penulis · dengan berbagai macam tipe ekosistem. saat ini kawasan tersebut mengalami degradasi yang...
TRANSCRIPT
Penulis:
Hendra GunawanPeneliti Utama Konservasi Sumberdaya AlamPusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan
SugiartiHumas Madya Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya BogorLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Marfuah WardaniPeneliti Madya Botani Hutan Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan
M. Hesti Lestari TataPeneliti Madya Bidang SilvikulturPusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan
Sukaesih PrajadinataPeneliti Madya Bidang SilvikulturPusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan
Penelaah Ilmiah:
Prof. Dr. Tukirin PartomiharjoPeneliti Utama Bidang Ekologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI
Gunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEM
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
KEMENTERIAN KEHUTANAN
ii iiiRESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan atas selesainya
penyusunan buku ini. Buku yang merupakan hasil karya kolaborasi antar lima
pakar di bidangnya dan didukung oleh kontributor yang relevan diharapkan dapat
menyumbang khasanah bacaan referensi sekaligus panduan bagi para praktisi
dalam pelaksanaan restorasi ekosistem kawasan konservasi, khususnya di
Gunung Merapi.
Buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitian lapangan selama dua tahun dan kajian
referensi yang relevan serta ditelaah oleh ahli ekologi sehingga diharapkan dapat
memenuhi kebututuhan referensi restorasi di Indonesia yang masih sangat
terbatas. Meskipun demikian, buku ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu kritik dan saran dari pembaca dan pemerhati sangat kami harapkan untuk
perbaikan (revisi).
Akhirnya Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
terlibat dalam penyusunan buku ini, yaitu penelaah ilmiah, kontributor data dan
foto, editor dan pengatur tata letak (lay out). Semoga buku ini bermanfaat bagi
semua pihak, khususnya dalam rangka merestorasi ekosistem Gunung Merapi
yang terdegradasi akibat erupsi tahun 2010.
Bogor, Agustus 2013
Penulis
KATA PENGANTAR
Judul :
ISBN : 978-602-1681-02-2
Penulis : Hendra Gunawan, Sugiarti, Marfuah Wardani, M. Hesti Lestari Tata, Sukaesih Prajadinata
Penelaah Ilmiah : Prof. Dr. Tukirin Partomiharjo
Disain sampul dan tata letak : Tatang Rohana
Foto sampul depan: Hendra Gunawan
Dibiayai oleh : Direktur Kawasan Konservasi Dan Bina Hutan Lindung (DIPA 029 TA. 2013) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Cetakan Pertama : November 2013
Hak cipta dilindungi oleh undang-UndangDilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI PASCA ERUPSI
Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi -Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610
Kerjasama : - Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan. - Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam - Balai Taman Nasional Gunung Merapi Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Saran Kutipan :
Gunawan, H., Sugiarti, M. Wardani, M.H.L. Tata dan S. Prajadinata. 2013. Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca Erupsi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.
Silakan mengutip isi buku ini dengan menyebutkan sumbernya.
©Copyright 2013
ii iiiRESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan atas selesainya
penyusunan buku ini. Buku yang merupakan hasil karya kolaborasi antar lima
pakar di bidangnya dan didukung oleh kontributor yang relevan diharapkan dapat
menyumbang khasanah bacaan referensi sekaligus panduan bagi para praktisi
dalam pelaksanaan restorasi ekosistem kawasan konservasi, khususnya di
Gunung Merapi.
Buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitian lapangan selama dua tahun dan kajian
referensi yang relevan serta ditelaah oleh ahli ekologi sehingga diharapkan dapat
memenuhi kebututuhan referensi restorasi di Indonesia yang masih sangat
terbatas. Meskipun demikian, buku ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu kritik dan saran dari pembaca dan pemerhati sangat kami harapkan untuk
perbaikan (revisi).
Akhirnya Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
terlibat dalam penyusunan buku ini, yaitu penelaah ilmiah, kontributor data dan
foto, editor dan pengatur tata letak (lay out). Semoga buku ini bermanfaat bagi
semua pihak, khususnya dalam rangka merestorasi ekosistem Gunung Merapi
yang terdegradasi akibat erupsi tahun 2010.
Bogor, Agustus 2013
Penulis
KATA PENGANTAR
Judul :
ISBN : 978-602-1681-02-2
Penulis : Hendra Gunawan, Sugiarti, Marfuah Wardani, M. Hesti Lestari Tata, Sukaesih Prajadinata
Penelaah Ilmiah : Prof. Dr. Tukirin Partomiharjo
Disain sampul dan tata letak : Tatang Rohana
Foto sampul depan: Hendra Gunawan
Dibiayai oleh : Direktur Kawasan Konservasi Dan Bina Hutan Lindung (DIPA 029 TA. 2013) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Cetakan Pertama : November 2013
Hak cipta dilindungi oleh undang-UndangDilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI PASCA ERUPSI
Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi -Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610
Kerjasama : - Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan. - Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam - Balai Taman Nasional Gunung Merapi Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Saran Kutipan :
Gunawan, H., Sugiarti, M. Wardani, M.H.L. Tata dan S. Prajadinata. 2013. Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca Erupsi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.
Silakan mengutip isi buku ini dengan menyebutkan sumbernya.
©Copyright 2013
iv vRESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, satu buku lagi telah terbit sebagai
bentuk luaran dari penelitian yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (PUSKONSER), Badan Litbang
Kehutanan. Ini adalah salah satu buku yang bersifat praktis sehingga mudah
dipahami dan diaplikasikan oleh para praktisi. Meskipun demikian, buku ini masih
bersifat ilmiah sehingga juga bisa menjadi referensi kalangan peneliti dan
akademisi.
Kondisi kawasan konservasi di Indonesia terus mengalami degradasi, baik yang
diakibatkan oleh aktifitas manusia seperti perambahan, penebangan liar dan
pembakaran lahan maupun akibat bencana alam seperti kebakaran hutan dan
erupsi gunung api. Kawasan konservasi yang terdegradasi tersebut perlu segera
direstorasi agar fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan
plasma nutfah maupun pelestarian manfaat sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya dapat kembali. Untuk itu restorasi pada tingkat ekosistem perlu
dilakukan.
Sampai saat ini, hasil penelitian maupun pedoman restorasi ekosistem,
khususnya di kawasan konservasi masih sangat langka. Ekosistem kawasan
konservasi memiliki nilai konservasi, keunikan dan fungsi yang berbeda dengan
ekosistem hutan produksi, sehingga restorasinya pun memerlukan kriteria-kriteria
khusus. Buku ini dapat menjadi salah satu jawaban atas kebutuhan akan
pedoman restorasi ekosistem di kawasan konservasi, khususnya untuk
ekosistem pegunungan di Jawa dan terutama di Taman Nasional Gunung Merapi
Akhirnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada para penulis, kontributor,
penelaah ilmiah dan semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan dan
penerbitan buku ini. Semoga hasil karya para peneliti ini bermanfaat bagi
perbaikan hutan di Indonesia pada umumnya.
Bogor, Agustus 2013
Kepala Pusat
Ir. Adi Susmianto, M.Sc.
NIP.195712211982031002
SAMBUTANKEPALA PUSAT PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN KONSERVASI & REHABILITASI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Indonesia memiliki kawasan konservasi seluas kurang lebih 27.190.992,91 ha
dengan berbagai macam tipe ekosistem. Saat ini kawasan tersebut mengalami
degradasi yang disebabkan oleh kegiatan perambahan, bencana alam
(kebakaran, gunung meletus, tanah longsor, banjir, dll), illegal logging, dan
konflik lahan dengan masyarakat. Ekosistem kawasan konservasi yang
terdegradasi harus dipulihkan agar dapat memberikan fungsi-fungsinya kembali,
oleh karena itu pemerintah mencanangkan kegiatan restorasi ekosistem kawasan
konservasi yang dinilai tepat untuk mengembalikan fungsi ekosistem di kawasan
konservasi.
Keberhasilan program restorasi ekosistem di kawasan konservasi, memerlukan
kerjasama semua pihak khususnya para peneliti untuk mendapatkan dukungan
hasil penelitian dan pengembangan dari program tersebut. Oleh karena itu,
dengan diterbitkannya Buku Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca Erupsi,
kami selaku Pengelola mengucapkan terima kasih kepada semua pihak,
khususnya Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
(PUSKONSER) yang telah berpartisipasi dan bersinergi dengan program
Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung.
Akhirnya kepada penulis dan semua pihak yang berkontribusi pada buku ini, kami
sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga buku
ini bermanfaat untuk semua pihak yang berkepentingan.
Jakarta, Agustus 2013
Direktur
Ir. Bambang Dahono Adjie, MM, M.Si.
NIP. 19580519 198603 1 001
SAMBUTANDIREKTUR KAWASAN KONSERVASI
DAN BINA HUTAN LINDUNG
DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN
DAN KONSERVASI ALAM
iv vRESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, satu buku lagi telah terbit sebagai
bentuk luaran dari penelitian yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (PUSKONSER), Badan Litbang
Kehutanan. Ini adalah salah satu buku yang bersifat praktis sehingga mudah
dipahami dan diaplikasikan oleh para praktisi. Meskipun demikian, buku ini masih
bersifat ilmiah sehingga juga bisa menjadi referensi kalangan peneliti dan
akademisi.
Kondisi kawasan konservasi di Indonesia terus mengalami degradasi, baik yang
diakibatkan oleh aktifitas manusia seperti perambahan, penebangan liar dan
pembakaran lahan maupun akibat bencana alam seperti kebakaran hutan dan
erupsi gunung api. Kawasan konservasi yang terdegradasi tersebut perlu segera
direstorasi agar fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan
plasma nutfah maupun pelestarian manfaat sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya dapat kembali. Untuk itu restorasi pada tingkat ekosistem perlu
dilakukan.
Sampai saat ini, hasil penelitian maupun pedoman restorasi ekosistem,
khususnya di kawasan konservasi masih sangat langka. Ekosistem kawasan
konservasi memiliki nilai konservasi, keunikan dan fungsi yang berbeda dengan
ekosistem hutan produksi, sehingga restorasinya pun memerlukan kriteria-kriteria
khusus. Buku ini dapat menjadi salah satu jawaban atas kebutuhan akan
pedoman restorasi ekosistem di kawasan konservasi, khususnya untuk
ekosistem pegunungan di Jawa dan terutama di Taman Nasional Gunung Merapi
Akhirnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada para penulis, kontributor,
penelaah ilmiah dan semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan dan
penerbitan buku ini. Semoga hasil karya para peneliti ini bermanfaat bagi
perbaikan hutan di Indonesia pada umumnya.
Bogor, Agustus 2013
Kepala Pusat
Ir. Adi Susmianto, M.Sc.
NIP.195712211982031002
SAMBUTANKEPALA PUSAT PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN KONSERVASI & REHABILITASI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Indonesia memiliki kawasan konservasi seluas kurang lebih 27.190.992,91 ha
dengan berbagai macam tipe ekosistem. Saat ini kawasan tersebut mengalami
degradasi yang disebabkan oleh kegiatan perambahan, bencana alam
(kebakaran, gunung meletus, tanah longsor, banjir, dll), illegal logging, dan
konflik lahan dengan masyarakat. Ekosistem kawasan konservasi yang
terdegradasi harus dipulihkan agar dapat memberikan fungsi-fungsinya kembali,
oleh karena itu pemerintah mencanangkan kegiatan restorasi ekosistem kawasan
konservasi yang dinilai tepat untuk mengembalikan fungsi ekosistem di kawasan
konservasi.
Keberhasilan program restorasi ekosistem di kawasan konservasi, memerlukan
kerjasama semua pihak khususnya para peneliti untuk mendapatkan dukungan
hasil penelitian dan pengembangan dari program tersebut. Oleh karena itu,
dengan diterbitkannya Buku Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca Erupsi,
kami selaku Pengelola mengucapkan terima kasih kepada semua pihak,
khususnya Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
(PUSKONSER) yang telah berpartisipasi dan bersinergi dengan program
Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung.
Akhirnya kepada penulis dan semua pihak yang berkontribusi pada buku ini, kami
sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga buku
ini bermanfaat untuk semua pihak yang berkepentingan.
Jakarta, Agustus 2013
Direktur
Ir. Bambang Dahono Adjie, MM, M.Si.
NIP. 19580519 198603 1 001
SAMBUTANDIREKTUR KAWASAN KONSERVASI
DAN BINA HUTAN LINDUNG
DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN
DAN KONSERVASI ALAM
vi viiRESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
DAFTAR ISIKATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii
SAMBUTAN KEPALA PUSLITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI . . . . . iv
SAMBUTAN KEPALA BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI . . . . . . . vi
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vii
DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . viii
DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ix
PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
A. Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
B. Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
KARAKTERISTIK EKOSISTEM GUNUNG MERAPI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
A. Status, Letak dan Luas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
B. Ekosistem Flora dan Fauna . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
C. Tanah dan Topografi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
D. Curah Hujan dan Hidrologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7
SAMBUTAN DIREKTUR KAWASAN KONSERVASI DAN BINA HUTAN LINDUNG DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM v
DAMPAK ERUPSI GUNUNG MERAPI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
A. Dampak Erupsi Terhadap Manusia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
B. Dampak Erupsi Terhadap Ekosistem Hutan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
C. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Tumbuhan . . . . . . . . . . . . . . . . 12
E. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Satwa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
SUKSESI ALAM DAN ANCAMAN INVASI SPESIES ASING . . . . . . . . . . . . . . 20
A. Suksesi Alam . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 20
B. Ancaman Invasi Spesies Asing (Alien Species) . . . . . . . . . . . . . . . . . 21
RESTORASI EKOSISTEM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
A. Prinsip Restorasi Ekosistem . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
B. Analisis Vegetasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25
C. Inventarisasi dan Identifikasi Jenis Pohon Asli . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28
D. Pemilihan Jenis Pohon Asli untuk Tanaman Restorasi . . . . . . . . . . . . . 28
E. Teknik Silvikultur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31
F. Zonasi Restorasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 34
G. Pelibatan Masyarakat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 37
TEKNIK KOLEKSI HERBARIUM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39
A. Pengambilan Material Herbarium . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39
B. Teknik Pemrosesan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41
C. Identifikasi Matrial Herbarium . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 46
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 49
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 102
DAFTAR ISTILAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 110
RIWAYAT HIDUP PENULIS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 114
Kami selaku pengelola Balai Taman Nasional Gunung Merapi (BTNGM)
menyampaikan terima kasih kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi
dan Rehabilitasi (PUSKONSER), yang telah melakukan penelitian di wilayah kerja
kami dalam rangka mendukung pengelolaan BTNGM. Secara khusus, kami juga
menyamapaikan terima kasih kepada tim penulus yang telah mendokumentasikan
hasil penelitiannya dalam sebuah buku yang praktis dan mudah dipahami.
BTNGM merupakan salah satu taman nasional yang relatif masih baru dan oleh
karenanya masih membutuhkan dukungan banyak penelitian dalam rangka
meningkatkan pengelolaannya. Apalagi kondisi Gunung Merapi yang selalu
mendapat ancaman kerusakan akibat bencana erupsi maupun tekanan penduduk di
sekitarnya, sehingga pengelolaanya selalu menghadapi masalah yang kompleks.
Salah satu masalah yang dihadapi saat ini adalah kerusakan ekosistem hutan akibat
erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada Oktober 2010. Kerusakan ekosistem hutan
menyebabkan rusak dan berkurangnya habitat satwa, terganggunya sistem
hidrologi, dan merajalelanya spesies invasif Acacia decurrens. Untuk merestorasi
ekosistem hutan yang rusak, perlu dilakukan penanaman dengan jenis-jenis pohon
asli.
Buku ini sangat komprehensif membahas tahapan-tahapan restorasi ekosistem hutan
Gunung Merapi pasca erupsi. Buku ini sangat relevan dan valid karena merupakan
hasil penelitian ilmiah yang dilakukan di Gunung Merapi. Disamping itu, penelitian ini
merupakan kolaborasi antara peneliti dan teknisi PUSKONSER dengan fungsional
PEH, penyuluh dan jagawana BTNGM, sehingga hasilnya benar-benar sesuai dengan
kebutuhan.
Akhirnya, kami selaku pengelola BTNGM sekali lagi mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah berpartisipasi mulai dari kegiatan penelitian di
lapangan sampai penulisan buku ini. Semoga buku ini dapat menjadi salah satu
panduan lapangan bagi para petugas kami dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkannya.
Yogyakarta, Agustus 2013
Kepala Balai TNGM
Drs. Bambang Darmadja, M.S.
NIP. 195708311986021001
SAMBUTAN KEPALA BALAI TAMAN NASIONAL
GUNUNG MERAPI
vi viiRESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
DAFTAR ISIKATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii
SAMBUTAN KEPALA PUSLITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI . . . . . iv
SAMBUTAN KEPALA BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI . . . . . . . vi
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vii
DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . viii
DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ix
PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
A. Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
B. Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
KARAKTERISTIK EKOSISTEM GUNUNG MERAPI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
A. Status, Letak dan Luas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
B. Ekosistem Flora dan Fauna . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
C. Tanah dan Topografi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
D. Curah Hujan dan Hidrologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7
SAMBUTAN DIREKTUR KAWASAN KONSERVASI DAN BINA HUTAN LINDUNG DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM v
DAMPAK ERUPSI GUNUNG MERAPI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
A. Dampak Erupsi Terhadap Manusia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
B. Dampak Erupsi Terhadap Ekosistem Hutan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
C. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Tumbuhan . . . . . . . . . . . . . . . . 12
E. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Satwa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
SUKSESI ALAM DAN ANCAMAN INVASI SPESIES ASING . . . . . . . . . . . . . . 20
A. Suksesi Alam . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 20
B. Ancaman Invasi Spesies Asing (Alien Species) . . . . . . . . . . . . . . . . . 21
RESTORASI EKOSISTEM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
A. Prinsip Restorasi Ekosistem . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
B. Analisis Vegetasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25
C. Inventarisasi dan Identifikasi Jenis Pohon Asli . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28
D. Pemilihan Jenis Pohon Asli untuk Tanaman Restorasi . . . . . . . . . . . . . 28
E. Teknik Silvikultur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31
F. Zonasi Restorasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 34
G. Pelibatan Masyarakat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 37
TEKNIK KOLEKSI HERBARIUM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39
A. Pengambilan Material Herbarium . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39
B. Teknik Pemrosesan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41
C. Identifikasi Matrial Herbarium . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 46
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 49
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 102
DAFTAR ISTILAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 110
RIWAYAT HIDUP PENULIS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 114
Kami selaku pengelola Balai Taman Nasional Gunung Merapi (BTNGM)
menyampaikan terima kasih kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi
dan Rehabilitasi (PUSKONSER), yang telah melakukan penelitian di wilayah kerja
kami dalam rangka mendukung pengelolaan BTNGM. Secara khusus, kami juga
menyamapaikan terima kasih kepada tim penulus yang telah mendokumentasikan
hasil penelitiannya dalam sebuah buku yang praktis dan mudah dipahami.
BTNGM merupakan salah satu taman nasional yang relatif masih baru dan oleh
karenanya masih membutuhkan dukungan banyak penelitian dalam rangka
meningkatkan pengelolaannya. Apalagi kondisi Gunung Merapi yang selalu
mendapat ancaman kerusakan akibat bencana erupsi maupun tekanan penduduk di
sekitarnya, sehingga pengelolaanya selalu menghadapi masalah yang kompleks.
Salah satu masalah yang dihadapi saat ini adalah kerusakan ekosistem hutan akibat
erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada Oktober 2010. Kerusakan ekosistem hutan
menyebabkan rusak dan berkurangnya habitat satwa, terganggunya sistem
hidrologi, dan merajalelanya spesies invasif Acacia decurrens. Untuk merestorasi
ekosistem hutan yang rusak, perlu dilakukan penanaman dengan jenis-jenis pohon
asli.
Buku ini sangat komprehensif membahas tahapan-tahapan restorasi ekosistem hutan
Gunung Merapi pasca erupsi. Buku ini sangat relevan dan valid karena merupakan
hasil penelitian ilmiah yang dilakukan di Gunung Merapi. Disamping itu, penelitian ini
merupakan kolaborasi antara peneliti dan teknisi PUSKONSER dengan fungsional
PEH, penyuluh dan jagawana BTNGM, sehingga hasilnya benar-benar sesuai dengan
kebutuhan.
Akhirnya, kami selaku pengelola BTNGM sekali lagi mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah berpartisipasi mulai dari kegiatan penelitian di
lapangan sampai penulisan buku ini. Semoga buku ini dapat menjadi salah satu
panduan lapangan bagi para petugas kami dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkannya.
Yogyakarta, Agustus 2013
Kepala Balai TNGM
Drs. Bambang Darmadja, M.S.
NIP. 195708311986021001
SAMBUTAN KEPALA BALAI TAMAN NASIONAL
GUNUNG MERAPI
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
Gambar 10.
Gambar 11.
Gambar 12
Gambar 13.
Gambar 14.
5
5
9
10
11
11
12
15
16
17
19
21
21
22
Ekosistem hutan pegunungan di Taman Nasional Gunung Merapi
Ekosistem hutan tanaman Pinus merkusii (kiri) dan tanaman Agathis alba (kanan) di Taman Nasional Gunung Merapi
Dampak erupsi Gunung Merapi menghilangkan harta benda (a,b), merusak infrastruktur jalan dan saluran irigasi (c,d), memusnahkan lahan pertanian dan meluluhlantakkan pemukiman (e,f)
Beberapa gambaran kondisi lingkungan Gunung Merapi sesudah erupsi pada 16 Desember 2010 (kanan) dan beberapa minggu sebelum erupsi (kiri). Atas dan tengah adalah lokasi wisata Kalikuning, bawah adalah Taman Wisata wisata Kaliurang
Rantai makanan sederhana (kiri) dan piramida tingkat tropik (kanan) di ekosistem Gunung Merapi
Kondisi hidrologi sebelum dan pasca erupsi. Atas: Salah satu umbul(mata air) di hulu Kalikuning, bawah: Kalikunig.
