peran ilmu sosial dalam menciptakan kohesivitas...
TRANSCRIPT
PERAN ILMU SOSIAL DALAM MENCIPTAKAN KOHESIVITAS MASYARAKAT INDONESIA
Prof. R. Siti Zuhro
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI)
Materi ini disampaikan dalam acara Webinar Nasional Kolokium Peluang Riset dan Inovasi di Era New
Normal yang diselenggarakan LP2M UNEJ
Jakarta, 6 Agustus 2020
Pendahuluan
• Pengembangan Ilmu Sosial itu sebenarnya untuk apa dan untuk siapa?
Apakah sekadar ilmu untuk ilmu ataukah untuk kemanfaatan masyarakat.
• Pertanyaan pentingnya, bila kohesi sosial dimaknai sebagai kemampuan
masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anggotanya
termasuk pemenuhan kebutuhan hidupnya (sehingga tak muncul
perselisihan dan bahkan kerusuhan), lantas apakah ilmu sosial telah
berkontribusi positif dalam menciptakan kohesivitas dalam masyarakat?
Realitas Ilmu Sosial di Indonesia dan Tantangannya
• Pengetahuan (knowledge) seharusnya menjadi sumber dalam
pembuatan kebijakan. Selama ini ada kesenjangan antara hasil
penelitian (knowledge product) dan kebijakan (policy making).
• Idealnya kebijakan disusun sebagai suatu keseimbangan antara produk
pengetahuan dan kepentingan-kepentingan politik.
• Pembuatan kebijakan membutuhkan pengetahuan untuk menghasilkan
kebijakan yang berkualitas. Karena itu, pembuat kebijakan harus memiliki
konsep atau pengetahuan sebagai sumber pengambilan kebijakan.
2
• Kebijakan berbasis pengetahuan sebenarnya lahir dari kebijakan riset
sebagai sebuah proses untuk menghasilkan pengetahuan.
• Hal ini memungkinkan pemerintah memiliki analis dan ahli-ahli yang
berfungsi sebagai orang yang mentransformasikan pengetahuan menjadi
kebijakan.
• Masalahnya, kemampuan/kapasitas SDM para analis dan ahli di
pemerintahan dalam menyiapkan kebijakan kurang memadai.
3
• Lembaga riset di universitas dan lembaga litbang memiliki beberapa
tantangan dalam mengembangkan dirinya seperti:
• (1) Riset jangka pendek;
• (2) Terlalu banyak prioritas/tidak ada prioritas;
• (3) Sangat monodisiplin;
• (4) Perhatian terhadap anggaran riset kecil;
• (5) Riset tidak berkaitan dengan kebijakan;
• (6) Budaya penelitian yang rendah;
• (7) Proses riset terjebak pada cara kerja dan cara berfikir yang birokratis sehingga
manajemen riset tidak dikembangkan dengan desain jangka panjang dan
berkesinambungan.
4
• Di sisi lain, kebijakan juga memiliki tantangan/masalah yang hampir sama, yakni:
• (1) orientasinya jangka pendek (siklus anggaran);
• (2) ketiadaan perspektif jangka panjang;
• (3) sangat sempit (sektoral);
• (4) sangat lemah dengan data/informasi;
• (5) kebijakan yang terfragmentasi; dan
• (6) tidak terhubung dengan hasil penelitian.
Masalah overlapping kebijakan antar kementerian/lembaga juga terjadi, yakni satu masalah
dikerjakan oleh banyak Lembaga/kementerian.
5
• Transformasi riset menjadi sebuah kebijakan bisa dalam bentuk policy
paper, policy brief, policy memo, dan knowledge repocitory yang secara
mudah dapat dipahami oleh pembuat kebijakan.
• Selama ini kebijakan di tingkat kementerian jarang didasarkan atas policy
brief, tetapi biasanya tergantung pada keinginan pemerintah/penguasa.
