut sampai sekarang belum bisa dilaksanakan. Parahnya lagi, pada masa Orde Lama, kemiskinan petani justru dijadikan lahan subur oleh Barisan Tani Indonesia (BTI) yang jadi onderbouw PKI. Akibatnya apa, pada saat peristiwa G 30 S/PKI meletus, petanilah yang paling banyak jadi korban.

Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Namun karena program ini menerapkan cara-cara bertani yang lebih modern dengan introduksi benih unggul, teknologi baru, perbaikan cocok tanam, penggunaan pupuk dan pengendalian hama penyakit secara kimia-biologis, serta rehabilitasi lahan irigasi, atau yang lebih dikenal dengan Revolusi Hijau, maka yang terjadi adalah polarisasi sosial di masyarakat pedesaan (petani). Berbagai penelitian memperlihatkan, revolusi hijau telah mengakibatkan terjadinya perubahan orientasi ekonomi petani lapisan atas ke arah yang lebih komersil dan mengabaikan loyalitas kepada petani miskin. Perubahan perilaku ini menyebabkan tererosinya pola hubungan patron-client yang ditandai dengan kian beratnya beban petani penyakap di dalam sistem bagi hasil, perubahan sistem sakap ke sewa, penggantian penyakap oleh keluarga dekat, makin

Page 14: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

14

mengecilnya proporsi pembagian bawon oleh penderep, perubahan sistem bawon ke tebasan, hingga panen di waktu malam.

Tekanan ekonomi yang tinggi di satu sisi, dan melonggarnya ikatan sosial di sisi lain, mengakibatkan "terlontarnya" petani kecil dari pedesaan dalam bentuk rural-urban migration. Maka berbondong-bondonglah orang desa (petani) ke kota, yang pada gilirannya menimbulkan persoalan baru bagi kota. Dari sisi mikro, keterpurukan kehidupan para petani padi itu terkait dengan pilihan kebijakan pembangunan ekonomi pada masa itu yang lebih berpihak pada industri yang bersifat high-tech. Setelah reformasi berjalan, dari sisi kehidupan petani (terutama padi) tidak terjadi perubahan signifikan. Memang pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 9/2001 yang isinya antara lain menyangkut kebijakan harga dasar pembelian pemerintah (procurement price policy), yakni Rp 1.519 per kg gabah kering giling (GKG) atau Rp 2.470 per kg beras di gudang Bulog. Namun realitas di lapangan, jauh dari harapan. Karena daya beli Bulog terbatas, mekanisme harga sangat bergantung pada situasi wilayah masing-masing, yang pada umumnya seringkali di bawah harga dasar pembelian pemerintah. Di beberapa daerah sekarang sudah ada kecenderungan terjadinya subsistensi tahap kedua. Penanaman padi oleh petani didasarkan untuk kepentingan subsistensinya saja dan melanjutkan romantisme masa lalu. Malah sampai ada petani yang bilang, "Abdi mah melak pare teh pedah resep wungkul, da ari ngarepkeun untung mah moal aya". Dalam pengertian menanam padi itu hanya sebagai hobi, sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-harinya diperoleh dari kegiatan lain seperti off farm, non farm, atau bahkan migrasi sirkuler, mencari pekerjaan di daerah perkotaan. Untuk jangka panjang, jelas, kondisi seperti ini akan mempengaruhi produksi padi nasional.

Memang dari dulu tidak ada sejarahnya petani melakukan perlawanan atau revolusi, sekalipun mereka berada pada posisi yang dirugikan, kecuali di Rusia dan Perancis. Tapi untuk Indonesia, kebungkaman petani ini perlu dilihat secara hati-hati. Mereka sebenarnya melakukan perlawanan, sebuah perlawanan khas Asia Tenggara sebagaimana dideskripsikan oleh desksipsi James C. Scott. Bentuk perlawanan bisa berupa mencuri sedikit demi sedikit misalnya dengan tidak mengembalikan KUT,

memperlambat kerja, berpura-pura bodoh, pura-pura sakit, di depan berkata "ya", tapi di belakang malah mengumpat dan menjatuhkan nama baik.

Masyarakat petani banyak yang tergolong masyarakat miskin karena berbagai faktor dan keterbatasan, diantaranya yang utama adalah : a. Sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor

produktif apapun kecuali tenaga kerjanya (they are poor becouse they are poor).

b. Luas lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi.

c. Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan. d. Tidak adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan

teknologi yang lebih baik. e. Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang

tidak memadai. f. Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi

rebut-tawar (bargaining position) yang sangat lemah. g. Ketidak-mampuan, kelemahan, atau ketidak-tahuan petani

sendiri.

Sebagai bentuk protes atas ketidak berdayaan dan sikap frustasi terhadap keberadaan eksisitensi dan nasib, banyak petani yang memilih jalan pintas demi kesenangan sesaat dengan mengkonversi dan meyewakan lahan pertanian mereka pada “bos-bos tebu” yang beberapa tahun terakhir ini gencar ekspansi lahan. Ini realitas yang saling menguntungkan. Bagi petani yang sudah jenuh dengan gagal panen dan belenggu kemiskinan, uang hasil sewa lahan pertanian mereka ke “bos-bos tebu” merupakan pelipur lara dan kenikmatan yang mungkin belum pernah dirasakan sebelumnya. Bagi “bos-bos tebu” juga diuntungkan karena mereka dapat mengkonversi ratusan hektar lahan pertanian ke tebu, ditengah kebutuhan gula nasional yang terus tak terpenuhi.

Setiap bulan Juni dan Juli adalah musim giling untuk pabrik gula karena pada musim tersebut tebu sudah dapat dipanen dari lahannya. Saat masa panen tebu ini umumnya petani tebu bisa mendapat keuntungan setelah masa tanam selesai apalagi setelah melonjaknya harga gula di pasaran hingga mencapai Rp

Page 15: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

15

11000,00/kg namun pada kenyatannya keuntungan tersebut tidak dinikmati oleh semua kalangan pergulaan di Indonesia termasuk petani tebu dan pekerja pabrik gula. Masalah gula juga masih menjadi masalah pelik di Indonesia mengingat kebutuhan gula di Indonesia rata-rata sebesar 4 juta ton sedangkan produksi nasional hanya sekitar 2,3 juta ton saja sehingga sisanya harus diimpor dari luar. Impor gula inipun juga masih menjadi pro dan kontra karena kalangan petani dan industri gula menolak penjualan gula rafinasi di tingkat pengecer karena akan merusak harga gula lokal mengingat gula rafinasi hanya dijual Rp 6000 per kilogram. Dari segi harga, harga lelang tebu tahun ini yang mencapai Rp 11.040,-/kg naik hampir Rp 3.000 dibanding tahun lalu yang hanya mencapai Rp 8.400/kg. Persoalannya di saat harga lelang mahal areal tanam tebu berkurang akibat areal lahan yang biasanya digunakan sebagai perkebunan tebu kini kini dikonversi menjadi pemukiman dan area bisnis komersil yang lain.

Fenomea konversi lahan ini semakin gencar karena selama tiga tahun terakhir produksi gula nasional juga menurun. Data Dewan Gula Indonesia (DGI) terbaru menyebutkan, produksi gula nasional 2,3 juta ton turun dari perkiraan Juli 2011 sebesar 2,57 juta ton dan di bawah target pada 2011 yaitu 2,7 juta ton. Target swasembada gula pun terus mundur, dari tahun 2007, direvisi pada 2010, dan diundur lagi tahun 2014. Memang banyak masalah yang belenggu program swasembada gula. Persoalan paling utama adalah inefisiensi usaha tani tebu rakyat. Penggunaan tebu varietas lama, tebu rakyat yang dikepras berulang kali, dan teknik budidaya yang berorientasi bobot menyebabkan kuantitas dan kualitas tebu turun. Dana pembongkaran ratoon (pangkal tanaman tebu) minim. Di Jawa banyak konversi lahan tebu menjadi tanaman lain, karena kecilnya pendapatan petani. Mereka pindah ke komoditas yang menjanjikan hasil lebih. Kecilnya pasokan tebu rakyat inilah yang menyebabkan pabrik gula (PG) di Jawa Timur beroperasi hanya 4-5 bulan.

Industri gula adalah industri yang cukup tua di Indonesia karena sudah berdiri sejak abad 17 dan mencapai puncaknya pada tahun 1930-an dimana produksi saat itu adalah 3 jutan ton serta mengekspor gula hingga 2 juta ton ke luar Indonesia. Pada masa kolonial pemerintah Belanda memberika peluang pembukaan

pabrik gula serta sistem sewa tanah yang murah kepada penduduk lokal hingga 99 tahun untuk mengelola industri gula serta perkebunan tebu. Didukung oleh tenaga kerja yang murah serta alih konversi lahan pertanian kepada perkebunan gula maka produksi gula saat itu mencapai puncaknya namun setelah Indonesia merdeka mulai terjadi penurunan kuantitas dan kualitas industri gula. Dari data Proefstation Voor De Java Suikerindustrie – Jaargang 1934 rendemen tebu saat itu mencapai 11% namun saat ini rata-rata rendemen tebu hanya mencapai 7%. Secara garis besar ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemunduran industri gula di Indonesia yaitu: pertama, Penurunan lahan perkebunan tebu6, saat ini lahan tebu yang ada di Indonesia mencapai 400.000 ha turun jika dibandingkan luasan tertinggi pada tahun 1996 yaitu 450.000 ha. Kedua, Penurunan produktivitas lahan, dengan produktivitas lahan 6 ton/ha maka kebutuhan gula di Indonesia masih perlu dibantu dengan impor. Penurunan ini banyak terjadi karena tidak adanya peremajaan secara berkala terhadap tanaman tebu serta kualitas bahan tanam yang kurang sebagai akibat fluktuasi harga gula nasional serta tidak adanya kepedulian pemerintah terhadap peningkatan rendemen tebu. Ketiga, Penurunan efisiensi pabrik gula, rata-rata pabrik gula di Indonesia yang berada di bawah BUMN PT. Rajawali Nasional Indonesia (RNI) adalah pabrik gula peninggalan Belanda dimana peralatan sudah cukup tua dan proses produksi tentu mengalami degradasi karena faktor usia. Tiga faktor dominan diatas adalah penyebab menurunnya produksi nasional sedangkan kebutuhan nasional akan

6 Senarnya peningkatan produktivitas tebu tidak harus selalu dengan

memperluas lahan perkebunan tebu. India dan Vietnam sebagai negara pengekspor gula mampu mempertahankan produksi nasionalnya tanpa harus memperluas areal perkebunan. Di India rata-rata pabrik gula mampu mencapai produksi 5000 ton/hari dengan rendemen tebu rata-rata sebesar 8% dan jumlah pabrik sebanyak 553 buah sedangkan Vietnam dengan 37 buah pabrik gulanya mampu memproduksi gula sebanyak 96300ton/hari. Oleh karena itu industri gula di Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dengan cara peremajaan tanaman tebu serta perbaikan sistem tanam guna meningkatkan rendemen tebu kiranya ahli perkebunan di Indonesia sudah cukup berkompeten dalam hal penelitian untuk meningkatkan produktivitas tanaman

Page 16: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

16

gula semakin meningkat terutama dengan munculnya industri makanan dan minuman serta kebutuhan gula untuk rumah tangga.

Sampai sekarang pun lahan-lahan tebu ini masing saling bersaing dengan tanaman pangan, yaitu dengan sawah-sawah yang mestinya ditanami padi dan palawija, di lahan-lahan kering atau tegalan yang juga biasa ditanami sayuran, kacang-kacangan, ubi-ubian, dan bahkan buah-buahan. Jadi lahan tebu yang 441.318 hektar tadi secara nasional, sebenarnya seluruhnya bersaing dengan lahan tanaman pangan lainnya. Dari sisi petani pun penerimaan dari usaha tani tebu juga sudah kalah dengan komoditi pangan lainnya. Hanya untuk petani yang tidak punya modal, pilihan yang paling mudah adalah menyerahkannya kepada pihak lain untuk ditanami tebu, dan nanti petani tinggal mendapatkan hasilnya meskipun tidak seberapa. Kalau untuk usaha tani komoditi lain sendiri modal kurang, walaupun hasilnya memang lebih tinggi. Keadaan inilah yang banyak dialami oleh petan sehingga harus menyerahkan lahannya pada pihak perkebunan tebu dan pabrik gula atau KUD-KUD. Sebenarnya kalau petani punya modal dan tenaga dalam usaha tani mereka pasti memilih komoditi lain yang lebih menguntungkan. A. Obyek Penelitian

Pegunungan Surojoyo adalah deretan pegunungan kapur di selatan Kabupaten Rembang yang melintasi empat wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Sale, Bulu, Sulang, dan Sumber. Penelitian ini tidak mencakup keseluruan empat wilayah kecamatan tersebut tetapi difokuskan di empat desa yang merasakan dampak paling berat dari realitas “Menjadi Buruh di Lahan Sendiri” sebagai imbas dari konversi dan eksploitasi lahan pertanian ke tanaman tebu yaitu Desa Nglakeh, Jentir, Sangkrah dan Kalinanas.

B. Alasan Memilih Subyek Dampingan

Masyarakat petani lahan marginal di sepanjang tepi hutan pegunungan Surojoyo adalah masyarakat yang dikesankan sebagai korban. Sebagai masyarakat miskin tepi hutan mereka dianggap bersalah dan tidak bermoral saat terjadi penjarahan dan perambahan hutan besar-besaran beberapa

tahun yang lalu. Mereka dicap sebagai para pencuri. Padahal mereka hanyalah sebagai pencuri kecil yang berani melaksanakan pencurian karena kong-kalikong dengan penguasa hutan yang tentunya mendapat bagian yang lebih banyak. Sebagai pencuri kecil, mereka menebang pohon memprosesnya menjadi batangan kayu dan memikulnya keluar dari hutan dengan memberi upeti 50% dari harga kayu ke petugas hutan. Maka muncullah istilah sepayol (separo nyolong: sebagian mencuri).

Sebagai petani lahan marginal tepi hutan mereka hidup dalam keterbatasan dan belenggu kemiskinan. Maka, saat ada tawaran penyewaan lahan dari bos-bos tebu, mereka berbondong-bondong menyewakan lahan mereka dengan harga yang ditentukan oleh para bos tebu, yang sudah pasti sangat murah dengan durasi 5 tahun. Untuk sesaat mereka bisa bahagia dan dapat hidup dengan uang hasil sewaan tetapi beberapa bulan kemudian saat uang tersebut habis dan tanah mereka sudah tersewakan, mereka bingung dengan kehidupannya dan terpaksa menjadi buruh di lahan mereka sendiri yang telah disewakan kepada para bos tebu. Sebuah kehidupan yang perlu mendapat perhatian untuk dicarikan alternatif pemberdayaan7.

7Pemberdayaan (empowerment) merupakan istilah yang semakin

populer dan sering digunakan oleh perancang kebijakan dan pelaku pembangunan, terutama setelah era 1990-an. Sebelumnya, istilah partisipasi masyarakat yang lebih banyak digunakan dalam jargon pembangunan. Namun, istilah ini mulai ditinggalkan karena lebih bernuansa sentralistik dan kurang mampu memperbaiki makna powerless masyarakat kecil (petani). Istilah partisipasi masyarakat mulai ditinggalkan juga disebabkan karena arahnya bukan untuk pengadvokasian power structure, yang umumnya timpang dan kurang memihak kepentingan petani. Sementara itu, penggunaan istilah empowerment lebih terkait dengan penguatan terhadap ketidakberdayaan masyarakat (misalnya kemiskinan). Masyarakat diberdayakan dengan memanfaatkan pengetahuan dan kearifan lokal (indigenous knowledge), agar menjadi subyek dalam pembangunan, mampu menolong dirinya sendiri, mandiri, serta mengembangkan semangat self-reliance setempat (Mahmudi, 1999: 56)

Page 17: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

17

C. Kondisi Subyek Dampingan Saat Ini Fenomena menjadi “Buruh di Lahan Sendiri” telah

berlangsung selama 3 tahun terakhir. Penyewaan lahan secara besar-besaran yang dimiliki warga kepada bos-bos tebu selama minimal 5 tahun telah mewajibkan mereka menjadi pekerja musiman dan serabutan dengan kualitas hidup yang semakin susah. Uang hasil sewa lahan yang diterima dimuka telah melenakan warga dengan kehidupan glamor sesaat yang berujung dengan ketidakpastian hidup.

Setelah lahan pertanian yang menjadi penopang kehidupan mereka dikuasai para bos-bos tebu, maka salah satu harapan dan tumpuan hidup warga adalah dari hasil ternak piaraan yang kebanyakan adalah sapi. Hampir setiap warga memiliki lebih dari 2 ekor sapi. Masalahnya secara mendadak harga sapi anjlok dibawah harga terendah. Seekor sapi dewasa yang awalnya dapat laku dijual seharga 8 juta sekarang hanya dihargai separonya saja. Sapi yang awalnya menjadi aset dan kebanggan telah menjadi masalah baru. Hal ini diperparah dengan harga pakan yang tinggi karena harus didatangkan dari luar daerah sebagai akibat telah beralihnya pertanian padi ke tebu. Rumput yang awalnya mudah ditemui kini menjadi langka, karena bos-bos tebu memilih cara instan dan ekonomis untuk mematikannya, yaitu dengan meyemprotkan cairan kimia yang mengakibatkan rumput menjadi kering dan mati. Wargapun tidak berani mengambil rumpul di area tebu karena takut ternak mereka keracunan.

Satu-satunya yang dapat dilakukan warga untuk menyambung kehidupan selain menjadi buruh musiman di area tebu adalah mengais kayu-kayu kering di hutan untuk dijual sebagai kayu bakar yang rata-rata mereka cuma mampu mendapat uang Rp. 10.000 per hari yang tentu saja jauh untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup minimal apalagi layak.

D. Kondisi dampingan yang diharapkan

Kondisi dampingan yang diharapkan adalah terciptakan masyarakat petani lahan marginal tepi hutan yang terberdayakan. Serangkaian upaya pemberdayaan mencakup tiga aspek, yaitu: menciptakan kondisi yang kondusif yang

mampu mengembangkan potensi masyarakat setempat, memperkuat modal (potensi) sosial masyarakat demi meningkat mutu kehidupannya, dan mencegah dan melindungi agar kekuatan atau tingkat kehidupan masyarakat yang sudah rendah menjadi semakin rendah.

Pemberdayaan (empowerment) adalah serangkaian upaya strategi dalam rangka memperluas akses masyarakat terhadap sumberdaya pembangunan melalui penciptaan peluang yang seluas-luasnya agar masyarakat lapisan bawah (baca: masyarakat pedesaan) mampu berpartisipasi. Pemberdayaan juga merupakan upaya peningkatan pedesaan sehingga mampu berpartisipasi. Pemberdayaan juga merupakan upaya peningkatan kemampuan masyarakat (berkaitan dengan pemantapan otonomi daerah) agar mampu mengakses proses pembangunan untuk mendorong kemandirian yang berkelanjutan (tanggap dan kritis terhadap perubahan) serta mampu berperan aktif dalam menentukan nasibnya sendiri.

Kebijakan pemberdayaan petani dapat dipilah menjadi tiga kelompok, yaitu: Pertama: Kebijakan langsung (sering disebut sebagai tujuan praktis), diarahkan pada peningkatan akses terhadap sasaran pemberdayaan masyarakat melalui penyediaan bahan kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan, peningkatan produktivitas dan pendapatan. Ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan menghasilkan nilai tambah, perbaikan akses sumberdaya, teknologi, pasar, dan sumber pembiayaan; Kedua: Kebijakan tidak langsung; diarahkan pada penciptaan kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya peningkatan pemerataan, pemberdayaan, penyediaan sarana dan prasarana, penguatan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan; Ketiga: Kebijaksanaan khusus; ditujukan pada penyiapan penduduk miskin untuk melakukan sosial ekonomi sesuai dengan budaya setempat. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong dan memperlancar proses transisi dari kehidupan subsisten menjadi kehidupan pasar.

Pemberdayaan petani juga diharapkan dapat meningkatkan posisi tawar (bargaining position) mereka,

Page 18: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

18

terutama keterjaminan peluang berusaha tani dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan rumah tangga di pedesaan (Marzali, 2003, 87). Berkembangnya beragam usaha tani komoditas hortikultura, misalnya, membuka peluang berusahatani sepanjang tahun. Perbaikan harga komoditas pertanian pada sistem pemasaran akan mempengaruhi struktur biaya dalam proses produksi. Di samping dapat memberikan jaminan perolehan pendapatan, khususnya bagi rumahtangga petani yang kurang mampu, pemberdayaan petani juga membangun jaringan sosial ekonomi para petani melalui komunikasi yang intensif dan komunikatif antar petani. Melalui komunikasi yang intensif, dapat menjadi media yang sangat fungsional dalam membahas berbagai aspek kehidupan pedesaan, terutama yang memiliki kontribusi bagi keamanan dan ketenangan rumahtangga masyarakat lapisan bawah. Meski demikian, tidak dipungkiri terdapatnya beberapa kendala yang menghambat aktivitas pemberdayaan tersebut terutama dari segi manfaat ekonomi

E. Strategi yang dilakukan Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut

maka strategi yang dilakukan dibagi dalam dua tahap: 1. Tahap pertama merupakan observasi terhadap petani,

teknik yang digunakan adalah FGD (Focus Group Discussion).

2. Tahap kedua merupakan programaksi yang dilakukan dalam kerangka kaji tindak partisipatoris (PAR = Participatory, Action Research)..

3. Pelatihan. Pelatihan diberikan secara bertahap sesuai dengan kronologis pelaksanaan kegiatan di lapang, dilakukan dalam kelas, saung petani, dirumah atau halaman petani dan di warung setempat. Materi yang diberikan menyangkut komponen teknologi spesifik lokasi (menyangkut komoditas potensial yang akan dikembangkan), teknologi pengolahan hasil pertanian, struktur dan organisasi pertanian dan kelembagaan, strategi pemasaran dan kerjasama serta materi lain yang disesuaikan dengan perhatian dan permintaan petani.

4. Diskusi dan Konsultasi. Kegiatan ini sebenarnya hampir sama dengan kegiatan Pembelajaran lapang, bedanya kegiatan ini dilakukan tidak langsung di lapang, hanya berkumpul di pondok dan membahas tentang teori tanpa praktek.

5. Sekolah Lapangan. Pada kegiatan ini, peserta sekolah lapang juga mengadakan kunjungan lapang ke kelompok tani di Desa Paga Kecamatan Paga Kabupaten Rembang. Di sini peserta sekolah lapang banyak bertukar pikiran dengan petani setempat; khususnya tentang strategi pemanfaatan lahan marginal tepi hutan.

F. Pihak-pihak yang Terlibat (stakeholders) dan Bentuk Keterlibatannya

Beberapa pihak yang yang terlibat (stakeholders) dalam pemberdayaan petani ini antara lain adalah: pertama Kepala badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahaanan Pangan Kabupaten Rembang, Pusat Data dan Informasi Pertanian (PUSDATIN) Kementerian Pertanian sebagai pemberi materi dan penyadaran dalam pelatihan. Kedua, tenaga-tenaga penyuluh dari badan pelaksana penyuluhan sebagai pihak yang memberikan penyuluhan bidang pertanian. Ketiga, 40 0rang warga yang menjadi “Buruh di Ladang sendiri” mereka ini dilibatkan dalam kegiatan FGD dalam rangka observasi terhadap kelompok tani di keempat desa yang menjadi obyek studi. Keempat, peneliti dan akademisi sebagai fasilitator dalam proses sekolah lapangan. Kelima, perwakilan dalam kelompok tani sebagai peserta sekolah lapangan.

Page 19: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

19

Bab II MEMPERJUANGKAN NASIB:

Deskripsi Keberadaan Kehidupan Petani Padi dan Petani Tebu dalam Belenggu Kemiskinan

KAMI ADALAH PETANI Kami adalah apa yang mereka sebut hanya petani

Yang diciptakan oleh Tuhan sepenuh cinta Kami yang hidup dengan kerja keras kami sendiri

Kami adalah petani seperti itu, selalu dalam kemiskinan, selalu menjadi korban

Tidak berhenti bekerja, semakin menderita dan menderita Ketika orang lain bergantung kepada kami

Kami adalah petani yang selalu memakai celana kolor Kami bekerja di bawah hujan dan terik matahari tanpa

istirahat Kami adalah penanam yang nampak pemberani

Yang mengolah tanah dengan kerbau, bajak, dan garu Kami adalah yang menanami tanah itu dengan membungkuk

Lumpur sampai ke lutut di tengah hujan sepanjang hari Ketika kami para petani berhenti bekerja

Semua orang akan kelaparan dan bangsa ini akan menangis Mereka yang mementingkan diri sendiri dan merampas

kekuasaan Merasa tahu penderitaan penduduk miskin

Mengapa kami para petani dan pekerja lainnya Bergerak bersama-sama untuk mengusir iblis!

(Benedict J. Kervliet, The Huk Rebellion, A Study of Peasant Revolt in the Philippines, 1982:132)

Dalam sejarah Indonesia, petani merupakan salah satu golongan/kelompok sosial yang mempunyai peranan cukup penting. Peranan mereka dalam memproduksi bahan makanan khususnya beras sangat strategis dalam menjamin kebutuhan pangan bagi semua orang. Oleh karena sebagian besar penduduk

Indonesia mengkonsumsi beras, maka peran petani sangat sentral dalam menyediakan kebutuhan dasar itu. Hal ini sudah dicatat oleh T.S.Raffles hampir lebih dari satu abad yang lalu, ketika ia menyaksikan begitu pentingnya beras dalam kehidupan orang Jawa. ”Padi/beras adalah makanan utama untuk semua kelas sosial dan merupakan tanaman utama dalam pertanian mereka” (Raffles, 1978, I: 109). Meskipun mempunyai peranan yang demikian penting, sejarah petani di Jawa lebih banyak diwarnai penderitaan dan keterpurukan.

Istilah petani sendiri mempunyai pengertian luas dan beragam. Istilah petani secara spesifik menyangkut suatu profesi atau jenis pekerjaan yang berkaitan dengan tanah atau agraria. Namun demikian, seringkali petani sebagai kelompok sosial dikaitkan dengan susatu sistem pertanian/sistem ekonomi, ideologi, kemiskinan, keterbelakangan, konflik pedesaan, dan lain-lain. Berbeda dengan masyarakat primitif yang mengembangkan sistem pertanian ladang secara berpindah-pindah, petani adalah komunitas yang hidupnya menetap dengan sistem pertanian sawah yang permanen, serta relatif otonom dalam membuat setiap keputusan menyangkut kegiatan menanam. Istilah petani juga dibedakan antara ”peasant” dan ”farmer”. Istilah pertama mengacu pada petani subsisten yang tidak banyak terlibat dalam ekonomi pasar, dan secara sosial merupakan satuan komunitas yang relatif homogen dan tertutup (closed corporate community). Sementara itu, istilah farmer mengacu pada petani yang sepenuhnya terlibat dalam ekonomi pasar, mengikuti kompetisi untuk mendapatkan sarana produksi secara terbuka, dan berusaha menciptakan alternatif baru untuk memperoleh keuntungan maksimum. Perubahan dari peasant ke farmer bukan sekedar menyangkut orientasi psikologis, melainkan juga ditentukan oleh perubahan kelembagaan yang mempengaruhi pilihan-pilihan petani (Wolf, 1973: xiv-xv). Dalam kaitan inilah, kemudian timbul perbedaan pendapat tentang corak ekonomi petani: ekonomi moral dan ekonomi rasional (Scott, 1981; Popkin, 1979).

Masyarakat petani yang umumnya tinggal di pedesaan seringkali digambarkan sebagai kelompok yang hidup harmonis, jauh dari ketegangan dan konflik, secara sosial homogen, autarkis, dan secara politik independen. Citra atau gambaran yang ideal ini

Page 20: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

20

sesungguhnya sulit ditemukan presedennya dalam sejarah Jawa (Breman, 1988). Sejak lama masyarakat petani hidup dalam tegangan antara harmoni dan disharmoni. Setiap kurun zaman dan kondisi objektif yang melingkupi selalu menghadirkan tantangan dan sekaligus peluang bagi petani. Di suatu saat petani hidup dalam suasana yang yang serba kecukupan, harmonis, jauh dari konflik, dan mandiri; namun di saat yang lain, mereka dihadapkan pada situasi sulit seperti kekurangan pangan, kemiskinan, kesenjangan sosial, dan tekanan dari kekuatan eksternal. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sejarah petani padi adalah sejarahnya orang-orang kalah atau dikalahkan baik oleh dirinya sendiri ataupun oleh kekuatan eskternal, yang bergerak secara dinamis, melintasi ruang dan waktu yang panjang.

Sebelum penjajah asing datang di Indonesia, petani padi mempunyai kebebasan yang cukup besar dalam mengembangkan usaha pertaniannya. Proses produksi, distribusi dan konsumsi dilakukan secara otonom dan jauh dari tekanan pihak lain. Mereka hidup dalam satuan-satuan komunitas dengan mengembangkan adat istiadat dan tradisi untuk menopang kelangsungan hidupnya. Kerajaan-kerajaan tradisional Jawa yang muncul sejak abad ke-7 hingga abad ke-16 umumnya dibangun oleh keturunan petani. Petani dan pertanian menjadi basis utama kekuatan ekonomi dinasti raja-raja Jawa yang memerintah saat itu. Di bawah kekuasaan raja-raja inilah mulai muncul hirarki kekuasaan yaitu ada golongan yang memerintah dan yang diperintah. Petani adalah kawula yang diperintah oleh raja, dan oleh karenanya harus patuh dan tunduk. Kepatuhan petani ditunjukkan pada ketaatannya membayar pajak (barang dan tenaga kerja) kepada penguasa. Di luar kewajiban membayar pajak itu, petani mempunyai kebebasan penuh dalam melakukan kegiatan pertanian. Sebagai imbalannya, secara terbatas raja menyediakan prasarana dan sarana pertanian untuk mendukung usaha pertanian, misalnya membangun bendungan atau waduk untuk pengairan dan pengendalian banjir (Setten van der Meer, 1979).

Dalam konteks masyarakat tradisi di mana tanah dan segala isinya dianggap menjadi milik raja (vorst-domein), petani padi adalah kawula yang tugasnya melayani kepentingan raja dan keluarganya. Hubungan raja-kawula yang diikat melalui pajak tidak

mengganggu kebebasan yang dimiliki petani padi dalam usahanya mengembangkan pertanian sawah. Oleh karena itu, dalam konteks hubungan patron-client seperti itu, petani dapat mengembangkan potensinya secara optimal karena mempunyai kebebasan yang luas dan mendapatkan perlindungan dari raja (patron). Dalam sejarah dapat dilihat, negara-negara agraris yang tumbuh di pedalaman Jawa ditopang oleh kekuatan petani padi yang disebut cacah/karyo. Cacah adalah unit atau satuan demografis/tenaga kerja, satuan pajak, dan ukuran luas lahan (Boomgaard, 1989c). Yang menentukan kekuatan sosial ekonomi suatu kerajaan kerajaan bukanlah luasnya wilayah tetapi banyaknya jumlah cacah/karyo yang berada di wilayah kerajaan itu. Cacah inilah yang menghasilkan bahan makanan untuk keperluan kerajaan. Beras menjadi komoditas utama bagi negara agraris, baik untuk memenuhi kebutuhan kerajaan maupun untuk diperdagangkan.

Ketika perdagangan pantai utara Jawa masih ramai pada abad ke-13 hingga abad ke-16, misalnya, beras menjadi komoditas unggulan pedagang Jawa yang kemudian ditukarkan dengan komoditas lainnya yang dibawa pedagang asing yang singgah di Jawa/nusantara. Perdagangan beras ini mulai berkurang dan akhirnya mati setelah raja-raja Mataram nenerapkan politik ekspansi dan menghancurkan seluruh kekuatan emporium di pantai utara Jawa. Jawa menjadi wilayah yang terisolasi dan kehilangan jiwa kosmopolitannya. Ketika Jawa di bawah Mataram menjadi negara agraris, datanglah orang-orang Belanda yang kemudian menguasai jalur perdagangan laut, dan bahkan berhasil menancapkan pengaruhnya di wilayah Mataram pada abad ke-17 dan 18. Kekuatan Mataram berangsur-angsur mengalami kemunduran setelah terjadi intrik di dalam istana yang melibatkan Kompeni. Berkat campur tangannya di dalam persoalan istana Mataram, Kompeni akhirnya memperoleh sejumlah konsesi daerah kekuasaan dan monopoli perdagangan. Wilayah-wilayah yang kemudian berada di bawah kontrol Kompeni dipaksa menyerahkan pajak tahunan berupa barang-barang hasil pertanian setempat. Beras merupakan salah satu komoditas yang banyak diminta Kompeni, baik untuk mencukupi dikonsumsi sendiri maupun diperdagangkan.

Page 21: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

21

Singkatnya, di bawah Mataram, beras menjadi mata dagangan yang penting untuk menopang kekuasaan raja. Dengan demikian petani menjadi kekuatan utama kerajaan yang bercorak agraris itu. Namun setelah Mataram kehilangan kekuasaannya dan digantikan oleh Kompeni, petani jatuh di bawah kontrol Kompeni yang mengendalikan perdagangan beras ke luar daerah. Melalui politik eksploitasi, petani dipaksa menyerahkan hasil-hasil pertanian kepada Kompeni dengan atau tanpa dibayar (verplichte leverantie en contingenten). Kondisi seperti ini relatif tidak berubah sepanjang kekuasaan Belanda di Indonesia. Peralihan kekuasaan dari Kompeni kepada pemerintah Hindia Belanda pada akhir abad ke-18 tidak banyak merubah nasib petani padi di Jawa. Mereka menjadi objek kekuasaan asing yang berusaha mengeruk kekayaan tanah jajahan. Di bawah pemerintah Inggris, misalnya, petani diwajibkan membayar pajak tanah (land rent) dengan cara mengubah status lahan petani dari tanah komunal menjadi tanah individual. Hal ini dilakukan untuk merangsang tumbuhnya kebebasan dan kemandirian petani untuk mengembangkan usaha taninya. Namun, gagasan Raflles ini terbentur struktur tradisional yang feodalistik dan komunal. Di bawah van den Bosch dengan sistem tanam paksa (cultuur stelsel), nasib petani tetap tidak berubah. Melalui kebijakan yang baru itu, petani dipaksa menanami sebagian lahannya dengan tanaman perdagangan seperti tebu, kopi, tembakau, nila, dll. Bukan hanya lahan yang diminta, melainkan juga tenaga kerja. Petani diwajibkan bekerja di perkebunan milik Belanda sesuai beban kerja yang telah ditetapkan.

Selama abad ke-19 petani dihadapkan pada situasi sulit. Di satu sisi, petani menghadapi bertambahnya penduduk yang membutuhkan lahan dan lapangan kerja baru; di sisi lain, mereka menghadapi tekanan pemerintah kolonial. Untuk menghadapi kesulitan itu, terutama dalam memenuhi kebutuhan pangan, petani Jawa melakukan intensifikasi pertanian dengan cara menyerap sebanyak mungkin tenaga baru ke dalam pertanian untuk meningkatkan produktivitas. Inilah proses ”involusi pertanian” seperti yang diteorikan Clifford Geertz (1963). Hasil pertanian yang bertambah itu ternyata tidak dapat meningkatkan kesejahteraan petani karena akhirnya harus dibagi kepada banyak orang (akibat penduduk bertambah). Untuk menjamin

kelangsungan hidupnya maka petani Jawa mengembangkan strategi ”membagi kemiskinan”, yaitu membagi hasil pertanian secara merata di antara mereka. Inilah bentuk adaptasi orang Jawa dalam menghadapi situasi sulit sejak diterapkannya sistem tanam paksa pada 1830-an.

Perubahan sistem politik kolonial dari konservatif ke liberal tidak mengakhiri penderitaan petani. Di bawah sistem liberalisme, banyak petani kehilangan lahan karena disewakan kepada pihak asing untuk perkebunan. Akibatnya, di pedesaan Jawa, selain terjadi proses monetisasi, juga terjadi proses proletarisasi. Meluasnya ekonomi uang merusak sendi-sendi masyarakat tradisi yang komunal. Petani menjadi buruh di atas lahannya sendiri karena lahan itu telah diubah menjadi perkebunan swasta. Pada saat yang sama, kesenjangan sosial di desa semakin tajam, yanga ditandai munculnya kelompok petani kaya dan meningkatnya jumlah petani gurem dan tak bertanah. Desa tidak lagi menjadi tempat aman bagi kelompok tak bertanah karena hubungan-hubungan sosial di desa mengalami perubahan. ”Membagi kemiskinan” bukan lagi merupakan gejala umum yang mudah ditemukan. Sampai dengan lahirnya kebijakan etis pada awal abad ke-20, gejala kemunduran kesejahteraan petani di Jawa cukup menonjol. Melihat kenyataan itu, maka pemerintah kolonial meluncurkan program perbaikan kesejahteraan ekonomi penduduk pribumi yang merupakan bagian dari kebijakan etis. Di bidang pertanian, pemerintah kolonial membangun sarana dan prasarana pertanian untuk meningkatkan penghasilan petani. Di beberapa tempat kebijakan ini membawa hasil positif, meskipun akhirnya kebijakan ini juga membebani rakyat. Kebijakan etis itu ternyata justru menambah beban baru bagi rakyat yaitu meningkatnya jumlah pajak untuk membiayai pembagunan infrastruktur.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa selama masa kolonial posisi petani padi semakin rentan. Berbagai kebijakan kolonial bukannya meningkatkan kesejahteraan, tetapi malah menjadi beban baru bagi petani. Petani menjadi aset yang terus-menerus dijadikan objek eksploitasi. Meskipun demikian juga perlu ditambahkan, pada saat krisis, sektor pertanian menjadi katup pengaman penting bagi penduduk jajahan. Misalnya, ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1929/30 yang diikuti ambruknya perusahaan-

Page 22: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

22

perusahaan perkebunan, pertanian tradisional mampu bertahan dan menjadi tempat berlabuhnya para buruh yang di PHK oleh perusahaan. Selama krisis, hasil-hasil pertanian termasuk beras tidak laku dijual karena saat itu terjadi kelangkaan uang (money famine). Bagi petani padi, krisis tidak terlalu mengancam kecuali bagi mereka yang tidak punya lahan sendiri atau buruh perusahaan. Pertanian kembali menjadi tumpuan di saat terjadi krisis.

Masuknya Jepang ke Indonesia yang menggantikan penjajah Belanda semakin menyengsarakan kehidupan petani. Pemerintah militer Jepang berusaha memobilisasi seluruh kekuatan rakyat untuk menghadapi sekutu. Oleh karena itu, Jepang memaksa penduduk pribumi menyerahklan seluruh hasil panen padi yang kemudian ditimbun untuk keperluan perang. Akibatnya, terjadi kelangkaan pangan dan kelaparan di mana-mana. Petani hidup dalam tekanan yang luar biasa karena sulit memperoleh bahan makanan dan pakaian. Dalam usaha untuk meningkatkan produktivitas pangan, Jepang memperkenalkan sistem menanam padi dan palawija yang baru. Cara inilah yang masih dilanjutkan oleh petani padi hingga sekarang.

Dalam usaha mempertahankan kemerdekaan selama masa revolusi 1945-50, petani juga berpartisipasi secara aktif dalam perjuangan. Perang membutuhkan bahan makanan yang cukup agar kekuatan dan kesehatan prajurit terjamin. Meskipun tidak semua petani terlibat di garda depan dalam mengusir penjajah (sebagian menjadi anggota laskar), mereka berjasa besar dalam menyediakan bahan makanan khususnya beras. Beras menjadi makanan utama sebagian besar prajurit. Oleh karena itu, ketersediaan beras yang cukup menjadi bagian penting dari keberhasilan perjuangan kemerdekaan. Ketika para prajurit melakukan perang gerilya, penduduk desa secara sukarela membantu menyediakan bahan makanan untuk para pejuang. Melalui dapur umum yang digerakkan para wanita, kebutuhan makan para prajurit dapat tercukupi.

Namun demikian, negara Indonesia yang baru lahir itu menghadapi situasi sulit yang berlarut-larut. Kemerdekaan politik yang diraih melalui perjuangan panjang belum mampu memberi jaminan bagi peningkatan kesejahteraan petani. Gejolak politik yang berkembang selama tahun 1950-an hampir tidak memberi

kesempatan bagi pembangunan ekonomi khususnya pertanian. Akibatnya, bangsa Indonesia dihadapkan pada stuasi krisis yang ditandai oleh inflasi sangat tinggi dan kekurangan bahan makanan. Puncaknya terjadi pada peristiwa G30S tahun 1965 yang menjadi catatan sejarah kelam bagi bangsa ini. Usaha pembangunan pertanian yang diawali dengan penyusunan UUPA 1960, yaitu untuk melakukan reforma agraria, akhirnya mengalami kegagalan. Peristiwa tersebut menandai berakhirnya rezim kekuasaan lama dan lahirnya rezim baru di bawah Orde Baru.

Di bawah pemerintahan Orde Baru, pembangunan pertanian memperoleh perhatian besar. Hal ini sebagai bagian dari kebijakan pembangunan yang memusatkan perhatian pada masalah pemenuhan kebutuhan dasar. Setelah konsolidasi kekuasaan berhasil dilakukan, arah pembangunan nasional difokuskan pada masalah ekonomi. Kebijakan pertanian yang penting selama Orde Baru adalah diperkenalkannya kebijakan ”revolusi hijau”, yang intinya ingin meningkatkan produktivitas pangan khususnya beras hingga mencapai taraf swasembada. Untuk mencapai target itu diperlukan dukungan modal, teknologi, dan kelembagaan. Pemerintah mulai memperkenalkan bibit unggul, insektisida, pupuk kimia, mekanisasi, dan SDM pertanian yang handal. Dalam waktu singkat kebijakan ini membuahkan hasil yang menggembirakan. Produktivitas beras meningkat tajam meskipun petani tidak sepenuhnya mengendalikan harga produknya. Pada 1984 swasembada beras tercapai. Namun, dalam jangka panjang ternyata revolusi hijau membawa dampak negatif yang cukup serius. Melimpahnya produksi berakibat menurunnya nilai (dasar) tukar beras dengan harga-harga barang konsumsi yang dibeli petani, dan juga nilai tukarnya dengan harga sarana produksi (Mubyarto, 1991: 2).

Revolusi hijau juga telah meruntuhkan sendi-sendi dasar ekonomi petani yang bertumpu pada sistem gotong-royong dan resiprositas. Relasi-relasi sosial yang sebelumnya dibangun dalam rangka untuk menjaga harmoni sosial dan menghadapi tantangan bersama semakin memudar. Hubungan patron-client antara petani kaya dan miskin menjadi renggang atau bahkan hilang sama sekali. Peluang dan kesempatan kerja di sektor pertanian menjadi semakin terbatas, karena masuknya teknologi baru. Banyak tenaga kerja

Page 23: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

23

(buruh tani) tersingkir dari kegiatan pertanian dan harus beralih ke kegiatan lain di luar pertanian. Keberhasilan dalam produksi beras tidak selalu diikuti peningkatan pendapatan atau kesejahteraan petani padi. Swasembada beras yang telah memberi kemantapan pembangunan nasional, sebagian berkat ”pengorbanan” petani padi. Inilah ironi yang terjadi dalam pembangunan pertanian, yang menempatkan petani padi menjadi orang-orang yang kalah atau dikalahkan meskipun kontribusinya cukup besar dalam pembangunan nasional.

Pada saat yang sama, yaitu ketika modernisasi pertanian sedang digalakkan, terjadi ketimpangan pemilikan lahan pertanian di pedesaan. Hasil sensus pertanian 1993, misalnya, menunjukkan bahwa 69% luas tanah pertanian dikuasai oleh 14% rumah tangga petani, sementara 43% rumah tangga pedesaan lainnya tidak menguasai tanah sama sekali (Endang Suhendar & Yohana Budi Winarni, 1998: ix). Proses proletarisasi yang berlangsung sejak akhir abad ke-19 berlanjut terus ketika pertumbuhan penduduk tidak mampu diimbangi oleh ketrersediaan lahan pertanian yang cukup. Muncullah kelompok tuna kisma atau petani gurem yang jumlahnya terus meningkat. Misalnya, dari 11,5 juta rumah tangga petani Jawa pada 1963, yang menguasai lahan lebih dari 0,5 hektar 33 %, 54% menguasai kurang dari 0,1 hektar, dan 13% tak bertanah. Golongan petani dengan kurang dari 0,1% atau tak bertanah sama sekali berjumlah 3,6 juta atau 31% (Masri Singarimbun dan DH Penny, 1984: xvii). Melihat kenyataan itu semua, sulit menerima pendapat yang mengatakan bahwa petani adalah kelompok sosial yang homogen dan selalu dapat mencukupi kebutuhannya sendiri (autarkis). Perkembangan masyarakat petani menunjukkan hal yang sebaliknya: semakin terdiferensiasi dan tersubordinasikan oleh kekuatan ekternal sehingga tidak lagi mandiri baik secara sosial, politik, dan ekonomi.

Petani padi tetap menjadi kelompok penting dalam pembangunan nasional. Meskipun arah pembangunan jangka panjang adalah menuju masyarakat industri, sektor pertanian masih menjadi fondasi penting dalam pembangunan nasional. Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani kecil yang tinggal di pedesaan. Mereka tetap bertahan pada profesinya yang dijalankan secara

turun-temurun. Pertanian menjadi tumpuan hidup di tengah-tengah perubahan zaman yang kurang memihak mereka. Dengan segala keterbatasannya, petani padi berusaha tetap eksis menjalankan kegiatannya untuk bertahan hidup.

Pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1997, sektor pertanian mampu bertahan hidup dan memberi sumbangan penting bagi perekonomian nasional. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai empat karakteristik yang esensial dalam pembangunan ekonomi: (1) penyedia lapangan pekerjaan terbesar dan penghasil pangan, (2) tangguh menghadapi gejolak ekonomi karena sifat elastisitasnya, (3) sebagai jaring pengaman dalam keadaan darurat, dan (4) produksi relatif stabil, mempunyai keterkaitan antarsektoral yang luas dan penting untuk ketahanan pangan, pengendali inflasi dan peningkatan penerimaan devisa (Dinamika Pedesaan & Kawasan, 2002: 9-10).

Untuk memberi dukungan pengembangan sektor pertanian, maka perlu dilakukan beberapa hal, antara lain kebijakan yang memihak pada petani, penguatan kelembagaan, dan reforma agraria. Kebijakan ketahanan pangan seperti tertuang dalam UU Pangan No. 7 tahun 1996 harus ditaindaklanjuti melalui berbagai regulasi. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, merata, dan terjangkau. Dalam konteks ketahanan pangan inilah, petani padi yang secara sosial ekonomi cukup rentan perlu diberdayakan melalui berbagai kebijakan yang memihak. Salah satu caranya adalah memberi keleluasaan dan kebebasan kepada mereka untuk mengembangkan potensinya di bidang pertanian. Pengetahuan lokal beserta kelembagaannya yang selama ini kurang diperhatikan perlu digali dan dikembangkan.. Berbagai jenis tanaman lokal dan cara-cara pertanian tradisional yang relevan untuk menjamin produktivitas padi perlu dilestarikan. Demikian pula kelembagaan tradisional yang semakin terdesak oleh sistem ekonomi baru perlu direvitalisasi kembali untuk meningkatkan ketahanan pangan. Lebih dari itu semua, persoalan kesenjangan pemilikan lahan perlu segera diselesaikan melalui reforma agraria. Land reform meliputi perombakan kepemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah

Page 24: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

24

(Sunarji, 2005: 105 dst.; Selo Soemardjan, 1984). Dengan cara demikian petani kecil ataupun petani tak bertanah (tuna kisma) mendapatkan jaminan pemerataan pemilikan lahan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup.

A. Nasib Petani Padi: Kemiskinan di Lumbung Pangan

Kehidupan para petani Indonesia kini ibarat berada di

ujung tanduk. Jika mereka berhenti sebagai petani dan mencari pekerjaan lain yang tentu tidak mudah diperoleh, kehidupan keluarganya pasti terancam. Jika meneruskan pekerjaan sebagai petani, hasilnya tidak menguntungkan. Fakta juga menunjukkan bahwa sebagian besar petani di Indonesia adalah petani penggarap. Sehingga makin sulit mengharapkan memperoleh penghasilan seperti yang diinginkan. Apalagi pada saat musim penghujan, ancaman banjir juga makin membuat para petani merugi. Hasil panen menyusut atau malah tidak ada sama sekali karena diterjang ganasnya air.

Sebagaimana diketahui bahwasanya prosentase terbesar dalam struktur petani di Indonesia ditempati oleh petani dengan kepemilikan lahan sendiri kurang dari 0,5 hektar, dalam hal mana jumlah produksi panen yang dapat dihasilkan setiap petani pemilik lahan 0,5 hektar adalah berkisar antara 1,8 ton - 2,3 ton per 0,5 hektar.

Berdasarkan data dan informasi pemerintah disebutkan bahwasanya produksi pertanian khususnya beras pada tahun 2008 telah mengalami peningkatan dimana Indonesia telah berhasil melakukan swa sembada beras, bahkan saat ini pemerintah memiliki surplus 3 juta ton beras. Namun, haruslah disadari bahwasanya surplus produksi bukanlah berarti kelebihan produksi itu berada di tangan para petani padi. Pernyataan ini didasari kenyataan dengan diberlakukannya HPP oleh pemerintah, dan dengan produksi beras yang melimpah telah mendorong petani untuk lebih baik menjual keseluruhan hasil produksi panennya daripada bersusah payah dan merepotkan diri menyediakan lumbung untuk menyimpan hasil panennya, terlebih pada saat musim panen raya selalu saja terjadi harga gabah/beras jatuh anjlok hingga jauh di bawah harga dasar yang ditetapkan.

Dorongan untuk menjual keseluruhan hasil produksi panennya, selain karena disebabkan faktor di atas, juga dikarenakan petani membutuhkan dana untuk menutupi utang-utang petani kepada tengkulak saat masa-masa penggarapan. Petani juga memerlukan uang untuk dapat dapat membiaya semua kebutuhan selama untuk penggarapan pada musim tanam berikutnya. Dengan terjualnya seluruh hasil produksi panen maka sudah tentu petani tidak lagi memiliki stok/persediaan beras.

Hal yang menyedihkan kemudian terjadi. Sudah menjadi hukum alam, ada musim panen dan ada kalanya musim paceklik. Dalam hal mana pada musim panen, produksi beras terbanyak dihasilkan terjadi dalam 4 bulan, yaitu pada bulan-bulan February, Maret, April dan Mei. Sementara masa paceklik terjadi dalam 3 bulan, yaitu pada bulan-bulan Juni ~ Agustus, yaitu pada bulan-bulan yang di Indonesia merupakan musim kemarau, dimana air menjadi sesuatu yang berharga dan sulit didapat, sehingga petani padi sulit menanam padi dengan baik dan pada akhirnya menyebabkan produksi beras menurun drastis. Bila di musim panen raya, produksi beras melimpah hingga menyebabkan anjloknya harga gabah/beras di tingkat petani hingga di bawah harga dasar (tetapi anehnya, harga beras di pasar dalam negeri tidak turut anjlok mengikuti

Page 25: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

25

anjloknya harga gabah..?!). Sedangkan pada musim paceklik, harga beras melambung tinggi dan dapat dikatakan harga beras pada musim paceklik sangat sulit dijangkau oleh rakyat miskin kebanyakan.

Bagi petani yang memiliki persediaan beras di lumbung pada saat musim paceklik, tentu harga beras yang tinggi di pasar dalam negeri tidak sampai membebani mereka, karena mereka masih dapat makan nasi dari beras yang sengaja disisihkan dan disimpan ketika musim panen raya. Tetapi bagi petani yang telah menjual seluruh hasil panennya ketika musim panen raya, tentunya harus menghadapi beban hidup yang berat ditambah hilangnya sumber-sumber mata pencaharian yang lain karena musim paceklik.

