peran ilmu forensik

Upload: nanaradhiyana

Post on 03-Mar-2016

47 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kedokteran

TRANSCRIPT

KARYA TULIS ILMIAH

PERANAN ILMU FORENSIK DALAM PERADILAN PIDANA TERORISME

Disusun oleh:Andreas Tedi S.K.K1310029037

Famela Asditaliana1310029044

Hardin bin Baharuddin1310029045

Marini Tandarto1310029041

Radhiyana Putri1310029036

Pembimbing:dr. Cort Darby Tombokan, Sp.F, SH

Dibawakan Dalam RangkaTugas Kepaniteraan KlinikSMF/Lab Forensik dan MedikolegalFakultas Kedokteran Universitas MulawarmanRSUD A.W.Sjahranie SamarindaOktober 2015

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat-Nya sempurnalah seluruh kebaikan.Alhamdulillah atas segala rahmat dan karunia-Nya, penulisan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul Peranan Hukum Kesehatan Pada Peradilan Perdata ini dapat terselesaikan dengan baik.Shalawat serta salam kami sampaikan kepada manusia paling mulia, Muhammad SAW yang senantiasa memperjuangkan dan menyebarkan risalah agama Islam di muka bumi ini.Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:1. dr. Emil Bachtiar, Sp.P selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.2. dr. Sukartini, Sp.A selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.3. dr. Cort Darby Tombokan, Sp.F, SH selaku Kapala Laboratorium dan SMF Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman, sekaligus sebagai pembimbing klinik selama menjalani kepaniteraan klinik di Laboratorium Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.4. Seluruh staff pada SMF Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda yang telah membimbing kami selama menjalani kepaniteraan klinik di SMF Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda5. Teman-teman Dokter Muda yang menjalani kepaniteraan klinik di Lab/SMF Forensik dan Medikolegal di Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda6. Dan kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan memberikan doa serta semangat dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah.Akhir kata penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun.Besar harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta bagi mereka yang membutuhkannya.

Samarinda, 06 Oktober 2015Penulis

ABSTRAK

Hukum kesehatan merupakan hukum yang berhubungan secara langsung dengan pemeliharaan kesehatan yang meliputi penerapan perangkat hukum, salah satunya menyangkut hukum perdata. Ditinjau dari hukum perdata, aspek kesehatan berupa tindakan medis merupakan perikatan perjanjian antara dokter dan pasien. Apabila perjanjian tersebut tidak terpenuhi diakibatkan oleh kesalahan maka tindakan tersebut dapat digolongkan menjadi kelalaian medis atau malpraktik. Hukum kesehatan memberikan perlindungan kepada dokter dan pasien terhadap kejadian malpraktik melalui perangkat hukum berupa informed consent. Peranan hukum kesehatan terhadap peradilan perdata sangat penting kaitannya dalam mengatur pemeliharaan kesehatan.Kata kunci: hukum kesehatan, hukum perdata, malpraktik, informed consent

ABSTRACTHealth law is the law which has connection to health services that includes the application of legal instruments, one of them is the civil law. Based on civil law, health aspects like medical act is an engagement agreement between doctors and patients. If medical act can not realized caused by the errors, it can be classified as medical negligence or malpractice. Health law provides protection to doctors and patients on the incidence of malpractice through the legal form of informed consent. The role of the health law against civil judicial relation is very important in regulating health care.Keyword: health law, civil law, malpractice, informed consent

DAFTAR ISI

KATA PENGANTARiiABSTRAKivDAFTAR ISIvDAFTAR SINGKATANviBAB I PENDAHULUAN11.1 Latar Belakang11.2 Rumusan Masalah31.3Tujuan Penulisan31.4 Manfaat Penulisan3BAB II TINJAUAN PUSTAKA42.1 Ilmu Forensik 42.1.1 Definisi42.1.2 Landasan Hukum 62.1.3 Azas Hukum Kesehatan82.1.4 Fungsi dan Tujuan92.1.5 Pembagian Hukum Kesehatan102.1.6 Hak dan Kewajiban Penyelenggara Kesehatan102.2 Peradilan Pidana142.2.1 Istilah dan Pengertian Hukum Acara Perdata142.2.2 Hukum Perdata Materiil di Indonesia172.2.3 Sumber Hukum Perdata Tertulis182.2.4 Pembuktian dalam Perkara Perdata192.2.5 Tanggung Jawab Hukum Dokter terhadap Pasien232.2.6 Perspektif Hukum Perdata342.3 Terorisme142.3.1 Definisi142.3.2 Karakteristik Terorisme172.3.3 Bentuk-bentuk Terorisme182.3.4 Sasaran Terorisme192.3.5 Terorisme di Indonesia232.3.6 Landasan Hukum Tindak Pidana Terorisme (TPT)34BAB III METODE PENULISAN383.1 Sumber dan Jenis Data383.2 Pengumpulan Data383.3 Analisis Data383.4 Penarikan Kesimpulan38BAB IV PEMBAHASAN394.1 Peranan Hukum Kesehatan dalam Peradilan Perdata394.2 Aspek Hukum Perdata dalam Penyelenggaraan Praktik Kedokteran434.3 Malpraktek dalam Perspektif Hukum474.4 Informed Consent dalam Pelayanan Kesehatan53BAB V PENUTUP585.1 Kesimpulan585.2 Saran60DAFTAR PUSTAKA61LAMPIRAN61

DAFTAR SINGKATAN

CIA: Central Inteligence Agency ECST : European Convention on the Supression of Terrorism FBI : Federal Bureu of Infestigation KUHP : Kitab Undang-undang Hukum PidanaPerpu : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UndangPIRA : Provisional Irish Republican Army TPT : Tindak Pidana TerorismeUU : Undang-Undang

