penyakit berbasis lingkungan kevin-kiki.docx

33
Penyakit Berbasis Lingkungan A. Pengertian Penyakit Berbasis Lingkungan Penyakit berbasis lingkungan merupakan kondisi patologis yang mengakibatkan terjadinya kelainan baik secara morfologi maupun fisiologi yang diakibatkan karena interaksi antar manusia maupun interaksi dengan hal - hal yang berada di lingkungan sekitar yang berpotensi menimbulkan penyakit. Menurut Pedoman Arah Kebijakan Program Kesehatan Lingkungan Pada Tahun 2008 menyatakan bahwa Indonesia masih memiliki penyakit menular yang berbasis lingkungan yang masih menonjol seperti DBD, TB paru, malaria, diare, infeksi saluran pernafasan, HIV/AIDS, Filariasis, Cacingan, Penyakit Kulit, Keracunan dan Keluhan akibat Lingkungan Kerja yang buruk.. Pada tahun 2006, sekitar 55 kasus yang terkonfirmasi dan 45 meninggal (CFR 81,8%), sedangkan tahun 2007 - 12 Februari dinyatakan 9 kasus yang terkonfirmasi dan diantaranya 6 meninggal (CFR 66,7%). Adapun hal - hal yang masih dijadikan tantangan yang perlu ditangani lebih baik oleh pemerintah yaitu terutama dalam hal survailans, penanganan pasien/penderita, penyediaan obat, sarana dan prasarana rumah sakit. 1. Diare Diare disebabkan Cyclospora cayetanensis, total koliform (E. coli, E. aurescens, E. freundii, E. intermedia, Aerobacter aerogenes ), kolera, shigellosis, salmonellosis, yersiniosis, giardiasis, Enteritis campylobacter, golongan virus dan patogen perut lainnya. Penularannya bisa dengan jalan tinja mengontaminasi makanan secara langsung ataupun tidak langsung (lewat lalat). Untuk beberapa jenis bakteri, utamanya EHEC (Enterohaemorragic E.

Upload: kevin-audrino-budiman

Post on 25-Sep-2015

17 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Penyakit Berbasis Lingkungan

A. Pengertian Penyakit Berbasis Lingkungan

Penyakit berbasis lingkungan merupakan kondisi patologis yang mengakibatkan terjadinya kelainan baik secara morfologi maupun fisiologi yang diakibatkan karena interaksi antar manusia maupun interaksi dengan hal - hal yang berada di lingkungan sekitar yang berpotensi menimbulkan penyakit.

Menurut Pedoman Arah Kebijakan Program Kesehatan Lingkungan Pada Tahun 2008 menyatakan bahwa Indonesia masih memiliki penyakit menular yang berbasis lingkungan yang masih menonjol seperti DBD, TB paru, malaria, diare, infeksi saluran pernafasan, HIV/AIDS, Filariasis, Cacingan, Penyakit Kulit, Keracunan dan Keluhan akibat Lingkungan Kerja yang buruk.. Pada tahun 2006, sekitar 55 kasus yang terkonfirmasi dan 45 meninggal (CFR 81,8%), sedangkan tahun 2007 - 12 Februari dinyatakan 9 kasus yang terkonfirmasi dan diantaranya 6 meninggal (CFR 66,7%). Adapun hal - hal yang masih dijadikan tantangan yang perlu ditangani lebih baik oleh pemerintah yaitu terutama dalam hal survailans, penanganan pasien/penderita, penyediaan obat, sarana dan prasarana rumah sakit.

1. Diare

Diare disebabkan Cyclospora cayetanensis, total koliform (E. coli, E. aurescens, E. freundii, E. intermedia, Aerobacter aerogenes), kolera, shigellosis, salmonellosis, yersiniosis, giardiasis, Enteritis campylobacter, golongan virus dan patogen perut lainnya. Penularannya bisa dengan jalan tinja mengontaminasi makanan secara langsung ataupun tidak langsung (lewat lalat). Untuk beberapa jenis bakteri, utamanya EHEC (Enterohaemorragic E. coli), ternak merupakan reservoir terpenting. Akan tetapi, secara umum manusia dapat juga menjadi sumber penularan dari orang ke orang. Selain itu, makanan juga dapat terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen akibat lingkungan yang tidak sehat, di mana-mana ada mikroorganisme patogen, sehingga menjaga makanan kita tetap berseih harus diutamakan.