Betul-betul menjadi suatu ironi, petani yang hakikinya adalah rodusen/penghasil bahan pangan telah berubah menjadi pembeli bahan pangan. Ketidak adilan telah terjadi, saat petani pada musim panen raya harus menerima kenyataan beras hasil kerja keras mereka dibeli dengan harga rendah karena anjloknya harga gabah/beras saat musim panen, sementara pada musim paceklik petani harus membeli beras dengan harga yang melambung tinggi. Jadi jangan salahkan mereka yang nota bene adalah pahlawan ketahanan pangan harus makan nasi aking dan tiwul. Sungguh kepahlawanan mereka sebagai penyedia/penghasil beras yang dimakan penduduk negeri ini seolah tak mendapat pahala selayaknya, bila harus mengingat nasib dan penderitaan yang mereka harus alami.

Tinggallah para pedagang, penyelundup beras, spekulan dan tengkulak tertawa lepas menikmati keuntungan berlipat dari hasil penjualan kembali beras yang mereka beli murah dari petani saat musim panen raya dapat mereka jual atau selundupkan ke luar negeri untuk keuntungan yang berlipat-lipat, atau juga menikmati keuntungan saat menjual kembali beras yang mereka beli murah dari petani saat panen raya dapat mereka jual dengan harga tinggi saat musim paceklik.

1. Tanah Subur, Petani tidak Makmur

Belajar dari Perjalanan Hidup Pak Sukardi dan Pak Rahmad

Simaklah dengan empati dua penuturan yang tulus dari petani inspiratif kita.. Penuturan pertama dari Pak Sukadi; dan penuturan kedua dari Pak Rahmat. “Dulu itu Dik, ada semacam nasihat dari orang-orang tua. Kalau mau jadi orang kaya jadilah saudagar (pedagang), tetapi hidupmu akan agak kemrungsung (tergesa-gesa) dan kurang tenang. Kalau mau jadi priyayi, jadilah pegawai negeri. Tidak kaya tetapi terhormat dan harus selalu bisa dijadikan teladan bagi warga sekitar. Kalau mau hidup tenang dan tidak banyak beban jadilah petani. Tidak akan kurang makan, tidak disorot warga sekitar, dan merdeka.” “Sudahlah Dik, kalau boleh bercita-cita cukup saya saja yang jadi petani. Anak cucu saya kalau bisa tidak usah jadi petani, kalau pemerintah kita masih seperti ini saja. Jadi petani itu tidak ada enaknya. Waktu menanam padi harus susah karena dipermainkan pedagang pupuk, tetapi saat panen juga hanya bisa kembali menangis karena harga gabah terlalu rendah dan tidak cukup untuk menutup seluruh hutang yang ada. Padahal anak yang sekolah hanya tahu sekarang sudah panen, dan saatnya melunasi semua tunggakan SPP-nya.”

Penuturan pertama menggambarkan kehidupan petani yang tenteram, sejahtera, dan damai. Tetapi jika dibandingkan dengan realitas kehidupan petani sekarang, tentu saja gambaran itu hanya sekedar nostalgia, mirip lukisan realis-romantis karya almarhum Basuki Abdullah. Itulah yang bisa dirasakan, sebagaimana dikatakan oleh Pak Rahmat dengan nada putus asa. Seperti yang diakui sendiri oleh Pak Sukadi, “hidup tenang seperti itu hanya menjadi milik petani masa lalu.”

Begitulah, pembangunan yang tidak memihak kepada kaum petani di negeri ini telah menjungkir balikkan kehidupan bagian terbesar dari penduduk Indonesia. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dengan tanahnya yang subur, diperlakukan secara tidak wajar oleh pemerintah yang berkuasa. Kebijakan pembangunan yang dijalankan tidak pernah berpijak pada kondisi riil di lapangan untuk berkonsentrasi dulu pada pembangunan pertanian. Yang terjadi justru sebaliknya, program-program

Page 26: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

26

pembangunan industrialisasi yang tidak ada hubungannnya dengan pertanian digalakkan. Sementara pertanian sendiri yang potensial malah diabaikan. Kalaupun ada industri yang berhubungan langsung dengan pertanian, seperti pabrik pupuk dan industri yang menghasilkan obat-obatan pertanian, tetapi dalam prakteknya justru tidak menguntungkan kaum petani. Kenapa? Karena harga-harganya jauh lebih mahal ketimbang harga jual hasil pertanian. Akibatnya para petani juga yang paling dirugikan. Dengar saja keluhan Pak Sugito, “mau ngomong apa lagi petani di Indonesia sekarang ini. Kalau musim tanam, harga pupuk melambung dan kadang malah hilang di pasaran. Tetapi kalau musim panen tiba, harga gabah dianjlokkan sampai dasar sumur.”

Siapa pun yang masih punya hati nurani, tentu akan ikut trenyuh mendengar keluhan seperti itu. Bagaimana bisa nasib petani dipermainkan sedemikian rupa. Secara akal sehat, pemerintah wajib membantu kepentingan petani, baik ketika dalam masa tanam maupun pada masa panen dan menjual hasil-hasil pertaniannya. Musim panen yang harusnya diwarnai dengan canda-tawa kegembiraan dan ditingkahi dengan lagu-lagi suka cita, malah dikabuti perasaan cemas karena harga jual yang tidak menjanjikan. Tidak ada lagi harapan dapat surplus dan memperoleh keuntungan. Kembali modal pun sudah lumayan, daripada merugi sama sekali.

Dari berbagai kasus yang terjadi, sepertinya pemerintah telah melalaikan kewajibannya untuk melindungi kehidupan petani. Ironis dan sekaligus tragis. “Dulu pada zaman Jepang, yang katanya masa paling sulit itu, kalau musim panen tiba para petani itu masih bisa berpesta panen dan semua bisa tertawa. Tetapi sekarang ini kalau musim panen tiba kita-kita ini tetap tidak bisa senyum,” ungkap Pak Sugito dengan nada getir. Dengan nada masygul campur menghujat Pak Sugito melanjutkan, “mencari pembeli gabahnya sulit, dan kalau ada pun menawarnya itu waton mangap (asal ngomong) saja. Masa, 5 kg gabah tidak bisa untuk beli 1 kg pupuk. Itu kan gendeng (gila).” Akibatnya,

kehidupan petani menjadi terancam dan kemiskinan pun menghantuinya. “Petani mengalami kerugian, karena harga produksi mencapai Rp. 2.300,- sementara harga jualnya cuma Rp. 1.800,-,” Kemiskinan petani sepertinya tidak terelakkan lagi, ketika kebutuhan hidup semakin banyak sementara harga barang-barang kebutuhan pokok terus melonjak naik.

Memang ironis keadaan petani di kita ini, padahal kita katanya negara agraris tetapi mayoritas petaninya hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan petani di Indonesia, selain ada yang bersifat kultural --yakni kemiskinan yang terjadi karena nilai-nilai budaya dan pandangan hidupnya yang tidak memberikan etos kerja kepada para petani-- juga ada yang bersifat struktural. Kebijakan pemerintah yang ngawur dalam perlindungan harga jual hasil pertanian yang tidak menguntungkan petani maupun regulasi lainnya yang tidak memihak kepentingan petani merupakan faktor-faktor struktural yang menyebabkan terjadinya kemiskinan di kaalngan petani. “Kalau sekarang ini petani kita selalu miskin, itu karena pemerintah kita yang menghendaki hal itu”, ungkap Pak Rahmat. “bagaimana tidak? Sudah tahu negara kita 80% adalah petani dan sudah sangat sulit menjual gabah dan berasnya karena terkadang over produksi, e e eh malah banyak kapal yang berisi beras dari luar negeri disuruh masuh dan memenuhi pasar beras kita. Kebijakan itu kalau tidak dikatakan ingin memiskinkan petani, mau dibilang apa lagi?”

Apa yang dikatakan diungkapkan oleh Pak Rahmat tadi memang bukan mengada-ada atau mendramatisir masalah. Karena pada kenyataannya bukan saja beras yang diimpor, tetapi juga daging, telur, buah-buahan, gula, dan hasil pertanian lainnya. Negeri ini memang lucu, maksudnya pemerintah yang ngurus negeri ini tidak punya sensitivitas kemanusiaan. Sudah dikaruniai oleh Tuhan dengan tanah yang subur dan letak geografis yang strategis, tetapi tidak dikelola secara baik dan jujur. Akibatnya, tanahnya memang subur, tetapi petaninya tidak makmur. Berarti pemerintah tidak berpihak kepada para petani. “Saya sama sekali nggak

Page 27: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

27

mudheng (tidak paham) dengan jalan pikiran pemerintah kita yang suka mengimpor produk pertanian itu. Orang paling bodoh pun tahu kalau itu tidak masuk akal. Tetapi kok ya dilakukan,” ujar Pak Rahmat tanpa bisa menyembunyikan rasa heran dan sekaligus rasa jengkelnya terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan para petani di negeri ini. Kalau dibandingkan dengan tahun ’80-an sampai awal ’90-an, tampaknya nasib dan kehidupan para petani relatif lebih baik dan lebih makmur. “dua puluh tahun yang lalu nasib petani lebih enak daripada sekarang. Waktu itu ada anggaran besar dari pemerintah untuk bidang pertanian. Infrastruktur diperbaiki, pengairan bagus, teknologi pertanian diperkenalkan, varietas unggul diberikan, kredit dan penyuluhan disediakan, pasar terjamin.”

Sekarang, ketika pemerintah tidak berpihak kepada petani, kemudian diperparah dengan dampak globalisasi dan perdagangan bebas. Globalisasi juga ikut menyebabkan keterpurukan petani, karena pasar global dikuasai oleh mereka yang memiliki modal, sehingga mereka bisa menetukan harga termasuk upah buruh. Anehnya, pemerintah sendiri dalam menghadapai masalah ini bukannya memperkuat basis pertanian dan meningkatkan mutu, tetapi malah justru membuka keran impor hasil pertanian yang semakin merugikan para petani. Tampaknya pemerintah harus dipaksa untuk menghentikan impor hasil pertanian, sebagai upaya untuk memperbaiki nasib dan kehidupan para petani.

Masalah yang dihadapi oleh para petani memang tidak bisa dibiarkan terus begitu. Harus ada aksi dan gerakan yang bisa memberdayakan petani dan sekaligus menekan pemerintah agar segera sadar dan mau berbuat untuk kepentingan para petani. Usep S. Ahyar menawarkan program advokasi untuk menentang kebijakan pemerintah yang tidak memihak dan sekaligus pendampingan terhadap petani. Direktur Lembaga Pengembangan Potensi dan Keswadayaan Babad Purwokerto ini menegaskan, “pertama, secara bersama-sama memecahkan persoalan dengan memberdayakan ekonomi petani; kedua, melakukan

advokasi untuk menentang kebijakan-kebijakan pemerintah agar berpihak kepada para petani. Langkah operasional yang bisa dilakukan untuk memberdayakan petani adalah seperti yang diusulkan oleh Dr. Suhardi, yang disebutnya dengan mempertinggi keuntungan dan mengurangi kerugian secara maksimal pada setiap hektar tanah. Ketua HKTI DIY yang juga menjadi Dosen di Fak. Kehutanan UGM ini mengemukakan beberapa usulnya, “1) Petani tidak hanya menanam padi, tetapi juga ganyong, gembili, dll. 2) Petani juga mengusahakan peternakan atau perkebunan. 3) Melakukan penanaman vertikal, yaitu pada ketinggian paling atas ditanami buah-buahan dan coklat, kemudian diikuti tanaman pangan, dan seterusnya umbi-umbian. 4) Memproduksi pupuk sendiri, yakni pupuk kandang.”

Melihat beratnya masalah pertanian dan nasib para petani, maka pemerintahan yang kuat cerdas, jujur, dan berani sangat dibutuhkan untuk membela sebagian besar penduduk di negeri ini. Figur pemimpin bangsa yang punya sensitivitas kemanusiaan dan kepedulian terhadap nasib rakyat kecil yang diharapkan bisa mengangkat martabat dan kehidupan para petani.

2. Belajar dari Kisah Petani Miskin

Pernah hidup seorang petani miskin beserta istrinya di tengah hutan. Suatu hari si petani pergi mencari kayu untuk keperluan rumah tangganya. Berjalanlah ia di atas sebuah jembatan kayu yang dibawahnya mengalir sungai yang cukup dalam. Ketika ia melalui jembatan itu, tanpa sengaja goloknya terjatuh. Sang petani sedih bukan kepalang.Ketika ia sedang sedih datanglah Peri, sang penolong. “Mengapa engkau bersedih?’ Tanya sang Peri. “Golok kesayanganku terjatuh di sungai itu,” jawab petani. Sang Peri yang merasa iba berkata, “Tunggu sebentar ya, aku akan bantu carikan.”

Tak berapa lama kemudian Peri datang dengan membawa golok yang terbuat dari emas. “Inikah golokmu?” Tanya Peri. Segera petani menjawab, “Bukan, golok kepunyaanku sangat sederhana dan tidak sebagus itu.” Sang Peri menghilang dan tak berapa lama kemudian datang

Page 28: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

28

dengan membawa golok yang bertahtakan berlian, “Inikah golokmu?” Petani itu kembali menjawab, “Bukan, golokku sangat sederhana dan tidak seindah itu.”Tak berapa lama kemudian sang Peri datang dengan membawa golok yang kusam dan sederhana, “Inikah golokmu?” Petani itu segera menjawab, “Benar!” Peri itu kemudian menyerahkan golok itu kepada petani. Tidak hanya itu, melihat kejujuran sang petani, Peri kemudian menghadiahkan golok emas dan golok berlian tadi kepada petani.

Beberapa pekan kemudian petani itu beserta istrinya pergi ke pasar ingin menjual golok emas yang ia peroleh dari Peri. Ketika melewati jembatan yang sama, tiba-tiba istri petani yang sudah tua itu terjatuh ke sungai. Petani itupun menangis tiada henti di pinggir sungai. Ketika ia menangis Peri yang pernah menolong dan memberi hadiah golok emas dan berlianpun datang. “Ada apa kamu menangis?” tanyanya. “Istriku terperosok ke sungai,” jawab si petani dengan wajah duka. Peri itu kemudian menghilang sejenak dan tak berapa lama kemudian ia muncul dengan membawa Angelina Jolie. “Apakah ini istrimu?” tanya sang Peri. Petani itu langsung menjawab, “Betul!”

Demi mendengar jawaban si petani Peri itu kecewa. Petani yang sebelumnya jujur hari itu berdusta. “Saya kecewa dengan kamu, mengapa kamu bohong?” Dengan agak takut petani itu menjawab, “Bila aku jawab bukan maka engkau akan pergi dan tak berapa lama kemudian akan muncul dengan membawa Demi Moore. Saya kemudian menjawab itu bukan istri saya. Engkau lalu akan pergi dan tak berapa lama datang dengan membawa istri saya…” Petani itu diam sejenak, kemudian melanjutkan perkataannya. “Karena perilaku saya itu, kemudian engkau mengembalikan istri saya kemudian menghadiahkan kepada saya Angelina Jolie dan Demi Moore. Tuan Peri, saya ini petani miskin, mana mungkin saya sanggup menghidupi tiga istri.

Ada juga sebuah cerita tentang salah seorang Petani Indonesia, begini ceritanya : Petani desa terpencil dengan luas lahan sekitar 1000 m2. Jangankan pestisida, pupuk pun

tahunya hanya urea. Menurut cerita kakek dia mulai bertani sejak umur 20 tahunan, kehidupan bertani dimulai sejak terlepasnya predikat buruh tani dari bahunya. Sampai sekarang kakek masih tetap bertani. Umur kakek saya sekarang sudah 95 tahun, berarti beliau sudah bertani selama 75 tahun. Dan jika dihitung berapa kali beliau menanam padi kira-kira sudah 150 kali. Kakek mempunyai sebuah rumah semi permanen dengan dinding yang belum diplester masih berbentu bata. Itupun hasil karya para putra-putranya beberapa tahun yang lalau. Beliau memiliki sepeda kayuh 1 buah dan kambing 5 ekor. Dan kalau saya rupiahkan kekayaan kakek tidak lebih dari 5 juta rupiah. Itupun diraih dari hasil kerja keras dan penuh keprihatinan serta kesederhanaan. Itulah sekilas gambaran mayoritas petani indonesia sekarang ini. Lalu salah siapa ini? Padahal jasa beliau tidaklah dapat dihitung, coba anda pikirkan siapakah yang telah memberi makan berjuta-juta penduduk indonesia sejak 75 tahun silam sampai sekarang? Tetapi kenapa nasib petani kita masih seperti itu.

Berdasarkan Data BPS tahun 2010 masih ada 31.2 juta penduduk berada dalam kondisi miskin dengan komposisi orang miskin desa lebih banyak yakni 19,93 juta penduduk dan 11.1 juta penduduk kota. Tingkat kemiskinan di pedesaan sebenarnya bisa disetarakan dengan jumlah petani gurem, karena mereka inilah kelompok yang rentan. Menurut katagori BPS petani gurem adalah Petani yang tanah garapan kurang dari 0.5 ha. Hasil Sensus Pertanian terakhir (2003) menunjukkan bahwa jumlah keluarga petani gurem berjumlah 13.7 juta jiwa dan hasil proyeksi SPI jumlah keluarga petani gurem pada tahun 2008 berjumlah 15.6 juta jiwa. Bila setiap KK mempunyai 3 anak saja, maka jumlah penduduk miskin berjumlah 78 juta jiwa. Pada tahun 2010 jumlah petani tersebut diperkirakan akan meningkat, seiring dengan agenda korporatisasi pangan dan pertanian pemerintah melalui investor dan perusahaan-perusahaan agribisnis.

Rakyat miskin di Indonesia juga terus bertarung untuk bertahan hidup dengan berbagai tekanan himpitan ekonomi,

Page 29: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

29

kenaikan harga pangan pokok. Banyak diantaranya harus berutang, menganti pola makan agar hemat, bahkan ada yang bunuh diri. Beberapa kasus bunuh diri di bulan Januari 2011 memang kenyataannya berlatar belakang kesulitan ekonomi. Suami istri Maksum (35) dan Rohani (33) yang bekerja sebagai buruh kebun tebu di Cirebon memilih jalan gantung diri karena sudah tidak kuat dengan desakan ekonomi yang melanda keluarganya. Suami istri yang memiliki tiga orang anak ini hanya berpenghasilan Rp 25.000 per hari, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarganya sehari-hari

Ditengah himpitan ekonomi Samsul Fatah (20), yang bekerja sebagai buruh tani di Kebumen, diketemukan tewas setelah meminum racun serangga. Samsul menjadi tulang punggung keluarga dan hanya diupah Rp 25.000 per hari dari hasil kerjanya. Samsul kemudian nekat minum racun serangga karena tidak sanggup menaggung beban untuk menanggung hidup keluarganya. Bahkan bertepatan dengan pernyataan pemerintah melalui Menko Ekuin yang mengungkapkan berbagai keberhasilan pertumbuhan perekonomian di Indonesia, 6 orang bersaudara meninggal dunia karena keracunan setelah sarapan tiwul. Mereka terpaksa makan tiwul karena keluarga tidak mampu untuk membeli beras. Jadi tidak heran ketika kemiskinan dekat dengan kurang gizi dan busung lapar. Desa tidak menjadi pembuka lapangan kerja. Desa menjadi pengekspor utama buruh migran dan pekerja informal diperkotaan. Dari kebijakan pemerintah sejak 2004-2011 dibidang pertanian, dapat dikatakan terjadi stagnasi kemajuan di pedesaan, pertanian, tiadanya kedaulatan pangan dan makin rentannya nasib petani.

Di tengah situasi seperti yang ada saat ini apa yang sesungguhnya bisa di lakukan untuk menyelamatkan pertanian dan kedaulatan pangan yang beroreintasi pada kesejahteraan petani dan pemenuhan kebutuhan nasional. Bagi penulis setidaknya ada empat aspek langkah strategis yang harus dilaksanakan yaitu aspek pertanahan, proses produksi, distribusi dan kelembagaan petani.

Pertama, aspek pertanahan. Melalui sejumlah kebijakan pertanahan yang dapat dilihat dibagian sebelumnya nampak betapa pemerintah masih belum atau tidak menyadari pentingnya penguasaan alat produksi, dalam hal ini ialah tanah, bagi kepentingan perkembangan kesejahteraan kaum tani.

Dalam hal pertanahan setidaknya pemerintah harus mengambil langkah-langkah, (i) Pemerintah dengan sungguh-sungguh menjalankan Pembaruan Agraria yang berpihak kepada petani. Hal itu dapat dilakukan dengan menjadikan tanah-tanah yang dikuasai perusahaan-perusahaan perkebunan, dan kehutanan tersebut sebagai tanah obyek landreform. Kemudian saat ini di Indonesia masih terdapat 12.418.056 hektar tanah terlantar yang akan sangat bermanfaat jika didistribusikan untuk dimanfaatkan oleh keluarga-keluarga tani. Pendistribusian ini hendaknya mengutamakan keluarga tani yang tak bertanah, buruh tani dan petani-petani kecil dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar. Jika rata-rata satu keluarga tani mendapatkan 2 hektar tanah untuk digarap, sesuai pasal 8 Perpu No.56/1960 untuk batas minimum yang dapat menjamin kelangsungan hidup keluarga, maka terdapat 6.209.028 keluarga yang akan mendapatkan sumber penghidupan yang layak disamping untuk memenuhi kebutuhan pangan dan produk pertanian nasional. (ii) Menghentikan program food estate, perkebunan pangan skala luas yang diperuntukan bagi korporasi. Pengembangan food estate bertentangan dengan upaya pemerintah memenuhi kemandirian pangan, ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani. Dengan adanya pembukaan food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari pertanian berbasis keluarga petani ataupun koperasi menjadi korporasi/perusahaan produksi pertanian dan pangan. Kondisi ini akan melemahkan kedaulatan pangan Indonesia dengan menyerahkan pengelolaan kebutuhan dasar rakyat ke tangan perusahaan. (iii) Tidak melakukan alih fungsi lahan-lahan subur yang digunakan untuk pertanian menjadi peruntukkan lain di luar sektor pertanian terutama yang tidak

Page 30: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

30

menguntungkan bagi rakyat banyak. Serta pembatasan modal asing dalam pengelolaan sumber daya agraria. (iv) pengaturan kembali atau mencabut undang-undang sektoral yang saling bertabrakan dan tidak menguntungkan rakyat dan negara Indonesia seperti UU Perkebunan No.18/2004, UU Pengelolaan Sumber Daya Air No.7/2004, UU Kehutanan No. 19/2004, UU Penanaman Modal No. 25/2007 dan UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Kedua aspek produksi. Sistem produksi pertanian yang bersifat agribisnis seperti yang saat ini didorong oleh pemerintah Indonesia hanya akan membuat pangan dan pertanian berada dalam kontrol perusahaan mulai dari input hingga produksinya. Sistem tersebut hanya akan membuat petani dan rakyat Indonesia menjadi buruh di tanahnya sendiri. Upaya untuk meningkatkan produktifitas hasil pertanian saat ini jangan sampai menjadi Revolusi Hijau jilid II yang membuat petani tergantung dan terikat pada perusahaan-perusahaan penghasil input pertanian seperti benih, pupuk dan pestisida. Saatnya pemerintah Indonesia untuk ke depannya membangun kemandirian dan kedaulatan kaum tani.

Mendorong dilaksanakannya pertanian rakyat yang berkelanjutan misalnya hendaknya bukan saja didorong untuk memperbaiki kualitas tanah, lingkungan dan produksi yang aman bagi kesehatan manusia. Program tersebut hendaknya dijalankan dengan sungguh-sungguh sebagai upaya untuk melepas ketergantungan terhadap perusahaan-perusahaan transnasional penghasil input pertanian. Melalui penjualan input-input pertanian perusahaan-perusahaan tersebut telah menangguk keuntungan besar-besaran. Sebagai contoh nilai bisnis benih dunia pada tahun 2008 mencapai 31 milyar dolar dan bisnis agrokimia bahkan rata-rata mendapat keuntungan sebesar 35 milyar dolar per tahunnya.

Dengan semangat meningkatkan pertanian dan kesejahteraan petani Indonesia beberapa langkah yang harus dan mendesak untuk dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia antara lain; (i) Memandirikan produksi benih secara

nasional. Sebagai contoh tahun 2008 Sebagian besar benih untuk tanaman pangan dikontrol oleh perusahaan multinasional, seperti jagung hibrida yang mencapai 43 persen dipasok oleh syngenta dan Bayern Corp. Dukungan bagi pengembangan benih pangan berbasis komunitas harus dijadikan sebagai salah satu cara memandirikan petani. Karena setidaknya Indonesia hampir di setiap propinsi memilki universitas-universitas yang mumpuni untuk mendorong penelitian-penelitian yang dilakukan oleh petani. Ke depan harapannya, secara perbenihan Indonesia bisa maju dan mandiri. (ii) Mengubah arah kebijakan subsidi pertanian agar ditujukan langsung kepada keluarga-keluarga tani dan bukannya kepada perusahaan penghasil sarana produksi ataupun distributor besar. Saat ini sistem subsidi masih ditujukan kepada perusahaan penghasil sarana produksi dan distributor besar baik swasta maupun BUMN, tanpa disertai pengawasan lebih lanjut hingga ke tingkat petani. Situasi ini menyebabkan hampir setiap tahun petani senantiasa mengalami kelangkaan pupuk maupun benih. (iii) Pertanian rakyat berkelanjutan menjawab kebutuhan teknologi bagi petani kecil. Inovasi teknologi pada petani kecil ini memiliki beberapa karakter yakni penghematan input dan biaya, pengurangan resiko kegagalan, dikembangkan untuk lahan marjinal, cocok dengan sistem pertanian keluarga tani, dan meningkatkan pemenuhan nutrisi, kesehatan, dan lingkungan. Sistem ini sudah sesuai dan sejalan dengan kriteria pengembangan teknologi bagi petani kecil. Kriteria tersebut adalah berbasiskan pengetahuan lokal dan rasional; layak secara ekonomi dan dapat diakses dengan menggunakan sumber-sumber lokal; sensitive pada lingkungan, nilai sosial dan kebudayaan; mengurangi resiko dan bisa diadaptasi oleh petani; serta meningkatkan secara keseluruhan produktivitas dan stabilitas pertanian. Demikian juga tidak terjebak dengan model monokulture. Upaya yang praktis adalah mengimplementasikan kembali program Go organic 2010, dengan berbagai perbaikan seperti diatas.

Page 31: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

31

Ketiga, Aspek distribusi. Kebijakan distribusi yang ada saat ini juga sangat merugikan petani. Dengan serbuan impor pangan murah, petani kehilangan insentif untuk terus berproduksi. Bukan hanya petani, rakyat Indonesia secara luas juga mengalami kerugian dengan sistem distribusi yang ada. Secara nasional juga pemerintah tidak berdaya menghadapi spekulasi perdagangan hasil pertanian dan pangan.

Untuk mencegah semakin luasnya krisis pangan dan kelaparan di Indonesia sesungguhnya kebijakan distribusi pangan dan hasil pertanian memiliki peranan yang sangat vital. penulis memandang bahwa perubahan kebijakan distribusi pertanian harus lah segera dilaksanakan, dan dalam jangka pendek sejumlah alternatif yang bisa dilakukan antara lain; (i) Pengaturan tata niaga bahan pangan yang harus diatur oleh badan pemerintah, jangan diserahkan kepada mekanisme pasar yang sifatnya oligopoli bahkan pada komoditas tertentu dimonopoli oleh beberapa korporasi dalam negeri maupun asing. (ii) Menetapkan harga dasar terutama untuk kebutuhan pokok yang dapat menutupi ongkos produksi dan memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga petani. Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan. Harga harus sesuai dengan ongkos produksi dan keuntungan petani dan kemampuan konsumen. menetapkan harga dasar yang dapat menutupi ongkos produksi dan memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga petani. Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan.Harga harus dapat menutupi ongkos produksi dan kebutuhan hidup petani namun juga tidak merugikan konsumen. (iii) Melakukan pengaturan ekspor impor produk pertanian yang disesuaikan dengan kebutuhan dan bukan dengan melihat keuntungan yang diperoleh. Mengurangi ekspor bahan pangan ke luar negeri dengan menetapkan quota dan tidak melakukan ekspor bahan pangan pokok ketika kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi. Melindungi petani dari dumping produk

pertanian luar negeri dengan tidak mengurangi atau menghapuskan pajak impor. (iv) Peran pemerintah, dalam hal ini Bulog sebagai lembaga yang berperan menjaga stabilitas harga dan persediaan pangan dalam negeri secara luas harus ditegakkan kembali, terutama menyangkut bahan pangan pokok seperti beras, jagung, kedelai, minyak goreng dan gula. Pemerintah harus berani bersikap melindungi pertanian nasional, jangan terpaku dengan berbagai perjanjian liberalisasi pertanian yang diusung oleh WTO ataupun berbagai FTA, baik regional maupun bilateral. Praktek-praktek liberalisasi, deregulasi dan privatisasi seperti anjuran IMF, Bank Dunia dan WTO telah merusak pasar nasional (sebagai contoh bea masuk import beras yang nol persen) dan melemahkan BULOG. Harusnya BULOG bisa lebih aktif menjalankan fungsi Public Service Obligation bukan menjadi lembaga pencari laba. Artinya BULOG harus menjadi lembaga penyangga pangan yang memiliki kewenangan dan fungsi pelayanan publik. (v) Mengambil langkah tegas untuk mencegah terjadinya spekulasi produk pertanian yang dapat merugikan masyarakat luas. Perlunya melakukan investigasi dan penyelidikan terhadap kemungkinan penimbunan bahan pangan yang dilakukan oleh para pelaku bisnis pangan dan spekulan.

Keempat, Aspek kelembagaan petani. Kebijakan kelembagaan yang mengurus kepentingan petani dan pertanian serta pembangunan pedesaan hingga sekarang belumlah ada. Program dan kelembagaan yang ada sifatnya parsial tidak menyeluruh dan kuat. Beberapa hal untuk membangun kelambagaan petani dan pertanian yang harus dilakukan adalah; (i) Dibangunnya pemahaman agraria secara nasional sehingga kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah tidaklah sepotong-sepotong. Kelembagaan yang dimaksud adalah yang mampu mengurus dan menangani persoalan petani dan pertanian mulai dari alat produksi, input produksi, proses produksi, distribusi dan keuangan. Artinya juga menangani soal pendidikan, teknologi dan pengembangan infrastruktur, serta koperasi dan organisasi petani. (ii) Memberikan kesempatan yang sama kepada

Page 32: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

32

berbagai organisasi tani dalam mendapatkan pelayanan baik dalam subsidi maupun pelatihan tekhnik pertanian. Pemerintah perlu menetapkan jaminan yang mendukung tumbuhnya organisasi tani yang mandiri serta memperbesar alokasi dana dan pengaturan distribusi dana untuk usaha pertanian yang menguntungkan petani dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Terlebih pada dukungan harga pasca produksi.

Banyaknya kebijakan dan program pangan dan pertanian yang dicanangkan pemerintah seharusnya menjadi tanda keseriusan pemerintah untuk membenahi sektor ini termasuk meningkatkan kesejahteraan petani kecil. Namun sayangnya berbagai program ini justru didorong demi melayani kepentingan para investor.Pemerintah tidak lagi mendukung keluarga-keluarga petani yang telah menyediakan kebutuhan pangan bagi jutaan penduduk negeri ini selama puluhan tahun. Saat ini pemerintah justru menyerahkan kepada perusahaan-perusahaan pertanian untuk mengelola sumberdaya agraria dan memproduksi pangan bagi negeri ini. Cara pikir seperti inilah yang justru akan semakin memperlemah kedaulatan pangan bangsa.

Untuk itu, masih ada waktu empat tahun lagi bagi pemerintah sekarang ini untuk mengambil langkah-langkah yang berpihak kepada kaum tani. Tentu dengan kembali kepada Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) sebagai penjabaran dari UUD 1945 pasal 33. Hal ini merupakan agenda yang mendasar bagi Indonesia untuk terjadinya perombakan, pembaruan, pemulihan dan penataan sistem agraria nasional yang sejati demi keadilan dan kemakmuran bagi petani, dan seluruh rakyat Indonesia

3. Kemiskinan Petani di Tengah Kenaikan Produktivitas Padi

Produktivitas padi sawah yang cukup tinggi, dibarengi harga jual gabah yang bagus dalam waktu dua tahun terakhir membawakan berkah keberuntungan bagi petani padi, yang berakibat pula terhadap kenaikan kesejahteraan petani. Betulkah hal tersebut terjadi pada seluruh petani padi di perdesaan? Jawabannya ternyata terbagi dua: ya, bagi

sebagian kecil, dan tidak bagi sebagian besar petani. Walaupun jawaban tersebut sudah dapat diduga sebelumnya, namun anatomi mengapa demikian dan berapa pendapatan petani dari usaha tani produksi padi sawah, menarik untuk diketahui.

Bagi kita yang biasa berhitung secara ekstrapolatif atau berdasarkan konversi, adalah sangat mudah menghitung keuntungan usaha tani padi per hektar, dan berapa nisbah atau rasio antara keuntungan dengan ongkos usaha. Untuk memberikan gambaran “keuntungan” petani dari usaha tani padi sawah pada lahan milik sendiri disajikan pada Tabel 1. Petani yang memiliki lahan sawah dua hektar akan mendapat keuntungan sekitar Rp 21,9 juta sekali panen (jangka waktu 4 bulan), atau sekitar Rp 5,48 juta per bulan. Bila petani memiliki lahan sawah 5 hektar, pendapatan per bulan mencapai sekitar Rp 13,7 juta, dan bila petani hanya memiliki 1 hektar, pendapatan per bulan hanya Rp 2,7 juta. Pendapatan dari usaha tani padi dinilai cukup layak bagi penghidupan keluarga petani apabila petani memiliki lahan sawah 2 hektar, atau minimal 1 hektar.

Jadi, adalah benar bahwa produktivitas padi sawah yang tinggi dan harga jual gabah yang bagus, membawa keberuntungan usaha bagi petani, yaitu petani pemilik lahan yang agak luas, lebih dari satu hektar. Dan memang seharusnyalah, petani padi memiliki lahan sawah sendiri, idealnya minimal 2 hektar per KK. Seperti halnya petani padi di Thailand, mereka rata-rata memiliki luas lahan garapan 5 hektar /KK, di Malaysia 4 hektar /KK, dan bahkan di Australia mencapai 100 hektar /KK. Sayangnya petani padi di Indonesia kepemilikan lahan sawahnya rata-rata hanya 0,5 hektar. Di Karawang dan di Indramayu, Jawa Barat, memang ada beberapa petani yang luas sawahnya 50 hektar, bahkan ada yang lebih. Akan tetapi, jumlah pemilik lahan yang luasnya demikian hanya sedikit, kurang dari 1%, sedangkan yang terbanyak antara 0,3-0,7 hektar. Dapat dibayangkan betapa akan sejahteranya petani Indonesia apabila skala usahanya sama dengan petani Thailand, apalagi bila sama dengan petani Australia.

Page 33: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

33

Petani penggarap tidak mempunyai lahan sawah, mereka menanam padi atas dasar bagi-hasil dengan pemilik lahan. Petani penggarap merupakan petani padi aktif, karena ia mengerjakan usaha tani padi dari sejak membuat persemaian, olah tanah, tanam, pemupukan dan seterusnya hingga panen. Bahkan, petani penggarap membeli benih, pupuk, pestisida, dan membayar ongkos pengolahan tanah dengan traktor dan membayar tenaga kerja tanam, penyiangan, dan panen. Faktor yang membedakan petani penggarap dengan petani padi biasa adalah mereka tidak memiliki lahan sawah yang mereka garap. Istilah lain petani penggarap adalah petani pemaro, pengedok, atau petani bagi hasil. Dalam bahasa Inggris, petani penggarap disebut sebagai share-cropper. Dalam istilah lain, petani penggarap ini dapat juga disebut sebagai buruh tani atau petani kuli kendo.

Jaman dulu sebelum 1960 di perdesaan sudah ada petani penggarap, tetapi jumlahnya sangat sedikit, mungkin hanya 1-3 KK pada setiap pedukuhan yang terdiri atas 50-70 KK petani. Dengan demikian, petani penggarap dapat hidup dengan nyaman, karena di desa tersedia banyak pekerjaan dari petani pemilik lahan, di samping lahan sawah bagi hasil yang ia kerjakan. Masyarakat desa pada umumnya memberikan keringanan kepada petani tanpa lahan untuk tidak usah membayar iuran untuk pembuatan jalan desa, iuran pemeliharaan saluran irigasi, atau iuran pembangunan tempat peribadatan. Bahkan warga desa yang baik hati, sering memberi bagian hasil panen padi kepada petani tanpa lahan yang pernah “membantu bekerja” di sawahnya, dalam jumlah yang lumayan. Demikian juga untuk hasil panen komoditas lain, seperti jagung, kacang, bawang merah, cabe, labu, atau pisang. Memberi bagian panen kepada keluarga petani tanpa lahan merupakan kebanggaan bagi keluarga petani yang mampu. Akan tetapi itu dahulu, antara tahun 1950-an hingga tahun 1960-an, pada waktu jumlah petani penggarap atau buruh tani atau kuli kendo di perdesaan kurang dari 3% dari total KK petani.

Bagaimana Status Petani Tuna Lahan pada Abad XXI?. Sungguh sangat mengejutkan, di beberapa kabupaten di Jawa Barat, petani tanpa lahan yang berstatus sebagai petani penggarap jumlahnya mencapai 30-60%, bahkan mereka yang berstatus sebagai buruh tani atau kuli kendo di beberapa desa mencapai 75%. Ini suatu porsi jumlah yang sangat banyak, apalagi pada kondisi kepemilikan lahan sawah petani (bagi petani yang memiliki lahan) kurang dari 0,5 hektar. Petani pemilik lahan secara faktual tentu tidak dapat menyerap tenaga kerja ”tuna lahan” yang jumlahnya melebihi petani pemilik lahan, sehingga terdapat ”pasokan tenaga” yang berlebihan atau labour over supply di perdesaan.

Oleh banyaknya petani yang tidak memiliki lahan, maka “status petani aktif” menjadi golongan tersendiri dalam masyarakat pedesaan menempati strata lapisan atas, Entah bagaimana proses terbentuknya pada akhir abad XX (sejak tahun 1990-an) petani pemilik lahan banyak yang mengalihkan pengelolaan operasional usahataninya kepada petani penggarap. Lahan sawah seolah-olah mempunyai fungsi sosial untuk “pemerataan kesejahteraan”, sehingga seberapa pun luasan sawah milik petani selalu dibagihasilkan dengan petani tanpa lahan.

Di salah satu kabupaten di Jawa Barat, seorang petani pemilik lahan sawah 0,7 hektar membagi-hasilkan kepada lebih dari seorang petani penggarap, dan seorang petani penggarap mendapat jatah garapan antara 100-350 bata (1 ha = 700 bata) atau 15-50 are. Secara umum ketentuan bagi hasil adalah biaya sarana dan upah usaha tani padi ditanggung oleh petani penggarap dan pada saat panen petani penggarap memperoleh bagian 40% dari hasil bersih, setelah dipotong bawon. Ketentuan ini dapat sedikit berbeda antar wilayah dan antar pemilik lahan. Dengan bagian hasil yang hanya 40%, maka pendapatan petani penggarap setelah dikurangi biaya produksi jelas sangat kecil. Untuk garapan seluas 50 are, pendapatan petani penggarap setelah dikurangi biaya produksi hanya Rp. 990.000,- dari satu musim panen padi (empat bulan), sedangkan pemilik lahan yang tidak

Page 34: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

34

mengeluarkan modal justru memperoleh pendapatan Rp.4.485.000,-

Setelah dipotong biaya produksi, petani penggarap rata-rata hanya menerima penghasilan sebesar 22% dari penghasilan petani pemilik lahan. Dengan luas lahan garapan antara 30-40 are, maka pendapatan petani penggarap hanya berkisar antara Rp. 600.000,- hingga Rp. 800.000,- per musim panen (empat bulan), atau antara Rp. 150.000,- hingga Rp. 200.000 per bulan. Pendapatan kepala keluarga petani penggarap tersebut jelas lebih kecil bila dibandingkan dengan upah minimum regional buruh industri. Perbedaannya, petani penggarap tidak harus bekerja secara terus menerus di sawah selama empat bulan, dan bahkan mereka mendapatkan “upah” dari kegiatan kerja di lahan sawah garapannya. Banyak penelitian menyebutkan bahwa usaha tani padi hanya mengambil pangsa 30-40% dari total pendapatn keluarga tani. Apabila porsi pendapatan yang berasal dari usahatani padi tersebut merata di beberapa wilayah, berarti total pendapatan keluarga tani penggarap mencapai Rp. 600.000,- hingga Rp. 800.000,- per bulan per KK. Apabila total pendapatan petani penggarap benar dapat mencapai Rp. 800.000,- per bulan, di perdesaan ini termasuk cukup besar. Masalahnya adalah mungkinkah selalu tersedia pekerjaan luar pertanian (of farm) di desa atau di kota yang terjangkau oleh petani, yang mampu menyediakan penghasilan hingga dua kali lipat pendapatan petani dari usahatani padi.

Dari gambaran pola pendapatan petani penggarap tersebut, terlihat bahwa produktivitas padi yang meningkat belum dapat menyejahterakan petani kecil (yang kepemilikan lahannya kurang dari 0,7 ha dan apalagi petani penggarap. Dalam sistem usahatani berbasis padi di Indonesia saat ini, rendahnya pendapatan petani padi bukan karena factor teknologi, produktivitas, atau harga gabah, tetapi karena skala usahanya yanga terlalu kecil atau luas garapannya yang terlalu sempit. Oleh karena itu, boleh jadi kemiskinan atau kemelaratan di balik kenaikan produktivitas padi akan tetap berlanjut apabila kita tidak memahmi akar

permasalahan yang sesungguhnya, yanga dihadapi oleh sektor pertanian.

Kemiskinan petani padi dan petani komoditas lainnya berakar pada semakin langkanya atau sempitnya penguasaan lahan garapan. Selama “kemiskinan lahan garapan” ini tidak dapat diatasi, program pembangunan berbasis pertanian untuk mengentaskan petani miskin di pedesaan nampak sulit berhasil. Usaha pertanian komoditas pangan yang pemasarannya berbentuk curah (bulk), seperti halnya padi, tingkat efisiensi dan profitabilitasnya tidak dapat dipisahkan dari skala usaha yang seharusnya memenuhi persyaratan layak ekonomis. Untuk tanaman padi berarti skala usaha minimal adalah 1-2 ha per KK. Pertanyaannya, dapatkah pemerintah memfasilitasi tersedianya lahan pertanian bagi petani kecil di pedesaan ?. Ini merupakan masalah yang tidak sederhana. Semoga masalah ini dapat sama-sama kita pahami, sehingga upaya mengentaskan petani dari jerat kemiskinan lebih tepat pada sasaran akar masalahnya.

Begitu banyak perubahan, sekarang pertanyaannya

bagaimana di tengah perubahan yang begitu cepat tersebut, kita kaum tani bisa mengerti tentang perubahan yang terjadi, dan bagaimana kita bisa memahami perabahan itu dan bisa berjuang untuk merubahnya. Untuk melihat perubahan pada kehidupan kaum tani, kita bisa melihatnya dari berbagai hal. Saya pikir, salah satu yang terpenting dalam kehidupan petani adalah dapur. Semua dapur keluarga petani menggunakan kayu bakar, dan ada peniup apinya yang menggunakan bambu yang tua atau besi. Kemudian diatas tungku perapian itu, dibuatlah “para-para”. Para-para ini terbuat dari bambu yang dianyam atau papan luasnya sekitar 1 M dan berada sekitar 1,5 M dari atas tungku perapian. Fungsi dari para-para ini adalah sebagai tempat menyimpan ikan dan juga tempat menyimpan benih-benih tanaman, terutama sayuran. Ada juga yang tidak membuat para-para, tetapi menggantungkan keranjang yang terbuat dari bambu untuk tempat menyimpan ikan dan sebagainya. Saya melihat jauh berbeda dengan para-para tetangga saya yang

Page 35: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

35

buruh tani. Para-paranya hanyalah berisi kayu. Tidak ada ikan dan tentunya benih-benih tanaman di para-para mereka.

Kini kita bertanya, bagaimanakah keadaan dapur dari keluarga petani kita dan buruh tani saat ini. Apakah masih ada ikan disimpan di para-para, setelah sawah kita menggunakan pupuk dan racun kimia, dan sungai kita yang semakin mengering, dan tercemar. Apakah keluarga buruh tani kita sekarang masih mempunyai para-para, atau sekarang menggantikannya semua dengan kulkas atau lemari pendingin. Apakah keluarga petani masih pakai kayu api, setelah semua pohon karet dan hutan-hutan kecil dan semua tanaman sekarang diganti dengan kelapa sawit, dan setelah kayu api juga diperdagangkan. Apakah keluarga petani memakai kompor bantuan pemerintah yang banyak meledak itu. Apakah para Ibu dan anak-anak masih terus mencari kayu bakar sementara sang Bapak dengan asyiknya bercengkrama di kedai. Apakah posisi dapur masih seperti dulu tetap berada di bagian belakang dan hanya perempuan saja yang pantas berada di dapur itu.

B. Nasib Petani Tebu: tak Semanis yang di Bayangkan

Nasib petani tebu tidak kalah memprihatinkan. Data dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia, secara tegas mengatakan bahwa tidak ada penghargaan dan reward yang layak dari pemerintah kepada petani tebu. Yang ada justru petani tebu kerap dituding menghambat swasembada gula lantaran panen tebu yang tidak mencapai target. Nasib petani tebu biasanya dilihat dari harga patokan petani (HPP) menjual hasil panennya. Pemerintah menetapkan HPP sebesar Rp 8.100 per kilogram. Besaran tersebut diakui belum mampu memaniskan nasib petani. Pemerintah selama ini menghitung HPP rata-rata secara nasional dari 60 persen produksi PTPN.

Memang ada berita bagus terkait dengan harga tebu pada Mei yang lalu hanya Rp 35 ribu untuk setiap kuintalnya, namun kini harganya sudah bertengger di Rp 48 ribu hingga Rp 52 ribu per kuintal. Kenaikkan ini diduga lantaran harga rendemen tebu mengalami kenaikan. Pada awal musim giling di bulan Mei lalu rata-rata rendemen dibeberapa pabrik penggilingan gula berada di kisaran 6%, namun kini sudah naik ke kisaran 8%. Dengan

kenaikkan harga tebu ditingkat petani saat ini terjadi penurunan produktivitas hingga 10% per ha pada awal tahun ini. Penurunan bobot ini membuat pabrik-pabrik gula bersaing dalam mendapatkan bahan baku untuk pabriknya dan menaikkan harga pembelian mereka. Namun di sisi lain karena jumlah gula yang dihasilkan relatif sama, maka penghasilan petani tak terasa naik. Meskipun kenaikan rendemen ini cukup menggembirakan, namun Soemitro menilai petani belum mendapatkan penghasilan yang optimal karena harga lelang gula yang saat ini baru Rp 8.300 per kg. Harga ini menurut Soemitro memang sudah naik dari tingkat harga pada awal musim giling yang sempat menyentuh Rp 7.250 per kg, namun masih di bawah harga lelang gula pada akhir masa giling Oktober-November 2010 yang sempat menyentuh harga Rp 9.500 per kg hingga Rp 9.600 per kg. “Dengan rata-rata harga Rp 8.000 maka per ha petani mendapatkan Rp 34 juta sementara biaya tanam Rp 25 juta, jadi pendapatannya hanya Rp 9 juta. Kalau harga bisa naik jadi Rp 9.500 saja baru petani bisa mendapat Rp 40 juta per ha dan pendapatan bersih Rp 15 juta untuk waktu setahun,” kata Soemitro.

Dari segi harga, di Thailand, dengan rendemen8 tebu mencapai 15 persen, bisa menjadi 14-15 ton gula. Dengan biaya produksi Rp 45 juta, 1 hektare kebun tebu bisa menghasilkan 15 ton gula. Setelah digiling, biaya produksinya BEP nya per kilogram hanya Rp 4.500. Sementara di Indonesia, rendemen hanya 7,2-7,5 persen. Sebab, pabrik-pabrik PTPN sudah tidak efisien. Meskipun ada pabrik swasta yang bagus, itu yang bukan berbasis petani tebu. Dari pabrik-pabrik tersebut, 1 ha hasil tebu digiling hanya 7,5 ton. Dengan upah pungut 34 persen, petani hanya dapat 66 persen. Jadi biaya produksi per kilo gram BEP nya Rp 10.000. inilah yang menyebabkan beberapa kalangan berpendapat impor gula lebih menguntungkan secara finansial dan lebih efisien.

Kebijakan impor gula dari negara tetangga yang awalnya bertujuan memaniskan seluruh wilayah Indonesia ternyata kebijakan tersebut tidak terasa manis bagi petani tebu di tanah

8 Kandungan gula didalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen

Page 36: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

36

air dan industri gula nasional. Alasannya, gula impor yang sedianya hanya didistribusikan di wilayah tertentu yang tidak sanggup memenuhi kebutuhan akan rasa manis, ternyata bocor ke daerah lain yang selama ini mengandalkan jerih payah dan keringat petani tebu dan pekerja industri gula nasional. Gula ilegal mudah masuk ke pasar domestik.

Gelombang demontrasi besar-besaran petani tebu pada pertengahan tahun 1999 sampai akhir tahun 2000 telah menjadi fenomena sosial politik baru di Indonesia. Fenomena ini menarik, bila kita melihat keseragaman aspirasi yang mereka sampaikan. Dengan berbagai atribut organisasi, seperti Paguyuban Petani Tebu (PPT), Assosiasi Petani Tebu (APT) serta Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) para petani tebu secara bersama menyampaikan tuntutan kepada Pemerintah untuk segera menolak masuknya gula impor.

Gerakan nasional penolakan petani tebu terhadap kebijakan pemeritah yang membuka secara bebas kran impor gula dalam negeri ke pasar bebas dimasa krisis ekonomi, telah menggeser pola lama hubungan pihak-pihak yang bergelut dalam industri gula nasional. Setidak-tidaknya sejarah baru bagi industri ini telah dimulai, yaitu liberalisasi industri gula nasional.

Proses liberalisasi industri gula dimulai dengan ditandatangani Letter of Intent (LoI) pertama pada tanggal 31 Oktober 1997. LoI antara pemerintah dan IMF sebagai sebuah dokumen perjanjian adalah hal yang lazim dalam bidang ekonomi moderen saat ini, namun dalam perspektif ideologi politik, sejarah maupun hukum, dokumen perjanjian ini dapat dimaknai lain, yakni; alat untuk memperkuat berseminya nilai-nilai liberalisme baru (neoliberal). Agenda liberalisasi baru yang berdampak secara langsung bagi industri gula, dapat kita jumpai pada LoI kedua yang ditandatangani pada tanggal 15 Januari 1998. Setidak-tidaknya ada dua ketentuan penting yang terdapat dalam LoI kedua ini. Yaitu; (1). Ketentuan tentang penurunan tarif bea masuk bagi perdagangan luar negeri termasuk bea masuk gula. (2). Ketentuan tentang penyusutan peranan Bulog, dimana Bulog hanya diperbolehkan untuk melakukan monopoli beras.

