penulis: yudi latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · praktik-praktik diskursif dan ruang...

846

Upload: hacong

Post on 26-Apr-2019

345 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —
Page 2: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —
Page 3: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Penulis: Yudi LatifPengantar: Prof. James J. Fox

EDISI DIGITAL

Desain Cover : Andreas KusumahadiLay-out dan Redesain cover : Priyanto

Redaksi : Anick HT

Jakarta 2012

InteligensiaMuslim dan Kuasa

Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20

Page 4: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Page 5: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pendahuluan | III

ISI BUKU

Tentang Penulis — ixPengantar — xiUcapan Terima Kasih — xiv

1. PENDAHULUAN — 1Dasar-Dasar Analisis — 6

• Genealogi — 6• Muslim — 10

Inteligensia dan Intelektual — 14• Inteligensia — 17• Intelektual — 20• Inteligensia dan Intelektual dalam Konteks Indonesia — 29

Kuasa(Power) — 39• Indonesia — 47

Studi-Studi Terdahulu Mengenai Inteligensia dan Intelektual (Muslim)Indonesia — 48

Pendekatan Alternatif, Tujuan, dan Metodologinya — 57• Dinamis — 57• Interaktif — 59• Pendidikan — 60• Praktik-Praktik Diskursif — 62

- Ruang Publik — 63- Permainan-Permainan Kuasa (Power Games) — 67

Page 6: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

IV | Inteligensia Muslim dan Kuasa

• Intertekstual — 68- Metodologi — 73- Susunan Penulisan Buku — 76

• Catatan tentang Ejaan — 79

2. FORMASI INTELIGENSIA — 87Akar-Akar Pendidikan Islam dari Inteligensia (Muslim) Modern — 94

• Pendidikan Barat di Bawah Kebijakan Liberal — 97• Pendidikan Barat di Bawah Politik Etis — 102• Pendidikan Barat dan Lahirnya Inteligensia — 107

Akar-Akar Pendidikan Islam dari Inteligensia (“Klerikus”) Muslim — 112• Pendidikan Islam pada Abad Ke-19 — 113• Pembaruan Sekolah-Sekolah Islam Selama Era• Politik Etis — 130

Praktik-Praktik Diskursif dan Terciptanya Identitas Kolektif — 143• Praktik-Praktik Diskursif Selama Masa Liberal — 144• Praktik-Praktik Diskursif pada Masa Awal

Politik Etis — 150Terciptanya Ruang Publik Modern di Hindia — 158

• Masa Persiapan Ruang Publik Hindia pada AkhirAbad Ke-19 — 161

• Terbentuknya “Ruang Publik Inteligensia” — 166Kaoem Moeda Islam dan Tranformasi Ruang Publik — 178

• Adopsi Teknologi Percetakan Modern dan Klub-Klub Sosial oleh Kaum Muslim — 181

• Perluasan Ruang Publik oleh Kaum Muslim — 186Permainan Kuasa: Konsolidasi dan Kontestasi — 190

• Lahirnya Perhimpunan-PerhimpunanProto-Nasionalis — 196

• Kelahiran Pers dan Karya-Karya Sastra ProtoNasionalis — 216

Kesimpulan — 220

Page 7: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pendahuluan | V

3. MENCIPTA INDONESIA, MENCIPTA TRADISI-TRADISIPOLITIK INTELEKTUAL — 245

Pemajuan dan Ketergangguan Sekolah-Sekolah Sekuler — 250• Kemajuan Pendidikan di Tingkat Dasar dan

Menengah — 251• Pengembangan Pendidikan Universitas — 253• Dampak Pendidikan terhadap Generasi Kedua

Inteligensia — 258• Pendidikan Sekuler Selama Pendudukan Jepang — 260

Pemajuan Sekolah-Sekolah Islam — 260• Modernisasi Sekolah-Sekolah Tradisionalis — 262• Perluasan Sekolah-Sekolah Reformis-Modernis — 266• Studi Islam Tingkat Tinggi di Timur Tengah — 269• Pendidikan Islam Selama Pendudukan Jepang — 270

Praktik-Praktik Diskursif dan Pembentukan Blok Historis — 272• Dari Perhimpunan Indonesia Menuju Pembentukan

Blok Historis — 277• Dari Djama’ahal-Chairiah ke Pembentukan Sebuah

Blok Historis — 286• Dari Gerakan-Gerakan Mahasiswa di Hindia ke

Pembentukan Sebuah Blok Historis — 289• Dari Aktivitas Kesusastraan ke Pembentukan Sebuah

Blok Hisroris — 293

Keretakan Ruang Publik dan Terbentuknya Tradisi-Tradisi PolitikIntelektual — 296• Kesamaan dalam Ruang Publik — 296• Perdebatan-Perdebatan dalam Ruang Publik — 299

- Lahirnya Tradisi Politik Intelektual Komunis dan Muslim Modernis — 300

- Kelahiran Tradisi Politik Intelektual Muslim Tradisionalis — 306

- Kelahiran Tradisi-Tradisi Politik Intelektual “Nasionalis” dan “Sosialis” — 311

• Kelahiran Tradisi-Tradisi Politik Intelektual Kristen — 315

Page 8: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

VI | Inteligensia Muslim dan Kuasa

- Fragmentasi Dalam Tradisi-Tradisi Politik Intelektual — 317

Pembentukan dan Transmisi Tradisi Politik “Intelektual” Islam — 319• Terbentuknya Identitas Kolektif dan Ideologi

Muslim — 321• Transmisi Tradisi Politik Intelektual Muslim — 331• Kepemimpinan Generasi Kedua Inteligensia

Muslim — 340Permainan Kuasa: Konsolidasi dan Kontestasi — 344

• Dari Perhimpunan-Perhimpunan Bentukan Jepang Menuju Nasionalisme Kerakyatan — 346

• Dari Gerakan Bawah Tanah Menuju Nasionalisme Kerakyatan — 354

• Dari Aktivitas Sastra dan Media Menuju Nasionalisme Kerakyatan — 358

• Menuju Proklamasi Kemerdekaan Indonesia — 360Kesimpulan — 367

4. INTELIGENSIA SEBAGAI ELITE POLITIKNEGARA BARU — 393

Kesetaraan Akses ke Pendidikan Publik (Sekuler) — 401Pendidikan Agama dan Ekspansi Universitas-Universitas Islam — 408Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413

• Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan — 414• Pembentukan Tradisi Politik Militer Indonesia — 417

Permainan Kuasa: Konsolidasi dan Kontestasi — 420• Rintangan bagi Eksperimen Demokrasi — 421• Represi dan Resistansi — 429

Jatuh-Bangun Islam Politik — 440Transmisi Tradisi Politik Intelektual Muslim — 459

• Kemunculan HMI — 461• Kemunculan PII — 465• Kelahiran IPNU dan PMII — 468

Page 9: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pendahuluan | VII

• Kemunculan IMM — 472• Kemunculan Persami — 473• Pembentukan Identitas Kolektif Mahasiswa

Muslim — 474Kesimpulan — 482

5. DEVELOPMENTALISME-REPRESIF ORDE BARUDAN RESPONS INTELEKTUAL ISLAM — 503

Pendidikan secara Massal dan Devaluasi Intelegensia — 509Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik: Modernisasi

dan Represi — 514Jalan Buntu Islam Politik — 526Respons Intelektual dari Generasi Kedua Inteligensia

Muslim — 543Respons Intelektual Generasi Ketiga Inteligensia Muslim — 548Respons Intelektual dari Generasi Keempat Inteligensia Muslim — 554Permainan-Permainan Kuasa: Konsolidasi dan Kontestasi — 565

• Perkembangan Gerakan Dakwah — 577• Perkembangan Gerakan Pembaruan — 601• Perkembangan Gerakan “Jalan Ketiga” — 611• Perkembangan Gerakan “Sektor Kedua” — 618

Kesimpulan — 620

6. PASANG-SURUT IKATAN CENDEKIAWAN MUSLIM SE-INDONESIA (ICMI) — 641

Profil Pendidikan pada Penghujung Abad ke-20: Ledakan SarjanaMuslim — 646

Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik — 651Usaha-Usaha Awal untuk Mempersatukan para Intelektual

Muslim — 657Kelahiran ICMI — 669Permainan-Permainan Kuasa: Konsolidasi dan Kontestasi — 677

• Prestasi Politik ICMI yang Sesungguhnya — 692• Pergeseran ke Gerakan Reformasi — 697

Page 10: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

VIII | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Kemunduran ICMI — 702Kesimpulan — 714

7. KESIMPULAN — 723Kontinuitas dalam Perkembangan Historis Inteligensia

Muslim — 730• Diskontinuitas dalam Perkembangan Historis

Inteligensia Muslim — 744Poskrip — 753

Kepustakaan — 759Indeks — 809

Page 11: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pendahuluan | IX

TENTANG PENULIS

Yudi Latif lahir di Sukabumi, 26 Agustus 1964. Menamatkanstudi SI pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran(1990), S2 dalam Sosiologi Politik dari Australian NationalUniversity (1999), dan S3 dalam Sosiologi Politik dan Komunikasidari Australian National University (2004). Sejak Sekolah Dasarhingga menamatkan studi doktoralnya, ia selalu meraih predikatoutstanding student. Tesis masternya tentang “Sekularisasi danIslamisasi di Indonesia” memberikan kartografi yang berhargatentang sosiologi politik Indonesia lewat pembacaan sejarahdari “atas” dan “bawah”. Disertasi doktoralnya tentang “GenealogiInteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20” memberikan terobosanbaru dalam studi sosiologi dan sejarah intelektualisme Islamhingga menuai ban yak pujian.

Karier penelitiannya dimulai ketika bergabung dengan LembagaIlmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 1993. Sejak itu, iaterlibat sebagai editor tamu pada Center for Information andDevelopment Studies (CIDES, 1995-1996), peneliti senior padaCenter for Presidential and Parliamentary Studies (CPPS, 1998-1999), dan Direktur PusatStudi Islam dan Demokrasi (PSI D)Universitas Paramadina (2002-2003). Ketika menempuh studidoktoralnya, ia juga dipercaya untuk memberikan kuliah dalam

Page 12: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

X | Inteligensia Muslim dan Kuasa

subjek Reading the Indonesian Media, pada Program Studi AsiaTenggara, Australian National University.

Di luar bidang akademik, Yudi juga seorang penulis yangsubur (prolific). Ia menulis dan mempunyai rubrik tetap disejumlah media massa dan jurnal. Selain itu, ia juga pernahmenjadi pemimpin redaksi dari sebuah majalah politik, Kandidat,menulis dan menyunting sejumlah buku dan sesekali tampil ditelevisi dan radio sebagai komentator isu-isu sosial politik.

Dalam bidang organisasi, Yudi pernah menjadi Ketua IkatanPemuda Masjid Agung Bandung (IKAPMA, 1985-1986),Koordinator Gelanggang Seni Sastra, Teater, dan Film (GSSTF)Universitas Padjadjaran (1987-1988), Sekretaris Jenderal SenatGabungan Universitas Padjadjaran (1989), Presidium MajelisSinergi Kalam (1997-1998), dan Ketua Perhimpunan MahasiswaIndonesia di Canberra (1999-2000).

Dalam bidang profesi, Yudi saat ini menjadi Wakil Rektoruntuk Urusan Kemahasiswaan, Riset, dan Kerja Sama Kelembagaanpada Universitas Paramadina, juga menjadi Direktur Eksekutifpada Reform Institute—sebuah lembaga riset swasta yang tengahmenanjak.[]

Page 13: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pengantar Prof. James J. Fox | XI

PENGANTARPROF. JAMES J. FOX*

Inteligensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Inteligensia MuslimIndonesia Abad ke-20, karya Yudi Latif, merupakan sebuah studidengan lingkup dan signifikansi yang luas dan penting. Studisejenis ini tak ada bandingannya dalam kelimpahan khazanahliteratur tentang Indonesia. Dengan mempertimbangkan cakupanyang luas dan argumen historis yang kritis, buku ini harus men -jadi bacaan wajib dalam upaya memahami masyarakat Indonesiadan perkembangan politiknya terkini.

Sebagai sebuah kajian sosiologis yang fundamental, buku inimendefinisikan dan menemukan subjeknya sendiri. Fokusnyaadalah pada “inteligensia” Muslim Indonesia. Argumennyaadalah bahwa “stratum” masyarakat ini—yang jarang diidentifikasiseperti itu oleh para penulis lain—telah menyediakan wacanaIslam kritis dalam ruang publik yang memungkinkan Muslimuntuk mendefinisikan diri mereka sendiri dan memberikan arahkepada bangsa Indonesia. Kajian ini menawarkan sebuah persepsi

* Prof. James J. Fox adalah Direktur Research School of Pacific and Asian Studies, theAustralian National University.

Page 14: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

XII | Inteligensia Muslim dan Kuasa

baru terhadap sejarah Indonesia, dengan memperhitungkan baiksentralitas ide maupun peran figur-figur kunci di Indonesiayang telah menghidupkan diskursus intelektual yang berlangsung.

Sebagai sebuah kajian tentang sejarah intelektual, buku inibertitik tolak dari abad ke-19, memotret konteks kolonial yangdi dalamnya individu-individu intelektual Muslim mendapatkanpendidikan dan menciptakan ruang aktualisasi bagi diri merekasendiri di tengah masyarakat kolonial. Pembahasan kemudianbergerak ke abad ke-20 dengan kemunculan “inteligensia” danpelbagai pergulatannya dalam mencari pengakuan dan otoritaspolitik. Dalam memberikan hal itu, buku ini memetakan peralihanantargenerasi yang identifikasi populernya, di setiap periode,memberikan pengertian tentang keterlibatan historis dari horizonintelektual mereka. Dari kaoem moeda, bangsawan pikiran,pemoeda peladjar hingga sarjana dan cendekiawan MuslimIndonesia dari generasi ke generasi bergumul dengan persoalanbagaimana menentukan posisi mereka di tengah arena nasionaldan merespons isu-isu penting di dunia Muslim.

Secara khusus harus diakui bahwa buku ini pada dirinya sen -diri merupakan suatu keterlibatan dengan wacana yang dikajinya.Apa-apa yang dikajinya mencerminkan keterlibatan yang itensdari penulisnya, karena Dr. Latif sendiri adalah seorang intelektualyang terlibat (engaged intellectual). Konsep-konsep analitis kritisyang dipakai dalam buku ini diambil dari ide-ide Mannheim,Gramsci, Foucault, dan Habermas—untuk menyebut beberapasumber inspirasinya. Penulis memodifikasi dan menyesuaikangagasan-gagasan ini ke dalam kerangka analitisnya sendiri gunamenghadirkan sebuah persepsi yang koheren atas masa lalubang sa Indonesia. Buku ini,dengan demikian, melengkapikhazanah studi-studi klasik tentang Indonesia oleh beberapapenulis, seperti Benda, Feith, Legge, dan McVey.

Page 15: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pengantar Prof. James J. Fox | XIII

Diskursus intelektual Muslim di Indonesia dan kaitan-eratnyadengan diskursus global yang lebih luas kini harus diakuikeberadaannya. Dengan mempertimbangkan fondasi-fondasidari diskursus publik dan melacak perkembangannya dari abadke-20 hingga sekarang, buku ini menjadi kunci penting bagidiskusi mutakhir tentang peran Islam pada abad ke-21. Lebihdari sekedar tinjauan atas masa lalu, buku ini merupakan titiktolak untuk memikirkan masa depan.[]

Page 16: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

XIV | Inteligensia Muslim dan Kuasa

UCAPAN TERIMA KASIH

Sejarah buku yang bertolak dari disertasi ini merupakan sejarahkasih sayang dan saling pengertian. Meskipun saya sendirilahyang bertanggungjawab atas hasil akhir dari buku ini, adalahmustahil karya ini bisa dituntaskan tanpa dukungan dan kontribusidari banyak pihak.

Saya terutama berutang budi kepada para pembimbing dandosen di Fakultas Studi Asia dan Research School of Pacific andAsian Studies (RSPAS), Australian National University (ANU),yang dengan murah hati telah memberikan bimbingan dandorongan.

Profesor Virginia Hooker tidak hanya seorang pembimbingyang sabar dan rendah hati, tetapi juga seorang“Ibu” yangpenuh kasih sayang yang senantiasa memperlihatkan simpatidan pengertiannya terhadap masalah-masalah psikologis danmaterial yang saya hadapi. Selama penulisan disertasi, beliaujuga telah memberi saya kesempatan berharga untuk memberikankuliah baru bersama “Reading the Indonesian Media” bagi paramahasiswa yang menggeluti studi Indonesia, yang telah membantumemperluas pemahaman saya sendiri akan pentingnya peranmedia dalam perkembangan sejarah inteligensia Indonesia.

Profesor James J. Fox merupakan seorang pembimbing lainnyayang bersahabat dan terbuka. Beliau bisa menerima pandangan-

Page 17: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Ucapan Terima Kasih | XV

pandangan kritis dari para mahasiswanya, sekalipun jika hal itutak sejalan dengan preferensi-preferensi pemahamannya. Beliaujuga telah memperlihatkan dirinya sebagai seorang “Bapak”yang penuh pengertian dan tak segan-segan mengulurkanpertolongan. Dalam bidang akademik, beliau merupakan gurupertama saya dalam studi antropologi Islam. Partisipasi sayadalam reading course-nya, memberi saya wawasan baru mengenaipentingnya perbandingan internasional dalam studi Islam.

Dr. Greg Fealy adalah seorang pembimbing yang merangsangpemikiran. Pandangan-pandangan kritisnya tentang beberapapoin dalam disertasi, memberi saya tantangan yang konstruktifuntuk mempertajam analisis. Keahliannya dalam kajian tradisi -onalisme Islam Indonesia juga telah membantu memperluaspemahaman saya tentang genealogi inteligensia Muslim darikalangan tradisionalis.

Dr. Ann Kumar di Centre for Asian Societies and Histories,ANU, dan Profesor Emeritus John D. Legge di DepartemenSejarah, Monash Univesitiy, telah banyak meluangkan waktuuntuk membaca sebagian besar dari disertasi ini. Koreksi-koreksimereka terhadap beberapa poin persoalan sejarah dan saranmereka tentang struktur organisasi dari disertasi ini sungguhamat berharga.

Saya juga berterimakasih kepada Dr. Gail Craswell di AcademicSkills and Learning Centre, ANU, atas bantuan-bantuannyayang berharga sehubungan dengan masalah-masalah penulisandalam bahasa Inggris. (Aki) Achdiat Karta Mihardja juga patutdiberikan ucapan terimakasih atas bantuan-bantuannya terutamadalam penerjemahan teks-teks berbahasa Belanda.

Penulisan disertasi yang menjadi buku ini tidak mungkinterwujud tanpa dukungan finansial yang saya terima dariAustralian National University dan pemerintah Australia,khususnya Departemen Pendidikan, Pelatihan, dan Urusan

Page 18: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

XVI | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Pemuda. Kedua institusi tersebut telah menganugerahi sayabeasiswa yang sulit diperoleh, International Postgraduate ResearchScholarship, yang memungkinkan saya mengikuti programdoktoral di ANU. Saat menempuh program doktoral ini, sayajuga diberi grant oleh Australia-Indonesia Institute untukmelakukan penelitian tentang Islam dan Demokrasi di Indonesia.Riset tentang isu ini memberikan masukan-masukan yang berhargauntuk memperkaya penulisan disertasi.

Saya juga patut mengekspresikan apresiasi saya kepadaPerpustakaan ANU dan Perpustakaan Nasional Australia. Koleksi-koleksinya yang kaya tentang studi Indonesia dan Islam telahmemberikan kontribusi penting dalam memperkaya pengetahuansaya. Akses saya terhadap koleksi perpustakaan-perpustakaantersebut dimungkinkan oleh layanan yang baik dari parapegawainya, yang tak bosan-bosannya membantu memenuhihasrat perburuan saya.

Kredit juga harus diberikan kepada Lembaga Ilmu PengetahuanIndonesia (LIPI) dan Universitas Paramadina di Jakarta, duainstitusi yang telah memberi jalan bagi studi doktoral saya,Apresiasi terutama harus diberikan kepada Nurcholish Madjid,Utomo Dananjaya, Sugeng Sarjadi, Benjamin Prawoto, DjokoPitono, Dipo Alam, Erman Aminullah, Taufik Abdulah, MochtarPabottingi, dan Dewi Fortuna Anwar atas bantuan, dorongan,dan nasihat-nasihatnya yang berharga.

Saya juga berterima kasih kepada para staf administratif diFakultas Studi Asia, RSPAS, dan Internasional Education Office,ANU, khususnya kepada Andrea Haese, Ludmila Mangos, VeraJoveska, Pamela Wesley-Smith, Heather Mann, dan Ann Bellatas bantuan-bantuannya yang berkaitan dengan masalah-masalahlogistik dan mekanisme birokratis.

Terima kasih juga patut dilayangkan kepada teman-temanseperguruan, Edward Chunck, Ros Matthews, Matthew Byrne,

Page 19: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Ucapan Terima Kasih | XVII

Marshall Clark, dan teman-teman Indonesia di Canberra—yangnama-namanya tak mungkin disebutkan satu persatu--ataspersahabatan yang hangat dan pertukaran pikiran yang bernas.Kehadiran mereka di sekitar saya membantu menciptakanlingkungan multikultural yang stimulatif, yang membuat hidupsaya di Canberra lebih bermakna dari sekedar memburu gelarakademik.

Tak luput saya sampaikan terimakasih kepada teman-temansaya di Indonesia, terutama Idi Subandy Ibrahim, Ida AyuMustika Dewi, Tatat Rahmita Utami, Yudhie Haryono, AbdulHamid, Indah Dachlan, Yon Hotman, Angga Pribadi, Yossie,dan Ray Rangkuti, yang dengan caranya sendiri-sendiri telahmemberi kontribusi yang penting bagi penyelesaian disertasidan buku ini.

Lebih dari semua pihak yang telah disebutkan, orangtua,istri, dan anak-anak saya patut diberikan penghargaan yang se -tinggi-tingginya. Doa, dorongan, dan kehadiran mereka yangsenantiasa hadir dan mengalir, telah memberikan obat yangampuh untuk mengusir kepenataan dan kejenuhan sertameneguhkan spirit untuk tetap melangkah di jalur pengetahuan.Keluarga saya telah menanggung banyak penderitaan demituntasnya disertasi dan buku ini. Semoga Allah Swt. membalaspengorbanan mereka dengan ganjaran yang berlipat.

Akhirnya, ucapan terima kasih saya haturkan kepada EkoPrasetyo, Ahmad Baiquni, dan Penerbit Mizan yang telahberkenan menerjemahkan dan menerbitkan buku ini. Semogabuku ini memberi tetesan pengetahuan baru yang membawahikmah bagi kemaslahatan kita semua! []

Page 20: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

XVIII | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 21: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

BAB 1

PENDAHULUAN

Para intelektual telah turut membentuk kehidupan politik dinegara-negara sedang berkembang; merekalah para inisiator, para

pemimpin, dan para pelaksana dari kehidupan politik itu.—Edward Shils (1972)1

Strata inteligensia berkembang...manakala para anggota terdidikdari kelompok yang mapan tak sanggup menghadapi dan

memecahkan problem-problem bangsanya yang kian berkembang.Sebagai jawaban atas situasi itu, inteligensia tampil sebagai sebuah

elemen baru dalam struktur sosial, sebagai sebuah strata yangmenempati posisi di antara ‘penguasa yang mapan’

(the power establishment) di satu sisi, dengan semua kelasyang lainnya di sisi yang lain.

—Aleksander Gella (1976)2

Islam Indonesia merupakan sebuah realitas yang tak lagi bisadiabaikan oleh para akademisi. Gelombang kebangkitan kembali

Islam telah menerpa negeri itu sepanjang dua dekade terakhirsehingga semakin sulit untuk menyebut Islam sebagai sebuahkekuatan marjinal yang berada di tepi peradaban Indonesia.

—Mark R. Woodward (1996)3

Dari sela-sela krisis akut dalam ‘galaksi politik’4 Indonesia padasenjakala abad yang lalu, sinar ‘bulan sabit’ baru mulai terbit diufuk langit Jakarta: yaitu munculnya inteligensia Muslim sebagaielit politik dan birokratik yang tengah menanjak.

Pendahuluan | 1

Page 22: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pada masa akhir kekuasaan Suharto, setelah sejak tahun1960-an berlangsung proses demoralisasi yang melanda politisiMuslim, berbagai figur inteligensia Muslim secara mengejutkanmemainkan peran sentral dalam wacana sosial-politik Indonesia.5

Hampir bersamaan, banyak anggota lainnya dari inteligensiaMuslim yang berhasil menduduki eselon-eselon atas dalambirokrasi pemerintahan.6 Isu-isu yang menyangkut sepak-terjanginteligensia Muslim ini semakin mendapatkan liputan mediayang luas, menyusul pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) pada bulan Desember 1990.

Ketika gerakan reformasi muncul pada 1997/1998, beberapafigur inteligensia Muslim memainkan peran-peran yang krusialdalam proses pengunduran diri Suharto. Signifikansi politikdari inteligensia Muslim ini semakin nyata pada masa pemerintahan(transisi) Habibie, yaitu ketika para anggota kabinet dan pejabatsenior birokrasi kebanyakan berasal dari para anggota ICMI.Saat yang bersamaan, kepemimpinan partai Golkar (yangmerupakan penerus dari mesin politik Orde Baru) mulaididominasi oleh para mantan aktivis Himpunan MahasiswaIslam (HMI). Capaian politik inteligensia Muslim ini memuncakdengan terpilihnya Abdurrahman Wahid (mantan ketua tanfidziyahNahdlatul Ulama) sebagai Presiden pasca-Habibie, yang disusuldengan penunjukan figur-figur Muslim sebagai pejabat-pejabatsenior negara.

Meskipun inteligensia Muslim pada akhir abad ke-20 telahmampu mencapai kredibilitas intelektual yang lebih kuat, selainjuga menempati posisi-posisi politik dan birokratik yang lebihbaik, partai politik Muslim secara keseluruhan tak kunjungmemperoleh dukungan suara mayoritas. Pada Pemilihan Umumtahun 1998, jumlah suara yang diperoleh oleh semua partaiMuslim, termasuk partai-partai yang menjadikan Pancasila

2 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 23: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

sebagai asasnya, hanya sebesar 36,38%, yang berarti hanyameraup 37,46% dari total kursi di DPR (yakni 173 kursi daritotal 462 kursi yang ada).7 Lebih dari itu, saat posisi politik danbirokratik dari inteligensia Muslim meningkat, sebagian besardari para pemimpin senior Islam menjadi kurang terobsesidengan klaim-klaim Islam. Mereka tak lagi terlalu berobsesidengan agenda pencantuman kembali ‘Piagam Jakarta’8 dalamkonstitusi negara.

Gambaran mengenai inteligensia Muslim pada akhir abadke-20 ini kontras dengan gambaran mereka pada awal abad ke-20. Sepanjang dekade-dekade awal abad ke-20, hanya sedikitdari lapisan berpendidikan terbaik dari inteligensia Indonesiayang bersedia bergabung dengan perhimpunan-perhimpunanIslam, seperti Sarekat Islam (SI), karena sebagian besar darimereka lebih suka bergabung dengan organisasi-organisasi yangmemiliki kaitan-kaitan dengan kaum priyayi seperti Budi Utomo.Namun, dengan keberhasilannya membela dan memenangkanhati masyarakat terjajah di akar rumput, SI muncul sebagaiperhimpunan Hindia Belanda pertama yang memiliki konstituenyang tersebar luas—melintasi batas-batas kepulauan Nusantara—dan berhasil memiliki jumlah keanggotaan yang terbesardibandingkan dengan perhimpunan-perhimpunan yang ada padamasa itu. Sementara, pada akhir abad ke-20, ada banyak sekalilapisan terdidik terbaik dari masyarakat Indonesia yang bergabungdengan perhimpunan-perhimpunan mahasiswa dan inteligensiaIslam (seperti HMI, ICMI, dan KAMMI), serta juga partai-partai Muslim. Namun daya tarik Islam politik di kalanganmasyarakat akar rumput cenderung merosot.

Meski pengaruh inteligensia Muslim meningkat dan sikappolitik inklusif di kalangan kaum Muslim menguat, partai-partaiIslam dan identitas-identitas komunal masih juga bertahan.

Pendahuluan | 3

Page 24: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Terus bertahannya politik identitas Muslim ini bisa dilihat dariupaya-upaya yang dilakukan oleh lapisan-lapisan tertentu dariinteligensia Muslim, terutama di kalangan generasi mudanya,untuk berjuang demi diterapkannya Hukum Islam (syariah).Saat yang bersamaan, label-label Islam masih tetap dipakaisecara luas sebagai nama-nama bagi organisasi-organisasi kaumterpelajar dan politik.9

Seiring dengan kemunculan partai-partai Muslim yang liberalmaupun yang tak liberal (illiberal), pertarungan ideologi danidentitas politik baik antar maupun intra tradisi-tradisi intelektualyang ada terus berlangsung dengan agenda yang berbeda sertaintensitas dan ekspresi yang beragam. Di sini, politik Muslimmengalami fragmentasi internal dalam skala yang belum pernahterjadi sebelumnya, seperti ditunjukkan oleh kemunculan secaraberlimpah partai-partai politik Muslim. Sepanjang era reformasi,bahkan inteligensia Muslim yang pernah bersatu dalam ICMImenjadi tercerai-berai ke dalam beragam orientasi partai.

Semua gambaran tersebut mencerminkan adanya ke -sinambungan (continuity) dan perubahan-perubahan (changes)dalam gerak perkembangan inteligensia Muslim. Adanya gambarandiakronik dan sinkronik dari inteligensia Muslim ini patutmemperoleh perhatian yang serius dari kaum akademisi.Inteligensia Indonesia, dengan meminjam kata-kata Shils, telahmenjadi ‘penyeru’, ‘pemimpin’, dan ‘pelaksana’ dari politiknasional (Shils 1972: 387). Untuk satu atau lebih alasan, tingginyaketerlibatan politik dan keasyikan inteligensia Indonesia dalampertarungan memperebutkan kekuasaan masih tetap menjadisebuah gambaran pokok dari dunia perpolitikan Indonesia.Maka, upaya untuk memahami kesinambungan dan perubahan-perubahan yang berlangsung dalam gerak perkembanganinteligensia Indonesia merupakan sesuatu yang penting untuk

4 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 25: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

dilakukan agar kita bisa memahami kesinambungan dan perubahan-perubahan dalam pembentukan elit Indonesia dan politiknya.

Lebih dari itu, transformasi inteligensia Muslim dari posisimarjinal menuju posisi sentral dalam dunia politik dan birokrasiIndonesia tampak membingungkan jika kita berusahamemahaminya dalam konteks studi-studi yang telah ada mengenaielit Indonesia modern dan politiknya. Clifford Geertz dalamkaryanya yang berpengaruh, The Religion of Java (1960, 1976),menggambarkan bahwa elemen-elemen aristokratik dan birokratik(priyayi) dari masyarakat Jawa merupakan kalangan yangmerepresentasikan pandang dunia pra-Islam. Dia bahkancenderung melukiskan priyayi dan santri (elemen Muslim yangtaat) sebagai kategori-kategori yang bersifat saling berlawanan.10

Robert van Niel (1970) melukiskan elit Indonesia modernsebagai ‘para peniru cara-cara Barat’ yang secara gradualtercerabut ‘akarnya dari masyarakat Indonesia’ (1970: 23-7). R.William Liddle (1973) menyoroti dominasi ‘para intelektualmodern yang sekuler’ (secular modernising intellectuals) dalamkemunculan Orde Baru. Donald K. Emmerson (1976) mengamatibahwa ‘pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, rezimmiliter, teknokratik dan birokratik Indonesia tidak bisa disebutsebagai Muslim, baik dalam namanya maupun dalam praktiknya’(1976: 23).11 Ruth McVey (1989) sendiri menggambarkan ‘iman’(Islam) sebagai unsur luar dalam dunia politik Indonesia.

Meningkatnya pengaruh inteligensia Muslim, baik secaraintelektual, politik, dan birokratik, setelah sekian lama mengalamimarjinalisasi Islam politik, menghadirkan wawasan-wawasanbaru yang menyiratkan betapa pentingnya mempertimbangkanberagam faktor penentu politik dan beragam medan relasi kuasadalam dunia perpolitikan Indonesia. Di sisi lain, melemahnyadaya tarik partai-partai Islam buat para pemilih akar rumput

Pendahuluan | 5

Page 26: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

dan berubahnya sikap politik di kalangan anggota seniorinteligensia Muslim di akhir abad ke-20 mengindikasikanpentingnya mempertimbangkan keadaan-keadaan sinkronik(perubahan) yang ada di dalam sebuah bentangan perkembangandiakronik (kesinambungan) dari inteligensia Muslim.

Studi penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk menelaahgenealogi inteligensia Muslim dalam hubunganya denganpertarungan ‘kuasa’ (power) di Indonesia abad ke-20. Dalamupaya ini, pendekatan dengan kerangka waktu longue duréeakan dikombinasikan dengan sebuah metode interaktif,interdisipliner dan intertekstual untuk mendapatkan pemahamanyang lebih baik mengenai beragam impuls dan interaksi yangturut memberikan sumbangan bagi kesinambungan dan perubahandalam gerak perkembangan jangka panjang dari inteligensiaMuslim dalam relasinya dengan ‘kuasa’.

Dasar-Dasar AnalisisDalam studi mengenai ‘genealogi inteligensia Muslim (dankuasa) di Indonesia abad keduapuluh’, paling tidak terdapatlima istilah konseptual yang perlu dijelaskan secara lebih jauh:yaitu ‘genealogi’, ‘Muslim’, ‘inteligensia’, ‘kuasa’ (power), dan‘Indonesia’.

GenealogiIstilah ‘genealogi’ di sini didefinisikan baik dalam artiankonvensional maupun artian Foucauldian. Mengikuti studi-studisejarah dan antropologi tradisional, ‘genealogi’ bisa didefinisikansebagai studi mengenai evolusi dan jaringan dari sekelompokorang sepanjang beberapa generasi. Konsep genealogi ini bergunauntuk memperhatikan gerak perkembangan diakronik dan rantai

6 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 27: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

intelektual antar-generasi dari inteligensia Muslim Indonesia.Dalam artian Foucauldian, ‘genealogi’ merupakan sejarah

yang ditulis dalam terang penglihatan dan kepedulian (concerns)masa kini. Dalam pandangan Foucault, sejarah selalu ditulis dariperspektif masa kini. Sejarah merupakan pemenuhan atas sebuahkebutuhan masa kini. Fakta bahwa masa kini selalu beradadalam sebuah proses transformasi mengandung implikasi bahwamasa lalu haruslah terus-menerus dievaluasi-ulang. Dalam artianini, ‘genealogi tak berpretensi untuk kembali ke masa laludengan tujuan untuk memulihkan sebuah kontinuitas yang takterputus.’ Justru sebaliknya, ‘genealogi berusaha mengidentifikasihal-hal yang menyempal (accidents), mengidentifikasipenyimpangan-penyimpangan yang kecil (the minute deviations)’.Genealogi memfokuskan diri pada retakan-retakan, pada kondisi-kondisi sinkronik dan pada tumpang tindihnya pengetahuanyang bersifat akademis dengan kenangan-kenangan yang bersifatlokal (Foucault 1994, 1996; Lechte 1995: 110-115). ‘Genealogi’dalam artian ini berguna untuk memperhatikan dinamika,transformasi dan diskontinuitas dalam gerak perkembanganhistoris dari inteligensia Muslim.

Maka, dengan menerapkan pembacaan secara genealogis,penelitian ini akan menempatkan keadaan-keadaan sinkronik(perubahan pada saat-saat tertentu) dalam kerangka waktu yangdiakronik (lama-sinambung). Penekanan Saussurean danFoucauldian mengenai pentingnya mempelajari momen-momenyang bersifat sinkronik, dalam penelitian ini akan diimbangidengan memberikan perhatian kepada sebuah proses diakronikyang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Sepertipertanyaan yang diajukan secara retoris oleh Penelope J. Corfield(1991: 6): ‘Bagaimana bisa struktur-struktur yang bersifatsinkronik akan bisa ditelaah tanpa merujuk kepada arus ruang-

Pendahuluan | 7

Page 28: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

dan-waktu diakronis yang bersifat niscaya?’ Sementara studiatas momen-momen sinkronik akan bisa memperlihatkan kondisi-kondisi historis dari sebuah bangunan sosial, studi atas waktudiakronik akan bisa mengungkapkan jaringan jejak-jejak dankenangan-kenangan dari sebuah sejarah yang berlangsung lebihpanjang.12 ‘Setiap kondisi historis memunculkan polarisasi yangbersifat dialektis dan menjadi sebuah medan kekuatan (Kraftfeld)dimana di dalamnya berlangsung konflik antara masa lalu (fore-history) dan masa depan (after-history)’, demikian kata WalterBenjamin (1980: 60).

Studi atas kontinuitas yang bersifat diakronik yangdikombinasikan dengan studi atas perubahan yang bersifatsinkronik adalah penting untuk bisa mengamati proses ‘strukturasi’(structuration), -dalam artian Giddens (1984),- dari tradisi-tradisi intelektual. Ide-ide, peran, dan persepsi-diri kaumintelektual dipengaruhi oleh batas-batas tradisi intelektual dankultural terentu yang terbangun secara historis serta kemungkinantindakan dan kemauan-kemauan aktor-aktor sosial (humanagencies). Dengan demikian, inteligensia dan/atau para intelektualmerupakan bagian dari sebuah proses historis dimana di dalamnyapara aktor manusia membentuk-kembali (reinvent) tradisi-tradisikultural dan intelektualnya dalam konteks-konteks yang berbeda(Eisenstadt 1973).

Fokus perhatian buku ini terhadap proses diakronik darigerak perkembangan inteligensia Muslim sungguh penting karenapara analis arus-utama dalam bidang kajian politik Indonesiaterlalu mengarahkan perhatiannya kepada keadaan-keadaansinkronik dalam Islam politik. Konsentrasi analisis politikterhadap peristiwa-peristiwa politik harian (day-to-day politicalevents) akan beresiko memberikan perhatian yang terlalu banyakterhadap, meminjam pandangan Fernand Braudel (1980), waktu

8 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 29: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

yang bersifat individual, waktu kondisional (conjuncture) dalamdirinya sendiri, tanpa mempertimbangkan durasi jangka panjang(longue durée).

Karena mengabaikan kerangka waktu ‘longue durée’, trikotomiGeertz mengenai ‘santri-abangan-priyayi’13 gagal untuk melihatkonstruksi pandangan dunia (worldview) priyayi di masa lalu(backward) maupun di masa depan (forward). Dia mungkinakan heran bahwa jauh sebelum dia melakukan penelitianlapangnya pada tahun 1950-an, beberapa figur dari inteligensiaHindia Belanda yang baru muncul pada awal abad ke-20, sepertiTjipto Mangunkusumo, Tirto Adhi Surjo, Agus Salim,Tjokroaminoto, Djajadiningrat bersaudara, dan Sutomo dalamkenyataannya merupakan anak-anak dari keluarga priyayi yangmemiliki latar belakang keagamaan santri yang kuat (lihat bab3). Dia juga mungkin akan heran bahwa beberapa dekade setelahpenelitiannya, gambaran mengenai santri sebagai elemen pedagangdalam masyarakat Indonesia telah mulai dikalahkan oleh gambaransantri sebagai birokrat-baru.

Di sisi lain, fokus buku ini terhadap perubahan sinkronikpenting untuk menyelamatkan sejarah intelektual dari asumsi-aumsi esensialisme. Mochtar Pabottingi (1982), misalnya, dalamstudinya mengenai para intelektual Indonesia pada masa sebelumRevolusi Kemerdekaan 1945 sampai pada kesimpulan bahwaintelektual Indonesia telah selalu terikat dengan, dan tak pernahterasing dari, massa rakyat. Sementara dalam kenyataan, paraintelektual dari generasi pertama inteligensia Indonesia pernahmengalami masa dimana ruang publik mereka pada awalnyahanya terbatas pada sebuah kelompok inti priyayi terdidik,sementara publik dalam artian massa yang lebih luas, masihmerupakan pihak ketiga yang bersifat anonim, tak berbentukdan tak acuh.

Pendahuluan | 9

Page 30: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Fokus perhatian kepada perubahan-perubahan sinkronik jugaakan memperlihatkan bahwa identitas-identitas politik inteligensiaMuslim tidaklah merupakan sebuah konstruk yang bersifat baku(fixed) dan stabil, yang bertahan sejak awal sampai akhir melewatisegenap perkembangan sejarah tanpa ada perubahan. Meminjamkata-kata Stuart Hall (1997: 4): ‘Identitas adalah persoalanmengenai bagaimana menggunakan sumberdaya sejarah, bahasadan kebudayaan dalam proses menjadi (becoming)... Identitas-identitas itu tunduk pada proses menyejarah secara radikal(radical historicization), dan secara terus-menerus berada dalamproses perubahan dan transformasi; individu-individu sendiritersusun dari banyak identitas, dan keberagaman identitasindividu ini dikonstruksikan dalam konteks yang berbeda-beda’(Mouffle 2000). Dalam proses transformasi dan konstruksi ini,praktik-praktik diskursif memainkan peran yang menentukan.Seperti yang dicatat oleh Hall (1997: 4): ‘Identitas-identitas ter -bangun di dalam, bukan di luar, discourse (wacana perbincangan),dan karena itu kita harus memahami identitas-identitas tersebutsebagai sesuatu yang terbentuk dalam ruang-ruang historis daninstitusional yang spesifik lewat struktur dan praktik-praktikdiskursif yang spesifik.’

MuslimIstilah ‘Muslim’ dalam buku ini bukanlah sebuah penanda(signifier) terhadap setiap orang yang menganut agama Islamdan juga bukan sebuah rujukan (reference) terhadap sikapkesalehan dalam beragama. Mereka yang termasuk dalaminteligensia Muslim tidak dengan sendirinya merupakan Muslimyang saleh, dan mereka yang tidak termasuk inteligensia Muslimtidak dengan sendirinya merupakan Muslim yang tak saleh.‘Muslim’ di sini merupakan sebuah penanda (signifier) dari

10 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 31: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

tradisi-tradisi politik dan intelektual yang berorientasi Islamyang terkonstruksikan lewat praktik-praktik diskursif dalamsuatu momen historis tertentu dalam sejarah Indonesia. ‘OrientasiIslam’, merujuk pada keterikatan tradisi-tradisi politik danintelektual ini dengan ideologi-ideologi dan/atau kolektivitas-kolektivitas Islam. Ideologi-ideologi Islam sendiri beragam danberbeda-beda karena adanya pertarungan dan ragam posisi yangsaling berlawanan; sementara yang disebut sebagai kolektivitas-kolektivitas Islam meliputi ‘komunitas-komunitas epistemik’(epistemic communities, seperti sekolah-sekolah, lembaga dakwah,zawiyah dan sebagainya.), perhimpunan-perhimpunan Islam(seperti yayasan, perkumpulan-perkumpulan dan partai-partaipolitik) dan kelompok-kelompok aksi Islam. Konsep ‘Islam’sebagai kata sifat dari kolektivitas-kolektivitas tersebut sekalilagi terkonstruksikan dalam ruang-ruang historis dan institusionalyang spesifik lewat struktur dan praktik-praktik diskursif yangspesifik. Dengan demikian, maka konsep ‘Islam’ itu pun tundukpada proses pertarungan, perubahan, dan transformasi.

Istilah ‘Muslim’ berkembang dari hasil pertarungan wacanaserta perbenturan dengan identitas-identitas yang lain, dankarena itulah, istilah tersebut memiliki sebuah dimensi politis.Istilah tersebut telah dipolitisasi untuk beberapa alasan. Pertama,istilah ini bisa jadi merupakan sebuah refleksi dari suatu sikapnasionalisme yang terfragmentasi. Fragmentasi ini lahir dariadanya kenyataan pluralitas bangsa dan dari adanya keragamankenangan-kenangan dan identitas-identitas kolektif, selain jugadari adanya kepelbagian dalam posisi subjek (subject positions),tradisi dan jaringan intelektual dari masyarakat Indonesia.

Dari sudut pandang perspektif-perspektif ini, keasyikandengan politik identitas dan simbol-simbol Islam menandakansuatu situasi ganda. Di satu sisi, keasyikan itu bisa ditafsirkan

Pendahuluan | 11

Page 32: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

sebagai apa yang mungkin disebut Alain Touraine sebagai sebuah‘tindakan historis’ (a historical action) dari suatu identitaskolektif tertentu dalam ‘perjuangan untuk menyejarah’ (strugglefor historicity) (Touraine, 1981). Di sisi yang lain, keasyikan itumengindikasikan adanya sebuah kecenderungan patologi pasca-kolonial yang kambuhan, ditandai oleh adanya kontradiksi-kontradiksi yang terus berlangsung karena adanya kemacetanhistoris. Menurut Albert Memmi (seorang intelektual danrevolusioner Tunisia), patologi pasca-kolonial bersifat limboantara kemungkinan kebebasan yang nyata (the visible apparatusof freedom) dengan bayang-bayang ketidakbebasan yang terusmengancam (the concealed persistence of unfreedom), antaramenjadi-ada (arrival) dan menjadi-lenyap (departure), antarakemerdekaan (independence) dan ketergantungan (dependence),yang berakar pada residu infeksi-infeksi masa lalu yang terpendamdan tak terselesaikan (unconsidered and unresolved past)’ (Gandhi1998: 6-7).

Yang kedua, politisasi atas simbol-simbol Islam tampaknyamerupakan residu yang bersifat menular dari apa yang pernahdisebut W.F. Wertheim (1980) sebagai sindrom ‘mayoritas denganmentalitas minoritas’, yang lahir karena posisi ironis Islam dinegeri ini:

Mayoritas besar orang Indonesia menganut agama Islam. Darisudut pandang kuantitatif, Indonesia bahkan bisa dianggapsebagai ‘negara Islam’ terbesar di dunia. Namun, sikap-sikapmental dari ummat Islam di negeri tersebut menunjukkan sikap-sikap mental yang khas dari sebuah kelompok minoritas. Halini terutama disebabkan oleh fakta bahwa dalam medan politik,sepanjang sejarah abad-abad yang lalu, para wakil ummat Islamsecara konsisten lebih diposisikan sebagai orang luar (Wertheim1980: 1)

12 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 33: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Yang ketiga, istilah ‘Muslim’ telah secara sering dipolitisasikarena adanya konflik internal dalam ummat Islam dalampertarungan memperbutkan klaim sebagai wakil ‘sejati’ dariIslam. Heterogenitas latar belakang Muslim Indonesia, baikdalam kerangka etnis, kultur, geografi dan mazhab-mazhabkeagamaan, yang berkombinasi dengan tidak terlalu besarnyatekanan dari non-Muslim (paling tidak dalam hal jumlah) disebagian besar daerah di Indonesia, telah menciptakan sebuahkesempatan yang lebih besar bagi terciptanya variasi internaldalam tubuh ummat Islam. Akibatnya, politik Islam Indonesialebih dicirikan oleh keberagaman, oleh pertarungan, dan olehberagam pemikiran yang saling bertentangan, yang seringkalimerangsang terciptanya sebuah proses politisasi yang intensterhadap Islam.

Yang terakhir, namun yang juga sama pentingnya, bagi banyakgenerasi muda Muslim, terutama mereka yang dibesarkansepanjang masa-masa akhir dari era modernisasi Orde Baru,obsesi akan simbolisme Islam mungkin didorong oleh adanyaintrusi dari kondisi-konsisi post-modern serta penetrasi budayamassa yang bersifat global. Hidup dalam sebuah dunia post-modern, seperti yang dijelaskan Baudrillard (1992) kepada kita,berarti hidup dalam sebuah gerak interpenetrasi pengalaman-pengalaman kultural dan pluralisasi alam kehidupan yang dialamimanusia sehingga melahirkan ketidakjelasan nilai-nilai ideal danmenumbuhkembangkan gaya hidup konsumerisme yangmenyebabkan terdiferensiasi dan terfragmentasinya cara pandangatas dunia (worldview). Perkembangan-perkembangan ini memilikisebuah dampak yang serius terhadap kaum Muslim Indonesia,sebagaimana yang juga dialami oleh umat beragama yang lain didunia, dan dampak ini bagi para aktivis Muslim dianggap sebagaisebuah ancaman penetrasi kolonialisme baru yang bersifat tak

Pendahuluan | 13

Page 34: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

langsung, yaitu dalam bentuk sekularisasi kebudayaan. Jadi,meminjam pandangan Turner, balikan mereka kepada ‘identitasMuslim’ merupakan ‘sebuah upaya untuk menciptakan sebuahgemeinschaft baru, sebuah versi baru dari rumah tradisional,untuk menangkal ancaman dari postmodernitas dengan jalanmembangun kembali ideologi komunal’ (Turner 1994: 93).

Dengan kata lain, keasyikan dalam identitas-identitas dansimbol-simbol Islam ini merupakan sebuah indikasi dari apayang disebut Geertz sebagai ‘pergulatan demi menyatakan-diri’(struggle for the real) (1972: 324)14 yang tak pernah lelah darikaum Muslim, yang merefleksikan adanya jurang-jurang yangsangat lebar dan adanya pergulatan yang begitu lama antaranilai-nilai ideal Islam dan kenyataan. Sebuah ancangan terhadapsudut pandang ini pernah diungkapkan oleh Abu-Rabi’: ‘Maka,Islamisme merupakan sebuah cermin dari suatu krisis patologisyang berurat berakar dalam masyarakat Islam’ (Abu-Rabi’ 1996:59).

Inteligensia dan IntelektualFokus perhatian utama dari buku ini ialah genealogi dari entitaskolektif ‘inteligensia’ Muslim—yang merupakan sebuah sub-stratum dari inteligensia (kaum terdidik modern) Indonesia—ketimbang genealogi dari para ‘intelektual’ Muslim secaraindividual. Namun, pada saat melukiskan gerak perkembangandari sebuah kelompok inteligensia tertentu, secara tak terelakkanperhatian juga akan terarah pada peran para intelektual secaraindividual sebagai perumus dan artikulator dari identitas-identitasdan ideologi-ideologi kolektif.

Mendefinisikan ‘inteligensia’ dan ‘intelektual’ merupakansesuatu yang sangat problematik. Kedua istilah tersebut telah

14 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 35: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

dipergunakan secara tumpang tindih dalam wacana mengenaisejarah dan politik Indonesia. Tak ada pemahaman bahwamasing-masing memiliki genealogi dan formasi sosialnya sendiri-sendiri, sehingga karena itu, keduanya merujuk pada suatukonsep dan fenomena sosial yang berbeda. Mohammad Hatta,dalam pidatonya yang bersejarah di hadapan sivitas akademikaUniversitas Indonesia pada tanggal 11 Juni 1957 yang berjudul‘Tanggung Djawab Moril Kaum Inteligensia’ menafsirkan‘inteligensia’ sebagai sinonim dengan ‘intelektual’ danmenggunakan konsepsi intelektual yang dipakai Benda dalamkaryanya La Trahison des Clercs (Pengkhianatan Kaum Intelektual)sebagai kerangka konseptualnya (Hatta 1957). Selo Soemardjanpernah menulis ‘The Changing Role of intellectuals in IndonesianNational Development’ (1981) untuk menjelaskan peran‘inteligentsia’. Dia berargumen: ‘...konsep intelektual dalamartian mereka yang dianggap atau menganggap diri merekasendiri sebagai intelektual haruslah diartikan identik dengankata ‘inteligensia’ (Soemardjan 1981: 139-140). Pada saat yangbersamaan, Arief Budiman menulis ‘Students as Intelligensia:The Indonesian Experience (1981), dengan menggunakan kerangkaliteratur-literatur Eropa Barat mengenai ‘intelektual’, dimana didalamnya istilah ‘intelektual’ dan ‘inteligensia’ dipakai dengansaling dipertukarkan. Pada satu kesempatan, dia menyatakanbahwa para mahasiswa Indonesia termasuk ke dalam ‘kelompokintelektual’ (h. 224). Pada kesempatan yang lain, dia melukiskanpara mahasiswa sebagai inteligentsia (h. 225). Hanya beberapabulan sebelum saya menyelesaikan tesis ini, Daniel Dhakidaemenerbitkan bukunya mengenai para intelektual Indonesiasepanjang Orde Baru dengan judul Cendekiawan dan Kekuasaandalam Negara Orde Baru (2003). Namun, dalam buku itu, diatak memberikan pembedaan yang jelas antara konsep ‘intelektual’

Pendahuluan | 15

Page 36: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

dan ‘inteligensia’. Selain mengasosiasikan istilah ‘inteligensia’dengan ‘intelektual’, dia menggunakan kasus ‘inteligensia’ Rusiasebagai contoh dari keberadaan ‘intelektual’ (h. 8-9).

Ambiguitas semacam itu bukan hanya tampak nyata dalamstudi mengenai Indonesia, namun juga berlangsung umum dalamwacana ilmiah Barat. Menurut Aleksander Gella (1976), paraahli sosiologi Barat selama jangka waktu yang lama ‘bahkantidak melihat adanya perbedaan antara para intelektual di Baratdengan formasi sosial yang unik dari suatu stratum, yang disebutintelligentsia, yang mulai berkembang di Rusia dan Polandiasepanjang pertengahan abad kesembilanbelas’. Dia bahkanmenunjukkan bahwa istilah ‘inteligensia’ tidak diberikan entritersendiri baik dalam Encyclopaedia of the Social Sciencesmaupun dalam International Encyclopedia of the Social Sciences.Lebih dari itu, dia mengamati bahwa dalam karya RobertMichels (1932) dan Edward Shils (1968), kedua istilah tersebuttidak dianggap sebagai dua konsep yang berbeda. SementaraMichels menggunakan istilah-istilah tersebut secara salingdipertukarkan, Shils ‘lebih konsisten dan menulis hanya semata-mata mengenai para intelektual, dengan meniadakan hampirsemua rujukan mengenai pasangan imbangan dari konsep itu(yaitu, intelligentsia), yang muncul di Eropa Timur’ (Gella 1976:19).

Deskripsi yang diuraikan oleh Gella tersebut merupakansebuah indikasi mengenai adanya kontras dalam pendekatanuntuk memahami istilah ‘intelektual’ dan ‘inteligensia, yaituantara pendekatan formalistik dan historis. Pendekatan yangpertama merupakan pendekatan yang khas para sosiolog EropaBarat dan Amerika, yang secara umum cenderung mengidentikkaninteligensia dengan intelektual. Dalam pendekatan ini, baikintelektual maupun inteligensia menunjuk pada seorang individu

16 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 37: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

atau kelompok individu yang berurusan dengan dunia ide-ide,dan menjalankan peran sosialnya sebagai para pemikir ide-ide.Pendekatan yang kedua, yang masih dianut terutama oleh parasosiolog dan sejarawan Eropa Timur, cenderung melihat inteligensiasebagai sebuah fenomena yang unik dan partikular. Dalampendekatan ini, kedua istilah tersebut dipandang memilikiformasi sosialnya masing-masing yang spesifik, dan oleh karenaitu tidak bisa dipertukarkan karena masing-masing memilikiperjalanan historis dan konsekuensi-konsekuensi sosialnya sendiri-sendiri (Gella 1976, 11-12).

InteligensiaBerbeda dengan intelektual, inteligensia tampil sejak awal sebagaisebuah strata sosial.15 Strata sosial ini muncul di Polandia danRusia pada masa kekuasaan Peter Agung (Peter the Great)—namun baru mendapatkan bentuknya pada tahun 1860-an.Strata ini terdiri dari lapis masyarakat yang lebih terdidik,namun berbeda dengan kalangan terdidik lainnya dari kelasatas. Elemen pembentuk utama dari strata yang sedang menanjakini adalah pendidikan dan orientasinya pada kebudayaan Eropa,terutama pada bidang pengetahuan teknis dan sains, yangmelampaui pengadopsian perilaku dan tata krama Eropa yangtelah lama dilakukan oleh para bangsawan (Gella 1976; Eyerman1994).

Disebutkan bahwa sampai abad ke-18, kehidupan intelektualRusia berwatak keagamaan. Namun, dalam abad-abad berikutnya,kaum Muskovit (intelligenty) Rusia semakin terpengaruhsekulerisme Eropa Barat sebagai konsekuensi dari ekspansi Rusialewat penaklukan-penaklukan dan aneksasi-aneksasi militernya,sehingga terbukalah ‘jendela baru’ menuju Dunia Barat, danterjalinlah kontak-kontak yang lebih erat dengan negara-negara

Pendahuluan | 17

Page 38: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

‘di seberang lautan’ (beyond the seas). Proses Westernisasi-yangdiiringi dengan-sekularisasi ini berkembang luas pada masakekuasaan Peter Agung, melalui kebijakannya untuk melakukan‘peminjaman’ budaya secara besar-besaran yang menjadikankaum Muskovi sepenuhnya terbuka terhadap pengaruh-pengaruhBarat di bidang pengetahuan teknik dan sains (Nahirny 1983:19-20). Perintis awal dari misi suci (mission sacre) peminjamanbudaya ini ialah kaum bangsawan—suatu strata yang terdiridari mereka yang mengabdi pada negara. Namun, ketergantunganpada bangsawan sebagai pengusung utama dari misi suci tersebutgagal total karena memang bangsawan merupakan stratamasyarakat yang paling enggan memikul peran tersebut. Padaparuh kedua abad ke-19, orang-orang dari kelas-kelas dan stratasosial yang lebih beragam terlibat dalam proses ini,16 sehinggamenyebabkan terbentuknya strata inteligensia yang memilikikarakteristiknya sendiri (Nahirny 1983: 22-24).

Vladimir C. Nahirny (1983) dan Aleksander Gella (1976)memiliki pemahaman yang sama mengenai karakteristik-karakteristik utama dari strata yang baru tersebut. MenurutNahirny, inteligensia, sebagai sekelompok orang yang memilikikarakteristiknya sendiri, tak dapat disangkal berada di atasdan di luar tatanan sosial yang ada, baik yang berupa sistemkelas maupun status tradisional (estates). Lebih jauh, diamelukiskan:

Karena keunggulan posisinya, para anggota dari strata inteligensiatidak terikat baik oleh kepentingan-kepentingan kelas maupunprofesi, dan juga tidak membentuk sebuah kelompok statusyang terdiri dari para individu yang menikmati hak-hak dankekebalan-kekebalan tertentu yang diterima dari adat kebiasaandan/atau hukum. Oleh karena itu, inteligensia berbeda dari

18 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 39: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

formasi-formasi sosial yang konvensional, seperti klik-klikpersonal, kelompok-kelompok status dalam profesi, perhimpunan-perhimpunan masyarakat profesi, atau lembaga-lembaga korporasi.Meskipun benar bahwa matriks dari inteligensia itu adalahstrata masyarakat berpendidikan, namun anggota-anggotaindividual dari strata ini tidaklah menjadi bagian dari stratatersebut semata-mata karena keunggulan pendidikan dankompetensi profesinya ataupun juga karena prestasi intelektualnyabelaka (Nahirny, 1983: 7-8).

Sejalan dengan pandangan Nahirny, Gella berargumen bahwadalam kedudukannya sebagai sebuah strata sosial, inteligensiajauh lebih dari sekedar sekelompok orang yang disatukan olehkepentingan-kepentingan intelektual tertentu, oleh tingkatan-tingkatan pendidikan ataupun oleh relasi-relasi pekerjaan.‘Inteligensia klasik disatukan bukan oleh standar kehidupan danpendapatan yang bersifat ekonomis maupun oleh kepentingan-kepentingan profesi, namun terutama oleh kesamaan sikap-sikap tertentu, dan oleh penerimaan terhadap suatu warisanbudaya yang lebih luas dari batas-batas nasional’ (Gell 1976:13). Sebagai tambahan: ‘Anggota-angota dari kominitas inteligensia,tanpa mempedulikan status pekerjaan dan ekonominya,dipersatukan oleh suatu panggilan bersama: ‘mengabdi padabangsamu’’ (h. 14). Panggilan ini dalam pengalaman Rusiadikobarkan oleh dorongan untuk menghapuskan Tsarisme, untukmenghancurkan negara lama lewat jalan damai ataupunrevolusioner. Di Polandia, yang menjadi motivasinya ada dua:yaitu untuk menghapuskan kekaisaran para penindas dan jugauntuk membangun kembali negara Polandia yang merdeka (h.15).

Tidak seperti Rusia dan Polandia, dalam masyarakat-masyarakat

Pendahuluan | 19

Page 40: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

pasar bebas di Eropa Barat, orang-orang terdidik tidak membentuksebuah strata tersendiri. Di kebanyakan masyarakat pasar-bebasBarat, orang-orang terdidik (para intelektual) tampil sebagaisebuah bagian organik dari kelas-kelas yang ada. Mereka bolehjadi menjadi bagian dari kelas atas, menengah, dan bahkanproletar (Konrád & Szelényi 1979; Gella 1976: 20). Maka,menjadi seorang intelektual dalam masyarakat-masyarakat EropaBarat sama sekali tidak merubah ikatan kelas atau kesadarankelas seseorang. Namun, di Polandia dan Rusia, inteligensiamembentuk sebuah stratum yang berdiri sendiri denganmengandaikan adanya sebuah identitas kolektif yang memancardari karakteristik-karakteristik psikologis, perilaku, gaya hidup,status sosial, sistem nilai dan panggilan historis bersama (Gella1976: 13).

Kepemimpinan strata ini dipegang oleh sekelompok relatifkecil pemimpin moral dan intelektual. Menurut Gella: ‘Keyakinan-keyakinan, sikap-sikap moral, dan perilaku politik dari parapemimpin ini tidak sepenuhnya diadopsi oleh para anggotakomunitas intelligentsia’ (Gella 1976: 13). Namun, pada umumnyaseorang anggota biasa dari strata inteligensia mempertahankanidentitas kolektif inteligensia dengan menirukan perilaku, danpaling tidak secara verbal, norma-norma dasar serta orientasinilai dari para (pemimpin) ‘intelektual’ dari strata ini. Jadisingkatnya, strata inteligensia ini memiliki intelektual-intelektualnyasendiri yang menjalankan peran sebagai perumus dan artikulatoridentitas kolektif.

IntelektualKalimat terakhir di atas mengaitkan wacana ‘inteligensia’ denganwacana tentang ‘intelektual’ yang berkembang di masyarakatBarat. Istilah ‘les intellectuels’ yang diperkenalkan oleh Clemenceau

20 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 41: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

dipakai secara luas di Prancis pada tahun 1898 sebagai resonansidari ‘manifesto intelektual’ (manifeste des intellectuel) yangdibangkitkan oleh ‘Kasus Dreyfus’ (Feuer 1976: 48; Gella 1976:19). Pada tahun 1896, Alfred Dreyfus, seorang kapten Yahudidalam dinas ketentaraan Prancis dituduh telah melakukanspionase dan dicopot dari pangkatnya oleh sebuah pengadilanmiliter dan dihukum penjara seumur hidup. Sebagai protes ataskesewenang-wenangan keputusan pengadilan itu, Emile Zola,seorang novelis populer yang terkenal, menerbitkan sebuahsurat terbuka di halaman muka sebuah koran kecil yang terbitdi Paris, yang menuduh para anggota dinas ketentaraan Prancistelah merekayasa bukti, memanipulasi dan menutup-nutupifakta-fakta dari kasus tersebut. Surat ini, yang kemudian dikenalsebagai ‘manifeste des intellectuels’ (manifesto para intelektual)menyebabkan perpecahan di kalangan pengarang Prancis menjadidua kubu: yaitu kubu Dreyfusard (yang membela Dreyfus) dankubu anti-Dreyfusard. Dari polarisasi ini, muncullah istilah‘intelektual’, yang pada awalnya merupakan sebuah istilahcemoohan yang memiliki konotasi negatif. Buat kubu anti-Dreyfusard, yang berbicara dari sudut pandang pendukunginstitusi-institusi negara, istilah ‘intelektual’ dipakai untukmenunjuk kepada para penulis dan selebritis yang berorientasi-pasar yang memiliki keterkaitan dengan kubu Dreyfusard.Namun, efek dari pelabelan ini malah semakin memperteguhkubu Dreyfusard, dan malah memberikan kepada mereka sebuahnama dan kesadaran akan identitas mereka yang baru. Sejaksaat itu, kata ‘intelektual’ bukan hanya menjadi sebuah istilahyang populer, namun juga menjadi sebuah model bagi bentukbaru keterlibatan dalam kehidupan publik dan juga bagi peranbaru untuk dimainkan (Eyerman 1994: 23-53).

Maka, pada tahap-tahap awal kemunculannya, intelektual

Pendahuluan | 21

Page 42: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

menunjuk pada sebuah kelompok dengan misi yang di -proklamirkan sendiri, yaitu membela sebuah nurani bersamaatas persoalan-persoalan politik yang mendasar. Namun, dalamperkembangan berikutnya, definisi-definisi dari intelektualmenjadi berlimpah dan beragam. ‘Setiap definisi yang merekaajukan’, kata Zygmunt Bauman, ‘sesungguhnya merupakansebuah upaya untuk menarik garis batas identitasnya masing-masing. Setiap batasan membelah wilayah menjadi dua sisi:yaitu di sini dan di sana, di dalam dan di luar, kita dan mereka’(Bauman 1989: 8).

Mengikuti pendapat Eyerman (1994: 1), beragam definisitersebut bisa dikelompokkan menjadi dua kategori. Yang pertama,definisi yang menginterpretasikan intelektual dalam kerangkakarakteristik-karakteristik personal, seperti ‘seorang yangmenjadikan berpikir sebagai kerja sekaligus bermain’ (Lasch1965) atau mereka ‘yang tak pernah puas dengan hal-halsebagaimana adanya’ (Coser 1965: viii). Michael Walzer (1989)dan Paul Johnson (1988) juga mengikuti dan mengembangkandefinisi semacam ini. Yang kedua, definisi yang mengaitkanistilah tersebut dengan suatu struktur dan fungsi sosial tertentu.Definisi seperti ini diajukan, misalnya, oleh Seymour MartinLipset yang mendefinisikan para intelektual sebagai mereka‘yang menciptakan, menyebarluaskan, dan menjalankankebudayaan’ (1960: 311), oleh Alvin Gouldner (1979), GeorgeKonrád dan Ivan Szelényi (1979), Pierre Bourdieu (1984, 1988),dan Antonio Gramsci (1971).

Sebagai tambahan terhadap Eyerman, teori-teori mengenaifungsi sosial dari para intelektual pada umumnya bisa jugadibagi menjadi dua perspektif yang saling bertentangan. Di satusisi, para teoretisi politik yang terpengaruh oleh Marx danLenin memandang bahwa pemikiran-pemikiran para intelektual

22 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 43: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

ditentukan terutama oleh relasi mereka dengan struktur kekuasaanatau ekonomi. Di sisi lain, para sosiolog yang terpengaruh olehide-ide Weber memandang pemikiran-pemikiran para intelektualdalam kerangka relasinya dengan pengetahuan (Miller 1999).

Eksponen paling berpengaruh dari perspektif yang pertamaadalah Gramsci, Baginya, sangatlah problematik jika harusmengidentifikasi para intelektual sebagai orang-orang yangmemiliki kualitas-kualitas khusus yang dianggap bersifat bawaan(innate).17 Dalam pandangannya, setiap orang ‘menjalankanbeberapa bentuk aktivitas intelektual’, ‘namun tidak semuaorang dalam masyarakat menjalankan fungsi sebagai intelektual’(Gramsci 1971: 8-9). Maka, faktor penentu apakah seseorangitu bisa dikategorisasikan sebagai seorang intelektual ataukahseorang pekerja manual terletak pada ‘fungsi sosial’-nya. Berbedadengan pandangan liberal yang melihat kaum intelektual sebagaisesuatu yang berada ‘di atas’ atau ‘di luar’ masyarakat, Gramscimemahami para intelektual sebagai sebuah bagian integral darimaterialitas yang kongkret dari proses-proses yang membentukmasyarakat. Atas dasar fungsi sosial dan afinitas sosialnya,Gramcsi membedakan dua kategori intelektual: yaitu intelektual‘tradisional’ dan intelektual ‘organik’. Dalam kategori intelektual‘tradisional’, Gramsci memasukkan bukan hanya para filosof,sastrawan, ilmuwan dan para akademisi yang lain, namun jugapara pengacara, dokter, guru, pendeta, dan para pemimpinmiliter (Gramsci 1971: 7, 9). Menurut penilaiannya, paraintelektual tradisional secara niscaya akan bertindak sebagaiantek dari kelompok penguasa. Bahkan, saat mereka bersikapkritis terhadap status quo pun, mereka pada dasarnya tetapmembiarkan sistem nilai yang dominan menentukan kerangkaperdebatan mereka (Gramsci 1971: 7-8, 12). Sementara para‘intelektual organik’ menurutnya menunjuk pada para intelektual

Pendahuluan | 23

Page 44: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

yang berfungsi sebagai perumus dan artikulator dari ideologi-ideologi dan kepentingan-kepentingan kelas, terutama dikaitkandengan ideologi-ideologi dan kepentingan-kepentingan kelasyang sedang tumbuh (kelas buruh). Dia berargumen bahwasemua kelompok sosial yang memainkan peran ekonomi yangsignifikan secara historis menciptakan intelektual-intelektualnyasendiri untuk menjustifikasi peran tersebut: ‘Setiap kelompoksosial terlahir dalam medan fungsinya yang pokok, dan bersamaandengan itu, secara organis melahirkan satu atau lebih stratakaum intelektualnya sendiri yang akan menciptakan homogenitasdan kesadaran akan fungsi dalam diri kelompok sosial tersebut,bukan hanya di medan ekonomi, namun juga di medan sosialdan politik’ (Gramsci 1971: 5).

Konsepsi Gramsci mengenai intelektual organik menimbainspirasinya dari interpretasi Marxis mengenai formasi sosialyang ada dalam konteks Eropa yang meletakkan persoalan-persoalan status sebagai bergantung kepada kepentingan-kepentingan kelas. Karena itulah, dia menempatkan konsepsimengenai intelektual organik ke dalam struktur kelas. Namun,di negara-negara dimana formasi kelasnya kurang begitu tegasatau terkonsolidasi seperti halnya di Eropa, argumen Weberbahwa status itu tak bisa direduksi secara memuaskan ke dalampersoalan kelas mendapatkan justifikasinya.18 Di Indonesia,misalnya, dimana formasi sosial tak pernah menjadi basis utamabagi penyatuan sosial, kebanyakan intelektual berkelompok atasdasar solidaritas kultural ketimbang atas dasar kelas. Problemlain yang muncul dari konsepsi Gramsci bahwa aktivitas-aktivitasintelektual dari para intelektual organik terarah sepenuhnyapada usaha untuk memenuhi kepentingan-kepentingan kelasnyasendiri. Dengan begitu, ‘para intelektual organik’ dari kaumproletariat akan merupakan orang-orang yang berlatar belakang

24 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 45: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

kelas buruh. Ini merupakan sesuatu yang bersifat problematik,terutama untuk konteks-konteks negara-negara non-Eropa sepertidi Amerika Latin dan di Indonesia, karena mayoritas besar paraintelektual, bahkan sebagian besar dari para intelektual darikelas buruh (partai komunis), merupakan orang-orang yangmemiliki latar belakang priyayi dan borjuis (kecil).

Keterbatasan-keterbatasan konsepsi Gramscian mengenaiintelektual meninggalkan ruang kosong yang diisi oleh konsepsiWeber. Dalam pandangan Weber, ranah ide susungguhnyamerupakan sesuatu yang relatif otonom dari ranah ekonomi.Sehingga para intelektual yang merupakan wakil terkemuka(sounding board) dari ranah ide tidak dengan sendirinyamendukung ide-ide yang kondusif buat kepentingan-kepentinganmaterial mereka. Dalam karya Ahmad Sadri, Weber’s Sociologyof Intellectuals (1992), dikatakan bahwa sikap para intelektualterhadap ide-ide kurang begitu ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan praktis. ‘Ini tidak berarti hendak menyatakansecara implisit bahwa para intelektual lebih siap untuk mengabaikankepentingan-kepentingan mereka sendiri demi kepentingan-kepentingan ide-ide. Alih-alih, hal ini berarti bahwa “kepentingan-kepentingan ideal” mereka (yaitu untuk menjalankan prosesrasionalisasi yang bersifat imanen) mengimbangi, dan seringkalimendahului, dan bahkan berkontradiksi dengan kepentingan-kepentingan material mereka (Sadri 1992: 70). Dalam perspektifWeberian, para intelektual itu, karena komitmen alamiahnyapada upaya mengejar kebenaran serta keterlibatan bersamamereka dalam wacana nalar-kritis, mengambil jarak, jika bukannyasekaligus memisahkan diri, dari masyarakat sambil tetapmempertahankan suatu perspektif kritis atas kekuasaan (Miller1999: 13). Weber menoleransi keterlibatan para intelektualdalam ‘dunia politik’ sepanjang mereka itu adalah individu-

Pendahuluan | 25

Page 46: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

individu yang berpaham individualis yang memiliki komitmenuntuk menyelamatkan dunia agar tidak menjadi penjara bagiindividualitas dan menjadi kuburan bagi kebebasan (Sadri 1992:84 & 97). Karya klasik Julien Benda, La Trahison des Clercs(Pengkhianatan Kaum Intelektual)19 merupakan contoh parexcellence dari konsepsi intelektual dalam perspektif ini.Menurutnya, para intelektual haruslah ‘mereka yang padadasarnya aktivitasnya tidak untuk mencapai tujuan-tujuan praktis’(Benda 1959: 30).

Kritik terhadap perspektif ini telah diajukan oleh Gramsci.Selain itu, perspektif ini juga bersifat problematik jika dipakaidalam konteks negara-negara pasca-kolonial dan Dunia Ketigadimana para intelektualnya bukan saja menjadi bagian organikdari kekuatan-kekuatan sosial dan politik, namun juga merupakaninisiator dan pemimpin dunia politik nasional. Fredric Jamesonbahkan cenderung melebih-lebihkan situasi tersebut denganmengatakan bahwa ‘dalam situasi Dunia Ketiga, intelektualselalu merupakan intelektual politis’ (Robbins 1990: ix).

Sebagai tanggapan atas kekurangan-kekurangan dari keduaperspektif tersebut, muncul sebuah konsepsi jalan tengah sejaktahun 1970-an yang mengakui adanya inter-relasi antara kuasadan pengetahuan. Sintesis ini dimunculkan oleh para sarjanayang menganut tradisi Marxis (seperti perkembangan sejarahkebudayaan-nya Raymond Williams [1958]), tradisi sosiologis(seperti karya Pierre Bourdieu mengenai ‘medan-medan’kebudayaan dan politik [1984]) dan post-strukturalisme Prancis(yang paling terkemuka ialah Michel Foucault [1980]).20 DeskripsiEyerman mengenai ‘intelektual’ (1994) merepresentasikan bukanhanya sebuah sintesis, namun juga menekankan (highlights)mengenai pentingnya memperhatikan tradisi intelektual dalamkonteks-konteks sosio-spasial tertentu. Menurutnya, memang

26 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 47: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

benar bahwa relasi produksi/pasar dan kapasitas dari modalmanusia secara individual memiliki sebuah dampak yang signifikanterhadap pembentukan intelektual, namun elemen formatifutama dalam pembentukan intelektual adalah komitmennyaterhadap norma-norma dan tradisi-tradisi. Dengan kata lain,elemen utama itu ialah komitmennya untuk mengartikulasikangagasan-gagasan fundamental mengenai identitas dan nuranikolektif, dengan jalan melembagakan dan menerapkan dalampraktik kesatuan antara kebenaran, nilai-nilai moral dan penilaianestetis. Dalam proses menyuarakan nurani dan tradisi kolektifinilah, suara dari seorang intelektual akan bisa mengarahkanterciptanya tindakan kolektif (Eyerman 1994: 6).

Di luar perspektif-perspektif yang telah dibahas di atas, telahberlangsung pula sebuah upaya baru-baru ini untukmengkonseptualisasikan ‘para intelektual’ sebagai sebuah entitaskolektif yang khas dalam bentuk kelas yang berdiri sendiri.Gagasan ini didasarkan pada asumsi bahwa proses-prosesmodernisasi dan industrialisasi diikuti dengan semakin banyaknyabidang-bidang pekerjaan non-manual, sehingga melampauijumlah dari apa yang disebut Gramsci sebagai intelektual‘tradisional’, seperti profesi guru, pendeta, sastrawan danilmuwan. Level-level atas dari pekerjaan-pekerjaan non-manualini terdiri atas aktivitas-aktivitas yang didasarkan pada‘keterampilan-keterampilan mental’ atau yang kadangkala disebutmodal ‘manusia’ (human capital) atau modal ‘kultural’, dansemua ini merupakan landasan bagi apa yang disebut sebagai‘pekerja intelektual’ (intellectual labour). Dalam semakinsiginifikannya jumlah ‘pekerja intelektual’ inilah, definisi intelektualsebagai sebuah kelas sosial tersendiri mendapatkan basisargumentasinya. Saat posisi tawar pekerja intelektual ini dalamrelasi proses produksi dan/atau pasar menjadi semakin kuat,

Pendahuluan | 27

Page 48: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

beberapa sarjana menganggap telah muncul sebuah ‘kelas baru’(Gouldner 1979) atau ‘kelas kaum berpengetahuan’ (knowledgeclass) (Bell 1973).

Namun, gagasan mengenai intelektual sebagai sebuah kelasbaru juga bersifat problematik. Bukan hanya karena konseptersebut masih diperdebatkan secara akademis—karena adanyadiferensia internal yang sangat substansial dalam apa yangdiklaim sebagai ‘kelas baru’ tersebut,21 namun juga karenakonsep tersebut tidak cocok dengan kondisi-kondisi dari banyaknegara sedang berkembang seperti Indonesia. Menurut AlvinGouldner, pemilik modal kultural bisa menjadi kelas yang berdirisendiri karena dia memiliki ‘kontrol yang besar secara de factoatas modus produksi dan karena itu memiliki pengaruh yangbesar untuk mencapai kepentingannya’ (Gouldner 1979: 12).Dalam kenyataannya, inteligensia Indonesia sejak kemunculannyapada awal abad ke-20 sampai akhir abad itu tidaklah memilikikontrol yang sebesar itu atas modus produksi. Mereka kebanyakanbekerja sebagai pegawai pemerintah dan berlatar studi-studihumaniora yang tidak memiliki keterkaitan kuat dengan sektorproduktif dari perekonomian.

Pada titik ini, kita bisa menarik beberapa kesimpulan mengenaiperbedaan-perbedaan utama antara inteligensia dan intelektual.Sejak dari awal kemunculannya, istilah ‘inteligensia’ merujukpada sebuah strata sosial dan mengindikasikan suatu ‘responskolektif ’ dari identitas kolektif tertentu, sebagai refleski darikesamaan kriteria pendidikan, psiko-sosiografis, sistem nilai,habitus, dan ingatan kolektif yang sama. Di sisi lain, istilah‘intelektual’ pada awalnya merujuk pada ‘individualitas’ daripara pemikir dan mengindikasikan respons individual dari parapemikir terhadap sebuah ‘panggilan’ historis tertentu atau fungsisosial tertentu. Kolektivitas dari para intelektual dimungkinkan

28 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 49: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

oleh adanya respons bersama atas sebuah ‘panggilan’ historistertentu, seperti halnya kolektivitas yang ditunjukkan oleh paraintelektual Prancis yang didorong oleh respons bersama terhadapkasus ‘Dreyfus’, atau oleh sebuah tindakan kolektif untukmenyuarakan tradisi dan kepentingan-kepentingan dari kelastertentu atau kelompok-kelompok sosial yang lain. Dengandatangnya apa yang disebut sebagai masyarakat pasca-industrial,muncul upaya untuk mengkonseptualisasikan ‘pekerja intelektual’sebagai sebuah entitas kolektif baru, yang disebut ‘kelas baru’atau ‘kelas berpengetahuan’ (knowledge class). Namun, istilahini masih menjadi bahan perdebatan secara akademis danmemiliki relevansi yang kecil bagi realitas Indonesia.

Inteligensia dan Intelektual dalam KonteksIndonesiaBagaimana kita membumikan istilah ‘inteligensia’ dan ‘intelektual’dalam sebuah formasi sosial dan konteks historis Indonesia?Memang benar bahwa peran intelektual atau fungsi sosial spesifikdari para pemikir (people of ideas) di kepulauan ini telah sejaklama dijalankan oleh pandita, resi, kyai atau ulama. Namun,penggunaan istilah ‘intelektual’ dan ‘inteligensia’ serta istilahturunannya dalam konteks Indonesia modern merujuk padasebuah formasi sosial dan trayek historis yang spesifik, yangmuncul sebagai akibat dari diintrodusirnya sistem pendidikanBarat di negeri ini—pada awalnya dilakukan oleh para misionarisBarat dan pemerintah penjajahan Belanda, lalu kemudian olehlembaga-lembaga sosial yang lain.

Asal-usul lahirnya elit berpendidikan modern di Indonesiakurang lebih sama dengan asal-usul lahirnya inteligensia dalamkonteks Polandia dan Rusia. Meskipun kondisi-kondisi sosio-

Pendahuluan | 29

Page 50: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

historis bagi perkembangan inteligensia Indonesia sangat berbedadengan kondisi-kondisi Eropa Timur pada abad ke-19, namunterdapat satu kesamaan mendasar. Kesamaan ini, meminjampendapat Gella, ialah tampilnya sebuah generasi yang terdidikdan terpengaruh oleh ide-ide dan pengetahuan Barat yangdiserapnya (Gella 1976: 17). Lebih dari itu, sama denganpengalaman Rusia, prototip-prototip dari orang-orang HindiaBelanda (sekarang Indonesia) yang terdidik secara Barat yangmuncul pada akhir abad ke-19 juga terutama muncul darikeluarga bangsawan sebagai kelompok intinya. Namun dengansemakin berkembangnya birokrasi pemerintahan kolonial danbirokrasi kapitalis-swasta, orang-orang dari beragam kelompokstatus secara berangsur-angsur mulai memasuki pendidikanmodern. Pada awal abad ke-20, kalangan homines novi yangberlatar pendidikan Barat ini tumbuh sebagai sebuah strata yangberdiri sendiri,22 yang memiliki kesamaan orientasi pekerjaan,kebiasaan, bahasa, struktur kognitif serta tanggung jawab sosial.

Sementara inteligensia klasik di Eropa Timur muncul sebagaisebuah strata yang relatif homogen dan memiliki tradisi-tradisiyang sama, inteligensia Indonesia sedari awal pembentukannyabersifat heterogen baik dalam posisi maupun tradisi sosialnya.Heteregonitas ini mencerminkan bukan hanya keragaman latarbelakang kelas-sosialnya, namun juga pluralitas latar religio-kultural, etnis dan kedaerahannya. Sebagai akibat dari fragmentasiinternal ini, inteligensia Indonesia tak pernah menjadi sebuahstrata sosial yang menyatu. Selain itu, sementara negara Tsar(Czarist state)—sebagai promotor dari pembentukan inteligensiadalam konteks Rusia—merupakan bagian integral dari masyarakatRusia, negara kolonial yang bertindak sebagai promotor inteligensiaHindia Belanda merupakan negara ‘asing’ yang menerapkanberbagai kebijakan diskriminatif dan segregatif. Dalam situasi-

30 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 51: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

situasi yang diskriminatif dan segregatif itu, upaya untukmenciptakan suatu elit berpendidikan modern dengan anutannilai-nilai dan prinsip-prinsip sekuler bisa melahirkankecenderungan-kecenderungan antitetis manakala para anggotakomunitas inteligensia tersebut menemukan jalan kembali kejangkar identitasnya. Sebagai misal, beberapa di antara merekayang berlatar keluarga Muslim yang taat, karena merasa kecewadengan situasi penjajahan dan/atau karena pertemuan ataupertemuan-kembali dengan tokoh-tokoh Islam berikut komunitasepistemik serta asosiasi-asosianya, terdorong untuk mempertautkankembali dirinya dengan komunitas intelektual Islam. Dalampertautan ini, mereka mulai memperkaya pengetahuankeagamaannya, sehingga muncullah apa yang disebut sebagaiintelek-ulama (inteligensia yang melek pengetahuan agama).

Selain itu, promosi pendidikan Barat oleh pemerintah kolonialtelah menciptakan hirarki-hirarki pengetahuan dan nilai-nilaikolonial yang mematrikan apa yang disebut Edward Said sebagai‘pengkelasduaan yang mengerikan’ (dreadful secondariness)terhadap beberapa lapisan masyarakat dan kebudayaan (Said1989: 207). Pada gilirannya, hal ini mendorong hasrat seranganbalik pengetahuan-pengetahuan ‘tersisihkan’ (subjugatedknowledges) lewat jalan, di samping cara-cara lainnya, strategipeniruan (mimicry) dan apropriasi (appropriation). Komunitasepistemik Islam, misalnya, berusaha sekuat tenaga untukmengadopsi aparatus, metode-metode, dan kurikulum pendidikanmodern sebagai sarana untuk merevitalisai ajaran-ajaran dandaya tahan Islam. Upaya ini lalu melahirkan apa yang disebutsebagai sistem pendidikan madrasah dimana di dalamnya aparatusdan metode-metode modern diperkenalkan dan mata-pelajaranagama diajarkan secara berdampingan dengan mata-pelajaransekuler. Hal ini melahirkan sejenis ‘clerical-intelligenstia’

Pendahuluan | 31

Page 52: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

(inteligensia-klerikus) yang dikenal dengan sebutan ulama-intelek(ulama yang melek pengetahuan modern).

Ketika para anggota dari komunitas inteligensia Indonesiamulai merumuskan suatu respons ideologis atas negara kolonialyang represif, pluralitas latar sosio-kultural mereka melahirkanperbedaan-perbedaan dalam ideologi. Sebagai konsekuensinya,para anggota komunitas inteligensia Indonesia terbelah ke dalambeberapa tradisi politik dan intelektual. Maka, lahirlah kelompokinteligensia Muslim, inteligensia komunis, inteligensia nasionalis,inteligensia sosialis, inteligensia Kristen, dan seterusnya. Dalamkonflik di antara tradisi-tradisi intelektual ini, masing-masingkelompok berupaya untuk memperbanyak pengikutnya denganjalan menggabungkan diri dengan kelompok-kelompok status(status groups) yang telah mapan (yaitu kelompok-kelompoksolidaritas kultural). Karena situasi demikian, inteligensia Indonesiamenjadi sebuah strata sosial yang retak sehingga sulit untukdiidentifikasi sebagai sebuah strata sosial tersendiri yang menyatu.Meski demikian, mereka tetap menunjukkan kesamaan-kesamaandalam keistimewaan sosial (social privilege), bahasa, kebiasaan,latar pendidikan dan orientasi pekerjaan. Dengan kata lain,inteligensia Indonesia merefleksikan suatu ekspresi kolektifdalam arti ‘suatu kesamaan identitas dalam perbedaan’ (identityin difference) dan ‘keberagaman dalam kebersamaan identitas’(difference in identity).

Betapapun lebarnya perbedaan di antara mereka, inteligensiaIndonesia merupakan suatu kelompok minoritas dari elit modernIndonesia yang memiliki kesanggupan untuk memikul tanggungjawab kepemimpinan dalam masyarakat, dunia politik danbirokrasi Indonesia. Istilah ‘elit’ di sini memiliki arti ‘minoritasorang yang sangat berpengaruh dalam membentuk beragamstruktur kelembagaan atau ranah aktivitas masyarakat. Dalam

32 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 53: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

masyarakat modern, struktur-struktur dan ranah-ranah tersebutmeliputi dunia politik, pemerintahan, dunia ekonomi, duniamiliter, dan ranah kebudayaan’ (Etzioni-Halevy 1985: 15).Karena inteligensia Indonesia sebagai sebuah strata sosial bersifatkabur, maka istilah ‘elit’ juga bisa dipergunakan untukmenggambarkan formasi sosial inteligensia setelah tahun 1920-an. Inteligensia Indonesia merupakan bagian dari dinamikakesejarahan Indonesia, dan oleh karena itu, formasi sosialnyajuga tunduk kepada proses kesejarahan dan transformasi.

Istilah pertama dalam bahasa Indonesia (Melayu) yangmengindikasikan lahirnya inteligensia Hindia Belanda adalah‘bangsawan pikiran’ yang mulai muncul dalam ruang publikpada dekade pertama abad ke-20. Istilah itu merupakan sebuahkode untuk menamai generasi baru dari orang-orang HindiaBelanda yang terdidik secara modern dan ikut serta dalamgerakan menuju kemadjoean, berlawanan dengan istilah‘bangsawan oesoel’ yang dikaitkan dengan kebangsawanan yanglama. Istilah ‘bangsawan pikiran’ digunakan baik untuk menunjukpada individu ‘intelektual’ maupun pada entitas kolektif‘inteligensia’ Hindia Belanda. Untuk menegaskan mulai hadirnyakomunitas baru inteligensia seperti yang dibayangkan, makakolektivitas ‘bangsawan pikiran’ itu kemudian diberi nama‘kaoem moeda’, sementara kolektivitas ‘bangsawan oesoel’ diberinama ‘kaoem toea’ atau ‘kaoem koeno’. Pada tahun 1910-an,penentangan para anggota inteligensia terhadap bangsawan tuamemunculkan sebuah upaya untuk memisahkan kata ‘pikiran’dari kata ‘bangsawan’, karena istilah ‘bangsawan’ secara implisitberarti mengagung-agungkan hak istimewa dari bangsawan lama.Maka, kemudian muncullah istilah ‘kaoem terpeladjar’, ‘pemoeda-peladjar’ atau jong (dalam bahasa Belanda). Istilah-istilah inidigunakan untuk merujuk kepada sebuah entitas kolektif dari

Pendahuluan | 33

Page 54: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

orang-orang yang terdidik secara modern.Sementara formasi sosial dari elit berpendidikan modern di

Indonesia menyerupai pembentukan inteligensia dalam konteksEropa Timur, kerangka-kerja intelektual dan konseptual dariinteligensia Indonesia sangat dipengaruhi oleh literatur-literaturteoretis Eropa Barat. Kata ‘Dreyfusiana’—yang merujuk padapahlawan intelektual Eropa Barat, Alfred Dreyfus—digunakanoleh koran berbahasa daerah di Hindia Belanda, Pembrita Betawi(1901-1903) sebagai nama dari salah satu rubriknya. IstilahBelanda ‘intellectueel(en)’—untuk mengatakan ‘intelektual’—diadopsi dalam tulisan-tulisan para anggota inteligensia HindiaBelanda sejak tahun 1910-an dan mulai mendapatkanpopuleritasnya di ruang publik pada tahun 1920-an. Hal iniditandai dengan berdirinya perhimpunan pertama di HindiaBelanda yang menggunakan kata ‘intellectueelen’ pada tahun1923 yang bernama ‘Bond van Intellectueelen’. Di sisi lain,istilah ‘inteligensia’ baru mulai diadopsi dalam tulisan-tulisankomunitas inteligensia di Hindia Belanda pada tahun 1930-andan lebih sering digunakan dalam wacana intelektual sejaktahun 1940-an, namun tak pernah sepopuler kata ‘intellectueel(en)’atau intelektuil.23 Kecenderungan orang Indonesia untukmenggunakan istilah ‘intellectueelen’ (dengan ragam ejaannya)secara saling dipertukarkan dengan istilah ‘inteligensia’ mengikutikecenderungan yang sama seperti yang berlangsung di EropaBarat. Maka, sesuatu yang umum dalam wacana intelektualIndonesia untuk menggunakan istilah ‘intellectueel(en)’ untukmerujuk pada entitas kolektif dari suatu kelompok inteligensiatertentu, atau untuk menggunakan istilah ‘intelegensia’ untukmerujuk pada individu intelektual.

Kesulitan yang dialami oleh orang Indonesia untuk membedakanantara ‘intelligentsia’ dan ‘intelektual’ menjadi lebih parah lagi

34 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 55: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

setelah populernya istilah ‘cendekiawan’. Istilah ini pada dasarnyamerupakan sebuah neologisme, yang disinonimkan baik dengan‘inteligentsia’ maupun dengan ‘intelektual’ (Kridalaksana 1994).Istilah tersebut merupakan neologisme karena makna asal dariistilah tersebut sangat berbeda dari makna dan asosiasinya padamasa kini. Sebagai sebuah neologisme, istilah tersebut mengandungkemungkinan perbedaan pemaknaan dan formasi diskursif yangberlawanan.

Menurut kamus bahasa Melayu sebelum abad ke-20 yangdisusun oleh R.J. Wilkinson (1903; 1985), istilah ‘cendekiawan’secara etimologis berasal dari bahasa Hindustan ‘chhandi-kya’atau ‘chandakiya’ yang ketika diadopsi ke dalam bahasa Melayuklasik (sebelum abad ke-20) memiliki arti ‘penipu’ atau ‘pendaya’(orang yang licik). Kata ini misalnya dipakai dalam teks Melayutradisional, Hikayat Gul Bakuwali, dalam ungkapan-ungkapanseperti ‘chandakiya mana’, yang memiliki arti ‘sungguh seorangpenipu’, ‘sungguh seorang yang licik’. Sir Richard Winstedtdalam kamusnya (1960) juga mendeksripsikan kata chèndèkiadalam bahasa Melayu sebagai bentuk ubahan dari kata chandakiayang bermakna penipu atau pendaya, namun di daerah NegeriSembilan,24 hal itu berarti ‘cherdek’ (cerdik) atau ‘pintar’.

Dalam bahasa Indonesia, kata ‘tjendekia’ muncul dalamkamus yang disusun oleh W.J.S Poerwadarminta, yaitu KamusUmum Bahasa Indonesia (1951), dimana kata itu disebutkanberarti berakal, pandai, tjerdik dan litjik, dan dalam kamussusunan Sutan Mohammad Zain, yaitu Kamus Modern BahasaIndonesia (1960), disebutkan kata itu memiliki arti tjerdik.Lebih dari itu, Zain menyatakan bahwa kata itu berkaitandengan kata Tjanakja, yang merupakan mantan Perdana Menteridari sebuah Kerajaan di India pra-modern, yang cukup terkenalkarena kepintarannya dalam beretorika. Yang terakhir, J. Gonda

Pendahuluan | 35

Page 56: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

dalam karyanya Sanskrit in Indonesia (1952) berargumen bahwakata ‘cendekia’ atau ‘candakiya’ (dalam bahasa Melayu klasik)merupakan turunan dari kata ‘canakya’. Kata ini mungkinmerujuk pada nama dari seorang menteri dalam pemerintahanCandra Gupta di India (pada abad ke-4) yang terkenal karenadia cerdik dan pintar dalam retorika. Sebagai alternatif, diamengatakan kata ‘canakya’ bisa juga merupakan turunan darikata Hindi ‘chandi’ yang memiliki arti licik dan penipu. Sehingga,dalam dunia Minangkabau, kata itu telah dipakai untuk menyebutseseorang yang sangat cerdik ataupun licik.

Pada tahun 1960-an, istilah ‘cendekiawan’ (atau ‘tjendekiawan’dalam ejaan lama) mulai memiliki konotasi politiknya bersinonimdengan konsep ‘intelektual’ atau ‘inteligensia’. Ini terlihat dariberdirinya sebuah perhimpunan intelektual sayap kiri, OrganisasiTjendekiawan Indonesia (OTI) pada awal tahun 1965. Tidaklama kemudian, majalah perjuangan milik Kesatuan Aksi SarjanaIndonesia (KASI) cabang Bandung, yaitu Tjendekiawan Berdjuangterbit pada tahun 1966. Pada tahun 1970-an, istilah tersebutdipergunakan secara reguler dalam wacana publik Indonesiasebagai dampak dari kebijakan Orde Baru untuk menggantikankata-kata dan peristilahan-peristilahan dari Barat dengan kata-kata dan peristilahan-peristilahan Indonesia. Pada tanggal 29Maret – 2 April 1979, berlangsung sebuah seminar di Menadomengenai ‘Peranan dan Tanggung Jawab Cendekiawan dalamPembangunan’. Beberapa bulan kemudian (November 1976),majalah Prisma (yang merupakan jurnal sosial ekonomi Indonesiayang paling terkenal sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an)menerbitkan sebuah edisi khusus (No. 11) yang berjudul‘Cendekiawan’. Dalam kedua kasus itu, istilah ‘cendekiawan’dipergunakan untuk merujuk baik pada individu ‘intelektual’(yang mencakup mulai dari ulama dan jenius lokal sampai

36 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 57: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

dengan intelektual berpendidikan modern) maupun padarepresentasi kolektif dari ‘intelligentsia’.25

Sepanjang tahun 1980-an dan 1990-an, istilah ‘cendekiawanMuslim’ telah dipergunakan secara luas dalam wacana publik.Pengaitan cendekiawan dengan kata sifat ‘Muslim’ dalam rentangwaktu ini mencerminkan semakin berkembangnya pengaruhdari inteligensia Muslim sebagai akibat dari meningkatnya jumlahsarjana Muslim, penemuan ruang-komunikatif inteligensiaMuslim yang berpusat di masjid-masjid kampus universitas‘sekuler’, berkembangnya pengaruh para intelektual Muslimyang berlatar pendidikan universitas di Barat, serta pendalamanakomodasi inteligensia Muslim ke dalam politik dan birokrasiOrde Baru. Dalam konteks inilah, istilah ‘cendekiawan’ terutamadipertautkan dengan identitas-identitas kolektif partikular yangberasal dari kesamaan habitus, sistem nilai, struktur kognitifdan ingatan-ingatan kolektif, ketimbang dari ‘panggilan’ historisatau fungsi sosial tertentu (yang merupakan dasar bagi terbentuknyakolektivitas intelektual).

Kata sifat ‘Muslim’ sebagai suatu ikon dari suatu identitas/tradisikolektif tertentu sering dihidupkan dalam perjuangan kuasabaik dalam poros relasi negara-masyarakat maupun dalamperbenturan-perbenturan antar kelompok dalam masyarakat.Berdirinya berbagai perhimpunan kaum terdidik Muslim sepertiJIB (1925), SIS (berdiri tahun 1934), GPII (berdiri tahun 1945),HMI (berdiri tahun 1947), PII (berdiri tahun 1947), IPNU(berdiri tahun 1954), PMII (berdiri tahun 1960), IMM (berdiritahun 1964), Persami (berdiri tahun 1964), ICMI (berdiri tahun1990), dan KAMMI (berdiri tahun 1998) bisa dilihat sebagaimonumen-monumen dalam reproduksi tradisi-tradisi dan identitas-identitas kolektif inteligensia Muslim dalam pergulatannya untukmenyejarah.

Pendahuluan | 37

Page 58: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Dalam konteks ini, jelas bahwa kolektivitas dari orang-orangterdidik Muslim dalam berbagai perhimpunan tersebut dan jugadalam banyak organisasi kultural dan politik lainnya lebih baikdipahami sebagai kolektivitas dari ‘inteligensia’ ketimbang sebagaikolektivitas dari ‘para intelektual’. Meski demikian, pentingdicatat bahwa tak ada kolektivitas tanpa para intelektual.Mengutip pendapat Gramsci (1959: 67):

Tak ada organisasi tanpa intelektual, dengan kata lain, tanpapengorganisir dan pemimpin, tanpa aspek teoretis dari kesatuanteori-dan-praktik yang dalam kongkretnya terwujud dalam strataorang-orang yang ‘berspesialisasi’ dalam elaborasi konseptualdan filosofis.

Untuk menyebut individu-individu intelektual sebagai perumus-ulang dan artikulator dari ideologi-ideologi dan identitas-identitaskolektif, dalam buku ini akan digunakan istilah ‘intelektualorganik’ yang diadopsi dari Gramsci. Namun berbeda dengankonsepsi Gramsci (yang mendasarkan istilah tersebut denganlandasan kelas sosial), ‘intelektual organik’ dalam studi ini akandipertautkan terutama dengan kelompok-kelompok solidaritaskultural (terkadang disebut aliran). Gramsci berteori bahwapara intelektual organik dari suatu kelas tertentu (atau kelompoktertentu untuk konteks kajian ini) harus muncul dari kelas (ataukelompok) mereka sendiri, sementara dalam konteks Indonesia,hal itu tidak berlaku. Banyak pemimpin partai komunis, sepertiTan Malaka, Alimin dan Aidit, justru berasal dari keluarga-keluarga priyayi (rendahan) dan keluarga borjuis kecil. Saatbersamaan, para intelektual organik dari kelompok santrimungkin saja berasal dari keluarga non-santri. Dalam prosespergaulan dan interrelasi sosial, setiap identitas bisa berubah

38 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 59: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

dan bertransformasi. Maka, ‘organik’ dalam artian ini hanyasekadar untuk menunjukkan bahwa jenis intelektual semacamini merupakan bagian integral dari kekuatan-kekuatan sosial,dan ini berarti menentang konsepsi Weber mengenai intelektualyang terpisah dari masyarakat.

Di sisi lain, fakta bahwa para pemimpin Partai KomunisIndonesia kebanyakan berasal dari keluarga-keluarga yang bukankelas-buruh, mengindikasikan pentingnya mempertimbangkanpenegasan Weberian mengenai sumber-sumber kultural darilegitimasi keintelektualan. Penguasaan pengetahuan melaluilembaga-lembaga pendidikan keagamaan dan sekuler selalumerupakan satu komponen penting untuk menyandang predikatintelektual, meskipun tipe pengetahuan dan lembaga pendidikanyang memiliki prestise sosial itu mungkin sangat beragam padawaktu yang berlainan dan dalam konteks-konteks sosio-kulturalyang berbeda-beda (Miller 1999: 26). Jadi, para intelektualorganik dari kolektivitas-kolektivitas Muslim modern munculdari para anggota komunitas ‘inteligensia’ dan ‘clerical inteligensia’(inteligensia-klerikus)—bernama ‘ulama-intelek’, yang memilikikualifikasi-kualifikasi pendidikan sebagai sumber legitimasi(keintelektualannya).

Kuasa (Power)Mengikuti pandangan Foucault, istilah ‘kuasa’ (power) di sinimerujuk pada ‘totalitas struktur tindakan’ untuk mengarahkantindakan dari individu-individu yang merdeka. Kuasa dijalankanterhadap mereka yang berada dalam posisi untuk memilih, danditujukan untuk mempengaruhi pilihan mereka. Maka, kuasamelibatkan ‘permainan-permainan strategis di antara pihak-pihak yang memiliki kebebasan memilih’ (strategic games betweenliberties) (Foucault 1980: 220; Hindess 1996: 99-100).

Pendahuluan | 39

Page 60: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Foucault mengeritik teori politik tradisional tentang kuasa(power) paling tidak karena tiga alasan.26 Pertama, teori dominasiortodoks atau ‘teori kedaulatan’ tentang kuasa (power) memandangkuasa sebagai sesuatu yang secara fundamental bersifat occasional(hadir sekali-kali). Kuasa dianggap sebagai apa yang dimilikioleh yang berkuasa, dan terserah kepada yang berkuasa untukmenggunakannya atau tidak. Konsepsi kuasa ini, menurutFoucault, beresiko menghalangi pemahaman kita akan semakinmeningkatnya intervensi-intervensi kuasa dalam kehidupan sosial(Foucault 1980: 92-114; Pasewark 1993: 7-9).

Kedua, konsepsi tradisional, seperti halnya teori-teori Marxis,memandang kuasa sebagai sesuatu yang secara fundamentalterkait dengan Negara dan hanya dimiliki oleh sekelompokkecil orang. Pandangan monolitik atas kuasa ini dikritik Foucaultkarena menutup mata terhadap praktik kuasa yang dilakukanoleh beraneka ragam aktor dan kekuatan sosial serta melupakanusaha untuk menganalisa strategi-strategi resistensi terhadapkuasa (Foucault 1980: 156; Pasewark 1993: 9). Untuk beranjakdari pemahaman kuasa seperti itu, Foucault mengembangkansuatu model pemahaman kuasa (power) yang berbeda, dengantidak menempatkan kuasa sebagai suatu pemilikan (melulu) ditangan Negara secara monolitik. Foucault menyatakan: ‘Sayatidak bermaksud mengatakan bahwa Negara itu tidak penting;namun saya hanya hendak mengatakan bahwa relasi-relasikuasa...niscaya melampaui batas-batas kekuasaan Negara’ (1979:38). Jadi, Foucault tampaknya tidak bermaksud mengecilkanpentingnya kuasa Negara; alih-alih dia hendak menegaskanbahwa ‘kuasa’ itu beroperasi di seputar dan melalui jejaringyang tumbuh di sekeliling institusi-institusi Negara; dalam artiantertentu, kuasa itu selalu tersebar secara lebih luas di seluruhmasyarakat ketimbang yang kita sadari. Kuasa dianggap sebagai

40 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 61: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

sebuah sosok yang selalu ada dalam interaksi sosial. Kuasa(power) ada di mana-mana dan bisa dijalankan oleh siapapun(Mills 1999: 39; Hindess 1996: 100).

Ketiga, ‘teori kedaulatan’ menempatkan kuasa dan pengetahuandalam suatu relasi yang tidak saling berhubungan satu samalain. Pengetahuan diasosiasikan bukan dengan kuasa (power),namun dengan rasio. Pemisahan ini, dalam pandangan Foucault,menyembunyikan keterlibatan kuasa dalam pengetahuan.Pengetahuan dianggap sebagai sebuah ranah yang berdiri sendiri,seolah-olah tak memiliki kepentingan dengan kuasa. BagiFoucault, pengetahuan itu tak terpisahkan dari kuasa karenakuasa saat ini (modern power) memasuki semua aspek kehidupansosial. Pengetahuan dipahami sebagai sebuah instrumen sekaligusefek dari kuasa (Foucault 1979a: 27, 257-308; Pasewark 1993:8-9).

Foucault lalu membedakan antara relasi kuasa sebagai‘permainan strategis antara pihak-pihak yang merdeka (strategicgames between liberties) dengan dua tipe relasi kuasa lainnya,yaitu ‘dominasi’ (domination), dan ‘pemerintahan’ (government)(Foucault 1988: 19). Konsepsi kuasa sebagai permainan-permainanstrategis antara pihak-pihak yang merdeka menjadi inti daricara Foucault memahami kuasa secara umum. Dalam konsepsiini, kuasa ‘menentukan relasi antar mitra’ dalam suatu ensembletindakan-tindakan (Foucault 2000: 17). Jadi, kuasa mengandaikanadanya kebebasan untuk memilih dan dijalankan terhadapsubyek-subyek bebas yang memiliki kebebasan untuk memilihdan mempengaruhi. Maka, ‘dimana tak ada kemungkinan untukmelakukan resistensi, tak ada pula relasi kuasa’. ‘Karena itulah,relasi kuasa seringkali bersifat tak stabil, ambigu dan timbal-balik’ (Hindess 1996: 101).

Pada saat kuasa terkonsolidasikan menjadi ‘dominasi’, resistensi

Pendahuluan | 41

Page 62: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

masih tetap mungkin dilakukan, hanya saja jauh lebih sulitdilakukan. Dominasi sendiri menunjuk pada relasi kuasa yangbersifat asimetris dimana di dalamnya orang-orang yangtersubordinasi memiliki sedikit ruang untuk bermanuver karena‘ruang kebebasan mereka untuk bertindak sangat terbatas’ olehkarena efek dari kuasa (Foucault 1988: 12; Hindess 1996:103).

Kuasa yang dijalankan dalam ‘pemerintahan’ terletak diantara ‘dominasi’ dan ‘permainan-permainan strategis antarapihak-pihak yang merdeka’. Konsepsi ‘Pemerintahan’ terutamaberasosiasi dengan konsepsi tentang ‘memimpin’ (conducting)(dalam artian mengarahkan dan atau mengontrol serangkaiantindakan). Konsep itu merujuk pada pelaksanaan kuasa ataspihak lain yang kurang bersifat spontan (dalam artian dengancara-cara yang lebih diperhitungkan dan dipertimbangkanseksama), dan terutama sekali, pada penggunaan dan pembentukancara-cara untuk mengatur perilaku. Dalam pandangan Foucault,‘terdapat berbagai bentuk pemerintahan yang terentang mulaidari yang menjalankan dominasi secara nyata di satu sisi, sampaidengan yang menjalankan relasi-relasi kuasa yang bersifat takstabil dan bersifat timbal-balik (riversible) di sisi yang lain’(Hindess 1996: 107). Pemerintahan otoritarian secara ekstensifmenjalankan tipe kuasa dominasi, sementara pemerintahan yangdemokratik memberikan lebih banyak ruang bagi relasi-relasikuasa yang bersifat timbal-balik.

Berdasarkan pembedaan Foucault mengenai tiga tipe relasikuasa, dalam studi ini akan ditekankan bahwa yang menjadiproblem dalam relasi kuasa di Indonesia ialah karena ‘kuasapemerintahan-negara’ untuk kurun terpanjang dalam sejarahIndonesia secara ekstensif telah menjalankan tipe kuasa ‘dominasi’ketimbang relasi-relasi kuasa yang bersifat timbal-balik. Karena

42 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 63: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

praktik dominasi senantiasa diiringi dengan praktik diskriminasidan favoritisme, hal ini pada gilirannya mempengaruhi relasi-relasi kuasa antar individu serta antar kelompok yang ada dalammasyarakat. Sehingga, ‘dominasi’ dijalankan bukan hanya dalaminteraksi negara dan masyarakat, namun juga dalam relasi-relasikuasa yang terjadi dalam masyarakat.

Konsepsi Foucault mengenai ‘kuasa’ penting bagi studipenelitian ini. Dengan beranjak dari konsepsi kuasa yang meluluterkait dengan Negara dan sekelompok kecil penguasa, menjadimungkin untuk melihat pergulatan kuasa dari inteligensia MuslimIndonesia secara lebih kompleks, bukan hanya di sepanjangporos relasi negara dan masarakat, namun juga melaluiperbenturan-perbenturan antar individu dan kelompok dalammasyarakat. Perkembangan dan performa inteligensia Muslimtampak dipengaruhi oleh kehadiran ‘pihak lain yang penting’(significant other). Tipe relasi-relasi kuasa yang dijalankan olehpemerintahan-negara serta kekuatan-kekuatan sosial lainnyamempengaruhi strategi-strategi kuasa yang dijalankan olehinteligensia Muslim.

Konsepsi pengetahuan sebagai sesuatu yang tak terpisahkandari kuasa memberi wawasan bagi studi ini bahwa perjuangankultural inteligensia Muslim bisa jadi tak diorientasikan semata-mata demi ‘kebenaran’ atau tujuan keagamaan, namun jugademi kepentingan kuasa. Sehingga, dalam kemunculan yangterus berulang dari slogan kembali kepada ‘gerakan kebudayaan’oleh inteligensia Muslim, bisa jadi di dalamnya tersembunyimotif-motif dan strategi-strategi kuasa.

Konsepsi kuasa sebagai sesuatu yang bisa diperebutkan(contestable) dan timbal-balik (riversible) memungkinkan studipenelitian ini untuk melihat adanya ruang kemungkinan bagikelompok-kelompok yang tersubordinasi untuk melawan kuasa

Pendahuluan | 43

Page 64: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

negara dan pemerintahan yang bersifat hegemonik, dan jugamelihat pergumulan (interplay) dan interpenetrasi kuasa yangada di antara beragam kelompok inteligensia dalam masyarakatIndonesia. Tak ada hegemoni yang sedemikian kuatnya sehinggamenguras habis sumber-sumber daya untuk melakukan perlawanan.‘Setiap relasi kuasa’, kata Foucault, ‘mengimplikasikan, palingtidak secara potensi, adanya suatu strategi perjuangan, dimanadua kekuatan yang berhadapan tidak saling membayangi, tidakkehilangan sifatnya yang spesifik, atau akhirnya tidak pulamenjadi kabur. Masing-masing pihak menjadi semacam bataspermanen bagi pihak yang lain, sebuah titik yang mungkinmelakukan gerak balik (a point of possible reversal)’ (Foucault2000: 25). Bahkan sebuah kelompok minoritas tidak dengansendirinya menjadi pihak yang kalah dalam semua dimensi relasikuasa, karena dunia politik dan masyarakat tersusun atas sebuahkeseimbangan kekuatan-kekuatan yang seringkali bersifatkompleks, dan keseimbangan itu tak bisa direduksi ke dalamkerangka penggunaan kekuatan absah (legitimate force) semata.Dale F. Eickelman dan James Piscatori menjelaskan hal inisebagai berikut (1996: 8):

Masyarakat, entah itu di negeri-negeri industri maju Eropayang demokratis, di negeri-negeri sedang berkembang DuniaKetiga, maupun masyarakat-masyarakat suku Badui, tersusundari sebuah keseimbangan kekuatan-kekuatan yang seringkalibersifat kompleks...Meskipun memang benar bahwa lembagapengambil keputusan yang tertinggi—seperti parlemen, elitoligarki, junta yang berkuasa, atau dewan suku—seringkali me -maksakan kehendaknya dan memaksakan kekuatan-kekuatanpada pihak subordinat, namun penggunaan kekuatan itu kadang -kala menjadi bersifat kontraproduktif, yang membawa resikosemakin memperbesar instabilitas. Demi kebaikan ketertiban

44 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 65: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

kolektif, pihak otoritas seringkali harus menjadi penengah bagiperbedaan-perbedaan yang ada di antara beragam kelompokdalam masyarakat. Pihak-pihak otoritas bahkan mungkin beradadalam posisi harus menegosiasikan kebijakan sosial, ekonomi,atau politiknya dengan kelompok-kelompok yang jelas-jelassubordinat.

Alhasil, meskipun terjadi penguatan pengaruh inteligensiaMuslim dalam struktur politik dan birokrasi formal pada akhirabad ke-20, daya tarik politisi Muslim di level akar-rumputcenderung merosot. Pada saat yang bersamaan, kebanyakanpemimpin senior Muslim cenderung tidak terlalu terobsesidengan klaim-klaim Islam. Hal ini menyiratkan kemenanganinteligensia sekuler di medan-medan relasi kuasa yang lain. Jadi,kemenangan pergulatan kuasa dalam sektor tertentu bisa mengarahpada pembatasan kuasa dalam sektor yang lain.

Konsepsi kuasa sebagai sosok yang selalu ada dalam interaksisosial serta dipraktikkan oleh beragam aktor dan kekuatan sosialmemperluas cakrawala ruang politik dan bisa mengantisipasipelbagai faktor penentu dari politik (multiple-determinations ofpolitics). Politik sebagai sebuah praktik kuasa bisa dilihat sebagaisebuah potensialitas dalam setiap aspek kehidupan sosial. Duniapolitik sebagai sebuah arena dari relasi-relasi, tindakan-tindakandan pertarungan-pertarungan kuasa tidak hanya ditentukan olehpenguasaan modal sosio-politik (seperti partai, pemilu, parlemendsb.) atau oleh pemilikan modal ekonomis (seperti uang dansumber-sumber ekonomi lainnya), tetapi juga oleh kontrolterhadap modal simbolis-kultural (seperti pendidikan, formasidiskursif, dan sistem-sistem pemaknaan yang lain).

Untuk masa yang panjang selama ini, para analis arus utamadalam perpolitikan Indonesia yang berupaya untuk memahami

Pendahuluan | 45

Page 66: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

sejarah dan gerak perkembangan sejarah politik Indonesia gagalmemahami apa yang ada di balik fenomena politik. Seperti yangdicatat oleh David Levine (1969: 5), kebanyakan para pengamatpolitik Indonesia membatasi perhatiannya pada level yang secara‘murni’ bersifat politik serta pada katalogisasi peristiwa-peristiwapolitik bulan-demi-bulan. Karena perhatian para analis politikpada umumnya terbatas pada level yang semata-mata bersifatpolitik, relasi-relasi dan pertarungan kuasa dalam ranahpengetahuan (knowledge) dan makna (meaning) cenderungdiabaikan. Sebagai akibatnya, analisis politik menorehkangambaran yang superfisial tentang gerak perkembangan politikserta mengabaikan kompleksitas dan keanekaan medan pergulatankuasa.

Berdasarkan asumsi bahwa kaum Muslim Indonesia seringkaligagal membangun partai-partai politik yang kuat, memenangkanpemilu, dan menguasai parlemen, banyak analis yang kemudiantiba pada kesimpulan bahwa para politisi Muslim telah kalah.Hanya sedikit perhatian secara sungguh-sungguh diberikan padapergulatan Muslim dalam medan pendidikan dan simbolik, yangbolehjadi telah meningkatkan kekuatan tawar-menawar inteligensiaMuslim secara dahsyat. Kebanyakan para analis politikmeremehkan daya hidup (regenerative capacity) para intelektualdan politik Muslim, karena mereka memandang performaintelektual dan politik lebih sebagai produk akhir ketimbangsebagai sebuah proses. Untuk memahami politik dan performaintelektual sebagai sebuah proses, adalah penting untukmengembangkan sebuah model analisis ‘yang bersifat interaktif ’yang menekankan keserbahadiran relasi-relasi kuasa, dan jugapada sifat ‘intertekstualitas’ dan keragaman variabel penentu(multiple-determinations) dari politik.

46 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 67: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

IndonesiaIstilah ‘Indonesia’ sebagai sebuah kode dari suatu ‘komunitasimajiner’ mulai dipergunakan oleh inteligensia Indonesia padatahun 1920-an. Sebelumnya, istilah ‘Netherlands East Indies’(NEI), ‘Dutch East Indies’ (DEI) dan ‘East Indies’ (EI) [semuanyaditerjemahkan sebagai ‘Hindia Belanda’, pen.] dipergunakanuntuk merujuk pada wilayah dan penduduk kepulauan yangberada di bawah pemerintahan kolonial Belanda ini. Denganmemahami kondisi-kondisi sinkronik dari sebuah bahasa, makastudi penelitian ini akan menggunakan istilah ‘Hindia Belanda’untuk periode historis sampai tahun 1920-an, dan kemudianmenggunakan istilah ‘Indonesia’ setelah tahun 1920-an.

Di bawah pemerintahan kolonial Belanda abad keduapuluh,masyarakat Hindia Belanda—atas dasar Ordonansi 31 Desember1906—dibagi menjadi tiga kelompok: yaitu bangsa Eropa(termasuk Eurasia), bangsa Pribumi (Boemipoetra), dan bangsaketurunan Cina dan keturunan bangsa-bangsa Timur lainnya(Maier 1993: 39). Untuk masing-masing kelompok ini,pemerintahan kolonial menerapkan kebijakan-kebijakan segregasisehingga terbentuklah persepsi masyarakat akan batas-bataskomunalnya. Sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun1945, istilah ‘inteligensia Hindia Belanda/Indonesia’ dalam studiini akan secara spesifik merujuk pada inteligensia ‘Pribumi’sebagaimana yang dimaksudkan dalam aturan di atas. Namun,setelah kemerdekaan, istilah tersebut akan dipergunakan terhadapsemua warga negara Indonesia, termasuk inteligensia keturunanCina dan Arab. Hal ini sekali lagi supaya konsisten denganperhatian kita mengenasi segi-segi sinkronik dari perkembaganinteligensia dan kuasa.

Pada kenyataannya, pulau Jawa merupakan jantung (focalpoint) dari masyarakat Hindia Belanda (Indonesia). Di Jawa-lah

Pendahuluan | 47

Page 68: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

terpusat aktivitas-aktivitas politik, pemerintahan, pendidikan,dan ekonomi dari Hindia Belanda (Indonesia). Juga di Jawa-lah, mayoritas dari penduduk Indonesia tinggal. Sehingga, istilah‘inteligensia (Muslim) Indonesia’ dalam studi penelitian ini padadasarnya merujuk pada inteligensia (Muslim) yang berpusat diJawa yang terdiri atas beragam latar belakang etnis, meskipunbeberapa orang terkenal di Sumatra (dan juga tempat lainnya)juga dibicarakan.

Studi-Studi Terdahulu Mengenai Inteligensiadan Intelektual (Muslim) IndonesiaYang mengejutkan, belum ada satu pun studi sistematis di bawahrubrik ‘inteligensia (Muslim) Indonesia’. Tulisan-tulisan mengenaihal ini hanya muncul dalam teks pidato, antologi, bagian-bagiandari buku, dan artikel-artikel di media massa dan jurnal.27

Dalam semua kasus itu, istilah ‘inteligensia’ dipergunakan secarasaling dipertukarkan dengan istilah ‘intelektual’.

Ketiadaan sebuah studi sistematis mengenai inteligensia(muslim) Indonesia mencerminkan bias Weberian dalam memahamimasyarakat pemikir Indonesia. Pendekatan ini tak peka terhadapkonteks sosio-historis dan formasi sosial dari masyarakat pemikir.Sebagai akibatnya, perhatian diberikan kepada ide-ide dariindividu-individu intelektual ketimbang kepada posisi strukturaldan representasi kolektif dari beragam kelompok inteligensiaIndonesia. Konsepsi intelektual dari Julien Benda seringkalidipakai dalam wacana intelektual Indonesia dan dalam analisisterhadap para intelektual Indonesia, sementara dalam ke -nyataannya, masyarakat pemikir dalam sebagian besar kasusdan dalam sebagian besar sejarah Indonesia telah menjadi bagianintegral dari komunitas sosial dan kolektivitas-kolektivitas politik

48 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 69: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

mereka sendiri.Sementara itu, hanya ada sedikit sekali studi sistematis

mengenai ‘intelektual/cendekiawan (Muslim) Indonesia’. Diantaranya ialah karya J.D. Legge (1988), Daniel T. Sparingga(1997), dan Daniel Dhakidae (2003) mengenai intelektualIndonesia secaras umum;28 dan karya-karya Mohammed KamalHassan (1980), Howard M. Federspiel (1992), dan M. Syafi’iAnwar (1995) mengenai intelektual Muslim Indonesia.29 Karya-karya yang lain mengenai intelektual (Muslim) Indonesia hanyaberupa karya-karya minor, antologi-antologi, dan ribuan artikelyang dimuat dalam majalah-majalah dan koran-koran.30

Kecuali karya Legge yang berhubungan dengan periodependudukan Jepang, semua buku mengenai intelektual (Muslim)Indonesia memfokuskan perhatiannya pada periode Orde Baru.Sehingga, dalam kerangka orientasi waktu, tak ada satu pundari buku-buku itu yang membahas dalam kerangka waktulongue durée. Beberapa buku memang membicarakan secarasingkat mengenai anteseden-anteseden historis dari perkembangansinkronik tertentu. Namun, penjelasan tersebut hanya diletakkansebagai latar belakang dari fokus temporal utamanya. Dalammemberikan perhatian terhadap akar-akar historis dari kemunculanintelektual modern Indonesia, sebuah miskonsepsi umum telahberkembang, dengan melukiskan Kebijakan Etis Belanda padaawal abad ke-20 sebagai asal-usul dari diperkenalkannya sistempendidikan Barat di negeri ini.31 Sedangkan dalam kenyataannya,introduksi pendidikan Barat ini berakar pada Kebijakan LiberalBelanda pada paruh akhir abad ke-19. Miskonsepsi inimerefleksikan ketidaktepatan bacaan genealogis secara umum.Dalam memberikan perhatian terhadap respons dan perkembanganintelektual pada suatu periode historis tertentu, sebagian besardari karya-karya tersebut tidak cukup memberikan perhatian

Pendahuluan | 49

Page 70: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

pada proses transmisi dan transformasi dari ingatan-ingatan dantradisi-tradisi kolektif intelektual antar generasi. Karena itu,mereka gagal untuk menyingkap bagaimana masa lalu secaraimplisit terus mempengaruhi dan memberikan inspirasi terhadapkonstruksi ide-ide dan identitas-identitas intelektual masa kini.

Selain penekanannya terhadap periode historis tertentu,kebanyakan karya tersebut juga membatasi bahasan merekapada suatu aspek parsial dari intelektual dan perkembanganintelektual. Kecuali karya Legge dan Anwar, buku-buku tersebuttidak mempertimbangkan secara sungguh-sungguh bidangpendidikan sebagai basis kultural bagi perkembangan intelektual.Dhakidae memang membahas pengaruh dari Kebijakan EtisBelanda terhadap kemunculan intelektual Indonesia modern.Namun, saat memfokuskan bahasannya pada periode OrdeBaru, dia nyaris tidak membahas karakteristik dan perkembanganpendidikan sebagai basis kultural dari kehadiran intelektualselama periode tersebut. Kecuali karya Dhakidae dan Hassan,buku-buku itu juga memberikan sedikit perhatian pada strukturpraktik diskursif sebagai sebuah faktor konstruktif dalam gerakperkembangan dan pertarungan intelektual. Latar politik dariperiode historis tertentu dan bagaimana para intelektual bereaksiterhadapnya memang diperhatikan, namun kurang begitu disadaribagaimana posisi struktural dari para intelektual, struktur ranahpublik (public sphere) dan kesempatan politik telah berpengaruhterhadap ekspresi-ekspresi dan strategi-strategi intelektual.Kurangnya kepedulian terhap hal-hal terakhir telah melahirkankonsepsi-konsepsi esensialis (à la Weber) mengenai imperatif-imperatif intelektual.

Di luar terminologi ‘inteligensia’ dan ‘intelektual’, inteligensia(Muslim) Indonesia juga telah dikaji di bawah rubrik ‘elitIndonesia’. Contoh-contoh dari studi semacam ini ialah karya

50 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 71: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Robert van Niel (1960) mengenai asal-usul dan formasi elitnasionalis pada kuartal pertama abad ke-20; karya HerbertFeith (1962) mengenai solidarity makers dan administratordalam elit Indonesia selama periode demokrasi parlementer(1950-1957); karya Donald K. Emmerson (1976) mengenaikultur politik elit Indonesia pada tahun-tahun awal Orde Baru,karya Ann Gregory (1976) mengenai pola rekrutmen danfaksionalisme dalam tubuh elit politik Indonesia sepanjangperiode Demokrasi Terpimpin dan awal Orde Baru.

Istilah ‘elit’ seharusnya merupakan kategori yang lebih luasdari inteligensia. Dalam konteks Hindia Belanda (Indonesia),istilah tersebut juga termasuk kaum bangsawan lama dan parapemuka adat, ulama tradisional dan para pendeta (non-Islam)lainnya serta kaum borjuis (saudagar) lama. Padahal, apa yangmenjadi topik bahasan dari buku-buku mengenai elit tersebutadalah elit modern Indonesia, yang kurang lebih bersifat identikdengan inteligensia. Di bawah rubrik ‘elit’, fokus perhatianbuku-buku itu terutama diberikan pada dimensi-dimensi politikdari strata terdidik ini (seperti raihan-raihan, nilai-nilai, perilaku,dan pola rekrutmen politik) ketimbang pada dimensi-dimensipengetahuan dan kognitif dari strata ini (karakteristik pendidikan,ide-ide, dan wacananya).

Semua karya yang membahas mengenai elit Indonesia itumemiliki kesamaan-kesamaan tertentu. Kesemuanya tidakdiarahkan untuk melakukan bahasan dalam kerangka waktulongue durée, meskipun mereka semua memang memberikanperhatian kepada latar belakang historis dari bidang penelitianmereka. Semuanya menyoroti pentingnya pendidikan Baratdalam membentuk elit modern Indonesia. Namun, karena fokusperhatian mereka mengenai relasi-relasi kuasa terbatas padalevel yang semata-mata bersifat politis dan administratif, tak

Pendahuluan | 51

Page 72: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

ada kesungguhan untuk melihat bidang pendidikan sebagaisebuah arena bagi pergulatan kuasa di antara beragam kelompokelit dan untuk memahami dampak dari pertarungan danpencapaian dalam bidang ini bagi pembentukan elit Indonesiadi masa depan. Karena terlalu memberikan penekanan padapengaruh dari posisi-posisi politik dan birokratik terhadapproses pengambilan keputusan, karya-karya tersebut memberikanperhatian yang kecil pada pergulatan-pergulatan kuasa yangberlangsung dalam medan simbolik dan formasi diskursif yangsebenarnya akan memiliki dampak-dampak politik yang signifikan.

Selain kesamaan-kesamaan ini, karya-karya tersebut jugamemiliki kekurangannya masing-masing. Van Niel cenderungmengabaikan bagaimana sekolah-sekolah yang berorientasi padastatus dan sistem-sistem pendidikan yang berbeda bisa menjadisumber konflik dan pertarungan di kalangan elit modern awal.Saat menggambarkan elit terdidik modern sebagai pengikutjalan Barat, dia tidak berupaya untuk menunjukkan kemungkinanadanya para pengikut jalan Islam yang berlatar belakang sistempendidikan Barat. Karena terlalu memberikan penekanan padamakna penting pendidikan Barat, dia hanya memberi sedikitperhatian pada pembentukan dan gerak perkembangan darisekolah-sekolah Islam modern yang juga akan turut berperananterhadap proses pembentukan elit modern Indonesia.

Sementara Feith memang memberikan perhatian pada praktik-praktik diskursif, terutama dalam relasi-relasinya dengan persoalan-persoalan demokrasi dan perdebatan konstitusional dalamKonstituante. Namun, saat membahas periode historis tertentu,dia tidak cukup memberikan perhatian kepada adanya interpolasidari kenangan-kenangan dan ide-ide kolektif antar-generasi yangbersifat diakronik dalam perdebatan-perdebatan yang bersifatsinkronik itu. Dia memang menyadari bahwa pendidikan telah

52 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 73: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

menjadi elemen penting dalam pembentukan para administrator.Namun, perhatiannya terhadap pendidikan ini, hanya terbataspada program-program kabinet.

Dengan memfokuskan perhatian pada kultur politik dari elitIndonesia pada awal Orde Baru, karya Emerson memang taklupa memperhatikan gerak perkembangan jangka panjang darielit Indonesia. Namun, saat menemukan bahwa komposisi daripara legislator dan administrator telah didominasi oleh kaumabangan, Emerson terlalu cepat menyimpulkan bahwa Islampolitik telah kalah. Saat yang sama, dia mengamati bahwa asal-usul dari para mahasiswa yang menjadi sampelnya, jikadibandingkan dengan asal-usul kaum elit, lebih sedikit yangorang Jawa dan lebih banyak orang kota dan kaum santri.Mereka ini tidak terlalu intens perasaan etnisitasnya, namunlebih intens dalam perasaan keagamaannya. Meski demikian,dia tidak berupaya untuk memperhitungkan temuan ini sebagaibasis bagi penggambaran akan kemungkinan adanya prosesnaiknya para mahasiswa santri ini menjadi elit pemerintahandan legislatif bangsa ini di masa depan.

Karya Ann Gregory memiliki kesimpulan yang sama dengankarya Emerson, yaitu bahwa elit politik telah didominasi olehkaum abangan terdidik yang berasal dari status sosial tinggi diJawa Tengah. Namun, saat menyimpulkan hal ini, dia tidakmempertimbangkan kemajuan kaum Muslim dalam bidangpendidikan yang akan berpengaruh terhadap pola rekrutmenelit di masa depan.

Karya-karya lain yang relevan dengan studi tentang inteligensiadan intelektual (Muslim) Indonesia ialah karya-karya tentang:(i) gerakan-gerakan intelektual, (ii) perhimpunan-perhimpunanmahasiswa dan inteligensia (Muslim) Indonesia; (iii) sekolahdan dunia politik, dan (iv) ide-ide atau formulasi dan respons

Pendahuluan | 53

Page 74: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

ideo-politik dari individu-individu atau kelompok-kelompokintelektual dalam sebuah kisaran historis tertentu. Dua contohdari tema yang pertama ialah karya McVey (1965) mengenaimunculnya komunisme di Indonesia dan karya Deliar Noer(19730 mengenai gerakan Muslim Modernis di Indonesia tahun1900-1942. Dua contoh dari tema yang kedua ialah karya AkiraNagazumi (1972) mengenai berdirinya Budi Utomo dan karyaAgussalim Sitompul (1997) mengenai perkembangan historisHMI. Dua contoh dari tema yang ketiga ialah karya Lee KamHing (1995) mengenai pendidikan dan politik di Indonesiatahun 1945-1965, dan karya Taufik Abdullah (1972) tentangsekolah Kaum Muda dan politik di Sumatra Barat. Sementaratiga contoh dari tema yang keempat ialah karya MochtarPabottingi (1991) mengenai ide-ide nasionalisme danegaliterianisme di Indonesia sepanjang tahun 1908-1980, karyaMichael Francis Laffan (2003) mengenai munculnya nasionalismeIslam, dan karya Bahtiar Effendy (1994) mengenai transformasiide-ide dan praktik-praktik politik Islam Indonesia.

Kebanyakan dari buku-buku ini merupakan narasi-narasihistoris dari studi-studi kasus tertentu, sehingga tidak menawarkankerangka kerja teoretis yang cermat. Karya-karya mengenaigerakan-gerakan intelektual, perhimpunan-perhimpunan maha -siswa, serta sekolah dan politik, misalnya, secara mengejutkantidak memasukkan literatur-literatur dan perspektif-perspektifteoretis mengenai gerakan-gerakan sosial. Selain itu, saat mem -bahas dimensi-dimensi institusional dan ideasional dari kalangan(Muslim) terdidik Indonesia, kebanyakan studi tersebut tidakmemperhatikan posisi struktural dari masyarakat terdidikIndonesia. Saat membahas bidang pendidikan, kebanyakan studitersebut cenderung bias terhadap sistem pendidikan tertentu,sehingga mengabaikan keragaman trayek pendidikan dari

54 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 75: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

inteligensia (Muslim) Indonesia. Dalam kasus di mana beberapastudi tersebut memberikan perhatian terhadap kerangka waktulongue durée, mereka tidak memperhatikan dimensi-dimensigenerasional dan sinkronik dari ide-ide tertentu. Kecuali karyaPabottingi dan Laffan, dan hingga tingkatan tertentu juga karyaNoer, karya-karya tersebut juga tidak menjadikan praktik-praktikdiskursif dan efek konstruktifnya sebagai sebuah bidang analisisyang kritis.

McVey memang mengakui bahwa gerakan-gerakan nasionalisIndonesia awal tidak langsung muncul sebagai partai-partaipolitik yang terstruktur, namun lebih dalam bentuk gerakan-gerakan sosial yang terorganisir secara longgar. Namun tanpadibantu wawasan teori-teori gerakan sosial, ia tidak bergeraklebih jauh untuk mengekstrapolasikan bentuk masa depangerakan-gerakan nasionalis Indonesia, sebagai konsekuensi daripertumbuhan partai-partai politik sejak tahun 1920-an.

Dalam memberikan perhatian terhadap sekolah-sekolah kaumreformis-modernis sebagai jantung gerakan modern Islam diIndonesia, Noer hanya sedikit memberikan perhatian kepadasistem pendidikan Barat. Sebagai akibatnya, dia kurangmemperhitungkan munculnya para intelektual Muslim modernisdari jalur sistem pendidikan Barat, dan hal yang sama jugadilakukan dalam karya Laffan. Di sisi lain, saat memfokuskanperhatiannya kepada Budi Utomo, Nagazumi tidak memperhatikanfenomena pertumbuhan sekolah-sekolah Islam modern. Sementarakarya Abdullah dan Lee Kam Hing mengenai pendidikan danpolitik masing-masing terbatas pada keterlibatan komunitas-komunitas sekolah tertentu dalam gerakan politik tertentu danpada transformasi pendidikan yang terkait dengan transformasipolitik nasional. Keduanya tak melihat bidang pendidikan sebagaisebuah lokasi dari pergulatan politik dan kuasa itu sendiri.

Pendahuluan | 55

Page 76: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Karya Sitompul cenderung melebih-lebihkan pengaruhindividual Lafran Pane (bapak pendiri dari HMI) dalampembentukan ideologi inklusif HMI, dan mengabaikan dimensigenerasional dalam proses pembentukan tersebut. Di sisi lain,Effendy cenderung melebih-lebihkan peran generasi baruintelektual Islam tahun 1970-an/1980-an sebagai generasiintelektual Muslim pertama yang menawarkan sebuah pendekatan‘substansialistik’ atas ide-ide politik Islam. Padahal, jika pengaruh-pengaruh antar-generasi yang bersifat diakronik itu diper -timbang kan, akan bisa terlihat bahwa ide-ide progresif darigenerasi baru tersebut berkembang dari dasar-dasar yang telahdibentangkan oleh para intelektual dari generasi sebelumnya,yaitu generasi ketiga dari inteligensia Muslim. Selain itu, meskipoli-interpretabilitas (sifat multitafsir) Islam menjadi inti dariargumennya, dia malah menggambarkan generasi baru tersebutsecara monolitik dengan hanya memperhitungkan representasidari pendukung gerakan pembaruruan. Dengan begitu iamengabaikan adanya pertarungan dan pemikiran-pemikiranyang saling berseberangan dalam tubuh generasi baru ini.

Pabottingi sendiri menawarkan suatu pendekatan dan analisisyang bernilai dengan memperhitungkan faktor-faktor ekonomi,kultural dan diskursif dalam pembentukan nasionalisme danegalitarianisme Indonesia. Namun, dia kurang memberikan per -hatian terhadap perkembangan pendidikan dalam gerak per -kembangan dan ide-ide intelektual. Dia tidak memberikan pem -bahasan yang mencukupi mengenai pendidikan sebagai se buahmedan gaya (force field) dari relasi-relasi dan pertarungan kuasa.

Secara keseluruhan, studi-studi terdahulu dalam bidang initidak memberikan perhatian yang cukup terhadap formasi sosialdan posisi struktural dari inteligensia (Muslim) Indonesia.Kebanyakan studi tersebut telah mengabaikan pentingnya longuedurée. Dalam kaitannya dengan dimensi temporal ini, hanya

56 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 77: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

ada sedikit upaya untuk mengkombinasikan perhatian padakondisi-kondisi sinkronik dalam relasinya dengan kontinuitas-kontinuitas yang bersifat diakronik, dan dengan dimensigenerasional dari ide-ide dan gerakan-gerakan intelektual. Dalamstudi-studi tersebut, relasi-relasi kuasa dibatasi pada level yangsemata-mata bersifat politik dan birokratik. Dengan demikian,relasi-relasi kuasa dalam bidang pendidikan, simbolik dandiskursif tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh. Studi-studimengenai kelompok-kelompok inteligensia tertentu cenderungmengisolasi gerak perkembangan, ideologi-ideologi dan identitas-identitas kelompok inteligensia ini dari proses interaksi daninterpenetrasinya dengan kelompok-kelompok yang lain.Kebanyakan studi di bidang ini lebih merupakan narasi-narasihistoris yang tidak melibatkan pendekatan intertekstual daninterdisipliner. Semua karakteristik ini menjadikan kebanyakanstudi ini bersifat partikularistik baik dalam relevansi ruang mau -pun relevansi waktunya. Hanya beberapa dari studi tersebutyang memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengayaanliteratur teoretis dan metodologis.

Pendekatan Alternatif, Tujuan danMetodologinyaStudi ini menggunakan pendekatan dinamis, interaktif danintertekstual untuk mengkaji inteligensia Muslim Indonesiadalam relasinya dengan kuasa. Pendekatan studi ini memilikikarakteristik-karakteristik sebagai berikut.

DinamisPendekatan dinamis dari studi ini terletak dalam upayanyauntuk menempatkan kondisi-kondisi sinkronik dalam sebuahkonteks diakronik. Tujuan dari pendekatan ini ialah untuk

Pendahuluan | 57

Page 78: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

melihat kesinambungan dan perubahan dalam gerak perkembanganinteligensia Muslim dan kuasa, terutama dalam hal-hal yangmenyangkut performa pendidikan, perhimpunan-perhimpunan,praktik-praktik diskursif, identitas-identitas, ideologi-ideologidan capaian politiknya, dalam kerangka konsep waktu longuedurée, yaitu sejak diperkenalkannya sistem pendidikan Barat diHindia Belanda pada paro kedua abad ke-19 hingga akhir abadke-20. Pembahasan akan lebih difokuskan pada gerak per -kembangan inteligensia Muslim pada abad ke-20.

Dengan dasar argumen bahwa setiap kondisi sinkronik beradadalam kerangka waktu diakronik, tesis ini akan memeriksatradisi-tradisi dan identitas-identitas intelektual yang terstruktursecara historis berikut kemungkinan tindakan dan keinginanindividu atau kolektivitas untuk mereproduksi dan mereformulasitradisi-tradisi dan identitas-identitas tersebut dalam kondisi-kondisi ruang publik yang spesifik. Individu sebagai pe-reproduksidan perumus-ulang tradisi-tradisi dan identitas-identitas kolektifini direpresentasikan oleh para intelektual organik, sementarakolektivitas direpresentasikan oleh generasi. Istilah generasi disini tidak semata-mata ditentukan oleh kesamaan dalam usia,namun juga oleh kesamaan pengalaman historis. Seperti dinyatakanoleh Eyerman (1994: 70):

Konsepsi sosiologis mengenai generasi mengimplikasikan lebihdari sekedar terlahir pada masa yang hampir sama. Konsepsi itumenyatakan sebuah kesamaan pengalaman sehingga menciptakansebuah dasar bagi cara pandang yang sama, orientasi tujuanyang sama, sehingga bisa mempersatukan para pelaku, bahkanmeskipun mereka tak pernah saling bertemu,...dan terutamasekali jika seseorang memiliki karakteristik-karakteristik yangsama dengan yang lain, seperti kesamaan dalam latar belakangsosial dan juga tata nilai.

58 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 79: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Dalam pandangan Karl Mannheim, sebuah generasi membentukidentitas kolektifnya dari sekumpulan pengalaman yang sama,yang melahirkan ‘sebuah identitas dalam cara-cara merespon,dan rasa keterikatan tertentu dalam suatu cara dimana semuaanggotanya bergerak dengan dan terbentuk oleh kesamaanpengalaman-pengalaman mereka’ (Mannheim 1952: 306).32

Terhadap setiap generasi, studi ini akan berusaha untuk me -nemu kan apa yang menjadi dikursus dominannya, kode-kodeideasional khasnya, dan formasi identitasnya yang berfungsisebagai tanda petuntuk bagi proses konstruksi komunitas danorang luar (otherness), tradisi dan inovasi, serta mengenai apayang diharapkan dan apa yang harus dilakukan. Kode-kode inipada gilirannya akan merefleksikan apa yang disebut Eyermandan Jamison sebagai ‘minat pengetahuan’ (knowledge interest)dari suatu generasi intelektual tertentu (Eyerman dan Jamison1991).33

InteraktifPendekatan interaktif dari studi ini terletak dalam usahanyauntuk melukiskan gerak perkembangan inteligensia Muslim dankuasa sebagai akibat dari pergulatan dinamis antara masa laludan masa kini, antar dan di dalam beragam tradisi politik danintelektual, serta antara beragam arena relasi kuasa. Tujuan daripendekatan ini ada tiga: pertama, untuk menumbuhkan kesadaranakan adanya warisan masa lalu dalam pemikiran intelektualmasa kini dan untuk menghindarkan sikap melebih-lebihkanter hadap munculnya ide-ide baru atau pandangan bahwa ide-ide baru tersebut bisa lahir begitu saja (taken for granted).Kedua, untuk menumbuhkan sebuah kesadaran bahwa persepsi-diri, identitas-identitas dan idealisme dari inteligensia Muslimtak bisa diisolasi dari kehadiran pihak lain yang berarti (significant

Pendahuluan | 59

Page 80: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

others). Ketiga, untuk menumbuhkan kesadaran mengenai ragam-penentu (multiple-determinations) dari kekuatan tawar, strategimaupun ideologi politiko-intelektual. Mengenai tujuan yangpertama, perhatian akan diberikan pada jaringan-jaringan masalalu (vertical networks) dari ingatan-ingatan dan tradisi-tradisipolitik dan intelektual lintas generasi. Mengenai tujuan yangkedua, perhatian akan diberikan pada interpenetrasi danketegangan hubungan antara dan di dalam beragam tradisipolitik dan intelektual. Mengenai tujuan yang ketiga, perhatianakan diberikan pada lingkungan internasional, struktur peluangpolitik (political opportunity structure), faktor-faktor ekonomi,pendidikan, praktik-praktik diskursif (discursive practices), ruangpublik (public sphere) dan ‘permainan-permainan kuasa’ (powergames) sebagai manifestasi dari pertarungan politik yang nyata.

Karena keterbatasan-keterbatasan waktu dan teknis dari studipenelitian ini, maka pembahasan-pembahasan mengenailingkungan domestik dan internasional, maupun struktur peluangpolitik dan faktor-faktor ekonomi akan dilukiskan sebagai latardari analisis utama. Analisis utama sendiri akan terfokus padainterplay dari pergulatan-pergulatan kuasa dalam bidangpendidikan, praktik-praktik diskursif, dan dalam ruang publikyang memuncak dalam ‘permainan-permainan kuasa’ (pertarungan-pertarungan politik yang nyata). Jadi, penekanan diberikankepada dimensi-dimensi kultural dan politik dari gerakperkembangan inteligensia Muslim (lihat Gambar 1).

PendidikanPendidikan dianggap penting bukan saja sebagai sumber legitimasikultural dari inteligensia, namun juga sebagai arena pergulatankuasa. Pendidikan tidak hanya menjadi skemata bagi pembedaankelas, namun juga menyediakan suatu prinsip fundamental bagi

60 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 81: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

pemapanan suatu orde. Seperti dinyatakan oleh Pierre Bourdieu,kelas yang dominan tidak menjalankan dominasi secara terang-terangan: dengan kata lain, kelas yang dominan tidak (serta-merta) menggunakan paksaan terhadap yang didominasi agarmereka bersedia memenuhi kehendaknya. Alih-alih, pengaruhdari kelas yang dominan dilembagakan dalam modal kulturaldan ekonomi, yang dijalankan di seluruh lembaga-lembaga danpraktik-praktik kemasyarakatan dan terutama direproduksi olehlembaga-lembaga dan praktik-praktik pendidikan (Bourdieu1988: 87). Dalam konteks inilah, pendidikan memainkan sebuahperanan yang penting dalam membangun habitus, yaitu skematapengalaman dan persepsi yang bersifat kolektif yang membatasimunculnya ide-ide, kepribadian, karakter-karakter kepribadian,dan instansi-instansi kesadaran yang bersifat ‘subyektif ’ (Bourdieu1996: 101). Di sisi lain, Antonio Gramsci berargumen bahwapertempuran demi melawan hegemoni niscaya membutuhkansebuah sistem pendidikan alternatif yang memungkinkan kelasyang didominasi bisa mendapatkan akses kepada pendidikanformal (Gramsci 1971: 29-43). Sebagai tambahan terhadapBourdieu dan Gramsci, harus dikatakan bahwa hatta dalamsebuah sistem pendidikan tertentu sekalipun, bisa saja terjadipergulatan kuasa yang saling berkompetisi. Ini terutama berlakudalam konteks sistem pendidikan publik, terutama yang ada dinegara-negara merdeka, karena secara teoretis sistem itu terbukabagi orang-orang dari latar sosiografis yang berbeda-beda.

Karena pendidikan merupakan arena dari pergulatan kuasa,maka pengetahuan merupakan sesuatu yang tak terpisahkandari kuasa. Munculnya ilmu-ilmu humaniora, seperti yangdijelaskan dengan bagus oleh Foucault dalam bukunya, Disciplineand Punish: The Birth of the Prisons (1979a), telah menjadiinstrumen sekaligus efek dari semakin meningkatnya intervensi-

Pendahuluan | 61

Page 82: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

intervensi kuasa dalam kehidupan sosial. Dalam konteks Indonesia,awal introduski sistem pendidikan modern serta pengadopsianpengetahuan Barat bisa dilihat sebagai sebuah bagian daridominasi kolonial, dan telah menciptakan sebuah hirarki sosialberdasarkan pada hirarki pengetahuan yang bersifat kolonial.Hal ini memaksa kelompok-kelompok yang tersubordinasi untukmembentuk sebuah sistem sekolah alternatif dalam upayanyauntuk merevitalisasi ‘pengetahuan-pengetahuan yang tersisihkan’(subaltern knowledges). Dengan adanya lebih dari satu sistempendidikan yang diperkenalkan di Hindia Belanda (Indonesia),pendidikan bisa dianggap baik sebagai sesuatu yang bisamenyatukan orang-orang dalam kelompok maupun sesuatu yangbisa memecah-belah kelompok. Dengan berlalunya kolonialisme,pergulatan kuasa dalam ranah pendidikan jauh dari usai. Karenaadanya asumsi bahwa modal ekonomi masih terus didominasioleh kaum kapitalis asing dan non-pribumi, maka penguasaanatas ‘modal kultural’ lewat peningkatan kualifikasi-kualifikasipendidikan menjadi kendaraan utama bagi beragam kelompokinteligensia Indonesia untuk meningkatkan daya tawar merekadalam dunia perpolitikan.

Praktik-Praktik DiskursifPraktik-praktik diskursif (discursive practices) sebagai prosesproduksi, distribusi dan konsumsi teks dipandang penting sebagaisebuah medium dan instrumen dari pergulatan kuasa, perubahansosial dan konstruksi sosial. Pergulatan kuasa berlangsung baikdi dalam maupun atas wacana. ‘Wacana (discourse) men -transmisikan dan memproduksi kuasa; wacana mengokohkankuasa, namun juga melemahkan kuasa, membuat kuasa menjadirapuh dan memberi kemungkinan untuk merintangi kuasa’(Foucault 1976: 101). Maka, merubah praktik-praktik diskursif

62 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 83: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

merupakan sebuah elemen penting dalam perubahan sosial.Wacana paling tidak memiliki tiga efek konstruktif. Yaitu,memberikan kontribusi bagi pembentukan ‘identitas-identitas’sosial, bagi pembentukan ‘relasi’ sosial’ (yaitu relasi di antaraorang-orang) dan bagi pembentukan ‘ideasional’ atau sistem-sistem pengetahuan dan kepercayaan sosial (Fairclough 1999:55-56, 64-65, 78-79).

Studi ini akan berusaha untuk mengamati pertarungan-pertarungan dari berbagai kelompok inteligensia yang berlangsungdalam dan melalui praktik-praktik diskursif dan untuk mengamatipengaruh dari sebuah wacana dominan pada suatu kisaranhistoris tertentu terhadap pembentukan identitas-identitas, relasi-relasi, dan ideologi-ideologi sosial dari sebuah generasi inteligensia(Muslim) Indonesia. Analisis wacana (discourse analysis) dalamstudi ini akan juga berusaha untuk mengidentifikasi pengaruhdari buku-buku, jurnal-jurnal, koran-koran dan terbitan-terbitanlainnya terhadap reproduksi dan reformulasi identitas-identitas,ideologi-ideologi dan tradisi-tradisi politik intelektual Muslim.

Ruang PublikRuang publik (public sphere) dipandang penting karena merupakanlokasi tempat wacana-wacana diekspresikan dan merupakanruang tempat kegiatan-kegiatan intelektual dan politikdiaktualisasikan. Istilah ruang publik di sini merujuk padadomain kehidupan sosial tempat opini publik terbentuk.

Seperti diamati oleh Jürgen Habermas (1989), pembentukantradisi intelektual modern dalam konteks Eropa Barat merupakanbagian dari kemunculan apa yang disebutnya sebagai ‘ruangpublik borjuis’ (bourgeois public sphere) sekitar abad ke-17 danke-18. Ruang publik ini berpusat di seputar wacana kritis

Pendahuluan | 63

Page 84: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

mengenai karya-karya sastra dari keluarga borjuis yang berorientasipemirsa dan berlangsung di lembaga-lembaga sosial yang barumuncul dalam ranah publik: seperti klub-klub, majalah-majalah,jurnal-jurnal, kedai-kedai kopi, salon-salon dan ruang-ruangkafe lantai atas (cenacles). Ruang publik ini merupakan sebuahtempat pertemuan bagi lingkaran-lingkaran intelektual darimasyarakat (merkantil) Eropa yang terurbankan, di manaindividu-individu perseorangan berbaur ‘demi berbincang secarabebas dan setara dalam wacana yang rasional, sehingga membuatmereka menyatu menjadi sebuah kelompok yang relatif kohesifyang pertimbangan-pertimbangannya bisa menjadi suatu kekuatanpolitik yang tangguh’ (Eagleton 1997: 9).

Bentuk sosiabilitas baru ini, beserta dengan wacana rasionaldan kritis yang tumbuh dalam lembaga-lembaga sosial yang adadalam ruang publik, bergantung pada kumunculan kekuasaannegara-negara nasional dan teritorial yang tumbuh di atas basisperekonomian kapitalis merkantil awal. Proses ini kemudianmelahirkan ide mengenai masyarakat yang terpisah dari penguasa(atau negara) dan mengenai ruang privat yang terpisah dariruang publik (Habermas 1989: 23-6; Calhoun, 1992: 7).

Pada mulanya, ruang publik borjuis itu terdiri dari lapisankecil masyarakat Eropa, terutama terdiri dari orang-orangterdidik dan hartawan, dimana para bangsawan (aristokrat)memainkan peran-peran utama. Mereka mengembangkan wacanasecara eksklusif dengan penuh prasangka terhadap kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak yang lain. Habermas menyebutruang publik ini sebagai ‘ruang publik borjuis’ (bourgeois publicsphere) bukan hanya semata-mata atas dasar komposisi kelasdari para anggotanya. Alih-alih, dia menyatakan bahwa munculnyasebuah masyarakat borjuis yang baru di sekitar abad ke-17 diEropa melahirkan sebentuk ruang publiknya yang khas. Dalam

64 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 85: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

perkembangan lebih jauh, ruang publik borjouis ini mengalamiperluasan yang terus-menerus sehingga mencakup lebih banyakdan lebih banyak lagi partisipan (dan juga berkembang organisasi-organisasi berskala besar sebagai mediator-mediator bagi partisipasiindividu). Situasi ini menyebabkan degenerasi terhadap kualitasdari wacana publik (Habermas 1989: 22-23; Calhoun 1992: 3, 7).

Dalam ruang publik yang ideal, dalam pandangan Habermas,terjamin adanya kesetaraan serta argumen yang kritis danrasional. Para partisipan dalam wacana publik tidak terhambatoleh ketidaksetaraan dalam kuasa atau uang. Para warga negarabisa mempengaruhi negara tanpa harus mengalami tekanankoersi dari negara. Pengaruh ini, untuk sebagian besar, bersifatinformal. Pengaruh ini menjadi bersifat formal secara periodikhanya selama pemilihan umum. Namun, dalam masyarakat kon -temporer, dia berpandangan bahwa ruang publik tak lagi ber -fungsi sebagai domain bagi debat rasional. Ruang publik liberal,meskipun mengandaikan adanya partisipasi dari semua orang,pada kenyataannya terbatas pada para hartawan. Pada abadkesembilanbelas, ruang publik itu meluas melampaui batas-batassemula sehingga mencakup pula orang-orang dari kelas buruh.Dengan tumbuhnya negara kesejahteraan (the welfare state), se -cara khusus, perubahan-perubahan ini akan memiliki arti bahwaruang publik tak lagi menjadi lokasi diskusi di antara individu-individu perseorangan. Ruang publik telah menjadi daerahkonflik kepentingan di antara kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi (Habermas 2000: 289-294; Nash 2000: 283-284).34

Kelahiran ‘ruang publik Indonesia’ (Hindia Belanda) modernpada awal abad keduapuluh menunjukkan beberapa kesamaandan beberapa perbedaan dengan yang terjadi di Eropa. Samahalnya dengan ruang publik Eropa awal, ruang publik ‘Indonesia’awal terdiri dari lapisan kecil penduduk Hindia Belanda, dan

Pendahuluan | 65

Page 86: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

terutama terdiri dari orang-orang yang terdidik (dari keluarga-keluarga bangsawan dan borjuis kecil) dan para bangsawan,dimana pengaruh yang kuat dipegang oleh bangsawan lama.Generasi awal orang-orang Hindia Belanda yang berpendidikanmodern juga berwacana secara eksklusif dengan penuh prasangkaterhadap kepentingan-kepentingan, ide-ide, dan nilai-nilai darikelompok-kelompok konservatif. Namun, sementara kemunculanruang publik dalam konteks Eropa merupakan bagian organikdari kemunculan kelas borjuis (yang ber-uang), dalam konteksHindia Belanda, kemunculan itu merupakan bagian dari ke -munculan strata baru inteligensia. Jadi, lebih tepat untukmenyebut ruang publik ‘Indonesia’ (modern) yang awal sebagai‘ruang publik inteligensia’ ketimbang sebagai ‘ruang publikborjuis’.

Lebih dari itu, sementara ruang publik awal dalam konteksEropa terpusat di seputar wacana kritis mengenai karya-karyasastra, ruang publik awal dalam konteks ‘Indonesia’ terpusat diseputar wacana mengenai isu kemadjoean, yaitu bagaimana bisamengejar kemajuan dari peradaban-peradaban lain, terutamaperadaban Barat. Yang terakhir namun juga penting, derajatkebebasan dari ruang publik ‘Indonesia’ yang awal jauh berbedadari hal yang sama dari ruang publik Eropa. Hal ini terjadikarena ruang publik Indonesia awal beroperasi di bawah dominasikolonial.

Penggunaan konsepsi Habermas mengenai ruang publik dalamkonteks Indonesia butuh penyesuaian-penyesuaian tertentu.Pertama, sepakat dengan kritik dari para ahli teori kontemporermengenai ruang publik, konsepsi Habermas tentang ruang publikyang menekankan perdebatan kritis dan rasional mengimplikasiansuatu ketidakpekaan untuk memperhitungkan eksistensi ‘politikidentitas’ serta ketidakpedulian terhadap adanya perbedaan

66 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 87: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

(Callhoun 1992: 3). Dalam konteks Indonesia, ruang publiktelah dipergunakan bukan hanya untuk mengekspresikan argumen-argumen yang bersifat rasional dan kritis, namun juga dalamkebanyakan kasus untuk mengekspresikan proses rasionalisasipolitik identitas dan ideologi-ideologi dari kekuatan-kekuatansosial yang saling bersaing.35 Kedua, sementara transformasiruang publik dalam pandangan Habermas hanya berartitransformasi dalam cakupan (scope) dari para partisipannya,transformasi ini dalam konteks Indonesia tidak hanya berartitransformasi dalam cakupannya, namun juga dalam derajatkebebasannya, yaitu dari keterbatasan menuju keterbukaan dansebaliknya. Ketiga, konsepsi ruang publiknya Habermas masihbias terhadap konsepsi tradisional mengenai relasi-relasi kuasa,seperti misalnya teori-teori Marxis, yang memandang kuasasecara fundamental semata-mata terkait dengan negara. Jadi,dalam pandangannya, wacana kritis dalam ruang publik padapokoknya diarahkan untuk mempengaruhi negara: sehinggaHabermas cenderung menilai rendah fungsi wacana dalammempengaruhi relasi-relasi kuasa di antara kelompok-kelompokyang berkonflik dalam masyarakat. Bagi sebuah masyarakatplural seperti Indonesia, dimana elemen-elemen tatanan sosialnyajarang yang menyatu sebagai satu unit politik (Furnival 1980),praktik-praktik diskursif dalam ruang publik, terutama dengantidak adanya musuh bersama, terarah pertama-tama dan terutamakepada upaya untuk mempengaruhi relas-relasi kuasa dalammasyarakat.

Permainan-Permainan Kuasa (Power Games)Permainan-permainan kuasa (power games), sebagai pertarunganpolitik yang nyata, merupakan titik klimaks dari sebuah rangkain(ensemble) pergulatan kuasa dalam beragam medan relasi-relasi

Pendahuluan | 67

Page 88: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

kuasa pada suatu rentang waktu tertentu. Permainan-permainankuasa mencerminkan dan mempengaruhi konsolidasi danpertarungan yang berlangsung dalam sederetan pergulatan kuasabaik dalam relasi-relasi antara negara dan masyarakat maupundalam perbenturan-perbenturan di antara beragam kelompok(dari strata inteligensia) yang ada dalam masyarakat.

Permainan-permainan kuasa ini melahirkan ‘monumen-monumen’ (politik) historis tertentu dari setiap generasi inteligensia.Monumen-monumen ini pada gilirannya akan menjadi titik-tolak dan tolok-ukur bagi reproduksi dan reformulasi tradisi-tradisi intelektual oleh generasi inteligensia berikutnya.

Gambar 1: Model Pendekatan Interaktif

IntertekstualGenealogi inteligensia (Muslim) Indonesia bisa dimasukkansecara akademis ke dalam bidang ‘sejarah sosial (para) intelektual’.Menurut seorang spesialis Amerika dalam bidang ini, MartinJay, sejarah sosial (para) intelektual ‘bisa dipahami secara lebihbaik sebagai sebuah medan gaya (force field) dari beragamimpuls yang berfungsi sebagai ‘titik persinggungan yang terus-

68 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

StrukturPeluangPolitik

Lingkungan Domestik dan Internasional

FaktorEkonomi

PraktikDiskursifPendidikan Ruang

Publik

PermainanKuasa

Page 89: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

menerus bergeser dari wacana-wacana yang berbeda-beda danseringkali bertentangan’. Para sejarawan intelektual, menurutJay, cenderung menghargai pertukaran/persenyawaan produktif(productive exchanges) dari beragam impuls dan wacana,ketimbang harus bersikap memilih salah-satu impuls dan/atauwacana tertentu (Jay 1993: 2-3).

Dengan menggunakan konsep longue durée, studi penelitianini juga akan mengikuti penekanan ala Braudelian mengenaipentingnya sebuah pendekatan interdisipliner. Dalam pandanganBraudel, tak ada disiplin ilmu tertentu yang memiliki hakmonopoli terhadap kebenaran tentang eksistensi manusia ataualam. Dia berargumen bahwa semua ilmu sosial haruslahdikerahkan secara bersama-sama karena adalah sesuatu yanghakiki bahwa sejarah yang berlangsung dalam kerangka longuedurée itu sesungguhnya bersifat banyak-segi (Braudel 1980;Lechte 1994: 89-90).

Meski mengikuti penekanan ala Braudelian mengenai longuedurée dan mengenai pendekatan yang interdisipliner, studipenelitian ini tidak dimaksudkan untuk mengikuti kesemuapendekatan Barudel dalam penulisan sejarah. Kerangka waktuyang tercakup dalam konsepsi Braudel mengenai longue duréebarangkali akan jauh lebih lama daripada yang dicakup olehstudi penelitian ini. Penulisan sejarah ala Braudelian terfokuspada detil-detil dari kejadian-kejadian dan realitas-realitastertentu, sementara fokus studi ini bukanlah pada detil, namunlebih pada upaya untuk menemukan pola umum dari kejadian-kejadian dan realitas-realitas historis. Selain itu, sementarapendekatan interdisipliner dalam penulisan sejarah Braudelianmenggunakan disiplin-disiplin ilmu akademis yang luas sepertiekonomi, geografi, antropologi, sosiologi, pendekataninterdisipliner dari studi ini akan lebih melibatkan disiplin-

Pendahuluan | 69

Page 90: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

disiplin ilmu yang lebih terbatas. Geografi misalnya, tidak akandimasukan dalam analisis, sementara ekonomi akan dipakaisecara sangat terbatas.

Pendekatan interdisipliner dari studi ini akan didasarkansecara umum pada sosiologi (terutama sosiologi pengetahuandan sosiologi politik – termasuk juga sosiologi gerakan-gerakansosial), cultural studies, kajian post-kolonial, sosio-linguistik,dan analisis wacana (discourse analysis). Sosiologi pengetahuanyang baru,36 karena perhatiannya yang besar terhadapmikrososiologi, dengan kehidupan intelektual sehari-hari darikelompok-kelompok kecil, lingkaran-lingkaran, jaringan-jaringan,dan komunitas epistemik, berfaedah penting untuk memahamiunit-unit fundamental yang membentuk dan menyebarluaskanpengetahuan dan ideologi (Burke 2000: 8). Sementara sosiologipolitik yang baru,37 dengan penekanannya pada pertarunganrelasi sosial dalam medan kebudayaan, yaitu dalam kehidupansehari-hari, dalam media, dan dalam praktik-praktik institusional,selain juga perhatian tradisionalnya terhadap relasi-relasi antaramasyarakat dan negara, membantu memahami politik sebagaisebuah ruang kemungkinan yang ada dalam setiap aspekkehidupan sosial. Politik dalam artian ini bisa dilihat sebagaisesuatu yang bersifat kultural. ‘Karena kehidupan sosial didasarkanpada pemaknaan (sginification), maka pemanipulasian danpertarungan makna itu sendiri menjadi bersifat politis’ (Nash2000: x-xii). Sosiologi gerakan-gerakan sosial karena perhatiannyapada jaringan interaksi-interaksi informal di antara beragamindividu, kelompok dan/atau organisasi (Diani 2000: 161)berguna untuk memahami proses penciptaan dan reproduksidari seperangkat keyakinan dan rasa kepemilikan bersama.Cultural studies dengan perhatiannya pada pembentukan,interpenetrasi, dan transformasi budaya dan identitas memberikan

70 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 91: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

suatu wawasan yang mendalam mengenai proses penciptaandan perubahan dalam identitas-identitas individu dan kelompokMuslim. Studi post-kolonial sendiri dipergunakan karenamemberikan suatu wawasan mengenai implikasi-implikasi jangka-panjang dari hirarki pengetahuan yang bersifat kolonial, sertasisa-sisa ingatan tersubordinasikan bagi gerak perkembanganinteligensia Muslim. Sosio-linguistik berguna untuk memahamikondisi spesifik dari realitas sosial dan transformasi bahasa, ataudengan kata lain, bahasa dalam dimensi-dimensi sosialnya yangterus-menerus merefleksikan dan mentransformasikan kepentingan-kepentingan kelas, institusi, dan kelompok (Bakhtin dan Volisinov1986: 66). Yang terakhir, analisis wacana penting untukmengidentifikasi pergulatan kuasa setelah dan dalam , dan efek-efek konstruktifnya terhadap identitas-identitas sosial, relasi-relasi sosial dan ideologi-ideologi inteligensia Muslim.

Dalam kaitan dengan pendekatan interdisipliner ini, ide-idedan kerangka kerja teoretis dari para pemikir dan teoretisi besarseperti Antonio Gramsci, Max Weber, Michel Foucault, PierreBourdieu, dan Jürgen Habermas akan diadopsi secara parsial—sebatas aspek-aspek tertentu yang memiliki relevansi untukmemahami pokok persoalan dan isu-isu tertentu dalam studiini—bukan keseluruhan paket pemikirannya secara utuh. Manakalabagian-bagian dari ide mereka diadopsi, bagian-bagian itu punmengalami modifikasi. Ini dilakukan karena alasan sederhanabahwa semua fenomena sosial bersifat sosial dan historis (Turner1994: 146). Dengan begitu, tak ada satu narasi dan teori besarpun yang dalam totalitas dan konstruksi awalnya bisa berlakubagi segenap fenomena sosial dan realitas historis partikular.Lebih dari itu, Indonesia sebagai masyarakat plural dengankeragaman ingatan dan identitas sosial, modus produksi, sistemmakna dan posisi subyek, terlalu kompleks untuk didekati dan

Pendahuluan | 71

Page 92: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

dijelaskan oleh satu teori dan narasi.Studi ini juga akan menggunakan pendekatan ‘intertekstual’.

Istilah terakhir ini merujuk pada konsepsi mengenai relasionalitas,kesalingterkaitan dan interdependensi dari teks dan wacana.Dalam pandangan para teoretisi sastra (literature) modern sepertiM.M. Bakhtin, Julia Kristeva, dan Roland Barthes, teks-teks,entah itu bersifat sastra atau bukan, bisa dipandang tidakmemiliki makna yang independen. Lagipula, sebuah teks ataukarya sastra tertentu dibangun dari sistem-sistem, kode-kode,dan tradisi-tradisi yang dibangun oleh teks-teks dan karya-karyasastra sebelumnya dan dipengaruhi oleh sistem-sistem kode-kode dan tradisi-tradisi yang berbeda-beda dari teks-teks dankarya-kara sastra kontemporer lainnya. Mengutip Graham Allen(mengikuti pandangan Bakhtin): ‘Semua ujaran itu bersifat dialo -gis, sehingga makna dan logikanya bergantung pada apa yangpernah dikatakan di masa lalu dan pada bagaimana makna danlogika itu akan ditangkap oleh pihak lain’ (Allen 2000: 19).38

Berdasarkan perspektif teoretis ini, upaya menginterpretasikanteks-teks dan ujaran-ujaran dari para intelektual Muslim danmenemukan makna atau makna-makna mereka sama artinyadengan melacak relasi-relasi antar teks dan ujaran tersebut.Dalam kaitan inilah, perhatian akan diberikan pada interplaydari teks-teks antar-generasi dari tradisi intelektual Muslim,pada relasi dari teks-teks dan wacana-wacana yang beragam danbahkan seringkali saling bertentangan, dan pada interdependensiantara formasi-formasi diskursif dan non-diskursif.

Tujuan dari pendekatan interdisipliner dan intertekstual iniialah untuk melihat gerak perkembangan inteligensia Muslimdari pelbagai posisi dan perspektif yang berbeda, selain jugauntuk melihat keberagaman impuls dan interaksi yang berpengaruhterhadap perkembangan inteligensia Muslim.

72 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 93: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

MetodologiMetodologi yang dipakai oleh studi penelitian ini telah ditunjukkandalam pembahasan mengenai pendekatan-pendekatan di atas.Dalam arti praktisnya, analisis dan penulisan dari studi penelitianini akan menggunakan metode-metode berikut.

Dalam usaha untuk menempatkan kondisi-kondisi sinkronikdalam sebuah konteks diakronik, susunan penulisan studi iniakan didasarkan pada kronologi. Namun, untuk menghadirkansuatu pendekatan interaktif, metode kronologis ini akandikombinasikan dengan penyusunan penulisan secara tematik.Alhasil, ini merupakan penulisan kronologis berdasarkan sub-sub topik dari setiap bab. Jadi, setiap sub-topik mungkin sajaakan kembali pada awal kronologi. Sub-sub topik dari setiapbab akan meliputi bahasan tentang setting politik dan ekonomisebagai latar belakang, pendidikan, praktik-praktik diskursif,ruang publik, permainan-permainan kuasa, serta kaitan antar-generasi dalam tradisi-tradisi intelektual Muslim.

Mengenai pengumpulan data, data primer akan dieksplorasimanakala data mengenai persoalan-persoalan tertentu tidaktersedia dalam sumber-sumber sekunder. Studi ini tidak akanterlalu memprioritaskan pada penyajian sumber-sumber primer,namun lebih pada upaya rekonstruksi dan reinterpretasi atasdata sekunder yang terpencar di berbagai sumber sekunderdalam kerangka kerja (framework) studi penelitian ini.

Mengenai data primer, beberapa bahan dikumpulkan melaluipenggunaan teknik survei dokumen dan database, wawancara,kuesioner, dan pengamatan langsung. Survei dokumendimaksudkan terutama untuk menemukan kode-kode spesifik,terbitan-terbitan, isu-isu utama, dan polemik-polemik darigenerasi-generasi tertentu serta makna spesifiknya pada rentang

Pendahuluan | 73

Page 94: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

historis tertentu. Penyelidikan ini dilakukan terutama lewatpembacaan hard copy dan mikrofilm dari koran-koran danmajalah-majalah Indonesia, terutama dari koleksi yang dimilikioleh Menzies Library di Australian National University,Perpustakaan Nasional Australia, Perpustakaan Nasional Indonesiadan Perpustakaan Center for Strategic and International Studies(CSIS) di Jakarta.

Survei database dilakukan dengan maksud untuk mendapatkanstatistika dan data yang tak diterbitkan mengenai keanggotaanatau partisipan dari komunitas-komunitas, perhimpunan-perhimpunan dan program-program pelatihan tertentu. Statistikayang tak diterbitkan, terutama mengenai perkembangan pendidikanmenurut kelompok agama, diperoleh dari database yang dimilikioleh Biro Pusat Statistik (BPS). Data yang tak diterbitkanmengenai mantan-mantan rekrutan masjid Salman dan LatihanMujahid Dakwah-nya diperoleh dari database milik dewanpengurus Salman. Data yang tak diterbitkan mengenai keanggotaanICMI diperoleh dari database ICMI. Data yang tak diterbitkanmengenai para dosen IAIN yang mengikuti studi pasca-sarjanadi universitas-universitas Barat diperoleh dari database DepartemenAgama.

Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi danpandangan dari tangan pertama mengenai biografi-biografiintelektual tertentu, mengenai kejadian-kejadian tertentu, mengenaiperhimpunan-perhimpunan, dan gerakan-gerakan inteligensiaMuslim pada rentang waktu historis tertentu. Wawancara-wawancara ini kebanyakan dilakukan selama penelitian lapanganpertama saya di Indonesia untuk memperoleh gelar master (Juli-Desember 1998) dan selama penelitian lapanga saya yang keduauntuk memperoleh gelar PhD (Oktober 2001-April 2002). Selainitu, wawancara-wawancara juga dilakukan pada beberapa

74 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 95: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

kesempatan seperti selama perjalanan singkat saya ke Indonesia(Oktober-Desember 1999 dan Oktober-Desember 2000) danselama kunjungan-kunjungan para intelektual Muslim Indonesiake Australia atau korespondensi via email. Sebagai hasilnya,lebih dari 70 intelektual dan aktivis Muslim telah diwawancarai,meski hanya opini-opini dari beberapa dari mereka yang dimuatsecara eksplisit di sini.

Kuesioner terutama dimaksudkan untuk memahami latarbelakang sosio-keagamaan dan persepsi-persepsi religio-politikdari para anggota ICMI. Untuk tujuan ini, sekitar 500 kuesionertelah disebarkan via pos kepada para anggota ICMI di seluruhIndonesia mulai dari bulan September sampai Desember 1998dengan menggunakan metode cluster-random sampling. Jumlahkuesioner ini sama dengan 2,7% dari total anggota ICMI yangtercatat sampai dengan bulan Juni 1998, yaitu sebesar 18.377(Database ICMI 1998). Namun kenyataannya, hanya 210 dari500 kuesioner yang dikembalikan oleh para responden.

Pengamatan langsung dimaksudkan untuk menempatkan dirisaya sebagai pengamat partisipan dengan tujuan untuk memahamikenangan-kenangan, motif-motif, ide-ide, minat perhatian danperilaku politik dari inteligensia Muslim. Saya telah mengikutirapat-rapat pengurus ICMI dan juga terlibat dalam seminar-seminar yang diselenggarakannya, dan juga mengikuti aktivitas-aktivitas dari lembaga-lembaga otonomnya. Saya juga mengikutiforum-forum diskusi yang dilakukan oleh para intelektualMuslim, seperti Majelis Reboan, Paramadina, dan MASIKA.Saya juga turut terlibat aktif dalam rapat-rapat para aktivismahasiswa Islam dan membangun sebuah hubungan dekatdengan para pemimpin atau mantan pemimpin organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti HMI, HMI-MPO, KAMMI,IMM dan PMII.

Pendahuluan | 75

Page 96: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Semua data primer dan sekunder dianalisa dengan menggunakanmetode-metode deskriptif-analitik yang dikombinasikan analisiswacana serta analisis ‘interdiskursif ’ dan ‘ekstradiskursif ’-nyaFoucault yang telah dimodifikasi (Foucault 1991: 58). Analisisyang pertama ialah analisis interdiskursif yang mempelajariperbedaan, dan seringkali pertentangan di antara wacana-wacanaakademis: seperti misalnya mengenai interdependensi antaraperspektif-perspektif sejarah, sosiologi, politik, cultural studies,dan sosio-linguistik. Analisis yang kedua, yaitu analisisekstradiskursif, mempelajari ketergantungan antara transformasi-transformasi diskursif dengan transformasi-transformasi yangberlangsung di luar diskursus, sebagai misal korelasi antaradiskursus keagamaan dengan segenap perubahan ekonomi,politik dan sosial.

Susunan Penulisan BukuTesis ini terdiri dari tujuh bab. Kecuali Bab 1 (Pendahuluan) danBab 7 (Kesimpulan), setiap bab akan meliputi beberapa sub-bagian sebagai berikut: setting politik dan ekonomi, pendidikan(sekolah-sekolah sekuler dan Islam), praktik-praktik diskursif,ruang publik, permainan-permainan kuasa (konsolidasi danpertarungan), gerak perkembangan (atau respon) tertentu dariinteligensia Muslim dan Islam politik, serta transmisi tradisi-tradisi politik dan intelektual Islam.

Setelah bab pendahuluan, Bab 2 terfokus pada terbentuknyagenerasi pertama dari inteligensia Hindia Belanda. Meskipunpenekanan diberikan kepada formasi inteligensia Hindia Belandapada dua dekade pertama abad ke-20, bab ini akan mengamatiakar-akar kemunculan tersebut dalam diperkenalkannya sistempendidikan Barat dan ruang publik yang terpengaruh Baratpada era Liberal pada akhir abad ke-19. Saat melacak akar-akar

76 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 97: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

pendidikan Barat dari inteligensia Hindia Belanda ini, bab iniakan mengarahkan perhatiannya pada proses modernisasi sekolah-sekolah Islam sebagai basis bagi terbentuknya inteligensia Muslim.Pembahasan kemudian akan diarahkan pada kemunculaninteligensia sebagai sebuah strata baru dari masyarakat HindiaBelanda bersama dengan ide-ide, identitas-identitas kolektif danruang publiknya. Pembahasan ini akan diikuti oleh pembahasanmengenai dampak dari perbedaan-perbedaan dalam relasi-relasiekonomi dan orientasi-orientasi kultural dan ideologis terhadapfragmentasi awal inteligensia Hindia Belanda. Yang terakhir,bab ini akan membahas munculnya proto-nasionalisme.

Bab 3 terfokus pada pembentukan Indonesia sebagai sebuahkomunitas imajiner dan sebagai sebuah ‘blok historis’ (historicalbloc), selain juga pada pembentukan beragam tradisi politik danintelektual yang saling bersaing. Bab ini mencakup rentangwaktu antara 1920 sampai dengan 1945, sebuah periode dimanakonsepsi mengenai nasionalisme dan negara Indonesiadiperbincangkan di kalangan kelompok-kelompok inteligensiayang saling bersaing dan pada saat inteligensia berpendidikantinggi (universitas) mulai memainkan peran utama dalam ke -pemimpinan bangsa. Pembahasan dalam bab ini akan menunjukkanbahwa sepanjang periode ini konsepsi ‘Muslim inteligensia’mulai terkonsolidasi dengan terbentuknya tradisi-tradisi politikdan intelektual Muslim. Batas antara ‘Muslim’ dan ‘non-Muslim’mulai terbangun melalui praktik-praktik diskursif, formulasiideologi-ideologi politik Islam, serta kemunculan partai-partaiIslam dan perhimpunan-perhimpunan pelajar Muslim. Bab inijuga akan menunjukkan bahwa periode ini dipenuhi dengansebuah proses fragmentasi internal yang akut dalam ummatIslam. Bab ini akan diakhiri dengan pembahasan mengenaigagal nya Islam politik di Indonesia pada awal kemerdekaan.

Pendahuluan | 77

Page 98: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Bab 4 akan terfokus pada peran inteligensia sebagai sebuahelit politik di Republik Indonesia yang berdaulat sepenuhnya,yang terentang mulai dari bulan-bulan pertama kemerdekaanIndonesia pada tahun 1945 sampai dengan kejatuhan rezimSukarno pada tahun 1965. Sepanjang periode ini, pertarungandari beragam tradisi intelektual diterjemahkan ke dalampertarungan dari beragam partai politik dalam perjuangan untukmerebut kepemimpinan negara. Bab ini akan membahas ‘kegagalan’dari inteligensia sipil untuk menjalankan demokrasi parlementerpada tahun 1950-an, dan juga kesulitan-kesulitan yang munculdari eksperimen-eksperimen demokrasi dalam periode ini. Padasaat yang bersamaan, bab ini juga akan memberikan perhatiankepada akselerasi perkembangan pendidikan yang memungkinkanmeningkatnya jumlah kuantitatif dari inteligensia Muslim.Perhatian khusus akan diberikan pada pasang-surutnya inteligensiaMuslim sebagai pemimpin politik bangsa Indonesia. Pembahasanmengenai gelombang pasang generasi baru inteligensia Muslimakan menjadi klimaks dari bab ini.

Bab 5 akan terfokus pada kemunculan Orde Baru sebagaisebuah rezim represif-developmentalis serta dampaknya terhadapperkembangan inteligensia Muslim. Pembahasan kemudian akandiarahkan pada beragam respons intelektual Muslim yang salingbertentangan terhadap modernisasi Orde Baru dan marjinalisasiIslam politik. Perhatian akan diarahkan pada beragam responsyang didasarkan pada kriteria generasional, selain juga padafragmentasi internal yang belangsung dalam generasi baruinteligensia Muslim. Ini akan diikuti dengan pembahasanmengenai implikasi dari perbedaan-perbedaan respons initerhadap gerakan-gerakan intelektual Muslim dan polarisasiyang ada dalam komunitas inteligensia Muslim. Yang terakhir,bab ini akan membahas dampak dari upaya Orde Baru untuk

78 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 99: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

memajukan pendidikan serta pendidikan lanjut di negeri-negeriBarat dan perubahan-perubahan yang tejadi di lingkunganinternasional terhadap performa dari beragam gerakan intelektualIslam.

Bab 6 terfokus pada sebuah kasus spesifik: yaitu pasang dansurutnya ICMI. Bab ini akan mencakup periode historis mulaidari berdirinya ICMI pada tahun 1990 sampai dengan akhirabad ke-20. Perhatian akan diarahkan pada perubahan-perubahandalam struktur kesempatan politik yang memungkinkan pasang-surutnya ICMI, serta pada penciptaan modal kultural olehinteligensia Muslim. Pembahasan akan diarahkan pada kontroversiseputar kelahiran dan manver-manuver politiknya, yang diikutidengan penilaian terhadap prestasi-prestasi politik dan kulturalICMI. Bab ini akan diakhiri dengan sebuah pembahasan mengenaiperan dari para intelektual Muslim dalam gerakan reformasiserta dampak dari pengunduran diri Suharto terhadap posisidan sikap politik inteligensia Muslim.

Bab 7 akan menyajikan kesimpulan-kesimpulan dari studiini. Kesimpulan ini berupaya untuk menyoroti persoalan-persoalan penting dan kemungkinan-kemungkinan implikasinyabagi perkembangan inteligensia Muslim dan politik Indonesiadi masa depan.

Catatan tentang EjaanStudi-studi tentang Indonesia seringkali berhadapan denganproblem-problem transliterasi. Pada dasarnya, baik sistem ejaanlama yang bergaya Belanda dan sistem ejaan resmi bahasaIndonesia yang baru yang disahkan pada tahun 1972 dipergunakandalam studi ini, karena kedua ejaan tersebut memang dipakaidalam sumber-sumber tertulis yang merentang mulai dari tahun

Pendahuluan | 79

Page 100: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

1900-an sampai dengan saat ini. Meski demikian, terdapatbeberapa pengecualian. Secara umum, ejaan oe (dalam ejaanBelanda/lama) akan digantikan dengan oleh u, kecuali manakalaejaan tersebut memang dipakai dalam kutipan-kutipan langsung,dalam nama-nama terbitan dan pengarang, dan juga dalam‘kode-kode’ dari momen historis tertentu, seperti misalnyaistilah kemadjoean sebagai kode bagi inteligensia generasipertama.

Ejaan dari nama-nama personal sebisa mungkin akan mengikutiejaan yang dipakai oleh individu-individu itu sendiri, namunsecara umum huruf oe akan digantikan oleh huruf u. Sehingga,Soekarno akan digantikan dengan Sukarno. Beberapa pengecualiandi antaranya ialah (Mohammad) Roem, Pramoedya (Ananta)Toer, (Deliar) Noer, dan (Wiratmo) Soekito karena merekamemang secara konsisten menggunakan ejaan tersebut untuknama-nama mereka sampai dengan akhir abad ke-20. Nama-nama Indonesia yang diadopsi dari kata-kata Arab akan diejadalam sistem ejaan Indonesia (lama dan baru—namun sekalilagi oe akan digantikan dengan u—seperti yang dilakukan sendirioleh individu-individu pemilik nama tersebut. Sehingga, AhmadDahlan (pendiri Muhammadiyah) akan dieja Achmad Dachlan.Di sisi lain, nama-nama dari orang-orang Arab (bukan orangHindia Belanda) akan dieja sesuai dengan sistem ejaan Arabdalam huruf latin.

Nama-nama organisasi dan institusi akan dieja sesuai dengankonteks-konteks historis dari kehadirannya (dan huruf oe akandiganti dengan huruf u). Namun, demi konsistensi, nama-namaorganisasi dan juga institusi-institusi dan prinsip-prinsip negarayang terus eksis sampai dengan akhir abad ke-20 akan diejamengikuti sistem ejaan bahasa Indonesia yang baru. Jadi,Moehammadijah akan dieja Muhammadiyah, Madjelis

80 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 101: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Permusjawaratan Rakjat akan dieja menjadi MajelisPermusyawaratan Rakyat, Pantjasila akan dieja menjadi Pancasila.

Yang terakhir, pengejaan dari nama-nama kota dan tempat-tempat lain akan menggunakan sistem ejaan bahasa Indonesiayang baru, sehingga kata Djakarta, Soerabaja, dan Tjirebonakan dieja menjadi Jakarta, Surabaya, dan Cirebon.[]

Catatan:1 Shils (1972: 387).

2 Gella (1976: 25).

3 Woodward (1996:34)

4 Konsepsi politik negara-negara tua di Asia Tenggara sering dilukiskan oleh para ahlisebagai ‘galactic polity’, ibarat lingkaran-lingkaran konsentris yang berpusat pada istana.Dan negara Orde Baru berusaha mereproduksi konsepsi politik seperti itu denganberpusat pada ‘Cendana’.

5 Di antara figur publik dari inteligensia Muslim pada masa akhir kekuasaan Suhartoialah Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Dawam Rahardjo, AdiSasono, Imaduddin Abdulrahim, Djalaluddin Rakhmat, Sri Bintang Pamungkas, danEmha Ainun Nadjib.

6 Contoh figur-figur ini diantaranya ialah Mar’ie Muhammad, Beddu Amang, MusliminNasution, Sutjipto Wirosardjono, Setyanto P. Santoso, Sajuti Hasibuan, Marzuki Usman,Dipo Alam dan banyak lagi yang lainnya.

7 Pada Pemilu 2004, total prosentase suara yang diperoleh seluruh partai-partai Muslimsedikit naik dari Pemilu sebelumnya, yakni 39.1%, dan meraup sebanyak 42.0% daritotal kursi di DPR (231 kursi dari total 550 kursi yang ada). Untuk mendapatkandeskripsi yang lebih rinci mengenai hasil jumlah suara yang diraih oleh partai-partaiMuslim pada dua Pemilu ini, baca Bab 6.

8 Piagam ini dirancang menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945,dan di antara isinya, terdapat sebuah ketentuan khusus yang menunjukkan bahwa fraseKetuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila harus ditambah dengananak kalimat ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.Anak kalimat inilah yang dikenal sebagai ‘tujuh kata’.

9 Lebih dari 80 tahun setelah kata ‘Islam’ digunakan secara eksplisit sebagai nama darisebuah perhimpunan oleh Sarekat (Dagang) Islam, kata yang sama atau derivatnyaseperti ‘Muslim’ masih tetap dipakai secara luas sebagai nama-nama dari partai politikdan kelompok-kelompok aksi. Lebih dari 70 tahun setelah kata ‘Islam’ (Islamietendalam bahasa Belanda) pertama kali dipakai sebagai nama dari sebuah organisasi

Pendahuluan | 81

Page 102: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

pelajar, yaitu Jong Islamieten Bond (JIB), istilah yang sama terus digunakan oleh banyakperkumpulan inteligensia dan mahasiswa, seperti Ikatan Cendekiawan ‘Muslim’ se-Indonesia (ICMI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa ‘Muslim’ Indonesia (KAMMI).

10 Sehingga, setelah menggambarkan penghulu sebagai semacam ‘priyayi yang santri’,Geertz segera meragukan analisisnya sendiri, karena istilah tersebut menurutnya bisamengandung suatu kontradiski dalam peristilahan, contradictio in terminis (1976:133). Meskipun dia melihat bahwa di antara para pengikut partai-partai Islam (NU danMasjumi) terdapat ‘kaum muda, kaum terdidik, kaum urban, dan mereka yang tidakterlalu taat keagamaannya’ yang cenderung untuk ‘menjadi lebih modern’ (1976: 163),namun dia tak pernah bisa membayangkan bahwa generasi muda Muslim yang terdidikini akan berbondong-bondong masuk birokrasi modern. Menjadi santri baginyamerupakan antitesis dari menjadi seorang birokrat: ‘Problem ini terutama lebih akut dikalangan santri, yang menganut nilai-nilai yang sedemikian anti-birokratik, “mandiri”,dan “egaliter” dalam karakternya; hal ini karena mereka menyadari bahwa begitu parapemimpin mereka menjadi para pegawai sipil berkat dukungan kekuatan politik santri,mereka menjadi kurang santri dalam pandangannya’ (1976: 373).

11 Dalam pandangan Emerson, Islam politik pada masa itu telah ditaklukkan secarakonstitusional, secara fisik, secara Pemilu, secara birokratik, dan secara simbolik (1989).

12 Studi diakronik ini terutama penting untuk menelaah masyarakat-masyarakat post-kolonial. Dikatakan bahwa post-kolonialitas merupakan sebuah kondisi historis yangditandai dengan adanya kebebasan yang nyata (the visible apparatus of freedom) yangdibarengi dengan bayang-bayang ketidakbebasan yang terus mengancam (the concealedpersistence of unfreedom), dan dengan adanya ketegangan-ketegangan yang terusberlangsung antara menjadi-ada (arrival) dan menjadi-lenyap (departure), antarakemerdekaan (independence) dan ketergantungan (dependence). Sehingga, ‘impianpostkolonial untuk berpisah dari masa lalunya sendiri (the postcolonial dream ofdiscontinuity) pada dasarnya rentan terkena infeksi-infeksi residu dari masa lalunyasendiri yang terpendam dan tak terselesaikan (unconsidered and unresolved past)’(Gandhi 1998: 6-7).

13 Dalam karya Clifford Geertz, The Religion of Java (1960), masyarakat Jawa terdiri daritiga sistem makna yang dikelompokkan ke dalam aliran (struktur-struktur identitas danorganisasi yang bersifat vertikal): yaitu priyayi, abangan dan santri. Dikatakan bahwatradisi priyayi merupakan sebuah ideologi dari istana dan pujangga yang berorientasipada pandangan dunia mistik kejawen dan Hindu-Buddha. Tradisi abangan merupakansebuah ideologi sinkretik dari kaum tani yang sangat dipengaruhi oleh paham animismeJawa, sementara tradisi santri merupakan sebuah cara pandang dunia Islam yang taatyang dianut oleh elemen-elemen masyarakat Jawa maupun Luar Jawa.

14 ‘Perjuangan demi menyatakan-diri’ (Struggle for the real) merupakan ‘sebuah usahauntuk menerapkan kepada dunia sebuah konsepsi tertentu mengenai bagaimanasesungguhnya nilai dari benda-benda dan bagaimana manusia-manusia harus berperilaku’(Geertz 1972: 324).

15 Pemakaian awal dari istilah ‘inteligensia’ (intelligentsia) ini masih merupakan bahanperdebatan. Beberapa sejarawan berasumsi bahwa istilah ‘inteligensia’ ini diperkenalkanoleh Peter Boborykin, seorang penulis Rusia pada tahun 1860. Namun pendapat iniditentang oleh Waclaw Lednicki, yang menemukan bahwa istilah itu telah dipergunakan

82 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 103: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

dalam kesusastraan Rusia, terutama dalam karya V.G. Belinsky pada tahun 1846. Lebihdari itu, dia juga mengamati bahwa istilah tersebut dipakai kira-kira pada saat yangbersamaan di Polandia, dan karena itu dia menyimpulkan bahwa Rusia dan Polandiamerupakan tempat kelahiran dari strata sosial ini, dan bahasa kedua negeri itulah yangmenciptakan istilah inteligensia. Richard Pipes menyangsikan bahwa istilah itu dipakaipertama kali oleh Boborykin atas dasar temuannya bahwa kata berbahasa Jerman‘intelligenz’ telah dipakai sejak tahun 1849, dan kata itu dipakai untuk menunjuk padafenomena yang sama dengan inteligensia di Polandia dan Rusia. Yang terakhir, AleksanderGella sendiri telah menunjukkan bahwa istilah tersebut pertama kali dipakai dalamkesusastraan Polandia oleh Karol Libelt pada tahun 1844 (Gella 1976: 12).

16 Dinyatakan bahwa sementara kalangan bangsawan cenderung hanya tertarik padadunia sastra dan kemiliteran, para individu yang berasal dari kalangan pendeta cenderungmemasuki pekerjaan-pekerjaan akademis dan professional, sedangkan kesempatanterbaik buat orang-orang biasa ialah memasuki bidang-bidang seni (pelukis, pematung,pemusik) dan teater (menjadi pemain, penyanyi) (Nahirny 1983: 27).

17 Dalam pandangannya, adalah tak mungkin untuk mendefinisikan dengan tepat sifat-sifat seperti ‘memiliki kepekaan yang luar biasa terhadap yang sakral [atau] memilikisuatu daya reflektif yang luar biasa mengenai hakekat dari alam semesta’. Juga sulitdipahami mengapa seseorang yang hanya berpendidikan formal rendah atau takberpendidikan formal tak bisa memiliki sifat-sifat semacam itu. Menurutnya, ‘tak adaaktivitas manusia yang tak melibatkan partisipasi intelektual dalam bentuk apapun:homo faber tak bisa dipisahkan dari homo sapiens’. Dalam pandangannya, semua orangmenggunakan inteleknya dalam tingkatan tertentu: yang berbeda hanyalah padaderajatnya saja, bukan jenisnya (Gramsci 1971: 8-9; Miller 1999: 25).

18 Weber membedakan dua aspek dasar lainnya dari distribusi kuasa yang berlangsungdalam sebuah masyarakat di samping konsepsi tentang kelas. Pertama, dia sebut sebagaistatus, dan aspek kedua dia sebut sebagai partai. Status merujuk pada perbedaan derajatdalam prestise sosial di antara kelompok-kelompok sosial yang ada dalam suatukomunitas. Dalam kata-kata Weber sendiri, status (‘status situation’) digambarkansebagai ‘setiap komponen tipikal dari nasib kehidupan orang-orang yang ditentukanoleh estimasi sosial yang spesifik atas nilai kehormatan (honor) orang-orang tersebut,baik yang bersifat positif ataupun negatif ’ (Weber 1967: 24). Sementara kelas merujukpada ketidaksetaraan dalam distribusi imbalan ekonomi (economic rewards), statusmerujuk ketidaksetaraan dalam distribusi ‘kehormatan sosial’ (social honour). Sementarakategori diberikan secara obyektif, status tergantung pada evaluasi subyektif orang-orang mengenai perbedaan-perbedaan sosial (Giddens 1990: 212). Konsepsi Partaimerujuk pada kekuasaan atas tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan kolektif darisetiap kelompok yang terorganisir, yang berorientasi pada perolehan ‘kekuasaan’ sosial,atau dengan kata lain, pada upaya untuk mempengaruhi sebuah tindakan komunal,apapun tindakan tersebut (Weber 1967: 27). Sementara Marx cenderung menjelaskanbaik perbedaan status maupun pengorganisasian partai dalam kerangka kelas, Weberberargumen bahwa dalam kenyataannya, tak ada satu pun dari kedua konsepsi tersebutyang bisa direduksi ke dalam pembagian kelas. Meskipun pengaruh ‘situasi kelas’terhadap ‘status’ dan ‘partai’ tampak jelas, namun hal yang sebaliknya juga berlaku.Yaitu, ‘status’ dan ‘partai’ bisa mempengaruhi kondisi-kondisi ekonomi dari orang perorang maupun kelompok, sehingga pada gilirannya juga berpengaruh pada kelas. Lebih

Pendahuluan | 83

Page 104: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

jauh lagi, Weber berargumen bahwa dalam masyarakat-masyarakat tertentu, relasi-relasikelas, status dan partai bisa saling terkait (Weber 1967: 24-27).

19 Buku ini diterbitkan pertama kali di Paris pada tahun 1927 dan pertama kali diterjemahkanke dalam bahasa Inggris pada tahun 1928.

20 Untuk komentar mengenai konsepsi intelektual yang diajukan oleh ketiga penulistersebut, baca Miller (1999: 13).

21 Kritik terhadap konsep tersebut, bisa dibaca pada tulisan Konrád & Szelényi (1979),Etzioni-Halevi (1985), Ross (1990).

22 Seperti yang diamati oleh Harry J. Benda (1962: 240): ‘Adalah lebih merupakan sebuahperkecualian ketimbang suatu keteraturan bahwa kaum bangsawan muda, anak pemiliktanah ataupun bahkan keturunan dari kelas borjuis yang baru muncul, setelah memperolehpendidikan Barat di bidang apapun, akan menjadi pembela dan juru bicara dari kelasasalnya.

23 Proses masuknya istilah ‘inteligentsia’ ke dalam ruang publik Indonesia sangat mungkinlewat jalan memutar via pengaruh intelektual Eropa Barat ketimbang diimpor langsungdari Rusia atau Polandia.

24 Daerah di Semenanjung Malaya yang didiami oleh banyak orang Melayu yang datangdari Sumatra Barat.

25 Konsepsi cendekiawan sebagai intelektual bisa dilihat misalnya dalam tulisan Harsja W.Bachtiar, ‘Kaum Cendekiawan di Indonesia: Suatu Sketsa Sosiologi’. Sementara konsepsicendekiawan sebagai inteligentsia bisa dilihat dalam tulisan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti,‘Cendekiawan Dunia Ketiga: Orang ‘Barat’ di Dunia ‘ Timur’’ dan juga dalam tulisanSelo Soemardjan, ‘Peranan Cendekiawan dalam Pembangunan’. Semua artikel ini bisadibaca dalam sebuah buku yang dieditori oleh A. Mahasin dan I. Natsir (1983).

26 Sebuah ringkasan yang sangat bagus mengenai beragam konsepsi power (atau kuasa)yang dikritik oleh Foucault bisa dilihat dalam Pasewark (1993: 7-13).

27 Satu-satunya contoh dari teks pidato yang diterbitkan ialah pidatonya Hatta yangberjudul ‘Tanggung Djawab Moril Kaum Inteligensia’ yang disampaikan di UniversitasIndonesia pada 11 Juni 1957. Buku Dawam Rahardjo, ‘Intelektual, Inteligensia, danPerilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim’ (1993) merupakan satu-satunyacontoh dari antologi. Sementara tulisan-tulisan karya Arief Budiman (1981) dan SeloSoemardjan (1981) merupakan contoh-contoh dari artikel-artikel mengenai inteligensiaIndonesia sebagai bab-bab dari sebuah buku kumpulan karangan. Tulisan WiratmoSoekito berjudul ‘Posisi Kaum Inteligensia Indonesia Dewasa Ini’ dalam majalah SiasatBaru (No. 655, 30 Desember 1959) merupakan sebuah contoh dari artikel-artikelmengenai inteligensia Indonesia dalam jurnal.

28 Buku Legge berjudul Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A Study of theFollowing Recruited by Sutan Sjahrir in Occupation Jakarta (Intelektual dan Nasionalismedi Indonesia: sebuah Kajian tentang Kelompok Sutan Sjahrir selama PendudukanJakarta). Disertasi Sparringga berjudul Discourse, Democracy and Intellectuals in theNew Order Indonesia, a Qualitative Sociological Study. Buku Dhakidae berjudulCendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru.

29 Buku yang ditulis Hassan berjudul Muslim Intellectual Response to ‘New Order’Modernization in Indonesia. Sementara buku Federspiel berjudul Muslim Intellectuals

84 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 105: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

and National Development in Indonesia. Buku Anwar berjudul Pemikiran dan AksiIslam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru.

30 Contoh-contoh karya-karya minor adalah buku karya Ridwan Saidi (1990), CendekiawanIslam zaman Belanda, dan tesis masternya Fuadi Mardatillah (1997), IntellectualResponses to the Establishment of Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), 1990-1995. Sementara contoh-contoh dari antologi-antologi di antaranya karya-karya DickHartoko, Golongan Cendekiawan, Mereka Yang Berumah di Angin (1981); karya AswabMahasin (ed.), Cendekiawan dan Politik (1983); karya Dawam Rahardjo, Intelektual,Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim (1993); dankarya A.E. Priyono (ed.), Kebebasan Cendekiawan: Refleksi Kaum Muda 91996).Sementara contoh-contoh artikel, bisa dilihat pada Lampiran A dan B dalam disertasiYudi Latif (2004).

31 Miskonsepsi semacam ini bisa dilihat dalam Dhakidae (2003), Anwar (1996), Azra(2000).

32 Dikutip dari Eyerman (1994: 70).

33 ‘Minat pengetahuan’ (knowledge interest) bisa didefinisikan sebagai jenis pengetahuanyang terbentuk dalam konteks sebuah generasi intelektual tertentu (Eyerman danJamison 1991: 45-65). Sebagai perbandingan, Weber memandang bahwa ide-ide itu‘tersituasikan’ (situated) secara sosial dan dibentuk oleh pandangan dunia (world-views)atau ‘gaya-gaya pemikiran’ (styles of thought). Adapun gaya-gaya pemikiran ini berkaitandengan, selain dengan yang lainnya, periode dan generasi tertentu (Burke 2000: 5).

34 Karena alasan-alasan inilah, buku Habermas diberi judul ‘Strukturwandel der Öffentlicheit’(Transformasi Struktural dari Ruang Publik), yang pertama kali diterbitkan di Jermanpada tahun 1962. Terjemahan pertama dalam bahasa Inggris pertama kali terbit padatahun 1989.

35 Klaus Eder (1993: 20-27) berargumen bahwa kunci bagi penjelasan mengenai jalankemajuan menuju modernitas dalam pengalaman Barat terletak dalam proses belajardan praktik-praktik simbolik yang berlangsung dalam ranah kebudayaan. Saat sebuahmasyarakat bergerak dari kehidupan tradisional menuju kehidupan modern, medanproses pembelajaran kolektif beralih dari ikatan-ikatan komunal yang bersifat tertutupkepada ikatan-ikatan patembayan (associational-bonds) yang bersifat terbuka, dari estatdan kasta-kasta kepada masyarakat kelas. Perubahan medan bagi pembelajaran sosial inipada gilirannya akan mengubah universum simbolik. Dalam asosiasi, universum simbolikitu diproduksi lewat komunikasi diskursif yang melibatkan rasionalitas yang tinggi danhak-hak yang sama untuk berpikir dan berbicara secara bebas. Di sisi lain, masyarakatIndonesia pada abad ke-20, masih merupakan masyarakat yang komunal, bukanmasyarakat patembayan. Solidaritas kulturalnya masih terpaku pada sistem-sistemprimordial (yang menjadi dasar pembentukan ikatan kelompok) ketimbang pada afiliasikelompok yang berorientasi prestasi (achieved group affiliations). Asosiasi-asosiasipatembayan sebagai sebuah prasyarat yang niscaya untuk membangun masyarakat sipilmasih belum hadir secara kuat. Proses pembelajaran sosial secara kolektif kebanyakandifasilitasi oleh kelompok-kelompok komunal, ketimbang oleh asosiasi-asosiasi patembayan.Akibatnya, penciptaan universum simbolik, sebagai mediasi bagi segenap tindakansosial, lebih dipacu oleh semangat komunalisme ketimbang oleh ukuran-ukuran rasionaldari asosiasi patembayan.

Pendahuluan | 85

Page 106: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

36 Mengenai perbedaan sosiologi pengetahuan yang lama dan yang baru, lihat karya PeterBurke (2000).

37 Mengenai perbedaan sosiologi politik yang lama dan yang baru, lihat karya Kate Nash(2000: x-xiv).

38 Untuk mendapatkan sebuah ringkasan yang bagus mengenai teori-teori ‘intertekstualitas’,lihat Graham Allen (2000).

86 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 107: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

BAB 2

FORMASI INTELIGENSIA

Tatanan lama telah hancur, sebuah dunia baru tercipta dan semua

di sekeliling kita berubah.—Munshi Abdullah bin Abdul Kadir (1843)1

Sebuah kelompok eksis manakala kelompok itu diberi nama.—Jérôme Lindon (1988)2

Tak perlu memperpanjang perbincangan kita mengenai‘bangsawan oesoel’ karena kemunculannya

memang telah ditakdirkan.—Abdul Rivai (1902)3

Saat memasuki abad ke-19, kaum terpelajar dan pujangga(clerisy)4 dari ‘bumi bawah angin’ (nusantara) seolah berdiri diambang persimpangan jalan. Jalan pengetahuan ke Mekah yangdiwarisi dari abad-abad sebelumnya melalui jaringan ulamainternasional masih terbentang.5 Pada saat yang sama, pendalamanpenetrasi kolonialisme dan kapitalisme Belanda secara takterelakkan membawa rezim pengetahuannya sendiri, yangmembuka jalan intelektual baru ke ‘Barat’.

Formasi Intelegensia | 87

Page 108: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Penetrasi kapitalis-Liberal pada paruh kedua abad ke-19dalam era kolonial Belanda berperanan penting dalam mendorongpemerintah kolonial untuk memperkenalkan sistem pendidikanbergaya Barat ke masyarakat Hindia Belanda (selanjutnya akandisebut Hindia). Pada perkembangan selanjutnya, kebijakan‘Politik Etis’ yang dipromosikan oleh politisi ‘sayap kanan’ diBelanda pada dekade-dekade awal abad ke-20 membawa prosestransformasi di dunia pendidikan ini ke tahap yang lebih jauh.

Dibangkitkan oleh gelombang pasang gerakan-gerakan liberaldan revolusi demokratik di Eropa sekitar tahun 1840-an(Stromberg 1968: 72-78), sayap Liberal di negeri Belanda yangdipimpin oleh Jan Rudolf Thorbecke dengan cepat meresponsmomentum politik itu dengan mengubah haluan Undang-undangDasar (grondwetsherziening) negeri kincir angin itu, darikonservatisme menuju liberalisme. Dengan Undang-undangDasar 1848 ini, Belanda berubah menjadi sebuah negara monarkikonstitusional, dan sang Ratu menjadi bertanggung jawab kepadaParlemen. Sebagai konsekuensinya, negara Belanda berubah darikekuasaan dengan otoritas absolut (rule of absolute authority)menjadi kekuasaan dengan hukum (rule of law). Di bawahketentuan hukum inilah, sayap Liberal mampu mengintervensipersoalan-persoalan di negeri jajahan lewat parlemen. Dalambidang pendidikan, Undang-undang Dasar 1848 menjaminpendidikan secara bebas bagi setiap orang di negeri Belandayang selanjutnya memiliki ‘efek turunan ke bawah’ (trickle downeffect) berupa lahirnya sebuah sikap baru terhadap persoalanpendidikan di Hindia (Simbolon 1995: 126-127).

Didukung oleh para pengusaha swasta dan kelas menengahLiberal yang sadar politik, kekuatan Liberal ini kian merasa takpuas dengan pengelolaan keuangan, pertama-tama di negeriBelanda sendiri dan selanjutnya di negeri jajahan. Berangkat

88 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 109: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

dari perasaan seperti itu, kaum Liberal pada awalnya memilikitujuan untuk meraih kekuasaan di negeri Belanda, dan kemudianmemiliki akses atau kontrol atas keuntungan-keuntungan kolonial(Furnivall 1944: 148). Dalam konteks aspirasi-aspirasi kaumLiberal mengenai ‘kebebasan usaha’ (free cultivation), ‘kebebasankerja’ (free labour), dan ‘pemilikan pribadi’ (individual possession),upaya memperoleh kendali atas keuntungan-keuntungan kolonialberarti mendesak pemerintahan kolonial untuk melindungi modalswasta dalam rangka mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatanmenjalankan usaha atau perkebunan yang baru.6 Peralihan menujuekonomi Liberal pada kenyataannya memerlukan bukan hanyareformasi institusional, namun juga dukungan infrastruktur,7

terutama perbaikan pelayanan-pelayanan birokrasi, yang padagilirannya menuntut perbaikan sektor pendidikan di Hindia.

Era kolonial Liberal tidak berlangsung lama. Pergantianperistiwa-peristiwa sosio-ekonomi dan politik, baik di negeriBelanda maupun di Hindia, pada akhir abad ke-19 membawaperkembangan-perkembangan baru dalam perlakuan-perlakuankolonial terhadap Hindia. Di negeri Belanda, peristiwa-peristiwayang dimaksud itu terutama ialah munculnya bibit-bibitadministrator baru yang budiman sejak tahun 1870 karenaterpengaruh oleh sosialisme dan idealisme sentimental à laMultatuli,8 berbarengan dengan berlangsungya reorientasi partai-partai politik yang berbasis agama. Ini terjadi pada tahun 1888ketika posisi kaum Konservatif lama digantikan oleh kekuatanaliansi antara kaum Anti-Revolusioner dengan Kalvinis dan‘Romanis’,9 yang menyempal dari sekutu tuanya, yakni partaiLiberal, yang kemudian membentuk sebuah Partai Kristen barusebagai Sayap Kanan untuk berhadapan dengan Sayap Kiri,kelompok sekularis. Barangkali secara tak terduga, partai Kananitulah justru yang pertama kali mendeklarasikan sebuah kebijakan

Formasi Intelegensia | 89

Page 110: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

kolonial baru yang menegaskan bahwa eksploitasi, entah olehNegara maupun oleh perusahaan swasta, haruslah didasarkanpada sebuah kebijakan yang bertanggungjawab secara moral(Furnivall 1944: 228-229).

Yang menjadi pendorong bagi munculnya kredo dari PartaiKristen itu ialah adanya kemerosotan yang terus-menerus dalamkehidupan sosial di Hindia sebagai akibat dari stagnasi ekonomi,kegagalan panen, penyakit ternak, kelaparan dan kondisi-kondisikesehatan yang memprihatinkan. Beragam malapetaka sosial inimerupakan konsekuensi-konsekuensi tak diinginkan dari ekonomiLiberal yang kemudian menciptakan sebuah iklim opini baru dinegeri Belanda. Semua partai yang ada menjadi lebih mendukungaktivitas Negara dalam persoalan ekspansi, efisiensi, dankesejahteraan, yang menempatkan kesejahteraan Hindia sebagailatar depan dari kebijakan kolonial. Maka, setelah pemilihanumum tahun 1901 yang menghasilkan kemenangan sayap Kanan,liberalisme menjadi sebuah kredo yang usang, digantikan olehsemangat kasih Kristen (Furnivall 1944: 225-233).

Partai Kristen berhasil meraih kekuasaan karena posisinyasebagai pembela tanggung jawab moral. Dengan semangattanggung jawab moral itu pula, Ratu Wilhelmina dalam pesantahunannya yang disampaikan dari tahtanya di hadapan dewanParlemen pada tahun 1901 mengemukakan tentang ‘hutangbudi’10 dan tanggungjawaban etis negeri Belanda kepada rakyatHindia (Van Niel 1970: 32).11 Orientasi baru dalam perlakuankolonial terhadap Hindia ini dikenal sebagai ‘Politik Etis’.

Di bawah Politik Etis, educatie (pendidikan), irrigatie (irigasi)dan ëmigratie (transmigrasi)12 menjadi prioritas dari programkesejahteraan (yang berwatak etis). Dari ketiga program itu,pendidikan ternyata dianggap sebagai hal yang paling esensial.

90 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 111: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Di mata bapak gerakan Etis, Th. Van Deventer, meningkatnyakesejahteraan kaum pribumi sulit dicapai tanpa adanya personelpribumi yang cukup terlatih untuk bisa menjalankan tugaskerjanya. Dia memimpikan lahirnya kembali Hindia yang akanbisa dicapai melalui perbaikan pendidikan, sementara kaumEthici lainnya, Abendanon, menganggap pendidikan merupakanpengikat persahabatan dan kepercayaan, yang akan bisamenyatukan semua orang yang melangkah di jalan menujukemajuan. Dalam pandangan-pandangan idealistik ini, pendidikanditujukan sebagai sebuah sarana untuk memperbaiki kesejahteraankaum Pribumi dalam kerangka peradaban yang terinspirasi Barat(Van Niel 1970: 34, 66-67).

Datangnya era Etis ini juga membawa sebuah kisah barudalam perlakuan pemerintah kolonial terhadap Islam, terutamadi bawah pengaruh dari seorang ahli Arab dan Islam yang luarbiasa, Christiaan Snouck Hurgronje, yang datang ke Hindiapada tahun 1889. Pada tahun yang sama, dia ditunjuk sebagaiseorang penasehat bagi Kantor Urusan Orang Pribumi dan Arab(Kantoor voor Inlandsche zaken). Kantor tersebut didirikan atasusulan dan usahanya.13 Dalam posisinya itu, dia mulaimemperkenalkan sebuah pendekatan baru untuk menghadapipersoalan-persoalan Islam.

Snouck melakukan kounter terhadap ketakutan orang Belandaterhadap Islam, baik di tingkatan internasional maupun lokal,dengan mengeritik miskonsepsi-miskonsepsi orang Belandamengenai Islam.14 Dia menekankan watak damai dari perangaiIslam di kepulauan Hindia, meskipun mengakui juga adanyabahaya-bahaya potensial dari minoritas kecil ulama fanatik yangterpengaruh oleh gagasan-gagasan pan-Islamisme. Sehubungandengan itu, dia mengajukan rekomendasi-rekomendasi kebijakanterhadap Islam dalam suatu kerangka kerja yang disebut

Formasi Intelegensia | 91

Page 112: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

‘splitsingstheorie’. Teori ini membagi Islam menjadi dua bagian,yang pertama, yaitu Islam yang bersifat keagamaan, dan yangkedua, Islam yang bersifat politik. Sementara pemerintah kolonialharus menghormati dimensi dunia kehidupan Muslim yangpertama, ia tidak boleh mentoleransi yang kedua. Untuk persoalankedua ini, Snouck menekankan: ‘karena itu, setiap ada tanda-tanda kemunculannya, haruslah secara tegas dihadapi dengankekuatan, dan semua campur tangan yang datang dari luarnegeri dalam perkara-perkara Islam haruslah dipatahkan sejakdari tunasnya’ (Benda 1958: 24).

Pergeseran dalam kebijakan kolonial terhadap Islam initernyata merupakan langkah awal dalam visi profetik Snouckbagi terciptanya Hindia yang ideal di masa depan. Dia percayabahwa kepemimpinan masyarakat Hindia di masa depan tidakbisa bergantung pada kaum Muslim yang taat dan pada tetuaadat. Menurutnya, kaum Muslim yang taat tak bisa terlaludiharapkan untuk bisa mengembangkan sebuah ikatan yanglestari antara negeri Hindia dan negeri Belanda, sementara paratetua adat, yang telah lama menjadi penghadang terkuat untukmelawan Islam, terlalu konservatif untuk bisa diharapkan sebagaipengusung tujuan-tujuan jangka panjang pemerintahan kolonial.Karena sebuah Hindia yang modern tak bisa dipimpin baik olehkaum Muslim maupun oleh para tetua adat, maka Snouckmenyadari pentingnya menciptakan para elit Hindia baru yangberorientasi Barat (Benda 1959: 25-27). Para elit yang berorientasiBarat inilah yang diharapkan bisa merawat masyarakat Hindiamodern seiring dengan garis-garis kebijakan ‘asosiasi’ (associationpolicy). Dengan kata ‘asosiasi’ yang dia maksudkan di sini ialahupaya untuk menciptakan ‘sebuah negara Belanda raya, yangterdiri atas dua wilayah yang terpisah secara geografis, namunmerupakan bagian-bagian yang terkait secara spiritual, dimana

92 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 113: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

yang satu berada di Eropa Barat-utara, dan yang lain berada diAsia Tenggara’ (Steenbrink 1993: 88).

Demi tercapainya tujuan itu, Snouck memberikan rekomendasikepada pemerintah kolonial untuk mempromosikan organisasipendidikan berskala-luas di atas landasan nilai-nilai universaldan bersifat netral secara keagamaan sehingga akan bisa‘mengemansipasi’ elit baru dari keterikatan keagamaannya.‘Mengemansipasi’ dalam konteks ini mengandung arti menjauhkanelit baru dari ajaran Islam. Dengan demikian, proses kelahirankesadaran nasional Hindia akan dipandu melalui kerjasamadengan, dan arahan, pihak Belanda, dan tidak diarahkan olehgerakan Pan-Islamisme yang berbahaya secara politik (Lee 1977:157). Mengutip retorika Snouck:

Mengasuh dan mendidik merupakan sarana-sarana untukmencapai tujuan itu. Bahkan di negeri-negeri yang kebudayaanMuslimnya jauh lebih tua ketimbang kepulauan ini, kita bisamelihat hal itu bisa bekerja secara efektif untuk membebaskanpara pemeluk Islam dari beberapa sampah abad pertengahanyang telah dihela sekian lama oleh Islam dalam gerak hidupnya(Dikutip dalam Steenbrink, 1993: 89).

Introduksi kebijakan-kebijakan Liberal dan Etis sudah barangtentu menciptakan struktur peluang politiknya tersendiri, yangbisa menghalangi atau memungkinkan perkembangan-perkembangan tertentu dalam bidang pendidikan, intelektual,politik dan keagamaan di Hindia. Bab ini akan mengeksplorasiimplikasi-implikasi dari kebijakan-kebijakan Liberal dan Etisbagi pembentukan inteligensia Hindia dengan memfokuskandiri pada dua dekade pertama abad ke-20. Namun, untuk bisamemahami proses pembentukan inteligensia pada periode ini,sebagian perhatian akan diarahkan pada kejadian-kejadian yang

Formasi Intelegensia | 93

Page 114: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

berlangsung pada paruh terakhir abad ke-19, terutama dalamrelasinya dengan awal instalasi pendidikan bergaya Barat danruang publik yang terpengaruh Barat. Dalam bab ini, akandibahas juga mengenai pendidikan Islam dan modernisasi awaldari beberapa sekolah Islam sebagai basis bagi terbentuknyainteligensia Muslim.

Diskusi selanjutnya akan terarah pada awal kemunculankontestasi wacana, penciptaan ruang publik modern di Hindia,serta perluasan cakupan ruang publik itu oleh Kaoem MoedaIslam. Hal ini akan diikuti dengan tinjauan secara menyeluruhterhadap perbedaan-perbedaan dalam relasi-relasi ekonomi sertaorientasi-orientasi ideologis dan kultural yang telah turutmemberikan kontribusi bagi fragmentasi awal inteligensia Hindia.Bab ini akan diakhiri dengan sebuah pembahasan mengenaikontestasi-kontestasi politik dan munculnya proto-nasionalisme.

Akar-Akar Pendidikan Barat dari Inteligensia(Muslim) ModernKeberadaan dan ketiadaan bentuk-bentuk pendidikan tertentudalam sebuah masyarakat memberikan bukan saja skemata bagipembedaan kelas dan prinsip-prinsip fundamental dari kemapanantertib sosial, namun juga menjadi katalis bagi perjuangan kuasayang kompetitif. Konsepsi pendidikan sebagai sebuah medangaya dari relasi-relasi kuasa yang penuh konflik ditunjukkan de -ngan baik oleh situasi pendidikan selama kekuasaan kolonialBelanda. Di bawah kekuasaan itu, pendidikan semakin meneguhkanperbedaan status. Dengan begitu, pendidikan menjadi faktoryang mempersatukan orang-orang dalam aneka kelompok se -kaligus yang menjadi sekat pemisah antara kelompok-kelompokitu.

94 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 115: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Sampai abad kesembilanbelas, pengetahuan dan institusipendidikan di Hindia masih serupa dengan pengetahuan daninstitusi pendidikan di kebanyakan sistem religio-politik tradisionaldi seluruh dunia. Pengetahuan dan pendidikan dalam dunia pra-modern cenderung disubordinasikan pada yang-sakral. Agamamenjadi dasar alasan, tujuan dan isi dari pendidikan tradisional,sekaligus menjadi penyedia guru-guru dan tempat bagi prosesbelajar. Penguasa mengayomi proses pembelajaran sebagai bagianintegral dari patronase keimanan (Smith 1970). Situasi demikianjuga merupakan gambaran situasi pendidikan di Hindia sebelumdiperkenalkannya sistem pendidikan sekuler yang disponsorioleh pemerintah kolonial Belanda. Di wilayah-wilayah dimanaIslam memiliki pengaruah yang kuat, anak-anak dari golonganbangsawan, dari para pedagang Muslim, dan keluarga-keluargayang taat agama lainnya dikirim ke sekolah-sekolah Islamtradisional (seperti pesantren, surau, meunasah, dayah), ataubarangkali ke pusat-pusat belajar Islam di Timur Tengah.

Otoritas VOC15 (kongsi dagang Belanda di Hindia), yangmemegang kontrol atas bagian-bagian Hindia selama hampir200 tahun (1602-1800) tak memiliki kepentingan untukmencampuri persoalan-persoalan dan pendidikan keagamaanPribumi, kecuali dalam hal dukungan sambil lalu kepada sekolah-sekolah misionaris. Dengan jatuhnya VOC pada tahun 1799,16

hegemoni atas Hindia diserahkan dari ‘perusahaan-swasta-kolonial’ kepada imperium negara-kolonial. Di bawah rezimyang baru ini, sebagian besar dari kepulauan secara berangsur-angsur dan berbeda-beda diintegrasikan ke dalam satu wilayahkekuasaan kolonial, yang mentransformasikan pusat-pusatkekuasaan yang terpencar-pencar ke dalam suatu negara kesatuankolonial.17 Meski demikian, hingga pertengahan abad ke-19,negara kolonial Belanda masih terus abai terhadap pendidikan

Formasi Intelegensia | 95

Page 116: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

kaum pribumi dan menghindarkan diri dari campur tanganyang berlebihan terhadap urusan-urusan keagamaan kaumpribumi.

Kepentingan ekonomi dan keinginan untuk tetap mem -pertahankan perbedaan status merupakan beberapa alasan dibalik ketidaktertarikan pihak pemerintah kolonial terhadappersoalan pendidikan kaum pribumi. Pada tahap awal, yangmenjadi konsentrasi pemerintah kolonial adalah akumulasimodal. Selain itu, ada juga semacam rasa superioritas Barat dikalangan orang-orang Belanda yang membuat mereka merasatak terpanggil untuk memperkenalkan dunia kehidupan peradabanBarat kepada kebudayaan-kebudayaan pribumi; yang ada malahankeinginan untuk mempertahankan ‘otentisitas’ taman DuniaTimur yang eksotik (Mooi Indië).18 Bersama dengan sentimen-sentimen itu, pihak Belanda menciptakan sebuah batas antaradunia beradab dan dunia tak beradab dengan membatasiintroduksi kebudayaan ‘adihulung’ Barat hanya pada lingkarankomunitas orang Eropa. Alhasil, awal didirikannya sekolah-sekolah dasar publik bergaya Eropa,19 infrastruktur-infrastruktursaintifik dan klub-klub sosial (Sociëteit),20 terutama pada tahun-tahun setelah penyerahan kembali Hindia dari Inggris kepadaBelanda pada tahun 1816, 21 diarahkan secara eksklusif untukmelayani komunitas Eropa ini.

Di tengah ketidaktertarikan pihak pemerintah kolonial(secara umum) terhadap urusan pendidikan kaum pribumi,usaha rintisan untuk memperkenalkan sistem pendidikan modern(Barat) kepada lapisan-lapisan masyarakat Hindia tertentudilakukan oleh misi-misi Kristen.22 Kegiatan misionaris dalampendidikan demi tujuan-tujuan evangelis semakin tampak nyatamenjelang akhir perang Napoleon pada tahun 1816 yangberbarengan dengan munculnya apa yang disebut sebagai ‘Zaman

96 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 117: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Misi’ (Age of Mission) (Steenbrink 1993: 98).23 Mengikuti jejakmisi Katolik,24 mulai dari tahun 1820-an dan seterusnya, misi-misi dan sekolah-sekolah Kristen menyebar luas di seluruhpulau-pulau di Hindia—kecuali di daerah-daerah dimana Islamtelah berakar kuat.25 Di samping mejadikan sekolah-sekolahsebagai sarana untuk menyebarluaskan Injil dan menarik parapengikut Kristen baru, sekolah-sekolah ini juga menawarkankeuntungan-keuntungan lain buat para pengikut barunya.‘Menjadi Kristen,’ kata Gavin W. Jones, ‘juga berarti menjaditerbaratkan, dan pendidikan merupakan bagian integral dariwesternisasi’ (Jones 1976: 38). Kelak, ketika pemerintahankolonial mulai lebih memperhatikan urusan pendidikan kaumpribumi, sekolah-sekolah misi berperanan sebagai dasar pijakanbagi perkembangan lebih jauh dari dunia pendidikan kaumpribumi (Steenbrink 1994: 5-6).

Pendidikan Barat di Bawah Kebijakan LiberalTitik balik dalam sikap pemerintah kolonial terhadap urusanpendidikan kaum pribumi di Hindia berlangsung pada paruhkedua abad ke-19 sebagai akibat dari pengaruh politik kaumLiberal dalam persoalan-persoalan tanah jajahan. Untuk memajukankepentingan-kepentingan ekonomi kaum Liberal di negeri jajahan,perluasan birokrasi pemerintahan merupakan sesuatu yang harusdilakukan. Dalam konteks inilah, baik Kantor PemerintahanSipil untuk Orang Eropa dan juga Kantor Pemerintahan Sipiluntuk Kaum Pribumi dalam pemerintahan kolonial Belanda26

berusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka dan merekrutbanyak pekerja terampil. Ini pada gilirannya mendorongpemerintah kolonial untuk lebih memberikan perhatian kepadaurusan pendidikan. Undang-undang Organik diberlakukan pada

Formasi Intelegensia | 97

Page 118: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

tahun 1854 dan menetapkan tanggung jawab pemerintah kolonialuntuk menyelenggarakan pendidikan bagi kaum pribumi, danuntuk menindaklanjuti Undang-undang tersebut, dibentuklahDepartemen Pendidikan pada tahun 1867.

Bagi watak dasar dari pandangan dunia kolonial, usahapendidikan ini mengandung sebuah dilema. Di satu sisi, hal itupenting untuk mendukung ekonomi-politik industrialisasi danbirokratisasi. Di sisi lain, pendidikan mengandung ancamanpotensial bagi ‘kepercayaan mistis’ mengenai superioritaskolonial.27 Dilema semacam itu dipecahkan dengan membangunpendidikan yang didasarkan pada prinsip segregasi etnik danhirarki status.28 Dengan dasar segregasi dan pembedaan statusini, sifat dari kebijakan-kebijakan awal dalam pendidikan diHindia adalah anti-asimilasi, elitis dan dualistik.

Untuk melayani orang-orang dari kelompok status yangpaling tinggi, prototip pendidikan dasar bergaya Eropadireorganisir menjadi sekolah dasar tujuh tahun, denganmemasukkan mata pelajaran bahasa Belanda dan bahasa-bahasaEropa lainnya. Sekolah ini lebih populer dikenal sebagaiEuropeesche Lagere School (ELS). Pada awalnya, sekolah inidiperuntukkan secara eksklusif bagi anak-anak orang Eropa(atau yang memiliki status yang setara dengan orang Eropa).Namun, setelah tahun 1864, seiring dengan kebijakan kolonialuntuk memasukkan kelas penguasa tradisional (priyayi) ke dalamranah pengaruh kolonial,29 sekolah ini terbuka bagi kalanganyang sangat terbatas dari golongan pribumi. Kemudian, setelahtahun 1891, akses masuk ke ELS juga ditawarkan kepadaketurunan orang kaya ‘yang memenuhi syarat’. Masuknya kaumpribumi yang bukan Kristen dalam sekolah-sekolah dasar Eropaini terus meningkat, mulai dari sekitar 400 siswa pada tahun1883 menjadi 762 pada tahun 1898, dan mencapai 1.870 pada

98 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 119: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

tahun 1900 (Sutherland 1979: 46; Van der Veur 1969: 1).

Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dari kaum pribumiyang Kristen (banyak dari mereka menjadi serdadu dalam tentarakolonial), terutama di Ambon dan kantong-kantong misionarislainnya, pemerintah mengembangkan apa yang disebut SpecialeSchool (Sekolah Khusus). Sekolah jenis ini merupakan hasilreorganisasi sekolah-sekolah misi terdahulu dengan mengadopsikurikulum ELS (Van der Veur 1969: 2).