18

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangHukum merupakan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan dalam mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat (Hanafiah & Amir, 2007). Hukum dalam arti peraturan perundang-undangan yang dikenal oleh masyarakat sebagai undang-undang umumnya diberi pengertian sebagai pengatur.Oleh karena itu aturan-aturan di bidang kesehatan dikenal sebagai hukum kesehatan, meskipun hukum kesehatan mungkin lebih luas lagi cakupannya dari itu(Sampurno, 2011).Hukum kesehatan menurut Van der Mjin adalah hukum yang berhubungan secara langsung dengan pemeliharaan kesehatan yang meliputi penerapan perangkat hukum perdata, pidana dan tata usaha negara atau definisi hukum kesehatan adalah sebagai keseluruhan aktifitas yuridis dan peraturan hukum dalam bidang kesehatan dan juga studi ilmiahnya(Kemenkes, 2014). Pengaturan hukum kesehatan di Indonesia dibuat dalam suatu aturan tentang hukum tersebut, yaitu dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Hukum Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan(Achadiat, 2004). Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 telah memaparkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945(Republik Indonesia, 2009).Berdasarkan undang-undang tersebut di ketahui bahwa aspek kesehatan di dalam kehidupan manusia sangatlah penting peranannya sebagai penunjang agar dapat menjalankan aktifitasnya guna untuk mensejahterakan kehidupannya sendiri(Sukma, 2012).Perkembangan jaman yang semakin pesat membuat masyarakat kini menjadi lebih sadar lagi mengenai pembangunan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap individu agar dapat terwujud derajat kesehatan setinggi-tingginya (Kemenkes, 2015). Hal ini yang kemudian mendorong masyarakat lebih aktif lagi dalam meminta informasi mengenai aspek kesehatan dalam suatu tindakan medis sebagai upaya dalam pencarian solusi bagi permasalahan kesehatannya(Kemenkes RI, 2010). Pemerintah sebagai pelaksana roda pemerintahan dalam suatu negara wajib menjamin kesehatan bagi warganya. Peran aktif serta pemerintah diperlukan untuk mewujudkan tipe negara kesejahteraan (welfare state) seperti tercantum didalam tujuan negara Indonesia yaitu di Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 alenia IV yang menyatakan, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum(Republik Indonesia, 1945).Salah satu tujuan dari hukum, peraturan, deklarasi ataupun kode etik kesehatan adalah untuk melindungi kepentingan pasien disamping mengembangkan kualitas profesi dokter atau tenaga kesehatan. Keserasian antara kepentingan pasien dan kepentingan tenaga kesehatan merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan sistem kesehatan(Widjajarta, 2011). Oleh karena itu hukum kesehatan yang mengatur pelayanan kesehatan terhadap pasien sangat erat hubungannya dengan masalah-masalah yang akan timbul diantara hubungan perikatan antara dokter dan pasien, dan atau kelalaian serta kesalahan yang dilakukan oleh dokter, yang berakibat hukum entah itu hukum perdata maupun pidana(Rohima, 2013).Ditinjau dari segi hukum perdata, tindakan medis merupakan pelaksanaan suatu perikatan (perjanjian) antara dokter dan pasien. Apabila tidak terpenuhinya syarat suatu perjanjian,maka pasien atau keluarganya dapat minta pertanggungjawaban pada dokter yang bersangkutan.Bentuk pertanggungjawaban yang dimaksud di sini meliputi pertanggungjawaban perdata, pertanggungjawaban pidana, dan pertanggungjawaban hukum administrasi.Tidak terpenuhinya suatu perjanjian biasanya bisa diakibatkan oleh kesalahan. Kesalahan dapat terjadi akibat kurangnya pengetahuan, pengalaman, dan mengabaikan suatu perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan.Dalam istilah medis kesalahan ini dikenal sebagai kelalaian medis atau biasa disebut sebagai malpraktik. Untuk mencegah terjadinya malpraktik diperlukan suatu informed consent yang menyediakan wadah interaksi antara tenaga kesehatan dan pasien guna mendapatkan penjelasan dan persetujuan terkait tindakan medis yang akan dilakukan.Pentingnya pengaruh hukum kesehatan terhadap peradilan perdata perlu dipelajari lebih mendalam lagi terkait efek dari hukum tersebut baik bagi dokter, pasien, maupun tenaga medis lainnya yang terlibat. Hal ini menjadi dasar penulis mengangkat tema ini untuk dibahas mendalam pada karya tulis ilmiah kali ini.

1.2 Rumusan Masalah1. Bagaimana peranan ilmu forensik dalam peradilan pidana terorisme?2. Bagaimana hukum pidana terhadap tindak kejahatan terorisme?

1.3 Tujuan Penulisan1. Untuk mengetahui peranan ilmu forensik dalam peradilan pidana terorisme di Indonesia.2. Untuk mengetahui hukum pidana terhadap tindak kejahatan terorisme