Dua ketentuan yang terdapat di dalam LoI kedua ini, bagi industri gula nasional ada dua tonggak penting dari kesepakatan tersebut yang menandai pergeseran politik hukum bagi peraturan yang mengatur industri ini. Pertama, sejak tanggal 15 Januari 1998 melalui Inpres No. 5 tahun 1998 pemerintahan Soeharto menetapkan kebijakan baru pada industri gula nasional untuk menggantikan kebijakan TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi). Inpres ini bertujuan agar petani diberikan kebebasan untuk menentukan jenis tanaman yang akan dibudidayakan. Melalui kebijakan baru ini, pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya kepada petani untuk menanam tebu atau tidak. Kedua, lewat Keppres No.19 Tahun 1998 dan SK Menteri Perdagangan No.21 Tahun 1998, Bulog tidak diperbolehkan lagi mengontrol impor dan distribusi gula. Keppres ini bertujuan membatasi tugas pokok Bulog untuk menjaga kestabilan bahan pangan Nasional.

Bulog berdasarkan Keppres ini hanya berwenang untuk menjaga stabilitas beras baik secara langsung maupun tidak langsung. Melalui kebijakan ini, secara otomatis, negara (lewat Bulog) dikurangi intervensinya dalam mengatur pembelian dan distribusi gula. Pengaturan penghapusan tugas BULOG, juga berpengaruh pada bidang fiskal, dimana IMF mensyaratkan pencabutan subsidi untuk komoditas gula pasir, tepung terigu, jagung, bungkil kedele dam tepung ikan, mulai tanggal 1 Februari 1998. Beberapa aturan diatas memperlihatkan bahwa penandatangan LoI IMF dengan Pemerintah Indonesia merupakan dokumen hukum dari agenda liberalisasi industri gula di Indonesia.

Implikasi dari kebijakan liberalisasi ini berakibat secara langsung minimal pada tiga hal penting bagi industri gula nasional. Pertama, dalam hal Bea Masuk Gula. Implikasi yang ditimbulkannya, gula sempat menjadi salah satu dari produk pertanian, kecuali beras dengan bea masuk gula menjadi 0 %. Namun karena kebijakan ini mendapat perlawanan keras dari petani, akhirnya tarif bea masuk gula dinaikkan pemerintah menjadi 20%-25% dengan keputusan Menteri (Kepmen) Keuangan No.568/KMK.01/1999.

Page 37: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

37

Kedua, pada Harga Gula dengan implikasi yang paling radikal yang ditimbulkan yaitu hilangnya badan yang bertugas untuk melakukan stabilisasi harga gula. Politik harga gula yang dulunya ditentukan secara sentralistis dari Bulog, kini dihilangkan. Akibatnya, harga gula domestik saat ini amat sangat ditentukan oleh tingkat flukuasi nilai Rupiah karena Indonesia menganut sistem devisa yang terbuka. Ketiga, Ketahanan Pangan (Food Security). Implikasi yang muncul adalah hilangnya kebijakan pemerintah dalam hal kebijakan ketahanan pangan khususnya pada industri gula saat ini.

Keberpihakan peraturan industri gula nasional pada mekanisme pasar bebas telah membawa implikasi secara langsung pada industri ini, terutama bagi petani tebu. Masih terdistrosinya pasar gula di tingkat internasional dan lemahnya daya saing industri gula nasional, telah membuat nasib petani tebu semakin terjepit di tengah-tengah liberalisasi ekonomi dunia saat ini. Sehingga bukan pemandangan yang aneh bila kelahiran hukum yang mengatur industri ini, sempat mendapat perlawanan yang luas dari para petani tebu. Peraturan-peraturan industri gula yang lahir pasca LoI menggambarkan terjadinya sebuah bentuk perubahan terhadap kebijakan negara bagi industri gula nasional.

Bentuk perubahan yang terjadi adalah bahwa produk hukum yang dihasilkan pada masa ini memiliki kecenderungan untuk mengakomodasi gagasan dari pelaksanaan mekanisme pasar bebas. Perubahan kebijakan negara melalui peraturan-peraturan baru ini, dilakukan (secara sadar atau tidak) dengan politik hukum yang mengatur tentang industri gula nasional. Produk hukum bagi industri gula yang dihasilkan pasca gerakan reformasi tahun 1998, ternyata lebih mengakomodasi kepentingan dari kekuatan-kekuatan ekonomi global yang dalam studi ini direpresentasikan terutama oleh International Monetary Fund (IMF).

Hal lain yang perlu dicermati, Majalah ilmiah, Nature, dalam beritanya di edisi 25 Agustus 2010 menyodorkan berita yang cukup mencengangkan bagi saya, yakni tentang keberhasilan peneliti menciptakan mesin pembuat gula (sintesis). Mencengangkan karena molekul gula berbeda dengan

peptida (polimer asam amino) atau nukleotida (polimer DNA) yang umumnya berupa rantai memanjang tanpa “cabang” (rantai alifatik). Keberhasilan ini pada akhirnya akan merubah “pola produksi” gula di dunia di masa mendatang yang pada akhirya kemudian akan berdampak pada nasib para petani tebu.

Berikut sedikit gambaran aspek ilmiah tentang mesin tersebut sehingga kita bisa memiliki gelombang yang sama dalam memahami uraian ini. Gula disini yang dimaksudkan adalah polimer dari monosakarida (glukosa, fruktosa, dan lain-lainnya) yang digandeng-gandeng lewat ikatan glikosidik hingga menjadi berbagai macam bentuk molekul gula. Ada banyak jenis gula yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari gula pasir, gula susu, hingga ‘gula darah’. Gula susu sering disebut dengan laktosa, sementara gula dara umumnya mengarah pada monosakarida glukosa. Sementara yang paling populer tentunya gula pasir yang biasa kita temu sehari-hari saat menyereputu secangkir kopi atau teh manis bersama keluarga. Dan gula inilah yang akan jadi pokok uraian saya kali ini. Gula pasir yang biasa kita tambahkan ke secangkir kopi atau teh pada dasarnya adalah gabungan dari monosakarida glukosa dan fruktosa (kemudian dikelompokkan dalam famili disakarida). Yang kita tahu, gula pasir selama ini diperoleh dari tanaman tebu lewat proses penggilingan dan seterusnya. Keberhasilan para peneliti menciptakan mesin ‘pembuat gula’ akan merubah (salah satunya) proses produksi gula pasir dimasa mendatang. Dengan teknik kimia tertentu, mereka bisa mensintesis sendiri unit-unit monosakarida gula, lalu menggandeng-gandengkannya hingga terbentuk polimer gula yang mereka inginkan. Jika ingin membuat gula pasir, mereka tinggal gabung-gabungkan monosakarida glukosa dan fruktosa sebanyak yang mereka inginkan. Bukan mustahil, ’scale up’ mesin di Industri kelak bisa mengalahkan produksi gula pasir konvensional yang mencapai 150 ribu ton per tahun. Dengan logika ini, maka mesin tersebut akan menjadi ancaman tersendiri bagi para petani tebu yang selama ini memproduksi gula pasir secara konvensional.

Seberapa menakutkan ancaman tersebut ?

Page 38: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

38

Mari kita lihat kondisi sekarang. Pasca penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara International Monetary Fund (IMF) dan pemerintah Republik Indonesia di tahun 1997 lalu, industri gula mengalami dua transformasi besar. Pertama, pasar gula diliberalisasikan, dimana gula dari luar negeri bisa masuk dengan bea masuk 0% yang mengakibatkan menjamurnya gula-gula asing dengan harga jauh lebih murah. Harga gula lokal jelas lebih mahal akibat biaya produksi yang tinggi sebagai effek dari mesin-mesin penggilingan yang tua, biaya pupuk dan bibit yang besar, dan seterusnya. Kondisi tersebut membuat petani gula tidak bisa merasakan ‘manisnya’ gula yang mereka produksi akibat ‘kejamnya’ persaingan pasar. Bea masuk sempat dinaikan ke kisaran 20-25% di tahun 1999, tapi tetap belum bisa merubah kondisi mengenaskan para petani tebu rakyat.

Kedua, penandatanganan LoI berefek pada lepasnya peranan pemerintah untuk meregulasi harga gula dipasaran. Dulu fungsi ini dilakukan oleh Bulog, tetapi IMF menekankan fungsi Bulog hanya diarahkan untuk memonopoli (dan meregulasi tentunya) pasar beras. Produk pertanian lainnya dilepaskan di mekanisme pasar. Karena daya saing gula lokal kita yang belum cukup kuat (dengan alasan yang tadi saya sebutkan di atas), mekanisme pasar perlahan membunuh petani tebu tersebut. Nah, keberadaan mesin pembuat gula yang baru saja diciptakan akan memperparah kondisi tersebut. Mesin sintesis gula akan menjadi semacam ‘produsen gula’ baru yang bisa memproduksi dengan skala jauh lebih besar dan lebih cepat, lalu produknya akan membanjiri pasaran. Tanpa mesin itu saja, kondisi petani tebu sudah terhimpit dengan membanjirnya gula impor. Jika produsen-produsen gula impor kemudian memanfaatkan mesin baru tersebut, maka bisa dibayangkan makin tersingkirnya gula petani lokal kita digantikan ribuan ton gula sintesis mesin tersebut.Apakah berarti kita menolak perkembangan teknologi tersebut ? Tentu saja jawabannya tidak ! dan naif kalau kita secara konyol menafkihkan perkembangan teknologi tersebut. Yang harus dilakukan adalah keseriusan pemerintah dalam melindungi

petani gula tersebut sebelum akhirnya benar-benar “hilang” tanpa jejak.

Pertama, bea masuk gula impor mesti ditinjau ulang sehingga tidak mengancam keberadaan gula lokal. Dengan keterbatasan teknologi produksi dan biaya produksi lainnya yang masih selangit, daya saing gula lokal kita masih jauh dibandingkan dengan gula impor. Satu-satunya cara saat ini adalah menyesuaikan kembali bea masuk tersebut.

Kedua, peningkatan daya saing gula lokal. Ini bisa dilakukan lewat revitalisasi pabrik-pabrik gula dan perbaikan di area hulu . Dengan mesin-mesin tua seperti sekarang, bisa dibayangkan tingginya biaya produksi per kilogram gula yang pada akhirnya berefek pada harga jual gula di pasaran. Dengan peremajaan teknologi pabrik gula, biaya produksi bisa ditekan disamping juga bisa meningkatkan kualitas gula yang dihasilkan sehingga daya saing produknya di pasaran secara sekuensial meningkat. Hal yang sama pun akan bisa diperoleh jika hambatan-hambatan selama proses produksi di area hulu bisa diminimalisir, mulai dari biaya pupuk, penyediaan bibit yang unggul, dan teknologi-teknologi produksi lainnya. Biaya produksi petani tebu dan masalah rendemen tebu yang rendah pada akhirnya bisa diatasi untuk bisa meningkatkan daya saing produk mereka.

Ketiga, perbaikan sistem agribisnis produksi gula. Perlu dicatat, meskipun beberapa waktu terakhir ini ada peningkatan harga gula dipasaran, tapi penikmat keuntungan bukanlah petani tebu, tapi para pengusaha gula mulai dari pemilik pabrik, hingga distributor. Sementara petani hanya menikmati harga batangan-batangan tebu-nya (yang cenderung konstan). Ini pula yang membuat banyak petani perlahan melepaskan kebun-kebun mereka untuk kemudian di kooptasi oleh “pemilik-pemilik modal” hingga akhirnya mereka hanya menjadi buruh di (bekas) lahannya sendiri.

Jadi, tanpa harus menolak setiap perkembangan teknologi dan inovasi sains lainnya, kita masih bisa menyelamatkan jutaan petani tebu di tanah air kita

C. Beragam Upaya Pemberdayaan dari Belenggu Kemiskinan

Page 39: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

39

Sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah petani. Indonesia berada pada wilayah tropika dengan daratan seluas 192 juta hektar dengan keanekaragaman karakteristik tanah/lahan dan sumber daya hayati yang tinggi. Sektor pertanian berperan penting dalam penyedia dan penyerap tenaga kerja di Indonesia. Ini merupakan modal dasar untuk menempatkan bidang pertanian sebagai pilar perekonomian nasional yang akhir-akhir ini terbukti cukup tangguh untuk menghadapi krisis global dibandingkan sektor industri. Negara-negara maju yang terkenal sebagai negara industri di dunia, umumnya memiliki sektor pertanian yang sangat kuat, karena mereka sangat menyadari bahwa pertanian merupakan faktor penting dalam mempersatukan bangsanya.

Akan tetapi Indonesia, yang merupakan penghasil padi nomor 3 terbesar di dunia, ternyata merupakan pengimpor padi terbesar dunia (14% dari padi yang diperdagangkan di dunia).

Sumber: Wikipedia

Indonesia yang digembar-gemborkan sebagai negara agraris, ternyata harus mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam. Thailand merupakan pengekspor padi utama (26% dari total padi yang diperdagangkan di dunia) diikuti Vietnam (15%). Bagaimana hal itu bisa terjadi? Ini karena kebutuhan beras dalam negeri lebih besar daripada produksi dalam negeri. Contoh pada 2010, produksi beras Thailand hanya 20 juta ton, tetapi kebutuhan masyarakatnya hanya 10 juta ton. Indonesia sendiri produksi beras mencapai 37,5 juta ton, tetapi kebutuhan masyarakat Indonesia per tahun 33,5 juta ton, surplus 4 juta ton masih sangat kurang sebagai cadangan. Dari sisi konsumsi beras, Vietnam konsumsi beras per kapitanya 200-an kg per tahun, Indonesia 100 kg per tahun, Malaysia 80 kg, Thailand 70 kg. Dan selama 4 tahun terakhir, konsumsi beras Vietnam meningkat terus, tetapi produktivitas beras Vietnam pun meningkat dari 35,94 juta ton tahun 2007, 38,72 juta ton pada 2008, 38,89 juta ton pada 2009, dan 39,9 juta ton pada 2010. Oleh karena itu ada baiknya Indonesia belajar dari Thailand dan Vietnam dalam hal pangan ini.

Duta Besar Indonesia untuk Thailand pernah menyampaikan program pemerintah Thailand yang tertuang jelas dalam Thai Rice Master Strategies 2007-2011. Dalam kebijakan tersebut, Thailand menargetkan perluasan lahan persawahan mencapai 9,2 juta hektare. Bandingkan dengan Indonesia yang merencanakan penambahan luas lahan sawah sebesar 300 ribu hektare di tahun 2015. Thailand juga memberikan berbagai penyuluhan dan program pelatihan bagi petani, dan menargetkan sebanyak 1 juta orang petani mendapatkan ilmu pengetahuan tentang produksi dan manajemen produksi. Menurut Hatta, dengan didukung penelitian dan fasilitas infrastruktur, serta berbagai pelatihan tersebut, petani Thailand tidak terdorong untuk alih profesi. Bahkan, interaksi aktif masyarakat petani dengan pemerintah mendorong pola pikir dan mental petani untuk menjadi petani unggul. Sementara, di Vietnam, petani diberikan berbagai insentif untuk mendorong produktivitasnya. Duta Besar Indonesia untuk Vietnam Pitono Purnomo menyampaikan petani dibebaskan berbagai jenis pajak, mulai dari pajak

Page 40: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

40

penggunaan lahan, pajak irigasi, sampai pajak impor mesin pertanian untuk mendorong produktivitasnya.

Sebenarnya Indonesia juga punya program swasembada beras pada tahun 2014, dengan surplus produksi beras nasional hingga 10 juta ton di tahun itu. "Dan ini sudah mulai dilakukan oleh petani melalui SRI atau system of rice intensification," ujar Menteri Pertanian Suswono saat mengunjungi Kabupaten Tegal, Sabtu, 3 Desember 2011. Berdasarkan laporan yang ia terima, saat ini rata-rata program intensifikasi beras telah berhasil dilakukan oleh petani. Upaya lain adalah dengan penambahan lahan padi di luar Pulau Jawa. Kebijakan ini dilakukan untuk mengimbangi penyempitan lahan pertanian di Pulau Jawa sendiri. Selain itu, juga diupayakan pengembangan teknologi informasi bagi tenaga penyuluh yang selama ini menjadi konsultan petani.

Bulog bahkan merencanakan stop impor beras tahun 2012 ini juga. Bulog telah menyiapkan Letter of Credit (L/C) sebesar Rp3 triliun untuk menyerap produksi dalam negeri. Dalam hal ini Bulog telah mentargetkan pengadaan beras dalam negeri tahun 2012 sebesar 4.100.000 ton, yang berarti Bulog benar-benar tidak akan melakukan impor beras lagi, kecuali dari carry over tahun 2011 impor sebesar 560.000 ton. Terkait kebijakan impor beras, Sutarto, Dirut Bulog, hanya memastikan Bulog akan terus menjaga hubungan baik dengan negara-negara pengekspor seperti Vietnam, Thailand, dan India. Wakil ketua Komisi IV DPR Firman Soebagyo menambahkan, untuk selanjutnya Bulog harus bisa bersinergi dalam program tersebut berkaitan dengan penyerapan beras dalam negeri, serta dapat meningkatkan kesejahteraan petani, yaitu dengan cara beras petani tidak dibeli oleh tengkulak.

Mari kita lihat fakta permasalahan yang ada.

Dari sisi petani: Bukan menjadi rahasia lagi jika di Indonesia yang negara

agraris ini, petani adalah pihak yang paling tidak diuntungkan. Pemerintah tidak berpihak kepada petani: infrastruktur daerah pertanian dan pedesaan yang diabaikan, urbanisasi dibiarkan, standart kehidupan daerah pedesaan yang rendah, pemakaian

dan harga pupuk meningkat, harga komoditas ditekan, tidak ada pengaturan waktu panen yang berakibat jatuhnya harga, kebijakan impor pemerintah terhadap hasil pertanian tanpa ada upaya peningkatan volume dan kualitas produksi di dalam negeri, dan penguasaan teknologi pertanian yang ketinggalan jaman. Permasalahan rantai distribusi sektor pertanian sangat kronis. Kelangkaan pupuk bersubsidi, praktek penimbunan pupuk dan permainan mafia pupuk semakin mempersulit petani.

Masalah lain adalah kepemilikan lahan. Lahan yang digarap petani pada umumnya jauh di bawah standar skala nasional. Luas areal pertanian padi yang digarap petani di Pulau Jawa rata-rata cuma 0,3 hektar per orang. Kenyataan itu membuat pendapatan dan kehidupan petani takkan membaik, tetapi bertambah miskin. Dari pemerintah sendirh tidak pernah ada solusi. Padahal di Thailand sedang dirancang dalam 10 tahun mendatang setiap petani dapat menggarap lahan rata-rata 2 hektar (Siswono Ketua HKTI).

Harga gabah adalah masalah berikutnya. Di sejumlah wilayah sentra beras di Pulau Jawa standar HPP gabah dan beras semakin tidak sesuai dengan ongkos produksi. Ketidakpastian cuaca, serangan hama penyakit, serta tuntutan kenaikan upah pekerja membuat biaya produksi cenderung meningkat. Harga buruh tani naik dari 35 ribu rupiah menjadi 50 ribu rupiah per harinya. Sementara untuk masa tanam 4 bulan, petani hanya memperoleh pendapatan bersih 3 juta rupiah.

Permasalahan bertambah rumit bagi petani kecil terutama dalam hal mendapatkan benih, pupuk, pestisida dan mesin dan penguasaan tanah. Lemahnya posisi tawar petani dimanfaatkan oknum mafia pertanian dan para tengkulak untuk mengambil untung sebesar-besarnya. Ditambah lagi dengan gagal panen akibat faktor alam. Pada Januari-Agustus 2011, data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan menunjukkan, serangan organisme pengganggu tumbuhan, banjir, dan kekeringan seluas 606.095 hektar, lebih luas daripada Januari-Desember 2010. Atau, secara nyata produksi padi yang lenyap dimakan wereng, tikus, banjir, kekeringan, kerdil hampa, kerdil rumput, dan penggerek batang sebanyak 2 juta ton gabah kering giling, setara 1,22 juta ton

Page 41: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

41

beras. "Petani terutama di daerah perkotaan banyak yang putus asa, lalu terpaksa harus menjual sawahnya, yang akhirnya jatuh miskin," ujar Prof Windia Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Meskipun demikian, sektor pertanian masih menjadi gantungan hidup 42% masyarakat Indonesia. Mereka berketerampilan pas-pasan dengan produktivitas rendah. Pertanian akhirnya identik dengan keterbelakangan dan kemiskinan.

Dari sisi pemerintah:

Pemerintah tak memiliki desain yang komprehensif untuk mensejahterakan petani, peternak, dan nelayan. "Saya lihat pemerintah kita tidak memiliki desain yang lengkap untuk menjadikan setiap komoditas yang diproduksi petani diolah lagi. Minimal produk setengah jadi. Kakao, misalnya, kita lebih suka mengekspor gelondongan. Akibatnya, nilai tambah tak kita dapatkan, industri kakao nasional pun hancur. Hal ini disadari semua pihak, tetapi jarang dilakukan terobosan," kata Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo (2/7/2004). Persaingan harga juga berpotensi menghancurkan produk-produk pertanian dalam negeri. Pasalnya harga produk pertanian luar negeri lebih murah dibanding harga produk pertanian lokal. Hal ini dikarenakan negara maju memiliki konsep dan tata distribusi yang jelas baik dalam pengadaan pupuk, benih sampai hasil panen pertanian. Di bidang teknologi dan mekanisasi, Indonesia sangat jauh tertinggal dibanding negara-negara maju. Pemerintah Indonesia belum mampu mengolah dan mengoptimalkan sumber daya alam yang ada karena keterbatasan dana dan teknologi yang dimiliki.

Para petani kurang mendapat perhatian serius sehingga masih bercocok tanam secara tradisional. Tak ada inovasi yang dilakukan untuk meningkatkan hasil pertanian, dana yang seharusnya digunakan untuk pengembangan sektor pertanian justru dikorupsi pejabat daerah, banyak sawah menjadi kering dan terbengkalai akibat kemarau berkepanjangan dan kurangnya pasokan air irigasi. Banyak lahan pertanian yang berubah menjadi permukiman. Ketidakseriusan pemerintah dalam

mengelola sektor pertanian menyebabkan hasil pertanian tidak optimal, sehingga hasil pertanian seperti beras masih belum cukup memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia. Akibatnya pemerintah terpaksa harus impor beras dari Thailand dan Vietnam yang justru kelebihan pasokan beras.

Mafia pangan dari yang kecil sampai yang besar:

Kekayaan sumber daya alam secara teoritis akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi pada kenyataannya justru bertentangan, karena negara-negara di dunia yang kaya akan sumber daya alamnya seringkali merupakan negara dengan tingkat ekonomi yang rendah. Hal ini karena sumber pendapatan dari hasil bumi memiliki kestabilan ekonomi sosial yang lebih rendah daripada sektor industri dan jasa. Di samping itu, negara yang kaya akan sumber daya alam juga cenderung tidak memiliki teknologi yang memadai dalam mengolahnya. Korupsi, lemahnya pemerintahan dan demokrasi juga menjadi faktor penghambat lainnya. Hal-hal seperti itu memicu timbulnya mafia-mafia di berbagai bidang, termasuk di sektor pertanian, mulai yang kecil-kecilan seperti tengkulak, sampai ke kelas kakap seperti mafia pupuk dan mafia impor. Jaringan mafia ini biasanya berakar jauh ke dalam birokrasi pemerintahan, dan menyebabkan sulitnya program pemerintah bisa berjalan dengan benar.

Contoh dari besarnya mafia pupuk adalah macetnya program Pemulihan Kesuburan Lahan Sawah Berkelanjutan (PKLSB) untuk 1,4 juta hektar lahan di seluruh Indonesia. Ketua Gabungan Kelompok Usaha Tani (Gapoktan) Jawa Timur Agus Supriyadi mensinyalir, mandeknya program ini diduga karena ada perubahan produk yang dipakai sebelumnya. Program PKLSB telah berjalan pada APBNP tahun 2010 dengan nilai anggaran Rp 300 miliar meliputi 855.000 hektar lahan di 8 provinsi dengan jangkauan 2 juta petani. Hasil program sangat memuaskan, peningkatan produksi di atas 40 persen, pengurangan pupuk kimia 30-40 persen, mutu produksi yang semi organik, pengurangan emisi karbon karena penggunaan jerami 90 persen dan peningkatan kesejahteraan petani yang signifikan. “Tapi sekarang program pro rakyat ini

Page 42: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

42

terancam gagal dilanjutkan diduga karena ada kepentingan pribadi pejabat negara. Disinyalir ada tekanan dan lobi-lobi dari mafia pupuk terhadap pejabat negara,” ungkap Agus. Patut dicurigai bahwa jaringan mafia telah menguasai industri pangan Indonesia di seluruh sektornya.

Mengingat rumitnya masalah, terlihat betapa sulitnya untuk mengandalkan program pemerintah sedangkan permasalahan kian mendesak. Kerumitan pemerintah terlihat dari ranking korupsi Indonesia. World Justice Project (WJP) menyatakan bahwa korupsi sudah merembes ke mana-mana. Tingkat korupsi di Indonesia nomor dua dari bawah di regional Asia Timur-Pasifik dan nomor 47 global. Di regional, tingkat korupsi Indonesia hanya lebih baik ketimbang Kamboja. Sedangkan dari skor CPI(Corruption Perception Index), skor Indonesia adalah 3.0, berada di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4). Skor tersebut naik 0.2 dari 2,8 (2010), dengan target 5.0 di tahun 2014. Jika target ingin dicapai, maka kenaikan CPI/tahun seharusnya 0.55. Kenaikan 0.2 jelas jauh dari cukup, dan disinyalir kenaikan itupun karena adanya KPK, sedangkan wewenang KPK saat ini sedang diupayakan digerogoti oleh MPR. Maka dapat diharapkan bahwa skor CPI justru akan turun lagi.

Sedangkan dari data PERC lebih mengkhawatirkan lagi, dalam kurun 2008-2010, peringkat korupsi Indonesia meningkat dari 7.98 (2008.), 8.32 (2009) dan naik menjadi 9.07 (2010) . Pada tahun 2009, Indonesia ‘berhasil’ menyabet prestasi sebagai negara terkorup dari 16 negara surveilances dari PERC 2009. Indonesia mendapat nilai korupsi 8.32 disusul Thailand (7.63), Kamboja (7,25), India (7,21) and Vietnam (7,11), Filipina (7,0). Sementara Singapura (1,07) , Hongkong (1,89), dan Australia (2,4) menempati tiga besar negara terbersih.

Melihat fakta-fakta di atas, maka sulit bagi rakyat petani untuk bisa mengandalkan pemerintah untuk mengangkat nasib mereka. Oleh karena itu apabila pemerintah sudah tidak bisa diandalkan, maka sebaiknya ditinggalkan. Petani, sebaiknya melakukan tindakan swadaya mandiri, melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pemerintah, bagaimanapun caranya. Untuk itu memang dibutuhkan bantuan dari ahli-ahlinya, baik

itu ahli pangan dan tanaman, ahli pemasaran, dan ahli manajemen, ataupun ahli-ahli lain yang terkait, yang mau sukarela bekerja demi menyelamatkan negara ini, baik perorangan, maupun secara kelembagaan, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Jangan sampai negara ini hancur karena segelintir orang di pemerintahan.

Sebagai alternative solusinya adalah dengan membangun jaringan baru di luar jaringan yang ada, sehingga bisa menghindari ketergantungan kepada pemerintah. Kemajuan teknologi hidroponik membuat hal ini mungkin bisa direalisasikan. Jepang sukses mengembangkan hidroponik padi. Teknologi ini bisa menyelesaikan masalah kekurangan lahan, menghindari persaingan harga yang frontal, mengurangi kebutuhan pestisida, dan mempunyai jaringan pemasaran yang lebih baik. Kelemahannya adalah kebutuhan pupuk yang sama dengan sistem konvensional, transfer teknologi, dan biaya awal. Tentu saja itu hanya sekedar usulan alternative. Para pakar di bidang panganlah yang lebih mengerti. Apa yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa industri pangan Indonesia haruslah segera diselamatkan, terutama nasib dari para petaninya. Semoga para pakar pangan terinspirasi untuk segera bertindak sesuai dengan kompetensinya masing-masing, tanpa tergantung kepada pemerintah lagi.

Telah banyak kritik dilontarkan bahwa dalam

pembangunan pertanian yang lalu, yang memberi fokus lebih banyak diberikan pada lahan sawah beririgasi. Penyediaan teknologi yang lebih banyak untuk lahan sawah dan lahan yang memperoleh curah hujan yang cukup untuk budidaya tanaman dan pemeliharaan ternak. Inovasi teknologi padi dan palawija juga lebih banyak tersedia untuk lahan sawah. Inovasi teknologi pertanian untuk lahan kering dan tadah hujan, terutama di lahan marginal relatif kurang dibandingkan dengan yang untuk lahan sawah. Berkaitan dengan ini juga kegiatan-kegiatan bimbingan untuk petani, seperti penyuluhan pertanian lebih berorientasi pada petani sawah, mengingat kegiatan sejenis penyuluhan pertanian memang diarahkan sebagai kegiatan penunjang

Page 43: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

43

pembangunan pertanian melalui alih teknologi pertanian yang dianjurkan.

Petani (dalam arti luas termasuk peternak, pekebun, dan petani pengelola perikanan air tawar) di luar wilayah persawahan, seperti petani yang berada di lahan marginal, kurang memperoleh perhatian sebesar mereka yang ada di wilayah persawahan. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau upaya meningkatkan pendapatan petani di lahan marginal lebih sulit; bahkan ada kecenderungan bahwa petani dilahan marginal meninggalkan usaha pertanian untuk beralih ke bidang usaha lain seperti jasa, perdagangan dan perburuhan, yang kelihatannya lebih menjanjikan untuk memberikan pendapatan yang lebih baik daripada bidang pertanian.

Potensi bidang pertanian untuk memberikan pendapatan yang cukup tinggi sebenarnya cukup besar, tetapi tergantung pada penyediaan dan diseminasi inovasi teknologi pertanian yang benar-benar sesuai dengan kondisi biofisik, sosial, budaya dan kapasitas petani. Telah banyak inovasi teknologi spesifik lokasi disediakan, termasuk untuk lahan marginal, tetapi baru dengan memperhatikan faktor biofisik dan beberapa faktor demografi, dan pemanfaatan inovasi teknologi masih terbatas. Demikian pula cara diseminasi inovasi teknologi pertanian ataupun penyuluhan pertanian juga masih bersifat “top-down” dan lebih berorientasi pada peningkatan produksi, dengan asumsi bahwa peningkatan produksi pertanian akan meningkatkan pendapatan petani. Kenyataan menunjukkan bahwa hal demikian tidak selalu benar, peningkatan produktivitas dan produksi tidak selalu dapat meningkatkan pendapatan petani. Masih banyak faktor lain yang mempengaruhi pendapatan petani. Hal-hal ini juga perlu diketahui dalam penentuan cara pelaksanaan penyediaan dan diseminasi inovasi teknologi pertanian.

Pada umumnya lahan marginal kurang subur sampai tandus sehingga produktivitasnya rendah, berupa lahan kering dan/atau tadah hujan dengan curah hujan yang rendah, vegetasi yang kurang sehingga suhu udara relatif tinggi dan ketersediaan sumber air sulit. Keadaan alam yang demikian kurang memberi peluang akan usaha pertanian baru. Usaha pertanian yang

dilakukan oleh petani cenderung seperti yang telah dilakukan oleh petani-petani terdahulu. Mengusahakan komoditas yang memang telah beradaptasi di lingkungan yang demikian bertahun-tahun, dan diusahakan secara tradisional. Usaha pembaharuan usaha pertanian di lahan marginal bukan tidak dilakukan, tetapi sulit untuk dilakukan oleh petani yang telah menetap bertahun-tahun di lahan yang demikian. Selain itu, pada masa yang lalu, fokus pembangunan pertanian lebih pada peningkatan produktivitas dan produksi, maka penyediaan teknologi pertanian untuk lahan marginal relatif kurang dibandingklan dengan lahan yang lebih produktif seperti lahan sawah. Oleh karena itu yang berkembang di daerah marginal lebih banyak teknologi tradisional dengan produktivitas rendah. Dalam tahun-tahun terakhir memang telah diusahakan penyediaan inovasi teknologi pertanian untuk lahan marginal, tetapi belum dapat dimanfaatkan secara maksimal, antara lain karena masalah sarana dan prasarana serta kapasitas diri petani yang berada di lahan marginal.

Keadaan alam yang kurang mendukung usaha pertanian tersebut diperparah lagi dengan kurangnya sarana dan prasarana. Sumber air yang langka, menyebabkan ketersediaan air yang sangat rendah, jangankan untuk tanaman dan ternak, untuk manusiapun sering sulit. Jaringan jalan belum dapat menjangkau seluruh tempat, bahkan cenderung hanya tersedia disekitar kota, demikian pula sarana komunikasi, sehingga daerah dengan lahan marginal sering seperti daerah terisolir; yang mengakibatkan informasi tentang daerah tersebut juga kurang tergali dengan cermat, akibatnya penyediaan teknologi pertanian spesifik lokasi juga kurang dipersiapkan secara mendalam karena kurangnya informasi. Demikian pula transportasi dari satu tempat ke tempat lainnya juga kurang sekali, sehingga tidak hanya mempersulit mobilitas orang, tetapi lebih parah lagi ialah sulitnya penyediaan sarana produksi dan memasarkan hasil produksi. Keadaan ini lebih mempersulit upaya usaha pertanian, baik produksi, pengolahan maupun pemasaran hasil pertanian. Hasil produksi dan pengolahan hasil pertanian di suatu daerah sulit untuk dipasarkan ke daerah lain, sehingga hasil pertanian tidak dapat dijual dengan harga yang

Page 44: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

44

layak, yang akhirnya berakibat kurangnya usaha untuk mengembangkan usaha pertanian.

Keadaan lahan marginal yang kurang menguntungkan tersebut menyebabkan pula adanya kecenderungan berpindahnya petani dari usaha pertanian ke usaha lain seperti jasa, buruh dan perdagangan. Kecenderungan ini tercermin pada Tabel 1 yang menunjukkan perubahan ketenaga-kerjaan bidang pertanian. Jumlah petani yang mengerjakan usahanya sendiri menurun, sebaliknya petani yang memperkerjakan tenaga keluarga dan tenaga musiman meningkat, tetapi tidak setajam penurunan penggunaan tenaga kerja keluarga dan meningkatnya dengan pesat buruh tani. Hal ini juga mengisyaratkan makin komersialnya usaha pertanian, yang memerlukan modal yang lebih besar. Komersialisasi usaha pertanian ini diperkuat pula oleh makin mahalnya sarana produksi. Akibat mahalnya sarana produksi, maka banyak petani kecil terpaksa kembali menggunakan teknologi tradisional yang kurang memerlukan sarana produksi, walaupun produktivitasnya rendah. Keadaan inilah, yang mungkin menjadi salah satu penyebab utama usaha pertanian lebih tidak menarik lagi, dan kurang menguntungkan dibandingkan dengan usaha lain. Tabel 1. Perubahan Status Tenaga Kerja dalam Usaha Pertanian, 1986 – 2001

Status Tenaga Kerja

Jumlah (persen) Tenaga Kerja Tahun :

1986 1991 1996 2001

Bekerja Sendiri

5.880.598 (15,20)

6.157.961 (14,94)

6.226.472 (16,51)

4.514.639 (11,11)

Bekerja Sendiri dibantu Tenaga Kerja Keluarga dan Tenaga Musiman

12.136,42 (32,24)

13,412,142 (32.55)

14,483,416 (38.39)

16.403.393 (40,37)

Tenaga Kerja Tetap

112.571 (0,30)

201,402 (0.49)

314,811 (0.83)

952.985 (2,34)

Buruh Tani 3.531.262 (9,38)

4,657,550 (11.30)

4,942,282 (13.10)

6.842.476 (16,84)

Tenaga Kerja Keluarga

15.932.545 (42,20)

16,775,766 (40.72)

11,753,270 (31.17)

11.920.134 (29,34)

Jumlah Tenaga Kerja Pertanian

37.644.472 (100,00)

41,205,791 (100.00)

37,720,251 (100.00)

40.633.627 (100,00)

Sumber : Agriculture and Rural Strategy Study Team. Data diolah dari BPS dan Sakernas (1986, 1991, 1996, 2001)

Akibat dari keadaan alam, sarana prasarana yang minim,

dan makin tidak menariknya usaha pertanian tersebut, mempengaruhi pula keadaan petani yang berada di lahan marginal. Pada umumnya petani di lahan marginal berpendapatan rendah, sehingga banyak yang mempunyai sifat-sifat yang menghambat kemajuannya, seperti: (i) kapasitas diri petani yang rendah, (ii) pendidikan rendah, sehingga pengetahuan dan wawasannya juga terbatas, yang berakibat pula pada daya inisiatif yang rendah pula, (iii) apatis akibat usaha yang telah dilakukan bertahun-tahun tidak menghasilkan seperti yang diharapkan, (iv) kemauan usaha rendah, karena keadaan lingkungannya yang tidak mendukung untuk melakukan usaha, (v) kurang percaya diri akibat usahanya yang sering tidak berhasil, sehingga komitmen terhadap usaha pertanian juga rendah, (vi) tidak memiliki modal dan sarana baik untuk produksi maupun pengolahan hasil produksi, dan (vii) kurang terjangkau prasarana dan sarana sehingga tertinggal dari petani lainnya dalam informasi ataupun pembangunan.

Selain itu, telah terjadi perubahan tingkat pendidikan yang berarti terhadap tenaga kerja pertanian, di Indonesia dalam kurun waktu 1986 ke 2002 (Tabel 2). Data tersebut menunjukkan bahwa tenaga kerja pertanian/petani yang tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD berkurang dari 64.42 % di tahun 1986 menjadi 36,08 % pada tahun 2002. Sebaliknya, tenaga kerja pertanian/petani dengan pendidikan SD sampai

Page 45: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

45

sarjana naik dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan pula bahwa pendekatan kepada petani dalam pembangunan pertanian harus berubah pula. Potensi untuk meningkatkan kontribusi petani dalam pembangunan pertanian umumnya dan meningkatkan pendapatannya cukup meningkat. Selain itu, petani di daerah lahan marginal mempunyai potensi yang cukup besar untuk dapat dikembangkan, antara lain, (i) jumlahnya yang cukup banyak, (ii) mempunyai potensi sebagai individu yang masih dapat dikembangkan, terutama kapasitas, pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya, (iii) mereka sudah biasa untuk mengatasi masalah yang sulit, dan (iv) berpengalaman dalam memanfaatkan sumberdaya yang minimum. Potensi-potensi ini perlu dimanfaatkan dalam penyediaan inovasi teknologi pertanian sehingga dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya.

Tabel 2. Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Pertanian, 1986 – 2002

Tingkat Pendidikan

Jumlah (persen) Tenaga Kerja Tahun : 1986 1991 1996 2002

Tidak Sekolah

9.092.263 (24,15)

7.355.725 (17,85)

5.849.953 (15,51)

4.886.213 (12,02)

Tidak Tamat SD

13.655.869 (36,27)

12.597.746 (30,57)

10.554.033 (27,98)

9.886.213 (12,02)

Tamat SD 12.786.483 (33,97)

16.749.350 (40,65)

16.475.979 (43,68)

18.704.993 (46,03)

Tamat SLTP

1.630.209 (4,33)

3.299.535 (8,01)

3.223.366 (8,55)

5.347.385 (13,16)

Tamat SLTA

453,171 (1,20)

1.126.576 (2,73)

1.524.128 (4,04)

2.202.702 (5,42)

Tamat Akademi/ DIII

17.601 (0,05) 56.549 (0,14)

48.922 (0,13)

44.011 (0,11)

Sarjana 8.876 (0,03) 20.310 (0,05)

43.870 (0,12)

75.170 (0,18)

Jumlah Tenaga Kerja Pertanian

37.644.472 (100,00)

41,205,791 (100.00)

37,720,251 (100.00)

40.633.627 (100,00)

Sumber : Agriculture and Rural Strategy Study Team. Data diolah dari BPS dan Sakernas (1986, 1991, 1996, 2002)

Hal-hal tersebut diatas menunjukkan dengan jelas bahwa

kebutuhan teknologi dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik fakktor biofisik yang bersifat memberi peluang penerapan teknologi, faktor ekonomi dan keadaan individu petani yang akan menerapkan inovasi teknologi pertanian, yang dapat bersifat mendukung dan dapat pula bersifat menghambat.

Lahan marginal bukanlah lahan yang tidak berpotensi

untuk menghasilkan produk pertanian unggulan, asalkan dengan penerapan teknologi pertanian yang tepat. Sudah banyak contoh dapat dikemukakan tentang keberhasilan teknologi untuk meningkatkan produktivitas lahan marginal. Persoalan yang masih belum terpecahkan ialah bagaimana meningkatkan pendapatan petani dan masyarakat tani di lahan marginal, yang merupakan sebagian besar dari jumlah seluruh petani.

Pada umumnya pendapatan petani di lahan marginal, terutama petani kecil sangat rendah dibandingkan dengan petani di lahan sawah, yang sering lebih di kaitkan dengan kapasitas lahan yang memang kurang menguntungkan. Di lain fihak, dengan teknologi pertanian spesifik lokasi yang tepat, produktivitas lahan marginal pun dapat di tingkatkan, tetapi untuk ini diperlukan sarana produksi yang cukup disertai perlu tersedianya teknologi pengolahan hasil produksi dan pemasaran yang baik. Walaupun semua hal tersebut tersedia, produktivitas lahan marginal masih tergantung dari karakteristik individu dan kapasitas diri masyarakat tani di lahan marginal (Gambar 1). Karakteristik anggota masyarakat tani seperti ini menghambat pengembangan kapasitas diri, ialah daya yang ada pada diri seseorang untuk menetapkan langkah dan tujuan serta usaha yang akan dilakukan untuk menetapkan guna memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya, sehingga produktivitas dirinyapun rendah. Demikian pula pemanfaatan kapasitas sumberdaya pertanian yang ada disekitarnya, termasuk pemanfaatan sumberdaya alam, akses terhadap modal dan kredit untuk usaha pertaniannya, penerapan teknologi dan akses terhadap pasarpun termasuk rendah pula. Sebagai akibat akhir

Page 46: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

46

ialah produktivitasnya yang rendah dan dengan sendirinya pendapatanpun akan rendah pula.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyediakan teknologi yang tepat untuk lahan marginal. Pada umumnya penyediaan teknologi dilakukan melalui penelitian, pengkajian, dan pengembangan teknologi dengan memperhatikan prinsip-prinsip agar teknologi tersebut: (i) Secara teknis layak dimanfaatkan, dalam arti mempunyai potensi untuk meningkatkan produktivitas usaha pertanian, (ii) Secara ekonomis menguntungkan, dalam arti memberikan peningkatan keuntungan dengan penerapan teknologi hasil penelitian per satuan luas dan per satuan waktu, umumnya per hektar, dan biasanya diukur dengan ukuran B/C ratio dsb, (iii) Secara sosial diterima oleh masyarakat tani, dalam pengertian bahwa bila teknologi tersebut dianjurkan penerapannya, maka akan diikuti oleh masyarakat tani, dan (iv) Ramah lingkungan, ialah bahwa teknologi pertanian yang disediakan tidak merusak lingkungan, terutama lingkungan alam, sehingga sumberdaya alam yang ada terlestarikan.

Prinsip-prinsip tersebut telah dan selalu diperhatikan. Guna lebih meningkatkan kelayakan teknis, berbagai upaya telah dilakukan misalnya dengan penggunaan peta AEZ untuk identifikasi kesesuaian komoditas dan teknologi untuk komoditas ybs dengan sumberdaya alam yang tersedia. Telah pula dilakukan pengkajian untuk menguji kesesuaian teknologi yang dihasilkan melalui kegiatan penelitian pertanian dengan berbagai kondisi lahan dan agroklimat untuk menghasilkan teknologi pertanian unggulan spesifik lokasi; bahkan untuk menghasilkan teknologi pertanian spesifik lokasi sering pula harus dilakukan uji multilokasi dan uji adaptasi untuk memastikan kesesuaian teknologi dengan lahan dan iklim di lokasi teknologi tersebut akan diterapkan. Dengan kegiatan penelitian dan pengkajian ini telah pula diupayakan agar teknologi pertanian yang dihasilkan bersifat ramah lingkungan.

Guna menjamin bahwa teknologi yang dihasilkan secara ekonomis dapat dipertanggung jawabkan, maka penghitungan untung-rugi dalam penerapan teknologi selalu dilakukan. Walaupun secara teoritis suatu teknologi pertanian akan

menguntungkan penggunanya, tetapi belum tentu selalu demikian, terutama untuk petani kecil di lahan marginal. Beberapa hal yang perlu pula diperhatikan antara lain, ialah sebagai berikut:

Penghitungan untung-rugi didasarkan pada luasan 1 hektar, sedangkan banyak petani kecil yang kepemilikannya kurang dari 1 ha, bahkan banyak yang hanya memiliki lahan sekitar 0,1 – 0,25 ha. Dengan luasan yang demikian, mungkin keuntungan yang diperoleh menjadi tidak berarti;

Untuk menerapkan teknologi dengan produktivitas yang optimal sehingga menguntungkan biasanya diperlukan sarana produksi yang cukup banyak. Kenyataan menunjukkan bahwa petani kecil, terutama di lahan marginal yang kurang terjangkau prasarana dan transportasi, kurang mampu membeli sarana produksi yang diperlukan. Petani akan mengurangi beberapa sarana produksi yang dirasakan mahal, sehingga produktivitas akan menurun, akibatnya keuntungan dalam penmerapan teknologi yang kurang sempurna tersebut juga akan menurun.

Dalam perhitungan untung rugi penerapan teknologi, harga yang dipergunakan adalah harga pasar. Kenyataan juga memperlihatkan bahwa petani kecil terutama di lahan marginal, menjual hasil produksinya tidak dengan harga pasar, tetapi dengan harga di lokasi usaha taninya yang sangat berbeda dengan harga pasar. Kalaupun petani tersebut menjual ke pasar tetap akan menerima harga yang lebih rendah, karena adanya beban biaya transportasi, pengepakan dsb. Dengan demikian keuntungan yang akan diterima tidak akan sesuai dengan hasil perhitungan saat penelitian/pengkajian dilakukan.

Page 47: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

47

KESEJAHTERAAN

Pendapatan

Kapasitas Diri

Pemanfaatan Kapasitas Sumberdaya Pertanian

Petani Kecil di Lahan Marginal

Pendidikan Rendah

Motivasi Rendah

Apatis Kemauan Rendah

Percaya diri Rendah

Produktivitas

Pemanfaatan

SDAAkses

KreditAdopsi

TeknologiAkses Pasar

KESEJAHTERAAN

Pendapatan

Kapasitas Diri

Pemanfaatan Kapasitas Sumberdaya Pertanian

Petani Kecil di Lahan Marginal

Pendidikan Rendah

Motivasi Rendah

Apatis Kemauan Rendah

Percaya diri Rendah

Produktivitas

Pemanfaatan

SDAAkses

KreditAdopsi

TeknologiAkses Pasar

KESEJAHTERAAN

Pendapatan

Kapasitas Diri

Pemanfaatan Kapasitas Sumberdaya Pertanian

Petani Kecil di Lahan Marginal

Pendidikan Rendah

Motivasi Rendah

Apatis Kemauan Rendah

Percaya diri Rendah

Produktivitas

Pemanfaatan

SDAAkses

KreditAdopsi

TeknologiAkses Pasar

Pemanfaatan

SDAAkses

KreditAdopsi

TeknologiAkses Pasar

Pemanfaatan

SDAAkses

KreditAdopsi

TeknologiAkses Pasar

Gambar 1. Petani dan Produktivitasnya di Lahan

Marginal Demikian pula prinsip secara sosial diterima masyarakat

tani, bahkan sering dikatakan bahwa teknologi yang tersedia sudah disesuaikan dengan kebutuhan petani akan teknologi. Pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) digunakan untuk identifikasi/ menggali kebutuhan petani akan teknologi pertanian, dengan asumsi bahwa kalau teknologi pertanian yang dibutuhkan sesuai dengan hasil PRA, maka teknologi tersebut secara sosial akan diterima oleh petani. Demikian pula upaya untuk mengenalkan teknologi baru melalui berbagai cara seperti plot demontrasi, demontrasi cara penggunaan, gelar teknologi, hari lapangan (field day), penyediaan visitor plot, dsb adalah pendekatan agar teknologi pertanian yang dikenalkan/dianjurkan dapat diterima oleh masyarakat tani.

Meskipun telah diusahakan pendekatan sosial sejak identifikasi kebutuhan teknologi, tetapi masih ada kemungkinan

bahwa masyarakat tani menerima teknologi tersebut bukan karena untuk memenuhi kebutuhan usaha taninya, tetapi kebutuhan lain seperti untuk memperoleh fasilitas yang mengikuti penerapan teknologi seperti tersedianya sarana produksi, kredit usahatani dsb. Demikian pula PRA, yang memang memiliki potensi besar dalam mengungkap masalah usaha tani dan keperluan teknologi yang dihadapi masyarakat tani, kalau PRA tersebut dilakukan dengan baik dan benar. Pada umumnya pelaksanaan PRA dihadapkan pada kendala seperti kurangnya tenaga pelaksana PRA terlatih dengan baik, dana terbatas, waktu yang tersedia sangat kurang, dan pendekatan top-down yang telah membudaya dan tidak mudah untuk diganti dengan pendekatan partisipatif. Keadaan tersebut mungkin pula dialami dalam pelaksanaan PRA untuk menemukan masalah dan kebutuhan teknologi pertanian. Selain itu, mungkin dalam proses PRA dan pengenalan teknologi pertanian baru, partisipasi masyarakat bukan partisipasi yang interaktif, tetapi karena adanya motif lain, demikian pula dalam proses pengenalan teknologi pertanian terbawa unsur-unsur lain. Dalam pelaksanaan PRA perlu diperhatikan antara lain, hal-hal sebagai berikut:

Dalam proses pelaksanaan PRA yang benar dan baik, maka peneliti atau pelaksana PRA seharusnya mendatangi mansyarakat tani di tempat kerjanya atau ditempat mereka berkumpul secara rutin, bukan dengan sengaja mengundang/mengumpulkan mereka di suatu tempat untuk keperluan PRA.

Peneliti/pelaksana PRA seharusnya tidak mendominasi pembicaraan, tetapi bertindak selaku pemerhati dan pendengar yang sabar dan cermat. Masyarakat tani dimotivasi untuk mengungkapkan permasalahannya, bukan keinginannya. Dari permasalahan usaha pertanian yang dihadapi, maka peneliti/pelaksana PRA dapat menyimpulkan sementara akar masalah yang dihadapi yang mungkin dapat di cari solusinya melalui penerapan teknologi pertanian.

Kesimpulan sementara pada butir b semestinya diklarifikasi lagi melalui pengamatan oleh peneliti/pelaksana

Page 48: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

48

PRA dan atau melalui wawancara mendalam dengan tokoh informal yang ada di lokasi.

Dalam pengenalan teknologi pertanian baru melalui plot demonstrasi, field day, dsb kadang juga memberikan kesimpulan yang semu karena cara pelaksanaan yang kurang sesuai. Misalnya penunjukan pelaksana plot demonstrasi ternyata petani yang kurang di dukung oleh anggota masyarakat tani lainnya; pembicara dalam field day bukan petani tetapi petugas, dsb.

Selain PRA, telah banyak upaya dilakukan untuk melibatkan petani berpartisipasi dalam penyediaan teknologi pertanian spesifik lokasi, seperti partisipasi dalam uji adaptasi, gelar teknologi pertanian, dsb. Demikian pula dalam pengenalan teknologi pertanian baru melalui plot demonstrasi, field day, dsb. Walaupun demikian kadang-kadang hakekat partisipasi kurang dimengerti dan dilaksanakan dengan baik. Sering keterlibatan petani dalam pertemuan untuk membahas teknologi pertanian, dianggap sudah merupakan poartisipasi, walaupun petani tersebut hadir dan pasif dalam pembahasan. Hal ini bisa mengarah pada kesimpulan yang semu karena cara pelaksanaan pasrtisipasi yang kurang sesuai.