Pada akhirnya, pemerintah kolonial mendirikan sebuahsekolah bagi ‘kaum Pribumi’ (Boemipoetra). Sekitar tahun 1849,dilakukan sebuah eksperimen untuk mengelola dua sekolahdasar rakyat (vernacular schools), dan pada tahun 1852, jumlahsekolah itu meningkat menjadi 15. Dengan menggunakan bahasadaerah, sekolah-sekolah baru itu pada awalnya didirikan gunamempersiapkan anak-anak priyayi pribumi untuk menjadipegawai administrasi kolonial dan juga untuk membatasi orang-orang pribumi yang mau memasuki ELS (Furnivall 1944: 219).30

Ternyata, anak-anak priyayi lebih menyukai sekolah-sekolahyang memberikan pengajaran dalam bahasa Belanda, karenamem berikan prospek pekerjaan dan status sosial yang lebihbaik. Untuk menjawab tuntutan ini, dua tipe sekolah dasar bagilapisan-lapisan Boemipoetra diperkenalkan pada tahun 1893:yaitu Eerste Klasse School (Sekolah Pribumi Kelas Satu) danTweede Klasse School (Sekolah Pribumi Kelas Dua). Sekolahyang pertama diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga-keluarga priyayi dan kaya (well-to-do). Di sini bahasa Belandadiajarkan pada tahun-tahun pertama dan dipakai sebagai bahasapengantar pelajaran pada tahun terakhir. Sekolah yang keduadiperuntukkan bagi anak-anak dari golongan rakyat biasa dantidak memberikan pelajaran bahasa Belanda (Ricklefs 1993:158).

Formasi Intelegensia | 99

Page 120: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Rezim Liberal juga merintis diperkenalkannya sekolah-sekolahmenengah. Sampai tahun 1850, tak ada satu pun sekolahmenengah umum. Pada akhir abad ke-19, berdirilah tiga sekolahmenengah di Jawa, yang dikenal dengan Hoogere Burher School(HBS, sekolah menengah atas). Yang pertama ialah GimnasiumWillem III di Batavia (didirikan pada tahun 1860), dan yanglainnya didirikan di Surabaya (1875) dan Semarang (1877).Sekolah-sekolah ini identik dengan sekolah-sekolah menengahdi negeri Belanda. Bukan hanya menggunakan bahasa Belandasebagai bahasa pengantar, namun sekolah-sekolah itu jugamenerapkan standard kurikulum yang ketat dan tinggi yangsetara dengan yang diterapkan di sekolah-sekolah di Eropa.Sehingga, tingkat kegagalan belajar murid-muridnya pun tinggi(bahkan bagi siswa Belanda sendiri). Namun, sekolah-sekolahmenengah ini diperuntukkan hampir secara eksklusif untukanak-anak orang Eropa (atau yang dianggap setara denganorang Eropa). Hanya sedikit orang Boemipoetra yangdiperbolehkan masuk sekolah-sekolah ini, dan jumlah totalnyapada tahun 1890 tak lebih dari 5 siswa (Sutherland 1979: 46;Van der Veur 1969: 4-5).

Meski sistem sekolah Eropa yang ada masih tetap sangatmengistimewakan orang-orang Eropa dan priyayi kelas atas,namun peluang bagi kalangan yang lebih rendahan untukmemperoleh pendidikan secara lebih baik dimungkinkan olehadanya lubang-lubang kesempatan yang ada dalam kebijakandiskriminasi kolonial itu sendiri. Karena perluasan birokrasiLiberal membutuhkan dukungan staf teknis, pemerintahmemutuskan untuk mendirikan vakscholen (sekolah kejuruan).Kurangnya guru-guru yang memenuhi syarat membuat sekolahguru menjadi sebuah keharusan. Maka didirikan sekolah pelatihanguru pribumi (kweekschool), yang pada awalnya didirikan di

100 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 121: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Surakarta pada tahun 1851/1852, yang diikuti dengan didirikannyabeberapa sekolah serupa baik di dalam maupun di luar Jawaterutama setelah tahun 1870. Perluasan layanan kesehatanpemerintah juga membutuhkan tenaga-tenaga medis semi-terampil. Pelatihan-pelatiahan juru medis yang telah dimulaisejak tahun 1822 melalui penyelenggaran kursus-kursus bagipara vaksinator pemerintah, dikembangkan pada tahun 1851menjadi apa yang disebut sebagai sekolah ‘Dokter-Djawa’ diMenteng (Jakarta).31 Sementara itu, kebutuhan akan tenagapegawai sipil pribumi yang terlatih mendorong pemerintahuntuk membuka Hoofdenscholen yang lebih populer disebutsebagai ‘Sekolah Radja’ yang mulai didirikan pada tahun 1879di Bandung, Magelang dan Probolinggo.

Sekolah-sekolah kejuruan pada awalnya didirikan untuk anak-anak kalangan priyayi dan orang-orang pribumi kaya (well-to-do) lainnya untuk mempersiapkan mereka memasuki birokrasigaya baru dari pemerintahan pribumi.32 Ternyata, di mata anak-anak priyayi kelas atas, posisi guru dan vaksinator tidak dianggapsebagai sebuah karir yang prestisius dan menjanjikan. Karenaitulah, mereka lebih menyukai Sekolah Radja dan jarang yangtertarik untuk mengikuti pendidikan guru dan sekolah Dokter-Djawa. Untuk menarik pendaftar bagi kedua sekolah terakhir,pemerintah harus memberikan sejumlah insentif bagi parasiswanya seperti beasiswa dan janji menjadi pegawai pemerintah.Sejauh menyangkut sekolah Dokter-Djawa, sebuah pengaturankhusus dibuat sejak tahun 1891 yang memungkinkan para siswayang berminat memasuki sekolah ini bisa masuk ke ELS secaragratis. Siswa-siswa yang berminat memasuki sekolah DokterDjawa ini banyak yang berasal dari keluarga priyayi rendahan,dan bahkan seringkali berasal dari keluarga-keluarga pedagangdan penduduk desa (Van Niel 1970: 28, 51).

Formasi Intelegensia | 101

Page 122: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pendidikan Barat di Bawah Politik EtisDi bawah pengaruh semangat Etis, sistem pendidikan dariperiode Liberal direorganisir dan disesuaikan untuk memenuhituntutan-tuntutan baru. Terdapat dua pendekatan yang salingmelengkapi dalam proyek ini. Snouck Hurgronje dan direkturpendidikan politik Etis yang pertama (1900-1905), yaitu J.H.Abendanon, lebih menyukai pendidikan yang bersifat elitisdalam kerangka ambisi mereka untuk mentransformasikanpriyayi tradisional menjadi sebuah elit baru yang terdidik secaraBarat. Dalam pandangan keduanya, memberikan pendidikanBarat kepada kelas penguasa pribumi merupakan sesuatu yangsangat penting untuk melatih elit pribumi yang setia dankooperatif, yang para anggotanya memiliki kesanggupan untukmenangani pekerjaan pemerintahan sipil Belanda. Lebih dariitu, pilihan ini juga bisa memangkas biaya-biaya administratif,menghambat ‘fanatisme’ Islam, dan pada akhirnya menciptakancontoh yang bisa memberi inspirasi bagi kalangan-kalanganterbawah dari masyarakat Hindia (Ricklefs 1993: 156). Di sisilain, Gubernur Jenderal J.B. Van Heutsz (1904-1909) dan A.W.F.Idenburg (1909-1916) mendukung pendidikan yang lebih dasardan praktis yang diperuntukkan bagi kalangan masyarakat yanglebih luas sehingga bisa memberikan sumbangan bagi keberhasilanPolitik Etis (Van Niel, 1970: 47). Kombinasi dari pendekatan-pendekatan semacam itu melahirkan munculnya beragam lembagapendidikan, dan sekaligus berperanan penting dalam memecah-belah maupun menyatukan kelompok-kelompok yang ada dalammasyarakat kolonial.

Dekade awal abad ke-20 menjadi awal bagi pendidikanmodern yang merupakan ‘sinar penerang’ (light rays) dari PolitikEtis, dan yang sekarang mulai menerobos alam kehidupan orang-

102 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 123: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

orang biasa dan penduduk desa. Meski memang, pendidikanyang didasarkan pada perbedaan status masih terus berlanjut,dan ini terbukti dengan munculnya beragam jenis sekolah yangdisediakan bagi tingkatan-tingkatan sosial yang berbeda.

Sejak tahun 1907, bagi orang-orang biasa dan pendudukdesa, pemerintah mendirikan sebuah sekolah (dasar) rakyatdengan lama pendidikannya tiga tahun yang disebut denganvolksschool atau desaschool. Para lulusan dari sekolah ini bolehmelanjutkan ke Inlandsche Vervolgschool (sekolah menengahpribumi) dengan masa studi dua tahun, yang telah mulai didirikanpada tahun 1915. Selanjutnya, Sekolah-sekolah Pribumi KelasDua (Tweede Klasse School) warisan era Liberal bermetamorfosismenjadi apa yang disebut Standaardscholen (sekolah-sekolahstandar) pada tahun 1908. Sekolah-sekolah ini diperuntukkanbagi kalangan keluarga pedagang atau yang tercerabut darikehidupan bertani atau desa. Semua sekolah itu menjalankanproses pengajarannya dengan menggunakan bahasa-bahasa lokalatau Melayu (Van der Veur 1969: 2, 7; Ricklefs 1993: 159; VanNiel 1970: 68).

Bagi anak-anak priyayi dan keluarga-keluarga kaya, pemerintahberusaha untuk memperluas akses mereka terhadap sistemsekolah Eropa yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasapengantar pengajaran. Usaha-usaha ini didorong oleh ‘kebijakanasosiasi’ dan oleh berkembangnya tuntutan dari para priyayidan keluarga-keluarga kaya yang memandang sekolah semacamitu dan penguasaan atas bahasa Belanda sebagai cara baru untukmempertahankan atau mengangkat status sosial mereka.Munculnya pandangan para priyayi dan keluarga-keluarga kayasemacam itu didorong oleh semakin dalamnya penetrasi dariapa yang disebut Maier sebagai ‘proses pem-Belanda-an’(Dutchification) dalam kehidupan sosial di Hindia.33 Daya tarik

Formasi Intelegensia | 103

Page 124: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

dari ‘proses pem-Belanda-an’ inilah yang membuat jumlah pelajarsekolah-sekolah bergaya Eropa yang ada meningkat pesat.34

Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, didirikan sekolahbaru bagi para priyayi dan keluarga-keluarga kaya.

Pada level sekolah dasar, perkembangan paling penting ialahdiubahnya Sekolah Pribumi Kelas Satu (Eerste Klasse School)yang telah ada menjadi apa yang disebut sebagai Hollandsch-Inlandsche School (HIS, Sekolah Belanda untuk Pribumi) padatahun 1914.35 Bahasa pengantar pengajaran di HIS adalahbahasa-bahasa daerah atau Melayu pada kelas-kelas awal, dankemudian bahasa Belanda pada kelas-kelas yang lebih tinggi.Secara teori, sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak darikalangan bangsawan dan kaum boemipoetra terpandang ataukaya lainnnya.36 Ternyata, sementara jumlah dari sekolah-sekolahini semakin meningkat, anak-anak dari petinggi-petinggi pribumiyang lebih tinggi dan orang-orang kaya lokal masih tetap lebihsuka memasuki ELS. Sebagai akibatnya, mayoritas pelajar HISberasal dari kalangan priyayi rendahan dan lapisan-lapisan atasdari masyarakat kelas bawah (Van der Veur 1969: 3, 26-29;Kartodirdjo 1991: 339).

Pada level sekolah menengah, pemerintah berusaha memenuhikebutuhan kaum pribumi akan adanya sekolah HBS,37 denganmendirikan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) padatahun 1914. Sekolah ini merupakan adaptasi lokal dari sekolahmenengah pertama di negeri Belanda yang lama studinya tigatahun. Kemudian, pada tahun 1918, pemerintah memperkenalkansekolah menengah atas dengan lama studi tiga tahun, AlgemeeneMiddelbare School (AMS), yang dimaksudkan untuk mem -persiapkan para siswa dari MULO untuk meraih posisi-posisiyang lebih tinggi atau untuk bisa masuk universitas (Van derVeur 1969: 4).

104 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 125: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Sepanjang periode ini, beberapa sekolah kejuruan masih tetapmenjadi sarana bagi anak-anak dari golongan yang lebih rendahanuntuk bisa masuk ke pendidikan yang lebih tinggi. Untukmemenuhi kebutuhan birokrasi pemerintahan dan perusahaan-perusahaan swasta secara lebih baik, pada tahun 1900 pemerintahmereorganisir hoofdenschool yang lama dan mengubahnyamenjadi OSVIA (Opleidengscholen voor inlandsche ambtenaren)dengan lama belajarnya lima tahun. Anak-anak dari kaum priyayimemang masih tetap menjadi rekrutmen utama dari sekolah ini,namun sekolah ini mulai menerima setiap Boemipoetra yangmemenuhi syarat dan yang telah menyelesaikan ELS (atau yangsederajat), tak peduli apa latar belakang keluarganya (Ricklefs993: 156-157).38

Pada tahun 1900-1902, sekolah Dokter-Djawa diubah menjadiSTOVIA (School tot opleiding Van inlandsche artsen). Segerasesudahnya, lama belajar di sekolah ini diperpanjang menjadienam tahun tahap Geneeskundige (inti pengajaran kedokteran),setelah sebelumnya mengikuti tiga tahun masa persiapan, danbahasa Belanda digunakan sebagai bahasa pengantar.39 Setelahtahun 1913, lama belajar diperpanjang menjadi tujuh tahuntahap Geneeskundige dan tiga tahun masa persiapan. Denganreorganisasi terakhir ini, sekolah itu sekarang sederajat denganNederlandsch-Indische Artssenschool (NIAS) yang telah didirikanpada tahun yang sama di Surabaya. Kedua sekolah itu sekarangsederajat dengan universitas tingkat rendah, namun masih tetapdiklasifikasikan sebagai sekolah-sekolah kejuruan, dan paralulusan dari sekolah-sekolah ini mendapat gelar ‘Indische Arts’,‘Dokter Hindia’ (Van Niel 1970: 52). Reorganisasi yang serupajuga berlangsung untuk sekolah-sekolah pendidikan guru pribumi(kweekschool).40 Selain itu, pemerintah juga memperkenalkansekolah-sekolah kejuruan yang baru.41

Formasi Intelegensia | 105

Page 126: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Selain dari reorganisasi dan diperkenalkannya beragam sekolahbaru di Hindia, penting dicatat bahwa, menjelang peralihanabad ke-20, telah ada sebuah eksperimen rintisan untuk mengirim -kan beberapa anak, yang diseleksi secara ketat dari keluarga-keluarga bangsawan, ke negeri Belanda. Meskipun pemerintahtak pernah membuat kebijakan resmi untuk mendorong parapribumi untuk melanjutkan belajar ke negeri Belanda, SnouckHurgronje dan J.H. Abendanon melakukan upaya khusus untukmemberi jalan bagi anak-anak dari keluarga terkemuka agarbisa memasuki tingkatan pendidikan yang lebih tinggi di negeriBelanda. Sehingga, pada tahun 1900 telah ada sekitar limaorang mahasiswa Hindia di negeri Belanda. Pada tahun-tahunberikutnya, jumlah itu meningkat semakin cepat mencapai sekitar25 pada tahun 1908.42

Apapun motif dari diperkenalkan dan direorganisirnya beragamsekolah itu, dampak langsungnya terhadap alam kehidupan diHindia sangat nyata: yaitu meningkatnya secara signifikan jumlahBoemipoetra yang terdidik secara Barat. Pada tahun 1900, totalpribumi yang mendaftar di sekolah-sekolah negeri dan swastadari semua jenis dan level sekitar 101.003. Hitungan ini mencapai310.496 pada tahun 1910,43 dan menjadi berlipat ganda padatahun-tahun berikutnya.44

106 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Tabel 1: Pribumi yang Mendaftar di Sekolah‐Sekolah Rakyat dan Sekolah‐Sekolah Bergaya Eropa pada 1900 – 1910

Sumber: Dimodifikasi dari Paul W. Van der Veur (1969: 7, 11‐11a).

TahunSekolah Bergaya Eropa

SekolahDasar

SekolahMenengah

SekolahKejuruan

1900 98.173 2.441 13 376 101.003

1910 303.868 5.108 50 1.470 310.496

SekolahRakyat TOTAL

Page 127: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Meningkatnya jumlah Boemipoetra yang terdidik secara Baratmenimbulkan konsekuensi yang tak terduga. Penguasaan modalkultural baru menyebabkan meningkatnya ekspektasi-ekspektasimereka, sehingga mendesak pemerintah untuk mengakomodirtuntutan-tuntutan kesempatan kerja serta aspirasi-aspirasi merekaakan kemadjoean. Dengan diperkenalkannya sekolah-sekolahkejuruan dan sekolah-sekolah pribumi bergaya Eropa, banyakanak-anak dari kalangan priyayi rendahan serta status sosialbiasa lainnya memperoleh pendidikan yang lebih baik. Orang-orang terdidik dari kelompok-kelompok sosial inilah yang akanmenjadi tulang punggung bagi terbentuknya inteligensia Hindia.

Pendidikan Barat dan Lahirnya InteligensiaBerdasarkan gambaran jumlah pribumi yang bersekolah disekolah-sekolah publik dan swasta modern, kita bisamengasumsikan bahwa generasi pertama dari inteligensia Hindiatelah muncul pada dekade awal abad ke-20 sebagai hasil daripolitik Liberal pada penggalan akhir abad ke-19 serta fasepermulaan dari politik Etis. Sementara itu, mereka yang mulaimasuk sekolah-sekolah dasar modern pada (tahun-tahun terakhir)dekade pertama dan kedua abad ke 20, yang memiliki ekposuryang lebih dalam terhadap proses ‘pem-Belanda-an’, akanmembentuk generasi kedua inteligensia Hindia. Generasi-generasiawal dari inteligensia Hindia ini—sama-sama (sebagian besar)berasal dari kalangan priyayi, sama-sama mengalami ekposurterhadap ide-ide Barat, sama-sama berbicara dengan (campuran)bahasa Belanda di antara mereka sendiri, dan sama-sama sadarakan peran dan status baru mereka yang istimewa— membentuksebuah strata (stratum) baru dalam masyarakat Hindia.

Inteligensia Hindia yang baru lahir ini membentuk sebuah

Formasi Intelegensia | 107

Page 128: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

strata sosial yang relatif otonom (namun terdiferensiasi secarastruktural) yang berdiri sendiri, karena mereka mampumemisahkan dirinya baik dari kelas yang mapan maupun darikelompok status tradisional (estate system). Seperti yang diamatioleh Harry J. Benda (1962: 240): ‘Lebih merupakan sebuahpengecualian ketimbang sebuah kelaziman bahwa para aristokratmuda, anak tuan-tuan tanah, atau dalam kasus ini bahkanketurunan dari kelas borjuis yang baru tumbuh, begitu diamendapatkan pendidikan Barat jenis apapun, akan menjadipembela dan juru bicara dari kelas yang menjadi asal-usulsosialnya’. Kebanyakan anggota dari strata baru ini menjadipegawai pemerintah, dengan menduduki posisi-posisi rendahandan menengah, karena orang-orang Belanda masih tetapmendominasi posisi-posisi yang lebih tinggi.

Generasi-generasi awal dari inteligensia Hindia ini mengalamiproses sekulerisasi yang intens sebagai akibat dari sifat sekulerkebijakan pendidikan Liberal serta kebijakan ‘asosiasi’ dari rezimEtis. Sebagai hasil dari proses sekulerisasi ini, kebanyakanindividu dari inteligensia ini mulai memisahkan diri mereka daridunia pemikiran agama. Bahkan untuk anak-anak dari priyayiMuslim yang taat, pengaruh proses sekulerisasi yang terlembagadalam pendidikan Barat ini sangat sulit untuk dielakkan. Efeksekulerisasi ini menghasilkan sebuah keterputusan sinkronikdalam gerak perkembangan intelektual di Hindia.

Agak berbeda dari trikotomi Geertzian (santri-abangan-priyayi) mengenai aliran-aliran kultural Jawa, dimana di dalamnyaalam kehidupan priyayi digambarkan sebagai non-Islam,45

beberapa dari inteligensia baru ini dalam kenyataannya berasaldari keluarga-keluarga priyayi Muslim yang taat. Sejumlahpelopor dari gerakan proto-nasionalisme, seperti TjiptoMangunkusumo (1885-1943), Sutomo (1888-1938), Tirto Adhi

108 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 129: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Surjo (1880-1918), dan produk-produk awal dari kebijakan‘asosiasi’ seperti Djajadiningrat bersaudara (Ahmad, Hasan danHusein), serta figur-figur berpengaruh dari Sarekat Islam (SI),seperti Umar Said Tjokroaminoto (1882-1934), merupakananak-anak dari priyayi Muslim yang taat.46

Namun, setelah mengenyam pendidikan sekuler secara intens,komitmen keislaman dari anak-anak priyayi Muslim yang taatitu secara berangsur-angsur memudar. Pengakuan Agus Salimmerefleksikan secara baik perubahan dalam sikap keagamaanini: ‘Meskipun saya terlahir dalam sebuah keluarga Muslimyang taat, dan mendapatkan pendidikan agama sejak dari masakanak-kanak, namun [setelah masuk sekolah Belanda] saya mulaimerasa kehilangan iman’ (Salim 1926: 26). Salim dengan terusterang mengakui bahwa pendidikan yang dia peroleh di sekolahmenengah (HBS) telah menjauhkannya dari Islam (Panitia BukuPeringatan 1996: 40).

Namun, bagi beberapa inteligensia, merosotnya identitasIslam mereka bukanlah merupakan suatu kondisi yang tetap.47

‘Identitas’, kata Stuart Hall, beroperasi di bawah proses hapusan(under erasure) dalam interval antara timbul dan tenggelam.Identitas tunduk pada ‘sebuah proses historisisasi yang radikal,dan terus-menerus mengalami proses perubahan dan transformasi’(Hall 1997: 2-4). Kecewa dengan dunia kehidupan priyayi danberagam diskriminasi yang berlaku dalam sistem kolonial,dan/atau memiliki sebuah kesempatan untuk bergaul atau bergaulkembali dengan para anggota komunitas epistemik Islam, dengantokoh-tokoh Muslim atau jaringan sosio-ekonomi Islam, beberapadari inteligensia ini sanggup memulihkan kembali afinitas merekadengan komunitas-komunitas dan identitas-identitas Islam.

Dalam hal ini, ada baiknya mengingat kembali fragmen-

Formasi Intelegensia | 109

Page 130: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

fragmen yang relevan dari biografi Agus Salim, Tjokroaminotodan Tirto Adhi Surjo untuk bisa memahami secara lebih baiktransformasi dari identitas-identitas mereka. Salim memulaipendidikan modernnya di ELS Riau, dan melanjutkan studinyake HBS di Jakarta—di kota terakhir ini dia tinggal di sebuahkeluarga Belanda. Pada tahun 1903, dia lulus dari sekolah inisebagai siswa terbaik dari tiga HBS yang ada di Jawa. Setelahitu, dia ingin melanjutkan studinya ke sekolah kedokteran dinegeri Belanda, namun ayahnya tak mampu membiayainya.R.A. Kartini (yang kemudian dikenal sebagai ‘ibu’ dari gerakankemadjoean),48 yang mendapatkan tawaran beasiswa untukmelanjutkan sekolah di sana—namun tak diperbolehkan olehayahnya—begitu mengetahui bahwa Salim yang cerdas memilikimasalah finansial dalam menggapai cita-citanya menulis suratkepada Mrs. Abendanon untuk memintanya mengalihkanpemberian beasiswanya kepada Salim. Salim sendiri telah berusahamendapatkan ‘gelijkgesteld’ (status hukum yang sama denganorang Belanda) untuk memudahkannya belajar ke negeri Belanda.Namun semua upayanya itu gagal. Dalam pada itu, dia pun takbersedia untuk bekerja sebagai seorang pegawai sipil bagipemerintah kolonial.

Snouck Hurgronje lalu menawarkan padanya sebuah alternatifyang menjanjikan. Kementrian Luar Negeri Belanda sedangmerencanakan untuk membuka sebuah konsulat baru di Jeddah(Mekah), dan Salim ditawari untuk menjadi staf di sana sebagaiseorang penerjemah. Dengan pikiran bahwa dia akan bekerjaatas nama Pemerintah Belanda dan bukannya pemerintah kolonial,Salim menerima tawaran itu dan tiba di Jeddah pada tahun1906. Konflik yang kerap terjadi dengan atasannya (orangBelanda), mendorongnya untuk mendekatkan diri dengankomunitas epistemik Islam di Mekah. Di sana, dia bertemu

110 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 131: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

dengan pamannya, Achmad Khatib, seorang ulama besar Hindiaterakhir di Haramain. Pertemuan ini dilukiskan oleh Agus Salimsebagai titik balik dalam penemuan kembali identitas Islamnya(Panitia Buku Peringatan 1996: 36-62). Pada saat kembali ketanah air (pada tahun 1911), proses konversi internal inimenemukan ruang ekspresinya setelah bertemu denganTjokroaminoto (yang kemudian menjadi ketua dari SarekatIslam) pada awal tahun 1915, yang mengantarkan pada peranannyayang terkemuka dalam Sarekat Islam sejak akhir tahun 1915.Pengalaman-pengalaman serupa dalam hal keterpisahan danketerikatan kembali pada Islam bisa dilihat pada biografiTjokroaminoto dan Tirto Adhi Surjo.49

Pertemuan dari beberapa anggota inteligensia dengan jaringandan tokoh-tokoh Islam, entah itu disengaja ataupun tidak,karena alasan-alasan idealistik ataupun pragmatis, menjadi katalisbagi proses kembalinya mereka ke komunitas Islam. Proseskembali ini tidak mesti menimbulkan perubahan-perubahanyang radikal dalam kesalehan dan pengetahuan keagamaanmereka. Namun, hal itu telah cukup membuat mereka terpautkembali dengan ‘rumah’ Islam.

Setelah dilonggarkannya persyaratan ‘keturunan’ pada tahun1910-an, banyak anak-anak dari priyayi (Muslim) rendahan danborjuis (Muslim) kecil (Muslim petty bourgeoisie)—yang terdiridari para pedagang dan petani komesial—yang memilikikesempatan untuk bisa masuk ke sekolah-sekolah bergayaEropa.50 Reformasi pendidikan ini lalu membawa sebuahkonsekuensi tak terduga, yaitu meningkatnya jumlah inteligensiaMuslim.

Memperoleh pendidikan sekuler namun tak sudi menanggalkankeislamannya, beberapa inteligensia Muslim ini berusaha

Formasi Intelegensia | 111

Page 132: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

mempertahankan hubungan mereka dengan jaringan-jaringanintelektual Islam. Hal ini mendorong munculnya gugus inteligensiayang bersifat hibrida (persilangan) yang kelak akan melahirkanterbentuknya ‘intelek-ulama’ (intelektual/inteligensia modernyang melek dalam pengetahuan keagamaan).

Akar-Akar Pendidikan Islam dari Inteligensia(‘Klerikus’) Muslim Pendalaman penetrasi kolonialisme dan kapitalisme sama sekalitidak menyebabkan lenyapnya sekolah-sekolah Islam yang telahada. Meskipun kontrol Belanda atas aktivitas-aktivitas perdagangansepanjang pantai di kepulauan Hindia telah merusak tiang-tiangpenyangga sosio-ekonomis dari perkembangan Islam di habitatawalnya (yaitu di kota-kota pelabuhan), namun pusat-pusatstudi Islam masih terus bertahan hidup dengan jalan berpindahke daerah-daerah pedalaman dan pelosok dimana jaringanagraris dari ulama berbasis pesantren dan tarekat Sufi, terutamadi Jawa, mengambil alih peranan dalam pengajaran Islam(Lombard 1996b: 124-148).

Pada saat yang bersamaan, sumbangan dari ‘komunitasepistemik’ Indo-Malaya (Ashhab Al-Jawiyyin) di haramain(Mekah dan Madinah) terhadap proses reproduksi dan redistribusipengetahuan keagamaan masih bertahan. Daya tahan dari koloniJawa ini memfasilitasi keberlangsungan transmisi ide-idepembaharuan yang berasal dari Timur Tengah ke Nusantara,yang mengilhami munculnya gerakan-gerakan pembaharuandalam tarekat (persaudaraan Sufi), ajaran, politik dan sekolah-sekolah Islam.

Menjelang akhir abad ke-19, para anggota dari generasi baruulama Hindia mulai menyadari bahwa metode dan tatanan

112 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 133: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

berpikir (mindset) tradisional dalam Islam tak akan sanggupmenghadapi tantangan kolonialisme dan peradaban modern.Terilhami oleh bangkitnya reformisme-modernisme Islam diTimur Tengah serta introduksi pendidikan dan asosiasi-asosiasibergaya Barat di tanah air, mereka mulai mempromosikanmodernisasi atas sekolah-sekolah Islam. Dengan mengkombinasi -kan antara pengajaran pelajaran keagamaan dengan pelajaranumum, dan mengadopsi metode dan teknologi pendidikan darisekolah-sekolah Barat, sekolah-sekolah Islam modern inimerepresentasikan suatu bentuk baru sistem pendidikan Islamyang disebut dengan madrasah. Madrasah inilah yang menjadilahan persemaian bagi munculnya ‘clerical-inteligensia’ (inteligensia-klerikus) yang lebih dikenal dengan ‘ulama-intelek’ (yaitu paraahli keagamaan yang melek pengetahuan saintifik modern).

Pendidikan Islam pada Abad ke-19Karena abainya perhatian negara kolonial terhadap pendidikankaum pribumi hingga paruh pertama abad ke-19, sekolah-sekolah Islam tradisional mampu berperan sebagai institusi-institusi pendidikan yang utama di Hindia. Pada saat kekuatan-kekuatan ekonomi Liberal lebih memfokuskan perhatiannyapada pendidikan kaum pribumi, kebijakan-kebijakan kolonialterhadap Islam yang bersifat kontradiktif dan diskriminatif yangberkelindan dengan ketidakpercayaan kalangan santri (Muslimyang taat) terhadap insititusi-institusi Barat memberi alasantambahan bagi institusi-institusi Islam untuk bertahan hidup.

Kebijakan negara kolonial terhadap pendidikan Islam yangbersifat ambivalen mencerminkan ambiguitas sikap pemerintahkolonial Belanda sendiri. Terdapat ketegangan antara keinginanBelanda untuk tidak terlibat secara berlebihan dalam urusan

Formasi Intelegensia | 113

Page 134: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

keagamaan kaum pribumi dengan ingatan-ingatan kolektifmengenai perbenturan yang tak mengenakkan di masa laluantara orang-orang Kristen dan Muslim. Juga terdapat keteganganantara pandangan sekuler pemerintah kolonial dengan upayapemerintah kolonial untuk melumpuhkan potensi-potensi ancamanIslam dengan cara mendukung misi-misi Kristen. Ketegangan-ketegangan seperti itulah yang menjadikan politik ‘netralitas’terhadap Islam berdiri di atas landasan yang rapuh.51

Pada awalnya, pemerintah kolonial berusaha untuk bersikapkonsisten dengan kebijakannya untuk menjamin kaum Boemipoetrabisa tetap berjalan dengan institusi-institusi tradisionalnya. Halini tercermin misalnya dalam instruksi Gubernur JenderalG.A.G.Ph. van der Capellen (1816-1826) kepada para Residenpada tahun 1819 untuk menyelidiki kemungkinan perbaikanpendidikan tradisional kaum pribumi. Sayangnya, upaya inihanya sekedar menghasilkan laporan-laporan resmi mengenaikondisi pesantren (Steenbrink 1984: 159; 1994: 1).

Ketika gerakan Liberal menyentuh sektor pendidikan, J.A.van der Chijs, sebagai pejabat kolonial pertama yang ditugaskanuntuk mengembangkan pendidikan kaum pribumi, melakukanpenelitian pada tahun 1867, terutama di Minahasa dan Maluku.Penelitian ini menghasilkan rekomendasi kebijakan bahwa didaerah-daerah Kristen, pemerintah harus meningkatkan danmemajukan sekolah-sekolah misi Kristen secara gradual denganjalan memasukkan pengajaran pelajaran-pelajaran ‘sekuler’.Namun, untuk daerah-daerah Islam, ketakutan (bercampurdengan sikap memandang rendah) van der Chijs terhadap Islammelahirkan rekomendasi kebijakan bahwa pemerintah hanyaakan memajukan sekolah-sekolah publik bergaya Belanda yangdiperuntukkan bagi elit teratas dari kalangan pribumi dalamrangka untuk melindungi Belanda dari apa yang disebutnya

114 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 135: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

sebagai ‘gunung berapi Islam’ (Islamic volcano) (Steenbrink1984: 160-161; Soekadri 1979: 80).

Sejak saat itu, sementara sekolah-sekolah Kristen menjadibatu pijakan bagi pengembangan sistem sekolah publik, halyang sama tidak berlaku bagi sekolah-sekolah tradisional Islam.Berbeda dengan kebijakan pemerintah kolonial Inggris di Malayadimana pemerintah memutuskan untuk mengembangkan sekolah-sekolah sore bagi pengajaran Al- Qur’an (Roff 1967: 26),gagasan untuk mengembangkan sekolah-sekolah Islam di Hindiaditolak. Pada tahun 1888, Menteri Jajahan Belanda menolakuntuk memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah Islam karenaGubernur Jenderal tidak ingin menghabiskan keuangan negarauntuk mengembangkan sebuah sistem pendidikan yang mungkinpada akhirnya akan menentang pemerintah Belanda (Steenbrink1994: 6-7).52 Kebijakan mengucilkan sistem sekolah Islam inidalam kenyataannya merupakan kelanjutan dari sikap favoritismepemerintah kolonial terhadap keluarga-keluarga non-Muslimdan priyayi non-santri dalam akses masuk ke sekolah-sekolahmilik pemerintah.

Pengucilan sekolah-sekolah Islam tradisional oleh sistempendidikan kolonial ini bersahutan dengan sikap-sikap negatifyang secara umum berkembang di kalangan komunitas Muslimyang taat terhadap institusi-institusi Barat. Setelah berlangsungnyaserangkaian pemberontakan berdarah yang dilakukan oleh kaumpribumi53 yang melibatkan ulama dan para santrinya, sikap-kejiwaan (mindset) komunitas santri mengembangkan semacammentalitas ‘orang luar’ (outsider mentality), yang menciptakansuatu batas simbolik dengan dunia kehidupan dari mereka yangdisebut sebagai ‘orang kafir-kulit putih’. Sebuah contoh yanggamblang dari jenis tatanan berpikir semacam ini terekspresikanoleh diktum yang beredar di lingkungan masyarakat Islam Aceh:

Formasi Intelegensia | 115

Page 136: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

‘Mereka yang menulis dalam huruf Latin akan dipotong tangannyadi hari Akhirat, dan mereka yang mengikuti cara hidup orang-orang Belanda termasuk orang kafir’ (Alfian 1987: 204).

Karena dihambat atau enggan untuk masuk sekolah pemerintah,maka pilihan yang paling mungkin bagi keluarga-keluargaMuslim yang taat sampai akhir abad ke-19 ialah masuk sekolah-sekolah tradisional Islam. Jumlah sekolah semacam itu, berdasarkanlaporan pemerintah tahun 1831 mengenai lembaga-lembagapendidikan pribumi di Jawa, adalah sekitar 1.853 dengan sekitar16.556 siswa. Namun, menurut van der Chijs, kebanyakan darisekolah ini hanya mengajarkan mengaji Qur’an dan hanyasejumlah kecil sekolah yang mengajarkan penulisan Arab (Dhofier1982: 35). Dari tahun 1873, Kantor Inspeksi Pendidikan Pribumi(yang didirikan ole J.A. van der Chijs) mengeluarkan laporantahunan mengenai jumlah sekolah dan siswa Islam. Berdasarkanlaporan-laporan itu, jumlah pesantren dilaporkan rata-rata sekitar20-25.000, sementara jumlah siswanya sekitar 300.000.54

Meskipun statistik resmi mengenai perkembangan sekolahtradisional Islam masih diragukan, namun kita bisa mengatakandengan pasti bahwa jumlah sekolah itu tumbuh secara signifikansepanjang abad ke-19. Hal ini benar terutama jika mem per -timbangkan kenyataan bahwa pesantren-pesantren terkenal yangmasih bertahan sampai saat ini di Jawa Timur dan Jawa Tengahdidirikan pada abad ke-19.55

Akibat meningkatnya jumlah sekolah tradisional Islam, yangberkombinasi dengan tetap dipertahankannya ikatan-ikatanintelektual dan emosional antara kyai dan santri, dan antarpesantren yang tersebar di berbagai wilayah, jaringan intelektualIslam tradisional tetap terjaga. Hal ini memfasilitasi terciptanyakesinambungan dalam pendidikan Islam. Sehingga, meskipun

116 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 137: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

terdapat diskriminasi kolonial yang nyata dan pembatasan-pembatasan terhadap pengajaran Islam, namun pada tahun1890, Snouck Hurgronje mengungkapkan informasi bahwajumlah pesantren sedang meningkat (Benda 1958: 27). Jikaduapuluh tahun kemudian dia merayakan kemenangan awalsekolah-sekolah bergaya Barat atas sekolah-sekolah Islam, itubarangkali karena dia meremehkan proses transformasi yangsedang berlangsung di sekolah-sekolah Islam dan juga kemampuanpara intelektual Islam untuk menghadapi lingkungan yang sedangberubah.

Selain pusat-pusat pengajaran Islam di Hindia, belajar agamadi Timur Tengah, khususnya di haramain (Mekah dan Madinah),masih tetap dianggap oleh banyak keluarga Muslim yang taatsebagai jalan terbaik untuk belajar Islam dengan qualifikasi yangtinggi. Di kalangan ummat Muslim di Hindia, terdapat persepsibahwa bagaimanapun bagusnya pengetahuan agama seseorang,namun jika dia tidak belajar beberapa tahun di haramain, diahanya akan dianggap sebagai seorang guru yang tidak memilikiotoritas keagamaan yang sejati.

Persepsi ini tampaknya selaras dengan tradisi Muslim yanglebih luas dalam transmisi pengetahuan antar generasi. Transmisiantar pribadi menjadi jantung dari proses transmisi pengetahuanIslam. Para sarjana Muslim di seluruh dunia melakukan perjalanandari satu pusat belajar ke pusat belajar lainnya dengan haramainsebagai tujuan akhir yang paling dicita-citakan, untuk memperolehpengetahuan keagamaan yang otoritatif secara langsung (Azra1994; Proudfoot 1997: 167-168).

Mengalirnya para siswa dari Hindia ke haramain telahberlangsung paling tidak sejak tahun 1500-an dan terus meningkatsejalan dengan meningkatnya jumlah orang yang naik haji. Bagi

Formasi Intelegensia | 117

Page 138: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

orang Jâwah (semua orang yang termasuk ras Melayu) padamasa itu, naik haji ke Mekah dimaksudkan bukan hanya untukmengunjungi Kota Suci dan bangunan-bangunan suci, namunyang lebih penting untuk memperbaiki praktik-praktik danpengetahuan keagamaan mereka. Seperti yang diamati olehSnouck Hurgronje (1931: 220): ‘Orang Jâwah yang lebih tua,yang telah tinggal di sini seumur hidup atau selama beberapatahun, berkeinginan mencurahkan sisa hidup mereka untukmenjalankan peribadatan agama di tanah suci, sementara orangyang lebih muda mencurahkan dirinya untuk belajar agama.’

Karena adanya keterlibatan yang nyata dari para haji dalampemberontakan-pemberontakan pribumi sepanjang abad ke-19,pemerintah kolonial pada tahun 1825, 1831, dan 1859mengeluarkan beragam aturan (ordonnantie) yang dimaksudkanbaik untuk membatasi keberangkatan haji maupun untukmemonitor aktivitas dari para haji yang telah kembali (Dhofier1982: 11-12; Suminto 1996: 10). Namun, pembatasan-pembatasanitu tidak menciutkan hati orang-orang Muslim untuk naik haji.Untuk menghindar dari aturan-aturan Belanda, orang-orangHindia yang hendak naik haji melakukan perjalanan via Singapuratempat dimana peraturan-peraturan Inggris tidak terlalu ketat(Roff 1967: 38).

Paling tidak terdapat dua alasan kondusif yang membuatjumlah orang naik haji pada akhir abad ke-19 meningkat. Yangpertama, diperkenalkannya kapal uap, dibukanya Terusan Suezpada tahun 1869, dan beroperasinya perusahaan-perusahaankapal swata yang berorientasi laba yang turut membantu lalulintas haji. Yang kedua, memburuknya kondisi-kondisi sosio-ekonomi di Hindia dan semakin ketatnya kontrol atas aktivitas-aktivitas keagamaan, setelah terjadinya pemberontakan-pemberontakan pribumi, yang justru mendorong gairah revivalisme

118 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 139: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

keagamaan. Seperti yang diamati oleh Sartono Kartodirdjo(1966: 141):

Selama beberapa dekade, banyak daerah di Jawa yang disapuoleh arus revivalisme agama, yang ditunjukkan oleh adanyapeningkatan yang luar biasa dalam aktivitas-aktivitas keagamaan,seperti ketaatan sholat lima waktu, naik haji, penggemblenganpendidikan Islam tradisional kepada pemuda, pendirian cabang-cabang tarekat, penyebarluasan para dai, dsb.

Dorongan revivalisme keagamaan bersama-sama dengankesadaran Muslim akan potensi kelangkaan ulama (karenabanyak dari mereka yang terbunuh dalam pemberontakan-pemberontakan) menjadi motivasi tambahan bagi keluarga-keluarga Muslim yang kaya untuk mengirimkan anak-anakmereka ke pusat-pusat belajar Islam di Timur Tengah (Abaza1999: xvii-xviii). Faktor-faktor ini menyebabkan meningkatpesatnya jumlah orang yang naik haji pada dekade-dekadeterakhir abad ke-19. Sementara pada tahun 1850-an dan 1860-an, jumlah rata-rata orang-orang Hindia yang naik haji setiaptahun ke Mekah sekitar 1600, pada tahun 1870-an, angka itumeningkat menjadi 2600, dan melonjak menjadi 4600 padatahun 1880-an, dan mencapai lebih dari 7000 pada akhir abaditu (Ricklefs 1993: 130).

Karena meningkatnya arus orang Nusantara yang naik hajike Mekah, maka koloni Jâwah (Ashhab al-Jawiyyin) pada akhirabad itu merupakan koloni yang terbesar dan paling aktif diMekah (Roff 1970: 172). Dalam pandangan Hurgronje yangtinggal di Mekah pada tahun 1884/1885: ‘Jarang ada bagiandari dunia Muslim mana pun di mana proporsi antara jumlahpenduduk dan orang naik haji setiap tahunnya yang lebih tinggi

Formasi Intelegensia | 119

Page 140: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

daripada Kepulauan Malaya’ (1931: 217). Selain signifikannyajumlah orang, Hurgronje menambahkan (1931: 286), ‘banyaknyabuku berbahasa Melayu yang diterbitkan di Mekah dari tahun1884 hingga kini menjadi bukti mengenai pentingnya elemenkoloni Jawa di Kota Suci ini’.

Pulau-pulau Jawa, Sumatra, Borneo, dan kepulauan Malukumerupakan daerah-daerah paling penting dalam lalu lintasjemaah haji. Sumatra dan provinsi Banten, yang merupakandaerah-daerah yang sering dilanda perang dan pemberontakanagama, menjadi daerah-daerah pengirim jemaah haji dan santrike Mekah dengan persentasi terbesar (Hurgronje 1931: 229,268-289).

Konvergensi beragam orang Jâwah di haramain menciptakansebuah identitas kolektif dan sebuah kesadaran akan kesatuankultur Islam yang sama-sama mereka miliki. Identitas dankesadaran bersama ini memunculkan terbentuknya sebuahkomunitas epistemik Jâwah yang khas,56 yang berpusat padasosok ulama yang reputasinya diakui bahkan di mata orang-orang asli Arab. Selain sebagai para penasehat keagamaan bagisaudara-saudara setanah airnya, ulama ini juga menghasilkantulisan-tulisan keagamaan baik dalam bahasa Arab maupunbahasa Melayu dan menjadi referensi utama bagi pemikiran-pemikiran Islam di Hindia (Roff 1970:172). Snouck Hurgronje(1931: 291) menggambarkan hal ini secara baik:

Semua pertimbangan lainnya sebagai dampak dari kegiatanberhaji ini akan menjadi tak bernilai apa-apa jika dibandingkandengan berkembangnya koloni Jawa di Mekah; di sinilah terletakjantung dari kehidupan agama kepulauan Nusantara, berikutarteri-arterinya yang memompakan darah segar dengan kecepatanyang tinggi ke seluruh penduduk Muslim di Indonesia.

120 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 141: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Hingga akhir abad ke-19, ‘reformisme Islam’ masih menjadiwacana dan ideologi yang dominan di kalangan jaringan ulamainternasional di haramain. Ideologi ini memiliki asal-usulnyapada pergerakan ulama dan kaum Sufi abad ketujuhbelas dankedelapanbelas yang berusaha memberikan jawaban terhadapkrisis sosial yang terjadi di dunia Muslim. Berawal di Arabia danKairo, dan kemudian menyebar luas ke bagian-bagian wilayahMuslim yang lain, kelompok-kelompok ulama dan Sufi yangbersifat informal menyerukan dilakukannya reorganisasi terhadapummat Islam dan reformasi dalam perilaku individu sesuaidengan prinsip-prinsip dasar keagamaan. Paham reformasi inimenyerukan pemurnian terhadap keyakinan dan praktik Islamsesuai dengan Qur’an, hadits, dan fiqh, yang dikombinasikandengan asketisisme Sufi. Dalam hal ini, para pembaharumengidealkan Nabi Muhammad sebagai teladan yang sempurna.Karena itu, mereka berusaha menghapuskan pemujaan terhadapwali serta kultus-kultus dan upacara-upacara keagamaan yangdianggap bid’ah, dan membuang semua kepercayaan dan praktiktakhyul atau sihir, serta menentang kecenderungan dari parapenguasa di negeri-negeri Muslim untuk bekerjasama dengankaum kafir kolonial (Lapidus 1995: 563). Versi paling radikaldari pembaharuan Islam ini ialah gerakan Wahabiyah yangdidirikan oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhãb (1703-1792)yang memegang kendali atas Mekah untuk pertama kalinyapada tahun 1803.5 Gerakan ini telah menginspirasi lapisan-lapisan tertentu ulama Hindia untuk memulai proyek historisyang sama di Tanah Air.58

Dengan meneruskan trayek jaringan ulama dari abad-abadsebelumnya, Ulama Hindia yang menjadi figur-figur penting diharamain pada abad ke-19, diantaranya ialah, MuhammadArsjad al-Banjari (1710-1812), Muhammad al-Nawawi al-Bantani

Formasi Intelegensia | 121

Page 142: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

(1815-1898), dan Syeikh Achmad Khatib (1860-1916).59 Sebagaibagian dari jaringan ulama internasional, ulama Hindia di koloniJawah tidak luput dari ideologi yang dominan pada masa itu.Pengaruh dari paham reformisme Islam ditunjukkan oleh koreksiyang dilakukan oleh M. Arsjad al-Banjari terhadap arah kiblatdari beberapa masjid Jakarta dan penolakannya untuk mengajarkanwihdatul wujud (paham pantheisme) yang dipraktikkan olehsebuah tarekat tertentu di Banjarmasin60 (Steenbrink 1984: 95-96). Pengaruh reformisme ini akan lebih jelas tampak dalamkarya-karya dan sikap-sikap politik dari Nawawi dan Khatib.

Reputasi Nawawi sebagai seorang ahli teologi merupakanbuah dari karya monumentalnya berupa buku panduan yangterpenting mengenai Fiqh Syafii.61 Selama kehidupannya yanglama di Mekah, anak dari seorang penghulu Banten ini menulistidak kurang dari 20 karya dalam bahasa Arab.62 Beberapa darikarya awalnya diterbitkan di Kairo, tapi dengan munculnyapenerbitan di Mekah pada dekade akhir abad ke-19, karya-karyanya diterbitkan di Mekah juga (Hurgronje 1931: 271).Dalam pandangan Hurgronje (1931: 270): ‘Karena terinspirasiolehnya, makin banyak orang Sunda, Jawa, dan Malaya yangbelajar Islam secara mendalam, dan ideal-ideal politik-keagamaanIslam, dalam bentuknya yang paling maju, semakin berkembangluas.’ Meski berkonsentrasi pada penulisan buku, Nawawi tidaklupa untuk mengekspresikan sentimen-sentimen anti-kolonialnya.Dalam konteks ini, Snouck memberikan penjelasan: ‘Kebangkitankesultanan Banten, atau negara Muslim yang merdeka, dalambentuk apapun, akan disambutnya dengan penuh suka cita’(1931; 270).

Sementara Nawawi dikenal karena kedalamannya dalampengetahuan keagamaan, Achmad Khatib dikenal karena posisinyasebagai Imam dalam mazhab fiqh Syafii di Masjidil Haram dan

122 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 143: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

juga sebagai prototip dari seorang ulama Hindia yang pernahbelajar dalam sistem pendidikan (sekuler) Belanda.63 Selamakehidupannya yang lama di Mekah, Khatib menulis sekitarempatpuluh sembilan buku. Banyak dari bukunya tersebutmengenai bidang spesialisasinya, yaitu astronomi, dan diterbitkandi Kairo (Abdullah 1971: 7).64 Di bawah pengaruh ideologi‘reformisme Islam’, dia dan sejawat ulama lainnya berkeyakinanbahwa mereka harus menentang kolonialisme. Dia seringkalimenggambarkan Belanda sebagai kaum kafir yang telah meracunihati ummat Islam. Dalam pandangannya, berhubungan dengankaum kolonial yang kafir merupakan sebab utama dari kemunduransemangat Islam (Steenbrink 1984: 146-147). Namun, kontribusiutamanya bagi komunitas epistemik Jâwah terletak pada posisinyasebagai ulama besar Hindia terakhir di haramaian, dari siapasantri-santri dari kepualuan Nusantara yang berasal dari beragamlatar belakang sosial-keagamaan dan kedaerahan belajar tentangajaran-ajaran Islam tradisional serta ideologi dominan darigenerasi-generasi ulama terdahulu.

Selain terpengaruh oleh gagasan reformisme Islam, jaringanulama internasional pada akhir abad ke-19 mulai terpengaruholeh sebuah gelombang baru ‘modernisme Islam’. Ideologi baruini pertama kali didukung oleh kelompok Ottoman Muda diTurki pada tahun 1860-an dan 1870-an, lantas menyebar kebagian-bagian dunia Muslim yang lain. Selain komitmennyaterhadap prinsip-prinsip Islam, kelompok Ottoman Muda inimenyerukan kepada rejim khilafah Ottoman yang tengahmemudar untuk mentransformasikan dirinya menjadi sebuahpemerintahan konstitusional dengan meniru bentuk-bentuknegara dan peradaban Eropa. Seruan yang serupa juga munculdi India. Seorang pemikir Muslim India yang modernis, SayyidAhmad Khan, berargumen bahwa agar kaum Muslim India bisa

Formasi Intelegensia | 123

Page 144: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

bertahan di bawah kekuasaan Inggris, mereka harusmengembangkan model pendidikan baru agar bisa menghasilkansebuah generasi baru pemimpin Muslim. Seraya tetapmempertahankan kesetiannya pada prinsip-prinsip Islam, parapemimpin baru ini harus menyesuaikan dirinya dengan budayasaintifik dan politik dari dunia modern. Singkat kata, ‘modernismeIslam’ merupakan ideologi dari para elit baru di dunia Muslimyang peduli dengan pembaharuan negara dan masyarakat lewatjalan pengadopsian metode-metode, kemajuan-kemajuan saintifikdan teknologi modern, namun dengan tetap mempertahankanIslam sebagai basis kultural dari kekuasaan dan masyarakat(Lapidus 1995: 557-567).

Jadi, modernisme Islam berbeda dalam beberapa hal darireformisme Islam. Reformisme Islam merupakan proyek historisulama yang dimulai pada abad ke-17 dalam usaha untuk menatakembali ummat Muslim dan memperbaharui perilaku individu.Proyek historis ini didasarkan pada gagasan pemurnian kepercayaandan praktik Islam dengan kembali kepada sumber yang otentik,yaitu Qu’ran dan Sunnah, serta memiliki kecenderungan kuatuntuk menolak kebudayaan Barat. Di sisi lain, ‘modernismeIslam’ merupakan proyek dari generasi Islam baru yangterpengaruh Barat untuk menyesuaikan diri dengan peradabanmodern, namun dengan tetap mempertahankan kesetiaan terhadapkebudayaan Islam. Dengan kata lain, modernisme Islam merupakansebuah titik tengah (interstitial space) antara ‘Islamisme’ dan‘sekularisme’, yang mungkin saja akan bergerak kembali ke arahIslamisme atau bergerak ke arah sekulerisme seperti halnyayang terjadi di Turki di bawah Turki Muda, atau tetap beradadalam posisi moderat di antara kedua titik ekstrem itu. DiHindia selama periode kolonial, karena pihak Belanda berusahauntuk menjauhkan kelas priyayi yang berkuasa dari pengaruh

124 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 145: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Islam, maka pendidikan Belanda yang lebih mengutamakankelas priyayi tersebut telah mentransformasikan elit Hindia(secara umum) menjadi inteligensia yang sekuler (secara moderat).Sebagai konsekuensinya, hanya sedikit elit yang terdidik secaraBarat di Hindia yang mendukung ‘modernisme Islam’.

Di Mesir, modernisme Islam menghasilkan arah kecenderunganyang berbeda di tangan generasi baru ulama Al-Azhar. Bagiulama ini, paling tidak ada dua alasan sehingga muncul pendekatanyang unik terhadap isu modernisme ini. Di satu sisi, AkademiAl-Azhar di Kairo yang telah berusia tua masih tetap menjadisebuah pusat belajar yang prestisius bagi para mahasiswa lokaldan asing yang sedang menuntut ilmu agama tingkat tinggi.Dalam kerangka ini, ulama sebagai penjaga garda depan darikesarjaaan Islam memiliki semacam misi suci untuk melestarikanpengajaran Islam. Di sisi lain, menguatnya pengaruh peradabanBarat di negeri itu, terutama setelah Mesir dikuasai Inggris sejaktahun 1882, telah menginspirasi beberapa ulama muda untukmelakukan pendekatan strategis agar bisa menghadapi tantangandunia modern secara lebih baik (Landau 1994: 122). Untuk itu,mereka mempromosikan sintesis antara konsep ‘reformismeIslam’ seperti yang diformulasikan oleh generasi ulama terdahuludengan konsep ‘modernisme Islam’ seperti yang diformulasikanoleh para intelektual Muslim yang terdidik secara modern.Hasil dari sintesis ini ialah suatu hibrida ‘reformisme-modernismeIslam’.

Gerakan intelektual yang baru itu terinspirasi oleh ajarandari seorang pemikir Islam pengelana yang terkemuka, Jamalal-Din al-Afghani (1839-97), yang pernah tinggal di Mesir padatahun 1870-an (persis sebelum dia memulai aktivitas Pan-Islamnya).65 Yang menjadi perhatian utama dari pemikir iniialah bagaimana mengatasi kelumpuhan dan perpecahan Islam

Formasi Intelegensia | 125

Page 146: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

yang terus terjadi, dan menghidupkan kembali kejayaan Islam.Dalam pandangannya, untuk membebaskan masyarakat-masyarakatMuslim dari cengkeraman kolonial niscaya harus dilakukanpembaharuan terhadap kepercayaan dan praktik Islam karenaagama baginya merupakan basis moral bagi kemajuan teknikdan saintifik serta solidaritas politik dan kekuasaan. Dia yakinbahwa Islam pada hakekatnya memang cocok untuk menjadibasis bagi masyarakat saintifik modern sebagaimana halnya diapernah menjadi basis bagi kejayaan Islam di abad pertengahan.Namun untuk bisa mencapai kondisi tersebut, ummat Muslimharus menggunakan interpretasi rasional atas kitab sucinya.Usaha ini, menurutnya, harus didasarkan pada semangat solidaritasIslam, karena satu-satunya cara untuk merespons cengkeramankolonial secara adekuat ialah dengan mempertautkan perlawananlokal dari negeri-negeri Muslim dengan persatuan Muslimseluruh dunia (Lapidus 1995: 578-620; Landau, 1994: 13-15).

Karena pengetahuannya, kecakapannya menulis, dan orasinyayang penuh kharisma, al-Afghani menarik banyak pengagum.Beberapa di antara mereka menganggap dirinya sebagai muridal-Afghani dan berusaha menyebarluaskan gagasan-gagasannya.Di antara muridnya yang terkenal ialah seorang sarjana IslamMesir, Muhammad ‘Abduh (1849-1905). Dia lahir dari sebuahkeluarga yang terdidik. Dia bersekolah di al-Azhar, tempatdimana dia bertemu dengan al-Afghani yang sering mengunjungiuniversitas tersebut selama tahun 1870-an. Karena terlibat dalampemberontakan ‘Urabi pada tahun 1881, ‘Abduh diasingkan kePrancis pada tahun 1882. Selama di pengasingan ini, diabergabung dengan al-Afghani di Paris untuk menerbitkan sebuahmajalah yang monumental pada tahun 1884, Al-‘Urwa al-Wuthqâ(Ikatan Yang Kokoh), yang akan menjadi landasan bagi propagandagerakan Pan-Islam.6

126 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 147: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Sejak saat itu, gerakan Pan-Islam menjadi sebuah perwujudandari apa yang dulu diimpikan al-Afghani sebagai solidaritasIslam. Di mata al-Afghani, Pan-Islam dan Nasionalisme bisasaling melengkapi dalam aspek-aspek ‘pembebasan’-nya. Yangmenjadi desain besar dari politik Pan-Islam dalam jangka panjangialah pendirian sebuah blok Muslim internasional yang merupakankonfederasi semi-otonom dari negara-negara Muslim denganSultan Ottoman sebagai pelindungnya. Untuk itu, perlu dibentuklingkaran-lingkaran belajar di lingkungan masjid atau sekolah-sekolah keagamaan sebagai katalis bagi mobilisasi opini publikdan untuk mempererat jaringan Pan-Islam. Sehubungan denganhal ini, ‘Abduh mengeluh bahwa praktik naik haji telah berubahsemata-mata menjadi tujuan keagamaan dan kehilangankekuatannya sebagai medium bagi hidupnya semangat solidaritasIslam (Landau 1994: 13-26).

Baik al-Afghani maupun ‘Abduh sepakat bahwa tujuan utamadari gerakan Islam adalah kebangkitan kembali Islam secarapolitik. Namun untuk mencapai tujuan itu, sementara al-Afghanimenekankan pada kebutuhan pragmatis akan adanya aliansipolitik, ‘Abduh berusaha mencapai tujuan itu dengan menekankanpada pembaharuan pendidikan, hukum, dan spiritual. ‘Abduhtampaknya menyadari bahwa sebuah negara Muslim yang bersatumerupakan sesuatu yang secara politik tak praktis. Lebih dariitu, saat kembali ke Mesir pada tahun 1888, dia diangkatmenjadi hakim dan kemudian menjadi mufti (ahli hukum fikihyang berwenang untuk memberi fatwa tentang hukum Islam)dari tahun 1889 sampai 1905. Dalam posisi formal semacamitu, barangkali terasa penting baginya untuk menjaga hubunganbaik dengan pihak pemerintahan Inggris. Dia kemudianmengundurkan diri dari keterlibatan politik praktis, meskipundia tetap menyerukan kepada kaum Muslim untuk bersatu

Formasi Intelegensia | 127

Page 148: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

melawan musuh-musuh mereka. Sejak saat itu, usaha-usahayang dilakukannya sebagai mufti diarahkan untuk memodernisasihukum Islam dan merevisi kurikulum Al-Azhar denganmemasukkan sejarah modern dan geografi. Inti dari kepeduliannyaialah bagaimana mempertahankan vitalitas Islam sambilmengadopsi cara-cara Barat. Dia lalu mengusulkan perumusankembali Islam untuk membedakan yang esensial dari yang tidakesensial, mempertahankan hal-hal yang mendasar dan membuangaspek-aspek yang aksidental dari warisan sejarah. Dia berserukepada kaum Muslim agar kembali kepada Qur’an dan Sunnahsebagai petunjuk Tuhan, dan untuk persoalan-persoalan yangtidak dijelaskan dalam kedua sumber tersebut, dia menyatakanbahwa ijtihad (dengan menggunakan daya-daya rasional)merupakan sesuatu yang esensial untuk bisa merespons denganlebih baik tantangan yang muncul dalam masyarakat modern.Inheren dalam proyek historis ini ialah keyakinan bahwa kaumMuslim tak boleh merasa enggan untuk menggunakan sains danlogika modern dalam rangka memperdalam pengetahuan merekadan untuk membuktikan kesesuaian Islam dengan pemikirandan kemajuan sains modern. Dengan cara seperti itu, ia menjadipelopor dari gerakan hibrida ‘reformisme-modernisme’ Islam dibawah bendera gerakan Salafiya (Lapidus 1995: 621; Landau1994: 25-26).

Dentuman besar yang disebabkan oleh gerakan Pan-Islamdan Salafiya ini dengan cepat menyebar ke Afrika Utara danTimur Tengah dan menjadi sumber inspirasi baru bagi beragamgerakan religio-politik di daerah tersebut. Pada dekade terakhirabad ke-19, pengaruh kedua gerakan itu juga telah mencapaijantung dari pusat epistemik Islam di haramain. Bagi generasibaru santri-ulama di Kota Suci itu, yang telah memiliki kesadaranpolitik akan efek-efek destruktif dari penjajahan Barat di

128 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 149: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

negerinya masing-masing, ide Pan-Islam baik dalam bidangpolitik maupun pendidikan sangat membangkitkan semangat.Dalam pandangan Snouck Hurgronje: ‘Mereka yang di negerinyapernah belajar di pesantren, soerau, madrasah ataupun masjidadalah yang paling rentan terhadap pengaruh-pengaruh Pan-Islam’ (Hurgronje 1931: 249).

Achmad Khatib, yang merupakan ulama besar koloni Jâwahyang terakhir di sekitar peralihan abad ke-19/20, bersikap skeptisterhadap meluasnya pengaruh reformisme-modernisme Islamyang terinspirasi oleh pemikiran ‘Abduh itu. Meskipun diasendiri telah terpengaruh oleh reformisme Islam, namun posisinyasebagai penjaga tradisi pengajaran Syafi’iyah membuatnya bersikapkritis terhadap gagasan Abduh mengenai ijtihad dan modernisme.Dia memang menganjurkan murid-muridnya untuk membacakarya-karya ‘Abduh, namun dia melakukan ini dengan maksudagar para muridnya menolak ide-ide ‘Abduh (Noer 1973: 32).Ternyata, banyak dari muridnya bukan saja membaca, namunjuga mengagumi pemikiran-pemikiran ‘Abduh. Dengan begitu,Khatib berfungsi sebagai jembatan antara tradisi dan inovasi.Dalam posisi ‘perantara’ (liminal)67 semacam itu, dia bertindaksebagai bidan bagi kelahiran generasi ulama dan intelektualreformis-modernis di masa depan, seperti Mohd. Tahir binDjalaluddin, M. Djamil Djambek, Abdullah Ahmad, AbdulKarim Amrullah (Hadji Rasul), M. Thaib Umar, Achmad Dachlan,dan Agus Salim serta bagi lahirnya ulama konservatif-tradisionalisdi masa depan seperti Syeikh Sulaiman al-Rasuli dan HasjimAsj’ari.68

Lewat bahan-bahan bacaan, pergaulan dengan para jemaahhaji dari Mesir, ataupun barangkali lewat kontak langsungdengan para mahasiswa Indo-Malaya di Kairo,69 konsep-konsepPan-Islam dan reformisme-modernisme Islam dengan cepat

Formasi Intelegensia | 129

Page 150: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

menjadi wacana yang dominan di kalangan para siswa Jâwah diharamain. M.T. Djalaluddin sendiri telah meninggalkan Mekahmenuju Kairo sejak tahun 1893 untuk belajar astronomi di Al-Azhar. Selama empat tahun studinya di Kairo, dia menjadisangat tertarik dengan ajaran-ajaran ‘Abduh dan menjalinhubungan yang akrab dengan murid ‘Abduh yang paling antusias,yaitu Mohd. Rashîd Ridhã (Roff 1967: 60). Para siswa Jâwahyang lain kemudian mengikuti jejak Djalaluddin sehinggamenimbulkan eksodus para siswa Indo-Malaya secara gradualdari Mekah ke Kairo. Perubahan dalam pusat tujuan belajar inimerefleksikan sebuah pergeseran dalam paradigma keagamaan,dan ini akan memiliki dampak yang signifikan terhadapperkembangan studi Islam dan pendidikan Islam di Hindia.

Pada tahun 1897, M. Thaib Umar mulai mendirikan sebuahsurau yang dimodernisasi di Batusangkar (Sumatra Barat). Padatahap ini, ‘sistem kelas berjenjang dan pengajaran dalam ruangkelas’70 memang belum diperkenalkan, namun semua teks yangdigunakan di sekolah itu merupakan buku-buku cetakan dankurikulum yang dipakai merupakan kurikulum yang mengadaptasikurikulum Al-Azhar Kairo. Perlahan tapi pasti, pengaruh mazhabpemikiran ‘Abduh menyebar di Hindia (Junus 1960: 45-53).Dalam perkembangannya kemudian, sekolah-sekolah yang telahdimodernisasi ini akan disebut sebagai madrasah.

Pembaharuan Sekolah-Sekolah Islam SelamaEra Politik EtisSnouck pernah sesumbar meramalkan bahwa ‘dalam persainganmelawan daya tarik dari pendidikan Barat dan asosiasi kulturaldengan Barat, Islam pastilah akan menjadi pihak yang kalah’(Benda 1958: 27). Namun, hingga awal era politik Etis, masih

130 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 151: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

banyak yang harus dilakukan oleh peradaban Barat jika inginmenaklukkan Islam di kepulauan Nusantara.

Bagi sebuah agama yang tidak memiliki organisasi hirarkisyang efektif, dan bagi suatu komunitas Islam yang hidup ditengah-tengah masyarakat Hindia yang plural, pendidikanmemainkan peran kunci dalam perjuangan Islam. Ketiadaanstruktur kependetaan dalam Islam jelas membuat sekolah Islammenjadi satu-satunya sarana untuk menanamkan doktrin-doktrinkeagamaan. Dalam konteks Hindia, paling tidak ada tiga alasantambahan mengapa kaum Muslim mengembangkan sekolah-sekolah Islamnya sendiri. Pertama, karena adanya keanekaragamankepercayaan dan sistem nilai yang saling bersaing di Hindia,sekolah Islam memainkan sebuah peran kunci dalam membangunsebuah identitas yang jelas dan positif bagi Islam Hindia. Kedua,pendidikan Islam merupakan sebuah aparatur ideologi Muslimyang esensial dalam menjawab diskriminasi dan penindasanyang dilakukan oleh kebijakan-kebijakan kolonial. Yang terakhirdan tak kalah pentingnya, kurangnya peluang bagi anak-anakdari kalangan santri untuk masuk sekolah-sekolah pemerintah,ditambah dengan ketidaktertarikan pihak pemerintah kolonialuntuk memajukan sekolah-sekolah Islam, memaksa ulama untukmengembangkan sekolah-sekolahnya sendiri. Karena sekolahIslam merupakan benteng perjuangan Islam untuk bisa bertahanhidup, maka para pemimpin Islam berusaha sekuat mungkinuntuk mempertahankan keberadaannya.

Fakta bahwa pendidikan merupakan sebuah agen yang sangatkuat untuk mensosialisasikan ideal-ideal dan doktrin-doktrinkeislaman membuat pihak pemerintah kolonial memberikanperhatian yang lebih serius terhadap pendidikan Islam. Berbagailangkah diambil untuk mengontrol perkembangan Islam dansekolah-sekolah Islam pada khususnya. Pada tahun 1905, pihak

Formasi Intelegensia | 131

Page 152: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

pemerintah untuk pertama kalinya mengeluarkan ‘OrdonansiGuru’ yang mewajibkan para guru Islam untuk mengajukanpermohonan ijin mengajar kepada pihak pemerintah. Selain itu,pihak pemerintah juga mengontrol pergerakan ulama di wilayahHindia dengan mewajibkan mereka untuk mengajukan suratjalan khusus. Meski dalam teori yang dianutnya, negara diharuskanmengambil posisi senetral mungkin dalam urusan-urusan agama,dalam kenyataannya ambisi pihak kolonial untuk mengekangIslam ‘yang liar’ mendorong pemerintah kolonial untukmemperkuat institusi penghulu71 sebagai instrumen bagi kontrolpemerintah (Steenbrink 1993: 89). Sejak saat itu, selain adakyai dan ulama yang independen, ada pula penghulu (kadi)yang merupakan pegawai agama dari kekuasaan yang sekuler(Benda 1958: 15).

Meski sekolah-sekolah modern ‘yang sekuler’ telah meluasdan beragam pembatasan telah diberlakukan, sekolah-sekolahtradisional Islam masih bisa bertahan hidup.72 Adanya penolakanterhadap aparatur ideologi kolonial serta tekanan modernisasimendorong kalangan ulama yang mapan untuk mengembangkanmekanisme defensif dengan cara menunjukkan komitmennyauntuk mempertahankan apa yang mereka anggap sebagai tradisikeagamaan pribumi yang otentik. Jadi, sekolah-sekolah (tradisional)Islam yang telah ada sejak lama terus diorganisir dan dihidupkanoleh ulama konservatif-tradisionalis.73

Tentu saja, sekolah-sekolah tradisional itu sama sekali tidakstatis karena mereka selalu secara kreatif (dan secara berangsur-angsur) menyesuaikan dirinya dengan perubahan lingkungan.Namun, penyesuaian ini dijaga untuk tetap selaras dengantradisi-tradisi yang telah mapan. Memang membutuhkan waktubeberapa dekade bagi kelompok ulama konservatif-tradisionalisdi sekolah-sekolah tradisional Islam untuk bisa menerima elemen-

132 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 153: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

elemen persekolahan modern. Hingga dekade-dekade awal abadke-20, pengadopsian pelajaran-pelajaran dan teknologi-teknologimodern, seperti misalnya penggunaan bahasa-bahasa Eropa,tulisan Romawi, perhitungan aritmetika, sistem kelas berjenjangdan pengajaran dalam ruang kelas dan bahkan penggunaanbangku dan meja, dianggap oleh komunitas pesantren sebagaisesuatu yang haram. Bahkan Pesantren Tebuireng yang dipimpinHasjim Asj’ari (berdiri tahun 1899), yang dianggap sebagaipusat percontohan sekolah tradisional Islam, butuh waktu sekitar20 tahun untuk bisa mengadopsi elemen-elemen persekolahanmodern (Dhofier 1982: 104). Di tengah meningkatnya jumlahsekolah-sekolah modern sekuler serta munculnya madrasah didaerah-daerah perkotaan, pesantren tradisional (surau dansejenisnya) mempertahankan basisnya di daerah pedesaan yanglebih tradisional dan agak terpencil.

Dalam periode dimana ulama konservatif-tradisionalis sepertiSulaeman al-Rasuli dan Hasjim Asj’ari menolak untuk menerapkankurikulum dan aparatus pendidikan Barat, inisiatif untukmenumbuhkan benih-benih baru ‘ulama-intelek’ dijalankan olehulama reformis-modernis yang terinspirasi oleh gagasan ‘Abduh.Dihadapkan pada gempuran modernisme Barat, ulama konservatif-tradisionalis mengekspresikan perlawanannya lewat pengagunganterhadap ‘pribumisasi Islam’. Sedangkan ulama modernis-reformismenghadapi hal itu dengan melakukan pengagungan terhadap‘otentisasi Islam’ yang dikombinasikan dengan strategi ‘apropriasi’.Istilah apropriasi di sini merujuk pada suatu cara dimana didalamnya subyek-subyek yang terdominasi atau terjajah meniruaspek-aspek tertentu dari kebudayaan penjajah—seperti bahasa,bentuk penulisan, pendidikan, teknologi, modus pemikiran danargumen—yang mungkin berguna bagi mereka untuk bisamengartikulasikan identitas-identitas sosial dan kulturalnya

Formasi Intelegensia | 133

Page 154: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

sendiri atau untuk bisa menentang kontrol politik dan kulturaldari pihak penjajah (Ashcroft, et. Al. 1998: 19).

Pelopor awal dari kemunculan ideologi dan madrasah modernis-reformis di Hindia adalah komunitas keturunan Arab. Usaha-usaha rintisan dari masyarakat ini dikembangkan lebih lanjutoleh para santri pribumi yang baru pulang dari Timur Tengah,terutama oleh mereka yang terpengaruh oleh ide-ide ‘Abduhataupun yang telah secara langsung menjalin kontak dengannyadan/atau para muridnya di Mesir. Menggemakan ide-ide ‘Abduh,apa yang menjadi agenda utama dari ulama modernis-reformisdari komunitas Arab dan pribumi ini dijelaskan oleh JuttaBluhm-Warn (1997: 296) sebagai berikut:

Pemurnian Islam dari segala bid’ah dan kembali kepada Islamyang murni yang didasarkan pada Qur’an dan Sunna;membebaskan Islam dari sikap menerima secara membutadogma-dogma dari ahli fikih terdahulu (sikap taqlîd); membukakembali pintu-pintu penalaran yang independen (ijtihâd) sehinggamemungkinkan Islam untuk bisa menjawab tantangan-tantangankehidupan modern; pembaharuan pendidikan Islam denganmengakomodasi pelajaran-pelajaran dan metodologi sekulerdan; menghidupkan kembali ilmu bahasa Arab untuk memudahkanpemahaman atas Qur’an dan Sunna.

Hubungan antara Arab dengan Hindia sendiri telah berlangsunglama, setidaknya sejak abad ketujuh. Dengan membaiknyakondisi-kondisi ekonomi di Hindia dan juga perhubungan lautdengan Timur Tengah terutama setelah dibukanya Terusan Suezpada tahun 1869, elemen keturunan Arab dalam pendudukHindia mulai meningkat. Pada peralihan abad ini, jumlah merekasebesar 27.399 (Mobini-Kesheh 1999: 21). Sejauh itu, bagian

134 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 155: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

terbesar dari masyarakat ini berasal dari satu daerah, yaituHadramaut. Meski tinggal di Hindia, komunitas Arab itu terusmempertahankan orientasi spiritual dan intelektualnya ke duniaArab. Orientasi ini bahkan menjadi lebih kuat lagi di tengah-tengah kebangkitan proto-nasionalisme Hindia. Natalie Mobini-Kesheh menjelaskan hal ini dengan ringkas (1999: 14-15):

Pengadopsian nasionalisme yang didefiniskan secara etnis dikalangan orang-orang Indonesia sejak pertengahan abad ke-19melahirkan sejenis penolakan secara empatik terhadap orang-orang dari Hadramaut yang dianggap sebagai ‘orang asing’.Penolakan ini, pada gilirannya, mempertajam rasa keterpisahanorang-orang Hadramaut dari penduduk lokal, dan menjadisebuah faktor penentu yang mendorong mereka untuk berpalingke tanah tumpah darahnya, Hadramaut, sebagai sumber identitasmereka.74

Lewat buku-buku bacaan, majalah dan koran-koran dariTimur Tengah atau lewat naik haji ke Mekah, orang-orangHadramaut bisa mengikuti pemikiran-pemikiran dan per -kembangan-perkembangan Islam mutakhir di pusat dunia Islam.Dengan cara ini, lingkaran komunitas Arab itu dengan mudahmenjadi penganut dari ideologi reformis-modernis yangterinspirasi-oleh-‘Abduh.

Di bawah pengaruh gerakan intelektual baru ini, pada tahun1901 komunitas Arab mendirikan sebuah organisasi di Bataviayang diberi nama Al-Djami’at al-Chairijah (yang lebih dikenaldengan Djami’at Chair), yang kemudian berhasil mendirikansebuah tipe sekolah Islam yang baru pada tahun 1905. Sekolahini mengadopsi kurikulum dan metode-metode pengajaran Baratyang dikombinasikan dengan kurikulum sekolah-sekolah

Formasi Intelegensia | 135

Page 156: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

136 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

keagamaan. Sekolah itu terbuka buat orang-orang pribumiHindia, sementara beberapa gurunya berasal dari Arab; kebanyakandi antara mereka telah terpengaruh oleh ideologi reformis-modernisnya ‘Abduh.75

Dalam perkembangan lebih lanjut, orang-orang peranakanArab yang berasal dari kelas (rendahan) bukan sayyid, karenamengalami konflik internal dengan kalangan sayyid (kalanganyang lebih atas), keluar dari Djami’at Chair dan mendirikansebuah perhimpunan baru pada tahun 1915 yang bernama Al-Irsyad (Al-Djami’at al-Islah wal-Irsjad). Perhimpunan baru inimemperoleh dukungan para pedagang dari kalangan bukan-sayyid, dan figur paling penting dari perhimpunan ini ialahSyeikh Ahmad Soorkatti, seorang ulama kelahiran Sudan danpengikut ajaran-ajaran ‘Abduh. Dalam rangka memajukanpendidikan yang berhaluan reformisme-modernisme, madrasahAl-Irsyad menggunakan bahasa Melayu, Arab dan bahasa Belandasebagai bahasa pengantar, dan terbuka bagi orang-orang pribumiHindia. Cabang-cabangnya bertebaran di kota-kota lain, terutamadi Jawa (Noer 1980: 68-75).

Segmen pribumi dari generasi pertama ulama reformis-modernis Hindia terutama terdiri dari mantan murid AchmadKhatib. Saat kembali pulang dari Timur Tengah, para ulama-intelek yang baru ini mulai mendirikan madrasah, majalah danperhimpunan sebagai sarana untuk menanamkan dan me -nyebarluaskan ideologi dan proyek-proyek historis reformis-modernis.

Tokoh penting pertama dari generasi pertama ulama reformis-modernis (ulama-intelek) ialah Mohd. Tahir bin Djalaluddin(lahir tahun 1869). Setelah belajar di Mekah (selama 12 tahun)dan Kairo—di Al-Azhar (selama 4 tahun), serta dua tahun

Page 157: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 137

mengajar di Mekah, dia kembali ke Hindia pada tahun 1899.Karena menentang sistem adat Minangkabau yang matrilineal,dia memutuskan untuk pindah ke Singapura, tempat dimana diadan beberapa sejawat reformis-modernisnya mulai menerbitkansebuah majalah baru di Malaya yang bernama Al-Imam (terbitpertama kali pada Juli 1906). Pendirian Al-Imam terinspirasioleh Al-Manar (1898-1935), sebuah majalah reformis-modernisyang berpengaruh yang diterbitkan di Mesir oleh ‘Abduh danmuridnya paling bersemangat, Mohd. Rashîd Ridhâ (1865-1935).7 Pada tahun 1908, Djalaluddin membantu mendirikanMadrasah al-Iqbal al-Islamiyyah (sebuah sekolah reformis-modernis yang mengkombinasikan antara kurikulum Baratdengan pelajaran-pelajaran keagamaan), yang dikelola olehseorang Mesir, Othman Effendi Rafat (Roff 1967: 60-66).

Karena Djalaluddin bertempat tinggal di Singapura, makaulama-intelek pertama yang mempelopori sekolah Islam moderndi Sumatra Barat ialah Abdullah Achmad (lahir tahun 1878).Setelah menjalani pendidikan di sekolah dasar bergaya Barat,dia menghabiskan waktu sekitar empat tahun di Mekah (1895-1899) dan kemudian melakukan kunjungan singkat ke Al-Azhar.Saat kembali ke Sumatra Barat pada tahun 1899, dia mulaimemperkenalkan ideologi reformis-modernis kepada para muriddi surau milik ayahnya di Padang Panjang. Beberapa tahunkemudian, dia pindah ke Padang dan mulai memberikan ceramahumum di masjid-masjid dan surau serta menjalin kontak dekatdengan para murid lokal dari sekolah-sekolah Pemerintahkolonial. Menyadari bahwa surau tradisional telah ketinggalanzaman sedang sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial bersifatelitis, maka pada tahun 1909 dia memutuskan untuk mendirikansebuah sekolah baru (madrasah)-nya sendiri, yang dinamaisekolah Adabijah.77 Sekolah ini mulai memperkenalkan ‘sistem

Page 158: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

138 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

kelas berjenjang dan pengajaran dalam kelas’78 serta mengajarkanpelajaran-pelajaran ‘umum’ secara berdampingan dengan pelajaran-pelajaran agama (Steenbrink 1994: 37-39). Sejak tahun 1915,sekolah itu menerima subsidi dari pihak pemerintah, dannamanya diubah menjadi Hollandsch Maleishe School Adabijah(HIS Adabijah) dan kepala sekolahnya dijabat oleh orang Belanda.Meskipun HIS ini merupakan HIS pertama di Minangkabauyang memasukkan pelajaran agama dalam kurikulumnya,kedekatan Abdullah Achmad dengan para pejabat Belandamenjadikan sekolah ini kehilangan statusnya sebagai peloporgerakan reformisme-modernisme Islam (Noer 1980: 52; Junus1960: 54).

Sekolah reformis-modernis paling berpengaruh di SumatraBarat ialah sekolah Thawalib di bawah kepemimpinan AbdulKarim Amrullah (lahir tahun 1879), yang dikenal sebagai HadjiRasul. Sekolah ini lahir dari sebuah surau tradisional, yaituSurau Jembatan Besi, yang didirikan pada akhir abad ke-19.Setelah lebih dari tujuh tahun tinggal di Mekah, Hadji Rasulkembali pulang pada tahun 1906, dan menjadi dai keliling yangmelakukan perjalanan melewati daerah-daerah antara Maninjaudan Padang Panjang. Dalam ceramah-ceramahnya, dia dengantajam menyerang adat istiadat lokal dan pemuka adat karenamereka telah menyimpang dari doktrin agama yang benar.Setelah tahun 1912, dia mencurahkan diri untuk memperbaharuiSurau Jembatan Besi dengan dukungan Abdullah Achmad.Kurikulum surau itu diubah dengan menekankan kepadapengajaran ilmu alat (yaitu bahasa Arab). Lebih dari itu, padaawal tahun 1916, diperkenalkan ‘sistem kelas berjenjang danpengajaran dalam ruang kelas’ serta pelajaran-pelajaran umum,dan setelah tahun 1920, surau ini menjadi dikenal sebagaisekolah Thawalib Sumatra, yang berasosiasi dengan konfederasi

Page 159: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 139

surau pembaharu di Sumatra Barat dengan Surau Jembatan Besisebagai pusat percontohannya. Hadji Rasul melanjutkan aktivitas-aktivitas dakwahnya dengan berkeliling Malaya (1916) danJawa (1917). Di Jawa, dia menjalin kontak dengan para pemimpinSarekat Islam dan Muhammadiyah. Saat pulang kembali keSumatra Barat, dia menjadi propagandis utama Muhammadiyah(Noer 1980: 44-55).

Masih di Sumatra Barat, usaha yang serupa dijalankan olehDjalaluddin Thaib,79 Zainuddin Labai al-Junusi80 di PadangPanjang; M. Djamil Djambek81 dan Ibrahim Musa,82 dan LatifSjakur83 di Bukittinggi; M. Thaib Umar dan Mahmud Junus84 diBatusangkar. Semua surau pembaharu ini membentuk sebuahjaringan luas madrasah yang sama-sama memiliki dasar ideologireformisme-modernisme. Sebuah langkah lebih jauh dalammengkonsolidasikan jaringan ini diambil pada tahun 1918dengan didirikannya Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI)dan Zainuddin Labai al-Junusi menjadi ketuanya yang pertama.Pada awalnya, perhimpunan ini berupaya untuk mengakomodasiulama konservatif-tradisional. Ternyata, ulama konservatif-tradisional malah meresponnya dengan mendirikan perhimpunanmereka sendiri, yaitu Ittihadul Ulama, yang dipimpin olehSyeikh Sulaiman al-Rasuli (Junus 1960: 81-82).

Di Jawa, sebuah upaya awal kaum pribumi untukmemodernisasi sekolah tradisional Islam dimulai pada tahun1906 ketika Pangeran Susuhunan Pakubuwana dari Jawa Tengahmendirikan sebuah pesantren model baru di Surakarta, yaituMambaul Ulum. Di pesantren ini, para siswa tidak saja belajarpelajaran-pelajaran ‘agama’, seperti membaca dan menghafalQur’an- namun juga pelajaran-pelajaran ‘umum’ seperti astronomi,aritmetika dan logika (Steenbrink 1994: 35-36). Pesantren inimemberikan sebuah kontribusi yang sangat penting bagi pendidikan

Page 160: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

140 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

ulama-intelek dan intelek-ulama. Tokoh-tokoh Islam terkemukadi kemudian hari, seperti Ahmad Baiquni (seorang ahli fisikaterkenal Indonesia) dan Munawir Sjadzali (Menteri Agama,1983-1993) pernah belajar di pesantren ini.

Pengembangan madrasah reformis-modernis secara lebihserius untuk kalangan orang pribumi di Jawa dipelopori olehAchmad Dachlan (1868-1923).85 Dia adalah seorang anak dariseorang khatib86di masjid Kesultanan Yogyakarta, yaitu KjaiHadji Abubakar. Dia pernah tinggal di Mekah pertama kali daritahun 1890 sampai dengan 1891 untuk memperdalampengetahuan keagamaannya, terutama di bawah supervisi AchmadKhatib. Setelah pulang untuk sesaat, dia kemudian kembali keMekah pada tahun 1903 untuk tinggal selama sekitar dua tahunpada masa ketika ide-ide reformis-modernis ‘Abduh memperolehpenerimaan yang populer di kalangan jaringan ulama internasionaldi haramain.87

Pada kepulangannya yang pertama, Dachlan mulaimenimbulkan kegaduhan dalam komunitas Muslim lokal karenamengoreksi arah kiblat dari masjid Kesultanan Yogyakarta. Padakepulangannya yang kedua, dia pertama-tama mendirikan sebuahmadrasah percobaan dimana di dalamnya bahasa Arab menjadibahasa pengantar pengajaran disertai penggunaan meja danpapan tulis. Dia kemudian menjadi anggota dari beberapaperhimpunan, termasuk Djami’at Chair dan Budi Utomo, yangmemberi peluang padanya untuk memberikan ceramah-ceramahkeagamaan. Lewat aktivitasnya di Budi Utomo ini, dia kemudianditawari untuk memberikan ceramah-ceramah agama kepadapara pelajar sekolah guru lokal dan para pelajar STOVIA diMagelang. Selanjutnya pada tahun 1911, dengan bantuan daripara pelajar dari sekolah guru, dia mendirikan sebuah sekolahdasar di halaman istana kesultanan Yogyakarta, dengan

Page 161: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 141

menggunakan kurikulum yang mengajarkan pelajaran-pelajaranumum dan agama secara berdampingan (Nakamura 1976: 116;Darban 200:32-33). Usaha Dachlan mencapai puncaknya padapendirian perhimpuan reformis-modernis yang terkemuka, yaituMuhammadiyah, pada tahun 1912 dengan segenap jaringanmadrasah, sekolah dan institusi-institusi (Islam) modern lainnya.

Semua perkembangan ini merepresentasikan proses formasiawal dari bentuk sekolah Islam baru, yang lebih populer disebutsebagai madrasah, di Hindia. Dalam banyak kasus, perintis awaldari madrasah ini memulai aktivitas-aktivitasnya di sekolahtradisional, hingga mereka mampu secara berangsur-angsurmelakukan pembaharuan terhadap sekolah itu, atau malahmendirikan sebuah sekolah baru yang berdiri sendiri. Denganmengadopsi metode-metode, kurikulum dan aparatus pendidikanBarat, kemunculan madrasah ini memperlihatkan adanya sebuahusaha baru dari ummat Islam untuk menghadapi tantangan-tantangan yang dimunculkan oleh sistem sekolah gaya Barat.Meskipun proses masuk ke sekolah-sekolah pemerintah telahmenjadi lebih mudah setelah diterapkannya Politik Etis, namunjumlah sekolah-sekolah itu tak mencukupi untuk bisamengakomodasi jumlah pelajar pribumi yang ingin belajar disana. Pada saat yang sama, banyak kaum Muslim yang tetapenggan untuk masuk sekolah-sekolah sekuler. Maka, madrasahmerupakan sebuah pendidikan alternatif bagi mereka yang takbisa atau tak ingin masuk sekolah pemerintah (yang sekuler).

Dengan demikian, madrasah berada pada posisi antara diantara sekolah agama yang tradisional dengan sekolah modernyang sekuler. Berdirinya perhimpunan-perhimpunan reformis-modernis telah melahirkan jaringan madrasah yang mengajarkanpelajaran-pelajaran umum (seperti aritmatika, sejarah, sastra,geografi dan sebagainya) dan penerapan metode organisasi yang

Page 162: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

142 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

modern (seperti jam pelajaran yang reguler, ujian, pemberiannilai, ijasah), memperkerjakan para guru ‘orang biasa’ (bukanulama), dan bahkan memberikan pendidikan kepada para siswaperempuan. Dengan begitu, madrasah dijalankan selaras denganproyek kemadjoean, namun pada saat yang bersamaan masihberakar pada cara pandang Islam. Clifford Geertz menjelaskanini secara menarik (1965: 106-107):

Sebuah sistem sekolah parokial yang kuat dan aktif (jika sayaboleh menggunakan peristilahan Kristen Katolik buat kaumMuslim), dalam konteks sebuah negeri Islam dan apalagi dalamkonteks Indonesia, bukanlah sebuah musuh, namun sekutu buatelit modern yang sekuler. Dikatakan sebagai sekutu bukankarena dia memajukan ideal-ideal dari sekularisme yang militandan totalistik (ideal-ideal yang hanya dianut oleh minoritaskecil dari elit ini), namun karena sistem sekolah itu memungkinkan,dan bahkan dalam kenyataannya mendorong, tradisi keagamaanyang telah mapan—yang berakar kuat dalam benak penduduk—untuk bisa menghadapi dunia modern, bukan dengan jalansemata-mata menolak kemodernan ataupun menelannya mentah-mentah, namun dengan menjadi bagian dari kemodernan itu.

Kemunculan madrasah merepresentasikan suatu trayek sejarahIslam yang baru. Madrasah merupakan perwujudan dari rencanakaum reformis-modernis untuk memulihkan dan meremajakankembali masyarakat Islam. Karena kampanyenya untukmereformasi masyarakat Muslim melalui jalan kembali kepadasumber asli Islam, sekolah ini merepresentasikan ide-ide reformismeIslam. Karena adopsinya terhadap pendekatan-pendekatan daninstrumen-instrumen modern, seperti rasionalisme modern,kurikulum pendidikan Barat, dan aparatus modern, sekolah ini

Page 163: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 143

merepresentasikan id-ide modernisme Islam. Karena pengajarannyayang memasukkan pengetahuan agama maupun pengetahuansaintifik modern, madrasah berfungsi sebagai ladang persemaianutama bagi pembentukan ‘ulama-intelek’ yang akan menjadipasangan utama bagi inteligensia dalam mengarahkan masyarakatHindia mengarungi jalan kemadjoean.

Praktik-Praktik Diskursif dan TerciptanyaIdentitas KolektifInteligensia sebagai sebuah strata (stratum) sosial tersendiri lebihdari sekedar sekelompok orang yang berbagi kriteria pendidikandan pekerjaan yang sama. Yang lebih penting lagi, inteligensiajuga berbagi kepentingan-kepentingan, sifat-sifat dan identitas-identitas tertentu yang sama (Gella 1976: 13). Namun kesamaanini tidak terjadi begitu saja, melainkan terbentuk terutama lewatpraktik-praktik diskursif.

‘Diskursus’, menurut Sara Mills (1997: 15), ‘menstrukturkanpemaknaan kita atas dunia dan konsepsi kita atas identitas kita’.Seperti yang ditunjukkan secara mengesankan oleh MichelFoucault dalam Archaeology of Knowledge (1972), wacana ataudiskursus (discourse) bukan saja merefleksikan atau me -representasikan entitas-entitas dan relasi-relasi sosial, namunjuga mengkonstruksikan atau membentuk hal itu. Seorang ahliteori wacana yang terkemuka, Norman Fairclough, telahmengidentifikasi tiga aspek kemampuan konstruktif dari wacana(1999: 64-65): ia memberi kontribusi terhadap pembentukanidentitas-identitas sosial (aspek identitas), pembentukan relasisosial (aspek relasional), dan pembentukan sistem-sistempengetahuan dan kepercayaan (aspek ideasional). Karena efekkonstruktifnya, pertarungan ideologis merupakan esensi dari

Page 164: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

144 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

manifestasi wacana. Sebagai situs dari kontestasi makna secarakonstan, ‘wacana’, menurut Michel Pêcheux, ‘memperlihatkanefek-efek pertarungan ideologis dalam fungsi bahasa, dansebaliknya, memperlihatkan eksistensi materialitas linguistikdalam ideologi’ (dikutip dalam Fairclough 1999: 30).

Praktik-praktik diskursif dari generasi pertama inteligensiaHindia pada mulanya merupakan wahana untuk mengekspresikankepentingan-diri dan aktualisasi-diri dari strata masyarakatHindia yang terdidik secara baru. Keberhasilan pendidikanmodern telah meningkatkan ekspektasi-ekspekstasi mereka. Padaawalnya, ekspekstasi-ekspektasi itu terpusat di seputar persoalankemadjoean.

Praktik-Praktik Diskursif Selama MasaLiberalPada akhir abad ke-19, dampak dari pendidikan Liberal terhadaplahirnya elit baru Hindia tampak nyata. Para lulusan dari sekolah-sekolah misi, sekolah-sekolah publik untuk kaum Pribumi danorang Eropa, dan terutama sekolah-sekolah kejuruan, telahmenghasilkan prototip dari homines novi yang membentukpegawai negeri sipil dan inteligensia abad ke-20. Meskipun paralulusan sekolah-sekolah kejuruan banyak yang bukan berasaldari keluarga priyayi tinggi, naiknya mereka menjadi pegawaipemerintahan kolonial memberinya semacam aura priyayi (priyayibaru) tersendiri di mata masyarakat Hindia. Bagi mereka yangtelah memiliki status priyayi, dengan kualifikasi-kualifikasi baruyang dimilikinya, posisi mereka dalam kelompok priyayi diperkuat.Namun, bagi beberapa di antara mereka, sosok priyayi lama taklagi menarik karena sebagai profesional baru, mereka lebihterobsesi dengan prestise personal dan sosial yang berkaitan

Page 165: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 145

dengan peran-peran baru yang mereka jalani dalam birokrasi(kolonial) modern (Van Niel 1970: 29).

Bagi embrio inteligensia ini, bergerak dari pinggir duniakolonial dan feodal menuju pusaran mesin birokrasi modern,menempati peran-peran baru ini berarti merubah dunia kehidupanmereka. Bangku pendidikan tampaknya telah membawa merekake dalam proses ‘belajar tak langsung’ (vicarious learning) yangmenghasilkan kekuatan refleksi-diri untuk menilai sampaiseberapa jauh mereka telah melangkah maju jika dibandingkandengan capaian ‘ pihak-pihak lain’ (others). Apa yang tampaknyamenjadi ukuran mutakhir dari prestasi manusia pada masa ituialah teknik-teknik modern serta perusahaan-perusahaan industribaru, yang masuk ke Hindia sebagai dampak ikutan dari ekonomiLiberal. Hal ini dicontohkan oleh introduksi sistem-sistemkomunikasi yang lebih canggih dan inovatif, seperti teknologiperkapalan yang baru, jalur rel kereta api, telepon, telegraf,kantor pos, industri percetakan dan koran. Introduksi sistemkomunikasi modern ini seiring dengan pertumbuhan pusat-pusat kota dan super-kultur metropolitan (metropolitan super-culture) yang ditandai dengan ekspansi-ekspansi dunia industri,bank, perluasan bidang-bidang jasa, dan gudang-gudang yangberisikan barang-barang impor dari pusat-pusat dunia kapitalisdi Eropa (Adam 1995: 79; Shiraishi 1990: 27; Geertz 1963).

Berhadapan dengan fenomena modern yang mengagumkanitu, gugus homines novi itu merasa sangat takjub danmenganggapnya sebagai simbol-simbol kemadjoean yang inginmereka capai. Dalam gerak kemajuan ini, prestasi yang dicapaioleh ‘pihak-pihak lain’ (the others) sungguh seperti tak dapatdisaingi. Orang-orang Eropa sebagai pemilik perkebunan yangkaya serta kaum borjuis baru yang bermunculan di pusat-pusatkota tentu telah terekspos secara baik terhadap pendidikan

Page 166: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

146 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

modern, media baru, properti-properti mewah, kereta-keretakuda, dan klub-klub sosial ‘beradab’. Bahkan orang-orangketurunan Cina, karena kekayaannya yang berlebih yangdiperolehnya sebagai perantara dalam transaksi-transaksi komersialserta kekuatan dominannya dalam perdagangan eceran dan jugaeksposurnya terhadap sekolah-sekolah misionaris, juga mengikutijalur kemajuan yang sama. Ini ditunjukkan dengan prestasimereka yang luar biasa dalam bidang penerbitan, pendidikandan perhimpunan.

Di bawah kondisi-kondisi historis semacam itu, persoalantentang bagaimana mengejar kemadjoean menjadi wacana yangdominan di kalangan bibit inteligensia yang baru muncul ini.Bagi mereka, kemadjoean mengekspresikan suatu kehendakuntuk mencapai status sosial yang ideal, baik sebagai individumaupun komunitas imajiner, yang meliputi banyak hal: kemajuanpendidikan, modernisasi (yang secara luas diasosiasikan denganWesternisasi), kehormatan, dan keberhasilan dalam hidup.Sebagai tanda dari besarnya obsesi mereka dengan kemadjoean,kata-kata Belanda, yang merupakan ikon dari kemajuan itusendiri, makin sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari di kalangan homines novi. Maka, meminjam penjelasanShiraishi (1990: 27), ‘kata-kata yang bermakna kemajuan—seperti vooruitgang (kemajuan), opheffing (peningkatan),ontwikkeling (pengembangan), dan opvoeding (pembelajaran)—menghiasi perbincangan sehari-hari bersama-sama dengan kata-kata bevordering van welvaart’ (promosi kesejahteraan). Pentingdicatat bahwa meluasnya wacana mengenai kemadjoean inidimungkinkan oleh kemunculan ruang publik modern yangmasih bersifat embrionik dalam bentuk pers berbahasa lokal(vernacular press) yang dimiliki orang asing serta klub-klubsosial yang terinspirasi Barat.

Page 167: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 147

Bagi mereka yang bergelut dengan gagasan kemadjoean,luapan aspirasi mereka itu mencerminkan adanya jurang antarameningkatnya ekspektasi akan peninggian harga-diri merekadengan rintangan-rintangan nyata yang mereka hadapi. Rintanganutama yang mereka rasakan, seperti tercermin dalam persvernakular, ialah ketidakseimbangan antara keinginan untukbersekolah dengan kurangnya sekolah. Fakta bahwa hinggatahun 1882, hanya ada sekitar 300 sekolah di Jawa dan taklebih dari 400 di provinsi-provinsi yang lain dengan jumlahsiswanya tak lebih dari 40.000 (Furnivall 1940: 220) menimbulkantuntutan agar pemerintah berbuat sesuatu.

Sejumlah surat dari para pembaca pribumi yang dikirimkanke pers mengeluhkan bahwa pihak pemerintah tidak cukupmenyediakan kesempatan bagi anak-anak pribumi. Selain itu,pers juga sering memuat persoalan-persoalan mengenai buruknyakondisi-kondisi dari makanan, kesehatan dan kemampuan paramurid di sekolah mereka. Pelopor dari kritik ini berasal darikalangan para lulusan sekolah pendidikan guru pribumi. Kritikmereka diungkapkan terutama dalam majalah-majalah pendidikanyang terbit sebagai respons atas semakin meningkatnya tuntutanakan pendidikan pribumi, seperti Soeloeh Pengadjar di Probolinggo(yang pertama kali terbit pada tahun 1887) dan Taman Pengadjardi Semarang (terbit sekitar tahun 1899-1914). Majalah-majalahitu memainkan peran yang signifikan dalam mengartikulasikanaspirasi-aspirasi guru pribumi bagi penghapusan diskriminasidalam persyaratan pendidikan, peningkatan pengajaran bahasaBelanda di sekolah-sekolah pendidikan guru pribumi danpengajaran bahasa Belanda bagi semua anak pribumi.

Selain mengeritik kebijakan pemerintah, liputan pers vernakularjuga mencerminkan adanya ketegangan dan krisis terselubungpada fase persiapan pembentukan inteligensia baru. Inteligensia

Page 168: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

148 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

yang sedang muncul—yang terdidik dalam sistem pendidikanBarat, tinggal di kota-kota besar, memakai (sempilan) bahasaBelanda dalam percakapan sehari-hari dan mengadopsi gayahidup Barat—cenderung merasa tidak merasa cocok lagi denganhabitus dari para bangsawan yang lebih tua. Dalam pada itu, dimata para bangsawan tua sendiri, para profesional itu tak lebihdari para pendatang baru yang tengah mencari pengakuan danpenerimaaan dari kalangan tradisional yang lebih mapan. Karenaitu, mereka diharapkan untuk mengadopsi gaya hidup dan tatahierarki dari priyayi feodal, termasuk menunjukkan sikaphormatnya kepada para priyayi yang lebih tua dan yang lebihtinggi kedudukannya (Kartodirdjo 1991: 341-342). Selain itu,karena kualifikasi-kualifikasi pendidikan dari inteligensia baruitu lebih unggul dibandingkan dengan para bangsawan tradisional,pihak administrasi Eropa sering cenderung berhubungan secaralangsung dengan mereka dengan melangkahi hirarki dan prosedur-prosedur tradisional (Van Niel 1970: 29).

Semua ini membawa ketegangan dalam hubungan antarapara bangsawan lama dengan para profesional baru. SelompretMelajoe No. 143-155 (30 November-28 Desember 1899),misalnya, memuat keluhan-keluhan dari Bupati Demak, RadenMas Adipati Ario Hadi Ningrat, yang meminta pihak pemerintahuntuk memprioritaskan kemajuan pendidikan bagi anak-anakBupati dan mengingatkan pihak pemerintah bahwa belum saatnyauntuk mengangkat mereka yang bukan dari keturunan priyayitinggi untuk menduduki posisi-posisi birokrasi yang tinggi. Disisi lain, majalah Taman Pengadjar No. 4 (15 Oktober 1899)memuat sebuah artikel dimana embrio inteligensia mengkritikapa yang mereka pandang sebagai tindakan yang memalukanseperti dalam keharusan untuk membungkukkan badan kepadapara priyayi tinggi.88

Page 169: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 149

Inteligensia yang sedang tumbuh itu juga sesungguhnya samasekali tidak monolitik dan monofonik (monophonic, satu suara).Meski kebanyakan dari mereka berasal dari lingkungan priyayi,terdapat ketegangan terselubung antara mereka yang berasaldari priyayi rendahan dengan mereka yang berasal dari priyayitinggi. Anak-anak dari kalangan priyayi rendahan yang tidakbisa mencapai posisi yang tinggi dalam hirarki status tradisionalpada kenyatannya tak juga bisa mencapai status yang layakdalam struktur birokrasi modern. Sementara kebanyakan anak-anak priyayi tinggi lebih suka mendaftarkan diri ke sekolahpangreh praja (Sekolah Radja, Chief School) karena bisa menjaminkarier yang lebih aman serta status sosial dan gaji yang lebihbaik, anak-anak priyayi rendah hanya bisa memilih masuksekolah-sekolah kejuruan, yang biasannya dianggap rendah olehanak-anak priyayi tinggi karena kurang menjajikan prestise dangaji. Kalangan priyayi yang lebih rendah merasa tidak puasdengan sistem dualitas ini, dan mengkritik hal itu secara terbukadi media massa yang ada pada masa itu.89 Ini berarti bahwaketidakserasian hubungan antara antara inteligensia yang tengahtumbuh dengan kalangan priyayi lama berhimpitan denganfriksi-friksi internal dalam lingkaran embrio inteligensia.

Sampai akhir abad ke-19, peran para guru dalammempromosikan wacana kemadjoean sangatlah menonjol,setidaknya karena dua alasan. Pertama, profesi guru hinggamasa ini menghimpun porsi terbesar dari orang-orang pribumiberpendidikan terbaik, dan sebagai para pendidik, merekamerupakan pihak yang paling merasa terpanggil untuk mengembanmisi suci untuk mencerahkan saudara-saudara sebangsanya.Kedua, fakta bahwa profesi guru kurang dihargai jika dibandingkandengan posisi-posisi administratif mungkin telah menstimulasimereka untuk menjadi artikulator dari konsep ‘kemadjoean’

Page 170: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

150 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

dalam rangka menjadikannya sebagai tolok ukur baru dalammenentukan privilese sosial. Peran yang menonjol dari paraguru ini menunjukkan bahwa ‘intelektual organik’90 dari bibitinteligensia pada akhir abad ke-19 ini terutama berasal darilingkaran-lingkaran para guru.

Namun, patut dicatat bahwa sampai akhir abad itu, stratainteligensia yang masih embrionik ini masih belum membentuksebuah entitas kolektif tersendiri. Kehadirannya masih tersembunyidi bawah bayangan pekat aristokrasi lama. Bukan hanya karenajumlah mereka masih terbatas, namun juga karena mereka belumlagi menemukan sebuah ‘kode’ khusus untuk merepresentasikansuatu identitas kolektif yang bisa menyatukan bibit-bibit inteligensiadari beragam sektor ini ke dalam suatu komunitas tertentu.Faktor inilah, bersama dengan terbatasnya mobilitas sosial danjumlah sirkulasi media massa, membuat suara-suara dan gerakan-gerakan kemadjoean memiliki pengaruh yang sempit dan lokal.Namun, semua ini hanya merupakan situasi sementara yangmasih bisa berubah di masa depan yang akan segera tiba.

Praktik-Praktik Diskursif pada Masa AwalPolitik EtisIde kemadjoean, yang menjadi sebuah tolok ukur baru bagiprivelese sosial, relasi-relasi sosial dan sistem ideasional dikalangan elit Hindia pada era Liberal akhir abad ke-19, terusmenjadi wacana dominan di kalangan komunitas inteligensiayang baru terbentuk pada awal abad ke-20. Dimensi sinkronikdari wacana ini terletak pada penekanannya terhadap pelembagaansecara organik dari ide kemadjoean tersebut.

Karena sekolah-sekolah kejuruan publik masih tetap menjadiagen utama dalam melahirkan orang-orang pribumi Hindia

Page 171: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 151

yang berpendidikan tinggi, maka tokoh-tokoh utama dari wacanakemadjoean sebagian besar masih berasal dari sekolah-sekolahkejuruan ini. Para ‘intelektual organik’ terkemuka dari periodeini didominasi oleh mereka yang berlatar pelajar dan bekaspelajar STOVIA. Dengan lama pendidikan sembilan tahun,STOVIA merupakan level pendidikan tertinggi yang ada diHindia hingga dua dekade pertama abad ke-20. Situasi inimemberikan modal kultural bagi para pelajar dan mantan pelajarsekolah ini untuk mengambil alih kepemimpinan inteligensiabaru yang sebelumnya dipegang oleh para guru. Tokoh-tokohterkemuka dari kalangan mantan pelajar Dokter Djawa/STOVIAdalam dekade pertama abad ke-20 adalah Wahidin SudiroHusodo, Abdul Rivai, Tirto Adhi Surjo, Tjipto Mangunkusumodan Suwardi Surjaningrat.

Terobsesi dengan ide kemadjoean, ekspektasi-ekspektasiinteligensia ini akan peningkatan status sosialnya pada kenyataanmulai tersandung dalam suatu antrian panjang yang memaksamereka untuk menghadapi kenyataan pahit. Meskipun terdapatfakta bahwa jumlah lulusan lembaga pendidikan masih terbatas,tak ada jaminan bahwa mereka akan secara otomatis diangkatsebagai pegawai birokrasi. Sejak tahun-tahun awal dekadepertama abad ke-20, kelambanan dari dualitas administrasipemerintahan dalam merespons perkembangan-perkembangansosia-ekonomi di Hindia, terutama dalam penyerapan keluaranlembaga-lembaga pendidikan, menghasilkan suatu daftar tungguyang panjang dari para kandidat yang memenuhi syarat untukmasuk ke pos-pos yang diinginkan (Furnivall 1940: 252).

Situasi ini bahkan lebih mengecewakan lagi bagi para lulusanSTOVIA. Meski telah mencapai level pendidikan yang tertinggi,prestise sosial dan imbalan ekonomis yang diterima oleh paralulusan STOVIA masih tidak setinggi yang mereka harapkan.

Page 172: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

152 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Mereka merupakan korban pertama dari kemadjoean-nya sendirikarena sistem meritokrasi (penghargaan atas dasar prestasi)tidak bisa diterapkan semestinya dalam konteks kebijakan-kebijakan kolonial yang diskriminatif.

Dalam limabelas tahun pertama abad ke-20, STOVIA telahmenghasilkan 135 lulusan (Van Niel 1970: 52). Angka ini akanmenjadi lebih besar lagi jika dimasukkan pula lulusan dari bekassekolah Dokter-Djawa. Berdasarkan pada data dari JaarlijksVerslag School tot Opleiding Van Inlandse Artsen 1904-1905,pendaftar dan lulusan dari sekolah Dokter-Djawa/STOVIAselama tahun 1875-1904 masing-masing adalah 743 dan 160siswa. Untuk memahami apa arti dari angka tersebut, marilahkita memperhatikan latar sosial dari orang tua siswa-siswatersebut. Dari total pendaftar sebesar 743, 146 orang berasaldari keluarga priyayi dan keluarga kaya,91 278 berasal darikeluarga priyayi rendahan dan keluarga berpendapatan menengah,dan 319 berasal dari kelas rendahan. Sementara dari totallulusan sebesar 160, 41 orang berasal dari keluarga priyayitinggi dan keluarga kaya, 64 dari keluarga priyayi rendahan dankeluarga yang berpendapatan menengah, serta 55 dari kelasrendahan (Penders 1977: 218-219). Jadi, sebagian besar merekayang belajar dan lulus dari sekolah Dokter-Djawa/STOVIA berasaldari keluarga priyayi rendahan dan kelas bawah. Ini menunjukkanbahwa, paling tidak hingga tahun-tahun awal abad ke-20, sekolahDokter-Djawa/STOVIA masih tak bisa dikategorisasikan sebagaistandenschool (sekolah status) bagi kelompok sosial yang palingterpandang. Hal ini terjadi karena profesi menjadi vaksinatoratau paling banter ‘Dokter-Djawa’ tak pernah dianggap sebagaisesuatu yang prestisius.

Lebih buruk lagi, di sekolah Dokter-Djawa/STOVIA, rasainferioritas dipertahankan dengan jalan mewajibkan para siswa

Page 173: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 153

yang bukan beragama Kristen untuk memakai pakaian tradisional.Perendahan status mereka juga tercermin dari cara merekadisapa oleh staf sekolah. Mereka tidak dipanggil dengan leerling(murid, yang dipakai di sekolah-sekolah rendah) atau studenten(mahasiswa, yang dipakai pada level universitas), namun dengankata Prancis, élève, yang berkonotasi sebuah level antara muriddan mahasiswa. Bahkan, status dan perlakuan yang berbedajuga terjadi di antara élève sendiri. Dalam upacara-uacara sekolah,hanya élève senior yang diperbolehkan memberikan sambutandalam bahasa Belanda, sementara yang junior harus menggunakanbahasa Melayu atau bahasa daerah lainnya (Toer 1985: 21).

Setelah menyelesaikan sekolah, para lulusan STOVIA—apalagilulusan sekolah Dokter-Djawa (STOVIA sebelum tahun 1900)—tak pernah bisa mendapatkan imbalan sosio-ekonomi sepertiyang mereka harapkan. Hingga awal abad ke-20, posisi Dokter-Djawa di pemerintahan dianggap sama dengan posisi mantri.Peran utama mereka sebagai vaksinator tidak menumbuhkanrasa hormat seperti halnya para lulusan OSVIA yang bekerja dipos-pos administrasi pribumi. Lebih dari itu, gaji yang diperoleholeh para lulusan STOVIA setelah belajar selama sembilan tahunpada umumnya hanya sepertiga dari gaji yang diperoleh olehpara lulusan OSVIA yang lama studinya hanya lima tahun.

Rasa iri antar-kelompok itu diperparah oleh kebijakanpemerintah setelah tahun 1900 yang memberikan lebih banyakkesempatan bagi priyayi rendahan untuk belajar di OSVIA.Dengan adanya kemudahan ini, hak istimewa dari anak-anakpriyayi tinggi terancam. Hal ini meningkatkan rasa tidak sukadari anak-anak kalangan atas terhadap anak-anak dari kalanganrendahan.

Arus utama inteligensia dari kalangan priyayi tinggi cenderung

Page 174: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

154 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

mempertahankan hubungan baik dengan aristokrasi tua. Meskidemikian, selalu saja ada pengecualian, terutama bagi merekayang tidak diterima dengan baik oleh, atau yang tidak lagimerasa cocok dengan, lingkungan bangsawan. Orang-orangyang ‘menyimpang’ (deviants) dari arus utama seperti ini bersamadengan mereka yang lahir dari keluarga rendahan sebagai korbandiskriminasi adalah mereka yang memiliki kecenderungan kuatuntuk menjadi apa yang dikarakterisasikan oleh penulis roman-sejarah paling terkemuka Indonesia, Pramoedya Ananta Toer,sebagai tipe manusia ‘Minke’ yang terperangkap dalam situasilimbung (limbo).92 Orang-orang dengan tipe seperti ini cenderungmengambil posisi ‘mimicry’ yang mengandung kemungkinanolok-olok (mockery) dan sekaligus ancaman (menace).93

Menghayati ide-ide dan nilai-nilai Barat lewat proses pendidikandan media massa, namun frustasi oleh adanya praktik-praktikkolonial yang diskriminatif, beberapa inteligensia yang progresifterdorong untuk merobohkan ‘rumah’ kolonial denganmenggunakan senjata kolonial itu sendiri. Di sisi lain, karenamerasa direndahkan oleh otoritas tradisional yang mapan,mereka memiliki kecenderungan kuat untuk menolak hirarkifeodal.

Perasaan terampas dan terhina ini diperparah dengan terjadinyakrisis ekonomi global pada tahun 1903 yang memiliki efekdestruktif yang parah bagi kondisi-kondisi buruh di Hindia.Ketidakpuasan sosial-ekonomi dari inteligensia ini menemukandorongannya untuk melakukan aksi historis setelah kedatangangelombang ‘Aziatisch Reveil’ (Kebangkitan Kembali Asia) yangdisimbolkan oleh kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun1905, ‘Revolusi Turki Muda’ pada tahun 1908 dan gerakan-gerakan pembebasan dan nasionalis lainnya di Asia (Blumberger1931: 12).

Page 175: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 155

Untuk mengartikulasikan ketidakpuasan dan ideal-ideal merekasecara lebih baik, inteligensia dari kalangan rendahan danmereka yang tidak lagi cocok dengan lingkungan bangsawanmengarahkan perhatiannya kepada pembentukan identitas dankomunitas baru inteligensia. Para intelektual organik dari stratainteligensia ini percaya bahwa ide kemajuan haruslah ditanamdi atas basis sosial yang berbeda. Basis sosial ini harus terbentukdari mereka yang memiliki ‘modal kultural’ seperti kualifikasi-kualifikasi pendidikan, keterampilan-keterampilan teknis danbahasa.

Dalam usahanya ini, para intelektual dari inteligensia baruterdorong untuk menemukan sebuah batas spasial imajinerantara diri mereka dengan aristokrasi tua dengan caramengkonstruksi penanda-penanda khusus bagi para anggotadari kedua kelompok tersebut. Sebutan bagi para anggotabangsawan ‘tua’ ialah ‘bangsawan oesoel’ dan bagi para anggotabangsawan ‘muda’ ialah ‘bangsawan pikiran’. Diperkenalkanoleh seorang lulusan sekolah Dokter-Djawa, Abdul Rivai (anakdari seorang guru pribumi), sebagai salah seorang editor majalahBintang Hindia,94 istilah’bangsawan pikiran’ itu segera digemakanoleh para jurnalis Hindia lainnya dan kemudian menjadi slogandi kalangan generasi pertama inteligensia yang berasosiasi dengangerakan kemadjoean.95 Dalam terbitan pertama majalah itu padatahun 1902, Rivai menulis sebuah artikel mengenai ‘bangsawanpikiran’ yang di dalamnya, setelah mengidentifikasi dua macambangsawan yang ada dalam masyarakat Eropa, yaitu ‘bangsawanoesoel’ dan ‘bangsawan pikiran’, dia kemudian menyatakan:

Tak perlu memperpanjang perbincangan kita mengenai ‘bangsawanoesoel’ karena kemunculannya memang telah ditakdirkan. Jikanenek moyang kita terlahir sebagai bangsawan, kita pun bisa

Page 176: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

156 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

disebut sebagai bangsawan bahkan meskipun pengetahuan danprestasi kita tak ubahnya seperti pepatah ‘katak dalamtempoeroeng’... Saat ini, prestasi dan pengetahuan-lah yangakan menentukan posisi seseorang. Inilah situasi yang melahirkanmunculnya ‘bangsawan pikiran’.96

Begitu inteligensia baru ini menemukan sebuah nama khusus,hal ini menciptakan sebuah ‘kode’, suatu pola untuk menandaiperbedaan-perbedaan, dan sebuah peta yang memberi sang aktorsebuah arah dan petunjuk mengenai apa yang diharapkan danapa yang harus dilakukan. Meskipun kode-kode semacam ituhanya menawarkan suatu simplikasi secara semena-mena atassebuah situasi, namun realitas dan pergulatan sosial tak akanbisa dijelaskan dan dipahami tanpa kode-kode itu. Hanya lewatkeberadaan rujukan-rujukan (referents) sosial itulah, proses,tindakan dan komunikasi bisa dipahami. Seperti yang ditegaskanoleh seorang sosiolog Jerman, Bernhard Giesen: ‘Kode-kodeklasifikasi sosial merupakan elemen inti dalam konstruksi tentangkebersamaan dan perbedaan, identitas kolektif dan diferensiasi.Tak ada batas yang bisa memiliki substansi tanpa kode-kode’(Giesen 1998: 13).

Berdasarkan pada penciptaan kode ‘bangsawan pikiran’ itu,sebuah konstruksi ikutan dibuat untuk mempertautkan kode‘bangsawan pikiran’ itu dengan suatu komunitas imajiner danidentitas kolektif yang baru. Sementara para anggota dari ‘oesoel’diasosiasikan dengan komunitas ‘kaoem toea’ atau ‘kaoemkoeno’, para penganjur ‘pikiran’ dipertautkan dengan komunitas‘kaoem moeda’. Istilah yang terakhir ini juga diperkenalkanoleh Abdul Rivai dalam Bintang Hindia. Dalam majalah BintangHindia Volume No. 14 (1905: 159), Abdul Rivai mendefinisikan‘kaoem moeda’ sebagai ‘semua orang Hindia [muda atau tua]

Page 177: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 157

yang tak lagi berkeinginan untuk mengikuti atoeran koeno,namun sebaliknya bersemangat untuk mencapai rasa percayadiri melalui pengetahuan dan ilmoe’.97

Istilah kaoem moeda segera digunakan secara luas terutamadalam liputan media massa dan dalam wacana dari ‘bangsawanpikiran’ yang baru lahir itu. Istilah kaoem moeda merepresentasikansebuah entitas kolektif dari mereka yang berbagi suatu titikkebersamaan (common denominator) dalam ambisi merekauntuk memperbaharui masyarakat Hindia melalui jalurkemadjoean.

Dalam mengekspresikan kebersamaan mereka, para eksponenkaoem moeda itu sama sekali tidak homogen. Karena berasaldari beragam asal sosial dan posisi subjek (subject positions)yang berbeda-beda dalam masyarakat Hindia yang plural, paraanggota dari kaoem moeda memperlihatkan adanya fragmentasiinternal. Fragmentasi internal ini diakibatban dari adanyaperbedaan-perbedaan dalam latar pendidikan dan pekerjaandalam strata inteligensia dan juga dari adanya interaksi antaraaspek pendidikan dan pekerjaan ini dengan kategori-kategorikelompok-status (status groups) lainnya, seperti agama, etnisitasdan garis keturunan. Namun, pendorong dan pengekal dariadanya fragmentasi internal ini adalah kebijakan kolonial yangdiskriminatif dan segregatif.

Situasi-situasi diskriminatif dan segregatif ini seringkalimenempatkan inteligensia dalam posisi ambigu antara memandangke depan dan menengok ke belakang, serta antara kemandiriandan ketergantungan. Dalam situasi-situasi semacam itu, upayauntuk menciptakan sebuah inteligensia yang berorientasikemadjoean di sepanjang nilai-nilai dan prinsip-prinsip sekulerBarat seringkali justru melahirkan antitetisnya begitu para

Page 178: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

158 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

anggota dari inteligensia ini menemukan jalan kembali ke jangkaridentitasnya. Maka dari itu, bersamaan dengan kehadiran ‘kaoemmoeda’ yang berorientasi sekuler’, muncul pula ‘kaoem moedayang berorientasi adat’ dan ‘kaoem moeda yang berorientasiIslam’. Mereka berbeda satu sama lain dalam segi fondasikultural dan ekonomi sebagai basis kemajuan. Basis kulturaldari ‘kaoem moeda-berorientasi-sekuler’ adalah nilai-nilai Baratyang sekuler, sementara basis ekonominya bertumpu padabirokrasi pemerintahan kolonial dan sektor ekonomi Barat.Basis kultural dari ‘kaoem moeda-berorientasi-adat’ adalah adatistiadat lokal dan sinkretisme, sementara basis ekonominyabertumpu pada dukungan bangsawan lama dan birokrasipemerintahan kolonial. Basis kultural ‘kaoem moeda-berorientasi-Islam’ adalah reformisme-modernisme Islam, sementara basisekonominya bertumpu pada borjuis kecil (petty bourgeoisie)Muslim. Singkatnya, kaoem moeda merupakan sebuah perwujudankolektif dari prinsip ‘bersatu dalam perbedaan’ dan ‘berbedadalam persatuan’. Dengan demikian, istilah kaoem moedamerupakan suatu ekspresi kolektif dari ‘suatu kesamaan identitasdalam perbedaan’ (identity in difference) dan ‘keberagamandalam kebersamaan identitas’ (difference in identity).

Terciptanya Ruang Publik Modern di HindiaFakta bahwa praktik-praktik diskursif dan konstruksi simbolikyang ada berlangsung dalam media massa dan klub-klub sosialmenunjukkan bahwa pembentukan ‘bangsawan pikiran’ danterbangunnya identitas kolektif dari ‘kaoem moeda’ dimungkinkankarena adanya ruang publik. Istilah ‘ruang publik’ (public sphere)sendiri berarti sebuah domain kehidupan sosial ‘dimana didalamnya opini publik bisa terbentuk’ (Habermas 2000: 288).

Page 179: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 159

Dalam konteks Eropa abad ke-17 dan ke-18, ruang publikini terpusat di seputar wacana kritis mengenai karya-karya sastra(literary works) dari keluarga borjuis yang berorientasi khalayakdalam institusi-institusi sosial yang baru terbentuk di wilayahpublik: seperti klub-klub, jurnal-jurnal, majalah-majalah, kafe-kafe, salon-salon, dan ruang-ruang besar lantai atas (cenacles).Ruang publik semacam ini merupakan sebuah tempat pertemuanbagi lingkaran-lingkaran intelektual dari masyarakat (merkantil)Eropa yang terurbankan. Di ruang-ruang seperti itu individu-individu berkumpul ‘untuk melangsungkan perbincangan secarabebas dan sederajat dalam sebuah wacana yang rasional, yangmempertatukan mereka ke dalam suatu badan yang kohesif,sehingga pertimbangan-pertimbangan yang mereka munculkandalam wacana tersebut mungkin sekali membentuk suatu kekuatanpolitik’ (Eagleton 1997: 9).

Bibit-bibit kelahiran ruang publik modern di Hindiadimungkinkan oleh dampak ikutan dari penerapan ekonomiLiberal pada paruh akhir abad ke-19, yang bertanggungjawabdalam mendorong pendirian pers-pers vernakular (berbahasalokal) serta dalam penyebarluasan klub-klub sosial bergayaEropa. Lewat proses pendidikan dan mimicry dan dengan caramembaca pers vernakular yang didirikan oleh orang Eropa dankemudian juga oleh orang keturunan Cina, serta denganmembentuk perhimpunan-perhimpunan, inteligensia pribumipada akhirnya bisa menciptakan ruang publiknya sendiri.

Proses terbentuknya ruang publik bagi kaum pribumi Hindiaini agak berbeda dari proses yang terjadi di Eropa. Dalamkonteks Eropa Barat, kemunculan ruang publik ini merupakanbagian integral dari kemunculan kelas borjuis berbasis uang(moneyed bourgeois class), sehingga karena itulah disebut sebagai‘ruang publik (kaum) borjuis’ (bourgeois public sphere). Sementara

Page 180: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

160 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

itu, ruang publik di Hindia tumbuh dari aktivitas-aktivitas yangdijalankan oleh inteligensia sebagai sebuah strata baru dalammasyarakat Hindia. Karenanya, lebih tepat jika menyebutnyasebagai ‘ruang publik inteligensia’. Lebih lanjut, karena inteligensiaini tak pernah menjadi sebuah strata sosial yang kohesif, makaruang publik Hindia cenderung lebih terfragmentasi.

Dalam upaya menganalisis perkembangan institusi-institusidan kolektivitas-kolektivitas sosial dari ruang publik ini, pentingkiranya untuk mempertibangkan teori ‘proses politik’ (politicalprocess) dan gerakan-gerakan sosial (social movements). Fokussentral dari teori yang pertama ialah pada relasi antara aktor-aktor politik institusional dan tindakannya, serta pada pentingnya‘struktur peluang politik’ (political opportunity structure) bagimunculnya aksi bersama. Sedangkan para ahli teori-teori gerakansosial berbagi kesepahaman terhadap (sekurangnya) empat aspekkhas dari gerakan-gerakan sosial: pertama, merupakan jaringaninteraksi yang bersifat informal, yang terdiri dari pluralitasindividu dan kelompok; kedua, adanya solidaritas dan keyakinanbersama; ketiga, adanya konflik-konflik kultural dan politikserta hubungan oposisional (oppositional relationship) di antarapara aktor; dan yang keempat, adanya proses pertumbuhan dansiklus hidup dari gerakan-gerakan sosial (Della Porta dan Diani1999: 14-15).98

Atas dasar perspektif-perspektif teori ini, dapat dilihat bahwaproses perkembangan ‘ruang publik inteligensia’ Hindia eratkaitannya dengan perubahan watak dari struktur peluang politik.Perkembangan itu juga sangat sensitif terhadap interaksi-interaksiantara negara dan masyarakat, maupun antar beragam kelompokdalam masyarakat. Selain itu, perkembangan itu juga melewatisebuah siklus hidup, mulai dari masa persiapan (gestation)sampai pembentukan (formation) dan konsolidasi (consolidation).

Page 181: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 161

Masa Persiapan Ruang Publik Hindiapada Akhir Abad ke-19Seperti dalam kasus awal introduksi pendidikan Barat, ekonomiLiberal juga menjadi pendorong utama bagi kehadiran embrioruang publik modern di Hindia. Mengikuti jejak aktivitas-aktivitas percetakan yang dipelopori misi-misi Kristen dan VOC99

dan juga kemunculan media (koran) cetak pertama, BataviascheNouvelles pada tahun 1744, hingga kedatangan paham liberalisme(sekitar tahun 1854),100 era Politik Liberal membawa gairahbaru dalam aktivitas-aktivitas tersebut dengan mendorongperkembangan pers vernakular (koran-koran dan majalah-majalah berbahasa lokal).

Lahirnya pers vernakular di Hindia, yang kebanyakanmenggunakan ‘bahasa Melayu pasar’, merepresentasikan sebuahdaya sentrifugal yang menyimpang dari arus utama daya sentripetalkebijakan kolonial. Gelombang ekonomi Liberal, yang diiringidengan ekspansi administrasi kolonial, institusi-institusi pendidikan,tingkat melek-huruf, aktivitas-aktivitas penulisan dan percetakan,semuanya menciptakan situasi yang kondusif bagi terciptanyakeseragaman dan standarisasi kewacanaan. Karena watak dualistikyang dianutnya, kehendak pemerintah kolonial Belanda untukmenstandardisasikan bahasa menuntutnya untuk menerapkanbeberapa alur kebijakan yang berbeda. Untuk pegawai sipilEropa dan sistem sekolah Eropa, pemerintah harus memper -kenalkan penggunaan bahasa Belanda yang ‘baik’ dan ‘benar’.Sementara, untuk pegawai sipil pribumi dan pejabat-pejabatBelanda yang beurusan dengan korp pegawai sipil pribumi,serta untuk sistem sekolah rakyat (vernacular schools), pihakpemerintah menstandarisasikan bahasa daerah yang paling luasdipergunakan, yaitu bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Namun,

Page 182: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

162 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

sejak tahun 1860 sampai seterusnya, fokus utamanya adalahpada bahasa Melayu. Selama paruh kedua abad ke-19, pihakBelanda menetapkan dan menjalankan kebijakan standarisasibahasa Melayu yang (dianggap) ‘benar’ dan ‘asli’ dengan membuatkamus-kamus untuk bahasa Melayu ‘tinggi (bahasa Melayu yangdipakai di kepulauan Riau, Semenanjung Malaya [Malaka,Johor], dan pantai barat Kalimantan). Bahasa Melayu ini telahdigunakan oleh para mistikus besar Sumatra pada abad ke-16dan ke-17, seperti Hamzah Pansuri, Sjamsu’l-Din al-Pasai dan‘Abd al-Rauf al-Singkili, dalam manuskrip-manuskrip yangmereka tulis; bahasa itu juga telah digunakan sebagai bahasaInjil ‘Melayu’ selama masa VOC. Bahasa inilah yang dipromosikanBelanda dengan cara menggunakannya dalam komunikasi yangresmi.

Berbeda dengan kebijakan ini, ragam bahasa Melayu yangdipakai secara luas di kota-kota pesisir, tempat dimana aktivitas-aktivitas perdagangan dan pemerintahan paling modernberlangsung dan tempat dimana kebanyakan orang keturunanEropa tinggal, adalah bahasa Melayu pasar/bazaar (bahasaMelayu ‘rendah’).101 Pendalaman penetrasi kapitalisme dariekonomi Liberal sejak sekitar pertengahan abad ke-19 telahmendorong peningkatan arus masuk para pendatang baru dariluar negeri. Kedatangan para imigran ini, yang terutama adalahorang-orang keturunan Cina dan Eropa,102 menimbulkan dampakyang signifikan bagi perkembangan bahasa-bahasa vernakular.Dampak yang paling mencolok ialah meningkatnya popularitasbahasa Melayu pasar (‘rendah’) yang secara perlahan menjadibahasa ibu bagi penduduk yang terus meningkat di kota-kotapesisir di Hindia (Maier 1993: 47). Pada tahun 1858, seorangpujangga Indo-Malaya yang terkenal, Radja Ali Hadji, memberikankomentar kritis dalam naskah Kitab Pengetahuan Bahasa mengenai

Page 183: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 163

berubahnya cara-cara kehidupan orang Melayu: ‘nilai-nilai yangada terancam bahaya oleh kekuatan-kekuatan luar, sementaraadat istiadat menjadi rusak, dan bahasa menjadi merosot nilainyadengan meningkatnya penggunaan bahasa pasar’ (Andaya danMatheson 1979: 110; Roff, 1969: 47). Dalam pandangannya,situasi ini berbahaya karena dengan diabaikannya bahasa, akandiabaikan pula tradisi yang telah ada, sehingga secara pasti akanmenghancurkan ‘tatanan dunia dan kerajaan’ (Matheson 1986:6).

Meluasnya penggunaan bahasa Melayu pasar ini diperkuatoleh introduksi usaha percetakan-kapitalisme (print capitalism).Percetakan, seperti diamati oleh Lucien Febre dan Henri-JeanMartin, cenderung mendukung perkembangan literatur yangditulis dalam bahasa vernakular (Febre & Martin 1997: 319-332). Ketika ekonomi Liberal menyentuh sektor media massa,pertimbangan akan potensi pasar dan persepsi akan kesederhanaandan fleksibilitas dari bahasa Melayu ‘rendah’ ini secara berangsur-angsur membuat bahasa Melayu pasar menjadi bahasa pengantarutama dalam jurnalisme.103

Dari tahun 1854 hingga 1860, muncul beberapa buah persvernakular yang dimiliki dan dieditori oleh orang Belanda.104

Antara tahun 1860 sampai 1880, sejalan dengan perluasanekonomi Liberal dan peningkatan jumlah melek huruf, jumlahkoran dan majalah berbahasa vernakular meningkat dengancepat.105 Sepanjang periode ini, meskipun para pemilik darimedia massa masih tetap orang Belanda dan Indo (Eurasian),namun telah ada beberapa redaktur (jurnalis) dari kalanganorang Cina.106 Dari tahun 1880 sampai akhir abad ke-19, pararedaktur (jurnalis) keturunan Cina dan kemudian kaum pribumi107

menjadi lebih dominan dan juga muncul media massa yangsepenuhnya dimiliki dan dikelola orang keturunan Cina108

Page 184: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

164 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

(Surjomihardjo 1980: 43-44; Adam, 1995: 16-78).

Para pembaca potensial dari koran-koran dan majalah-majalahberbahasa Melayu pasar terentang mulai dari para pedagang,serdadu dan misionaris Eropa yang telah terbiasa menggunakanragam bahasa ini dalam kontak-kontak mereka dengan pendudukpribumi, sampai dengan orang-orang keturunan Cina yangmelek huruf dan akrab dengan bahasa Sino-Melayu yangjumlahnya terus meningkat, serta orang-orang Boemipoetra yangmelek huruf yang telah lama terbiasa dengan bahasa Melayu.109

Yang cukup mengejutkan, lewat kode pinggiran (subaltern) yang‘rendah’ inilah, wacana tentang kemadjoean dan kesadaranpolitik kaum pribumi pada akhirnya mendapatkan mediumartikulasinya.110

Pergeseran menuju media massa yang berorientasi kemadjoeanini pada awalnya digerakkan oleh logika kapitalisme itu sendiri.Pada saat media massa berbahasa vernakular semakin banyakjumlahnya, kompetisi untuk memenangkan para pelangganmenjadi sengit. Hal ini terutama terjadi manakala orang-orangperanakan Cina mulai mendirikan pers mereka sendiri untukmenarik para pembaca keturunan Cina agar meninggalkan persmilik orang Belanda/Indo. Menghadapi tantangan baru ini,usaha-usaha yang lebih serius dilakukan oleh pers-pers yangdimiliki orang Belanda/Indo untuk menarik para pelangganpribumi. Dalam rangka ini, pers-pers tersebut tidak sekedarmerespons kepentingan-kepentingan komersial saja, namun jugamelayani aspirasi-apsirasi inteligensia yang sedang tumbuh.111

Sejalan dengan wacana kemadjoean, yang tercermin dalamdan dipacu oleh pers vernakular, berkembang pesatlah embrioklub-klub kepentingan pribumi yang bersifat lokal sebagai ruang-ruang alternatif bagi aksi-aksi bersama. Diilhami oleh keberadaan

Page 185: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 165

klub-klub orang Belanda dan Cina, klub-klub pribumi itu jugaberedar di seputar isu kemadjoean, baik sebagai ruang untukmenunjukkan gaya hidup baru dan modern atau untukmeningkatkan pengetahuan dan pendidikan dari para anggotanya.Klub-klub ini pada mulanya tumbuh dalam lingkungan komunitas-komunitas priyayi dan guru. Klub pertama yang pernah tercatatoleh pers vernakular bernama ‘Mangkusumitro’, yang dibentukoleh para guru di Semarang pada tahun 1862 (Adam 1995:97).112 Persis menjelang akhir abad ke-19, perkumpulan guru-guru paling berpengaruh terbentuk, yang diberi nama klub‘Mufakat Guru’. Cabang-cabang dari klub ini bermunculan diberbagai kabupaten dan kawedanan di Jawa. Tujuan dari ‘MufakatGuru’ pada pokoknya ialah ‘untuk membuka jalan bagi paraguru untuk bersatu dan berdiskusi mengenai permasalahan-permasalahan yang menyangkut profesi mereka, seperti pengajaran,kesiswaan, dan pengelolaan sekolah. Persoalan-persoalan sepertipendidikan bagi anak-anak perempuan dan cara-cara untukmendorong para orang tua agar mau mengirimkan anak-anaknyauntuk bersekolah juga diperbicangkan dalam pertemuan-pertemuanyang diadakan oleh Mufakat Guru’ (Adam 1995: 89).

Wacana-wacana intelektual di klub-klub ini sebagian besarberhubungan dengan kepentingan-kepentingan profesi bersama,seperti mengenai bahasa dan perbaikan sekolah, mengenaidiskriminasi-diskriminasi sosial dan nilai-nilai ideal darikemadjoean. Keberadaan embrio ruang publik dan praktik-praktik diskursif di Hindia inilah yang memungkinkanperkembangan ruang publik inteligensia pribumi pada awalabad ke-20.

Page 186: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

166 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Terbentuknya ‘Ruang Publik Inteligensia’Sedini awal dekade pertama abad ke-20, ruang publik modernyang telah muncul secara embrionik pada akhir abad ke-19mulai ditransformasikan ke dalam fase formatif dari ruangpublik inteligensia. Sejauh mengenai perkembangan persvernakular, dekade pertama abad ke-20 merupakan momentumpaling penting dalam sejarah keterlibatan kaum pribumi dalambidang tersebut. Sementara pada abad ke-19, telah ada beberaparedaktur dan jurnalis pribumi yang bekerja untuk pers milikorang Belanda/Indo dan orang keturunan Cina, peran kaumpribumi dalam dekade awal abad ke-20 jauh lebih substansial.Di samping jumlah redaktur dan jurnalis pribumi yang meningkat,para anggota dari inteligensia pribumi itu sekarang telahmendirikan pers yang sepenuhnya dimiliki dan dikelola olehkalangan pribumi sendiri.

Para jurnalis pribumi yang paling terkemuka pada masa ituberasal dari para pelajar atau mantan pelajar sekolah Dokter-Djawa/STOVIA. Di antara mereka, yang paling terkenal ialahAbdul Rivai (lahir tahun 1871) dan Tirto Adhi Surjo (1880-1918). Abdul Rivai lahir di Sumatra dan berasal dari sebuahkeluarga guru. Dia adalah lulusan sekolah Dokter-Djawa, danpada akhir tahun 1899, dia berniat melanjutkan studi kedokteran -nya ke negeri Belanda. Sementara menunggu ijin dan mengikutiujian pendahuluan untuk bisa masuk ke Universitas (diAmsterdam)—yang memang bisa dimasuki oleh para lulusanSTOVIA sejak tahun 1904—dia terlibat dalam aktivitas-aktivitasjurnalistik. Selama masa itu, dia bekerja sebagai seorang redakturbagi beberapa majalah milik orang Belanda yang mendukungnilai ideal ‘Politik Etis’ dan dengan segera menjadi perintis daripers yang berorientasi kemadjoean. Dia tak jera-jeranya melakukan

Page 187: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 167

kritik terhadap nilai-nilai tradisi yang ketinggalan zaman danmenekankan kebutuhan akan psikologi ‘mengejar ketertinggalan’(catch-up psychology) dengan memperkenalkan dan mengidealkanistilah ‘bangsawan pikiran’ dan ‘kaoem moeda’. Lebih dari itu,dia mulai membangkitkan tumbuhnya kesadaran nasional dalamdiri penduduk Hindia dengan jalan mempopulerkan istilah‘bangsa Hindia’. Dalam majalah Bintang Hindia edisi perdanaNo. 1 (1902) misalnya, dia menulis: ‘Jika kita membandingkan‘bangsa Hindia’ dengan ras kulit putih, maka mungkin akanterdapat banyak perbedaan...’ Dengan mempromosikan istilah‘bangsa Hindia’, dia menekankan pentingnya ‘harga diri bangsa’sebagai sebuah kekuatan penggerak menuju kemadjoean (Abdullah1971: 12).

Sementara itu, Tirto Adhi Surjo, meminjam frase ChairilAnwar, adalah ‘binatang jalang dari kumpulannya terbuang’,dan merupakan model dari tokoh protagonis Minke dalamroman sejarah Pramoedya Ananta Toer. Dia lahir di Blora (JawaTengah) pada tahun 1880 dari keluarga keturunan priyayi tinggi(bupati) yang karena beberapa alasan memiliki hubungan yangburuk dengan pihak Belanda (terutama kakek dan neneknyayang membesarkan dirinya). Setelah lulus dari ELS pada tahun1894, dia menempuh jalan yang agak menyimpang denganmelanjutkan studinya ke sekolah Dokter-Djawa (STOVIA),ketimbang Sekolah Radja (OSVIA)—dan dengan begitu, diatelah memisahkan dirinya dari arus utama anak-anak priyayitinggi di masa itu. Pada tahun 1900, dia telah berada padatingkat empat sekolah itu setelah belajar selama enam tahuntermasuk dua/tiga tahun di tingkat persiapan. Sepanjang waktuitu, perhatiannya lebih kepada jurnalisme ketimbang padastudinya. Selain itu, karena perilakunya yang penuh ‘skandal’(di mata pihak yang berwenang), terutama ketika dia memberikan

Page 188: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

168 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

resep obat secara ilegal kepada seorang keturunan Cina yangsangat membutuhkan, dia pun dikeluarkan dari sekolah tersebut(Toer 1985: 11-21).

Setelah meninggalkan sekolah, dia menjadi lebih antusias lagidengan dunia jurnalistik. Atas dasar pengalamannya sebagaiseorang koresponden untuk Hindia Olanda pada tahun 1894,dia diangkat sebagai seorang redaktur untuk Pembrita Betawi(1901-1903), dan juga menjadi asisten redaktur di Warna Sari,selain sebagai korensponden untuk Bromartani dan PewartaPriangan. Aktivitas-aktivitas ini merupakan sebuah momenpenempaan bagi penjelmaannya sebagai wartawan perjuangan.Kritisisme sosialnya, terutama saat ia menjadi redaktur PembritaBetawi, menghubungkannya dengan tonggak-tonggak perjuangandari gerakan intelektual Eropa pada masa itu. Di koran PembritaBetawi itu, dia secara khusus bertanggung jawab atas kolom‘Dreyfusiana’ yang disediakan untuk mengungkap penyalahgunaan-penyalahgunaan kekuasaan oleh Belanda dan para pegawai sipilpribumi. Kolom itu dimakudkan untuk menjadikan jurnalismesebagai sebuah senjata baru bagi perjuangan orang-orang terjajah.

Kata ‘Dreyfusiana’ yang dijadikan nama kolom itu tak lainmerujuk pada ‘Kasus Dreyfus’ yang terkenal itu yang terjadipada akhir abad ke-19 di Prancis. Kasus itu melahirkan ‘manifestedes intellectuals’ (manifesto para intelektual) dan menjadi tonggaksejarah bagi gerakan intelektual di Eropa (lihat bab 1). Faktabahwa kata ‘Dreyfusiana’ dipilih sebagai nama kolom yangmenyoroti penyalahgunaan kekuasaan di Hindia itu menunjukkanadanya pengaruh dari gerakan intelektual Eropa di Hindia,meskipun kata ‘intellectueel’ (intelektual) sendiri belum lagilazim dipakai dalam wacana publik di kalangan para ‘bangsawanpikiran’ baru.

Page 189: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 169

Sebuah langkah besar terjadi pada tahun 1903 ketika TirtoAdhi Surjo, dengan dukungan finansial dari Bupati Cianjur,yaitu R.A.A. Prawiradiredja, mengelola mingguan Soenda Beritadi Cianjur. Mingguan vernakular ini menjadi penerbitan pribumipertama yang dimiliki, dieditori dan dikelola sendiri oleh seorangpribumi. Karena alasan-alasan pribadi, umur dari mingguanSoenda Berita hanya bertahan dua tahun, namun usaha rintisanyang dilakukan Surjo diikuti oleh keberhasilannya pada tahun1907 meluncurkan sebuah mingguan baru berbahasa Melayupasar di Batavia, Medan Prijaji. Dukungan finansial berasal dariKepala Jaksa Cirebon, Raden Mas Temenggung Pandji Arjodinotodan beberapa lama kemudian dari seorang pedagang Muslimyang taat, yaitu Hadji Mohammad Arsjad. Mingguan tersebutjuga mendapatkan perlindungan politik dari Gubernur JenderalBelanda Van Heutsz. Dengan dukungan ini, Medan Prijaji dengansegera menjadi pejuang kesadaran kebangsaan di kalangan orang-orang pribumi Hindia. Rupanya, dukungan dari penguasa politiktidak meredupakan kevokalan Surjo untuk menggelorakansemangat pembebasan dan perlawanan. Menurut Shiraishi (1990:34):

Tirtoadhisurjo telah menciptakan gaya jurnalistiknya sendiridalam Medan Prijaji, yaitu bernada militan dan sarkastik...Meskipun nama koran itu Medan Prijaji, ia tak hanya menjadiforumnya priyayi, namun juga sebagaimana dikatakan olehmottonya, sebagai ‘soeara bagai sekalian Radja-radja, Bangsawanasali dan pikiran, Prijaji dan saudagar Boemipoetra dan officier-officier serta saudagar-saudagar dari bangsa jang terprentahlaennja jang dipersamakan dengan Anaknegri, di seloeroeh HindiOlanda’ (tulisan miring ditambahkan).

Page 190: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

170 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Motto tersebut secara gamblang mengekpresikan suatu kredopribumi yang baru yang menyerukan kesadaran kebangsaan dansolidaritas dengan jalan menyatukan semua orang pribumiHindia ke dalam kategori yang sama, yaitu sebagai ‘bangsa jangterprentah’ dan ke dalam status yang sama, yaitu sebagai‘Anaknegri di seloeroeh Hindia Olanda’. Untuk melawan dayasentripetal dari pendalaman proses ‘pem-Belanda-an’ duniakehidupan penduduk Hindia, pers pribumi ini menggunakanbahasa Melayu pasar yang dipinggirkan sebagai sarana untukmemperkenalkan ‘bahasa’ nasionalisme baru dan menyalakansemangat egalitarianisme baru.

Motto itu juga menggarisbawahi adanya perbedaan antara‘bangsawan oesoel/asali’ dengan ‘bangsawan pikiran’, dan inimemperlihatkan bahwa kedua istilah itu telah digunakan secaraluas di ruang publik. Konstruksi simbolik ini, yangmengimplikasikan suatu politik pengucilan (politics of exclusion)—dimana orang hanya bisa termasuk salah satu dari bangsawanoesoel atau bangsawan pikiran, lewat praktik-praktik diskursifdalam ruang publik, mengantarkan publik kepada prosessubjektifikasi (a process of subjectification) dan fantasi kebertautan(a fantasy of incorporation). Hal ini pada gilirannya memungkinkaninteligensia baru untuk menemukan komunitas imajiner danidentitas kolektifnya sendiri.

Jadi, kehadiran pers vernakular, terutama yang dimiliki olehkaum pribumi, menyedikan konstruksi simbolik dan wahanaekspresi identitas kolektif, dan forum bagi pertukaran ide-ide diantara inteligensia baru yang idealis, dan juga obor inspirasidari dunia luar yang bisa menghidupkan hasrat-hasrat dantindakan-tindakan baru. Dengan meluasnya penyebaran persvernakular, definisi-definisi atas realitas sosial yang tersedia bagikomunitas inteligensia kali ini mungkin saja makin banyak yang

Page 191: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 171

berasal dari orang-orang asing yang berjarak jauh, dari kelompok-kelompok yang secara geografis, kultural dan historis jauh, danyang mungkin bertentangan dengan apa yang disajikan oleh elitlokal yang mapan dan rezim-rezim kolonial.

Sumber dari inspirasi kebangkitan itu pada kenyataannyabukan hanya dari Barat yang menjadi penjelmaan kemadjoean,namun juga dari Timur yang telah bangun dari tidurnya. J.SFurnivall (1940: 238) mengungkapkan hal ini dengan gamblang:

Orang-orang Cina dan Jepang berperang seperti orang Eropa;rakyat Filipina bergerak melawan Spanyol; rakyat Cina dalamPemberontakan Boxer telah dengan gagah berani melawan orangEropa; muncul pula pergolakan-pergolakan di India, sementarakejadian-kejadian di Turki telah mengguncangkan dunia Muslim,dan pada tahun 1905, kemenangan Jepang atas Rusia telahmenghidupkan semangat untuk mentrasformasikan masyarakatHindia, seperti halnya di negara-negara tropis lainnya, darikebisuan yang esktrem menjadi pengungkapan diri yang esktrem.

Perkembangan-perkembangan ini memotivasi bangsawanpikiran untuk menerjemahkan ide kemadjoean yang bersifatabstrak ke dalam tindakan yang lebih kongkret. Dalam rangkaitu, inteligensia yang idealis berusaha mentransformasikankecambah klub-klub sosial yang tumbuh sejak abad ke-19 menjadigerakan-gerakan kebangkitan sosio-kultural. Kemunculan gerakan-gerakan sosio-kultural ini secara jelas menandakan betapapentingnya peran yang sedang dimainkan oleh bidang komunikasi(communivative-sphere) dalam menembus batas-batas spasial.Inteligensia profesional baru, terutama mereka yang berasaldari latar kota kecil, secara sosial terperangkap dalam komunitassegmenter yang tak terlalu memberikan ruang bagi berlangsungnya

Page 192: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

172 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

proses integrasi secara horisontal ataupun vertikal. Perluasanjaringan transportasi dan pertumbuhan pers, selain hubungan-hubungan pendidikan dan profesi, memungkinkan inteligensiaprofesional untuk melampaui batas-batas sosial itu (Kartodirjo1991: 343). Semua saluran itu memungkinkan terciptanya suatujaringan komunikasi yang membuka jalan bagi lahirnya faseformatif dari gerakan-gerakan sosial dan membuka ruang-ruangbaru bagi perjuangan intelektual serta menjadi sebuah penggerakutama bagi proses integrasi dari elit baru Bumiputera.

Dengan dipimpin atau diilhami terutama oleh ‘inteligensia-jurnalis’ yang berfungsi sebagai intelektual organik pada masanya,agenda utama dari gerakan-gerakan sosio-kultural itu adalahbagaimana meningkatkan kualitas dari kehidupan kaum pribumidengan cara yang lebih rasional. Termasuk dalam agenda tersebutadalah seruan bagi perbaikan kondisi-kondisi tempat kerja,penentangan terhadap pembatasan-pembatasan pendidikan (danjuga pembatasan-pembatasan sosial lainnya yang bersifat inherendalam relasi kolonial), pendirian lembaga pemberi beasiswauntuk mendukung pendidikan bagi khalayak yang lebih luas,dan pemberdayaan kemampuan berwirausaha bagi para pedagangpribumi.

Maka, pada tahun 1906, muncullan sebuah gerakan yangberorientasi kemadjoean di kalangan ‘Pemuda Melayu’ di SumatraBarat yang dipimpin oleh Datuk Sutan Maharadja, seorangbangsawan dan jurnalis Padang yang pernah lulus dari sekolahdasar milik pemerintah. Dia menyebut kelompoknya sebagai‘kaoem moeda’ dan melabeli lawannya, ‘kaoem koeno’. Gerakanini merepresentasikan suara dari kaoem moeda yang berorientasiadat dengan maksud untuk merevitalisasi tradisi dari alamMinangkabau dan untuk menyingkirkan jurang antara parapenguasa (yang disebut ras kelas satu) dengan yang dikuasai

Page 193: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 173

(kelas dua). Dalam artian yang lebih kongkret, Maharadja dankelompoknya mendukung pendidikan perempuan dengan jalanmendirikan sekolah kejuruan pertama di Padang pada tahun1909 (Abdullah 1971: 12-13).

Sementara itu, Tirto Adhi Surjo memelopori pendirian SarekatPrijaji di Batavia (Jawa) pada tahun 1906. Dipicu oleh keluhan-keluhan yang diajukan oleh beberapa bangsawan mengenaikeadaan kesejahteraan kaum pribumi, tujuan utama darididirikannya perkumpulan itu ialah untuk meningkatkanpendidikan bagi anak-anak priyayi. Hal ini akan dicapai lewatpendirian sebuah lembaga pemberi beasiswa yang menyediakanakomodasi siswa, pelajaran bahasa Belanda, pengembanganperpustakaan dan bantuan pembiayaan buat mereka yangmembutuhkan, dan lewat penerbitan (Toer 1985: 109-111).

Trayek ini dikembangkan lebih jauh ketika perhimpunanBudi Utomo (BU) didirikan di Batavia pada 20 Mei 1908.Berawal dari kelompok kecil pelajar Jawa di Batavia, perhimpunanini lahir karena terinspirasi oleh kemenangan Jepang atas Rusia(1905) dan karena adanya berbagai bentuk diskriminasi yangberlangsung dalam kehidupan kolonial. Namun, yang menjadimotivasi aktual bagi para pelajar ini ialah ide-ide Wahidin SudiroHusodo, seorang pensiunan Dokter-Djawa dan redaktur majalahRetnodhoemilah, dan merupakan ‘bangsawan pikiran’ padamasanya.113 Ide pendirian perhimpunan ini pada awalnya beredardi kalangan para siswa STOVIA seperti Sutomo, Suradji,Mohammad Saleh, Suwarno dan Gunawan Mangunkusumo(adik laki-laki Tjipto), dan kemudian menyebar ke siswa-siswadari sekolah-sekolah yang lain.114 Para wakil dari sekolah-sekolahyang lain ini berkumpul bersama di gedung aula STOVIA padatanggal 20 Mei 1908 untuk mendeklarasikan berdirinyaperhimpunan tersebut (Nagazumi 1972: 38-40).

Page 194: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

174 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Dengan melancarkan kritik terhadap para priyayi tua karenakegagalannya dalam melindungi kepentingan rakyat, padaawalnya BU bermaksud untuk melangkahi kekuasaan tradisionaldan para leluhurnya dengan jalan mengambil alih kepemimpinankomunitas priyayi (Penders 1977: 216). Terkesan oleh semangatintelektual dari para pemuda pelajar itu, para anggota inteligensiayang lebih radikal, seperti Tjipto Mangunkusumo (1885-1943)dan Suwardi Surjaningrat (1889-1959)—keduanya mantan pelajarSTOVIA yang telah menunjukkan spirit publiknya denganmeninggalkan praktik kedokteran yang menggiurkan sebagaipegawai pemerintah dalam pencegahan wabah penyakit—secaraspontan mendukung perhimpunan tersebut. Ternyata, pengaruhdari priyayi mapan masih terlalu kuat. Budi Utomo dengansegera dibanjiri oleh para priyayi konservatif yang memaksakankultur paternalistiknya terhadap perhimpunan itu dan berusahasekuat tenaga agar perhimpunan itu membatasi fokusnya padaisu-isu pendidikan dan budaya secara terbatas. Menjaga agarmasyarakat tetap berjalan di jalur konservatif pada kenyataanyasesuai dengan kerangka mental (mindset) kepentingan-kepentingankolonial dari Politik Etis yang melekat dalam struktur peluangpolitik yang dirancang oleh Gubernur Jenderal Van Hustz danIdenburg (Shiraishi 1990: 35, Toer 1985: 118). Jadi, untukbagian terpanjang dari karir perjuangannya, BU bersikap sangatkonservatif dan tidak memiliki pretensi untuk mendirikan sebuah‘bangsa’ dalam artian yang luas, namun hanya dalam artiannasionalisme Jawa yang dangkal (Van Niel 1970: 56; Furnivall,1940: 243). Keanggotaan BU utamanya berasal dari kelompok-status menengah dan atas dari Jawa Tengah dan Jawa Timur,yang kepedulian utamanya ialah mengembangkan program-program paternalistik yang menekankan tugas aristokrasi untukmemimpin massa menuju pencerahan’ (Sutherland 1979: 59).

Page 195: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 175

Apa yang menjadi gambaran inovatif dari organisasi ini ialahbahwa organisasi ini merupakan organisasi pertama kaumpribumi yang dikelola dalam gaya Barat, dalam arti menggunakanteknik-teknik berorganisasi yang modern dan didukung olehinteligensia berpendidikan Barat terbaik yang ada pada masa itu(Van Niel 1970: 56-57). Menyadari bahwa organisasi tersebuttelah dikuasai oleh pengaruh priyayi konservatif, para anggotainteligensia yang radikal seperti Tjipto Mangunkusumo, yangbergabung dengan BU sebagai ikhtiar mencari perlindunganpolitik di balik mantel kaum priyayi, segera mengundurkan diridengan kekecewaan.

Berbarengan dengan pendirian Budi Utomo, beberapamahasiswa Hindia yang belajar di negeri Belanda pada tahunyang sama mendirikan ‘Indische Vereeniging’ (IV, PerhimpunanHindia). Sebelumnya, para mahasiswa Hindia di negeri Belanda,seperti Abdul Rivai yang kesohor, terpaksa menjadi ‘pejuangsendirian’ (lone fighter) atau harus bergabung dengan ‘VereenigingOost en West’ (Perhimpunan Timur dan Barat). Atas dorongandari J.H. Abendanon, Perhimpunan Hindia (IV) pada awalnyadiorientasikan untuk menjadi sebuah forum sosial dan kultural‘dimana sejumlah kecil mahasiswa Hindia bisa bersantai bersamasambil terus mengikuti kabar-kabar terbaru dari tanah air’(Ingleson 1979: 1). Pada tahun pertama, sekitar duapuluhmahasiswa menjadi anggota dari perhimpunan ini. Orang-orangHindia berpendidikan tinggi di negeri Belanda sampai kurunwaktu tersebut hampir secara eksklusif berasal dari keluarga-keluarga bangsawan dan Bupati, kecuali mereka yang lulusanSTOVIA yang setelah tahun 1904 diijinkan untuk melanjutkanstudi ke universitas-universitas di negeri Belanda.115

Singkat kata, ‘bangsawan pikiran’ sampai tahap ini telahberhasil hingga tingkat tertentu dalam memperluas jaringan

Page 196: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

176 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

komunikasi dan integrasi horisontal melampaui batas-batasafiliasi kekerabatan. Meski begitu, batas cakrawala dari gerakan-gerakan sosial yang mereka bentuk untuk memajukan ideologimereka, sejauh itu masih belum mampu melampaui pengaruhdari bangsawan tua dan batas-batas etnis.

Secara simbolik, kode ‘bangsawan pikiran’, yang digunakanuntuk memproklamirkan tindakan-tindakan historisnya,mengandung implikasi bahwa di satu sisi mereka masih berakardi bumi ‘bangsawan’ yang adiluhung, di sisi lain mereka telahterbang di angkasa ‘pikiran’. Dalam ‘kepompong’ budayaaristokrasi, ‘bangsawan pikiran’ berusaha untuk membentukperhimpunan-perhimpunan yang didasarkan pada kualitas-kualitas non-askriptif. Kanggotaan dari perhimpunan-perhimpunanini dicirikan oleh kesamaannya dalam orientasi kemadjoean,bahasa, pendidikan dan habitus. Namun, tmapak jelas bahwaranah pengaruh dari gerakan-gerakan sosial ini dan reproduksiideologi mereka sampai dekade pertama abad ke-20, masihtetap terbatas utamanya di sekitar lingkaran dalam dari ‘bangsawanpikiran’ dan ‘bangsawan oesoel’ atau mereka yang telah terjunke dalam arus dunia kehidupan modern. Sehingga tak adapembedaan yang tegas antara para intelektual organik, sebagaiartikulator identitas kolektif, dengan publiknya. Karena publikdari gerakan-gerakan osial itu masih terbatas pada komunitasinteligensia itu sendiri yang berbagi kesamaan yang luas. Dengankata lain, publik dalam artian massa rakyat yang lebih luas,masih tetap anonim, tak berbentuk dan merupakan pihak ketigayang acuh tak acuh.

Secara ekonomi, perikehidupan ‘bangsawan pikiran’ masihsangat bergantung pada sektor publik dari administrasi kolonial.Padahal, selain pihak Belanda sebagai konglomerat kekuasaan,status dan kekayaan, tulang punggung dari administrasi (kolonial)

Page 197: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 177

pribumi masih sangat kuat dikontrol oleh para bangsawan ‘tua’.Dibutuhkan waktu yang lama bagi penekanan baru padapelatihan/pendidikan pegawai untuk bisa melahirkan dampakyang nyata bagi sosok pemerintahan sipil di daerah. HeatherSutherland mencatat sebuah kasus yang bagus mengenai hal ini.‘Pada tahun 1907, hanya sepuluh dari 260 pegawai pemerintahpribumi di Kawedanan Rembang yang merupakan lulusanOSVIA, sementara di Kediri pada tahun 1908, 75 persenpegawainya tidak pernah bersekolah secara formal. Di Cirebon,angkanya sebesar 92 persen’ (Sutherland 1979: 55). Karenaperikehidupan ekonomi dari inteligensia baru masih berada dibawah kontrol bangsawan tua, maka dukungan finansial bagipenerbitan-penerbitan pribumi dan gerakan-gerakan sosialpribumi masih sangat bergantung pada belas kasih ‘golongantua’. Karena golongan priyayi tua itu secara khas berwatakkedaerahan dan konservatif, maka gerakan-gerakan sosial padamasa itu sangat sulit untuk bisa melampaui batas-batasetnosentrisme dan regionalisme-nya masing-masing.

Secara politik, struktur peluang yang tersedia bagi ‘bangsawanpikiran’ untuk mengorganisir gerakan-gerakan sosial itu dibatasioleh kerangka-kerja struktur kolonial. Dalam cara pandangkolonial, betapapun mulianya misi suci dari Politik Etis danproyek asosiasi, ‘maksud tersembunyi’-nya masih tetap konsistendengan tujuan untuk mempertahankan status quo. Dalamkerangka ini, terdapat titik temu antara kepentingan-kepentinganaparatur kolonial dan bangsawan konservatif untuk menjagaagar gerak kemajuan tetap selaras dengan alur tatanan sosialdan politik yang feodal. Dengan dominannya fitur konservatismesebagai ideologi dari kelas yang berkuasa, gerakan-gerakan sosialsulit untuk menempuh jalan radikal, apalagi jalan revolusioner.

Page 198: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

178 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Kaoem Moeda Islam dan TransformasiRuang PublikKaoem Moeda Islam memainkan peran penting dalam memperluasruang publik modern melampaui milieu priyayi. Para intelektualorganik dari komunitas ini merupakan kombinasi antara ulama-intelek reformis (clerical-intelligentsia) dan intelek-ulama modernis(intelligentsia), yang keduanya merupakan produk sampingandari politik ‘asosiasi’ yang diterapkan pihak kolonial. Terekspossecara luas terhadap wacana mengenai isu-isu keagamaan, ulama-intelek cenderung memprioritaskan agenda ‘reformisme Islam’untuk mereformasi masyarakat Hindia melalui jalan kembali keajaran Islam yang murni. Sementara itu, karena terekspos secaraluas terhadap wacana mengenai isu-isu sekuler, intelek-ulamadari generasi pertama ini cenderung lebih mengutamakan‘modernisme Islam’ dengan memprioritaskan agenda me -modernisasi masyarakat Islam. Karena itu, intelek-ulama moderniscenderung kurang terlalu terobsesi dengan ide pemurniankepercayaan dan praktik ke-Islam-an. Walaupun begitu, keduakelompok itu berbagi titik kesamaan dalam menilai pentingnyaperemajaan kembali masyarakat Islam lewat penggabunganantara semangat dan ortodoksi Islam dengan sains dan rasionalismemodern.

Tak rela melepaskan keyakinan dan kultur ke-Islam-annya,namun saat yang sama mereka melihat keuntungan yang bisadipetik dari peradaban Barat, kedua kelompok itu berusahauntuk mengambil yang terbaik dari kedua dunia tersebut. Sifatkhas dari kaoem moeda Islam ini menempatkan mereka padasebuah ruang-antara (interstitial space) antara tradisionalisme(Islam) dengan modernisme (Barat). Dalam posisi yang sedemikian,komunitas tersebut menghadirkan baik sifat peniruan (mimicry)

Page 199: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 179

maupun ancaman (menace) terhadap identitas-identitas dankomunitas-komunitas lain. Kehadiran komunitas ini menghadirkanpotensi ancaman bagi pihak pemerintah kolonial dan misi-misiKristen, rival yang kuat bagi kaoem moeda sekuler yangterbaratkan, serta kritik tajam bagi ulama konservatif-tradisionalisdan juga bangsawan konservatif serta kaoem moeda yangberorientasi adat.

Basis sosio-ekonomi kaoem moeda Islam utamanya berakarpada milieu kaum pedagang kota dan para petani komersialpribumi. Dalam sistem stratifikasi sosial yang semena-mena,kelompok borjuis-kecil Muslim (yang tua) ini termasuk dalamkelompok status rendahan. Dengan pendalaman penetrasiperusahaan-perusahaan Eropa dan ekspansi rumah-rumah dagangCina terutama sejak akhir abad ke-19, daya tawar pedagang danpetani komersial Muslim ini cenderung menjadi merosot. RichardRobison menggambarkannya secara padat (1978: 19):

Sepanjang periode kolonial, kekuasaan Belanda mengamankanbagi rumah-rumah dagang Belanda, dan kemudian juga bank-bank, perkebunan-perkebunan, perusahaan-perusahaan perkapalandan pertambangan, suatu jaminan monopoli yang efektif dalamperdagangan internasional dan investasi jangka panjang. Parapedagang keturunan Cina ditumbuhkan sebagai perantara-perantara bagi pasar dalam negeri Indonesia. Struktur ini me -ngucilkan borjuis pedagang asli [pribumi] yang, tanpa perlindungannegara, tetap terkunci dalam usaha dagang dan produksi komoditiskala kecil di daerah-daerah pedesaan dan kota-kota kecil, danyang berjuang untuk melawan serbuan hasil produksi orang-orang Cina, dengan sebagian besar hasilnya sia-sia.

Berhadapan dengan situasi yang tak menyenangkan itu, idesolidaritas Pan-Islam dan ideologi reformisme-modernisme Islam

Page 200: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

180 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

memberi landasan baru bagi kalangan borjuis kecil Muslimuntuk mendukung usaha-usaha penyelamatan kelangsunganhidupnya.

Dalam interaksi segitiga antara ulama-intelek dan intelek-ulama (sebagai bangsawan pikiran yang baru) dan parapedagang/petani komersial Muslim (sebagai kaum borjuis-kecil[berbasis uang] yang tua), berkembanglah sebuah ruang publikalternatif di luar milieu priyayi. Hal ini pada gilirannya melapang -kan jalan bagi perjumpaan inteligensia dengan massa rakyat.

Perlu diingat bahwa dalam masyarakat Muslim, paling tidakpada periode tersebut, tak ada pembedaan yang tegas antararanah agama dan politik. Sehingga wacana agama dan kepentingan-kepentingan komunitas-komunitas agama bisa mempenetrasiruang publik, sementara institusi-institusi dan forum-forumagama bisa juga berfungsi sebagai ruang publik. Selain itu, diHindia, tempat dimana lebih dari 90% penduduknya adalahkaum Muslim, institusi-institusi dan forum-forum Islam secarateoretis terbuka buat sebagian besar penduduk Hindia. Selainitu, di Hindia, dimana formasi kelasnya kurang begitu tegasatau terkonsolidasikan jika dibandingkan dengan di Eropa,ruang publiknya diramaikan oleh suara-suara kelompok-kelompoksolidaritas kultural. Jika modus inkorporasi sosial lebih seringberlandaskan pada pengelompokan-pengelompokan solidaritaskultural (ketimbang solidaritas kelas), maka forum-forum daninstitusi-institusi agama bisa juga berfungsi sebagai ruang publik,paling tidak bagi komunitas politik santri.

Berbeda dengan ruang publik dari ulama konservatif-tradisionalis yang masih sangat bergantung pada komunikasilisan dan tatap muka—yang dimediasi oleh jaringan tradisionalyang berbasiskan masjid-masjid, pesantren-pesantren, tarekat-

Page 201: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 181

tarekat sufi, dan perayaan-perayaan agama, ruang publik kaoemmoeda Islam memiliki wajah yang lebih beragam. Selainmenggunakan jaringan-jaringan tradisional seperti yang telahdisebutkan, mereka juga mengembangkan jaringan madrasahyang lebih terstruktur dimana di dalamnya ideologi reformise-modernisme bisa dibumikan secara lebih sistematis. Melengkapijaringan madrasah itu, muncul pula institusi-institusi pendukungdalam bentuk terbitan-terbitan, klub-klub, yayasan-yayasan danperhimpunan-perhimpunan Islam, yang lewat interrelasi diantara semua institusi tersebut turut memfasilitasi proses diseminasiide-ide baru dan konsolidasi gerakan reformis-modernis. Untukmelampaui batas-batas dari komunikasi lisan, kaoem moedaIslam mulai menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, koran-korandan majalah-majalah yang bisa memperluas rantai transmisi ide-ide mereka melintasi batas-batas spasial. Kaoem moeda Islamdengan demikian telah mengembangkan sistem-sistem komunikasidan institusi-institusi sosial modern lewat proses pembelajaransosial dari kapitalisme-percetakan, penerbitan dan perhimpunan-perhimpunan yang telah diperkenalkan oleh komunitas Eropa.

Adopsi Teknologi Percetakan Modern danKlub-Klub Sosial oleh Kaum MuslimSampai tahun 1800, dunia Islam menolak mesin cetak danmasih merupakan suatu dunia komunikasi lisan dan manuskrip(Messick 1993). Dengan diperkenalkannya aktivitas-aktivitaspercetakan oleh pemerinah kolonial dan dengan datangnyakapitaslime percetakan dari ekonomi Liberal sekitar pertengahanabad ke-19, yang berbarengan dengan pengadopsian penggunaanmesin cetak di bagian-bagian Dunia Muslim yang lain,116 kaumMuslim Hindia menjadi tertarik dengan teknologi-teknologi

Page 202: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

182 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

percetakan.

Pada awalnya, percetakan Muslim di Hindia menggunakanteknik percetakan litografis baru, mengikuti keberhasilanpenggunaan teknik yang sama yang terlebih dahulu telah diadopsioleh Muslim di India, dan kemudian di Timur Tengah (Proudfoot1997). Pada tahap-tahap awal, preferensi kaum Muslim untukmenggunakan litografi didasarkan pada pertimbangan bahwateknik ini bisa mengabadikan gaya dan tulisan (Arab) yangindah dari tradisi manuskrip Muslim. Buku Muslim Indo-Malayapertama yang dicetak dengan teknik ini ialah edisi Qur’an yangindah yang diterbitkan di Palembang pada tahun 1848. Selangbeberapa tahun disusul oleh penerbitan kitab Sharaf al-Anam,yang merupakan versi Melayu dari teks puji-pujian kepada NabiMuhammad yang digemari di Surabaya pada tahun 1853. Sejaksaat itu, para penerbit Muslim memperluas aktivitas-aktivitasmereka dengan memproduksi secara massal kitab-kitabpengetahuan agama dan literatur lain seperti hikayat dan syairyang diterbitkan oleh industri-industri percetakan rakyat (cottageprinting industries) yang dikelola secara perseorangan. Beberapabuku teks agama Islam sejenis dicetak di Jawa antara akhirtahun 1850-an hingga awal tahun 1860-an. Perkembanganpaling penting dalam dunia percetakan Muslim pada bagianakhir abad ke-19 berlangsung di Singapura, yang sejak sekitartahun 1860 telah menjadi pusat aktivitas penerbitan Muslim dikawasan Asia Tenggara dan pusat aktivitas percetakan Muslimberbahasa Melayu pertama di dunia.117 Di luar Hindia, padaawal tahun 1880-an, literatur Islam berbahasa Melayu jugaditerbitkan di kota-kota dari negeri-negeri Muslim lainnyaseperti Bombay, Kairo dan Mekah.118 Perkembangan iniberkontribusi terhadap banyaknya reproduksi manuskrip-manuskrip lama dan berlipatgandanya karya-karya baru

Page 203: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 183

keagamaan, yang bersama dengan dibukanya Terusan Suez padatahun 1869, memungkinkan terjadinya peningkatan arus masukbuku-buku agama ke Hindia.

Pergeseran dari reproduksi buku secara manual ke mekanisniscaya melahirkan perubahan dalam apa yang disebut TerryEagleton sebagai ‘modus produksi kepustakaan’ (the literarymode of production) yang diikuti oleh perubahan dalam posisisosial dari para penulis (literari) dan kesadaran sosial darimasyarakat. Dalam modus produksi manuskrip, aktivitaspenyalinan buku merupakan sesuatu yang mahal, padat karya,dan jarang. Dalam kondisi-kondisi demikian, sulit bagi pengaranguntuk bisa hidup dengan menjual bukunya ke khalayak luas. Iniberarti bahwa reproduksi manuskrip hanya bisa dilakukan olehsegelintir literati yang berasal dari keluarga-keluarga kaya (yangpengabdi), yang kebanyakan berada di bawah patronase keluargakerajaan atau tuan-tuan feodal. Tentu saja, terdapat pasar bagidan/atau komersialisasi manuskrip itu. Namun, pasar untuk itumasih tetap marjinal yang terbatas pada relasi antara penulisdan patronnya. Jadi, dalam modus produksi manuskrip, urusanmengenai persoalan kesejahteraan para penyair dan penulistidak pernah melampaui institusi patronase (Milner 1996: 96;Auerbach 1965: 242). Dalam dunia politik Islam tradisional,hal ini bisa menjelaskan adanya ketergantungan simbolik antarapara sultan dan ulama. Sultan diuntungkan oleh adanya legitimasiagama dari ulama, sementara ulama mendapatkan patronasekerajaan demi kesejahteraan dan karya-karya mereka.

Dengan diperkenalkannya mesin cetak (pertama litografi,dan kemudian tipografi), reproduksi buku menjadi lebih mudah,lebih murah dan berlimpah. Di luar pemerintahan, sekarangtumbuh pusat-pusat kuasa alternatif untuk mendukung prosesreproduksi buku. Selain dari tuan-tuan kolonial sebagai patron-

Page 204: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

184 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

patron baru, agen pendukung paling kuat saat ini ialah pemilikmesin cetak karena lewat mereka inilah, para pengarang bisamendapatkan keuntungan dari karya-karya mereka karena adanyajaminan pemasaran atas hasil karya mereka ke khalayak pembaca.Di bawah modus produksi yang baru ini, sistem patronasedigantikan oleh sistem relasi komoditi, dan ini melahirkanbentuk-bentuk produksi dan konsumsi kepustakaan yang bersifatsangat individual yang tak ada presedennya secara historis. Halini mengakibatkan terjadinya keterpisahan literati Islam secaraperlahan dari kelas penguasa.

Perubahan dalam modus produksi ini juga mengubah posisisosial kaum literati. Literati tradisional memperoleh otoritasnyaantara lain bersumber dari kelangkaan dan keunikan manuskrip.Kelangkaan ini menumbuhkan persepsi sosial akan keotentikanmanuskrip, yang dalam asosiasinya dengan pesan keilahian dariteks memberikan ‘aura’ sakral kepada kepustakaan tradisional(Benjamin 1973: 225). Aura ini pada gilirannya menganugerahkanprivilese khusus kepada sedikit orang yang memiliki aksesterhadap manuskrip, yang memungkinkan ulama mendapatkanprestise sosial yang tinggi. Seperti yang diamati oleh WalterBenjamin (1973: 223), aura inilah yang ‘lenyap dalam zamanreproduksi mekanis’. Aura ini barangkali masih tetap bertahandalam produksi buku secara litografis, karena pada umumnyamasih berbasis pada reproduksi manuskrip-manuskrip agamayang lama. Sungguhpun begitu, berlipatgandanya jumlah bukuyang beredar lewat bantuan teknik litografi ini juga mulaimelahirkan dampak yang signifikan berupa desentralisasi dalamkepemilikan pengetahuan. Desentralisasi ini pada gilirannyasecara perlahan memerosotkan nilai sakral dari manuskriptersebut dan juga aura ulama tradisional, terutama di matakomunitas melek huruf.

Page 205: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 185

Tantangan yang dimunculkan oleh adanya reproduksi secaramekanis ini bahkan menjadi lebih serius setelah kaum Muslimmengadopsi percetakan secara tipografis sejak tahun 1890-an,mengikuti penggunaan teknik ini secara lebih awal oleh agen-agen pemerintah kolonial dan para pemilik penerbitan korandan majalah swasta. Karena biaya pembelian mesin tipografilebih besar ketimbang mesin litografi, pola ekonomi danmanajerial dari teknik ini harus didukung oleh perusahaan-perusahaan bisnis formal ketimbang oleh usaha-usaha percetakanrakyat. Dengan teknik dan gaya manajemen yang baru, skala(besaran) dan kecepatan dari reproduksi buku menjadi takterbandingkan. Peningkatan ini pada gilirannya mengubah sifatdari produksi kepustakaan. Karena buku-buku yang dicetaksecara litografis kebanyakan merupakan manuskrip-manuskriplama, maka materi-materi litografis kebanyakan berkaitan dengansubyek-subyek tradisional dan sejarah. Secara kontras, untukmengoptimalkan kapasitas dan kecepatan mesin, percetakansecara tipografis lebih banyak menghasilkan karya-karyakontemporer, terutama karya-karya yang berkaitan dengansejarah kekinian dan peristiwa-peristiwa lokal (Proudfoot 1993:46-54). Lebih lanjut, penggunaan huruf Arab atau Jawi (Arab-Melayu) dalam litografi segera dintantang oleh dominasipenggunaan huruf rumi (Romawi) dalam produksi tipografis,meskipun untuk sekitar limapuluh tahun ke depan, huruf Arabdan Romawi terus digunakan secara berdampingan.

Semua fenomena ini bukan hanya berkontribusi terhadapterjadinya ledakan dalam jumlah bahan-bahan bacaan, tetapijuga menghadirkan tantangan serius bagi status dari subyek-subyek dan pengetahuan tradisional yang memiliki efek subversifterhadap prestise sosial terdahulu dari otoritas ulama tradisional.Pada akhirnya, ledakan dalam jumlah bahan-bahan cetakan

Page 206: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

186 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

menciptakan kondisi yang kondusif bagi pengembangkan tingkatmelek huruf dan, yang lebih penting lagi, bagi peningkatanjumlah ‘warga negara’ dari ‘Negeri Pustaka’ (Respublica litteraria).Peningkatan ini pada gilirannya secara signifikan mengubahstatus sosial dari ulama tradisional dan kesadaran keagamaanmasyarakat.

Bersamaan dengan pengadopsian teknologi-teknologipercetakan baru, pada akhir abad ke-19 juga muncul klub-klubsosial Muslim yang bergaya Barat. Salah satu contoh yang baikdari klub-klub semacam ini ialah sebuah study club Islambernama Rusdijah Club, yang muncul dalam milieu kesultananBugis di Riau. Didirikan pada awal tahun 1880-an, klub inimemiliki sebuah perpustakaan dan mesin percetakan untukmencetak karya-karya para anggota dan teks-teks agama. Klubitu juga mengadakan acara-acara sosial dan kegiatan-kegiatankeolahragaan secara reguler (Matheson 1989).

Pengadopsian teknologi-teknologi percetakan dan klub-klubsosial bergaya Barat oleh kaum Muslim melahirkan sebuahrezim kebenaran yang baru, sebuah modus produksi yang baru,sebuah kesadaran agama yang baru, dan relasi-relasi pengetahuandan kuasa yang baru. Semua ini merupakan ancaman bagi ke -mapanan ulama tradisional, sekaligus memfasilitasi kelahiranulama reformis-modernis yang baru. Teknologi-teknologi per -cetakan dan klub-klub sosial modern memberikan fondasi bagikoem moeda Islam pada awal abad ke-20 untuk memperluasruang publik modern Hindia, melampaui batas-batas lingkunganpriyayi.

Perluasan Ruang Publik oleh Kaum MuslimDalam ranah media, kaoem moeda Islam di Sumatra Barat

Page 207: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 187

melakukan sebuah langkah penting untuk memperluas targetaudien dari pers vernakular melampaui lingkungan komunitaspriyayi. Sejak awal kemunculannya, kaoem moeda mendirikanbeberapa majalah dengan menggunakan bahasa Melayu dalamtulisan huruf Jawi yang bisa dibaca oleh audien Hindia yanglebih luas pada masa itu. Terinspirasi oleh kehadiran majalahreformis-modernis pertama di Singapura, Al-Imam, sejak tahun1906, Abdullah Achmad dengan dukungan para pedagang lokalseperti Sutan Djamal al-Din Abu Bakar, mendirikan majalah Al-Munir pada tahun 1911. Para kontributor dari majalah initermasuk para tokoh ulama-intelek dan inteligensia lokal sepertiHadji Rasul, M. Thaib Umar, Djamil Djambek, Sutan MuhammadSalim (ayah Agus Salim), dan bahkan Datuk Sutan Maharadja—sebelum majalah itu menunjukan dukungannya secara mencolokterhadap kampanye kaum Muslim reformis (Abdullah 1972:216-229). Dengan mempromosikan ide-ide ‘Abduh dan Ridā,majalah itu menjadi corong bagi kaoem moeda Islam. Selainmengargumentasikan kesesuaian Islam dengan sains dan rasionalitasmodern, artikel-artikel dalam majalah tersebut menyerukankepada ummat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam yangasli dengan menghapuskan taqlid, mempromosikan ijitihad, danmenentang praktik bid’ah, khurafat dan tarekat yang ekstatik.119

Kelahiran majalah Al-Munir memiliki efek bola salju. Setelahitu, segera muncul majalah-majalah dengan tipe yang sama dikawasan itu, seperti majalah Al-Akhbar yang dimiliki oleh kaumAdabiyah, majalah Al-Bayan, Al-Imam, Al-Basyir, Al-Ittiqan, danAl-Munir el Manar yang dimiliki oleh jaringan madrasah SumatraThawalib (Junus 1980: 82). Pada tahun 1916, Abdullah Achmadberkolaborasi dengan ketua Sarekat Islam, Tjokroaminoto, untukmendirikan majalah Al-Islam di Surabaya. Majalah ini menandaidimulainya penerimaan kaum Muslim terhadap penggunaan

Page 208: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

188 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

huruf rumi. Karena, di samping menggunakan huruf Jawi,majalah ini juga mulai memperkenalkan huruf rumi dalambeberapa bagian kecil dari majalah tersebut (Laffan 20003:178). Transformasi ini menandai sebuah perkembangan barudalam ruang publik Hindia. Huruf rumi dan percetakan tipografisbukan hanya menjadi sebuah kunci untuk membuka danmenyebarluaskan peradaban-peradaban modern (Barat), namunjuga menjadi medium untuk bisa memproduksi dan mereproduksiterbitan-terbitan berskala besar, sehingga bisa memperluasjangkauan dari ruang publik. Adopsi kaoem moeda Islam terhadaphuruf ini menandai fase konsolidasi dan juga pertarungan yangkian sengit di kalangan komunitas bangsawan pikiran.

Dalam ranah perhimpunan-perhimpunan sosial, tonggakpenting dalam proses perluasan ruang publik, melampaui orbitdari aristokrasi yang telah mapan, ialah pembentukan SarekatDagang Islamiah (SDI) pada tahun 1909 di Bogor. Dirintis olehTirto Adhi Surjo, perhimpunan ini kemudian dipimpin olehmantan-mantan pelajar STOVIA dan inteligensia lain serta paraulama-pedagang dari peranakan Arab dan Boemipoetra.120

Konstituen dari SDI berbasis pada apa yang Tirto sebutsebagai ‘Kaoem Mardika’ atau ‘Vrije Burgers’ (warga negarayang merdeka), yaitu orang-orang yang mata pencahariannyatidak bergantung pada pemerintah kolonial. Tujuan utama dariperhimpunan itu, menurut artikel Tirto yang dimuat dalamMedan Prijaji 3 (1909), ialah untuk memperbaiki kondisi-kondisiburuk yang dialami oleh para pengusaha/pedagang (Muslim)pribumi sehingga bisa mengejar paling tidak kemajuan yangdicapai para pedagang keturunan Cina, kalau bukannya yangdicapai orang-orang Eropa. Mengenai urgensi pendirianperhimpunan dagang Muslim itu, Tirto menyatakan:

Page 209: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 189

Karena itu dalam mendapatkan perubahan kedudukan kaumpedagang kita bangsa Islam di Hindia wajib ada satu badanyang anggota-anggotanya adalah saudagar-saudagar supaya ilmusarwat bisa dilakukan dengan sepertinya dan supaya lidi yangmudah dipatahkan itu tidak mudah dipatahkan karenadipersatukan sehingga menjadi teguh.121

Sayangnya, umur dan jangkauan pengaruh dari perhimpunanini terhalangi oleh kecurigaan pihak aparat kolonial terhadapsetiap gerakan yang dianggap sebagai perwujudan dari semangatPan-Islamisme.

Kelahiran SDI diikuti oleh berdirinya perhimpunan-perhimpunan sejenis namun dengan orientasi yang berbeda didaerah-daerah Hindia lainnya. Selama dekade kedua abad ke-20, muncul di antaranya Djaja Upaja di Batavia, TsamaratulIkhwan di Sumatra Barat, Baji Minahasa di Makasar, dan SetiaUsaha di Surabaya.122 Tujuan utama dari perhimpunan-perhimpunan ini ialah untuk memajukan kesejahteraan, pendidikandan solidaritas Muslim/pribumi dengan menggunakan identitasIslam sebagai perekat sosial dan untuk memajukan ajaran danpraktik ke-Islam-an yang benar sebagai pembimbing hidup.

Prestasi terbesar dalam pembentukan perhimpunan-perhimpunan yang berbasis pada prinsip-prinsip kaoem moedaIslam ialah berdirinya Muhammadiyah dan Sarekat Islam padatahun 1912. Didirikan di Yogyakarta oleh Achmad Dachlandengan dukungan para ulama-pedagang lokal, para pemimpinBudi Utomo setempat, dan para pelajar sekolah guru pribumi(Nakamura 1976: 115-116),123 Muhammadiyah diorientasikanuntuk memperkuat persatuan dan kekuatan Islam dalammenghadapi aktivitas-aktivitas kolonialisme dan misionarisKristen lewat strategi ‘peniruan secara taktis’ (appropriation).

Page 210: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

190 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Dengan mengadopsi metode-metode dan aparatus modern sertataktik-taktik kelompok misionaris Kristen, Muhammadiyahmemainkan peran penting dalam memperkenalkan institusi-institusi sosial bergaya Barat ke kalangan masyarakat pribumiHindia yang lebih luas.

Berangkat dari pendirian jaringan madrasah di sekitarYogyakarta, jangkauan aktivitas Muhammadiyah dengan dukungankaum borjuis kecil Muslim meluas ke sektor-sektor dan daerah-daerah lain di Hindia pada dekade berikutnya (Nakamura 1976:116). Sektor-sektor ini meliputi sekolah, publikasi, panti asuhan,klinik, rumah sakit dan institusi-institusi sosial lainnya. Untukbagian terpanjang dari perjalanan hidupnya, organisasi ini lebihberkonsentrasi pada gerakan-gerakan sosio-kultural, meskipunpara pemimpinnya secara individual mungkin bergabung denganorganisasi-organisasi politik. Pada dekade-dekade awalkelahirannya, Muhammadiyah menempati posisi pinggiran dalamdunia politik nasional—meski cabang-cabangnya di Sumatracenderung lebih bersifat politis—sehingga tetap bisa berhubunganbaik dengan pihak pemerintah kolonial. Barangkali karenaalasan itulah, pemerintah kolonial pada tahun 1915 mulaimensubsidi sekolah-sekolah Muhammadiyah.

Sementara Muhammadiyah terfokus pada aktivitas-aktivitassosial-pendidikan, Sarekat Islam lebih berkonsentrasi padaadvokasi ekonomi dan politik sebagaimana yang akan dibahasdalam bagian berikut.

Permainan Kuasa: Konsolidasi dan KontestasiWacana dan ruang publik adalah situs tempat perjuangan kuasadigelar serta tempat di mana identitas dan komunitas dikonstruksi.Daya dorong utama bagi berlangsungnya perjuangan kuasa serta

Page 211: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 191

konstruksi identitas-komunitas di kalangan inteligensia padamasa itu ialah adanya perbaikan dalam taraf ekonomi mereka,serta adanya kebijakan-kebijakan kolonial yang diskriminatifyang melahirkan dampak sosio-ekonomi yang berbeda-bedabagi posisi subyek yang berbeda-beda dari komunitas inteligensia.Di bawah kondisi-kondisi ini, berbagai kelompok inteligensiaberusaha untuk mengkonsolidasikan kolektivitas-kolektivitasdan identitas-identitas mereka. Proses ini mengakibatkan lahirnyapertarungan politik yang sengit. Konsolidasi dan kontestasikuasa ini menandai permulaan dari permainan-permainan kuasa(politik) yang sesungguhnya. Permainan-permainan kuasa iniberlangsung baik dalam poros relasi negara dan masyarakatmaupun dalam interaksi dari beragam posisi subyek dariinteligensia dalam masyarakat.

Memasuki dekade kedua abad keduapuluh, inteligensia baru(bangsawan pikiran) mendapatkan momentum baru untukmemperkuat pengaruh sosial dan ruang publik mereka. Peluang-peluang politik bagi perkembangan inteligensia ini terutamadikondisikan oleh situasi perang pada masa itu. Perang Dunia I(1914-1918) sangat mempengaruhi negeri Belanda dan negerijajahannya. Tekanan dari perang tersebut memaksa Inggris untukmembatasi melintasnya kapal-kapal netral di Samudera India.Pembatasan ini menyebabkan renggangnya hubungan antaranegeri Belanda dan Hindia. Implikasi langsung dari adanyarintangan komunikasi ini ialah meningkatnya kemandirian negerijajahan dari negeri induknya. Secara kebetulan, dua GubernurJenderal Hindia selama PD I, yaitu A.W.F. Idenburg (1909-1916) dan penerusnya Van Limburg Stirum (1916-1921),tergolong kaum Ethici yang progresif yang memiliki kepedulianbesar terhadap kemajuan pribumi dan secara luas mengakomodasikepentingan-kepentingan pribumi.

Page 212: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

192 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Kepdulian-kepedulian semacam itu, seiring dengan adanyakebutuhan birokrasi pemerintah dan swasta untuk merekruttenaga terampil dalam jumlah yang besar, mendorong keduaGubernur Jenderal tersebut untuk memajukan kualitas danmemperbanyak rekrutmen dari kalangan Boemipoetra yangterdidik. Kebijakan ini bukan hanya menyebabkan semakinmeluasnya sekolah-sekolah berstandar Barat, namun juga memaksapemerintah untuk melonggarkan persyaratan keturunan agarbisa menarik lebih banyak siswa dari golongan rendahan. OSVIA,misalnya, semakin banyak menerima siswa dari kalangan priyayimenengah dan bahkan priyayi rendahan. Sementara pada awalabad keduapuluh, lebih dari separo ayah siswa memegang posisi-posisi pemerintahan sipil pribumi dari asisten Wedana sampaiBupati, pada tahun1915 proporsi dari yang berasal dari keluargagolongan rendahan meningkat tajam (Sutherland 1979: 54).

Dengan dilonggarkannya persyaratan untuk masuk sekolah,jumlah siswa di beragam level dan jenis institusi pendidikanmeningkat pesat. Hal ini pada gilirannya bertanggungjawabpada pertumbuhan jumlah angkatan muda terdidik yang terlatihuntuk pekerjaan-pekerjaan ‘kerah-putih’ dan bisa menikmatiprestise yang mengiringi posisi tersebut, tak peduli dari golonganmana asal keluarga mereka. Perluasan peran profesional pribumibaru dalam birokasi (pemerintah dan swasta) ini membantumengaburkan identifikasi yang sempit antara status tinggi denganpegawai sipil pribumi (Sutherland 1979: 54).

Daya tawar dari kelompok profesional pribumi baru ini punmeningkat, dan ini merupakan konsekuensi tak terduga darikebijakan-kebijakan kolonial yang diskriminatif. Untuk menjawabkrisis ekonomi global yang terjadi di sekitar peralihan abad,kantor-kantor pemerintah kolonial menerapkan prosedur-prosedur pembukuan yang sistematis dan rinci yang mengharuskan

Page 213: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 193

Kepala-kepala Kantor pemerintah untuk mengontrol pengeluaran-pengeluarannya secara lebih ketat. Dengan adanya tekanan daripertimbangan-pertimbangan anggaran itu, Kepala-kepala Kantorpemerintah kolonial tak punya pilihan kongkret lainnya selaindari merekrut tenaga profesional pribumi yang lebih murahdibandingkan dengan orang-orang Indo-Eropa yang dibayarmenurut skala gaji untuk orang-orang Eropa. Pola yang samajuga dijalankan oleh perusahaan swasta (Van Niel 1970: 64-65).Peluang-peluang yang lebih besar bagi para profesional pribumiini menunjukkan kepada orang kebanyakan bahwa korpadministrasi pribumi bukan lagi satu-satunya lintasan untukmobilitas vertikal, dan bahwa habitus priyayi tradisional bukanlagi merupakan satu-satunya teladan bagi kehidupan yang baik

Sementara itu, meskipun kebanyakan inteligensia pada dekadeini masih bekerja sebagai pegawai pemerintah, beberapa darimereka telah menemukan bidang mata-pencaharian baru di luar‘sangkar besi’ administrasi kolonial. Jadi, suatu jenis inteligensiabaru, yang mengikuti pilihan Tjipto Mangunkusumo untukmenolak bekerja sebagai pegawai pemerintah, mulai berkembang.Mereka ini lebih dikenal sebagai ‘Kaoem Mardika’. HeatherSutherland menggambarkan kelompok ini (1979: 56) sebagaiberikut:

Mereka hidup di pinggiran masyarakat pribumi dan kolonial,bekerja pada institusi-institusi embrionik dari kehidupan pribumikelas menengah perkotaan, sebagai guru atau jurnalis, bergerakdari satu tempat ke tempat lain dan dari satu pekerjaan kepekerjaan lain. Mereka merupakan sebuah gabungan heterogendari peranakan Cina dan Arab, Indo, priyayi yang tercerabutserta santri liberal, yang dipersatukan oleh sikap-sikap yangsama, pengalaman-pengalaman yang sama, benih-benih keluhan

Page 214: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

194 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

politik dan, kerap pula, antusiasme yang sama untuk menjalankanusaha-usaha ekonomi yang bersifat spekulatif.

Dengan meningkatnya pengaruh dari inteligensia profesionalbaru, serta dengan lahirnya ‘Kaoem Mardiak’, gelar ‘bangsawan’menjadi kehilangan auranya. Diuntungkan oleh situasi ini,inteligensia menemukan momentum untuk mengkonsolidasikankomunitas-komunitas mereka sendiri secara terpisah dariaristokrasi lama. Dalam konteks ini, mereka mulai mempertanya -kan identifikasi terdahulu mereka dengan kode ‘bangsawanpikiran’. Seperti yang dinyatakan oleh seorang komentatordalam koran Sinar Djawa (No. 52, 4 Maret 1914):

Seiring dengan perkembangan waktu, tipe bangsawan baru telahlahir, yakni bangsawan pikiran. Namun jika bangsawan pikiranhanyalah kelanjutan dari bangsawan oesoel, maka perubahantak akan pernah terjadi dan tidak ada perhimpunan yang akanlahir. Namun jika wong cilik keluar dari lingkungan ras merekadan menolak untuk dieksploitasi oleh para bangsawan, makainilah awal dari pergerakan.124

Saat sinar dari istilah bangsawan pikiran mulai meredup,istilah baru yang lebih segar dan menggairahkan pun muncul.Inteligensia sekarang lebih suka melukiskan dirinya denganistilah-istilah yang menggelorakan semangat muda seperti ‘kaoemterpeladjar’, ‘pemoeda peladjar’, ‘pemoeda’, atau kata Belanda,‘jong’ (pemuda). Istilah-istilah tersebut dimunculkan oleh paraintelektual pendatang akhir dari generasi pertama, sepertiSatiman Wirjosadjojo (lahir tahun 1892, seorang pelajar STOVIA),dan mulai dipakai secara umum sebagai kode identitas bagi

Page 215: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 195

generasi kedua inteligensia, yang terutama terdiri dari merekayang pada umumnya lahir selama periode tahun 1900-1915.Dengan penemuan rubrik-rubrik atau kode-kode baru tersebut,semangat abstrak ‘kaoem moda’ terdahulu sekarang menjelmakandirinya dalam kelahiran generasi muda yang terdidik dan penuhsemangat.

Terekspos secara luas lebih terhadap bahasa Belanda sebagaikonsekuensi dari pendalaman proses ‘pem-Belanda-an’, inteligensiaini, terutama generasi yang lebih muda, terbiasa untuk membacaterbitan-terbitan berbahasa Belanda dan menulis dalam bahasaBelanda. Dalam proses ini, mereka mulai menemukan danmengadopsi istilah Belanda ‘intellectueel(en)’. Dalam pidatopenghormatan kepada almarhum Wahidin Sudiro Husodo,misalnya, Suwardi Surjaningrat menulis sebuah artikel berbahasaBelanda dalam Nederlandsch Indië Oud & New Intelektual(1916-1917), berisikan kalimat yang terjemahannya kira-kira:‘Tak banyak intellectueelen yang memiliki pengetahuan mengenainationale cultuur masyarakat Jawa seperti Dr. Soedirohoesodo’.

Pernyataan Surjaningrat tersebut mengindikasikan antara lainbahwa istilah intellectueelen yang dipakai pada periode historisini masih berasosiasi lebih dengan pemilikan pengetahuanketimbang dengan sebuah panggilan historis bagi liberasi politik.Jadi, isi historis dari istilah intellectueelen pada kurun waktu inimasih berelasi dengan istilah bangsawan pikiran atau pemoedapeladjar, yaitu memposisikan pengetahuan (kemadjoean) sebagaiparameter baru bagi status sosial. Namun, selain menunjukkankaitannya dengan pengetahuan, Surjaningrat juga telah meng -hubungkan istilah intellectueelen dengan pembangunan‘kebudayaan nasional’ (de nationale cultuur) dari masyarakatJawa. Ini mengindikasikan bahwa dekade kedua abad keduapuluhmerupakan titik-alih (turning point) dari wacana obsesif tentang

Page 216: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

196 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

kemadjoean menuju munculnya kesadaran proto-nasionalisme.Dengan kata lain, dekade itu merupakan fase transisional darigerakan-gerakan kultural ke politik.

Lahirnya Perhimpunan-Perhimpunan Proto-NasionalisPada titik transisi ini, gerakan-gerakan sosial inteligensia menjadiberaneka bentuk, merepresentasikan keragaman aliran kultural,arkeologi pengetahuan dan intensitas kesadaran politik, terutamasebagai reaksi terhadap politik segregasi sosial yang dikembangkanoleh kolonial. Secara kultural, gerakan-gerakan itu bolehjadimerepresentasikan keragaman kesadaran nasional etno-religius.Secara kognitif, gerakan-gerakan itu bolehjadi merefleksikanperbedaan derajat ekposur terhadap pendidikan dan peradabanmodern. Secara politiko-psikologis, gerakan-gerakan itu bolehjadimerupakan perpanjangan dari sikap progresif, moderat, dankonservatif. Ekspresi dari beragam gerakan ini dalam ruangpublik dimungkinkan dan juga dibatasi oleh struktur peluangpolitik yang ada, oleh pengaruh-pengaruh eksternal, dan jugaoleh dinamika internal dalam komunitas inteligensia.

Struktur peluang politik dari periode tersebut mencerminkankarakter idiosinkratik dari Gubernur Jenderal Idenburg. Di satusisi, dia adalah seorang pendukung gigih dari partai-partaiKristen yang darinya partai-partai tersebut mengharapkan banyakbantuan. Di sisi lain, dia juga adalah seorang pendukung kuatPolitik Etis, yang menyambut baik munculnya perhimpunan-perhimpunan pribumi yang bukan Kristen sekalipun.

Dalam tahun-tahun kepemimpinan Idenburg, kelompok-kelompok misi Kristen dengan cepat meluaskan aktivitas-aktivitasmereka di Hindia. Operasi-operasi mereka dalam ranah yang

Page 217: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 197

luas, seperti pendidikan, kemajuan kultural dan kesejahteraanekonomi di kalangan orang-orang pribumi mendapatkan bantuandari Negara. Pihak pemerintah memformulasikan beberapakebijakan untuk menerapkan prinsip-prinsip Kristen dalamkegiatan sehari-hari dan pemerintahan Hindia, seperti misalnya‘Sunday Circular’ (Sirkuler Hari Minggu) dan ‘Market Circular’(Sirkuler Pasar) (Van Niel 1970: 83-84).125 ‘Lampu hijau’ daripemerintah ini membantu menempa vitalitas dari usaha-usahapenyebarluasan agama Kristen.

Akan tetapi, apa yang membuat api kecemburuan menyaladan berubah menjadi bara ‘permusuhan’ ialah terjadinyaperbenturan antara intensifikasi dakwah Kristen dengan gelombangpasang gerakan reformasi Islam. Terinspirasi oleh ide-idereformisme-modernisme Islam dan Pan-Islamisme di TimurTengah, gelombang gerakan Islam yang telah mencapai Hindiasekitar peralihan abad itu kini telah menjelma menjadi gelombangpasang yang menggerakkan turbin kebangkitan Islam.

Selain aktivitas Kristen dan Islam, intensitas sentimen-sentimenkeagamaan di ruang publik Hindia menjadi memanas (overheated)oleh adanya kegiatan dakwah dari ordo-ordo spiritual dan sekte-sekte agama yang baru, seperti ‘Thesofische Vereeniging’(Perhimpunan Teosofi)126 dan Ahmadyah (Noer 1978: 242;Saidi 1990: 2-4). Pada dekade kedua dari abad keduapuluh,perhimpunan-perhimpunan keagamaan baru seperti ini secaraaktif merekrut para anggotanya dari segmen-segmen masyarakatkota yang tercerabut dari akarnya—mulai dari oang-orang Indoyang sedang mencari dukungan spiritual bagi proyek nasionalismemultikultural-nya, hingga para bangsawan Jawa yang menemukanmedium baru untuk mengartikulasikan mistisisme Jawa-nya,dan juga para anggota inteligensia yang mengalami alienasi.

Page 218: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

198 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Selain dari faktor-faktor di atas, yang juga menjadi penyebabsemakin memanasnya ruang publik dalam dekade tersebut ialahsemakin kuatnya rasa percaya diri orang-orang Hindia keturunanCina. Meningkatnya kesadaran-diri dan ekspektasi-ekspekstasisosial dari kalangan keturunan Cina ini didorong oleh kombinasiantara semakin menguatnya daya tawar ekonomi mereka dengansemakin majunya pendidikan mereka.127 Ketika revolusikemerdekaan Cina yang dipimpin Sun Yat-sen berlangsung diCina daratan pada tahun 1911, orang-orang keturunan Cina diHindia melihat even ini sebagai bukti dari bangkitnya kembalinegara Cina yang kuat dan modern, dan hal ini membantumelambungkan rasa percaya diri mereka. Tersebutlah bahwaorang-orang keturunan Cina sekarang berani mengatakan kepadakaum Boemipoetra bahwa republik Cina yang baru akan segeramengusir orang Belanda dan bahwa orang-orang keturunanCina akan menjadi penguasa dan tuan bagi orang-orangBoemipoetra. Kepongahan semacam ini memicu tumbuhnyasentimen-sentimen di kalangan pribumi yang mengarah padapenguatan kesadaran nasional (Shiraishi 1990: 35-38).

Yang terakhir namun juga penting, ruang publik dalam dekadetersebut juga memanas karena keterlibatan organisasi-organisasipolitik Belanda dalam urusan-urusan politik di Hindia. Yangpaling panting, dalam dekade inilah benih-benih Marxisme dankomunisme revolusioner mulai secara sistematis disemaikan dibumi Hindia. Sementara pada dekade pertama abad keduapuluhtelah muncul beberapa serikat buruh pegawai pemerintah yangdipimpin secara eksklusif oleh orang-orang Eropa,128 dalamdekade kedua ini, telah tiba beberapa propagandis Marxismedan Komunisme, terutama mantan aktivis dari Partai BuruhSosial Demokrat Belanda (SDAP) dan Partai Sosial DemokratBelanda (SDP). Pada tahun 1913, seorang pemimpin buruh

Page 219: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 199

Belanda yang masih muda dan terkemuka, Hendricus JosephusFransiscus Marie Sneevliet, tiba di Jawa dan segera bergabungdengan rekan-rekan sosialisnya, seperti D.M.G. Koch dan AdolfBaars dalam proyek untuk mengkomunikasikan pesan-pesanMarxis kepada massa terjajah.129

Di bawah bayang-bayang kesadaran sosial dan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing, beragam gerakan sosial tumbuhdan mengekspresikan heterogenitas habitus dan paradigmasosial. Heterogenitas ini mulai menciptakan benih perpecahandalam ruang publik Hindia, yang pada gilirannya akanmenyebabkan perpecahan dalam identitas kolektif inteligensia.Dengan kehadiran ‘pihak lain yang penting’ (significant others),setiap kelompok sekarang mulai mengaktifkan identitasnya yangkhas sebagai usaha pertahanan diri terhadap wacana dan aksi-aksi dari kelompok-kelompok yang lain.

Partai politik Hindia pertama yang riil dengan berasaskanmultikulturalisme berdiri di Semarang pada tanggal 5 Oktober1912, bernama Indische Partij (IP). Berawal dari Insulinde,sebuah perhimpunan berorientasi Indo (Eurasian) yang berdiripada tahun 1907, kemunculan partai ini pada awalnya dimotivasioleh adanya perasaan dislokasi sosial komunitas Indo sebagaiakibat segregasi sosial yang ada dalam struktur kolonial. Meskipunsecara teoretis orang-orang Indo-Eropa sederajat dengan orang-orang yang berdarah murni Eropa, dalam kenyataannya terdapatbenturan kepentingan antara kaum blijvers (penduduk tetap)dengan kaum trekkers (penduduk sementara), dan dalam beberapahal, kaum blijvers lebih dekat dengan kaum Boemipoetraketimbang dengan kaum trekkers (Furnivall 1944: 244). Yangmembuat komunitas Indo (Eurasian) menjadi lebih radikal dalamdekade ini ialah karena meningkatnya komunitas eksklusif orang-orang Eropa, serta adanya ancaman ekonomi dari semakin

Page 220: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

200 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

meningkatnya jumlah kaum Boemipoetra terdidik yang bisadipekerjakan dengan gaji yang lebih murah, sehingga mengancamkesempatan kerja kaum Indo di pasar kerja. Dipimpin olehseorang jurnalis Indo, E.F.E. Douwes Dekker, yang merupakankeponakan jauh Multatuli, kaum Indo berusaha untuk mengatasikondisi-kondisi yang tidak menguntungkan itu denganmengupayakan suatu aliansi antara orang-orang Indo dan orang-orang Hindia pribumi yang terdidik untuk memperjuangkankesederajatan hak dengan para penduduk keturunan Eropa.Dalam usahanya ini, mereka mulai mempromosikan ‘nasionalismeHindia’ yang mengidealkan suatu identitas bersama berdasarkankriteria kewargaan (kependudukan) Hindia ketimbang atas dasarkriteria etnik atau agama. Padanan kultural (keagamaan) dariusaha tersebut ialah Perhimpunan Teosofi yang memiliki pengaruhyang luar biasa dalam lingkaran orang-orang Hindia yangteralienasi (McVey 1965: 18; Van Niel 1970: 63).

Tokoh-tokoh utama dari generasi pertama inteligensia pribumiyang bergabung dengan IP antara lain ialah Tjipto Mangunkusumodan Suwardi Surjaningrat. Bersama dengan pemimpin IP, DouwesDekker, mereka terkenal sebagai ‘tiga serangkai’ yang mampumenciptakan partai itu sebagai organisasi non-Eropa yang palingradikal dan maju secara politik, paling tidak pada paruh pertamadekade kedua abad keduapuluh. Karena khawatir akan potensiradikalismenya serta efek bola salju yang ditimbulkannya terhadapgerakan-gerakan pribumi yang ada, Gubernur Jenderal Idenburgmelarang partai ini dan memenjarakan ketiga pemimpinnyapada tahun 1913, meski terdapat dukungan buat mereka daripara pemimpin SDAP yang berkeberatan dengan kebijakanpemerintah kolonial yang memberangus hak-hak sipil mereka.Kejadian ini agak ironis, karena IP sesungguhnya kesulitanuntuk merekrut massa Hindia sebagai anggotanya mengingat

Page 221: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 201

adanya rasa ketidakpercayan yang berakar-panjang di kalanganMuslim pribumi terhadap komunitas Indo-Eropa (McVey 1965:18-19). Setelah pembubaran partai ini pada tahun 1913,perjuangan partai tersebut dilanjutkan di bawah bendera lama,Insulinde, sampai kemudian namanya diubah menjadi NationaalIndische Partij (NIP) pada tahun 1919 (Pringgodigdo 1964: 22).

Sementara perhimpunan-perhimpunan yang lebih progresiftelah lahir, sebuah perhimpunan lama yang berasal dari dekadesebelumnya, yaitu Budi Utomo (BU), menampilkan dirinyasebagai perhimpunan yang moderat. Kelompok radikal yangdipimpin oleh Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningratkeluar dari BU pada tahun 1909, karena penilaiannya bahwaperhimpunan ini telah menjadi terlalu konservatif. Ironisnya,apa yang dipandang terlalu konservatif di mata kaum radikal,dianggap terlalu radikal bagi kebanyakan Bupati yang konservatif.Para bupati ini kemudian juga mengundurkan diri dariperhimpunan tersebut dan mendirikan Regentenbond(Perhimpunan Bupati) pada tahun 1913 yang bertujuan untukmencapai otonomi lokal yang lebih besar dan pengakuan yanglebih besar terhadap posisi tradisional mereka. Setelah keluarnyakedua kelompok ini, BU didominasi oleh kaoem moeda yangberorientasi adat seperti Radjiman Wediodiningrat (1879-1951)dan Mas Ngabei Dwijosewojo (Van Niel 1970: 61-62). Dibawah kepemimpinan tipe inteligensia ini, BU lebih mendukungmisi untuk mencapai kemajuan kultural dalam kerangkanasionalisme Jawa, dan mempertahankan mistisisme Jawa sebagaifokus keagamaan yang utama. Meski sebagai organisasi yang[relatif] ‘tak populer’ (elitis), BU tetap menjadi rumah utamabagi inteligensia yang berpendidikan paling tinggi dalam dekadetersebut. Tak heran ketika ‘Dewan Rakyat’ (Volksraad) yangdisponsori pemerintah terbentuk pada tahun 1918, para wakil

Page 222: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

202 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

pribumi dalam Dewan itu sangat banyak yang berasal dariorganisasi ini. Dalam periode pertama (1918-1921), BU mendudukienam dari sepuluh kursi untuk kalangan pribumi yang terpilihmenjadi anggota Dewan plus satu wakil hasil penunjukan (Suradi1997: 15-16).130

Sebuah pergeseran besar dalam perkembangan historis BUdilakukan oleh Satiman Wirjosandjojo.131 Setelah menyelesaikanstudinya di STOVIA pada tahun 1914, anak dari seorangpedagang Muslim yang taat dari Surakarta ini tak betah dengankesempitan BU yang gagal menerobos batas-batas etnosentrismeJawa. Kegagalan BU ini menjadikan orang-orang yang berasaldari kelompok-kelompok etnik yang berbeda, seperti orang-orang Sunda, merasa menjadi orang asing dalam perhimpunantersebut. Pada tahun 1914, orang-orang Sunda ini mendirikanperhimpunan mereka sendiri, yaitu ‘Pagujuban Pasundan’ dengankantor pusatnya di Bandung dan Tasikmalaya (Blumburger1931: 38-39). Satiman juga menentang garis keturunan sebagaikriteria untuk bisa masuk ke dalam kelompok pemimpinmasyarakat Hindia dan lebih menyukai kualifikasi-kualifikasipendidikan sebagai kriteria baru. Karenanya, dia mengusulkanpembentukan sebuah perhimpunan ‘pemoeda-peladjar’ yangdarinya para anggota muda BU bisa direkrut. Perhimpunantersebut kemudian didirikan pada tahun 1915 yang pada awalnyabernama Bond van Studeerenden van Java en Madoera, ‘TriKoro Darmo’ (Tiga Tujuan Luhur).132 Setelah kongres-nya yangpertama di Surakarta pada tahun 1918, perhimpunan itu diubahnamanya dengan menggunakan frase bahasa Belanda, Jong Java(Pemuda Jawa), dengan tujuan untuk lebih bisa merekrutkeanggotaan dari pelajar-pelajar Sunda dan Madura. Tujuandasar dari perhimpunan ini ialah untuk menyatukan para pelajarpribumi di sekolah-sekolah menengah dan institusi-institusi

Page 223: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 203

kejuruan; untuk memperluas pengetahuan umum para anggotanya,dan untuk membangkitkan rasa persaudaraan di antara semuabahasa dan budaya di Hindia (Poerbopranoto 1981: 23-26).Dalam kenyataannya, perhimpunan pelajar seperti itu tak bisamenghindar dari para penunggang kepentingan. Perhimpunanitu dengan segera menjadi sebuah medan pertarungan pengaruhterutama antara kalangan priyayi konservatif, misi-misi Kristendan para dai reformis-modernis Islam, untuk tidak menyebutkanmisionaris-misionaris proyek sekularisasi dari politik ‘asosiasi-etis’ kolonial.

Keberadaan Jong Java membangkitan kesadaran baru bagipara pelajar dari latar etnik dan agama yang berbeda akanidentitas mereka sendiri. Manifestasi dari adanya kesadaran itutampak pada munculnya beragam perhimpunan pemoeda-peladjardengan mengikuti garis etnis dan agama mereka sendiri sepertiJong Sumatranen Bond (1917), Jong Celebes (1918), JongMinahasa (1918), Sekar Rukun (1919) dan beberapa lainnya.Kelahiran dari beragam perhimpunan pemoeda-peladjar itusemakin menambah sifat keragaman dari kesadaran proto-nasional di Hindia.

Berbarengan dengan munculnya perhimpunan-perhimpunanpemuda, para propagandis Marxisme/komunisme meresponsadanya ketegangan dalam ruang publik dengan membentukperhimpunan-perhimpunan kiri. Pemacu dari kelahiranperhimpunan-perhimpunan yang memiliki program yang radikalitu ialah Sneevliet. Dimulai dengan kampanye sosialisme lewataktivitas-aktivitas jurnalistiknya dan keterlibatannya dalam serikatburuh pekerja kereta api (VSTP), Sneevliet melangkah lebihjauh dengan mengorganisir sebuah pertemuan yang diikuti olehenampuluh orang-orang sosial demokrat di Surabaya pada 9Mei 1914. Pertemuan ini menghasilkan pembentukan Indische

Page 224: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

204 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) sebagai embrio dariapa yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia. Dalamperkembangan lebih lanjut, ISDV mengembangkan kecenderungan-kecenderungan revolusioner yang menyebabkan elemen-elemensosialis yang lebih moderat di bawah kepemimpinan Ch. C.Cramer memisahkan diri dan membentuk Partai Sosial DemokratHindia sebagai cabang dari SDAP di negeri Belanda (Furnivall1944: 248).

Meskipun para anggota ISDV, dan juga ISDP, paling tidakuntuk beberapa tahun mendatang hampir sepenuhnya terdiridari orang-orang Belanda, namun ideologi Marxisme/Leninismeyang mereka tanamkan di Hindia mulai mempengaruhi wacanapublik dan mendorong lahirnya sebuah kelompok inteligensiasosialis/komunis pribumi. Selanjutnya, perhimpunan sosialisHindia yang pertama, yaitu ‘Sama Rata Hindia Bergerak’ didirikandi Surabaya pada tahun 1917 di bawah inisiatif Adolf Baars.Perhimpunan ini hanya memiliki anggota sebanyak 120 orangdan sekitar setahun kemudian menghilang dari gelanggangpublik (McVey 1965: 17-18). Kolaps-nya kelompok sosialisHindia yang pertama ini sama sekali tidak mematikan pengaruhdari komunisme yang disponsori ISDV. Senjata yang paling kuattelah dikembangkan oleh ISDV pada masa itu, yaitu strategi‘blok dalam’ (block within), yaitu strategi dimana para kaderkomunis masuk organisasi tertentu atau gerakan massa tertentudan berusaha untuk merebut kendali kepemimpinan atas organisasiitu dari dalam (McVey 1965: 21-22).

Pendirian perhimpunan-perhimpunan kiri di Hindia itumenggoda kelompok-kelompok politik yang lain di negeriBelanda untuk melakukan hal yang sama. Tampilnya ISDVdengan segera disaingi dengan berdirinya Nederlandsch IndischeVrijzinnige Bond (NIVB, Perhimpunan Liberal) pada akhir tahun

Page 225: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 205

1916. Perhimpunan ini memiliki hubungan dengan kaum Liberalmoderat di negeri Belanda dan didirikan dengan tujuan untukmenyatukan kalangan progresif yang moderat dari semua ras.Selanjutnya, sebagai perlawanan terhadap operasi partai-partaisekuler ini di Hindia, berdirilah Christelijke Ethische Partij(Partai Etis Krtisten, CEP) dan Indische Katholieke Partij (PartaiKatholik Hindia, IKP) masing-masing pada tahun 1917 dan1918. Keduanya merepresentasikan cabang-cabang utama dariPartai Kristen Belanda. Tujuan dari CEP dan IKP ialah untukmempromosikan otonomi yang lebih luas dari Hindia, namundengan tetap memiliki ‘asosiasi’ yang kuat dengan negeri Belanda,serta untuk menjadikan Kristen sebagai basis ideologi negara.Selain semua partai di atas, muncul pula Politiek EconomischeBond (Perhimpuhan Ekonomi Politik, PEB) pada tahun 1919yang memiliki hubungan dengan Vriejheidsbond di negeri Belanda.Memiliki dasar yang sama dengan CEP dan IKP dalam kerangkapromosi otonomi Hindia di bawah kebijakan ‘asosiasi’, PEBsangat mengkritik apa yang mereka anggap sebagai kecenderunganyang terlalu progresif dari Politik Etis (Pringgodigdo 1964: 25-26; Furnivall 1944: 248). Semua organisasi ini merekrutkeanggotaan campuran yang terdiri dari kaum blijvers, kaumtrekkers, orang-orang Timur asing , dan para elit Hindia.133

Namun, perkembangan paling penting dari bangkitnyakesadaran proto-nasionalis di kalangan pribumi ini ialah munculnyaSarekat Islam (SI) pada tahun 1912. Perhimpunan ini didirikanoleh H. Samanhudi (1880 [?]-1856), seorang pedagang batiklokal yang berlatar belakang Sekolah Pribumi Kelas Dua (TweedeKlasse School), dan yang dibantu oleh Tirto Adhi Surjo dalammerumuskan statuta perhimpunan itu. Berawal dari SarekatDagang Islam (SDI) yang muncul di Surakarta pada tahun 1911,perhimpunan ini pada mulanya memang menyerupai SDI

Page 226: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

206 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

terdahulu yang berpusat di Bogor dalam tujuannya untukmembela para pedagang Muslim lokal, terutama dalammenghadapi para pesaing keturunan Cina dalam industri batikdi Jawa Tengah.

Lahirnya SI (SDI) merupakan titik yang menentukan (watershed)dalam perkembangan ide kebangsaan Islam sebagai bentukproto-nasionalisme. Untuk pertama kalinya, kata ‘Islam’ searaeksplisit digunakan sebagai nama sebuah perhimpunan, yangmengindikasikan bahwa Islam sekarang telah diaktifkan sebagaibasis identitas kolektif dan sebagai sebuah ideologi bagi gerakan-gerakan (proto) nasionalis. Sebagai perhimpunan yang tumbuhdari lingkaran Kaoem Mardika, perhimpunan ini merepresentasikanmeluasnya gerakan kemadjoen melampaui milieu priyayi.Kelahirannya di sekitar ibukota kerajaan Surakarta menandaiberubahnya pusat gerakan-gerakan Islam dari daerah-daerahpedesaan ke kota. Kepemimpinannya yang dipegang oleh parapedagang dan kemudian inteligensia mencerminkan adanyatransformasi kepemimpinan politik Islam dari ulama kharismatikkepada bukan ulama (Kuntowidjojo 2001: 9).

Bangkitnya kembali kelas pedagang pribumi perkotaan inidengan segera menarik banyak inteligensia progresif dari generaripertama yang mengalami alienasi. Maka, tokoh-tokoh radikalterkemuka, seperti Suwardi Surjaningrat,134 bersama denganpara aktivis progresif lainnya, seperti Abdul Muis, H.O.S.Tjokroaminoto dan R.M. Surjopranoto (adik Suwardi Surjaningrat)segera bergabung dengan SI. Bagi beberapa tokoh progresif darikalangan inteligensia yang kritis terhadap bangsawan tua dantak ingin bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial, lahirnyakesadaran sosio-politik dari Kaoem Mardika dalam komunitasMuslim menyediakan medan sosial baru untuk menanamkanideologi-ideologi dan aksi-aksi historis yang baru. Seperti yang

Page 227: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 207

pernah dinyatakan oleh George Rude, sejauh gerakan sosialapapun harus memiliki sebuah ideologi agar sanggup melakukanmobilisasi sosial, maka ideologi ini hanya bisa dicerap secaraefektif jika memang ditanam pada lahan yang telah dipersiapkansebelumnya (Rude 1970: 28-30). Rangkaian panjangpemberontakan pribumi di bawah bendera Islam pada abad-abad sebelumnya, yang diikuti oleh tumbuhnya kesadaran sosio-politik dalam klub-klub dan perhimpunan-perhimpunan Islamyang baru, menjadi lahan subur bagi penanaman sebuah ideologibaru yang memang dibutuhkan untuk bisa memobilisasi gerakan-gerakan proto-nasionalisme. Karena alasan-alasan inilah,terbentuknya SI sungguh menjanjikan harapan bagi tokoh-tokohradikal yang progresif.

Lebih dari itu, fakta bahwa Surakarta dengan ikatannyayang kuat dengan kehidupan tradisi Jawa telah menjadi lokasibagi semakin besarnya aktivitas-aktivitas misionaris Kristen,memiliki arti bahwa kaum Muslim yang taat tertarik memasukiSI sebagai sebuah medium bagi Islam untuk melakukan perlawananbalik. Kalangan priyayi rendahan yang cenderung menentangsikap konservatif para Bupati dan rezim istana di Surakarta jugamelihat SI sebagai sebuah medium bagi aktualisasi-diri. Sementara,banyak kaum tradisionalis yang merasa kecewa dengan programWesternisasi yang digagas oleh inteligensia muda BU melihat SIsebagai sebuah kendaraan baru bagi tujuan-tujuan mereka (VanNiel 1970: 91; McVey 1965: 10-11).

Menghadapi perkembangan yang begitu cepat dan heterogennyakeanggotaan, SI dengan segera direorganisir dan kepemimpinannyasecara gradual bergeser dari para pedagang batik kepadainteligensia yang terdidik secara Barat. Jadi, setelah tahun 1914,peran Samanhudi merosot dan digantikan oleh Tjokroaminotoyang mendapatkan dukungan dari beberapa anggota inteligensia

Page 228: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

208 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

yang lain. Selain Tjokroaminoto, para intelektual lain yangmenjadi pemimpin-pemimpin SI yang terkemuka pada faseformatifnya (1912-1916) ialah R. Gunawan (seorang lulusanOSVIA yang meninggalkan pekerjaannya di pemerintahankolonial untuk mejadi seorang jurnalis), Abdul Muis (seorangbekas siswa STOVIA yang meninggalkan pekerjaannya dipemerintahan kolonial untuk menjadi seorang jurnalis), R.MSurjopranoto (seorang lulusan OSVIA dan Landbouwschoolyang meninggalkan pekerjaannya di istana Paku Alam danpekerjaannya di pabrik gula swasta untuk menjadi seorangaktivis buruh), R. Hasan Djajadiningrat (seorang lulusan HBSyang lebih memilih menjadi seorang pekerja sosial), dan AgusSalim (seorang lulusan HBS yang meninggalkan pekerjaannyadi dalam pemerintahan untuk menjadi seorang pendidik).

Mengenai latar belakang pendidikan dan agama dari parapemimpin SI ini, Van Niel menyimpulkan bahwa di antara parapemimpin SI awal (termasuk nama-nama yang disebutkan diatas), ‘hampir tak satu pun dari mereka yang berasal dari segmenmasyarakat Indonesia yang berpendidikan terbaik,’ dan ‘taksatu pun dari mereka yang berasal dari keluarga-keluarga santri’(Van Niel 1970: 113). Padahal, HBS, OSVIA, STOVIA danLandbouwschool merupakan institusi-intitusi pendidikan tertinggi(terbaik) yang ada di Hindia hingga akhir tahun 1910-an. Jugatelah disebutkan bahwa Tjokroaminoto dan Agus Salim berasaldari keluarga-keluarga santri (lihat catatan kaki 46 bab ini).Selain itu, keluarga Abdul Muis ternyata memiliki ikatan yangdekat dengan keluarga Salim dan dengan Achmad Khatib (Noer1980: 122). Para pemimpin dengan latar belakang ulama sepertiM.H. Abdulpatah, A. Achmad Sadjeli, Said Hasan bin Semit,K.H. Achmad Dachlan, H. Achmad Hasan Zaeni jelas berasaldari keluarga-keluarga santri.135 Jadi yang benar ialah, hanya

Page 229: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 209

sedikit dari segmen masyarakat Hindia yang berpendidikanterbaik yang bergabung dengan SI, karena sebagian besarinteligensia ini telah menjadi sekuler. Para anggota dari segmenini yang bergabung dengan SI justru kebanyakan berasal darikeluarga-keluarga santri.

Di bawah kepemimpinan inteligensia, SI yang pada awalnyamenekankan pada pemberdayaan para pedagang Muslim bergeserpada advokasi umum terhadap hak-hak ekonomi dan sosio-politik dari masyarakat pribumi secara luas dalam kerangka-kerja sebuah gerakan sosial yang terorganisir secara longgar.Pergeseran ini ditandai dengan pernyataan Tjokroaminoto padatanggal 26 Juli 1915 bahwa ‘de Islam is de godsdienst van dearmen en de verdrukten’ (Islam adalah agamanya kaum miskindan yang ditindas). Terinspirasi oleh pernyataan ini, SI mulaimengadopsi sebuah ideologi populis sehingga jumlah anggotanyabertambah semakin cepat (Koentowidjojo 2001: 10). Pada tahun1919, SI mengklaim memiliki anggota sebanyak dua juta diseluruh Hindia,136 dan memiliki jumlah anggota terbesar diantara semua perhimpunan yang ada pada masa itu.

Ranah pengaruh SI mulai mencakup khalayak massa yanglebih luas sebagai konsekuensi dari meningkatnya kekacauan-kekacauan sosial di Hindia. Selama dekade-dekade perang,perubahan-perubahan sosial dan perkembangan tekno-ekonomiyang cepat, yang berkelindan dengan pendalaman penetrasiekonomi uang hingga ke daerah terpencil mengacaukan kehidupandesa dan rasa kententraman, diikuti dengan kegagalan kelaspenguasa tradisional untuk menawarkan kepemimpinan yangmumpuni bagi masyarakat (McVey 1965: 8-9). Dalam kondisi-kondisi kritis semacam itu, Islam bisa mengisi jurang antaracara-cara lama dan baru. Dalam kata-kata Fred R. Von derMmehden (1963: 9): ‘Islam menghadirkan sebuah entitas yang

Page 230: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

210 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

mudah dipahami yang dengan itu banyak orang merasa bisamenyatukan kembali tatanan sosial yang terpecah-belah’. Bagisebagian besar orang yang merasa tercerabut dari kondisi sosialtersebut, kesadaran baru mereka tentang Islam itu barangkalitak ada hubungannya dengan mazhab-mazhab pemikiran Muslimatau dengan ideologi reformisme-modenrisme Islam yang baru.Daya tarik utama dari Islam buat mereka tampaknya berakarpada ingatan kolektif tentang pemberontakan-pemberontakanIslam, baik dalam perjuangannya melawan sistem kasta Hinduberabad-abad sebelumnya ataupun untuk menentang sistemkasta kolonial yang lebih mutakhir (Wertheim 1956: 205).