1.4 Manfaat Penulisan1. Sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan mengenai peranan ilmu forensik dalam peradilan pidana terorisme2. Sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan menulis ilmiah.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.3Terorisme2.3.1Definisi Kata teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin terrere yang kurang berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Juga dikenal dengan kata teror dengan maksud kengerian. Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan bagi orang yang tidak berdosa. Pengertian terorisme pertama kali dibahas dalam European Convention on the Supression of Terrorism (ECST) di Eropa 1977 terjadi perluasan paradigma arti dari Crime against State menjadi Crime against Humanity. Crime against humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum ada dalam suasana teror. Wacana pembuatan perundang-undangan disambut pro-kontra mengingat polemik definisi terorisme masih bersifat multi interpretatif, umumnya mengarah pada kepentingan negara atau state interested (Sinaga, 2001). Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana murni (malaperse) yang dibedakan dengan administrative criminal law (mala prohibita). Kriminalisasi tindak pidana terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan banyak cara seperti (Manik, 2007): a. Melalui sistem evolusi amandemen terhadapa pasal-pasal KUHP. b. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap diluar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya. c. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme. Untuk memahami makna terorisme lebih jauh dan mendalam, kiranya dikaji terlebih dahulu pengertian atau definisi terorisme yang dikemukakan baik oleh beberapa lembaga maupun oleh beberapa penulis/pakar atau ahli, yaitu (Manik, 2007):a). US Central Inteligence Agency (CIA) terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan atau diarahkan untuk melawan negara lembaga atau pemerintah asing.b). US Federal Bureu of Infestigation (FBI)terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial atau politik.c). US Departements of State and Defense.Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombotan. Biasanya bermaksud untuk mempengaruhi audien. Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu.d). Blacks Law Dictionarary. Tindakan terorisme adalah kegiatan yang mengakibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana Amerika atau bagian negara Amerika dan jelas dimaksudkan untuk mengintimidasi masyarakat sipil dan mempengaruhi kebijakan pemerintah dan mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan.Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwasannya kegiatan terorisme tidak akan pernah dibenarkan karena ciri utamanya yaitu (Hartanto, 2014):1. Aksi yang digunakan menggunakan cara kekerasan dan ancaman untuk menciptakan ketakutan publik.2. Ditujukan kepada negara masyarakat atau individu, atau kelompok masyarakat tertentu.3. Memerintah angota-anggotanya dengan cara teror juga.4. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat dukungan dengan cara yang sistematis dan terorganisir. Teror sendiri mempunyai definisi umum dan hal itu sesuai dengan ciri utama diatas bahwasanya terorisme sebagai kekerasan atau ancaman yang dilakukan untuk menciptakan rasa takut dikalangan sasaran, biasanya pemerintah, kelompok etnis, partai politik dan sebagainya. Meskipun unsur-unsur terorisme sudah dipahami banyak pihak namun tidak mudah untuk ditetapkan, karena terorisme berhadapan dengan wacana lain tentang kekerasan yang secara riil dihadapi masyarakat. Kekerasan yang dihadapi oleh masyarakat. Kekerasan yang dilakukan oleh negara memiliki persamaan dengan ciri-ciri terorisme. Setiap upaya memberikan definisi terorisme ada kecenderungan yang ditujukan pada masyarakat (Mohamad, Silviah, & Aniza, 2012).2.3.2Karakteristik TerorismeDalam tindakan kriminal terorisme tentunya ada beberapa ciri mengenai tindakan tersebut diantaranya pendapat para ahli yakni Loudewijk f. Paulus karakteristik ditinjau dari empat macam pengelompokan yang terdiri dari (Sinaga, 2001) :Pertama, karakteristik organisasi yang meliputi: organisasi, rekrutmen, pendanaan dan hubungan internasional. Karakteritik operasi yang meliputi: perencanaan waktu, taktik dan kolusi. Kedua, karakteristik perilaku yang meliputi: motifasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup. Karakteristik sumberdaya meliputi: latihan atau kemampuan, pengalaman seseorang dibidang tehnologi, persenjataan, perlengkapan dan transportasi. Motif terorisme, terorisme termotifasi oleh motif yang berbeda. Motif terorisme diklasifikasikan menjadi tiga kategori: rasional, psikologi, dan budaya yang kemudian dapat dijabarkan lebih luas. Karakteristik dari organisasi terorisme, dapat dijabarkan sebagai berikut. (1) Nonstate-suported group. Organisasi teroris semacam ini merupakan organisasi terorisme yang paling sederhana. Organisasi ini tidak didukung oleh salah satu negara. Organisasi terorisme yang memiliki karakter nonstate-supported group ini adalah kelompok kecil yang memiliki kepentingan khusus, seperti kelompok antikorupsi, kelompok anti globalisasi, dan lainnya. Hanya saja dalam menjalankan aksi anti-nya, kelompok ini menggunakan cara teror seperti pembakaran, penjarahan, dan penyanderaan. Terlihat dari isu terornya, organisasi ini merupakan organisasi teror yang menekankan pada aspek perjuangan ideologi dengan menciptakan kekacuan ideologi (ideology disorder) dalam tatanan masyarakat. Kelompok organisasi teroris dalam kategori ini, memiliki kemampuan terbatas dan tidak dilengkapi dengan infrastruktur yang diperlukan untuk memberikan dukungan, atau kontribusi lain demi kelangsungan kelompoknya dalam periode waktu tertentu.(2) State-sponsored groups. Organisasi terorisme jenis ini memperoleh dukungan baik berupa dukungan logistik, pelatihan militer, maupun dukungan administratif dari negara asing. Berbeda dengan jenis yang pertama, kelompok ini bersifat profesional, artinya memiliki struktur organisasi yang jelas meskipun bersifat rahasia atau tertutup (clandestine). Selain itu cara yang digunakan dalam melakukan teror lebih terorganisir dan terencana. Contoh kelompok teroris yang termasuk dalam kategori ini antara lain, Provisional Irish Republican Army (PIRA) yang dibentuk pada 1970, dengan jumlah anggota dua ratus hingga empat ratus yang memiliki daerah operasi di Irlandia Utara. PIRA merupakan kelompok teroris yang bertanggung jawab atas pembunuhan Rev. Robert Bradford, anggota Parlemen Inggris di Belfast dan juga pada peristiwa peledakan bom dipintu belakang Royal Courts. Kelompok ini mendapatkan sponsor dari Libya berupa pasokan senjata, tempat pelatihan, dan logistik dalam menjalankan aksinya.54 Contoh teraktual dari kelompok dalam kategori ini adalah kelompok teroris yang diberi nama Jamaah Islamiah yang diduga memiliki hubungan erat dengan kelompok Al-Qaeda dan bertanggung jawab atas peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang menewaskan kurang lebih dua ratus orang. (3) State-directed groups. Organisasi kelompok teroris ini berupa organisasi yang didukung langsung oleh suatu negara. Berbeda dengan state-sponsored groups, negara memberikan dukungannya secara terang-terangan, bahkan negara tersebut yang membentuk organisasi teroris tersebut, meskipun negara tersebut tidak pernah mengklaim organisasi bentukannya merupakan organisasi teror. Contoh dari organisasi ini adalah organisasi special force yang dibentuk Iran pada 1984, untuk tujuan penyebaran paham Islam fundamentalis di wilayah Teluk Persia dan Afrika Utara.2.3.3Bentuk-bentuk TerorismeTerorisme dibagi menjadi enam kategori menurut The Task Force, antara lain (Okstarizal, 2004):1. Kekacauan masyarakat yaitu suatu bentuk kekerasan kolektif yang berhubungan dengan perdamaian, keamanan, dan tugas umum dari suatu masyarakat.2. Terorisme yang bersifat politik yaitu perilaku atau tindakan kejahatan dengan kekerasan yang ditujukan terutama untuk menumbuhkan ketakutan yang berkesinambungan dalam masyarakat atau suatu masyarakat untuk tujuan-tujuan yang bersifat politik3. Bukan terorisme politik yang tidak ditujukan terhadap tujuan-tujuan politik tetapi dengan menunjukkan pembentukan atau menciptakan perasaan takut dan memelihara ketakutan itu pada tingkat yang semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan yang dipaksakan tetapi akhirnya adalah suatu kemenangan atau untuk kebahagiaan individu atau kolektif daripada tujuan pencapaian sesuatu hasil yang bersifat politik4. Terorisme yang tidak sebenarnya adalah kegiatan yang sewaktu-waktu melaukan kejahatan kekerasan yang seolah-olah seperti bentuk dan cara-cara yang ditempuh oleh teroris yang sebenarnya tetapi sungguh pun demikian tidak cuup untuk disebut sebagai tindaan terorisme, tujuan utama dari quasi menggunakan modal dan teknik serta akibat dan reasi yang timbul seperti yang dilakukan oelh yang benar-benar disebut teroris. Sebagai karakteristiknya adalah melakukan kejahatan dengan epat dan mengambil sandera sebagai akrakteristik teroris Quasi. Cara atau metodenya sama dengan teroris yang sebenarnya tetapi tujuannya yang sangat berbeda. Bentuk terorisme quasi ini banyak dialami oleh orang-orang Amerika.5. Terorisme yang bersifat politik terbatas yaitu terorisme yang bersifat politik yang sesungguhnya ditandai dengan suatu pendekatan yang bersifat revolusioner, akan tetapi terorisme yang bersifat politik terbatas ini melakukan tindakan-tindakan terorisme dimana kegiatan dilakukan untuk maksud-maksud yang bersifat politik dan idiologi tetapi perbuatan itu tidaklah bagian dari suatu usaha untuk mencegah atau menghindari pengawasan yang dilakukan pemerintah atau Negara6. Terorisme yang dilakukan oleh pejabat atau negara yaitu terror yang dilakukan terhadap bangsa-bangsa yang diperintah dengan menimbulkan ketakutan dan tekanan-tekanan sehingga perbuatan itu seimbang atau sama dengan perbuatan yang bersifat terorisme.Menurut Sudomo, macam-macam teror adalah sebagai berikut (Okstarizal, 2004) :1. Teror Oleh Negara (State Terorism)2. Teror keagamaan (religious terrorism, yaitu kegiatan teror yang didasarkan atas doktrin-doktrin keagamaan.3. Teror pemberontakan (Rebellions Terrorism)4. Teror pribadi (Individual Terrorism), yaitu merupakan kegiatan yang dilakukan secara mandiri oleh seseorang tanpa terkait kepada suatu kelompok, organisasi, maupun negaraBentuk-bentuk terorisme antara lain (Okstarizal, 2004) :1. Teror Kegilaan, yaitu terror yang dilakukan akibat ketidakwarasan jiwa, sering pelakunya itu sangat kejam untuk tujuan politik yang tidak jelas. Sebagai contoh adalah percobaan pembunuhan presiden Gerald Ford dan Presiden Reagen. Perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang yang tidak waras2. Teror Kejahatan, yaitu teror yang dilakukan untuk bentuk kejahatan semata-mata yang bertujuan untuk kepentingan pribadi dari si pelaku. Pembajaan udara dengan meminta uang tebusan merupakan wujud nyata dari tindakan terror semacam ini, dan tindakan semacam ini banya terjadi di Amerika Serikat. Penculikan tokoh-tokoh bisnis dengan meminta uang tebusan seperti yang terjadi di Italia3. Teror wadah, merupakan suatau bentuk teror yang sering ditemukan di perbatasan negara yang mungkin dipengaruhi oleh kekacauan dalam negerinya. Tindakan teror sering dilaukan oleh kelompok masyarakat yang tinggal di perbatasan seperti yang sering terjadi di Uganda pada masa rezim4. Teror atas perintah, merupakan teror yang dilakukan oleh mereka yang mendapat perintah dan kewenangan oleh negara, terutama yang dilakukan dalam masa perang.5. Teror aksi pahlawan6. Teror RevolusionerAda beberapa bentuk terorisme lain yang dikenal, antara lain teror kriminal, dan teror politik. Kalau mengenai teror kriminal biasanya hanya untuk kepentingan pribadi dan memperkaya diri sendiri. Biasanya cara yang digunakan oleh para penteror adalah dengan cara pemerasan dan intimidasi. Mereka biasanya menggunakan kata-kata yang dapat menimbulakan ketakutan atau teror psikis. Beda dengan teror bersifat politik yakni dengan cara tidak memili-milih korban (Manik, 2007). Dan teror politik biasanya selalu siap melakukan aksi pembunuhan terhadap orang-orang sipil dengan tidak memandang usia dengan tanpa memppertimbngkan politik maupun moral. Teror politik merupakan fenomena sosial yang sangat penting. Sedangkan terorisme politik mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1. Merupakan intimidasi koersif 2. Memakai pemunuhan destruktif secara sistematis sebagai sarana untuk tujuan tertentu, 3. Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat saraf, yakni bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang.4. target aksi teror pilihan, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah publisitas, 5.pesan aksi itu cukup jelas meski pelaku tidak menyatakan diri secara personal. Miasalnya berjuang demi agama dan kemanusiaan (Hartanto, 2014). Oleh karena itu terorisme harus mendapat perhatian khusus bagi kita semua hususnya pemerintah yang dalam hala ini akan menjamin keamanan bagi rakyatnya. Dalam menanggulangi dan mengatasi tindakan teror prlu adanya regulasi yang mengatur tentang hal tersebut sehingga dalam peristiwa yang bisa mengancam keselamatan naywa seseorang dapat dihindari sejauh mungkin.Dari uraian diatas dengan deikian istilah teror ialah suatu kesatuan aksi tak langsung dan terarah untuk mencapai hasil politik tertentu melalui dampak yang ditimbulkannya. Dari kacamata politik, teror merupakan aksi sekunder dan bukan yang utama. Artinya, teror jarang sekali merupakan aksi atau tujuan utamanya atau aksi yang independen. Jika dilihat dari sejarahnya sesungguhnya terorisme mempnyai beberapa tipologi diantaranya ; bentuk pertama, terdiri dari pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah yang itu terjadi sebelum perang dunia II. Bentuk yang kedua, terorisme dimulai di al-jazair di tahun lima puluhan dilakukan oleh FLN yang dipopulerkan serangan yang bersifat acak terhadap masyarakat sipil yang tidak berdoa. Bentuk ketiga, terorisme muncul pada tahun enampuluhan dan terkenal dengan istilah terorisme media (Zakaria, 2011).2.3.4Sasaran TerorismePada umumnya sasaran teroris baik manusia maupun obyek lain dipih secara random bertujuan untuk menyoroti kelemahan sistem dan atau dipilih secara seksama untuk menghindari reaksi negatif publik atau telah dirancang untuk menghasilkan reaksi publik yang positif atau simpatik. Sasaran strategis teroris adalah sebagai berikut (Mohamad, Silviah, & Aniza, 2012) : a. Menunjukan kelemahan alat-alat kekuasaan (aparatur pemerintah). b. Menimbulkan pertentangan dan radikalisme di masyarakat atau segmen tertentu dalam masyarakat. c. Mempermalukan aparat pemerintah dan memancing mereka bertindak represif kemudian mendiskreditkan pemerintah dan menghasilkan simpati masyarakat terhadap tujuan teroris. d. Menggunakan media massa sebagai alat penyebarluasan propaganda dan tujuan politik teroris. Tidaklah mudah untuk meramalkan kapan dan dimana akan terjadi aksi teror sehingga dengan demikian konsep-konsep penangkapan secara fisik tidak akan pernah dapat dilakukan secara efektif dalam mencegah aksi teror. Dana yang diperlukan untuk itu sangat besar dan dibutuhkan pengalikasian perhatian dan sumber daya yang sangat besar secara terus menerus dan melelahkan. Hal ini disebabkan oleh sulitnya diduga cara atau pilihan tindakan yang dilakukan oleh para pelaku dengan karakteristik psikologis seperti diuraikan terdahulu yaitu bahwasanya pelaku siap memberikan pengorbanan dan siap menanggung resiko secara pribadi. Pengorbanan bagi mereka adalah kewajiban dan kebanggaan sebagai pengabdian menurut pemahaman ideologi mereka (Mohamad, Silviah, & Aniza, 2012). Bentuk tindakan teror dapat terjadi dalam berbagai macam namun yang paling populer adalah pengeboman, serangan bersenjata, pembunuhan, penculikan, pembajakan dan penyanderaan dan penggunaan senjata pembunuh massal (kimia, biologi, radioaktif, nuklir) Sasaran teror dapat berupa individu, organisasi, komuitas tertentu maupun negara. Selain itu teror dapat ditujukan secara external misalnya sebagai bentuk balas dendam, delegitimasi pemerintahan, perjuangan mencapai tujuan ideologi dan politik, atau hanya sekedar menciptakan keresahan meluas dikalangan masyarakat. Latar belakang atau motif yang mendasari aksi teror di Indonesia dapat bersumber dari beberapa hal sebagai berikut (Mohamad, Silviah, & Aniza, 2012) : 1. Extrimisme ideology keagamaan. Motifasi teroris ini didasarkan pada sikap radikalisme agama yaitu membangun komunitas ekslusif sebagai modal dan identitas kelompok vis a vis dunia sekitarnya yang dianggap dekaden, sebuah dunia iblis yang harus dimusnahkan. Universitas Sumatera Utara Mereka meyakini dirinya paling benar dan paling dekat dengan ambang pintu Tuhan. Berperang melawan kafir adalah kewajiban, sedangkan kematian adalah take off menuju rumah primordial, rumah surgawi. Sikap radikalisme seperti inilah yang setiap saat bisa melahirkan bencana sosial politik. Dan sikap seperti ini pula yang mendasari aksi kekerasan yang mereka sebut sebagai jihad dalam aksi teror bom Bali, Makasar dan berbagai aksi teror sebelumnya seperti bom Natal 2000 serta tindakan anarkis seperti sweeping warga negara Amerika, perusakan tempat hiburan dan sebagainya. Indonesia sebagai salah satu negara berpenduduk Islam terbesar dimana diantaranya terdapat kelompok-kelompok radikal dengan motifasi seperti di atas. Ini berarti bahwa potensi terjadinya aksi teror di masa depan sangat besar terlebih lebih dengan proses transformasi kemasyarakat demokratis yang penuh dengan konflik kepentingan. Diperlukan upaya keras dalam memerangi terorisme untuk menjamin keselamatan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai negara kesatuan Republik Indonesia yang demokratis. 2. Nasionalisme kesukuan yang mengarah pada separatisme. Kelompok ini melakukan aksi teror dengan tujuan memperoleh kemerdekaan politik. Hal ini terutama didorong oleh keinginan untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas atau keinginan untuk mendapatkan porsi yang lebih besar dalam pembagian hasil sumber daya yang berada di wilayah yang bersangkutan. Disamping itu perasaan diperlukan tidak adil oleh pemerintah pusat, ketimpangan ekonomi dan sosial adalah merupakan penyebab salah satu terjadinnya terorisme. Sasaran utama mereka umumnya adalah kantor-kantor pemerintah. 3. Kelompok kepentingan tertentu yang ingin menimbulkan kekacauan, cenderung melakukan aksi teror demi kepentingan tertentu baik di bidang politik,ekonomi dan sosial dengan tujuan melindungi kepentingan seperti untuk menutupi proses hukum atas kejahatan atau pelanggaran yang telah dilakukan dimasa lalu atau sebagai bargaining untuk mendapatkan posisi tertentu di bidang politik, ekonomi dan sosial. Dengan demikian dimasa datang terorisme tetap akan menjadi masalah serius. Ketidakstabilan situasi politik yang kecenderungannya akan terus berlanjut, krisis ekonomi yang masih belum pasti jalan keluarnya, perkembangan tekhnologi terutama di bidang informasi dan komunikasi, senjata pemusnah massal, akan merupakan faktor-faktor yang cukup signifikan. Kemajuan tekhnologi cyber telah terbukti menjadi salah satu faktor terpenting dalam menjalin koordinasi antar kelompok gerakan teroris dan dimanfaatkan sebagai alat untuk menghimpun dana serta untuk mengadakan rekrutmen anggota kelompok teroris menjadi semakin mudah dilakukan dan relatif sulit dilacak sementara gerakan teroris dan penyebarannya menjadi semakin intensif. Di lain pihak kemampuan pemerintah dalam membiayai upaya pemberantasan terorisme sangat terbatas.2.3.5Terorisme di IndonesiaBerikut adalah beberapa kejadian terorisme yang telah terjadi di Indonesia dan instansi Indonesia di luar negeri dimulai dari tahun 1981 sampai 2011 (Firmansyah, 2011) :1981 Garuda Indonesia Penerbangan 206, 28 Maret 1981. Sebuah penerbangan maskapai Garuda Indonesia dari Palembang ke Medan pada Penerbangan dengan pesawat DC-9 Woyla berangkat dari Jakarta pada pukul 8 pagi, transit di Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55. Dalam penerbangan, pesawat tersebut dibajak oleh 5 orang teroris yang menyamar sebagai penumpang. Mereka bersenjata senapan mesin dan granat, dan mengaku sebagai anggota Komando Jihad; 1 kru pesawat tewas; 1 tentara komando tewas; 3 teroris tewas.1985 Bom Candi Borobudur 1985, 21 Januari 1985. Peristiwa terorisme ini adalah peristiwa terorisme bermotif "jihad" kedua yang menimpa Indonesia.2000 Bom Kedubes Filipina, 1 Agustus 2000. Bom meledak dari sebuah mobil yang diparkir di depan rumah Duta Besar Filipina, Menteng, Jakarta Pusat. 2 orang tewas dan 21 orang lainnya luka-luka, termasuk Duta Besar Filipina Leonides T Caday. Bom Kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak di kompleks Kedutaan Besar Malaysia di Kuningan, Jakarta. Tidak ada korban jiwa. Bom Bursa Efek Jakarta, 13 September 2000. Ledakan mengguncang lantai parkir P2 Gedung Bursa Efek Jakarta. 10 orang tewas, 90 orang lainnya luka-luka. 104 mobil rusak berat, 57 rusak ringan. Bom malam Natal, 24 Desember 2000. Serangkaian ledakan bom pada malam Natal di beberapa kota di Indonesia, merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta mengakibatkan 37 mobil rusak.2001 Bom Gereja Santa Anna dan HKBP, 22 Juli 2001. di Kawasan Kalimalang, Jakarta Timur, 5 orang tewas. Bom Plaza Atrium Senen Jakarta, 23 September 2001. Bom meledak di kawasan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. 6 orang cedera. Bom restoran KFC, Makassar, 12 Oktober 2001. Ledakan bom mengakibatkan kaca, langit-langit, dan neon sign KFC pecah. Tidak ada korban jiwa. Sebuah bom lainnya yang dipasang di kantor MLC Life cabang Makassar tidak meledak. Bom sekolah Australia, Jakarta, 6 November 2001. Bom rakitan meledak di halaman Australian International School (AIS), Pejaten, Jakarta.2002 Bom Tahun Baru, 1 Januari 2002. Granat manggis meledak di depan rumah makan ayam Bulungan, Jakarta. Satu orang tewas dan seorang lainnya luka-luka. Di Palu, Sulawesi Tengah, terjadi empat ledakan bom di berbagai gereja. Tidak ada korban jiwa. Bom Bali, 12 Oktober 2002. Tiga ledakan mengguncang Bali. 202 korban yang mayoritas warga negara Australia tewas dan 300 orang lainnya luka-luka. Saat bersamaan, di Manado, Sulawesi Utara, bom rakitan juga meledak di kantor Konjen Filipina, tidak ada korban jiwa. Bom restoran McDonald's, Makassar, 5 Desember 2002. Bom rakitan yang dibungkus wadah pelat baja meledak di restoran McDonald's Makassar. 3 orang tewas dan 11 luka-luka.2003 Bom Kompleks Mabes Polri, Jakarta, 3 Februari 2003, Bom rakitan meledak di lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta. Tidak ada korban jiwa. Bom Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 April 2003. Bom meledak dii area publik di terminal 2F, bandar udara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. 2 orang luka berat dan 8 lainnya luka sedang dan ringan. Bom JW Marriott, 5 Agustus 2003. Bom menghancurkan sebagian Hotel JW Marriott. Sebanyak 11 orang meninggal, dan 152 orang lainnya mengalami luka-luka.2004 Bom Palopo, 10 Januari 2004. Menewaskan empat orang. (BBC) Bom Kedubes Australia, 9 September 2004. Ledakan besar terjadi di depan Kedutaan Besar Australia. 5 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Ledakan juga mengakibatkan kerusakan beberapa gedung di sekitarnya seperti Menara Plaza 89, Menara Grasia, dan Gedung BNI. (Lihat pula: Bom Kedubes Indonesia, Paris 2004) Ledakan bom di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah pada 12 Desember 2004.2005 Dua Bom meledak di Ambon pada 21 Maret 2005 Bom Tentena, 28 Mei 2005. 22 orang tewas. Bom Pamulang, Tangerang, 8 Juni 2005. Bom meledak di halaman rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias M Iqbal di Pamulang Barat. Tidak ada korban jiwa. Bom Bali, 1 Oktober 2005. Bom kembali meledak di Bali. Sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di R.AJA's Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Caf Jimbaran. Bom Pasar Palu, 31 Desember 2005. Bom meledak di sebuah pasar di Palu, Sulawesi Tengah yang menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45 orang. 2009 Bom Jakarta, 17 Juli 2009. Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul 07.50 WIB. 2010 Penembakan warga sipil di Aceh Januari 2010 Perampokan bank CIMB Niaga September 20102011 Bom Cirebon, 15 April 2011. Ledakan bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon saat Salat Jumat yang menewaskan pelaku dan melukai 25 orang lainnya. Bom Gading Serpong, 22 April 2011. Rencana bom yang menargetkan Gereja Christ Cathedral Serpong, Tangerang Selatan, Banten dan diletakkan di jalur pipa gas, namun berhasil digagalkan pihak Kepolisian RI

