menanti kepastian moratorium - ftp.unpad.ac.id filekehutanan dan kementerian lingkungan hidup. kedua...

1
SKEMA REDD+ sebagai upaya mitigasi terhadap perubahan iklim global telah melibatkan masyarakat dunia. Sejumlah negara maju tertarik menda- nai program tersebut, salah satunya Norwegia. Melalui kesepakatan yang dituangkan dalam letter of intent (LoI) yang ditandata- ngani Indonesia dan Norwegia pada Mei 2010 lalu, Norwegia berkomitmen menyumbang dana senilai US$1 miliar (seki- tar Rp9 triliun rupiah) secara bertahap bila pemerintah In- donesia berhasil mengurangi pemanasan global dan peru- bahan iklim. Kerja sama itu akan berlangsung selama tiga tahap, yaitu tahun 2010, tahun 2011-2014, dan pasca-2014. Dalam LoI itu disebutkan sa- lah satu syarat pencairan dana adalah Indonesia harus mela- kukan moratorium kehutanan atau penghentian izin peneban- gan hutan selama 2011-2012. Namun hingga memasuki bulan keempat 2011 saat ini, moratorium itu tak kunjung terlaksana. Sejumlah kalangan pun menuding pemerintah tidak memiliki pendirian dalam menentukan konsep morato- rium hutan. Lobi pengusaha yang berkarib dengan politisi pengambil kebijakan dini- lai menjadi salah satu faktor utama mandeknya proses moratorium tersebut. ’’Contoh nyata ketidakjela- san konsep pemerintah terlihat pada tarik ulur konsep mora- torium yang akan diadopsi pemerintah dalam peraturan presiden (perpres) tentang moratorium,’’ ujar Kepala De- partemen Keadilan Iklim Wa- hana Lingkungan Hidup Indo- nesia (Walhi) Teguh Surya, saat dihubungi MI, Selasa (12/4). Menurutnya, ada dua versi draf proposal moratorium, yakni draf versi satuan tugas (satgas) REDD+ pimpinan Kun- toro Mangkusubroto dan draf versi Kementerian Koordina- tor (Kemenko) Perekonomian yang didukung Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kedua draf jelas memperlihatkan pe- rang kepentingan antara pihak yang menyuarakan pelestarian lingkungan dan pihak pengu- saha hutan. Draf versi satgas REDD+ mencakup penghentian pe- nebangan hutan primer (hutan perawan/asli) dan sekunder (hutan yang tumbuh kembali secara alami setelah ditebang atau kerusakan yang cukup luas) dengan keluasan hutan mencapai 64 juta hektare. Seba- liknya draf versi kemenko ma- sih memungkinkan perpanjang- an izin-izin pengelolaan hutan sekunder. Karena itu, luas hutan dalam draf itu lebih kecil, hanya sekitar 42,6 juta hektare. Sebagai upaya penyelesaian, Presiden kemudian meme- rintahkan Wakil Presiden dan Menteri Koordinator Perekono- mian untuk memadukan kedua konsep itu. Pegiat pelestari lingkungan jelas meragukan langkah tersebut. “Merger 2 konsep itu justru memuat kontradiksi konsep moratorium. Bagaimana mung- kin merger itu akan memuat misi penyelamatan dan misi penghancuran hutan sekali- gus,” cetus Teguh. 17 miliar Jika dibandingkan dengan keuntungan yang didapat pe- merintah dari hasil hutan yang menurut Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) men- capai US$17 miliar/tahun, nilai hibah dana Norwegia yang ’ha- nya’ US$1 miliar jauh lebih ke- cil. Besaran nilai itu membuat kalangan pengusaha hutan optimistis bahwa pemerintah pasti mempertimbangkan ke- pentingan pengusaha hutan. “US$17 miliar mau ditukar dengan US$1 miliar (dana mo- ratorium)? Tidak masuk akal,” tandas Wakil Ketua Bidang Organisasi APHI Salahudin Sampetoding. Pihaknya jelas menolak jika keseluruhan hutan masuk pro- gram moratorium. Karena, menurutnya, substansi mora- torium itu sudah jelas tercan- tum dalam kesepakatan awal konsesi hutan yang diberikan kepada pengusaha. Lagi pula, lanjut Salahudin, pengusaha hutan memanfaat- kan hutan melalui hak pengu- sahaan hutan (HPH) atas dasar kesepakatan hukum. “HPH ini seperti