Namun, hingga taraf tertentu, nilai-nilai reformisme-modernisme Islam telah berperanan dalam memperbesar jumlahanggota SI di Hindia dan dalam bangkitnya kesadaran proto-nasional. Penekanan kaum reformis dan modernis padaindividualisme dan rasionalisme dalam sebuah masyarakat yanghirarkhis, feodal, parokial dan didominasi orang asing di Hindiasangat kondusif bagi penciptaan suatu fantasi pertatutan sosialbaru. Seperti yang dinyatakan dengan baik oleh von der Mehden(1963: 17): ‘...Identifikasi individu dengan nilai-nilai nasionalpertama-tama mengharuskan diruntuhkannya tatanan sosialpedesaan dan daerah yang partikularistik, feodal dan seringkalibersifat hirarkhis.’ Tatanan hierarkhi tradisional ini dilemahkanlebih lanjut oleh penekanan kaum reformis-modernis akankesederajatan manusia. Fakta bahwa kepemimpinan SarekatIslam terutama terdiri atas orang-orang yang berlatar modernistmengindikasikan adanya kesesuaian antara nilai-nilai reformis-modernis dengan semangat kesadaran proto-nasionalis.

Dengan kemampuannya untuk menyentuh pluralitas kondisimanusia, kehadiran SI merepresentasikan suatu aspirasi sosio-politik yang multi-lingual. SI dengan segera menjadi perhimpunan

Page 231: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 211

pribumi pertama yang memiliki cakupan seluas Hindia, yangberoperasi dengan ideologi nasionalis yang umum namun denganwarna agama (Wertheim 1985: 85). Tjokroaminoto dalampidatonya di depan Kongres Nasional SI di Bandung (17 Juni1916) menyatakan: ‘Kita mencintai bangsa kita dan dengankekuatan dari agama kita (Islam), kita harus berjuang untuk bisamempersatukan semua atau setidaknya mayoritas rakyat kita’(Tjokroaminoto 1981: 14). Kata ‘Islam’ dalam nama perhimpunanitu merupakan penanda dari kepribumian, seperti halnya asosiasikata Kristen dengan orang Belanda atau Konfusius dengan orangketurunan Cina (Shiraishi 1990: 43).137 Seperti yang ditulis olehMcVey (1965: 10): ‘Saat konsep tentang sebuah bangsa Indonesiabelum lagi ada—dan ide ini memang secara umum belumdimiliki oleh masyarakat di Hindia pada masa itu, Islam tampilsebagai sumber persatuan dalam penentangan terhadap kekuasaanasing’ (McVey 1965: 10). Hal itu bukan hanya karena mayoritaspenduduk Hindia itu Muslim, namun juga karena fakta bahwaIslam di Hindia sejak lama telah menjadi seruan pemersatu bagiperlawanan-perlawanan pribumi.

Meskipun tak bisa dipungkiri bahwa SI memang memilikidaya tarik internalnya sendiri, ledakan perkembangan perhimpunanini dimungkinkan oleh adanya struktur peluang politik yangtersedia pada masa itu. Dukungan politik bagi kelangsunganhidup perhimpunan tersebut datang dari pihak penguasatradisional maupun kolonial. Keberadaan SI mendapatkan restudari istana Surakarta setelah Pangeran Hangabehi diangkatmenjadi penasehat SI (Koentowidjojo 2001: 9). Sementara itu,tidak seperti mayoritas besar penduduk Eropa di Hindia yangmenganggap fenomena SI sebagai kekuatan penganggu, GubernurJenderal Idenburg melihatnya sebagai representasi kebangkitanrakyat yang merupakan sasaran dari Politik Etis. Dikatakannya,

Page 232: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

212 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

‘Karena itu’, katanya, ‘kita harus menyambut kehadiran SIdengan baik meskipun hal itu sangat berat buat kita. Kitamenginginkan hal itu—paling tidak, itulah yang pernah kitakatakan—dan kita sendiri yang mendorong kelahirannya lewatproses pendidikan kita’ (McVey 1965: 12). Dia begitu yakindengan optimismenya, dan keyakinan ini dijustifikasi oleh adanyafakta bahwa SI pada masa-masa awal pembentukannya menyatakankesetiaannya tanpa syarat kepada rezim pemerintah kolonialBelanda. Tjokroaminoto, pada pidatonya di depan kongres SIdi Surakarta pada tahun 1913 menyatakan bahwa SI ‘bukanlahpartai politik, dan bukan sebuah partai yang meninginkanrevolusi’ (Korver 1985: 56).

Mengenai respons positif Gubernur Jenderal itu terhadap SI,seorang radikal Belanda, Mr. Fromberg, membandingkan halitu dengan sikap seorang tokoh terkenal dalam novel AlphonseDaudet, Tartarin de Tarascon (Werheim 1995: 84). Diamelukiskannya sebagai berikut:

Tartarin kembali dari Afrika Utara ke desa asalnya Tarascon diProvence, dan orang-orang sedesanya ternganga melihatnya: dibelakang Tartarin, berjalan seekor unta dengan tali kekang yangdipegang Tartarin. Terhadap setiap orang yang bertanya: ‘Apakahunta itu milikmu?’, dia menjawab dengan rasa bangga: ‘Ya,unta ini milikku.’ Namun beberapa saat kemudian, unta ituberlari liar dan mulai berperilaku buruk dengan merusak ladang-ladang jagung, dan para penduduk desa sekali lagi bertanya:‘Tartarin, apakah itu untamu?’, dia melemparkan batu ke untaitu, sambil menjawab: ‘Oh, bukan, sama sekali bukan!’

Perilaku Tartarin dalam kisah tersebut serupa dengan perlakuanIdenbug terhadap SI. Dia dengan bangganya menjadi patron

Page 233: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 213

bagi SI pada masa-masa awal. Namun, begitu gerakan itu mulaidi luar kendali, para pejabat Belanda mulai menterjemahkan SIsebagai ‘Salah Idenburg’.

Para anggota SI mulai menunjukkan kecenderungan-kecenderunagn radikalnya pada paruh kedua dekade tersebut.Mereka memobilisasi pemogokan-pemogokan buruh danmelakukan penyerangan secara sporadis terhadap pangreh pardja.Setelah tahun 1916, SI menyebut rapat tahunannya sebagai‘Kongres Nasional’. Menurut Tjokroaminoto, ‘hal ini dimaksudkanuntuk membangkitkan kesadaran rakyat untuk bergerak ke levelnatie (bangsa), yang bisa dicapai secara perlahan lewat perjuanganmenuntut pemerintahan sendiri, atau paling tidak hak untukbersuara dalam urusan-urusan politik’ (Noer 1980: 126). Namun,baru pada tahun 1924, SI bergeser dari politik kooperasi menjadipolitik non-kooperasi yang ditandai dengan penarikan diri SIdari Volksraad.

Eskalasi radikalisme SI bukan hanya merupakan responsterhadap eksploitasi kolonial-cum-kapitalis. Eskalasi itu jugadipengaruhi oleh meningkatnya ketegangan dalam ruang publikyang terjadi sebagai akibat dari pertarungan persaingan internalmaupun eksternal. Dengan pengaruhnya yang massif, SI menjadisebuah ‘daratan yang menggoda’ (island of temptation) bagipara oportunis politik. Di antara mereka itu ialah para pemimpinISDV yang dengan cepat melihat SI sebagai sebuah lahanpersemaian yang potensial bagi penyemaian ideologi Marxis-Leninis. Cabang-cabang SI di kota-kota yang dinamis (dengantingkat urbanisasi dan proletarianisme yang cepat) sepertiSemarang, Jakarta, Surakarta, dan Surabaya dengan segeraterinflitrasi oleh strategi ‘blok dalam’. Para pemimpin cabang SIseperti Semaun dan Darsono (Semarang), Alimin dan Muso(Batavia), dan H. Misbach (Solo) dengan cepat tertarik pada

Page 234: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

214 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

ajaran komunisme. Cabang Semarang merupakan yang palingterinflitrasi, sehingga membuat Semaun dan Darsono bergabungdengan ISDV pada tahun 1917. Di bawah pengaruh Marxisme-komunisme, para pemuda radikal mulai mengkritik politikkooperatif SI dan menyerukan kepada para pemimpin SI untukmengambil jalur yang lebih radikal. Krititisisme mereka mem -bangkitkan beberapa reaksi. Yang pertama, SI merespons kritik-kritik itu dengan mengembangkan program-program yang lebihradikal. Yang kedua, menyadari adanya gerak penyusupan dari‘pihak luar’ ke dalam SI, para pemimpin SI yang lain se pertiAgus Salim dan Abdul Muis mulai menghidupkan Islam se bagaisebuah kounter-ideologi dan satu-satunya identitas dari SI.

Konsolidasi identitas Islam bagi SI diperkuat dengan adanyahubungan penuh konflik dengan para anggota dari perhimpunan-perhimpunan yang lain. Perbedaan dalam aliran kultural dankepentingan serta persaingan untuk merekrut anggota-anggotabaru seringkali melahirkan pertempuran wacana dalam ruangpublik. Sebagai beberapa contoh: seorang pemimpin BU, RadjimanWediodiningrat menulis dalam De Indische Gids (1914: 65-66)yang meragukan keampuhan agama sebagai kekuatan kohesifbagi sebuah gerakan massa. Dia memprediksikan bahwa SI‘hanyalah gerakan sementara saja dari para haji, santri danorang-orang bodoh’. Karena Islam diidentifikasi sebagai identitaskolektif SI, suatu segmen luas dari anggota SI bereaksi terhadappendefinisian negatif terhadap Islam seperti itu. Maka, ketikakoran Surakarta, Djawi Hisworo memuat artikel-artikel karanganMartodharsono dan Djojodikoro (9 & 11/01/1918) yangmenggambarkan Nabi Muhammad sebagai seorang pemabukdan pengisap candu, pihak SI dengan segera bereaksi denganmendirikan Tentara Pembela Kanjeng Nabi Muhammad. Menyusulreaksi berlebihan ini, para pendukung koran dan etno-nasionalisme

Page 235: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 215

Jawa menuduh SI telah mempolitisasi agama dan dengan segeramendirikan Comité voor het Javaansche Nationalisme yangmenerbitkan sebuah pamflet yang menyerang fanatisme Islam.Muis menolak sebutan tersebut dan menyatakan bahwa SI tetapkonsisten dengan karakternya sebagai sebuah organisasi‘nationalistisch Islamistisch’ (nasionalis-Islamis) (Ricklefs 1993:176; Noer 1980: 143-144).

Seorang teoretikus wacana, Diane Macdonell, menyatakan(1995: 43): ‘Wacana itu sama sekali jauh dari ketenangan;mereka saling berbenturan satu sama lain.’ Sebagai suatupertahanan dalam melawan wacana pihak-pihak lain (Others),terutama pada saat para anggota dari kelompok itu sadar bahwamereka telah didefinisikan secara negatif, pada saat inilah,sebuah identitas kolektif menemukan momen penempaannyalewat mobilisasi sumber-sumber daya sejarah dan budaya. Dengancara ini, meminjam frase Stuart Hall (1997: 4), ‘Identitas-identitas terkonstruk dalam, bukan di luar, wacana, dan karenanyakita harus memahami mereka sebagai produk dari formasi-formasi diskursif tertentu yang berlangsung dalam lokasi-lokasihistoris dan institusional yang spesifik lewat strategi-strategipengucapan yang spesifik pula’. Dengan kata lain, kecenderunganradikalisme atau fanatisme sebagai struktur kognitif dari sebuahgerakan sosial tertentu tampaknya menjadi produk dari sederetankomunikasi sosial, yang terjadi dalam sebuah gerakan, antargerakan, dan bahkan antara sebuah gerakan dengan lawannya.Begitu struktur kognitif ini mengemuka dalam ruang publik, halini bisa menjadi sebuah model baru dan membuka sebuah ruangbaru bagi gerakan-gerakan sosial selanjutnya dalam konteks-konteks sosio-historis yang berbeda. Jadi, meningkatnya radikalismeSI menjadi tumpuan bagi gerakan-gerakan intelektual Hindiaselanjutnya.

Page 236: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

216 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Kelahiran Pers dan Karya-Karya Sastra Proto-NasionalisPertumbuhan dari beragam perhimpunan dan meningkatnyapengekspresian kesadaran proto-nasional pada gilirannyamengubah karakter pers sebagai domain lain dari ruang publik.Semakin tingginya kesadaran pribumi telah memacu perkembanganpers vernakular yang dikelola pribumi dan menempatkan persyang tidak dikelola oleh pribumi pada situasi yang sulit. Sementarapers berbahasa Cina masih bertahan hidup dengan bergantungpada pembaca-pembaca peranakan Cina, koran-koran berbahasaMelayu yang dieditori orang-orang Indo-Eropa dan yang dimilikiorang Belanda menjadi semakin terasing dari publik, atau jikatidak, terpaksa harus menyesuaikan kembali kebijakan-kebijakandan gaya-gaya reportase mereka agar bisa merespons secaralebih baik perubahan mood dari ruang publik. Namun, strategiini tak bisa bertahan lama. Dalam merespons bangkitnyakesadaran baru dari para pembaca pribuminya, banyak perspernakular milik orang Belanda yang harus mengakui betapacepatnya semuanya berubah dan mereka pun terpaksa harustutup. Sejak awal dekade kedua abad ke-20 (Oktober 1911),koran Selompret Melajoe, yang merupakan salah satu Koranpaling populer pada abad ke-19, berhenti terbit. Selanjutnya,lebih banyak lagi koran-koran kecil milik Indo-Eropa yanglenyap dari peredaran, dan pada akhir tahun 1913 bahkankoran-koran yang pernah populer dan agak pro-pribumi sepertiTaman Sari dan Pembrita Betawi mengalami kesulitan-kesulitankarena mereka tak lagi bisa bersaing dengan koran-koran baruyang dikelola para pribumi. Sementara itu, beberapa penerbitketurunan Cina, yang menyadari adanya perubahan mood sosio-politik dalam ruang publik, mulai menjual mesin dan alat-alatpercetakan mereka. Saat pers non-pribumi secara gradual lenyap,

Page 237: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 217

koran-koran dan majalah-majalah yang dikelola para pribumimulai menjamur (Adam 1995: 175-176).

Di tengah-tengah merosotnya pers-pers vernakular non-pribumi, pemerintah kolonial sempat memperkenalkan jenispublikasi yang lain yang disponsori pemerintah, yaitu mendirikansebuah ‘rumah penerbitan buku’, yang akan memiliki dampakyang signifikan terhadap perkembangan kepenulisan dalamsejarah Hindia di kemudian hari. Pada tahun 1908, pemerintahmembentuk sebuah komisi untuk memberikan saran bagipenyediaan bahan bacaan bagi kaum pribumi dan sekolah-sekolah pribumi. Proyek ini, menurut Maier, merupakan bagiandari usaha tak kenal lelah dari pemerintah kolonial untukmemperkokoh bahasa Melayu tinggi ‘yang benar’ denganmemisahkannya dari ‘heteroglossia’ bahasa Melayu pasar. Selainitu, kebijakan ini bisa juga ditafsirkan sebagai upaya kolonialBelanda untuk mengembangkan etika, estetika dan politikkepustakaan yang disetujui pemerintah kolonial (Sen dan Hill2000: 22). Pada tahun 1911, komisi ini menyerahkan laporannyayang didusul oleh penerbitan awal (dengan bantuan komisitersebut) beberapa cerita daerah dan legenda, serta terjemahan-terjemahan dari kesusastraan Eropa klasik seperti The ThreeMusketeers dan The Count of Monte Cristo (Johns 1979: 32).Pada tahun 1917, rumah penerbitan yang mendapat bantuandari komisi tersebut diberi nama Balai Pustaka (BP).

Apapun agenda tersembunyi dari komisi tersebut, yang jelaskeberadaan BP berperan penting dalam penyediaan bahan-bahanbacaan yang murah bagi khalayak umum di Hindia. Selain itu,dalam pandangan para kritikus sastra, A Teeuw, lahirnya novelmodern Indonesia dan popularitasnya sangat dimungkinkanoleh keberadaan dari Balai Pustaka. Bahkan kebanyakan pujangganasional dari dekade selanjutnya merupakan mantan pegawai,

Page 238: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

218 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

entah untuk jangka waktu lama atau sebentar, dari BP. Ataupaling tidak beberapa karya mereka pernah diterbitkan BP.Kesusatraan BP pada tahun-tahun permulaan pendiriannya masihberkarakter ‘apolitis’. Hal ini memiliki arti bahwa yang menjadiisu-isu politik kontemporer belum lagi terekspresikan dalambegitu banyak terbitan BP, entah karena kurangnya fasilitasataupun karena kuatnya sarana-sarana preventif dan represifdari pemerintah kolonial (Teeuw 1986: 14-15). Makna pentingdari rumah penerbitan (buku) yang disponsori pemerintah inipada kurun waktu itu adalah dalam fungsinya sebagai medanpermagangan bagi para anggota inteligensia untuk meniruaktivitas kesusastraan Barat. Proses peniruan ini membuka jalanbagi keterpautan literati Hindia ke dalam semangat universal‘Respublica litteraria’ (Republik Para Pujangga).

Sementara kesusastraan BP masih bersifat apolitis, sebuahgenre kesusastraan politik menemukan medium ekspresinyadalam koran-koran dan majalah-majalah vernakular dalambentuk literatur serial. Contoh-contoh dari genre novel politikyang diterbitkan dalam dekade tersebut ialah Student Hidjokarya Mas Marco Kartodikromo, dan Hikajat Kadiroen karyaSemaun. Sementara karya yang pertama diterbitkan dalam koranSinar Hindia Semarang pada tahun 1918, karya yang keduaditerbitkan oleh koran yang sama pada tahun 1920. StudentHidjo pada dasarnya merupakan kisah tentang seorang pribumiHindia yang belajar di negeri Belanda dan terlibat hubunganasmara dengan seorang gadis Belanda. Namun, pada akhirnya,dia berpisah dengan gadis itu secara terhormat dan kembali keHindia dimana dia menikah dengan seorang gadis pribumiHindia. Hikajat Kadiroen—yang ditulis saat penulisnya beradadi penjara karena dakwaan presdelict pada tahun 1919—berceritamengenai seorang intelektual muda yang brilyan (yaitu Kadiroen)

Page 239: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 219

yang mengalami promosi yang cepat dalam pemerintahan(kolonial) pribumi. Meski demikian, karena rasa frustasinyasaat melihat adanya jurang antara ideal-idealnya dengandiskriminasi yang ada serta penderitaan rakyat yang disaksikannya,dia berubah menjadi seorang komunis. Dimuatnya dua ceritabersambung dalam koran tersebut mencerminkan peran penitingdari pers vernakular dalam menyuarakan bahasa nasionalisme.

Perubahan dalam ranah-media bukan hanya perubahankepemilikan media dan aktivitas-aktivtas jurnalistik dari kalangannon-pribumi kepada kalangan pribumi, namun juga mengubahkarakter dan isi dari materi yang diterbitkan. Berbeda daridekade-dekade sebelumnya ketika pers kebanyakan masih dikelolasebagai sebuah usaha swasta, pers-pers vernakular baru sekarangkebanyakan dikelola sebagai corong atau organ dari perhimpunan-perhimpunan tertentu.138

Meskipun karakteristik utama dari pers vernakular padadekade tersebut adalah sebagai corong bagi perhimpunan-perhimpunan tertentu, kebanyakan pers memiliki titik temudalam membentuk wacana dan agenda baru bagi publik, yaitudalam menekankan isu-isu yang mempengaruhi kesejahteraanumum rakyat kecil dan dalam memelopori munculnya kesadaranakan keharusan ‘persatuan nasional’ di kalangan rakyat pribumiyang dijajah pemerintah kolonial Belanda. Sementara kepentingan-kepentingan dari perhimpunan-perhimpunan ini dalam periodeini masih tetap terfokus dalam batas-batas rasial, etno-religiusatau ideologi, pers telah mulia berinisiatif membangun apa yangkemudian bisa disebut sebagai ‘blok historis’ (historical bloc)dalam artian Gramsci.139

Dengan perluasan ruang publik (yaitu perhimpunan-perhimpunan dan pers proto-nasionalis) yang melampaui batas

Page 240: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

220 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

spasial milieu priyayi dan bahkan komunitas inteligensia, paraintelektual organik kini memiliki ranah mediasi yangmemungkinkan mereka menyebarluaskan ide-idenya. Mengikutijejak langkah dari ulama-intelek, para intelektual organik yangprogresif dari generasi pertama inteligensia mulai menjalinkontak dengan massa rakyat. Massa di sini bisa digambarkansebagai kolektivitas dari kelompok-kelompok solidaritas kultural(aliran) dalam artian Geertz (1960), atau ‘kelas’ dalam artianMarxis-Leninis (1977), atau ‘kaum muda’ dalam peristilahanOrtega y Gasset.140

Maka, pada akhir tahun 1910-an, para intelektual darigenerasi pertama inteligensia telah berhasil dalam menjalinkomunikasi dengan massa rakyat. Sementara, audiens dari paraintelektual generasi kedua masih terbatas pada rekan sesamapelajarnya. Fungsi politik dari generasi kedua inteligensia padatahap ini ialah menjadi publik utama bagi generasi pertama.Dengan kata lain, generasi inteligensia yang lebih awal menjadimodel (intelektual) bagi generasi inteligensia yang lebih kemudian.

KesimpulanAda begitu banyak pelajaran sejarah yang bisa ditimba daridrama kehidupan Hindia antara akhir abad ke-19 hingga duadekade pertama abad ke-20. Dengan memutar kembali ‘film’dari peristiwa-peristiwa kritis dalam periode ini, kita bisamenyaksikan warna-warni dan kontradiksi dari karakter manusia.Penjajah ‘yang beradab’ tak akan bisa memperoleh justifikasitanpa memperadabkan rakyat yang terjajah. Kebijakan-kebijakanyang diskriminatif malah melahirkan reaksi-reaksi yang padagilirannya melumpuhkan kebijakan-kebijakan tersebut. Penjajahpada saat yang bersamaan bisa menjadi pelindung. ‘Musuh’ bisa

Page 241: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 221

juga berfungsi sebagai sumber inspirasi. Kekuatan hegemonikmenciptakan konter-hegemonik. Tak ada konsep diri dan identitasindividu tanpa kehadiran pihak lain yang penting (significantlyothers). Dan dalam pergaulan dengan pihak-pihak lain (others),identitas mengalami perubahan dan transformasi yang radikal.

Jika dilihat dalam gerak lambat, jelas bahwa tokoh utamadari drama historis ini ialah inteligensia dan ulama-intelek.Bentuk pembelajaran sosial dan praktik-praktik simbolis dalamruang publik berfungsi sebagai sebuah latar sosial dimana didalamnya inteligensia dan ulama-intelek mengorganisir danmengorganisir-ulang universum simbolik dan struktur kognitifdalam perjuangan mereka untuk menyejarah.

Dengan peningkatan modal kultural yang mereka miliki,perubahan relasi-relasi ekonomi, dan kesempatan-kesempatanyang dimungkinkan oleh struktur peluang politik yang ada,tokoh-tokoh kemadjoean sanggup menciptakan identitas dankomunitas kolektif mereka sendiri, dan mengambil jarak darikaum bangsawan tua. Dalam fase formatif, mereka mulaimendekonstruksi ‘bangsawan oesoel’ dengan cara mengkonstruk‘bangsawan pikiran’ bersamaan dengan upaya untuk menciptakansebuah komunitas bangsawan pikiran tersendiri yang kemudiandikenal sebagai kaoem moeda. Dalam proses pembentukan ini,mereka mulai membentuk ruang publik di bawah patronasepara bangsawan tua. Sampai dekade pertama abad ke-20, ruangpublik ini masih terbatas pada lingkaran-lingkaran priyayi dananggota-anggota komunitas inteligensia. Sementara khalayakumum, dalam artian massa yang lebih luas, masih tetap, di matainteligensia yang baru ini, bersifat anonim, tak berbentuk danmerupakan pihak ketiga yang acuh tak acuh.

Saat memasuki tahun 1910-an, kelahiran kaoem moeda Islam

Page 242: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

222 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

dan kemunculan kaoem mardika bertanggungjawab dalamperluasan ruang publik sehingga menjangkau konstituen yanglebih luas. Hampir bersamaan dengan itu, kemunculan generasiyang lebih baru dari inteligensia memunculkan hasrat dalamdiri inteligensia itu untuk membedakan diri mereka dari kalanganbangsawan dengan membentuk kode baru, yaitu kaoem terpeladjaratau pemoeda-peladjar atau jong. Perkembangan ini mendorongtrasnformasi ruang publik yang bergerak menjauh dari orbitbangsawan tua.

Dalam pergaulan mereka dengan publik yang lebih luas darimassa yang ‘bisu’, tak terdidik dan terasing, inteligensia mendapatidiri mereka sebagai sebuah golongan sosial tersendiri yangterinspirasi untuk mengabdi kepada ‘bangsa’—apapun pemaknaanmereka atas istilah ‘bangsa’ tersebut. Mission sacrée tersebutdiarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum, menyediakanpendidikan politik, dan meletakkan standar-standar moral untukmenentang penjajahan orang asing. Dalam interaksi merekadengan khalayak luas, gagasan abstrak mengenai kemadjoeansecara berangsur-angsur berubah menjadi semangat proto-nasionalisme. Pada kurun waktu ini, barangkali masuk akaluntuk menggambarkan inteligensia Hindia dalam kerangka apayang disebut oleh Karl Mannheim (mengikuti Alfred Weber)sebagai ‘freischwebende intelligents’ (inteligensia yang mengambangbebas). Yaitu kelompok-kelompok sosial dalam setiap masyarakatyang memiliki tugas khusus untuk menghadirkan sebuahinterpretasi mengenai dunia bagi masyarakat tersebut (Mannheim1936: 10). Jadi, menjelang akhir dekade kedua abad ke-20,para intelektual organik dari generasi pertama inteligensia telahmembentangkan jalan bagi peran yang spesifik dari intelektualsebagai seorang pendidik publik.

Ternyata, meskipun bersatu di bawah obsesi bersama untuk

Page 243: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 223

mencapai kemadjoean, para anggota kaoem moeda bervariasidalam topangan kultural dan ekonominya untukmengimplementasikan jalan kemadjoean itu. Maka, muncullahkaoem moeda yang berorientasi sekuler, kaoem moeda yangberorientasi adat, dan kaoem moeda yang berorientasi Islam,yang berkontribusi dalam menciptakan ‘aneka suara’ (poliphony)dari ruang publik Hindia. Aneka suara tersebut menjadi semakinramai karena peluberan pertarungan persaingan ideologi dinegeri Belanda ke dalam ruang publik Hindia berbarengandengan semakin menguatnya semangat orang-orang keturunanCina untuk menegaskan identitas diri mereka, intensifikasirevivalisme keagamaan dan aktivitas-aktivitas misionaris, introduksibentuk-bentuk spiritualisme yang baru, dan kian menguatnyarasa ketidakpuasan dari orang-orang Indo-Eropa.

Polivalensi ruang publik ini pada gilirannya turut memberikankontribusi terhadap pertumbuhan kesadaran proto-nasionalis.Dalam pada itu, semakin intensifnya pertentangan wacanamendorong terbentuknya identitas-identitas kolektif yang berdirisendiri-sendiri. Jadi, muncullah prototip nasionalisme Hindia,nasionalisme yang didasarkan pada asosiasi Hindia dan negeriBelanda, nasionalisme etnik (Jawa), dan nasionalisme Islam,dimana yang terakhir ini, pada tahap ini, tampaknya merupakanyang paling berpengaruh.

Namun, meski terdapat heterogenitas dan konflik, terdapatbeberapa landasan bersama dan faktor pemersatu. Paling tidakterdapat dua faktor yang bisa diidentifikasi. Yang pertama ialahadanya titik temu dalam agenda publik yang berpusat pada isukemadjoean, kesejahteraan umum dan pentingnya persatuannasional yang dibangun oleh wacana-wacana dalam persvernakular. Yang kedua ialah adanya afiliasi (keanggotaan)berganda (multiple affiliations) yang berfungsi sebagai jembatan

Page 244: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

224 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

di antara perhimpunan-perhimpunan.

Karena kebanyakan gerakan proto-nasionalis pada masa itutidak bermula sebagai partai-partai politik yang terstruktur,namun lebih sebagai gerakan-gerakan sosial yang terorganisirsecara longgar, maka menjadi sebuah kelaziman bagi paraindividu pada masa itu untuk menjadi anggota dari dua ataulebih perhimpunan secara bersamaan. Jadi, individu sepertiSuwardi Surjaningrat adalah anggota BU, dan kemudian merupakananggota SI dan IP. Achmad Dachlan adalah anggota BU, DjamiatChair, SI dan Muhammadiyah. Agus Salim mula-mula menjadianggota NIVB dan ISDP dan kemudian juga menjadi anggota SIdan Muhammadiyah. Dwijosewojo adalah pemimpin BU sertapendukung kuat Muhammadiyah. Sementara Semaun adalahanggota SI dan juga ISDV.

Lewat afiliasi berganda itu, para aktivis dari gerakan-gerakanproto-nasionalis menciptakan jembatan-jembatan di antaraperhimpunan-perhimpunan yang ada sehingga memudahkansirkulasi informasi, agenda-agenda dan sumber daya. Hal initampaknya memfasilitasi pembentukan aliansi-aliansi strategisseperti Radical Concentratie dalam Volksraad pada tahun 1918.Blok ini terdiri dari perwakilan sosialis Eropa (ISDP), Insulinde(penerus IP), SI dan BU, yang berorientasi pada usaha untukmencapai konsesi-konsesi lebih jauh bagi terciptanya pemerintahansendiri dan liberalisasi proses pemerintahan di Hindia. Potensifusi dari berbagai posisi subyek inteligensia inilah yang menjadikatalis bagi terciptanya ‘blok historis’ dalam dekade-dekadeberikutnya.[]

Page 245: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 225

Catatan:1 Dikutip dari Hikayat Abdullah, yang diterjemahkan oleh A.H. Hill (1970: 63, 162).2 Dikutip dari N. Kauppi (1996: 99).3 Bintang Hindia No. 1/1902, seperti yang dikutip oleh Adam (1995: 102-103). 4 Istilah clerisy di sini merujuk pada sebuah kelompok sosial yang anggota-anggotanya

dengan berbagai cara memandang dirinya sebagai ‘orang-orang terpelajar’ (men oflearning) dengan sebutan seperti docti, eruditi, savants, gelehrten, ulama, atau ‘parapenulis’ (men of letters) dengan sebutan seperti literati, hommes de letters, pujangga.Untuk penjelasan lebih jauh mengenai istilah tersebut, lihat Gellner (1988: 70-71) danBurke (2000: 19-20).

5 Demikian juga dengan jalan pengetahuan menuju India yang diwarisi para bikuHindu/Buddha.

6 Desakan ini berhasil meloloskan Hukum Agraria dan Hukum Gula (Sugar Law) padatahun 1870, yang menjamin hak-hak kepemilikan dan operasi perusahaan swasta.Pencapaian ini dipercepat oleh perbaikan dalam sistem komunikasi: yaitu diperkenalkannyatelegraf kepada publik pada tahun 1856, diresmikannya jasa pos modern pada tahun1862, instalasi jalur kereta api dan kapal uap pada tahun 1967, selesainya pembangunanTerusan Suez pada tahun 1869, dan beroperasinya perusahaan perkapalan Belanda,Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) sejak tahun 1888, baik untuk pelayaraninternasional maupun domestik (Furnivall 1944: 174-175; Lombard 1996a: 12; ACampo 1994).

7 Perusahaan-perusahaan/perkebunan-perkebunan swasta menuntut adanya irigasi bagilahan perkebunan mereka, jalur kereta api bagi hasil produksi dan transportasi mereka,fasilitas-fasilitas kesehatan bagi keluarga-keluarga dan kuli-kuli mereka, sekolah-sekolahdan pendidikan keterampilan bagi anak-anak mereka, bawahan, dan staf mereka, dansebagainya (Furnivall 1994: 175).

8 Multatuli merupakan nama samaran dari pengeritik kolonialisme yang terkenal EdwardDouwes Dekker (1820-1887). Tiba di Batavia pada tahun 1839, jabatan tertinggi yangdicapainya dalam pemerintahan kolonial ialah Asisten Residen Lebak (Jawa Barat)sekitar pertengahan tahun 1850-an. Pada bulan Maret 1856, dia diberhentikan darijabatannya setelah dia menuduh para Bupati Jawa melakukan korupsi. Denganmenggunakan nama samaran ‘Multatuli’ (yang berarti ‘Aku telah banyak menderita’),dia kemudian menerbitkan dalam bahasa Belanda sebuah novel otobiografi yangterkenal, Max Havelaar (1860). Novel ini berisikan sebuah kritikan yang sangat tajamterhadap ketidakadilan-ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial, danjuga kekejaman dan korupsi yang dilakukan oleh kelas penguasa pribumi Jawa yangterkooptasi Belanda, sehingga novel itu menimbulkan kegemparan dan membantumerangsang munculnya gerakan untuk reformasi di Hindia (Anderson 1979: 229).

9 ‘Kaum Romanis’ (Romanists) merujuk pada para anggota atau pengikut Gereja Roma.10 Frase ‘Hutang Budi’ (Een Eereschuld) pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Th. Van

Deventer dalam majalah De Gids pada bulan Agustus 1899. Pada awalnya, dia adalahseorang Liberal—dari Mazhab Multatuli—dengan tendensi sosialis. Ketika Sosialismemasih belum menjadi sesuatu yang terhormat, dan posisi mayoritas masih kokohdipegang oleh kaum Liberal, dia bergabung dengan Partai Liberal karena kepeduliannyaterhadap kesejahteraan moral dan material dari kaum Pribumi. Setelah menghabiskan

Page 246: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

226 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

beberapa waktu sebagai seorang pengacara di Semarang (Jawa), saat kembali ke Belandapada tahun 1897, dia bergabung dengan Partai Demokrat Radikal dan mulai berkampanyebukan hanya dalam mendukung negeri jajahan yang melarat, namun juga dalammengupayakan pemisahan antara keuangan negeri induk dan negeri jajahan. Inimembuatnya digelari sebagai ‘bapak dari gerakan Etis’ (Furnivall 1944: 230-231; VanNiel 1960: 31-34).

11 Sang Ratu menyatakan bahwa ‘sebagai sebuah kekuasaan Kristen, Belanda di kepulauanHindia berkewajiban untuk memperbaiki aturan mengenai posisi legal dari kaumKristen pribumi, untuk memberikan dukungan secara kokoh kepada misi-misi Kristen,dan untuk menanamkan kesadaran bahwa Belanda memiliki sebuah tugas moral yangharus dipenuhi terhadap rakyat di negeri jajahan itu yang harus diwujudkan dalamsetiap tindakan pemerintah’ (Adam, 1995: 91).

12 Trilogi istilah ini diperkenalkan oleh Van Deventer untuk menjelaskan Politik Etis.13 Kantor ini, yang akan bermetamorfosis menjadi Shūmubu (Kantor Urusan Agama)

selama masa pendudukan Jepang, mungkin bisa dianggap sebagai pendahulu dan pionirdari Departemen Agama Indonesia (Steenbrink 1993: 88).

14 Contoh-contoh dari miskonsepsi-miskonsepsi ini, menurut Snouck, ialah adanya persepsimengenai adanya tatanan kependetaan dalam Islam, dan ancaman dari apa yang disebutsebagai ‘para pendeta’ dan ‘para paus’ Islam di Hindia.

15 VOC merupakan singkatan dari Vereenigde Oost Indische Compagnie.16 Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC, karena mismanajemen dan ‘bangkrut’, secara

resmi diambil alih, beserta segenap yang dimilikinya, hutang (sebesar 140 juta gulden),dan propertinya oleh Republik Batavia di bawah jurisdiksi pemerintahan pusat di negeriBelanda (Adam 1985: 4; Nieuwenhuys 1999: 1-5).

17 Sebagian besar dari teritori Indonesia saat ini ialah wilayah-wilayah yang pernahditaklukkan oleh Belanda pada paruh kedua abad ke-19. Beberapa kerajaan bahkantidak berhasil ditaklukkan sampai dekade pertama abad ke-20. Untuk menguasai Aceh,dibutuhkan peperangan habis-habisan selama 30 tahun (1873-1904), sementara kerajaan-kerajaan yang lain seperti Bali Selatan dan Bone (Sulawesi Selatan), baru ditaklukkanpada tahun 1906. Juga patut dicatat bahwa beberapa dari pulau yang ditaklukkan ituada yang diperintah secara langsung, dan ada pula yang diperintah secara tidak langsung(Nieuwenhuys 1999: 1-5; Anderson 1991: 11; Dick 2002:2).

18 Perasaan superioritas ini hadir bersejalan dengan asumsi evolusi sosial yang dianut kuatoleh orang Eropa saat itu: bahwa saat masyarakat modern pasang, kepercayaan danketaatan keagamaan akan surut. Di bawah terang asumsi ini, pihak kolonial melihatbahwa campur tangan yang berlebihan dalam persoalan-persoalan (keagamaan) kaumpribumi akan bisa bersifat kontra-produktif karena hal itu bukan saja bisa memicupemberontakan kaum pribumi, namun juga bisa menghalangi proses evolusi sosial. Disisi lain, terdapat optimisme yang berlebihan bahwa kesuksesan proses Kristenisasi diHindia akan bisa memecahkan problem kaum Pribumi dengan gangguan Islamnya(Lombard 1996a: 96; Suminto 1996: 9-14).

19 Terinspirasi oleh semangat Pencerahan, yang menekankan pada pemisahan antarapendidikan dan agama, sebuah sekolah dasar Eropa didirikan di Weltevreden (sekarangMenteng), Jakarta, pada bulan Februari 1817 , yang diikuti dengan berdirinya sekolah-sekolah dasar yang lain di Jawa maupun di luar Jawa.

Page 247: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 227

20 Kebun Raya di Buitenzorg (Bogor) dan institut-institut yang terkait dengannya didirikanpada tahun 1817, dan diikuti beberapa saat kemudian dengan berdirinya PerhimpunanIlmu-ilmu Alam Hindia (Natuurkundige Vereeniging in Nederlandsch-Indië, yang berdiripada tahun 1850). Sementara itu, Sociëteit yang paling eksklusif, yaitu Harmonieberdiri di Weltevreden pada tahun 1815 yang diikuti dengan berdirinya Concordia dikota yang sama (berdiri tahun 1830), De Vereeniging di Yogyakarta (berdiri tahun 1822)dan beberapa yang lainnya di Surabaya dan Bandung. Kelahiran dari institusi-institusiini bersamaan dengan munculnya media massa dan jurnal-jurnal ilmiah Belanda (baikyang diterbitkan di Hindia maupun yang diimpor dari Eropa), serta juga tumbuhnyaperpustakaan klub-klub sosial menjadikan komunitas Eropa memiliki wawasan informasiyang baik dan mampu menyebarluaskan hasil-hasil karya intelektual dan saintifik duniaBarat (Lombard 1996a: 83-85).

21 Selama Perang ‘Napoleon’, para pejabat kolonial Belanda menyerahkan teritorinyakepada Inggris ‘dengan tujuan untuk menjauhkannya dari tangan Prancis’ (Ricklefs,1993: 112). Kekuasaan sementara Inggris di Indonesia dijalankan di bawah kepemimpinanGubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles (1811-1816).

22 Awal dari hadirnya misionaris di kepulauan Hindia ini berakar pada ambisi dari DewanDirektur VOC untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan spiritual para pegawai VOC,dan sekaligus untuk mengkonter pengaruh dari Katolik dan Islam. Baru setelah memilikijemaat yang lebih besar, para misionaris itu mulai mewujudkan semacam mission sacréedengan mengelola lembaga-lembaga pendidikan di Hindia. Ini dilakukan terutamauntuk mengatasi problem pengajaran Injil dan persoalan keagamaan (religious catechism)kepada para jemaat baru dari kalangan pribumi Hindia dan peranakan Cina, ataubahkan anak-anak dari peranakan Eropa yang tidak terlalu menguasai bahasa Belanda(Maier 1993: 57-59; Adam 1995: 5-7).

23 Pada kurun waktu ini, aktivitas-aktivitas independen dari perkumpulan-perkumpulanmisionaris asing berkembang pesat di negara-negara Barat sejak awal abad kesembilanbelas. Di negeri Belanda, tonggak awal perkembangan ini adalah terbentuknyaNederlandsch Zendelingen Genootschaap (Mayarakat Misionaris Belanda) pada tahun1797, dan usaha-usahanya di Hindia telah dimulai pada tahun 1820-an (Jones 1976:23). Selanjutnya, beberapa perkumpulan misionaris lain yang beroperasi di Nusantaradi bawah bendera Serikat Misionaris Reformis Belanda (Dutch Reformed MissionaryUnion) menjadi serikat misionaris yang paling penting (Steenbrink 1993: 98; Coppel1986: 16).

24 Sebelum kedatangan Belanda dan misi-misi Protestan, orang-orang Portugis telahmelakukan usaha-usaha konversi keagamaan para penduduk dari pulau-pulau bagiantimur kepulauan Nusantara dan mendidiknya dalam iman Katolik. Dalam upaya itu,mereka merintis pendirian sekolah-sekolah misionaris, seperti seminari Katolik diTernate pada tahun 1537. Dengan datangnya misi-misi Protestan ke wilayah Hindia,misi-misi Katolik menjadi terbatasi aktivitasnya sampai kemudian kegiatan merekadiakui untuk pertama kalinya di bawah Gubernur Jenderal Herman William Daendels(1808-1811). Aktivitas-aktivitas mereka tidak terbatas pada orang-orang Eropa, namunjuga pada komunitas-komunitas Hindia dari berbagai kelas dengan basis terkuatnya diFlores, Timor, dan Ambon—untuk tidak melupakan kehadirannya yang signifikan diJawa (Furnivall 1940: 218-219).

25 Pada mulanya beroperasi di kalangan orang-orang minoritas di bagian timur Hindia

Page 248: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

228 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

(seperti Maluku, Minahasa, dan Timor), sekolah-sekolah misi kemudian menyebar keTapanuli dan Nias-Mentawai (Sumatra Utara), bagian-bagian Kalimantan, Papua Barat,Sulawesi Tengah dan Selatan, serta bagian-bagian di Jawa. Jumlah dari sekolah-sekolahini secara perlahan meningkat, mencapai sekitar 8.400 pada tahun 1871 dan naikmenjadi 15.750 pada tahun 1892 (Jones 1976: 23-24; Coppel 1986).

26 Tidak seperti India di bawah penjajahan Inggris yang memiliki tradisi pemerintahansecara langsung dan mengabaikan, paling tidak secara teori, perbedaan-perbedaanrasial, di Hindia, praktik pemerintahan dicirikan oleh adanya sistem berganda yangmengkombinasikan antara kekuasaan langsung dan tidak langsung dan secara sengajamempertahankan pemisahan rasial. Maka, di samping ada Kantor Pemerintahan Sipiluntuk Kaum Pribumi, ada pula Kantor Pemerintahan Sipil untuk Orang Eropa (Furnivall1944: 175, 251).

27 Sedari awal, pihak Belanda sadar akan ketidaksanggupan aparatur negara represif untukmempertahankan kontrol menyeluruh atas negeri kepulauan yang sangat luas itu denganjumlah tentara kolonial yang terbatas. Untuk mengkompensasi keterbatasan itu, senjata-senjata ‘hegemonik’ (yang bersifat simbolik) dalam artian Gramsci dibutuhkan untukmengkonstrukan otoritas moral yang memposisikan orang-orang Eropa ‘beradab’ diatas kaum pribumi. Sebagian dari strategi ini ialah dengan melestarikan segregasi danperbedaan-perbedaan etnis, kultur dan bahasa. Pihak Belanda mencoba untukmenumbuhkan kepercayaan dalam diri subyek-subyek jajahan bahwa mereka itu inferiorsehingga menjadikan kekuasaan dominasi Belanda akan lebih mudah dicapai. MenurutH.M.J. Maier (1993: 41), contoh dari mitos tentang ‘ras kulit putih’ yang diajarkansecara penuh semangat oleh pemerintahan kolonial sejak bagian terakhir dari abad ke-19 ialah mitos tentang zakelijkheid-nya Belanda. Meminjam kata-kata Benedict Anderson(1966: 17), istilah tersebut bisa digambarkan sebagai ‘sebuah mistik dari superioritasrasial yang bersifat bawaan, yang memancarkan sihir efisiensi dan misteri pengetahuan,memungkinkan Belanda untuk melestarikan kontrol yang secara total atas negerikepulauan yang sangat luas itu dengan tentara kolonial yang jumlahnya kurang dari40.000 orang.’

28 Atas dasar pasal 6 Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlandsch Indië (Garis-garis Besar Pelaksanaan Hukum untuk Hindia) yang dikeluarkan tahun 1848, pendudukHindia diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori yang berbeda. Yang pertama, orang-orang Eropa dan yang secara resmi diperlakukan setara dengan orang-orang Eropa—yaitu semua orang pribumi (Boemipoetra) yang beragama Kristen. Yang kedua ialahkaum Boemipoetra dan mereka yang diperlakukan setara dengan kaum Boemipoetra,yaitu orang-orang Arab, Moor, Cina, dan semua penganut Muslim dan penganut agamalainnya (Simbolon, 1995: 128:129). Dalam praktiknya, klasifikasi ini menjadi lebihrumit lagi. Terdapat beberapa sub-stratum untuk setiap kategori sosial. Dalam kelompokkategori yang secara teoretis dianggap sebagai setara dengan orang Eropa, masih adatingkatan-tingkatan hirarki: yaitu mereka yang berdarah Eropa murni berada di tingkatanteratas, orang-orang Eurasia (Indo) berada di tengah, dan kaum pribumi yang beragamaKristen di lapis bawah. Situasi yang sama juga berlaku pada kelompok kategoriBoemipoetra sesuai dengan kedekatan individu pada simbol-simbol kekuasaan danotoritas politik. Hirarki itu berkisar dari kaum terpandang (priyayi kelas atas, bangsawan);para pegawai pada keluarga-keluarga Eropa dan Boemipoetra yang terkemuka; kemudianpriyayi-priyayi kecil ataupun para pegawai pemerintah yang rendahan dan keluarga-

Page 249: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 229

keluarga kaya, dan yang terakhir para petani kecil, pedagang kecil dan orang-orangbiasa lainnya (Van Niel 1970: 22).

29 Setelah terjadinya beberapa pemberontakan, terutama Perang Jawa (1825-1830) danPerang Paderi (11821-1838), pihak Belanda melakukan upaya untuk membatasi pengaruhdari para penganut Islam yang fanatik dalam ranah kekuasaan lokal dengan mengkooptasidan mengubah kelas penguasa tradisional, yaitu priyayi (seperti para bupati di Jawa,penghulu di Minangkabau dan uleëbalang di Aceh) menjadi fungsi-fungsi subordinatdalam pemerintahan sipil pribumi (Pangreh Pradja). Keluarga-keluarga priyayi diperbolehkanuntuk berpartisipasi dalam bentuk yang lebih rendah dari peradaban tuan kolonialnya(Lombard 1996a: 103).

30 Pengaturan sekolah itu mencerminkan sikap dari Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen(1845-1851) yang melanjutkan kebijakan kolonial lama untuk menjaga agar kaumBoemipoetra tetap dengan adat tradisinya sendiri dan untuk menjaga agar bahasa kaumpenjajah dan yang terjajah tetap terpisah dan dikategorikan secara berbeda (Maier1993: 49).

31 Lama belajar di sekolah ini dibuah beberapa kali. Sejak awal berdiri hingga tahun 1863,sekolah itu merupakan kursus (vaksinasi) selama dua setengah tahun yang diperuntukkanbagi para siswa terpilih yang bisa berbahasa Melayu, dan menggunakan bahasa Melayusebagai bahasa pengantar pengajaran, dan kemudian lama pendidikannya diperpanjangmenjadi tiga tahun pada tahun 1864. Pada tahun 1875, diusulkan sebuah reformasiuntuk memperpanjang lama studinya menjadi lima tahun yang didahului dua tahunmasa persiapan (preparatory course) dan bahasa Belanda diperkenalkan sebagai bahasapengantar pengajaran pada tingkat tertentu. Kemudian, setelah tahun 1881, lama studipersiapannnya diubah menjadi tiga tahun, dan kemudian setelah tahun 1890, sekolahitu hanya dibuka untuk para lulusan ELS (Junge 1973: 3; Toer 1985: 21; Hadisutjipto1977: 29-33).

32 Pada awalnya, lama belajarnya dua tahun, dan umumnya bahasa Belanda dipergunakansebagai bahasa pengantar pengajaran. Pada tahun 1893, lama studi diperpanjang menjadilima tahun dan beberapa mata pelajaran baru seperti hukum ditambahkan untukmemenuhi kebutuhan-kebutuhan baru dalam pos-pos pemerintahan. Para siswa darisekolah-sekolah ini kebanyakan adalah anak-anak dari Bupati karena diasumsikanbahwa mereka akan menggantikan ayah mereka untuk menduduki pos-pos di KantorPemerintahan Sipil Pribumi (Sutherland 1979: 17; Van Niel 1970: 27; Ricklefs 1993:128).

33 Bahasa dan budaya Belanda menjadi semakin penting seiring dengan tumbuhnyaperusahaan-perusahaan swasta Eropa, perluasan birokrasi kolonial dan infrastrukturpendidikan, serta semakin cepatnya hubungan antara Eropa dan negeri jajahannya yangdifasilitasi oleh adanya kemajuan di bidang teknologi perkapalan dan dibukanya TerusanSuez pada tahun 1869. Perkembangan-perkembangan ini menyebabkan meningkatnyajumlah orang dari negeri jajahan yang menghabiskan cuti dan liburan mereka ke Eropa,serta juga aliran masuk para migran baru dari Eropa yang membawa bersama merekapara wanita kulit putih dengan misi ‘civilisatrice’ untuk mempertahankan kultur Eropayang superior. Semua ini turut menyumbang pada pudarnya bahasa Melayu dalamkehidupan formal di Hindia digantikan (secara parsial) oleh bahasa Belanda sejak tahun1900 (Maier 1993: 58-61).

34 Gubernur Jenderal, Van Heutsz, memandang peningkatan permintaan untuk memasuki

Page 250: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

230 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

ELS sebagai sesuatu yang berbahaya karena bisa menimbulkan beban-beban yang taktertanggulangi. Jumlah pendaftar dari kaum Pribumi dan Cina ke ELS telah mencapai17,8 persen dari total pelajar pada tahun 1914-1915 (Van der Veur 1969: 2).

35 Sebelum didirikannya HIS ini, pemerintah telah terlebih dahulu mendirikan sekolahdasar khusus bagi masyarakat keturunan Cina, yaitu Hollandsch-Chinese School (HCS)pada tahun 1908, dan sekolah dasar khusus bagi keluarga-keluarga raja lokal di seluruhnegeri kepulauan itu pada tahun 1910.

36 Secara teoretis, kategori ini mencakup pula anak-anak dari Bupati dan pejabat tinggiHindia lainnya sampai dengan tingkatan asisten-wedana. Kriteria bagi keluarga kayaialah mereka yang memiliki penghasilan per bulan sekitar fl. 100 yang pada saat itusetara dengan gaji seorang asisten-wedana (Van der Veur 1969: 29).

37 HBS bukan hanya terbatas jumlahnya, namun juga memiliki kriteria persyaratan masukyang ketat bagi anak-anak pribumi, bahkan bagi mereka yang telah memegang ijasahELS. Jumlah siswa pribumi yang mengikuti pendidikan di sekolah ini pada tahun 1905tak lebih dari 36 (Sutherland 1979: 46).

38 Sekolah itu didirikan dengan tujuan untuk menghasilkan para pegawai sipil yang lebihlayak, dan lama belajarnya lima tahun dengan menggunakan bahasa Belanda sebagaipengantar. Setelah tahun 1910, beberapa OSVIA baru dibuka, merefleksikan kecenderunganumum untuk menerima strata sosial yang lebih rendah sebagai muridnya (Sutherland1979: 54).

39 Setelah tahun 1904, para lulusan dari sekolah ini bisa masuk sekolah kedokteran dinegeri Belanda, yang lama studinya satu setengah tahun, dan setelah itu lulusannya akanbisa mendapatkan gelar Doktor Medis Eropa (Van der Veur 1969: 5; Van Niel 1970:52).

40 Dengan munculnya pendidikan untuk orang-orang desa dan berdirinya sekolah-sekolahbergaya Eropa yang baru, sekolah ini setelah tahun 1906 direorganisir dan dibagimenjadi dua kategori. Yang pertama ialah yang disebut sebagai normaalschool yangdidirikan untuk menghasilkan para guru untuk sekolah-sekolah berbahasa daerah. Yangkedua ialah sekolah Kweekschool yang untuk bisa memasukinya, terlebih dahulu haruslulus ELS (atau yang sederajat). Sekolah ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akanguru-guru bagi sekolah-sekolah bergaya Eropa pada level dasar dan bahkan menengahpertama yang akan muncul pada dekade berikutnya.

41 Termasuk diantaranya Middelbare Landbouwschool (Sekolah menengah pertanian,berdiri tahun 1903) dan Nederlandsch Indische Veeartsenijschool (sekolah mantri hewan,berdiri tahun 1907) di Bogor yang lama studinya empat tahun, Rechtschool (Sekolahmenengah hukum, berdiri tahun 1908) di Batavia, dan sekolah teknik, KoningenWilhelmina School (berdiri tahun 1906) di Batavia yang lama studinya lima tahun(Junge 1973: 58).

42 Dalam perhitungan Furnivall (1940: 251), jumlahnya 23, sementara menurut Van Niel(1970: 50) adalah 31.

43 Pada tahun 1900, jumlah pribumi yang mendaftar di sekolah-sekolah rakyat (vernacularschools) milik pemerintah dan swasta (Sekolah Pribumi Kelas Dua dan Volkschool) yangmenggunakan bahasa Melayu dan bahasa daerah dalam pengajarannya sebesar 98.173.Angka ini meningkat menjadi 303.868 pada tahun 1910. Pada saat yang bersamaan,jumlah pribumi yang bersekolah di sekolah-sekolah publik dan swasta pada sistem

Page 251: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 231

sekolah Eropa yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya adalahsebagai berikut. Untuk sekolah dasar (ELS, HIS, dan Speciale School), jumlahnya 2.441pada tahun 1900 dan meningkat menjadi 5.108 pada tahun 1910. Untuk sekolahmenengah umum (HBS), jumlahnya 13 pada tahun 1900 dan meningkat menjadi 50pada tahun 1910. Untuk sekolah-sekolah kejuruan, jumlahnya 376 pada tahun 1900dan meningkat menjadi 1.470 pada tahun 1910 (Van der Veur, 1969: 7, 11-11a).Sehingga jumlah total dari pribumi ‘yang terdidik secara modern’ (untuk semua jenisdan level sekolah) sekitar 101.003 pada tahun 1900 dan meningkat mencapai 310.496pada tahun 1910. Sebagai perbandingan, total penduduk Hindia pada tahun 1900adalah sebesar 40.150.000 (Elson 1997: 76-77).

44 Lihat bab berikutnya.45 Dalam buku The Religion of Java-nya Clifford Geertz (1960), tiga aliran (yang bersifat

sosio-kultural) didefinisikan sebagai berikut. Tradisi priyayi disebutkan merupakanideologi dari istana dan literati yang berorientasi pada pandangan dunia Hindu-Buddhadan Mistik Jawa. Tradisi abangan merupakan sebuah ideologi sinkretik dari kaum taniyang sangat dipengaruhi oleh animisme Jawa, sementara tradisi santri merupakanpandangan dunia yang dimiliki bersama oleh elemen-elemen dari masyarakat IslamJawa dan Luar Jawa yang saleh. Seperti yang ditegaskan oleh Koentjaraningrat (1963),trikotomi ini mengacaukan sebuah pembagian yang absah di antara dua tradisi keagamaan(yaitu abangan yang sinkretis dan santri Muslim) dengan memperlakukan priyayisebagai sebuah kategori berdiri sendiri, sementara dalam esensinya, kategori itu merujukpada sebuah kelas sosial. ‘Dalam kenyataannya, priyayi bisa termasuk dalam tradisireligio-kultural abangan maupun santri’. Penting untuk dicatat bahwa meski ada upayapihak Belanda untuk menetralisasi pengaruh Islam dalam milieu priyayi, banyak priyayi,terutama mereka yang berada di pesisir utara Jawa dan di Priangan (Jawa Barat) danjuga di provinsi-provinsi lain di luar Jawa, yang tetap menjadi Muslim yang taat. Untukpembahasan lebih jauh mengenai hal ini, lihat Sutherland (1975).

46 Kakek dari Tjipto Mangunkusumo adalah seorang kyai yang membesarkan anak-anaknya di bawah bimbingan ajaran Islam. Pengaruh Islam ini membekas dalam keluargaMangunkusumo. Meskipun ayah Tjipto terdidik di sebuah sekolah Barat (kemungkinanbesar sekolah pendidikan guru), beberapa dari anaknya diberi nama-nama Arab sepertimisalnya Badariah dan Samsulma’arif. Lebih dari itu, Murtinah (adik perempuan Tjipto)tidak diperbolehkan menikahi kekasihnya yang Kristen. Di atas semuanya, ‘Islam adalahpanduan utama dalam kehidupan bagi keluarga ini’ (Balfas 1952: 26-27).

Garis keturunan Sutomo bisa disusuri hingga Sunan Giri (Maulana Iskak) dariGresik. Sunan Giri merupakan salah satu dari Wali Sanga yang merupakan parapendakwah agama Islam terkemuka yang dipercayai berperan penting dalam mengislamkantanah Jawa (Soetomo, 1984: 128-129). Mengenai kakeknya, Sutomo mengatakanbahwa: ‘Dia adalah anak dari seorang yang kaya yang pernah menjadi lurah didaerahnya. Karena itu, untuk zamannya, dia bisa mendapatkan pendidikan yang layak.Dia dikirim dari satu pesantren ke pesantern yang lain di mana saja terdapat kyai yangterkenal’ (Sutomo 1984: 113-114; Anderson 1979: 228).

Garis keturunan Surjo bisa dilacak sampai pada Raden Mas Said (Mangkunegara I),mantan adipati Surakarta (11757-1795). Raden Mas Said dikenal sebagai PangeranSambernyawa dan pernah memimpin beberapa pemberontakan melawan VOC padatahun 1750-an (Toer 1985: 10-11). Nama Arabnya, Said, menunjukkan bahwa dia

Page 252: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

232 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

adalah seorang Muslim yang taat dalam standard orang Jawa pada masanya. Ayah Surjomeneruskan tradisi santri ini. Namanya adalah Hadji Muhammad Chan Tirtodhipuro(seorang pegawai pajak pemerintah). Jadi, dia menggunakan nama nabi Muhammaddan memiliki gelar hadji. Selain itu, kakak laki-laki Surjo juga diberi nama Arab, yaituR.M. Said.

Djajaningrat bersaudara merupakan anak dari seorang Bupati Muslim yang taat dibekas Kerajaan Banten, dan semasa kanak-kanak, mereka pernah belajar Islam dipesantren. Mengenai komitmen keagamaan ayahnya, Ahmad menulis (1936) sebagaiberikut: ‘Saat saya dianggap telah siap belajar agama, banyak orang yang menasehatiayah saya untuk membolehkan saya melanjutkan studi. Ayah saya tampaknya menerimanasehat itu karena beberapa saat kemudian setelah lebaran, beliau mengirimkan saya kedesa Karoendang tempat dimana sepupu-sepupu saya ...mengelola sebuah pesantren’(Dikutip dari versi berbahasa Inggris memoar Ahmad yang telah diterjemahkan olehPenders [1977: 252]).

Kakek moyang Tjokroaminoto, yaitu Kjai Bagus Kasan Besari, merupakan seorangpendiri pesantren Tegalsari (di Ponorogo) yang terkenal yang didirikan selama masapemerintahan Pakubuwana II (1726-1749). Ayah Tjokroaminoto, yaitu Raden MasTjokroamiseno (Wedana Kleco, Madiun) merupakan seorang priyayi Muslim yang taatseperti yang tercermin dalam cara dia memberi nama-nama Arab untuk anak-anaknya,seperti Umar Jaman, Umar Said, Umar Sabib, Istirah Mohamad Subari dan seterusnya.Lihat Amelz (1952a: 48-50).

Yang terakhir, ayah Agus Salim, yaitu Sutan Mohammad Salim, merupakan seorangMuslim yang taat dari kebangsawanan Minangkabau. Bahkan, Syeikh Achmad Khatib,ulama besar Hindia yang terakhir di haramain (Mekah dan Madinah), merupakansaudara kandung dari ayah Mohammad Salim. Sebagai seorang hooddjaksa (jaksapribumi), Mohammad Salim masih mempertahankan komitmennya yang kuat padaajaran agama Islam. Dia bahkan merupakan salah satu kontributor utama dari majalahIslam, Al-Munir (Junus 1960: 69). Dia terbiasa pergi ke surau untuk mengaji Qur’andan buku-buku keagamaan yang lain. Dia pernah terkesan oleh tokoh protagonis darisebuah buku yang dibacanya, yaitu Masjudul Haq. Dan nama tokoh itulah yang padaawalnya diberikan kepada Agus Salim. Selain itu, menurut Agus Salim: ‘Sebenarnyaketika ayah saya mengirim saya untuk belajar ke sekolah Belanda, orang-orang dikampung ribut bertanya-tanya pada ayah saya: ‘Apakah kamu akan menjadikan anakmuKristen?’’ (Panitia Buku Peringatan 1996: 40).

47 Hal yang sebaliknya juga benar, yaitu bahwa Islamic mindedness dari seorang individutidak mesti merupakan sebuah kondisi yang final. Abdullah Achmad (seorang propagandisbesar dari ideologi modernis-reformis Sumatra Barat), misalnya, dalam tahun-tahunterakhir hidupnya menjadi lebih dekat dengan pihak Belanda yang ditunjukkan dengandukungannya terhadap Ordonansi Guru (Steenbrink 1994: 41).

48 Terlahir sebagai anak dari keluarga priyayi Jawa pada tahun 1879, Raden AdjengKartini merupakan model dari wanita yang berorientasi kemadjoean. Dia diperbolehkanayahnya untuk mendapatkan privilese mengikuti pendidikan di sekolah dasar Eropasampai usinya 12 tahun (pada saat itu, adalah langka bagi seorang perempuan untukbisa bersekolah). Meski ia memiliki hasrat yang kuat untuk melanjutkan pendidikannya,ayahnya tidak mengijinkannya karena hal itu akan melanggar budaya tradisi pada masaitu. Dia kemudian mengkompensasikan kekecewaannya ini dengan menjaga dan

Page 253: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 233

memperluas pandangan kemadjoean-nya dengan jalan terus membaca dan melakukanbanyak korespondensi dengan para redaksi media massa dan sejumlah kaum feminisdan Ethici Belanda, termasuk di antaranya dengan J.H. Abendanon, HH. Van Kol,Mevrouw Ovink-Doer dan Stella Zeehandelaar. Dia mulai menulis surat-suratnya padatahun 1899 pada usia 20 tahun dan terus berlanjut sampai usia 24 tahun ketika diawafat saat melahirkan anak (atau karena racun?) tanpa sempat mewujudkan mimpipanjangnya untuk membuka sekolah bagi anak-anak perempuan Jawa (Geertz 1964).

49 Tjokroaminoto menyelesaikan studinya di OSVIA Magelang pada tahun 1902. Kemudiandia bergabung dengan birokrasi pemerintah sebagai seorang juru tulis Patih (pejabattinggi di kabupaten) Ngawi. Dia merasakan bahwa dia tak betah dengan posisinya itu.Dia merasa terganggu oleh hegemoni kaum aristokrasi tua yang pada umumnya bersikapiri terhadap priyayi terdidik yang menjadi bawahan mereka, dan juga dengan kewajibanbagi para pejabat rendahan pemerintah pada masa itu untuk menunjukkan sikap patuhdan hormat dengan membungkukkan badan terhadap para atasan mereka. Karena itu,pada tahun 1906, dia meninggalkan jabatannya itu dan bergabung dengan sebuahperusahaan swasta Eropa, Kooy & Co., di Surabaya. Saat bekerja untuk perusahaan ini,dia pernah mengikuti Burgerlijke Avondschool (Sekolah Malam) dari tahun 1907 sampaidengan 1910, dan mulai menulis artikel-artikel untuk koran-koran lokal. Setelah keluardari sekolah ini, dia mendapatkan sebuah pekerjaan yang lebih menguntungkan disebuah pabrik gula di dekat Surabaya, dan bekerja di sana sampai pertengahan tahun1912. Selama periode tersebut, untuk mengkompensasi keterkucilannya dari alamkehidupan priyayi yang berwatak feodal, dia menjalin kontak-kontak dengan jaringan-jaringan perdagangan Islam di kota itu pada saat ketika persekutuan-persekutuandagang Islam tumbuh menjamur di seluruh Nusantara. Salah seorang dari aktivis danpedagang Islam di kota itu ialah Hadji Hasan Ali Surati. Dia adalah seorang peranakanMuslim India yang pernah menjadi pemimpin dari klub Taman Manikem. Klub inimenjadi sebuah tempat pertemuan bagi para pedagang lokal dan orang-orang lain, dandi sana, selain diajarkan agama dan juga dibahas problem-problem sosio-ekonomi.Tjokroaminoto menjalin kontak dengannya dan sering mengikuti forum ini. Selanjutnya,meskipun Tjokroaminoto membentuk klubnya sendiri, yaitu Panti Harsojo, namun diamasih mempertahankan hubungannya dengan klub Surati. Suatu hari, empat propagandisSarekat Islam (SI) dari Surakarta datang ke klubnya Surati dengan tujuan untukmengembangkan perhimpuan yang baru berdiri tersebut. Hari berikutnya, Tjokroaminoto,yang juga mengikuti pertemuan itu, dan Surati ditunjuk sebagai anggota baru dari SI.Peristiwa ini merupakan titik balik dalam kehidupan Tjokroaminoto yang akanmembawanya menjadi seorang pemimpin terkemuka dari sebuah gerakan politik Islamawal (Korver 1985: 21-22; Amelz 1952a: 50-51).

Tirto Adhi Surjo mulai pendidikannya di ELS dan melanjutkan studinya ke sekolahDokter-Djawa/STOVIA. Karena perilakunya ‘yang nakal’ (di mata pihak yang berwenang),terutama karena dia pernah memberikan resep obat secara ilegal kepada seorang Cinayang sangat membutuhkan, dia dikeluarkan dari sekolah itu pada tahun 1900. Diakemudian mencurahkan hidupnya pada dunia jurnalisme dan gerakan-gerakan sosial.Untuk mewujudkan ambisinya mendirikan sebuah media massa pribumi dan untukmenjalankan aktivitas-aktivitas lain, dia membutuhkan dukungan finansial. Dia lalumendapatkan dukungan itu terutama dari para pedagang Muslim atau yang disebutsebagai ‘Kaoem Mardika’. Dari interaksi inilah, dia menjadi simpati dengan kondisi dan

Page 254: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

234 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

cita-cita para pedagang Muslim. Hal ini mendorong dirinya untuk mempromosikanpembentukan asosiasi-asosiasi sosio-komersial yang menggunakan bendera Islam. Maka,dia memainkan peran yang menentukan dalam pendirian Serikat Dagang Islam (SDI)pada tahun 1908/1909 dan dalam pembentukan jaringan perdagangan Islam yang lain,termasuk dalam tahap awal pendirian Sarekat Islam (SI), terutama dalam mengurusimasalah-masalah hukum dari organisasi tersebut (Toer 1985: 120-127).

50 Hal ini akan dibahas dalam bab berikutnya.51 Sejak awal, Islam telah disalahpahami oleh pihak Belanda yang menganggap bahwa

Islam itu memiliki struktur kependetaan yang sama seperti yang ada dalam Kristen,sehingga perjalanan seorang Muslim ke pusat dunia Islam (yaitu Timur Tengah) ataubahkan mobilitas spasial para guru agama di dalam negeri haruslah dibatasi untukmencegah integrasi vertikal dan horizontal dari apa yang mereka sebut sebagai ‘parapendeta Islam’. Maka, pada tahun 1664, VOC telah membatasi kepergian naik haji.Pada tahun 1810, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) mengeluarkansebuah dekrit yang mengharuskan para kyai untuk memiliki ijin perjalanan di dalamnegeri Hindia (Suminto 1996: 8; Dhofier 1982: 10). Dengan terjadilnya rangkaianpemberontakan kaum pribumi yang dipimpin oleh para haji yang telah pulang dan olehpara santri, pembatasan terhadap praktik bepergian haji dan aktivitas-aktivitas pendidikankeagamaan memiliki dasar alasan yang baru.

52 Sebagai respons terhadap kebijakan ini, sejak akhir abad ke-19 ke depan, terdapatsebuah sistem pendidikan ganda di Hindia, dimana sistem pendidikan Islam dipisahkandari sistem pendidikan Belanda. Hal ini berlanjut dalam konteks Indonesia merdeka,dimana sistem pendidikan ‘yang sekuler’ berada di bawah Departemen Pendidikan,sementara sistem pendidikan Islam berada di bawah Departemen Agama. Jadi, sistempendidikan umum di Indonesia tidak lahir dari adaptasi terhadap pendidikan tradisionalIslam. Sebaliknya, sistem pendidikan Islam seperti yang ada sekarang merupakan hasildari sebuah transformasi gradual dari suatu sistem pendidikan tradisional, yang dulunyamerupakan respons terhadap tantangan yang dimunculkan dari sistem pendidikanumum (Steenbrink 1994: 7).

53 Contoh-contoh dari pemberontakan yang dilakukan oleh kaum pribumi denganmenggunakan bendera Islam sepanjang abad ke-19 ialah Perang Cirebon (1802-1806),Perang Jawa (atau Perang Diponegoro) (1825-1830), Perang Paderi di Sumatra Barat(1821-1838), Perang Banjarmasin (atau perang Antasari) (1859-1862), Jihad di Cilegon(9-30 Juli 1888) dan Perang Aceh (1873-1903).

54 Namun, angka ini mungkin tak bisa diandalkan karena beberapa daerah selama beberapatahun tidak melaporkan jumlah guru dan muridnya, sementara beberapa daerah selamabeberapa tahun melaporkan angka yang sama. Selain itu, laporan pihak Belandakadangkala menggambarkan aktivitas-aktivitas sekolah Islam tengah menurun dankadangkala sedang meningkat. Kesimpulan-kesimpulan yang berbeda-beda ini bersumberdari tujuan-tujuan yang berbeda-beda. Kesimpulan yang pertama dimaksudkan untukmembuktikan bahwa sumber potensi pembangkangan Islam telah berhasil dikontrolpemerintah kolonial, sementara kesimpulan yang kedua dimaksudkan untuk meyakinkanpihak pemerintah negeri Belanda mengenai terus meningkatnya ancaman Islam(Steenbrink 1984: 161).

55 Sebagai contoh, pesantren Temas di Pacitan (berdiri tahun 1823), pesantren Jampes danBendo di Kediri dan Pelangitan di Babat (berdiri tahun 1855), pesantren Teglasari di

Page 255: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 235

Semarang (berdiri tahun 1870), pesantren Tebuireng di Jombang (berdiri tahun 1899),serta pesantren Probolinggo, Bangkalan (Madura), Siwalan Panji (Sidoarjo), dan beberapapesantren lain di Jombang seperti Ngedang, Keras, Tambak Beras, Den Anyar, Rejoso,Peterongan, Sambong, Sukopuro, Watu Galuh semuanya bermunculan pada abad ke-19(Soekadri 1979: 19; Dhofier 1982: 2).

56 Mengenai deskripsi yang bagus mengenai genealogi komunitas epistemik koloni Jawa diharamain, lihat Laffan (2003).

57 Pada masa itu, kontrol golongan Wahhabiyah atas Mekah tidaklah berlangsung lama.Atas permintaan pihak sultan Ottoman, golongan Wahhabiyah secara kejam ditindasdan dihancurkan oleh penguasa Mesir Muhammad ‘Ali (1808-1848) pada tahun 1818(Laffan 2003: 29). Namun, setelah dikuasainya Mekah oleh ‘Abd al-Aziz ibn Sa’ud padatahun 1924, golongan Wahhabiyah pun memegang kontrol atas Kota Suci tersebut.

58 Disinyalir bahwa unsur-unsur dari ajaran Wahhabiyah mungkin sekali telah berpengaruhterhadap ulama Sumatra Barat sehingga terjadi konflik-konflik agama antara ulamapembaharu dengan ulama konservatif, yang memuncak dalam Perang Paderi 1821-1827(Dobbin 1983). Seiring dengan naiknya gerakan Wahhabiyah di haramain, gelombangreformisme Islam yang telah lama sampai di kepulauan Nusantara menimbulkan impetusbagi revivalisme keagamaan. Hal ini tercermin dalam pergeseran para pengikut tarekatdari Syattariyah yang mengutamakan ekstase ke Naqsyabandiyah dan Qadiriyyah yanglebih bersahabat dengan syariah dan dalam munculnya pemberontakan-pemberontakanreligio-politik sepanjang abad ke-19. Mengenai penjelasan lebih jauh tentang masalahini, lihat Steenbrink (1984) dan Laffan (2003: 29-31).

59 Menurut Azra (1994), jaringan antara kalangan Muslim di Timur Tengah dan diNusantara telah dimulali sejak munculnya hubungan-hubungan dagang yang dibarengidengan penyebaran agama. Lewat aktivitas dakwah Islam secara ekstensif di Nusantarasejak abad ke-12 dan dominananya kekuasaan Kekaisaran Ottoman dan kerajaan-kerajaan Islam yang lain (seperti Mughol dan Safawiyah) atas Timur Tengah, LautMerah dan Samudera Hindia sejak paruh kedua abad ke-15 dan sepanjang abad ke-16,jaringan ini meluas menjadi hubungan-hubungan politik dan keagamaan. Selain itu,paling tidak sejak abad ke-17, jaringan ini telah mulai berubah menjadi hubungan-hubungan agama dan intelektual yang ekstensif. Tokoh-tokoh Indo-Malaya yang pentingdari jaringan ulama internasional abad ke-17 di antaranya ialah Nur al-Din al-Raniry(lahir tahun 1658), ‘Abd Al-Ra’uf al-Sinkili (lahir tahun 1615), dan Muhammad JusufAl-Maqassari (lahir tahun 1627). Sementara tokoh-tokoh di abad ke-18 ialah Sjihab al-Din bin ‘Abd Allah Muhammad, Kemas Fakhr al-Din, ‘Abd al Shamad al-Palimbani,Kemas Muhammad bin Ahmad dan Muhammad Muhyi al-Din bin Syihab al-Din (dariPpalembang/Sumatra); Muhammad Arsjad al-Bandjari dan Muhammad Nafis al-Bandjari(Kalimantan Selatan), ‘Abd al-Wahhab al-Bugis (dari Sulawesi), dan ‘Abd al-Rahman al-Mashri al-Batawi (Jakarta).

60 Contoh-contoh dari karyanya ialah Sabil al-Muhtadin dan Perukunan Melayu yangditulis di sekitar peralihan abad ke-18 dan 19.

61 Lahir di Banten sebagai anak dari seorang penghulu, bernama Omar ibn Arabi, Nawawinaik haji (bersama dengan dua saudaranya, Tamim dan Ahmad) saat masih muda, dankemudian tinggal di Mekah selama sekitar tiga tahun. Saat kembali ke tanah air, karenakeyakinannya yang kuat terhadap ajaran-ajaran agamanya, dia memutuskan kembali keKota Suci itu dan tinggal menetap di sana. Guru pertamanya di Mekah ialah ulama

Page 256: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

236 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

terkemuka di koloni Jawa yang berasal dari generasi sebelumnya, terutama KhatibSambas dan Abdulghani Bima, dan kemudian yang menjadi guru yang sebenarnyabaginya ialah orang-orang Mesir yaitu Yûsuf Sumbulawênî, Nahrâwî dan Abd èl-HamîdDaghestânî (Hurgronje, 1931: 268-169).

62 Contoh-contohnya ialah tafsir Qur’an, Tafsir Marah Labid (diterbitkan awal tahun1880-an), Syarh Kitab Al-Jurûmiyyah mengenai tata bahasa Arab (1881), Lubâbul al-Bayân mengenai gaya bahasa (1884), Dharî’at al-yaqîn mengenai ajaran agama (1886),Sulûk al-jâdah dan Sullam almunâjâh mengenai Hukum Islam (1883 dan 1884), danSyarh Bidâyat al-hidâyah mengenai Sufisme (1881) (Hurgronje 1931: 271-272).

63 Lahir di kota Gedang, Sumatra Barat, ayahnya (Abdul Latif Khatib) adalah anak darisebuah keluarga bangsawan, dan bekerja sebagai seorang Jaksa Kepala di Padang.Sementara ibunya adalah anak dari seorang ulama reformis terkenal dari kelompokPaderi, yaitu Tuanku nan Rentjeh (Steenbrink, 1984: 139). Sebagai seorang anak darikeluarga bangsawan, Achmad Khatib muda berkesempatan untuk belajar di sekolahdasar Belanda dan kemudian melanjutkan ke sekolah guru di Bukittinggi (Noer, 1980:38). Namun, minatnya yang kuat terhadap pengetahuan agama membuatnya berangkatke Mekah untuk menuntut ilmu dan kemudian mengajar Islam di sana. Kelak, lewatperkawinannya dengan seorang anak pedagang Arab yang kaya dan berpengaruh, diadiangkat sebagai seorang ulama dan imam mazhab Imam Syafii di Masjidil Haram(Abdullah 1971: 7; Roff 1967: 60).

64 Contoh-contoh karyanya ialah Rauda al Hussab fi ‘Ilm al-Hisab (Kairo, 1892) dan Al-Jawahir al-Naiqiyah fi’l A’mal al-Jaibiyah (Kairo, 1891) (Steenbrink 1984: 145).

65 Al-Afghani lahir di Asadabad (Iran)—meski kemudian dia mengklaim dirinya orangAfghan agar bisa diterima secara baik di kalangan Muslim Sunni. Riwayat religio-politiknya membawanya melakukan perjalanan keliling negeri-negeri Islam dan Eropa.Jadi, dia pernah mengunjungi Iran, Afghanistan, India, Hijaz, Mesir, Turki, Prancis,Inggris, dan Rusia sebelum kemudian meninggal dunia di Istambul pada tahun 1897.

66 Istilah Pan-Islam sebenarnya berasal dari kalangan non-Muslim. Penggunaan secara luasistilah itu pertama kali dilakukan oleh Gabriel Charmes, seorang jurnalis Prancis yangtertarik dengan Kerajaan Ottoman. Dia memakai istilah itu sebagai varian dari istilah-istilah yang telah ada seperti Pan-Slavisme, Pan-Jermanisme, atau Pan-Hellenisme(Landau 1994:2). Meski demikian, ide mengenai persatuan Islam (sedunia) sendiri telahberedar secara diam-diam di kalangan Kaum Ottoman Muda yang berdiri pada tahun1865 yang telah menggunakan istilah Ittihad-i Islam (Persatuan Islam) pada akhir tahun1860-an. Istilah ini kemudian secara umum berubah menjadi Wahdat al-Islūm (atau al-Wahda al-Islūmmiya) dalam bahasa Arab, dan kemudian menjadi Jūmi’at al-Islūm, yangkesemuanya berarti persatuan Islam atau perhimpunan Islam. Majalah Al-‘Urwa al-wuthqū-lah yang berperanan dalam pemakaian istilah-istilah bahasa Arab tersebutdalam sebuah artikelnya dalam majalah yang diterbitkan dan dieditori oleh al-Afghanidan ‘Abduh pada tahun 1884 itu pada saat istilah Pan-Islam semakin luas dipakai olehGabriel Charmes dan jurnalis lainnya di Prancis (Landau 1994: 2-4).

67 Istilah ‘liminal’ berasal dari kata ‘limen’ yang berarti ambang batas atau ruang antara.Dalam studi-studi antropologi, istilah itu dimunculkan oleh Arnold van Gennep (1960)untuk merujuk pada ritus-ritus transisi antara ritus-ritus perpisahan dari dunia lamadengan upacara-upacara penasbihan memasuki dunia baru (h. 20-21). Dalam studi-studi pasca-kolonial, istilah ini seringkali digunakan untuk merujuk pada ruang trans-

Page 257: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 237

kultural dimana di sana berlangsung sebuah proses pergerakan dan peralihan secaraterus-menerus di antara kondisi-kondisi yang berbeda-beda (Ashcroft et. al., 1998:130).

68 Nama-nama ulama dan intelektuil ini pertama kali datang ke Mekah berturut-turutsebagai berikut: Djalaluddin pada tahun 1881, Thaib pada awal tahun 1890-an, Asj’aripada tahun 1892, Hadji Rasul pada tahun 1894, Achmad pada tahun 1895, Djambekpada tahun 1896, Dachlan pada tahun 1899, dan Salim pada tahun 1906. Yang cukupmenarik, sebelum berangkat ke Mekah, tiga orang di antara mereka pernah mengenyampendidikan di sistem sekolah Barat. Djambek dan Achmad pernah bersekolah di sekolahdasar modern, sementara Salim adalah lulusan HBS, yang merupakan sekolah menengah(umum) satu-satunya yang ada di Hindia pada masa itu (dari beragam sumber termasukNoer 1980: 39-54; Roff 1967: 60; Steenbrink 1984: 146; Junus 1960: 45; Syaifullah1997: 28).

69 Menurut Mona Abaza, berdasarkan pada catatan sejarah yang ditulis oleh sejarawanMesir, Mubarak, terdapat sekitar 11 mahasiswa Indo-Malaya yang belajar di Al-Azharpada pertengahan abad ke-19 (1999: 31).

70 Sistem pengajaran dengan menggunakan jenjang kelas dan ruang kelas merupakansesuatu yang asing bagi pesantren tradisional, paling tidak hingga dekade-dekade awalabad ke-20. Sistem pengajaran yang diterapkan di pesantren merupakan kombinasiantara sorogan dan weton(an). Sorogan ialah metode belajar yang berpusat padaindividu dimana seorang santri duduk di depan kyai dan membaca kitab keagamaan.Weton merupakan sebuah metode pengajaran dimana para santri duduk mengelilingikyai sambil membahas berbagai kitab keagamaan. Kyai menyuruh para santri untukmengulang dan menjelaskan apa yang telah mereka baca. Metode yang terakhir ini jugadisebut sebagai metode bandungan di Jawa Barat dan halaqah di Sumatra. Semuaaktivitas ini secara umum dilakukan di masjid.

71 Penghulu bisa berfungsi sebagai hakim agama dan imam masjid agung.72 Pada tahun 1984/1985, Departemen Agama Republik Indonesia melaporkan bahwa

total jumlah pesantren di seluruh negeri pada tahun 1984/1985 sekitar 6.239: sekitartujuh persennya didirikan sebelum tahun 1900, sekitar 25% didirikan antara tahun1900 dan 1945, dan lebih dari 62% berdiri setelah tahun 1945 (Mastuhu 1994: 24).

73 Konservatif dalam konteks ini memiliki arti sebuah kecenderungan untuk melestarikantradisi-tradisi lokal Islam yang telah ada, termasuk juga praktik-praktik sinkretismeyang masih bisa ditoleransi. Golongan Muslim konservatif cenderung memandangproyek historis kaum reformis untuk pemurnian agama berdasarkan orthodoksi Islamsebagai sesuatu yang anathema. Sementara ‘tradisionalis’ dalam konteks ini berartikalangan yang cenderung untuk melestarikan ajaran-ajaran, metode-metode daninstrumen-instrumen agama yang telah ada.

74 Mobini-Kesheh menambahkan bahwa ‘pola ini menjadi berbalik pada tahun 1930-anketika sekelompok pemuda Hadramaut kelahiran Hindia memilih untuk memproklamirkanIndonesia sebagai tanah air mereka’ (1999: 15).

75 Bahkan salah seorang guru sekolah itu, Muhammad Noor, pernah belajar secaralangsung pada ‘Abduh di Al-Azhar (Noer 1980: 68-75).

76 Karena pengaruhnya yang berbahaya terhadap ulama Hindia, maka majalah al-Manūrdilarang beredar oleh pemerintah kolonial Belanda di Hindia. Namun, majalah itu

Page 258: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

238 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

secara diam-diam tetap beredar secara terbatas di kalangan sejumlah ulama tertentu,dan dengan cara ini, majalah tersebut menjadi penunjuk baru dalam orientasi keagamaanyang dibuktikan oleh adanya fakta bahwa salah satu dari banyak nama yang diberikankepada kelompok reformis di kepulauan Nusantara ialah ‘Kaoem al-Manar’. Persissebelum meninggalkan Al-Azhar, Djalaluddin menulis artikel-artikel untuk majalah inidan saat kembali ke tanah air, dia dan para koleganya berusaha untuk menirukan pesandan semangat majalah itu dengan mendirikan majalahnya sendiri (Roff 1967: 59).

77 Sebelum mendirikan sekolah Adabijah, Achmad mengunjungi sejawatnya, TahirDjalaluddin pada tahun 1906. Kunjungan ini dimaksudkan terutama untuk mempelajarimodel Madrasah al-Iqbal al-Islamiyyah yang akan didirikan.

78 Lihat catatan kaki nomer 70 di atas.79 Djalaluddin Thaib merupakan murid dari Hadji Rasul yang melakukan pembaharuan

lebih jauh di Surau Jembatan Besi dengan memperkenalkan penggunaan meja, kursi dankurikulum modern. Dia juga menyebarluaskan semangat pembaharuan ini ke surau laindi Sumatra Barat.

80 Al-Junusi mendirikan Sekolah Diniyah pada tahun 1915 untuk para pelajar wanita.Sekolah Diniyah ini mengikuti kurikulum Al-Azhar dan disambut baik oleh masyarakatMinangkabau yang terbukti dengan begitu pesatnya kemunculan sekolah-sekolah yangserupa hingga menjadi 15 buah pada tahun 1922.

81 M. Djamil Djambek, setelah tinggal di Mekah selama sekitar 9 tahun (1896-1903),kembali ke tanah air pada tahun 1903. Pengajaran agamanya yang pertama-tamadisampaikan dalam bentuk serangkaian cermah di Bukittinggi, dimana dalam ceramah-ceramah itu, dia mengungkapkan kritiknya terhadap praktik tarekat dan dukungannyaterhadap gagasan untuk kembali ke orthodoksi Islam. Untuk memperluas dakwahnya,dia menjalin hubungan yang akrab dengan para pemimpin lokal dan para pelajarsekolah guru lokal. Akhirnya, pada tahun 1918, dia mendirikan sebuah surau yangdimodernisasi yang dikenal sebagai Surau Injik Djambek (Noer 1980: 42-44; Junus1960: 69).

82 Ibrahim Musa belajar di Mekah pertama kali pada tahun 1901-1909 dan kemudianpada tahun 1913-1915. Saat kepulangannya yang pertama pada tahun 1909, dia mulaimelakukan modernisasi terhadap surau tradisonal di Parabek. Surau ini memilikihubungan yang dekat dengan Surau Jembatan Besi dan kelak akan membentuk jaringanSumatra Thawalib (Noer 1980: 48).

83 Setelah empat tahun belajar di Mekah, Latif Sjakur kembali ke tanah air pada tahun1902. Saat dia pulang, dia mulai memodernisasi sebuah surau tradisional di Biaro.Usaha itu dimulai dengan memperkenalkan penggunaan meja dan papan tulis, dan padatahun 1912 dia mendirikan madrasahnya sendiri yang bernama Al-Tarbiyah al-Hasanahyang menerapkan ‘kelas-kelas berjenjang dan pengajaran dalam ruang kelas’.

84 H.M. Thaib Umar yang pernah merintis usaha modernisasi surau tradisional diBatusangkar pada tahun 1897, melanjutkan usaha-usaha modernisasinya denganmendirikan sebuah madrasah pada tahun 1910 yang bernama Madras School diSungajang (Batusangkar). Usaha-usaha modernisasi lebih lanjut di sekolah ini diteruskanoleh Mahmud Junus (Junus 1960: 54).

85 Dia tidak pernah mendapatkan pendidikan formal di sekolah bergaya Barat (Nakamura1976: 110). Namun karena tumbuh di lingkungan kesultanan Yogyakarta, tampaknya

Page 259: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 239

membuat dia terbuka dengan pengetahuan Barat. Pergaulannya dengan para pemimpinlokal Budi utomo dan para pelajar sekolah guru lokal setelah tahun 1908 tampaknyatelah meningkatkan kemampuannya untuk bisa membaca huruf Latin dan memahamipengetahuan saintifik Barat.

86 Khatib adalah orang yang menyampaikan khutbah pada saat sholat Jum’at.87 Saat tinggal di Mekah untuk yang kedua kalinya, Dachlan beruntung bisa bertemu

dengan Rashād Ridā dan berkesempatan untuk berdiskusi dengannya mengenai isu-isuyang berkenaan dengan Islam dan ummat Islam sedunia (Syaifullah 1997: 31).

88 Untuk sebagian besar dari kutipan dari pers yang terbit pada akhir abad ke-19 dan awalabad ke-20, saya berhutang budi kepada karya Ahmat B. Adam (1995).

89 Sekedar sebuah contoh, majalah Bintang timoer No. 103, 29 Desember 1880, memuatsebuah keluhan yang berasal dari seorang lulusan sekolah Dokter-Djawa yang menyatakanbahwa lulusan dari sekolah ini hanya bisa menjadi seorang vaksinator atau palingbanter, seorang mantri dengan gaji tertinggi per bulan sekitar fl. 90 (setelah duapuluhtahun mengabdi). Sementara, seorang lulusan Sekolah Radja memiliki prospek yanglebih baik karena bisa bekerja sebagai mantri polisi, asisten wedana, wedana, patih ataujaksa dan bahkan mungkin juga menjadi wedana.

90 Mengenai makna istilah ini dalam kontkes ini, lihat bab 1. 91 Lihat catatan kaki nomer 36 di atas.92 Minke adalah seorang tokoh utama dalam novel tetralogi karya Pramoedya Ananta

Toer. Lahir sebagai anak seorang priyayi, Minke memiliki akses yang istimewa untukmemasuki pendidikan dan peradaban Barat, namun tak pernah sepenuhnya terintegrasidalam sistem kolonial Belanda. Pada saat yang sama, karena terpengaruh oleh ide-ideliberal Barat, dia juga tak lagi tahan dengan sikap-sikap feodalistik dari priyayi pribumi,yang merupakan lingkungannya.

93 Mimikri adalah ‘proses yang melaluinya subyek yang terjajah mereproduksi dirinyamenjadi nyaris sama dengan subyek penjajah, namun tidak persis sama’ (Bhabha 1994:86). ‘Peniruan kultur, perilaku, cara dan nilai-nilai pihak penjajah oleh pihak terjajahmengandung olok-olok (mockery) dan sekaligus ancaman (menace) tertentu, sehinggamimikri pada saat yang bersamaan adalah kemiripan dan penyimpangan’ (Ashcroft etal. 1998: 140).

94 Dimiliki oleh seorang Belanda yang idealis-romantik, Henri Constant Claude ClockenerBrousson, dan dieditori oleh Rivai, majalah vernakular ini diterbitkan di Amsterdamdan diedarkan di Hindia antara tahun 1902-1907. Majalah ini menjadi corong suarabagi inteligensia baru.

95 Mengenai bukti bahwa istilah ini digemakan oleh para jurnalis dan generasi mudalainnya pada masa itu, kita bisa melihat tulisan seorang komentator mengenai masyarakatJawa kontemporer di majalah Sinar Djawa, No. 52 (4 Maret 1914) yang mengatakan:‘Dengan berubahnya waktu, sebuah tipe baru bangsawan telah muncul, yaitu bangsawanpikiran’ (Dikutip oleh Adam 1995: 173).

96 Dikutip dari Adam (1995: 103).97 Dikutip dari Adam (1995: 104).98 Mengenai proses pertumbuhan dan siklus hidup dari gerakan-gerakan sosial, Eyerman

dan Jamison menambahkan sebagai berikut: (1) Gerakan-gerakan sosial berkembangdalam sebuah siklus hidup, mulai dari persiapan (gestation) sampai pembentukan

Page 260: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

240 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

(formation) dan konsolidasi (consolidation). Gerakan-gerakan sosial jarang yang munculsecara spontan; alih-alih, mereka membutuhkan waktu yang panjang bagi persiapankemunculannya. (2) Tak ada gerakan-gerakan sosial yang muncul hingga terdapatsebuah peluang politik, ada konteks problem-problem sosial, serta konteks-kontekskomunikasi yang memungkinkan diartikulasikannya problem-problem itu dandisebarluaskannya pengetahuan. (3) Tak ada gerakan-gerakan sosial yang munculhingga individu-individu siap untuk ambil bagian di dalamnya, bersedia untukmentransformasikan kesulitan-kesulitan perseorangan ke dalam masalah publik, danjuga untuk masuk ke dalam proses pembentukan identitas kolektif (1991: 56).

99 Misi-misi Kristen dan VOC telah menggunakan mesin cetak sejak awal abad ke-17.Untuk pembahasan lebih jauh, lihat Adam (1995: 1-15).

100 Gambaran utama dari periode tersebut ialah bangkitnya pers yang berorientasi iklandan pers resmi (pemerintah) yang menggunakan bahasa Belanda, dimiliki dan dieditorioleh orang-orang Belanda dengan target pembaca orang-orang Belanda.

101 Bentuk kolokial dari bahasa Melayu merupakan sebuah ‘struktur bahasa yang sederhana,nyaris tanpa redundansi, tanpa standar yang jelas, namun telah mencukupi bagi prosespercakapan di antara orang-orang yang telah memiliki pengetahuan yang baik tentangbahasa yang dipakai lawan bicaranya’ (Maier, 1993: 46-47).

102 Pada awal abad ke-19, jumlah orang keturunan Cina di Jawa diperkirakan sebanyak100.000 orang. Pada tahun 1850, sudah ada sekitar 150.000 di Jawa, dan pada tahun1900, telah ada sekitar 277.000 orang di Jawa dan 250.000 orang di Luar Jawa(Furnivall, 1944: 47 & 213). Sementara, hanya ada beberapa ribu orang Eropa padaawal abad ke-19. Angka ini meningkat menjadi 22.000 orang pada tahun 1850 danmelonjak menjadi 75.700 pada tahun 1900 (Furnivall 1944: 347; Lombard 1996a:78).

103 Hal ini untuk tidak melupakan keberadaan sejumlah kecil pers yang menggunakanbahasa Belanda, Jawa dan bahasa Melayu tinggi.

104 Media massa tersebut ialah mingguan berbahasa Jawa kromo, Bromartani di Surakarta(1855-1857) dan Poespitamantjawarna di Surabaya (1855), koran pertama yangberbahasa Melayu (pasar), Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya (1856), majalahpertama yang berbahasa Melayu (tinggi) Bintang Oetara yang dicetak di Rotterdam,namun diedarkan di Hindia (1856-1857), koran berbahasa Melayu (pasar), SoeratKabar Betawi, di Jakarta (1858).

105 Contoh-contohnya adalah Selompret Melajoe di Semarang (1860-1911), BientangTimoor di Surabaya (1862-1887), Bintang Timor di Sumatra (1865-1865), dan BintangBarat di Batavia (1869-1899).

106 Ditengarai bahwa partisipasi kalangan keturunan Cina ini dalam pers vernakularberawal pada tahun 1869 pada saat Lo Tun Tay menjadi redaktur koran dwi-mingguan,Mataharie, di Batavia. Patut pula dicatat bahwa kontribusi utama dari keturunan Cinaterhadap perkembangan pers vernakular ialah dengan menjadi pelanggan dan pengiklan.

107 Contoh-contoh dari kalangan pribumi yang terlibat dalam dunia pers sebelum tahun1900 ialah Dja Endar Muda sebagai redaktur koran dwi-mingguan milik orang Cina,Pertja Barat (1894-1898), Sutan Baharudin sebagai redaktur harian Sinar Menang-Kabau (1894-1897), Tirto Adhi Surjo sebagai koresponden koran Hindia Ollanda(1894-1896), Datuk Sutan Maharadja sebagai redaktur koran yang terbit dua kali

Page 261: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 241

seminggu Warta Berita (1895-1897), dan Wahidin Sudiro Husodo sebagai redakturkoran yang terbit dua kali seminggu berbahasa Jawa dan Melayu, Retnodhoemillah(1895-1906).

108 Kalangan peranakan Cina mulai mengelola pers vernakularnya sendiri pada periodesetelah krisis ekonomi pada tahun 1884 yang memaksa beberapa orang Belanda danIndo pemilik pers menjual usaha-usaha mereka. Maka, sejak Desember 1886, kepemilikanusaha percetakan dan hak penerbitan dari koran terkenal pada masa itu, yaitu BintangTimor, telah beralih ke tangan seorang peranakan Cina yang bernama Baba Tjoa TjoanLok. Ini diikuti dengan munculnya pers vernakular yang dimiliki oleh orang Cinalainnya seperti Pembrita Betawi (mulai dari 1886 sampai 1887), Bintang Soerabaia(dari tahun 1887), dan beberapa lainnya (Adam 1995: 58-124).

109 Sebelum kedatangan Belanda, penggunaan bahasa Melayu sangat berakar kuat di kota-kota utama di daerah pantai di seluruh Nusantara, yang disebarkan oleh jaringanpedagang dan ulama Islam (Lombard 1996b: 153).

110 Ini pada gilirannya meningkatkan status bahasa Melayu pasar menjadi lingua franca dikepulauan Nusantara.

111 Kata-kata yang digunakan sebagai nama pers berbahasa daerah pada periode 1854-1900 tampaknya mencerminkan munculnya ruang antara dimana di dalamnya dunialama dan dunia baru serta lapis-lapis kesadaran dan kepentingan saling bertukar tanpaada sebuah orientasi politik bersama. Pertama, istilah-istilah yang lazim digunakanialah kabar, chabar, pewarta, berita, bentara, penghentar, selompret, courant. Istilah-istilah itu tampaknya cenderung memperlihatkan pandangan dunia ekonomi Liberalyang menganggap pers semata-mata sebagai medium informasi yang diproduksi olehusaha-usaha swasta yang hanya mengejar kepentingan-kepentingan ekonomi tanpamerujuk pada identitas kolektif tertentu. Kedua, penanda-penanda teritorial-lokalseperti Betawie, Semarang, Melajoe, Soerabaja, Menangkabau, Sumatra, Parjangan,dan Djawi seringkali digunakan, yang barangkali mencerminkan dominannya carapandang dan orientasi kedaerahan dari pers. Ketiga, penggunaan referensi simbolikyang merujuk ke masa lalu seperti Batara Indra (legenda wayang), primbon, danbeberapa istilah –istilah literatur Jawa kuno yang tampaknya menunjukkan masihhidupnya kosmologi pra-penjajahan. Dan yang terakhir, simbol-simbol ‘pencerahan’seperti bintang, matahari, tjahaja, pelita, sinar, dan soeloeh yang dibarengi dengansebutan profesi seperti pengadjar, soldadoe dan pengadilan dipakai secara luas dan inimungkin merepresentasikan obsesi akan orientasi kemadjoean yang baru.

112 Klub-klub serupa juga bermunculan dalam milieu priyayi di Semarang, seperti LangenSamitro (berdiri tahun 1888) dan Langen Darmodjojo (berdiri tahun 1891). DariSemarang, perhimpunan-perhimpunan ini menyebar ke kota-kota lain seperti MedanPerdamaian di Padang, Perkumpulan Sukamanah di Batavia, Abi Projo di Surakarta danLangen Hardjo di Surabaya.

113 Wahidin melakukan perjalanan keliling Jawa pada tahun 1906 untuk mendapatkandukungan dari para pejabat pemerintahan sipil lokal terhadap usahanya untukmendirikan sebuah ‘Studiefonds’ (dana beasiswa) guna membantu para pelajar Jawayang berbakat dan untuk memberikan perhatian kepada keterbelakangan rakyat Jawaagar bisa mencapai kemadjoean.

114 Di antara sekolah-sekolah lainnya adalah Sekolah Pertanian dan Peternakan di Bogor,OSVIA di Magelang dan Probolinggo, kweekschool (Sekolah Guru) di Bandung,

Page 262: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

242 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Yogyakarta, dan Probolinggo, serta Burgeravondschool (Sekolah Malam) di Surabaya(Soewarno 1918).

115 Diantara mereka yang menjadi anggota perhimpunan itu dari kalangan bangsawanialah anak-anak dari keluarga bangsawan Pakualam V (R.M. Ario Kusumo Judo, R.M.Ario Surtio, Surjoputro), anak-anak dari keluarga bangsawan Notodirodjo (Notokworo,Notodiningrat, Gondowinoto, dan Noto Suroto), seorang dari anak keluarga bangsawanPangeran Hadiwidjojo VI; dua anak dari Kesultanan Kutai (Raden Badaruddin danRaden Mahamuddin); dari kalangan anak-anak dari Bupati seperti Sosrokartono(kakak R.A. Kartini, anak Bupati Jepara), Tjokroadikusumo (anak Bupati Magelang),Husein Djajadiningrat (anak Bupati Banten), Maharadja Sutan Kasajangan Soripada(anak dari Bupati Tapanuli); dan para lulusan STOVIA seperti misalnya Bunjamin,Asmaun, Johan E. Tehupeiory, dan W.K. Tehupeiory (Simbolon 1995: 516).

116 Mengikuti jejak percetakan Muslim di India yang telah mengadopsi litografi sejakpaling tidak awal abad ke-19, pada pertengahan abad ke-19, berlangsung aktivitas-aktivitas yang menggunakan teknik yang sama di Kairo dan Istanbul, yang kemudian diMekah terutama setelah tahun 1883 (Proudfoot 1997: 163-182).

117 Contoh-contoh buku yang diterbitkan di Singapura dari tahun 1860-1870 ialah Sabilal-Muhatdin, Bidayat al-Mubtadi, Usul al-Din, Tanbih al-Ikhwan, Sirat al-Mustakim,Kawaid al-islam, Taj al-Muluk, Syair Mekah, dan Syair Hakikat (Proudfoot 1993: 28).

118 Mengenai penerbitan literatur-literatur Islam berbahasa Melayu di luar tanah Malaya,lihat Proudfoot (1993: 27; 1998: 46).

119 Istilah taqlid di sini berarti suatu sikap mengikut secara membuta terhadap ajaranulama dan dogma-dogma konservatif dari mazhab fikih yang mapan, sementara ijtihadmerujuk pada penggunaan penalaran independen untuk memungkinkan Islam bisamerespons kondisi-kondisi kehidupan modern. Bid’ah di sini berarti penambahan-penambahan yang tak sah dalam praktik agama; sementara khurafat berarti takhyul,dan tarekat berarti ordo persaudaraan dalam sufi.

120 Pengurus dari perhimpunan ini terdiri dari Ketua: Syeikh Achmad bin AbdulrahmanBadjenet (seorang pedagang Arab), Wakil Ketua: Mohammad Dagrim (seorang Dokter-Djawa); Sekretaris merangkap Bendahara: Tirto Adhi Surjo (seorang jurnalis), Seksi-seksi: Syeikh Achmad bin Said Badjenet, Syeikh Galib bin Said bin Tebe, SyeikhMohamad bin Said Badjenet (semuanya pedagang Arab), Mas Railus (pegawai pertanahanpribumi), Sulaeman (tukang jilid buku pribumi) dan Hadji Mohamad Arsjad danAbdullah (pedagang pribumi) (Toer 1985: 120-121).

121 Dikutip dalam Toer (1985: 121).122 Perhimpunan-perhimpunan lain yang serupa di Batavia ialah al Hella al Ahmar, Itmatul

Khairijah, Derma Ihlas, Sumatra-Batavia al-Khairijah. Perhimpunan serupa lainnya diMakassar ialah Maidjitil Islam. Perhimpunan lain yang serupa di Sumatra Barat ialahDjami’ah Adabiah pimpinan Abdullah Ahmad, Muzakaratul Ikhwan pimpinan IbrahimMusa, dan Sumatra Thawalib pimpinan Hadji Rasul. Perhimpunan-perhimpunan laindi Surabaya ialah Podo Roso dan Taman Manikem. Lihat Adam (1995: 160-161),Korver (1985: 21-22), dan Junus (1960: 54-69).

123 Para pemimpin Budi Utomo (BU) cabang Yogyakarta terdiri terutama dari para gurusekolah guru. Di antara para pemimpin BU dan guru pada sekolah guru yang turutmendukung pendirian Muhammadiyah ialah Dwijosewojo, Djojosumarto Budihardjo

Page 263: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Formasi Intelegensia | 243

dan Sosrosugondo (Saefullah 1997: 68-76). 124 Terjemahan dari bahasa Inggris seperti yang dikutip oleh Adam (1995: 173).125 ‘Sunday Circular’ menyatakan bahwa tak sepatutnya mengadakan acara-acara Negara

pada hari Minggu dan mewajibkan semua pegawai pemerintah kolonial untuk berhentimengerjakan tugas-tugas resmi atau setengah-resmi pada hari Minggu. ‘Market Circular’merekomendasikan adanya pelarangan aktivitas pasar pada hari Minggu (Van Niel1970: 84).

126 Didirikan di New York pada tahun 1875, pengajaran Perhimpunan Teosofi didasarkanpada konsep-konsep persaudaraan universal, agama sinkretik, dan potensi mistikdalam kehidupan. Perhimpunan ini membuka cabangnya di Hindia pada tahun 1905sebagai bagian dari cabang negeri Belanda.

127 Setelah lahirnya pers vernakular milik keturunan Cina pada akhir abad ke-19 sertadidirikannya perhimpunan kebudayaan Cina, Tjong Hoa Hwe Koan (THHK) padatahun 1900, kesadaran orang keturunan Cina akan identitas, hirarki, dan ekspekstasi-ekspektasinya sendiri makin mendorong munculnya tuntutan bagi dihapuskannyahambatan-hambatan politik yang membatasi mobilitas mereka secara vertikal maupunhorizontal. Meningkatnya kesadaran ini, diiringi dengan menguatnya daya tawarekonomi mereka, serta adanya tanda-tanda dukungan politik dari pemerintah CinaDaratan kepada mereka, memaksa pihak Belanda untuk merespons tuntutan mereka.Sistem pas jalan, yang membatasi mobilitas horizontal orang-orang keturunan Cinadilonggarkan pada tahun 1904, kemudian didirikan Hollandsch-Chinese School (HCS)oleh pihak pemerintah pada tahun 1908, dan kemudian diberikannya kebebasan bagiorang keturunan Cina untuk melakukan aktivitas-aktivitas dan investasi-investasikomersial dalam bidang pabrik gula, industri-industri lokal, serta toko-toko kelontongmaupun perdagangan skala kecil.

128 Contoh-contoh dari serikat buruh awal ini ialah Staats Spoor Bond pada tahun 1905,Post Bond tahun 1905, Cultur Bond tahun 1907, Suiker Bond dan Vereeniging VanSpoor en Tram Personeel (VSTP) pada tahun 1908.

129 Mengenai fragmen dari biografi Sneevliet, lihat McVey (1965: 13-22).130 Sebagai perbandingan, Sarekat Islam hanya meraih satu kursi hasil pemilihan (Abdul

Muis) dan satu kursi sebagai anggota hasil penunjukan (R. Umar Said Tjokroaminoto).131 Lahir tahun 1892, dia sebenarnya bisa dimasukkan kepada generasi pertama inteligensia,

namun bisa lebih tepat disebut perintis generasi kedua seperti yang tercermin dariinsiatifnya untuk membentuk organisasi pemuda Hindia yang bernama Jong Java.

132 Ketiga tujuan itu ialah ‘sakti’ (kekuatan batin), ‘budhi’ (watak yang bagus), dan ‘bakti’(pengabdian).

133 Perhimpunan-perhimpunan di Hindia yang merupakan counterpart dari perhimpunan-perhimpunan di negeri Belanda yang mempromosikan Kristen dan kebijakan ‘asosiasi’bagi politik Hindia, pada awalnya muncul di kalangan komunitas-komunitas Kristenpribumi. Salah satu contohnya ialah perhimpunan ‘Wilhelmina’ bagi ‘Anak-anakAmbon-Menado’. Didirikan pada tahun 1908 (namun secara resmi baru diakui padatahun 1912), perhimpunan ini muncul di seputar tangsi militer di Magelang (JawaTengah)—karena banyak orang-orang Ambon dan Menado yang direkrut sebagaipersonel militer—dipimpin oleh J.P. Risakotta. Sebuah proyek serupa dilanjutkandengan didirikannya ‘Ambonsch Studiefonds’ (Beasiswa untuk Orang Ambon) pada

Page 264: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

244 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

tahun 1909 (secara resmi diakui pada tahun 1911); Ambon’s Bond (PerhimpunanAmbon) bagi para pegawai pemerintah yang orang Ambon di Amboina pada tahun1911; Rukun Minahasa (berdiri pada tahun 1912) dan Mena Muria (berdiri tahun1913) untuk orang-orang Minahasa dan Ambon yang Kristen di Semarang (Blumburger1931: 46-47, Pringgodidgdo 1964: 21). Perhimpunan-perhimpunan semacam inisecara umum diarahkan untuk memajukan kemadjoean dan kesejahteraan orang-orangMinahasa dan Ambon dalam kerangka identitas etno-religius dengan membentuk‘ikatan’ yang kuat dengan negeri Belanda.

134 Suwardi bergabung dengan SI cabang Bandung pada tahun 1912. Namun, setelahtahun 1913, dia menjadi lebih aktif dalam Indische Partij (Dewantara [nama panggilanSuwarrdi] 1952: 31).

135 Mengenai deskripsi rinci tentang latar belakang sosio-pendidikan dari para pemimpinawal SI, lihat Korver (1985: 231-265).

136 Ricklefs meragukan angka itu dengan menyatakan bahwa angka yang sebenarnyamungkin tak lebih dari setengah juta orang (Ricklefs 1993: 166).

137 Agus Salim mendukung argumen ini dengan mengatakan bahwa istilah ‘inlander’ atau‘Boemipoetra’ yang digunakan dalam bahasa formal pada masa itu secara umumditerjemahkan menjadi ‘orang Selam’ (Muslim) dalam bahasa percakapan sehari-hari diHindia. Sementara kelompok-kelompok pribumi yang bukan Islam, memiliki sebutannyasendiri, seperti Inlandsche Christenen (Salim 1952: 15).

138 Maka, koran-koran dan majalah-majalah seperti Boedi Oetomo (1910-1913) danDjawi Hisworo (1906-1919), yang menjadi corong dari Budi Utomo, dalam dekadekedua abad keduapuluh juga menjadi corong bagi perhimpunan Budi Utomo; al-Munir(1911-1913) dan al-Akhbar (1913-1914) menjadi corong bagi kaum reformis-modernisIslam; Oetoesan Melaju (1911-1926), Soeloeh Melajoe (1913-?) dan Soeara Mealjoe(1913-?) menjadi corong bagi Kaoem Moeda yang berorientasi adat; Sarotomo (1912-1915), Oetoesan Hindia (1912-1923), Kaoem Moeda (1912-1942), Hindia Sarikat(1913-1914), Pantjaran Warta (1907-1917, menjadi corong bagi SI setelah 1913), danSinar Djawa (1913-1924) dan al-Islam (1916-?) menjadi corong SI; De Express (1912-?) dan Tjahaja Timoer (1908-1908) menjadi corong Indische Partij; Soeara Merdika(1917-?) dan Soeara Ra’jat (1918-?) menjadi corong ISDV dan cabang-cabang sosialisnya.

139 Lihat bab selanjutnya.140 Menurut Ortega, yang menjadi sasaran dari pesan intelektual ialah ‘kaum muda’, yang

dia anggap merupakan elit terdidik di kalangan kelas menengah dan atas (Eyerman1994: 51-52).

Page 265: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 245

Bab 3

MENCIPTA INDONESIA,MENCIPTA TRADISI-TRADISI

POLITIK INTELEKTUAL

“Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik,karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air

pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orangIndonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan

kemampuannya.”

—Mohammad Hatta (1928)1

“Akibat muslihat kebijakan [Belanda] ini berkembangsemacam pemikiran di antara kita bahwa di negeri ini warga

dikelompokkan secara berbeda .… Kita menciptakan kelompokyang saling mengucilkan. Kamu hanya bisa menjadi yang ini atauyang itu, tidak menjadi Muslim dan (sekaligus) mencintai negeri.

Padahal sesungguhnya, kami semua adalah nasionalis danpatriotis, dan kami semua juga Muslim.”

—Edaran Masjumi (1944)2

Sejak dekade kedua abad ke-20, inteligensia telah menemukancara-cara untuk berkomunikasi dengan massa rakyat. Saat me -nyadari penderitaan yang dialami massa, pesona ide-ide

Page 266: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

246 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

kemadjoean yang diwarisi dari dekade-dekade sebelumnyamenjadi redup daya tariknya. Dihadapkan pada fenomenaperluasan dislokasi sosial, inteligensia-sadar-politik merasatertantang untuk segera me ner jemahkan ideologi-ideologianutannya ke dalam program-prog ram aksi yang praktis dalamrangka melakukan perlawanan ter hadap kolonialisme.

Memburuknya perekonomian Hindia pasca-Perang Dunia Idan depresi ekonomi dunia yang hebat pada 1930-an menyediakanlahan yang subur bagi merajalelanya radikalisme. Di tengah me -luas nya semangat untuk melakukan perlawanan politik, banyakperhimpunan proto-nasionalis terdahulu yang mulai mengabaikantujuan-tujuan sosio-kulturalnya dan lebih peduli pada pengadopsi -an dan perumusan ideologi-ideologi politik. Se bagai responster hadap timbulnya persaingan ideologi-ideologi po litik, gerakan-gerakan sosial proto-nasionalis yang kurang ter struk tur padadua dekade awal abad ke-20 mulai mentransformasi kan dirinyamenjadi “partai-partai politik” yang terstruktur.

Seiring dengan merajalelanya radikalisme politik, “PolitikEtis” segera menjadi kredo yang usang. Pada dekade pertamaabad ke-20, kaum Ethici seperti Snouck Hurgronje, secaraterbuka menyata kan: “Kita tak bisa menggantungkan rasaketenteraman kita pada ukuran-ukuran yang berfungsi untukmemperkukuh kekuasaan kita dengan mencegah ketidakpuasandan perlawanan. Tujuan kita bukanlah kedamaian, yang sebelumini memang begitu dihargai, melainkan adalah kemajuan.”3

Namun, pada awal 1920-an, arus utama dalam opini publikBelanda beranggapan bahwa para inte lektual Hindia yangprogresif merupakan pengacau ketertiban publik di negerijajahan. Untuk mengekang potensi ketidakpatuhan ini, rezimrust en orde (ketenteraman dan ketertiban) semakin diper tegasoleh pemerintah kolonial. Alih-alih mendorong ditegakkan nya

Page 267: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 247

pemerintahan hukum, rust en orde merupakan eufemisme bagipenggelaran aparatur represif kolonial yang menegasikan penegak -an prinsip-prinsip hukum.

Pada akhir Perang Dunia I, terdapat indikasi-indikasi bahwarevolusi sosial-demokratik di Jerman akan merembes masuk kenegeri Belanda. Dengan adanya kemungkinan kuat bahwa kaumSosial Demokrat Belanda akan mengambil alih kekuasaan danmembentuk pemerintahan di negeri Belanda, pendukung “Kon -sentrasi Radikal” dalam tubuh Volksraad (Dewan Rakyat) Hindiamenuntut pemerintah agar memperbarui prinsip-prinsip danstruktur fundamental dari Dewan dan administrasi kolonialdengan tujuan agar bisa memenuhi kepentingan-kepentinganpenduduk Hindia secara lebih baik.4 Sebagai jawabannya,Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum (1916-1921), yangmungkin tahu bahwa pihak yang berkuasa di negeri Belandadalam keadaan aman, menjanjikan untuk membentuk sebuahKomisi Reformasi (Reform Comission) untuk menyelidikikemungkinan melakukan pembaruan dalam bidang-bidangtersebut dalam kerangka struktur politik yang ada. Dalamkenyataannya, karena adanya kritik tajam dari masyarakat Eropayang tinggal di Hindia dan juga dari para politisi di negeriBelanda, yang menggambarkan Komisi itu sebagai sebuah konsesiyang tak bertanggung jawab atas ketakutan akan terjadinyarevolusi, maka penyelidikan terhadap masalah pembaruan itupun gagal dijalankan (Ricklefs, 1993: 173-174; Van Niel, 1970:184-185).

“Janji-janji yang tak terwujud” dari Van Limburg Stirum initam paknya menunjukkan telah berakhirnya dukungan simpatikdari para pembuat kebijakan Etis. Hal ini dipertegas pada 1818dan 1819 pada saat pemerintahan kolonial mulai melakukanrepresi terhadap semua aktivitas politik lokal yang dikhawatirkan

Page 268: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

248 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

akan menjadi gerakan-gerakan radikal yang tak terkontrol.5

Dengan memburuknya ekonomi Hindia setelah Perang DuniaI, dua Gubernur Jenderal yang bertugas selanjutnya, yaitu DirkFock (1921-1926) dan Simon de Graeff (1926-1931), menemukanalasan untuk lebih memperkuat rezim kolonial yang represif.Pem baruan konstitusi pada 1922 gagal menciptakan perubahan-per ubahan yang signifikan baik dalam tubuh Volksraad maupundalam struktur pemerintahan. Pada 1925, Gubernur Jenderalmenolak klausul yang memungkinkan kaum pribumi Hindiamenjadi ma yoritas di Volksraad (Ingleson, 1979, 8). Selain itu,Fock berusaha untuk meningkatkan pendapatan pemerintahmelalui pajak. Pem berontakan-pemberontakan komunis pada1926 dan 1927, yang sebagian dipacu oleh kondisi malaiseekonomi dan politik di Hindia, semakin memberikan alasanyang kuat bagi Simon de Graeff untuk memberangus gerakan-gerakan politik.

Dalam keadaan depresi ekonomi dunia terus berlanjut sepan -jang 1930-an yang membawa dampak-dampak yang berat bagiHindia,6 dua Gubernur Jenderal, yaitu Bonifacius C. De Jonge(1931-1936) dan Stachouwer W.L.T. van Starkenborgh (1936-1945), terus mempertahankan kebijakan pemberangusan. Saatdilantik pada bulan September 1931, De Jonge memperingatkanpara aktivis politik: “Slo gan-slogan politik, yang memilikimanfaat tertentu pada masa-masa makmur, sekarang tak adalagi gunanya” (Dikutip dalam Ingleson, 1979: 177). Dalampandangannya, agitasi politik yang tak realistis di tengah-tengahkesulitan ekonomi, hanya akan memperburuk kon disi ekonomi.Penerusnya, Van Starkenborgh, yang lebih ber sifat fleksibel,juga tak melakukan perubahan yang signifikan (Ricklefs, 1993:188). Di bawah kekuasaan dari dua Gubernur Jenderal itu, halyang terpenting buat mereka ialah mempertahankan “ketenteram -

Page 269: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 249

an dan ketertiban” (rust en orde) publik secara lebih tegas lagi.Se panjang periode ini, media massa disensor ketat, rapat-rapatumum dikontrol dengan ketat oleh para agen rahasia, danbeberapa tokoh politik yang terkemuka ditangkap dan diasingkan.Maka, ruang pub lik yang masih belia itu pun segera “terpenjara”oleh sangkar besi dari rezim rust en orde.

Kontrol politik yang represif ini terus berlanjut dan bahkanse makin memburuk selama pendudukan Jepang (1942-1945).Peme rintah militer Jepang melarang setiap diskusi atau organisasiyang berkaitan dengan politik atau pemerintahan di Hindia.Pengetatan ini mengakibatkan organisasi-organisasi politik yangmuncul se belum Perang Dunia II dengan segera lenyap dariruang publik.

Sederetan peristiwa historis ini mengubah struktur peluangpolitik dan ruang publik, dan secara dramatis mengubah kesem -pat an-kesempatan yang tersedia bagi gerakan nasionalis yangbaru. Di satu sisi, perubahan-perubahan ini memberi imptusbagi mun cul nya ide-ide bersama yang mengarah pada formasi“Indonesia” sebagai sebuah komunitas imajiner dan sebuahkode dari suatu blok historis (historical bloc). Di sisi lain,perubahan-perubahan ini juga memengaruhi interaksi-interaksiantara negara (kolonial) dan masyarakat serta memperuncingkompetisi di antara beragam kelompok politik. Ketegangan inimengarah pada terbentuknya pelbagai tradisi politik intelektual.

Bab ini akan meliputi rentang waktu 1920-1945, sebuah pe -riode ketika gagasan mengenai nasionalisme dan negara Indonesiadidiskusikan di kalangan kelompok-kelompok inteligensia yangsaling bersaing dan periode yang inteligensia berpendidikantinggi mulai memainkan peranan yang lebih besar dalamkepemimpinan bangsa ini. Pembahasan dalam bab ini akan

Page 270: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

250 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

menunjukkan bahwa sepanjang periode ini, konsepsi mengenai“inteligensia Muslim” mulai dikonsolidasikan bersamaan denganpengonstruksian tradisi politik-intelektual Muslim, dan jugabersamaan dengan terjadinya fragmentasi dalam tradisi intelektualMuslim. Batas antara “Muslim” dan “non-Muslim” dikonstruksi -kan lewat praktik-praktik diskursif, lewat perumusan ideologi-ideologi politik Islam, dan lewat ke munculan partai-partai Islamdan perhimpunan-perhimpunan pel ajar Muslim. Bab ini akandiakhiri dengan pembahasan mengenai kegagalan Islam politiksaat kemerdekaan Indonesia.

Seperti bab sebelumnya, fokus perhatian dari bab ini akandiarahkan pada bidang pendidikan, praktik-praktik diskursif,ruang publik, dan “permainan-permainan kuasa” (konsolidasidan kon testasi) dari inteligensia. Dengan terbentuknya tradisi-tradisi po litik-intelektual selama periode ini, perhatian khususakan diberi kan pada formasi dan transmisi antar-generasi daritradisi-tradisi politik-intelektual Muslim. Juga seperti babsebelumnya, struktur penulisan bab ini tidak sepenuhnya bersifatkronologis. Pendekatan kronologis akan dikombinasikan denganpendekatan tematik. Jadi, kronologi menurut sub-subtopik daribab ini. Dengan kata lain, kronologi yang ada dalam sub-subtopik akan bersifat berdiri sendiri.

Pemajuan dan KetergangguanSekolah-Sekolah SekulerPeriode antara 1920-an sampai dengan awal pendudukan Jepangpada 1942 merupakan masa keemasan bagi akses kaum pribumiterhadap pendidikan modern dengan kualitas standar Eropapada abad ke-20. Di bawah pengaruh pendidikan moderntersebut, para siswa Hindia menjadi lebih kosmopolitan.

Page 271: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 251

Penguasaan mereka atas bahasa Eropa memberi mereka pasporuntuk bisa masuk ke dalam lingkungan warga “Respublicalitteraria” (Republik Susastra) Barat, yang merupakan sumberutama dari pengetahuan dan per adaban Barat.

Introduksi sekolah-sekolah publik bergaya Eropa bagi kaumpribumi Hindia pada 1910-an, seperti HIS (sekolah dasar),MULO (sekolah menengah pertama), dan AMS (sekolah menengahatas), menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah inteligensiapribumi (yang berasal dari golongan rendahan) yang belajarbahasa-bahasa Eropa dan mendapatkan kualifikasi-kualifikasipendidikan yang lebih baik. Kemajuan pendidikan di Hindia inimemuncak dengan didirikannya perguruan-perguruan tinggisejak 1920-an. Setelah itu, peran STOVIA sebagai produsenutama para intelektual ter kemuka dari golongan inteligensiadiambil alih oleh universitas-universitas.

Namun, perkembangan-perkembangan ini terganggu olehke hadiran pendudukan Jepang. Pihak Jepang memperkenalkansebuah rezim pendidikan yang berbeda yang lebih menekankanpada pen didikan militer dan paramiliter. Hal ini menjadi katalisbagi ter tanam nya mentalitas militeristik dan bagi terbentuknyainteligen sia militer pada masa depan.

Kemajuan Pendidikan di Tingkat Dasardan MenengahMemasuki 1920-an, politik Etis dan “asosiasi” dalam bidangpen didikan mulai menghasilkan dampak yang nyata terhadapprofil pendidikan kaum pribumi. Pada 1920, dari sekitar48.428.711 total penduduk Hindia pada masa itu, total pendaftarpribumi di sekolah-sekolah publik dan swasta dari semua jenisadalah sekitar 829.802 siswa,7 sebuah peningkatan sebesar

Page 272: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

252 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

519.306 dari angka pada tahun 1910. Angka ini tidak mencakuppara siswa di “wilde schoolen” (sekolah-sekolah liar) yang mulaibermunculan pada 1920-an.8 Yang dimaksud dengan sekolahliar ialah sekolah-se kolah yang tidak diakui oleh lembaga resmimana pun, dan biasa nya didirikan oleh para anggota idealis dariinteligensia yang tidak ingin bekerja untuk pemerintah kolonial,dan yang didirikan se bagai jawaban terhadap kebutuhan akanpendidikan yang bergaya Barat (Van Niel, 1970: 219-220).

Dibandingkan dengan profil 1910, terdapat sebuah pening -katan yang sangat besar dari jumlah pribumi yang bersekolah disekolah Eropa pada semua tingkat. Anak-anak Hindia yang ber -sekolah ini ke banyakan berasal dari keluarga yang ayahnya be -kerja sebagai pe gawai pemerintah. Hanya sebagian kecil darisiswa-siswa ini yang ayah nya bekerja sebagai pegawai padaperusahaan-perusahaan swasta Eropa atau dari kalangan pengusahapribumi.9

Kebanyakan siswa Hindia yang mengejar pendidikan Baratmasih terus dimotivasi oleh hasrat untuk meraih posisi-posisida lam birokrasi pemerintah dan dalam sektor ekonomi Barat.Sebuah survei pemerintah yang dilakukan pada 1928-1929 didaerah-daerah perkotaan menunjukkan bahwa lebih dari 83

Tabel 2: Pribumi yang Mendaftar di Sekolah‐Sekolah Rakyat dan Sekolah‐Sekolah Bergaya Eropa pada 1910 – 1920

Sumber: Dimodifikasi dari Paul W. Van der Veur (19169: 7, 11‐11a).

TahunSekolah Bergaya Eropa

SekolahDasar

SekolahMenengah

SekolahKejuruan

1910 303.868 5.108 50 1.470 310.496

1920

SekolahRakyat TOTAL

Page 273: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 253

persen dari kaum pribumi yang terdidik secara Barat bekerjasebagai pegawai (hanya 2,1 persen dari majikan mereka yangmerupakan orang pribumi Hindia), sementara kurang dari 2persen dari mereka yang berwirausaha, dan sisanya menganggur(Kahin, 1952: 29-30). Di sisi lain, daya serap dari lembagapemerintahan dan sektor ekonomi Barat terhadap mereka yangberlatar pendidikan rendah telah jenuh. Karena pengaruh darimemburuknya situasi ekonomi pasca-Perang Dunia I, baik sektorpemerintahan maupun ekonomi swasta pada gilirannya terpaksamenjalankan kebijakan rasio nali sasi. Sebagai konsekuensinya,ijazah sekolah dasar yang pada masa sebelumnya mencukupiuntuk bisa masuk menjadi pegawai pe merintah tingkat rendah,tidak berlaku lagi pada dekade ini (Van Niel, 1970: 218-219).Pada akhir 1920-an, para lulusan sekolah dasar, bahkan lulusansekolah menengah telah melampaui jumlah posisi-posisi pekerjaanyang tersedia, dan ini menyebabkan ber kembangnya semacam“proletariat inteligensia” (Van der Veur, 1969: 7-11).

Pengembangan Pendidikan UniversitasMeski jumlah mereka yang belajar di sekolah dasar dan menengahterus meningkat, sementara daya serap dari pasar kerja terhadaplulusan pendidikan pada level dasar dan menengah telah jenuh,respons pemerintah kolonial terhadap situasi tersebut dalamwujud penyediaan pendidikan universitas sebagai bagian darisolusi sa ngatlah lamban. Memang benar bahwa lembaga pendidikantinggi di Hindia telah disediakan oleh beberapa sekolah tinggiseperti STOVIA dan NIAS. Namun, berdasarkan kriteria Belandayang ketat mengenai kategori pendidikan universitas, sekolah-sekolah tersebut hanya diklasifikasikan sebagai sekolah-sekolahkejuruan (Van der Veur, 1969: 5).

Page 274: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

254 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Tuntutan paling awal bagi penyediaan universitas munculdari sekelompok kecil blijvers (orang-orang Belanda yang menetapsecara permanen di Hindia). Untuk mendorong pemerintah ko -lonial agar mau mendirikan sebuah universitas, pada 1901kelom pok itu mendirikan Indische Universiteitvereeniging (Perhim -punan Universitas Hindia). Namun, upaya ini tidak mendapatkanrespons yang signifikan dari pihak pemerintah. Alasan yang di -berikan pada saat itu ialah bahwa jumlah lulusan sekolah me -nengah masih terlalu kecil untuk bisa mendirikan sebuah univer -sitas. Akan tetapi, pada 1910-an, ketika jumlah lulusannya telahcukup besar, masih saja tak ada kehendak kuat dari pemerintahuntuk mendirikan universitas. Ketika pada akhirnya sebuah uni -versitas didirikan, raison d’être-nya bukanlah untuk meresponstuntutan publik bagi tersedianya pendidikan tinggi, melainkanlebih karena pemerintah kolonial tak bisa mendatangkan cukupbanyak rekrutmen pegawai baru dari negeri Belanda (dan negeriEropa lainnya), terutama untuk personel dalam bidang teknik,medis, dan administratif bagi birokrasi Hindia pasca-PD I (Junge,1973: 3).

Terobosan itu sekali lagi mencerminkan efek dari kepen -tingan-kepentingan kapitalis. Pada 1920, sebuah yayasan milikperusahaan-perusahaan swasta Belanda mengambil inisiatif untukmendirikan Technische Hoogeschool (THS, Sekolah TinggiTeknik) di Bandung. Tujuan awal dari THS ialah untukmenghasilkan para insinyur sipil bagi proyek-proyek irigasi dankonstruksi sipil, dan juga untuk menghasilkan teknisi-teknisimuda bagi perkebunan-perkebunan karena jumlah suplai insinyurterlatih yang berasal dari Eropa menjadi merosot selama dansetelah Perang Dunia I. Pada 1924, pemerintah mengambil alihinstitut ini dari yayasan tersebut, dan mengelolanya sebagaisebuah lembaga milik pe merintah.

Page 275: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 255

Kebutuhan mendesak akan ahli hukum (lawyers) dalam bi ro -krasi sipil Hindia karena kurangnya jumlah jaksa pada tahun-tahun awal pasca-PD I dan kesulitan untuk menarik para ahlihukum dari Eropa, bahkan sekalipun telah ditawari bonus yangbesar, memaksa pemerintah untuk mendirikan Rechtshoogeschool(RHS, Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia pada 1924. Karenaalasan-alasan yang sama, meningkatnya kebutuhan (terutamadari komunitas perkebunan Eropa) akan personel medis yanglebih baik, yang tak bisa dipenuhi lagi dari negeri Belanda,mendorong pihak peme rintah untuk meng-up-grade pendidikanmedis yang ada. Sehingga, pada 1927, GeneeskundigeHoogeschool (GHS, Sekolah Tinggi Kedokteran) mulai didirikandi Batavia. Dengan dibukanya GHS, STOVIA secara berangsur-angsur dilebur ke dalam institut tersebut, sementara NIAS diSurabaya tetap dipertahankan dengan status awalnya.

Salah satu karakteristik yang menonjol dari universitas-uni -versitas awal ini adalah bahwa mereka tidak langsung berdiri se -bagai institusi yang besar, tetapi tumbuh dari sebuah “fakultas”,dan di seputar fakultas itulah, fakultas-fakultas yang lain bermun -culan (Junge, 1973: 3). Lebih dari itu, bukti yang ada menunjukkanbahwa pada awalnya, perguruan-perguruan tinggi tersebut diper -untukkan terutama bagi orang-orang Eropa (termasuk orangEurasia atau Indo), dengan jatah tertentu dicadangkan untukorang Cina dan beberapa orang pribumi keturunan priayi yangtelah meng adopsi gaya hidup Belanda (Thomas, 1973: 19-26).

Karena pendirian pendidikan tinggi ini sangat lamban dantidak memberikan status profesional yang penuh, banyak anakmuda Hindia lulusan sekolah menengah terbaik yang memutuskanuntuk melanjutkan studinya ke negeri Belanda. Hal ini terutamaberlangsung pada tahun-tahun awal setelah Perang Dunia I. Pe -nasihat pemerintah Belanda untuk urusan kesiswaan memper -

Page 276: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

256 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

kirakan bahwa jumlah mahasiswa Hindia di negeri Belandapada akhir 1924 sekitar 673 (Ingleson, 1979: 1-3).10 Dibandingkande ngan para pendahulunya, kebanyakan dari para mahasiswapasca-perang ini melanjutkan studinya ke negeri Belanda karenadukung an beasiswa yang disediakan oleh pihak pemerintahBelanda atau masyarakat lokal.11

Adalah juga penting untuk dicatat bahwa seiring dengan in -troduksi pendidikan universitas ini, terdapat peningkatan dalamjumlah lembaga-lembaga penelitian di Hindia, dan banyak dian taranya yang memiliki reputasi internasional yang tinggi.12

Selain dari institut-institut yang disponsori oleh pemerintah,beberapa dari institut penelitian ini didirikan oleh komunitaskapitalis swasta.13 Sayangnya, keterlibatan orang pribumi dalaminstitut-institut tersebut masih tak signifikan. Penelitian ilmiahbagi kebanyakan kaum terdidik pribumi masih menjadi barangmewah, sehingga medan pengembangan pengetahuan dariinteligensia terkemuka pada masa itu pada umumnya masihterbatas pada studi di universitas.

Peningkatan lebih lanjut dalam jumlah mahasiswa pribumi diperguruan tinggi di Hindia dimungkinkan dengan dibukanyabeberapa perguruan tinggi dalam rentang waktu lima tahunsebe lum pendudukan Jepang. Sebuah sekolah tinggi untukmendidik para pegawai pribumi dalam pemerintahan lokal,yaitu bes tuur sacademie (Akademi Pemerintahan), didirikan olehpihak pe merintah kolonial pada 1938. Selanjutnya, SekolahTinggi Sastra dan Filsafat dibuka di Batavia pada tanggal 1Oktober 194014 yang diikuti dengan pendirian Sekolah TinggiPertanian di Bogor pada 1941. Hampir bersamaan dengan itu,sebagai konsekuensi dari invasi Nazi ke negeri Belanda padaawal Mei 1940, beberapa in stitusi pendidikan, terutama institusipendidikan militer, direlo kasikan ke Hindia. Sehingga pada

Page 277: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 257

1940, Belanda mendirikan Se kolah Kadet Militer di Bandungyang mengikuti model Akademi Militer Kerajaan di Breda(Belanda), yang diikuti dengan berdiri nya Akademi Marinir diSurabaya (Thomas, 1973: 35; Redaksi SMT, 1998: 29-30).Pada bulan Februari 1942, pihak pemerintah mengeluarkansebuah keputusan untuk menyatukan semua per guruan tinggiyang terpencar-pencar di berbagai kota itu, kecuali perguruantinggi militer, menjadi satu universiteit (universitas). Namun,keputusan ini hanya berlaku di atas kertas, karena masuk nyabalatentara Jepang ke Hindia menyela proses impelemen tasi nya(Junge 1973: 4).

Jadi, meskipun terjadi resesi ekonomi dan represi politik,ajeknya kebutuhan pihak pemerintah dan birokrasi swasta akantenaga kerja yang terlatih, memungkinkan sektor pendidikanun tuk mencapai kemajuan yang belum pernah dialami sebelumnya.Menjelang masuknya kekuasaan sementara Jepang, statistik pen -didikan pada 1940 menunjukkan bahwa total orang pribumiyang belajar di sekolah publik dan swasta dari semua tipe dantingkatan di Hindia adalah sekitar 2.325.174 (termasuk mahasiswa,kecuali para siswa sekolah liar).15 Angka ini sama dengan sekitar3,3% dari total penduduk Hindia pada masa itu.16 Pada saatyang sama, jumlah siswa yang belajar di empat perguruan tinggi(yaitu THS, RHS, GHS, dan Bestuursacademie) adalah 1.246.Namun, hampir separuh dari mereka yang belajar ini adalahsiswa dari golongan Eropa (termasuk Indo) dan keturunan Cina,sementara total siswa pribumi hanya 673 (Van Der Veur 1969:5-15; Thomas, 1973: 11-12).17

Selama periode ini, juga terdapat ratusan lulusan pribumibaik dari universitas-universitas dalam maupun luar negeri.Sam pai dengan 1940, jumlah total lulusan pribumi dari perguruantinggi dalam negeri (kecuali lulusan dari sekolah-sekolah yang

Page 278: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

258 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

dianggap sebagai kejuruan, seperti STOVIA dan NIAS) hanyasekitar 55. Meskipun jumlah total dari lulusan pribumi masihlebih rendah dibandingkan dengan jumlah kombinasi lulusanEropa dan ketu runan Cina, ada kecenderungan bahwa orang-orang pribumi mulai mendominasi universitas dalam negerisejak 1940. Pada tahun tersebut, jumlah lulusan untuk setiapkelompok populasi adalah 39 untuk keturunan pribumi, 23untuk keturunan Cina, dan 19 untuk keturunan Eropa. Sementaraitu, sepanjang periode 1924-1940, jumlah total lulusan pribumidari universitas-universitas di negeri Belanda diperkirakan sebesar344. Saat yang sama, para lulusan keturunan Cina Hindia darinegeri kincir angin itu men capai sekitar 360, yang berartiproprosi lulusan keturunan Cina lebih besar daripada proporsilulusan keturunan pribumi (Van Der Veur, 1969: 5-15; Kahin,1952: 31-32).

Nyata jelas bahwa inteligensia pribumi yang mengenyampen didikan tinggi pada masa itu sangatlah kecil. Kecilnya jumlahme reka itu menjadi jaminan bahwa mereka akan meraih statusyang tinggi dan akan mengemban peranan yang menentukandalam ke pe mimpinan gerakan politik nasional. Untuk menandaimuncul nya orang-orang Hindia yang berpendidikan tinggi,istilah “in tellec tueel(en)’’ (yang secara harfiah berarti intelektual/para inte lektual) mulai digunakan secara populer sebagai kodebaru bagi golongan inteligensia.

Dampak Pendidikan terhadap GenerasiKedua InteligensiaMereka yang masuk universitas pada 1920-an dan 1930-an,ber sama dengan inteligensia lainnya yang lahir terutama selamalima belas tahun pertama abad ke-20, merupakan generasi kedua

Page 279: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 259

inteli gensia Hindia. Generasi ini barangkali merupakan generasiyang paling berilmu (erudite) dan produktif sepanjang abad ke-20. Ge nerasi ini terdiri dari orang-orang dengan pendidikanBarat berstan dar tinggi, fasih dalam beberapa bahasa Eropa,terbuka terhadap kultur dan wacana intelektual modern, memilikikerangka mental (mindset) yang kosmopolitan dan jaringaninteraksi yang luas, serta menghasilkan karya-karya intelektualyang sangat produktif dan bermutu tinggi (paling tidak untukstandar Indonesia).

Sebagai produk langsung dari kebijakan “asosiasi”, inteligen -sia dari generasi ini juga secara umum merupakan inteligensiayang paling sekuler. Namun, dengan dilonggarkannya persyaratan“ketu runan” sebagai syarat masuk sekolah-sekolah bergayaEropa, inte ligensia dari golongan priayi Islam rendahan dandari keluarga borjuis kecil Muslim dalam generasi ini mulaimeningkat.

Terekspos pada pengajaran kaum reformis-modernis Islam,dalam masa kanak-kanak atau di sela-sela studi mereka disekolah menengah dan di perguruan tinggi, beberapa anak darikeluarga Muslim (santri) ini mampu mempertahankan semangatdan iden titas keagamaannya. Sehingga, muncullah pribadi-pribadi Muslim yang terkemuka, seperti Raden Sjamsuridjal(lahir 1903), yang merupakan anak seorang penghulu; MohammadNatsir (lahir 1908), anak dari seorang juru tulis kontrolir;18

Kasman Singodimedjo (lahir 1908), anak dari seorang lebai(pengurus agama di desa); Mohamad Roem (lahir 1908) danPrawoto Mangkusasmito (lahir 1910), keduanya anak dari lurahyang taat beragama; Jusuf Wibisono (lahir 1909), anak dariseorang mantri ukur.19

Sebagai konsekuensinya, jumlah inteligensia Muslim dari ge -

Page 280: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

260 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

nerasi kedua jauh lebih besar daripada generasi yang pertama.Pertanda dari signifikannya kehadiran inteligensia Muslim gene -rasi kedua ini ialah kemunculan perhimpunan-pelajar Muslim(se kolah menengah), seperti Jong Islamieten Bond pada 1925,dan study club Islam dari para mahasiswa Islam, yaitu StudentenIslam Studieclub (SIS) pada 1934.

Pendidikan Sekuler Selama PendudukanJepangPendudukan Jepang, dengan fokusnya pada usaha-usaha kemi -literan, memberikan peluang politik baru bagi perkembanganin teligensia. Sementara pendudukan itu menyela kemajuan pen -didikan Barat, hal itu juga mempromosikan jenis baru darirezim pendidikan.

Pemerintahan militer Jepang menutup semua sekolah, meskibeberapa darinya secara berangsur-angsur dibuka kembali sejalandengan kepentingan-kepentingan dari rezim yang baru itu.20 Se -mentara Jepang menunjukkan perhatian yang setengah hati ter -hadap pengembangan sekolah-sekolah konvensional, merekase cara penuh semangat memperkenalkan suatu jenis pendidikanbaru yang mereka pandang sangat dibutuhkan bagi upaya perangJepang, yaitu pendidikan militer dan paramiliter.21 Diperkenalkan -nya pen didikan militer/paramiliter inilah yang melahirkangenerasi baru inteligensia yang secara umum tidak memilikipengetahuan Barat secara mendalam, tetapi memiliki semangatnasionalisme dan ke mer dekaan yang sangat tinggi.

Pemajuan Sekolah-Sekolah IslamSecara umum, kemunculan intellectueelen yang memiliki pen -

Page 281: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 261

didikan universitas memperluas jurang antara ulama dan inte li -gen sia. Seperti yang diakui Sukiman Wirjosandjojo (lahir 1896)22

dalam memoarnya (1984: 27):

Memang benar bahwa pada masa lalu intellectueelen tidak sukabelajar Islam karena mayoritas guru Islam, ulama dan kjaikurang memiliki pengetahuan umum. Karena itu, in tellectueelentidak bisa bergaul dengan mereka. Sebaliknya, para guru Islamdan yang sejenisnya tidak bisa bergaul dengan intellectueelenkarena pengetahuan mereka berbeda dari kaum intellectueelen.

Lebih lanjut, karena inteligensia Muslim cenderung lebihdekat kepada komunitas ulama reformis-modernis, maka relasidi antara intellectueelen Muslim (yang memiliki pengetahuankeagamaan) dan ulama tradisionalis menjadi memburuk.

Dengan demikian, posisi ulama tradisionalis terancam dariatas dan bawah. Dari atas, terjadi peningkatan pengaruh dariinteli gensia Muslim sebagai pemimpin politik Muslim; sementaradari bawah, berlangsung penetrasi kultural yang semakinmendalam dari aktivitas-aktivitas kaum reformis-modernis yangmulai me ma suki desa-desa. Ancaman-ancaman ini memaksabanyak ulama tradisionalis untuk mempertimbangkan kembaliposisi mereka. Beberapa dari mereka menjawabnya secara positif.Agar bisa ber tahan hidup, mereka meniru taktik dan metode-metode lawan me reka. Sehingga, mereka sekarang mulaimemperkenalkan mad rasah ke lingkungan pesantren, meng -gunakan bahasa lokal (yang dicampur dengan bahasa Arab)dalam khutbah Jumat, memberikan pelajaran-pelajaran umum,membaca koran-koran yang memakai huruf Latin, mengadopsiteknologi pendidikan modern, dan se bagai nya.

Page 282: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

262 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Akibat dari introduksi madrasah dan pelajaran-pelajaranumum dalam komunitas epistemik tradisionalis ini, muncullahseke lom pok inti ulama-intelek tradisional, yang akan memainkanperanan penting dalam kepemimpinan komunitas itu. Sejalandengan per kembangan ini, sekolah-sekolah kaum reformis-modernis meng alami perkembangan yang pesat. Selain sistemmadrasah, komu nitas reformis-modernis mulai mendirikan sistem“sekolah”.23 Dalam jangka panjang, usaha-usaha pendidikandari kaum Muslim ini akan mempersempit jurang antara ulamadan intellectueelen.

Modernisasi Sekolah-Sekolah TradisionalisPelopor sistem pendidikan madrasah dalam milieu komunitastradisionalis adalah Abdul Wahab Chasbullah (lahir 1888).Setelah kepulangannya dari belajar di Makkah (1909-1914),24

dia mulai berkolaborasi dengan Mas Mansur (mantan mahasiswaAl-Azhar yang bergabung dengan Muhammadiyah pada 1921)untuk mendirikan jam’iyah yang bernama Nahdlatul Wathan(Kebang kitan Negeri) di Surabaya pada 1916. Tujuan darijam’iyah ini ialah untuk mengangkat mutu pendidikan bagiumat Islam dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah Islammodern Nahdlatul Wathan dengan wawasan nasionalis.25

Meski demikian, pusat teladan dari modernisasi komunitasepistemik tradisionalis di Jawa ialah Pesantren Tebuireng diJombang, Jawa Timur. Didirikan pada 1899 oleh Hasjim Asj’ari(1871-1947), seorang mantan murid Achmad Khatib, pesantrenini dengan segera terkenal sebagai pusat studi Islam tingkattinggi, terutama di kalangan komunitas tradisionalis. Selamahampir dua puluh tahun pertama sejak pendiriannya, pesantrenini mempertahankan metode-metode pengajaran tradisional

Page 283: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 263

seperti sorogan dan weton. Lalu pada 1916, Kiai Ma’sum (anakmenantu pertama Kiai Asj’ari yang pernah belajar di Makkah)memperkenalkan sistem pendi dik an madrasah di lingkunganpesantren, yang kelak pada 1919 dikenal sebagai madrasah“Salafiyah Syafi’iyah”. Sejak didirikan, madrasah ini telahmengadopsi sistem kelas berjenjang dan peng ajaran dalam kelas.Namun, baru pada 1919, pelajaran-pelajaran umum mulai bisadiajarkan karena adanya resistensi yang kuat di dalam pesantrenterhadap apa pun yang berbau modern (Dhofier, 1982: 104).

Sebuah upaya lebih jauh untuk memodernisasi madrasah inidilakukan oleh Mohammad Iljas (lahir 1911, anak dari kakakpe rempuan istri Asj’ari). Latar belakang pendidikannya sungguhtak lazim untuk kalangan Muslim tradisional. Dia belajar di HISdi Surabaya (1918-1925), kemudian setelah menyelesaikanpendidik an modernnya ini, dia memilih untuk memperdalampengetahuan keagamaan di Pesantren Tebuireng. Pada 1929,dia diangkat sebagai lurah di pesantren itu dan menjadi kepalasekolah madrasah “Sa lafiyah Syafi’iyah”. Di bawah kebijakannya,kurikulum madrasah tersebut memberikan lebih banyak penekananterhadap pengajaran ilmu alat (bahasa Arab) dan yang lebihpenting, mulai memper kenalkan pelajaran-pelajaran umum danmeningkatkan penge tahuan umum para siswa denganmemperkenalkan koran, majalah, dan buku-buku yang ditulisdalam huruf Latin (Soekadri, 1979: 56).

Kebijakan modernisasi ini dilanjutkan oleh anak Asj’ari yangterkenal, yaitu Abdul Wachid Hasjim (1913-1953). Awalnya diabelajar di pesantren ayahnya dan pesantren-pesantren yang lain.Selain itu, ia juga belajar bahasa Belanda dan bahasa Inggrissecara autodidak, serta membaca koran dan majalah baik yangditulis de ngan huruf Arab maupun huruf Latin, sebelum kemudianmeng habiskan waktu setahun untuk belajar di Makkah (1932-

Page 284: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

264 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

1933). Saat kembali, dia mendirikan sebuah madrasah moderndalam ling kungan pesantren ayahnya yang diberi nama madrasah“Nidhomiyah”. Se kitar 70% dari kurikulum madrasah inidicurahkan pada pelajaran-pelajaran umum, seperti bahasaBelanda dan bahasa Inggris, selain juga bahasa Arab. Selain itu,dia mulai mendirikan sebuah per pustakaan yang berlanggananberbagai koran dan majalah, ter utama yang ditulis dengan hurufLatin. Pelajaran-pelajaran ber pidato dalam bahasa Belanda danInggris, serta mengetik juga mulai diperkenalkan kepada parasiswa (Dhofier, 1982: 106; Soekadri, 1979: 57).

Modernisasi yang berlangsung di Pesantren Tebuireng me -nular dan menyebar ke pesantren-pesantren tradisional lainnya.Pada 1920-an, Pesantren Denanyar di Jombang dan PesantrenSingosari di Malang mendirikan pesantren khusus wanita yangmengajarkan pelajaran-pelajaran umum (Dhofier, 1982: 41-42).Sejak saat itu, muncul dua jenis pesantren. Yang pertama disebutsebagai “Pesantren Salafi” (pesantren tradisional). Jenis pesantrenini terus ada sampai saat ini dan tetap mempertahankan pengajaranbuku-buku teks Islam klasik (lazim disebut kitab kuning) tanpamengajarkan pelajaran-pelajaran umum, meski telah mengadopsimetode-metode pengajaran madrasah. Jenis yang kedua ialahyang disebut sebagai “Pesantren Khalafi” (pesantren modern),yang di dalam pesantren ini pelajaran-pelajaran keagamaan danumum diajarkan secara berdampingan selain juga mengadopsisistem kelas berjenjang dan pengajaran dalam ruang kelas.

Di Sumatra Barat, tantangan yang muncul dari pengajaran-pengajaran kaum reformis-modernis juga merangsang beberapaulama tradisionalis untuk memodernisasi surau-surau tradisionalmereka. Sejak 1918, Siradjuddin Abbas dari Padang Lawas telahmulai memperkenalkan metode-metode pengajaran modernpada surau-suraunya, sambil tetap mempertahankan pengajaran-

Page 285: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 265

peng ajaran keagamaan tradisionalnya. Pada 1928, dia membujukpara ulama tradisional lainnya, seperti Sulaiman Al-Rasuli dariCandung dan Muhammad Djamil Djaho dari Padang Japanguntuk mem bentuk jaringan sekolah-sekolah tradisional. Sebagaihasilnya, para ulama tradisional pada 1930 mendirikan PersatuanTarbiyah Islamiyah (Perti), yang merupakan sebuah organisasisosial yang mempertautkan jaringan ulama dan sekolah kaumtradisionalis (Kahin, 1999: 84). Perti berhasil memengaruhiproses modernisasi surau tradisional di Jambi, Tapanuli, Bengkulu,Aceh, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan (Noer, 1987: 72).

Melalui modernisasi sekolah-sekolah tradisionalis, komu nitastradisionalis bisa menghadapi tantangan dari sekolah-sekolahsekuler dan reformis-modernis. Pengadopsian sistem madrasahdan pengenalan pelajaran-pelajaran umum menjadikan studi-studi agama di pesantren menjadi lebih menarik dan agaknyaturut me nyumbang pada peningkatan yang signifikan dalamjumlah siswa pesantren. Pada 1920-an, rata-rata jumlah santridi pesantren besar di Jawa adalah sekitar 200. Namun, padaawal 1930-an, banyak pesantren, seperti Tebuireng, yang memilikilebih dari 1.500 santri. Sebuah survei yang dilakukan olehShumubu (Kantor Urusan Agama bentukan Jepang) pada 1942menunjukkan bahwa total jumlah pesantren dan madrasah diJawa saja adalah sebanyak 1871, dengan 139.415 santri (Dhofier,1982: 40). Hasil survei ini menunjukkan adanya penurunandalam jumlah sekolah-sekolah Islam secara umum jikadibandingkan dengan laporan yang dibuat pihak Belanda padaabad ke-19 (lihat Bab 2). Namun, angka ini tampaknya men cer -min kan merosotnya popularitas dari pesantren-pesantren tradisi -onal, karena pesantren modern terus menarik santri-santri dalamjumlah besar.

Page 286: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

266 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Perluasan Sekolah-Sekolah Reformis-ModernisSementara komunitas tradisionalis mulai mengadopsi sistemmad rasah, sekolah-sekolah reformis-modernis mengalami perkem -bang an yang pesat karena menawarkan sistem pendidikan alter -natif bagi masyarakat pribumi di luar sekolah pemerintah (yangsekuler). Muhammadiyah, dengan strateginya untuk tidak me -libat kan diri secara langsung dengan aktivitas-aktivitas politik,meng alami per kembangan yang paling mengesankan. Pada 1925,Muhammadiyah mengoperasikan 55 sekolah yang memiliki4.000 murid, dua klinik medis besar, sebuah panti asuhan, dansebuah rumah miskin (Fe derspiel, 1970: 58). Sekolah-sekolahyang bernaung di bawah Mu hammadiyah setelah 1923 bukanhanya madrasah, melainkan juga sekolah-sekolah umum. Halini terutama terjadi setelah didir ikan nya HIS Muhammadiyahdan sekolah-sekolah pendidikan guru di Yogyakarta dan Jakartapada pertengahan 1920-an (Alfian, 1969: 267-268). Pada 1932,Muhammadiyah telah memiliki sekitar 207 sekolah di Jawa danMadura saja, yang terdiri dari 98 volksscholen, 28 Standardscholen23 Schakelscholen, 50 HIS, 4 MULO/Noormal HIK, dan 4Kweekscholen (Alfian, 1989: 190). Dengan adanya catat anprestasi yang mengesankan itu, Muhammadiyah dengan segeramenjadi perhimpunan yang paling dihormati dalam jalur refor -mis-modernis.

Usaha kaum reformis-modernis untuk mengembangkan se -kolah-sekolah Islam diperkuat oleh munculnya perhimpunan-per himpunan lain yang memiliki tujuan serupa. Di antaranya,pada 1923, sekelompok pedagang di Bandung di bawahkepemimpinan Ahmad Hassan (lahir 1887)—seorang ulama-pedagang reformis keturunan Tamil dan kelahiran Singapura—

Page 287: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 267

mendirikan Persatuan Islam (Persis). Seperti tecermin dariakronimnya, Persis, organi sasi ini lebih kaku dibandingkandengan kelompok-kelompok pem baru lainnya. Organisasi inimencela apa pun yang bernada takhayul dan bid‘ah dan menentangide nasionalisme sekuler dengan alasan bahwa hal itu akanmemecah-belah umat Muslim berdasarkan batas-batas politiko-teritorial (Federspiel, 1977).

Selain mendirikan madrasah, kepedulian utama Persis ialahuntuk menyebarluaskan ide-idenya dengan jalan mengadakanrapat-rapat umum, khutbah-khutbah dan kelompok-kelompokpengaji an, serta menerbitkan pamflet-pamflet, majalah-majalah,dan buku-buku (Noer, 1973: 85). Organisasi itu juga menggalakkanberbagai polemik dan perdebatan publik dengan dimediasi olehterbitan-ter bitannya sendiri.26

Di Aceh, beberapa ulama terkemuka di bawah kepemimpinanpejuang Aceh, Mohammed Daud Beureu’eh (1899-1987), pada1939 mendirikan Persatuan Ulama Seluruh Atjeh (PUSA).Perhimpunan ini dimaksudkan untuk membela Islam serta untukmendorong mo dernisasi sekolah-sekolah Islam dalam perjuangan -nya melawan para pegawai pemerintahan kolonial dari kalanganuleëbalang (kaum bangsawan) yang dibela Belanda (Ricklefs,1993: 200). Hal ini men jadikan organisasi tersebut secaraideologis lebih dekat dengan pe mikiran reformis-modernis, danini menyebabkan terjadinya per debatan internal antara parapendukung sekolah-sekolah Islam mo dern dan pendukungsekolah-sekolah Islam tradisional (meunasah).

Selain dari berkembangnya sekolah-sekolah Islam modern,kemunculan universitas-universitas publik serta peningkatanpengaruh dari inteligensia sekuler yang berlatar pendidikan uni -versitas mendorong inteligensia Muslim dan ulama-intelek untuk

Page 288: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

268 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

mendirikan universitas Islam tersendiri. Kalangan Muhammadiyahmulai mengampanyekan ide ini pada pertengahan 1930-an. Ideini lantas dibawa ke kongres Muhammadiyah pada 1936 danmeng hasilkan rekomendasi pendirian Sekolah Tinggi Islamdengan prioritas pertamanya fakultas perdagangan dan industri.Yang agak mengejutkan, ketika rencana ini mulai terbentuksecara lebih definitif, pemerintah kolonial Belanda, barangkalidengan harapan bisa mengimbangi pengaruh para politisinasionalis (yang se kuler), menjanjikan pemberian subsidi terhadapusaha rintisan universitas yang baru itu (Benda, 1958: 96).

Pada 1938, Sukiman Wirjosandjojo mengambil inisiatif untukmengadakan pertemuan para ulama dan para inteligensia, yangmenghasilkan sebuah rencana untuk mendirikan perguruantinggi Islam. Kakaknya, Satiman (yang saat itu telah menjadifigur ter kemuka dari Muhammadiyah), menindaklanjuti ide inidengan mengajukan rencana ini ke pengurus Madjlisul IslamA’laa In donesia (MIAI, berdiri 1937). Hasilnya, berdirilahPesantren Luhur pada 1939 dengan sekolah menengah pendukung -nya, Islamistische Middelbare School (Harjono & Hakim, 1997:4-5). Di luar Jawa, perguruan tinggi Islam pertama dibuka diPadang (Sumatra Barat) pada tanggal 9 Desember 1940 dibawah kepemimpinan Mahmud Yunus dan Muchtar Yahya(lulusan-lulusan Al-Azhar Kairo). Tujuan perguruan tinggi tersebutialah untuk mendidik ulama pada level pendidikan yang lebihtinggi. Dan untuk itu, perguruan tinggi ini memiliki dua fakultas,yaitu Ilmu Kalam dan Tarbiyah, dan Bahasa Arab (Junus, 1960:103). Sayangnya, semua inisiatif awal pendirian universitas-universitas Islam tersebut terpotong oleh kehadiran pendudukanJepang.

Page 289: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 269

Studi Islam Tingkat Tinggi di Timur TengahDalam ketiadaan universitas Islam di Hindia, Universitas Al-Azhar di Kairo terus menarik minat para “ulama-intelek” Hindiayang mampu melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan tinggi.Pada awal 1920-an, popularitas Kairo sebagai tujuan studi Islamtingkat tinggi bagi para santri Hindia tampaknya telah mengambilalih peran Haramain (Makkah dan Madinah).

Alasan dari pergeseran pusat belajar itu sebagai berikut. Pe -nin dasan politik di dalam negeri Hindia telah memotivasi banyaksantri untuk mencari cara-cara baru untuk mengekspresikan ke -tidakpuasan politik mereka (Abaza, 1999). Nilai-nilai ideal darigerakan Pan-Islamisme dan ideologi reformisme-modernismeyang digagas ‘Abduh di Mesir, yang berpusat di Al-Azhar, sangatme nge sankan bagi beberapa santri Hindia dan membuat merekater tarik untuk belajar di Kairo. Selain itu, Rektor Al-Azhar,yaitu ‘Abduh, berhasil memodernisasi pendidikan Islam denganjalan mengajarkan pelajaran-pelajaran umum dalam kurikulumuni versitas tersebut. Jadi, kalau di Makkah para santri hanyabelajar agama, di Kairo mereka juga belajar pelajaran-pelajaranumum dan juga politik. Pada 1919, ada sekitar 50 sampai 60mahasiswa In donesia yang belajar di Kairo (Roff, 1970: 74).Kebanyakan dari mereka berasal dari Sumatra Barat dan Yogya -karta, dua daerah yang telah lama terpengaruh oleh semangatreformisme.

Setelah penaklukan Makkah oleh ‘Abd Al-‘Aziz ibn Sa‘ud danrezim Wahhabiyyah-nya pada 1924, yang cenderung memu suhipengajaran Islam tradisional, banyak santri yang berlatar pesantrentradisional yang berbondong-bondong kembali ke Hin dia, tetapiada juga yang mulai beralih dari Haramain ke Kairo. KoloniJawa di Haramain telah merosot, tetapi masih tetap menerima

Page 290: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

270 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

para siswa dari Hindia, meski daya tariknya berkurangdibandingkan dengan Kairo. Semua faktor yang telah disebutkandi atas, berbarengan dengan naiknya harga karet yang meningkat -kan pendapatan ka langan pribumi tertentu menjelang pertengahan1920-an, mem bawa peningkatan yang besar dalam jumlah paramahasiswa Hindia yang belajar di Kairo. Pada 1925, palingtidak terdapat dua ratus mahasiswa Asia Tenggara (kebanyakandatang dari Hindia) di kota ini (Roff, 1970: 74).

Pendidikan Islam Selama Pendudukan JepangSelama periode pendudukannya, Jepang menggunakan pendekatan“ancaman dan imbalan” (stick and carrot) terhadap pendidikanIslam. Pada awalnya, pemerintahan militer pendudukan Jepangmelarang pengajaran bahasa Arab di semua sekolah agama danmenutup paksa beberapa sekolah tersebut. Namun, pada akhir1942, pihak Jepang tampaknya menyadari ketidakmungkinanuntuk melarang hak kaum Muslim untuk mengajarkan Al-Qurandalam bahasa aslinya. Lebih dari itu, karena semua pendidikanIslam di Jawa bersifat swasta, maka sangat sulit untuk mengon -trolnya. Bahasa Arab kemudian diperbolehkan untuk dipakaidemi tujuan-tujuan pelajaran agama dengan syarat bahwa sekolah-sekolah tersebut harus menerima kurikulum standar pemerintahpendudukan Jepang yang memasukkan pelajaran-pelajaran non-agama dan bahasa Jepang di samping bahasa Arab. Sikap inimem buat banyak sekolah Islam yang dibuka kembali (Benda,1958: 127-131).27

Strategi Jepang untuk mengontrol pendidikan Islam tidakmencegah Jepang untuk berusaha meraih hati kaum Muslim.Tahu bahwa para pemimpin Muslim telah lama bermimpi untukmen dirikan sebuah universitas Islam, pada bulan-bulan pertama

Page 291: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 271

pen dudukan, Shumubu menjanjikan untuk mendukung pendiriansebuah universitas dengan mengikuti model Al-Azhar Kairoyang terkenal itu. Sebagai bagian dari realisasi janji ini, padabulan Agustus 1942 mulai dibuka sebuah “Pusat Sastra danKebudayaan Islam” di Jakarta. Direkturnya yang pertama ialahseorang Muslim Indonesia, Zain Djambek, tetapi kemudiandigantikan oleh seorang pejabat Jepang, N. Noguchi, pada bulanApril 1943. Pada tanggal 20 November 1944, sebuah panitiapersiapan khusus bagi pen dirian universitas Islam dibentuk atasinisiatif federasi organisasi-organisasi Islam yang disponsoriJepang, Masyumi, dengan diketuai Mohammad Hatta.28 Akhirnya,Universitas Islam ini, yang merupa kan salah satu impian terbesarkaum Muslim selama dekade-de kade yang lalu, dibuka padatanggal 8 Juli 1945. Jadi, hanya bebe rapa minggu sebelumJepang menyerah kepada Sekutu, dan karena itu, Bendamengatakan hal ini merupakan “sikap murah hati ter akhir daripenguasa kafir ini kepada rakyat Muslim di Hindia” (Benda,1958: 187).

Universitas itu bernama Sekolah Tinggi Islam (STI). Tujuanpendiriannya ialah untuk “memberikan pengajaran dan pendidikantinggi baik dalam pengetahuan agama maupun pengetahuanumum sehingga bisa menjadi sebuah pusat kemajuan Islam yangakan me miliki pengaruh nyata bagi perkembangan Islam diIndonesia” (Harjono & Lukman 1997: 8). Universitas tersebutdibuka untuk para lulusan dari sekolah-sekolah menengah (AMS,HBS, HIK, dan SMT) selain juga untuk para lulusan sekolahmadrasah me nengah (madrasah aliyah). Pemimpin dan parapengajar STI terdiri dari intelek-ulama dan ulama-intelek terbaikyang ada baik dari ge nerasi pertama maupun generasi kedua,dengan peran menonjol dimainkan oleh mantan aktivis JIB/SISdan para lulusan Al-Azhar.29

Page 292: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

272 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Dengan berdirinya STI, para siswa madrasah dan sekolahumum telah memiliki jalan tersendiri untuk bisa menjadiinteligensia yang berpendidikan tinggi. Universitas inilah yangmenjadi lahan per se mai an bagi para pemimpin generasi inteligensiaMuslim selan jut nya.

Praktik-Praktik Diskursif dan PembentukanBlok HistorisSaat hiruk pikuk wacana kemadjoean secara gradual mereda,tema “nasionalisme” dan “kemerdekaan” menggantikannyasebagai wa cana yang dominan dalam ruang publik. Protagonisutama dari tema-tema baru ini ialah para intelektual berpendidikantinggi.

Kemunculan mahasiswa pribumi baik di negeri jajahan mau -pun di negeri Belanda menandai sebuah transformasi dalamkepe mimpinan politik dalam masyarakat Hindia. Ditempa olehspirit perhimpunan-perhimpunan “pemoeda-peladjar” dankeakraban dengan wacana-wacana intelektual Barat (Eropa),elemen-elemen progresif dari inteligensia “berpendidikan tinggi”ini merasa se olah-olah bahwa mereka sebagai kaum “Dreyfussard”(pembela Dreyfus)30 dalam konteks Hindia, ketika mereka mulaimemo puler kan sebutannya sendiri, “intellectueel(en)”.

Pelopor Jong Java, Satiman Wirjosandjojo, sekali lagi menun -jukkan inisiatifnya dengan memimpin pendirian perhimpuanHindia pertama yang menggunakan istilah “intellectueel(en)”,yaitu “Bond van Intellectueelen”; (Perhimpunan Intelektual),pada 1923. Per himpunan itu lahir karena adanya kekecewaanterhadap watak dan kinerja Budi Utomo. Di mata Satiman,pengaruh hegemonik dari para penguasa dan pegawai pemerintahyang menjadi anggota Budi Utomo telah membuat organisasi ini

Page 293: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 273

berpegang teguh pada cara-cara dan tradisi-tradisi yang lama.Bond van Intellecuteelen didirikan dengan tujuan untukmemberikan ruang ekspresi alter natif bagi inteligensia progresifyang bersitumbuh, yaitu mereka yang terasuki oleh rasa tanggungjawab untuk “membimbing rakyat Hindia untuk menuju kehidupanyang baru” (Blumberger, 1931: 34; Van Niel, 1970: 214-215).Setelah itu, istilah “intellectuel(en)” dengan derivasi-derivasidan beragam ejaannya menjadi umum dipakai dalam wacanapers-pers vernakular.31

Dalam wacana publik selama periode tersebut, istilah “in -tellec tueelen” secara umum didefinisikan sebagai “inteligensia-yang-terlibat” (engaged-intelligentsia), baik dalam medan politikmau pun kultural, demi kebajikan bangsa. Dalam kenyataannya,inteli gensia-yang-terlibat itu dalam situasi kolonial selalumerupakan minoritas kritis—karena sebagian besar kaum terdidiklebih suka mementingkan karier mereka sebagai elite fungsional(birokrat). Karena itulah, terdapat kecenderungan yang terusmuncul di ka langan inteligensia yang sadar diri untuk men -definisikan “intelek tual” dalam kerangka fungsi tanggung jawabsosialnya ketimbang dalam kerangka kualifikasi-kualifikasipendidikannya.32 Meski demikian, karena mereka yang terlibatdalam wacana mengenai intelektual hampir secara eksklusifberasal dari inteligensia berpen didikan tinggi, dan karenakepemimpinan intelektual dari bangsa ini telah didominasi olehorang-orang yang berpendidikan tinggi, istilah “intelektual”dalam persepsi khalayak luas secara umum di asosiasikan dengankriteria pendidikan.

Popularitas istilah “intellectueelen” dalam wacana publik ber -barengan dengan gelombang pasang ideologi-ideologi perjuangannasionalisme. Yang mempercepat penguatan kesadaran nasionalini di antaranya ialah karena deprivasi sosio-ekonomi dari inteli -

Page 294: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

274 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

gen sia. Adanya ketidaksesuaian antara jumlah lulusan pendidikantinggi dan lapangan kerja yang tersedia melahirkan terjadinya“pro letarianisasi” inteligensia. Situasi ini mendorong menjamurnyage rakan-gerakan politik yang lebih progresif dan radikal.

Gelombang pasang inteligensia radikal dan gerakan-gerakanpolitik meningkatkan ketegangan di ruang publik, ditandai olehperbenturan-perbenturan antara civil society (di bawah pimpinanintelektual) versus negara (kolonial), serta perbenturan-perbentur -an ideologi dalam tubuh civil society (masyarakat madani) itusen diri yang memang beraneka ragam. Tatkala mereka menyadaribahwa kesulitan-kesulitan bersama yang terus mereka alamidisebabkan oleh adanya malaise ekonomi dan represi politik,inteligensia yang memiliki kecenderungan-kecenderungan ideologidan jaringan sosial yang beragam itu mulai bersatu dalam suatupanggilan sejarah ber sama: berjuang demi kemerdekaan politik.

Kehendak untuk meraih kemerdekaan itu mengharuskan me -reka untuk membangun sebuah komunitas imajiner yang baru.Ini pada gilirannya mengharuskan mereka untuk menemukansebuah kode baru sebagai sebuah pemandu arah perjuangannasional dan untuk menyatukan posisi-posisi subjek yang beragamke dalam apa yang disebut Gramsci sebagai suatu “historicalbloc” (blok his toris).

Konsepsi “blok historis” ini lahir dari pemahaman Gramscibah wa momen politik dalam proses pembentukan kehendakkolektif bisa dipecah menjadi tiga tahap. Momen pertama danyang paling primitif disebut sebagai tahap “korporatif-ekonomis”(“economic-corporative” stage). Pada tahap ini, para anggotadari kategori yang sama menunjukkan rasa solidaritas tertentuterhadap satu sama lain, tetapi tidak terhadap mereka yangtermasuk dalam kategori-kategori yang lain, meski dalam satu

Page 295: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 275

kelas. Momen yang kedua ialah momen ketika semua anggota(kategori-kategori) dari sebuah kelas sosial memiliki solidaritaskepentingan-kepentingan yang sama, tetapi masih semata-matadalam medan ekonomi. Momen ketiga, yang disebut Gramscisebagai “fase yang sepenuhnya politik”, me nandai berlangsungnyatransendensi melampaui “batas-batas kor porasi kelas yang semata-mata bersifat ekonomis” serta terben tuknya sebuah koalisi yanglebih luas yang menjangkau “kepenting an-kepentingan kelompok-kelompok lain yang juga sama-sama tersubordinasi”. Momenini juga menandai suatu “lintasan perge rak an yang menentukandari ranah struktur menuju ranah supra struktur yang kompleks”(Radhakrisnan, 1990: 92; Adamson, 1980: 160-161). Gramscimenggunakan istilah “historical bloc” (blok his toris) untuk me -lukis kan kesatuan struktur dan suprastruktur yang ensembleide-ide dan nilai-nilai dianut bersama oleh sejumlah sektorsosial.

Dalam pandangan Laclau dan Mouffe (1985), konsepsiGramsci mengenai sebuah blok historis melampaui konsepsiLeninis me ngenai kepemimpinan politik dalam aliansi kelas.Dalam pandang an mereka, Gramsci percaya: “Subjek-subjekpolitik tidaklah ... semata-mata membicarakan kelas-kelas, tetapijuga kompleks ‘kehendak-kehendak kolektif ’ (collective wills)yang di dalamnya ‘kehendak kolektif ’ itu sendiri merupakanhasil dari pengarti ku lasi an ideologi-politik dari kekuatan-kekuatanhistoris yang berte baran dan terfragmentasi” (1985: 67).Ditambahkan bahwa suatu ensemble organik dari ide-ide,keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, praktik-praktik, dan ideologimenyediakan sarana yang memung kinkan suatu blok historisbaru bisa dirajut, kepemimpinan moral-intelektualnya bisadiartikulasikan dalam medan pertarungan po litik, dan pengaruhhegemoninya bisa diluaskan ke seluruh ang gota masyarakat

Page 296: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

276 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

lain nya. Hal ini akan menghilangkan masalah bagai mana mencapaipersatuan di antara beragam kelompok yang ter subordinatdalam medan struktur kelas, dan sekaligus mengganti kan prinsiprepresentasi (perwakilan) dengan prinsip artikulasi (1985: 67-77).

Dengan menambahkan konsep mereka tentang “posisi-posisisubjek” (subject positions) terhadap teori Gramsci tersebut,Laclau dan Mouffe melangkah lebih jauh dengan menempatkangagasan tentang blok historis melampaui konsep kelas. Konsepmengenai posisi subjek mengasumsikan adanya ruang-ruangantagonisme dan pertarungan sosial yang lain yang digelutisubjek, serta mengakui sifat multi-bentuk dan kejamakan (non-unitary) dari subjek. Jadi, subjek dianggap sebagai agen yangmulti-wajah (multifaceted), tak utuh dalam dirinya sendiri(detotalised), dan terlibat berbagai ruang (decentered), sehinggamerupakan titik pertemuan (the point of intersection) darikemultiragaman posisi-posisi subjek, yang di antara posisi-posisiitu tak ada relasi yang bersifat niscaya atau a priori, dan yangartikulasinya merupakan akibat dari praktik-praktik hegemonik.Jadi, blok dalam konteks ini berusaha merangkum ke ragamanposisi (multiple-positionings), keragaman faktor penentu (multiple-determinations), dan keragaman aliansi (multipel alliances)ketimbang berusaha menemukan satu prinsip atau esensi pemersatuyang tunggal, seperti misalnya “kelas” dalam kerangka Marxismeortodoks.33 Alhasil, kita bisa mengargumentasikan bahwa diHindia antara 1920-an dan 1930-an, para intelektual darikecenderungan-kecenderungan ideologis dan posisi-posisi spasialyang beragam memiliki sebuah landasan yang sama untukmenciptakan sebuah “blok historis” dengan caranya sendiri.

Page 297: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 277

Dari Perhimpunan Indonesia MenujuPembentukan Blok HistorisUsaha-usaha awal untuk menemukan jati diri secara historis inidi lakukan oleh sekelompok kecil mahasiswa Hindia yang belajardi negeri Belanda. Pada bagian akhir dari tahun-tahun 1910-an,per himpunan kultural Hindia yang ada, yaitu Indische Vereeniging(IV, berdiri tahun 1908),34 mulai memberikan perhatian kepadamasalah-masalah politik. Kedatangan tiga serangkai pemimpinIP, yaitu Douwes Dekker, Suwardi Surjaningrat, dan TjiptoMangunkusumo, sebagai tahanan politik pada 1913, telahmenjadi inspirasi politik bagi beberapa aktivis IV. Sudah sejak1916, perhimpunan ini telah menerbitkan sebuah majalah, yaituHindia Poetra, sebagai medium untuk memperdebatkan isu-isupolitik Hindia.

Semangat nasionalistik dari para mahasiswa Hindia di negeriBelanda juga semakin menyala dengan datangnya para mahasiswabaru yang berasal dari latar sosial yang lebih rendah (jika diban -ding kan mahasiswa-mahasiswa sebelumnya) yang lebih sadarpo litik karena ekposur mereka terhadap gerakan-gerakan kebang -kit an awal di Tanah Air. Perintis (forruner) dari para mahasiswabaru yang sadar politik ini ialah seorang revolusioner muda,Tan Malaka, yang akan menjadi seorang figur komunis-nasionalisyang lagendaris.

Lahir antara 1896-1897, Tan Malaka sesungguhnya seorangyang berasal dari generasi transisi antara generasi pertama danke dua inteligensia Hindia, tetapi lebih dekat dalam usia danpeng alaman politiknya dengan generasi kedua. Dia adalahlulusan Kweek school di Bukittinggi, dan merupakan anak dariseorang kepala adat Minangkabau yang tiba di negeri Belandapada 1913 untuk meningkatkan kualifikasi pendidikannya ke

Page 298: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

278 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

jenjang yang lebih tinggi di akademi guru Belanda,Rijkskweekschool, di Harlem. Se lama enam tahun masa studinyayang penuh penderitaan (karena sering sakit dan kesepian) diBelanda (1913-1919), dia terkesan oleh rasa percaya diri yangdimiliki oleh keluarga kelas buruh yang menjadi pemilik rumahtempat dia tinggal di Belanda dan secara khusus tertarik olehkeberhasilan Revolusi Rusia tahun 1918 yang merangsangnyauntuk mulai mendalami literatur Marxis. Karena keyakinan-keyakinannya yang anti-feodalistik (Alfian, 1978: 149), diamerasa enggan untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas IV, ba -rangkali karena organisasi ini masih didominasi oleh anak-anakdari keluarga kerajaan/bupati. Namun, tepat sebelum dia mening -galkan negeri Belanda pada akhir 1919, dia diangkat untuk me -wakili IV pada kongres pemuda Hindia dan mahasiswa Indologidi Deventer untuk memberikan ceramah mengenai gerakannasionalis di Tanah Air (Malaka, 1991: 19-32; Anderson, 1972:270-272).35

Kehadiran Tan Malaka menandai munculnya generasi barudari para mahasiswa Hindia di negeri Belanda pada masa-masasesudah Perang Dunia I36 yang sedikit-banyak terpengaruh olehMarxisme. Kebanyakan dari mahasiswa ini terkenal sebagai pe -mimpin dari gerakan-gerakan sosial dan organisasi-organisasipe muda-pelajar di Tanah Air dan kebanyakan berasal darikelompok-kelompok status sosial yang lebih rendah (Van Niel,1970: 223-224).37 Contoh-contoh yang baik dari para mahasiswayang berasal dari milieu ini ialah duo Mangunkusumo, yaituGunawan dan Darmawan (keduanya adik dari Tjipto, danmerupakan anak dari seorang guru sekolah), serta MohammadHatta dan Sukiman Wirjosandjojo (anak dari keluarga pedagang).

Orang-orang berpendidikan tinggi dari milieu sosial ini padaumumnya merasa lebih gundah (insecure) dalam perjuangan

Page 299: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 279

me reka untuk bisa melakukan mobilitas ke atas di tengah-tengah lingkungan masyarakat kolonial yang diskriminatif.Perasaan gundah ini melahirkan semacam krisis identitas. Bagibeberapa dari me reka, ketecerabutan dari desa atau kota kecilnyadan tenggelam dalam kehidupan super-kultur metropolitan diBatavia atau Bandung dan kemudian ke dalam pusaran super-kultur Eropa yang kosmopolitan memunculkan masalah “persepsi-diri” (self-per cep tion) (Ingleson, 1979: 2-3). Usaha-usaha untukmengatasi represi politik dan krisis identitas dimungkinkan olehruang publik borjuis Eropa yang bebas. Dalam ruang publik ini,mereka bisa berin ter aksi dengan para aktivis politik Eropa danmenjadi akrab dengan pemikiran-pemikiran humanis semasa.Lebih dari itu, para aktivis yang berasal dari latar belakang etnisdan agama yang beragam untuk pertama kalinya bisa berinteraksisatu sama lain secara intens yang melahirkan saling pengertianmengenai kepentingan-kepen tingan bersama mereka dan mengarahpada usaha pencarian iden titas kolektif yang baru.

Sadar akan adanya kesenjangan-kesenjangan antara superiori -tas negara kolonial dan inferioritas rakyat terjajah, dan memahamibahwa sebab dari ketidakberdayaan gerakan-gerakan nasionaldi Hindia ialah karena tidak adanya persatuan, maka para maha -siswa ini kemudian berusaha menemukan sebuah ikon baru bagikon struksi blok nasional (national bloc). Dalam semangat inilah,me reka merasakan betul bahwa istilah (East) “Indies” (Hindia-Timur) tak lagi tepat. Bukan saja hal itu merupakan istilah yangambigu—karena mungkin bisa saja diasosiasikan orang dengan“India” (British India), melainkan juga karena sebutan itu me -rupakan konstruk kolonial. Karena alasan itulah, mereka mulaimempromosikan sebuah istilah yang baru, “Indonesia”.

Kata ini sesungguhnya merupakan sebuah neologisme yangtelah dipergunakan dalam studi-studi etnologi dan antropologi.

Page 300: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

280 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Didasarkan pada istilah “indu-nesians”, yang diperkenalkanoleh seorang sarjana Inggris, George Windsor Earl, di Singapurapada 1850 dan dipopulerkan oleh kompatriotnya, JamesRichardson Logan, kata itu pada mulanya dipakai untukmengidentifikasi suatu geo-kultur tertentu yang secara geografisbercirikan kepulauan (nusa dalam bahasa Melayu atau nesosdalam bahasa Yunani) dan secara kultural bersifat Indic (Jones,1973: 93-118).38 Namun, di tangan para mahasiswa Hindia dinegeri Belanda dan inteligensia-sadar-politik di Tanah Air, istilahitu direformulasi secara spesifik untuk merujuk pada kontekspolitiko-spasial tertentu dari Hindia, dan memberikan sebuaharah politik baru bagi gerakan-gerakan nasionalis. Dalam kata-kata Hatta (1928; 1998: 15): “Bagi kami, Indonesia menyatakansuatu tujuan politik, karena dia melambang kan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan dan untuk mewujudkannya,tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dankemampuannya.”

Pemaknaan kembali istilah itu menegaskan adanya perge -seran dari makna aslinya, yang merefleksikan suatu perjuangandemi konstruksi-diri.39 Bagi para mahasiswa, hal itu merep re -sen tasi kan keberadaan basis bagi pembentukan suatu identitasko lek tif dan permulaan dari proses penciptaan satu bangsa.Dalam hal ini, kelahiran sebuah bangsa Indonesia agak berbedadari peng alaman kebanyakan masyarakat Eropa Barat dan EropaTengah/Timur. Di Eropa Barat, perkembangan kesadaran nasionalberjalan paralel dengan terbentuknya negara-bangsa, sementaradi Eropa Tengah/Timur, terbentuknya negara-bangsa pada umum -nya me rupa kan reaksi terhadap kesadaran (nasional) etno-kultural (Giesen, 1998: 2-3). Namun, dalam konteks Indonesia,negara (dalam hal ini, negara kolonial) ada lebih dulu, dankesadaran nasional serta pembentukan kesatubangsaan merupakan

Page 301: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 281

reaksi terhadap keber adaan negara (kolonial) yang asing. Jadi,sedari awal pembentukan Indonesia bukanlah perwujudan suatu“nation-state”, melainkan lebih tepat sebagai “state-nation”.Dalam perwujudannya ini, inteli gensia—bentukan negara—berpaling ke nasionalisme dalam per juang an mereka untukmerdeka dari negara (kolonial) yang represif. Dengan demikian,negara dalam konteks Indonesia tampaknya me rupakan alasanutama bagi konstruksi maupun destruksi rasa ke bangsaan.

Untuk menegaskan adanya pergeseran dalam kesadaran ini,Indische Vereeniging mengubah namanya menjadi IndonesischeVereeniging pada 1922, memelopori penggunaan istilah tersebut(Indonesische, Indonesia) oleh perhimpunan pribumi. Perkem -bang an dari kesadaran nasional yang baru dan kebutuhan untukmen ciptakan sebuah batas antara dunia penjajah dan yangterjajah meng haruskan adanya perubahan dalam universumsimbolik. Hal ini tecermin dalam pernyataan Sunarjo (seorangmahasiswa hukum Leiden): “Saya merasa jijik dengan apa yangtelah diperbuat oleh Belanda dan saya berniat segera setelahpulang ke Tanah Air untuk menemukan seorang guru yang bisamembantu memperbaiki ba hasa Melayu dan Jawa saya yangsangat terabaikan, karena kedua nya dalam kondisi yang sangatmenyedihkan” (Ingleson, 1979: 8-9).

Para mahasiswa Hindia percaya bahwa menggunakan kata-kata Belanda untuk nama sebuah perhimpunan sekarang taklagi cocok dengan identitas Indonesia baru. Untuk mengekspresikansemangat nasionalisme ini, pada 1924 Indonesische Vereeniging(IV) sekali lagi diubah namanya dengan menggunakan kata-kataIndonesia (bahasa Melayu), “Perhimpunan Indonesia” (PI), danma jalahnya, Hindia Poetra, menjadi Indonesia Merdeka.

Patut dicatat bahwa keanggotaan IV merepresentasikan hanya

Page 302: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

282 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

mayoritas kecil dari mahasiswa Hindia di negeri Belanda. Sebagaicontoh, pada 1926 pada masa puncak aktivitas-aktvitas politiknya,jumlah total anggota PI hanya 38 dari 673 lebih mahasiswaIndo nesia pada saat itu (Ingleson, 1979: 2). Selain itu, pandanganpo litik dari para anggotanya juga sama sekali tidak homogen.Bagi para mahasiswa, seperti R.M. Noto Suroto (anak dariNotodirodjo dari keluarga istana Pakualam), mempertahankanstatus quo Hindia di bawah kekuasaan kolonial Belanda merupakanpilihan yang lebih disukai. Bagi Maharadja Sutan KasajanganSoripada (anak dari Bupati Tapanuli), menyatunya Hindia kedalam pangkuan negeri Belanda lebih disukai (Simbolon, 1995:319-321). Namun, bagi para mahasiswa pendukung-gigihkemerdekaan Indonesia, pembebasan secara radikal dari belenggu-belenggu kolonial ada lah satu-satunya jalan ke depan. Merekainilah yang pada akhirnya memainkan peran-peran dominandalam mentransformasikan PI menjadi semacam lahan persemaiandalam rangka mengonsep tuali sasikan “Indonesia” sebagai, dalamistilah Anderson, “komu ni tas imajiner” yang baru.

Tokoh terpenting di kalangan para mahasiswa pendukungIndonesia Merdeka ini ialah Mohammad Hatta (1902-1980).40

Di rasuki oleh ide kemerdekaan dan blok historis, dia dan rekan-re kan nya secara saksama mengikuti perkembangan gerakan-gerakan nasionalis di Tanah Air dan mereka kecewa dengankerapuhan dari gerakan-gerakan itu. Gerakan-gerakan itu bukanhanya gagal mem bentuk sebuah organisasi berbasis massa yangkuat untuk melawan Belanda, melainkan juga terperangkapdalam spiral riva litas di an tara mereka sendiri.

Perdebatan-perdebatan antara inteligensia Muslim dan ko -munis baik di dalam maupun di luar SI tak bisa terjembatani(lihat uraian selanjutnya), dan tak satu pun dari kedua arustersebut yang mengesankan bagi kebanyakan anggota PI baik

Page 303: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 283

secara ideologis mau pun secara strategis. Bagi para mahasiswaperguruan tinggi yang telah lama mengenyam pendidikan sekuler,SI dengan kecen de rung annya yang kuat untuk menjadikan Islamsebagai basis ideologi nya sangat tidak bersesuaian dengan habitusdan alam kehidupan mereka. Di sisi lain, meski terdapat faktabahwa kebanyakan dari me reka secara ideologis menganutsosialis—karena tertarik pada interpretasi Marxis mengenaikolonialisme sebagai anak dari kapi talisme—ideal-ideal komunisIndonesia serta metode-metode per juang an kelas dan penggunaankekerasan tidak disukai oleh ke banyakan anggota PI. Bagi paramahasiswa yang kebanyakan ber asal dari kelas penguasa(tradisional) dan keluarga-keluarga kaya, dan bagi mereka yangberpendidikan tinggi yang mengidamkan peran dan status eliteyang baru, perjuangan menuju komunitas-imajiner Indonesiabaru dalam kerangka perjuangan kelas dengan sendirinya tidaklahcocok dengan ideal-ideal mereka. Lebih dari itu, para intelektualPI percaya bahwa kecenderungan PKI untuk menggunakankekerasan dan kerusuhan massa secara prematur hanya akanmengakibatkan hilangnya nyawa rakyat Indonesia se cara sia-sia(Ingleson, 1979: 10-13).

Dengan menolak ideologi Islam dan komunisme serta nasio -nalisme kesukuan (etno-nasionalisme) sebagai basis bagi Indo -nesia merdeka, PI sampai pada sebuah konsepsi ideologi yangbaru yang menekankan keutamaan pencapaian kemerdekaanpolitik terlebih dahulu. Konsepsi ini tidak berarti bahwapendekatan PI meremeh kan persoalan-persoalan sosio-ekonomi.Mayoritas anggota PI juga menyadari sifat multikultur dariIndonesia dan telah membayang kan bahwa pada masa depan,Indonesia sebaiknya mengadopsi sis tem negara federal dengantujuan untuk menyelamatkan hetero glossia nasional dari sangkarbesi negara kolonial yang sen tra listik.41 Namun, bagi mereka,

Page 304: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

284 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

kemerdekaan itu harus diraih da hulu, dan hanya Indonesiabersatu, yang bersedia menyingkirkan perbedaan-perbedaanpartikularlah, yang bisa meruntuhkan ke kuasaan penjajah.

Menurut konsepsi PI, tujuan kemerdekaan politik haruslahdidasarkan pada empat prinsip: yaitu persatuan nasional, so -lidaritas, non-kooperasi, dan kemandirian (self-help). Persatuannasional berarti keharusan untuk menyingkirkan perbedaan-perbedaan partikular dan kedaerahan, dan membentuk sebuahfront perjuangan bersatu melawan Belanda. Solidaritas berartimenghapuskan perbedaan-perbedaan di antara rakyat Indonesiadan lebih menghiraukan konflik-konflik kepentingan antarapihak penjajah dan rakyat yang terjajah, dan konflik ini bisadisimbolkan dalam kerangka ras (orang kulit cokelat versusorang kulit putih). Non-kooperasi berarti keharusan untukmencapai kemerdekaan lewat usaha-usaha banga Indonesiasendiri karena pihak Belanda memang tak akan pernah maumemberikannya secara sukarela. Hal ini mengharuskan penolakanterhadap gagasan koperasi (kerja sama) dengan pihak Belanda,seperti keikutsertaan dalam ke anggotaan Volksraad. Kemandirianberarti keharusan untuk mem bangun sebuah struktur nasional,politik, sosial, ekonomi, dan hukum alternatif yang berakarkuat dalam masyarakat pribumi yang sejajar dengan strukturpemerintahan kolonial (Ingleson, 1979: 5).

Penjelasan PI tentang prinsip-prinsip ideologis yang melan -dasi perjuangan kemerdekaan Indonesia merdeka merupakanawal dari pengonstruksian sebuah “blok historis”. Konsepsi PImengenai “blok nasional” sebagai sebuah blok historis cenderungmene kankan pada ensemble dari keragaman “posisi-posisi subjek”,yang bisa melibatkan baik aliansi-aliansi kelas maupun aliansi-aliansi solidaritas kultural (aliran). Dalam konsepsi ini, proyekIndonesia merdeka perlu mentransformasikan kebersamaan

Page 305: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 285

rakyat Hindia dari aliansi-aliansi atas dasar ekonomi menujualiansi-aliansi atas dasar moral dan intelektual, karena konsepaliansi kelas dianggap tidak cocok untuk situasi di Indonesiayang di dalamnya pemben tukan kelas tak pernah menjadi basisutama bagi inkorporasi sosial.

Kehendak untuk mengonstruksi suatu blok nasional dalamke nyataannya tak bisa dibangun dari kekosongan, tetapi harusber jejak dari semaian-semaian sebelumnya dengan mensenyawakanideologi-ideologi dari gerakan-gerakan (partai-partai) politikter dahulu. Jadi, meskipun tak sepakat dengan tujuan-tujuan dantabiat dari gerakan-gerakan (partai-partai) politik yang adasebelumnya, prinsip ideologis PI pada kenyataannya merupakansebuah sintesis lebih lanjut dari para pendahulunya. Persatuannasional merupa kan tema utama dari Indsiche Partij, non-kooperasi merupakan platform politik kaum komunis, dankemandirian merupakan tema dari Sarekat Islam. Sementarasolidaritas hanya merupakan simpul yang menyatukan ketigatema utama tersebut.

Untuk mengimplementasikan ideal-ideal PI di masyarakat In -donesia, para anggotanya menyadari pentingnya membangunse buah partai persatuan nasional yang baru sebagai badannasional, yaitu para kaum nasionalis yang radikal dari semuaaliran politik bisa bergabung. Kepemimpinan intelektual dariblok nasional ini diharapkan berada di tangan generasi baruinteligensia yang ber pendidikan Barat dan sadar politik. Karenapendidikannya yang lebih tinggi, kesadarannya akan sifat daripenindasan kolonial, dan kemampuannya untuk mengambiljarak dari “hipnosis ko lo nial”, inteligensia muda diharapkanbisa mengambil inisiatif da lam membangkitkan kekuatan massadan menyediakan sebuah basis teoretis bagi aksi-aksi kolektif(Legge, 1988: 23-24).

Page 306: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

286 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Karena badan semacam itu belum lagi ada, tugas dari paraanggota PI ialah untuk menyosialisasikan ide-ide PI di kalanganorganisasi-organisasi pemuda dan organisai-organisasi politikserta mempromosikan lingkaran-lingkaran pelajar seperti PIguna me nye diakan kader-kader bagi kepemimpinan gerakan-gerakan nasio nalis yang baru. Untuk menjalin sebuah jaringanantara para pe mikir nasionalis di negeri Belanda dan para aktivispolitik di Tanah Air, para mantan anggota PI yang telah kembalike Tanah Air di harapkan memainkan peran sebagai katalis bagipenyebarluasan terbitan-terbitan PI yang merupakan mediapertukaran gagasan.

Yang menjadi tanah subur bagi penanaman cita-cita PI ter -sebut ialah munculnya sebuah generasi baru mahasiwa universitasbaik di luar negeri maupun di Tanah Air. Setelah berdirinya PI,per himpunan-perhimpunan mahasiswa Hindia di beberapa negaralain di luar Belanda, seperti di Mesir, India, Arab Saudi, Irak,Jepang dan bahkan di AS mulai mengganti nama perhimpunanme reka dengan menggunakan istilah “Indonesia” (Biro Pemoeda,1965: 46). Hal yang sama juga berlaku di Tanah Air.

Dari Djama’ah Al–Chairiah ke PembentukanSebuah Blok HistorisPengalaman-pengalaman yang dijalani oleh para mahasiswa In -donesia di Mesir patut mendapatkan perhatian, agar kita bisalebih memahami bagaimana proses bergabungnya para inteligensiaMus lim ke dalam “blok historis” Indonesia. Pada 1922, paramahasiswa Indo-Malaya di Kairo mulai mendirikan Djama’ahAl-Chairiah Al-Talabiyyah Al-Azhariah Al-Djawah, yang lebihpopuler disebut Djama’ah Al-Chairiah. Para figur terkemukadari perhimpunan tersebut antara lain ialah Djanan Thaib,

Page 307: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 287

Muchtar Lutfi, Iljas Ja’kub, dan Mahmud Junus (dari SumatraBarat), Raden Fathurrahman Kafrawi (dari Jawa Timur), AbdulKahar Muzakkir (dari Yogyakarta), dan Othman Abdullah (dariMalaya). Bermula sebagai sebuah lembaga untuk memajukankesejahteraan sosial dari para mahasiswa Indo-Malaya di Mesir,pada 1925 perhimpunan ini mengubah diri dengan mengadopsipandangan-pandangan yang semakin radikal, yang kritis baikterhadap kolonialisme Belanda maupun Inggris. Pandangan-pandangan radikal ini dipengaruhi baik oleh per kem bangan-perkembangan politik di Indonesia maupun oleh mening katnyasemangat nasionalis di Timur Tengah. Pada awal-awal 1920-an,Mesir sendiri diterpa oleh gelombang sentimen anti-kolonialdan perubahan konstitusional yang secara terus-menerusmeningkatkan gejolak politik (Roff, 1970a: 74). Pertumbuhanpan dangan-pandangan radikal di kalangan mahasiswa Indo-Malaya me nemukan medium artikulasinya dengan munculnyamajalah bulanan paling berpengaruh milik perhimpunan tersebut,yaitu Seroean Azhar. Majalah ini terbit mulai Oktober 1925sampai Mei 1928, dan direktur pertamanya ialah FathurrahmanKafrawi yang kelak menjadi seorang pemimpin Muslim terkemukayang berlatar NU.

Pandangan-pandangan majalah Seroean Azhar dianggap olehpihak kolonial sebagai ancaman, sehingga pemerintah kolonialkemudian melarang peredarannya di Hindia. Meski demikian,majalah itu masih dibaca luas di Malaya. Tema-tema utama darimajalah tersebut berkisar pada tiga konsep utama: Pan-Islamisme,Pan-Malayanisme (bersatunya Indonesia dan Malaya), anti-kolo -nialis me (Roff, 1967: 88-89). Dalam sebuah editorial pengantar,Mahmud Junus sebagai salah seorang redakturnya menulis: “Se -mua rakyat kita ... entah di Jawa, atau di Sumatra, atau diBorneo, atau di Semenanjung Malaya, harus bersatu dan memiliki

Page 308: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

288 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

tujuan yang sama dan bersatu dalam perjuangan untuk mencapaikemaju an, mencari cara-cara terbaik untuk mencapainya, danmencegah kita untuk tercerai-berai ke dalam beberapa golongan”(Roff, 1970a: 77). Sementara itu, Fathurrahman Kafrawi, sebagaipresi den per him punan itu dan juga direktur majalah itu pada1925-1926, me nulis dalam Seroean Azhar II, (13 Oktober 1926):“Lang kah-langkah pertama dari gerakan pribumi Indonesia danSeme nanjung Malaya telah dilakukan .... Para pemuda Indonesiadan Malaya telah me mu tus kan untuk bertindak baik di dalammaupun di luar Tanah Air dengan jalan bersatu dengan rakyat-rakyat yang lain. Singkat nya, bisa dikatakan kita telah bergandengtangan dengan Dunia Islam yang lain ....” (Roff, 1970a: 79).

Para aktivis dari perhimpunan ini juga menjalin kontak de -ngan gerakan-gerakan intelektual di tempat-tempat lain, termasukdengan Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda. Di bawahpe ngaruh wacana-wacana dan jaringan tersebut, perhimpunanini mulai terobsesi dengan ide membentuk sebuah blok historis.Pada awalnya, perhimpunan itu bahkan memimpikan bersatunyaIndonesia dan Malaya. Untuk mengekspresikan pandangan itu,perhimpunan itu mengubah namanya pada 1927 menjadi Per -kumpulan Pemuda Indonesia Malaya (Perpindom).

Namun, Perpindom tidak berusia lama. Para mahasiswa In -donesia mulai menjadi lebih terlibat dalam masalah-masalah po -litik dalam negeri di Hindia. Hal ini terutama setelah kegagalankonferensi Khilafat di Kairo dan Makkah, dan setelah terjadinyapemberontakan kaum komunis di Pantai Barat Sumatra (Januari1927) yang melibatkan banyak siswa Muslim dari SumatraThawalib. Lantas timbul sebuah kontroversi mengenai sampaiseberapa jauh majalah perhimpunan itu harus terlibat secaralangsung dengan gerakan-gerakan nasionalis yang radikal diHindia. Kontroversi ini melahirkan perpecahan dalam

Page 309: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 289

perhimpunan tersebut terutama antara para mahasiswa Indonesiadan Malaya.

Pada bulan September 1927, Iljas Ja’kub mundur dari jabatan -nya sebagai redaktur Seroean Azhar, dan pada bulan berikutnya,dia menerbitkan Pilihan Timoer. Namun, kedua majalah ituhanya bertahan hidup sampai 1928. Setelah itu, para mahasiswaMalaya keluar dari perhimpunan tersebut, sementara paramahasiswa Indo nesia membentuk perhimpunan baru, PersatuanKemerdekaan Indonesia (Thomas, 1973: 32-34; Abaza, 1999:49). Pilihan nama ini menjadikan para mahasiswa (Muslim)Hindia menjadi bagian in tegral dari pembentukan blok historis.

Dari Gerakan-Gerakan Mahasiswa di Hindiake Pembentukan Sebuah Blok HistorisMenyusul berdirinya tiga perguruan tinggi pada 1920-an (yaituTHS, RHS, dan GHS), beberapa klub mahasiswa universitasmulai bermunculan di Hindia. Kebanyakan klub mahasiswapada awal 1920-an itu diarahkan pada aktivitas-aktivitas rekreasidan di dominasi oleh para mahasiswa Belanda. Contoh bagusdari klub semacam ini ialah Corpus Studiosorum Bandungense(CBS) yang berdiri pada 1920. Namun, di luar arus utama klub-klub yang ber orientasi rekreasi, muncul pula beberapa studyclub di kalangan se kelompok kecil mahasiswa yang sadar politik,terutama di Bandung dan Jakarta, yang akan menjadi mitra bagiperhimpunan-perhim pun an mahasiswa di luar negeri dalampembentukan sebuah blok historis. Tokoh utama di kalanganpara mahasiswa yang sadar po litik ini ialah Sukarno, yangmasuk THS pada 1921.42

Para mantan aktivis IV/PI memainkan peran-peran yang pen -ting dalam pembentukan awal study club-study club di Indonesia.

Page 310: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

290 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Study club pertama yang didirikan oleh para mantan aktivisIV/PI ialah Indonesische Studieclub (ISC) dengan majalahnya,Soeloeh (Ra’jat) Indonesia. Study club ini didirikan di Surabayapada Juli 1924. Pendiri dan penggerak utamanya ialah Sutomoyang telah pulang dari negeri Belanda pada 1923. Study club inididirikan dengan tujuan untuk memajukan kesadaran akanIndonesia sebagai sebuah bangsa dan untuk memajukan rasatanggung jawab sosio-politik di kalangan orang Jawa yangberpendidikan Barat. Dalam rangka mencari jawaban-jawabanatas problem-problem bangsa, klub ini menekankan pada nilaipraktis dari pengetahuan.43

Pembentukan study club di Surabaya ini dengan cepat me -nular. Study club-study club yang sama muncul di kota-kota se -perti Surakarta, Yogyakarta, Batavia, Semarang, dan Bogor.Namun, klub yang paling terkenal ialah Algemene Studieclub(ASC), ber diri di Kota Bandung pada bulan November 1926.Tokoh awal dari klub ini tampaknya ialah Iskak Tjokroadisurjo,seorang mantan aktivis PI yang telah pulang ke Tanah Air pada1925. Namun, para penggerak paling aktif dari klub ini ialahpara mahasiswa Bandung, dan yang terutama ialah dua mahasiswateknik dan arsi tektur dari THS, yaitu Sukarno dan Anwari.Selain melibatkan mantan para anggota PI dan mahasiswa radikaldi Bandung, klub ini juga didu kung oleh kehadiran mentornasionalis dari kalangan tua, yaitu Tjipto Mangunkusumo.Dalam tahap-tahap pembentuk annya, Iskak memang diangkatmenjadi ketua dari klub itu. Namun, kelak Sukarno-lah yangmenjadi tokoh dominan dari klub tersebut.

Seperti halnya para aktivis mahasiswa di luar negeri yang ter -obsesi dengan ide tentang blok nasional, Sukarno dan paramaha siswa aktivis lainnya di Hindia juga menganut ideal yangsama. Pada 1926, Sukarno menulis sebuah esai dalam majalah

Page 311: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 291

milik ASC, Indonesia Moeda, dengan judul “Nasionalisme,Islamisme, dan Marxisme” yang mengidealkan sintesis dariideologi-ideologi besar tersebut demi terbangunnya blok nasional.Tulisan tersebut mencerminkan pemikiran dari banyak anggotaASC.

Langkah lebih jauh untuk membentuk blok nasional ialahpendirian Perhimpunan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) pada1926. PPPI ini pada awalnya merupakan lingkaran kecil maha -siswa yang sadar politik, terutama para aktivis dari RHS diJakarta yang berdiri pada 1924. Kemudian, keanggotaan PPPIini diper luas sehingga merekrut banyak anggota dari mahasiswaJakarta dan Bandung. Makna penting dari perhimpunan iniialah perannya dalam menyatukan beragam perhimpunan pemudapelajar (dari level yang lebih bawah), sementara para anggotaPPPI dianggap sebagai kawan senior yang patut dihormati(Pringgodigdo, 1964: 99). Pada saat yang bersamaan, usahauntuk membentuk sebuah blok nasional dilakukan oleh ISCketika klub itu mengirimkan sekretarisnya, R.P. Singgih (mantanaktivis PI) untuk mempro mosi kan pendirian dan penyatuanstudy club-study club lewat perjalanan keliling Jawa yangdilakukannya pada sekitar perte ngahan 1920-an. Kampanye inibergema di Bandung ketika be ragam study club dan organisasipemuda pelajar, serta organsiasi-organisasi sosial-politik (BU,SI, Muhammadiyah, Pasundan) mem bentuk “Komite PersatuanIndonesia” pada 1926.44

Untuk menandingi penguatan pengaruh dari study club-studyclub dan perhimpunan-perhimpunan mahasiswa yang berorientasipolitik, para pengajar Belanda yang konservatif (terutama diBatavia) bereaksi dengan mensponsori pembentukan perhimpunan-per himpunan mahasiswa yang sepenuhnya bersifat akademisdan berorientasi rekreatif. Contoh-contoh dari jenis perhimpunan

Page 312: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

292 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

mahasiswa ini ialah Unitas Studiosorum Indonesia (berdiri tahun1932), Indonessische Vrouwelijke Studenten Vereeniging (berdiritahun 1933), dan perhimpunan yang lebih didominasi orangBelanda dan lebih konservatif, Studenten Corps, yang jugaberdiri pada dekade tahun 1930-an (Pringgodigdo, 1964: 168;Mrázek, 1994: 226).

Meskipun perhimpunan-perhimpunan mahasiswa yangdisponsori Belanda itu berhasil merekrut banyak anggota, halitu tidak mengecilkan hati para mahasiswa yang progresif untukber juang menemukan jati diri historisnya. Munculnya KomitePer satuan Indonesia memberikan inspirasi bagi para aktivis dariber bagai perhimpunan pemuda pelajar untuk mengadakanKongres Pemuda Indonesia Pertama (30 April-2 Mei 1926) diJakarta. Di luar kekurangan-kekurangannya—panitianya lebihmerepresen tasi kan suara-suara individu ketimbang perwakilanresmi dari perhimpunan-perhimpunan pemuda pelajar, danbahasa Belanda terus dipergunakan dalam rapat-rapatnya(Purbopranoto, 1987: 314)—kongres tersebut telah membukajalan bagi menguatnya aliansi di kalangan perhimpunan-perhimpunan pemuda pelajar dan diterimanya konsep bloknasional. Dalam semangat yang sama, para mahasiwa di Bandungdi bawah patronase ASC, yang tak lagi merasa nyaman untukberjuang dalam batas-batas penge lompokan etnis dan agama,pada awal 1927 mendirikan sebuah organisasi pemuda pelajaryang bernama Jong Indonesie. Orga nisasi ini memiliki cabang-cabang di beberapa kota besar dan me nerbitkan sebuah majalah,Jong Indonesie. Pada akhir 1927, nama organisasi dan majalahtersebut diganti menjadi Pemoeda In do nesia, dan bersamaandengan itu dibentuk organisasi keputriannya, Putri Indonesia.Kesemuanya itu mencerminkan semakin mening kat nya antusiasmeuntuk menyebarluaskan gagasan tentang Indo nesia.

Page 313: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 293

Sebuah langkah besar dalam pembentukan sebuah blok his -toris ialah pendirian dua perhimpunan politik. Yang pertamaialah Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) pada bulan Juli1927 yang tujuannya ialah untuk mencapai Indonesia merdeka.45

Ini diikuti dengan berdirinya Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Po litik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada bulanDesember 1927.46 Berusaha untuk menciptakan kesadarannasionalisme seluruh In donesia, federasi ini memberikan dasarbaru bagi para pemimpin nasionalis bahwa sebuah Indonesiayang bersatu adalah mungkin, meski federasi itu sendiri tidakberusia lama.47

Munculnya PNI dan PPPKI merangsang para aktivis organi -sasi-organisasi pemuda pelajar untuk mengadakan Kongres Pe -muda Indonesia Kedua. Dipimpin oleh PPPI, kongres itu diadakanpada tanggal 26-28 Oktober 1928 dan menghasilkan sebuahtong gak sejarah yang monumental dalam pembentukan blokhistoris. Tonggak itu ialah “Soempah Pemoeda”, yang memuattiga ikrar ideal: satu tanah air, Indonesia; satu bangsa, Indonesia;dan satu bahasa, bahasa Indonesia.48 Jadi, di tengah-tengahterus berlang sungnya polarisasi antara inteligensia sekuler danIslam, terdapat kehendak kolektif untuk menciptakan sebuahblok historis ber sama guna mencapai Indonesia merdeka.

Dari Aktivitas Kesusastraan ke PembentukanSebuah Blok HistorisJalan menuju pembentukan blok historis tidaklah semata-mataberlangsung lewat jalur politik, tetapi juga lewat jalur kul tural.Periode 1920-an/1930-an memperlihatkan perkembangan ke -sadaran nasional dan kultural dalam medan kesusastraan.49 Per -wujudan paling penting dari hal ini ialah munculnya sebuah

Page 314: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

294 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

maja lah sastra bernama Poedjangga Baroe (PB) pada 1933.Tokoh utama dari majalah ini ialah Sutan Takdir Alisjahbana(lahir 1908) dan Armijn Pane (lahir 1908). Alisjahbana merupakanlulusan RHS yang pernah bekerja untuk Balai Pustaka (BP),sementara Pane merupakan mantan pelajar STOVIA dan NIASyang juga pernah bekerja sebagai seorang editor di BP. Meskipundisebut sebagai majalah sastra, PB lebih peduli dengan ide-idekebudayaan yang lebih luas yang sering kali tumpang-tindihdengan isu-isu politik. Perubahan-perubahan dalam sub-title-nya sepanjang perjalanan hidup majalah itu, menunjukkanberlangsungnya metamorfosis da lam kepeduliannya dari duniakesusastraan kepada isu-isu ke budayaan secara umum dankemudian kepada pembentukan blok nasional.50

Selama sekitar delapan tahun kehidupannya—yaitu sampaiawal pendudukan Jepang—PB menjadi medan diskursif utamabagi pertukaran pikiran para intelektual mengenai kebudayaanbaru dan fondasi intelektual bagi pembangunan komunitasimajiner Indonesia bersatu yang baru dan produktif. Prestasipaling monu mental dari majalah ini ialah peranannya dalammemacu “polemik kebudajaan” di beberapa koran dan majalahtentang kebudayaan Indonesia tahun 1930-an.51

St. Takdir Alisjahbana dan Sutomo dapat dipandang sebagaitokoh-tokoh terpenting dalam polemik tersebut karena masing-masing mewakili cara pandang yang sangat bertentangan. Alih-alih mengidolakan masa lalu yang gemilang sebagai inspirasibagi Indonesia di masa depan, Alisjahbana memahami era pra-In donesia sebagai periode “jahilijah” yang telah “mati semati-matinya”. Karena masa lalu tak bisa memberikan landasan yangbaik untuk mem bangun sebuah bangsa Indonesia yang baru, diameyakini bahwa kunci kemajuan Indonesia masa depan terletakpada semangat di namisme yang menurutnya merupakan sumber

Page 315: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 295

bagi kemajuan Barat. Sebagaimana kunci menuju kemajuanBarat itu terletak pada sema ngat “intelektualisme”, “individual -isme”, dan “materialisme”, maka para inteligensia muda Indonesiatak boleh merasa takut untuk mengikuti jalan tersebut.52 Di sisilain, Sutomo menganggap bahwa kebudayaan dan pendidikanBarat telah meracuni rakyat Indonesia dengan menghasilkaninteligensia yang tecerabut dari masya rakat nya, yang tak memilikicita-cita kebudayaan dan hanya tertarik pada pekerjaan-pekerjaanyang aman sebagai pegawai. Selain itu, dia memandang bahwapendidikan Barat hanya memberikan peng ajaran, bukannyapendidikan dalam arti yang sesungguhnya, yaitu melatih moral,mengembangkan karakter dan rasa tanggung jawab sosial. Jadi,berbeda dengan preferensi Alisjahbana terhadap pendi dik anBarat, Sutomo lebih berpihak pada sekolah agama tradisi onal,yaitu pesantren (Kartamihardja, 1954; Johns, 1979: 23-25;Teeuw, 1986: 37).53

Polemik itu merupakan bukti adanya hubungan yang am -bivalen antara inteligensia dari negeri terjajah dengan negeriBarat yang menjajahnya. Dalam hal bagaimana menghadapiaspek-aspek dari kebudayaan imperial, seperti bahasa, cara ber -pikir, infra struk tur pengetahuan dan sebagainya, terdapat duastrategi utama yang saling kontradiktif tentang bagaimanamencapai Indonesia merdeka. Dalam terminologi studi-studipost-kolonial, kontra diksi ini bisa dideskripsikan sebagai per -tentangan antara para penganjur “autentisitas” (authenticity)versus para penganjur “apropriasi” (appropriation).54 Namun,apa pun strateginya, kedua nya memiliki kesamaan spirit dalammemahami pentingnya fondasi kultural bagi pembentukan blokhistoris.

Jadi, menjelang pendudukan Jepang, “Indonesia” sebagai se -buah komunitas imajiner telah ditemukan, ide tentang blok

Page 316: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

296 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

historis telah dibentangkan, dan bahasa nasionalisme telahdiproklamasi kan. Pada saatnya, struktur peluang politik yangdiciptakan oleh peme rintahan pendudukan Jepang akan menjadimomen yang menen tukan bagi upaya pengonsolidasian proyek-proyek historis ini da lam perjalanannya menuju kemerdekaannasional.

Keretakan Ruang Publik dan TerbentuknyaTradisi-Tradisi Politik-IntelektualSeluruh tindakan historis dalam proses pembentukan blokhistoris direfleksikan sekaligus dipengaruhi oleh ruang publikyang ada pada periode tersebut. Dalam periode tersebut, ruangpublik men jadi ruang kontestasi antara kesamaan (commonalities)dan per beda an (differences). Memang terdapat kepedulian yangsama un tuk membentuk sebuah blok historis. Namun, saat yangsama ter dapat rivalitas ideologi dan konflik-konflik kepentinganantar-kelompok dan organisasi. Dalam konteks ini, ruang publiktak lagi menjadi domain dari wacana kritis antar individu, tetapilebih merupakan medan-gaya dari ekspresi-ekspresi kolektifdari po litik identitas yang saling bersaingan.

Kesamaan dalam Ruang PublikMeski mengalami perpecahan politik yang akut, semua partaipolitik mendukung ide pembentukan blok nasional sebagaisebuah blok historis. Perhimpunan-perhimpunan proto-nasionalisdari dekade sebelum 1930-an secara berangsur-angsur menggantinamanya yang merefleksikan penerimaan mereka terhadap ideke-Indonesia-an. Pada 1930-an, semua partai politik menam -bahkan kata “Indonesia” pada nama mereka.

Page 317: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 297

Selama periode ini, kecenderungan pers untuk menjadi corongorganisasi-organisasi sosial dan politik masih tetap berlangsung.Apa yang tampaknya merupakan fitur baru dalam ruang publikpada 1920-an dan 1930-an ialah kecenderungan pers, apa punafiliasi politiknya, untuk menjadikan dan menggemakan sem -boyan-semboyan dan wacana tentang blok nasional. Contoh-con tohnya ialah seringnya digunakan kata-kata seperti “bergerak”,“merdeka”, “ra’jat”, dan “Indonesia” sebagai nama-nama penerbit -an. Berdasarkan nama-nama tersebut, kita bisa melacak pemben -tukan blok nasional sebagai metamorfosis secara gradual darikata “bergerak” menjadi “merdeka” menjadi “ra’jat” dan akhirnyamen jadi “Indonesia”.

Istilah “bergerak” mulai dipakai sebagai nama penerbitanpada sekitar pertengahan 1910-an ketika koran Doenia Bergerakterbit di Surakarta (1914/1915) sebagai organ dari IJB (IkatanJurnalis Boemipoetra), tetapi kemudian menjadi corong dari SIdan IP. Terbitnya koran ini diikuti dengan terbitnya korancorong SI, Islam Bergerak (berdiri tahun 1917), kemudian koranSoematra Bergerak di Padang (tahun 1922), Ra’jat Bergerakmilik SI Merah (yang meng gantikan pendahulunya, DoeniaBaroe, pada tahun 1923), dan seterusnya. Istilah “bergerak”men cerminkan hasrat rakyat Hindia untuk bergerak hijrah darisituasi kolonial.

Istilah “merdeka” pertama kali muncul sebagai nama darikoran Benih Merdeka yang terbit di Medan pada akhir 1916dan ber afiliasi ke SI. Terbitnya koran itu diikuti oleh korankomunis Soeara Merdika pada 1917. Selanjutnya istilah tersebutmuncul dalam nama-nama Sinar Merdeka di Sumatra Utarapada 1919, Sora Mardika di Bandung pada 1920, Sora Ra’jatMerdika di Garut pada 1931, dan beberapa yang lainnya.

Page 318: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

298 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Istilah “ra’jat” tampaknya pertama kali dipakai oleh korankomunis Soeara Ra’jat yang terbit pada 1918, yang diikuti olehkoran Ra’jat Bergerak milik SI Merah pada 1923. Selanjutnya,pada 1930-an, terbit koran Sora Ra’jat Merdika milik PSI (terbitdi Garut pada 1931), koran Fikiran Ra’jat milik Partindo (terbitdi Bandung tahun 1931), dan koran Daulat Ra’jat dan KedaulatanRa’jat milik PNI Baroe (terbit di Jakarta masing-masing pada1931 dan 1932) dan beberapa yang lainnya.

Yang terakhir, pemakaian istilah “Indonesia” sebagai namapenerbitan tampaknya dipelopori oleh PI ketika majalahnyaber ubah nama dari Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdekapada 1924. Karena terbit di negeri Belanda di bawah perlindunganpenuh hukum Belanda, majalah ini bisa memiliki kebebasanyang jauh lebih luas untuk mengungkapkan pendapatnyaketimbang yang dialami oleh terbitan-terbitan di Indonesia.Karena itu, majalah tersebut memainkan peran yang sangatpenting dalam penyebar luas an ide tentang blok nasional. Kata“Indonesia” kemudian di pakai oleh koran ISC, Soeloeh (Ra’jat)Indonesia (berdiri tahun 1924), majalah milik ASC, IndonesiaMoeda (berdiri tahun 1926), majalah milik Jong Indonesie,yaitu Jong Indonesia/Pemoeda In donesia (berdiri tahun 1927),majalah Matahari Indonesia Medan (dipimpin oleh mantananggota PI, Iwa Kusuma Sumantri, berdiri tahun 1929), koranPSI Oetoesan Indonesia (menggantikan pen dahu lunya, OetoesanHindia, pada tahun 1932), dan beberapa lainnya.

Munculnya kata-kata “kode” tersebut menandai adanya per -ubahan dalam wacana intelektual serta adanya transformasi ge -rakan nasionalis dari statis atau lokal menjadi dinamis (bergerak),sehingga merangsang inteligensia untuk bergerak dari kerangkaberpikir tertindas ke kerangka berpikir merdeka. Dengan begitu,inteligensia akan menjadikan gerakan-gerakan nasionalis bergeser

Page 319: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 299

dari lapis-tipis elitis menuju jantung pusaran ra’jat, yang diikutioleh usaha untuk menyatukan semua organisasi proto-nasionalke dalam komunitas imajiner Indonesia sebagai sebuah blok his -toris bersama.

Perdebatan-Perdebatan dalam Ruang PublikProses untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah komunitasimajiner dan blok historis yang baru ini diiringi dengan perdebat -an politik yang terus berlangsung di antara inteligensia yangmeng anut ideologi-ideologi dan/atau jaringan intelektual yangberbeda. Pertarungan ideologi ini terjadi sebagai akibat dari me -nguatnya radikalisasi inteligensia-sadar-politik dan sebagai im -plikasi dari transformasi gerakan-gerakan sosial dari dekade-de -kade sebelum nya menjadi partai-partai politik.

Pada mulanya, penemuan ideologi dibutuhkan bukan hanyauntuk memberikan landasan teoretis yang kukuh dalam melaku -kan perlawanan terhadap negara kolonial yang represif, melainkanjuga untuk memberikan struktur kognitif dan identitas kolektifterhadap tindakan-tindakan kolektif tertentu. Meski demikian,be gitu ideologi dianut oleh suatu partai politik yang terstruktur,yang memiliki aturan-aturan yang spesifik, tata perilaku, rantaiko mando, dan disiplin partai, secara otomatis tercipta batas-batas mental, linguistik, dan spasial antara “kita” dan “mereka”,antara identitas-identitas “kelompok dalam” (in-group) dan“kelompok-luar” (out-group). Perbedaan ideologi ini pada giliran -nya akan membawa pada munculnya tradisi-tradisi politik-intelektual yang berbeda.

Kehadiran suatu “tradisi”, menurut Eric Hobsbawn danTerence Ranger (1983), merupakan sesuatu yang diciptakan(invented). Terbentuknya tradisi-tradisi politik-intelektual Indonesia

Page 320: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

300 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

dipacu oleh meningkatnya rasa frustrasi secara ekonomi danpolitik yang dirasakan oleh inteligensia. Rasa frustrasi inidisebabkan oleh ter jadinya malaise ekonomi Indonesia sejakberakhirnya Perang Dunia I hingga terjadinya depresi ekonomidunia yang hebat pada 1930-an serta diterapkannya kebijakanrust en orde oleh pemerintah kolonial. Selama periodeketertindasan politik dan ekonomi ini, para intelektual (dariinteligensia dan “ulama-intelek”) sebagai “pen cipta dan penjagatradisi” (Eisenstadt, 1973) mulai mener jemahkan rumusan-rumus an ideologis mereka ke dalam aneka tradisi politik-intelektual.

Lahirnya Tradisi Politik Intelektual Komunis danMuslim ModernisPada mulanya, peningkatan rasa frustrasi secara ekonomi danpo litik menjadikan ideologi-ideologi radikal sangat menarikbagi massa rakyat. Pada awal 1920-an, benih-benih sosialismeradikal yang telah diusahakan oleh ISDV dan kemudian ditanamkandi tanah SI yang subur (lewat strategi “blok dalam”) padaperiode sebelumnya, mulai mekar. Bagi inteligensia yangmengalami depripasi sosial-ekonomi, fenomena peningkatan“proletarianisasi” inteligensia bisa di iden tifikasi sebagai salahsatu faktor yang membuat mereka tertarik untuk menganutkomunisme. Bagi massa rakyat yang frustrasi, kehadiran inteligensiakiri dalam mendukung kepentingan-kepen tingan kelas buruhdan petani kecil lewat serikat-serikat buruh, pemogokan-pemogokan dan unjuk-unjuk rasa memperbesar daya tarik“komunisme”—apa pun makna istilah tersebut buat me reka—sebagai semacam harapan apokaliptik (ratu adil).

Latar pendidikan dari para pemimpin komunis pribumi, se -

Page 321: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 301

perti Semaun dan Darsono, memberikan contoh yang tipikaldari kualifikasi-kualifikasi pendidikan formal yang dimiliki olehse bagian besar inteligensia komunis. Semaun (lahir tahun 1899)hanya pernah belajar di sekolah pribumi “kelas dua” (TweedeKlasse) dengan tambahan kursus dalam bahasa Belanda. AdapunDarsono (lahir tahun 1897) merupakan drop out dari sekolahdasar pribumi, yang beruntung bisa transfer ke sekolah pertaniandi Sukabumi. Pola pendidikan yang serupa juga ditunjukkanoleh banyak tahanan komunis yang dipenjara akibat kerusuhanpada 1920-an. Seperti yang diamati oleh Van Niel: “Tak satupun dari tahanan ini yang bisa diklasifikasikan sebagai termasukkelompok intelektual In donesia yang berpendidikan tinggi ....Tingkat kegagalan untuk me nyelesaikan pendidikan sekolahmenengah di antara mereka sangat tinggi bahkan jika dibandingkandengan rata-rata tingkat kegagalan secara umum” (Van Niel,1970: 234-235).

Bagi banyak inteligensia jenis ini, yang mengalami kendalauntuk memperoleh posisi-posisi birokratik, profesional, dan da -lam dunia usaha, bekerja sebagai kaum revolusioner profesionalmerupakan suatu pilihan yang mungkin (feasible). Karena terasingdari dunia birokrasi pemerintah, sektor ekonomi Barat, golonganaristokrasi lama, serta kalangan borjuis kecil Muslim, merekamulai meng identifikasikan dirinya dengan kelas buruh perkotaandan petani kecil miskin di pedesaan. Dalam konteks ini, beberapaaspek dalam doktrin Marxist-Leninis dari komunisme tampaknyame muas kan hasrat me reka untuk menemukan jati-diri historismereka.

Sesungguhnya, hanya sedikit dari para intelektual yang meng -klaim dirinya sebagai Marxis yang pernah sungguh-sungguhmem pel ajari karya-karya Marx.55 Selain itu, hanya sebagian dariteori-teori revolusi komunis yang bisa diterapkan dalam konteks

Page 322: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

302 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Indonesia.56 Meski demikian, perspektif Marxis-Leninis tentangkolonialisme sebagai anak dari kapitalisme dan pemahamanakan kolonialisme Belanda sebagai sebuah fase historis dalamgerak per kembangan kapitalisme Eropa Barat “yang penuh dosa,secara intelektual dan emosional memuaskan para intelektualradikal ini” (Mintz, 1959: 5; 1965: 8).

Di tengah-tengah kondisi-kondisi seperti itu, ISDV mampumemperluas konstituen pribuminya. Sejak akhir 1917 (setelahkongres nasional kedua SI), SI cabang Semarang yang terpengaruhISDV secara perlahan berhasil menghela CSI ke haluan sosialisradikal. Terdorong oleh perkembangan yang menguntungkanitu, pada bulan Mei 1918, ISDV memutuskan untuk mentransfor -masi kan dirinya menjadi gerakan pribumi tersendiri, tak peduliapakah kaum pribumi itu paham atau setuju dengan tujuan-tujuan gerakan komunis ataukah tidak. Pada awal-awal 1920-an, ISDV mulai me narik banyak pengikut pribumi baik daridalam maupun luar SI.

Dengan kian dalamnya pengaruh faksi revolusioner kiri dalamtubuh SI dan meningkatnya kekuatan ISDV, maka dibangunlahsebuah aliansi strategis antara kader-kader komunis “blok dalam”(di tubuh SI) dengan kader-kader yang berada di luar (yaitu, diISDV) yang dirancang dengan tujuan untuk menciptakan sebuahfront bersama. Sebagai hasilnya, pada bulan Mei 1920, paratokoh SI sayap-kiri Semarang bersama-sama dengan para anggotaISDV mulai membentuk sebuah organisasi komunis baru, yaituPer serikatan Kommunist di India (PKI), yang merupakan organisasikomunis pertama yang didirikan di Asia di luar (bekas) kekaisaranRusia, dengan Semaun sebagai ketuanya, Darsono sebagai wakilketuanya, Bergsma sebagai sekretaris dan H.W. Dekker sebagaibendahara (McVey, 1965: 34-46; Kahin, 1952: 74). Denganber dirinya perhimpunan komunis Hindia yang baru itu, kader-

Page 323: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 303

kader komunis “blok dalam” yang masih menjadi anggota-anggota SI mulai menimbulkan problem bagi inteligensia ber -haluan Islam pada organisasi tersebut.