• Perlu ada perubahan pendekatan penelitian dengan melakukan inovasi
riset masa depan dan skenario rencana riset jangka panjang dalam
menghadapi perubahan sosial dan globalisasi/Megatrend 2030.
6
• Pengembangan riset dapat dikaitkan dengan, misalnya, perkembangan
megatrend 2030 yang sedang terjadi, seperti riset global value chain,
climate change, dan food security.
• Dalam menghadapi perubahan diperlukan sinergi antara knowledge,
interest, dan authority. Perlu ada kombinasi antar ketiganya agar terjadi
perubahan.
• Riset ke depan perlu diarahkan ke performance based dan kluster riset
secara nasional sebagai arah bagi riset di Indonesia.
7
• Pengembangan ilmu sosial menghadapi tantangan:
• pertama, Indonesia masih menjadi sasaran ekonomi global;
• kedua, eksploitasasi sumber daya alam terus terjadi;
• ketiga, kebijakan-kebijakan strategis.
• Ilmu pengetahuan sosial ditengarai tidak siap, baik secara akademik maupun
profesional. Hal itu, antara lain, bisa dilihat dari lambannya atau terjadinya
stagnasi dalam teori-teori sosial, metodologi dan metode penelitian sosial.
• Perguruan Tinggi hanya menjadi konsumen dan tidak menjadi produsen
pengetahuan. Bertahun-tahun ilmuwan sosial menjadi pembenar kebijakan dan
melembagakan “intelektual tukang.”
8
• Kita belum membangun pendekatan interdisipliner dalam menjawab
tantangan yang ada. Hal ini diperlukan khususnya untuk menganalisis
dampak kebijakan infrastruktur sebagai agen pembangunan dan dampak
sosial ekonominya.
• Ilmu-ilmu sosial pada dasarnya dapat difungsikan untuk melakukan analisis
respon dan adaptasi masyarakat atas keberhasilan/kegagalan
pembangunan.
• Integrasi ilmu untuk menjawab tantangan Indonesia ke depan merupakan
suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari.
9
• Kecenderungan ilmuwan sosial lebih fokus pada ontologis, yang berupaya
menjadikan ilmu sosial sebagai instrumen untuk menjelaskan fenomena.
• Ilmu sosial tidak didorong untuk melakukan atau menjadi subjek perubahan.
Akibatnya ada kesenjangan (gap) antara ilmu sosial dan kebutuhan riil dalam
mengatasi masalah perubahan sosial.
• Tuntutan aksiologis untuk mengatasi realitas sosial yang ada jarang
dikembangkan karena tradisi keilmuannya tidak mengembangkan
metodologi aksiologis.
10
• Di negara-negara maju grand design pengembangan ilmu pengetahuan
lebih terlembaga dan memiliki arah yang jelas.
• Dalam kasus Indonesia, arah pengembangan keilmuan masih belum
menjadi kebutuhan.
• Secara keilmuan, metodologi positivisme yang dianut di Indonesia justru
gagap dalam menjawab berbagai perubahan yang terjadi, karena para
ilmuwan sosial cenderung mengisolasi dirinya dari realitas sosial.
11
• Seharusnya proses transformasi ilmu-ilmu sosial tidak “berjarak” dengan
realitas sosial, tetapi menyatu dengan kondisi atau perubahan yang terjadi.
• Pengembangan metode aksiologi ini perlu dilakukan agar ilmu-ilmu sosial
tidak terpisah dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi, tetapi menjadi
jembatan untuk mendekatkan antara realitas sosial dan ilmu pengetahuan.
• Dengan demikian fenomena perubahan sosial menjadi bagian dari ilmu
sosial. Ke depan perlu ada reformasi dari dalam, di mana ilmu sosial lebih
membumi, sesuai dengan realitas sosial yang terjadi.
Kohesi Sosial
• Kohesi sosial bisa dimaknai sebagai kemampuan masyarakat untuk
menciptakan lingkungan yang aman bagi anggotanya termasuk
pemenuhan kebutuhan hidupnya, sehingga tak muncul perselihan dan
bahkan kerusuhan.
