penyakit septicaemia epizootica: penelitian penyakit...

Download PENYAKIT SEPTICAEMIA EPIZOOTICA: PENELITIAN PENYAKIT …peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/lokakarya/lpeny06-6.pdf · mortalitas penyakit dipengaruhi oleh sejumlah faktor

If you can't read please download the document

Upload: dangthien

Post on 06-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    53

    PENYAKIT SEPTICAEMIA EPIZOOTICA: PENELITIAN PENYAKIT DAN USAHA PENGENDALIANNYA PADA SAPI

    DAN KERBAU DI INDONESIA

    LILY NATALIA dan ADIN PRIADI

    Balai Penelitian Veteriner PO Box 151 Bogor 16114

    ABSTRAK

    Penyakit Septicaemia Epizootica (SE) atau penyakit ngorok adalah penyakit hewan yang bersifat akut, fatal dan pada dasarnya hanya menyerang hewan kerbau dan sapi. Penyakit SE disebabkan oleh Pasteurella multocida B:2. di Indonesia, penyakit ini sudah menyebar ke hampir seluruh propinsi. Morbiditas dan mortalitas penyakit dipengaruhi oleh sejumlah faktor dan interaksinya. Umur hewan, endemisitas penyakit di daerah, paparan penyakit sebelumnya, kekebalan yang terbentuk sesudahnya, tingkat kekebalan kelompok merupakan faktor-faktor penting. Diagnosa klinis di lapangan biasanya didasarkan pada sejarah, gejala dan kelainan yang dijumpai saat pemeriksaan pasca mati. Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan cara melakukan serotyping terhadap agen penyakit. Uji heamaglutinasi tidak langsung (Carters typing) dan uji agar gel presipitasi, ELISA dan Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik-teknik diagnosis yang sangat berguna. Teknik ELISA telah pula digunakan untuk mengevaluasi hasil vaksinasi. Metoda pengendalian penyakit SE yang umum digunakan adalah vaksinasi. Berbagai jenis vaksin telah digunakan. Vaksin mati beradjuvan minyak mampu menimbulkan tingkat dan waktu kekebalan yang tinggi dan telah digunakan di Indonesia dengan 1 kali vaksinasi setiap tahunnya. Cakupan vaksinasi di hampir semua propinsi masih rendah. Vaksin hidup aerosol yang mengandung P.multocida B:3,4 telah dikembangkan dan diuji sebagai vaksin yang aman dan protektif untuk digunakan pada hewan sapi dan kerbau.

    Kata Kunci: Septicaemia epizootica, kontrol, Indonesia

    PENDAHULUAN

    Penyakit ngorok (Septicaemia eizootica) adalah penyakit yang disebabkan Pasteurella multocida B:2, menyerang hewan sapi dan kerbau, bersifat akut dan sangat fatal. Penyakit ini tersebar di Asia Selatan dan Tenggara termasuk Indonesia, Philippina, Thailand dan Malaysia. Di Afrika, penyakit ini terjadi di Timur Tengah, Afrika Tengah dan Afrika Selatan. Di Jepang, Amerika, Australia dan Eropa, kejadian penyakit ini sudah jarang dilaporkan (ALWIS,1992).

    Kerugian ekonomi terbesar akibat penyakit ini terjadi di Asia. Walaupun estimasi kuantitatif kerugian ekonomis akibat penyakit ini jarang dilakukan, tetapi menurut BAIN et al. 1982) di Asia kematian per tahun mencapai 100,000 ekor. Di Indonesia kematian sapi/kerbau pada tahun 1997 akibat penyakit ngorok mencapai 9.288 ekor atau 27,9 miliar rupiah (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN 1998).

    Pada tahun 1995, penyakit SE digolongkan pada salah satu penyakit hewan menular dari 14 jenis penyakit hewan menular strategis di

    Indonesia yang pemberantasan dan pengendaliannya berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah (DIREKTUR BINA KESEHATAN HEWAN, 1995). Sejak PELITA dari Pembangunan Jangka Panjang I (PJPI) produksi vaksin oleh Pusat Veterinaria Farma sudah semakin meningkat, baik dalam jumlah maupun mutu. Vaksinasi masal dan reguler setiap tahun sudah rutin dilakukan di daerah tertular, tetapi kematian akibat SE masih sering dilaporkan. Tahun 1997 kematian sapi/kerbau akibat SE masih mencapai 9.288 ekor (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 1998). Adanya mobilitas ternak di daerah memungkinkan timbulnya daerah-daerah tertular baru. Hal ini dapat diatasi dengan meningkatkan coverage vaksinasi. Pulau Lombok dengan pola coverage vaksinasi 100% selama 3 tahun berturut, dapat dibebaskan dari SE pada tahun 1985 (DIREKTUR BINA KESEHATAN HEWAN, 1995). Tetapi laporan di daerah menunjukkan bahwa coverage vaksinasi di NTT dan Bali masing-masing hanya mencapai 16 22% (DINAS PETERNAKAN PROPINSI NTT, 1995) dan 30 40% (HASSAN, 1995). Terbatasnya

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    54

    alokasi vaksin SE merupakan faktor utama rendahnya coverage vaksinasi SE. Vaksin hidup aerosol P. multocida B:3,4 dapat mengatasi masalah ini karena jumlah kuman untuk vaksin mati (2 x 109 colony forming unit) dapat menghasilkan 200 dosis vaksin hidup aerosol (1 x 107 cfu/dosis). Selain biaya produksi vaksin yang lebih rendah, vaksinasi SE dengan vaksin hidup aerosol dapat dilakukan sendiri oleh peternak, yang tentunya akan menurunkan biaya operasional vaksinasi di lapangan.

    Walaupun vaksinasi telah dijalankan secara rutin di hampir setiap propinsi, laporan kasus masih sering dilaporkan. Salah satu kelemahan program vaksinasi yang umum dijalankan adalah tidak ada tindak lanjut monitoring terhadap hasil vaksinasi sehingga hasil vaksinasi tidak dapat dievaluasi dengan baik. Untuk membantu pemecahan masalah di atas, Balai Penelitian Veteriner telah mengembangkan paket pendukung pengendalian SE yang meliputi produksi vaksin hidup B:3,4, koleksi darah dengan menggunakan kertas saring dan evaluasi vaksinasi dengan teknik ELISA serta paket untuk bacteriological surveillance yang berupa media transpor, uji aglutinasi dan polymerase chain reaction (PCR).

    KEJADIAN PENYAKIT SE DI INDONESIA

    Ada beberapa laporan yang telah dipublikasi oleh media masa tentang kejadian penyakit SE di berbagai daerah di Indonesia. Pada Tabel 1 dapat dilihat kejadian penyakit SE di beberapa daerah. Kejadian penyakit SE yang menyerang hewan sapi dan kerbau telah terjadi tiap tahun di daerah Propinsi NTT. Kasus biasanya terjadi karena cakupan vaksinasi yang masih rendah (KOMPAS, 9 Februari 2006). Kematian pada kerbau juga sering terjadi di daerah Propinsi Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu dan Riau.