Sebagai respons terhadap menguatnya daya tarik ideologikomunisme baik di luar maupun di dalam perhimpunan tersebut,para intelektual yang berorientasi Islam berupaya memunculkansebuah ideologi-tandingan. Pertempuran dalam medan praktik-praktik diskursif antara para penganjur komunisme dan modernis -me Islam menimbulkan efek konstruktifnya (constructive effects)tersendiri. Hal ini pada gilirannya melahirkan perbedaan-perbeda an dalam “identitas sosial”, “relasi-relasi sosial”, sertasistem pe nge tahu an dan kepercayaan di kalangan anggota-anggota SI. Rivalitas elite yang bersifat personal yang sebelumnyatelah menimbulkan perpecahan dalam perhimpunan tersebut,sekarang mulai menun jukkan sifat ideologisnya. Identitas Islamyang telah diaktifkan dalam dekade sebelumnya, mulai memasukifase “identitas yang terpolitisasi” (politicized identity). Istilahini menunjuk pada suatu situasi yang di dalamnya sebuahidentitas memberikan sebuah basis tindakan yang lebih kukuhdan individu-individu secara konstan memahami diri merekadalam kerangka identitas tersebut (Bradley, 1997: 26). Dalamfase ini, identitas Islam bukan hanya menjadi basis bagi pemikirandan mobilisasi politik, melainkan menjadi satu-satu nya basisbagi politik.

Pembentukan identitas Islam sebagai satu-satunya basis po -litik dikonstruksikan oleh sistem pemaknaan yang didasarkanpada penemuan bentuk baru ideologi Islam.57 Konstruk ideologiIslam dalam periode historis ini dalam kenyataannya diproduksidalam konteks-konteks sosio-historis dan formasi-formasi diskursifyang spesifik sebagai sebuah tanggapan atas kehadiran “pihak-pihak lain yang signifikan” (significant others) baik sebagai

Page 324: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

304 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

sebuah me ka nis me defensif atau afirmatif. Meskipun ideologiPan-Is lamisme Al-Afghani dan reformisme-modernisme Islamnya‘Abduh men jadi sumber inspirasi utama dalam perumusanideologi Islam dalam konteks Indonesia, pengaruh dari paraintelektual kiri dan rele vansi doktrin-doktrin sosialis bagi rakyatterjajahlah yang mensti mulus para intelektual Islam untukmengombinasikan an tara pandangan-pandangan doktrin Al-Quran yang progresif dengan ideal-ideal sosialis tertentu.Kombinasi ini dikenal sebagai “sosialis me Islam”.58 Ideologibaru ini dikobarkan oleh kelompok modernis Islam termasukTjokroaminoto, Agus Salim, Abdul Muis, dan Surjopranoto,dengan perumus utamanya adalah Agus Salim—karenakedalamannya dalam penguasaan literatur Islam dan so sialisBarat merupakan yang paling maju dalam tubuh SI.

Terinspirasi oleh identitas dan ideologi Islam baru yang ter -politisisasikan, para intelektual Islam di bawah pengaruh AgusSalim mulai menuduh para kader komunis dalam tubuh SI me -miliki loyalitas ganda sehingga menimbulkan problem-problemdalam usaha mempertahankan platform dan identitas kolektifber sama. Pada gilirannya, tuduhan ini melahirkan idepemberlakuan disiplin partai,59 dan kebijakan untuk mengeluarkanorang-orang komunis dari organisasi tersebut. Kemarahan yangmuncul akibat adanya ide dan kebijakan tersebut hanya bisaditenangkan oleh usaha-usaha dari Tjokroaminoto sebagaiseorang penengah (so lidarity makers). Namun, ketika dia ditahanpada bulan Agustus 1921 atas tuduhan terlibat dalam SarekatIslam afdeling B, Salim dan Muis berhasil mengambil alih kendaliorganisasi tersebut. Sebagai hasilnya, pada Kongres Nasional SIKeenam di Surabaya (6-11 Oktober 1921), usulan disiplin partaiditerima oleh Kongres. Sebagai konsekuensinya, kader-kaderkomunis terpaksa harus keluar dari SI.

Page 325: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 305

Tan Malaka, dalam kapasitasnya sebagai seorang pemimpinkomunis sejak akhir 1921, telah berusaha untuk meredakan ke -tegangan-ketegangan antara para pemimpin komunis dan Islamsebelum dia kemudian ditangkap pada bulan Maret 1922. Daritempat pengasingan dia juga terus melanjutkan perjuanganuntuk merukunkan hubungan antara komunisme dan Islamismemelalui Kongres Komintern Keempat pada bulan November1922. Pada kesempatan itu, dia dengan terang-terangan mengecamsikap permusuhan Komintern terhadap Pan-Islamisme, karenahal itu dipandangnya sebagai cerminan kekuatan borjuis yangtak bisa dipercaya. Dia juga menekankan “potensi revolusionerdalam Islam di daerah-daerah jajahan dan kebutuhan partai-partai komunis untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompokradikal Islam” (Anderson, 1972: 272; Malaka, 1991: 92-93).Namun, hal ini tidak ditanggapi dengan baik oleh sejawat-sejawat komu nisnya, dan konflik-konflik antara PKI dan SI punterus ber lanjut.

Pengenyahan kader komunis dari SI melahirkan terbentuknyadua tradisi politik intelektual di Indonesia: tradisi (Islam) refor -mis-modernis dan tradisi (sekuler) komunis. Basis kultural daritradisi yang pertama ialah paham reformisme-modernisme Islam,sementara basis sosio-ekonominya ialah kaum borjuis kecilMuslim (utamanya di perkotaan). Basis kultural dari kaumkomunis ialah percampuran antara nilai-nilai sekuler dan sinkretikabangan, sementara basis sosio-ekonominya ialah kelas buruhperkotaan dan kaum tani di pedesaan. Perbedaan-perbedaan initecermin da lam pandangan-pandangan mereka mengenainasionalisme. Se mentara basis nasionalisme dari tradisi reformis-modernis ialah ukhuwah Islamiyah, basis nasionalisme tradisikomunis ialah soli daritas kelas.

Setiap tradisi itu memberikan tumpuan ideologis bagi gene -

Page 326: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

306 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

rasi-generasi inteligensia “Muslim” dan “komunis” pada masadepan. Sejak itu, kata “Muslim” dalam wacana politik Indonesiatak lagi merupakan sebuah “kode kultural” yang merujuk padasiapa saja yang menganut agama Islam, tetapi lebih merupakansebuah “kode politik” yang merujuk pada pengikut politikMuslim (Islam politik).

Selama 1920-an, SI mulai berubah menjadi sebuah kelompokaksi politik bagi ide-ide reformis-modernis Islam. Pada Februari1923, SI mengubah namanya menjadi Partai Sarekat Islam (PSI)dan kemudian menjadi Partai Sjarikat Islam India-Timur (PSII)pada tahun 1927 dan akhirnya diganti lagi menjadi Partai Sja ri -kat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1929 (Amelz, 1952b: 15).

Sementara itu, inteligensia revolusioner Marxis menjadi lebihterintegrasi ke dalam komunitas komunis internasional. Pada1924, para anggota Perserikatan Komunis di India dengandukungan kelompok pecahan dari SI (yang disebut SI-Merah)—yang ke mu dian menjadi “Sarekat Rakjat”, mengubah diri menjadiPartai Komunis Indonesia (PKI) (Ricklefs, 1993: 174).

Sementara SI secara gradual berubah menjadi sebuah partaipolitik reformis-modernis, organisasi-organisasi reformis-modernisnon-politik seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad mulai ber -kem bang dari level lokal ke level nasional. Gelombang pasangsemangat reformis-modernis ini menjadi momen yang menentukanbagi ulama konservatif-tradisionalis untuk mengekpresikanidentitas kolektif mereka sendiri.

Kelahiran Tradisi Politik Intelektual MuslimTradisionalisSampai awal 1920-an, meski pengaruh gerakan-gerakan reformis-modernis semakin kuat dalam ruang publik, relasi ulama tradisi -

Page 327: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 307

onalis dengan ulama reformis-modernis di Jawa masih tetapbaik. Hal ini terbukti, misalnya, dalam keragaman afiliasi ke -organisasi an dari Kiai Abdul Wahab Chasbullah yang merupakanpelopor dari gerakan (politiko-kultural) tradisionalis. Semasabelajar di Makkah, dia berinisiatif mendirikan cabang lokal SI disana. Selanjutnya, seperti kita ketahui, dia bersama-sama denganMas Mansur (seorang ulama reformis-modernis, dan mantanma ha siswa Al-Azhar) mendirikan Nahdlatul Wathan pada tahun1916.

Namun, pendalaman penetrasi penyebaran ajaran reformis-modernis pada 1920-an membawa ancaman nyata bagi ulamatra disionalis. Pada 1921, Mas Mansur meninggalkan NahdlatulWathan dan para sejawat ulama tradisionalnya untuk bergabungdengan Muhammadiyah. Sejak saat itu, konflik-konflik di antaradua arus Islam itu menjadi semakin tajam, yang diperparahdengan terjadinya perselisihan personal di antara mereka yangdahulunya pernah bersahabat karib. Perkembangan ini mendorongulama konservatif seperti Chasbullah untuk semakin meng -identifikasikan dirinya de ngan identitas Islam tradisional danjaringan Islam tradisional.

Semakin dalamnya konflik yang berlangsung dalam ko munitasIslam di tengah semakin meningkatnya tekanan dari kaumkomunis dan kelompok-kelompok politik yang lain, menstimulusinteligensia Muslim SI untuk berusaha menyatukan kelompok-kelompok Islam. Untuk mencapai tujuan itu, Kongres PertamaAl-Islam yang diadakan di Cirebon (31 Oktober – 2 November1922) dengan dua tujuan untuk mengurangi perselisihan di ka -langan umat Islam mengenai perkara-perkara “furu” dan “khi -lafiah”, dan menyerukan persatuan umat Islam di bawah kepe -mimpinan khilafah. Dalam kenyataannya, inteligensia SI yangterdidik secara Barat dan para tokoh terkemuka dari organisasi-

Page 328: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

308 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

organisasi reformis-modernis di perkotaan mendominasi kepe -mim pinan Kongres dan menempatkan ulama tradisional pedesaandalam posisi marginal. Situasi ini bahkan lebih terlihat ketikadiadakan Kongres Kedua di Garut (Mei 1924) karena hanyaelemen-elemen reformis-modernislah yang mengikuti Kongres(Van Niel, 1970: 209).

Kekecewaan ulama tradisionalis menjadi lebih kuat lagi me -nyusul peristiwa-peristiwa pasca-penghapusan kekhalifahan diTurki oleh Mustafa Kemal (Ataturk, 1881-1938) pada bulanFebruari 1924. Terkejut karena adanya penghapusan itu, ulamaAl-Azhar lalu berencana mengadakan “Kongres Islam se-Dunia”yang dior ganisasi oleh Rashid Ridha yang pada mulanya akandiadakan pada bulan Mei 1925 (Landau, 1994: 236-238).Dalam rangka memper siapkan keikutsertaan dalam kongrestersebut, diadakan “Kongres Al-Islam” di Surabaya (24-26Desember 1924) untuk memilih para anggota delegasi Indonesiake kongres Kairo. Nyatanya, mereka yang terpilih utamanyaadalah para pemimpin dari ka langan reformis-modernis.60

Karena adanya krisis internal, kongres Kairo ditunda pe lak -sa na annya menjadi bulan Mei 1926, dan ketika kongres ter -sebut diadakan, tak ada delegasi “resmi” Indonesia (delegasidari kongres Al-Islam) yang menghadirinya. Meski demikian,keke cewa an ulama tradisionalis terus meningkat, karena diperparaholeh peristiwa-peristiwa pasca-penaklukan Makkah oleh ‘AbdAl-‘Aziz ibn Sa’ud (1880-1953) pada bulan Oktober 1924. ‘AbdAl-‘Aziz hadir dengan mengusung ide-ide pembaruan Wahhabiyang puritan dan juga berambisi untuk menjadi seorang khalifahyang baru. Untuk menandingi rencana Kongres Kairo dan untukmeng gagalkan ambisi Raja Mesir, Fu’ad (bertakhta tahun 1923-1926), Ibnu Sa’ud juga berencana mengadakan sebuah kongresinter nasional mengenai kekhalifahan Islam pada Juni-Juli 1926.

Page 329: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 309

Masalah Indonesia untuk memilih antara Kongres Kairo danMakkah, serta untuk menentukan respons yang tepat terhadaprezim Sa’ud yang baru, mendorong diadakannya Kongres Al-Islam keempat dan kelima, masing-masing di Yogyakarta (21-27Agustus 1925) dan di Bandung (6 Februari 1926). Dalam keduakongres tersebut, Muhammadiyah, yang sejak awal memangdekat dengan aliran reformisme-modernisme Islam Mesirketimbang aliran Wahhabisme yang sangat puritan, lebih memilihmeng ikuti kongres Kairo. Sementara itu, Tjokroaminoto dariPSI dan ulama tradisionalis lebih memilih kongres Makkah. Dimata Tjokroaminoto, peran Raja Fu’ad di kongres Mesirmerepresentasikan rencana Inggris untuk mengontrol segenapDunia Islam. Sementara bagi ulama tradisionalis, posisi Hijazjauh lebih penting ketimbang persoalan khalifah karena Hijazmerupakan pusat pengajaran Islam tradisional. Di mata mereka,mengikuti kongres Makkah penting un tuk meminta jaminandari rezim Wahhabi bahwa praktik-prak tik Islam tradisionalakan tetap dihormati. Ternyata, meskipun Kongres Al-Islammemutuskan untuk mengikuti kongres Makkah, tak satu punulama tradisionalis yang ditunjuk sebagai wakil In donesia kekongres tersebut61 (Van Bruinessen, 1994: 29-33).

Semua peristiwa ini menunjukkan semakin dominannya in -teligensia berpendidikan Barat dan kelompok-kelompok refor -mis-modernis dalam kepemimpinan gerakan-gerakan Islamkontem porer di Hindia. Berkembangnya hubungan yang kohesifantara in teligensia Muslim dan ulama reformis-modernismengancam posisi ulama tradisional baik secara kultural maupunpolitik di Tanah Air. Saat yang sama, penaklukan Makkah olehrezim Wahhabi meng ancam posisi ulama tradisional di jantungpusat Islam. Karena ke tiadaan wakil ulama tradisionalis dalamdelegasi Al-Islam ke Kongres Makkah, Wahab Chasbullah

Page 330: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

310 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

(seorang juru bicara ulama tradisi onalis dalam Kongres Al-Islam) mendorong ulama tradisio nalis un tuk mengirimkandelegasinya sendiri. Para ulama tradisio nalis lantas meresponsnyadengan membentuk Komite Hijaz pada tanggal 31 Desember1926. Untuk memperkuat kredibilitas dari delegasi kalangantradisionalis ini, komite ini kemudian diubah menjadi sebuahorganisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (NU).62 Sejak saatitu, NU, dengan Hasjim Asj’ari (bapak pendiri PesantrenTebuireng) sebagai pemimpin besarnya dan Chasbullah sebagaipengorganisasi utamanya, menjadi representasi par excellencedari aliran tradisi onalisme Islam dengan basis dukungan utamanyadi Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Kelahiran NU merefleksikan eksistensi dari tradisi politikintelektual yang lain di Indonesia, yaitu tradisi (Islam) tradisional.Basis kultural dari tradisi politik ini ialah “tradisionalismeIslam”,63 sementara basis sosio-ekonominya ialah petani (pemiliktanah) di pedesaan. Selama dua dekade selanjutnya, kepemimpinandari tradisi ini sangat bergantung pada ulama dan ulama-intelektradisi onalis karena memang inteligensia tradisionalis masihberada pada tahap persiapan pembentukan (gestation stage).

Sementara kepemimpinan dari tradisi politik reformis-mo -dernis terutama berada di tangan inteligensia Muslim (intelek-ulama) dengan dukungan ulama-intelek reformis, kepemimpinantradisi tradisionalis terutama berada di tangan ulama. Jadi, kon -flik-konflik di antara kedua tradisi tersebut bukan saja mencermin -kan pertarungan ideologi, melainkan juga pertarungan prestisesosial antara clerisy Islam yang lama dan yang baru. Berkali-kalidilakukan usaha-usaha untuk menjembatani jurang di antarakedua tradisi ini, terutama di tengah-tengah adanya tekananideologi dari luar. Namun, perpecahan itu masih terus sajaberlangsung.

Page 331: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 311

Kelahiran Tradisi-Tradisi Politik Intelektual“Nasionalis” dan “Sosialis”Di tengah-tengah ketegangan yang semakin memanas di ruangpublik, pemberontakan-pemberontakan prematur dari kaumko munis berlangsung di Jawa Barat (November 1926) dan diPantai Barat Sumatra (Januari 1927). Tindakan pemerintahkolonial untuk mengatasi kedua pemberontakan tersebut membawamimpi buruk bukan hanya bagi PKI, melainkan juga bagi seluruhgerakan nasio nalis lainnya. PKI dilarang berdiri dan ribuanpemimpin serta pen dukungnya dipenjara atau diasingkan kedaerah-daerah sekitar Sungai Digul yang penuh nyamuk malariadi Irian. Peristiwa ini merupakan awalan bagi pengerangkenganpemimpin-pemimpin nasionalis Indonesia secara lebih luas.

Menghadapi kenyataan bahwa negara kolonial menjadi se -makin represif, inteligensia radikal tiba pada kesimpulan bahwarakyat Indonesia tak bisa lagi mengharapkan bantuan yang ber -makna dari pihak penjajah untuk bisa merdeka. Karena itu,semua kerja sama dengan pemerintah kolonial harus dihentikan.Di mata para anggota PI, “Kerja sama hanya mungkin terjadi diantara dua kelompok yang memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama, dan keduanya memiliki kepentingan yangsama”. Jika tidak, kerja sama hanya akan berarti “yang lebihkuat menunggangi yang lebih lemah dan memanfaatkannyasebagai alat bagi kepen tingan nya sendiri” (Ingleson, 1979: 9).Maka dengan mengikuti jejak PKI, yang sejak awal memangmenolak terlibat dalam Volksraad, pada akhir 1924, PSI mulaimengubah posisi politiknya dengan melaku kan politik “hidjrah”yang berarti bergeser dari politik kooperatif men jadi politiknon-kooperatif. Sikap ini diikuti oleh gerakan-ge rakan danpartai-partai politik nasionalis lainnya.

Page 332: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

312 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Pengasingan banyak pemimpin dan pendukung pemberontak -an-pemberontakan PKI yang disusul oleh penyingkiran partaiter sebut dari ranah politik, mendorong para intelektual nasionalismuda untuk mengambil alih kepemimpinan politik denganmeng im ple mentasikan konsepsi mereka mengenai sebuah partaiserikat nasionalis yang baru. Hatta dan rekan-rekannya di PImengusulkan dibentuknya Sarekat Rakjat Nasional Indonesia(SRNI). Namun, setelah mengumumkan rencana pembentukanSRNI pada awal 1927, PI kehilangan inisiatif untuk meng -implementasikannya ka rena segera diambil alih oleh sekelompoknasionalis di Algemene Studieclub (ASC) Bandung. Para pemimpinASC, terutama Sukarno, berargumen bahwa mereka memilikipemahaman yang lebih baik tentang situasi Indonesia ketimbangpengurus PI di negeri Belanda. Dengan mengabaikan programyang diajukan oleh PI, kelompok Bandung mengambil inisiatifnyasendiri. Pada tanggal 4 Juli 1927, mereka meluncurkan kepadapublik sebuah perhimpunan nasio nalis baru yang bernamaPerserikatan Nasional Indonesia (PNI) dengan majalahnya,Persatoean Indonesia. Setahun kemudian, per himpunan tersebutberubah menjadi partai nasionalis yang pertama yang dipimpinoleh para intelektual berpendidikan tinggi, yaitu Partai NasionalIndonesia (PNI) dan Sukarno ditunjuk menjadi ketuanya (Ingleson,1979: 29-33).

Munculnya PNI menandai pembentukan tradisi politik inte -lektual yang lain di Indonesia, yaitu tradisi “nasionalis” sekuler.Dalam kenyataan, terdapat ketidaksepahaman yang krusialantara ideal-ideal PI mengenai partai baru dan haluan politikaktual yang diambil oleh PNI. Dalam pandangan Hatta, meskimemang ada kebutuhan untuk membentuk sebuah partai baruyang bersifat radikal, tugas pertama partai itu adalah pendidikan,dan karena itu, partai tersebut hanya bisa secara perlahan

Page 333: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 313

mempersiapkan ang gota-anggotanya untuk mencapai ke -merdekaan. Namun, dalam pandangan Sukarno, rencana Hattaitu terlalu moderat dan usulan mengenai peran partai sebagaipartai pendidikan secara taktis tidak tepat karena tak akan bisasegera menghadirkan kemerdekaan In donesia. Berbeda denganideal Hatta, PNI lebih suka menjadi partai massa yang radikal.Namun, di luar kontroversi mengenai karakter partai baru itu,situasi tersebut tampaknya membuktikan bahwa bahkan padafase historis ini, hubungan antar-para aktivis maha siswa tidakselalu harmonis. Terdapat persaingan terselubung di antara paramahasiswa dari jaringan-jaringan yang berbeda sebagai akibatdari perbedaan latar kultural dan kecenderungan-kecen de runganpolitik masing-masing.

Kesempatan Hatta untuk mengimplementasikan partai ideal -nya datang setelah penangkapan Sukarno dan tiga rekannya,yang kemudian diikuti dengan pengadilan dan pemenjaraankeempat orang tersebut pada bulan Desember 1929. SetelahSukarno dipen jara kan, Sartono yang mengambil alih kepemimpin -an PNI memu tuskan untuk membubarkan PNI dan membentuksebuah orga nisasi yang baru pada bulan April 1931 bernamaPartij Indonesia (Partindo). Partindo tetap mempertahankanmajalah PNI, Persatoean Indonesia, dan menerbitkan sebuahkoran partai yang baru, Fikiran Ra’jat. Namun, tidak semuabekas pendukung PNI bergabung de ngan Partindo. Di banyaktempat, mereka yang tidak setuju de ngan tindakan Sartonomendirikan organisasi-organisasi tandingan dalam bentuk studyclub-study club dan menyebut diri mereka se bagai “GolonganMerdeka”. Hampir bersamaan dengan itu, PI ter pecah ketikakaum komunis yang berorientasi Moskow meng ambil alihkendali atas organisasi tersebut, yang menyebabkan pe ngenyahanHatta dan sejawatnya yang lebih muda, Sutan Sjahrir (lahir

Page 334: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

314 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

tahun 1909), yang tiba di negeri Belanda pada 1929. Lewatkemunculan gerakan-gerakan “Golongan Merdeka” itulah, Hattadan Sjahrir menemukan cara untuk mengimplementasikan ideal-ideal politik mereka.

Tokoh-tokoh pemimpin dari gerakan “Golongan Merdeka”,seperti Sujadi dan Johan Sjahruzah, maupun Hatta dan Sjahrirsama-sama menekankan pada pentingnya menerbitkan sebuahmajalah dan melakukan pendidikan politik bagi massa. Akhirtahun 1931, “Golongan-Golongan Merdeka” dari beberapakota bertemu dan melaksanakan saran Hatta dan Sjahrir untukmendirikan se buah gerakan politik baru yang memiliki majalahnyasendiri. Me ngenai nama perhimpunan itu, mereka tak memilihistilah “partai” atau “perserikatan”, tetapi “pendidikan”, yaituPendidikan Nasional Indonesia (PNI).64 Nama majalahnya ialahDaulat Ra’jat (berdiri tahun 1931), yang diikuti setahun kemudiandengan koran Ke daoelatan Ra’jat (Mrázek, 1994: 78-87). SetelahSjahrir dan Hatta kembali dari negeri Belanda masing-masingpada tahun 1931 dan 1932, mereka memimpin PendidikanNasio nal Indonesia yang lebih terkenal dengan sebutan PNIBaru.

Pembebasan Sukarno dari penjara Sukamiskin ternyata tidakberhasil menyatukan gerakan-gerakan nasionalis (sekuler). Dialalu memutuskan untuk mempertautkan dirinya dengan Partindodan dengan begitu semakin melestarikan perpecahan antarapartai tersebut dengan PNI Baru. Kedua kelompok itu memangsama-sama menganut cara pandang yang nasionalistik-sekuler,tetapi mereka memiliki konstituen yang berbeda. Para pengikutdari kedua kelompok itu berbeda dalam tingkat keterbukaannyater hadap nilai-nilai liberal-sekuler dan pemikiran sosialis (Barat).Rekrutmen utama dari Partindo adalah para pengikut kaummuda yang berorientasi adat, terutama yang berasal dari Jawa

Page 335: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 315

Tengah dan Jawa Timur, yang bekerja di birokrasi pemerintahan,tetapi dengan tetap menghormati nilai-nilai kepriayian tradisional.Secara kontras, PNI Baru cenderung bersikap kritis terhadapsetiap “spirit intelektual aristokratik”.65 Konstituen utama dariPNI Baru ialah kaum muda sekuler yang bekerja pada birokrasipemerintah dan sektor ekonomi Barat, terutama mereka yangberpendidikan tinggi yang sangat terbuka terhadap nilai-nilailiberal-sekuler (Barat).66 Dibandingkan dengan para anggotaPartindo secara umum, para anggota PNI Baru juga lebih kuatdalam apresiasinya terhadap pemikiran Marxis-sosialis.

Sejak saat itu, inteligensia nasionalis sekuler terpecah menjadidua kubu: yaitu kubu tradisi politik nasionalis tradisionalis(yang secara umum disebut oleh orang Indonesia sebagai kaum“nasio nalis”) dan tradisi politik nasionalis modernis (yang umumdisebut orang Indonesia sebagai kaum “sosialis”). Basis kulturaldari kaum “nasionalis” ialah campuran antara nilai-nilai sekuler,adat lokal, dan sinkretisme, sementara basis sosio-ekonominyayang utama ialah kombinasi antara pegawai pemerintah danpemilik tanah. Basis kultural dari kaum “sosialis” ialah nilai-nilai sekuler Barat, dan basis sosio-ekonominya yang utamaialah kombinasi antara pegawai pemerintah dan sektor ekonomiBarat.

Kelahiran Tradisi-Tradisi Politik IntelektualKristenPerkembangan-perkembangan yang terjadi di ruang publik inipada gilirannya mendorong masyarakat Kristen (Katolik danPro testan) Indonesia mengembangkan kelompok-kelompok aksipo litiknya sendiri. Pada 1923, orang-orang Katolik di Jawaberhasil mendirikan perhimpunan politiknya sendiri, yang

Page 336: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

316 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

bernama Par kempalan Politik Djawi (PPKD) dengan diketuaioleh F.S. Harjadi dan kemudian digantikan oleh I.J. Kasimo.67

Menanggapi semakin meningkatnya ketegangan-keteganganpolitik, PPKD kemudian mentransformasikan dirinya pada Juli1938 dari sebuah gerakan sosio-kultural menjadi sebuah gerakanpolitik di bawah nama Persatuan Politik Katolik Indonesia(PPKI). Pada bulan Desember, didirikan Partai Kaum MasehiIndonesia (PKMI) di Jakarta sebagai usaha untuk mendirikansebuah partai politik Protestan Indo nesia.68 Partai ini menuntutdiberikannya otonomi kepada Indonesia dan menyuarakanperlunya pemerintah otonom yang didasarkan pada prinsip-prinsip Kristen. Namun, karena adanya rivalitas-rivalitas in -ternal, partai ini hanya bertahan sebentar. Sebuah upaya yanglebih serius dilakukan pada tahun 1939, ketika didirikan FederasiPer kumpulan Kristen Indonesia di Yogyakarta,69 yang merupakanran cangan bagi berdirinya sebuah partai politik Kristen(Pringgodigdo, 1964: 126-128).70

Dengan keanggotaanya yang relatif kecil, makna pentingdari partai-partai politik Kristen (Katolik dan Protestan), dalampan dangan Ricklefs, bersumber dari “kelimpahan representasikaum Kristen di level-level pemerintahan sipil dan militer tingkatatas ka rena kualifikasi-kualifikasi pendidikan mereka yangmemang lebih unggul” (Ricklefs, 1993: 240). Munculnyakelompok-ke lom pok aksi politik Kristen merepresentasikanterbentuknya tradisi politik intelektual yang lain, yaitu tradisiKristen (Protestan mau pun Katolik). Basis kultural dari tradisiini ialah nilai-nilai Kristen, sementara basis sosio-ekonominyaialah birokrasi pemerintahan dan sektor ekonomi Barat. Dalamwacana tentang nasionalisme dan negara Indonesia pada masadepan, pemikiran dari tradisi Kristen ini cenderung sejalandengan pemikiran/tradisi nasionalis “sekuler”.

Page 337: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 317

Fragmentasi dalam Tradisi-Tradisi PolitikIntelektualUpaya konsolidasi lebih jauh dari partai-partai dan tradisi-tradisipolitik ini terhambat oleh semakin meningkatnya respresi apa -ratur negara kolonial selama masa depresi ekonomi dunia pada1930-an. Karena kepedulian pemerintah kolonial Belanda untuklebih menekankan “ketertiban dan keamanan” umum, tak adaruang bagi aktivitas politik yang efektif bagi partai-partai politikyang mengambil sikap non-kooperatif. Pilihan yang tersediabagi partai-partai politik ialah antara mengambil sikap politikkoope ratif (dengan risiko terjadinya konflik-konflik internalantara ang gota-anggota yang realis dan idealis) atau menjadigerakan bawah tanah (dengan risiko kehilangan kontak denganmassa yang lebih luas).

Di tengah-tengah situasi demikian, fragmentasi dalam tradisi-tradisi politik tertentu mulai muncul. Pada bulan Mei 1930,elemen-elemen radikal dari SI cabang Sumatra Barat dankelompok-ke lompok Sumatra Thawalib mengubah SumatraThawalib menjadi sebuah perhimpunan politik, yaitu PersatuanMuslimin Indonesia (PMI). Pada 1932, perhimpunan ini menjadisebuah partai politik dan namanya disingkat menjadi Permi(Noer, 1973: 50). Di antara tokohnya yang terkemuka ialahpara mantan aktivis Djama’ah Al-Chairijah di Kairo, yaitu IljasJa’kub dan Muchtar Lutfi. Karena kecewa dengan ide-de Pan-Islam yang lekas pudar setelah kegagal an Kongres Islam se-Dunia di Kairo dan Makkah, Ja’kub dan Lutfi kembali ke TanahAir masing-masing pada tahun 1929 dan 1931. Saat kembali keTanah Air, mereka memimpin partai yang baru berdiri ini danmenjadikan partai ini menarik bagi banyakan pe muda Minang -kabau. Dengan slogan “Islam dan Kebangsaan”, Permi kemudian

Page 338: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

318 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

membangun jaringan dengan Partindo (Ricklefs, 1993: 190)dan mengambil jarak dari pemikiran ideologis PSI. Na mun,setelah Belanda menangkap Lutfi dan Ja’kub, partai ini de ngansegera lenyap dari ruang publik, meski terus aktif dalam bidangpendidikan dan kultural (Roff, 1970a: 87). Sekitar saat yangsama, akibat adanya perselisihan-perselisihan internal dalamtubuh PSII di antara para penganjur sikap kooperasi denganmereka yang me milih non-kooperasi, partai ini mengalamifragmentasi internal yang parah.

Pada 1935, Indonesische Studieclub-nya Sutomo, yang telahmengubah namanya menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI)pada 1917 bergabung dengan BU membentuk Partai IndonesiaRaja (Parindra). Partai ini cenderung dekat dengan Partindodalam posisi ideologisnya, tetapi demi kepentingannya untukbisa tetap hidup, partai itu masih menunjukkan sikap yangbersahabat dengan pihak pemerintah (Van der Veur, 1984: 26).Sementara itu, setelah penangkapan dan pengasingan parapemimpin nasionalis terke muka seperti Sukarno, Hatta, danSjahrir pada 1933, Partindo dibubarkan pada bulan November1936. Setahun kemudian, be berapa mantan aktivis yang dipimpinoleh anggota-anggota in teligensia yang ra dikal, seperti MohammadYamin dan Amir Sjarifuddin (seorang Kristen Batak), mendirikanGerakan Rakjat Indonesia (Gerindo). Meski memiliki tujuan-tujuan yang sama dengan Partindo, Gerindo menjalin kerjasama dengan pihak Belanda untuk melawan ancaman fasisme,terutama fasisme Jepang (Ricklefs, 1993: 192; Pringgodigdo,1964: 108).71

Singkat kata, menjelang kedatangan pendudukan Jepang,telah muncul enam tradisi politik “intelektual” utama di Indonesia:yaitu tradisi reformis-modernis (Islam), tradisi tradisionalis(Islam), tradisi komunis (sekuler), tradisi “nasionalis” (sekuler),

Page 339: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 319

tradisi sosialis (sekuler), dan tradisi Kristen (sekuler). Satu lagitradisi po litik akan muncul setelah masa kekuasaan sementaraJepang, yaitu tradisi militer (sekuler). Setiap tradisi memilikibasis kul tural dan sosio-ekonominya sendiri serta memilikiorientasi poli tik nya sendiri seperti yang digambarkan dalamTabel 3. Fitur dari setiap tradisi dalam diagram tersebut hanyamerupakan sebuah tipe ideal dan berlaku valid hanya selamaawal-awal pembentukan tradisi-tradisi politik intelektual (1920-an-1940-an). Dengan ber lalunya waktu, basis kultural dan sosio-ekonomi dan orientasi po litik dari setiap tradisi bisa berubah.

Pembentukan dan Transmisi Tradisi Politik“Intelektual” IslamSampai 1950-an, kalangan tradisionalis tidak menghasilkan “in -tellec tueelen” (inteligensia) secara signifikan—dalam artisepenuhnya dari istilah tersebut sebagaimana dijelaskan di atas.Keberadaan madrasah dalam komunitas ini memang merupakansuatu langkah penting da lam melahirkan ulama-intelektradisionalis, seperti Wachid Hasjim, Mohammad Iljas, danFathurrahman Kafrawi, yang menjadi perintis (forerunners) bagikelahiran generasi inteligensia tradisionalis pada masa depan.Meski begitu, partisipasi para pelajar tradisionalis dalam sistemsekolah modern pada kurun waktu ini masih merupakanfenomena yang tak lazim. Jadi, inteligensia NU sebelum 1950-an se bagian besar merupakan “orang luar” yang direkrut untukberga bung dan membantu mengelola organisasi ini (Van Bruinessen,1994: 39).

Maka, gerakan-gerakan “intelektual” Muslim sebelum tahun1950-an pada dasarnya berjejak pada konstituen reformis-moder nis. Alasannya ialah karena begitu inteligensia Muslim

Page 340: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

320 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

telah me nan capkan bendera ideologi politik Islam, ideologitersebut harus ditancapkan di atas tanah yang telah dipersiapkandengan baik un tuk menerima sebuah ideologi baru. Karenaideologi politik dalam rumusannya yang sistematik merupakansebuah fenomena modern, “ideologi politik Islam” hanya bisadiserap secara efektif jika ditanamkan dalam sebuah komunitasyang telah terekspos terhadap modernitas. Dalam hal ini, sepertiyang telah diargumen kan oleh Shepard (1987: 308), “posisi-

Tabel 3: Tradisi‐Tradisi Politik Intelektual, Basis Kultural dan Ekonomiserta Orientasi‐Orientasi Politiknya

* Tradisi politik militer mulai muncul pada paruh kedua tahun 1940‐an.

Basis Sosio‐Ekonomi

Kaum BorjuisKecil (Ekonomi

Pribumi)

Pertanian/Pemilik Tanah

Birokrasi danPemilik Tanah

Birokrasi danSektor Ekonomi

Barat

Kelas Buruh dan Petani

Kecil

Birokrasi danSektor Ekonomi

Negara

Basis Kultural

Reformismemodernisme

Islam

TradisionalismeIslam

Nilai‐Nilai Sekuler Barat

Nilai‐Nilai Kristen

Nilai‐Nilai Sekuler +

Sinkretisme

Nilai‐NilaiNasionalistik

Sekuler

Tradisi

Muslim Modernis

MuslimTradisionalis

Sosialis

Kristen

Komunis

Militer*

Orientasi Politik

Modernisme‐Islam

Tradisionalisme‐Islam

Modernisme‐Sekuler

Modernisme‐Sekuler

Modernisme‐Sekuler

Modernisme‐Sekuler

Page 341: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 321

posisi (pemikiran) tradisi onalis tak bisa dikatakan mengandungideologi dalam artian yang ketat”. Karena posisi tradisionalissebelum tahun 1950-an masih belum merupakan tanah yangsubur untuk menanam benih ideo logi politik Islam, makamemang masuk akal jika inteligensia Muslim memfokuskanperhatian mereka pada kalangan reformis-modernis. Ketika SImenjadi sebuah kelompok aksi reformis-modernis, maka formasitradisi politik modernis pun dimulai.

Formasi ini tumbuh melewati perdebatan-perdebatan intelektualpublik. Dari tahun 1920-an sampai tahun 1940-an, terdapatserangkaian debat publik di pers dan rapat-rapat umum antarapara intelektual organik Muslim dengan inteligensia sekuler,terutama menyangkut persoalan ideologi politik dan dasar darinasionalisme dan kemerdekaan Indonesia. Melalui polemik-polemik dalam ruang publik ini, tumbuhlah konsepsi mengenaiideologi Islam. Pudarnya pengaruh politik dari generasi pertamainteligensia Muslim tidak dengan sendirinya mengakhiri tradisiintelektual Muslim dan ideologinya. Tradisi dan ideologi iniditransmisikan dan direformulasikan oleh generasi-generasiinteligensia Muslim berikutnya. Transmisi ini dimungkinkanoleh adanya jaringan intelektual antar-generasi, sementarareformulasi dibutuhkan karena setiap generasi harus berhadapandengan isu-isu kritis dan tantangan-tantangan sosio-historis yangberbeda-beda.

Terbentuknya Identitas Kolektif dan IdeologiMuslimIdentitas dan ideologi politik Muslim bukanlah sesuatu yangtelah jadi begitu saja, melainkan berkembang dari hasilperbenturan-perbenturan dan wacana-wacana. Pada awalnya,

Page 342: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

322 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

perbenturan wacana antara para intelektual Muslim dari generasipertama dan para kader komunis (seperti Semaun dan Darsono)dalam tubuh SI menghasilkan sebuah proklamasi Islam sebagaiprinsip or ganisasi SI. Karena Tjokroaminoto (sampai tahun1921) lebih meng arahkan usaha-usahanya untuk mempertahankanpersatuan partai ketimbang untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip partai, Agus Salim-lah yang memulai bertindak dalamjalur penegakan prinsip partai ini. Meskipun ide Islam sebagaibasis partai telah dirumuskan oleh Tjokroaminoto pada tahun1917, Agus Salim mengeksplisitkan hal itu secara lebih jelas dantegas sehingga menjadi satu-satunya basis dan identitas dari SIpada tahun 1921. Dalam tulisannya di majalah Neratja padatanggal 18 Oktober 1921, Salim secara terbuka menyatakan:

Tak perlu mencari “isme-isme” lain untuk menyembuhkanpenyakit organisasi. Obatnya ada dalam prinsip partai itu sendiri,prinsip yang berlaku lama dan abadi, yang tak akan bisadihapuskan oleh manusia meski seluruh dunia memu suhinya.Prinsip ini adalah Islam.

Upaya untuk memobilisasi dukungan bagi perjuangan Islamdalam lingkungan publik yang penuh perselisihan menuntutpen ciptaan suatu kerangka solidaritas kolektif dan ideologi yangbaru. Pada tingkatan internasional, hal ini melahirkan upaya-upaya un tuk mempertautkan SI dengan gerakan “Pan Islam”. SIdan orga nisasi-organisasi Islam yang terkait dengannya kemudianmenjadi terlibat dalam persoalan-persoalan Islam internasional,paling tidak sampai dihapusnya kekhalifahan pada tahun 1924dan kegagalan kongres internasional untuk menghadapi problemtersebut. Dalam ranah media, kecenderungan Pan-Islam initecermin dengan terbit nya koran Doenia Islam di Jakarta (1922-

Page 343: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 323

1923), dengan dieditori oleh Agus Salim. Di dalam negeri,karena adanya serangan ideologis yang terutama datang daripara penganjur sosialisme-Marxis, for mulasi prinsip-prinsip danideologi Islam pada periode awal ini cen derung memberi tekananpada dimensi sosialistik dari Islam. Sejak saat itu, inteligensiaMuslim modernis SI mulai mempromosikan “sosialisme Islam”.

Setelah dikeluarkannya kader-kader komunis dari SI,Tjokroaminoto bergabung dengan Salim untuk menyuarakanideologi “sosialisme Islam”. Pada awal 1922, kursus-kursus khu -sus mengenai sosialisme Islam diberikan kepada para anggotamuda SI di Yogyakarta, di mana Tjokroaminoto mengajar dok -trin sosialisme, Surjopranoto mengajar sosiologi secara umum,dan Fakhruddin (dari Muhammadiyah) mengajar teologi Islamtentang sosialisme. Di antara mereka yang antusias mengikutikur sus-kursus ini ialah Hadji Abdul Malik Karim Amrullah(Hamka), anak dari Hadji Rasul dari Sumatra Barat yang kelakmenjadi salah seorang ulama-intelek paling terkemuka Indonesia(Hamka, 1952: 34-40). Sekitar waktu yang bersamaan, artikel-artikel seperti “Apa kah Sosialisme Itu?” atau “Sosialisme berdasarIslam”, yang ditulis oleh Tjokroaminoto dan Agus Salim, seringmuncul dalam koran-koran yang berafiliasi dengan SI. Lebihdari itu, pada Kongres Al-Islam pertama di Cirebon (31 Oktober-2 November 1922), so sialisme Islam menjadi salah satu isuutama yang dibahas oleh kong res (Amelz, 1952a: 137-138).Semua ini memberikan kontribusi terhadap diterbitkannya bukuTjokroaminoto yang berpengaruh, Islam dan Sosialisme, padabulan November 1924. Representasi simbolik dari ideologi iniialah berdirinya sebuah majalah Islam, Bandera Islam (1924-1827),72 yang menjadi corong utama so sialis me Islam.

Meski sepakat dengan sebagian besar doktrin Marxis,Tjokroaminoto dalam buku dan artikel-artikelnya mengkritik

Page 344: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

324 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

teori materialisme historisnya Marxis karena tidak memberikantempat bagi Tuhan dan karena penuhanannya terhadap materi.Dia menyimpulkan: “Sosialisme kita bukanlah sosialisme sema -cam itu, melainkan sosialisme Islam yang berusaha mencapaike selamatan umat manusia di dunia dan akhirat” (Tjokroaminoto,1925; 1952: 141). Meskipun mereka mengklaim tentangkeunggul an prinsip-prinsip sosial Islam, Tjokroaminoto danpara sejawat modernisnya—sebagai orang-orang berpendidikanmodern yang terbuka terhadap pemikiran politik Baratkontemporer—juga per caya bahwa demokrasi dan prinsip-prinsip demokrasi haruslah men jadi dasar bagi perjuangan Islam.“Jika kita, kaum Muslim, benar-benar memahami dan secarasungguh-sungguh melaksana kan ajaran-ajaran Islam,” katanya,“kita pastilah akan menjadi para demokrat dan sosialis sejati”(Tjokroaminoto, 1952: 155). Juga dikatakan bahwa dalam TafsirProgram-Asas Partai Syarikat Islam Indonesia (yang dirumuskanpada tahun 1931): “Dalam negara Indonesia merdeka, yangmenjadi tujuan perjuangan PSII, peme rintahannya haruslahberwatak demokratis sebagaimana yang di tegaskan dalam Al-Quran (QS Al-Syûrâ [42]: 38).” Agak ironis bah wa dalam usaha-usaha untuk menemukan dasar referensi Islam bagi argumen-argumen mereka, karena kebanyakan intelektual berpendidikanBarat ini miskin dalam penguasaan bahasa Arab dan teologiIslam, literatur pendukung yang mereka kutip utama nya berasaldari karya-karya terjemahan (atau tafsir) dalam bahasa Belandadan Inggris (Amelz, 1952b: 9).

Proses pembentukan identitas kolektif dan ideologi intelek -tual Muslim ini juga menemukan momen penempaannya karenaketegangan yang makin memanas antara inteligensia Muslimmodernis dan para pemimpin nasionalis sekuler, seperti TjiptoMangunkusumo, Sutomo, dan Sukarno. Sampai akhir 1920-an,

Page 345: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 325

hubungan antara inteligensia Muslim SI dan para pemimpinnasionalis masih berjalan baik. Sukarno, misalnya, pada mulanyadianggap sebagai darah dagingnya SI.73 Anggapan ini bukanhanya karena hubungan dekat Sukarno dengan Tjokroaminotosebagai bapak asuh, mentor politik, dan mertua (selama beberapatahun pada awal tahun 1920-an), melainkan juga karena Sukarnoaktif terlibat dalam aktivitas-aktivitas SI. Sukarno-lah, bersamadengan Agus Salim dan Tjokroaminoto, yang menjadi editormajalah Bandera Islam. Bahkan, setelah mendirikan partaipolitiknya sendiri (PNI) pada tahun 1927, Sukarno masih terusmengikuti rapat-rapat nasional SI. Pada rapat SI (sekarang PSII)di Pekalongan pada tahun 1927, Sukarno mengusulkan ideuntuk menyatukan semua organisasi dan pemimpin politikmenjadi sebuah federasi partai-partai politik, yang didukungoleh Tjokroaminoto dan Agus Salim. Ide ini terwujud padatanggal 17 Desember 1927 dengan berdirinya PermufakatanPerhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI)yang beranggotakan PSII, PNI, ASC, BU, Pasundan, SarikatSumatra, dan ISC.

Meski begitu, federasi ini pada kenyataannya tak luput darikonflik kepentingan, dan konflik inilah yang melahirkan rangkaianperdebatan antara inteligensia Muslim dan para pemimpin nasio -nalis sekuler. Persaingan antara para pemimpin Muslim dan na -sio nalis untuk memenangkan kepemimpinan gerakan-gerakanpolitik pada umumnya dan federasi tersebut pada khususnyatelah menciptakan konflik-konflik internal yang tak terjembatani.Pada bulan Maret 1928, Tjipto Mangunkusumo mengirimkansebuah surat kepada Sukarno yang mengingatkannya akanbahaya dari (pengaruh) Pan-Islamisme dan kemungkinan-kemungkinan upaya Tjokroaminoto dan Agus Salim untukmengendalikan PPPKI. Tjipto menuduh upaya-upaya tersebut

Page 346: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

326 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

sebagai “permainan pengkhianat an” oleh Tjokroaminoto danPSII (Ingleson, 1979: 131).74

Ketidaksediaan inteligensia nasionalis sekuler untuk dipim -pin oleh inteligensia Muslim ini berbarengan dengan berkembang -nya rasa iri di kalangan para pemimpin SI terhadap peningkatanpopularitas para pemimpin nasionalis yang baru di ruang publik.Sebab utama dari rasa ini bersumber dari kian meningkatnyaper pecahan internal dan merosotnya perkembangan partai PSII.75

Ke lumpuhan internal ini dibarengi dengan semakin kuatnyapengaruh para pemimpin nasionalis yang baru sehingga membuatpara pe mimpin SI sensitif terhadap apa-apa yang dianggapnyasebagai an caman dari luar. Maka, mereka pun tak bisa menerimaaturan fe derasi yang menetapkan adanya kesetaraan perwakilandi antara partai-partai politik (“satu partai-satu suara”)—tanpamemeduli kan besarnya konstituen partai. Mereka menganggapaturan ini se bagai melemahkan posisi PSII sebagai partai politikterbesar dan satu-satunya wakil Muslim dalam federasi tersebut(Noer, 1980: 272).

Konflik kepentingan internal dalam PPPKI ini diperburukde ngan adanya perdebatan publik. Pada mulanya, suatu rangkaianperdebatan yang tajam terjadi antara para pemimpin SI, terutamaSalim, dengan Sutomo. Perdebatan-perdebatan ini berawal dariwa wancara Sutomo dengan Indische Courant (18 Desember1926) yang dalam wawancara tersebut, dia meminta pemerintahuntuk memberikan lebih banyak posisi di pemerintahan kepadakaum terpelajar Indonesia. Strategi ini ditentang oleh beberapape mim pin SI yang khawatir bahwa hal itu akan menciptakankesan bahwa motif utama dari gerakan politik Indonesia ialahuntuk men dapat kan posisi di pemerintahan. Hal ini memicuperdebatan terbuka antara Sutomo dan para pemimpin SI(Wondosudirdjo, Sangadji, dan Salim) pada bulan Januari 1927.

Page 347: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 327

Perdebatan-perdebatan ini melahirkan konflik yang sengit karenaSutomo menuduh PSI-lah yang telah memicu perselisihan dikalangan beragam elemen dari gerakan nasionalis dan berargumenbahwa Salim merupakan orang asing (non-Jawa) yang sukamenciptakan perselisihan di mana pun ada persatuan. Menjawabtuduhan itu, pada bulan Januari 1927, PSI memerintahkananggota-anggotanya untuk menarik diri dari study club-nyaSutomo. Ini pada gilirannya memicu reaksi balik dari Sutomodan para penganjur nasionalisme sekuler.76 Sutomo dalamtulisannya, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun1928, mengkritik para pemimpin PSI bahwa mereka lebih terikatkuat dengan Islam ketimbang dengan nasionalisme, denganmeng abaikan fakta bahwa bahkan Turki sentimen Pan Islamismeitu telah digantikan oleh nasionalisme.

Di tengah-tengah semakin meningkatnya konflik antara parapemimpin Islam dan nasionalis, Sukarno melakukan sebuahupaya untuk memulihkan persatuan nasional. Namun, dalamseruannya ke arah persatuan nasional, Sukarno malahmenggunakan simbol-simbol kebesaran pra-Islam Nusantara,seperti tokoh kuat Gadjah Mada dari Kerajaan Majapahit abadke-15, sebagai simbol per satuan bagi seluruh Indonesia. Diajuga menyerukan kepada rakyat Indonesia untuk mengorbankankehidupannya demi bangsa. Secara tak terduga, seruannya inijustru memberi amunisi kepada para pemimpin PSII untukmengkritik konsepsi nasionalisme yang di anut kaum nasionalissekuler. Perdebatan-perdebatan di antara Salim dan Sukarnotentang definisi nasionalisme lantas ber lang sung di Fadjar Asia.Salim mengkritik pidato-pidato Sukarno de ngan mengingatkanbahwa penekanan yang berlebih-lebihan ter hadap nasionalismeakan bisa membahayakan baik rakyat Hindia maupun rakyatnegara-negara lain. Dia menyebut konsepsi Sukarno mengenai

Page 348: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

328 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

nasionalisme sebagai sebentuk pemberhalaan. “Cinta tanah airkita,” katanya, “mesti menunjukkan cita-cita yang lebih tinggidaripada segala benda dan rupa dunia; cinta tanah air harusdalam pengabdian kepada Allah” (Fadjar Asia, 26 Juli 1926).Sukarno menyangkal kritik tersebut dengan mengatakan bahwanasionalis me yang dia perjuangkan tidak identik dengan yangdikembangkan di masyarakat Barat. “Ia bukanlah jingonationalisme atau chauvi nisme, dan bukanlah suatu copy atautiruan dari pada nasionalisme Barat .... Nasionalisme kita adalahnasionalisme, yang di dalam ke lebaran dan keluasannya mengasihtempat cinta pada lain-lain bangsa, sebagai lebar dan luasnyaudara, yang mengasih tempat pada segenap sesuatu yang perluuntuk hidupnya segala hal yang hidup” (Fadjar Asia, 18 & 20Agustus 1928).

Polemik-polemik terus berlanjut tanpa ada kompromi karenasetiap argumen memiliki basis politiknya masing-masing. Salimkemudian menyimpulkan bahwa meski terdapat kesamaan antaraPSI dan PNI dalam tujuan mereka untuk mencapai Indonesiamer deka, mereka saling berbeda satu sama lain dalam prinsip-prinsip dasarnya. Meski demikian, dikatakannya, PSI menghormatipan dangan dan sikap politik Sukarno, tetapi pada saat yangbersamaan, PSI akan memilih jalan politiknya sendiri (Noer,1980: 277). Para intelektual PSII sampai pada kesimpulan bahwapada masa depan, usaha-usaha untuk menjalin kerja sama denganorganisasi-orga nisasi Islam lainnya, bahkan meski dalam beberapahal mereka ber tentangan dengan PSII, jauh lebih disukai ketimbangharus be kerja bersama dengan kaum nasionalis sekuler anti-Islam (Ingleson, 1979: 131).

Semua perbenturan diskursif yang memanas dalam ruangpublik ini mendorong para pengikut dari setiap posisi untukterlibat da lam perdebatan tersebut. Dipicu oleh definisi negatifkaum nasio nalis sekuler, Ahmad Hassan dari Persis, seorang

Page 349: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 329

yang sebelumnya lebih melibatkan dirinya dalam upaya pengajaranagama ketim bang dalam urusan-urusan politik, mulai memihakkepada para pe mimpin PSII dalam menentang ideologi darinasionalisme se kuler. Pada tahun 1929, dia mendirikan sebuahmajalah bulanan, Pembela Islam (1929-1935), dengan misi untukmembela Islam dari serangan gencar ideologi sekuler. Pada edisikeenam majalah itu, misalnya (Maret 1930), dia mengaitkansemangat nasionalis me dengan “ashabiyah” (paham kesukuan)yang dilarang dalam Islam. Majalah ini dengan segera menjadibenteng pertahanan ideologi Muslim, tempat ketika paraintelektual Muslim bisa me lun cur kan pemikiran-pemikiranideologisnya sebagai ideologi-tandingan. Peran majalah itusebagai pembela Islam kian menonjol setelah munculnyapernyataan kontroversial Sutomo dalam rapat umum pada bulanMei 1930 dan munculnya seri artikel (Juni-Juli 1930) dalammajalah Soeara Oemoem-nya Sutomo (Juni-Juli 1930) yangditulis oleh Homo Sum (nama samaran).77 Terpicu oleh persepsinegatif tentang “Islam” yang dikemukakan oleh para pe nen -tangnya, majalah Pembela Islam memuat banyak artikel yangmenyerukan solidaritas Islam.78

Ironisnya, ketika perdebatan-perdebatan publik pada tahun1930-an menjadi kian sengit dan inteligensia Muslim semakinter obsesi dengan perannya yang mereka proklamasikan sebagaipem bela Islam, PSII sendiri mencapai titik nadirnya. Pada saatketika partai-partai baru bentukan para inteligensia berpendidikantinggi mulai berkembang, PSII malah terpecah-belah ke dalamberbagai faksi. Persaingan kepemimpinan antara Tjokroaminoto(pemim pin generasi yang lebih tua) dan Sukiman Wirosandjojo(pemimpin generasi baru), ditambah dengan munculnya kritikterhadap mis manajemen dalam keuangan organisasi olehTjokroaminoto me nyebabkan dikeluarkannya Sukiman dan

Page 350: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

330 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Surjopranoto dari keang gotaan partai pada tahun 1933. Beberapacabang partai memprotes keputusan itu dengan cara mendirikansebuah panitia khusus yang bernama Persatuan Islam Indonesia.Panitia ini bergabung dengan kelompok pecahan PSII lainnyadari cabang Yogyakarta, yaitu PSII Merdeka, mendirikan PartaiIslam Indoenesia (PII) pada akhir tahun 1933. Partai ini menjadipartai Islam pertama yang dipimpin oleh seorang lulusanuniversitas Barat, yaitu Sukiman. Namun, partai ini tidak aktifsampai kemudian dihidupkan kembali dengan nama yang samapada tahun 1938 dengan dukungan kuat dari para pe mimpinMuhammadiyah (Noer, 1980: 175; Alamsjah, 1952: 68-69).Sementara itu, Agus Salim yang berpandangan bahwa politikhijrah dengan sikap non-kooperasi tidak lagi realistis di bawahrezim rust en orde yang represif, pada bulan November 1934men diri kan sebuah faksi kooperatif yang bernama BarisanPenjadar PSII. Pada tahun 1937, PSII mengeluarkan setiapanggotanya yang mendukung Barisan Penjadar.

Merosotnya PSII dan semakin meningkatnya perselisihan in -ter nal di antara para aktivis Muslim membuktikan bahwa suatuaksi bersama sangat dibutuhkan untuk membangun rasa persatuan.Atas inisiatif para pemimpin NU, Muhammadiyah, dan PSIIsuatu Kongres Al-Islam kembali digelar di Surabaya pada tanggal18-21 September 1937. Kongres tersebut menghasilkan berdirinyaMadjlis Islam A’laa Indonesia (MIAI), yang merupakan sebuahfederasi yang terus eksis sampai dua tahun pertama pendudukanJepang.

Lumpuhnya PSII sendiri ternyata tidak mematikan cita-cita -nya. Kendaraan untuk melakukan transmisi memori kolektifdan ideologi Islam dari generasi pertama ke generasi keduainteligensia Muslim telah tersedia, terutama dalam bentukperhimpunan-per him punan pelajar Muslim.

Page 351: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 331

Transmisi Tradisi Politik Intelektual MuslimKatalis paling penting bagi transmisi tradisi-tradisi politik “inte -lektual” Muslim dari generasi pertama ke generasi kedua inteli -gensia Muslim ialah Jong Islamieten Bond (JIB) yang didirikanpada bulan Januari 1925 di Jakarta.

Perhimpunan itu lahir sebagai ungkapan kekecewaan terhadapJong Java, dan merefleksikan betapa sengitnya persaingan dalamruang publik dan marginalnya inteligensia Islam. Diceritakanbah wa seorang misionaris Kristen, Hendrik Kraemer (1888-1965), mem berikan seri kuliah mengenai agama Kristen (sertateosofi dan Katolik) kepada para anggota Jong Java dan berhasilmenempatkan dirinya menjadi seorang penasihat bagi perhimpunanpelajar ter sebut (Steenbrink, 1993: 111). Sementara itu, parapelajar Muslim yang lebih ortodoks yang menjadi anggotaperhimpunan tersebut percaya bahwa Islam bisa menjadi titiktemu (common denomi na tor) bagi perhimpunan-perhimpunanpemuda yang terpecah-belah dan bahwa para anggota Jong Javasebagai calon pemimpin bangsa, apa pun keyakinan agamanya,harus paham tentang Islam—agama yang dianut oleh mayoritasrakyat Indonesia—karena peran nya yang sangat penting sebagaipandangan dunia yang utama.

Sebagai respons terhadap kuliah-kuliah tentang agama Kristendi Jong Java, para pelajar Muslim yang lebih ortodoks juga me -minta agar diadakan pula kuliah-kuliah mengenai agama Islam.Di antara para pendukung usulan tersebut ialah Raden Samsuridjal,yang merupakan ketua keenam dari Jong Java. Dia kemudianmeng ajukan usulan itu ke pertemuan tahunan ketujuh perhim -punan itu yang diadakan di Yogyakarta menjelang akhir tahun1924. Ter nyata, usulan itu tidak didukung oleh suara mayoritas,79

yang me maksanya dan para pendukungnya untuk mencari jalan

Page 352: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

332 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

sendiri. Agus Salim yang mengikuti rapat itu dan telah lamamenyadari akan pentingnya membentuk kader-kader inteligensiaIslam, menyaran kan agar mereka mendirikan sebuah organisasipelajar yang baru, yang kemudian bernama Jong IslamietenBond, JIB (Noer, 1978: 242: 243).

Karena pengalaman traumatisnya, proyek historis JIB di -orien tasikan untuk “mengislamkan kaum terpelajar”. Kepedulianutama organisasi ini ialah bagaimana menjadikan orang-orangIndonesia yang berpendidikan Barat menjadi lebih dekat denganumat Islam atau paling tidak membujuk mereka untuk tidaksepenuhnya men jadi anggota fanatik dari organisasi-organisasisekuler. Tujuan dari perhimpunan ini seperti yang dinyatakandalam statutanya ialah:

Mengkaji dan memajukan amal Islam; mengembangkan danmemajukan sikap simpati terhadap Islam dan penganutnya,serta memberikan toleransi positif terhadap mereka yang punyapikiran yang berbeda; mengembangkan dan memajukan kon -tak-kontak di antara intellectueelen dan dengan rakyat lewatIslam; dan memajukan perkembangan jasmaniah dan ruhaniahdari para anggotanya lewat pelatihan-diri dan aktivitas sendiri.80

Jadi, cara pandang terhadap Islam sekarang (dalam JIB) ber -beda dengan apa yang sebelumnya dibayangkan di Jong Java.Se mentara ide untuk memberikan pengajaran Islam dalamkonteks Jong Java didasarkan pada alasan-alasan pragmatis(yaitu, demi persatuan dan kepemimpinan nasional), ide yangsama sekarang diletakkan dalam idealisasi pembentukan sebuahidentitas kolektif tertentu dan sebagai sebuah ideologi tersendiri.Solidaritas Islam sekarang dianggap sebagai satu-satunya solusibagi problem-prob lem sosial. Seperti yang dinyatakan oleh

Page 353: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 333

statutanya: “Tak ada orang yang bisa sepenuh hati bekerja demimemajukan kesejahteraan sosial secara umum tanpa menghormatidan bersimpati terhadap agamanya mayoritas masyarakat.”81

Selain itu, setelah kongres per tamanya di Yogyakarta pada akhirtahun 1925, perhimpunan itu mengharuskan para anggotanyauntuk mempelajari dan meng kaji ajaran-ajaran Islam. Islamsekarang dianggap lebih dari se kadar bahasa solidaritas sosial.Islam sekarang dianggap menjadi landasan kerja bagi aksi sosio-politik. Dengan pengalamannya me nyaksikan perbenturan wacanaantara para intelektual Muslim dan sekuler dari generasi yanglebih tua, para pelajar ini me ne mukan suatu model bagi perumusanideologi mereka.

Namun, perlu diingat bahwa gagasan tentang solidaritasIslam bagi para anggota JIB tidak bertentangan dengan idemengenai solidaritas nasional dan tidak mengurangi keterikatanmereka pada tujuan pembentukan sebuah blok (historis) nasional.“Dalam men jadi seorang Muslim,” kata Mohammad Roem(salah seorang ak tivis pemimpinnya), “seseorang harus mencintaitanah airnya ka rena hal ini merupakan bagian hakiki darikeyakinan Islam” (Roem, 1989: 131). Pandangan ini tecermindari nama yang dipilih bagi organisasi kepanduan JIB yangdidirikan pada tahun 1926, yaitu National Indonesische Padvinderij(Gerakan Pandu Nasional In donesia), yang merupakan organisasipertama yang pernah ada yang menggunakan kata-kata “nasionalIndonesia”. Pandangan itu juga tecermin dalam keterlibatannyayang aktif dalam Kongres Pemuda Indonesia yang kedua (Oktober1928). Jadi, solidaritas Islam dalam konteks ini disuarakansebagai sebuah cara untuk mendukung ide mengenai identitaskolektif di tengah-tengah persaingan ideo-politik di antaraberagam aliran intelektual.

Penekanan JIB akan pentingnya solidaritas kolektif Islam

Page 354: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

334 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

diperkuat oleh argumen-argumen untuk membela Islam dari ke -salahpahaman-kesalahpahaman pihak luar. Edisi-edisi awal ma -jalah JIB, yaitu Het Licht (Cahaya), dipenuhi dengan keluhan-ke luhan mengenai kesalahan penggambaran mengenai Islam dise kolah-sekolah, dalam buku-buku teks, dalam perpustakaan-perpustakaan Barat serta dalam pandangan kaum Ethici danmisionaris yang berhasil memerosotkan gambaran luhur tentangIslam. Agus Salim, dalam artikelnya pada edisi pertama majalahtersebut yang diterbit kan pada bulan Maret 1925, menegaskanbahwa dunia Barat harus berterima kasih kepada Islam karenasumbangsihnya yang besar terhadap peradaban Barat. Sayangnya,katanya, banyak sarjana Barat dan misionaris Kristen yang secaratak kenal lelah mempro duksi citra negatif atas Islam. “Sayangnya,umat Islam hari ini, karena kurangnya intelektualisme dankurangnya pemahaman akan Islam, cenderung menerima begitusaja definisi negatif atas Islam tersebut.”

Untuk menarik kaum terpelajar kepada Islam dalam kontekshistoris saat itu, dibutuhkan modernisasi dalam hal mengekspresi -kan Islam. Tolok-ukur utama dari modernitas di kalangan pelajarpada masa itu ialah penggunaan bahasa Belanda dan penerapanpendekatan-pendekatan modern serta rasionalisme dalam peng -ajaran. Jadi, majalah JIB diberi nama dalam bahasa Belanda,yaitu Het Licht (Cahaya),82 dan kebanyakan artikelnya ditulisdengan menggunakan bahasa Belanda. Dalam lima tahunpertamanya, banyak artikel majalah itu yang menyuarakankesesuaian antara Islam dengan sains dan rasionalisme modern,yang melukiskan kejayaan Islam Abad Pertengahan, relevansiIslam terhadap prob lem-problem sosial modern, dan pentingnyapengajaran agama kepada generasi muda, dengan mengutippandangan-pandangan para sarjana Barat untuk mendukungargumen-argumen mereka. Dalam pandangan Mohammad Roem,

Page 355: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 335

semua ini membantu me nye lamatkan para pelajar Muslim daripenjara kompleks rendah diri yang bisa membahayakan rasabangga menjadi seorang Muslim (Roem, 1989: 132).

Agar pengajaran Islam menarik buat para pelajar dari seko -lah-sekolah sekuler, banyak mentor Islam JIB yang berasal dariulama-intelek reformis dan intelek-ulama modernis. Kontrasde ngan metode pengajaran tradisional yang cenderung bersifatdog matik dengan memberi sedikit ruang untuk bisa bertanya,metode pengajaran intelek-ulama dan ulama-intelek itu lebihterbuka ter hadap diskusi dan lebih bisa mengaitkan tema-temaIslam dengan kenyataan-kenyataan kontemporer. Semua ini,diiringi dengan kenyataan bahwa JIB terutama dibentuk di kota-kota besar,83 men jadikan organisasi ini lebih dekat dengan tradisiintelektual refor mis-modernis ketimbang dengan tradisi intelektualtradisional. Selain Agus Salim, Tjokroaminoto (dari PSI), AhmadHassan (dari Persis), Achmad Dachlan, dan H. Fakhruddinmerupakan beberapa di antara para mentor Islam terkemuka diorganisasi ini.

Secara umum, para anggota JIB merupakan para pelajar ataumantan pelajar dari sekolah-sekolah menengah, meskipun paralulusan dari sekolah dasar bisa bergabung dengan organisasi ini,dan di antara anggota organisasi tersebut, terutama pada tahun1930-an, terdapat beberapa mahasiswa. Kenyataan bahwa takada perhimpunan mahasiswa Islam di Hindia sampai tahun1920-an mengindikasikan keterbelakangan komunitas inteligensiaMuslim jika dibandingkan dengan sejawat sekuler, Cina danKristennya.84 Di samping itu, JIB hanya bisa menarik sejumlahkecil pelajar se kolah menengah. Dari sekitar 5.692 orang Indo -nesia yang ber pendidikan menengah Barat pada tahun 1927(Kahin, 1970: 31), dinyatakan bahwa total anggota JIB adalah1.700, dan tidak semua nya berasal dari sekolah-sekolah menengah

Page 356: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

336 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

(Alfian, 1989: 124).

Di antara para anggota senior JIB pada tahun 1920-an yangakan menjadi para pemimpin gerakan-gerakan politik Muslimpada masa depan ialah Samsuridjal (ketua pertama, 1925-1926,seorang lulusan Rechtsshool), Wiwoho Purbohadidjojo (ketuake dua, 1926-1930, serang luluan HBS), Kasman Singodimedjo(ketua ketiga, 1930-1935, seorang pelajar bagian persiapanSTOVIA), Mohammad Roem (seorang pelajar bagian persiapanSTOVIA), Mohammad Natsir, Jusuf Wibisono, PrawotoMangkusasmito (ke tiganya pelajar AMS).

Patut dicatat bahwa kadar keberislaman dari para anggotaJIB, bahkan di kalangan para tokoh terkemukanya, sama sekalitidak homogen.85 Namun, betapapun heterogennya, pengalamanbersama mereka tergabung dalam jaringan inteligensia Muslimmembuat para anggota JIB memiliki rasa afinitas dan keterikatanterhadap tradisi politik Islam.

Sejak 1927, kepedulian JIB terhadap penguatan pengetahuandan amalan Islam di kalangan anggota-anggotanya mendorongdi dirikannya Kern Lichaam (Badan Inti). Badan ini merupakanse macam kelompok pemikir (brain-trust) yang terdiri dari merekayang memiliki pemahaman yang baik tentang Islam. Secara in -ter nal, lembaga ini diarahkan untuk mempromosikan dan mem -perbaiki pengajaran agama dalam perhimpunan. Secara eksternal,lembaga itu berfungsi sebagai rantai penghubung antara JIB danorganisasi-organisasi Islam lainnya. Para anggota dari lembagaini secara khas adalah mereka yang memiliki afiliasi keorganisasianyang lebih dari satu. Tokoh terpentingnya ialah MuhammadNatsir, yang juga merupakan seorang bintang yang sedangmenanjak (a rising star) dari Persis. Dengan memiliki latarbelakang pendidik an madrasah (Sekolah Diniyah di Solok,

Page 357: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 337

Sumatra Barat) yang di kombinasikan dengan HIS pada tingkatdasar, Natsir sedari dini telah terekspos terhadap ideologireformis-modernis. Pertemuan nya dengan pendiri Persis, A.Hassan, saat dia belajar di AMS Bandung mempertautkannyakembali dengan jaringan intelektual reformis dan menyurutkancita-citanya untuk mengambil gelar dari per guru an tinggi hukum.Mirip dengan Natsir, Kasman Singodimedjo pada masa kanak-kanaknya telah terekspos terhadap gerakan dak wah kaumreformis dan kemudian memiliki hubungan yang kuat denganDjami’at Chair dan Muhammadiyah selama dia belajar di Jakarta.Lewat kader seperti inilah, JIB memiliki hubungan denganjaring-jaring gerakan sosio-politik Islam yang lebih luas danmen jadi terintegrasi ke dalam formasi ideologis Islam di ruangpublik. Karena alasan itulah, JIB akan menjadi saluran pentingbagi trans misi ideologi Islam dari generasi tua ke generasi baruinteligensia Islam.

Pada awal-awal tahun 1930-an, beberapa aktivis pimpinanJIB telah menjadi mahasiswa. Menyadari bahwa JIB tak lagi me -rupakan tempat yang cocok bagi perkembangan intelektual darimahasiswa, Jusuf Wibisono dan Mohamad Roem (keduanya se -karang mahasiswa RHS) mengusulkan pendirian sebuah perhim -punan Islam bagi mahasiswa sebagai kelanjutan dari JIB di ling -kungan perguruan tinggi. Usulan ini diwujudkan pada bulanDesember 1934 dengan didirikannya Studenten Islam Studieclub(SIS) di Jakarta.

Lahirnya klub Islam ini sebenarnya terlambat jika dibanding -kan dengan para aktivis mahasiswa sekuler, karena yang terakhirini telah berhasil mentransformasikan klub-klub mahasiswanyapada 1920-an menjadi partai-partai politik. Karena keterlambataninilah, para inisiator SIS termotivasi untuk melanjutkan proyekhistoris JIB, yaitu mengislamisasi kaum terpelajar. Kata-kata

Page 358: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

338 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Jusuf Wibisono pada saat sambutan pembukaan SIS menggambar -kan suasana kebatinan di sekitar pendiriannya:

Intellectueelen dari masyarakat kita kebanyakan tidak memilikipemahaman yang baik mengenai Islam .... Kendatipun faktabahwa mereka tidak memiliki pemahaman tentang Islam danmeskipun mereka mungkin menyadari arti penting Islam bagikebanyakan orang, mereka tak tertarik untuk mem pel ajari Islam.... Mereka sering kali mengasosiasikan Islam de ngan gambarannegatif dari pengikut-pengikutnya .... Sayang nya, literaturmengenai Islam yang tersedia buat kaum ter pelajar ini kebanyakanditulis oleh para sarjana non-Muslim yang tak bebas dari niat-niat buruk.

Setelah menggambarkan kekurangan inteligensia dalam halpemahamannya tentang Islam, Wibisono sampai pada kesimpulan:“Tujuan kita ialah untuk merangsang minat terhadap studi-studiIslam di kalangan intellectueelen pada khususnya dan masyarakatIslam pada umumnya” (Wibisono, 1980: 394-395). Tujuan inise kali lagi ditegaskan oleh kata-kata A. Karim (mantan ketuaSIS, 1937-1938) dalam pidatonya pada tanggal 8 Oktober 1938:“Hasrat terbesar kita ialah untuk mengislamkan intelletueelen,terutama mereka yang semakin asing dengan agama merekasendiri” (Karim, 1990: 89).

Untuk menarik minat mahasiswa pada ide-ide Islam, SISmeng adopsi sebuah pendekatan ilmiah untuk mengartikulasikanIslam. Untuk tujuan itu, pada bulan Maret 1935, SIS mendirikanmajalah nya sendiri, Organ van de Studenten Islam Studieclub,yang setelah edisi kelimanya berubah nama menjadi MoslimseReveil (Kebang kitan Muslim). Kebanyakan artikelnya ditulisdalam bahasa Belanda dan, yang lebih penting lagi, sebuahanalisis saintifik diterapkan untuk menafsirkan Islam. Sebuah

Page 359: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 339

artikel seperti “Dante en Islam” dimuat dalam majalah ini.Untuk memberikan sebuah interpretasi rasional terhadap kitabsuci, majalah ini sering kali menggunakan tafsir Al-Quran dariAhmadiyah yang terkenal karena penalaran nya yang rasionaldan saintifik.

Dalam kenyataan aktual, mahasiswa-mahasiswa yang me -miliki latar dan komitmen Islam yang kuat jumlahnya terbatas.Untuk menghadapi problem ini, SIS melonggarkan syarat keang -gotaannya agar dapat mengakomodasi konstituen yang lebihluas. Dalam Pasal 5 dari statutanya, disebutkan bahwa “semuamaha siswa, apa pun kebangsaan dan ideologinya, bisa diterimamenjadi anggota perhimpunan ini”. Dalam kenyataan, jumlahanggota klub ini tetap terbatas. Dari sekitar 1.246 mahasiswapada tahun 1940 (Thomas, 1973: 12), jumlah mahasiswa yangikut serta dalam be ragam aktivitas SIS, berdasarkan estimasiPrawoto Mangkusasmito, tak lebih dari 100 orang (Saidi, 1990:39). Selain itu, untuk men dorong keikutsertaan dari paramahasiswa Muslim nominal (abangan) dalam perhimpunan ini,kepemimpinan awal SIS di berikan kepada mereka yang takmemiliki latar belakang dalam aktivitas Islam.86

Jadi, mayoritas anggota SIS cenderung tak memiliki komit -men yang kuat terhadap ideologi politik Islam. Meski demikian,apa pun level komitmen mereka terhadap ideologi politik Islam,keterlibatan mereka dalam jaringan intelektual Islam membuatmereka memiliki ikatan dengan umat Islam. Dengan usaha rin -tisannya untuk membentuk sebuah gugus inteligensia yang ramahIslam di kalangan mahasiswa, pendirian SIS merupakan titikyang menentukan bagi perkembangan inteligensia Muslim diuniver sitas pada masa depan.

Pembentukan JIB dan SIS menghadirkan sebuah tema sentral

Page 360: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

340 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

dalam perkembangan gerakan-gerakan intelektual Muslim se -panjang abad ke-20, yaitu Islamisasi inteligensia. Selama masapendudukan Jepang pada tahun 1942, kedua organisasi tersebutlenyap dari ruang publik. Namun, ideologi dan jaringan merekamasih bertahan dalam ingatan para mantan anggotanya dan di -pertahankan lewat upacara-upacara peringatan dan kontak-kontak informal antar-mantan aktivisnya ataupun ditransformasi -kan ke dalam bentuk-bentuk aksi kolektif yang baru.

Di luar negeri, organisasi yang serupa dengan JIB dan SIS,yang terutama ialah Djami’ah Al-Chairiah (Persatuan Kemerde -kaan Indonesia) di Kairo. Kontribusi paling penting dari organisasiKairo ini bagi perkembangan intelektual dan politik dari umatMuslim Indonesia ialah fungsinya sebagai sebuah katalis dalammenghubungkan pemikiran agama dan politik dari para intelektualMuslim Indonesia dengan pemikiran yang berkembang di pusat-pusat belajar dan gerakan-gerakan Islam di Timur Tengah. Paralulusan Al-Azhar memainkan sebuah peran yang menentukandalam menerjemahkan dan menginterpretasikan literatur Arabke dalam bahasa Indonesia. Dengan begitu, mereka turut mem -berikan sumbangan kepada tersedianya argumen-argumen Islamyang dipakai dalam perbenturan wacana di ruang publik dankepada perumusan ideologi Islam dalam responsnya terhadapper debatan-perdebatan yang sedang berlangsung mengenai nasio -nalis me dan dasar negara Indonesia merdeka (Boland, 1971:161-164, 212).

Kepemimpinan Generasi KeduaInteligensia Muslim(Mantan) para pemimpin JIB, SIS, dan Djama’ah Al-Chairiahke mudian menjadi para intelektual terkemuka dari generasi

Page 361: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 341

kedua inteligensia Muslim dan “ulama-intelek”. Para pemimpingenerasi kedua ini mulai memainkan peran yang signifikandalam kepe mim pinan politik dan intelektual umat Islam padatahun 1930-an. Salah seorang intelektual yang paling berpengaruhdari generasi kedua ini ialah Muhammad Natsir. Identifikasinyadengan ideologi refor mis-modernis merupakan konsekuensi dariketerlibatannya yang mendalam dalam jaringan intelektualreformis-modernis (Persis dan JIB). Erudisinya baik dalampengetahuan sekuler maupun pe ngetahuan agama menjadikannyasebagai seorang intelektual organik dari umat Muslim yangmulai diakui sejak dia menjadi ko-editor majalah Pembela Islam(bersama dengan A. Hassan) pada tahun 1929.

Ketika Natsir mulai menjadi ko-editor majalah tersebut,ruang publik didominasi oleh wacana-wacana tentang nasionalisme.Dia mulai ambil bagian dalam polemik tentang Islam dannasionalis me pada tahun 1931. Artikelnya yang berjudul“Indonesische Na tionalisme” dalam majalah Pembela Islam No.36 (Oktober 1931) memperkenalkan istilah “Kebangsaan Muslim”sebagai sebuah alter natif bagi nasionalisme sekuler danmenggarisbawahi usaha-usaha rintisan dari para intelektualMuslim dalam gerakan-gerakan ke bang kitan nasional, sertamenekankan keutamaan prinsip-prinsip dan solidaritas Islam diatas identitas-identitas yang bersifat se kuler-teritorial.87 Selainitu, komitmennya untuk membela cita-cita Islam diartikulasikanlewat pendirian sebuah lembaga pen didikan Islam, yaitu PendidikanIslam, di mana dia menjadi direk turnya dari tahun 1932 sampai1942. Sekitar waktu yang sama, dia menjadi seorang redakturdari majalah Islam di Medan, Pandji Islam (terbit tahun 1934-1941), yang merupakan sebuah majalah yang mencerminkansebuah pendekatan Barat terhadap studi Islam. Dia jugamenerjemahkan beberapa buku agama berbahasa Arab ke dalam

Page 362: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

342 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

bahasa Belanda serta menulis buku-buku saku dalam bahasaBelanda untuk mengomunikasikan Islam ke kaum terpelajardan juga untuk mempromosikan Islam sebagai dasar negaraIndonesia merdeka.88

Keterlibatan Natsir dalam aktivitas politik dimulai pada tahun1940 ketika dia menjadi ketua PII (Partai Islam Indonesia)cabang Bandung. Saat itu juga merupakan sebuah momen yangmenentukan bagi penasbihannya sebagai seorang ideolog terke -muka dari generasi kedua inteligensia Muslim. Dia meraih repu -tasinya sebagai seorang juru bicara utama bagi Islam reformis-modernis karena korespondensinya dengan Sukarno (yang di -penjara oleh Belanda di Bengkulu) yang tersebar luas padabulan April-Juni 1940 (Kahin, 1993: 161). Korespondensi inimeluas menjadi perdebatan-perdebatan mengenai negara Islamversus negara sekuler yang diterbitkan di majalah Pandji Islamdari bulan Mei 1940 sampai Juli 1941. Dalam polemik ini,Sukarno menyo roti pengalaman Turki yang memisahkan urusanagama dari ne gara sebagai sebuah solusi yang masuk akal untukmenghadapi tantangan dunia modern. Secara kontras, Natsirmenolak bahwa Kesultanan Ottoman, yang secara umum dianggapsebagai pusat percontohan politik Islam, sebagai benar-benarIslam karena penyimpangan-penyimpangannya terhadap ajaran-ajaran Islam. Dalam kasus Kesultanan Ottoman, menurutnya,Islam tak pernah bersatu dengan negara. Agar politik sungguh-sungguh bersifat islami, menurutnya, “Politik itu harus menerapkansegenap prinsip-prinsip Islam, entah dalam perilaku individumaupun dalam ke hidupan sosial” (Pandji Islam, No. 28, 15 Juli1940). Natsir me nolak ide bahwa politik sekuler Barat merupakansatu-satunya model yang harus diikuti. Dia berargumen bahwamenurut Islam, “Negara bukanlah tujuan, melainkan hanyalahalat untuk mewujud kan ajaran-ajaran Islam.”

Page 363: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 343

Dengan gaya argumen yang jauh lebih kukuh dibandingkanyang dilakukan oleh generasi Salim, argumen-argumen Natsirmenjadi tonggak baru bagi formulasi ideologi Islam pada masadepan. Tantangan politik utama dari generasi Salim ialah adanyatekanan dari komunisme-Marxisme. Karena itu, rumusan ideologiIslam oleh generasi Salim dipresentasikan di bawah rubrik“sosialisme Islam”. Sementara tantangan politik utama yangdihadapi generasi Natsir ialah tekanan dari nasionalisme sekuler,sehingga rumusan ideologi Islam oleh generasi Natsir dihadirkandi bawah rubrik “Nasionalisme Islami dan Negara Islam”.

Munculnya Natsir sebagai penganjur baru ideologi Islam di -ikuti oleh meningkatnya peran-peran intelektual dan politikdari mantan aktivis JIB dan SIS, seperti Mohammad Roem,Wiwoho Purbohadijojo, dan Kasman Singodimedjo,89, dan jugamantan aktivis dari Djami’ah Al-Chairiyah. Selain Iljas Ja’kubdan Muchtar Lutfi yang peran pentingnya dalam kepemimpinanPermi telah dibahas, patut juga disebutkan beberapa figur yanglain. Mahmud Junus, dalam kepulangannya kembali ke TanahAir pada tahun 1930, diangkat menjadi kepala sekolah NormalSchool yang di dirikan oleh PGAI di Padang pada tahun 1931.Dia sendiri me ngelola Se kolah Islam Jamiat di Sungajang, dankemudian pada awal tahun 1940-an, bekerja sama denganMuchtar Jahja, men dirikan sebuah universitas Islam. Padaperiode yang sama, Fathur rahman Kafrawi dan Abdul KaharMuzakkir, setelah kembali ke Jawa, masing-masing menjadipara pemimpin terkemuka NU dan Muham ma diyah. Dengandemikian, pada waktu pendudukan Jepang, para intelektualMuslim dari generasi kedua inteligensia Muslim ini telah menjadipara pemimpin baru umat Islam.

Page 364: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

344 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Permainan Kuasa: Konsolidasi dan KontestasiMemasuki awal tahun 1940-an, para intelektual dari generasiper tama inteligensia, seperti Agus Salim, telah dianggap sebagai“the grand old men” dan pengaruh politik mereka mulai surut.Pada saat yang bersamaan, generasi kedua inteligensia telahdianggap sebagai “kaoem dewasa”. Para intelektual dari generasiini, yang kebanyakan berpendidikan perguruan tinggi, telahberhasil men dirikan partai-partai baru yang berdiri sendiri danmengambil jarak dari partai-partai lama yang didirikan olehgenerasi pertama. Kha layak politik utama dari partai-partaibaru ini, selain dari rekan-rekan inteligensia dari generasi yangsama, ialah para pemuda pel ajar yang pada umumnya lahir padaakhir tahun 1910-an hingga 1920-an. Karena terekspos kedalam ruang publik dari generasi kedua inteligensia, para aktivispemuda pelajar itu ditumbuhkan dalam wacana dominan tentangnasionalisme dan kemerdekaan Indonesia. Pada saat pendudukanJepang (1942-1945) dan revolusi kemerdekaan (1945-1949),para pemuda-pelajar ini menemukan “bahasa” dan pengalamanbersama yang mengondisikan terbentuk nya generasi ketigainteligensia Indonesia.

Pendudukan Jepang yang dimulai pada bulan Januari 1942merupakan momen penempaan bagi penguatan nasionalismeIn donesia. Kemenangan mudah Jepang atas Belanda menciptakankesan yang luar biasa bagi orang-orang Indonesia. Belanda telahkehilangan prestisenya di mata banyak orang Indonesia dan ter -dapat keyakinan bahwa jika memiliki kekuatan yang sama,mereka pun bisa berbuat seperti Jepang. Jepang sendiri datangke negeri Indonesia dengan mencitrakan diri sebagai saudaratua Asia, dan pada awalnya, Jepang membangkitkan perasaanumum bahwa mereka datang sebagai pembebas. Karena itulah,

Page 365: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 345

kedatangan me reka disambut secara antusias. Kesan demikiandiperkuat ketika Jepang dengan segera membolehkan pengibaranbendera merah putih dan dinyanyikannya lagu Indonesia Raya,yang sebelumnya dilarang oleh Belanda. Pihak Jepang jugamenaikkan status bahasa Indonesia untuk menggantikan bahasaBelanda dalam semua fung si nya (Kahin, 1952: 101-102).

Pihak Jepang dengan segera memenjarakan semua orangBelanda serta banyak orang Indo maupun orang-orang Indonesiayang beragama Kristen yang dianggap bersimpati pro-Belanda.Sementara untuk mengisi posisi-posisi administratif dan teknisilevel menengah dan atas yang ditinggalkan olah orang-orangBelanda dan Indo, pihak Jepang sangat bergantung padainteligensia fung sional Indonesia. Dengan tiba-tiba, hampirsemua personel In do nesia diberikan promosi dengan dinaikkanpangkatnya setidaknya satu bahkan dua atau tiga tingkat dalamhierarki di tempat mereka bekerja. Sebagai hasilnya, elitefungsional Indonesia mengalami kenaikan yang tinggi dalamstatus sosio-ekonominya (Kahin, 1952: 102-103).90

“Umwertung aller Werte” (penjungkirbalikan tatanan) yangmengejutkan dari peristiwa-peristiwa pada tahun 1942 ini me -rupa kan awalan bagi sebuah perubahan besar dalam sejarahIndo nesia modern. Karena itu, terdapat banyak alasan untukmeng anggap tahun 1942-lah dan bukannya tahun 1945 yangmenjadi titik awal Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Sepertiyang diargu men tasi kan oleh A. Teeuw (1986: 106): “... peristiwa-peristiwa tahun 1945 merupakan sebuah konsekuensi logis danjuga tak ter elakkan dari peristiwa-peristiwa pada tahun-tahunsebelumnya; baik secara politik maupun secara spiritual, terdapatkesinam bungan ketimbang keterputusan dalam peristiwa-peristiwapada tahun 1945 ini.”

Page 366: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

346 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Dari Perhimpunan-Perhimpunan BentukanJepang Menuju Nasionalisme KerakyatanBagi inteligensia politik, peralihan kekuasaan dari penjajah yanglama ke penjajah yang baru bisa dilukiskan dengan sebuah peri -bahasa: “Lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut macan.”Meski demikian, kepentingan perang Jepang secara tak terdugameng hadir kan sebuah katalis bagi konsolidasi nasionalismeIndonesia sebagai sebuah blok historis.

Pada awalnya, pihak pemerintah Jepang berusaha untuk men -ciptakan kesan baik kepada komunitas politik Indonesia denganjalan membebaskan para tahanan politik yang dipenjarakan olehpemerintah kolonial Belanda. Namun, segera setelah itu, semuaaktivitas politik Indonesia dilarang oleh dekrit yang dikeluarkanoleh Panglima Tentara Jepang pertama di Jawa, Letnan JenderalImamura, yang melarang “setiap diskusi atau organisasi ... yangberhubungan dengan administrasi politik di negeri ini”. Hal inimemang tidak secara otomatis mematikan partai-partai politik,tetapi mendorong terciptanya kondisi yang menghalangi keber -langsungan partai-partai tersebut karena setiap aktivitas politikdalam ruang publik dikontrol secara ketat oleh polisi militerJepang, Kempeitai (Benda, 1958: 111).

Atas dasar bahwa kedatangan awal mereka disambut baikoleh penduduk secara umum dan oleh inteligensia secara khusus,Gunseikan (kepala pemerintahan militer) Jepang pada mulanyamenganggap bahwa ambisi mereka untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya Indonesia bisa dicapai tanpa harus memberikankon sesi-konsesi kepada nasionalisme Indonesia. Maka, Gunseikanse gera meminggirkan perhimpunan-perhimpunan politik yangada sebelum kedatangan Jepang dengan mendirikan, pada tanggal19 April 1942, sebuah payung politik bagi semua partai politik

Page 367: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 347

yang bernama Pergerakan Tiga-A, tanpa melibatkan para pemimpinnasionalis utama pada masa itu, seperti Sukarno dan Hatta.91

Bermaksud hendak menarik semua kekuatan utama anti-Belanda ke pihak mereka, Jepang, seperti yang digambarkanHarry J. Benda, “kelihatannya merasa bahwa usaha untukmemastikan dukungan dari kalangan Muslim jauh lebih mendesakketimbang harus memuaskan tuntutan-tuntutan elite nasionalis”.Di mata pemerintah pendudukan Jepang, baik golongan priayimaupun elite fungsional lainnya, “tidak mudah terbebas daristigma pernah loyal kepada pemerintah kolonial sebelumnya”.Lagi pula, berbeda dengan para pemimpin nasionalis, yangpengaruh politiknya masih terbatas pada beberapa pusat kotabesar, keunggulan politik dari para pemimpin Muslim dari sudutpandang Jepang sangatlah besar karena yang terakhir ini “memilikiratusan ribu, bahkan jutaan, pengikut”. Selain itu, “pihak Jepangmungkin telah memilih para pemimpin Muslim sebagai elemenTimur yang barangkali paling bisa diandalkan” dari komunitaspolitik Indonesia (Benda, 1958: 108-110).

Beberapa usaha pendahuluan dilakukan untuk menjalin hu -bungan baik dengan kaum Muslim Indonesia bahkan sebelumtentara pendudukan Jepang mendarat di Indonesia. Pada bulanOktober 1939, Jepang mengundang MIAI untuk mengikutiKongres Islam se-Dunia pertama yang disponsori Jepang diTokyo. Selain itu, persis sebelum kedatangan pasukan Jepang kedaerah Aceh, ulama PUSA di Aceh telah melakukan kontakdengan pihak Jepang dan mengajukan rancangan untuk melakukansabotase melawan Belanda dan menyingkirkan uleëbalang(bangsawan feodal) dari jabatan-jabatan pemerintahan. Hal inimenyebabkan revolusi di Aceh pada bulan Maret 1942 (Benda,1958: 103-104; Ricklefs, 1993: 200). Di Jawa, usaha Jepanguntuk memobilisasi para pen dukung Muslim dimulai segera

Page 368: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

348 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

setelah Belanda menyerah dengan mendirikan Kantor UrusanAgama (Shumubu) pada akhir Maret 1942. Kantor ini dikepalaioleh seorang perwira Jepang, Kolonel Chôsô Horie, tetapi sejakbulan Oktober, 1943 Dr. Husein Djaja diningrat (yang merupakanproduk pertama kebijakan “asosiasi” Snouck Hurgronje) diangkatsebagai orang Indonesia pertama yang menjadi kepala kantortersebut.

Akan tetapi harus diingat, sejauh politik Muslim yang men -jadi isu, pihak Jepang meniru sikap kolonial sebelumnya denganmengadopsi kebijakan “imbalan dan hukuman” (stick and carrot).Dalam pola yang sama dengan cetak biru Snouck yang memi -sahkan Islam dari politik, pihak Jepang dengan jelas menyatakanbahwa mereka tidak akan menoleransi perkawinan antara Islamdan politik. Maka, dari semua kelompok politik, partai-partaipo litik Islam-lah yang secara eksplisit dinyatakan dilarang. Padabulan Mei 1942, PSII mengumumkan penutupan kantor pusatnyadi Jakarta dan dengan segera diikuti oleh semua cabangnya.Sekitar waktu yang sama, Partai Islam Indonesia (PII) yang baruberdiri juga mengumumkan hal yang sama. Di sisi lain, parapenguasa baru bukan saja cenderung memberikan kesempatanbagi para pemimpin Muslim untuk menempatkan wakilnyadalam organ-organ kuasi-politik baru yang disponsori pemerintahJepang, me lain kan juga berusaha untuk memperkuat hubungandekat antara elite Islam dan pengikutnya di pedesaan (Benda,1958: 111-113).

Dalam konteks inilah, pihak Jepang mensponsori pembentuk -an lembaga Muslim yang mencakup semua kalangan Muslimyang kemudian menjadi bagian dari Gerakan Tiga-A. Motif dibalik kebijakan ini tampaknya ialah untuk menggantikan federasiIslam yang telah ada sebelum invasi, yaitu MIAI—karena catatananti-kolonialnya yang terang-terangan—dengan yang lebih

Page 369: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 349

kooperatif. Maka, pihak Jepang segera membentuk PanitiaPersiapan bagi Penyatuan Ummat Islam, yang diketuai olehKetua PSII, Abikusno Tjokrosujoso (adik dari Tjokroaminoto),dan mengadakan rapat tiga hari yang diikuti oleh semuapemimpin Muslim di Jakarta pada tanggal 21-23 Agustus 1942.Meskipun rapat itu meng hasilkan sikap kooperasi dalam tingkatantertentu dengan pihak Jepang, yang mengejutkan, organisasibaru yang diharapkan Jepang tak berhasil dibentuk. Alih-alihmembentuk sebuah persatuan yang monolitik, rapat itumemutuskan untuk mempertahankan federasi MIAI yang diketuaioleh seorang pemimpin PSII ber pendidikan Barat, yaituWondoamiseno. Pada akhir tahun 1942, ketika versi baru MIAItelah dibentuk, pihak pemerintah Jepang telah meninggalkanGerakan Tiga-A. Hal ini berarti bahwa MIAI hingga akhirhayatnya nanti terus menjadi sebuah organisasi “yang independen”.

Namun, dalam perkembangan lebih jauh, karena pemimpinMIAI berusaha untuk membangun sebuah jaringan independendari sel-sel Islam di seluruh Indonesia dalam rangka menyatukanorang-orang yang menyembah Allah dan bukannya Tenno Heika,pihak Jepang tak lagi memberikan toleransi terhadap keberadaanfederasi tersebut. Dalam usaha untuk mengasingkan kepemim -pinan MIAI dari konstituen utamanya, pihak Jepang segerameng anugerahkan status legal kepada Muhammadiyah dan NUberikut seluruh cabangnya. Menghadapi tantangan ini, KetuaWondoamiseno tak bisa berbuat lain selain menutup MIAI padabulan Oktober 1943. Setelah lenyapnya MIAI, pihak pemerintahmensponsori pem bentukan sebuah federasi baru pada bulanNovember 1943, yaitu Majlis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi).Federasi ini pada awalnya didirikan oleh perhimpunan-perhimpunan yang memi liki status legal92 dan diketuai secarasimbolik oleh pemimpin ka langan tradisional yang terkemuka,

Page 370: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

350 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Hasjim Asj’ari. Federasi ini akan memainkan peran kritis dalammemperjuangkan aspirasi Islam politik saat-saat menjelangkemerdekaan Indonesia (Benda, 1958: 114-151).

Pembentukan Masjumi merepresentasikan kemenangan bagikebijakan Islam Jepang. Pada saat yang sama, Masjumi menjadisebuah katalis bagi pembentukan aliansi yang kuat antara duaorganisasi Muslim yang paling penting, yaitu NU dan Muham -madiyah. Aliansi ini meningkatkan kekuatan tawar-menawarpolitik bagi kelompok Muslim dan melemahkan kubu nasionalissekuler. Jadi, di bawah kebijakan Jepang untuk merebut hatikaum Muslim, inteligensia Muslim dan ulama-intelek (“clericalintelli gentsia”) mendapatkan keuntungan lebih nyata ketimbangyang pernah mereka dapatkan selama periode sebelum kedatanganJepang. Yang lebih penting, para pemimpin Islam tradisional de -ngan pengaruhnya yang unik di level akar rumput memperolehkeunggulan politik yang lebih tinggi dibandingkan dengankelom pok-kelompok lain dan dibandingkan dengan periode-periode sebe lumnya. Karena pemerintah Jepang melarangkomunikasi formal kecuali dengan menggunakan huruf Latindan Jepang, ulama-intelek yang melek huruf Latin memilikimodal simbolik yang memperkuat peran publik mereka. Hal iniditandai oleh pe nunjukan Wachid Hasjim sebagai Wakil (danpejabat) Ketua Masjumi.

Meski demikian, pendudukan Jepang berlangsung terlalusingkat untuk bisa berpengaruh secara vital terhadap tubuh elitepolitik dan fungsional Indonesia. Saat Jepang mulai kalah dalamPerang Pasifik dan kondisi ekonomi Jawa memburuk, pihakJepang menjadi semakin sadar akan pentingnya membatasigerakan-ge rakan nasionalis yang radikal dengan jalan memberikanlebih banyak konsesi kepada para pemimpin nasionalis yangsekuler. Maka, ranah politik selama bulan-bulan terakhir

Page 371: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 351

pendudukan Jepang se makin didominasi oleh naiknya kembalielite nasionalis Indonesia (Benda, 1958: 172-174).

Pihak Jepang menjadi sadar akan pentingnya melibatkanpara pemimpin nasionalis setelah kegagalan Gerakan Tiga-Auntuk meraih dukungan dari para politisi nasionalis sekuler.Dengan janji akan diberikan hak pemerintahan sendiri dalamwaktu yang tidak terlalu jauh pada masa depan, sebuah organisasinasionalis baru yang inklusif didirikan pada tanggal 9 Maret1943 bernama Pusat Tenaga Rakjat (Putera). Gerakan inimenyatukan seluruh perhim punan politik maupun non-politikterdahulu di Jawa dan Madura, dan dipimpin oleh empatserangkai. Sukarno sebagai ketua, Hatta sebagai wakil ketua,dengan Suwardi Surjaningrat (Ki Hadjar De wantara) dan seorangpemimpin reformis-modernis Muslim ter kemuka, Mas Mansur,sebagai anggota.93

Di bawah naungan Putera, pihak Jepang membentuk sejumlahorganisasi militer. Yang terpenting ialah Sukarela Tentara Pem -bela Tanah Air (Peta).94 Peta didirikan pada bulan September1943 dan merupakan sebuah kekuatan gerilya cadangan yangotonom,95 yakni yang terpilih sebagai para komandan batalion(daidancho)96 kebanyakan adalah orang-orang yang lebih tuayang dipercaya pihak Jepang memiliki pengaruh di kalanganpemuda. Mereka sering kali direkrut dari guru-guru sekolahlokal, para pamong, tokoh Islam, dan para intelektual yangpernah mendapatkan pen didikan sekolah Belanda.97 Pada tanggal29 April 1943, pemerintah militer juga mengadakan pelatihanparamiliter bagi pemuda yang dimaksudkan untuk mempersiapkankekuatan-kekuatan pemuda demi kepentingan keamanan dalamnegeri dan mobilisasi politik. Termasuk di antaranya Seinendan(Korps Pemuda),98 Keibodan (Korps Keamanan),99 dan Gakutotai(Korps Paramiliter pelajar).

Page 372: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

352 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Bagi Jepang, organisasi-organisasi ini terutama merupakansebuah sarana untuk merebut dukungan rakyat Indonesia terhadapusaha-usaha perang Jepang. Namun, bagi para pemimpin nasio -nalis, organisasi-organisasi tersebut menjadi sebuah kendaraanuntuk memperluas kontak mereka dengan massa yang padamasa pemerintah kolonial Belanda sangat dibatasi (Kahin, 1952:108).100 Kurangnya komitmen politik Jepang sampai tahun 1943memberi kesempatan bagi para pemimpin politik nasionalisuntuk meman faatkan organisasi-organisasi tersebut demikepentingan-kepen tingan nasionalis mereka. Faktor ini bersamadengan adanya ri vali tas kepemimpinan internal, menyebabkanproyek Putera gagal.101

Karena memburuknya kondisi ekonomi Jawa dan moralrakyat, Gunseikan merasa perlu untuk membentuk sebuahorganisasi baru yang bisa mereka kontrol secara efektif. Padatanggal 1 Maret 1944, didirikan sebuah organisasi yang bernamaPerhimpunan Kebaktian Rakjat yang secara umum dikenaldengan nama Jepang nya, Djawa Hôkôkai. Dibentuk dengantujuan untuk memobilisasi massa, Hôkôkai berada di bawahtanggung jawab langsung Gunseikan. Sukarno merupakan ketuasimbolik dari organisasi ini (Kahin, 1952: 110).102

Atas inisiatif Hôkôkai, pada bulan September 1944, pihakJepang membentuk Suishintai atau Barisan Pelopor.103 Barisanini pada awalnya dirancang sebagai sebuah organisasi politikyang tujuan pokoknya ialah untuk menjadi garda pembela(vanguard) dari Hôkôkai. Untuk tujuan ini, para anggotanyadiberikan latihan paramiliter dengan menggunakan bamburuncing dan diajarkan teknik-teknik memobilisasi massa, sepertimisalnya menggiring masyarakat untuk mendengarkan pidato-pidato dari para pe mim pin nasionalis. Hôkôkai merekrut pemudadari semua strata sosial, tetapi yang terutama dari yang berlatar

Page 373: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 353

belakang kaum abangan. Barisan Pelopor menjadi semakin kuatdengan masuknya para pemuda kota-kota besar yang kian sadarpolitik (Anderson, 1972: 29-30).

Segera setelah pembentukan Barisan Pelopor, kepedulianpihak Jepang terhadap menguatnya kaum nasionalis mendorongGunseikan untuk menerima permintaan kaum Muslim yangtelah lama diabaikan bagi pembentukan laskar yang serupa padatanggal 8 Desember 1944. Beberapa minggu kemudian, laskarpemuda Muslim ini diberi nama Hizbullah. Pada bulan Januari1945, laskar ini mengadakan latihan lapangan pertamanya yangdiikuti oleh lima ratus pejuang Muslim di Jawa Barat.104 Barisanpara militer ini termasuk ke dalam Masyumi dan dimaksudkanuntuk menjadi kekuatan cadangan bagi Peta. Ketuanya adalahZainul Arifin (salah seorang wakil NU dalam kepengurusanMasjumi), dengan Mohammad Roem (inteligensia Muslimmodernis) se bagai wakil ketuanya ditambah dengan sepuluhanggota.105

Lewat struktur barisan-barisan militer seperti Barisan Pe -lopor dan Hizbullah, hubungan di antara kaum terpelajar dipusat-pusat kota dengan kaum tak terpelajar di pinggiran-pinggiran kota, kota kecil, dan pedesaan terbentuk. Dalamproses ini, stra tifikasi pendidikan yang kaku dan batas-batasantara elite dan non-elite yang terbangun sejak lama akibatkebijakan-kebijakan kolo nial mulai luluh. Propaganda nasionalisme(yang disponsori Jepang) oleh para pemimpin nasionalis mungkinturut berperan dalam meruntuhkan batas-batas sosial. Namun,yang menjadi sebab utama nya ialah berlangsungnya komunikasiantara pemuda terpelajar dan yang tak terpelajar yang sama-sama menjadi anggota garda pembela (vanguard corps) tertentu,yang memungkinkan ideologi nasionalis mencapai maknakonkretnya. Pengalaman ini, dalam pandangan Anderson

Page 374: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

354 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

“membangkitkan perasaan akan kekuatan massa, solidaritaspersaudaraan, serta kemungkinan keberhasilan yang kuat dijantung nasionalisme kerakyatan” (Anderson, 1972: 30).106

Dari Gerakan Bawah Tanah MenujuNasionalisme Kerakyatan

Gelombang pasang dari kebangkitan nasionalisme kerakyatan(po pular nationalism) juga melanda gerakan-gerakan bawahtanah. Segera setelah kedatangan tentara Jepang, beberapainteligensia-sadar-politik yang tak ingin bekerja sama denganpihak Jepang bergerak di bawah tanah. Maka, lahirlah kelompok-kelompok bawah tanah di kota-kota besar, terutama Jakarta.Kelompok-ke lompok ini mengembangkan jaringan komunikasiinformal yang di dalamnya beberapa mentor (politik) seniormerekrut para peng ikut dari gugus pemuda pelajar.

Pada awalnya, kelompok Pemoeda Sjarifuddin melakukangerakan bawah tanah ini dengan dukungan P.J.A. Idenburg.107

Amir Sjarifuddin, yang merupakan Ketua Gerindo, partai palingkiri pada akhir tahun 1930-an, merekrut ke dalam jaringanbawah ta nah nya mantan-mantan anggota Gerindo dan anggota-anggota PKI ilegal yang secara diam-diam telah dihidupkankembali oleh Muso pada tahun 1935 (Anderson, 1972: 37-38).108 Setelah runtuhnya jaringan bawah tanah Sjarifuddin padaawal tahun 1943, Pemoeda Sutan Sjahrir muncul dan menjadigerakan bawah tanah yang terpenting. Mendapatkan dukunganutamanya dari kalangan pemuda-pelajar, Pemoeda Sjahrir jugamembangun jaringan luas dengan pemuda pedesaan lewatkoperasi-koperasi petani kecil.109 Selain itu, juga muncul PemoedaTan Malaka (yang merupakan pengikut pemimpin komunislegendaris, Tan Malaka), serta ling karan Islam Pemoeda

Page 375: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 355

Mohammad Natsir. Setiap kelompok ini me ngembangkan sayappemuda-pelajarnya sendiri, yang terdiri dari para pelajar sekolahmenengah dan mahasiswa yang radikal yang jumlahnya meningkatpesat sebagai hasil dari perubahan-perubahan dalam rezimpendidikan dan kondisi persekolahan.

Bagi mereka yang berpendidikan Barat, efek dini dari pendu -dukan Jepang sangatlah mengejutkan. Pihak pemerintah militerJepang menutup semua sekolah, dan ketika sekolah-sekolah ter -sebut secara berangsur-angsur dibuka kembali, bahasa Belandatak lagi diperbolehkan dipakai sebagai bahasa pengantar disekolah tipe apa pun. Karena bahasa Belanda dilarang, sementarauntuk menguasai bahasa Jepang butuh waktu, bahasa Indonesialalu men jadi bahasa pengantar pengajaran.

Bagi para pelajar Indonesia, dipromosikannya bahasa danguru-guru Indonesia memberikan pengalaman baru yangmenimbulkan perasaan campur-aduk. Di satu sisi, terdapatkesulitan-kesulitan karena bahasa Indonesia “yang masih asing”harus dikuasai dan buku-buku teks berbahasa Indonesia danJepang harus tersedia. Di sisi lain, pengalaman menggunakanbahasa Indonesia dan ko munikasi dengan guru-guru Indonesia,dileburnya beragam tipe sekolah (terutama pada level menengah)menjadi sebuah sistem yang tunggal, diperkenalkannya seragamsekolah, upacara pagi, pelajaran baris-berbaris, dan praktik-praktik paramiliter lainnya membangkitkan perasaan solidaritaskolektif baru yang memper kukuh nasionalisme Indonesia (RedaksiSMT, 1988: 15-32).

Di samping berusaha mereorganisasi sekolah-sekolah publik,pemerintah Jepang melakukan kontrol yang ketat terhadapseluruh bidang pendidikan Islam. Di mata mereka, pendidikanIslam patut mendapat perhatian khusus karena dampaknya yang

Page 376: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

356 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

signi fikan terhadap perilaku politik masyarakat akar rumput.Karena alasan inilah, pelajaran bahasa Arab pada mulanyadilarang. Namun, ke tika muncul kebutuhan mendesak untukmen dapatkan dukungan aktif dari umat Islam guna memper -tahankan Jawa dalam mengha dapi sekutu, pelajaran bahasaArab diperbolehkan dan sekolah-sekolah Islam secara berangsur-angsur dibuka kembali. Kendati begitu, para pelajar dan guruIslam masih tetap mendapatkan per laku an yang tidak menyenang -kan. Kewajiban untuk melakukan Saikeirei, yaitu menunduk kearah Tokyo (bukannya ke Makkah) yang menyerupai sikapmenundukkan diri dalam shalat, yang ditetapkan oleh pihakJepang, sangat bertentangan dengan keya kin an Islam. Hal inimelahirkan sikap-sikap anti-Jepang dan me ngu at kan hasratuntuk merdeka (Benda, 1958: 122-123).

Efek paling merusak dari rezim pendidikan yang baru ini ter -jadi pada level pendidikan tinggi. Para pelajar dari perguruantinggi yang merupakan segmen masyarakat yang paling terbaratkandan yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasapercakapannya harus berhadapan dengan realitas bahwa bahasaBelanda dilarang dan bahwa bahasa Jepang, atau setidaknyabahasa Indonesia, me rupa kan bahasa pengantar umum dalampengajaran. Karena hampir seluruh buku teks untuk perguruantinggi menggunakan bahasa Belanda, pelarangan bahasa Belandamembuat para mahasiswa se gera terasing dari literatur yangtersedia. Di luar masalah bahasa, para mahasiwa juga diperlakukansecara tak senonoh oleh para peng ajar Jepang yang bisa menamparwajahnya dan memerintahkan mereka untuk menundukkankepala seperti kebiasaan orang Jepang (Mrázek, 1994: 229).

Kurang terekspos terhadap pengetahuan ilmiah Barat, parapelajar dari generasi ini lebih banyak terekspos ke dalam pelatih -an-pelatihan militer dan paramiliter, yakni mereka dilatih untuk

Page 377: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 357

me nyerap kekuatan batin ala Bushido. Efek samping dari kete r -libat an pemuda-pelajar dalam pendidikan secara militer ini ialahberkembangnya mentalitas kekerasan.110 Saat yang sama, tipepen didikan ini membantu memperkuat semangat nasionalismeegali ter dan menjadikan pemuda-pelajar dari beragam latarsosiografis bersatu dalam sebuah panggilan historis yang sama:mengabdi pada bangsa.

Karena merasa terasing ataupun frustrasi dengan kondisi-kondisi sekolah yang ada, banyak di antara pelajar-mahasiswade ngan berbagai cara mempertautkan dirinya dengan mahasiswa-mahasiswa yang radikal dan secara perlahan hanyut ke dalamge rak an-gerakan bawah tanah.111 Beberapa pemuda-pelajar mulaimembentuk kelompok-kelompok bawah tanah yang berpusat diasrama-asrama mahasiswa di Jakarta. Termasuk di antaranyaialah kelompok Persatuan Mahasiswa yang berpusat di asramaIka Daigaku (sekolah kedokteran) di Prapatan 10,112 kelompokSendenbu yang berpusat di Asrama Angkatan Baru Indonesia diMenteng 31,113 kelompok Kaigun yang berpusat di AsramaIndonesia Merdeka di Kebon Sirih 80,114 dan kelompok SekolahTinggi Islam yang berpusat di sekitar Balai Muslimin Indonesiadi Kramat 31.115

Kelompok-kelompok tersebut merupakan kelompok-kelom -pok “bawah tanah” tidak dalam artian merupakan agen-agenrahasia yang memimpin perlawanan secara sembunyi-sembunyi.Kenyata annya, bukan saja banyak di antara para aktivis asramaitu yang memiliki hubungan dekat menurut garis famili atauikatan lainnya dengan para tokoh yang bekerja sama denganpihak Jepang, me lain kan juga bahwa pihak pemerintahan militerJepang sendiri tahu apa saja yang terjadi di dalam lingkaran-lingkaran pemoeda terse but. Istilah “bawah tanah” dalam kasusini, meminjam pandangan Anderson, lebih baik dipahami sebagai

Page 378: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

358 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

sebuah kerangka berpikir: yakni “tumbuhnya kesediaan dalamdiri pemuda kota besar untuk ‘memikirkan tentang dirinyadengan pemikiran-pemikiran yang berbahaya”’(Anderson, 1972:49). Meski begitu, aktivitas mereka mampu menstimulusterciptanya sebuah iklim politik yang kon d usif bagi mobilisasipatriotisme massa rakyat.

Dari Aktivitas Sastra dan MediaMenuju Nasionalis me KerakyatanDalam medan kesusastraan, dampak langsung dari pendudukanJepang ialah penghentian secara sukarela penerbitan majalahPoedjangga Baroe (PB) oleh para redakturnya. Di tengah-tengahlingkungan ko lonial yang baru, majalah PB dan para sastrawangenerasi PB mene mukan dirinya tak lagi sanggup menyesuaikandiri secara kreatif de ngan zeitgeist (suasana zaman) yang baru.Secara politik, meskipun majalah PB merupakan sebuah manisfes -tasi dari nasionalisme yang menentang kolonialisme sebelumpendudukan Jepang, dia cenderung lebih bisa menerima beberapanilai Barat seperti rasionalisme mo dern dan individualisme, se -hingga dalam tingkatan tertentu me miliki afinitas dengan univer -sum simbolik penjajah Belanda. Afinitas ini tampaknya telahber fungsi dengan baik dalam mendapatkan dukungan dari pihakBelanda bagi kelangsungan hidupnya. Namun sekarang, dibawah pendudukan Jepang yang fasis, kerangka rujuk an mentaldari sastrawan PB mengalami kehancuran secara tiba-tiba. Secaraspi ritual, pendekatan sastra PB pada dasarnya roman tik,sentimental, dan kedaerahan. Pada masa perang dan revolusikemerdekaan yang menuntut tindakan ketimbang impian, kesusas -traan PB menjadi sama sekali tidak cocok. Di bawah cahaya se -mangat nasionalisme massa dan revolusi, muncullah generasi

Page 379: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 359

baru sastrawan sejak 1942/1943 hingga akhir revolusi kemerdekaanIndonesia pada 1949 (Teeuw, 1986: 105-118).

Karya sastra generasi ini mencerminkan semangat revolusibaik dalam isi maupun bentuknya. Dalam isi, kesusastraangenerasi ini cenderung didominasi oleh propaganda politik yangnasionalistik. Dalam bentuk, terdapat peralihan yang radikaldari struktur kesusastraan tradisional yang kaku, terutama dalampuisi. Dengan mengadopsi gaya-gaya sastra Barat, karya-karyapuisi “pem berontakan” Chairil Anwar menjadi representasi parexcellence dari perubahan revolusioner tersebut. Dalam prosa,kebanyakan tulisan yang dihasilkan dalam periode ini merupakancerita-cerita pendek yang mencerminkan suasana, ruang danwaktu revolusi dengan karya-karya Idrus sebagai contoh terbaikdari genre ini. Pada periode ini, “masih terdapat sedikit karyayang secara spesifik bersifat islami, kecuali karya BahrumRangkuti (1919-1977) yang banyak terinspirasi oleh penulisPakistan, Muhammad Iqbal” (Ricklefs, 1993: 215).

Selain kesusastraan, karakteristik yang khas dari ruang publikpada masa itu juga berkontribusi terhadap peningkatan gemapatriotisme kerakyatan. Di bawah pemerintahan Jepang, semuatipe penerbitan yang tidak memiliki izin sah dari pemerintahdilarang. Semua media berbahasa Belanda dan Cina dilarangterbit. Semua pers pribumi yang ada sebelum pendudukanJepang ditutup, meskipun segera setelah itu beberapa darinyaditerbitkan kembali di bawah struktur manajemen baru dengannama baru yang diaju kan atau disetujui oleh pihak Jepang.116

Meningkatnya kesempatan untuk menebarkan benih nasionalismekerakyatan muncul ketika pihak Jepang membangun jaringanradio yang luas di seluruh In donesia. Pihak Jepang juga meng -usahakan agar pen duduk pedesaan dan perkotaan bisa memilikipesawat radio sendiri.117

Page 380: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

360 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Karena kebanyakan penduduk Indonesia pada saat itu butahuruf, diperkenalkannya radio merupakan sebuah terobosanuntuk mengatasi hambatan-hambatan komunikasi antarainteligensia-sadar-politik dengan massa. Meminjam kata-kataMarshall McLuhan dalam karyanya yang kelak menjadi terkenal,Understanding Media (1964: 299), keuntungan dari media inibisa digambarkan sebagai berikut:

Radio memengaruhi kebanyakan orang secara intim, daripribadi ke pribadi, dan menawarkan sebuah dunia komunikasiyang sungguh akrab antara penulis-pembicara dengan pen -dengar. Itulah aspek langsung dari radio. Sebuah pengalamanpribadi. Kedalaman pengaruh bawah sadar radio berperananuntuk menggemakan emosi-emosi primitif dalam diri manusia.Itulah sifat inheren dari medium ini, dengan kekuatannya untukmenggerakkan psike dan masyarakat ke dalam sebuah ruangyang menggemakan suara yang tunggal.

Berbeda dengan peredaran pers yang bersifat elitis dan ter -batas, radio menghadirkan bagi massa rakyat pengalaman pertamaterekspos secara serempak dan massif terhadap dunia politik in -teligensia “yang asing” dengan sebuah cara yang intim. Denganbe gitu, radio memediasi pembentukan ide-ide dan solidaritasbersama yang membawa pada penguatan nasionalisme kerakyatan.

Menuju Proklamasi Kemerdekaan IndonesiaPertemuan pemuda dari seluruh strata sosial lewat beragam or -ganisasi militer dan garda perjuangan, keberadaan gerakan-ge -rakan bawah tanah serta efek ampuh radio dalam meluluhkanbatas-batas sosio-spasial memberi pengalaman kolektif tentangpersaudaraan horizontal (horizontal comradeship) yang takpernah terjadi sebelumnya. Hal ini pada gilirannya membantu

Page 381: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 361

memper kukuh semangat nasionalisme Indonesia sebagai sebuahblok his toris bersama. Di tengah-tengah meningkatnya semangatnasio nalisme yang egalitarian, generasi inteligensia ketiga lahirtanpa memiliki penandanya yang khas. Satu-satunya penandayang kuat pada masa itu ialah “pemoeda” yang meliputi baikkalangan ter didik maupun yang tak terdidik.

Nasionalisme egalitarian dari pemuda revolusioner segeraber ubah menjadi desakan untuk merdeka setelah DeklarasiKoiso. Ketika situasi militer Jepang memburuk, Perdana MenteriJepang, Kuniaki Koiso, mengucapkan janji historisnya padatanggal 7 Sep tember 1944 bahwa Indonesia pasti akan diberikemerdekaan “pada masa depan”. Deklarasi ini menstimulusterjadinya pembangkang an sipil di kalangan pemuda-pelajar.Kelompok-kelompok bawah tanah segera mengubah karakternya,“dan keluar dari daerah remang-remang antara sah dan tak sah”karena “pihak pemerintahan Jepang tak lagi berada dalam posisiuntuk secara terbuka menentang tu juan-tujuan kaum pemuda”(Anderson, 1972: 49). Di atas tanah, janji ini mendorongterbentuknya beberapa institusi yang di spon sori Jepang yangbertugas untuk mempersiapkan kemerdekaan In donesia.

Untuk merealisasikan janji tersebut, pada tanggal 1 Maret1945, pihak Panglima Tentara Jepang mengumumkan dibentuknyaBadan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI)118 yang diketuai oleh Radjiman Wediodiningrat. Kom -posisi keanggotaannya diumumkan pada tanggal 29 April. Darienam puluh dua (62) anggotanya pada seri persidangan pertamanya(29 Mei-1 Juni), hanya terdapat sepuluh wakil golongan Islam.119

Domi nannya para politisi sekuler dalam Panitia ini mencerminkanpre ferensi pihak Jepang untuk menyerahkan kedaulatan negarakepada orang-orang Indonesia yang (menurut mereka) sanggupmemerintah negara modern. Dalam konteks ini, Benda

Page 382: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

362 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

berargumen, elite nasio nalis sekuler mendapatkan keuntungankarena superioritasnya da lam pendidikan Barat dan pembelajaranpolitik yang “bisa secara tepat disebut sebagai keungggulanyang bersifat monopoli di antara para pesaingnya” (Benda,1958: 173-174).

Dalam sesi pertama persidangan Komite ini, suasana rapat-rapat, yang didominasi oleh tokoh-tokoh sekuler, cenderungme no lak ide negara Islam. Pada hari penutupan (1 Juni), Sukarno,se bagai seorang pemimpin nasionalis terkemuka, menyampaikansebuah pidato yang untuk pertama kalinya menguraikan idenyatentang lima dasar negara Indonesia merdeka, yang kemudiandisebut sebagai Pancasila.120 Ketika pidato itu menjelaskan prinsipyang ketiga, yaitu demokrasi, dia menolak gagasan bahwa Islamharus menjadi landasan bagi negara Indonesia. Dia menyangkalgagasan para pemimpin Islam dengan mengajukan kenyataanbahwa meskipun sekitar delapan puluh sampai sembilan puluhpersen penduduk Indonesia beragama Islam, sebagian besardarinya tidak terlalu taat dalam menjalankan ajaran-ajaran Islamdan karena itu, mereka lebih cocok dengan negara “sekuler” ke -timbang dengan negara Islam (Dijk, 1981: 45-46).

Paparan Sukarno mengenai isu fundamental ini yang diikutidengan perdebatan-perdebatan mengenai penjelasan terperincidasar negara itu kemudian melahirkan konflik antara para peng -anjur negara “sekuler” dengan penganjur negara Islam. Per -debat an-perdebatan ini memberikan basis baru untuk memobilisasisolidaritas dan identitas Islam. Setelah pengalamannnya bersatudi bawah panji federasi Islam, MIAI/Masyumi, dan dalam meng -hadapi musuh bersama, para pemimpin Muslim tradisionalisdan reformis-modernis sekarang memiliki sebuah “bahasa”bersama yang memungkinkan mereka bisa mengartikulasikankepen ting an-kepentingan komunitas politik Islam. Ini bisa dilihat

Page 383: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 363

dalam kohesivitas mereka dalam membela cita-cita Islam dalamsesi persidangan berikutnya.

Setelah sesi pertama, Sukarno berinisiatif untuk mengumpul -kan sekitar 38 anggota Panitia tersebut di kantor pusat DjawaHôkôkai pada tanggal 22 Juni guna mendiskusikan isu-isu yangharus diselesaikan dalam sesi berikutnya. Pada rapat ini, sebuahpanitia sembilan diketuai Sukarno dibentuk untuk mempelajarigagasan Islam sebagai dasar negara. Delapan anggota lainnyaialah Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Subardjo, danMaramis (sebagai wakil kubu sekuler), Agus Salim, Abdul KaharMuzakkir, Wachid Hasjim, dan Abikusno Tjokrosujoso (sebagaiwakil kubu Islam). Panitia kecil ini mencapai sebuah kesepakatandalam ben tuk rumusan yang dikenal sebagai formula “PiagamJakarta”, yang akan dimasukkan ke dalam Pembukaan UUD.Dalam rumusan hasil kompromi ini, Islam tidak dijadikansebagai dasar negara, tetapi prinsip-prinsip Pancasila yangdirancang Sukarno pada awal Juni dimodifikasi sehingga Islammendapatkan tempat yang layak da lam negara Indonesia merdeka.Pertama-tama, urut-urutan Pan casila diubah. Prinsip “KetuhananYang Maha Esa” yang oleh Sukarno ditempatkan pada urutanakhir, diletakkan pada nomor satu. Se lanjutnya, di bawahtekanan kubu Islam yang menghendaki pem berian hak istimewakepada umat Muslim, frasa Ketuhanan Yang Maha Esa ditambahidengan anak kalimat “dengan kewajiban men jalankan syariatIslam bagi pemeluk-pemeluknya”. Anak kalimat inilah yangdikenal sebagai “tujuh kata” (Dijk, 1981: 47-48: Boland, 1971:27).

Selama sesi kedua persidangan Panitia itu (10-17 Juli), ru -mus an Piagam Jakarta didiskusikan dalam panitia kecil UUDyang diketuai Sukarno. Rumusan itu kemudian dikritik oleh J.Latuharhary (yang mewakili kalangan Kristen Maluku) serta

Page 384: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

364 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

beberapa wakil kelompok non-Muslim dan sekuler lainnya.Pada dasarnya, mereka berkeberatan dengan “tujuh kata” tersebut“karena konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul darianak kalimat tersebut ter hadap para penganut agama yang lain,dan karena kesulitan-ke sulitan yang akan muncul dalam hubunganantara hukum Islam dan hukum negara”. Keberatan-keberatanini melahirkan perdebatan-perdebatan sengit yang hanya bisadikendalikan oleh kharisma dari pribadi-pribadi yang berpengaruhseperti Sukarno. Sukarno secara tak kenal lelah mengingatkanpara anggota panitia kecil bahwa Piagam Jakarta merupakanhasil kompromi optimal yang bisa di capai oleh para pendukungnegara sekuler dan negara Islam yang bisa digunakan sebagaicommon denominator. Maka, pada akhir sesi kedua, statusPiagam Jakarta masih tetap masuk dalam draf UUD (Dijk, 1981:48-58).

Pada awal Agustus 1945, posisi Jepang dalam Perang Pasifiksemakin memburuk. Ketika Hiroshima akhirnya dibom atompada tanggal 6 Agustus, suasana politik Indonesia berkembangcepat. Pada tanggal 7 Agustus 1945, Komando Tertinggi Jepangdi Saigon mengumumkan pembentukan Panitia PersiapanKemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai penerus BPUPKI. Panitiayang baru ini dimaksudkan untuk “mempercepat semua upayapersiapan ter akhir bagi pembentukan sebuah pemerintahanIndonesia merdeka” (Anderson, 1972: 62). Sementara keanggotaanBPUPKI didasarkan pada latar belakang ideologis, kriteria utamadari komposisi ang gota PPKI ialah berdasarkan kedaerahan.Sebagai konsekuensinya, beberapa anggota kunci BPUPKI, sepertiAgus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, Masjkur, Ahmad Sanusi,Abikusno Tjokrosujoso, serta Wongsonegoro dan MohammadYamin tak termasuk anggota PPKI (Dijk, 1981: 60).

Tidak masuknya tokoh-tokoh pemimpin Muslim dari PPKI

Page 385: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 365

ini merupakan pertanda buruk bagi perjuangan politik Islam.Se jarah politik Indonesia setelah itu akan terus merefleksikanin ferioritas Islam politik. Pada awalnya, PPKI terdiri dari 21anggota yang diketuai oleh Sukarno dengan Mohammad Hattadan Radjiman Wediodiningrat sebagai wakil ketua.121 Dari 21anggota ini, 12 di antaranya bisa diklasifikasikan sebagai parapemimpin nasionalis sekuler generasi tua. Sembilan lainnyaterdiri dari dua wakil pangreh praja, tiga dari kesultananYogyakarta dan Surakarta, dua dari or ganisasi Islam, satu dariwakil Peta, dan satu dari minoritas ke tu runan Cina (Anderson,1972: 64). Panitia yang baru ini sekali lagi didominasi oleh parapolitisi sekuler di mana kubu Islam hanya diwakili oleh KiBagus Hadikusumo dari Muhammadiyah dan Wachid Hasjimdari NU.

Setelah diskusi-diskusi yang dilakukan antara Ketua PPKIdengan pihak pemerintah Jepang, disepakati bahwa pertemuanpertama PPKI akan diadakan pada tanggal 18 Agustus. Ketikatanggal itu tiba, suasana dan situasi politik Indonesia telahberubah secara dramatis.

Ketika pihak Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu padabulan Agustus 1945, muncul kesempatan buat para inteligensiapolitisi untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia. Pada momenitu, kombinasi dari meningkatnya kultur kekerasan dengan se -mangat nasionalisme egalitarian di kalangan pemuda memainkansebuah peran yang sangat menentukan. Mendengar desas-desusmengenai kemungkinan Jepang menyerah pada tanggal 10Agustus 1945, para pemuda radikal mendesak para pemimpinnasionalis, Sukarno dan Hatta, untuk segera menyatakankemerdekaan In donesia di luar kerangka PPKI yang disponsoriJepang.122 Sukarni dan beberapa pemuda lain kemudian menculikSukarno dan Hatta pada pukul 4 sore tanggal 16 Agustus dan

Page 386: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

366 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

membawa keduanya ke markas Peta di Rengasdengklok (JawaBarat). Meskipun tindakan itu sendiri gagal untuk mengubahkeputusan kedua pemimpin itu, pengalaman tersebut menjadibukti kuat bagi keduanya untuk meyakinkan pihak pemerintahmiliter Jepang bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesiamerupakan sebuah conditio sine qua non (syarat yang mau takmau harus ada) untuk menghindarkan adanya anarki. Momendramatis ini pada akhirnya membawa pada Prok lamasiKemerdekaan Indonesia oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal17 Agsutus 1945.

Dalam suasana kegembiraan atas kemerdekaan Indonesia,dilakukan beberapa penyesuaian dalam komposisi PPKI. Secarainformal, beberapa individu, termasuk Kasman Singodimedjo(Ko mandan Peta di Jakarta), diundang untuk turut mengikutirapat PPKI.123 Jadi, dengan adanya Kasman, hanya ada tigaorang yang bisa dianggap mewakili suara-suara Islam dalamPPKI. Dengan representasi yang minoritas ini, kubu Islam harusmenghadapi “pertempuran” yang vital dalam memutuskan UUDRepublik In donesia. Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI memilihSukarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan WakilPresiden Re publik Indonesia. Pada saat yang sama, PPKImenyetujui draf UUD yang disusun sebelumnya oleh BPUPKI.“Tujuh kata” Piagam Jakarta—yang acap kali disebut Sukarnosebagai kompromi opti mal dan yang telah memunculkankontroversi terpanas dalam sesi terakhir persidangan BPUPKI—dicoret.124

Kelemahan kubu Islam dalam PPKI juga terbukti dengan pe -no lakan awal terhadap gagasan pembentukan departemen agama.Pada awalnya, Latuharhary menentang gagasan tersebut atasdasar alasan bahwa gagasan itu akan menjadi sumber perselisihanantara umat Islam dan Kristen. Pandangannya itu mendapatkan

Page 387: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 367

dukungan dari sembilan belas anggota PPKI (Anderson, 1972:87-90) se hing ga mulai dari Kabinet Presidensial Sukarno pertama(31 Agustus-14 November 1945) sampai Kabinet ParlementerSjahrir pertama (14 November 1945-12 Maret 1946), departemenagama tak ada.125 Kekecewaan para pemimpin Islam semakinmeningkat ketika me reka tidak cukup terwakili baik dalamKomite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)126 dan kabinet pertamaRepublik Indonesia.127

Alhasil, meskipun para pemimpin Islam telah terbebas daricengkeraman pendudukan kolonial dan telah memasuki ruangpublik Indonesia merdeka, Islam politik pada kenyataannyamasih tetap suram. Marginalisasi politik atas umat Muslimmasih tetap berlangsung, sebagian karena bertahannya hierarkipengetahuan dan nilai-nilai kolonial yang memperkukuh apayang disebut Edward Said sebagai “kekelasduaan yangmenyesakkan” (dreadful secondariness) yang dialami oleh beberapasegmen masyarakat dan budaya. Kolonisasi, kata Said, merupakansebuah “nasib yang memiliki dampak-dampak yang bertahanlama dengan hasil yang sangat tak adil” (Said, 1989: 207).

KesimpulanDengan proklamasi kemerdekaan, dimulailah sebuah peralihanradikal dalam sejarah bangsa Indonesia. Pekik “merdeka” sekarangmenjadi rite de passage dari orang-orang di jalanan. Adalahdalam fantasi harapan orang kebanyakan kemerdekaan Indonesiater capai, sementara dalam realitas sesungguhnya, mimpi burukmulai memasuki arena politik lewat pintu belakang RepublikIndonesia yang baru berdiri. Bagi para pelaku politik dalamRepublik baru itu, tak ada waktu untuk istirahat. “Musuh-musuh” baru telah datang dan pasukan-pasukan Sekutu telah

Page 388: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

368 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

mendarat di negeri itu. Namun, setidaknya ada momen singkatuntuk berbagi kegembiraan dengan harapan milenarian darirakyat biasa dengan mengenang perjuang an heroik Indonesiaselama periode-periode akhir penjajahan.

Periode tahun 1920-an sampai 1940-an merupakan puncakdari sederetan proyek hegemonik dan konter-hegemonik dalamrelasi antara penjajah yang superior dengan rakyat terjajah yanginferior di Hindia. Pada akhirnya, dewi fortuna berpihak padayang terjajah.

Tampaknya memang benar bahwa perjalanan sejarah manusiatidaklah berlangsung dalam sebuah jalan lurus yang bisa denganmudah dimanipulasi oleh superioritas pengetahuan dan kekuasaan.Baik mitos zakelijkheid Belanda maupun kekuatan batin Jepangternyata gagal mengontrol sejarah Indonesia. Meski terdapatpraktik dominasi yang bersifat kolonial, masih saja ada beberapasumber-sumber kekuatan konter-hegemonik. Tak peduli dominasima cam apa pun yang diberlakukan, dominasi itu pasti akangagal me lenyapkan perlawanan.

Kekuatan dominan akan selalu mengenakan topeng-topenguntuk menjalankan dominasinya. Politik “Etis” dan “Asosiasi”awal nya dimaksudkan untuk menutupi kepentingan-kepentinganko lonial dengan topeng citra tentang kemurahhatian. Namun,biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan topeng tersebutsangat lah mahal. Pada saat terjadi malaise sosial-ekonomi sehinggasum ber-sumber ekonomi menjadi langka, meningkatnya ekspektasi-ekspektasi dari segmen istimewa dalam masyarakat terjajahmen jadi terlalu mahal untuk bisa dipuaskan dengan kebijakan-kebijak an yang murah hati. Berhadapan dengan situasi ini,kekuatan do minan lebih suka melepaskan topengnya. Maka,pada saat ekonomi Hindia setelah Perang Dunia I merosot, dan

Page 389: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 369

terutama selama masa depresi hebat pada tahun 1930-an,semangat Etis segera menjadi kredo yang usang dan digantikandengan rezim rust en orde.

Penggelaran aparatur negara yang represif pada saat ketikakesadaran nasional baru tengah bangkit menimbulkan perubahanradikal dalam perkembangan politik di Hindia. Inteligensia-sadar-politik mulai beralih dari politik kooperasi menuju politiknon-kooperasi. Di mata mereka, bersikap kooperatif ketikaberlangsung represi akan berarti hanya “memperkuat cengkeramanperlakukan kejam terhadap pihak yang lebih lemah danmemanfaatkan pihak yang lemah hanya sebagai alat bagikepentingan-kepentingan yang lebih kuat”. Titik berangkatuntuk keluar dari bayang-bayang ko lo ni al adalah penemuanistilah “Indonesia” sebagai kostruksi-tan dingan terhadap “HindiaBelanda” yang diciptakan kolonial Belanda. Penemuan Indonesiaini menandai penemuan politik Indonesia. Sebuah “komunitasimajiner” telah lahir untuk menyatukan plura litas posisi-posisisubjek menjadi sebuah blok historis bersama.

Perjuangan untuk mencapai proyek historis ini menemukanmomen penentuannya selama masa pendudukan sementaraJepang. Lewat struktur organsiasi-organisasi militer dan paramiliteryang disponsori Jepang, hubungan antara kaum terpelajar danyang tak terpelajar menjadi terjalin erat. Dalam proses ini,batas-batas stra ti fikasi pendidikan yang kaku serta jarak antarakaum elite dan massa, yang tercipta akibat kebijakan-kebijakankolonial yang diskrimi natif, mulai runtuh. Situasi ini melahirkansebuah perasaan akan kekuatan massa dan solidaritas persaudaraan,dan pada akhirnya, semua ini menumbuhkan nasionalismekerakyatan.

Penciptaan Indonesia sebagai sebuah komunitas imajiner dan

Page 390: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

370 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

blok historis pada kenyataannya beriringan dengan perselisihan-perselihan ideo-politik yang terus berlangsung di antara inteligen -sia yang berbeda kolektivitas dan identitasnya. Perbenturanideologi ini dimulai saat gerakan-gerakan sosial yang diwarisidari dekade-dekade sebelumnya berubah menjadi partai-partaipolitik. Pada awalnya, penemuan ideologi memang dibutuhkanbukan saja untuk memberikan sebuah landasan teoretis yangsolid dalam rangka mem berikan respons terhadap negara kolonialyang represif, me lainkan juga untuk memberikan makna danrasa identitas bersama terhadap tindakan-tindakan kolektif.Namun, dalam usaha mena namkan ideologi ke dalam tubuhpartai politik yang terstruktur—yang memiliki aturan-aturantertentu, kode perilaku tertentu, rantai komando, dan disiplinpartai—maka batas-batas mental, linguistik dan spasial secaraotomatis tercipta yang memisahkan antara “kita” dari “mereka”,identitas kelompok-dalam (in-group) dan kelom pok-luar (out-group). Pada tahap ini, identitas-identitas kolektif yang telahtercipta pada saat bangkitnya gerakan-gerakan proto-nasionalpada tahun 1910-an mulai berubah menjadi identitas-iden titaspolitik.

Dengan segera muncullah beragam tradisi politik yang ber -pusat di seputar gugus inteligensia dan “ulama-intelek”. Prinsipdasar dari pembentukan tradisi-tradisi ini bersumber dari perbe -daan-perbedaan dalam jaringan intelektual, tingkat keterbukaanterhadap peradaban Barat, basis kultural dan sosio-ekonomi,serta orientasi politiknya. Dalam gambaran besar, telah munculenam tradisi politik dalam periode pra-pendudukan Jepang:yaitu tradisi reformis-modernis (Islam), tradisi tradisionalis(Islam), tradisi ko munis (sekuler), tradisi nasionalis (sekuler),tradisi sosialis (se kuler), dan tradisi Kristen, baik Protestanmaupun Katolik (sekuler). Satu lagi tradisi yang akan muncul

Page 391: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 371

pada paruh kedua tahun 1940-an ialah tradisi militer (sekuler).

Di sini, baik premis Marxian mengenai polarisasi antara duakubu utama dalam masyarakat maupun teori Weberian mengenaifragmentasi sosial yang ada dalam setiap kubu sosial memilikirele vansinya. Karena pengelompokan-pengelompokan sosio-politik terutama didasarkan pada kerangka solidaritas aliranketimbang solidaritas kelas, maka polarisasi politik terutamamuncul antara kubu Muslim dan sekuler. Pada saat yang sama,terjadi fragmentasi baik dalam kubu-kubu Muslim maupun kubusekuler. Setiap tra disi memiliki solidaritas dan identitas sektoralnyamasing-masing. Namun, dalam momen-momen tertentu, logikapertarungan poli tik yang ada memaksa sektor-sektor yang lebihkecil dari setiap alir an kultural untuk bersatu dalam sebuahkoalisi entitas aliran yang lebih luas. Ini terutama berlaku padasaat berhadapan dengan ancaman-ancaman dari luar terhadapapa yang dianggap sebagai identitas kultural bersama.

Jadi, pembentukan Indonesia sebagai sebuah komunitas po -litik yang baru mengekspresikan bukan hanya sebuah ketegangandalam interaksi negara-masyarakat, melainkan juga dalam inte r -aksi antar-beragam tradisi politik yang ada dalam masyarakat.Di bawah pemerintahan kolonial “yang asing”, konflik dalamma syarakat ternetralisasi oleh konflik dalam interaksi negara-ma syarakat. Saat negara kolonial lenyap, konflik-konflik dalamma syarakat sulit menemukan suatu “kalimatun sawa” (kepentinganbersama) untuk bersatu dalam sebuah blok historis.

Dalam persaingan antara inteligensia sekuler dan Muslimdalam hal kepemimpinan politik dari negara yang baru merdeka,inteligensia sekulerlah yang menjadi pemenangnya. Kebijakanasosiasi pemerintah kolonial Belanda dengan ambisi terselubung -nya untuk menjauhkan elite baru dari Islam sekarang mulai

Page 392: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

372 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

mem buahkan hasil dengan kemunculan dominasi inteligensiasekuler (yang moderat). Kelemahan inteligensia Muslim dalamhal kuali fi kasi-kualifikasi pendidikan dan pemikiran politikmodern diper buruk dengan kebijakan Belanda dan Jepang untukmemarginalkan Islam politik. Sebagai akibatnya, kubu Islammengalami kekalahan dalam sederetan pertarungan politik.

Inteligensia Muslim mulai menyadari posisi minoritasnya da -lam komunitas intelektual ini pada tahun 1920-an. Untuk meng -atasinya, mereka mengembangkan suatu proyek historis untukmengislamisasikan kaum terpelajar. Proyek historis ini akanmen jadi tema utama dari gerakan-gerakan intelektual Muslimselama tahun-tahun berikutnya sepanjang abad ke-20. Proyekini men jelma antara lain dalam pendirian JIB, SIS, dan universitasIslam. Proyek-proyek historis tersebut berperan penting dalamproses kelahiran benih-benih baru inteligensia Muslim. Namun,pada saat proklamasi kemerdekaan, keunggulan kompetitif dariinteli gensia Muslim masih tetap kalah dibandingkan denganinteli gensia sekuler. Hal ini menyebabkan rendahnya representasiIslam politik dalam komunitas politik dari Republik yang barulahir itu.

Dengan kelemahan kubu Islam dalam medan politik RepublikIndonesia yang baru berdiri itu, Islam tetap menjadi pihak luardalam ranah politik Indonesia. Kondisi ini memunculkan apayang disebut W.F. Wertheim (1980) sebagai sindrom “mayoritasde ngan mentalitas minoritas”. Jenis kenangan dan mentalitaskolektif seperti inilah yang akan membentuk konstruksi politikmakna (politics of meaning) umat Muslim dalam dekade-dekadeberikut nya. Di bawah bayang-bayang struktur kognitif serupaitulah ge nerasi baru inteligensia Muslim terlahir dengan memikulbeban kenangan yang pedih.[]

Page 393: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 373

Catatan:1. Dikutip dari Hatta (1998: 15).2. Dikutip dari H. Benda (1958: 176). Yang dimaksud dengan “tipu muslihat” kebijakan

(Belanda) itu tampaknya ialah kebijakan “asosiasi”. Untuk pembahasan mengenaikebijakan “asosiasi”, lihat Bab 2.

3. Dikutip dari Furnivall (1958: 465).4. Dalam kenyataannya, manuver politik kaum sosialis di negeri Belanda itu gagal dan

kekuasaan yang lama masih bertahan.5. Karena takut bahwa orientasi komunis ISDV dengan kemampuannya untuk me ngum -

pul kan paling tidak 3.000 tentara dan pelaut untuk bergabung dalam dewan-dewan Soviet, terutama di Surabaya, pemerintah menghancurkan dewan Soviet ini, meng -

asingkan Sneevliet, dan mengasingkan atau menangkapi para pemimpin yang lain dariserikat buruh ini. Kemudian, setelah munculnya dugaan akan keterlibatan kaum komunisdalam kerusuhan kota di Surakarta pada awal tahun 1919, pihak pemerintah menangkapHadji Misbach (“hadji merah” dalam SI) dan Douwes Dekker, serta mengasingkanTjipto Mangunkusumo dari semua daerah yang berbahasa Jawa. Selain itu, setelah ter -bunuhnya seorang Controleur Belanda di Tolitoli (Sulawesi Utara) pada Mei 1919,persis setelah Abdul Muis dari Central Sarekat Islam (CSI) melakukan per jalanan rang -kaian pidato di daerah itu, Muis ditangkap. Segera se sudahnya, sebuah insiden pe nem -bakan di Garut (Jawa Barat) menyebabkan ter ungkapnya apa yang disebut se bagai SeksiB yang bersifat rahasia dalam tubuh SI d an sebagai akibatnya, di tangkaplah Sosrokardonodari CSI bersama dengan be berapa anggota ISDV (Ricklefs, 1993: 174).

6. Seperti yang diamati oleh Ingleson (1979: 176): “Depresi ekonomi berdampak lebihlambat terhadap Indonesia ketimbang terhadap kebanyakan negara lainnya, terutamakarena hal itu lebih merupakan krisis komoditi pertanian yang timbul kemudianketimbang sebagai krisis keuangan yang muncul lebih dahulu. Namun, efek depresi inidi In donesia bertahan lebih lama dan memiliki dampak yang dalam terhadap struktursosial dan ekonomi negeri itu.”

7. Jumlah siswa pribumi di sekolah-sekolah rakyat (vernacular schools) milik swasta danpemerintah dari semua tipe (Standaardschool, Volkschool, dan Vervolgschool) padatahun 1920 ialah 781.284, sementara untuk sekolah bergaya Eropa (baik milik swastadan pemerintah) adalah sebagai berikut: di sekolah-sekolah dasar (ELS, HIS, SpecialeSchool), jumlah siswa pribumi adalah 43.411; di sekolah menengah (HBS 3, JBS 5,Lyceum, MULO, dan AMS) adalah 1.190; dan di sekolah-sekolah kejuruan ialah 3.917(Van der Veur, 1969: 7-12).

8. Ekonomi pasca-PD I dan depresi ekonomi yang hebat pada tahun 1930-an telah meng -akibatkan pemotongan belanja (subsidi) pemerintah untuk sektor pendidikan. Hal inimembuat biaya bersekolah menjadi tinggi, memaksa orang-orang Hindia untuk meng -alihkan minat bersekolahnya ke sekolah-sekolah yang independen (tak diakui oleh pe -merintah), yang disebut sebagai “sekolah-sekolah liar” (Ingleson, 1979: 205). Jum lahsekolah liar itu pada akhir tahun 1930-an diperkirakan sebesar 2.200 dengan jum lahsiswa 142.000. Sekolah-sekolah independen yang paling terkenal ialah yang ter gabungdalam kelompok sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Suwardi Surjaningrat (KiHadjar Dewantara).

9. Meskipun para siswa dari tipe-tipe sekolah yang berbeda menunjukkan latar belakang

Page 394: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

374 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

pekerjaan orangtua yang berbeda-beda. Berdasarkan Laporan Komisi Pendidikan padatahun 1929, Van der Veur (1969: 25) menyimpulkan: “Para orangtua dari siswa yangbelajar di ELS, seperti halnya orang Eropa, hampir sepenuhnya adalah para pegawai(453 dari 484), terutama pegawai pemerintah. Di pihak lain, di Schakelschool, sebagianbesar siswanya (715 dari 1.173) berasal dari sebuah lingkungan sosial yang berbeda,yaitu dari lingkungan pengusaha pribumi. Di antara kedua tipe sekolah itu, tetapi lebihdekat dengan ELS dalam hal posisi sosial orangtuanya ialah HIS di mana 10.747 dari11.909 siswa, berasal dari keluarga yang orangtuanya menjadi pegawai.

10. Ini tampaknya mencakup pula para mahasiswa keturunan Cina. Untuk mendapatkangambaran lebih jauh, kita bisa melihat statistik mahasiswa Indonesia di UniversitasLeiden yang dikompilasikan oleh Harry A. Poeze (1990: 57). Pada 1920-1924, jumlahmahasiswa pribumi Indonesia yang belajar di universitas tersebut sebanyak 60, se -mentara yang keturunan Cina sebanyak 28. Berdasarkan angka ini, kita bisa meng -asumsikan bahwa total jumlah mahasiswa pribumi di negeri Belanda pada akhir tahun1924 tidak mencapai angka sebesar itu (673 mahasiswa).

11. Mohammad Hatta, misalnya, bisa melanjutkan studinya ke negeri Belanda karenaadanya dukungan biaya dari masyarakat lokal Minangkabau.

12. Institut-institut penelitian ini didirikan sebagai bagian dari universitas maupun sebagailembaga yang independen. Institut penelitian yang paling terkenal dalam periode iniialah Institut Eijkmann (Institut Penelitian Kedokteran) di Jakarta, yang dinamaimengikuti nama Dr. C. Eijkmann (1858-1930) yang memenangi Hadiah Nobel padatahun 1929 atas p enemuan vitaminnya, dan nama tokoh itu dipilih karena dia melakukaneksperimen-eksperimennya di rumah sakit-rumah sakit militer di Jakarta. Baik kuantitasmaupun kualitas institut-institut penelitian Hindia diakui secara global, terutama setelahmasuknya arus kedatangan para saintis Eropa (kebanyakan orang Belanda) ke Hindiaselama masa depresi ekonomi yang hebat pada tahun 1930-an dan setelah pendudukanJerman atas Belanda pada 1940. Pada awal-awal 1940-an, terdapat 26 institut penelitiandi negeri Hindia yang menghasilkan jurnal-jurnal terkemuka (Masser, 1994).

13. Contoh-contoh dari institut-institut penelitian yang didirikan oleh para pemilikperkebunan swasta ialah Observatorium Bosscha di Bandung (didirikan oleh seorangpemilik per kebunan teh), Institut Penelitian Karet, dan Institut Penelitian PerhimpunanPerkebunan Sumatra.

14. Terdapat keinginan kuat untuk mendirikan fakultas bahasa dan sastra Indonesia daripihak Direktur Pendidikan, J. Hardeman, pada tahun 1927, tetapi gagasan itu baruterwujud pada tahun 1940 (Van der Veur, 1969: 5).

15. Jumlah siswa pribumi di sekolah-sekolah rakyat milik pemerintah dan swasta darisemua tipe (Standaardschool, Volkschool, Vervolgschool, Schakelschool [berdiri tahun1921] dan MULO berbahasa lokal [berdiri tahun 1937]) ialah 2.220.513, sementarayang belajar di sekolah bergaya Eropa (milik pemerintah dan swasta) adalah sebagaiberikut: di sekolah dasar (ELS, HIS, Speciale School), siswa pribuminya sebanyak88.023; di sekolah menengah (HBS 3, HBS 5, Lyceum, MULO, dan AMS) sebanyak9.975; di sekolah-sekolah kejuruan sebanyak 5.990 (Van der veur, 1969: 7-12); dan diuniversitas sebanyak 673 (Thomas, 1973: 11-12).

16. Menurut Ricklefs (1993: 161), total penduduk Hindia pada tahun 1939 ialah sekitar 70juta.

Page 395: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 375

17. Untuk jumlah pengajar, 91 orang Eropa, 19 orang Indonesia, dan 15 orang keturunanAsia lainnya (Thomas, 1973: 12).

18. Kontrolir adalah pegawai pemerintah Hindia Belanda yang kedudukannya di bawahasisten residen.

19. Untuk informasi lebih jauh, lihat Soebagijo (1980), Ghazali et al., (1988), PanitiaPeringatan 75 tahun Kasman (1982), Panitia Peringatan Mohammad Natsir/MohamadRoem 70 Tahun (1978).

20. Di bawah pendudukan Jepang, sekolah-sekolah direorganisasi dan dinamai ulangdengan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. MULO diganti nama menjadi SekolahMenengah Rendah (dalam bahasa Indonesia) atau Chugakko (dalam bahasa Jepang).Hampir semua tipe dari sekolah umum dan kejuruan level menengah atas disatukan dandinamai ulang menjadi Sekolah Menengah Tinggi (SMT, dalam bahasa Indonesia) atauKotto Chu Gakko (dalam bahasa Jepang). Bekas NIVAS (sekolah dokter hewan) diBogor dibiarkan tetap berdiri sendiri, tetapi namanya diubah menjadi Bogor Zai Gakku.Para guru sekarang disebut dengan Engku dan mereka terutama berasal dari lulusansekolah guru. Namun, karena jumlah guru profesional terbatas, maka lulusan THS danGHS juga direkrut menjadi guru. Pada level universitas, Jepang hanya membukakembali GHS (pada tahun 1943) dan THS (pada tahun 1944). GHS diganti namamenjadi Ika Daigaku, sementara THS diganti nama menjadi Kogyo Daigaku. Untuk IkaDaigaku, ditambahkan jurusan baru, yaitu jurusan farmasi, selain jurusan awalnyasemasa GHS, dan mahasiswa NIAS di Surabaya, dipindahkan ke Jakarta. Sementara itu,bekas STOVIT (sekolah menengah kegigian/dental) dinaikkan tingkatnya menjadiakademi tiga tahun dan diberi nama Jepang Ika Daigaku Shika Igakubu. Selanjutnya,untuk menggantikan bekas Bestuursacademie, pihak Jepang mendirikan sebuah perguruantinggi baru untuk mendidik para pegawai pemerintah pada tahun 1944 yang diberinama Kenkoku Gakuin dan pada saat yang bersamaan juga mendirikan Sekolah GuruTinggi atau Kootoo Shihan Gakko. Rencana untuk membuka sebuah universitas Islamyang telah dijanjikan sejak awal 1942 dalam rangka untuk menarik dukungan kalanganMuslim terhadap kepentingan-kepentingan Jepang terwujud pada tanggal 8 Juli 1945.Universitas tersebut diberi nama Sekolah Tinggi Islam dan dikelola oleh sebuah dewanpengurus yang beranggotakan para Muslim terkemuka dan diketuai oleh MohammadHatta (Redaksi SMT, 1998: 33-37; Benda, 1958: 187; Thomas, 1973: 38-39, Junge,1973: 66, Harjono, 1997: 12-13).

21. Ragam pendidikan militer dan paramiliter Jepang akan dibahas dalam ruang lain dalambab ini.

22. Sukiman adalah adik dari Satiman (pelopor Jong Java). Keduanya merupakan anak daripedagang Muslim dan mereka berdua sama-sama lulusan STOVIA. Setelah lulus,Sukiman melanjutkan ke universitas di negeri Belanda pada awal 1920-an. Saat kembali,dia segera bergabung dengan SI/PSI, dan sejak saat itu terkenal sebagai seorang pemimpinpolitisi Muslim.

23. Sekolah merujuk pada metode pendidikan persekolahan Barat yang menekankan padapengajaran pelajaran-pelajaran umum.

24. Selama masa belajarnya di Makkah, Wahab memainkan peran besar dalam pendiriancabang lokal Sarekat Islam.

25. Sekolah-sekolah Islam yang termasuk dalam jaringan Nahdlatul Wathan dengan meng -

Page 396: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

376 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

gunakan nama yang berbeda-beda muncul di Surabaya, Wonokromo, Jagalan, Pacarkeling,Gresik, dan tempat-tempat lain di Jawa Timur. Selain dari jaringan sekolah ini, daritahun 1919, Wahab juga mengorganisasi sebuah kelompok diskusi mengenai persoalan-persoalan Islam di kalangan ulama tradisional di Surabaya yang diberi nama TasjwirulAfkar (pertukaran pikiran). Selain itu, pada awal tahun 1920-an, Wahab juga mendirikan,di lingkungan komunitas tradisionalis, sebuah organisasi pemuda, Syubbanul Wathan(Pemuda Tanah Air), dan sebuah koperasi pedagang, Nahdlatul Tujjar (Ke bangkitanPedagang). Di luar lingkungan tradisionalis, dia juga melakukan usaha-usaha untukbergabung dengan jaringan intelektual nasionalis lewat keterlibatannya dalam IndonesischeStudieclub-nya Sutomo (Soekadri, 1979: 64-66; Van Bruinessen, 1994: 34-36).

26. Majalah-majalah paling penting dari Persis ialah Pembela Islam (1929-1933), Al-Fatwa(1931-?), dan Al-Lisaan (1935-1941).

27. Pola umum kontrol Jepang atas sektor pendidikan Islam dideskripsikan dengan baikoleh Benda (1958: 131): “Pola yang secara perlahan muncul memperlihatkan secarajelas bahwa, sementara pihak Jepang merasa cukup dengan mengontrol secara tidaklangsung sekolah-sekolah agama pada level-level rendah, mereka memutuskan untukmengelola sendiri semua sekolah menengah, sekolah guru, dan perguruan tinggi. Maka,pada bulan Mei 1943, pihak pemerintah pendudukan melarang pelajaran agama (yangtak wajib) di sekolah-sekolah menengah pemerintah. Pada bulan yang sama, semua guruIslam diorganisasi ke dalam sebuah lembaga sentral, yaitu Pergaboengan Goeroe IslamIndonesia, dan secara berangsur-angsur, semakin banyak sekolah Islam—dan Arab—yang dibuka kembali.”

28. Para anggota komite itu di antaranya ialah Wachid Hasjim (seorang pemimpin mudaNU dan pejabat ketua Masjumi), Satiman Wirjosandjojo, dan Sukiman Wirjosandjojo(yang pernah merintis proyek yang sama pada akhir tahun 1930-an), MohammadNatsir (mantan aktivis JIB), Fathurrahman Kafrawi, dan Abdul Kahar Muzakkir (mantanaktivis Djami’ah Chairiah), Mas Mansur, Farid Ma’ruf, dan Kartisudarmo (dariMuhammadiyah), Suwandi dan S. Mangunsarkoro (dari kantor dinas pendidikanpemerintah pendudukan).

29. Dewan pengurus universitas tersebut terdiri dari Drs. Muhammad Hatta sebagai Ketua,Mohammad Natsir sebagai sekretaris plus beberapa nama terkenal lainnya, seperti Prof.Dr. Husein Djajadiningrat dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo sebagai anggota. Rektoruniversitas tersebut ialah Abdul Kahar Muzakkir (mantan aktivis perhimpunan mahasiswaIndo-Malaya di Kairo, Djama’ah Al-Chairiah dan kemudian menjadi pegawai seniorShumubu). Senat universitas tersebut terdiri dari rektor sebagai ketua, dibantu olehMohammad Natsir dan Mr. Prawoto Mangkusasmito (presiden terakhir SIS) masing-masing sebagai sekretaris dan wakil sekretaris bersama dengan beberapa anggotatermasuk Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Abdul Karim (mantan presiden kelimaSIS), Prof. Dr. Poerbotjaroko, Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, Mr. Mohammad Yamin,dan beberapa lainnya. Di antara para pengajar universitas tersebut ialah seorangintelektual dari generasi pertama inteligensia Muslim yang terkenal, Agus Salim (Harjono& Hakiem, 1997: 8-9).

30. Untuk bahasan mengenai kaum Dreyfussard (dalam konteks Eropa), lihat Bab 1.31. Sebagai contoh, pers komunis Pandoe Merah dalam terbitan pertamanya pada tahun

1924 memuat sebuah artikel berjudul “Sarekat Orang-Orang Intellectuel di Indonesia”,yang mengasosiasikan istilah “intellectual” dengan kaum berpendidikan tinggi. Pada

Page 397: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 377

Desember 1929, Sukarno menulis sebuah artikel dalam majalah PNI, PersatoeanIndonesia, berjudul “Kewadjiban Kaoem Intellectueel”. Dalam artikel ini, dia mendefinisikanintelektual sebagai mereka yang akal-pikirannya lebih tinggi daripada orang-orangawam, sambil mengkritik orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual yangtinggi, tetapi bersikap apolitik dan tidak memiliki nasionalisme; saat

yang sama ia mengidealkan bersatunya kaum intelektual dengan rakyat. Kemudian,Sutan Sjahrir (1909-1966), yang kelak menjadi perdana menteri pertama pada saatIndonesia merdeka—menulis sebuah artikel yang sama dalam koran Daulat Ra’jat (10November 1931), yang berjudul “Kaoem Intellectueel dalam Doenia Politik Indonesia”,yang sekali lagi mengaitkan intelektual dengan kepemimpinan politik rakyat. Setelahitu, istilah “intellectueelen”, “intellectualisme”, dan “intellectualistis” dipakai secaraluas dalam tulisan-tulisan sastra dan kebudayaan dari para “Poedjangga Baroe” terutamadalam “Polemik Kebudayaan” mereka pada 1930-an. Istilah-istilah tersebut tampilsecara mencolok dalam karya Sutan Takdir Alisjahbana dan lawan polemiknya, Sutomo.Takdir mengasosiasikan istilah-istilah tersebut dengan kesanggupan dan fungsi manusiapemikir untuk menafsirkan dunia secara analitik dan objektif untuk bisa menemukansebuah landasan intelektual yang baru bagi persatuan bangsa Indonesia (Kartamihardja,1954).

32. Lihat, misalnya, Sukarno (1929) dan Sjahrir (1931).33. Mengenai komentar-komentar terhadap pandangan Laclau dan Mouffe tentang blok

historis, lihat Radhakrisnan (1990: 93-94) dan Yanrella (1993: 87-88).34. Patut dicatat bahwa Indische Vereeniging bukan hanya satu-satunya perhimpunan

mahasiswa yang peduli mengenai perkembangan di Hindia. Juga ada perhimpunanmahasiswa keturunan Cina Hindia, Chung Hwa Hui, dan kelompok mahasiswa Belandayang mempelajari dan peduli dengan Hindia, yaitu Groeven van Indologische studenten.Pada 1917, di bawah sponsor kaum Ethici Belanda, muncul inisiatif untuk membentuksebuah federasi dari ketiga perhimpunan tersebut yang disebut “Indonesisch Verbondvan Studeerenden” (Federasi Mahasiswa Indonesia). Namun, federasi itu hanya ber -tahan selama lima tahun karena adanya perbedaan-perbedaan yang tak bisa terjembatanilagi dalam hal arah dan kepentingan politik (Blumberger, 1931: 183-184).

35. Saat kepulangannya kembali ke Hindia pada November 1919, Tan Malaka bekerjasebagai guru bagi kuli-kuli kontrak perusahaan Senembah. Anderson menggambarkanperjalanan intelektualnya sebagai berikut: “Pada bulan Juni 1921, dia pindah ke Jawa,tempat ketika dia dengan segera tenggelam dalam arus gerakan radikal. Dia diundangke Semarang oleh Semaun, Ketua PKI, dan memintanya untuk mendirikan sebuahsekolah di sana. Keberhasilannya dalam mengembangkan sekolah itu ... merupakansebuah faktor utama bagi pengangkatannya sebagai Ketua PKI pada kongres kedelapanpartai tersebut yang diadakan pada bulan Desember tahun itu. Meskipun usianya baru25 tahun, dia memimpin partai tersebut dengan cukup hebat sehingga memaksa pihakpemerintah kolonial mengambil tindakan represif. Pada bulan Maret 1922, dia diasingkandari Hindia. Dua puluh tahun kemudian, dia menancapkan kembali kakinya di tanahairnya” (Anderson, 1972: 271). Selama pengasingannya dan masa penjaranya, diamenulis beberapa buku, dan yang paling penting ialah autobiografi politiknya, DariPendjara ke Pendjara, dan filsafat politiknya, Madilog (Materialisme, Dialektika, danLogika).

36. Pada tahun 1919, Gunawan Mangunkusumo dan Sutomo (mantan pendiri Budi Utomo)

Page 398: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

378 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

tiba di negeri Belanda dan dengan segera menjadi mentor bagi para rekan mahasiswajunior mereka. Pada saat yang sama, Nazir Pamontjak (mantan aktivis Jong SumatranenBond), Achmad Subardjo Djojoadisurjo (mantan aktivis Jong Java), dan Alex AndriesMaramis (mantan aktivis Jong Minahasa) juga tiba di negeri Belanda. Dalam tahun-tahun berikutnya, banyak lagi mantan aktivis yang melanjutkan studi mereka di negeriBelanda, seperti Hermen Kartowisastro, Iwa Kusuma Sumantri, Mohammad Hatta,Sukiman Wirjosandjojo, Gatot Mangkupradja, Darmawan Mangunkusumo, Sunarjo,Abdul Madjid Djojoadiningrat, Sartono, Ali Sastroamidjojo, Setiadjit, dan Sutan Sjahrir(Simbolon, 1995: 321-329). Kebanyakan mahasiswa ini akan memainkan peran-peranyang menentukan baik selama masa perjuangan kemerdekaan dan dalam dekade-dekadeawal kemerdekaan Indonesia.

37. Patut diingat bahwa stratifikasi sosial dalam masyarakat kolonial tidak didasarkan padakepemilikan material (tanah atau kekayaan), tetapi pada kedekatan individu dengansimbol-simbol kekuasaan dan otoritas. Jadi, keluarga-keluarga pedagang pribumitermasuk dalam kelompok status yang rendah, meski dalam kekayaan mereka makmur.

38. Hal ini termasuk di dalamnya Hindia, Filipina, Straits Settlements (Malaka, Singapura,Penang, dan sekitarnya), Borneo Inggris (Sarawak, Brunei, Borneo Utara Inggris) danMadagaskar.

39. Seorang sarjana Belanda yang terkenal, Van Hollenhoven, mengkritik penggunaanistilah “Indonesia” sebagai sinonim dari Hindia. Menurutnya, meskipun jumlah terbesar(sekitar 49 juta) rakyat “Indonesia” (dalam arti lama, menurut istilah studi antropologis)pada saat itu hidup di Hindia, tetapi terdapat paling tidak 15 juta orang yang berada diluar wilayah tersebut. Menjawab kritik tersebut, Hatta (1928) mengambil analogidengan kasus AS. Meskipun konsepsi geografis dari istilah “Amerika” merupakanpenanda bagi sebuah benua baru yang terentang antara dua kutub sehingga mencakupbeberapa negara dan bangsa, dalam kenyataannya, istilah itu dipakai sebagai nama darihanya satu negara yang menempati suatu sudut dari keseluruhan benua itu, dan namaitu diambil dari nama benua tersebut. Bahkan, nama negara tersebut bukan saja“Amerika”, melainkan Amerika Serikat (United States of America) yang seolah-olahmerupakan federasi dari semua negara di benua tersebut. Menurut Hatta, penamaanAmerika untuk merujuk pada satu negara tertentu bisa diterima bukan hanya karenanama itu telah dipergunakan oleh masyarakat AS, melainkan juga karena negara-negaralain di benua itu telah memiliki namanya sendiri-sendiri (Hatta, 1928).

40. Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi (Sumatra Barat) pada tahun 1902, dengan namaaslinya ialah Mohammad Ibn ‘Atta’. Nama ini terinspirasikan oleh nama Mohammad‘Atta-i ‘l-Lah Al-Sakandari, pengarang buku Al-Hikam, sebuah buku sufistik yang sudahterkenal di kalangan komunitas-komunitas pesantren atau surau (Madjid, 2002). Diaberasal dari keluarga yang kuat agamanya dan kaya. Kakeknya, Syaikh Abdurrahman(1777-1899) merupakan pendiri utama Surau Batuampar (Payakumbuh) yang terkenalsebagai pusat pengajaran tarekat Naqsyabandiyyah. Ayahnya, Hadji Muhammad Djamil(Syaikh Batuampar), merupakan seorang ulama-pedagang terkenal

di daerahnya, sementara ibunya adalah keturunan dari keluarga paling kaya di kota itu(Noer, 1990: 15-16; Alamsjah, 1952: 32). Dengan latar belakang keluarga kaya, Hattabisa bersekolah di ELS dan MULO di Padang, dan kemudian melanjutkan studinya kePrins Hendrik Handels School di Jakarta. Selama masa kanak-kanaknya dan masabersekolahnya di Sumatra Barat, dia penah mendapatkan pengajaran sufisme Islam yang

Page 399: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 379

diajarkan di surau milik ayahnya dan pengajaran Islam beraliran reformis-modernisyang diberikan terutama oleh Djamil Djambek di Bukittinggi dan Abdullah Achmad diPadang. Namun, selain dari pelajaran agama ini, sejak tahun kedua studinya di MULO(1918), dia menjadi tertarik dengan sebuah organisasi pemuda pelajar, Jong SumatranenBond. Rasa ketertarikannya ini menjadi semakin mendalam selama masa studinya diJakarta hingga dia pergi ke negeri Belanda pada tahun 1922 untuk me lanjutkan studinyadi Handels-Hoogeschool di Rotterdam (Noer, 1990: 21-22). Karena telah lamadibesarkan dalam lingkungan agama yang kuat dan kemudian lama men dapatkanpendidikan sekuler dan berada di lingkungan sekuler, Hatta menjadi seorang Muslimyang taat secara pribadi, tetapi “liberal”(menganut nilai-nilai inklusif) secara politik.

41. Pada pertemuan-pertemuan PI pada tanggal 7 dan 28 Maret 1926, Sunarjo me -munculkan persoalan mengenai bentuk negara Indonesia merdeka. Hatta dan ma yoritasmahasiswa di Amsterdam lebih memilih sistem negara federal dengan alasan karenaadanya keragaman latar budaya di Hindia (Ingleson, 1979: 12).

42. Sukarno adalah anak dari seorang guru sekolah dari garis keturunan priayi rendahan.Dia bisa masuk sekolah Belanda (ELS) atas bantuan seorang guru privat Belanda.Sukarno sejak lama fasih dalam “bahasa” nasionalisme. Pergaulan awalnya denganorganisasi pemuda, Tri Koro Darmo (Jong Java) mungkin telah menghidupkan kepe -duliannya pada masalah-masalah bangsa, tetapi pendidikan awal nasionalismenya justrudiperoleh saat dia bertemu dengan pemimpin besar SI, Tjokroaminoto, pada saat diamasih menjadi pelajar HBS di Surabaya. Tjokro bukan hanya terkenal karena ke cen -derungannya untuk “sepakat dengan semua orang”—sehingga karena itu, para aktivispolitik dari beragam ideologi selalu disambut baik di rumahnya—melainkan jugaterkenal se bagai bapak kos bagi para mahasiswa dari beragam kecenderungan politik.Bukan hanya Sukarno yang tinggal di rumahnya, melainkan juga Muso dan Alimin(yang kemu dian menjadi para pemimpin PKI), Kartosuwirjo (kelak menjadi seorangpemimpin Islam militan [DI/TII]), dan Abikusno Tjokrosujoso (kelak menjadi seorangpemimpin PSII) (Amelz,

1952: 55). Barangkali interaksi-interaksi awalnya dengan para aktivis politik dariberagam latar belakang serta dari “bacaannya” mengenai perpecahan yang terusberlangsung di kalangan partai-partai politik besarlah yang menjadikan Sukarno sadarakan kelemahan dari gerakan-gerakan proto-nasionalis.

43. Alih-alih membatasi diri pada diskusi-diskusi dan saran yang bersifat teoretis, ISCmenekankan pada nilai praktis dari pengetahuan dalam usahanya untuk menemukansolusi-solusi bagi masalah-masalah bangsa. Dalam usahanya itu, ISC mempromosikanpendirian sekolah-sekolah, bank-bank, klinik-klinik kesehatan, rumah-rumah untukanak telantar, dan sebagainya. Para aktivis dari klub ini berasal dari mantan anggota PIyang telah kembali ke Tanah Air, yang merupakan orang-orang Jawa berpendidikanBarat dan banyak dari mereka yang pernah menjadi anggota BU, tetapi, seperti halnyaSutomo, melihat bahwa orientasi kejawaan dari organisasi tersebut tak lagi sesuaidengan se mangat nasional yang baru. Anggota yang lainnya berasal dari para lulusanpen didikan tinggi di Bandung dan Batavia.

44. Para pengurus dari komite ini didominasi oleh para anggota ASC (Sartono sebagaiketua, Supardjo sebagai wakil ketua, Sukarno sebagai sekretaris satu, Sjahbudin Latifsebagai sekretaris dua, dan Mas Usman sebagai bendahara). Di samping menjadi anggotaASC, Sartono, Suprodjo, dan Sjahbudin Latif adalah mantan anggota PI (Ingleson,

Page 400: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

380 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

1979: 22; Pringgodigdo, 1964: 60; Biro Pemoeda 1965: 46-47).45. Setahun kemudian, perhimpunan itu mengubah namanya menjadi Partai Nasional

Indonesia (PNI) yang merupakan partai politik pertama yang dipimpin oleh paraintelektual yang berlatar belakang pendidikan tinggi.

46. Federasi ini terdiri dari PNI (diwakili oleh Sukarno dan Iskak), ASC (diwakili olehSartono, Budiarto, Samsi), OSI (diwakili oleh Sukiman dan Sjahbudin Latif), BU(diwakili oleh Kusumo Utojo dan Sutopo Wonobojo), Pasundan (diwakili oleh OtoSubrata, Bakri Surjaatmaja, dan S. Sendjaja), Sarikat Sumatra (diwakili oleh ParadaHarahap dan Dachlan Abdullah), Kaum Betawi (diwakili oleh M. Husni Thamrin) danISC (diwakili oleh Sujono, Gondokusumo, dan Sunjoto). Mayoritas wakil dalam federasiini terlihat jelas ada lah mereka yang berpendidikan tinggi.

47. Bubarnya federasi itu disebabkan oleh adanya pertarungan kuasa yang saling bersaingantara para pemimpin Muslim dan nasionalis untuk menjadi pemimpin dari gerakanpolitik secara umum dan PPPKI secara khusus.

48. Panitia dari kongres tersebut terdiri dari PPPI (Sugondo Joyopuspito), Jong Java (JokoMarsaid), Jong Sumatra (Muhammad Yamin), Jong Batak (Amir Sjarifuddin), JongIslamieten Bond (Johan Muhamad Tjaja), Pemoeda Indonesia (Kotjosungkono), JongCelebes (Senduk), Jong Ambon (J. Leimena), dan Pemoeda Kaum Betawi (Rohjani).

49. Di tengah-tengah sederetan perkembangan sosial dan politik dan adanya kebutuhanuntuk memperbarui bangunan kehidupan sosial dan identitas Indonesia, terjadiperubahan-perubahan yang signifikan baik dalam isi maupun bentuk dalam karya-karyakesusastraan. Pada 1920-1922, Muhammad Yamin mulai meninggalkan bentuk-bentukpantun dan syair tradisional pada saat dia menerbitkan puisi-puisi yang untuk pertamakalinya benar-benar terpengaruh oleh Barat, yang diikuti dengan penerbitan novel-novel Indonesia modern awal seperti Azab dan Sengsara Anak Gadis, karya MerariSiregar, dan Sitti Noerbaja, karya Marah Rusli, yang keduanya diterbitkan oleh BalaiPustaka (BP) masing-masing pada tahun 1920 dan 1922. Produksi karya-karyakesusastraan modern itu dimungkinkan oleh berdirinya BP yang disponsori pemerintahkolonial. Barangkali terlalu berlebihan jika mengharapkan munculnya karya-karyakesusastraan (politik) yang kritis dari rumah penerbitan ini karena pemerintah kolonialselalu curiga terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan gerakan nasionalis. Meskidemikian, BP secara tanpa sengaja telah berfungsi sebagai batu loncatan bagi perkembangankarya-karya sastra yang berorientasi nasionalistik. Tema utama dari karya-karya sastraterbitan BP pada tahun 1920-an/1930-an ialah krisis identitas diri yang dialami olehpara anggota inteligensia yang terjebak antara dunia tradisi dan modern. Di luar temabesar itu, meski ada pem batasan-pembatasan pemerintah terhadap apa pun yangmengasosiasikan diri dengan nama Indonesia, BP secara tanpa sengaja telah menerbitkanbeberapa buku yang memiliki nilai penting dalam kerangka nasionalisme. Dalam novelSalah Asuhan, karya Abdul Muis (terbit tahun 1928), kumpulan puisi Madah Kelana,karya Sanusi Pane (1931), dan novel Nasib, karya Habib St. Maharaja (1932), istilahIndonesia dipakai secara bebas (Teeuw, 1986: 23-24). Di luar kesusastraan BP, cerita-cerita berseri dalam pers-pers berbahasa daerah masih terus menjadi media alternatifutama untuk menerbitkan karya-karya sastra (politik) yang lebih kritis. Contoh parexcellence dari terbitan berseri ini ialah novel Rasa Merdika dan Kromo Bergerak, karyaMas Marco Kartodikromo, yang dimuat dalam Sinar Hindia, masing-masing padatahun 1924 dan 1931.

Page 401: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 381

50. Dalam tahun pertama, subtitel majalah tersebut ialah “Madjalah kesoesastraan danbahasa serta keboedajaan oemoem”. Dari tahun ketiga dan selama beberapa tahun,subtitelnya ialah “Pembawa semangat baroe dalam kesoesastraan, seni, keboedajaan dansoal masjarakat oemoem”. Kemudian, berubah menjadi “Pembimbing semangat baroejang dinamis oentoek membentoek keboedajaan baroe, keboedajaan per satoean Indonesia”(Teeuw, 1986: 29-30).

51. Polemik itu diawali dengan sebuah artikel provokatif karangan St. Takdir Alisjahbana,“Menoedjoe Masjarakat dan Keboedajaan Baroe” yang dimuat di PB pada bulanAgustus 1935. Artikel ini dengan segera mengundang tulisan-tulisan dari peserta po -lemik yang lain, seperti Sanusi Pane, Sutomo, Suwardi Surjaningrat, Purbatjaraka,Cindarbumi, dan M. Amir—untuk terlibat dalam polemik itu dan juga melibatkanbeberapa pers yang lain seperti Soeara Oemoem, Pewarta Deli, dan Wasita (Kartamihardja,1954).

52. Yang dimaksudkan dengan istilah “intelektualisme” ialah kesanggupan untuk melihatdunia secara objektif dan analitis; sementara istilah “individualisme” berarti mengutamakanhak-hak individu di atas kelompok; dan istilah “materialisme” berarti sikap kepemilikanyang sehat terhadap kenyamanan-kenyamanan material.

53. Fakta bahwa Sutomo, sebagai produk pendidikan luar negeri (di Eropa), lebih berpihakkepada tradisi-tradisi pra-penjajahan, sementara Takdir, sebagai produk pendidikanHindia, menghargai tradisi-tradisi Barat menunjukkan bahwa ekposur terhadap “rumahpenjajah” (master’s house) tidak menjamin bahwa individu tersebut akan setia padapihak kolonial. Respons individu terhadap kebudayaan imperial tampaknya bergantungpada pengalaman pribadi yang bersifat spesifik saat tinggal di “rumah penjajah” sertapada asal-usul dan pergaulan sosial dari individu tersebut.

54. Bagi para penganjur “autentisitas”, seruan untuk menolak semua hal yang berkaitan de -ngan kolonialisme lewat program-program dekolonisasi didasari oleh ide bahwabeberapa bentuk dan praktik budaya imperial dianggap “tak autentik” dan berbahaya.Pandangan ini lebih memilih kembali kepada apa yang dianggap sebagai “autentisitas”dengan jalan memulihkan kembali tradisi-tradisi dan kultur-kultur pra-kolonial yangasli. Yang menjadi problemnya ialah bahwa para pendukungnya sering kali terperangkapda lam pemikiran kultural yang bersifat esensialis, yakni praktik-praktik yang telah adadi-ikon-isasi sebagai sesuatu yang asli pribumi, sementara yang lainnya dikucil kankarena dianggap sebagai campuran atau tercemar, dengan mengabaikan ke mung kinanbahwa kebudayaan-kebudayaan itu bisa berkembang dan berubah pada saat kondisi-kondisi yang melingkupinya berubah. Untuk menyangkal pandangan bahwa penggunaanbudaya kolonialis dengan sendirinya memenjarakan pihak ter jajah dalam paradigmakonseptual pihak penjajah, muncullah strategi yang kedua, yaitu strategi meruntuhkanrumah sang penjajah dengan menggunakan peralatan sang penjajah sendiri. Menurutpandangan ini, subjek-subjek yang terjajah bisa meng guna kan kultur penjajah lewat cara“apropriasi” tetapi dengan tujuan untuk meng artikulasikan identitas-identitas sosial dankultural mereka sendiri. Bangunan rumah sang penjajah selalu bisa diubah dan beberapaperalatan bisa menjadi sarana untuk melakukan transformasi dan pembebasan konseptual.Selain itu, lewat cara “pe nasikhan” (abrogation), kultur yang terdominasi atau terjajahbisa menggunakan per alatan-peralatan dari wacana dominan untuk melawan kontrolpolitik atau kultural dari pihak yang dominan (Ashcroft, 1998: 5-22).

55. Menurut Mintz, banyak ide yang sering kali dikatakan kaum Marxis Indonesia sebagai

Page 402: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

382 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

pemikiran Marx, sesungguhnya merupakan doktrin yang digagas oleh Lenin (Mintz,1959: 171; 1965: 7).

56. Dalam praktiknya, ada kecenderungan bagi Partai Komunis Indonesia untuk menyim -pang dari teori kelas dan nilai-nilai sekuler dan untuk mengakomodasi bentuk-bentuklain dari pengelompokan sosial (aliran kultural) dan nilai-nilai sinkretik (keagamaan)dari petani kecil (Mortimer, 1969: 1-2).

57. Seperti yang dinyatakan oleh Louis Althuser, kesadaran itu terbangun lewat ideologi-ideologi; ideologi-ideologi ini merupakan sistem-sistem makna yang membangun relasiimajiner antara individu-individu dan kondisi-kondisi riil eksistensi mereka (1971: 152-155).

58. Untuk pembahasan lebih jauh mengenai akar-akar dan rumusan-rumusan dari so -sialisme Islam dalam konteks Indonesia, lihat J.S. Mintz (1965).

59. Salim dan Muis berargumen bahwa disiplin partai sebenarnya telah diterapkan oleh BO,NIP, dan bahkan PKI sendiri, sedangkan SI tidak. Sebagai organisasi paling kuat dalamperiode ini, SI cenderung dipandang sebagai sebuah lahan perekrutan bagi organisasi-organisasi lain, terutama PKI (Pringgodigdo, 1964: 42).

60. Calon anggota delegasi ialah Tjokroaminoto dan Surjopranoto (PSI), Ahmad Soorkattie(Al-Irsyad), Fakhruddin (Muhammadiyah), dan Abdul Wahab Chasbullah (wakil ulamatradisional).

61. Para wakil resmi ke Kongres Makkah ialah Tjokroaminoto (PSI) dan Mas Mansur (dariMuhammadiyah). Di luar delegasi Al-Islam ini, terdapat empat delegasi tak resmi keKongres Makkah, yaitu Muhammad Al-Bagir (seorang ulama tradisional dari Yogyakarta),Djanan Thaib (seorang lulusan Al-Azhar yang mendirikan sekolah Indonesia di Makkah,yaitu Madrassa Indonesia Al-Makkah pada tahun 1926), Umar Nadji dan Muhammadbin Thalib (keduanya dari Al-Irsyad). Sementara itu, kalangan reformis-modernis diSumatra Barat mengirimkan delegasinya sendiri ke Kongres Kairo, yaitu Hadji Rasuldan Abdullah Achmad (Van Bruinessen, 1994: 33).

62. Nama ini tampaknya terinspirasi oleh penamaan organisasi-organisasi sebelumnya yangdibentuk oleh Chasbullah sejak 1916 sampai awal 1920-an yang telah meng guna kankata “nahdlah”, seperti Nahdlatul Wathan dan Nahdlatul Tujjar.

63. Tradisionalisme Islam cenderung melestarikan “nilai-nilai Islam pribumi”.64. Dalam pandangan J.D. Legge (1988: 21): “Nama itu barangkali dipilih dengan tujuan

untuk melestarikan singkatan pendahulunya, PNI, tetapi dengan lebih mengekspresikanpandangan Hatta bahwa tugas utama dari gerakan nasionalis pada tahap ini bukanlahmelakukan agitasi atau mobilisasi dari aksi massa untuk melawan kekuasaan kolonial,melainkan melakukan tugas yang kurang spektakuler, yaitu mendidik para anggota darigerakan tersebut dan mempersiapkan perjuangan jangka panjang untuk melawan musuhpenjajah yang lebih kuat.”

65. Seperti yang dicatat oleh Mrázek (1994: 91): “PNI Baru secara cermat mencatat sifat-sifat ningrat dari lawannya.” “Penyandang gelar bangsawan” merupakan istilah favoritmereka untuk menyebut kalangan ningrat.

66. Mengatakan bahwa para pendukung utama dari PNI Baru adalah mereka yang ber -pendidikan tinggi sama sekali tidak berarti mengatakan bahwa kualifikasi-kualifikasipendidikan dari para pemimpinnya lebih unggul daripada pemimpin Partindo. Justrusebaliknya, latar belakang pendidikan dari para pemimpin Partindo ternyata lebih

Page 403: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 383

unggul ketimbang para pemimpin PNI Baru karena kebanyakan dari pemimpin Partindoberasal dari keluarga-keluarga priayi tinggi yang telah memiliki akses terlebih dahulu kepen didikan tinggi. Untuk pembahasan lebih jauh, lihat Ingleson (1979: 193-195).

67. Namun, selama dua tahun PPKD masih tetap berafiliasi dengan Indische KatholiekePartij (IKP) yang disponsori Belanda. Pada 1925, PPKD mulai berdiri sendiri danindependen dari IKP, dan setelah 1930, keanggotaannya diperluas sehingga mencakuporang-orang Katolik non-Jawa.

68. Sampai 1930-an, komunitas politik Protestan Indonesia masih berafiliasi denganChristelijke Ethische Partij (yang kemudian pada akhir tahun 1930 diubah namanyamenjadi Christelijk Staatkundige Partij) yang disponsori Belanda.

69. Federasi ini terdiri dari perkumpulan Kaum Kristen, Persatuan Guru Kristen, PersatuanPerawat Kristen, dan Persatuan Pemoeda Kristen.

70. Para penganjur dari federasi ini, seperti Amir Sjarifuddin, pada kongres misionarisKristen di Karangpandan (dekat Surakarta) pada 1941, memunculkan isu mengenaipanggilan Gereja dalam medan politik dan rencana untuk mendirikan partai politikKristen. Rencana ini tak bisa diwujudkan sampai 1945 karena adanya pendudukanJepang.

71. Dalam pada itu, setelah pemberontakan-pemberontakan yang membawa malapetakapada 1926-1927, PKI dibangun kembali secara bawah tanah oleh Muso pada 1935 dansecara populer disebut sebagai PKI Ilegal (Anderson, 1972: 38). Sementara itu, setelahditangkapnya Hatta dan Sjahrir, PNI Baru juga bergerak di bawah tanah sampaikedatangan Jepang (Legge, 1988: 21).

72. Diterbitkan oleh para anggota terkemuka SI dan Muhammadiyah di Yogyakarta.73. SI juga mendukung berdirinya Indonesische Studieclub oleh Sutomo dengan dasar

anggapan bahwa klub itu akan memperkuat gerakan non-kooperatif. Hal ini di indikasi -kan oleh keterlibatan beberapa anggota SI dalam klub ini (Noer, 1980: 269-270).

74. Surat ini diungkapkan secara terbuka pada saat persidangan Sukarno pada bulanAgustus 1930 oleh pihak jaksa, dan ini diikuti dengan tulisan yang saling menyerang dibeberapa koran termasuk antara lain tulisan Sutomo di Soeara Oemoem dan tulisan PSIIdi Pembela Islam (Ingleson, 1979: 131; Noer, 1980: 279).

75. Pada 1923, salah seorang pemimpin utama SI, yaitu Abdul Muis, mengundurkan diridari partai tersebut karena tidak adanya dukungan dari para pemimpin partai, terutama Tjokroaminoto, terhadap aktivitas-aktivitasnya sebagai wakil ketua partai. Ini diikutide ngan keluarnya semua anggota yang berasal dari kalangan Muhammadiyah daripartai tersebut pada tahun 1927 menyusul kritik tajam dari para pemimpin Muhammadiyahterhadap kelemahan personal dari para pemimpin SI.

76. Pada bulan Februari dan Maret 1927, majalah Timboel (sebuah majalah yang dieditorioleh Wediodiningrat dari BU dan Singgih dari klubnya Sutomo) memuat artikel-artikelyang menuduh PSI telah jatuh di bawah pengaruh para pemimpin oportunis sepertiAgus Salim yang telah mengubah partai tersebut menjadi partai pendeta dan memicuper selisihan di kalangan para pemimpin nasionalis (Noer 1980: 270).

77. Selain hal-hal lain, pernyataan Sutomo dan artikel-artikel ini mengkritik praktik ibadahhaji. Dia berargumen bahwa uang yang dihabiskan untuk berhaji sebenarnya lebih baikdipergunakan demi kepentingan bangsa. Dia juga menyatakan bahwa para tahananpolitik di Digul lebih layak dihormati ketimbang para haji (Van der Veur, 1984: 28).

Page 404: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

384 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

78. Sukiman Wirjosandjojo dari PSII, misalnya, menulis sebuah artikel di majalah ini (No.13, Oktober 1930), “Tentangan terhadap kepada [sic] Agama Islam”, di mana diamenyimpulkan bahwa pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Sutomomerepresentasikan suara-suara anti-Islam.

79. Setelah dua kali diadakan pemungutan suara, perbandingan antara jumlah pen dukungdan penolak ide tersebut adalah 50: 50. Menurut AD/ART Jong Java, dalam situasiseperti itu wewenang diberikan kepada ketua perhimpunan untuk mengambil keputusan.Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan yang membuat dirinya dipersalahkan dikemudian hari, Samsuridjal—sebagai penggagas ide tersebut—dalam kapasitasnyasebagai ketua perhimpunan, akhirnya dengan berat hati menolak ide tersebut. Untukpembahasan lebih jauh mengenai pengambilan suara ini, lihat Panitia Peringatan 75Tahun Kasman (1982: 27).

80. Lihat Het Licht, No. 1/1925, h. 7.81. Lihat Het Licht, No. 10/1925, hh. 3-10.82. Meskipun majalah itu juga memiliki nama dalam bahasa Arab, yaitu An-Noer, nama

Belandanya lebih populer dan lebih sering dikutip dalam karya-karya pengikutnya.83. Selain kota-kota besar di Jawa seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya,

cabang-cabang JIB juga terdapat di Sumatra (Kota Raja/Aceh, Medan, Padang, Bukittinggi,dan Palembang), Sulawesi (Makassar, Gorontalo, dan Manado), dan bahkan di Maluku(Ambon).

84. Pada dekade tersebut, inteligensia sekuler yang berlatar pendidikan universitas, sepertiyang kita lihat, telah mendirikan klub-klub sosio-politiknya sendiri. Pada awal 1920-an,sebuah perhimpunan mahasiswa keturunan Cina terbentuk, yaitu Ta Hsion. Para ma ha -siswa Kristen sendiri mendirikan Christeljke Studenten Vereeniging pada tahun 1926(yang secara resmi dideklarasikan pada tahun 1932), sementara para ma ha siswa Katolikmendirikan Katholieke Studenten Vereeniging St. Bellarminus pada tahun 1928.

85. Titi Marsuti dalam artikelnya di majalah Het Licht (Vol. VII/1931) mengidentifikasibeberapa kategori keanggotaan JIB yang meliputi mereka yang penganut Islam yangkuat, mereka yang pernah mendapatkan pendidikan sekuler dan agama yang kemudianbergabung dengan perhimpunan itu untuk memuaskan semangat agama mereka, merekayang sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Barat, tetapi tidak tertarik untukmengetahui ajaran-ajaran Islam, dan mereka yang tertarik dalam Islam politik. Aktivitas-aktivitas JIB berkisar mulai dari mengadakan kursus-kursus studi Islam, penerbitan,mendirikan perpustakaan-perpustakaan dan sekolah-sekolah, kepan duan, darmawisata,dan olahraga.

86. Ketua-ketua SIS secara berturut-turut ialah: Sudiman Kartohadiprodjo (Desember 1934-1935), Suwahjo Sumodilogo (Desember 1934-Desember 1936), Mohammad Roem(Desember 1936-Maret 1937), Abdullah Sidik (Maret 1937-Oktober 1938), AbdulKarim (Oktober 1938-Juli 1939), Widagdo (Juli 1939-Desember 1940), PrawotoMangkusasmito (Desember 1940-Maret 1942). Dua nama yang pertama dilihat darinamanya me ru pa kan anak-anak dari keluarga-keluarga priayi tinggi yang tak pernahterlibat dalam aktivis Islam sebelumnya.

87. Dalam perkembangan apresiasinya terhadap Islam, Natsir mengaku bahwa dia ter pe -ngaruh oleh dua pemikir Islam non-Indonesia yang tulisan-tulisannya dia baca saat diabelajar pada tahun 1920-an dan 1930-an, yaitu Mohammad ‘Abduh dan muridnya,

Page 405: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 385

Rashid Rida (Kahin, 1993: 160).88. Di antara buku-buku yang ditulisnya pada periode ini ialah Het Islamitische Ideaal

(Cita-Cita Islam) dan De Islamitische Vrouw en haar recht (Hak-Hak Perempuan dalamIslam) yang diterbitkan oleh Persatuan Islam pada 1934 yang diikuti dengan karyaberjudul Cultuur Islam (Kebudayaan Islam) pada 1936 dan Dengan Islam ke IndonesiaMoelia pada 1939, yang mencerminkan kecenderungannya yang kuat terhadap idealisasiIslam sebagai dasar bagi Indonesia merdeka.

89. Ketika Barisan Penyadar PSII pimpinan Salim menjadi kelompok politik yang independensejak 1937, Mohammad Roem bergabung dengan partai ini dan menjadi ketua LajnahTandfiziyah-nya. Kemudian, Wiwoho Purbohadidjojo (mantan ketua JIB) berkolaborasidengan Sukiman Wirjosandjojo untuk aktif dalam kepengurusan PII pada tahun 1938.Sementara itu, Kasman Singodimedjo (mantan ketua JIB) mulai tampil sebagai seorangpemimpin muda Muhammadiyah. Pada 1936, dia menjadi seorang guru di beberapasekolah Muhammadiyah (seperti Mu’alimien, Mu’alimmat, MULO, HIK, dan AMS).Kariernya yang pertama sebagai seorang pemimpin baru Muhammadiyah dimulaisebagai buntut dari penangkapannya pada tahun 1940 karena ceramah umumnya diMuktamar Muhammadiyah cabang Jawa Barat ketika dia menyerukan kemerdekaanIndonesia. Peran besarnya yang pertama dalam ke pe mimpinan Muslim ialah sebagaisalah seorang ketua MIAI selama periode pendudukan Jepang (Panitia Peringatan 75Tahun Kasman, 1982: 41-46). Sementara Raden Samsuridjal (pendiri JIB) akan menjaditokoh Masjumi.

90. Dari sudut pandang Belanda, perubahan loyalitas elite fungsional pribumi ke pihakpenjajah yang baru terlihat sebagai sesuatu yang ironis. Seperti dikesankan oleh seorangmantan profesor RHS di Batavia, W.F. Wertheim: “Luar biasa sekali perilaku daribanyak pegawai sipil [‘pribumi’] ini, yang dulu selalu loyal kepada pihak pemerintahdan menjadi pilar kekuasaan Belanda. Betapa mudahnya, sekarang, mereka beralih ketuan yang baru. Dulu, mereka adalah manusia yes-men—dan kini pun mereka jugamanusia yes-men. Mereka ini adalah para priayi [pegawai sipil dari kalangan bangsawan]yang kolot, yang merupakan masyarakat feodal yang baik-baik. Tradisi kepatuhanmereka telah membuat mereka patuh kepada penguasa yang baru” (Mrázek, 1994:221). Pihak Jepang sangat bergantung pada kemampuan-kemampuan mereka sebagaipangreh praja yang sebagian besar berlanjut seperti saat mereka menjadi pegawaipemerintah kolonial Belanda (beambtenstaat)—hanya saja dalam medan simbolik,terjadi perubahan, yaitu bahasa Indonesia menggantikan bahasa Belanda sebagai bahasaresmi dalam pemerintahan.

91. Tiga-A merupakan singkatan dari slogan propaganda-propaganda Jepang yang terkenal:“Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Cahaya Asia”. Denganmenyerukan solidaritas Asia, gerakan ini memanipulasi dukungan Indonesia bagi usaha-usaha perang Jepang dan untuk mencapai Kemakmuran Asia Timur Raya. Gerakan inidi ketuai oleh Mr. Raden Samsudin, seorang anggota dewan pengurus Parindra (Kahin,1952: 103).

92. Pada saat Masjumi berdiri, status legal diberikan hanya kepada Muhammadiyah danNU, dan federasi yang baru ini memang anggotanya terutama berasal dari keduaorganisasi tersebut. Namun, dalam perkembangan lebih jauh, kiai dan ulama secaraindividual bisa menjadi anggota Masjumi dengan persetujuan Shumubu yang mengontrolfederasi baru tersebut (Benda, 1958: 151).

Page 406: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

386 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

93. Karena dipercaya luas bahwa Putera akan menjadi sebuah organisasi nasionalis sejatiyang bertujuan untuk mencapai pemerintahan sendiri, organisasi ini pada awalnyamendapatkan dukungan luas, bahkan dari banyak aktivis pelajar dan bawah tanah(Kahin, 1952: 106).

94. Sebelum adanya Peta, pihak pemerintah militer Jepang telah membentuk Heiho(Tentara Cadangan), yang merupakan sebuah unit wajib militer para romusha Indonesia,dan termasuk ke dalam tentara Jepang sebagai batalion pekerja.

95. Peta dibentuk sebagai sebuah pertahanan lokal di tingkat kabupaten dan diorganisasihanya sampai level batalion (daidan). Dalam kasus kabupaten yang sangat besar,seperti Jakarta dan Bandung, akan terdapat mungkin dua atau tiga batalion.

96. Daidancho tidak mendapatkan pelatihan militer yang intensif dan tidak harus tinggaldi barak. Fungsi pokok mereka ialah menjalankan kepemimpinan moral dan melakukanpengawasan politik terhadap bawahan mereka. Pendidikan dan pelatihan militer yangaktif hanya diberikan kepada para perwira junior yang berpangkat komandan kompi(chudancho) dan komandan peleton (shudancho) (Anderson, 1972: 20-22).

97. Untuk memberikan wawasan mengenai latar belakang daidancho-daidancho, beberapacontoh bisa diberikan. Kasman Singodimedjo, seorang daidancho Jakarta, adalahlulusan RHS serta mantan pemimpin JIB dan MIAI. Mas Arudji Kartawinata, seorangdaidancho Cimahi, adalah lulusan MULO serta mantan pengurus ke pe mudaan PSII.Mustopo, seorang daidancho Surabaya, adalah mantan pelajar STOVIA dan lulusanSTOVIT serta berprofesi sebagai dokter gigi. Sudirman, seorang daidancho Kroya,adalah lulusan Sekolah Guru Muhammadiyah serta pernah menjadi guru sekolahMuhammadiyah. Mohammed Saleh, seorang daidancho Yogyakarta, adalah lulusanSekolah Guru Tinggi serta guru di MULO Muhammadiyah. Meskipun ada jugapengecualian seperti K.H. Sjam’un, seorang daidancho Banten yang berlatar belakangkiai pedesaan yang konservatif (Anderson, 1972: 21).

98. Seinendan dirancang sebagai sebuah organisasi pandu yang bersifat militan dan politis,terutama untuk penduduk kota, yang dibentuk untuk menjalankan beragam tugasseperti misalnya menyebarluaskan propaganda pemerintah kepada pemuda.

99. Keibodan merupakan kekuatan polisi cadangan yang dirancang untuk membantumenjaga ketertiban dan keamanan dan mendeteksi mata-mata dan para penyabot.

100. Seperti yang dicatat Kahin (1952: 108): “... hasil jangka panjang yang paling pentingdari aktivitas-aktivitas Putera ialah semakin menguatnya kesadaran politik massaIndonesia, dan secara khusus menguatnya kehendak mereka untuk merdeka. Hal inikarena Putera bukan hanya diperbolehkan, bahkan didorong, untuk menciptakanjalinan kontak antara para pemimpin nasionalis dan massa rakyat yang pada masapemerintahan kolonial Belanda ditindas begitu kejam.”

101. Dalam pandangan Benedict Anderson, alasan kegagalan Putera sebagian di karenakanadanya tindakan menghalang-halangi secara terang-terangan oleh para pegawai negerisipil tradisional setelah mereka tahu bahwa kepemimpinan gerakan itu berada ditangan musuh-musuh lama mereka, yaitu para politisi nasionalis, “dan sebagian karenaadanya perpecahan internal di antara para politisi sendiri”. “Namun, pada pokoknya,gerakan itu gagal karena pada tahun 1942 dan 1943, perang dunia yang sedangberlangsung belum lagi memburuk sehingga Jepang kurang memiliki komitmen terhadapperkembangan politik”. Kurangnya komitmen politik ini memberikan ruang bagi

Page 407: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 387

manuver-manuver politik nasionalis untuk memanfaatkan Putera demi kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Sebagai hasilnya, mereka yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas Putera, terutama kaum pemuda-pelajar, tampaknya menjadi lebih bersifatanti-Jepang ketimbang anti-Sekutu (Anderson, 1972: 27-28).

102. Inilah yang membuat Sukarno di mata banyak orang Indonesia tak lebih dari tawananpihak Jepang. Berbeda dengan Putera yang membatasi konstituennya pada orang-orang pribumi, Hôkôkai memperluas konstituennya meliputi juga orang-orang Indo,keturunan Cina dan Arab (Anderson, 1972: 28; Kahin, 1952: 110).

103. Secara simbolik, barisan ini dipimpin oleh Sukarno, tetapi secara operasional diarah -kan oleh seorang nasionalis radikal, Dr. Muwardi.

104. Selain itu, untuk menahan pengaruh Barisan Pelopor dalam daerah-daerah pedesaan,pada tanggal 28-30 Januari 1945, Masjumi memutuskan membentuk Barisan Pekerdjayang dimaksudkan untuk mengamankan kubu Islam dalam perhimpunan rukun tetanggadesa, Tonari Gumi (Benda, 1958: 178-180).

105. Kesepuluh orang itu adalah S. Surowijono, Sudjono, Anwar Tjokroaminoto, K.H.Zarkasji, Masjhudi, Mr. Sunarjo Mangunpuspito, Jusuf Wibisono, Muhammad danR.H.O. Djunaedi, serta Prawoto Mangkusasmito. Kebanyakan mereka berlatar belakangpendidikan Barat (Benda, 1958: 280).

106. Berkembangnya gelombang nasionalisme kerakyatan ini secara perlahan memukulbalik pihak penjajah tatkala antusiasme itu bermetamorfosis menjadi pemberontakanpolitik. Dielu-elukan sebagai pembebas dari penjajahan Belanda pada saat pertama kalitiba di Indonesia, popularitas Jepang di mata rakyat Indonesia tidaklah bertahan lama.Dalam waktu singkat, “saudara tua Asia” telah membuktikan diri sebagai rezimpenjajahan yang paling menindas dan merusak. Di tengah-tengah kehadiran aparaturrepresif yang kejam, sikap rasial, program romusha, dan kegagalan panen, kekecewaankaum pribumi dengan cepat berubah menjadi keputusasaan dan kebencian yang padaakhirnya membawa (tradisi protes keputusasaan petani yang telah ada berabad-abadlamanya) pada aksi sporadis perlawanan secara terbuka. Pada tanggal 25 Februari1944, aksi pemberontakan massa yang pertama terjadi di Singaparna (Jawa Barat) yangdipimpin oleh seorang kiai tradisionalis, K.H. Zainal Mustafa, dengan dukunganpenuh dari para santrinya dan masyarakat sekitar pesantrennya. Ini diikuti denganaksi-aksi sporadis yang terjadi dalam unit-unit Peta di pedesaan pada awal 1945. Pem -berontakan unit Peta yang pertama dan paling serius ialah pemberontakan di Blitarpada tanggal 14-15 Februari 1945 yang dipimpin oleh Suprijadi (Anderson, 1972: 35-36).

107. Segera setelah runtuhnya pemerintah kolonial Belanda, P.J.A. Idenburg mengontakAmir Sjarifuddin untuk menanyainya apakah dia bersedia untuk mengorganisasi sebuahjaringan inteligen bawah tanah pada saat pendudukan Jepang. Amir menerima tawaranitu karena tahu bahwa kaum nasionalis Asia sayap kiri pada saat itu lebih memilihbekerja sama dengan negara-negara penjajah yang borjuis-demokratik ke timbangbekerja sama dengan kekuatan-kekuatan fasisme dan militerisme yang sedang menanjak,seperti yang ditunjukkan oleh aliansi antara negara-negara borjuis-demokratis dan UniSoviet sejak bulan Juni 1941. Setelah menerima tawaran itu, Sjarifuddin menerimauang sebesar 25.000 gulden untuk membiayai proyek jaringan-jaringan bawah tanahitu (Anderson, 1972: 37-38).

108. Pada awal 1943, Sjarifuddin dan beberapa pemimpin lainnya dari organisasi bawah

Page 408: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

388 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

tanah ini ditangkap dan diberi putusan hukuman mati pada tanggal 29 Februari 1944.Namun, campur tangan Sukarno berhasil mengubah hukuman mati Sjarifuddin menjadihukuman seumur hidup, kendati empat pemimpin lainnya yang telah tertangkapdieksekusi (Kahin, 1952: 112).

109. Mengenai pembahasan yang bagus mengenai kelompok Sjahrir, lihat J.D. Legge (1988)dan Mrázek (1994).

110. “Selama pendudukan Jepang,” kata Jenderal T.B. Simatupang, “keterampilan-ke -terampilan militer dimiliki secara luas oleh penduduk, dan terjadilah perubahan radikaldalam pikiran kita, terutama di kalangan pemoeda yang militan. Selanjutnya, muncullahkecenderungan di kalangan kita untuk mencapai tujuan-tujuan dengan menggunakankekerasan, baik dalam menghadapi musuh maupun menghadapi diri kita sendiri”(Dikutip dalam Said, 1991: 5).

111. Seperti yang diamati oleh Anderson (1972: 19): “Beberapa [pelajar], bahkan, kembalike kampung halaman mereka masing-masing. Sementara yang lain bekerja di berbagaiposisi dalam pemerintahan militer Jepang, yang terutama di Sendenbu (DepartemenPropaganda), di mana mereka diberikan peran yang signifikan. Sementara yang lainnyalagi, karena berasal dari keluarga kaya, bisa mencurahkan diri dalam ke hidupanpribadi, bertemu dengan kawan-kawan, mengadakan diskusi-diskusi in formal, membacasecara intensif semua bidang pengetahuan yang relevan dengan kondisi mereka, danbeberapa di antaranya secara pelan-pelan bergabung dengan kelompok-kelompokbawah tanah yang tumbuh atas dasar interaksi sehari-hari semacam itu.

112. Persatuan Mahasiswa memiliki hubungan yang dekat dengan Sjahrir. Perhimpunan initerdiri dari para mahasiswa di Jakarta, terutama mereka yang studi di sekolahkedokteran (Ika Daigaku), dan terbentuk setelah adanya demonstrasi mahasiswa padapertengahan tahun 1942 yang memprotes peraturan Jepang bahwa semua mahasiswaharus menggunduli rambut mereka (Kahin, 1952: 112).

113. Kelompok Sendenbu, yang diasosiasikan dengan Asrama Angkatan Baru Indonesia,terbentuk pada awal pendudukan Jepang di bawah bantuan Departemen Propagandatentara Jepang (Sendenbu). Perhimpunan ini didirikan dengan maksud untuk mem -berikan pendidikan politik kepada para pemuda-pelajar yang telah direkrut agar bisamenjadi kader-kader yang potensial di bidang tersebut. Pelajaran yang diberikan diasrama ini sangat nasionalis dalam isinya dan diberikan oleh para politisi nasionalisyang lebih tua yang terkemuka, seperti Sukarno, Hatta, Yamin, Sunarjo, dan AmirSjarifuddin (sebelum dipenjarakan). Pemoeda yang lebih senior usianya dalam ke -lompok itu ialah B.M. Diah, Adam Malik, dan Tjokroaminoto bersaudara (Anwar danHarsono) yang bekerja untuk Dômei (Kantor Berita Jepang) atau untuk koran AsiaRaja dukungan Jepang. Kelompok ini diketuai oleh Sukarni dan beberapa pemimpinlainnya ialah Adam Malik, Chaerul Saleh, Pandu Wiguna, dan Maruto Nitimihardjo.Kebanyakan anggotanya yang terkemuka dalam kelompok ini adalah mantan maha -siswa RHS (sekolah hukum) dan telah terlibat menjadi aktivis-aktivis nasionalis anti-Belanda pada saat sebelum kedatangan Jepang. Beberapa di antara mereka jugadiidentikkan dengan Pemoeda Tan Malaka (Mrázek, 1994: 242; Anderson, 1972: 42-43).

114. Kelompok Kaigun diasosiasikan dengan Asrama Indonesia Merdeka. Asrama inididirikan sebagai sebuah sekolah politik bagi pemuda setengah terdidik antara umur18 tahun sampai 20 tahun di bawah dukungan Laksamana Madya Tadashi Maeda.

Page 409: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 389

Tujuannya masih tetap merupakan kontroversi. Beberapa menganggap bahwa asramaitu didirikan untuk mewujudkan ambisi Kaigun (angkatan laut Jepang) untuk melatihpara infiltrator yang akan memenetrasi gerakan komunis atau dekat-komunis bawahtanah. Beberapa yang lain menyatakan bahwa asrama itu didirikan oleh Maeda danpara ajudannya untuk mengantisipasi kemungkinan kekalahan Jepang yang padaakhirnya akan membuat Jepang harus bersekutu dengan poros komunis (Uni Soviet)untuk melawan kekuatan Anglo-Saxon. Juga ada yang meyakini bahwa asrama itudidirikan sebagai cerminan dari kemurahhatian Maeda dan para pembantunya bagikemerdekaan Indonesia, sesuai dengan Deklarasi Koiso (Anderson, 1972: 45). OrangIndonesia yang terpilih menjadi kepala sekolah itu ialah Wikana, seorang yang memilikihubungan dekat dengan PKI-Ilegal, tetapi kemudian menjadi relatif dekat denganSjahrir. Dan orang Indonesia yang menjadi pengorganisator di belakang layar dariproyek ini ialah Achmad Subardjo (mantan anggota PI), yang merupakan politisigenerasi tua dan memiliki hubungan dekat dengan Tan Malaka. Para pengajar disekolah itu tampaknya hampir sama dengan pengajar di Asrama Angkatan BaruIndonesia (minus Sjarifuddin) ditambah dengan Sjahir (Kahin, 1952: 115; Anderson,1972: 46).

115. Kelompok Sekolah Tinggi Islam muncul secara terlambat dan memiliki hubungan yangdekat dengan para pemimpin Masjumi. Keberadaan kelompok ini nyaris tidak diketahui oleh kajian sejarah Indonesia barangkali karena kemunculannya yang terlambat (berdiripada tanggal 8 Juli 1945). Padahal, sekolah itu memainkan peran yang signifikanterutama sebagai alternatif bagi para mahasiswa yang sekolah-sekolahnya ditutup ataudilarang oleh pemerintah Jepang atau dikeluarkan dari sekolah-sekolah yang lainkarena perlawanan politiknya. Selain itu, pada awal kemerdekaan setelah proklamasikemerdekaan Indonesia, asrama Balai Muslimin Indonesia juga berperan pentingsebagai sebuah alternatif perlindungan pada saat Asrama Angkatan Baru Indonesia diMenteng 31 dikuasai oleh Jepang (pada tanggal 19 September 1945), dan asrama IkaDaigaku di Prapatan 10 berada di bawah pengawasan ketat pihak NICA (NetherlandsIndies Civil Administration), yang merupakan tentara Belanda yang hendak menguasaikembali Indonesia setelah kemerdekaan Indonesia. Para pemimpin utama asrama iniialah Subianto Djojohadikusumo, Suroto Kunto, Bagja Nitidiwirja (semuanya mantanmahasiswa Ika Daigaku), Bahrum Rangkuti (mantan mahasiswa Akademi Sastra), M.Sjarwani (mantan mahasiswa THS), Siti Rahmah Djajadiningrat, Anwar Harjono,Karim Halim, Djanamar Ajam, dan beberapa lainnya (Harjono & Hakiem, 1997: 3-59).

116. Organisasi-organisasi nasionalis sekuler dilarang memiliki penerbitan sendiri sejakawal pendudukan. Baik Gerakan Tiga-A maupun Putera, tak diperbolehkan untukmencetak majalah-majalah mereka sendiri. Meski berkali-kali diajukan permohonan,tuntutan kaum nasionalis untuk memiliki persnya sendiri baru dipenuhi sekitar tigabulan sebelum jatuhnya kekuasaan Jepang (Benda, 1958: 118). Secara kontras, prioritasJepang untuk meraih simpati kaum Muslim membuat pihak Jepang membolehkanorganisasi-organisasi sosio-politik Islam untuk mengelola pers mereka sendiri. Hal initerutama berlaku ketika MIAI diizinkan untuk menerbitkan majalahnya sendiri, SoearaMIAI, yang akan bermetamorfosis menjadi majalah Masjumi, Soeara MoesliminIndonesia (Benda, 1958: 118, 262). Beberapa terbitan lainnya yang muncul selamapendudukan Jepang dikelola sebagai usaha-usaha pribadi, yang kontras dengan situasi

Page 410: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

390 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

pada saat penjajahan Belanda. Contoh-contoh dari terbitan itu ialah Asia Raja, TjajaTimoer, Kung Yung, Pao-Indonesia, Kana-Monji Shimbun, Pandji Poestaka, dan DjawaBaroe, serta Pemandangan atau penggantinya Pembangoen, semuanya di Jakarta. DiBandung, ada Tjahaja. Di Yogyakarta, ada Sinar Matahari. Di Semarang, ada SinarBaroe. Di Surabaya, ada Soeara Asia. Di Medan, ada Kita Soematra Shimbun danSemangat Islam. Di Padang, ada Padang Nippo dan Soematra Shimbun. Di Palembang,ada Palembang Shimbun dan Sinar Matahari. Di Tanjungkarang, ada Lampung Shimbun.Di Banjarmasin, ada Soeara Kalimantan (atau yang kelak menjadi Borneo Shimbun). DiMakassar, ada Selebes Shimbun. Dan di Ambon, ada Sinar Matahari. Selain itu,mungkin ada beberapa yang lainnya (Said, 1987: 52-55; Benda, 1958: 238). Nama-nama terbitan dalam periode ini sangat berlimpah dengan pemakaian kata “shimbun”,“sinar”, “tjaja”, “tjahaja”, “Asia”, dan semacamnya, yang semuanya mencerminkantersebar luasnya kredo dari Tiga A dan semangat Kemakmuran Asia Timur Raya. Dibawah rezim pendudukan Jepang, tak ada pers yang independen karena pihakpemerintah militer masih mengontrol secara ketat semua terbitan yang ada.

117. Makna penting dari jaringan radio ini digambarkan oleh Kahin (1952: 108) sebagaiberikut: “Sistem komunikasi yang bisa menjangkau khalayak luas yang dimiliki jaringan radio, atau ‘menara suar’, didirikan di titik-titik penting di seluruh kota. Pada jam-jamyang telah ditentukan, penduduk diharuskan mendengarkan siaran-siaran resmi radiotersebut, termasuk pidato-pidato Sukarno. Dalam pidato-pidato di radio ini, sesuaidengan perintah Jepang, Sukarno mengecam Sekutu, memuji-muji pihak Jepang danmenyerukan kepada penduduk untuk mendukung usaha-usaha perang Jepang. Namun,sebuah telaah terhadap pidato-pidato itu akan memperlihatkan bahwa 75 persen dariisinya adalah semata-mata tentang nasionalisme.” Lebih dari itu, pidato-pidato itupenuh dengan istilah-istilah dan kalimat-kalimat bersayap yang secara umum lolos darisensor Jepang, tetapi bermakna bagi rakyat, terutama yang berkultur Jawa. Pidatosemacam itu menjadikan petani kecil kemudian menyamakan “anti-imperialisme”dengan “anti-Jepang”.

118. Dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Zyunbi Tyoosaka.119. Yaitu Agus Salim, Abikusno Tjokrosuoso, Sukiman Wirjosandjojo, Mas Mansur, Ki

Bagus Hadikusumo, Abdul Halim, Abdul Kahar Muzakkir, Ahmad Sanusi, WachidHasjim, dan Masjkur (Yamin, 1959-1960 I: 60).

120. Usulan Pancasila yang diajukan Sukarno ialah nasionalisme, internasionalisme, demokrasi,keadilan sosial, dan ketuhanan.

121. Anggota-anggota awal PPKI ialah Sukarno, Mohammad Hatta, Radjiman Wediodiningrat,Otto Iskandardinata, Ki Bagus Hadikusuo, Wachid Hasjim, B.K.P.A. Surjohamidjojo,B.P.H. Puruboyo, M. Sutarjo Kartohadikusumo, R.P. Suroso, R. Supomo, dan R. AbdulKadir untuk Jawa; Mohammad Amir, Teuku Mohammad Hassan, dan Abdul Abas dariSumatra; G.S.S.J. Ratulangi dan Andi Pangeran dari Sulawesi; A.A. Hamidhan dariKalimantan; I Gusti Ketut Pudja dari Kepulauan Sunda Kecil; J. Latuharhary dariMaluku; dan Yap Tjwan Bing mewakili kalangan keturunan Cina (Kahin, 1952: 127;Yamin, 1959-1960 I: 399).

122. Sukarno dan Hatta, yang berharap bisa menghindarkan pertumpahan darah menunggupernyataan resmi dari Gunseikan. Sikap ini dianggap oleh kaum pemuda radikalsebagai membuang-buang waktu dan mereka pun memutuskan untuk bertindak.

123. Nama-nama lainnya ialah R.A.A. Wiranatakusumah, Iwa Kusumasumantri, Ki Hadjar

Page 411: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Mencipta Indonesia, Mencipta Tradisi-Tradisi Politik Intelektual | 391

Dewantara, dan Sayuti Melik (Yamin, 1959-1960 I: 399).124. Sukarno dan Hatta mendekati Teuku Mohammad Hassan (wakil Aceh) dan Wachid

Hasjim untuk bersedia membujuk pendukung terkuat posisi Islam dalam PPKI, yaitu KiBagus Hadikusumo. Meskipun berasal dari keluarga bangsawan, ikatan Hassan denganmasyarakat Aceh, yang terkenal sebagai pembela Islam yang kuat, diharapkan bisaefektif membujuk Hadikusumo. Ternyata, baik Hasjim maupun Hassan tak bisameyakinkan Hadikusumo. Upaya terakhir dilakukan oleh Kasman Singodimedjo yangmengajukan argumen bahwa dalam situasi sangat kritis, yakni persatuan Islam menjadisedemikian penting untuk menyelamatkan kemerdekaan Indonesia yang terancam olehkedatangan pasukan Sekutu, posisi Islam haruslah bersedia mengalah. Yang lebihpenting lagi, Kasman meyakinkannya bahwa berdasarkan sebuah pasal dalam drafUUD, dikatakan bahwa dalam waktu enam bulan, sebuah sesi khusus akan dilakukanuntuk menyusun UUD yang lebih komprehensif. Karena percaya bahwa posisi Islamakan diajukan kembali pada sesi berikut tersebut, Ki Bagus Hadikusumo akhirnyamenerima pencoretan “tujuh kata” Piagam Jakarta. Namun, sesi khusus itu kenyataannyatak pernah diadakan karena adanya gelombang besar revolusi kemerdekaan (PanitiaPeringatan 75 Tahun Kasman, 1982: 128-130).

125. Dalam kedua kabinet, urusan-urusan agama ditangani oleh menteri negara tanpaportofolio. Namun, kemudian dalam kabinet parlementer kedua Sjahrir (2 Oktober1946-27 Juni 1947), departemen agama ada dan bertahan terus sampai sekarang(Djamily, 1986).

126. Pada tanggal 22 Agustus, PPKI dibubarkan dan dibentuk Komite Nasional IndonesiaPusat (KNIP) yang bertindak sebagai lembaga penasihat pemerintah yang baru, danyang kelak dalam perkembangannya lebih lanjut akan menjadi lembaga legislatif bagiRepublik Indonesia yang baru berdiri. Sukarno sebagai presiden diberikan kewenanganuntuk memilih anggota KNIP. Dia dibantu oleh Hatta memilih 137 anggota termasukmereka yang pernah menjadi anggota PPKI (Kahin, 1952: 140). Meskipun KasmanSingodimedjo diangkat sebagai ketua KNIP (barangkali karena posisi strategisnyasebagai komandan Peta di Jakarta), wakil Islam di KNIP sangat kecil. Seperti yangdicatat oleh Anderson (1971: 91): “Mayoritas besar dari 137 anggota KNIP (palingtidak 85 orang) berasal dari kalangan Jawa abangan. Pada perkiraan yang tertinggi,para pemimpin Islam jumlahnya kurang dari dua puluh. Kalangan pemuda posisinyasedikit lebih baik dengan memiliki wakil tak kurang dari 20 atau 25 orang. Mayoritasyang lebih besar lagi terdiri dari para politisi nasionalis, pangreh praja, dan orang-orang profesional yang pernah diangkat memegang jabatan tinggi di berbagai organisasisemi-legislatif dan semi-partai selama periode pendudukan Jepang.”

127. Kabinet pertama Indonesia dibentuk pada tanggal 31 Agustus dipimpin oleh PresidenSukarno. Sebagian besar menterinya berasal dari kalangan PNI dan Djawa Hokokaiatau dari mereka yang berlatar belakang priayi yang pernah menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam hierarki departemen sebagai bucho (kepala) atau sanyo (penasihat)dalam pemerintahan Jepang. Dari empat belas jabatan menteri, kubu Islam hanyamendapat dua jabatan menteri: yaitu Abikusno Tjokrosujoso sebagai menteri komunikasidan Wachid Hasjim sebagai menteri negara tanpa portofolio, yang bertugas sebagaipenasihat urusan-urusan agama (Anderson, 1972: 110-113; Kahin, 1952: 139).

Page 412: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

392 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 413: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 393

Bab 4

INTELIGENSIA SEBAGAIELITE POLITIK NEGARA BARU

“Impian post-kolonial untuk berpisah dari masa lalunya padadasarnya rentan terkena residu yang merusak

dari masa lalunya sendiri, yang tak disadari dan tak terselesaikan.”

—Leela Gandhi (1998)1

“Kendati intelektual negara-negara terbelakang telah menciptakan ide tentang bangsa

di negeri mereka sendiri, mereka belum sanggup mencipta sebuah bangsa.

Mereka sendiri adalah para korban dari kondisi itu karena nasionalisme tidak meniscayakan kewarganegaraan.”

—Edward Shils (1972)2

“Intelegensia Indonesia memiliki tanggung jawab intelektualuntuk membela ide-ide dan nilai-nilai moral bangsanya ....

Mereka yang melepas tanggung jawab ini demi nafsu politikberarti telah mengkhianati fungsi dan bangsa mereka.”

—Mohammad Hatta (1957)3

Page 414: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

394 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Selama lebih dari empat tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan,rakyat Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan melaluiperjuangan revolusi kemerdekaan karena Belanda berusaha ber -kuasa kembali atas negeri itu. Dalam babak sejarah yang kritisini, euforia kemerdekaan nasional menjadi impetus bagi semuatra disi politik untuk berjuang mengaktualisasikan mimpi politikmereka.

Situasi yang terakhir ini memicu terjadinya pertarungankekuasaan secara internal dan pertarungan ideologis yangtecermin dalam begitu singkatnya usia kabinet-kabinetpemerintahan awal. Sejak 19 Agustus 1945 hingga 20 Desember1949, negara baru itu mengalami jatuh-bangun sembilan kabinetyang masing-masing usianya tak lebih dari dua tahunan.4 Meskiterjadi frag men tasi internal, blok historis masih bisa bertahanselama bebe rapa waktu karena adanya kehendak bersama untukmelawan agresi dari luar.

Melalui peperangan dan negosiasi selama masa revolusikemerdekaan, Indonesia akhirnya mencapai kedaulatannya secaraformal dan legal. Konferensi Meja Bundar di Den Haag, dari 23Agustus hingga 2 November 1949, menyerahkan tanpa syaratdan sepenuhnya, sebelum 30 Desember 1949, kedaulatan Belandaatas semua wilayah bekas Hindia, kecuali Papua, kepada RepublikIndonesia Serikat (RIS).

Sukarno menjabat sebagai Presiden RIS, sedangkan MohamadHatta sebagai Wakil Presiden dan Perdana Menteri (1949-1950)RIS. RIS terdiri dari Republik Indonesia dan 15 negara-negaraba gian bentukan Belanda.5 Investasi-investasi Belanda dilindungi,dan pemerintahan-baru berkewajiban melunasi utang jutaandolar pemerintah kolonial Hindia.6

Namun, negara serikat Indonesia tidak bertahan lama. Meski -

Page 415: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 395

pun gagasan federalisme telah lama diidealkan oleh banyakinteli gensia-politisi, fakta bahwa pembentukan RIS dipandangsebagai dipaksakan oleh Belanda dan sebagai sisa kolonialismetelah menggiring opini ke arah negara kesatuan. Di lima belasnegara bentukan Belanda, muncul tuntutan umum untuk mele -burkan diri ke dalam Republik Indonesia. Pada 3 April 1950,Mo hammad Natsir, Ketua Fraksi Masyumi di DPR RIS, meng -aju kan Mosi Integral Natsir kepada DPR, yang menuntut agarsemua negara bagian itu bersatu dan melebur ke dalam negarakesatuan. Mosi ini mendapatkan respons positif. Pada ulangtahun kemer dekaan Indonesia kelima pada 17 Agustus 1950,RIS digantikan oleh Republik Indonesia dengan konstitusi UUDS1950.

Natsir diberi mandat oleh Presiden Sukarno untuk mem ben -tuk sebuah kabinet baru yang diumumkan pada 6 September1950 dan menandai dimulainya pemerintahan Negara KesatuanRepublik Indonesia yang baru. Impian akan kemerdekaan politikyang lama diidamkan kini telah tercapai, tetapi kemudian harusdiwujudkan dalam kenyataan. “Musuh-musuh” bukan lagiimperialis asing, melainkan problem-problem dalam negeriberupa kemiskinan, keter belakangan pendidikan, kesenjangansosial, korupsi, konflik po litik, dan ancaman disintegrasi wilayah.

Dalam kancah politik di negara merdeka ini, inteligensia danulama-intelek Indonesia yang merupakan penggerak, pemimpin,dan pelaksana politik nasional, tampil sebagai elite kekuasaanyang dominan. Harry J. Benda cenderung melebih-lebihkansituasi ini dengan menggambarkan posisi struktural inteligensiaini sebagai sebentuk kelas yang berdiri sendiri. Dalampandangannya, inteligensia ini mengontrol kekuasaan politiklebih karena posi sinya sebagai inteligensia ketimbang sebagaijuru bicara dari ke kuat an-kekuatan sosial yang berakar. “Dengan

Page 416: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

396 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

kata lain, inte ligen sia ini merupakan sebuah kelas yang berkuasa,atau lebih te patnya, inteligensia adalah kelas penguasa parexcellence” (Benda, 1962: 237, huruf miring dari penulis).Pernyataan tersebut berle bihan karena kondisi ekonomi yangmemungkinkan kaum inteli gensia menjadi sebuah kelas tersendiri,belumlah ada di Indonesia saat itu.

Sebagaimana diargumentasikan oleh G. Konrád & I. Szelényi(1979), inteligensia dalam ekonomi pasar dan sistem kapitalismenegara bukanlah sebuah kelas tersendiri sebagaimana yang terjadidi (bekas) masyarakat-masyarakat sosialis di Eropa Timur. DiEropa Timur, inteligensia, yang memiliki otoritas monopolistikuntuk mengontrol ideologi negara dan redistribusi produk-produk surplus ekonomi, memang menjadi satu pusat kekuatanekonomi dan politik. Dengan cara ini, inteligensia tumbuhmenjadi sebuah kelas tersendiri. Namun, dalam sistem ekonomipasar dan kapi talisme negara, redistribusi ekonomi tunduk padalogika pasar dan tidak bisa dikontrol secara monopolistik.