sertikat. Kalau mau di- cabut tidak semudah itu. Ini kan negara hukum,” cetusnya. Bagi APHI, yang terpenting saat ini adalah melihat kembali secara saksama pihak mana yang sebenarnya melakukan pembabatan hutan secara se- rampangan, merekalah yang harus ditindak. Lepas dari berbagai perta- rungan kepentingan, saat ini seluruh pihak mengharapkan ketegasan pemerintah dalam menyikapi rencana moratori- um kehutanan. Sebab, bantuan Norwegia bukan tanpa aturan. Bantuan itu berbasis kinerja. Jika kinerja Indonesia pada ta- hun ini dinilai buruk, kucuran bantuan tahap berikutnya tidak akan diberikan. Pemerintah juga perlu mem- pertimbangkan pentingnya kelestarian hutan untuk masa depan, bukan hanya mengejar keuntungan untuk kepentingan sesaat. (*/S-3) Menanti Kepastian Moratorium Bagaimana mungkin merger itu akan memuat misi penyelamatan dan misi penghancuran hutan sekaligus.” Teguh Surya Kepala Departemen Keadilan Iklim Walhi berapa waktu lalu. Data kementerian kehutanan 2009 menyebut laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,2 juta hektare per tahun. Dengan laju sebesar itu diperkirakan semua area JUMAT, 15 APRIL 2011 19 N IORA n Kunci yang Terabaikan IBARAT orang sakit kanker, hutan Indonesia kini tengah memasuki stadium IV. De- forestasi, degradasi kualitas dan kuantitas telah terjadi secara luar biasa dan sulit di- sembuhkan. Tak pelak lagi, tudingan konspirasi antara pengusaha hutan dan pejabat pun semakin menyeruak. Modus lama pembalakan liar (illegal logging) dengan strategi baru yang lebih cang- gih pun kini jadi tren dan bah- kan sudah dianggap sebagai kejahatan terorganisasi dan transnasional. Dalam kejahatan yang teror- ganisasi ini, biasanya pemilik modal membayar warga se- tempat guna membuka lahan, membakar, hingga menebang. Tak cukup di situ, orang-orang kecil itu juga disuruh mena- nami lahan gundul itu de- ngan tanaman yang laku di pasaran. ‘’Pengusaha HTI (hutan tanaman industri), pelaku izin tebang, orang-orang yang diba- yar, semua terlibat di dalam- nya,’’ kata Manajer Kampanye Hutan Wahana Lingkung- an Hidup Indonesia (Walhi) Deddy Ratih kepada Media Indonesia, kemarin. Kejahatan terhadap kehu- tanan (crime against forestry) itu, kata Deddy, di samping mengancam kelestarian alam, pun telah meneror kelangsung- an hidup ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat lokal. ‘’Kasus ini kami banyak temukan di Sumatra Selatan, yang memang kini jadi fokus kami.’’ Deddy mencontohkan, kasus penerbitan izin usaha peman- faatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT) ke- pada 15 perusahaan kehutanan yang ada di Pelalawan, Riau, beberapa waktu lalu. Imbasnya, negara diperkira- kan rugi Rp1,2 triliun (pem- babatan hutan) karena ditilap para cukong kayu berbeking raja-raja kecil di daerah ter- sebut. ‘’Kami menduga kuat ada gratikasi dan kolusi terhadap keluarnya izin lahan konsesi HTI itu,’’ kata Deddy. Deddy menilai kasus itu hanyalah puncak gunung es dari berbagai kasus deforestasi bermodus kolusi antara pejabat dan swasta. Selain Riau, ia juga melihat adanya indikasi kasus serupa di Sumatra Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara. ‘’Kami memang belum bisa membuktikan keterlibatan pe- jabat-pejabat itu, tetapi ketidak- pedulian mereka atas masalah ini sudah dianggap sebagai keterlibatan,’’ tandasnya. Koordinator Program Per- ubahan Iklim Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Eko- logis (HuMa) Bernadinus Steni menilai pemerintah tidak serius mengawal kejahatan illegal log- ging. Itulah yang lantas meng- hambat lambannya kucuran dana dari Norwegia lewat program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+). ‘’Mestinya jangan lihat ada dana atau enggak, proyek- proyek pelestarian itu tetap harus ada karena untuk kita sendiri,’’ kata Steni. Di sisi lain, Direktur Jen- deral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan Darori mengemukakan setiap bentuk pelanggaran terhadap aturan kehutanan pasti diproses secara hukum. Baik itu pembalakan liar maupun perselingkuhan aparat dan pengusaha tetap akan ditindak jika bermain- main dengan hukum. ‘’HPH (hak pengusahaan hutan) yang bermasalah pun kita tindak.’’ Adapun untuk meminimal- isasi deforestasi dan degradasi hutan saat ini dan ke depan, Kemenhut sudah melakukan upaya dalam konteks perun- dang-undangan yang selama ini dinilai masih lemah. Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pem- berantasan Pembalakan Liar (RUU P3L) pun tengah digodok di parlemen. ‘’Kita reformasi dahulu hukumnya di DPR. RUU-nya itu sudah hampir selesai pembahasannya di DPR dan ini awal untuk meng- atasi lemahnya perundang-un- dangan selama ini.’’ (*/H-2) Pembalakan Liar tidak Disikapi Serius ekonomi, itulah yang membuat kelestarian hutan bakau di Nusa Lembongan terjaga. Penyimpan karbon Bagi penduduk Nusa Lembongan, manfaat hutan bakau mungkin hanya sebatas keuntungan ekonomi dan terjaganya pantai mereka dari gempuran abrasi. Namun sejatinya, hutan bakau yang terjaga baik itu punya manfaat jauh lebih besar bagi masyarakat global. Pasalnya, pada ekosistem global, hutan bakau ikut berperan menghilangkan karbon dari atmosfer dan menguncinya dalam tanah hingga bertahan sampai ribuan tahun. Penyerapan karbon dari atmosfer itu dapat meminimalisasi efek rumah kaca dan kenaikan suhu global (global warming). Tidak seperti hutan daratan, hutan bakau yang bisa memiliki akar hingga bermeter-meter secara terus menerus memang membangun kantong karbon dan menyimpannya pada sedimen dasar laut. Studi oleh Center for Internatinal Forestry Research (Cifor) dan USDA Forest Service menemukan kepadatan karbon di hutan bakau empat kali lebih tinggi daripada di hutan tropis di dataran tinggi. “Serupa dengan lahan gambut, bakau menyimpan banyak karbon di bawah permukaan laut,’’ ujar peneliti senior Cifor, Daniel Murdiyarso. Data satelit terakhir menunjukkan, Indonesia mempunyai 3,1 juta hektare bakau atau 22,6% dari bakau dunia. Sayangnya, tidak semua masyarakat pesisir bertabiat seperti masyarakat Nusa Lembongan. Banyak di antara mereka yang justru merusak hutan bakau dengan seribu alasan. Seperti dikutip dari Cifor, di Kalimantan 7,92% hutan bakau lenyap setiap tahunnya antara 2000-2005. Bila dirunut dari tahun ke tahun, hutan mangrove yang telah terdeforestasi sehingga dalam kondisi rusak berat mencapai 42% dan rusak 29%. Alih lahan hutan bakau jadi tambak udang dan kepiting serta pembangunan infrastruktur adalah penyebabnya. Padahal, kata peneliti Cifor lainnya Louis V Verchot, jika hutan bakau rusak, selain akan melepas karbon juga melepas gas rumah kaca jenis nitrooksida yang nilai emisinya tiga ratusan kali lipat karbon. Pelepasan gas-gas rumah kaca itu jelas diharamkan dalam program REDD+. Oleh karena itu, kalau Indonesia mau sukses dalam mengimplementasikan program REDD+, pelestarian lahan basah seperti hutan gambut dan hutan bakau mutlak diperlukan. (Eni Kartinah/H-2) mati suasana di kawasan ekowisata hutan bakau di Desa Jungut Batu, gkan keuntungan ekonomi, keberadaan hutan itu juga bermanfaat emisi karbon. KEJAHATAN KEHUTANAN: Seorang perempuan berjalan dengan membawa potongan kayu dari pohon di salah satu area hutan yang telah ditebangi, di Kabupaten Landak, Kalbar, beberapa waktu lalu. Beragam kejahatan terhadap kehutanan (crime against forestry) mengancam keberhasilan program REDD+. ANTARA/ISMAR PATRIZKI ANTARA/NYOMAN BUDHIANA ANTARA/ERIC IRENG