Bom Solo, 25 September 2011. Ledakan bom bunuh diri di GBIS Kepunton, Solo, Jawa Tengah usai kebaktian dan jemaat keluar dari gereja. Satu orang pelaku bom bunuh diri tewas dan 28 lainnya terluka.2.3.6Landasan Hukum Tindak Pidana Terorisme (TPT)Dasar hukum yang dipakai dalam menanggulangi TPT di Indonesia terutama adalah UU nomor. 15 tahun 2003 yang menetapkan Perpu No. 1 tahun 2001 tentang pemberantasan terorismemenjadi Undang-Undang. Pengertian PTP menurut perpu no. 1 tahun 2002 adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam pasal 6 adalah: setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulakan korban yang bersifat masal, denagn cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang setrategis atau lingkungan hidup atu fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidanakan dengan pidana mati atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) (Republik Indonesia, 2002).Pasal 7 Perpu No. 1 tahun 2002 berbunyi setiap orang yang dengan sengaja menggunaka kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulakan korban yang bersifat masal dengan cara merampas kemerdekaaan atu hilangnya nyawa atau kehancuran terhadap objek-objek vital starategis ataua lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup (Republik Indonesia, 2002). Tujuan diundangnya Undang-undang ini adalah dalam rangka memulihkan kehidupan masyarakat yang tertib dan aman serta untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang tertib, aman serta untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dalam pemberantasan TPT (Firmansyah, 2011). Kejahatan terorisme adalah kejahatan yang baru masuk dalam dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yaitu sejak peristiwa bom Bali. Peningkatan secara tajam TPT di Indonesia baik kualitas maupun kuantitas memerlukan penanganan yang serius dari pemerintah dan aparat pendukung terutama kepolisian, kejaksaan dan dan pengadilan (Sinaga, 2001). Dalam memberi perlindungan dan payung hukum Indonesia sebagai negara hukum memberlakukan Undang-undang no. 15 tahun 2003 yang isinya menetapkan perpu no. 1 2002 menjadi undang-undang (Republik Indonesia, 2003). Undang-undang pemberantasan telah mengatur secara rinci hak dan kewenangan penyidik, penuntut, hakim dan korban, tetapi untuk hak-hak tersangka/terdakwa belum terekomendasi, antara lain (Republik Indonesia, 2002):a. Hukum untuk diberitahukan secepatnya alasan penangkapan dan penahanan.b. Hak untuk mengajukan keberatan apabiala ada tindakan kekerasan.c. Hak terdakwa untuk berhubungan dengan pihak yang berkepentingan.Dalam proses penyidikan dan penyelidikan maka perlu diatur perlindungan terhadap saksi, pelapor, korban dan aparat penegak hukum. Dalam perpu no.1 tahun 2002 telah memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang berkaitan PTP seperti saksi,penyidik( yang dalam menjalankan tugas terpaksa harus menutup wajah ) terhadap penuntut umum dan hakim yang memeriksa perkara PTP. Perlindungan tersebut dapat berupa:1. Pelindungan atas keamanan pribadi.2. Kerahasiaan identitas saksi; dan3. Pemberian keterangan di muka persidangan dengan tanpa bertatap muka dengan terdakwa.