Situasi Indonesia juga berbeda dengan Eropa Timur. Inteli -gensia Indonesia yang memimpin kabinet pada tahun-tahunawal kemerdekaan, meski secara formal mendukung ideologinasio nalis dan sosialis,7 tidak berniat untuk bersegera menasionali -sasi ekonomi dan mengontrol redistribusi produk-produk surpluseko nomi. Mereka percaya bahwa “setiap tindakan yang tergesa-gesa untuk mengubah ekonomi kolonial menjadi ekonominasional akan menciptakan kekacauan dalam skala yang takakan bisa mereka atasi, dan karena itu tak ingin mereka hadapi”(Robison, 1978: 19; 1981: 20). Situasi ini diperkuat denganPerjanjian Ke uangan dan Ekonomi dalam Konferensi MejaBundar pada 1949. Menurut Perjanjian itu, “perusahaan-perusahaan Belanda dapat menjalankan usahanya seperti biasa,termasuk mengirimkan ke untungannya ke negeri Belanda.”

Page 417: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 397

Pemerintah Indonesia diwa jibkan berkonsultasi dengan Belandadalam kebijakan mone ter dan keuangan apa pun yang dinilaiakan berdampak pada ke pen tingan-kepentingan Belanda, danini tentu merupakan pem batasan atas kedaulatan Indonesia(Dick, 2002: 170-171).

Upaya inteligensia-penguasa untuk mengontrol distribusiekonomi pada awal-awal 1950-an melalui Program Bentenggagal karena program itu memang tak pernah sunguh-sungguhmenjadi tujuan mereka.8 Ketika program nasionalisasi perusahaanBelanda berlangsung pada 1957-1958, yang kemudian munculadalah kapi talisme negara (Robison, 1978: 23-24). Dalam sistemeko nomi ini, inteligensia tak bisa sepenuhnya mengontrolredistribusi produk-produk surplus ekonomi karena redistribusiekonomi dalam sistem ini masih tetap tunduk pada logika pasar.

Jalan menuju kekuasaan yang ditempuh inteligensia Indone -sia juga tak bisa dijelaskan dengan pola munculnya “kelas baru”dalam pengertian Gouldnerian. Alvin Gouldner berargumenbah wa “pemilik modal kultural dapat bertumbuh sebagai kelaster sendiri karena memiliki kontrol kuat secara de facto atasmodus produksi dan karena itu memiliki posisi yang lebihmenguntung kan untuk meraih kepentingannya sendiri” (Guldner,1979: 12). Padahal, dominasi politik inteligensia Indonesiabersumber bukan dari kontrol mereka (yang kuat) atas modusproduksi. Pada kenya taannya, inteligensia Indonesia didominasioleh pegawai peme rintah dan intelektual sosio-humaniora yangtak memiliki hu bungan kuat dengan sektor ekonomi produktif.

Dalam kondisi demikian, inteligensia Indonesia berkembanghanya sebagai sebuah stratum sosial yang umumnya menempatiposisi tengah antara kaum kapitalis dan buruh.9 Sebagai sebuahstratum sosial, inteligensia mengalami diferensiasi struktural

Page 418: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

398 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

yang meluas. Sebagian besar inteligensia berpendapatan menengah.Sebagian kecil berpendapatan tinggi karena berbagi kekuasaanekonomi dengan para pemilik modal, sedangkan sisanya berpen -dapatan rendah. Faktor-faktor inilah—ditambah faktor kera -gaman afiliasi kultural dan politik—yang membuat inteli gensiaIndo nesia tak bisa bertumbuh sebagai sebuah kelas tersendiri.

Namun, di luar keragaman posisi struktural dan afiliasi po -litik mereka, inteligensia dan ulama-intelek memainkan perandominan di kelompok politik mana pun. Sebagai konsekuensinya,mereka memainkan peran dominan pula dalam kepemimpinannegara. Terdapat sejumlah penjelasan ihwal naiknya inteligensiadan ulama-intelek ini menjadi elite penguasa yang dominan.Pada saat kemerdekaan Indonesia, dinasti-dinasti kerajaan tengahme lapuk. Kekuatan dan kapasitas mereka bahkan telah merosotsebelum terbentuknya negara kolonial: mereka “tak mengorgani -sasi gerakan politik apa pun dan juga tak menganut ideologi apapun” (Shils, 1972: 387). Kaum terpelajar dan pujangga (clerisy)yang telah lama eksis dalam sejarah, seperti ulama skolastik(yang tua) dan para penjaga teks suci lainnya, biasanya—dengansedikit pengecualian—tidak memiliki kemampuan untukmenangani pemerintahan negara modern. Selama periode sejarahyang sama, kaum pedagang dan industrialis (borjuis yang “ber-uang”) tidak memiliki pengaruh signifikan atas dunia politik.Berakhirnya kolonialisme, karena itu, tidak mengubah strukturekonomi dan formasi modal bangsa. Seperti diargumentasikanoleh Robison, kontrol atas modal terus dipegang oleh kaumborjuis Belanda (atau orang asing lain) dan kaum borjuisketurunan Cina, dan keduanya tak bisa menjadi sebuah kelaspenguasa tersendiri sepenuhnya karena keduanya disingkirkandari partisipasi-formal kegiatan politik. Meskipun pengusahapribumi terlibat dalam politik, basis sosial dan ekonomi mereka

Page 419: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 399

terlalu lemah untuk memungkinkan mereka menguasai aparatusnegara atau berpengaruh menentukan dalam pembentukankebijakan negara (Robison, 1981: 19-20). Keterbatasan dalammenerjemahkan kekuatan ekonomi menjadi kekuatan politikinilah yang menjadikan politik memiliki otonomi yang kuat.

Dalam kevakuman kekuasaan setelah berakhirnya PerangDunia II dan ketidakcapakan agen-agen lain untuk memerintahIndonesia, inteligensia-politisi pribumi dari pelbagai aliran po -litik secara berangsur-angsur menempati posisi dominan dalampolitik. Posisi ini dicapai bukan semata-mata melalui kepemilikanmodal kultural, melainkan yang lebih penting, melalui afinitaskhusus mereka dengan gerakan-gerakan anti-kolonial serta pe -mim pin organisasi-organisasi politik. Maka, meminjam argu -men G. Konrád & I. Szelényi (1979: 28), esensi dominasipolitik inte ligensia tidak terletak pada fakta bahwa modalkultural me reka dengan sendirinya menjamin kekuasaan danimbalan dalam posisi-posisi tertentu. Alih-alih, inteligensia harusberusaha me raih ke kuasaan dan imbalan bagi diri mereka sendiridengan cara mengeksploitasi posisi monopoli-relatif merekaatas modal kul tural sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Jadi, landasan dominasi mereka dalam politikterletak bukan pada pengetahuan yang secara fungsional memangdiperlukan untuk itu, melainkan lebih pada hasrat untuk me -legitimasi aspirasi-aspirasi akan kekuasaan, yang dijustifikasidengan posisi ke pemimpinan mereka selama perjuangan mencapaikemerdekaan.

Di bawah kepemimpinan intelektual generasi kedua, sejakSeptember 1950 hingga Maret 1957, Indonesia melakukan eks -perimen politik dengan demokrasi parlementer (konstitu sional).10

Eksperimen ini tidak berlangsung mulus. Di samping merosotnyaekonomi pasca-revolusi kemerdekaan, kabinet terus berganti-

Page 420: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

400 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

ganti, masing-masing bertahan tak lebih dari dua tahun. Kondisiini terlalu buruk untuk dapat mengimplementasikan program-program negara maupun mengonsolidasikan demokrasi. Lebihburuk lagi, karena partai-partai politik cenderung berorientasikepentingan jangka pendek, penyalahgunaan kekuasaan dalambentuk korupsi dan kronisme menjadi pemandangan lazim.Secara keseluruhan, semua kabinet gagal memenuhi ekspektasimasya rakat yang begitu tinggi.

Rapuhnya demokrasi parlementer menjadi dalih bagi PresidenSukarno untuk memainkan peran lebih aktif dalam kehidupanpolitik dengan mengubah sistem politik negara ke arah otoritarian.Maka, sejak Maret 1957 hingga kejatuhan rezim Sukarno pada1966, eksperimen demokratis runtuh sehingga menimbulkankekacauan politik yang parah. Situasi ini menjadi momentumbagi pembentukan identitas kolektif baru bagi inteligensiaIndonesia dan bagi pergantian rezim.

Bab ini akan meninjau peran politik inteligensia dan ulama-intelek sebagai elite politik Republik Indonesia yang baru berdiri,merentang dari bulan-bulan awal kemerdekaan Indonesia pada1945 hingga kejatuhan rezim Sukarno pada 1965. Selamaperiode ini, kontestasi antara pelbagai tradisi intelektualditerjemahkan menjadi pertarungan pelbagai partai politik demimerebut ke pemimpinan negara. Bab ini kemudian akan membahashambatan-hambatan bagi eksperimen demokrasi dan kegagalaninteligensia sipil dalam melaksanakan demokrasi parlementerera 1950-an. Bab ini juga akan mencermati percepatanpembangunan pendi dikan yang menimbulkan ledakan populasiinteligensia Indonesia. Pembahasan lebih terperinci akan terfokuspada jatuh-bangunnya inteligensia Muslim sebagai pemimpinpolitik bangsa dan pasang-naik generasi baru inteligensia Muslim.Struktur penyajian dalam bab ini serupa dengan bab-bab

Page 421: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 401

sebelumnya, dengan kronologi sebagai alur urutan subtopik-subtopik. Pembahasan dalam setiap sub-topik akan dirunut darifase-fase awal perkembangan sub topik bersangkutan.

Kesetaraan Akses ke Pendidikan Publik(Sekuler)Kemerdekaan Indonesia dirayakan dengan semangat kebebasan,kesetaraan, dan persaudaran. Berakhirnya kolonialisme menim -bulkan harapan kuat di kalangan rakyat bahwa batasan-batasandan diskriminasi-diskriminasi sosial yang dipaksakan olehpemerintah kolonial akan sirna. Kata “merdeka”, yang telahmen jadi pekik umum di ruang publik, juga mengimplikasikantuntutan bagi perbaikan status sosial. Dipungut dari kata Sanskerta“ma harddhika” yang berarti “sakral”, “bijak”, atau “terpelajar”),kata itu dalam bahasa Jawa kuno atau Kawi sering dipakaiuntuk meru juk pada “orang terpelajar” atau “pendeta Buddha”,yakni seseorang yang memiliki status sosial istimewa (Steenbrink,1984: 169).11 Maka, dengan merdeka, orang-orang dari pelbagaikelas dan ke lompok status yang berbagi impian yang samauntuk diperlakukan sebagai warga negara kelas satu. Spirit inidiperkuat oleh pema kaian umum sejak masa revolusi, kata“bung” di depan nama sese orang, seperti Bung Karno atauBung Hatta. Kata itu menyerupai pengunaan kata “citoyen/citoyenne” (citizen) dalam Revolusi Prancis atau “kamerad”dalam Revolusi Rusia.

Hasrat umum untuk mendapatkan pengakuan sosial yanglebih besar bagi semua orang kemudian menciptakan peluang-peluang baru bagi perkembangan inteligensia. Menyadari bahwakualifikasi pendidikan merupakan sarana kuat untuk mengangkatstatus sosial selama periode kolonial, muncullah kesadaran

Page 422: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

402 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

politik yang kuat pada orang-orang dari kelompok-kelompokstatus yang berbeda untuk menghapuskan regulasi-regulasi yangmembatasi dan memperluas pilihan-pilihan masyarakat dalambidang pendidikan. Komitmen politik untuk memenuhi hasratsemacam itu dimaktubkan dalam pasal 31 UUD 1945 yangmenyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapatkanpengajaran.”

Namun, upaya mewujudkan cita-cita pendidikan tersebutsempat terhenti sementara waktu karena perjuangan revolusike merdekaan. Pada pertengahan September 1945, pasukan-per -tama Inggris (atas nama Sekutu) mulai mendarat di Jakarta,dengan misi menegakkan dan menjaga hukum dan ketertiban diIndonesia hingga terbentuknya kembali pemerintahan kolonialBelanda. Kedatangan mereka ini segera diikuti oleh pendaratanpasukan Belanda, dengan perlindungan Inggris, yang bermaksudmenggu lingkan Republik dan mengembalikan Indonesia ke statuskolo nial nya (Kahin, 1952: 141-143).

Di tengah situasi ini, hanya sedikit yang bisa dikerjakanuntuk membangun pendidikan karena prioritas utama diberikanpada tugas-tugas militer dan politik yang lebih mendesak. Pada29 Sep tember 1945, menteri-pendidikan pertama, Ki HadjarDewantara, mengeluarkan sebuah pedoman pendidikan daruratyang lebih dimaksudkan untuk mengukuhkan semangatnasionalisme ketimbang mengarahkan program-programpendidikan. “Sekolah-sekolah diharuskan menanamkan semangatnasionalisme terutama dengan menyanyikan lagu kebangsaanIndonesia Raya setiap hari dan menaikkan Bendera MerahPutih” (Lee 1995: 32). Dekrit Na sionalisasi dan Dekrit PendidikanTinggi tahun 1946 meng ama nat kan bahwa pengajaran harusdisampaikan dalam bahasa Indo nesia, dengan bahasa Inggrisdan Jerman sebagai bahasa tam bahan di level pendidikan

Page 423: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 403

menengah dan tinggi.

Maka, kesempatan pendidikan bagi generasi ketiga inteli -gensia terampas oleh sejarah. Seperti diungkapkan dengan tepatoleh Lee Kam Hing (1995: 32-33), “Sejumlah besar pelajartelah putus sekolah selama pendudukan Jepang. Ketika revolusikemer de kaan pecah, lebih banyak lagi pemuda yang meninggalkanseko lahnya untuk bergabung dalam perjuangan. Para mahasiswadan pelajar sekolah menengah membentuk organisasi ketentaraansen diri, yang disebut tentara pelajar atau pelajar pejuang.”

Namun, upaya mempertahankan kehidupan pendidikan terusberlanjut. Dua hari setelah peroklamasi kemerdekaan, kaumnasionalis Indonesia mendirikan Balai Perguruan Tinggi RepublikIndonesia di Jakarta. “Balai ini mengambil sebagian besar stafdan mahasiswanya dari orang-orang Indonesia yang pernahmenge nyam sekolah kedokteran Jakarta selama pendudukanJepang dan sekolah hukum dan kesusastraan Belanda sebelumPerang Dunia II” (Thomas, 1973: 43).

Setelah aksi militer Belanda pertama pada Juli 1947, pasukanBelanda menguasai sebagian besar wilayah Indonesia, sedangkanpemerintah Republik Indonesia hanya bisa menguasai daerah-daerah berpenduduk padat di Jawa di sekitar Yogyakarta, yangkemudian menjadi ibu kota pemerintahan selama masa revolusi.Dengan beberapa perguruan tinggi yang diwarisi dari dekade-dekade sebelumnya yang berlokasi di wilayah-wilayah yangdidu duki Belanda, NICA (Netherlands Indies Civil Adminis tra -tion) mendapatkan kembali momentum untuk mewujudkanupaya yang belum rampung pada awal-awal 1940-an untukmenyatukan semua perguruan tinggi yang ada sebelum PerangDunia II, plus beberapa fakultas baru, menjadi satu universtas.Universitas ini diberi nama Universiteit van Indonesie (Universitas

Page 424: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

404 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Indonesia) dengan cabang-cabang yang terpencar di beberapakota.

Banyak pengajar dan mahasiswa nasionalis yang tak ingintinggal di daerah-daerah pendudukan Belanda bergabung denganpemerintahan revolusi kemerdekaan di Yogyakarta. Di kota itudan daerah-daerah sekitarnya (Klaten, Surakarta, dan sebagainya),mereka mendirikan fakultas-fakultas (perguruan tinggi) kedok -teran, kedokteran gigi, farmasi, kedokteran hewan, perta nian,hu kum, dan seni (tertentu). Pada 19 Desember 1949, fakultas-fakultas ini secara resmi disatukan menjadi Universiteit NegeriGadjah Mada (UGM).

Ketika pada akhirnya Indonesia mendapatkan pengakuansecara legal atas kedaulatannya pada Desember 1949, impianyang sudah lama diidamkan akan kesetaraan hak untuk pendidikanmulai menemukan landasan yang kukuh. UU Pendidikan No. 4Tahun 1950 yang diratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 1954pada saat sistem negara serikat digantikan oleh negara kesatuan,menyatakan secara tegas bahwa “pendidikan adalah hak setiapwar ga negara”. Sejak saat itu, meski di tengah problem-problemekonomi dan politik bangsa apa pun, sektor pendidikan meng -alami pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Pertumbuhan terbesar dalam jumlah sekolah dan siswa terjadipada pendidikan dasar dan menengah. Periode 1950-1958,jumlah sekolah dasar (sekuler) meningkat dari 24.775 menjadi33.845, sedangkan total jumlah siswa meningkat dari 4.977.304menjadi 7.317.307. Dalam periode yang sama, jumlah sekolahmenengah pertama dan atas (sekuler) meningkat dari sekitar954 menjadi 4.608, sedangkan jumlah siswa melonjak darisekitar 136.668 menjadi 754.089 (Kementerian Pendidikan1956, 1958). Pertum buhan dramatis pada lulusan sekolah dasar

Page 425: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 405

dan menengah ini dengan segera berimbas ke pendidikan tinggi.Sejumlah besar lulusan sekolah menengah atas pada akhir 1950-an dan awal 1960-an telah bersiap memasuki universitas.

Pada paruh pertama 1950-an, upaya pemerintah di levelperguruan tinggi terkonsentrasi pada pengembangan dua univer -sitas yang telah ada, yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM) danUniversitas Indonesia (UI) (dahulu milik Belanda).12 Denganbesarnya jumlah lulusan sekolah menengah atas pada akhir1950-an, Indonesia mulai mengalami pertumbuhan paling cepatdi dunia pendidikan tingginya. Sebagaimana dicatat oleh Thomas(1973: 87), “Dari empat universitas pada 1950, terjadi peningkatanmen jadi lebih dari 135 lembaga pendidikan tinggi pada 1960,dengan 53 di antaranya universitas negeri dan lebih dari 80universitas swasta. Total mahasiswa meningkat dari sekitar 6.000pada 1950 menjadi 60.000 atau 70.000 pada 1960.”

Namun, ledakan kuantitatif ini tidak diimbangi denganpeningkatan kualitas, terutama pada level perguruan tinggi.Dengan eksodus akademisi Belanda dan digantinya bahasa Be -landa sebagai bahasa pengajaran,13 Indonesia mengalami pemis -kinan intelektual. Sebagaimana dikatakan Profesor I. Boersma,mantan saintis Belanda pada Universitas Indonesia cabangBandung (kini ITB): “Kehilangan terbesar yang dialami Indonesiasetelah kemerdekaannya bukanlah kekayaan, melainkan otak ...modal intelektual negeri ini yang direpresentasikan oleh generasisaintis Belanda yang berpengalaman riset di Indonesia, telahlenyap” (Messer, 1994: 57-58). Lebih dari itu, setelah bahasaIndo nesia plus bahasa Inggris menggantikan bahasa Belandasebagai bahasa pengantar pengajaran, muncullah sejumlahproblem teknis. Karena kelangkaan literatur teknik dalam bahasaIndonesia, para pengajar terpaksa menggunakan catatan-catatankuliah sebagai ganti dari buku. Sedikit sekali mahasiswa yang

Page 426: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

406 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

memahami bahasa Inggris secara memadai agar bisa menggunakanteks-teks ber bahasa Inggris. Jadi, nasionalisme, yang ditandaidengan diha pusnya bahasa Belanda dari dunia akademismenyebabkan kelang kaan literatur saintifik, dan Indonesia punkemudian terpu tus dari arus perkembangan saintifik yang adakarena hambatan bahasa.14

Berkat “perang dingin” dan meningginya ketegangan dalamhubungan-hubungan internasional, beberapa sarjana Indonesiadapat meningkatkan kualifikasi akademisnya melalui beasiswa(dan) bantuan asing. Selama 1950-an dan 1960-an, sejumlahbesar bantuan untuk pendidikan tinggi Indonesia datang baikdari negara-negara komunis maupun kapitalis.15 Namun, bantuanterbesar berasal dari United States Agency for InternationalDevelopment (US-AID) dan Ford Foundation (Thomas, 1973:213-214). Karena para sarjana komunis dan nasionalis cenderungbersikap kritis terhadap negara-negara kapitalis, yang palingbanyak memanfaat kan beasiswa dari lembaga-lembaga kapitalisini adalah para sarjana “sosialis” dan Kristen, dan dalam jumlahyang lebih sedikit, juga para sarjana Muslim. Di antara merekayang melanjutkan studi ke luar negeri melalui beasiswa iniadalah beberapa ekonom dari Universitas Indonesia, sepertiWidjojo Nitisastro dan Ali Wardhana, yang kelak memainkanperan penting dalam naiknya Orde Baru. Pada waktu yanghampir bersamaan, dengan beasiswa dari pemerintah Kanada,beberapa intelektual Muslim berlatar belakang pendidikan Islam,seperti Mukti Ali, Anton Timur Djaelani, dan Harun Nasution,mulai memasuki pusat studi-studi Islam di Barat di McGillUniversity. Para sarjana Muslim ini ke lak berpengaruh signifikanbagi perkembangan intelektual Muslim di masa selanjutnya danbagi birokrasi agama di negeri ini.

Selain terjadi degradasi kualitatif secara umum, perkembang -

Page 427: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 407

an pendidikan yang cepat juga tak diimbangi dengan perbaikankinerja ekonomi Indonesia. Pada akhir 1950-an, ekonom Belanda,A. Van den Ende, telah memprediksi bahwa kesenjangan iniakan menerbitkan kekecewaan. Bagi sistem ekonomi yangberbasis agraris, dalam keyakinan Ende, terlalu banyak pendidikanjustru akan berbahaya. Hal ini dikarenakan pendidikan tidaksejalan dengan kebutuhan masyarakat dan hanya menghasilkankalangan ekstremis. Dia telah membaca situasi ini danmemprediksikan terjadinya pergolakan tajam sebagai akibatterlalu banyaknya pendidikan di Indonesia (Mauldin, 1981:361-365). Dalam latar ini, muncullah generasi keempat inteligensia.Generasi ini ter utama berasal dari mereka yang lahir pada 1930-an dan 1940-an.

Dalam perkembangan populasi terdidik yang cepat itu, istilah“inteligensia”—sering saling bertukaran dengan istilah “inte -lektuil”—untuk pertama kalinya dipopulerkan. Karena masukke ruang publik Indonesia barangkali melalui pengaruh intelektualEropa Barat, ketimbang diimpor secara langsung dari Rusia atauPolandia,16 istilah “inteligensia” tampaknya mulai hadir dalamtulisan-tulisan intelektual Indonesia pada akhir 1930-an.17 Na -mun, selama pendudukan Jepang dan revolusi kemerdekaantahun 1940-an, istilah tersebut kalah populer dengan istilah“pemoeda” karena istilah terakhir ini lebih memuat pengertiankekuatan massa dan solidaritas persaudaraan. Pada akhir masarevolusi kemerdekaan, munculnya organisasi-organisasi barumahasiswa menjadi momentum bagi istilah “inteligensia” untuktampil kembali di ruang publik dan menandai meningkatnyaekspektasi-ekspektasi dari kaum terpelajar.18

Hingga akhir revolusi kemerdekaan 1949, komunitas ber -pendidikan tinggi masih didominasi oleh mahasiswa sekuler.Hanya sedikit mahasiswa Muslim yang bisa masuk ke perguruan-

Page 428: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

408 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

perguruan tinggi Indonesia yang baru ini.19 Bahkan, karenaterlibat dalam perjuangan revolusi kemerdekaan, mahasiswa-mahasiswa Muslim generasi ketiga ini pun tidak bisa menyelesaikanpen didikan tinggi atau terpaksa menunda penyelesaian perkuliahanmereka hingga berakhirnya revolusi kemerdekaan.

Pendidikan Agama dan Ekspansi Universitas-Universitas IslamKarena kecewa dengan dicoretnya “tujuh kata” Piagam Jakartadari Pembukaan UUD 1945, para pemimpin Muslim berusahamencari kompensasi di bidang pendidikan agama. Merekamemu lai strategi ini saat membahas Rancangan Undang-UndangPen didikan dalam Badan pekerja KNIP pada Oktober 1949.20

Da lam pembahasan-pembahasan ini, para pemimpin Muslim—ter masuk Prawoto Mangkusasmito, Muhammad Daud Beureu’eh,Zaenal Abidin Achmad, dan Kiai Zarkasji—mengangkat tiga isuyang memicu perdebatan, yaitu tentang masa depan sekolahagama, pengajaran bersama (antara laki-laki dan perempuan),dan posisi pelajaran agama di sekolah-sekolah sekuler.

Pada isu pertama, para anggota KNIP yang Muslim menerimapandangan bahwa sekolah-sekolah agama harus diatur secaraterpisah dari sekolah-sekolah negeri yang sekuler, tetapi dengansyarat bahwa pemerintah memperlakukan sekolah-sekolah Islamsederajat dengan sekolah-sekolah sekuler. Hal ini disetujui dandisepakati sehingga membentuk dua jalur pendidikan utama,yaitu sistem pendidikan sekuler di bawah Departemen Pendidikandan sistem pendidikan agama di bawah Departemen Agama.Depar temen Agama ini terbentuk dalam Kabinet Syahrir kedua(Maret 1946-Oktober 1946) dengan mengangkat M. Rasjidi(lahir 1915, lulusan Universitas Kairo) sebagai menteri agama

Page 429: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 409

pertama. De par temen ini—semula diniatkan untuk meredamkekecewaan politik para pemimpin Muslim dan untuk meraihdukungan poli tik mereka selama masa revolusi kemerdekaan—menawarkan jalan tengah antara negara sekuler dan negaraIslam.

Ihwal isu kedua, para anggota-Muslim KNIP tidak menye -tujui konsep pengajaran bersama. Menempatkan anak laki-lakidan perempuan dalam satu sekolah dinilai tidak pantas, bahkanmenyinggung perasaan keagamaan. Namun, aturan ini akhirnyaditoleransi, sehingga usulan pemerintah pun diloloskan tanpake be ratan yang berarti.

Isu ketiga adalah yang paling memicu perdebatan. Hampirsemua kelompok politik di KNIP sepakat bahwa pendidikanaga ma merupakan landasan penting dalam membentuk pendidikanIndonesia dan membedakan sekolah-sekolah pada era Indonesiamerdeka dengan sekolah-sekolah era penjajahan Belanda. Namun,tak tercapai konsensus mengenai apakah pelajaran agama hanyawajib diikuti, ataukah ujian pelajaran agama ikut menentukanke naikan kelas. Dapat diduga, para pemimpin Muslim bersikeraster hadap penerapan pendidikan agama sebagai pelajaran wajibdengan semua konsekuensiya. Usulan ini sepenuhnya ditolakoleh para pe mimpin sekuler dan Kristen. Ketika pokok yangdiperse lisihkan ini dicantumkan dalam Klausul 20 RancanganUndang-Undang Pendidikan, detail teksnya menjauhi harapanpara pe mimpin Mus lim. Klausul itu menyatakan, “Di semuasekolah ne geri, pel ajaran agama harus diberikan. Orangtua turutmenen tukan apakah anak-anak mereka akan mengikuti pelajaranitu atau tidak.”

Rancangan undang-undang itu akhirnya diloloskan oleh KNIP.Memahami ketidakpuasan kalangan Muslim, Presiden Sukarno

Page 430: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

410 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

memutuskan untuk tidak menandatanganinya sebagai undang-undang. Rancangan tersebut akhirnya ditandatangani oleh Assaatsebagai Presiden Republik Indonesia Serikat di Yog yakarta, danmenjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1950. Ketika sistemserikat digantikan oleh negara kesatuan, undang-undang itudiratifikasi sebagai Undang-Undang No. 12 Tahun 1954 padape riode kabinet pimpinan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojodari PNI.21

Meski muncul ketidakpuasan kalangan Muslim terhadapbeberapa aspek dalam Undang-Undang tersebut, dua kabinetper tama dalam pemerintahan negara kesatuan adalah KabinetMasyumi (Kabinet Natsir dan Sukiman), yang melindungi kepen -tingan-kepentingan kaum Muslim. Ketika Undang-Undang No.4 Tahun 1950 belum diratifikasi, Menteri Pendidikan danMenteri Agama dalam Kabinet Natsir, berturut-turut BahderJohan (Mus lim taat dari Sumatra Barat) dan Wachid Hasjim(NU) berinsiatif untuk meloloskan terlebih dahulu peraturanyang menjadikan pelajaran agama menjadi pelajaran wajib untuksekolah-sekolah sekuler dan sebaliknya, menjadikan pelajaran-pelajaran umum menjadi pelajaran wajib di sekolah-sekolahagama.22 Ketika Has jim Asj’ari terpilih kembali menjadi menteriagama dalam Kabi net Sukiman, peraturan tersebut disahkandalam Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan tanggal 16 Juli1951. Ketika UU No. 4 Tahun 1950 di sah kan pada 1954, PPTahun 1951 ini telah diterapkan secara luas dan tak mudahdihapuskan (lihat Tabel 4). Skema pengaturan tersebut men -jembatani jurang antara inteligensia Muslim yang menguasaipelajaran-pelajaran umum, tetapi tidak berpengetahuan agama,dan ulama yang menguasai pelajaran agama, tetapi tidak memilikipengetahuan umum.

Page 431: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 411

Selain dalam hal legislasi, institusi-institusi pendidikan Islamterus berupaya mengejar kemajuan sekolah-sekolah sekuler.Pada level perguruan tinggi, tulang punggung universitas IslamIndo nesia ialah Sekolah Tinggi Islam (STI) yang disponsoriJepang, dengan dewan pengurus dan pengajar terdiri dariintelektual ter baik Muslim generasi pertama dan kedua. STIdidirikan pada pe kan-pekan terakhir pendudukan Jepang, danaktivitas pendidik an nya pun menjadi terputus akibat revolusikemerdekaan. Ketika sebagian besar inteligensia Republikmengungsi bersama dengan pemerintahan darurat ke Yogyakarta,STI juga dipindahkan ke kota tersebut. Pada 10 April 1946, STIdibuka kembali di Yogya karta dengan dihadiri oleh PresidenSukarno dan dengan pidato oleh Hatta sebagai ketua dewanpengurus. Kemudian pada 10 Maret 1948, lembaga pendidikanini berubah menjadi Universiteit Islam Indonesia dan kemudianmenjadi Universitas Islam Indo nesia (UII) yang menawarkanprogram-program sarjana di empat fakultas: agama, hukum,ekonomi, dan pendidikan.

Tabel 4: Pendidikan Agama di Sekolah‐Sekolah Negeri (yang Sekuler)Tahun 1955/1956

Sumber: Lee Kam Hing (1955: 121)

SekolahMenengah

Pertama (SMP)

1.299

881

Sekolah Dasar

27.910

15.584

Total Jumlah Sekolah

Sekolah yang memberikan pelajaran Agama

SekolahMenengah Atas (SMA)

494

93

Page 432: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

412 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Kemunculan STI/UII ini sangatlah penting. Bukan hanyamerepresentasikan universitas swasta pertama di Indonesia yangmenawarkan fakultas-fakultas umum dan agama, STI/UII itujuga menjadi pendahulu bagi jaringan-luas IAIN dan beragamuniver sitas dan akademi Islam swasta yang kelak berkembangpada ta hun-tahun selanjutnya. Yang lebih penting, STI/UIImerupakan pusat pengaderan awal bagi para pemimpin masadepan inteli gensia Muslim. Beberapa mahasiswa angkatan pertamaseperti Lafran Pane (lahir 1922), M. Jusdi Ghazali (lahir 1923),Anwar Harjono (lahir 1923), dan Mukti Ali (lahir 1923) kelakberperan penting dalam pembentukan komunitas-komunitasepistemik dan jaringan intelektual Islam yang baru sebagaikendaraan baru bagi cita-cita Islam.

Departemen Agama dengan berusaha keras meningkatkanlevel pendidikan para stafnya, dan ini sesuai dengan kebijakanpemerintah untuk menyediakan lebih banyak pendidikan tinggi.Departemen Agama kemudian mengambil alih fakultas agamadi UII. Untuk melatih para hakim agama, guru agama, dankepala kantor agama kabupaten, fakultas agama kemudiandiubah men jadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)pada 1951.

Sementara itu, sebuah tipe-baru akademi Islam didirikanpada 1957 di Jakarta, bernama Akademi Dinas Ilmu Agama(ADIA). Akademi ini didirikan sebagai akademi pelatihan bagipara pega wai kantor-agama pemerintah dan bagi para gurupelajaran agama di sekolah-sekolah negeri. Selanjutnya, PTAINdan ADIA disa tukan pada 1960 menjadi Institut Agama IslamNegeri (IAIN). IAIN pertama kali didirikan di Yogyakarta (IAINSunan Kalijaga), kemudian disusul IAIN yang lain di beberapakota lainnya.23 Da lam lembaga pendidikan ini, pelajaran-pelajaranagama dan umum diajarkan secara berdampingan, dan kebijakan

Page 433: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 413

ini kemudian berdampak signifikan terhadap perkembanganinteligensia Islam selanjutnya. Lulusan-lulusan universitas-universitas Islam kelak menjadi mitra strategis bagi mahasiswa-mahasiswa Muslim dari universitas-universitas sekuler dalampergulatan memperebutkan hegemoni intelektual pada 1960-an.

Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publikdi Negara BaruSelain melonjakkan jumlah inteligensia, semangat egalitariandari negara baru ini juga berdampak signifikan terhadap diskursus-diskursus intelektual dan terhadap pembentukan sistem politikIndonesia pada tahun-tahun awal Republik Indonesia pasca-kolonial. Selain tema revolusi kemerdekaan, isu “demokrasi”men jadi sebuah diskursus dominan dalam ruang publik. Sejakpidato bersejarah Sukarno tentang kelahiran Pancasila (1 Juni1945), de mokrasi telah diidealkan sebagai salah satu prinsipnasional. Da lam UUD 1945 dan platform-platform dari empatbelas partai yang termuat dalam buku Kepartaian di Indonesiaterbitan Depar temen Penerangan pada 1950, kata “demokrasi”sering diperguna kan dan hampir selalu mendapatkan persetujuantanpa syarat (Feith, 1962: 38). Pada level kesadaran diskursif—yang tidak de ngan sendirinya mewujud dalam kesadaran praktis—terdapat kesepakatan umum kebutuhan akan demokrasi dibidang sosial, ekonomi, dan politik, termasuk dukungan terhadapkesetaraan warga negara, penolakan terhadap kediktatoran,kebebasan pers, ke bebasan berserikat dan berpendapat, sertakebebasan untuk mela kukan pemogokan.

Inteligensia berpendidikan tinggi dan ulama-intelek tetapmenjadi intelektual organik dari berbagai aliran politik, dan me -

Page 434: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

414 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

reka inilah yang mengartikulasikan cita-cita politik dari kelom -pok-kelompok yang ada. Peran publik mereka sekarang meluasdari pejuang civil society (seperti yang mereka jalani selama pe -riode kolonial) menjadi pejuang masyarakat politik (politicalsociety) dalam sebuah bangsa yang baru berdiri.

Sebagai elite politik, inteligensia dan ulama-intelek memi likiperan menentukan dalam membentuk masa depan bangsa ini.Euforia kebebasan politik pada masa-masa awal kemerdekaanIndonesia mendorong setiap kelompok inteligensia untuk meng -arahkan bangsa ini sehaluan dengan garis ideologis mereka.Seba gai konsekuensi langsungnya, tak ada partai-negara yangmono litik. Dalam upaya mempertahankan sebuah blok historisdemi kepentingan revolusi kemerdekaan yang belum selesai,PPKI yang bermetamorfosis menjadi KNIP pada 22 Agustus1945, pada hari yang sama menetapkan sebuah partai-negarayang tunggal, yaitu “PNI Staats-Partij”, dengan dukungan kuatPresiden Sukarno. Partai-negara yang tunggal ini diarahkanuntuk menyatukan semua kelompok dan menjadi “motorperjuangan rakyat di setiap ruang dan di setiap bidang” (Anderson,1972: 91). Namun, sepuluh hari kemudian, partai-negara yangmonolitik ini dibubarkan akibat tekanan, utamanya dari pemoedaradikal di bawah pengaruh Syahrir.24 Dengan pembubaran partai-negara yang monolitik ini, era sistem multi-partai pun dimulai,dan sejak saat itu, ruang publik Indonesia pun berwatak majemuk.

Pembentukan Partai-Partai Pasca-KemerdekaanHanya beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, tradisi-tradisi politik pun direkonstruksi sesuai dengan jaringan-jaringansosio-politik yang telah terbangun sebelum dan selama pendu -

Page 435: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 415

dukan Jepang. Akibatnya, ruang publik pun segera menjadiruang kontestasi di antara berbagai tradisi politik para intelektual.Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dibentuk-kembali padaOktober 1945 merepresentasikan tradisi politik komunis, dansegera sete lah itu, berada di bawah kontrol para pemimpin ko -munis ortodoks yang berorientasi internasional. Banyak darimereka yang merupakan mantan aktivis dari tahun 1920-anyang telah dibebas kan dari penjara seperti Alimin dan Sardjono(Ricklefs, 1993: 221).25

Pada November 1945, Masyumi didirikan sebagai represen -tasi-utama tradisi politik intelektual Muslim. Tidak sepertiMasyumi sebelumnya yang disponsori Jepang, Masyumi sekarangmencakup baik organisasi-organisasi Islam non-politik yangtelah bergabung dengan Masyumi pada era pendudukan Jepangmaupun organisasi-organisasi politik Islam pra pendudukanJepang, seperti PSII.

Pada Desember 1945, para pengikut Amir Syarifuddin berga -bung dengan para pengikut Syahrir untuk membentuk sebuahpartai politik berhaluan sosialis dengan nama Partai Sosialis.Pada awal 1947, mereka berpecah lagi. Pada Februari 1948,para peng ikut Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI),sedangkan kelompok Syarifuddin beraliansi dengan PKImembentuk Front Demokrasi Rakyat. Konstituen utama PSImasih berasal dari lapis an masyarakat Indonesia berorientasiBarat, terutama yang ber pengaruh di kalangan pejabat sipilyang berkedudukan tinggi dan para perwira markas besarAngkatan Darat. Selama bulan-bulan terakhir tahun 1945, jugaberdiri Partai Kristen Indonesia (Par kindo), Partai Katolik, danbeberapa partai kecil lain. Baik Par kindo maupun Partai Katolikmerepresentasikan tradisi inte lektual Kristen.

Page 436: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

416 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Pada Januari 1946, Partai Nasional Indonesia (PNI) dihidup -kan kembali, dengan format yang berbeda dengan PNI partai-negara yang dibubarkan itu. Meskipun Sukarno tidak menjabatsebagai ketuanya karena sebagai presiden secara teoretis beradadi atas partai-partai politik, partai ini dipimpin oleh parapengikut Sukarno, terutama mantan aktivis PNI sebelumpendudukan Jepang dan Partindo. Para pendukung utamanyaadalah para biro krat dari kalangan priayi, terutama dari JawaTengah dan Jawa Timur (Kahin, 1952: 155-159).

Semua partai ini, bersama dengan partai-partai yang lainyang muncul kemudian, secara berusaha keras menarik dukunganmassa, terutama dari kalangan pemuda yang militansinya terbuktimenjadi aset besar. Berdampingan dengan partai-partai politikini, muncul pula laskar-laskar partai. Hizbullah merupakanlaskar milik Masyumi; Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia,berdiri 1945) merupakan laskar kelompok sosialis; BarisanPelopor yang disponsori Jepang berubah menjadi Barisan Bantengdan menjadi laskar milik PNI, tetapi secara perlahan-lahanbergeser ke kubu nasionalis radikal; Laskar Rakyat dan LaskarMerah berafiliasi dengan PKI (Sundhaussen, 1982: 4).

Merebaknya partai-partai politik ini, berikut konflik-konflikpolitik yang mengikutinya, muncul berbarengan dengan upayaBelanda untuk menduduki kembali Indonesia. Konsekuensiterburuk dari konflik-konflik ini ialah munculnya pemberontakan-pemberontakan politik melawan pemerintah sipil RepublikIndonesia. Di antaranya adalah pemberontakan Darul Islamoleh unit gerilya militan di Jawa Barat pada Mei 1948 dan“Peristiwa Madiun” yang merupakan pemberontakan oleh PKIpada Septem ber-Oktober 1948. Tantangan untuk mempertahankanotoritas pemerintah republik dan berjuang membela kemerdekaanmendo rong pembentukan sebuah tentara nasional Indonesia.26

Page 437: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 417

Pembentukan Tradisi Politik Militer IndonesiaTulang punggung awal TNI diambil dari bekas tentara PETA.Se iring dengan peningkatan kebutuhan organisasi militer, bebe -rapa bekas perwira KNIL direkrut. Karena adanya kepentinganpolitik sipil dalam tubuh militer, beberapa laskar dan kelompokpemuda paramiliter juga dimasukkan ke dalam tentara Republikini.

Pembentukan TNI ini diiringi dengan sederetan konflik inter -nal dan eksternal. Secara internal, terjadi konflik-konflik karenaperbedaan latar belakang pelatihan dan afiliasi militer (eks-KNIL versus eks-PETA dan eks-PETA versus eks-laskar/elemenpe moeda dalam tentara), perbedaan agama (Muslim versus non-Muslim dan santri versus abangan), perbedaan etnis (Jawa [JawaTengah dan Jawa Timur] versus non-Jawa), dan perbedaan umur(senior versus junior). Secara eksternal, dunia militer menjadiperpanjangan dari pertarungan politik sipil di mana para politisisosialis (Amir Sya rifuddin dan Sutan Syahrir) merupakan sipilyang paling inter vensionis selama fase pembentukan TNI.

Pada mulanya, peran menonjol perwira Muslim tampak da -lam pengangkatan Sudirman (mantan daidancho Kroya, danguru Muhammadiyah lokal) sebagai Panglima TNI pertama.27

Namun, seiring dengan meningkatnya kebutuhan untukmembentuk angkatan perang yang efisien, peran sebagian besarperwira Mus lim, yang merupakan eks perwira PETA, berangsur-angsur mero sot. Dalam upaya membentuk sebuah korps tentarayang profe sional, mantan perwira-perwira KNIL menjadi lebihberpengaruh dalam menjalankan tugas-tugas staf.28 Meskiberjumlah sangat kecil, sekitar tiga puluh, eks perwira-perwiraKNIL ini jauh lebih unggul dibandingkan dengan eks perwira-perwira PETA.29

Page 438: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

418 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Posisi tentara Muslim dalam TNI yang baru berdiri ini sema -kin merosot setelah keterlibatan unit-unit gerilya Islam yangme lawan Pemerintah Republik Indonesia.30 Hal ini menyulitkanintegrasi korps-korps militer/paramiliter Islam ke dalam TNI.Karena fakta inilah, tradisi militer pada saat Indonesia merdekasecara berangsur-angsur kehilangan ikatan asalnya dengan komu -nitas-komunitas politik Muslim.

Sementara itu, meningkatnya konflik antara kalangan sipildan militer di tengah-tengah aksi militer Belanda dan mandulnyapolitik diplomasi sipil menjadi momentum bagi militer untukmeng onsolidasikan korps dan memperbesar pengaruh merekaatas sipil. Momen penentu dalam pembentukan identitas kolektiftentara ialah saat aksi militer Belanda II atas ibu kota sementaraRI, Yogyakarta, pada 19 Desember 1948. Pada saat para pemimpinpemerintahan sipil memutuskan bertahan di dalam kota, yangse olah-olah berniat menyerahkan pemerintahan kepada Belanda,tentara justru memobilisasi perang gerilya yang pada akhirnyamemaksa Belanda untuk bersedia berunding dengan para pemim -pin Indonesia. Kesediaan pihak Belanda untuk mengakui kemerde -kaan Indonesia pada 1949 dianggap oleh tentara bukan sebagaibuah diplomasi atau dukungan internasional, melainkan lebihkarena prestasi militer mereka yang berhasil meyakinkan Belandabahwa menggunakan kekuatan untuk menggagalkan kemerdekaanIndonesia tak akan berhasil. Persepsi ini menimbulkan esprit decorps dan menciptakan solidaritas internal dan rasa identitaskolektif di tubuh tentara.31

Munculnya rasa identitas bersama dan ideologi politik TNImembawa pada terbentuknya tradisi politik yang lain, yaitutradisi politik para pemimpin militer. Masuk akal jika meng -gambarkan para perwira militer Indonesia sebagai inteligensiayang berdiri sendiri. Mereka memiliki karakteristik-karakteristik

Page 439: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 419

yang sama dengan inteligensia sipil dalam hal asal-usul sosialdan keter bukaan terhadap pendidikan modern. Sejak diadakannyapelatihan militer bagi orang-orang Hindia, pola rekrutmenperwira telah membatasi kesempatan bagi orang-orang yangberasal dari ka lang an sosial rendah untuk menjadi perwiraKNIL. Akademi Militer merupakan sebuah lembaga prestisius,dan penguasaan bahasa Belanda menjadi syarat pendaftaran,dan ini tentu saja menjadi rintangan bagi kalangan sosial rendah(Sundhaussen, 1982: 17). Sebuah pola rekrutmen yang tegasjuga diterapkan ter hadap para perwira PETA. Seperti yang di -catat oleh Sundhaussen (1982: 17-18),

Para komandan batalion direkrut dari kalangan politisi terkenal,pemimpin agama terkemuka, atau pemimpin opini berpengaruh.Sebagian besar jabatan komandan kompi diisi oleh para gurusekolah yang memiliki prestise sosial relatif lebih tinggi dalammasyarakat yang sebagian besar buta huruf. Para komandanpeleton direkrut dari para mahasiswa, anak-anak pamong prajarendahan, atau para pegawai yang masih muda. Semua kelompokitu memiliki pendidikan menengah. Termasuk di antara merekasejumlah besar pemuda berlatar belakang bangsa wan. Namunsecara umum, Jepang enggan menerima bangsawan denganalasan kalangan ini lebih berorientasi Belanda, terutama padagenerasi tua.

Selain itu, dengan latar belakang pendidikannya yang moderndan pengalamannya belajar di lingkungan yang relatif kosmopolit,para perwira militer ini memiliki hubungan dekat dengan inte -ligensia sipil (Anderson, 1972: 235).

Upaya sistematis untuk menciptakan tradisi politik militer itudilembagakan pada awal Februari 1946 ketika Amir Syari fuddin

Page 440: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

420 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

mendirikan Pendidikan Politik Tentara (PEPOLIT). Dua tahunkemudian, kabinet pertama Hatta (29 Januari 1948-4 Agus tus1949) mengeluarkan kebijakan rasionalisasi dan rekonstruksiTNI, sehingga inteligensia militer memiliki peran yang semakinmenentukan dalam kepemimpinan tentara. Upaya lebih seriusuntuk mempersiapkan inteligensia militer untuk memimpin TNIdimulai pada 1957 dengan pembukaan kembali akademi militerdi Magelang. Akademi ini menghasilkan para perwira TNI yangsadar secara politik dan profesional.32

Jadi, pada akhir revolusi kemerdekaan, euforia kemerdekaanbukan hanya telah melahirkan berbagai partai politik, melainkanjuga angkatan bersenjata yang sangat politis. Ledakan partisipasipolitik ini mendapatkan momentumnya setelah diakuinya ke -daulatan Republik Indonesia dan berlakunya sistem negarakesatuan.

Permainan Kuasa: Konsolidasi dan KontestasiUpaya bangsa Indonesia untuk menerjemahkan cita-cita demo -kratis ke dalam praktik politik diwujudkan dengan mengadopsidemokrasi parlementer bergaya Barat. Komitmen Indonesiaterha dap institusi demokrasi Barat mencerminkan kepercayaanyang sungguh-sungguh terhadap demokrasi dan sekaligus kepen -tingan pragmatis. Bagi inteligensia-politisi yang sangat terbukaterhadap tradisi liberalisme dan sosialisme Eropa atau terhadapnilai-nilai Islam modernis, pengadopsian institusi parlemendiyakini meru pakan syarat niscaya untuk melindungi negeri inidari peluang otoritarianisme. Komitmen yang sungguh-sungguhsemacam itu terhadap demokrasi konstitusional dibarengi dengankepentingan pragmatis untuk mendapatkan dukungan internasio -nal yang lebih luas bagi republik yang baru ini dan untuk

Page 441: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 421

menun jukkan kepada Belanda bahwa Indonesia sanggup mengaturdiri nya sendiri secara demokratis (Feith, 1962: 43-45).

Rintangan bagi Eksperimen DemokrasiDalam ruang-publik terbuka di Indonesia yang baru merdekaini, euforia demokrasi parlementer di tengah pluralitas tradisipolitik Indonesia mendorong menjamurnya partai-partai danmeluasnya perselisihan di antara partai-partai yang merupakanciri awal per politikan Indonesia. Menjelang pemilihan umumpertama di Indonesia pada 1955, terdapat 172 partai dankelompok kuasi-politik yang mencerminkan polarisasi eksternaldan fragmentasi internal yang terus berlangsung dalam tradisi-tradisi politik Indo nesia. Berbarengan dengan perkembanganitu, kebebasan pers menjadi sebuah fenomena menarik. Setelahmengalami masa-masa sulit selama revolusi kemerdekaan, jumlahharian di Indo nesia melonjak dengan cepat dari 67 pada 1950menjadi 120 pada 1957. Oplah harian berlipat tiga dari hanya338.300 pada 1950 menjadi 1.049.500 pada 1957. Dalamperiode ketika media profe sional (non-partisan) masih beradapada tahap embrionik, koran-koran yang beroplah besar adalahyang berafiliasi dengan partai-partai politik. Di antara koran-koran yang beroplah besar itu ialah Harian Rakyat, milik PKI(55.000/hari), Pedoman, milik PSI (48.000/hari), Soeloeh Indonesia,milik PNI (40.000/hari), dan Abadi, milik Masyumi denganoplah 34.000/hari (Said, 1987: 95-96).

Selama 1950-an, hanya sedikit partai politik yang berpenga -ruh signifikan dalam hal pengikut atau representasi politiknya.Di antara yang sedikit itu ialah Masyumi, NU, PNI, PKI, PSI,par tai-partai Kristen (Parkindo dan Partai Katolik). PSI danpartai-partai Kristen merupakan partai-partai kecil dalam hal

Page 442: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

422 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

jumlah pengikut, tetapi berpengaruh dalam hal representasipolitik. Kuatnya representasi politik ini berakar pada pengaruhyang mereka miliki terhadap para pejabat tinggi sipil dan perwiramarkas besar militer (berkat keunggulan kualifikasi pendidikanmereka).

Sepanjang periode 1950-1957, partai-partai besar ini, kecualiPKI, merupakan pemain-pemain utama dalam urusan pemerin -tahan, dengan PNI dan Masyumi sebagai penggerak utama.Kega galan mempertahankan kabinet lebih dari satu atau duatahun, yang merupakan ciri periode revolusi kemerdekaan,masih terus berlanjut pada 1950-an. Dari September 1950hingga Pemilu 1955, Indonesia mengalami jatuh-bangun limakabinet yang berbeda, yaitu Kabinet Mohammad Natsir dariMasyumi (September 1950-April 1951),33 Kabinet SukimanWirjosandjojo dari Masyu mi (April 1951-Februari 1952),34

Kabinet Wilopo dari PNI (April 1952-Juni 1953),35 Kabinet AliSastroamidjojo I dari PNI (Juli 1953-Juli 1955),36 dan KabinetBurhanuddin Harahap dari Ma syumi (Agustus 1955-Maret1956).37 Rapuhnya kabinet itu tidak lah terlalu mengejutkanmengingat lemahnya fondasi untuk me ngonsolidasikan demokrasikonstitusional. Di sebuah negara yang masih ditandai olehtingginya tingkat buta huruf, rendahnya pen didikan, buruknyakondisi ekonomi, lebarnya kesenjangan sosial, dan mentalitasotoritarian, wilayah politik masih meru pakan hak istimewamilik sekelompok kecil elite politisi (Ricklefs, 1993: 237).

Perilaku politik elite-elite ini diidentifikasi oleh Feith sebagaiproblem utama yang menjatuhkan eksperimen demokrasi selamaperiode ini. Dalam pandangannya, faktor paling krusial yangmeruntuhkan demokrasi konstitusional Indonesia ialah kete -gangan yang terus berlangsung antara apa yang dia sebut sebagai“para penggalang solidaritas” seperti Sukarno dan “para adminis -

Page 443: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 423

trator” seperti Hatta, yaitu antara para pemimpin yang memilikikecakapan integratif, cakap memainkan simbol dan memobilisasimassa dengan para pemimpin yang memiliki keterampilanadministratif, legal, teknis, dan berbahasa asing. Ketegangan initak pernah bisa terpecahkan secara efektif. Kedua kelompok inimemiliki kepedulian rendah terhadap tujuan-tujuan jangka me -nengah. Tampaknya, tak ada satu pun pemimpin yang berusahamengaitkan tujuan-tujuan jangka panjang dengan program-program administratif jangka-pendek, antara daya tarik ideologisdan solusi atas problem-problem teknis (Feith, 1962: 34).

Kontras dengan pandangan Feith, H.J. Benda menisbahkankegagalan itu dengan watak asing demokrasi dalam kontekshistoris Indonesia. Dalam pandangannya, sejarah politik Indonesiasejak zaman pra-penjajahan hingga kemerdekaan tak pernahmengalami gaya-gaya pemerintahan selain patrimonialisme danotoritarianisme. Jadi, eksperimen demokratis ditakdirkan untukgagal “begitu sejarah Indonesia (terutama Jawa) menemukankembali tambatan masa lalunya” (Benda, 1964: 453-454).Namun, di balik permukaan kedua perspektif itu, akarnyaterletak jauh lebih dalam, yakni dalam kompleksitas perpolitikanIndonesia sebagai cerminan dari keragaman elite politik Indonesia,pluralitas masyarakat Indonesia, dan polivalensi kenangan-kenangan kolek tif dan kondisi-kondisi kultural masyarakatIndonesia.

Inteligensia dan ulama-intelek Indonesia sebagai elite pe -nguasa yang dominan, mengalami diferensiasi struktural dankultural yang tajam. Secara ekonomi, mereka bukanlah sebuahkelas tunggal yang bisa membentuk sebuah kelompok teknokrattunggal. Secara kultural, mereka berafiliasi dengan beragamkelompok solidaritas kultural. Pada akhir revolusi kemerdekaan,sebuah blok historis bersama, yang telah membentuk kehendak

Page 444: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

424 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

bersama selama masa penjajahan, tiba-tiba saja menjadi anakro -nisme dan kehilangan efektivitasnya untuk memperta hankanpersatuan nasional di tengah pelbagai problem dalam-negeriRepublik yang baru merdeka itu. Dengan runtuhnya blok historisitu, Indonesia kembali ke watak aslinya: sebuah masyarakatplural.

J.S. Furnivall (1980) mencirikan masyarakat plural itu seba -gai masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen atautatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tanpa meleburdalam satu unit politik. Dalam masyarakat semacam itu, menurut -nya, “tak ada kehendak bersama kecuali, mungkin, dalamperkara-perkara yang amat mendesak, misalnya melawan agresidari luar”. Ketia daan kehendak-bersama itu menjadikan upayamembangun sebuah bangsa dalam masyarakat seperti itu sebuahtugas yang teramat berat.38

Beratnya tugas untuk menanamkan demokrasi dalam sebuahmasyarakat yang plural tidak dengan sendirinya berarti bahwamasyarakat seperti ini tak sejalan dengan demokrasi. ArendLijphart berargumen (1977) bahwa adalah mungkin untukmempertahan kan pemerintahan demokratis yang stabil dalamsebuah masyarakat plural sepanjang elite-elitenya bersedia bekerjasama. Namun, kerja sama itu tidak akan tercipta dengansendirinya. Dibu tuhkan sebuah kerangka solidaritas bersamayang baru, yang bergantung secara inter alia pada nasionalismekewargaan (civic nationalism). Dalam kenyataan, jenis nasionalismeyang men dasarkan dirinya pada kewargaan yang inklusif dankeberadaban (Snder, 2000: 24) belum menjadi watak utamakomunitas politik Indonesia.

Ketiadaan keadaban (civility) ini mungkin mencerminkanketiadaan kehendak-bersama di kalangan masyarakat Indonesia

Page 445: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 425

sebagai sebuah masyarakat yang plural, tetapi yang lebih penting,hal ini berakar lebih pada ingatan traumatik pasca-penjajahan.Indo nesia pasca-kolonial bersifat sensitif terhadap kenanganakan pengalaman-pengalaman traumatik dan terhadap sikapkebencian yang diwarisi dari pertarungan identitas dalam periodekolonial. Salah satu problem paling krusial dalam menciptakanintegrasi bangsa dalam perpolitikan Indonesia adalah problemkenangan kolektif (collective memory). Meminjam penggambaranHomi Bhabha (1994): masa lalu dalam kenangan kolektif darisebagian besar orang Indonesia bukan hanya merupakan reservoardari bahan mentah bagi praktik dan pengalaman politik yangbisa diteorisa sikan secara berjarak, melainkan lebih merupakanakar dari pene muan-diri (self-invention) secara historis sebagaisumber utama pembentukan identitas-identitas kelompok. Maka,mengingat-kembali kenangan merupakan sebuah penghubungyang niscaya, tetapi sekaligus berbahaya, antara pengalamanmasa lalu dan persoalan identitas kultural.

Satu hal yang tampaknya membebani pikiran orang Indonesia,terutama di kalangan kelompok marginal, adalah kebijakankolo nial berupa segregasi dan favoritisme sosial. Kenangankolek tif ini tidak mati dengan tampilnya generasi baru. Karenatidak ada nya sebuah civil society yang sejati di Indonesia,medium bagi pem belajaran sosial secara kolektif dan bagiproduksi simbol-simbol politik secara dominan disuplai olehkelompok-kelompok komu nal. Melalui ritual-ritual peringatankembali yang dilakukan oleh kelompok-kelompok komunalinilah kenangan-kenangan itu diper tahankan. Jadi, kenangantraumatik terus bertahan karena kegagalan proses pembelajaransosial yang bersifat kolektif.39 Se cara umum, Indonesia padakurun waktu ini masih merupakan sebuah masyarakat yangkomunal, bukan asosiasional. Asosiasi-asosiasi sebagai katalis

Page 446: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

426 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

bagi proses transformasi masyarakat dari semangat komunalismemenuju semangat kewarganegaraan masih belum terbangunsecara luas.

Inteligensia-politisi, yang diharapkan membimbing komu -nitas politik ke arah keadaban politik (political civility), padake nyataan malah menyuburkan komunalisme. Karena tak memi -liki landasan ekonomi yang kuat, kelompok-kelompok inteligen -sia-politisi saling bersaing untuk menguasai birokrasi dan eko -nomi negara. Dan kehendak untuk mengontrol sumber-sumberdaya itu membutuhkan justifikasi sosial. Dalam konteks inilah,kepentingan-kepentingan komunal menjadi sebuah dalih yangkuat. Solidaritas kultural dan komunal kemudian dipolitisasida lam situasi-situasi konflik di mana isu-isu utamanya seringkali adalah kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi darielite politik.

Pemilihan umum pertama 1955 diharapkan menjadi sebuahtonggak bagi terciptanya perdamaian antar-elite, stabilitas poli -tik, dan tercapainya tujuan-tujuan nasional. Ternyata, mimpi itutak terwujud. Hasil pemilihan umum menetapkan keunggulanempat partai, tetapi tak satu pun meraih mayoritas. Keempatpartai tersebut adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI yang berturut-turut memperoleh 22,3%, 20,9%, 18,4%, dan 16,4% dari totalsuara yang sah (Feith, 1957: 58-59).40 Karena tak ada satu punpartai yang memenangkan suara mayoritas di parlemen dansebagian besar partai ingin masuk dalam kabinet, pemerintahanterbentuk dari koalisi yang luas. Kabinet yang dibentuk setelahpemilu me rupakan koalisi PNI dengan dua mitra besarnya,yaitu Masyumi dan NU, plus beberapa partai-partai kecil lainnya(Parkindo, Partai Katolik, PSII, IPKI, dan Perti), bahkan seorangwakil non-partai (H. Djuanda). Kabinet ini dinamakan KabinetAli Sastro amidjojo II yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo

Page 447: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 427

dari PNI se bagai perdana menteri dengan dibantu oleh MohammadRoem dari Masyumi dan Idham Chalid dari NU masing-masingsebagai wakil perdana menteri satu dan dua. Koalisi pemerintahanyang luas tetapi tanpa fondasi demokratis yang solid ini sekalilagi ditakdirkan untuk gagal.

Pada Desember 1955, pemilihan umum untuk memilih ang -gota Dewan Konstituante, yang merupakan sebuah lembagakhu sus yang bertugas menyusun rancangan dan mengesahkanUUD yang defintif bagi Republik Indonesia, ternyata jugamenunjukkan hasil yang sama. Jadi, tak ada satu pun partaipolitik satu atau aliran utama dalam masyarakat Indonesia yangmenang. Dua partai yang dianggap merepresentasikan aliranIslam dan aliran sekuler tak satu pun yang meraih dua pertigasuara yang ditetapkan sebagai basis legal untuk memutuskandraf dan mengesahkan UUD yang baru. Hal ini menyebabkanberlarut-larutnya rapat-rapat Konstituante, yang pada gilirannyamelumpuhkan sistem parlementer.

Diawali pada sesi rapat 10 November 1956 di Bandung,Kon stituante memang bisa mencapai kesepakatan mengenaibanyak prinsip fundamental termasuk isu-isu seputar hak asasimanusia, bentuk negara kesatuan, lembaga-lembaga negara(legislatif, ekse kutif, dan yudikatif), kekuasaan kepala negara,dan seterusnya (Na sution, 1995).41 Namun, ada satu isu yangkemudian menjadi isu paling krusial, yang memecah opini paraanggota Konstituante men jadi dua kubu yang tak dapatmenemukan kesepakatan. Isu ini adalah tentang dasar negara,atau lebih tepatnya etika negara, yang memicu terjadinya perangkata-kata antara para penganjur negara Pancasila dan merekayang mendukung negara Islam. Semua partai yang dianggapmerepresentasikan aliran sekuler bersatu untuk mendukungyang pertama, sedangkan semua partai yang dianggap

Page 448: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

428 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

merepresentasikan aliran Islam bersatu untuk mendukung yangkedua. Karena tak ada satu aliran pun yang menguasai duapertiga dari total suara, maka tak ada pemenang dan juga taktercapai kompromi.42

Akibat kemelut politik yang berlarut-larut itu, ekonomi negarasemakin merosot. Akhir revolusi kemerdekaan telah menciptakankerusakan parah terhadap infrastruktur ekonomi: transportasidan komunikasi, irigasi dan suplai energi listrik. Lingkunganekonomi makro juga tak stabil. Akibat defisit anggaran, pemerintahmeminjam uang dari Bank Indonesia. Suplai uang yang berlebihan(over-supply) memicu inflasi yang pada gilirannya memperlemahneraca pembayaran. Pada saat yang sama, investasi asing macet,tabungan dalam-negeri masih rendah, dan pengeluaran publiklebih cenderung ke sektor konsumsi. Selain itu, tak ada fondasiekonomi yang mampu menjadi landasan bagi integrasi nasional.Selain masih bertahannya kecenderungan ekonomi dualistik(antara sektor modern dan tradisional), ekonomi di pulau-pulauluar Jawa lebih cenderung terarah ke dunia luar ketimbang keJawa (Dick, 2002: 170-182). Beratnya problem ekonomi inidiperparah oleh sikap angkuh para pejabat elite, sikap sukapamer yang tak bermoral dari kalangan kaya baru, dan korupsidi kalangan pejabat negara dan pegawai peme rintah (Feith,1962: 463).

Semua faktor ini—ditambah upaya pemerintah pusat untukmemperbesar kekuasaannya, terutama lewat penarikan pajakper dagangan di luar Jawa—menjadi sumber kekecewaan danpembe rontakan daerah. Pada mulanya, beberapa gubernur didaerah mengkritik pemerintah pusat karena tidak memberikanotonomi. Kemudian, ketika “Jakarta” tak memberikan responsmemuaskan atas tuntutan mereka, kekecewaan-kekecewaandaerah di beberapa provinsi bergeser menjadi pemberontakan

Page 449: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 429

yang dipimpin oleh para komandan militer dan pemimpinpolitik di daerah.43

Represi dan ResistansiKegagalan pemerintahan parlementer untuk mengatasi kemelutpolitik dan ekonomi memberi alasan bagi tiga kekuatan-latenpolitik untuk memainkan peran menentukan dalam politik,yaitu Sukarno, TNI (terutama Angkatan Darat),44 dan PKI.Sepanjang periode 1950-1957, ketiga kekuatan ini tidakmemainkan peran aktif dalam pemerintahan.45 Tiga kekuatanitu kini disatukan oleh kehendak bersama untuk meraih kekuasaan.

Baik Angkatan Darat maupun PKI menyadari bahwa Sukarnomemiliki karisma politik sangat besar yang bisa dimanfaatkanuntuk mencapai tujuan-tujuan politik mereka sendiri. Sebaliknya,kemelut politik dan pemberontakan-pemberontakan daerahtidak memberikan pilihan lain kepada Sukarno kecuali bekerjasama dengan Angkatan Darat. Pada saat yang sama, dia jugamembutuh kan PKI sebagai sumber kekuatan untuk mendapatkandukungan rakyat sebagai penyeimbang kekuatan Angkatan Darat.Jadi, Angkatan Darat dan PKI menjadi mitra Sukarno yangpaling ber semangat. Pada saat yang bersamaan, mereka jugasaling ber saing dan saling berhadapan dalam pertarungan demikekuasaan politik.

Pada paruh 1956, Sukarno mulai secara eksplisit mengkritikefek merusak dari demokrasi parlementer bergaya Barat bagiper juangan revolusi bangsa yang dianggap masih jauh dariselesai. Dalam pidato yang gegap gempita pada 28 Oktober1956, dia menyebut partai-partai politik sebagai “penyakit” danmenyerukan agar mereka “dikubur” saja. Keinginan Sukarnountuk mengubur demokrasi parlementer memuncak setelah

Page 450: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

430 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

pengunduran diri Hatta dari kursi wakil presiden pada Desember1956.46 Maka, dalam pidato berikutnya pada 21 Februari 1957,dia mengkritik “demo krasi liberal” dan untuk pertama kalinyamendukung apa yang dia sebut sebagai “Demokrasi Terpimpin”,yaitu demokrasi dengan kepemimpinan.47 Setelah sederetanpidato yang mengkritik tajam ketidakcocokan demokrasi bergayaBarat dengan kondisi-kondisi Indonesia, dia melakukan pidatoyang dijuduli “konsepsi” pada 21 Februari 1957, yang berisiusulan-usulan alternatifnya. Pre siden mengusulkan pembentukanpemerintahan baru yang dida sar kan pada Kabinet GotongRoyong, yang akan mengakomo dasi semua partai besar termasukPKI. Dia juga mengajukan usulan pembentukan Dewan Nasionalsebagai lembaga penasihat bagi pemerintah, yang akan lebihmerepresentasikan kelompok-ke lompok fungsional (para buruh,petani, pemuda, perempuan, agama, daerah, dan sebagainya)ketimbang partai-partai politik.

Kesempatan bagi Sukarno untuk menerapkan “konsepsi”-nya itu muncul menyusul dikeluarkannya maklumat perangdarurat yang didukung militer setelah meletusnya pemberontakan-pem berontakan daerah di Sulawesi dan Sumatra.48 Pemberontakan-pemberontakan itu men jadi alasan bagi kepala staf AngkatanDarat, Mayor Jenderal Nasution, untuk mengakhiri demokrasiparlementer dengan me minta Presiden Sukarno menyatakanber lakunya hukum darurat (martial law) di seluruh Indonesia.Ter pukul oleh perpecahan internal dan me luasnya pemberontakandi daerah, Perdana Menteri Ali Sastro amidjojo membubarkankabi netnya pada 14 Maret 1957. Pada hari yang sama, Sukarnomenya takan berlakunya hukum darurat yang membuka jalanbagi keter libatan aktif Sukarno dan Angkatan Darat dalamperpolitikan dan urusan-urusan sipil.

Dengan diumumkannya pemberlakuan hukum darurat,

Page 451: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 431

berakhirlah eksperimen demokrasi konstitusional. Mayor JenderalNasution segera diangkat sebagai Penguasa Perang Pusat dan halini menandai keterlibatan militer dalam urusan-urusan non-mi -liter.49 Sukarno—yang mengangkat dirinya sendiri sebagai for -matur50 dalam kapasitasnya sebagai “warga negara Sukarno”—membentuk kabinet baru yang menandai awal pemberlakuankon sepsinya mengenai “Demokrasi Terpimpin”. Kabinet inidina mai Kabinet Karya dengan H. Djuanda, seorang insinyuryang dihor mati yang tidak berafilasi dengan partai politik manapun, sebagai perdana menterinya.

Saat Kabinet Djuanda disusun, PKI dan Angkatan Daratmela kukan pelbagai manuver untuk memperkuat posisi mereka.Pada saat itu, para anggota PKI mulai menginfiltrasi angkatanbersen jata lewat kontak-kontaknya dengan para perwira intelijenyang juga berusaha untuk menginfiltrasi PKI. Sementara itu,Kepala Staf Angkatan Darat, Mayor Jenderal Nasution, mulaime ru mus kan konsep “Jalan Tengah” sebagai landasan DwiFungsi ABRI, yang melegitimasi peran militer dalam urusan-urusan non-militer. Saat berbicara di depan Akademi MiliterNasional pada 11 November 1958, Nasution menegaskan bahwaAngkatan Darat tak akan pernah mengambil alih kekuasaanpemerintah seperti yang dilakukan oleh junta militer di AmerikaLatin, dan juga tak akan diam pasif secara politik sebagai alatpemerintah saja. Alih-alih, kepemimpin Angkatan Darat akanberbagi kekuasaan politik dengan sipil dalam kabinet, parlemen,dan lembaga-lembaga negara lainnya (Crouch, 1988: 24-25).Selaras dengan konsep ini, Angkatan Darat mulai mendirikanBadan Kerja Sama (BKS).51 Pendirian Badan Kerja Sama ini,yang akan bermetamorfosis menjadi Sekretariat Bersama GolonganKarya pada 1964, dimak sudkan untuk memperkuat AngkatanDarat sebagai kelompok fungsional sehingga menjamin posisinya

Page 452: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

432 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

baik dalam kabinet maupun dalam Dewan Nasional.

Jalan Angkatan Darat menuju kekuasaan difasilitasi olehpenguatan basis ekonominya dan peran-pentingnya dalam meng -hancurkan gerakan-gerakan pemberontakan di daerah. Kontrolmiliter atas sumber-sumber ekonomi dimulai melalui pengambil -alihan perusahaan-perusahaan Belanda pada 1957-1958. PadaDesember 1957, Nasution memerintahkan agar semua kekayaanBelanda berada di bawah pengawasan militer dan sebagian besarwarga Belanda dipulangkan kembali ke Belanda (Robison, 1986:72-73). Sementara itu, peran militer dalam mem pertahankanstabilitas politik menjadi lebih mengemuka ketika pemberon -takan-pemberontakan daerah mencapai klimaksnya pada 15Februari dengan proklamasi Pemerintah Revolusioner RepublikIndonesia (PRRI) di Padang (Sumatra Barat) yang melibatkantokoh-tokoh terkemuka Masyumi dan PSI.52

Krisis politik ini diperparah oleh kebuntuan rapat DewanKonstituante. Setelah berlangsung dua tahun, rapat Dewan Kon -stituante gagal mencapai kesepakatan mengenai dasar negara.Hal ini menjadi dalih bagi Sukarno untuk menentang keberadaanKonstituante. Pada 22 April 1959, dia menyampaikan pidato didepan Konstituante yang mengusulkan gagasan kembali ke UUD1945 yang dia yakini akan menghidupkan kembali semangat re -volusi. Atas usulan Presiden itu, Konstituante memutuskan mela -ku kan pemungutan suara pada 30 Mei 1959. Mayoritas sepakatdengan gagasan tersebut, tetapi tak berhasil meraih dua per tigatotal suara. Pelaksanaan pemungutan suara diulang kembalipada 1-2 Juni, tetapi hasilnya tetap sama. Pada hari berikutnya(3 Juni), Nasution sebagai Penguasa Perang Pusat, memutuskanuntuk me larang aktivitas-aktivitas politik. Pada 5 Juli 1959,Sukarno dengan dukungan penuh militer mengeluarkan DekritPresiden yang membubarkan Dewan Konstituante dan kembali

Page 453: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 433

ke UUD 1945.

Pengumuman dekrit tersebut menandai runtuhnya seluruhbangunan demokrasi konstitusional dan dimulainya pemberlakuanpenuh “Demokrasi Terpimpin” yang totalitarian. Secara insti -tusional, sejak 9 Juli dan seterusnya Sukarno mengangkat dirinyasebagai perdana menteri dari kabinet-kabinet Demokrasi Terpim -pin yang berlangsung hingga 1966. Dalam kabinet-kabinet ini,intelektual militer dan komunis memegang posisi dominan yangdidukung para intelektual dari PNI, NU, dan partai-partai lain,kecuali Masyumi dan PSI. Pada Juni 1960, Sukarno membubarkanDPR hasil pemilihan umum dan membentuk Dewan PerwakilanRakyat Gotong Royong (DPR-GR) dan Majelis PermusyawaratanRakyat Sementara (MPRS). Dalam kedua institusi baru itu, ang -katan bersenjata dan PKI sekali lagi memiliki wakil-wakilnya,sedangkan Masyumi dan PSI tidak.

Pemberlakuan “Demokrasi Terpimpin” melahirkan strukturpolitik yang baru. Secara ideologis, pada 17 Agustus 1959,Sukarno mulai menetapkan sebuah manifesto politik yang disebutsebagai Manipol-USDEK.53 Secara politik, dalam rangka menya -tukan semua kekuatan politik demi kepentingan “revolusi yangbelum usai”, dia mengusulkan dibentuknya kembali semacamblok nasional. Pilihan yang ditawarkannya: menghidupkankembali gagasan mengenai partai-negara yang bersifat monolitikatau mengurangi pengaruh partai-partai yang ada dan kemudianmenyatukannya dalam sebuah koalisi luas yang setia denganDemo krasi Terpimpin. Pada 1960, dia memutuskan untuk meng -ambil pilihan kedua. Hal ini melahirkan terbentuknya Nasakom(Nasionalisme, Agama, dan Komunisme).54

Doktrin Manipol-USDEK dan Nasakom menjadi ajaran-resmiideologi negara. Doktrin ini kemudian segera menjadi dis kur sus

Page 454: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

434 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

yang hegemonik di ruang publik. Doktrin itu diindok trina si kanke semua level pendidikan dan pemerintahan, dan bah kandiadopsi sebagai paradigma ilmiah yang memengaruhi pemi -kiran teoretis dan penulisan buku teks oleh intelektual akademis.Pers menjadi aparatus ideologi negara dan diwajibkan mendu -kung nya. Media massa yang menolak mendukung, seperti suratkabar dan majalah yang pro-Masyumi dan pro-PSI, dilarangterbit. Aki batnya, selama 1959-1961, oplah surat kabar merosottinggal se per tiganya, dari 1.039.000 eksemplar untuk 90 suratkabar men jadi 710.000 eksemplar untuk 65 surat kabar (Ricklefs,1993: 267).

Dengan introduksi Nasakom, aktivitas-aktivitas partai-partaimenjadi sangat terbatas dan tunduk pada kontrol tentara. Hanyaterdapat sepuluh partai politik yang hidup dalam sistem politikyang baru ini, yaitu PNI, PKI, Murba, NU, PSII, Perti, Parkindo,Partai Katolik, IPKI, dan Partindo. Partai yang terakhir inimeru pakan pecahan PNI pada 1958. Kesepuluh partai tersebutmenjadi inti Front Nasional. Selama periode 1959-1965, koalisisepuluh partai tersebut plus angkatan bersenjata—yang tidaktermasuk dalam slogan Nasakom, tetapi merupakan sekutu-kuat Sukarno—selalu dibayang-bayangi oleh bahaya perpecahankarena perbeda an-perbedaan besar dalam kepentingan-kepentinganideologi dan politik serta dalam tingkat kepercayaan terhadapdoktrin Nasa kom.55

Pertentangan antara kelompok-kelompok pro- dan kontra-Nasakom mendorong tumbuhnya solidaritas kolektif di antaraberbagai posisi subjek sehingga terbentuk struktur oposisi. Partai-partai oposisi itu pada intinya terdiri dari Masyumi dan PSI.Pada 24 Maret 1960, beberapa pemimpin partai tersebutdidukung oleh tokoh-tokoh garis keras dari partai Katolik,Parkindo, IPKI, dan NU mendirikan sebuah front oposisi, yaitu

Page 455: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 435

Liga Demokrasi.56 Namun, beberapa bulan kemudian, Sukarnomelarang liga ini dan kemudian menyatakan Masyumi dan PSIsebagai partai terlarang. Ketidakpercayaan yang telah lamadimiliki Sukarno terhadap para pemimpin kedua partai tersebut,serta keterlibatan beberapa pemimpin partai-partai tersebutdalam pemberontakan PRRI, dan penentangan partai-partaiterebut terhadap Demokrasi Terpimpin, menjadi alasan bagiSukarno untuk melarang kedua partai tersebut dan memenjarakanpara pemimpin mereka. Namun, para pengikut kedua partaiterus terlibat dalam gerakan-gerakan oposisi.

Selain dari jalur partai, oposisi juga datang dari lingkaran-lingkaran intelektual dalam masyarakat dan yang lebih pentinglagi, dari organisasi-organisasi mahasiswa, terutama yang secaraideologis dekat dengan Masyumi dan PSI. Pertarungan argumen-argumen mengenai definisi dan peran intelektual—yang seringdikacaukan dengan istilah “inteligensia”—berlangsung dalamruang publik (media dan rapat-rapat umum).

Segera setelah pemberlakuan keadaan darurat, MohammadHatta memperingatkan kaum terpelajar mengenai telah terjadinyapenyimpangan arah politik dan mengingatkan akan tanggungjawab intelektual untuk mengembalikan arah politik ke jaluryang benar. Saat berbicara di depan sivitas akademika UniversitasIndo nesia pada 11 Juni 1957, Hatta mengucapkan pidatoberjudul “Tang gung Djawab Moril Kaum Inteligensia”. Hattamengingat kan kaum terpelajar bahwa mereka memiliki tanggungjawab ganda, yaitu tanggung jawab intelektuil dan tanggungjawab moril. Dalam pandangannya, Revolusi KemerdekaanIndonesia telah berhasil membangun sebuah negara baru danidentitas nasional, tetapi gagal mengimplementasikan cita-citasosialnya karena ke mer dekaan politik hanya dimanfaatkan demikepentingan kelom pok dan pribadi. Politik tidak dianggap

Page 456: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

436 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

sebagai tanggung jawab bagi kebaikan bersama, tetapi disalah -gunakan semata-mata seba gai sarana untuk bagi-bagi kekayaandan jabatan di kalangan kelompok terbatas. Dia sangat mengecaminteligensia yang meng abaikan tanggung jawab sosialnya dantunduk pada hasrat material dan politik mereka. Mengutipkata-kata Julien Benda dalam karya seminalnya, La Trahison desClercs (Pengkhianatan Kaum Inte lektual),57 dia mengkritikintelektual yang lebih mengutamakan nafsu-nafsu politiknyadengan mengorbankan nilai-nilai universal dan moral sertamengkhianati tanggung jawabnya dan bangsanya (Hatta, 1957).

Selain itu, Hatta juga menggambarkan bahaya keterasinganintelektual akibat apa yang disebut Raymod Aron sebagai (1957)“candu para intelektual” (the opium of the intellectuals), yaitusebuah situasi ketika keterikatan intelektual pada suara-hatirakyat, demokrasi, dan tanggung jawab moral dikalahkan olehmitos revolusi-yang-belum-usai, sinisme, dan hasrat terhadapnilai-nilai aristokrasi. Ihwal kejahatan intelektual ini, dia menulissebuah artikel dalam Pandji Masjarakat (1 Mei 1960) berjudul“Demo krasi Kita”, berisi kritik tajam atas pelanggaran nilai-nilai demo kratis yang dilakukan oleh Presiden dan intelektualpendukungnya yang membuat impian kemerdekaan akandemokrasi menjadi mimpi buruk.58

Sebaliknya, Sukarno dan intelektual partisan yang berdiri dibelakangnya, mempromosikan kampanye anti-intelektual besar-besaran. Intelektual Indonesia yang menentang Demokrasi Ter -pim pin dan segenap turunannya digambarkan sebagai “sisa-sisa” dunia lama yang harus disapu bersih dari muka bumi.Mereka yang berkomitmen terhadap ilmu pengetahuan danpemikiran kritis serta menjaga jarak dari sikap partisan politikdituduh seba gai “textbook thinkers” (pemikir di atas kertas)(Soekito, 1966).59

Page 457: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 437

Di bidang sastra-kebudayaan, sastrawan Indonesia secaraumum terbelah menjadi dua kubu: “realisme sosial” versus “hu -manisme universal”. Yang pertama merupakan ideologi kebu -dayaan kaum kiri dan sastrawan pro-Sukarno yang meng idealkankontekstualisasi dan subordinasi ekspresi kebudayaan/artistikkepada realitas dan keharusan sosial tertentu sebagaimana yangdidiktekan oleh ideologi politik. “Humanisme universal”, di sisilain, merupakan ideologi kebudayaan oposisi kanan yang meng -idealkan kebebasan ekspresi kultural/artistik yang berkomitmenpada nilai-nilai universal kemanusiaan dan tidak dibebani ideologipolitik tertentu.

Organ utama “realisme sosial” adalah organisasi senimandan penulis PKI, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra),60 yangdi dukung front sastrawan PNI, Lembaga Kebudayaan Nasional(LKN).61 Kedua organisasi itu menuduh banyak penulis puisidan pengarang menunjukkan perhatian rendah terhadap realitasdi sekelilingnya karena terlalu asyik dengan kehidupan batinmereka sendiri. Dengan penilaian tersebut, kedua organisasi itumeng ajukan kritik pedas terhadap ekspresi kesenian “borjuis”.Atas du kungannya kepada Manipol-USDEK, Lekra dan LKNmenjadi basis legitimasi bagi ajaran resmi Sukarno.62

Sebagai reaksi atas serangan tajam para intelektual pro-Sukarno, pada Agustus 1963, para seniman “humanisme universal”dan intelektual oposisi memproklamasikan Manifes Kebudayaan(Manikebu). Di antaranya, teks itu berbunyi,

Kami, seniman dan intelektual Indonesia, bersama ini mem -bacakan Manifesto Kebudayaan yang menyatakan prinsip-prinsipdan cita-cita kami dan kebijakan kami ter ha dap Ke bu dayaanNasional. Bagi kami, kebudayaan me rupakan sebuah usaha yangterus-menerus untuk me nyem purnakan kondisi-kondisi kehidupan

Page 458: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

438 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

manusia. Kami tidak menganggap salah satu lapangan kebudayaansebagai lebih unggul daripada yang lain. Semua lapangankebudayaan saling berkaitan guna mencapai kebudayaan yangterbaik sesuai kemampuan me reka.63

Manifesto ini jelas mengisyaratkan kritik atas cita-citakebudayaan monolitik Lekra di mana politik sebagai panglimadan segala yang lain harus tunduk kepada tujuan politik (Teeuw,1979: 35). Serangan balik yang tajam diluncurkan oleh Lekradan LKN yang mencela kredo Manikebu tentang “humanismeuni versal” sebagai kontra-revolusioner karena mengandung biasim perialistik dan kapitalistik.64

Kemelut politik dan kebudayaan selama periode DemokrasiTerpimpin ini dibarengi dengan kejatuhan ekonomi Indonesia.65

Pada saat kondisi ekonomi memburuk, tingkat pengangguranterdidik melonjak tajam.66 Proses “proletarianisasi” intelektualini kemudian menjelma menjadi kekuatan penggerak bagi radi -kalisasi politik mahasiswa. Akibatnya, dunia akademik danmaha siswa selama awal-awal 1960-an sangat terpolitisasi, lebihdari yang pernah terjadi di masa lalu.

Di tengah kemelut politik dan ekonomi, permusuhan sengitantara PKI dan Angkatan Darat diperuncing oleh intervensiasing dalam urusan politik dalam negeri sebagai perpanjangan“perang dingin”.67 Dalam situasi semacam itu, strategi Sukarnountuk mem pertahankan perimbangan kekuatan antara dua kubuyang saling bersaing itu menimbulkan efek yang takdikehendakinya. Perseteruan ini akhirnya menimbulkan pergolakanberdarah pada bulan-bulan terakhir 1965.68

Setelah peristiwa Gerakan 30 September (Gestapu), MayorJenderal Suharto (lahir 1921), Panglima Kostrad (Komando Ca -

Page 459: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 439

dangan Strategis Angkatan Darat), mengambil alih kendali Ang -katan Darat. Didukung oleh organisasi-organisasi “sayap-kanan”,Angkatan Darat dengan sigap melakukan serangan mematikanterhadap pesaing politiknya yang paling kuat. Sekurang-kurang -nya ratusan ribu jiwa—pimpinan, anggota, dan bahkan yangdidu ga sebagai simpatisan PKI—dibunuh atau dipenjarakan.Setelah Angkatan Darat memegang kendali atas aktivitas-aktivitaspolitik, era Sukarno pun berakhir.

Hingga awal 1966, ide Indonesia-tanpa-Sukarno nyaris takterbayangkan. Mistifikasi atas daya karismanya sedemikianhingga tak ada satu kelompok politik pun yang bisa memba -yang kan Indonesia tanpa Sukarno. Pada akhir 1966, sejumlahsurat kabar masih memuat artikel-artikel seputar “AdjaranPemimpin Besar Revolusi Bung Karno”. Gebrakan dalammendemistifikasi kan karisma Sukarno lagi-lagi dilakukan olehpemuda, yang meru pakan generasi baru mahasiswa yang sadar-politik. Sejak akhir 1965, organisasi-organisasi mahasiswa,terutama yang secara ideologis dekat dengan kelompok-kelompokpolitik oposisi, ber satu dalam beberapa front-bersama untukmemobilisasi de mon strasi-demonstrasi dengan dukungan AngkatanDarat yang me nuntut pembubaran PKI dan pemakzulan rezimSukarno.

Ketika gerakan mahasiswa menguat, beberapa terbitan yangpernah dilarang atau ditutup selama periode Demokrasi Terpim -pin, dengan segera terbit kembali dengan memanfaatkan momenitu untuk melakukan balas dendam terhadap rezim “Orde Lama”Sukarno. Para sastrawan kritis yang telah menulis dan menerbitkankarya-karya beberapa tahun sebelum 1966 dan memiliki sema -ngat-bersama untuk melawan represi politik dan tirani OrdeLama, kini menulis dengan tenaga baru. Karakteristik utamakarya para sastrawan ini, dikenal sebagai Generasi 1966, adalah

Page 460: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

440 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

sastra perla wanan, terutama dalam bentuk puisi yang terbitpada 1966 oleh para penyair seperti Taufiq Ismail, MansurSamin, Abdul Wachid Situmeang, dan Bur Rasuanto.69 Karya-karya mereka mengeks presi kan harapan akan datangnya OrdeBaru yang mereka yakini akan memulihkan demokrasi danstabilitas yang telah hilang selama Orde Lama.

Jatuh-Bangun Islam PolitikKetika “tujuh kata” Piagam Jakarta tidak dicantumkan dalamPem bukaan UUD 1945, tokoh-tokoh Islam politik telah gagaldalam upaya memenangkan klaim-klaim Islam mereka. Bagibeberapa pemimpin Islam, kegagalan ini membekaskan kenanganyang me nyakitkan. Sekumpulan kenangan seputar pengalamanmenya kitkan ini yang dirasakan para pemimpin Muslim ditemukandalam karya Endang Saifuddin Anshari (1981. 1997). Sebagaiilustrasi, Prawoto Mangkusasmito menulis, “Mengapa rumusanPiagam Jakarta yang dicapai melalui pelbagai kesulitan dan me -nguras otak dan energi para pemimpin nasional kita, berubahdalam beberapa menit saja dalam rapat Panitia Persiapan Kemer -dekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945? Mengapa, mengapa,mengapa?” (Anshari, 1997: 48). Dengan dicoretnya “tujuh kata”itu, frasa yang ada menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, danini tidak memiliki kandungan yang khas Islam. Frasa itumerupakan konsep umum dan netral tentang Tuhan, yang bisadiberlakukan bagi siapa saja yang menyembah Tuhan, sebagaimanayang dite gaskan dalam pidato awal Sukarno di depan BPUPKI.Sejak saat itu, Indonesia menggariskan (dalam kadar tertentu)pemisahan politik dari agama dan sekaligus perluasan spektrumkebijakan untuk menjalankan fungsi-fungsi pengaturan di bidang-bidang kehidupan sosial yang sebelumnya berada di bawah

Page 461: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 441

yurisdiksi agama.70

Proses sekularisasi, bagaimanapun, tidak mesti dipahamisebagai lenyapnya ekspresi dan identitas agama di dunia politik.Karena sebagian besar penduduk masih berorientasi pada agamadan sepanjang politik kewargaan (civic politics) pada masyarakatmodern Indonesia masih lemah, partai-partai massa berbasisagama akan terus menjadi kekuatan politik utama. Sepertidipaparkan oleh Geertz (1973: 44),

Dalam masyarakat modern yang memiliki tradisi politik-kewargaan yang lemah dan persyaratan teknis bagi peme rintahanberorientasi kesejahteraan (welfare govern ment) yang efektifmasih kurang dipahami, ikatan-ikatan primordial cenderung,seperti yang diamati Nehru, secara berulang-ulang—dan dalambeberapa kasus hampir secara kontinu—diangkat dan dianutsecara luas sebagai dasar untuk menarik garis demarkasi dariunit-unit politik yang otonom.

Di samping itu, dalam masyarakat yang bercirikan pluralis meagama, agama acap digunakan sebagai simbol identitas dankepercayaan diri. Partai-partai massa berbasis agama muncul se -bagai respons terhadap konflik laten atau aktual yang terjadidalam masyarakat plural-agama demi melindungi kepentingan-kepen tingan komunal. Komunitas-komunitas agama menjaditerpoliti sasi dalam situasi-situasi konflik, kendati isu-isu yangsebenarnya lebih bersifat sosial, politik, dan ekonomi (Smith,1970: 137).

Ide-ide dan identitas-identitas agama dalam perpolitikanIndonesia masih tetap kuat karena proses sekularisasi padakultur politik Indonesia masih jauh dari tuntas. Sekularisasi

Page 462: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

442 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

kultur politik merupakan persoalan kompleks karena melibatkanperubahan-per ubahan mendasar dalam nilai-nilai, dan karenaitu tak bisa se cara efektif diarahkan oleh elite penguasa dalamtempo singkat. Persetujuan massa terhadap proses sekularisasikultur politik juga jauh lebih sulit dicapai dalam masyarakatMuslim. Bagi sebagian besar Muslim, memahami agama semata-mata sebagai urusan pribadi dan karena itu menjalankan kesalehanpribadi sembari mempraktikkan politik secara sekuler sepenuhnyaadalah nyaris tak terbayangkan, meski dimungkinkan secarahistoris.

Sebagian karena efikasi nilai-nilai agama sebagai kerangkareferensi sosial dan sebagian karena munculnya tantangan terus-menerus dari partai-partai politik dan gerakan-gerakan yangber orientasi agama, proses sekularisasi di Indonesia sangatberbeda dengan yang terjadi di dunia Barat. Sekularisme radikaldi Indo nesia masih merupakan fenomena anomali karenaindividu-indi vidu sangat sekuler masih merupakan minoritaskecil. Rezim-rezim pemerintahan Indonesia, hingga kadar tertentu,masih mendukung dan sekaligus mengontrol pengajaran daninstitusi-institusi agama. Pemerintah juga memainkan peransignifikan dalam proses per kembangan Islam. Sebuah departemenkhusus dibentuk pada 1946 untuk menangani urusan-urusanagama, yaitu Departemen Aga ma.71 Yang membuat kebijakan inidipandang sekuler ialah sub ordinasi Islam di bawah ide-ide dankepentingan-kepentingan nasional.

Ketika kenangan traumatik Muslim post-kolonial munculkem bali akibat marjinalisasi aspirasi-apsirasi Islam pada saat ke -la hiran Republik, beberapa pemimpin poltik Muslim terus ber -juang meraih posisi yang layak bagi umat Islam di negara barutersebut. “Umat Muslim,” kata C.S.O. van Nieuwenhuijze (1958:65), “menganut keyakinan yang eksplisit bahwa selama periode

Page 463: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 443

kolonial, pemerintahan kolonial menempatkan mereka dalamposisi yang tak layak, bahwa mereka telah menjadi korban darisikap-sikap dan tindakan-tindakan yang diskriminatif, dan karenaitulah situasi ini haruslah diakhiri. Ekspektasi-ekspektasi danke kuatan-kekuatan itu kini ditunjukkan melalui Partai Masyumi.Sebagai sebuah federasi kelompok-kelompok politik Islam, partaiini diharapkan bertindak sebagai kendaraan baru bagi ideologiIslam dan menjadi titik temu untuk memperkukuh solidaritasdan identitas Islam.72

Benih perpecahan di tubuh Masyumi ternyata mengecambahsejak dini. Komposisi kepemimpinan partai terlalu didominasiinteligensia modernis dan ulama-intelek reformis. Karena karak -ternya yang sangat urban dan modernis, kepemimpinan partaiha nya memberi sedikit ruang bagi ulama tradisionalis yangberakar kuat di tingkat lokal. Hal ini tampak jelas dalamkomposisi pengu rus besar Masyumi yang pertama. Figur-figurmodernis terkenal, seperti Sukiman Wirjosandjojo, AbikusnoTjokrosujoso, dan Wali Alfatah berturut-turut menjadi ketua,wakil ketua satu, dan wakil ketua dua. Harsono Tjokroaminotomenjadi sekretaris satu dibantu oleh Prawoto Mangkusasmitosebagai sekretaris dua. Di antara anggota Pengurus Besar, jugaada intelektual modernis terkemuka, seperti Mohammad Natsirdan Mohammad Roem.73 Ulama tra disionalis hanya memegangposisi dominan dalam Majelis Syuro,74 yang tak memilikipengaruh besar terhadap proses peng ambilan keputusan partai.

Sejak awal pembentukannya, organisasi tradisionalis SumatraBarat, Perti, menolak bergabung dengan Masyumi karena rivali -tasnya yang telah berlangsung lama dengan para pemimpinreformis-mo dernis lokal. Perti kemudian mendirikan partainyasendiri pada Desember 1945. PSII pra-pendudukan Jepang,yang dilarang semasa pendudukan Jepang, bergabung dengan

Page 464: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

444 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Masyumi. Namun, kerja sama itu tidak bertahan lama. Parapemimpin PSII, kebanyakan terdiri dari inteligensia Muslimgenerasi tua, merasa posisi yang mereka duduki dalam Masyumitidak setinggi yang seharusnya mereka terima sebagaimana yangpernah mereka miliki dalam gerakan-gerakan Islam pra-pendudukan Jepang. Alasan PSII untuk memisahkan diri daripartai itu muncul setelah Masyumi menolak bergabung denganKabinet Syarifuddin pada 1947. Syarifuddin, yang membutuhkandukungan politik Islam bagi kabinetnya, mendekati para pemimpinPSII dan menawarkan kepada mereka pos-pos menteri. Parapemimpin PSII menanggapi nya dengan mengundurkan diri dariMasyumi dan menjadi organi sasi politik yang berdiri sendiripada Juli 1947 (Noer, 1987: 76-77). Karena Perti dan PSIIhanya merupakan partai-partai kecil, pemisahan diri merekadari Masyumi tidak berdampak serius terhadap daya tawarIslam politik. Situasi ini tentu saja berbeda ketika NU, sebagaiorganisasi Islam terbesar di negeri ini, meng ikuti langkahkeduanya.

Para pemimpin NU sangat kecewa bukan hanya karenadominasi pemimpin reformis-modernis di tubuh Masyumi,melainkan juga karena sebagian besar pos kabinet untuk jatahMasyumi diberikan kepada intelektual yang berpendidikan Baratyang memiliki kedekatan dengan Muhammadiyah. Meski demi -kian, selama beberapa tahun, NU masih mempertahankan keter -ikatannya dengan Masyumi. Hal ini terutama karena para pe -mimpin NU masih diberi posisi-posisi kunci. Sejak Oktober1946 hingga Februari 1952, NU selalu mendapatkan jatah satuatau lebih menteri setiap kali Masyumi memimpin atau berakolisidalam kabinet. Para pemimpin NU juga memainkan peran-peran penting dalam kepemimpinan organisasi-organisasi gerilyaIslam, yaitu Hizbullah dan Sabilillah, dan dalam Majelis Syuro.

Page 465: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 445

Faktor-faktor ini dikukuhkan berkat kemampuan Sukiman,sebagai ketua pertama Masyumi (1945-1949), dalam memper -tahankan kedekat annya dengan para pemimpin NU.75 Meskidemikian, ketika organisasi-organisasi gerilya semakin kehilanganrelevansi pasca revolusi kemerdekaan, dan ketika kewenanganMajelis Syuro sebagai dewan legislatif diturunkan menjadi dewanpenasihat-agama di tubuh Masyumi pada 1949, dan tampilnyaNatsir sebagai ketua baru Masyumi pada tahun yang sama,76

para pemimpin NU menjadi semakin kecewa, yang memuncakdengan keluarnya NU dari Masyumi pada April 1952.

Selama masa revolusi kemerdekaan, ancaman musuh dariluar telah meredam ketegangan ideologis antara Masyumi danpartai-partai politik sekuler. Menurut Feith, anggota-anggotadari kelompok Sukiman, yang sebagian besar telah lama berkiprahda lam kepengurusan Masyumi, memiliki hubungan-hubunganpolitik dan pribadi yang lebih dekat dengan Sukarno dan parapemimpin PNI ketimbang anggota-anggota kelompok Natsir.Se dangkan kelompok Natsir, yang terutama terdiri dari parainte lektual generasi kedua yang muncul selama masa revolusikemer dekaan, memiliki hubungan-hubungan politik dan pribadiyang lebih dekat dengan Syahrir dan para pemimpin PSIketimbang kelompok Sukiman (Feith, 1962: 137).77 Namun,Natsir dan Su karno sesungguhnya masih menjalin hubunganbaik selama pe riode tersebut. Seperti diakui oleh Natsir:

Di Yogyakarta selama masa revolusi kemerdekaan, saya adalahsalah satu di antara menteri-menteri yang memiliki hubunganpaling dekat dengan Sukarno. Sukarno sering mengundang sayauntuk sarapan di istana presiden. Selama masa itu, saya menulishampir semua pidato Presiden Sukarno untuk peringatan harikemerdekaan Indonesia. Hubungan kami sedemikian dekat

Page 466: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

446 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

sehingga setiap kali beliau meninggal kan negeri ini, sayalahorang pertama yang diundang untuk menemaninya. Polemik-polemik yang tajam di antara kami pada 1930-an mengenaidasar negara Indo nesia merdeka telah terlupakan.78

Berkat hubungan-baik Natsir dengan Sukarno, yang diperkuatdengan inisiatif Natsir untuk mengajukan “Mosi Integral Natsir”,Natsir berhasil meraih dukungan Sukarno untuk menjadi perdanamenteri pertama Negara Kesatuan RI setelah bubarnya peme -rintahan RIS pada Agustus 1950.79 Sebaliknya, memburuk nyahubungan dengan Sukarno membuat Kabinet Natsir bubar padaMaret 1951. Persahabatan Natsir dan Sukarno memburuk akibatperbedaan sikap dalam persoalan Irian Barat.80 Meskipun Natsir,sebagaimana Sukarno, bersikap kritis terhadap penolakan pihakBelanda untuk menegosiasikan solusi yang memuaskan dalampersoalan Irian Barat, dia memandang pendekatan-konfrontasiSukarno bersifat kontra-produktif dan tidak pada tempatnya.Dalam pandangannya, posisi konstitusional Sukarno sebagaipre siden kepala negara tidak membolehkannya untuk terlibatdalam masalah luar negeri (Panitia Peringatan, 1978b: 117-120).81 Hu bungan antara dua pemimpin itu semakin memburukdan tidak pernah terpulihkan. Ketegangan hubungan antarakedua pemimpin itu membuat PNI, yang tidak masuk dalamKabinet Natsir, me miliki kesempatan untuk menentang kabinet.Akibat kegagalan kabinet Natsir dalam menanggapi mosi yangdiajukan oleh S. Hadikusumo dari PNI, yang meminta pemerintahuntuk mencabut PP No. 39 dan “membekukan” dewan-dewandaerah, Natsir me nyerahkan kembali mandatnya kepada presidenpada 21 Maret 1951.82

Kejatuhan kabinet Natsir tidak dengan sendirinya otomatismengakhiri peran politik Masyumi. Sukiman kemudian diangkat

Page 467: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 447

menjadi perdana menteri menggantikan Natsir.83 Hal ini dimung -kinkan oleh hubungan baiknya dengan Sukarno, dan kemampuan -nya untuk meyakinkan PNI agar bergabung dengan pemerintahankoalisi. Namun, ketegangan hubungan antara pemerintah danAngkatan Darat menjadi persoalan serius bagi keberlangsungankabinet itu.84 Setelah muncul kontroversi seputar kesediaanMenteri Luar Negeri untuk menerima bantuan AS dalam bentukMutual Security Act (MSA) pada 1951, kabinet Sukiman dituduhtelah bersikap pro-Barat dalam kebijakan luar negerinya sehinggadidesak untuk mundur. Lebih buruk lagi, pengurus Masyumi,setelah diketuai Natsir, tidak bersedia mendukung kabinet Suki -man dan tidak mau bertanggung jawab atas penandatanganankesepakatan MSA itu. Pada 23 Februari 1952, Sukiman menyerah -kan kembali mandatnya kepada Presiden.85

Dua kabinet berikutnya dipimpin oleh PNI (Kabinet Wilopodan Kabinet Ali Sastroamidjojo I). Kepemimpinan PNI dalamkedua kabinet ini memunculkan problem krusial bagi Masyumipada khususnya dan Islam politik pada umumnya. Konflik-konflik internal di tubuh Masyumi semakin mengemuka setelahterjadi krisis Kabinet Sukiman yang diikuti dengan pengundurandiri Sukiman. Pada awalnya (1 Maret), Presiden Sukarno me -nunjuk Sidik Djojosukarto dari PNI dan Prawoto Mangkusasmitodari Masyumi sebagai formatur untuk membentuk kabinet baru.Dalam proses negosiasi komposisi kabinet, Prawoto menghadapitantangan serius karena konflik tajam di tubuh partainya sendiri.Kelompok Sukiman, yang kecewa dengan keputusan partaidalam persoalan kesepakatan MSA, sekali lagi mengajukan namaSuki man sebagai perdana menteri yang baru. Pada saat yangsama, K.H. Abdul Wahab Chasbullah (dari NU) secara terbukamenya takan bahwa NU akan meninjau kembali afiliasinya denganMasyumi kecuali jika partai tersebut bersedia menunjuk Sukiman

Page 468: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

448 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

untuk menduduki posisi perdana menteri dan Wachid Hasjimdiangkat kembali sebagai menteri agama.86 Konflik internal inimelemahkan daya tawar Prawoto di hadapan Sidik. Negosiasi-negosiasi mengenai pengisian posisi perdana menteri dan menteritidak bisa mencapai kesepakatan dan hal ini menyebabkanformatur gagal membentuk kabinet baru (Feith, 1962: 225-237).

Pada 19 Maret, Sukarno menunjuk Wilopo dari PNI sebagaiformatur baru. Masyumi menunjuk kembali Prawoto sebagaiwakil Masyumi dalam negosiasi dengan Wilopo dalam prosespembentukan kabinet yang baru. Prawoto mengajukan kepadaWi lopo beberapa kandidat menteri yang diajukan oleh Masyumi.Di sisi lain, Wahab Chasbullah sekali lagi meminta Prawotountuk hanya menominasikan Wachid Hasjim sebagai menteriagama. Dia berargumen bahwa meski para pendukung utamaMasyumi berasal dari NU dan Muhammadiyah, dalam kabinet-kabinet sebelumnya, Muhammadiyah selalu diberi setidak-tidaknya dua posisi menteri, sedangkan NU paling banyak hanyamendapat satu. Untuk mempertahankan persatuan partai, kataChasbullah, Ma syumi perlu berlaku adil dengan memberi NUposisi menteri aga ma. Prawoto tidak berkeberatan denganpenunjukan kembali Wachid Hasjim sebagai menteri agama,tetapi dia menyerahkan keputusan akhir kepada Wilopo. Halini tidak memuaskan Chas bullah karena tidak ada jaminanbahwa Hasjim pasti akan terpilih. Ketidakpastian ini semakinkuat setelah seorang pemimpin Islam modernis, Hamka,berargumen bahwa dibutuhkan wajah baru untuk mendudukijabatan menteri agama karena Wachid Hasjim telah mendudukijabatan menteri agama tiga kali berturut-turut (Noer, 1987:221-222).87

Prawoto lalu menyerahkan kembali persoalan ini kepada

Page 469: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 449

keputusan partai. Sementara mekanisme partai untuk menjawabkeluhan NU sedang berjalan, Chasbullah mengambil langkahnyasendiri. Dengan memotong prosedur partai, dia pergi menemuiWilopo untuk mengajukan tuntutan NU dan menyampaikansurat-surat keluhannya kepada Masyumi. Pihak pengurus Masyumimengajukan keberatan terhadap manuver-manuver politik Chas -bullah ini dan kemudian mengambil keputusannya sendiri me -ngenai posisi menteri agama yang didasarkan pada prosedur-prosedur pengambilan keputusannya sendiri. Menurut aturanper mainan Masyumi, basis bagi penunjukan calon tidak bolehatas dasar elemen-elemen politik yang ada dalam partai, tetapiharus didasarkan pada siapa pun yang terpilih oleh mekanismedemo kratis partai. Berdasarkan pada suara mayoritas, FakihUsman dari Muhammadiyah terpilih sebagai calon partai untukmendu duki jabatan menteri agama dengan portofolio. DanWilopo se tuju untuk mengangkatnya sebagai menteri agamayang baru (Noer, 1987: 86).88

Namun, biaya yang harus dikeluarkan untuk keputusan inisangatlah besar. Pada 5 April 1952, rapat NU di Surabayamemu tuskan NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partaipolitik tersendiri. Selain karena perbedaan-perbedaan teologisdan ideo logis dengan elemen-elemen modernis-pembaru ditubuh Ma syumi, keputusan ini merupakan puncak dari sederetanketidak puasan NU terhadap posisi politiknya yang marginal.Marginalitas ini—yang serupa dengan yang dialami Islam politikpada saat kelahiran Republik—tidak selalu disebabkan olehsikap bermu suhan yang ditunjukkan oleh kelompok-kelompokpolitik lain. Marginalitas itu lebih cenderung disebabkan olehbertahannya hierarki pengetahuan yang bersifat kolonial yangmenempatkan penguasaan atas pengetahuan saintifik modernsebagai tolok ukur prestasi manusia.

Page 470: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

450 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Selain masalah patronase dan hasrat NU untuk mendapatkanposisi di pemerintahan, akar konflik ini terletak pada ketidak -serasian hubungan antara intelektual dan ulama. Masih terdapatsemacam kesadaran hegemonik bahwa orang-orang yang berlatarbelakang sekolah (modern-sekuler) Belanda dipandang lebihung gul dibandingkan yang berlatar belakang pendidikan agamatra disional. Idham Chalid (lahir 1921) dari NU mengakui halini:

Sebenarnya, keluarnya NU dari Masyumi tidak hanya karenapersoalan posisi politik ... tetapi lebih karena persoalan yanglebih prinsipiil .... Seseorang yang berlatar belakang pendidikanMULO menganggap seorang lulusan HIS lebih unggul ketim -bang lulusan tsanawiyah (sekolah agama menengah pertama).... Pada masa itu, tak bisa dibayangkan bahwa seorang lulusanunivesitas sekuler akan bersedia untuk membungkukkan dirikepada ulama sebagai tanda hormat. Bahkan, seorang lulusanAMS pada masa itu berbicara dengan K.H. Wahab Chasbullahdengan tangan bertolak pinggang yang mencerminkan sikapsuperior.89

Keluarnya NU dari Masyumi membebaskan para pemimpinNU dari dominasi para intelektual modernis dan memberimereka lebih banyak kesempatan untuk memperoleh posisi-posisi politik. Hal ini mulai menampakkan buahnya dalampembentukan Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Bukan hanya NUmendapatkan kembali jabatan tradisinya, yaitu menteri agama,dengan Masjkur sebagai pejabatnya, melainkan juga berhasilmenaikkan Zainul Arifin dalam posisi terhormat sebagai wakilperdana menteri.90 Di sisi lain, untuk pertama kalinya dalamperiode demokrasi konstitu sional, tak satu pun wakil Masyumi

Page 471: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 451

yang duduk dalam kabinet. Karena semakin meningkatnyaprotes-protes daerah dan etnik serta berkembangnya konflikinternal di tubuh Angkatan Darat selama dan setelah KabinetWilopo, Masyumi bersama dengan PSI mengajukan gagasanuntuk kembali ke bentuk kabinet pre sidensial dengan Hattasebagai perdana menterinya. Namun, PNI tidak menerimakabinet presidensial ini karena menilainya sebagai tindakaninkonstitusional kecuali jika Hatta mengun durkan diri sebagaiwakil presiden. Mohammad Roem dari Ma syumi dan SarmidiMangunsarkoro kemudian ditunjuk sebagai formatur.91 Munculkemudian tuduhan bahwa Masyumi menunjuk figur Roem yangkontroversial agar formatur gagal sehingga kemudian bisakembali mengangkat Hatta. Tuduhan itu tidak hanya menggagalkanupaya Roem dan Sarmidi untuk membentuk kabinet baru, tetapijuga membuat Masyumi absen dari Kabinet Ali yang kelakterbentuk.

Pengunduran diri Kabinet Ali I pada 24 Juli 1955 karenaperselisihan yang tak terselesaikan dengan Angkatan Darat,memberi kesempatan bagi Masyumi untuk menduduki jabatanperdana menteri. Setelah PNI menolak gagasan menjadikankem bali Hatta sebagai perdana menteri seperti yang diusulkanoleh tiga formatur (Sukiman dari Masyumi, Wilopo dari PNI,dan Assaat dari wakil independen), Burhanuddin Harahap dariMa syumi ditunjuk sebagai formatur baru, dan berhasil mem -bentuk kabinet baru.92 Kabinet ini melanjutkan pekerjaan kabinetAli I dengan mengadakan pemilihan umum pertama di Indonesia.Patut dicatat bahwa kabinet ini merupakan kabinet parlementerterakhir Indonesia yang dipimpin seorang politisi Muslim diIndonesia abad ke-20.

Selama lima tahun dominasi Muslim dalam kepemimpinanpolitik bangsa ini, partai-partai Islam menunjukkan komitmen

Page 472: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

452 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

positif terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Dengan berada dipusat perpolitikan Indonesia, para pemimpin Islam juga bisamelupakan kenangan-kenangan menyakitkan mereka menjadibasis politik-identitas mereka.93 Dengan demikian, mereka tidakterlalu terobsesi dengan klaim-klaim mereka akan pendirian ne -gara Islam.94 Hal ini bukan hanya dibuktikan dengan penolakanmereka terhadap gerakan Darul Islam pada 1950-an—merupakangerakan bersenjata yang bertujuan mendirikan negara Islam—melainkan juga dengan penghormatan mereka terhadap prosedur-prosedur dan mekanisme-mekanisme demokrasi.

Komitmen kuat terhadap prinsip-prinsip demokrasi ini ditun -jukkan oleh Natsir, yang merupakan representasi par ex cellenceIslam politik. Dalam kapasitasnya sebagai perdana menteri, diamenentang-keras pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat(1948-1962). Dia percaya bahwa konsep negara Islam tidakbisa dicapai melalui kekuatan bersenjata, dan konsep itu memangharus dianggap sebagai sebuah ideal, yaitu sesuatu yang belumtercapai dan masih jauh dari kenyataan pada masa itu. Di sisilain, dia menegaskan bahwa kaum Muslim harus memperjuangkantata politik yang demokratis. “Sejauh berkait dengan (pilihan)kaum Muslim, demokrasilah yang diutamakan karena Islamhanya bisa berkembang dalam sistem yang demokratis” (Kahin,1993: 161).95 Perdebatannya dengan Sukarno mengenai masalahIrian Barat mencerminkan kepatuhannya yang kuat terhadapaturan-aturan dan prosedur-prosedur demokrasi, bahkan meskipunkepatuhan yang kaku terhadap aturan-aturan permainan itumembuatnya menjadi agak tidak flekibel seperti yang terjadipada kasus per mintaan NU akan posisi menteri agama.96 KetikaMasyumi ber kuasa, dia tanpa ragu-ragu mengakui Pancasilasebagai dasar ne gara Indonesia. Dalam pidatonya di depanPakistan Institute of World Affairs pada 1952, dia membela

Page 473: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 453

Pancasila sebagai selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Denganmenjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertamaPancasila, menurutnya, lima sila itu akan menjadi dasar etika,moral, dan spiritual bangsa In donesia yang selaras dengan tauhid(Natsir, 1954). Dia meng ulangi pandangan ini dalam pidatonyapada peringatan Nuzulul Al-Quran pada 1954:

Rumusan Pancasila merupakan hasil pertimbangan yang mendalamdi kalangan pemimpin nasional selama puncak perjuangankemerdekaan Indonesia pada 1945. Saya per caya bahwa dalammomen yang menentukan semacam itu, para pemimpin nasionalyang sebagian besar beragama Islam tidak akan menyetujuisetiap rumusan yang dalam pandangan mereka bertentangandengan prinsip dan doktrin Islam (Pa nitia Buku Peringatan,1978a: 244).

Persoalan mengenai klaim-klaim Islam atas politik Indonesiadihidupkan kembali oleh partai-partai politik Islam selama dansetelah kampanye Pemilihan Umum 1955. Dalam upaya memo -bilisasi dukungan Muslim di level akar rumput, partai-partaipolitik Islam menuntut pendirian “negara Islam” dan pemberla -kuan Piagam Jakarta. Dalam perjuangan demi kekuasaan, politikidentitas direproduksi dengan menghidupkan kembali kenangankolektif tentang subordinasi pada masa lalu.

Ternyata, Pemilihan Umum 1955 tidak menghasilkan keme -nang an bagi kelompok politik atau salah satu aliran besar manapun dalam masyarakat Indonesia. Aliran Islam hanya meraih43,9% dari total suara atau 45,1% dari total kursi di DPR. Daritotal 257 kursi di DPR, partai-partai Islam memperoleh 116kursi. Masyumi, NU, PSII, Perti, dan partai-partai Islam lain97

mem peroleh berturut-turut 57, 45, 8, 4, dan 2 kursi (Feith,

Page 474: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

454 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

1962: 434-435). Komposisi aliran Islam dalam DewanKonstituante menun jukkan hasil keseluruhan yang sama.

Karena PNI meraih persentase suara terbesar (22,3%),98 pada8 Maret 1956, Presiden Sukarno menunjuk pemimpin PNI, AliSastroamidjojo sebagai formatur. Dalam Kabinet Ali II ini,semua partai Islam besar memiliki wakilnya dalam kabinet.99

Namun, kabinet ini gagal karena perseteruan ideologis danpersonal yang sengit di tubuh kabinet serta perselisihan di tubuhAngkatan Darat yang menyulut pemberontakan-pemberontakandaerah.

Kontestasi utama antara partai-partai Islam dan non-Islamberlangsung di Dewan Konstituante. Betapapun terjadi perpecahaninternal di tubuh aliran-aliran Islam, ketika berhadapan denganpartai-partai non-Islam dan anti-Islam dalam persoalan-persoalanprinsip, mereka membentuk sebuah front bersatu. Partai-partaiIslam kini berupaya memperjuangkan Islam di Konstituante.Meski mencapai kesepakatan mengenai banyak persoalanfundamental, Konstituante gagal mencapai kompromi dalamperdebatan mengenai dasar negara (atau lebih tepatnya, bentuknegara). Kubu Islam berjuang demi terbentuknya sebuah negaraberdasarkan Islam, sedangkan kubu abangan, Kristen, dan sekulerbersatu dalam blok Pancasila yang mengusung sebuah negaraberdasarkan Pancasila (Boland, 1971: 85).

Menyebut kedua kubu sebagai kubu Pancasila dan non/anti-Pancasila sebenarnya tidaklah tepat. Sebagaimana dinyatakanoleh Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi, kubu Islamsesungguh nya sepakat dengan semua sila Pancasila. Di matanya,apa yang mem bedakan kubu Islam dengan kubu non-Islam ialahtuntutannya untuk mempertahankan “tujuh kata” Piagam Jakartadalam sila pertama Pancasila. Jadi, frasa “Ketuhanan Yang Maha

Page 475: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 455

Esa” sebagai sila pertama Pancasila, menurut argumentasinya,harus ditambah dengan anak kalimat “dengan kewajibanmenjalankan syariat Is lam bagi pemeluk-pemeluknya”. Bagikubu Islam, lanjutnya, tujuh kata itu menandai bahwa Islamsekarang telah berada di tempat yang layak dalam Indonesiamerdeka (Al-Ghazali, 1998b: 19-33). Hal ini menjadi lebihpenting saat berhadapan dengan ancaman PKI yang bermaksudmengubah sila pertama menjadi sila kebe basan beragama (Maarif,1985: 155). Namun, karena perbedaan-perbedaan dalampenggunaan kata dan efek konstruktif dari pela belan yangdilakukan oleh diskursus publik, kedua kubu itu di anggapsebagai representasi dari blok Islam dan blok Pancasila. Sejaksaat itu, seperti yang dicatat Feith, Pancasila, “yang sebelum nyaditerima para pemimpin politik Muslim sebagai simbol yangbisa mereka terima, setidak-tidaknya secara tentatif, sekarangmen jadi milik kalangan anti-Muslim” (Feith, 1963: 317).

Karena Konstituante tidak bisa mencapai kompromi, sejak1957 Sukarno berusaha keras menerapkan “Demokrasi Terpim -pin”. Sadar bahwa UUD 1945 memberikan kewenangan lebihbesar daripada UUD yang muncul kemudian dan karena itu,lebih mendukung rencananya untuk menerapkan “DemokrasiTerpim pin”, Sukarno memutuskan untuk kembali ke UUD 1945.Dari 5 Desember 1958, berlangsung “tukar pikiran” antaraPresiden dan kabinet. Pada 19 Januari 1959, kabinet secarabulat meloloskan resolusi untuk menerapkan Demokrasi Terpimpindalam kerangka kembali ke UUD 1945. Dalam 24 poin resolusitersebut, salah satunya (poin 9) menyatakan sebagai berikut:“Demi memenuhi harapan-harapan kelompok Islam, dalamkaitannya dengan upaya memulihkan dan menjamin keamananumum, keberadaan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 diakui.” Untukmendukung resolusi ini, Su karno berpidato di depan Konstituante

Page 476: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

456 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

pada 22 April 1959 yang sekali lagi menyerukan kembali keUUD 1945.

Perdebatan sengit segera terjadi di DPR maupun Konstituantemengenai status Piagam Jakarta dalam UUD 1945. Bagi kubunon-Islam, Piagam Jakarta hanyalah salah satu dari dokumensejarah yang dihasilkan dalam perjalanan sejarah rakyat Indonesiamenuju kemerdekaan. Oleh karena itu, Piagam Jakarta tidakbisa dan tidak boleh menjadi sebuah sumber hukum. Sebaliknya,bagi kubu Islam, Piagam Jakarta bukan hanya memengaruhiPem bukaan UUD 1945, melainkan juga seluruh batang tubuhUUD 1945, sehingga tetap terus memiliki makna hukum danbisa diper gunakan sebagai sebuah sumber hukum untukmenerapkan aturan-aturan Islam bagi umat Muslim.

Karena berlarut-larutnya perdebatan mengenai status PiagamJakarta, Sukarno pada akhirnya mengeluarkan sebuah DekritPresiden pada 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali ke UUD1945 dan membubarkan Konstituante. Dalam pembukaan Dekritini, dikatakan bahwa “Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 danmerupakan bagian integral dari UUD 1945”. Meskipun demikian,status “tujuh kata” tetap tidak jelas dan terus menjadi persoalankontroversial. Persoalan ini pada akhirnya tenggelam dalamhiruk-pikuk Manipol-USDEK dan Nasakom.

Selama periode Demokrasi Terpimpin, Masyumi mengalamidemoralisasi, terdiskreditkan, dan terpecah-belah. Sudah sejakFebruari 1958, keterlibatan para pemimpin Masyumi dalampem berontakan PRRI menyebabkan partai tersebut dilarang didaerah-daerah tempat pemberontakan tersebut meletus.Keterlibatan be berapa pemimpin dari kelompok Natsir dalampemberontakan tersebut menjadi alasan bagi kelompok Sukimanuntuk mengambil alih kepemimpinan partai. Namun, tindakan

Page 477: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 457

tersebut dikekang oleh para pendukungnya. Natsir tetap menjadiketua Masyumi hingga April 1959. Prawoto Mangkusasmitodari kelompok Natsir, sebagai ketua-partai baru (1959-1960),didesak oleh kedua kelompok yang bersaing di Masyumi, sertadari pihak oposan luar untuk mengutuk para pemimpin Masyumiyang terlibat dalam pemberontakan tersebut. Namun, diamenolaknya dengan alasan bahwa Masyumi sebagai sebuahorganisasi tidak memiliki hu bungan apa pun denganpemberontakan tersebut. Namun, fakta bahwa beberapa pemimpinMasyumi terlibat dalam pemberon takan tersebut telahmeninggalkan dampak psikologis dan politik jangka-panjang.Keterlibatan para tokoh Masyumi dengan pem berontakan PRRI,serta ketidakpercayaan para pemimpin Ma syumi terhadapSukarno dan penolakan Masyumi untuk menerima Manipol-USDEK dan Naskom, dijadikan dalih bagi Sukarno untukmelarang partai tersebut pada Agustus 1960. Sejak 1960 hingga1966, para tokoh Masyumi yang terlibat dalam pemberontakanPRRI dan yang menentang doktrin-doktrin Sukarno dipenjarakandengan lama hukuman yang berbeda-beda.100

Partai-partai Islam yang lain, yang membentuk persatuanyang bersifat longgar dalam Liga Muslimin,101 tidak memilikipilihan lain kecuali menerima Demokrasi Terpimpin. NU bahkanmelangkah lebih jauh dengan menjadi mitra strategis Sukarnodengan bersedia menjadi pilar utama Nasakom. Namun, keputusanini di kalangan NU sendiri tidaklah bulat. Bagi sayap garis kerasdi tubuh NU, seperti Mohammad Dachlan dan Imron Rosjadi,menentang Demokrasi Terpimpin merupakan keharusan moralkarena Demokrasi Terpimpin “melanggar prinsip-prinsip demo -krasi dan secara sewenang-wenang menurunkan pengaruh Islamdan menaikkan pengaruh komunisme” (Fealy 1996: 33). Namun,mayoritas pemimpin NU cenderung, seperti yang sering mereka

Page 478: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

458 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

lakukan pada masa lalu, mendukung pendekatan akomodasidari sayap pragmatis.102 Kalangan pragmatis NU menekankanpenting nya meminimalisasi risiko dan mempertahankan pengaruhpolitik sebagai upaya melindungi umat, terutama umat NU.Untuk men justifikasi pilihan politik ini dan yang lainnya, merekakembali kepada kaidah-kaidah politik tradisional yang lebihfleksibel.103 Di atas semua itu, pemimpin utama NU, WahabChasbullah, yang selalu sangat berpengaruh dalam prosespengambilan keputusan organisasi ini, cenderung semakin lebihdekat dengan Sukarno karena kecewa terhadap Masyumi.

Dengan pelarangan atas Masyumi pada 1960, peran Islampolitik secara umum merosot tajam. Akibat ketidakserasian hu -bungan dengan Sukarno dan kaum komunis selama periodeDemo krasi Terpimpin, beberapa kelompok Islam (terutamamantan pengikut Masyumi) tidak punya pilihan lain kecualimembangun aliansi strategis dengan Angkatan Darat danmeletakkan harapan mereka terutama kepada Jenderal Nasution.Kedekatan hubungan Angkatan Darat dan para pemimpinMuslim ini ditandai dengan pendirian secara bersama pada1963 Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTDI),104 dan keterlibatankelompok-kelompok Islam da lam Sekber Golkar yang disponsoriAngkatan Darat (berdiri 1964).

Setelah peristiwa Gerakan 30 September PKI, banyak kelom -pok aksi Islam menjadi mitra-dekat Angkatan Darat dalamupaya menghancurkan PKI dan pendukung Sukarno. Yang me -narik, NU, sebagai pilar utama Nasakom, dengan cepat mengubahperseku tuan politiknya dengan beralih ke Angkatan Darat. Disamping kemampuan NU dalam mengakomodasi “angin” politikyang te ngah berembus, meningkatnya kekuatan komunis didaerah-daerah pedesaan telah lama mengancam basis materialdan spiritual dari kyai-kyai dan masyarakat Islam tradisionalis,

Page 479: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 459

terutama akibat upaya PKI untuk mendesak pemberlakuan landreform. Jadi, saat legitimasi politik kaum komunis runtuh, Ansor(sayap pemuda NU) menjadi pendukung-gigih Angkatan Daratdalam membantai ribuan anggota dan simpatisan PKI (Hindley1970: 39).

Dalam bahasa politik, periode 1960–1965 merupakan masafrustrasi bagi Islam politik. Di sisi lain, periode ini juga menandaititik balik bagi perkembangan positif gerakan Islam kultural.Pada tingkat tertentu, perhatian Muslim mulai beralih daridunia po litik ke dunia pendidikan, pengajaran dan dakwahIslam, pener bitan, dan pelatihan kepemimpinan. Jadi, menghadapidislokasi po litik, dakwah Islam mulai berkonsentrasi kepembangunan sosio-kultural dalam komunitas Muslim, persissebagaimana pada periode kolonial, akibat frustrasi politik.

Transmisi Tradisi Politik Intelektual MuslimKemerosoatan peran politik generasi-kedua inteligensia Muslimtidak dengan sendirinya menghapus kenangan-kenangan danideo logi-ideologinya. Hal ini dikarenakan kendaraan-kendaraanuntuk mentransmisikan kenangan-kenangan dan ideologi-ideologiini telah tersedia, terutama dalam bentuk perhimpunan-perhim -punan pemuda-pelajar Islam.

Para pelopor dalam pendirian perhimpunan-perhimpuan inipada tahun-tahun awal Republik Indonesia setelah merdeka ter -utama berasal dari mahasiswa-mahasiswa STI/UII. Pada 2 No -vem ber 1945, Anwar Harjono dan para mahasiswa lain dari STIdengan dukungan para pemimpin Masyumi105 berupaya menya -tukan para mahasiswa dan pemuda Muslim dari berbagai aliranIslam dan latar belakang pendidikan dengan mendirikan GerakanPemuda Islam Indonesia (GPII). Perhimpunan ini pertama kali

Page 480: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

460 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

diketuai oleh tokoh pemuda pada periode pendudukan Jepang,yaitu Harsono Tjokroaminoto. Tujuan gerakan ini adalahpertama, meng organisasi para pemuda pelajar Muslim demiperjuangan revolusi kemerdekaan; kedua, menjadi lahan perekrutanbagi para pemimpin Islam di masa depan; dan ketiga, menjadipusat perte muan antara para pemuda pesantren dan pelajarsekolah-sekuler (Harjono & Hakiem 2002: 50). Perhimpunanini dengan segera men jadi sayap pemuda Masyumi dan turutterjun dalam perjuang an revolusi kemerdekaan. Jadi, sepanjangperjalanan sejarahnya, GPII tampil lebih sebagai organisasilasykar pemuda-pelajar Islam.

Seiring dengan pelonjakan jumlah pelajar Muslim sekolahmenengah dan tinggi, kepentingan khas kaum terpelajar tidakbisa dipuaskan oleh organisasi-organisasi pemuda yang adakarena yang disebut terakhir ini juga beranggotakan pemudakurang-terpelajar. Untuk mengakomodasi kepentingan khasmahasiswa, dibentuklah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)pada awal 1947, sedangkan untuk pelajar sekolah menengah,dibentuklah Pelajar Islam Indonesia (PII) pada akhir 1947. Padamulanya, kemunculan organisasi-organisasi ini ditentang olehGPII dengan alasan bahwa mereka bisa mengacaukan persatuanpemuda Islam (Sitompul, 2002: 2). Namun, dalam per kembangan -nya, ketiga organisasi itu bisa hidup berdampingan.

Pada Kongres Al-Islam yang diadakan di Solo (20-25 Oktober1945), para pemimpin Muslim dari berbagai aliran mengakuiGPII, HMI, dan PII—berturut-turut—sebagai satu-satunya per -him punan pemuda Islam, mahasiswa Islam, dan pelajar Islamyang sah (Sitompul, 1976: 39). Namun, perdebatan-perdebataninternal (Islam) dan peningkatan jumlah pelajar/mahasiswa Islam,dalam perkembangannya, merebakkan pertumbuhan pelbagaiorganisasi pelajar/mahasiswa Islam. Untuk menggambarkan

Page 481: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 461

perkembangan organisasi-organisasi pelajar/mahasiswa Islam inisebagai lahan persemaian bagi kepemimpinan komunitas politikIslam pada masa depan, akan disoroti empat organisasi terpenting:HMI, PII, PMII, dan IMM. Selain perhimpunan-perhimpunanpelajar/maha siswa, akan dipaparkan juga perhimpunan sarjanaMuslim yang pertama, yaitu Persami, yang mengakomodasimantan anggota-anggota perhimpunan-perhimpunan pelajar/mahasiswa Muslim tersebut.

Kemunculan HMIHMI didirikan oleh mahasiswa-mahasiswa STI atas prakarsaLafran Pane (lahir 1922) pada 5 Februari 1947.106 Lafran Paneadalah adik dua-tokoh sastra terkemuka Indonesia, Sanusi Panedan Armijn Pane. Dia berlatar belakang Islam yang kuat, tetapijuga memiliki afiliasi yang beragam. Sebelum masuk STI, latarbelakang pendidikan yang utama dari Pane ialah pesantren,HIS, MULO, dan AMS Muhammadiyah. Dia juga pernahbersekolah di sekolah-sekolah dasar nasionalis, seperti TamanAntara di Sipo rok dan Taman Siswa di Medan. Setelahmeninggalkan AMS Muhammadiyah di Jakarta, dia masuksekolah nasionalis, Taman Dewasa Raya. Sesaat sebelumpendudukan Jepang, dia bergabung dengan organisasi kiri,Gerindo, tempat dia bergaul dengan pe mim pin komunis padamasa depan, D.N. Aidit. Selama pendu dukan Jepang, diabergabung dengan gerakan bawah tanah kelom pok Kaigun. Diakembali ke lingkungan epistemik Islam selama masa revolusikemerdekaan ketika belajar di STI/UII di Yogya karta.107

Lewat pertemuannya dengan para pengajar STI seperti AbdulKahar Muzakkir, M. Rasjidi, Fathurrahman Kafrawi, KasmanSingodimedjo, dan Prawoto Mangkusasmito, Pane terinspirasi

Page 482: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

462 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

untuk menghidupkan kembali identitas dan komitmen Islamnya(Sitompul, 2002: 45-47). Pertobatan batin ini memberinya do -rongan psikologis untuk membentuk sebuah jaringan inteligensiamuda Islam yang baru. Dia terilhami oleh hasrat intelektualMus lim generasi tua dalam mendirikan organisasi mahasiswaIslam yang—seperti JIB dan SIS di masa lalu—akan berfungsisebagai lahan persemaian bagi para pemimpin Islam masa de -pan.108 Alasan lainnya ialah kegagalan organisasi-orga nisasimaha siswa lokal yang ada, seperti Persjarikatan MahasiswaYogyakarta (PMY, berdiri 1946) dan Sarikat Mahasiswa IndonesiaSolo (SMI berdiri 1946) untuk memenuhi aspirasi-aspirasimahasiswa Islam.109 Da lam kompetisinya dengan organisasi-organisasi mahasiswa sekular untuk menarik para anggota, HMImeniru JIB dan SIS dalam kerangka islamisasi kaum terpelajarmelalui modernisasi institusi-institusi Islam.

Namun, berbeda dengan generasi Muslim terdahulu, generasiPane—merupakan generasi-ketiga inteligensia, yang juga anak-kandung revolusi kemerdekaan—cenderung lebih “nasionalistik”dan inklusif dalam orientasi politiknya. Kecenderungan ini bisadilihat dari tujuan HMI yang mencerminkan semangat Islamdan nasionalisme. Ketika pertama kali didirikan, tujuan HMIadalah: (1) “Untuk membela negara Republik Indonesia danmenaikkan harkat rakyat Indonesia”; (2) “Untuk menjaga danmemajukan agama Islam”. Setelah kongres pertamanya padaNovember 1947, terdapat perubahan urutan tujuan yangmenukarkan tujuan kedua menjadi tujuan pertama. Jika dinilaidari perspektif hari ini, pan dangan nasionalistik dalam rumusantersebut barangkali tidak tampak luar biasa. Namun, jika ditinjaudari standar tujuan orga nisasi-organisasi Islam pada masa itu,tujuan nasionalistik HMI itu menandai sebuah pengakuan bahwakeislaman dan keindo nesiaan tidaklah berlawanan, tetapi berjalin-

Page 483: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 463

berkelindan.

Dalam semangat itulah, para pemimpin awal HMI lebihbersedia menerima Pancasila. Bahkan, figur semacam A. DahlanRanuwihardjo (lahir 1925, mahasiswa UI, dan Ketua HMIperiode 1951-1953) menikmati hubungan sangat dekat denganSukarno dan secara antusias mendukung Pancasila.110 HMIsendiri tidak pernah berafiliasi secara formal dengan partaipolitik mana pun, meskipun memiliki hubungan kuat denganMasyumi karena para pemimpin HMI dan inteligensia modernisMasyumi memiliki pandangan yang sama. Dengan posisi politikyang relatif netral itu, HMI bisa merekrut anggota mahasiswabaik yang berlatar be lakang modernis maupun tradisionalis.

Hingga pertengahan 1950-an, anggota HMI masih sangatsedikit. Dalam bulan-bulan pertama, anggotanya hanya 18, yangsemuanya berasal dari STI. Cita-cita HMI untuk menjadi anggotaKongres Mahasiswa Indonesia (KMI) mengharuskan HMI untukmemiliki sekurang-kurangnya 150 anggota sebagai persyaratanminimal. Tantangan ini membuat HMI memperluas rekrutmenanggotanya ke mahasiswa perguruan-perguruan tinggi lain diYog yakarta dan sekitarnya, terutama yang berasal dari embrioUni ver sitas Gadjah Mada (UGM)111 dan Sekolah Tinggi Teknik(STT). Pada kongres KMI di Malang pada 8 Maret 1947, HMItelah memenuhi persyaratan jumlah keanggotaan (Sitompul,2002: 218). Selanjutnya, untuk bisa menarik jumlah anggotayang lebih besar dari mahasiswa-mahasiswa non-STI, LafranPane sebagai ketua HMI digantikan pada 22 Agustus 1947 olehM.S. Mintaredja (lahir 1921) dari (embrio) UGM, dengan wakilketua Achmad Tirto sudiro (lahir 1922) dari universitas yangsama.112 Namun, orga nisasi ini masih relatif kecil jika dibandingkandengan orga nisasi-organisasi besar mahasiswa sekuler danmemiliki pengaruh politik yang relatif kecil hingga pertengahan

Page 484: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

464 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

1950-an. Selama masa revolusi kemerdekaan, sebagian besarpemimpin HMI bergabung dengan kelompok-kelompokparamiliter dan memiliki sedikit ke sempatan untuk menggalangkonsolidasi organisasi.

Baru pada akhir 1950-an, ketika terjadi peningkatan jumlahlulusan sekolah menengah atas, yang dibarengi dengan perkem -bangan pesat dalam dunia pendidikan tinggi (baik sekulermaupun agama), jumlah anggota HMI meningkat. Babak-awalperkem bangan pesat ini sebenarnya telah dimulai pada awal1950-an ketika para mahasiswa dari universitas-universitassekuler yang prestisius—seperti M. Imaduddin Abdulrahim (lahir1931) dari UI cabang Bandung (ITB), Ismail Hasan Metareum(lahir 1929), dan Bintoro Tjokroamidjojo (lahir tahun 1931)dari UI cabang Jakarta—bergabung dengan HMI. Pada akhir1950-an, di antara anggota-anggota baru HMI yang terkenalialah Sulastomo (lahir 1938) dari UI dan Endang SaifuddinAnshari (lahir 1938) dari Universitas Pajajaran. Meresponspeningkatan jumlah anggota, HMI mulai mengadakan latihankader yang sistematis pada 1959. Karena kelangkaan literaturmengenai ideologi Islam dalam bahasa Indonesia, programlatihan kader itu menggunakan buku karya Tjokroaminototahun 1920-an berjudul Islam dan Sosialisme sebagai referensiutama.113 Pada awal 1960-an, sejumlah besar ma ha siswa yangberlatar belakang santri mulai berbondong-bon dong masukuniversitas, termasuk tokoh-tokoh HMI yang terkenal, sepertiNurcholish Madjid (lahir 1939) dari IAIN Jakarta; DjohanEffendi (tahun 1939) dari IAIN Yogyakarta; M. Dawam Rahardjo(lahir 1942), Ahmad Wahib (lahir 1942), dan M. Amien Rais(lahir 1944) dari UGM; Fahmi Idris (lahir 1940) dan RidwanSaidi (lahir 1942) dari UI; Adi Sasono (lahir 1943) dari ITB;Ahmad M. Saefuddin (lahir 1940) dari IPB; dan Sugeng Sarjadi

Page 485: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 465

(lahir 1942) dari Universitas Padjadjaran. Jadi, ketika DemokrasiTerpimpin men capai titik puncak pada pertengahan 1960-an,HMI telah men jadi organisasi mahasiswa terbesar di negeri ini.Jumlah anggo tanya pada akhir 1960-an dilaporkan lebih dari100.000.114

Saat jumlah anggota HMI mulai melonjak tajam, dunia politikIndonesia tengah mengalami konflik ideologis yang keras ihwaldasar negara, yang pada gilirannya membawa Indonesia keperiode Demokrasi Terpimpin. Karena sebagian besar organisasimaha siswa berafiliasi dengan partai politik, perdebatan dalamperpo litikan nasional secara langsung berpengaruh terhadapaktivitas gerakan mahasiswa. Menghadapi serangan tajam dariorganisasi-organisasi mahasiswa nasionalis dan komunis, generasibaru HMI mengalami proses radikalisasi ideologis. Bergeserdari tujuan-awal untuk mempertahankan hubungan harmonisantara Islam dan nasionalisme, kongres HMI di Medan pada24-31 Desember 1957 memutuskan untuk mendukung Islampolitik dalam per juangan menjadikan Islam sebagai dasar negara.Menurut Dahlan Ranuwihardjo, keputusan ini merupakanpenyimpangan terhadap prinsip dasar HMI (Sitompul 2002:159). Di tengah ketegangan antara penganjur Pancasila danpenganjur Islam, HMI sebagai organisasi cenderung terposisikansebagai organisasi moderat.

Kemunculan PIIMitra junior HMI adalah PII. Seperti JIB pada masa sebelumpen dudukan Jepang, sebagian besar anggota PII adalah pelajarsekolah menengah (atas dan pertama), meskipun kepemimpinan -nya di tingkat provinsi dan nasional didominasi oleh mahasis -wa.115 Didi rikan pada 4 Mei 1947, pelopornya lagi-lagi adalah

Page 486: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

466 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

maha siswa STI yang juga terlibat dalam pendirian HMI, yaituM. Jusdi Ghazali (lahir 1923), yang didukung oleh para mahasiswaSTI lain dan mahasiswa-mahasiswa sekolah tinggi kedokteran(embrio) UGM cabang Klaten.116 Menurut Ghazali, pendirianPII terinspi rasi oleh keberadaan JIB yang pernah eksis, dandimak sudkan untuk menyatukan para pelajar Muslim di sekolah-sekolah sekuler dan agama dalam rangka menciptakan intelek-ulama dan ulama-intelek. Hal ini dipandang perlu untukmemperkuat Islam dalam perjuangan nasional. Namun, pemicusesungguhnya bagi pendi rian PII lagi-lagi ialah karena kekecewaanyang dirasakan para pelajar Muslim terhadap Ikatan PelajarIndonesia (IPI) yang didominasi aktivis sayap kiri (Al-Ghazali,1998a: 19-33).117

PII bergerak di kalangan pelajar sekolah menengah atas, dancenderung menekankan pendekatan pedagogis dalam menanam -kan nilai-nilai Islam kepada kalangan remaja dalam masa per -kem bangan emosi mereka yang mudah berubah. Jadi, dibanding -kan dengan HMI, kecenderungan keislaman PII jauh lebih kuat.Hal ini tecermin dalam tujuannya: “Untuk menyempurnakanpen didikan, pengajaran, dan kebudayaan sesuai dengan ajaranIslam bagi seluruh rakyat Indonesia.” Tidak mengejutkan jikadibanding kan dengan HMI, PII cenderung lebih rentan terhadappengaruh ideologis para pemimpin Masyumi. Menurut UtomoDananjaya, ketua PII periode 1967-1969, kurangnya wawasanpengetahuan para anggota PII pada umumnya menjadikanmereka lebih rentan terhadap pengaruh patron-patron intelektualmereka.118 Namun, penekanan PII terhadap peng ajaran Islamitu juga dibarengi dengan pengajaran rasionalis me modern danketerampilan kejuruan. Para anggota diberi latihan kepemimpinan,kepanduan, dan klub perca kapan bahasa Inggris. Salah satukontribusi terpenting PII terhadap perkembangan inte lektual

Page 487: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 467

Muslim Indonesia ialah usaha rintisan nya sejak 1955 danseterusnya untuk mengikuti program pertukar an pelajar interna -sional melalui AFSIS (American Field Service for Interna tionalScholarship). Di antara para anggota PII yang bergabung denganprogram ini yang di kemudian hari men jadi intelektual Islamterkenal adalah Mohammad Diponegoro, Taufiq Ismail, Z.A.Mau lani, Dawam Rahardjo, dan Sugeng Sarjadi.

Pada saat kongres pertama pada 14-16 Juli 1947, jumlahang gota PII hanya 300 pelajar dengan mayoritas berasal dariSTI. Namun, berkat proses penyatuan beberapa perhimpunanpelajar Islam lokal seluruh Indonesia dengan PII sejak 1948 danseterus nya, jumlah anggota PII bertambah pesat. Pertumbuhanjumlah yang berkelanjutan ini menjadikan PII sebagai lahanrekrutmen utama bagi HMI. Aliansi strategis antara keduaorganisasi tersebut ditandai oleh tradisi penyampaian pidatoketua HMI dalam Kong res Nasional PII, dan begitu pulasebaliknya.

Meningkatnya jumlah lulusan sekolah menengah pada akhir1950-an tidak hanya memperbesar masuknya para aktivis PII keHMI, tetapi juga mempertinggi pertumbuhan lapisan mahasiswadalam tubuh PII yang belum pernah terjadi sebelumya. Padaawal 1960-an, figur-figur terkenal PII seperti Utomo Dananjaya(lahir 1936), Hartono Marjono (lahir 1937), Usep Fathuddin,A.M. Fatwa (lahir 1939), dan Moh. Husnie Thamrin telahmasuk uni versitas dan mempertahankan hubungan merekadengan PII. Dengan cara ini, relasi antara HMI dan PII mulaimelampaui bentuk tradisional hubungan kemitraan senior-junior,karena meningkatnya lapisan mahasiswa dalam tubuh PIImembantu menciptakan hubungan yang lebih sederajat.

Seperti HMI, selama periode Demokrasi Terpimpin, PII

Page 488: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

468 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

mengalami proses radikalisasi ideologis dengan kecenderunganIslam yang lebih tegas daripada HMI. Selama 1960-1965, dalamupaya untuk mempertahankan hubungan baik dengan Sukarno,HMI secara organisasi bersedia menerima ideologi Manipol-USDEK. Namun, PII menolak berbuat yang sama, sehinggamen jadikan PII lebih diidentikkan dengan Masyumi dan parapemim pin Masyumi daripada HMI. Situasi ini menjadikanhubungan antara kedua organisasi itu selama periode tersebutmerenggang. Hal ini diindikasikan dengan hilangnya tradisipenyampaian pidato ketua HMI pada Kongres Nasional PII—dan begitu juga seba liknya—sepanjang periode 1960-1966.119

Kelahiran IPNU dan PMIITahun 1950-an juga merupakan periode pembentukan inteligensiaNU. Ketika inteligensia Muslim reformis-modernis telah menjadibagian dari elite politik yang berkuasa, sejumlah besar inteligensiatradisionalis baru-mulai masuk universitas. Rudolf Mrázekmenggambarkan dengan bagus ihwal kelangkaan inteligensiatradisionalis yang berpendidikan tinggi sebelum akhir 1950-an.Ketika Pemilihan Umum 1955 mendekat, pemimpin besar PSI,Sutan Syahrir, mengatakan kepada seorang sosialis Belanda,Salomon Tas, bahwa seorang pemimpin NU telah men datanginyauntuk meminta bantuan menempatkan beberapa intelektual darikelompoknya untuk membantu NU yang secara praktis tidakmemiliki kader. “Namun, aku tak bisa membantunya; orang-orangku merasa sangat bosan sekali jika berhadapan denganorang-orang semacam itu,” kata Syahrir (Mrázek, 1994: 432).

Selama beberapa tahun setelah revolusi kemerdekaan, ka -langan pelajar dari keluarga-keluarga tradisionalis tidak memilikipilihan lain kecuali bergabung dengan PII dan HMI. Alasannya

Page 489: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 469

bukan hanya karena afiliasi NU dengan Masyumi hingga 1952dan keputusan Kongres Al-Islam pada 1949 yang merekomen -dasikan PII dan HMI sebagai satu-satunya organisasipelajar/mahasiswa Muslim. Namun, yang lebih penting lagiadalah karena para pelajar dari keluarga-keluarga tradisionalisyang masuk ke sekolah-sekolah modern masih relatif sedikit.Jadi, para maha siswa dari keluarga-keluarga tradisionalis sepertiToha Mashudi (lahir 1923) dan Mukti Ali dari STI turutmendirikan HMI dan PII.120 Para mahasiswa tradisionalis yangmasuk universitas pada 1950-an, seperti Tolhah Mansur dariUGM, Ismail Makky dari IAIN Yogyakarta, dan Mahbub Djunaedidari UI juga bergabung dengan HMI sebelum kemudianmendirikan organisasi mahasiswa tradisionalisnya sendiri. Bahkan,meskipun NU telah mengundur kan diri dari Masyumi, hal initidak segera membuat pelajar/mahasiswa NU memisahkan diridari PII dan HMI (Wahid, 2000: 32).

Pada saat yang bersamaan, dominasi para mahasiswa/pelajarreformis-modernis di tubuh HMI dan PII membuat parapelajar/mahasiswa tradisionalis merasa tidak mendapatkan tempat.Hal ini diperburuk dengan pemisahan NU dari Masyumi. Sebagaiaki batnya, pada 2 Februari 1954, para pelajar/mahasiswatradisiona lis dari berbagai tingkatan dan ragam sekolah mendirikanIkatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Sebagian besar pendiriorga ni sasi ini pernah terlibat dalam HMI, seperti Tolhah Mansur,Ismail Makky, dan Nuril Huda. Meski telah mendirikan IPNU,mereka masih memiliki keanggotaan ganda karena tidak secaraotomatis mengundurkan diri dari HMI. Setahun setelah pendirianIPNU, dibentuklah Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU). Keduaorganisasi-baru ini didesain untuk memperkuat kerja sama antarapara pel ajar/mahasiswa NU yang ada di sekolah modern maupunpe san tren sebagai sumber pembentukan inteligensia tradisionalis

Page 490: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

470 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

(Wahid, 2000: 30-31).

Lebih jauh lagi, karena jumlah mahasiswa tradisionalismeningkat dalam paruh kedua 1950-an, ditempuhlah upaya-upaya untuk membentuk sebuah organisasi mahasiswa tersendiribagi para mahasiswa tradisionalis. Pada Desember 1955, paramaha siswa tradisionalis di Jakarta dipimpin oleh Wail HarisSugiarto mendirikan Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama(IMANU). Pada tahun yang sama, para mahasiswa tradisionalisdi Surakarta dipimpin oleh Mustahal Ahmad dari UniversitasTjokroaminoto (berdiri 1955) mendirikan Keluarga MahasiswaNU (KMNU), yang menyerupai nama organisasi pelajar NUyang telah ada di Timur Tengah. Namun, para pemimpin IPNUmenganggap ekspe rimen-eksperimen awal ini bersifat prematurkarena jumlah maha siswa tradisionalis masih terbatas dankeberadaan organisasi-orga nisasi semacam itu masih bersifatlokal dan terpencar-pencar (Wahid, 2000: 33-34).

Jumlah mahasiswa tradisionalis meningkat pesat pada akhir1950-an, terutama setelah pendirian perguruan-perguruan tinggiagama. Di luar IAIN, pada 1958 NU mendirikan sendiri sebuahperguruan tinggi Islam, yaitu Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulamadi Solo, meskipun hanya memiliki satu fakultas, yaitu syariah.Dalam hal keterbukaannya terhadap rasionalisme, teknologidan pendidikan modern, para mahasiswa NU ini sama modernnyadengan para mahasiswa Muhammadiyah, sehingga pada kurunwaktu tersebut NU telah memiliki lapisan inteligensia tersendiri.Namun, inteligensia NU ini berbeda dalam orientasi teologisnyadengan inteligensia Muhammadiyah. Sementara intelektual Mu -hammadiyah terpanggil dengan ajaran-ajaran pembaruan yangmengidealkan pemurnian agama, intelektual NU masih memper -tahankan cara pandang konservatif. Istilah “konservatif ” di sinibermakna preferensi untuk melestarikan tradisi lokal Islam yang

Page 491: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 471

telah ada. Jadi, akan lebih tepat jika intelektual NU ini disebutde ngan inteligensia “konservatif-modernis” daripada sebagai“kaum tradisionalis”.121

Peningkatan jumlah mahasiswa tradisionalis, yang dibarengidengan penguatan afinitas HMI dengan Masyumi, telah mela -hirkan konflik tajam dalam dunia politik mahasiswa. Hal inikemudian memotivasi para pemimpin IPNU untuk membangunorganisasi khusus bagi mahasiswa tradisionalis. Kongres NasionalIPNU di Kaliurang (Yogyakarta) pada 14-16 Maret 1960 menun -juk tiga belas anggota IPNU untuk membentuk organisasi yangdiinginkan itu.122 Hal ini pada akhirnya melahirkan PergerakanMahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada 17 April 1960 denganMahbub Djunaedi (lahir 1933) sebagai ketua pertama, ChalidMawardi (lahir 1936) sebagai wakil ketua, dan Said Budairy se -bagai sekretaris jenderal.123 Jumlah anggotanya pada akhir 1960-an hanya beberapa ribu, yang sebagian besar mahasiswa IAIN.

Kemunculan PMII mengundang skeptisisme dan sinisme,baik dari ulama konservatif maupun HMI. Ulama konservatifNU terutama lebih mempersoalkan pelanggaran syariah karenatidak ada pemisahan antara mahasiswa laki-laki dan perempuandalam keanggotaan PMII. Bagi HMI, pendirian PMII merupakanpengkhianatan terhadap umat Islam yang telah bersepakat pada1949 untuk mengakui PII dan HMI sebagai satu-satunya organisasipelajar/mahasiswa Muslim.124 Sejak saat itu, kalangan tradisio -nalis dalam tubuh HMI terisolasi. Para tokoh tradisionalis dalamHMI, seperti Mahbub Djunaedi (wakil ketua HMI pada saat ke -munculan PMII), Fahrur Rozi, dan Darto Wahhab dituduhsebagai otak gerakan “separatis” itu dan kemudian dikeluarkandari HMI (Wahid, 2000: 42-43). Setelah itu, para mahasiswatradisionalis mendukung PMII, meski sebagian dari merekatetap bergabung dengan HMI atau memiliki keanggotaan ganda.

Page 492: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

472 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Anak-anak ulama dan pemuka agama dari kalangan tradisionaliscenderung berga bung dengan PMII, sedangkan anak-anak “orangbiasa” dari ka langan tradisionalis cenderung bergabung denganHMI.125

Kemunculan IMMSementara para mahasiswa NU menganggap HMI didominasioleh mahasiswa reformis-modernis, para pengikut Muhammadiyahmenganggap HMI kurang memiliki komitmen terhadap ideologireformisme. Pada saat itulah, para mahasiswa Muhammadiyahini mulai menyadari pentingnya membangun lahan pelatihanbagi kepemimpinan Muhammadiyah pada masa depan. Apalagijumlah mahasiswa Muhammadiyah cukup banyak. Selain merekayang belajar di universitas-universitas negeri, sejak 1958 Muham -madiyah berhasil mendirikan universitas-universitas tersendiriyang memiliki fakultas-fakultas agama dan umum. Segera setelahpendirian Universitas Muhammadiyah di Surakarta dan Jakartapada 1958, sebuah universitas serupa didirikan di Yogyakartadan beberapa tempat lain pada tahun-tahun berikutnya. Namun,pemicu pendirian organisasi mahasiswa Muhammadiyah adalahkeinginan untuk menanggapi ancaman nyata terhadap dakwahMuhammadiyah yang terjadi pada level akar rumput, terutamadari manuver ideologis para mahasiswa komunis yang cukupkuat di Yogyakarta dan Solo,126 yang merupakan pusat gerakanMu hammadiyah (IMM, 1998: 3).

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah berdiri pada 14 Maret1964. Para pendiri organisasi ini adalah Djazman Al-Kindi, M.Amien Rais, A. Sulamo, Sudibjo Markus, Kastolani, SlametSukir nanto, dan Dzulkabir (semuanya dari UGM), Rosjad S.H.dan A. Muis dari IAIN Yogyakarta. Sebagian besar mahasiswa

Page 493: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 473

ini berasal sekolah kedokteran dan fakultas sosial politik UGM(IMM, 1998: 4). Para mahasiswa dari fakultas-fakultas inimewakili kepedulian untuk melancarkan layanan-layanan sosialterutama pelayanan kesehatan bagi masyarakat bawah dan jugamelancarkan kritik ideologis terhadap lawan-lawan politiknya.Misalnya, sejak perte ngahan 1960-an, Amien Rais sebagai ketuadepartemen politik IMM mengkritik tajam besarnya utang asingdan korupsi dalam rezim Sukarno. Komitmen IMM terhadapadvokasi sosial disim bolkan dengan pemakaian jaket merah,bukan hijau, sebagai sera gam organisasi. Warna seragam inimerupakan semacam pernya taan kepada masyarakat bawahbahwa kepedulian terhadap penderitaan sosial bukan hanyamonopoli organisasi-organisasi sayap kiri.127

Setahun setelah pendiriannya, jumlah anggota IMM sebanyak7.000 dan kemudian meningkat menjadi sekitar 30.000 padaakhir 1960-an (IMM, 1998: 5). Berkat respons antusias daridunia ma hasiswa itu, para pemimpin IMM yang juga terlibatdalam HMI menjadi lebih terkonsentrasi di dalam IMM,meskipun me reka tidak melepaskan keanggotaannya dalamHMI. Para maha siswa Muhammadiyah lazim memilikikeanggotaan ganda dalam HMI dan IMM. Para mahasiswa dariuniversitas-universitas Muham madiyah cenderung bergabungdengan IMM, sedangkan para ma ha siswa dari keluargaMuhammadiyah yang berkuliah di univer sitas negeri cenderungbergabung dengan HMI.

Kemunculan PersamiBanyak mahasiswa yang masuk pendidikan tinggi pada 1950-anlulus pada awal 1960-an. Seperti para mahasiswa, intelektualsarjana ini tidak bisa lepas dari watak partisan politisnya. Meng -

Page 494: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

474 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

imbangi pembentukan perhimpunan-perhimpunan intelektualKristen dan sekuler,128 sekitar 100 sarjana Muslim dari berbagailatar belakang organisasi (lebih dari separuh adalah mantanaktivis HMI) memutuskan untuk membentuk sebuah frontintelektual Islam bersatu. Didirikan pada 1964, front ini diberinama Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami). Dalamupaya menjembatani jurang antara inteligensia tradisionalis danmodernis, kepemimpinan awal organisasi ini diserahkan kepadaSubchan Z.E. (lahir 1931) dari NU sebagai ketua dan H.M.Sanusi (lahir 1924, lulusan STT) dari Muhammadiyah sebagaiwakil ketua (Anwar, 1995: 251-252).

Pada tahun-tahuan terakhir rezim Sukarno, Persami memain -kan peran signifikan dalam gerakan Kesatuan Aksi Sarjana Indo -nesia (KASI). Beberapa figur Persami, seperti Bintoro Tjokro -amidjojo, kelak menjadi pelopor proyek Islamisasi birokrasipemerintah pada periode Orde Baru.

Pembentukan Identitas KolektifMahasiswa MuslimMeski terjadi perpecahan internal dalam komunitas mahasiswaMuslim, faktor paling menentukan dalam pembentukan identitasdan ideologi kolektif mereka dalam periode ini adalah adanyaancaman-ancaman eksternal dari front nasionalis dan komunis.Pertarungan politik dalam perpolitikan nasional telah mempe -netrasi dunia mahasiswa dan menimbulkan proses politisasiyang cepat terhadap kampus-kampus universitas dan forum-forum ma ha siswa di seluruh negeri. Dalam upaya merekrutkader-kader potensial, sebagian besar partai politik membentukorganisasi-organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengannya dalamrangka membangun perpanjangan partai di kampus-kampus

Page 495: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 475

perguruan tinggi. Front-front mahasiswa yang berafiliasi partaiini memiliki pengaruh politik yang relatif kecil sebelum akhir1950-an. Namun, pada awal-awal 1960-an, ketika jumlahmahasiswa meningkat se cara dramatis, front-front tersebutberkembang baik dalam ukur an maupun aktivitasnya, dan dengansegera menjadi elemen-ele men politik yang berpengaruh.

Selain organisasi-organisasi mahasiswa yang berbasis tradisiintelektual Muslim, juga muncul organisasi-organisasi mahasiswaKristen (Protestan dan Katolik) dan tradisi-tradisi intelektual se -kuler. Wakil tradisi intelektual Kristen adalah GMKI129 danPMKRI.130 Wakil tradisi nasionalis adalah Gerakan MahasiswaNasional Indonesia (GMNI)131 dan Gerakan Mahasiswa Indonesia(Germindo).132 Tradisi intelektual sosialis diwakili oleh GerakanMahasiswa Sosialis (Gemsos).133 Mahasiswa-mahasiswa yangber corak PSI mungkin bergabung dengan organisasi-organisasimaha siswa lokal yang relatif independen, antara lain SerikatOrganisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL). Tradisi intelektual komu -nis diwakili oleh Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia(CGMI).134 Selain CGMI, ada juga organisasi mahasiswa radikalkiri lain, yaitu Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi).Didirikan pada akhir 1950-an oleh sekelompok kecil mahasiswaradikal keturunan Cina, pada mulanya Perhimi merupakanorganisasi yang berorientasi Belandan dan eksklusif keturunanCina. Jumlah anggota Perhimi diperkirakan mencapai 2.000mahasiswa, yang sebagian besar berasal dari Universitas ResPublica (Maxwell, 1997: 119).

Semua organisasi di atas—karena beroperasi lintas uni ver -sitas dan terkait dengan organisasi-organisasi luar kampus (partaipolitik atau lembaga keagamaan) baik secara formal atau tidaklangsung—umumnya disebut sebagai organisasi mahasiswa eks -tra-kampus. Meskipun terdapat rivalitas di antara sesamanya,

Page 496: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

476 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

organisasi-organisasi ekstra-kampus ini bersatu secara longgardalam Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI,berdiri 1947). Semua organisasi mahasiswa ekstra-kampus inisaling bersaing untuk memimpin PPMI.

Sementara itu, dalam setiap universitas, juga terdapat sebuahlembaga mahasiswa intra-kampus yang hanya beroperasi dilingkup kampus universitas bersangkutan. Lembaga ini disebutorganisasi mahasiswa intra-kampus. Lembaga eksekutif maha -siswa intra-kampus di tingkat universitas disebut sebagai DewanMahasiswa, sedangkan pada level fakultas terdapat Senat Maha -siswa Fakultas. Organisasi-organisasi mahasiswa ekstra-kampussaling bersaing untuk menempatkan anggotanya ke dalam setiapDewan Mahasiswa dan Senat Fakultas. Selain itu, pada awal1957, sebuah forum nasional organisasi-organisasi intra-kampusdiben tuk di bawah pengawasan Departemen Pendidikan Tinggidan Ilmu Pengetahuan, yang dimaksudkan untuk memudahkanpe merintah memainkan pengaruhnya ke universitas-universitas.Forum nasional Dewan Mahasiswa ini disebut sebagai MajelisMahasiswa Indonesia (MMI). Forum ini juga menjadi medanpertarungan persaingan politik di antara front-front mahasiswayang menjadi perpanjangan partai. Persaingan supremasi jugaterjadi pada tingkat tertentu antara MMI dan PPMI dalammem perebutkan posisi juru bicara resmi atas nama semuamahasiswa Indonesia.

Pada awal-awal 1960-an, ketegangan politik mahasiswa men -jadi sangat tajam yang menyebabkan organisasi-organisasi maha -siswa “ekstra” dan “intra” kampus serta forum-forum mahasiswalain menjadi sangat terpolitisasi. Meski beragam, ada dua blokutama yang mencerminkan polarisasi antara elemen-elemenyang pro-dan anti-rezim. Pendukung utama pro-rezim adalahGMNI yang didukung CGMI, Germindo, dan Perhimi. Pendukung

Page 497: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 477

utama anti-rezim adalah HMI, yang didukung oleh Gemsos,PMKRI, PMII, IMM, dan dalam tingkatan tertentu GMKI.

Yang cukup menarik, meskipun NU, Partai Katolik, danParkindo bergabung dalam Front Nasional yang tengah berkuasa,organisasi-organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengannya cen -derung menggabungkan diri dengan para mahasiswa anti-kema -panan. Dalam kasus PMII, segera setelah Gerakan 30 Sep -tember 1965, dia mengambil jarak dari NU dan bergabungdengan gerak an mahasiswa anti-kemapanan.

Sebagian besar pemimpin PMII pada pertengahan 1960-anberada di bawah patronase Subchan Z.E. (Wakil Ketua NU)daripada pada Idham Chalid (Ketua NU). Tidak seperti Idhamyang cen derung mendukung Sukarno, Subchan, sebagai intelektual“mo dernis” terkemuka NU, cenderung bersikap lebih kritis. Diaterdidik di sekolah modernis sebagai siswa HIS Muhammadiyahdan memperoleh pendidikan agama dari pemimpin terkemukaMuhammadiyah, Mas Mansur. Dia menghabiskan beberapawak tu kuliah di UGM sebelum mengikuti program non-gelardalam bidang ekonomi pembangunan di University of California,Los Angeles (UCLA, 1961-1962). Dibesarkan dalam keluargatradisio nalis, tetapi terlibat dalam jaringan intelektual modernis,Sub chan bisa tampil sebagai jembatan antara dua tradisi intelektual.Dengan demikian, tidaklah mengejutkan bahwa dia memilikihubungan dekat dengan para pemimpin HMI.135 Di bawahpeng aruhnya, PMII menjadi lebih dekat dengan HMI.

Pertarungan politik tersengit terjadi antara GMNI dan HMI.Kedua organisasi melakukan pelbagai upaya untuk mendominasiforum-forum, dewan-dewan, dan senat-senat mahasiswa di manapertarungan paling ketat terjadi di universitas-universitas elite.Namun, setelah Masyumi dinyatakan terlarang pada 1960,

Page 498: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

478 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

HMI—karena koneksi kuatnya kuat dengan partai tersebut—semakin bersikap defensif.

GMNI dan sekutunya lalu mendominasi forum-forum De -mokrasi Terpimpin, baik di dalam maupun di luar kampus.Forum-forum mahasiswa dan sejumlah besar Dewan Mahasiswadan Senat Fakultas dengan cepat berada di bawah kontrol parapendukung GMNI yang berhasil mengalahkan organisasi-orga -nisasi mahasiswa lain, terutama HMI dan kelompok-kelom pokmahasiswa yang terorganisasi dalam lembaga-lembaga intra-kampus. Pada Kongres Nasional MMI yang diadakan pada April1964 di Malino (Sulawesi Selatan), GMNI menguasai kepengu -rusan MMI yang baru dengan meraih 18 dari 24 posisi. Ditengah-tengah situasi ini, dewan-dewan mahasiswa di UI danITB, yang masing-masing dipimpin oleh Bakir Hasan dari HMIdan Mus limin Nasution dari kelompok independen, menolakhasil pemi lihan itu dengan alasan bahwa hasil itu merupakanpenghinaan terhadap dua universitas tertua dan paling prestisiusdi negeri ini. Sebagai konsekuensinya, kedua Dewan Mahasiswadikeluar kan dari keanggotaan MMI (Maxwell, 1997: 119-120).

Kampanye anti-HMI menjadi lebih agresif setelah insidenMMI itu. HMI sering dituduh sebagai anti-Manipol dan kontra-revolusi dan dicap sebagai onderbouw Masyumi. GMNI dan se -kutu-sekutunya mulai menuntut agar HMI dilarang. Dipicuoleh keputusan pejabat dekan Fakultas Hukum UniversitasBrawijaya kampus Jember, Profesor Ernst Utrecht, pada Mei1964 yang me larang HMI dari semua aktivitas kampus tersebut,kampanye publik yang tajam terhadap HMI dengan cepat meluaske kota-kota lain. Pada Oktober 1964, pengurus PPMI yangdikuasai oleh GMNI dan sekutu-sekutunya mengeluarkan HMIdari keanggota an federasi tersebut. Pada 1965, front-frontmahasiswa sayap kiri berusaha membongkar-pasang senat yang

Page 499: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 479

baru terbentuk karena dituduh mengandung elemen-elemen“kontra-revolusi”. Pada 29 September, pemimpin PKI, D.N.Aidit, berbicara di depan unjuk rasa CGMI di Jakarta yangmenantang mahasiswa-mahasiswa CGMI dengan pernyataanberikut, “Jika kamu semua tak bisa me nyingkirkan HMI, kamusebaiknya juga memakai sarung” (Maxwell, 1997: 20, 25).136

Berhadapan dengan ancaman-ancaman semacam itu, HMIdapat bertahan hidup karena strateginya dengan menjalin hubung -an baik dengan Sukarno, dan terutama karena HMI menerimaMani pol-USDEK serta hubungan dekat Sukarno dengan figur-figur terkemuka HMI seperti Dahlan Ranuwihardjo dan AchmadTirtosudiro, ditambah lagi karena dukungan seorang pemimpinNU yang berpengaruh, Saifuddin Zuhri. Sebagai menteri agama,Zuhri berhasil membujuk Sukarno untuk tidak membubarkanHMI. Selanjutnya, aliansi-aliansi strategis HMI dengan AngkatanDarat dan juga dengan kelompok-kelompok anti-kemapananyang lain memberi dukungan tambahan yang memungkinkanHMI bertahan hidup.

Pertengahan 1960-an merupakan momen yang membingung -kan dan sekaligus menentukan bagi identitas kolektif HMI.Secara internal, sebagai reaksi atas serangan ideologis darigerakan-gerak an mahasiswa kiri, kerangka berpikir HMI menjadisemakin ter islam kan. Secara eksternal, karena kebutuhan mendesakuntuk me ngembangkan aliansi-aliansi strategis dengan parapelaku politik dan kelompok non-Islam, terutama untukmemastikan jaminan Sukarno bahwa HMI tetap diperbolehkanhidup, HMI terpaksa mengembangkan bahasa politik “yanginklusif” (nasio nalis tik). Ketegangan antara dua arus itu membuatcorak-kuat keislaman HMI diperlunak dengan relasi inklusifnya.Namun, di luar kecen derungan umum ini, para anggota HMImulai terbelah menjadi dua kecenderungan relasional dan

Page 500: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

480 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

ideasional: “eksklusif” (Islamis) dan “inklusif” (liberal). Perdebatanlaten di antara dua kelompok itu menjadi mengemuka padatahun-tahun awal Orde Baru.

Gerakan 30 September PKI merupakan titik balik bagi ke -bang kitan kembali HMI. Kegagalan manuver politik PKI danperlawanan balik yang cepat dari Angkatan Darat terhadapgerak an itu melahirkan iklim politik yang menguntungkangerakan mahasiswa anti-kemapanan. Karena PPMI tak lagirelevan dalam situasi politik yang baru itu, pada akhir Oktober1965, para maha siswa anti-kemapanan membentuk sebuahkoalisi longgar yang terdiri dari organisasi-organisasi mahasiswaekstra-kampus de ngan dukungan dan perlindungan AngkatanDarat. Front persatuan yang bersifat longgar ini dikenal dengannama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).137 MengingatSukarno masih ber kuasa dan hubungan NU dengannya masihkuat, Zamroni (lahir 1933, mahasiswa IAIN) dari PMII ditunjuksebagai ketua presi dium KAMI yang pertama.138

Pada 4 November 1965, KAMI mulai mengorganisasi de -mons trasi-demonstrasi mahasiswa yang menuntut pembubaranPKI. Meskipun kekuatan karismatik Sukarno telah sangat mero -sot, dia masih berkuasa. Seolah-olah hendak membuktikankekua saannya, Sukarno meloloskan sebuah proposal bagipembentukan Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan yang terdiridari 100 menteri.139 Pada saat KAMI tengah berhadapan dengankekuatan-kekuatan pro-Sukarno, pada awal-awal 1966 munculKesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dengan Moh.Husnie Thamrin dari PII sebagai ketua pertama. Pada saat yangbersa maan, muncullah Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI)yang beranggota-inti para intelektual Masyumi dan PSI. Pada12 Ja nuari 1966, KAMI mulai mengorganisasi demonstrasimaha siswa yang massif dengan slogan Tritura (Tri Tuntutan

Page 501: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 481

Rakyat) yang berisi tuntutan, “Bubarkan PKI, Rombak KabinetDwikora, dan Turunkan Harga!”

Ketika Kabinet Dwikora Yang disempurnakan dilantik pada24 Februari 1966, bentrokan berdarah terjadi antara parademon s tran mahasiswa dan resimen pengawal presiden,Cakrabirawa. Salah seorang demosntran, Arief Rahman Hakim,tertembak dan meninggal dunia.140 Dia menjadi seorang martirdan memicu kemarahan mahasiswa. Setelah jalan-jalan di Jakartadikuasai oleh para demonstran mahasiswa, Angkatan Daratmenggunakan kesempatan itu untuk mengambil alih kekuasaan.Secara pelan tetapi pasti, kekuatan karismatik dan riil Sukarnotenggelam. Pada Maret 1967, dia diberhentikan sebagai presiden.

Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa anti-komunis sekitarpertengahan 1960-an membantu mengukuhkan solidaritas kolektifdi kalangan para intelektual muda. Dengan kesamaan pengalaman,proyek historis, dan bahasa anti-kemapanan, generasi keempatinteligensia Indonesia pun tampil dalam ruang publik. Dengankehadiran generasi ini, inteligensia muda Muslim untuk pertamakalinya dalam sejarah Indonesia memperlihatkan posisinya yangdominan. Sepanjang masa-masa itu, organisasi dengan jumlahanggota terbesar dan paling aktif dalam tubuh KAMI ialahHMI, sedangkan di tubuh KAPPI adalah PII. Saat mengenangprestasi mo numental generasi baru inteligensia Muslim dalamperiode tersebut, Nurcholish Madjid, Ketua HMI (1966-1968,1968-1971), menulis,

Jika disebut tahun 1966, orang Indonesia mula-mula akanmengasosiasikannya dengan kelahiran sebuah generasi baru yangsangat terkait dengan jatuhnya Orde Lama dan naiknya OrdeBaru. Jika kita memusatkan perhatian hanya pada KAMI, makaperan dominan HMI akan terlihat sangat jelas. Jadi, tidak

Page 502: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

482 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

berlebih-lebihan jika para pengamat mengatakan bahwa KAMIsesungguhnya paralel, jika bukannya identik, dengan HMI. Halini bisa menimbulkan rasa iri dan cemburu dari banyak kelompokyang lain (Madjid, 1990: 21).

KesimpulanKontras dengan ekspektasi-ekspektasi teori Marxis, kelas yangdominan (secara ekonomi) tidak dengan sendirinya menjadielite politik yang dominan di Indonesia setidaknya hinggaperiode ini. Karena kekuatan-kekuatan sosial yang lain relatiftidak cakap, inteligensia Muslim dan ulama-intelek sebagaiinisiator, pemim pin, dan pelaksana politik nasional tampilsebagai elite politik yang dominan saat Indonesia merdeka.

Sebagai pembawa tanggung jawab intelektual bagi masyara -kat, tugas inteligensia dan ulama-intelek Indonesia dalam kepe -mimpinan politik adalah menghidupkan apa yang disebut Sukarnosebagai “semangat nasional”, “kehendak nasional”, dan “tindakannasional”. Terinspirasi oleh impian untuk merdeka, inteligensiaberupaya menerjemahkan visi ini ke dalam sistem politik yangdemokratis.

Mengimplementasikan demokrasi dalam sebuah masarakatyang plural—dengan struktur pengetahuan, kenangan kolektif,mode produksi, serta identitas sosial dan posisi subjek yangmaje muk—merupakan tugas yang sungguh berat. Dengan kera -gaman tradisi politik yang dianut para intelektual, terjadilahpertarungan ideologi yang sengit dalam upaya memasukkankonsepsi dan struktur institusional tertentu ke dalam negara.Pertarungan ideo logi ini tidak hanya bisa ditangani denganpenemuan dan penetapan Pancasila sebagai ideologi negarasehingga melunakkan keragam an ideologi-ideologi sosial yang

Page 503: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 483

ada. Alih-alih, memang diperlu kan upaya untuk membanguninstitusi-institusi dan mekanisme-mekanisme politik yangmemungkinkan kelompok-kelompok yang saling bersaing bisabertanding secara aman dan adil.

Eksperimen demokratis selama periode demokrasi konstitu -sio nal (1950-1957) merupakan upaya untuk membangun institusipolitik yang memungkinkan persaingan politik berlangsung se -cara adil. Namun, eksperimen ini tidak memiliki basis demokratisyang kuat. Di sebuah negeri yang masih dicirikan oleh tingginyatingkat buta huruf dan mentalitas otoritarian, wilayah politikha nya menjadi milik sekelompok kecil elite politik. Pada saatyang bersamaan, persetujuan-persetujuan di kalangan elite gagalterca pai karena ketiadaan kehendak bersama dan keberadabandi kalangan elite pada umumnya, dan yang lebih penting karenakega galan proses pembelajaran sosial secara kolektif. Di tengahkega gal an pembelajaran sosial secara kolektif, “impian post-kolonial untuk berpisah dari masa lalunya”, meminjam kata-kata Gandhi (1998: 7), “pada dasarnya rentan terkena infeksi-infeksi merusak dari masa lalunya sendiri yang tak disadari dantak terselesaikan.”

Pada saat berkuasa, para pemimpin Islam politik memangdapat melupakan pengalaman-pengalaman politik traumatikmereka. Antara 1950 dan 1954, para pemimpin Islam menunjuk -kan penolakannya terhadap gagasan mendirikan sebuah negaraIslam dengan perjuangan bersenjata, dan sekaligus kesediaanme reka untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara. Namun,klaim mereka terhadap pendirian negara Islam dihidupkan kem -bali selama dan setelah kampanye pemilihan umum sebagai re -fleksi dari posisi politik mereka yang sulit dan rasa kekecewaanmereka terhadap upaya kaum komunis untuk tidak mengakuiPancasila.

Page 504: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

484 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Dalam pertarungan politik identitas, simbol-simbol dianggapsama pentingnya dengan substansi. Maka, meskipun DewanKon stituante menghasilkan kesepakatan mengenai semua bagianlain dari draf konstitusi, tetapi tidak tercapai kesepakatankompromis mengenai dasar negara. Dalam persoalan apakahyang menjadi dasar ideologi negara itu Pancasila atau Islam,dunia perpolitikan Indonesia segera terbelah menjadi dua blok:kubu Pancasila versus kubu Islam. Sebenarnya, kubu Islamsendiri setuju dengan semua prinsip Pancasila sepanjang frasa“Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama Pancasila,diikuti dengan anak kalimat “de ngan kewajiban menjalankansyariat Islam bagi pemeluk-peme luknya”. Bagi kubu Islam,mempertahankan “Islam” sebagai simbol negara adalah persoalanpenting karena menandai bahwa negara menempatkan umatIslam pada posisi yang layak. Di pihak lain, bagi kubu Pancasila,menerima Islam sebagai dasar negara adalah terlalu berlebihankarena hal ini akan membuka jalan bagi ke munculan klaim-klaim Islam yang lebih jauh.

Semua perselisihan dan problem politik ini menunjukkanbahwa implemetasi demokrasi membutuhkan waktu bagi penye -suaian struktural dan pembelajaran sosial. Namun, bagi parape laku politik yang telah dimarginalkan di bawah sistem demo -krasi, perselisihan-prselisihan dan problem-problem itu di anggapseba gai bukti ketidakcocokan demokrasi ala Barat dengankondisi-kondisi Indonesia. Kegagalan Dewan Konstituante untukmeng akhiri perselisihan mengenai dasar negara, di tengahperpolitikan nasional yang masih dibayang-bayangi krisis ekonomidan gerakan pemberontakan kedaerahan, menjadi dalih bagipara pelaku politik untuk menerapkan sistem politik yangotoriter. Dengan didukung oleh Angkatan Darat dan PKI,Sukarno menetapkan Demokrasi Terpimpin dan menyatakan

Page 505: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 485

dirinya sebagai titik pertemuan bang sa. “Saya menetapkan dirisaya sebagai tempat pertemuan dari semua arus dan ideologi.Saya telah meramu, meramu, dan meramu semuanya sampaiakhirnya mereka menjadi Sukarno yang seperti sekarang ini.”141

Dalam kerangka ajaran resmi negara yang disebut Manipol-USDEK dan NASAKOM, keragaman bangsa dianggap sebagaisesuatu yang sengaja diciptakan oleh kolonialisme. Dengan caraini, penguasa politik menciptakan apa yang disebut oleh Geertzsebagai “sebuah politik pemaknaan yang nyaris anarkis” (1972:324) yang memaksakan homogenitas politik dan kultur secarasewenang-wenang. Hal ini melahirkan semangat anti-intelek -tualis me yang sinis dan berbagai bentuk “pelacuran” intelektualdan partisan intelektual, sehingga menjadi sebuah legitimasibagi pemberlakuan tindakan represi terhadap para intelektualyang berbeda pendapat. Partai-partai oposisi seperti Masyumidan PSI sen diri mengalami kemunduran politik. Oleh karenaitu, peran publik inteligensia Muslim generasi kedua, terutamayang ber afiliasi dengan Masyumi, lenyap dan ternyata tidakdiizinkan untuk hidup kembali oleh rezim Orde Baru.

Namun, kemerosotan peran politik mereka dikompensasikanoleh keterlibatan-kembali mereka di dunia pendidikan dandakwah Islam. Sementara itu, ketiadaan batasan-batasan dandis kriminasi sosial di dunia pendidikan di Indonesia setelahmerdeka telah membuat anak-anak dari keluarga santriberbondong-bon dong masuk ke sekolah/universitas negeri danswasta. Hal ini membuat organisasi-organisasi mahasiswa Muslimberkembang pesat dalam kadar yang belum pernah terjadisebelumnya. Pada pertengahan 1960-an, HMI dan PII menjadiorganisasi mahasiswa dan pelajar terbesar. Keduanya memainkanperan sangat menen tukan dalam demonstrasi-demonstrasimahasiswa pada pertengah an 1960-an yang akhirnya membawa

Page 506: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

486 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

kejatuhan rezim Sukarno.

Dominasi posisi HMI dan PII dalam dunia perpolitikanmahasiswa menandai pengaruh signifikan pertama dari inteligen -sia Muslim dalam kehidupan Indonesia setelah merdeka. Namun,dibutuhkan beberapa waktu bagi intelektual muda ini untukmem persiapkan diri agar sanggup memainkan peran menentukandalam kepemimpinan politik bangsa ini. Ketika kekuasaanberalih dari Orde Lama ke Orde Baru, elite modern sekuler dibawah kepe mimpinan inteligensia militer masih terus mendomi -nasi dunia politik dan birokrasi Indonesia.[]

Catatan:1. Gandhi (1998: 7).2. Shils (1972: 409).3. Hatta (1957: 29-30).4. Sembilan kabinet itu ialah Kabinet (Presidensial) Sukarno (19 Agustus-14 November

1945), Kabinet Syahrir (Parlementer) Pertama (14 November 1945-12 Maret 1946),Kabinet Syahrir (Parlementer) Kedua (12 Maret 1946-2 Oktober 1946), Kabinet Syahrir(Parlementer) Ketiga (2 Oktober 1946-27 Juni 1947), Kabinet Amir Syarifuddin(Parlementer) Pertama (3 Juli 1947-11 November 1947), Kabinet Amir Syarifuddin(Parlementer) Kedua. (data tanggal?)

5. Kelima belas negara bagian itu ialah Dayak Besar, Indonesia Timur, Borneo Tenggara,Borneo Timur, Borneo Barat, Bengkulu, Biliton, Riau, Sumatra Timur, Banjar, Madura,Pasundan, Sumatra Selatan, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Wilayah Republik Indonesiasendiri, yang terbentuk selama masa revolusi kemerdekaan, terdiri dari Jawa, Madura,dan Sumatra (Panitia Peringatan, 1978b: 95).

6. Jumlah pasti utang tersebut ialah 4,3 juta gulden; “sebagian besar merupakan biayayang dikeluarkan Belanda untuk menghancurkan revolusi kemerdekaan Indonesia”(Ricklefs, 1993: 232).

7. Seperti yang dicatat Robison (1978: 23): “Para pengambil kebijakan ekonomi awalyang berasal dari PSI, PNI, dan Masyumi—semuanya, dalam tingkatan tertentu,terpengaruh oleh ide-ide sosialis .... Banyak dari cita-cita sosialis ini yang kemudiantergerus saat para pemimpin ini harus berhadapan dengan kesulitan-kesulitan praktisuntuk meruntuhkan ekonomi kolonial ....”

8. Terdapat sebuah ekspektasi umum di kalangan kaum inteligensia sebagai elite politik

Page 507: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 487

bahwa kondisi ekonomi mereka yang kurang menguntungkan akan bisa dikompensasidengan pemberdayaan kaum borjuis pribumi. Karena itu, beragam tindakan diambiluntuk menumbuhkan kelas kapitalis pribumi. Yang paling terkoordinasi ialah ProgramBenteng. Program ini dimaksudkan untuk melindungi dominasi pribumi dalam sektorimpor, lewat kontrol terhadap alokasi lisensi-lisensi impor sebagai basis akumulasi labayang akan melestarikan ekspansi modal pribumi ke sektor-sektor lain. Ide program inimuncul selama kabinet (Hatta), tetapi baru diimplementasikan pertama kali dalamperiode kabinet Natsir dan dilaksanakan secara paling nyata oleh Kabinet Ali Sastroamidjojoyang pertama. Ternyata, penyalahgunaan kekuasaan dan semangat nepotisme lagi-lagimenjadi sebab kegagalan program ini dan melahirkan korupsi dan kronisme. RichardRobison mencatat (1986: 45): “Saat program itu dijalankan, menjadi jelas bahwabeberapa penerima lisensi-lisensi impor adalah para importir pribumi yang telah mapan,tetapi cenderung merupakan individu-individu yang dekat dengan tokoh-tokoh yangberkuasa dalam birokrasi atau partai yang mengontrol alokasi lisensi-lisensi dan kredit.Yang lebih merusak, ternyata bahwa mayoritas perusahaan yang ikut Program Bentengtidak menggunakan lisensi-lisensi itu untuk mengimpor, tetapi semata-mata untukmenjualnya kembali kepada para importir yang sesungguhnya, yang kebanyakan adalahorang keturunan Cina, dan mereka sering kali gagal melunasi kredit BNI. Jadi, yangterkonsolidasi bukanlah kaum borjuis pedagang pribumi, melainkan sekelompok makelarlisensi dan tukang suap politik.”

9. Untuk pembahasan yang lebih terperinci mengenai kaum inteligensia sebagai tingkatansosial (social estate), stratum sosial, atau kelas, lihat G. Konrád & I. Szelényi (1979: 63-184).

10. Herberth Feith menggambarkan tahun-tahun itu sebagai berikut: “Kalangan sipil me -mainkan sebuah peran yang dominan. Partai-partai memiliki makna yang sangat penting.Pihak-pihak yang bersaing dalam perebutan kekuasaan menghormati ‘atur an permainan’yang sangat didasarkan pada UUD yang berlaku. Kebanyakan anggota elite politikmemiliki komitmen terhadap simbol-simbol demokrasi konstitusional. Ke bebasan sipiljarang dihambat. Dan yang terakhir, pihak pemerintah menggunakan koersi secarahemat (Feith, 1962: xi).”

11. Kata itu mungkin juga diambil dari kata “mardijker”, yang berarti kelas sosial yangbebas selama masa-masa VOC.

12. Secara berangsur-angsur, cabang-cabang Universitas Indonesia menjadi sebuah universitasyang berdiri sendiri: Universitas Indonesia (UI) di Jakarta pada tahun 1950, UniversitasAirlangga (di Surabaya) pada tahun 1954, Universitas Hasanuddin (di Makassar) padatahun 1956, Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1959, Institut PertanianBogor (IPB) tahun 1963, dan Institut Keguruan dan Ilmu Kependidikan (IKIP, diJakarta) pada tahun 1964.

13. Dekrit Nasionalisasi dan Dekrit Pendidikan Tinggi (1946) mengamanatkan bahwa per -kuliahan harus disampaikan dalam bahasa Indonesia.

14. Untuk pembahasan yang terperinci mengenai efek-efek dari peralihan kekuasaanpemerintahan terhadap dunia saintifik Indonesia, lihat A. Messer (1994).

15. Seperti yang dicatat Thomas (1973: 213-214): “Uni Soviet memberikan lebih dari 600beasiswa dan menyediakan bantuan dana dan ahli untuk pendirian sebuah institutoseanografis di Pulau Ambon. Sementara Jerman Barat dan Jerman Timur menawarkanbeasiswa, dan kota di Jerman Barat memberikan bantuan mesin cetak kepada Universitas

Page 508: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

488 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Padjadjaran. Dewan Kedokteran Cina di New York memberikan bantuan buku-bukukedokteran untuk perpustakaan-perpustakaan sekolah kedokteran. British Councilmenyediakan perpustakaan-perpustakaan yang lebih besar dan meminjamkan film-filmuntuk dipakai di sekolah-sekolah di Bandung dan di Jakarta. Masyarakat misionarisKristen di AS dan Australia mengirimkan anggota-anggota fakultasnya ke UniversitasKristen Satya Wacana di Jawa Tengah. Organisasi-organisasi Katolik di Eropa danAmerika mengirimkan bantuan dana dan anggota staf pengajar untuk beberapa perguruantinggi Katolik di Jawa. Dan lebih dari selusin negara lainnya, baik yang komunismaupun yang non-komunis, memberikan bantuan beasiswa, buku-buku, dan peralatan-peralatan bagi berbagai perguruan tinggi di Indonesia, baik yang swasta maupunnegeri.”

16. Kecenderungan orang Indonesia untuk menggunakan istilah “inteligensia” secara salingdipertukarkan dengan kata “intelektuil” mencerminkan sebuah kecenderungan yangsama dengan yang berlangsung di kalangan orang-orang Eropa Barat (lihat Bab 1).

17. Sukarno, misalnya, dalam suratnya dari penjara (di Endeh, Flores) kepada pemimpinPersis, A. Hassan, pada tanggal 18 Agustus 1936 menulis sebagai berikut: “Rakjat In -donesia teroetama kaoem intelligenzia soedah moelai banjak jang senang membatjaboekoe-boekoe bahasa sendiri jang ‘matang’ dan ‘thorough’ (huruf miring dari penulis).Lihat Soekarno (1964: 325-343). Mohammad Natsir dalam artikelnya, “Sekolah TinggiIslam”, yang dimuat oleh majalah Pandji Islam (Juni 1938) mengidentifikasi adanya

“doea golongan intelligentsia” (huruf miring kata “intelligentsia” dari penulis): yaituintelektuil dan ulama-intelek (Natsir, 1954: 71).

18. Kongres Muslimin Indonesia yang diadakan di Yogyakarta (20-25 Desember 1949),misalnya, memasukkan pernyataan berikut dalam pernyataan penutupnya: “Setelahberunding sekian hari, maka 185 organisasi, Alim Ulama dan Inteligensia seluruh In -donesia memutuskan ....” (huruf miring dari penulis). Mengenai pernyataan selengkapnya,lihat Sitompul (1987: 11). Selanjutnya, kata itu semakin populer setelah pidatobersejarah Mohammad Hatta di hadapan sivitas akademika Universitas Indonesia (11Juni 1957) yang berjudul “Tanggung Djawab Moril Kaum Inteligensia” (Hatta, 1957).Setelah itu, seorang kritikus sastra Wiratmo Soekito, menuliskan pandangannya dalammajalah Siasat Baru (No. 655, 30 Desember 1959) yang berjudul “Posisi KaumInteligensia In donesia Dewasa Ini”. Seorang anggota kaum inteligensia komunis, JusufAdjitorop, meng gunakan istilah itu dalam artikelnya yang dimuat oleh majalah kiri,Madju Terus, 1 (1963, hh. 169-170) dengan judul “Kembangkan Terus PekerdjaanPartai di Kalangan Inteligensia”. Istilah ini juga bisa ditemukan dalam nama perhimpunankaum inteligensia Kristen Indonesia, Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI,berdiri tahun 1963). Akhirnya, istilah ini dipergunakan secara luas dalam polemik yangsengit seputar per soalan “pengkhianatan inteligensia” yang dimulai pada tahun-tahunterakhir rezim Sukarno.

19. Contoh-contoh dari mahasiswa Muslim ini ialah M.S. Mintaredja (lahir tahun 1921)dan Achmad Tirtosudiro (lahir tahun 1922) di UGM.

20. Pada akhir 1947, Ali Sastroamidjojo, yang menteri pendidikan, membentuk sebuahpanitia untuk menyusun draf mengenai Rancangan Undang-Undang Pendidikan yangdiketuai oleh Dewantara. Penyusunan draf itu selesai pada awal 1948 dan diserahkanpada Badan Pekerja KNIP. “Namun, perdebatan yang muncul terputus ketika Yogyakartadiduduki oleh Belanda pada aksi militer kedua pada tanggal 14 Desember 1948. Baru

Page 509: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 489

pada bulan Oktober 1949, KNIP bisa kembali mengadakan rapat, dan pembahasanmengenai Rancangan Undang-Undang pendidikan dilanjutkan” (Lee, 1995: 35).

21. Mengenai pembahasan lebih jauh mengenai persoalan UU Pendidikan ini, lihat Lee(1995: 47-61).

22. Sekolah agama yang diatur oleh menteri agama meliputi madrasah ibtidaiyah (sekolahdasar), madrasah tsanawiyah (sekolah menengah pertama), dan madrasah aliyah (sekolahmenengah atas). Statistik tahun 1954 menunjukkan bahwa pada saat itu, pemerintahmemberikan subsidi pada lebih dari 13.000 sekolah dasar, 776 sekolah menengahpertama, dan 16 sekolah menengah atas (Boland, 1971: 117).

23. IAIN lain yang berdiri pada tahun 1960-an ialah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta(berdiri tahun 1963), IAIN Ar-Raniry Aceh (berdiri tahun 1963), IAIN Raden PatahPalembang (berdiri tahun 1964), IAIN Antasari Banjarmasin (berdiri tahun 1964), IAINAlauddin Makassar (berdiri tahun 1965), IAIN Sunan Ampel Surabaya (berdiri tahun1965), IAIN Imam Bonjol Padang (berdiri tahun 1966), IAIN Sultan Thaha SaifuddinJambi (berdiri tahun 1967), IAIN Sunan Gunung Jati Bandung (berdiri tahun 1968),dan IAIN Raden Intan Tanjung Karang (berdiri tahun 1968). Pada tahun 1995, terdapatsekitar 14 IAIN di seluruh Indonesia dengan total mahasiswanya sebanyak 86.198.Mengenai sejarah dan perkembangan lebih jauh dari IAIN, lihat Censis dan Dibinperta(1996).

24. Alasan formal dari penentangan kalangan pemoeda terhadap partai negara ini ialahkarena partai ini akan mubazir dan menyaingi KNIP. Namun, alasan sebenarnya ialahketakutan mereka akan potensi partai tersebut untuk menjadi fasis karena partai itudiketuai oleh Achmad Subardjo, yang terbiasa berkolaborasi secara dekat dengan pihakJepang (Kahin, 1952: 147-148).

25. Patut dicatat bahwa “sejumlah besar kaum Stalinis Indonesia, termasuk beberapa yangterpenting di antara mereka, tidak masuk PKI. Alih-alih, mereka masuk ke salah satudari tiga partai Marxis non-komunis, yaitu Partai Sosialis, Partai Buruh, dan Pesindo”(Kahin, 1952: 159).

26. Jalan menuju pembentukan sebuah kekuatan militer Indonesia dimulai dengan adanyapengumuman PPKI pada tanggal 22 Agustus 1945 mengenai dibentuknya BadanPenolong Keluarga Korban Perang, yang secara organisatoris meliputi Badan Ke amananRakyat (BKR). Dalam perkembangan berikutnya, BKR—setelah berubah menjadi TentaraKeamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 5 Oktober, kemudian menjadi Tentara KeselamatanRakyat (TKR) pada tanggal 1 Januari 1946, dan berubah lagi menjadi Tentara RepublikIndonesia pada tanggal 24 Januari 1946—akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia(TNI) pada tanggal 5 Mei 1947 (Sundhaussen, 1982: 7-18; Anderson, 1972: 232-234).

27. Mengenai daidancho (komandan batalion PETA) Muslim yang lainnya, lihat Bab 4.28. Alasan mengenai hal ini bisa ditemukan dalam sifat pendidikan militer Jepang. Tidak

seperti para perwira yang lebih junior, daidancho-daidancho tidak diberikan pen didik anmiliter yang intensif dan tidak diharuskan tinggal di barak. Fungsi pokok me reka ialahmelaksanakan kepemimpinan moral dan menjalankan pengawasan politik ter hadapbawahan-bawahan mereka (Anderson, 1972: 20-22). Karena kurangnya ka pabilitasmiliter, para mantan daidancho mengalami kekalahan yang besar dalam persaingankepemimpinan dalam tubuh ketentaraan. Sementara, mereka yang berasal dari latarbelakang paramiliter sosialis juga memiliki keuntungan kompetitifnya karena keterbukaannya

Page 510: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

490 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

terhadap pengetahuan dan pelatihan Barat dalam hal manuver politik.29. Beberapa eks-perwira-perwira KNIL ini lulus dari Akademi Militer Kerajaan di Breda

(Belanda), tetapi kebanyakan dari mereka terdidik di Sekolah Kadet Militer di Bandung.30. Pada akhir 1940-an dan awal 1950-an, terdapat beberapa pemberontakan di berbagai

daerah di Indonesia di bawah bendera Darul Islam yang berusaha untuk mendirikanNegara Islam Indonesia sebagai kompensasi atas kekecewaan mereka terhadap pe -merintah pusat. Diawali di Jawa Barat pada bulan Mei 1948, gerakan itu kemudianmenyebar ke daerah-daerah di Jawa Tengah, di Kalimantan Selatan, di Sulawesi, dan diAceh. Mengenai pembahasan lebih jauh tentang penyebab pemberontakan-pem -berontakan tersebut, lihat di antaranya C. van Dijk (1981).

31. Ulf Sundhaussen menjelaskannya sebagai berikut (1982: 46): “Tentu saja, para per wiratahun 1949 masih sangat heterogen, tetapi jika dibandingkan dengan para perwiratahun 1945/1946, telah terdapat semacam platform politik bersama. Para perwiramenjadi semakin jauh lebih percaya diri dan bangga akan prestasi mereka, tidakmemercayai para politisi, permainan politik, dan ideologi-ideologi partai, dan lebihsadar akan kepentingan-kepentingan bersama tentara. Namun, mereka masih belummemiliki persepsi yang tegas menurut pandangan mereka mengenai posisi me reka apaseharusnya dalam masyarakat.”

32. Akademi Militer Nasional (AMN) dibuka kembali oleh Presiden Sukarno pada tanggal11 November 1957, sebagai kelanjutan dari bekas akademi militer di Yogyakarta, yangmerupakan salah satu institusi militer yang menghasilkan para perwira muda dan yangdidirikan segera setelah proklamasi kemerdekaan pada 1945. Karena kurangnyainfrastruktur dan instruktur, akademi yang pertama itu ditutup pada tahun 1950.Sekitar pada saat yang bersamaan dengan didirikannya akademi militer Yogyakarta, jugamuncul akademi teknik militer di Bandung. Kelak, institut militer Bandung ini akanmenjadi departemen teknik AMN Magelang setelah penggabungan keduanya padatahun 1959 (AMN, 1969). Munculnya AMN Magelang ini segera diikuti dengan pen -dirian institut yang serupa untuk Angkatan Laut dan Angkatan Udara serta institusi-institusi lain untuk pendidikan sosio-politik para perwira militer, seperti Sekolah Stafdan Komando (Sesko), Sekolah Staf dan Komando Gabungan (Seskogab), LembagaPertahanan Nasional (Lemhanas), dan sebagainya.

33. Natsir gagal meyakinkan PNI untuk bergabung dalam kabinetnya. Sebagai akibatnya,kabinet ini berintikan pada Masyumi dengan didukung oleh partai-partai kecil (PIR,PSI, Parindra, Partai Katolik, Parkindo, PSII, dan Fraksi Demokratik) dan lima orangnon-partai. Sementara Wakil Perdana Menteri Sultan Hamengkubuwono IX adalahindividu non-partai (Feith, 1962: 149-150).

34. Sukiman berhasil meyakinkan PNI untuk masuk dalam kabinetnya. Jadi, kabinet iniberintikan pada Masyumi dan PNI yang didukung oleh partai-partai kecil (PIR, PartaiKatolik, Partai Buruh, Parkindo, Parindra, dan Fraksi Demokratik) dan dua orang non-partai (Mohammad Yamin dan Djuanda). Wakil perdana menteri dijabat oleh Suwirjodari PNI (Feith, 1962: 180).

35. Kabinet Wilopo berintikan PNI dan Masyumi dan didukung oleh partai-partai kecil(PSI, Partai Katolik, Partai Buruh, PSII, Parkindo, Parindra) dan tiga orang non-partai.Wakil perdana menteri dijabat oleh Prawoto Mangkusasmita dari Masyumi (Feith,1962: 228-229).

Page 511: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 491

36. Kabinet Ali yang pertama berintikan PNI, PIR, dan NU dan didukung oleh partai-partaikecil (Fraksi Progresif, PRN, SKI, BTI, PSII, Partai Buruh, Parindra) dan satu orang non-partai. Kabinet ini memiliki dua wakil perdana menteri. Wakil perdana menteri dijabatoleh Wongsonegoro dari PIR, dan wakil perdana menteri kedua dijabat oleh ZainulArifin dari NU (Feith, 1962: 338-339).

37. Kabinet Burhanuddin berintikan Masyumi dan didukung oleh partai-partai lain (PIR-Hazairin, PSII, NU, PSI, Fraksi Demokratik, PIR, Partai Katolik, PRN, Partai Buruh,Parindra, Parkindo, dan Partai Rakyat Indonesia). Kabinet ini memiliki dua wakilperdana menteri. Wakil perdana menteri dijabat oleh Djanu Ismadi dari PIR-Hazairin,dan wakil perdana menteri kedua dijabat oleh Harsono Tjokroaminoto dari PSII (Feith,1962: 418-419).

38. Dalam sebuah masyarakat yang plural, kata Furnivall, terdapat sebuah ketidakter -organisasian tuntutan sosial secara umum karena struktur tuntutan dan motif-motifekonomi yang ada tidak dikoordinasikan oleh nilai-nilai kultural bersama. “Karena itu,upaya untuk mencapai kesetaraan kesempatan, mobilitas sosial, dan distribusi ke mak -muran yang adil dalam sebuah masyarakat yang plural merupakan sebuah prob lem yanglebih sulit diatasi ketimbang dalam masyarakat tipe lainnya” (Furnivall, 1980: 86-88).

39. Klaus Eder berargumen (1993: 20-27) bahwa kunci untuk menjelaskan jalan per -kembangan menuju modernitas dalam pengalaman Barat terletak dalam prosespembelajaran dan praktik-praktik simbolik dalam ranah kultural. Saat sebuah masya -rakat bergerak dari kehidupan tradisional menuju kehidupan modern, medan bagiproses pembelajaran sosial bergeser dari ikatan-ikatan komunal yang tertutup kepadaikatan-ikatan asosiasional yang terbuka, dari kelompok-kelompok dan kasta-kasta ke -pada masyarakat kelas. Perubahan medan proses pembelajaran sosial ini pada gilirannyaakan mengubah semesta simbolik. Dalam hubungan asosiasi, semesta simbolik diproduksioleh komunikasi diskursif yang melibatkan sebuah proses rasionalitas tingkat tinggi dankesetaraan hak-hak untuk berpikir dan berbicara secara bebas. Semakin rasionalitas dankesetaraan ini bisa dilembagakan, semakin bisa tercapai ide organisasi civil society yangbersifat demokratis. Semua ini akan me muncak dalam ide mengenai realisasi secarademokratis kehidupan yang baik (good life) oleh civil society.

40. Yang cukup mengejutkan, PSI hanya meraih 2,0% dari total jumlah suara yang sah.41. Perdebatan-perdebatan dalam Konstituante tidak diawali dengan pembicaraan tentang

draf konstitusi, tetapi tentang prinsip-prinsip fundamental, dan baru kemudian hasilpembicaraan itu dicantumkan dalam konstitusi (Boland, 1971: 90).

42. Dalam pandangan Adnan Buyung Nasution (1995: 409), bukan tidak mungkin bahwakompromi pada akhirnya akan tercapai jika saja Presiden Sukarno tidak mengambilkeputusan ekstra-parlementer untuk membubarkan dengan paksa Dewan Kon sti tuantepada tanggal 5 Juli 1959.

43. Seperti yang dicatat oleh Ricklefs (1993: 252): “Dalam tahun-tahun setelah 1952,banyak komandan di daerah yang menjalin hubungan yang tak lazim dengan ke pen -tingan-kepentingan luar Jawa sebagai sebuah cara untuk mendanai unit-unit merekadan pendapatan-pendapatan pribadi mereka.”

44. Korps yang paling berpengaruh dalam TNI ialah Angkatan Darat. Angkatan Darat de -ngan 330.000 personel pada awal 1960-an memiliki posisi yang lebih dominan ke -timbang Angkatan Laut (30.000 personel) dan Angkatan Udara (40.000 personel)

Page 512: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

492 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

(Sundahussen, 1982: 162-207).45. Presiden Sukarno, meski memiliki karisma yang besar dan popularitas yang tinggi,

memainkan peran yang semata-mata bersifat formal sebagai kepala negara. MenurutUUDS 1950, Presiden dan Wakil Presiden secara formal tak boleh turut campur danberada di atas semua kekuatan politik. Angkatan Darat, meski mengklaim menjadibenteng bangsa selama masa revolusi kemerdekaan, tidak dilibatkan dalam parlemenmaupun pemerintahan. PKI, meski meraih keberhasilan yang besar dalam Pemilu 1955,ternyata tak dimasukkan dalam kabinet parlementer karena stigma peng khianat annyaterhadap pemerintahan Republik Indonesia tahun 1948.

46. Karena tidak sepakat dengan Sukarno mengenai banyak hal yang fundamental, dan rasafrustrasi karena kekuasaannya yang terbatas sebagai wakil presiden, Hatta mengajukanpengunduran diri pada tanggal 20 Juli 1956 dan berlaku pada 1 Desember.

47. Terjemahan dalam bahasa Inggris dari ketiga pidato Sukarno itu bisa dilihat pada Feithand Castles (1970: 81-89).

48. Pada tanggal 2 Maret 1957, panglima daerah militer Indonesia Timur di Makassar(Sulawesi), Letnan Kolonel H.N.V. Sumual, menyatakan diri merdeka di bawah hukumDarurat, dan ini merupakan awal dari pemberontakan Perjuangan Semesta (Per mesta).Pada tanggal 8 Maret, dewan daerah Sumatra Selatan menyatakan tidak percaya dengangubernur dan karena itu, pihak Angkatan Darat daerah itu mengambil alih kekuasaan didaerah itu.

49. Setelah diterapkannya hukum darurat, Angkatan Darat sebagai kekuatan bersenjataIndonesia yang paling kuat, muncul sebagai kekuatan politik, ekonomi, dan administratifyang paling kuat pula di Indonesia (Sundhaussen, 1982: 162-207).

50. Formatur ialah orang atau panitia yang diangkat oleh otoritas yang sah untuk mem -bentuk kepemimpinan eksekutif, kabinet, dan sebagainya.

51. Setidaknya ada tiga BKS yang didirikan antara 1957-1958: yaitu BKS Pemuda-Militer,BKS Buruh-Militer, dan BKS Tani-Militer. Selanjutnya, juga muncul BKS Ulama-Militer,BKS Wanita-Militer, dan seterusnya (Imawan, 1989: 158; DPP Golkar, 1994: 95).

52. Pengunduran diri Hatta dari jabatan wakil presiden pada bulan Desember 1956 telahmeningkatkan rasa ketidakpuasan daerah di Sumatra. Lahir di Minangkabau, SumatraBarat, Hatta sangat populer di luar Jawa dan telah berbuat banyak untuk mempertahankankepercayaan daerah terhadap “Jakarta”. Pengunduran dirinya itu dilihat oleh daerahsebagai tanda dari pemutusan total suara-suara daerah dari pemerintah pusat (Kahin,1999: 178). Pada tanggal 10 Februari 1958, para pemimpin pemberontakan Sumatra,Letnan Kolonel Achmad Husein, Letnan Kolonel Zulkifli Libis, dan Kolonel M.Simbolon, mengirimkan ultimatum lima hari kepada pemerintah pusat agar: “kabinetdibubarkan, Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX harus ditunjuk untuk membentuksebuah kabinet kerja baru sampai pemilihan umum berikutnya diadakan, dan Sukarnoharus kembali ke posisi konstitusionalnya sebagai presiden kepala negara” (Ricklefs,1993: 262). Setelah ultimatum itu ditolak, para pemimpin pemberontakan pada tanggal15 Februari menyatakan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)di Padang (Sumatra Barat). PRRI ini dipimpin oleh Gubernur Bank Sentral, SyafruddinPrawiranegara (dari Masyumi) sebagai perdana menteri. Selain Syafruddin, parapemimpin Masyumi yang lain, yaitu Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir,masing-masing diangkat sebagai menteri keamanan dan kehakiman, dan juru bicara

Page 513: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 493

PRRI. Ketiga pemimpin Masyumi itu kebetulan tengah berada di Sumatra ketika parapemimpin pemberontakan tengah menyiapkan proklamasi PRRI, dan mereka didakusecara fait accompli menjadi pemimpin PRRI (Noer, 1987: 376-377). Selain parapemimpin Masyumi, Kabinet PRRI memasukkan nama mantan Menteri KeuanganSumitro Djojohadikusumo (dari PSI) sebagai menteri perdagangan dan komunikasi, dannama beberapa kolonel yang membangkang, seperti Kolonel M. Simbolon, KolonelDachlan Djambek, Kolonel Warouw, dan Kolonel Saleh Lahade, masing-masing sebagaimenteri luar negeri, menteri dalam negeri dan pertahanan, menteri pembangunan, sertamenteri penerangan (Kahin, 1999: 211).

53. Manipol merupakan singkatan dari Manifesto Politik. Manifesto Politik ini dimaksudkanuntuk menghidupkan kembali semangat revolusi dan keadilan sosial. Hal ini akandicapai lewat penerapan apa yang kelak pada tahun 1960 dikenal sebagai USDEK yangmerupa kan singkatan dari Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, DemokrasiTer pim pin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.

54. Pilihan ini pernah ada dalam sejarah masa lalu, ketika pada tahun 1926 muncul gagasanuntuk menyatukan tiga komponen utama masyarakat Indonesia: yaitu kaum nasionalis,kaum agama, dan kaum komunis. Elemen-elemen pendukung utama dari doktrinNasakom ini ialah PNI (nasionalis), NU (agama), dan PKI (komunis) bersama-samadengan seke lompok partai-partai kecil yang mewakili kelompok-kelompok kepentinganProtestan, Katolik, Muslim, dan sekuler lainnya. Terhadap partai-partai yang menolakmendukung doktrin ini, seperti Masyumi dan PSI, akan dibatasi aktivitasnya.

55. Pihak Angkatan Darat menganggap semakin kuatnya PKI merupakan ancaman langsungbagi kekuatannya sendiri. PNI sendiri mengalami konflik internal, antara sayap kiriyang dipimpin Ali Sastroamidjojo dan Surachman (PNI ASU) yang bekerja sama denganPKI,

dengan sayap kanan-tengah yang dipimpin oleh Osa Maliki (PNI Osa Maliki) yangcuriga dengan PKI. Partai-partai Protestan dan Katolik bersedia masuk dalam aliansiNASAKOM, tetapi selalu berkonflik dengan PKI.

56. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) didirikan pada bulan Mei 1954 atasinisiatif Jenderal Nasution dan para perwira pro-gerakan 17 Oktober seperti GatotSubroto, Aziz Saleh, dan Sutoko. Dalam kasus dukungan IPKI terhadap Liga De mok -rasi, Nasution mengambil posisi netral.

57. Kata clerc (intelektual) baik dalam bahasa Prancis maupun Inggris secara aslinya me -nunjuk pada seorang yang terpelajar. Untuk pembahasan yang lebih terperinci me -ngenai istilah ini dan buku karya Julien Benda ini, lihat Herbert Read (1959: xiii-xxxii).

58. Dalam nada yang sama, seorang tokoh kritikus sastra Indonesia, Wiratmo Soekito,menulis artikel-artikel dalam majalah Siasat Baru (No. 655, 30 Desember 1959)berjudul “Posisi Kaum Inteligensia Indonesia Dewasa Ini” dan dalam majalah Indonesia(No. 4, Oktober-Desember 1960) berjudul “Kesetiaan Intelektual kepada Masjarakat”,yang mengeluhkan surutnya kritisisme intelektual dan mengingatkan para intelektualakan panggilan heroiknya sebagai pembela hati nurani bersama. Kritik terhadap alienasiintelektual ini memuncak dengan berlangsungnya polemik seputar persoalan mengenai“pengkhianatan kaum intelektual” pada bulan-bulan awal Orde Baru.

59. Kampanye anti-intelektualisme ini didukung oleh organisasi-organisasi intelektual sayapkiri seperti Organisasi Tjendekiawan Indonesia (OTI), Himpunan Sardjana Indonesia

Page 514: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

494 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

(HSI), dan Himpunan Pengarang Indonesia (HIPMI).60. Tokoh terkemuka Lekra ialah penulis terkenal Pramodeya Ananta Toer.61. Tokoh terkemuka LKN ialah penulis terkenal Sitor Situmorang.62. Mengenai tindakan represif dari Lekra dan LKN terhadap penentang intelektual mereka,

lihat T. Ismail dan D.S. Moeljanto (1995). Mengenai pandangan yang lebih simpatikterhadap aktivitas kesusastraan Lekra, lihat Foulcher (1986).

63. Draf asli dari Manifesto itu disusun oleh Wiratmo Soekito pada tanggal 17 Agustus1963. Draf itu lalu didiskusikan oleh sekelompok 13 seniman pada tanggal 23 Agustus,yang memutuskan untuk menunjuk sebuah panitia penyusunan draf yang terdiri darienam seniman. Panitia itu menyelesaikan versi terakhir dari Manifesto itu pada tanggal24 Agustus. Pada hari itu pula, Manifesto itu disetujui dan ditandatangani oleh 12seniman: yaitu H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasoit,Gunawan Mohammad, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin (Arief Budiman), D.S. Muljanto,Ras Siregar, Djufri Tanissan, dan A. Bastari Asnin (Teeuw, 1979: 35).

64. Sukarno setuju dengan tuduhan yang menyatakan bahwa Manikebu telah menunjukkansikap yang enggan untuk menghormati revolusi. Dengan klaim bahwa hanya ada satumanifesto di Indonesia dan itu adalah Manipol-USDEK, Sukarno melarang Manikebupada tanggal 8 Mei 1964 (Teeuw, 1979: 35-37).

65. Sejak bulan Agustus 1959, usaha pemerintah untuk menghambat laju inflasi memunculkankebijakan mendevaluasi rupiah sebesar 75 persen. Dengan kebijakan itu, semua uangpecahan Rp500 dan Rp1.000 dipotong nilainya sehingga menjadi sepersepuluhnya,sehingga menurunkan suplai uang dari Rp34 miliar menjadi Rp21 miliar. Sektorekonomi riil sangat terpukul oleh keputusan ini, dan pemerintah pun terpaksamembolehkan ekspansi kredit. Sebagai akibatnya, dalam waktu enam bulan, suplai uangkembali ke tingkat yang semula dan inflasi kembali merayap naik. Sejak akhir 1961sampai 1964, Indonesia mengalami hiper-inflasi yang terus-menerus (sekitar 100 persenper tahunnya). Pada awal 1965, inflasi ini meningkat tajam yang membuat harga-hargamembumbung sampai 500 persen. Hal ini semakin diperburuk karena program ekonomidari program pembangunan delapan tahun, yang telah ditetapkan pada akhir 1960,ditetapkan secara agak tragis sekaligus menggelikan. “Program itu merupakan bualanyang sudah lazim dan tragis karena rencana ekonomi tersebut dibagi-bagi menjadi 17bagian, 8 jilid, dan 1945 pasal yang melambangkan tanggal Proklamasi Kemerdekaan”(Ricklefs, 1993: 267, 280).

66. Karena lapangan kerja baru setiap tahunnya merosot, sementara jumlah lulusan yangada begitu besar, muncullah problem seberapa selektifnya universitas-universitasseharusnya menerima dan meluluskan mahasiswa-mahasiswanya. Problem “proletarianisasi”ini disebabkan oleh adanya sikap umum dari kalangan kaum terdidik Indonesia padamasa itu: yaitu, lebih suka bekerja sebagai pegawai kantor. L.W. Mauldin misalnyamencatat bahwa dari 1.200 mahasiswa di Sekolah Pertanian Bogor yang menjadi cabangdari Universitas Indonesia pada tahun 1957, hanya satu yang punya keinginan menjadipetani. Sementara yang lainnya lebih mencita-citakan menjadi pegawai negeri karenamenjadi pegawai negeri dianggap paling dekat dengan tradisi priayi yang santai.

67. Meningkatnya persaingan antara Cina dan Amerika untuk mengontrol wilayah AsiaTenggara telah memengaruhi urusan-urusan politik dalam negeri. Pada bulan November1964, para pemimpin Cina telah menyarankan kepada Sukarno untuk membentuk

Page 515: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 495

Angkatan Kelima yang terdiri dari kaum buruh tani bersenjata yang direkrut dariorganisasi-organisasi massa PKI. Saran ini segaris dengan gagasan Sukarno untuk me-Nasakom-isasi Angkatan Darat. Pada saat yang bersamaan, harapan Amerika untuk bisamenghentikan ayunan bandul ke arah kiri di Indonesia melahirkan usaha untukberkolaborasi dengan pihak Angkatan Darat (Sundhaussen, 1982: 193). Sebuah petunjukdari adanya usaha Amerika bersama dengan Inggris untuk membangun kerja samadengan pihak Angkatan Darat terungkap dengan ditemukannya dokumen Gilchristyang ditemukan di vila milik seorang distributor film Amerika dan diduga merupakanagen mata-mata CIA di Puncak saat vila itu diserang oleh kelompok pemuda komunispada tanggal 1 April 1965. Dokumen itu, yang diduga merupakan telegram rahasia dariDuta Besar Inggris di Jakarta, Sir Andrew Gilchrist, kepada atasannya yang menyebutkankemungkinan kerja sama pada masa depan antara Inggris dan Angkatan Darat (Elson,2001: 97).

68. Pada akhir bulan September, dengan adanya puluhan ribu tentara yang berkumpul diJakarta sebagai persiapan upacara Hari Angkatan Bersenjata pada tanggal 5 Oktober,PKI menyebarkan desas-desus mengenai adanya rencana kudeta oleh “Dewan Jenderal”.Desas-desus ini dengan cepat berubah menjadi “Gerakan 30 September”. Dalamperistiwa tersebut, enam jenderal senior Angkatan Darat dibunuh dan hanya JenderalNasution yang selamat dari usaha percobaan pembunuhan itu. Jenderal-jenderal yangmenjadi target Gerakan 30 September ialah Letjen Jani (Menteri Panglima AngkatanDarat), Jenderal Nasution (Menteri Koordinator Kepala Staf Angkatan Ber senjata), danpara anggota kunci Staf Umum Angkatan Darat (SUAD): Mayjen Suprapto (Deputi IIAdministrasi), Mayjen Harjono (Deputi III, Keuangan dan Hubungan Masyarakat),Mayjen S. Parman (Asisten I, Intelijen), Brigjen D.I. Pandjaitan (Asisten IV, Logistik),dan Jaksa Tinggi Angkatan Darat, Brigjen Sutojo Siswomihardjo (Elson, 2001: 101).

69. Mengenai bahasan yang lebih terperinci mengenai bentuk karya generasi ini, lihat A.Teeuw (1979: 41-153).

70. Mengenai pembahasan lebih jauh mengenai persoalan ini, lihat D.E. Smith (1970) danY. Latif (1999a).

71. Hanya ada beberapa negara di dunia ini yang memiliki Departemen Agama yang berdirisendiri. Departemen Agama Indonesia dibentuk pertama kali oleh Kabinet Syahrirkedua (Maret 1946-Oktober 1946) dengan M. Rasjidi sebagai menterinya yang pertama.Pembentukan itu dimaksudkan untuk menenangkan kekecewaan politik kalanganpemimpin Muslim setelah dicoretnya “tujuh kata” dari pembukaan UUD 1945 dansetelah penolakan pemerintah untuk membentuk Departemen Agama pada awal-awallahirnya Republik Indonesia merdeka.

72. Dalam sebuah pertemuan Masyumi di Cirebon, beberapa minggu sebelum “aksi militer”Belanda yang pertama, Sukiman mengeluh bahwa di bawah pemerintahan sayap kiri diYogyakarta, Masyumi telah mengalami masa-masa yang sangat sulit dan tidak diberikesempatan untuk beraktivitas dan berkembang. Dia kemudian mengatakan, “Namun,kita harus bersabar sampai waktu kita datang.” Dengan kesadaran bahwa Masyumi ber -anggotakan semua umat Muslim, dia berkeyakinan bahwa pada akhirnya Masyumiakan menang karena Masyumi akan menjadi mayoritas yang absolut (Nieuwenhuijze,1958: 55).

73. Selain itu, terdapat pula beberapa intelektual lain seperti Abu Hanifah, Kartosuwirjo,Anwar Tjokroaminoto, dan Sjamsuddin dan sejumlah kecil ulama-intelek seperti

Page 516: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

496 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Fatururrahman Kafrawi dan Mohammad Dachlan (dari NU) dan Fakih Usman (dariMuhammadiyah).

74. Ketua Majelis Syuro yang pertama ialah Hasjim Asj’ari (dari NU). Dia dibantu oleh KiBagus Hadikusumo (dari Muhammadiyah), Wachid Hasjim (dari NU), dan KasmanSingodimedjo (dari Muhammadiyah), masing-masing sebagai wakil ketua satu, dua, dantiga. Mereka didukung oleh beberapa anggota mencakup M. Adnan (Ketua PengadilanAgama), Agus Salim (individu), Abdul Wahab Chasbullah (dari NU), A. Sanusi (dari Al-Ittihadiyatul Islamiyah), dan M. Djamil Djambek (dari kalangan pembaru di Sumatra)dan selusin kiai dan pemimpin Islam lainnya.

75. Sebagai seorang yang berasal dari Jawa dan sangat terbuka terhadap gagasan-ga gasanpolitik sekuler selama masa studinya di negeri Belanda, Sukiman memiliki hubunganyang dekat dengan para pemimpin NU di Jawa dan kurang terobsesi dengan ideologimodernis-pembaru.

76. Sebagai orang yang berasal dari luar Jawa (Minangkabau) dan sangat terbuka ter ha dapajaran-ajaran modernis-pembaru, terutama setelah aktif secara mendalam dalam organisasiPersis, Natsir merupakan penganut sejati ideologi modernis-pembaru dan dukunganutama terhadapnya terutama berasal dari kalangan non-Jawa. Ini membuat parapemimpin NU cenderung tidak memercayainya.

77. “Selama revolusi kemerdekaan, Natsir bergabung dengan Kabinet Sjahrir yang keduadan ketiga (12 Maret 1946-27 Juni 1947) sebagai wakil dari Masyumi dengan menjabatse bagai menteri penerangan tanpa portofolio. Dan saat pembentukan Kabinet Hatta(29 Januari 1948-19 Desember 1948), dia kembali diangkat dalam pos yang sama”(Kahin, 1993: 162).

78. Dikutip dari Maarif (1996: 70).79. Selain Natsir sebagai perdana menteri, sekitar tiga pemimpin Masyumi lainnya, yaitu

Mohammad Roem, Sjafruddin Prawiranegara, dan Wachid Hasjim masing-masing men -jabat sebagai menteri luar negeri, menteri keuangan, dan menteri agama. Partai Islamlainnya, yaitu PSII, juga memiliki wakilnya di kabinet, yaitu Harsono Tjokroaminotosebagai menteri negara tanpa portofolio, meskipun dia kemudian mengundurkan diridari kabinet pada tanggal 31 Desember 1950.

80. Sesuai dengan Konferensi Meja Bundar, Irian Barat tidak termasuk wilayah teritoriIndonesia. Masuknya wilayah ini ke pangkuan Republik Indonesia menjadi tujuan yangsemakin mengemuka pada pertengahan 1950. Presiden Sukarno selama beberapa waktumenyuarakan suaranya sendiri mengenai permasalahan Irian Barat tersebut dan bertindaksecara independen dari kabinet. Dalam Pidato Hari Kemerdekaan, pada tanggal 17Agustus 1950, dan dalam beberapa kesempatan pidato lainnya, dia berulang-ulangmengucapkan janji kepada pendengarnya bahwa Irian akan kembali ke pangkuanIndonesia sebelum fajar baru terbit di tahun 1951 (Panitia Peringatan, 1978b: 117-120).

81. Dalam pandangan Natsir, persoalan Irian ditentukan secara hukum oleh kesepakataninternasional dan setiap keputusan mengenai hal ini akan diambil lewat mekanismeparlementer. Natsir mengemukakan persoalan ini ke hadapan sidang kabinet. Dua belasmenteri mendukungnya, sementara lima menteri lainnya mendukung pandangan Sukarno(Maarif, 1996: 71-72).

82. Herbert Feith menggambarkan Kabinet Natsir sebagai kabinet administrator. “Dalam

Page 517: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 497

waktu yang singkat, Kabinet Natsir bekerja secara intens untuk mencapai tujuan-tujuankebijakannya dan dalam tingkatan tertentu tujuan itu sukses dicapai. Kabinet itu berhasilmenciptakan beberapa kemajuan di Indonesia dalam hal keamanan sipil, rutinisasiadministrasi, meningkatnya jumlah produksi, perencanaan pertumbuhan ekonomi.Kabinet itu gagal karena sangat singkatnya periode jabatan mereka, se hingga gagalmembangun basis dukungan politik baginya” (1962: 176, 220).

83. Selain Sukiman sebagai perdana menteri, sekitar empat wakil Masyumi lainnya, yaituAchmad Subardjo, Jusuf Wibisono, Samsudin, dan Wachid Hasjim masing-masingmenjabat sebagai menteri luar negeri, menteri keuangan, menteri sosial, dan menteriagama. Namun, tak satu pun yang bisa dikatakan benar-benar sebagai penganut sejatialiran pembaru-modernis Islam yang memiliki hubungan dengan kelompok Natsir.

84. Terdapat beberapa even politik yang berperan dalam menciptakan ketegangan hubunganantara Kabinet Sukiman dan Angkatan Darat. Pada tanggal 7 Juni 1951, MenteriKehakiman Yamin membebaskan 950 tahanan politik tanpa persetujuan pe mimpinAngkatan Darat. Sebagai balasannya, para pemimpin Angkatan Darat menolak membantuPerdana Menteri pada saat dia berusaha memberlakukan Keadaan Darurat Militersebagai basis legal untuk melakukan penangkapan massal setelah huru-hara anti-komunispada bulan Agustus 1951. Dalam hal penangkapan ini, kabinet sekali lagi pihak kabinettidak berkonsultasi dengan para pemimpin Angkatan Darat, dan pola yang samaterulang lagi dalam persoalan kesepakatan Mutual Security Act de ngan Amerika Serikat(Feith, 1962: 185-207).

85. Kabinet Sukiman terutama terdiri dari orang-orang yang merupakan penggalang soli -daritas (solidarity makers). Kabinet ini memang berhasil mencatat beberapa pres tasipenting, terutama dalam bidang tenaga kerja dan pendidikan. Namun, adanya friksiinternal dalam kabinet dan tetap buruknya hubungan kabinet dengan Angkatan Darat,telah memunculkan persoalan-persoalan yang serius bagi keberlangsungan ka binet itu(Feith, 1962: 218-224).

86. Selain itu, Chasbullah juga mencalonkan Abu Hanifah sebagai menteri luar negeri danZainul Arifin sebagai menteri pertahanan (Noer, 1987: 222).

87. Menurut seorang pengamat NU, Greg Fealy, Hasjim sendiri sebenarnya tak ingin lagimenduduki jabatan itu. Percakapan pribadi dengan Fealy (3 Juli 2003).

88. Selain Fakih Usman sebagai menteri agama, beberapa wakil Masyumi lainnya dalamkabinet Wilopo ialah: Prawoto Mangkusasmito sebagai wakil perdana menteri,Mohammad Roem sebagai menteri dalam negeri, dan Muhammad Sardjan sebagaimenteri pertanian. Partai Islam yang lain, PSII, juga memiliki wakilnya dalam kabinetini, yaitu Anwar Tjokroaminoto sebagai menteri sosial.

89. Dikutip dari A. Fadhali (1969: 25-26).90. Selain NU, PSII juga memiliki wakilnya di kabinet, yaitu Abikusno Tjokrosujoso sebagai

menteri komunikasi.91. Setelah Roem dan Mangunsarkoro gagal membentuk kabinet, masih ada dua formatur

lain (Mukarto dan Burhanuddin) yang juga gagal membentuk kabinet. Wongsonegorodari PIR yang ditunjuk terakhir sebagai formatur akhirnya berhasil mengajukan AliSastroamidjojo sebagai perdana menteri yang baru dan dia sendiri sebagai wakil perdanamenteri satu (meskipun dia mengundurkan diri dari posisi ini pada tanggal 17 November1954).