Upload: hoanglien

Post on 11-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Menanti Kepastian Moratorium - ftp.unpad.ac.id fileKehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kedua ... rang kepentingan antara pihak yang menyuarakan pelestarian lingkungan dan pihak

SKEMA REDD+ sebagai upaya mitigasi terhadap perubahan iklim global telah melibatkan masyarakat dunia. Sejumlah negara maju tertarik menda-nai program tersebut, salah satunya Norwegia.

Melalui kesepakatan yang dituangkan dalam letter of intent (LoI) yang ditandata-ngani Indonesia dan Norwegia pada Mei 2010 lalu, Norwegia berkomitmen menyumbang dana senilai US$1 miliar (seki-tar Rp9 triliun rupiah) secara bertahap bila pemerintah In-donesia berhasil mengurangi pemanasan global dan peru-bahan iklim. Kerja sama itu akan berlangsung selama tiga tahap, yaitu tahun 2010, tahun 2011-2014, dan pasca-2014.

Dalam LoI itu disebutkan sa-lah satu syarat pencairan dana adalah Indonesia harus mela-kukan moratorium kehutanan atau penghentian izin peneban-gan hutan selama 2011-2012. Namun hingga memasuki bulan keempat 2011 saat ini, moratorium itu tak kunjung terlaksana.

Sejumlah kalangan pun menuding pemerintah tidak memiliki pendirian dalam menentukan konsep morato-rium hutan. Lobi pengusaha yang berkarib dengan politisi pengambil kebijakan dini-lai menjadi salah satu faktor utama mandeknya proses moratorium tersebut.

’’Contoh nyata ketidakjela-san konsep pemerintah terlihat pada tarik ulur konsep mora-torium yang akan diadopsi pemerintah dalam peraturan presiden (perpres) tentang moratorium,’’ ujar Kepala De-partemen Keadilan Iklim Wa-hana Lingkungan Hidup Indo-nesia (Walhi) Teguh Surya, saat dihubungi MI, Selasa (12/4).

Menurutnya, ada dua versi draf proposal moratorium, yakni draf versi satuan tugas (satgas) REDD+ pimpinan Kun-toro Mangkusubroto dan draf versi Kementerian Koordina-tor (Kemenko) Perekonomian yang didukung Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kedua draf jelas memperlihatkan pe-rang kepentingan antara pihak yang menyuarakan pelestarian lingkungan dan pihak pengu-saha hutan.

Draf versi satgas REDD+ mencakup penghentian pe-nebangan hutan primer (hutan perawan/asli) dan sekunder (hutan yang tumbuh kembali secara alami setelah ditebang atau kerusakan yang cukup luas) dengan keluasan hutan mencapai 64 juta hektare. Seba-liknya draf versi kemenko ma-sih memungkinkan perpanjang-an izin-izin pengelolaan hutan sekunder. Karena itu, luas hutan dalam draf itu lebih kecil, hanya sekitar 42,6 juta hektare.

Sebagai upaya penyelesaian, Presiden kemudian meme-rintahkan Wakil Presiden dan Menteri Koordinator Perekono-

mian untuk memadukan kedua konsep itu. Pegiat pelestari lingkungan jelas meragukan langkah tersebut.

“Merger 2 konsep itu justru memuat kontradiksi konsep moratorium. Bagaimana mung-kin merger itu akan memuat misi penyelamatan dan misi penghancuran hutan sekali-gus,” cetus Teguh.

17 miliarJika dibandingkan dengan

keuntungan yang didapat pe-merintah dari hasil hutan yang menurut Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) men-capai US$17 miliar/tahun, nilai hibah dana Norwegia yang ’ha-nya’ US$1 miliar jauh lebih ke-cil. Besaran nilai itu membuat kalangan pengusaha hutan optimistis bahwa pemerintah pasti mempertimbangkan ke-pentingan pengusaha hutan.

“US$17 miliar mau ditukar dengan US$1 miliar (dana mo-ratorium)? Tidak masuk akal,” tandas Wakil Ketua Bidang Organisasi APHI Salahudin Sampetoding.

Pihaknya jelas menolak jika keseluruhan hutan masuk pro-gram moratorium. Karena, menurutnya, substansi mora-torium itu sudah jelas tercan-tum dalam kesepakatan awal konsesi hutan yang diberikan kepada pengusaha.

Lagi pula, lanjut Salahudin, pengusaha hutan memanfaat-kan hutan melalui hak pengu-sahaan hutan (HPH) atas dasar kesepakatan hukum. “HPH ini seperti sertifi kat. Kalau mau di-cabut tidak semudah itu. Ini kan negara hukum,” cetusnya.