Partisipasi petani masih dapat ditingkatkan apabila peneliti dan penyuluh pertanian bersedia memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada petani untuk menguraikan masalah, aspirasi, saran, pendapat dan sejenisnya dan mendengarkan serta memperhatikan dengan cermat uraian yang diberikannya. Dalam hubungan ini perlu disadari bahwa partisipasi mempunyai tingkat-tingkat mulai partisipasi pasih sampai partisipasi untuk perubahan (Gambar 2).

Pengembangan diri

Partisipasi interaktif (untuk memperkuat dan mengembangkan usaha)

Partisipasi fungsional (untuk memperoleh apa yang diharapkan)

Partisipasi untuk memperoleh bantuan/insentif

Partisipasi untuk konsultasi

Partisipasi untuk mendapatkan informasi

Partisipasi pasif (Ikut-ikutan)

Partisipasi untuk perubahan

1

2

3

4

5

6

7

8

Pengembangan diri

Partisipasi interaktif (untuk memperkuat dan mengembangkan usaha)

Partisipasi fungsional (untuk memperoleh apa yang diharapkan)

Partisipasi untuk memperoleh bantuan/insentif

Partisipasi untuk konsultasi

Partisipasi untuk mendapatkan informasi

Partisipasi pasif (Ikut-ikutan)

Partisipasi untuk perubahan

1

2

3

4

5

6

7

8

1

2

3

4

5

6

7

8

Gambar 2. Tingkat partisipasi Para petani bisa berpartisipasi dalam PRA atau

pengenalan teknologi pertanian atau kegiatan-kegiatan lainnya hanya sekedar ikut karena adanya undangan dan yang lain juga ikut (patisipasi pasif) atau mereka berpartisipasi karena memang ingin memperkuat dan mengembangkan usahanya, ataukah mereka berpartisipasi untuk memperoleh gagasan untuk perubahan usahanya.. Masing-masing tingkatan partisipasi akan menghasilkan manfaat yang berbeda dari upaya berpartisipasi. Makin tinggi tingkat partisipasi, akan makin tinggi pula manfaat yang diperoleh oleh kelompok maupun anggota kelompok dari partisipasi., demikian pula makin tinggi tingkat patrtisipasi akan makin mantap pula keberlanjutan manfaatnya.

Dalam proses identifikasi kebutuhan teknologi pertanian, penyediaan teknologi pertanian melalui penelitian dan pengkajian serta pengenalan dan diseminasi teknologi pertanian perlu diupayakan agar partisipasi masyarakat tani setinggi mungkin sehingga manfaatnya juga akan sangat dieasakan oleh

Page 49: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

49

para petani. Sekali mereka merasakan manfaat partisipasi yang sesungguhnya, mereka akan memanfaatkan hasil partisipasinya sebaik mungkin, serhingga mereka bukan hanyasekedar menjadi pengguna teknologi pertanian, tetapi dapat pulas memberikan masukan yang sangat berharga dalam proses penyediaan teknologi pertanian.

Melalui partisipasi, paling sedikit pada tingkat interaktif, maka akan dengan mudah diketahui sifat-sifat teknologi yang benar-benar dibutuhkan oleh para petani. Sifat inovasi/teknologi penting yang umumnya menjadi perhatian para petani, meliputi hal-hal sebagai berikut:

Tingkat kesesuaian inovasi/teknologi dengan keadaan dan kebiasaan di lokasi petani. Teknologi baru yang mempunyai banyak kesamaan dengan teknologi yang biasa diterapkan oleh petani akan mempunyai potensi yang lebih besar untuk diterima dan diadopsi oleh petani daripada yang benar-benar baru. Tingkat kompleksitas atau kerumitan menentukann dapat tidaknya inovasi/teknologi diterima dan diadopsi oleh petani. Termasuk dalam kerumitan ini ialah tingkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menerapkan teknologi, mudah tidaknya memperoleh sarana produksi yang diperlukan untuk mengadopsi teknologi yang dikenalkan/ dianjurkan, dan pasar untuk hasil usahanya.

Umumnya petani tidak akan begitu saja menerima teknologi baru untuk di adopsi di semua lahannya. Mereka ingin mencoba dulu teknologi tersebut sebelum memutuskan untuk menerapkannya di lahannya. Mudah tidaknya suatu teknologi baru di coba akan menentukan tingkat penerimaan atau adopsi teknologi tersebut. Berdasarkan pengamatan petani sendiri, teknologi yang mudah diamati penampilannya dan memberikan perbedaan yang menonjol dibandingkan dengan yang biasa di gunakan akan lebih cepat di terima dan diadopsi daripada yang sulit diamati dan kurang menunjukkan kelebihan dibandingkan dengan penampilan teknologi yang biasa di pergunakan. Keuntungan yang dapat diharapkan dari inovasi/teknologi. Keuntungan dalam hal ini ialah keuntungan nyata yang dapat diterima oleh petani yang bersangkutan, berdasarkan hasil

mencoba teknologi yang diperkenalkan/ dianjurkan atau berdasarkan pengalaman teman petani lain.

Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa dalam penyediaan teknologi pertanian, sifat-sifat teknologi pertanian yang disediakan untuk petani tidak cukup berdasarkan penilaian peneliti yang membuat teknologi atau penyuluh yang memperkenalkan teknologi tersebut, tetapi harus pula memperhatikan sifat-sifat teknologi pertanian dari sudut pandang petani sendiri. Hal ini menunjukkan pula bahwa persepsi petani terhadap teknologi baru yang akan diperkenalkan dan atau dianjurkan akan sangat penting. Persepsi ini juga sangat tergantung dari karakteristik individu petani dan tingkat kapasitas dirinya; makin tinggi tingkat pendidikan, motivasi, dan kapasitas diri petani cenderung makin mudah menerima teknologi yang diperkenalkan dan makin cepat mengadopsinya.

Sering dilontarkan kritik bahwan tidak ada teknologi hasil penelitian yang dapat diterapkan di lahan marginal, bahkan dikatakan pula bahwa telah banyak penelitian dilakukan tetapi tidak ada teknologi yang tepat guna untuk masyarakat tani di lahan marginal. Hal ini tidak seluruhnya benar. Mungkin teknologi yang ada telah sesuai memenuhi kelayakan teknis, secara ekonomis, berdasar B/C ratio, juga sudah baik, bahkan secara sosial sudah diterima dan ramah lingkungan, tetapi tetap belum menarik bagi petani untuk menerapkannya secara berkelanjutan. Banyak petani menerapkan teknologi yang dianjurkan melalui suatu proyek, tetapi begitu proyek selesai, mereka kembali ke teknologi tradisional kembali. Umumnya kekurangan yang dapat dilihat ialah bahwa penyediaan teknologi kurang memperhatikan umpan balik dan kebutuhan & peluang petani untuk menerapkan teknologi. Ketiga hal tersebut saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya (Gambar 3), teknologi pertanian yang di desiminasikan harus sesuai dengan umpan balik dan identifikasi peluang dan kebutuhan, demikian pula umpan balik tergantung dari kebutuhan & peluang dan teknologi yang di desiminasikan, demikian pula kebutuhan dan peluang penerapan

Page 50: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

50

teknologi dipengaruhi oleh teknologi pertanian yang di desiminasikan dan umpan balik yang telah disampaikan.

Diseminasi Teknologi Pertanian

Umpan Balik Identifikasi i. Kebutuhanii. Peluang

Diseminasi Teknologi Pertanian

Umpan Balik Identifikasi i. Kebutuhanii. Peluang

Gambar 3. Keterkaitan Diseminasi, Umpan Balik dan Identifikasi Kebutuhan & Peluang

Selain itu, juga di temui adanya teknologi pertanian yang di desiminasikan kurang di dasarkan pada keadaan petani, karena kurangnya memahami karakteristik individu dan kapasitas diri petani di lahan marginal. Kapasitas petani terhadap sumberdaya dan sarana pertanian memang telah banyak diperhatikan, terutama dalam uji adaptasi dan/atau uji multilokasi seperti ditetapkan dalam Peratutan Menteri Pertanian No. 3 tahun 2005 tentang pedoman penyiapan dan penerapan teknologi pertanian. Walaupun demikian, dalam pelaksanaannya, masih kurang memperhatikan dan/atau memahami karakteristik individu dan kapasitas diri petani, terutama petani kecil.

Pemahaman terhadap karakteristik individu dan kapasitas diri petani akan menentukan tingkat potensi atau kesiapan petani dalam menerima teknologi yang dikenalkan kepadanya; sebaliknya dengan mengetahui potensi dan tingkat kesiapan petani dalam menerima teknologi pertanian, maka akan dapat teknologi pertanian yang akan dikenalkan akan dapat disesuaikan dengan potensi dan kesiapan diri petani tersebut (Gambar 4). Dengan pendekatan ini, maka petani tidak hanya akan menerapkan teknologi baru secara berkelanjutan, tetapi juga akan mengembangkan usaha pertaniannya selalu dengan

menerapkan teknologi baru. Hal ini menunjukkan pula bahwa teknologi pertanian yang diperkenalkan kepada petani harus disesuaikan dengan kapasitas diri dan kapasitas sumberdaya & sarana yang dimilikinya. Penyesuaian dengan kapasitas petani, baik kapasitas diri maupun kapasitas sumberdaya & sarana, akan menjamin keberlanjutan adopsi teknologi tersebut, bahkan akan dikembangkan sendiri oleh petani yang bersangkutan.

Peningkatan kapasitas sumberdaya & sarana dari petani lebih mudah dibandingkan dengan pengembangan kapasitas diri, yang memerlukan waktu cukup lama dan usaha khusus. Peningkatan kapasitas sumberdaya & sarana telah banyak dilakukan melalui program-program intensifikasi yang bertujuan lebih pada perningkatan produkltivitas komoditas pertanian daripada peningkatan kapasitas diri petani. Akibatnya, begitu program atau proyek selesai, maka kembalilah petani ke teknologi tradisionalnya, karena kapasitas diri dan kapasitas sumberdaya & sarana mereka masih lebih sesuai dengan teknologi tradisional dibandingkan dengan adopsi teknologi baru.

Sebaliknya, ada kemungkinan bahwa upaya diseminasi atau kegiatan penyuluhan juga dapat mempengaruhi perkembangan tingkat kapasitas diri petani, apabila kegiatan diseminasi tersebut secara bersungguh-sungguh diarahkan pula

untuk meningkatkan kapasitas diri petani. Kegiatan diseminasi

Kapasitas

Karakteristik Pribadi:•Tk Pendidikan•Pegalaman Usaha•Tk Pendapatan•Pekerjaan:

-Pokok-Sambilan

•dsb

Kapasitas diri:•Pengetahuan•keterampilan•Sikap•Percaya Diri•Komitmen•Kewirausahaan•dsb

Kapasitas Sumberdaya dan Sarana:•Lahan•Modal Usaha•Pasar•dsb

Kemajuan Usaha

Kemampuan Usaha

Kesempatan Usaha

Teknologi Inovasi Lain

Penerimaan Inovasi:•Kesesuaian•Kerumitan•Triabilitas•Observabilitas•Keuntungan

Adopsi Inovasi

Pengembangan Usaha

PEMAHAMAN DIRI POTENSI/KESIAPAN DIRI PENGENALAN INOVASI

Kapasitas

Karakteristik Pribadi:•Tk Pendidikan•Pegalaman Usaha•Tk Pendapatan•Pekerjaan:

-Pokok-Sambilan

•dsb

Kapasitas diri:•Pengetahuan•keterampilan•Sikap•Percaya Diri•Komitmen•Kewirausahaan•dsb

Kapasitas Sumberdaya dan Sarana:•Lahan•Modal Usaha•Pasar•dsb

Kemajuan Usaha

Kemampuan Usaha

Kesempatan Usaha

Teknologi Inovasi Lain

Penerimaan Inovasi:•Kesesuaian•Kerumitan•Triabilitas•Observabilitas•Keuntungan

Adopsi Inovasi

Pengembangan Usaha

PEMAHAMAN DIRI POTENSI/KESIAPAN DIRI PENGENALAN INOVASI

Page 51: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

51

teknologi pertanian yang dilakukan selama ini sebenarnya sudah mengandung potensi untuk peningkatan kapasitas diri petani.

Gambar 4. Pemahaman Diri dan Adopsi Teknologi

Kegiatan diseminasi yang dilakukan dengan memberikan

pengetahuan dan keterampilan untuk menerapkan teknologi baru, misalnya melalui ceramah, pameran dan percontohan, yang bisa dilakukan melalui alat bantu berupa film atau video yang menggambarkan bagaimana menerapkan teknologi baru (Gambar 5.A.). Dengan cara ini petani akan dapat mengadopsi teknologi baru, tetapi hanya sesuai dengan contoh dan sarana yang diberikan. Adposi akan terhenti kalau bantuan sarana produksi dan arahan juga dihentikan.

Gambar 5.A. Tahap Pertama Kegiatan Diseminasi

Teknologi Pertanian Kegiatan diseminasi yang dilakukan dengan memberikan

percontohan seperti melalui gelar teknologi atau penyediaan plot demonstrasi yang disertai dengan dialog/komunikasi tatap-muka untuk membahas cara penerapan, keuntungan-kerugian dan hal-hal lain tentang teknologi yang diperkenalkan. Kegiatan diseminasi ini serupa dengan kegiatan penyuluhan pertanian yang selama ini dilakukan oleh penyuluh pertanian. Melalui pendekatan ini, dapat diharapkan bahwa sikap terhadap teknologi baru yang diperkenalkan akan tumbuh secara positif. Meskipun demikian perlu difahami bahwa tumbuhnya sikap tidak dapat terjadi dalam waktu cepat, waktu yang relatif lama disertai dengan upaya penumbuhannya ber-ulang-ulang akan menghasilkan sikap yang positif terhadap teknologi yang diperkenalkan, yang kemudian akan diikuti dengan kemantapan dalam adopsi teknologinya (Gambar 5.B.).

Gambar 5.B. Tahap II Kegiatan Diseminasi Teknologi

Pertanian Peningkatan partisipasi petani kearaf partisipasi interaktif

dalam penyediaan teknologi, misalnya dengan mengangkatnya menjadi kooperator dari suatu uji adaptasi, pelaksana gelar teknologi dsb dapast meningkatkan kapasitas diri petani, tetapi harus disertai dengan pemberian segala informasi, baik secara tertulis maupun lisan kepada petani ybs. Dengan demikian timbul rasa dipercaya untuk memperkenalkan teknologi baru, yang kemudian akan menumbuhkan rasa percaya diri pada petani ybs. Dengan rasa percaya diri ini, maka petani tersebut akan meng-adopsi teknologi yang diperkenalkan secara mantap, bahkan dengan kemauan sendiri, akan menyebarkan pengalamannya kepada petani lain agar ikut meng-adopsi teknologi baru tersebut (Gambar 5.C).

Gambar 5.C. Tahap III Diseminasi Teknologi Pertanian.

5.A. Diseminasi Teknologi Terbatas

Pengeta-huan

Adopsi Teknologi

Keteram-pilan

5.A. Diseminasi Teknologi Terbatas

Pengeta-huan

Adopsi Teknologi

Keteram-pilan

Page 52: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

52

Selanjutnya partisipasi petani masih dapat ditingkatkan lagi dengan memberi kepercayaan sebagai pelaksana gelar teknologi atau plot demonstrasi, pelaksana uji adaptasi dengan bimbingan intensif dari peneliti, karena petani ybs sudah tidak diragukan lagi kermampuannya. Apalagi kalau petani tersebut diberi pula kepercayaan untuk memberikan informasi kepada petani dan petugas lain tentang teknologi barunya, misalnya sebagai pembicara pada field-day. Kepercayaan ini tidak hanya menumbuhkan rasa percaya diri, tetapi juga rasa tanggung jawab dan komitmen yang tinggi. Selain itu akan tumbuh pula motivasi pada dirinya untuk mengembangkan manfaat teknologi pertanian yang baru dikenalkan kepadanya, misalnya dengan mencobanya sendiri pada komoditas pertanian lainnya (Gambar 5.D).

Gambar 5.D. Tahap IV Kegiatan Diseminasi Teknologi

Pertanian Partisipasi petani masih dapat ditingkatkan lagi sehingga

mencapai tingkat partisipasi interaktif dan pengembangan diri, ialah dengan memberikan kesempatan kepada petani sebagai kooperator pada kegiatan penelitian dan atau pengkajian seperti uji adaptasi, yang disertai penempatan ("detasir") peneliti atau penyuluh pertanian dirumah atau di lokasi penelitian/pengkajian. Keadaan ini memberi kesempatan untuk berinteraksi secara maksimal antara petani dengan tenaga peneliti/penyuluh. Interaksi intensif ini merangsang petani untuk memperoleh informasi dan memahami teknologi lebih mendalam, sehingga tidak hanya dapat memanfaatkan tetapi

juga mengembang kan teknologi untuk pengembangan usaha pertaniannnya Keadaan ini tidak hanya me numbuhkan percaya diri, tanggung jawab dan komitmen petani tetapi juga mengem- bangkan kapasitas dirinya sehingga menjadi lebih bersemangat dan berdisiplin dalam dalam usahanya, bahkan dapat tumbuh jiwa kewira-swastaan-nya (Gambar 5.E).

Sikap

Pengetahuan

Keterampilan

Percaya Diri5.E.Diseminasi Teknologi/ Penyuluhan untuk Pengembangan Kapasitas Diri Petani Kemampuan :

•Pencarian•Pemahaman•Keputusan•Pemanfaatan

Tanggung Jawab/

Komitmen

Kapasitas lain:•Kepribadian•Kewirausahaan•Kepemimpinan•Tata Nilai•dsb

Tek. usaha perta-nian

Sikap

Pengetahuan

Keterampilan

Percaya Diri5.E.Diseminasi Teknologi/ Penyuluhan untuk Pengembangan Kapasitas Diri Petani Kemampuan :

•Pencarian•Pemahaman•Keputusan•Pemanfaatan

Tanggung Jawab/

Komitmen

Kapasitas lain:•Kepribadian•Kewirausahaan•Kepemimpinan•Tata Nilai•dsb

Tek. usaha perta-nian

Gambar 5.E. Tahap V Kegiatan Diseminasi Teknologi

Pertanian Hal-hal tersebut diatas menunjukkan bahwa kegiatan

diseminasi, kalau diselenggarakan dengan baik, tidak hanya berfungsi untuk penyebar-luasan teknologi baru, tetapi juga dapat berfungsi untuk mengembangkan kapasitas diri petani sehingga mereka dapat pula mengembangkan usaha

(Sikap Terbentuk dalam Waktu Lama dan Upaya Berulang-berulang)

Pengeta-huan

Sikap

Kete-rampilan Adopsi Teknologi

dan Pemantapannya

5.B. Di seminasi/ Penyuluhan Umum

(Sikap Terbentuk dalam Waktu Lama dan Upaya Berulang-berulang)

Pengeta-huan

Sikap

Kete-rampilan Adopsi Teknologi

dan Pemantapannya

5.B. Di seminasi/ Penyuluhan Umum

Pengeta-huan

Sikap

Keterampilan

Pengembangan Manfaat Tekno-logi dalam Usaha Pertaniannya

5.D. Diseminasi Teknologi/ Penyuluhan Berdasar Kebutuhan Petani(Farmers led Dissemination Extension)

Tanggung Jawab/ Komitmen

Percaya Diri

Pengeta-huan

Sikap

Keterampilan

Pengembangan Manfaat Tekno-logi dalam Usaha Pertaniannya

5.D. Diseminasi Teknologi/ Penyuluhan Berdasar Kebutuhan Petani(Farmers led Dissemination Extension)

Tanggung Jawab/ Komitmen

Percaya Diri

Page 53: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

53

pertaniannya. Memang diakui bahwa untuk menyelenggarakan kegiatan diseminasi dengan tingkatan yang makin tinggi, memerlukan keahlian, tenaga, waktu dan dana yang makin besar pula, yang akan diikuti oleh hasil dan manfaat kegiatan yang lebih baik. Semua cara pendekatan tersedia, tinggal kebijakan pengelola penelitian dan pengkajian yang menentukan pilihan.

Diseminasi teknologi pertanian yang baik akan menghasilkan umpan balik terhadap teknologi yang di desiminasikan dan penumbuhan kebutuhan lebih lanjut tentang teknologi pertanian. Selain untuk keperluan diseminasi, pendekatan tersebut diatas juga bermanfaat untuk memperoleh umpan balik dan identifikasi masalah dan kebutuhan petani akan teknologi pertanian. Pendekatan seperti digambarkan pada gambar 5.A. memang tidak akan memberikan peluang untuk memperoleh umpan balik, karena sifatnya yang hanya berbentuk komunikasi satu arah. Pendekatan yang digambarkan oleh gambar 5.B memungkinkan adanya umpan balik terhadap teknologi pertanian yang diperkenalkan, ialah pada saat dialog dengan pengguna teknologi di petak uji adaptasi, gelar teknologi, visitor plots, dsb. Intensifikasi umpan balik akan lebih besar pada pendekatan yang digambarkan melalui Gambar 5.C. karena kesempatan interaksi antara pengguna teknologi pertanian dengan peneliti dan atau penyuluh akan lebih intensif pula. Dengan pendekatan seperti digambarkan pada Gambar 5.D, umpan kalik akan semakin intensif. Petani dan pengguna teknologi lain

tidak hanya akan memberikan umpan balik terhadap teknologi yang diperkenalkan saja, tetapi masalah-masalah teknologi lain yang dihadapi oleh petani dan pengguna teknologi lainnya. Dari interaksi ini pula mulai dapat diketahui kebutuhan petani yang sebenarnya, yang memerlukan perhatian peneliti. Umpan balik dan identifikasi kebutuhan teknologi yang paling intensif akan ditemukan pada pendekatan yang digambarkan pada Gambar 5.E. Pada keadaan seperti ini akan terjalin hubungan yang akrab dan pembicaraan tentang masalah kehidupan petani dan pengguna teknologi lainnya terjadi. Pendekatan ini memberi peluang terungkapnya kebutuhan baik untuk masa sekarang maupun untuk masa depannya.

Penyediaan teknologi pertanian spesifik lokasi yang tepat guna dan tepat sasaran dan juga diseminasi teknologi pertanian yang baik, ialah yang menuju kearah peningkatan kapasitas diri petani, akan mengarah kepada pengembangan usaha petani. Dalam hal ini, umumnya petani akan terbentur pada masalah modal dan pemasaran hasil usaha pertanian. Masalah ini dapat diatasi dengan kegiatan kelompok, dengan catatan bahwa pembentukan kelompok harus didasarkan pada keputusan petani sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, bukan di bentuk oleh peneliti, penyuluh atau pejabat lainnya. Pembinaan kelompok yang baik, yang dapat meningkatkan dinamika kelompok tani ybs akan memberi peluang bagi kelompok tani untuk bermitra secara saling menguntungkian (partnership) dengan pengusaha yang terkait dengan usaha pertanian. Kemnitraan semacam ini merupakan salah satu jalan untuk mengatasi kesulitan pengadaan modal usaha pertanian dan pemasaran hasilnya.

Penyediaan dan diseminasi teknologi pertanian baru di lahan marginal untuk meningkatkan pendapatan petani, cukup menjanjikan. Kunci utama kegiatan penyediaan dan diseminasi teknologi di lahan marginal maupun di lahan lain terletak pada upaya memberi kesempatan petani berpartisipasi tidak hanya secara pasif, tetapi paling tidak secara interaktif.

Penyediaan teknolologi tidak hanya cukup memperhatikan faktor-faktor biofisik, soaial, ekonomi dan budaya, yang dilihat dari sudut pandang peneliti atau penyuluh, tetapi juga harus memperhatikan ciri-ciri inovasi/teknologi berdasar persepsi petani sendiri demikian pula untuk desiminasi teknologinya. Hal lain yang harus diperhatikan dalam penyediaan teknologi dan diseminasinya ialah kapasitas diri maupun kapasitas sumberdaya & sarana yang ada pada petani sendiri.

Tingkat kegiatan diseminasi juga akan memberi peluang untuk memperoleh tingkat umpan balik terhadap teknologi pertanian yang diperkenalkan dan identifikasi kebutuhan petani dan pengguna teknologi lainnya. Makin tinggi tingkat kegiatan diseminasi, makin jelas dan tinggi pula manfaat umpan balik dan makin terlihat jelas pula kebutuhan nyata petani yang teridentifikasi. Kejelasan umpan balik dan kebutuhan petani dan

Page 54: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

54

pengguna teknologi lainnya akan membantu peneliti tidak hanya untuk penyediaan materi diseminasi teknologi tetapi juga untuk merumuskan program penelitian jangka pendek maupun jangka panjang.

Pembinaan kelompok tani terhadap dinamika kelompoknya akan mengembangkan kemampuan kelompok untuk melaksanakan kemitraan yang saling mernguntungkan (partnership) dengan perusahaan yang terkait dengan usaha pertanian. Kemitraan yang saling menguntungkan ini dapat mengatasi kesulitan petani dalam pengadaan modal usaha tani dan pemasaran hasil pertaniannya.

Bab III Mengutuk Diri Menjadi Petani:

Telaah terhadap Realitas Kehidupan Petani Gurem Lahan Marginal Pegunungan Surojoyo Kabupaten Rembang

Secara geografis Kabupaten Rembang9 terletak di ujung timur laut Propinsi Jawa Tengah dan dilalui jalan Pantai Utara Jawa (Jalur Pantura). Secara astronomis berada pada garis koordinat 111 o 00' - 111 o 30' Bujur Timur dan 6 o 30' - 7 o ,6' Lintang Selatan. Secara umum kondisi tanahnya berdataran rendah dengan ketinggian wilayah maksimum kurang lebih 70 meter di atas permukaan air laut. Batas Wilayah Kabupaten Rembang.

Sebelah utara : Laut Jawa. Sebelah timur : Kabupaten Tuban (Jawa Timur). Sebelah selatan : Kabupaten Blora. Sebelah barat : Kabupaten Pati. Secara administrasi Kabupaten Rembang10 terbagi dalam

14 kecamatan, 287 desa dan 7 kelurahan dengan luas wilayah

9 Rembang berada di jalur pantura timur Jawa Tengah, berbatasan

langsung dengan provinsi Jawa Timur, sehingga menjadi gerbang sebelah timur Provinsi Jawa Tengah di sebelah timur. Daerah perbatasan dengan Jawa Timur (seperti di Kecamatan Sarang, memiliki kode telepon yang sama dengan Tuban (Jawa Timur). Bagian selatan wilayah Kabupaten Rembang merupakan daerah perbukitan, bagian dari Pegunungan Kapur Utara, dengan puncaknya Gunung Butak (679 meter). Sebagian wilayah utara, terdapat perbukitan dengan puncaknya Gunung Lasem (806 meter). Kawasan tersebut kini dilindungi dalam Cagar Alam Gunung Celering. http://students.ukdw.ac.id

10 Secara histories sekitar tahun Saka 1336, datanglah orang Campa Banjarmelati sebanyak delapan orang yang pandai membuat gula tebu. Orang-orang Campa itu pindah dari negerinya berangkat melalui lautan menuju ke barat hingga mendarat disekitar sungai yang kiri-kanannya ditumbuhi pohon bakau. Mereka dipimpin oleh kakek Pow Ie Din. Ketika mendarat, mereka melakukan doa dan semedi. Kemudian mereka mulai menebang pohon bakau dan diteruskan oleh yang lain. Selanjutnya tanah yang telah terbuka itu dijadikan lahan pategalan, pekarangan, perumahan, dan perkampungan. Kampung tersebut dinamakan “Kabongan” berasal dari kata bakau menjadi Ka-Bonga-an. Pada suatu hari, saat fajar menyingsing pada bulan Waisaka, orang-orang akan memulai "ngrembang" (mbabat, memangkas) tebu. Sebelum ngrembang dimulai, terlebih dahulu

Page 55: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

55

secara keseluruhan 101.408,283 Ha. Kabupaten Rembang merupakan wilayah yang terletak di pantai utara pulau Jawa, secara otomatis merupakan daerah pinggiran (pheripheral) wilayah Jawa Tengah, dimana terdapat 6 kecamatan yang berada di pinggiran pantai, 6 kecamatan tersebut adalah kecamatan Kaliori, Rembang, Lasem, Sluke, Kragan dan Sarang. Panjang pantai pada 6 wilayah kecamatan ini adalah 60 Km. Pegunungan di Kabupaten Rembang termasuk dalam deretan pegunungan Kendeng Utara yang potensial untuk pembuatan kapur / gamping. Puncak gunung tertinggi adalah Gunung Lasem (806 mdpl) dan kemudian Watu Putih (495 mdpl ). Daerah Kabupaten Rembang terletak antara ketinggian 0 M sampai 806 M dari permukaan air laut, dengan kondisi cuaca berkisar antara 23 o - 35 o C, dengan curah hujan rata-rata pertahun ± 1.044 cm3/tahun. Jumlah pendudukan di Kabupaten Rembang pada akhir tahun 2004, sebanyak 571.459 jiwa, terdiri dari laki-laki 285.611 orang dan perempuan 286.038 orang.

Kabupaten Rembang11 identik dengan gersang, kering, dan panas, rona wajah kabupaten di ujung timur laut Provinsi

diadakan upacara suci sembahyang dan semedi di tempat tebu serumpun yang akan dipangkas. Upacara pemangkasan tebu ini dinamakan "Ngrembang Sakawit". Dari kata ngrembang inilah kemudian menjadi kata “Rembang” sebagai nama Kota Rembang saat ini. Menurut mitos, upacara "ngrembang sakawit" dilaksanakan pada hari Rabu Legi, saat dinyanyikan kidung, Minggu Kasadha, Bulan Waisaka, Tahun Saka 1337 dengan candra senkala: Sabda Tiga Wedha Isyara

11 Pada mulanya asal nama Kabupaten Rembang sebagai kota atau wilayah masih belum dapat dibuktikan dengan tepat, hal ini disebabkan karena sumber - sumber atau bukti - bukti tertulis yang menceritakan tentang Rembang atau aktifitas kotanya belum ditemukan. Salah satu sumber yang berasal dari penuturan cerita secara turun menurun dan ditulis oleh Mbah Guru disebut bahwa nama Rembang berasal dari Ngrembang yang berarti membabat tebu . Dari kata Ngrembang inilah dijadikan nama kota Rembang hingga saat ini. Munculnya Pemerintahan Kabupaten Rembang pada masa Kolonial Belanda berkaitan erat sebagai akibat dari perang Pacinan. Terjadinya perang Pacinan pada waktu itu akibat dari peraturan dan tindakan sewenang - wenang dari orang Belanda (VOC) di Batavia pada tahun 1741 yang kemudian meluas hampir keseluruh Jawa termasuk Jawa Tengah. Pada tahun 1741 pertempuran meletus di Rembang di bawah pimpinan Pajang. Pada waktu itu kota Rembang dikepung selama satu bulan dan Garnisun kompeni yang ada di kota Rembang tidak mampu menghadapi

Jawa Tengah itu kian terasa ketika melewati jalan pantai utara Pulau Jawa jalur Semarang–Surabaya saat musim kemarau. Dari jalur ini pula tampak petak-petak lahan tempat pembuatan garam yang terhampar di pinggir pantai pesisir utara. Sebuah sisi lain wajah kabupaten penghasil garam terbesar di Provinsi Jawa Tengah (Jateng). Letak Kabupaten Rembang memang strategis. Bentangan pantai sepanjang 65 kilometer dari Kecamatan Kaliori hingga Kecamatan Sarang merupakan kekayaan alam tersendiri yang dimanfaatkan penduduk sebagai sumber mata pencaharian. Ada 33.578 tenaga kerja mulai dari nelayan yang terdiri atas juragan, pandega, hingga bakul ikan terlibat di lahan usaha perikanan laut maupun tambak. Dengan sarana perahu dan alat penangkap ikan yang sederhana, perikanan memberi kontribusi 6,46 persen bagi PDRB tahun 2001, namun memiliki prospek yang menjanjikan12.

Rembang termasuk dalam deretan Pegunungan Kapur Utara yaitu salah satu pegunungan kapur yang membentang di pesisir utara Pulau Jawa mulai dari Kabupaten Pati Jawa Tengah

pemberontakan rakyat Rembang dibawah pemerintahan Anggajaya dengan semboyan perang suci dengan perlawanan luar biasa akhirnya dapat menghancurkan Garnisun Kompeni. Dari sinilah, tanggal 27 Juli 1741 ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Rembang. Dengan Suryo Sengkala "Sudiro Akaryo Kaswareng Jagad" yang artinya : Keberanian Membuat Termasyur di Dunia

12 Perikanan laut Rembang memang nomor dua terbesar se-Jateng setelah Kota Pekalongan. Tiga belas Tempat Pelelangan Ikan (TPI) berada di kabupaten ini. Tahun 2001, 13 TPI tersebut mampu menghasilkan 51.365 ton ikan senilai Rp 115,71 milyar. Hasil itu dipasarkan sampai ke luar Jawa, seperti Lampung, Jambi, dan sekitar Sumatera bagian tengah, bahkan sampai ke luar negeri. Namun, ekspor masih dilakukan lewat Semarang dan Surabaya, karena Rembang belum memiliki perwakilan ekspor Untuk pemasaran di Jawa, selain ke kabupaten tetangga, juga ke Yogyakarta dan Semarang. Lewat retribusi pungutan hasil perikanan, sumbangan sektor perikanan bagi pendapatan asli daerah tahun 2002 lumayan besar, Rp 960 juta. Potensi laut yang demikian besar agaknya mendapat perhatian serius dari pemerintah kabupaten. Terlihat dari upaya yang hingga kini masih digarap yakni pengembangan kawasan bahari terpadu. Sebuah kawasan bahari yang memadukan pelabuhan niaga, pelabuhan pendaratan ikan dan TPI Tasik Agung. Di masa depan perikanan dan kelautan tampaknya sangat bisa diandalkan. Lihat Tim Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, Jawa Tengah Dalam Angka 2005, Semarang : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, 2005, p. 243

Page 56: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

56

hingga Lamongan (Jawa Timur). Oleh sebagian orang disebut juga sebagai Pegunungan Kendeng Utara, karena letaknya yang sejajar dengan Pegunungan Kendengyang membujur di sebelah selatannya. Juga ada yang menyebutnya sebagai Pegunungan Serayu Utara. Wilayahnya memanjang dari barat ke timur yang meliputi Kabupaten Pati bagian selatan, Kabupaten Grobogan bagian utara, Kabupaten Rembang, Kabupaten Blora, Kabupaten Tuban, Kabupaten Bojonegoro bagian utara dan Kabupaten Lamongan bagian barat. Lebar rangkaian pegunungan ini sekitar 30-50 km dengan ketinggian kurang dari 800 meter dari permukaan laut. Pegunungan Kapur Utara merupakan kawasan batu gamping atau daerah karst. Daerah ini identik dengan fenomena alam yang kurang akan air di permukaan akibat sifat batuan kapur yang sangat mudah meloloskan air. Meskipun dipermukaan cenderung kering dengan dipenuhi banyaknya batu karang dan tebing. Sesuai dengan sifat batuan kapur (kawasan karst) yang mudah larut oleh air hujan membuat kawasan ini memiliki banyak sekali rekahan ataupun lubang yang sebagian dikenal sebagai gua–gua alam. Selain itu karena besarnya tingkat porositas (meloloskan) air yang sangat tinggi membuat kawasan ini menjadi area resapan bagi daerah – daerah di sekitarnya. Air hujan yang meresap lewat rekahan – rekahan yang ada menciptakan suatu sistem sungai bawah tanah yang unik

Sebetulnya yang mendominasi kegiatan ekonomi Rembang13 adalah pertanian. Separuh lebih nilai PDRB

13 Masyarakat di Kabupaten Rembang memiliki beraneka ragam budaya

daerah, mulai dari budaya daerah yang bernuansa keagamaan hingga budaya daerah yang bernuansa adat-istiadat, Budaya masyarakat banyak dipengaruhi nuansa keagamaan/kepercayaan dan adat-istiadat setempat. Event-event budaya di Kabupaten Rembang, antara lain: pertama, Acara Syawalan/Lomban : Diselenggarakan setiap tanggal 5,6,7 dan 8 Syawal bertempat dilokasi Obyek Wisata Taman Rekreasi Pantai Kartini. Acara kegiatan ini dimeriahkan dengan hiburan orkes melayu, hiburan anak-anak, dan kesenian tradisional. Kedua, Penjamasan Bende Becak : Benda pusaka Sunan Bonang berupa "bende" yang diberi nama "Bende Becak" berukuran garis tengah 10 cm. Zaman dahulu bende ini berfungsi sebagai alat mengumpulkan para wali atau sebagai tanda pemberitahuan akan terjadinya sesuatu peperangan/musibah. Setiap tanggal 10 Dzulhijjah (Hari Raya Idul Adha) pukul 09.00 WIB diadakan upacara penjamasan

disumbang dari lahan usaha ini. Tanaman pangan memberi kontribusi hingga 37,43 persen dari total pertanian 53,69 persen. Areal yang dimanfaatkan untuk sawah 28.652 hektar di 14 kecamatan dengan produksi tahun 2001 202.763 ton. Di luar beras, unggulannya apa lagi kalau bukan sayuran, palawija, dan buah-buahan. Cabai merah varietas Tampar dan mangga gadung adalah dua contoh produk pertanian unggulan kabupaten ini. Sentra cabai terdapat di Kecamatan Rembang, Sulang, dan Sarang. Sentra produksi mangga gadung di Kecamatan Kragan, Sulang, Sarang, dan Pancur. Pemasaran mangga, selain di daerah sendiri juga ke kabupaten tetangga. Pertanian menjadi gantungan hidup 65,94 persen dari total 283.761 pekerja di Rembang. Tenaga kerja di lahan usaha ini paling banyak terdapat di Kecamatan Sarang 21.291 jiwa, diikuti Sedan 17.219 jiwa dan Kragan 16.932 jiwa. Ketiga kecamatan itu selain sebagai daerah penghasil beras, juga sayuran dan palawija, serta buah-buahan.

Usaha lain yang patut mendapat perhatian adalah industri garam rakyat. Sentra garam di Kecamatan Kaliori dan kecamatan lain di pesisir. Lahan penggaraman umumnya tidak terlalu jauh dari garis pantai. Total luas areal penggaraman 1.184,9 hektar, tersebar di Kecamatan Kaliori, Rembang, Lasem, Sluke, Sarang, dan Kragan. Garam curah (kerosok) atau garam rakyat yang dalam proses produksi hanya mengandalkan air laut. Ada pula produk garam briket. Ada 777 industri garam kerosok yang menyerap 5.545 tenaga kerja, dan empat industri garam briket dengan 260 tenaga kerja. Melihat sektor industri yang berkembang di kabupaten ini, sebagian besar usaha mencerminkan profil industri kecil yang menyerap 1-20 tenaga kerja. Jumlah industri kecil 11.265 unit. Terbanyak industri makanan dan minuman, 4.760 unit. Jenis industri ini umumnya memanfaatkan hasil pertanian dan perikanan sebagai bahan baku14.

di rumah juru kunci makam Sunan Bonang. Pada upaca ini dibagi-bagikan ketan kuning serta memperebutkan air bekas penjamasan Bende Becak. 14 Rembang merupakan daerah berpotensi di sektor perikanan, industri, pertanian, dan perkebunan. Komoditi utama sektor tersebut meliputi perikanan tangkap

Page 57: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

57

Sarana perdagangan di kabupaten ini belum banyak berkembang. Umumnya berupa toko dan pasar tradisional yang melayani kebutuhan sehari-hari serta pasar hewan. Belum terlihat pusat-pusat grosir atau pusat pemasaran industri kecil untuk memudahkan akses pemasaran. Begitu besar potensi yang dimiliki kabupaten ini, sayangnya tidak dibarengi kemampuan sumber daya manusia yang memadai. Merujuk hasil Survei Sosial Ekonomi Daerah Kabupaten Rembang tahun 2001, ada beberapa indikator yang menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk masih rendah. Jumlah penduduk miskin 109.718 jiwa atau 19,49 persen. Persebarannya hampir merata di 14 kecamatan, antara 18-21 persen dari jumlah penduduk masing-masing kecamatan. Rata-rata tingkat pendidikan penduduk sebagian besar (49,48 persen) berpendidikan SD. Putus sekolah adalah salah satu sebab utama rendahnya tingkat pendidikan. Adapun penyebab langsung biasanya keadaan ekonomi yang tidak menunjang untuk dapat melanjutkan sekolah. Jumlah anak yang putus sekolah di tingkat SD terbanyak di Kecamatan Sarang, 160 orang. Padahal, pendidikan sangat erat kaitannya dengan mutu ketenagakerjaan15.

(32,370.00 ton), jagung (69,322.00 ton), tebu (11,951.00 ton), and industri gula tumbu (163,421.00 ton). Karena terletak di sepanjang pesisir pantai, dan tersedianya pelabuhan Lasem dan pelabuhan Rembang, perikanan tangkap kabupaten Rembang kian berkembang. Pada tahun 2004, Rembang telah menjadi salah satu pusat perikanan tangkap di Jawa Tengah. Jagung dihasilkan dalam jumlah yang cukup besar dari lahan seluas 23,343.00 ha. Rembang merupakan salah satu sentra tebu terbesar di Jawa Tengah. Hasil panen tebu tersebut didatangkan dari perkebunan rakyat yang mencapai luas lahan 3,871.00 ha. Pembangunan pabrik gula tumbu Kabupaten Rembang berlokasi di Kecamatan Pamotan. Dengan hasil produksi tebu yang mendukung Industri Gula Tumbu di kabupaten ini dapat menjadi salah satu komoditi unggulan.Komoditi nomor dua adalah kelapa dan kopi, tetapi nampaknya bakal menjadi komoditi unggulan Rembang 15 Kompas, 3 Maret 2003. Hal unik dari kesenian kabupaten rembang adalah Kesenian daerah kabupaten Rembang diantaranya adalah Thong-Thongklek : Thong-Thongklek merupakan musik pengantar makan sahur, yang dilaksanakan dengan berkeliling kampung. Menjelang akhir bulan Puasa diadakan lomba Thong-Thongklek yang diikuti olehi berbagai group di Kabupaten Rembang dengan klasifikasi tradisonal dan elektrik. Lomba dilaksanakan melalui dua tahap penilaian, yaitu show secara berkeliling dengan rute yang telah ditetapkan, dan

A. Petani Gurem: Tipologi Masyarakat Tepi Hutan Pegunungan Surojoyo

Pertanian masih merupakan sektor yang penting, sebab

sektor ini menjadi tumpuan penghidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Dari jumlah penduduk Indonesia yang

show di atas pentas. Selain kesenian diatas masih banyak lagi kesenian daerah yang terdapat di Rembang antara lain: Ketoprak, Emprak Orek-orek, Pathol, Barongan, dan Tayub.Rembang juga mempunyai berbagai makanan khas, secara umum bahan bakunya berasal dari hasil produksi lingkungan alam setempat, dibawah ini beberapa contoh makanan khas dari Rembang : Sate Sarepeh : sate ayam kampung yang diolah dengan bumbu yang terdiri dari cabe merah, gula merah, santan dan garam. merupakan lauk pauk yang biasanya dirangkai dengan lontong. Mangut : Ikan laut segar yang dipanggang dengan bumbu-bumbu cabe hijau, bawang merah, bawang putih, garam dan santan kental. Sebagai lauk untuk makan siang atau malam dalam menu sehari-hari, Sayur Merica : bahan dasarnya ikan laut segar dengan bumbu cabe, merica, bawang merah, bawang putih, kunyit, garam dan air. Lontong Tuyuhan : lontong dengan opor ayam kampung pedas khas desa Tuyuhan (Kecamatan Pancur), biasanya sekitar jam 15.00 WIB sudah dijual dilokasi desa Tuyuhan di sepanjang pinggir jalan. Dumbeg : dibuat dari tepung beras, gula pasir atau gula aren dan ditambahkan garam, air pohon nira (legen), dan kalau suka ditaburi buah nangka atau kelapa muda yang dipotong sebesar dadu. Kemudian tempatnya dari daun lontar (pohon nira) berbentuk kerucut dengan bau yang khas. Kaoya Dudul : terbuat dari beras ketan, kacang hijau, gula aren atau gula pasir dan garam. Tempatnya dari daun lontar berlubang bulat kecil. Rasanya sangat manis dan gurih. Gula Semut : terbuat dari pohon nira (legen) dengan proses pemanasan, sehingga hasilnya seperti gula pasir atau gula halus yang berwarna coklat

Page 58: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

58

bekerja sebanyak 104,485,444 orang, 41,53 persen bekerja di sektor pertanian (Badan Pusat Statistik, Februari 2010). Sektor pertanian merupakan penyedia pangan yang penting dalam menjaga stabilitas negara. Kontribusinya dalam menyumbang devisa dan dukungannya terhadap sektor industri tidak boleh diabaikan. Kenyataan yang harus diakui bahwa sektor pertanian di Indonesia sebagian besar dibangun oleh petani dengan unit usaha yang relatif sempit. Keadaan pelaku usaha pertanian tersebut setiap tahun semakin bertambah jumlahnya dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah. Masih rendahnya taraf kesejahteraan petani terlihat dari hasil sementara Sensus Pertanian (SP) 2003 yang dibandingkan dengan SP 1993. Rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar, baik milik sendiri maupun menyewa, pada tahun 1993 hanya 51,9 persen dari 20,8 juta rumah tangga petani saat itu. Tahun 2003, atau 10 tahun kemudian, porsi petani gurem 53,9 persen dari total rumah tangga petani. Tahun 2008, persentase petani gurem diproyeksikan 55,1 persen (http://els.bappenas.go.id/). Kenaikan persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan mengindikasikan semakin miskinnya petani di Indonesia

Di Indonesia, yang disebut petani adalah mereka yang bekerja mengelola lahan. Maka istilah farmer sebenarnya kurang tepat. Farmer dipakai bagi petani yang kaya raya, punya lahan puluhan bahkan ribuan hektar dan hidup di kota besar. Sedangkan petani Indonesia, lebih-lebih di Jawa, rata-rata petani hanya memiliki lahan setengah hektar, bahkan lebih sempit dari itu. Mereka sering disebut petani gurem. Istilah gurem merujuk pada binatang kecil yang keberadaannya nyaris tidak diperhitungkan manusia. Maka petani gurem dapat digambarkan sebagai sosok petani kecil yang mencoba bertahan hidup dalam keterbatasan. Mereka tinggal di berbagai pelosok Nusantara sebagai akar rumput bangsa. Suaranya nyaris tidak terdengar oleh telinga para pemangku kebijakan. Jumlah petani gurem di Indonesia menempati posisi tertinggi. Data BPS menyebutkan bahwa sekitar 60% atau 120 juta penduduk Indonesia tinggal di pedesaan dan 70% di antaranya hidup dari pertanian. Setengah dari jumlah itu adalah petani gurem atau

petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 ha, bahkan sebagian besar bekerja sebagai buruh tani dan buruh perkebunan. Dari tahun ke tahun, jumlah rumah tangga petani gurem terus meningkat. Pada 1993, jumlah rumah tangga petani gurem mencapai 10,8 juta. Jumlah itu meningkat menjadi 13,7 juta rumah tangga pada 2003.

Sekarang ini, mayoritas petani padi dalam kondisi amat miskin dengan pendapatan hanya Rp 1,527 juta/kapita/tahun (Rp 4.365/hari). Yang mengakibatkan sumbangan usahatani padi dalam struktur pendapatan rumah tangga merosot: dari 36,2% pada 1980-an tinggal 13,6% (Patanas, 2000), pemerintah dengan kebijakan HPP-nya tidak berdaya untuk mensejahterakan petani (kenaikan HPP di bawah inflasi). Rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar, baik milik sendiri maupun menyewa, meningkat dari 10,8 juta keluarga tahun 1993 menjadi 13,7 juta keluarga tahun 2003 dan diperkirakan menjadi 15,6 juta di tahun 2008 (2,6 % per tahun). Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). Kenaikan ini menunjukkan makin miskinnya petani. Pada tahun 1996/1997, jumlah orang miskin, paralel dengan angka petani gurem, sudah mencapai 17 juta jiwa. Namun, tahun 2006/2007 naik jadi 39 juta jiwa. Artinya, selama satu dasa warsa terakhir, kehidupan petani semakin memprihatinkan karena semakin banyak rumah tangga petani hanya mengelola lahan sempit.

Yang menarik perhatian dan sekaligus memprihatinkan adalah bahwa jumlah petani "gurem", yaitu rumah tangga pertanian yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha, meningkat 2,4% per tahun, dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003. Dengan perkembangan tersebut maka secara nasional jumlah rumah tangga petani gurem sudah lebih banyak dari rumah tangga petani non-gurem. Di pulau Jawa gambarannya lebih pincang. Terdapat 9,990 juta keluarga petani gurem (71,53%) dari sebanyak 13,965 juta rumah tangga pertanian. Dengan produksi gabah kering giling sekitar 4,538 ton per ha maka dengan mudah dapat diketahui bahwa kehidupan petani gurem sangat sulit. Dengan

Page 59: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

59

beranggapan rata-rata setiap rumah tangga pertanian terdiri dari 4 (empat) orang dan konsumsi beras per kapita sekitar 120 kg per tahun, dapat dihitung bahwa jumlah beras yang dapat dijual oleh petani gurem ke pasar setelah dikurangi kebutuhan konsumsi sendiri relatif kecil.

Jika ingin menelisik sedikit ke dalam problematika yang dihadapi oleh para petani gurem ini cukup pelik. Dimulai dari semakin sempitnya lahan yang diperuntukkan bagi pertanian, konflik lahan antara para petani penggarap dengan pemerintah ataupun pihak swasta, model pertanian yang masih sangat tergantung terhadap input kimia yang cenderung mahal dan tak ramah lingkungan, perubahan iklim, hingga dari sisi politis seperti sedikitnya Undang-Undang ataupun peraturan-peraturan hingga kebijakan-kebijakan yang pro terhadap petani gurem,

Petani gurem punya rumus bertani yang unik dan cenderung mengikuti kultur tradisional. Mengolah lahan bukan untuk mendapatkan kekayaan, melainkan sekadar mengikuti garis kebiasaan dalam memenuhi kebutuhan pangan. Hasil panen berupa bahan makanan tidak dijual, tetapi dikonsumsi sendiri. Baru berpikir untuk menjual jika ada sisa. Maka istilah kerawanan pangan bagi petani gurem sebenarnya tidak berlaku, dengan catatan mereka benar-benar rajin bekerja mengelola aset yang ada. Petani gurem yang rajin biasanya menanam berbagai jenis tanaman pangan mulai padi, jagung, sayuran dan umbi-umbian. Sistem bercocok tanam secara majemuk ini terbukti memberi dampak positif pada penguatan pangan bagi keluarga. Petani gurem terpaksa memetak-metak lahannya untuk membudidayakan berbagai jenis tanaman. Persoalannya, tidak semua petani gurem bekerja dengan baik. Masih banyak petani kita yang mengelola lahan secara asal-asalan, bahkan menelantarkan lahan. Pekarangan rumah dibiarkan kosong, hanya ditumbuhi rumput liar.Dan yang lebih memperihatinkan, banyak petani gurem yang terjebak pada kepentingan jangka pendek dengan mengalihfungsikandengan sistem sewa lahan produktif (sawah) menjadi menjadi perkebunan tebu.

