penyesuaian perkawinan pasangan yang salah satunya

46
PENYESUAIAN PERKAWINAN PASANGAN YANG SALAH SATUNYA MELAKUKAN KONVERSI AGAMA Rosa Amelia Nareswari Ratriana Y.E.Kusumiati Heru Astikasari S.Murti Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2014

Upload: others

Post on 27-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

PENYESUAIAN PERKAWINAN PASANGAN YANG SALAH SATUNYA

MELAKUKAN KONVERSI AGAMA

Rosa Amelia Nareswari

Ratriana Y.E.Kusumiati

Heru Astikasari S.Murti

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2014

Page 2: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya
Page 3: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya
Page 4: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya
Page 5: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan gambaran penyesuaian perkawinan

pasangan yang salah satunya melakukan konversi agama dimana yang melakukan

konversi agama adalah suami. Konversi agama akan membuat seluruh kehidupan

seseorang berubah selama-lamanya, maka dibutuhkan penyesuaian untuk mencapai

kepuasaan dan kebahagiaan dalam sebuah perkawinan. Penelitian ini menggunakan

metode kualitatif dengan wawancara dan observasi sebagai teknik pengumpulan data

kepada dua pasang partisipan. Hasil penelitian dengan menggunakan aspek menurut

Atwater dan Duffy (1999) dan tugas-tugas penyesuaian menurut DeGenova & Rice

(2005) menunjukan bahwa kedua pasang partisipan berhasil melakukan penyesuaian

meski belum cukup maksimal karena adanya beberapa kendala dengan kebiasaan

pribadi, hubungan dengan keluarga dan tempat tinggal pasangan yang berjauhan.

Namun tidak ada masalah yang berarti dengan konversi agama yang dilakukan karena

kedua partisipan mempunyai pandangan yang sama dalam menyikapi sebuah agama

yaitu perbedaan agama hanya dari tata cara beribadah dan mempercayai bahwa Tuhan

hanya ada satu.

Kata Kunci: Perkawinan, penyesuaian perkawinan, konversi agama

Page 6: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

Abstract

The purpose of this research is to describe the image of the thoughts of marriage in

which one of the couple, in this case is the husband doing religion conversion. The

conversion of religion will make someone’s life completely changing for forever,

therefore it takes time to adapt in order to reach the satisfaction and the joy in a

marriage. This study used a qualitative method with interviews and observations as data

collection techniques to the two pairs of participants. The result of the research using

the aspects according to Atwater dan Duffy (1999) and the adapting task according to

DeGenova & Rice (2005) shows that the two couples succeed in doing the adaptation

even if it is not yet perfect since there are some problems regarding to personal habits,

relationship with the couple’s family and the distance that separates the couple. On the

other hand, there are no things that really matter regarding to religion conversion that is

done because both of the participants have the same vision in the difference of the

religion which is the differences is only on how the prayer is delivered, but they still all

believe that there is only one God.

Keywords : Marriage, marital adjustment, religious conversion

Page 7: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

1

PENDAHULUAN

Perkawinan adalah bersatunya seorang laki-laki dan perempuan untuk

membentuk suatu keluarga, yang mana keluarga tersebut disahkan melalui upacara

agama atau adat. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (dalam

Walgito, 2000) yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara

seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Oleh karena dasar dari perkawinan adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dasar-

dasar agama sangat penting dalam sebuah kehidupan perkawinan. Menurut Walgito

(2000), agama yang dianut oleh masing-masing anggota pasangan akan memberikan

tuntunan atau bimbingan bagaimana bertindak secara baik dan idealnya pasangan suami

istri mempunyai agama yang sama. Walgito (2000), juga mengatakan bahwa kesamaan

agama yang dianut, akan memberikan pandangan, sikap, frame of reference yang relatif

sama, sehingga dapat meminimalisir masalah yang timbul karena agama. Dalam sebuah

perkawinan yang berbeda agama, mereka hanya berpegang pada komitmen yang sudah

dibuat oleh kedua belah pihak, namun jika komitmen tidak berjalan dengan baik, maka

hubungan tersebut akan menjadi rumit dan berakibat pada terganggunya kerukunan

hidup berumah tangga karena peran agama menjadi tidak maksimal, begitupun saat

memiliki keturunan, jika memiliki anak, anak tersebut akan bingung memilih keturunan

(Makalew, 2013).

Dahulu bangsa Indonesia memperbolehkan seseorang untuk menikah beda

agama karena Nation dan Character Building yang dikumandangkan Bung Karno pada

masanya, sehingga perkawinan beda agama ataupun beda suku diperbolehkan dan

Page 8: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

2

menjadi hal yang biasa (Kompas forum, 2009). Namun semenjak dicanangkannya

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, aturan perkawinan di Indonesia

menjadi seragam dan tidak memperkenankan pernikahan beda agama di Indonesia

sehingga salah satu harus melakukan konversi agama atau menikah diluar negeri.

Di Indonesia orang yang berpindah agama karena menikah dengan orang lain

bukan merupakan hal baru (Dwisaptani & Jenny, 2008). Fenomena konversi agama ini

sedang marak terjadi dalam dunia keartisan di Indonesia. Contohnya adalah yang

dilakukan oleh Jonas Rivanno dan Bella Safira yang melakukan konversi agama agar

dapat menikah dengan pasangannya (Kompasiana, 2013). Namun tidak hanya dilakukan

oleh kalangan artis saja namun juga orang-orang biasa yang tidak terliput oleh media.

Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) memang belum pernah menyusun statistik

khusus mengenai perpindahan agama namun banyak penelitian yang membahas tentang

konversi agama dikalangan masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Menurut

Paloutzian (dalam Ardhini, Abidin & Dinie, 2012), konversi agama akan membuat

seluruh kehidupan seseorang berubah selama-lamanya, karena pada dasarnya konversi

agama merupakan perubahan mendasar dan penataan ulang identitas diri, makna hidup

juga aktivitas seseorang.

Begitu juga dalam kehidupan perkawinan seseorang. Individu yang melakukan

konversi agama akan mengalami perubahan nilai, pola perilaku terhadap agama baru

yang mereka anut. Hal tersebut membuat individu tersebut harus beradaptasi dengan

banyak hal dan belajar hal-hal baru yang mewarnai kehidupannya untuk selamanya.

Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dwisaptani & Jenny (2008)

membahas dampak konversi agama yang di lakukan oleh ketiga partisipannya. Semua

partisipannya melakukan konversi agama karena mengikuti pasangannya dan akan

Page 9: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

3

melangsungkan perkawinan, namun satu diantara ketiga partisipan tersebut mengalami

konflik psikologis. Begitu juga dalam penelitian yang dilakukan oleh Sukiman (2005),

yaitu dikatakan individu melakukan konversi agama karena rasa cinta kepada

pasangannya dan agar dapat sah secara hukum dan agama dalam melangsungkan

perkawinan mereka.

Dalam penelitian Sukiman (2005) juga diperoleh dampak-dampak yang dialami

individu setelah melakukan konversi agama, salah satunya dikucilkan oleh keluarga

besar konversan sampai orangtua salah satu konversan tidak mau mengakui suami

konversan hingga kedua orangtuanya meninggal. Dampak berupa konflik psikologis

sendiri tidak terlalu berarti dalam kehidupan individu yang melakukan konversi agama

tersebut dalam perkawinan mereka. Menurut Sukiman (2005) mengapa konflik

psikologis tidak terlalu berarti dalam kehidupan ketiga partisipannya dipicu oleh faktor

kefanatikan. Ketiga partisipan Sukiman tidak fanatik dalam menjalankan agamannya

namun lebih memilih rasa cintanya yang besar terhadap pasangannya. Sedangkan dalam

penelitian milik Dwisaptani & Jenny (2008), Subyeknya mendapatkan religiusitas yang

lebih pada agamanya sehingga timbul kefanatikan yang lebih hingga ia takut Tuhan

akan meninggalkannya saat ia melakukan konversi kembali.

Memang tidak semua pasangan dalam penelitian sebelumnya mengalami konflik

psikologis, namun dampak-dampak yang dialami partisipan dalam penelitian

sebelumnya dapat dikatakan mengganggu kehidupan perkawinan pasangan tersebut.

Oleh karena itu maka perlu dilakukan penyesuaian dalam kehidupan perkawinan

mereka. Karena banyak hal-hal baru yang akan dialami individu dalam kehidupannya

kedepan dengan agama baru yang dianutnya. Dalam sebuah perkawinan terdiri dari dua

Page 10: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

4

individu yang banyak mempunyai perbedaan yang karena rasa cinta ingin diikat

menjadi sepasang suami istri (Walgito, 2000).

Hurlock (1991) mendefinisikan penyesuaian perkawinan sebagai proses adaptasi

antara suami dan istri, dimana suami dan istri tersebut dapat mencegah terjadinya

konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri.

Wismanto (2005) menyatakan bahwa proses pengenalan antar pasangan itu berlangsung

hingga salah satu pasangan mati. DeGenova dan Rice (2005) menyatakan bahwa ada 12

area yang mencakup penyesuaian-penyesuaian yang harus diwujudkan dalam

perkawinan, area ini disebut dengan tugas penyesuaian perkawinan. Tugas-tugas

tersebut adalah dukungan emosional, penyesuaian seksual, kebiasaan pribadi, peran

gender, keuangan, pekerjaan (kuliah) dan prestasi, kehidupan sosial termasuk

persahabatan dan rekreasi bersama keluarga, komunikasi, serta pemecahan masalah.

Penyesuaian menjadi hal yang penting dalam sebuah perkawinan dan akan berdampak

pada keberhasilan serta keharmonisan rumah tangga (Anjani & Suryanto, 2006).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ngantung (2012) penyesuaian dilakukan

oleh mahasiswi yang hamil diluar nikah melibatkan dua partisipan yang membahas

bagaimana penyesuaian mereka mengenai beratnya masalah ekonomi dan konflik yang

terjadi dalam perkawinan partisipan. Sedangkan Suryanto (2006) dalam penelitiannya

mengangkat penyesuaian pada periode awal pernikahan yang dapat disimpulkan

kehidupan perkawinan melewati 5 fase penyesuaian yaitu, 1) fase bulan madu 2) fase

pengenalan kenyataan 3) fase kritis perkawinan 4) fase menerima kenyataan, dan 5) fase

kebahagiaan sejati. Uraian diatas menyatakan bahwa jika seseorang memutuskan untuk

menikah maka akan selalu terjadi penyesuaian-penyesuaian di dalam kehidupannya,

apalagi jika individu tersebut melakukan konversi agama.