Bagi APHI, yang terpenting saat ini adalah melihat kembali secara saksama pihak mana yang sebenarnya melakukan pembabatan hutan secara se-rampangan, merekalah yang harus ditindak.

Lepas dari berbagai perta-rungan kepentingan, saat ini seluruh pihak mengharapkan ketegasan pemerintah dalam menyikapi rencana moratori-um kehutanan. Sebab, bantuan Norwegia bukan tanpa aturan. Bantuan itu berbasis kinerja. Jika kinerja Indonesia pada ta-hun ini dinilai buruk, kucuran bantuan tahap berikutnya tidak akan diberikan.

Pemerintah juga perlu mem-pertimbangkan pentingnya kelestarian hutan untuk masa depan, bukan hanya mengejar keuntungan untuk kepentingan sesaat. (*/S-3)

Menanti Kepastian Moratorium

Bagaimana mungkin merger

itu akan memuat misi penyelamatan dan misi penghancuran hutan sekaligus.”

Teguh SuryaKepala Departemen Keadilan Iklim Walhi

berapa waktu lalu. Data kementerian kehutanan 2009 menyebut laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,2 juta hektare per tahun. Dengan laju sebesar itu diperkirakan semua area

JUMAT, 15 APRIL 2011 19NIORA

n Kunci yang Terabaikan

IBARAT orang sakit kanker, hutan Indonesia kini tengah memasuki stadium IV. De-forestasi, degradasi kualitas dan kuantitas telah terjadi secara luar biasa dan sulit di-sembuhkan. Tak pelak lagi, tudingan konspirasi antara pengusaha hutan dan pejabat pun semakin menyeruak.

Modus lama pembalakan liar (illegal logging) dengan strategi baru yang lebih cang-gih pun kini jadi tren dan bah-kan sudah dianggap sebagai kejahatan terorganisasi dan transnasional.

Dalam kejahatan yang teror-ganisasi ini, biasanya pemilik modal membayar warga se-tempat guna membuka lahan, membakar, hingga menebang. Tak cukup di situ, orang-orang kecil itu juga disuruh mena-nami lahan gundul itu de-ngan tanaman yang laku di pasaran.

‘’Pengusaha HTI (hutan tanaman industri), pelaku izin tebang, orang-orang yang diba-yar, semua terlibat di dalam-

nya,’’ kata Manajer Kampanye Hutan Wahana Lingkung-an Hidup Indonesia (Walhi) Deddy Ratih kepada Media Indonesia, kemarin.

Kejahatan terhadap kehu-tanan (crime against forestry) itu, kata Deddy, di samping mengancam kelestarian alam, pun telah meneror kelangsung-an hidup ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat lokal.

‘’Kasus ini kami banyak temukan di Sumatra Selatan, yang memang kini jadi fokus kami.’’

Deddy mencontohkan, kasus penerbitan izin usaha peman-faatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT) ke-pada 15 perusahaan kehutanan yang ada di Pelalawan, Riau, beberapa waktu lalu.

Imbasnya, negara diperkira-kan rugi Rp1,2 triliun (pem-babatan hutan) karena ditilap para cukong kayu berbeking raja-raja kecil di daerah ter-sebut.

‘’Kami menduga kuat ada gratifi kasi dan kolusi terhadap

keluarnya izin lahan konsesi HTI itu,’’ kata Deddy.

Deddy menilai kasus itu hanyalah puncak gunung es

dari berbagai kasus deforestasi bermodus kolusi antara pejabat

dan swasta. Selain Riau, ia juga melihat adanya indikasi kasus serupa di Sumatra Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara.

‘’Kami memang belum bisa membuktikan keterlibatan pe-jabat-pejabat itu, tetapi ketidak-pedulian mereka atas masalah ini sudah dianggap sebagai keterlibatan,’’ tandasnya.

Koordinator Program Per-ubahan Iklim Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Eko-logis (HuMa) Bernadinus Steni menilai pemerintah tidak serius mengawal kejahatan illegal log-ging. Itulah yang lantas meng-hambat lambannya kucuran dana dari Norwegia lewat program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+).

‘’Mestinya jangan lihat ada dana atau enggak, proyek-proyek pelestarian itu tetap harus ada karena untuk kita sendiri,’’ kata Steni.