70 persen dari 25 ribu atau sekitar 17.500 petani di

Kabupaten Rembang, Jawa Tengah miskin karena hanya merupakan petani penggarap (gurem) yang tak memiliki lahan sawah. Mereka umumnya hanya pekerja harian yang memiliki pendapatan Rp20 ribu per hari. Sedangkan sebagian lainnya adalah petani penggarap yang mengerjakan sawah milik orang lain dengan cara bagi hasil. "Dari kecil kami adalah petani. Tetapi lambat laut lahan warisan habis karena dibagi-bagi oleh saudara dan hanya tersisa untuk rumah, sedangkan untuk hidup menjadi buruh tani," kata Muhiyat, petani di Ngkaleh

Contoh kasus, Mujib (35), pemuda warga Nglakeh, menyatakan, saat ini ia hanya mengolah lahan sawah 0,25 bau atau sekitar 1.700 meter persegi (1 bau sekitar 0,7 hektar atau 7.096 meter persegi). Lahan ini pemberian orangtuanya, mantan pegawai Kantor Urusan Agama Tegal. Pemilik lahan satu bau itu saat ini menggarap lahan sewa 0,25 hektar. Dengan mengolah lahan 1.700 meter persegi, pendapatan bulanan Mujib hanya Rp 300.000-Rp 400.000 per bulan. Itu pun dengan catatan kalau panen padi tidak ada gangguan. Karena tidak mencukupi kebutuhan, sekalipun dia masih membujang, Mujib mencari tambahan penghasilan dari berjualan benih dan pupuk. Paling tidak untuk kedua usaha sampingannya itu, Mujib

Page 60: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

60

mendapatkan tambahan penghasilan bulanan Rp 100.000-Rp 200.000 per bulan. Dengan begitu, total penghasilannya menjadi Rp 500.000-Rp 600.000. Jumlah ini berbeda jauh dari pendapatan ayahnya yang dulu sebagai petani dengan lahan satu bau dan bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Meski saya sudah cari tambahan penghasilan, tetap kecil pendapatannya,” kata Mujib, yang pernah juga mencoba membudidayakan lele, tetapi malah merugi Rp 700.000. Berharap mendapat tambahan penghasilan, ia justru merugi.

Hadi Subeno (50), petani dari Desa Jentir, saat ditemui sedang menjadi buruh panen di Desa Selapura, Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal, mengatakan, selama ini ia hanya bertani pada lahan sewa seluas 1.700 meter persegi. Dengan biaya sewa tanah sebesar Rp 1,5 juta sekali musim tanam, ia sering tidak bisa mendapatkan hasil. Rata-rata, hasil penjualan padi pada lahan tersebut sebesar Rp 2,5 hingga Rp 3 juta. Padahal, ia juga masih harus mengeluarkan biaya tanam sekitar Rp 1 juta. ”Sering tidak dapat apa-apa, tidak nombok, tetapi juga tidak untung,” katanya.

Beberapa warga di Desa Sangkrah dan Kalinanas, beralih dari petani menjadi buruh tani lantaran hasil pertanian tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan hidup. Sekarang mereka hidup dengan mengandalkan upah buruh tani dan kerja serabutan.

Menjadi Petani bagi Jumadi (57 thn), tak ubahnya bak perjudian. Bekal ilmu bercocok tanam ataupun strategi menaksir cuaca tak bisa lagi diandalkan. Di tengah harga gabah yang tak berpihak kepada petani, ia merasa dimiskinkan. ” Saya sampai tak bangga lagi kalau ada yang menyebut saya ini Pak Tani. Beda dengan 30-an tahun lalu saat banyak orang naik haji dari hasil bertani. Sekarang, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya lebih sering utang kepada tengkulak,” tutur Jumadi dari Desa Kalinanas. Rupanya ketergantungan akut kepada tengkulak dari dahulu kala sampai kini makin banyak dialami kaum tani. Husein (55), petani padi di Dusun Jentir sependapat dengan Jumadi. ” Ikhtiar kami sebagai petani tembakau, tetap bertanam. Siapa tahu nasib baik berpihak, meski harus terus berutang. Utang saya masih tersisa Rp 5 juta karena kerugian

tanam tembakau tahun lalu dan belum bisa saya lunasi sampai sekarang,” kata Husein. Sebelum pulang, ia sempatkan juga mencari rumput untuk pakan sapinya. Meski sudah dua kali berturut-turut merugi panen padi, Husein tak kapok menanamnya.

Baik Jumadi maupun husein, menjadi petani adalah keterpaksaan yang harus dijalani meski harus terus menerus berutang untuk membeli bibit, pupuk, ongkos tanam, perawatan dan membajak. Testimoni kemiskinan sebagai petani yang dialami Jumadi dan Husein diatas merupakan representative kemiskinan petani Jember. Realitas kemiskinan petani Jember, merupakan skenario pemiskinan yang lama sudah terjadi (lebih separuh abad), yakni, sejak kapitalisme pertanian mencengkeram tanah jawa. Akibat kapitalisme pertanian tersebut, Clifford geertz menyebutnya sebagai kondisi involusi pertanian rakyat Jawa. Involusi pertanian menunjuk pada kemandekan atau kemacetan pola pertanian atau tidak adanya kemajuan pertanian yang hakiki. Jika pun ada gerak, tidak ada gerakan yang menghasilkan kemajuan. Mirip berenang ditempat, hanya menjaga diri agar tidak tenggelam tanpa bermaksud mencapai tujuan lain. Kemiskinan petani berjamaah, menurut Geertz hanyalah konsekwensi belaka dari involusi usaha petani, yakni tingkat produktivitas yang tidak menaik atau bahkan turun, mendorong pembagian rezeki kepada pembagian tingkat nafkah yang rendah bagi semua (terutama petani gurem dan buruh tani).

Page 61: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

61

Kemiskinan dikalangan masyarakat petani pedesaan telah

dirasakan sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini terbukti dengan politik etis yang dijalankan oleh pemerintah Belanda dengan melakukan program transmigrasi bagi para petani gurem yang mempunyai lahan sempit. Sampai saat ini kemiskinan petani pedesaan masih begitu terasa, karena masih banyak berbagai aspek-aspek permasalah yang di alami petani yang harus diatasi, meskipun juga sudah ada banyak program-program dari pemerintah, akan tetapi hal itu masih belum efektif dalam mengatasi masalah kemiskinan yang dialami petani pedesaan. Analisis mengenai kemiskinan pedesaan diketengahkan oleh Boeke (Nasikun, 1985) yang menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia bersifat dual economy, dimana petani gurem yang memiliki lahan sempit yang mengolah lahan pertanian mereka dengan cara yang sangat tradisional, yang hidup secara under subsistence, berhadap-hadapan dengan ekonomi modern yang bersentuhan dengan teknologi yang modern, perdagangan internasional, dan manajemen yang modern.

Berdasarkan hasil pengamatandikeempat desa yang menjadi obyek penelitian, menunjukkan bahwa proses pemiskinan petani lebih diperparah oleh penggunaan teknologi baru di dalam pertanian padi sawah. Traktor yang menggantikan bajak dan cangkul telah merampas lapangan pekerjaan petani gurem dan buruh tani. Ani-ani yang digantikan oleh sabit telah menghilangkan pekerjaan dari para perempuan untuk memperoleh bawon. Cara menyiangi padi pun telah digantikan dengan garok yang tidak memungkinkan keterlibatan kaum perempuan. Petani gurem memiliki daya beli yang sangat rendah terhadap varietas padi unggul, pupuk anorganik, pestisida dan insektisida, serta tidak dapat memenuhi persyaratan memperoleh kredit dari bank. Sekalipun telah ada UUPA dan UUPBH namun sistim bagi hasil panenan seperti misalnya dengan cara mrapat, srolimo, mertelu dan maro, tetap mencekik petani gurem dan kaum buruh tani.

Proses pemiskinan yang disebabkan oleh revolusi hijau pun banyak diungkapkan. Hasil penelitian Sayogyo

menunjukkan bahwa jumlah angka buruh tani meningkat 13% dibanding dari tahun-tahun sebelum adanya revolusi hijau. Revolusi hijau dipadang telah melahirkan kotak pandora, kelihatannya dari luar indah, namun demikian kalau dibuka lebih lanjut berisi perkara-perkara yang negatif. Revolusi hijau dipertanyakan: who gets what? Dan ternyata the poor become poorer, the rich become richer. Kemiskinan petani pedesaan barangkali dapat juga dijelaskan melalui capability approach yang diketengahkan oleh Amartya Sen (1999) didalam Development As Freedom. Menurut Sen, kemiskinan berkaitan dengan freedom of choice, orang miskin sama sekali tidak memiliki freedom of choice karena terjadi capability deprivation. Capability mengacu pada dua perkara, yaitu ability to do dan ability to be. Petani miskin dipedesaan benar-benar mengalami ability to do dan ability to be yang rendah karena mereka dalam posisi yang dirampas. Berbagai macam deprivation dapat diketengahkan disini: 1. Structural devrivarion. Struktur berkaitan dengan: (1) power

relations, dimana posisi petani selalu dalam posisi yang lemah; (2) adanya kebijakan pemerintah yang memengaruhi kebijakan dalam penangulangan kemiskinan; (3) dualisme ekonomi yang muncul dalam wajah baru.

2. Social capability deprivation: orang miskin tidak dapat meraih kesempatan, informasi, pengetahuan, ketrampilan, partisipasi dalam organisasi.

3. Economic capability deprivation: orang miskin tidak dapat mengakses fasilitas keuangan pada lembaga-lembaga keuangan resmi seperti perbankan, tetapi mereka terjebak pada Bank Plecit dan kaum rentenir yang tidak membutuhkan prosedur yang berbelit-belit.

4. Technological capability deprivation: dimana orang miskin tidak dapat memiliki teknologi baru yang memerlukan modal yang cukup besar. Teknologi tradisional seperti pembuatan alat-alat dari bahan lokal (tanah, bambu, kayu, dll) telah digantikan oleh alat-alat pabrikan.

5. Political capability deprivation: petani miskin di pedesaan tidak mampu memengaruhi keputusan politik yang dirumuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tidak

Page 62: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

62

didengarkan aspirasinya, tidak memiliki kemampuan untuk melakukan collective action.

6. Psychological deprivation: petani miskin pedesaan selalu memperoleh stigma sebagai orang-orang yang kolot, bodoh, malas, tidak aspiratif. Stigma inilah yang berakibat mereka menjadi rendah diri dan merasa disepelekan, merasa teralienasi di dalam kehidupan sosial dan politik.

Berdasarkan hasil survei social ekonomi nasional (SUSENAS) menunjukan bahwa jumlah keseluruhan penduduk miskin per februari 2005 adalah 35,10 juta atau 15,97%, pada bulan maret 2006 naik menjadi 39,05 juta atau 17,75%. Menurut laporan BPS per tanggal 1 juli 2010, jumlah orang miskin di Indonesia turun menjadi 13,33% dari seluruh total penduduk. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada maret 2011 mencapai 30,02 juta orang atau 12,49%, turun 1,00 juta orang atau 0,84% dibandingkan dengan penduduk miskin pada maret 2010 yang sebesar 31,02 juta orang atau 13,33%. Selama periode maret 2010 sampai dengan maret 2011 penduduk miskin daerah pedesaan berkurang sekitar 0,95 juta orang (dari 19,93 juta orang pada maret 2010, menjadi 18,97 juta orang pada maret 2011). Prosentase penduduk miskin dipedesaan tidak banyak berubah pada periode ini. Penduduk miskin di daerah pedesaan pada maret 2010 sebesar 16,56% menurun menjadi 15,72% pada maret 2011. Meskipun mengalami sedikit penurunan angka kemiskinan di pedesaan, angka tersebut dirasa masih sangat besar, maka dari itu diperlukan strategi-strategi khusus dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia, khususnya dalam hal ini adalah para petani di pedesaan.

B. Diagnosis Kemiskinan Masyarakat Tepi Hutan Pegunungan Surojoyo 1. Konsep Kemiskinan

Dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan ini, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar secara umum terdiri dari antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak

Page 63: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

63

terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya.

Dengan diakuinya konsep kemiskinan berbasis hak, maka kemiskinan dipandang sebagai suatu peristiwa penolakan atau pelanggaran hak dan tidak terpenuhinya hak. Kemiskinan juga dipandang sebagai proses perampasan atas daya rakyat miskin. Konsep ini memberikan pengakuan bahwa orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang dapat merendahkan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, konsep ini memberikan penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin.

Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks, bersifat multidimensi dan tidak dapat secara mudah dilihat dari suatu angka absolut. Luasnya wilayah dan sangat beragamnya budaya masyarakat menyebabkan kondisi dan permasalahan kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak langsung tergambar dari fakta yang diungkapkan menurut persepsi dan pendapat masyarakat miskin itu sendiri, berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan ekonomi yang dikumpulkan dari kegiatan sensus dan survai.

2. Gambaran Umum

Kabupaten Rembang menghadapi masalah kemiskinan yang antara lain ditandai oleh jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan yang rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hasil SUSENAS tahun 2005 yang dilakukan oleh BPS memperkirakan sekitar 224.484 jiwa atau 27,31 % (56.121 RT) dari jumlah rumah tangga secara keseluruhan. Jumlah penduduk tersebut hidup dengan pengeluaran sebulan lebih rendah dari garis kemiskinan, yaitu jumlah rupiah yang diperlukan untuk membayar makanan setara dengan 2.100 kkal sehari dan pengeluaran minimal untuk perumahan, pendidikan, pemeliharaan

kesehatan, dan transportasi. Masalah kemiskinan juga ditandai oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat. Berbagai indikator pembangunan manusia dan berbagai indikator kemiskinan manusia menunjukkan ketertinggalan Kabupaten Rembang dengan beberapa daerah lain. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Rembang pada tahun 2005 merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai nilai rata-rata dari 3 (tiga) indeks yaitu: indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks daya beli. IPM tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 IPM Kabupaten Rembang Tahun 2004

No U r a i a n Persentase 1 Indeks pendidikan 57,70 2 Indeks kesehatan 55,80 3 Indeks daya beli 57,20 4 IPM Komposit

(Partisipasi) 56.90

Dari tabel 2.1, diketahui bahwa IPM komposit

Kabupaten Rembang menunjukkan masih rendah. Beberapa pembentuk komponen IPM tersebut adalah sebagai berikut: 1. Rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Rembang

baru mencapai 5,1 tahun pada tahun 2005, angka ini masih jauh dari angka ideal wajib belajar 9 tahun.

2. Angka Melek Huruf (AMH) yang baru mencapai 69,5 % pada tahun 2005, angka ideal 100% penduduk diatas 15 tahun yang mampu membaca dan menulis.

3. Usia Harapan Hidup (UHH) mencapai angka 58,50 tahun pada tahun 2005, idealnya berada di atas rata-rata UHH NTB yaitu 61,90 Tahun.

4. Indeks Daya Beli (IDB) penduduk yang diformulasikan sebagai turunan dari pengeluaran konsumsi perkapita Rp.607.200,- pada tahun 2004, angka ini tergolong rendah relatif dengan angka Propinsi NTB sebesar Rp.611.000,-

Page 64: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

64

Masalah kemiskinan di Kabupaten Rembang masih didominasi kemiskinan di daerah perdesaan. Data Susenas 2004 menunjukkan bahwa penduduk miskin di perdesaan diperkirakan 69 % lebih, dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Jumlah petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 ha dipekirakan sekitar 83.798 atau 38,41 % (Sensus Pertanian, 2003). Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di perdesaan cenderung lebih tinggi dari perkotaan. Masyarakat miskin perdesaan dihadapkan pada masalah rendahnya mutu sumberdaya manusia, terbatasnya pemilikan lahan, banyaknya rumahtangga yang tidak memiliki asset, terbatasnya alternatif lapangan kerja, belum tercukupinya pelayanan publik, degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, lemahnya kelembagaan dan organisasi masyarakat, dan ketidakberdayaan dalam menentukan harga produk yang dihasilkan.

Di sisi lain, masalah kemiskinan di daerah perkotaan juga perlu mendapat perhatian. Krisis ekonomi tahun 1997 memperlihatkan masyarakat kota masih rentan untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan. Persentase penduduk miskin di perkotaan juga cenderung untuk terus meningkat. Pada umumnya masyarakat miskin perkotaan menjalani pengalaman kemiskinan yang berbeda dengan penduduk miskin perdesaan. Mereka lebih sering mengalami keterisolasian dan perbedaan perlakuan dalam upaya memperoleh dan memanfaatkan ruang berusaha, pelayanan administrasi kependudukan, air bersih dan sanitasi, pelayanan pendidikan dan kesehatan, serta rasa aman dari tindak kekerasan. Pada umumnya masyarakat miskin di perkotaan bekerja sebagai buruh dan sektor informal yang tinggal di pemukiman yang tidak sehat dan rentan terhadap penggusuran.

Masyarakat miskin di kawasan pesisir dan kawasan tertinggal menghadapi permasalahan yang sangat khusus. Penduduk di kawasan pesisir umumnya menggantungkan hidup dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang membutuhkan investasi besar, sangat bergantung musim, dan rentan terhadap polusi dan perusakan lingkungan pesisir.

Menurut BPS, 2005 jumlah penduduk miskin dipesisir sekitar 4,50 % atau sekitar 37.071 RT. Mereka hanya mampu bekerja sebagai nelayan kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil dan pedagang kecil karena memiliki kemampuan investasi yang sangat kecil. Nelayan kecil hanya mampu memanfaatkan sumberdaya di daerah pesisir dengan hasil tangkapan yang cenderung terus menurun akibat persaingan dengan kapal besar dan penurunan mutu sumberdaya pantai. Hasil tangkapan juga mudah rusak sehingga melemahkan posisi tawar mereka dalam transaksi penjualan.

Masalah kemiskinan juga menyangkut dimensi gender. Laki-laki dan perempuan mempunyai peranan dan tanggungjawab yang berbeda dalam rumahtangga dan masyarakat, sehingga kemiskinan yang dialami juga berbeda. Permasalahan yang terjadi selama ini adalah rendahnya partisipasi dan terbatasnya akses perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Masalah mendasar lainnya adalah kesenjangan partisipasi politik kaum perempuan yang bersumber dari ketimpangan struktur sosio-kulutral masyarakat. Selain itu, masalah ketidakadilan gender ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan dan tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.

3. Permasalahan kemiskinan Sejalan dengan definisi kemiskinan yang berbasis

pada hak-hak dasar, permasalahan kemiskinan perlu dilihat dari pendapat atau persepsi yang dikemukakan oleh masyarakat miskin itu sendiri dan diperkuat dengan data statistik. Permasalahan kemiskinan akan dilihat dari aspek pemenuhan hak dasar, beban kependudukan, serta ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender.

4. Kegagalan Pemenuhan Hak Dasar

a.Terbatasnya Kecukupan dan Mutu Pangan Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan

memenuhi persyaratan gizi masih menjadi masalah bagi masyarakat miskin. Terbatasnya kecukupan dan

Page 65: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

65

kelayakan mutu pangan berkaitan dengan rendahnya daya beli, ketersediaan pangan yang tidak merata, ketergantungan tinggi terhadap beras dan terbatasnya diversifikasi pangan. Di sisi lain, masalah yang dihadapi oleh petani penghasil pangan adalah terbatasnya dukungan produksi pangan, tata niaga yang tidak efisien, rendahnya penerimaan usaha tani pangan dan maraknya penyelundupan.

Permasalahan kecukupan pangan antara lain terlihat dari rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Masalah kecukupan pangan dipengaruhi oleh pola konsumsi yang bertumpu pada beras sebagai bahan pangan pokok. Pola konsumsi seperti itu menyebabkan ketergantungan masyarakat pada beras dan peralihan konsumsi pangan dari bukan beras menjadi beras. Perbedaan perlakuan dalam pengaturan dan pembagian makan antar anggota keluarga juga berpengaruh terhadap pemenuhan kecukupan pangan. Pembagian makanan masih dipengaruhi oleh perilaku dan budaya masyarakat yang mengutamakan bapak dan anak laki-laki lalu anak perempuan, dan terakhir ibu. Pola pengaturan makan seperti itu juga berdampak pada buruknya kondisi gizi ibu hamil, dan dapat mengakibatkan kematian ibu pada waktu melahirkan dan setelah melahirkan.

Data BPS Rembang menunjukkan bahwa, kekurangan gizi pada balita dan wanita usia subur terjadi di beberapa daerah. Sekitar 33-39% dari jumlah anak balita terutama di daerah perdesaan diperkirakan mempunyai berat badan kurang.

Masalah kecukupan pangan juga dialami oleh petani penghasil pangan termasuk petani padi. Penyebab utamanya adalah fluktuasi harga yang terjadi pada saat musim panen dan musim paceklik yang tidak menguntungkan mereka. Impor beras yang dilakukan untuk menutup kebutuhan beras dan menjaga stabilitas harga seringkali tidak tepat waktu sehingga merugikan

petani penghasil beras. Berdasarkan observasi Badan Bimas Ketahanan Pangan pada bulan Agustus 2003 di 486 lokasi yang tersebar di 15 provinsi, harga gabah terendah ditingkat petani mencapai Rp.900/kg lebih rendah dari harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, terdapat 54,9% kasus harga di tingkat petani dan 38,9% kasus harga di tingkat penggilingan yang lebih rendah dari harga dasar pembelian yang ditetapkan.

Masalah lain yang juga mempengaruhi ketahanan masyarakat dalam menghadapi masalah kerawanan pangan adalah kemampuan menyediakan cadangan pangan untuk mengatasi musim paceklik. Saat ini, sebagian besar lumbung pangan milik masyarakat tidak berfungsi karena tidak dikelola dengan baik dan lemahnya dukungan dari pemerintah daerah.

Berbagai permasalahan tersebut menyiratkan pentingnya evaluasi terhadap sistem ketahanan pangan yang dapat mendukung pemenuhan hak masyarakat atas pangan yang cukup dan bermutu.

b. Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan

Kesehatan Masyarakat miskin menghadapi masalah

keterbatasan akses layanan kesehatan dan rendahnya status kesehatan yang berdampak pada rendahnya daya tahan mereka untuk bekerja dan mencari nafkah, terbatasnya kemampuan anak dari keluarga untuk tumbuh dan berkembang, dan rendahnya derajat kesehatan ibu. Penyebab utama dari rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin, selain kecukupan pangan adalah keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi.

Salah satu indikator dari terbatasnya akses layanan kesehatan dasar adalah angka kematian bayi. Data BPS 2005 menunjukkan bahwa AKB untuk tahun

Page 66: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

66

2002 sebesar 34,22 %, dan 60,91% pada tahun 2004. Angka ini berada di atas rata-rata Angka Kelahiran Bayi di NTB.

Status kesehatan masyarakat miskin diperburuk dengan masih tingginya penyakit menular seperti malaria, dan tuberkulosis paru. Rendahnya tingkat kesehatan masyarakat miskin juga disebabkan oleh perilaku hidup mereka yang tidak sehat. Sekitar 62,2% laki-laki berusia 15 tahun atau lebih merokok, dan persentase di perdesaan lebih besar, yaitu sekitar 67%. Pengeluaran rumah tangga untuk tembakau diperkirakan sekitar 4% dengan tingkat konsumsi yang meningkat sejalan dengan tingkat pendapatan. Kebiasaan merokok menyebabkan meningkatnya beban biaya pengobatan kronis untuk orang yang menderita kanker paru-paru dan penyakit lain yang berhubungan dengan tembakau, dan menurunkan tingkat produktivitas pekerja. Secara umum, penyakit tidak menular seperti kencing manis, penyakit jantung, dan lain-lain menunjukkan kecenderungan meningkat. Hampir sepertiga penyebab kematian di Rembang disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah, di samping itu beban akibat penyakit ini juga diperhitungkan sangat besar.

Masalah lain adalah rendahnya mutu layanan kesehatan dasar yang disebabkan oleh terbatasnya tenaga kesehatan, kurangnya peralatan, dan kurangnya sarana kesehatan. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Rembang ketersediaan berbagai fasilitas kesehatan dan sarana kesehatan periode 2000-2003 adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2 Tenaga Kesehatan dan Sarana

Kesehatan di kabupaten Rembang Tenaga/Sarana Kesehatan 200

0 2003

Jumlah Dokter/100.000 5,1 6,1

penduduk 5 6 Jumlah Bidan/50.000 penduduk

2,86

3,20

Jumlah Rumah Sakit / 100.000 penduduk

0,27

0,27

Jumlah Puskesmas /100.000 penduduk

2,72

2,72

Jumlah Puskesmas Pembantu /100.000 penduduk

8,99

9,41

Pemanfaatan layanan kesehatan oleh kelompok

masyarakat miskin umumnya jauh lebih rendah dibanding kelompok kaya. Bagi 20 % masyarakat berpenghasilan terendah, layanan kesehatan yang sering digunakan adalah praktek petugas kesehatan (34,3%) dan praktek dokter (19,7%). Praktek petugas kesehatan yang paling sering dimanfaatkan oleh masyarakat miskin adalah bidan dan mantri yang lokasinya terdekat dari tempat tinggal mereka.

Salah satu keluhan utama masyarakat miskin adalah mahalnya biaya pengobatan dan perawatan. Hal ini disebabkan oleh jauhnya tempat pelayanan kesehatan dan rendahnya jaminan kesehatan. Data BPS, 2005 menunjukkan hanya sekitar 20,6% penduduk yang memiliki salah satu bentuk jaminan kesehatan. Pada kelompok termiskin, hanya sekitar 15% memiliki Kartu Sehat (KS) dan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang KS masih rendah. Penyebab utama rendahnya pemanfaatan tersebut adalah ketidaktahuan tentang proses pembuatan KS dan kurang jelasnya pelayanan terhadap pemegang KS. Sedangkan untuk pemanfaatan tenaga kesehatan oleh kelompok terkaya jauh lebih tinggi (sekitar 82%) dibanding pemanfaatan oleh kelompok miskin yang hanya sekitar 40%.

Masalah lain dalam perluasan akses layanan kesehatan bagi masyarakat miskin adalah rendahnya anggaran yang tersedia bagi pembangunan dan

Page 67: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

67

pelayanan kesehatan. Menurut perkiraan Komisi Makroekonomi dan Kesehatan-WHO, kebutuhan pelayanan kesehatan perorang adalah sebesar US $30–40, sedangkan di Indonesia diperkirakan hanya sebesar US $3 pada tahun 2001.

c.Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan

Pendidikan Masyarakat miskin mempunyai akses yang

rendah terhadap pendidikan formal dan non formal. Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan, terbatasnya jumlah dan mutu prasarana dan sarana pendidikan, terbatasnya jumlah dan guru bermutu di daerah dan komunitas miskin, terbatasnya jumlah sekolah yang layak untuk proses belajar-mengajar, terbatasnya jumlah SLTP di daerah perdesaan, daerah terpencil dan kantong-kantong kemiskinan, serta terbatasnya jumlah, sebaran dan mutu program kesetaraan pendidikan dasar melalui pendidikan non formal.

Tabel 2.3

Angka Partisipasi Sekolah Menurut Kelompok Umur dan

Jenis Kelamin di Kabupaten Rembang (%) Kelompok

Umur Jenis

Kelamin Tahun

2000 2003 7 – 12 L 91,20 95,36

P 93,87 97,27 L+P 92,49 96,29

13 – 15 L 75,33 77,06 P 66,44 68,99 L+P 71,81 73,56

16 - 18 L 35,85 38,46 P 35,15 32,07 L+P 35,57 35,20

Rendahnya akses masyarakat terhadap pendidikan terjadi mulai dari pendidikan anak usia dini. APS Kabupaten Rembang relatif Kecil yaitu sebesar 56,1 pada tahun 2002 dan menjadi 57,7% pada tahun 2004. Jika dilihat dari jenis kelamin, persentase perempuan yang berpendidikan rendah (SD dan SMP) relatif lebih tinggi dibanding laki-laki. namun, persentase perempuan berpendidikan menengah dan tinggi lebih rendah dibanding laki-laki. Angka putus sekolah, secara absolut masih cukup tinggi seperti yang terlihat pada tabel 2.4.

Tabel 2.4

Persentase Jumlah Angka Putus Sekolah Menurut Kecamatan Dan Kelompok umur,

tahun 2002 Kecamatan Kelompok Umur

7-12 13-15

16-18

1. Kaliori 3,70 7.71 8.97 2. Rembang Kota 0,00 6.00 11.83 3. Sumber 0.00 3.98 8.22 4. Sulang 5.80 8.08 11.93 5. Bulu 13.5 8.68 10.56 6. Sluke 3.09 10.50 11.62 7. Pamotan 0.83 3.62 6.59 8. Sedan 0.00 4.50 10.28 9. Lasem 0.00 6.83 6.23 10. Sale 1.41 5.40 8.35 11. Kragan 2.74 7.24 9.46

Gunem 0.00 8.84 13.45 Jumlah 1.53 6.35 9.36

Berdasarkan tabel 2.4 pada kelompok umur 7-

12 tahun terlihat presentasenya relatif kecil , akan tetapi semakin tingginya tingkat pendidikan yang ditempuh maka semakin tinggi pula angka putus sekolah yang

Page 68: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

68

terjadi, kenyataan ini tidak terlepas dari akses Ke sekolah semakin jauh sehingga diperlukan biaya yang cukup tinggi untuk transportasi ke sekolah. (Suplemen, LTH, 2002). Hal ini disebabkan oleh alasan ekonomi, yaitu tidak adanya biaya dan keharusan untuk mencari nafkah.

Tingginya biaya pendidikan menyebabkan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan menjadi terbatas. Sesuai dengan ketentuan, biaya SPP untuk jenjang SD/MI telah secara resmi dihapuskan. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat tetap harus membayar berbagai iuran sekolah seperti pembelian buku, alat tulis, pakaian seragam, sepatu seragam, biaya transportasi, dan uang saku. Berbagai iuran tersebut menjadi penghambat bagi masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya. Masalah lain yang dialami oleh siswa SD/MI terutama di daerah perdesaan adalah kekurangan kalori dan kekurangan gizi yang mengakibatkan rendahnya daya tahan belajar dan semangat belajar siswa. Dalam jangka panjang, hal ini berpengaruh terhadap kemungkinan anak untuk putus belajar, mengulang kelas dan tidak mau sekolah.

Berbagai masalah dalam layanan pendidikan menyiratkan perlunya peninjauan kembali terhadap berbagai kebijakan untuk memperluas akses dan meningkatkan mutu layanan pendidikan seperti penurunan beban biaya pendidikan, peningkatan jumlah dan mutu prasarana dan sarana pendidikan, penambahan jumlah dan guru bermutu di daerah dan komunitas miskin, dan peningkatan prasarana pendidikan berupa gedung sekolah yang layak untuk proses belajar-mengajar.

d. Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Berusaha

Masyarakat miskin umumnya menghadapi permasalahan terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha. Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini seringkali menyebabkan mereka terpaksa

melakukan pekerjaan yang beresiko tinggi dengan imbalan yang kurang memadai dan tidak ada kepastian akan keberlanjutannya. Belum berhasil diatasinya masalah ketenagakerjaan yang terpuruk ketika krisis dan kurangnya perluasan kesempatan kerja dapat dilihat dari kondisi ketenagakerjaan pada tahun 2012 yang menunjukkan belum adanya perbaikan. Selama 5 tahun terakhir indikator keberhasilan pembangunan menunjukkan adanya perubahan kearah yang lebih baik, namun demikian masih menghadapi permasalahan dibidang ketenagakerjaan yaitu tidak seimbangnya pertumbuhan lapangan pekerjaan dengan peningkatan jumlah tenaga kerja yang tersedia. Oleh karenanya tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana membina dan mendayagunakan tenaga kerja yang ada supaya menjadi modal dasar yang efektif dalam pembangunan. Sebagai ilustrasi berikut ditampilkan presentasi penduduk usia 15 tahun ke atas sebagai berikut :

Tabel 2.5 Persentase Penduduk Usian 15 Tahun Ke Atas

Menurut Kecamatan Tahun 2012 (%)

Kecamatan Angkatan Kerja TPAK Bekerja Mencari

Kerja

1. Kaliori 99.44 0.56 84.32 2. Rembang Kota

98.98 1.02 80.55

3. Sumber 98.92 1.08 86.51 4. Sulang 99.63 0.37 79.59 5. Bulu 100.00 0.00 88.47 6. Sluke 96.41 3.59 84.98 7. Pamotan 92.27 7.73 66.18 8. Sedan 99.38 0.63 65.31 9. Lasem 94.04 5.92 76.47 10. Sale 92.62 7.38 71.88

Page 69: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

69

11. Kragan 99.01 0.99 81.62 Gunem 97.33 2.67 75.38

Jumlah 97.24 2.76 78.39

Dari tabel di atas dapat lihat bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) menunjukkan angka yang relatif besar kecuali 2 kecamatan yaitu Praya Tengah dan Praya masing-masing 66.18 % dan 65.31 %. Hal ini berarti bahwa 2 kecamatan tersebut tingkat penganggurannya relatif lebih besar dibandingkan dengan kecamatan lain. Jika dilihat dari jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan maka sektor pertanian masih memberikan kontribusi paling besar dalam menyerap tenaga kerja.

Tabel 2.6

Persentase Penduduk Usia 15 tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan dan Status

Pekerjaan Di Kab. Rembang

Tahun 2012 Rincian Persentase

A.Menurut Lapangan Usaha 1. Pertanian 2. Industri 3. Perdagangan 4. Jasa-jasa 5. Lainnya

100.00 65.12 12.35 8.93 6.37 7.23

B. Menurut Status Pekerjaan 1. Berusaha 2. Buruh/karyawan 3. Pekerja tidak dibayar

100.00 44.08 29.59 26.33

Sumber : BPS Kab. Rembang 2012 Menurut status pekerja, terlihat posisi angkatan

kerja sebagai pengelola/pengusaha masih menempati urutan pertama dengan persentase 44.08 % dan sebagai

karyawan 29.59 % dan yang terakhir berstatus sebagai pekerja tidak dibayar mencapai 26.33 %

Tingginya jumlah pekerja yang bekerja di sektor kurang produktif berakibat pada rendahnya pendapatan sehingga tergolong miskin atau tergolong pada pekerja dengan pendapatan yang rentan menjadi miskin (near poor). Penduduk miskin yang umumnya berpendidikan rendah harus bekerja apa saja untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi tersebut menyebabkan lemahnya posisi tawar masyarakat miskin dan tingginya kerentanan terhadap perlakuan yang merugikan. Masyarakat miskin juga harus menerima pekerjaan dengan imbalan yang terlalu rendah, tanpa sistem kontrak atau dengan sistem kontrak yang sangat rentan terhadap kepastian hubungan kerja yang berkelanjutan. Ketidakjelasan mengenai hak-hak mereka dalam bekerja menyebabkan kurangnya perlindungan terhadap keselamatan dan kesejahteraan mereka di lingkungan kerja.

Masyarakat miskin juga mempunyai akses yang terbatas untuk memulai dan mengembangkan koperasi dan usaha, mikro dan kecil (KUMK). Permasalahan yang dihadapi antara lain sulitnya mengakses modal dengan suku bunga rendah, hambatan untuk memperoleh ijin usaha, kurangnya perlindungan dari kegiatan usaha, rendahnya kapasitas kewirausahaan dan terbatasnya akses terhadap informasi, pasar, bahan baku, serta sulitnya memanfaatkan bantuan-teknis dan teknologi. Ketersediaan modal dengan tingkat suku bunga pasar, masih sulit diakses oleh pengusaha kecil dan mikro yang sebagian besar masih lemah dalam kapasitas SDM. Selain kesulitan mengakses modal tersebut, tidak adanya lembaga resmi yang dapat memberi modal dengan persyaratan yang dapat dipenuhi kapasitas masyarakat miskin. Kenyataan ini tidak memberi pilihan lain untuk memperoleh modal dengan cara meminjam dari rentenir dengan tingkat bunga yang sangat tinggi. Masyarakat miskin juga

Page 70: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

70

menghadapi masalah lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, terutama perlindungan terhadap hak cipta industri tradisional, dan hilangnya aset usaha akibat penggusuran. Usaha koperasi juga seringkali menghadapi kesulitan untuk menjadi badan hukum karena persyaratan yang sangat rumit, seperti batas modal, anggota, dan kegiatan usaha. Dengan tidak menjadi badan hukum koperasi menjadi sulit berkembang dan kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Masalah lain yang dihadapi dalam pengembangan KUMK adalah lemahnya perlindungan terhadap usaha yang dikembangkan oleh masyarakat, sehingga koperasi sulit berkembang dan kehilangan kesempatan kesempatan untuk meningkatkan kesempatan untuk meningkat kapasitas melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Data BPS (2012), menunjukkan bahwa terjadi perkembangan jumlah koperasi yang aktif yaitu sebanyak 263 pada tahun 2004, kemudian meningkat menjadi 302 pada tahun 2005. Berdasarkan data tersebut, berarti terjadi peningkatan usaha khususnya dalam bidang perkoperasian, tetapi ditinjau dari kondisi saat ini masih perlu di kembangkan melalui keterlibatan pemerintah dan berbagai pihak seperti swasta.

e.Terbatasnya Akses Layanan Perumahan

Tempat tinggal yang sehat dan layak merupakan kebutuhan yang masih sulit dijangkau oleh masyarakat miskin. Secara umum, masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin adalah terbatasnya akses terhadap perumahan yang sehat dan layak, rendahnya mutu lingkungan permukiman dan lemahnya perlindungan atas pemilikan perumahan.

Masalah perumahan yang dihadapi oleh masyarakat miskin di perkotaan berbeda dengan masyarakat miskin yang berada di perdesaan. Di perkotaan keluarga miskin sebagian besar tinggal di

perkampungan yang berada di balik gedung-gedung pertokoan dan perkantoran, dalam petak-petak kecil, saling berhimpit, tidak sehat dan seringkali dalam satu rumah ditinggali lebih dari satu keluarga. Kondisi permukiman mereka juga seringkali tidak dilengkapi dengan lingkungan permukiman yang memadai. Untuk mendapatkan tempat bermukim yang sehat dan layak, mereka tidak mampu membayar biaya awal untuk mendapatkan perumahan sangat sederhana dengan harga murah. Perumahan yang diperuntukkan bagi golongan berpenghasilan rendah terletak jauh dari pusat kota tempat mereka bekerja sehingga beban biaya transportasi akan mengurangi kemampuan mereka untuk menenuhi kebutuhan hidup lain yang lebih mendesak.

Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering juga mengeluhkan kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Kesulitan perumahan dan permukiman masyarakat miskin di daerah perdesaan umumnya disiasati dengan menumpang pada anggota keluarga lainnya. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai.

Karekteristik tempat tinggal di Kabupaten Rembang seperti terlihat pada tabel 2.7. Dari data pada Tabel 2.7. diketahui bahwa terjadi perkembangan kondisi perumahan tahun 2000 dengan tahun 2003. Namun perkembangan tersebut sangat kecil, oleh karena itu diperlukan kebijakan perumahan dan pemukiman yang lebih menyentuh masyarakat miskin, sehingga mereka bisa hidup dengan layak dan sehat.

Tabel 2.7 Karakteristik Tempat Tinggal Menurut Status

Kemiskinan, Tahun 2012

Karekteristik Tahun 2000 2003

Page 71: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

71

1. Jenis atap terluas Genteng/sirap 76,59 28,36 Seng/asbes 7,87 Ijuk/lainya 15,54

2. Jenis dinding terluas Tembok 66,86 67,14 Kayu Bambu Lainnya

3. Jenis lantai terluas Bukan tanah 57,88 55,35 Tanah 52,22 44,65

4. sumber penerangan Listrik 81,02 77,73 Non listrik 19,98 23,67

5. Sumber Air Minum Bersih 83,81 40,07

Sumber : BPS, Loteng 2012

f. Terbatasnya Akses Terhadap Air Bersih dan Aman, serta

Sanitasi. Air bersih merupakan salah satu kebutuhan

pokok untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat. Air bersih didefinisikan sebagai air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Masyarakat miskin seringkali menghadapi kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan aman. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air, belum terjangkau oleh jaringan distribusi, menurunnya mutu sumber air, serta kurangnya kesadaran akan pentingnya air bersih dan sanitasi untuk kesehatan. Kesulitan memperoleh air bersih dan aman umumnya dihadapi oleh sekitar 44,8% penduduk terutama rumah tangga yang tinggal di daerah yang sulit air. Menurut data BPS 2012, rumahtangga yang belum mampu mengakses

air bersih masih cukup besar. Pada tahun 2001 jumlah Rumah Tangga yang menggunakan air bersih sebanyak 83,81 % dari seluruh Penduduk, dan pada tahun 2012 jumlah tersebut menjadi 40,07%.

Persentase masyarakat miskin yang memiliki ketergantungan suplai air dari pemerintah daerah didominasi oleh wilayah : Kecamatan Sumber, Kecamatan Sulang, Kaliori dan Bulu. Pada saat musim kemarau, mereka terpaksa harus membeli air minum yang cukup mahal. Bagi masyarakat miskin yang tidak mampu membeli, mereka terpaksa mengambil air dari sungai. Kesulitan air bersih juga dialami oleh masyarakat petani lahan kering. Untuk mengatasi masalah ini telah diupayakan layanan PDAM dan dinas Kimpraswil.

Masyarakat miskin juga menghadapi masalah buruknya sanitasi dan lingkungan permukiman terutama yang tinggal di kawasan kumuh. Kondisi sanitasi dan lingkungan yang buruk berpengaruh terhadap perkembangan kesehatan mereka terutama anak-anak dan ibu. Selain itu, masyarakat miskin juga kurang memahami pengelolaan sanitasi dan lingkungan hidup sebagai bagian dari perilaku hidup sehat. Kesulitan dalam mengakses air bersih dan aman, dan sanitasi akan menjadi beban berat bagi masyarakat miskin. Upaya pemenuhan hak dasar atas air bersih dan aman perlu menjadi perhatian terutama dalam penyediaan dan distribusi air bersih, terbangunnya mekanisme subsidi penyediaan air bersih dan sanitasi bagi masyarakat miskin, serta peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat miskin terhadap pentingnya air bersih dan sanitasi.

g. Lemahnya Kepastian Kepemilikan dan Penguasaan

Tanah Masyarakat miskin menghadapi masalah

ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Masalah tersebut sangat dirasakan oleh

Page 72: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

72

petani penggarap yang sering tidak mampu memenuhi kebutuhan subsisten.

Kehidupan rumahtangga petani sangat dipengaruhi oleh aspek penguasaan tanah dan kemampuan memobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Tingkat pendapatan rumahtangga petani ditentukan oleh luas tanah pertanian yang secara nyata dikuasai. Oleh sebab itu, meningkatnya jumlah petani gurem dan petani tunakisma mencerminkan kemiskinan di perdesaan. Penguasaan tanah cenderung makin menyempit. Jumlah rumahtangga petani gurem dengan pemilikan lahan kurang dari 0,2 ha pada tahun 2012 sebanyak 126.654 rumah tangga. Yang terdiri dari Rumah Tangga Pertanian pengguna lahan sebanyak 123.870 dan Rumah tangga petani gurem sebanyak 83.758. Masalah tersebut bertambah buruk dengan struktur penguasaan lahan yang timpang karena sebagian besar petani gurem tidak secara formal menguasai lahan sebagai hak milik.

Tabel 2.8

Luas Bidang Tanah Bersertifikat di Kab. Loteng Tahun 2012

Rincian Banyaknya Bidang (buah)

Luas (m persegi)

Tanah bersertifikat

51.854 81.575.564

Hak Milik (HM) 48.939

238.366.17

Hak Guna Bangunan

1.555 30.310.005

Hak Guna Usaha 3 736.800 Hak Pakai (HP) 873 345.124 Hak Pengelolaan (HPL)

8 65.485.813

Wakaf 279 38.722

Sumber : BPS Rembang, 2005

h. Memburuknya Kondisi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup

Kemiskinan mempunyai kaitan erat dengan masalah sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Masyarakat miskin sangat rentan terhadap perubahan pola pemanfaatan sumberdaya alam dan perubahan lingkungan. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, daerah pinggiran hutan, kawasan pesisir, dan daerah pertambangan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan. Sedangkan masyarakat miskin di perkotaan umumnya tinggal di lingkungan permukiman yang buruk dan tidak sehat, misalnya di daerah rawan banjir dan daerah yang tercemar.

Proses pemiskinan juga terjadi dengan menyempitnya dan hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat miskin akibat penurunan mutu lingkungan hidup terutama hutan, laut, dan daerah pertambangan. Penyusutan ini disebabkan oleh penebangan hutan yang tidak terkendali, penjarahan hutan, kebakaran,dan konversi untuk kegiatan lain seperti pertambangan, pembangunan jalan, dan permukiman Dampak lanjutan dari kerusakan ini adalah terjadinya degradasi lahan yang disebabkan oleh erosi. Selain itu, kerusakan hutan juga berdampak bagi masyarakat miskin dalam bentuk menyusutnya lahan yang menjadi sumber penghidupan, dan terjadinya erosi dan tanah longsor yang menyebabkan semakin berat beban yang mereka tanggung.

Masyarakat miskin nelayan juga menghadapai masalah kerusakan hutan bakau dan terumbu karang. Hal ini berdampak pada rusaknya habitat tempat induk ikan mencari makan dan bertelur. Hutan bakau menyusut menjadi setengah dalam waktu sekitar 11 tahun. Terumbu karang saat ini dalam kondisi rusak dan sangat kritis. Degradasi lingkungan wilayah pesisir mengakibatkan menurunnya populasi ikan dari 5-10%

Page 73: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

73

kawasan perikanan tangkap, dan meningkatnya kesulitan nelayan dalam memperoleh ikan.

Berbagai permasalahan tersebut menegaskan terbatasnya akses dan kesempatan masyarakat miskin yang tinggal di kawasan hutan, kawasan pertambangan, kawasan pesisir, dan kawasan lindung terhadap sumberdaya alam sebagai sumber penghidupan. Masalah tersebut diperparah dengan terjadinya kerusakan dan degradasi lingkungan yang mengakibatkan menurunnya mutu lingkungan hidup sebagai penunjang kehidupan. Perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup seperti pembuatan peraturan perundangan juga sering mengabaikan partisipasi masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan review berbagai kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

i. Kurangnya Keamanan dan Ketertiban Umum

Masyarakat miskin seringkali menghadapi berbagai tindak kekerasan yang menyebabkan tidak terjaminnya rasa aman. Tindak kekerasan tersebut disebabkan oleh konflik sosial dan ancaman non kekerasan antara lain krisis ekonomi dan penyebaran penyakit menular. Berbagai tindak kekerasan dan non kekerasan tersebut mengancam rasa aman dan menyebabkan hilangnya akses masyarakat terhadap hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Kondisi Kamtibmas di Kabupaten Rembang selama 5 tahun terakhir menunjukkan kenaikan pada beberapa jenis kriminalitas seperti dalam tabel 2.9.

Tabel. 2.9 Jumlah dan Jenis Pelanggaran Berdasarkan Jenis

Kelamin di Kabupaten Rembang

Tahun 2012 Jenis

Kejahatan Laki Perem

puan Jumlah

Kesusilaan 8 1 9 Perjudian 48 1 49 Pembunuhan 4 4 Penganiayaan 28 4 32 Pencurian 49 49 Pemerasan 3 3 Penggelapan 22 1 23 Pelanggaran 1.419 63 1.482 Penadah 5 5 Narkoba 2 2 Lain-lain 43 2 45

Jumlah 1.631 72 1. 703 Sumber : BPS, 2005

Data pada tabel 2.9. mengindikasikan dampak yang membuat rasa aman yang kurang terhadap masyarakat. Disamping itu juga masih terjadinya konflik sosial antar masyarakat desa yang satu dengan lainnya. konflik yang terjadi di berbagai daerah seperti di Kecamatan Pujut, Praya Barat, Janapria dan beberapa daerah lainnya berdampak langsung pada merosotnya taraf hidup masyarakat miskin dan munculnya masyarakat miskin baru.

Situasi keamanan yang memburuk akibat konflik menimbulkan dampak pada kondisi kemiskinan. Konflik telah menyebabkan hilang atau rusaknya tempat tinggal, terhentinya kerja dan usaha sehingga penghasilan keluarga hilang, menurunnya status kesehatan individu dan lingkungan yang berakibat pada penurunan produktivitas, rusaknya infrastuktur ekonomi yang menyebabkan langkanya ketersediaan bahan

Page 74: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

74

pangan, menurunnya akses terhadap pendidikan, menurunnya akses terhadap air bersih, rusaknya infrastruktur sosial dan hilangnya rasa aman, serta merebaknya rasa amarah, putus asa dan trauma kolektif. Oleh karena itu, kemiskinan di daerah konflik tidak dapat disamakan dengan kemiskinan di daerah bukan konflik karena adanya ancaman dari terjadinya kekerasan secara berkelanjutan dan tidak adanya jaminan keamanan.

Lemahnya jaminan rasa aman sebagai pemicu terjadinya konflik kekerasan dan non kekerasan menunjukkan lemahnya sistem politik dan pemerintahan. Hal ini erat kaitannya dengan perubahan penyelenggaraan pemerintahan dari sentralis dan otoriter menjadi pemerintahan desentralis dan demokratis. Selain itu, kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial menjadi salah satu penyebab kerentanan masyarakat miskin. Hal ini juga diperkuat dengan tidak berjalannya penegakan hukum secara adil terhadap pelanggaran korupsi, pelanggaran HAM, dan pelaku pelanggaran kekerasan lainnya. Kurangnya jaminan rasa aman juga disebabkan oleh terbatasnya kapasitas aparat keamanan terutama polisi.

j. Lemahnya Partisipasi

Tidak terpenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin karena tidak tepatnya layanan yang diberikan oleh pemerintah, menyentuh langsung persoalan kapabilitas dasar yang kemudian menghambat mereka untuk mencapai harkat martabat sebagai warganegara. Gagalnya kapabilitas dasar itu sering muncul dalam berbagai kasus, terkooptasinya masyarakat miskin dari kehidupan sosial dan membuat mereka semakin tidak berdaya untuk menyampaikan aspirasinya. Kasus tersebut terjadi sebagai akibat dari proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang memposisikan masyarakat miskin sebagai obyek dan mengabaikan

keterlibatan masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan.

Salah satu penyebab kegagalan kebijakan dan program pembangunan dalam mengatasi masalah kemiskinan adalah lemahnya partisipasi masyarakat miskin, atau partisipasi LSM untuk dapat menyampaikan suara si miskin dalam tahap perumusan, pelaksanaan, pemantauan maupun evaluasi kebijakan dan program pembangunan. Berbagai kasus pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat diantaranya dapat tergambarkan dalam wujud organisasi-organisasi masyarakat yang dapat memperkuat posisi tawar untuk mempengaruhi kebijakan, antara lain (Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Taruna Tani).

Berbagai bentuk musyawarah pembangunan dan konsultasi publik dalam pengambilan keputusan hanya terbatas pada kalangan pemerintah dan kurang melibatkan masyarakat. Praktek pengambilan keputusan dalam perencanaan anggaran juga kurang melibatkan masyarakat. Pembahasan anggaran dilakukan secara terbatas oleh pemerintah dan DPRD. Kurangnya informasi mengenai proses tersebut menjadi salah satu penyebab rendahnya partisipasi masyarakat. Di tingkat masyarakat, perempuan sangat jarang dilibatkan dalam musyawarah di tingkat desa ataupun di tingkat dusun karena secara formal keluarga diwakili oleh suami yang oleh Undang-Undang Perkawinan ditetapkan sebagai kepala keluarga.

k. Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Gender

Sumber dari permasalahan kemiskinan perempuan terletak pada budaya patriarki laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin baik dalam

Page 75: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

75

kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara, dan menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan, dan sistem distribusi sumberdaya yang bias gender.

Sistem pemerintahan yang hirarki, hegemoni dan patriarki telah meminggirkan perempuan secara sistematis melalui kebijakan, program dan lembaga yang tidak responsif gender. Data statistik yang menjadi basis pengambilan keputusan dalam penyusunan kebijakan dan program tidak mampu mengungkap dinamika kehidupan perempuan dan laki-laki. Data tersebut dikumpulkan secara terpusat tanpa memperhatikan kontekstualitas dan tidak mampu mengungkap perbedaan kondisi perempuan-laki-laki sehingga kebijakan, program, dan lembaga yang dirancang menjadi netral gender dan menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan gender dalam berbagai bidang kehidupan.

Masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender tercemin pada tingginya angka kematian ibu, keluarga berencana dan aborsi tidak aman, ketidakcukupan konsumsi nutrisi khususnya perempuan hamil dan menyusui, pengiriman TKW yang sarat dengan penipuan, eksploitasi, pelecehan, kekerasan seksual, perdagangan terhadap perempuan, dan buruknya sanitasi dan air bersih. Budaya patriarki yang dilegitimasi oleh negara mengakibatkan perempuan berada pada posisi tawar yang lemah dan suara perempuan tidak tersalurkan melalui mekanisme pengambilan keputusan formal. Suatu studi menunjukkan adanya korelasi positif antara keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif dan eksekutif dengan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi partisipasi perempuan, maka semakin tinggi kesejahteraan masyarakat dan keberhasilan penanggulangan kemiskinan. Masalah keterwakilan

suara dan kebutuhan perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan publik tersebut sangat penting karena produk kebijakan yang netral gender hanya akan melanggengkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan terhadap perempuan yang berakibat pada pemiskinan kaum perempuan.

C. Isu Strategis

Bebabagai masalah yang dihadapai masyarakat miskin menunjukkan bahwa kemiskinan bersumber dari ketidak berdayaan dan ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi hah-hak dasar; pangan, kesehatan, pendidikan pekerjaan dan berusaha, perumahan, air bersih, tanah, lingkungan hidup dan SDA, rasa aman, dan berpartisipasi.Kemiskinan juga memiliki spesifikasi yang berbeda antarwilayah pedesaan, perkotaan serta wilayah pesisir dan kawasana tertinggal. Ketidakmampuan masyarakat memenuhi kebutuhan hak-hak dasar secara umum berkaitan dengan kegagalan: Kepemilikan asset terutama tanah dan modal Terbatasnya jangkauan layanan dasar terutama pangan, pendidikan, dan kesehatan yang murah dan berkualitas Terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung Rendahnya produktivitas dan pembentukan modal masyarakat Lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik Pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak berwawasan lingkungan dan kurang melibatkan masyarakat Kebijakan pembangunan yang bersifat sektoral dan jangka pendek Lemahnya koordinasi instansi pemerintah dalam menjamin penghormatan, perlindungan hak-hak dasar

Analisa kemiskinan juga menunjukkan faktor utama penyebab kemiskinan yang bersifat struktural, yaitu pelaksanaan kebijakan, pengelolaan anggaran dan penataan kelembagaan yang kurang mendukung penghormatan, perlindungan hak-hak dasar masyarakat masyarakat miskin. Oleh karena itu

Page 76: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

76

penanggulangan kemiskinan perlu didukung oleh reorientasi kebijakan yang menekankan perubahan dalam perumusan kebijakan, pengelolaan anggaran dan penataan kelembagaan yang mengutamakan hak-hak dasar masyarakat.

Bab IV Upaya Pemberdayaan Ditengah Konversi dan Eksploitasi Lahan

Sebagai Imbas Dari Kapitalisme Tebu

Membicarakan petani pangan di Indonesia identik dengan

menyoroti rumah tangga miskin perdesaaan. Upaya pengentasan kemiskinan perdesaan merupakan upaya peningkatan taraf hidup petani secara signifikan. Untuk hal ini, berbagai program pemerintah dengan alokasi anggaran yang makin meningkat, seperti pemberian subsidi pupuk, peningkatan SDM, peningkatan akses permodalan, peningkatan akses pasar, serta perbaikan teknologi. Namun demikian, upaya ini belum menolong sebagian besar petani untuk keluar dari belenggu kemiskinan. Perlu dicermati kembali bahwa kemiskinan perdesaan, tidak boleh hanya dilihat sebagai persoalan kultural tetapi harus dipandang sebagai persoalan struktural. Kemiskinan petani bukan semata-mata SDM rendah atau kemalasan. Demikian halnya bukan disebabkan teknologi yang kurang memadai serta akses sarana input dan akses pasar yang kurang memadai. Akan tetapi, faktor utamanya adalah skala lahan garapan petani yang tidak mencapai skala ekonomi sehingga dengan inovasi dan effort apapun tidak akan menyelesaikan masalah. Ingat, berdasarkan data BPS luas rata-rata kepemilikan lahan sawah di Jawa dan Bali hanya 0,34 ha per rumah tangga petani.

Walaupun tidak disajikan angka-angka statistik yang rumit, tapi telah jamak diketahui bahwa petani yang berjumlah besar makin terpuruk. Kita dapat mengelompkkan kedalam dua jebakan yang mengakibatkan kebijakan dan program pemerintah tidak signifikan mengangkat taraf hidup petani, yaitu jebakan kencenderungan mengatasi faktor produksi sekunder dan tuntutan ketahanan pangan bagi Negara. Jebakan Faktor Sekunder

Analisis faktor penyebab kemiskinan seringkali terlalu kompleks dan mencakup banyak aspek. Misalnya, pandangan Anne Booth dan Firdaus (1996) menyatakan penyebab kemiskinan adalah keterbatasan penduduk mengakses pasar, fasilitas publik dan kredit. Demikian juga, Jhingan (2002) menyebut faktor demografi

Page 77: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

77

berpengaruh pada kemiskinan. Pertumbuhan penduduk pesat memperberat tekanan pada lahan, pengangguran dan memicu kemiskinan. Dalam teori pertumbuhan Ekonomi Solow (Solow Growth Theory) menekankan penguasaan modal dan penguasaan teknologi dapat mengentaskan kemiskinan. Dengan kacamata analisis ini, kita akan mendaftar faktor-faktor penyebab kemiskinan pedesaaan adalah faktor sosial budaya, seperti rendahnya pendidikan dan budaya malas, faktor geografi, seperti lahan kurang subur dan keterbatasan SDA, faktor ekonomi seperti kurang modal dan penguasaan teknologi. Faktor-faktor ini ditengarai sebagai akar dari keterbatasan akses masyarakat terhadap pasar, fasilitas kredit, dan rendahnya produktivitas yang berujung pada kemiskinan. Memang, faktor-faktor ini tidak keliru tetapi hanya menyelasaikan masalah sekundernya. Namun, dengan membiarkan skala kepemilikan lahan seperti saat ini, faktor-faktor tersebut tidak akan berarti apa-apa.

Berikut ini, kita dapat mensimulasikan secara ilustratif tentang pendapatan petani padi. Untuk memudahkan ilustrasinya, beberapa angka asumsi yang digunakan dengan merujuk berbagai studi, terutama yang dilakukan Litbang Deptan. Asumsi produktivitas 5,5 ton per hektar, indeks pertanaman 200% (akses teknologi tinggi), R/C ratio 1,4, dan harga jual GKP Rp 2.800 per kg (akses pasar dan harga yang tinggi), serta akses modal tanpa bunga. Pendapatan per kapita per bulan dihitung dengan anggota rumah tangga rata-rata empat orang.

Luas lahan garapan (Ha)

Pendapatan Rumah Tangga

Pendapatan per bulan/kapita (Rp)

Tahunan (Rp)

Bulan (Rp)

0,3 2.640.000 220.000 55.000

0,5 4.400.000 366.667 91.667

1 8.800.000 733.333 183.333

2 17.600.000 1.466.667 366.667

3 26.400.000 2.200.000 550.000

Tergambar bahwa dengan sakala luasan lahan garapan

petani, walaupun dengan modernisasi pertanian, petani tidak akan keluar dari belenggu kemiskinan. Jika merujuk garis kemiskinan, maka luas lahan garapan petani minimal dua hektar. Selain itu, tergambar pula bahwa kita telah terjebak mengutak-atik faktor-faktor sekunder yang tidak akan memberi peningkatan pendapatan petani yang signifikan. Parahnya lagi, faktor sekunder ini telah menjadi rujukan program-program pengentasan kemiskinan pedesaaan dan peningkatan kesejahteraan petani. Implikasinya, kita memboroskan anggaran. Tesis, keterpurukan petani oleh tengkulak dengan solusi bantuan modal serta rendahnya keterampilan teknis petani beserta solusi dengan peningkatan penyuluhan, dan lemahnya kelembagaan petani dengan solusi pemberdayaaan menjadi sia-sia. Kita telah mengabaikan the law of deminishing return dalam ekonomi.

Kaitannya dengan surplus curahan tenaga kerja rumah tangga petani dan rendahnya pendapatan yang diperoleh, sebagian mereka bekerja juga di sektor off farm dan non pertanian. Namun, sebagian juga tidak bisa mengakses pekerjaan di luar sektor pertanian dan ini dicatat sebagai penganggur tak kentara. Demikian juga, petani hanya mampu bekerja di sektor off farm sebagai buruh tani. Sementara akses ke sektor non pertanian juga rendah. Di beberapa tempat, pada musim kemarau, mereka hijrah ke kota untuk bekerja serabutan sebagai buruh bangunan ataupun tukang becak. Adalah sangat kecil mereka memasuki sektor perdagangan hasil pertanian. Mendorong peningkatan pendapatan petani pada off farm dan sektor non-pertanian berhadapan dengan kendala penyediaan lapangan kerja di pedesaaan, juga kesesuaian SDM petani dengan sektor non farm. Studi-studi Litbang Pertanian Bogor, menunjukkan bahwa sumber pendapatan off farm kurang dari 15%. Artinya, tumpuan pendapatan petani memang on farm. Jadi upaya mendorong peningkatan pendapatan petani melalui diversifikasi income pada off farm mengindikasikan sektor pertanian tidak berdaya lagi mensejahterakan petani, terutama petani padi.

Page 78: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

78

Jebakan Ketahanan Pangan Bagi negara, adalah suatu keharusan untuk menjaga agar

tidak ada warganya yang kelaparan. Ini adalah inti ketahanan pangan. Karena itu, dalam logika ekonomi, negara akan mengimpor beras jika terjadi defisit produksi dalam negeri. Begitu berartinya suatu negara untuk menjaga ketahanan pangannya, sehingga tidak bisa dihindari petani menjadi buffer utama. Namun, walaupun telah terjadi surplus produksi tetapi tidak memberi peningkatan pendapatan petani secara signifikan. Perlu dicetak tebal bahwa ketika kita berswasembada beras, sebagian besar petani masih tetap miskin. Demi ketahanan pangan, harga-harga gabah biasa tertekan baik oleh produksi yang melimpah maupun karena impor. Kondisi inilah menjadi jebakan dalam peningkatan pendapatan petani. Jadi, ketahanan pangan tidak selalu berpengaruh positif terhadap kesejahteraan petani, tetapi sebaliknya kesejahteraan petani akan menjamin ketahanan pangan megara dan keluarga. Konversi lahan sawah menjadi peruntukan lain, harus dipahami sebagai ancaman terhadap ketahanan pangan di satu sisi, dan tindakan petani mengonversi pekerjaannya keluar dari sektor pertanian di sisi lain. Jadi, konversi lahan bukan ancaman bagi pendapatan petani. Solusi Struktural

Solusi yang pertama adalah Redistribusi dan Realokasi lahan. Untuk mensejahterahkan petani pangan, kita harus masuk kepada faktor utama (main production factor), yaitu faktor lahan. Tanpa memperhatikan faktor lahan ini, mungkin, pemikiran memodernisasi pertanian dalam bentuk mekanisasi, irigasi yang rmemadai, bibit unggul, fertilizer, serta perbaikan kelembagaan petani. Malah, perlu segera dihentikan pembiayaan- proyek-proyek kajian peningkatan kesejehteraan serta pemberdayaan petani melalui inovasi teknologi dan kelembagaan apalagi jika dananya bersumber dari pinjaman luar negeri. Walaupun penting sebagai permasalahan agraria, tetapi pemberian legalitas sertifikat hak milik bukan program peningkatan pendapatan petani yang signifikan. Berbeda dengan lahan garapan, apakah bersertifikat atau tidak, tetapi petani memiliki hak pengelolaan dari pemerintah akan menjadi faktor produksi utama. Untuk itu, program Realokasi dan Redistribusi Lahan pertanian harus menjadi arus utama

(mainstream) penyelesaian masalah kemiskinan pedesaan serta harus segera pelaksanaannya.

Harus disadari, bahwa dengung ini sudah lama dikumandangkan oleh LSM dan gerakan-gerakan pembaruan agraria untuk perjuangan petani tidak akan berbuah apa-apa tanpa diambil alih oleh partai politik dan pemerintah. harus ditekankan bahwa dorongan redistribusi dan realokasi lahan bukan persoalan aliran pemikiran,– sosialisme, komunisme, liberalisme,— tetapi upaya untuk mensejahterakan masyarakat. Kita memegang teguh amanat pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Mungkin semua pihak mengetahui bahwa kita belum beranjak dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 yang pada intinya merombak ketidakadilan struktur agraria.

Langkah-langkah struktural yang perlu diambil adalah : (1) Membuat kebijakan sebagai batas minimal luas lahan garapan per rumah tangga. Misalnya petani sawah, dengan patokan harga berlaku saat ini, setiap rumah tangga petani layaknya minimal mengelola lahan seluas 2 hektar. (2) Pemerintah mengambil alih penguasaan lahan tertentu. Misalnya, lahan-lahan terlantar yang saat ini dikuasai oleh pengusaha. Demikian pula, lahan-lahan sawah yang diprediksi akan beralih fungsi dengan makin berkembangnya infrastruktur jalan di sekitarnya seyogyanya dibebaskan oleh pemerintah. Hal ini merupakan tindakan struktural yang nyata, bukan sekedar program program pengendalian konversi lahan pertanian. (3) Melakukan pencetakan sawah-sawah baru yang hak kepemilikan masih tetap di tangan pemerintah. Jadi, bukan sekedar pencadangan lahan abadi untuk pertanian tetapi merujuk dengan penyesuaian jumlah rumah tangga petani yang berlahan sempit. Langkah-langkah ini akan menjadi kerangka kerja program realokasi pengelolaan (bukan kepemilikan) lahan dan mendistribusikan kepada petani lahan sempit dan buruh tani.

Kedua, petani dibantu mengerjakan sumber produksi lain di luar usahatani yang digeluti sekarang. Solusi kedua ini penting dipikirkan mengingat kebijakan redistribusi dan realokasi lahan (Reforma Agraria) selalu berbentiran dengan berbagai kepentingan serta pengakuan berhadapan dengan hak-hak kepemilikan. Bentuk sumber produksi lain adalah peternakan, perikanan, pengolahan hasil pertanian, dan kerajinan. Pemilihan kegiatan produksi lainnya

Page 79: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

79

yang akan menjadi sumber pendapatan tambahan adalah kegiatan yang tidak mempersyaratkan skill yang tinggi serta memiliki pasar yang luas. Artinya, petani pangan secara otomatis dapat mengerjakannya dan tidak lagi menghadapi kendala pemasaran. Karena itu, pemerintah dapat mengalokasikan sumberdaya yang dapat menjadi aset produksi petani pangan. Sebagi contoh di suatu tempat, setiap 10-15 rumah tangga petani dipercayakan untuk mengelola aset produksi berupa ”bangunan kandang sapi, sapi produktif, dan biaya kerja tertentu”. Perhitungan luas kandang dan jumlah sapi disesuaikan dengan skala ekonomi. Mungkin di tempat lain akan cocok dengan kambing, domba, ataupun ayam, dan lain-lain. Tentu, memerlukan kajian yang mendalam dan pemetaan jenis intervensi. Akhir tulisan ini adalah solusi struktural terkesan sukar dilakukan, tetapi sesuatu yang bisa dilakukan. Petani sejahtera, ketahanan pangan berekelanjutan, laju penurunan angka kemiskinan signifikan. Karena itu, faktor lain tak bererti tanpa penyelesiaan masalah keterbatasan aset ekonomi petani.

A. Pemberdayaan melalui Pemanfaatan limbah Jambu Mete

Tanaman jambu mete ( Anacardium occidentale. L) merupakan tanaman perkebunan yang sedang berkembang di Indonesia dan cukup menarik perhatian, hal ini karena pertama, tanaman jambu mete dapat ditanam di lahan kritis sehingga persaingan lahan dengan komoditas lain menjadi kecil dan dapat juga berfungsi tanaman konservasi, kedua tanaman jambu mete merupakan komoditas ekspor, sehingga pasar cukup luas dan tidak terbatas pada pasar domestik, ketiga usaha tani, perdagangn dan agroindustri mete melibatkan banyak tenaga kerja. Sebagai hasil/produksi utama tanaman mete adalah gelondong mente, hasil samping buah mente yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri rumah tangga yang sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Di Indonesia pemanfaatan buah semu jambu mete masih sangat terbatas baik dalam jumlah maupun bentuk produksinya. Pada beberapa daerah tertentu umumnya dikonsumsi dalam bentuk buah segar dan produk olahan tradisional. Diperkirakan, dari produksi buah jambu mete hanya sekitar 20 % yang sudah

dimanfaatkan secara tradisional, misal dibuat rujak, dibuat abon dan sebagainya sedangkan sisanya 80 % masih terbuang sebagai limbah.

Ditinjau dari segi nilai gizi dan komposisi kimianya, buah jambu mete merupakan salah satu sumber vitamin dan mineral. Kadar vitamin C nya cukup tinggi, yaitu ( 147 – 372 mgr/ 100 gr ) kira –kira 5 kali vitamin C buah jeruk. Selain itu juga mengandung cukup vitamin B1, B2 dan niasin. Kandungan mineralnya terutama unsur P terdapat dalam jumlah yang cukup., juga buahnya mengadung karbohidrat yang sebagian besar terdiri dari gula reduksi ( 6,7 – 10,6 % ) dan pektin serta bersifat Juicy karena banyak mengandung air. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa buah jambu mete mempunyai potensi ekonomi yang cukup tinggi, sehingga dapat diolah menjadi berbagai produk makanan dan minuman seperti sari buah, selai, jelly, sirop, cuka, manisan dan dapat dibuat sebgai lauk pauk abon.

Teknologi pengolahan untuk membuat produk olahan dari buah jambu mete sebenarnya telah tersedia, namun teknologi ini belum dimanfaatkan. Pengolahan buah jambu mete akan memberikan nilai tambah dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani beserta keluarganya. Hampir semua bagian dari tanaman jambu mete dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Hasil utama tanaman jambu mete adalah buahnya. Buah mete terdiri dari buah sejati (biji/gelondong mete) dan buah semu. Produk utama yang diambil dari tanaman jambu mete adalah bijinya (kacang mete), sedangkan buah semu jambu mete sering dianggap sebagai produk ikutan. Bahkan bagi sebagian besar petani buah semu seringkali dibuang begitu saja dan dianggap sebagai limbah jambu mete. Walaupun demikian, buah semu jambu mete juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam bahan makanan, misalnya untuk membuat jam, jelly, sirup, sari buah, serta minuman.

Page 80: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

80

1. Peningkatan ekonomi Kreatif melalui Usaha Pengupasan Mete

Jambu mete (anacardium accidentale L) termasuk dalam genus Anacardium, anggota dari family Anacardiaceae, yang terdiri atas 60 genus dan 400 spesies pohon dan perdu yang kulit kayunya bergetah dan tumbuh meluas didaerah tropika, baik belahan bumi barat maupun timur (Ohler, 1978 dalam Awaludin, 1995). Tanaman jambu mete adalah jenis tanaman tahunan. Pada kondisi yang baik, tanaman berbatang tegak dan dapat mencapai ketinggian 15 m. Bentuk mahkota tanaman (canopy) simetrik menyerupai payung. Pada kondisi yang kurang baik, tanaman tumbuh pendek dengan batang bengkok (Ohler, 1978 dalam Awaludin, 1995). Daun tanaman berbentuk bulat memanjang dengan permukaan licin. Warna daun bervariasi antara coklat kemerahan hingga hijau tua. Setiap daun mempunyai ukuran panjang - 12 cm,

lebar 5 - 10 cm dan panjang tangkai daun 0,5 - 1,0 cm. Daun hanya tumbuh pada daun ranting, bertebaran dan tunggal (Saragih, P.Y dan Haryadi, Y. ,1994).

Buah jambu mete (anacardium accidentale L) terdiri atas dua bagian yaitu buah semu dan buah sejati. Buah semu disebut juga dengan nama Cashew Aplle. Bagian ini merupakan tangkai bunga yang membesar seolah-olah menjadi daging buah yang sebenarnya (Ohler, 1978 dalam Awaludin, 1995). Buah sejati adalah buah mete gelondong yang disebut dengan nama Cashew Nut berbentuk seperti ginjal, berkulit keras, di dalam kulit mengandung minyak dan dibagian paling dalam terdapat biji meteh berbelah dua atau Cashew Kernel. Bentuk buah mete dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Buah mete dan bagian-bagiannya (Vaughan, 1970 dalam Awaludin,1995)

K*-t«r*r>g*r. : A. 6u«h O. tulh ««AU Cf Qu«h Mt« 9elo«dCA9

1. Kulit bl)l

2. Cpictrp 3. Hcsoc

arp 4. Endoc

arp 5. Kulit

Ari 6. B L j i

«*et«

Page 81: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

81

Kulit keras buah mete gelondong (Pericarp) terdiri atas tiga lapisan yaitu: lapisan epicarp, lapisan mesocarp, dan lapisan endocarp. Epicarp merupakan lapisan terluar dari kulit buah mete gelondong, mempunyai sifat keras dan liat. Mesocarp adalah lapisan tengah dan merupakan lapisan yang paling tebal dari ketiga lapisan kulit. Dalam lapisan ini terdapat saluran-saluran yang mengandung cairan CNSL (Cashew Nut Shell Liquid) yang bersifat lekat kental. Cairan ini terasa panas bila terkena kulit, bersifat racun, menimbulkan iritasi pada kulit, dan tidak dapat dimakan. Endocarp merupakan lapisan dalam yang bersifat keras (Ohler, 1979 dalam Awaludin, 1995). Menurut Haryadi dan Saragih (1994) persentase dari bagian-bagian buah mete gelondong adalah sebagai berikut: - kulit buah mete gelondong : 45 - 50 % - CNSL : 18 - 23 % - Kulit ari : 2 - 5 % - Biji mete : 20 - 35 %

Menurut Ohler (1979), kulit keras buah mete gelondong mengandung air sebesar 13,17%, abu 6,74%, celusose 17,35%, protein 4,06%, gula 20,85%, dan CNSL 35,10%. Biji mete terdiri atas dua keping biji (kotiledon). Keping biji mete itu berwarna putih, berbentuk menyerupai ginjal dan tertutup oleh lapisan tipis sebagai kulit ari (testa) yang berwarna coklat kemerahan. Kulit ini berguna untuk melindungi biji mete dari kontaminasi CNSL (Woodroof, 1978 dan Ohler, 1989 dalam Awaludin, 1995). Kulit ari terdiri dari air 8%, protein 7.6%, lemak 12,3%, karbohidrat 59,2%, serat 11%, dan abu 1,9% (Ditjenbun, 1989 dalam Awaludin, 1995). Sebagian besar buah mete gelondong mengandung lemak yaitu 56% pada buah mete segar berkalori tinggi, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia kacang mete (Ohler, 1979 dalam Awaludin, 1995)

Keterangan: A = Penelitian yang dilakukan Adriano (1926),

Weath (1948), Parpia dan Subrahmanyan (1966)

B = Penelitian yang dilakukan oleh Mente Fredin (1962) dan Finzi (1966)

Buah mete gelondong mempunyai variasi dalam

bentuk, ukuran, dan bobotnya. Pada Tabel 2 dapat dilihat ukuran dan bobot dari beberapa klasifikasi buah mete gelondong, sedangkan persentase komponen dari buah mete gelondong antara biji mete, kulit keras, dan kulit arinya. Berdasarkan klasifikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Hasil pengukuran dan penimbangan bobot dari buah mete gelondong (Ohler,

1979 dalam Awaludin, 1995)

Klasifikasi buah mete Kriteria A B C D E Panjang (mm) 53,00 40,0 34,00 29,00 27,00 Lebar (mm) 32,00 33,0 22,00 20,00 19,00 Ketebalan (mm) 17,00 23,0 14,00 17,00 11,00 Bobot mete gelondong 15,00 15,0 7,00 5,30 3,80 Bobot kernel (gr) 2,98 3,20 2,21 1,61 1,20 Bobot kulit mete 12,41 12,1 4,92 3,50 2,50 gelondong (gr) Bobot kulit ari (gr) 0,21 0,20 0,27 0,19 0,10

Tabel 3. Persentase komponen buah mete (Ohler, 1979 dalam Awaludin,

1995)

Buah mete gelondong Biji mete Kulit buah Kulit ari A 19,10 79,60 1,30 B 20,60 78,10 1,30 C 29,90 66,50 3,60 D 30,40 66,00 3,60 E 31,60 65,80 2,60 F 24,40 73,20 2,40

Komponen A B Lemak (%) 47 44 Protein (%) 21 21 Karbohidrat (%) 22 29

Page 82: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

82

Jenis buah mete gelondong dari tiap Negara berbeda ukuran dan bobotnya. Di India dan Brazil ukuran panjang rata-rata antara 2,5 - 4,0 cm dan lebar antara 2,0 - 3,0 cm. Ukuran buah mete gelondong terbesar mempunyai panjang 5,3 cm, berat 15 gr, dan yang terkecil mempunyai ukuran panjang 18 mm dan berat 1 gram (Ohler, 1979 dalam Awaludin, 1995). Mutu kacang mete dinilai dari bentuk, ukuran biji, bobot biji, dan warna. Selain itu faktor rasa, bau, dan tekstur juga mempengaruhi mutu kacang mete. Standar kualitas kacang mete Indonesia baik yang diolah melalui penggorengan atau tidak, dibedakan menjadi 4 golongan. Pada Tabel 8 dijelaskan tentang standar mutu kacang mete Indonesia.

Masalah utama yang dihadapi pada alat pengupas

buah mete gelondong adalah hasil yang diperoleh pada pengupasan tersebut. Hasil yang diperoleh pada umumnya kurang utuh. Masalah ini timbul karena kulit buah mete gelondong sangat keras dan beragam bentuknya serta peralatan yang masih sederhana. Disamping itu juga disebabkan oleh CNSL yang terkandung didalam kulit yang bersifat toksik, irritant dan korosif. Faktor-faktor ini sangat berpengaruh dalam pengolahan selanjutnya yang akan menentukan mutu biji mete yang dihasilkan (Ohler, 1965 dalam Awaludin 1995).

Selain yang disebutkan diatas, untuk menciptakan

atau merancang alat pengupas buah mete harus dilakukan survai lapangan, yang menyangkut kebutuhan pengguna alat tersebut antara lain petani (kelompok tani) dan industri pengolahan. Umumnya para pengupas kulit mete gelondong masih menggunakan cara tradisional seperti pemukulan, kacip belah, dan kacip ceklok (utuh). Sehingga kacang mete yang dihasilkan bermutu rendah karena banyak yang remuk dan tidak putih (Santoso, 1994 dalam Awaludin 1995). menghadapi kenyataan tersebut perlu diciptakan alat pengupas kulit mete yang dinilai tepat guna bagi para petani mete, mudah dibuat sendiri, biaya murah, dan bahan-bahannya bersal dari sekitar kita (Santoso, 1994 dalam Awaludin 1995).

Pada prinsipnya alat pengupas kulit buah mete dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu: (1) Cara tekanan, (2) Cara mengiris atau menggergaji, dan (3) Cara sentrifugal. a. Cara Tekanan

Pada prinsipnya cara pengupasan ini adalah buah mete gelondong mengalami gaya tekan secara manual (pemukulan) atau mekanis (gesekan silinder). Macam-macam alat pengupas kulit buah mete cara tekan dapat dilihat pada gambar 3 dan gambar 4. Data karakteristiknya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik Alat Pengupas

Cara Tekan (Muljohardjo,1990 dalam Awaludin,1995)

Pada cara pemukulan, buah mete dipukul

satu persatu dengan pemukul, sehingga cara ini memerlukan kecakapan dan keterampilan yang tinggi. Pengupasan buah mete dengan cara pukulan dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 8. Standar mutu kacang mete Indonesia (Saragih, P.Y dan Haryadi, Y. ,1994) Syarat mutu ____________ Kelas mutu kacang mete I II III IV

Kulit ari - - - - Biji terkena CNSL - - - - Serangga - - - - Biji berulat - - - - Biji busuk - - - - Biji bercendawan - - - - Benda-benda asing - - - - Warna Keputih-putihan - - - Bobot maksimal 5 5 10 - Kadar air maksimal 15 15 15 -

Page 83: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

83

Gambar 3. Pengupasan buah mete cara pukulan

Pada Gambar 4 dapat dilihat arah dan bagian dari buah mete gelondong ketika akan dipukul yang ditunjukan oleh anak panah. Seorang pekerja berpengalaman dapat mengupas 600 buah mete per jam dengan biji-biji mete yang pecah kurang dari 5% (Ditjenbun, 1989 dalam Awaludin 1995). Tapi dengan pekerja biasa hanya mencapai kurang dari 70% biji utuh. Kelemahan lain dari cara ini antara lain biji mete banyak terkontaminasi oleh CNSL dan kotoran.

b. Cara Mengiris atau Menggergaji Pada prinsipnya cara pengupasan ini

bahwa buah mete gelondong baik tanpa penggorengan maupun dengan penggorengan dikupas dengan cara mengiris atau menggergaji bagian kulit buah sedemikian rupa sehingga kulit buah mete terbelah menjadi dua bagian (Muljohardjo, 1990 dalam Awaludin 1995 ). Pada Gambar 5 merupakan bagian penekan alat

pengupas mete Exentric Crusher.

Gambar 5. Bagian Penekan Alat Pengupas Mete Excentric Crusher

Berdasarkan cara mengiris atau menggergaji maka dapat dibedakan atas mengiris dengan : Kacip Belah (Gambar 6), Kacip Utuh (Gambar 7), Kacip Putar (Gambar 8), Welding Clam (Gambar 9), Bermata Pisau ‘U’ (Gambar 10), Top Operate Cutter (Gambar 11), dan lain- lain (Muljohardjo, 1990 dalam Awaludin 1995). Pada kacip belah, pengupasan dilakukan dengan meletakan buah mete gelondong diatas landasan pada balok yang agak cekung. Bagian perut dibagian atas dan punggung di bagian bawah, seperti pada Gambar 6.

Page 84: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

84

Dengan kacip belah ini, buah mete gelondong akan teriris menjadi dua belahan, kemudian biji mete dikeluarkan dari kulitnya dengan pisau atau paku pipih. Kualitas yang diperoleh rendah berupa split dan terkontaminasi oleh CNSL. Agar diperoleh biji mete yang utuh, dibuat modifikasi dari kacip belah dengan merubah bentuk mata pisaunya, yang disebut dengan kacip utuh seperti terlihat dari Gambar 7.

& A &

s* i _ ^ h. -

Mata pisau pada kacip utuh ini dibuat agar cocok dengan bentuk alami buah mete gelondong sehingga mata pisau hanya

membelah kulit sedalam beberapa millimeter setebal kulit yang dibelah. Setelah kulitnya terbelah, biji mete dikeluarkan dengan menggunakan pisau atau paku pipih.

Dengan kacip utuh ini diperolah 8 kg biji mete per orang per hari (satu hari 8 jam kerja) dengan kapasitas 70% biji utuh dan 30% pecahan yang terdiri dari belahan, pecahan, menir dan debu (Ditjenbun, 1989).

Gambar 6. Kacip belah

Gambar 7. Kacip utuh

Page 85: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

85

Gambar 10. Alat pengupas bermata pisau ‘U’ gerakan tunggal (single movement)

Gambar 11. Alat pengupas operasi dari atas (Top operated cutter)

Karakteristik berbagai alat pengupas buah mete dengan cara mengiris atau menggergaji dapat dilihat pada Tabel 10. Sedangkan macam-macam bentuk mata pisau dapat dilhat pada Gambar 12. Tabel 10. Karakteristik alat pengupas kulit buah mete dengan cara mengiris atau menggergaji (Hall,1965 dalam dalam Awaludin 1995)

1. Cara sentrifugal

Prinsip kerja cara pengupasan sentrifugal (Tabel 11) adalah bahwa mete gelondong mendapat tekanan berupa tenaga hempasan yang bersal dari gaya sentrifugal yang diberikan dengan kecepatan tinggi sedemikian rupa sehingga bilamana mete gelondong tersebut mengenai dinding atau pisau, maka mete gelondong akan menjadi pecah, dengan demikian dapat dibebaskan antara biji mete dengan kulit mete gelondong (Muljohardjo, 1990 dalam Awaludin 1995).

Salah satu alat pengupas buah mete gelondong

mekanis adalah dengan metode sentrifugal Produk TPI (Tropical Product Institut). Pada alat ini buah mete ditempatkan dalam posisi yang berputar dengan kecepatan 1200-1800 rpm dan dilemparkan dengan kecepatan 250 km/jam ke arah pisau-pisau yang dipasang vertical. Kapasitas mesin ini adalah 1070-1200 kg atau 7 - 9,5 ton/hari sesuai menurut ukuran buah mete gelondong dengan hasil biji utuh sebesar 67% (Ditjenbun, 1989).

D. Ergonomika Kata ”Ergonomika” berasal dari bahasa yunani.

Berdasarkan asal katanya Ergonomika tersusun atas Ergos yang berarti kerja dan Nomos yang berarti aturan atau hukum. Pada mulanya ilmu ini hanya terbatas pada studi waktu dan gerak, namun kemudian di Amerika berkembang dan terkenal dengan nama Ergonomies, di Belanda Ergonamie, di Jepang Labor Science dan di Indonesia dikenal dengan nama Ergonomika (Morgan, 1989 dalam Pramana 2009).

Ergonomi sebagai suatu disiplin ilmu yang

Gambar 12. Berbagai bentuk mata pisau

Page 86: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

86

berkaitan dengan interaksi antara manusia terhadap sistem dan lingkungan kerjanya, dapat mengambil peran yang sangat penting dalam kaitannya dengan pemilihan, diseminasi dan implementasi teknologi (Syuaib, 2006). Aplikasi dari ergonomi digunakan untuk menambah tingkat keselamatan dan kenyamanan manusia dalam pemakaian alat dan mesin yang digunakan. Perubahan-perubahan yang terjadi pada alat dan mesin yang digunakan manusia akan berpengaruh terhadap pemakaian energi, resiko kecelakaan, dan efek terhadap kesehatan (Mc.Cornick, 1987 dalam Pritikasiwi, 2007).

Tujuan ergonomi adalah untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja pada suatu institusi atau organisasi. Hal ini dapat tercapai apabila terjadi kesesuaian antara pekerja dengan pekerjaannya. Banyak yang menyimpulkan bahwa tenaga kerja harus dimotivasi dan kebutuhannya terpenuhi. Dengan demikian akan menurunkan jumlah karyawan yang tidak masuk kerja. Pendekatan ergonomi mencoba untuk mencapai kebaikan bagi pekerja dan pimpinan institusi. Hal ini dapat tercapai dengan cara memperhatikan empat tujuan utama ergonomi, yaitu: (1) memaksimalkan efisiensi karyawan (2) memperbaiki kesehatan dan keselamatan kerja (3) menganjurkan agar bekerja aman, nyaman, dan bersemangat, dan (4) memaksimalkan bentuk (performance) kerja yang meyakinkan.

Banyak penerapan ergonomi yang hanya berdasarkan sekedar ”common sense” (dianggap suatu hal yang sudah biasa terjadi), dan hal itu benar jika sekiranya suatu keuntungan yang besar bisa didapat hanya sekedar dengan penerapan suatu prinsip yang sederhana. Hal ini biasanya merupakan kasus dimana ergonomi belum dapat diterima sepenuhnya sebagai alat untuk proses desain, akan tetapi masih banyak aspek ergonomi yang jauh dari kesadaran manusia. Karakteristik fungsional dari manusia seperti kemampuan penginderaan, respon tanggapan, daya

ingat dan lain-lain adalah merupakan hal yang belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat awam.

Salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam merancang alat adalah kesesuaian alat tersebut dengan kemampuan manusia (Kusen,1989). Penerapan ergonomika pada berbagai jenis pekerjaan telah terbukti menyebabkan perbaikan efisiensi dan kenaikan produktifitas yang dapat dilihat dari kualitas dan kuantitas hasil kerja bias mencapai 10% atau lebih (Kusen,1989).

Manusia dengan kegiatan kerja bersama perlengkapan yang digunakan dapat ditinjau sebagai suatu sistem. Sistem tersebut terbagi menjadi tiga kategori, yaitu sistem manual, mekanik dan otomatik. Mekanisme ketiga sistem tersebut adalah:

1. Sistem manual misalnya orang dengan perlengkapan kerja sederhana seperti sepeda, sampan, parang, kereta dorong dan lain-lain. Intinya pada system ini manusia berperan penting sebagai sumber tenaga penggerak dan pengendali.

2. Sistem mekanik misalnya teknisi bengkel dengan mesin bubutnya dan lain sebagainya. Dalam hal ini manusia sebagai operator dan pengendali, sedangkan tenaga utama berasal dari mesin itu sendiri.

3. Sistem otomatik dimana mesin telah dilengkapi dengan peralatan otomatis sebagai pengganti operator. Umumnya mesin-mesin ini dapat diprogram untuk suatu jenis rangkaian pekerjaan tertentu, misalnya penerapan robot dalam industri. Disini tugas operator bukan sebagai pengendali langsung melainkan sebagai “monitor”.

2. Usaha Peningkatan Pendapatan Masyarakat Melaui Pelatihan Pembuatan “Selai ADEN” ( Anacardium occidentale) dan “Jem CATALE” (Anacardium occidentale) dari Buah Semu Jambu Mete (Anacardium occidentale)

Jambu mete (cashewnut) memiliki nama latin Anacardium occidentale. Di Inggris jambu mete disebut Cashew, sedangkan di Indonesia disebut jambu mente, atau

Page 87: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

87

lebih dikenal dengan sebutan jambu mete. Jambu mete banyak mengandung senyawa kimia yang bermanfaat sebagai antibakteri dan antiseptic, seperti tanim anacardic acid dan cordol. Kandungan gizi buah jambu mete sangat bagus, yaitu mengandung riboflavin (vitamin B2), asam askorbat (vitamin C), dan kalsium serta senyawa aktif yang diketahui dapat mencegah penyakit kanker, dan disinyalir dapat menyembuhkan tumor. Kandungan vitamin C pada buah mete cukup tinggi mencapai 180 mg/ 100 g. Buah jambu mete juga berkhasiat untuk mencegah kanker dan disinyalir dapat menyembuhkan tumor. Dengan melakukan inovasi teknologi pangan, buah semu jambu mete dapat diolah menjadi beberapa bentuk olahan yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti sari buah, manisan kering, selai, buah kalengan, maupun abon.

Dusun Nglakeh, Jentir, Sangkrah Kabupaten Rembang dan Kalinanas di kabupaten Blora terdapat perkebunan jambu mete yang cukup luas mencapai sekitar 15 hektare yang tersebar di seluruh wilayah desa. Produksi buah semu jambu mete yang dihasilkan dalam masa panen mencapai dua ratus ton lebih, namun, selama ini pemanfaatan jambu mete baru terbatas pada bijinya yang laku dijual. Buah semu jambu mete tersebut hanya dibuang atau tidak dimanfaatkan karena citarasa yang kurang disukai seperti rasa sepat dan sering membuat getir tenggorokan. Berkebalikan dengan bijinya, buah semu jambu mete ini hanya digunakan sebagai pakan ternak dan sebagian besar hanya terbuang sia-sia sebagai limbah yang tidak memiliki nilai ekonomis. Melihat kondisi tersebut, maka diperlukan usaha untuk lebih memanfaatkan potensi buah jambu mete yang belum dimanfaatkan tersebut dengan mengadakan pelatihan pembuatan buah semu jambu mete sebagai bahan baku pembuatan produk makanan inovatif yang dapat meningkatkan nilai guna dan nilai ekonomis dari buah semu jambu mete. Adapun pelatihan yang akan diberikan adalah pelatihan pembuatan sirup dan abon dari buah semu jambu mete. Pelatihan ini

diharapkan dapat menjadi alternatif usaha peningkatan pendapatan masyarakat petani.

Sasaran dari program ini adalah masyarakat dikeempat dusun yang menjadi obyek pemberdayaan khususnya para ibu rumah tangga dan pemuda usia produktif yang masih menganggur. Keadaan masyarakat keempat dusun inu mayoritas bekerja sebagai petani dan peternak. Hasil yang diperoleh sangat pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi saat tidak musim panen mereka tidak bekerja. Banyak lulusan pemuda usia produktif lulusan SMA yang tidak melanjutkan kuliah karena keterbatasan dana. Sebagian kecil mereka memilih bekerja di luar kota seperti Jakarta menjadi buruh bangunan, pelayan toko maupun pembantu rumah tangga untuk mendapatkan penghasilan sedangkan sebagian besarnya masih menganggur atau hanya bekerja serabutan di desa.

Ditinjau dari keadaan masyarakat, Dusun Nglakeh, Jentir, Sangkrah Kabupaten Rembang dan Kalinanas di kabupaten Blora sangat berpotensi untuk dijadikan tempat produksi makanan olahan pemanfaatan buah semu jambu mete karena di kempat dusun ini terdapat perkebunan jambu mete yang cukup luas sekitar 15 hektare dengan produksi buah semu jambu mete mencapai 60-80 ton sekali panen. Sejauh ini produksi buah semu jambu mete yang melimpah tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal, sebagian kecil hanya digunakan sebagai bahan ternak dan selebihnya hanya menjadi limbah yang tidak memiliki nilai ekonomis. Hal ini terjadi karena penduduk belum memiliki pengetahuan mengenai teknik pemanfaatan buah semu jambu mete menjadi produk olahan makanan. Potensi buah semu jambu mete tersebut sebenarnya dapat dimanfaatkan menjadi produk olahan makanan yang memiliki nilai jual tinggi seperti dibuat sirup ataupun abon. Dengan diproduksi menjadi produk olahan yang inovatif tentunya buah semu jambu mete dapat dilirik sebagai peluang usaha yang menjanjikan terlebih lagi bahan baku yang digunakan tersedia melimpah dengan biaya murah. Penduduk usia

Page 88: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

88

produktif yang belum bekerja dapat tersalurkan potensinya melalui produksi makanan olahan tersebut. Kegiatan usaha produksi buah semu jambu mete ini pun dapat dikembangkan menjadi industri rumah tangga dan usaha kecil menengah yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat serta membuka lapangan kerja baru. Proses produksi produk olahan makanan dari buah semu jambu mete cukup sederhana dan mudah dipelajari. Melalui pelatihan pemanfaatan buah semu jambu mete diharapkan mampu memberikan bekal bagi masyarakat untuk memproduksi produk olahan yang khas dan mampu menjadi usaha baru yang memiliki prospek yang bagus di masa depan. 1. Tahap Persiapan

Sebagai persiapan, peneliti melakukan survei dan wawancara pendahuluan terkait dengan pemanfaatan buah semu jambu mete di Dusun Nglakeh, Jentir dan Sangkrah Kec. Sumber Kabupaten Rembang secara berurutan dilasanakan pada tanggal 20, 22 dan 24 November 2012, sedangkan di Desa Kalinanas Kec. Ngawen Kabupaten Blora dilaksanakan pada Tanggal 26 November 2012. Setelah mendapatkan data-adata awal maka tahap selanjutnya adalah sosialisasi program. Sosialisasi program dilakukan pada tanggal 1 Desember 2012 bertempat di Kantor Desa Nglakeh, tanggal 3 Desember 2012 di Desa Jentir dan 5 Desember 2012 di Desa Sangkrah sekaligus mengurus perizinan pelaksanaan program kepada pemerintah Desa.

2. Tahap Rekrutmen Peserta Peserta yang dilibatkan dalam kegiatan ini

berjumlah 25 orang berasal dari anggota Kelompok Mawar Desa Nglakeh, 25 orang anggota kelompok Melati Desa Jentir, 25 anggota Kelompok Anggrek Desa Sangkrah Nglakeh dan 25 anggota Kelompok Kembangjati dari Desa Kalinanas. Kelompok-kelompok ini terbentuk atas inisiatif para ibu dan kaum perempuan yang memiliki perhatian dan

peminatan dalam pengolahan pasca panen produk-produk pertanian. Pelibatan peserta kegiatan dikoordinasi oleh ketua kelompok dan Kepala Desa dengan mempertimbangkan kesediaan para calon peserta dan peminatan terhadap teknologi/inovasi yang diagendakan. Mengingat kondidi geografis dan maksimalisasi hasil yang dicapai maka acara ini diadakan diadakan di dua tempat. Pertama, untuk kelompok mawar dan melati pelatihan dilaksanakan pada tanggal 15-16 Desember 2012 di Balai Desa Nglakeh. Kedua, untuk kelompok anggrek dan kembangjati pelatihan dilaksanakan pada tanggal 20-21 Desember 2012 di balai desa Kalinanas.

3. Bahan dan Peralatan yang di Butuhkan Bahan yang digunakan dalam pembuatan selai

dan abon jambu mete meliputi buah semu jambu mete, gula, asam sitrat, garam dapur, selai dan jem produksi industri rumah tangga sebagai pembanding, roti tawar dan minyak tanah. Peralatan yang dibutuhkan adalah penghancur buah (blender), botol kemasan, label kemasan, kompor minyak tanah, nampan, wajan (kuali), kain saring, genset, bensin, kamera digilai dan alat tulis. Bahan dan peralatan selain kamera digital dihibahkan kepada kelompok masing-masing kelompok.

4. Tahap Pelaksanaan Kegiatan dilakukan selama 2 hari. Hari

pertama merupakan orientasi dan ceramah ilmiah untuk menggugah kesadaran masarakat. Kegiatan ceramah dilakukan dengan tujuan pengayaan wawasan dan peningkatkan pemahaman peserta terhadap potensi produksi jambu mete dan teknologi pengolahan pasca panen. Kegiatan ceramah menyajikan 3 topik yaitu Potensi dan pemanfaatan jambu mete di pedesaan. Sesi kedua menjelaskan tentang Berbagai Teknologi Pengolahan Pasca Panen dalam Rangka Pemanfaatan Buah Semu Jambu Mete sedangkan materi ketiga mengulas tentang Potensi

Page 89: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

89

Ekonomi Jambu Mete dan Teknologi Kemasan Produk sebagai Pendongkrak Nilai Jual Pada akhir ceramah dilanjutkan dengan dialog (tanya-jawab) untuk mengetahui antusiasme, partisipasi aktif dan pemahaman peserta terhadap materi yang disampaikan.

Untuk hari kedua, fokus kegiatan adalah Demonstrasi dan Praktek Pembuatan Selai dan sirup Jambu Mete. Demonstrasi menjadi media bagi masyarakat untuk memahami teori dan aplikasinya. Bahan dan peralatan pembuatan selai dan sirup disediakan oleh Tim dan fasilitator. Demonstrasi ditangani secara langsung oleh Tim. Para peserta mengamati, mencatat dan mendiskusikan hal-hal praktis yang ditemukan pada saat demonstrasi. Pada bagian terakhir, masyarakat diberi kesempatan melakukan praktek pembuatan selai dan sirup didampingi Tim. Pola ini bertujuan mengasah kemandirian masyarakat dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi melalui prakarsa dan kreatifitas untuk meningkatkan kualitas hidup.

5. Prosedur pembuatan selai jambu mete Selai adalah campuran yang bersifat setengah

padat terdiri dari pektin, gula dan asam dengan komposisi 45 bagian berat sari buah dan 55 bagian berat gula yang dikentalkan sedemikian rupa sehingga kadar zat padat terlarut tidak kurang dari 65%. Beberapa langkah dalam prosedur pembuatan selai jambu mete telah dimodifikasi termasuk imbangan gula dan penggunaan bahan dasar (bubur buah dan sari buah) (Nono dkk, 2008). Prosedur pembuatan selai jambu mete yang dimodifikasi dari Saragih dan Haryadi (1994) dan Muljohardjo (1990) dapat diuraikan sebagai berikut. - Pemilihan dan penyortiran untuk mendapatkan

buah semu jambu mete segar, tidak cacat dan telah cukup matang

- Bagian pangkal dan ujung buah dikeluarkan

kemudian buah dipotong dengan ukuran kecil guna mempermudah penghancuran buah kemudian dilumat dengan blender untuk menghasilkan bubur buah.

- Bubur buah yang diperoleh selanjutnya dipanaskan (blanching) selama 10 menit lalu disaring menggunakan kain saring (blacu) guna mendapatkan sari buah. Penggunaan putih telur dihindari karena dapat menimbulkan penggumpalan yang berpengaruh pada waktu ekstraksi pektin.

- Sari buah dipanaskan untuk mengekstraksi pektin selama 30-35 menit kemudian dilakukan penambahan gula dengan perbandingan 65 bagian sari buah dan 35 bagian gula diaduk-aduk sekitar 10 menit sampai agak mengental. Apabila ekstraksi pektin kelamaan akan memberikan aroma gosong (bau hangus). Demikian pun apabila setelah penambahan gula waktu pengadukan lebih dari 10 menit maka selai cenderung mengalami karamelisasi atau mengeras setelah dingin karena gula mengalami hidrolisis. Dengan perbandingan 65 sari buah dan 35 gula memberikan rasa manis yang sesuai selera sebagian responden. Sementara penggunaan sari buah dan gula dengan imbangan 45 dan 55 memberikan rasa manis tinggi yang mengurangi selera responden.

- Setelah mengalami kekentalan yang cukup ditambahkan asam sitrat dan diaduk sesaat (sekitar 1 menit) lalu dikemas dalam botol selai yang telah disiapkan.

- Setelah pengisian botol ditutup dan dipasteurisasi dengan cara merendam dalam air panas selama 30 menit apabila akan disimpan dalam jangka waktu tertentu.

6. Prosedur Pembuatan Jem Jambu Mete

Page 90: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

90

Pembuatan jem jambu mete pun dilakukan sesuai prosedur yang dikemukakan Saragih dan Haryadi (1994). Namun memberikan hasil tidak sesuai yang diharapkan. Buah yang direndam dalam air garam selama 3 hari cenderung berjamur. Demikianpun bubur buah yang dipanaskan kelamaan menjadi kering dan menimbulkan bau hangus (gosong). Dengan memperhatikan hal tersebut kemudian dimodifikasi beberapa langkah dalam pembuatan jem jambu mete sebagai berikut (Nono dkk, 2008). - Pemilihan dan penyortiran buah. Buah yang baik

untuk digunakan dalam pembuatan selai adalah buah yang hampir masak, tidak cacat. Bagian pangkal dan ujung buah dikeluarkan lalu direndam dalam air garam selama 6 jam dengan takaran garam 2%.

- Jambu mete rendaman kemudian dicuci dengan air hangat untuk menghilangkan garam.

- Buah dipotong berukuran kecil dan dilumatkan dengan blender menjadi bubur buah.

- Bubur buah dimasak sehingga pektin dapat terekstraksi. Untuk menghindari kekeringan dan. gosong pada bubur buah maka api kompor diatur sedemikian rupa pada saat memasak. Pengaturan api kompor yang kecil menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan jem lebih lama namun hasilnya lebih baik.

- Apabila rasa khas jambu mete (bau dan sepat) pada jaringan buah telah berkurang atau tidak berasa lagi maka tambahkan gula dengan perbandingan 500 gram bubur buah dan 250 gram gula, kemudian diaduk-aduk. Dengan perbandingan tersebut memberikan rasa manis yang sesuai pada jem jambu mete.

- Penambahan asam sitrat 0,3% atau secukupnya sambil terus diaduk sampai kental. Setelah mencapai kekentalan yang diinginkan dengan

rasa yang khas, jem dikemas dalam botol jem yang telah disiapkan. Setelah pengisian botol ditutup dan dipasteurisasi dengan cara merendam dalam air panas selama 30 menit apabila akan disimpan dalam jangka waktu tertentu.