Cara Penularan melalui :

1. Makanan yang terkontaminasi dengan bakteri E.Coli yang dibawa oleh lalat yang hinggap pada tinja, karena buang air besar (BAB) tidak di jamban.

2. Air minum yang mengandung E. Coli yang tidak direbus sampai mendidih.

3. Air sungai yang tercemar bakteri E.coli karena orang diare buang air besar di sungai digunakan untuk.

4. Tangan yang terkontaminasi dengan bakteri E.coli (sesudah BAB tidak mencuci tangan dengan sabun)

5. Makanan yang dihinggapi lalat pembawa bakteri E.Coli kemudian dimakan oleh manusia

faktor risiko penyebab diare adalah sebagai berikut :

a. Penyediaan air tidak memenuhi syarat

b. Pembuangan kotoran tidak saniter

c. Perilaku tidak higienis

1. Cuci tangan sebelum makan atau menyiapkan makanan

2. Cuci tangan dengan sabun setelah buang air besar

3. Minum air putih yang sudah dimasak

4. Menutup makanan dengan tudung saji

5. Cuci alat makan dengan air bersih

6. Jangan makan jajanan yang kurang bersih

7. Bila yang diare bayi, cuci botol dan alat makan bayi dengan air panas/mendidih.

Sedangkan intervensi pada faktor lingkungan dapat dilakukan antra lain melalui :

1. Perbaikan sanitasi lingkungan dan pemberantasan vektor secara langsung.

2. Perbaikan sanitasi dapat diharapkan mampu mengurangi tempat perindukan lalat. Cara yang bisa diambil di antaranya adalah menjaga kebersihan kandang hewan, buang air besar di jamban yang sehat, pengelolaan sampah yang baik, dan sebagainya.

ISPAInfeksi Saluran Pernapasan Akut / ISPA meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah, merupakan infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. Yang dimaksud dengan saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru. Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Akan tetapi, anak yang menderita pneumoni bila tidak diobati dengan antibiotik dapat mengakibat kematian. Di Dinkes/Puskesmas, Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan, yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penumonia disebabkan oleh bahaya biologis, yaitu Streptococcus pneumoniae. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis, dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin, semua radang telinga akut harus mendapat antibiotik. ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya. Sumber penyakit ini adalah manusia. Pneumococci umum ditemukan pada saluran pernafasan bagian atas dari orang yang sehat di seluruh dunia. Sedangkan Agen ditularkan ke manusia lewat udara melalui percikan ludah, kontak langsung lewat mulut atau kontak tidak langsung melalui peralatan yang terkontaminasi discharge saluran pernafasan. Biasanya penularan organisme terjadi dari orang ke orang, tetapi penularan melalui kontak sesaat jarang terjadi. Manusia yang berada dalam lingkungan yang kumuh dan lembab memiliki risiko tinggi untuk tertular penyakit ini (intervensi dengan pemberian genting kaca dan ventilasi padan rumah sering sangat efektif untuk mengatasi penyakit ini). Setelah terpajan agen, penderita dapat sembuh atau sakit. Seperti yang diterangkan sebelumnya, untuk agen virus penderita (misalnya flu) sebenarnya tidak perlu mendapatkan perlakuan khusus. Cukup dijaga kondisi fisiknya. Penderita yang positif ISPA adalah mereka yang ditandai dengan serangan mendadak dengan demam menggigil, nyeri pleural, dyspnea, tachypnea, batuk produktif dengan dahak kemerahan serta lekositosis. Serangan ini biasanya tidak begitu mendadak, khususnya pada orang tua dan hasil foto toraks mungkin memberi gambaran awal adanya pneumonia. Pada bayi dan anak kecil, demam, muntah dan kejang dapat merupakan gejala awal penyakit. Diagnosa etiologis secara dini sangat penting untuk mengarahkan pemberian terapi spesifik. Diagnosa pneumoni pneumokokus dapat diduga apabila ditemukannya diplococci gram positif pada sputum bersamaan dengan ditemukannya lekosit polymorphonuclear. Diagnosa dapat dipastikan dengan isolasi pneumococci dari spesimen darah atau sekret yang diambil dari saluran pernafasan bagian bawah orang dewasa yang diperoleh dengan aspirasi percutaneous transtracheal.