    PENELITIAN PATOGENESIS PENYAKIT

    Kasus penyakit SE biasanya dilaporkan sebagai kematian hewan dalam waktu singkat. Dalam pengamatan, hewan mengalami peningkatan suhu tubuh, oedema submandibular yang dapat menyebar ke daerah dada, dan gejala pernafasan dengan suara ngorok atau keluarnya ingus dari hidung. Umumnya, hewan kemudian mengalami kelesuan atau lemah dan kematian. Hewan kerbau lebih peka terhadap penyakit SE dibandingkan dengan hewan sapi. Lama atau

    Tabel 1. Beberapa laporan kasus penyakit SE di beberapa daerah di Indonesia

    Waktu kasus penyakit

    Tempat Jumlah hewan yang terserang

    Sumber:

    Januari 2005 Kabupaten Bengkulu Selatan 500 ekor kerbau sakit, 30 ekor mati

    Kompas 8 Januari 2005

    Oktober 2005 Tapanuli Selatan (Sumatera Utara)

    Sapi dan kerbau (ribuan)

    Bainfokom Sumut, 13 Oktober 2005

    Nopember 2005 Kabupaten Rokan Hulu KabupatenKampar Kabupaten Pelelawan Kabupaten Indragiri Hulu (Riau)

    Ratusan kerbau

    Kompas, 23 Nopember 2005

    Desember 2005 Kabupaten Sarolangun (Jambi)

    40 ekor kerbau mati Tempo interaktif 14 Desember 2005

    Desember 2005 Februari 2006

    Kabupaten Kaur Kabupaten Muko-muko (Bengkulu)

    kerbau Suara Pembaruan, 17 Februari 2006

    Februari 2006 Timor Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur)

    272 ekor sapi dan 4 ekor kerbau mati.

    Kompas, 9 Februari 2006

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    55

    jalannya penyakit sampai pada kematian pada kerbau lebih pendek dibandingkan dengan sapi, kisaran waktunya mulai kurang dari 24 jam dalam kejadian perakut sampai 2 5 hari (ALWIS, 1992; GRAYDON et al., 1993). Gejala penyakit timbul setelah masa inkubasi 2 5 hari. Gambaran klinis menunjukkan adanya 3 fase. Fase pertama adalah kenaikan suhu tubuh, yang diikuti fase gangguan pernafasan dan diakhiri oleh fase terakhir yaitu kondisi hewan melemah dan hewan berbaring di lantai. Septicaemia dalam banyak kasus merupakan tahap kejadian paling akhir. Berbagai fase penyakit di atas tidak selamanya terjadi secara berurutan dan sangat tergantung pada lamanya penyakit (ALWIS, 1992).

    Pada kerbau yang diinfeksi secara buatan, kenaikan suhu hingga 430C dapat teramati 4 jam sesudah infeksi (s.i), sedangkan pada sapi kenaikan hingga 400C baru teramati 12 s.i. (BALITVET, 1997). Leleran hidung dan mata yang memerah sudah terlihat pada kerbau 4 jam s.i, sedangkan pada sapi 12 jam s.i. Bakteri dapat diisolasi dari cairan hidung kerbau 12 s.i dan 16 s.i. pada sapi. Dalam darah bakteriemia sudah terjadi 12 jam s.i pada kerbau dan sapi (BAIN et al., 1982, BALITVET, 1997). Pemantauan jumlah kuman dalam darah terlihat terus meningkat hingga saat kematian hewan.

    PERUBAHAN PATOLOGI

    Pada pemeriksaan pasca mati, kelainan yang tampil menyolok adalah oedema subcutaneous dengan cairan serogelatinous terutama di daerah submandibula, leher dan dada. Umumnya kebengkakan lebih sering ditemui pada kerbau daripada sapi (LOSOS, 1986). GRAYDON et al. (1993), melaporkan bahwa pada infeksi buatan, kebengkakan lebih nyata terlihat pada sapi dari kerbau. Pada jaringan subkutan dapat ditemui adanya perdarahan titik-titik dan kelenjar limfe membengkak yang dapat berupa pembengkakan, kongesti dan hiperemia (SIEW et al., 1970) atau nekrosis yang nyata (GRAYDON et al., 1993).

    Dalam rongga dada terjadi perubahan pada paru-paru yang berkisar dari pembendungan umum sampai konsolidasi yang ekstensif dengan penebalan septa interlobular.

    Perubahan ini lebih nyata pada kerbau daripada sapi (GRAYDON et al., 1993). Pleurisy dan pericarditis yang jelas tampak dengan penebalan perikardium dan adanya cairan serosanguinous dalam ruang pleura dan pericardial. Perdarahan dengan derajat yang bervariasi dapat terlihat pada jantung.

    PENULARAN

    Penularan penyakit biasanya dipengaruhi oleh stres, kepadatan hewan, manajemen yang tidak baik, dan musim (CARTER dan ALWIS 1989; ALWIS, 1981; ALWIS dan VIPULASIRI, 1980). Sumber organisme yang infektif dalam wilayah wabah yang baru diduga berasal dari hewan carrier yang secara intermitent dikeluarkan oleh hewan carrier yang kebal tetapi membawa organisme tersebut dalam tonsilnya (CARTER dan ALWIS, 1981; WIJEWARDANA et al., 1993). Kuman banyak disekresi melalui leleran hidung pada fase demam awal, sehingga periode ini merupakan masa penularan yang penting. Dalam kondisi yang mendukung yaitu keadaan lembab atau basah kuman yang diekskresi dapat bertahan selama seminggu sehingga memungkinkan penularan tak langsung ke hewan lainnya (BAIN et al., 1982)

    Morbiditas dan mortalitas penyakit dipengaruhi oleh berbagai faktor dan interaksinya. Umur endemisitas dari daerah tertentu, kejadian penyakit sebelumnya, kekebalan yang terjadi dan tingkat kekebalan kelompok hewan merupakan faktor-faktor yang penting. Apabila wabah pertama kali melanda wilayah baru, tingkat penyebaran akan sangat tinggi dan kematian dapat terjadi pada hewan segala umur (CARTER dan ALWIS, 1989; FRANCIS et al.,1980). Pada wilayah endemik dimana proporsi carrier yang kebal tinggi, penyebaran kuman sering terjadi. Bilamana kuman menyebar ke hewan yang sudah kebal, hal ini akan merupakan booster terhadap tingkat kekebalan. Kelompok yang peka dari wilayah endemik ini hanyalah hewan muda yang kekebalan maternalnya sudah menurun atau hewan yang didatangkan dari wilayah yang non-endemik. Jadi wabah tidak menjadi epidemik dan hanya terjadi pada hewan muda di daerah endemik (DE ALWIS, 1981; CARTER dan DE ALWIS, 1989).