7. Analisis Kegiatan ini dilaksanakan 1 rninggu sebelum

rencana kunjungan Wakil Bupati Rembang ke Desa Jentir, oleh karena itu, Camat Sumber menghimbau agar mendampingi kelompok dalam penyusunan rencana kegiatan (proposal) yang berkaitan dengan tindak lanjut kegiatan. Kebutuhan kelompok akan wadah penyimpanan (botol), label, sertifikasi halal dan pemasaran serta berbagai kebutuhan demi keberlangsungan aktivitas kelompok yang membawa konsekuensi terhadap pendanaan dapat diajukan kepada pemerintah daerah melalui instansi terkait. Pada saat kunjungan Wakil Bupati Rembang telah disampaikan rencana kebutuhan secara lisan oleh kelompok mawar dan masih menunggu realisasi bantuan.

Contoh produk selai dan jem hasil olahan peserta diminati pula oleh beberapa masyarakat maupun warga yang berdomisili di sekitar obyek dampingan, namun permintaan tersebut belum dapat dipenuhi terkendala oleh wadah dan label kemasan. Di masa mendatang dipandang perlu untuk memfasilitasi Kelompok-kelompok tersebut guna mendukung dan mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah melalui pengolahan pasca panen secara optimal. Pendekatan ini merupakan bentuk pemberdayaan masyarakat yaitu membangun daya dengan cara mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki masyarakat serta berupaya mengembangkannya. Namun demikian, pemberdayaan hendaknya jangan menjebak masyarakat dalam perangkap

Page 91: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

91

ketergantungan melainkan harus mengantar kepada proses kemandirian (Sulistiyani, 2004).

Kegiatan diikuti oleh peserta sebanyak 25 orang/kelompok sesuai undangan yang disampaikan melalui Kepala Desa (daftar hadir terlampir). Tingkat kehadiran peserta mencapai 100% karena semua peserta yang direncanakan berjumlah 25 orang/kelompok menghadiri kegiatan ceramah yang dilanjutkan dengan demonstrasi pembuatan selai dan jem oleh Tim Pelaksana dan praktek yang dilaksanakan oleh peserta. Kegiatan dikemas bersifat pemberdayaan masyarakat dengan tujuan mengurangi pendekatan yang bersifat pemberian bantuan fisik. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pola pendekatan pemberian bantuan fisik cenderung meningkatkan ketergantungan masyarakat. Dalam konsep pemberdayaan, paradigma pembangunan difokuskan kepada berbagai aspek mendasar manusia mulai dari sisi intelektual, material dan fisik hingga pengelolaannya. Dengan demikian hasilnya akan lebih lama dimanfaatkan karena selain mengurangi ketergantungan pun semakin menumbuhkan kemandirian masyarakat yang akan berpengaruh terhadap kemandirian bangsa.

8. Aktivitas Peserta Dalam upaya menggugah kesadaran,

memotivasi kemauan dan meningkatkan pengetahuan para peserta maka Tim memberikan ceramah yang berkenaan dengan teknologi pengolahan pasca panen dalam rangka pemanfaatan buah semu jambu mete dan potensi ekonomi jambu mete serta teknologi kemasan produk sebagai pendongkrak nilai jual. Materi teknologi kemasan menjadi bagian penting karena didasari pemikiran bahwa daya pikat konsumen terhadap produk dipengaruhi oleh kemasan Selain menyajikan proses pembuatan selai dan jem berdasarkan rujukan, Tim memaparkan pula prosedur pembuatan selai dan jem yang dimodifikasi sebagai

gambaran kepada peserta mengenai permasalahan yang dapat dijumpai pada saat penerapan dan cara mengatasinya. Peserta menunjukkan antusiasme yang tinggi dengan serius mengikuti dan mencermati materi yang disampaikan setiap narasumber.

Demi mendapatkan umpan balik dan mempertajam pemahaman peserta maka pada akhir ceramah dilanjutkan dengan dialog (tanya-jawab). Selama sesi tanya-jawab, terungkap bahwa peserta memiliki motivasi yang tinggi dan kemauan yang kuat untuk menerapkan teknologi pembuatan selai dan jem. Dari sisi proses, teknologi yang diperkenalkan dapat diterapkan masyarakat namun perihal yang dikuatirkan menjadi kendala adalah label kemasan dan wadah penyimpanan. Peserta merasa kesulitan mendesain label kemasan maupun memperoleh botol selai dan jem. Permasalahan lainnya adalah permodalan. Peserta membutuhkan modal awal untuk pengurusan perijinan, sertifikasi halal dan menjalankan usaha selai dan jem jambu mete. Selain itu, peserta juga mempertanyakan tentang pemasaran produk yang akan dihasilkan. Tanggapan yang disampaikan Tim menyikapi diskusi yang berkembang, adalah bahwa selain ilmu pengetahuan dan teknologi serta bahan dan peralatan pembuatan selai yang dihibahkan maka Tim tidak dapat membantu secara finansial. Namun Tim akan membantu dalam pendampingan untuk menghasilkan produk yang bermutu dan diminati konsumen dan dapat bersaing di pasar. Masyarakat dituntut menyediakan produk yang bermutu, disajikan dalam kemasan menarik dan diperkenalkan secara aktif melalui berbagai media. Konsumen yang akan menilai. Apabila produk diterima oleh konsumen maka masalah pemasaran dapat teratasi. Dalam rangka mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah serta mengatasi masalah permodalan finansial

Page 92: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

92

pemerintah telah menyediakan fasilitas kredit yang dapat dimanfaatkan pula oleh kelompok Petani.

9. Demonstrasi dan Praktek Demonstrasi dilakukan oleh Tim dalam

rangka memperdalam pemahaman dan meningkatkan kecakapan (life skill), peserta diberi kesempatan membuat selai dan jem jambu mete secara mandiri sesuai prosedur pembuatan yang telah uraikan pada sesi ceramah dan demonstrasi. Minat dan keingintahuan peserta mengenai teknologi pembuatan selai dan jem cukup tinggi. Peserta mengikuti dan mencermati secara serius dan detail yang tunjukkan dengan tanya-jawab yang berkembang selama kegiatan demonstrasi.

Semua fasilitas termasuk bahan yang diadakan untuk kegiatan ini dihibahkan kepada Kelompok dan menjadi inventaris kelompok. Selai dan jem dari komoditi lain yang diproduksi perusahan maupun industri rumah tangga yang telah berkembang untuk pembelajaran model kemasan turut dihibahkan. Kegiatan dilanjutkan dengan uji coba oleh peserta untuk meningkatkan kecakapan anggota kelompok. Pada akhirnya diharapkan dengan fasilitas dan keterampilan yang dimiliki dapat menjadi modal dasar dalam meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat guna meningkatkan taraf hidup (Herawati dan Junanto, 2003). Menurut Sulistiyani (2004) tiga hal penting yang menjadi titik capaian dari pembangunan adalah meningkatnya knowledge (kemampuan intelegensi, wawasan dan pengetahuan), skill (meningkatkan kecakapan keterampilan dalam penguasaan teknologi) dan pembinaan attitude (perilaku sadar dan peduli untuk membangun).

Para peserta dan undangan dari aparat Pemerintah Desa disuguhkan roti tawar yang telah diolesi dengan selai dan jem masing-masing dari 3 sumber berbeda (uji organoleptik). Selai dan jem yang digunakan berasal dari, pertama, selai dan jem yang

diperoleh dari hasil praktek peserta dengan pendampingan ketat dari Tim, kedua, selai dan jem hasil demonstrasi Tim dan ketiga, selai dan jem buah karya Tim yang dikerjakan di laboratorium. Menurut penuturan para penikmat roti tawar isi selai dan jem dari kelompok peserta dan undangan bahwa selai dan jem dari ketiga sumber menampakkan rasa khas selai dan jem, tidak berasa sepat, menggugah selera untuk dinikmati namun terasa agak manis. Menurut Muljohardjo (1990) selai dan jem yang baik adalah bersifat setengah padat, jernih, transparan, berwarna cerah, mempunyai flavour, rasa dan aroma yang baik, memberikan tekstur yang halus dan licin. Dalam rangka mencapai kesamaan pemahaman terhadap rasa manis yang kurang disukai masyarakat disampaikan bahwa penggunaan gula dengan takaran yang telah dimodifikasi sesuai Nono dkk (2008) berfungsi sebagai pemberi rasa sekaligus sebagai pengawet. Dalam menghasilkan suatu produk yang patut diperhatikan adalah selera konsumen dan bukan selera produsen karena itu, langkah strategis yang dapat ditempuh dalam menyikapi respon konsumen adalah menghasilkan produk dengan aneka rasa sesuai segmen pasar.

10. Simpulan Merujuk kepada hasil dan pembahasan dapat

disimpulkan bahwa buah semu jambu mete dapat ditingkatkan nilai ekonominya dengan memanfaatkan secara optimal melalui pembuatan selai dan jem berkualitas, dikemas secara menarik dan mengutamakan sertifikasi haial agar jangkauan pasar lebih luas serta membutuhkan dukungan pemerintah.

Page 93: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

93

Bab V Collective Parming

sebagai Alternatif Strategi Pemberdayaan

Abad 21 adalah abad pengetahuan dan informasi, abad yang penuh dengan peluang dan ancaman, dan abad yang juga memberikan peluang yang sama kepada semua pihak untuk menjadi kuat dan kaya. Namun, peluang bagi melebarnya kesenjangan antara bangsa atau kelas yang kuat dengan yang lemah pun semakin terbuka. Itu semuanya sudah jelas akan terjadi, sama seperti halnya peningkatan jumlah penduduk, konversi lahan, dan kelangkaan sumberdaya alam (scarcity). Pada kondisi seperti itu, kreativitas dan informasi (intangible elements) akan menjadi senjata utama untuk berkompetisi, itu lebih penting dari sekedar sumberdaya fisik (tangible elements). Kreativitas lokal adalah yang utama, namun perlu disinergikan dengan budaya-budaya impor (yang baik-baik) yang sudah ditransfer kedalam budaya lokal. Langkah utama untuk itu adalah membangun sumberdaya manusia, karena ia akan menjadi faktor penentu (determinant) bagi sukses atau gagalnya seseorang, kelas, atau bangsa di abad itu (Kim-Dae-jung, 2001).

Berbicara tentang pembangunan sumberdaya manusia, kita dihadapkan kepada kenyataan konsep, model, pendekatan, atau paradigma yang beragam latar belakang dan implikasinya. Untuk itu, sudah selayaknya berhati-hati dan selektif, baik didalam memilih konsep, model, pendekatan, dan paradigmanya maupun dalam mengimplementasikannya. Dengan demikian, peluang untuk terjebak kedalam pendekatan yang bias dan berimplikasi negatif, seperti rekayasa (social enginering) dapat diminimalkan. Menurut Tjondronegoro (1990), konsep, model, pendekatan, dan paradigma pembangunan sumberdaya manusia yang layak untuk diadopsi hendaknya yang mengetengahkan prinsip-prinsip pengembangan masyarakat (community development), yaitu membawa perubahan sosial yang damai, tertib, adil, serasi, partisipatif, transparan, bertahap, dan berkelanjutan. Salah satu pendekatan pembangunan sumberdaya manusia yang dipandang sesuai dengan prinsip-prinsip community development tersebut adalah pemberdayaan

(empowerment). Menurut Word Bank (2002): “empowerment is the exspansion of asset and capabilities of poor people to participate in, negotiate with, influence, control, and hold accountable instituions that affect their lives ”.

Seperti halnya negara-negara lain di dunia, pemberdayaan masyarakat juga menjadi perhatian Bangsa Indonesia. Departemen Pertanian (2002) menyatakan bahwa misi utama pembangunan ekonomi nasional Indonesia adalah memberdayakan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional. Salah satu komponen masyarakat atau pihak yang menjadi sasaran pemberdayaan adalah petani. Petani yang dimaksud di sini adalah peasant atau paling banter farmer, bukan plantation, estate, atau capitalist farm (Ellis, 1988), dan juga bukan petani lapisan atas atau petani kaya (large comercial farm) yang menurut Herman Soewardi (1972) sudah serba lebih dalam segala hal Menurut Encyclopedia Britannica dalam Ganjar Kurnia (2004), peasant adalah: “any member of a class of persons who till the soil as small and owners or as agricultural labourers. The term peasant originally referred to small-scale agriculturalist in Europe in historic times, but many other societies, both past and present, have had a peasant class”. Oleh Gunawan Satari (1999), peasant ini disejajarkan dengan petani gurem atau petani kecil, yang menurut Scott (1993) meski jumlahnya dominan namun kondisinya tetap lemah dan senantiasa keluar sebagai pihak yang kalah.

Para petani gurem atau petani kecil (peasant) di Indonesia layak untuk diberdayakan, karena secara kuantitatif keberadaannya masih signifikan. Menurut Departemen Pertanian (2002), lebih dari 10,5 juta (53%) rumah tangga petani menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar, dan lebih dari 6 juta (30%) menguasai lahan kurang 0,25 hektar. Hasil Sensus Pertanian tahun D03 menunjukkan bahwa presentase petani gurem (yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar) terus bertambah, yakni dari 52,7% pada tahun 1993 menjadi 56,5% pada tahun 2003. Untuk Pulau Jawa, jumlah petani gurem ini meningkat da"i 69,8% pada tahun 1993 menjadi 74,9% pada tahun 2003 (Ganjar Kurnia, 2004). Penguasaan lahan yang sempit mengakibatkai usahatani tersebut tidak mearik secara ekonomis karena pengelolaan lahan tidak efisien, akibatnya tidak memberikan jaminan pendapatan yang layak (Departemen

Page 94: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

94

Pertanian, 2000). Lebih jauh, kuantitas, kualitas, dan kontinyuitas p"oduk petani kelas ini tidak memenuhi kriteria pasar (Kasryno, dkk., 2000). Memang hasil produksi dan produktivitas tanaman pangan dan hortikultun petani Indonesia terus meniigkat, namun hasilnya sangat sedikit yang menjadi konsumsi masyarakat internasional.

Pemerintah melalui Departemen Pertanian memang telah melakukan beberapa terobosan untuk meningkatkan kinerja para petani gurem tersebut, misalnya program intensifikasi, baik yang hanya bersifat on farm seperti program Bimbingan Masal (BIMAS) pada tahun 1965, Intensifikasi Masal (INMAS) pada tahun 1968 yang disempurnakan menjadi Intensifikasi Khusus (INSUS) pada tahun 1979, SUPRA INSUS pada 1ahun 1984, Peningkatan Mutu Intensifikasi (PMI) pada tahun 2002, maupun program yang mencakup nilai tambah pada offfarm seperti Intesifikasi Berwawasan Agribisnis (INBIS). Namun hasilnya tetap tidak efisien dan tidak efekti Menurut Departemen Pertanim (2000), permasalahan utama dari semua itu adalah lemahnya sistem pengelolaan usahatani, tegasnya pengelolaan usahatani masih dilakukan secara individu atau tercecer.

Implikasi dari sistem pengelolaan individualis pada petani gurem adalah sulitnya mereka beranjak dari subsistensi. Secara riil mereka tetap berada pada kondisi yang lemah (powerless) dalam segala hal. Seperti daam penguasaan informasi, penyediaan modal, pengadaan sarana produksi pertanian, pengadaan tenaga kerja, pemasaran, pengolahan, dan sebagainya. Seperti halnya informasi (atau inovasi) yang terkait dengan pertanian, bagi petani itu merupakan kebutuhan yang bersifat dinamis. Namun pada kenyataannya, tidak semua individu memiliki kemampuan untuk mengakses informasi yang dibutuhkannya. Media komunikasi atau sumber informasi yang jumlahnya terus meningkatpun tidak senantiasa menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh petani. Sementara penyuluh pertanian yang dulu disanjung petani dan berperan sebagai ujung tombak pencapaian swasembada beras berada dalam kondisi tidak berdaya (powerless) juga. Begitu juga dengan akses petani kecil terhadap modal, pasar, sarana produksi pertanian, dan sumber-sumber produktif lainnya tetap lemah. Padahal Reijntjes et al (1992) mengatakan bahwa pasca Revolusi

Hijau petani kecil akan menghadapi permasalahan yang sangat kompleks, seperti kerusakan lingkungan, resurgensi, erosi genetik, penurunan produktivitas lahan, perubahan iklim, ketergantungan atas pupuk dan pestisida sintetis, perubahan pola tanam, pemasaran, pencemaran, dan sebagainya, yang dampaknya akan dirasakan oleh petani dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Diposisikannya petani kecil dalam relasi kemitraan tetap tidak membuat mereka berdaya. Meskipun Undang-Undang Kemitraan Nomor 9 Tahun 1995 sudah diberlakukan, dan dengan tegas menyebutkan bahwa “kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan”, namun seringkali petani kecil dirugikan karena modus eksploitasi dari inti. Hasil penelitian Teguh Kismanoroadji (2003) tentang kemitraan petani sayuran menunjukkan bahwa kemitraan ditandai dengan dominannya konflik dan ketergantungan, disebabkan cara pembayaran, perlakuan mendikte, penentuan harga juan dan keuntungan secara sepihak oleh pihak inti, dan sebagainya. Kehadiran pengusaha agribisnis terutama pada sayuran, pada kenyataannya juga tidak mengangkat petani kecil. Kecenderungannya mereka hanya mempertajam pelapisan petani karena lahir sebagai kelas tersendiri yaitu petani berdasi. Pada akhirnya mereka muncul sebagai penguasa baru dalam segala hal, hingga mempertajam kesenjangan dengan lapisan petani kecil. Sekalipun terjadi transpormasi informasi dari petani lapisan atas kepada kelas petani lainnya, namun petani kecil tetap tidak mendapatkan surplus, karena proses tersebut berjalan lamban (Rivera, dkk., 1991).

Meskipun UU No 12 Tahun 1992 telah diberlakukan dan orientasi petani telah bergeser dari monokultur ke orientasi multi-kultur, namun pemerintah belum mendukung gerak ke diversifikasi tanaman ini. Akibatnya, para petani kecil mengalami kesulitan mulai persiapan, produksi, pengolahan pasca panen dan pemasaran hasil produksi (Soelaiman dkk, 1998). Secara makro, pertanian Indonesia yang didominasi oleh usaha skala kecil yang dilaksanakan oleh berjutajuta petani yang sebagian bsar tingkat pendidikannya sangat rendah (87% dari 35 juta tenaga kerja

Page 95: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

95

ertanian berpendidikan SD ke bawah), berlahan sempit, bermodal kecil dan memiliki produktivitas yang rendah, akan berdampak kurang menguntungkan terhadap persaingan di pasar global, karena petani dengan skala kecil itu pada umumnya belum mampu menerapkan teknologi maju yang spesifik lokal yang selanjutnya berakibat pada rendahnya efisiensi usaha dan jumlah serta mutu produk yang dihasilkan (Departemen Pertanian, 2002).

Fenomena tersebut jelas menunjukan kurang dan lemahnya partisipasi petani Indonesia dalam kancah persaingan global. Akibatnya pertumbuhan diversifikasi produk pertanian untuk ekspor juga sangat lamban, baik dari segi jumlah, jenis, maupun mutu. Lebih jauh distribusi nilai tambah yang dihasilkan dari ekspor komoditas pertanian tidak merata atau hanya dinikmati oleh segelintir pengusaha agribisnis. Sementara itu, para petani kecil hanya menikmati pasar domestik dengan perkembangan permintaan yang juga tergolong lamban (Sa’id dan Intan, 2001).

Menghadapi persaingan yang semakin ketat di era globalisasi dan suramnya peluang reformasi agraria (and reform) secara adil (terutama menyangkut hak kepemilikan lahan di Pulau Jawa), maka petani kita tidak dapat lagi hanya mengandalkan cara-cara lama, tetapi dituntut untuk terus meningkatkan daya saing, baik sisi penawaran (supply side) maupun sisi permintaan (demand side). Oleh karena itu mereka yang mayoritas berlahan sempit dan tercecer harus bersatu dalam satu ikatan kerjasama pengelolaan yang kuat. Jika tetap tidak, maka sudah dapat dipastikan mereka akan tersingkir dari persaingan yang semakin ketat di era globalisasi, bahkan menurut Saragih (2000), Sa’id dan Intan (2001) tidak menutup kemungkinan petani kita akan menjadi penonton di negeri sendiri. Sejalan dengan itu, Departemen Pertanian (2000) juga menyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi usahatani dan untuk meningkatkai pendapatan petani serta mengembangkan lapangan pekerjaan di pedesaan, diperlukan konsolidasi pengelolaan usahatani, sehingga dapat memenuhi skala ekonomi untuk dikelola secara modern dengan teknologi maju.

Atas dasar pemikiran tersebut di atas dan mengacu kepada apa yang diungkapkan oleh Sinaga dan White (1980) bahwa yang menjadi masalah dari pembangunan pertanian bukan pada perangkat teknologinya, tetapi struktur kelembagaannya dalam

masyarakat pedesaan --dimana teknologi tersebut masuk-- yang menentukan apakah teknologi itu mempunyai dampak negatif atau positif atas distribusi pendapatan, dan Mubyarto (1994) yang dengan tegas mengatakan bahwa aspek kelembagaan akan fetap berperan penting dalam pembangunan pertanian, maka diperlukan usaha khusus pemberdayaan petani yang antara lain dilakukan melalui collective farming.

Collective Farming dapat didefinisikan sebagi sejumlah areal pertanian yang dikelola secara kolektif, baik berdasarkan ikatan famil, kelompok tani, ataupun ikatan kelompok lainny,, yang merupakan hasil penggbungan pengelolaan lahan yang dimiliki oleh anggotanya untuk mencapai skala ekonomis dalam pengelolaannya (Sa’id dan Intan, 2000). Collective Farming pada dasarnya lahir dari ketdiakcocokkan dan ketidaksetujuan para pakar pertanian yang berparadigma kritik atas konsep Rice Estate dan Corporate Farming yang cenderung bermodus kapital dan eksploitatif. Namun secara pragmatis, konsep Collective Farming lahir sebagai wujud koreksi dari para praktisi terutama para petani yang telah mencoba menerapkan konsep Rice Estate dan Corporate Farming.

Collective Farming dirasakan oleh petani lebih adil dan dipandang oleh para pakar penganut aliran strukturalis lebih humanis dan demokratis. Melalui model Collective Farming petani kecil (peasant) dapat dengan mudah mengakses sumberdaya yang diperlukan untuk mengoptimalkan usahataninya. Petani tidak perlu memikirkan bibit, modal untuk membayar tenaga kerja, bibit unggul, pupuk, dan pasar. Secara teknis teknologi pertanian modern dapat diimplementasikan secara optimal, dan keseragaman pola tanam yang berperan dalam mengendalikan hama penyakit juga terjamin. Hal ini tidak terlepas dari peran kelompok dalam menerapkan metode partisipatif dalam merencanakan, mengorgaisir, melaksanakan, dan mengontrol aktivitas usahatani. Kondisi ini sangat dirasakan oleh para petani kecil terutama yang berstatus sebagai penyakap.

Para pakar strukturalis penganut paradigma kritik percaya bahwa model Collective Farming juga dapat dijadikan sebagai pemeah kebuntuan dari reformasi agraria yang notabene menjadi prasyarat utama bagi suksesnya pembangunan pertanian. Oleh para

Page 96: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

96

pakar model ini diraakannya sebagai terobosan baru untuk meningkakan produktivitas dan efisieni di bidang pertanian terutama tanaman paigan (padi). Karena disamping ejuh dari penimbunan kapital, juga karena lahir dari pemikiran petani sebagai pelaku utama di sektor pertanian. Secara sosiologis model ini pun tetap akomodatif bagi para petani kecil yang berstatus sebagai penyakap yang secara kuantitatif jumlahnya cukup signifikan. Permasalahan yang kemudian muncul adalah Departemen Pertanian sendiri yang lebih optimis dengan konsep Rice Estate dan Corporate Farming sebagai jalan keluar yang tepat untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan tanaman pangan dan keseahteraan petani merasa ragu dengan model Collective Farming tersebut. Keraguan akan keunggulan Collective Farming juga muncul dari pihak-pihak lainnya, baik dari dunia akademisi maupun dari dunia praktisi (termasuk petani yang belum mengetahuinya).

Atas dasar pemikiran itu, maka menarik untuk diungkap, dipaparkan, dan diapresiasikan, bagaimana sesungguhnya keragaan model Collective Farming itu? Apa keunggulannya jika dibandingkan dengan model Rice Estate dan Corporate Farming? apa kelemahan dari model Collective Farming itu? Serta adakah dampak ganda (multiflier effect) dari moder Collective Farming tersebut? Mengingat model Collective Farming, Rice Estate dan Corporate Farming telah diimplementasikan di Desi Rancakasumba Kabupaten Banding, maka pengungkapan mengenai model Collective Farming dalam tulisan selanjutnya (terutama dalam pembahasan) akan pula disertai dengan penyajikan fakta-fakta dan data-data hasil survey dari para petani desa tersebut.

Sistem Collective Farming sesungguhnya bukan merupakan n®del pendekatan bari di Indonesia. Konsep Collective Farming sesungguhnya merupakan konsep klasik yang sudah lama diterapkan oleh masyarakat tradisional yang masih menjunjung tinggi hakekat manusia sebagai mahluk sosial. Keberadaan Collective Farming mulai terdegradasi dari sistem sosial seiring dengan dikembangkannya konsep kemandirian (otonomi) secara radikal pasca modernisasi. Hadirnya kembali model Collective Farming menegaskan bahwa sebagai mahluk sosial manusia tidak

bisa menjadi manusia yang otonomi penuh. Sebab sebagaimana dikemukakan oleh Clark (1973) tidak ada sau pun masyarakat yang sama sekali otonom dan benar-benar dapat menggantungkan nasib pada dirinya sendiri. Jejak-jejak sistem Collective Farming masih dapat kita saksikan padi masyarakat adat Kampung Naga, atau pada sistem pengolahan laian secara bersama (sambatan atau seredan) di beberapa daerah di Jawa Barat (Azis, 2002). Namun kehadiran konsep Collective Farming di jaman modern seperti sekarang ini berbeda jauh dengan sistem yang lalu, dimana implementasi model Collective Farming baru lebih bernuansa ekonomis dibanding segi sosialnya.

Tujuan jangka panjang Collective Farming menurut Fakih (2003) adalah mewujudkan suatu usaha pertanian yang mandiri dalam artian berbasis komunitas, berdaya saing, berkelanjutan, efektif dan efisien melalui pengelolaan usahatani secara ekonomis, kolektif dan partisipatif. Modbl ini mirip dengan sistem Agribisnis Berbasis Komunitas sebagaimana di ungkapkan oleh (Sitorus dkk, 2001). Prinsip dari pengembanginya adalah membangun keterpaduan dan kemandirian pengambilan keputusan bersama. Collective Farming merupakan model rekayasa dari Estate Farming dan Corporate Farming. Collective Farming sesungguhnya lebih menekankan kepada pengelolaan bersama usahatani, artinya tidak ada orientasi kepada konolidasi fisik lahan seperti kmsepsi dasar Corporate Farming.

Model Collective Farming merupakan keputusan kolektif para petani yang mengkritisi dampak negatif dari Corporate Farming. Hasil penelitian Setiawan (2002), menunjukkan bahwa petani lebih fentram berusahatani dalam relasi Collective Farming, ketimbang dengan sistem Estate atau Corporate Farming. Adapun respon positif petani atas model Collective Farming lebih disebabkan oleh tingginya kontribusi rasa aman atas petani yang ratarata sebagai besar berstatus penyakap. Sistem sewa dan konsolidasi fisik lahan yang terkandung dalam konsepsi dasar Corporate Farming dan Estate Farming merupakan dua unsur yang sangat ditentang oleh petani kecil khususnya petani kecil yang berstatus penyakap.

Hal itu terjadi mengingat kegiatan usaha di bidang pertanian pada umumnya sangat sensitif jika sudah menyangkut masalah

Page 97: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

97

bagaimana mengelola tanah pertanian agar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. Kalau si pengelola berfikir secara ekonomi, maka yang menjadi tujuan usahatani itu ialah memperoleh pendapatan bersih yang setinggi-tingginya dan tanah itu dapat terus memberikan hasil dalam jangka waktu yang lama. Menurut Berizi (1979), dalam penyusunan rencana pengusahaan lahan perlu memperhatikan hal-hal berikut agar tujuan tersebut di atas tercapai:

- Terbatasnya luas lahan pertanian, tenaga kerja, atau modal ying dapat disediakan, serta keadaan lingkungan yang sudah tertentu;

- Adanya berbagai alternatif usahatani yang dapat dilaksanakan di atas lahan

- tersebut; - Tingkat teknologi yang sudah tertentu untuk setiap macam

usaiatani di - tempat itu, sehingga koefisien korbanan hasil atau input

ouput sudah - tertentu pula; - Harga korbanan (input) dan hasil (output) dari setiap

macam usahatani yang akan menentukan besarnya pendapatan bersih tempat satuan usaha

Melihat hal-hal dalam penyusunan rencana pergusahaan

lahan menurut Barizi (1979) pada point satu di atas, Collective Farming merupakan suatu alternatif yang dapat dipilih oleh petani guna mengusahakan lahan miliknya. Dalam menjalankan usahataninya Mosher (1966) menyatakan bahwa, setiap petani memegang dua peranan. Dia sebagai juru tani (cultivator) dan sekaligus seorang pengelola (manager). Peran sebagai juru tani menyangkut pemeliharaan tanaman dan hewan guna mendapat hasil yang berpaedah, peran sebagai pengelola terutama dalam pengambilan keputusan dan penetapan pilihan cari alternatif- alternatif yang ada. Pada kasus petani kecil, apa yang diungkapkan oleh Mosher benar-benar terjadi, akibatnya secara sosial budaya kecil kemungkinan bagi siapa saja untuk memisahkan petani dari lahannya, sekalipun petani penyakap. Petani sebenarnya sangat rasional, artinya jika lahan mereka disewakan, dan mereka bekerja

sebagai buruh tani berarti statusnya turun satu derajat, yakni dari pemilik atau penggarap ke buruh tani. Hal itu sangat mustahil diterima oleh petani yang subsisten. Disamping itu, jika lahan garapan mereka disewakn kepada pengusaha, maka uang sewa akan jatuh kepada pemilik lahan, hal itu berarti kehilangan pendapatan dan pekejaan. Inilah faktor sosial elonomi yang menyebabkan petani lebih memilih model Collective Farming.

Sumberdaya lahan terutama menyangkut pengusahaan merupakan faktor utama yang menjadi kendala daim penerapan model Estate Farming dan Corporate Farming. Meskipun didalam model Collective Farming masih terkandung kalimat sejumlah areal pertanian yang dikelola secara kolektif, baik berdasarkan ikatan famili, kelompok tani, ataupun ikatan kelompok lainnya, yang merupakan hasil penggabungan lahan yang dimiliki oleh anggotanya untuk mencapai skala ekonomis dalam pengelolaannya (Sa’id dan Intan, 2000). Namun penggabungan lahan tersebut tidak mengarah kepada penyerahan pengusahaan atau konsolidasi fisik lahan, tetapi lebih kepada pengelolaan lahan secara bersama-sama.

Instrumen utama yang menjadi kekuatan dalam model Collective Farming adalah kelembagaan, yaitu peraturan-peraturan hasil kesepakatan bersama dan institusi kelompok tani sehamparan. Helmi (1997) menyatakan bahwa konsep kelembagaan bisa dipahami secara berbeda oleh berbagai orang. Untuk itu penting terlebih dahulu memahami arti dari kelembagaan. North (1990) mendefinisikan kelembagaan sebagai kerangka kerja di dalam mana interaksi diantara manusia terjadi. Lebih jauh ia membedakan antara kelembagaan (institusi) dan organisasi. Menurutnya, organisasi memberikan struktur bagi interaksi manusia berdasarkan kerangka kelembagaan yang dibuat. Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa perhatian terhadap kelembagaan ini penting? Ada beberapa alasan pokok dalam hubungan ini:

• Pertama, kelembagaan adalah alat untuk memfasilitasi kegiatan bersama (connected action) dalam mencapai kemajuan sosal ekonomi dalam pembangunan (Brinkerhoff dan Goldsmith, 1992).

Page 98: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

98

edua, kelembagaan membentuk pola interaksi di antara manusia dan hasil- hasil yang bisa dicapai oleh ni dividual dalam proses interaksi tersebut (Ostrom, 1992).

• Ketiga, kelembagaan dapat meningkatkan manfaat yang dapat diperoleh dari sejumlah input (masukan tertentu), atau sebaliknya dapat menurunkan efisiensi hingga seseorang harus bekerja lebih keras untuk mencapai hasil yang sama (Ostrom, 1992).

• Keempat, kelembagaan membentuk perilaku individu melalui dampak insentif yang ditimbulkannya (Ostrom, 1992). Di antara insentif yang dimaksudkan oleh Ostrom adalah insentif material dalam bentuk uang atau barang dan insentif lainnya sperti kondisi kerja yang lbih baik, terbentuknya hubungan sosial yang menyenangkan, dan perasana keikutsertaan dalam kegiatan penting dan berskala besar.

Hayami dan Kikuchi (1987), mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan- aturan yang dilakukan dengan sangsi-sangsi oleh anggota komunitas untuk memudahkan koordinasi dan kerjasama diatara penduduk yang menggunakan sumberdaya. Oleh karena itu kelmbagaan dicirikan oleh tiga komponen utama, yaitu: (1) batas kewenangan juridiction boundary), untuk menentukan apa dan siapa yang tercakup dalam organisasi, (2) hak dan kewajiban (property right) yang ditentukan oleh hukum, adat, tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat, dan (3) aturan representair (rule of representation) yang mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan kosekuensinya terhadap performa organisasi.

Berdasarkan definisi Collective Farming yang telah dikemukan di atas, maka kegiatan Kelompok Tani yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia mirip dengan ciri-ciri Collective Farming. Bedanya, dari segi pengelolaannya belum terintegrasi dalam suatu sistem manajemen, seperti haiya sistem pengelolaan yang tersirat dalam Collective Farming. Masing-masing anggota kelompok tani yang memiliki lahan biasanya mengelola lahannya

secara sendiri- sendiri, sehingga walaupun mendapat bantuan pengadaan input, teknologi, informasi, dan modal melalui kelompok taninya, tetapi tetap skala ekonomis usahataninya sulit untuk dicapii. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengintegrasikan lahan-lahan yang telah terfragmentasi yang dimiliki oleh masing-masing anggota Kelompok Tani dalam suatu sistem Manajemen Usaha Kelompok Tani Terpadu. Beberapa keunggulan yang dapat diperdeh dengan Collective Farming atau Manajemen Usaha Kelompok Tani Terpadu, antara lain dipaparkan di bawah ini (Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, 2000):

1. Menghindari dampak negatif terjadinya fragmentasi kepemilikan dan atau penguasaan lahan;

2. Pengelolaan usaha milik seluruh anggota Kelompok Tani dilakukan secara terpadu dalam suatu sistem manajemen;

3. Dapat mencapai skala ekonomis dan mampu memiliki efisiensi pengelolaan yang tinggi;

4. Memiliki posisi tawar-menawar dalam pasar yang kuat, baik pasar produk maupun pasar input;

5. Memungkinkan penggunaan teknologi produksi yang lebih ekonomis;

6. Mampu meningkatkan pendapatan anggota secara kolektif; 7. Mempercepat laju penerapan teknologi produksi, yang

berimplikasi pada peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan anggotanya; serta

8. Menjadi sarana pembelajaran bagi anggota dan calon anggota lainnya dalam menguasai teknik-teknik pengelolaan usahatani. Dengan keunggulan-keunggulan Manajemen Usaha

Keompok Tani Terpadu tersebut, maka untuk mencapai keberhasilan terdapat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi, seperti dipaparkan di bawah ini:

1. Terjaminnya transparansi dalam pengelolaannya, membutuhkan manajer- manajer yang handal dan bertanggung jawab;

2. Semua anggota berhak mengawasi jalannya pengelolaan usahatani;

3. Keputusan tertinggi berada di tangan rapat anggota;

Page 99: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

99

4. Terdapatnya jaminan hukum bagi berlangsungnya Manajemen Usah Kelompok Tani Terpadu;

5. Terdapatnya jaminan hukum yang melindungi hak-hak dan kewajiban anggota;

6. Terdapatnya sistem pembinaan Manajemen Usaha Kelompok Tani Terpadu yang efektif;

7. Tersedianya pembiayaan operasi Manajemen Usaha Kelompok Tani Terpadu; Memahami suatu teori atau pendekatan dengan alat analisis

aatu pendekatan yang sama akan terasa sulit melihat kelebihan dan kekurangannya. Untuk itu, memahami Collective Farming akan lebih terasa positif dan negatifnya jika dibandingkan dengan model atau pendekatan lainnya. Mengngat secara kausalistik model Collective Farming lahir sebagai reaksi atas model usahatani bercorak kolektif lainnya yang telah terlebih dahulu lahir dan diimplementasikan, maka terasa urgen untuk menyajikan konsepsi dasarnya, yaitu Estate Farming dan Corporate Farming.

A. Sistem Estate Farming

Estate Farming dapat didefinisikan sebagai sejumlah areal, baik yang terdiri dari satu maupun lebih hamparan (kawasan) pertanian dalam skala besar, yang dikelola secara profesional dengan sistem korporasi, baik yang berstatus milik swasta maupun yang bersatus milik negara. Estate Farming lebih cenderung untuk menggunakan pola usaha monokultur dibandingkan dengan mengusahakan dua atau lebih komoditas. Terdapat beberapa alasan yang menjadi pertimbangan kecenderungan Estate Farming menggunakan pola usaha monokultur, seperti dipaparkan di bawah ini (Ruthenberg, 1976 dalam Sa’id dan Intan, 2000 ):

1. Produsen relatif lebih ekonomis menangani pengadaan input-inputnya dalam jumlah besar;

2. Produsen lebih muda melakukan supervisi dan melakukan pembinaan (melalui pelatihan) kepada tenaga kerja kurang trampil untuk meningkatkan ketrampilannya dalam upaya mencapai produktivitas yang tinggi;

3. Produsen relatif tidak membutuhkan banyak tenaga manajer produksi dan tenaga ahli budidaya, sehingga

pengeluaran overheadnya dapat ditekan; 4. Monokultur lebih membantu proses konservasi lahan

dibandingkan dengan polikultur atau interkultur, karena dengan monokultur proses erosi tanah lebih dapat ditekan;

5. Perusahaan lebih mudah untuk menyeleksi komoditas yang akan diusahakan dan mengatur jadwal penanaman sesuai dengan pertimbangan ekonomis, pasar, dan kecocokan lahan dan iklim. Terdapat beberapa keuntungan dari sistem produksi estate

farming, yaitu kecepatan penguasaan teknis produksi serta konsistensi dalam penggunaannya, lebih efisien dalam pengelolaannya, terutama yang berkaitan dengan biaya, memiliki akeses pasar yang lebih baik, memiliki akses yang lebih baik terhadap kredit pembiayaan usaha, serta memiliki akses terhadap teknologi. Namun demikian, beberapa prasyarat pokok harus dipenuhi dalam mengembangkan agribisnis padi (lahan basah) dengan sistem estate farming., seperti yang dipaparkan di bawah ini:

1. Estate Farming tersebut harus membuka lahan baru dengan hamparan yang luas lengkap dengan fasilitas irigasi dan transportasi, sehingga memerlukan investasi yang sangat tinggi;

2. Estate Farming tersebut tidak untuk dilaksanakan dengan menggunakan lahan yang sudah diusahakan oleh petani, karena banyak permasalahan yang pasti harus diselesaikan terlebih dahulu;

3. Estate Farming harus dikelola secara profesioial, sehingga mampu menghasilkan produktivitas lahan yang tinggi;

4. Estate Farming harus diusahakan di luar Pulau Jawa dan Bali, di tempat- tempat yang kecocokan lahannya tinggi dan ketersediaan sumberdaya penyokongnya tinggi;

5. Estate Farming harus menjadi sararana pembelajaran dan pelatihan bagi para petani di wilayahnya, sehingga akan mampu meningkatkan social capacity

6. Estate Farming harus mampu menjalin kemitraan dengan para petani dan usahatani disekitarnya, sehingga keduabelah pihak mampu maju secara bersama,

Page 100: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

100

khsususnya dalam memperoleh harga jual padi yang wajar; 7. Estate Farming didisain untuk menjadi akselator

pengembangan inovasi dan teknologi agribisnis, khususnya agribisnis padi di luar Jawa dan Bali.

8. Estate Farming harus dilaksanakan dengan orietasi pembangunan berkelanjutan, yakni menjaga keseimbangan ekosistem alam, menjamin stabilitas harga, serta menjamin keberlangsungan pengusahaan sistem komoditas padi secara efisien dan menghaslkan produk yang bermutu tinggi. Pengembangan estate farming dapat memanfaatkan lahan

yang sementara tidak diusahakan atau lahan yang berupa padang rumput. Berdasarkan data penggunaan lahan tahun 1997 (BPS, 1998) terdapat 7,577 juta hektar lahan yang sementara tidak diusahakan. Lahan yang tidak diusahakan tersebut terbanyak berada di Kalimantan Barat seluas 1,52 juta ha, Kalimantan Timur 0,935 juta ha, Sumatera Selatan 0,915 juta ha, Nusa Tenggara Timur 0,689 juta ha, Sulawesi Tengah 0,537 juta ha, dan selbihnya tersebar di seluruh prcpinsi lainnya, terutama di luar Jawa dan Bali. Lahan yang berupa padang rumput luasnya 2,056 juta ha dan terbanyak di luar Jawa dan Bali. Jika 15% saja lahan tidur dijadikan lahan sawah beririgasi dan dikelola secara intensif dalam bentuk estate farming, maka akan diperoleh tambahan luas areal lahan sawah sebesar 1,136 juta hektar.

Kedua bentuk sistem pengelolan usahatani tersebut menjadikn keuntungan sebagi orientasi utamanya, sehingga produktivitas menjadi sasaran utama yang harus dicapai melalui manajemen yang efektif dan efisien. Collective Farming dapat menjadi Estate Farming dengan cara penggabungan beberapa Collective Farming untuk membentuk suatu Badan Usaha, dimana semua anggota berhak memperoleh saham secara adil Disamping itu, jika kedua bntuk pengelolaan usahatani tersebut secara relatif sama-sama kuat, maka keduanya dapat berintegrasi dalam bentuk nucleus-estete atas dasar saling menguntungkan.Dengan demikian, melalui perjalanan waktu diharapkan petani Indonesia bukan lagi dikenal sebagai petani gurem, tetapi dikenal sebagai petani besar dan berdasi.

B. Sistem Corporate Farming

Secara konseptual Collective Farming juga merupakan hasil rekayasa dari model Corporate Farming. Menurut Departemen Pertanian (2000), Corporate Farming adalah suatu bentuk kerjasama ekonomi dari sekelompok petani dengan orientasi agribisnis melalui konsolidasi pengelolaan lahan sehamparan dengan tetap menjamin kepemilikan lahan pada masing-masing petani, sehingga efisiensi usaha, standarisasi mutu, dan efektivitas serta efisiensi manajemen pemanfaatan sumber daya dapat dicapai. Proses menuju konsolidasi lahan ini akan berjalan apabila petani dengan kepemilkan lahan sempit mempunyai keempatan, kemampuan dan kemauan mencari alternatif pekerjaan lain (off-farm dan nonfarm), yang memberikan kesejahteraan lebih baik. Proses tersebut dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan petani dan perkembangan lingkungan agribisnis di wilayah yang bersangkutan.

Tujuan jangka panjang pengembangan Corporate Farming adalah mewujudkan suatu usaha pertanan yang mandiri, berdaya saing dan berkesinambungan melalui pengelolaan lahan secara korporasi. Pendekatan dalam pengembangannya adalah pembangunan pedesaan berbasis agribisnis dengan memanfaatkan peluang sumberdaya dan kelembagaan masyarakat secara optimal.

Ciri pokok dari Corporate Farming adalah sebagai berikut : (1) sekelompok petani sehamparan mempercayaai pengelolaan lahannya kepada suatu lembaga agribisnis dengan suatu perjanjian kerjasama ekonomi tertentu, dimana petani bertindak sebagai pemegng saham sesuai dengan perlusan kepemilikannya; (2) Corporate Farming dibentuk melalui musyawarah/mufakat antar para anggotanya dengan memperhatikan sosial dan budaya setempat; (3) Corporate Farming dipimpin oleh manajer profesional, yang dipilih oleh petani serta dikelola secara transparan, demokratis sesuai dengan kaidah bisnis komersial; (4) Corporate Farming mensyaratkan skala usaha optmal, sesuai dengan kondisi dan kapasitas sumberdaya setempat, potensi dan kapasitas pengembangan agroindutri dan pemasaran, dan ketersediaan teknologi untuk meningkatkan efisiensi, serta kemampuan teknis

Page 101: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

101

pengelolaan ddarn satu manajemen; dan (5) Cakupan kegiatan Corporate Farming tetap bertumpu pada komoditas unggulan di wilayahnya, dan memperhatikan peluang pengembangan dan diversifikasi, baik secara vertikal maupun horizontal.

Keberhasilan corporate farming akan lebih cepat dicapai apabila didukung oleh berbagai faktor antara lin: (1) Pengembangan Corporate Farming dilaksanakan secara terpadu dengan pengembangan ekonomi wilayah setempat;

(2) Tersedianya lapangan pekejaan alternatif lain bagi petai yang mempercayakan pengelolaan laharnya kepada Corporate Farming; (3) Tersedianya dana khusus untuk memulai usaha (start-up business) dan seed capital bagi petani untuk memulai kegatan baru; dan (4) Terdapat embaga (pemerintah/non pemerintah) yang mampu berfungsi sebagai fasilitator. Berbagai hambatan yang diduga akan dapat timbul dalam

pelaksanaan Corporate Farming, apabila antara lain : (1) Pani tidak berkeinginan mempercayakan lahannya untuk dikelola secara korporasi karena alasan ikatan emosional dan kultural; (2) Pala tahap awal Corporate Farming cenderung mengurangi lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang tidak memiliki lahan; Adanya perbedaan persepsi antar petani dalam satu hampaan terhadap Corporate Farming; (4) Kesulitan mencari alternatif usaha bagi para petani kecil yang masih melibatkan kelembagaan tradisional seperti bawon, ceblokan, kedokan, tebasan dan lainnya; (5) Pembentukan Corporate Farming dapat menjadi sumber konflik pranata sosial di pedesaan antara buruh dan manajer; dan (6) Adanya kemungkinan ketidak-terpaduan dalam pembinaan sistem agribisnis termasuk pengembangan prasarana dan penyediaan sarana agribisnis.

Pengembangan Corporate Farming masih memerlukan pengaturan dan fasilitator termasuk instansi pemerintah. Pesan pemerintah darahkan pada penciptaan kondisi yang kondusif guna mendorong partisipasi masyarakat secara aktif, antara lain berupa regiiasi dan pelayanan publik. Secara lebih spesifik, peran permerintah diharapkan berupa: (1) Pelayanan kelembagaan, yang akan memberikan dukungan dalam mendorong pelaksanaan musyawarah/mufakat oleh petani; (2) Penyediaan hasil kajian

dakm berbagai bentuk alternatif rancang bangun kelembagaan yang sesuai dengan kondisi spesifik lokasi dan kebutuhan petani; (3) Fasilitas kerja sama kemitraan dengan unit-unit agribisnis lainnya, baik yang berada dalam wilayah maupun yang berada di luar wilayah; (4) Bimbingan dalam merumuskan bentuk badan usaha yang layak (dapat berbentuk koperasi atau Perseroan Terbatas dsb). Serta proses penentuan manajer dari Corporate Farming; ( 5) Penyediaan sarana publik yang meliputi dukungan prasarana yang menunjang pengembangan Corporate Farming seperti pembangunan dan/atau rehabilitasi sarana irigasi, jalan lapangan, fasilitas penataan dan sertifikasi lahan; dan (6) Dukungan pendanaan, khasusnya untuk start-up business yang akan dikelola manajer dan penyediaan seed cafital bagi petani untuk memuali kegiatan baru, baik kegiatan on farm, off farm, maupun non-farm. Dana ini dikelola oleh manajer sesuai dengan kebutuhan petani dengan menggunakan pola kredit. Apabila pelaksanaan Corporate Farming tersebut sudah mantap, maka dana tersebut digunakan untuk invetasi perluasannya atau untuk mndanai pembentukan Corporate Farming yang baru.

Pengembangan Corporate Farming harus dilakukan secara bertahap mulai dari konsolidasi manajemen secara parsial, konsolidasi pengelolaan secara penuh menuju kepada penataan lahan mtuk mencapai skala pengelolaan ekonomis. Tahap-tahap pengembangan adalah: (1) Tahap persiapan yang meliputi: (a) Studi Diagnotik untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik wilayah dan (b) Perancangan model untuk membangun aturan dan organisasi Corporate Farming dimana dicantumkan kesepakatan hak dan kewajiban petani; (2) Tahap pengembangan model yang meliputi perancangan konsolidasi manajemen produksi untuk mencari manfaat (nilai tambah) dari kesatuan manajemen produksi (on-farm) dan mengupayakan alternatif sumber penghasilan lain (off farm dan non-farm) dan perancangan konsolidasi manajemen olah hasil dan pemasaran; (3) Tahap penataan lahan, dimana idharapkan petani telah mempercayakan pengelolaan usaha kepada Corporate Farming; dan (4) Tahap pemantapan model, dimana petani sudah melakukan konsolidasi manjamen secara penuh dan telah terjadi perluasan kesempatan kerja (di dalam atau di luar Corporate Farming).

Page 102: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

102

Proses pengembangan dari Corporate Farming harus dilakukan secara cermat yang mencakupkan berbagai hal seperti berikut (1) Lokasi diidentifikasi dan diseleksi melalui penelusuran data sekunder dan verifikasi di lapangan. Kegiatan ini yang dilakukan di daerah yang telah dilakukan di daerah yang telah dikembangkan maupun di daerah yang relatif belum banyak tersentuh program pemerintah; (2) Karakteristik biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan dari lokasi sasaran sasaran diidenifikasikan dengan PRA. Data sosial ekonomi, budaya dan data teknis petani hingga pada petakan lahan dikumpulkan dengan metode survei dan wawancara intensif; (3) Hasil analisis PRA dibahas bersama- sama antara petani dengan tim ahli dan pelaksana teknis di pusat dan di daerah untuk merumuskan rancangan tahapan pembentukan Corporate Farming dan penetapan prioritas komponen kegiatan usaha tani yang dicakup dalam Corporate Farming; (4) Model Corporate Farming dirancang/dibentuk dengan metode partisipatif yang melibatkan para pelaku corporate farming termasuk pemerintah daerah; (5) Kinerja model Corporate Farming dievaluasi melalui verifikasi dengan pelaksanaan di beberapa lokasi dan replikasi menurut musim dan hamparan yang berbeda; (6) Has verifikasi dianalisis, dibhas dan disempurnakan dalam forum diskusi untuk merumuskan model pengembangan selanjutnya dari Corporate Farming spesifikasi lokasi.

Dana pengembangan Corporate Farming harus diusahakan baik dari dana pemerintah maupun dari dana perbankan, yaitu: (1) Dana pengembangan infrastruktur publik meliputi farm-road, jaringan irigasi dan lainnya, (2) Dana untuk start-up business dan seed cafital dalam pengembangan off-farm, dan nonfarm serta biaya manajemen Corporate Farming, (3) Dana pembinaan, pelatihan dan monitoring serta evaluasi. Kebutuhan dana untuk setiap model tergantung kepada komoditas, luasan dan kegiatan off-farm yang dikembangkan. Dana pengembangan infrastruktur publik selayaknya menjadi investasi pemerintah, sedangkan dana start-up business dan seed cafital termasuk di dalamnya adalah biaya manajemen Corporate Farming, merupakan dana investasi yang harus dikelola dengan prinsip business sebagai pinjaman kepada Corporate Farming. Dana untuk pembinaan, pelatihan dan monitoring serta evaluasi menjadi

investasi pemerintah.