Secara sederhana penyakit ISPA mempunyai karakteristik sebagai berikut:

Penyebab Penyakit :

Bakteri streptococcus pneumonia (pneumococci)

Hemophilus influenzae

Asap dapur

Sirkulasi udara yang tidak sehat

Sedangkan tempat berkembang biak saluran pernafasan, dengan cara penularan melalui udara (aerogen) berupa kontak langsung melalui mulut penderita serta cara tidak langsung melalui udara yang terkontaminasi dengan bakteri karena penderita batuk.Cara efektif mencegah penyakit ISPA (berdasarkan faktor penyebab penyakit) adalah :

a. Tingkat hunian rumah padat

1. Satu kamar dihuni tidak lebih dari 2 orang atau sebaiknya luas kamar lebih atau sma dengan 8m2/jiwaq

2. Plesterisasi lantai rumah.

b. Ventilasi rumah/dapur tidak memenuhi syarat

1. Memperbaiki lubang penghawaan / ventilasi

2. Selalu membuka pintu/jendela terutama pagi hari

3. Menambah ventilasi buatan

c. Perilaku

1. Tidak membawa anak/bayi saat memasak di dapur

2. Menutup mulut bila batuk

3. Membuang ludah pada tempatnya

4. Tidak menggunakan obat anti nyamuk bakar

5. Tidur sementara terpisah dari penderita

4. DEMAM BERDARAH DENGUE

Penyebab Demam Berdarah Dengue adalah virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti.

a. Tempat berkembang biak:

1) Di dalam rumah / diluar rumah untuk keperluan sehari-hari seperti ember, drum, tempayan, tempat penampungan air bersih, bak mandi/WC/ dan lain-lain

2) Bukan untuk keperluan sehari-hari seperti tempat minum burung, vas bunga, perangkap semen, kaleng bekas yang berisi air bersih, dll

3) Alamiah seperti lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, potongan bambu yang dapat menampung air hujan, dll

b. Cara penularan

1) Seseaorang yang dalam darahnya mengandung virus dengue merupakan merupakan sumber penyakit.

2) Bila digigit nyamuk virus terhisap masuk kedalam lambung nyamuk, berkembang biak, masuk ke dalam kelenjar air liur nyamuk setelah satu minggu didalam tubuh nyamuk, bila nyamuk menggigit orang sehat akan menularkan virus dengue.

3) Virus dengue tetap berada dalam tubuh nyamuk sehingga dapat menularkan kepada orang lain, dan seterusnya.

c. Cara efektif mencegah penyakit Demam Berdarah (berdasarkan faktor penyebab penyakit), sebagai berikut :

1) Lingkungan rumah / ventilasi kurang baik :

a) Menutup tempat penampungan air

b) Menguras bak mandi 1 minggu sekali

c) Memasang kawat kasa pada ventilasi dan lubang penghawaan

d) Membuka jendela dan pasang genting kaca agar terang dan tidak lembab

d. Lingkungan sekitar rumah tidak terawat

1) Seminggu sekali mengganti air tempat minum burung dan vas bunga

2) Menimbun ban, kaleng, dan botol/gelas bekas

3) Menaburkan bubuk abate pada tempat penampungan air yang jarang dikuras atau memelihara ikan pemakan jentik

e. Perilaku tidak sehat

Melipat dan menurunkan kain/baju yang bergantungan

Kusta

Definisi: penyakit kronik yang disebabkan oleh Micobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernafasan bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis. Dicurigai kontak dengan penderita dalam waktu yang lama menyebabkan penularan kusta terutama kontak terhadap sekret hidung penderita. Diagnosa penyakit kusta ditegakkan dengan ditemukannya tanda tanda utama, yaitu : adanya lesi kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi dengan disertai gangguan fungsi saraf serta ditemukannya bakteri tahan asam (BTA).

Faktor risiko:

Faktor Risiko Lingkungan

(1) Pencahayaan

Rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup khususnya cahaya alam berupa cahaya matahari yang berisi antara lain ultra violet. Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat tidak menyilaukan. Pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat berisiko 2,5 kali terkena Tuberculose dan kusta dibanding penghuni yang memenuhi persyaratan di Jakarta Timur (Pertiwi, 2004) dan pada kusta pun terjadi hal yang sesuai dengan TB tersebut. Semua cahaya pada dasarnya dapat mematikan, namun tentu tergantung jenis dan lama cahaya tersebut.

Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genteng kaca (Notoatmodjo, 2003).

a) Cahaya Alamiah

Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri pathogen di dalam rumah, misalnya kuman tuberkulose, kusta dan kuman lain. Oleh karena itu rumah yang cukup sehat seyogyanya harus mempunyai jalan masuk yang cukup (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% - 20%. 28

Perlu diperhatikan agar sinar matahari dapat langsung ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela selain sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuk cahaya. Selain itu jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca.

b) Cahaya Buatan

Cahaya buatan yaitu cahaya yang menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan lain-lain. Kualitas dari cahaya buatan tergantung dari terangnya sumber cahaya (brightness of the source). Pencahayaan buatan bisa terjadi dengan 3 cara, yaitu direct, indirect, semi direct atau general diffusing. Secara umum pengukuran pencahayaan terhadap sinar matahari adalah dengan menggunakan lux meter, yang diukur di tengah-tengah ruangan setinggi < 84 cm dari lantai, dengan ketentuan tidak memenuhi syarat kesehatan bila pencahayaan rumah antara < 50 menyebakan pencahayaan dalam rumah kurang terang sedangkan >300 lux pencahayaan dalam rumah menyilaukan.

Cahaya matahari mempunyai sifat membunuh bakteri, terutama kuman M. tuberculosis dan leprae. Kuman tuberkulosa dan lepra dapat mati oleh sinar matahari langsung. Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian tuberculosis dan kusta. Kuman 29

tuberkulosis dan leprae dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya, dan mala bila terkena sinar matahari, sabun lisol, karbol dan panas api, kuman Mycobacterium tuberculosis dan leprae akan mati dalam waktu 2 jam oleh sinar matahari; oleh tincture iodii selama 5 menit dan juga oleh ethanol 80% dalam waktu 2-10 menit serta mati oleh fenol 5% dalam waktu 24 jam, rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko menderita tuberculosis seperti halnya kusta 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari.

(2) Kepadatan Penghuni Rumah

Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m2 per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 9 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 3 m2 per orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit kusta sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya. 30

Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni 9 m2 per orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 9 m2 per orang. (8,17)

Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan brjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena selain menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama tuberculose dan leprae akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan 2-3 orang di dalam rumahnya.

Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit, semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian kusta.

Untuk itu Departemen Kesehatan telah membuat peraturan tentang rumah sehat dengan rumus jumlah penghuni/luas bangunan. Syarat rumah dianggap sehat adalah 9 m2 per orang (Depkes, 2003), jarak 31

antara tempat tidur satu dan lainnya adalah 90 cm, kamar tidur sebaiknya tidak dihuni 2 orang atau lebih kecuali di bawah 2 tahun. Sebuah penelitian di Cimpea menunjukkan bahwa resiko untuk terkena penyakit kusta 1,3 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang kurang memenuhi persyaratan kesehatan (Supriyono, 2003).

(3) Lantai Rumah

Secara hipotesis jenis tanah memiliki peran terhadap proses kejadian kusta, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, dengan demikian viabilitas kuman leprae di lingkungan juga sangat dipengaruhi.

Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, kontruksi lantai rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah dibersihkan dari kotoran dan debu. Selain itu dapat menyebabkan meningkatnya kelembaban dalam ruangan. Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai rumah sebaiknya dinaikan 20 cm dari permukaan tanah. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air sehingga lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah seperti tegel, semen, keramik.

Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan perkembangbiakan kuman dan vektor penyakit, menjadikan udara dalam ruangan lembab, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya. 32

Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air seperti tegel, semen, keramik.

(4) Ventilasi

Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia. Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:

a) Ventilasi alamiah

Ventilasi alamiah berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu : daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara karena perubahan temperatur. Ventilasi alam ini mengandalkan pergerakan udara bebas (angin), temperature udara dan kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan lubang angin, maka ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan lantai.

b) Ventilasi buatan

Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat tesebut antara lain : kipas angin, exhauster dan AC (air conditioner).

Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut : luas lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal 5% dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 33

10% dari luas lantai ruangan, udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-lain, aliran udara diusahakan cross ventilation dengan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat dan lain-lain.

Secara umum, penilaian ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan roll meter. Menurut indicator pengawasan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah.(17) Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya.