Page 11: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

5

Terkait dengan penyesuaian seorang pelaku konversi agama dalam penelitian

sebelumnya, peneliti berasumsi bahwa ada masalah-masalah yang berasal dari dalam

dan luar subjek. Masalah yang berasal dari dalam yaitu dari psikologis konversan itu

sendiri karena mengalami konflik psikologis, sedangkan masalah dari luar adalah

masalah yang berasal dari keluarga pelaku konversi agama yang tidak dapat menerima

perilaku tersebut. Demi menyenangkan keluarga dan pasangan menjadi alasan sesorang

melakukan konversi agama (Hurlock, 1993). Akan banyak hal-hal baru yang muncul

dan akan menimbulkan hambatan-hambatan dalam menjalani kehidupan setelah

menikah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan membahas bagaimana penyesuaian

diri pasangan menikah yang salah satunya melakukan konversi agama.

Peneliti tertarik untuk mengangkat masalah tersebut karena dalam beberapa

penelitian sebelumnya mengatakan bagaimana pengalaman-pengalaman dan beberapa

dampak yang serupa yang terjadi dalam penelitian tersebut dan hanya mencari informasi

pada individu yang melakukan konversi saja, namun dalam penelitian ini akan

membahas bagaimana penyesuaian suami dan istri dalam menjalani perkawinan mereka

dengan suami yang melakukan konversi agama. Peneliti memilih untuk meneliti suami

karena di dalam sebuah perkawinan suami menjadi kepala keluarga dan menjadi

pemimpin dan panutan bagi istri dan anaknya. Peneliti juga melihat dari fenomena yang

terjadi di Indonesia dan juga dari penelitian yang dilakukan sebelumnya banyak

membahas mengenai istri yang melakukan konversi agama.

Page 12: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

6

Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran

penyesuaian perkawinan pasangan yang salah satunya melakukan konversi agama,

dimana yang melakukan konversi agama adalah suami.

Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan melihat gambaran mengenai

penyesuaian pasangan yang salah satunya melakukan konversi agama, dimana suami

yang melakukan konversi agama dalam perkawinannya.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu

pengetahuan di bidang psikologi perkawinan dan keluarga. Sedangkan dari segi

praktisnya dapat memberikan informasi kepada pasangan yang salah satunya melakukan

konversi agama terutama suami mengenai kemungkinan permasalahan yang dihadapi.

PENYESUAIAN PERKAWINAN

1. Definisi perkawinan

Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang dimaksud dengan perkawinan

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Walgito, 2000). Menurut Olson dan

DeFrain (2006), perkawinan adalah komitmen emosional dan hukum dari dua orang

untuk membagi kedekatan emosional dan fisik, berbagi macam tugas dan sumber-

sumber ekonomi.

Page 13: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

7

2. Definisi penyesuaian perkawinan

Hurlock (1991) mendefinisikan penyesuaian perkawinan sebagai proses adaptasi

antara suami dan istri, dimana suami dan istri tersebut dapat mencegah terjadinya

konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri.

Wismanto (2005) menyatakan bahwa proses pengenalan antar pasangan itu

berlangsung hingga salah satu pasangan mati, dan dalam perkawinan terjadi proses

pengembangan yang didasari oleh LOVE yaitu Listen, Observe, Value dan

Emphaty. Penyesuaian perkawinan merupakan proses modifikasi, adaptasi,

mengubah individu dan pola pasangan dalam berperilaku dan berinteraksi untuk

mencapai kepuasan maksimal dalam hubungan perkawinan (DeGenova & Rice,

2005).

3. Aspek penyesuaian perkawinan

Sementara itu, Atwater dan Duffy (1999), menyimpulkan bahwa terdapat empat

aspek penting dalam penyesuaian perkawinan. Pertama, pembagian tanggung jawab

perkawinan (sharing marital responsibility). Dalam aspek yang pertama ini

merujuk bagaimana dukungan satau sama lain dalam pembagian tugas rumah

tangga, dukungan emosional bagi suami atau istri yang bekerja dan juga bersama-

sama dalam membesarkan dan mengurus anak. Kedua, komunikasi dan konflik

(communication and conflict). Pada aspek yang kedua membahas bagaimana

pentingnya komunikasi dan manajemen konflik. Suami dan istri bebas berpendapat

dan mengkomunikasikan ide-idenya satu sama lain, hal tersebut membantu

pasangan dalam menyelesaikan konflik-konflik dalam perkawinan mereka. Ketiga,

seks dalam perkawinan (sex in marriage). Pada aspek yang ketiga membahas

Page 14: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

8

bagaimana pentingnya seks dalam perkawinan, namun semakin lama usia

perkawinan semakin jarang melakukan hubungan seksual karena antar satu sama

lain merasa sudah biasa dengan pasangannya, makin berkurangnya energi dan

berkurangnya privasi karena kehadiran anak. Keempat, perubahan yang terjadi

sepanjang waktu di dalam kehidupan perkawinan (changes in marriage over time).

Pasangan yang bahagia cenderung menciptakan hal-hal yang memperkuat perasaan

bahagia dalam kehidupan perkawinannya sebaliknya pasangan yang yang tidak

bahagia cenderung menciptakan hal-hal yang menekan kebahagiaannya.

4. Tugas penyesuaian perkawinan

DeGenova dan Rice (2005) menyatakan bahwa ada 12 area yang mencakup

penyesuaian-penyesuaian yang harus dibuat dalam perkawinan, area ini disebut

dengan tugas penyesuaian perkawinan yaitu:

a. Pemenuhan dan dukungan emosional

1). Belajar untuk memberi dan menerima perhatian dan cinta

2). Mengembangkan sensitivitas, empati dan kedekatan

3). Memberikan dukungan emosional, membangun semangat, pemenuhan

kebutuhan ego

b. Penyesuaian seksual

1). Belajar untuk memberikan kepuasan, pemenuhan kebutuhan seksual

satu sama lain

2). Bekerja diluar mode, sikap atau perilaku, waktu, serta ekspresi seksual

3). Menggunakan sarana pengontrol kelahiran yang tepat

c. Kebiasaan pribadi

Page 15: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

9

1). Menyesuaikan pada kebiasaan pribadi masing-masing, perkataan,

kebersihan, sikap atau perilaku, pola makan, tidur

2). Menghilangkan atau mengubah kebiasaan pribadi yang mengganggu

masing-masing

d. Peran gender

1). Menetapkan peran pasangan di dalam dan diluar rumah

2). Bekerja di luar peran gender dalam hubungan untuk menghasilkan

pendapatan, perawatan rumah, mengurus rumah tangga, mengurus

anak

e. Materi, keuangan

1). Memilih tempat tinggal: area geografi, lingkungan sekitar, tipe rumah

2). Melengkapi dan mengurus rumah

3). Perolehan pendapatan dan pengelolaan uang

f. Pekerjaan, prestasi

1). Mencari, seleksi, mempertahankan pekerjaan

2). Penyesuaian pada tipe, tempat, waktu, kondisi pekerjaan

3). Bekerja diluar jadwal ketika salah satu dari pasangan bekerja

4). Mengatur perhatian kepada anak ketika salah satu pasangan bekerja

g. Kehidupan sosial, pertemanan, rekreasi, hiburan

1). Memilih dan menjalin pertemanan, kegiatan sosial

2). Mengunjungi teman bersama pasangan

3). Memutuskan tipe, frekuensi aktivitas sosial sebagai individu dan

sebagai pasangan

Page 16: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

10

h. Keluarga

1). Membangun hubungan kekerabatan dengan ipar, mertua

2). Kompromi dengan keluarga

i. Komunikasi

1). Mengungkapkan dan mengkomunikasikan ide, kecemasan, perhatian,

kebutuhan

2). Saling mendengarkan satu sama lain dan bicara satu sama lain dengan

cara yang konstruktif

j. Kekuatan / kekuasaan, pengambilan keputusan

1). Memperoleh keseimbangan dalam status, kekuatan / kekuasaan

2). Belajar untuk membuat, menjalankan, melaksanakan keputusan

3). Kerjasama dalam mengambil keputusan

k. Konflik, pemecahan masalah

1). Belajar untuk mengidentifikasi penyebab konflik

2). Mengatasi konflik

3). Pemecahan / menyelesaikan masalah

4). Meminta bantuan jika diperlukan

l. Moral, nilai, ideologi

1). Memahami / mengerti, menyesuaikan pada moral individu, nilai, etnis,

kepercayaan, filosofi, dan tujuan hidup

2). Menetapkan nilai bersama, tujuan, filosofi

3). Menyesuaikan dan menerima keyakinan / agama masing-masing

4). Membuat keputusan dalam kaitannya dengan agama

Page 17: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

11

5. Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian perkawinan

Menurut Tseng (1998) adanya saling keterbukaan pikiran atau openmindedness,

memiliki sikap fleksibilitas atau keluwesan, adanya toleransi yang tinggi,

pengetahuan, kepekaan terhadap kebutuhan pasangan menjadi faktor-faktor yang

mempengaruhi keberhasilan penyesuaian perkawinan. Menurut Dyer (1983),

banyak faktor sosial dan demografis yang berhubungan dengan penyesuaian

perkawinan yaitu usia, agama, ras, pendidikan dan keluarga.

KONVERSI AGAMA

1. Definisi Konversi Agama

Secara umum dapat diartikan dengan berpindah agama ataupun masuk agama.

Kata konversi berasal dari bahasa latin conversio yang berarti tobat, pindah, berubah

(agama) dan selanjutnya kata tersebut dipakai dalam bahasa Inggris conversion yang

mengandung arti berubah dari suatu keadaan, atau dari satu agama ke agama lain

(Sukirman, 2005). Perubahan dalam agama atau sistem keyakinan tersebut meliputi tata

perilaku, perasaan dan sikap yang kemudian membentuk pola pandangan baru, sesuai

dengan pengalaman hidup yang pernah dialami dalam situasi dan kondisi lingkungan

sosial yang yang selalu dihadapinya setiap hari (Rumekso, 1998).