Gambaran kondisi kerusakan vegetasi akibat erupsi Gunung Merapi
Sebaran pohon menurut tingkat pertumbuhan pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi Gunung Merapi
Mamalia kecil seperti landak jawa (Hystrix javanica) menjadi korban erupsi karena tidak mampu melarikan diri dari luncuran awan panas. Sementara monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) mengais sampah untuk mencari makan karena persediaan makanan di alamnya habis terkena erupsi
Proporsi sebaran enam jenis satwa mamalia menurut kelas kerusakan kawasan TNGM pasca erupsi
Komposisi burung menurut macam pakan utamanya di areal rusak akibat erupsi Merapi setelah 16 bulan pasca erupsi
Jumlah jenis anakan pohon dan tumbuhan bawah pada areal rusak akibat erupsi setelah satu tahun pasca erupsi
Kiri : rekolonisasi 3 bulan pasca erupsi dan Kanan : rekolonisasi 18 bulan pasca erupsi di Resor Kemalang
Kerapatan anakan pohon di areal terdampak erupsi di Merapi
viii ixRESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
DAFTAR TABEL
Rekapitulasi hasil analisis vegetasi ekosistem Gunung Merapi pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi
Frekuensi perjumpaan enam jenis satwa mamalia penting di TNGM pasca erupsi
Jenis-jenis burung di areal terdampak erupsi setelah 16 bulan pasca erupsi
Rekapitulasi indeks keragaman jenis (H') dan indeks evenness (e) burung-burung di areal rusak terkena erupsi
Rekapitulasi indeks kemiripan komunitas burung antar lokasi pengamatan
Jenis-jenis eksotik (didatangkan) yang menjadi pionir pada areal terdampak erupsi di TNGM
Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat pohon
Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat anakan dan tumbuhan bawah
Luas areal TNGM yang terdampak erupsi Gunung Merapi
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 6.
Tabel 7.
Tabel 8.
Tabel 9.
13
16
18
19
19
23
26
26
34
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
Gambar 10.
Gambar 11.
Gambar 12
Gambar 13.
Gambar 14.
5
5
9
10
11
11
12
15
16
17
19
21
21
22
Ekosistem hutan pegunungan di Taman Nasional Gunung Merapi
Ekosistem hutan tanaman Pinus merkusii (kiri) dan tanaman Agathis alba (kanan) di Taman Nasional Gunung Merapi
Dampak erupsi Gunung Merapi menghilangkan harta benda (a,b), merusak infrastruktur jalan dan saluran irigasi (c,d), memusnahkan lahan pertanian dan meluluhlantakkan pemukiman (e,f)
Beberapa gambaran kondisi lingkungan Gunung Merapi sesudah erupsi pada 16 Desember 2010 (kanan) dan beberapa minggu sebelum erupsi (kiri). Atas dan tengah adalah lokasi wisata Kalikuning, bawah adalah Taman Wisata wisata Kaliurang
Rantai makanan sederhana (kiri) dan piramida tingkat tropik (kanan) di ekosistem Gunung Merapi
Kondisi hidrologi sebelum dan pasca erupsi. Atas: Salah satu umbul(mata air) di hulu Kalikuning, bawah: Kalikunig.
Gambaran kondisi kerusakan vegetasi akibat erupsi Gunung Merapi
Sebaran pohon menurut tingkat pertumbuhan pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi Gunung Merapi
Mamalia kecil seperti landak jawa (Hystrix javanica) menjadi korban erupsi karena tidak mampu melarikan diri dari luncuran awan panas. Sementara monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) mengais sampah untuk mencari makan karena persediaan makanan di alamnya habis terkena erupsi
Proporsi sebaran enam jenis satwa mamalia menurut kelas kerusakan kawasan TNGM pasca erupsi
Komposisi burung menurut macam pakan utamanya di areal rusak akibat erupsi Merapi setelah 16 bulan pasca erupsi
Jumlah jenis anakan pohon dan tumbuhan bawah pada areal rusak akibat erupsi setelah satu tahun pasca erupsi
Kiri : rekolonisasi 3 bulan pasca erupsi dan Kanan : rekolonisasi 18 bulan pasca erupsi di Resor Kemalang
Kerapatan anakan pohon di areal terdampak erupsi di Merapi
viii ixRESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
DAFTAR TABEL
Rekapitulasi hasil analisis vegetasi ekosistem Gunung Merapi pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi
Frekuensi perjumpaan enam jenis satwa mamalia penting di TNGM pasca erupsi
Jenis-jenis burung di areal terdampak erupsi setelah 16 bulan pasca erupsi
Rekapitulasi indeks keragaman jenis (H') dan indeks evenness (e) burung-burung di areal rusak terkena erupsi
Rekapitulasi indeks kemiripan komunitas burung antar lokasi pengamatan
Jenis-jenis eksotik (didatangkan) yang menjadi pionir pada areal terdampak erupsi di TNGM
Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat pohon
Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat anakan dan tumbuhan bawah
Luas areal TNGM yang terdampak erupsi Gunung Merapi
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 6.
Tabel 7.
Tabel 8.
Tabel 9.
13
16
18
19
19
23
26
26
34
23
25
30
35
37
37
37
38
38
42
42
43
44
44
45
46
47
Gambar 15.
Gambar 16.
Gambar 17.
Gambar 18.
Gambar 19.
Gambar 20.
Gambar 21.
Gambar 22.
Gambar 23.
Gambar 24.
Gambar 25.
Gambar 26.
Gambar 27.
Gambar 28
Gambar 29.
Gambar 30.
Gambar 31.
abu vulkanik telah kembali hijau oleh invasi Acacia decurrens.
Model analisis vegetasi dengan metode kombinasi jalur dan garis berpetak (digambar ulang dari Kusmana, 1997).
Frekuensi relatif anakan pohon di areal terdampak erupsi di TNGM
Klasifikasi tingkat kerusakan vegetasi hutan di Taman Nasional Gunung Merapi pasca erupsi sebagai dasar zonasi restorasi
Kesediaan masyarakat terkena dampak erupsi untuk direlokasi
Persepsi masyarakat tentang sterilisasi areal terkena dampak dari aktifitas manusia
Persepsi masyarakat tentang rencana restorasi areal terdampak erupsi
Keterlibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan di TNGM
Pendapat masyarkat tentang pengelolaan Gunung Merapi ke depan
Material herbarium berlebel dalam lipatan Koran
Tumpukan material herbarium dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disiram dengan alkohol/spirtus
Tungku pengeringan yang terdiri dari : tempat bara, rak, dan atap. ( sumber : Bridson dan Forman, 1992)
Pengepresan material herbarium terdiri dari (paling bawah): alumunium bergelombang – karton – material herbarium dalam lipatan koran – karton – alumunium bergelombang
Susunan material herbarium yang sudah dipres dengan sasak ( bagian paling bawah sasak dan paling atas ditutup dengan sasak)
Pengeringan dengan menggunakan bolam listrik, terdiri dari kotak papan penempel bolam dan rak besi (Sumber: Afriastini, 1997)
Pengeringan material herbarium dalam oven
Label koleksi hebarium
Pada bulan April 2012 atau 18 bulan pasca erupsi, hamparan
x
A. Latar Belakang
B. Tujuan
PENDAHULUAN
2 3RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Indonesia memiliki Kawasan Hutan
Konservasi (HK) yang terdiri atas
Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan
Kawasan Suaka Alam (KSA) dengan
luas keseluruhan mencapai 23.240 juta
hektar. KSA terdiri atas 214 Cagar
Alam (CA), 63 unit Suaka Margasatwa
(SM), sedangkan KPA terdiri atas 104
unit Taman Wisata Alam (TWA) dengan
17 unit kawasan Taman Hutan Raya
(TAHURA) dan 50 unit Taman Nasional
(TN). Dari keseluruhan kawasan
konservasi tersebut, 82 % merupakan
kawasan daratan. Dari keseluruhan
kawasan konservasi tersebut, taman
nasional merupakan yang terluas (57%)
(Departemen Kehutanan, 2004).
Ekosistem hutan taman nasional darat
umumnya telah mengalami deforestasi
dan atau degradasi akibat perambahan,
pe r l adangan, penebangan dan
perburuan liar serta masuknya spesies
asing (alien species). Degradasi
ekosistem hutan juga terjadi akibat
bencana alam seperti erupsi gunung api
dan kebakaran hutan. Deforestasi dan
d eg r a d a s i i n i mengak i b a t k an
terganggunya fungsi-fungsi hakiki yang
melekat pada ekosistem dalam kawasan
taman nasional tersebut, yaitu fungsi
ekologi, hidrologi, ekonomi dan sosial
sehingga tidak optimal.
Kerusakan ekosistem taman nasional,
baik yang disebabkan oleh manusia
maupun bencana alam, perlu direstorasi
untuk memulihkan kembali fungsi-
fungsinya sebagai kawasan taman
nasional, yaitu untuk perlindungan
s is tem penyangga keh idupan,
pengawetan plasma nutfah dan
p e m a n f a a t a n s e c a r a l e s t a r i
k e a n e k a r a g a m a n h a y a t i d a n
ekosistemnya.
Mengingat kompleksnya proses-proses
dan fungsi ekosistem, maka untuk
dapat memperoleh kembali fungsi-
fungsi tersebut harus dilakukan
pemulihan pada level lanskap. Menurut
Maginnis dan Jackson (2006) restorasi
lanskap hutan tidak ditujukan untuk
mengembalikan lanskap hutan seperti
keadaan aslinya sebelum terganggu,
tetapi lebih merupakan upaya
pendekatan untuk memperlakukan aset
sumberdaya hutan secara proporsional
untuk kebaikan manusia dan alam.
Karena restorasi lanskap hutan
ditujukan untuk penyediaan barang dan
jasa hutan pada level lanskap, maka
tidak terbatas pada teknik-teknik
intervensi pada tapak-tapak khusus.
Dalam pendekatan restorasi ekosistem
hutan, masyarakat disertakan untuk
mengidentifikasi dan menetapkan
seca ra t epa t p r ak tek -p rak tek
penggunaan lahan yang akan
membantu pemulihan fungsi hutan
secara keseluruhan lanskap sebagai
daerah tangkapan air. Dalam hal ini
difokuskan pada pemulihan fungsi-
fungsi hutan pada tingkat lanskap untuk
optimalisasi fungsi ekologi hutan dan
pemeliharaan kesejahteraan masyarakat
sekitarnya. Tujuan dari pendekatan ini
adalah memperkuat hubungan antara
pembangunan pedesaan, kehutanan dan
manajemen konservasi sumberdaya
alam lainnya. Dengan perkataan lain
lebih mengutamakan pada optimalisasi
penyediaan manfaat hutan dalam
lanskap yang lebih luas (IUCN, 2005).
Salah satu kunci dalam restorasi lanskap
hutan adalah identifikasi tipe dan tingkat
restorasi yang sesuai dengan kondisi
sosial dan fisik lingkungan yang ada.
Pada ekosistem yang telah sangat rusak
sehingga tidak mampu memulihkan diri
sendiri melalui proses suksesi alami,
maka upaya restorasi lebih baik
difokuskan pada pemulihan secara cepat
dan pemeliharaan proses-proses penting
seperti hidrologi, siklus hara dan transfer
energi daripada usaha mengembalikan
struktur hutan seperti aslinya (Maginnis
dan Jackson, 2006).
Penulisan buku ini bertujuan untuk : (1)
memberikan pemahaman tentang
kondisi ekosistem hutan Taman Nasional
Gunung Me r ap i ( TNGM) ; ( 2 )
memberikan pemahaman tentang
dampak erupsi terhadap ekosistem,
vegetasi dan satwa di TNGM; (3)
memberikan informasi hasil-hasil
penelitian dan aplikasinya dalam
kegiatan restorasi ekosistem TNGM; (4)
menampilkan deskripsi ekologi jenis-
jenis pohon asli Gunung Merapi sebagai
bahan acuan restorasi; (5) menjadi
panduan bagi manajemen maupun
petugas lapangan dalam rangka
pelaksanaan restorasi ekosistem.
A. Latar Belakang
B. Tujuan
PENDAHULUAN
2 3RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Indonesia memiliki Kawasan Hutan
Konservasi (HK) yang terdiri atas
Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan
Kawasan Suaka Alam (KSA) dengan
luas keseluruhan mencapai 23.240 juta
hektar. KSA terdiri atas 214 Cagar
Alam (CA), 63 unit Suaka Margasatwa
(SM), sedangkan KPA terdiri atas 104
unit Taman Wisata Alam (TWA) dengan
17 unit kawasan Taman Hutan Raya
(TAHURA) dan 50 unit Taman Nasional
(TN). Dari keseluruhan kawasan
konservasi tersebut, 82 % merupakan
kawasan daratan. Dari keseluruhan
kawasan konservasi tersebut, taman
nasional merupakan yang terluas (57%)
(Departemen Kehutanan, 2004).
Ekosistem hutan taman nasional darat
umumnya telah mengalami deforestasi
dan atau degradasi akibat perambahan,
pe r l adangan, penebangan dan
perburuan liar serta masuknya spesies
asing (alien species). Degradasi
ekosistem hutan juga terjadi akibat
bencana alam seperti erupsi gunung api
dan kebakaran hutan. Deforestasi dan
d eg r a d a s i i n i mengak i b a t k an
terganggunya fungsi-fungsi hakiki yang
melekat pada ekosistem dalam kawasan
taman nasional tersebut, yaitu fungsi
ekologi, hidrologi, ekonomi dan sosial
sehingga tidak optimal.
Kerusakan ekosistem taman nasional,
baik yang disebabkan oleh manusia
maupun bencana alam, perlu direstorasi
untuk memulihkan kembali fungsi-
fungsinya sebagai kawasan taman
nasional, yaitu untuk perlindungan
s is tem penyangga keh idupan,
pengawetan plasma nutfah dan
p e m a n f a a t a n s e c a r a l e s t a r i
k e a n e k a r a g a m a n h a y a t i d a n
ekosistemnya.
Mengingat kompleksnya proses-proses
dan fungsi ekosistem, maka untuk
dapat memperoleh kembali fungsi-
fungsi tersebut harus dilakukan
pemulihan pada level lanskap. Menurut
Maginnis dan Jackson (2006) restorasi
lanskap hutan tidak ditujukan untuk
mengembalikan lanskap hutan seperti
keadaan aslinya sebelum terganggu,
tetapi lebih merupakan upaya
pendekatan untuk memperlakukan aset
sumberdaya hutan secara proporsional
untuk kebaikan manusia dan alam.
Karena restorasi lanskap hutan
ditujukan untuk penyediaan barang dan
jasa hutan pada level lanskap, maka
tidak terbatas pada teknik-teknik
intervensi pada tapak-tapak khusus.
Dalam pendekatan restorasi ekosistem
hutan, masyarakat disertakan untuk
mengidentifikasi dan menetapkan
seca ra t epa t p r ak tek -p rak tek
penggunaan lahan yang akan
membantu pemulihan fungsi hutan
secara keseluruhan lanskap sebagai
daerah tangkapan air. Dalam hal ini
difokuskan pada pemulihan fungsi-
fungsi hutan pada tingkat lanskap untuk
optimalisasi fungsi ekologi hutan dan
pemeliharaan kesejahteraan masyarakat
sekitarnya. Tujuan dari pendekatan ini
adalah memperkuat hubungan antara
pembangunan pedesaan, kehutanan dan
manajemen konservasi sumberdaya
alam lainnya. Dengan perkataan lain
lebih mengutamakan pada optimalisasi
penyediaan manfaat hutan dalam
lanskap yang lebih luas (IUCN, 2005).
Salah satu kunci dalam restorasi lanskap
hutan adalah identifikasi tipe dan tingkat
restorasi yang sesuai dengan kondisi
sosial dan fisik lingkungan yang ada.
Pada ekosistem yang telah sangat rusak
sehingga tidak mampu memulihkan diri
sendiri melalui proses suksesi alami,
maka upaya restorasi lebih baik
difokuskan pada pemulihan secara cepat
dan pemeliharaan proses-proses penting
seperti hidrologi, siklus hara dan transfer
energi daripada usaha mengembalikan
struktur hutan seperti aslinya (Maginnis
dan Jackson, 2006).
Penulisan buku ini bertujuan untuk : (1)
memberikan pemahaman tentang
kondisi ekosistem hutan Taman Nasional
Gunung Me r ap i ( TNGM) ; ( 2 )
memberikan pemahaman tentang
dampak erupsi terhadap ekosistem,
vegetasi dan satwa di TNGM; (3)
memberikan informasi hasil-hasil
penelitian dan aplikasinya dalam
kegiatan restorasi ekosistem TNGM; (4)
menampilkan deskripsi ekologi jenis-
jenis pohon asli Gunung Merapi sebagai
bahan acuan restorasi; (5) menjadi
panduan bagi manajemen maupun
petugas lapangan dalam rangka
pelaksanaan restorasi ekosistem.
KARAKTERISTIK EKOSISTEM
GUNUNG MERAPI
A. Status, Letak dan Luas
4 5
B. Ekosistem, Flora dan Fauna
Gambar 2. Ekosistem hutan tanaman Pinus merkusii (kiri) dan tanaman Agathis alba (kanan)
di Taman Nasional Gunung Merapi.
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)
ditetapkan berdasarkan Keputusan
M e n t e r i K e h u t a n a n N o m o r :
134/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei
2004 tentang Perubahan Fungsi
Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam
dan Taman Wisata Alam pada Kelompok
Hutan Gunung Merapi seluas ± 6.410
Ha (Departemen Kehutanan, 2007).
Secara geografis kawasan TNGM
terletak pada koordinat 07°22'33" -
07°52'30" LS dan 110°15'00" -
110°37'30" BT. Secara administratif
TN Gunung Merapi terketak di Provinsi
Jawa Tengah (Kabupaten Magelang,
Boyolali, dan Klaten) seluas ± 5.126,01
Ha dan di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (Kabupaten Sleman) seluas
± 1.283,99 Ha (BTNGM, 2009a).
Hutan di Gunung Merapi telah ditetapkan
sebagai kawasan lindung sejak tahun
1931 untuk perlindungan sumber air,
sungai dan penyangga sistem kehidupan
Kota Yogyakarta dan Kabupaten
Sleman, Kabupaten Klaten, Kabupaten
Boyolali, dan Kabupaten Magelang.
Sebelum ditunjuk menjadi taman
nasional, kawasan hutan yang termasuk
di wilayah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta terdiri atas hutan lindung
seluas ± 1.041,38 ha, Cagar Alam
Plawangan Turgo seluas ±146,16 ha;
dan Taman Wisata Alam Plawangan
Turgo seluas ± 96,45 ha. Kawasan
hutan yang termasuk di wilayah Provinsi
Jawa Tengah merupakan hutan lindung
dengan luas ± 5.126 ha (BTNGM,
2009a).
Kawasan TNGM merupakan salah satu
p e r w a k i l a n e k o s i s t e m h u t a n
pegunungan di Pulau Jawa yang masih
tersisa. Ekosistem pegunungan ini
sangat menarik untuk dipelajari karena
berada di kawasan gunung api teraktif di
Indonesia, sehingga kondisinya sangat
dinamis sebagai akibat sering terganggu
oleh aliran lahar dan awan panas saat
terjadi letusan. Oleh karena itu, bisa jadi
kawasan ini memiliki spesies-spesies
tumbuhan yang khas, endemik yang
mampu beradaptasi dengan lingkungan
pasca erupsi.
Vegatasi di kawasan hutan TNGM terdiri
atas vegetasi asli yang merupakan hutan
alam pegunungan dan vegetasi tanaman
eks Perum Perhutani. Beberapa jenis
pohon di hutan alam antara lain
Lithocarpus elegans, Ficus spp.,
Gymnostoma junghuhniana, Erythrina
va r i egata , Nauc lea o r i en ta l i s ,
Villebrunea rubescens, Schima wallichii,
An t i desma te t r andum, Ag l a i a
odoratisima, Cinnamomum iners, Trema
orientalis, Pithecolobium clyearia,
Cratoxylon clandestinum, Toona sureni,
Alangium chinensis. Sedangkan jenis-
jenis eksotik yang ada, baik ditanam
maupun tumbuh liar antara lain Pinus
merkusii, Acacia decurens, Agathis
alba, dan Paraserianthes falcataria
(Anonim, 2003).
Gambar 1. Ekosistem hutan pegunungan di Taman Nasional Gunung Merapi.
Do
c.
He
nd
ra G
un
aw
an
(2
01
0)
Do
c.
He
nd
ra G
un
aw
an
(2
01
0)
KARAKTERISTIK EKOSISTEM
GUNUNG MERAPI
A. Status, Letak dan Luas
4 5
B. Ekosistem, Flora dan Fauna
Gambar 2. Ekosistem hutan tanaman Pinus merkusii (kiri) dan tanaman Agathis alba (kanan)
di Taman Nasional Gunung Merapi.
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)
ditetapkan berdasarkan Keputusan
M e n t e r i K e h u t a n a n N o m o r :
134/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei
2004 tentang Perubahan Fungsi
Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam
dan Taman Wisata Alam pada Kelompok
Hutan Gunung Merapi seluas ± 6.410
Ha (Departemen Kehutanan, 2007).
Secara geografis kawasan TNGM
terletak pada koordinat 07°22'33" -
07°52'30" LS dan 110°15'00" -
110°37'30" BT. Secara administratif
TN Gunung Merapi terketak di Provinsi
Jawa Tengah (Kabupaten Magelang,
Boyolali, dan Klaten) seluas ± 5.126,01
Ha dan di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (Kabupaten Sleman) seluas
± 1.283,99 Ha (BTNGM, 2009a).
Hutan di Gunung Merapi telah ditetapkan
sebagai kawasan lindung sejak tahun
1931 untuk perlindungan sumber air,
sungai dan penyangga sistem kehidupan
Kota Yogyakarta dan Kabupaten
Sleman, Kabupaten Klaten, Kabupaten
Boyolali, dan Kabupaten Magelang.
Sebelum ditunjuk menjadi taman
nasional, kawasan hutan yang termasuk
di wilayah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta terdiri atas hutan lindung
seluas ± 1.041,38 ha, Cagar Alam
Plawangan Turgo seluas ±146,16 ha;
dan Taman Wisata Alam Plawangan
Turgo seluas ± 96,45 ha. Kawasan
hutan yang termasuk di wilayah Provinsi
Jawa Tengah merupakan hutan lindung
dengan luas ± 5.126 ha (BTNGM,
2009a).