Disamping itu, tidak cukup ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan 34

berkembangbiaknya bakteri-bakteri pathogen termasuk kuman leprae. Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri pathogen seperti leprae, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir (Notoatmodjo, 2003).

Selain itu, luas vertilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman leprae yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.

Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi udara dalam rumah serta mengurangi kelembaban. Keringat manusia juga dikenal mempengaruhi kelembaban. Semakin banyak manusia dalam satu ruangan kelembaban semakin tinggi khususnya karena uap air baik dari pernafasan maupun keringat. Kelembaban dalam ruang tertutup dimana banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi dibanding kelembaban di laur ruang.

Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara juga dengan kata lain mengencerkan konsentrasi kuman tuberculosis dan leprae serta kuman lain terbawa keluar dan mati terkena sinar ultra violet. Ventilasi juga dapat merupakan tempat untuk memasukan cahaya 35

ultra violet. Hal ini akan semakin baik apabila konstruksi rumah menggunakan genteng kaca.

(5) Kelembaban

Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara. Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu 1) Kelembaban absolute, yaitu uap air per unit volume udara; 2) Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara pada suatu temperature terhadap banyaknya uap air pada saat udara jenuh dengan uap air pada temperature tersebut.

Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah < 40% atau > 70%.

Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membrane mukosa hidung menjadi keringat sehingga kurang efektif dalam menghadang mokroorganisme. Bakteri-bakteri pada umumnya akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk

lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal yang esensial untuk petumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gould & Brooker, 2003).

Selain itu kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen. Mulyadi (2003) meneliti di Kota Bogor, penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 70% berisiko terkena penyakit tuberculosis 10,7 kali dibanding penduduk yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 70%. Kelembaban merupakan sarana yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, termasuk kuman tuberkulosis dan leprae sehingga viabilitas lebih lama. Seperti telah dikemukakan, kelembaban berhubungan dengan kepadatan dan ventilasi. Topografi menurut penelitian juga berpengaruh terhadap kelembaban, wilayah yang lebih tinggi cenderung memiliki kelembaban lebih rendah.

(6) Ketinggian

Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan. Setiap kenaikan 100 meter, selisih suhu udara dengan permukaan laut sebesar 0,50C. ketinggian berkaitan dengan kelembaban juga dengan kerapatan oksigen. Kuman M. tuberculosis dan kuman sejenisnya seperti leprae sangat aerob, sehingga diperkirakan kerapatan 37

oksigen di pegunungan akan mempengaruhi viabilitas kuman (Olander, 2003).

Faktor Risiko Karakteristik Penduduk yang mempengaruhi kejadian kusta

a. Sosial Ekonomi

WHO (2003) menyebutkan 90% penderita kusta di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan penyakit kusta bersifat timbal balik. Kusta merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita kusta. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan yang tidak sehat, hygiene sanitasi yang kurang dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya.

Tingkat pekerjaan dan jenis pekerjaan sangat mempengaruhi terjadinya kasus kusta atau keberhasilan pengobatan, status sosial ekonomi keluarga diukur dari jenis, keadaan rumah, kepadatan penghuni per kamar, status pekerjaan dan harta kepemilikan (Scoeman, 1991). Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah sering mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, sehingga penyakit kusta menjadi ancaman bagi mereka (Soewasti, 1997). Penyebab terbesar menurunnya kasus kusta adalah meningkatnya tingkat sosial ekonomi keluarga tetapi faktor lain akibat sosial ekonomi adalah pengaruh lingkungan rumah secara fisik baik

pada, pencahayaan, ventilasi, kepadatan rumah, dan pemenuhan kebutuhan gizi dapat terpenuhi.

Faktor sosial ekonomi ini merupakan salah satu karakteristik tentang faktor orang, perlu mendapat perhatian tersendiri. Status sosial ekonomi sangat erat hubungannya dengan pekerjaan dan jenis pekerjaan serta besarnya pendapatan keluarga juga hubungan dengan lokasi tempat tinggal, kebiasaan hidup keluarga, termasuk kebiasaan makan, jenis rekreasi keluarga, dan lain sebagainya. Status sosial ekonomi erat pula hubungannya dengan faktor psikologi individu dan keluarga dalam masyarakat. Status ekonomi sangat sulit dibatasi, hubungan dengan kesehatan juga kurang nyata, yang jelas bahwa kemiskinan erat hubungannya dengan penyakit hanya sulit dianalisa managemen sebab, dan yang mana akibat. Status ekonomi menentukan kwalitas makanan, hunian, kepadatan gizi, taraf pendidikan, tersediannya fasilitas air bersih, sanitasi kesehatan lainnya, besar kecil keluarga, dan tehnologi.(24)

b. Umur

Kebanyakan peneliti melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden, karena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit sering terkait umur pada saat ditemukan dari pada saat timbulnya penyakit. Kusta diketahui terjadi pada semua umur mulai bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun), namun yang 39

terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Berdasarkan penelitian di RSK Sitanala Tangerang oleh Tarusaraya dkk (1996), dinyatakan bahwa dari 1153 responden diperoleh hasil bahwa kecacatan lebih banyak terjadi pada usia prosuktif 19-55 tahun (76,1%).12) Ghimire (1996), menyatakan bahwa terjadi kecacatan sekunder pada usia dibawah 30 tahun. Hal ini disebabkan oleh bahaya yang terpapar pada saat beraktifitas.

c. Jenis kelamin

Penyakit kusta dapat mengenai dari semua jenis kelamin, baik laki-laki mupun perempuan. Sebagian besar Negara di dunia kecuali dibeberapa Negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang kusta dari pada wanita. Rendahnya kejadian kusta pada wanita disebabkan karena beberapa faktor antara lain faktor lingkungan dan faktor biologis (Ghimire, 1996).

Tarusaraya, dkk, (1996) tingkat kecacatan pada laki-laki lebih besar daripada wanita. Hal ini berkaitan dengan pekerjaan, kebiasaan keluar rumah, dan merokok. Ghimire (1996) penelitian yang dilakukan di Nepal 67% wanita mengalami kecacatan sekunder.

d. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki semangat spiritual 40

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari pendidikan dasar (SD/SMP/Sederajat), pendidikan menengah (SMA/Sederajat) serta pendidikan tinggi (Diploma/sarjana/magister/spesialis) (UU No 20 tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan Nasional). Status pendidikan berkaitan denga tindakan pencarian pengobatan penderita kusta. Rendahnya tingkat pendidikan dapat mengakibatkan lambatnya pencarian pengobatan dan diagnosis penyakit, hal ini dapat mengakibatkan kecacatan pada penderita kusta semakin parah.

Ghimire (1996), diperoleh hasil bahwa kelompok tidak terpelajar (64%) lebih banyak mengalami kecacatan sekunder. Hal ini disebabkan pada kelompok terpelajar lebih mengerti dan mengikuti instruksi tenaga kesehatan.

e. Pekerjaan

Sebagian besar penderita kusta di dunia berada di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebagaian besar penduduk Indonesia mencari penghasilan dengan bercocok tanam atau bertani. Hal ini sangat berpengaruh terhadap terjadinya cacat pada kusta.(7) Penelitian yang dilakukan di Nepal oleh Ghimire (1996), membagi responden dalam dua kategori, yaitu mereka yang bekerja secara manual worker dan non manual worker. Diperoleh hasil, 64% pada manual worker mengalami 41

kecacatan sekunder, hal ini disebabkan karena Nepal adalah Negara pertanian, banyak yang bekerja sebagai petani. Selain itu karena pasien-pasien kusta lebih suka menyendiri sehingga kegiatan sehari-hari juga dilakukan sendiri.

Internal

Umur: prevalensi terinfeksi m.leprae adalah 10-20 tahun

Jenis kelamin: laki-laki lebih banyak daripada perempuan

Daya tahan tubuh: orang-orang yang memiliki daya tahan tubuh yang rendah rentan terrinfeksi m.leprae

Eksternal

Kepadatan hunian

Perilaku

Sosial ekonomi

Tuberculosis

Tuberculosis (TBC) memiliki manifestasi klinis batuk berdahak lebih dari 3 minggu, denganyang disebabkan oleh bakteri mikrobakterium tuberkulosis. Dapat ditularkan melalui udara, dimana droplet Penderita TBC (saat berbicara, meludah, batuk) menyebar ke udara terhirup oleh orang lain.