• Realitasnya kohesi sosial juga bertujuan politik. Tujuan politik yang ingin
dicapai pada masa kini menekankan upaya pemenuhan hak individual
berupa hak sipil dan politik serta ekonomi dan sosial.
2
• Ada empat elemen yang tidak dapat dipisahkan terkait munculnya konflik sosial.
Keempat elemen ini secara garis besar merupakan pemenuhan Hak Asasi
Manusia (HAM) berupa:
• kesetaraan tanpa adanya diskriminasi,
• harkat dan martabat dijunjung tinggi,
• komitmen untuk berpartisipasi dan
• kebebasan individu terkait pengembangan diri.
• Keempat hal tsb saling terkait dan saling tergantung satu sama lain. Karena itu,
untuk mewujudkan kohesi sosial yang didasari oleh kesejahteraan masyarakat
diperlukan keseimbangan akan empat instrumen ini.
3
• Lantas bagaimana menciptakan kohesi sosial dalam masyarakat
kontemporer, jawabannya kembali kepada mewujudkan lingkungan
yang berdasar pada solidaritas organik (solidaritas yang mengikat
masyarakat yang sudah kompleks dan telah mengenal pembagian kerja
yang teratur sehingga disatukan oleh saling ketergantungan antar
anggota), karena masyarakat kontemporer sangatlah tergantung pada
pemenuhan hak bagi setiap individu sehingga muncul ketergantungan
antar individu.
Potensi Kerawanan dan Sumber Penyebabterjadinya Konflik: Perspektif Politik
• Dari perspektif politik, stabilitas dan keamanan akan
terganggu oleh beberapa hal sbb:
• Fragmentasi parpol dan masyarakat berdampak negatif
terhadap meningkatnya konflik kepentingan.
• Partai politik yang mengalami friksi di internalnya
berpengaruh terhadap stabilitas politik.
• DPR, DPD dan DPRD gaduh juga berpengaruh terhadap
kinerja pemerintah dan merugikan rakyat.
2
• Kontestasi tak pernah henti di dalam kabinet dan pemda (antara kepala
daerah dan wakilnya)
• Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang hasilnya belum
menggembirakan. Ketidakpuasan daerah-daerah dengan
kewenangan yang dimiliki menyebabkan mereka resisten dan
melanggar UU di atasnya (perda bermasalah) serta mencari forum
kekuasaan baru melalui pemekaran daerah
• Pemilu dan pilkada yang distortif (curang) sangat potensial
menimbulkan kerusuhan dan bahkan masyarakat yang terbelah.
3
• Isu SARA yang dijadikan komoditi politik atau politisasi isu
SARA/politisasi identitas dalam pemilu/pilkada sangat
menyesatkan dan mengganggu, bahkan mengancam
kohesivitas masyarakat.
• Aktor dan elit politik berebut kekuasaan dan berperilaku
menyimpang atau melanggar melibatkan pengikutnya/
pendukungnya sehingga ancaman terhadap kohesivitas
masyarakat meluas.
Peran Lembaga Penelitian, Lembaga Pendidikan dan Intelektual dalam Mencegah Konflik
• Peran lembaga penelitian/pendidikan dan intelektual sangat siginifikan. Mereka
adalah penjaga moral dan ikut bertanggungjawab terhadap permasalahan yang
ada. Melalui hasil kajiannya, intelektual bisa menyampaikan rekomendasi kebijakan
kepada pemerintah.
• Kajian dan penelitian memegang peran penting dalam memberikan sumbangsih
pengetahuan. Peran dan fungsi ilmu sosial sangat membantu dalam mengidentifikasi
potensi konflik/kerusuhan dan dalam menemukan faktor-faktor penyebabnya.
• Oleh karena itu, dalam mengambil kebijakan pemerintah perlu mempertimbangkan
secara serius hasil kajian yang disampaikan oleh lembaga penelitian/perguruan tinggi
dan akademisi/intelektual.