Page 518: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

498 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

92. Selain Burhanuddin, wakil Masyumi dalam kabinet tersebut ialah Mohammad Sardjanse bagai menteri pertanian dan Abdul Hakim sebagai menteri negara tanpa portofolio.Partai NU juga memiliki wakilnya, yaitu Sunarjo sebagai menteri dalam negeri danK.H. Iljas sebagai menteri agama. Partai Islam lainnya, PSII, memiliki dua wakilnya,yaitu Harsono Tjokroaminoto sebagai wakil perdana menteri dua, dan Sudibjo sebagaimenteri sosial.

93. Menurut Judy Rebick, seorang aktivis politik feminis terkemuka Kanada, politikidentitas adalah politik dari kelompok-kelompok yang termarginalisasikan dalampencariannya untuk menemukan bahasa agar bisa mengartikulasikan ketidakpuasansosial mereka. “Politik identitas lahir ketika identitas menjadi basis bagi pemikiranpolitik, bahkan kadang kala menjadi basis bagi politik itu sendiri” (Rebick, 1996: 31).

94. Situasi ini tentu saja akan berbeda di negara-negara Muslim tempat Islam diperlakukansebagai ideologi formal negara ketimbang semata-mata sebagai ikon politik identitas.

95. Seperti pidato Pancasila-nya Sukarno (1 Juni 1945), dia beranggapan bahwa lewatdemokrasi, umat Muslim akan bisa memiliki kesempatan untuk menetapkan peraturan-peraturan yang konsisten dengan ajaran-ajaran Islam. Selain itu, dia percaya bahwa jika“ada cukup waktu dan kebebasan untuk mendidik masyarakat Indonesia untukberkarakter Islam, maka akan ada lebih banyak dan lebih banyak lagi dari mereka yangmencintai Islam”. Namun, dia mengakui bahwa hal ini merupakan sebuah prosesjangka-panjang akan butuh bergenerasi-generasi untuk mencapainya (Kahin, 1993:161).

96. Kepatuhan yang kaku dari para pembaru terhadap aturan-aturan main ini tampaknyamerupakan refleksi positif dari ketaatan mereka terhadap hukum-hukum agama.

97. Partai-partai Islam lainnya ini ialah Partai Persatuan Tarekat Indonesia (PPTI) danAngkatan Kemenangan Umat Islam (AKUI), masing-masing meraih satu kursi.

98. Dalam hitungan kursi di DPR, PNI meraih hasil yang sama dengan Masyumi (57kursi).

99. Wakil Masyumi adalah Mohammad Roem sebagai wakil perdana menteri satu, Muljantosebagai menteri kehakiman, Jusuf Wibisono sebagai menteri keuangan, SuhjarTedjakusuma sebagai menteri komunikasi, dan Pangeran Norr sebagai menteri pekerjaanumum dan energi. Wakil NU adalah Idham Chalid sebagai wakil perdana menteri dua,Sunarjo sebagai menteri dalam negeri, Burhanuddin sebagai menteri ekonomi, FatahJasin sebagai menteri sosial, dan K.H. Iljas sebagai menteri agama. Wakil PSII ialahSudibjo sebagai menteri penerangan dan Sjaikh Marhaban sebagai deputi menteripertanian. Perti memiliki satu wakil, yaitu H. Rusli Abdul Wahid sebagai menterinegara untuk hubungan parlemen.

100. Mereka ini di antaranya ialah Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, BurhanuddinHarahap, Assaat, Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo,Isa Anshary, E.Z. Muttaqin, Junan Nasution, dan Hamka (Ghazali, 1998b: 8-9).

101. Setelah NU mendirikan sebuah partai politiknya sendiri, para pemimpinnya mengajukangagasan untuk mendirikan semacam federasi partai Islam. Karena tak mendapatrespons dari Masyumi, NU lalu mengajak beberapa partai kecil, yaitu PSII dan Perti.Keduanya merespons dengan hangat gagasan tersebut. Federasi ini dinamakan LigaMuslimin Indonesia. Selain ketiga partai di atas, ada pula Dar Al-Da’wah wal-IrsjadSulawesi Selatan dan Persjarikatan Tionghoa Islam Indonesia, juga bergabung dengan

Page 519: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 499

federasi tersebut. Namun, federasi tersebut tidak berjalan secara efektif dan karena itutidak memiliki makna yang signifikan bagi penguatan Islam politik (Noer, 1987: 94-95).

102. Secara politik, NU cenderung bersikap konservatif dan ini tecermin dalam pre -ferensinya terhadap empat nilai pokok konservatisme NU: yaitu “otoritas” (ke utamaanotoritas tradisional dalam agama), “hierarki” (berdasarkan garis keturunan denganulama besar dan keluarga kerabatnya dan anak-anaknya berada di puncak), “hakmilik” (sebuah komitmen yang kukuh terhadap hak-hak individu atas benda-bendamilik pribadi), dan “komunitas” (mendukung dijaganya kebersamaan gotong royong dikalangan komunitas-komunitas tradisional agama). Sifat konservatif NU sering kalimendorong NU untuk menggunakan kemanfaatan politik demi kepentingan-kepentinganelite dan komunal NU. Untuk pembahasan yang lebih terperinci mengenai empat nilaipokok konservatisme NU, lihat misalnya K. McLeish (1993: 159-161).

103. Kalangan pragmatis NU menekankan pada pentingnya meminimalisasi risiko danmempertahankan pengaruh politik sebagai sebuah cara untuk melindungi umat,terutama umat NU. Untuk menjustifikasi pilihan politik ini dan yang lainnya, merekakembali kepada kadidah-kaidah politik tradisional yang lebih “elastis”. Di antarakaidah-kaidah yang paling sering digunakan ialah “maslahah” dan “mafsadah” (masing-masing berarti mengutamakan kemanfaatan dan menghindarkan bahaya), “akhaffud-dararain” (secara pokoknya berarti, memilih risiko yang terkecil dari dua risiko), danma’la yudarku kulluhu la yutraku ba’dhuhu’ (intinya berarti, jika yang keseluruhan takbisa didapat, maka yang sebagian tak boleh dibuang). Dalam kasus penerimaan NUterhadap Demokrasi Terpimpin, Chasbullah mewujudkan prinsip ini dalam frasaringkas: “masuk dulu, keluar gampang”. Dengan lenyapnya Masyumi sebagai sebuahkekuatan politik, NU mendukung Nasakom yang dianggap penting untuk membukajalan bagi perwakilan Islam dalam pemerintahan serta untuk memberikan pengaruhpenyeimbang terhadap Sukarno dan konter terhadap aktivitas-aktivitas PKI. Dengandemikian, hal ini akan memberikan manfaat yang terbesar bagi umat atau paling tidakbisa meminimalisasi bahaya. Mengenai NU dan peran Wahab Chasbullah selamaperiode Demokrasi Terpimpin, lihat G. Fealy (1996).

104. PTDI merupakan “sebuah lembaga luar sekolah untuk dakwah Islam, yang didirikan dibawah sponsor para perwira senior militer (Jenderal Sarbini dan Jenderal Sudirmandari Angkatan Darat, Jenderal Sutjipto Judodihadjo dari Kepolisian, dan LaksamanaSukmadi dari Angkatan Laut). Para perwira militer ini sadar akan bahaya komunismedan karena itu ingin melawannya dengan cara-cara dakwah (Boland, 1971: 194-195).

105. Di antara para pemimpin Masyumi yang memberikan inspirasi bagi pembentukan GPIIialah Mohammad Natsir, Wachid Hasjim, Anwar Tjokroaminoto, Wondoamiseno, danMas Mansjur (Harjono & Hakim, 1997: 48-50).

106. Selain Lafran Pane, empat belas mahasiswa STI lainnya yang turut mendirikan HMIialah Karnoto Zarkasji, Dahlan Husein, Suwali, M. Jusdi Ghazali, Mansjur, M. Anwar,Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tajeb Razak, Toha Mashudi, Bidron Hadi, MaisarohHilal, dan Siti Zainah (dua yang terakhir ini perempuan). Lihat Sitompul (1976: 23).

107. Pada 1948, Lafran Pane keluar dari STI dan masuk Akademi Ilmu Politik (AIP) yangkelak akan menjadi Fakultas Seni UGM. Dia lulus dari UGM pada bulan Januari 1953.

108. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh sebuah buletin HMI cabang IndonesiaTimur (1971: 19), berjudul “Warga Hijau Hitam Membina HMI”, dikatakan bahwa

Page 520: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

500 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

pendirian HMI diinspirasikan oleh beberapa pemimpin modernis dan ide-ide yangmembentuk JIB dan diarahkan untuk mencapai tujuan jangka panjang JIB, yaitu untukmenciptakan kaum inteligensia Muslim yang memiliki keseimbangan antara penguasaandalam pengetahuan umum dan penghormatan terhadap nilai-nilai Islam (Tanja, 1982:51-520).

109. PMY dan SMI didominasi oleh para mahasiswa sayap kiri (wawancara dengan AchmadTirtosudiro, 11/10/1999).

110. Wawancara dengan A. Dahlan Ranuwihardjo (29/12/1999).111. UGM secara resmi berdiri pada tanggal 9 Desember 1949.112. Kelak pada 1990-an, Achmad Tirtosudiro akan memainkan sebuah peran yang sangat

menentukan dalam pembentukan dan perkembangan Ikatan Cendekiawan MuslimIndonesia (ICMI).

113. Mengenai isi dari buku tersebut, lihat Bab 4.114. Mengenai deskripsi dari perkembangan jumlah anggota HMI, lihat Sitompul (2002:

217-240).115. Keanggotaan PII terbuka buat para pelajar yang berusia kurang dari 40 tahun.116. Para perintis PII lainnya ialah Anton Timur Djaelani, Ibrahim Zarkasji, Karnoto, Halim

Tuasikal, dan Mukti Ali dari STI, Tedjaningsih (perempuan) dan Nursjaf dari (embrio)UGM.

117. Mengenai sejarah dan perkembangan PII, lihat M.H. Thamrin dan Ma’roov (1998).118. Wawancara dengan Utomo Dananjaya (7/12/2000).119. Wawancara dengan Utomo Dananjaya (Ketua PII, 1967-1969, 07/12/2000).120. Mengenai latar belakang agama dari Toha Masduki, lihat Sitompul (1976: 23).

Mengenai latar belakang agama Mukti Ali, lihat Munhanif (1998: 278-279).121. Meski demikian, karena sudah lazimnya penggunaan istilah “kaum inteligensia tradisi -

onalis”, istilah ini selanjutnya akan digunakan di sini dalam artian “kaum inteligensiayang berorientasi tradisionalis”.

122. Ketiga belas anggota panitia itu ialah A. Chalid Mawardi, M. Said Budairy, dan M.Sobich Ubaid (dari Jakarta), M. Makmun Sjukri dan Hilman (dari Bandung), IsmailMakky dan Munsif Nachrowi (dari Yogyakarta), Nuril Huda Suaidi dan Laili Mansur(dari Surakarta), Abdul Wahab Djaelani (dari Semarang), Hizbullah Huda (dariSurakarta), M. Chalid Marbuko (dari Malang), dan Ahmad Husain (dari Makassar).

123. Mengenai sejarah dan perkembangan PMII, lihat N. Wahid (2000).124. Sebenarnya, beberapa tahun sebelum pendirian PMII, para mahasiswa yang berafiliasi

dengan PSII telah keluar dari HMI dan pada tanggal 2 April 1956 mendirikan sebuahorganisasi tersendiri, yaitu Serikat Mahasiswa Muslim Indonesia (SEMMI). Namun,hal ini tidak menjadi masalah bagi HMI karena pengaruh SEMMI tak pernah besar.

125. Kepemimpinan dan mobilitas vertikal di HMI didasarkan pada sistem penghargaanatas jasa, sementara di PMII didasarkan pada kombinasi antara jasa dan keturunan.Jadi, anak-anak dari “orang biasa” lebih merasa aman bergabung dengan HMI.

126. Karena Solo dan sekitarnya merupakan kubu dari mahasiswa-mahasiswa kiri, lihatMcVey (1990: 20).

127. Wawancara dengan Piet Haidir Hizbullah, Ketua IMM periode 2001-2003 (10 Januari2003).

Page 521: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Inteligensia sebagai Elite Politik Negara Baru | 501

128. Perhimpunan-perhimpunan intelektual Kristen dan sekuler ini meliputi Ikatan SarjanaKatolik Indonesia (ISKI, berdiri tahun 1958), Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia(PIKI, berdiri tahun 1963), Ikatan Sarjana Republik Indonesia (ISRI) yang nasionalis,dan Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) yang komunis, serta Organisasi TjendekiawanIndonesia (OTI) yang juga komunis. Tiga yang terakhir itu didirikan pada bagianpertama tahun 1960-an.

129. Pada bulan Februari 1950, Christelijke Studenten Vereeniging op Java (berdiri tahun1926, tetapi secara resmi dideklarasikan pada tahun 1932) dari wilayah “negarafederal RIS” bergabung dengan Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (berdiritahun 1947) di wilayah “Republik” dan melebur menjadi Gerakan Mahasiswa KristenIndonesia (GMKI). GMKI berafiliasi dengan Parkindo. Lihat website GMKI (cabangMalang) www.geocities.com/CapitolHill/8766 [20/02/2002].

130. Pada bulan Juni 1950, Katholieke Studenten Vereeniging (KSV) dari wilayah “negarafederal RIS” bergabung dengan Perserikatan Mahasiswa Katolik Indonesia (berdiritahun 1947) di wilayah “Republik” dan melebur menjadi Perhimpunan MahasiswaKatolik Indonesia (PMKRI). PMKRI berafiliasi dengan Partai Katolik. Jumlah anggotanyapada tahun 1960-an sekitar 10.000 mahasiswa. Lihat PMKRInet:www.geocities.com/pmkri_web/profil-sejarah.htm [20/02/2002].

131. GMNI didirikan pada tahun 1954 dan merupakan fusi dari tiga organisasi mahasiswanasionalis yang ada selama masa revolusi kemerdekaan, yaitu Gerakan MahasiswaMarhaenis, Gerakan Mahasiswa Merdeka, dan Gerakan Mahasiswa Demokrat. Lihatwebsite GMNI: www.geocities.com/gmni_jkt/profile.htm [20/02/2002]. GMNI secaraformal berafiliasi dengan PNI dengan jumlah anggotanya secara nasional pada awal-awal tahun 1960-an sekitar 77.000 (Maxwell, 1997: 118). Kebanyakan anggotanyamerupakan para pendukung ideologi nasionalis, tetapi banyak juga mahasiswa yangmemiliki kecenderungan kiri yang lebih suka bergabung dengan GMNI karena GMNImemberikan koneksi-koneksi yang berguna untuk mendapatkan posisi-posisi politikatau birokratik di kemudian hari (McVey, 1990: 20).

132. Germindo didirikan pada akhir 1950-an sebagai organisasi mahasiswa yang berafiliasike Partindo, sebuah partai politik yang didirikan kembali pada tahun 1956 danmengklaim merupakan perwujudan dari ideologi kiri, nasionalis-radikal dan non-komunisnya Sukarno. Organisasi mahasiswa ini jumlah anggotanya tak lebih daribeberapa ratus anggota saja (Maxwell, 1997: 119).

133. Para mahasiswa yang sosialis yang pernah menjadi bagian dari Pemuda Sosialis Indonesia(Pesindo, berdiri tahun 1945) selama awal-awal tahun revolusi kemerdekaan mulaimendirikan Gemsos pada tahun 1955. Organisasi ini merekrut mereka yang ada dalamlingkaran-lingkaran siswa yang menjadi pendukung PSI, dan tak pernah berupayamemiliki jumlah anggotanya yang besar. Meski demikian, organisasi ini cukupberpengaruh di universitas-universitas elite seperti UI dan ITB.

134. Dibentuk pada 1956 sebagai gabungan dari tiga organisasi mahasiswa lokal di Bandung,Bogor, dan Yogyakarta, CGMI mengklaim memiliki sekitar 35.000 anggota pada1964-1965. Namun, hanya sedikit (3.000 anggota) yang tinggal di Jakarta dan lebihsedikit lagi yang berasal dari UI (Maxwell, 1997: 111). Organisasi ini memilikidukungan terbesarnya dari universitas-universitas swasta pinggiran, terutama daritempat-tempat seperti Yogyakarta dan Solo, tempat yang banyak mahasiswa takmemiliki status sosial yang mantap. Sebagian besar anggotanya yang di Jakarta berasal

Page 522: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

502 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

dari Universitas Res Publica yang didirikan atas sponsor Baperki (McVey, 1990: 20).Badan Permusyawaratan Kewargaan Indonesia (Baperki) merupakan gerakan politikyang cenderung berhaluan kiri yang eksis pada 1950-an dan 1960-an. Pada awalnya,Baperki dimaksudkan untuk mengintegrasikan orang-orang etnik Cina ke dalammasyarakat Indonesia. Selain Universitas Res Publica, juga patut dicatat bahwa sejak1958, PKI telah mendirikan universitasnya sendiri, yaitu Universitas Rakyat (Unra)yang beroperasi di delapan kota (Jakarta, Bandung, Solo, Semarang, Surabaya, Malang,Palembang, dan Medan). Jumlah mahasiswanya pada 1959 diklaim mencapai 2.816.Mengenai pembahasan lebih jauh tentang institusi-institusi pendidikan komunis, lihatR. McVey (1990).

135. Rumah Subchan yang pertama-tama berada di Jalan Wachid Hasjim dan kemudian diJalan Banyumas merupakan tempat pertemuan para anggota HMI. Dia dianggap olehpara aktivis HMI sebagai seorang senior karena kecerdasannya dan dukunganfinansialnya. Adik perempuannya, Aniswati, juga menjadi anggota HMI. Mengenaibiografi Subchan, lihat A.M. Mandan (ed. 2001).

136. Sarung merupakan pakaian yang dikenakan kalangan Muslim tradisional. Istilah “kaumsarungan” sering kali dipakai sebagai istilah yang bernada jelek yang diasosiasikan de -ngan kalangan Muslim (tradisionalis).

137. Dalam bahasa Indonesia, “KAMI” dipakai sebagai lawan kata “KAMU” yang merupakankata yang dipakai untuk mengidentifikasi mahasiswa-mahasiswa yang berafiliasi denganPKI.

138. Mengenai pembentukan KAMI, lihat Sulastomo (2000).139. Dwikora merupakan singkatan dari Dwi Komando Rakyat yang berisi: Ganyang

Nekolim dan Kibarkan sang Merah Putih di Irian Barat. Dwikora merupakan sloganyang dipakai Sukarno untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari problem-problemdalam negeri kepada ancaman-ancaman dari luar. Terdapat tiga Kabinet Dwikora.Kabinet Dwikora yang pertama dilantik pada bulan Agustus 1964 dan berjalan sampaiFebruari 1966. Kemudian, diikuti oleh Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan (Febuari1966-Maret 1966), dan yang terakhir Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan Lagi(Maret 1966-Juli 1966). Kabinet Sukarno yang terakhir ialah Kabinet Ampera (Juli1966-Oktober 1967).

140. Mahasiswa Muslim lainnya yang terbunuh dalam demonstrasi mahasiswa di kota-kotalain ialah Hasanuddin Noor (Banjarmasin) dan Sjarif Alkadri (Makassar).

141. Dikutip dari Geertz (1972: 322) dan Fischer (1959: 154).

Page 523: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 503

BAB 5

DEVELOPMENTALISME-REPRESIF ORDE BARU DAN

RESPONS INTELEKTUAL ISLAM

Mereka telah memperlakukan kita seperti kucing kurapMohammad Natsir (1972)1

Dorongan untuk berubah dalam Islam seringkali datang daribawah ketimbang dari atas, dari pinggir ketimbang dari pusat.

Richard W. Bulliet (1994)2

Tatkala rezim Sukarno jatuh pada 1966, rezim kekuasaan baruyang tengah bangkit mulai menyebut periode ‘DemokrasiTerpimpin’ sebagai ‘Orde Lama’ dan merayakan era baru sebagai‘Orde Baru’. Meskipun sampai 17 Oktober 1967, Sukarno se -cara resmi masih menjabat sebagai Presiden Indonesia, kekuasaanriilnya telah runtuh sejak peristiwa ‘Gerakan 30 September’(Gestapu) 1965. Yang menjadi landasan-kerja bagi rezim ‘OrdeBaru’ ialah keluarnya ‘mandat’ yang kontroversial dari PresidenSukarno pada tanggal 11 Maret 1966. Mandat itu memberikankepercayaan kepada Letnan Jenderal Suharto, yang menjabat

Page 524: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

504 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

sebagai Panglima Angkatan Darat sejak Oktober 1965, untukmenjalankan tugas mengkoordinasikan kekuasaan pemerintahan.3

‘Mandat’ ini dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret(Supersemar). Suharto kemudian mengambil alih kendali politiknasional setelah berlangsungnya gelombang demonstrasimahasiswa/pelajar anti-komunis dan anti-Sukarno di ibukotanegara dan di kota-kota lain yang mendapat dukungan dariAngkatan Darat. Pada tanggal 12 Maret 1967, Majelis Per -musyawaratan Rakyat Sementara mengangkat Suharto sebagaipejabat Presiden Indonesia.

Untuk merayakan kedatangan suatu era baru, rezim baru itumembuka kembali ruang publik, meski dengan melakukanbeberapa kontrol. Semua kelompok, individu dan penerbitanyang telah diberangus selama masa demokrasi terpimpin mulaibersuara kembali. Sebaliknya, mereka yang sedemikian vokalselama periode ‘Orde Lama’ diberangus.

Kelahiran Orde Baru menandai naiknya pengaruh dari generasiketiga inteligensia Indonesia. Para anggota generasi ini, yangtumbuh selama masa pendudukan Jepang dan revolusikemerdekaan, secara umum kurang terekspos terhadap pendidikanakademis Barat (dibanding generasi sebelumnya), namun sangatdirasuki oleh mentalitas-mentalitas militeristik dan nasionalistik.Rezim yang baru itu didominasi oleh inteligensia militer yangmemiliki rasa ketidaksukaan yang mendalam terhadap parapolitisi sipil yang dianggapnya ‘kurang patriotik’ dan terlalusuka berselisih.

Para intelektual dari PSI dan kaum Kristen menjadi partnerutama pihak militer dalam membangun Orde Baru. Mereka bisamemiliki peran yang menentukan terutama karena kualifikasi-kualifikasi pendidikan mereka yang tinggi dan pengaruh dari

Page 525: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 505

lobi-lobi PSI dan Kristen di kalangan Angkatan Darat. Selainitu, fakta bahwa jumlah pengikut PSI dan kaum Kristen relatiftak signifikan, menjadikan para intelektual dari kalangan tersebuttidak dianggap sebagai ancaman bagi ambisi militer untukmendominasi politik Indonesia.

Dengan penguasaan negara oleh inteligensia militer, makatak ada ruang bagi musuh nomer satunya, yaitu PKI.4 Sementaraketakutan rezim baru terhadap ancaman politik potensial yangmungkin muncul dari partai-partai yang memiliki konstituen-konstituen yang besar mendorong diberlakukannya kebijakan-kebijakan intervensionis untuk melumpuhkan PNI dan menolakrehabilitasi Masjumi. Penyingkiran, atau paling tidak penjinakan,ketiga bekas kekuatan politik utama dalam ruang publik OrdeLama itu dianggap sebagai titik pijak yang penting bagi dimulainyasuatu tatanan politik baru.

Dalam menghadapi krisis ekonomi yang diwarisinya, OrdeBaru tiba pada kesimpulan bahwa mobilisasi politik massa danperselisihan para politisi sipil yang berlangsung pada masasebelumnya telah mengabaikan problem-problem mendasar,yaitu kesejahteraan ekonomi dan sosial. Pemulihan ekonomidibutuhkan untuk mengalihkan perhatian rakyat dari politikkepada ekonomi dengan mengubah wawasan nasional dari‘politik-sebagai panglima’, seperti yang dipraktikkan selama‘Orde Lama’, kepada ‘ekonomi-sebagai-panglima’.

Uuntuk menegaskan pentingnya pertumbuhan dan modernisasi,rezim yang baru itu berusaha dengan berbagai cara untukmemulihkan hubungannya dengan dunia kapitalis dan organisasi-organisasi multinasional, seperti International Monetary Fund(IMF) dan Bank Dunia. Seperti diketahui, pada Agustus 1965,Indonesia telah melepaskan diri dari keduanya sebagai bagian

Page 526: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

506 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

dari kampanye anti-imperialisme dan kapitalisme-nya Sukarno.Pembangunan ekonomi membutuhkan modal, dan karena negarasedang bangkrut, Orde Baru tak punya pilihan lain selainmembuka diri terhadap hutang dan investasi asing. Untukmenjamin arus masuk modal asing dan keberhasilan pembangunanekonomi, stabilitas politik dianggap sebagai sesuatu yang esensial.

Alasan ini memberikan justifikasi kepada rezim baru untukmenyingkirkan apa saja yang dianggapnya sebagai hambatanpolitik bagi modernisasi. Di bawah slogan ‘pembangunan’,developmentalisme ditasbihkan sebagai orthodoksi resmi yangbaru. Hal ini secara resmi ditandai oleh peluncuran kabinetpertama Suharto sebagai Presiden (Juni 1968-Maret 1973),5

yang diberi nama ‘Kabinet Pembangunan I’. Seiring denganpenggelaran ideologi teknokratik negara ini, stabilitas politikdijadikan tujuan politik utama, dengan diperkuat oleh doktrinyang disebut sebagai ‘Dwifungsi ABRI’ yang memberi legitimasikepada pihak militer untuk terlibat dalam urusan-urusan non-militer. Dengan sepasang formula ‘magis’ ini, yaitu ‘pembangunan’dan ‘stabilitas’, Orde Baru mendaur-ulang sebuah relik keramatkemadjoean dan rust en orde yang pernah diterapkan olehkolonial Belanda, dan dengan segera rezim itu berubah menjadiapa yang disebut oleh Feith (1980) sebagai sebuah rezim‘developmentalisme-represif ’. Sebagai konsekuensinya, masabulan madu bangsa Indonesia dengan ruang publik yang bebastidak berlangsung lama. Rezim yang baru itu menggunakanberagam cara represif untuk mengekang kebebasan berbicaradan berkumpul, dan juga oposisi politik dan kritik intelektualkarena semua itu dianggap sebagai ancaman-ancaman yangserius bagi stabilitas politik.

Dalam menilai watak dari negara Orde Baru seperti yangberkembang selama tahun 1970-an dan 1980-an, terdapat ragam

Page 527: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 507

pandangan akademis yang muncul. Dengan mengamati bahwanegara Orde Baru telah menjadi begitu jauh dari suara nuranirakyat dan tak memberikan ruang umpan-balik dalam persoalan-persoalan kebijakan atau tak peka dengan kebutuhan-kebutuhanpublik, beberapa analis, seperti misalnya Benedict Anderson,mendeskripsikan negara Orde Baru itu sebagai sebuah negarayang kuat, monolitik dan memiliki tujuannya sendiri atau‘negara-demi-dirinya sendiri’ (state-for-its-own-sake) (Anderson1972b).6 Dengan mengamati bahwa negara Orde Baru telahmelakukan penindasan terhadap kelas, kelompok kepentingandan oposisi-oposisi dengan cara menciptakan sebuah sistemmonopoli perwakilan non-kompetitif seperti yang terbuktidengan adanya kategori-kategori fungsional tertentu, para analisyang lain, seperti Dwight Y. King menyebutnya dengan istilah‘negara-korporatisme’ (1977). Sementara, dengan menilai bahwanegara telah terbelah menjadi faksi-faksi dan tak kompetenkarena klik-klik, lingkaran-lingkaran dan ikatan-ikatan patron-klien yang melampaui fungsi institusi, beberapa analis, sepertiKarl D. Jackson, mendeksripsikannya sebagai ‘birokratik-politik’yang lemah dan disetir oleh faksi (a weak and faction-ridden‘bureaucratic polity’) (Jackson & Pye 1978). Sementara ketikamelihat bahwa negara telah dipersonalisasikan—karena kontrolatas sumber-sumber politik dan ekonomi kunci ada ditanganPresiden Suharto dan lingkaran militer terdekatnya, dan karenakekuasaan pemerintah tergantung pada kesanggupannya untukmemenangkan dan mempertahankan kesetiaan pribadi dari elitpolitik kunci—beberapa analis, seperti Harold Crouch,mendeskripsikan negara Orde Baru sebagai negara ‘patrimonial’(Crouch 1979). Dengan menggunakan kriteria bahwa modernisasiyang disponsori negara telah dibarengi oleh otoritarianisme,yang dicirikan oleh ketergantungan negara terhadap imperatif-

Page 528: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

508 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

imperatif akumulasi kapital dan pembagian kerja internasionalserta peran utama militer dalam dunia politik dan pembangunanekonomi, beberapa analis, seperti Mochtar Mas’oed, telahmendeskripsikan negara Orde Baru dalam peristilahan GuillermoO’Donell dari Amerika Latin, yaitu negara ‘birokratik-otoritarian’(Mas’oed 1983).

Luasnya variasi dalam teorisasi mengenai watak negara OrdeBaru mencerminkan adanya perbedaan dalam sudut pandangpara pengamat. Perbedaan perspektif ini juga merefleksikanperbedaaan dalam kecenderungan politik yang bersifat sinkronikpada saat studi-studi tersebut dilakukan oleh para pengamat.Jika dilihat secara keseluruhan dari posisi saat ini, bisa dikatakanbahwa pandangan-pandangan tersebut bolehjadi saling melengkapisatu sama lain.

Bab ini akan membahas sifat otoritarian dari negara OrdeBaru dan implikasi-implikasinya bagi kaum terpelajar dan karirpolitik dari inteligensia sipil, terutama mereka yang termasuktradisi-tradisi politik intelektual Muslim. Perhatian khusus akandiberikan pada beragam respons intelektual Muslim yang salingbertentangan terhadap proses modernisasi dan marjinalisasiOrde Baru. Diskusi-diskusi juga akan membahas keragamanrespons berdasarkan kriteria generasi serta fragmentasi internalyang terjadi dalam generasi baru inteligensia Muslim. Pembahasanini akan diikuti dengan pembahasan-pembahasan mengenaiimplikasi-implikasi dari perbedaan-perbedaan respons ini bagigerakan-gerakan intelektual Muslim di masa depan dan polarisasidalam komunitas inteligensia Muslim. Bab ini akanmengargumentasikan bahwa usaha Orde Baru dalam memajukanpendidikan secara keseluruhan dan pengiriman pelajar ke negeri-negeri Barat, serta adanya perubahan dalam lingkunganinternasional, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

Page 529: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 509

formasi dan posisi gerakan intelektual Islam.

Pendidikan secara Massal dan DevaluasiInteligensia Proyek modernisasi Orde Baru meniscayakan pembangunandalam bidang pendidikan. Maka, meskipun menunjukkanketidaksukaannya terhadap kritik intelektual, rezim ini bersikapaktif dalam memajukan bidang pendidikan. Sejak Repelita II(1974/1975-1078-1979) sampai dengan Repelita IV (1984/1985-1988/1989), anggaran pendidikan di Indonesia terus-menerusmengalami kenaikan,7 meskipun rata-rata persentasenya dariGNP selama periode tersebut (yaitu sebesar 2,5%), selalu lebihrendah di banding figur yang sama di negara-negara tetangga,seperti Malaysia (4,2%) dan Singapura (3,0%).8

Sebagai hasilnya, profil pendidikan Indonesia selama tahun1980-an sangatlah berbeda dari profil pendidikan pada tahun1960-an. Ini bisa dilihat dari angka-angka komparatif jumlahsiswa (sekolah-sekolah negeri dan swasta) yang berada di bawahtanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Selamaperiode 1965-1990, total siswa yang belajar di sekolah dasarmeningkat dari 11.577.943 menjadi 26.348.376. Sementarajumlah siswa sekolah menengah pertama meningkat dari 1.052.007menjadi 5.686.118. Jumlah siswa sekolah menengah atasmeningkat dari 412.607 menjadi 3.900.667 (DepartemenPendidikan dan Kebudayaan 1997). Sedangkan jumlah mahasiswayang belajar di perguruan tinggi (termasuk program sarjana dandiploma) meningkat dari 278.0009 (Thomas 1973: 13, 173)menjadi 1.590.593 (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan1997).

Sejak tahun 1984, pemerintah menerapkan kebijakan wajib

Page 530: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

510 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

belajar selama enam tahun secara nasional. Akibatnya, padaawal tahun 1990-an, keikutsertaan dalam pendidikan dasarmerupakan fenomena yang universal. Atas prestasi ini, padatahun 1993 Indonesia meraih Avicenna Award dari UNESCO.Peningkatan jumlah siswa ini akan segera juga berlangsung ditingkatan sekolah menengah (pertama), terutama setelahpemberlakuan kebijakan wajib belajar sembilan tahun padatahun 1994. Jumlah siswa pada level pendidikan yang lebihtinggi masih tetap kecil, namun juga mengalami peningkatanyang signifikan. Jumlah mahasiswa di perguruan tinggi, berdasarkankelompok usia, meningkat dari 1% pada tahun 1965 menjadi7% pada tahun 1986. Peningkatan ini bahkan berlangsungsecara lebih nyata setelah jumlah perguruan tinggi yang adasemakin banyak, terutama untuk perguruan tinggi swasta sejaktahun 1990. Pada tahun 1960, hanya ada 135 lembaga perguruantinggi (negeri dan swasta) di Indonesia. Pada tahun 1991, jumlahitu menjadi 921, yang terdiri atas 872 perguruan tinggi swastadan 49 perguruan tinggi negeri (Oey-Gardiner dan Suryatini1990).

Selain dari perkembangan yang bersifat kuantitatif ini, sentimenanti-komunis dari rezim Orde Baru mendorongnya untukmendukung pendidikan agama di sekolah-sekolah umum dan diuniversitas-universitas. Berdasarkan Ketetapan MajelisPermusyawaratan Rakyat (MPRS) Nomer II/1967, para siswawajib mengikuti pelajaran agama di sekolah umum, mulai darisekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Jadi, meskipunpemerintah berusaha untuk menjauhkan Islam dari kehidupanpublik, namun sesungguhnya Orde Baru juga berperanan dalamproses Islamisasi dunia akademis.10

Sekolah-sekolah di bawah tanggung jawab Departemen Agamajuga mengalami kecenderungan kemajuan yang sama. Jumlah

Page 531: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 511

total siswa di madrasah pada semua level, baik negeri maupunswasta, meningkat dari 2.745.58911 pada tahun 1965 menjadi4.577.52312 pada tahun 1990/1991 (Lee 1995: 105; Dhofier,2000: 98). Dalam bidang kurikulum, pada tahun 1990-an terjadiperubahan yang radikal dalam kurikulum madrasah. Pada saatitu, siswa madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah dianggapsebagai bagian dari sistem wajib belajar, sementara siswa madrasah‘aliyah dianggap memiliki status yang sama dengan sekolahmenengah atas sehingga bisa masuk universitas negeri. Dengankebijakan ini, pengajaran di madrasah menjadi lebih menekankanpada pelajaran-pelajaran umum (yang sekuler).

Pada level perguruan tinggi, kebijakan akomodasi dan pro-modernisasi dari Departemen Agama sejak masa kepemimpinanMukti Ali (1973-1978) berperanan dalam mengembangkanpelajaran umum di IAIN. Hal ini, didukung dengan penekanankurikulum madrasah pada pelajaran-pelajaran umum, mendesakIAIN, sebagai produsen utama guru-guru madrasah, untukmengakomodasi lebih banyak lagi matatakuliah-matakuliahumum dan bahkan membuka fakultas-fakultas non-agama.Bersamaan dengan perkembangan ini, jumlah IAIN berlipat darihanya satu pada tahun 1960 (yaitu IAIN Yogyakarta dengancabangnya di Jakarta) menjadi empatbelas pada tahun 1990-an.13 Total mahasiswa IAIN meningkat dari 19.781 pada tahun1970 menjadi 84.037 pada tahun 1990 (Thomas 1973: 78;Dhofier 2000: 93-94).

Pertumbuhan jumlah kaum terdidik ini ternyata melampauijumlah pertambahan lapangan kerja yang tersedia di sektor-sektor publik. Untunglah pertumbuhan sektor swasta yangmenawarkan gaji dan insentif lain yang lebih menggiurkanmembuat mentalitas ‘priyayi’ dari para lulusan pendidikan tinggiitu—seperti tercermin dari preferensi mereka untuk berkerja

Page 532: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

512 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

sebagai pegawai negeri—mulai berubah. Sejak pertengahantahun 1980-an, para lulusan universitas cenderung lebih menyukaibekerja di sektor swasta, dan kebanggaan menjadi pegawainegeri pun mulai merosot. Sejak akhir 1980-an, terdapat arusmasuk yang besar dari inteligensia itu ke dalam sektor swasta,lebih besar daripada yang pernah ada di masa lalu.

Meskipun demikian, jumlah lapangan kerja yang disediakanoleh sektor swasta pun terbatas. Pada tahun 1985, 9% darilulusan universitas tak bisa diserap oleh lapangan kerja.14

Persentase ini terus meningkat dalam tahun-tahun berikutnya.Ancaman pengangguran kaum terdidik dialami paling seriusoleh para mahasiswa ilmu sosial dan humaniora, karena lebihdari 70% dari mahasiswa sampai awal tahun 1990-an mengambilstudi dalam disiplin-disiplin ilmu tersebut (Latif 1994: 60).Situasi yang lebih buruk dialami oleh para mahasiswa IAINyang lapangan kerjanya tradisionalnya terbatas terutama dilingkungan Departemen Agama. Sudah sejak tahun 1980-an,Departemen ini tak lagi sanggup menyerap besarnya lulusanIAIN. Situasi ini memuncak pada tahun 1993 ketika DepartemenAgama mulai menerapkan kebijakan ‘pertumbuhan nol’ (zerogrowth), sementara pada saat yang bersamaan jumlah lulusanIAIN telah mencapai 11.299 (Dhofier 2000: 96). Banyak lulusanIAIN yang kemudian menjadi guru di sekolah-sekolah swastaIslam. Namun bagaimanapun, daya serap madrasah swasta danpesantren juga terbatas. Menghadapi kenyataan itu, paramahasiswa IAIN terpaksa harus menemukan alternatif-alternatifpekerjaan di luar sektor-sektor tradisionalnya. Tekanan ini tentusaja bisa mempengaruhi sikap-sikap dan pandangan keagamaanmereka.

Pada saat begitu banyak orang yang berpendidikan tinggi takbisa diserap oleh lapangan kerja, prestise sosial sebagai inteligensia

Page 533: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 513

secara umum mulai merosot. Bahkan para mahasiswa, yangsejak masa kolonial dianggap sebagai bagian dari intelektuilIndonesia, mulai kehilangan statusnya sebagai intelektual exofficio. Sehingga sejak masa itu, orang-orang Indonesia cenderungmengasosiasikan istilah intelektuil dengan orang-orang yangbergelut dengan dunia ide-ide (people of ideas), terutama merekayang memegang gelar sarjana.

Pertumbuhan eksponensial mahasiswa Muslim sejak tahun1960-an menghasilkan ledakan jumlah sarjana Muslim padatahun 1970-an. Para sarjana ini memproyeksikan dirinya sebagaiorang-orang bergelar yang mengharapkan peran-peran publikyang berarti. Namun saat jalur karir mereka sebagai pemimpin-pemimpin/anggota-anggota partai-partai Islam terhambat olehadanya represi negara terhadap Islam politik, mereka pun harusmencari jalur-jalur alternatif untuk menyalurkan kebutuhanmereka akan aktualisasi-diri. Tantangan ini mempengaruhibentuk-bentuk ekspresi dan interpretasi politiko-religius merekaatas Islam. Hal ini pada gilirannya membawa pada terjadinyaperselisihan internal di dalam tubuh komunitas intelektualMuslim.

Akhirnya, ambisi pemerintah untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan teknokratik Barat dengan tujuan untuk mengejarkemajuan teknologi dan industri modern menumbuhkan dorongankuat di kalangan para sarjana Indonesia, baik yang berasal dariperguruan tinggi sekuler maupun agama, untuk melanjutkanpendidikan ke pusat-pusat belajar di Barat. Selain beasiswainternasional, lembaga-lembaga pemerintahan Indonesia sepertiBappenas dan Kementrian Negara Riset dan Teknologi (terutamadi bawah kepemimpinan menteri B.J. Habibie sejak tahun 1978dan seterusnya) lewat kemitraannya dengan para donorinternasional atau dana-dana pinjaman lunak dari organisasi-

Page 534: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

514 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

organisasi keuangan internasional sanggup menyediakan sendiribeasiswa bagi mereka yang akan belajar ke luar negeri. Karenapertumbuhan sarjana Muslim yang terus meningkat sejak akhirtahun 1960-an, banyak intelektual Muslim yang mendapatkanberkah dari tersedianya beasiswa ini. Keadaan ini turut memberikansumbangan terhadap meningkatnya jumlah intelektual Muslimyang memiliki gelar Master dan PhD, sehingga memperkuatdaya tawar dan kredibilitas dari gerakan intelektual Muslim.

Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik:Modernisasi dan RepresiKeterbukaan ruang publik pada tahun-tahun awal Orde Barumemberikan kesempatan bagi beberapa media yang pernahdilarang selama masa Demokrasi Terpimpin untuk kembaliterbit.15 Beberapa harian yang bertahan pada masa rezim Sukarnoseperti Kompas (berdiri tahun 1965) dan Sinar Harapan (berdiritahun 1962) bahkan menjadi semakin penting.16 Di samping itu,media baru bermunculan dengan koran milik Angkatan Darattampak lebih menonjol setelah tahun 1965.17

Dalam ruang publik baru ini, ingatan tentang ‘pengkhianatanintelektuil/inteligensia’ atau pelacuran intelektuil/inteligensia’selama masa Demokrasi Terpimpin bermunculan dalam artikel-artikel di media massa. Sepanjang bulan April-Agustus 1966,harian Kompas memuat beberapa artikel mengenai tema ini,berdampingan dengan artikel-artikel mengenai doktrin-doktrinSukarno.18 Kemudian, dari tanggal 14 sampai 23 April 1969,harian Indonesia Raya memuat seri artikel mengenai ‘Tjontoh-tjontoh Pelatjuran Intelektuil di Zaman Resim Sukarno’. Ditulisoleh seseorang dengan nama (samaran) Wira,19 artikel-artikelini menyerang para intelektual akademis yang dianggap telah

Page 535: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 515

menggunakan kepalsuan-kepalsuan ilmiah untuk mendukungMANIPOL-USDEK dan ajaran-ajaran resmi Orde Lama lainnya,20

sambil memuji-muji mereka yang berani mempertahankanintegritas intelektualnya dengan apapun risikonya.21 Ironisnya,menurut artikel-artikel tersebut, banyak dari mereka yang telahmelacurkan integritas intelektualnya di masa lalu malah berhasilmendapatkan posisi-posisi strategis sebagai teknokrat-teknokratpada awal pemerintahan Orde Baru.22

Artikel-artikel ini dengan segera memicu polemik di antarapara intelektual ‘yang tergugat’ dengan para partisipan lainnya.23

Meskipun artikel-artikel itu isinya beragam, namun merekasama-sama memberikan perhatian kepada tanggung jawab moraldari intelektual dan inteligensia: yaitu menyuarakan kebenarankepada pihak yang berkuasa (speaking truth to power). Dalamkenyataan aktual, mereka yang pernah ‘diam’ (kooperatif)dengan pemegang kekuasaan di masa lalu—karena kontrolmereka yang lama atas sumber-sumber politiko-ekonomi—cenderung dapat mengambil keuntungan dari perubahan rezimtersebut. Kabinet interim Suharto, yaitu Kabinet Ampera yangDisempurnakan (11 Oktober 1967-6 Juni 1968)24 merefleksikankecenderungan ini. Kabinet itu terutama tersusun dari merekayang mendukung ‘Demokrasi Terpimpin’, dengan didominasioleh representasi dari inteligensia militer.25

Karena istilah-istilah ‘intelektuil’ dan ‘inteligentsia’ telahmenjadi istilah-istilah yang bernada buruk (derogative) disebabkanseringnya penggunaan istilah-istilah tersebut dalam asosiasinyadengan ungkapan-ungkapan semacam ‘pengkhianatan intelektuil’,maka kata Hindustani (Sansekerta) yang telah diindonesiakan,yaitu ‘cendekiawan’ atau ‘tjendekiawan’ (dalam ejaan lama),mulai mendapatkan pemaknaan baru.26 Diasosiasikan dengan‘tanggung jawab intelektual’, istilah baru tersebut mulai dipakai

Page 536: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

516 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

luas dalam wacana intelektual. Pada bulan Maret 1966, KesatuanAksi Sardjana Indonesia (KASI) cabang Bandung menerbitkanjurnal perlawanannya, yaitu Tjendekiawan Berdjuang. Padaperkembangan lebih lanjut, seiring dengan proyek Orde Baruuntuk menggantikan kata-kata pinjaman asing dengan kata-kata(yang dianggap asli) Indonesia, maka istilah cendekiawan dipakaisecara luas dalam ruang publik.

Di bawah bendera tanggung jawab intelektual, inteligensiadan media massa menetapkan sebuah agenda intelektual barusebagai proyek historis bangsa. Mereka mulai mempopulerkanistilah ‘modernisasi’ beriringan dengan istilah ‘pembangunan’.Para sarjana dan jurnalis terlibat dalam wacana ini. Pada tanggal6 – 9 Mei 1966, KAMI dan KAPPI bekerjasama dengan fakultasekonomi UI (FE-UI) mengadakan sebuah simposium denganjudul Kebangkitan Semangat 1966: Mendjeladjah Tracée Baru.Selain membahas hal-hal lain, simposium itu mengeritikpengutamaan Sukarno terhadap prinsip ‘politik-sebagai-panglima’yang telah gagal memahami problem-problem sosio-ekonomibangsa ini. Kemudian, dari bulan Juli sampai Desember 1966,seorang jurnalis Indonesia terkemuka, Rosihan Anwar, menulissebuah seri artikel mengenai modernisasi di Kompas27 yangmerangsang banjir publikasi mengenai isu yang sama. Wacana-wacana mengenai kehendak untuk mempertahankan pertumbuhanekonomi dan stabilitas politik memberikan raison d’etre bagipihak elit militer untuk memainkan peran terdepan dalampolitik. Karena itu, tema-tema intelektual yang baru inimendapatkan dukungan yang kuat dari para perwira militer.

Pendirian pihak militer mengenai pentingnya agenda barutersebut, yaitu ‘ekonomi-sebagai-panglima’, mendapatkan justifikasiilmiahnya dari para intelektual akademisi. Sepanjang tahun-tahun terakhir rezim Sukarno, sekelompok ekonom dari UI,

Page 537: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 517

termasuk Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, M. Sadli, EmilSalim dan Subroto, memberikan kuliah-kuliah ekonomi diSekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD). Diantara para perwira senior yang mengikuti kursus delapan bulandi Seskoad itu ialah Jenderal Suharto. Dari kursus inilah diamemperoleh pengetahuan dasar tentang ekonomi (Sadli 1993:39). Saat rezim Sukarno mulai runtuh, para ekonom ini mulaisecara terbuka mengeritik kebijakan-kebijakan ekonomi Sukarnodan menerbitkan pemikiran mereka dalam sebuah buku edisikhusus pada bulan November 1965. Menindaklanjuti kritik ini,pihak Angkatan Darat mengadakan sebuah seminar yangmemberikan kesempatan kepada kelompok profesor ekonomiyang sama itu untuk mengelaborasi teori-teori ekonomi mereka,yang kelak bermetamorfosis menjadi cetak biru (blue-print) bagipembangunan ekonomi Orde Baru. Sejak saat itu, tema‘pembangunan’ dan ‘stabilitas’ menjadi wacana yang dominandalam ruang publik.

Sejak September 1966, Suharto (saat itu pangkatnya sudahJenderal), dalam kapasitasnya sebagai ketua presidium Kabinetyang bertanggung jawab menjalankan tugas-tugas keseharianpemerintahan, mengangkat sebuah ‘Tim Ahli dalam bidangEkonomi dan Keuangan’. Tim ini terdiri atas lima ekonom UIyang telah disebut di atas dan dikoordinasikan oleh almarhumMayor Jenderal Sudjono Humardani, seorang pembantu dekatSuharto.28 Peran menentukan yang dipegang oleh tim ekonomiini dalam merumuskan ortodoksi ekonomi Orde Baru menandaimunculnya apa yang disebut sebagai ‘teknokrat-teknokratekonomi’. Mereka kebanyakan terdiri dari para ekonom UIyang bertipe PSI yang kemudian terkenal dengan sebutan ‘MafiaBerkeley’ karena beberapa dari mereka, termasuk pemimpinnya,Profesor Widjojo Nitisastro, menjalani studi pasca-sarjananya di

Page 538: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

518 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

University of California di Berkeley. Para pendukung utamadari mafia ini ialah mitranya dari kalangan Kristen, termasukFrans Seda, Radius Prawiro, dan J.B. Sumarlin.

Pentingnya posisi para teknokrat ekonomi ini tak bisa diisolasidari adanya lingkungan yang kondusif baginya. Implementasikebijakan-kebijakan ekonomi yang mereka ajukan dimungkinkankarena adanya dukungan dan keyakinan yang penuh dari Suharto,adanya jaminan stabilitas politik, adanya dukungan yang kuatdari organisasi-organisasi multinasional, termasuk dari Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI, sebuah konsorsiumpemberi bantuan internasional yang diketuai Belanda, berdiritahun 1967), International Monetary Fund (IMF, Dana MoneterInternasional) dan Bank Dunia (World Bank), serta adanyakeuntungan yang didapat dari boom minyak dunia pada tahun1973-1981.

Dengan adanya kombinasi antara manajemen ekonomi yangefektif, lingkungan yang mendukung dan stabilitas politik,pembangunan ekonomi Indonesia dengan cepat menjadi ceritadongeng tentang keberhasilan. Pada akhir tahun 1960-an,stabilitas harga telah tercapai, yang mampu dipertahankanhingga tiga dekade berikutnya. Sepanjang tahun 1965-1996,Produk Kotor Nasional (GNP, Gross National Product) Indonesiameningkat terus pada tingkat rata-rata 6,7% per tahun.29

Pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia sepanjang periodeini telah mengubah negeri ini dari sebuah negara dengan ekonomi‘basket case’, yang lebih miskin bahkan jika dibandingkan dengannegara-negara Asia Tenggara lainnya, menjadi sebuah ‘NegaraIndustri Baru’ (Newly Industrialising Economy, NIE). Padatahun 1993, Bank Dunia, dalam sebuah laporannya yang terkenalnamun kontroversial mengenai ‘Keajaiban Asia Timur’,mengklasifikasikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan

Page 539: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 519

‘ekonomi yang berperforma tinggi di Asia’ (high performingAsian economics) (Hill & Mackie 1994: xix; Thee 2002: 196-198).

Seiring dengan pembangunan ekonomi ini, struktur sosialIndonesia mengalami perubahan yang dramatis. Keberhasilanprogram keluarga berencaa telah menurunkan tingkatpertumbuhan penduduk dari rata-rata 2,4 % pada periode1965-1980 menjadi rata-rata 1,8% pada tahun 1980-1996 (BankDunia 1998: 43). Tingkat kemiskinan pun menurun secaranyata dari 70% pada akhir tahun 1960-an menjadi 27% padapertengahan tahun 1990-an. Proporsi penduduk Indonesia yangtinggal di daerah-daerah perkotaan meningkat dari 17% padatahun 1971 menjadi 31% pada tahun 1990. Kelompok pekerjaanprofesional, manajerial dan clerical meningkat dari 5,7% padatahun 1971 menjadi 8,8% pada tahun 1990 (Hull & Jones1994: 123-178). Pada awal tahun 1980-an, pertumbuhanekonomi yang ajeg telah meningkatkan akumulasi modal swastadalam tingkatan yang belum pernah dicapai sebelumnya.Konglomerasi-konglomerasi swasta yang sangat besar bermunculan,kebanyakan dimiliki oleh orang-orang Indonesia keturunanTionghoa, dan beberapa dimiliki oleh kaum borjuis-klien pribumi.Dan semua pemilik konglomerasi itu memiliki koneksi-koneksipolitik tingkat tinggi (Hill & Mackie 1994: xxv). Semua prestasisosio-ekonomi yang luar biasa ini dalam kenyatannyamembutuhkan biaya-biayanya sendiri. Biaya yang terbesar harusdibayar oleh pengorbanan kebebasan politik. Dengan ekonomisebagai panglima, peran politik direduksi semata-mata sebagaipendukung stabilitas nasional.

Untuk memperkuat basis legitimasi sosio-politiknya (baikdalam negeri maupun secara internasional), pada tahun-tahunawal Orde Baru, Suharto merekrut para intelektual sipil terkemuka

Page 540: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

520 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

dan berpengaruh sebagai pendampingnya. Dua diantaranya yangpaling penting ialah Sri Sultan Hamengkubuwonan IX (SultanYogakarta yang berpengaruh di Jawa Tengah) dan Adam Malik(seorang figur pemoeda yang terkenal semasa revolusi kemerdekaandan yang memiliki reputasi dalam bidang diplomasi dan hubunganinternasional). Hamengkubuwono IX pertama menjabat sebagaiMenteri Kordinator Ekonomi dan Industri (1966-1973) dankemudian menjadi Wakil Presiden (1973-1978). Sementara,Adam Malik pertama menjabat sebagai Menteri Politik danLuar Negeri (1966-1978), dan kemudian menggantikanHamengkubuwono IX sebagai Wakil Presiden (1978-1983).

Untuk menjamin terciptanya stabilitas nasional demikepentingan modernisasi ekonomi, pihak militer memegangkekuasaan utama dalam politik Orde Baru30 dengan didukungoleh para teknokrat sipil. Di pusat penentu politik, PresidenSuharto memegang kontrol atas sumber-sumber politik danekonomi yang kunci. Untuk menjamin loyalitas pribadi dariseksi-seksi kunci elit politik, dia memilih sekelompok perwiraAngkatan Darat yang telah dipercayainya, dan yang pernahbekerja bersama dengannya di pos-pos jabatannya di masa lalu,untuk memainkan peran yang menentukan dalam prosespengambilan kebijakan.31 Meskipun lingkaran orang kepercayaanini terbelah ke dalam faksi-faksi dengan ikatan-ikatan, kepentingan-kepentingan dan rivalitas-rivalitas yang beragam,32 para anggotadari lingkaran itu dipersatukan oleh pengabdiannya kepadasang Presiden.

Yang menjadi komponen krusial dalam struktur patronaseSuharto ialah tim kecil Staf Pribadi (Spri) yang dibentuk Suhartodan dikepalai oleh Mayjen Alamsjah Prawiranegara.33 Namun,untuk merespons meningkatnya kritik dari publik, Spri kemudiandibubarkan pada akhir tahun 1968. Sebagai gantinya, Suharto

Page 541: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 521

membentuk ‘dapur kabinet’ lainnya yang lebih kecil, yangdisebut ASPRI (Asisten Pribadi) dengan Ali Murtopo dan SudjonoHumardhani sebagai tokoh-tokoh kuncinya (Crouch 1978: 243-244; Mas’oed 1983: 31). Kelompok perwira intelejen ASPRIpimpinan Murtopo membentuk sebuah aliansi strategis denganpara perwira Operasi Khusus (Opsus)34 yang juga dipimpinMurtopo, dengan Badan Koordinasi Intelejen Negara (Bakin)35

dan dengan Komando Operasi Pemulihan Keamanan danKetertiban (Kopkamtib).36 Lembaga yang terakhir ini kemudianmenjadi lembaga keamanan paling opresif yang turut campurdalam aktivitas-aktivitas setiap organisasi sosial-politik danmenangkapi orang-orang secara semena-mena dengan tuduhanmelakukan subversi. Poros ASPRI dan eselon-eselon atas Opsus,Bakin dan Kopkamtib merupakan sebuah struktur patronaseyang berbentuk vertikal yang memainkan sebuah peran yangmenentukan dalam membentuk arsitektur politik Orde Baru.

Pada dasarnya, pengambilan kebijakan yang dilakukan olehOrde Baru bersifat tekno-birokratik, yang berbeda denganpengambilan kebijakan yang mengharuskan adanya proses tawar-menawar yang panjang di antara beragam partai politik dankelompok kepentingan. Pengambilan kebijakan yang tekno-birokratik ini dimungkinkan oleh intervensi pemerintah terhadapmekanisme-mekanisme dan infrastruktur politik. Sebelumpemilihan umum 1971 diadakan, aturan-aturan dan infrastrukturpolitik telah ditetapkan untuk mengamankan kepentingan rezim.Pada tanggal 22 November 1969, Dewan Perwakilan RakyatGotong Royong (DPR-GR) meloloskan undang-undang mengenaipemilihan umum dan komposisi Dewan Perwakilan Rakyat,yang memberikan hak kepada Presiden Suharto untuk mengangkatpara anggota DPR dan mengalokasikan 100 dari 450 kursi diDPR kepada para anggota ABRI.

Page 542: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

522 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Pemerintah juga berusaha sekuat mungkin untuk melumpuhkanpartai-partai politik yang ada lewat kebijakan-kebiajakn intervensidengan tujuan untuk mengisolasi para pemimpin berpengaruhnyadan untuk mengamankan kepemimpinan yang patuh dalampartai-partai tersebut.37 Yang lebih penting, sebelum pemilihanumum diadakan, rezim Orde Baru juga telah mempersiapkankendaraan politiknya yang baru untuk memenangkan pemilihanumum, yaitu Sekretariat Bersama Golongan Karya yang sejak17 Agustus 1971 dikenal sebagai Golongan Karya (Golkar).38

Murtopo ‘membajak’ Sekber-Gokar yang lama dan memberinyasebuah misi yang baru. Dia kemudian membentuk sebuah komiteyang dikenal sebagai Bapilu (Badan Pemenangan Pemilu), yangsebagian besar terdiri dari para intelektual muda dari kalanganKatolik, abangan-Jawa, dan jaringan sosialis-sekuler, yang akanmenjadi embrio dari organ intelektual Golkar.39 Komite itumerancang sejumlah strategi untuk melumpuhkan dukunganpemilih kepada partai-partai politik dan mengarahkan suarapemilih kepada Golkar.40 Dengan cara-cara ini serta denganmelakukan kecurangan dalam proses penghitungan suara,41

Golkar meraih kemenangan telak pada pemilu 197142 dan terusmenjadi mayoritas penguasa selama hampir tiga dekade berikutnya.

Di samping itu, untuk mengalihkan perhatian masyarakatdan partai-partai politik dari semangat-semangat yang bersifatideo-politik kepada proyek-proyek modernisasi Orde Baru,partisipasi rakyat dalam dunia politik dibatasi dan massa,termasuk kaum terdidik, didepolitisasi. Pada bulan Januari 1973,sembilan partai politik yang ada dipaksa untuk berfusi menjadidua partai politik gabungan yang lebih didasarkan programketimbang ideologi.43 Fusi partai-partai itu memang meredusirmedan konflik, namun malah mengintensifkan konflik-konflikinternal di dalam tubuh partai hasil fusi. Elemen-elemen dalam

Page 543: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 523

partai fusi bersaing satu sama lain untuk memajukan calon-calon mereka untuk dipilih sebagai wakil partai di DPR. Sebagaiakibat persaingan ini, dua partai gabungan hasil fusi menjadilumpuh akibat adanya perpecahan intra-partai yang abadi.Setelah pemilu 1971, pemerintah memperkenalkan konsep‘massa mengambang’ yang melarang masyarakat di level akarrumput untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas partai politik.Dengan secara aktif melibatkan Opsus, Kopkamtib, Bakin, dankomando struktural Angkatan Darat untuk mengintervensiurusan-urusan politik sipil, konsep ini dijalankan sebagai sebuahsarana untuk melarang beroperasinya partai-partai politik ditingkat desa dan sekaligus untuk memobilisasi masyarakat desauntuk memilih Golkar.

Depolitisasi dunia akademis juga berlangsung secara nyatasejak akhir tahun 1970-an. Setelah terjadinya serangkaiandemonstrasi mahasiswa selama 1974-1978, yang memprotessemakin dalamnya penetrasi para investor asing, para pemodalketurunan Cina, para pejabat pemerintah dan keluarga Suhartodalam aktivitas-aktivitas bisnis, Kopkamtib menanggapinyadengan membubarkan semua dewan mahasiswa pada Januari1978. Setelah itu, politik di kampus dianggap sebagai ‘abnormal’.Untuk ‘menormalisasi’ kehidupan kampus, tangan kanan AliMurtopo di Center for Strategic and International Studies (CSIS,berdiri tahun 1971),44 Daud Jusuf, diangkat sebagai MenteriPendidikan dan Kebudayaan yang baru (1978-1983). Di bawahkebijakannya yang represif, forum akademis dan organisasi-organisasi mahasiswa segera didepolitisasi lewat sebuah kebijakanyang dikenal sebagai ‘normalisasi kehidupan kampus’ (NKK).Karena itu, meski jumlah mahasiswa tumbuh secara eksponensial,namun generasi kelima dari inteligensia Indonesia (kebanyakanlahir pada tahun 1950-an/1960-an) menjadi tak berdaya secara

Page 544: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

524 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

politik. Hal ini karena forum akademis, organisasi-organisasimahasiswa, penerbitan-penerbitan, kelompok-kelompok diskusidan kelompok-kelompok keagamaan mahasiswa dari generasiini dikontrol sangat ketat oleh aparatur keamanan.

Upaya sistematis untuk mempertahankan hegemoni negaraatas kesadaran publik juga dilakukan lewat penanaman ideologinegara. Ideologi ‘abstrak’ dari rezim Orde Baru ialah tafsirtunggal dan resmi atas Pancassila sebagai satu-satunya ideologipolitik yang sah, sementara ideologi ‘kongkret’ yang memandutindakan sosial dan pengambilan kebijakan hari demi hari ialahdevelopmentalisme. Ideologi developmentalisme ini merupakanideologinya kaum teknokrat yang mengidealkan nilai-nilaiefisiensi, efektivitas, dan keselarasan, konsensus dan stabilitassebagai prasyarat-prasyarat bagi terciptanya pertumbuhanekonomi. Sejak tahun 1978, rezim Orde Baru mulai mengadakansebuah penataran yang bersifat massif tentang tafsir tunggal danresmi dari Pancasila yang lebih dikenal sebagai P4 (PedomanPenghayatan dan Pengamalan Pancasila). Penataran P4 inidilakukan dengan cara yang lebih berlebihan dan ketat jikadibandingkan dengan indoktrinasi Manipol-USDEK selama OrdeLama, dan Penataran P4 ini diterapkan bukan hanya di semualevel pendidikan dan pemerintahan, namun juga di banyakkomunitas sosial. Di samping itu, antara 1982/1983, rezimOrde Baru menegaskan bahwa Pancasila harus dinyatakan sebagaisatu-satunya azas tunggal oleh partai-partai politik dan organisasi-organisasi sosial-kemasyarakatan.

Untuk mengekang oposisi, rezim Orde Baru menjalankankombinasi antara korporatisme negara (state-corporatism)45

dengan cara-cara represif. Di luar korporatisasi terhadap partai-partai politik ini, pada akhir tahun 1971, pemerintah mulaimembentuk sebuah organisasi tunggal bagi semua pegawai negeri

Page 545: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 525

yang disebut sebagai Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia).Pada Februari 1973, didirikan FBSI (Federasi Buruh SeluruhIndonesia) di bawah pengawasan Menteri Tenaga Kerja sebagaiorganisasi serikat buruh tunggal untuk mewadahi kebutuhan-kebutuhan dari semua pekerja. Dengan segera, asosiasi-asosiasiyang serupa didirikan untuk sektor-sektor sosial lainnya.46

Berbarengan dengan korporatisme negara, cara-cara represifditerapkan untuk mematikan kritisisme dan gerakan perlawanan.Hal ini terutama tampak nyata dalam pelanggaran terhadapkebebasan pers dan mimbar akademis serta hak untuk berbicara,untuk berkumpul dan menyuarakan pendapat. Sepanjang masarezim Orde Baru, ribuan orang ditangkap, ratusan dari merekadipenjara dengan atau tanpa pengadilan, dan tak kurang dari 28koran dan majalah diberangus.47

Yang terakhir namun juga penting, rezim Orde Baru secarasengaja menjalankan politik bahasa dengan tujuan untukmempertahankan konformitas ideologis dalam sebuah tingkatanyang digambarkan dengan baik dalam kata-kata Evert Vedung(1982: 131): ‘Manipulasi atas bahasa memang terjadi dalamkonteks-konteks politik di semua negara, namun kediktatorancenderung bersifat sangat sistematis dalam proses ini.’48 Wacanapublik Indonesia lalu diwarnai oleh penggunaan bahasa yangsarat ideologi. Eufemisme digunakan secara berlebihan sebagaisebuah mekanisme defensif untuk menyembunyikan tanggungjawab pemerintah atas kegagalan-kegagalan dan penindasan-penindasannya, sementara disfemisme (dysphemism) digunakansebagai mekanisme ofensif untuk mengekang para pembangkangdengan mendiskreditkan suara-suara yang kritis sebagai terordari ‘ekstrem kiri’ dan ‘ekstrem kanan’.49

Dengan tidak adanya PKI, maka korban pertama dari rezimyang represif ini ialah Islam politik. ‘Ekstrem kanan’, demikian

Page 546: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

526 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

sebutannya, telah menjadi kambing hitam dari berlangsungnyakekacauan politik di masa lalu. Alhasil, sebagai tanda darimunculnya orde politik yang baru ialah dimarjinalisasikannyaIslam politik dari arena politik formal.

Jalan Buntu Islam PolitikRezim Orde Baru bergerak lebih jauh dalam usahanya untukmelanjutkan proyek dekonfesionalisasi arena politik. Meskipunkelompok-kelompok Islam memberikan dukungan pentingterhadap Angkatan Darat dalam menumbangkan Orde Lama,tindakan-tindakan yang dijalankan Orde Baru selama lebih daridua dekade tidak memungkinkan keterlibatan Islam dalampelaksanaan kekuasaan negara. Begitu kekuatannya terkonsolidasi,rezim yang baru itu secara sistematis melakukan upaya-upayauntuk menetralisasi Islam sebagai basis bagi mobilisasi politikdan perundang-undangan serta untuk meningkatkan pengaruhbirokrasi atas Islam.50

Merasa bahwa mereka memiliki kontribusi yang besar sebagaimitra utama Angkatan Darat dalam menghancurkan komunisme,kelompok-kelompok Islam menyambut baik rezim yang barudengan penuh semangat. Pembebasan beberapa mantan pemimpinMasjumi dari penjara oleh Orde Baru menumbuhkan harapan-harapan di kalangan para bekas anggota dan simpatisan Masjumiakan perehabilitasian partai tersebut serta pemenuhan hak-hakpolitik mereka.51

Untuk mendayagunakan peluang politiknya, semua kelompokIslam yang bergabung dengan Sekber-Golkar pada tahun-tahunakhir era Sukarno menarik diri dari organisasi ini.52 Karenapenarikan diri inilah, kelompok-kelompok Islam selama jangkawaktu yang lama kehilangan kesempatan untuk turut

Page 547: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 527

mengemudikan Golkar dari dalam dan meninggalkan sebuahruang tanpa lawan bagi kalangan sekuler (abangan, Kristen dansosialis) untuk mendominasi mesin politik pemerintah.53

Ternyata, rezim yang baru tidak tertarik untuk berbagikekuasaan dengan para pemimpin politik Islam yang berpengaruh.Pengalaman pahit Angkatan Darat dalam menghadapi resistensipolitik Islam di masa lalu, ditambah dengan menguatnya lobi-lobi kaum abangan dan non-Islam dalam pengambilan-pengambilankebijakan rezim yang baru melahirkan sebuah iklim politik yangtak simpatik dengan kebangkitan kembali Islam politik. Dalampada itu, para perwira Angkatan Darat yang menunjukkansimpati mereka kepada Islam segera dikucilkan dari lingkaranelit. Sebagai hasilnya, Islam politik harus berhadapan denganrealitas bahwa transformasi ruang publik dari Orde Lama keOrde Baru relatif serupa dengan transisi dari pendudukanBelanda ke pendudukan Jepang, seperti yang diungkapkan dalamperibahasa ‘keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau’.Rezim yang baru bertindak tak jauh beda dengan pendahulunyadalam membatasi peran politik dan sosial dari Islam.

Usaha-usaha para pemimpin Muslim untuk mendapatkanpersetujuan pemerintah bagi rehabilitasi Masjumi tidak ditanggapidengan simpati oleh mayoritas pemimpin Orde Baru. Dalammenjawab surat dari ketua Masjumi yang terakhir, PrawotoMangkusasmita, pada bulan Januari 1967, Suharto menjawab:‘Faktor-faktor legal, politik dan psikologis telah membuat pihakAngkatan Darat berpandangan bahwa Angkatan Darat tak bisamenerima rehabilitasi bekas partai politik Masjumi.’54 Sebagaikompensasinya, pada bulan Mei 1967, Suharto mengijinkanpembentukan sebuah partai politik baru yang didasarkan padaorganisasi-organisasi massa yang termasuk berhaluan Masjumi,namun tidak mengijinkan para pemimpin Masjumi yang

Page 548: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

528 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

berpengaruh untuk memimpin partai tersebut.

Setelah negosiasi-negosiasi yang menghasilkan penunjukanDjarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun (keduanya dariMuhammadiyah) sebagai ketua dan sekretaris jenderal daripartai pengganti yang baru ini pada bulan Maret 1968, pemerintahmenerima pendirian partai pengganti tersebut, yang dinamakanPartai Muslimin Indonesia (Parmusi). Karena semua tokohberpengaruh Masjumi tidak diperbolehkan memimpin, delegasi-delegasi pada konggres pertama partai baru tersebut yangdiadakan pada bulan November 1968 mengajukan usul untukmemilih Mohamad Roem, seorang pemimpin Masjumi yangmoderat, untuk dijadikan ketua umum Parmusi. Karenamenghormati para pemimpin Masjumi yang lama, Hadikusumodan Harun sepakat dengan pilihan tersebut, namun pihakpemerintah tidak setuju dengan penggantian kepemimpinan itu.Tiba-tiba pada tanggal 17 Oktober 1970, salah seorang fungsionarisParmusi yang didukung pemerintah, Djaelani Naro (calon awalyang didukung Ali Murtopo untuk menjadi ketua partai),mengumumkan secara sepihak bahwa dia telah mengambil alihposisi ketua umum Parmusi. Manuver politik ini memicupercekcokan baik di dalam partai maupun di dalam lingkarandalam kekuasaan Suharto, dimana Alamsjah Prawiranegara(koordinator Sekretariat Negara) berpihak kepada kepemimpinanHadikusumo-Harun.55 Untuk mengatasi perselisihan ini, Suhartomengambil langkah kompromi dengan mengangkat M.S.Mintaredja (menteri negara, dan mantan ketua umum pertamaHMI) sebagai ketua umum yang baru.56

Untuk menghalangi para pemimpin berpengaruh Masjumidari arena politik, orang-orang tangan kanan Suharto membangunstigma bahwa para pemimpin Masjumi tidak bersedia untukmendukung Orde Baru. Dalam sangkalannya atas stigma itu,

Page 549: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 529

Mohammad Natsir mengungkapkan sebuah kisah terpendamkepada majalah Tempo mengenai bagaimana dia mendukungrezim itu dengan secara sukarela membujuk otoritas-otoritasnegeri lain, seperti pemerintah Jepang, Malaysia, Saudi Arabia,dan negara-negara Arab yang lain untuk mengambil langkahuntuk membantu, atau merehabilitasi hubungan mereka dengan,Indonesia (Tempo, 21/08/1971). Namun, pihak rezim tetapbergeming. Ketika para pemimpin Orde Baru terus menghalang-halangi kembalinya para pemimpin Masjumi ke arena politik,Mohammad Natsir bersungut di sebuah rapat para pemimpinreformis-modernis pada 1 Juni 1972: ‘Mereka telah memper -lakukan kita seperti kucing kurap’ (Dikutip dari Hassan 1980:125). Sejak itu, berakhirlah sudah karir politik para pemimpinMasjumi.

Selain karena penolakan rehabilitasi Masjumi dan penyingkiranpara pemimpinnya dari peran aktif dalam dunia politik, banyakkalangan Muslim yang kecewa dengan strategi pemerintah untuk‘mengulur-ulur waktu’. Penundaan penyelenggaraan pemilihanumum dari 1968 ke 1971, mengecewakan kelompok-kelompokMuslim yang yakin bahwa jika saja pemilihan umum diadakanlebih awal, hal itu akan menjamin hasil pemilu yang lebihmenguntungkan buat mereka.

Tidak seperti Masjumi, cara rezim Orde Baru dalammemperlakukan NU relatif lebih baik. Setelah menilai karakterdari para pemimpin ‘old-guard’ NU, para penasehat Suhartomenyimpulkan bahwa NU bukanlah ancaman potensial bagiOrde Baru, ‘karena sudah menjadi kebiasaan NU untukmenyesuaikan diri dengan angin yang berhembus’ (Elson 2001:185). Di mata para penasehat Suharto, Idham dan para koleganyaakan mendukung Suharto persis sebagaimana mereka dulumendukung Sukarno asalkan mereka diberi status dan dana

Page 550: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

530 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

untuk kegiatan-kegiatan keagamaan dan yang lainnya (Crouch1988: 264). Maka, kepentingan-kepentingan politik NU untukperiode waktu tertentu tetap aman. Para tokoh NU yangberpengaruh, seperti Idham Chalid dan Mohammad Dachlan,bahkan ditunjuk sebagai menteri dalam Kabinet PembangunanPertama (1968-1973). Sampai pemilihan umum 1971, NU tidakmengalami intervensi yang besar-besaran dari Opsus terhadapurusan-urusan internal partai.57 Di luar NU, dua partai Islamlainnya, yaitu PSII dan Perti, mengalami intervensi pemerintahdalam kadar yang lebih ringan jika dibandingkan Parmusi karenakeduanya dianggap sebagai partai minoritas.

Karena dijalankannya taktik-taktik ‘buldozer’ oleh pihakpemerintah, hasil keseluruhan dari partai-partai politik Islamdalam pemilihan umum tahun 1971 sangatlah mengecewakan.Total persentase yang diraih oleh semua partai politik Islamhanya 27,1 persen. Penyingkiran para pemimpin Masjumi yangberpengaruh dari Parmusi dan intervensi pemerintah terhadapurusan-urusan internal partai telah mengalienasikan banyakpendukung tradisional dari aktivitasme Islam reformis-modernis.Sebagai konsekuensinya, Parmusi, sebagai penerus Masjumi yangmeraih 20,9 persen pada pemilu 1955, mengalami kemerosotanyang parah dengan hanya meraih 5,4 persen. Sementara itu,karena relatif terbebas dari inetrvensi rezim Orde Baru, hasilperolehan NU sedikit meningkat dari 18,4 persen pada 1955menjadi 18,7 persen pada tahun 1971. Sedangkan hasil suaradari dua partai politik Islam lainnya hanya 3,0 persen.

Meskipun Golkar memenangkan pemilu itu secara telak (62,8persen), rezim Orde Baru masih merasa terancam denganmeningkatnya perolehan suara NU. Segera sesudah pemilu,pemerintah mulai mengintervensi urusan-urusan internal NU.Dua pemimpin NU yang berpikiran independen, yaitu Mohammad

Page 551: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 531

Dachlan dan Subchan Z.E., menjadi korban dari aksi Opsusyang menyingkirkan mereka dari kepemimpinan NU pada awaltahun 1972. Sejak saat itu, tak ada pemimpin NU yang diangkatdalam Kabinet Suharto. Menanggapi gerak bandul baru yangberlawanan itu, pada akhir tahun 1971 dalam kesempatanMuktamar NU, Idham Chalid sebagai ketua NU menyerukankembalinya NU kepada khittah 1926. Ini menjadi pertandabahwa NU akan segera melepaskan fungsi-fungsi politiknya danberkonsentrasi pada aktivitas-aktivitas sosio-religius (Crouch1988: 271).

Pada bulan Januari 1973, semua partai politik Islam yang adadiperas menjadi satu, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP).Fusi ini dalam artian tertentu memiliki arti bergesernya medankonflik dari konflik yang berlangsung di luar partai (antar-partai) ke konflik internal (di tubuh partai). Pada saat inilah,pemerintah memperkenalkan konsep ‘massa mengambang’, yangbagi kelompok-kelompok Islam berarti menjauhkan afiliasimasyarakat kepada Islam politik. Langkah-langkah ini diperparahdengan adanya campur tangan dan intimidasi pemerintah kepadapara aktivis partai, terutama dalam rangka untuk mengamankankepemimpinan partai yang lebih disukainya agar partai tersebutlebih kooperatif di parlemen.

Pengalaman tak sedap yang pernah dialami PSII dan NU saatberada dalam satu partai tunggal (yaitu Masjumi) membuatkedua partai politik itu pada mulanya menolak ide pemerintahuntuk melakukan fusi politik. Di sisi lain, Parmusi menyambutgembira ide tersebut karena memungkinkan terciptanya dampakpositif bagi menguatnya ukhuwah Islamiyah. Kemungkinanpenguatan itu juga yang membuat banyak perwira AngkatanDarat tak setuju dengan ide penggabungan partai-partai politikIslam tersebut. Namun dengan mengesampingkan kontroversi-

Page 552: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

532 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

kontroversi di seputar ide tersebut, pemerintah tetap ngototdan pihak partai-partai Islam tak punya pilihan lain selainmenerima fusi tersebut. Pada muktamar pertama partai gabunganitu pada tahun 1975, dicapai kesepakatan bahwa fusi tersebutakan menggunakan kerangka kerja federasi sehingga akanmenjamin otonomi relatif dari partai-partai politik yang bergabungdan mencerminkan alokasi kursi yang proporsional sesuai denganhasil yang dicapai setiap partai politik pada pemilu 1971. Ditubuh PPP yang baru berdiri ini, Idham Chalid dan Bisri Sjansuridari NU masing-masing memegang posisi sebagai Presiden danketua Dewan Penasehat partai, sementara M.S. Mintaredja dariParmusi (yang sejak itu disebut sebagai Muslimin Indonesia[MI]) menjadi ketua dewan pengurus partai. Namun, sejak awalpendiriannya, struktur federatif dari partai ini bermakna bahwakeempat partai itu tidak sepenuhnya melebur menjadi satuentitas politik baru yang kohesif. Ini menjadikan PPP sangatrentan terhadap terjadinya rivalitas internal, terutama denganadanya campur tangan pemerintah dalam urusan-urusan partai.

Di bawah kesepakatan itu, secara teoretis NU memegangposisi kepemimpinan dalam partai tersebut, dan ini tampaknyata paling tidak sampai pemilu 1977 berikutnya—meskipunmemang NU tidak memegang posisi ketua. Ternyata, meskipunpemerintah telah menggunakan sarana-sarana represif dan taktik-taktik kotor, namun PPP berhasil meraih 29,3 persen dari totalsuara pada pemilu 1977. Ini sedikit lebih baik daripada totalpersentase yang diraih oleh partai-partai Islam pada pemilu1971. Peningkatan jumlah suara bersama dengan semakinpedasnya kritik dari para pemimpin partai terhadap banyakkebijakan pemerintah mendorong pemerintah untuk melakukanintervensi lebih jauh agar bisa mengisolasi para pemimpin partaiyang vokal dan untuk membentuk kepemimpinan partai yang

Page 553: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 533

lebih disukai pemerintah. Segera setelah pemilu 1977, DjaelaniNaro yang didukung pemerintah menyatakan dirinya sebagaiketua pengurus yang baru dari PPP tanpa ada persetujuan daripara fungsionaris partai, apalagi muktamar partai.

Karena hasutan yang dilakukan oleh Naro, para aktivis partaiyang kritis, yang sebagian besar berasal dari elemen NU,disingkirkan dari struktur kepemimpinan partai, dan secaragradual dipaksa keluar dari DPR. Situasi ini menguntungkanpara aktivis MI dan merugikan faksi NU. Perpecahan-perpecahandan rivalitas-rivalitas dalam partai yang parah ini mengurasenergi partai. Sehingga pada pemilu berikutnya suara yangdiraih PPP terus mengecewakan komunitas Islam. Total persentasesuara yang diraih partai ini pada pemilu 1982 turun sebesar1,3% (atau menjadi 28,0% dari total suara). Dalam menjelangpemilu berikutnya, kekecewaan politik NU memuncak. Iniditandai dengan keputusan organisasi tersebut pada Muktamar1984 untuk sepenuhnya menarik diri dari perpolitikan partaidan sepenuhnya kembali ke khittah 1926. Keputusan ini berartiNU akan berkonsentrasi pada usaha-usaha sosial dan pendidikan.Setelah keputusan ini, para anggota NU dibebaskan untukmemilih kendaraan politik yang disukainya, dan ini menimbulkanpukulan telak bagi PPP. Dengan hilangnya dukungan NU, hasilsuara PPP pada pemilu tahun 1987 merosot tajam menjadi 16%dari total suara, dan pada pemilu tahun 1992 hanya naik 1%.Sejak tahun 1980-an, PPP telah mengalami demoralisasi dan takmemiliki kapasitas untuk mengartikulasikan aspirasi-aspirasiIslam.

Ketidakberdayaan PPP ini diperburuk dengan strategi-strategiyang dilakukan secara sengaja oleh pemerintah untukmelumpuhkan dukungan intelektual dan elektoral terhadappartai itu dan memperkuat dukungan intelektual dan elektoral

Page 554: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

534 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

terhadap Golkar. Lewat pendirian Korps Pegawai RepublikIndonesia (Korpri) pada tahun 1971, pemerintah memberlakukanperaturan-peraturan serta melakukan intimidasi-intimidasi yangmelarang para pegawai negeri sipil untuk menjadi anggota daripartai politik Islam. Selain itu, peluang PPP untuk memilikipengaruh yang signifikan baik di DPR maupun di MPR terhambatoleh adanya hak Presiden untuk mengangkat sejumlah besaranggota DPR dan MPR. Sebagai akibatnya, peran politik PPPteredusir menjadi sekadar pemberi legitimasi terhadap kebijakanpemerintah.

Lumpuhnya partai politik Islam ini kontras dengan posisikalangan abangan Jawa dan minoritas Kristen yang memilikirepresentasi yang berlebih (over-represented) baik di kabinetmaupun di DPR untuk kurun yang panjang dari jangka kekuasaanOrde Baru. Pembentukan kabinet oleh Suharto sendirimengabaikan representasi berdasarkan agama, dan komunitasKristen diuntungkan oleh pemilikan kualifikasi-kualifikasipendidikan yang lebih tinggi dan adanya lobi-lobi yang kuat didalam lingkaran dalam kekuasaan Suharto. Sampai denganKabinet Pembangunan Keempat (Maret 1983-Maret 1988),jumlah orang Kristen (baik Katolik maupun Protestan) dalamkabinet terus meningkat dari tiga pada kabinet periode 1968/1973,empat pada kabinet 1973/1978, lima pada kabinet 1978/1983,menjadi enam pada kabinet periode 1983/1988.58 Pada gilirannya,hal ini mencerminkan kuatnya pengaruh orang-orang Kristendalam kantor-kantor pemerintah tertentu. Fenomena yang samajuga terjadi di DPR. Berdasarkan pada data dari Biro PusatStatistik, rata-rata persentase nasional dari orang-orang Katolikdan Protestan dibandingkan total penduduk Indonesia sepanjangtahun 1971-1987 masing-masing sebesar 3% dan 5,5% (Surbakti1991: 59-94). Pada saat yang sama, rata-rata persentase orang-

Page 555: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 535

orang Katolik dan Protestan di DPR masing-masing sebesar8,2% dan 9,2% (Karim 1999: 121; Haris 1997: 96).59 Jadi,persentase orang Kristen dalam DPR lebih besar daripadapersentase penduduk Kristen di Indonesia. Secara kontras, rata-rata persentase orang Muslim di Parlemen (80,2%) berada dibawah rata-rata persentase penduduk Muslim (87%).60

Selain marjinalisasi Islam politik, rezim pemerintahan OrdeBaru juga melakukan usaha-usaha untuk menetralisir pengaruhIslam dalam ranah politik. Para pemimpin awal Orde Barubukan hanya berkepentingan untuk mengekang pengaruh kulturalIslam, namun juga berusaha untuk memperbesar otonomi varian(keagamaan) abangan sebagai sebuah penyeimbang politik.Penolakan rezim Orde Baru untuk menggunakan bahkan simbolIslam di lingkungan negara (the official sphere) menyerupaisikap kalangan istana Jawa (di masa penjajahan kolonial) padabagian akhir abad ke-19. Rezim Orde Baru mulai mengagung-agungkan politik dan budaya Jawa neo-klasik dan mengembangkanbahasa yang sangat didominasi Sansekerta. Kerajaan HinduMajapahit yang besar dijadikan sebagai pusat teladan. Istanapresiden diberi nama Bina Graha, butir-butir Pancasila disebutsebagai Eka Prasetya Pancakarsa dan seterusnya. Pada tahun1973, para pemimpin Orde Baru yang berorientasi abanganmelangkah lebih jauh dengan mengakui kebatinan sebagai agamatersendiri. Namun upaya mereka untuk melegalisasikan pengakuanini lewat GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) menghadapipenentangan yang sangat kuat dari kaum Muslim yang menganggapupaya tersebut sebagai usaha untuk mendorong kaum Muslimabangan untuk keluar sepenuhnya dari keimanan Islam.

Pemerintah juga berusaha meningkatkan daya pengaruhbirokrasi atas Islam. Pada tahun 1973, posisi Menteri Agamayang secara tradisional dialokasikan kepada wakil NU atau

Page 556: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

536 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Muhammadiyah, dipegang oleh seorang intelektual independenyang berlatar belakang pendidikan pasca-sarjana Barat (McGillUniversity), Prof. Mukti Ali.61 Lima tahun kemudian, jabatanportofolio ini bahkan diberikan kepada seorang militer yangtidak memiliki bobot keislaman (Islamic credential), yaituAlamsjah Prawiranegara (mantan anggota Spri Suharto).Pengangkatan orang-orang ini yang memiliki kecenderunganakomodasionis yang kuat dimaksudkan bukan hanya untukmelemahkan pengaruh dari organisasi Islam, namun jugamengarahkan para pemimpin Muslim agar mau bekerjasamadengan pihak otoritas pemerintah demi tujuan pembangunannasional.

Setelah merasa pasti bahwa Menteri Agama akan mendukungpembangunan nasional, pemerintah melangkah lebih jauh denganberusaha mensekularisasikan hukum Islam. Pada bulan Juli1973, pihak pemerintahan mengajukan usulan hukum perkawinanyang (secara nyata) akan sangat mensekularisasikan undang-undang perkawinan di Indonesia dan secara efektif akanmenghapus sistem pengadilan agama di Indonesia. Meskipunusulan itu seolah-olah berasal dari Departemen Kehakiman,namun pendorongnya berasal dari Ali Murtopo dan think thank-nya, yaitu Center for Strategic and International Studies (CSIS).Dengan memotong kompas kewenangan Departemen Agama,draft undang-undang itu dibuat tanpa merujuk atau memintanasehat dari organisasi Islam. Mark Cammack menggambarkanusulan undang-undang perkawinan ini sebagai berikut (1997:151):

Usulan itu menetapkan adanya satu peraturan perkawinan danperceraian yang berlaku bagi seluruh orang Indonesia tak peduliapapun agamanya. Usulan itu mengharuskan dilakukannya

Page 557: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 537

pencatatan sipil untuk perkawinan dan persetujuan pengadilanuntuk perceraian dan poligami. Selain itu, untuk perceraianmaupun perkawinan antar-agama, akan diberlakukan aturan-aturan yang ketat. Penegakan hukum ini akan dipercayakankepada pengadilan sipil, dan ini akan mereduksi jurisdiksi (bataskewenangan) pengadilan-pengadilan yang lain di luar Jawahanya sebatas perkara-perkara warisan dan menjadikan pengadilanagama Islam di Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan takmemiliki tugas apa-apa.

Aturan ini bisa ditafsirkan sebagai sebuah usaha untukmensekularisasikan hukum keluarga. Pada titik ini, perosessekularisasi hukum Islam telah melangkah terlampau jauh. Sejakabad yang lalu semasa era kolonial, hukum pidana dan perdatatelah sepenuhnya disekularisasikan, sementara hukum keluargadibiarkan tetap ‘Islami’. Proses sekularisasi terhadap hukumkeluarga ini tampaknya masih menjadi sebuah problem yangserius di Indonesia, sebagaimana di negara-negara Dunia Muslimlainnya. Anderson (1959: 90) barangkali memiliki penjelasanyang tepat mengenai alasan mengapa bisa demikian: ‘Hukumkeluarga-lah yang selalu dianggap menjadi jantung utama darisyariah karena bagian hukum inilah yang dianggap oleh kaumMuslim sebagai pintu masuk ke dalam seluk-beluk agamamereka.’ Barangkali karena alasan inilah, usulan itu menghadapikemarahan dan oposisi yang kuat dari kaum Muslim baik didalam maupun di luar DPR. Kelompok-kelompok aksi Islamdengan beberapa ratus pemuda Muslim membanjiri gedungDPR hingga akhirnya rancangan undang-undang itu diubahuntuk memenuhi beberapa keberatan yang diajukan oleh PPP.Sebuah terobosan dalam usaha untuk memecahkan konflik inihanya tercapai ketika Jenderal Sumitro, pesaing Ali Murtopo,

Page 558: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

538 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

mengambil alih persoalan itu dengan memulai berdiskusi denganpara pemimpin Muslim di luar proses legislatif yang formal.

Untuk menjamin konformitas Islam dengan orthodoksi resmi,pada tahun 1975, pemerintah berhasil mendirikan sebuahlembaga tunggal untuk ulama Indonesia, yaitu Majelis UlamaIndonesia (MUI). Dalam proses pemilihan ketua lembaga itu disemua level, pihak pemerintah melakukan intervensi. Untukmenjamin bahwa semua forum keagamaan akan bebas daripesan-pesan politik yang berorientasi Islam, lewat KeputusanMenteri Agama No. 44/1978 dan No. 70/1978, isu-isu politiksecara resmi dilarang digunakan sebagai tema utama dalamdakwah agama. Ini diperkuat dengan Keputusan KopkamtibNo. 152/1978 yang di antaranya melarang dakwah atau ceramahagama membicarakan persoalan-persoalan politik atau menentangPancasila dan UUD 1945. Pada waktu yang hampir bersamaan,pemerintah dengan dukungan Ketetapan MPR No. II/1978memulai program penataran Pancasila (P4)-nya. Dengan butir-butir panduan mengenai nilai-nilai moral untuk kehidupansehari-hari, P4 menjadi tantangan bagi pandangan dunia Islam.Para pemimpin organisasi-organisasi Islam tak luput menjadisasaran dari penataran ini.

Terobosan lebih jauh dalam upaya mensekularisasikan politikIndonesia dicapai lewat penegasan Orde Baru terhadap Pancasilasebagai satu-satunya asas bagi organisasi-organisasi sosial danpolitik. Perdebatan yang terjadi di lingkaran-lingkaran keagamaandi Indonesia mengenai Pancasila sebagai azas tunggal inimengemuka pada bulan Agustus 1982 ketika Presiden Suhartomenyatakan bahwa semua kekuatan sosial-politik, terutamapartai-partai politik, harus menerima ideologi negara itu sebagaiasas tunggal. Salah satu item utama dalam agenda Sidang UumumMPR pada bulan Maret 1983 ialah menyusun rancangan GBHN.

Page 559: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 539

Salah satu poin yang dimasukkan dalam GBHN ini ialahKetetapan MPR mengenai keharusan dua partai politik danGolkar untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal mereka.

Konsep asas tunggal ini melahirkan oposisi dari beragamelemen dan tokoh Islam. Beberapa menganggapnya sebagaiusaha pemerintah untuk memaksakan program sekularisasiterhadap pandangan hidup Islam. Beberapa yang lain memandangkebijakan pemerintah ini sebagai warisan dari kebijakan kolonialBelanda yang membolehkan kaum Muslim untuk menjalankanperibadatan keagamaannya namun membatasi semua bentukIslam politik. Bagi orang-orang seperti Sjafruddin Prawiranegara(seorang pemimpin Masjumi yang moderat) dan banyak pemimpinMuslim pada saat itu, penetapan Pancasila sebagai dasar negaradan landasan dari konstitusi masih bisa diterima. Namun, merekamenolak jika Pancasila dipaksakan menjadi satu-satunyadasar/prinsip dari organisasi-organisasi sosial dan politik.Sjafruddin mengeritik kebijakan ini dengan memakai ‘bahasa’yang dipakai pemerintah sendiri, dengan berargumen bahwahal itu bertentangan dengan UUD 1945. Dalam surat pribadinyakepada Presiden Suharto pada tanggal 7 Juli 1983, dia padaintinya menyatakan bahwa meskipun ‘Pancasila dimaksudkanuntuk menjadi Dasar Negara, dan landasan UUD 1945, namunPancasila tidaklah digagas untuk menjadi dasar organisasi-organisasi warga negara, apakah itu organisasi politik, sosialatau lainnya’. Dia mendasarkan argumennya itu pada kata-kataSukarno dalam pidato kelahiran Pancasila (1 Juni 1945) bahwa‘negara Indonesia yang akan kita dirikan haruslah merupakansebuah negara gotong-royong’. ‘Gagasan “gotong-royong” ini’,menurut Sjafruddin, ‘menyatakan secara implisit bahwa setiaporang yang ikut bergotong-royong mempertahankan identitasdan kepribadiannya sendiri. Yang Muslim tetap Muslim, yang

Page 560: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

540 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Kristen tetap Kristen, yang Buddha tetap Buddha, yang Hindutetap Hindu, dan sebagainya’.62 Dia lalu menutup surat itudengan pertanyaan retoris berikut:

Namun jika yang Kristen tak lagi diperbolehkan untuk membentukorganisasi-organisasi atas dasar prinsip-prinsip Kristen,... danjika yang Muslim tak bisa mendirikan organisasi-organisasi yangdidasarkan pada prinsip-prinsip Islam, dan hal yang sama terjadipada warga-warga negara yang lain yang menganut agama-agama atau ideologi-ideologi yang lain, yang dilarang mendirikanorganisasi-organisasi yang didasarkan pada keyakinan-keyakinanatau ideologi-ideologi mereka masing-masing, namun hanyadiperbolehkan mendirikan organisasi-organisasi yang didasarkanpada Pancasila, maka Indonesia, negeri yang subur dan makmurini, dengan banyak gunung dan lembahnya, pastilah menjadipadang pasir Sahara yang tandus, yang hanya terdiri dari batu-batu dan pasir-pasir yang zatnya sama.63

Meski terdapat ketidakpuasan dan penentangan yang kuatdari kelompok-kelompok dan para pemimpin Islam, namunkebijakan ini pada akhirnya diterima oleh organisasi-organisasiIslam yang besar. Sementara organisasi-organisasi Islam sepertiPII dan kelompok pecahan dari HMI, yaitu HMI–MPO(Himpunan Mahasiswa Islam-Majelis Pertimbangan Organisasi,berdiri tahun 1986), yang tetap tak bersedia menerima asastunggal, dilarang keberadaannya atau terpaksa menjadi gerakan-gerakan bawah tanah.

Untuk mengekang perlawanan dari pihak Islam, pihakpemerintah juga menggunakan beragam bentuk pemitnahandan cara-cara represif. Yang menjadi keprihatinan dari banyakMuslim sebenarnya bukan saja represi itu sendiri, namun juga

Page 561: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 541

peran menentukan dari para perwira Kristen dan abangansebagai tokoh-tokoh kunci dalam aparatur represif negara.Keprihatinan ini diungkapkan secara emosional dalam banyakbuku yang terbit setelah kejatuhan Suharto.64 Sampai akhirtahun 1980-an, para perwira militer Kristen dan abanganmenguasai kontrol atas tiga komponen utama dari aparaturkeamanan: yaitu departemen pertahanan dan komando militer,dinas-dinas intelijen, dan Kopkamtib. Yang pertama, M.Panggabean (seorang Protestan) diangkat sebagai Panglima ABRIdan Menteri Pertahanan pada periode 1973/1978, dan L.B.Moerdani (seorang Katolik) memegang posisi yang sama dalamperiode 1983/1988. Yang kedua, Ali Murtopo (seorang abangan)memegang kendali atas dinas-dinas intelijen (yaitu Opsus danBakin) setelah tahun 1968. Dia lalu digantikan oleh anak didikintelijennya, L.B. Murdani, yang berperanan dalam pembentukanlembaga intelijen strategis militer yang baru (BAIS) pada tahun1983. Yang ketiga, M. Panggabean diangkat sebagai kepalaKopkamtib pada tahun 1969 dan kemudian Sudomo (seorangProtestan)65 memegang posisi yang sama sejak 1974 danseterusnya.

Ali Murtopo dikenal karena operasi rahasianya untuk membujukpara Muslim militan, terutama mereka yang memiliki hubungandengan pemberontakan DI/TII di masa lalu, untuk menghidupkangerakan baru yang bertujuan mendirikan negara Islam. Upayaini dimaksudkan untuk mendiskreditkan partai politik Muslim,yaitu PPP, dan juga menyediakan dalih bagi penangkapan paraaktivis politik Muslim secara lebih luas.66

Laksamana Sudomo di mata komunitas Islam memiliki reputasiyang buruk karena membiarkan Kopkamtib mengontrol isi darikhutbah agama dan terlalu jauh mengintervensi aktivitas organisasi-organisasi Islam. Dia bertanggungjawab atas penangkapan dan

Page 562: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

542 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

pemenjaraan para aktivis Isalm yang dituduhnya melakukansubversi. Antara tahun 1977-1980 saja, sekitar 6.000 aktivisIslam ditangkap (Sinar Harapan, 03/04/2003) dan banyak darimereka yang dipenjara dengan atau tanpa proses pengadilan.67

Jenderal L.B. Murdani merupakan pemimpin terakhir darikelompok Ali Murtopo. Sebagai seorang perwira intelijen dankemudian menjadi Panglima ABRI, dia memiliki reputasi dalamhal ‘Kristenisasi’ dinas-dinas intelijen dan juga dalammemperlambat promosi para perwira santri jika dibandingkandengan para perwira abangan atau Kristen (Liddle 1995: 18-19). Dia juga bertanggungjawab atas pembantaian ratusanMuslim di Tandjung Priok (Jakarta) pada tanggal 12 September1984 setelah berlangsungnya protes dari kaum Muslim di daerahitu terhadap perilaku tak sopan dari para pejabat militer lokal.68

Karena rasa frustasi secara politik dan ekonomi, beberapapemimpin Muslim mengalihkan aktivitasnya kepada gerakan-gerakan oposisi. Maka, para pemimpin gaek Masjumi, sepertiMohammad Natsir, Burhanuddin Harahap dan SjafruddinPrawiranegara dan para aktivis Muslim yang lebih muda sepertiAnwar Harjono dan A.M Fatwa bergabung dengan sekelompokpensiunan jenderal, termasuk Nasution, Mokoginta, Yasin,Hugeng dan Ali Sadikin. Kelompok ini, yang kadangkala disebutsebagai ‘barisan sakit hati’, mendirikan sebuah gerakan oposisiyang kemudian dikenal sebagai ‘Kelompok Petisi 50’.69

Beberapa militan Muslim yang menganut keyakinan-keyakinanfundamentalis yang radikal bahkan beralih kepada aktivitas-aktivitas kekerasan. Secara khas, mereka percaya bahwa dirimereka adalah korban-korban dari konspirasi-konspirasi non-Muslim, karena itu target tipikal dari aktivitas-aktivitas terorismereka adalah properti-properti milik non-Muslim.70 Ketika

Page 563: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 543

pemerintah bertindak tegas terhadap aktivitas-aktivitas terorisini, beberapa dari militan Muslim itu semakin dalam terlibatdalam gerakan-gerakan bawah tanah atau melarikan diri kenegeri-negeri tetangga.

Karena bahaya dan rapuhnya gerakan-gerakan radikal ini,ada dua kemungkinan pilihan lain yang tersedia untuk mengatasirasa frustasi secara politik dan ekonomi di kalangan kaumMuslim ini: berakomodasi orthodoksi negara dan struktur politikyang ada, atau kembali kepada gerakan-gerakan kultural danpendidikan secara umum, atau kepada gerakan intelektualberbasis masjid secara khusus. Dua pilihan itulah yang kelakakan menjadi arus utama dari respons intelektual Muslimterhadap kebuntuan Islam politik.

Respons Intelektual dari Generasi KeduaInteligensia MuslimSudah sejak tahun 1967, Muhammadiyah secara resmi menegaskankembali perannya sebagai lembaga dakwah lewat usahakesejahteraan sosial dan pendidikan—meski tetap membolehkanindividu-individu anggotanya untuk bergabung dengan partai-partai politik. Pada 1973, Muhammadiyah memiliki 7.000sekolah dasar dan menengah, beberapa universitas, lima rumahsakit, 451 klinik, 3.250 masjid, 104 panti asuhan dan 2.750kantor dakwah.71 Pada 1987, Muhammadiyah mengelola 20.000sekolah dasar dan menengah, enambelas universitas, duapuluhsatu akademi, sembilan rumah sakit, ratusan klinik kecil danlebih dari 10.000 masjid (Tapol 1987: 5).

Sejak awal tahun yang sama, para mantan pemimpin Masjumimulai menyadari pentingnya memperluas lingkup perjuanganIslam ke arena-arena non-politik. Baru saja dibebaskan dari

Page 564: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

544 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

penjara, namun segera dihadapkan dengan batu penghalangpolitik yang baru, mereka mulai mempertanyakan betaparapuhnya fondasi Islam politik. Segera setelah Suharto menolakperehabilitasian Masjumi pada bulan Januari 1967, para pemimpinMasjumi dan beberapa ulama reformis-modernis mengadakansebuah pertemuan di masjid Al-Munawarrah (Tanah Abang,Jakarta) pada 26 Februari 1967.72 Pertemuan itu berusaha untukmencari tahu alasan-alasan di balik lemahnya Islam politik, dankemudian menyimpulkan sebagai berikut:

Yang pertama, partai-partai Islam tidak cukup mendapatkandukungan dari ummat di negeri ini; yang kedua, para pemimpinIslam tidak memiliki visi dan misi bersama dalam perjuanganpolitik mereka; yang ketiga, jumlah ummat Muslim di Indonesiasecara statistik memang besar, namun secara kualitatif kecil,baik dari segi kualitas aqidahnya, ibadahnya, akhlaknya, maupundalam penguasaannya atas pengetahuan umum dan ekonomi.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, pertemuanitu merekomendasikan pentingnya pendirian sebuah lembagadakwah khusus yang berorientasi pada pelaksanaan dakwahIslam secara lebih luas dan komprehensif. Lembaga ini, yangdiberi nama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), berdiripada bulan Mei 1967. Dewan pengurus pertama dari organisasiini dipimpin oleh Mohammad Natsir dan H.M. Rasjidi sebagaiketua dan wakil ketua, serta didukung oleh tokoh-tokohterkemuka Masjumi dan ulama reformis-modernis, sepertiPrawoto Mangkusasmita, Osman Raliby, Zaininal Abidin Achmaddan beberapa yang lain sebagai anggotanya.73

Pendirian DDII merupakan usaha terakhir dari para intelektualMuslim dari generasi Natsir untuk mengislamkan politik nasional

Page 565: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 545

lewat cara-cara non-politik. Dalam kata-kata Natsir: ‘Kita taklagi mengadakan dakwah dengan cara-cara politik, namunterlibat dalam aktivitas-aktivitas politik dengan cara-cara dakwah.Hasilnya akan sama’ (Dikutip dari Mahendra 1995: 129).

Sejak saat itu, istilah ‘dakwah’ menjadi populer dalam ruangpublik Indonesia, terutama di kalangan komunitas Muslim.Sebelumnya, kaum Muslim Indonesia cenderung menggunakanistilah ‘tabligh’ yang lebih berasosiasi dengan penyebarluasanajaran secara lisan. Dengan diperkenalkannya istilah dakwah,yang mengimplikasikan usaha yang lebih luas daripada tabligh,penyebarluasan Islam berubah dari ceramah lisan (bi’l-lisan)menjadi lebih kepada tindakan nyata (bi’l-hal). Banyak parapemimpin dan sarjana Muslim yang percaya bahwa dakwahmerupakan jawaban yang tepat terhadap modernisasi yangdisponsori pemerintah dan terhadap rasa frustasi politik kaumMuslim. Pendekatan dakwah juga diyakini merupakan caraefektif untuk mencapai persatuan ummat baik secara keagamaanmaupun secara politik.

‘Persatuan’ ummat dan ‘dakwah’ lantas menjadi tema-temautama dalam wacana Islam, terutama di kalangan para pemimpinIslam senior. Sebuah seminar khusus mengenai persoalan ini,yang diadakan di Malang pada bulan Juli 1968 oleh JajasanDana Bantuan Untuk Tjalon Hadji Indonesia (JDBTHI), menyorotikeutamaan pendekatan dakwah ketimbang pendekatan politik.Pada tahun yang sama, seruan akan persatuan ummat Islam,seperti yang sering terjadi di masa lalu, membangkitkan tuntutanyang meluas bagi dilaksanakannya Konggres Umat Islam se-Indonesia. Di mata seorang ulama pembaharu terkemuka, E.Z.Muttaqien: ‘Lewat pendekatan dakwah, semua kekuatan Islambisa turut serta dan membagi tugas sesuai dengan kesanggupanmereka masing-masing. Konflik-konflik antar kelompok akan

Page 566: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

546 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

bisa diminimalisir karena apapun yang diraih berasal dari usaha-usaha dan kerja ummat sendiri, dan bukan dari imbalan-imbalanyang diberikan oleh mereka yang berada di kalangan puncakpemerintahan nasional’ (Dikutip dari Hassan 1975: 83). Pandanganini didukung oleh para peserta seminar yang lain seperti ZakijahDaradjat, Shalahuddin Sanusi, Anwar Harjono, dan Mukti Ali.Menurut Sanusi, pengarang buku terkenal, Integrasi UmmatIslam (terbit tahun 1967), akar penyebab dari disintegrasi Islamserta dari problem-problem sosial dan personal dalam ummatIslam ialah karena tak diterapkannya ajaran-ajaran sosial danmoral Islam. Dengan begitu, metode integrasi dan regenerasiserta rekonstruksi ummat Muslim haruslah dakwah, bukanpartai politik.74

Untuk merayakan euforia Muslim terhadap usaha dakwah,pada akhir tahun 1960-an, DDII membuat sebuah publikasidakwah yang disebut Media Dakwah. Mohammad Natsir menulissebuah buku panduan khusus mengenai persoalan ini denganjudul Fiqhud-Da’wah yang diterbitkan pada tahun 1969.Selanjutnya, lebih dari 25 buku dengan judul ‘dakwah’ ditulisoleh para pengarang Indonesia yang lain pada tahun 1970-ansaja.75

DDII memposisikan dirinya sebagai sumber utama dan agenkonsultasi bagi dakwah Islam yang efektif di masyarakat modern.Dalam rangka kepeduliannya dalam membantu meningkatkankondisi higienis sosial dan pelayanan kesehatan, DDII mengelolasebuah klinik kontrol kelahiran dan bekerja bersama dengandokter-dokter di Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam Indonesia(LKMII) Jakarta dan dengan akademi perawat Islam YayasanRumah Sakit Islam (YARSI) di Jakarta. Selain itu, dalam rangkakepeduliannya terhadap peningkatan pendidikan Islam, DDIImembantu membangun dan memperlengkapi pepustakaan-

Page 567: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 547

perpustakaan di masjid-masjid, universitas-universitas danlembaga-lembaga dakwah. DDII juga berusaha untuk melakukanstandarisasi kurikulum pesantren melalui kerjasama dengansejumlah perhimpunan pesantren yang berhaluan reformis(Hassan 1975: 105-106).76

DDII juga bereksperimen, dengan mengumpulkan parapemimpin pesantren, para aktivis Islam dari universitas-universitasdan tokoh-tokoh sosial, untuk melanjutkan apa yang telahdirintis oleh Wirsosandjojo bersaudara (Satiman dan Sukiman)di masa sebelum perang, yaitu pendirian ‘Pesantren Luhur’(Ma’had ‘aly). Pesantren jenis ini menawarkan pelajaran-pelajaranagama tingkat tinggi dan pelajaran-pelajaran umum kepada parasantri yang berlatar pesantren atau mengajarkan studi Islamyang mendalam kepada para santri yang berlatar belakanguniversitas sekuler.77 Pesantren Ulil Albab merupakan contohpaling sukses dari eksperimentasi ini. Dari pesantren ini, tokoh-tokoh Islam terkemuka seperti Didin Hafiduddin, seorangpemimpin berpengaruh dalam gerakan tarbiyah yang terkenalsejak akhir tahun 1980-an, muncul.78

Selain itu, DDII juga mulai mengembangkan dakwah lewatmedia massa (terutama radio) dan penerbitan Islam. DDII jugasecara teratur mengadakan program-program pelatihan bagipara dai Islam (yang banyak darinya akan dikirim ke daerah-daerah terpencil dan zona-zona transmigrasi). DDII juga terlibatdalam forum-forum Islam internasional dan organisasi-organisasimultilateral. Karena lobi yang dilakukan Natsir dalam LigaDunia Muslim (Rabithat Al-Alam Al-Islami, berdiri tahun 1962),DDII berhasil mendapatkan akses ke lembaga-lembaga donordari negara-negara Timur Tengah. Hal ini memungkinkannyauntuk membiayai aktivitas-aktivitas dakwah dan untukmengirimkan para siswa Indonesia untuk melanjutkan belajar

Page 568: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

548 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

keluar negeri di negeri-negeri Timur Tengah.79 Yang terakhirnamun juga penting, DDII melakukan usaha-usaha awal untukmerekrut kader-kader muda dengan tujuan untuk menciptakanpara intelektual ‘organik’ bagi gerakan-gerakan masjid (dakwah).Semua usaha ini, terutama yang terakhir, merupakan langkahterakhir dari generasi Natsir dalam proyek historis Islamisasiinteligensia Indonesia.

Respons Intelektual Generasi KetigaInteligensia MuslimGenerasi ketiga inteligensia Indonesia, yang sebagian besarterdiri dari mereka yang lahir di bagian akhir tahun 1910-andan 1920-an, memainkan peran utama dalam kepemimpinanpolitik awal Orde Baru. Sungguhpun begitu, peran intelektualdan politik inteligensia Muslim dari generasi ini justru kecilsekali. Paling tidak terdapat dua alasan untuk hal ini. Pertama,kepemimpinan politik Orde Baru didominasi oleh inteligensiamiliter, sementara elemen-elemen Islam dalam Angkatan Darattelah termajinalkan sejak masa revolusi kemerdekaan, terutamasejak desersi yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan gerilyaIslam dari korps tentara nasional. Sehingga, pada saat naiknyaOrde baru, sedikit sekali perwira militer santri dalam AngkatanDarat.80 Kedua, perkembangan intelektual dari inteligensiaMuslim generasi ini tersandung faktor historis. Lahir pada masa-masa akhir era kolonial, generasi ini masih mengalami diskriminasikebijakan pendidikan Belanda yang lebih mengutamakan kaumpriyayi, yang berakibat langsung pada kurangnya sumber pasokan(supply-side) inteligensia Muslim. Lebih buruk lagi, pendidikantinggi yang dijalani oleh mereka yang jumlahnya sedikit ini punterputus oleh kedatangan pendudukan Jepang dan revolusi

Page 569: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 549

kemeredekaan. Akibatnya, sedikit sekali santri dari generasi iniyang bisa menyelesaikan pendidikan tingginya.

Di antara tokoh-tokoh inteligensia Muslim dari generasi iniyang bisa menyelesaikan pendidikan tingginya ialah Lafran Pane(lahir tahun 1922), M. Jusdi Ghazali (lahir tahun 1923), MuktiAli (lahir tahun 1923), Anwar Harjono (lahir tahun 1923),Anton Timur Djaelani (lahir tahun 1923),81 M.S. Mintaredja(lahir tahun 1921), Dahlan Ranuwihardjo (lahir tahun 1925),Harun Nasution ((lahir tahun 1919), Achmad Baiquni (lahirtahun 1923), Deliar Noer (lahir tahun 1926), Bustanil Arifin(lahir tahun 1925), Barli Halim (lahir tahun 1927), Ismail Suny(lahir tahun 1929), dan Ismail Hasan Metareum (lahir tahun1929). Kebanyakan dari mereka menjadi tokoh-tokoh kuncidalam pendirian dan/atau perkembangan dari GPII, HMI, danPII. Kebanyakan dari mereka terpotong studinya karena adanyaperjuangan kemerdekaan dan baru bisa menyelesaikan pendidikanS1-nya pada tahun 1950-an atau bahkan pada awal-awal tahun1960-an.

Pada permulaan Orde Baru tahun 1966, hanya terdapatbeberapa intelektual Muslim yang pernah mengikuti programpascasarjana di universitas-universitas Barat. Mereka ini diantaranya Deliar Noer, Achmad Baiquni, Mukti Ali, HarunNasution, Anton Timur Djaelani, Barli Halim dan Ismail Suny.82

Mintaredja sesunguhnya pernah juga mengikuti pendidikantinggi di Universitas Leiden pada akhir tahun 1950-an, namundia hanya mengikuti program non-gelar di School of Law.

Selain orang-orang tersebut, ada pula empat intelektualMuslim terkenal lainnya yang pernah belajar di universitas-universitas Barat (semuanya di AS) pada masa itu: yaitu BintoroTjokroamidjojo (lahir tahun 1931), Subchan Z.E. (lahir tahun

Page 570: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

550 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

1931), Imaduddin Abdulrahim (lahir tahun 1931) dan IbrahimHasan (lahir tahun 1935).83 Namun, masing-masing dari merekaini lahir dalam periode transisi antara generasi ketiga dankeempat, dan bahkan sebenarnya lebih dekat dengan generasikeempat, meskipun dua nama pertama di atas telah memegangposisi-posisi kepemimpinan senior dalam gerakan intelektualIslam ketika Orde Baru muncul.

Kurangnya keunggulan kompetitif dari generasi ketigainteligensia Muslim juga dikarenakan oleh karakteristik disiplinkeilmuan yang mereka tekuni. Kebanyakan dari mereka terdidikdalam disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang kurangkompatibel dengan proyek modernisasi teknokratik ala OrdeBaru.84 Dengan langkanya kaum Muslim yang berpendidikantinggi, apalagi berpendidikan Barat, ketidakcocokan ini berartihanya ada sedikit sekali intelektual Muslim yang bisa memegangposisi-posisi strategis pada tahun-tahun awal Orde Baru.

Para intelektual Muslim dari generasi ini memiliki impianyang sama dengan generasi Natsir (generasi kedua) tentangkebangkitan kembali pengaruh Islam politik setelah mengalamikemunduran pada era Sukarno. Meski begitu, sementara paraintelektual generasi kedua mengutamakan apa yang disebutMintaredja sebagai ‘kemenangan-kemenangan formal’ (sepertirehabilitasi Masjumi dan diterimanya Piagam Jakarta) sebagaiukuran hakiki dari keberhasilan perjuangan Islam, inteligensiaMuslim dari generasi ketiga secara umum memprioritaskanpada ‘kemenangan-kemenangan material’ (pencapaian substantif).85

Oleh karena itu, generasi ketiga ini cenderung lebih bersediauntuk menerima tatanan politik yang baru sepanjang aspirasi-aspirasi dan representasi politik Islam terakomodasi dalam duniapolitik dan birokrasi yang baru. Bahkan bagi seorang sepertiDeliar Noer, proyek modernisasi Orde Baru tidak menimbulkan

Page 571: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 551

masalah teologis karena esensi dari proyek modernisasi sesuaidengan ajaran-ajaran sosial Islam. Dalam usaha-usahanya untukmendukung usulan Hatta pada tahun-tahun awal Orde Baruuntuk mendirikan sebuah partai politik Islam yang inklusif,yaitu Partai Demokrasi Islam Indonesia, Noer juga menyerukankepada para pemimpin Muslim untuk mengakhiri obsesi merekaterhadap Piagam Jakarta (Wahib 1981: 1947). Secara umumdapat dikatakan, karena merupakan ‘anak-anak revolusi’ yangtelah dipersatukan oleh perjuangan dalam semangat keberbagianidentitas kebangsaan dan solidaritas persaudaraan yang intensdengan kelompok-kelompok politik yang lain dan tentaranasional, generasi ketiga inteligensia Muslim cenderung bersikaplebih akomodatif dalam orientasi politiknya, kecuali merekayang sangat dekat dengan kelompok Natsir, seperti misalnyaAnwar Harjono.

Namun, meskipun telah menunjukkan sikap-sikap akomodatif,hal itu bukanlah jaminan bagi raihan-raihan politik yangsubstansial. Karena profil pendidikannya, para intelektual Muslimdari generasi ini sebagian besar tak mampu bersaing dengansuperioritas dan ketepatgunaan kualifikasi-kualifikasi pendidikanpara intelektual sekuler dan Kristen. Selain itu, pada moemenhistoris ketika generasi ini siap untuk memainkan perankepemimpinan intelektual dan politik, kebijakan Orde Baruuntuk menjinakkan Islam politik membatasi peran publik daripara intelektual Muslim. Sehingga, para intelektual (sipil) Muslimdari generasi ini tak bsa memainkan peran yang subtansialdalam politik dan birokrasi Orde Baru. Paling banter, hanya duadari mereka yang pernah menjadi menteri dalam kabinet Suharto.Karena sikap politik akomodasionisme dan perannya sebagai‘tangan-kanan’ Suharto dalam kepemimpinan Parmusi, Mintaredjadiangkat sebagai Menteri Luar Negeri (1958-1973) dan kemudian

Page 572: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

552 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

menjadi Menteri Sosial (1973-1978). Karena keahliannya dalamilmu perbandingan agama, Mukti Ali diangkat sebagai MenteriAgama (1973-1978). Sementara para intelektual Muslim lainnyahanya bisa menduduki jajaran lapis kedua atau paling banyak diposisi-posisi periferal dalam politik dan birokrasi Orde Baru.86

Di luar arena politik formal, kontribusi utama dari generasiini terhadap perkembangan inteligensia Muslim ialah usaha-usaha rintisannya dalam mendirikan dan mengembangkanperhimpunan-perhimpunan intelektual dan pelajar/mahasiswaIslam. Pada tahun-tahun awal Orde Baru, para intelektualMuslim dari generasi ini berupaya untuk memperkuat daya-tawar politik mereka lewat pengkonsolidasian Persatuan SardjanaMuslim Indonesia (Persami) yang telah didirikan pada 1964. Dibawah bayang-bayang semangat inteligensia Muslim generasiketiga, ketua organisasi ini untuk dua periode ke depan (1966-1971, 1971-1974) ialah sosok yang berasal dari periode transisi,yaitu Bintoro Tjokroamidjojo, yang bertindak sebagai jembatanantara generasi ketiga dan keempat inteligensia. Namun, adanyakonflik-konflik internal yang tajam mengancam daya tawar(bargaining power) dari organisasi ini. Para mantan anggotaHMI dan PMII dalam Persami bertengkar satu sama lain terutamadalam hal posisi kepemimpinan. Pada tahun 1968, para intelektualdari kelompok tradisional di tubuh Persami memisahkan diridan mendirikan perhimpunan sarjana tradisionalis tersendiri,yaitu Ikatan Sardjana Islam Indonesia (ISII) di bawahkepemimpinan Subchan Z.E. Namun, setelah kematian Subchanpada tahun 1970, ISII lenyap dengan cepat dari ruang publik.Sementara itu, Persami masih terus eksis hingga beberapa tahunkemudian dengan jumlah anggotanya pada tahun 1974 sekitar400 (Anwar 1995: 252).

Ideologi dan orientasi Persami dalam tingkatan tertentu

Page 573: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 553

mencerminkan kecenderungan akomodatif dari generasi ketigainteligensia Muslim dan kepetingan-kepentingan yang lebihpragmatis dari ketuanya, meski pada kenyataannya para pendukungIslam politik juga eksis dalam organisasi ini. Dengan mendudukiposisi yang relatif strategis dalam birokrasi pemerintahan, sebagaiasisten pribadi Presiden (1966-1967) dan Sekretaris Bappenas(1967-1968), Tjokroamidjojo mengarahkan Persami untukmendukung proyek modernisasi pemerintah. Dalam pandangan -nya, kaum Muslim harus melibatkan diri dan meresponslingkungan sosio-politik mereka secara dinamis agar bisamenyesuaikan diri dengan tepat terhadap perubahan yang terjadisecara terus-menerus dalam lingkungan sosio-politik. Menurutnya,agar tidak tertinggal ‘kereta’ pembangunan Orde Baru, kaumMuslim diharapkan memainkan peran aktif dalam proses itudengan menawarkan pemikiran-pemikiran dan tindakan-tindakanyang konstruktif. Selanjutnya, Persami lebih terlibat dalampersoalan-persoalan praktis ketimbang dalam persoalan-persoalanfilosofis. Pada akhir tahun 1970-an, misalnya, Persami mengadakanseminar-seminar mengenai pembangunan daerah, dan mulaimempopulerkan apa yang disebut pembangunan alternatif(Hassan 1980: 140-141; Rahardjo 1993: 23).

Dengan cara ini, Persami dan birokrat santri eselon atas yangpertama-tama dalam birokrasi Orde Baru, seperti AchmadTirtosudiro, Bustanil Arifin, Bintoro Tjokroamidjojo, DeliarNoer dan beberapa yang lainnya,87 membentuk embrio dari‘blok dalam’ kaum Muslim (dalam politik dan birokrasi OrdeBaru), yang memberi fonsasi bagi upaya saling mendekat(rapprochement) antara inteligensia Islam dan pemerintah OrdeBaru di masa depan. Selama beberapa waktu, proses ini tidakberjalan lancar karena kebijakan Orde Baru setelah 1973 menjadilebih represif dan hanya memberikan sedikit ruang bagi

Page 574: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

554 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

pengekspresian ide-ide dan identitas-identitas Islam dalam ruangpublik. Untuk menghindarkan diri dari akibat-akibat buruk yangmungkin diterima jika dianggap sebagai juru bicara bagi aspirasi-aspirasi Islam, para birokrat santri mengambil jarak dengantidak melindungi atau menjalin hubungan terbuka denganorganisi-organisasi pergerakan atau aksi-aksi kolektif Islam.Maka, setelah kematian Sekretaris Jenderalnya, Sudjoko Prasodjopada tahun 1974, Tjokroamidjojo mengundurkan diri dariPersami, dan sebagai akibatnya, Persami pun lenyap dari ruangpublik (Rahardjo, 1993: 23-24). Namun, meski Persami tak adalagi, inteligensia Islam dalam birokrasi terus mempertahankanjaringan Islam informalnya secara diam-diam, seperti lewatpertukaran informasi dan pertemuan keluarga. Hal inimemudahkan dukungan timbal balik dan mobilisasi sumberdaya, seperti dalam hal penyebaran informasi mengenai proyek-proyek tertentu atau lowongan-lowongan pekerjaan tertentudalam departemen pemerintah kepada para aktivis Islam.

Respons Intelektual dari Generasi KeempatInteligensia MuslimAdalah generasi keempat inteligensia Muslim, yang terutamaterdiri dari mereka yang lahir pada tahun 1930-an dan 1940-an, yang memberikan respons terhadap tantangan modernisasidan rasa frustasi politik Muslim dengan penuh energi dankreativitas. Hampir sama dengan generasi Salim dan Natsir,generasi ini (dalam fase pembentukannya) mengalami eksposuryang intens terhadap radikalisasi ideologis (Islam), yangdikondisikan oleh adanya perdebatan-perdebatan politik dalammedan nasional yang memicu konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan dalam dunia politik mahasiswa selama periode

Page 575: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 555

Demokrasi Terpimpin. Di sisi lain, generasi ini mengalami halyang sama dengan generasi Pane dalam hal eksposurnya yangintens terhadap ‘bahasa’ dan solidaritas kebangsaan, yangterkondisikan oleh adanya urgensi untuk membangun sebuahblok historis bersama demi menandingi kekuatan-kekuatanpolitik dan intelektual pro-kemapanan dan untuk menjatuhkanrezim Sukarno sekitar pertengahan tahun 1960-an. Namun,berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi ini jauh lebihpercaya diri secara psikologis dan intelektual, dan ini terkondisikanoleh dominannya posisi organisasi-organisasi mahasiswa Islamdalam dunia politik kemahasiswaan tahun 1960-an.

Para intelektual organik dari generasi ini sebagian besarberasal dari HMI. Pada dekade-dekade awal Orde Baru, posisiPMII dan IMM masih berada di bawah HMI. Pada saat naiknyaOrde Baru, kemunculan PMII dan IMM dalam ruang publikmasih relatif baru. Sebagai afiliat NU dan Muhammadiyah, paraintelektual PMII dan IMM juga berada di bawah bayang-bayangpara pemimpin NU dan Muhammadiyah.88 Di kemudian hari,memang muncul para intelektual muda di kalangan NU danMuhammadiyah yang akan memainkan peran-peran pentingdalam kepemimpinan intelektual dan politik dalam komunitasMuslim. Akan tetapi, para intelektual ini akan dipandangkhalayak sebagai juru bicara NU dan Muhammadiyah ketimbangsebagai juru bicara PMII dan IMM. Jadi, sepanjang dekade-dekade awal Orde Baru, HMI dengan independensinya jauhlebih unggul daripada organisasi-organisasi mahasiswa Islamyang lain dalam kemampuannya untuk melahirkan para intelektualterkemuka secara independen.

Karena kehidupan universitas pada tahun 1960-an tergangguoleh berlangsungnya sederetan demonstrasi dan keteganganmahasiswa dalam dunia politik mahasiswa, banyak aktivis HMI

Page 576: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

556 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

dari generasi ini yang baru bisa menyelesaikan pendidikantingginya pada akhir tahun 1960-an. Sementara itu, merupakankelaziman bagi para aktivis HMI pada masa itu untuk terusturut ambil bagian dalam aktivitas-aktivitas organisasi ini meskimereka tak lagi menjadi mahasiswa. Jadi, selama dekade-dekadeawal Orde Baru, sosok masa depan HMI pada khususnya daninteligensia Islam pada umumnya berada di tangan generasi ini.

Sebagai sintesis dari ketegangan internal antara yang berhaluanIslamis di satu sisi dengan solidaritas kebangsaan di sisi yanglain, HMI sebagai sebuah entitas mengalami proses moderasidalam sikap politiknya. Sebagai sebuah organisasi, HMI terusmempertahankan keseimbangan antara orientasi-orientasi Islamdan kebangsaannya. Meski begitu, individu-individu intelektualHMI terbelah secara umum menjadi dua arus utama: yangpertama, mereka yang memiliki kecenderungan pada aspirasi-aspirasi Islam politik versus mereka yang memiliki kecenderunganpada aspirasi-aspirasi politik yang lebih inklusif. Selain karenakecenderungan-kecenderungan psikologis individu, milieu danjaringan intelektual sangat menentukan kecenderungan-kecenderungan ideologis dan politik dari para intelektual HMIini.

Yang menjadi ketua HMI selama tahun-tahun awal OrdeBaru yang krusial ini ialah Nurcholish Madjid. Dia adalahseorang yang memiliki latar belakang yang unik. Dia lahir diJombang (Jawa Timur), yang merupakan benteng kalanganIslam tradisionalis, sebagai anak seorang kyai, Abdul Madjid,yang memiliki afiliasi religio-kultural dengan NU, namun secarareligio-politik tetap berafiliasi dengan Masjumi ketika NUmemisahkan diri. Latar belakang politik ayahnya itumenyulitkannya untuk belajar di sekolah tradisionalis. Jadi,setelah menyelesaikan sekolah dasarnya ditambah dua tahun

Page 577: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 557

belajar di pesantren tradisionalis, Darul ‘Ulum, pada tahun1955, dia melanjutkan studinya ke pesantren modern yangpaling terkemuka di Indonesia, yaitu pesantren Darussalam(berdiri tahun 1926), di Ponorogo (Jawa Timur), yang lebihdikenal sebagai ‘Pesantren modern Gontor’.89 Pada tahun 1961,dia pergi ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya ke IAINSyarif Hidayatullah. Di kota ini, dia mulai bertemu dengan parapemimpin reformis dan Masjumi yang berpengaruh. Yang lebihpenting, dia mendapatkan akses yang lebih besar ke literatursaintifik dan pengetahuan umum. Pertemuannya dengan paramahasiswa dari beragam universitas dan latar akademis di HMImemberinya sebuah batu uji yang akan memperkuat kapasitasintelektualnya.90

Dengan kapasitas intelektualnya serta afiliasi religio-edukasinyayang beragam, dia merupakan orang yang tepat pada saat yangtepat. Pandangannya yang luas dan non-sektarianmemungkinkannya untuk menjadi seorang pembangun jembatandalam fragmentasi internal di tubuh HMI. Dia adalah seorangpemimpin yang bertipe solidarity maker seperti Tjokroaminoto.Ide-ide Islamnya yang segar, setidaknya hingga akhir tahun1960-an, memberikan titik temu bagi rekan-rekan intelektualHMI lainnya yang memiliki kecenderungan-kecenderunganideologis yang berbeda. Kombinasi antara kualitas-kualitasintelektual dan gaya kepemimpinannya menempatkannya padasuatu posisi yang istimewa. Dia terpilih sebagai ketua HMIuntuk dua periode berturut-turut (1966-1968, 1968-1971),yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Sepanjang periode kepemimpinan Madjid, para aktivis HMImengalami semacam krisis identitas. Identifikasi HMI denganMasjumi selama masa Orde Lama berarti bahwa kebijakanpenjinakan Islam politik pada awal Orde Baru melahirkan

Page 578: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

558 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

kekecewaan yang besar. Di sisi lain, dominasi HMI di antaraorganisasi mahasiswa yang ada sejak tahun 1960-an melambungkanharapan-harapan di kalangan para anggotanya untuk bisamemainkan peranan publik yang signifikan di masa depan.Situasi yang membingungkan ini menempatkan para aktivisHMI dalam posisi limbo, antara kembali ke proyek ‘Islamisasi’dunia politik-cum-inteligensia yang belum tuntas ataukah beralihke proyek liberalisasi pemikiran dan aksi politik Islam.

Berhadapan dengan pilihan-pilihan ini, generasi ini terdoronguntuk mengembangkan sebuah wacana tentang beberapa isukrusial mengenai sosok masa depan Islam dan historisitas HMI.Secara eksternal, muncul tuntutan untuk melahirkan respon-respons yang strategis dan tepat terhadap tantangan modernisasidan pemarjinalan Islam politik. Pada saat yang sama, dituntutpula adanya respons terhadap dilema antara apakah mendukung‘integrasi ummat’ ataukah mendukung agenda liberalisasipemikiran Islam yang dikenal sebagai ‘gerakan pembaharuan’.Secara internal, HMI harus memilih apakah tetap independensecara politik ataukah berada di pihak organisasi-organisasisosial-politik Islam, dan apakah menjadi organisasi kader ataukahorganisasi massa.

Pada awalnya, reaksi umum dari para intelektual HMIterhadap proyek modernisasi Orde Baru bersikap defensif.Modernisasi dianggap sebagai sebuah dalih bagi proses westernisasidimana di dalamnya terkandung proses sekularisme yangberbahaya. Dalam perkembangan lebih jauh, muncul tiga jenisrespon: liberal, reaksioner (Islamis), dan moderat (moderat-reaksioner).

respons liberal yang pertama-tama datang dari lingkaranaktivias HMI di cabang Yogyakarta, yang kadangkala disebut

Page 579: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 559

sebagai Kelompok Yogya. Cabang ini pernah mendukung Manipol-USDEK selama periode Demokrasi Terpimpin. Di antara paraintelektual terkemuka dari kelompok ini ialah Djohan Effendi,Ahmad Wahib dan Dawam Rahardjo. Pemikiran Djohan danWahib termasuk liberal-jauh (far liberal), sementara pemikiranDawam bisa dianggap sebagai liberal-tengah (centre liberal).91

Di luar HMI, komunitas epistemik lainnya yang mempengaruhiperkembangan intelektual dari para intelektual muda ini ialahsebuah kelompok studi yang dikenal sebagai ‘Limited Group’.Kelompok ini mulai hidup sejak tahun 1967 sampai dengan1971 dengan Prof. Mukti Ali sebagai mentornya, yakni seorangdosen IAIN Yogyakarta yang berpendidikan Barat yangmengajarkan kepada mereka keahliannya dalam ilmu perbandinganagama dan pemikiran Islam modern. Dalam kasus Ahmad Wahib,dia memiliki hubungan emosional dan intelektual yang kuatdengan beberapa pastor Katolik karena dia pernah menghabiskanwaktu beberapa tahun tinggal di asrama mahasiswa Katolik,yaitu Realino. Bagi kelompok ini, modernisasi pertama-tamadisambut baik; lantas kemudian dianggap sebagai keharusanbagi kaum Muslim Indonesia, bahkan meskipun proses itumungkin mengarah pada Westernisasi (Wahib 1981: 40, 149).

Respons Islamis-reaksioner terutama datang dari para aktivisLembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI – HMI). Didirikanpada 1966, Ketua pertama lembaga ini ialah ImaduddinAbdulrahim dengan dibantu oleh Endang Saifuddin Anshari(keduanya berasal dari HMI Cabang Bandung), dan MiftahFaridl (dari Cabang Solo). Karena kantor pusatnya berada diBandung, kelompok intelektual yang memiliki hubungan denganlembaga ini seringkali disebut sebagai Kelompok Bandung.Selama periode demokrasi terpimpin, HMI Cabang Bandungmenjadi penentang kuat Manipol-USDEK. Sikap umum dari

Page 580: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

560 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

kelompok ini terhadap proyek modernisasi cenderung reaksionerdan curiga, baik karena alasan semantik maupun politik.Kelompok ini tidak berkeberatan dengan rasionalisme modern,sains dan teknologi, karena antara doktrin Islam dan penemuansaintifik, menurut standar argumen dari kelompok Islamis ini,tidaklah bertentangan, melainkan malah komplementer. Hanyasaja, kelompok ini berkeberatan dengan istilah ‘modernisasi’karena istilah itu dianggap sangat berhubungan dengan prosesWesternisasi dan sekularisasi, dan pengadopsiannya oleh rezimOrde Baru dicurigai sebagai dalih untuk memarjinalkan pengaruhIslam politik.

Bahwa pandangan-pandangan dari kelompok ini menggemakanpandangan dari para pemimpin Masjumi, hal ini tidaklah terlalumengejutkan. Para pemimpin LDMI, terutama Imaduddin danEndang, memang memelihara hubungan emosional dan intelektualyang erat dengan para pemimpin Masjumi dan DDII. Ayah darikedua orang itu (yaitu Abdulrahim dan Muhammad Isa Anshari)berasal masing-masing dari Langkat (Sumatra Timur) dan SumatraBarat. Abdulrahim adalah seorang lulusan Al-Azhar dan merupakanseorang pemimpin lokal Masjumi di Sumatra. Sedangkan IsaAnshari, setelah pindah ke Bandung, merupakan seorangpemimpin Masjumi dan Persis yang terkemuka dan militan.Selain itu, baik Imaduddin maupun Endang dididik oleh guruagama yang sama, yaitu Rusjad Nurdin (seorang pemimpinPersis dan Masjumi). Sebagai seorang anak pemimpin Persis,Endang memiliki hubungan yang lama dengan Nurdin, sementaraImaduddin memiliki hubungan dekat dengan Nurdin setelahNurdin menjadi seorang dosen Studi Islam di ITB pada tahun1962.92 Jadi, secara etnik, ideologi, maupun intelektual, baikImaduddin dan Endang memiliki kecenderungan untukmengidentifikasikan diri dengan Natsir.93 Lebih dari itu, keduanya

Page 581: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 561

juga termasuk dalam sebuah kelompok intelektual muda yangpernah mendapatkan pelatihan dari DDII sejak akhir tahun1960-an untuk menjadi pendakwah Islam bagi komunitas Muslimdi universitas-universitas sekuler.

Kelompok moderat, yang cenderung mendukung pandanganreaksioner dan karena itu bisa secara tepat disebut sebagaimoderat-reaksioner (moderat-Islamis), menerima modernisasidengan syarat. Pandangan ini direpresentasikan oleh sikap umumdari Pengurus Pusat (PB) HMI di Jakarta. Sebagai suatu kelompokdengan kecenderungan ideologis yang berspektrum luas, PBberada dalam situasi di tengah-tengah perang antara porosJakarta-Bandung versus poros Jakarta-Yogyakarta. Poros yangpertama disebut Madjid sebagai ‘jalur politik’, sementara porosyang kedua, disebutnya sebagai ‘jalur ide’. Madjid sendiri padamulanya memiliki kecenderungan moderat-reaksioner.

Pada tahun 1968, Madjid menulis seri artikel yang berjudul‘Modernisasi ialah Rasionalisasi,Bukan Westernisasi’ yang dimuatdi majalah Pandji Masyarakat94 dan Liga Demokrasi. Menurutnya,definisi modernisasi secara sederhana adalah ‘yang identik, atauhampir identik, dengan rasionalisasi’ dan jika istilah itudidefinisikan secara demikian, modernisasi bagi seorang Muslimadalah sebuah keharusan. Meski demikian, dia kemudianmengingatkan bahwa ada kemungkinan adanya sekularisme(termasuk humanisme, liberalisme, dan komunisme) danWesternisasi yang bersembunyi di balik seruan ‘modernisasi’ ini.Dalam pandangannya, sekularisme harus dilawan karena hal ituakan menghancurkan dasar agama dari negara Indonesia. Padasaat yang sama, dia menekankan pada pentingnya ideologi danketakterelakkan agama sebagai syarat bagi terarahnya kehidupannasional. Modernisasi dalam konteks Indonesia, menurutnya,tidak boleh mengakibatkan berakhirnya ideologi, karena kehidupan

Page 582: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

562 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

tak mungkin berjalan baik tanpa seperangkat kepercayaan, ide,sikap dan keyakinan. Yang terakhir, dia mengingatkan akanbahaya agenda tersembunyi yang dikembangkan oleh beberapaelit Indonesia yang kebarat-baratan yang sangat tidak sukadengan segala sesuatu yang bernada Islam. Sehingga, merekaakan mengarahkan modernisasi ke arah Westernisasi sesuaidengan semangat ‘Snouckisme’95 untuk memarjinalkan aspirasi-aspirasi politik Islam. Dia kemudian menyimpulkan:

Seseorang yang cukup berani untuk jujur dengan dirinya sendiriakan melihat bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami kinidisebabkan fakta bahwa kelompok-kelompok minoritas yangmemperoleh dukungan kecil dari rakyat memainkan suatu peranyang begitu besar, sedangkan kelompok mayoritas terhalangiuntuk memainkan peran mereka secara menentukan. Perananyang dimainkan itu tidak ada hubungannya dengan kedudukanmayoritasnya.96

Karena artikelnya yang memperlihatkan dukungan Madjidterhadap aspirasi-aspirasi politik Islam, dengan segera dia digelaridengan sebutan ‘Natsir Muda’.97

Ketika Orde Baru menolak rehabilitasi Masjumi, para intelektualHMI pada mulanya menjadi sangat kecewa. Kemudian, kelompokliberal mulai menganut anggapan bahwa komitmen HMI dankaum Muslim secara umum seharusnya bukanlah kepadaorganisasi-organisasi atau para pemimpin Islam, namun lebihkepada nilai-nilai Islam. Dalam pandangan mereka, Islam sendiritak harus diperlakukan sebagai sebuah ideologi, namun lebihsebagai sebuah sumber bagi ajaran-akaran moral dan etika yanguniversal. Bagi kelompok ini, tuntutan formal tentang adanyasebuah partai Islam atau negara Islam, bukan saja tak perlu,

Page 583: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 563

namun juga keliru. Dengan pemikiran demikian, kelompok inimelangkah lebih jauh dengan mendukung Pancasila sebagaiprinsip negara.

Di sisi lain, kelompok Islamis terus sibuk dengan argumen-argumen apologetik bahwa Islam bukan hanya sebuah agama,namun juga merupakan pandangan dunia yang lengkap, danbahwa dalam Islam, tak ada pemisahan antara kehidupan agamadan kehidupan politik. Karena Orde Baru melakukan represiterhadap Islam politik, para intelektual kelompok ini mencobamenemukan cara-cara lain untuk mensosialisasikan aspirasi-aspirasi politik Islam.

Kelompok moderat berusaha untuk meninggalkan argumen-argumen apologetik itu lewat kesediaannya untuk mengeritikargumen-argumen Islam yang standar serta kelemahan yangdimiliki oleh ummat Muslim. Namun kelompok ini masihmenganggap Islam sebagai sebuah sistem ideo-politik. Madjid,misalnya dalam periode kepemimpinannya yang pertama,mengkritik pemakaian buku karya Tjokroaminoto, yaitu Islamand Socialism, oleh HMI dalam latihan kadernya karenakecenderungan apologetiknya. Pada saat yang bersamaan, diamenulis sebuah buku panduan yang terkenal untuk tujuan-tujuan latihan kader HMI, yang berjudul Islamisme, yang tetapmenampilkan Islam sebagai sebuah ideologi alternatif buatkomunisme, kapitalisme dan ideologi-ideologi sekuler lainnya(Malik & Ibrahim 1998: 125; Wahib, 1981: 156).

Mengenai integrasi ummat, para intelektual HMI padaawalnya memandang isu ini sebagai perhatian utama. KongresHMI kedelapan di Solo (10-17 September 1966) mendukungide Kongres Umat Islam. Kelompok liberal kemudian lebihmenyukai agenda gerakan pembaharuan Islam, bahkan meskipun

Page 584: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

564 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

dengan memprioritaskan agenda ini akan berarti menyebabkanterciptanya ketegangan hubungan dengan ummat. Bagi kelompokini, problem utama bagi kaum Muslim Indonesia bukanlahperpecahan Islam, akan tetapi kemandegan pemikiran Islam.Namun, bagi kelompok Islamis, perselisihan-perselisihan dikalangan internal ummat merupakan akar dari ketidakberdayaankaum Muslim, dan oleh karenanya, mempertahankan solidaritasIslam dianggap jauh lebih penting daripada petualangan intelektualyang hanya memuaskan diri sendiri. Bagi kelompok moderat,rekonstruksi pemikiran Islam itu penting, namun tidak perlumembawa risiko terciptanya ketegangan hubungan denganummat dan organisasi-organisasi Islam lainnya.

Meskipun terdapat tekanan-tekanan (politik) yang bersifateksternal yang dilakukan oleh rezim Orde Baru, terdapatperkembangan internal yang positif yang membantu meningkatkanrasa percaya diri dan ekspektasi para anggota HMI. Penguatanpengaruh inteligensia muda Islam sejak Orde Lama justrusemakin meningkat setelah berlangsungnya peralihan kekuasaanke Orde Baru. Di tengah tenggelamnya gerakan-gerakan kiri,muncul peningkatan dalam ketertarikan mahasiswa untuk belajarIslam dan bergabung dengan organisasi-organisasi mahasiswaIslam. Pada saat yang sama, pengajaran agama di sekolah-sekolah dan universitas-universitas sekuler diwajibkan. Sebagaihasilnya, di basis-basis mahasiswa-mahasiswa sekuler sepertiITB, misalnya, di mana para mahasiswa yang menjalankan shalatJum’at di masa lalu digelari sebutan ‘Onta Arab’, saat sekarangbanyak mahasiswanya yang mulai berpaling ke Islam.98

Meningkatnya ketertarikan terhadap studi-studi, praktik-praktik dan organisasi-organisasi Islam (selanjutnya disebut‘Islamic turn’) mendapatkan reaksi yang berbeda-beda dari paraintelektual HMI. Bagi kelompok liberal, fenomena ‘Islam turn’

Page 585: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 565

merupakan sebuah momentum untuk mengakhiri obsesi-obsesitentang pencapaian-pencapaian Islam yang formal dan kuantitatif.HMI, menurut pandangan ini, harus menjadi sebuah organisasiyang independen dan mengambil jarak dari organisasi-organisasiIslam. Selain itu, karena kelompok ini percaya bahwa yangmenjadi kebutuhuan mendesak ialah pembaharuan pemikiranIslam, muncul argumen bahwa HMI harus menempatkan dirinyasebagai inkubator minoritas kreatif ketimbang sebagai sebuahorganisasi massa. Sebaliknya, para intelektual Islam yangberorientasi dakwah berpandangan bahwa peningkatanketertarikan mahasiswa terhadap Islam ini sebagai kesempatanbagus untuk membawa orang-orang terdidik itu ke ‘rumah’Islam. Bagi kelompok ini, HMI harus meningkatkan upaya-upaya dakwahnya sehingga bisa mencapai khalayak yang lebihluas. Di mata kelompok ini, mengajak para musafir baru untukmasuk ke dalam kelompok-kelompok aksi Islam merupakansesuatu yang paling penting untuk memperkuat kesadaran sosio-politik Islamnya. Untuk memberikan respons lebih baik terhadaptantangan ini, HMI, menurut pandangan ini, harusmempertahankan jaringannya dengan organisasi-organisasi Islamyang lain.99 Para anggota kelompok moderat sepakat dengan idebahwa HMI harus menempatkan dirinya secara independendan menajdi organisasi kader, namun hal itu tidak berartisepenuhnya menjauhkan diri dari organisasi-organisasi Islamyang lain dan mengakhiri usaha-usaha dakwahnya.100

Permainan-Permainan Kuasa: Konsolidasidan KontestasiPerselisihan internal di kalangan para intelektual HMI mencapaiklimaksnya menyusul adanya pendalaman afinitas dari para

Page 586: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

566 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

intelektual-beorientasi-dakwah dengan DDII, dan terjadinyaperubahan haluan dari orientasi intelektual Madjid.

Afinitas para intelektual-berorientasi-dakwah di tubuh HMIdengan DDII terutama diperkuat oleh adanya kepedulian yangsama mengenai tantangan yang dihadapi oleh gerakan dakwah.Dalam merespons fenomena ‘Islamic turn’, pada akhir tahun1960-an, telah muncul embrio-embrio dari gerakan masjid dimilieu universitas-universitas sekuler. Pada saat yang bersamaan,ketika pelajaran agama menjadi diwajibkan, muncul permintaanyang besar jumlahnya akan dosen agama di universitas-universitassekuler. Sudah sejak tahun 1968, Imaduddin, misalnya, dimintaoleh ITB untuk menjadi pengajar agama, meskipun latar belakangakademisnya adalah teknik elektro. Untuk menjawab situasitersebut, pada akhir tahun 1967, DDII mulai mempromosikanpendirian masjid-masjid kampus di Bandung, Semarang,Yogyakarta, Medan dan Makssar. DDII tidak hanya memberikanmotivasi, namun juga bantuan dana. Pada saat yang sama, jugadimulai rekrutmen para intelektual berorientasi dakwah dariberagam latar belakang universitas sekuler (kebanyakan mantanaktivis HMI/PII) untuk dididik menjadi dosen agama dan mentorgerakan masjid.101

Latihan kader dari gerakan dakwah ini sebagian besardilakukan di Jakarta dengan markas besarnya di asrama PanitiaHaji Indonesia (PHI) di Kwitang (Jakarta Pusat). Para trainerintinya adalah para intelektual DDII seperti Mohammad Natsir,Prawoto Mangkusasmita, M. Rasjidi, dan Osman Raliby. Selainstudi mendalam tentang beragam aspek Islam dan pengajaranIslam, kelompok dakwah ini, yang kadangkala disebut sebagaikelompok PHI, berusaha untuk menstandarisasi isi dari pelajaranagama di universitas-universitas dengan nama ‘Islam untukDisiplin Ilmu’ (IDI). Usaha ini mendapatkan dukungan resmi

Page 587: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 567

dari Menteri Agama selama periode Alamsjah Prawiranegara(1978-1983), namun kemudian dikesampingkan oleh penerusnya,Munawir Sjadzali, yang tidak menyukai formalisasi Islam.102 IDIdalam kenyataannya merupakan ancangan bagi proyek ambisiusuntuk Islamisasi ilmu pengetahuan yang akan menjadi temapenting Islam dalam tahun-tahun berikutnya. Jaringan intelektualmuda- berorientasi-dakwah dengan kelompok DDII menjadisaluran bagi transmisi ide-ide historis Islam dan dorongan bagigerakan masjid yang semakin terlihat nyata sejak awal 1970-an.

Sampai dengan akhir tahun 1960-an, para intelektual-berorientasi-dakwah juga diuntungkan oleh kecenderunganMadjid sebagai ketua HMI untuk bersikap simpatik terhadapide-ide kelompok Islamis. Madjid pada awalnya memang memilikipandangan-pandangan yang serupa dengan kelompok Bandungdalam penentangannya terhadap ide-ide pro-Manipol dan pro-ide-ide liberal dari kelompok Yogyakarta. Dia sangat dikagumioleh kelompok dakwah sehingga sampai-sampai Imaduddinmemberi nama anaknya, Nurcholish. Namun, kelak Madjidmengabil jarak dari kelompok Islamis (dakwah) ini.

Pergeseran pemikiran Madjid ke arah pemikiran Islam yangliberal ini sebagian merupakan hasil dari dinamika diri danlingkungan intelektualnya. Seperti yang dikatakan Wahib (1981:160-161): ‘Nurcholish Madjid adalah orang yang senang belajardan membaca. Buku adalah pacarnya yang pertama. Walau diasudah merasa benar tapi karena kesediaannya untuk senantiasabelajar, memaksanya lama-lama untuk mempersoalkan kembaliapa yang telah diyakininya’. Karena hobi membacanya, kataWahib, Madjid adalah orang yang cukup punya peralatan ilmusehingga dengan suatu sikap perubahan mental saja dia sudahsanggup meloncat jauh ke depan mengejar ketinggalan-ketinggalannya (h. 163). Madjid juga merupakan seorang individu

Page 588: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

568 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

independen yang tidak memiliki mentor khusus.103 Bagi seorangmahasiswa IAIN, menjadi ketua HMI merupakan sesuatu yangsangat tak lazim dan ini juga mencerminkan kekuatan pribadinya.Madjid juga menunjukkan kecenderungan kuat di kalangan paramahasiswa IAIN dan pesantren tradisional untuk tidak terlaluradikal dan sangat mendambakan melek pengetahuan saintifikBarat dan bahasa ‘wacana intelektual’ modern.

Namun, impetus utama bagi pergeserannya ke pemikiranliberal ialah pertemuannya secara langsung dengan dunia Barat.Pada bulan Oktober 1968, dia diundang untuk mengunjungiAmerika Serikat oleh Departemen Luar Negeri PemerintahAmerika Serikat di bawah sponsor Council for Leaders andSpecialists (CLS). Alasan di balik undangan ini, menurut seorangpejabat Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, ialah ‘sekedarmemperlihatkan apa yang dia benci selama ini’ (Wahib 1981:161). Selama dua bulan perjalanannya di Amerika, dia mengunjungiuniversitas-universitas dan belajar tentang kehidupan akademisdari para mahasiswa, mengikuti seminar-seminar dan diskusi-diskusi dengan beberapa tokoh akademis dan politik, danmenyaksikan langung prestasi-prestasi peradaban Barat. Diajuga berkesempatan untuk menemui kompatriotnya, seorangintelektual sosialis yang berpengaruh, Soedjatmoko, yang saatitu menjadi Duta Besar Indonesia di AS, yang menyambutkunjungannya dengan ramah. Segera setelah itu, dia melanjutkanperjalanannya ke Prancis, Turki, Lebanon, Syria, Irak, Kuwait,Saudi Arabia, Sudan, Mesir dan Pakistan. Selanjutnya padabulan Maret 1969, atas undangan Raja Faisal dari Saudi Arabia,dia naik haji bersama dengan 10 fungsionaris HMI lainnya. Saatberefleksi atas kunjungannya baik ke dunia Barat maupun kedunia Islam, dia menjadi sadar akan adanya jarak antara ide-ideIslam dengan realitas kehidupan di dunia Muslim. Di sisi lain,

Page 589: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 569

Barat yang telah sedemikian banyak dikritiknya, menunjukkanbanyak dimensi dan prestasi positif. Sejak saat itu, ‘mulai terlihatperubahan-perubahan arah pikiran Nurcholish. Dia mulai tertarikpada segi-segi baik dari humanisme yang sebelumnya dicapnyasebagai agama baru’ (Wahib 1981: 161).

Perubahan mental Madjid mulai terjadi, meski tidak berlangsungsecara radikal dan serta-merta. Selama beberapa waktu, wawasanbarunya itu tertimbun di bawah endapan tebal dari pemikiranintelektualnya yang telah mapan sebagaimana yang diuraikannyadalam karyanya, Islamisme. Pemikiraran-pemikirannya sepertidiuraikan dalam Islamisme, berkombinasi dengan wawasanbarunya serta ide-ide para intelektual HMI lainnya, tersintesiskanselama dan setelah berlangsungnya Kongres HMI kesembilan diMalang (3-10 Mei 1969), dan menjadi rumusan dan panduanbaru bagi ideologi HMI, yang dikenal sebagai Nilai-nilai DasarPerjuangan (NDP).104 Di antara isinya, NDP ini menekankantentang betapa sentralnya doktrin tauhid sebagai panduan utamabagi perjuangan Islam. Bagi HMI sendiri secara khusus, NDPitu memberikan penegasan terhadap kebutuhan untukmempertahankan integrasi dan koherensi antara iman, ilmudan amal, serta antara orientasi Islam dengan kebangsaan.105

Bulan-bulan berikutnya di tahun 1969 merupakan bulan-bulan yang kritis bagi pemikiran Madjid mengenai liberalismeIslam. Dia masih terus melakukan refleksi diri, apakah akanberpihak kepada usaha integrasi ummat ataukah terlibat dalamgerakan pembaharuan. Sebuah faktor yang berpengaruh dalamlangkahnya menuju gerakan pembaharuan datang dari diskusi-diskusi kelompok kecil secara informal, yang diikuti oleh rekan-rekan terdekatnya. Salah seorang tokoh kunci yang terlibatdalam proses ini adalah Utomo Dananjaya. Dia adalah seorangpemimpin PII (1967-1969) yang moderat dan menjadi seorang

Page 590: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

570 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

sahabat dekat Madjid. Pada tahun 1969 itu, Utomo mengaktifkankembali tradisi mengundang ketua HMI (pada saat itu Madjid)untuk memberikan ceramah di hadapan Kongres Nasional PII(yang diadakan di Bandung pada tahun itu). Pada tahun yangsama, pada saat acara halal bihalal setelah ‘Idul Fitri, Utomomengadakan sebuah diskusi dengan tema ‘Integrasi UmmatIslam’ yang diikuti oleh Subchan Z.E. (dari NU), H.M. Rasjidi(dari Muhammadiyah), Anwar Tjokroaminoto (dari PSII), danRusli Khalil (dari Perti). Namun, setelah diskusi itu, Dananjayamenangkap kesan bahwa agenda integrasi belum diterima denganbaik. Maka, dia pun mulai mengadakan diskusi-diskusi kelompokkecil, yang melibatkan rekan-rekan terdekatnya: seperti NurcholishMadjid (dari HMI), Usep Fathuddin (dari PII), dan Anwar Saleh(dari GPII), untuk memecahkan dilema apakah mendukungtujuan integrasi yang tak praktis ataukah berpihak kepadagerakan pembaharuan yang bisa menciptakan perpecahan.

Selain diskusi-diskusi kelompok kecil, Madjid juga mengadakandiskusi-diskusi dengan para pemimpin Masjumi seperti PrawotoMangkusasmita, Mohamad Roem, dan Osman Raliby, dan darimereka, dia mendapat kesan bahwa orang-orang ini tidak benar-benar menganggap ide mengenai negara Islam sebagai hargamati atau prioritas yang mendesak. Dalam pandangannya:‘Mereka memang memiliki sebuah ide mengenai bagaimanakira-kira negara Islam, namun hal itu harus dicapai lewatmekanisme-mekanisme demokratis. Bahkan seorang sepertiRoem tidak mencita-citakan negara Islam, meskipun dia tetapsimpati dengan para pendukung cita-cita itu’.106

Meskipun diskusi-diskusi kelompok kecil itu tidak mencapaihasil konklusif apapun, diskusi-diskusi tersebut cukup memberikaninspirasi baru bagi para pesertanya. Sudah sejak akhir November1969, Madjid menulis surat-surat pribadi kepada Ahmad Wahib

Page 591: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 571

dan Djohan Effendi, dua tokoh utama pemikiran liberal yangtelah mengundurkan diri dari HMI pada tanggal 30 Septemberdan 10 Oktober 1969, karena ketidaksepakatannya dengankelompok Islamis dalam tubuh HMI. Dalam suratnya, diamenyatakan kesepakatannya dengan ide-ide pokok dari keduaindividu tersebut, namun juga meminta pengertian merekatentang sulitnya mengimplementasikan ide-ide semacam itu diHMI (Wahib 1981: 165-166). Kemudian, dalam persiapan acarahalal bihalal setelah ‘Idul fitri pada tahun 1970, yang diorganisirbersama oleh empat organisasi mahasiswa-pelajar dan sarjanaMuslim, yaitu HMI, GPI, PII, dan Persami, pihak panitia yangantara lain terdiri dari para peserta diskusi kelompok keciltersebut, sepakat untuk memilih ‘pembaharuan pemikiran danintegrasi’ sebagai tema diskusi silaturahmi. Tujuan awal pemilihantema tersebut sekadar untuk menstimulus diskusi danmenggarisbawahi keinginan dari pemimpin kelompok-kelompokpemuda Muslim tersebut untuk menemukan solusi bagi problem-problem ummat yang sangat berat. Awalnya, intelektual yangdiundang untuk memberikan ceramah pada kesempatan ituadalah Alfian (seorang intelektual Muslim dari Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia). Namun dia berhalangan hadir. Karenaitu, Harun Nasution (seorang sarjana Islam yang rasionalis dariIAIN) dipilih sebagai pengantinya. Ternyata, Nasution jugaberhalangan. Akhirnya, Madjid ditunjuk sebagai pembicara dan‘selanjutnya adalah sejarah’.107

Dalam acara halal bihalal itu, yang diadakan pada tanggal 3Januari 1970, Madjid mempresentasikan sebuah makalah berjudul‘Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah IntegrasiUmmat’. Dalam ceramah itu, dia menjelaskan bahwa dalampandangannya, agenda integrasi merupakan pendekatan yangtak praktis. Struktur peluang politik Orde Baru mengharuskan

Page 592: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

572 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

adanya perubahan dalam kondisi perilaku dan emosional ummatMuslim, sementara pendekatan integrasi yang bersifat idealistikhanya akan mengabadikan kemandulan dan kejumudan intelektualdalam ummat. Dia percaya bahwa hilangnya apa yang dia sebutsebagai ‘psychological striking force’ dari diri ummat Muslimtelah menyebabkan ‘kemunduran 25 tahun’ bagi ummat, danhal ini terlalu kompleks untuk diselesaikan lewat sebuahpendekatan berorientasi integrasi. Maka, dia menganggap agendapembaharuan pemikiran Islam sebagai obat bagai malaise yangdialami ummat. Isu-isu kontroversial dari agenda ini mungkinakan menghalangi usaha-usaha untuk menciptakan integrasi,namun dalam penilaiannya, risiko tersebut memang pantasuntuk ditanggung. Bahkan meskipun proyek tersebut gagaluntuk melahirkan hasil seperti yang diharapkan, proyek tersebutmasih berguna paling tidak sebagai upaya untuk menyingkirkanbeban kejumudan intelektual. Ditambahkannya, proyek inimenjadi lebih mendesak lagi jika dipertimbangkan adanyakenyataan bahwa organisasi-organisasi Islam reformis yangmapan, seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan yanglainnya, telah kehilangan semangat pembaharuan dan élan vital-nya sehingga menyebabkan mereka menjadi tak ada bedanyadengan, dan bahkan kalah progresif dari, organisasi-organisasiMuslim tradisionalis.

Saat menjelaskan garis besar pemikirannya mengenai‘pembaharuan’, Madjid sampai pada sebuah poin yang krusial.Dia yakin bahwa proses pembaharuan ini haruslah dimulaidengan membebaskan ummat dari ‘nilai-nilai tradisional’-nyadan menggantinya dengan ‘nilai-nilai yang berorientasi masadepan’. Menurutnya, proses pembebasan ini mengharuskanummat untul mengadopsi ‘sekularisasi’, mempromosikan kebebasanintelektual, menjalankan ‘ide tentang kemajuan’ (idea of progress),

Page 593: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 573

dan mengembangkan sikap-sikap terbuka. Apa yang dia maksudkandengan istilah ‘sekularisasi’ di sini tidaklah identik dengansekularisme karena sekularisme itu, dalam pandangannya, sangatasing bagi pandangan dunia Islam. Madjid meminjam penafsiranseorang teolog Kristen, Harvey Cox, dan seorang sosiologAmerika, Robert N. Bellah, bahwa yang dimaksud dengansekularisasi itu ialah proses temporalisasi terhadap nilai-nilaiyang memang temporal, namun yang cenderung dianggap ummatsebagai bersifat ukhrawi. Istilah ini juga bermakna ‘desakralisasi’atas segala sesuatu yang selain dari yang benar-benar transendental.Yang terakhir namun juga penting, dalam merespons kianmeningkatnya ketertarikan orang terhadap Islam di satu sisi danmandulnya Islam politik di sisi lain, dia sampai pada kesimpulanbahwa bagi banyak Muslim pada saat itu: ‘Islam, yes; partaiIslam, No!’

Keberanian Madjid dalam mengambil langkah yang takpopuler dengan mengutamakan gerakan pembaharuan, meskipunberisiko mengundang kritik luas, merupakan sebuah momenmenentukan bagi penasbihannya sebagai seorang intelektualgarda depan. Seperti yang dijelaskan Max Weber: ‘Para intelektualseringkali berhadapan dengan dilema antara memilih integritasintelektual atau kontingensi-kontingensi ekstra-intelektual, antaraarus ide yang rasional atau kejumudan dogmatik. Setiap keputusanyang memilih pilihan kedua akan berarti melakukan ‘pengorbananintelek’’.108 Ambivalensi yang secara tipikal muncul dari posisiseperti itu, diuraikan oleh Bernhard Giesen sebagai berikut(1998: 43):

Para intelektual mengeluhkan tidak adanya pemahaman daripublik yang memang tak paham, tak memiliki kesanggupanuntuk paham, atau bahkan bersikap memusuhi, interpretasi-

Page 594: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

574 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

interpretasi para intelektual itu. Di sisi lain, persis karena adanyapenolakan oleh publik itulah, secara khas tercipta keteganganyang bisa dimaknai sebagai keunggulan interpretatif dariintelektual garda depan. Dalam keluhannya atas publik itulah,intelektual mulai mengkonstruksi struktur dasar yang di dalamnyadia bisa mencapai hal luar biasa sebagai intelektual. Sebaliknya,pengadopsian interpretasi-interpretasi intelektual oleh khalayakluas selalu menimbulkan bahaya berupa pudarnya seorangintelektual.

Dengan memprioritaskan ide-ide di atas opini publik, Madjidcenderung bersikap abai terhadap implikasi-implikasi sosial daripertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataankontemplatifnya. Hal ini terutama berlaku dalam pernyataankrusialnya mengenai keharusan ‘sekularisasi’. Apapun definisinyamengenai sekularisasi, suatu bahasa atau terminologi tidaklahbisa beroperasi secara terisolasi dan tak bisa mengelak darisejarah. Makna selalu terkonstruksi dalam konteks sosial danhistoris, dan dalam proses itu, institusi-institusi dan pergulatansosial terlibat. Seperti yang diargumentasikan oleh Jay L. Lemke(1995: 9): ‘Semua makna tercipta dalam masyarakat, dan karenaitu analisis terhadap makna tak bisa dilepaskan dari dimensi-dimensi sosial, historis, kultural dan politik dari masyarakatini’. Dalam struktur kognitif kaum Muslim Indonesia, istilah‘sekuler’ dan derivasinya memiliki sebuah konotasi yang negatifsebagai penanda dari ‘kelianan’ (otherness). Istilah itu umumnyadiasosiasikan dengan penyingkiran pengaruh agama dari ruangpublik dan politik—yang dianggap asing bagi pandangan duniaIslam—dengan referensi khusus pada kebijakan kolonial Belandayang represif di bawah pengaruh Snouck Hurgronje untukmemarjinalkan Islam politik. Keberatan-keberatan yang diajukan

Page 595: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 575

kaum Muslim terhadap istilah tersebut, diperparah denganperujukan-perujukan yang terlalu sering yang dilakukan Madjidke sumber-sumber akademis Barat, sehingga semakin memperkuatrasa keasingan dan kelianan dari istilah tersebut.

Karena alasan-alasan yang sama, pernyataan Madjid mengenai‘Islam yes; partai Islam: no!’ juga disalahpahami. Seperti halnyapernyataan Tjokroaminoto di hadapan kongres Sarekat Islam diSurakarta pada tahun 1931 bahwa ‘SI bukan sebuah partaipolitik, dan bukan sebuah organisasi yang menginginkan suaturevolusi, namun merupakan sebuah organisasi yang loyal kepadapemerintah,’ pernyataan Madjid itu pada hakekatnya tidakkosong dari maksud politik. Pernyataan itu bisa dianggap sebagaisuatu strategi politik dalam selubung pendekatan non-politik.Jadi, dalam ketidakberdayaan Islam politik, kaum Muslim harusmencari cara-cara lain untuk bisa bertahan hidup. Namun, sekalilagi karena pernyataan itu dianggap sebagai bagian dan paketdari pernyataannya mengenai sekularisasi, para kritikusnya takbisa membaca nuansa-nuansa dari pernyataan tersebut.

Perbenturan antara ‘visi’ dan ‘tradisi’ berlangsung di seputardua poin krusial dalam pemikiran Madjid tersebut, yangmenimbulkan perdebatan-perbedatan intelektual yang melelahkanuntuk beberapa tahun ke depan. Perdebatan menyita banyakwaktu itu telah terperangkap pada persoalan semantik, dangagal membicarakan isu-isu yang substansial. Skala kontroversidan kesungguhan visi Madjid menjadi semakin meluas dan kuatkarena intensitas dan densitas liputan media, terutama olehmajalah Tempo dan Pandji Masyarakat yang menjadi inisiatorutama dari polemik ini. Dipacu oleh liputan media, elemen-elemen reaksioner dari kaum Muslim, baik dari generasi-generasiyang tua maupun muda dari kalangan intelektual Muslim, sepertiH.M. Rasjidi (seorang pemimpin Masjumi/DDII), Abdul Qadir

Page 596: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

576 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Jaelani (seorang pemimpin PII yang militan), dan EndangSaifuddin Anshari (seorang intelektual HMI yang berorientasidakwah) mulai melancarkan serangan-serangan kritik yangpedas. Di antara serangan-serangannya, Rasjidi mengeritikpandangan sekularisasi Madjid sebagai sebuah interpretasi yangsemena-mena karena istilah tersebut telah memiliki makna yangbaku. Rasjidi juga menegaskan bahwa Madjid telah mengabaikanfakta bahwa proses sekularisasi pada gilirannya akan mengarahpada sekularisme. Mendukung kritik Rasjidi, para pesertapolemik yang lain berkeberatan dengan apa yang mereka tangkapsebagai penolakan Madjid terhadap politik Islam. Mereka inimenyakini bahwa ‘Islam, yes: partai Islam, yes!’

Polemik dan kategorisasi yang dilakukan oleh media atauoleh para pengamat seringkali mendorong para peserta polemikuntuk berpegang teguh pada suatu posisi pemikiran intelektualtertentu, kendatipun sebelumnya bolehjadi mereka masih memilikikeraguan tentang hal itu. Meskipun niat awal dari ceramahMadjid hanyalah untuk menstimulus diskusi, efek dari kritikyang memusuhi dan liputan media mendesaknya untuk melangkahlebih jauh ke jalur liberal. Langkahnya dalam arah ini disambutbaik oleh kubu pemikiran liberal. Ahmad Wahib mengungkapkanhal ini sebagai berikut (1981: 166):

Begitu paper ini Djohan dan saya terima dari Dawam, yangsudah kira-kira lima bulan di Jakarta, melalui pos, sakinggembiranya kami berdua langsung keliling Yogya menemuipemimpin-pemimpin HMI dan tokoh-tokok ummat. Secarajujur, kami akui bahwa kami berdua mengeksploitir kewibawaanNurcholish sebagai ketua organisasi mahasiswa Islam terbesaryang sangat disegani, dan di kalangan bulan bintang seringdisebut sebagai ‘Natsir kedua’, untuk bisa mempopulerkanpikiran-pikiran ‘lain’ yang juga terdapat dalam paper Nurcholish.

Page 597: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 577

Di pihak lain, langkah pergeseran Madjid dari pemikiranawalnya dulu sangatlah mengecewakan kelompok yang berorientasidakwah. Kekecewaan ini mendorong kelompok ini untuk lebihserius bergerak dalam gerakan masjid.

Perkembangan Gerakan DakwahUntuk menganalisa perkembangan dari gerakan dakwah, sertagerakan pembaharuan, teori-teori mengenai gerakan sosial (socialmovements) memberikan tilikan-tilikan yang berguna. Ada duaparadigma besar dalam perdebatan mutakhir mengenai gerakan-gerakan sosial. Yang pertama ialah yang disebut pendekatan‘mobilisasi sumber daya’ (‘resource mobilisation’ approach), danyang kedua ialah pendekatan ‘motivasi individu (‘personalmotivation’ approach). Pendekatan yang pertama, menjadikananalisis terhadap organisasi sebagai titik awalnya ketimbanganalisis terhadap individu. Pertanyaan riset yang utama daripendekatan ini bukanlah siapa pelaku-pelakunya atau apa yangmemotivasi mereka, namun lebih pada mengapa beberapagerakan lebih berhasil ketimbang gerakan yang lain. Pendekatanmobilisasi sumber daya mempelajari mekanisme-mekanismemelalui mana gerakan-gerakan sosial merekrut anggota-anggotanyadan membentuk keorganisasiannya untuk melakukan mobilisasisumber-sumber daya manusia dan sosial. Pendekatan yang keduaterfokus pada motivasi-motivasi personal yang membuat orangper orang berpartisipasi dalam gerakan-gerakan sosial. Pendekatanini menginvestigasi latar sosio-psikologis individu-individu ataupendidikan yang membuat mereka menjadi terlibat dalam sebuahgerakan tertentu (Eyerman & Jamison 1991: 23-29). Berdasarkanpada pendekatan-pendekatan ini, analisis terhadap gerakandakwah dalam studi ini akan menggunakan kombinasi di antara

Page 598: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

578 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

kedua perspektif itu ketimbang memilih salah satunya.

Kekuatan penggerak bagi perkembangan awal gerakan dakwahialah tersingkrinya para intelektual Islam secara sosio-politik.Mereka harus berhadapan dengan acaman dari dua arah sekaligus:represi politik dari negara dan tantangan dari kaum Muslimyang berpikiran liberal. Didorong oleh aspirasi-aspirasi politikIslam di satu sisi, namun berhadapan dengan halangan yangdiciptakan pemerintah terhadap Islam politik di sisi lain,kelompok Islamis ini mengalami proses dislokasi politik yangakut. Sementara itu, media massa secara umum, sebagai manifestasidari ruang publik yang lain, cenderung bertindak sebagai aparaturideologi negara untuk mendukung modernisasi. Dengan begitu,pers terkondisikan untuk bersikap simpatik terhadap gerakanpembaharuan. Menyadari bahwa ruang publik itu bersikapmemusuhi aspirasi-aspirasi ideo-politik mereka, para intelektualIslamis menciptakan sebuah gerakan sosial yang subtil dan cair,yang relatif kedap terhadap kontrol negara, sebagai sebuahfondasi baru bagi pembentukan solidaritas dan identitas kolektif.Dengan berbuat demikian, mereka mulai menciptakan ‘blokluar’ Muslim (di luar struktur politik formal Orde Baru).

Alternatif sumber daya bagi mobilisasi tindakan kolektif barudari kelompok Islamis ini ditemukan di ruang masjid-masjid‘independen’ yang relatif ‘bebas’, yang ada di milieu kampus-kampus universitas.109 Fungsi masjid sebagai pangkalan sentralgerakan-gerakan religio-politik bukanlah sesuatu yang asingbagi Dunia Muslim. Meski demikian, kehadiran masjid-masjidyang permanen di milieu universitas-universitas sekuler danpenggunaannya sebagai base camp gerakan-gerakan religio-politik dari para mahasiswa universitas sekuler merupakansebuah fenomena baru dalam sejarah Indonesia. Kebanyakanmasjid di universitas sekuler muncul dalam periode Orde Baru.110

Page 599: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 579

Yang menjadi titik penanda dari fenomena ini adalah didirikannyamasjid-masjid kampus di milieu universitas-universitas yangprestisius seperti di Institut Teknologi Bnadung (ITB) dan diUniversitas Indonesia (UI).

Pendirian masjid ITB, yang bernama Masjid Salman, telahdirencanakan oleh sekumpulan kecil aktivis Islam dari institusitersebut sejak tahun 1958. Namun, dengan adanya halangan-halangan material dan psikologis, terutama adanya respons yangtidak mendukung dari pihak rektorat terhadap ide pembangunansebuah masjid di dalam ‘benteng intelektual sekuler’ itu,menjadikan perwujudan pembangunan itu tertunda sampaiakhirnya baru bisa diselesaikan pada tahun 1972.111 Masjid UImulai dibangun pada tahun 1966 dan selesai pada tahun 1968.Masjid itu diberi nama Masjid Arief Rahman Hakim untukmengenang nama seorang aktivis Islam UI yang menjadi martirdalam gerakan mahasiswa tahun 1966. Kebanyakan masjid-masjid kampus lainnya mulai berdiri sejak tahun-tahun terakhirtahun 1970-an.

Sebelum terbangunnya Masjid kampus, para aktivis Islammemulai aktivitas-aktivitas keagamaan mereka di ruang-ruangpublik, seperti ruang-ruang kelas atau auditorium. Karenaseringnya mengalami kesulitan mendapatkan ijin resmi untukmendirikan masjid dalam kampus, banyak strategi ‘pintar’dijalankan. Pendirian masjid IPB, Al-Ghifari pada awal tahun1980-an, misalnya, merupakan sebuah kasus yang menarik.Awalnya, proposal yang diajukan kepada pihak yang berwenangialah pembangunan laboratorium. Namun, begitupembangunannya selesai, para aktivis Islam pelan-pelan menguahfungsi bangunan itu dari laboratorium sains menjadi laboratorium‘spiritual’.112 Di kebanyakan kampus yang lain, strategi yangdijalankan ialah dengan memasukkan pihak rektorat ke dalam

Page 600: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

580 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

susuan kepanitiaan pembangunan masjid, dan strategi ini sangatefektif. Pendekatan ini bisa efektif karena performance awal darigerakan masjid ini tidak menunjukkan kesan bahwa gerakan inimemiliki agenda politik.

Penting dicatat bahwa para intelektual yang pernahmendapatkan pendidikan oleh DDII di PHI memainkan peranyang menentukan dalam pendirian dan pembangunan daribanyak masjid kampus pada periode awal, karena merekamenjadi dosen di universitas-universitas di almamater mereka.Ringkasnya, kehadiran masjid-masjid di dalam universitas-universitas sekuler itu merupakan monumen dari kebangkitanintelektual yang berorientasi dakwah

Para pemimpin awal (para intelektual organik) dari gerakan-gerakan masjid ini sebagian besar berasal dari para intelektualHMI/PII yang berorientasi dakwah, yang merupakan generasikeempat inteligensia Muslim. Audiens mereka yang pertamaialah para aktivis Islam dari generasi kelima inteligensia Muslim,terutama yang masuk universitas pada tahun 1970-an. Dalamperiode persiapan ini, penggerak utama dari gerakan ini terutamaberasal dari para anggota HMI/PII juga. Meskipun kelompok-kelompok mahasiswa kiri telah jatuh, namun para aktivis dariorganisasi-organisasi mahasiswa Islam pada tahun 1970-an masihtermotivasi oleh sengitnya persaingan politik kemahasiswaandengan front-front mahasiswa sekuler, terutama dalam rangkauntuk mengontrol lembaga pemerintahan mahasiswa intra-universitas. Dalam kondisi ini, para aktivis Islam memiliki visiyang sama dengan generasi aktivis dakwah yang lebih tua untukmenjadikan masjid kampus sebagai basis bagi aktivitas-aktivitasmahasiswa, baik untuk mempersiapkan dan memperbanyakkader dan konstituen Islam maupun untuk menemukan jalanuntuk menjembatani perbedaan-perbedaan antara para aktivis

Page 601: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 581

mahasiswa yang memiliki latar belakang organisasi yang berbeda.Namun, bagi generasi yang lebih tua, terdapat kepentingantambahan: yaitu untuk melindungi para mahasiswa universitassekuler dari pengaruh gerakan pembaharuan.113

Prototip dari gerakan masjid ini muncul dari Masjid SalmanITB pada awal tahun 1970-an, yang mengadopsi ideologi dan‘intelektual gerakan’ (movement intellectual)114 dari LatihanMujahid Dakwah (LMD). LMD pertama kali diperkenalkanoleh Imaduddin Abdulrahim dan rekan-rekannya115 kepadajamaah Masjid Salman pada tahun 1973. Yang menarik, materidasar dari ideologi LMD ternyata merupakan versi modifikasidari NDP (-nya HMI) yang disusun (utamanya oleh) Madjiddengan penekanan yang kuat pada doktrin tauhid dan perhatiankhusus terhadap ancaman perang pikiran (ghazwul fikr) denganide-ide sekuler Barat.116 Inspirasi bagi penekanan terhadap tauhiddan ghazwul fikr ini diambil dari doktrin gerakan Islam yangterkenal di Mesir, yaitu Ikhwanul Muslimin (IM, berdiri tahun1928).

Perkenalan kelompok Islamis dengan aspek-aspek tertentudari ideologi dan metode-metode IM dimungkinkan terutamaoleh terlibatnya Abdulrahim dalam jaringan mahasiswa Islaminternasional. Salah satu jaringan yang paling penting ialahInternational Islamic Federation of Student Organizations (IIFSO,berdiri tahun 1969). Atas dorongan Natsir, Abdulrahim mulaisecara aktif terlibat dalam organisasi ini pada tahun 1971 dandengan cepat memegang jabatan sebagai Wakil SekretarisJenderal.117 Banyak pemimpin organisasi ini yang terpengaruholeh ideologi IM. Pertemuan Abdulrahim dengan merekatampaknya menjadi katalis bagi pemahaman sekadarnya mengenaiideologi dan metode-metode IM, yang mempengaruhi kurikulumdan metode LMD (Damanik 2022: 71).

Page 602: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

582 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Apa yang membuat LMD menjadi istimewa dan berpengaruhialah pendekatan pelatihannya. Para peserta LMD diharuskantinggal dalam kompleks Masjid Salman selama sekitar seminggudan diisolasi dari kontak dengan dunia luar. Pelatihan dimulaisatu jam sebelum sholat subuh dan sepanjang siang, para pesertamengikuti diskusi-diskusi kelompok kecil yang intens danmenantang. Pada malam hari, mereka harus menjalankan sholatmalam (sunnah), dan pada malam terakhir, mereka harusmengucapkan kalimat syahadat di depan para trainer-nya: ‘Takada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Utusan Allah.’118

Training Islam yang sangat singkat ini ternyata merangsangmunculnya kesadaran keagamaan baru yang radikal. Kelahirankecenderungan berpikir keagamaan yang baru ini ditandaidengan dikenakannya jilbab oleh para aktivis perempuan, dandengan cepat, hal ini menjadi simbol dari gerakan (dakwah)masjid. Dalam perkembangan lebih lanjut, LMD menjadi lahanrekrutmen bagi para mentor junior yang akan memberikanturorial Islam atau mentoring bagi para mahasiswa ITB yanglain. Karena aktivitas mentoring menarik para mahasiswa dariuniversitas-universitas lain dan bahkan para siswa sekolahmenengah atas di Bandung, pihak Masjid Salman mengakomodasiantusiasme itu lewat pembentukan KARISMA.

Aktivitas-aktivitas mentoring, dimana para pesertanyadiorganisir menjadi kelompok-kelompok diskusi kecil, menjadibasis bagi terciptanya lingkaran-lingkaran kelompok-kelompokkohesif, yang disebut usrah (dari bahasa Arab, yang berartikeluarga). Setiap sel usrah memiliki mentornya sendiri yangbertindak sebagai seorang motivator dan teladan, serta sebagaijembatan untuk menghubungkan kelompok-kelompok kecildengan keseluruhan entitas gerakan masjid. Pada gilirannya,para anggota usrah, akan menjadi para dai baru yang secara

Page 603: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 583

aktif merekrut para anggota baru.

LMD dengan segera menarik para aktivis Islam dari universitas-universitas sekuler yang lain. Maka, para pesertanya pun diperluassehingga mencakup para mahasiswa dari beragam universitas diseluruh Indonesia.119 Setelah mengikuti LMD, para wakil darisetiap kampus mulai mengadakan training dakwah dan programmentoring di kampusnya masing-masing dengan memodifikasimateri dan pendekatan Masjid Salman. Dengan cara ini, merekameletakkan fondasi bagi pendirian lembaga dakwah masjidkampus, yang lebih dikenal sebagai Lembaga Dakwah Kampus(LDK). Di samping itu, para mantan peserta LMD juga menjadirantai koneksi bagi jaringan informal para aktivis dakwah antaruniversitas dan bagi penyebarluasan ideologi Islamis. Jaringaninformal ini memudahkan mobilisasi sumber daya, sepertimisalnya koordinasi rencana aksi bersama, pertukaran informasidan penyediaan dai-dai atau instruktur-instruktur agama bagiacara-acara keagamaan tertentu. Aksi simultan dari lembaga-lembaga dakwah kampus secara cepat memperluas ranah pengaruhdari ide-ide Islamis.

Keberhasilan program-program LMD membangkitkan gerakanmasjid di luar kampus. Meningkatnya gerakan masjid di luarkampus sendiri sebenarnya berbarengan dengan terjadinyafenomena ‘Islamic turn’ di universitas-universitas sekuler. Tahun1970-an merupakan periode formatif bagi munculnya gerakanremaja masjid di seluruh Indonesia dimana banyak aktivisberlatar belakang HMI/PII terlibat dalam periode persiapannya.Dengan meningkatnya rasa frustasi politik, remaja masjid mulaimempopulerkan slogan ‘Back to the Mosque’ (Kembali keMasjid). Di antara masjid-masjid besar di kota-kota besar yangterkenal karena aktivitas gerakan remaja masjid-nya ialah Al-Azhar, Sunda Kelapa, dan Cut Meutiah di Jakarta, masjid

Page 604: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

584 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Istiqomah dan Mujahidin di Bandung, masjid Syuhada diYogyakarta, dan masjid Al-Falah di Surabaya.120 Dalam merekrutkader-kader dan memperluas konstituennya, kelompok-kelompokremaja masjid ini menggunakan materi, metode training danprogram-program mentoring dari gerakan masjid kampus.

Saat gerakan remaja masjid meningkat anggotanya di seluruhIndonesia, berdirilah Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia(BKPMI) pada tahun 1977 untuk memperkuat jaringan di antaramereka. Secara struktural, BKPMI beroperasi sebagai sebuahinstitusi yang otonom dari Dewan Masjid Indonesia, sementaraDewan Masjid sendiri merupakan bagian dari Dewan MasjidDunia (World Council of Mosques, berafiliasi ke Liga DuniaMuslim, Muslim World League) dengan Mohammad Natsirmenjadi salah satu anggotanya. BKPMI, yang sejak tahun 1993berubah menjadi BKPRMI,121 menjadi katalis bagi penyebarluasanide-ide Islamis di luar kampus.122

Pada akhir tahun 1970-an, cakupan dan kekuatan dari gerakanmasjid ini mulai memasuki sebuah tahap baru seiring denganmeningkatnya represi politik Orde Baru. Pada akhir tahun 1970-an, politik mahasiswa mencapai titik terendahnya. Setelahpembubaran dewan mahasiswa dan pemberlakuan ‘normalisasikehidupan kampus’ (NKK) pada tahun 1978, politik mahasiswasecara berangsur-angsur kelihangan makna politiknya. Pada awaltahun 1980-an, kesanggupan baik organisasi-organisasi mahasiswaekstra kampus maupun lembaga-lembaga eksekutif mahasiswaintra-kampus (yaitu senat mahasiswa tingkat fakultas) sebagaimedium bagi aktualisasi aspirasi-aspirasi politik mahasiswa telahsangat menurun. HMI, misalnya, mulai kehilangan daya tariknyabagi para mahasiswa Islam.

Karena adanya kebijakan NKK yang mengisolasi kampus-

Page 605: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 585

kampus dari pengaruh organisasi-organisasi sosio-politik eksternal,HMI kehilangan pijakannya yang kokoh di dalam universitas.HMI juga sangat kehilangan kredibilitasnya di mata para aktivisIslam kampus karena sikap kooperatifnya yang makin terlihatdengan ajaran dan struktur politik negara. HMI secara resmimengubah prinsip organisasinya dari Islam menjadi Pancasilapada Kongres HMI keenambelas di Padang (24-31 Maret 1986).Perubahan ini menyebabkan organisasi tersebut terpecah menjadidua kubu, karena mereka yang menolak diterimanya Pancasilasebagai satu-satunya azas organisasi keluar dari HMI danmembentuk sebuah organisasi saingan yang bernama HMI-MPO (Himpunan Mahasiswa Islam – Majelis PertimbanganOrganisasi). Sesudah itu, kepemimpinan HMI cenderung mengikutigaris sikap akomodasionis.

Dengan depolitisasi dunia mahasiswa, aktivitas mahasiswa didalam kampus disalurkan ke dalam organisasi-organisasi intra-mahasiswa yang memenuhi tuntutan mahasiswa akan hiburandan perkembangan profesi. Namun, beberapa aktivitas mahasiswaberusaha untuk mengaktualisasikan kritik mereka lewat gerakanmasjid dan lewat pembentukan kelompok-kelompok diskusiumum yang mulai menjamur pada awal tahun 1980-an.

Gerakan masjid kampus dan kelompok-kelompok diskusiumum sendiri menunjukkan kecenderungan-kecenderunganantitetis. Sementara yang pertama beroperasi di dalam milieuuniversitas, yang terakhir pada umumnya beroperasi di luartembok universitas. Yang pertama bertujuan untuk merekrutkonstituen yang lebih besar dan hal ini dipermudah denganoperasinya di dalam kampus. Sementara kelompok-kelompokdiskusi tak pernah berusaha untuk merekrut keanggotaan yangbesar dan cenderung terasing dari kehidupan mahasiswa sehari-hari karena operasinya yang berada di luar kampus. Sementara

Page 606: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

586 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

ideologi perlawanan dari gerakan masjid ditimba dari ideologi-ideologi Islamis, ideologi perlawanan kelompok-kelompok diskusisecara umum sangat dipengaruhi oleh ideologi-ideologi kiri dankiri baru. Sementara gerakan masjid menghubungkan diri denganjaringan harakah Islam yang bersifat lokal dan global, kelompok-kelompok diskusi kebanyakan berhubungan dengan jaringanorganisasi-organisasi non-pemerintah (non-governmentalorganizations, NGOs) yang lokal dan global.

Dalam perkembangan lebih jauh, gerakan masjid menjadilebih berhasil mengkonsolidasikan dirinya ketimbang kelompok-kleompok diskusi dan gerakan NGO, karena mampumempertahankan ‘communicative sphere’-nya sebagai syaratniscaya untuk mempertahankan dan memperluas komunitasintelektual. Dengan beroperasi di dalam masjid, gerakan masjidmemiliki semacam pelindung untuk melindungi dirinya darikontrol langsung aparatur keamanan. Sedangkan kelompokdiskusi tidak memiliki pelindung semacam itu dan karena itulebih mudah dikontrol atau dieliminasi oleh pemerintah. TaufikAbdullah menjelaskan lebih jauh (1996: 59): ‘Adalah jelas bahwawacana-wacana keagamaan, dengan referensi-referensi merekakepada teks-teks suci, merupakan salah satu dari beberapasaluran yang relatif bebas dari pemaksaan pemaknaan olehpihak penguasa.’

Di samping konsekuensi yang tak terduga yang lahir darikebijakan represi politik Orde Baru, gerakan masjid juga memetikkeuntungan secara tak langsung dari proyek modernisasi.Menyimpang dari teori umum modernisasi, yang cenderungmengasumsikan bahwa begitu modernisasi meningkat, kepercayaandan ketaatan keagamaan akan menurun, proyek modernisasi diIndonesia melahirkan sebuah kesadaran keagamaan baru dikalangan segmen yang luas dari mahasiswa-mahasiswa universitas

Page 607: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 587

sekuler.

Salah satu alasan yang mungkin dari meningkatnya kesadarankeagamaan ini berhubungan dengan deprivasi sosio-psikologisdari para mahasiswa yang baru mengalami urbanisasi. Paramahasiswa baru ini berasal dari desa-desa atau kota-kota kecilpergi ke kota-kota besar untuk belajar, dan di kota-kota besaritu, mereka tenggelam dalam individualisme yang atomis danmengalami problem-problem kesulitan penyesuaian diri yangserius. Seperti yang digambarkan oleh R.W. Bulliet (1994: 202):

Kehidupan desa memang berubah sepanjang waktu, namunbiasanya perubahan itu berlangsung cukup lamban sehinggamenciptakan ilusi stabilitas dan kontinuitas yang tanpa gangguan,paling tidak dalam kenangan. Dan saat pindah ke kota,berlangsunglah pengalaman yang sangat menggoncang. Bahkanmeskipun terdapat orang-orang dari desa yang sama yang telahpergi ke kota besar itu sebelumnya dan yang bisa membimbingbagaimana caranya menyesuaikan diri dengan kehidupan kota,namun lenyapnya rutinitas siklus kehidupan bertani dan masyarakatpedesaan yang tertutup, tidak mudah untuk dikompensasikan.

Bagi para mahasiswa yang berasal dari kelas-kelas menengahdan atas, yang telah lama tinggal di kota-kota besar, perasaandeprivasi spiritualitas tampaknya menjadi penggerak utama bagiberalihnya mereka ke gerakan masjid. Salah satu hasil dariproyek modernisasi Orde Baru, bagi mereka yang ber-uang,ialah gaya hidup yang hedonistik dan eksibisionistik di kalanganorang kaya baru, serta korupsi di kalangan para pejabat negaradan pegawai pemerintah. Beberapa mahasiswa idealis dari kelas-kelas ini mengalami semacam ‘disonansi kognitif ’ (cognitivedissonance) sebagai hasil dari adanya jurang antara konsepsi

Page 608: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

588 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

mereka tentang kehidupan yang baik dengan kehidupan nyatadari keluarga mereka. Beberapa dari mereka berupaya untukmenemukan sebuah perlindungan spiritual, sebagai pelarian daridunia ‘yang kotor’ ini.

Problem-problem deprivasi sosial dan spiritual ini menjadilebih akut lagi karena kehadiran budaya-budaya (global) post-modern yang heterogen yang dibawa masuk oleh keberhasilanteknologi Orde Baru. Hal ini ditandai oleh tumbuhnya beragamsarana komunikasi massa dan pengalaman yang membingungkankarena proliferasi tata nilai (lifeworlds), gaya hidup konsumerisme,dan sekulerisasi kebudayaan. Terperangkap dalam situasi ini,para penduduk kota ‘membutuhkan seperangkat ajaran moralyang bisa memberi mereka rasa kebermaknaan dan rasa memilikitujuan’ (Huntington 1996: 97). Untuk memenuhi kebutuhanakan ajaran-ajaran moral tersebut, kaum Muslim terdidikperkotaan berhadapan dengan sebuah dilema. Haruskah merekamenganut nilai-nilai modern yang materialistik dan sekularistik(yang berarti meninggalkan tradisi), atau haruskah merekamenghidupkan kembali tradisi-tradisi lokal mereka, bahkandengan resiko kerugian secara material. Sungguh menyakitkanjika harus meninggalkan tradisi-tradisi, namun juga samamenyakitkan jika tetap terbelakang. Banyak Muslim yangberusaha untuk memecahkan dilema ini dengan tidak mememluknilai-nilai Barat modern maupun kembali ke tradisi-tradisi lokal,namun lebih memilih kembali kepada apa yang mereka anggapsebagai sumber yang sejati: yaitu Qur’an, Sunnah Nabi danummat Islam (Gellner 1992:19). Dalam kasus-kasus ekstrim,obsesi untuk kembali ke otentisitas Islam ini membawa padalahirnya fundamentalisme Islam.

Karena kurang terdidik dalam soal-soal agama, mahasiswa-mahasiswa baru dari desa dan kota yang berbondong-bondong

Page 609: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 589

masuk universitas-universitas sekuler di kota-kota besar sejakbagian akhir tahun 1970-an itu membentuk apa yang disebutR.W. Bulliet (1994) sebagai ‘tepian baru’ (new edge) dari kaumMuslim. Dengan relatif tak adanya kehidupan corporate(masyarakat sipil)—dalam artian Eropa—di Indonesia, kebutuhanakan adanya sebuah komunitas dan ajaran-ajaran moral baruyang dirasakan oleh ‘new edge’ itu terpenuhi terutama olehadanya jaringan gerakan masjid, tarekat Sufi, dan institusi-institusi Muslim lainnya.

Dalam pertemuan mereka dengan komunitas epistemik Islam,‘new edge’ kaum Muslim ini mulai mempertanyakan eksistensimereka sebagai Muslim. Pada saat yang bersamaan, kebijakansekuler yang telah melahirkan sistem pendidikan publik telahmemerosotkan status ulama yang terdidik secara tradisional.Maka, ketika new edge mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaantentang Islam, mereka tidak dengan sendirinya berpaling kekyai tradisional yang pernah menjadi sumber nasehat bagi orangtua mereka. Mereka lebih beralih kepada para pemikir Muslim‘non-skolastik’ yang atraktif, yang dalam banyak kasus, tidakpernah mendapatkan pendidikan keagamaan tradisional secaramapan. Seperti dicatat oleh Bulliet (1994: 200): ‘Fakta bahwajawaban-jawaban yang diberikan oleh para pemikir ini ataspertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan seringkali tidakbersesuaian dengan ajaran tradisional, ataupun sangat menekankanpada ide-ide yang ditimba dari studi akademis Barat, tidakmenghalangi anak-anak muda dari new edge ini untuk mengikutipara pemikir tersebut’.

Keingintahuan keagamaan dari ‘new edge’ ini juga dipupukoleh meningkatnya jumlah penerbitan Islam. Sejak awal tahun1980-an, generasi kelima aktivis Muslim telah mendirikanrumah-rumah penerbitan Islam yang baru, seperti Pustaka Salman

Page 610: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

590 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

dan Mizan di Bandung, Gema Insani Press di Jakrta, danShalahuddin Press di Yogyakarta yang menyediakan bacaan-bacaan Islam alternatif bagi new edge. Bahan bacaan ini padamulanya merupakan terjemahan-terjemahan dari karya parapemikir Islam di luar negeri, dan baru kemudian, berasal dariantologi artikel-artikel yang ditulis oleh para intelektual Indonesia.Sepanjang tahun 1980an, juga muncul junal-jurnal dan majalah-majalah Islam yang baru, seperti Risalah, Amanah, Pesantren,Salman Kau, dan Ulumul Qur’an. Munculnya sejumlah terbitanIslam ini mencerminkan dan mempengaruhi antusiasme Islamdari new edge. Hal ini membuat terbitan-terbitan Islam menjaditrend setter dalam produksi buku pada tahun 1980-an. Berdasarkanpada sebuah survei yang dilakukan oleh ‘Seksi Perpustakaandan Dokumentasi’ majalah Tempo, dari 7.241 jumlah total bukuyang dikoleksi oleh seksi ini antara tahun 1980-1987, jumlahbuku mengenai tema-tema keagamaan sebesar 1.949, dankebanyakan mengenai tema-tema Islam (Tampi 1987).

Semangat Islam dari new edge ini mendapatkan ruangaktualisasinya dalam masjid kampus. Dalam konteks ini, masjidberfungsi sebagai melting pot (titik lebur) bagi new edge yangberasal dari aliran-aliran Islam yang berbeda-beda. Karena tidakmemiliki koneksi langsung dengan organisasi Islam besarmanapun, masjid kampus sanggup mengambil jarak dari pertikaian-pertikaian historis Islam tentang perkara-perkara perbedaanpenafsiran. Pelan tapi pasti, para aktivis dari gerakan masjidmulai membentuk sebuah hibrida Islam baru yang tidak melibatkandiri dengan perpecahan yang berlangsung lama di antarakelompok-kelompok Islam tradisionalis versus Islam modernis-reformis. Pada saat yang sama, pengajaran Islam di masjidkampus tampaknya cocok dengan kecenderungan keagamaandari para mahasiswa yang baru terurbankan itu. Terdapat sebuah

Page 611: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 591

indikasi kuat bahwa urbanisasi telah diikuti dengan pergeserandalam kecenderungan dan afiliasi keagamaan banyak mahasiswa,dari karakteristik Islam pedesaan yang cenderung menekankanpada ‘antropolatri’ (anthropolatry) menjadi berkarakteristikIslam kelas menengah perkotaan yang cenderung menekankanpada ‘bibliolatri’ (bibliolatry) (Gellner 1992). Pergeseran dalamkecenderungan dan afiliasi keagamaan ini tampak nyata dalamsurvei yang saya lakukan terhadap profil-profil keagamaan daripara anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI),sebuah organisasi yang menarik banyak Muslim terpelajar yangbaru terurbankan.123

Aspek modernisasi lain yang membantu menaikkan reputasigerakan masjid ialah meningkatnya jumlah para intelektualMuslim yang memiliki gelar Master dan PhD. Diuntungkanoleh kebijakan pemerintah untuk membangun sumber dayamanusia lewat pendidikan di luar negeri, banyak para sarjanaberorientasi dakwah yang meningkatkan kualifikasi-kualifikasipendidikannnya di negara-negara Barat, negara-negara yangseringkali dipandang oleh kelompok Islamis dengan kesadaranganda. Di satu sisi, negara-negara Barat seringkali digambarkansebagai sumber kemerosotan moral dan sebagai ancaman yangberbahaya bagi peradaban Islam. Di sisi lain, negara-negaratersebut umumnya juga dipandang dengan kekaguman sehinggamereka yang belajar di dunia Barat sangat dihargai oleh rekan-rekan kompatriotnya. Sejumlah besar sarjana Islam yang memilikilatar belakang universitas sekuler mulai menempuh gelar PhDatau Master di universitas-universitas Barat pada tahun 1970-an. Di antara mereka, terdapat para aktivis dakwah yangterkemuka, seperti Amien Rais, Imaduddin Abdulrahim, Syafi’iMa’arif, Kuntowidjojo, Fuad Amsjari, dan Djalaluddin Rahmat(semuanya belajar ke AS), Endang Saifuddin Anshari (belajar ke

Page 612: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

592 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Kanada), A.M. Saefuddin (belajar ke Jerman). Saat kembalipulang, sebagian besar pada tahun 1980-an, mereka berperanandalam memperkuat kredibilitas intelektual dari gerakan masjid.

Selain dari konskeuensi-konsekuensi yang tak disengaja yanglahir dari represi politik dan modernisasi, daya penggeraklainnya bagi perkembangan gerakan masjid ialah terbangunnyakembali kaitan gerakan Islam Indonesia dengan gerakan Islamglobal. Sejak tahun 1920-an, sebagian besar perhatian dan energidari ummat Muslim Indonesia terfokus pada perjuangan politikdalam negeri dan pada ketegangan-ketegangan dalam tubuhummat di Indonesia. Akibatnya, gerakan Islam Indonesia untukkurun waktu yang panjang terlalu melihat ke dalam (inwardlooking). Pembatasan atas Islam politik yang dilakukan OrdeBaru, yang berdampingan dengan semakin dalamnya penetrasiasing dalam modernisasi kehidupan dalam negeri, telah mendoronggenerasi muda inteligensia Muslim untuk mengaitkan kembalidirinya dengan ummat Muslim sedunia. Dengan begitu, gerakanIslam yang baru cenderung lebih melihat keluar (outwardlooking).

Keterkaitan kembali dengan Ummat Muslim sedunia iniberlangsung pada saat ketika seluruh Dunia Muslim tersapuoleh gelombang pasang Islamisme sebagai semangat ideologibaru. Sejak tahun 1970-an, kegagalan para elit sekuler danideologi-ideologi sekulernya untuk menawarkan sebuahpenyelamatan yang efektif bagi penderitaan sosio-ekonomi kaumMuslim pada dekade-dekade sebelumnya telah menyebabkanberkembangnya rasa ketidakpuasan sosial secara umum dikalangan Dunia Muslim. Dalam konteks dunia Arab, kekecewaanini memuncak menyusul kekalahan negara-negara Arab dalamperang Arab-Israel pada tahun 1967. Sejak itu, kemujarabanideologi-ideologi sekuler seperti sosialisme, liberalisme dan

Page 613: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 593

Arabisme mulai dipertanyakan, dan banyak aktivis Islam mulaimenyerukan kepada ummat Muslim untuk kembali kepadasumber (ashala) otentik dari nilai-nilai Islam. Di negara-negarayang menganut sekulerisme-moderat, seperti Mesir misalnya,literatur Marxisme, eksistensialisme, dan teori-teori Barat lainnyayang beredar secara luas di kalangan para aktivis mahasiswapada tahun 1950-an dan 1960-an, mulai digantikan oleh kara-karya Islam, terutama karya-karya tokoh-tokoh IkhwanulMuslimin (IM) seperti Sayyid Qutb dan Hasan al-Banna.Kelompok-kelompok inteligensia fundamnetalis Islam sepertiJama’at Islamiyya di Mesir mulai menarik banyak anggota barudi kalangan milieu universitas-universitas di Dunia Arab dansekitarnya. Bahkan di negara Muslim sekuler seperti Turki,istilah ‘aydin’ (intelektual Islamis) menjadi populer sejak tahun1980-an sampai sekarang. Gelombang Islamisme ini mendapatkanfondasi materialnya dari boom harga minyak pada tahun 1970-an yang memunculkan ‘Petro-Islam’. Efek menggelinding kebawah (trickle down effect) dari boom minyak ini memberikeuntungan pada penyebarluasan Islamisme karena para raksasaPetro-Islam, seperti Saudi Arabia menyediakan bantuan pendanaanbagi organisasi-organisasi dakwah, terutama lewat Liga DuniaMuslim (Muslim World League), untuk menghindari kritik daripara intelektual Islamis atas materialisme dan hedonisme gayahidup mereka (Abaza 1999: 86-92).

Karena terbuka terhadap pengaruh-pengaruh luar, gerakanmasjid di Indonesia menjadi tertarik dengan ide-ide Islam danmetode-metode gerakan Islam kontemporer (harakah) yang adadi Dunia Muslim. Pada tahun 1969, salah satu karya SayyidQutb, This Religion of Islam (terbit tahun 1967) diterjemahkanke dalam bahasa Indonesia menjadi Inilah Islam oleh A.R.Baswedan dan A. Hanafi dan diterbitkan oleh Hudaya (Jakarta).

Page 614: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

594 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Pada tahun 1978, karya terjemahan lain dari Qutb, MasyarakatIslam diterbitkan di Bandung.124 Maka, pada tahun 1970-an,ide-ide Islam dari intelektual terkemuka dari gerakan harakahIslam, yaitu Ikhwanul Muslimin (IM), dan lahir di Mesir ini,bisa dibaca oleh segmen tertentu dari komunitas epistemik IslamIndonesia. Ini diikuti dalam dekade-dekade berikutnya dengankedatangan gerakan Islam dari Malaysia, yaitu Darul Arqam,gerakan Jama’ah Tabligh yang lahir dari Indo-Pakistan, gerakanHizbutTahrir yang berasal dari Yordania, dan beberapa yanglainnya.125

DDII merupakan agen yang paling berperanan dalampenyebarluasan ideologi dan metode dakwah Ikhwanul Muslimin.Natsir sendiri memiliki hubungan dekat dengan para pemimpinIM. Pelarangan Masjumi membuatnya bersimpati dengan IMyang mengalami nasib yang sama di Mesir.126 Di samping itu,penekanan IM terhadap gerakan tarbiyah (gerakan sosial danpendidikan yang didasarkan pada jaringan usrah yang kuat),dianggap oleh DDII sebagai metode yang berguna bagi gerakandakwah di Indonesia. Pada tahun 1980, majalah dan rumahpenerbitan DDII, yaitu Media Dakwah, menerbitkan sebuahterjemahan dari karya Sayyid Qutb, Ma’ūlim fi al-Tharūq,dengan judul Petunjuk Jalan.12 Inti pesan dari buku itu ialahbahwa hanya Islam yang otentik yang bisa menjadi petunjukyang otentik.

Seiring dengan itu, sejak tahun 1979/1980, Natsir dan DDIIjuga mendukung pendirian Lembaga Ilmu Pengetahuan Islamdan Bahasa Arab (LIPIA), yang didirikan oleh Abdul AzizAbdullah.al-Ammar. Al-Ammar sendiri adalah murid MuhammadQutb (saudara Sayid Qutb) dan Syaikh bin Baz, yang diperintahkanuntuk menemui langsung Natsir oleh Bin Baz, begitu sampai keIndonesia. Tidak heran bila pada masa awal LIPIA,

Page 615: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 595

perpustakaannya didominasi oleh buku-buku IM.

Sementara itu, pada awal tahun 1980-an, beberapa mahasiswayang pernah dikirim Natsir untuk belajar di Timur Tengah telahkembali ke tanah air. Di antara mereka terdapat Abu Ridho128

yang belajar di Saudi Arabia dan terpengaruh oleh pengajarandan metode harakah IM. Saat dia kembali ke tanah air padatahun 1981, dia mulai mempromosikan ideologi-ideologi danmetode-metode dakwah IM di kalangan para aktivis DDII.Maka, lahirlah lingkaran awal pengikut IM dalam tubuh DDII,yang terdiri atas Abu Ridho dan beberapa aktivis yang lebihmuda seperti Mashadi (sekretaris pribadi Mohamad Roem) danMukhlish Abdi.129

Ide-ide IM kemudian menyebar ke kalangan aktivis PII. Disamping sejarah panjang hubungan dekat antara PII denganpara aktivis Masjumi/DDII, kantor pusat PII berlokasi di kompleksyang sama dengan kantor pusat DDII. Selama periodekepemimpinan Mutammimul Ula (1983-1986), karya-karyaterjemahan Qutb, terutama Petunjuk Jalan, digunakan dalamlatihan kader PII.130 Buku yang sama dijadikan bahan bacaanwajib bagi alumni LMD Masjid Salman (Damanik 2002: 96).Setelah penolakan PII atas Pancasila sebagai asas tunggal bagiorganisasi sosial-politik, PII dilarang aktif dalam ruang publiksehingga menghambat perluasan penyebaran ideologi-ideologiIM dalam tubuh organisasi ini. Meski demikian, ide-ide Islamdan metode dakwah dari IM terus berlanjut mempenagruhigerakan dakwah di Indonesia. Karya-karya lain dari parapemimpin IM yang diterjemahkan oleh para lulusan universitasTimur Tengah. Abu Ridho memainkan sebuah peran yangmenonjol dalam proyek ini dengan menerjemahkan karya-karyaHasan Al Banna, Mushtafa Mashur dan Sa’id Hawwa, danmendirikan rumah penerbitannya sendiri, yaitu Al-Ishlahy Press

Page 616: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

596 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

untuk mencetak karya-karya tersebut (Damanik 2002: 95). Parapenerbit Islam yang baru seperti Gema Insani Press, Al-Kautsar,Robbani Press dan Era Intermedia melanjutkan keberhasilanpopulerisasi IM dengan menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya Qutb yang lain maupun karya-karya tokoh-tokoh IMseperti Muhammad Qutb, Muhammad Al Ghazali dan YusufQardhawi. Sebagai hasilnya, ideologi-ideologi dan metode-metode dakwah IM sangat mempengaruhi para aktivis Islam dimasjid-masjid kampus dan dengan segera diadopsi oleh programtraining dan mentoring LDK.

Keterkaitan kembali komunitas Muslim Indonesia dengankomunitas Islam global juga ditandai dengan meningkatnyajumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Timur Tengah.Menurut catatan Mona Abaza (1999: 95-96, 117), pada tahun1966, total anggota perhimpunan mahasiswa Indonesia di Mesiradalah 36, pada tahun 1982/1983 jumlahnya melonjak menjadi415, dan meningkat lagi menjadi 722-730 pada tahun 1987,serta mencapai 1.000 pada tahun 1993. Pada tahun 1987, totaljumlah mahasiswa Indonesia di negara-negara Arab dan Persiasebesar 1.742 dengan kebanyakan dari mereka belajar di SaudiArabia (904 mahasiswa) dan Mesir (722 mahasiswa). Sisanyabelajar di Iran (32), Libya (27), Syria (21), Sudan (10), Yordania(9), Irak (8), Turki (7) dan Alajazair (2). Namun, tidak sepertipara mahasiswa Indonesia yang belajar di negara-negara Barat,kebanyakan mahasiswa Indonesia yang belajar di negara-negaraMuslim mengambil studi di level undergraduate. Karenaterpengaruh oleh semakin populernya harakah Islam di TimurTengah, banyak dari mahasiswa ini setelah pulang ke tanah airmenjadi mitra-mitra strategis dari para aktivis masjid kampusuntuk mengkampanyekan ideolgi-ideologi harakah.

Peristiwa besar lainnya di Dunia Muslim yang mempengaruhi

Page 617: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 597

perkembangan gerakan masjid di Indonesia adalah RevolusiIran tahun 1979. Meskipun mayoritas orang Iran mengikutipaham Islam Syiah, sementara orang Indonesia menganut pahamSunni, namun hal ini tak mengecilkan hati para aktivis IslamIndonesia untuk mengagumi keberhasilan revolusi Islam itu danbahkan menjadikan beberapa lingkaran Muslim Indonesia,terutama yang berasal dari komunitas Arab, untuk tertarikdengan ajaran-ajaran Syiah.131 Namun, bagi kebanyakan aktivisIslam Indonesia, kekaguman ini tidak mesti mendorong merekamelakukan konversi (internal) kepada Syiah.. Bagi mereka,makna penting dari revolusi Islam Iran semata-mata terletakpada kemampuannya untuk menghadirkan konsep revolusidalam Islam.

Segera setelah revolusi Islam Iran, rumah penerbitan Islamyang baru, terutama penerbit Mizan yang berada di Bandung,menerbitkan terjemahan-terjemahan dari karya-karya paraintelektual revolusioner Iran seperti Ali Shariati, MurtadlaMuthahhari dan Imam Khomeini. Karya-karya ini memberikaninspirasi dan motivasi tambahan bagi para aktivis Islam Indonesiadalam mengembangkan gerakan Islam. Maka, istilah Ali Shariati,‘rausyan fikr’ (intelektual yang tercerahkan),132 yang mendukungketerlibatan intelektual dalam usaha membebaskan manusia daripenderitaannya, menarik bagi para aktivis gerakan masjid.

Gelombang Islamisme yang berbarengan dengan boom minyaktelah melahirkan sebuah iklim optimisme di seluruh DuniaMuslim yang mengharap-harap datangnya renaissance (kebangkitankembali) Islam. ‘World of Islam Festival’ (Festival Islam Dunia)yang diadakan di London pada bulan Agustus 1976, yangmemamerkan kejayaan masa lalu Islam, memompa semangatrevivalisme Islam. Menjelang tahun 1980-an, Liga Dunia Muslimmulai memproklamirkan abad ke-15 kalender Hijriah (yang

Page 618: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

598 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

dimulai pada tahun 1981 Masehi) sebagai era kebangkitankembali Islam. Untuk menandai momen historis ini, Liga DuniaMuslim mengadakan Konferensi Media Massa Islam yangpertama kali yang berlangsung di Jakarta, ibukota negeriberpenduduk Muslim terbesar di dunia, pada tanggal 1-3September 1980. Gaung dari acara ini lebih menempa lagisemangat Islam dari gerakan masjid di Indonesia.

Kampus-kampus masjid terus berfungsi sebagai pusat-pusatpercontohan gerakan masjid. Pelan namun pasti, hampir setiapuniversitas sekuler mengembangkan LDK-nya sendiri, dan setiapLDK membentuk kolaborasi dengan para dosen agama Islamuntuk menjamin bahwa program ‘mentoring’ menjadi bagiandari perkuliahan. Pelan namun pasti, isi dan metode dakwahyang diajarkan LMD kian didominasi oleh isi dan metodedakwah yang diimpor dari harakah internasional. Terminologigerakan dakwah semakin banyak mengadopsi terminologi bahasaArab, menggantikan terminologi bahasa Inggris yang sebelumnyadiadopsi secara luas oleh gerakan-gerakan mahasiswa Islampada dekade-dekade sebelumnya. Pada akhir tahun 1980-an,gerakan masjid yang terpengaruh oleh harakah IM mulai dikenalsebagai gerakan tarbiyah, dan ini berarti menggunakan kodeyang sama dengan IM.

Para aktivis dakwah pada akhir tahun 1980-an dan 1990-anlebih berdedikasi, ketimbang para aktivis dakwah tahun 1960-an/1970-an yang didominasi aktivis HMI/PII, dalam apresiasinyaterhadap kehidupan masjid. Menurut seorang aktivis masjidkampus yang terkenal pada tahun 1990-an, Fahri Hamzah,masjid bukan merupakan pangkalan utama bagi training danaktivitas-aktivitas HMI/PII, karena baru akhir tahun 1960-anpara intelektual HMI/PII yang berorientasi dakwah mulaimengalihkan perhatiannya ke masjid sebagai basis mereka.

Page 619: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 599

Sementara, bagi para aktivis dakwah yang lebih kemudian,masjid bukan hanya menjadi pangkalan utama bagi training danaktivitas-aktivitas mereka sejak awal, namun juga, bagi kebanyakandari mereka, menjadi rumah tempat tinggal mereka. Kedekatandengan kehidupan masjid ini menyebabkan internalisasi identitasIslam dan pemikiran Islam (Islamic mindedness) dari para aktivisdakwah yang lebih kemudian ini menjadi jauh lebih dalamdaripada para intelektual HMI yang berorientasi dakwah.133

Dengan begitu, para aktivis dakwah yang lebih kemudian lebihrentan terhadap pengaruh dari ide-ide Islam yang lebihpuritan/militan yang ditawarkan oleh harakah Islam internasional.

Selain itu, terdapat paling tidak dua alasan lain bagi pendalamanidentifikasi aktivis dakwah Indonesia dengan harakah internasional.Yang pertama, kaum Muslim ‘new edge’ (mereka yang barubelajar Islam dan yang berada di periferi Dunia Islam) cenderungmengglorifikasi mereka yang berada di ‘pusat’ (center), baiksebagai refleksi dari obsesi mereka akan otentisitas Islam maupunover-kompensasi atas kurangnya otoritas mereka dalam studiIslam. Bagi orang-orang dengan jenis kecenderungan psikologissemacam ini, ide-ide Islam dari harakah internasioanlmenghadirkan sebuah rasa kredibilitas dan otentisitas karenapara intelektual organik dari harakah ini kebanyakan berasaldari pusat Dunia Muslim (yaitu Timur Tengah) atau setidaknyapernah belajar di Timur Tengah. Pada saat yang sama, terdapatkelangkaan litetarur Islam yang mendalam yang ditulis olehpara intelektual Indonesia.

Dengan identifikasi dirinya yang lebih dalam terhadap harakahinternasional, para aktivis dakwah yang lebih kemudianmemberikan respons yang khas terhadap tantangan duniamodern. Karena mayoritas Muslim Indonesia telah terekspossecara mendalam terhadap proses modernisasi, dan karena

Page 620: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

600 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

kebanyakan aktivis kampus juga telah sangat akrab dengan sainsdan teknologi modern, maka para aktivis dakwah yang lebihkemudian ini mulai mengambil jarak dari proyek historis yangtelah diemban oleh generasi-generasi inteligensia Muslimsebelumnya. Sementara yang menjadi kepedulian utama generasisebelumnya ialah bagaimana melakukan ‘modernisasi Islam’,yang menjadi kepedulian utama dari aktivis dakwah yang lebihkemudian ialah bagaimana melakukan ‘Islamisasi modernitas’.Sebagai konsekuensinya, orang-orang seperti ImaduddinAbdulrahim dan para aktivis dakwah pada tahun 1960-an dan1970-an, yang biasanya dipandang sebagai terlalu Islamis olehstandar pada masanya, mulai dianggap sebagai terlalu moderatoleh standar para aktivis dakwah pada akhir tahun 1980-an dan1990-an. Misalnya saja, Abdulrahim tidak ngotot agar istrinyamengenakan jilbab, padahal hal itu oleh para aktivis dakwah1980-an/1990-an dipandang sebagai keharusan bagi seorangpemeluk sejati Islam dan sebagai ikon bagi Islamisasi modernitas.Slogan-slogan seperti ‘Islam adalah solusi’ dan ‘Islam adalahalternatif ’ sekarang menjadi bergema di seluruh kampus-kampusuniversitas.

Untuk mengkonsolidasikan kelompok-kelompok LDK danuntuk memperkuat kerjasama di antara mereka, para aktivisdari beragam latar kampus menyelenggarakan pertemuan antarLDK pertama yang disebut Forum Silaturahmi (FS)-LDK dimasjid Salman ITB pada tahun 1987. Pada pertemuan antar-LDK yang kedua, yang diadakan di masjid Al-Ghifari padatahun 1987, dirumuskan khitah LDK sebagai berikut: ‘PerjuanganLDK didasarkan pada Islam sebagai agama Allah dan sebagaijalan hidup, dan LDK akan bersatu atas dasar ikatan syahadat’.134

Forum informal ini membentuk sebuah jaringan yangmempertalikan para aktivis dakwah ini satu sama lain, sehingga

Page 621: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 601

memperkuat identitas dan solidaritas kolektif mereka. Forumini juga menjadi saluran bagi pertukaran ide-ide, pengalokasiansumber-sumber daya, dan memperkuat jaringan.

FS-LDK dengan ideologi dan jaringannya berfungsi sebagaibasis bagi tindakan sosio-politik yang lebih lanjut. Ketika strukturpeluang politik dalam ruang publik Orde Baru berubah padaakhir tahun 1990-an, para aktivis dakwah dari generasi keenaminteligensia Muslim, yang terutama terdiri dari mereka yanglahir pada tahun 1970-an, mulai menerjemahkan jaringan LDKini menjadi sebuah kelompok aksi politik. Di tengah-tengahgerakan reformasi, pertemuan antar-LDK kesepuluh diadakandi masjid Universitas Muhammadiyah Malang pada tanggal 25-29 Maret 1998, yang diikuti oleh 64 dari 69 LDK yang ada diseluruh Indonesia. Pertemuan itu sepakat untuk mengubahjaringan LDK menjadi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia(KAMMI) dengan Fahri Hamzah dari UI sebagai ketuanya yangpertama. Akronim ‘KAMMI’ terinspirasikan oleh akronim‘KAMI’, yang merupakan gerakan mahasiswa tahun 1966 yangdidominasi oleh HMI. Namun, dalam KAMMI yang baruterbentuk itu, HMI tidak masuk, dan peran HMI dalam gerakanreformasi juga marjinal. KAMMI menjadi kesatuan aksi mahasiswayang paling kuat dalam gerakan mahasiswa 1998 dansesudahnya.135

Perkembangan Gerakan PembaruanKetika universitas-universitas sekuler menjadi basis gerakandakwah, lembaga-lembaga perguruan tinggi Islam, terutamaIAIN, menjadi basis gerakan pembaruan. Ada sejumlah penjelasanihwal fenomena ini. Di lembaga-lembaga perguruan tinggi Islam,hampir semua mahasiswanya adalah santri. Dengan demikian,

Page 622: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

602 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

tingkat pergulatan ideo-politik yang kompetitif di kalanganmahasiswa di lembaga-lembaga perguruan tinggi Islam tidakterlalu intens daripada yang berlangsung di universitas-universitassekuler. Konflik perenial di tubuh IAIN merupakan konflikendogen, antara mahasiswa Islam tradisionalis dan pembaharu.Karena tidak ada pendukung ideologi-ideologi sekuler di dalamkampus, para mahasiswa perguruan tinggi Islam cenderungkurang termotivasi dalam menyebarluaskan klaim-klaim Islamdibandingkan dengan para aktivis Islam di universitas-universitassekuler.

Nurcholish Madjid mengajukan hipotesis tersendiri: ketiadaanpelajaran agama di universitas-universitas sekuler justru mendorongpara aktivis Islam di sana untuk bersikap lebih apresiatif terhadappengetahuan dan simbol keagamaan. Tentu saja dapat jugadikatakan bahwa ketiadaan pelajaran agama dapat jugamenyebabkan para mahasiswa di universitas-universitas sekulerberpikiran sekuler.136 Mengikuti alur logika yang sama, bisajuga dikatakan bahwa ketiadaan secara relatif pelajaran saintifikdi IAIN dan pesantren bisa menyebabkan para mahasiswanyaterlalu menilai tinggi pengetahuan dan simbol sekuler. Namun,juga bisa dikatakan bahwa berlimpahnya jumlah pelajaran agamadi perguruan Islam bisa menyebabkan para mahasiswanyaberhaluan konservatif dalam keislamannya.

Imaduddin Abdulrahim membaca secara lain: karena masihmembekasnya hierarki pengetahuan yang bersifat kolonial, paramahasiswa di perguruan tinggi Islam merasa inferior di hadapanpara mahasiswa di universitas sekuler. Untuk mengatasi inferioritasini, para mahasiswa di perguruan tinggi Islam cenderung mencarikompensasi-berlebihan dengan cara memamerkan pengetahuanmereka akan, dan keterbukaan mereka terhadap, ide-ide intelektualBarat (Asshiddiqie et. Al. 2002: 34). Dengan menggunakan

Page 623: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 603

penalaran serupa, kita bisa mengasumsikan bahwa para aktivisIslam di universitas sekuler cenderung terobsesi dengan terminologiArab dan ide-ide Islam sebagai kompensasi-berlebihan terhadappenguasaan-lemah mereka atas literatur Arab dan Islam.

Di samping itu, bagi banyak mahasiswa IAIN, Madjid dianggapsebagai seorang pahlawan. Madjid—dua kali menjabat ketuaHMI dan memiliki reputasi sebagai intelektual Muslim terkemukadari generasinya—membantu mengembangkan rasa percaya diridan pengaruh intelektual komunitas IAIN. Jadi, dia bertindaksebagai teladan bagi banyak mahasiswa dan intelektual IAIN.Ide-ide pembaruannya juga menjadi pemandu bagi generasibaru intelektual IAIN. Perjalanan studinya di University ofChicago,137 untuk meraih gelar doktor (1978-1984), menjadiinspirasi bagi banyak sarjana IAIN untuk belajar di pusat-pusatstudi Islam di Barat.

Keterbukaan mahasiswa di komunitas IAIN terhadap gerakanpembaruan diperkuat oleh kebijakan pro-modernisasi danakomodatif yang diterapkan Departemen Agama. Sejak periodeMukti Ali (1973-1978), Departemen ini mulai memperkuatpengajaran pelajaran umum di IAIN dan mendorong sarjanaMuslim untuk belajar di perguruan tinggi Barat. Selain karenakekaguman pemerintah terhadap prestasi saintifik dan teknologiBarat, dorongan ini dimaksudkan untuk menstimulus intelektualMuslim agar menganut pandangan yang lebih “obyektif ”mengenai peran agama serta agar mengapresiasi tuntutan untukmenganut pandangan itu di dunia modern yang sekuler. Dengandemikian, seperti dicatat Ruth McVey (1989: 208), DepartemenAgama telah “berusaha menjembatani jurang antara kaum santridan negara dengan memberi Islam juru bicara yang dapatberkomunikasi secara mudah dengan rezim dan memiliki persepsiyang sama”.

Page 624: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

604 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Dampak-langsung dukungan pemerintah adalah terjadinyapergeseran dalam tujuan studi postgraduate para sarjana IAIN,dari pusat-pusat studi Islam di Timur Tengah ke pusat-pusatstudi Islam di Barat. Hingga akhir 1960-an, hanya sedikit sarjanaIndonesia berlatar belakang pendidikan Islam yang menempuhstudi Islam di universitas-universitas Barat. Di antara merekayang sedikit itu adalah H.M. Rasjidi, Mukti Ali, Anton TimurDjaelani, Harun Nasution, dan Kafrawi.138 Namun, sejak 1970-an hingga sekarang, arus sarjana IAIN ke universitas-universitasBarat berlipat ganda dan terus melonjak secara eksponensial(lihat bab selanjutnya). Mereka yang kembali dari studi diuniversitas-universitas Barat ini kemudian menjadi agen potensialbagi penyebaran ide-ide pembaruan di kalangan komunitas IAIN(dan di luar IAIN) di seluruh Indonesia.

Ide-ide pembaruan juga menemukan lahan subur di tubuhHMI. Dengan didominasi oleh intelektual berorientasi pragmatisdan moderat, ide-ide pembaruan menjadi legitimasi ideologisbagi arus-utama anggota-anggota HMI untuk memasuki duniapolitik dan birokrasi Orde Baru. Selama periode kepemimpinanRidwan Saidi (1974-1976), HMI dianggap sebagai basisinstitusional bagi ide-ide pembaruan. Namun, Madjid dan parakoleganya tidak mendukung implementasi ide ini dengan alasanbahwa formalisasi ide tersebut dapat mengarah ke stagnasikonsep-konsep pembaruan.139 Namun, para anggota HMI terusmenjadi audiens potensial bagi ide-ide pembaruan.

Di luar komunitas IAIN dan HMI, ide-ide pembaruan jugamenarik bagi para politisi dan birokrat Muslim yang bersikapakomodasionis. Birokrat Muslim ini memang tidak memilikiketertarikan kuat terhadap pemikiran Islam yang teoretis, namunmerekalah yang menyediakan mekanisme praktis bagi pembumianide-ide pembaruan dalam struktur politik Orde Baru. Wakil par

Page 625: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 605

excellence dari kaum politisi dan birokrat ini adalah AkbarTandjung (ketua HMI, 1971-1973) dan Mar’ie Muhammad(aktivis HMI terkemuka). Di belakang keduanya, terdapat blokinteligensia Muslim berorientasi pragmatis yang lebih menghendakiposisi-posisi politik dan birokrasi, namun tidak bisa mencapainyamelalui kendaraan Islam-politik. Integrasi mereka dengan birokrasidan dunia politik Orde Baru memperkuat “blok-dalam” Muslimyang telah dirintis oleh inteligensia Muslim sebelumnya.

Bagi inteligensia Muslim dari “blok-dalam”, slogan Madjid,“Islam, ya; partai Islam, tidak!” dan penerimaan Pancasila olehorganisasi-organisasi besar Islam setelah 1983 sangatlah berkaitan.Keduanya dipandang sebagai indikasi penerimaan diri terhadaportodoksi negara dan membuka jalan bagi rujuk antara inteligensiaMuslim dan negara serta menjadikan negara lebih responsifterhadap kepentingan-kepentingan kultural dan posisional kaumMuslim.

Efek ide-ide pembaruan dari mantan pemimpin HMI inimenyebar ke seluruh masyarakat seiring dengan perkembangangerakan pembaruan di tubuh NU. Tokoh protagonis utama darigerakan pembaruan di tubuh kaum tradisionalis ini adalahAbdurarahman Wahid (lahir 1940), seorang intelektual danwarga NU terkemuka dari keturunan keluarga terhormat dikalangan NU. Dia adalah cucu pendiri utama NU, HasjimAsj’ari, dan juga anak seorang intelek-ulama terkemuka NU,Wachid Hasjim.