BAB IIIMETODE PENULISAN

3.1 Sumber dan Jenis DataData-data yang dipergunakan dalam penyusunan karya tulis ini berasal dari berbagai literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.Beberapa jenis referensi utama yang digunakan adalah buku pelajaran kedokteran, jurnal imiah edisi cetak maupun edisi online, dan artikel ilmiah yang bersumber dari internet.Jenis data yang diperoleh variatif, bersifat kualitatif maupun kuantitatif.3.2 Pengumpulan DataMetode penulisan bersifat studi pustaka.Informasi didapatkan dari berbagai literatur dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang diperoleh. Penulisan diupayakan saling terkait antar satu sama lain dan sesuai dengan topik yang dibahas.3.3 Analisis DataData yang terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan topik kajian.Kemudian dilakukan penyusunan karya tulis berdasarkan data yang telah dipersiapkan secara logis dan sistematis.Teknik analisis data bersifat deskriptif argumentatif.3.4 Penarikan KesimpulanSimpulan didapatkan setelah merujuk kembali pada rumusan masalah, tujuan penulisan, serta pembahasan.Simpulan yang ditarik mempresentasikan pokok bahasan karya tulis, serta didukung dengan saran praktis sebagai rekomendasi selanjutnya.

BAB IVPEMBAHASAN

1. 2. 3. 4.

BAB VPENUTUP

5.1Kesimpulan1. Peranan hukum perdata dalam penyelenggaraan praktik kedokteran adalah sebagai dasar hokum bagi tanggung gugat hukum (liablity) yang apabila dalam pelaksanaannya terdapat pelanggaran hokum yang terjadi akibat hubungan antara dokter dan pasien. Dua dasar hokum bagi tanggung gugat yang dimaksud adalah sebagai berikut:a. Tanggung gugat berdasarkan wanprestasi atau cedera janji atau ingkar janji sebagaimana diatur dalarn Pasal 1239 KUHPerdata.b. Tanggung gugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.2. Aspek hukum perdata dalam penyelenggaraan praktik kedokteran telah diatur oleh UUPK ke dalam materi muatan yangn terdiri dari 6 (enam) aspek yakni: prinsip keahlian dan kewenangan, prinsip otoritas pasien, prinsip pencatatan (rekam medis), prinsip perlindungan, hubungan hokum antara dokter dan pasien, dan tuntutan ganti rugi.3. Pegangan pokok yang dipakai untuk menetapkan adanya malpraktik cukup jelas yakni adanya kesalahan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter pada waktu melakukan perawatan dan ada pihak lain yang dirugikan atas tindakan dokter tersebut. Kenyataannya ternyata tidak mudah untuk menetapkan kapan adanya kesalahan profesional tersebut. Terdapat tiga kriteria untuk menentukan adanya kesalahan profesional. Pertama, adanya kewajiban dokter menyelenggarakan pelayanan kedokteran bagi pasiennya, titik tolak dari kemungkinan terjadinya kesalahan profesional yang menimbulkan kerugian bagi orang lain tersebut adalah adanya kewajiban pada diri dokter melakukan tindakan medik atau pelayanan kedokteran bagi pasiennya, kewajiban yang dimaksud disini, yang tunduk pada hukum perjanjian, maupun mempunyai beberapa ciri khusus danjika disederhanakan dapat dibedakan atas professional ditues, doctor patient relationship, informed consent, professional medical standard, lingkup profesional yang dimiliki tersebut hanya untuk upaya yang akan di laksanakan saja, bukan untuk hasil akhir.Kedua, adanya pelanggaran kewajiban dokter terhadap pasiennya, sesuai dengan pengertian kewajiban sebagaimana dikemukakan di atasmaka pelanggaran yang dimaksud disini hanyalah yang sesuai dengan kelima ciri kewajiban profesional seorang dokter, misalnya, tidak melakukan kewajiban profesional seorang dokter sebagaimana yang lazimnya dilakukan oleh setiap dokter; telah terjadi kontra tera-petik, tetapi dokter tidak melakukan kewajiban profesionalnya, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh seorang dokter pada setiap pelayanan kesehatan; tidak meminta persetujuan pasien sebelum melakukan suatu tindakan medik dan atau pelayanan kedokteran; tidak melaksanakan tindakan medik atau pelayanan kedokteran sesuai dengan standar profesi; dan menjanjikan hasil tindakan medik pelayanan kedokteran yang kenyataannya tidak sesuai dengan perjanjian. Ketiga, sebagai akibat pelanggaran kewajiban timbul kerugian terhadap pasien, kerugian yang dimaksud disini semata-mata terjadi karena adanya kesalahan profesional, bukan karena resiko suatu tindakan medis.4. Keharusan adanya informed consent secara tertulis yang ditandatangani oleh pasien sebelum dilakukannya tindakan medic dilakukan di sarana kesehatan seperti rumah sakit atau klinik karena erat kaitannya dengan pendokumentasiannya ke dalam catatan medik (medical record). Dengan demikian, rumah sakit turut bertanggungjawab apabila tidak terpenuhinya persyaratan informed consent, maka dokter yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administrasi. Menurut Soejatmiko,melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medik merupakan salah satu keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya tuntutan malpraktek pidana karena kecerobohan.

5.2SaranPeningkatan peranan hukum kesehatan dalam penyelenggaraan praktik kesehatan di Indonesia sebaiknya dilakukan bersama-sama dan secara sinergis oleh berbagai pihak meliputi pemerintah, tenaga medis, dan masyarakat sebagai konsumen.Pemerintah sebaiknya dapat menyusun dan mensosialisasikan hukum kesehatan kepada tenaga medis dan masyarakat.Tenaga medis sebagai pelaku dalam penyelenggaraan praktik kesehatan sebaiknya mengetahui dan memahami hukum kesehatan yang berlaku.Sedangkan masyarakat sebagai konsumen seharusnya memahami dan mempelajari hukum kesehatan yang nantinya apabila terjadi masalah-masalah dalam praktik kesehatan dapat sebagai bahan rujukan untuk evaluasi.

DAFTAR PUSTAKAFakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (1997). Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Firmansyah, H. (2011). Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Mimbar Hukum , 23, 237-429.

Hartanto, B. (2014, 11 13). Terorisme dalam Perspektif Hukum Pidana. Retrieved 10 4, 2015, from http://www.seribuserbi.com/2014/04/terorisme-dalam-perspektif-hukum-pidana.html

Manik, D. D. (2007). Tindak Pidana Terorisme.

Masyhar, A. (2009). Gaya Indonesia Menghadang Terorisme Sebuah Kritik Atas Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Mohamad, A., Silviah, S., & Aniza, Z. (2012). Terorisme :: Perspektif Psikologi Forensik.

Mulyadi, L. (2002). Hukum Acara PIdana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan). Bandung: Citra Aditya Bakti.

Okstarizal, H. (2004). Peranan Laboratorium Forensik dalam Pembuktian Tindak Pidana Terorisme di Kota Medan. Medan, Sumatera Utara: USU.

Purnomo, I. P. (2013). Kapita Selekta Hukum Pidana. Retrieved 10 4, 2015, from Academia: http://www.academia.edu/5306913/KAPITA_SELEKTA_HUKUM_PIDANA_UKD_IV_Tindak_Pidana.pdf

Republik Indonesia. (2002). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002. Retrieved 10 2015, 04, from http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/UU/UU_2002_1.pdfRepublik Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia nomor 15 Tahun 2003. Retrieved 10 2015, 04, from http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/UU/UU_2003_15.pdf

Sinaga, B. (2001). Kejahatan Terorisme. Jurnal Keadilan , 1.

Subekti, R. (1987). Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita.

Zakaria, A. (2011). Kode sumber (source code) website sebagai alat bukti dalam tindak pidana terorisme di Indonesia (studi kasus website Anshar.net). Jakarta: UI.

Lampiran I

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 1 TAHUN 2002TENTANGPEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISMEPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka mutlak diperlukan penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan; b. bahwa terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta benda, oleh karena itu perlu dilaksanakan langkah-langkah pemberantasan; c. bahwa terorisme mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional; d. bahwa pemberantasan terorisme didasarkan pada komitmen nasional dan internasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme; e. bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai saat ini belum secara komprehensif dan memadai untuk memberantas tindak pidana terorisme; f. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, dan adanya kebutuhan yang sangat mendesak perlu mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; Mengingat : Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;MEMUTUSKAN :Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME.

BAB IKETENTUAN UMUMPasal 1Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini yang dimaksud dengan:1. Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. 2. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi. 3. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 4. Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. 5. Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas. 6. Pemerintah Republik Indonesia adalah pemerintah Republik Indonesia dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. 7. Perwakilan negara asing adalah perwakilan diplomatik dan konsuler asing beserta anggota-anggotanya. 8. Organisasi internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi internasional lainnya di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa. 9. Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. 10. Obyek vital yang strategis adalah tempat, lokasi, atau bangunan yang mempunyai nilai ekonomis, politis, sosial, budaya, dan pertahanan serta keamanan yang sangat tinggi, termasuk fasilitas internasional. 11. Fasilitas publik adalah tempat yang dipergunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. 12. Bahan peledak adalah semua bahan yang dapat meledak, semua jenis mesiu, bom, bom pembakar, ranjau, granat tangan, atau semua bahan peledak dari bahan kimia atau bahan lain yang dipergunakan untuk menimbulkan ledakan. Pasal 2Pemberantasan tindak pidana terorisme dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini merupakan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk memperkuat ketertiban masyarakat, dan keselamatan masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, tidak bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun antargolongan.BAB II

LINGKUP BERLAKUNYA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

Pasal 3(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini berlaku terhadap setiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah negara Republik Indonesia dan/atau negara lain juga mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tersebut.(2) Negara lain mempunyai yurisdiksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila:a. kejahatan dilakukan oleh warga negara dari negara yang bersangkutan; b. kejahatan dilakukan terhadap warga negara dari negara yang bersangkutan; c. kejahatan tersebut juga dilakukan di negara yang bersangkutan; d. kejahatan dilakukan terhadap suatu negara atau fasilitas pemerintah dari negara yang bersangkutan di luar negeri termasuk perwakilan negara asing atau tempat kediaman pejabat diplomatik atau konsuler dari negara yang bersangkutan; e. kejahatan dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa negara yang bersangkutan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu; f. kejahatan dilakukan terhadap pesawat udara yang dioperasikan oleh pemerintah negara yang bersangkutan; atau g. kejahatan dilakukan di atas kapal yang berbendera negara tersebut atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negara yang bersangkutan pada saat kejahatan itu dilakukan. Pasal 4Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan:a. terhadap warga negara Republik Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia; b. terhadap fasilitas negara Republik Indonesia di luar negeri termasuk tempat kediaman pejabat diplomatik dan konsuler Republik Indonesia; c. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa pemerintah Republik Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu; d. untuk memaksa organisasi internasional di Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu; e. di atas kapal yang berbendera negara Republik Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan; atau f. oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia. Pasal 5Tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi.

BAB IIITINDAK PIDANA TERORISMEPasal 6Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.Pasal 7Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.Pasal 8Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang:a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut; b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut; c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru; d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru; e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara; g. karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak; h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan; i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan; j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan; k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang; l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut; m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan; n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan; o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n; p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan; q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan; r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan. Pasal 9Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.Pasal 10Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.Pasal 11Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.Pasal 12Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan :a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki, menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda; b. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya ; c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya; d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atau ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi; e. mengancam : 1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya untuk menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan harta benda; atau2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf b dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi internasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c; dan g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f. Pasal 13Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan :a. memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme; b. menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau c. menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.Pasal 14Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.Pasal 15Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.Pasal 16Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.Pasal 17(1) Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.(2) Tindak pidana terorisme dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.Pasal 18(1) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah).(3) Korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang.Pasal 19Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.BAB IVTINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGANTINDAK PIDANA TERORISMEPasal 20Setiap orang yang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum, dan/atau hakim yang menangani tindak pidana terorisme sehingga proses peradilan menjadi terganggu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.Pasal 21Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, dan mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan, atau melakukan penyerangan terhadap saksi, termasuk petugas pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.Pasal 22Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.Pasal 23Setiap saksi dan orang lain yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun.Pasal 24Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.BAB VPENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAANDI SIDANG PENGADILANPasal 25(1) Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. (2) Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan. Pasal 26(1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen.(2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri.(3) Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.(4) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.Pasal 27Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada : 1) tulisan, suara, atau gambar;2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.Pasal 28Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.Pasal 29(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada bank dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme. (2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai : a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh bank dan lembaga jasa keuangan kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa; c. alasan pemblokiran; d. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan e. tempat harta kekayaan berada. (3) Bank dan lembaga jasa keuangan setelah menerima perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima.(4) Bank dan lembaga jasa keuangan wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran.(5) Harta kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada bank dan lembaga jasa keuangan yang bersangkutan.(6) Bank dan lembaga jasa keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Pasal 30(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana terorisme, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari bank dan lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme.(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.(3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai :a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; b. identitas setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme; c. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan d. tempat harta kekayaan berada. (4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh :a. Kepala Kepolisian Daerah atau pejabat yang setingkat pada tingkat Pusat dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik; b. Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum; c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Pasal 31(1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4), penyidik berhak:a. membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa; b. menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme. (2) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.(3) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik.Pasal 32(1) Dalam pemeriksaan, saksi memberikan keterangan terhadap apa yang dilihat dan dialami sendiri dengan bebas dan tanpa tekanan.(2) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana terorisme dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.(3) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.Pasal 33Saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa beserta keluarganya dalam perkara tindak pidana terorisme wajib diberi perlindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.Pasal 34(1) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan berupa :a. perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental; b. kerahasiaan identitas saksi; c. pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka. (2) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.Pasal 35(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan kasasi atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana terorisme, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan harta kekayaan yang telah disita.(6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya hukum.(7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).BAB VIKOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASIPasal 36(1) Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi.(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah.(3) Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya.(4) Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.Pasal 37(1) Setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).Pasal 38(1) Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri.(2) Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan.(3) Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.Pasal 39Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) memberikan kompensasi dan/atau restitusi, paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan.Pasal 40(1) Pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi dilaporkan oleh Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi tersebut.(2) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, dan/atau restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau ahli warisnya.(3) Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.Pasal 41(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, korban atau ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada pengadilan.(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera memerintahkan Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.Pasal 42Dalam hal pemberian kompensasi dan/atau restitusi dapat dilakukan secara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaan dilaporkan kepada pengadilan.BAB VIIKERJA SAMA INTERNASIONALPasal 43Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme, Pemerintah Republik Indonesia melaksanakan kerja sama internasional dengan negara lain di bidang intelijen, kepolisian dan kerjasama teknis lainnya yang berkaitan dengan tindakan melawan terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.BAB VIIIKETENTUAN PENUTUPPasal 44Ketentuan mengenai :a. kewenangan atasan yang berhak menghukum yakni : 1) melakukan penyidikan terhadap prajurit bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya yang pelaksanaannya dilakukan oleh penyidik polisi militer atau penyidik oditur; 2) menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari penyidik polisi militer atau penyidik oditur;3) menerima berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik polisi militer atau penyidik oditur; dan4) melakukan penahanan terhadap tersangka anggota bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya.b. kewenangan perwira penyerah perkara yang : 1) memerintahkan penyidik untuk melakukan penyidikan;2) menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan;3) memerintahkan dilakukannya upaya paksa;4) memperpanjang penahanan;5) menerima atau meminta pendapat hukum dari oditur tentang penyelesaian suatu perkara;6) menyerahkan perkara kepada pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili;7) menentukan perkara untuk diselesaikan menurut hukum disiplin prajurit; dan8) menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer,dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan tindak pidana terorisme menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.Pasal 45Presiden dapat mengambil langkah-langkah untuk merumuskan kebijakan dan langkah-langkah operasional pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.Pasal 46Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri.Pasal 47Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.Ditetapkan di Jakartapada tanggal 18 Oktober 2002PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRIDiundangkan di Jakartapada tanggal 18 Oktober 2002SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd BAMBANG KESOWOLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 106Salinan sesuai dengan aslinyaDeputi Sekretaris KabinetBidang Hukum dan Perundang-undangan,Lambock V. Nahattands

PENJELASANATASPERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 1 TAHUN 2002TENTANGPEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISMEUMUMSejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, maka Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum dan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera serta ikut serta secara aktif memelihara perdamaian dunia.Untuk mencapai tujuan tersebut di atas pemerintah wajib memelihara dan menegakkan kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranya dari setiap ancaman atau tindakan destruktif baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai konvensi internasional yang menegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia sehingga seluruh anggota Perserikatan Bangsa-bangsa termasuk Indonesia wajib mendukung dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengutuk dan menyerukan seluruh anggota Perserikatan Bangsa-bangsa untuk mencegah dan memberantas terorisme melalui pembentukan peraturan perundang-undangan nasional negaranya.Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang dilandaskan kepada kehati-hatian dan bersifat jangka panjang karena :Pertama, Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multi-etnik dengan beragam dan mendiami ratusan ribu pulau-pulau yang tersebar di seluruh wilayah nusantara serta ada yang letaknya berbatasan dengan negara lain.Kedua, dengan karakteristik masyarakat Indonesia tersebut seluruh komponen bangsa Indonesia berkewajiban memelihara dan meningkatkan kewaspadaan menghadapi segala bentuk kegiatan yang merupakan tindak pidana terorisme yang bersifat internasional.Ketiga, konflik-konflik yang terjadi akhir-akhir ini sangat merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan kemunduran peradaban dan dapat dijadikan tempat yang subur berkembangnya tindak pidana terorisme yang bersifat internasional baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun yang dilakukan oleh orang asing.Terorisme yang bersifat internasional merupakan kejahatan yang terorganisasi, sehingga pemerintah dan bangsa Indonesia wajib meningkatkan kewaspadaan dan bekerja sama memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia tidak semata-mata merupakan masalah hukum dan penegakan hukum melainkan juga merupakan masalah sosial, budaya, ekonomi yang berkaitan erat dengan masalah ketahanan bangsa sehingga kebijakan dan langkah pencegahan dan pemberantasannyapun ditujukan untuk memelihara keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan negara, hak asasi korban dan saksi, serta hak asasi tersangka/terdakwa.Pemberantasan tindak pidana terorisme dengan ketiga tujuan di atas menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi peradaban umat manusia dan memiliki cita perdamaian dan mendambakan kesejahteraan serta memiliki komitmen yang kuat untuk tetap menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat di tengah-tengah gelombang pasang surut perdamaian dan keamanan dunia.Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan ketentuan khusus dan spesifik karena memuat ketentuan-ketentuan baru yang tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, dan menyimpang dari ketentuan umum sebagaimana dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini secara spesifik juga memuat ketentuan tentang lingkup yurisdiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta memuat ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme yang terkait dengan kegiatan terorisme internasional. Ketentuan khusus ini bukan merupakan wujud perlakuan yang diskriminatif melainkan merupakan komitmen pemerintah untuk mewujudkan ketentuan Pasal 3 Convention Against Terrorist Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of Financing Terrorism(1999).Kekhususan lain dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini antara lain sebagai berikut:1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini merupakan ketentuan payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme. 2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini merupakan ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang bersifat koordinatif (coordinating act) dan berfungsi memperkuat ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme. 3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa yang disebut "safe guarding rules". Ketentuan tersebut antara lain memperkenalkan lembaga hukum baru dalam hukum acara pidana yang disebut dengan "hearing" dan berfungsi sebagai lembaga yang melakukan "legal audit" terhadap seluruh dokumen atau laporan intelijen yang disampaikan oleh penyelidik untuk menetapkan diteruskan atau tidaknya suatu penyidikan atas dugaan adanya tindakan terorisme. 4. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini ditegaskan bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik atau tindak pidana yang bermotif politik atau tindak pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerjasama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif. 5. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dimuat ketentuan yang memungkinkan Presiden membentuk satuan tugas anti teror. Eksistensi satuan tersebut dilandaskan kepada prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sunshine principle) dan/atau prinsip pembatasan waktu efektif (sunset principle) sehingga dapat segera dihindarkan kemungkinan penyalahgunaan wewenang yang dimiliki oleh satuan dimaksud. 6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat ketentuan tentang yurisdiksi yang didasarkan kepada asas teritorial, asas ekstrateritorial, dan asas nasional aktif sehingga diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangkau terhadap tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini yang melampaui batas-batas teritorial Negara Republik Indonesia. Untuk memperkuat yurisdiksi tersebut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat juga ketentuan mengenai kerjasama internasional. 7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat ketentuan tentang pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga memperkuat Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 8. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini tidak berlaku bagi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, baik melalui unjuk rasa, protes, maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi. Apabila dalam kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut terjadi tindakan yang mengandung unsur pidana, maka diberlakukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan ketentuan peraturan perundang-undangan di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 9. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini tetap dipertahankan ancaman sanksi pidana dengan minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme. Penggunaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk mengatur Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme didasarkan pertimbangan bahwa terjadinya terorisme di berbagai tempat telah menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil serta menimbulkan ketidakamanan bagi masyarakat, sehingga mendesak untuk dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang guna segera dapat diciptakan suasana yang kondusif bagi pemeliharaan ketertiban dan keamanan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip hukum.PASAL DEMI PASALPasal 1Cukup jelasPasal 2Cukup jelasPasal 3Tuntutan yurisdiksi negara lain tidak serta-merta ada keterikatan Pemerintah Republik Indonesia untuk menerima tuntutan dimaksud sepanjang belum ada perjanjian ekstradisi atau bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana, kecuali Pemerintah Republik Indonesia menyetujui diberlakukannya asas resiprositas.Pasal 4Pasal ini bertujuan untuk melindungi warga negara Republik Indonesia, Perwakilan Republik Indonesia dan harta kekayaan Pemerintah Republik Indonesia di luar negeri.Pasal 5Ketentuan ini dimaksudkan agar tindak pidana terorisme tidak dapat berlindung di balik latar belakang, motivasi, dan tujuan politik untuk menghindarkan diri dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan penghukuman terhadap pelakunya. Ketentuan ini juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas perjanjian ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain.Pasal 6Yang dimaksud dengan "kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup" adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya.Termasuk merusak atau menghancurkan adalah dengan sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun ke dalam tanah, udara, atau air perm