2
• Masalahnya bagaimana mengubah from knowledge to policy.
Pengetahuan (knowledge) seharusnya menjadi sumber dan dasar dalam
pembuatan kebijakan. Selama ini terjadi kesenjangan antara hasil
penelitian (knowledge product) dan kebijakan (policy making).
• Kebijakan idealnya disusun sebagai suatu keseimbangan antara produk
pengetahuan dan berbagai kepentingan politik. Dalam praktiknya saat
ini, para pembuat kebijakan kurang ditopang oleh pengetahuan dan
konsep dalam proses pengambilan kebijakan.
3
• Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan suatu
keniscayaan bagi percepatan pembangunan nasional yang inklusif, adil,
dan berkelanjutan. Untuk mencapai hal itu, dibutuhkan pengembangan
ilmu pengetahuan yang dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM
Indonesia sebagai modal pembangunan.
• Oleh karena itu, para ilmuwan sosial diharapkan memiliki cara pandang,
sikap, dan komitmen dalam memacu dan mengembangkan ilmu
pengetahuan yang bermanfaat bagi pembangunan berkelanjutan dan
kesejahteraan masyarakat.
4
• Intensitas pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia harus mempertimbangkan
tuntutan pembangunan dan persaingan dengan negara-negara lain. Para ilmuwan sosial
didorong untuk menghasilkan temuan-temuan baru yang inovatif menuju masyarakat yang
berilmu pengetahuan melalui riset multidisipliner dan interdisipliner dalam membangun
Indonesia yang maju.
• Kebijakan berbasis pengetahuan sebenarnya lahir dari sebuah paradigma bahwa riset
merupakan proses untuk menghasilkan pengetahuan yang diperlukan dalam pengambilan
kebijakan.
• Hal tersebut dimungkinkan karena pemerintah memiliki analis dan ahli-ahli yang berfungsi
sebagai orang yang mentransformasikan pengetahuan menjadi kebijakan. Masalahnya,
apakah kemampuan dan kapasitas SDM para analis dan ahli di pemerintahan mumpuni
dalam menyiapkan kebijakan.
Catatan Penutup
• Pilihan Indonesia untuk menerapkan sistem demokrasi perlu
berkesesuaian/kompatibel dengan nilai-nilai dasar keindonesian, penuh
keadaban dan sarat dengan wawasan kebangsaan sebagaimana
dikonseptualisasikan dengan cerdas oleh para pendiri bangsa.
• Keindonesiaan dan kedaerahan harus seimbang (balance), tidak boleh
dominan kedaerahannya karena ini bisa mengancam keutuhan NKRI dan
atau kohesivitas masyarakat.
2
• Dengan kata lain, demokrasi dan otonomi daerah yang berjalan
sekarang ini tidak boleh minus nuansa kebangsaan, harus memiliki visi
nasional dan visi kebangsaan yang jelas. Pembukaan konstitusi harus
menjadi petunjuk (guidance) dan tak boleh dinafikan.
• Para ilmuwan sosial sudah banyak membuat kajian tentang masalah-
masalah sosial termasuk konflik/kerusuhan sosial. Banyak buku dan hasil
penelitian yang diterbitkan tentang hal itu. Namun kontribusinya belum
positif terhadap terwujudnya kohesi sosial di Indonesia.
3
• Persoalannya antara lain karena ilmuwan sosial dan organisasi-organisasi
ilmu sosial kurang mampu meyakinkan para pemangku kebijakan untuk
menjadikan hasil-hasil dan temuan penelitian sebagai dasar/sumber
kebijakan dan program-progam pembangunan.
• Banyak organisasi ilmu sosial yang hidupnya tidak independen. Ini bisa
dilihat dari banyaknya organisasi tersebut yang dipimpin oleh pejabat.
• Sementara itu, ilmuwan sosial sendiri kurang memiliki komitmen untuk
menghidupi organisasi keilmuwannya.***
Terimakasih
Semoga bermanfaat