Setelah delapan tahun belajar di Timur Tengah (yang pertamadi Universitas Al-Azhar, Mesir, dan kemudian di UniversitasBaghdad, Irak), Abdurrahman Wahid pada 1971 kembali keJombang (Jawa Timur), yang merupakan basis kaum tradisionalisIndonesia. Saat kembali, karena telah mempelajari literatur

Page 626: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

606 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Islam dan Barat, dia dengan segera berhadapan dengan duatantangan serius di tubuh komunitas NU: tantangan modernisasiyang dilakukan pemerintah dan ketegangan hubungan antaraNU dan pemerintah setelah NU meraih hasil signifikan padaPemilu 1971. Yang segera menjadi perhatian utamanya ialahbagaimana komunitas tradisionalis sanggup mengatasi problemmodernisasi dan kepentingan nasional (sesuai definisi negara).

Sebagai intelektual, Wahid tertantang untuk mengembangkanpenafsiran ulang atas pemikiran fikih dan teologis kaumtradisionalis dengan tujuan mampu menghadapi tantanganmodernisasi dan kepentingan nasional, tetapi pada saat yangsama tetap menghargai tradisi lokal. Hal ini tercermin dalamkarya-karya awalnya seperti Bunga Rampai Pesantren (terbit1979) dan Muslim di Tengah Pergumulan (terbit 1981).

Ide-idenya mengikuti jalur neo-tradisionalis yang diperkayaoleh pergaulannya dengan intelektual dari beragam komunitas,terutama dengan para intelektual pembaruan di Jakarta. Sejak1970-an, dia diundang oleh Tawang Alun, Dawam Rahardjo,dan Adi Sasono (intelektual HMI pro-pembaruan yang bergerakdi dunia LSM) untuk mengambil bagian dalam proyekpengembangan masyarakat pesantren, yang dirancang oleh duaLSM terkemuka di Jakarta, yaitu Lembaga Penelitian, Pendidikandan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES, berdiri 1971) danPerkumpulan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M,berdiri 1983). Melalui pertemuannya dengan para aktivis LSM,ide-ide intelektual Wahid mulai dipengaruhi oleh tema-temadominan di kalangan aktivis LSM—seperti pembangunanalternatif, demokrasi, dan hak-hak asasi manusia.140

Wahid juga diundang untuk bergabung dengan lingkaranintelektual pembaruan neo-modernisme yang terlibat bergerak

Page 627: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 607

di jalur LSM, yaitu LKIS,141 dan yang terlibat dalam forumdiskusi plural yang dikenal sebagai Majelis Reboan (berdiri1984).142 Kedua institusi tersebut ikut memperkuat ide-ideWahid seputar sekulerisasi, pluralisme, non-sektarianisme,inklusivisme, dan kontekstualisasi Islam.143 Hal ini mengarahpada perumusan paradigma Islamnya: “pribumisasi Islam”.Melalui paradigma ini, kaum tradisionalis bukan hanya memilikisenjata intelektual yang baru untuk membela praktik historiskeagamaannya dari kritik kaum pembaru-modernis, tetapi jugaalasan baru bagi peletakan kepentingan Islam di bawah kepentingannasional.

Ide-ide intelektual individu Wahid sebagian mencerminkankomitmennya yang sungguh-sungguh terhadap pluralisme,kepentingan nasional, dan demokrasi. Namun, ide-ide tersebuttidak sepenuhnya kosong dari kepentingan politik. Sebagaiseorang yang berkomitmen untuk membela kepentingan kaumtradisionalis, dia berupaya melunakkan ketegangan hubunganantara NU dan pemerintah, dan membawa NU ke jalurakomodasionis. Dia melihat pentingnya bersikap akomodasioniskarena para politisi NUI mengalami marjinalisasi yang terus-menerus di tubuh partai Islam, PPP. Pemaksaan pemerintah agarPancasila menjadi asas tunggal menjadi sarana baginya untukmenarik NU dari PPP dan membawa NU lebih dekat kepemerintah. Pada Desember 1983, dia berhasil memengaruhiMuktamar NU di Situbondo (Jawa Timur) untuk menerimaPancasila sebagai asas tunggal dan NU kembali ke khitah sebagaiorganisasi sosial keagamaan. Seperti slogan Madjid “Islam, ya;Partai Islam, tidak!”, gerak kembali ke khitah ini patut dinilaisebagai strategi politik yang menggunakan pendekatan politiknon-formal untuk memperkuat daya tawar NU dengan rezimOrde Baru. Segera setelah pembantaian Tandjung Priok pada 12

Page 628: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

608 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

September 1984, Wahid mengambil keputusan kontroversialdengan mengundang Jenderal L.B. Murdani untuk mengunjungibeberapa pesantren NU. Sebagian karena hasil sikap bersahabatnyadengan pemerintah, dia bisa terpilih sebagai Ketua DewanTanfidziyah NU pada Desember 1984. Pada 1988, dia jugaterpilih sebagai wakil Golkar dalam Badan Pekerja MPR.

Sembari mempertahankan strategi akomodasionisnya, Wahidjuga bisa mempertahankan reputasi NU dan dirinya sendiri dimata civil society karena keterlibatannya dalam aktivitas-aktivitasLSM dan kampanyenya mengenai pluralisme, demokrasi, danhak-hak asasi manusia. Namun, dalam banyak kasus, tidaksemua ide-ide bagus bisa berjalan serentak. Posisinya sebagaipembela kepentingan kaum tradisionalis mendorongnya untukbersikap akomodasionis terhadap pemerintah, sedangkan posisinyasebagai intelektual mendorongnya untuk menyuarakan kebenarandi hadapan kekuasaan. Karena inilah, dia dikenal sebagaiintelektual Muslim paling kontroversial. Namun, apa pun dia dimata banyak orang, sebagai ketua organisasi Muslim terbesar diIndonesia, ide-ide pembaruannya memiliki kontribusi pentingyang berpengaruh terhadap gerakan pembaruan.

Hegemoni dari diskursus-diskursus pembaruan di ruangpublik, yang dimungkinkan berkat dukungan positif “rezimkebenaran” (aparatus ideologi negara dan liputan media) dalampengertian Foucauldian,144 pada akhirnya memaksaMuhammadiyah untuk mendukung pula ide-ide pembaruan,meski dalam kadar yang lebih terbatas. PenerimaanMuhammadiyah atas ide-ide pembaruan muncul agak terlambat,sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, sebagai organisasipembaharu, Muhammadiyah tidak bisa dengan mudah menguburhasratnya untuk mempertahankan kemurnian dan otentisitasIslam. Kedua, para tokoh muda Muhammadiyah seperti Amien

Page 629: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 609

Rais dan Syafi’i Maarif memiliki hubungan dekat dengan DDII.Namun, perjumpaan para intelektual muda ini dengan komunitasepistemik dan jaringan intelektual yang lain memiliki dampaksignifikan terhadap perkembangan intelektual mereka di kemudianhari. Ini terutama terjadi setelah Rais dan Maarif mengambilstudi post-graduate di Amerika Serikat. Baik Rais maupun Maarifmenyelesaikan program PhD mereka di University of Chicago,berturut-turut pada 1981 dan 1982. Selama studi mereka diuniversitas tersebut, Rais dibimbing oleh tiga sarjana Yahudi,yang salah satunya adalah Leonard Binder,145 sedangkan Maarifdibimbing, selain oleh yang lain, oleh pemikir Islam liberal(neo-mdoernis) Pakistan terkemuka, yang juga membimbingMadjid, yaitu Fazlur Rahman. Lewat pertemuannya denganpara intelektual yang mempromosikan liberalisme ini, merekamulai bersikap lebih simpatik terhadap ide-ide pembaruan.

Pada November 1982, Amien Rais mengejutkan publikIndonesia dengan langkahnya yang mengarah ke jalur pembaruan.Dalam wawancaranya dengan majalah Panji Masyarakat (No.376/1982), dia menolak eksistensi negara Islam sebagai sebuahkonsep karena menurutnya, hal itu tidak ada dalam Al-Qur’anmaupun Sunnah. Selanjutnya, dia menyatakan bisa menerimaPancasila sebagai ideologi negara atas dasar bahwa Islam beradadi atas ideologi dan Pancasila sendiri tindak bertentangan denganprinsip-prinsip Islam. Di bawah pengaruh para tokoh intelektualmuda seperti Rais, Muktamar Muhammadiyah pada Desember1985 menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Namun, banyakintelektual Muhammadiyah yang cenderung menolak idesekulerisasi dengan alasan konsep itu asing bagi masyarakatIslam. Penolakan terhadap negara Islam, dalam pandangan Rais,sama sekali tidak berarti menyingkirkan nilai-nilai dan panduanagama dari kehidupan publik. Menurutnya, prinsip pertama

Page 630: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

610 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Pancasila secara implisit mengakui ketakterpisahan agama dankehidupan publik. Pandangan tersebut memungkinkan dirinyadan para intelektual Muhammadiyah lain untuk tetap menjalinhubungan baik dengan para aktivis gerakan dakwah. Pada saatyang sama, pandangan ini menghambat perkembangan lebihjauh dari ide-ide liberalnya. Maka, ide-ide pembaruannya terfokuspada pemahaman-kembali (rethinking) fikih Islam, sehinggamemungkinkan Islam merespons dengan lebih baik tantangan-tantangan kehidupan modern, dan kemudian pada tataranpraktis, bisa mereformasi sistem politik Indonesia.

Sikap para intelektual dan organisasi-organisasi Muslimterhadap ajaran negara ini membebaskan inteligensia Muslimdalam birokrasi dari stigma sebagai lawan Orde Baru danmembantu memecahkan hambatan psikologis untukmengekspresikan dan mensosialisasikan Islam kultural dilingkungan birokrasi. Birokrat Muslim kini secara terbuka,misalnya, melakukan shalat berjamaah, mengadakan acarakeagamaan dan merayakan hari besar Islam. Mereka jugamendirikan mushalla, dan kemudian masjid, di kantor-kantorpemerintah. Secara pelan tetapi pasti, birokrat Muslim beranimengekspresikan identitas Islam mereka, yang diekspresikanmelalui penciptaan tradisi baru seperti pembiasaan ucapan salam(assalamu‘alaikum) dan naik haji. Mulailah terjadi rujuk antaraMuslim abangan dan santri di tubuh birokrasi karena yangdisebut pertama secara lambat laun mulai bergabung ke dalam“rumah” Islam kultural. Banyak birokrat Muslim abangan yangmulai belajar lebih banyak tentang Islam dengan mengundangguru Islam privat ke rumah-rumah mereka, termasuk keluargaSuharto.146

Muncul akibat-akibat mengejutkan dari perkembangan ini,yang diwakili cerita B.J. Habibie berikut. Dia bercerita, pernah

Page 631: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 611

pada akhir 1970-an, Suharto memimpin dan membuka sidangKabinet dengan menggunakan peci dan mengucapkan “bismillah”.Habibie kemudian bertanya kepadanya, “Mengapa Andamelakukan itu?” Suharto mejawab, “Awalnya kita lemah secaraekonomi. Oleh karena itu, kita membutuhkan lobi Katholikbagi masyarakat kapitalis internasional dan itulah sebabnya sulitbagi saya untuk mengekspresikan identitas Islam saya. Namun,sekarang kita telah cukup kuat untuk menegaskan identitas kitasendiri’.147

Perkembangan Gerakan “Jalan Ketiga”Dalam sejumlah momen dan kesempatan, pendukung gerakandakwah dan pembaruan memiliki kesamaan landasan. Keduakelompok itu sering bertemu satu sama lain dalam konteks—dalam istilah Edward Said—“wordliness”’. Yang dimaksudkandengan istilah itu adalah keterlibatan-konstan para intelektualdalam upaya mengaitkan tekstualitas (kesadaran diskursif) dengandunia (kesadaran praktis). Ini merupakan kepedulian ataspewujudan ajaran-ajaran dan moralitas keagamaan di tengahkebangkrutan politik, material, dan spiritual manusia karenasebagai makhluk material, kata Said, ia terlibat-penuh dalamproses material dari hal-hal yang dikonsepkan: kemiskinan,ketidakadilan, keterpinggiran, dan keterjajahan (Said 1983).

Menyadari kebutuhan-mendesak untuk merespons penderitaanmanusia dan dampak-negatif pembangunan, beberapa aktivisMuslim dengan kecenderungan intelektual yang berbeda mulaimelangkah melampaui pemikiran Islamisme dan liberalisme.Dengan menekankan dimensi transformatif dari Islam melaluipemberdayaan masyarakat madani dan moralitas dan spiritualitas“terapan”, para intelektual ini membentuk gerakan “jalan ketiga”

Page 632: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

612 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

untuk merespons politik dan ortodoksi Orde Baru. GerakanIslam ini diaktualisasikan melalui “sektor ketiga” dalam pengertiande Tocqueville (1835), yaitu dalam bentuk Lembaga SwadayaMasyarakat (LSM) dan komunitas-komunitas spiritualisme danseni Islam yang mulai berkembang pada 1970-an.

Pada awalnya, para tokoh gerakan pembaruan Islam yangmemiliki kecenderungan religio-sosialistik—seperti Tawang Alun,Dawam Rahardjo, Utomo Dananjaya, dan Aswab Mahasin—mengawali keterlibatan dalam gerakan jalan ketiga denganbergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan PeneranganEkonomi dan Sosial (LP3ES) beberapa tahun setelah pendiriannyapada 1971. LSM terkemuka ini didirikan oleh para intelektualsosialis yang terkenal seperti Sumitro Djojohadikusumo, EmilSalim, Dorodjatun Kuncoro-Djakti, Nono Anwar Makarim, danbeberapa yang lain dengan pendanaan dari Friederich NaumannStiftung (FNS). Dalam perkembangan berikutnya, LSM inimenjadi usaha gabungan antara para aktivis sosialis dan Islam,sehingga menyerupai hubungan erat antara para pemimpinutama sosialis dan Masyumi, yaitu Sutan Syahrir dan MohammadNatsir. Yang menjadi kepedulian utama LP3ES adalah mengoreksidampak-negatif pembangunan dan kebijakan represif Orde Barudengan menawarkan pilihan-pilihan pembangunan alternatif,serta dengan memosisikan diri sebagai suara penyeimbang dansekaligus mitra bagi pemerintah, selain sebagai institusi penengahantara negara dan masyarakat.148 Sekitar tahun yang sama,beberapa aktivis Muslim lain yang berlatar belakang HMI—seperti Abdurrachman Saleh, Mohammad Assegaff, dan AbdulBari—bergabung dengan LSM terkemuka dalam bidang bantuanhukum: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (berdiri1971). LSM ini bertujuan mempromosikan penegakan hukumdengan memperkuat daya tawar dan hak-hak konstitusional

Page 633: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 613

dari kaum miskin dan marjinal dalam masyarakat.

Setelah kemunculan LP3ES dan YLBHI, beberpa mantanpemimpin HMI/PII (Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo,Utomo Dananjaya, dan A.M. Fatwa) berkolaborasi dengan paraintelektual NU (Abdurrahman Wahid, Fahmi Saefuddin, danAbdullah Sjarwani) pada 1974 mendirikan sebuah LSM Islambernama Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi (LKIS, berdiri1974), dengan ketua pertama Nurcholish Madjid. Lembaga inibertujuan memajukan kewirausahaan kaum Muslim,mempromosikan pembangunan alternatif, dan penelitian Islam.149

Selanjutnya, pada 1982 Adi Sasono berkolaborasi denganpara intelektual Muslim dari LP3ES dalam mendirikan LembagaStudi Pembangunan (LSP). Seperti LP3ES, LSP berusaha menembusstruktur birokrasi dan memengaruhi kebijakan dari dalam, tetapipada saat yang sama membangun kelompok-kelompok ditingkatan akar rumput sebagai unit-unit ekonomi yang mandiri,dan memberikan informasi kepada mereka tentang hak-hak danpengakuan. Analisis LSP menyoroti dampak-destruktif perusahaan-perusahaan trans-nasional; jurang antara yang kaya dan yangmiskin, dan marjinalisasi atas keterampilan dan usaha lokal.Analisis ini sangat dipengaruhi oleh perspektif teoridependensi/ketergantungan (neo-Marxis), yang menjadi tiangpenyangga bagi banyak pemikiran radikal mengenai pembangunandan politik alternatif Indonesia sepanjang 1970-an dan 1980-an(Elridge 1995: 74-75).

Segera setelah itu, muncul sebuah LSM yang berspesialisasidalam pembangunan masyarakat pesantren, bernama PerkumpulanPengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M, berdiri 1983).LSM ini menyatukan para intelektual Muslim dari LSP (AdiSasono), LP3ES (Dawam Rahardjo dan Utomo Dananjaya), NU

Page 634: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

614 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

(Abdurrahman Wahid, Jusuf Hasjim, dan Sahal Mahfudz) dankelompok pembaru (Sholeh Iskandar dan Hamam Dja’far).Pengurus organisasi ini juga diisi oleh generasi muda aktivisIslam dari pelbagai aliran, seperti Muchtar Abbas (mantan aktivismasjid Salman), Mansour Faqih (mantan aktivis HMI), MasdarF. Mas’udi (aktivis muda NU), dan beberapa yang lain. Paraaktivis muda Islam lain terlibat dalam beragam LSM yangmenajmur pada 1980-an seperti Fachry Ali, Muslim Abdurrahman,Habib Chirzin, Imam Ahmad, dan banyak lagi.

Di samping itu, kemunculan LSM sosial menjadi inspirasibagi pendirian organisasi-organisasi serupa yang berspesialisasidalam bidang kajian Islam, penerbitan dan konsultan Islam.Beragam pusat keislaman yang mulai bermunculan pada akhir1980-an menyediakan ruang bagi aktualisasi diri, terutama yangbaru kembali dari belajar di luar negeri. Empat wakil utamadisajikan di sini. Setelah kembali ke Indonesia pada 1984,Nurcholish Madjid dengan dukungan rekan-rekan tokoh pembarulain mendirikan Yayasan Paramadina pada 1987 sebagai kendaraanuntuk menyebarluaskan pemikiran neo-modernis ke kalangankelas atas dan menengah Jakarta. Kedua, pada 1986, ImaduddinAbdulrahim150 berkolaborasi dengan mantan peserta programLMD, Hatta Radjasa, pada 1987 mendirikan YAASIN (YayasanPembina Sari Insani) yang berspesialisasi pada programAchievement Motivation Training yang berdasarkan Islam. Ketiga,Dawam Rahardjo dan para kolega intelektualnya (sebagianpernah belajar di luar negeri) pada 1988 mendirikan LembagaStudi Agama dan Filsafat (LSAF) sebagai kendaraan untukmempromosikan pemikiran Islam yang relevan dengan tantangan-tantangan kehidupan modern dan menerbitkan jurnal terkemuka,Ulumul Qur’an. Kempat, setelah kembali ke tanah air pada1982, Djalaluddin Rahmat dengan dukungan para intelektual

Page 635: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 615

berpaham Syiah mendirikan Yayasan Muthahhari pada 1988sebagai kendaraan untuk mempromosikan ‘Islam alternatif ’yang menekankan sikap non-sektarianisme.

Kebanyakan LSM dan juga beberapa pusat keislaman, menjadiwadah berhimpun bagi aktivis Muslim yang memiliki beragamafiliasi keagamaan. Dalam mengimplementasikan agenda mereka,bentuk lembaga Islam ini sering mendapatkan dukungan resmiatau logistik dari inteligensia Muslim yang berada di “blok-dalam” dan sektor ekonomi swasta. Pada saat yang sama, bentuklembaga baru itu juga melakukan kolaborasi dengan beragamkelompok Islam—tak peduli apa pun kecenderungan teologisdan ideologisnya. Dengan melibatkan orang-orang yang memilikiafiliasi beragam, LSM-LSM dan para aktivisnya menjadi jembatanantara para intelektual dan perhimpunan-perhimpunan Islamsehingga memungkinkan mobilisasi aksi kolektif. Bagi paratokoh gerakan pembaru, keterlibatan dalam kegiatanpengembangan masyarakat dan diskursus yang kritis juga menjadipenyeimbang bagi dukungan mereka terhadap ortodoksi negara.Dengan cara ini, mereka tetap bisa mempertahankan reputasimereka sebagai pelopor gerakan pro-demokrasi dan masyarakatmadani.

Selain kemunculan LSM-LSM dan pusat-pusat keislaman,gerakan jalan ketiga juga termanifestasikan dalam gerakankebangkitan kembali spiritualitas dan seni Islam. Sepanjang1980-an dan 1990-an, literatur tentang sufisme Islam termasukdalam kategori buku terlaris di Indonesia.151 Tarekat Islam,seperti tarekat Tijaniyah dan bentuk-bentuk baru tarekat, menarikanggota-anggota baru dari segmen-segmen masyarakat urbankelas menengah atas, apa pun latar belakang agama mereka.Pendirian beragam gerakan Islam, seperti Yayasan Muthahharidan Darut Tauhid di Bandung, Paramadina, Sehati dan Tazkiya

Page 636: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

616 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Sejati di Jakarta secara aktif mempromosikan kajian-kajiansufistik. Ketertarikan orang-orang yang berlatar belakang kelasmenengah dan atas terhadap sufisme Islam tampaknya menjadisemacam kompensasi bagi perasaan kebangkrutan spiritualmereka di tengah kehidupan metropolitan yang materialistisdan konsumeris.

Gerakan seni Islam terekspresikan dalam beragam bentukseni. Dalam musik, wakil par excellence gerakan ini adalahBimbo. Lahir pada 1960-an sebagai “Trio Bimbo” (beranggotatiga bersaudara, Sjamsuddin Hardjakusumah, Darmawan yangsering dipanggil Acil, dan Djaka Purnama), kelompok ini padaawalnya memainkan lagu-lagu Amerika Latin dan Spanyol, yangmencerminkan alienasi generasi yang terbaratkan pada 1960-an. Pada awal 1970-an, adik bungsu perempuan, Iin Parlinabergabung dengan kelompok ini dan mulai berpindah jalur kemusik pop Indonesia. “Kami ingin menemukan karakter musikkami sendiri dan mencoba merumuskan gaya Indonesia,” kataAcil (Sumarsono 1998: 134). Ketika kelompok itu mulaimemainkan lagu-lagu pop Indonesia, Sjamsuddin (saat itumahasiswa ITB) tertarik dengan aktivitas-aktivitas awal MasjidSalman. Terinspirasi oleh khutbah Jumat di masjid itu, dia mulaimenulis sebuah lagu keagamaan, berjudul Tuhan pada 1973,yang menjadi lagu hit di seluruh Indonesia serta menjadi titikbalik konsentrasi Bimbo pada genre lagu-lagu keagamaan yangdisebut kasidah. Lewat kolaborasinya dengan sastrawan terkenal,Taufiq Ismail, kasidah Bimbo melahirkan lirik-lirik yang kuatyang mengungkapkan keindahan beragama dan kesyahduanberibadah. Tema-tema ini terutama menarik kelas menengahurban dari pelbagai afiliasi teologi dan ideologi yang terpengaruholeh perubahan sosial yang begitu cepat dan oleh kebangkrutanspiritual di tengah kehidupan modern yang serba bergegas.152

Page 637: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 617

Para sastrawan Muslim sejak 1970-an telah memiliki kepedulianutama dalam merespons problem-problem kontemporer manusiadengan menggunakan sumber tradisi dan spiritualitas Islam.Beberapa sastrawan Muslim berusaha menimba dari tradisi-tradisi dan spiritualitas Islam demi menemukan bentuk-bentukdan inspirasi baru bagi tema-tema dan ekspresi-ekspresi artistikmereka. Genre “sastra Islam” ini sering disebut sebagai sastratransendental atau profetik atau sufistik.153 Para tokoh utamasastrawan Muslim ini ialah Danarto, Kuntowidjojo, TaufikIsmail, Abdul Hadi, Emha Ainun Nadjib, Mustofa Bisri, M.Fudoli Zaini, Ajip Rosjidi, D. Zawawi Imron, Hamid Djabbardan Sutardji Calzoum Bachri.

Dalam seni pertunjukan, kepedulian yang sama diekspresikanlewat kemunculan kelompok-kelompok teater Muslim. Misalnya,Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer, Teater Muslim dan TeaterSahalahuddin di Yogyakarta, dan teater-teater masjid kampus diseluruh Indonesia. Dalam seni lukis, kepedulian yang sama telahmenginspirasi beberapa pelukis Muslim untuk melukis kaligrafiIslam. Para tokoh terkemukanya adalah Ahmad Shadali, A.D.Pirous, Amang Rahman, Amri Jahja, dan Abay Subarna. Dalambidang mode, para desainer Muslim mulai beralih ke busana-busana Muslim. Kebanyakan desainer ini adalah wanita danbeberapa di antaranya terkenal sebagai bintang film. Para wakildari desainer Muslim ini ialah Anne Rufaidah, Fenny Mustafa,Ida Royani, Ida Leman, dan Sitoresmi Prabuningat.

Pertumbuhan gerakan seni dan spiritualitas Islam inimerepresentasikan pertumbuhan habitus (dalam pengertianBourdieu) Muslim yang baru. Dalam pengertian ini, habitus itulebih dari sekadar kebiasaan. Habitus adalah skemata pengalamandan persepsi yang bersifat kolektif yang mengandung ekspresi-subyektif identitas tertentu dan juga sebagai sarana-sarana

Page 638: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

618 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

obyektif bagi proses naturalisasi dan afirmasi identitas tertentu(Bourdieu 1977: 73). Jadi, gerakan seni Islam mengekspresikanidentitas (artistik) Islam dari kelas menengah Islam yang baru,dan pada saat yang bersama berfungsi sebagai prinsip pembentukdan penegas identitas keislaman yang baru dari komunitastersebut. Dengan melibatkan orang-orang dari beragam afiliasikeagamaan dan mengambil jarak dari perdebatan ideo-politikyang terjadi di kalangan Muslim, gerakan seni Islam jugabertindak sebagai medan perjumpaan bagi artikulasi kepentingan-umum kaum Muslim.

Perkembangan Gerakan “Sektor Kedua”Pergulatan penting lain, yang tenggelam di tengah hiruk-pikukgerakan-gerakan lain, berlangsung di sektor ekonomi swastaatau second sector dalam pengertian de Tocqueville. Secaraumum, ekonomi Muslim di bawah Orde Baru mengalamikemunduran serius. Meskipun keruntuhan ekonomi santri itutelah mulai terjadi sejak periode kolonial akhir, rezim ekonomiOrde Baru mempercepat kemunduran itu. Semakin meluas-mendalam integrasi ekonomi nasional ke dalam struktur kapitalisdunia, dibarengi kebijakan ekonomi para teknokrat ekonomiOrde Baru yang pro-pertumbuhan dan pro-konglomerat, telahmenghancurkan tulang pungggung ekonomi pedagang-santri.Akibatnya, citra tradisional santri sebagai borjuis pedaganglenyap. Richard Robison menggambarkan hal ini secara padat(1978: 23):

Sebagian besar borjuis pedagang Muslim asli, dalam pengertiansebenarnya, telah tergilas oleh sejarah. Mereka adalah korbanpenetrasi kapitalis asing dan Cina yang memiliki sumber-sumber

Page 639: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 619

finansial dan teknologi yang kuat. Mereka juga menjadi korbantradisi kekuasaan politiko-birokratik (yang tumbuh pertamakali di kerajaan-kerajaan agraris pra-kolonial di Jawa) yangtelah berhasil mengintegrasikan diri dengan struktur neokolonialisIndonesia pasca-1949.

Contoh paling dramatis dari fenomena ini ialah keruntuhanusaha kecil dan perdagangan skala kecil pribumi lokal, yangsecara tradisional dikuasai santri. Misalnya, industri manufaktursigaret cengkeh di Kudus (Jawa Tengah), industri garmen yangtelah lama hidup di Majalaya dan Majalengka (Jawa Barat) danusaha batik skala kecil di Pekalongan dan Pekajangan (JawaTengah).154

Namun, beberapa pebisnis Muslim, terutama yang berlatarbelakang HMI, memetik keuntungan dari program pembangunanekonomi Orde Baru. Berkat rujuknya hubungan pemerintahdan kaum Muslim dan berkat jaringan birokrat dan politisisantri, beberapa kelompok pebisnis Muslim tampil sebagaikonglomerat ekonomi (dalam tingkat yang lebih kecil). Contohpar excellence kelompok ini ialah kelompok Bakri (milik Bakribersaudara), kelompok Kodel (milik Fahmi Idris, Sugeng Sarjadi,dkk), kelompok Bukaka (milik Kalla bersaudara, Yusuf danAhmad Kalla, serta Fadel Muhammad), kelompok Pasaraya(milik Abdul Latif), dan kelompok PKBI (milik perhimpunankoperasi batik Muslim).

Meskipun para pebsinis Muslim ini tidak secara langsungterlibat dalam pengembangan dakwah, dalam gerakan pembaruandan jalan ketiga, keberadaan mereka memberikan kontribusikhusus bagi gerakan Islam Indonesia. Selain menyediakanlapangan kerja bagi para aktivis Islam dari beragam gerakan,mereka juga sering menyediakan dukungan finansial bagi proyek-

Page 640: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

620 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

proyek Islam dari beragam gerakan. Karena setiap kelompokgerakan membutuhkan dana, sektor ini juga menjadi titik temubagi kepentingan-kepentingan Muslim. Keberhasilan ataukegagalan sektor ini akan berdampak penting bagi pembentukanmasa depan gerakan-gerakan Islam.

KesimpulanOrde Baru dimulai dengan diskursus tentang pengkhianatanintelektual. Pada momen historis yang kritis, ketika politiknasional dipenuhi represi dan keterpecahan struktural, terdapatkecenderungan yang terus berulang di kalangan intelektualoposisi di Indonesia untuk menghujat keterlibatan intelektualdalam stuktur politik formal. Namun, dalam kenyataan faktual,hal ini tidak mencegah keterlibatan intelektual Indonesia dalampolitik. Lebih dari itu, mereka yang bersikap kooperatif denganstruktur kekuasaan di masa lalu cenderung mendapat keuntungandari pergantian rezim tersebut.

Dalam kosmologi politik Orde Baru, pertikaian politik sipildan mobilisasi politik massa dianggap bertanggung jawab ataskekacauan ekonomi dan politik. Hal ini menjadi justifikasi bagiperwujudan kehendak kuat yang telah lama ada dari militeruntuk memegang peran dominan dalam politik Indonesia.Dengan janji menjamin stabilitas politik demi kepentinganmodernisasi ekonomi, militer menjadi broker kekuasaan utamadalam politik Orde Baru, yang berkolaborasi dengan teknokratsipil dan masyarakat kapitalis internasional.

Pembangunan (modernisasi) ekonomi dan stabilitas politikmenjadi ortodoksi negara dan diskursus dominan di ruangpublik. Di bawah maksim-politik baru itu, pandangan nasionalberubah dari “politik-sebagai-panglima” menjadi “ekonomi-

Page 641: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 621

sebagai-panglima”. Demi kepentingan modernisasi ekonomi,stabilitas ekonomi dipertahankan melalui kontrol atas kebebasandan partisipasi politik. Orde Baru dengan segera berubah menjadirezim represif-developmentalis.

Di bawah kebijakan rust en orde Orde Baru, Islam politik,yang dianggap bertanggung jawab atas kekacauan di masa lalu,menjadi korban-pertama represi politik. Intelektual Muslimberhadapan dengan dilema apakah mengambil sikap kooperatifatau non-kooperatif. Pelbagai respons dari pilihan yang diambiltelah menyulut perdebatan-perdebatan ideologis internal dikalangan Muslim dalam merespons modernisasi-cum-sekulerisasiOrde Baru.

Generasi kedua intelektual Muslim (generasi Natsir) cenderungmemilih pilihan non-kooperatif. Ketika mendapati bahwa peranpolitik mereka dihalang-halangi, mereka beralih ke gerakanpendidikan dan dakwah. Di antara kontribusi besar terakhirmereka kepada gerakan intelektual Islam ialah terbentuknyakader-kader yang dilatih untuk menjadi pemimpin gerakandakwah di masa depan dan dukungan motivasi dan dana bagiterbentuknya masjid-masjid kampus.

Generasi ketiga dari intelektual Muslim (generasi Pane),sebagai anak dari zaman revolusi kemerdekaan, cenderungmemilih opsi kooperatif. Mereka memiliki pandangan nasionalistikdan politik yang sama dengan yang dianut oleh kaum inteligensiamiliter. Namun, peran politik dari generasi ini terbatas karenakurangnya keuntungan kompetitif mereka terutama dalam halkualifikasi-kualifikasi pendidikan mereka.

Generasi keempat intelektual Muslim (generasi Madjid)terbelah secara umum menjadi dua kubu: yaitu antara menjaditokoh-tokoh dakwah ataukah tokoh-tokoh gerakan pembaharu.

Page 642: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

622 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Yang pertama cenderung bersikap kritis terhadap ortodoksinegara, sementara yang kedua cenderung bersikap mendukung.Para pendukung gerakan dakwah terutama berasal dari paraaktivis masjid di universitas-universitas sekuler, sementara parapendukung dari gerakan pembaruan terutama berasal dari IAIN,HMI, kelompok-kelompok politisi yang pragmatis, dan jugadari para intelektual NU dan yang lebih kemudian dari paraintelektual Muhammadiyah. Meski berbeda, namun kedua kubuitu memiliki kepentingan yang sama dalam bertindak di medankebudayaan. Keduanya juag menemukan titik pertemuan dalamgerakan-gerakan ‘jalan ketiga’ (gerakan masyarakat sipil danseni) dan gerakan-gerakan ‘sektor kedua’.

Gerakan dakwah memberikan kontribusi besar terhadapIslamisasi komunitas-akademis sekuler, sedangkan gerakanpembaruan memberikan kontribusi besar terhadap fenomena‘penghijauan’ atau Islamisasi di dunia birokrasi dan politikIndonesia. Sinergi dari pencapaian-pencapaian ini yang berbarengandengan struktur peluang politik yang kondusif bermuara padakelahiran Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI).[]

Catatan:1 Dikutip dari Hassan (1980: 125).2 Bulliet (1994: 195).3 Masih belum jelas apakah ‘mandat’ tersebut dikeluarkan atas inisiatif dari Sukarno

ataukah karena adanya tekanan dari Suharto.4 Secara fisik dan legal, PKI telah dihapuskan.5 Pada bulan Maret 1968, Suharto diangkat sepenuhnya sebagai presiden oleh MPRS,

dan bukannya oleh MPR tetap hasil pemilu karena pemilihan umum ternyata ditundasampai pertengahan 1971.

6 Pandangan-pandangan yang lain antara lain adalah: deskripsi Geertz tentang negaraIndonesia (pada tahun 1950-an dan 1960-an) sebagai state manque, pengamatan

Page 643: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 623

Emmerson mengenai penguatan birokrasi Indonesia, deskripsi Feith mengenai OrdeBaru sebagai sebuah ‘rezim developmentalis-represif ’, pembahasan Liddle mengenaiinstitusionalisasi ‘Orde Baru’ dan ‘otonomi relatif ’ dari politisi, dan pengamatan Mackiedan MacIntyre mengenai negara yang semakin otonom. Sebuah overview yang bagusatas teori-teori ini diberikan oleh Jim Schiller (1996: 1-27).

7 Pada Repelita II (1974/1975-1978/1979), anggaran bidang pendidikan sebesar 10,0persen dari total anggaran negara; pada Repelita III (1979/1980-1983/1984), anggaranpendidikan meningkat menjadi 10,4 persen, dan melonjak menjadi 14,7 persen padaRepelita IV (1984/1985-1988/1989). Lihat Departemen Penerangan (1983, 1988).

8 Mengenai pengeluaran publik untuk bidang pendidikan sebagai persentase dari GNPantara tahun 1975 dan 1989 untuk ketiga negara tersebut, lihat UNESCO StatisticalYearbook (UNESCO, 1976-1990).

9 Angka akurat dari statistik pendidikan di perguruan tinggi pada tahun 1960-an sulituntuk didapat. Sebagai misal, berdasarkan statistik pendidikan dari KementrianPendidikan, Thomas mencatat bahwa total mahasiswa pada tahun 1965 adalah sebesar278.000. Namun dia menambahkan bahwa jumlah total mahasiswa untuk tahun itumungkin kurang dari angka tersebut (Thomas 1973: 13). Berdasarkan catatan dariDepartemen Pendidikan dan kebudayaan (1997), jumlah total mahasiswa universitaspada tahun 1965 adalah sebesar 46.000. Angka ini jelas tidak memasukkan jumlahmahasiswa yang belajar di perguruan tinggi swasta dan program-program diploma.

10 Meski perlu diingat bahwa agama-agama selain Islam juga diajarkan.11 Angka ini terdiri dari 2.637.559 siswa madrasah ibtidaiyah, 80.961 madrasah tsanawiyah,

dan 27.069 siswa madrasah ‘aliyah.12 Angka ini terdiri dari 3.167.669 siswa madrasah ibtidaiyah, 1.053.368 madrasah

tsanawiyah, dan 356.486 siswa madrasah ‘aliyah.13 Sejak tahun 1997, hampir semua cabang (filial) IAIN yang tersebar di berbagai kota

diubah namanya menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN).14 Pada tahun 1900, angkanya sebesar 10%, dan pada tahun 1999 mencapai 12%. Lihat E.

Tobing (The Prospect, 21 Desember 2003).15 Harian Merdeka (berdiri tahun 1945), yang merupakan koran tertua yang dilarang

terbit pada Februari 1965, kembali terbit pada 2 Juni 1966. Diikuti dengan terbitnyakembali harian Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis (berdiri tahun 1949) pada tahun1968, dan harian Pedoman-nya Rosihan Anwar (berdiri tahun 1948), serta harianAbadi-nya Masjumi (berdiri tahun 1951).

16 Di antara harian yang bertahan selama Orde Lama dan tetap terbit selama Orde Baruialah harian Duta Masyarakat milik NU (berdiri tahun 1953), Kompas (berdiri tahun1965), dan Sinar Harapan (berdiri tahun 1962). Harian Kompas, sebuah koran yangberafiliasi dengan komunitas Katholik, mulai berkembang menjadi koran independenyang menyajikan informasi terbaik. Sementara Sinar harapan, sebuah koran yangberafiliasi dengan komunitas Protestan, juga mengalami perkembangan baru.

17 Harian KAMI, yang merupakan corong gerakan mahasiswa, merupakan pendatang baruyang penting dan dikepalai oleh Nono Anwar Makarim bersama dengan figur-figurpenulis lainnya seperti Taufiq Ismail, Arif Budiman dan Gunawan Mohamad sebagaipara redakturnya. Kemudian, terbit majalah Tempo dengan Gunawan Mohamad sebagaipemimpin redaksinya pada tahun 1971 dan dengan cepat berkembang menjadi majalah

Page 644: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

624 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

berita utama nasional. Selain itu, juga muncul setelah 1965, koran-koran baru milikAngkatan Darat seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha serta koran organ Golkar,Suara Karya.

18 Di antara artikel-artikel yang membahas tentang intelektual yang dimuat di Kompasialah ‘Berachirlah kini zaman Pengchianatan Kaum Intelektuil Indonesia’ (yang dimuatpada 27 April 1966) dan ‘Julien Benda dan pengchianatan kaum intelektuil’ (dimuatpada 12 Mei 1966), keduanya karya S. Tasrif; artikel ‘Apakah sebabnya Kaum IntelektuilIndonesia tak terkalahkan?’ karya Wiratmo Soekito (dimuat pada 31 Mei 1966);‘Apakah benar kaum intelektuil Indonesia tak terkalahkan?’ karya Satyagraha Hoerip(dimuat 27 Juni 1966); ‘Antara Kemerdekaan Intelektuil dan Instruksi Partai’ karya SoeHok Gie (dimuat pada 20 Agustus 1966), dan ‘Tugas Tjendekiawan: Mengisi Kemerdekaan’karya M.T. Zen (dimuat 9-12 Juli 1966).

19 Berdasarkan informasi dari Maskun Iskandar (mantan jurnalis harian Indonesia Raya)pada tanggal 2 Agustus 2001, Wira merupakan nama samaran dari jurnalis IndonesiaRaya, Djafar Husein Assegaf (saat ini dia menjadi pemimpin redaksi Media Indonesia).

20 Nama-nama yang diserang secara langsung oleh artikel-artikel ini ialah Prof. Sadli (ataskritiknya terhadap modal asing), Prof. Ismail Suny (karena kritiknya terhadap TriasPolitica), Barli Halim (karena menyebut mereka yang tidak mendukung ‘identitasnasional’ sebagai ‘text-book thinkers’), Emil Salim (atas kegemarannya menggunakanjargon Sukarno dalam tulisan akademisnya), dan Prof. R.M. Sutjipto Wirjosuparto (atasinterpretasinya terhadap sejarah berdasarkan doktrin-doktrin Manipol-USDEK).

21 Di antara para intelektual yang dipuji oleh artikel-artikel ini ialah Prof. Bahder Djohan,Dr. Mochtar Kusumaatmadja, dan Dr. Bagowi atas keberaniannya mengatakan ‘tidak’kepada penguasa, meskipun mereka harus kehilangan jabatan resminya.

22 Arikel-artikel Wira memberikan contoh-contoh dari kecenderungan ini. Di antaranyaialah Prof. Sadli yang pernah menjadi penyeru utama anti-investasi asing selama rezimSukarno ternyata menjadi kepala (pertama) Badan Koordinasi Penanaman Modal Asingdari rezim yang baru.

23 Prof. Sadli menulis sebuah artikel bantahan dalam harian Indonesia Raya pada 21 April1969 yang diikuti dengan artikel yang serupa oleh Prof. Ismail Suny yang dimuat diKompas (22 April) dan di Indonesia Raya (23 April). Polemik di harian Indonesia Rayajuga melibatkan J. Soedradjad Djiwandono, dengan tulisannya ‘Beberapa TjatatanTentang Persoalan Pelatjuran Intelektuil’ (dimuat tanggal 24 April), L.E. Hakim, dengantulisan berjudul ‘Pelatjuran Intelektuil di Zaman Resim Sukarno: Sebuah Tanggapan’(dimuat 25 April), dan M. Zen Rahman, dengan tulisan berjudul ‘Sebuah Tanggapantentang Pelatjuran Intelektuil di Zaman Resim Sukarno’ (dimuat 26 April).

24 Ampera merupakan sebuah slogan Sukarno yang popular dan merupakan akronim dariAmanat Penderitaan Rakyat. Kabinet Ampera yang pertama (Juli 1966-Oktober 1967)dipimpin oleh Sukarno.

25 Proporsi militer dalam kabinet ini adalah sembilan dari 23 menteri. Para teknokrat sipilmenempati 8 posisi menteri dengan 3 di antaranya berasal dari kalangan Kristen (Drs.Frans Seda sebagai Menteri Keuangan, Prof. G.A. Siwabessy sebagai Menteri Kesehatan,dan Dr.. A.M. Tambunan, S.H. sebagai Menteri Sosial). Sekitar 4 menteri berasal darikalangan figur politik dan jurnalis independen (Sri Sultan Hamengku Buwono IXsebagai Menteri Negara urusan Ekonomi dan Keuangan, Sanusi Hardjadinata sebagai

Page 645: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 625

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri, danB.M. Diah sebagai Menteri Penerangan). Dalam kabinet itu, terdapat dua wakil darikalangan Muslim tradisionalis (K.H. Idham Chalid sebagai Menteri Negara urusanKesejahteraan Sosial tanpa portofolio, dan K.H. Mohamad Dachlan sebagai MenteriAgama). Yang mengejutkan, para intelektual modernis-Masjumi yang menjadi mitrautama pihak militer dalam meruntuhkan PKI dan rezim Sukarno tidak memilikiwakilnya di kabinet.

26 Mengenai etimologi dan genealogi dari istilah ini, lihat bab 1.27 Artikel-artikel Anwar di harian Kompas itu ialah ‘Tanggung djawab kita dalam

modernisasi’ (4-5 Juli), ‘Inteligensia & Modernisasi’ (12 Agustus), ‘Modernisasi, waktudan kerdja (29 Agustus), ‘Modernisasi & Agama’ (14 September), ‘Modernisasi &Nilai’ (30 November), ‘Modernisasi & Pendidikan’ (8 Desember).

28 Tugas pertama dari tim ini ialah untuk menyusun sebuah Program bagi Stabilisasi danRehabilitasi seperti yang termuat dalam Ketetapan MPRS no. 23. Atas dasar Ketetapanitu, garis besar bagi pemulihan ekonomi Indonesia yang ditetapkan pada 3 Oktoberialah ‘terutama kebijakan-kebijakan mengenai anggaran yang berimbang, keseimbanganneraca pembayaran, pembangunan infrastruktur fisik, produksi pangan dan pembangunanpertanian’ (Thee 2002: 196).

29 Pada awal tahun 1990-an, Gross Domestic Product (GDP) riil telah naik lebih dari 450persen, dan GNP per kapita telah mencapai hampir $ 1000. Hasil produksi berashampir dua kali lipat, dan produksi dari sebagian besar tanaman pangan meningkatsecara nyata. Pertumbuhan industri yang cepat mengubah Indonesia dari negara yangekonominya sangat bergantung pada pertanian pada pertengahan tahun 1960-anmenjadi negara yang sektor manufakturnya memberikan sumbangan lebih besar kepadaGDP pada pertengahan tahun 1990-an ketimbang yang disumbangkan oleh pertanian.

30 Sebenarnya sudah sejak kabinet interim Suharto, yaitu Kabinet Ampera Yang Disempurnakan(11 Ooktober 1967-6 Juni 1968), pihak militer telah menduduki delapan dari duapuluhtiga jabatan menteri, yang merupakan porsi terbesar jika dibandingkan dengan parawakil dari kelompok-kelompok politik yang lain. Selain itu, wilayah pengaruh darimenteri-menteri lainnya yang dari sipil terbatas karena adanya pengangkatan paraperwira Angkatan Darat dalam posisi-posisi tinggi dalam jabatan sipil. Seperti yangdicatat oleh Harold Crouch (1978: 242): ‘Dari duapuluh departemen urusan sipil padatahun 1966, para perwira Angkatan Darat menempati posisi sekretaris jenderal padasepuluh departemen, dan seorang perwira Angkatan Laut pada satu departemen. Darienampuluh empat direktur jenderal yang diangkat pada tahun yang sama, limabelasberasal dari perwira Angkatan Darat dan delapan dari tiga angkatan lainnya.’ Posisidominan dari para perwira Angkatan Darat dalam pemerintahan pusat ini diikutidengan fenomena yang sama dalam pemerintahan daerah. Pada awal tahun 1966,duabelas dari duapuluh empat gubernur provinsi adalah para perwira militer. Kemudian,setelah pemilihan umum tahun 1971, para perwira militer menduduki duapuluh duadari duapuluh enam jabatan gubernur (Crouch 1978: 244). Dalam Kabinet PembangunanIV (1983-1988), dari tigapuluh tujuh menteri, empatbelas memiliki latar belakangmiliter. Pada saat yang sama, sekitar separo dari jabatan-jabatan di bawah menteri,seperti sekretaris jenderal, direktur jenderal dan inspektur jenderal dipegang oleh paraperwira militer, dan sekitar tiga perempat dari gubernur di duapuluh tujuh provinsi danmayoritas kecil bupati/walikota dipegang oleh ABRI (Liddle 1996b: 19).

Page 646: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

626 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

31 Pada awalnya, Letnan Jenderal Panggabean (lahir 1922, seorang Protestan) dan MayorJenderal Basuki Rachmat (seorang abangan Jawa) memiliki pengaruh kuat atas keputusan-keputusan politik. Selain itu, ada pula Mayor Jenderal Ibnu Sutowo, Brigadir JenderalSuhardiman (keduanya orang abangan Jawa), dan Brigadir Jenderal Achmad Tirtosudiro(mantan pemimpin HMI) dipercaya Suharto untuk masing-masing memegang kontrolatas minyak dan komoditas-komoditas ekspor Indonesia, atas perusahaan raksasaperdagangan, PT. Berdikari, dan Badan Urusan Logistik (Bulog) yang baru didirikan.

32 Keberadaan lingkaran dalam orang terpercaya ini tidak hanya menimbulkan rasa iri dankecemburuan di kalangan mereka yang berada di luar lingkaran dalam, namun jugamenciptakan konflik-konflik internal dalam lingkaran itu sendiri. Pada awalnya,berlangsung ketegangan yang tajam antara Alamsjah versus Ali Murtopo dan SudjonoHumardhani. Karena Murtopo (seorang Abangan Jawa) dan Humardhani (abanganJawa) lebih suka membangun kolaborasi dengan para intelektual Kristen dan sekuler,Alamsjah (anak dari keluarga santri) terpaksa membela kepentingan-kepentingan Islam,meski dia sendiri anti-Islamisme. Suharto berupaya untuk mempertahankan keseimbangankekuatan di antara mereka yang loyal kepadanya itu. Saat Murtopo dan Humardhanidiangkat menjadi anggota-anggota (kunci) ASPRI, Alamsjah diberi tugas baru sebagaikepala Sekretariat Negara. Namun, pada akhirnya poros Murtopo-Humardhani berhasilmemenangkan kompetisi ketika Alamsjah diangkat sebagai duta besar Indonesia untuknegeri Belanda. Keuntungan kompetitif dari Murtopo adalah kontrol yang dimilikinyaatas dinas-dinas intelejen, sementara kekuatan Humardhani berasal dari kontrolnya atassumber-sumber keuangan, termasuk tugas untuk menemukan dan mengembangkansumber-sumber pendapatan di luar anggaran untuk kepentingan rezim yang baru.

33 Para anggota dari tim ini memiliki bidang tugas yang berbeda-beda, seperti bidangkeuangan, politik, intelejen, kesejahteraan sosial, dan urusan-urusan non-militer yanglain. Pada saat dibentuk pada Agustus 1966, Spri terdiri atas enam perwira AngkatanDarat yang didukung oleh dua tim spesialis sipil. Dua tim spesialis sipil ini bertanggungjawab untuk memberikan saran dalam bidang kebijakan ekonomi dan politik. Timekonomi terdiri dari lima anggota ‘Mafia Berkeley’ (Widjojo Nitisastro, Sadli, AliWardhana, Emil Salim, dan Subroto) plus seorang tokoh PSI dan ekonom terkemuka,Sumitro Djojohadikusumo. Tim politik terdiri dari Sarbini Sumawinata (tokoh PSI),Fuad Hassan (simpatisan PSI), Deliar Noer (mantan pemimpin HMI) dan beberapalainnya. Pada tahun 1968, para anggota dari Spri ini menjadi duabelas orang dan secaraluas dianggap sebagai ‘kitchen cabinet’ terselubung. Duabelas orang itu ialah AlamsjahPrawiranegara (koordinator), Sudjono Humardhani (ekonomi), Ali Murtopo (intelejenluar negeri), Yoga Sugama (intelejen dalam negeri), Surjo (keuangan), Abdul Kadir(kesejahteraan sosial), Slamet Danudirdjo (pembangunan ekonomi), Nawawi Alif (mediamassa), Sudharmono (umum), Sunarso (politik), Isman (gerakan massa), Jusuf Singadikane(proyek-proyek nasional).

34 Sejak tahun 1968, Murtopo telah memperbaiki dan memperluas aparatur Opsus yangada, yang menunjukkan keahliannya dalam merekrut jaringan pengumpul informasiintelejen sipil yang informal.

35 Didirikan pada tahun 1967, kepala Bakin yang pertama ialah Jenderal Sudirgo, dengandibantu oleh Ali Murtopo sebagai deputi kepala Bakin. Pada tahun 1968, Sudirgodigantikan oleh Mayjen Yoga Sugama yang memiliki hubungan dekat dengan kelompokMurtopo.

Page 647: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 627

36 Lembaga ini pertama kali dipimpin oleh Suharto dari tahun 1965 dengan tujuan untukmelacak para pedukung PKI. Dalam operasi-operasinya, Kopkamtib dibantu oleh Bakin.Pada tahun 1969, kepala Kopkamtib dialihkan kepada deputi panglima Angkatan Daratyang baru diangkat, Jenderal Panggabean (seorang Batak-Kristen). Di bawahkepemimpinannya, lembaga ini dengan segera menjadi alat kontrol politik yang utamadari rezim Orde Baru yang melibatkan para komandan Angkatan Darat dari berbagailevel hirarki untuk mengambil tindakan-tindakan terhadap apa-apa yang dianggapsebagai ancaman terhadap keamanan. Pada tahun 1973, lembaga ini dikepalai olehKepala Staf Angkatan Darat yang baru diangkat, Jenderal Sumitro (seorang abangandan tentara profesional), namun dengan adanya peristiwa Malapetaka Limabelas Januari1974 (Malari), dia segera diberhentikan. Segera setelah itu, Suharto mengambil alihkomando lembaga itu, dengan mengangkat Laksamana Sudomo (seorang Protestan-Jawa) sebagai kepala stafnya. Di bawah kepemimpinan Sudomo, Kopkamtib menjadilembaga yang paling ditakuti dan opresif dari rezim itu, yang turut campur dalamaktivitas-aktivitas setiap organisasi dan menangkapi orang-orang secara semana-menaatas dasar tuduhan subversi.

37 Rezim pemerintahan Orde Baru berusaha untuk menggantikan kepemimpinan PNIdengan mengangkat Hadisubeno, yang merupakan kawan lama Suharto selama menjabatsebagai panglima divisi Diponegoro, sebagai ketua partai yang baru. Sementara itu,rezim itu juga menolak tuntutan kaum Muslim untuk merehabilitasi partai Masjumi,meskipun mendorong berdirinya partai Muslim yang baru, yaitu Parmusi, namundengan menyingkirkan para pemimpin terkemuka Masjumi dari kepemimpinan partai.

38 Pada awalnya, rencana Suharto terhadap Golkar ialah untuk menemukan tempat khususdalam politik Indonesia bagi golongan-golongan fungsional yang memiliki kemampuanuntuk menstabilisasikan sistem politik dalam menghadapi kemungkinan dominasi partaipolitik. Keberadaan Sekber-Golkar sejak tahun 1964, yang telah memiliki sekitar 92wakil di DPR-GR, memberinya inspirasi untuk mentransformasikan lembaga kemitraansipil-militer ini ke dalam struktur kepartaian negara tanpa harus menjadi partai politik.Mandat untuk mewujudkan ambisi ini dalam waktu kurang dari dua tahun dipercayakankepada para asistennya yang gigih, Ali Murtopo dan Sudjono Humardhani.

39 Menurut Kenneth Ward (1974: 35-36), terdapat tiga kelompok intelektual di seputarAli Murtopo yang memainkan peran yang menentukan dalam pembentukan Golkar.Yang pertama ialah kelompok Katholik (Tanah Abang), yang terdiri dari Lim Bian Kie(Jusuf Wanandi), Lim Bian Khoen (Sofjan Wanandi), Harry Tjan Silalahi dan Moerdopo.Yang kedua ialah kelompok abangan (Universitas Gajah Mada), yang terdiri atasSumiskun, Sulistyo, Sugiharto, Sukarno dan Suroso. Yang ketiga, kelompok sosialis(Bandung) , yang terdiri dari Rachman Tolleng dan Midian Sirait. Semua kelompok itumemiliki dasar yang sama dalam antipati mereka terhadap partai-partai politik (besar)dan terhadap kebangkitan Islam serta dalam preferensi mereka akan peran utamamiliter dalam proyek modernisasi.

40 R.E. Nelson (2001: 187) dengan tepat mencatat strategi-strategi Bapilu sebagai berikut:‘Pertama, harus dibangun sebuah ideologi dalam tubuh Golkar berupa tema-tema yangnon-ideologis: seperti pembangunan, stabilitas, ketertiban, persatuan... Kedua, Gokarakan memanfaatkan akses yang dimilikinya terhadap kemudahan-kemudahan yangdiberikan pemerintah untuk meraih posisi-posisi penting dengan menjadikan dirinyasebagai aparatur yang melayani patronnya. Ketiga, akan memanfaatkan aksesnya

Page 648: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

628 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

terhadap kekuasaan politik demi keuntungannya.’ 41 Sponsor dari pihak pemerintah dan militer kepada Golkar menjadikannya lebih mudah

untuk memobilisasi sumberdaya politik. Menteri Dalam Negeri, Letnan Jenderal AmirMachmud (tangan kanan Suharto di balik Supersemar) menetapkan bahwa departemennya,lewat Kokarmendagri (Korps Karyawan Kementrian Dalam Negeri), akan menjaditulang punggung dari Golkar. Dia juga memberlakukan peraturan-peraturan pada tahun1969 dan 1970 yang melarang para wakil Golkar di DPR provinsi maupunkabupaten/kotamadya memiliki afiliasi dengan partai apapun dan melarang anggotaABRI dan karyawan sipil Departemen Pertahanan, serta para hakim dan jaksa, untukmenjadi anggota partai politik. Mendekati masa pemilu, para pegawai negeri sipilditekan untuk menandatangani pernyataan ‘monoloyalitas’ terhadap pemerintah, yangsecara implisit berarti mendukung Golkar. Pada saat yang sama, Menteri Dalam Negeribersama dengan Kepala Biro Logistik dan Perbekalan Lembaga Pemilihan Umum, AliMurtopo, memberikan tekanan yang kuat kepada para pejabat pemerintah daerahuntuk mengamankan “kuota” suara khusus untuk dimobilisasi demi mendukung Golkardi daerah-daerah mereka. Identifikasi Golkar dengan ABRI dan pemerintah jugamemudahkan pengumpulan dana pemilu dan taktik-taktik tangan besi. Denganberlimpahnya dana, dilakukan usaha-usaha untuk membujuk kyai yang berpengaruhuntuk mendukung Golkar dengan cara membiayai perjalanan mereka ke luar negeri danmemberikan dana bagi pesantren mereka. Sebuah langkah institusional untuk memobilisasidukungan kyai dilakukan pada Januari 1971 dengan dihidupkannya kembali GabunganUsaha-usaha untuk Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI) yang hampir mati pada Januari1971 di bawah patronase Sudjono Humardhani. Tekanan langsung pihak militerterhadap para pemilih juga tampak nyata, terutama di desa-desa dan dengan menekanpara bekas anggota PKI dan keluarganya untuk memilih Golkar.

42 Pada pemilu tahun 1971, Golkar menang 62,80 persen suara dan 236 kursi DPR, jauhdi atas total suara dan kursi yang diraih oleh sembilan partai politik yang lain (PNI, NU,Parmusi, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, Murba, dan IPKI). PNI dan Parmusi(penerus Masjumi), dua partai besar, yang masing-masing meraih 22,3 dan 20,9 persenpada pemilu tahun 1955, mengalami kemerosotan yang parah dengan hanya meraih 6,9dan 5,4 persen suara. Satu-satunya partai yang bisa bertahan dari tekanan gencarGolkar ialah NU, yang pada pemilu tahun 1955 meraih 18,4 persen dan 18,7 persenpada pemilu 1971.

43 Empat partai Islam yang ada (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) digabung menjadi PartaiPersatuan Pembangunan (PPP), yang mewakili dimensi spiritual dari pembangunan.Lima partai non-Islam (yaitu PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik) difusikanmenjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang merepresentasikan dimensi materialdan kebangsaan dari pembangunan. Pada versi fusi awal, partai-partai Kristen (yaituParkindo dan Partai Katholik) dimasukkan ke dalam kelompok ‘spiritual’. Namunmereka menolak bergabung dengan kelompok itu, dan memilih untuk bergabungdengan kelompok ‘kebangsaan’. Selain dua kelompok itu, ada pula Golkar, yang takpernah diakui sebagai partai politik, yang merepresentasikan dimensi ‘fungsional’ daripembangunan.

44 CSIS didirikan oleh para intelektual Cina Katolik dengan kerjasama dengan paraintelektual Katolik dan sekuler lainnya di bawah patronase Ali Murtopo dan SudjonoHumardhani. Sebagian besar dari para intelektual Cina Katolik ini, termasuk dua

Page 649: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 629

bersaudara Lim Bian Kie (Jusuf Wanandi) dan Lim Bian Khoen (Sofjan Wanandi),adalah bekas aktivis PMKRI yang menurut Elson menunjukkan ‘sebuah sikap anti-komunisme yang penuh semangat dan sikap penentangan yang kuat terhadap setiapancaman pengaruh politik Muslim dan memiliki disiplin pribadi yang kokoh dan ide-ide korporatis yang tegas yang telah ditanamkan oleh mentor mereka, yaitu pastorJesuit Fr Jopie Beek’ (Elson, 2001: 146). Menurut Abdurrahman Wahid (1992), parapemimpin komunitas Katolik selama periode awal Orde Baru sebenarnya terpecahdalam hal bagaimana menangani relasi-relasi Katolik dengan negara dan komunitasIslam: beberapa dari mereka mendukung teori minus malum, sementara yang lainnyalebih menyukai mayos bonnum. Menurut yang pertama, yang didukung oleh kelompokAli Murtopo, jika berhadapan dengan dua hal yang buruk, yang kurang buruklah yanglebih dipilih. Jadi, saat berhadapan dengan dilema untuk memilih antara hijau-nyamiliter dengan hijau-nya Islam (‘hijau’ diidentikkan sebagai warna dari kedua kelompokitu), lebih disukai untuk memilih militer dengan dasar bahwa lebih mudah untukmenggunakannya sebagai alat untuk memarjinalkan Islam politik. Namun menurutyang kedua, komunitas Katolik tidak boleh memihak militer dalam melawan Islamkarena dampak baliknya akan merugikan kepentingan-kepentingan Katolik sendiri.Sebagai strategi alternatifnya ialah: siapapun/apapun yang menguntungkan kepentingan-kepentingan Katolik dianggap sebagai sahabat. Yang menganut strategi ini ialah ChrisSiner Keytimu, Eko Tjokrodjojo, Jakob Utama, Mangunwadjaja, John Titely, EinarSitompul, Nababan, dan Frans Magnis Suseno. Namun, strategi ini dikalahkan olehpengaruh hegemonik dari kelompok yang pertama. Sebagai perbandingan, lihat Dhakidae(2003: 615-616).

45 Istilah korporatisme dijelaskan oleh Philippe C. Schmitter sebagai berikut (1974: 93-94): ‘Sebuah sistem perwakilan kepentingan dimana di dalamnya unit-unit konstituendiorganisir ke dalam sejumlah kategori yang berbeda-beda secara fungsional dan sangathirarkis, tunggal, wajib dan non-kompetitif, yang diakui atau disahkan (jika bukannyadiciptakan) oleh negara dan dijamin mendapatkan hak monopoli perwakilan dalamkategori-kategorinya masing-masing, dengan syarat bersedia dikontrol dalam halpemilihan pemimpinnya dan dalam pengartikulasian tuntutan dan dukungannya.’

46 Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia(HNSI) didirikan masing-masing pada April dan Juli 1973. Pada bulan Juli 1975,pemerintah mendirikan sebuah lembaga tunggal perwakilan ulama, yaitu MUI (MajelisUlama Indonesia). Dalam kategori-kategori fungsional yang berbeda, juga didirikanKadin (Kamar Dagang dan Industri) sebagai lembaga tungal perwakilan pengusaha,PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) sebagai lembaga tunggal untuk guru,KOWANI (Korps Wanita Indonesia) untuk wanita, KNPI (Komite Nasional PemudaIndonesia) untuk pemuda, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) untuk wartawan, dansebagainya.

47 Terdapat kesenjangan yang mencolok antara basis hukum bagi beroperasinya persdalam negeri dengan apa yang terjadi dalam praktik. Meskipun UU Pers tahun 1966menyatakan bahwa ‘tak ada sensor atau pemberangusan yang akan dilakukan terhadappers nasional’ (ayat 2, pasal 4), dan bahwa ‘kebebasan pers dijamin sesuai dengan hak-hak warga negara’ (pasal 5.1) dan bahwa ‘tidak dibutuhkan ijin penerbitan’ (bab 4,pasal 8.2), dalam kenyataannya selama ‘periode transisi’ yang tak jelas masa berakhirnya(berlaku sampai akhir Orde Baru), setiap penerbit koran harus memiliki dua ijin: yaitu

Page 650: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

630 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

ijin penerbitan yang diberikan oleh Departemen Penerangan, dan ijin cetak dari pihakKompkamtib/Laksus. Doktrin resmi pemerintah menyatakan bahwa pers Indonesia itu‘bebas dan bertanggung jawab’. Di bawah konsep ‘bertangung jawab’ yang elastis,negara memiliki dasar landasan untuk mengontrol isi dan bahasa media. Para jurnalisdan kritikus pun bekerja di bawah bayang-bayang ancaman sensor, pemberangusan danpenangkapan (Sen dan Hill, 2000). Setelah Peristiwa Malari pada bulan Januari 1974,12 penerbitan diberangus termasuk koran Indonesia Raya-nya Muchtar Lubis. Selanjutnya,setelah terjadinya protes-protes mahasiswa anti-pemerintahan pada bulan Januari 1978,tujuh harian Jakarta plus tujuh penerbitan mahasiswa dilarang terbit. Hal ini diikutidengan dilarang terbitnya penerbitan-penerbitan lain dalam dekade-dekade berikutnya.

48 Presiden Suharto menyatakan dalam Pidato Hari Kemerdekaan tahun 1973: ‘Penggunaanbahasa secara baik dan benar mencerminkan cara berpikir, sikap, dan perilaku yangbaik dan benar. Dan penggunaan bahasa secara baik dan benar ini merupakan kunciutama bagi keberhasilan pembentukan dan pembangunan bangsa’ (Dikutip dalamHooker, 1995: 272). Dalam kenyataan, yang didefinisikan sebagai bahasa yang baikdan benar ialah bahasa yang sepenuhnya tunduk pada politik pemaknaan oleh Negara.Bahkan, meskipun orang-orang menggunakan bahasa ‘yang benar’, jika bahasa itudigunakan untuk mengkritik pemerintah, maka bahasa itu akan dianggap sebagai bahasa‘yang tak benar’.

49 Untuk mendapatkan pembahasan yang lebih rinci mengenai bahasa dan kekuasaanselama periode Orde Baru, lihat Y. Latif dan I.S. Ibrahim (1996).

50 Untuk mendapatkan sebuah diskusi lebih jauh mengenai usaha-usaha Orde Baru untukmenjauhkan agama dari proses penyusunan hukum di Indonesia, lihat M. Cammarck(1997).

51 Sejak 16 Desember 1965, terbentuk Badan Koordinasi Amal Muslim, yang menyatukan16 organisasi Islam yang bekerja demi direhabilitasinya Masjumi. Dalam tasyakuranatas pembebasan para politisi Muslim dari dipenjara, yang diadakan di masjid Al-Azharyang terkenal (di Jakarta) pada 14 Agustus 1966, mantan pemimpin puncak Masjumidengan disaksikan oleh sekitar 50.000 saksi mata menyerukan kepada rezim yang baruuntuk merehabilitasi Islam setelah ditindas di masa lalu (Boland 1971: 148).

52 Organisasi-organisasi Muslim itu adalah Muhammadiyah, Al-Djamiatul Wasliyah,Gasbindo, Nahdlatul Wathan, Nahdlatul Anwar, SNII, KBIM, Persatuan Umat Islam(PUI), Porbisi, HSBI, PITI, Al-Irsyad dan Wanita Islam (DPP Golkar, 1994: 102).Keputusan dari organisasi-organisasi Muslim itu untuk menarik diri dari Golkardigambarkan oleh almarhum Lukman Harun (seorang pemimpin Muhammadiyah)sebagai ‘kekeliruan terbesar yang pernah dibuat oleh kaum Muslim dalam era OrdeBaru’. Wawancara dengan almarhum Lukman Harun (10/09/1998).

53 Pada bulan Oktober 1969, lembaga wakil agama (KINO-Keagamaan) lenyap dariSekber-Golkar. Setelah pemilu 1971, inteligensia Katolik dan Kristen (seperti JusufWanandi, Cosmas Batubara dan David Napitupulu), inteligensia sosialis (seperti RahmanTolleng dan Midian Sirait), dan inteligensia abangan (seperti Sukijat dan Pitut Suharto)memegang posisi-posisi strategis dalam dewan pengurus pusat yang dipimpin militer ditubuh Golkar periode 1973/1978. Baru pada periode 1983/1988, beberapa inteligensiaMuslim (terutama yang berlatar belakang HMI), seperti K.H. Tarmudji, Akbar Tandjung,Ibrahim Hasan, Anang Adenansi, dan Qudratullah, masuk sebagai bagian dari 42pengurus pusat Golkar (DPP-Golkar 1994: 102, 165-168).

Page 651: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 631

54 Dikutip dari Solihin Salam (1970: 69-70), dan H. Crouch (1988: 260).55 Dalam hubungan konflik antara Alamsjah dengan kelompok Aspri Murtopo, Alamsjah

cenderung memihak komunitas Islam. Namun, dalam perdebatan yang terus berlangsungdalam lingkaran dalam kekuasaan Suharto, kelompok Murtopo berhasil memenangkankepercayaan Suharto, sementara Alamsjah diangkat sebagai duta besar Indoensia untuknegeri Belanda pada awal tahun 1970-an (Wawancara dengan almarhum LukmanHarun, 10/09/1998).

56 Untuk pembahasan yang lebih jauh mengenai problem-problem yang dihadapi dalampendirian Parmusi, lihat Ward (1970) dan Salam (1970).

57 Ini tidak berarti hendak mengatakan bahwa NU sepenuhnya bebas dari intervensipemerintah. Menurut Greg Fealy, salah satu indikasi dari intervensi pemerintah dalamNU selama periode ini ialah tidak adanya Muktamar NU antara tahun 1967-1979.Fealy, perbincangan pribadi (08/04/2004).

58 Namun perlu diingat bahwa jumlah anggota kabinet dari kabinet-kabinet itu bervariasi.Orang-orang Kristen yang duduk pada Kabinet Pembangunan I ialah Frans Seda, G.A.Siwabessy, dan A.M. Tambunan. Pada Kabinet Pembangunan II ialah M. Panggabean,Radius Prawiro, G.A. Siwabessy, dan J.B. Sumarlin. Pada Kabinet Pembangunan III ialahM. Panggabean, J.B. Sumarlin, Ali Murtopo, Radius Prawiro dan Cosmas Batubara.Pada Kabinet Pembangunan IV ialah J.B. Sumarlin, Cosmas Batubara, Radius Prawiro,Sudomo, J.H. Hutasoit, ditambah L.B. Murdani (sebagai Panglima ABRI).

59 Persentase orang Katolik dan Protestan di DPR masing-masing sebesar 8,3% dan 9,4%pada tahun 1971, 7,5% dan 9,2 % pada tahun 1977, 9,6% dan 8,1% pada tahun 1982,dan 7,4% dan 9,4% pada tahun 1987.

60 Persentase orang Muslim di DPR masing-masing sebesar 79,2% pada tahun 1971, 80,7% pada tahun 1977, 79,7% pada tahun 1982, dan 81,2% pada tahun 1987.

61 Meskipun dia merupakan seorang intelektual Muslim (karena merupakan mantanmahasiswa STI dan aktivis PII), namun Mukti Ali tidak memiliki ikatan kuat dengankelompok Islam yang besar manapun.

62 Pandangan yang sama sebenarnya telah diajukan oleh Sukarno dalam pidatonya diUniversitas Indonesia pada tanggal 7 Mei 1953. Saat menjelaskan pidato kontroversialnyadi Amuntai (Kalimantan Selatan) mengenai posisi Islam dalam negara-bangsa Indonesia,dia menyatakan: ‘...jika saya mengatakan bahwa negara ini adalah negara-bangsa, sayasama sekali tidak melarang kalian untuk menyuarakan negara komunis, pahamkomunisme, ideologi komunisme, atau untuk menyuarakan negara Islam, ideologiIslam, cita-cita Islam, atau bahkan andai pun ada salah satu dari kita yang mencita-citakan sosialisme, nazidom, fasisme, dia memiliki hak sepenuhnya untuk menyuarakanpaham-paham itu’ (Soekarno 1999: 2-3).

63 Terjemahan dalam bahasa Inggris surat Sjafruddin ini bisa dibaca dalam Indonesia No.38 (Oktober), 1984.

64 Contoh-contoh dari buku-buku ini ialah Tandjung Priok Berdarah (PSPI 1998), FaktaDiskriminasi Rezim Soeharto terhadap Umat Islam (Tim Peduli Tapol 1998), Di BawahBayang-Bayang Sukarno-Soeharto (Jaiz 1999), Dari Mimbar ke Penjara (Fatwa 1999),Negara dan Peminggiran Islam Politik (Karim 1999), dan Kasus Peledakan BCA 1984(Soeropranoto 2000).

65 Di kelak kemudian hari karena perkawinan dan alasan lainnya ia pindah agama ke

Page 652: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

632 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Islam.66 Usaha pemfitnahan seperti ini seringkali dilakukan menjelang pemilihan umum. Pada

bulan Juni 1977, sebulan sebelum pemilihan umum, kelompok militan ini dihubung-hubungkan dengan sebuah pemberontak fiktif yang bernama ‘Komando Jihad’, sementaramenjelang pemilu 1982, kelompok itu dikaitkan dengan ‘Islam Jamaah’. Padahal,operasi-operasi dari para militan Muslim ini diotaki oleh dinas intelijen. Dalam halpemberontakan ‘Komando Jihad’, agen-agen Murtopo telah menyebarkan desas-desusmengenai kembalinya kaum Komunis di kalangan bekas aktivis Darul Islam yang masihberada di bawah pengawasan Angkatan Darat, dan mereka menjanjikan akan memberipara bekas aktivis Darul Islam itu senjata-senjata untuk melawan ancaman komunis.Beberapa bekas pemimpin Darul Islam mempercayai hal ini dan kemudian terjebakdalam permainan politik dari kelompok Ali Murtopo. Saat disidang di pengadilanbeberapa tahun kemudian, beberapa dari para bekas aktivis Darul Islam dengan sia-siamengajukan argumen bahwa mereka bekerja sebagai agen-agen intelijen bagi Opsus dansecara tegas menyangkal keberadaan Komando Jihad. Menurut Sutopo Juwono (kepalaBakin 1969/1974): ‘Ali Murtopo termasuk dalam kelompok ini. Jadi misalkan saja,Anda berbicara tentang Komando Jihad. Hal itu bukan isu baru. Sejak dari awal, dia-lahyang menyebarluaskannya. Saya harus menghentikan dia pada saat itu. Namun, diaberanggapan bahwa kita harus menciptakan desas-desus…. Namun saya tak bisamenghentikannya karena dia selalu disetujui Presiden’ (dikutip dari D. Jenkins 1984:59). Di mata Kelompok Pembela Hak Asasi Manusia, Tapol: ‘Tujuan utama dari darigerakan Komando jihad ialah untuk mengkaitkan aktivitas-aktivitas Muslim denganaktivitas-aktivitas teroris di benak publik dan untuk mengintimidasi umat Muslimsecara keseluruhan’ (Tapol 1987: 15). Munculnya apa yang disebut sebagai IslamJamaah pada awal tahun 1980-an juga merefleksikan kasus yang serupa. Islam Jamaahseringkali dihubung-hubungkan dengan sebuah kelompok militan Islam di bawahkepemimpinan Imran bin Muhammad Zein yang bertanggung jawab atas seranganterhadap pos polisi Cicendo pada bulan-bulan awal tahun 1981 dan pembajakanpesawat terbang sipil (Garuda DC-9 Woyla) pada 31 Maret 1981. Padahal, sepertidiakui oleh Iqbal dan Umar Abdoeh (dua tersangka serangan Cicendo), Islam Jamaahmerupakan bentukan Ali Murtopo, dan kelompok Imran baru kemudian menyadaribahwa kelompoknya terinfiltrasi dan terprovokasi oleh para aktivis dari Islam Jamaahbentukan Ali Murtopo, seperti Najamuddin (Sinar Harapan, 03/04/2003; Tapol 1987:16).

67 Mengenai daftar keputusan-keputusan sidang pengadilan terhadap aktivis Muslimsampai tahun 1987, lihat Tapol (1987: 112-114).

68 Dikisahkan bahwa dua pejabat militer lokal telah masuk masjid As-Sa’adah tanpamelepaskan sepatu mereka dan kemudian secara sengaja menyiram sebuah pengumumanmengenai ceramah agama di dinding masjid itu dengan air lumpur. Di tengah hubunganyang tak serasi antara komunitas Islam dengan aparat keamanan, insiden ini dengansegera berubah menjadi huru-hara dan ratusan orang terbunuh karena ditembak. Untukmendapatkan deskripsi yang rinci mengenai insiden ini, lihat PSPI (1998).

69 Nama ini merujuk pada sebuah kelompok yang terdiri dari 50 orang yang menyusunsebuah petisi dan mengirimkannya kepada DPR pada tanggal 13 Mei 1980. Petisi itumengkritik keras Presiden Suharto karena menggunakan penafsiran yang sangat dangkaldan menguntungkan dirinya sendiri terhadap Pancasila, dan karena mendorong ABRI

Page 653: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 633

untuk berkolaborasi dengan Gokar, padahal ABRI harus berada di atas semua kekuatansosial. Petisi itu juga mengeritik penumpukan kekayaan yang dilakukan oleh PresidenSuharto dan kroninya.

70 Tiga minggu setelah pembantaian Tandjung Priok, beberapa bom meledak: pada tanggal4 Oktober 1984 di kantor cabang Bank Central Asia (BCA), yang dimiliki oleh orangketurunan Cina, di Jakarta; kemudian pada 24 Desember, ledakan bom terjadi disebuah gereja Katolik dan sebuah seminari Protestan di Malang (Jawa Timur); padatanggal 21 Januari 1985, sederetan ledakan menghancurkan sembilan stupa di teras atascandi Borobudur; dan pada tanggal 16 Maret 1985, tujuh orang tewas ketika sebuahbom meledak secara prematur di atas bis malam Pemudi Ekspres tujuan Bali saatmendekati Banyuwangi di ujung timur pulau Jawa (Tapol 1987; Soeropranoto 2000).

71 Lihat majalah Pandji Masjarakat no. 167, 15 Januari 1975.72 Di antara mereka yang hadir pada pertemuan itu ialah Mohammad Natsir, Prawoto

Mangkusasmito, Mohamad Roem, M. Rasjidi, Taufiqurrahman, Mansur Daud Dt.Palimo Kayo, Hasan Basri, dan Agus Cik (Angek 2000: 2-3).

73 Mengenai sejarah dan perkembangan DDII, lihat Angek (2000), DDII (2001).74 Untuk pembahasan yang lebih rinci mengenai seminar dan persoalan ini, lihat Hassan

(1975: 64-104).75 Mengenai daftar buku dan terbitan lain mengenai persoalan dakwah selama tahun

1969-1980, lihat Anshari (1986: 195-198).76 Salah satu kisah sukses dari proyek ini ialah Pesantren Darul Falah di Bogor. Pesantren

ini merupakan pesantren berasrama yang mengajarkan pelajaran-pelajaran agama danumum dan dengan penekanan khusus pada pelatihan pertanian modern. Di antara paratokoh terkemuka dari pesantren ini ialah Gaffar Ismail (ayah dari sastrawan puisiterkenal, Taufik Ismail), Soleh Widodo (anak menantu Mohammad Natsir, seorangdosen di IPB), dan Aziz Darwis (seorang dosen di IPB).

77 Contoh-contoh pesantren yang disponsori DDII yang mengajarkan pelajaran-pelajaranumum kepada para santrinya yang berlatar belakang pesantren ialah Asy-Syafi’iyah diJakarta dan Pesantren Al-Huda di tasikmalaya. Sementara contoh-contoh pesantrenyang mengajarkan studi-studi Islam yang mendalam kepada para santri yang berlatarbelakang universitas umum ialah Pesantren Ulil Albab di Bogor dan Pesantren BudiMulia di Jakarta.

78 Wawancara dengan Adian Husaini, seorang mantan aktivis Islam IPB dan pesantren UlilAlbab serta seorang pemimpin muda DDII (23/05/2001).

79 Lobi Natsir yang kuat di dunia Arab memperkuat pengaruh DDII terhadap pihak-pihakpengambil kebijakan di Departemen Agama. Sepanjang periode 1970-an dan awal1980-an, DDII menjadi mitra Departemen Agama dan merekrut siswa yang akanmelanjutkan belajar ke Timur Tengah.

80 Di antara yang sedikit itu ialah Achmad Tirtosudiro (mantan wakil ketua HMI1947/1950) dan Bustanil Arifin (mantan siswa HIS Muhammadiyah di Sigli yangmemiliki jaringan yang kuat di kalangan aktivis HMI) yang memiliki posisi-posisi yangrelatif strategis dalam politik Orde Baru. Tirtosudiro (lahir tahun 1922) merupakanorang pertama yang diangkat sebagai kepada dari Badan Urusan Logistik (Bulog) yangbaru dibentuk (1966-1973) dan kemudian menjadi duta besar Indonesia di RepublikFederal Jerman (1973-1976) dan Saudi Arabia (1982-1985). Arifin merupakan pengganti

Page 654: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

634 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

pertama dari kepemimpinan Tirtosudiro sebagai kepala Bulog (1973-1993), dankemudian menjadi Menteri Muda Perdagangan dan Koperasi (1978/1983), dan yangterakhir menjadi Menteri Koperasi (1983/1988, 1988/1993).

81 Mereka ini adalah lima mahasiswa yang pernah belajar STI/UII sebelum kemudianmenyelesaikan kesarjanaannya di universitas-universitas yang berbeda-beda: Pane dariUGM tahun 1953, Ghazali dari Universitas Islam Jakarta pada tahun 1960, Ali dariKarachi University pada tahun 1955, Harjono dari Universitas Islam Jakarta pada tahun1963 (dia juga mendapat gelar PhD dari universitas yang sama pada tahun 1968),Anton Timur Dajelani dari PTAIN pada pertengahan tahun 1950-an.

82 Noer (ketua HMI 1953-1955) mendapatkan gelar PhD-nya dalam ilmu politik dariCornell University (AS) pada tahun 1963; Ali mendapatkan gelar Master-nya dalamIslamic Studies dari McGill University (Kanada) pada tahun 1957; Nasution mendapatkanMaster-nya dalam Islamic Studies dari McGill University pada tahun 1965; Djaelanimendapatkan gelar Master-nya dari McGill University pada tahun 1959; Halimmendapatkan gelar MBA-nya dari University of California, Berkeley pada tahun 1959,Suny mendapat Master-nya dalam Civil Law dari McGill University pada tahun 1960,dan Baiquni mendapatkan gelar Master-nya dalam Fisika pada akhir tahun 1950 danPhD-nya beberapa tahun kemudian dari University of Chicago.

83 Bintoro mendapatkan gelar Master-nya dari Graduate School of Public and InternationalAffairs, University of Pittsburgh pada tahun 1960, Subhan pernah mengikuti programnon-gelar di Economic Development di University of California Los Angeles (UCLA,1961-1962), Imaduddin mendapatkan gelar Master-nya pada Electrical Engineeringdari Iowa State University pada tahun 1965, dan Hasan mendapatkan gelar MBA-nyadari Syracuse University pada tahun 1965.

84 Ini merupakan kecenderungan umum dalam masyarakat Indonesia yang terus berlanjutsampai saat ini.

85 Untuk pembahasan lebih jauh mengenai perbedaan antara pendekatan ‘formal’ dan‘material’ dalam perjuangan Islam, lihat Mintaredja (1971).

86 Noer diangkat sebagai anggota tim politik Spri Suharto 91966-1968) dan kemudianmenjadi Rektor IKIP Jakarta (1967-1974). Bintoro diangkat sebagai staf pribadi Presiden(1966-1967) dan kemudian menjadi sekretaris Bappenas (11967-1968). Suny diangkatsebagai anggota DPR-GR/MPRS antara 1967-1969, namun di-recall pada tahun 1969karena kritiknya yang pedas terhadap RUU Pemilu. Ghazali diangkat sebagai anggotadari DPR-GR/MPRS antara tahun 1970-1971. Kelak, Metareum (ketua HMI periode1957-1960) direstui pemerintah untuk menggantikan Naro sebagai ketua umum PPP(periode 1989-1994), sementara para intelektual yang lain kebanyakan hanya mendudukijabatan-jabatan akademis.

87 Para birokrat santri lainnya di level atas pada tahun 1970-an ialah Barli Halim (ketuaBadan Koordniasi Penanaman Modal/BKPM, 1973-1980), Achmad Baiquni (DirekturBadan Tenaga Atom Nasional/BATAN), Madjid Ibrahim (birokrat senior di Bappenasdan kemudian menjadi Gubernur Aceh), Bakir Hasan (birokrat senior di DepartemenPerdagangan), Hariry Hady (birokrat senior di Bappenas). Untuk nama-nama lainnya,lihat Rahardjo (1993: 326).

88 Perkembangan intelektual PMII juga terhambat oleh adanya keterlibatan politiknya NUdalam struktur politik yang formal pada masa-masa awal Orde Baru. Karena NU masih

Page 655: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 635

terus terlibat dalam dunia politik, banyak pemimpin PMII yang terserap ke dalam partaiNU dan kemudian ke dalam PPP. Jadi, faksionalisme yang terjadi di tubuh NU padagilirannya akan melahirkan polarisasi dalam tubuh PMII, yang terbelah menjadi merekayang mendukung Idham Chalid dan yang mendukung Subchan Z.E. Karena adanyaikatan yang kuat antara PMII dan NU, para intelektual dari PMII memiliki sikapkonservatisme yang sama dengan para pemimpin NU. Sebuah usaha untuk menjadikanPMII lebih independen dari NU dilakukan lewat ‘Deklarasi Munarjati’ pada tahun 1972(Wahid 2000). Meski demikian, dibutuhkan beberapa waktu agar usaha itu efektif. Disamping itu, PMII juga terus mengalami kesulitan serius dalam merekrut banyakanggota di universitas-universitas sekuler. Terus bertahannya sisa-sisa hirarki pengetahuankolonial yang beriringan dengan kampanye reformisme-modernisme Islam dalam kurunyang panjang menjadikan para mahasiswa universitas sekuler secara umum menganggaprendah ajaran Islam yang tradisionalis. Selain itu, heterodoksi ajaran tardisionalis jugacenderung tidak cocok dengan kecenderungan psiko-religiusitas dari para mahasiswauniversitas sekuler yang cenderung lebih menyukai otentisitas dan kepastian keagamaansebagai pelarian diri dari pluralitas tata nilai (lifewords) yang ada dalam milieu universitassekuler.

Seperti ikatan yang ada antara PMII dan NU, kuatnya ikatan IMM dengan ideologiMuhammadiyah membatasi ruang manuver para intelektual IMM. Karena alasan yangsama, daya tarik organisasi ini di kalangan para mahasiswa universitas yang sekuler jauhlebih rendah jika dibandingkan HMI. Anggota baru IMM terbesar tetap berasal darilembaga-lembaga perguruan tinggi Muhammadiyah.

89 Kemoderenan pesantren ini merujuk pada diadopsinya metode-metode pengajaran danteknologi pendidikan yang modern, serta digunakannya bahasa Inggris dan bahasa Arabsebagai bahasa pengantar pengajaran dan percakapan sehari-hari. Meskipun pesantrenitu didirikan oleh ulama reformis-modernis, yaitu Ahmad Sahal, Zainal Fanani danImam Zarkasji, pesantren itu diorientasikan untuk mengakomodasi santri dari kelompok-kelompok dan orientasi-orientasi Islam yang berbeda-beda, seperti yang tercermindalam mottonya: ‘Pesantren Gontor berdiri di atas dan untuk semua golongan’.

90 Untuk mendapatkan deksripsi lebih jauh mengenai biografi intelektualnya, lihat Malikdan Ibrahim (1998: 121-138).

91 Mengenai latar belakang pendidikan dari para intelektual ini, lihat Bab 4.92 Wawancara dengan Imaduddin Abdulrahim (26/11/1998).93 Natsir juga berasal dari Sumatra dan juga dikenal sebagai intelektual Persis pada tahun

1920-an/1930-an.94 Pandji Masyarakat nomer 28, 29 dan 30, artikel-artikel itu bertanggal 1 Muharram

1388 H./29 Maret 1968.95 Istilah ‘Snouckisme’ di sini merujuk pada nama arsitek kebijakan ‘asosiasi’ dari

pemerintah kolonial Belanda, C. Snouck Hurgronje.96 Majalah Liga Indonesia (h. 39). Dikutip dari Hassan (1975: 43).97 Pandangan yang sama sebenarnya pernah diungkapkan oleh Amien Rais, seorang

mantan aktivis HMI, tapi yang sekarang menyebut dirinya sebagai seorang pemimpinIMM. Dalam artikelnya di majalah Suara Muhammadiyah (No. 16, Agustus 1967)yang berjudul ‘Agama, Modernisasi dan Mahasiswa’, antara lain dia menyatakan bahwadalam usaha untuk mengatasi penderitaan dan keterbelakangan rakyat Indonesia, para

Page 656: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

636 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

mahasiswa ‘Generasi 1966’ memiliki sebuah peran yang vital sebagai ‘agen-agenmodernisasi’. Meski mengakui bahwa modernisasi ‘telah menjadi sebuah konsensusnasional’, namun dia menyesalkan keberadaan dari apa yang disebutnya sebagaielemen-elemen yang mementingkan dirinya sendiri dalam masyarakat Indonesia denganmenggunakan ide modernisasi sebagai gerbong bagi tujuan-tujuan politiknya sendiri.Dia kemudian memberikan contoh berikut (hal. 10): ‘PMKRI (Pergerakan MahasiswaKatolik Republik Indonesia), misalnya, dalam Rapat Anggota Nasional yang diadakandi Bandung bulan lalu mengadopsi ‘modernisasi’ sebagai program nasionalnya. Namun,selain itu, PMKRI juga menyatakan secara tegas bahwa untuk mencapai pembaharuandi Indonesia, negara harus tak turut campur dalam urusan-urusan keagamaan. Pernyataanini mengisyaratkan desakan untuk menghapus Departemen Agama dan kantor-kantorcabangnya… Motif di balik sikap PMKRI ini sederhana; yaitu, untuk menyingkirkanummat Muslim (yang sangat toleran) yang merupakan penduduk mayoritas’. Mengenaipembahasan lebih jauh mengenai respon-respons dari kaum Muslim Indonesia terhadapmodernisasi, lihat Hassan (1975).

98 Wawancara dengan Imaduddin Abdulrahim (26/11/1998).99 Wawancara dengan Imaduddin Abdulrahim (26/11/1998).100 Mengenai pembahasan lebih jauh mengenai hal ini, lihat Wahib (1981: 144-193).101 Di antara, rekrutmen awal itu ialah Imaduddin Abdulrahim, Ahmad Sadaly dan A.M.

Luthfi (dari ITB), Endang Saefuddin Anshari dan Rudy Sjarif (dari UniversitasPadjadjaran), Jusuf Amir Feisal (dari IKIP Bandung), Daud Ali, Djurnalis Ali danIchtijanto (dari UNI), A.M. Saefuddin dan Soleh Widodo (dari IPB), Sahirul Alim danAmien Rais (dari UGM), Rofiq Anwar (dari Universitas Diponegoro), DaldiriMangundiwirdjo dan Fuad Amsjari (dari Universitas Airlangga), Gadin Hakim, BachtiarFanani Lubis dan Faiz Albar (dari Universitas Sumatra Utara). Hasil wawancara denganA.M. Luthfi (03/09/1998).

102 Wawancara dengan Utomo Dananjaya (29/11/2000).103 Hasil wawancara dengan Utomo Dananjaya, salah seorang sahabat terdekat Madjid

(29/11/2000).104 Kongres itu menugaskan kepada Nurcholish Madjid, Imaduddin Abdulrahim, Endang

Saifuddin Anshari dan Sakib Mahmud untuk menyempurnakan draft NDP yang telahdipersiapkan oleh PB HMI. Dalam kenyataannya, Madjid memberikan andil terbesarterhadap versi akhir dari NDP itu (Sitompul 2002: 246).

105 Mengenai isi dari NDP, lihat Sitompul (2002: 322-508).. 106 Wawancara dengan Nurcholish Madjid (18/09/1998). Kelak pada tahun 1983, Madjid

dan Roem melanjutkan diskusi mereka mengenai negara Islam lewat surat antaraJakarta dan Chicago, karena pada saat itu, Madjid tengah menjadi mahasiswapascasarjana di University of Chicago, dan tercapai kesepakatan bahwa ide mengenainegara Islam merupakan sesuatu yang asing bagi Al-Qur’an. Lihat Santoso (1997).

107 Wawancara dengan Utomo Dananjaya (7/12/2000).108 Lihat Ahmad Sadri, Max Weber’s Sociology of Intellectuals (1992: 72).109 Istilah ‘masjid-masjid independen’ di sini merujuk pada masjid-masjid yang tidak

didanai dan dikontrol oleh pihak-pihak otoritas pemerintah dan juga tidak secaralangsung berhubungan dengan organisasi Islam besar manapun.

110 Masjid Universitas Sumatra Utara, yang bernama Masjid Dakwah, merupakan satu-

Page 657: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 637

satunya masjid kampus yang berdiri pada tahun 1950-an. Namun, pada awal pendiriannyapada tahun 1952/1953 masjid itu merupakan sebuah masjid yang relatif kecil yangfungsinya terbatas pada interaksi-interaksi ritual dan komunitas. Wawancara denganBachtiar Fanani Lubis (11/11/2000).

111 Wawancara dengan Imaduddin Abdulrahim (26/11/1998) dan dengan petugas publicrelation masjid Salman, Budi Prayitno (13/12/2000).

112 Wawancara dengan Adian Husaini, seorang mantan aktivis Al-Ghifari (23/05/2001).113 Wawancara dengan Chairil Anwar, seorang aktivis awal masjid UGM (Masjid Shalahuddin)

(11/11/2000), Muhammad Nuh, seorang aktivis awal masjid ITS (Masjid ManarulIlmi) 911/11/2000), dan Muchtar Abbas, seorang aktivis awal masjid ITB (MasjidSalman) (29/11/2000).

114 Istilah ‘intelektual gerakan’ di sini meminjam dari Ron Eyerman, dan berarti individuintelektual dari gerakan sosial tertentu (Eyerman & Jamison 1991: 94-119).

115 Para instruktur utama dari LMD ialah Imaduddin Abdulrahim, Endang SaifuddinAnshari, Miftah Faridl dan Sakib Mahmud. Mereka semua merupakan mantanpemimpin dari Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam, LDMI.

116 Wawancara dengan Muchtar Abbas (29/11/2000).117 Wawancara dengan Imaduddin Abdulrahim (26/11/1998).118 Mengenai deksripsi lebih rinci dari LMD, lihat R. Rosyad (1995), H.K. Dipojono

(2002: 215-221) dan H. Radjasa (2002: 212-214).119 Di antara tokoh-tokoh terkemuka dari dekade-dekade sesudahnya yang bergabung

mengikuti training itu ialah Hatta Radjasa (Sekretaris Jenderal PAN dan Menteri Risetdan Teknologi dalam Kabinet Megawati), Al-Hilal Al-Hamdi (Menteri Tenaga Kerjapada Kabinet Abdurrahman Wahid), M.S. Ka’ban (Sekeretaris Jenderal PBB), DidinHafiduddin (pemimpin terkemuka gerakan tarbiyah [dakwah]), Mutammimul Ula(pemimpin Partai Keadilan Sejahtera, PKS), Hermawan K. Dipojono (Direktur EksekutifYayasan Salman pada awal-awal tahun 2000-an), Muchtar Abbas (seorang aktivis LSMterkenal) dan Faisal Basri (seorang analis ekonomi terkemuka). Untuk daftar lengkap,lihat Salman Database (2001).

120 Beberapa tokoh gerakan remaja masjid yang terkenal ialah Toto Tasmara (dari masjidCut Meutiah), Jimly Asshiddiqie (dari masjid Al-Azhar), Faisal Motik (dari masjidSunda Kelapa), dan Bambang Pranowo (dari masjid Istiqomah).

121 BKPRMI merupakan singkatan dari Badan Koordinasi Pemuda dan Remaja MasjidIndonesia.

122 Mengenai sejarah dan perkembangan BKPRMI, lihat DPP-BKPRMI (2000).123 Hal ini akan dibahas dalam bab berikutnya.124 Penterjemahnya ialah A. Mu’thi Nurdin.125 Semua harakah Islam ini memiliki titik temu dalam hal obsesi mereka untuk menerapkan

syariah. Namun mereka berbeda terutama dalam hal metode (manhaj) untuk mencapaiobsesi tersebut. Beberapa menganggap pendekatan kultural atau non-politik merupakancara yang paling efektif, sementara yang lainnya menganggap pendekatan politikmerupakan yang paling efektif. Mereka yang lebih menyukai pendekatan politik jugaberbeda satu sama lain dalam sistem politik sebagai ruang bagi penerapan syariah. IMmenoleransi demokrasi perwakilan dalam batas negara-bangsa, sementara Hizbut

Page 658: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

638 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Tahrir menolak demokrasi perwakilan dan negara-bangsa dan berobsesi pada penciptaan-kembali khalifah (negara Islam Internasional). Perbedaan dalam hal manhaj ini seringkalimembawa pertikaian-pertikaian internal di antara para anggota harakah yang berbeda.

126 Wawancara dengan Mutammimul Ula, seorang pengikut IM yang mula-mula diIndonesia (03/12/2003).

127 Buku itu diterjemahkan oleh A. Rakhman Zainuddin.128 Ridho pernah menjadi aktivis PII dan HMI.129 Pada tahun 1990-an, ketiga aktivis ini akan menjadi tokoh-tokoh terkemuka dari

partai tarbiyah, yaitu Partai Keadilan/Sejahtera.130 Wawancara dengan Mutammimul Ula, seorang pengikut awal IM di Indonesia

(03/12/2003).131 Pengaruh dari ajaran Syiah di kalangan lingkaran-lingkaran Muslim Indonesia harus

berhadapan dengan DDII yang memiliki jaringan yang kuat dengan Liga Dunia Muslimyang didominasi Saudi Arabia. Saudi Arabia sangat memusuhi baik secara teologismaupun politik pengaruh Revolusi Islam Iran dan DDII mengekspresikan sikap yangserupa mengingat adanya kemungkinan meningkatnya jumlah pengikut Syiah diIndonesia.

132 Istilah ’rausyan fikr’ menjadi popular di kalangan aktivis Islam Indonesia setelahterbitnya terjemahan karya Ali Shari’ati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan,diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1984.

133 Wawancara dengan Fahri Hamzah (15/08/1998).134 Mengenai sejarah LDK, lihat Y.S. Hadi (2000) dan A. Rahmat dan M. Nadjib (2001).135 Mengenai pembahasan lebih jauh mengenai perkembangan dari gerakan tarbiyah ini

pada tahun 1990-an, lihat Hadi (2000), Rahmat & Najib (2001) dan Damanik (2002).136 Wawancara dengan Nurcholish Madjid (18/09/1998).137 Selama studinya di University of Chicago, Madjid dibimbing oleh, selain oleh yang

lain, seorang pemikir Islam liberal (neo-modernis) Pakistan yang terkemuka, FazlurRahman

138 Rasjidi mendapatkan gelar PhD-nya dari Sorbonne University (Prancis) tahun 1956;Mukti Ali dan Anton Timur Djaelani mendapatkan gelar Master-nya dari McGillUniversity masing-masing pada tahun 1957 dan 1959; Harun Nasution mendapatkangelar PhD-nya dari McGill University pada tahun 1968. Kafrawi mendapatkan gelarMaster-nya dari McGill University pada tahun 1969.

139 Wawancara dengan Utomo Dananjaya, salah seorang dari pendukung paling antusiasdari ide-ide pembaharuan (29/11/2000).

140 Wawancara dengan Dawam Rahadrjo (10/09/1998) dan Adi Sasono (02/09/1998).141 Kita akan membahas kembali NGO ini beberapa saat lagi dalam bab ini.142 Majelis Reboan merupakan sebuah eksperimen untuk mengembangkan sebuah ‘ranah

publik’ yang terbuka dan plural dalam situasi-situasi kontrol yang otoritarian. Berawaldari sebuah forum diskusi informal dari para intelektual pembaharu yang berlatarbelakang HMI dan PII, seperti Nurcholish Madjid, Utomo Dananjaya, Eky Syahruddindan Usep Fathuddin, para peserta dalam Majelis Reboan ini lalu diperluas sehinggamelibatkan para intelektual dari beragam latar belakang, termasuk para intelektualnon-Muslim seperti Franz Magnis Suseno dan Mudji Sutrisno (dari Katolik) dan Victor

Page 659: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Developmentalisme-Represif Orde Baru dan Respons Intelektual Islam | 639

Tanja (seorang Protestan).143 Wawancara dengan Nurcholish Madjid (18/09/1998) dan Utomo Dananjaya (29/11/2000).144 Untuk penjelasan lebih jauh tentang istilah ‘regimes of truth’, lihat Foucault (1980: 12).145 Leonard Binder merupakan seorang ahli dalam Studi Islam dan Timur Tengah yang

telah menulis banyak mengenai Islam. Bukunya yang paling penting ialah IslamicLiberalism: A Critique of Development Ideologies (1988). Wawancara dengan AmienRais (17/09/2003).

146 Di antara guru-guru agama terkenal yang menjadi guru bagi keluarga Suharto ialahQosim Nurseha dan Quraisy Shihab.

147 Habibie menceritakan kisah ini kepada para pemimpin Majelis Sinergi Kalam (MASIKA-ICMI) pada 5 Mei 1998. Wawancara dengan ketua MASIKA, A. Hamid (29/08/1998).

148 Mengenai pembahasan lebih jauh tentang sejarah dan perkembangan LP3ES, lihat I.Ahmad (2001)..

149 Wawancara dengan Utomo Dananjaya (29/11/2000).150 Setelah demosntrasi mahasiswa anti-pemerintah pada bulan Januari 1978, Abdulrahim

ditangkap dan dipenjara selama jangka waktu yang singkat tanpa sidang pengadilan.Segera setelah dibebaskan dari penjara, dia meninggalkan Indonesia untuk mengambilgelar PhD di Amerika Serikat (dengan dukungan Natsir dan beasiswa dari King FaisalFoundation). Namun, bahkan setelah menyelesaikan studi PhD-nya itu, dia masihtetap dianggap sebagai seorang ekstremis Islam dan terus diawasi oleh pihak keamanan.Dia lalu memutuskan untuk kembali ke tanah air dengan jaminan Alamsjah Prawiranegara.

151 Wawancara dengan Putut Wijanarko dan Hernowo, manajer dan editor rumahpenerbitan Misan (13/12/2000).

152 Untuk pembahasan lebih rinci mengenai peran kasidah Bimbo dalam fenomena ‘beralihke Islam’, lihat Hasbulah (1999).

153 Untuk pembahasan lebih jauh dari kemunculan dan perkembangan dari sastratransendetal atau profetik ini, lihat A. Hadi (1999).

154 Untuk pembahasan lebih jauh mengenai hal ini, lihat L. Castles (1967) dan kemudianbandingkan dengan J. Burhanuddin (1992).

Page 660: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

640 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 661: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 641

BAB 6

PASANG-SURUT IKATANCENDEKIAWAN MUSLIM

SE-INDONESIA (ICMI)

Kehadiran ICMI tak bisa dilepaskan dari perjalanan historisumat Muslim dan dari kehadiran beragam gerakan

Islam kontemporer di IndonesiaDawam Rahardjo (1993)1

Bagi Suharto, ICMI merupakan sebuah perkawinan kepentinganjangka pendek. Dikiranya ia bisa mengontrol [kaum modernis

ICMI] jika mereka melangkah terlalu jauh.Saya khawatir strategi itu akan memukul balik.

Abdurrahman Wahid (1994)2

Sepanjang tahun 1980-an, saat Suharto makin merasa puas atashasil kerjanya di bidang ideologi dan ekonomi, pengaruh parabroker politik lama dalam dunia politik Indonesia justru cenderungmemudar. Seperti yang diamati oleh Elson (2001: 244): ‘BintangAli Murtopo yang telah begitu lama menjulang tinggi, mulaimeredup setelah serangan penyakit jantung yang dialaminyapada tahun 1978 (dia meninggal pada bulan Mei 1984), sementara

Page 662: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

642 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

pengaruh Sudjono Humardani telah surut sejak awal 1980-ankarena kemunculan para birokrat baru yang lebih profesionaldan terampil secara teknis.’

Kondisi ini melahirkan sebuah persekutuan politik baru dilingkaran dalam dari struktur patronase Suharto. KepemimpinanGolkar selama periode Sudharmono (1983-1988) mulai menunjuk -kan surutnya pengaruh kelompok Murtopo karena Sudharmonolebih suka mengakomodasi para aktivis Islam.3 Penunjukan anakdidik intelijen Murtopo, yaitu L.B. Murdani, sebagai PanglimaTNI (ABRI) pada bulan Maret 1983 untuk sementara waktumembuat pengaruh lobi non-Muslim bertahan. Namun, denganselesainya masa jabatan Murdani sebagai Panglima ABRI padatahun 1988, terjadilah titik balik dalam sikap dan relasi strategisSuharto dengan para elit militer. Presiden mulai menyambutbaik promosi para perwira militer yang bersahabat denganIslam, yang kadangkala disebut sebagai ‘tentara hijau’.

Sikap-sikap bersahabat yang ditunjukkan oleh organisasi-organisasi Muslim terhadap ajaran resmi (ortodoksi) negaramen dorong rezim penguasa untuk mengakomodasi representasiMuslim dalam kepemimpinan politik dan birokrasi Orde Baru.Sepanjang periode 1983-1988, beberapa wakil inteligensiaMuslim mulai memainkan peran-peran penting dalam DewanPengurus Pusat Golkar (DPP Golkar). Beberapa figur yang di -asosiasikan sebagai representasi inteligensia Muslim ini terdiriatas Akbar Tandjung (sebagai wakil sekretaris jenderal), K.H.Tarmudji, Ibrahim Hasan, Anang Adenansi dan Qudratullah(DPP-Golkar, 1994: 165-168). Seiring dengan itu, para intelektualMuslim yang duduk dalam birokrasi pemerintah seperti Mar’ieMuhammad, Beddu Amang, Muslimin Nasution, Sajuti Hasibuandan beberapa yang lain mulai menduduki jabatan-jabatan eselonatas.

Page 663: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 643

Kira-kira pada saat yang bersamaan, basis sosio-ekonomiinteligensia Muslim pun berubah. Generasi keempat inteligensiaMuslim mulai menantang dominasi yang telah begitu lama dariinteligensia sekuler dalam sektor ekonomi-birokrasi. Berkiprahdi luar sektor ekonomi tradisional dari kaum santri (lama),yaitu pedagang kecil dan pertanian komersial (untuk kalanganmodernis) atau kepemilikan tanah (untuk kalangan tradisionalis),inteligensia Muslim yang berkiprah dalam birokrasi negara iniseringkali disebut sebagai neo-santri.

Kebijakan ‘itikad baik’ (good will) yang dijalankan pemerintahterhadap kepentingan-kepentingan Muslim juga tampak jelaslewat peningkatan dukungannya terhadap Islam kultural, sepertidiindikasikan oleh peningkatan yang berarti dalam subsidi-subsidi pemerintah terhadap masjid-masjid dan sekolah-sekolahagama.4 Selain subsidi dari pemerintah, Presiden Suharto sendiri,di bawah dukungan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila,secara aktif mensponsori pembangunan masjid-masjid danaktivitas-aktivitas dakwah. Selama tahun 1970-an dan 1980-an,Yayasan ini telah mendirikan sebanyak 400 masjid sertamemberikan dukungan dana bagi seribu dai Muslim yang dikirimke tempat-tempat terpencil dan zona-zona transmigrasi.5

Seiring dengan kian membaiknya hubungan antara komunitasMuslim dan pihak pemerintah, komposisi Kabinet PembangunanKelima Presiden Suharto (1988-1993) mengakomodasi figur-figur teknokrat santri dalam jumlah yang belum pernah terjadisebelumnya.6 Sikap akomodatif pemerintah terhadap paraintelektual Muslim juga ditunjukkan dengan diangkatnyaAbdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid dan beberapa tokohterkemuka Muslim lainnya sebagai anggota MPR dari utusangolongan di bawah bendera Golkar.

Page 664: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

644 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Bersamaan dengan naiknya tokoh-tokoh Muslim ke dalamjajaran elit penguasa, pemerintah memperlihatkan isyarat-isyarat‘persahabatan’ yang lebih jauh terhadap kepentingan-kepentinganMuslim dalam persoalan-persoalan hukum dan budaya. Undang-Undang Pendidikan Nasional—yang mendukung diberikannyapelajaran agama Islam di sekolah-sekolah umum serta menjamindukungan yang lebih luas terhadap sekolah-sekolah agamaswasta—disahkan setelah proses penyusunan draft yang berlarut-larut pada tahun 1989. Pada saat yang sama, disahkan jugaUndang-Undang Peradilan Agama.7

Manakala para intelektual Muslim menjadi kian diterimadalam dunia politik dan birokrasi Orde Baru, capaian-capaiansosio-ekonomi dari rezim ini melahirkan konsekuensi-konsekuensinya tersendiri yang tak terduga. Meningkatnyaakumulasi modal swasta, adanya ledakan dalam jumlah lulusanpendidikan tinggi dan kelas menengah perkotaan yangterborjuiskan, serta berubahnya iklim (mood) dalam hubungan-hubungan internasional, membawa perluasan peluang bagikemungkinan manuver-manuver oposisional.

Nyatanya, tak ada hegemoni yang sedemikian kuat sehinggamelenyapkan semua sumber perlawanan terhadapnya. Di manaada kuasa, di situ ada perlawanan. James C. Scott dalamkaryanya, Domination and the Arts of Resistance: HiddenTranscripts (1990), menunjukkan batas-batas keampuhan darisuatu operasi ideologi yang berkuasa, dan mengingatkan bahwakelompok-kelompok yang paling subordinat sekalipun memilikikesanggupan untuk melakukan penetrasi dan demistifikasiterhadap ideologi yang berkuasa. Dalam pandangan Scott,sebuah ideologi yang hegemonik cenderung menciptakankontradiksi-kontradiksi yang memungkinkannya untuk dikritikdengan menggunakan jurus-jurus ‘bahasanya’ sendiri.

Page 665: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 645

Saat Orde Baru menjadi semakin hegemonik, represi politikbukan hanya dialami oleh kelompok-kelompok Islam dan Kiri,namun juga oleh segmen-segmen lain dari bangsa Indonesia.Sebagai dampaknya, gerakan-gerakan hegemoni-tandingan(counter-hegemony) secara perlahan melibatkan spektrum yangluas dari masyarakat Indonesia. Di luar kelompok-kelompokIslam dan aksi mahasiswa, gerakan oposisional juga datang dariNGO-NGO yang berorientasi pada usaha untuk menciptakancivil society (masyarakat madani), para aktivis sastra, seni danbudaya, serta para jurnalis independen. Selain itu, gerakanoposisi juga datang dari kelompok-kelompok barisan sakit hatidari mereka yang pernah menjadi bagian dari elit bekuasa yangkemudian terpental dari struktur-struktur politik formal.Runtuhnya legitimasi Orde Baru sebagai akibat dari krisisekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998 menjadi katalisbagi kelompok-kelompok oposisi yang berserakan ini untukbersatu dalam sebuah blok historis (historical bloc) bersama.

Jadi, semakin diterimanya kaum Muslim dalam dunia politikOrde Baru berlangsung pada saat gerakan-gerakan oposisimenunjukkan gelombang pasang, sedang rezim Suharto tengahberada dalam gelombang surut. Situasi paradoks seperti itumelatari berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia(ICMI).

Bab ini akan membahas usaha-usaha kaum Muslim untukmembentuk sebuah ensemble bagi aksi-aksi kolektif intelektualMuslim; menelaah latar belakang di balik pendirian ICMI,prestasi politik yang riil dari ICMI, pertarungan-pertarunganinternalnya serta oposisi eksternal terhadapnya. Perhatian khususakan diarahkan kepada faktor-faktor yang membuat beberapatokoh pemimpin dalam tubuh ICMI bergabung dengan gerakanperlawanan dalam bulan-bulan terakhir rezim Suharto dan juga

Page 666: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

646 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

kemunduran politik ICMI setelah pengunduran diri Suhartodari tampuk kekuasaan. Bab ini akan diakhiri dengan bahasanmengenai capaian politik inteligensia Muslim selama tahun-tahun awal era reformasi, dari naiknya kekuasaan transisi Habibiepada Mei 1998 sampai dengan peralihan abad ke-20.

Profil Pendidikan pada Penghujung Abadke-20: Ledakan Sarjana Muslim Tahun 1980-an dan 1990-an merupakan masa ‘panen raya’ bagiinteligensia Muslim Indonesia dari berbagai gerakan. Bukanhanya jumlah inteligensia Muslim yang memiliki kualifikasi-kualifikasi pendidikan tinggi mencapai tingkatan yang belumpernah ada sebelumnya, namun juga jumlah mereka yang meraihgelar pasca-sarjana dari luar negeri, terutama dari pusat-pusatstudi di Barat, juga lebih besar dibandingkan dengan periodemanapun dalam sejarah Indonesia.

Profil pendidikan penduduk Indonesia berdasarkan agama,yang didasarkan pada Survei Antarsensus Indonesia yang dilakukanoleh Biro Pusat Statistik, menunjukkan bahwa dari tahun 1976sampai 1995, kelompok penduduk Muslim mengalamipeningkatan pendidikan secara ajeg, terutama setelah akhirtahun 1980-an. Hal ini bisa dilihat dalam angka-angka pendudukMuslim dalam kelompok usia 20-29 tahun yang telahmenyelesaikan pendidikan tinggi setingkat S1 (selanjutnya disebutS1).8 Pada tahun 1976, hanya terdapat 16.218 Muslim dalamkelompok usia ini yang menyelesaikan S1. Angka ini sekitar0,009% dari total jumlah penduduk Muslim dalam kelompokusia ini, namun merepresentasikan 75,3% dari total pendudukIndonesia untuk kelompok usia ini (dari beragam latar belakangagama) yang menyelesaikan S1. Pada tahun 1985, terdapat

Page 667: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 647

71.516 Muslim dari kelompok usia ini yang telah menyelesaikanS1. Angka ini sekitar 0,2% dari total penduduk Muslim darikelompok usia ini atau sama dengan 76.0% dari total pendudukIndonesia dari kelompok usia ini yang menyelesaikan S1. Padatahun 1995, kelompok Muslim dari kelompok usia ini yangmenyelesaikan S1 naik menjadi 553.257. Angka ini sama dengan1,8% dari total penduduk Muslim dari kelompok usia ini atau77,5% dari total penduduk Indonesia yang menyelesaikan S1(lihat Tabel 5).

Profil pendidikan kelompok Muslim dari kelompok usia inimasih jauh di bawah capaian kelompok Kristen (Katolik/Protestan/Lainnya) dan Hindu. Rasio kelompok Kristen dan Hindu yangberpendidikan tinggi dibandingkan dengan total proporsipenduduk Kristen dan Hindu dari kelompok usia ini jauh lebihtinggi daripada penduduk Muslim. Meski demikian, ada indikasibahwa kelompok Muslim mengalami peningkatan yang signifikandalam hal pendidikannya antara tahun 1985-1995. Sementaraproporsi kelompok Kristen dan Hindu yang menyelesaikan S1dalam persentase dari total angka mereka yang menyelesaikanS1 (dari kelompok usia ini) mulai menurun, proporsi kelompokMuslim terus meningkat (lihat Tabel 5).

Tabel 5: Pencapaian S1 Berdasarkan Agama dari Penduduk Indonesiadalam Kelompok Usia 24‐29 tahun

Tahun Muslim Kristen Hindu

A B C A B C A B C

1976 16.218 0,0% 75,3% 4.191 0,4% 19,4% 520 0,1% 2,4%

1985 71.516 0,2% 76,0% 18.706 0,7% 19,8% 3.024 0,5% 3,2%

1995 553.257 1,8% 77,5% 132.657 4,1% 18,5% 16.604 2,8% 2,3%

Sumber: Berdasarkan Survei Antarsensus Indonesia oleh BPS pada tahun 1976, 1985 dan 1995.

Page 668: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

648 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

A = total jumlah kelompok agama tertentu yang menyelesaikan S1(dari kelompok usia ini)

B = persentase A terhadap total jumlah kelompok agama tertentu(dari kelompok usia ini)

C = persentase A terhadap total penduduk (dari kelompok usia ini)yang menyelesaikan S1 (yang jumlahnya sebesar 21.537 padatahun 1976, 94.024 pada tahun 1985 dan 713.808 pada tahun1995)

Total penduduk Muslim dari kelompok usia ini = 16.270.299 (tahun1976), 24.521.402 (tahun 1985) dan 29.353.740 (tahun 1995)Total penduduk Kristen dari kelompok usia ini = 1.024.557 (tahun1976), 2.628.280 (tahun 1985) dan 3.173.710 (tahun 1995)Total penduduk Hindu dari kelompok usia ini = 335.252 (tahun 1976),524.307 (tahun 1985) dan 579.931 (tahun 1995)

Tentu saja, tidak semua orang Muslim yang berpendidikantinggi ini termasuk kalangan santri. Namun, dengan semakindalamnya proses Islamisasi di dunia akademis dan dalamkehidupan pemerintahan sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an, jumlah orang berpendidikan tinggi yang berorientasi keislamansemakin meningkat ketimbang pada masa sebelumnya. Pencapaianini diperkuat oleh meningkatnya kredibilitas para intelektualMuslim terutama sebagai akibat dari kian besarnya jumlahintelektual Muslim yang mendapatkan gelar PhD dan Master-nya dari luar negeri.

Karena ‘gerakan masjid’ (dakwah kampus) terutama diikutioleh mereka yang memiliki latar belakang sains dan keteknikan,banyak aktivis dari gerakan ini yang bekerja sebagai para saintisdan insinyur di lembaga-lembaga pemerintah dan industri-

Page 669: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 649

industri strategis, terutama di lembaga-lembaga yang memilikiafiliasi dengan Kementrian Negara Riset dan Teknologi yangdipimpin oleh Habibie. Sebagai contoh, orang-orang sepertiSuparno Satira, Zuhal Abdul Qadir dan Nur Mahmudi Ismail(yang masing-masing adalah mantan rekrutmen LMD, aktivisSalman, dan aktivis Al-Ghifari) bekerja bagi lembaga-lembaga dibawah kementrian tersebut.9 Kementrian tersebut merupakanlembaga pemerintah yang paling aktif dalam mempromosikanpengembangan sumber daya manusia. Bermula dari kebijakantugas belajar ke luar negeri lewat beasiswa asing, pada tahun1986 kementrian tersebut mulai menawarkan program beasiswanyasendiri yang dikenal dengan nama Overseas Development Program(OFP) di bawah sponsor Bank Dunia.10 Dengan tersedianyabeasiswa-beasiswa ini, lebih banyak lagi mantan aktivis gerakanmasjid yang bisa melanjutkan studi pasca-sarjana di negara-negara Barat.

Bagi para aktivis Islam yang berasal dari latar belakang non-sains dan keteknikan, kesempatan mereka untuk bisa melanjutkanstudi ke luar negeri dimungkinkan oleh tersedianya beasiswa-beasiswa lain seperti OTO-Bappenas dan MOF DepartemenKeuangan yang disponsori oleh Bank Dunia.

Sementara itu, usaha paling sungguh-sungguh untukmengirimkan para lulusan IAIN ke universitas-universitas Baratdilakukan oleh Departemen Agama selama periode MunawirSjadzali (1983-1988, 1988-1993). Tujuan utama dari kebijakanini, menurut Sjadzali, ialah untuk mengintegrasikan apa yangdia sebut ‘intelektualisme Islam’ dengan ‘intelektualisme Nasionalis’(yang sekuler), dan secara khusus untuk memungkinkan parasarjana Islam yang berlatar belakang IAIN untuk bisaberkomunikasi lebih baik dengan inteligensia yang berlataruniversitas sekuler (Dhofier 1992: 20). Data dari departemen

Page 670: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

650 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Agama menunjukkan bahwa antara 1987-1994 saja, tak kurangdari 153 dosen IAIN yang menyelesaikan studi pasca-sarjananyadi universitas-universitas Barat dan 103 staf masih sedangberpatisipasi dalam program yang sama. Pada akhir tahun 1990-an, 90% dari dosen IAIN yang bergabung dengan ‘programpembibitan’ (yaitu program pelatihan untuk mempersiapkanstaf untuk bisa mengikuti studi pasca-sarjana di luar negeri)lebih menyukai universitas-universitas Barat ketimbang universitas-universitas Timur Tengah (Departemen Agama 1998).

Akibat dari pencapaian dalam bidang pendidikan ini, inteligensiaMuslim lantas menunjukkan suatu fenomena yang serba hadir,dan bahkan mulai mendominasi wacana sosial-politik dalamruang publik Indonesia. Konsekuensinya, para intelektual Muslimpada tahun 1980-an dan 1990-an jauh lebih merasa percaya diriketimbang para pendahulunya, serta menuntut peran-peranpublik yang lebih besar dalam masyarakat.

Sebagai dampak dari gerakan dakwah yang terus berlangsung,berbarengan dengan diperkenalkannya pelajaran-pelajaran umumdalam institusi-institusi pendidikan agama dan pelajaran-pelajaranagama dalam institusi-institusi pendidikan sekuler, perbedaanantara kategori ulama dan intelektuil menjadi kabur. Banyakintelektuil tampil sebagai figur-figur keagamaan yang terkemuka,sementara banyak ulama yang tampil sebagai juru bicaraterkemuka dalam isu-isu sekuler. Selain itu, dengan semakinbanyaknya perguruan tinggi agama, terdapat lebih banyak danlebih banyak lagi ulama yang memiliki gelar akademis, sementaradiperkenalkannya fakultas-fakultas umum di perguruan tinggiagama menciptakan kebingungan apakah para lulusan dariinstitusi-institusi tersebut sebaiknya disebut ulama ataukahintelektuil. Karena berbagi kesamaan yang luas dalam basispengetahuan serta eksposur mereka (yang berlatar perguruan

Page 671: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 651

umum maupun agama) terhadap modernitas dan pendidikantinggi, istilah-istilah ‘ulama’ dan ‘intelektuil’, sejauh keduanyamerunjuk pada kelompok orang-orang yang meraih gelar sarjana,tak lagi menjadi kategori-kategori yang eksklusif. Pada periodeini, bahkan istilah-istilah antara yang telah lama ada seperti‘intelek-ulama’ dan ‘ulama-intelek’ mulai runtuh karena keduaistilah tersebut secara implisit masih mengakui adanya perbedaanantara ulama dan intelektuil.

Sebuah kode baru dibutuhkan untuk menandai fusi darikedua kategori itu. Titik-temu dari fusi tersebut bukanlah padakata ‘intelektuil’ atau ‘ulama’, namun pada sebuah neologismeyang netral, yaitu ‘cendekiawan’.11 Istilah ‘Cendekiawan Muslim’menjadi semakin sering dipakai dalam ruang publik Indonesiasejak dari tahun 1980-an sampai sekarang, terutama sebagaisuatu penanda bagi perkembangan eksplosif dari intelek-ulamadan ulama-intelek Muslim. Meskipun begitu, istilah-istilah‘intelektuil’ dan ‘ulama’ masih tetap digunakan untuk merujukpada makna-makna aslinya (dalam bahasa Indonesia).

Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang PublikPeriode 1988-1993 merupakan fase lima tahun terakhir dariRencana Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJP I).12

Mendekati PJP II, wacana dan upacara-upacara resmi pemerintahmulai disemarakkan dengan popularisasi slogan baru, yaitutinggal landas (take-off), yang memproklamirkan fase lanjutandari kehebatan pembangunan Indonesia. Pada saat yang sama,ekonomi Indonesia menunjukkan perubahan yang radikal. Padatahun 1991, peran sektor manufaktur terhadap GDP mulaimelampaui sektor pertanian dan perbankan swasta mulai memilikijumlah simpanan yang lebih besar dibandingkan bank-bank

Page 672: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

652 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

negara (Thee 2002: 198-201).

Dengan keberhasilan sektor industri, Presiden Suhartomenyadari bahwa pemacuan perkembangan teknologi melaluipeningkatan kapabilitas teknis manusia Indonesia merupakanrute terbaik menuju tahap tinggal landas. Pada akhir November1984, dia pernah mengatakan: ‘Saya sangat sadar tentang betapapentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bagikemajuan bangsa kita di masa depan. Agar bisa mencapai tahaptinggal landas, dalam tahun-tahun mendatang, kita harus mencapaikemajuan yang lebih besar dalam bidang ilmu pengetahuan danteknologi’ (Kompas, 29 November 1984). Di luar pertimbanganekonomi, kekaguman Suharto terhadap penguasaan teknologitinggi tampaknya dimotivasi oleh kebutuhannya untukmenunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia telah berhasil dibawah kepemimpinannya. Dalam konteks ini, Suhartomempercayakan ambisinya itu kepada menterinya yang energikdan penuh ambisi, yaitu B.J. Habibie (seorang ahli teknologiyang memiliki latar belakang pendidikan univeritas di Jerman,Technische Hochschule Aachen, dan lama menjabat sebagaiMenteri Riset dan Teknologi [1978-1998]).13

Dalam mendukung gairah untuk mencapai kemajuan teknologi,Habibie mengembangkan sebuah visi ekonomi baru yang berbedasecara radikal dari visi ekonomi yang telah dibangun oleh parateknokrat ekonomi. Dalam pandangannya, keberlangsunganpembangunan ekonomi Indonesia tidak bisa digantungkan padaprinsip ‘keuntungan komparatif ’ (comparative advantage) semata,yang didasarkan pada kelimpahan sumberdaya alam dan buruhyang murah. Alih-alih, keberlangsungan itu harus didasarkanpada prinsip ‘keuntungan kompetitif ’ (competitive advantage)yang didasarkan pada ‘nilai tambah’ dari teknologi tinggi danketersediaan tenaga kerja yang sangat terdidik dan terlatih.

Page 673: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 653

Dalam konteks ini, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi(Iptek) lewat Pembangunan Sumber Daya Manusia (PSDM)harus menjadi prioritas utama pembangunan Indonesia di masadepan. Dengan dukungan yang antusias dari Suharto, Habibiemengembangkan sebuah imperium industri strategis berteknologitinggi yang mencakup mulai dari industri pesawat terbangsampai kapal laut dan bahkan persenjataan. Di samping proyek-proyek ambisius ini, isu-isu mengenai IPTEK dan PSDM menjadiwacana yang dominan di ruang publik pada akhir era OrdeBaru.

Saat rezim sedang memimpikan ‘tinggal landas’, pencapaianpembangunan ekonomi mulai menunjukkan suatu dampak arusbalik (reverse impact). Meningkatnya ketergantungan Indonesiaterhadap hutang asing dan komunitas kapitalis global menjadikanekonomi dan politik negeri ini menjadi semakin rentan terhadappengaruh-pengaruh asing dan perubahan-perubahan dalamlingkungan ekonomi internasional. Lebih jauh lagi, menyusuljatuhnya harga minyak setelah tahun 1982, pemerintah mulaimengembangkan kebijakan ekonomi yang mengarah padaefisiensi, deregulasi dan berorientasi pasar. Hal ini diikuti olehsuatu pergeseran dari ekonomi substitusi impor yang didominasinegara menuju ekonomi yang berorientasi ekspor dan berlandaskanprakarsa swasta. Ini semua membawa serta peningkatan dayatawar sektor swasta. Seperti yang dicatat oleh Hill dan Mackie(1994: xxv): ‘Jaringan internasional konglomerat-konglomeratkomersial swasta jelas menciptakan keseimbangan kuasa antaraaparatur negara dan aktor-aktor swasta yang lebih menguntungkanpihak yang terakhir ini’. Lebih dari itu, pendalaman integrasiekonomi nasional ke dalam komunitas kapitalis global menjadikatalis bagi keterbukaan Indonesia terhadap nilai-nilai demokratikdan liberal Barat.

Page 674: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

654 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Pada awal 1990-an, suatu gugus besar dari kelas menengah(terdidik) perkotaan, yang berjumlah sekitar limabelas jutaorang, muncul untuk pertama kalinya dalam sejarah bangsaIndonesia (Hill & Mackie 1994: xxv). Meningkatnya jumlahorang berpendidikan tinggi, seiring dengan semakin meningkatnyakelas menengah dari masyarakat perkotaan, turut berperandalam meningkatkan ekspektasi-ekspektasi dan aspirasi-aspirasiyang kritis. Tatkala sirkulasi elit di pusat struktur politik menjadimacet, kesempatan bagi kelas menengah ini untuk memegangkekuasaan politik menjadi terhambat. Antrian yang panjangdari para pengharap kekuasaan ini menciptakan tekanan terhadapelit-elit politik yang berada dalam struktur politik, sehinggamelahirkan pertarungan politik internal yang sengit di antaraklik-klik dan lingkaran-lingkaran dalam tubuh birokrasi danpolitik Orde Baru.

Meskipun pertumbuhan ekonomi masih bisa dipertahankandan proporsi mahasiswa perguruan tinggi masih tetap relatifkecil, namun problem ‘proletarianisasi intelektual’ (pengangguranintelektual) yang telah terjadi di masa lalu menjadi semakinmemburuk. Penyebab utamanya terletak pada ketidaksesuaianantara sisi penawaran (luaran institusi-institusi perguruan tinggi)dan permintaan (lapangan kerja).14 Proporsi para mahasiswailmu sosial-humaniora dibandingkan dengan total mahasiswauniversitas di negeri ini sampai periode 1988-1990 adalahsekitar 76,8%. Pada saat yang sama, proporsi lulusan ilmusosial-humaniora dibanding total lulusan perguruan tinggi yangtak terserap (oleh pasar kerja) lebih dari 60%.15 Ancamanpengangguran menjadi lebih menakutkan bagi para mahasiswayang berasal dari universitas-universitas swasta non-elit. Setelahmengeluarkan biaya kuliah dan lain-lain yang lebih besardibandingkan dengan yang harus dikeluarkan mahasiswa-

Page 675: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 655

mahasiswa di univesitas-universitas negeri, para lulusan dariuniversitas-universitas swasta (non-elit) ini malahan cenderungtermarjinalkan di pasar kerja. Lebih sadar secara politik, tetapitersisihkan secara ekonomi, para calon proletariat intelektualini merupakan bom waktu bagi munculnya kerusuhan politik dimasa depan.

Semua konsekuensi dari pembangunan ini menimbulkantekanan kepada pemerintah untuk memberikan lebih banyakkonsesi terhadap tuntutan keterbukaan dalam ruang publik.Sejak akhir 1980-an, keterbukaan menjadi sebuah wacana‘hegemoni-tandingan’ (counter-hegemony) dalam ruang publik.Dalam pidato hari Kemerdekaan Agustus 1990, Presiden Suhartosendiri mengemukakan ide tentang perlunya diberikan kebebasanyang lebih besar untuk berekspresi, meskipun hal ini baginyatak lebih dari sekadar mengurangi peran-peran eksekutif yangdiembannya. Meskipun begitu, toh retorika politik seperti itumerangsang timbulnya kritik terselubung serta seruan opinipublik ke arah perubahan-perubahan yang lebih substansial(termasuk dilakukannya perubahan yang sungguh-sungguhterhadap dwi-fungsi ABRI) dan bahkan seruan agar PresidenSuharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan pada akhirmasa jabatannya saat itu (Elson 2001: 268).16

Angin keterbukaan mendorong para intelektual dan mediamassa untuk bersikap kritis secara lebih terbuka terhadappemerintah. Menjelang akhir tahun 1980-an, gerakan mahasiswayang telah lama tak lagi bersuara mulai bangkit kembali dalamskala yang terbatas. Fokus gerakan mereka kali ini terarah padaisu-isu lokal dan sektoral seperti memprotes penggusuran lahan-lahan pertanian oleh pemerintah serta undian berhadiah yangdisponsori pemerintah, yaitu SDSB.

Page 676: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

656 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Meskipun ada sinyal-sinyal ke arah keterbukaan, teramatjelas bahwa rezim keamanan represif yang telah begitu lamamapan masih tetap bertahan. Kebebasan bagi jurnalisme kritisdan protes-protes mahasiswa masih terbatas. Pada 29 Juni 1987,sebuah koran yang baru terbit, Prioritas (berdiri tahun 1985)dilarang terbit karena reportasenya yang dituduh ‘sinis, insinuatif,dan tendensius’. Pada bulan Oktober 1990, pemerintah membreideltabloid populer Jakarta, yaitu Monitor, setelah tabloid itumenerbitkan sebuah poling pembaca yang memposisikan NabiMuhammad pada urutan kesebelas di bawah Presiden Suharto(pada urutan pertama), Presiden Irak Saddam Hussein, danredaktur tabloid itu sendiri, Arswendo Atmowiloto. Represiterhadap pers ini memuncak pada tahun 1994 ketika tigaterbitan terkenal, yaitu Tempo, Editor, dan Detik, dilarang terbitsetelah memuat reportase mengenai rencana pemerintah untukmembeli kapal perang bekas Jerman Timur dengan hargapembelian yang mahal. Sementara itu, pada 5 Agustus 1989,enam aktivis mahasiswa dari ITB17 ditangkap dan dipenjarakansetelah melakukan protes terhadap kedatangan Menteri DalamNegeri, Jenderal Rudini, ke kampus ITB. Penangkapan ini diikutidengan pemenjaraan dan penculikan aktivis-aktivis intelektuallain pada tahun-tahun berikutnya.

Dalam fase transisi antara represi dan keterbukaan ini, konflik-konflik antar faksi dalam elit kekuasaan menjadi semakin intens.Situasi inilah yang pada tahun 1990 memungkinkandiwujudkannya sebuah ambisi yang telah lama terpendam dikalangan kaum Muslim untuk mendirikan sebuah perhimpunaninteligensia Muslim Indonesia, yang kemudian dinamakan IkatanCendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI). Tampil sebagai satu-satunya organisasi besar Islam yang mendapatkan status legalsepanjang Orde Baru, di tengah-tengah merebaknya gerakan-

Page 677: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 657

gerakan oposisional, menjadikan ICMI sebagai perhimpunanintelektual yang paling kontroversial dalam sejarah Indonesia.Organisasi itu segera menjadi fokus perdebatan politik danperhatian media pada akhir era Orde Baru. Namun, signifikansipolitiknya tidak bertahan lama, karena negeri ini segera disapuoleh gelombang reformasi.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahantahun 199718 menjadi katalis bagi rakyat untuk mempertanyakanlegitimasi Orde Baru dan membayangkan masa depan negaratanpa Suharto. Suharto bisa bertahan dari krisis-krisis sebelumnyadan bahkan menjadi lebih kuat karenanya. Namun kali ini,krisis ekonomi itu terlalu berat terutama karena krisis itudiperparah oleh meluasnya krisis-krisis non-ekonomi. Elitkekuasaan memperlihatkan perpecahan internal yang parah.Para oposan yang berserakan mulai bersatu dalam sebuah gerakanbersama, sementara dukungan internasional, terutama yangberasal dari institusi-institusi keuangan, lenyap.19 Semua itu danfaktor-faktor lainnya yang terjadi secara simultan menciptakantekanan yang besar sehingga akhirnya Suharto kehilangandukungan. Akibatnya, dia tak punya pilihan lain selainmengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998.

Usaha-Usaha Awal untuk MempersatukanPara Intelektual MuslimSetidaknya ada dua perspesktif akademis utama yang salingberlawanan dalam memandang kelahiran ICMI di ruang publikIndonesia. Yang pertama muncul dari para kritikusnya. Merekaberargumen bahwa kemunculan ICMI merupakan bagian darirencana strategis Suharto untuk memobilisasi dukungan Muslimsebagai kompensasi atas potensi penyusutan dukungan ABRI

Page 678: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

658 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

kepadanya dan untuk menjauhkan para intelektual Muslim darielemen-elemen politik yang lebih radikal di tingkatan akarrumput. Perspektif yang kedua datang dari para sarjana yanglebih simpatik. Mereka berargumen bahwa kelahiran ICMIharus dipahami sebagai sebuah konsekuensi alamiah dari kianmembesarnya jumlah kelas menengah baru dari kalangan Muslimterdidik yang membutuhkan medan bagi aktualisasi dirinya danuntuk bisa bersuara melawan proses marjinalisasi ekonomi danpolitik yang terus melanda umat Islam.

Perspektif yang pertama diwakili oleh seorang ilmuwan politikAmerika, R. William Liddle, yang berargumen bahwa kemunculandan keterkemukaan ICMI bisa dipahami secara paling baik‘sebagai bagian dari strategi dan taktik politik presiden ketimbangsebagai ekspresi dari tuntutan kaum Muslim Indonesia’ (Liddle1996: 631). Dalam pandangannya, perspektif kedua gagalmemahami relasi antara negara dan Islam politik pada masa-masa akhir Orde Baru. ‘Mereka semua melupakan faktor penentuyang krusial, yaitu peranan yang dimainkan Presiden Suhartosebagai pembentuk utama sistem politik dan kekuatan-kekuatanyang ada di dalam sistem tersebut’ (hal. 620).

Namun, terhadap tuduhan ini, kritik yang sama juga bisadiajukan. Jika kemunculan ICMI sekedar hasil dari inistiatifSuharto, lalu bagaimana kita bisa menjelaskan antusiasme daripuluhan ribu anggota ICMI (non-elit) luar-Jakarta yang bergabungdengan ICMI tanpa memperdulikan kepentingan-kepentinganpolitik personal para elitnya? Bagaimana kita bisa menjelaskanadanya setengah juta pembeli saham P.T. Abdi Bangsa dalamharian Republika (koran harian ICMI) tanpa menuntut hak-hakmereka dan tak pernah menuntut akuntabilitas saham-sahammereka? Bagaimana kita bisa menjelaskan adanya fakta bahwabeberapa tokoh utama ICMI (sebut saja Amien Rais dan

Page 679: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 659

Nurcholish Madjid) memainkan peran kritis dalam mendesakPresiden Suharto untuk mundur?

Perspektif yang kedua diwakili oleh antropolog Amerika,Robert W. Hefner, yang berargumen bahwa ‘usaha untukmendirikan sebuah perhimpunan intelektual Muslim, setidaknyapada ide awalnya, lahir dalam komunitas Muslim sendiri’ (Hefner1993: 20). Berbeda dengan perspektif pertama, dia menyatakanbahwa ‘bagaimanapun kuatnya gagasan ICMI ditarik ke dalamkonteks intrik birokratik, ide pendirian ICMI pada mulanyabukanlah hasil rekayasa pemerintah; asal-usul pendiriannyaterletak pada interaksi negara-masyarakat yang memiliki sejarahyang lebih panjang dan penuh pergolakan’ (Hefner 1993: 20).Pandangan bahwa ICMI sebagai sekedar alat pemerintah, menurutHefner, mencerminkan sebuah kecenderungan di kalangan parasarjana Barat untuk melihat agama tak lebih sekadar instrumenuntuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi-poltik yang lebih ‘sejati’.Pandangan ini mengabaikan fakta bahwa banyak kalangan santriyang memandang politik bukan sebagai tujuan dalam dirinyasendiri, namun sebagai sarana untuk menciptakan kebaikanbersama, untuk mewujudkan nilai-nilai ideal Islam dalammasyarakat (Hefner 1993: 29). Hefner lantas mengutip pandanganBenedict Anderson:

Kita telah begitu terbiasa berpikiran...hanya tentang para politisiyang menggunakan agama demi tujuan-tujuan politik, sehinggasangat sulit sekali buat kita untuk memahami bagaimana rupapolitik jika kita dapat melihatnya lewat kacamata agama, ataudalam perspektif agama, dan dengan demikian membayangkanbagaimana orang-orang yang beragama menggunakan politikuntuk tujuan-tujuan keagamaan (Hefner 1993: 27).

Page 680: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

660 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Namun, terhadap argumen ini pun , muncul beberapapertanyaan. Jika Suharto tak memiliki peran yang spesifik dalampendirian ICMI, lalu mengapa dia mendukung pendirian sebuahperhimpunan berbasis agama yang digambarkan oleh seorangjenderal senior di Indonesia sebagai ‘bencana terbesar yangmenghantam Orde Baru’ (Vatikiotis 1994: 133). Lebih dari itu,jika ICMI merupakan sebuah organisasi yang menggunakanpolitik semata-mata demi tujuan-tujuan agama, lalu bagaimanakita bisa memahami pandangan Adi Sasono, seorang intelektualorganik terkemuka ICMI, berikut ini: ‘Sungguh sulit mengorganisirmassa demi tujuan-tujuan demokratisasi dan de-militerisasi jikakita tak menggunakan alasan agama’ (dikutip dari Ramage1995: 75).

Kelemahan-kelemahan dari kedua perspektif di atas tampakjelas. Keduanya melihat realitas dengan menggunakan kacamatasatu sisi. Meminjam penggambaran B. Smart (yang mengikutipemikiran Derrida), keduanya berbagi kosmologi metafisikamodernis yang sama, yang didasarkan pada ‘sederetan oposisibiner yang metaforis, dimana satu elemen memiliki sebuahstatus istimewa yang berdiri sendiri’ (Smart 1997: 402). Perspektifpertama, seperti yang diartikulasikan oleh Liddle, mencerminkanmiskinnya wawasan historis, miskinnya perspektif komparatifdan miskinnya pemahaman teori-teori umum mengenai gerakan-gerakan sosial.

Menilai ICMI semata-mata sebagai kuda Troya bagi strategi-strategi dan taktik politik Presiden hanya karena pusat kekuasaanmendukung poses pembentukannya beresiko mengabaikan cerminsejarah. Dukungan pihak pemerintah terhadap ICMI bukanlahsuatu fenomena historis yang unik, karena kasus-kasus yangsama telah berlangsung berulang-ulang sepanjang sejarah Indonesia.Keberhasilan R.M. Tirto Adhi Surjo dalam mendirikan Soenda

Page 681: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 661

Berita (1903) dan terutama Medan Prijaji (1907), yang dipujidalam novel sejarah Pramoedya sebagai pelopor pengobaran‘bahasa’ nasionalisme, sebagian dikarenakan ‘adanya akses yangdia (Surjo) miliki terhadap Gubernur Jenderal van Heutsz, yangmemberinya perlindungan dari kesewenang-wenangan birokrasi’(Shiraishi 1990: 34). Namun, akses terhadap otoritas politik itutidak menghalangi Surjo untuk menjalankan maksud-maksudpolitiknya karena dia masih bisa mempertahankan semangatperlawanan dan emansipasinya.20

Dalam kasus-kasus yang lain, pendirian Budi Utomo (BU)dan Sarekat Islam (SI) juga dimungkinkan oleh adanya restudari Gubernur Jenderal Idenburg (Shiraishi 1990, 35; Van Niel,1970: 95-96). Namun, restu resmi ini tidak dengan sendirinyaberarti bahwa SI semata-mata sebagai kuda Troya-nya Idenburg,karena para pejabat Belanda sendiri kemudian memelesetkan SIsebagai singkatan dari ‘Salah Idenburg’. Dengan cara yanghampir sama, sarjana Jepang Mitsuo Nakamura (1999: 89)sangat mengeritik pandangan Liddle tentang kemunculan ICMI:

Liddle bahkan menyatakan bahwa ICMI harus dianggap sebagaisebuah instrumen yang dirancang dan dimanfaatkan oleh Soehartodemi tujuan-tujuannya sendiri. Namun, Soeharto ternyataberhenti di tengah masa jabatannya yang ketujuh: ICMI tidakberusaha untuk menyelamatkannya. Alih-alih, ICMI malahberusaha menggantikannya dengan Habibie. Apa yang salahjika demikian? Setelah Kongres ICMI yang kedua, sejumlahaktivis Islam diangkat ke posisi-posisi strategis dalam pemerintahanlewat jalur-jalur koneksi ICMI. Beberapa di antara mereka‘ditakdirkan’ untuk mengambil alih kekuasaan dari Soehartocepat atau lambat, dengan atau tanpa Habibie.

Page 682: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

662 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Selain dari preseden-preseden historis, kemunculan gerakanintelektual Muslim selama tahun 1970an-1990an dalamkenyataannya bukanlah sesuatu yang unik bagi Indonesia saja.Di Aljazair, terdapat ketegangan yang terus berlangsung antarainteligensia ‘arabophone’ (inteligensia Islamis) versus inteligensia‘francophone’ (inteligensia modern-sekuler). Menurut seorangsarjana Aljazair, Lahouari Addi (1997: 93), ‘sementara diasumsikanbahwa kemerdekaan akan menyatukan mereka dan menjadikanmereka elit baru, namun kemerdekaan ternyata malah memisahkanmereka dan bahkan memperhadapkan mereka satu sama lain’.Di Turki, perbenturan yang sama terjadi antara ‘aydin’21

(intelektual Muslim) versus ‘entelektüel’ (intelektual sekuler).Di Mesir, sebuah ketegangan segitiga berlangsung antara ‘mufakkirIslamy’ (inteligensia Muslim) versus ‘inteligensia sekuler’ pluskonflik dalam tubuh ‘mufakkir Islamy’ antara inteligensia Muslimmoderat versus inteligensia Muslim radikal—yang terkahir dibawah bendera Jama’at Islamiya’ (Abdullah 1991: Denoeux1993). Contoh-contoh tersebut memperlihatkan secara jelasbahwa kemunculan ICMI tak bisa disebabkan semata-matakarena adanya inisiatif Suharto, karena fenomena yang samabisa ditemukan di mana-mana di Dunia Muslim.

Yang terakhir tapi juga penting, dilebih-lebihkannya faktorSuharto oleh Liddle merupakan sesuatu yang tidak tepat dalamkerangka teori umum tentang gerakan-gerakan sosial.22 Eyermandan Jamison (1991: 55-56) mengajukan beberapa premis untukmemahami fenomena gerakan-gerakan sosial. Di antaranya,mereka menyatakan:

(1) Gerakan-gerakan sosial berkembang melewati semacamsiklus kehidupan, mulai dari fase persiapan sampai pembentukandan konsolidasi. Gerakan-gerakan sosial jarang yang muncul

Page 683: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 663

secara spontan; alih-alih, mereka membutuhkan masa persiapanyang panjang. (2) Tak ada gerakan sosial yang muncul hinggamenemukan suatu peluang politik yang tersedia, suatu konteksproblem-problem sosial dan juga suatu konteks komunikasi,yang membuka kesempatan bagi pengartikulasian problem danpenyebarluasan pengetahuan.

Selain itu, bagi suatu gerakan sosial untuk bisa hadir di ruangpublik, peluang politik merupakan faktor yang sangat menentukan.Poin ini mengingatkan kita pada teori ‘proses politik’ (the theoryof political process). Fokus utama dari teori ini ialah relasiantara aktor-aktor dan tindakan politik institusional, sertapentingnya (apa yang disebut sebagai) ‘struktur peluang politik’(political opportunity structure). Saat berhadapan dengan strukturpolitik yang telah mapan, gerakan-gerakan sosial berinteraksidengan aktor-aktor yang menempati posisi yang mapan dalamkekuasaan yang ada. Berdasarkan pada studi-studi komparatif,Donatella Porta dan Mario Diani (1999: 9-10) menyorotitemuan-temuan penelitian berikut:

Penelitian empiris lainnya mengindikasikan pentingnya variabel-variabel baru seperti...adanya sekutu-sekutu yang berpengaruh(Gamson 1999)... Sidney Tarrow, yang mengintegrasikanpengamatan-pengamatan empiris ini ke dalam sebuah kerangkateoritis bagi studinya mengenai siklus protes di Italia, menekankanpentingya faktor-faktor yang menyangkut tingkat keterbukaanatau ketertutupan akses politik formal, tingkat stabilitas atauinstabilitas dari persekutuan politik, keberadaan dan sosokstrategis dari sekutu-sekutu potensial (1983: 28) serta konflik-konflik politik di antara dan di dalam tubuh elit (1989a: 35).

Page 684: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

664 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Berdasarkan tilikan teori-teori gerakan sosial, dukunganSuharto terhadap ICMI bisa dipandang sebagai tanda tentangadanya peluang politik yang positif yang bisa dimanfaatkanuntuk mentransformasikan gerakan-gerakan intelektual Muslimyang telah lama terbangun menjadi perhimpunan inteligensiaMuslim yang terorganisir secara longgar. Terlalu melebih-lebihkan ‘faktor Suharto’ akan beresiko mengabaikan faktabahwa ICMI mungkin memiliki agendanya sendiri, meskipunretorika formal dari tokoh-tokoh terkemuka ICMI tetapmenegaskan bahwa ICMI semata-semata merupakan ‘gerakankebudayaan’ yang bebas dari kepentingan-kepentingan politik.

Setelah menganalisis kelemahan-kelemahan dari perspektifpertama, sekarang kita beralih untuk memeriksa perspektif yangkedua. Karena terlalu mengapresiasi latar historis dari kemunculanICMI, perspektif yang kedua seperti yang diungkapkan Hefner,gagal memperlihatkan esensi dari pergulatan ICMI dalam jaring-jaring relasi politik yang riil. Dengan menyatakan bahwa ‘asal-usul ICMI terletak dalam interaksi negara-masyarakat’, perspektifini merefleksikan teori-teori Marxis yang mengunci lokus kuasake dalam relasi-relasi antara penguasa dan yang dikuasai, danmelebih-lebihkan makna pentingnya Negara dalam menentukanrelasi kuasa. Pandangan monolitik terhadap kuasa ini telahdikritik oleh Foucault karena kedangkalan pemahamannyamengenai hakekat dari kuasa dan relasi-relasinya. Pergulatankuasa bukan hanya berlangsung di sepanjang sumbu relasi negaradan masarakat, namun juga terjadi dalam perbenturan-perbenturanantar individu-individu dan kelompok-kelompok dalammasyarakat. Pergulatan kuasa ICMI bisa dipahami secara lebihbaik dengan menempatkannya dalam konteks relasi-relasi kuasayang lebih luas.

Patut dicatat bahwa perspektif yang kedua ini menyebut

Page 685: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 665

proyek historis ICMI sebagai perjuangan dari ‘kelas menengah’Muslim. Padahal, akan muncul beberapa masalah jika kitamendeksripsikan pergulatan ICMI dalam kerangka tindakankelas. Pertama, jalan inteligensia Indonesia menuju kekuasaantidak benar-benar bersumber dari posisi ‘kelas’ (ekonomi)-nya,namun lebih berumber dari keistimewaan statusnya sebagaisebuah strata masyarakat Indonesia yang terdidik dan modern.Kedua, keanggotaan ICMI tidak sungguh-sungguh merepresentasi -kan ‘kelas menengah’ (Muslim), namun lebih merepresentasikanstrata inteligensia Muslim yang terdiferensiasi secara struktural,baik secara ekonomi maupun pendidikan (lihat Tabel 8). Sebagianbesar anggota ICMI memang termasuk ke dalam kelompokmasyarakat berpenghasilan menengah. Namun beberapa yanglain memiliki kekayaan yang besar, yang dalam banyak halmampu berbagi kekuatan ekonomi dengan para pemilik modal,sedangkan sisanya masih berpendapatan rendah. Ketiga, pergulatankuasa di antara kelompok-kelompok inteligensia Indonesiajarang yang diartikulasikan dalam kerangka kelas, namun lebihbanyak diartikulasikan dalam kerangka kelompok-kelompoksolidaritas kultural. Yang terakhir namun juga penting, konflik-konflik di antara kelompok-kelompok inteligensia serta di antarainteligensia Muslim dan negara (di Indonesia) tidak sajamerefleksikan kepentingan ekonomi, namun juga kepentingankultural dan simbolik yang tak bisa direduksi semata-matamenjadi sebuah pertarungan ‘kelas’ (kepentingan-kepentinganekonomi).

Dalam terang perspektif-perspektif teori inilah, kemunculanICMI bisa dipahami sebagai sebuah hasil dari proses interaksi.Yaitu, sebagai hasil kombinasi dari gerakan-gerakan intelektualIslam yang telah lama berkembang dalam berbagai bidang danorientasi ideologis dengan ketersediaan peluang politik yang

Page 686: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

666 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

lahir dari perubahan-perubahan dalam struktur patronase Suharto.Jaringan-jaringan intelektual dan struktur kognitif dari gerakan-gerakan intelektual Muslim terdahulu menjadi prakondisi bagimobilisasi para intelektual Muslim ke dalam ICMI, sementaradukungan dari Suharto membukakan peluang baru bagiperwujudan perhimpunan intelektual Muslim yang telah begitulama ditunggu. Munculnya ICMI juga merefleksikan sebuahkombinasi pertarungan kuasa antara negara dan masyarakatdan antar berbagai kelompok dalam masyarakat (terutama dalamstrata inteligensia), selain juga kombinasi dari pertarungan kuasademi kepentingan-kepentingan politiko-ekonomi (kelas) dengankepentingan-kepentingan identitas-kultural (status).

Berhubung kian banyaknya konsesi yang diberikan kepadakomunitas Muslim serta kian menguatnya peran intelektualMuslim yang mulai mendominasi wacana sosial-politik dalamruang publik Indonesia, maka sesuatu yang alamiah bila inteligensiaMuslim memiliki keinginan untuk bisa memainkan peran yanglebih menentukan dalam dunia politik dan birokrasi Orde Baru.Lebih dari itu, pada akhir tahun 1980-an, generasi keempatinteligensia Muslim, utamanya terdiri dari mereka yang lahirpada tahun 1930-an dan 1940-an, sudah terlalu tua untuk tetapberada di pinggiran kekuasaan politik. Di belakang generasi ini,telah berdiri antrian panjang generasi kelima yang menungguadanya perubahan dalam struktur peluang politik yangmemungkinkan mobilitas vertikal bagi mereka..

Setelah terfragmentasi ke dalam beragam kelompok akibatperbedaan respons terhadap represi dan modernisasi Orde baru,para intelektual Muslim sekarang, karena adanya strukturpeluang politik yang kondusif, dipersatukan oleh suatu kehendakbersama untuk menjalin sebuah kohesi sosial baru demimemperkuat kekuatan tawar kaum Muslim. Aspirasi ini bisajadi

Page 687: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 667

dimotivasi oleh kehendak bersama yang ideal untuk memperdalamproses Islamisasi dunia politik Indonesia ataupun bisa jugasemata-mata didorong oleh kepentingan-kepentingan kekuasaanindividual yang bersifat pragmatik. Secara retoris, ambisi iniseringkali terselubung di bawah slogan partisipasi dan kontribusikaum Muslim dalam dan terhadap pembangunan, terutamadalam bidang pengembangan IPTEK dan SDM.

Untuk memperkuat daya tawar politik dari inteligensiaMuslim, pembentukan sebuah front persatuan intelektual Muslimdianggap sebagai sesuatu yang vital. Sepanjang tahun 1980-an,telah ada eksperimen-eksperimen untuk menyatukan paraintelektual Muslim ke dalam aksi-aksi kolektif dan perhimpunan-perhimpunan tertentu. Pada tahun 1980, para intelektual Muslimdi Surabaya dan sekitarnya mulai membentuk CendekiawanMuslim Al-Falah (CMF) yang dipimpin oleh Fuad Amsjari.23

Kantor pusat dari komunitas intelektual ini adalah masjid Al-Falah, yang dikenal berafiliasi ke DDII. Pada awal tahun 1984,CMF mengorganisir sebuah pertemuan yang lebih luas daripara intelektual Muslim Indonesia dalam rangka merealisasikanambisinya untuk membentuk sebuah perhimpunan intelektualMuslim Indonesia.24 Pertemuan ini diikuti oleh para intelektualMuslim dari Surabaya, Malang, Yogyakarta dan Bandung.25

Kemudian pada bulan Desember 1984, MUI mengadakansebuah pertemuan para intelektual Muslim di Wisma PKBI,Jakarta. Diikuti oleh sekitar 31 peserta dari Jakarta, Bandung,Bogor, Yogyakarta, Banda Aceh, Medan, Padang dan Makassar,pertemuan ini bertema ‘Perspektif Islam dalam PembangunanBangsa’. Hasil pertemuan antara lain merekomendasikan penguatankerjasama di antara para intelektual Muslim dengan perhatiankhusus pada usaha untuk membantu MUI dalam menyediakantim-tim konsultan. Pertemuan ini disusul oleh ‘Silaturahmi

Page 688: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

668 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Cendekiawan Muslim dalam Menyiapkan Masyarakat Industridan Informasi’, yang diadakan di Ciawi (Bogor ) pada bulanMaret 1986 dan diikuti lebih dari 100 intelektual Muslim.Segera setelah silaturahmi itu, dilangsungkan sebuah pertemuankhusus para intelektual Muslim di Cibogo (Jawa Barat) padatanggal 7-8 Mei 1986 yang menghasilkan pembentukan ForumKomunikasi Pembangunan Indonesia (FKPI) (Anwar 1995: 253-254). Forum ini memang tidak menyebutkan kata Islam atauMuslim untuk menghindari munculnya penentangan dari pihakpemerintah. Dengan Achmad Tirtosudiro sebagai ketua danDawam Rahardjo sebagai pengorganisir utamanya, forum itumengusulkan dibentuknya sebuah perhimpunan intelektualMuslim dan bahkan telah mempersiapkan Anggaran Dasarnya.Namun, karena takut pihak pemerintah menolaknya, MUImenyarankan pemimpin FKPI untuk menunda perealisasian idetersebut.26

Usaha berikutnya untuk menyatukan para intelektual Muslimdalam sebuah front aksi bersama dilakukan oleh ImaduddinAbdulrahim. Selama dua tahun setelah kembali ke tanah air, diatidak diperbolehkan pemerintah untuk memberikan ceramahatau kuliah di kampus (kecuali di masjid-nya). Sepanjang waktutersebut, dia menyaksikan dari jauh terjadinya fragmentasi dalamkomunitas intelektual Muslim, dan mendapat masukan dariAswab Mahasin bahwa FKPI yang baru saja terbentuk tidakberjalan secara efektif sebagai sebuah organisasi intelektualMuslim. Ketegangan hubungannya dengan Nurcholish Madjidmereda setelah mereka menjalin hubungan kekeluargaan yangakrab selama masa studi mereka di AS dan dia berambisi untukmengislahkan perselisihan antar intelektual Muslim dalam skalayang lebih luas. Dengan dukungan dana secara terbatas dariAlamsjah Prawiranegara, dia mengorganisir sebuah pertemuan

Page 689: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 669

para intelektual Muslim di Yogakarta pada awal tahun 1989.Pertemuan itu diikuti oleh sekitar 50 partisipan dari beragamgerakan Islam termasuk para tokoh intelektual Muslim terkemukaseperti Nurcholish Madjid, Endang Saefuddin Anshari danSyafi’i Maarif. Pertemuan itu telah berhasil menyepakati rencanamendirikan sebuah perhimpunan intelektual Muslim, namunaparat keamanan sekonyong-konyong menggunakan tanganbesinya untuk membubarkan pertemuan tersebut.27

Kegagalan dari usaha-usaha awal untuk mendirikan sebuahperhimpunan intelektual Muslim pada skala yang luasmencerminkan sulitnya meralisasikan ambisi semacam itu tanparestu dari pemegang kekuasaan (politik). Apalagi, sampai akhirtahun 1980-an, pengaruh dari para broker politik yang ‘Islamo-phobi’ dalam rezim keamanan masih relatif kuat.

Kelahiran ICMISejarah seringkali tercipta dengan cara yang tak terbayangkan.Segera setelah pertemuan Yogyakarta, Imaduddin Abdulrahimdiundang (untuk pertama kalinya) untuk memberikan ceramahagama di kampus Universitas Brawijaya Malang dalam rangkaperingatan Isra’ Mi’raj. Yang menjadi rektor universitas tersebutadalah mantan aktivis HMI, Z.A. Ahmady, yang mengambilresiko dengan mengundang Abdulrahim untuk berceramahkepada khalayak luas di kampus itu. Pengorganisir utamanyaadalah para aktivis mahasiswa dari fakultas teknik di bawahpimpinan (almarhum) Eric Salman yang mengagumi Abdulrahimkarena alasan-alasan agama dan akademis. Pertemuan antarapara aktivis Islam dan pelopor dakwah kampus itu menyisakanbanyak inspirasi pemikiran.28 Selain dari acara tersebut, DawamRahardjo pun pernah bertemu dengan para aktivis Islam dari

Page 690: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

670 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

universitas tersebut karena anak perempuannya juga menjadimahasiswa di sana. Saat mengunjungi anak perempuannya, diabeberapa kali diundang untuk memberikan ceramah agama dimasjid Raden Patah Universitas Brawijaya.29 Pertemuan paraaktivis Islam junior dengan para mentor seniornya itu membukakanjalan bagi terbentuknya jaringan intelektual antar-generasi,hingga tercetus gagasan untuk mempersatukan cendekiawanMuslim lintas batas.

Para mahasiswa merasa sangat terpukul dengan adanyaperpecahan di kalangan inteligensia Muslim yang terus berlangsung.Mereka merasa kecewa dengan adanya polarisasi kepemimpinandalam kalangan Muslim, yang tercermin dengan adanya kelompokSalman, kelompok Paramadina, kelompok Al-Falah, kelompokShalahuddin dan sebagainya. Pada Februari 1990, merekamengajukan gagasan untuk mengadakan simposium yang akanmenyatukan para intelektual Muslim dari seluruh Indonesia.Pada awalnya, simposium itu akan diadakan antara tanggal 29September sampai 1 Oktober 1990 dengan tema ‘SumbangsihCendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas’. Gagasanmereka itu mendapatkan dukungan secara prinsip dari rektorUniversitas Brawijaya Malang dan rektor UniversitasMuhammadiyah Malang, Malik Fadjar, meskipun rektor Brawijayamerasa keberatan dengan besarnya dana seminar itu. Meskidemikian, bagi para mahasiswa itu, dengan para tokoh kuncinyaEric Salman, Ali Mudhakir, Mohammad Zaenuri, Awang Surya,dan Mohammad Iqbal30 tak ada alasan untuk mundur. Denganmerogoh kantong mereka sendiri yang terbatas, mereka mulaimengunjungi pusat-pusat komunitas epistemik Islam di seluruhJawa untuk mendapatkan dukungan dari para intelektual Muslimterkemuka. Akhirnya, mereka pun bertemu kembali denganAbdulrahim dan Rahardjo pada bulan Mei 1990.31

Page 691: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 671

Baik Abdulrahim maupun Rahardjo telah lama memimpikanbisa menyatukan para intelektual Muslim dari beragam gerakan,baik dari ‘blok dalam’ maupun dari ‘blok luar’, untuk membentuksemacam ‘blok historis’ intelektual Muslim. Proposal simposiumyang diajukan oleh para mahasiswa lantas memberikan harapanbagi perwujudan cita-cita mereka tersebut. Setelah mendiskusikanide tersebut dengan Rahardjo, Abdulrahim berkata kepada paramahasiswa itu: ‘Jika kalian ingin menciptakan sejarah, simposiumitu tak boleh sekadar simposium yang biasa-biasa saja. Simposiumitu harus menjadi sarana bagi pembentukan sebuah perhimpunanintelektual Muslim Indonesia’.32 Untuk mewujudkan impian itu,dia merekomendasikan kepada para mahasiswa yang datanguntuk merevisi proposal mereka dan menemui B.J. Habibieuntuk meminta kesediaannya menjadi pembicara kunci padasimposium tersebut, serta memimpin perhimpuan yang akandibentuk. Abdulrahim sendiri pernah mendapatkan saran dariAlamsjah Prawiranegara akan pentingya menjadikan Habibiesebagai patron jika perhimpunan itu ingin terwujud. Selainreputasinya sebagai seorang ilmuwan Indonesia yang terkemukadan seorang Muslim (non-aktivis) yang berkomitmen, kedekatanhubungannya dengan Suharto akan sangat berguna. Ternyata,para mahasiswa itu pun telah lama mengagumi Habibie atasprestasi saintifiknya dan atas komitmen keagamaannya setelahmembaca biografi singkatnya dalam majalah Kiblat.33 Karenaitu, mereka sepakat dengan saran Abdulrahim.

Setelah menemui hambatan-hambatan birokratis yang berliku,para wakil mahasiswa itu akhirnya bisa bertemu dengan Habibiedi musholla kantornya, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi(BPPT), setelah sholat Jum’at tanggal 2 Agustus 1990. Habibiemerespons ide simposium itu secara positif dan meminta paramahasiswa tersebut untuk mengiriminya sebuah surat dan

Page 692: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

672 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

proposal resmi. Dalam surat mereka, para mahasiswa memintakesempatan untuk bisa bertemu secara khusus dengan Habibieuntuk bisa menjelaskan program mereka secara komprehensif.Pertemuan itu lalu berlangsung pada tanggal 23 Agustus 1990dipimpin oleh para wakil mahasiswa, Eric Salman dan AliMudhakir, yang didampingi oleh Abdulrahim, Rahardjo danSyafi’i Anwar. Sekali lagi Habibie menyatakan kesediaannyauntuk datang ke simposium tersebut. Mengenai pencalonannyasebagai ketua perhimpunan intelektual Muslim yang diusulkan,Habibie secara prinsip tidak berkeberatan, namun sebagai seorangmenteri, dia harus mendapatkan persetujuan dari Presiden.Untuk itu, dia harus memberikan beberapa bukti kepada presidenmengenai permintaan para intelektual Muslim kepadanya untukmemimpin perhimpunan yang diusulkan itu.34

Segera setelah memperoleh respons positif dari Habibie, paramahasiswa dengan bantuan lingkaran-lingkaran aktivis Abdulrahimdan Rahardjo mulai mengumpulkan tanda tangan dari paraintelektual Muslim sebagai bukti bahwa mereka mendukungberdirinya perhimpunan itu dan mencalonkan Habibie sebagaiketuanya. Dalam usaha ini, orang-orang yang memiliki afiliasi-ganda (multiple affiliations) dan jaringan pribadi yang luasmenjadi jembatan yang berguna untuk memobilisasi dukunganpara intelektual dari beragam gerakan Islam. Sebagai misal,Nurcholish Madjid hanya mau memberikan tanda tangan kepadapara mahasiswa setelah Abdulrahim menelponnya. Untukmembujuk lingkaran-lingkaran intelektual Yogyakarta, sebuahsurat dari Rahardjo, sebagai seorang fungsionaris Muhammadiyahdan mantan aktivis di Yogyakarta, kepada Amien Rais, yangmerupakan ‘the godfather’ dari para intelektual Muslim Yogyakarta,sangatlah efektif. Ketika pada akhirnya para mahasiswamenyerahkan daftar tanda tangan itu kepada Habibie pada

Page 693: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 673

tanggal 25 September 1990, mereka telah berhasil mengumpulkan49 tandatangan dengan 45 di antaranya merupakan tanda tangandari mereka yang bergelar PhD.35

Sementara para mahasiswa sedang mengumpulkan tandatangan, Achmad Tirtosudiro mengambil inisiatif untuk memintaNurcholish Madjid menulis sebuah kertas posisi mengenaikonsep dasar dari perhimpuan yang diusulkan yang akandiserahkan kepada Habibie dan Presiden Suharto.36 Dalammakalah itu, Madjid pada intinya menyatakan bahwa ketikamayoritas umat Islam telah menerima Pancasila dan UUD 1945sebagai asas negara Indoensia dan organisasi sosial, persoalantentang dasar ideo-filosofis dari bangsa telah selesai. Akibat darikeberhasilan program-program pembangunan Orde Baru, telahterjadi peningkatan yang luar biasa dalam jumlah kaum Muslimyang berpendidikan tinggi. Sayangnya, kata Madjid, perdebatan-perdebatan internal dalam komunitas intelektual Muslim telahmenghambat sumbangan optimal umat Islam terhadappembangunan nasional. Dia latas menegaskan bahwa salah satucara untuk mengatasi problem itu ialah dengan membentuksebuah perhimpunan para intelektual Muslim. Dia menamakanperhimpunan yang diusulkan itu sebagai Ikatan Sarjana MuslimIndonesia (ISMI), yang diharapkan bisa memperkuat usahapenelitian dan pengembangan (Litbang) ilmiah melalui pendekataninterdisipliner sebagai sarana untuk menyempurnakan prosespembangunan (Madjid 1990).

Setelah menerima proposal simposium, dukungan 49 tandatangan dan makalah Madjid, Habibie lalu menemui PresidenSuharto. Habibie sungguh terkejut, dalam pertemuan selamaenam jam dengan Presiden Suharto itu, dia malah disarankanuntuk menerima usulan itu. Sebelumnya, Habibie punyakekhawatiran, jika dia menerima usulan itu akan menimbulkan

Page 694: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

674 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

jarak antara dia dengan Presiden yang telah lama dikenal sebagaiabangan itu. Ternyata, Suharto justru memperlihatkanpengetahuan nya mengenai poin-poin inti dari doktrin Islamdan meyakinkan Habibie bahwa proyek ini penting. Suhartojuga berjanji untuk meyakinkan bahwa menteri-menteri yanglain akan memberikan dukungannya.

Respons positif Suharto merefleksikan adanya perubahanpersekutuan dalam lingkaran elit kekuasaan menyusul meruncing -nya pertikaian internal elit menjelang dan setelah pemilihanpresiden pada tahun 1988. Di antara sekian banyak faktor,rivalitas elit itu terutama disebabkan oleh kian memburuknyahubungan Suharto dengan Jenderal L.B. Murdani. Pada tanggal10 Februari 1988, sebulan sebelum pemilihan presiden danhanya dua bulan setelah Suharto memberikan perpanjanganmasa tugas selama duabelas bulan, dia dengan tiba-tibamenggantikan Murdani dari jabatannya sebagai Panglima ABRIdengan Try Sutrisno (Kepala Staf Angkatan Darat dan mantanajudan Presiden 1974-1978). Spekulasi yang beredar menyatakanbahwa putusnya hubungan Murdani dengan Suharto merupakandampak dari kritik Murdani terhadap sikap pilih-kasih Suhartoterhadap kepentingan-kepentingan bisnis anak-anaknya danpenolakan Murdani untuk memanjakan mereka dengan dukunganpembelanjaan militer (military procurements). Namun selaindari faktor tersebut, R.E. Nelson mencatat adanya faktor-faktorlain yang mendasari memburuknya hubungan tersebut (2001:259): ‘Ketidakmampuan yang nyata dari Murdani untukmengapresiasi arus sosial-politik yang segar dalam masyarakatbaru Indonesia, obsesinya untuk membangun jaringan intelijen,dan keteguhannya yang membaja serta kurangnya sikap supeldalam politik secara tak terelakkan menempatkannya dalamposisi berseberangan dengan Presiden’.

Page 695: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 675

Ketegangan di antara kedua orang ini memuncak dalampemilihan wakil presiden. Suharto telah mengambil keputusanuntuk menetapkan ketua Golkar, Sudharmono, sebagai wakilpresiden, sebagai imbalan atas kepekaan politiknya yang tinggi,atas pengalamannya yang luas dalam birokrasi dan keberhasilannyadalam membangun jaringan patronase. Namun, di mata tentara,Sudharmono bukanlah, dan tidak akan pernah menjadi, pilihanpopuler sebagai wakil presiden. Persaingannya yang penuhpermusuhan dengan Murdani dalam hal pemilihan eselon-eselonatas Orde Baru sudah menjadi rahasia umum. Lebih dari itu,para perwira senior memang sangat sulit untuk menghormatilatar kemiliterannya yang ‘sipil’.37 Para perwira itu juga sangatmerasakan dampak dari usaha-usaha yang dilakukan Sudharmonosebagai sekretaris negara (1973-1988), paling tidak dalamperiode akhir, untuk menjauhkan mereka dari kontrak-kontrakmenggiurkan yang telah lama membuat mereka makmur. Alih-alih, Sudharmono malah memilih anak-anak Suharto. Maka,menjelang pemilihan wakil presiden, Murdani meluncurkansebuah kampanye di kalangan para wakil ABRI di MPR untukmenolak Sudharmono sebagai wakil presiden (Elson 2001:260).38 Manuver politik yang dipimpin Murdani ini memangtak berhasil mencegah terpilihnya Sudharmono sebagai wakilpresiden, namun hal itu menyisakan ketegangan dalam hubunganantara Suharto dan banyak perwira militer, terutama merekayang loyal kepada Murdani.

Cita-cita yang telah lama diidamkan oleh beberapa tokohMuslim untuk mendirikan sebuah perhimpunan intelektualMuslim akhirnya menemukan peluang politiknya yangmenguntungkan dalam konteks keperluan Suharto untukmendapatkan mitra strategis baru sebagai kompensasi ataskemungkinan merosotnya dukungan unsur-unsur militer

Page 696: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

676 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

terhadapnya. Meskipun pada awalnya gagasan tersebut merupakansebuah proyek dari mahasiswa, namun simposium intelektualMuslim itu segera menjadi peristiwa politik besar bagi elitnasional. Judul simposium itu sendiri menggarisbawahi obsesiwacana dominan saat itu mengenai tahap tinggal landas Indonesiamelalui pembangunan IPTEK dan SDM, yaitu ‘SimposiumNasional Cendekiawan Muslim: Membangun MasyarakatIndonesia Abad XXI’. Dengan dibuka oleh Presiden Suhartodan dihadiri oleh beberapa menteri dan panglima ABRI, sertapara eselon atas birokrasi Orde Baru pada tanggal 6 Desember1990, peristiwa tiga hari yang bersejarah itu diikuti oleh lebihdari 500 intelektual Muslim dari berbagai gerakan di seluruhIndonesia. Pada hari kedua simposium, sekitar 460 pesertaundangan membubuhkan tanda tangannya pada piagam pendiriansebuah perhimpunan intelektual yang baru dan memilih B.J.Habibie secara bulat sebagai ketuanya. Namun nama dariperhimpunan tersebut bukanlah Ikatan Sarjana Muslim Indonesia(ISMI) seperti yang diusulkan oleh Madjid, namun IkatanCendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) seperti yang diusulkanoleh Habibie dan para intelektual yang lain.

Pergeseran dari istilah ‘sarjana’ ke ‘cendekiawan’mengindikasikan adanya sebuah peralihan yang radikal dalampolitik makna (the politics of meaning) dan menghadirkanimplikasi-implikasi politik yang sangat berbeda. Jika istilah‘sarjana’ yang dipergunakan, maka keanggotaan perhimpunanitu akan terbatas pada pemegang gelar sarjana dan besarkemungkinan akan lebih menekankan keterkaitannya dengankepentingan-kepentingan akademis. Dengan menggunakan istilah‘cendekiawan’, yang didefinisikan Habibie sebagai ‘setiap orangyang memiliki kepedulian terhadap penderitaan manusia danmemiliki rasa bertanggung jawab untuk memperbaiki kehidupan

Page 697: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 677

sosial’, keanggotaan perhimpunan itu menjadi terbuka bagikonstituen yang lebih luas, dan cakupan aktivitasnya melampauibatas-batas kepentingan akademis. Dengan luasnya keanggotaandan ragam aktivitasnya, maka sifat kolektif perhimpunan inisegera bergeser dari sebuah ensemble individu-individu intelektualmenjadi sebuah kelompok komunal inteligensia Muslim. Denganbegitu, lewat namanya saja, perhimpunan ini merefleksikansebuah entitas kolektif yang sarat politik.

Permainan-Permainain Kuasa: Konsolidasidan KontestasiDengan berdirinya ICMI, gerakan-gerakan ‘intelektual’ Muslimperkotaan pada tahun 1970-an dan 1980-an, yang melibatkanterutama generasi keempat dan kelima inteligensia Muslim,telah mencapai titik balik. Meskipun kehadiran ICMI bisadipandang sebagai institusionalisasi yang wajar dari gerakan-gerakan Islam sebelumnya, namun begitu ide-ide yang melandasaigerakan-gerakan tersebut diformalisasikan dalam suatu strukturpolitik yang mapan, ‘entah apapun maksud dan tujuannya,mereka telah meninggalkan ruang ekspresi dan karakter gerakansosial’ (Eyerman & Jamison 1991: 60). Institusionalisasi gerakanintelektual Muslim ini dalam bentuk sebuah organisasi tunggal(yaitu ICMI) mentransformasikan aktivitas-aktivitas dari gerakan-gerakan sosial sebelumnya menjadi sebuah kelompokkepentingan.39 Dengan menjadi sebuah kelompok kepentingan,ICMI mau tidak mau harus beradaptasi dengan struktur kekuasaanyang ada. Hal ini melumpuhkan kekuatan dinamis dari gerakansosial.

Menyerupai retorika Tjokroaminoto pada 1913 yangmenyatakan ketiadaan maksud politik dari SI, para fungsionaris

Page 698: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

678 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

ICMI pun menegaskan bahwa ICMI didirikan bukan sebagaiorganisasi politik dan tidak akan pernah menjadi sebuah organisasipolitik. Namun, sebagai sebuah kelompok kepentingan, ICMItak bisa melepaskan diri dari keharusan untuk mengartikulasikankepentingan-kepentingan dan identitas kolektifnya di ruangpublik. Meskipun tujuan utamanya ialah untuk memperkuatpembangunan sumber daya manusia lewat usaha mengembangkankualitas iman dan takwa, kualitas pikir, kualitas karya, kualitaskerja dan kualitas hidup, ICMI tak bisa menyembunyikan kodratinherennya sebagai sebuah kendaraan politik.

Sebagai sebuah kendaraan politik, ICMI penuh dengankonflik-konflik kepentingan dan kontroversi. PengangkatanHabibie sebagai ketua ICMI, yang merupakan ‘orang luar’ yangtak memiliki pengalaman dalam dunia aktivisme Islam, dilakukandengan harapan bahwa dia akan mampu menjembatani jurangdi antara faksi-faksi dalam komunitas inteligensia Muslim.Hingga taraf tertentu, dia memang berhasil menjalankan perantersebut. Namun, dia pun tak bisa melepaskan diri dari biaslatar belakangnya sebagai seorang birokrat-teknokratis.

Hanya lima minggu setelah pendirian ICMI, benih konflikinternal pun mulai rekah. Dalam struktur kepemimpinan ICMI,yang diumumkan Habibie pada tanggal 13 Februari 1991,Habibie mengadopsi sistem matriks yang biasanya dipakai dalamperusahan-perusahaan besar seperti industri pesawat terbangBoeing. Dalam sistem ini, tak ada possi sekretaris jenderal—sebuah posisi yang bagi sebagaian diharapkan akan dipegangoleh Dawam Rahardjo, orang yang memainkan peran pentingdalam pembentukan ICMI serta menjadi representasi kalangan‘blok luar’. Meskipun para intelektual Islam dari latar belakangnon-birokrat, yang kadangkala disebut sebagai ‘ICMI yangsesungguhnya’ (the real ICMI),40 berharap bahwa mereka akan

Page 699: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 679

bisa memainkan peran yang menentukan dalam kepemimpinanICMI, namun Habibie memiliki jalan pikirannya tersendiri.Komposisi dewan kepengurusan ICMI (dewan pembina, dewanpenasehat, dewan pakar, dan dewan pengurus harian) didominasioleh para birokrat, yang kebanyakan dari mereka tak memilikilatar keislaman yang kuat. Habibie membela keputusannyadengan mengatakan bahwa kelak lewat proses interaksi danpembelajaran sosial dalam tubuh ICMI, para birokrat (Muslimnominal) ini akan mengalami proses Islamisasi.41

Apapun alasan Habibie, dominannya representasi birokratMuslim melumpuhkan krititisisme intelektual. Para aktivis ICMI‘yang sesungguhnya’ merasa kecewa dengan prospek perhimpuanyang baru didirikan itu. Bersatunya para intelektual Muslimdalam ICMI, ternyata tidak mengakhiri heterogenitas mereka.ICMI tetap ditandai oleh keragaman, oleh pertarungan, danoleh pelbagai pertentangan pemikiran. Mereka saling berbenturansatu sama lain, terutama karena adanya perbedaan dalam latarbelakang intelektual mereka dan dalam level keislaman mereka,serta karena adanya kompetisi untuk mendapatkan akses kelingkaran dalam dari pemegang kekuasaan Orde Baru.

Kehadiran ICMI juga memunculkan kritik dan kontroversidalam ruang publik. Tak ada satu organisasi intelektual dalamsejarah Indonesia yang skala kontroversi dan liputan medianyasetara dengan yang terjadi pada ICMI. Ini ditunjukkan olehbesarnya jumlah dan luasnya cakupan publikasi tentang ICMI.42

Sepanjang tahun 1980-an, hanya ada sepuluh artikel di mediamassa mengenai ‘intelektual’ dan tak satupun dari mereka yangmerujuk secara spesifik kepada intelektual Muslim. Selamaperiode tersebut, istilah ‘intelektual’ kebayakan digunakan dalamrelasinya dengan kerja intelektual dan dunia akademis, dan tak

Page 700: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

680 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

memiliki kaitan langsung dengan perjuangan politik apapun.Secara kontras, sepanjang tahun 1990-an, terdapat 116 artikelmengenai ‘intelektual secara umum’ (tak merujuk secara spesifikpada intelektual Muslim) dan 108 artikel mengenai ‘intelektualMuslim’. Dari total 224 artikel, hanya 7 artikel yang diterbitkansebelum berdirinya ICMI dengan 5 di antaranya mengenai‘intelektual secara umum’ (lihat Lampiran A). Jadi, jelas bahwakemunculan ICMI merupakan pendorong utama bagi proliferasiwacana intelektual Indonesia mengenai intelektual pada tahun1990-an.

Artikel-artikel pada tahun 1990-an merefleksikan suatupertarungan wacana di kalangan intelektual Indonesia mengenaimakna ‘intelektual’. Hal ini tercermin dalam produksi teks,relasi antar-teks, dan pemaknaan teks. Artikel-artikel mengenai‘intelektual secara umum’ paling sering dimuat dalam harianKompas (46 kali), sebuah koran yang memiliki hubungan dekatdengan komunitas Katolik. Artikel-artikel mengenai ‘intelektualMuslim’ paling sering dimuat (22 kali) di koran ICMI, Republika,yang terbit pertama kali pada 3 Januari 1993 (lihat Tabel 6).Penulis dari 46 artikel Kompas mengenai ‘intelektual secaraumum’ mencerminkan suara dominan dari tulisan para intelektualKisten—Katolik /Protestan (13 penulis dengan 15 artikel),43

diikuti masing-masing oleh tulisan mereka yang dapat digolongkansebagai intelektual sekuler (13 penulis dengan13 artikel),44 dantulisan para intelektual NU dan lingkaran intelektual AbdurramanWahid (3 penulis dengan 6 artikel),45sementara artikel sisanyamengekspresikan tulisan para anggota ICMI dan intelektualMuslim lainnya (11 penulis dengan 12 artikel).46 Di sisi lain,penulis artikel-artikel di Republika mencermikan suara dominandari para intelektual ICMI (12 penulis dengan 18 artikel) denganhanya satu artikel yang ditulis oleh intelektual non-muslim.47

Page 701: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 681

Pertarungan wacana yang paling krusial berlangsung dalamkaitannya dengan bagaimana mendefinisikan konsep ‘intelektual’itu sendiri. Sebagaimana dinyatakan oleh Zygmunt Bauman(1989: 8):

Definisi mengenai intelektual itu banyak dan beragam. Namun,definisi-definisi tersebut memiliki satu kesamaan sifat, yang

Tabel 6: Artikel‐Artikel Mengenai Intelektual di Koran‐Koran JakartaTahun 1990‐1999

* Sinar Harapan ditutup oleh pemerintah pada bulan September 1986. Empat bulan kemudian, Suara Pembaruan terbit sebagai penggantinya.

Jumlah Artikeltentang Intelektual

Muslim

2

13

3

2

14

23

1

21

22

2

5

108

Jumlah Artikeltentang Intelektual

secara Umum

3

3

46

15

16

6

9

11

7

116

Nama Koran

AngkatanBersenjata

Berita Buana

Bisnis Indonesia

Jakarta Post

Kompas

Media Indonesia

Merdeka

Pelita

Republika

Sinar Harapan/*SuaraPembaruan

Suara Karya

Total Jumlah

Total Jumlah

2

13

6

5

60

38

17

27

31

13

12

224

Page 702: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

682 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

menjadikan definisi-definisi itu berbeda dari definisi-definisilainnya: bahwa semua definisi tersebut merupakan definisitentang dirinya sendiri (self-definition). Sudah barang tentupara pembuat definisi tersebut sama-sama merupakan anggotaspesies langka dengan mereka yang dicoba didefinisikan. Maka,setiap definisi yang mereka ajukan merupakan sebuah upayauntuk menarik sebuah batas identitasnya sendiri. Setiap batasanmembelah wilayah menjadi dua sisi: di sini dan di sana, didalam dan di luar, kita dan mereka.

Pertarungan perspektif dalam mendefinisikan intelektual jugatampak nyata manakala artikel-artikel di Kompas dibandingkandengan artikel-artikel di Republika.

Artikel-artikel Kompas mengenai ‘intelektual secara umum’sangat bias terhadap karakteristik-karakteristik personal dariintelektual. Duapuluh artikel secara eksklusif mendefinisikanintelektual dalam kerangka karakteristik-karaktersitik personalnya,sementara lima artikel yang lain mengkombinasikan karakteristik-karakteristik personal ini dengan fungsi sosial dan posisi strukturaldari intelektual. Artikel-artikel ini mengasosiasikan intelektualdengan seorang agen yang bebas dan independen, seorangpemikir, seorang individu yang kreatif dan konstruktif, seorangyang memiliki komitmen moral, idealisme dan kebijaksanaan,dan yang berani menyuarakan kebenaran di hadapan kekuasaan.

Di sisi lain, artikel-artikel di Republika mengenai ‘intelektualMuslim’ sangat bias terhadap fungsi-fungsi sosial dari intelektual.Tujuh belas dari 22 artikel mengasosiasikan intelektual denganfungsi-fungsi spesifiknya dalam masyarakat, di antaranya sebagaiagen sosial, sebagai artikulator kehendak dan identitas kolektif,sebagai pendidik dan pembela rakyat, sebagai jembatan antaraelit dan massa dan antara pemerintah dan ummat, dan sebagai

Page 703: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 683

penafsir fondasi kultural masyarakat.

Rantai inter-tekstual (inter-textual chain) juga menjadi bagiandari pertarungan wacana. Untuk mendukung ide-ide mereka,para penulis artikel berusaha untuk mengaitkan argumen-argumen tekstual mereka dengan teks-teks lain yang telah ditulisoleh para sarjana yang dianggap memiliki otoritas mengenaipersoalan tersebut. Sembilanpuluh tujuh dari 224 artikel dipenuhidengan kutipan-kutipan dari para sarjana tertentu dengan hanya51 artikel yang menyebutkan rujukannya. Sumber-sumber kutipandalam artikel-artikel ini sebagian besar berasal dari sarjana-sarjana/sumber-sumber asing non-Islam (97 orang dan sumber).Jumlah kutipan dari sarjana-sarjana/sumber-sumber asing Islamhanya 9, sementara yang dari sarjana-sarjana/sumber-sumberdalam negeri 46.

Sarjana yang paling sering dikutip dalam artikel-artikeltersebut ialah Julien Benda (11 kali), yang terkenal karenapenentangannya terhadap keterlibatan intelektual dalam politik.Sumber-sumber lain yang juga dikutip ialah Edward Shils (7kali), Clifford Geertz (6 kali), William Liddle (5 kali) danAntonio Gramsci (4 kali). Kecaman Benda yang terkenal mengenai‘pengkhianatan kaum intelektual’ sering dikutip sebagai senjatauntuk menyerang nafsu politik dan sikap partisan ICMI.Sementara pandangan Antonio Gramsci mengenai intelektualsebagaimana ditentukan oleh relasi seseorang dengan kuasadigunakan sebagai perspektif tandingan.

Kedahsyatan dan keluasan pertarungan wacana mengenaidefinisi ‘intelektual’ mencerminkan sebuah pertarungan kuasaantara penganjur dan penentang ICMI. Seperti yang dinyatakanoleh Sara Mills (1999: 96-97), pertarungan ideologis merupakanesensi dari struktur diskursif, dan struktur diskursif merupakan

Page 704: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

684 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

lokasi dimana pertarungan kuasa dimainkan. Meski demikian,kedua kubu yang berpolemik dalam Kompas dan Republikamelupakan sebuah poin yang sangat krusial. Mereka tampaknyamenerima begitu saja tafsiran bahwa ICMI merupakan sebuahrepresentasi kolektif dari ‘para intelektual’. Padahal, kenyataannyaICMI merupakan sebuah representasi kolektif dari ‘inteligensia’Muslim. Meskipun niat awal pendirian ICMI dimaksudkanuntuk menyediakan sebuah forum untuk mengislahkan pertikaiandi kalangan para intelektual Muslim, namun begitu ICMI telahberdiri dan merekrut banyak anggota dan kemudianmentransformasikan dirinya menjadi sebuah kelompokkepentingan, ICMI tak lagi mengekspresikan suara para intelektualMuslim secara individual, tetapi lebih mengekspresikankepentingan-kepentingan kolektif dari inteligensia Muslim.

Pembentukan ICMI dikritik oleh para penentangnya padaintinya karena watak sektarianisme dan eksklusivismenya, karenasikap akomodasi politiknya, dan karena kelemahan komitmennyauntuk memberdayakan demokrasi dan civil society. Tuduhan-tuduhan semacam itu memang memiliki justifikasi-justifikasinya,namun pada saat yang sama merefleksikan bentrokan kepentingan-kepentingan politik.

Oposisi kuat yang pertama datang dari ketua PB NU,Abdurrahman Wahid, dan lingkaran intelektualnya. PenentanganWahid sebagian memang mencerminkan komitmennya yangsungguh-sungguh terhadap pluralitas dan demokrasi. Namun,pada saat yang sama, sikap tersebut juga tampaknya mencerminkankekhawatirannya akan posisi politik NU. Kekhawatiran yangterakhir itu bahkan diungkapkan oleh Rofiqul Umam, ketuaAnsor cabang Jakarta. Dalam artikelnya di Media Indonesia(08/12/1995), Umam menyatakan bahwa kembalinya NU kekhitah 1926 merupakan sebuah pendekatan strategis untuk

Page 705: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 685

memajukan hubungan baik antara komunitas NU dan negaradengan tujuan untuk memperkuat daya kemampuan NU untukmemenuhi kepentingan-kepentingan komunitasnya. KehadiranICMI dengan sumber daya manusianya yang kuat, menurutnya,akan bisa membahayakan strategi tersebut.

Kombinasi dari komitmen Wahid terhadap pluralitas dengankecemburuan politik itu mendorongnya untuk menjalin kolaborasidengan para intelektual penentang lainnya. Maka, berdirilahpada tahun 1991 Forum Demokrasi, yang merupakan sebuahkelompok kerja yang terdiri dari sekitar empat puluh limaintelektual terkemuka dari berbagai latar belakang agama danprofesi dengan diketuai oleh Abdurrahman Wahid.48

Oposisi yang kedua datang dari para intelektual sekuler danKritsen, terutama mereka yang telah memainkan peran-peranstrategis dalam pembentukan Orde Baru. Orang-orang sepertiRahman Tolleng (seorang intelektual sosialis) dan Harry TjanSilalahi (dari CSIS) yang pernah menjadi arsitek Orde Barusangat kritis terhadap sikap akomodasionisme ICMI.49 Bagi paraintelektual dari kelompok (agama) minoritas, terdapat ketakutanyang masuk akal bahwa kemunculan ICMI mungkin akanmembawa pada Islamisasi politik Indonesia yang akan bisamelemahkan hak-hak minoritas dan toleransi agama. Namun,selain dari alasan tersebut, penentangan dari para intelektualsekuler dan Kristen tidak kosong dari iri politik (politicalresentment). Sebagaimana yang dicatat oleh J.M. Barbalet (1998::68): ‘Iri adalah sebuah perasaan bahwa yang lain telahmendapatkan keuntungan secara tidak fair. Para aktor sosialakan mengalami rasa iri ketika agen eksternal melenyapkanpeluang-peluang atau sumberdaya-sumberdaya bernilai (termasukstatus) mereka, yang seharusnya mereka dapatkan’. MenurutBarbalet, rasa iri bisa muncul sebagai konsekuensi-konsekuensi

Page 706: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

686 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

emosional dari mereka yang termasuk kelompok-kelompokyang sedang kehilangan posisinya. Kelompok-kelompok yangbiasanya dominan secara ekonomi dan politik mengembangkanrasa iri yang sebangun dengan hasrat pembelaan status yangdiarahkan kepada mereka yang dianggap sebagai ancaman bagikemapanan mereka (1998: 75).

Yang terakhir namun juga penting, opoisi juga datang daripara perwira militer, terutama dari para perwira yang setiaterhadap Murdani. Hal ini direpresentasikan oleh kritik yangtajam terhadap ICMI oleh Jenderal L.B. Murdani, LetjenHarsudijono Hartas, Mayjen Sembiring Meliala dan banyak lagiyang lainnya.50 Bagi intelektual militer, politisasi Islam olehICMI dan peng-Islam-an politik Indonesia akan bisa merusaklegitimasi Pancasila sebagai ideologi negara. Seperti yang dikatakanMurdani: ‘ABRI selalu merupakan pihak yang paling kuat dalammenentang masalah-masalah SARA’.51 Namun, selain dari alasanideologis ini, kritik dari pihak militer juga mencerminkan rasairi atas menguatnya agen eksternal yang bisa mengancamkemapanan politik mereka. Persepsi ini dijustifikasi oleh isu de-militerisasi yang diungkapkan oleh beberapa anggota ICMI,termasuk Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan Sri BintangPamungkas. Menjelang pemilihan Wakil Presiden pada 1993,Rahardjo secara empatik menentang dicalonkannya Jenderal TriSutrisno seperti yang terungkap dalam wawancaranya dengantabloid Detik (10 Maret 1993). Dalam banyak kesempatan,Sasono menekankan perlunya demokratisasi dan dikuranginyasecara bertahap peran politik ABRI, sementara Pamungkasterkenal karena kritik vokalnya terhadap keterlibatan ABRIdalam politik. Bagi para tokoh ABRI senior, semua kritik inimerupakan bukti dari watak anti-militer dari ICMI (Ramage1995: 96-97).

Page 707: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 687

Di luar kontroversi politik ini, keanggotaan ICMI terustumbuh menarik masuk inteligensia Muslim Indonesia dariberagam aliran dan gerakan Islam di Tanah Air dan bahkandari beberapa negara di luar negeri. Asumsi umum memandangICMI sebagai sebuah organisasi neo-Masyumi atau sebagaisebuah representasi dari aksi kolektif intelektual reformis-modernis. Tetapi suatu riset yang serius akan menghasilkankesimpulan yang berbeda. Meskipun kepemimpinan pusatICMI didominasi oleh para intelektual dari tradisi reformis-modernis, keanggotaan ICMI di unit-unit wilayah dan lokalnyatanya berhasil menggaet banyak anggota dari latar keluargatradisionalis.

Beberapa intelektual dari latar belakang tradisionalis mungkinbergabung dengan ICMI demi kepentingan (politik) pragmatisatau demi mendukung karir-karir birokratik mereka.52 Namun,bagi sebagian besar dari mereka, inkorporasi mereka ke dalamICMI mencerminkan suatu pergeseran dalam kecenderungan-kecenderungan dan afiliasi-afiliasi keagamaan mereka. Hal inidiindikasikan dalam survei saya mengenai karakteristik sosialdan keagamaan dari keanggotaan ICMI.

Demi tujuan studi ini, sekitar 500 kuesioner telah disebarkanlewat pos kepada para anggota ICMI di seluruh Indoensiadari bulan September sampai Desember 1988.53 Pemilihannama-nama didasarkan pada metode cluster-random samplinguntuk mewakili semua organisasi wilayah (ORWIL) ICMI diseluruh Indonesia. Jumlah total kuesioner itu setara dengan2,7% dari total anggota ICMI yang tercatat sampai bulan Juni1998, yaitu sebesar 18.377 (Database ICMI 1998). Sayangnya,hanya 210 dari 500 kuesioner yang dikembalikan olehresponden. Berkaitan dengan aliran-aliran agama dari orangtua reponden dan responden sendiri, hasilnya sebagai berikut.

Page 708: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

688 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Berdasarkan afiliasi agama orang tuanya, sebanyak 70 dari210 responden meng ungkapkan bahwa orang tua merekaberlatar NU, 54 responden mengaku bahwa orang tuanyaberlatar Muhammadiyah, 18 mengaku bahwa orang tuanyaberlatar organisasi-organisasi Islam lainnya, dan 68 lainnyatidak berlatar organisasi Islam besar manapun. Ketika pertanyaanberalih ke afiliasi agama dari pihak responden sendiri, hasilnyasangat menarik. Enampuluh enam (66) responden menyatakanbahwa mereka termasuk Muhammadiyah, 34 termasuk NU,21 termasuk organisasi-organi sasi Islam lainnya¸ sementara89 menyatakan tidak ter masuk ke dalam organisasi Islambesar manapun (Lihat Tabel 7).

Respons-respons terhadap survei itu menunjukkan bahwapergeseran dalam kecenderungan dan afliasi agama telahterjadi terutama di kalangan mahasiswa dari latar belakangkeluarga tradisionalis. Berbeda dengan orang tua mereka,kebanyakan dari mereka tak bergabung dengan organisasiIslam (besar) manapun, dan hanya sedikit dari mereka yang

Tabel 7: Survei Mengenai Afiliasi Keagamaan Orang Tua dan Anakdari Para Anggota ICMI

N=210

Tidak Berafilasidengan

Organisasi IslamManapun

68

89

Organisasi‐Organisasi IslamLain yang Sudah

Mapan

18

21

NU

70

34

AfiliasiKegamaan

dari

Orang tua

Anak

Muhammadiyah

54

66

Page 709: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 689

beralih ke Muhammdiyah. Mereka yang tak memiliki afiliasidengan organisasi Islam manapun berpotensi untuk menjadianggota HMI dan gerakan dakwah, atau mereka memangtelah bergabung dengan HMI dan gerakan dakwah. Duapuluh(20) dari 70 responden yang orang tuanya berafiliasi ke NUtelah bergabung dengan HMI, sementara sisanya bergabungdengan gerakan masjid. Jadi, bergabungnya para intelektualdari latar belakang keluarga tradisionalis ke HMI dan gerakandakwah tampaknya merupakan salah satu karakteristik pra-kondisi bagi keputusan mereka untuk bergabung denganICMI.54

Pada tahun 1997, total jumlah anggota ICMI yang tercatatsebanyak 10.501. Jumlah ini meningkat mencapai 18.377pada bulan Juni 1998 (Database ICMI, 1998). Namun, anggotasebenarnya dari ICMI, termasuk para pengikutnya, jauh lebihbesar daripada jumlah anggota yang tercatat. Hal ini karenabanyak aktivis terkenal ICMI yang tidak mengisi formulirpendaftaran anggota. Selain itu, dalam menjalankan program-programnya, ICMI membentuk beberapa badan otonom yangpartisipannya tidak dengan sendirinya menjadi anggota langsungICMI. Dari total 10.501 anggota yang tercatat pada tahun1997, paling tidak ada 154 anggota yang bergelar PhD dan506 anggota yang bergelar master. Latar belakang pendidikanmayoritas anggota ICMI adalah perguruan tinggi (9.009anggota). Sisanya tidak memiliki latar belakang pendidikantinggi. Terdapat 711 anggota ICMI yang memiliki latarbelakang pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas, 85 anggotaberlatar pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama dan 36anggota hanya berpendidikan SD (Database ICMI 1997, lihatTabel 8).

Page 710: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

690 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Institusi-institusi dan program-program ICMI terus berkembangseiring dengan pertumbuhan anggota. Secara struktural, organisasiICMI tersusun dari Organisasi Satuan (ORSAT), OrganisasiWilayah (ORWIL) dan Organisasi Pusat (ORPUS) yang masing-masing memiliki departemen-departemennya masing-masing.Sejumlah aktivitas tertentu dijalankan oleh badan-badan otonom.Pada September 1992, Center for Information and DevelopmentStudies (CIDES) terbentuk sebagai lembaga pemikiran (thinkthank) ICMI. Untuk menyebarluaskan suara ummat Muslim,koran Republika terbit pada bulan Januari 1993. Untuk membantupara pelajar dan mahasiswa yang berbakat, namun miskin, ICMImengadakan beasiswa ORBIT. Untuk membantu para pengusahakecil mendapatkan akses kredit, ICMI membentuk institusi

Tabel 8: Latar Pendidikan Anggota ICMI yang Tercatat Tahun 1997

Sumber: Database ICMI 1997

Tingkat Pendidikan

PhD

Master

Pendidikan Perguruan Tinggi

Pendidikan SLTA

Pendidikan SLTP

SD

Total Jumlah

Total Jumlah

154

506

9.009

711

85

36

10.501

Page 711: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 691

keuangan syariah yang bernama Baitul Maal wa’-Tamwil (BMT).Untuk mengembangkan usaha-usaha mikro pada level akarrumput, ICMI bersama dengan MUI mendirikan Yayasan InkubasiBisnis Usaha Kecil (YINBUK). Untuk menyediakan ide-idealternatif bagi pembangunan wilayah, ICMI membentuk MajelisKajian Pembangunan Daerah (MKPD). Untuk menyediakansebuah forum diskusi bagi para intelektual muda Muslim, ICMImembentuk Majelis Sinergi Kalam (MASIKA). Untukmeningkatkan kebiasaan membaca dalam masyarakat Indonesia,ICMI mempromosikan Gerakan Wakaf Buku. Usaha khususjuga dilakukan untuk meningkatkan kualitas pengajaran dibidang Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggrisdengan mendirikan MAFIKIBB.55 Yang terakhir namun jugapenting, untuk memajukan sumber daya manusia danperkembangan teknologi di Dunia Muslim, ICMI merintispendirian International Islamic Forum for Science, Technologyand Human Resources Development (IIFTIHAR).56

Sebagian besar dari institusi dan program ICMI tersebutmelibatkan dukungan dari pihak birokrat dan birokrasi pemerintah.Jadi, usianya sangat bergantung pada komitmen individu daripara birokrat dan rentan terpengaruh oleh terjadinya perubahanposisi dalam tubuh birokrasi. Karena alasan inilah, keberlangsunganmereka rapuh.

Meski memiliki prestasi-prestasi dalam medan sosio-kultural,makna penting ICMI masih terus saja diukur oleh orang-orangdi dalam maupun di luar ICMI dalam kerangka pengaruhpolitiknya. Ketika diajukan pertanyaan mengenai persepsi merekaterhadap makna penting ICMI bagi ummat Muslim, sekitar 210dari anggota ICMI yang disurvei menjawabnya sebagai berikut:77 dari 210 responden (36,6%) menyatakan bahwa kontribusiterbesar ICMI adalah perannya sebagai sebuah faktor pemersatu

Page 712: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

692 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

di antara para intelektual Muslim dan sebagai jembatan antarapihak pemerintah dan ummat, maupun sebagai saluran bagiaktualisasi aspirasi-aspirasi Islam. Empatpuluh tiga (43) dari210 responden (25,2%) menyatakan bahwa ICMI membantukaum Muslim bergeser dari posisi pinggiran ke pusat perpolitikanIndonesia sehingga membuat representasi politik Muslim menjadilebih baik. Daupuluh dua (22) dari 210 responden (15,2%)menyatakan bahwa ICMI membantu menciptakan lingkunganbirokratik yang lebih Islami, memperbaiki citra Islam danmengembangkan rasa percaya diri dari ummat. Hanya 37 dari210 responden (17,6%) memandang makna penting ICMI dalamkerangka kontribusinya kepada problem-problem masyakarakat,seperti kesejahteraan sosial, pendidikan dan pembangunansumber daya manusia. Sisa Responden memandang kontribusiICMI dalam kombinasi dari ketiga peran di atas. Penekananterhadap dimensi politik ICMI lebih jelas lagi dalam perspektiforang luar. Pandangan-pandangan kritis terhadap ICMI cenderungmengabaikan prestasi-prestasi ICMI dalam bidang kultural.

Prestasi Politik ICMI yang SesungguhnyaLantas seperti apakah prestasi ICMI sesungguhnya dalam bidangpolitik? Terstimulus oleh liputan media yang intens terhadapICMI, menjelang dan setelah Pemilihan Umum 1992, mediamassa Indonesia memunculkan spekulasi mengenai prosespenghijauan, ijo royo-royo (Islamisasi), dalam dunia politikIndonesia. Dalam kenyataannya, proses Islamisasi ini tidaklahsehebat seperti yang disangka publik. Samsudin Haris (1997:95-97) mengamati bahwa para wakil Muslim di DPR hanyameningkat sebesar 1% dari 80,8% pada tahun 1987 menjadi81,8% pada tahun 1992. Para wakil Muslim dalam faksi Golkar

Page 713: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 693

di DPR meningkat sebesar 1,1% dari 78,3% pada tahun 1987menjadi 79,4% pada tahun 1992. Meski ada kenaikan, namunsedikit sekali anggota ICMI di antara wakil-wakil baru Muslimdi DPR dan lebih sedikit lagi jumlah aktivis ICMI yang berlatarbelakang non-birokrat yang menjadi wakil-wakil baru di DPRitu. Suharto ternyata tidak mengangkat para aktivis ICMI yangmemiliki latar belakang NGO ataupun intelektual dakwahsebagai anggota MPR tahun 1992 (Ramage 1995: 100).

Fenomena yang sama tampak dalam komposisi KabinetPembangunan Enam (1993-1998). Meskipun pada periode inihanya ada empat wakil non-Muslim dalam kabinet, yangmenunjukkan kemersosotan jika dibandingkan dengan kabinet-kabinet sebelumnya, Suharto ternyata tidak mengangkat aktivisICMI yang berlatar belakang non-birokrat dalam Kabinet ini.Untuk menyenangkan hati inteligensia Muslim, Kabinet tersebutmengangkat sekitar sepuluh anggota ICMI yang berlatar belakangbirokrat. Selain itu, hanya tiga dari sepuluh menteri dari ICMIitu yang benar-benar aktif sebagai pengurus (anggota) ICMI.Ketiga menteri tersebut ialah B.J. Habibie dan orang-orangterdekatnya di BPPT, yaitu Wardiman Djojonegoro dan HaryantoDhanutirto. B.J. Habibie (ketua ICMI) diangkat kembali untukkeempat kalinya sebagai Menteri Riset dan Teknologi, Wardiman(sekretaris eksekutif ICMI) diangkat sebagai menteri pendidikandan kebudayaan, dan Dhanutirto (asisten ketua ICMI dan jugafungsionaris Golkar) diangkat sebagai Menteri Perhubungan,Pos dan Telekomunikasi.

Sementara para menteri dari ICMI lainnya pada KabinetPembangunan Enam hanyalah anggota ICMI secara nominalyang menjabat dalam kepengurusan ICMI hanya karena memilikistatus yang tinggi dalam birokrasi pemerintah. Termasukdiantaranya Azwar Anas, Beddu Amang, Harmoko, Saleh Afiff

Page 714: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

694 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

dan Sujudi (semuanya anggota Dewan Penasehat ICMI), TarmiziTaher dan Harjono Sujono (keduanya anggota Dewan PakarICMI).57 Jadi, mungkin saja para birokrat ini diangkat sebagaimenteri karena latar belakang birokrasi mereka dan/atau loyalitasmereka terhadap Suharto/keluarganya ketimbang karena afiliasimereka dengan ICMI.

Meski demikian, proses ‘ICMI-sasi’ memang berlangsungdalam skala-mikro, terutama dalam departemen-departementertentu yang para menterinya menjadi anggota-anggota ICMIyang aktif. Wardiman Djojonegoro, yang mengaku bahwa dirinyaseorang Muslim abangan yang dalam tingkatan tertentu memilikiIslamophobia sampai kemunculan ICMI, mengungkap faktabahwa selama masa jabatannya sebagai Menteri, sekitar 30%dari eselon atas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan adalahanggota ICMI.58 Intensitas dan densitas liputan media mengenaiICMI juga memberikan inspirasi bagi para pemegang kekuasaandi provinsi dan kabupaten/kotamadya untuk bergabung denganICMI atau paling tidak mendukung aktivitas-aktivitas ICMI.

Karena para menteri dari ICMI memiliki latar belakangbirokrasi yang kuat, mereka sangat kuat menginternalisasikankultur birokrasi Orde Baru. Gambaran dominan dari kulturbirokratik ini dicirikan di antaranya oleh korupsi, kronisme dan‘Bapakisme’ (loyalitas tampa syarat kepada patron). Karenaitulah, para menteri dari ICMI tidak lebih bisa dipercaya atau‘lebih bersih’ daripada menteri-menteri dari kalangan nasionalis-sekuler. Kadangkala mereka bahkan tampak lebih buruk karenatidak berpengalaman dalam ‘seni’ manipulasi birokrasi. Padasaat yang sama, karena pengaruh dari tokoh-tokoh birokrat inidalam ICMI, sulit bagi ICMI sebagai sebuah organisasi untukmemunculkan krititisisme intelektual. Hal ini tampak jelas dalambungkamnya ICMI ketika tiga terbitan terkenal, yaitu Tempo,

Page 715: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 695

Editor dan Detik dilarang terbit pada tahun 1994.

Kecewa dengan perolehan politik mereka setelah PemilihanUmum 1992, para aktivis ‘ICMI yang sesungguhnya’ berharapmereka akan bernasib lebih baik di masa depan. Namun, tampakjelas bahwa para aktivis ICMI yang berlatar belakang non-birokratik tak bisa dengan mudah menyesuaikan diri dengankultur politik elit kekuasaan Orde Baru. Hanya beberapa bulansetelah pembentukan Kabinet Pembangunan Enam pada bulanMaret 1993, Amien Rais (asisten ketua ICMI selama periode1990-1995 dan ketua Dewan Pakar ICMI untuk periode 1995-2000) memecah ‘tabu’ politik Orde Baru dengan memunculkanisu mengenai suksesi presiden. Pada titik ini di era Orde Baru,menyebarluaskan gagasan pengunduran diri Presiden merupakansesuatu yang sungguh di luar pikiran. Kritik-kritik yang menohokdari Rais terus berlanjut dengan pemuatan gagasan-gagasannyadalam kolom regulernya di harian Republika sejak akhir tahun1996. Artikelnya yang paling penting berjudul ‘Inkonstitusional’yang dimuat pada 9 Januari 1997. Dalam artikel tersebut, diamengungkap praktik eksploitatif dan korup dari industripertambangan emas yang beroperasi di Busang (KalimantanTimur) dan Papua Barat (Freeport), yang melibatkan keluargaSuharto dan kroni-kroninya. Artikel ini membuat marah keluargaSuharto dan menyebabkan posisi Rais di dalam ICMI mulaidipersoalkan.

Untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan (politik)kolektif ICMI, Rais sepakat untuk mengundurkan diri dariposisinya sebagai ketua Dewan Pakar ICMI pada 24 Februari1997. Beberapa bulan sebelumnya, anggota ICMI terkemukalainnya yang juga anggota DPR dari PPP, Sri Bintang Pamungkas,dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun kurang karenadituduh melakukan penghinaan terhadap Presiden saat memberikan

Page 716: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

696 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

kuliah di universitas Berlin pada April 1995. Dia juga dikeluarkandari DPR dan kepengurusan ICMI. Peristiwa-peristiwa tersebutmembuat Suharto dan keluarganya memusuhi para aktivis ICMIdari kalangan non-birokrat. Menjelang Pemilihan Umum 1997,beberapa aktivis ICMI non-birokrat yang sebelumnya dicalonkansebagai wakil Golkar di DPR/MPR, seperti Adi Sasono danDawam Rahadjo dicoret dari daftar.

Situasi ini dengan cepat dimanfaatkan oleh AbdurrahmanWahid untuk membangun kembali aliansi NU dengan parapemegang kekuasaan Orde Baru. Selama kampanye pemilihanumum, dia sering tampil bersama dengan Siti Hardiyanti Rukmana(anak perempuan Suharto dan deputi ketua Golkar) di depanpublik dari kalangan tradisionalis. Maka, hasil pemilihan umum1998 tidak menempatkan satu wakil (lembaga) ICMI pun diMPR. Jimly Asshiddiqie (Wakil Sekretaris ICMI) memangmenjadi anggota MPR, namun dalam kapasitasnya sebagai wakilMUI. Para anggota ICMI yang lain hanya menjadi anggotaDPR/MPR sebagai buah dari posisi mereka sebagai anggotaGolkar atau partai politik yang lain.

Komposisi Kabinet Suharto yang ketujuh (yang terakhir)mencerminkan pola yang sama. Karena negara mulai merasakandampak dari krisis ekonomi (sejak pertengahan tahun 1997)dan dilanda kerusuhan sosial, Suharto membentuk kabinet yangterdiri dari mereka yang loyal kepadanya. Habibie diangkatsebagai wakil presiden, meski muncul penentangan yang kuatdari faksi utama dalam Golkar dan dari kalangan militer.59

Pengangkatan Habibie ini barangkali didasarkan pada anggapanakan ‘kenaifan’ politiknya yang tak akan mengancam posisiSuharto. Pada saat yang sama, Suharto tidak ingin berbagikekuasaan dengan para intelektual kritis ICMI.

Page 717: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 697

Daftar para anggota kabinet yang diumumkan pada tanggal14 Maret 1998 hanya mencantumkan satu anggota ICMI darilatar belakang non-birokrat, yaitu Tuty Alawiyah, sebagai MenteriUrusan Peranan Wanita. Meski demikian, sebagai wakil ketuaDewan Penasehat ICMI, dia bukanlah seorang figur yang vokaldalam ICMI. Pengangkatannya sebagai seorang menteri tampaknyajuga mencerminkan relasinya yang terbangun sejak lama dengan(almarhumah) istri Suharto (Tien Suharto) dan anakperempuannya, Siti Hardiyanti Rukmana, ketimbang karenakeanggotaannya dalam ICMI. Para anggota ICMI lainnya yangdiangkat sebagai menteri ialah mereka yang memiliki latarbelakang birokrasi (termasuk Golkar). Salah satunya ialah deputiketua Dewan Pengurus Harian ICMI yang masih aktif, yaituHaryanto Dhanutirto (sebagai Menteri Pangan, Hortikulturadan Obat-obatan), empat anggota pasif ICMI, yaitu FuadBawazier, Rahardi Ramelan (keduanya anggota Dewan PenasehatICMI), Muladi (wakil ketua Dewan Pakar ICMI) dan QuraishShihab (asisten ketua umum ICMI) yang masing-masing menjadiMenteri Keuangan, Menteri Riset dan Teknologi, MenteriKehakiman dan Menteri Agama.60 Jadi, sampai kabinet terahirSuharto, para aktivis ICMI yang berlatar belakang non-birokrattetap gagal meraih posisi-posisi politik dalam struktur kekuasaanOrde Baru via ICMI. Kegagalan inilah yang menjadi katalis bagidukungan mereka terhadap gerakan reformasi.

Pergeseran ke Gerakan ReformasiBanyak dari intelektual ICMI non-birokrat yang kemudianberkesimpulan bahwa tak ada ruang bagi mereka dalam politikOrde Baru. Maka, ketika mulai muncul demonstrasi-demonstrasimahasiswa yang mendukung gerakan reformasi, orang-orang

Page 718: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

698 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

seperti Adi Sasono, Dawam Rahardjo dan bahkan AchmadTirtosudiro bergabung dengan Amien Rais untuk mendukungperubahan. Pada tanggal 9 April 1998, Achmad Tirtosudirodalam kapasitasnya sebagai pelaksana ketua ICMI (setelahHabibie diangkat sebagai Wakil Presiden) memberikan sebuahpernyataan publik bahwa demonstrasi-demonstrasi mahasiswatak boleh dilarang. Pada tanggal 4 Mei, Adi Sasono (sekretarisumum ICMI)61 menulis sebuah artikel di Republika yangmengingatkan pihak pemerintah bahwa kerusuhan sosial padatingkat akar rumput bisa mengarah pada revolusi sosial danmeminta pemegang kekuasaan untuk memenuhi tuntutan rakyatakan perubahan. Pada tanggal 6 Mei, ICMI secara resmimengadakan jumpa pers yang menyatakan bahwa untuk menjawabtuntutan publik mengenai perlunya reformasi, tak boleh adakelompok manapun yang berusaha untuk mencegah diadakannyaSidang Luar Biasa MPR atau reshuffle kabinet.62 Pada 14 Mei,Tirtosudiro dan Sasono secara eksplisit menyambut baik pernyataanSuharto di Mesir mengenai kesediaannya untuk mengundurkandiri (Republika, 15/05/1998).

Para intelektual ICMI dengan kecenderungan-kecenderunganpolitiknya yang beragam kemudian memainkan peran-peranpenting dalam momen-momen historis di seputar pengundurandiri Suharto. Amien Rais menjadi ikon dari gerakan perlawanan.Dukungan utama baginya datang dari generasi keenam inteligensiaMuslim, terutama mereka yang berafiliasi dengan Kesatuan AksiMahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Pada tanggal 12 Mei1998, dia memimpin pembentukan sebuah front perlawanan,yaitu Majelis Amanat Rakyat (MAR) yang beranggotakan 55para reformis terkemuka yang mewakili spektrum luas dalammasyarakat.

Pada saat yang (hampir) bersamaan, intelektual ICMI lainnya

Page 719: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 699

yang memiliki kecenderungan-kecenderungan moderat, yaituNurcholsh Madjid, menyusun draft proposal bagi percepatanalih kekuasaan secara damai. Setelah berdiskusi dengan beberapaperwira militer (di antaranya, Kepala Staf Teritorial ABRI, LetjenSusilo Bambang Yudhoyono) pada 14 Mei, dua hari kemudiandia mengadakan sebuah jumpa pers di lobi Hotel Wisata. Padajumpa pers itu, Madjid mengusulkan bahwa pemilihan umummendatang untuk memilih anggota DPR harus dimajukan darirencana tahun 2003 ke Januari 2000, sementara Sidang LuarBiasa MPR dan pemilihan presiden harus diadakan pada April2000. Selain itu, dia juga mendesak adanya permohonan maafsecara formal dari Suharto dan pengembalian harta kekayaankeluarga Suharto yang didapat dari cara-cara yang tidak benar.

Pada malam hari 18 Mei, sekretaris negara, Saadillah Mursjidmengundang Madjid untuk bertemu Suharto di kediamanpribadinya di Jalan Cendana. Suharto secara prinsip sepakatdengan usulan Madjid dan mengatakan bahwa dia merencanakanuntuk membentuk sebuah Komite Reformasi untukmengimplementasikan usulan tersebut. Namun, Madjidmengatakan kepada presiden bahwa kejadian-kejadian yangtelah berlangsung pada hari itu membuat usulannya itu menjaditak mungkin untuk dilaksanakan. Bukan hanya karena padasore itu ketua DPR, Harmoko, telah menyerukan agar Suhartosegera mengundurkan diri, tetapi juga ICMI pun telah memintahal yang sama. Madjid menjelaskan bahwa ancangan waktuawal yang disusunnya sekarang terasa terlalu lama. Dia kemudiansecara halus mengatakan: ‘Pengertian rakyat tentang reformasiadalah bahwa Bapak mengundurkan diri’.63

Suharto berusaha mengulur-ulur waktu. Pada tanggal 19Mei, dia mengundang sembilan pemimpin Muslim, termasukNurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, namun tanpa

Page 720: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

700 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Amien Rais, untuk datang ke Istana Merdeka. Dalam pertemuandengan para pemimpin Islam ini, Suharto tampaknya melakukanusaha terakhir untuk melakukan taktik devide et impera–sebuahtaktik yang telah lama menjadi ciri dari kekuasaannya. Sebelumpertemuan itu, kebanyakan para pemimpin itu, kecualiAbdurrahman Wahid dan beberapa yang lain, berkumpul dirumah Malik Fadjar tempat dimana Amien Rais berada. Denganmengantisipasi taktik Suharto dan takut dicap sebagai pengkhianatreformasi, kelompok itu sepakat untuk tidak menerima adanyaKomite Reformasi jika hal itu diusulkan oleh Suharto. Dalampertemuan dengan Suharto, Madjid sekali lagi menjelaskanbahwa tak ada reformasi yang berhasil tanpa pengunduran diripresiden: ‘Anda harus menemukan cara untuk mengakhirikepresidenan secara terhormat dan bermartabat.64

Sebagai kelompok, kesembilan pemimpin Islam itu tidaksetuju dengan usulan Suharto. Namun, sebagai individu, merekamungkin memiliki beberapa perbedaan dalam pemikiran mereka.Kelak dalam penampilan publiknya pada sore itu, Wahid secaraterang-terangan meminta agar para mahasiswa menghentikandemontrasinya dan memberi kesempatan kepada Suharto untukmenjalankan reformasi. Bagi banyak pihak, pernyataan dariseorang penganjur terkemuka dari demokratisasi ini sangatmembingungkan. Kevin O’Rourke menawarkan analisis berikutmengenai hal tersebut: ‘Satu-satunya penjelasan bagi dukungannyayang terus berlanjut kepada Soeharto ialah karena musuhbesarnya, Amien Rais, tengah memimpin gerakan anti-Soeharto.Bahkan di tengah-tengah drama nasional ini, tampak bagi banyakorang bahwa Wahid lebih mementingkan bagaimana mengalahkanpara rival modernisnya ketimbang melengserkan Soeharto’(O’Rourke 2002: 128).

Figur ICMI lainnya yang memainkan suatu peran kritis pada

Page 721: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 701

detik-detik terakhir kekuasaan Soeharto adalah Habibie. Dalamkapal Orde Baru yang akan segera karam, Habibie merupakanseorang wakil kapten kapal yang diabaikan oleh atasannya.Suharto menolak ide dari salah satu delegasi Muslim yangmengusulkan perpindahan kekuasaan kepada wakil presidenkarena alasan kapabilitas Habibie yang meragukan. Saat mendengarkomentar Soeharto mengenai dirinya, Habibie menunjukkanrasa murka dan malunya. Hal ini menjadi preteks baginya untukberdiri tegas melawan orang yang telah lama menjadi mentorpolitiknya. Akhirnya, hanya setelah gerakan perlawanan berubahmenjadi kekerasan, usulan reformasi Suharto tak mendapatkanrespon, dan ketua DPR/MPR dan bahkan para menteri kuncinyamendesaknya untuk mengundurkan diri, Suharto mulaimempertimbangkan perpindahan kekuasan kepada Wakil Presiden.

Pada tanggal 20 Mei, Suharto meminta anggota ICMI yanglain, yaitu Yusril Ihza Mahendra, yang menjadi penulis pidatodan penasehat hukum Presiden, untuk mempersiapkan sebuahdokumen hukum bagi perpindahan kekuasaan ke tangan WakilPresiden. Pada tanggal 21 Mei, Suharto akhirnya mengundurkandiri dari jabatan kepresidenannya dan mengumumkan bahwaWakil Presiden Habibie akan menuntaskan masa jabatannyasampai 2003 dan kabinet baru akan dibentuk secepatnya(O’Rourke 2002: 128-130).

Pengunduran diri Presiden Suharto dan naiknya Habibiesebagai penggantinya melahirkan sebuah struktur peluang politikyang baru. Kurangnya legitimasi politik Habibie, citranya sebagaianak didik Suharto, dan ketidakpastian masa jabatannyamenyebabkan banyak figur seperti ekonom Kwik Kian Giemenolak tawaran untuk masuk ke dalam kabinet. Situasi inimemberi kesempatan besar bagi figur-figur ICMI yang memilikilatar belakang non-birokrasi. Pada akhirnya, kalangan ICMI

Page 722: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

702 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

non-birokrat memiliki wakil-wakilnya di kabinet.

Para wakil anggota ICMI yang memiliki latar belakang NGOdan gerakan dakwah dalam kabinet Habibie adalah Adi Sasono,A.M. Saefuddin, dan Malik Fadjar, yang masing-masing menjadiMenteri Koperasi dan Usaha Kecil, Menteri Pangan, Hortikulturadan Obat-obatan, dan Menteri Agama. Para aktivis ICMI lainnyayang juga diangkat untuk pertama kalinya sebagai menteri ialahmereka yang memiliki latar belakang birokrasi dan Golkarseperti Muslimin Nasution sebagai Menteri Kehutanan danPerkebunan, dan Soleh Sholahuddin sebagai Menteri Pertanian,Marzuki Usman sebagai Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya,dan Fahmi Idris sebagai Menteri Tenaga Kerja. Para menteriICMI lainnya merupakan menteri-menteri pada kabinet terakhirSuharto yang diangkat kembali dalam kabinet Habibie sepertiTuty Alawiyah, Muladi dan Rahardi Ramelan. Jadi, para anggotainti dari kabinet Habibie merupakan kombinasi antara mantanmenteri dari warisan Suharto dengan menteri-menteri baru yangkebanyakan berasal dari ICMI. Kombinasi antara menteri yangtak memiliki komitmen reformasi dan para pendatang baruyang tak berpengalaman inilah yang menjadi pengendalipemerintahan transisional Habibie yang harus menghadapitantangan krisis keuangan dan reformasi politik.

Kumunduran ICMISebenarnya Habibie memiliki mandat konsitusional untukmelanjutkan masa jabatan Suharto sampai tahun 2003. Pasal 8UUD 1945 menegaskan bahwa jika presiden berhalangan, makawakil presiden akan melanjutkan sisa masa jabatan presiden.Namun, suasana kebatinan bangsa secara umum pada saat itumendesak adanya percepatan penyegaran pemerintahan. Karena

Page 723: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 703

itu, Habibie tak punya pilihan lain selain mengikuti opini publikyang menuntut diselenggarakannya pemilihan umum sesegeramungkin. Dia akhirnya menjadwalkan pemilihan umum padatanggal 7 Juni 1999.

Tiga minggu setelah Habibie menduduki jabatan kepresidenan,masih belum jelas apakah dia akan mencalonkan diri sebagaikandidat presiden pada pemilihan presiden yang akan datang.Dalam dua kesempatan yang terpisah pada minggu kedua bulanJuni 1998, dia menyatakan bahwa dalam Pemilu mendatang diatak akan mencalonkan diri sebagai presiden.65 Namun. AchmadTirtosudiro dan tokoh-tokoh ICMI lainnya mengingatkan bahwaterlalu dini untuk sampai pada kesimpulan itu dan menyarankanagar dia menguji opini publik.66 Maka, pada tanggal 29 Juni,Habibie mengklarifikasi pernyataan sebelumnya dan menyatakanbahwa dia belum memutuskan apakah dia akan mencalonkandiri atau tidak.67 Kemudian, dengan dukungan antusias darilingkaran dalamnya, dia memutuskan untuk ikut mencalonkandiri menjadi presiden dan berharap bisa menggunakan Golkarsebagai kendaraan politiknya.

Meski Habibie telah bersedia untuk ikut mencalonkan diri,namun signifikansi ICMI sebagai sebuah kendaraan politiksebenarnya telah mulai merosot. Keputusan Sjarwan Hamid,sebagai Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Habibie, padaawal Juni untuk mencabut larangan pembentukan partai politikmelahirkan euforia kebebasan baru untuk ikut serta dalamkegiatan politik. Kebijakan dan euforia politik ini segera mengarahpada pelipatgandaan kemunculan beragam partai politik baruyang jumlahnya mencapai 100 lebih, namun hanya 48 saja yangdiperkenankan mengikuti pemilihan umum. Menyadari bahwapartai-partai politik sekarang merupakan jalan utama menujukekuasaan politik, para tokoh ICMI mulai mengendurkan

Page 724: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

704 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

keterikatannya dengan ICMI dan mendirikan partai-partainyasendiri.

Di bawah suasana ruang publik yang bebas dan iklim politikyang fair dari era reformasi, inteligensia Muslim memperlihatkankembali watak asli heterogenitasnya. Dipicu oleh kombinasiantara perbedaan ideologi, pragmatisme politik yang dipacuoleh modernisasi, rivalitas elit, dan ledakan kebebasan yangtiba-tiba, kelompok-kelompok Muslim saling bersaing untukmendirikan partai-partai politiknya sendiri. Sebagai akibatnya,politisi Muslim mengalami fragmentasi yang jauh lebih parahketimbang sebelumnya.

Pada awalnya, muncul ide untuk mendirikan sebuah replikaMasjumi dengan menggabungkan PPP dengan para penerusMasjumi yang berkumpul di seputar lingkaran DDII, denganAmien Rais sebagai ketua umumnya. Ternyata, Amien Rais padafase sejarah ini tampil dengan kepentingan-kepentingan politikyang berbeda. Di tengah-tengah wacana hegemonik mengenaipluralisme dan inklusivisme, seperti yang disuarakan oleh gerakanpembaharuan, Forum Demokrasi dan arus utama media massa,dia sejak lama dicap sebagai seorang figur yang sektarian. Saatdia mulai memproyeksikan dirinya sebagai seorang pemimpinIndonesia yang sedang menanjak, stigma tersebut sepertimenghantuinya. Pergaulannya dengan para intelektual dariberagam identitas selama gerakan reformasi tampaknya telahmemberinya stimulus untuk mengeksplorasi pluralisme sebagaiideologi politiknya.68 Maka, dirinya sekarang merasa bahwa‘baju’ Islam itu terlalu sempit. Dia lebih memilih mendirikan se -buah partai pluralistik, bernama Partai Amanat Nasional (PAN).