Kawasan TNGM merupakan salah satu
p e r w a k i l a n e k o s i s t e m h u t a n
pegunungan di Pulau Jawa yang masih
tersisa. Ekosistem pegunungan ini
sangat menarik untuk dipelajari karena
berada di kawasan gunung api teraktif di
Indonesia, sehingga kondisinya sangat
dinamis sebagai akibat sering terganggu
oleh aliran lahar dan awan panas saat
terjadi letusan. Oleh karena itu, bisa jadi
kawasan ini memiliki spesies-spesies
tumbuhan yang khas, endemik yang
mampu beradaptasi dengan lingkungan
pasca erupsi.
Vegatasi di kawasan hutan TNGM terdiri
atas vegetasi asli yang merupakan hutan
alam pegunungan dan vegetasi tanaman
eks Perum Perhutani. Beberapa jenis
pohon di hutan alam antara lain
Lithocarpus elegans, Ficus spp.,
Gymnostoma junghuhniana, Erythrina
va r i egata , Nauc lea o r i en ta l i s ,
Villebrunea rubescens, Schima wallichii,
An t i desma te t r andum, Ag l a i a
odoratisima, Cinnamomum iners, Trema
orientalis, Pithecolobium clyearia,
Cratoxylon clandestinum, Toona sureni,
Alangium chinensis. Sedangkan jenis-
jenis eksotik yang ada, baik ditanam
maupun tumbuh liar antara lain Pinus
merkusii, Acacia decurens, Agathis
alba, dan Paraserianthes falcataria
(Anonim, 2003).
Gambar 1. Ekosistem hutan pegunungan di Taman Nasional Gunung Merapi.
Do
c.
He
nd
ra G
un
aw
an
(2
01
0)
Do
c.
He
nd
ra G
un
aw
an
(2
01
0)
6 7RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Jenis-jenis satwa mamalia yang
ditemukan di TN Gunung Merapi antara
lain: Macan tutul (Panthera pardus
melas), Kijang (Muntiacus muntjak),
Rusa (Cervus timorensis), Monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis), Lutung
(Presbytis fredericae), Kucing hutan
(Prionailurus bengalensis), Musang
(Paradoxurus hermaphroditus), Babi
hutan (Sus scrofa) dan Bajing kelapa
(Calosciurus notatus) (Anonim, 2003).
Beberapa jenis burung yang dijumpai di
kawasan ini antara lain: Bondol Jawa
(Lonchura leucogastroides), Burung
Madu Gunung (Aethopyga eximia),
Burung Madu Jawa (Aethopyga
mystacalis), Cabai Gunung (Dicaeum
sanguinolentum), Cekakak Jawa
(Halcyon cyanoventris), Cica Daun
S a y a p B i r u ( C h l o r o p s i s
cochinchinensisnigricollis), Cinenen
Pisang (Orthotomus sutoris), Ciung
mungkal (Cochoa azurea), Elang Jawa
(Spezaetus bartelsi), Gemak (Turnix
silvatica), Kipasan Ekor Merah
(Rhipidura phoenicura), Meninting Kecil
(Enicurus velatus), Poksai Kuda
(Garrulax rufifrons), Prenjak Coklat
(Prinia polychroa), Sepah Gunung
(Pericrocotus miniatus), Takur Tohtor
(Megalaima armilaris), Takur Bututut
(Megalaima corvina), Takur Tulung
Tumpuk (Megalaima javensis), Tepus
Pipi Perak (Stachyris melanothorax),
Tesia Jawa (Tesia superciliaris), Uncal
Buau (Macropygia emiliana), Walik
Kepala Ungu (Ptilinopus parphyreus),
Wergan Coklat (Alcippe brunneicauda),
Wergan Jawa (Alcippe pyrrhoptera),
Serindit Jawa (Loriculus pusilus)
(Anonim, 2003).
Kawasan TNGM umumnya terdiri atas
jenis-jenis tanah regosol, andosol,
alluvial dan litosol. Tanah regosol yang
merupakan jenis tanah muda terutama
berada di wilayah Yogyakarta. Bahan
induk tanah adalah material vulkanik,
yang berkembang pada fisiografi lereng
gunung api. Jenis tanah andosol
d i temukan d i w i layah-wi layah
kecamatan Selo dan Cepogo, Boyolali
(BTNGM, 2009a).
Kawasan TNGM berada pada ketinggian
antara 600 - 2.968 m dpl. Topografi
kawasan bervariasi mulai dari landai,
berlereng curam hingga berbukit dan
bergunung-gunung dengan puncak
tertingginya ± 2.965 m dpl. Di sebelah
B. Tanah dan Topografi
utara terdapat dataran tinggi yang
menyempit di antara dua buah gunung,
yakni Gunung Merapi dan Merbabu di
sekitar Kecamatan Selo, Boyolali
(BTNGM, 2009a). Di bagian selatan,
lereng Gunung Merapi terus menurun
dan melandai hingga ke pantai selatan di
tepi Samudera Hindia, melintasi wilayah
kota Yogyakarta. Sebelum kaki gunung,
terdapat dua bukit yaitu bukit Turgo dan
bukit Plawangan yang merupakan bagian
kawasan wisata Kaliurang (BTNGM,
2009a).
Kondisi topografi kawasan TNGM
berdasarkan wilayah kabupaten adalah
sebagai berikut (BTNGM, 2009a):
Kabupaten Klaten, keadaan
topografinya landai sampai berbukit
dengan ketinggian 100-150 m dpl.
Kabupaten Boyolali berada diantara
Gunung Merapi yang aktif dan
Gunung Merbabu yang sudah tidak
aktif, dengan ketinggian 75-1.500
m dpl. Empat sungai yang melintas
wilayah ini adalah Serang, Cemoro,
Pepe dan Gandul, disamping itu ada
sumber-sumber air lain berupa mata
air dan waduk.
Kabupaten Magelang, di wilayah ini
terdapat tiga kecamatan yang
merupakan bagian lereng Gunung
Merapi kearah barat, terletak pada
ketinggian sekitar 500 m dpl.
Semakin ke arah puncak Gunung
Merapi kelerengan lahan semakin
curam.
Kabupaten Sleman, keadaan
topograf inya landa i h ingga
kelerengan sangat curam dengan
ketinggian 100-1.500 m dpl. Di
bagian paling utara merupakan
lereng Gunung Merapi yang miring
kearah selatan. Di lereng selatan
Gunung Merapi terdapat dua bukit
yaitu bukit Turgo dan bukit
Plawangan yang merupakan bagian
kawasan wisata Kaliurang. Di
bagian lereng puncak Gunung
Merapi topografi curam sampai
sangat curam. Bagian selatan dari
ketiga kecamatan berupa lahan
persawahan dengan sistem teras
yang cukup baik. Dibagian tengah
berupa lahan kering dan paling utara
merupkan bagian dari lereng
Gunung Merapi yang berupa hutan.
Curah hujan di TNGM berdasarkan data
curah hujan yang tercatat dari Stasiun
Klimatologi terdekat adalah sebagai
berikut (BTNGM, 2009a):
Kabupaten Magelang, curah
hujannya mencapai 2.252 - 3.627
mm/thn.
Kabupaten Boyolali, curah hujannya
mencapai 1.856 - 3.136 mm/thn.
Kabupaten Klaten, curah hujannya
mencapai 902 - 2.490 mm/thn.
Kabupaten Sleman, curah hujannya
mencapai 1.869,8-2.495 mm/thn.
D. Curah Hujan dan Hidrologi
Wilayah Gunung Merapi merupakan
sumber bagi tiga DAS (Daerah Aliran
Sungai), yakni DAS Progo di bagian
barat; DAS Opak di bagian selatan dan
DAS Bengawan Solo di timur.
Keseluruhan, terdapat sekitar 27 sungai
di seputar Gunung Merapi yang mengalir
ke tiga DAS tersebut.
6 7RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Jenis-jenis satwa mamalia yang
ditemukan di TN Gunung Merapi antara
lain: Macan tutul (Panthera pardus
melas), Kijang (Muntiacus muntjak),
Rusa (Cervus timorensis), Monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis), Lutung
(Presbytis fredericae), Kucing hutan
(Prionailurus bengalensis), Musang
(Paradoxurus hermaphroditus), Babi
hutan (Sus scrofa) dan Bajing kelapa
(Calosciurus notatus) (Anonim, 2003).
Beberapa jenis burung yang dijumpai di
kawasan ini antara lain: Bondol Jawa
(Lonchura leucogastroides), Burung
Madu Gunung (Aethopyga eximia),
Burung Madu Jawa (Aethopyga
mystacalis), Cabai Gunung (Dicaeum
sanguinolentum), Cekakak Jawa
(Halcyon cyanoventris), Cica Daun
S a y a p B i r u ( C h l o r o p s i s
cochinchinensisnigricollis), Cinenen
Pisang (Orthotomus sutoris), Ciung
mungkal (Cochoa azurea), Elang Jawa
(Spezaetus bartelsi), Gemak (Turnix
silvatica), Kipasan Ekor Merah
(Rhipidura phoenicura), Meninting Kecil
(Enicurus velatus), Poksai Kuda
(Garrulax rufifrons), Prenjak Coklat
(Prinia polychroa), Sepah Gunung
(Pericrocotus miniatus), Takur Tohtor
(Megalaima armilaris), Takur Bututut
(Megalaima corvina), Takur Tulung
Tumpuk (Megalaima javensis), Tepus
Pipi Perak (Stachyris melanothorax),
Tesia Jawa (Tesia superciliaris), Uncal
Buau (Macropygia emiliana), Walik
Kepala Ungu (Ptilinopus parphyreus),
Wergan Coklat (Alcippe brunneicauda),
Wergan Jawa (Alcippe pyrrhoptera),
Serindit Jawa (Loriculus pusilus)
(Anonim, 2003).
Kawasan TNGM umumnya terdiri atas
jenis-jenis tanah regosol, andosol,
alluvial dan litosol. Tanah regosol yang
merupakan jenis tanah muda terutama
berada di wilayah Yogyakarta. Bahan
induk tanah adalah material vulkanik,
yang berkembang pada fisiografi lereng
gunung api. Jenis tanah andosol
d i temukan d i w i layah-wi layah
kecamatan Selo dan Cepogo, Boyolali
(BTNGM, 2009a).
Kawasan TNGM berada pada ketinggian
antara 600 - 2.968 m dpl. Topografi
kawasan bervariasi mulai dari landai,
berlereng curam hingga berbukit dan
bergunung-gunung dengan puncak
tertingginya ± 2.965 m dpl. Di sebelah
B. Tanah dan Topografi
utara terdapat dataran tinggi yang
menyempit di antara dua buah gunung,
yakni Gunung Merapi dan Merbabu di
sekitar Kecamatan Selo, Boyolali
(BTNGM, 2009a). Di bagian selatan,
lereng Gunung Merapi terus menurun
dan melandai hingga ke pantai selatan di
tepi Samudera Hindia, melintasi wilayah
kota Yogyakarta. Sebelum kaki gunung,
terdapat dua bukit yaitu bukit Turgo dan
bukit Plawangan yang merupakan bagian
kawasan wisata Kaliurang (BTNGM,
2009a).
Kondisi topografi kawasan TNGM
berdasarkan wilayah kabupaten adalah
sebagai berikut (BTNGM, 2009a):
Kabupaten Klaten, keadaan
topografinya landai sampai berbukit
dengan ketinggian 100-150 m dpl.
Kabupaten Boyolali berada diantara
Gunung Merapi yang aktif dan
Gunung Merbabu yang sudah tidak
aktif, dengan ketinggian 75-1.500
m dpl. Empat sungai yang melintas
wilayah ini adalah Serang, Cemoro,
Pepe dan Gandul, disamping itu ada
sumber-sumber air lain berupa mata
air dan waduk.
Kabupaten Magelang, di wilayah ini
terdapat tiga kecamatan yang
merupakan bagian lereng Gunung
Merapi kearah barat, terletak pada
ketinggian sekitar 500 m dpl.
Semakin ke arah puncak Gunung
Merapi kelerengan lahan semakin
curam.
Kabupaten Sleman, keadaan
topograf inya landa i h ingga
kelerengan sangat curam dengan
ketinggian 100-1.500 m dpl. Di
bagian paling utara merupakan
lereng Gunung Merapi yang miring
kearah selatan. Di lereng selatan
Gunung Merapi terdapat dua bukit
yaitu bukit Turgo dan bukit
Plawangan yang merupakan bagian
kawasan wisata Kaliurang. Di
bagian lereng puncak Gunung
Merapi topografi curam sampai
sangat curam. Bagian selatan dari
ketiga kecamatan berupa lahan
persawahan dengan sistem teras
yang cukup baik. Dibagian tengah
berupa lahan kering dan paling utara
merupkan bagian dari lereng
Gunung Merapi yang berupa hutan.
Curah hujan di TNGM berdasarkan data
curah hujan yang tercatat dari Stasiun
Klimatologi terdekat adalah sebagai
berikut (BTNGM, 2009a):
Kabupaten Magelang, curah
hujannya mencapai 2.252 - 3.627
mm/thn.
Kabupaten Boyolali, curah hujannya
mencapai 1.856 - 3.136 mm/thn.
Kabupaten Klaten, curah hujannya
mencapai 902 - 2.490 mm/thn.
Kabupaten Sleman, curah hujannya
mencapai 1.869,8-2.495 mm/thn.
D. Curah Hujan dan Hidrologi
Wilayah Gunung Merapi merupakan
sumber bagi tiga DAS (Daerah Aliran
Sungai), yakni DAS Progo di bagian
barat; DAS Opak di bagian selatan dan
DAS Bengawan Solo di timur.
Keseluruhan, terdapat sekitar 27 sungai
di seputar Gunung Merapi yang mengalir
ke tiga DAS tersebut.
DAMPAK ERUPSI GUNUNG MERAPI
A. Dampak Erupsi Terhadap Manusia
1 Dari berbagai sumber2 http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/11/01/28/161187- total-kerugian-erupsi-merapi-rp-7-3-t3 http://www.antaranews.com/news/235055/erupsi-merapi-rugikan-sektor- peternakan-rp149-miliar
8 9RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Erupsi Gunung Merapi menyebabkan
kerusakan ekosistem hutan mulai dari
tingkat ringan sampai parah. Kerusakan
B. Dampak Erupsi Terhadap Ekosistem Hutan
ini menyebabkan terganggunya proses-
proses kehidupan dalam ekosistem
seperti rantai makanan dan siklus
Gunung Merapi menjadi perhatian
nasional dan internasional karena
aktifitas erupsinya. Gunung yang
merupakan salah satu gunung api paling
aktif di dunia mengalami erupsi hebat
pada Selasa malam 26 Oktober 2010
hingga Sabtu 6 November 2010 dan
tercatat sebagai bencana terburuk yang
ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi
dalam kurun waktu 100 tahun atau sejak
1870.
M e n u r u t B a d a n N a s i o n a l
Penanggulangan Bencana (BNPB),
Sampai dengan tanggal 2 Desember
2010 jumlah korban meninggal
mencapai 277 orang dan dirawat inap
karena luka-luka sebanyak 1.438 orang.
Sementara 303.233 orang mengungsi
(Kab. Magelang 82.994 orang, Kota
Magelang 3.767, Kab. Boyolali 60.446
orang, Klaten 97.415 orang, Sleman
52.320 orang, Kulon Progo 4.261
orang, Bantul 1.200 orang, Kendal 51
orang, Purworejo 300 orang, dan 1Wonosobo 116 orang).
Menurut perhitungan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB)
kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh
erupsi merapi, hingga 31 Desember
2010 mencapai Rp 7,3 triliun. Kerugian
di Jawa Tengah mencapai Rp 1,9 triliun
dan Yogyakarta Rp 5,4 triliun. Dampak
terbesar di sektor lingkungan yang
mencapai Rp 3,39 triliun, dan sektor
ekonomi Rp 2,63 triliun. Kerugian
m e l i p u t i s e k t o r p e r u m a h a n ,
infrastruktur, sosial, ekonomi serta 2fasilitas sosial dan fasilitas umum.
Menurut Dinas Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan Kabupaten Sleman, jumlah
ternak khususnya sapi yang mati akibat
terkena erupsi Gunung Merapi di wilayah
tersebut sebanyak 2.445 ekor dengan
kerugian ditaksir sekitar Rp149 miliar.
Di Kabupaten Klaten jumlah sapi yang
dilaporkan mati akibat letusan Gunung
Merapi berjumlah 357 ekor, di
Kabupaten Magelang 16 ekor, dan di 3Kabupaten Boyolali sebanyak 66 ekor.
hidrologi. Berdasarkan hasil interpretasi
citra satelit, dari luasan 6.145,05 Ha,
ekosistem hutan yang mengalami rusak
parah 12,48%, kerusakan sedang
35,93%, kerusakan ringan 28,41% dan
tidak mengalami kerusakan 23,19%.
Gambaran kondisi lingkungan pasca
erupsi disajikan pada Gambar 3, 4 dan 6.
a
Gambar 3. Dampak erupsi Gunung Merapi menghilangkan harta benda (a,b), merusak infrastruktur jalan
dan saluran irigasi (c,d), memusnahkan lahan pertanian dan meluluhlantakkan pemukiman (e,f).
Doc.
Hendra
Gunaw
an (
2010)
e f
c d
b
DAMPAK ERUPSI GUNUNG MERAPI
A. Dampak Erupsi Terhadap Manusia
1 Dari berbagai sumber2 http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/11/01/28/161187- total-kerugian-erupsi-merapi-rp-7-3-t3 http://www.antaranews.com/news/235055/erupsi-merapi-rugikan-sektor- peternakan-rp149-miliar
8 9RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Erupsi Gunung Merapi menyebabkan
kerusakan ekosistem hutan mulai dari
tingkat ringan sampai parah. Kerusakan
B. Dampak Erupsi Terhadap Ekosistem Hutan
ini menyebabkan terganggunya proses-
proses kehidupan dalam ekosistem
seperti rantai makanan dan siklus
Gunung Merapi menjadi perhatian
nasional dan internasional karena
aktifitas erupsinya. Gunung yang
merupakan salah satu gunung api paling
aktif di dunia mengalami erupsi hebat
pada Selasa malam 26 Oktober 2010
hingga Sabtu 6 November 2010 dan
tercatat sebagai bencana terburuk yang
ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi
dalam kurun waktu 100 tahun atau sejak
1870.
M e n u r u t B a d a n N a s i o n a l
Penanggulangan Bencana (BNPB),
Sampai dengan tanggal 2 Desember
2010 jumlah korban meninggal
mencapai 277 orang dan dirawat inap
karena luka-luka sebanyak 1.438 orang.
Sementara 303.233 orang mengungsi
(Kab. Magelang 82.994 orang, Kota
Magelang 3.767, Kab. Boyolali 60.446
orang, Klaten 97.415 orang, Sleman
52.320 orang, Kulon Progo 4.261
orang, Bantul 1.200 orang, Kendal 51
orang, Purworejo 300 orang, dan 1Wonosobo 116 orang).
Menurut perhitungan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB)
kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh
erupsi merapi, hingga 31 Desember
2010 mencapai Rp 7,3 triliun. Kerugian
di Jawa Tengah mencapai Rp 1,9 triliun
dan Yogyakarta Rp 5,4 triliun. Dampak
terbesar di sektor lingkungan yang
mencapai Rp 3,39 triliun, dan sektor
ekonomi Rp 2,63 triliun. Kerugian
m e l i p u t i s e k t o r p e r u m a h a n ,
infrastruktur, sosial, ekonomi serta 2fasilitas sosial dan fasilitas umum.
Menurut Dinas Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan Kabupaten Sleman, jumlah
ternak khususnya sapi yang mati akibat
terkena erupsi Gunung Merapi di wilayah
tersebut sebanyak 2.445 ekor dengan
kerugian ditaksir sekitar Rp149 miliar.
Di Kabupaten Klaten jumlah sapi yang
dilaporkan mati akibat letusan Gunung
Merapi berjumlah 357 ekor, di
Kabupaten Magelang 16 ekor, dan di 3Kabupaten Boyolali sebanyak 66 ekor.
hidrologi. Berdasarkan hasil interpretasi
citra satelit, dari luasan 6.145,05 Ha,
ekosistem hutan yang mengalami rusak
parah 12,48%, kerusakan sedang
35,93%, kerusakan ringan 28,41% dan
tidak mengalami kerusakan 23,19%.
Gambaran kondisi lingkungan pasca
erupsi disajikan pada Gambar 3, 4 dan 6.
a
Gambar 3. Dampak erupsi Gunung Merapi menghilangkan harta benda (a,b), merusak infrastruktur jalan
dan saluran irigasi (c,d), memusnahkan lahan pertanian dan meluluhlantakkan pemukiman (e,f).
Doc.
Hendra
Gunaw
an (
2010)
e f
c d
b
Gambar 4.Beberapa gambaran kondisi lingkungan Gunung Merapi sesudah erupsi
pada 16 Desember 2010 (kanan) dan beberapa minggu sebelum erupsi (kiri). Atas dan tengah adalah lokasi wisata Kalikuning, bawah adalah Taman Wisata Kaliurang.
Doc.
Hendra
Gunaw
an (
2010)
Akibat erupsi Gunung Merapi, rantai
makanan terganggu. Hal ini disebabkan
Tumbuhan sebagai produsen berkurang
kuantitas dan kualitasnya sehingga
konsumen pertama seperti monyet,
lutung, kijang, kancil, babi hutan dan
landak terganggu. Pada akhirnya hal
tersebut berpengaruh pada konsumen
kedua yaitu karnivora yang berperan
sebagai puncak predator (top predator)
ekosistem Gunung Merapi. Gejolak
gangguan tersebut diindikasikan oleh
perubahan perilaku beberapa jenis
satwa, seperti masuk ke pemukiman dan
kebun masyarakat di sekitar Gunung
Merapi.
Kijang, Monyet, Lutung, Babi hutan, Kancil, Landak
Dekomposer
Macan tutul
Tumbuhan
Gambar 5.Rantai makanan sederhana (kiri) dan piramida tingkat tropik (kanan) dari ekosistem Gunung Merapi.