Faktor risiko penyebab penyakit:

Tingkat hunian rumah padat

1. Satu kamar dihuni lebih dari 2 orang atau sebaiknya luas lamar kecil dari 8m2 / jiwa

2. Lantai rumah tidak disemen

Ventilasi rumah/dapur tidak memenuhi syarat

Perilaku

1. Tidak menutup mulut bila batuk

2. Membuang ludah sembarangan

3. Kurang Istirahat

4. Makanan tidak bergizi

5. Tidur tidak terpisah dari penderita

Penyakit campak dikenal juga dengan istilah morbilli dalam bahasa latin dan meales dalam bahasa Inggris. Campak adalah penyakit infeksi yang sangat menular yang disebabkan oleh virus dan dapat mendatangkan komplikasi serius, dengan gejala gejala eksanterm akut, demam, kadang kataral selaput lendir dan saluran pernafasan, gejala gejala mata, kemudian diikuti erupsi makupopular yang berwarna merah dan diakhiri dengan deskuamasi dari kulit

Virus campak ditularkan dari orang ke orang,manusia merupakan satu-satunya reservoir penyakit campak. Virus campak berada di secret nasoparing dan didalam darah minimal selama masa tunas dan dalam waktu yang singkat setelah timbul ruam. Penularan terjadi melalui udara dengan penyebaran droplet, kontak langsung dengan sekresi hidung atau tenggorokan dari orang yang terinfeksi. Penularan dapat terjadi mulai dari hari pertama sebelum munculnya ruam, antara 1 2 hari sebelum timbulnya gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Dengan masa inkubasi berkisar antara 7 8 hari atau rata rata 10 hari.(Chin, 2007).

2.8 Determinan Penyakit Campak

2.8.1 Faktor Host

a. Status iminusasi

Imunisasi adalah usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan vaksin adalah bahan yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan (misalnya vaksin BCG, DPT, dan campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin polio) (Depkes RI, 2004).

Imunisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan kesehatan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga kelak ia terpapar antigen yang serupa tidak pernah terjadi penyakit. Imunisasi biasanya lebih fokus diberikan kepada anak-anak karena sistem kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan penyakit berbahaya (Wahab, 2002).

Tujuan memberikan imunisasi adalah untuk meningkatkan kekebalan anak terhadap penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Balita yang tidak mendapat imunisasi campak kemungkinan kena penyakit campak sangat besar. Pemberian imunisasi pada masa bayi akan menurunkan penularan agen infeksi dan mengurangi peluang seseorang yang rentan untuk terpajan pada agen tersebut (Chin, 2000).

Imunisasi campak merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah penyakit campak pada anak karena termasuk penyakit menular. Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan. Frekuensi pemberian imunisasi campak adalah satu kali pada umur 9-11 bulan. Cara pemberian imunisasi campak ini diberikan melalui subkutan. Imunisasi ini mempunyai efek samping seperti terjadinya ruam pada tempat suntikan dan panas. Angka kejadian campak juga sangat tinggi dalam memengaruhi angka kesakitan dan kematian anak. Campak lebih banyak di derita pada balita dan anak usia sekolah, karena tubuhnya yang masih labih sehingga rentan terhadap penularan penyakit campak (Hidayat, 2008).

Dari hasil penyelidikan tim Ditjen PPM & PLP dan fakulas Kedokteran UI tentang KLB campak di desa Cinta Manis banyuasin Sumatera Selatan, ditemukan balita yang tidak mendapatka imunisasi campak mempunyai resiko 5 kali lebih besar untuk terkena campak disbanding balita yang mendapat imunisasi.

b. Status gizi

Balita dengan status gizi kurang mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena penyakit campak dari pada balita yang gizi baik. Seperti penelitian Sulung di

puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utaran kabupaten smatera barat dengan desain cross sectional terhadap anak berumur 6 bulan 15 tahun mendapatkan hasil bahwa kejadian campak ada hubungannya dengan status gizi dimana anak dengan status gizi kurang mempunyai resiko 2,9 kali lebih besar untuk terkena campak.

2.8.2 Faktor lingkungan

Virus campak sangat mudah menular, lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab penularan penyakit campak, faktor faktor lingkungan tersebut adalah kepadatan hunian,ventilasi, pencahayaan dan keterjangkauan Pelayanan Kesehatan, Desa terpencil, pedalaman, daerah sulit, daerah yang tidak terjangkau pelayanan kesehatan khususnya imunisasi, adalah merupakan daerah yang rawan terhadap penularan penyakit campak (Mukono, 2006). Penelitian Marniasih di Wilayah kerja Puskesmas Natar Kabupaten Lampung Selatan bahwa faktor yang berhubungan dengan kejadian campak adalah kondisi ventilasi dengan p-value=0,016 dan penelitian Hardi di Desa Semangut Kecamatan Buntut Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Selatan bahwa ada hubungan yang bermakna antara faktor lingkungan, meliputi kepadatan Hunian (p=0,040) dan luas Ventilasi (p=0,0001), sehingga di sarankan agar menyediakan program rumah sehat terutama di daerah potensial wabah.

a. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian merupakan persemaian subur bagi virus, sekaligus sarana eksperimen rekayasa genetik secara ilmiah (Acmadi, 2008). Kepadatan huniaan dapat dapat mempermudah penularan yang menular melalui udara, terutama penyakit campak yang penularannya terjadi saat percikan ludah atau cairan yang keluar ketika

penderita bersin. Menurut Pudjiastuti (1998) kepadatan hunian juga mempengaruhi kualitas udara dalam ruangan. Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara dalam rumah mengalami pencemaran oleh karena CO2 dalam rumah akan cepat meningkatkan dan akan menurunkan kadar O2 dalam rumah.

Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan over crowded, hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurang konsumsi O2, juga bila salah satu anggota keluarga terkena infeksi penyakit menular akan menularkan kepada anggota keluarga yang lain (Mukono, 2006).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas kamar tidur minimal 8 meter persegi dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruangan.

b. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai fungsi antara lain menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar. Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan pengluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis harus cukup, ventilasi bermanfaat untuk sirkulasi udara dalam ruangan serta mengurangi kelembaban, suhu ruangan dalam rumah yang ideal adalah berkisar antara 18 10 0C. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah sehingga kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Di samping itu

tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri dan virus penyebab penyakit, (Mukono, 2006).

Menurut Soedarto (1995) Ventilasi yang tidak baik akan menyebabkan transmisi melalui udara dengan penyebaran droplet, kontak langsung, melalui sekret hidung atau tenggorokan dari orang-orang yang terinfeks Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah dengan menggunakan role meter.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai. Menurut Achmadi, ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, juga dengan kata lain mengencerkan konsntrasi debu ataupun kotoran terbawa keluar dan mati terkena sinar ultraviolet. Ventilasi juga merupakan tempat untuk masuknya cahaya ultraviolet ke dalam rumah. Pengaruh buruk berkurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya gas CO2, adanya bagu pengap, suhu udara ruangan naik, dan kelembaban udara bertambah. Kecepatan udara dikatakan sedang jika gerak udara 5 20 cm per detik atau pertukaran udara bersih antara 25 - 30 cfm ( cubic feet per minute ) untuk setiap yang berada di dalam ruangan.

c. Pencahayaan

Pencahayaan merupakan salah satu faktor untuk mendapatkan keadaan lingkungan yang aman dan nyaman dan berkaitan erat dengan produktivitas manusia.

Pencahayaan yang baik memungkinkan orang dapat melihat objek-objek yang dikerjakannya secara jelas dan cepat (Mukono, 2006).

Virus campak tidak memiliki daya tahan yang kuat. Pada temperature kamar virus campak kehilngan 60% sifat infektisitasnya selama 3 5 hari dan akan hancur oleh sinar matahari. Cahaya buatan yaitu sumber cahaya yang bukan alamiah seperti lampu minyak tanah, listrik, lilin dan sebagainya (Mukono, 2006). Sinar matahari merupakan pencahayaan alamiah mampu membunuh kuman pathogen. Cahaya yang cukup untuk penerangan ruangan di dalam rumah merupakan kebutuhan kesehatan manusia, penyakit campak berkaitan erat dengan ventilasi dan pencahayaan rumah (Achmadi, 2001).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/ VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.

d. Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan

Desa terpencil, pedalaman, daerah sulit, daerah yang tidak terjangkau pelayanan kesehatan khususnya imunisasi, adalah merupakan daerah yang rawan terhadap penularan penyakit campak, karena dengan keadaan yang demikian masyarakat rata rata tidak membawa anak mereka untuk berobat ke Pelayanan Kesehatan (Dinkes Sumut, 2010).