peranan ilmu forensik
TRANSCRIPT
PERANAN ILMU FORENSIK DALAM USAHA UNTUK
MEMECAHKAN KASUS-KASUS KRIMINALITAS
( DITINJAU DARI SEGI ILMU HUKUM PIDANA)
Penulisan Hukum
(SKRIPSI)
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat
Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh:
MUHAMMAD PRIADI BUDI UTOMONIM : E OOO 1 1 7 7
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2005
PERSETUJUAN
Disetujui untuk dipertahankan
Pembimbing I Pembimbing II
Siti Warsini, S.H. M.H. Sabar Slamet, S.H. NIP : 130 814 587 NIP : 131 571 616
PENGESAHAN
Penulisan Hukum (Skripsi) ini telah diterima dan disahkan oleh
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Pada :
Hari : Rabu
Tanggal : 28 September 2005
DEWAN PENGUJI
1. ………………………… ( Supanto, S.H., M.Hum. ) Ketua
2. ………………………… ( Winarno Budyatmojo, S.H.,M.S. )Sekretaris
3. ………………………… ( Siti Warsini, S.H., M.H. ) Anggota
Mengetahui :
Dekan
Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H.NIP. 131 793 333
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“Kerjakanlah apa yang sedang kau kerjakan dengan sebaik-baiknya”
(Penulis)
“Hiduplah seakan besok kau telah mati”
(Penulis)
PERSEMBAHAN
1. Ayahanda H.M. Nuryasman Ilyas atas didikan dan pengertiannya selama
ini.
2. Ibunda Hj. Siti Nurjanah Sintowati atas segala kasih sayangnya selama
ini.
3. Kakakku Nugroho Arif Prabowo (Thanks for your inspiration) dan (Alm)
Nurakhman Ardiyanto (Terlalu cepat kau pergi…).
4. Diriku sendiri.
KATA PENGANTAR
Dengan rahmat dan hidayah dari Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, penulis telah berhasil menyelesaikan penulisan hukum yang berjudul
“PERANAN ILMU FORENSIK DALAM USAHA UNTUK MEMECAHKAN
KASUS-KASUS KRIMINALITAS (DITINJAU DARI SEGI ILMU
PENGETAHUAN HUKUM PIDANA)” ini dengan baik.
Penulisan hukum ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas serta untuk
memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Selain itu penulisan hukum ini
diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan informasi bagi penulis
maupun pembaca.
Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis tidak dapat
menyelesaikannya dari awal sampai akhir tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan
hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum UNS,
tempat dimana penulis selama ini mencari ilmu.
2. Ibu Siti Warsini, S.H. M.H., serta Bapak Sabar Slamet, S.H., selaku
pembimbing penulisan skripsi yang telah menyediakan waktu dan
pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya
skripsi ini.
3. Ibu T.H. Kussunaryatun selaku pembimbing akademis, atas nasehat yang
berguna bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum UNS.
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuannya kepada penulis, serta Bapak dan Ibu staf karyawan Fakultas
Hukum UNS yang telah berperan dalam kelancaran kegiatan proses belajar
mengajar di Fakultas Hukum UNS.
5. drg. Andi Yok S. beserta keluarga yang telah banyak memberikan
pengetahuannya kepada penulis selama mengerjakan penulisan hukum ini.
6. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah memberikan kasih sayang dan doa
kepada penulis sejak dari buaian hingga detik ini.
7. Kakakku-kakakku Nugroho Arif Prabowo yang selalu menjadi inspiratorku
serta (Alm) Nurakhman Ardiyanto.
8. Teman-temanku alumni TK&SD Al-Irsyad Surakarta, SMP Negeri 1
Surakarta, dan SMU Negeri 1 Surakarta.
9. Anak-anak Mata Air Productions (Adit, Uut, Nurul, Gembur, Zacky) yang
telah memberiku banyak pengalaman berharga, teruskan perjuangan kawan.
Serta anak-anak ex Concave lama (Ableh, Carol, Aan, Encix,dll) dan anak-
anak Hoofd.
10. Personel team Lobby FH UNS: (three musketeers and the substitutes -
Memed, Simbah, Tepong ), Mayang (thanks for your KUHAP and your help
in JUSTIFEST), Fifi lemot, Winda, Ardi, Ida, Maulina, anak-anak lobby
2003, dan semua yang pernah menjadi member lobby, Team perdata tour de
Bali 2004, serta mantan anak-anak taman.
11. Team kontrakan, parkiran, lobby belakang, dan seluruh komunitas di FH
UNS, serta semua pihak yang terlibat di JUSTIFEST 2004 (terima kasih atas
kerja sama dan kerja kerasnya).
Dan masih banyak lagi bantuan dari berbagai pihak yang telah penulis
terima dan tidak dapat disebutkan satu persatu. Sekali lagi penulis hanya dapat
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Mudah-mudahan penulisan
hukum yang sederhana ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan
pengetahuan bagi siapapun yang memerlukannya.
Surakarta, 22 Agustus 2005 Penulis
Muhammad Priadi Budi Utomo
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………i
HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………………………………ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………….…iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ………………………………....iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….…v
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….....vii
ABSTRAK …………………………………………………………………….…..x
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….……….1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………...1
B. Perumusan Masalah ……………………………………………….….8
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………....…..8
D. Manfaat Penelitian ……………………………………………….…...9
E. Metoda Penelitian ………….…………………………………............9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………...13
A. Kerangka Teoritik …………………………….…………………..…13
1. Penegakan Hukum Pidana dan Kriminalitas
………………………...…………………………………...…….13
2. Pembuktian Dalam Proses Acara Pidana ………………………...
…..………………………………..…...14
3. Pemyelidikan………………….……………………………….…16
4. Pemyidikan………………………………….. …………………..18
5. Barang Bukti…………………………………... ………………...20
6. Ilmu Pengetahuan Forensik…………... ………………………....21
7. Ilmu Kedokteran Kehakiman………….. ………………………...22
8. Visum et Repertum………………... …………………………….23
9. Toksikologi Forensik ………………………………………..…...24
10. Psikiatri Forensik …………………………………………..…….25
11. Antropologi Forensik……………………………………………..26
12. Masa Depan Ilmu Pengetahuan Forensik…………………………27
B. Kerangka Pemikiran ……………………………………………...…29
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………………………..32
A. Fungsi Ilmu Pengetahuan Forensik
………………………………………………………………………32
1. Pengetahuan Dasar Tentang Ilmu Pengetahuan Forensik ……….32
2. Sejarah Ilmu Pengetahuan Forensik ……………………..……....33
3. Fungsi Ilmu Forensik ……………………………….…………...35
B. Peranan Ilmu Forensik Dalam Usaha Untuk Memecahkan Kasus-
KasusKriminalitas..……………...…………………………………38
1. Psikiatri Forensik dan Peranannya Dalam Memecahkan Kasus
Kriminalitas………………...…………………………………...39
2. Peranan Ilmu Forensik Pada Sengketa Kekuasaan di Keraton
Kasunanan Surakarta…………...…………………………...…..43
3. Peranan Ilmu Forensik Dalam Identifikasi Korban Bencana
Massal...………...……………………………………………….45
4. Peranan Ilmu Forensik Dalam Menemukan Tersangka……...….48
BAB IV PENUTUP ……………………………………………………………..51
A. Kesimpulan …………………………………………………………51
B. Saran-saran ……………………………………………………….…52
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
MUHAMMAD PRIADI BUDI UTOMO, E 0001177, PERANAN ILMU FORENSIK DALAM USAHA UNTUK MEMECAHKAN KASUS-KASUS KRIMINALITAS (DITINJAU DARI SEGI ILMU PENGETAHUAN HUKUM PIDANA). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Penulisan Hukum (Skripsi). 2005.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi dari ilmu pengetahuan forensik, dan untuk mengetahui peranan ilmu forensik dalam usaha untuk memecahkan kasus-kasus kriminalitas yang terjadi.
Penelitian ini merupakan penelitian yang normatif dan bersifat deskriptif yaitu penelitian dengan menggambarkan/ melukiskan keadaan obyek penelitian pada saat sekarang, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Jenis data yang dipergunakan adalah data sekunder (buku, artikel, peraturan perundang-undangan, makalah, dokumen kepustakaan).Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah teknik studi dokumen atau bahan pustaka. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa Ilmu pengetahuan forensik adalah sebuah ilmu pengetahuan yang ditujukan untuk membantu proses peradilan, terutama dalam bidang pembuktian. Sehingga di dapat bukti-bukti yang sulit ditemukan dengan cara biasa, dan memerlukan metode-metode tertentu dalam pencariannya. Dengan ditemukannya bukti tersebut diharapkan pengadilan dapat memberi putusan yang tepat, sehingga hukum dapat ditegakkan dengan benar. Ilmu pengetahuan forensik berkembang seiring dengan semakin banyaknya tindak kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Fungsi ilmu forensik adalah membuat suatu perkara menjadi jelas, yaitu dengan mencari dan menemukan kebenaran materiil yang selengkap-lengkapnya tentang suatu perbuatan ataupun tindak pidana yang telah terjadi. Peranan ilmu forensik dalam usaha untuk memecahkan kasus-kasus kriminalitas adalah sangat besar, hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus yang ada dimana ilmu forensik dipakai untuk menentukan apakah si tersangka bisa dikenai hukuman atau tidak menyangkut kesehatan jiwanya, kemudian ilmu forensik dapat digunakan untuk menentukan keaslian suatu tulisan ataupun dokumen, lalu penggunaan ilmu forensik untuk mengidentifikasi korban kejahatan ataupun bencana, dan yang paling utama adalah penggunaan ilmu forensik untuk mengetahui tersangka dari suatu tindak kejahatan.
Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah bahwa ilmu pengetahuan forensik dari mulai diketemukan hingga sekarang ini telah mengalami banyak kemajuan baik secara teori maupun aplikasi, sedangkan implikasi praktisnya adalah lebih banyak kasus-kasus kejahatan yang terungkap dengan semakin majunya ilmu pengetahuan forensik dan mempermudah proses peradilan di bidang pembuktian.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dunia sekarang ini terasa semakin sempit saja, hal ini disebabkan
dengan adanya berbagai kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan
transportasi, bahkan istilah “ buku adalah jendela dunia “ rasa-rasanya sudah
tidak tepat untuk dipakai di masa sekarang ini, karena buku bukanlah satu-
satunya lagi sumber pengetahuan kita untuk mengetahui isi dunia ini.
Berbagai kemajuan teknologi yang ada telah memunculkan berbagai macam
piranti (baik lunak maupun keras) pengganti buku, seperti internet, televisi,
radio, telepon dan masih banyak lagi.
Selain kemajuan di bidang teknologi, kemajuan di bidang hubungan
internasional negara-negara yang ada di dunia ini juga menjadikan dunia ini
terasa semakin sempit. Semangat persatuan dari negara-negara yang merasa
senasib ataupun setujuan menjadikan munculnya berbagai kelompok negara-
negara yang mencoba untuk meningkatkan kemampuan negara mereka di
berbagai bidang dengan berusaha menghilangkan ataupun mengabaikan sekat-
sekat yang dulunya telah ada diantara para anggotanya, sehingga dapat kita
temui fenomena–fenomena semacam Asian Free Trade Area (area
perdagangan bebas asia), Masyarakat Ekonomi Eropa, Uni Eropa (persatuan
negara-negara eropa), World Trade Organization (organisasi perdagangan
dunia) dan masih banyak lagi organisasi-organisasi lain baik yang bersifat
bilateral maupun multilateral dengan berbagai dasar dan tujuan yang berbeda-
beda di dunia ini.
Hal diatas masih ditambah dengan adanya beberapa negara adi kuasa
yang dengan kapitalismenya berusaha untuk semakin memperkokoh dan
memperluas kekuasaannya, yang tentu saja dengan semakin kokoh dan
berkuasanya dia maka keuntungan yang bisa diperoleh negara tersebut akan
semakin besar.
Dengan adanya berbagai kondisi diatas maka muncullah suatu keadaan
dimana dunia yang besar dan terdiri bermacam negara, suku, bangsa, adat, dan
bahasa ini seakan telah menjadi satu atau yang sering disebut dengan istilah
globalisasi.
Adanya globalisasi tak bisa dipungkiri memiliki berbagai macam
dampak bagi tiap negara dan individu, baik itu dampak yang bersifat positif
maupun negatif. Dampak positif akan di dapat oleh pihak-pihak yang dapat
beradaptasi dengan adanya globalisasi, sedangkan pihak yang tidak dapat
beradaptasi hanya akan mendapat dampak-dampak negatif dan akan semakin
terlindas dengan globalisasi yang semakin maju.
Berbicara mengenai globalisasi, globalisasi juga sangat berpengaruh
bagi negara kita Indonesia tercinta, baik itu pengaruh yang positif maupun
yang negatif. Untuk pengaruh negatifnya dapat kita lihat masuknya unsur-
unsur asing yang mana sangat bertentangan dengan norma, adat, faham, dan
budaya ketimuran seperti free sex, hedonisme, kapitalisme, dan lain lain.
Kemudian negara yang lemah harus tunduk pada negara yang kuat kalau tidak
ingin ditindas (kolonialisme gaya baru), munculnya kaum-kaum pinggiran
karena tersingkirkan oleh pembangunan dan perkembangan jaman, dan
sebagainya. Sedangkan untuk pengaruh positif dapat kita lihat pada semakin
cepatnya perkembangan di segala bidang dikarenakan mengikuti arus
globalisasi yang ada. Munculnya golongan–golongan terpelajar dan
profesional, berkembangya pola berpikir global, dan yang paling utama adalah
pembangunan di segala bidang yang berkembang secara pesat, sehingga mau
tidak mau masyarakat harus ikut berkembang mengikuti perkembangan yang
ada.
Pembangunan di negara Indonesia ini termasuk berhasil, tetapi tidak
merata, karena yang diutamakan adalah pembangunan-pembangunan di kota
besar ataupun daerah yang dianggap potensial, dan daerah sekitar yang dapat
turut mengembangkan kota besar atau daerah tersebut. Hal ini menyebabkan
munculnya daerah-daerah tertinggal karena daerah tersebut kurang
diperhatikan oleh pemerintah sehingga terjadilah ketimpangan antar daerah.