Di sisi lain, Direktur Jen-deral Perlindungan Hutan

dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan Darori mengemukakan setiap bentuk pelanggaran terhadap aturan kehutanan pasti diproses secara hukum. Baik itu pembalakan liar maupun perselingkuhan aparat dan pengusaha tetap akan ditindak jika bermain-main dengan hukum.

‘’HPH (hak pengusahaan hutan) yang bermasalah pun kita tindak.’’

Adapun untuk meminimal-isasi deforestasi dan degradasi hutan saat ini dan ke depan, Kemenhut sudah melakukan upaya dalam konteks perun-dang-undangan yang selama ini dinilai masih lemah.

Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pem-berantasan Pembalakan Liar (RUU P3L) pun tengah digodok di parlemen. ‘’Kita reformasi dahulu hukumnya di DPR. RUU-nya itu sudah hampir selesai pembahasannya di DPR dan ini awal untuk meng-atasi lemahnya perundang-un-dangan selama ini.’’ (*/H-2)

Pembalakan Liar tidak Disikapi Serius

ekonomi, itulah yang membuat kelestarian hutan bakau di Nusa Lembongan terjaga.

Penyimpan karbonBagi penduduk Nusa

Lembongan, manfaat hutan bakau mungkin hanya sebatas

keuntungan ekonomi dan terjaganya pantai mereka dari gempuran abrasi. Namun sejatinya, hutan bakau yang terjaga baik itu punya manfaat jauh lebih besar bagi masyarakat global.

Pasalnya, pada ekosistem global, hutan bakau ikut berperan menghilangkan karbon dari atmosfer dan menguncinya dalam tanah hingga bertahan sampai ribuan tahun. Penyerapan karbon dari atmosfer itu dapat meminimalisasi efek rumah kaca dan kenaikan suhu global (global warming).

Tidak seperti hutan daratan, hutan bakau yang bisa memiliki akar hingga bermeter-meter secara terus menerus memang membangun kantong karbon dan menyimpannya pada sedimen dasar laut.

Studi oleh Center for Internatinal Forestry

Research (Cifor) dan USDA Forest Service menemukan kepadatan karbon di hutan bakau empat kali lebih tinggi daripada di hutan tropis di dataran tinggi.

“Serupa dengan lahan gambut, bakau menyimpan banyak karbon di bawah permukaan laut,’’ ujar peneliti senior Cifor, Daniel Murdiyarso.

Data satelit terakhir menunjukkan, Indonesia mempunyai 3,1 juta hektare bakau atau 22,6% dari bakau dunia. Sayangnya, tidak semua masyarakat pesisir bertabiat seperti masyarakat Nusa Lembongan. Banyak di antara mereka yang justru merusak hutan bakau dengan seribu alasan.

Seperti dikutip dari Cifor, di Kalimantan 7,92% hutan bakau lenyap setiap tahunnya antara 2000-2005. Bila dirunut dari tahun ke tahun,

hutan mangrove yang telah terdeforestasi sehingga dalam kondisi rusak berat mencapai 42% dan rusak 29%.

Alih lahan hutan bakau jadi tambak udang dan kepiting serta pembangunan infrastruktur adalah penyebabnya.

Padahal, kata peneliti Cifor lainnya Louis V Verchot, jika hutan bakau rusak, selain akan melepas karbon juga melepas gas rumah kaca jenis nitrooksida yang nilai emisinya tiga ratusan kali lipat karbon.

Pelepasan gas-gas rumah kaca itu jelas diharamkan dalam program REDD+. Oleh karena itu, kalau Indonesia mau sukses dalam mengimplementasikan program REDD+, pelestarian lahan basah seperti hutan gambut dan hutan bakau mutlak diperlukan. (Eni Kartinah/H-2)

mati suasana di kawasan ekowisata hutan bakau di Desa Jungut Batu, gkan keuntungan ekonomi, keberadaan hutan itu juga bermanfaat emisi karbon.

KEJAHATAN KEHUTANAN: Seorang perempuan berjalan dengan membawa potongan kayu dari pohon di salah satu area hutan yang telah ditebangi, di Kabupaten Landak, Kalbar, beberapa waktu lalu. Beragam kejahatan terhadap kehutanan (crime against forestry) mengancam keberhasilan program REDD+.

ANTARA/ISMAR PATRIZKI

ANTARA/NYOMAN BUDHIANA

ANTARA/ERIC IRENG