Dampak erupsi terhadap sistem
hidrologi tampak jelas pada mengecilnya
mata air “umbul lanang” dan “umbul
wadon” di hulu Kali kuning yang
berakibat pada menyusutnya debit
sungai Kalikuning. Matinya mata air
juga berakibat pada matinya air terjun di
Taman Wisata Kaliurang, sehingga
pasca erupsi obyek wisata ini kurang
diminati pengunjung.
Gambar 6. Kondisi hidrologi sebelum dan pasca erupsi.
Atas: Salah satu umbul(mata air) di hulu Kalikuning, bawah: Kalikunig.
10 11RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Doc.
Hen
dra
Gunaw
an (
2010)
Sumber gambar satwa dan hutan : ; ; ;
; ; ; ;
;
www.johnbanovich.comwww.oemanuell.blogspot.com www.depositphotos.comwww.easy-drawings-and-sketches.com www.colourbox.comwww.drawing-factory.com www.cwdrawings.blogspot.comwww.colourbox.com www.ecologyandsociety.org
Gambar 4.Beberapa gambaran kondisi lingkungan Gunung Merapi sesudah erupsi
pada 16 Desember 2010 (kanan) dan beberapa minggu sebelum erupsi (kiri). Atas dan tengah adalah lokasi wisata Kalikuning, bawah adalah Taman Wisata Kaliurang.
Doc.
Hendra
Gunaw
an (
2010)
Akibat erupsi Gunung Merapi, rantai
makanan terganggu. Hal ini disebabkan
Tumbuhan sebagai produsen berkurang
kuantitas dan kualitasnya sehingga
konsumen pertama seperti monyet,
lutung, kijang, kancil, babi hutan dan
landak terganggu. Pada akhirnya hal
tersebut berpengaruh pada konsumen
kedua yaitu karnivora yang berperan
sebagai puncak predator (top predator)
ekosistem Gunung Merapi. Gejolak
gangguan tersebut diindikasikan oleh
perubahan perilaku beberapa jenis
satwa, seperti masuk ke pemukiman dan
kebun masyarakat di sekitar Gunung
Merapi.
Kijang, Monyet, Lutung, Babi hutan, Kancil, Landak
Dekomposer
Macan tutul
Tumbuhan
Gambar 5.Rantai makanan sederhana (kiri) dan piramida tingkat tropik (kanan) dari ekosistem Gunung Merapi.
Dampak erupsi terhadap sistem
hidrologi tampak jelas pada mengecilnya
mata air “umbul lanang” dan “umbul
wadon” di hulu Kali kuning yang
berakibat pada menyusutnya debit
sungai Kalikuning. Matinya mata air
juga berakibat pada matinya air terjun di
Taman Wisata Kaliurang, sehingga
pasca erupsi obyek wisata ini kurang
diminati pengunjung.
Gambar 6. Kondisi hidrologi sebelum dan pasca erupsi.
Atas: Salah satu umbul(mata air) di hulu Kalikuning, bawah: Kalikunig.
10 11RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Doc.
Hen
dra
Gunaw
an (
2010)
Sumber gambar satwa dan hutan : ; ; ;
; ; ; ;
;
www.johnbanovich.comwww.oemanuell.blogspot.com www.depositphotos.comwww.easy-drawings-and-sketches.com www.colourbox.comwww.drawing-factory.com www.cwdrawings.blogspot.comwww.colourbox.com www.ecologyandsociety.org
Erupsi hebat Gunung Merapi pada 26
Oktober 2010 menyebabkan kerusakan
vegetasi tumbuhan dengan tingkat
kerusakan ringan sampai memusnahkan
vegetasi. Kerusakan vegetasi dapat
diklasifikasikan menjadi : rusak parah;
rusak sedang; rusak ringan dan utuh
(tidak rusak).
Areal yang mengalami kerusakan berat
umumnya vegetasinya habis terbakar
awan panas sehingga yang tersisa
hanyalah hamparan timbunan abu
C. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Tumbuhan
Rusak parah Rusak sedang
Rusak ringan Utuh (Tidak berdampak)
Lokasi Blok Hutan Altitude m dplDampak
Erupsi
Pohon
Jenis H’ e
POHON (TREE)
Hutan Plawangan (Pakem) 1000 - 1.100 Utuh 20 2.28 0.76
Hutan Sri Manganti (Cangkringan) 1.500 Ringan 12 1.86 0.75
Hutan Kali Batang (Kemalang) 1.450 - 1.800 Ringan 8 1.91 0.92
Hutan Ngargomulyo (Dukun) 1.200 - 1.300 Sedang 9 1.86 0.85
TIANG (POLE)
Hutan Plawangan (Pakem) 1000 - 1.100 Utuh 11 1.92 0.80
Hutan Sri Manganti (Cangkringan) 1.500 Ringan 11 2.13 0.89
Hutan Kali Batang (Kemalang) 1.450 - 1.800 Ringan 10 1.94 0.84
Hutan Ngargomulyo (Dukun) 1.200 - 1.300 Sedang 3 0.80 0.73
PANCANG (SAPLING)
Hutan Plawangan (Pakem) 1000 - 1.100 Utuh 20 2.60 0.87
Hutan Sri Manganti (Cangkringan) 1.500 Ringan 11 2.28 0.95
Hutan Kali Batang (Kemalang) 1.450 - 1.800 Ringan 10 1.98 0.86
Hutan Ngargomulyo (Dukun) 1.200 - 1.300 Sedang 3 0.87 0.79
ANAKAN (SEEDLING)
Hutan Plawangan (Pakem) 1000 - 1.100 Utuh 20 2.65 0.88
Hutan Sri Manganti (Cangkringan) 1.500 Ringan 9 2.03 0.92
Hutan Kali Batang (Kemalang) 1.450 - 1.800 Ringan 9 1.91 0.87
Hutan Ngargomulyo (Dukun) 1.200 - 1.300 Sedang 3 0.90 0.82
Tabel 1. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi ekosistem Gunung Merapi pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi.
Pada areal dengan kerusakan parah tidak
dilakukan analisis vegetasi karena
seluruh vegetasi hilang akibat awan
panas. Dari tabel di atas tampak bahwa
erupsi mengakibatkan menurunnya
indeks keragaman jenis (H') pohon
sebanyak 16% - 18% pada kerusakan
ringan dan 18% pada kerusakan sedang
bila dibandingkan dengan referensi
ekosistem tak terdampak. Sementara
areal rusak berat, vegetasi yang hilang
sama sekali (indeks keragaman nol) dan
hanya berupa hamparan pasir. Kekayaan
jenis dari suatu luasan petak contoh
tertentu juga mengalami penurunan dari
20 jenis pada petak referensi menjadi 8-
12 jenis atau 40%-60% lebih sedikit
pada kerusakan ringan dan hanya 9 jenis
pada petak dengan kerusakan sedang
atau 45% lebih sedikit dari petak
referensi.
12 13RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Doc.
Hendra
Gunaw
an (
2010)
vulkanik. Pada areal kerusakan sedang
masih dapat dilihat pohon-pohon berdiri
namun hampir seluruh tajuknya habis
terbakar, ranting-rantingnya patah
namun sebagian masih dapat bersemi
kembali. Pada areal kerusakan ringan,
vegetasinya masih tampak hijau namun
terjadi beberapa kerusakan pada
sebagian pohon dan tumbuhan
bawahnya. Sementara areal yang tidak
terdampak, vegetasinya relatif utuh dan
tidak mengalami kerusakan.
Gambar 7. Gambaran kondisi kerusakan vegetasi akibat erupsi Gunung Merapi.
**
*
***
**) lereng sisi selatan*) H’: Indeks keragaman jenis e : Indeks keseragaman jenis (evenness) ***) lereng sisi timur
Erupsi hebat Gunung Merapi pada 26
Oktober 2010 menyebabkan kerusakan
vegetasi tumbuhan dengan tingkat
kerusakan ringan sampai memusnahkan
vegetasi. Kerusakan vegetasi dapat
diklasifikasikan menjadi : rusak parah;
rusak sedang; rusak ringan dan utuh
(tidak rusak).
Areal yang mengalami kerusakan berat
umumnya vegetasinya habis terbakar
awan panas sehingga yang tersisa
hanyalah hamparan timbunan abu
C. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Tumbuhan
Rusak parah Rusak sedang
Rusak ringan Utuh (Tidak berdampak)
Lokasi Blok Hutan Altitude m dplDampak
Erupsi
Pohon
Jenis H’ e
POHON (TREE)
Hutan Plawangan (Pakem) 1000 - 1.100 Utuh 20 2.28 0.76
Hutan Sri Manganti (Cangkringan) 1.500 Ringan 12 1.86 0.75
Hutan Kali Batang (Kemalang) 1.450 - 1.800 Ringan 8 1.91 0.92
Hutan Ngargomulyo (Dukun) 1.200 - 1.300 Sedang 9 1.86 0.85
TIANG (POLE)
Hutan Plawangan (Pakem) 1000 - 1.100 Utuh 11 1.92 0.80
Hutan Sri Manganti (Cangkringan) 1.500 Ringan 11 2.13 0.89
Hutan Kali Batang (Kemalang) 1.450 - 1.800 Ringan 10 1.94 0.84
Hutan Ngargomulyo (Dukun) 1.200 - 1.300 Sedang 3 0.80 0.73
PANCANG (SAPLING)
Hutan Plawangan (Pakem) 1000 - 1.100 Utuh 20 2.60 0.87
Hutan Sri Manganti (Cangkringan) 1.500 Ringan 11 2.28 0.95
Hutan Kali Batang (Kemalang) 1.450 - 1.800 Ringan 10 1.98 0.86
Hutan Ngargomulyo (Dukun) 1.200 - 1.300 Sedang 3 0.87 0.79
ANAKAN (SEEDLING)
Hutan Plawangan (Pakem) 1000 - 1.100 Utuh 20 2.65 0.88
Hutan Sri Manganti (Cangkringan) 1.500 Ringan 9 2.03 0.92
Hutan Kali Batang (Kemalang) 1.450 - 1.800 Ringan 9 1.91 0.87
Hutan Ngargomulyo (Dukun) 1.200 - 1.300 Sedang 3 0.90 0.82
Tabel 1. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi ekosistem Gunung Merapi pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi.
Pada areal dengan kerusakan parah tidak
dilakukan analisis vegetasi karena
seluruh vegetasi hilang akibat awan
panas. Dari tabel di atas tampak bahwa
erupsi mengakibatkan menurunnya
indeks keragaman jenis (H') pohon
sebanyak 16% - 18% pada kerusakan
ringan dan 18% pada kerusakan sedang
bila dibandingkan dengan referensi
ekosistem tak terdampak. Sementara
areal rusak berat, vegetasi yang hilang
sama sekali (indeks keragaman nol) dan
hanya berupa hamparan pasir. Kekayaan
jenis dari suatu luasan petak contoh
tertentu juga mengalami penurunan dari
20 jenis pada petak referensi menjadi 8-
12 jenis atau 40%-60% lebih sedikit
pada kerusakan ringan dan hanya 9 jenis
pada petak dengan kerusakan sedang
atau 45% lebih sedikit dari petak
referensi.
12 13RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Doc.
Hendra
Gunaw
an (
2010)
vulkanik. Pada areal kerusakan sedang
masih dapat dilihat pohon-pohon berdiri
namun hampir seluruh tajuknya habis
terbakar, ranting-rantingnya patah
namun sebagian masih dapat bersemi
kembali. Pada areal kerusakan ringan,
vegetasinya masih tampak hijau namun
terjadi beberapa kerusakan pada
sebagian pohon dan tumbuhan
bawahnya. Sementara areal yang tidak
terdampak, vegetasinya relatif utuh dan
tidak mengalami kerusakan.
Gambar 7. Gambaran kondisi kerusakan vegetasi akibat erupsi Gunung Merapi.
**
*
***
**) lereng sisi selatan*) H’: Indeks keragaman jenis e : Indeks keseragaman jenis (evenness) ***) lereng sisi timur
Vegetasi tingkat tiang pada areal dengan
kerusakan ringan tidak menunjukkan
perubahan yang mencolok. Pada petak
kerusakan ringan jumlah jenisnya hanya
berkurang satu jenis namun keragaman
jenisnya malah meningkat 0,01%,
sementara pada kerusakan sedang
jumlah jenis tiang hilang (73%) dan
keragamannya menurun 58%.
Pada tingkat pancang, terjadi penurunan
jumlah jenis dan indeks keragaman jenis
di petak contoh dengan kerusakan
sedang yaitu hanya ditemukan tiga jenis
a tau h i l ang 85% dan indeks
keragamannya menurun hingga 67%.
Di petak contoh dengan kerusakan
ringan ditemukan 11 jenis atau lebih
sedikit 45% - 50% dari petak yang utuh/
tidak rusak. Sementara indeks
keragaman jenisnya menurun 12% -
24%,
Pada tingkat anakan juga terjadi
penurunan kekayaan dan keragaman
jenis pasca erupsi Gunung Merapi. Pada
petak contoh dengan kerusakan ringan
setelah 16-18 bulan ditemukan sembilan
jenis anakan atau 55% lebih sedikit
dibandingkan petak contoh areal tak
rusak. Demikian juga di petak kerusakan
sedang hanya ditemukan tiga jenis
anakan atau berbeda 85% dari petak tak
rusak. Keragaman jenis di petak rusak
ringan berbeda 23% -28% dari petak
tidak rusak, sedangkan pada petak rusak
sedang perbedaannya mencapai 66%.
Secara umum tampak bahwa erupsi
Gunung Merapi memberikan dampak
terhadap vegetasi dengan tingkat
kerusakan yang bervariasi. Parameter
yang dapat dilihat dari vegetasi sebagai
indikator kerusakan ekosistem adalah
jumlah jenis dan indeks keragaman jenis
Shannon Wienner (H'). Secara umum
erupsi menyebabkan penurunannya
jumlah jenis per satuan luas dan
menurunkan indeks keragaman jenis
vegetasi. Meskipun demikian, keempat
lokasi dengan tingkat kerusakan ringan,
sedang dan utuh umumnya masih
memiliki strata vegetasi yang lengkap
yang dicirikan oleh kehadiran pohon,
tiang, pancang dan anakan.
Jumlah jenis pada setiap tingkat
pertumbuhan dapat juga menjadi
indikator tingkat kerusakan akibat
erupsi. Pada kerusakan sedang jenis
anakan yang bertahan hidup dalam plot
pengamatan hanya tiga jenis, pada
kerusakan ringan sembilan jenis,
sementara pada hutan yang tidak rusak
ditemukan 20 jenis dalam sebuah 2sampel pengamatan (112 m ).
Persentase jumlah anakan menunjukkan
bahwa di hutan yang terkena dampak
erupsi sedang jumlah anakannya hanya
11% dari jumlah jenis pohon. Sementara
pada hutan utuh tidak rusak jumlah jenis
anakan relatif sama dengan jumlah jenis
pohon. Hal ini diduga akibat kerusakan
tajuk yang parah menyebabkan abu
vulkanik panas mencapai lantai hutan
dan mematikan anakan-anakan pohon
yang peka terhadap panas.
Meskipun masih memiliki strata yang
lengkap namun komposis i dan
kerapatannya berbeda. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 8 di bawah ini.
Pada areal hutan yang tidak rusak (Blok
Plawangan) kerapatan tumbuhan
bawahnya relatif tinggi, sementara yang
mengalami kerusakan ringan kerapatan
tumbuhan bawahnya relatif lebih rendah
dan yang mengalami kerusakan sedang,
tumbuhan bawahnya banyak yang rusak
sehingga kerapatannya jauh lebih
rendah. Demikian pula untuk vegetasi
tingkat pancang, tiang dan pohon
terdapat perbedaan kerapatan yang
linear dengan tingkat kerusakan akibat
erupsi.
Gambar 8. Sebaran pohon menurut tingkat pertumbuhan pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi
Gunung Merapi.
Erupsi hebat Gunung Merapi yang terjadi
sejak 26 Oktober hingga 6 November
2010 telah menyebabkan kerusakan
parah pada hutan yang menjadi habitat
utama satwa dan secara langsung juga
menyebabkan kematian berbagai jenis
satwa yang tak mempu menyelamatkan
diri atau tidak menemukan tempat untuk
mengungsi karena TNGM sudah
dikkelilingi oleh permukiman. Tempat
pengungsian terdekat yang lebih aman
adalah Gunung Merbabu, namun
aksesnya terpotong oleh pemukiman
dan jalan SSB (Solo-Selo-Borobudur).
Dampak erupsi terhadap satwa
mencapai beberapa tingkatan yaitu:
Mematikan langsung akibat lahar
panas dan awan panas
Mematikan tidak langsung dengan
menimbulkan luka dan infeksi,
penyakit, dan kekurangan pakan
(kelaparan).
Menghilangkan dan mengurangi
luasan habitat (ruang), sumber
pakan dan sumber air.
Membentuk habitat baru yang
D. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Satwaliar
tidak sesuai, tidak nyaman dan
tidak aman bagi beberapa
satwaliar.
Menghi langkan komponen-
komponen habitat penting seperti
tempat berkubang, tempat
bersarang, tempat berlindung,
tempat mencari makan dan tempat
bereproduksi.
Erupsi Merapi yang terjadi 26 Oktober
2010 menyebabkan migrasi satwa.
Macan tutul jawa (Panthera pardus
melas) yang merupakan top predator
pada ekosistem hutan Gunung Merapi
j u g a t u r u n d a n m e m a s u k i
pe r kampungan ka rena d i duga
kekurangan makanan akibat matinya
satwa mangsanya yang umumnya
merupakan herbivora. Berbagai media
masa memberitakan satwa karnivora
endemik Jawa yang terancam punah
tersebut turun gunung pada 11
November hingga 15 November 2010
atau sekitar dua minggu setelah letusan
Merapi yang pertama tanggal 26
Oktober 2010.
Enam jenis satwa mamalia penting di
14 15RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Vegetasi tingkat tiang pada areal dengan
kerusakan ringan tidak menunjukkan
perubahan yang mencolok. Pada petak
kerusakan ringan jumlah jenisnya hanya
berkurang satu jenis namun keragaman
jenisnya malah meningkat 0,01%,
sementara pada kerusakan sedang
jumlah jenis tiang hilang (73%) dan
keragamannya menurun 58%.
Pada tingkat pancang, terjadi penurunan
jumlah jenis dan indeks keragaman jenis
di petak contoh dengan kerusakan
sedang yaitu hanya ditemukan tiga jenis
a tau h i l ang 85% dan indeks
keragamannya menurun hingga 67%.
Di petak contoh dengan kerusakan
ringan ditemukan 11 jenis atau lebih
sedikit 45% - 50% dari petak yang utuh/
tidak rusak. Sementara indeks
keragaman jenisnya menurun 12% -
24%,
Pada tingkat anakan juga terjadi
penurunan kekayaan dan keragaman
jenis pasca erupsi Gunung Merapi. Pada
petak contoh dengan kerusakan ringan
setelah 16-18 bulan ditemukan sembilan
jenis anakan atau 55% lebih sedikit
dibandingkan petak contoh areal tak
rusak. Demikian juga di petak kerusakan
sedang hanya ditemukan tiga jenis
anakan atau berbeda 85% dari petak tak
rusak. Keragaman jenis di petak rusak
ringan berbeda 23% -28% dari petak
tidak rusak, sedangkan pada petak rusak
sedang perbedaannya mencapai 66%.
Secara umum tampak bahwa erupsi
Gunung Merapi memberikan dampak
terhadap vegetasi dengan tingkat
kerusakan yang bervariasi. Parameter
yang dapat dilihat dari vegetasi sebagai
indikator kerusakan ekosistem adalah
jumlah jenis dan indeks keragaman jenis
Shannon Wienner (H'). Secara umum
erupsi menyebabkan penurunannya
jumlah jenis per satuan luas dan
menurunkan indeks keragaman jenis
vegetasi. Meskipun demikian, keempat
lokasi dengan tingkat kerusakan ringan,
sedang dan utuh umumnya masih
memiliki strata vegetasi yang lengkap
yang dicirikan oleh kehadiran pohon,
tiang, pancang dan anakan.
Jumlah jenis pada setiap tingkat
pertumbuhan dapat juga menjadi
indikator tingkat kerusakan akibat
erupsi. Pada kerusakan sedang jenis
anakan yang bertahan hidup dalam plot
pengamatan hanya tiga jenis, pada
kerusakan ringan sembilan jenis,
sementara pada hutan yang tidak rusak
ditemukan 20 jenis dalam sebuah 2sampel pengamatan (112 m ).
Persentase jumlah anakan menunjukkan
bahwa di hutan yang terkena dampak
erupsi sedang jumlah anakannya hanya
11% dari jumlah jenis pohon. Sementara
pada hutan utuh tidak rusak jumlah jenis
anakan relatif sama dengan jumlah jenis
pohon. Hal ini diduga akibat kerusakan
tajuk yang parah menyebabkan abu
vulkanik panas mencapai lantai hutan
dan mematikan anakan-anakan pohon
yang peka terhadap panas.
Meskipun masih memiliki strata yang
lengkap namun komposis i dan
kerapatannya berbeda. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 8 di bawah ini.
Pada areal hutan yang tidak rusak (Blok
Plawangan) kerapatan tumbuhan
bawahnya relatif tinggi, sementara yang
mengalami kerusakan ringan kerapatan
tumbuhan bawahnya relatif lebih rendah
dan yang mengalami kerusakan sedang,
tumbuhan bawahnya banyak yang rusak
sehingga kerapatannya jauh lebih
rendah. Demikian pula untuk vegetasi
tingkat pancang, tiang dan pohon
terdapat perbedaan kerapatan yang
linear dengan tingkat kerusakan akibat
erupsi.
Gambar 8. Sebaran pohon menurut tingkat pertumbuhan pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi
Gunung Merapi.
Erupsi hebat Gunung Merapi yang terjadi
sejak 26 Oktober hingga 6 November
2010 telah menyebabkan kerusakan
parah pada hutan yang menjadi habitat
utama satwa dan secara langsung juga
menyebabkan kematian berbagai jenis
satwa yang tak mempu menyelamatkan
diri atau tidak menemukan tempat untuk
mengungsi karena TNGM sudah
dikkelilingi oleh permukiman. Tempat
pengungsian terdekat yang lebih aman
adalah Gunung Merbabu, namun
aksesnya terpotong oleh pemukiman
dan jalan SSB (Solo-Selo-Borobudur).