C. Mekanisme Lahirnya Model Collective Farming Model Collective Farming yang dikupas dalam tulisan in i

secara kausalitas lahir bukan dari hasil pemikiran (perancangan) para pakar, meskipun secara alamiah konsep dasarnya sudah tertancap dalam konsepsi dasar manusia sebagai mahluk sosial, tetapi karena merupakan dampak dari adanya ketidakpuasan para praktisi atas model kolektif yang bermodus eksploitasi, maka lebih mendekat kepada konsep modernisasi. Hal ini membuktikan kebenaran teori sosial, dimana cita-cita akan keadilan sosial hanya akan terwujud jika melibatkan mereka yang tertindas dalam refleksi kritis (Fakih, 2003).

Secara praktis, model Collective Farming yang dikembangkan oleh petani di Desa Rancakasumba lahir sebagai reaksi kritik petani atas model Rice Estate Farming dan Corporate Farming yang diintroduksikan secara top-down kepada para petani. Konsep swastanisasi yang berdiri dibalik kedua model tersebut, rupanya ditentang oleh para peani yang sebagian besar bersatus sebagai penyakap atau penggarap. Hal ini menegaskan bahwa model Collective Farming lahir dari dialektika antara realitas sosial dengan kepentingan ekonomi yang didukung oleh kelompok masyarakat penganut paradigma positifvistik (kaku).

Kecenderungan model Rice Estate Farming dan Corporate Farming yang diusung oleh para penganut aliran fungsionalis, jauh sebelunya pun sudah menjadi polemik. Terkandungnya dua konsep konsolidasi fisik lahan dan perusahaan pengelola menyebabkan petani keberatan. Sedangkan model Collective Farming lebih bernuansa peberdayaan yang menjunjung tinggi prinsip- prinsip pengembangan masyarakat (Community Development), karena didalamnya hanya berbicara tentang konsoildasi pengelolaan Namun secara teknis, mekanisme lahirnya konsep Collective Farming adalah sebagai

berikut: 1. Petani anggota kelompoktani enggan menyerahkan

lahannya (teutama petani penyakap) untuk dikelola oleh pihak lain (perusahaan agribisnis atau korporasi), sekalipun petani dinyatakan sebagai pihak yang disewa

Page 103: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

103

lahannya atau pemilik saham dalam relas Rice Estate Farming dan Corporate Farming.

2. Petani anggota kelompoktani merasa nyaman dengan adanya pinjaman modal yang lunak bunganya dan mudah mekanisme mendapatkannya, serta merasa mendapatkan kemudahan dan ketepatan dalam mendapatkan sarana produksi pertanian dari kelompok, maka mereka sepakat untuk berpartisipasi dalam program Estate Farming dan Corporate Farming, hanya para petani menghendaki agar pengelolaan lahan usahatani tetap diserahkai kepada petani. Berdasarkan kesepakatan bersama kelompok, maka seca"a tidak sadar mereka telah membangun sebuah model Collective Farming yang sebelumnya belum pernah diperkenalkan kepada mereka.

3. Para petani dalam kelompoktani secara partisipatif dan demokratis telah berhasil menciptakan suasana komunikasi dialogis untuk melahirkan inovasi baru (Collective Farming) dengan mentautkan masukan-masukan dari luar dengan aspirasi para petani anggota kelompok tani (sosial budaya setempat).

4. Lahirnya Collective Farming disamping terinspirasi oleh Rice Estate Farming dan Corporate Farming secara konseptual, juga karena adanya stimuli dari pemerintah daerah berupa suntikan dana hibah dan pinjaman atau kredit berbunga rendah.

5. Lahirnya Collective Farming juga tidak terlepas dari partisipasi aktif tokoh- tokoh pertanian setempat. Adanya pemihakan dari aparat desa terutama dari kepala desa yang berlatar belakang petani murni, telah memperlancar proses pengelolaan usahatani dan distribusi informasi. Disamping itu, adanya penyuluh (H. Ida) yang merangkp sebagai petani yang sukses juga memperlancar proses diseminasi informasi dan konsolidasi petani atas dasar kesadaran dan kepercayaan.

6. Lahirnya Collective Farming pada intinya merupakan pengembangan dari Kelompoktani Babakan Sawah yarg secara riil telah lama didirikan oleh para petani atas dasar

kebutulan bersama dalam upiya memecahkan permasalahan usahatani yang kan meningkat, seperti serangan hama penyakit, pola tanam, kekurangan air di musim hujan, dan konflik dengan industri, dan sebagainya.

7. Secara teoritis, lahirnya Collective Farming sangat terkait dengan teori nilai tukar sosial ekonomi. Nhord (1969), menyatakan bahwa pada masyarakat yang berkembang atau maju, kecenderungan orang akan masuk dalam suatu kelompok jika kelompok tersebut memberikan nilai tukar sosial ekonomi kepadanya. Lahirnya Collective Farming juga menjadi indikasi sosial

bahwa suatu masyarakat sudah maju. Menurut Thilbaut dan Kelley (1959), semakin maju suatu masyarakat semakin banyak terbentuk kelompok-kelompok. Berarti semakin banyak pilihan untuk terlibat atau masuk dalam kelompok. Namun demikian, keluar dan masuknya seseorang dalam kelompok akan sangat ditentukan oleh nilai tukar sosial ekonominya.

Namun demikian, lahirnya Collective Farming senyatanya diakui oleh para petani sebagai akibat dari kurang dan tidak terlayaninya kebutuhan- kebutuhan petani oleh lembaga-lembaga pelayanan yang ada. Pada kenyataannya informasi pertanian dari media massa sangat minim, penyuluh pertanian pemerintah tetap terpuruk dan keterkaitannya dengan petani dan peneliti (triangulasi) semakin menunjukkan kesenjangan yang serius (World Bank, 1985; Kaimowitz, 1990), formulator (penyuluh dari perusahaan swasta) cenderung mengejar kepentingan mereka yug dapat bersifat eksploitatif dan destruktif (Roling, 1990), LSM yang hubungannya semakin kuat dengan masyarakat bawah sebagian besar lemah dalam bidang teknik pertanian (Chambers et al, 1989), Pusat Informasi Pasar dan Pertanian (PIP) belum efektif sehingga petani masih tetap berada dibawah bayang-bayang tengkulak, dan sebagainya. Akibatnya, petani -selaku pihak yang dibebani untuk mencapai ektahanan pangan-- tidak mendapatkan informasi yang efektif dan memadai untuk memenuhi kebutuhannya dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya. Padahal Reijntjes et al (1992) mengatkan bahwa pasca Revolusi Hiau petani menghadapi permasalahan yang sangat kompleks, seperti kerusakan lingkungan, resurgensi, erosi genetik, peiurunan

Page 104: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

104

produktivitas lahan, perubahan iklim, ketergantungan atas pupuk dan pestisida sintetis, perubahan pola tanam, pemasaran, pencemaran, dan sebagainya, yang dampaknya akan dirasakan oleh petani dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

D. Mekanisme Kerja Model Collective Farming

Model Collective Farming yang direkomendasikan oleh para pakar dan petani pada dasarnya memiliki mekanisme yang hampir sama dengan model Estate Farming dan Corporate Farming. Namun demikian, mekanisme kerja dari Collective Farming lebih bersifat perpaduan atau sinergi antara mekanisme konseptual dengan mekanisme sosial hasil kesepakatan. Secara riil, mekanisme kerja Collective Farmin adalah sebagai berikut (Setiawan, 2002):

1. Kelompoktani sehamparan merupakan lembaga milik dan kepercayian

bersama petani sebagai lembaga yang memayungi petani anggota kelompok. Petani adalah anggota kelompok dan sekaligus berperan sebagai pihak yang mengusahakan lahan usahataninya, ia harus sadar dan patuh atas kesepakatan-kesepakatan bersama.

2. Collective Farming didirikan oleh petani melalui musyawarah mufakat antara para anggota dengan memperhatikan aspirasi dan aspek sosial budaya setempat.

3. Collective Farming dipimpin oleh seorang tokoh tni atau ketua

kelompoktani yang dipercaya oelh anggotanyadan memiliki profesionalisme. Ia dipilih deh petani anggota kelompok tni dan didampingi oleh seorang sarjana profesional.

4. Pengelolaan lahan dilakukan oleh masing-masing petani anggota kelompok tani dan tidak diserahkan kepada suatu lembaga agribisnis lainnya.

5. Perencanaan pengelolaan dan pengalokasian sumberdaya usahatani termasuk teknologi yang akan diterapkan dibuat dan disepakati secara partisipatif berdasarkan kepada aturan-aturan yang telah direkomendasikan para ahli

atau institusi dan disinergikan dengan pengalaman petani

atau pengetahuan lokal (setempat). 6. Dalam Collective Farming, kelompok tani juga

bekerjasama dengan kelembagaan-kelembagaan pertanian setempat termasuk dengan kelembagaan desa, Cabang Dinas Pertanian, dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP).

7. Pada tahap awal Collective Farming, kelompok melakukan beberapa langkah prepentif, seperti penyeleksian dan pembatasan anggota kelompok. Hal ini ditujukan untuk mengefektifkan pengelolaan pada tahap prakondisi, dan mencegah masuknya petani yang bias orientasi. Secara sosial hal ini ditujukan pula untuk mendidik dan menanamkan kepercayaan kepada petani yang belum menjadi anggota kelompok.

8. Pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi dilakukan secara partisipatif dan intensif, hal ini ditujukkan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan pengendalian dini permasalahan-permasalahan teknis di lapangan.

9. Dana awal yang digulirkan di dalam kelompok pada mulanya merupakan dana pinjaman dengan tingkat bunga rendah, dan sebagian merupakan hibah atau dana stimuli dari pemerintah daerah.

Melihat implementasi rumusan mekanisme Collective

Farming adalah, konsolidasi pengelolaan lahan dan menejemen usahatani. Konsolidasi pengelolaan lahan yang dimaksud adalah petani pemilik atau penggarap lahan dalam suatu hamparan, tunduk dan komit atas kelembagaan yang menaunginya, baik dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, maupun monitoring, yaitu kelompok tani. Petani adalah pemilik sekaligus pihak yang mengusahakan lahannya yang terikat dan bertanggungjawab atas mekanisme kelompok. Lahan petani secara fisik tidak direkayasa atau tdak dikonsolidasikan. Sedangkal konsolidasi manajemen yang dimaksud adalah petani sebagai manajer atas aUhannya diharuskan melakukan pengelolaan usahatani sesuai dengan rekomendasi bersama (kelompok) (Candra, 2001).

Menurut Simatupang (2000), usàia pertanian pada umumnya bersfat constant return to scale yang berarti biaya rata-rata bersifat

Page 105: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

105

konstan artinya tidak berhubungan dengan volume produksi usahatani. Kalaupun ada, skala ekonomi terdapat pada aktivitas di luar usahatani seperti pemasaran dan pengolahan hasil. Hal ini terjadi karena teknologi pertanian pada umumnya netral scale. Teknologi biologis (benih) dan kimiawi (pupuk dan pestisida) bersifat divisible (terbagikan sampai satuan terkecil) sehingga dapat diterapkan secara optmal baik pada usahatani kecil maupun pada uahatani besar. Dengan demikian Collective Farming juga bersifat elastis.

Beberapa mekanisme kerja yang bersifat sosiologis, ekonomis, dan teknis dalam Collective Farming yang diterapkan pada Kelompoktani Babakan Sawah di Desa Rancakasumba adalah sebagai berikut:

1. Semua kebutuhan usahatani anggota disediakan oleh kelompok tari dan anggota diharuskan mengalokaskan semua sumberdaya yang telh disediakan tersebut. Harapannya pengelolaan usahatani dapat berjalan optimal. Berkaitan dengan mekanisme in,i hampir semua petani menjalankannya karena disamping wujud tanggungjawab atas kesepakatan, juga harga yang diterapkan lebih ekonomis dibandingkan dengan harga di toko atau pasar umum.

2. Alokasi sarana produksi pertanian diharuskan tepat waktu, tepat guna, dan tepat jumlah. Untuk itu pendistribusiannya dikelola oleh kelompok secara tepat pula.

3. Secara teknis, sistem pengairai dan pengendalian hama penyakt juga dikelola secara kolektif. Pengairan yang tidak terkelola oleh Perhimpunan Petani Pemakai Air (P3A) dikeola secara partisipatif oleh kelompok, terutama di musim hujan. Pompanisasi yang jika dilakukan secara orang per orang tidak ekonomis, dapat defisienkan melalui pendekatan kolektif. Melalui iuran anggota, kelompok mampu menyediakan mesin pompa untuk kepentingan jangka panjang. Dengan terjaminnya air bagi kegiatan usahatani di musim kemarau, iuran pengairan pun tidak mengalami banyak hambatan. Bahkan di musim hujan pun mereka tetap mau membayar iuran pengairan.

4. Pemasaran hasil usahatani semuanya dikelola oleh kelompok. Menariknya, kelompok melakukan dua sistem pemasaran. Pertama, kelompok tidak menjual padi dalam bentuk gabah, tetapi menjual dalam bentuk beras. Hal ini jauh lebih menguntungkan, karena kelompok memiliki mesin huleur sendiri. Secara ekonomis jelas jauh lebih menguntungkan, apalagi jaringan pemasaran berasnya sudah terjalin. Kedua, jika harga gabah atau beras di pasaran sedang turun, maka keompok menyimpan gabah keringnya di lumbung milik kelompok, jika harga dipasaran sudah kompetitif, kelompok baru menggiling dan menjualnya. Jika petani membutuhkan uang untuk kebutuhan hidup dan keberlanjutan usahataninya, maka dapat meminjam kepada kelompok. Dengan sistem ini petani tidak mengeluh karna diuntungkan secara ekonomis, dan usahatani mereka tetap dapat berjalan secara efektif, sekalipun gabah mereka disimpan di dalam lumbung.

5. Pembayaran pinjaman (kredit) dilakukan oleh kelompok melalui mekanisme pemotongan hasil penjualan. Selama ini kelompok tidak melakukan pemotongan dalam bentuk gabah, karena akan sangat terasa oleh petani, apalagi jika harga gabah sedang turun. Sedangkan mekanisme pemotongan pinjaman dalam bentuk tunai dari hasil penjualan tidak akan terasa oleh petani, karena pemotongan akan dilakukan setelah penjualan, yaitu pada saat harga tinggi. Dengan cara ini, hampir semua pinjaman (98%) dapat kembali dalam satu periode. Adapun pinjaman yang belum tembali (2%), bukan tidak kembali atau macet, tetapi belum kembali. Alasannya, mereka yang belum melunasi adalah petani yang lahannya sempit sekali (rata-rata hanya 0. 03 ha), sehingga kelompok menerapkan kebijakan

untuk tidak memotong kredit mereka sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap. Peluang adanya petani yang tidak membayar kredit jelas sangat kecil, karena gabah petani anggota kelompok semuanya tersimpan di dalam lumbung milik kelompok.

Page 106: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

106

1. E. Peranan Collective Farming

Berbicara tentang peranan Collective Farming secara sosial, ekonomi, teknis, dan kelembagaan sesungguhnya tidak berbeda dengan Kelompok Tani di Taiwan, di Thailand, di Malaysia, dan India. Di Banglades terdapat organisasi irigasi yang mengelola air tanah, ternyata berhasil melakukan fungsi bisnis yang mencakup usaha perkreditan, pemasaran hasil pertanian, pengadaan sarana produksi dan penyewaan mesin-mesin pertanian (Mallorie, 1994 dalam Sutawan, 2000). Axinin dan Thorat (1972), Tajima (1994), dan Bank Dinia (1999) mencatat bahwa di Inggris, di Taiwan, dan di beberapa negara yang pertaniannya sudah maju, kelompok tani atau asosiasi petani (Farmers Associations, Young Farmers Club, Farmers Club, dan sebagainya) sudah mampu menberikan pelayanan konsultansi atau penyuluhan kepada petani.

Di beberapa negara lain, organisasi petani seperti kelompok tani dan perhimpunan petani pemakai air banyak yang sudah mampu berperan dalam banyak hal. Di Malaysia dan Tlailand yang pemeberdayaan kelompok dan pemuda taninya telah dilakukan sejak tahun 1992, telah ada kelompok tani yang mampu berperan dalam kegiatan ekonomi seperti: pengadaaan saprotan, perkreditan, pemasaran hasil-hasil pertanian, pengolahan pasca panen, dan pemberian pelayanan penyuluhan pertanian. (Sutawan, 2000). Begitu pun di Gujarat India terdapat organisasi petani yang mengelola irigasi yang mampu melakukan kegiatan bisnis, seperti pengadaan sarana produks i pertanian, perkereditan, pemasaran hai-hasil pertanian, pengolahan paica panen, dan pemberian penyuluhan pertanian (Shah and Shah, 1994 dalam Sutawan. 2000).

Peranan Collective Farming di Desa Rancakasumba sesungguhnya tidak hanya dalam pengelolaan usahatani dan pemasaran hasilnya saja, tetapi juga mampu menumbuhkan kaum perempuannya (ibu-ibu) tani. Melalui Collective Farming ibu-ibu juga melakukan pengembangan ekonomi melalui pengembangan agroindustri, seperti membuat makanan ringan (rangginang), menjual beras dalam kemasan-kemasan khusus, dan ikut serta mengelola lumbung. Secara riil, Collective Farming cukup berperan dalam pemberdayaan usahatani petani, apalagi petani di

Desa Rancakasumba sebagian besar (51.17%) bertani, sebagian besar petani berpendidikan Sekolah Dasar (5.67%), berlahan sempit (rata-rata dibawah 0.5 hektar), memiliki tanggungan keluarga rata-rata 3 sampai 4 orang (53.33%), dan berusia tua (Candra, 2001).

Secara sosial, keberadaan Collective Farming juga berperan dalam meningkatkan komunikasi antara petani dan dengan pihak-pihak luar, seperti para bandar beras dari Jakarta, para mahasiswa yang melakukan kuijungan dan penelitian, dan perusahaan sarana produksi pertanian. Melalui Collective Farming posisi tawar dan akses anggota menjadi lebih kuat, sehingga mereka tidak menjadi bulan-bulanan pengusaha saprotan, tengkulak, dan peminjam modal liar.

Secara ekonomi, keberadaan Collective Farming berperan dalam penyediaan modal kerja, sarana produksi pertanian, bibit, dan sebagainya yang dapat diperoleh dengan harga lebih murah dan mudah. Pemasaran hasil produksi ditampung oleh kelompok dan djual pada saat harga menguntungkan. Posisi tawar petani menjadi meningkat karena pengambilan keputusan harga ditentukan secara bersama-sama di dalam musyawarah kelonpok. Adanya lumbung menumbuhkan kesadaran petani rntuk menyimpan atau menabungkai hasil panennya dalam bentuk gabah. Penjualan hasil dalam bentuk beras oleh kelompok memberikan keuntungan kepada petani dengan selisih keuntungan Rp. 300,- per kilogram gabah dibandingkan dengan penjualan dalam bentuk gabah. Penjualan dengan sistem kolektif juga meiingkatkan efisiensi biaya pengangkutan dan transfortasi.

Secara teknis, pengelolaan usàiatani anggota berjalan optimal, segala kebutuhan dan permasalahan dapat diselesaikan. Berdasarkan kesepakatan kelompok, setiap petani dapat dengan mudah mendapatkan pinjaman modal dan sarana produksi pertanian berupa 25 kilogram benih, urea 150 kilogram, SP-36 100 kilogram, KCL 100 klogram, dan Zeolit 200 kilogam, untuk setiap hektarnya. Pola tanam dapat berjalan tepta waktu (serempak) karena pelaksanaannya berada dibawah komando kelompok. Dengan demikian serangan hama dan penyakit dapat ditekai. Kekurangan air pada musim kemarau dapat diantisipasi dengan pompanisasi yang murah, karena menggunakan mesin pompa milik

Page 107: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

107

bersama (kelompok). Terminnya kebutuhan air untuk uahatani berdampak positif atas lancarnya iuran pengairan (ipair). Secara riil, optimalisasi penerapan teknologi budidaya dan ketepatan dalam aspek lainya telah meningkatkan hasil panen padi petani per hektar, yakni dari rata-rata 4.7 ton per hektar meningkat menjadi 5.5 ton sampai 6 ton per hektar (Candra, 2001).

Secara kelembagaan, adanya pelayanan yang meyakinkan dari Collective Farming telah mendorong petani untuk ptuh atas kesepakatan kelompok. Kelompok yang jaringannya dengan lembaga desa cukup erat, juga dapat dengan efektif dalam mengkomunikasikan jadual tanam, pertemuan petani tingkat desa, dan dalam pengendalian hama penyakit tanaman. Hibungan kelompok dengan dinas terkait dan pihak-pihak terkait lainnya, baik terkait dengan modal, sarana produksi pertanian, maupun pasir juga terjalin cukup erat. Hadirnya sarjana pendamping sedikit banyak dirasakan oleh para petani. Karena disamping aktif dan komunikatif, juga dapat membenahi administrasi kelompok, seperti Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), pembukuan, dan badan hukum (legal aspec).

F. Peluang Pengembangan Collective Farming

Menyimak peran Collective Farming, baik secara sosial, ekonomi, teknis, dan kelembagaan, maka peluang pengembangan model Collective Farming di Indonesia sangat terbuka dan memungkinkan. Keberdayaan petani di Taiwan, Malaysia, Mesir, dan Thailand sesungguhnya diawali dengan reformasi agraria dan jaringannya berupa kelompoktani. Namun menimbang reformasi agraria di Indonesia masih belum jelas, maka alternatif pemberdayaan dapat ditempuh dengan cara yang keduanya, yaitu melalui Collective Farming. Model ini sangat tepat diterapkan di Indonesia (terutama di Pulau Jawa) yang rata-rata pemilikan dan pengusahaan lahannya sempit-sempit (Tabel 1). Tabel 1. Persentase Rumah Tangga Berdasarkan Luas Kepemilikan

dan Garapan Lahan Sawah dan Lahan Kering di Jawa, 1999

Di Jawa, sekitar 88,00 % rumah tangga petani menguasai

lahan sawah kurang dari 0,5 hektar an sekitar 76,00 % menguasai lahan sawah kurang dari 25 hektar. Kondisi penguasaan lahan sawah di luar Jawa masih lebih baik di banding di Jawa (Tabel 2).

Tabel 2. Persentase rumah tangga berdasarkan luas

kepemilikan dan garapan lahan sawah dan lahan kering di Luar Jawa, 1999.

Model Collective Farming tampaknya mumpuni untuk

dijadikan sebagai alternatif strategi pemberdayaan petani. Namun dalam implementasinya patut berhati-hati. Sebagai tahap prakondisi, pengembangan model Collective Farming sebaiknya jangan dilakukan secara besar-besaran seperti pada kasus Kelompok Tani dan Kredit Usaha Tani (KUT), dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Pengembangan model Collective Farming sebaiknya dilakukan melalui model percontohan sebagai protoipe uituk kemudian dijadikan sebaga pembanding untuk pengembangan di daerah lain.

Hal penting lain yang harus dilakukan dalam rangka pengembangan model Collective Farming adalah menghindari penimbunan modal dari luar, seperti pinjaman-pinjaman uang atau barang. Penimbunan uang dapat merangsang petani untuk berbuat curang (tidak mau mengembalikan) sebagaimana kasus KUT dan KKP. Sedangkan penumpukan sarana produksi dari peruahaan mitra atau investor dapat menumbuhkan metal dagang dan eksploitasi pribadi pada para pengurus kelompok. Pengembangan model Collective Farming sebaiknya dilakukan secara terpadu dengan pemberdayaan pada aspek-aspek lainnya, dan disinergikan pula dengan konsepsi dan model pembangunan wilayah dan daerah otonom secara komprehensif.

G. Keunggulan Model Collective Farming dibanding Model

Estate Farming dan Corporate Farming

Berdasarkan definisi Collective Farming yang telah dikemukan di atas, maka kegiatan Kelompok Tani yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia mirip dengan ciri-ciri Collective Farming. Bedanya, dari segi pengelolaannya belum terintegrasi

Page 108: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

108

dalam suatu sistem manajemen, seperti haTya sistem pengelolaan yang tersirat dalam Collective Farming. Masing-masing anggota kelompok tani yang memiliki lahan biasanya mengelola lahannya secara sendiri- sendiri, sehingga walaupun mendapat bantuan pengadaan input, teknologi, informasi, dan modal melalui kelompok taninya, tetapi tetap skala ekonomis usahataninya sulit untuk dicapii. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengintegrasikan lahan-lahan yang telah terfragmentasi yang dimiliki oleh masing-masing anggota Kelompok Tani dalam suatu sistem Manajemen Usaha Kelompok Tani Terpadu. Beberapa keunggulan yang dapat diperobh dengan Collective Farming atau Manajemen Usaha Kelompok Tani Terpadu, antara lain dipaparkan oleh Sa’id dan Intan (2001) berikut ini:

2. Menghindari dampak negatif terjadinya fragmentasi kepemilikan dan atau penguasaan lahan;

3. Pengelolaan usaha milik seluruh anggota Kelompok Tani dilakukan secara terpadu dalam suatu sistem manajemen;

4. Dapat mencapai skala ekonomis dan mampu memiliki efisiensi pengelolaan yang tinggi;

5. Memiliki posisi tawar-menawar dalam pasar yang kuat, baik pasar produk maupun pasar input;

6. Memungkinkan penggunaan teknologi produksi yang lebih ekonomis;

7. Mampu meningkatkan pendapatan anggota secara kolektif;

8. Mempercepat laju penerapan teknologi produksi, yang berimplikasi pada peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan anggotanya; serta

9. Menjadi sarana pembelajaran bagi anggota dan calon anggota ainnya dalam menguasai teknik-teknik pengelolaan usahatani.

Dengan keunggulan-keunggulan Manajemen Usaha Keompok Tani Terpadu tersebut, maka untuk mencapai keberhasilan terdapat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi, seperti dipaparkan di bawah ini.

1. Terjaminnya transparansi dalam pengelolaannya, membutuhkan manajer- manajer yang handal dan bertanggung jawab;

2. Semua anggota berhak mengawasi jalannya pengelolaan usahatani;

3. Keputusan tertinggi berada di tangan rapat anggota;

4. Terdapatnya jaminan hukum bagi berlangsungnya

kelompok tani terpadu; 5. Terdapatnya jaminan hukum yang melindungi hak-

hak dan kewajiban anggota; 6. Terdapatnya sistem pembinaan manajemen usaha

kelompok tani terpadu yang efektif; 7. Tersedianya pembiayaan operasi manajemen usaha

kelompok tani terpadu; Model Collective Farming bukanlah satu-satunya

sebuah strategi pemberdayaan petani. Banyak model-model lainnya yang kemungkinan akan muncul dan dterapkan, baik yang berupa model canggih maupun model-model yang diadopsi dari kearifan lokal. Apalagi model Collective Farming sendiri memiliki beberapa kelemahan-kelemahan, seperti: H. Dampak model Collective Farming atas Keberdayaan

Petani Keberdayaan sebenarnya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu

keberdayaan jangka pendek dan jangka panjang. Secara konseptual keberdayaan yang dikehendaki oleh sebuah upaya pemberdayaan (empowerment) adalah kedua- duanya, hanya penekanannya lebih kepada yang jangka panjang (Chambers dkk, 1993). Keberdayaan jangka pendek biasanya terwujud oleh karena adanya stimuli, misalnya bantuan dana KUT dan sebagainya. Keberdayaan jangka panjang adalah keberdayaan dalam bentuk kemauan, kemampuan, kesanggupan, kematangan, dan kesiapan masyarakat untuk mandiri, baik dalam mengembangkan, memenuhi, maupun menyelesaikan permasalahna-permasalahan yang dihadapinya (Adimihardja, 1999).

Page 109: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

109

Inti dari pemberdayaan menurut Sayogyo (1994) adalah bahwa dilam melakukan pembangunan pedesaan dan pembangunan pertanian, pegelola program pembangunan tersebut hrus mempunyai kemampuan bersikap membiarkan masyarakat tani menentukan sesuatu yang mereka kehendaki dengan cara-cara yang mereka anggap baik. Pada model pendekatan pembangunan yang demikian, manajemen partisipatif merupakan hal penting yang harus diusung oleh kelembagaan-kelembagaan yang terjun ke pedesaan. Kelembagaan diyakini akan mempengaruhi bentuk perilaku dan pola kegiatan terorganisasi yang muncul dalam kaitan dengan pembangunan pertanian.

Model Collective Farming sesungguhnya berangkat dari perspektif pertanian yang bersifat melibatkan mayoritas kaum tani (egalit) sebagai subyek, yang memunginkan akses mereka terhadap nilai tambah komoditas agribisnis di hulu dan hilir serta di pertanian primer sendiri mengalami peningkatan. Dalam sistem Collective Farming salah satu sumbangan yang paling penting dari petani adalah modal sosial berupa jejiring sosial yaitu kelompok taii sehamparan, disamping sumbangan modal ekonomi, modal alami, dan modal sosial lainnya. Kelompok tani merupakan wadah pengikat yang memungkinkan setiap petani memetik manfaat berupa tindakan kolektif yang menjamin keteaptan, keserempakan dan keterpaduan aplikasi teknologi dan manajemen agribisnis modern dalam usahatani. Potensi kelompok tani dalam pembangunan pertanian tanaman pangan dan hortikultura akan memegang peranan yang sangat besar.

Penekatan Collective Farming pun menghadirkan warna baru tas kelembagaan pedesaan, seperti dengan hadirnya tenaga pendamping (community organizer), kredit lunak, kelompok tani sehamparan, dan sebagainya (Said dan Intan, 2001). Beberapa lembaga keuangan seperti BRI, BPR, Bank Mandiri, dan Bank Bukopin turut serta menguburkan berbagai skim kredit kepada petani. Kehadiran kelembagaan keuangan formal semakin menambah pembendaharaan kelembagaan-kelembagaan keuangan non formá yang sudah lebih dulu eksis dalam masyarakat.

Beberapa dampak Collective Farming atas keberdayaan petani yang bersifat jangka pendek adalah: 1) Petani dapat melaksanakan dan menerapkan teknologi usahatani secara optmal;

2) Petani dapat mengapreiasikan atau menyalirkan aspirasinya, kebutuhan dan permasalahannya dalam komunikasi kelompok; 3) Posisi tawar petui meningkat, karena mampu secara partisipatif terlibat dalam pengambilan keputusan dan penentuan harga; 4) Akses petani terhadap informasi dan sumberdaya produktif lainnya meningkat, seperti terhadap informasi harga, sarana produksi pertanian, dan modal pinjaman; 5) Petani terhindar dari kecurangan-kecurangan para tengkulak, bandar, dan para penjual sarana produksi pertanian liar; karena segala sesuatu sudah disepakati dan diselesaikan melalui kelompok. Sedangkan dampak Collective Farming atas keberdayaan petani dalam jangka panjang sebenarnya belum terlihat, karena keberdayaan itu sendiri sebenarnya akan terlihat jika sudah berjalan lima sampai 10 tahun. Adapun yang sudah tampak adalah pemasaran hasil dan pengelolaan hasil melalui kelompok tani atau lumbung. Satu hal yng dapat terjaga keberlanjutamya adalah keberdayaan ekonomi dalam bentuk agroindustri makanan ringan yang karena keterkaitannya dengan ketersediaan bahan baku di tingkat lokal memungkinkan untuk tetap berdiri dan dikembangkan.

Berdasarkan pertanyaan permasalahan dan uraian pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diratik kesimpulan sebagai berikut:

1. Model Collective Farming lahir sebagai bentuk reaksi dan kritik petani dan pakar-pakar sosiolog yang berpegang pada aliran strukturalis (merakyat) atas model Estate Farming dan Corporate Farming yang berbasis kapital, swasta, dan maksimalisasi keuntungan, yang jelas-jelas bertentangan dengan konsepsi pemberdayaan (empowerment) dan prinsip- prinsip pengembangan masyarakat (Community Development). Karena model Collective Farming lahir secara sosial, maka mekanisme kerjanyapun dibangun atas dasa pendekatan partisipatif dengin tetap mensinergikannya dengan konsep-konsep manajemen modern yang didapat dari sarjana pendamping (Community Organizer). Hadirnya model Collective Farming memberikan peran sosial, ekonomi, teknis, dan kelembagaan yang sangat besar terhadap petani,

Page 110: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

110

keluarga petaii dan masyarakat pada umumnya. Dengai demikian potensi pengembangai Collective Farming sebagai alternatif strategi pemberdayaan petani Indonesia yang rata-rata berlahan sempit dan bermodal kecil sangat terbuka lebar.

2. Keunggulan model Collective Farming dibandingkan model Estate Farming dab Corporate Farming intinya karena berbasis masyarakat, sehingga segala sesuatu manfaatnya mengalir kepada petani kembali, tidak kepihak swasta. Para petani yang sebagian besar berstatus penggarap pun bisa tetap terlibat, melakukan aktivitas, dan tidak kehilang matapencahariannya. Model Collective Farming lebih bersifat memberdayakan petani, keluarga dan mengembangkan masyarakat sekitarnya. Hal ini dicirikan dengan kentalnya nuansa demokatis, partisipatif, transparan, dan menjunjung akuntabilitas dalam setiap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kegiatan-kegiatan kelompok.

3. Dampak pengembangan model Collective Farming atas keberdayaan petani, keluarga petani dan masyarakat sekitarnya jelas sangat besar sekali, baik terhadap aspek ekonomi, osial, maupun kelembagaan. Secira ekonomi pendapatan petani meningkat, kesadaran untuk menabung baik dalam bentuk uang maupun gabah tumbuh, kesadaran membayar ipair dan pajak juga meningkat, dan berkembangnya agroindustri. Secara sosial akses petani atas berbagai sumberdaya produktif meningkat, posisi tawar petani meningkat, partisipasi petani dalam pengambilan berbagai keputsuan meningkat, dan komunikasi petani dengan petani dan pihak lainnya juga meningkat. Secara teknis produktivitas usahatani petani pun meningkat. Secara kelembagaan, daya petani dalam pembuatan keputusan, peraturan, administrasi dan aspek legal pun meningkat.

Oleh karena itu, dalam catatan penutup ini, penulis

menyarankan beberapa hal strategis bagi perbaikan ke depan, yaitu: Karena model Collective Farming tidak jauh berbeda dengan

model Kelompok Tani, maka perlu dijaga konsistensi model tersebut agar jangan berakhir seperti nasib ribuan Kelompok Tani di Indonesia yang hanya nama saja.

Pengembangan model Collective Farming perlu dilakukan secara partisipatif, artinya jangan digeneralisir langsung oleh pemerintah ke seluruh pelosok, karena kondisi sosial budaya masyarakat setempat sangat berpengaruh.

Pengembangan model Collective Farming jangan terjebak dalam

penumpukan modal kapital dan intervensi berlebihan, karena kelompok bisa terjebak dalam model rekayasa sosial (social enginering).

Pengembangan model Collective Farming harus dijaga keberlanjutannya, dan keberadaan sarjana pendamping yang profesional harus dipertahankan hingga kondisi kelompok dan anggotanya benar-benar berdaya. Hal ini sangat penting mengingat permasalahan dan kebutuhan yang dihadapi oleh petani semakin meningkat.

Page 111: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

111

Bab VI Kesimpulan

Di mata petani, 67 tahun merdeka, boleh jadi belum

membuahkan hasil yang memuaskan. 67 tahun merdeka belum mampu menciptakan perubahan kehidupan yang signifikan bagi petani. Jangankan untuk dapat hidup makmur, sekedar untuk menyambungnyawa saja, mereka tampak masih kesusahan. Petani tetap saja hidup dalam suasana miskin dan melarat. Petani tetap terhimpit beban kehidupan yang tidak ringan. Kesengsaraan hidup ini semakin diperparah dengan adanya alih kepemilikan lahan sawah yang digarapnya. Petani yang dulunya memiliki lahan sawah yang layak, kini mulai berkurang karena adanya sistem waris yang terus berlangsung dalam kehidupan petani. Semula petani memiliki lahan sawah 2 hektar. Lalu, diwariskan kepada 8 orang anaknya. Yang terjadi selanjutnya masing-masing hanya memiliki 0,25 hektar. Lantas, apa yang bisa dilakukan dengan lahan sawah seluas itu? Belum lagi petani yang tergiur untuk melepas lahan sawahnya kepada orang kota, dikarenakan merambahnya budaya konsumtif ke perdesaan. Sawah pun dijual dan hasilnya dibelikan motor oleh petani. Mereka tidak pernah memahami dengan baik, apa bedanya sawah dan motor.

Dengan pola hidup yang "asal keren" petani tidak menyadari kalau sawah ditukar dengan motor, ujungnya hanya akan meninggalkan beban kehidupan. Sawah adalah aset yang produktif, sedangkan motor adalah barang konsumtif. Akibatnya, bagi sebagian besar petani kecil, 67 tahun merdeka bukanlah sesuatu yang punya makna khusus, selain mereka harus "kehilangan" sawah dikarenakan terjadinya perubahan gaya hidup. Selanjutnya, bagi mereka yang tergolong dalam barisan petani gurem dan petani buruh, 67 tahun merdeka, terkesan tidak ada apa-apanya. Mereka tetap terjerat dalam budaya hidup miskin. Mereka tetap tidak mampu meningkatkan daya beli ekonomi. Mereka kesulitan memperoleh akses untuk dapat hidup lebih baik. Dan mereka pun terpaksa harus selalu memperoleh jatah program beras untuk rakyat miskin, karena menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), secara rata-rata, yang namanya petani gurem dan petani buruh adalah rumah tangga sasaran Istilah ‘farmer’ sebenarnya

kurang tepat untuk petani Indonesia. Ada istilah lain yang lebih tepat yaitu ‘peasant’, yang artinya kira-kira petani gurem. Farmer dipakai bagi petani yang kaya raya, punya lahan garapan berhektar-hektar bahkan ratusan atau ribuan hektar. Sedangkan petani Indonesia hanya punya lahan rata-rata setengah hektar saja. Bahkan ada yang hanya sebagai pekerja sedangkan pemilik lahannya ongkang-ongkang di kota besar. Dilihat dari latar belakang pendidikan pun petani Indonesia jauh ketinggalan. Rata-rata lulusan SD bahkan ada yang tidak lulus SD. Ini salah satu persoalan pokok yang menjadi background pertanian di Indonesia. Kalau dilihat dari konteks produktivitas pertanian, maka bisa dikatakan pertanian Indonesia mengalami masalah besar karena SDM nya tidak mumpuni. Jika tidak segera ditangani maka ertanian Indonesia akan kembali mengalami masa-masa suram kekurangan pangan.

Jika dikaitkan dengan pertanian masalah SDM pun akan menjadi ganjalan dalam mengimplementasikannya. Ada tiga kunci dalam mencapai keberhasilan pertanian teliti yaitu informasi, teknologi dan manajemen. Ketiga kunci tersebut sangat ditentukan oleh kemampuan SDMnya. Adalah sangat penting bagaimana mendapatkan informasi menggunakan teknologi yang ada kemudian mengolah untuk mendapatkan alternatif atau pilihan-pilihan dalam menentukan kebijakan pertanian. Ini semuanya tergantung SDMnya. Belum lagi masalah non teknis lainnya yang tidak pernah terpikirkan oleh kita. Misal, ada petani yang tidak mau menerima sumbangan traktor dari pemerintah karena warna traktornya tidak sesuai dengan keinginannya (bisa jadi warna traktor tersebut tidak sesuai dengan warna parpol dominan di wilayah bersangkutan). Luar biasa kusut permasalahan pertanian Indonesia.

Di Indonesia, yang disebut petani adalah mereka yang bekerja mengelola lahan. Maka istilah farmer sebenarnya kurang tepat. Farmer dipakai bagi petani yang kaya raya, punya lahan puluhan bahkan ribuan hektar dan hidup di kota besar. Sedangkan petani Indonesia, lebih-lebih di Jawa, rata-rata petani hanya memiliki lahan setengah hektar, bahkan lebih sempit dari itu. Mereka sering disebut petani gurem. Istilah gurem merujuk pada binatang kecil yang keberadaannya nyaris tidak diperhitungkan

Page 112: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

112

manusia. Maka petani gurem dapat digambarkan sebagai sosok petani kecil yang mencoba bertahan hidup dalam keterbatasan. Mereka tinggal di berbagai pelosok Nusantara sebagai akar rumput bangsa. Suaranya nyaris tidak terdengar oleh telinga para pemangku kebijakan. Jumlah petani gurem di Indonesia menempati posisi tertinggi. Data BPS menyebutkan bahwa sekitar 60% atau 120 juta penduduk Indonesia tinggal di pedesaan dan 70% di antaranya hidup dari pertanian. Setengah dari jumlah itu adalah petani gurem atau petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 ha, bahkan sebagian besar bekerja sebagai buruh tani dan buruh perkebunan. Dari tahun ke tahun, jumlah rumah tangga petani gurem terus meningkat. Pada 1993, jumlah rumah tangga petani gurem mencapai 10,8 juta. Jumlah itu meningkat menjadi 13,7 juta rumah tangga pada 2003. Artinya, selama satu dasa warsa terakhir, kehidupan petani semakin memprihatinkan karena semakin banyak rumah tangga petani hanya mengelola lahan sempit.

Semua itu tidak lepas dari background pertanian di Indonesia. Petani kita kurang pendidikannya, rata-rata lulusan SD bahkan ada yang tidak lulus SD. Ini salah satu persoalan pokok yang menjadi kendala produktivitas pertanian. Dan nasib pertanian di Indonesia menjadi tidak menentu karena petaninya kurang bermutu. Mengingat jumlah petani gurem cukup banyak, mereka perlu didorong agar berpikir lebih cermat dan kreatif dalam mengelola lahan sempit , terutama berkaitan masalah ketahanan pangan. Mencita-citakan ketahanan pangan secara makro tidak lepas dari upaya mengangkat citra petani gurem kita. Jika ketahanan pangan petani gurem sudah kokoh, maka secara otomatis problem kerawanan pangan nasional bisa dikurangi. Petani yang sesungguhnya adalah mereka yang benar-benar memiliki komitmen atas pekerjaannya. Dalam kaidah bahasa Indonesia, bertani memiliki arti bercocok tanam atau mengusahakan tanah dengan tanam-menanam. Bertani sendiri, menurut Koentjaraningrat, termasuk bagian dari unsur kebudayaan, dimana proses bertani bukan hanya kerja menanam dan memetik hasilnya, melainkan juga sebagai kesatuan hidup. Para petani gurem perlu diajak lebih kreatif mengelola lahan sempit. Petani yang telaten pasti bakal panen, dan sebaliknya yang malas-malasan akan tergilas zaman. Untuk mewujudkan petani gurem yang

telaten, perlu dukungan informasi, teknologi dan manajemen. Sangat penting bagi petani gurem untuk pendapatkan informasi dengan memanfaatkan teknologi yang ada agar memiliki wawasan yang memadai dalam mengelola aset pertanian. Petani juga perlu didorong lebih mencintai alam sebagai sumber penghidupan. Di jaman sekarang informasi begitu mudah diakses lewat internet. Para petani kini sudah akrab dengan hand phone yang bisa digunakan untuk mencari informasi seputar dunia pertanian. Tidak perlu menunggu penyuluhan dari Dinas Pertanian seperti dahulu. Maka tidak alasan bagi petani gurem untuk menyalahkan keadaan, apalagi meratapi keterbatasan lahan. Jalan terbaik untuk merubah keadaan adalah mensyukuri apa yang dimiliki. Bergerak secara mandiri dan mengelola lahan sebaik mungkin agar menghasilkan bahan pangan.

Page 113: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

113

DAFTAR PUSTAKA Asian Development Bank dan Ministry of Agriculture. Final Report

Agriculture and Rural Development Strategy Study. Jakarta, May 2004.

Asian Development Bank. Handbook on Poverty and Social Analysis. A Working Document. December 2001.

Blackburn, James and Jeremy Holland (eds). Who Chanes? Institutionalizing Participation in Development. Intermediate Technology Publications; North Yorkshire, UK, 1998.

Carrol, Thomas F. Social Capital, Local Capacity Building and Poverty Reduction.Social Development Paper No. 3. Office of Environment and Social Development, Asian Development Bank; Manila, Philippines, 2001.

Boomgaard, Pieter, 1989c. Children of The Colonial State. Population Growth and Economic Development in Java, 1795-1880. Amsterdam: CASA Monograph No. 1.

Endang Suhendar & Yohana Budi Winarti, 1998. Petani dan Konflik Agraria. Bandung: Akatiga.

Geertz, Clifford, 1976. Involusi Pertanian. Jakarta: Bhratara. Masri Singarimbun dan D.H. Penny, 1984. Penduduk dan

Kemiskinan: kasus Sriharjo di pedesaan Jawa. Jakarta: Bhratara.

Mubyarto, 1991. “Menerawang Masa Depan Pertanian Indonesia”, dalam Mubyarto dkk., Hutan, Perladangan dan Pertanian Masa Depan, P3PK UGM..

Murtilaksono, et al, 2002. “Ketahanan Pangan di Indonesia: Paradoks Penyediaan dan Konsumsi”, dalam Dinamika Pedesaan dan Kawasan Vol. 2/02, halaman 9-21.

Popkin, Samuel L., 1979. The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam. Berkeley: University of California Press.

Raffles, T.S., 1965. The History of Java, vol.I. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Scott, James C., 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.

Selo Soemardjan, 1984. ” Land Reform di Indonesia”, dalam Sediono M.P Tjondronegoro & Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah. Jakarta: Gramedia, halaman 103-112.

Setten van Der Meer, N.C.van, 1979. Sawah cultivation in ancient Java: Aspects of development during the Indo-Javanese period, 5th to 15th century. Canberra: ANU Press.

Sunarji, 2005. Hukum Agraria, Jakarta: Badan Penerbit IBLAM. Wolf, Eric R., 1969. Peasant War of the Twentieth Century, New

York: Harper Colophon Books. Anonim. 2008a. Petani Minta Harga Gabah Naik. Kompas, 16

Februari 2208. Anonim. 2008b. Izin Baru Harus Direm, Ada 513 Konflik Lahan

Rakyat dengan Perkebunan. Kompas, 19 Februari 2008. Anonim. 2008c. Info Harga Anthurium. Agrobisnis, Oktober 2007. Bunch, R. 1982. Two Ears of Corn, A Guide to People-Centered

Agricultural Improvement. World Neighbors. Hartaningsih, M. 2006. Ketahanan Pangan, Bioteknologi Bukan

Segalanya. Kompas 13 April 2008. Satria, A. 1997. Transformasi ke Arah Pertanian Berbudaya

Industri. Analisis CSIS 7. Soekartawi. 1995. Pembangunan Pertanian. PT Raja Grafindo

Persada. Jakarta. Yustika, A.E. 2008. Pangan Murah dan Sindrom Kelangkaan.

Kompas, 20 Februari 2008. Adimihardja, K. (1999). Petani, Merajut Tradisi Era Globalisasi.

HUP, Bandung. Axinn dan Torat (1972). Modernizing World Agriculture. Michigan. Berizi (1979). Teknik Perencanaan Linier Untuk Penyusunan

Rencana di Bidang Pertania. IPB, Bogor. Bromley, D. (1982). Land and Water Problems: An Institutional

Perspective. American Journal of Agricultural Economics. Volume 64,

December 1982. Brienkerhoff, D.W, and Goldsmith, A.A. (1992). Promoting the

Sustainability of Development Institutions: A Famework

Page 114: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

114

for Stretegy. Journal of Development, Volume 20 Nomor 3.

Chambers, R., Pacey, A, and Thrupp, L.A. (1989). Farmer First: Farmer Innovation and Agricultural Rsearch. London: Intermediate

Technology Publications. Candra (2001). Studi Kemungkinan Penerapan sstem Corporate

Farming. Skripsi, Unpad Bandung Clark, TA. (1973). Inputs and National Societal Characteristic: The

Isue of Local Outonomy. Beverhills, London. Departemen Pertanian (2002). Kebijaksanaan Nasional

Penyelnggaraan Penyuluhan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.

Departemen Pertanian (2002). Profil Kelembagaan dan Ketenagaan Penyuluhan Pertanian. Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian, Jakarta.

Dinas Pertanian (2000). Panduan Rice Estate and Corporate Farming. Bandung.

Ellis, F. (1988). Peasant Economics, Farm Houshold and Agrarian Development. Cambridge University Press.

Fakih, M. (2003). Runtuhnya Teori Pembangunan dai Globalisasi. Insist, Yogyakarta.

Ganjar Kurnia (2004). Petani: Pejuang yang Terpinggirkan. Unpad, Bandung.

Hayami dan Kikuchi (1987). Lingkaran Setan Kemiskinan dan Shared Poverty. LP3ES, Jakarta.

Helmi. (1997). Pemberdayaan Kelembagaan Pengelola Air di Sumatera Barat. Andalas, Padang.

Kaimowitz, D. (1990). Making The Link: The Agricultural Research/Technology Transfer Interface in Develoving Nations. Boulder, CO: Westview Press.

Kasryno dan Adnyana (2001). Outlook Pertanian Indonesia. PSE, Bogor.

Kaunda, K. (1974). Humanism and a Guide to it Imfementation. Part 2, Goverment Printer, Lusaka.

Kim Dae-jung. (2001). Human Resources in Globalization. Word Bank.

Krismantoro Adji (2003) Kajian Pemberdayaan Petani Sayiran Melalui Kemitraan. Disertasi, PPS Unpad.

Mosher AT. (1966). Membangun dan Menggerakan Peranian. Yasaguna, Jakarta.

Mubyarto (1994). Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES, Jakarta. Nawawi, H. (1999). Pengembangan Sumberdaya Manusia. Rineka

Cipta, Jakarta. Ostrom, E. (1992). Crafting Institutions for Self-Governing

Irrigation System. San Fransisco: ICS, Press. Reijntjes, Coen, and Bartus (992). Pertanian Masa Depan.

Kanisius, Yogyakarta. Rivera, W.M., and Gustafson, DJ. (1991). Agricultural Extension:

Worldwide Institutional Evolution and Farces for Change. Elsevier Science Publishing, Amesterdam.

Roling, N. (1990). The Agricultural Research-Technology Transfer Interface: A Knowledge System Perspective. Boulder, CO: Westview Press.

Satari, Gunawan. (1999). Pembangunan Pertanian dalam Mienium Ketiga, Implikasinya Pada Pendidikan Tinggi Pertanian. Unpad, Bandung.

Saragih, Bungaran (2000). Pembangunan Agribisnis. PSP, Bogor. Sa’id, E dan Intan, H. (2001). Pembangunan Agribisnis. IPB,

Bogor. Setiawan, Iwan (2002). Strategi Pemberdayaan Komunikasi Petani.

IPB, Bogor. Sinaga and White (1980). Problem of Institutional Agriculture in

Indonesia. UI, Jakarta. Sitorus, F. (2001). Agribisnis Berbasis Komunitas. IPB, Bogor. Scott, J. (1993). Perlawanan Kaum Tani. LP3ES Press, Jakarta. Soelaiman and Indro (1998). Menohok Kebijakan Diversifikasi

Pertanian. LP3ES, Jakarta. Soewardi, H. (1972). Respon Masyarakat Desa Terhadap

Modernisasi Produksi Pertanian Terutama Padi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Tjondronegoro, MP. (1990). Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa. Prisma, 1990. Jakarta.

Page 115: Mengutuk Diri Menjadi Petani Membela Harga Diri, Menyuarakan …iainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Riset-Mengutuk... · nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan

115

Van den Ban and Hawkins, H.S. (1999). Penyuluhan Pertanian: Terjemahan Agricultural Extension oleh Agnes Dwina Herdiasti. Kanisius, Yogyakarta.

World Bank (1985). Agricultural Research and Extension: An Evaluation of The World Bank’s Experience. Washington, DC: World Bank.