2. Faktor-faktor Yang Memengaruhi Konversi Agama

Menurut Lewis (1993) ada lima macam faktor penyebab orang melakukan

konversi agama.

1. Kebudayaan (culture). Kebudayaan membangun bentuk intelektual, norma, dan

situasi kehidupan spiritual. Berbagai bentuk mitos, ritual dan simbol suatu

kebudayaan memberikan tuntunan petunjuk bagi kehidupan yang sering kali tidak

disadari diadopsi dan diambil untuk dijadikan jaminan.

Page 18: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

12

2. Masyarakat (society). Aspek-aspek sosial dan institusional dari berbagai tradisi

(kebiasaan) yang ada dalam konversi yang sedang berlangsung.

3. Pribadi (Person). Perubahan-perubahan yang bersifat psikologis, yaitu pikiran-

pikiran, perasaan-perasaan dan berbagai tindakan.

4. Agama (Religion). Agama merupakan sumber dan tujuan konversi. Keagamaan

orang-orang memberii ketegasan bahwa maksud dan tujuan konversi adalah

membawa mereka ke dalam hubungan yang suci (ilahi) serta memberikannya suatu

pengertian dan maksud yang baru.

5. Sejarah (History). Motivasi-motivasi yang berlainan, di kesempatan waktu yang

berbeda dalam suatu konteks kejadian atau peristiwa yang khusus.

3. Proses-proses Konversi Agama

Menurut Daradjat (dalam Sukiman, 2005) proses konversi agama pada

umumnya melalui proses-proses jiwa sebagai berikut:

1. Masa tenang pertama, masa tenang sebelum mengalami konversi, dimana segala

sikap, tingkah laku dan sifat-sifatnya acuh tak acuh menentang agama.

2. Masa ketidaktenangan, konflik dan pertentangan batin berkecamuk dalam hatinya,

gelisah, putus asa, tegang, panik, baik disebabkan oleh moralnya, kekecewaan atau

apapun juga.

3. Setelah masa goncang mencapai puncaknya, maka terjadilah peristiwa konversi itu

sendiri. Orang merasa tiba-tiba mendapat petunjuk Tuhan, mendapat kekuatan dan

semangat. Menyerah kepada Tuhan Yang Maha Esa.

4. Keadaan tenteram dan tenang. Setelah krisis konversi lewat dan masa menyerah

dilalui, timbullah perasaan antau kondisi jiwa yang baru, rasa aman damai di hati,

Page 19: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

13

tidak ada lagi dosa yang tidak diampuni Tuhan, tidak ada kesalahan yang patut di

sesali, semuanya telah lewat, segala persoalan menjadi enteng dan terselesaikan.

5. Ekspresi konversi dalam hidup. Tingkat terakhir dari konversi itu adalah

pengungkapan konversi agama dalam tindak tanduk, kelakuan, sikap, dan

perkataan, dan seluruh jalan hidupnya berubah mengikuti aturan-aturan yang

diajarkan oleh agama.

DINAMIKA PSIKOLOGIS

Penyesuaian perkawinan akan terus terjadi pada pasangan selama perkawinan itu

terjadi (Wismanto, 2005). Ketika suami istri memutuskan untuk hidup bersama berarti

masing-masing mengikatkan diri pada pasangan hidup dan kebebasan sebagai individu

dikorbankan untuk tujuan bersama melalui kesepakatan berdua (Suryanto, 2006). Tiap

pasangan harus menyiapkan diri untuk menerima kekurangan dan kelebihan pasangan

dengan kontrol diri yang baik, maka dari itu penyesuaian dalam perkawinan dibutuhkan

dalam menjalani sebuah perkawinan. Pentingnya penyesuaian dan tanggung jawab

sebagai suami atau istri dalam sebuah perkawinan akan berdampak pada keberhasilan

hidup berumah tangga. Keberhasilan dalam hal ini mempunyai pengaruh yang kuat

terhadap adanya kepuasan hidup perkawinan, mencegah kekecewaan dan perasaan-

perasaan bingung, sehingga memudahkan seseorang untuk menyesuaikan diri dalam

kedudukannya sebagai suami atau istri dan kehidupan lain diluar rumah tangga

(Hurlock, 2002).

Dalam fenomena yang dibahas dalam penelitian ini, penyesuaian dilakukan oleh

pasangan menikah yang salah satunya melakukan konversi agama yaitu suami. Dalam

penelitian sebelumnya konflik-konflik yang terjadi dalam penyesuaian perkawinan

pasangan ini paling banyak berasal dari keluarga konversan. Bahkan ada keluarga yang

Page 20: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

14

tidak menganggap konversan menjadi salah satu anggota keluarganya karena konversi

agama yang mereka lakukan. Namun pelaku konversi agama tidak terlalu

mempermasalahkan konversi yang mereka lakukan karena faktor kefanatikan mereka.

Mereka tidak fanatik dalam menjalankan agamanya dan lebih memilih rasa cintanya

yang besar terhadap pasangan mereka. Bahkan mereka memutuskan untuk tetap

menikah tanpa restu dari salah satu keluarga pasangan karena tidak menyetujui

perkawinan yang terjadi. Dalam agama baru yang mereka anut pasti akan menimbulkan

perubahan-perubahan dalam kehidupan mereka dalam perkawinan dan hal-hal lainnya.

Dalam berkomunikasi, nilai-nilai, ideology, sosialisasi dan hal-hal lainnya akan

membutuhkan penyesuaian perkawinan antara pasangan tersebut.

METODE PENELITIAN

1. Metode Penelitian

Metode kualitatif dengan partisipan dalam penelitian ini adalah pasangan suami

istri yang suaminya melakukan konversi agama dengan usia perkawinan 1 sampai

10 tahun karena merupakan usia rawan perkawinan.

2. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah penyesuaian perkawinan pasangan yang salah satunya

melakukan konversi agama, dimana suami yang melakukan konversi agama.

3. Sumber Data Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui bagaimana gambaran

proses penyesuaian perkawinan pasangan yang salah satunya melakukan konversi

agama, maka sumber data adalah pasangan dengan kriteria sebagai berikut: (1)

sudah menikah; (2) konversi agama dilakukan sebelum menikah; (3) pelaku

konversi agama adalah laki-laki atau suami; (4) Usia perkawinan 1 hingga 10

Page 21: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

15

tahun. Sumber data dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dan observasi

berupa kata-kata dan simbol-simbol atau perilaku yang dimunculkan partisipan

dalam proses wawancara yang memiliki makna tertentu.

4. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara dan observasi.

5. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan selama hampir 1,5 bulan dari tanggal 30 Juli 2014 sampai

tanggal 12 September 2014. Wawancara berlangsung cukup lama karena kesulitan

dalam menentukan waktu untuk bertemu karena kesibukan partisipan. Penelitian ini

dilakukan di beberapa tempat yang berbeda, yaitu lapangan pancasila, kampus

UKSW, cafe dan rumah partisipan. Sebelum melakukan wawancara peneliti

menghubungi partisipan untuk menanyakan kesediaan partisipan dan juga untuk

menentukan waktu serta tempat untuk melakukan wawancara. Dalam penelitian ini,

data diperoleh dari suami dan istri.

Wawancara dengan partisipan dilakukan masing-masing dua kali. Waktu

yang digunakan untuk wawancara dalam pertemuan pertama 60 menit, pada

pertemuan kedua 30 menit. Peneliti membutuhkan dua pertemuan dalam

wawancara karena ingin menggali informasi dengan lebih spesifik, peneliti banyak

bertanya pertanyaan-pertanyaan yang mendalam dan menjadi poin-poin dalam

penyesuaian perkawinan menurut DeGenova & Rice (2005).

6. Analisis Data

Dalam penelitian ini, analisis data yang dilakukan yaitu: menjadikan satu seluruh

data atau penyatuan data; membuat catatan lapangan dalam bentuk verbatim

Page 22: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

16

wawancara; mengkategorisasikan dan mengklasifikasikan data berdasarkan aspek-

aspek penyesuaian perkawinan; analisis data.

7. Uji Keabsahan Data

Kriteria keabsahan data yang digunakan ialah triangulasi sumber dengan

memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu sebagai pembanding terhadap data

itu (Moleong, 2007), yaitu pasangan dan kerabat partisipan. Yang kedua ialah

member check, yang mana pemberi data menyepakati hasil penelitian (Sugiyono,

2010).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Partisipan 1

1. Identitas dan latar belakang

Partisipan adalah sepasang suami istri berinisial O yang pada awalnya beragama

Islam dan S beragama Khatolik. O berumur 30 tahun sedangkan S 28 tahun. Usia

perkawinan mereka 5 tahun dan dikaruniai dua orang anak. Mereka tinggal di kota

Salatiga, di tahun 2012 mereka memutuskan untuk bekerja di Bekasi dan menitipkan

kedua anak mereka pada orangtua masing-masing, namun O merasa tidak betah dengan

pekerjaannya di Bekasi dan memutuskan untuk kembali ke Salatiga bekerja sebagai E.O

karena lebih cocok bekerja dibidang seperti itu, sehingga sekarang mereka hidup

terpisah karena O berada di salatiga bersama anak dan keluarganya sedangkan S masih

bekerja di Bekasi.

Partisipan sama-sama anak kedua dari dua bersaudara, mereka bersahabat dari

kuliah kebetulan partisipan satu fakultas dan akhirnya memutuskan berpacaran selama

kurang lebih 3 tahun sampai akhirnya menikah. Walaupun partisipan berbeda agama

namun mereka tetap berpacaran secara terbuka dan diketahui oleh keluarga masing-

Page 23: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

17

masing. Keluarga masing-masing mendukung dan tidak melarang hubungan partisipan.

Pada awalnya S ingin menikah secara beda agama karena S tidak ingin berpindah

agama, S juga tidak ingin O pindah agama tapi tidak menjalankan agama barunya secara

baik namun akhirnya O memutuskan untuk pindah agama mengikuti agama S karena

menginginkan hanya terdapat satu agama saja pada keluarganya.

2. Hasil

Pada aspek yang pertama yaitu pembagian tanggung jawab perkawinan (sharing

marital responsibility), terdiri dari empat tugas penyesuaian.

1. Peran gender : O dan S saling bertukar peran dalam mengurus rumah tangganya

karena menurut O itu terjadi secara naluriah.

O : ‘...kalau pertukaran peran itu

memang ga ada perjanjian di awal

sih sebenernya tapi itu secara..

istilahnya secara naluriah udah

jalannya seperti itu..’

S : ‘...kita ya udah kompak sih kalo bisa

ngerjain ya dikerjain kecuali memang kita ga

bisa dan akan jadi acak-acakanlah kasarannya

gitu ya...’

2. Materi dan keuangan : O dan S sama-sama bekerja dan penghasilan O lebih

banyak digunakan dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya karena

O berada di Salatiga sedangkan S berada di Bekasi.

O : ‘...jarak ini saat ini uangnya kalau

yang dari aku memang aku simpen

sendiri dulu nanti kalau dia pulang

baru...’

S : ‘...ya itu paling sisa berapa baru yang udah

di cut untuk pengeluaran baru di transferin ke

aku paling gitu...’

3. Pekerjaan dan prestasi : Menurut O konversi agama tidak berpengaruh pada

pekerjaannya sekarang namun menurut S konversi agama yang dilakukan

suaminya tetap berpengaruh pada pekerjaannya sebagai guru di sekolah

Khatolik.

Page 24: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

18

O : ‘...kalau buat aku karena memang

pada dasarnya kebetulan dari dulu

pekerjaanku ga pernah ada sangkut

pautnya sama agama jadi ga belum

kebetulan belum pernah mengalami

konflik sih...’

S : ‘...kalo menurutku sedikit banyak akan

berpengaruh karenakan gini.. kan dia sempet

ngajar di sekolah khatolik.. kalo misalnya dia

tetep muslim pun ga akan ada kesempatan untuk

itu kan...’

4. Kekuatan / kekuasaan dan pengambilan keputusan : Status O dan S seimbang

namun dominan dalam hal-hal tertentu. Saat mengambil keputusan ada

komunikasi sebelumnya.

O : ‘...kalo pada dasarnya sih

seimbang cuman dalam beberapa hal

pasti adalah kalo yang dominan.. kalo

untuk pengambilan keputusan sih

pada dasarnya pasti diomongin

bareng...’

S : ‘...kalo aku sih ngelihatnya untuk hal-hal

tertentu memang salah satu lebih dominan.. so

far sih masing seimbang.. kalo saya sih tetep

diobrolin dulu karena itu juga komitmen...’

Pada aspek yang kedua yaitu komunikasi dan konflik (communication and

conflict), terdiri dari dua tugas penyesuaian.

1. Komunikasi : O dan S terbuka satu sama lain namun tetap mempunyai privasi

masing-masing.

O : ‘...walaupun seterbuka apapun

pasti dimanapun pasangan aku yakin

pasti juga ada satu hal yang disimpen

juga.. tapi kalau untuk secara umum

sih memang komunikasi terbuka...’

S : ‘...tingkat keterbukaannya kalo aku ke dia ya

masih 90 persen sih...’

2. Konflik dan pemecahan masalah : Menurut O sikap cuek atau tidak peduli O

menjadi pemicu konflik paling sering. Sedangkan menurut S masalah terbesar

yang dialami adalah masalah dengan keluarganya terutama pakdhenya.

O : ‘...kalo paling sering itu karena

kecuekanku yang memicu konflik...’

S : ‘...kalo aku ngerasain konflik malah pas aku

mau nikah itu kan yang dari pakdheku itu, kan

sedikit banyak kan bikin stres juga...’

Pada aspek yang ketiga yaitu seks dalam perkawinan (sex in marriage), terdiri

dari satu tugas penyesuaian.

Page 25: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

19

1. Penyesuaian seksual : Konversi agama yang dilakukan O tidak memengaruhi

penyesuaian seksual yang mereka lakukan. S merasa karena adanya anak susah

dalam menyisihkan waktu berdua bersama O.

O : ‘...aktivitas seksual itu kan

sebetulnya.. berbeda dengan agama..

dijadikan satu dengan agama

menurutku ga bisa.. jadi ga ada

pengaruhnya...’

S : ‘...kadang merasanya karena kita jauh

pengennya kalo pas lagi disini tu aku pengen

apa sih pergi berdua kek kemana gitu harusnya

kan jalan-jalan cuman ya itu ada selalu yang

ngintilin...’

Pada aspek yang keempat yaitu perubahan yang terjadi sepanjang waktu di

dalam kehidupan perkawinan (changes in marriage over time), terdiri dari lima

tugas penyesuaian.

1. Pemenuhan dan dukungan emosional : O merasa dirinya peka namun tertutupi

oleh sikap cuek. S merasa O sangat cuek bahkan menganggap semua laki-laki

cuek.

O : ‘...kalo untuk kepekaan aku..

punya kepekaan yang lebih dari orang

lain.. mungkin kembali lagi sikap

cuek’ku ini yang terkadang aku

sendiri juga bingung...’

S : ‘...karena pada dasarnya laki-laki itu tidak

peka.. aku ngambekpun dia ga nyadar malah

ngatain ngapain sih tiba-tiba marah dia

berasanya dia tidak punya salah apapun...’

2. Kebiasaan pribadi : Menurut O perubahan terbesar yang terjadi adalah

perubahan tanggung jawab. O dan S bersama-sama menyesuaikan dengan

kebiasaan masing-masing walau ada beberapa kebiasaan yang tidak disukai.

O : ‘...mungkin sikap tanggung

jawabnya yang jelas berubah.. dia

paling ga suka kebiasaan aku

merokok di depan dia

langsung..melarangnya istilahnya

ngasi pengertian-pengertian gitu dan

itupun juga berubah...’

S : ‘...ya biasanya masaknya kasarannya ni aku

kan kalo masak tomat kan bisa dua kalo orang

lain pake satu aku pake dua gitu dia suka

complain jadi sekarang tomat cuman separo

karena dia bener-bener ga suka makanan

asem...’

3. Kehidupan sosial, pertemanan dan hiburan : Konversi agama tidak berpengaruh

pada kehidupan sosial O namun hanya berpengaruh pada rutinitasnya saja.

Page 26: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

20

O : ‘...untuk kearah sosial kan ga

terlalu pengaruh karena prinsipku

sebetulnya semua agama sama hanya

tata caranya aja yang beda jadi kalo

untuk lingkungan sosial ga..

perubahannya paling lebih kearah

rutinitas keagamaan aja...’

S : ‘...kayaknya ga deh ya soalnya temen-temen

dia kan temen aku juga kita juga berangkat dari

agama yang berbeda-beda ga ada yang

masalahin juga si a atau si b pindah agama

atau gimana gitu...’

4. Keluarga : O merasa beruntung dapat berhubungan sangat dekat dengan

keluarga istrinya yaitu S, begitupun sebaliknya.

O : ‘...untuk keluarga aku sama

keluarga istriku itu memang

hubungannya udah deket sejak

pacaran.. mungkin dikatakan

beruntung juga.. memang dari awal

memang keluarga udah saling

mendukung...’

S : ‘...Baik sih aku deket sih sama keluarga dia..

emang udah deket gampang juga keluarga dia

atau keluarga aku tu gampang ga neko-neko

juga santai karena mungkin juga kan udah

kenal lama...’

5. Moral, nilai dan ideologi : O masih belajar dalam menyesuaikan dengan agama

yang baru karena masih kurang kesadaran dan terjadi pertentangan dalam

dirinya, sedangkan S membantu O mendalami agama barunya.

O : ‘...sampai sekarang mindsetku

memang masih ke mindset muslim..

pada saat belajar itu terkadang ada

pertentangan sendiri misalnya lebih

mementingkan hal lain daripada

belajar itu...’

S : ‘...harus sedikit agak memaksa dia buat ke

gereja aku suruh anterin daripada cuman

nganterkan ayolah ikut ibadah bentar...’

Partisipan 2

1. Identitas dan latar belakang

Partisipan adalah sepasang suami istri berinisial G yang pada awalnya beragama

Kristen dan S beragama Islam. G berumur 28 tahun dan S berumur 25 tahun. Usia

perkawinan mereka 3 tahun dan dikaruniai satu anak. Partisipan tinggal di Salatiga dan

keduanya bekerja. G adalah anak pertama dari lima bersaudara sedangkan S anak

pertama dari tiga bersaudara. Partisipan bersahabat dari kuliah, mereka satu fakultas dan

Page 27: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

21

merasa cocok dan akhirnya memutuskan untuk berpacaran selama 4 tahun sampai

memutuskan untuk menikah.

Pada 2 tahun awal hubungan pacaran mereka dijalani dengan backstreet tanpa

sepengetahuan orangtua mereka karena mereka tahu mereka berbeda agama, di tahun ke

tiga mereka memberanikan diri untuk berkata jujur pada orangtua masing-masing

tentang hubungan mereka. Penolakan terjadi pada kedua belah pihak keluarga masing-

masing namun setelah G memutuskan untuk melakukan pindah agama mengikuti agama

S, keluarga S mulai mau menerima keberadaan G sedangkan keluarga G masih tidak

dapat menerima sikap G yang melakukan pindah agama tapi lama kelamaan partisipan

memberi pengertian secara terus menerus dan keluarga G mau menerima keputusan G

dan semakin membaik dengan adanya anak dari perkawinan mereka.

2. Hasil

Pada aspek yang pertama yaitu pembagian tanggung jawab perkawinan (sharing

marital responsibility), terdiri dari empat tugas penyesuaian.

1. Peran gender : Ada kesepakatan diawal mengenai kesadaran dalam bertukar

peran dan mengurus rumah tangga.

G : ‘...kebetulan kita sama-sama ya

mengurus rumah tangga ya, bagi

peran ya imbanglah maksudnya saya

juga ngurus rumah tangga istri saya

juga...’

S : ‘...prinsip kami itu dikerjakan sama-sama

mbak jadi misalnya kita ga pandang itu

pekerjaan yang harus dikerjakan oleh istri

mana yang harus dikerjakan oleh suami...’

2. Materi dan keuangan : G dan S sama-sama bekerja, penghasilan keduanya

digabungkan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

G : ‘...penghasilan saya kasihkan ke

istri untuk mengatur penghasilan

itu...’

S : ‘...suami saya dapet berapa saya dapet

berapa kemudian uang itu nanti akhirnya di

gabung jadi baru saya melakukan pembagian

untuk pembayaran segala macemnya yang

harus dibayarkan setiap bulan..’’

Page 28: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

22

3. Pekerjaan dan prestasi : Bagi G dan S konversi agama tidak memengaruhi

pekerjaan G karena menurut S yang dilihat adalah performa kerjanya.

G : ‘...ga ada hubungannya sama

konversi agama, ya di tempat kerja ga

mempermasalahkan konversi agama

sih...’

S : ‘...ga sih mbak karena memang.. yang

penting itu performa kerjanya mbak bukan latar

belakang dari keluarga, darimana kita

berasal...’

4. Kekuatan / kekuasaan dan pengambilan keputusan : G dan S saling

menyeimbangkan status dan peran masing-masing. Dalam mengambil

keputusan selalu ada komunikasi sebelumnya.

G : ‘...ga ada ya kalo yang dominan

ya semua sama-sama sih seimbang-

seimbang aja.. kalo pengambilan

keputusan biasanya kami ngobrol

dulu...’

S :‘...kita sendiri berusaha saling

menyeimbangkan mbak jadi porsinya samalah..

kita komunikasi kita ngobrol jalan tengahnya

yang paling enak gimana kemudian yaudah kita

ambil keputusan...’

Pada aspek yang kedua yaitu komunikasi dan konflik (communication and

conflict), terdiri dari dua tugas penyesuaian.

1. Komunikasi : G dan S adalah pasangan yang selalu berusaha terbuka dalam

segala hal pada pasangannya.

G : ‘...kami pasangan yang selalu

berusaha untuk mengkomunikasikan

segala sesuatu...’

S : ‘...pokoknya selagi kita masih bisa saling

ngobrol banyak cerita ya ya kita cerita aja jadi

banyak-banyakin ngobrol ajalah...’

2. Konflik dan pemecahan masalah : G dan S belum pernah mengalami masalah

yang besar dalam perkawinan mereka. Biasanya pemicu konflik paling sering

adalah sikap pelupa dan teledor G.

G :‘...kebetulan sampai sekarang

belum pernah ada konflik yang besar-

besar kayak gitu.. paling masalah

teledor.. pelupa juga...’

S : ‘...alhamdulilah sampe sekarang ini ga ada..

untuk masalah teledor itu paling sering sih..

emang dari dulu teledornya yang bikin saya

cerewet...’

Page 29: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

23

Pada aspek yang ketiga yaitu seks dalam perkawinan (sex in marriage), terdiri

dari satu tugas penyesuaian.

1. Penyesuaian seksual : Konversi agama yang dilakukan G tidak memengaruhi

penyesuaian seksual yang mereka lakukan. Mereka melakukan hubungan

seksual pada saat yang sama-sama memungkinkan.

G :‘...ga mempengaruhi ya apa

masalah-masalah konversi agama itu

dengan aktivitas seksual.. ketika

pengen melakukan melakukan ketika

lagi sama-sama capek apa gamau

melakukan ya kita ga melakukan jadi

ga terpengaruh juga sih sama apa

hubungan konversi agama...’

S : ‘...ga kalo untuk itu masalah itu ga

mempengaruhi sama sekali.. kalo memang kami

memang sedang ingin melakukannya ya kami

lakukan tapi yang jelas memang ada

komunikasi dululah...’

Pada aspek yang keempat yaitu perubahan yang terjadi sepanjang waktu di

dalam kehidupan perkawinan (changes in marriage over time), terdiri dari lima

tugas penyesuaian.

1. Pemenuhan dan dukungan emosional : G mengekspresikan cintanya dengan

ucapan dan tingkah laku begitu juga dengan S. S menambahkan dengan

tanggung jawab pada keluarga seperti bertanggung jawab pada pekerjaan

masing-masing menjadi salah satu hal penting dalam mengekspresikan cinta.

G : ‘...sehari-hari paling ya kayak

bilang sayang atau ngasih pelukan-

pelukan ciuman...’

S : ‘...memang paling gampang kan lewat

kata-kata selain itu juga lewat tindakan

ditunjukan dengan tanggungjawab kami

masing-masing dengan pekerjaan dan

terhadap rumah tangga...’

2. Kebiasaan pribadi : Ada kebiasaan pribadi masing-masing tidak disukai oleh G

dan S. Alasan utama G dalam merubah kebiasaan merokoknya adalah dengan

adanya anak.

Page 30: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

24

G : ‘...sampai sekarang masih ada

kebiasaan-kebiasaan saya atau

kebiasaan dia yang ga disukai..

sambil belajar kita saling

menyesuaikan.. karena udah ada anak

ngerokok paling sudah ga di dalem

rumah...’

S : ‘...karena sekarang udah ada anak jadi dia

menghindari merokok di depan saya dan di

depan anak karena yang pertama memang saya

kurang suka dia merokok cuman karena apa ya

kebiasaan memang ga bisa hilang secara

langsung ya jadi memang butuh belajar...’

3. Kehidupan sosial, pertemanan dan hiburan : Konversi agama tidak berpengaruh

pada kehidupan sosial G namun menurut S hanya berpengaruh pada rutinitas

suaminya saja.

G : ‘...di kehidupan sosial juga

sebenernya ga ada pengaruhnya sama

pindah agama itu.. di lingkungan

perumahan ga mempermasalahkan

masalah pindah agama juga...’

S : ‘...perubahannya lebih ke waktu

beribadahnya aja sih lebih kesitu...’

4. Keluarga : Pada saat G melakukan konversi agama ada rasa kecewa dan

kehilangan dari keluarganya, terjadi kecanggungan keluarga G kepada S tanpa

diketahui oleh G, namun membaik saat adanya anak.

G : ‘...ga ada penyesuaian-

penyesuaian yang susah sebenernya

ketika saya memutuskan untuk pindah

agama dalam keadaan keluarga

mereka juga sudah bisa menerima

bisa menerima saya sudah ga kayak

dulu waktu pacaran...’

S : ‘...sekarang udah baik-baik aja sejak anak

saya lahir semuanya jadi lebih baik.. waktu

suami saya baru melakukan konversi agama

orangtua dia masih canggung.. ya ada

kekecewaan terus ada kayak rasa kehilangan

gitu...’

5. Moral, nilai dan ideologi : Peran istri sangat besar untuk G dalam belajar agama

barunya. Karena G memang melakukan konversi agama dengan sepenuh hati

maka G belajar agama barunya dengan tekun agar dapat memberikan contoh

kepada anaknya.

G : ‘...saya sudah mantep untuk

pindah agama.. istri juga membantu

sih sebenernya ketika ada hal-hal apa

hal-hal dalam agama islam itu...’

S : ‘...suami saya udah niat jadi tetep saya

disini mendampingi dia untuk belajar untuk kita

bertumbuh bersama...

Page 31: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

25

PEMBAHASAN

Dengan melihat kembali pada tujuan penelitian yaitu melihat gambaran mengenai

penyesuaian perkawinan pasangan yang salah satunya melakukan konversi agama

dalam penelitian ini suami yang melakukan konversi agama, berikut merupakan ulasan

dari kedua partisipan.

Pembagian tanggung jawab perkawinan (sharing marital responsibility)

Dalam aspek ini terdiri dari empat tugas penyesuaian yang akan diulas yaitu

peran gender, materi dan keuangan, pekerjaan dan prestasi, serta kekuatan / kekuasaan

dan pengambilan keputusan. Dari empat tugas penyesuaian tersebut banyak kesamaan

yang dialami oleh partisipan 1 dan 2. Dalam konteksnya dengan peran gender

Hoffman & Nye (dalam Anjani & Suryanto, 2006) berpendapat bahwa wanita biasanya

ditugaskan untuk mengurus rumah tangga, mengasuh dan merawat anak karena

dianggap cocok bagi kondisi psikologis dan fisiologis. Laki-laki sebagai pemberi nafkah

utama dan kepala keluarga yang harus dilayani dan dihormati oleh istri. Pendapat

tersebut tidak dilakukan oleh kedua partisipan. Kedua partisipan hampir sama dalam hal

mengurus rumah tangga, keduanya sama-sama melakukan pertukaran peran dalam

mengurus rumah tangga.

Pada partisipan 1 pertukaran peran dilakukan karena sudah terbiasa dengan

pertukaran peran yang dilakukan orangtua masing-masing terutama orangtua istri,

mereka merasa jika ada waktu kosong dan salah satu dapat membantu pekerjaan

pasangan yang lain kenapa tidak dilakukan. Saat anak mereka masih bayi partisipan

pernah bergantian bertugas menjaga anak mereka, sang istri terus bangun dari jam 9

malam sampai jam 3 pagi setelah itu istri tidur dan anak mereka gantian diurus oleh

suami. Partisipan 1 beraganggapan bahwa pertukaran peran dapat menjadi sarana

Page 32: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

26

bekerjasama bagi mereka, perbedaan pendapat bagi mereka adalah hal yang wajar

dalam pertukaran peran yang mereka lakukan.

Kondisi tersebut hampir sama dengan apa yang dialami partisipan 2. Partisipan 2

berprinsip bahwa segala hal dilakukan secara bersama-sama, tidak ada yang namanya

pekerjaan istri atau pekerjaan suami. Partisipan 2 bersama-sama membagi tugas mereka

dengan imbang, keduanya mengurus rumah tangga dan juga mengurus anak. Saat istri

belum sempat membersihkan rumah dan suami bisa mengerjakan, suami akan

mengerjakan begitupun dengan masalah dapur entah memasak atau cuci piring suami

mau melakukannya. Namun dengan hal tersebut tidak membuat istri menjadi

menyerahkan semua tugasnya kepada suami namun tetap menjalankannya bersama-

sama.

Dalam konteksnya dengan materi dan keuangan, sumber keuangan partisipan

1 berasal dari keduanya. Suami dan istri sama-sama bekerja, namun tempat kerja

mereka berjauhan membuat mereka terpisah dalam masalah tempat tinggal. Suami

bekerja di Salatiga sedangkan istri bekerja di Bekasi. Karena keduanya bekerja mereka

beranggapan bahwa penghasilan mereka milik bersama. Penghasilan yang biasa

dikeluarkan untuk kebutuhan rumah tangga adalah penghasilan dari suami karena suami

yang ada di Salatiga dan tinggal bersama anak-anak mereka, setelah kebutuhan anak-

anak mereka tercukupi biasanya suami mengirim uangnya untuk istri di Bekasi sebagai

tambahan uang jajan karena suami menganggap penghasilan istri di Bekasi sudah cukup

untuk kehidupan istri disana. Sebelum mereka terpisah karena pekerjaan, istri yang

mengatur semua keuangan untuk kebutuhan rumah tangga mereka.

Sama halnya dengan yang dialami oleh partisipan 2, keduanya sama-sama

bekerja dan mempunyai penghasilan. Dalam mengatur keuangannya partisipan

Page 33: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

27

menggabungkan penghasilan mereka yang akan diatur untuk kebutuhan rumah tangga

mereka, dalam hal ini yang mengatur keuangan adalah istri. Sampai saat ini partisipan

belum mengalami masalah dalam keuangan malah mereka bisa menyisihkan

penghasilan mereka untuk ditabung.

Dalam konteksnya dengan pekerjaan dan prestasi, partisipan 1 merasa

konversi agama yang Ia lakukan tidak mempengaruhi pekerjaannya saat ini namun

berpengaruh pada pekerjaan-pekerjaan tertentu misalnya saat partisipan bersama-sama

bekerja di sekolah khatolik di Bekasi, jika suami tidak melakukan konversi agama maka

ia tidak akan bisa diterima bekerja disana. Namun suami merasa tidak cocok dan

memilih kembali bekerja di Salatiga sebagai E.O dan istrinya masih bekerja di Bekasi

sebagai guru. Dengan pekerjaannya sekarang partisipan sudah merasa nyaman namun

keduanya menegaskan untuk berniat mencari pekerjaan yang lain. Bagi suami

pekerjaannya sekarang belum sesuai dengan ekspektasinya, ia menginginkan pekerjaan

yang Ia sendiri yang menentukan waktunya sedangkan istri ingin pindah kerja yang

jarak tempatnya lebih dekat dengan keluarganya.

Partisipan 2 juga berpendapat bahwa konversi agama yang dilakukan suami

tidak mempengaruhi mereka dalam pekerjaannya saat ini. Mereka merasa tidak ada

hubungan antara konversi agama dengan pemilihan pekerjaan mereka karena yang

dinilai adalah performa kerja mereka di tempat kerja mereka. Bekerja juga menjadi

salah satu cara untuk memperlihatkan bentuk tanggungjawab partisipan terhadap

keluarga mereka. Namun karena sibuk bekerja partisipan menjadi kurang dalam waktu

bertemu dan mengurus anak mereka, maka setiap hari minggu menjadi hari wajib bagi

partisipan dan anaknya berkumpul bersama entah pergi keluar atau hanya dirumah tanpa

ada kesibukan lain.

Page 34: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

28

Dalam konteksnya dengan kekuatan / kekuasaan dan pengambilan

keputusan, partisipan 1 mempunyai keseimbangan dalam peran masing-masing. Tidak

ada yang terlalu dominan diantara keduanya dan sesuai porsinya masing-masing.

Misalnya dalam mengajari anak belajar biasanya dilakukan oleh istri sedangkan suami

biasanya mengurusi barang-barang elektronik. Dalam mengambil keputusan memang

biasanya ada pembicaraan terlebih dahulu namun istri merasa suami berpikir lebih logis

dibanding dirinya sedangkan istri lebih kepada perasaan, maka istri merasa lebih baik

suami yang memutuskan sesuatu dibanding dirinya walaupun sebelumnya pasti ada

pembicaraan antara mereka berdua.

Keseimbangan peran juga dialami oleh partisipan 2. Mereka saling

menyeimbangkan dalam status dan peran masing-masing dalam rumah tangga. Tidak

ada yang lebih dominan diantara suami atau istri. Namun partisipan 2 memiliki waktu

tertentu dalam berkomunikasi lebih serius, biasanya mereka menyempatkan waktu

sebelum tidur untuk sharing dan berkomunikasi satu sama lain mengenai apa yang

terjadi pada hari itu. Dalam mengambil keputusan partisipan 2 selalu berkomunikasi

terlebih dahulu namun jika salah satu harus mengambil keputusan secara cepat maka

ada pemberitahuan sebelumnya kepada salah satu pasangan melalui pesan sms atau

telepon dan pasangan yang lain berusaha untuk menerima keputusan pasangangannya.

Komunikasi dan konflik (communication and conflict)

Dalam aspek ini terdiri dari dua tugas penyesuaian yang akan diulas yaitu,

komunikasi dan konflik, pemecahan masalah. Dalam konteksnya dengan komunikasi,

Menurut Bower (1992, dalam Pudjiastuti & Mira, 2012) asertif diperlukan dalam

komunikasi. Asertivitas adalah kemampuan individu dalam bertingkah laku yang

menunjukkan adanya keberanian untuk secara jujur dan terbuka mengekspresikan

Page 35: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

29

kebutuhan, perasaan dan pikiran apa adanya tanpa menyakiti orang lain. Hal inilah yang

terjadi pada kedua partisipan.

Partisipan 1 terbuka dalam berkomunikasi namun mereka juga punya privasi

yang mereka simpan sendiri tanpa diketahui oleh pasangan, bagi mereka hal tersebut

adalah hal biasa yang dilakukan oleh setiap pasangan. Suami adalah pribadi yang

bersikap acuh sedangkan istri adalah orang yang lebih mementingkan perasaannya, saat

istri marah akan suatu hal yang dilakukan suami terkadang suami tidak tahu kesalahan

apa yang dia lakukan karena sifat acuhnya, hal itu pada awalnya mengganggu istri

namun lama-kelamaan istri menjelaskan dengan baik tanda-tanda pada saat dia marah

apa yang dia lakukan, suami harus melakukan apa dan akhirnya suami mau belajar dan

tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Bagi partisipan 1 seseorang yang sudah

menikah itu tidak harus selalu menjadi suami istri, namun dapat memerankan menjadi

teman atau pacar itu juga hal yang penting bagi mereka. Sikap saling mendengarkan

juga ada pada hubungan mereka, bagi mereka mendengarkan adalah salah satu hal yang

terpenting dalam suatu hubungan.

Sedikit berbeda dengan yang dialami oleh partisipan 2, mereka berusaha selalu

terbuka dalam berkomunikasi dan tidak ada rahasia diantara mereka. Segala hal selalu

diobrolkan terlebih dahulu, dalam memutuskan suatu hal masalah anak ataupun masalah

rumah tangga. Jadi partisipan 2 adalah pasangan yang selalu mengkomunikasikan

segala hal pada pasangannya tidak hanya dilakukan secara langsung namun juga melalui

media elektronik yang sekarang mempermudah komunikasi antara mereka. Bagi mereka

sikap saling mendengarkan juga menjadi hal yang penting dalam sebuah hubungan

namun untuk mencapai sikap mendengarkan yang baik mereka juga melalui proses

belajar yang dilalui dari pacaran hingga sekarang mereka telah menikah.

Page 36: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

30

Dalam konteksnya dengan konflik, pemecahan masalah, partisipan 1 merasa

keacuhan suami menjadi pemicu konflik yang sering terjadi dalam kehidupan mereka.

Namun hal itu tidak menimbulkan masalah besar bagi kehidupan perkawinan mereka,

yang masih segar teringat dalam ingatan istri adalah sikap pakdhe istri yang

membuatnya sempat stres karena pakdhenya menunjukan sikap tidak suka dengan

perkawinan secara khatolik yang mereka lakukan dahulu yang membuat mereka saling

tidak enak karena mereka adalah anggota keluarga berbeda jika mereka adalah orang

diluar keluarga partisipan.

Dalam menyelesaikan konflik yang terjadi mereka selalu berkomunikasi, jika

keadaan sedang tidak enak untuk berkomunikasi maka mereka memilih untuk diam

namun nanti ada waktu dimana mereka akan membicarakan dan menyelesaikan masalah

tersebut. Dalam menyelesaikan konflik mereka tidak pernah meminta bantuan pada

keluarga besar hanya bercerita pada teman dekat namun mereka tetap memutuskan

sendiri apa yang harus dilakukan untuk permasalahan mereka.

Kondisi tersebut hampir sama dengan yang dialami oleh partisipan 2, menurut

mereka belum pernah ada masalah yang besar dalam perkawinan mereka. Biasanya

yang menjadi pemicu konflik paling sering adalah sikap-sikap teledor dan pelupa suami

seperti lupa menyimpan barang atau menaruh barang sembarangan. Hal-hal lain yang

menjadi pemicu konflik biasanya adalah perbedaan pendapat diantara keduanya namun

bagi mereka hal tersebut adalah biasa dialami oleh orang dalam berumah tangga. Dalam

menyelesaikan konflik partisipan 2 selalu mengkomunikasikannya bersama,

mengindentivikasikan penyebab konflik dengan merunut kebelakang apa yang menjadi

penyebab-penyebab konflik yang mereka alami dan sama dengan partisipan 1,

partisipan 2 juga tidak meminta bantuan kepada keluarga besar hanya bercerita pada

Page 37: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

31

teman-teman dekat mereka namun pertimbangan terbesar partisipan dalam

menyelesaikan masalah adalah pendapat dari pasangan masing-masing.

Seks dalam perkawinan (sex in marriage)

Dalam aspek ini akan mengulas tentang penyesuaian seksual. Partisipan 1

merasa bahwa konversi agama yang Ia lakukan tidak mempengaruhi aktivitas seksual

yang mereka lakukan. Menurut partisipan aktivitas seksual dan agama itu sesuatu yang

berbeda walaupun di agama suami yang dulu ada beberapa peraturan tertentu untuk

berhubungan seksual namun menurut partisipan itu hanya sebuah norma dan tidak bisa

dijadikan satu dengan agama. Beardsley dan Stanford (1994, dalam Anjani & Suryanto,

2006) menyatakan bahwa suami istri yang telah memiliki anak akan lebih mencurahkan

kasih sayangnya kepada anak sehingga tidak waktu untuk bersama dengan pasangan.

Hal tersebut terjadi pada partisipan, menurut partisipan aktivitas seksualnya terpenuhi

dengan baik namun sekarang karena adanya anak partisipan agak kesulitan dalam

menyisihkan waktu untuk bersama atau sekedar keluar bersama berdua pasti ada anak

mereka ikut bersama mereka. Partisipan terutama istri ingin sekali untuk hanya berdua

bersama suami sekedar keluar makan atau ngobrol bersama namun kesusahan untuk

menentukan waktu tersebut. Kunci dalam aktivitas seksual partisipan 1 ialah adanya

komunikasi agar dapat saling belajar satu sama lain dan tidak ada paksaan.

Konversi agama juga tidak mempengaruhi aktivitas seksual yang dilakukan oleh

partisipan 2. Mereka bersama saling berkomunikasi tentang aktivitas seksual agar dapat

belajar satu sama lain. Partisipan 2 melakukan aktivitas seksual jika memang ingin

dengan keadaan yang sama-sama memungkinkan. Keadaan yang sama-sama

memungkinkan tersebut biasanya disaat keduanya tidak lelah dengan pekerjaannya,

tidak banyak pikiran dan yang pasti tidak mengganggu mereka dalam mengurus anak

Page 38: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

32

mereka. Jika salah satu tidak ingin melakukan pasti ada obrolan sebelumnya ataupun

ketika aktivitas seksual itu dilakukan dengan keadaan yang tidak nyaman maka setelah

hubungan seksual dilakukan selalu ada komunikasi setelahnya.

Perubahan yang terjadi sepanjang waktu di dalam kehidupan perkawinan

(changes in marriage over time)

Dalam aspek ini terdiri dari lima tugas penyesuaian yang akan diulas yaitu,

pemenuhan dan dukungan emosional, kebiasaan pribadi, kehidupan sosial, pertemanan,

rekreasi dan hiburan, keluarga serta moral, nilai dan ideologi. Dalam konteksnya

dengan pemenuhan dan dukungan emosional pada partisipan 1 antara suami dan istri

terdapat saling berbeda pendapat mengenai masalah kepekaan, suami berpendapat

bahwa dirinya adalah orang yang sangat peka bahkan saat terjadi masalah suami sudah

tahu apa yang menjadi penyulut masalah tersebut namun karena sikapnya yang sangat

cuek membuat istrinya merasa bahwa suami adalah pribadi yang sangat tidak peka

bahkan istri merasa bahwa laki-laki itu memang dasarnya tidak peka sehingga membuat

istri lebih mengalah dan memberi tahu tanda-tanda pada saat istri sedang marah atau

sedang ada masalah bagaimana sikap yang harus dilakukan oleh suami. Partisipan 1

tidak terlalu suka untuk mengekspresikan rasa cintanya secara verbal lebih pada tingkah

laku seperti sentuhan dan ciuman. Dukungan penuh diberikan partisipan 1 terhadap

pekerjaan, cara mendidik anak dan masalah dengan keluarga.

Kondisi yang hampir sama dialami oleh partisipan 2, istri merasa bahwa suami

adalah pribadi yang kurang peka dalam memahami perasaan, sering banyak terjadi salah

paham diantara keduanya dalam menghadapi konflik yang terjadi, misalnya saat istri

sedang ada masalah dan memilih untuk diam suami tidak mengerti apa arti dari sikap

diam tersebut dan akhirnya suami terus bertanya apa yang terjadi pada istri dan akhirnya

Page 39: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

33

mereka bertengkar walaupun tidak berlangsung lama. Partisipan 2 mengekpresikan

cintanya melalui kata-kata, sentuhan dan ciuman. Bagi partisipan 2 dukungan yang

diberikan pada pasangan dapat diperlihatkan dengan bentuk tanggung jawab diri sendiri

pada keluarga dan pasangan, misalnya dalam tanggung jawabnya dengan pekerjaannya,

tanggung jawabnya dalam mengurus rumah tangga dan anak-anak secara bersama-sama.

Dalam konteksnya dengan kebiasaan pribadi, Rini (2002, dalam Anjani &

Suryanto, 2006) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi penyesuaian

perkawinan adalah persatuan dua pribadi yang berbeda, yang didalamnya akan banyak

terdapat perbedaan yang muncul. Hal tersebut terjadi pada kedua partisipan dalam

masalah kebiasaan pribadi pasangan masing-masing. Partisipan 1 merasa perubahan

yang terbesar adalah perubahan dalam tanggung jawab. Memang ada kebiasaan-

kebiasaan masing-masing yang tidak disukai pasangan, misalnya kebiasaan suami

merokok sedangkan kebiasaan istri saat bertemu teman-temannya dan pulang lupa

waktu. Kebiasaan-kebiasaan tersebut dirubah oleh partisipan entah dengan

kesadarannya sendiri atau dengan masukan dari salah satu pasangan untuk kebaikan

rumah tangga mereka. Partisipan 1 menyadari bahwa perubahan tersebut tidak langsung

terjadi namun dengan proses dan masih belajar hingga hubungan mereka sekarang.

Pada partisipan 2 juga terjadi hal yang sama dalam kebiasaan pribadi. Masing-

masing pasangan mempunyai kebiasaan pribadi yang tidak disukai satu sama lain.

Misalnya suami dengan keteledoran dan sifat pelupanya sehingga sering timbul

masalah-masalah kecil karena sikap tersebut sedangkan istri dengan kebiasaan

menonton televisi sampai malam yang sering mengganggu istirahatnya. Kebiasaan yang

tidak disukai tersebut juga dirubah oleh partisipan untuk kebaikan rumah tangga dan

keluarga mereka. Partisipan 2 mengganggap bahwa jika seseorang sudah berkeluarga

Page 40: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

34

maka kebiasaan buruk tersebut sudah menjadi satu paket yang harus diterima oleh

masing-masing pasangan sehingga bagaimana caranya dapat mengurangi kebiasaan

buruk tersebut dan lebih baik juga dapat dihilangkan, tidak harus secara langsung

namun tetap berproses.

Dalam konteksnya dengan kehidupan sosial, pertemanan, rekreasi dan

hiburan, partisipan 1 merasa bahwa konversi agama yang dilakukannya tidak

mempengaruhi dalam kehidupan sosialnya namun hanya berubah dalam segi rutinitas

saja misalnya saat dulu suami belum pindah agama ada kegiatan-kegiatan pemuda

masjid di hari-hari tertentu dan juga hari raya tertentu dan sekarang sudah tidak

melakukan hal tersebut karena pindah agama yang ia lakukan. Partisipan 1 mengenal

dengan baik teman-teman masing-masing pasangan karena mereka bersahabat dari

bangku kuliah dan juga menyisihkan waktu untuk saling bertemu jika istri pulang saat

liburan dari Bekasi. Belum pernah ada konflik yang besar dengan teman-teman

partisipan, mereka juga tidak memberikan batasan-batasan tertentu dalam pertemanan

hanya batasan mengenai status perkawinan mereka seperti dengan adanya anak ada jam-

jam tertentu untuk bertemu dan berkumpul bersama teman-teman partisipan.

Konversi agama juga tidak mempengaruhi kehidupan partisipan 2, hanya

perubahan dalam rutinitas dalam beribadah. Ada juga beberapa kegiatan baru yang

dilakukan suami setelah konversi agama yang ia lakukan seperti bakti sosial di masjid,

kampung dan lingkungan sekitarnya. Mengenai pertemanan, karena partisipan 2 juga

bersahabat dari kuliah mereka saling mengenal teman-teman masing-masing pasangan.

Batasan-batasan yang ada dalam partisipan 2 juga mengenai permasalahan waktu

bertemu dengan teman-teman karena ada hal yang lebih penting seperti keluarga dan

anak yang harus diurus, jangan sampai salah satu pasangan meninggalkan kewajiban

Page 41: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

35

tersebut untuk hanya menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Partisipan 2 juga

menyempatkan waktu untuk bertemu teman-temannya sehingga hubungan terjalin baik

diantara keduanya.

Dalam konteksnya dengan keluarga, partisipan 1 merasa sudah dekat satu

sama lain dengan keluarga masing-masing. Dari awal pacaranpun penyesuaian mereka

tidak mengalami banyak kendala, bahkan partisipan merasa beruntung mempunyai

keluarga seperti keluarga mereka masing-masing karena dari awal partisipan bisa

sedekat itu dengan keluarga pasangan seperti keluarga sendiri. Suami juga merasa

bahwa ada faktor agama juga di dalam kedekatannya dengan keluarga pasangan karena

hanya keluarga inti pasangan saja yang beragama Khatolik sedangkan keluarga

besarnya beragama Islam dan juga faktor ibu istri juga pernah melakukan konversi

agama, hal tersebut membuat suami menjadi lebih gampang melakukan penyesuaian

dengan keluarga istri.

Kondisi tersebut berbeda dengan yang dialami oleh partisipan 2. Partisipan 2

merasa banyak kendala yang mereka hadapi dalam keluarga masing-masing. Hal

tersebut diperlihatkan dengan masa pacaran mereka selama 2 tahun dengan keadaan

yang backstreet atau sembunyi-sembunyi. Namun akhirnya mereka berani untuk

terbuka dengan keluarga masing-masing sampai akhirnya suami memutuskan untuk

pindah agama. Masalah tidak berhenti disitu saja namun ada rasa kekecewaan dan

kehilangan dari keluarga suami atas konversi agama yang suami lakukan. Masih banyak

beda pendapat antara partisipan dan orangtua suami dan istri merasa ada kecanggungan

yang terjadi antara orangtua suami kepada istri selama 2 tahun perkawinan.

Kecanggungan tersebut hanya dirasakan oleh istri namun ia tidak

menceritakannya pada suami karena suami diam saja dan istri berusaha untuk tidak

Page 42: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

36

membuat hal itu menjadi masalah. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gunarsa (1982,

dalam Anjani & Suryanto, 2006) yang menyatakan bahwa mertua ataupun orangtua

merasa bahwa hak-hak atas anaknya direbut oleh menantunya dan sering terjadi

perebutan cinta kasih antara mertua dan menantu. Persaingan ini bisa meruncing dan

bisa menimbulkan percekcokan. Namun kecanggungan tersebut berkurang setelah

mereka mempunyai anak dan terus menjalin komunikasi yang baik dengan orangtua

masing-masing.