Setelah gagal menarik Amien Rais, PPP sebagai sebuah partaiyang berdiri sejak era Suharto terus hidup dan memilih Hamzah

Page 725: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 705

Haz sebagai ketua umumnya yang baru. Para aktivis DDIIsendiri membentuk Partai Bulan Bintang (PBB) dipimpin olehanggota ICMI yang lain, yaitu Yusril Ihza Mahendra. Karena taksepakat dengan idealitas Amien Rais dalam PAN, para pengikutgerakan dakwah atau tarbiyah yang bergerak di belakang AmienRais selama perjuangan reformasi, mendirikan partainya sendiri,yaitu Partai Keadilan (PK) dengan Nurmahmudi Ismail (seorangaktvis IIFTIHAR ICMI) sebagai presidennya. Dalam posisinyasebagai seorang Menteri Koperasi dan Usaha Kecil, Adi Sasonomendirikan Partai Daulat Rakyat (PDR) sebagai kendaraanuntuk mencapai kepentingan kekuasaannya lewat advokasi‘ekonomi rakyat’.

Para tokoh ICMI lainnya yang berlatar belakang NU, sepertiJusuf Hasjim dan Sholahuddin Wahid (adik dari AbdurrahmanWahid) mendirikan Partai Kebangkitan Ummat (PKU). SementaraAbdurrahman Wahid dan arus utama pemimpin NU membentuksebuah partai pluralistik, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).Terdapat juga beberapa partai kecil lainnya yang menggunakannama-nama Islam untuk menarik pengikut.

Di samping partai-partai tersebut, partai hegemonik selamaOrde Baru, yaitu Golkar mengalami proses ‘Islamisasi’ dalamskala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kepemimpinanpartai ini didominasi oleh kalangan inteligensia Muslim yangmemiliki latar belakang HMI. Meskipun partai ini berbasissekuler, namun para anggota inteligensia Muslim dalam partaiini merupakan bagian dari spektrum politisi Muslim. Dalammomen-momen kritis, mereka bisa mengambil posisi politikyang sama dengan kelompok-kelompok politisi Muslim lainnya.

Seperti Golkar, PAN dan PKB mendasarkan ideologi merekapada Pancasila. Namun, jaringan dari tokoh-tokoh utama dan

Page 726: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

706 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

konstituen dari kedua partai tersebut sangat dekat denganorganisasi-organisasi Islam. Seperti PAN dan PKB, PDR jugamenjadikan Pancasila sebagai asas partai dan kepemimpinannyajuga berasal dari para aktivis Muslim. Namun, konstituennyatidak berasosiasi dengan organisiasi Islam manapun. Sementarapartai Muslim lainnya menjadikan Islam sebagai ideologi politikmereka. Meski demikian, bahkan bagi partai-partai berbasisIslam ini pun, pengaruh dari kuatnya wacana pluralisme sangatlahnyata. Hal ini setidaknya terlihat dari percobaan partai-partaitersebut untuk membebaskan diri mereka dari cap sebagai partai-partai eksklusif dengan menekankan wawasan nasionalistikmereka dan dengan mengklaim diri mereka sebagai partai politikyang terbuka, seperti termaktub dalam Anggaran Dasarnya.

Dengan adanya fragmentasi internal yang parah, politisiMuslim menghadapi kesulitan-kesulitan serius dalam memobilisasisumber daya dan dukungan politik. Selain itu, citra posisiintelektual Muslim sebagai bagian dari elit penguasa sejakperiode akhir era kekuasaan Suharto hingga kekuasaan transisiHabibie juga membawa kerugian politiknya tersendiri. Parapemimpin Islam sekarang diidentikkan dengan status quo dankebijakan-kebijakan Orde Baru. Sebagai akibatnya, Islam yangsebelumnya diidentikkan oleh masyarakat di level akar rumputsebagai penyedia ideologi perlawanan alternatif, sekarangdianggap sebagai sebuah ideologi penguasa. Dalam harapannyauntuk menemukan juru selamat politik, banyak wong cilik yangmemberikan dukungan mereka kepada visi juru selamat ‘yangsekuler’ yang ditawarkan oleh citra Sukarnoisme yang tertindasdan mewujud dalam diri anak perempuan Sukarno, yaituMegawati.

Faktor-faktor ini beserta kelemahan-kelemahan lainnyamembuat capaian partai-partai Muslim dalam Pemilu tidaklah

Page 727: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 707

menggembirakan. Dalam pemilihan umum 1999, total persentasepartai Muslim, termasuk PKB, PAN dan PDR, berdasarkan totalsuara dalam pemilihan anggota DPR hanyalah sebesar 36,38%.Sementara total persentase partai Muslim berdasarkan jumlahkursi terpilih di DPR (462 kursi) hanya sebesar 37,46% (173kursi). Terdapat 11 partai Muslim yang memperoleh palingtidak satu kursi di DPR, yaitu PKB, PPP, PAN, PBB, PK, PNU,Partai Persatuan, Partai Politik Islam Indonesia Masyumi (PPIIM),PDR, PSII, dan Partai Kebangkitan Ummat (PKU). Berdasarkantotal suara, PKB meraih persentase yang tertinggi (12,60% daritotal suara), diikuti PPP (10,70%), PAN (7,11%), PBB (1,94%),PK (1,36%), PNU (0,64%) dan kemudian 5 partai lainnyadengan total 2,03%. Namun, untuk total jumlah kursi di DPR,PPP meraih jumlah kursi yang terbanyak, yaitu 58 kursi atausetara dengan 12,55% dari total 462 kursi di DPR. Diikutidengan PKB (51 kursi = 11,04%), PAN (34 = 7,36%), PBB (13kursi = 2,81%), PK (7 kursi = 1,52%), PNU (5 kursi = 1,08%),dan lima partai lainnya masing-masing dengan 1 kursi (jadi 5kursi = 1,1%). Secara perbandingan, PDIP pimpinan Megawati(penerus PNI Sukarno) meraih 33,73% total suara dan 33,12%total kursi (=153 kursi), sementara Golkar meraih 22,43% daritotal suara dan 25,99% dari total kursi (=120 kursi).

Dengan tak ada satu pun partai politik yang meraih jumlahkursi mayoritas di DPR, maka jelaslah bahwa siapapun yangingin memenangkan pemilihan presiden harus menemukan suatuformula khusus untuk membangun sebuah koalisi yang luas.Pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) ICMI yang diadakandi Bandung pada tanggal 9 Juli 1999, ICMI merekomendasikanpembentukan sebuah ‘poros Islam’ yang akan berkolaborasidengan para aktivis Muslim di Golkar.

Menindaklanjuti rekomendasi ini, Achmad Tirtosudiro, dalam

Page 728: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

708 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

kapasitasnya sebagai pelaksana ketua umum ICMI, mengorganisirsebuah pertemuan dari para wakil partai-partai Muslim besardan Golkar di rumahnya (Kuningan) pada tanggal 29 September1999. Yang ikut dalam pertemuan ini antara lain Amien Rais(PAN), Yusril Ihza Mahendra (PBB), Nurmahmudi Ismail (PK),Zarkasji Nur (PPP), dan Eky Sjahrudin dan Marwah DaudIbrahim (Golkar). Keesokan harinya, pertemuan serupa digelardi rumah Tirtodusiro yang diikuti diantaranya oleh Amien Raisdan Dawam Rahardjo (PAN) dan Akbar Tandjung dan MarwahDaud Ibrahhim (Golkar). Dalam pertemuan-pertemuan itu,disepakati bahwa Habibie akan dicalonkan menjadi presiden,namun terjadi perdebatan dalam penentuan wakil presiden, danuntuk posisi ketua DPR dan MPR.69 Meski demikian, idemembangun sebuah aliansi strategis di antara partai-partaiMuslim terus berlanjut di tengah-tengah menguatnya sentimenanti-Habibie. Hal ini pada akhirnya mengarah pada terbentuknyaPoros Tengah yang mengklaim bahwa kehadirannya sebagai jalantengah antara pendukung dan penentang Habibie.

Meski telah diputuskan bahwa Habibie akan menjadi satu-satunya calon presiden dari Golkar, namun segera terlihat bahwadia tidak memiliki pengaruh kuat dalam partai tersebut. Sudahsejak pencalonannya sebagai wakil Presiden pada tahun 1997,telah muncul penentangan anti-Habibie yang kuat dalam tubuhGolkar. Sekarang, meski kawasan timur Indonesia, sebagaikonstituen utama Habibie, telah memberikan kontribusi signifikanterhadap besarnya jumlah kursi yang diraih Golkar dalamDPR/MPR, namun Akbar Tandjung-lah yang memiliki kontrolyang kuat atas partai. Setelah pengunduran diri Suharto, Habibietidak mengambil alih kepemimpinan dewan pembina Golkar,sebuah posisi yang pada masa Orde Baru dipegang oleh Presiden.Ketika posisi ini Habibie usulkan sendiri untuk dicoret dari

Page 729: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 709

partai, dia tak lagi menjadi pengurus teras Golkar. Dan hal inimemberikan ruang bagi Akbar Tandjung untuk bermanuverpolitik.

Ambisi Akbar untuk menjadi presiden atau paling tidak wakilpresiden tidak sejalan dengan preferensi Habibie yang lebihmenyukai Panglima TNI, Wiranto, untuk menduduki jabatantersebut. Adanya persaingan internal dalam tubuh Golkar yangdibarengi dengan opini publik yang memusuhi Habibie membuatMPR menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Habibiepada tanggal 14 Oktober 1999.70 Sebagai dampaknya, Habibiemengundurkan diri dari pencalonannya dalam pemilihan presiden.

Berakhirnya kepresidenan Habibie menandai akhir dari peranpolitik ICMI dalam perpolitikan Indonesia. Karena partai-partaipolitik telah menjadi sarana utama bagi aktualisasi keterlibatanpara intelektual dalam dunia politik, ICMI lalu menjadi kehilangandaya tarik politiknya. Dirancang dalam simposium pertamanyadi Malang sebagai wahana kontribusi intelektual Muslim bagipembangunan masyarakat Indonesia abad ke-21, ternyatasemangat juang ICMI telah redup bahkan sebelum fajar abadbaru terbit.

Dengan runtuhnya rezim Habibie, banyak institusi danprogram ICMI yang mulai berguguran. Hal ini terjadi karenabanyak dari program dan institusi tersebut yang lebih dimotivasioleh kepentingan-kepentingan politik sesaat dan di bawahsponsor lingkaran dalam pemegang kekuasaan Orde Baru.Sehingga dengan berubahnya rezim, banyak dari institusi iniyang kehilangan relevansi dan basis dukungannya. Misalnyasaja, CIDES yang begitu pernah bersemangat menjadi tak jelaslagi rimbanya segera setelah jatuhnya pemerintahan transisionalHabibie.

Page 730: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

710 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Meski demikian, hal ini tidak dengan sendirinya mengakhirikehidupan politik dari individu anggota ICMI, dan tentu sajatidak mengakhiri posisi strategis para intelektual Muslim dalamperpolitikan Indonesia. Ketika Akbar Tandjung gagal memenuhipersyaratan formal untuk mencalonkan diri menjadi presiden,71

aliansi antara Poros Tengah dan Golkar berhasil memenangkanAbdurrahman Wahi menjadi presiden.

Selama periode kepresidenan Wahid ini, para intelektualMuslim secara perseorangan memainkan peran yang penting.Dalam kabinet Wahid yang pertama, terdapat setidaknya enammenteri yang berlatar belakang ICMI, tanpa menghitung anggotaICMI yang nominal,72 plus para intelektual Muslim dari latarbelakang organisasi lainnya. Selain pos-pos eksekutif, ke -pemimpinan lembaga-lembaga negara lainnya jelas-jelas didominasioleh para intelektual yang berlatar belakang organisasi Islam.Ketua DPR (Akbar Tandjung), Ketua MPR (Amien Rais), KetuaDewan Pertimbangan Agung, DPA (Achmad Tirtosudiro), ketuaMahkamah Agung (Bagir Manan), Ketua Badan PemerikaKeuangan, BPK (Satrio Budihardjo Judono) adalah para intelektualyang berlatar belakang HMI dan/atau ICMI.

Kemampuan Amien Rais dan Abdurrahman Wahid untukmenjadi Ketua MPR dan Presiden meski partai mereka (PANdan PKB) masing-masing hanya meraih 7,36% dan 11,04% daritotal kursi MPR, sebagian mencerminkan kuatnya pengaruhlobi intelektual Muslim di MPR. Hal ini bisa tercapai antaralain karena meningkatnya kapasitas individu intelektual-intelektualMuslim dan makin ramahnya elit politik terhadap Islam (jikadibandingkan dengan periode-periode sebelumnya dalam sejarahIndonesia), sebagai buah dari proyek Islamisasi inteligensia danbirokrasi Indonesia pada dekade-dekade terakhir Orde Baru.73

Page 731: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 711

Ketika Megawati menggantikan Abdurrahman Wahid sebagaiPresiden RI pada tanggal 23 Juli 2001, para wakil Muslim dikabinet dan lembaga-lembaga negara yang lain kurang lebihmasih tetap.74 Jadi, perjalanan inteligensia Muslim sepanjangsatu abad, yang melangkah dari pinggiran ke pusat perpolitikanIndonesia, telah mencapai tujuan akhirnya. Afiliasi dengan partaipolitik di tengah-tengah milieu ruang publik yang bebas sertaadanya pemilihan umum yang bebas dan adil telah memberisarana dan peluang bagi naiknya para intelektual Muslim keposisi-posisi pejabat negara. Namun, pada dasarnya pencapaian-pencapaian politik ini dimungkinkan karena peningkatan culturalcapital (kualifikasi pendidikan) inteligensia Muslim yang luarbiasa.

Prestasi ini bisa dilihat dengan mudah jika dikontraskanantara kualifikasi-kualifikasi pendidikan tokoh-tokoh politiknasionalis dan Islam. Pada masa lalu, pemimpin utama perpolitikankaum nasionalis, yaitu Sukarno, adalah seorang sarjana, sementaratokoh utama dari perpolitikan Muslim, yaitu Natsir, hanyalahlulusan sekolah menengah (AMS). Namun, pada akhir abad ke-20, pemimpin utama perpolitikan nasionalis, yaitu MegawatiSukarnoputri, hanyalah lulusan sekolah menengah (meskipundia pernah kuliah beberapa saat), sementara para pemimpinpartai politik Muslim adalah para sarjana. Konsekuensinya,meskipun hasil partai-partai politik Muslim pada pemilu 1999tak meyakinkan, representasi intelektual Muslim di ruang publiksangatlah berpengaruh.

Stelah telah berhasil mencapai partisipasi yang penuh dalamproses politik, banyak intelektual Muslim, terutama merekayang berasal dari generasi keempat dan kelima, yang cenderungkurang terobsesi lagi dengan identitas Islam mereka. TokohIslamis terkenal seperti Amien Rais sekarang lebih bersedia

Page 732: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

712 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

untuk mengakomodasi orang-orang yang memiliki identitas-identitas yang berbeda dalam partainya dan juga tidak terlaluberambisi untuk memberlakukan kembali Piagam Jakarta. Padasaat yang bersamaan, banyak aktivis Islam yang tak lagiberkeberatan untuk bergabung dengan partai-partai non-Muslim.Jadi, figur-figur seperti Zulvan Lindan dan Syaifullah Yusufmerasa tidak berkeberatan untuk bergabung dengan PDIP.Pragmatisme politik ini juga memiliki dampak positifnya. Demikekuasaan, partai-partai Muslim tidak berkeberatan untukmembangun aliansi-aliansi dengan partai-partai non-Islam.Sebagai akibatnya, pembedaan antara partai-partai Muslim danpartai-partai sekuler menjadi kabur.

Partai-partai dan identitas-identitas Muslim sendiri terusbertahan hidup dan pertarungan identitas-identitas politik jugaterus berlangsung. Meski demikian, kesediaan inteligensia Muslimuntuk melupakan masa lalu dan berbagi konsensus bersamamengenai hal-hal yang substansial dengan identitas-identitaslain mulai berkembang. Hal ini merupakan tonggak yang pentingbagi rekonsiliasi nasional.

Sementara itu, bersama surutnya ICMI, sebuah generasi baruinteligensia Muslim muncul, dengan tetap menunjukkankecenderungannya untuk beragam. Generasi baru para aktivisdakwah, yang dipimpin oleh generasi kelima para intelektualMuslim namun sebagian besar anggotanya terdiri dari paraintelektual generasi keenam (sebagian besar lahir pada tahun1970-an/1980-an), setelah terekspos ke dalam kondisi-kondisipost-modern yang mendunia menjadi semakin terinkorporasike dalam jaringan harakah Islam internasional. Meski demikian,mereka ini pun sama sekali tak homogen. Pertarungan danrivalitas masih berlangsung di antara para pengikut harakahyang berbeda-beda mengenai masalah-masalah manhaj (metode

Page 733: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 713

penalaran), jaringan intelektual, dan persaingan memperebutkankepemimpinan. Harakah yang paling berpengaruh di Indonesiaialah harakah yang terinspirasi oleh Ikhwanul Muslimin, yaituKAMMI dan partai politiknya, Partai Keadilan/Sejahtera (PK/S).

Di sisi lain, generasi baru aktivis PMII, yang terpengaruholeh pemikiran liberal Abdurrahman Wahid, mengalami prosesliberalisasi dalam tingkatan yang belum perah terjadi sebelumnya.Sejajar dengan perkembangan ini, gerakan pembaharuan masihterus hidup di bawah kepemimpinan para intelektual mudaIAIN dan NU yang berkolaborasi dengan para intelektual mudasekuler yang ramah Islam dari latar universitas sekuler. Padaawal abad ke-21, tokoh-tokoh muda pembaharuan Islam inimulai mempromosikan Jaringan Islam Liberal (JIL). Paraintelektual dari gerakan ini, seperti Ulil Abshar-Abdalla danSaiful Muzani karena keterbukaannya terhadap kondisi globalpost-modern menjadi lebih dalam apresiasinya terhadap nilai-nilai liberal-sekuler Barat.

Jadi, keterbukaan inteligensia Muslim terhadap kondisi-kondisi post-modern dan semakin dalamnya penetrasi globalisasipada peralihan milenium yang baru menghasilkan sebuahkecenderungan antitetis. Ekstrem yang satu berayun kefundamentalisme Islam, sementara ekstrem yang lain berayunke liberalisme dan sekulerisme Barat. Namun, mayoritas aktivisMuslim masih tetap menganut dan mengembangkan hibriditasdi antara tradisi-tradisi kultural yang berbeda.

Alhasil, energi fundamentalisme Islam akan terus diimbangioleh energi liberalisme Islam. Keragaman internal dalam IslamIndonesia memberi mekanisme bawaannya (built-in) tersendiribagi terciptanya Islam yang moderat. Di bawah kondisi-kondisidemikian, terbuka lebar kemungkinan untuk mentransendensikan

Page 734: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

714 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

perbedaan-perbedaan religio-kultural yang memang tak terelakkan,memperlunak perbedaan-perbedaan itu dan menjadikannyaberada dalam batas toleransi tatanan yang beradab.

KesimpulanMenguatnya presentasi intelektual Muslim di senjakala OrdeBaru dan sesudahnya merefleksikan keterbatasan represi politik.Setiap tindakan represi atau diskriminasi memiliki efek baliknyasendiri. Kekuasaan dan ideologi yang hegemonik cenderungmenciptakan kontradiksi-kontradiksi yang memungkinkankelompok-kelompok yang tersubordinat melakukan penetrasiterhadap ideologi dominan dalam terma-termanya sendiri. Dibelakang ‘tongkat’ represi politiknya, Orde Baru menyediakan‘wortel’ pembangunan ekonomi dan pendidikan.

Seperti yang telah berlangsung pada masa penjajahan kolonial,rasa frustasi ummat Muslim terhadap dunia politik telahmenggeser perjuangan Muslim ke bidang pendidikan dankebudayaan. Sebagai akibatnya, pada tahun 1990-an, inteligensiaMuslim memiliki sebuah keuntungan kompetitif dalam halpendidikan dibandingkan dengan di masa lalu.

Dengan keuntungan kompetitif dalam hal pendidikan itu,para intelektual Muslim dari beragam latar belakang mulaimenuntut partisipasi politik yang lebih besar. Karena programmodernisasi Orde Baru tidak menyertakan perubahan dalamstruktur kekuasaan politik, hasrat inteligensia Muslim akankekuasaan mengharuskan mereka untuk menempuh jalanakomodasionisme dengan struktur kekuasaan yang ada. Untukmemperkuat daya tawarnya, mereka membentuk sebuah ensembleintelektual Muslim yang pada gilirannya melahirkan ICMI.

Dalam kenyataannya, dukungan Suharto terhadap ICMI tidak

Page 735: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 715

diikuti dengan perubahan-perubahan yang signifikan dalamstruktur basis kekuasannya. Sampai kabinetnya yang terakhir,nyata-nyata tak ada satu pun intelektual organik ICMI yangberlatar belakang non-birokrasi yang diangkat sebagai menteri.Hal ini menyebabkan munculnya kekecewaan umum di kalanganpara anggota ‘ICMI yang sesungguhnya’. Saat negara kemudianmenjadi tenggelam dalam krisis ekonomi, yang meruntuhkanfondasi-fondasi legitimasi politik Orde Baru, para intelektualorganik ICMI mulai bergabung dengan gerakan perlawanan.Pengunduran diri Suharto dan kemunculan Habibie sebagaipenggantinya lantas membuka peluang bagi tokoh-tokoh ICMIyang memiliki jejak rekam keislaman yang kuat untuk memperolehkekuasaan dan pengaruh politik yang besar.

Datangnya era reformasi menandai kehadiran yang kuat dariintelektual Muslim sebagai elit politik dan fungsional, sebuahsituasi yang tak pernah terjadi dalam transisi politik manapundalam sejarah Indonesia. Pada saat yang sama, pergaulan paraintelektual Muslim dengan para intelektual yang memilikiidentitas-identitas yang berbeda, terutama selama gerakanperlawanan menentang Orde Baru, telah memberi merekapengalaman baru untuk berhubungan dengan isu ‘kesamaanidentitas dalam perbedaan’ (identity in difference) dan‘keberagaman dalam kebersamaan identitas’ (difference inidentity). Implikasinya, inteligensia Muslim menjadi lebih bersediauntuk berbagi konsensus dalam hal-hal substansial dengankelompok-kelompok politik yang lain. Sejauh keadilan dankebenaran politik (political fairness and correctness) terus terjaga,selama itu pula ada ruang bagi optimisme bahwa Indonesiapada akhirnya akan mencapai keberadaban politik (politicalcivility). []

Page 736: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

716 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Catatan:1 Harian Republika (29 November 1955).2 Dikutip dari A. Schwarz (1994: 197).3 Wakil par excellence dari kelompok Murtopo dalam Golkar, yaitu Jusuf Wanandi, telah

bergeser dari posisinya sebagai Sekretaris Bidang Perencanaan Organisasi dan UrusanUmum (1973-1978) dan Wakil Bendahara (1978-1983) menjadi ketua Bidang LuarNegeri.

4 Selama periode Kabinet Pembangunan Ketiga (1978-1983), jumlah masjid yang disubsidiadalah 8.671, selama Kabinet Pembangunan Keempat (1983-1988), jumlah ini melonjakmenjadi 12.390 (Departemen Penerangan, 1983 & 1988). Selama Kabinet PembangunanKetiga, jumlah ruang kelas (di sekolah-sekolah agama swasta) yang telah direnovasidengan dukungan pemerintah ialah sebesar 26.280; selama Kabinet PembanguanKeempat, angka ini melonjak menjadi 50.734 (Departemen Penerangan 1983 & 1988).

5 Lihat Tempo (8 Desember 1990).6 Dalam kabinet itu, paling tidak ada lima mantan aktivis HMI, yaitu Akbar Tandjung,

Azwar Anas, Saadillah Mursjid, Nasrudin Sumintapura, dan Hasjrul Harahap, selainbeberapa teknokrat santri yang tak punya ikatan kuat dengan kelompok organisasiIslam yang besar manapun, seperti B.J. Habibie, Munawir Sjadzali, Bustanil Arifin,Saleh Afiff, dan Arifin M. Siregar.

7 Undang-Undang ini secara signifikan meningkatkan posisi hukum dan kelembagaandari peradilan agama dengan menetapkan landasan hukum bagi keberadaannya sertameningkatkan derajat dukungan negara terhadapnya. Undang-undang ini juga memperkuatposisi peradilan agama dalam relasinya dengan peradilan umum dengan menghapuskanaturan yang telah ada sejak abad kesembilanbelas yang mewajibkan keputusan-keputusandari peradilan-peradilan Islam untuk diratifikasi terlebih dahulu oleh peradilan umumagar bisa memiliki kekuatan hukum yang tetap. Mengenai perspektif kritis atas UU ini,lihat Cammack (1997).

8 Angka ini tidak mencakup mereka yang mengikuti program non-gelar (seperti diplomaI, II, dan III) dan juga tidak mencakup penduduk Muslim dalam kelompok-kelompokusia yang lain.

9 Kelak, Satira akan menjadi seorang eksekutif senior di Industri Pesawat TerbangNusantara (IPTN), Qadir menjadi Menteri Riset dan Teknologi dalam kabinet Habibie,sementara Ismail menjadi Menteri Kehutanan dalam kabinet Presiden Wahid.

10 Program ini akan diikuti dengan beasiswa-beasiswa lain seperti Science and TechnologyManpower Development (STMDP, 1989-1995) dan Science and Technology for IndustrialDevelopment (STAID, 1990-1998).

11 Mengenai etimologi istilah ini, lihat bab 1.12 Pembangunan Jangka Panjang lamanya 25 tahun.13 Habibie terkenal karena kedekatannya yang khusus dengan Suharto. Kedekatan Suharto

dengannya bersifat pribadi, yang tidak saja mencerminkan peran kecil yang dimainkanoleh Suharto dalam masa kanak-kanak Habibie, namun juga mencerminkan kualitas-kualitas tertentu yang dimiliki Habibie yang membuatnya menjadi anak kesayanganSuharto. Seperti dicatat Elson (2001: 265): ‘Habibie, seperti halnya Suharto, adalahsosok manusia yang berprinsip “bisa mengerjakannya” (‘can do’ man). Suharto jugamengagumi kesediaan Habibie untuk meninggalkan karirnya yang bagus di Jerman

Page 737: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 717

demi mengabdi kepada negaranya. Di atas semua itu, barangkali, Suharto menyukaikesediaan Habibie untuk memuji dan menerimanya.’

14 Industri manufaktur Indonesia dicirikan oleh dominannya keberadaan industri-industrifootloose atau industri-industri dengan kandungan teknologi yang rendah. Jenis industriini sangat bergantung pada tenaga kerja tak terampil dan menyediakan lapangan kerjayang terbatas bagi kalangan berpendidikan tinggi. Pada saat yang sama, untuk paralulusan dalam bidang ilmu-ilmu sosial, jumlah lapangan kerja yang bisa menyerapnyasemakin kecil lagi.

15 Untuk pembahasan lebih jauh mengenai persoalan ini, lihat Y. Latif (1994).16 Sebagaimana dicatat oleh Elson (2001: 268): ‘Seruan itu datang dari para intelektual

sipil yang senior seperti mantan menteri dan kolega dekat, yaitu Mashuri, dan tokohGokar, Marzuki Darusman, maupun dari para pensiunan jenderal seperti Sumitro,Sayidiman Suryohadiprodjo dan Nasution, dan kelompok Petisi 50 dimana Nasutionmenjadi anggotanya (yang, dengan ketidaksukaan Suharto, diundang ke diskusi-diskusidi DPR pada pertengahan tahun 1991)’.

17 Keenam mahasiswa yang dipenjara itu ialah M. Fajrul Rahman, Moh. Jumhur Hidayat,Ammarsyah, Arnold Purba, Bambang L.S., dan Enin Supriyanto.

18 Krisis keuangan Indonesia diawali dengan adanya krisis kepercayaan. Pada mulanya,Thailand melakukan depresiasi atas mata uangnya bath pada bulan Juli 1997. Hal inimembawa ‘efek menular’ sehingga Filipina dan Malaysia juga melakukan depresiasiterhadap mata uangnya. Lalu para investor dan kreditor asing di Indonesia menjadiresah dan berebut menarik diri untuk menghindari efek penularannya ke Indonesia.Efek bola salju dari situasi ini melahirkan krisis ekonomi yang parah di Indonesia (Thee2002: 232).

19 Melemahnya dukungan internasional kepada Suharto ditandai dengan penolakan IMFterhadap proposal penerapan currency board system (CBS) yang diajukan Suharto dantim ekonominya. Mengenai pembahasan lebih jauh mengenai hal ini, lihat Steve H.Hanke (Tempo, 11/05/2003).

20 Mengutip frase Shiraishi (1990: 34): ‘Tirtoadhisurjo menciptakan gaya jurnalistiknyadalam Medan Prijaji, yang bernada militan dan sarkastik... Meskipun nama koran ituMedan Prijaji, namun koran tersebut tak lagi menjadi forum bagi priyayi,...tetapi sepertidikatakan oleh motto koran itu, ‘soeara bagi sekalian Radja-radja, Bangsawan asali danpikiran, Prijaji dan saudagar Boemipoetra dan officier-officier serta saudagar-saudagardari bangsa jang terprentah laennja jang dipersamakan dengan Anaknegri, di seloeroehHindia Olanda’.

21 Aydin merupakan neologisme bahasa Turki untuk menyebut orang-orang yang tercerahkan(para intelektual) yang relatif bebas dari pengaruh-pengaruh Barat. Dalam perkembangankontemporer, istilah itu dipakai secara luas oleh para intelektual Muslim untukmembedakan diri mereka dari para intelektual sekuler yang biasa disebut sebagaientelektüel (Meeker 1994: 86-87)

22 Bolehjadi ada yang berargumen bahwa ICMI tak bisa dianggap sebagai sebuah gerakansosial karena ICMI tidak mengekspresikan semangat progresif. Namun, dalam pengamatanEyerman dan Jamison, gerakan-gerakan sosial tidak harus bersifat progresif dan jugatidak harus terpuji secara moral. Dalam abad keduapuluh, ada beragam gerakan denganwilayah agenda kultural dan politik yang luas, mulai dari fasis dan komunis sampai

Page 738: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

718 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

dengan ‘modernisme reaksioner’ Nazi dan fundamentalisme agama (1998: 10).23 Di antara para anggota CMF ialah Fuad Amsjari, Samsuri Martojoso, Usman Affandy,

Muhammad Usman, Latief Burhan, Nizar Hasjim, Munawar Thohir, dan Sukanto.Wawancara dengan Fuad Amsjari (9/11/2000).

24 Pada kurun waktu itu, Amsjari mengklaim bahwa kelompoknya ini telah memperkenalkannama ‘Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia’ sebagai nama usulan bagi perhimpunanitu. Wawancara dengan Fuad Amsjari (9/11/2000).

25 Di antara para intelektual yang mengikuti pertemuan itu ialah Fuad Amsjari danMohammad Thohir dari Surabaya, Usman Affandy dari Malang, Sahirul Alim dariYogyakarta dan Rahmat Djatnika dari Bandung. Wawancara dengan Fuad Amsjari(9/11/2000) dan Usman Affandy (25/11/2000) dan Muhammad Thohir (27/10/1998).

26 Wawancara dengan Dawam Rahardjo (10/09/1998) dan Ahmad Zacky Siradj (23/09/1998).27 Wawancara dengan Imaduddin Abdulrahim (26/11/1998).28 Wawancara dengan Imaduddin Abdulrahim (26/11/1998) dan dengan salah seorang

pengorganisir acara itu, M. Zaenuri (10/11/2000). 29 Wawancara dengan Dawam Rahardjo (10/09/1998).30 Semuanya merupakan mahasiswa fakultas teknik sekaligus aktivis masjid Raden Patah.31 Untuk Kronologi yang lebih lengkap mengenai upaya-upaya awal mawahasiswa Brawijaya

ini, lihat antara lain Z. Uchrowi dan Usman (2000).32 Wawancara dengan Imaduddin Abdulrahim (26/11/1998).33 Wawancara dengan M. Zaenuri (10/11/2000).34 Wawancara dengan Dawam Rahardjo (10/09/1998).35 Wawancara dengan M. Zaenuri (10/11/2000).36 Achmad Tirtosudiro dekat dengan Habibie sejak dia menjadi Duta Besar Indonesia

untuk Republik Federal Jerman (1973-1976). Pada saat itu, Habibie telah dikenalsebagai seorang teknolog Indonesia yang luar biasa dan menjadi Wakil Presidenperusahaan pesawat terbang Jerman, MBB (1974-1978).

37 Sudharmono memiliki latar belakang dalam hukum militer dan tak pernah memimpinpasukan.

38 Hasil dari manuver Murdani ini muncul pencalonan fraksi PPP terhadap Djaelani Naro(mantan tangan kanan Murtopo) sebagai wakil presiden, namun kemudian mengundurkandiri pada saat-saat terakhir setelah mendapat tekanan berat dari Suharto.

39 Kelompok kepentingan secara umum didefinisikan sebagai organsiasi-organisasi, ‘yangberdiri di luar pemerintah, meski seringkali bermitra dekat dengan pemerintah, dalamupayanya mempengaruhi kebijakan publik’ (Wilson 1990: 1).

40 Istilah ‘the real ICMI’ sesungguhnya merupakan sebutan yang muncul sebagai klaimsendiri. Istilah itu secara umum diasosiasikan dengan para aktivis Islam dari latarbelakang non-birokratik. Termasuk di dalamnya para dosen universitas (terutama paraeksponen gerakan dakwah), para aktivs NGO, ulama-intelek, para seniman danpengusaha Islam. Para dosen universitas negeri yang tak memiliki ‘jabatan struktural’(seperti rektor, dekan dsb) tak dianggap sebagai birokrat. Para fungsionaris Golkardianggap sebagai birokrat. Jadi, ‘the real ICMI’ pada intinya merujuk pada mereka yangbelum sepenuhnya masuk ke dalam dunia politik dan birokrasi Orde Baru.

41 Wawancara dengan birokrat tangan kanan Habibie, Wardiman Djojonegoro (01/09/1998).

Page 739: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 719

42 Untuk tujuan studi ini, saya telah meminta pusat kliping dari Center for Strategic andInternational Studies (CSIS) Jakarta untuk mengumpulkan semua artikel mengenai‘intelektual’ yang judulnya mengandung kata-kata ‘intelektual’, ‘cendekiawan’, dan‘inteligensia’ yang dimuat oleh koran-koran Jakarta pada tahun 1980-an dan 1990-an.Koran-koran Jakarta itu ialah Angkatan Bersenjata, Berita Buana, Bisnis Indonesia,Jakarta Post, Kompas, Media Indonesia, Merdeka, Pelita, Republika, Sinar Harapan/SuaraPembaruan, dan Suara Karya.

43 Ketigabelas intelektual Kristen itu ialah Mudji Sutrisno, Parakitri, Th. Sumartana (duaartikel), Alex Dungkal, Anton Hagul (dua artikel), William Liddle, Adrianus Suyadi, L.Wilardjo, F.H. Santoso, F.M. Parapat, Ignatius Haryanto, Ignas Kleden, dan P.J.Suwarno.

44 Penulis yang bisa digolongkan berasal dari kalangan intelektual sekuler ialah AdigSuwandi, Prasetya Irawan, Hendardi, Koentjaraningrat, Ahmad Bahar, Julia I. Suryakusuma,Hermanto E. Djatmiko, Harimurti Kridalaksana, A.H. Pudjaatmaka, Saratri Wilonoyudho,Budhi Susanto, Usadi Wiryatnaya, dan Jiwa Atmaja.

45 Suara dari kalangan intelektual NU dan lingkaran intelektual Abdurrahman Wahiddiwakili oleh Mohammad Sobary (3 artikel), Mohammad Fajrul Falaakh (2 artikel) danAli Masykur Musa.

46 Tulisan para anggota ICMI dan para intelektual Muslim lainnya ditulis oleh BambangPranowo, Aldrian Munanto, Samsul Hadi, Hajrianto Y. Thohari, Muchtar Sarman,Novel Ali, Abdul M. Mulkan (dua artikel), Mubyarto, Heru Nugroho, Tajuddin NoerEffendi, dan Mochtar Buchori.

47 Keduabelas intelektual ICMI tersebut ialah Adi Sasono, Kuntowijoyo (2 artikel), NasirTamara (2 artikel), M. Dawam Rahardjo (3 artikel), Fachry Ali (3 artikel), M. RusliKarim, Aslam Nur, Baharuddin Lopa, Anwar Harjono, Sutjipto Wirosardjono, NovelAli dan Affan Gafar. Tulisan dari para intelektual non-Muslim ditulis oleh Victor I.Tanja, sementara sisanya ditulis oleh para aktivis lainnya (Afnan Malay, Yudi Latif, danFachri Hamzah).

48 Di antara para intelektual terkemuka yang bergabung dengan Forum Demokrasi ialahAbdurrahman Wahid, Bondan Gunawan, Djohan Effendi, Y.B. Mangunwidjaja, TodungMulya Lubis, Rahman Tolleng, Marsilam Simanjuntak, Daniel Dhakidae, Mudji Sutrisno,D. Riberu, Franz Magnis Suseno, Arief Budiman, Ghafar Rahman, Aswab Mahasin danSutjipto Wirosardjono (dua nama yang terakhir merupakan anggota ICMI). Masuknyadua nama anggota ICMI itu berguna untuk menghindarkan kesan bahwa ForumDemokrasi dibentuk untuk beroposisi secara langsung dengan ICMI.

49 Tolleng bergabung dengan Forum Demokrasi yang sangat kritis terhadap ICMI,sementara Silalahi mengkritik para intelektual ICMI karena ketidaksanggupan merekauntuk membaca motif-motif politik Suharto di balik pendirian ICMI. Mengenai kritikSilalahi dalam konteks ini, lihat Ramage (1995: 85).

50 Mengenai pembahasan lebih jauh mengenai kritik militer terhadap ICMI , lihat Ramage(1995: 122, 155).

51 Dikutip dari Ramage (1995: 127).52 Wawancara (via e-mail) dengan Abdurrahman Mas’ud, seorang intelektual NU yang

bergabung dengan ICMI (15/11/1999).53 Saya menyediakan surat dan perangko balasan untuk memudahkan para responden

Page 740: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

720 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

untuk mengembalikan kuesioner tersebut.54 Keterlibatan dalam HMI dan gerakan dakwah sebagai sebuah pra-kondisi bagi

bergabungnya beberapa intelektual NU dari latar belakang keluarga NU diakui olehMuhammad Thohir dan Muhammad Nuh, dua fungsionaris dari latar belakang NU danHMI. Wawancara dengan Muhammad Thohir (27/10/1998) dan Muhammad Nuh(11/11/2000).

55 MAFIKIBB merupakan kependekan dari Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan BahasaInggris.

56 IIFTIHAR diorganisir oleh ICMI bekerja sama dengan Rabithat Al-Alam Al-Islami,Islamic Development Bank, International Federation of Arabic and Islamic Schools,Commission on the Scientific Miracle of the Qur’an and the Sunna, dan InternationalInstitue of Islamic Thoughts.

57 Azwar Anas merupakan mantan Menteri Perhubungan pada Kabinet pembangunanLima. Pada Kabinet Pembangunan Enam, dia diangkat sebagai Menteri KoordinatorKesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan. Beddu Amang merupakan mantanDeputi Kepala Bulog dan diangkat sebagai Menteri Pangan dan Kepala Bulog. Harmokodiangkat kembali sebagai Menteri Penerangan untuk ketiga kalinya. Saleh Afiff merupakanmantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Ngeara pada Kabinet Pembangunan Keempat,mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional pada Kabinet Pembangunan Lima,dan diangkat sebagai Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri. Sujudimerupakan mantan Rektor UI dan diangkat sebagai Menteri Kesehatan. Tarmizi Tahermerupakan mantan deputi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)sejak tahun 1983 dan diangkat sebagai Menteri BKKBN.

58 Wawancara dengan Wardiman Djojonegoro (01/09/1998).59 Harmoko pada saat adalah Ketua Umum Golkar (1993-1998) dan memobilisasi

dukungan Golkar bagi pencalonannya sebagai Wakil Presiden. Pada saat yang sama,sebuah faksi dalam tubuh ABRI mencalonkan Jenderal Hartono.

60 Beberapa menteri lainnya yang diangkat dalam Kabinet Pembangunan Tujuh termasukdalam kepengurusan ICMI, namun pengangkatan mereka itu hanya mencerminkansikap akomodasionisme ICMI dengan mereka yang memegang kekuasaan dalambirokrasi. Dalam ICMI, mereka ini menjabat dalam Dewan Pembina atau DewanPenasehat. Menteri-menteri itu ialah para anggota nominal ICMI yang meliputi HartartoSastrosunarto (Menteri Koordinator Pengawasan dan Pendayagunaan Aparatur Negara),Ginandjar Kartasasmita (Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri),Harjono Sujono (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan PemberantasanKemiskinan), Ali Alatas (Menteri Luar Negeri), Mohammad Hasan (Menteri Perdagangandan Perindustrian), Abdul Latief (Menteri Pariwisata, Seni, dan Kebudayaan), SubaiktoTjakrawerdaya (Menteri Koperasi dan Usaha Kecil), dan Akbar Tandjung (MenteriUrusan Perumahan Rakyat).

61 Dalam kepengurusan ICMI periode kedua (1995-2000), Habibie yang terpilih kembalisebagai Ketua mulai merespons sebagian desakan para aktivis ‘the real ICMI’ agardiadakan jabatan sekretaris jenderal dengan membentuk posisi ‘sekretaris umum’.Sebutan yang kurang prestisius dibandingkan dengan ‘sekretaris jenderal’ ini, diberikankepada Adi Sasono (juru bicara ICMI yang sesungguhnya).

62 Kompas (07/05/1998), Republika (07/05/1998).

Page 741: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Pasang Surut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) | 721

63 Wawancara dengan Nurcholish Madjid (18/09/1998). Lihat juga O’Rourke (2002:127).

64 Untuk deskripsi rinci dari peristiwa-peristiwa ini, lihat O’Rourke (2002: 121-135).65 Lihat Jakarta Post (13 Juni 1998) dan juga O’Rourke (2002: 147).66 Berdasarkan pernyataan Achmad Tirtosudiro di hadapan rapat Dewan Pengurus Harian

ICMI pada tanggal 14/08/1998.67 Lihat Jakarta Post (30 Juni 1998).68 Segera setelah pengunduran diri Suharto, seorang intelektual Protestan terkemuka yang

telah bergabung dengan MAR, yaitu almarhum Th. Sumartana, mengundang AmienRais untuk memberikan ceramah di hadapan para pendeta Protestan di Solo. Begituusai acara tersebut, Amien ditanya oleh salah seorang sejawatnya, Samsul RizalPanggabean, mengenai apa yang dia rasakan saat dia berceramah di dalam gereja. Diamenjawab: ‘Saya merasa seperti pengantin baru. Saya seharusnya melakukan hal inisejak dulu’. Perbincangan dengan Samsul Rizal Panggabean (14/08/1998).

69 Wawancara dengan Marwah Daud Ibrahim (01/10/1999) dan dengan Tata RahmitaUtami, manajer sekretariat ICMI yang mengikuti pertemuan-pertemuan itu (01/10/1999).

70 Alasan utama partai-partai di MPR untuk menolak pidato pertanggungjawaban presidenHabibie ialah karena keputusan Habibie untuk menawarkan referendum bagi penentuannasib sendiri rakyat Timor Timur tanpa persetujuan DPR.

71 Dini hari setelah ditolaknya pidato pertanggungjawaban Habibie, diadakan sebuahpertemuan di rumah Habibie (di Kuningan) yang diikuti antara lain oleh AkbarTandjung, Amien Rais, dan Marwah Daud Ibrahim. Pada pertemuan ini, Akbar membujukHabibie untuk tidak mundur dari pertarungan kepresidenan dengan janji bahwa diaakan mengkonsolidasikan dukungan Golkar. Habibie menolak berbuat demikian danmenunjuk Amien Rais sebagai gantinya. Amien Rais menolak tawaran Habibie atasdasar alasan etis bahwa dia baru saja diangkat sebagai ketua MPR dan telah mencalonkanAbdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Akhirnya, Akbar Tandjung memutuskanuntuk ikut dalam persaingan menjadi presiden. Namun, dia gagal memenuhi persyaratanformal pencalonan sebelum masa tenggat pada tanggal 15 Oktober 1999. Wawancaradengan Marwah Daud Ibrahim (16 Oktober 1999).

72 Para menteri yang berlatar belakang ICMI ialah Yusril Ihza Mahendra, Jusuf Kalla,Nurmahmudi Ismail, Yahya Muhaimin, Tolchah Hasan dan Hasballah M. Saad. Menteri-menteri yang berafiliasi ke ICMI secara nominal ialah Alwi Shihab dan JuwonoSudarsono.

73 Kuatnya pengaruh lobi intelektual Muslim juga ditunjukkan oleh disetujuinya Undang-undang Pendidikan tahun 2003 oleh DPR dan Presiden, yang di antara isinya memuatkewajiban diberikannya pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri dan swasta dankewajiban setiap siswa untuk mendapatkan pelajaran agama dengan guru yang berlataragama yang sama.

74 Para intelektual Muslim juga memegang peran-peran yang dominan dalam (strukturkepengurusan baru) Komisi Pemilihan Umum (KPU), (struktur kepenguruan baru)Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Mahkamah Konstitusi yang barudibentuk dan komisi-komisi independen baru lainnya yang memainkan peran pentingdalam menentukan wajah perpolitikan nasional di masa depan.

Page 742: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

722 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 743: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 723

BAB 7

KESIMPULAN

Tatkala aku tiba pada pertanyaan, makna apakah gerangan yang membuat mereka tergoda oleh dorongan-dorongan nafsu

politik ini, kutemukan tampaknya merupakan paduan duakehendak esensial manusia untuk menempatkan

dirinya dalam kehidupan nyata. Menginginkan kehidupan nyata itu sendiri

berarti ingin (a) memiliki keuntungan-keuntungan material,dan (b) untuk sadar akan dirinya sebagai individu...

merasa berbeda dari orang-orang yang lain...Julien Benda (1928)1

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka ke mana pun kamu mengahadap, di situlah wajah Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha MengetahuiQS Al-Baqarah (2): 115

Tatkala sebuah abad dan studi berakhir adalah momen yangbaik untuk melakukan retrospeksi dan refleksi. Peralihan keabad 21 memang sekadar peristiwa perubahan angka tahunsaja, yang tidak dengan sendirinya mengandung makna historisyang signifikan. Namun, dalam konteks Indonesia, peristiwa-peristiwa sejarah yang berlangsung pada fajar abad baru itumembersitkan kesejajaran dengan peristiwa-peristiwa sejarah

Page 744: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

724 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

yang berlangsung pada fajar abad ke-20.

Krisis ekonomi Liberal di Hindia Belanda pada penghujungabad ke-19 menjadi pendorong bagi terjadinya perubahan rezimdi negeri Belanda, dan ini menandai awal era ‘reformasi’ Etis dinegeri jajahan. Dalam pidatonya dari tahta kekuasaan padatahun 1901, Ratu Wilhelmina berjanji bahwa negeri Belandaakan mewujudkan tanggung jawab etisnya kepada rakyat HindiaBelanda. Pendidikan dan kesejahteraan sosial dipandang sebagaikewajiban moral pemerintah Belanda. Hal ini mempercepatformasi inteligensia sebagai elit baru dalam masyarakat HindiaBelanda.

Selain krisis ekonomi dan perubahan rezim, fajar menjelangabad ke-20 juga ditandai oleh masuknya paham reformisme-modernisme Islam yang mengimbangi pendalaman arus sekulerismeBarat dalam dunia kehidupan Hindia Belanda. Arus-arus intelektualbaru yang berkompetisi ini dalam perjumpaannya dengan tradisi-tradisi intelektual pribumi yang telah mapan membawa dampakyang besar bagi formasi inteligensia Hindia Belanda. Beberapaanggota komunitas inteligensia tertarik oleh sekulerisme Barat,sementara yang lain tertarik oleh paham reformisme-modernismeIslam. Namun, sebagian besar dari mereka tertarik pada prosespenyesuain dan penerjemahan lintas budaya (translation), denganmerayakan hibriditas dan sinkretisme – fusi di antara arus-arusintelektual dan tradisi-tradisi kultural yang berbeda-beda.Keragaman respons ini dalam kombinasinya dengan perbedaan-perbedaan dalam basis dukungan sosio-ekonomi melahirkanberagam tradisi intelektual dan politik dari inteligensia HindiaBelanda/Indonesia.

Seabad kemudian, krisis ekonomi Orde Baru pada penghujungabad ke-20 menyebabkan terjadinya perubahan rezim, yang

Page 745: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 725

menandai awal dari era Reformasi ‘etis’ baru di Indonesia.Dalam pidatonya dari gedung DPR di masa-masa peralihan keabad ke-21, para pemimpin inteligensia-politisi—yang dalambeberapa hal bisa dikatakan sebagai penerus dari Kaum EthiciBelanda—menjanjikan bahwa pemerintah akan mewujudkantanggung jawab etisnya terhadap rakyat Indonesia. Pendidikandan kesejahteraan sosial sekali lagi dipandang sebagai kewajibanmoral pemerintah selain tanggungjawabnya untuk membasmipraktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Hampir seratus tahun setelah penerapan Politik Etis Belanda,banyak rezim silih berganti, sistem demi sistem ekonomi danpolitik jatuh bangun, dan generasi demi generasi inteligensiaIndonesia telah berlalu. Namun inteligensia Indonesia masihtetap menjadi inti dari elit politik Indonesia. Meskipun prestisesosial inteligensia telah merosot sebagai akibat dari ledakankuantitatif dari orang-orang terdidik, mentalitas dasar dariinteligensia saat ini masih merefleksikan sikap priyayi di masalalu: elitisme. Di bawah semangat elitisme, populisme masihtetap kuat sebagai kesadaran diskursif, namun lemah sebagaikesadaran praktis.

Karena kontrol inteligensia secara de facto atas modusproduksi kapitalis swasta lemah, mentalitas elitisme ini mendoronginteligensia untuk tenggelam dalam dunia politik. Situasi initampak lebih jelas pada masa-masa krisis ekonomi. Individu-individu dan kelompok-kelompok inteligensia saling bersainguntuk menguasai kendali atas ekonomi dan birokrasi negara.Posisi-posisi politik dan birokrasi tingkat atas terus dianggapsebagai puncak dari karir seorang ‘intelektual’. Dalam menghadapisebuah rezim politik yang represif, diskursus intelektual mengenai‘intelektual’ seringkali didominasi oleh pandangan platonik ala‘Bendaian’ tentang intelektual yang semestinya sebagai orang

Page 746: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

726 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

luar dalam politik, hidup di pengasingan menara gadingnyasendiri dan di tepian masyarakat. Namun segera setelah rezimberganti, sebagian besar dari mereka yang disebut sebagaiintelektuil atau cendekiawan—bahkan mereka yang menjadipenganjur independensi intelektual—disapu oleh godaan kekuasaanpolitik.

Selain krisis ekonomi, pergantian rezim dan keasyikaninteligensia dengan politik, fajar abad ke-21 ditandai olehpendalaman penetrasi fundamentalisme Islam global, bersejalandengan pendalaman penetrasi budaya-massa global dan nilai-nilai liberal Barat. Sejumlah anggota komunitas inteligensiaterobsesi dengan gagasan mengenai kemurnian, kesatuan dankepastian Islam, sementara yang lainnya tertarik dengan nilai-nilai Barat yang liberal. Namun, mayoritas dari mereka masihlebih tertarik dengan usaha menciptakan hibriditas—yaitu fusiantara tradisi-tradisi kultural yang berbeda-beda. Perbedaandalam orientasi kultural ini sekali lagi memberikan kontribusiterhadap kemunculan pluralitas identitas-identitas kolektif dariinteligensia Indonesia.

Dari waktu ke waktu, perjuangan demi kepentingan-kepentingan material-politik dan perjuangan demi makna danidentitas telah menjadi jantung pergulatan kuasa dari komunitasinteligensia, meskipun aspek-aspek dari kepentingan meterial-politik serta konstruksi makna-identitas itu bisa berubah seiringdengan proses historisasi dan transformasi. Dari waktu ke waktu,krisis ekonomi telah menjadi pendorong utama bagi terjadinyaperubahan politik dan rezim, sementara perubahan dan tantanganpolitik sendiri menjadi faktor utama dalam proses perubahanpemikiran dan gerakan keagamaan.

Karena inteligensia merupakan elit penguasa dalam masyarakat

Page 747: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 727

Indonesia, kehidupan intelektual selalu menjadi jantung utamadari konflik dan perpecahan sosial. Ini tidak untuk menyatakanbahwa kesepakatan tak pernah tercapai. ‘Konflik intelektual’,kata Randall Collins, ‘selalu dibatasi oleh fokus perhatian padatopik-topik tertentu, serta oleh usaha untuk mencari sekutu...Konflik merupakan sumber energi dari kehidupan intelektual,dan konflik intelektual dibatasi oleh dirinya sendiri’ (Collins1998: 1).

Konflik-konflik ideologis di antara tradisi-tradisi intelektualyang berbeda-beda yang dianut inteligensia tidak mesti mengarahpada usaha untuk saling menafikan, karena mungkin saja hal itumengarah pada usaha untuk saling mendekat. Konflik-konflikideologis antara generasi pertama inteligensia Muslim modernisdengan inteligensia komunis, misalnya, mendorong perumusan‘sosialisme Islam’, yang sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Marxis. Dalam perbauran antar beragam tradisiintelektual dan politik, pandangan-pandangan yang bersifatradikal dan puritan terhela ke arah pemikiran-pemikiran yanglebih moderat, sementara pandangan-pandangan konservatifterdesak untuk mengadopsi elemen-elemen tertentu daripandangan-pandangan radikal dan puritan. Selain itu, variasiinternal dalam tubuh Islam sendiri mencegah kehadirannyadalam politik untuk menjadi monolitik. Pertarungan internaldalam tubuh Islam yang berkombinasi dengan kepentingan-kepentingan politik pragmatis memaksa kelompok-kelompokIslam tertentu untuk membangun aliansi-aliansi dengan kelompok-kelompok politik di luar tradisi-tradisi intelektual dan politikIslam.

Lebih jauh lagi, identitas-identitas sosial dari inteligensiatidak hanya didefinisikan oleh orientasi keagamaannya, namunjuga oleh beragam kerangka relasi kehidupan (seperti kelas,

Page 748: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

728 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

etnik, status pendidikan dan sebagainya). Jadi, selalu ada elemen-elemen sosial yang saling bersinggungan—membangun irisanbersama antar beragam kelompok inteligensia—serta peluanguntuk melakukan afiliasi-ganda (multiple-affiliations). Semuaini memungkinkan terciptanya ‘blok-blok historis’ (historicalblocs). Jika tidak, Indonesia tak akan pernah ada. Ringkasnya,inteligensia Indonesia terus hadir sebagai suatu ekspresi kolektifdalam arti ‘suatu kesamaan identitas dalam perbedaan’ (identityin difference) dan ‘keberagaman dalam kebersamaan identitas’(difference in identity).

Dengan demikian, pembentukan dan perkembangan inteligensiaMuslim tidak bisa lepas dari kehadiran dan pengaruh darikelompok lain yang penting (significant others). Persepsi Muslimyang berbeda-beda atas ‘kelompok lain’ akan melahirkan strategi-strategi kuasa dan formulasi-formulasi identitas yang berbeda-beda dalam tubuh inteligensia Muslim. Jadi, bagaimanapunkuatnya gairah kaum fundamentalis yang suka bernostalgiauntuk mencapai kemurnian dan kepastian, tak akan bisa terlepasdari proses imitasi dan ketidakpastian.

Sepanjang abad ke-20, kaum Muslimin Indonesia telahberhadapan dengan tantangan serius dari begitu cepatnya arusmodernisasi dan sekularisasi yang telah mengubah beberapaaspek fundamental dari sistem religio-politik mereka. Di sisilain, menguatnya pengaruh Islam dalam medan pendidikan danwacana publik dan terus munculnya partai-partai politik dangerakan-gerakan Muslim juga merupakan sebuah fakta. Dialektikaantara sekularisasi dan Islamisasi terus berlanjut menjadi isuutama dari politik dan masyarakat Indonesia, dan kedua prosesitu berlangsung secara simultan.

Pengakuan akan adanya kontinuitas ini tidak berarti

Page 749: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 729

mengabaikan adanya diskontinuitas. Pada awal abad ke-20,negara Hindia Belanda masih merupakan sebuah negara kolonialyang mempraktikkan relasi-relasi kuasa secara satu arah (ataudominasi); pendidikan masih merupakan suatu hak istimewabagi kelompok-kelompok status (status groups) tertentu, sementarainteligensia masih merupakan sebuah strata sosial baru yangprestisius; ruang publik terbatas dalam tingkatan kebebasan dandalam kuantitas partisipannya, sementara praktik-praktik diskursifdalam ruang publik pada awalnya terpusat pada isu-isu mikro-kultural. Pada akhir abad ke-20, negara Orde Baru yanghegemonik runtuh, diikuti oleh berdirinya negara Orde Reformasidi mana relasi-relasi kuasa sebagai ‘permainan-permainan strategisdi antara pihak-pihak yang merdeka’ berlangsung pada tingkatanyang belum pernah ada sebelumnya; dunia pendidikan secarateoretis bisa dimasuki oleh semua warga negara, sementaraprestise sosial dari inteligensia mulai merosot; ruang publikmemiliki tingkat kebebasan dan partisipasi yang tinggi yangbelum pernah terjadi sebelumnya, sementara praktik-praktikdiskursif jumbuh oleh isu-isu politik, di mana inteligensia dariberagam disiplin ilmu berlaga seolah-olah pakar dalam analisispolitik.

Antara awal dan akhir abad ke-20, generasi demi generasiinteligensia muncul silih berganti. Setiap generasi hadir denganperbedaan dalam kerangka pikir dan minat-minat pengetahuan,perbedaan dalam akses dan prestasi pendidikan, perbedaandalam peluang-peluang politik, perbedaan dalam wacana dominandan derajat partisipasi di ruang publik, perbedaan dalam kode-kode simbolik, serta perbedaan dalam ideologi dan identitas.Dengan kata lain, di sepanjang gerak kontinuitas yang bersifatdiakronik, terjadi perubahan-perubahan yang bersifat sinkronik.

Sejauh perhatian kita difokuskan kepada inteligensia Muslim,

Page 750: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

730 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

pendekatan dinamis dari studi ini menunjukkan bahwa disepanjang abad ke-20, terdapat jaringan diakronik intelektualMuslim yang bersifat lintas generasi, yang memungkinkanterciptanya kontinuitas tradisi-tradisi politik dan intelektualMuslim. Pendekatan interaktif dari studi ini menunjukkan bahwaformulasi ideologis dan strategi-strategi kuasa dari sebuahgenerasi inteligensia Muslim tak bisa dilepaskan dari adanyapengaruh generasi sebelumnya, dari kehadiran kelompok lainyang penting, serta dari interplay antar beragam medan relasikuasa. Pendekatan intertekstual dari studi ini menunjukkanadanya interdependensi dari teks-teks antar generasi inteligensiaMuslim dan adanya kesalinghungan antar beragam teks maupunantara formasi-formasi diskursif dan non-diskursif. Semua inibisa dilihat dalam pembahasan berikut.

Kontinuitas dalam Perkembangan HistorisInteligensia MuslimSepanjang abad ke-20, kesadaran kaum Muslimin akan relatifkecilnya jumlah inteligensia Islamis dan akan kuatnya pengaruhkaum terpelajar dalam kontestasi perjuangan politik mendorongsetiap generasi inteligensia Muslim untuk berusaha mewujudkansebuah proyek historis yang sama, yaitu ‘Islamisasi kaum terpelajarIndonesia’. Sampai tahun 1970-an, proyek ini dijalankan terutamalewat usaha ‘modernisasi’ terhadap institusi-institusi dan cara-cara berekspresi Islam. Namun, pada awal-awal tahun 1980-an,dengan tersebar luasnya teknologi dan peradaban-peradabanmodern di dunia Muslim bersejalan dengan semakin dalamnyapenetrasi fundamentalisme Islam secara global, telah membuatbeberapa segmen generasi inteligensia Muslim bergeser daripendekatan ‘modernisasi’ Islam menuju ‘Islamisasi’ modernitas.

Page 751: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 731

Sepanjang abad ke-20, institusi-institusi, tradisi-tradisi danidentitas-identitas kolektif intelektual yang terstruktur secarahistoris dan diwarisi dari generasi-generasi inteligensia sebelumnyamenjadi pijakan bagi upaya reproduksi dan reformulasi institusi-institusi, tradisi-tradisi dan idnetitas-identitas tersebut olehgenerasi berikutnya. Karena adanya kesalingterkaitan dankesalingbergantungan pemikiran dan wacana intelektual Muslimantar generasi, maka sesungguhnya tak ada originalitas dalamide-ide dari generasi tertentu.

Mata-rantai intelektual dan institusional dalam jangka panjangdari inteligensia Muslim ini bisa dilihat dalam Gambar 2: SkemaGenealogi Inteligensia Muslim. Skema tersebut hanyamerepresentasikan’tipe-tipe ideal’ (ideal types) ala Weberian;yaitu suatu konstruk analitis yang dalam detilnya boleh jadiberkorespondensi atau tidak berkorespondesnsi dengan kenyataan-kenyataan aktual. Meski begitu, konstruk tersebut bergunauntuk membantu kita menganalisa pola umum dari genealogi-genealogi intelektual dan institusional dari inteligensia Muslim.

Genealogi dari inteligensia Muslim Indonesia berakar padamunculnya prototip ulama-intelek dan intelek-ulama. SyeikhAchmad Khatib bisa disebut sebagai prototip dari ulama-intelek(‘clerical-inteligentsia’) Indonesia. Sebelum melanjutkan studike Mekkah, dia pernah mengenyam pendidikan Barat. Namun,yang menjadi kepedulian dan erudisi utamanya ialah pengetahuanagama. Sementara Agus Salim bisa disebut sebagai prototipintelek-ulama Indonesia. Latar belakang pendidikannya yangutama ialah sekolah Barat (yaitu HBS, sekolah prestisius padamasanya). Namun dia sanggup mengembangkan pengetahuanagamanya saat berada di Mekkah di bawah bimbingan AchmadKhatib. Selain terpelajar dalam pengetahuan saintifik modern,dia juga fasih dalam pengetahuan agama.

Page 752: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

732 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Khatib memiliki pengaruh terhadap gerakan-gerakan intelektualIslam lewat para muridnya. Beberapa dari muridnya kemudianmenjadi para pemimpin dari gerakan-gerakan reformisme-modernisme Islam, seperti misalnya Mohd. Tahir b. Djalaluddin,M. Djamil Djambek, Abdullah Achmad, Abdul Karim Amrullah(Hadji Rasul), M. Thaib Umar (dari Sumatra Barat), dan AchmadDachlan (dari Yogyakarta), sementara beberapa yang lain menjadipara pemimpin gerakan-gerakan tradisionalisme Islam sepertiSyeikh Sulaiman al-Rasuli (dari Sumatra Barat) dan HasjimAsj’ari (dari Jawa Timur). Beberapa murid Khatib pernahmengenyam pendidikan sekolah-sekolah dasar Barat, sepertiDjamil Djambek dan Abdullah Achmad, dan terutama AgusSalim, sementara beberapa yang lain belajar bahasa danpengetahuan Barat secara otodidak. Terpelajar dalam pengetahuanagama, tapi juga melek dalam pengetahuan modern, kebanyakanmurid Khatib yang disebut di sini merupakan generasi pertama‘ulama-intelek’ Hindia Belanda.

Generasi pertama ulama-intelek dari kaum reformis-modernis(RM) menjadi pionir dalam pendirian madrasah, organisasi-organisasi Islam modern, penerbitan-penerbitan dan institusi-institusi modern lainnya. Organisasi pendidikan dan kulturalyang paling terkemuka dalam jalur reformis-modernis ialahMuhammadiyah di Jawa dan Sumatra Thawalib di SumatraBarat. Mengikuti jejak ulama-intelek dari kaum reformis-modernis, beberapa saat kemudian, generasi pertama ulama-intelek dari kaum tradisionalis (T) seperti Wahab Chasbullahdari Jawa dan Siradjuddin Abas di Sumatra Barat menjadipelopor bagi pendirian madrasah di lingkungan kaum tradisionalis.Pusat percontohan dari sekolah Islam modern di lingkungankaum tradisionalis ialah madrasah Salafiyah Syafi’iyah dariPesantren Tebuireng (Jawa Timur) di bawah kepemimpinan

Page 753: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 733

Kyai Ma’sum dan kemudian Mohammad Iljas. Organisasi-organisasi awal yang terkenal dari kalangan tradisionalis ialahNahdlatul Ulama di Jawa dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah(Perti) di Sumatra Barat.

Sementara itu, Salim dan para anggota lain dari generasipertama inteligensia Muslim (MI), seperti Tjokroaminoto, AbdulMuis dan Surjopranoto, memelopori berkembangnya gerakan-gerakan politik Islam modern lewat peranan utama merekadalam kepemimpinan Sarekat Islam (SI) dan partai-partai politikIslam awal lainnya.

Keterkaitan intelektual antara generasi pertama dan keduaulama-intelek dimediasi oleh madrasah dan institusi-institusiIslam modern lainnya. Selain itu, perhimpunan-perhimpunanmahasiswa Indonesia di Timur Tengah, terutama di Mesir(Djama’ah al-Chairiah), juga memainkan peranan penting sebagailahan persemaian generasi kedua ulama-intelek. Tokoh-tokohutama dari Djamaah al-Chairiah adalah Muchtar Lutfi,Fathurrahman Kafrawi, dan Kahar Muzakkir. Saat kembali ketanah air, Lutfi memainkan peran penting dalam mengubahSumatra Thawalib menjadi organisasi politik yang pertama diSumatra Barat, yaitu Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI);sementara Kafrawi bergabung dengan NU, dan terlibat dalampendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) dan partai Masyumi; danKahar Muzakkir bergabung dengan Muhamadiyah, menjadidirektur pertama STI dan juga terlibat dalam partai Masyumi.

Keterkaitan intelektual antara generasi pertama dan keduainteligensia Muslim dimediasi oleh partai-partai politik Islam,asosiasi-asosiasi (Masyumi [sebelum menjadi partai]), danperhimpunan-perhimpunan pelajar. Yang dimaksudkan di siniialah bahwa para anggota generasi kedua inteligensia Muslim

Page 754: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

734 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

ini pernah terekspos ke dalam partai-partai dan perhimpunan-perhimpunan generasi pertama, sementara para intelektual(organik) generasi pertama mempengaruhi generasi kedua dalamproses pendirian dan aktivitas-aktivitas perhimpunan pelajar.Saluran-saluran utama bagi transmisi ideologi dan tradisiintelektual dari generasi pertama ke generasi kedua inteligensiaMuslim ialah Jong Islamieten Bond (JIB) dan Studenten IslamStudieclub (SIS). Seorang pelopor dari generasi kedua inteligensiaMuslim ialah Sukiman Wirjosandjojo, yang merupakan intelektualpertama Muslim yang memiliki latar belakang pendidikanuniversitas di negeri Belanda. Sementara para intelektual palingterkemuka dari generasi kedua inteligensia Muslim ialahSamsuridjal, Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo,Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Jusuf Wibisonodan M. Rasjidi. Di antara mereka, Mohammad Natsir-lah yangpaling terkenal.

Generasi pertama ulama-intelek dari kaum reformis-modernismemberikan kontribusi yang signifikan terhadap formasi generasikedua inteligensia Muslim. Melek pengetahuan keislaman darigenerasi kedua ini dimungkinkan karena ekposur mereka terhadapmadrasah, publikasi-publikasi, serta aktivitas dakwah dari ulama-intelek dari kaum reformis-modernis.

Generasi pertama ulama-intelek dari kaum tradisionalis (T)hanya memberikan kontribusi yang kecil terhadap pembentukangenerasi kedua inteligensia Muslim. Lingkup pengaruhnya secaraumum terbatas hanya pada generasi kedua ulama-intelektradisionalis. Tokoh-tokoh utama dari generasi kedua ulama-intelek tradisionalis ialah Wachid Hasjim, Fathurrahman Kafrawidan Mohammad Iljas. Selain terpelajar dalam pengetahuanagama, Hasjim belajar otodidak bahasa-bahasa Eropa danpengetahuan saintifik modern; sementara Kafrawi adalah lulusan

Page 755: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 735

Al-Azhar (Kairo) yang memperoleh baik pengetahuan agamamaupun umum, sementara Iljas adalah seorang lulusan HIS.Ketiga figur ulama-intelek tradisionalis inilah yang kemudianmenjadi pelopor dari inteligensia tradisionalis (NU).

Generasi kedua Muslin inteligensia (MI) dan ulama-intelek(baik dari kalangan reformis-modernis maupun tradisionalis)memainkan peran utama dalam pendirian dan kepemimpinanSTI, Partai Masyumi dan Partai NU. Institusi-institusi ini lantasmenjadi lahan persemaian utama bagi pembentukan generasiketiga inteligensia Muslim. Dengan dukungan para intelektualdari generasi kedua, generasi ketiga inteligensia Muslimmemelopori pendirian perhimpunan-perhimpunan pemuda-pelajar pasca-kolonial. Tiga siswa STI, yaitu Anwar Harjono,Lafran Pane dan Jusdi Ghazali, masing-masing menjadi perintisberdirinya GPII, HMI dan PII. Para intelektual terkemukalainnya dari generasi ketiga ialah Ahmad Tirtosudiro, M.S.Mintaredja, Mukti Ali, Dahlan Ranuwihardjo, Deliar Noer,Maisaroh Hilal, Tedjaningsih dan Zakijah Daradjat (tiga yangterakhir adalah perempuan).

Generasi kedua ulama-intelek tradisionalis mulai memainkanperanan penting dalam formasi inteligensia Muslim (generasiketiga). Fathurrahman Kafrawi dan Wahid Hasjim keduanyaterlibat dalam kepemimpinan Partai Masyumi dan dalampengembangan STI. Beberapa siswa yang memiliki latar belakangtradisionalis juga mulai masuk di universitas-universitas, terutamaSTI, dan bergabung dengan HMI dan PII. Jadi, dalam kemunculangenerasi ketiga MI, muncul pula embrio kaum inteligensiatradisionalis. Namun, untuk sementara waktu, para siswa yangmemiliki latar belakang tradisionalis ini seperti Toha Masdukidan Mukti Ali belum membentuk perhimpunan pelajarnyatersendiri.

Page 756: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

736 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

HMI dan PII bersama dengan partai Masyumi dan NUmenjadi katalis utama bagi keterkaitan intelektual-politik antaragenerasi ketiga dan keempat inteligensia Muslim. Kesetaraanakses terhadap pendidikan, dan pendirian IAIN telah meningkatkankesempatan belajar bagi inteligensia Muslim. Para pelopor darigenerasi keempat inteligensia Muslim ini ialah ImaduddinAbdulrahim, Ismail Hasan Metareum dan Bintoro Tjokroamidjojobagi kalangan inteligensia modernis, dan Subchan Z.E. bagikalangan inteligensia tradisionalis. Tokoh-tokoh terkemuka darigenerasi ini ialah Nurcholish Madjid, Amien Rais, DjohanEffendi, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Endang SaifuddinAnshari, Usep Fathuddin, Utomo Dananjaya, DjalaluddinRakhmat, Ida Nasution, Zoer’ani Djamal dan Aniswati (tiganama terakhir adalah perempuan)2 bagi kalangan modernis,serta Mahbub Djunaedi, Chalid Mawardi dan AbdurrahmanWahid bagi kalangan tradisionalis. Dengan munculnya generasikeempat inteligensia Muslim, muncul pula organisasi-organisasipelajar tradisionalis yang berdiri sendiri, seperti IPNU dan PMII.Pada periode ini, para aktivis mahasiswa Muhammadiyah jugamendirikan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).

Sementara itu, para anggota senior inteligensia Muslim darigenerasi ketiga dan keempat mendirikan sebuah perhimpunanbagi sarjana Muslim, yaitu Persatuan Sarjana Muslim (Persami)di bawah kepemimpinan Subchan Z.E. (dari NU) dan H.M.Sanusi (dari Muhammadiyah). Setelah inteligensia tradisionalismenarik diri dari Persami, mereka mendirikan perhimpunansarjananya tersendiri, Ikatan Sarjana Islam Indonesia (ISII)

Perhimpunan-perhimpunan pelajar pasca-kolonial, baik yangsudah lama berdiri maupun baru berdiri, merupakan mata rantaitransmisi tradisi-tradisi politik dan intelektual dari generasikeempat ke generasi kelima inteligensia Muslim. Namun, di

Page 757: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 737

bawah rejim represif-developmentalis Orde Baru, para intelektualdari generasi keempat terbelah menjadi dua faksi utama: yaitupara penganjur gerakan dakwah Islam dan para penganjurgerakan liberal Islam yang sering disebut ‘gerakan pembaruan’.Para aktivis Islam dari universitas-universitas sekuler merupakanpenyokong utama dari faksi pertama, sedangkan para aktivisIslam dari IAIN dan lembaga-lembaga pendidikan NU merupakanpenyokong utama dari faksi kedua. Perpecahan ini berpengaruhterhadap bangunan ideologis dari tradisi intelektual Muslimgenerasi berikutnya.

Lembaga Mujahid Dakwah (LMD), lingkaran-lingkarankeagamaan di kampus-kampus universitas dan masjid-masjid‘independen’, serta program-program mentoring Islam merupakansaluran-saluran utama bagi proses transmisi ideologi dakwahIslam dari generasi keempat ke generasi kelima inteligensiaMuslim.Di sisi lain, HMI, PMII, NGO-NGO, dan lingkaran-lingkaranmahasiswa dan intelektual di IAIN dan NU menjadi katalisutama bagi proses transmisi ide-ide pembaharuan. Tokoh-tokohterkemuka dalam gerakan dakwah dari generasi kelima inteligensiaMuslim ialah Hatta Radjasa, Nur Mahmudi Ismail, MutammimulUla dan Hidayat Nur Wahid. Sementara tokoh-tokoh terkemukadari gerakan pembaharuan dari generasi ini ialah AzyumardiAzra, Fachry Ali, Masdar Farid Masudi, Komaruddin Hidayat,Marwah Daud Ibrahim dan Khofifah Indar Parawansa (duaterakhir adalah perempuan).

Dalam perkembangan selanjutnya, HMI terpecah menjadidua faksi setelah para penentang asas tunggal membentuk HMIbawah tanah yang bernama HMI-Majelis Pertimbangan Organisasi(MPO). Dalam pada itu, karena PII juga menentang asas tunggal,hingga akhir Orde Baru ia pun menjadi gerakan bawah tanah.Sedangkan PMII dan IMM sendiri, karena biasnya terhadap NU

Page 758: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

738 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

dan Muhammadiyah, kurang menarik bagi para mahasiswa yangberpikiran independen.

Maka, pada saat munculnya generasi kelima inteligensiaMuslim, organisasi-organisasi mahasiswa ekstra (dan lintas)kampus, seperti HMI, PMII dan IMM mulai kehilangan kredibilitasdan daya tariknya. Gerakan-gerakan intelektual dan mahasiswaMuslim secara umum masih terus terbagi menjadi dua arusintelektual utama: ‘rejeksionisme’ (anti orthodoksi-negara) yangdianut oleh gerakan dakwah versus ‘akomodasionisme’ (proorthodoksi-negara) yang dianut oleh gerakan-gerakan pem -baharuan. Agar tetap bisa bertahan di bawah represi Orde Baru,para anggota dari generasi kelima inteligensia Muslim, terutamamereka yang lahir pada tahun 1960-an, menjadi generasi bisu.

Meski memiliki perbedaan-perbedaan, para penganjur darigerakan-gerakan dakwah dan pembaharuan dari generasi keempatdan kelima bersatu pada tahun 1990 dengan mendirikan IkatanCendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI). Sekelompok kecilintelektual Muslim yang menentang berdirinya ICMI di bawahkepemimpinan Abdurrahman Wahid kemudian berkolaborasidengan sekelompok kecil intelektual sekuler dan Kristen mem -bentuk Forum Demokrasi (Fordem).

Bersamaan dengan kehadiran ICMI, proses transmisi daritradisi-tradisi intelektual yang saling bersaing masih terusberlanjut. Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di berbagai universitassekuler, perhimpunan-perhimpunan mahasiswa bawah tanahdan (gerakan-gerakan) harakah Islam yang bersifat global menjadimata rantai utama dalam proses transmisi dari tradisi intelektualkelompok dakwah (Islamis) dari generasi kelima ke generasikeenam inteligensia Muslim. Di sisi lain, HMI dan PMII bersamadengan kelompok-kelompok diskusi para intelektual muda IAIN

Page 759: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 739

dan NU menjadi rantai transmisi yang utama di kalangan paraintelektual Muslim pembaharuan (yang liberal). Beberapa pelopordari gerakan dakwah generasi keenam inteligensia Muslim ialahAdian Husaini, Anis Mata, Eric Salman dan Moh. Tubagus Furqon(semuanya termasuk generasi transisi—antara generasi kelimadan keenam), serta Alfian Tanjung, Fahri Hamzah, Febry NurHidayat, Andi Rahmat dan Mukhammad Najib (merupakangenerasi keenam yang sesungguhnya yang muncul bersama gerakanreformasi). Beberapa pelopor dari gerakan liberal generasi keenaminteligensia Muslim ialah Ulil Abshar-Abdalla, Hamid Basyaib,Luthfi Assyaukanie dan Saiful Mujani (semuanya termasuk generasitransisional—antara generasi kelima dan keenam), sertaBurhanuddin, Novriantoni, Nong Darol Mahmada dan AisyahYasmina (merupakan generasi keenam yang sesungguhnya).

Pada tahun 1998, para aktivis dakwah dari generasi keenaminteligensia Muslim mendirikan sebuah perhimpunan mahasiswayang baru, yaitu KAMMI. Beberapa saat kemudian, para aktivisdari generasi kelima dan keenam inteligensia Muslim mendirikansebuah Jaringan Islam Liberal (JIL). Meski demikian, mayoritasinteligensia Muslim masih tetap berada di posisi antara kaumIslamis dan intelektual liberal.

Dalam perjalanan waktu, anggota dari komunitas inteligensiaMuslim terus bertambah seiring dengan terus meningkatnyacapaian-capaian pendidikan, baik dalam kuantitas maupunkualifikasi-kualifikasinya. Sebagai konsekuensinya, kredibilitasinteligensia Muslim dalam praktik-praktik diskursif dan dayatawarnya untuk mendapatkan alokasi-alokasi (posisi) birokratismenjadi semakin kuat dan lebih kuat lagi. Kontras dengan halitu, partai-partai politik Muslim secara konsisten gagal meraihsuara mayoritas dan menjadi sebuah faktor pemecah-belah bagiinteligensia Muslim.

Page 760: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Page 761: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 741

Dari waktu ke waktu, rasa frustasi yang dialami oleh kaumMuslim terhadap dunia politik mendorong mereka untuk kembalimendukung gerakan-gerakan kultural dan pendidikan. Saatkualifikasi-kualifikasi pendidikan inteligensia Muslim terusmembaik, relasi sosial dan orientasi mereka secara umum menjadisemakin elitis. Akibatnya, gerakan-gerakan kultural dan pendidikanyang dijalankannya semakin melayani kepentingan kelas menengahterdidik perkotaan. Secara umum bisa dikatakan, saat elit menjadisemakin ‘terislamkan’, massa rakyat di akar rumput menjadisemakin kurang ‘terislamkan’. Dengan demikian, berlakunyakembali sebuah sistem politik demokratis setelah pengundurandiri Suharto membuat partai-partai politik Muslim, paling tidakuntuk sementara waku, menjadi kurang menarik bagi kalangandi tingkatan akar rumput.

Dalam berbagai momen sepanjang abad ke-20, kesadarankaum Muslimin akan kegentingan dan fragmentasi politik yangdialaminya—saat berhadapan dengan (anggapan) ‘ancaman-ancaman’ dari luar—berulangkali menimbulkan dorongan bagi

Keterangan: G 1 = Generasi PertamaG 2 = Generasi KeduaG 3 = Generasi KetigaG 4 = Generasi KeempatG 5 = Generasi KelimaG 6 = Generasi KeenamRM = Reformis‐ModernisIM = Inteligensia MuslimTrad. = Tradisionalis

Page 762: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

742 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

mereka untuk terlibat dalam gerakan-gerakan yang bertujuanuntuk merajut persatuan Islam. Gerakan-gerakan ini seringkalimenyerukan ukhuwah Islamiyah yang berulangkali diperantarailewat ‘Kongres Al-Islam’. Jadi, meskipun terdapat keragamandan pertarungan internal dalam tradisi-tradisi intelektual danpolitik Islam, selalu saja ada daya sentripetal yang menariksemua perbedaan itu ke arah persatuan ummat Islam. Generasipertama dari inteligensia Muslim dan ‘ulama-intelek’ bersatudalam SI dan MIAI. Generasi kedua inteligensia Muslim danulama-intelek bersatu dalam Masyumi (baik non-partai maupunpartai) dan dalam Dewan Konstituante. Generasi ketiga inteligensiaMuslim bersatu dalam kelompok-kelompok paramiliter danperhimpunan-perhimpunan pemuda-pelajar Islam (GPII, HMI,PII dan Persami). Generasi keempat inteligensia Muslim bersatudalam kesatuan aksi mahasiswa anti-komunis dan anti-OrdeLama pada tahun 1966 (KAMI dan KAPPI) dan hingga taraftertentu, dalam ICMI. Generasi kelima dan keenam inteligensiaMuslim bersatu dalam kerangka tujuan untuk menggulingkanSuharto dari kursi kepresidenan.

Namun hal yang sebaliknya juga benar. Setiap kali terdapatdaya sentripetal yang menarik ke arah persatuan ummat Islam,selalu saja ada daya sentrifugal yang mendorong ke arahperpecahan ummat Islam. Selama periode kolonial tahun 1920-an, seruan para pemimpin Muslim ke arah persatuan politikIslam—dalam menghadapi kian menguatnya pengaruh komunismedan nasionalisme sekuler—melahirkan akibat yang tak terduga:yaitu kekecewaan ulama tradisionalis yang disebabkan olehdominannya peran inteligensia dan ulama-intelek dari kaumreformis-modernis dalam kepemimpinan Kongres Umat Islamdan dalam delegasi Muslim Hindia Belanda ke ‘Kongres Khilafah’di Mekkah. Selama tahun-tahun awal setelah Indonesia merdeka,

Page 763: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 743

seruan para pemimpin Muslim ke arah persatuan politik Islamlewat pembentukan partai Masyumi—sebagai respons terhadapdominasi para pemimpin nasionalis sekuler—menimbulkan dayasentrifugal: yaitu berdirinya Perti sebagai sebuah partai politikyang berdiri sendiri dan keluarnya PSII dan NU dari Masyumi.Selama tahun-tahun awal periode Orde Baru, seruan parapemimpin Islam ke arah integrasi ummat Islam—dalammenghadapi marjinalisasi Orde Baru terhadap Islam politik—menghasilkan akibat yang tak terduga: yaitu lahirnya gerakanpembaharuan. Sepanjang tahun-tahun terakhir periode OrdeBaru, seruan para pemimpin Islam ke arah persatuan intelektualIslam lewat pendirian ICMI–demi pencapaian posisi politikIslam yang lebih baik—juga melahirkan dampak yang takterduga: yaitu lahirnya Fordem. Pada awal reformasi, seruanpara pemimpin Islam ke arah persatuan politik Islam lewatpembentukan poros tengah—setelah partai-partai politik Muslimmeraih hasil yang tak meyakinkan dalam pemilu—malahmenghasilkan sebuah akhir tak bahagia: yaitu rivalitas personaldi antara para pemimpin politik Muslim.

Ringkasnya, inteligensia Muslim terus hadir sebagai sebuahekspresi kolektif dalam arti ‘kesamaan identitas Muslim dalamperbedaan’ (Muslim identity in difference) dan ‘keberagamandalam kebersamaan identitas Muslim’ (difference in Muslimidentity). Dalam persatuan, ada ruang untuk berbeda. Dalamperbedaan, ada ruang untuk bersatu. Apakah bersatu atauterbelah, hal itu bergantung pada cara pandang dominan padamasa-masa tertentu serta pada persepsi mengenai ancaman danimbalan. Cara pandang dan persepsi itu sendiri dikondisikandan dikonstruksikan oleh struktur-stuktur peluang politik,formasi-formasi diskursif, karakteristik-karakteristik ruang publikserta juga iklim ekonomi dan internasional.

Page 764: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

744 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Diskontinuitas dalam Perkembangan HistorisInteligensia Muslim Selain adanya kontinuitas diakronik, perkembangan historisdari inteligensia Muslim menunjukkan adanya perubahan-perubahan dan penyimpangan-penyimpangan kecil yang terus-menerus terjadi seiring dengan kelahiran setiap generasi baruinteligensia. Perubahan dan transformasi ini tampak nyata dalamformulasi ideologi dan identitas Islam. Konsepsi mengenaiideologi dan identitas Islam berbeda-beda untuk setiap generasisebagai akibat dari perbedaan dalam struktur peluang politik,struktur konflik-konflik intelektual, struktur-struktur kognitif,formasi-formasi diskursif serta kondisi ruang publik.

Fase formatif dari generasi pertama inteligensia Muslimterjadi selama tahun 1900-an dan 1910-an. Pada periode tersebut,isu-isu mengenai kesejahteraan sosial sebagai hasil dari PolitikEtis, berbarengan dengan propaganda Marxisme dan sosialisme,sangat mempengaruhi wacana intelektual. Sebagai respons atassituasi itu, formulasi ideologi Islam dari generasi pertama adalah‘sosialisme Islam’.

Fase formatif generasi kedua berlangsung pada tahun 1920-an dan 1930-an. Yaitu suatu periode tatkala inteligensia Indonesiamulai mengalami perpecahan ideo-politik, nasionalisme Indonesiamulia muncul dan tuntutan kemerdekaan menjadi kepedulianutama wacana intelektual. Dalam rangka merespons konsepsisekuler mengenai nasionalisme dan negara, yang diperjuangkanoleh para pemimpin nasionalis yang sekuler, generasi keduainteligensia Muslim merumuskan ideologi Islamnya dengan tema‘nasionalisme Islam dan negara Islam’.

Fase formatif generasi ketiga berlangsung pada tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an. Periode itu merupakan masa ketika

Page 765: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 745

‘revolusi kemerdekaan’ dan ‘demokrasi konstitusional’ menjaditema intelektual yang utama. Karena berbagi semangat revolusidan nasionalis yang sama dengan kelompok-kelompok inteligensiayang lain, maka formulasi ideologi Islam dari generasi iniberusaha untuk mempertahankan keseimbangan antara keislamandan keindonesiaan.

Fase formatif generasi keempat berlangsung pada akhir tahun1950-an dan tahun 1960-an. Yakni suatu periode ketika konflik-konflik ideo-politik yang parah selama era demokrasi terpimpin,serta kebutuhan untuk menjalin aliansi politik di sepanjangporos yang pro- dan anti-rezim Orde Lama sangat mempengaruhipemikiran intelektual. Sebagai akibatnya, seiring denganberlanjutnya upaya untuk merumuskan ideologi Islam yangdidasarkan pada harmoni antara keislaman dan keindonesiaan,muncul sebuah usaha untuk mereproduksi formulasi ideologiIslam yang dianut oleh generasi kedua. Usaha yang pertamamelahirkan ideologi pembaharuan, sementara usaha yang keduamelahirkan ideologi ‘Islamis’ (dakwah).

Fase formatif generasi kelima berlangsung pada tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an. Periode ini merupakan masa ketikarejim represif-developmentalisme Orde Baru menjadi begituhegemonik di ruang publik. Dengan terbatasnya peluang-peluanguntuk mengartikulasikan dan melakukan manuver intelektual-politik, generasi ini tumbuh sebagai generasi bisu yang hanyabertindak sebagai inkubator bagi terjadinya konsolidasi ideologi-ideologi pembaharuan dan dakwah. Sebagai akibatnya, munculdua formulasi ideologi Islam yang bersifat antitetis: yaitu paham‘akomodasionisme’ (mengapropriasi orthodoksi negara-sekuler)versus paham ‘rejeksionisme’ (menolak orthodoksi negara-sekuler).

Page 766: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

746 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Fase formatif generasi keenam berlangsung pada akhr tahun1980-an dan 1990-an. Periode ini merupakan periode modernisasiakhir dari Orde Baru dan juga periode globalisasi kondisi-kondisi post-modern. Pada masa itu, ruang publik mulaimenunjukkan tingkat keterbukaan tertentu, dan ini menjadikatalis bagi pendalaman penetrasi fundamentalisme Islam yangbersifat global, bersejalan dengan pendalaman penetrasi budaya-massa global dan nilai-nilai liberal Barat. Kedua arus ini memberikontribusi terhadap menguatnya derajat Islamic mindedness danjuga liberal mindedness dari segmen-segmen yang berbeda dalamtubuh generasi tersebut jika dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Muncullah dua formulasi ideologis utamayang saling bertentangan: yaitu ‘revivalisme Islam’ versus’liberalisme Islam’, meskipun sebagian besar inteligensia darigenerasi keenam ini tetap saja merayakan hibriditas antarberagam tradisi kultural.

Perubahan dalam formulasi-formulasi ideologis inimencerminkan adanya perubahan dalam formasi diskursif. ‘Islamdan sosialisme’ menjadi wacana intelektual yang dominan darigenerasi pertama. ‘Islam dan nasionalisme/negara-bangsa’ menjadiwacana intelektual yang dominan dari generasi kedua. ‘Islamdan revolusi kemerdekaan’ menjadi wacana intelektual yangdominan dari generasi ketiga. ‘Islam dan modernisasi-sekulerisasi’menjadi wacana intelektual yang dominan dari generasi keempat.‘Islam alternatif dan pembangunan alternatif ’ menjadi wacanaintelektual yang dominan dari generasi kelima. ‘Islamisasimodernitas’ dan ‘liberalisasi Islam’ menjadi wacana intelektualyang dominan dari generasi keenam.

Sikap dan identitas keagamaan juga mengalami perubahan.Kelompok-kelompok puritan (‘fundamentalis’) pada dekade-dekade awal abad ke-20, seperti Muhammadiyah dan Persis,

Page 767: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 747

menjadi jauh lebih moderat pada akhir abad ke-20. Kelompok-kelompok konservatif dari dekade-dekade awal abad ke-20,seperti NU, menjadi katalis bagi gerakan Islam liberal padaakhir abad ke-20. Kontras dengan masa-masa awal abad ke-20,ada begitu banyak aktivis dari gerakan-gerakan fundamentalisIslam akhir abad ke-20 yang berasal dari latar belakang keluarganon-santri. Pada saat yang sama, banyak mahasiswa dari latarbelakang keluarga NU dan Muhammadiyah yang tak lagiberafiliasi dengan kedua organisasi tersebut, karena merekalebih suka bergabung dengan kolektivitas-kolektivitas Islam yangbaru seperti kelompok tarbiyah (dakwah) dan harakah Islamlainnya.

Pada level individual, perubahan sikap dan identitas religio-politik ini diperlihatkan oleh beberapa intelektual Islam. AgusSalim dibesarkan di lingkungan keagamaan yang kuat, namunsegera menjadi seorang yang sekuler setelah mengenyampendidikan Barat (HBS). Namun, pertemuannya dengan AchmadKhatib di Mekkah dan Tjokroaminoto di SI menghidupkankembali identitas-identitas keagamaannya. Abdullah Achmadmerupakan tokoh utama dari gerakan reformis (‘fundamentalis’)di Sumatra Barat. Namun, interaksinya dengan para pejabatBelanda dan subsidi dari pemerintah kolonial Belanda kepadamadrasahnya mengubahnya menjadi seorang yang moderat danakomodasionis. Nurcholish Madjid muda dikenal sebagai ‘NatsirMuda’ (Islamis). Namun, petualangan dan pikiran kritisnyaberkombinasi dengan tekanan modernisasi Orde Baru,pergaulannya dengan lingkaran-lingkaran Islam liberal danpertemuannya dengan peradaban Barat telah mengubahnyamenjadi seorang tokoh utama dari ide-ide ‘pembaharuan’ Islam.Imaduddin Abdulrahim terkenal sebagai seorang figur sentraldari kaum intelektual dakwah dan bersikap menolak modernisme

Page 768: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

748 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Orde Baru pada tahun-tahun awal Orde Baru. Namun, segerasetelah pendirian ICMI pada tahun 1990, dia menjadi seorangintelektual yang moderat dan akomodasionis. Amien Rais pernahdikenal sebagai seorang Islamis dan eksklusif. Namun,pertemuannya dengan para sarjana liberal di Universitas Chicagodan interaksinya dengan para pemimpin sekuler dan non-Islamselama ‘gerakan reformasi’ tahun 1998 mengubahnya menjadiseorang yang berkepribadian moderat dan inklusif.

Perubahan dan transformasi ini juga terjadi dalam duniapendidikan Muslim. Pada awal-awal abad ke-20, hanya beberapaorang santri yang terdidik di sekolah ala Barat. Kebanyakansantri pada kurun waktu itu terdidik di pesantren dan madrasah.Konsekuensinya, anggota dari generasi awal inteligensia Muslimjumlahnya masih kecil. Mayoritas santri lebih terdidik dalampengetahuan agama ketimbang dalam pengetahuan umum. Padaakhir abad ke-20, mayoritas santri terdidik di sekolah umum.Bahkan kurikulum madrasah lebih banyak mengajarkan pelajaran-pelajaran umum ketimbang agama. Konsekuensinya, anggotadari inteligensia Muslim menjadi sangat besar. Pada saat yangsama, mayoritas dari mereka menjadi lebih terpelajar dalampengetahuan umum ketimbang pengetahuan agama. Hal inimemiliki pengaruh yang signifikan terhadap sikap religio-politikdari inteligensia Muslim di masa depan. Kurangnya pengetahuanagama bisa menjadi suatu prakondisi bagi penganutan pandanganliberal. Atau, sebaliknya juga bisa terjadi. Kurangnya ekposurterhadap pengajaran agama bisa membuat orang memberi nilaiyang tinggi terhadap pengetahuan agama. ‘Rasa haus’ akanagama bisa memicu tumbuhnya semangat agama. Semangatagama tanpa erudisi dalam pengetahuan agama merupakanprakondisi bagi sikap-sikap fundamentalis.

Yang tak kalah pentingnya ialah transformasi dalam posisi

Page 769: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 749

struktural dari inteligensia Muslim. Generasi awal dari inteligensiaMuslim cenderung lebih suka meninggalkan posisi-posisi merekadalam birokrasi pemerintah kolonial dan lebih tertarikmenggabungkan diri dengan Kaoem Mardika dari kalanganborjuis (kecil) Muslim. Namun, dengan semakin merosotnyaekonomi santri, para anggota inteligensia Muslim dari generasi-generasi kemudian berupaya untuk menjadi bagian dari birokrasipemerintah. Alhasil, pada akhir abad ke-20, citra santri sebagaipedagang telah pudar, digantikan oleh citra santri sebagaibirokrat baru.

Pengaruh politik dari inteligensia Muslim juga berubah darisatu generasi ke generasi berikutnya. Generasi pertama inteligensiaMuslim (generasi Agus Salim) memiliki pengaruh politik yangkuat seperti tercermin dari kuatnya daya tarik politik SarekatIslam. Generasi kedua (generasi Natsir) kalah kuat pengaruhnyajika dibandingkan dengan pengaruh para pemimpin nasionalissekuler, namun masih tetap bisa memegang kepemimpinanpolitik nasional pada awal-awal tahun 1950-an. Generasi ketiga(generasi Pane) memperlihatkan pengaruh politik yang palinglemah. Hal ini karena karir pendidikan dan politiknya telah‘dirampas oleh sejarah’. Generasi keempat (generasi Madjid)pada awalnya di bawah bayang-bayang pengaruh politik inteligensiasekuler dan militer, namun pada akhirnya sanggupmengembangkan sebuah pengaruh politik yang kuat pada eraakhir Suharto dan dalam tahun-tahun awal era reformasi.Pengaruh politik dari generasi kelima dan keenam dari inteligensiaMuslim masih perlu dilihat. Akan tetapi, dengan kualifikasi-kualifikasi pendidikan mereka yang jauh lebih baik, diharapkanbahwa pengaruh politik mereka pun akan lebih kuat, meskipunafiliasi politik dari para anggota generasi ini jauh lebih terpencar-pencar jika dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya.

Page 770: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

750 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Namun, situasi ini sekali lagi bisa saja berubah karena kelompok-kelompok inteligensia Indonesia yang lain juga tidaklah statis.

Selanjutnya, kode-kode sebutan bagi inteligensia Muslim punberubah dari satu generasi ke generasi berikutnya. Generasipertama inteligensia Muslim merupakan bagian dari ‘bangsawanpikiran’. Generasi itu juga termasuk golongan Kaoem Moedayang terdiri dari kalangan terdidik baru sebagai lawan dariKaoem Toea yang terdiri dari aristokrasi lama. Mengikuti polatersebut, generasi pertama dari ulama reformis-modernismengasosiasikan dirinya dengan ‘Kaoem Moeda Islam’ yangbertentangan dengan ‘Kaoem Toea Islam’ dari kalangan ulamakonservatif-tradisionalis.

Dalam perkembangan lebih lanjut, istilah bangsawan pikiranmengalami transformasi menjadi kaoem terpeladjar pada awaltahun 1910-an, dan menjadi intelectueelen sejak awal tahun1920-an, berubah lagi menjadi inteligensia pada akhir tahun1930-an dan menjadi cendekiawan sejak akhir tahun 1960-an.

Inteligensia generasi awal, karena terdidik dalam sekolah-sekolah Barat yang sekuler, cenderung lemah dalam pengetahuanagamanya dan mengambil jarak dari ulama dan komunitasepistemik Islam. Namun, dalam interaksi antara inteligensiaMuslim dan ulama reformis-modernis, para anggota inteligensiaMuslim secara berangsur-angsur menjadi melek dalam pengetahuanagama, sementara beberapa ulama menjadi melek dalampengetahuan umum. Maka, lahirlah apa yang disebut sebagaiintelek-ulama (intelektual/inteligensia modern yang melek dalampengetahuan agama) dan ulama-intelek (ulama yang melekdalam pengetahuan saintifik modern). Dalam perkembanganlebih lanjut pada abad ke-20, ulama tradisional mengikuti jejakulama reformis-modernis dalam hal memasukkan pelajaran-

Page 771: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 751

pelajaran umum dan aparatus pendidikan modern ke dalamsekolah-sekolah mereka. Sebagai hasilnya, lahirlah pula ulama-intelek tradisionalis. Situasi ini bertahan sampai tahun 1960-an.

Pada awal tahun 1970-an, pembedaan antara kategori ulamadan intelektuil (intellectueelen) mulai kabur—menyusul introduksibanyak pelajaran umum di sekolah-sekolah/universitas-universitasagama, berbarengan dengan introduksi pelajaran agama dangerakan dakwah di sekolah-sekolah/universitas-universitas sekuler.Banyak intelektuil yang tampil sebagai tokoh-tokoh agamaterkemuka, sementara banyak ulama yang tampil sebagai jurubicara utama dari isu-isu sekuler. Pada kurun waktu tersebut,bahkan istilah-istilah antara (mediating terms) yang dipakaiseperti intelek-ulama dan ulama-intelek mulai runtuh karnakedua istilah tersebut secara implisit mengandaikan adanyapembedaan antara ulama dan intelektuil. Sebuah kode barudibutuhkan untuk menandai fusi antara kedua kategori tersebut.Titik temu dari fusi tersebut bukanlah pada kata ‘intelektuil’atau ‘ulama’, namun pada sebuah neologisme yang netral, yaitu‘cendekiawan’. Istilah ‘cendekiawan Muslim’ pun mulai meraihpopularitas pada tahun 1980-an.

Ruang publik juga berubah bukan hanya dalam cakupanpartisipannya, namun juga dalam tingkat kebebasaannya. Bermulasebagai ruang diskusi untuk saling tukar ide di antara kelompokkecil orang-orang berpendidikan Barat yang kebanyakan berasaldari kalangan priyayi, ruang ini segera meluas melampaui batasini sehingga mencakup ulama-intelek dan kelompok-kelompoklain dari masyarakat Indonesia. Pada tahun 1920-an, ruang itusegera menjadi ruang pertarungan kuasa di antara kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi politik. Dengan adanyaperubahan yang terus-menerus dalam sistem politik, tingkatkebebasan dari ruang publik tersebut berayun bolak-balik antara

Page 772: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

752 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

titik keterkekangan dan titik kebebasan. Adanya perubahandalam sifat ruang publik menjadi pendorong utama bagiberlangsungnya perubahan yang terus-menerus dalam formulasiideologi dan formasi diskursif dari inteligensia Muslim.

Perubahan dalam formulasi ideologi dan formasi diskursif inipada gilirannya mengubah persepsi kaum Muslim terhadapinstitusi-institusi dan afiliasi-afiliasi politik Islam. Di bawahideologi nasionalis yang berwarna agama, kehadiran awal SIpada tahun 1910-an merepresentasikan apa yang disebut Muissebagai organisasi-organisasi ‘nationalistisch-Islamistisch’ yangmenarik baik kaum Muslim yang taat maupun yang nominalyang memiliki kecenderungan-kecenderungan agama dan kulturalyang beragam. Keputusan untuk menjadikan Islam sebagai satu-satunya asas bagi SI (PSII) pada tahun 1920-an membatasimakna ‘Muslim’, sehingga yang menjadi konstituen dari organisasiini adalah segmen tertentu dari komunitas Muslim. Kredo ‘Islamyes, Partai Islam no’, yang muncul selama Orde Baru, membukakemungkinan bagi para aktivis Islam untuk bergabung denganGolkar. Sebagai hasilnya, Golkar yang sebelumnya dianggapoleh kaum Muslim sebagai lembaga bukan Islam, kini telahmenjadi arena bagi aktualisasi kepentingan-kepentingan (aktivis)politik Muslim.Wacana mengenai pluralisme dan inklusivismeyang bersifat hegemonik pada masa-masa akhir kekuasaanSuharto juga mempengaruhi konstruksi Muslim mengenai partai-partai politik di era reformasi. Di masa lalu, partai-partai Muslimtak akan pernah membuka keanggotaan buat orang-orang yangnon-Muslim. Namun, pada akhir abad ke-20, bahkan sosokyang telah lama dicap sebagai ‘Islamis-Natsiris’ seperti AmienRais menganggap bahwa partai berbasis Islam ibarat baju yangkesempitan, dan karena itu, dia lebih memilih untuk mendirikanpartai yang pluralistik (Partai Amanat Nasional, PAN). Selain

Page 773: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 753

itu, banyak di antara anggota komunitas inteligensia Muslimmenjadi lebih bersedia untuk bergabung dengan partai-partai‘sekuler-nasionalistik’. Saat yang sama, bahkan partai berbasisIslam pun membuka diri, paling tidak secara retorika, untukmenerima anggota yang non-Muslim. Sebagai hasilnya, pembedaanantara partai-partai Islam dan non-Islam menjadi kabur.

PoskripPendekatan dinamis, interaktif dan intertekstual dari studi initelah berupaya untuk menyelidiki gerak perkembangan inteligensiaMuslim dari banyak posisi dan perspektif, serta untuk melihatkeragaman impuls dan interaksi yang berpengaruh terhadapperkembangan inteligensia Muslim. Namun, studi ini masih sajatak sanggup meliput semua elemen, perspektif maupun impulsyang memiliki kaitan dengan gerak perkembangan inteligensiaMuslim.

Studi ini misalnya tak membahas menguatnya pengaruh paraintelektual muda NU dan meluasnya gerakan tarbiyah padatahun 1990-an karena fokus perhatian pada periode ini lebihdiarahkan pada pembentukan ICMI. Dengan menonjolnya peranintelektual muda NU dalam gerakan-gerakan Islam liberalkontemporer dan semakin besarnya pengaruh kelompok tarbiyahdalam gerakan-gerakan Islamis kontemporer, maka dibutuhkanstudi lebih jauh untuk menganalisa perkembangan inteligensiatradisionalis dan tarbiyah, terutama setelah tahun 1980-an.

Studi ini juga secara nyata mengabaikan gerakan intelektualIslam di bidang tareqat, karena memang fokus utama tesis initerarah kepada relasi antara inteligensia Muslim dan kuasa.Daya tarik spiritualisme Islam masa kini bagi segmen-segmenmasyarakat kelas menengah dan atas perkotaan memiliki pengaruh

Page 774: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

754 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

pada sikap-sikap sosio-politik dari kelompok-kelompok inteligensiaMuslim tertentu. Jadi, perlu ada sebuah studi khusus yang mem -bahas mengenai fenomena tersebut.

Dengan menekankan entitas kolektif inteligensia Muslimketimbang pada individu intelektual Muslim, studi ini cenderungmengabaikan peran para intelektual ‘independen’ yang mungkintidak bergabung dengan asosiasi/gerakan mahasiswa dan intelektualMuslim manapun. Sebuah studi yang spesifik mungkin bisamenyelidiki eksistensi dari para intelektual Muslim yang termasukgolongan ini. Dengan memfokuskan diri pada para intelektualorganik paling terkemuka dari setiap generasi, studi ini secaranyata mengabaikan peran para intelektual perempuan. Dengansemakin besarnya perhatian mengenai isu pemberdayaanperempuan dalam dunia politik, perlu kiranya dilakukan sebuahstudi khusus mengenai gerak perkembangan dari para intelektualperempuan.

Dengan membatasi diri pada genealogi inteligensia Muslim,studi ini tidak cukup membahas genealogi tradisi-tradisi intelektualyang lain dari inteligensia Indonesia. Sebagaimana perkembanganinteligensia Muslim tak bisa dilepaskan dari pengaruh tradisi-tradisi intelektual yang lain, hal sebaliknya juga benar bahwaperkembangan tradisi-tradisi intelektual ‘yang sekuler’ tak bisadilepaskan dari pengaruh tradisi-tradisi intelektual Muslim. Jadi,perlu ada sebuah studi khusus yang membahas gerak perkembangantradisi-tradisi lain dari inteligensia Indonesia dan interaksimereka dengan inteligensia Muslim.

Dengan menekankan dimensi kultural-politik dari gerakperkembangan inteligensia, studi ini memberikan perhatian yangkecil terhadap analisis-mikro tentang proses transformasi posisi-posisi ekonomi dan profesi dari inteligensia. Karena posisi-

Page 775: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 755

posisi struktural dari inteligensia menentukan statusnya dalammasyarakat, perlu ada sebuah studi khusus mengenai hal ini.

Memandang ke depan, bisa dikatakan bahwa meski terdapatkemerosotan dalam prestise sosial inteligensia, untuk beberapadekade mendatang inteligensia masih akan menjadi elit yangberkuasa dalam dunia politik Indonesia. Persentase orang-orangyang berpendidikan perguruan tinggi pada peralihan abad ke-21 kurang dari 10% dari total penduduk Indonesia, dan karenaitu kualifikasi-kualifikasi pendidikan akan tetap menjadi sebuahfaktor utama yang membentuk pola rekrutmen elit. Situasi iniakan terus berlanjut sehingga menguntungkan para individuintelektual dan tradisi-tradisi intelektual yang memiliki modalpendidikan yang kuat. Kemenangan partai politik tertentu dalampemilihan umum bolehjadi tak bisa diterjemahkan ke dalamcapaian-capaian posisi yang riil dalam spektrum yang luas dariadministrasi politik dan birokrasi pemerintahan, kecuali hal itudidukung oleh sumber daya manusia yang kuat. Pada saat yangsama, sepanjang perekonomian swasta masih tetap tak mampumenyerap besarnya lulusan universitas, banyak individu intelektualdari tradisi-tradisi intelektual tertentu yang memiliki kualifikasi-kualifikasi pendidikan yang kuat, akan terpaksa bergabungdengan partai-partai politik yang kuat dalam upaya merekauntuk mendapatkan posisi-posisi politik dan birokratik yangstrategis. Kesediaan dari segmen-segmen inteligensia berpendidikantinggi ini untuk bergabung dengan partai-partai politik yangkuat, tanpa mempedulikan prinsip-prinsip dan tradisi-tradisipartai politik tersebut, akan membantu mengaburkan perbedaanantara pelbagai tradisi politik yang telah mapan.

Indonesia memang hanyalah sebuah noktah kecil di mukabumi, namun tetap saja bagian dari planet ini. Dia tak bisa lepasdari arus global. Meminjam judul roman sejarahnya Pramoedya

Page 776: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

756 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Ananta Toer, Indonesia dalah ‘Anak Semua Bangsa’. Sebagaimanagelombang penetrasi kapitalisme dunia dan revivalisme keagaamanbeberapa abad yang silam mempengaruhi perkembanganmasyarakat-masyarakat Indonesia, demikian juga halnya dengangelombang penetrasi globalisme dan postmodenisme sejak akhirabad ke-20. Kehadirannya akan membawa arah-arah bagiperkembangan Indonesia. Indonesia akan menjadi sebuah sentrumbagi berlangsungnya ketegangan antara gelombang homogenisasikultural dengan heterogenisasi kultural. Semakin dalamnyapenetrasi budaya-massa global serta nilai-nilai sekuler-liberalBarat akan bergerak secara simultan dengan penetrasi revivalismekeagamaan dan fundamentalisme global. Hasil akhirnya, palingtidak untuk jangka pendek, bukanlah kejayaan ‘ini atau itu’(sekulerisasi secara total ataukah Islamisasi secara total), karenasetiap kutub memiliki arena-arena dan strategi-strateginyatersendiri untuk bertahan hidup. Efeknya, hibriditas dan fusiantara tradisi-tradisi kultural yang berbeda-beda akan terusmenjadi karakteristik utama dari dunia politik dan inteligensiaIndonesia. Setiap usaha untuk menyeragamkan masyarakatIndonesia harus mentransformasikan relasi kuasa yang bersifat‘timbal-balik’ (reversible power relation) menjadi praktik ‘dominasi’.Setiap dominasi akan mengandung dalam dirinya diskriminasidan represi, dan ini pada akhirnya akan melahirkan efekbumerang.

Satu abad merupakan kurun waktu yang cukup panjang bagipenulisan sejarah, namun cukup pendek bagi sebuah bangsa danwarga bangsa untuk melupakan. Dominasi oleh pemerintahyang otoriter dan kelompok-kelompok tertentu di masa lalutelah membatasi ruang kebebasan dan ruang manuver politikbagi banyak segmen bangsa ini. Hal ini melahirkan ingatan yangpedih dan mengendap lama dalam diri berbagai kelompok yang

Page 777: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kesimpulan | 757

ada dalam masyarakat Indonesia. Dengan kemunculan erareformasi yang mengandung semangat untuk mengembalikandemokrasi dan kebebasan ke ruang publik, relasi dominasisecara gradual akan berubah menjadi relasi kuasa timbal-balik.Dalam suatu posisi yang bebas untuk memilih dan mempengaruhilexis (wacana) dan praxis (tindakan) orang-orang lain, terbukapeluang bagi berbagai segmen kebangsaan untuk berbagi rasa‘kemitraan’ secara keseluruhan, sebuah perasaan untuk berbagidan peduli subtansi persoalan bersama. Hal ini memberikemungkinan bagi perbagai segmen kebangsaan untukmentransendensikan diri dari perbedaan-perbedaan yang adadan untuk menumbuhkembangkan keberadaban sipil (the virtueof civility).

Karena inteligensia masih terus menjadi elit politik bangsa,maka di tangan merekalah masa depan bangsa ini terletak.Demi masa depan bangsa yang lebih baik, tanggung jawabutama inteligensia adalah mentransformasikan populisme darikesadaran diskursif menjadi kesadaran praktis. Sumber utamadari problem-problem politik nasional saat ini tidaklah terletakpada keterbelakangan rakyat, namun lebih pada keengganankaum elit untuk membebaskan diri dari masa lalu dan statusquo. Politisasi masa lalu dan mistifikasi status quo harus dihentikandemi memberi jalan bagi terciptanya rekonsiliasi dan rekonstruksinasional. Inilah saatnya bagi inteligensia Indonesia dari berbagaikelompok untuk bersatu dalam sebuah panggilan sejarah bersama:untuk melayani dan menyelamatkan bangsa ini.[]

Page 778: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

758 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Catatan:1 Dikutip dari cetakan kedua edisi paperback Beacon (1959: 25-26).2 Aniswati merupakan adik dari intelektual NU, Subchan Z.E.. Meski begitu, dia

berkecimpung dalam HMI dan dalam komunitas intelektual kalangan modernis.

Page 779: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 759

KEPUSTAKAAN

Abaza, M. 1999, Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi: StudiKasus Alumni Al-Azhar, LP3ES, Jakarta.

Abdullah, S. 1991, ‘Gerakan cendekiawan Muslim Mesir: evaluasisikap dan recitrarisasi pesan Islam’, Pelita (24-5/07/1991).

Abdullah, T. 1971, Schools and Politics: The Kaum Muda Movementin West Sumatra, Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca

_______1972, ‘Modernization in the Minangkabau world: WestSumatra in the early decades of the twentieth century’ in Cultureand Politics in Indonesia, eds C. Holt et. al., Cornell UniversityPress, Ithaca, pp. 179-245.

_______1996, ‘The formation of a new paradigm: a sketch oncontemporary Islamic discourse’ in Toward a New Paradigm:Recent Developments in Indonesian Islamic Thought, ed M. R.Woodward, Arizona State University (Program for SoutheastAsian Studies), Arizona, pp. 47-87.

Abu-Rabi’, I.M. 1996, Intellectual Origins of Islamic Resurgence inthe Modern Arab World, State of New York Press, New York.

À Campo, J. 1994, ‘Steam navigation and state formation’ in TheLate Colonial State in Indonesia, ed R. Cribb, KITLV Press,Leiden, pp. 11-29.

Adam, A. B. 1995, The Vernacular Press and the Emergence of

Page 780: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

760 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Modern Indonesian Consciousness (1855-1913), Cornell University(SEAP), Ithaca.

Adamson, W. L. 1980, Hegemony and Revolution: A Study ofAntonio Gramsci’s Political and Cultural Theory, University ofCalifornia Press, Berkeley.

Addi, L. 1997, ‘Algeria and the dual image of the intellectual’ inIntellectuals in Politics: From the Dreyfus Affair to SalmanRushdie, eds J. Jennings and T. Kemp-Welch, Routledge, London,pp. 89-101.

Ahmad, I. 2001, Profil dan Pendapat: Kenangan 30 Tahun LP3ES,LP3ES, Jakarta.

Ahmed, A. S. 1992, Postmodernism and Islam, Routledge, London.

Alamsjah St. R. 1952, 10 Orang Indonesia Terbesar Sekarang,Bintang Mas, Jakarta.

Al-Azmeh, A. 1993, Islam and Modernities, Verso, New York.

Alfian 1989, Muhammadiyah: The Political Behavior of A MuslimModernist Organization under Dutch Colonialism, Gadjah MadaUniversity Press, Yogyakarta.

______1978, ‘Tan Malaka: pejuang revolusioner yang kesepian’ inManusia dalam Kemelut Sejarah, eds T. Abdullah et. al., LP3ES,Jakarta, pp. 132-173.

Alfian, I. 1987: Perang di Jalan Allah, Pustaka Sinar Harapan,Jakarta.

Ali, F. & Effendy, B. 1986, Merambah Jalan Baru Islam: RekonstruksiPemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Mizan, Bandung.

Ali, L. 1994, ‘Dari canakya sampai cendekia’, Tempo (4 June).

Ali-Fauzi, N. (ed.) 1993, ICMI, Antara Status Quo dan Demokratisasi,Mizan, Bandung.

Allen, G., 2000, Intertextuality, Routledge, London

Althusser, L. 1971, Lenin and Philosophy and Other Essays, trans

Page 781: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 761

Ben Brewster, New Left Books, London.

Amelz, 1952a, H. O. S. Tjokroaminoto, Hidup dan Perdjuangannja,Vol. 1, Bulan Bintang, Jakarta.

______1952b, H. O. S. Tjokroaminoto, Hidup dan Perdjuangannja,Vol. 2, Bulan Bintang, Jakarta.

Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia:Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, PustakaPelajar, Yogyakarta.

AMN 1969, Akademi Militer Nasional Indonesia, AMN, Magelang.

Andaya, B. W. & Matheson, V. 1979, ‘Islamic thought and Malaytradition: the writings of Raja Ali Haji of Riau (ca. 1809—ca.1870’ in Perceptions of the Past in Southeast Asia, eds A. Reidand D. Marr, Heinemann Educational Books (Asia) Ltd, Singapore,pp. 108-128.

Anderson, B. R. O’G. 1966, ‘Japan: the light of Asia’ in SoutheastAsia in World War II, ed J. Silverstein, Yale University (SoutheastAsian Studies), New Haven, pp. 13-50.

______1972, Java in a Time of Revolution: Occupation andResistance, 1944-1946, Cornell University Press, Ithaca.

______1972b, ‘The idea of power in Javanese culture’ in Cultureand Politics in Indonesia, eds C. Holt et. al., Cornell UniversityPress, Ithaca, pp. 1-70.

______1977, ‘Millenarianism and the Saminist movement’ inReligion and Social Ethos in Indonesia, Monash Paper, MonashUniversity, Melbourne.

______1979, ‘A time of darkness and a time of light: transpositionin early Indonesian nationalist thought’ in Perceptions of thePast in Southeast Asia, eds A. Reid and D. Marr, HeinemannEducational Books (Asia) Ltd, Singapore, pp. 219-248.

______1991: Imagined Communities: Reflections on the Originand Spread of Nationalism, Verso, London.

Page 782: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

762 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Anderson, J. N. D. 1959, Islamic Law in the Modern World, NewYork University Press, New York.

Angek, H.A.B. Dt.R. 2000, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia:Visi dan Missi, Dewan Dakwah, Jakarta.

Anshari, E. S. 1973, Kritik atas Faham dan Gerakan “Pembaharuan”Dr. Nurcholish Madjid, Bulan Sabit, Bandung.

______1979, The Jakarta Charter of June 1945: A History ofGentlemen’s Agreement between the Islamic and the ‘Secular’Nationalist in Modern Indonesia, ABIM, Kuala Lumpur.

______1986, Wawasan Islam : Pokok-Pokok Fikiran Tentang Islamdan Ummatnya, Rajawali, Jakarta. The first edition is publishedby CV. Peladjar, Bandung (1969).

______1997, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah KonsensusNasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949,Gema Insani Press, Jakarta. The first edition is published in1981 by Pustaka Salman, Bandung.

Anwar, M.S. 1995, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: SebuahKajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru,Paramadina, Jakarta.

Anwar, R. 1966, ‘Tanggung djawab kita dalam modernisasi’,Kompas (4-5 July).

______1966, ‘Inteligensia & modernisasi’, Kompas (12 August).

______1966, ‘Modernisasi, waktu dan kerdja’, Kompas (29 August).

______1966, ‘Modernisasi & agama’, Kompas (14 September).

______1966, ‘Modernisasi & nilai’, Kompas (30 November).

______1966, ‘Modernisasi & pendidikan’, Kompas (8 December).

Aron, R. 1957, The Opium of the Intellectuals, Secker & Warburg,London.

Ashcroft, B. et.al. 1998, Key Concepts in Post-Colonial Studies,Routledge, London.

Page 783: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 763

Ashcroft, B. & Ahluwalia, B. 1999: Edward Said: The Paradox ofIdentity, Routledge, London.

Asshiddiqie, J. et. al. (eds) 2002, Bang ‘Imad: Pemikiran danGerakan Dakwahnya, Gema Insani Press, Jakarta.

Auerbach, E. 1965, Literary Language and its Public in Late LatinAntiquity and in the Middle Ages, Routledge & Kegan Paul,London.

Azra, A. 1994: Jaringan Ulama: Timur Tengah dan KepulauanNusantara Abad XVII dan XVIII, Mizan, Bandung.

______2000: Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi MenujuMilenium Baru, Logos, Jakarta.

Bachtiar, H. W. 1973, ‘The religion of Java: a commentary’,Madjalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, vol 5 no. 1 (January), pp.85-118.

Bakhtin, M. M. & Volisinov, P. N. 1986, Marxism and the Philosophyof Language, trans. L. Matejka and I. R. Titunik, HarvardUniversity Press, Cambridge, MA.

Balfas, M. 1957, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Demokrat Sedjati,Djambatan, Jakarta.

Barbalet, J. M. 1998, Emotion, Social Theory, and Social Structure:A Macrosociological Approach, Cambridge University Press,Cambridge.

Baudrillard, J. 1992, ‘Transpolitics, transsexuality, transaesthetics’in Jean Baudrillard: The Disappearance of Art and Politics, edsW. Stears and W. Chaloupka, Macmillan, London, pp. 9-26.

Bauman, Z. 1989, Legislators and Interpreters: On Modernity,Post-modernity and Intellectuals, Polity Press, Oxford.

Bell, D. 1973: The Coming of the Post-Industrial Society, BasicBooks, New York.

Benda, H. J. 1958, The Crescent and The Rising Sun, W. van HoeveLtd, The Hague.

Page 784: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

764 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

______1962, ‘Non-Western Intelligentsias as Political Elites’ inPolitical Change in Underdeveloped Countries: Nationalism andComunism, ed J. H. Kautsky, John Wiley and Sons, Inc., NewYork, pp. 235-251.

______1964, ‘Democracy in Indonesia: a review’, Journal of AsianStudies, vol. 23, no. 3, pp. 449-456.

Benda, J. 1959: The Betrayal of the Intellectuals, trans. R. Aldington,The Beacon Press, Boston.

Benjamin, W. 1973, Illuminations, Fontana, Glasgow.

______1989, ‘N [Re the theory of knowledge, theory of progress]’in Benjamin: Philosophy, History, Aesthetics, ed G. Smith,University of Chicago Press, Chicago, pp. 43-83.

Bhabha, H. 1994, The Location of Culture, Routledge: London.

Biesanz, J. & Biesanz, M. 1969, Introduction to Sociology, Prentice-Hall, Inc., New Jersey.

Binder, L. 1988: Islamic Liberalism: A Critique of DevelopmentIdeologies, University of Chicago Press, Chicago.

Biro Pemuda, 1965, Sedjarah Perdjuangan Pemuda Indonesia, P.N.Balai Pustaka, Jakarta.

Bluhm-Warn, J. 1997, ‘Al-Manār and Ahmad Soorkattie: links inthe chain of transmission of Muhammad āAbduh’s ideas to theMalay-speaking world’ in Islam—Essays on Scripture, Thoughtand Society: A Festschrift in Honour of Anthony H. Johns, eds P.G. Riddell and T. Street, Brill, Leiden, pp. 295-308.

Blumberger, J. TH. P. 1931, De Nationalistische Beweging inNederlandsch-Indië, H. D. Tjeenk Willink & Zoon N/V, Haarlem.

Boeke, J. 1953, Economic and Economic Policy of Dual Societiesas Exemplified by Indonesia, Institute of Pacific Relations, NewYork.

Boland, B. J. 1971, The Struggle of Islam in Modern Indonesia,Martinus Nijhoff, The Hague.

Page 785: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 765

Boothman, D. 1995, ‘Introduction’ in Further Selections from thePrison Notebooks, ed. D. Boothman, Lawrence & Wishart,London, pp. xiii-lxxxvii.

Bourdieu, P. 1977, An Outline of a Theory of Practice, transRichard Nice, Cambridge University Press, Cambridge.

______1984, Distinction: A Social Critique of the Judgement ofTaste, trans Richard Nice, Routledge, London.

______1988, Homo Academicus, trans Peter Collier, Polity Press,Cambridge.

BPS, 1998, Indonesian Intercensal Survey of the 1976, 1985 and1995, Unpublished Document.

Bradley, H. 1997, Fractured Identities: Changing Pattern of Inequality,Polity Press, Cambridge.

Braudel, F. 1980, On History, trans Sarah Matthews, University ofChicago Press, Chicago.

Budiman, A. 1981, ‘Students as intelligentsia: the Indonesianexperience’ in The Role of the Intelligentsia in ContemporarySociety, eds S.N. Ray & G. de la Lama, El Colegio De Mexico,Mexico, pp. 221-234.

Bulliet, R. W. 1994, Islam: The View from the Edge, ColumbiaUniversity Press, New York.

Burhanuddin, J. 1992, ‘Pasang surut industri batik kaum santriPekajangan’, Ulumul Qur’an, vol. 3, no. 3, pp. 52-9.

Burke, P. 2000, A Social History of Knowledge: From Gutenberg toDiderot, Polity, Cambridge.

Calhoun, C. (ed.) 1992, Habermas and the Public Sphere, TheMIT Press, Massachusetts.

Cammack, M. 1997, ‘Indonesia’s 1989 religious judicature act:Islamization of Indonesia or Indonesianization of Islam?’,Indonesia, no. 63, pp. 143-168.

Castles, L. 1967, Religion, Politics, and Economic Behavior in Java:

Page 786: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

766 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

the Kudus Cigarette Industry, Yale University (Southeast AsianStudies), New Haven.

Censis & Dibinperta 1996, The Baseline Study of IAIN: TheGuideline of IAIN Development Plan for the Twenty-five Years,Censis & Dibinperta, Jakarta.

Collins, R. 1998, The Sociology of Philosophies: A global Theory ofIntellectual Change, The Belknap Press of Harvard UniversityPress, Massachusetts.

Coppel, C. A. 1986, ‘From Christian mission to Confucian religion:the Nederlandsche zendingsvereeniging and the Chinese ofWest Java 1870-1910’ in Nineteeth and Twentieth CenturyIndonesia: Essays in Honour of Professor J. D. Legge, eds D. P.Chandler and M. C. Ricklefs, Monash University (Centre ofSoutheast Asian Studies), Melbourne, pp. 15-39.

Corfield, P. J. 1991, ‘Introduction: historians and language’ inLanguage, History and Class, ed P. J. Corfield, Basil Blackwell,Oxford, pp. 1-29.

Coser, L. 1965, Men of Ideas, Quill, New York.

Cox, H. 1984, Religion in the Secular City: Toward a PostmodernTheology, Simon and Suster, New York.

Crouch, H. 1979, ‘Partimonialism and military rule in Indonesia’,World Politics, no. 31, pp. 571-8

______1988, The Army and Politics in Indonesia, Cornell UniversityPress, Ithaca.

Dahrendorf, R. 1959, Class and Class Conflict in Industrial Society,Routledge, London.

Damanik, A. S. 2002, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, Teraju, Jakarta.

Darban, A. A. 2000: Sejarah Kauman: Menguak Identitas KampungMuhammadiyah, Tarawang, Yogyakarta.

Day, A. 1983, ‘Islam and literature in South-East Asia’ in Islam in

Page 787: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 767

South-East Asia, ed M. B. Hooker, E. J. Brill, Leiden, 130-159.

Day, C. 1972, The Policy and Administration of the Dutch in Java,Oxford University Press, Kuala Lumpur.

DDII 2001, Khittah Da’wah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia,DDII, Jakarta.

De Indische Gids 1914, ‘Dr. Radjiman ordeel over de SI’, pp. 65-66.

Dekmejian, R. H. 1995, Islam in Revolution: Fundamentalism inthe Arab World, Syracuse University Press, New York.

Della Porta, D., & Diani, M. 1999, Social Movements: AnIntroduction, Blackwell Publisher, Oxford.

Denoeux, G. 1993, ‘Religious networks & urban unrest: Lessonsfrom Iranian & Egyptian Experiences’ in The Violence Within:Cultural & Political Opposition in Divided Nations, ed K. B.Warren, Westview Press, Oxford, pp. 123-155.

Departemen Agama, RI. 1998, Peserta Program Studi di LuarNegeri, unpublished document.

______1998, Peserta Program Pembibitan Calon Dosen IAIN Se-Indonesia, unpublished document.

______1998, Jumlah dan Keadaan Mahasiswa Indonesia di TimurTengah, unpublished document.

Departemen Penerangan 1983, Lampiran Pidato Kenegaraan PresidenRepublik Indonesia di Depan Dewan Perwakilan Rakyat R. I.1983, Departemen Penerangan, Jakarta.

Departemen Penerangan 1988, Lampiran Pidato Kenegaraan PresidenRepublik Indonesia di Depan Dewan Perwakilan Rakyat R. I.1988, Departemen Penerangan, Jakarta.

Dewantara, K. H. 1952, ‘Djiwa nasional jang berdasarkan Islam’,preface in Amelz’s H. O. S. Tjokroaminoto, Hidup danPerdjuangannya, Vol.1, Bulan Bintang, Jakarta, pp. 29-31.

De Tocqueville, A. 1835, Democracy in America, Vintage Books,

Page 788: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

768 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

New York.

Dhakidae, D. 2003, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam NegaraOrde Baru, Gramedia, Jakarta.

Dhofier, Z. 1982, Tradisi Pesantren: Studi Tentang PandanganHidup Kyai, LP3ES, Jakarta.

______1992, ‘The intellectualization of Islamic studies in Indonesia’,Indonesia Circle, no. 58 (June), pp. 19-31.

______2000, ‘Refleksi atas visi dan misi IAIN’ in Problem &Prospek IAIN: Ontologi Pendidikan Islam, eds K. Hidayat andH. Prasetyo, Departemen Agama RI, Jakarta, pp. 87-100.

Diani, M. 2000, ‘The concept of social movement’ in Readings inContemporary Political Sociology, ed K. Nash, BlackwellPublishers, Oxford, pp. 155-176.

Dick, H. et.al. (eds.) 2002, The Emergence of A national Economy:An Economic History of Indonesia, 1800-2000, Allen & Unwin,NSW.

______2002, ‘Formation of the nation-state, 1930s-1966’ in TheEmergence of A national Economy: An Economic History ofIndonesia, 1800-2000, eds H. Dick at.al., Allen & Unwin,NSW, pp. 153-193.

Dijk, C. van 1981, Rebellion under the Banner of Islam, MartinusNijhoff, The Hague.

Dipojono, H. K. 2002, ‘Bang Imad yang saya kenal’ in Bang ‘Imad:Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya, eds J. Asshiddiqie et.al.,Gema Insani Press, Jakarta, pp. 215-221.

Djajadiningrat, A. 1977, ‘Reminiscences about life in a pesantren,1936’ in Indonesia: Selected Documents on Colonialism andNationalism, 1830-1942, ed Chr. L. M. Penders, University ofQueensland Press, Queensland, pp. 252-255.

Djamily, M. 1986, Mengenal Kabinet RI Selama 40 Tahun IndonesiaMerdeka, Kreasi Jaya Utama, Jakarta.

Page 789: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 769

Djiwandono, S. 1969, ‘Beberapa tjatatan tentang persoalan pelatjuranintelektuil’, Indonesia Raya (24 April).

Dobbin, C. 1983, Islamic Revivalism in a Changing PeasantEconomy: Central Sumatra, 1784-1847, Curzon, London.

DPP BKPRMI 2000, Laporan Pertanggungjawaban DPP BKPRMIPeriode 1997-2000, DPP BKPRMI, Jakarta.

DPP Golkar 1994, 30 Tahun Golkar, DPP Golkar, Jakarta.

Drewes, G. W. J. 1978, An Early Javanese Code of Muslim Ethics,Nijhoff, The Hague.

Eagleton, T. 1976, Criticism and Ideology, New Left Books,London.

______1997, The Function of Criticism, Verso, London.

Eder, K. 1993, The New Politics of Class, Sage Publications,London.

Effendy, B. 1994: Islam and the State: The Transformation ofIslamic political Ideas and Practices in Indonesia, thesis (Ph.D)—the Ohio State University, USA, photocopy, UniversityMicrofilms:1996, Ann Arbor, Michigan.

Eickelman, D. F. & Piscatori, J. 1996: Muslim Politics, PrincetonUniversity Press, Princeton.

Eisenstadt, S. N. 1973, ‘Intellectuals and tradition’ in Intellectualsand Tradition, eds S. N. Eisenstadt and S. R. Graubard,Humanities Press, New York, pp. 1-19.

Eldridge, P. 1995, Non-Government Organizations and DemocraticParticipation in Indonesia, Oxford University Press, KualaLumpur.

______1996, ‘Development, democracy and non-govermentalorganizations in Indonesia’, Asian Journal of Political Science,vol. 4, no. 1, pp. 17-35.

Elson, R. E. 2001, Suharto: A Political Biography, CambridgeUniversity Press, Cambridge.

Page 790: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

770 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Emmerson, D. K. 1976, Indonesia’s Elite: Political Culture andCultural Politics, Cornell University Press, Ithaca.

______1989, ‘Islam and regime in Indonesia: who’s cooptingwhom’, paper delivered at the annual meeting of the AmericanPolitical Science Association, Atlanta, Georgia (August, 31).

Esposito, J. L & Voll, J. O. 1999, Demokrasi di Negara-NegaraMuslim, Mizan, Bandung.

Etzioni-Halevy, E. 1985, The Knowledge Elite and The Failure ofProphecy, George Allen& Unwin, Sydney.

Eyerman, R. 1994, Between Culture and Politics: Intellectuals inModern Society, Polity Press, Cambridge.

Eyerman, R. & Jamison, A. 1991, Social Movements: A CognitiveApproach, the Pennsylvania State University Press, Pennsylvania.

______1998, Music and Social Movements: Mobilizing Traditionsin the Twentieth Century, Cambridge University Press, Cambridge.

Fadhali, A. (ed.) 1969, Partai NU dengan Aqidah danPerkembangannya, Toha Ma’ruf, Semarang:

Fairclough, N. 1999, Discourse and Social Change, Polity Press,Cambridge.

Fadjar, M. 1998, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Mizan,Bandung.

Fatwa, A. M. 1999, Dari Mimbar ke Penjara: Suara Nurani PencariKeadilan dan Kebebasan, Mizan, Bandung.

Fealy, G. 1996, ‘Wahab Chasbullah, traditionalism and the politicaldevelopment of Nahdlatul Ulama’ in Nahdlatul Ulama, TraditionalIslam and Modernity in Indonesia, eds G. Barton and G. Fealy,Monash Asia Institute, Clayton, pp. 1-41.

______2003, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, LKIS,Yogyakarta.

Febvre, L. & Martin, H-J. 1997, The Coming of the Book, Verso,London.

Page 791: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 771

Federspiel, H. M. 1970, ‘The Muhammadijah: a study of anorthodox Islamic movement in Indonesia’, Indonesia, no. 10(October), pp. 57-79.

______1977, ‘Islam and Nationalism’, Indonesia, no. 24 (October),pp. 39-47.

______1992, Muslim Intellectuals and National Development inIndonesia, Nova Science Publisher, New York.

______1995, A Dictionary of Indonesian Islam, Ohio UniversityCenter for International Studies, Athens.

Feillard, A. 1997, ‘Traditionalist Islam and the state in Indonesia:the road to legitimacy and renewal’ in Islam in an Era ofNation-States: Politics and Religious Renewal in Muslim SoutheastAsia, eds R. W. Hefner & P. Horvatich, University of Hawai’iPress, Honolulu, pp. 129-153.

Feith, H. 1957, The Indonesian Elections of the 1955, CornellUniversity Press, Ithaca.

______1962, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia,Cornell University Press, Ithaca.

______1963, ‘Dynamics of guided democracy’, in Indonesia, ed R.T. McVey, HRAF Press, New Haven, pp. 309-409.

______1980, ‘Repressive-developmentalist regimes in Asia: oldstrengths, new vulnerabilities’, Prisma, no. 19, pp. 39-55.

Feith, H. & Castles, L. (eds.) 1970, Indonesian Political Thinkings,1945-1965, Cornell University Press, Ithaca.

Feuer, L. S., 1976, ‘What is an intellectual?’ in The Intelligentsiaand The Intellectuals: Theory, Method and Case Study, ed A.Gella, Sage Publications Ltd., London, pp. 47-58.

Fisher, C. A. 1964, Southeast Asia: A Social, Economic and PoliticalGeography, Methuen, London.

Fischer, L. 1959, The Story of Indonesia, Harper, New York.

Foucault, M. 1972, The Archaeology of Knowledge, trans A. M.

Page 792: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

772 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Sheridan-Smith, Tavistock Publications. London.

______1976, The History of Sexuality, Volume 1: An Introduction,trans Robert Hurley, Penguin, London.

______1979a, Discipline and Punish: The Birth of the Prisons, transA. Sheridan. Random House, New York.

______1979b, ‘Truth and Power: Interview with Alessandro Fontanaand Pasquale Pasquino’ in Michel Foucault: Power, Truth,Strategy, eds Morris et.al., Feral Publications, Sydney, pp. 29-48.

______1980, Power/Knowledge: Selected Interviews and OtherWritings, trans C. Gordon et.al., Pantheon Random House,New York.

______1988, ‘The ethic of care for the self as a practice of freedom’in The Final Foucault, eds J. Bernauer and. D. Rasmussen, MITPress, Boston, pp. 1-20.

______1991, ‘Politics and the study of discourse’ in The FoucaultEffect: Studies in Governmentality, eds G. Burchell, C. Gordonand P. Miller, Harvester Wheatsheaf, London, pp. 53-72.

______1994, ‘Genealogy and social criticism’ in The PostmodernTurn: New Perspectives on Social Theory, ed S. Seidman,Cambridge University Press, Cambridge, pp. 39-45.

______1996, ‘Nietzche, genealogy, history’ in From Modernism toPostmodernism: An Anthology, ed L. Cahoone, BlackwellPublishers, Cambridge, 360-381.

______2000, ‘The subject and power’ in Readings in ContemporaryPolitical Sociology, ed K. Nash, Blackwell Publishers, Oxford,pp. 8-26.

Foulcher, K. 1986, Social Commitment in Literature and the Arts:The Indonesian ‘Institute of Peoples’ Culture’ 1950-1965, MonashUniveristy (Centre of Southeast Asian Studies Monash University),Melbourne.

Page 793: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 773

Fromm, E. 1942, Escape from Freedom, Routledge and Kegal Paul,London.

Furnivall, J. S. 1944: Netherlands India: A Study of Plural Economy,Cambridge University Press, Cambridge.

______1980, ‘Plural societies’ in Sociology of South-East Asia:Reading on Social Change and Development, ed H-D. Evers,Oxford University Press, Kuala Lumpur, pp. 86-103.

Gandhi, L. 1998, Postcolonial Theory: A Critical Introduction,Allen & Unwin, NSW.

Geertz, C. 1960, 1976, The Religion of Java, University of ChicagoPress, Chicago.

______1963, Peddlers and Princes, University of Chicago Press,Chicago.

______1965, ‘Modernization in a Muslim society: the Indonesiancase’ in Religion and Progress in Modern Asia, ed R. N. Bellah,Free Press, New York, pp. 93-108.

______1968, 1971, Islam Observed: Religious Development inMorocco and Indonesia, Yale University, New Haven.

______1972, ‘Afterward: the politics of meaning’ in Culture andPolitics in Indonesia. Eds C. Holt et. al., Cornell UniversityPress, Ithaca, pp. 319-335.

______1973, ‘Primordial sentiments and civil politics in the newstates: the integrative revolution’ in Southeast Asia: The Politicsof National Integration, ed J. T. McAlister, Jr., Random House,New York, pp. 42-54.

Geertz, H. 1963, ‘Indonesian culture and communities’ in Indonesia,ed R. McVey, HRAF Press, New Haven, pp. 24-96.

______(ed.) 1964, Letters of a Javanese Princess, trans A. L.Symmers, W. W. Norton, New York.

Gella, A. 1976, ‘An introduction to the sociology of the intelligentsia’in The Intelligentsia and The Intellectuals: Theory, Method and

Page 794: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

774 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Case Study, ed A. Gella, Sage Publications Ltd., London, pp. 9-32.

Gellner, E. 1988, Plough, Sword and Book: The Structure of HumanHistory, Collins-Harvill, London.

______1992, Postmodernism, Reason and Religion, Routledge,London.

Ghazali, M. J. 1998a, ‘Dunia pelajar Islam Indonesia’ in PilarDasar Gerakan PII: Dasa Warsa Pertama Pelajar Islam Indonesia,eds M. H. Thamrin & Ma’roov, Karsa Cipta Jaya, Jakarta, pp.19-33.

Ghazali, Z., et.al. 1998b, Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan:Prawoto Mangkusasmito, Wilopo, Ahmad Subarjo, DepartemenPendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta.

Gibb, H. A. R. 1932, Whither Islam?: A Survey of ModernMovements in the Moslem World, Victor Gollancz Ltd, London.

Giddens, A. 1984, The Constitution of Society, Polity Press,Cambridge.

______1985, The Nation-State and Violence: Vol. 2 of a ContemporaryCritique of Historical Materialism, Polity Press, Cambridge.

______1990, Sociology, Polity Press, Cambridge.

Giesen, B, 1998, Intellectuals and the Nation: Collective Identityin a German Axial Age, trans N. Levis & A. Weisz, CambridgeUniversity Press, Cambridge.

Gilsenan, M. 1973, Saint and Sufi in Modern Egypt: An Essay inthe Sociology of Religion, Oxford University Press, London.

GoGwilt, C. 1995, ‘Pramoedya’s fiction and history: an interviewwith Pramoedya Ananta Toer January 16, Jakarta, Indonesia’ inPramoedya Ananta Toer 70 Tahun: Essay to Honour PramoedyaAnanta Toer’s 70th Year, ed B. Hering, Yayasan Kabar Seberang,Netherlands, pp. 1-36.

Gonda, J. 1952, Sanskrit in Indonesia, International Academy of

Page 795: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 775

Indian Culture, Nagpur.

Gouldner, A. W. 1979, The Future of Intellectuals and the Rise ofthe New Class, The Macmillan Press, London.

Gramsci, A. 1959: The Modern Prince and Other Writings, trans L.Marks, International Publishers, New York.

______1971, Selections from the Prison Notebooks, eds and transQ. Hoare and G. N. Smith, Lawrence & Wishart, London.

______1995, Further Selections from the Prison Notebooks, ed andtrans D. Boothman, Lawrence & Wishart, London.

Gregory, A. 1976, Recruitment and Factional Patterns of theIndonesian Political Elite: Guided Democracy and The NewOrder, thesis (Ph.D)—Columbia University, USA, photocopy,University Microfilms: 1976, Ann Arbor, Michigan.

Habermas, J. 1989, The Structural Transformation of the PublicSphere, Polity Press, Cambridge.

______2000, ‘The public sphere’ in Readings in ContemporaryPolitical Sociology, ed K. Nash, Blackwell Publishers, Oxford,pp. 288-294.

Hadi, A. 1999, Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber: Esai-EsaiSastra Profetik dan Sufistik, Pustaka Firdaus, Jakarta.

Hadi, Y. S. 2000, Masjid Kampus untuk Ummat & Bangsa: MasjidArief Rahman Hakim UI, Masjid ARH UI & LKB-Nusantara,Jakarta.

Hadisutjipto, S. Z. 1977, Gedung STOVIA sebagai Cagar Budaya,Pemertintah DKI Jakarta (Dinas Musium & Sejarah), Jakarta.

Hakim, L. E. 1969, ‘Pelatjuran intelektuil di zaman resim Soekarno:sebuah tanggapan’, Indonesia Raya (25 April).

Hall, S. 1997, ‘Who needs ‘identity’?’ in Questions of CulturalIdentity, eds S. Hall & P. du Gay, SAGE Publications, London,pp. 1-17.

______2000, ‘The question of cultural identity’ in Readings in

Page 796: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

776 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Contemporary Political Sociology, ed K. Nash, BlackwellPublishers, Oxford, pp. 115-122.

Hamka 1952, ‘H.O.S. Tjokroaminoto membukakan mataku’ inH.O.S. Tjokroaminoto Hidup dan Perdjuangannya, Vol. 1, edAmelz, Bulan Bintang, Jakarta, pp. 34-40.

Hanke, S. H. 2003, ‘Refleksi tentang perubahan rezim’, Tempo(May 11).

Haralambos, M. & Heald, R. 1980, Sociology: Themes andPerspectives, University Tutorial Press, Slough.

Haris, S. 1997, ‘Struktur, proses dan fungsi pemilihan umum:catatan pendahuluan’, in Pemilihan Umum di Indonesia: Telaahatas Struktur, Proses dan Fungsi, eds S. Haris et.al., PPW-LIPI,Jakarta, pp. 1-14.

______1977, ‘Pemilihan umum dan dilema perwakilan politik’ inPemilihan Umum di Indonesia: Telaah atas Struktur, Proses danFungsi, eds S. Haris et.al., PPW-LIPI, Jakarta, pp. 73-104.

Harjono, A. & Hakiem, L. 1997, Di Sekitar Lahirnya Republik:Bakti Sekolah Tinggi Islam dan Balai Muslimin Indonesia KepadaBangsa, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jakarta.

Hartoko, D. 1981, Golongan Cendekiawan, Mereka yang Berumahdi Angin: Sebuah Bunga Rampai, Gramedia, Jakarta.

Hasbullah, M. 1999, The Making of Hegemony: Cultural Presentationsof the Muslim Middle Class in Indonesian New Order Period,thesis (Masters)—the Australian National University, Canberra.

Hassan, M. K. 1975, Contemporary Muslim Religio-PoliticalThought in Indonesia: The Response to ‘New Order Modernization’,thesis (Ph.D)—Columbia University, USA, photocopy, UniversityMicrofilms: 1979, Ann Arbor, Michigan.

______1980, Muslim Intellectual Response to ‘New Order’Modernization in Indonesia, Dewan Bahasa dan PustakaKementterian Pelajaran Malaysia, Kuala Lumpur.

Page 797: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 777

Hatta, M. 1957, Tanggung Djawab Moril Kaum Inteligensia,Penerbit Fasco, Jakarta.

______1960, Demokrasi Kita, Pandji Masjarakat, Jakarta.

______1928, 1998, ‘Tentang nama Indonesia’, De Socialist, no. 1(December 1928). Republished in Kebangsaan dan Kerakyatan:Karya Lengkap Bung Hatta, Vol. 1 (1998), LP3ES, Jakarta, pp.13-15.

Hayness, J. 1997, Democracy and Civil Society in the Third World:Politics & New Political Movements, Polity Press, Cambridge.

Hazairin, 1962, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta.

Hefner, R. W. 1993, ‘Islam, state and civil society: I.C.M.I. and thestruggle for the Indonesian middle class’, a working paper,Boston University, Massachusetts.

______1997, ‘Print Islam: mass media and ideological rivalriesAmong Indonesian Muslims’, Indonesia, no. 64, pp. 77-102.

Hill, A. H. 1970, The Hikayat Abdullah: An Annotated Translation,O.U.P., Kuala Lumpur.

Hill, H & Mackie, J. 1994, ‘Introduction’ in Indonesia’s NewOrder: The Dynamics of Socio-Economic Transformation, ed H.Hill, Allen & Unwin, NSW, pp. xxii-xxxv.

Hindess, B. 1996, Discourses of Power: From Hobbes to Foucault,Blackwell Publishers, Cambridge.

Hindley, D. 1970, ‘Alirans and the fall of the Old Order’, Indonesia,no. 9, pp. 23-66.

Hisbullah, P. H. 2002, Sejarah dan Perkembangan Ikatan MahasiswaMuhammadiyah, Monograph, IMM, Jakarta.

Hobsbawn, E. & Ranger, T. (eds.) 1983: The Invention of Tradition,Cambridge University Press, Cambridge.

Hodgson, M. 1974, The Venture of Islam. Vols. 1 & 3, Universityof Chicago Press, Chicago.

Page 798: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

778 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Hoerip, S. 1966, ‘Apakah benar kaum intelektuil Indonesia takterkalahkan?’, Kompas (27 June).

Hoogvelt, A. M. M. 1978, The Sociology of Developing Societies,McMillan, London.

Hooker, M. B. (ed.) 1983, Islam in South-East Asia, E. J. Brill,Leiden.

Hooker, V. M. (ed.) 1995, Culture and Society in New OrderIndonesia, Oxford University Press, Kuala Lumpur.

Hull, T. H. & Jones, G. W. 1994, ‘Demographic perspectives’ inIndonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-EconomicTransformation, ed H. Hill, Allen & Unwin, NSW, 123-178.

Huntington, S. P. 1996, The Clash of Civilizations and the Remakingof World Order, Simon & Schuster, New York.

Hurgronje, C. S. 1931, Mekka in the Latter Part of the 19th

Century, E. J. Brill, Leiden.

ICMI 1996, Buku Saku Anggota ICMI, Sekretariat ICMI, Jakarta.

ICMI Database 1997, Statistic Jenjang & Jenis Pendidikan AnggotaICMI, unpublished document.

______1998, Laporan Perkembangan Anggota ICMI, Januari 1998s/d Juni 1998, Unpublished document.

Imawan, R. 1989, The Evolution of Political Party Systems inIndonesia: 1900 to 1987, University Microfilms International,Michigan.

IMM 1998, Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Ikatan MahasiswaMuhammadiyah, unpublished document.

Ingleson, J. 1979, Road to Exile: The Indonesian NationalistMovement 1927-1934, Heinemann for the Asian StudiesAssociation of Australia, Singapore.

Innis, H. A. 1951, The Bias of Communication, the University ofToronto Press, Toronto.

Page 799: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 779

Islamic Research Center (ed.) 1970, Pembaharuan Pemikiran Islam,Islamic Research Center, Jakarta.

Ismail, T. & Moeljanto, D. S. (eds.) 1995, Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI dkk., Mizan, Bandung.

Jackson, K. D. & L. W. Pye (eds.) 1978: Political Power andCommunication in Indonesia, University of California Press,Berkeley.

Jaiz, H. A. 1999, Di Bawah Bayang-Bayang Soekarno-Soeharto:Tragedi Politik Islam Indonesia dari Orde Lama hingga OrdeBaru, Darul Falah, Jakarta.

Jay, M. 1993, Force Fields: Between Intellectual History andCultural Critique, Routledge, London.

Jenkins, D. 1984, Suharto and His Generals: Indonesian MilitaryPolitics 1975-1983, Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca.

Johns, A. H. 1979, Cultural Options and the Role of Tradition: ACollection of Essays on Modern Indonesian and MalaysianLiterature, Faculty of Asian Studies & ANU Press, Canberra.

Johnson, P. 1988, Intellectuals, Weidenfeld & Nicolson, London.

Jones, G. W. 1976, ‘Religion and education in Indonesia’, Indonesia,no. 22, pp. 19-56.

Jones, R. 1973, ‘Earl, Logan, and “Indonesia”’, Archipel, no. 16.

Junge, G. 1973, The Universities of Indonesian: History andStructure, the Bremen Economic Research Society, Bremen.

Junus, M. 1960, Sedjarah Pendidikan Islam di Indonesia, PustakaMahmudiah, Jakarta.

Kahin, A. 1999, Rebellion to Integration: West Sumatra and theIndonesian Polity, Amsterdam University Press, Amsterdam.

Kahin, G, McT. 1952, Nationalism and Revolution in Indonesia,Cornell University Press, Ithaca.

______1993, ‘In memoriam: Mohammad Natsir (1907-1993)’,

Page 800: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

780 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Indonesia, no. 56 pp. 159-65.

Karim, A. 1938, 1990, ‘Studenten Islam Studieclub’, MoslemseReveil, vol. 3, no. 5, November 1938. Republished as appendixin Saidi’s Cendekiawan Islam Zaman Belanda (1990), YayasanPiranti Ilmu, Jakarta, pp. 89-91.

Karim, R. 1999, Negara dan Peminggiran Islam Politik Politik,Tiara Wacana, Yogyakarta.

Kartamihardja, A. 1954, Polemik Kebudajaan: Pokok-Pokok PikiranSt. Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Purbatjaraka, Sutomo,Tjindarbumi, Adinegoro, M. Amir [dan] Ki Hadjar Dewantara,Perpustakaan Perguruan Kementeriaan P. P. dan K, Jakarta.

Kartodirdjo, S. 1966, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, ItsConditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movementsin Indonesia, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage.

______1991, Modern Indonesia, Tradition and Transformation: ASocio-Historical Perspective, Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.

Kauppi, N. 1996, French Intellectual Nobility: Institutional andSymbolic Transformation in the Post-Sartrian Era, State Universityof New York, New York.

Kementerian Penerangan 1954, Kepartaian dan ParlementariaIndonesia, Kementerian Penerangan, Jakarta.

King, D. Y. 1977, ‘Authoritarian rule and state corporatism inIndonesia’, paper presented to the 1977 Annual Meeting, theAmerican Political Science Association, Washington D.C.,September 1-4.

Koentjaraningrat 1963, ‘The Religion of Java: a review’, MadjalahIlmu-Ilmu Sastra, vo. 1, no. 2 , pp. 188-91.

Koentowidjojo 2001, Periodisasi Sejarah Kesadaran KeagamaanUmat Islam Indonesia: Mitos, Ideologi, dan Ilmu, Gadjah MadaUniversity, Yogyakarta.

Page 801: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 781

Konrád, G. & Szelényi, I. 1979, The Intellectuals on the Road toClass Power, trans A. Arato and R. E. Allen, Harvester Press,Sussex.

Korver, A.P.E. 1982, Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil?, Grafitipers,Jakarta.

Kridalaksana, H. 1994, ‘Cendekiawan sarjana dan sarjanacendekiawan’, Kompas (2 August).

Laclau, E. & Mouffe, C. 1985, Hegemony & Socialist Strategy,Verso, Sussex.

Laffan, M. F. 2003, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia:The Umma below the Winds, RoutledgeCurzon, London.

Landau, J. M. 1994, The Politics of Pan-Islam: Ideology andOrganization, Clarendon Press, Oxford.

Lanternari, V. 1963, The Religions of the Oppressed: A Study ofModern Messianic Cults, Macgibbon & Kee, London.

Lapidus, I. M., 1995, A History of Islamic Societies, CambridgeUniversity Press, Cambridge.

Lasch, C. 1965, The New Radicalism in America 1889-1963: TheIntellectual as a Social Type, Norton, New York.

Latif, Y. 1994, ‘Kondisi SDM Iptek Indonesia menjelang PJP II’,Afkar, vol. 2, no. 1, pp. 43-67.

______1999a, On Secularisation and Islamisation in Indonesia: ASociological Interpretation, thesis (Masters)—The AustralianNational University, Canberra.

______1999b, Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan: KrisisAgama, Pengetahuan dan Kekuasaan Dalam KebudayaanTeknokratis, Mizan, Bandung.

______& Ibrahim, I.S. (eds.) 1996, Bahasa dan Kekuasaan: PolitikWacana di Panggung Orde Baru, Mizan, Bandung.

Lecercle, J-J. 1994, ‘Postmodernism and language’ in Postmodernismand Society, eds R. Boyne and A. Rattansi, Macmillan, London,

Page 802: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

782 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

pp. 76-96.

Lechte, J. 1995, Fifty Key Contemporary Thinkers: From Structuralismto Postmodernity, Routledge, London.

Lee, Kam Hing. 1977, ‘Education and nationalism in Indonesia’ inThe History of Southeast, South and East Asia: Essays andDocuments, ed Khoo Kay Kim, Oxford University Press, KualaLumpur, pp. 155-165.

______1995, Education and Politics in Indonesia, 1945-1965,University of Malaya Press, Kuala Lumpur.

Legge, J. D. 1988, Intellectual and Nationalism in Indonesia: AStudy of the Following Recruited by Sutan Sjahrir in OccupationJakarta, Cornell Modern Indonesian Project, Ithaca.

______1981, ‘Daulat Ra’jat and the ideas of the Pendidikan NasionalIndonesia’, Indonesia, no. 32, pp. 151-168.

Lemke, J.L. 1995, Textual Politics: Discourse and Social Dynamics,Taylor & Francis, London.

Lenin, V. I. 1977, Selected Works, vol. 1, Progress Publishers,Moscow.

Lerner, D. 1958, The Passing of Traditional Society, The Free Press,Illinois.

Levine, D. 1969, ‘History and social structure in the study ofcontemporary Indonesia’, Indonesia, no. 7, pp. 5-19.

Liddle, R. W. 1973, ‘Modernizing Indonesian politics’ in PoliticalParticipation in Modern Indonesia, ed R. W. Liddle, YaleUniversity Press, New Haven, pp. 177-206.

______1995, ‘Islam and politics’, paper presented at the seminaron Islam in Southeast Asia, Jakarta, 30-1 June 1995.

______1996a, ‘The Islamic turn in Indonesia: a political explanation’,Journal of Asian Studies, vol. 55, no. 3, pp. 613-34.

______1996b, Leadership and Culture: An Indonesian Politics,Allen & Unwin, NSW.

Page 803: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 783

Lijphart, A. 1977, Democracy in Plural societies, Yale UniversityPress, New Haven.

Lipset, S. M. 1960, Political Man, Heinemann, London.

Lombard, D. 1996a, Nusa Jawa: Silang Budaya, vol. 1 (Batas-Batas Pembaratan), Gramedia, Jakarta.

______1996b, Nusa Jawa: Silang Budaya, vol. 2 (Jaringan Asia),Gramedia, Jakarta.

Lukens-Bull, R. A. 2000, ‘The history of the Western canon onIndonesian Islam’, International Journal Ihya ‘Ulum al-Din, vol.2, no. 1, pp. 1-20.

Lyotard, J. F. 1984, The Postmodern Condition: A Report onKnowledge, Manchester University Press, Manchester.

Maarif, A. S. 1985, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentangPercaturan dalam Konstituante, LP3ES, Jakarta.

______1996, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa DemokrasiTerpimpin (1959-1965), Gema Insani Press, Jakarta.

Macdonnel, D. 1995, Theories of Discourse: An Introduction,Blackwell, Oxford.

Mackie, J. & MacIntyre, A. 1994, ‘Politics’ in Indonesia’s NewOrder: The Dynamics of Socio-Economic Transformation, ed H.Hill, Allen & Unwin, NSW, pp. 1-153.

Madjid, N. 1984, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Mizan,Bandung.

______1990, ‘Catatan Kecil Tentang HMI sekitar 1966’ in DiesNatalis Keempat Puluh Tiga HMI, ed Tim PB HMI, PB HMI,Jakarta, pp. 33-34,

______1990, ‘Beberapa pandangan pendahuluan tentang ‘IkatanSarjana Muslim Indonesia’ (ISMI)’, Unpublished paper.

______1968, Modernisasi ialah Rationalisasi Bukan Westernisasi,Liga Demokrasi, Bandung.

Page 804: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

784 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

______2002, ‘Dari demokrasi Minangkabau ke demokrasi Indonesia’,Unpublished paper.

Mahasin, A. (ed.) 1983, Cendekiawan dan Politik, LP3ES, Jakarta.

Mahendra, Y. I. 1995, ‘Combining activism and intellectualism:the biography of Muhammad Natsir’, Studia Islamika, vol. 2,no.1, pp. 111-47.

Maier, H. M. J. 1993, ‘From heteroglossia to polyglossia: thecreation of Malay and Dutch in the Indies’, Indonesia, no. 56,pp. 37-65.

Malaka, T. 1991, From Jail to Jail. Vol. 1, trans H. Jarvis, OhioUniversity Center for International Studies, Athens.

Malik, D.D. & Ibrahim, I.S. 1998, Zaman Baru Islam Indonesia:Pemikiran & Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais,Nurcholish Madjid, and Jalaluddin Rakhmat, Zaman WacanaMuda, Bandung.

Mandan, A. M. (ed.) 2001, Subchan Z. E., Sang Maestro: PolitisiIntelektual dari Kalangan NU Modern, Pustaka Indonesia Satu,Jakarta.

Mangoenkoesoemo, G. 1918, 1981, ‘De geboorte van BoediOetomo’in Soembangsih: Gedenkboek Boedi Oetomo, 1908-20Mei 1918, ed Nederlandsch Indië Oud & Nieuw (1918), p. 9.Republished in Cahaya di Kegelapan (1981), eds P. Soeharto &A. Z. Ihsan, Aksara Jayasakti, Jakarta, pp. 25-39.

Mannheim, K. 1936, Ideology and Utopia: an Introduction to theSociology of Knowledge, Harcourt Brace &World, New York.

______1952, Essays in the Sociology of Knowledge, Routledge &Kegan Paul, London.

Mardatillah, F. 1997, Intellectual Responses to the Establishmentof Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), 1990-1995,thesis (Masters)—McGill University, Canada. Photocopy, UniversityMicrofilms: 2001, Ann Arbor, Michigan.

Page 805: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 785

Marx, K. 1974, Surveys from Exile, trans D. Fernbach, VintageBooks, New York.

Mas’oed, M. 1983, The Indonesian Economy and Political Sructureduring the Early New Order, 1966-1971, University MicrofilmsInternational, Ann Arbor, Michigan.

Mastuhu 1994, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: SuatuKajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren,INIS, Jakarta.

Matheson, V. 1986, ‘Strategies of survival: the Malay royal line ofLingga-Riau’, Journal of Southeast Asian Studies, vol. 17, no. 1,pp. 5-38.

______1989, ‘Pulau Penyengat: nineteenth century Islamic centreof Riau’, Archipel, no. 37.

Mauldin, L. W. 1981, The Colonial Influences of IndonesianEducation, University Microfilms International, Ann Arbor,Michigan.

Maxwell, J. R. 1997, Soe Hok-Gie: A Biography of a YoungIndonesian Intellectual, thesis (Ph.D)—The Australian NationalUniversity, Canberra.

McLeish, K. 1993, Key Ideas in Human Thought, Bloomsbury,London.

McLuhan, M. 1964, Understanding Media: The Extensions of Man,Routledge & Kegan Paul Ltd, London.

McVey, R. T. 1965, The Rise of Indonesian Communism, CornellUniversity Press, Ithaca.

______1989, ‘Faith as the outsider: Islam in Indonesian politics’ inIslam in the Political Process, ed J. P. Piscatori, CambridgeUniversity Press, Cambridge, pp. 199-225.

______1990, ‘Teaching modernity: The PKI as an educationalinstitution’, Indonesia, no. 50, pp. 5-27.

Meeker, M. E. 1994, ‘Intelektual Muslim baru di Republik Turki’,

Page 806: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

786 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Islamika, no. 5, pp. 84-102.

Melucci, A. 1996, Challenging Codes: Collective Action in theInformation Age, Cambridge University Press, Cambridge.

Messer, A. 1994, ‘Effects of the Indonesian national revolutionand transfer of power on the scientific establishment’, Indonesia,no. 58, pp. 41-68.

Messick, B. 1993, The Calighraphic State: Textual Domination andHistory in a Muslim Society, University of California Press,Berkeley.

Miller, N. 1999, In the Shadow of the State: Intellectuals and theQuest for National Identity in Twentieth-Century SpanishAmerica, Verso, London.

Mills, S. 1999, Discourse, Routledge, London.

Milner, A. 1996, Literature, Culture & Society, Allen & Unwin,NSW.

Milner, A. C. 1995, The Invention of Politics in Colonial Malaya:Contesting Nationalism and the Expansion of the Public Sphere,Cambridge University Press, Cambridge.

Ministry of Education and Culture, 1997, Educational Profile ofIndonesia, the Ministry of Education and Culture, Jakarta.

Ministry of Education 1956, Development of Education in Indonesia,the Ministry of Education, Jakarta

______1958, A Minister of Education Statistical Supplement, theMinistry of Education, Jakarta

Mintaredja, H. S. 1971, Renungan Pembaharuan Pemikiran:Masjarakat Islam dan Politik di Indonesia, Permata Press, Jakarta.

Mintz, J. S. 1959, ‘Marxism in Indonesia’ in Marxism in SoutheastAsia: A Study of Four Countries, ed F. N. Trager, StanfordUniversity Press, California, pp. 171-239.

______1965, Mohammed, Marx, and Marhaen: The Roots ofIndonesian Socialism, Pall Mall Press, London.

Page 807: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 787

Mobini-Kesheh, N. 1999, The Hadrami Awakening: Communityand Identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942, CornellUniversity (SEAP), Ithaca.

Mona, A. 1999, Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi: StudiKasus Alumni Al-Azhar, LP3ES, Jakarta.

Mortimer, R. 1969, ‘Class, social cleavage and Indonesiancommunism’, Indonesia, no. 8, pp. 1-19.

Mouffe, C. 2000, ‘Hegemony and new political subjects: toward anew concept of democracy’ in Readings in ContemporaryPolitical Sociology, ed K. Nash, Blackwell Publishers, Oxford,pp. 295-309.

Mrázek, R. 1994, Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, CornellUniversity (SEAP), Ithaca.

Munhanif, A. 1998, ‘Prof. Dr. A. Mukti Ali: modernisasi politik-keagamaan Orde Baru’ in Menteri-Menteri Agama RI: BiografiSosial Politik, eds A. Azra & S. Umam, INIS, Jakarta, pp. 269-319.

Nagazumi, A. 1972, The Dawn of Indonesian Nationalism. TheEarly Years of the Budi Utomo 1908-1918, Institute of DevelopingEconomies, Tokyo.

Nahirny, V. C. 1983, The Russian Intelligentsia: From Torment toSilent, Transaction Books, London.

Nakamura, M. 1976, The Crescent Arises over the Banyan Tree: AStudy of the Muhammadijah Movement in a Central JavaneseTown, thesis (Ph.D)—Cornell University, USA. Photocopy,University Microfilms: 1979, Ann Arbor, Michigan.

______1999, ‘Prospects for Islam in post-Soeharto Indonesia’,Asia-Pacific Review, vol. 6, no.1, pp. 89-108.

Nash. K. (ed.) 2000, Readings in Contemporary Political Sociology,Blackwell Publishers, Oxford.

Nasution, A. B. 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di

Page 808: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

788 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante, 1956-1959,Grafiti, Jakarta.

Natsir, M. 1931, ‘Indonesisch Nationalisme’, Pembela Islam, no.36 (October).

______1954a, Capita Selecta, W. Van Hoeve, Bandung.

______1954b, Some Observation Concerning the Role of Islam inNational and International Affairs, An address originally madebefore the Pakistan Institute of World Affairs, Cornell University,Ithaca.

______1969, Fiqhud-da’wah: Djedjak Risalah dan Dasar-DasarDa’wah, DDII, Jakarta. The revised edition is published in1971 by Jajasan Da’wah Islamijah (Surabaya).

Nelson, G. K. 1987, Cults, New Religions and Religious Creativity,Routledge & Kegan Paul, London.

Nieuwenhuys, R. 1999, Mirror of the Indies, Periplus, Singapore.

Noer, D. 1973, The Modernist Muslim Movement in Indonesia,1900-1942, Oxfod University Press, Singapore.

______1978, ‘Jong Islamieten Bond (Persatuan Pemuda Islam)’ inMohamad Roem 70 Tahun: Pejuang Perunding, ed S. Soemarsono,Bulan Bintang, Jakarta, pp. 240-255.

______1980, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942,LP3ES, Jakarta.

______1987, Partai Islam di Pentas Nasional, Grafitipers, Jakarta.

______1990, Mohammad Hatta: Biografi Politik, LP3ES, Jakarta.

Oey-Gardiner, M. & Suryatini, A. 1990, ‘Issues in Indonesianhigher education policy making processes’, paper for theInternational Conference on Economic Policy Making Processin Indonesia, Bali, 6-9 September.

O’Rourke, K. 2002, Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia, Allen & Unwin, NSW.

Page 809: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 789

Orr, K. et.al. 1977, ‘Education for this live or for the life to come:observations on the Javanese village madrasah’, Indonesia, no.23, pp. 129-56.

Pabottingi, M. 1982, ‘Kaum intelektual pemimpin dan aliran-aliran ideologi di Indonesia sebelum revolusi 1945’, Prisma, no.6, pp. 40-53.

______1991, Nationalism and Egalitarianism in Indonesia, 1908-1980, thesis (Ph.D)—University of Hawaii, Photocopy, UniversityMicrofilms: 1992, Ann Arbor, Michigan.

Panitia Buku Peringatan 1996: Seratus Tahun Haji Agus Salim,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Panitia Peringatan Mohammad Natsir/Mohamad Roem 70 Tahun1978, Mohamad Roem 70 Tahun: Perunding-Pejuang, BulanBintang, Jakarta.

______1978b, Mohammad Natsir 70 Tahun: Kenang-KenanganKehidupan dan Perjuangan, Pustaka Antara, Jakarta.

Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman 1982, Hidup Itu Berjuang:Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Bulan Bintang, Jakarta

Pasewark, K. A. 1993, A Theology of Power: Being BeyondDomination, Fortress Press, Minneapolis.

Poerbopranoto, K. 1981: ‘Pengorbanan terhadap tanah air’ inMaju Setapak, eds P. Soeharto & A. Z. Ihsan, Aksara Jayasakti,Jakarta, pp. 23-38.

______1987, Bunga Rampai Sumpah Pemuda, PN Balai Pustaka,Jakarta.

Poerwadarminta, W.J.S. 1953, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Balai Pustaka, Jakarta.

Poesponegoro, M. D. & Notosusanto, N. 1990, Sejarah NasionalIndonesia, Vol. V, Balai Pustaka, Jakarta.

Poeze, H. A. 1990, ‘Indonesians at Leiden University’ in BeberapaKajian Indonesia dan Islam, eds W.A.L. Stokhof & N.J.G.

Page 810: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

790 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Kaptain, INIS, Jakarta, pp. 33-58.

Prawiranegara, S. 1984, ‘Pancasila as the sole foundation’, Indonesia,no. 38, pp. 74-83.

Pringgodigdo, A. K. 1964, Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia,Pustaka Rakjat, Jakarta.

Priyono, A. E. (ed.) 1996, Kebebasan Cendekiawan: Refleksi KaumMuda, Bentang Budaya, Yogyakarta

Proudfoot, I. 1993, Early Malay Printed Books: A ProvisionalAccount of Materials Published in the Singapore-Malaysia Areaup to 1920, Noting Holdings in Major Public Collections,Academy of Malay Studies and The Library, University ofMalaya, Kuala Lumpur.

______1997, ‘Mass producing Houri’s moles or aesthetics andchoice of technology in early Muslim book printing’ in Islam—Essays on Scripture, Thought and Society: A Festschrift in Honourof Anthony H. Johns, eds P. G. Riddell and T. Street, Brill,Leiden, pp. 161-184.

______1998, ‘From manuscript to print’ in Indonesian Heritage:Language and Literature, ed J. H. McGlynn, Archipelago,Singapore, pp. 46-47.

PSPI 1998, Tanjung Priok Berdarah: Tanggung Jawab Siapa?, GemaInsani Press, Jakarta.

Qutb, S. 1969, Inilah Islam, trans A.R. Baswedan & A. Hanafi,Hudaya, Jakarta.

______1978, Masyarakat Islam, trans A. M. Nurdin, CV. Pelajar,Bandung.

______1980, Petunjuk Jalan, trans A. R. Zainuddin, Media Dakwah,Jakarta.

Radhakrishnan, R. 1990, ‘Toward an effective intellectual: Foucaultor Gramsci?’ in Intellectuals: Aesthetics, Politics, Academics, edB. Robbins, University of Minnesota Press, Minneapolis, pp.

Page 811: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 791

57-99.

Radjasa, H., 2002, ‘Bang Imad, guru spiritual dan intelektual’ inBang ‘Imad: Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya, eds J. Asshiddiqieet.al., Gema Insani Press, Jakarta, pp. 212-214.

Rahardjo, M.D. 1985, ‘Sedikit tentang sejarah intelektual danperanan kaum terpelajar Muslim’ in 70 Tahun Prof. Dr. H. M.Rasjidi, ed E.B. Ananda, Pelita, Jakarta, pp. 191-213.

______1993, Intelektual, Inteligensia, dan Prilaku Politik Bangsa:Risalah Cendekiawan Muslim, Mizan, Bandung.

______1995, ‘ICMI, masyarakat madani, dan masa depan politikIndonesia’, Republika (29-30 November).

Rahman, M-Z. 1969, ‘Sebuah tanggapan tentang pelatjuranintelektuil di zaman resim Soekarno’, Indonesia Raya (26 April).

Rahmat, A. & Najib, M. 2001, Gerakan Perlawanan dari MasjidKampus, Purimedia, Surakarta.

Ramage, D. E. 1995, Politics in Indonesia: Democracy, Islam andthe Ideology of Tolerance, Routledge, New York.

Rasjidi, H. M. 1972, Sekularisasi dalam Persoalan Lagi, JajasanBangkit, Jakarta.

Read, H. 1959, ‘Julien Benda and the new humanism’, preface inBenda’s The Betrayal of the Intellectuals, The Beacon Press,Boston, pp. xiii-xxxii.

Rebick, J. 1996, ‘Bridging identity: a creative response to identitypolitics’ in Clash of Identities: Essays on Media, Manipulation,and Politics of the Self, ed J. Littleton, Prentice-Hall, Toronto,pp. 31-39.

Redaksi SMT, Jembatan Antar-Generasi: Pengalaman Murid SMTDjakarta, 1942-1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Reid, A. 1988, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680,Vol. I: The Land Below the Winds, Yale University, New Haven.

______1993, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680,

Page 812: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

792 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Vol. II: Expansion and Crisis, Yale University Press, New Haven.

Ricklefs, M. C. 1993, A History of Modern Indonesia Since C.1300, Macmillan, London.

Ridjaluddin, F. N. 2001, ‘Surau dan modernisasi pendidikan dimasa Hindia Belanda’ in Sejarah Pertumbuhan dan PerkembanganLembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, ed H. A.Nata, Grasindo, Jakarta, pp. 71-88.

Ritzer, G. 1996, Sociological Theory, fourth edition, The McGraw-Hill Companies, Inc., New York.

Rivai, A. 1902, ‘Bangsawan pikiran’, Bintang Hindia, Specimenissue no. 1 (July).

Robbins, B. 1990, ‘Introduction: the grounding of intellectuals’ inIntellectuals: Aesthetics, Politics, Academics, ed B. Robbins,University of Minnesota Press, Minneapolis, pp. ix-xxvii.

Robin, K. 1991, ‘Tradition and translation: national culture in itsglobal context’ in Enterprise and Heritage: Crosscurrents ofNational Culture, eds J. Corner and S. Harvey, Routledge,London, pp. 21-44.

Robison, R. 1978, ‘Toward a class analysis of the Indonesianmilitary bureaucratic state’, Indonesia, no. 25, pp. 17-39.

______1981, ‘Culture, politics, and economy in the political historyof the New Order’, Indonesia, no. 31, pp. 1-29.

______1986, Indonesia: The Rise of Capital, Allen & Unwin, NSW.

Roem, M. 1983, Bunga Rampai dari Sejarah: Wajah-Wajah Pemimpindan Orang Terkemuka di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta.

______1989, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, Gramedia,Jakarta.

Roff, W. R. 1967, The Origins of Malay Nationalism, Yale UniversityPress, New Haven.

______1970a, ‘Indonesian and Malay students in Cairo in the1920s’, Indonesia, no. 9, pp. 73-87.

Page 813: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 793

______1970b, ‘South East Asian Islam in the nineteenth century’in The Cambridge History of Islam, Vol. II, eds P. M. Holt et.al., Cambridge University Press, Cambridge, pp. 155-181.

Ross, A. 1990, ‘Defenders of the faith and the new class’ inIntellectuals: Aesthetics, Politics, Academics, ed B. Robbins,University of Minnesota Press, Minneapolis, pp. 101-132.

Rosyad, R. 1995, A Quest for True Islam: A Study of the IslamicResurgence Movement among the Youth in Bandung, Indonesia,thesis (Masters)—the Australian National University, Canberra.

Roy, O. 1994, The Failure of Political Islam, Harvard UniversityPress, Massachussetts.

Rude, G. 1970, Ideology and Popular Protest, Pantheon, NewYork.

Sadli, M. 1993, ‘Recollections of my career’, Bulletin of IndonesianEconomic Studies, vol. 29, no. 1, pp. 35-51.

Sadri, A. 1992, Max Weber’s Sociology of Intellectuals, OxfordUniversity Press, Oxford.

Said, E. 1978, Orientalism, Vintage, New York.

______1983, The World, the Text and the Critic, Harvard UniversityPress, Cambridge, MA.

______1989, ‘Representing the colonized: anthropology’sinterlocutors’, Critical Inquiry, vol. 15, no. 2, pp. 205-25.

______1994, Representations of the Intellectual, Vintage, London.

Said, S. 1991, Genesis of Power: General Sudirman and theIndonesian Military in Politics 1945-49, Pustaka Sinar Harapan,Jakarta.

Said, T. 1987, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila,Deppen RI, Jakarta.

Saidi, R. 1990, Cendekiawan Islam Zaman Belanda, Yayasan PirantiIlmu, Jakarta.

Page 814: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

794 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Salam, S. 1970, Sedjarah Partai Muslimin Indonesia, LembagaPenjelidikan Islam, Jakarta.

Salim, A. 1925, ‘De Islam, het licht van Allah’, Het Licht, no. 1,pp. 2-4.

______1926, ‘Rede van den heer Hadji A. Salim’, Het Licht, no.11-12 (January and February), pp. 26-33.

______1952, ‘Tjokroaminoto pemimpin pergerakan rakjat jang ta’ada bandingnya’, preface in Amelz’s H. O. S. Tjokroaminoto,Hidup dan Perdjuangannya, Vol. 1, Bulan Bintang, Jakarta, pp.14-16.

Salman Database 2001, ‘Daftar Nama dan Alamat Jamaah SalmanITB’, unpublished document.

Santoso, A. E. (ed.) 1997, Tidak Ada Negara Islam: Surat-SuratPolitik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Penerbit Djambatan,Jakarta.

Sanusi, S. 1967, Integrasi Ummat Islam, PTDI, Nagrek.

Savage, M., Barlow, J., Dickens, A. and Fielding, T. 1992, Property,Bureaucracy and Culture: Middle Class Formation in ContemporaryBritain, Routledge, London.

Schiller, J. 1996, Developing Jepara in New Order Indonesia,Monash Asia Institute, Clayton.

Schmitter, P. C. 1974, ‘Still the century of corporatism?’ in TheNew Corporatism: Social-Political Structures in the IberianWorld, eds F. B. Pike and T. Stritch, University of Notre DamePress, Notre Dame, pp. 85-131.

Schwarz, A. 1994, A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s,Allen & Unwin, NSW.

Scott, J. C. 1990, Domination and the Arts of Resistance: HiddenTranscripts, Yale University Press, New Haven.

Sen, K. & Hill, D. T. 2000, Media, Culture and Politics in Indonesia,Oxford University Press, Victoria.

Page 815: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 795

Shepard, W. E. 1987, ‘Islam and ideology: towards a typology’,International Journal of Middle East Studies, no. 19, pp. 307-335.

Shils, E. 1972, The Intellectuals and the Powers and Other Essays,the University of Chicago Press, London.

Shiraishi, T. 1990, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java,1912-1926, Cornell University Press, Ithaca.

Simbolon, P. T. 1995, Menjadi Indonesia, Vol. 1: Akar-AkarKebangsaan Indonesia, Kompas, Jakarta.

Simpson, J. M. 1991, The Political Determinants of Access toHigher Education in Indonesia, University Microfilms International,Ann Arbor, Michigan.

Sitompul, A. 1976, Sejarah Perjuangan HMI 1947-1975, PenerbitBina Ilmu, Surabaya.

______et.al. (eds.) 1987, HMI Mengayuh di Antara Cita dan Kritik,Aditya Media, Yogyakarta.

______2002, Menyatu Dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa:Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI (1947-1997), LogosWacana Ilmu, Jakarta.

Smart, B. 1997, ‘Postmodern social theory’ in Social Theory, ed B.S. Turner, Blackwell Publishers, Massachussetts, pp. 396-428.

Smith, D. E. 1970, Religion and Political Development, Little,Brown and Company, Boston.

Snyder, J. 2000, From Voting to Violence: Democratization andNationalist Conflict, W.W. Norton & Company, New York.

Soe Hok Gie 1966, ‘Antara kemerdekaan intelektuil dan instruksipartai’, Kompas (20 August).

______1990, Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat IslamSemarang, 1917-1920, Frantz Fanon Foundation, Jakarta.

Soebagijo 1980, Jusuf Wibisono, Karang di Tengah Gelombang,Gunung Agung, Jakarta.

Page 816: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

796 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Soebardi, S. 1971, ‘Santri-religious elements as reflected in thebook of Tjūntini.’ BKI, vol. 127, no. 3.

Soekadri, H. 1979, Pahlawan Nasional, Kiyai Haji Hasyim Asy’ari,Depdikbud, Jakarta.

Soekarno 1964, Di Bawah Bendera Revolusi, Vol. 1, Panitia DiBawah Bendera Revolusi, Jakarta

______1929, 1981, ‘Kewadjiban kaoem intellectueel’, PersatoeanIndonesia, December 1929. Republished in Aku Pemuda Kemarindi Hari Esok (1981), eds P. Soeharto and A. Z. Ihsan, AksaraJayasakti, Jakarta, pp. 201-203.

______1989, Pancasila dan Perdamaian Dunia, CV. Haji Masagung,Jakarta.

______1999, Negara Nasional dan Cita-Cita Islam, Pusat DataIndikator, Jakarta.

Soekito, W. 1959, ‘Posisi kaum inteligensia Indonesia dewasa ini’,Siasat Baru, no. 655 (30 December), pp. 5-15.

______1960, ‘Kesetiaan intelektual kepada masjarakat’, Indonesia(Indonesian literary journal), no. 4 (October/November/December),pp. 178-192.

______1966, ‘Apakah sebabnya kaum intelektuil Indonesia takterkalahkan?’, Kompas (31 May).

Soemardjan, S. 1981, ‘The changing role of intellectuals inIndonesian national development: a socio-historical interpretation’in The Role of the Intelligentsia in Contemporary Society, edsS.N. Ray & G. de la Lama, El Colegio De Mexico, Mexico, pp.139-153.

Soerjaningrat, S. 1918, 1981, ‘In memoriam: WahidinSoedirohoesodo’, in Nederlandsch Indië Oud & Nieuw I (1916-’17), p. 265. Republished in Cahaya di Kegelapan (1981), eds P.Soeharto & A. Z. Ihsan, Aksara Jayasakti, Jakarta, pp. 11-24.

Soeropranoto, R. B. 2000, Kasus Peledakan BCA 1984: Menggugat

Page 817: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 797

Dominasi Ekonomi Etnik Cina di Indonesia, Fame Press, Jakarta.

Soetomo 1984, ‘Kenang-kenangan: beberapa pungutan kisahpenghidupan orang yang bersangkutan dengan penghidupandiri saya’ in Kenang-Kenangan Dokter Soetomo, ed P. W. van derVeur (ed.), Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 107-206.

Soewarno 1918, 1981, ‘Circulaire’ in Soembangsih: GedenkboekBoedi Oetomo, 1908-20 Mei 1918, ed Nederland Indië Oud &Nieuw (1918), p. 15. Republished in Cahaya di Kegelapan(1981), eds P. Soeharto & A. Z. Ihsan, Aksara Jayasakti, Jakarta,pp. 11-24.

Sparringa, D. T. 1997, Discourse, Democracy and Intellectuals inthe New Order Indonesia: A Qualitative Sociological Study,thesis (Ph.D)—Flinders University, Australia.

Spybey, T. 1992, Social Change, Development & Dependency,Polity Press, Cambridge.

Steenbrink, K. A. 1986, 1994, Pesantren, Madrasah, Sekolah:Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, LP3ES, Jakarta.

______1984, Beberapa Aspek tentang Islam di Abad ke-19, BulanBintang, Jakarta.

______1993, Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contactsand Conflicts, 1596-1950, trans J. Steenbrink & H. Jansen,Rodopi, Amsterdam.

Stromberg, R. N. 1968, European Intellectual History Since 1789,Appleton-Century-Crofts, New York.

Sulastomo, 2000, Hari-Hari yang Panjang, 1963-1966, Kompas,Jakarta.

Sumarsono, T. 1998, Sajadah Panjang Bimbo. 30 Tahun PerjalananKelompok Musik Religius, Mizan, Bandung.

Suminto, H. A. 1996, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta.

Sundhaussen, U. 1982, The Road to Power: Indonesian MilitaryPolitics, 1945-1967, Oxford University Press, Kuala Lumpur.

Page 818: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

798 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Suradi, 1997, Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam SarekatIslam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Surbakti, R. A. 1991, Interrelation between Relgious and PoliticalPower under New Order Indonesia, University MicrofilmsInternational, Ann Arbor, Michigan.

Surjomihardjo, A. 1973, Budi Utomo Cabang Betawi, PustakaJaya, Jakarta.

______(ed.) 1980, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers diIndonesia, Deppen RI & Leknas LIPI, Jakarta.

Sutherland, H. 1975, ‘The priyayi’, Indonesia, no. 19, pp. 57-77.

______1979, The Making of a Bureaucratic Elite, HeinemannEducational Books (Asia) Ltd., Kuala Lumpur.

Syaifullah, 1997, Gerakan Politik Muhammadiyah dalam Masyumi,Grafiti, Jakarta.

Tampi, N. J. 1987, ‘Trend bacaan 1980-an: cermin meningkatnyatelaah keagamaan’, a working paper, Bagian Dokumentasi danInformasi Majalah Tempo, Jakarta.

Tanja, V. 1982, Himpunan Mahasiswa Islam: Sejarah danKedudukannya di Tengah Gerakan-Gerakan Muslim Pembaharudi Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta.

Tapol, 1987, Indonesia: Muslims on Trial, Tapol, London.

Tasrif 1966, ‘Berachirlah kini zaman pengchianatan kaum intellektuilIndonesia’, Kompas (27 April).

______1966, ‘Julien Benda dan pengchianatan kaum intelektuil’,Kompas (12 May).

Teeuw, A., 1986, Modern Indonesian Literature, Vol. 1, ForisPublications, Dordrecht-Holland.

______1979, Modern Indonesian Literature, Vol. II, MartinusNijhoff, The Hauge.

Thamrin, M. H. & Ma’roov (eds.) 1998: Pilar Dasar Gerakan PII:

Page 819: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 799

Dasa Warsa Pertama Pelajar Islam Indonesia, Karsa Cipta Jaya,Jakarta.

Thee, Kian Wie 2002, ‘The Soeharto era and after: stability,development and crisis, 1966-2000’ in The Emergence of ANational Economy: An Economic History of Indonesia, 1800-2000, eds H. Dick et.al., Allen &Unwin, NSW, pp. 194-243.

Thomas, R. M. 1973, A Chronicle of Indonesian Higher Education,Chopmen Enterprises, Singapore.

Tim Kompas, 1999, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi,dan Program, Kompas, Jakarta.

Tim Peduli Tapol 1998, Fakta: Diskriminasi Rezim Soehartoterhadap Umat Islam, Wihdah Press, Yogyakarta.

Tim Redaksi SMT 1998, Jembatan antar Generasi: PengalamanMurid SMT Djakarta, 1942-1945, Pustaka Sinar Harapan,Jakarta.

Tjokroaminoto, O. S. 1916, 1981, ‘Zelf Bestuur’, a speech at theSarekat Islam National Congress I in Bandung, 17-24 Juni1916. Republished in Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok (1981),eds A.Z. Ihsan & P. Soeharto, Aksara Jayasakti, Jakarta, pp. 11-47.

______1925, 1981, ‘Apakah Socialisme itoe?’, Bandera Islam, 1925.Republsihed in Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok (1981), edsA.Z. Ihsan & P. Soeharto, Aksara Jayasakti, Jakarta, pp. 93-114.

______1952, ‘Islam dan Socialisme’, an excerpt in Amelz’s H.O.STjokroaminoto: Hidup dan Perdjuangannja, Vol. 1, Bulan Bintang,Jakarta. It was first published in Bandera Islam in 1925, pp.138-153.

Tobing, E. 2003, ‘Masalah Struktural Peningkatan KesempatanKerja’, The Prospect, www.theindonesianinstitute.org [21 December2003].

Toer, P. A. 1985, Sang Pemula, Hasta Mitra, Jakarta.

Page 820: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

800 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Touraine, A. 1981, The Voice and The Eye: An Analysis of SocialMovements, Cambridge University Press, Cambridge.

Toynbee, A. J. 1949, Civilization on Trial, Oxford University Press,London.

Turner, B. S. 1996, Orientalism, Postmodernism & Globalism,Routledge, London.

Uchrowi, Z. & Usman Ks. 2000, ICMI Bergerak: Lintasan 10Tahun Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia, Republika,Jakarta.

Umam, R. 1995, ‘ICMI, NU, dan persaingan representasi MuslimIndonesia’, Media Indonesia (8 December).

Umam, S. , 1998, ‘K.H. Wahid Hasyim: konsolidasi dan pembelaanEesistensi’ in Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik,eds A. Azra and S. Umam, INIS, PPIM & Balitbang Agama,Depag RI, Jakarta, pp. 81-113.

UNESCO, 1976-1989: UNESCO Statistical Rearbook, UNESCO,Paris.

Van Bruinessen, M. 1994, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, PencarianWacana Baru, Yogyakarta, LKIS.

______1995, ‘Shari’a court, tarekat and pesantren: religiousinstitutions in the Banten Sultanate’, Archipel, 50.

Van der Veur, P. W. 1969, ‘Education and Social Change in ColonialIndonesia (I)’, Pepers in International Studies (Southeast AsiaSeries No. 12), Ohio University Center for International Studies(Southeast Asia Program), Athens, Ohio

______(ed) 1984, Kenang-Kenangan Dokter Soetomo, PenerbitSinar Harapan, Jakarta.

Van Gennep, A. 1960, The Rites of Passage, The University ofChicago Press, Illinois.

Van Niel, R. 1960, 1970, The Emergence of the Modern IndonesianElite, W. van Hoeve Publishers Ltd., The Hague.

Page 821: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 801

Van Nieuwenhuijze, 1958, Aspects of Islam in Post-ColonialIndonesia, W. van Hoeve Ltd., The Hague.

Vatikiotis, M. J. 1994, Indonesian Politics under Suharto: Order,Development and Pressure for Change, Routledge, London.

Vedung, E. 1982, Political Reasoning, Sage Publications, California.

Von der Mehden, F.R. 1963, Religion and Nationalism in SoutheastAsia, the University of Wisconsin Press, Madison.

Wahib, A. 1981, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan HarianAhmad Wahib, LP3ES, Jakarta.

Wahid, A. 1979, Bunga Rampai Pesantren: Kumpulan Tulisan danKarangan Abdurrahman Wahid, Dharma Bhakti, Jakarta.

______1981, Muslim di Tengah Pergumulan: Berbagai Pandangan,Leppenas, Jakarta.

______1992, ‘Tugas intelektual Muslim’, Aula, No. 01/XIV (January).

______1998, ‘A. Wahid Hasyim, NU, dan Islam’, Media Indonesia(8 October).

Wahid, N. 2000, Membongkar Hegemoni NU: Di Balik IndependensiPMII (1966-1972), Bina Rena Pariwara, Jakarta.

Walzer, M. 1989, The Company of Critics, Peter Halban, London.

Ward, K. E. 1974, The 1971 Election in Indonesia: An East JavaCase Sudy, Monash Papers on Southeast Asia, Monash Centreof Southeast Asian Studies, Melbourne.

______1970, The Foundation of the Partai Muslimin Indonesia,Cornell University (Modern Indonesia Project), Ithaca.

Weber, M. 1967, ‘Class, Status and Party’ in Class, Status, andPower: Social Stratification in Comparative Perspective, eds R.Bendix and M. Lipset, Routledge & Kegan Paul Ltd., London,pp. 63-75.

Webster, A. 1990, Introduction to the Sociology of Development(2nd ed.), McMillan, Basingstoke.

Page 822: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

802 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Wertheim, W. F. 1956, Indonesian Society in Transition, Van Hoeve,The Hague.

______1980, ‘Moslems in Indonesia: Majority with MinorityMentality’, Occasional Paper No. 8, James Cook University ofNorth Queensland, Queensland.

______1995, ‘Pramoedya as historian’ in Pramoedya Ananta Toer70 Tahun: Essays to Honour Pramoedya Ananta Toer’s 70th

Year, ed B Hering, Yayasan Kabar Seberang, The Hague, pp. 81-90.

Wibisono, J. 1980, ‘Studenten Islam Studieclub: pidato pada rapatpendirian’, appendix in Soebagijo’s Jusuf Wibisono, Karang diTengah Gelombang, Gunung Agung, Jakarta, pp. 390-396.

Wiktorowicz, Q. 2001, The Management of Islamic Activism:Salafis, the Muslim Brotherhood, and State Power in Jordan,State University of New York Press, New York.

Wilkinson, R. J. 1903, Manuskript Klasik, Kamus Jawi-Melayu-Inggeris (A Classic Jawi-Malay-English Dictionary), Kelly &Walsh, Singapore, republished in 1985 by Baharudinjoha Alai,Melaka.

Williams, R. 1958, Culture and Society 1780-1950, Chatto andWindus, London.

Wilson, G. K. 1990, Interest Groups, Basil Blackwell, Oxford.

Winstedt, S. R. 1960, Kamus Bahasa Melayu, Marican & Sons,Singapore & Kuala Lumpur.

Wira 1969, ‘Tjontoh-tjontoh pelatjuran intelektuil di zaman resimSoekarno’, Indonesia Raya (14-23 April).

Wirjosandjojo, S. 1984, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot,ed H. A. Hamzah, YP2LPM, Malang.

Woodward, M.R. 1996, ‘Talking across paradigms: Indonesia,Islam, and Orientalism’ in Toward a New Paradigm: RecentDevelopments in Indonesian Islamic Thought, ed M. R. Woodward,

Page 823: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 803

Arizona State University (Program for Southeast Asian Studies),Arizona, pp. 1-45.

World Bank 1998, Indonesia in Crisis: A Macroeconomic Update.World Bank, Washington.

Yamin, M. 1959-60, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar1945, vol. 1, Prapantja, Jakarta

Zain, S. T. 1960, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Grafica, Jakarta.

Zen, M. T., 1966, ‘Tugas Tjendekiawan: Mengisi Kemerdekaan’,Kompas (9-12 July).

Berita-Berita dan Opini (Selain Berita) dalam Koran-Koran,Majalah-Majalah, dan WebsiteAngkatan Bersenjata (1990-1999, see Appendix A & B)

Bandera Islam (1924-1927)

Berita Buana (1990-1999, see Appendix A & B)

Bintang Hindia (Specimen issue no. 1//1902, no. 14/1905)

Bintang Timor (29/12/1880)

Bisnis Indonesia (1990-1999, see Appendix A & B)

Daulat Ra’jat (10/11/1931)

Detik (10/03/1993).

Djawi Hisworo (9-11/01/1918).

Fadjar Asia (26/07/ 1928, 18-20/08/1928)

Het Licht ( No. 1/1925, No. 10/1925; Vol. VII/1931)

Indische Courant (18/12/ 1926)

Indonesia Raya (21/04/1959, 14 –23/04/1969)

Jakarta Post (13/06/1998, 30/06/1998)

Kompas (April-August 1966, 22/04/1969, 29/11/1984, 07/05/1998,1980-1999—see Appendix A & B)

Medan Prijaji (1907-1912)

Page 824: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

804 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Media Indonesia (1990-1999, see Appendix A & B)

Merdeka (1990-1999; see Appendix A & B)

Moslemse Reveil (vol 3, no. 5/1938)

Neratja (18/10/1921)

Pandji Islam (May 1940-July 1941)

Pandji Masjarakat/Panji Masyarakat (01/05/1960, 29/03/ 1968,15/01/ 1975)

Pandoe Merah (No. 1/1924)

Pelita (1990-1999, see Appendix A & B)

Pembela Islam (March 1930, October 1931)

Persatoean Indonesia (December 1929)

Republika (09/01/1997, 07/05/1998, 15/05/1998,

Selompret Melajoe (28/11-30/12/1899)

Seruan Azhar (vol. 2, no. 13, October 1926)

Sinar Djawa (04/03/1914)

Sinar Hindia (1918-1920)

Sinar Harapan (03/04/2003, 1980-1986—see Appendix A)

Soeara Oemoem (June-July 1930, October 1930)

Suara Karya (1990-1999, see Appendix A & B)

Suara Pembaruan (1987-1999, See Appendix A & B)

Taman Pengadjar (15/10/1899)

Tempo (21/08/1971,

Timboel (February-March 1927)

www.geocities.com/pmkri_web/profil-sejarah.htm [20/02/2002]

www. geocities.com/gmni_jkt/profile.htm [20/02/2002]

www.geocities.com/CapitolHill/8766 [20/02/2002]

Page 825: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 805

Daftar WawancaraAam Amiruddin (12/12/2000)

Abdul Hamid (29/08/1998)

Abdul Hadi W. M. (17/09/1998)

Abdurrahman Mas’ud (15/11/1999)

Achmad Tirtosudiro (11/10/1999)

Adi Sasono (02/09/1998)

Adian Husaini (23/05/2001)

Ahmad Jayadi Hanan (30/11/2000)

Ahmad Watik Pratiknya (27/12/1998)

Ahmad Zacky Siradj (23/09/1998)

Alfan Husaeri (25/11/2000)

Alfian Tanjung (22/03/2002)

Ali Masykur Musa (22/05/2003)

A.M. Lutfi (03/09/1998)

Aziz Husein (27/10/1998)

Bachtiar Fanani Lubis (11/11/2000)

Bismar Siregar (14/09/1998)

Budi Prayitno (13/12/2000)

Chairil Anwar (11/11/2000)

Dawam Rahardjo (10/09/1998)

Dahlan Ranuwihardjo (29/12/1999)

Darul Siska Said (04/09/1998)

Fahri Hamzah (15/08/1998)

Fuad Amsjari (09/11/2000)

Haidar Bagir (11/09/1998)

Hasballah M. Saad (16/08/1998)

Hernowo (13/12/2000)

Page 826: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

806 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Imaduddin Abdulrahim (26/12/1998)

Imran Rasyidi (31/08/1998)

Jimly Asshidiqie (03/09/1998)

Jusuf Hasjim (07/08/1998)

Jusuf Amir Feisal (04/12/1998)

Laode M. Kamaluddin (27/08/1998)

Lukman Harun (10/09/1998)

Marwah Daud Ibrahim (01/10/1999, 16/10/1999)

Mashuri (24/11/2000)

M. Amien Rais (17/09/2003)

M. Habib Chirzin (03/09/1998)

Mohammad Ali Bey (28/08/1998)

Mohammad Jumhur Hidayat (09/10/1999)

Mohammad Zaenuri (05/12/1998, 10/11/2000)

Muchtar Abbas (29/11/2000)

Muhammad Nuh (11/11/2000)

Muhammad Thohir (27/10/1998)

Muslimin Nasution (04/09/1998)

Mutammimul Ula (03/12/2003)

Nasir Tamara (18/08/1998)

Nur Mahmudi Ismail (13/08/1998)

Nurcholish Madjid (18/09/1998)

Parni Hadi (04/09/1998)

Piet Hizbullah (10/01/2003)

Pupun Purwana (11/11/2000)

Putut Wijanarko (13/12/2000)

Ray Rangkuti (22/03/2002)

Sajidiman Surjohadiprodjo (08/09/1998)

Page 827: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Kepustakaan | 807

Sajuti Hasibuan (20/12/1998)

Samsu Rizal Panggabean (14/08/1998)

Sibawaihi (01/12/2000)

Solahuddin Wahid (02/09/1998)

Sulthon Nur Rahman (25/11/2000)

Suparwan G. Parikesit (13/11/2002)

Sutjipto Wirosardjono (04/09/1998)

Tatat Rahmita Utami (01/10/1999)

Tri Laksono Indriyanto (05/12/1998)

Usman Affandy (25/11/2000)

Utomo Dananjaya (26/08/1998, 07/12/2000, 29/11/2000)

Wardiman Djojonegoro (01/09/1998)

Wirawan Suminar Hadi (25/11/2000)

Zainal Arifin Achmadi (09/12/1998)

Zur’aini Djamal (15/09/1998)

Page 828: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

808 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Page 829: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Indeks | 809

Abay SubarnaAbaza, Mona‘Abd Al-’Aziz ibn Sa’ud‘Abd Al-Rauf AI-SingkiliAbdul Aziz Abdullah Al-AmmarAbdul HadiAbdul Kahar MuzakkirAbdul Karim AmrullahAbdul LatifAbdul MuisAbdul Qadir JaelaniAbdul RivaiAbdul Wachid HasjimAbdul Wachid SitumeangAbdul Wahab Chasbullah, K.H.Abdullah AchmadAbdulpatah, M.H.Abdurrahman WahidAbendanon, J.H.Abikusno TjokrosujosoAbubakar, Kiai HadjiAbu RidhoAbu-Rabi’Achmad Dachlan, K.H.

Achmad Hasan Zaeni, H.Achmad KhatibAchmad Sadjeli , A.Achmad TirtosudiroAdam MalikAdi SasonoADIA (Akademi Dinas llmu Agama)Agus SalimAhmad BaiquniAhmad DjajadiningratAhmad HassanAhmad KallaAhmad SadriAhmad ShadaliAhmad Soorkatti, SyaikhAhmad WahibAhmad, ImamAhmady, Z.A.Aidit, D.N.Ajip RosjidiAkbar TandjungAlamsjah PrawiranegaraAlfianAli Mudhakir

INDEKS

Page 830: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

810 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Ali MurtopoAli SastroamidjojoAli ShariatiAli WardhanaAliminAllen, GrahamAmanahAmang RahmanAmien Rais, M.Amir SjarifuddinArnri JahjaAMS (Algemeene Middelbare

School)Anderson, BenedictAnne RufaidahAnton Timur DjaelaniAnwar HarjonoAnwariArchaeology of KnowledgeArief BudimanArief Rahman HakimArifin C. NoerArio Hadi Ningrat, Raden Mas

AdipatiArmijn PaneAron, RaymodArswendo Atmowilotoasas tunggaI, konsepASC (Algemene Studie Club)Aswab Mahasinaydin

Baars, AdolfBack to the MosqueBahderJohanBahrum RangkutiBakhtin, M.M.

Bakin (Badan Koordinasi IntelijenNegara)

Bakir HasanBandera Islam, majalahbangsa Hindiabangsawan oesoelbangsawan pikiranBank Dunia (World Bank)Bapilu (Badan Pemenangan Pemilu)Barbalet, J.M.Barthes, RolandBaswedan, A.R.Bataviasche NouvellesBaudrillandBauman, Zygmuntbawah tanahbeasiswaBeddu AmangBellah, Robert N.Benda, Harry J.Benjamin, Walterbergerak, istilahBergsmaBhahha, Homibi’I-halbi’I-lisanBimboBina GrahaBinder, LeonardBintang HindiaBintoro Tjokroamidjojobirokratik-politikBisri SjansuriBKPMI (Badan Komunikasi Pemuda

Masjid Indonesia)BKS (Badan Kerja Sama)Blok historis

Page 831: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Indeks | 811

Blok nasionalBMT (Baitul Maal wa’-Tamwil)Boersma, Profesor I.Bond van IntellectueelenBourdieu, PierreBP (Balai Pustaka)BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-

Usaha Persiapan KemerdekaanIndonesia)

Braudel, FernandBromartaniBU (Budi Utomo)budaya Jawa neo-klasikBulliet, Richard W.bungBur RasuantoBurhanuddin Harahap

CakrabirawaCammack, MarkcendekiawanCEP (Christelijke Ethische Partij)CGMI (Consentrasi Gerakan

Mahasiswa Indonesia)Chairil AnwarChoso HorieCinaClemenceau.CMF (Cendekiawan Muslim Al-

Falah)Corfield, Penelope J.Cox, HarveyCramer, Ch.C.Crouch, HaroldCSIS (Center for Strategic and

International Studies)

Daarut TauhidDahlan Ranuwihardjo, A.dakwahDanartoDaniel DhakidaeDaniel T. SparinggaDarmawan MangunkusumoDarsonoDarto WahhabDarul ArqamDatuk Sutan MaharadjaDaudet, AlphonseDaulat Ra‘jatDawam RahardjoDDII (Dewan Dakwah Islamiyah

Indonesia)de Graeff, SimonDe Jonge, Bonifacius C.de TocquevilleDekker, H.W.Dekrit PresidendemokrasiDemokrasi TerpimpinDepartemen AgamaDetikdevelopmentalisme-represifdevide et impera, taktikdewan mahasiswaDewan RakyatDiani, MarioDidin HafiduddinDiscipline and Punish: The Birth of

the Prisonsdiskursus menurut Sara Millsdisonansi kognitifDjaelani NaroDjajadiningrat

Page 832: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

812 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Djaka PurnamaDjalaluddin RakhmatDjalaluddin ThaibDjalaluddin, M.T.Djami’ah Al-ChairiahDjamil Djambek. M.Djarnawi HadikusumoDjazman Al-KindiDjohan EffendiDjojodikoroDjuanda, H.Doenia BergerakDokter DjawaDomination and the Arts of

Resistance: Hidden TranscriptsDouwes Dekker, E.F.E.Dreyfus, AlfredDreyfusardDreyfusianaDwi Fungsi ABRIDzulkabir

Eagleton, TerryEarl, George WindsorEditorEerste Klasse SchoolEickelman, Dale F.Eka Prasetya Pancakarsaekonomi, krisisekonomi Indonesia, kejatuhanekonomi rakyatekonomi-sebagai-panglimaekstrem kananekstrem kirieliteIndonesiaELS (Europeesche Lagere School)

ElsonEmha Ainun NadjibEmil SalimEmmerson, Donald K.Endang Saifuddin AnshariEric SalmanEropaeufemismeEyerman

Fachry AliFadel MuhammadFahmi IdrisFahri HamzahFahrur RoziFairclough, NormanFathurrahman KafrawiFatwa, A.M.Fazlur RahmanFBSI (Federasi Buruh Seluruh

Indonesia)Febre, LucienFederspiel, Howard M.Feith, HerbertFenny MustafaFikiran Ra‘jatFiqhud-Da‘wahfiqih Syafi‘iFKPI (Forum Komunikasi

Pembangunan Indonesia)Fock, DirkFord FoundationForum DemokrasiFoucault, MichelFoucauldian, genealogiFrans SedaFromberg, Mr.

Page 833: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Indeks | 813

Front Demokrasi RakyatFu’ad, RajaFuad AmsjariFuad BawazierFudoli Zaini, M.Furnivall, J.S.

Gandhi, LeelaGeertz, Cliffordgelar bangsawanGella, AleksanderGema Insani PressGemsos (Gerakan Mahasiswa

Sosialis)genealogiGenerasigerakan bawah tanahgerakan dakwah , perkembangangerakan pembaruangerakan sosialGerakan Tiga-AGerakan Wakaf BukuGerindo (Gerakan Rakjat Indonesia)Germindo (Gerakan Mahasiswa

Indonesia)Gestapu (Gerakan 30 September)Giesen, BernhardGMKI (Gerakan Mahasiswa KristenIndonesia)GMNI (Gerakan Mahasiswa

Nasional Indonesia)Golkar (Golongan Karya)Gouldner, AlvinGPII (Gerakan Pemuda Islam

Indonesia)Gramsci, AntonioGregory, Ann

Gunawan MangunkusumoGunawan, R.

Habermas, JurgenHabib ChirzinHabibie, B.J.HabitusHadji RasulHadramauthajiHall, StuartHamam Dja’farHamid DjabbarHamka (Hadji Abdul Malik KarimAmrullah)Hamzah HazHamzah PansuriHanafi, A.Hangabehi, Pangeran HaramainHarry Tjan SilalahiHarsudijono Hartas, Letjen.Harun NasutionHaryanto DhanutirtoHasan Al BannaHasan Djajadiningrat, R.Hasjim Asj’ariHassan, A.Hatta RadjasaHefner, Robert W.Her LichtHikajat KadiroenHikayat Gul BakuwaliHindia BelandaHindia OlandaHiroshimaHizbut Tahrir

Page 834: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

814 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

HMI (Himpunan Mahasiswa Islam)HMI-MPO (Hiimpunan Mahasiswa-

Islam Majelis PertimbanganOrganisasi)

Hobsbawn, EricHollandsch-Inlandsche SchoolHoogere Burher Schoolhumanisme universalHurgronje, Christiaan SnouckHusein Djajadiningrat, Dr.

IAIN (Institut Agama Islam Negeri)IAIN Sunan KalijagaIbrahim MusaICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim

se-Indonesia)Ida LemanIda RoyaniIdenburg, Gubernur JenderalIdenburg, P. J.A.identitas kolektif mahasiswa

Muslim, pembentukanidentitas menurut Stuart Hallideologi developmentalismeIdham ChalidIDI (Islam untuk Disiplin Ilmu)IdrusIGGI (Inter-Governmental Group

on Indonesia)IIFSO (International Islamic

Federation of StudentOrganizations)

Iin ParlinaIjtihadIkatan Mahasiswa MuhammadiyahIkhwanul MusliminIKP (Indische Katholieke Partij)

Iljas Ja’kubIM (Ikhwanul Muslimin)Imaduddin Abdulrahim, M.Imamura, Letnan JenderallMANU (Ikatan Mahasiswa

Nahdlatul Ulama)IMF (International Monetary Fund)IMM, kemunculanindividualismeIndonesiainsulindeintelektualintelektualismeintelek-ulamainteligensiainteraktifIP (Indische Partij)IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul

Ulama)IPPNU (Ikatan Pelajar Putri NU)ISC (lndonesische Studie Club)ISDV (Indische Sociaal

Democratische Vereeniging)Al-Ishlahy PressISH (Ikatan Sardjana Islam

Indonesia)Iskak TjokroadisurjoIslamIslam and SocialismIslam BergerakIslam dan sosialismeIslam PolitikIslam tradisional, tradisiIslam, Yes: partai Islam, Yes!Islam, Yes; partai Islam, No!islamisasi dunia akademisislamisasi modernitas

Page 835: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Indeks | 815

islamismeIsmail Hasan MetareumITB (Institut Teknologi Bandung)Ittihadul UlamaIwa Kusuma Sumantri

Jackson, Karl D.jalan ketiga, gerakanJalan Tengah, konsepjalur idejalur politikJama’ah TablighJama’at Islamiya’Jamal Al-Din Al-AfghaniJameson, FredricJay, MartinJIB (Jong Islamieten Bond)JIL (Jaringan Islam Liberal)jilbabJohnson, PaulJones, Gavin W.Jong CelebesJong IndonesieJong Indonesie, majalahJong JavaJong MinahasaJong Sumatranen BondJusdi Ghazali, M.Jusuf HasjimJusufWibisonoJutta Bluhm-Warn

Kabinet Ampera yangDisempurnakan

Kabinet Pembangunan IKafrawiKAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa

Indonesia)KAMMI (Kesatuan Aksi MahasiswaMuslim Indonesia)Kamus Modern Bahasa IndonesiaKamus Umum Bahasa Indonesiakaoem koenoKaoem Mardikakaoem moedaKAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda

Pelajar Indonesia)Karim, A.KARISMAKartini, R.A.KASI (Kesatuan Aksi Sarjana

Indonesia)Kasimo, I.J.Kasman SingodimedjoKastolanikaum mudakebatinanKedaoelatan Ra’jatkedaulatan, teorikelompok BandungKelompok Petisi 50Kelompok Yogyakemadjoeankenangan kolektifkepartaian di Indonesiaketerbukaankeuntungan komparatifkeuntungan kompetitifKhomeini, ImamKi Bagus HadikusumoKing, Dwight Y.Kitab Pengetahuan BahasaKMNU (Keluarga Mahasiswa NU)Koch, D.M.G.

Page 836: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

816 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

koloni Jawahkolonisasi, kata Saidkomisi reformasiKomite Persatuan IndonesiaKompaskomunismekomunitas imajinerKonferensi Meja BundarKonrad, GeorgekonsepsiKopkamtib (Komando Operasi

Pemulihan Keamanan danKetertiban)

korporatif-ekonomiskorporatisme negaraKorpri (Korps Pegawai Republik

Indonesia)Kraemer, HendrikKristeva, JuliaKuniaki KoisoKuntowidjojoKwik Kian Gie

La Trahison des ClercsLaclauLaffan, Michael FrancisLafran PaneLahouari AddiLatif SjakurLatuharhary, J.LDK (Lembaga Dakwah Kampus)Lee Kam HingLegge, J.D.Lekra (Lembaga Kebudayaan

Rakyat)Lemke, Jay L.Lenin

Levine, DavidLichaam, KernLiddle, R. WilliamLiga DemokrasiLiga MusliminLijphart, ArendLindon, JeromeLIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan

Islam dan Bahasa Arab)Lipset, Seymour MartinLKIS (Lembaga Kebajikan Islam

Samanhudi)LKMII (Lembaga Kesehatan

Mahasiswa Islam Indonesia)LKN (Lembaga Kebudayaan

Nasional)LMD (Latihan Mujahid Dakwah)Logan, James RichardsonLP3ES (Lembaga Penelitian,

Pendidikan dan PeneranganEkonomi dan Sosial)

LSAF (Lembaga Studi Agama danFilsafat)LSM (Lembaga Swadaya

Masyarakat)LSP (Lembaga Studi Pembangunan)Lukman Harun

Ma‘alim Fi Al-ThariqMa’sum, KiaiMacdonell, DianeMadrasah Al-Iqbal Al-IslamiyyahmadrasahMahbub DjunaediMahmud JunusMajelis ReboanMalik Fadjar

Page 837: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Indeks | 817

Mambaul UlumAl-ManarMangkusumitroManikebu (Manifes Kebudayaan)Manipol-USDEKMannheim, KarlMansour FaqihMansur SaminMar’ie MuhammadMaramisMartin, Henri-JeanMartodharsonoMarxMas MansurMas Marco KartodikromoMas Ngabei DwijosewojoMasdar F. Mas’udiMashadiMASIKA (Majelis Sinergi Kalam)Masjid Arief Rahman Hakimmasjid kampusMasjid SalmanMasjumi (Majlis Sjuro Muslimin

Indonesia)massa mengambang, konsepMasyarakat IslamMasyumimaterialismeMaulani, Z.A.McLuhan, MarshallMcVey, RuthMedan Prijaji3Medan PrijajiMedia DakwahMegawati SukarnoputriMemmi, Albertmerdeka

mesin cetakMIAI (Madjlis Islam A’laa Indonesia)Michels, RobertMiftah FaridlMills, SaraMintaredja, M.S.Misbach, H.Mitsuo NakamuraMizan, PenerbitMochtar Mas’oedMochtar Pabottingimodal kulturalmodal manusiamodernisasiMoh. Husnie ThamrinMohamad RoemMohammad Arsjad, HadjiMohammad DachlanMohammad DiponegoroMohammad HattaMohammad IljasMohammad NatsirMohammad RoemMohammed Kamal HassanMohd. Rashid RidhaMohd. Tahir bin DjalaluddinMonitorMosi Integral NatsirMouffeMrazek, RudolfMuchtar AbbasMuchtar Lutfimufakat guruMuhammad ‘AbduhMuhammad Al-Nawawi Al-BantaniMuhammad Arsjad Al-BanjariMuhammad bin ‘Abd Al-Wahhab

Page 838: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

818 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Muhammad Daud Beureu’ehMuhammad Djamil DjahoMuhammad IqbalMuhammad YaminMuhammadiyahMUI (Majelis Ulama Indonesia)Muis, A.Mukhlish AbdiMukti Ali, Prof.MULO (Meer Uitgebreid Lager

Onderwijs)MultatuliMunawir SjadzaliAl-MunirMunsyi Abdullah bin Abdul KadirMurdani, Jenderal L.B.Murtadla Muthahhari MurtopoMushtafa MashurMuskovi, kaumMuslim AbdurrahmanMuslim new edge, kaumMuslimMuslimin NasutionMusoMustahal AhmadMustofa BisriMuttaqien, E.Z.

Nahirny, Vladimir c.Nasakom (Nasionalisme, Agama,

dan Komunisme)nasionalis, kaumnasionalisme kerakyatanNasutionNatalie Mobini-KeshehNational Indonesische Padvinderij

Nederlandsch Indie Oud & NewIntelektual

negara Islam, konsepnegara-korporatismeNelson, R.E.neo-santriNIAS (Nederlandsch-Indische

Artssen-school)NIP (Nationaal Indische Partij)NIVB (Nederlandsch Indische

Vrijzinnige Bond)NKK (Normalisasi Kehidupan

Kampus)Noguc’hi, N.Noto Suroto, R.M.NU (Nahdlatul Ulama)Nurcholish MadjidNurmahmudi Ismail

O’Rourke, KevinOFP (Overseas Development

Program)orang Jawahorang kafir-kulit putihOrde BaruOrde Lamaordonansi guruOrtega y GassetOSVIA (Opleidengscholen Voor

Inlandsche Ambtenaren)Othman Effendi RafatOTI (Organisasi Tjendekiawan

Indonesia)P3M (Perkumpulan PengembanganPesantren dan Masyarakat)P4 (Pedoman Penghayatan dan

Pengamalan Pancasila)

Page 839: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Indeks | 819

Pagujuban PasundanPAN (Panai Amanat Nasional)PancasilaPandji IslamPan-IslamParamadinaParindra (Partai Indonesia Raja)Parkindo (Partai Kristen Indonesia)Parmusi (Partai Muslimin Indonesia)Partai Katolikpartai, pembentukanPartindo (Partij Indonesia)PBB (Partai Bulan Bintang)PEB (Politiek Economische Bond)Pecheux, wac ana menurut MichelpembangunanPembela Islam, majalahpemberontakan berdarah, kaum

pribumiPembrita BetawiPemoeda Mohammad NatsirPemoeda Sutan SjahrirPemoeda Tan MalakapendudukanJepangpengelasduaan yang mengerikanpengetahuan, minatPenghuluPEPOLIT (Pendidikan Politik

Tentara)Perang NapoleonperceraianPergerakan Tiga-Apergulatan demi menyatakan-diriPerhimi (Perhimpunan Mahasiswa

Indonesia)Perhimpunan Hindiaperkawinan

permainan kuasaPermiPerpindom (Perkumpulan Pemuda

Indonesia Malaya)Persami (Persatuan Sardjana Muslim

Indonesia)Persatoean IndonesiaPersatuan Kemerdekaan IndonesiaPers, kelahiranPersis (Persatuan Islam)pertumbuhan nolPesantrenPesantren DarussalamPesantren LuhurPesantren modern GontorPesantren SalafiPesantren TebuirengPeta (Pembela Tanah Air)Petunjuk JalanPewarta PrianganPGAI (Persatuan Guru-Guru Agama

Islam)PI (Perhimpunan Indonesia)Piagam JakartaPII (Partai Islam Indonesia)pilihan TimoerPirous, A.D.Piscatori, JamesPKB (Partai Kebangkitan Bangsa)PKI (Partai Komunis Indonesia)PKI (Perserikatan Kommunist di

India)PKMI (Partai Kaum Masehi

Indonesia)PKU (Partai Kebangkitan Umat)PMII, kelahiranPMKRI

Page 840: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

820 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

PMY (Persjarikatan MahasiswaYogyakarta)

PNI (Partai Nasional Indonesia)PNI (Pendidikan Nasional

Indonesia)PNI (Perserikatan Nasional

Indonesia)PNI BaruPoerwadarminta, W,J.S.politik bahasaPolitik Etispolitik intelektual, tradisipolitik militer Indonesia,

pembentukan tradisipolitik netralitaspolitik, keadabanpolitik-identitaspolitik -sebagai -panglimaporos Jakarta-Bandungporos Jakarta-YogyakartaPoros TengahPorta, DonatellaPPKD (Parkempalan Politik Djawi)PPKI (Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia)PPKI (Persatuan Politik Katolik

Indonesia)PPPI (Perhimpunan Peladjar-Peladjar

Indonesia)PPPKI (Permufakatan Perhimpunan

Perhimpunan Politik KebangsaanIndonesia)

praktik diskursifPramoedya Ananta ToerPrawiradiredja, R.A.A.Prawoto Mangkusasmitapribumi, bangsa

PrioritasPrismaProgram Bentengproletarianisasi intelektualproses “ICMI-sasi”proses pem-Belanda-anproses politik, teoriPSI (Partai Sosialis Indonesia)PSIIPTAIN (Perguruan Tinggi Agama

Islam Negeri)PUSA (Persatuan Ulama Seluruh

Atjeh)Pustaka SalmanPutera (Pusat Tenaga Rakjat)Putri Indonesia

ra’jat, istilahradioRadius PrawiroRadja Ali HadjiRadjiman WediodiningratRahardi RamelanRahardjoRahman TollengRanger, TerenceRasjidi, H.M.rausyan fikrrealisme sosialThe Religion of Javaremaja masjid, gerakanRepublik SusastraRepublikaRetnodhoemilahRevolusi IranRicklefsRidwan Saidi

Page 841: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Indeks | 821

RIS (Republik Indonesia Serikat)RisalahRobison, RichardRofiqul UmamRomanisRosihan AnwarRosjad S.H.ruang publikRude, GeorgeRudini, Jenderalrumah penerbitan bukuRusdijah ClubRusjad Nurdin

Sa‘id HawwaSaadillah MursjidSaddam Hussein , Presiden IrakSadli, M.Saefuddin, A.M.Sahal MahfudzSaid Hasan bin SemitSaid, EdwardSaifuddin ZuhriSaiful MuzaniSaikeireiSajuti HasibuanSalafiya, gerakanSalman KauSama Rata Hindia BergerakSamanhudi, H.Sanskrit in IndonesiaSanusi PaneSanusi, H.M.SardjonoSarekat IslamSarekat Prijajisarjana

Sarmidi MangunsarkoroSartono Kartodirdjosastra Islam, genresastra, aktivitasSatiman WirjosandjojoSayyid Ahmad KhanSayyid QutbScott, James C.SDI (Sarekat Dagang Islamiah)SehatiSekar Rukunsekolah Dokter-Djawasekolah Islamsekolah liarSekolah RadjaSekretariat Bersama Golongan

KaryasekularisasisekularismeSelo SoemardjanSelompret MelajoeSemaunSembiring Meliala, MayjenSeroean AzharShalahuddin PressShils , EdwardShiraishiSholahuddin WahidSholeh IskandarSI (Sarekat Islam)Sidik DjojosukartoSinar HarapanSinar HindiaSinggih , R.P.Siradjuddin AbbasSIS (Studenten Islam Studieclub)Siti Hardiyanti Rukmana

Page 842: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

822 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

Sitoresmi PrabuningatSjafruddin PrawiranegaraSjamsu‘l-Din Al-PasaiSjamsuddin HardjakusumahSjamsuridjal, RadenSjarwan HamidSlamet SukirnantoSmart, B.SMIS (Sarikat Mahasiswa Indonesia

Solo)Sneevliet, Hendricus Josephus

Fransiscus MarieSoedjatmokoSoeloeh PengadjarSoempah PemoedaSoenda BeritaSOMAL (Serikat Organisasi

Mahasiswa Lokal)sosialis, kaumsosialisme IslamSpeciale SchoolSplitsingstheorieSri Bintang PamungkasSri Sultan Hamengkubuwono IXSRNI (Sarekat Rakjat National

Indonesia)stabilitasSTI (Sekolah Tinggi Islam)STOVIA (School Tot Opleiding Van

Inlandsche Artsen)strategi blok dalamStudent Hidjostudi Islam tingkat tinggi di Timur

TengahSubardjoSubchan Z.E.Subroto

SudharmonoSudibjo MarkusSudirmanSudomo, LaksamanaSudjono Humardani, Mayor

JenderalSugeng SarjadiSuhartoSukarno, PresidenSukiman WirjosandjojoSulaiman Al-Rasuli, SyaikhSulamo, A.SulastomoSumarlin, J.B.Sumitro, JenderalSun Yat-senSundhaussenSuparno SatiraSupersemar (Surat Perintah Sebelas

Maret)Surau Jembatan BesiSurjopranoto, R.M.Susilo Bambang Yudhoyono, LetjenSutan Kasajangan SoripadaSutan Mohammad ZainSutan Muhammad SalimSutan SjahrirSutan Takdir AlisjahbanaSutardji Calzoum BachriSutherland, HeatherSutomoSuwardi SurjaningratSyafi’i, fiqihSyafi’i Anwar, M.Syafi’i Ma’arifSyaikh bin BazSyarifuddin

Page 843: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Indeks | 823

Syi’ahSzelenyi, I.

tablighTaman PengadjarTaman SariTan MalakaTanjung Priok, kasustaqlidTartarin de TarasconTas, SalomonTaufik AbdullahTaufiq IsmailTawang AlunTazkiya SejatiTeater KecilTeater MuslimTeater SahalahuddinTeeuw, A.Teknologi Percetakan ModernTemenggung Pandji Arjodinoto,

Raden MasTempotentara hijauTentara Pembela Kanjeng Nabi

Muhammadtepian baru (new edge)textbook thinkersThaib Umar, M.This Religion of IslamThorbecke, Jan RudolfTien SuhartoTiga Serangkaitindakan historistinggal landasTirto Adhi Surjo, R.M.Tjendekiawan Berdjuang

Tjipto MangunkusumoTjokroaminoto, H.O.S.TNIToha MashudiTouraine, Alaintradisi politik-inteleklualtradisionalis, kaumTri Koro DarmoTritura (Tri Tuntutan Rakyat)Try Sutrisno, Jenderaltujuh kata Piagam JakartaTurnerTweede Klasse School

UGM (Universitas Gajah Mada)UII (Universitas Islam Indonesia)ulama -intelekUIiI Abshar-AbdallaUlumul QuranUmar Said TjokroaminotoUnderstanding MediaUniversitas IndonesiaUS-AID (United States Agency for

International Development)utang budiUtomo DananjayaUtrecht, Ernst

Van den Ende, A.van der Capellen, G.A.G.Ph.van der Chijs, J.A.Van Deventer, Th.van Heutsz, Gubernur Jenderal J.B.Van Limburg Stirum, Gubernur

Jenderalvan Niel, Robertvan Nieuwenhuijze, C.S.O.

Page 844: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

824 | Inteligensia Muslim dan Kuasa

van Starkenborgh, StachouwerW.L.T.

Vedung, EvertVOCVon der Mehden, Fred R.

wacana kemadjoeanWachid HasjimWahab ChasbullahWahhabiyyah, gerakanWahidin Sudiro HusodoWail Haris Sugiartowajib belajarWalzer, MichaelWardiman DjojonegoroWarna SariWeber, MaxWeber’s Sociology of IntellectualsWertheim, W.F.Widjojo Nitisastro, Profesorwihdatul wujudWilhelmina, RatuWilkinson. R.J.Williams, RaymondWilopoWinstedt, Sir RichardWirantoWiwoho PurbohadidjojoWondoamiseno

Woodward, Mark R.Wordliness

YAASIN (Yayasan Pembina SariInsani)

YARSI (Yayasan Rumah Sakit Islam)Yayasan Amal Bakti Muslim

PancasilaYayasan Lembaga Bantuan Hukum

IndonesiaYayasan MuthahhariYayasan ParamadinaYINBUK (Yayasan Inkubasi Bisnis

Usaha Kecil)Yusril Ihza MahendraYusuf KallaYusuf Qardhawi

Zaenal Abidin AchmadZain DjambekZainuddin Labai Al-JunusiZainul ArifinZaman MisiZamroniZarkasji, KiaiZawawi Imron, D.Zola, EmileZuhal Abdul Qadir

Page 845: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —

Democracy P ro jec t

Edisi cetak buku ini diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Mizan,September 2005. ISBN: 979-433-400-6

Halaman buku pada Edisi Digital ini tidak sama dengan halamanedisi cetak. Untuk merujuk buku edisi digital ini, Anda harusmenyebutkan “Edisi Digital” dan atau menuliskan link-nya. Jugadisarankan mengunduh dan menyimpan file buku ini dalam bentukpdf.

Credit:

Page 846: Penulis: Yudi Latif - dwirahmantaresta.files.wordpress.com · Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413 • Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan —