penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal
DESCRIPTION
PerpajakkanTRANSCRIPT
PERBEDAAN LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL DAN LAPORAN KEUANGAN
FISKAL
I. Perbedaan Konsep Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal
Perbedaan konsep laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiscal
terdapat pada:
1. Perbedaan Konsep Penghasilan (Pendapatan)
Penghasilan (Income) menurut IAI (2007:13), adalah ”Kenaikan manfaat
ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau
penambahan aset atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan
ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal”.
Dari sisi fiskal, konsep penghasilan tidak jauh berbeda dengan konsep
akuntansi, yaitu: Segala tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima/diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari
Luar Indonesia yang bisa dikonsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak
dengan nama dan dalam bentuk apapun. Lebih lanjut fiskal membedakan
penghasilan tersebut menjadi tiga kelompok yang sesuai dengan UU No 36
Tahun 2008 Pasal 4 Tentang Pajak Penghasilan, yaitu:
a. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan
b. Penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final
c. Penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan
Pengelompokan penghasilan tersebut akan berakibat adanya perbedaan
mengenai konsep penghasilan antara SAK dan Fiskal. Penghasilan yang bukan
objek pajak berarti atas penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak (tidak
menambah laba fiskal), lebih jelasnya tentang pengelompokkan penghasilan
tersebut diuraikan dalam UU No 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat 1,2 & 3 Tentang
Pajak Penghasilan.
2. Perbedaan Konsep Beban (Biaya)
Beban (expense) menurut IAI (2007:13), diartikan sebagai “Penurunan
manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar
atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan
penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam
modal”.
Sisi Fiskal sendiri, mengartikan Beban sebagai biaya untuk menagih,
memperoleh, dan memelihara penghasilan atau biaya yang berhubungan langsung
dengan perolehan penghasilan. Perbedaan inilah yang menyebabkan pihak fiskus
sering berbeda pendapat dengan wajib pajak dalam hal menentukan beban/biaya
yang boleh atau tidak boleh dikurangkan sehingga harus dikeluarkan/tidak boleh
diperhitungkan sebagai pengurangan penghasilan. Misalnya, penafsiran atas bunyi
undang - undang yang menyatakan bahwa biaya yang dapat dikurangkan dari
penghasilan adalah meliputi biaya untuk menagih, memelihara, dan
mempertahankan penghasilan.
Wajib pajak sendiri sering diharuskan untuk memberikan sumbangan baik
yang wajib maupun tidak wajib, dan kadang kala tidak disertai dengan bukti-
bukti yang mendukung. Kemudian, wajib pajak menganggap biaya yang
dikeluarkan tersebut dapat dibiayakan karena dikeluarkan sehubungan dengan
kelancaran usaha, sedangkan pihak fiskus menganggap biaya tersebut
termasuk hibah, bantuan, dan sumbangan yang tidak boleh dikurangkan.
3. Perbedaan Konsep Penyusutan dan Nilai Persediaan
Perbedaan dalam konsep antara akuntansi dengan peraturan perpajakan
terutama menyangkut konsep penyusutan (harta berwujud dan harta tidak
berwujud) dan penilaian persediaan barang dagang.
a. Konsep Penyusutan (Harta Berwujud dan Harta Tidak Berwujud
Perbedaan utama antara akuntansi dengan undang-undang
perpajakan adalah penentuan umur aktiva dan metode
penyusutan yang boleh digunakan. Akuntansi menentukan
umur aktiva berdasarkan umur sebenarnya. Walaupun,
penentuan umur tersebut tidak terlepas dari tafsiran
(Judgement).
Menurut IAI (2007) Akuntansi memiliki beberapa metode
penyusutan, yaitu:
Metode Garis Lurus (Straight Line Method) yaitu,
menghasilkan pembebanan yang tetap selama umur
manfaat asset, jika dinilai residunya tidak berubah.
Metode Saldo Menurun (Diminishing Balance Method)
yaitu, menghasilkan pembebanan yang menurun selama
umur manfaat aset.
Metode Jumlah Unit (Sum of The Unit Method), yaitu
menghasilkan pembebanan yang menurun selama umur
manfaat aset.
Ketentuan perpajakan hanya menetapkan dua metode
penyusutan yang harus dilaksanakan wajib pajak berdasarkan
pasal UU No 36 tahun 2008 pasal 11 tentang Pajak Penghasilan
yaitu berdasarkan metode garis lurus dan metode saldo
menurun yang dilaksanakan secara konsisten, kemudian aktiva
(harta berwujud) dikelompokkan berdasarkan jenis harta dan
masa manfaat sebagai berikut:
Tabel 2.1
Kelompok Harta Berwujud, Metode, serta Tarif Penyusutan
Kelompok Harta Berwujud
Masa Manfaat
Tarif Penyusutan sebagaimana dimaksud dalam
Ayat 1 Ayat 2
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 Tahun 12.50% 25%
Kelompok 3 16 Tahun 6.25% 12.50%
Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%
II. Bangunan
Permanen 20 Tahun 5% -
Tidak Permanen 10 Tahun 10% -Sumber : Undang-Undang No 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tidak
berwujud dan pengeluaran lainnya yang mempunyai masa manfaat
lebih dari satu tahun dilakukan juga dengan memakai dua metode
yaitu : metode garis lurus dan metode saldo menurun, dengan
pengelompokan sebagai berikut :
Tabel 2.2
Kelompok Harta Tak Berwujud, Metode, serta Tarif Amortisasi
NoKelompok Harta
Tidak BerwujudMasa Manfaat
Tarif Amortisasi
Berdasarkan
Metode Garis
Lurus
Tarif Anortisasi
Berdasarkan
Metode Saldo
Menurun
1 Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%
2 Kelompok 2 8 Tahun 12.50% 25%
3 Kelompok 3 16 Tahun 6.25% 12.50%
4 Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%
Sumber : Undang–Undang No 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
Penentuan masa manfaat, jenis harta, metode, serta tarif
dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi wajib pajak
dalam melakukan penyusutan maupun amortisasi.
b. Konsep Nilai Persediaan
Dalam undang-undang pajak penghasilan Indonesia, persediaan
dan pemakaian persediaan untuk menghitung harga pokok
dinilai berdasarkan harga perolehan (cost) yang dilakukan
dengan metode rata-rata (average) atau dengan metode
mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama yang dikenal
dengan first in first out (FIFO). Penggunaan metode tersebut
harus dilakukan secara konsisten.
Apabila kita meninjau secara akuntansi, maka ada 3 jenis
metode yang dilakukan untuk menilai persediaan yang sesuai
dengan SAK No 14 tahun 2007 yaitu dengan menggunakan
rumus biaya masuk pertama keluar pertama (MPKP atau
FIFO), kemudian rata-rata tertimbang (weight average cost
method), dan masuk terakhir keluar pertama (MTKP atau
LIFO). Kemudian, untuk barang yang lazimnya tidak dapat
digantikan dengan barang lain (not ordinary interchangeable)
dan barang serta jasa yang dihasilkan dan dipisahkan untuk
proyek khusus harus diperhitungkan berdasarkan identifikasi
khusus terhadap biayanya masing-masing.
4. Perbedaan Metode Penghapusan Piutang
Dalam akuntansi komersial, penghapusan piutang ditentukan berdasarkan metode
cadangan.Sedangkan dalam fiskal, penghapusan piutang dilakukan pada saat
piutang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat-syarat tertentu yang diiatur
dalam peraturan perpajakan.
5. Perbedaan dalam Prinsip Akuntansi
Beberapa prinsip SAK yang telah diakui secara umum tetapi tidak diakui dalam
fiskal, diantaranya adalah :
a) Prinsip Konversatisme
Penilaian persediaan akhir berdasarkan metode “terendah antara
harga pokok dan nilai realisasi bersih” dan penilaian piutang
dengan nilai taksiran realisasi bersih, diakui dalam akuntansi
komersial, tetapi tidak diakuidalam fiskal.
b) Prinsip Harga Perolehan
Dalam akuntansi komersial, penentuan harga perolehan untuk
barang yang diproduksi sendiri boleh memasukkan unsur biaya
tenaga kerja yang berupa natura.Dalam fiskal, pengeluaran dalam
bentuk natura tidak diakui sebagai pengurangan/biaya.
c) Prinsip Pemadanan (matching)
Akuntansi komersial mengakui biaya penyusutan pada saat aset
tersebut menghasilkan.Dalam fiskal, penyusutan dapat dimulai
sebelum menghasilkan.
II. Jenis Perbedaan Pengakuan antara Komersial dan Fiskal
Secara umum terdapat dua perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara
akuntansi komersial dengan perpajakan (fiskal) yang menyebabkan terjadinya koreksi fiskal,
yaitu:
a. Beda Tetap (Permanent Different)
Beda Tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara
akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya permanen
artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena
pajak tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda tetap terjadi karena :
- Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut
Undang-undang PPh bukan merupakan penghasilan, contohnya dividen atau
bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
dalam Negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik
Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang
ditahan serta kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU PPh)
- Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut
Undang-undang PPh telah dikenakan PPh Final, contohnya:
Bunga deposito dan tabungan lainnya
Penghasilan berupa hadiah undian
Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan,
Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh)
Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena menurut
akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang PPh
bukan merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto, misalnya:
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan ;
- Yang bukan objek pajak
- Yang pengenaan pajaknya bersifat final
- Yang dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan
- Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan
Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif artinya
penghasilan yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus
dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak maupun karena telah
dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang yang
akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil.
Koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang
diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi, akan
menyebabkan laba kena pajak akan bertambah yang akhirnya akan menyebabkan PPh
terutang akan lebih besar.
b. Beda Waktu (Time Different)
Beda Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara
akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya sementara
artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena pajak
tahun-tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda waktu terjadi karena :
- Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu tahun. Secara akuntansi
komersial penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya
sesuai dengan prinsip matching cost with revenue. Sedangkan menurut Undang-
undang PPh, penghasilan tersebut harus diakui sekaligus pada saat diterima.
Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi akibat :
Perbedaan metode penyusutan, dimana menurut Undang-undang PPh metode
penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo menurun
Perbedaan metode penilaian persediaan, dimana menurut Undang-undang PPh
metode penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-rata dan
FIFO
Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut Undang-undang Penyisihan
piutang tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu
Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif pada saat
penghasilan diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada tahun-tahun
berikutnya. Koreksi positif ini akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah,
sedangkan koreksi negatif tahun-tahun berikutnya akan menyebabkan laba kena pajak
akan berkurang. Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan koreksi positif
maupun koreksi negatif tergantung dari metode yang digunakan.