Dalam konteksnya dengan moral, nilai dan ideologi, menurut Paolutzian

(1996, dalam Ardhini, Abidin & Dinie, 2012) konversi agama akan membuat seluruh

kehidupan seseorang berubah selama-lamanya, karena pada dasarnya konversi agama

merupakan perubahan mendasar dan penataan ulang identitas diri, makna hidup juga

aktivitas seseorang. Hal tersebut terjadi pada kedua partisipan, partisipan 1 terutama

suami masih membutuhkan waktu yang cukup lama untuk belajar lebih tentang agama

baru yang partisipan anut. Masih banyak mindset-mindset yang melekat tentang

agamanya yang lama.

Menurut partisipan pengetahuannya tentang agama barunya masih belum cukup

dalam dan proses belajarnya juga masih berlanjut sampai sekarang. Suami juga merasa

bahwa masih kurang kesadaran dan ada pertentangan dalam dirinya dalam belajar

agama barunya. Misalnya saat waktunya mempelajari agama ada teman-temannya

datang Ia memilih untuk berkumpul bersama teman-temannya dan masih mementingkan

hal lain daripada belajar agama barunya. Partisipan saling mengajarkan nilai-nilai

keagamaan dan mendidik anaknya pada satu tujuan walaupun tujuan dari masing-

masing individu berbeda namun bagaimana cara mereka untuk mengharmonisasikan

Page 43: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

37

dan membuat satu tujuan yang sama untuk kebaikan keluarga mereka terutama anak-

anaknya.

Pada partisipan 2, istri dan keluarga istri bersama-sama mendampingi suami

dalam belajar dan menjalankan agama baru yang suami anut. Proses penyesuaian juga

masih berjalan hingga sekarang, karena suami pindah agama menjadi islam maka ia

harus menjalankan kewajiban-kewajibannya di agama Islam seperti menjalankan puasa

yang sampai sekarang suami masih merasa belum sempurna karena masih belum dapat

menjalankannya sebulan penuh. Karena suami melakukan konversi agama sepenuh hati

maka ia berusaha untuk lebih mengetahui dan mau belajar tentang agamanya dengan

tekun apalagi sebagai kepala keluarga ia juga harus mengajarkan nilai-nilai agama

untuk anaknya.

Istri sangat berperan besar dalam perubahan-perubahan besar terutama masalah

agama yang dianut suami saat ini. Sama dengan yang dialami partisipan 1, partisipan 2

juga punya tujuan hidup masing-masing namun mereka mencoba untuk berkomunikasi

dan mengharmonisasikannya agar berjalan bersama dan menetapkan satu tujuan yang

baik untuk kebahagiaan keluarga mereka.

Dari pembahasan tersebut, didapatkan hasil yang hampir sama dalam sebagian

besar aspek dan ada juga perbedaan dalam aspek-aspek tertentu. Kesamaan hasil

tersebut karena kedua partisipan mempunyai beberapa cerita dalam kehidupannya yang

sama misalnya latar belakang pertemanan mereka dari masa kuliah, keterbukaan dalam

komunikasi dan bagaimana mereka menyikapi sebuah agama. Sedangkan perbedaan

kedua partisipan karena latar belakang keluarga, umur perkawinan dan juga kesadaran

akan diri sendiri.

Page 44: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

38

KESIMPULAN

1. Konversi agama tidak mempengaruhi penyesuaian perkawinan kedua partisipan

dalam aspek-aspek tertentu karena kedua partisipan mempunyai cara pandang yang

sama dalam menyikapi sebuah agama.

2. Kedua partisipan memandang sebuah perbedaan agama hanya dari tata cara

beribadahnya dan mempercayai bahwa Tuhan hanya satu.

3. Perubahan yang terjadi dalam konversi agama yang partisipan lakukan adalah

perubahan dalam rutinitas dalam menjalankan agama baru partisipan.

4. Keduanya melakukan konversi agama dengan sepenuh hati namun perbedaan yang

terlihat jelas adalah dari partisipan 1 yang masih kurang dalam kesadaran dirinya

untuk belajar tentang agama barunya dan terjadi pertentangan dalam dirinnya

sedangakan partisipan 2 giat dalam belajar agama barunya.

5. Keluarga mempunyai peran besar dalam masalah-masalah yang timbul dalam

penyesuaian parkawinan mereka terutama pada partisipan 2.

SARAN

Saran yang dapat peneliti berikan dari penelitian ini antara lain:

Untuk penelitian selanjutnya, hasil penelitian menunjukan bahwa penyesuian

kedua partisipan sudah berjalan baik namun masih kurang dalam jumlah partisipan,

variasi individu yang melakukan konversi agama dan informasi mengenai keluarga dan

kerabat dekat partisipan. Peneliti merekomendasikan untuk menambah jumlah

partisipan dengan umur perkawinan dan individu yang melakukan konversi agama yang

berbeda-beda serta melakukan wawancara singkat dengan keluarga masing-masing

terutama keluarga partisipan yang melakukan konversi agama mengenai penyesuaian

pasangan dan keluarga masing-masing.

Page 45: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

39

DAFTAR PUSTAKA

Ardhini, R., Abidin. Z., & Dinie. R. D. (2012). Adjustment of mualaf adolescence.

Jurnal Psikologi, 1(1). Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang.

Diunduh 18 January, 2014 dari http://ejournal-

s1.undip.ac.id/index.php/empati/article/download/468/466

DeGenova, M. K., & Rice, F. P. (2005). Intimate, relationship, marriages and family

(6th

Ed). USA: McGraw Hill.

Duvall, E. M., & Miller, B. C. (1985). Marriage and family development. (9thEd). NY:

Harper & Row publishers.

Dwisaptani. R. & Jenny L. S. (2008). Konversi agama dalam kehidupan pernikahan.

Jurnal Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Ciputra, Surabaya. Diunduh 18

January, 2014 dari http://jurnal.ugm.ac.id/index.php/jurnal-

humaniora/article/view/948/795

Dyer, E. D. (1983). Courtship, marriage, and family: American style. Illionis: The

Dorsey Press.

Goel. S., Narang. D. K., & Kavita. K. (2013). Marital adjustment and mental health

among bank employees and doctors during middle age (40-55 years) in Delhi.

International Journal of Scientific and Research Publications, 3(1). University of

New Delhi & University of Rajashtan, Jaipur. Diunduh pada 5 April, 2014 dari

http://www.ijsrp.org/research-paper-1301/ijsrp-p1326.pdf

Hamamci, Z. (2005). Dysfunctional relationship beliefs in marital satisfaction and

adjustment. International Journal Social Behavior & Personality, 33(4), 313-328,

University of Giantep, Turkey.

Hurlock, E.B. (2002). Psikologi Perkembangan 5th

edition. Erlangga: Jakarta

Khasanah, K. (2008). Pengaruh konversi agama terhadap keharmonisan keluarga (Studi

kasus di kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang). Skripsi. Semarang: Institut

Agama Negeri Walisongo, Fakultas Ushuluddin. Diunduh 18 January, 2014 dari

http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/76/jtptiain-gdl-khadirotul-3779-1-

4102039-p.pdf

Kompas.com. Diunduh pada 14 Maret, 2014 dari

http://regional.kompasiana.com/2013/11/14/dipolisikan-fpi-karena-mengaku-

kristen-etiskah-konversi-agama-dilakukan-tersembunyi-610693.html

Kompasforum.com. Diunduh pada 14 Maret, 2014 dari

http://forum.kompas.com/keluarga/14809-perkawinan-beda-agama-8-print.html

Lewis, R. R (1993). Understanding religius conversion. London: Yale Univercity Press.

Makalew, J. M. (2013). Akibat hukum dari perkawinan beda agama di Indonesia. Jurnal

Psikologi.

Page 46: Penyesuaian Perkawinan Pasangan yang Salah Satunya

40

Ngantung, G. N. (2012). Penyesuaian perkawinan pada mahasiswi yang menikah karena

hamil diluar nikah. Skripsi. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga,

Fakultas Psikologi.

Prabowo, M. R. (2006). Penyesuaian perkawinan pada pasangan yang berlatar belakang

etnis batak dan etnis jawa. Skripsi. Jakarta: Universitas Gunadarma, Fakultas

Psikologi. Diunduh 18 January, 2014 dari

http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2006/artikel_105

00255.pdf

Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia

(3rd

Ed). Jakarta: LPSP3 Universitas Indonesia.

Pudjiastuti, E. & Mira, S. (2012). Hubungan antara asertivitas dengan penyesuaian

perkawinan pasangan suami istri dalam usia perkawinan 1-5 tahun di Kecamatan

Coblong. Jurnal Psikologi, 3(1), Fakultas Psikologi, Universitas Islam, Bandung.

Sukiman. (2005). Konversi agama (Studi kasus pada dua keluarga di dusun Pasekan

Maguwoharjo, Depok, Sleman). Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama 6(1). Diunduh

18 Januari, 2014 dari http://digilib.uin-

suka.ac.id/8315/1/sukiman%20konversiagama%20%28studi%20kasus%20pada%2

0dua%20keluarga%20di%20dusun%20pasekan%20maguwoharjo%20depok,%20sl

eman%29.pdf

Suryanto. C. A. (2006). Pola penyesuaian perkawinan pada periode awal. Skripsi.

Surabaya: Universitas Airlangga Surabaya, Fakultas Psikologi. Diunduh 10

Oktober, 2013 dari http://journal.unair.ac.id/filerPDF/05%20-

20Pola%20Penyesuaian%20Perkawinan%20pada%20periode%20Awal.pdf

Suryani, L. K. & Cokorda, B. J. L. (2007). Mengatasi badai kehidupan perkawinan.

Intisari seri psikologi. Jakarta: PT Intisari Mediatama.

Walgito, B. (2000). Bimbingan & Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Andi.

Wismanto, B. (2005, 22 Agustus). Kepuasaan perkawinan diperoleh dari komitmen

perkawinan. Diunduh 10 Oktober 2013 dari

http://www.unika.ac.id/warta/22082005.htm.