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    56

    Meskipun penyakit SE mungkin terjadi setiap saat, penyakit umumnya terjadi dan berkembang selama musim penghujan dimana hewan banyak mengalami stres karena dipekerjakan (CARTER dan DE ALWIS, 1989). Kondisi stres dimusim penghujan tersebut di atas menyebabkan peningkatan daya tahan hidup kuman dalam induk semang dan peningkatan jumlah organisme dalam lingkungan basah. Dalam kondisi induk semang yang lemah, organisme dalam hewan carrier bertahan dan kepekaan hewan terhadap penyaklit meningkat. Hewan dengan kondisi yang buruk dan keengganan pemilik hewan untuk melakukan vaksinasi juga berperan terhadap peningkatan kejadian penyakit (MOSIER, 1993).

    KEKEBALAN ALAMI SAPI DAN KERBAU

    Ada proporsi tertentu dari sapi dan kerbau yang kebal secara alami terhadap penyakit ngorok. Kekebalan alami terhadap penyakit ngorok terjadi kira-kira 10% pada kerbau dan sapi (BAIN, 1954). Sementara itu, DE ALWIS (1982) menyatakan bahwa proporsi hewan dengan kekebalan alami berbeda dari satu kelompok ke kelompok ternak lainnya dan juga dari waktu ke waktu. Di Sri Lanka, pada wilayah dengan tingkat kejadian penyakit SE tinggi, sedang dan rendah, sedangkan proporsi hewan dengan kekebalan alami berhubungan

    langsung tingkat insiden di atas (ALWIS dan SUMANADASA 1982). Kejadian tertinggi terjadi pada hewan dewasa dan hampir semua hewan dewasa kebal. Kekebalan ini berhubungan dengan antibodi protektif setelah hewan terpapar penyakit ngorok yang tidak mematikan dan dapat bertahan untuk lebih dari 1 tahun pada beberapa hewan (CARTER dan ALWIS, 1989). Hewan dengan kekebalan alami ini akan bertindak sebagai carrier terhadap penyakit ngorok dan pada kondisi stres dapat merupakan sumber penularan kuman.

    Kekebalan alami pada wilayah bebas penyakit ngorok juga diamati di Australia (BAIN 1954) dan Amerika (BAIN et al., 1982; SAWADA et al., 1985). Kekebalan ini mungkin diperoleh akibat paparan P. multocida atau bakteri lain yang mempunyai kemiripan sifat antigenik dengan galur B:2 sehingga dapat timbul antibodi yang memberikan proteksi silang.

    PENGEMBANGAN TEKNIK DIAGNOSIS PENYAKIT

    Diagnosa agen penyakit (P. multocida B:2)

    Dari berbagai metode identifikasi, baik ditujukan pada komponen somatik, kapsul maupun komponen DNA maka secara umum tahapan identifikasi serotipe P. multocida dapat digambarkan dalam diagram berikut.

    Tahapan dalam Serotyping P. multocida

    Isolat P. multocida Biakan pada Dextrose Starch Agar

    Tipe Kapsul Tipe Somatik Antigen-ELISA PCR a. Jika koloni mukoid, kemungkinan type A (lakukan uji hyaluronidase) b. Jika bukan tipe A lakukan uji acriflavine untuk tipe D Jika bukan A atau D gunakan IHA test

    Uji Agar Gel Presipitasi a. Untuk isolat unggas b. pakai sera

    tipe1,3,4,5 c. Untuk SE gunakan

    sera type 1-16

    Deteksi P. Multocida B:2)

    IP primers (HS-specific)

    Serotipe P. multocida = tipe kapsul : tipe somatik Serotipe = B:2

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    57

    Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)

    ELISA telah digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen P. Multocida (NATALIA et al., 1993). Teknik ELISA mempunyai sejumlah kelebihan dibandingkan dengan Passive Mouse Protection Test (PMPT), yaitu uji konvensional yang biasa digunakan untuk mengukur antibodi terhadap P. Multocida. PMPT mempunyai beberapa keterbatasan, antara lain seperti bakteri tantangan harus diseleksi dan dipastikan dulu kemurnian dan patogenisitasnya, dosis tantangan harus distandardisasi dan uji PMPT membutuhkan sejumlah besar hewan percobaan (mencit) yang seragam.

    ELISA secara relatif mudah distandardisasi, dapat menguji sejumlah besar sampel secara cepat dan mudah, dan

    menghilangkan penggunaan hewan percobaan. Uji ELISA telah dicoba digunakan di Indonesia untuk mengukur respons antibodi dari sapi dan kerbau yang telah mendapatkan vaksinasi dengan vaksin SE beradjuvan minyak maupun vaksin SE hidup aerosol. Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan, sensitivitas ELISA adalah 87,9% dan spesifisitasnya 92,1%. Sementara itu, untuk membedakan ELISA seropositif dan ELISA seronegatif, telah digunakan sekelompok hewan dengan titer mean sero negatif yang ditambahkan 2 atau 3 standard deviasi (TIJSSEN, 1985, SPENCER, 1992). Berdasarkan kriteria tersebut, diperoleh ELISA negatif untuk nilai < 70 EU (Elisa Unit), ELISA suspect (788 EU) dan ELISA positif (> 88 EU). Kurva standar ELISA dapat dilihat pada Gambar 1.

    0

    0.4

    0.8

    1.2

    1.6

    Pengenceran serum (1/100x)

    Den

    sita

    s Opt

    ikal

    (414

    nm

    )

    serum positif serum negatif

    Gambar 1. Kurva standar ELISA untuk deteksi antibodi terhadap P. multocida dengan pemakaian antigen 1/1000 dan konjugat anti bovine IgG HRP (Silenus) 1/3000

    ELISA juga telah digunakan untuk

    mendeteksi antigen P. multocida (JOHNSON et al., 1991). Boiled antigen atau heat stable antigen yang terutama terdiri atas ekstrak

    1 2 4 8 16 32 64 128 256 512 1024

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    58

    lipopolisakharida (LPS) dari P. multocida 0019 telah digunakan untuk menghasilkan antibodi spesifik terhadap P. multocida B:2. Antibodi ini kemudian digunakan sebagai antigen pelapis (coating antigen) dalam ELISA. Untuk isolat non P. multocida B:2, nilai nya: 100 E.U. ELISA ini mempunyai nilai spesifisitas 99% dan sensitivitas 86%. ELISA ini telah diterapkan dalam pengujian terhadap berbagai isolat penyebab penyakit SE di Indonesia, yaitu dalam proyek kerjasama BALITVET-ACIAR PN9202.

    Teknik koleksi sampel darah untuk ELISA dengan penggunaan kertas saring

    Serum merupakan cairan yang diperoleh setelah pemisahan antara bahan cair dan bekuan dari darah. Cairan ini merupakan spesimen utama yang digunakan dalam uji serologis. Untuk mendapatkan serum dari lapangan, dibutuhkan tabung, jarum dan needle holder untuk mengumpulkan darah. Pemisahan serum dari bekuan darah perlu dilakukan segera untuk mendapatkan serum yang baik. Kondisi penyimpanan saat transportasi ke laboratorium akan sangat mempengaruhi

    kondisi serum untuk uji serologis. Persyaratan pengumpulan serum seperti di atas sering menjadi hambatan bagi petugas di lapangan. Metode praktis yang dapat dipakai untuk pengambilan darah di lapangan adalah dengan metode kertas saring. Metode ini sudah digunakan di Balai Penelitian Veteriner untuk uji serologis antibodi terhadap Pasteurella multocida B:2 penyebab penyakit SE pada sapi dan kerbau. Hasil uji baik dari sampel laboratorium maupun sampel lapangan menunjukkan bahwa terdapat korelasi unit ELISA yang tinggi antara ekstraks kertas saring dan serum (NATALIA dan PRIADI, 1998). Penggunaan kertas saring untuk pengambilan darah jauh lebih ekonomis dibandingkan dengan sistim tabung. Prinsip kerja kertas saring adalah bahwa kertas saring menyerap semua komponen darah dan mengering. Satu cakram kertas saring (diameter 6 mm) kemudian diekstraksi dengan 200 l bufer pengencer ELISA. Selanjutnya sampel ini dilanjutkan sama seperti pengerjaan ELISA pada umumnya untuk mendeteksi antibodi. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa korelasi unit ELISA (titer antibodi) sampel serum dan kertas saring sangat tinggi dengan r = 0,980 (Gambar 2.).

    0

    0.5

    1

    1.5

    2

    2.5

    0 0.5 1 1.5 2 2.5

    D ensitas optika l ekstraks kertas sa ring

    Den

    sitas

    opt

    ikal

    ser

    um

    Gambar 2. Hubungan antara densitas optikal serum (1/100) dan ekstrak satu cakram kertas saring dalam 200

    l pelarut dalam ELISA

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    59

    Uji cepat aglutinasi lateks

    Uji aglutinasi lateks telah dikembangkan untuk mendeteksi P. multocida B:2, agen penyebab SE pada sapi dan kerbau. Uji ini merupakan uji yang cepat dan sederhana sehingga cocok dipakai oleh laboratorium di daerah dalam mendiagnosis kasus-kasus penyakit SE di lapangan. Dibandingkan dengan uji ELISA, uji aglutinasi lateks terbukti lebih sederhana dan mudah digunakan di lapangan. Boiled antigen atau heat stable antigen yang terutama terdiri atas ekstrak lipopolisakharida (LPS) dari P. multocida 0019 telah digunakan untuk menghasilkan antibodi spesifik terhadap P. multocida B:2. Antibodi yang dihasilkan ini kemudian digunakan untuk mensensitisasi partikel lateks. Uji aglutinasi lateks telah dipakai untuk menyeleksi berbagai isolat P. multocida dari lapangan dan terbukti bahwa uji ini bersifat spesifik, sederhana, dan mudah digunakan dalam mendeteksi P. multocida B:2. Spesifisitas ini didasarkan atas antibodi yang dapat mengikat LPS atau membuat ikatan kompleks protein-LPS. Lateks yang telah disensitisasi tetap stabil jika disimpan dalam suhu lemari pendingin (4C) paling sedikit selama 12 bulan. Uji ini seyogianya dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mendiagnosis penyakit SE dan digunakan terutama sebagai konfirmasi dan penunjang bagi hasil pemeriksaan klinis dan pascamati.

    olymerase Chain Reaction

    Suatu metode Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi Pasteurella multocida

    (P. multocida) B:2 secara spesifik dengan menggunakan satu set DNA primers telah dioptimisasi (NATALIA dan PRIADI, 2001). Pasangan primers : 5-GAAAGAAACCCAAGGCGAA-3 dan 5-ACAATCGAATAACCGTGAGAC-3 dapat menghasilkan produk PCR sebesar 350 base pairs (bp) yang spesifik terhadap P. multocida B:2. Gambar 4. di bawah ini menunjukkan bahwa PCR product hanya dihasilkan oleh kuman P. multocida B:2.

    Dalam penelitian yang telah dilakukan, pengaruh penambahan ethylene diamine tetra acetic acid (EDTA) pada pelarut sampel, kontaminasi Escherichia coli (E. coli) dan jumlah P. multocida dalam sampel dievaluasi. Uji PCR ini juga dibandingkan dengan metoda standard bakteriologis untuk mendeteksi P. multocida B:2 dalam sampel tonsil swab yang telah dikumpulkan dari rumah potong hewan di berbagai daerah di Indonesia. Penambahan 100 mM EDTA pada sampel tonsil swab yang telah diberi P. multocida B:2 ternyata menghambat terbentuknya hasil PCR pada 350 base pairs (bp). Efek penghambatan oleh EDTA ini dapat dihilangkan dengan pencucian sebanyak 3 kali menggunakan air deionisasi. Uji PCR dapat mendeteksi P. multocida dengan jumlah 1 organisme dan pada keadaan sampel terkontaminasi dengan 100 colony forming unit (CFU) E. coli. Hasil pengamatan di atas menunjukkan bahwa DNA primers untuk P. multocida B:2 yang digunakan pada uji PCR ternyata sensitif, spesifik, dan efek hambatan oleh EDTA dapat dihilangkan dengan pencucian.

    Lateks yang dilabel antibody spesifik B:2 Aglutinasi antigen B:2 oleh lateks

    Gambar 3. Prinsip uji lateks untuk mendeteksi P. Multocida B:2

    Antigen B 2

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    60

    Gambar 4. Deteksi P. multocida B:2 dengan PCR. Produk PCR sebesar 350 base pairs (bp) spesifik terhadap

    P. multocida B:2

    PENGEMBANGAN VAKSIN UNUTUK PENYAKIT SE

    Untuk pengendalian ngorok/SE, vaksinasi masih merupakan cara yang utama. Vaksin yang umum digunakan adalah vaksin alum presipitat yang memerlukan 2 kali penyuntikan per tahun. Vaksin lain berupa vaksin beradjuvant minyak yang selama ini digunakan sekali suntikan pertahun di Indonesia. Kelemahan vaksin mati beradjuvant minyak adalah tingginya viskositas sehingga menyulitkan penyuntikan. Salah satu rekomendasi FAO Regional Animal Production and Health Commision for Asia and the Pacific (FAO/APHCA) Subgroup on Haemorrhagic Septicaemia pada tahun 1986 adalah pengembangan vaksin yang menggunakan galur Pasteurella multocida avirulen karena di lapangan hewan yang mengalami infeksi secara subklinis mempunyai tingkat kekebalan yang tinggi (MYINT, 1994).

    Vaksin inaktif

    Vaksin terhadap SE dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: vaksin mati dan vaksin hidup. Umumnya vaksin mati mengandung Pasteurella multocida tipe B:2 dari isolat lokal masing-masing negara. Di India digunakan

    strain IVRI P 52 yang dinyatakan mempunyai sifat imunogenik yang khusus. Malaysia menggunakan 5 strain yang berasal dari berbagai wilayahnya. Sementara itu, di Indonesia digunakan strain Katha yang berasal dari Birma.

    Berbagai cara penyiapan vaksin sudah dikembangkan untuk mengendalikan penyakit SE. Vaksin ini diproses dari broth atau kultur agar dan dapat memberikan kekebalan kurang dari 6 minggu (BAIN et al 1982). Broth bacterin yang tidak diberi adjuvant memberikan kekebalan selama 1,5 2 bulan dan dapat menyebabkan shock karena adanya endotoksin dalam vaksin bacterin tersebut (CARTER and DE ALWIS 1989).

    Alum-Precipitated Vaccine dibuat dari broth bacterin atau aerated culture yang dibunuh dengan formalin dan ditambahkan 10-20% larutan potash alum {KAl(SO4)2} untuk mendapatkan 1% alum dalam vaksin. Vaksin ini banyak dipakai karena mudah diaplikasi. Suntikan subkutan vaksin ini dapat memberikan kekebalan selama 5 bulan. Vaksinasi tahunan biasanya dilakukan 2 kali.

    Oil adjuvant bacterin atau vaksin adjuvant minyak telah terbukti cukup efektif (BAIN et al., 1982). Emulsi minyak ini minimal harus mengandung 2 mg bakteri kering dalam 3 ml emulsi. Vaksin ini memberikan kekebalan

    350 bp

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    61

    selama 6-9 bulan setelah vaksinasi pertama pada hewan muda, dan dapat melindungi sampai 12 bulan setelah revaksinasi (BAIN, 1982; MYINT dan CARTER 1989). Vaksin ini cukup kental dan agak sulit di dalam pemakaiannya, cepat rusak pada suhu ruangan, mempunyai waktu simpan yang singkat dan kadang-kadang menimbulkan efek samping berupa reaksi lokal (BAIN et al. 1982). Usaha untuk mengurangi kekentalan vaksin bisanya berakibat pada pengurangan kekebalan bila dibandingkan dengan yang diberikan oleh oil adjuvant vaccine yang konvensional (YADEV dan AHOOJA, 1983). Dua vaksin adjuvan minyak telah dikembangkan dengan kekentalan yang rendah dan menimbulkan titer antibodi yang tinggi sampai 230 hari (MUNEER dan AFZAL, 1989).

    Analisis antigenik dari vaksin adjuvan minyak menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat proteksi dengan reaksi antibodi terhadap protein berberat molekul 94.000, 80.000, 67.000, 35.000 dan 32.000 serta komponen lipopolysaccharide yang berberat molekul 14-15.000 Dalton dari P. multocida (DAWKINS et al., 1993). Penggunaan vaksin SE inaktif beradjuvan minyak sudah terbukti daya proteksinya. Mulai 1977/1978, program pemberantasan SE dilaksanakan di pulau Lombok NTB dengan menggunakan vaksin ini dan tahun 1985 pulau tersebut dinyatakan bebas SE.

    Vaksin aktif par enteral

    Blue variant

    Beberapa galur P. multocida pernah dicoba sebagai vaksin aktif (hidup). HUDSON (1954)

    menggunakan blue variant yang diperoleh dari kultur broth yang lama. Variant ini bersifat kurang patogen untuk mencit. Pada kerbau strain ini memberikan kekebalan untuk beberapa bulan. Vaksin ini telah tidak digunakan saat ini.

    Streptomycin-dependent mutant

    WEI dan CARTER (1978) menggunakan streptomycin-dependent mutant strain Pasteurella multocida tipe B Mesir untuk mengimunisasi mencit. Di Sri Lanka mutant serupa digunakan untuk mengimunisasi sapi dan kerbau. Vaksin ini dapat melindungi 75% sapi dan 100% kerbau dengan dosis tunggal (ALWIS et al 1980).

    Vaksin hidup aerosol dengan aplikasi intranasal

    Isolat P. multocida B;3,4 dari rusa di Inggris merupakan galur yang dipakai sebagai bibit vaksin aerosol (JONES and HUSSAINI, 1982). Isolat ini dapat menimbulkan haemorrhagic septicaemia pada ruminansia liar seperti elk dan rusa tetapi tidak pada sapi dan kerbau. P. multocida B:3,4 juga pernah diisolasi dari luka pada sapi perah di Australia (BAIN and KNOX, 1961) dan dari daerah nasopharynx sapi-sapi sehat di Sri Lanka (MYINT, 1994). Walaupun jarang terisolasi, pengamatan di laboratorium maupun di lapangan menunjukkan bahwa galur P. multocida B:3,4 ini mempunyai hubungan imunologis yang dekat dengan isolat P. multocida lainnya sehingga dapat memberikan proteksi silang (MYINT, 1994; RIMLER, 1996; PRIADI and NATALIA 2001).

    Tabel 2. Proteksi silang P. multocida B:3,4 terhadap P. multocida serotipe lain.

    Antiserum/vaksin Proteksi terhadap uji tantang oleh

    Hewan Pustaka

    Antiserum B:3,4 A:1, A:3, A:5 Mencit RIMLER, 1996 B:1, B:2, B:4, E:2 Vaksin B:3,4 B:2 Sapi MYNIT, 1994 Vaksin B:3,4 B:2 Sapi NATALIA and PATTEN, 1993 Vaksin B:3,4 B:2 Sapi PRIADI dan NATALIA, 2001

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    62

    Antibodi terhadap galur yang berkapsul B ini dapat melindungi tikus dari semua serogroup P. multocida (WILSON et al 1992). Tabel 2. memperlihatkan adanya hasil penelitian yang menunjukkan proteksi silang antar P. multocida.

    Di lapangan P. multocida B:3,4 bersifat kurang virulen bila dibandingkan dengan P. multocida B:2. Vaksin ini pertama-tama dikembangkan oleh MYINT et al 1987 untuk mengimunisasi sapi dan kerbau pada infeksi buatan. Vaksin diberikan secara subkutan dengan dosis 107 cfu P. multocida. Vaksin hidup ini dapat melindungi hewan lebih dari satu tahun, tetapi dapat menimbulkan kebengkakan pada lokasi suntikan dan kematian pada beberapa hewan MYINT and CARTER (1990).

    Penelitian dengan cara semprotan partikel kasar vaksin secara intranasal dengan dosis yang sama tidak memberikan perlindungan yang memadai. Tetapi, semprotan partikel halus dengan alat semprot hair-sprayer yang dihubungkan dengan botol universal 28 ml memberikan proteksi terhadap SE lebih dari satu tahun (CARTER et al 1991; MYINT et al 1994). Inokulasi secara aerosol ini menimbulkan kekebalan lokal mukosa dan sistemik sehingga dapat memberikan perlindungan yang lama, dan tidak menimbulkan efek yang tidak diinginkan.

    Vaksin ini dikemas dalam bentuk kering beku untuk digunakan secara aerosol-intranasal pada ternak sapi dan kerbau (Gambar 5.). Uji potensi dan keamanan vaksin telah diuji oleh FAO melalui FAO/TCP/MYA/4452 (A) pada tahun 1996. Secara resmi vaksin ini direkomendasikan oleh FAO/WHO pada tahun 1996 untuk dapat digunakan pada sapi dan kerbau. Uji serupa telah dilakukan Balai Penelitian Veteriner tahun 1999 dan dinyatakan berpotensi tinggi dan aman (PRIADI dan NATALIA, 2001).

    Bibit vaksin hidup dapat ditumbuhkan pada bermacam-macam media yang sesuai untuk pertumbuhan Pasteurella. Media kaldu, media agar seperti lempeng agar darah, brain heart infusion agar (BHI agar) atau media lain yang sesuai dapat digunakan untuk pembiakkan bakteri. Kultur biakan muda (16 jam) yang diinkubasi pada suhu 37C lebih baik untuk digunakan dibanding kultur yang berumur

    lebih tua. Kultur tua akan menyebabkan rendahnya jumlah bakteri yang hidup. Jika diinginkan bakteri dalam jumlah besar, pembiakan kuman pada permukaan agar akan lebih baik sebab jumlah bakteri akan lebih tinggi selain jaminan kemurniannya.

    Selanjutnya, bakteri dipanen dan dilarutkan dalam stabilizer untuk proses pengering bekuan, sehingga 1 ml vaksin yang sudah dilarutkan akan mengandung 2 x 107 colony forming units (CFU). Penghitungan jumlah kuman yang hidup setelah proses pengeringbekuan dilakukan dengan menggunakan lempeng agar darah. Pertumbuhan dari 1 cawan Petri akan menghasilkan 10.000 dosis vaksin hidup. Uji kemurnian dilakukan untuk setiap batch setelah proses pengering bekuan. Pengawasan ketat perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Uji keamanan dengan cara inokulasi pada hewan percobaan perlu juga dilakukan paling sedikit pada 2 sampai 5 ekor sapi atau kerbau muda.

    Secara umum vaksin hidup aerosol yang diintroduksi ini mempunyai keunggulan dibandingkan dengan vaksin yang beradjuvant yang selama ini digunakan di Indonesia; dalam hal: 1. Efektif melindungi sapi/kerbau terhadap

    penyakit SE minimal selama 1 tahun 2. Tidak menimbulkan efek samping pasca

    vaksinasi 3. Mudah diaplikasi (secara aerosol intranasal) 4. Mudah diproduksi 5. Lebih murah dibandingkan dengan vaksin

    beradjuvant (Dosis kuman = 1/200 vaksin beradjuvant) Telah dilakukan pengamatan tingkat

    proteksi vaksin hidup Pasteurella multocida B:3,4 terhadap penyakit SE. Aplikasi vaksin hidup ini dilakukan dengan cara aerosol (semprotan ke hidung) dan suntikan subcutan di daerah leher masing-masing pada 5 ekor sapi Bali per kelompok. Lima ekor sapi pada kelompok 3 divaksinasi dengan vaksin mati beradjuvant minyak secara intramuskular. Perubahan klinis dan suhu tubuh sesudah pemberian vaksin dan uji tantang diamati. Pada semua ternak, serum dikumpulkan setiap bulan dan disimpan pada suhu -20oC untuk diuji dengan ELISA.

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    63

    Gambar 5. Vaksin aerosol, alat semprotnya (gambar atas) dan cara aplikasinya secara intranasal pada hewan

    Tidak terlihat perubahan klinis pada semua sapi yang divaksin. Serum pada sapi kelompok I dan II menunjukkan gambaran respon yang sama, dimulai pada bulan ke-5, mencapai puncak reaksi pada bulan ke-6 7 pasca vaksinasi dan masih bertahan di atas batas positif (88 Unit ELISA) hingga akhir pengamatan. Sapi kelompok III memberikan respon lebih awal, dimulai pada bulan ke 3, mencapai puncak pada bulan ke 5-6 pasca vaksinasi dan menurun sesudahnya seperti pada kelompok I dan II. Uji tantang pada bulan keenam (C-1) dan bulan ke 12 (C-2) pasca vaksinasi dengan P. multocida B:2 tidak menyebabkan kematian pada kelompok I, II dan III.

    Gejala klinis juga diamati. Suhu tubuh sapi pada C-1 dan C-2 berkisar dari 38,1-39,1oC

    dan 38,5 39,5oC masing-masing pada C-1 dan C-2. Seekor sapi kelompok I pada C-1 mengalami kenaikan suhu hingga 40oC dan menjadi normal kembali sesudah 42 jam pasca vaksinasi. Pada C-2 seekor sapi pada kelompok II mengalami kenaikan suhu hingga 40,7oC sejak 5 jam pasca tantang dan bertahan hingga jam ke-16, kemudian normal kembali. Sapi kontrol yang tidak divaksinasi mati pada C-1 dan C-2 dengan suhu tubuh masing-masing mencapai 41,4 dan 41,1oC pada saat kematian (Gambar 6.). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa vaksin hidup P. multocida B:3,4 adalah aman dan dapat melindungi sapi dari infeksi oleh P. multocida B:2. Vaksin ini dapat dipakai sebagai pengganti vaksin mati beradjuvant minyak untuk penyakit SE.

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    64

    Gambar 6. Fluktuasi suhu tubuh sapi saat ditantang dengan P. multocida B:2.

    DAFTAR PUSTAKA

    BAIN, R.V.S. 1954. Studies on haemorrhagic septicaemia of cattle. I. Naturally acquired immunity in Siamese buffaloes. British Vet. J. 110: 481 484.

    BAIN, R.V.S. and K.W. KNOX. 1961. The antigen of Pasteurella multocida Type 1. II. Lipopolysaccharides. Immunol., 4: 122 129.

    BAIN, R.V.S.; M.C.L. DE ALWIS; G.R. CARTER AND B.K. GUPTA. 1982. Haoemorrhagic Septicaemia. FAO of the United Nations, Rome.

    BALITVET, 1997. Laporan ACIAR PN 9202 (unpublished data)

    BAINFOKOM SUMUT. 2005. Penyakit ngorok menyerang ratusan ekor kerbau di Tapsel Sumut. 13 Okt. 2005. http://www.bainfokomsumut.go.id/detail.php?id=168 (7Mei 2006)

    CARTER, G.R. and M.M. CHENGAPA. 1981. Recommendations for a standard system of designating serotypes of Pasteurella multocida. Proc. of the 24th meeting of the Am. Assoc. Vet. Lab. Diag. p. 37 42.

    CARTER, G.R. and M.C.L. DE ALWIS. 1989. Haemorrhagic Septicaemia. In: Adlam, C. and Rutter J.M., Pasteurella and Pasteurellosis. Academic Press Limited, London. p. 131 160.

    CARTER, G.R., A. MYINT., R. VAN KHAR and A. KHIN. 1991. Immunisation of cattle and buffaloes with live haemorrhagic septicaemia vaccine. Vet. Rec. 129, 203.

    CARTER, G.R. 1955. A haemagglutination test for the identification of serological types. Am. J. of Vet Res. 16:481-484.

    DAWKINS, H.J.S.; R.B. JOHNSON; T.C. SPENCER and B.E. PATTEN. 1990. Rapid identification of Pasteurella multocida responsible for haemorrhagic septicaemia using an enzyme-linked immunosorbent assay. Res. in Vet. Sci. 49:261-267.

    DE ALWIS, M.C.L. and A.A. VIPULASIRI. 1980. An epizootiological study of Haemorrhagic Septicaemia in Srilanka. Ceylon Vet. J. 28: 24 35.

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    65

    DE ALWIS, M.C.L. and G.R. CARTER. 1980. Preliminary field trials with Streptomycin dependent live vaccine against haemorrhagic Septicaemia. Vet. Rec. 106: 435 437.

    DE ALWIS, M.C.L. 1981. Mortality among cattle and buffaloes in Srilanka due to haemorrhagic septicaemia. Trop. Anim. Health. Prod. 13: 195 202.

    DE ALWIS, M.C.L. 1982. The immune status of buffalo calves expose to natural infection with haemorrhagic septicaemia. Trop. Anim. Health Prod. 14: 29 30.

    DE ALWIS, M.C.L. and M.A. SUMANADASA. 1982. Naturally acquired immunity to haemorrhagic septicaemia among cattle and buffaloes in Sri lanka. Trop. Anim. Health and Prod. 14: 27 28.

    DE ALWIS, M.C.L. 1992. Haemorrhagic Septicaemia. A General Review. Brit. Vet. J.148: 99 112.

    DINAS PETERNAKAN NTT. 1995. Situasi Penyakit SE di Nusa Tenggara Timur. Rapat koordinasi Pemberantasan Penyakit SE dan Evaluasi ACIAR Project di Werdha Pura Sanur, Denpasar, Bali. 28 29 Agustus 1995.

    DIREKTORAT BINA KESEHATAN HEWAN. 1998. Bulletin Kesehatan Hewan. 3: 74

    FARID, A., M.A. EL GHANI, A. KHALIL, A. EL GHAWAs and A. KAMEL. 1980. Identification of serological types of Pasteurella multocida isolated from apparently healthy buffaloes. Agric. Res. Review. 58:107-116.

    F.A.O. 1991. Peoceedings of the FAO/APHCA worhshop on Haemorrhagic Septicaemia. February 1991. Kandy Srilanka.

    FRANCIS, B.K.T., H.F. SCHELS and G.R. CARTER. 1980. Type E Pasteurella multocida Associated with Haemorrhagic Septicaemia in Zambia. Vet. Rec. 107: 135

    HASSAN, M.Z. 1995. Perspektif Penyakit Ngorok di Propinsi Bali. Rapat koordinasi Pemberantasan Penyakit SE dan Evaluasi ACIAR Project di Werdha Pura Sanur, Denpasar, Bali. 28 29 Agustus 1995.

    JOHNSON, R.B., H.J.S. DAWKINS and T.L. SPENCER. 1991. Application of Enzyme linked Immunosorbent assay (ELISA) technology to Haemorrhagic Septicaemia. Proceedings of the fourth International Workshop on Haemorrhagic Septicaemia. Kandy, Sri Lanka 11-15 February, 1991. Dept of animal prod. And health Gov. Sri Lanka. FAO Bangkok, Thailand Eds. DE ALWIS, M.C.L., T.G. WIJEWARDANA. Pp. 85-90.

    JONES, T.O. and S.N. HUSSAINI. 1982. Outbreak of Pasteurella multocida septicaemia in fallow deer (Dama dama). Vet. Rec. 110: 451-452

    KAMP, E.M., C.A., G.C.A.M. BOKKN, VERMEULEN, T.M.M., DE JONG, M.F., H.E.C.M. BUYS, F.H. REEK and M.A. SMITS (1996). A specific and sensitive PCR assay suitable for large-scale detection of toxigenic Pasteurella multocida in nasal and tonsilar swabs specimens of pigs. J. Vet. Diagn. Invest. 8:304-309

    KOMPAS. 2006. Ratusan ekor sapi mati akibat ngorok. KOMPAS 9 Februari 2006

    KOMPAS. 2005. Awas, sapipun bias mati ngtorok. KOMPAS CYBERMEDIA 8 Jan 2005

    KOMPAS. 2005. Riau blokir daging sapi dari luar daerah. KOMPAS, 23 Nop. 2005

    MINISTRY OF LIVESTOCK and FISHERIES, MYANMAR. 1997. Haemorrhagic septicaemia live vaccine (leaflet).

    MYINT, A. and G.R. CARTER 1989. Prevention of haemorrhagic septicaemia in buffaloes and cattle with live vaccine. Vet. Rec.:124: 508 509.

    MYINT, A., G.R. CARTER and T.O. JONES. 1987. Prevention of experimental Haemorrhagic Septicaemia with a live vaccine. Vet. Rec. 120: 500 501.

    MYINT, A. and G,R, CARTER. 1990. Field use of live Haemorrhagic Septicaemia vaccine. Vet. Rec. 126: 148.

    MYINT, A. 1994. Use of intranasal aerosol vaccine: hope for haemorrhagic septicaemia erradication in Asia and the Pacific region. Asian Livestock. 19: 101 104.

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    66

    NATALIA, L, B.E. PATTEN. 1993. The response of animals to Pasteurella multocida vaccination as measured by PMPT and ELISA. Penyakit Hewan 25 (46A): 15 20

    NATALIA, L. dan A. PRIADI. 1998. Penggunaaan Kertas Saring sebagai Alat Transpor sampel darah untuk Uji Serologi Pasteurella multocida: Analisis dan Perbandingan Komposisi Protein antara ekstrak kertas saring dan serum. JITV, 3: 182 187

    NATALIA, L. dan A. PRIADI. 2001. Polymerase chain reaction optimization for the detection of Pasteurella multocida B:2, the causative agent of Haemorrhagic Septicaemia. JITV, 6: 280 284

    PRIADI, A., dan L. NATALIA. 2000. Patogenesis septicaemia epizootica (SE) pada sapi/kerbau: gejala klinis, perubahan patologis, reisolasi, deteksi Pasteurella multocida dengan media kultur dan polymerase chain reaction (PCR). JITV, 5: 65 71

    PRIADI, A. and L. NATALIA. 2001. Proteksi vaksin hidup Pasteurella multocida B:3,4 terhadap penyakit septicaemia epizootica. Seminar Nasional dan Pameran Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor 15 18 September 2001.

    PRIADI, A. and L. NATALIA. 2002. Proteksi vaksin hidup Pasteurella multocida B:3,4 terhadap penyakit septicaemia epizootica pada sapi. JITV, 7: 55 61

    RIMLER, R.B. 1996 Passive immune cross-protection in mice produced by rabbit antisera against different serotypes of Pasteurella multocida. J. Comp. Path. 114: 347 360.

    SUARA PEMBARUAN. 2006. Kerbau dan sapi mati di tiga daerah Tk II Propinsi Bengkulu terjangkit penyakit ngorok. SUARA PEMBARUAN 17 Februari 2006

    TEMPOINTERAKTIF. 2005. Kerbau mati akibat penyakit ngorok. TEMPOINTERAKTIF, 14 Desember 2005

    WILSON, M.A., R.B. RIMLER AND L.J. HOFFMAN. 1992. Comparison of DNA fingerprints and somatic serotypes of serogroup B and E Pasteurella multocida isolates. J. of.Clin.Microbiol. 30:1518-1524

    Graydon, R.J., B.E. Patten and H. Hamid 1993. The Pathology of Experimental Haemorrhagic Septicaemia in Cattle and Buffalo. Pasteurellosis in Production Animals. ACIAR Proc. No. 43

    HEDDLESTON , K.L., J.E.GALLAGHER and P.A. REBERS. 1972. Fowl Cholera: Gel diffusion precipitin test for serotyping Pasteurella multocida from avian species. Avian Dis. 16:924-936.

    HORAGODA, N.U., K. BELAK, M.C.L. DE ALWIS, A.I.U. GOMIS and A.A. VIPULASIRI. 1991. Localisation of Pasteurella multocida serotype 6:B in the tonsils of carrier-buffaloes using an immunoperoxidase technique. Proc. of the 4th international workshop on haemorrhagic septicaemia. Kandy, Srilanka. FAO Bangkok . Thailand.

    HUDSON, J.R. 1954. Cited by Rimler, R.B. and K.R. Rhoades. 1989. In: Adlam, C. and Rutter, J.M. (eds). Pasteurella and Pasteurellosis. Academic Press, London. Bull. Off. Int. Epiz. 42: 267.

    KAMP, E.M., C.A., G.C.A.M. BOKKN, VERMEULEN, T.M.M., DE JONG, M.F., H.E.C.M. BUYS, F.H. REEK ANG M.A. SMITS (1996). A specific and sensitive PCR assay suitable for large-scale detection of toxigenic Pasteurella multocida in nasal and tonsilar swabs specimens of pigs. J. Vet. Diagn. Invest. 8: 304 309

    LOSOS, G.L. 1986. Infectious tropical diseases of domestic animals. Longman, Harlow, Essex. pp. 718 738.

    MOSIER, D. 1993. Prevention and control of Pasteurellosis. Pasteurellosis in Production Animals. ACIAR Proc. no. 43.

    MUNEER, R. and M. AFZAL. 1989. Preliminary studeis on improved oil adjuvant vaccine for haemorrhagic septicaemia in buffalo calves. Office International des Epizooties Revue Scientifique et technique. 8: 999 1004.

    MINISTRY OF LIVESTOCK and FISHERIES, Myanmar. 1997. Haemorrhagic septicaemia live vaccine (leaflet).

    MYINT, A. and G.R. CARTER 1989. Prevention of haemorrhagic septicaemia in buffaloes and cattle with live vaccine. Vet. Rec.:124: 508 509.

    MYINT, A., G.R. CARTER and T.O. JONES. 1987. Prevention of experimental haemorrhagic septicaemia with a live vaccine. Vet. Rec. 120: 500 501.

    MYINT, A. and G,R, CARTER. 1990. Field use of live haemorrhagic septicaemia vaccine. Vet. Rec. 126: 148.

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    67

    MYINT, A. 1994. Use of intranasal aerosol vaccine: hope for haemorrhagic septicaemia erradication in Asia and the Pacific region. Asian Livestock. 19: 101 104.

    NAGAI, S., S. SOMENO and T. YAGIHASHI (1994). Differentiation of toxigenic from nontoxigenic isolates of Pasteurella multocida by PCR. J. of Clin. Microbiol. 32: 1004 1010

    NAMIOKA, S., and M. MURATA. 1964. Serological studies on Pasteurella multocida. II. Characteristics of somatic (O) antigen of the organism. Cornell Vet. 51: 498 507.

    RIMLER, R.B. 1978. Coagglutination test for identification of Pasteurella multocida associated with haemorrhagic septicaemia. J. of Clin. Microbiol. 8: 214 218.

    RIMLER, R.B. and K.R. Rhoades. 1988. Pasteurella multocida. In : Adlam C. and Rutter. J.M. (eds). Pasteurella and Pasteurellosis. Academic Press. London. 37 73.

    RIMLER, R.B. 1993. Pasteurella: Laboratory techniques for typing and diagnosis of infection. Pasteurellosis in Production Animals. ACIAR Proceedings no. 43.

    ROBERTS, R.S. 1947. An immunological study of Pasteurella septica. J. of Comp. Pathol. 57: 261 278.

    SAWADA, T, R.B. RIMLER and K.R. RHOADES. 1985. Haemorrhagic Septicaemia: Naturally aquired antibodies against Pasteurella multocida type B and E in calves in the United States. Am. J. of Vet. Res. 46: 1247 1250

    SHIGIDI, M.T.A and A.A. MUSTAFA. 1979. Biochemical and serological studies on Pasteurela multocida isolated from cattle in Sudan. Cornell Vet. 69: 77 84.

    SIEW, T.W., N.A. HADI and J, THOMAS. 1970. Outbreak of haemorrhagic septicaemia in a dairy herd. Kajian Veteriner Malaysia-Singapore. 2: 139 144.

    WEI, B.D, and G.R. CARTER. 1978. Live streptomycin-dependent Pasteurella multocida vaccine for the prevention of haemorrhagic septicaemia. Am. J. of. Vet. Res. 39: 1534 1537

    WIJEWARDANA, T.G., N.U. HORAGODA, A.A. VIPULASIRI, and S.A. THALAGODa. 1993. Isolation and characterization Pasteurella multocida from tonsils of apparently healthy cattle. Pasteurellosis in production animals. ACIAR Proc. no.43

    WILSON, M.A., R.B. RIMLER and L.J. HOFFMAN. 1992. Comparison of DNA fingerprints and somatic serotypes of serogroup B and E Pasteurella multocida isolates. J. of. Clin. Microbiol. 30: 1518 1524

    YADEV, M.S. and M.C. AHOOJA. 1983. Immunity trails in mice, rabitts and calves with oil adjuvant and multi-emulsion oil adjuvant vaccines against harmorrhagic septicaemia. Indian J. of Anim. Sci. 53: 705 708