Dengan adanya ketimpangan ini memunculkan anggapan di masyarakat
daerah tertinggal bahwa kalau ingin maju atau berubah harus ke kota besar.
Maka muncullah masalah baru bagi kota besar ataupun daerah yang
lebih maju mengenai masalah kependudukan, yaitu urbanisasi atau pindahnya
masyarakat dari desa ke kota dengan tujuan untuk merubah nasib mereka.
Tetapi sangat disayangkan perpindahan mereka dari desa ke kota tidaklah
disertai dengan kemampuan yang memadai untuk bekerja dan hidup di kota,
sehingga kedatangan mereka hanya menambah panjang daftar pengangguran
di kota, serta menambah jumlah penduduk di kota yang sudah sangat padat.
Jumlah penduduk yang sangat padat ditambah dengan jumlah
pengangguran yang sangat banyak, sulitnya mencari pekerjaan serta
persaingan yang sangat tajam dan ketat merupakan suatu kombinasi yang tepat
dalam menciptakan kondisi yang memunculkan potensi kejahatan yang
kemudian akan menjadi tindak kejahatan atau kriminalitas. Dengan
munculnya kriminalitas maka bertambahlah masalah yang harus dihadapi.
Kriminalitas adalah tindakan melawan hukum yang nampaknya di
masyarakat kita sekarang ini sudah menjadi suatu hal yang tidak ditabukan
lagi dan biasa, hal ini dapat kita lihat dengan makin banyaknya berita-berita
tentang kriminalitas di berbagai media, bahkan sampai membuat media-media
tersebut memberikan tempat tersendiri terhadap berita-berita tentang
kriminalitas. Ini merupakan suatu hal yang sangat meresahkan, bahkan
sekarang ini kriminalitas seolah-olah telah menjadi sebuah subculture atau
salah satu bagian tersendiri dari budaya dalam masayarakat moderen (bukan
lagi hanya sebuah penyimpangan pranata sosial belaka). Kenapa peneliti
menganggap kriminalitas telah menjadi sebuah subculture tersendiri,
sebelumnya marilah kita melihat dulu ke arti dasar dari budaya.
Kata budaya merupakan bentuk majemuk kata budi-daya yang berarti
cipta, karsa, dan rasa. Sebenarnya kata budaya hanya dipakai sebagai
singkatan dari kata kebudayaan, yang berasal dari bahasa sansekerta
buddhayah yaitu bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal
(Koentjaraningrat, 1990:181).
Budaya atau kebudayaan dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan
kata cultuur, sedangkan dalam bahasa Inggris kita kenal dengan culture yang
oleh beberapa ahli diartikan menjadi segala daya dan aktifitas manusia untuk
mengolah dan mengubah alam, dalam perkembangannya maka muncullah
subculture-subculture atau bagian-bagian dari culture atau budaya yang
utama. Subculture muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap culture
atau budaya yang utama, baik itu ketidakpuasan yang bersifat positif maupun
yang bersifat negatif. Hal inilah yang mendasari mengapa peneliti
menganggap bahwa kriminalitas telah menjadi subculture tersendiri dalam
masyarakat moderen ini bukan lagi sekedar penyimpangan pranata sosial,
sedangkan proses dari kriminalitas yang hanya sebagai penyimpangan pranata
sosial hingga menjadi sebuah subculture dapat dijelaskan sebagai berikut.
Dalam suatu kebudayaan terdapat orang-orang yang menyimpang,
pada perkembangannya merekapun kemudian berkumpul untuk tujuan ganda,
yaitu saling membantu dan memberikan suasana, tempat mereka dapat
melakukan penyimpangan, sehingga terbentuklah suatu subkebudayaan tetapi
bersifat menyimpang atau istilah asingnya deviant subculture. Deviant
subculture ini memisahkan diri dari aturan-aturan, nilai, bahasa, dan istilah-
istilah yang berlaku secara umum dalam kebudayaan yang dominan. Inilah
yang dilakukan oleh sebagian besar individu yang ditolak oleh masyarakat,
mereka langsung mencari persahabatan dalam subkebudayaan menyimpang,
mereka memulai proses sosialisasi agar dapat memahami aturan-aturan
perilaku yang diterima dan memperkirakan peranan yang tepat buat mereka,
sehingga muncullah kelompok-kelompok deviant subculture atau
subkebudayaan menyimpang yang antara lain sebagai berikut ;
1. Kelompok penjudi
2. Kelompok pelacur
3. Kelompok pemakai obat-obatan terlarang
4. Kelompok kejahatan
5. dan lain lain.
Ini merupakan sebuah perubahan kondisi sosial akibat negatif dari
pembangunan yang tidak tepat sasaran dan sangat meresahkan, karena
kriminalitas di dalam masyarakat sekarang ini bukan lagi merupakan sesuatu
yang dirahasiakan lagi, melainkan sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari masyarakat moderen, bahkan para pelaku kriminalitas sekarang ini tidak
lagi malu akan perbuatan yang telah mereka lakukan, tetapi malah bangga
dengan apa yang telah mereka lakukan, dengan anggapan sebagian dari
mereka “bahwa ini adalah lahan pekerjaan baru di tengah persaingan
pencarian pekerjaan yang sangat ketat di jaman moderen ini“. Hal ini juga
yang akhirnya mendasari para pelaku kriminal menjadikan perbuatan mereka
lebih profesional dengan berbagai cara, bahkan merekapun mendirikan
organisasi-organisasi untuk mewadahi atau memperlancar aktifitas mereka,
walaupun tidak semua tindakan kriminal bertendensi atau bermotif ekonomi
atau mencari untung, ada juga yang bermotif dendam, nafsu, dan bahkan ada
pula yang hanya bermotif iseng belaka.
Tindak kriminal di jaman moderen ini sudah sangat bervariasi, berbeda
dengan jaman dahulu yang hanya mengenal tindak kriminal hanya sebatas
pencurian, pembunuhan, pemerkosaan dan tindakan-tindakan lain yang
sejenis, tetapi di jaman moderen ini tindak kriminal juga menjadi sangat
beragam, mulai dari tindak-tindak kriminal umum semacam contoh di atas,
hingga muncul juga tindak-tindak kriminal jenis baru seperti pemalsuan uang,
pemalsuan surat-surat penting, kejahatan-kejahatan dalam dunia maya atau
lebih dikenal dengan istilah cyber crime, dan masih banyak lagi. Hal ini
berakibat semakin sulitnya kasus-kasus tentang kriminal yang ada untuk
dipecahkan karena selain kasus yang ada semakin banyak, kasus-kasus
tersebut juga berkaitan dengan kemajuan teknologi yang ada.
Untuk itulah diperlukan adanya penanggulangan terhadap kejahatan
atau kriminalitas, sehingga hal-hal seperti yang telah disebutkan diatas tidak
perlu terjadi. Tentu saja untuk melakukan penanggulangan diperlukan
berbagai sarana dan prasarana ditambah dengan ilmu pengetahuan yang
menunjang penanggulangan terjadinya tindak kejahatan. Dalam bidang sarana
dan prasarana penanggulangan kejahatan dapat disebutkan antara lain pihak
kepolisian, adanya siskamling (sistem keamanan lingkungan), pembentukan
hansip (pertahanan sipil) atau linmas (perlindungan masyarakat), adanya pos
ronda, serta sarana dan prasarana yang lain. Sedangkan dari segi ilmu
pengetahuan terdapat beberapa ilmu penunjang untuk menanggulangi adanya
tindak kejahatan, antara lain kriminologi (mempelajari proses terjadinya
kejahatan di masyarakat), kriminalistik (mempelajari berbagai macam tindak
kejahatan), ilmu pengetahuan agama (untuk mencegah manusia berbuat jahat),
pendidikan moral, dan lain sebagainya.
Pencegahan ataupun penanggulangan saja tidaklah cukup, dibutuhkan
juga hal-hal untuk menghadapi kejahatan yang telah terjadi, karena jika telah
terjadi kita tidak bisa mencegah lagi, melainkan harus mengusutnya hingga
tuntas, untuk itu diperlukan ilmu pengetahuan seperti ilmu hukum pidana
(untuk menghadapi atau menentukan hukuman tindak kejahatan yang telah
terjadi) ilmu hukum acara pidana (mengatur tata cara penyelesaian kasus
pidana), dan ilmu forensik (untuk membantu mempermudah pengungkapan
suatu kasus kejahatan).
Jika dilihat secara sekilas, nampaknya ilmu forensik memiliki peranan
yang penting dalam pengungkapan sebuah tindak kejahatan yang telah terjadi,
terutama terhadap kasus-kasus yang sulit dipecahkan atau membutuhkan
teknik khusus dalam pengungkapannya. Hal ini karena ilmu forensik memang
diciptakan untuk mempermudah proses peradilan terutama dalam hal
pembuktian, yang mana ilmu forensik sendiri terdiri dari berbagai macam ilmu
pengetahuan seperti pathologi dan biologi, toksikologi, kriminalistik,
kedokteran forensik, antropologi, jurisprudensi, psikologi dan masih banyak
lagi, sehingga orang sering menyebut ilmu forensik sebagai ilmu dewa, karena
dengan ilmu forensik kita dapat mengetahui berbagai macam hal yang
sebelumnya tidak kita ketahui (William G. Eckert, 1980: 2).
Dilihat dari hal-hal yang telah dibahas di atas sebenarnya seberapa
pentingkah arti dari ilmu forensik hingga kita terutama pihak peradilan sangat
membutuhkannya? Ilmu forensik amatlah penting bagi peradilan, terutama
pihak kepolisian karena untuk membantu memecahkan kasus atau tindak
kejahatan yang terjadi, terutama kasus-kasus yang sulit untuk menentukan
tersangkanya ataupun pembuktiannya, contoh peranan dari ilmu forensik
dapat kita lihat pada kasus bom Bali, dalam kasus seperti bom Bali kita tidak
akan dapat menemukan tersangka yang sekarang ini tanpa adanya bantuan dari
ilmu forensik, dengan adanya ilmu forensik maka akhirnya dapat diketahui
siapa para tersangka yang terlibat, para tersangka tersebut dapat diketahui
setelah dilakukan penelitian terhadap bukti-bukti atau petunjuk yang ada
seperti nomor rangka dan mobil apa yang digunakan untuk pengeboman,
bahan apa saja yang digunakan untuk membuat bom tersebut, sidik jari siapa
yang tertinggal pada barang bukti yang ada, menganalisa potongan tubuh yang
ada untuk menentukan identitas aslinya melaui uji deoxyribonucleic acid
(DNA), dan masih banyak lagi hal-hal yang lain, tetapi sayangnya hal-hal luar
biasa tersebut tidak murni dilakukan oleh pihak kepolisian Indonesia karena
kita dibantu oleh kepolisian-kepolisian luar negeri, terutama dari kepolisian
Australia, hal ini disebabkan masih sangat tertinggalnya ilmu pengetahuan
forensik di negara kita baik dari segi ilmu maupun teknologi yang ada. Kasus
bom Bali hanyalah salah satu contoh dari kegunaan ilmu forensik, masih
banyak kasus-kasus lain yang dipecahkan oleh ilmu forensik. Dari sinilah
dapat kita lihat arti pentingnya ilmu forensik.
Dari hal-hal di atas dapat kita lihat bahwa sebenarnya ilmu forensik
adalah ilmu pengetahuan yang amat vital dan penting terutama dalam hal
penegakan hukum, karena tanpa adanya ilmu pengetahuan forensik maka
penegakan hukum akan berjalan lambat sebagai akibat dari banyaknya kasus
kejahatan yang tak terpecahkan. Tetapi sepertinya hal ini kurang disadari oleh
masyarakat di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari sedikitnya bahan-bahan
pengetahuan tentang ilmu pengetahuan forensik berbahasa Indonesia yang
khusus diterbitkan untuk khalayak umum, buku-buku yang ada masih
dikhususkan untuk para akademisi dan para praktisi di bidang ini, selain itu
masih ditambah pengetahuan masyarakat yang masih sempit terhadap arti dari
ilmu pengetahuan forensik itu sendiri, mereka menganggap ilmu pengetahuan
forensik hanya sebatas pemeriksaan mayat untuk mengetahui sebab-sebab
kematiannya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka peneliti
membuat sebuah penelitian mengenai ilmu pengetahuan forensik secara dasar
yang didalamnya menyangkut tentang proses-proses kerja dasar yang
dilakukan oleh ilmu forensik dalam meneliti sebuah kasus tindak kejahatan
sehingga dapat diketahui tentang berbagai macam hal yang pada akhirnya
akan dapat menuntun ataupun langsung menunjukkan siapa pelaku dari tindak
kejahatan tersebut, maka peneliti merumuskan judul pada penelitian hukum ini
yaitu :
PERANAN ILMU FORENSIK DALAM USAHA UNTUK
MEMECAHKAN KASUS-KASUS KRIMINALITAS (DITINJAU DARI
SEGI ILMU HUKUM PIDANA).
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk
mempermudah peneliti dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga
tujuan dan sasaran yang akhirnya dicapai menjadi jelas, terarah dan
mendapatkan hasil yang diharapkan.
Berdasarkan pada hal diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah fungsi ilmu forensik itu ?
2. Bagaimanakah peranan ilmu forensik dalam usaha untuk memecahkan
kasus-kasus kriminalitas ?
C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas. Hal ini diperlukan
untuk mengetahui apa yang sebenarnya dicari oleh peneliti sehingga
memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Selain
itu penelitian bertujuan untuk dapat mengetahui metode dan kombinasi
metode penelitian manakah yang paling baik dan tepat digunakan dalam
masing-masing macam penelitian hukum. (Sunarjati Hartono, 1994: 11).
Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan diadakan penelitian ini adalah :
1. Tujuan Objektif
a) Untuk mengetahui fungsi dari ilmu pengetahuan forensik.
b) Untuk mengetahui peranan ilmu forensik dalam usaha untuk
memecahkan kasus-kasus kriminalitas yang terjadi.
2. Tujuan Subjektif
a) Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan analistis
penulis, khususnya dalam bidang Hukum Pidana.
b) Untuk mengetahui kesesuaian teori yang diperoleh dan kenyataan yang
terjadi dalam praktik kehidupan.
c) Untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar
kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian tidak hanya bermanfaat bagi peneliti saja, tetapi juga
harus berguna bagi semua pihak. Penelitian dalam penulisan hukum ini
diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a) Dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang
diteliti.
b) Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola
pikir dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh.
2. Manfaat Praktis
Dapat memberikan data dan informasi mengenai ilmu pengetahuan
forensik yang nantinya dapat berguna bagi peneliti dan bagi masyarakat.
E. Metoda Penelitian
Metode diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam
proses penelitian. Sedangkan penelitian itu sendiri diartikan sebagai upaya
dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-
fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk
mewujudkan kebenaran (Mardalis, 1990: 24).
Penelitian adalah merupakan kegiatan ilmiah guna menemukan,
mengembangkan atau menguji kebenaran suatu pengetahuan, yang dilakukan
secara metodologis serta sistematis. Metodologis berarti dengan menggunakan
metode-metode yang bersifat ilmiah, sedang sistematis berarti sesuai dengan
pedoman atau aturan penelitian yang berlaku untuk suatu karya ilmiah.
“Pelajaran yang mempertimbangkan metode-metode ilmiah untuk research
disebut metodologis research”. (Soerjono Soekanto, 1986 : 3)
Selanjutnya dapat pula ditinjau pengertian metode penelitian yang
dikemukakan oleh Sutrisno Hadi :
“Metode adalah suatu cara yang harus dilakukan untuk mencapai
tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu. Penelitian adalah suatu usaha
menemukan, mengembangkan dan menguji suatu pengetahuan, usaha
dimana dilakukan dengan menggunakan metode-metode tertentu”.
(Sutrisno Hadi, 1979 : 3)
Metode adalah hal yang sangat penting dalam suatu penelitian ilmiah,
karena nilai, mutu dan hasil dari suatu penelitian ilmiah, sebagian besar
ditentukan oleh ketepatan dalam penelitian metodenya. Adapun metoda yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian Hukum
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif yaitu penelitian yang
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya (Soerjono Soekanto,
1984:10).
Berkaitan dengan pengertian mengenai jenis penelitian diatas maka
peneliti memaparkan tentang apakah fungsi ilmu pengetahuan forensik itu,
dan bagaimanakah peranan ilmu forensik dalam kaitannya untuk
memecahkan berbagai kasus kriminal atau tindak kejahatan.
2. Jenis Data
Data yang digunakan peneliti untuk menyusun penulisan hukum ini
adalah :
Data Sekunder
yaitu data yang tidak diperoleh secara langsung dari sumber pertama. Data
sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yang meliputi bahan-bahan
dokumenter, tulisan ilmiah, buku- buku, dan sumber-sumber tertulis
lainnya. Soerjono Soekanto berpendapat pula bahwa data sekunder ini
antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil
penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya (Soerjono
Soekanto, 1986 : 12).
3. Sumber Data
Data yang disajikan diperoleh dari sumber-sumber data, dan
sumber data tersebut meliputi sumber data sekunder. Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut :
Sumber Data Sekunder
adalah sumber data yang secara tidak langsung dapat memberikan
keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer, berupa buku-
buku, artikel-artikel, peraturan perundang-undangan, makalah dan
dokumen kepustakaan lainnya yang ada hubungannya dengan masalah
yang diteliti.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dimaksudkan sebagai cara untuk
memperoleh data dalam penelitian. Sutrisno Hadi menjelaskan bahwa :
“Baik buruknya hasil research/ penelitian tergantung pada teknik
pengumpulan datanya atau untuk memperoleh data yang relevan, akurat
dan reliable. Pekerjaan research menggunakan teknik-teknik, alat-alat
serta kegiatan-kegiatan yang depenable yang dapat diandalkan” (Sutrisno
Hadi, 1979 : 103).
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini ialah sebagai berikut :
Studi dokumen atau bahan pustaka
merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data
tertulis (Soerjono Soekanto, 1986:21). Studi kepustakaan ini dilakukan
dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku, literatur, peraturan
perundang-undangan, surat kabar, majalah, jurnal dan dokumen resmi
yang terkait dengan permasalahan yang sesuai dengan dasar penyusunan
penelitian hukum ini.
5. Teknik Analisis Data
Tujuan analisis data dalam penelitian adalah untuk menyempitkan
dan membatasi data sehingga menjadi data yang tersusun secara baik.
Berdasarkan jenis penelitian dan jenis data dalam penelitian ini maka
dipakai analisis data kualitatif yaitu menganalisis data yang di peroleh dari
penelitian yang bersifat uraian, teori-teori, serta pendapat dari para sarjana
untuk mendapatkan kesimpulan secara yuridis.
Yang dimaksud analisis data kualitatif adalah sebagaimana
pendapat dari Soerjono Soekanto, yaitu :
“Suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis yaitu
apa yang dinyatakan responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku
yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh”(Soerjono
Soekanto, 1986 : 250).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritik
1. Penegakan Hukum Pidana dan Kriminalitas
Hukum pidana adalah hukum sanksi (bijzondersanksi). Sifat sanksi
ini menempatkan hukum pidana sebagai sarana untuk menjamin
keamanan, ketertiban, dan keadilan. Untuk itu hukum pidana dapat
membatasi kemerdekaan manusia dengan menjatuhkan atau menetapkan
hukuman penjara (kurungan) dan bahkan lebih dari itu hukuman pidana
dapat menghabiskan hidup manusia dengan hukuman matinya (S.
Tanusubroto, 1983: 5).
Dari hal diatas secara sekilas dapat kita simpulkan bahwa tujuan
dari adanya hukum pidana adalah untuk menjamin keamanan, ketertiban
dan keadilan bagi masyarakat, dan tugasnya adalah menjatuhkan atau
menetapkan hukuman bagi setiap tindakan yang dianggap dapat
mengganggu keamanan, ketertiban, dan keadilan bagi masyarakat,
sedangkan tindakan yang dapat menyebabkan terganggunya keamanan,
ketertiban, dan keadilan bagi masyarakat biasa disebut sebagai tindak
kejahatan ataupun kriminalitas.
Kriminalitas di jaman moderen seperti sekarang ini sudah bukan
merupakan sesuatu hal yang aneh lagi. Hal ini dapat kita lihat dalam
media-media yang ada sekarang ini dimana mereka memberikan porsi
tersendiri bagi berbagai kasus kriminalitas yang terjadi. Kriminalitas
sendiri terjadi karena berbagai macam sebab atas ketidak puasan
seseorang ataupun kelompok akan sesuatu. Tetapi bukan berarti karena
kriminalitas sudah tidak aneh lagi maka kriminalitas dibiarkan begitu
saja. Kriminalitas harus tetap di tanggulangi, hukum harus tetap
ditegakkan. Di sinilah peran dari hukum pidana, yaitu memberi hukuman
bagi setiap tindak kriminalitas yang terjadi.
Walaupun hukum pidana ditujukan untuk menghadapi tindak
kejahatan atau kriminalitas, hukum pidana dalam penegakannya tidak
boleh dilakukan secara asal-asalan. Melihat besarnya kekuasaan hukum
pidana atas kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, maka
kewenangan menjatuhkan hukuman ini sangat dibatasi, juga alasan
penjatuhan hukuman harus demi kehidupan bermasyarakat (untuk
keaman, ketertiban dan keadilan), sehingga kewenangan tersebut hanya
dipegang oleh penguasa tertinggi dari suatu bangsa yaitu negara.
Negaralah yang berhak dan berwenang menjatuhkan hukuman demi
menegakkan ketertiban masyaarakat ,seperti menurut BEYSENS bahwa
telah menjadi kodrat alam, negara itu bertujuan dan berkewajiban
mempertahankan tata tertib masyarakat atau ketertiban negara.
Dengan demikian hukum pidana termasuk hukum “publiek” atau
dapat disebut hukum umum, karena mengatur perhubungan antara negara,
atau masyarakat dengan rakyat atau negara dengan bagian-bagiannya.
Segala sesuatu ditinjau dari sudut “kepentingan umum”, sebab itu
dimana perlu sering diikuti dengan sanksi hukuman atau pidana, apabila
peraturan mengenai perhubungan itu dilanggar.
Adanya sanksi itu dimaksudkan sebagai alat untuk menjaga atau
menegakkan tata tertib dan keamanan dalam negara. Dalam hal ini negara
atau pemerintah (wakil kepentingan umum) langsung bertindak karena
mempunyai kepentingan langsung untuk menjaga kepentingan umum (S.
Tanusubroto, 1983: 6 ).
2. Pembuktian Dalam Proses Acara Pidana
Penanganan suatu perkara pidana mulai dilakukan oleh penyidik
setelah menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat ataupun
diketahui sendiri tentang terjadinya tindak pidana, kemudian dituntut oleh
penuntut umum dengan jalan melimpahkan perkara tersebut ke
pengadilan negeri. Selanjutnya hakim melakukan pemeriksaan apakah
dakwaan penuntut umum terhadap terdakwa terbukti atau tidak.
Bagian terpenting dari tiap-tiap proses pidana adalah, persoalan
mengenai pembuktian, karena dari jawaban soal inilah tertuduh akan
dinyatakan bersalah atau dibebaskan.
Pasal enam ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa
tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana kecuali karena alat pembuktian
yang sah menurut Undang-undang hakim mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas
perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.
Selanjutnya ketentuan tersebut diatas ditegaskan lagi dalam pasal
183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangya dua
alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dalam penjelasan pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa ketentuan
ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian
hukum bagi seseorang adanya ketentuan tersebut dalam pasal 183
KUHAP menunjukkan bahwa negara kita menganut sistem atau teori
pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatif wettelijk),
dimana hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman apabila sedikit-
dikitnya dua alat bukti yang telah ditentukan dalam kesalahan terdakwa
terhadap peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya. Walaupun alat
bukti lengkap, akan tetapi jika hakim tidak yakin tentang kesalahan
terdakwa maka harus diputus bebas.
Alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah
sebagai berikut:
Keterangan saksi
Keterangan ahli
Surat
Petunjuk
Keterangan terdakwa
Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup di dukung
oleh satu alat bukti yang sah. Dengan kata lain walaupun hanya didukung
oleh satu alat bukti yang sah, dan hakim yakin atas kesalahan terdakwa
maka terdakwa tersebut dapat dihukum.
Dengan demikian hakim baru boleh menghukum seorang terdakwa
apabila kesalahaannya terbukti secara sah menurut undang-undang.
Keterbuktian itu harus pula diperkuat dan didukung oleh keyakinan
hakim . jadi walaupun alat bukti sebagaimana tersebut dalam pasal 184
ayat (1) KUHAP terpenuhi, namun apabila hakim tidak berkeyakinan atas
kesalahan terdakwa, maka terdakwa tersebut harus dibebaskan. Hal ini
sejalan dengan tugas hakim dalam pengadilan pidana yaitu mengadili
dalam arti menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana
berdasarkan asas bebas jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan
(pasal satu butir sembilan KUHAP) (Ratna Nurul Afiah, 1988: 14).
3. Penyelidikan
Untuk penyelidikan kita dapat melihatnya dalam Pasal empat
KUHAP yang berbunyi “Penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia, yang berwenang untuk melakukan penyelidikan“.
Sedangkan arti penyelidikan menurut Pasal satu butir lima KUHAP
adalah “ Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang “.
Seperti halnya penyidik, penyelidik juga memiliki wewenang dalam
menjalankan tugasnya, hal ini diatur dalam Pasal lima KUHAP yang
berisi tentang wewenang penyelidik :
Karena jabatannya, untuk :
(1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana,
(2) Mencari keterangan dan barang bukti;
(3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri;
(4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
Yang dimaksud dengan “Tindakan Lain“ adalah tindakan dari
penyelidik untuk kepentingan penyelidik, dengan syarat:
i) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
ii) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
dilakukannya tindakan jabatan;
iii) Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk
dalam lingkungan jabatannya;
iv) Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan
memaksa;
v) Menghormati hak asasi manusia (S. Tanusubroto, 1983:24).
b) Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa:
(1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan;
(2) Pemeriksaan dan penyitaan surat
(3) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
(4) Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.
Selain itu dalam Pasal 102 KUHAP dijelaskan bahwa penyelidik
wajib melakukan tindakan penyelidikan dalam hal penyelidik
mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana. Demikian juga
dalam hal tertangkap tangan, penyelidik tanpa menunggu perintah dari
penyidik wajib segera melakukan penyelidikan, dan untuk melakukan
tindakan-tindakan itu, penyelidik harus membuat berita acaranya.
Untuk melakukan tugas-tugasnya penyelidik wajib menunjukkan
tanda pengenalnya (Pasal 104 KUHAP), dan dalam melaksanakan tugas-
tugasnya itu penyelidik di koordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh
penyidik (Pasal 105 KUHAP).
4. Penyidikan
Mengenai penyidikan kita dapat melihat pada Pasal satu butir satu
KUHAP yang berbunyi “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan“ jo
Pasal enam ayat (1) dan (2) KUHAP, sedangkan kepangkatan untuk
menjadi penyidik adalah :
1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang
sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi atau
jenis kepangkatan yang sederajat sekarang ini.
2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang
sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I/
Golongan II-b, atau yang disamakan dengan itu.
Akan tetapi di tempat-tempat tidak ada penyidik seperti yang
ditentukan oleh undang-undang, maka tugas penyidik tersebut dilakukan
oleh penyidik pembantu. Penyidik pembantu adalah: pejabat Kepolisian
Negara RI, yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas
penyidikan yang diatur dalam KUHAP (Pasal satu butir tiga KUHAP).
Bahkan dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik,
maka komandan sektor Kepolisian yang berpangkat “Bintara“ dibawah
Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik ( Pasal
dua ayat dua PPRI No. 27/ 1983 ).
Untuk menjabat sebagai penyidik yaitu berdasarkan penunjukan
oleh Kepala Kepolisian RI (Kapolri), sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku, sedangkan untuk penyidik pembantu
kepangkatannya adalah :
a) Pejabat Polisi Negara RI tertentu, yang
sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi atau jenis
kepangkatan yang sederajat sekarang ini.
b) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam
lingkungan Kepolisian Negara RI, yang sekurang-kurangnya
berpangkat Pengatur Muda/ Golongan II-a, atau yang disamakan
dengan itu.
Pengangkatan seseorang menjadi penyidik pembantu, yang berasal
dari Kepolisian diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul dari
komandan atau pimpinan kesatuannya masing-masing. Sedangkan
pengangkatan penyidik pembantu yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil
dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara RI, sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam menjalankan tugasnya penyidik mempunyai wewenang,
yang dalam hal ini diatur dalam Pasal tujuh KUHAP yang berbunyi :
a) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal enam ayat (1)
huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:
(b) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang
adanya tindak pidana;
(c) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
(d) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
(e) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
(f) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
(g) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
(h) Memanggil orang untuk di dengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
(i) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
(j) Mengadakan penghentian penyidikan;
(k) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
b) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal enam ayat (1) huruf b
mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya
berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam
Pasal enam ayat (1) huruf a.
c) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Sebagaimana kita ketahui Penyidik tunggal untuk tindak pidana
umum menurut KUHAP adalah Polisi. Akan tetapi penjelasan Pasal tujuh
ayat (2) KUHAP menentukan, bahwa yang dimaksud sebagai Penyidik
termasuk juga misalnya: Pejabat bea dan cukai, Pejabat Imigrasi dan
Pejabat Kehutanan. Mereka ini melakukan tugas penyidikan dengan
wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya masing-masing (S. Tanusubroto, 1983:20).
5. Barang Bukti
Barang bukti (corpus delicti) disini adalah barang bukti kejahatan,
meskipun barang bukti itu mempunyai peranan yang sangat penting
dalam proses pidana, namun apabila kita simak dan perhatikan satu
persatu peraturan perundang-undangan yang bernafaskan pidana (KUHP,
KUHAP, dan peraturan perundangan pendukung lainnya) tidak ada satu
pasal pun yang memberikan definisi/ pengertian mengenai barang bukti,
tetapi Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul Kamus Hukum
memberikan definisi mengenai barang bukti adalah sebagai berikut
“Istilah barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana
delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan
yaitu alat yang dipakai untuk melakukan delik misalnya pisau yang
dipakai menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari
delik, misalnya uang negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli
rumah pribadi itu merupakan barang bukti atau hasil delik”. (Andi
Hamzah, 1998: 100 ).
Disamping itu ada pula barang yang bukan merupakan obyek, alat
atau hasil delik, tetapi dapat dijadikan barang bukti sepanjang barang
tersebut mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana misalnya
pakaian yang dipakai korban pada saat ia dianiaya atau dibunuh.
Dalam Pasal enam ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman menyebutkan
bahwa tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila karena
alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang hakim mendapat
keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab,
telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.
Dari hal di atas dapat kita ketahui betapa vitalnya fungsi barang
bukti, sehingga hal ini menjadi tugas utama bagi penyidik maupun
penyelidik, atau lebih khusus lagi bagi bagian forensik untuk dapat
menemukan suatu barang bukti dalam sebuah delik, terutama jika delik
tersebut merupakan delik yang amat rumit/ sangat sulit dalam
pembuktiannya.
6. Ilmu Pengetahuan Forensik
Pada jaman dahulu, penyelidikan dalam kasus-kasus yang
melibatkan ilmu pengetahuan forensik hanya mengandalkan bukti fisik
yang ada, barulah pada akhir pertengahan abad ke-19 dimana mulai
banyak ditemukan alat-alat baru di bidang ilmu pengetahuan, penelitian
di bidang ilmu forensik mulai menggunakan berbagai macam ilmu
pengetahuan yang dirasa dapat membantu dalam melakukan investigasi
atau penyelidikannya. Ilmu-ilmu itu antara lain adalah kimia,
mikroskopi, dan fotografi. Hal ini menyebabkan revolusi dalam kasus-
kasus yang sedang diselidiki pada waktu itu, dan meningkatkan validitas
hasil dari penyelidikan yang sedang dilakukan.
Kemajuan ilmu pengetahuan forensik di atas mendorong kerjasama
antara pihak kepolisian dengan pihak forensik yang biasanya terdiri dari
para ilmuwan atau akademisi di bidang kimia ataupun pharmakologi,
dimana pihak kepolisian yang mencari data atau bukti yang ada
sedangkan para ilmuwan di bidang forensik yang akan meneliti bukti
yang diberikan oleh pihak polisi (William G. Eckert, 1980:1).
Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya penduduk
maka jumlah kejahatan pun semakin meningkat, hal ini mendorong polisi
mendirikan sendiri sebuah biro yang khusus untuk meneliti masalah
forensik, dengan maksud untuk lebih menjangkau dan lebih fokus
terhadap kasus-kasus yang ada.
Perkembangan ilmu pengetahuan forensik moderen mulai tampak
pada akhir abad ke-19. Secara pelan tapi pasti para ilmuwan forensik
Amerika mendirikan American Academy of Forensic Sciences pada
tahun 1950 yang dipimpn oleh Dr. R. H. Gradwohl of St. Louis, di
Missouri. Di dalam American Academy of Forensic Sciences dapat
dipelajari tentang pathologi dan biologi, toksikologi, kriminalistik,
dokumen yang dipertanyakan, kedokteran gigi, antropologi,
jurisprudensi, psikologi dan berbagai macam pengetahuan yang
berhubungan dengan ilmu forensik(William G. Eckert, 1980:2).
7. Ilmu Kedokteran Kehakiman
Ilmu kedokteran kehakiman mulai muncul kira-kira 2000 tahun
S.M. di Mesir yakni di Babylon yang mana terdapat undang-undang dari
raja Hammurabi (codex Hammurabi) dan di dalamnya sudah terdapat
konstitusi mengenai dasar ilmu kedokteran kehakiman. Kemudian pada
jaman Romawi sewaktu pemerintahan Julius Caesar sudah ada kemajuan
dalam ilmu kedokteran kehakiman, sehingga pada waktu Julius Caesar di
bunuh oleh Brutus maka dapat diketahui bahwa dari 23 luka tusukan
yang ada di tubuhnya hanya satu tusukan saja yang menyebabkan
kematiannya yaitu tusukan di dadanya(R. Atang Ranumihardja,1983:10).
Di masa sekarang ini ilmu kedokteran kehakiman diartikan sebagai
ilmu yang menggunakan pengetahuan ilmu kedokteran untuk membantu
peradilan baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata. Ilmu
kedokteran kehakiman juga memiliki tujuan dan kewajiban yaitu
membantu kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam menghadapi
kasus-kasus perkara yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu
pengetahuan kedokteran. Sebagian besar masalah yang diteliti dalam
ilmu kedokteran kehakiman bersangkutan dengan suatu tindak pidana,
dan yang terpenting dalam hal ini ialah kebanyakan untuk meneliti sebab
akibat (causal verband) antara suatu tindak pidana dengan luka pada
tubuh, gangguan kesehatan atau matinya seseorang.
Di masa sekarang ini ilmu kedokteran Kehakiman atau juga disebut
ilmu kedokteran forensik tidak semata-mata bermanfaat dalam urusan
penegakan hukum dan keadilan di lingkup pengadilan saja, tetapi juga
bermanfaat dalam segi kehidupan bermasyarakat lain, misalnya dalam
membantu penyelesaian klaim asuransi yang adil baik bagi pihak yang
mengasuransi maupun yang diasuransi, dalam membantu memecahkan
masalah paternitas (penetuan ke ayah-an), dan masih banyak hal lagi.
Agar hal-hal di atas dapat berjalan dengan baik maka di dalam
bidang ilmu kedokteran forensik dipelajari tata laksana mediko legal,
tanatologi, traumatologi, toksikologi, teknik pemeriksaan dan segala
sesuatu yang terkait, hal ini agar semua dokter dalam memenuhi
kewajibannya membantu penyidik, dapat benar-benar memanfaatkan
segala pengetahuan kedokterannya untuk kepentingan peradilan serta
kepentingan lain yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat.
8. Visum et Repertum
Tugas pokok seorang dokter dalam membantu pengusutan tindak
pidana terhadap kesehatan dan nyawa manusia adalah pembuatan Visum
et Repertum.
Sedangkan pengertian dari Visum et Repertum sendiri adalah “yang
dilihat dan diketemukan”. Jadi Visum et Repertum adalah suatu
keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan diketemukan di dalam
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang luka atau terhadap mayat.
Jadi merupakan kesaksian tertulis.
Menurut pendapat Dr. Tjan Han Tjong Visum et Repertum
merupakan suatu hal yang penting dalam pembuktian karena
menggantikan sepenuhnya Corpus Delicti (tanda bukti). Seperti
diketahui dalam kejahatan yang menyangkut perusakan tubuh dan
kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka tubuh korban
merupakan Corpus Delicti.
Dalam perkara pidana yang lain dimana Corpus Delicti nya suatu
benda (tak bernyawa) pada umumnya selalu dapat diajukan di muka
persidangan pengadilan sebagai barang bukti, akan tetapi tidak demikian
halnya dengan Corpus Delicti yang berupa tubuh manusia, karena
kondisinya tidak akan pernah tetap seperti pada waktu dilakukannya
pemeriksaan., maka karenanya Corpus Delicti yang demikian itu tidak
mungkin disediakan/ diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak
harus digantikan oleh Visum et Repertum(R. Atang
Ranumihardja,1983:10).
9. Toksikologi Forensik
Toksikologi Forensik adalah salah satu cabang dari ilmu forensik
yang meneliti tentang racun. Istilah Toksikologi berasal dari bahasa
yunani yaitu Toxicon yang berarti racun.
Dalam dunia hukum di Indonesia batasan mengenai racun belum
begitu jelas, walaupun tindakan meracuni seseorang dapat dikenai
hukuman (Pasal 340 KUHP tentang penghilangan nyawa seseorang
secara terencana). Tetapi baik di dalam KUHP maupun KUHAP tidak
dijelaskan mengenai batasan atau definisi dari racun tersebut.
Menurut Taylor, racun adalah setiap bahan/ zat yang dalam jumlah
relatif kecil bila masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan reaksi
kimiawi yang akan menyebabkan penyakit dan kematian.
Adapula yang mengartikan racun itu berdasarkan maksud dari si
pemberi, misalnya: luminal jika diberikan dengan maksud sebagai
pengobatan tidak dapat dikatakan sebagai racun, tetapi jika maksud
pemberian adalah untuk menyakiti atau membunuh orang, maka luminal
dapat dikatakan sebagai racun.
Forensik toksikologi terbagi dalam tiga bagian:
a) Toksikologi klinis (clinical toxicology)
Obyeknya berupa orang hidup yang keracunan dan diusahakan
ditolong dan dipunahkan racunnya.
b) Toksikologi Industri (Industrial toxicology)
Berusaha mencegah terjadinya keracunan-keracunan akibat industri
baik bagi buruhnya ataupun orang-orang yang tinggal di sekitarnya.
c) Toksikologi Forensik
Termasuk dalam bagian kimia forensik (forensic chemistry).
Obyeknya kebanyakan berupa mayat yang akan ditentukan sebab
kematiannya, apakah akibat racun atau akibat lainnya yang ada
hubungannya dengan perkara pidana. (R. Atang
Ranumihardja,1983:58).
Walaupun tidak secara jelas atau langsung dalam membuat batasan
tentang racun, di dalam KUHP juga terdapat beberapa pasal yang
mengatur tentang masalah racun, yaitu pada pasal :
a) 202 ayat (1) dan (2)
b) 203 ayat (1) dan (2)
c) 204 ayat (1) dan (2)
d) 205 ayat (1) dan (2)
Pasal-pasal di atas kesemuanya mengatur tentang berbagai tindakan
yang dapat melukai ataupun mematikan seseorang dengan cara
pemberian bahan tertentu kepada orang lain baik sengaja atau tidak .
10. Psikiatri Forensik
Psikiatri (Ilmu Kedokteran Jiwa) dan Hukum, kedua-duanya
menghadapi dan menanggulangi tingkah laku manusia, Psikiatri lebih
banyak daripada hukum. Psikiatri mencari dan menentukan tenaga-
tenaga dan daya-daya yang mengakibatkan perubahan-perubahan,
penyimpangan-penyimpangan (deviasi-deviasi), tingkah laku dan
berusaha bagaimana caranya untuk mengalihkan dan mengubahnya,
sehingga menuju kepada hubungan antar pribadi yang jelas, tenang dan
baik, kepada tujuan-tujuan yang lebih konstruktif dan lebih tersosialisasi,
sedangkan Hukum lebih banyak menghadapi kontrol sosial tingkah laku
manusia (Tan Pariaman, Hasan Basri Saanin, 1983:13).
Di dalam psikiatri sendiri terdapat cabang psikiatri yang khusus
mempelajari psikiatri tentang kehakiman atau sering disebut psikiatri
forensik. Masalah yang dihadapi oleh psikiatri forensik adalah masalah-
masalah legal dan masalah medis, atau secara singkatnya dapat dikatakan
bahwa tugas psikiatri forensik adalah mendukung hal-hal legal atau
hukum melalui ilmu psikiatri. Untuk lebih jelasnya ruang lingkup dari
psikiatri forensik adalah sebagai berikut:
a) memasukkan penderita ke dalam Rumah Sakit Jiwa
b) Psikiater dan hukum pidana
c) Psikiater dan hukum perdata
d) Indikasi bagi pemeriksaan psikiatris
e) Psikiater sebagai saksi ahli.
Dewasa ini tugas seorang psikiatri forensik tidak hanya
berhubungan dengan hukum dan undang-undang saja tetapi juga
berhubungan dengan sosiologi, psikologi, pekerjaan sosial dan ilmu
pengetahuan tingkah laku yang lain. (Tan Pariaman, Hasan Basri
Saanin, 1983:19).
11. Antropologi Forensik
Antropologi forensik adalah cabang dari antropologi fisik. Di dalam
antropologi fisik kita lebih meneliti ciri-ciri dari manusia secara fisik. Ini
pulalah yang dilakukan oleh antropolog forensik, tetapi dalam
antropologi forensik penelitian yang dilakukan lebih bersifat untuk
kepentingan hukum.
Antropologi forensik amat berguna dalam hal-hal sebagai berikut:
a) penyidikan pembunuhan
b) kasus-kasus kriminal
c) bencana massal
d) kecelakaan penerbangan
e) korban kekerasan perang
f) dan lain lain.
Sedangkan yang menjadi bidang penyidikan antropologi forensik
adalah :
a) identifikasi kerangka
b) identifikasi korban yang terbakar
c) identifikasi rambut
d) identifikasi foto pelaku kejahatan
e) identifikasi jejak kaki manusia
f) identifikasi kuku jari manusia
g) identifikasi sidik jari manusia
h) identifikasi darah
(William G. Eckert, 1980:102)
Selain bidang-bidang di atas ternyata masih ada bidang baru yang
menjadi bagian dari antropologi forensik, bidang tersebut adalah
identifkasi sidik bibir, walaupun tergolong sebagai bidang baru,
identifikasi sidik bibir ini penelitiannya telah dilakukan sejak tahun 1970
an di Jepang dan telah dipakai dalam beberapa penyidikan kasus
mengenai kejahatan seksual. Di Indonesia sendiri hal ini masih sangat
asing dan baru sebatas wacana akademik, wacana sidik bibir di Indonesia
digulirkan oleh Munakhir Mudjosemedi seorang dokter dan pengajar di
Fakultas Kedokteran Gigi UGM. Wacana ini mulai digulirkan pada
medio 1980 an.
Walaupun di indonesia masih sebatas wacana, identifikasi sidik
bibir akan memeiliki masa depan yang cerah kedepannya nanti sama
halnya dengan identifikasi sidik jari.
12. Masa Depan Ilmu Pengetahuan Forensik
Mulai dari sejak diaplikasikannya ilmu pengetahuan forensik
hingga sekarang ini, ilmu pengetahuan forensik telah berkembang
dengan pesatnya, ini merupakan hal yang sangat menjanjikan di masa
depan, menyediakan mengenai kelogisan dan ketepatan. Selain kemajuan
pada ilmu pengetahuannya, juga terjadi kemajuan yang sama pesatnya
pada bidang teknologi pendukungnya, mulai dari fotografi, sinar x,
mikroskop, komputer, dan berbagai teknologi lain yang dibutuhkan oleh
ilmu forensik.
Ilmu forensik memiliki masa depan yang amat cerah karena
kedepannya nanti kita akan sangat bergantung pada ilmu forensik dalam
hal pengungkapan tindak-tindak kejahatan yang semakin banyak dan
juga semakin canggih, apalagi ditambah dengan berbagai penemuan baru
di bidang forensik seperti identifikasi dengan suara, identifikasi sidik
bibir, proses identifikasi wajah sacara digital, dan masih banyak hal-hal
yang lain.
Sekarang ini seseorang dapat dengan mudahnya diidentifikasi
dengan berbagai teknik. Mulai dari DNA sampai analisis sidik jari,
identifikasi suara menggunakan garis dan bentuk print resonansi suara,
scan retina, bahkan keringat pun dapat dijadikan alat untuk
pengidentifikasian.
Berikut ini beberapa kemajuan di bidang teknologi yang turut
meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan forensik. Berbicara
mengenai kemajuan di bidang teknologi pastilah tidak dapat dipisahkan
dari komputer, salah satu penemuan abad 20 yang paling berpengaruh
pada perkembangan peradaban umat manusia di dunia. Adanya komputer
juga berimbas pada dunia ilmu pengetahuan forensik. Ketika data hanya
disimpan di kertas, tugas pencocokan sidik jari yang diambil di TKP
dengan yang ada pada data polisi terlalu lama dan sulit, dan harus
ditangani oleh petugas dengan kemampuan khusus, berbeda ketika
penyimpanan data terpusat pada suatu sistem komputerisasi maka
pencarian akan lebih mudah dan singkat, jika pelaku kriminal pindah ke
area operasi yang baru maka tidak perlu bingung sebab data yang ada
dapat diakses dari manapun juga.
Penggunaan komputer di bidang forensik pertama kali dilakukan
oleh pasukan kepolisisan pegunungan Kanada, mereka telah melengkapi
proses komputerisasi untuk sidik jari mulai pada tahun 1973. Swedia
mengikutinya di tahhun 1975, dan setahun kemudian di Jerman 17 juta
data kriminal polisi telah dipindah ke data base komputer. Pada tahun
1990 komputer telah dapat men scan rata-rata 10 ribu sidik jari per detik.
Waktu dan area pencarian pun dapat dengan mudah di rubah.
Peran komputer dalam ilmu pengetahuan forensik tidak hanya
sebatas untuk menyimpan sidik jari, tetapi juga untuk menyimpan data-
data lain dari para pelaku kejahatan yang berguna dalam proses
penyidikan. Selain komputer kemajuan yang lain adalah identifikasi
dengan retina, belum banyak diketahui orang bahwa retina manusia tidak
sama, sehingga hal ini bisa dijadikan alat identifikasi, ini telah
dipraktekkan pada sistem-sistem keamanan tingkat tinggi dimana
pengguna memakai pemindaian retina sebagai indentitas personal. Lalu
penggunaan infra merah untuk mengamati keaslian suatu tulisan, dengan
melihat tekanan pemakaian pena. Kemudian pengidentifikasian
menggunakan suara, setiap orang memiliki karakter suara yang
tersendiri, dengan merekam pada pita magnetic maka akan diketahui
perbedaan frekuensi yang ada, sehingga ketika dilihat akan membentuk
garis dan pola bentuk suara. Di amerika pemakaian identifikasi suara
telah dipakai dalam beberapa kasus yang mana tersangka hanya diketahui
berdasar suaranya saja. Kemudian ada lagi identifikasi menggunakan
keringat, hal ini dilakukan dengan teknik chromatography, yaitu
pemindaian keringat menggunakan alat yang sangat sensitif yang dapat
menghasilkan berbagai macam warna dari sebuah keringat seseorang, ini
sama uniknya dengan identifikasi sidik jari.
Itu semua adalah beberapa kemajuan dari ilmu pengetahuan
forensik sampai dengan saat ini, dan sampai sekarang pun ilmu
pengetahuan forensik terus dikembangkan baik dari segi keilmuannya
ataupun dari segi teknologinya. Bukan tidak mungkin nantinya semua
kasus tindak kejahatan akan dapat diungkap oleh ilmu pengetahuan
forensik, hal ini dilihat dari perkembangan ilmu pengetahuan forensik
yang semakin maju sekarang ini.
Tetapi masa depan yang cerah ini akan menjadi suram jika ilmu
pengetahuan forensik tidak dapat berinovasi mengikuti perkembangan
yang ada, karena nantinya dapat dipastikan tindak kejahatan juga akan
berinovasi untuk mencoba melangkah lebih maju dari teknik yang
mereka pakai sekarang ini ataupun teknik yang di pakai oleh para
penegak hukum.
B. Kerangka Pemikiran
Orang sering menyebut ilmu pengetahuan forensik sebagai ilmu
pengetahuan dewa, hal ini karena dengan ilmu forensik kita menjadi tahu
segala sesuatu yang tak diketahui, atau mengetahui sesuatu yang tadinya tidak
kita ketahui.
Dalam dunia penegakan hukum di jaman yang moderen ini ilmu
pengetahuan forensik merupakan hal yang vital bagi kelangsungan penegakan
hukum di dunia, karena tanpa ilmu pengetahuan forensik akan banyak kasus-
kasus kejahatan yang tak akan terungkap. Untuk contoh kasus yang sederhana
kita dapat melihat dari kasus kematian Munir sang pahlawan hak asasi
manusia di Indonesia yang meninggal dalam penerbangan pesawat Garuda
menuju Belanda. Coba kita bayangkan jika tidak ada ilmu pengetahuan
forensik di dunia ini, tentunya kita akan menganggap kasus kematian Munir
hanyalah sebuah kematian biasa yang disebabkan oleh serangan jantung,
tetapi dengan adanya ilmu pengetahuan forensik, kita jadi mengetahui bahwa
kematian Munir disebabkan oleh Arsenic sebuah zat kimia yang sering
digunakan untuk membunuh karena sangat sulit dilacak dan menyebabkan
kematian menyerupai gejala gastrointestinal yang hebat, atau orang awam
menganggapnya terkena suatu penyakit ( jantung ).
Seperti dalam sebuah serial yang cukup ternama di televisi (X-files)
kita dapat menemukan istilah “the truth is out there” (kenyataan/ kebenaran
ada di luar sana), hal ini dapat menggambarkan bagaimana penyidikan
forensik di dasari atau berdasar. Kalimat tersebut menggambarkan bahwa
kenyataan atau kebenaran ada dalam setiap Tempat Kejadian Perkara (TKP)
dan untuk menemukannya dilakukan dengan langkah ilmiah, yaitu
mengumpulkan data, mengamati data, mengetes data, kemudian
memformulasikan data, memodifikasi data dan membuat hipotesa hingga
pada akhirnya hanya terdapat satu kesimpulan.
Itulah ilmu pengetahuan forensik, sebuah ilmu pengetahuan yang
sangat memberikan andil dalam sejarah perkembangan umat manusia di dunia
ini dan sangat menarik untuk diteliti.
Kriminalitas
Penegakan Hukum Pidana
Ilmu Bantu Proses Acara Pidana
Ilmu Forensik Penyelidikan/ Penyidikan
Pembuktian
Fakta
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Fungsi Ilmu Pengetahuan Forensik
1. Pengertian Dasar Tentang Ilmu Pengetahuan Forensik
Ilmu pengetahuan forensik adalah sebuah ilmu pengetahuan yang
ditujukan untuk membantu proses peradilan, terutama dalam bidang
pembuktian (David Owen, 2000:12). Sehingga di dapat bukti-bukti yang
sulit ditemukan dengan cara biasa, dan memerlukan metode-metode
tertentu dalam pencariannya. Dengan ditemukannya bukti tersebut
diharapkan pengadilan dapat memberi putusan yang tepat, sehingga
hukum dapat ditegakkan dengan benar. Ilmu pengetahuan forensik
berkembang seiring dengan semakin banyaknya tindak kejahatan yang
terjadi dalam masyarakat.
Dalam ilmu pengetahuan forensik itu sendiri terdapat berbagai
cabang ilmu yang berasal dari ilmu pengetahuan lain (hukum, kedokteran,
kimia, psikologi, antropologi) sehingga menjadikan obyek kajian ilmu
pengetahuan forensik sangat luas (kedokteran forensik, kimia forensik,
psikologi forensik, antropologi forensik, dan lain-lain). Berdasarkan
kenyataan, hal tersebut tidak begitu diketahui orang, sehingga
kebanyakan orang menganggap forensik hanyalah sebuah ilmu untuk
memeriksa mayat, walaupun anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah.
Pada dekade-dekade akhir ini kemajuan ilmu pengetahuan
forensik sangat cepat, karena ditunjang oleh kemajuan teknologi yang
juga cukup pesat, sehingga menjadikan obyek kajian ilmu pengetahuan
forensik semakin luas yaitu dengan masuknya berbagai teknik identifikasi
menggunakan teknologi tinggi, dan kini penggunaan ilmu pengetahuan
forensik tidaklah hanya terbatas pada lingkungan pidana, lingkungan
perdata pun juga ikut memakai ilmu pengetahuan forensik untuk
melakukan pembuktian (pembuktian keaslian suatu kontrak atau tulisan,
pembuktian hubungan ke ayah-an atau paternitas).
2. Sejarah Ilmu Pengetahuan Forensik
Ilmu forensik yang ada sekarang ini sebenarnya berasal dari
peradaban cina kuno. Hal ini diketahui dari sebuah arsip yang ditemukan
pada abad ke-17 yang menunjukkan tentang seorang hakim yang hidup
seribu tahun sebelumnya pada masa pemerintahan dinasti Tang. Hakim
ini bernama Ti Jen Chieh, dia dikenal selalu menggunakan logika dan
bukti atau petunjuk forensik untuk membantu memecahkan misteri
berbagai tindak kejahatan di akhir abad ke tujuh sesudah masehi. Dalam
kerjanya Ti menggunakan tim penyelidik atau investigator untuk
memepelajari tempat tindak kejahatan, memeriksa dan menguji bukti
fisik, dan mewawancarai saksi-saksi atau tersangka. Metode dan peralatan
yang digunakan oleh Ti terdapat sedikit kemiripan dengan metode dan
peralatan forensik sekarang ini.
Perkembangan ilmu forensik mulai terlihat banyak pada masa
penemuan ilmiah yaitu di abad 16, 17, dan 18. Hal ini diawali dengan
penemuan mikroskop oleh Zacharias Jansen di tahun 1590, sebuah
penggunaan penggabungan dari lensa-lensa untuk menghasilkan gambar
yang lebih besar dari kaca pembesar biasa, alat ini kemudian digunakan
untuk meneliti atau menganalisa sidik jari secara lebih dekat dan
kemudian dibandingkan dengan sidik jari yang ada di catatan ataupun
yang ada di tempat kejadian, tetapi mikroskop ini baru bisa menghasilkan
pembesaran sebesar 10 kali. Pada abad 17 muncullah pengembangan dari
mikroskop terdahulu, mikroskop ini dapat menghasilkan pembesaran 300
kali, kemampuan yang sedemikian besar memungkinkan para ahli
forensik untuk menganalisa benda-benda yang kecil seperti rambut dan
serat-serat, contoh darah, atau potongan dan sisa-sisa bahan yang lain.
Pada tahun 1880 dikembangkanlah mikroskop yang mampu
menghasilkan pembesaran sampai dengan 2000 kali, kemudian disebut
dengan mikroskop stereoskopik karena menggunakan sistem mata dan
lensa ganda, hal ini semakin memudahkan kerja para ahli forensik. Pada
tahun 1920 an Phillip Gravelle dan Calvin Goddard yang bekerja di biro
forensik dan balistik New York, telah mengembangkan mikroskop yang
dapat menghasilkan gambaran secara tiga dimensi, sehingga makin
mempermudah tugas para ahli forensik dalam menganalisa suatu bukti
atau petunjuk. Bahkan sekarang ini juga terdapat mikroskop yang dapat
digunakan dengan sinar infra merah sehingga dapat untuk menunjukkan
sama atau tidaknya dokumen yang telah dirusak.
Perkembangan ilmu pengetahuan forensik juga tidak dapat
dilepaskan dari fotografi, prinsip pada film fotografi telah ditemukan
pertama kali oleh seorang penemu Jerman yang bernama Johan Heinrich
Schultze, tetapi penemuannya belum sempurna sampai kemudian pada
tahun 1826 disempurnakan oleh seorang purnawirawan Perancis yang
bernama Joseph Nicephore Niepce yang 13 tahun kemudian bekerjasama
dengan Louis Daguerre untuk lebih menyempurnakan konsep fotografi,
yang kemudian disebut dengan “Daguerrotype“. Dalam
perkembangannya “Daguerrotype“ dirasa kurang sempurna karena hanya
bisa menghasilkan satu gambar dalam sekali pencahayaan, akhirnya
teknik negatif ditemukan oleh William Fox Talbot, teknik negatif
memungkinkan pembuatan gambar positif yang lebih banyak dan lebih
cepat, dan hingga kini teknik negatif telah mengalami berbagai
perkembangan yang cukup pesat, akhirnya fotografi telah digunakan
secara rutin untuk merekam bukti atau petunjuk di tempat kejadian
perkara (TKP), detail dari korban, dan memgambil gambar subjek-subjek
yang terlibat dalam tindak kejahatan sehingga dapat mempermudah
proses pengidentifikasian nantinya, bahkan kini telah ada teknologi
fotografi yang lebih maju dari teknik negatif yaitu teknik fotografi digital
yang dapat menghasilkan gambar lebih murah dan lebih mudah dari
fotografi negatif.
Selain berbagai kemajuan yang telah disebutkan di atas ada satu
lagi teknik penyidikan yang paling dasar yang tidak dapat ditinggalkan
dalam setiap proses penyidikan, hal tersebut adalah penyidikan
menggunakan sidik jari. Teknik dasar penyidikan menggunakan sidik jari
telah berkembang sejak tiga ribu tahun yang lalu di Cina kuno, dimana
telah dilakukan penggunaan cap jempol para pihak yang terlibat dalam
perjanjian-perjanjian legal yang mereka buat, budaya ini juga terjadi di
Jepang. Barulah pada abad ke-19 seorang Inggris yang telah
meninggalkan negerinya, bernama Dr. Henry Faulds yang bekerja di
sebuah rumah sakit di Tokyo mulai mengembangkan teknik penyidikan
sidik jari setelah ia terlibat penyidikan terhadap sebuah kasus pencurian
yang meninggalkan sidik jari si pencuri, bahkan kemudian Dr. Henry
Faulds menjadi sukarelawan pendanaan biro sidik jari (fingerprints
beareau) pada Scotlands Yard markas besar kepolisian London.
Perkembangan ilmu pengetahuan forensik modern mulai tampak
pada akhir abad ke-19. Secara pelan tapi pasti para ilmuwan forensik
Amerika mendirikan American Academy of Forensic Sciences pada tahun
1950 yang dipimpin oleh Dr. R. H. Gradwohl of St. Louis, di Missouri.
Di dalam American Academy of Forensic Sciences dapat dipelajari
tentang pathologi dan biologi, toksikologi, kriminalistik, dokumen yang
dipertanyakan, kedokteran gigi, antropologi, jurisprudensi, psikologi dan
berbagai macam pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu forensik.
Masih banyak penemuan-penemuan lain yang turut
mengembangkan ilmu pengetahuan forensik, mulai dari munculnya ilmu
Toxicology (mempelajari tentang racun), lalu mulai dikenalnya ilmu
balistic (mempelajari tentang akibat dari senjata), kemudian
diperkenalkannya sistem pendokumentasian pelaku kejahatan secara
detail pada akhir abad 19, yang dikenal dengan istilah Bertillon system,
karena dikembangkan oleh seorang Perancis yang bernama Alphonse
Bertillon. Kemudian pada tahun 1970-an di Jepang telah dikembangkan
teknik penyidikan baru yaitu menggunakan sidik bibir dan sudah di coba
digunakan sebagai alat identifikasi dalam kasus kejahatan, biasanya
terjadi pada kejahatan-kejahatan seksual(David Owen, 2000:13).
3. Fungsi Ilmu Forensik
Fungsi ilmu forensik adalah membuat suatu perkara menjadi jelas,
yaitu dengan mencari dan menemukan kebenaran materiil yang
selengkap-lengkapnya tentang suatu perbuatan ataupun tindak pidana
yang telah terjadi (David Owen, 2000: 26).
Sedangkan ilmu forensik adalah bagian dari penyidikan, dan
penyidikan itu sendiri adalah suatu proses untuk mempelajari dan
mengetahui apa yang telah terjadi di masa yang lampau dan dalam
kaitannya dengan tujuan dari penyidikan itu sendiri, sehingga untuk
menghasilkan penyidikan yang benar-benar valid penyidik dengan
seyogianya harus melakukan penyidikan dengan sebaik-baiknya.
Dalam menjalankan tugas yang dibebankan pada penyidik,
umumnya penyidik memanfaatkan ilmu forensik untuk mendapatkan
sumber-sumber informasi yang dapat membuat jelas dan terang suatu
perkara, sesuai dengan fungsi dari ilmu forensik itu sendiri. Sumber-
sumber informasi yang dipakai untuk mengetahui apa yang telah terjadi
antara lain adalah :
1. Barang-barang bukti (physical evidence) seperti :
a. Anak peluru
b. Bercak darah
c. Jejak (impression) dari alat, jejak ban, jejak sepatu
d. Narkotika
e. Tumbuh-tumbuhan
2. Dokumen serta catatan-catatan,seperti:
a. Cek palsu
b. Surat penculikan
c. Tanda-tanda pengenal diri lainnya
d. Catatan tentang ancaman
3. Orang-orang seperti:
a. Korban
b. Saksi-saksi mata
c. Si-tersangka pelaku kejahatan
d. Hal-hal lain yang berhubungan dengan korban, tersangka dan
keadaan di TKP (Abdul Mun’im Idries, Agung Legowo
Tjiptomartono, 1982: 4).
Untuk dapat memanfaatkan sumber-sumber informasi tersebut
tentu dibutuhkan pemahaman dan bantuan dari ilmu forensik yang
memiliki berbagai bidang kajian, seperti pathologi dan biologi,
toksikologi, kriminalistik, dokumen yang dipertanyakan, kedokteran gigi,
antropologi, jurisprudensi, psikologi, kimia, fisika, dan khususnya dalam
tindak pidana yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia
diperlukan pemahaman serta penguasaan prinsip-prinsip dasar dari ilmu
kedokteran forensik yang praktis (Baik secara tersendiri yaitu pemahaman
serta penguasaan prinsip-prinsip dasar ilmu kedokteran kehakiman yang
praktis oleh penyidik, maupun secara keseluruhan dalam arti bantuan
dokter dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya merupakan sumbangan
yang besar artinya dalam penyidikan demi terwujudanya tujuan dari
penyidikan itu sendiri, yaitu membuat terang dan jelas suatu perkara).
Seperti diketahui bahwa penyidik adalah merupakan pusat dan
pimpinan dalam penyidikan. Semua aktifitas atau kegiatan serta tindakan
yang diambil dalam mencari kejelasan seperti yang dimaksud adalah
sepenuhnya tergantung dari kebutuhan atau sesuai dengan kebutuhan bagi
penyidikan. Perlu tidaknya suatu pemeriksaan atau langkah-langkah yang
harus diambil dan sampai sejauh mana bantuan ahli diperlukan dalam
usaha mencari kejelasan seperti yang dimaksud dalam fungsi ilmu
forensik, penyidikan yang menentukan. Ini tidaklah berarti bahwa
penyidik menutup diri dari setiap pendapat atau saran yang disampaikan
oleh ahli, yang sesungguhnya merupakan partner yang berguna dalam
penyidikan suatu perkara tindak pidana.
Berpijak pada kenyataan diatas, berhasil atau tidaknya
penggunaan ilmu forensik dalam penyidikan ditentukan oleh kualitas
penyidik, dan mengingat bahwa dalam penyidikan sering dibutuhkan
bantuan dari berbagai ilmu pengetahuan maka dengan demikian
diperlukan kriteria yang harus ada pada setiap penyidik, agar dapat
menjadi seorang penyidik yang baik, yaitu:
1. Cerdas
2. Mempunyai keinginan untuk mengetahui dan memiliki imajinasi
3. Memiliki pengamatan yang tajam serta ingatan yang kuat
4. Mengetahui tentang kehidupan dan masysrakatnya
5. Menguasai teknik yang dibutuhkan
6. Memiliki ketabahan
7. Harus bebas dari prasangka dan sikap berat sebelah
8. Memiliki kejujuran dan keberanian
9. Cukup peka dan tanggap serta penuh pertimbangan
10. Memiliki kondisi fisik yang baik dan penampilan yang rapih
11. Mempunyai kemampuan membuat laporan tertulis dengan baik
Bantuan ilmu forensik dalam penyidikan perkara tindak pidana
yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia dalam garis
besarnya dapat dibagi menurut tahapan-tahapan sebagai berikut, yaitu:
1. Pada pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)
2. Pada pemeriksaan korban baik pemeriksaan terhadap korban yang
telah menjadi mayat maupun pada pemeriksaan korban kejahatan
seksual
3. Penganiayaan dan dan lain sebagainya
4. Pada saat dilakukannya rekonstruksi suatu kejahatan dan interogasi
(Abdul Mun’im Idries, Agung Legowo Tjiptomartono, 1982: 6).
B. Peranan Ilmu Forensik Dalam Usaha Untuk Memecahkan Kasus-kasus
Kriminalitas
Berdasar dari hal-hal diatas dapat kita amati bahwa ilmu forensik
merupakan ilmu yang sangat menarik untuk dikaji, hal ini karena sejarah yang
panjang dari ilmu forensik itu sendiri, lalu dukungan kemajuan teknologi
terhadap kemajuan ilmu forensik, dan selain itu tentu saja karena ilmu
forensik memiliki bidang kajian yang sangat banyak. Untuk itu berikut ini
akan dibahas beberapa contoh kasus yang berhasil dipecahkan oleh ilmu
forensik ataupun bagian-bagiannya.
1. Psikiatri Forensik dan Peranannya Dalam Memecahkan Kasus
Kriminalitas
Pada bagian ini akan dibahas kasus mengenai “karena kurang
sempurna akalnya dan sakit berubah akal” atau dalam bahasa medisnya
skizofrenia kronis dan debilitas mentis.
M. bin S., laki-laki Sunda, umur 27 tahun, telah dikirim oleh Jaksa
Tasikmalaya dengan Surat Ketetapan Hakim Pengadilan Negeri
Tasikmalaya, untuk diperiksa kesehatan jiwanya. Dituduh telah
membunuh seorang guru sampai meninggal.
Mulai dirawat tanggal 19 Maret 1970, pernah dirawat di Rumah
Sakit Jiwa Pusat Bogor tanggal 21 Mei 1969 dan melarikan diri pada
tanggal 22 Agustus 1969.
M. adalah seorang pendiam, sedikit sedih, menjawab seperlunya.
Perasaan datar, acuh tak acuh dan hormat, sopan. Pakaiannya bagi orang
kampung cukup bersih dan teratur. Pendidikan hanya sampai kelas Lima
Sekolah Dasar (SD) dan kemudian membantu ibunya jualan di warung.
Sebab dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa Pusat Bogor: banyak bicara,
melempari rumah orang, karena merasa selalu panas dan selalu pusing ,
rasa distroom, segan dan malas, kurang tidur.
Halusinasi dengar: mendengar suara perempuan dalam jiwanya sendiri
yang merayu, mengajak, menghina.
Halusinasi lihat : bayangan laki-laki dan wanita itu.
Halusinasi cium : bau makanan, bau obat, bau rokok, bau minyak.
Halusinasi raba : pernah merasa dipegang 1x, di iga dan lengan.
Lari dari bogor karena kesal
Sebab membunuh:
Halusinasi-halusinasi tidak ada lagi dan tidak pusing. Sebelumnya
ingin pacaran dengan tetangganya, yang bekerja bersamanya pada ibunya
di warung. Wanita itu tinggal bersama ibunya dan ia sendiri, tetapi ia tidak
pernah mengadakan hubungan kelamin dengannya, sungguhpun banyak
kesempatan, malahan tidak pernah menyentuhnya. Lama-kelamaan ia
merasa pusing.
Kemudian ke warung datang isteri guru itu. Ia sering mengobrol
dengannya. Dalam ingatannya ia merasa cinta terhadap nyonya itu. “saya
melayaninya karena ia terus melayani saya”. Mereka sering berdua-duaan,
tetapi tidak pernah pergi bersama-saama. Hanya di halaman saja, karena
nyonya itu sering datang untuk menagih.
Pukul setengah delapan malam itu, ia secara mendadak pergi ke
rumah nyonya itu. Sepulangnya dari warung, tiba-tiba ia merasa panas
dalam pikiran, lalu mengambil pisau dapur dan pergi ke rumah nyonya itu.
Di rumah nyonya itu si suami sedang menghadapi dua orang tamu. Pintu
di dobrak dengan kaki dan terus masuk. Guru itu mengejarnya, lalu pisau
ditusukkan. Tidak ada suara-suara yang menyuruhnya. Yang ada hanya
suara perempuan merayu, mengajak mati dan menghina.
Ada perasaan menyesal karena telah melakukan pembunuhan,
tetapi tidak kelihatan di air mukanya. Ia banyak pikiran sedih. Ia telah
membunuh karena cinta isteri orang lain. Ia sadar bahwa tidak boleh
membunuh seseorang, karena cinta kepada isteri orang itu.
Sebabnya ia membunuh, karena kegelapan, karena tidak tahan
gangguan-gannguan, karena pikiran-pikiran saja. Pikiran banyak, terus
saja ingat pada perempuan itu.
Pemeriksaan psikologis:
M. memiliki kecerdasan yang agak rendah. IQ kurang dari 70.
Pengalamannya tidak mengikuti perkembangan umurnya, sehingga
kecerdasannya tidak sesuai umurnya. Kehidupan emosional juga
terhambat dan masih bersifat infantil. Juga tingkah lakunya bersifat
kekanak-kanakan. Ia tidak sanggup menilai kenyataan dengan baik.
Mudah terpengaruh (suggestibel) dan suka lari ke dalam khayalan. Karena
perkembangan kepribadiannya tidak baik, ia tidak dapat menyelesaikan
masalah-masalah hidup, sering mengalami kekecwewaan dan konflik-
konflik batin.
Selama dalam observasi terlihat pola regresi. Ia selalu
mengasingkan diri, sulit mengadakan hubungan dengan perawat-
perawatnya. Pikiran dan tingkah laku seperti anak-anak.
Pemeriksaan psikiatris:
Pikiran dan tingkah lakunya seperti kanak-kanak. Ia dikuasai oleh
nafsu-nafsu dasar dan libidineus yang berasal dari asadar, yang tidak
dipengaruhi oleh hukum-hukum logika, waktu dan nilai-nilai masyarakat
yang teratur. Terdapat pembelahan emosi dan intelegensi seperti pada
masa kanak-kanak, karena pada masa kanak-kanak belum lagi terdapat
diferensiasi tegas dan wajar antara kedua-duanya.
Masalah adolesensi dan kedewasaan, yang membawa ketegangan
dan konflik-konflik tidak dapat dihadapinya dengan wajar, yang
menyebabkan ia lari kepada pola-pola regresi (kekanak-kanakan; infantil),
yang bersifat skizofrenia. Dengan cara demikian ia dapat menghindarkan
diri dari apa-apa yang tidak dapat diterima dalam tingkatan asadar.
Sampai berapa jauhnya ia sembuh dari pengobatan di Bogor, tidak
diketahui. Rupa-rupanya penyembuhan hanya sampai pada tingkatan
sembuh sosial, dalam arti ia sudah dapat berjualan di warung ibunya, tidak
mengganggu, tidak merusak.
Tetapi pikirannya masaih infantil atau autistis, banyak mengkhayal,
tidak memperdulikan kenyataan. Ketika sering bertemu dengan nyonya,
isteri guru itu, timbul pikiran dan dalam khayalannya, bahwa nyonya itu
mencintainya dan ia mencintai pula perempuan itu.
Cinta disini harus diartikan bukan cinta yang berwarna seksual.,
tetapi cinta untuk memiliki. Apakah ia sepenuhnya mengerti apa
sebenarnya hubungan kelamin, disangsikan. Selama hidup dengan
pembantu ibunya, yang serumah dengannya, ia tidak melakukan hubungan
kelamin dan tidak pernah pula menyentuhnya, sungguhpun kesempatan
banyak terdapat untuk melakukannya.
Karena ingin memiliki perempuan isteri guru itu, timbul halusinasi
dan waham, bahwa nyonya itu selalu merayunya, mengejek dan
menghina. Nyonya itu mencintanya. Sementara itu ia menyadari, bahwa
perempuan itu sudah bersuami. Ia cukup menyadari, bahwa suami nyonya
itu menjadi penghalang bagi memenuhi keinginannya untuk memilki
perempuan yang “dicintainya” itu. Apa yang terjadi sebelum pembunuhan,
tidaklah begitu jelas. Ia bermaksud untuk berpacaran dengan tetangganya.
Tetapi ia kemudian mengambil pisau ke dapur dan terus pergi ke rumah
guru itu. Apa yang dirasakannya tidak dapat ia menerangkannya.
Dalam keadaan tegang bercampur takut sering terjadi, bahwa
seseorang melakukan pembunuhan (Raptus: reaksi terhadap ketegangan
yang tak tertahankan). Pada skizofrenia, juga dijumpa raptus, tanpa ada
ketegangan afek. Ditambah lagi, bahwa tertuduh adalah seseorang yang
debil sering melakukan kejahatan yang dasarnya adalah, kurang
kemampuan untuk memperkirakan akibat dari perbuatannya. Ia tidak
cukup memiliki kecerdasan untuk dapat mengetahui dan menyadari
sepenuhnya apa yang akan terjadi, sebagai akibat akan perbuatannya dan
akibat bagi dirinya.
Apakah kekurangan kecerdasan disebabkan oleh debilitas mentis,
ataukah karena skizofrenia yang menahun , dapat diperdebatkan.
Diagnosa: skizofrenia yang menahun (kronis) dengan debilitas mentis.
Kesimpulan: tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena
kurang sempurna akalnya dan sakit berubah akal. Maka menurut pasal 44
ayat (1) KUHPidana, penderita M. sewaktu melakukan perbuatannya
berada dalam keadaan jiwa terganggu, sehingga ia tidak
bertanggungjawab atas perbuatannya sehingga ia tidak dipidana (Hasan
Basri Saanin Dt. Tan Pariaman,1983:252).
2. Peranan Ilmu Forensik Pada Sengketa Kekuasaan di Keraton
Kasunanan Surakarta
Selain untuk membantu pengungkapan kasus kejahatan, ilmu
pengetahuan forensik juga dipakai dalam kasus-kasus yang bersifat
perdata, sebagai contohnya ilmu pengetahuan forensik dapat meneliti
keaslian dari suatu dokumen atau tulisan tangan seseorang. Untuk kasus
ini dapat dilihat dalam kasus perebutan kekuasaan di Keraton Kasunanan
Surakarta dimana dua belah pihak yang berseteru, yaitu dari kubu
Hangabehi dan kubu Tedjowulan, dimana dalam hal ini kubu atau pihak
dari Tedjowulan menyangsikan suatu surat yang telah ditandatangani oleh
Sri Susuhunan Paku Buwono ke-XII yang telah meninggal.
Untuk itu pihak Tedjowulan pun kemudian menantang kepada
pihak Hangabehi untuk membuktikan keaslian dari surat tersebut. Hal ini
disetujui oleh pihak Hangabehi yang kemudian meminta kepada pihak
forensik dari Kepolisian Daerah Jawa Tengah untuk meneliti keaslian dari
tanda tangan tersebut.
Di dalam menentukan kebenaran suatu tulisan ataupun tanda
tangan seseorang, ilmu forensik memiliki beberapa teknik untuk
menentukannya. Cara pertama yang umum dilakukan adalah peneliti
membuat salinan (copy) dari tulisan ataupun tanda tangan yang sedang
diteliti sebanyak mungkin, bahkan idealnya juga terdapat contoh tulisan
ataupun tanda tangan yang bersifat formal (resmi) maupun non formal
(sehari-hari) serta membandingkan suatu tulisan ataupun tanda tangan
yang disengketakan dengan berbagai tulisan atau tanda tangan yang lain
dari orang tersebut dari berbagai macam penggunaan alat tulis dan
berbagai macam waktu, terutama tulisan ataupun tanda tangan sekitar
waktu dari tulisan ataupun tanda tangan yang disengketakan, karena
tulisan seseorang akan terdapat perubahan dengan seiring bertambahnya
usia. Dari pengamatan tersebut akan dapat diketahui bentuk khas dari
suatu tulisan ataupun tanda tangan.
Dari teknik pengamatan diatas akan dapat diketahui bentuk dan ciri
khas suatu tulisan ataupun tanda tangan, seperti besar kecilnya ukuran
tulisan ataupun tanda tangan, jarak antara tanda tangan dengan tempat
penulisan tanda tangan, dan tanda-tanda tertentu atau ciri khas dari suatu
tulisan ataupun tanda tangan.
Teknik pengamatan yang lain dapat dilakukan dengan
memperhatikan jarak penulisan antar huruf dalam suatu tulisan ataupun
tanda tangan, dari penelitian tersebut akan di dapat jarak rata-rata antar
huruf dalam suatu tulisan ataupun tanda tangan yang telah menjadi
kebiasaan dari si penulis.
Kemudian teknik yang lain dapat dilakukan adalah dengan cara
mengamati arah pola penulisan baik itu dari kiri lurus ke kanan atau
kekanan atas ataupun ke kanan bawah dan mungkin juga ke arah-arah
yang lain. Selain itu suatu tulisan atau tanda tangan pasti mempunyai arah
pola penulisan yang khas seprti anak tangga, garis miring, kurva, setengah
lingkaran ataupun pola-pola yang lain.
Akhirnya adalah penggunaan teknologi, hal ini dilakukan jika
dengan berbagai teknik pengamatan ataupun penelitian diatas belum bisa
di dapat hasil yang memuaskan. Penggunaan teknologi dalam hal ini
adalah pengunaan mikroskop infra merah, dengan mikroskop akan dapat
dilihat keaslian dari suatu tuliasan ataupun tanda tangan dengan melihat
pola goresan yang ada, suatu tulisan ataupun tanda tangan yang asli akan
digoreskan dengan cepat, tegas dan percaya diri, sedangkan tulisan
ataupun tanda tangan tiruan akan digoreskan dengan lambat dan hati-hati,
dan akhirnya dapat diketahui apakah suatu tulisan ataupun tanda tangan
tersebut asli ataupun palsu (David Owen, 2000: 148).
Ternyata setelah dilakukan penelitian oleh laboratorium forensik
Kepolisian Daerah Jawa Tengah di Semarang, tulisan atau tanda tangan
tersebut adalah asli dan terbukti memang benar milik Sri Susuhunan Paku
Buwono ke-XII yang telah meninggal.
3. Peranan Ilmu Forensik Dalam Identifikasi Korban Bencana Massal
Seringkali dalam suatu kecelakaan ataupun bencana alam yang
mengakibatkan korban amat banyak, terutama jika para korban sudah
tidak dapat dikenali lagi, hal ini sangat menyulitkan dalam hal identifikasi
para korban, seperti pada tragedi bom Bali di Paddy’s dan Sari Cafe
ataupun tragedi jatuhnya pesawat terbang milik maskapai penerbangan
Mandala Airlines di Polonia Medan.
Pada dua kecelakaan diatas korban mencapai puluhan sampai
ratusan orang, yang mana sebagian besar dari korban sudah tidak dapat
dikenali lagi karena berbagai hal, mulai dari hangus terbakar sampai organ
tubuh yang sudah tidak lengkap ataupun tercerai berai.
Disinilah tugas ilmu forensik, yaitu untuk mengidentifikasi para
korban terutama korban yang sudah tidak dapat dikenali lagi. Untuk
masalah pengidentifikasian adalah bagian dari tugas kedokteran forensik
maupun antropologi forensik.
Identifikasi korban penting sekali untuk keluarganya terutama
untuk mengetahui keberadaan korban dan juga sehubungan dengan akta
kematian, warisan, dan perkara perdata lainnya.
Identifikasi mayat yang masih utuh dan baru tidak akan memberi
kesukaran. Identifikasi mayat tidak berbeda dari orang hidup, yaitu dari
foto, sidik jari, ciri tubuh, dan benda milik pribadi seperti pakaian, cincin
kawin, SIM (Surat Izin Mengemudi), KTP(Kartu Tanda Penduduk).
Untuk identifikasi perlu ditentukan, yaitu barang bukti yang berasal
dari tubuh manusia, apa kelaminnya, berapa panjang badannya, berapa
umurnya, data gigi, warna kulit, mata, rambut, kelainan kulit, penyakit,
cacat badan, sidik jari atapun kaki, benda milik pribadi, dan DNA
mitokondria.
Pada dua kasus diatas yakni tragedi bom Bali di Paddy’s dan Sari
cafe serta kecelakaan pesawat milik Mandala Airlines pihak forensik
dalam melakukan tugasnya mengidentifikasi korban menggunakan
beberapa cara di bawah ini.
Yang pertama kali dilakukan adalah mencari identitas umum yang
mudah dikenali seperti foto, sidik jari, ciri tubuh, dan benda milik pribadi
seperti pakaian, cincin kawin, SIM, KTP serta tanda pengenal lainnya.
Bila bukti cukup banyak tidak menimbulkan kesukaran dalam
pengidentifikasiannya.
Baru setelah tanda pengenal yang umum tidak dapat ditemukan
maka dilakukan langkah-langkah pengidentifikasian antara lain sebagai
berikut. Ilmu urai dapat membuktikan bahwa bukti berasal dari manusia
atau bukan. Bila ditemukan tulang kecil pembuktian jadi sukar dan perlu
bantuan ahli ilmu urai. Sepotong daging dapat dibuktikan berasal dari
manusia dengan tes presipitin. Tes presipitin sangat peka, diperlukan
hanya sedikit jaringan untuk pemeriksaan. Tes ini berdasarkan ikatan
antigen antibodi yang membentuk presipitat putih seperti awan.
Kelamin dapat dengan mudah ditentukan. Pada laki-laki dapat
dilihat dari kelenjar prostat, zakar, buah zakar, dan pada perempuan dilihat
dari rahim, indung telur, payudara, bibir kemaluan. Rahim yang tidak
hamil dan kelenjar prostat adalah dua jaringan yang paling tahan lama
terhadap pembusukan.
Tulang adalah bahan yang baik untuk menentukan kelamin. Pada
umumnya tulang seorang laki-laki lebih besar dan lebih kasar
dibandingkan tulang seorang perempuan. Tulang yang baik untuk
menentukan seks atau jenis kelamin adalah tulang tengkorak, tulang
pinggul dan tulang kelangkang, tulang paha, tulang kering, tulang lengan
atas dan tulang dada. Penentuan seks juga dapat dilakukan dengan
pemeriksaan histopatologik dari tonjolan sel selaput lendir rongga mulut.
Pada sel perempuan ditemukan satu atau lebih tonjolan kecil kromatin
yang dinamakan Barr body. Inti lekosit polimorf pada perempuan
menunjukkan tonjolan menyerupai pemukul drum, drumstick projection
atau Davidson body.
Panjang badan dapat diperkirakan dari tulang panjang seperti
tulang paha, tulang kering , tulang lengan atas dan pengumpil dengan
menggunakan rumus Dupertuis dan Hadden, Karl person, Trotter dan
Gleser.
Untuk penentuan umur dapat dilihat dari pertumbuhan kumis pada
laki-laki, pertumbuhan payudara pada perempuan, pertumbuhan rambut
ketiak, pertumbuhan rambut kemaluan, pertumbuhan lekum pada laki-laki,
selain itu tengkorak juga dapat dipakai untuk menentukan umur, yaitu
dengan memperhatikan menutupnya sambungan masing-masing tulang
kepala. Teknik penentuan umur yang lain dapat dilakukan dengan
pengamatan susunan gigi, pada bayi dilakukan dengan mengamati susunan
gigi susu, sedang pada anak-anak sampai dewasa dilihat dari susunan gigi
permanen. Data gigi harus diambil dari tiap korban yang idetitasnya tidak
dikenal, bila perlu otot maseter dipotong supaya rahang bawah dapat
dibuka lebih lebar. Gigi yang tidak rata, gigi yang dibungkus logam, gigi
palsu, jembatan gigi, merupakan ciri yang mudah dikenal kembali oleh
keluarganya.
Sidik jari merupakan bukti jati diri seseorang yang dapat dipercaya
100%. Di dunia tidak ada dua orang yang memiliki sidik jari yang sama,
bahkan juga tidak pada kembar monozygot (identical twins). Sehingga
pada dua kejadian diatas para keluarga korban diminta untuk membawa
tanda pengenal milik korban yang terdapat cap sidik jarinya, dengan
tujuan untuk dicocokkan dengan sidik jari milik korban(Njowito Hamdani,
1992: 83).
Inilah teknik identifikasi yang paling final yaitu pemeriksaan DNA
mitokondria. Ini dilakukan jika korban benar-benar sudah tidak dapat
dikenali dan sudah tidak memungkinkan dilakukan proses-proses
pengidentifikasian di atas. Teknik pengidentifikasian menggunakan DNA
dilakukan dengan cara korban-korban yang sudah tidak dapat dikenali
diambil DNA nya masing-masing, kemudian dicocokkan dengan para
DNA dari para pihak keluarga yang mengklaim keluarga mereka ikut
menjadi korban. DNA digunakan sebagai teknik final karena pada
manusia di setiap bagian tubuhnya terdapat jaringan genetik yang sama
dengan milik keturunannya, sehingga dari DNA dapat diketahui hubungan
genetika seseorang. Sehingga tidak mengherankan jika pada dua kejadian
diatas banyak keluarga yang merasa keluaraganya menjadi korban
diperiksa DNA nya untuk kemudian dicocokkan dengan data-data DNA
milik para korban.
Hasil dari pengidentifikasian terhadap para korban dua kejadian
diatas terutama pada kasus bom Bali di Paddy’s dan Sari cafe dapat kita
lihat pada monumen yang didirikan untuk memperingati kejadian tersebut,
pada monumen tersebut dapat kita lihat semua nama dan negara asal dari
para korban, yang mana hal ini tidak akan diketahui tanpa adanya teknik-
teknik pengidentifikasian diatas.
4. Peranan Ilmu Forensik Dalam Menemukan Tersangka
Kasus-kasus diatas adalah contoh kasus yang ada di Indonesia.
Dari contoh diatas kita dapat mengetahui sejauh manakah perkembangan
ilmu forensik di negara ini. Lalu bagaimanakah perkembangan ilmu
forensik di luar negeri, terutama di negara dimana akademi forensik
pertama kali di dirikan (Amerika), dapat kita lihat dari contoh kasus
berikut ini dimana kasus berikut terjadi pada tahun 1923, sebuah masa
yang mana Indonesia masih dalam kondisi terjajah dan belum mengenal
ilmu forensik.
Kasus ini adalah salah satu dari contoh keberhasilan yang
spektakuler dari ilmu forensik dalam memecahkan suatu kasus kejahatan.
Kasus yang sangat menarik dimana penjahat lihai bertemu dengan para
ahli yang ulet. Kasus ini penyelidikannya dipimpin oleh Edward Heinrich
yang bertugas di laboratorium forensik di Berkeley, California. Dimana
pada saat itu terdapat kelompok perampok yang mencoba merampok
sebuah kereta surat pada rel milik Union Pacific Rail Road. Tempat
kejadian adalah di sebuah pengendali perpindahan jalur di pegunungan
selatan Oregon.
Gerbong surat diledakkan dengan dinamit dan seluruh petugas
kereta dibunuh dengan keji sebelum korban panik, dan pergi tanpa
meninggalkan jejak apapun.
Setelah itu melalui sebuah pencarian yang hati-hati di TKP,
ditemukan sebuah revolver, baterai pemberi tenaga detonator yang
digunakan untuk peledakan, sepasang pelindung sepatu yang dibuat dari
karung yang dibasahi cairan seperti minyak yang dibuat dari ter kayu
untuk menghilangkan bau pelarian yang dapat ditangkap oleh anjing-
anjing pelacak yang digunakan, dan sebuah setelan pakaian kerja. Setelah
tidak dapat lagi menemukan petunjuk yang berguna, polisi kemudian
mengirimkan pakaian kerja tersebut kepada Heinrich, yang menelitinya
hingga detil terkecil.
Heinrich mengambil contoh reruntuhan atau puing dari saku
pakaian kerja tersebut, yang beberapa diantaranya menunjukkan jejak atau
bekas pelumas. Hal tersebut membuat penyelidik memiliki petunjuk
bahwa pemilik pakaian tersebut kemungkinan seorang montir bengkel,
tetapi analisa Heinrich menunjukkan bahwa pelumas tersebut berasal dari
pohon cemara. Pada saat itu ia juga telah meneliti setiap detail dari
pakaian kerja tersebut menggunkan mikroskop, hingga dia telah mampu
menggambarkan karakteristik si pemilik secara detail.
Heinrich membuat pernyataan yang mengejutkan para petugas
bahwa mereka mencari seorang penebang kayu yang kidal dengan tinggi
sekitar lima kaki 10 inci, memiliki rambut coklat terang dan berat sekitar
165 pound. Orang ini berusia sekitar awal 20 an, menggulung rokoknya
sendiri, sangat berhati-hati dengan penampilannya, dan bekerja pada
penebangan di barat laut pasifik.
Kehadiran ter pelumas dari pohon cemara, dan biji dari cemara
douglas yang ditemukan di pakaian kerja, mengindikasikan seorang
penebang kayu yang bekerja di barat laut pasifik dimana cemara douglas
banyak digunakan. Kantong dari sisi kiri pakaian kerja menunjukkan lebih
sering dipakai daripada kantong sisi kanan, dan pakaian tersebut
dikancingkan dari kiri, menunjukkan si pemakai adalah seorang kidal.
Sehelai rambut coklat terang tertinggal di salah satu kancing menunjukkan
warna rambut dan usia tersangka, dan ukuran dari pakaian tersebut
menunjukkan tinggi sekaligus berat dari si pemakai.
Beberapa helai tembakau ditemukan di kantong, yang
menunjukkan si pemakai menggulung sendiri rokoknya. Pemotong kuku
juga ditemukan yang menunjukkan seseorang yang memotong kukunya
secara rutin, sebuah kepribadian yang unik diantara penebang kayu.
Akhirnya Heinrich menemukan pada dasar kantong yang tak tersentuh
sebuah lembaran kertas amplop rapat yang hampir hancur karena dicuci
bersama pakaian tersebut. Ketika dengan hati-hati diambil dan di beri
larutan iodine untuk memunculkan tulisan, hal itu menunjukkan pada
tanda terima kantor pos Amerika untuk sebuah paket surat terdaftar yang
dikirimkan ke seorang bernama Roy d’Autremont di Eugene, Oregon.
Ketika polisi mengecek alamat terakhir yang diketahui,
tetangganya mengatakan bahwa d’Autremont cocok dengan gambaran
Heinrich dari berbagai sisi. mereka juga menemukan bahwa dia telah
menghilang bersamaan dengan kembarannya Ray dan saudaranya Hugh,
sejak hari dari perampokan. Penggambaran juga melibatkan Ray dan
Hugh, dan mereka semua bertiga telah menjadi orang yang dicari.
Pelacakan bersaudara membuktikan lebih sulit daripada pelacakan
tunggal. Dan itu telah lewat empat tahun sebelum seorang sersan di
angkatan darat Amerika mengidentifikasikan Hugh d’Autremont sebagai
seorang prajurit yang bertugas bersamanya di Filipina. Dia kemudian di
tahan di Manila, dan saudaranya kemudian terlacak di sebuah peleburan
baja di Ohio dimana mereka bekerja dengan nama samaran. Akhirnya
ketiga bersaudara tersebut telah mengaku, dan mempertanggung
jawabkannya dengan hukuman seumur hidup (David Owen, 2000: 36).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah peneliti uraikan
dalam bab-bab sebelumnya, telah memberi jawaban dari permasalahan dalam
penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Fungsi ilmu forensik adalah membuat suatu perkara menjadi jelas, yaitu
dengan mencari dan menemukan kebenaran materiil yang selengkap-
lengkapnya tentang suatu perbuatan ataupun tindak pidana yang telah
terjadi. Ilmu forensik adalah bagian dari penyidikan, dan penyidikan itu
sendiri adalah suatu proses untuk mempelajari dan mengetahui apa yang
telah terjadi di masa yang lampau dan dalam kaitannya dengan tujuan dari
penyidikan itu sendiri, sehingga untuk menghasilkan penyidikan yang
benar-benar valid penyidik dengan seyogianya harus melakukan
penyidikan dengan sebaik-baiknya.
Penyidik memanfaatkan ilmu forensik untuk mendapatkan
sumber-sumber informasi yang dapat membuat jelas dan terang suatu
perkara, sesuai dengan fungsi dari ilmu forensik itu sendiri. Sumber-
sumber informasi tersebut adalah (barang bukti fisik yang ada di tempat
kejadian, dokumen serta catatan yang ada di tempat kejadian atau yang
berhubungan dengan kejadian,orang-orang yang mengetahui atau dapat
membantu memberi informasi tentang kejadian yang ada).
Untuk dapat memanfaatkan sumber-sumber informasi tersebut
tentu dibutuhkan pemahaman dan bantuan dari ilmu forensik yang
memiliki berbagai bidang kajian, seperti pathologi dan biologi,
toksikologi, kriminalistik, dokumen yang dipertanyakan, kedokteran gigi,
antropologi, jurisprudensi, psikologi, kimia, fisika.
Agar fungsi dari ilmu forensik diatas dapat berjalan dengan baik,
maka diperlukan penyidik yang berkualitas dalam melakukan tugasnya.
2. Peranan ilmu forensik dalam usaha untuk memecahkan kasus-kasus
kriminalitas adalah sangat besar, hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus
yang ada dimana ilmu forensik dipakai untuk menentukan apakah si
tersangka bisa dikenai hukuman atau tidak menyangkut kesehatan
jiwanya, kemudian ilmu forensik dapat digunakan untuk menentukan
keaslian suatu tulisan ataupun dokumen, lalu penggunaan ilmu forensik
untuk mengidentifikasi korban kejahatan ataupun bencana, dan yang
paling utama adalah penggunaan ilmu forensik untuk mengetahui
tersangka dari suatu tindak kejahatan.
B. Saran-saran
Saran-saran yang akan peneliti berikan merupakan saran yang
mempunyai hubungan dengan hasil penelitian dan pembahasan yang telah
peneliti lakukan sebelumnya.
1. Ilmu pengetahuan forensik sebaiknya lebih disosialisasikan pada
masyarakat umum, karena ini merupakan ilmu yang menarik untuk
dipelajari, selain itu masyarakat kita masih banyak yang awam tentang
ilmu pengetahuan forensik.
2. Supaya pihak Kepolisian Republik Indonesia menambah laboratorium
forensiknya sehingga lebih mencakup wilayah yang luas, karena jumlah
laboratorium forensik sekarang ini kurang memadai untuk mencakup
seluruh wilayah Indonesia (tujuh laboratorium forensik di tujuh kota
besar).
3. Supaya pemerintah menambah alokasi dana bagi pengembangan ilmu
pengetahuan forensik di Indonesia, sehingga tidak tertinggal jauh dengan
negara-negara lain, karena dengan adanya ilmu pengetahuan forensik yang
maju di Indonesia maka akan lebih banyak kasus kejahatan yang
terpecahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mun’im Idries dan Agung Legowo Tjiptomartono. 1982. Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan. Jakarta: PT Karya Unipres
Abdul Mun’im Idries, Sidhi, Sutomo Slamet Iman Santoso. 1985. Ilmu Kedokteran Kehakiman (Toksikologi Kehakiman/ Psikiatri Kehakiman). Jakarta: PT Gunung Agung
Andi Hamzah. 1987. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1981. Naskah Akademik Rencana Undang-undang tentang Kedokteran Kehakiman. Jakarta: Departemen Kehakiman
Bagian Kedokteran Forensik. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktek. Jakarta: Djambatan
David Owen. 2000. Hidden Evidence. London: Quintet Publishing Limited
Handoko Tjondroputranto. 1982. Ilmu Kedokteran Forensik dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta
Hasan Basri Saanin Dt. Tan Pariaman. 1983. Psikiater dan Pengadilan (Psikiatri Forensik Indionesia). Jakarta: Ghalia Indonesia
H.B. Sutopo. 1993. Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif. Solo: UNS.
John M. Echols dan Hassan Shadily. 1995. An English Indonesian Dictionary. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Koentjaraningrat. 1994. Metode-metode Penelitiaan Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Mardalis. 1990. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.
Munakhir Mudjosemedi. 2003. Bibir, Sidik Bibir, Ilmu Kesehatan dan Antropologi Ragawi: Integrasi antara Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Banyu Biru Offset
M. Yahya Harahap. 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Pustaka Kartini.
Njowito Hamdani. 1992. Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Panitia Seminar FK UGM. 1999. Seminar Sehari Aplikasi Ilmu Kedokteran Forensik Untuk Identifikasi. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Posman Simanjuntak. 1997. Berkenalan Dengan Antropologi. Jakarta: Erlangga
Ratna Nurul Afiah. 1998. Barang Bukti Dalam Proses Pidana. Jakarta: Sinar Grafika
R. Atang Ranoemihardja. 1983. Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science). Bandung: Tarsito
Riduan Syahrani. 1983. Beberapa Hal Tentang Hukum Acara Pidana. Bandung: Alumni
Soerjono Soekanto. 1986. PengantarPenelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sofwan Dahlan. 2004. Ilmu Kedokteran Forensik (Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
S. Tanusubroto. 1983. Peranan Pra Peradilan Dalam Hukum Acara Pidana. Bandung: Alumni
Sutrisno Hadi. 1979. Metodologi Riset. Yogyakarta: UGM Press.
Team Forensik. 1979. Bagaimana Dokter Mengetahui Sebab Kematian (Forensic Medicine). Jakarta: Penerbit Lancar
Undang-undang Nomor 8 tahun 1981. Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Waluyadi. 2000. Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta: Djambatan
William G. Eckert. 1980. Introduction to Forensic Sciences. United States of America: C. V. Mosby Company