Dampak erupsi terhadap satwa
mencapai beberapa tingkatan yaitu:
Mematikan langsung akibat lahar
panas dan awan panas
Mematikan tidak langsung dengan
menimbulkan luka dan infeksi,
penyakit, dan kekurangan pakan
(kelaparan).
Menghilangkan dan mengurangi
luasan habitat (ruang), sumber
pakan dan sumber air.
Membentuk habitat baru yang
D. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Satwaliar
tidak sesuai, tidak nyaman dan
tidak aman bagi beberapa
satwaliar.
Menghi langkan komponen-
komponen habitat penting seperti
tempat berkubang, tempat
bersarang, tempat berlindung,
tempat mencari makan dan tempat
bereproduksi.
Erupsi Merapi yang terjadi 26 Oktober
2010 menyebabkan migrasi satwa.
Macan tutul jawa (Panthera pardus
melas) yang merupakan top predator
pada ekosistem hutan Gunung Merapi
j u g a t u r u n d a n m e m a s u k i
pe r kampungan ka rena d i duga
kekurangan makanan akibat matinya
satwa mangsanya yang umumnya
merupakan herbivora. Berbagai media
masa memberitakan satwa karnivora
endemik Jawa yang terancam punah
tersebut turun gunung pada 11
November hingga 15 November 2010
atau sekitar dua minggu setelah letusan
Merapi yang pertama tanggal 26
Oktober 2010.
Enam jenis satwa mamalia penting di
14 15RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
TNGM tersebar di berbagai areal dengan
tingkat kerusakan bervariasi, namun
paling banyak berada di kawasan hutan
yang tidak terkena erupsi yaitu
mencapai 44% dari total perjumpaan
enam jenis satwa. Bahkan 22%
ditemukan di luar kawasan hutan
TNGM. Hal ini menunjukkan adanya
penurunan daya dukung habitat di dalam
TNGM akibat rusak terkena erupsi.
Pada areal yang mengalami kerusakan
parah (tidak bervegetasi) karena
tertutup pasir dan abu panas hasil
erupsi, sama sekali tidak ditemukan
satwa mamalia besar.
Beberapa jen is satwa mampu
beradaptasi dengan kerusakan habitat
yang parah, sedang atau ringan.
Beberapa jenis mungkin tidak toleran
terhadap kerusakan habitat, khususnya
kerusakan vegetasi sebagai pelindung.
Berikut ini beberapa jenis satwa penting
yang ditemukan pada beberapa tingkat
kerusakan vegetasi akibat erupsi
Gunung Merapi. Lutung jawa dan
macan tutul jawa merupakan satwa
langka penting yang sulit beradaptasi
dengan kerusakan habitat akibat erupsi.
Tabel 2. Frekuensi perjumpaan enam jenis satwa mamalia penting di TNGM pasca erupsi.
Jenis SatwaJumlah individu dan frekuensi perjumpaan selama penelitian
Vegetasi
Utuh
Rusak
Ringan
Rusak
Sedang
Rusak
Berat
Di luar
hutan
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) 6 4 4 0 5
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812) 26 1 4 0 5
Luwak (Paradoxurus hermaphroditusPallas 1777) 1 4 2 0 2
Babi Hutan (Sus scrofa Linnaeus 1758). 1 1 1 0 0
Kucing Hutan (Prionailurus bengalensisKerr 1792) 2 2 1 0 3
Kijang (Muntiacus muntjak Zimmermann 1780) O 3 0 0 2
Diolah dari data survei dan data TNGM (2011)
16 17RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Bangsa burung dapat menjadi indikator
kualitas kondisi suatu lingkungan atau
habitat. Hasil inventarisasi burung di
areal yang rusak akibat erupsi Gunung
Merapi menemukan 33 jenis yang
tersebar di empat lokasi pengamatan
sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
Dari Gambar 11 tampak bahwa
komunitas burung umumnya didominasi
oleh jenis-jenis pemakan serangga dan
biji. Hal ini menunjukkan bahwa habitat
yang ada memang menyediakan
makanan berupa biji dan serangga yang
cukup melimpah. Hal ini biasa terjadi di
lahan terbuka, dimana populasi
serangga berkembang dengan baik.
Sementara semak belukar yang tumbuh
sebagai awal suksesi juga menghasilkan
buah dan biji-biji kecil yang merupakan
makanan berbagai jenis burung.
Burung-burung pemangsa juga
mendapatkan habitat yang mudah untuk
berburu, yaitu areal terbuka. Di areal
terbuka biasanya banyak terdapat
binatang-binatang keci l sepert i
pengerat, ular dan burung-burung kecil
yang merupakan mangsa burung-
burung karnivora.
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus
Geoffroy 1812) merupakan salah satu
jenis primata dilindungi yang terkena
dampak erupsi Gunung Merapi. Oleh
karena itu satwa ini perlu diketahui
kondisi populasi dan sebarannya setelah
erupsi. Kijang (Muntiacus muntjak
Zimmermann 1780) juga merupakan
satwa dilindungi yang banyak terkena
dampak erupsi merapi. Dampak yang
dialami satwa pada awal pasca erupsi
adalah kehilangan pakan berupa
tumbuhan bawah yang hangus terbakar
atau tertutup abu vulkanik. Dampak
beberapa bulan setelah erupsi adalah
melimpahnya pakan berupa tumbuhan
bawah yang mulai tumbuh karena
terangsang oleh sinar matahari yang
dapat mencapai lantai hutan akibat
terbukanya tajuk pohon-pohon besar
yang mati terbakar.
Diolah dari data primer dan sekunder (TNGM, 2011)
Gambar 10.Proporsi sebaran enam jenis satwa mamalia menurut kelas kerusakan kawasan TNGM pasca erupsi.
Doc.
TN
. G
unung M
era
pi
Doc.
Hendra
Gunaw
an
Gambar 9.Mamalia kecil seperti landak jawa (Hystrix javanica) menjadi korban erupsi karena tidak mampu melarikan diri dari luncuran awan panas. Sementara monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) mengais sampah
untuk mencari makan karena persediaan makanan di alamnya habis terkena erupsi.
TNGM tersebar di berbagai areal dengan
tingkat kerusakan bervariasi, namun
paling banyak berada di kawasan hutan
yang tidak terkena erupsi yaitu
mencapai 44% dari total perjumpaan
enam jenis satwa. Bahkan 22%
ditemukan di luar kawasan hutan
TNGM. Hal ini menunjukkan adanya
penurunan daya dukung habitat di dalam
TNGM akibat rusak terkena erupsi.
Pada areal yang mengalami kerusakan
parah (tidak bervegetasi) karena
tertutup pasir dan abu panas hasil
erupsi, sama sekali tidak ditemukan
satwa mamalia besar.
Beberapa jen is satwa mampu
beradaptasi dengan kerusakan habitat
yang parah, sedang atau ringan.
Beberapa jenis mungkin tidak toleran
terhadap kerusakan habitat, khususnya
kerusakan vegetasi sebagai pelindung.
Berikut ini beberapa jenis satwa penting
yang ditemukan pada beberapa tingkat
kerusakan vegetasi akibat erupsi
Gunung Merapi. Lutung jawa dan
macan tutul jawa merupakan satwa
langka penting yang sulit beradaptasi
dengan kerusakan habitat akibat erupsi.
Tabel 2. Frekuensi perjumpaan enam jenis satwa mamalia penting di TNGM pasca erupsi.
Jenis SatwaJumlah individu dan frekuensi perjumpaan selama penelitian
Vegetasi
Utuh
Rusak
Ringan
Rusak
Sedang
Rusak
Berat
Di luar
hutan
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) 6 4 4 0 5
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812) 26 1 4 0 5
Luwak (Paradoxurus hermaphroditusPallas 1777) 1 4 2 0 2
Babi Hutan (Sus scrofa Linnaeus 1758). 1 1 1 0 0
Kucing Hutan (Prionailurus bengalensisKerr 1792) 2 2 1 0 3
Kijang (Muntiacus muntjak Zimmermann 1780) O 3 0 0 2
Diolah dari data survei dan data TNGM (2011)
16 17RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Bangsa burung dapat menjadi indikator
kualitas kondisi suatu lingkungan atau
habitat. Hasil inventarisasi burung di
areal yang rusak akibat erupsi Gunung
Merapi menemukan 33 jenis yang
tersebar di empat lokasi pengamatan
sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
Dari Gambar 11 tampak bahwa
komunitas burung umumnya didominasi
oleh jenis-jenis pemakan serangga dan
biji. Hal ini menunjukkan bahwa habitat
yang ada memang menyediakan
makanan berupa biji dan serangga yang
cukup melimpah. Hal ini biasa terjadi di
lahan terbuka, dimana populasi
serangga berkembang dengan baik.
Sementara semak belukar yang tumbuh
sebagai awal suksesi juga menghasilkan
buah dan biji-biji kecil yang merupakan
makanan berbagai jenis burung.
Burung-burung pemangsa juga
mendapatkan habitat yang mudah untuk
berburu, yaitu areal terbuka. Di areal
terbuka biasanya banyak terdapat
binatang-binatang keci l sepert i
pengerat, ular dan burung-burung kecil
yang merupakan mangsa burung-
burung karnivora.
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus
Geoffroy 1812) merupakan salah satu
jenis primata dilindungi yang terkena
dampak erupsi Gunung Merapi. Oleh
karena itu satwa ini perlu diketahui
kondisi populasi dan sebarannya setelah
erupsi. Kijang (Muntiacus muntjak
Zimmermann 1780) juga merupakan
satwa dilindungi yang banyak terkena
dampak erupsi merapi. Dampak yang
dialami satwa pada awal pasca erupsi
adalah kehilangan pakan berupa
tumbuhan bawah yang hangus terbakar
atau tertutup abu vulkanik. Dampak
beberapa bulan setelah erupsi adalah
melimpahnya pakan berupa tumbuhan
bawah yang mulai tumbuh karena
terangsang oleh sinar matahari yang
dapat mencapai lantai hutan akibat
terbukanya tajuk pohon-pohon besar
yang mati terbakar.
Diolah dari data primer dan sekunder (TNGM, 2011)
Gambar 10.Proporsi sebaran enam jenis satwa mamalia menurut kelas kerusakan kawasan TNGM pasca erupsi.
Doc.
TN
. G
unung M
era
pi
Doc.
Hendra
Gunaw
an
Gambar 9.Mamalia kecil seperti landak jawa (Hystrix javanica) menjadi korban erupsi karena tidak mampu melarikan diri dari luncuran awan panas. Sementara monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) mengais sampah
untuk mencari makan karena persediaan makanan di alamnya habis terkena erupsi.
LokasiJumlah
Jenis
Indeks Keragaman
Jenis (H')
Indeks Evenness
(E)
Kalitengah Lor 13 1.9433 0.7576
Balerante 15 2.3650 0.8733
Deles Kemalang 14 2.0255 0.7675
Srumbung 18 2.4006 0.8306
Tabel 4. Rekapitulasi indeks keragaman jenis (H') dan indeks evenness (e) burung-burung di areal rusak terkena erupsi.
Lokasi Kalitengah Lor Balerante Deles Kemalang Srumbung
Kalitengah Lor 0.5385 0.3704 0.2581
Balerante 0.6897 0.4242
Deles Kemalang 0.3125
Srumbung
Tabel 5.Rekapitulasi indeks kemiripan komunitas burung antar lokasi pengamatan.
18 19RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Tabel 3.Jenis-jenis burung di areal yang rusak terkena erupsi setelah 16 bulan pasca erupsi.
Nilai indeks keragaman jenis dan indeks
evenness komunitas burung di empat
lokasi pengamatan relatif tidak jauh
berbeda. Keempat lokasi memiliki
karakteristik yang hampir sama yaitu
bervegetasi suksesi awal pasca erupsi
Gunung Merapi. Meskipun ada beberapa
pohon namun umumnya pohon tersebut
telah mati atau kehilangan tajuknya dan
baru bersemi kembali.
Meskipun memiliki indeks keragaman
jenis dan indeks evenness relatif tidak
jauh berbeda antar lokasi, namun
keempat lokasi memiliki nilai indeks
kemiripan komunitas (Index Similarity)
yang relatif rendah yaitu kurang dari 5,0
kecuali antara Balerante dan Deles-
Kemalang (0,6897). Rendahnya nilai
i n d e k s k e m i r i p a n k o m u n i t a s
menunjukkan bahwa komunitas di
lokasi-lokasi tersebut tersusun oleh
jenis-jenis yang berbeda. Perbedaan ini
b i sa d i sebabkan o leh kond is i
ketersediaan pakan dan ketinggian
tempat. Beberapa jenis burung memiliki
sebaran yang luas dan makanan yang
bervariasi, sementara beberapa jenis
lainnya memiliki sebaran sempit atau
spesialisasi dalam makanan. Sebagai
contoh burung cekakak jawa (Halcyon
cyanoventris) dan burung cekakak
sungai (Todirhamphus chloris) yang
merupakan jenis spesialis pencari makan
di perairan.
Gambar 11. Komposisi burung menurut macam pakan
utamanya di areal rusak akibat erupsi Merapi setelah 16 bulan.
KOMPOSISI BURUNG MENURUT MACAM PAKAN/JENIS PAKAN DI AREAL YANG RUSAK TERKENA ERUPSI MERAPI
Nama Lokal Nama Latin
Status Red List Dan PP 7/1999
Kali-Tengah
Lor
Bale-Rante
Deles Kemalang
Srum-bung
Jenis Pakan Utama
1. Alapalap Sapi Falco moluccensis (Bonaparte, 1850) LC; P x x C
2. Ayam-hutan hijau Gallus varius (Shaw, 1798) LC x x x G
3. Bentet kelabu Lanius schach (L innaeus, 1758) LC x x x x I
4. Bondol Peking Lonchura punctulata (Linnaeus, 1758) LC x G
5. Bubut Centropus bengalensis (Gmelin, 1788) LC x I
6. Burungmadu Srigant i Cinnyris jugularis (Linnaeus, 1766) LC x N
7. Caladi Ulam Dendrocopos macei (Vieillot, 1818) LC x I
8. Cekakak jawa Halcyon cyanovent ris (Vie illot, 1818) LC; P x x P
9. Cekakak Sungai Todiramphus chloris (Boddaert , 1783) LC; P x x x P
10. Cica koreng jawa Megalurus palustris (Horsf ield, 1821) LC x x x I
11. Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster (Vieillot, 1818) LC x x x x I
12. Elang Brontok Nisaetus cirrhatus (Gmelin, 1788) LC; P x C
13. Elangular Bido Spilornis cheela (Latham, 1790) LC; P x x C
14. Gelatik batu Kelabu Parus major (L innaeus, 1758) LC x G
15. Gemak Turnix suscitator (Gmelin, 1789) LC x x G
16. Kacamata biasa Zosterops palpebrosus (Temminck, 1824) LC x x x G
17. Kekep Babi Artamus leucorynchus (Linnaeus, 1771) LC x I
18. Kepudang Kuduk-hitam Oriolus chinensis (Linnaeus, 1766) LC x I
19. Kerak Kerbau Acridotheres javanicus (Cabanis, 1850) DD x x x I
20. Merbah Cerukcuk Pycnonotus goiavier (Scopoli, 1886) LC x x I
21. Perenjak Prin ia familiaris (Horsfield, 1821) LC x G
22. Perenjak padi Prin ia inornata (Sykes, 1832) LC x G
23. Perenjak Rawa Prin ia flaviventris (Delessert, 1840) LC x G
24. Elang hitam Ict inaetus malayensis (Temminck, 1822) LC; P x C
25. Sepah Kecil Pericrocotus cinnamomeus (Linnaeus, 1766) LC x I
26. Sikep madu asia Pernis pt ilorhynchus (Temminck, 1821) LC; P x C
27. Srigunting Kelabu Dicrurus leucophaeus (Vie illot, 1817) LC x I
28. Tekukur Biasa Spilopelia chinensis (Scopoli, 1768) LC x x G
29. Tepus Pipi-perak Stachyris melanothorax (Temminck, 1823) LC x I
30. Tuwur Asia Eudynamys scolopaceus (Linnaeus, 1758) LC x I
31. Walet Linci Collocalia linchi (Horsf ie ld & Moore, 1854) LC x x x I
32. Wiwik Kelabu Cacomantis merulinus (Scopoli, 1786) LC x I
33. Wiwik Uncuing Cacomantis sepulcralis (Müller, 1843) LC x x x I
I = Insektivora (pemakan serangga
N = Nektarivora (pemakan nektar)
LC = Least Concern
G = Granivora atau Seedivora (pemakan biji)
P = Piscivora (pemakan ikan)
DD = Data Deficient
F = Frugivora (pemakan buah)
C =Karnivora (pemangsa hewan lain)
P = Dilindungi berdasar PP No. 7/1999
Keterangan:
LokasiJumlah
Jenis
Indeks Keragaman
Jenis (H')
Indeks Evenness
(E)
Kalitengah Lor 13 1.9433 0.7576
Balerante 15 2.3650 0.8733
Deles Kemalang 14 2.0255 0.7675
Srumbung 18 2.4006 0.8306
Tabel 4. Rekapitulasi indeks keragaman jenis (H') dan indeks evenness (e) burung-burung di areal rusak terkena erupsi.
Lokasi Kalitengah Lor Balerante Deles Kemalang Srumbung
Kalitengah Lor 0.5385 0.3704 0.2581
Balerante 0.6897 0.4242
Deles Kemalang 0.3125
Srumbung
Tabel 5.Rekapitulasi indeks kemiripan komunitas burung antar lokasi pengamatan.
18 19RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Tabel 3.Jenis-jenis burung di areal yang rusak terkena erupsi setelah 16 bulan pasca erupsi.
Nilai indeks keragaman jenis dan indeks
evenness komunitas burung di empat
lokasi pengamatan relatif tidak jauh
berbeda. Keempat lokasi memiliki
karakteristik yang hampir sama yaitu
bervegetasi suksesi awal pasca erupsi
Gunung Merapi. Meskipun ada beberapa
pohon namun umumnya pohon tersebut
telah mati atau kehilangan tajuknya dan
baru bersemi kembali.
Meskipun memiliki indeks keragaman
jenis dan indeks evenness relatif tidak
jauh berbeda antar lokasi, namun
keempat lokasi memiliki nilai indeks
kemiripan komunitas (Index Similarity)
yang relatif rendah yaitu kurang dari 5,0
kecuali antara Balerante dan Deles-
Kemalang (0,6897). Rendahnya nilai
i n d e k s k e m i r i p a n k o m u n i t a s
menunjukkan bahwa komunitas di
lokasi-lokasi tersebut tersusun oleh
jenis-jenis yang berbeda. Perbedaan ini
b i sa d i sebabkan o leh kond is i
ketersediaan pakan dan ketinggian
tempat. Beberapa jenis burung memiliki
sebaran yang luas dan makanan yang
bervariasi, sementara beberapa jenis
lainnya memiliki sebaran sempit atau
spesialisasi dalam makanan. Sebagai
contoh burung cekakak jawa (Halcyon
cyanoventris) dan burung cekakak
sungai (Todirhamphus chloris) yang
merupakan jenis spesialis pencari makan
di perairan.
Gambar 11. Komposisi burung menurut macam pakan
utamanya di areal rusak akibat erupsi Merapi setelah 16 bulan.
KOMPOSISI BURUNG MENURUT MACAM PAKAN/JENIS PAKAN DI AREAL YANG RUSAK TERKENA ERUPSI MERAPI
Nama Lokal Nama Latin
Status Red List Dan PP 7/1999
Kali-Tengah
Lor
Bale-Rante
Deles Kemalang
Srum-bung
Jenis Pakan Utama
1. Alapalap Sapi Falco moluccensis (Bonaparte, 1850) LC; P x x C
2. Ayam-hutan hijau Gallus varius (Shaw, 1798) LC x x x G
3. Bentet kelabu Lanius schach (L innaeus, 1758) LC x x x x I
4. Bondol Peking Lonchura punctulata (Linnaeus, 1758) LC x G
5. Bubut Centropus bengalensis (Gmelin, 1788) LC x I
6. Burungmadu Srigant i Cinnyris jugularis (Linnaeus, 1766) LC x N
7. Caladi Ulam Dendrocopos macei (Vieillot, 1818) LC x I
8. Cekakak jawa Halcyon cyanovent ris (Vie illot, 1818) LC; P x x P
9. Cekakak Sungai Todiramphus chloris (Boddaert , 1783) LC; P x x x P
10. Cica koreng jawa Megalurus palustris (Horsf ield, 1821) LC x x x I
11. Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster (Vieillot, 1818) LC x x x x I
12. Elang Brontok Nisaetus cirrhatus (Gmelin, 1788) LC; P x C
13. Elangular Bido Spilornis cheela (Latham, 1790) LC; P x x C
14. Gelatik batu Kelabu Parus major (L innaeus, 1758) LC x G
15. Gemak Turnix suscitator (Gmelin, 1789) LC x x G
16. Kacamata biasa Zosterops palpebrosus (Temminck, 1824) LC x x x G
17. Kekep Babi Artamus leucorynchus (Linnaeus, 1771) LC x I
18. Kepudang Kuduk-hitam Oriolus chinensis (Linnaeus, 1766) LC x I
19. Kerak Kerbau Acridotheres javanicus (Cabanis, 1850) DD x x x I
20. Merbah Cerukcuk Pycnonotus goiavier (Scopoli, 1886) LC x x I
21. Perenjak Prin ia familiaris (Horsfield, 1821) LC x G
22. Perenjak padi Prin ia inornata (Sykes, 1832) LC x G
23. Perenjak Rawa Prin ia flaviventris (Delessert, 1840) LC x G
24. Elang hitam Ict inaetus malayensis (Temminck, 1822) LC; P x C
25. Sepah Kecil Pericrocotus cinnamomeus (Linnaeus, 1766) LC x I
26. Sikep madu asia Pernis pt ilorhynchus (Temminck, 1821) LC; P x C
27. Srigunting Kelabu Dicrurus leucophaeus (Vie illot, 1817) LC x I
28. Tekukur Biasa Spilopelia chinensis (Scopoli, 1768) LC x x G
29. Tepus Pipi-perak Stachyris melanothorax (Temminck, 1823) LC x I
30. Tuwur Asia Eudynamys scolopaceus (Linnaeus, 1758) LC x I
31. Walet Linci Collocalia linchi (Horsf ie ld & Moore, 1854) LC x x x I
32. Wiwik Kelabu Cacomantis merulinus (Scopoli, 1786) LC x I
33. Wiwik Uncuing Cacomantis sepulcralis (Müller, 1843) LC x x x I
I = Insektivora (pemakan serangga
N = Nektarivora (pemakan nektar)
LC = Least Concern
G = Granivora atau Seedivora (pemakan biji)
P = Piscivora (pemakan ikan)
DD = Data Deficient
F = Frugivora (pemakan buah)
C =Karnivora (pemangsa hewan lain)
P = Dilindungi berdasar PP No. 7/1999
Keterangan:
LokasiJumlah
Jenis
Indeks Keragaman
Jenis (H')
Indeks Evenness
(E)
Kalitengah Lor 13 1.9433 0.7576
Balerante 15 2.3650 0.8733
Deles Kemalang 14 2.0255 0.7675
Srumbung 18 2.4006 0.8306
Tabel 4. Rekapitulasi indeks keragaman jenis (H') dan indeks evenness (e) burung-burung di areal rusak terkena erupsi.
Lokasi Kalitengah Lor Balerante Deles Kemalang Srumbung
Kalitengah Lor 0.5385 0.3704 0.2581
Balerante 0.6897 0.4242
Deles Kemalang 0.3125
Srumbung
Tabel 5.Rekapitulasi indeks kemiripan komunitas burung antar lokasi pengamatan.
18 19RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Tabel 3.Jenis-jenis burung di areal yang rusak terkena erupsi setelah 16 bulan pasca erupsi.
Nilai indeks keragaman jenis dan indeks
evenness komunitas burung di empat
lokasi pengamatan relatif tidak jauh
berbeda. Keempat lokasi memiliki
karakteristik yang hampir sama yaitu
bervegetasi suksesi awal pasca erupsi
Gunung Merapi. Meskipun ada beberapa
pohon namun umumnya pohon tersebut
telah mati atau kehilangan tajuknya dan
baru bersemi kembali.
Meskipun memiliki indeks keragaman
jenis dan indeks evenness relatif tidak
jauh berbeda antar lokasi, namun
keempat lokasi memiliki nilai indeks
kemiripan komunitas (Index Similarity)
yang relatif rendah yaitu kurang dari 5,0
kecuali antara Balerante dan Deles-
Kemalang (0,6897). Rendahnya nilai
i n d e k s k e m i r i p a n k o m u n i t a s
menunjukkan bahwa komunitas di
lokasi-lokasi tersebut tersusun oleh
jenis-jenis yang berbeda. Perbedaan ini
b i sa d i sebabkan o leh kond is i
ketersediaan pakan dan ketinggian
tempat. Beberapa jenis burung memiliki
sebaran yang luas dan makanan yang
bervariasi, sementara beberapa jenis
lainnya memiliki sebaran sempit atau
spesialisasi dalam makanan. Sebagai
contoh burung cekakak jawa (Halcyon
cyanoventris) dan burung cekakak
sungai (Todirhamphus chloris) yang
merupakan jenis spesialis pencari makan
di perairan.
Gambar 11. Komposisi burung menurut macam pakan
utamanya di areal rusak akibat erupsi Merapi setelah 16 bulan.
KOMPOSISI BURUNG MENURUT MACAM PAKAN/JENIS PAKAN DI AREAL YANG RUSAK TERKENA ERUPSI MERAPI
Nama Lokal Nama Latin
Status Red List Dan PP 7/1999
Kali-Tengah
Lor
Bale-Rante
Deles Kemalang
Srum-bung
Jenis Pakan Utama
1. Alapalap Sapi Falco moluccensis (Bonaparte, 1850) LC; P x x C
2. Ayam-hutan hijau Gallus varius (Shaw, 1798) LC x x x G
3. Bentet kelabu Lanius schach (L innaeus, 1758) LC x x x x I
4. Bondol Peking Lonchura punctulata (Linnaeus, 1758) LC x G
5. Bubut Centropus bengalensis (Gmelin, 1788) LC x I
6. Burungmadu Srigant i Cinnyris jugularis (Linnaeus, 1766) LC x N
7. Caladi Ulam Dendrocopos macei (Vieillot, 1818) LC x I
8. Cekakak jawa Halcyon cyanovent ris (Vie illot, 1818) LC; P x x P
9. Cekakak Sungai Todiramphus chloris (Boddaert , 1783) LC; P x x x P
10. Cica koreng jawa Megalurus palustris (Horsf ield, 1821) LC x x x I
11. Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster (Vieillot, 1818) LC x x x x I
12. Elang Brontok Nisaetus cirrhatus (Gmelin, 1788) LC; P x C
13. Elangular Bido Spilornis cheela (Latham, 1790) LC; P x x C
14. Gelatik batu Kelabu Parus major (L innaeus, 1758) LC x G
15. Gemak Turnix suscitator (Gmelin, 1789) LC x x G
16. Kacamata biasa Zosterops palpebrosus (Temminck, 1824) LC x x x G
17. Kekep Babi Artamus leucorynchus (Linnaeus, 1771) LC x I
18. Kepudang Kuduk-hitam Oriolus chinensis (Linnaeus, 1766) LC x I
19. Kerak Kerbau Acridotheres javanicus (Cabanis, 1850) DD x x x I
20. Merbah Cerukcuk Pycnonotus goiavier (Scopoli, 1886) LC x x I
21. Perenjak Prin ia familiaris (Horsfield, 1821) LC x G
22. Perenjak padi Prin ia inornata (Sykes, 1832) LC x G
23. Perenjak Rawa Prin ia flaviventris (Delessert, 1840) LC x G
24. Elang hitam Ict inaetus malayensis (Temminck, 1822) LC; P x C
25. Sepah Kecil Pericrocotus cinnamomeus (Linnaeus, 1766) LC x I
26. Sikep madu asia Pernis pt ilorhynchus (Temminck, 1821) LC; P x C
27. Srigunting Kelabu Dicrurus leucophaeus (Vie illot, 1817) LC x I
28. Tekukur Biasa Spilopelia chinensis (Scopoli, 1768) LC x x G
29. Tepus Pipi-perak Stachyris melanothorax (Temminck, 1823) LC x I
30. Tuwur Asia Eudynamys scolopaceus (Linnaeus, 1758) LC x I
31. Walet Linci Collocalia linchi (Horsf ie ld & Moore, 1854) LC x x x I
32. Wiwik Kelabu Cacomantis merulinus (Scopoli, 1786) LC x I
33. Wiwik Uncuing Cacomantis sepulcralis (Müller, 1843) LC x x x I
I = Insektivora (pemakan serangga
N = Nektarivora (pemakan nektar)
LC = Least Concern
G = Granivora atau Seedivora (pemakan biji)
P = Piscivora (pemakan ikan)
DD = Data Deficient
F = Frugivora (pemakan buah)
C =Karnivora (pemangsa hewan lain)
P = Dilindungi berdasar PP No. 7/1999
Keterangan:
Ekosistem memiliki daya lenting
( r e s i l i e n s i ) y a i t u k emampuan
memulihkan dirinya sendiri secara alami
setelah mengalami gangguan. Demikian
halnya dengan ekosistem Gunung
Merapi, meskipun sebagian areal TNGM
mengalami kehilangan vegetasi dan
menjadi hamparan abu vulkanik, namun
masih ada ekosistem hutan yang utuh
yang tidak terkena dampak erupsi atau
hanya mengalami kerusakan ringan dan
sedang. Vegetasi hutan yang tersisa
tersebut memiliki pohon-pohon yang
menjadi sumber benih bagi rekolonisasi
areal terbuka di dekatnya. Proses
rekolonisasi areal terbuka dapat terjadi
karena adanya proses pemencaran biji
secara alami. Pemencaran biji-biji
secara alami dapat terjadi karena
bantuan :
(1) Tiupan angin, khususnya biji-biji yang ringan dan bersayap (anemo chory).
(2) Diluncurkan oleh air hujan atau gravitasi, khususnya biji-biji yang terjatuh di lantai hutan yang miring (hydro chory).
(3) Menempel pada tubuh satwa (ecto zoochory) atau manusia kemudian jatuh di lokasi lain
(4) Buahnya dimakan oleh satwa dan bijinya keluar bersama fecesnya di tempat lain (endo zoochory)/
Jenis-jenis yang menjadi pelopor dalam
rekolonisasi areal terbuka biasanya
adalah jenis-jenis yang membutuhkan
SUKSESI ALAM DAN ANCAMAN
INVASI SPESIES ASING
A. Suksesi Alam
sinar matahari penuh (light demanding)
atau yang dikenal sebagai jenis-jenis
pionir/pelopor. Jenis-jenis tersebut
umumnya memiliki sifat menyukai areal
terbuka yang langsung terkena cahaya
matahari, cepat tumbuh dan beberapa
jenis bersifat invasif.
Jangkauan penyebaran biji masing-
masing jenis pohon berbeda-beda dan
sangat dipengaruhi oleh agen atau
media penyebarannya. Secara umum,
areal yang rusak akibat erupsi semakin
dekat dengan sumber benih (pohon
induk), maka semakin mudah ditumbuhi
dan memulihkan diri secara alami melalui
suksesi. Semakin jauh dari sumber
benih maka semakin sulit kolonisasi atau
suksesi alam terjadi secara alami.
Dengan dasar pemikiran ini maka,
sesungguhnya areal-areal yang rusak
dengan jarak tertentu misal radius 500
m dari sumber benih bisa mengandalkan
s u k s e s i a l a m i d a l a m p r o s e s
restorasinya.
Sehubungan dengan itu perlu dilakukan
pemetaan sumber benih dan pemetaan
tingkat kerusakan ekosistem. Dengan
menghubungkan kedua hal tersebut dan
operasi spasial dapat ditentukan lokasi-
lokasi yang retorasinya mengandalkan
sukses alami atau kolonisasi alami dan
lokasi-lokasi yang harus ditanami secara
total.
H a s i l p e n g a m a t a n l a p a n g a n
menunjukkan bahwa rekolonisasi sudah
dimulai tiga bulan setelah erupsi.
Setahun pasca erupsi sudah ditemukan
banyak anakan pohon dan tumbuhan
bawah yang mengkolonisasi areal
hamparan pasir dan abu vulkanik pasca
erupsi. Meskipun sebagian besar hutan
di TNGM mengalami kerusakan dan
hanya 23,19% yang relatif tidak rusak
akibat erupsi, namun tampak dari hasil
pengamatan lapangan bahwa proses
rekolonisasi alami berlangsung cukup
baik.
Gambar 13.Kiri : Rekolonisasi 3 bulan pasca erupsi dan Kanan : Rekolonisasi 18 bulan pasca erupsi di Resor Kemalang.
Doc. H
endra
Gunaw
an (
2011;
2012)
Gambar 12.Jumlah jenis anakan pohon dan
tumbuhan bawah pada areal rusak akibat erupsi setelah satu tahun pasca erupsi.
Analisis vegetasi di areal terdegradasi
setelah 16-18 bulan pasca erupsi
menemukan beberapa jenis pohon asli
dan asing (alien species) telah
mengkolonisasi areal yang sebelumnya
berupa hamparan pasir dan abu vulkanik
hasil erupsi. Suksesi alami melalui
rekolonisasi oleh sumber hutan yang
tidak rusak akibat erupsi membuktikan
bahwa alam mampu memulihkan dirinya
sendiri setelah mendapat gangguan atau
memiliki daya lenting (Resilience).
Hasil analisis vegetasi menunjukkan
bahwa jenis puspa (Schima wallichii),
anggrung (Trema orientalis), tutup ijo
(Macaranga triloba), sengon gunung
B. Ancaman Invasi Spesies Asing (Alien Species)
(Paraserianthes lopantha) dan wilodo
(Ficus fistulosa) merupakan jenis yang
memililiki anakan alam melimpah. Hal
ini menggambarkan bahwa jenis-jenis
asli yang ditemukan di lokasi yang
rusak/terdegradasi merupakan jenis
pionir dan mampu mengkolonisasi areal
terbuka secara alami. Meskipun
demikian pada kenyataannya masih
dapat dikalahkan oleh jenis eksotik yaitu
Acacia decurrens yang mampu tumbuh
secara cepat dan invasif di areal rusak
akibat erupsi dengan kerapatan
mencapai 2.697 individu/Ha di atas
puspa (2.632 individu/Ha).
20 21RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
JUMLAH JENIS YANG DITEMUKAN DI AREAL RUSAK AKIBATERUPSI SETELAH SATU TAHUN
Ekosistem memiliki daya lenting
( r e s i l i e n s i ) y a i t u k emampuan
memulihkan dirinya sendiri secara alami
setelah mengalami gangguan. Demikian
halnya dengan ekosistem Gunung
Merapi, meskipun sebagian areal TNGM
mengalami kehilangan vegetasi dan
menjadi hamparan abu vulkanik, namun
masih ada ekosistem hutan yang utuh
yang tidak terkena dampak erupsi atau
hanya mengalami kerusakan ringan dan
sedang. Vegetasi hutan yang tersisa
tersebut memiliki pohon-pohon yang
menjadi sumber benih bagi rekolonisasi
areal terbuka di dekatnya. Proses
rekolonisasi areal terbuka dapat terjadi
karena adanya proses pemencaran biji
secara alami. Pemencaran biji-biji
secara alami dapat terjadi karena
bantuan :
(1) Tiupan angin, khususnya biji-biji yang ringan dan bersayap (anemo chory).
(2) Diluncurkan oleh air hujan atau gravitasi, khususnya biji-biji yang terjatuh di lantai hutan yang miring (hydro chory).
(3) Menempel pada tubuh satwa (ecto zoochory) atau manusia kemudian jatuh di lokasi lain
(4) Buahnya dimakan oleh satwa dan bijinya keluar bersama fecesnya di tempat lain (endo zoochory)/
Jenis-jenis yang menjadi pelopor dalam
rekolonisasi areal terbuka biasanya
adalah jenis-jenis yang membutuhkan
SUKSESI ALAM DAN ANCAMAN
INVASI SPESIES ASING
A. Suksesi Alam
sinar matahari penuh (light demanding)
atau yang dikenal sebagai jenis-jenis
pionir/pelopor. Jenis-jenis tersebut
umumnya memiliki sifat menyukai areal
terbuka yang langsung terkena cahaya
matahari, cepat tumbuh dan beberapa
jenis bersifat invasif.
Jangkauan penyebaran biji masing-
masing jenis pohon berbeda-beda dan
sangat dipengaruhi oleh agen atau
media penyebarannya. Secara umum,
areal yang rusak akibat erupsi semakin
dekat dengan sumber benih (pohon
induk), maka semakin mudah ditumbuhi
dan memulihkan diri secara alami melalui
suksesi. Semakin jauh dari sumber
benih maka semakin sulit kolonisasi atau
suksesi alam terjadi secara alami.
Dengan dasar pemikiran ini maka,
sesungguhnya areal-areal yang rusak
dengan jarak tertentu misal radius 500
m dari sumber benih bisa mengandalkan
s u k s e s i a l a m i d a l a m p r o s e s
restorasinya.
Sehubungan dengan itu perlu dilakukan
pemetaan sumber benih dan pemetaan
tingkat kerusakan ekosistem. Dengan
menghubungkan kedua hal tersebut dan
operasi spasial dapat ditentukan lokasi-
lokasi yang retorasinya mengandalkan
sukses alami atau kolonisasi alami dan
lokasi-lokasi yang harus ditanami secara
total.
H a s i l p e n g a m a t a n l a p a n g a n
menunjukkan bahwa rekolonisasi sudah
dimulai tiga bulan setelah erupsi.
Setahun pasca erupsi sudah ditemukan
banyak anakan pohon dan tumbuhan
bawah yang mengkolonisasi areal
hamparan pasir dan abu vulkanik pasca
erupsi. Meskipun sebagian besar hutan
di TNGM mengalami kerusakan dan
hanya 23,19% yang relatif tidak rusak
akibat erupsi, namun tampak dari hasil
pengamatan lapangan bahwa proses
rekolonisasi alami berlangsung cukup
baik.
Gambar 13.Kiri : Rekolonisasi 3 bulan pasca erupsi dan Kanan : Rekolonisasi 18 bulan pasca erupsi di Resor Kemalang.
Doc. H
endra
Gunaw
an (
2011;
2012)
Gambar 12.Jumlah jenis anakan pohon dan
tumbuhan bawah pada areal rusak akibat erupsi setelah satu tahun pasca erupsi.
Analisis vegetasi di areal terdegradasi
setelah 16-18 bulan pasca erupsi
menemukan beberapa jenis pohon asli
dan asing (alien species) telah
mengkolonisasi areal yang sebelumnya
berupa hamparan pasir dan abu vulkanik
hasil erupsi. Suksesi alami melalui
rekolonisasi oleh sumber hutan yang
tidak rusak akibat erupsi membuktikan
bahwa alam mampu memulihkan dirinya
sendiri setelah mendapat gangguan atau
memiliki daya lenting (Resilience).
Hasil analisis vegetasi menunjukkan
bahwa jenis puspa (Schima wallichii),
anggrung (Trema orientalis), tutup ijo
(Macaranga triloba), sengon gunung
B. Ancaman Invasi Spesies Asing (Alien Species)
(Paraserianthes lopantha) dan wilodo
(Ficus fistulosa) merupakan jenis yang
memililiki anakan alam melimpah. Hal
ini menggambarkan bahwa jenis-jenis
asli yang ditemukan di lokasi yang
rusak/terdegradasi merupakan jenis
pionir dan mampu mengkolonisasi areal
terbuka secara alami. Meskipun
demikian pada kenyataannya masih
dapat dikalahkan oleh jenis eksotik yaitu
Acacia decurrens yang mampu tumbuh
secara cepat dan invasif di areal rusak
akibat erupsi dengan kerapatan
mencapai 2.697 individu/Ha di atas
puspa (2.632 individu/Ha).
20 21RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
JUMLAH JENIS YANG DITEMUKAN DI AREAL RUSAK AKIBATERUPSI SETELAH SATU TAHUN
Gambar 13 menunjukkan bahwa jenis
Acacia decurrens sangat adaptif dengan
kondisi pasca erupsi sehingga dengan
cepat menguasai areal terdegradasi.
Jenis ini mendominasi areal rusak
akibat erupsi yang umumnya terbuka
dan merupakan hamparan pasir dan abu.
Meskipun demikian jenis asli juga bisa
beradaptasi dengan kondisi pasca
erupsi, seperti puspa, anggrung, tutup
ijo, sengon gunung dan dadap.
Permasalahan yang timbul adalah
bahwa dari hasil analisis tumbuhan
bawah dan anakan pohon di areal rusak
oleh erupsi dari berbagai tingkat
kerusakan, ternyata ditemukan 10 jenis
eksotik yang menjadi pionir dalam
sukses alam atau rekolonisasi areal
terdegradasi. Dari 10 jenis tersebut,
Acacia decurrens merupakan spesies
yang paling cepat berkembang sehingga
membahayakan spesies asli. Oleh
karena itu perlu dilakukan penanganan
khusus terhadap spesies ini sehingga
proses restorasi untuk memulihkan
fungsi ekosistem dapat berjalan dengan
baik dan menuju klimaks yang
diharapkan.
No Nama Lokal Nama Latin Asal
1 Akasia Acacia decurrens Willd. Australia
2 Kaliandra Calliandra calothyrsus Meisn. Guatemala
3 Lamtoro Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit. Amerika tropis
4 Sonokeling Dalbergia latifolia Roxb. India bagian timur
5 Pinus Pinus merkusii Jungh. & de Vriese Region Malesia (Sumatera bagian utara )
6 Turi Sesbania grandiflora (L.) Poiret India dan Asia Tenggara
7 Mangga Mangifera indica L. Asia Timur
8 Nangka Artocarpus heterophyllus Lam. Asia Selatan dan Tenggara
9 Jati Tectona grandis L.f. Asia Selatan dan Tenggara
10 Jambu Psidium guajava L. Brasil
Tabel 6. Jenis-jenis eksotik (didatangkan) yang menjadi pionir pada areal terdegradasi akibat erupsi di TNGM.
Sebaga imana t e l a h d i u r a i k a n
sebelumnya bahwa ekosistem Gunung
Merapi yang terdegradasi mampu
memulihkan dirinya sendiri melalui
suksesi alam atau rekolonisasi. Namun
ternyata jenis yang mengkolonisasi
secara luas pada awal suksesi adalah
jenis Acacia decurrens yang merupakan
jenis asing. Jenis ini cenderung invasif,
pada lahan-lahan kosong yang
terekspose langsung sinar matahari.
Jenis ini dikhawatirkan akan menekan
pertumbuhan jenis-jenis asli dan
menyebabkan ekosistem asli tidak dapat
pulih seperti sediakala sehingga tidak
membentuk habitat yang sesuai bagi
berbagai jenis satwaliar.
Pihak manajemen perlu melakukan
langkah-langkah pengendalian, agar
keberadaan Acacia decurens tidak
menjadi ancaman tetapi bisa menjadi
pencipta kesesuaian tempat tumbuh
bagi jenis-jenis pohon asli dengan
memperbaiki kondisi lingkungan, baik
fisik maupun kimia tanah hasil letusan
yang bersifat asam. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian mengenai
peran Acacia decurrens dalam proses
suksesi alami dan sifat ekofisiologinya
sehingga bisa dilakukan langkah-
langkah pencegahan dan pengendalian
secara hayati di masa mendatang.
Gambar 15.Pada bulan April 2012 atau 18 bulanpasca erupsi, hamparan abu vulkanik
telah kembali hijau oleh invasi Acacia decurrens.
22 23RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
0 1000 2000 3000
Acacia decurrens Willd.1Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.)
Anggrung (Trema orientale Bl.)Tutup ijo (Macaranga triloba Muell. Arg.)
Sengon gunung (Albizia montana (Jungh.) Benth.)Pinus (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese)5
Wilodo (Ficus fistulosa Reinw. ex Blume)Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit)3
Dadap (Erythrina lithosperma Miq. non Bl)Karembi (Homalanthus populneus (Giesel.) Pax)
Tutup putih (Mallotus paniculatus (Lam.) Mull.Arg.)Kaliandra (Calliandra calothyrsus Meisn.)2
Pasang (Quercus teysmannii Bl.)Walik angin (Croton argyratus Blume)
Bintinu/Senu (Melochia umbellata O. Staff.)Gondang (Ficus variegata Bl.)
Jambu (Psidium guajava L.)10Beringin (Ficus benjamina L.)
Mangga (Mangifera indica L.)7Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walpers)
Suren (Toona sureni (Blume) Merr.)Turi (Sesbania grandiflora (L.) Poiret)6
Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.)Jati (Tectona grandis L.f.)9
Kendung (Helicia javanica Bl.)Kopeng (Ficus ribes Reinw.)
Nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.)8Rasamala (Altingia excelsa Noronha)
Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.)4
Kerapatan (indiividu/Ha)
KERAPATAN ANAKAN POHON PADA AREAL TERDEGRADASI OLEH ERUPSI DI TN. GUNUNG MERAPI
Gambar 14. Kerapatan anakan pohon di areal terdampak erupsi
di Merapi.
KETERANGAN :1 Jenis introduksi asal Australia2 Introduksi asal Guatemala3 Introduksi asal Amerika tropis4 Introduksi asal India bagian timur5 Introduksi asal region malesia (Sumatera bagian utara)
6 Introduksi di Merapi asal India dan Asia Tenggara
7 Introduksi di Merapi asal Asia Timur8 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan dan Tenggara
9 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan dan Tenggara
10 Introduksi di Merapi asal Brasil
Gambar 13 menunjukkan bahwa jenis
Acacia decurrens sangat adaptif dengan
kondisi pasca erupsi sehingga dengan
cepat menguasai areal terdegradasi.
Jenis ini mendominasi areal rusak
akibat erupsi yang umumnya terbuka
dan merupakan hamparan pasir dan abu.
Meskipun demikian jenis asli juga bisa
beradaptasi dengan kondisi pasca
erupsi, seperti puspa, anggrung, tutup
ijo, sengon gunung dan dadap.
Permasalahan yang timbul adalah
bahwa dari hasil analisis tumbuhan
bawah dan anakan pohon di areal rusak
oleh erupsi dari berbagai tingkat
kerusakan, ternyata ditemukan 10 jenis
eksotik yang menjadi pionir dalam
sukses alam atau rekolonisasi areal
terdegradasi. Dari 10 jenis tersebut,
Acacia decurrens merupakan spesies
yang paling cepat berkembang sehingga
membahayakan spesies asli. Oleh
karena itu perlu dilakukan penanganan
khusus terhadap spesies ini sehingga
proses restorasi untuk memulihkan
fungsi ekosistem dapat berjalan dengan
baik dan menuju klimaks yang
diharapkan.
No Nama Lokal Nama Latin Asal
1 Akasia Acacia decurrens Willd. Australia
2 Kaliandra Calliandra calothyrsus Meisn. Guatemala
3 Lamtoro Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit. Amerika tropis
4 Sonokeling Dalbergia latifolia Roxb. India bagian timur
5 Pinus Pinus merkusii Jungh. & de Vriese Region Malesia (Sumatera bagian utara )
6 Turi Sesbania grandiflora (L.) Poiret India dan Asia Tenggara
7 Mangga Mangifera indica L. Asia Timur
8 Nangka Artocarpus heterophyllus Lam. Asia Selatan dan Tenggara
9 Jati Tectona grandis L.f. Asia Selatan dan Tenggara
10 Jambu Psidium guajava L. Brasil
Tabel 6. Jenis-jenis eksotik (didatangkan) yang menjadi pionir pada areal terdegradasi akibat erupsi di TNGM.
Sebaga imana t e l a h d i u r a i k a n
sebelumnya bahwa ekosistem Gunung
Merapi yang terdegradasi mampu
memulihkan dirinya sendiri melalui
suksesi alam atau rekolonisasi. Namun
ternyata jenis yang mengkolonisasi
secara luas pada awal suksesi adalah
jenis Acacia decurrens yang merupakan
jenis asing. Jenis ini cenderung invasif,
pada lahan-lahan kosong yang
terekspose langsung sinar matahari.
Jenis ini dikhawatirkan akan menekan
pertumbuhan jenis-jenis asli dan
menyebabkan ekosistem asli tidak dapat
pulih seperti sediakala sehingga tidak
membentuk habitat yang sesuai bagi
berbagai jenis satwaliar.
Pihak manajemen perlu melakukan
langkah-langkah pengendalian, agar
keberadaan Acacia decurens tidak
menjadi ancaman tetapi bisa menjadi
pencipta kesesuaian tempat tumbuh
bagi jenis-jenis pohon asli dengan
memperbaiki kondisi lingkungan, baik
fisik maupun kimia tanah hasil letusan
yang bersifat asam. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian mengenai
peran Acacia decurrens dalam proses
suksesi alami dan sifat ekofisiologinya
sehingga bisa dilakukan langkah-
langkah pencegahan dan pengendalian
secara hayati di masa mendatang.
Gambar 15.Pada bulan April 2012 atau 18 bulanpasca erupsi, hamparan abu vulkanik
telah kembali hijau oleh invasi Acacia decurrens.
22 23RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
0 1000 2000 3000
Acacia decurrens Willd.1Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.)
Anggrung (Trema orientale Bl.)Tutup ijo (Macaranga triloba Muell. Arg.)
Sengon gunung (Albizia montana (Jungh.) Benth.)Pinus (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese)5
Wilodo (Ficus fistulosa Reinw. ex Blume)Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit)3
Dadap (Erythrina lithosperma Miq. non Bl)Karembi (Homalanthus populneus (Giesel.) Pax)
Tutup putih (Mallotus paniculatus (Lam.) Mull.Arg.)Kaliandra (Calliandra calothyrsus Meisn.)2
Pasang (Quercus teysmannii Bl.)Walik angin (Croton argyratus Blume)
Bintinu/Senu (Melochia umbellata O. Staff.)Gondang (Ficus variegata Bl.)
Jambu (Psidium guajava L.)10Beringin (Ficus benjamina L.)
Mangga (Mangifera indica L.)7Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walpers)
Suren (Toona sureni (Blume) Merr.)Turi (Sesbania grandiflora (L.) Poiret)6
Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.)Jati (Tectona grandis L.f.)9
Kendung (Helicia javanica Bl.)Kopeng (Ficus ribes Reinw.)
Nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.)8Rasamala (Altingia excelsa Noronha)
Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.)4
Kerapatan (indiividu/Ha)
KERAPATAN ANAKAN POHON PADA AREAL TERDEGRADASI OLEH ERUPSI DI TN. GUNUNG MERAPI
Gambar 14. Kerapatan anakan pohon di areal terdampak erupsi
di Merapi.
KETERANGAN :1 Jenis introduksi asal Australia2 Introduksi asal Guatemala3 Introduksi asal Amerika tropis4 Introduksi asal India bagian timur5 Introduksi asal region malesia (Sumatera bagian utara)
6 Introduksi di Merapi asal India dan Asia Tenggara
7 Introduksi di Merapi asal Asia Timur8 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan dan Tenggara
9 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan dan Tenggara
10 Introduksi di Merapi asal Brasil
Restorasi ekosistem merupakan proses
pemulihan suatu ekosistem yang telah
terdegradasi, rusak atau musnah ke
kondisi awal atau menyerupai kondisi
awal (SER Primer, 2004). Ekosistem
dikatakan pulih kembali ketika memiliki
cukup sumberdaya biotik dan abiotik
untuk terus berkembang tanpa bantuan
atau campur tangan manusia serta dapat
melestarikan fungsi dan strukturnya
sendiri dan memiliki resiliensi terhadap
tekanan dan gangguan lingkungan (SER
Primer, 2004).
Restorasi merupakan usaha intensif
untuk memicu dan mempercepat
pemulihan kesehatan (proses dan
fungsi), integritas (struktur dan
komposisi) dan kelestarian (ketahanan
terhadap gangguan dan resiliensi)
ekosistem (Clewell et al., 2005).
Mengingat kompleksnya proses-proses
dan fungsi ekosistem, maka untuk dapat
memperoleh kembali fungsi-fungsi
tersebut harus dilakukan pemulihan pada
tingkat lanskap (Maginnis & Jackson,
2006).
Restoras i ekos is tem ber tu juan
membangun kembali fungsi ekosistem
asli dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat (Maginis & Jackson, 2006).
Fungsi ekosistem menjadi panduan
utama bagi pembangunan berkelanjutan,
mendukung upaya kehati-hatian dalam
melestarikan kemampuan ekosistem
guna memberikan jasa lingkungan
RESTORASI EKOSISTEM
A. Prinsip Restorasi Ekosistem
meminimalkan resiko ekologi di masa
mendatang (Dierben, 2006).
Memahami penyebab dari tingkat
degradasi ekosistem hutan merupakan
hal yang penting untuk memulai
kegiatan restorasi (Lee & Sayer, 2004).
Sebelum dilaksanakan kegiatan restorasi
ekosistem, beberapa kegiatan perlu
disiapkan sebagai dasar penyusunan
rstrategi/rencana aksi, antara lain
(Clewell et al., 2005):
1. Identifikasi tingkat kerusakan
ekosistem;
2. Identifikasi tipe-tipe ekosistem
yang harus direstorasi;
3. Identifikasi tujuan restorasi;
4. Identifikasi kondisi fisik tapak
yang perlu direstorasi;
5. Identifikasi tekanan yang perlu
ditangani;
6. Identifikasi intervansi jenis biotik
yang diperlukan;
7. Identifikasi kendala lanskap;
8. Identifikasi ekosistem referensi;
9. Mengumpulkan informasi sifat
biologi-ekologi spesies kunci;
10. M e n y i a p k a n p a r t i s i p a s i
masyarakat dalam perencanaan
dan implementasi.
Menurut Maginnis dan Jackson (2006).
Dalam pendekatan restorasi ekosistem
hutan, masyarakat dilibatkan untuk
mengidentifikasi dan menetapkan
s eca r a t epa t p r ak t ek - p r ak t ek
penggunaan lahan yang akan membantu
pemulihan fungsi ekosistem hutan
secara keseluruhan. Dalam hal ini
difokuskan pada pemulihan fungsi-
fungsi hutan pada level lanskap untuk
optimalisasi fungsi ekosistem hutan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat
sekitarnya. Tujuan dari pendekatan ini
adalah untuk memperkuat hubungan
antara pembangunan pedesaan,
kehutanan dan manajemen konservasi
sumberdaya alam lainnya. Dengan
perkataan lain lebih mengutamakan pada
optimalisasi manfaat hutan dalam
lanskap yang lebih luas (IUCN, 2005).
Salah satu kunci dalam restorasi lanskap
hutan adalah identifikasi tipe dan tingkat
restorasi yang sesuai dengan kondisi
sosial dan fisik yang ada. Pada
ekosistem yang telah sangat rusak
sehingga tidak mampu memulihkan diri
sendiri melalui proses suksesi alam,
maka upaya restorasi lebih baik
difokuskan pada pemulihan dan
pemeliharaan proses-proses penting
seperti hidrologi, siklus hara dan transfer
energi daripada usaha mengembalikan
struktur hutan seperti aslinya (Maginnis
dan Jackson, 2006).
Tujuan restorasi harus didasarkan pada
aspirasi stakeholder, karakter fisik
lanskap dan sumberdaya yang tersedia.
Oleh karena itu sangat dipengaruhi oleh
kelembagaan yang telah ada, kebijakan
tata guna lahan dan faktor biotik seperti
kesuburan tanah, keanekaragaman
hayati, kelimpahan dan sebarannya.
Tujuan jangka pendek mungkin berubah
menurut waktu, tetapi maksud jangka
panjang tetap harus meningkatkan daya
lenting, keragaman dan produktivitas
tata guna lahan dan konservasi
keanekaragaman hayati. Untuk
mendapatkan manfaat yang dapat
segera dirasakan, intervensi-intervensi
jangka pendek perlu dilakukan (Maginnis
dan Jackson, 2006).
B. Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi ditujukan untuk
menginventarisir tingkat kerusakan
vegetasi dan untuk mengidentifikasi
jenis-jenis pohon asli sebagai bahan
tanaman restorasi. Tingkat kerusakan
vegetas i per lu d iketahui guna
menetapkan tingkat campur tangan
manusia dalam revegetasi atau
mengembalikan vegetasi hutan melalui
penanaman dengan jenis-jenis asli yang
ada. Banyak metode analisis vegetasi
yang dapat dilakukan, tetapi metode
kombinasi antara metode jalur dan garis
berpetak seperti digambarkan di bawah
ini cukup bisa diandalkan.
Gambar 16.Model analisis vegetasi
dengan metode kombinasi jalur dan
garis berpetak (digambar ulang dari
Kusmana, 1997).
24 25RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Restorasi ekosistem merupakan proses
pemulihan suatu ekosistem yang telah
terdegradasi, rusak atau musnah ke
kondisi awal atau menyerupai kondisi
awal (SER Primer, 2004). Ekosistem
dikatakan pulih kembali ketika memiliki
cukup sumberdaya biotik dan abiotik
untuk terus berkembang tanpa bantuan
atau campur tangan manusia serta dapat
melestarikan fungsi dan strukturnya
sendiri dan memiliki resiliensi terhadap
tekanan dan gangguan lingkungan (SER
Primer, 2004).
Restorasi merupakan usaha intensif
untuk memicu dan mempercepat
pemulihan kesehatan (proses dan
fungsi), integritas (struktur dan
komposisi) dan kelestarian (ketahanan
terhadap gangguan dan resiliensi)
ekosistem (Clewell et al., 2005).
Mengingat kompleksnya proses-proses
dan fungsi ekosistem, maka untuk dapat
memperoleh kembali fungsi-fungsi
tersebut harus dilakukan pemulihan pada
tingkat lanskap (Maginnis & Jackson,
2006).
Restoras i ekos is tem ber tu juan
membangun kembali fungsi ekosistem
asli dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat (Maginis & Jackson, 2006).
Fungsi ekosistem menjadi panduan
utama bagi pembangunan berkelanjutan,
mendukung upaya kehati-hatian dalam
melestarikan kemampuan ekosistem
guna memberikan jasa lingkungan
RESTORASI EKOSISTEM
A. Prinsip Restorasi Ekosistem
meminimalkan resiko ekologi di masa
mendatang (Dierben, 2006).
Memahami penyebab dari tingkat
degradasi ekosistem hutan merupakan
hal yang penting untuk memulai
kegiatan restorasi (Lee & Sayer, 2004).
Sebelum dilaksanakan kegiatan restorasi
ekosistem, beberapa kegiatan perlu
disiapkan sebagai dasar penyusunan
rstrategi/rencana aksi, antara lain
(Clewell et al., 2005):
1. Identifikasi tingkat kerusakan
ekosistem;
2. Identifikasi tipe-tipe ekosistem
yang harus direstorasi;
3. Identifikasi tujuan restorasi;
4. Identifikasi kondisi fisik tapak
yang perlu direstorasi;
5. Identifikasi tekanan yang perlu
ditangani;
6. Identifikasi intervansi jenis biotik
yang diperlukan;
7. Identifikasi kendala lanskap;
8. Identifikasi ekosistem referensi;
9. Mengumpulkan informasi sifat
biologi-ekologi spesies kunci;
10. M e n y i a p k a n p a r t i s i p a s i
masyarakat dalam perencanaan
dan implementasi.
Menurut Maginnis dan Jackson (2006).
Dalam pendekatan restorasi ekosistem
hutan, masyarakat dilibatkan untuk
mengidentifikasi dan menetapkan
s eca r a t epa t p r ak t ek - p r ak t ek
penggunaan lahan yang akan membantu
pemulihan fungsi ekosistem hutan
secara keseluruhan. Dalam hal ini
difokuskan pada pemulihan fungsi-
fungsi hutan pada level lanskap untuk
optimalisasi fungsi ekosistem hutan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat
sekitarnya. Tujuan dari pendekatan ini
adalah untuk memperkuat hubungan
antara pembangunan pedesaan,
kehutanan dan manajemen konservasi
sumberdaya alam lainnya. Dengan
perkataan lain lebih mengutamakan pada
optimalisasi manfaat hutan dalam
lanskap yang lebih luas (IUCN, 2005).
Salah satu kunci dalam restorasi lanskap
hutan adalah identifikasi tipe dan tingkat
restorasi yang sesuai dengan kondisi
sosial dan fisik yang ada. Pada
ekosistem yang telah sangat rusak
sehingga tidak mampu memulihkan diri
sendiri melalui proses suksesi alam,
maka upaya restorasi lebih baik
difokuskan pada pemulihan dan
pemeliharaan proses-proses penting
seperti hidrologi, siklus hara dan transfer
energi daripada usaha mengembalikan
struktur hutan seperti aslinya (Maginnis
dan Jackson, 2006).
Tujuan restorasi harus didasarkan pada
aspirasi stakeholder, karakter fisik
lanskap dan sumberdaya yang tersedia.
Oleh karena itu sangat dipengaruhi oleh
kelembagaan yang telah ada, kebijakan
tata guna lahan dan faktor biotik seperti
kesuburan tanah, keanekaragaman
hayati, kelimpahan dan sebarannya.
Tujuan jangka pendek mungkin berubah
menurut waktu, tetapi maksud jangka
panjang tetap harus meningkatkan daya
lenting, keragaman dan produktivitas
tata guna lahan dan konservasi
keanekaragaman hayati. Untuk
mendapatkan manfaat yang dapat
segera dirasakan, intervensi-intervensi
jangka pendek perlu dilakukan (Maginnis
dan Jackson, 2006).
B. Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi ditujukan untuk
menginventarisir tingkat kerusakan
vegetasi dan untuk mengidentifikasi
jenis-jenis pohon asli sebagai bahan
tanaman restorasi. Tingkat kerusakan
vegetas i per lu d iketahui guna
menetapkan tingkat campur tangan
manusia dalam revegetasi atau
mengembalikan vegetasi hutan melalui
penanaman dengan jenis-jenis asli yang
ada. Banyak metode analisis vegetasi
yang dapat dilakukan, tetapi metode
kombinasi antara metode jalur dan garis
berpetak seperti digambarkan di bawah
ini cukup bisa diandalkan.
Gambar 16.Model analisis vegetasi
dengan metode kombinasi jalur dan
garis berpetak (digambar ulang dari
Kusmana, 1997).
24 25RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Petak 20 m x 20 m untuk mencatat
pohon dewasa (diameter > 20 cm),
petak 10 m x 10 m untuk tiang (diameter
10 s/d 20 cm), petak 5 m x 5 m untuk
pancang (permudaan dengan tinggi 1,5
m sampai pohon muda berdiameter <
10 cm) dan petak 2 m x 2 m untuk semai
dan tumbuhan bawah dengan tinggi <
1,5 m) (Kusmana, 1997).
Jalur analisis vegetasi diletakkan
melintasi habitat dan memotong garis
kontur, atau memotong sungai. Jumlah
dan panjang jalur analsisis vegetasi
ditentukan setelah homogenitasnya
diketahui melalui orientasi lapangan.
Sebelum ke lapangan harus sudah
disiapkan lembar data atau buku catatan
untuk mencatat data yang diperlukan.
Dalam analisis vegetasi, data lapangan
yang perlu dicatat antara lain: (1) jenis
tumbuhan; (2) diemeter setinggi dada;
(3) tinggi total; dan (4) keterangan lain
yang dianggap perlu berkaitan dengan
tujuan studi. Pengumpulan data
dilakukan untuk setiap petak dan setiap
tumbuhan pada berbagai tingkatan
pertumbuhan (pohon, tiang, pancang
dan anakan), seperti contoh di bawah
ini.
Petak Jenis Tumbuhan Diameter (cm) Tinggi (m) Keterangan
1 Beringin 80 35 Makanan monyet
Pasang 70 30
Cepogo 45 20
Dadap 25 15 Tempat tidur lutung
dst
2 Gintungan 23 15
Berangan 50 25
Sintok 50 25
dst
Dst
Tabel 7.Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat pohon
Petak Jenis Tumbuhan Jumlah Keterangan
1 Saninten 2
Pakis sayur 1
Pisang kele 5 Buah dimakan monyet
Rotan 1 Buah dimakan Luwak
Tabel 8.Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat anakan dan tumbuhan bawah
Catatan : Bila diperlukan bisa ditambahkan kolom untuk data tutupan (coverage) tumbuhan bawah/anakan di setiap petak dalam ukuran 0% (petak analisis tidak ada tumbuhan bawah/anakan) sampai 100% (petak analisis tertutup rapat oleh tumbuhan bawah atau anakan sehingga tanah tidak terlihat).
Data hasil analisis vegetasi, kemudian
diolah untuk mendapatkan nilai-nilai
Kerapatan (K), Frekuensi (F), Dominansi
(D), dan Indeks Nilai Penting (INP).
Parameter vegetasi tersebut dihitung
menggunakan rumus-rumus sebagai
berikut (Kusmana, 1997) :
I n d e k s N i l a i P e n t i n g ( I N P )
menggambarkan kepentingan dari jenis
pohon tertentu terhadap habitat yang
sedang dikaji. Jika suatu jenis memiliki
nilai INP yang tinggi, artinya habitat
tersebut penting bagi jenis tersebut.
Untuk menghitung Indeks Keragaman
Jenis tumbuhan dan satwa digunakan
rumus dari Shannon Wiener yaitu
(Magurran, 1988; Odum, 1994) :
pi adalah perbandingan antara jumlah
individu spesies ke i dengan jumlah total
individu. Logaritma yang digunakan
adalah logaritma dasar 10 atau e.
Rumus ini dapat diubah menjadi :
Untuk mengetahui struktur komunitas
satwa mangsa dalam setiap tipe habitat
maka dihitung nilai keseragaman antar
jenis atau indeks evenness (e) Shannon
dengan rumus sebagai berikut (Odum
1994) :
yakni S adalah banyaknya jenis satwa
pada suatu tipe habitat.; H’ : Indek
keragaman.
Indeks kemiripan (similarity index) atau
dikenal dengan nama indeks Sorensen
antara dua sampel dihitung dengan
rumus sebagai berikut (Odum 1994) :
dimana SI adalah indeks kemiripan
komunitas, A adalah jumlah jenis dalam
sampel A, B adalah jumlah jenis dalam
sampel B dan C adalah jumlah jenis yang
sama pada kedua sampel. Dengan
demikian indeks ketidaksamaan adalah
1 - SI. Nilai indeks kemiripan komunitas
berkisar antara 0 - 1. Semakin tinggi
nilai indeks kemiripan komunitas antara
dua sampel maka semakin miriplah
kedua sampel tersebut, demikian pula
sebaliknya.
Untuk kepentingan mempelajari relung
vertikal habitat satwa seringkali kita
harus mengetahui gambaran strata
kanopi vegetasi hutan. Untuk
menggambarkan stratifikasi hutan maka
perlu dibuat suatu profil diagram dalam
suatu jalur contoh (transek) sepanjang
100 m. Profil diagram ini merupakan
suatu lukisan yang memperlihatkan
bentuk dan tinggi pohon (Soerianegara
dan Indrawan, 1980). Profil diagram
diambil dari salah satu jalur yang
dianggap mewakili kondisi lapangan.
Penggambaran meliputi pemetaan jarak
antar pohon, bentuk tajuk, tinggi pohon,
t i ngg i bebas cabang , ben tuk
26 27RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
yakni
Petak 20 m x 20 m untuk mencatat
pohon dewasa (diameter > 20 cm),
petak 10 m x 10 m untuk tiang (diameter
10 s/d 20 cm), petak 5 m x 5 m untuk
pancang (permudaan dengan tinggi 1,5
m sampai pohon muda berdiameter <
10 cm) dan petak 2 m x 2 m untuk semai
dan tumbuhan bawah dengan tinggi <
1,5 m) (Kusmana, 1997).
Jalur analisis vegetasi diletakkan
melintasi habitat dan memotong garis
kontur, atau memotong sungai. Jumlah
dan panjang jalur analsisis vegetasi
ditentukan setelah homogenitasnya
diketahui melalui orientasi lapangan.
Sebelum ke lapangan harus sudah
disiapkan lembar data atau buku catatan
untuk mencatat data yang diperlukan.
Dalam analisis vegetasi, data lapangan
yang perlu dicatat antara lain: (1) jenis
tumbuhan; (2) diemeter setinggi dada;
(3) tinggi total; dan (4) keterangan lain
yang dianggap perlu berkaitan dengan
tujuan studi. Pengumpulan data
dilakukan untuk setiap petak dan setiap
tumbuhan pada berbagai tingkatan
pertumbuhan (pohon, tiang, pancang
dan anakan), seperti contoh di bawah
ini.
Petak Jenis Tumbuhan Diameter (cm) Tinggi (m) Keterangan
1 Beringin 80 35 Makanan monyet
Pasang 70 30
Cepogo 45 20
Dadap 25 15 Tempat tidur lutung
dst
2 Gintungan 23 15
Berangan 50 25
Sintok 50 25
dst
Dst
Tabel 7.Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat pohon
Petak Jenis Tumbuhan Jumlah Keterangan
1 Saninten 2
Pakis sayur 1
Pisang kele 5 Buah dimakan monyet
Rotan 1 Buah dimakan Luwak
Tabel 8.Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat anakan dan tumbuhan bawah
Catatan : Bila diperlukan bisa ditambahkan kolom untuk data tutupan (coverage) tumbuhan bawah/anakan di setiap petak dalam ukuran 0% (petak analisis tidak ada tumbuhan bawah/anakan) sampai 100% (petak analisis tertutup rapat oleh tumbuhan bawah atau anakan sehingga tanah tidak terlihat).
Data hasil analisis vegetasi, kemudian
diolah untuk mendapatkan nilai-nilai
Kerapatan (K), Frekuensi (F), Dominansi
(D), dan Indeks Nilai Penting (INP).
Parameter vegetasi tersebut dihitung
menggunakan rumus-rumus sebagai
berikut (Kusmana, 1997) :
I n d e k s N i l a i P e n t i n g ( I N P )
menggambarkan kepentingan dari jenis
pohon tertentu terhadap habitat yang
sedang dikaji. Jika suatu jenis memiliki
nilai INP yang tinggi, artinya habitat
tersebut penting bagi jenis tersebut.
Untuk menghitung Indeks Keragaman
Jenis tumbuhan dan satwa digunakan
rumus dari Shannon Wiener yaitu
(Magurran, 1988; Odum, 1994) :
pi adalah perbandingan antara jumlah
individu spesies ke i dengan jumlah total
individu. Logaritma yang digunakan
adalah logaritma dasar 10 atau e.
Rumus ini dapat diubah menjadi :
Untuk mengetahui struktur komunitas
satwa mangsa dalam setiap tipe habitat
maka dihitung nilai keseragaman antar
jenis atau indeks evenness (e) Shannon
dengan rumus sebagai berikut (Odum
1994) :
yakni S adalah banyaknya jenis satwa
pada suatu tipe habitat.; H’ : Indek
keragaman.
Indeks kemiripan (similarity index) atau
dikenal dengan nama indeks Sorensen
antara dua sampel dihitung dengan
rumus sebagai berikut (Odum 1994) :
dimana SI adalah indeks kemiripan
komunitas, A adalah jumlah jenis dalam
sampel A, B adalah jumlah jenis dalam
sampel B dan C adalah jumlah jenis yang
sama pada kedua sampel. Dengan
demikian indeks ketidaksamaan adalah
1 - SI. Nilai indeks kemiripan komunitas
berkisar antara 0 - 1. Semakin tinggi
nilai indeks kemiripan komunitas antara
dua sampel maka semakin miriplah
kedua sampel tersebut, demikian pula
sebaliknya.
Untuk kepentingan mempelajari relung
vertikal habitat satwa seringkali kita
harus mengetahui gambaran strata
kanopi vegetasi hutan. Untuk
menggambarkan stratifikasi hutan maka
perlu dibuat suatu profil diagram dalam
suatu jalur contoh (transek) sepanjang
100 m. Profil diagram ini merupakan
suatu lukisan yang memperlihatkan
bentuk dan tinggi pohon (Soerianegara
dan Indrawan, 1980). Profil diagram
diambil dari salah satu jalur yang
dianggap mewakili kondisi lapangan.
Penggambaran meliputi pemetaan jarak
antar pohon, bentuk tajuk, tinggi pohon,
t i ngg i bebas cabang , ben tuk
26 27RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
yakni
percabangan dan proyeksi tajuk.
Secara spasial, inventarisasi dan
pemetaan kerusakan vegetasi dapat
dilakukan melalui penafsiran citra satelit
menggunakan metode-metode analisis
citra digital, misalnya menggunakan
program ERDAS Imagine. Meskipun
demikian, analisis sapasial tidak akan
dibahas dalam buku ini, karena
merupakan ilmu tersendiri yang
memerlukan pembahasan khusus secara
detail dan diperuntukan bagi yang telah
bisa mengoperasikan program analisis
citra digital.
Kegiatan inventarisasi dan identifikasi
jenis-jenis pohon asli dilakukan
bersamaan dengan kegiatan analisis
vegetasi. Inventarisasi jenis pohon asli
dilakukan dengan cara membuat daftar
jenis pohon dan mencocokan dengan
deskripsi sebaran alaminya yang ada di
referensi terpercaya seperti Buku
Tumbuhan Berguna Indonesia (Heyne,
1987) dan Buku Flora Pegunungan Jawa
(van Steenis, 2006), atau buku-buku
yang relevan dari serial PROSEA (Plant
Resources of South-East Asia).
Identifikasi jenis pohon asli meliputi
pengenalan jenis secara morfologi,
fenologi, ekologi (tempat tumbuh dan
sebarannya) serta kegunaannya.
C. Inventarisasi dan Identifikasi Jenis Pohon AsliPengenalan jenis dilakukan melalui
identifikasi dengan herbarium yang ada
di Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi
atau Herbarium Bogoriense. Pengenalan
fenologi, ekologi dan kegunaan
dilakukan melalui penelusuran literatur
dan berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan.
Untuk pengenalan jenis pohon, maka
sewaktu melakukan analisis vegetasi
mengambil sampel daun yang lengkap
dengan buah dan bunga untuk membuat
herbarium yang akan diidentifikasi.
Pembuatan herbarium dilakukan dengan
mengikuti prosedur yang dijelaskan pada
bab akhir buku ini.
Perlunya tindakan penanaman kembali
a r e a l t e r d ag r a d a s i membawa
konsekuensi kebutuhan bibit. Salah
satu syarat bibit untuk tanaman
restorasi adalah harus merupakan jenis
asli setempat. Untuk itu perlu dilakukan
inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis
pohon asli Gunung Merapi. Informasi
yang diperlukan dari jenis-jenis pohon
asli tersebut adalah : status keaslian
(endemisitas), distribusi geografis,
D. Pemilihan Jenis Pohon Asli untuk Tanaman Restorasi
sebaran menurut elevasi di Gunung
Merapi, fungsi atau peranan dalam
ekosistem, kegunaan bagi masyarakat,
teknik perbanyakan atau regenerasi,
kesesuaian tumbuh dengan tapak
khusus, dan sifat-sifat khusus seperti
jenis toleran, intoleran, pionir atau
klimaks.
Penelitian Universitas Gajah Mada
(2011) di kawasan TNGM pasca erupsi
2010 menemukan 95 jenis tumbuhan.
UGM hanya menyebutkan bahwa jenis
Puspa (Schima wallichii) merupakan
jenis yang potensial untuk dijadikan
tanaman restorasi, namun ketersediaan
bibit di alam (anakan alam) kurang dari
10%. Sementara itu Gunawan et al.
(2012) telah mengidentifikasi 50 jenis
pohon asli yang dapat digunakan
sebagai tanaman restorasi Gunung
Merapi.
Pemilihan jenis-jenis pohon asli yang
akan digunakan dalam restorasi
ekosistem dapat dilakukan dengan dua
pendeka tan ya i tu pendeka tan
kesesuaian ekologis dan kesesuaian
fungsi atau manfaat dari pohon
tersebut. Secara umum pemilihian jenis
perlu mempertimbangkan :
Biji atau benih mudah diperoleh
Bibit mudah dibuat
Daya hidup setelah penanaman
tinggi
Biaya pemeliharaan tanaman relatif
rendah.
Kemudahan memperoleh bibit dari
anakan alam dapat diketahui dari
kerapatan dan frekuensi tingkat semai di
lapangan yang datanya diperoleh dari
analisis vegetasi. Jenis-jenis yang
memiliki nilai kerapatan relatif tinggi
biasanya berada mengelompok di suatu
tempat sehingga mudah dikumpulkan
dari suatu tempat. Sementara jenis-
jenis yang memiliki nilai frekuensi relatif
tinggi pada umumnya tersebar di banyak
tempat, sehingga relatif lebih mudah
dijumpai walau dalam jumah yang
sedikit-sedikit.
Kesesuaian ekologis dapat diindikasikan
oleh nilai-nilai relatif dari kerapatan,
frekuensi dan dominansi atau indeks
nilai penting (INP). Hal ini karena INP
menunjukkan “kepentingan” jenis
te rsebut a tas hab i ta t tempat
tumbuhnya. Sementara, jenis asli
didasarkan pada sejarah sebaran
geografisnya. Kemudian jenis-jenis
tersebut dipilih lagi sesuai dengan tujuan
restorasi yaitu pemulihan fungsi
ekosistem, misalnya fungsi pohon
sebagai habitat satwa dan manfaatnya
bagi masyarakat sekitar. Fungsi sebagai
habitat dicirikan dengan kemampuan
pohon tersebut untuk:
Menghasilkan buah, pucuk, bunga,
nektar dan bagian pohon lainnya
yang bisa dimakan satwa
Memberikan lindungan kepada
satwa dari cuaca (hujan, panas,
angin)
Member ikan l indungan dar i
gangguan manusia dan predator
Memberikan tempat beristirahat,
t idur , mengasuh anak dan
pergerakan penjelajahan (foraging).
Untuk pendekatan fungsi lindung
hidrologi, hal-hal yang perlu diperhatikan
antara lain :
Memiliki perakaran yang banyak dan
kuat
Memiliki evapotranspirasi rendah
Memiliki tajuk tebal dan selalu hijau
(tidak menggugurkan daun)
Secara alami mampu beradaptasi
dan tumbuh di lereng-lereng curam
Untuk mengakomodir fungsi sosial-
ekonomi-budaya masyarakat sekitar
maka perlu dilakukan survei wawancara
dengan masyarakat untuk mengetahui
ketergantungan masyarakat terhadap
hutan dan hasil hutan. Fungsi sosial-
ekonomi-budaya sebaiknya tidak konflik
28 29RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
percabangan dan proyeksi tajuk.
Secara spasial, inventarisasi dan
pemetaan kerusakan vegetasi dapat
dilakukan melalui penafsiran citra satelit
menggunakan metode-metode analisis
citra digital, misalnya menggunakan
program ERDAS Imagine. Meskipun
demikian, analisis sapasial tidak akan
dibahas dalam buku ini, karena
merupakan ilmu tersendiri yang
memerlukan pembahasan khusus secara
detail dan diperuntukan bagi yang telah
bisa mengoperasikan program analisis
citra digital.
Kegiatan inventarisasi dan identifikasi
jenis-jenis pohon asli dilakukan
bersamaan dengan kegiatan analisis
vegetasi. Inventarisasi jenis pohon asli
dilakukan dengan cara membuat daftar
jenis pohon dan mencocokan dengan
deskripsi sebaran alaminya yang ada di
referensi terpercaya seperti Buku
Tumbuhan Berguna Indonesia (Heyne,
1987) dan Buku Flora Pegunungan Jawa
(van Steenis, 2006), atau buku-buku
yang relevan dari serial PROSEA (Plant
Resources of South-East Asia).
Identifikasi jenis pohon asli meliputi
pengenalan jenis secara morfologi,
fenologi, ekologi (tempat tumbuh dan
sebarannya) serta kegunaannya.
C. Inventarisasi dan Identifikasi Jenis Pohon AsliPengenalan jenis dilakukan melalui
identifikasi dengan herbarium yang ada
di Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi
atau Herbarium Bogoriense. Pengenalan
fenologi, ekologi dan kegunaan
dilakukan melalui penelusuran literatur
dan berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan.
Untuk pengenalan jenis pohon, maka
sewaktu melakukan analisis vegetasi
mengambil sampel daun yang lengkap
dengan buah dan bunga untuk membuat
herbarium yang akan diidentifikasi.
Pembuatan herbarium dilakukan dengan
mengikuti prosedur yang dijelaskan pada
bab akhir buku ini.
Perlunya tindakan penanaman kembali
a r e a l t e r d ag r a d a s i membawa
konsekuensi kebutuhan bibit. Salah
satu syarat bibit untuk tanaman
restorasi adalah harus merupakan jenis
asli setempat. Untuk itu perlu dilakukan
inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis
pohon asli Gunung Merapi. Informasi
yang diperlukan dari jenis-jenis pohon
asli tersebut adalah : status keaslian
(endemisitas), distribusi geografis,
D. Pemilihan Jenis Pohon Asli untuk Tanaman Restorasi
sebaran menurut elevasi di Gunung
Merapi, fungsi atau peranan dalam
ekosistem, kegunaan bagi masyarakat,
teknik perbanyakan atau regenerasi,
kesesuaian tumbuh dengan tapak
khusus, dan sifat-sifat khusus seperti
jenis toleran, intoleran, pionir atau
klimaks.
Penelitian Universitas Gajah Mada
(2011) di kawasan TNGM pasca erupsi
2010 menemukan 95 jenis tumbuhan.
UGM hanya menyebutkan bahwa jenis
Puspa (Schima wallichii) merupakan
jenis yang potensial untuk dijadikan
tanaman restorasi, namun ketersediaan
bibit di alam (anakan alam) kurang dari
10%. Sementara itu Gunawan et al.
(2012) telah mengidentifikasi 50 jenis
pohon asli yang dapat digunakan
sebagai tanaman restorasi Gunung
Merapi.
Pemilihan jenis-jenis pohon asli yang
akan digunakan dalam restorasi
ekosistem dapat dilakukan dengan dua
pendeka tan ya i tu pendeka tan
kesesuaian ekologis dan kesesuaian
fungsi atau manfaat dari pohon
tersebut. Secara umum pemilihian jenis
perlu mempertimbangkan :
Biji atau benih mudah diperoleh
Bibit mudah dibuat
Daya hidup setelah penanaman
tinggi
Biaya pemeliharaan tanaman relatif
rendah.
Kemudahan memperoleh bibit dari
anakan alam dapat diketahui dari
kerapatan dan frekuensi tingkat semai di
lapangan yang datanya diperoleh dari
analisis vegetasi. Jenis-jenis yang
memiliki nilai kerapatan relatif tinggi
biasanya berada mengelompok di suatu
tempat sehingga mudah dikumpulkan
dari suatu tempat. Sementara jenis-
jenis yang memiliki nilai frekuensi relatif
tinggi pada umumnya tersebar di banyak
tempat, sehingga relatif lebih mudah
dijumpai walau dalam jumah yang
sedikit-sedikit.
Kesesuaian ekologis dapat diindikasikan
oleh nilai-nilai relatif dari kerapatan,
frekuensi dan dominansi atau indeks
nilai penting (INP). Hal ini karena INP
menunjukkan “kepentingan” jenis
te rsebut a tas hab i ta t tempat
tumbuhnya. Sementara, jenis asli
didasarkan pada sejarah sebaran
geografisnya. Kemudian jenis-jenis
tersebut dipilih lagi sesuai dengan tujuan
restorasi yaitu pemulihan fungsi
ekosistem, misalnya fungsi pohon
sebagai habitat satwa dan manfaatnya
bagi masyarakat sekitar. Fungsi sebagai
habitat dicirikan dengan kemampuan
pohon tersebut untuk:
Menghasilkan buah, pucuk, bunga,
nektar dan bagian pohon lainnya
yang bisa dimakan satwa
Memberikan lindungan kepada
satwa dari cuaca (hujan, panas,
angin)
Member ikan l indungan dar i
gangguan manusia dan predator
Memberikan tempat beristirahat,
t idur , mengasuh anak dan
pergerakan penjelajahan (foraging).
Untuk pendekatan fungsi lindung
hidrologi, hal-hal yang perlu diperhatikan
antara lain :
Memiliki perakaran yang banyak dan
kuat
Memiliki evapotranspirasi rendah
Memiliki tajuk tebal dan selalu hijau
(tidak menggugurkan daun)
Secara alami mampu beradaptasi
dan tumbuh di lereng-lereng curam
Untuk mengakomodir fungsi sosial-
ekonomi-budaya masyarakat sekitar
maka perlu dilakukan survei wawancara
dengan masyarakat untuk mengetahui
ketergantungan masyarakat terhadap
hutan dan hasil hutan. Fungsi sosial-
ekonomi-budaya sebaiknya tidak konflik
28 29RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
dengan fungsi habitat satwaliar,
misalnya penghasil buah yang dimakan
manusia, tidak dimakan oleh satwaliar,
penghasil daun pakan ternak bukan
merupakan pakan satwaliar.
Penanaman jenis-jenis yang memberikan
f ungs i s o s i a l - e konom i - budaya
masyarakat sebaiknya dilakukan di zona
khusus, misal zona pemanfaatan
tradis ional untuk memudahkan
penge lo laan, pengawasan dan
menghindarkan konf l ik dengan
satwaliar. Taman nasional tidak dapat
m e n g h i n d a r i k e t e r g a n t u n g a n
masyarakat terhadap hutan, oleh karena
itu dalam pengelolaannya, masyarakat
adalah bagian dari pengelolaan taman
nasional dan masyarakat merupakan
aktor penting dalam pengelolaan taman
nasional.
KETERANGAN :1 Jenis introduksi asal Australia2 Introduksi asal Guatemala3 Introduksi asal Amerika tropis4 Introduksi asal India bagian timur5 Introduksi asal region malesia
(Sumatera bagian utara)6 Introduksi di Merapi asal India dan
Asia Tenggara7 Introduksi di Merapi asal Asia Timur8 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan
dan Tenggara9 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan
dan Tenggara 10 Introduksi di Merapi asal Brasil
Daya A
daptasi Sem
akin Tinggi
Gambar 17.Frekuensi relatif anakan pohon di areal terdampak erupsi di TNGM.
Dari nilai-nilai parameter hasil analisis
vegetasi dapat disimpulkan bahwa jenis-
jenis pohon yang baik untuk dipilih
sebagai tanaman restorasi adalah jenis
asli yang memiliki nilai frekuensi relatif
tinggi dan kerapatan relatif tinggi atau
secara umum memiliki Indeks Nilai
Penting tinggi. Dengan nilai-nilai yang
tinggi tersebut diharapkan peluang
hidupnya juga tinggi, sehingga restorasi
ekosistem berpeluang tinggi untuk
berhasil.
30 31RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
E. Teknik Silvikultur
Erupsi Gunung Merapi mengakibatkan
kerusakan ekosistem hutan. Erupsi
menyisakan abu dan pasir di atas lapisan
tanah dengan ketebalan yang bervariasi.
Kondisi vegetasi yang rusak pasca
erupsi dapat dipercepat pemulihannya
melalui restorasi ekosistem, dengan
melakukan penanaman kembali jenis-
jenis tumbuhan yang dapat beradaptasi
dengan kondisi pasca erupsi. Untuk itu
diperlukan teknologi penanaman dan
pengelolaan yang sesuai dengan kondisi
ekologis dan sosial masyarakat
sekitarnya.
Pasca erupsi, abu dan pasir vulkanik
menutupi permukaan tanah mengubah
kondisi fisik lahan. Fraksi pasir sangat
tinggi berkisar antara 53.59-85.04%,
sehingga lahan bersifat porous dan tidak
mudah men je rap a i r . Ha l i n i
menyebabkan rendahnya kelembababan
tanah, sehingga untuk mendukung
pertumbuhan tanaman, perlu dibantu
dengan emulsi yang untuk menjaga
kelembaban tanah dan bahan-bahan
lainnya untuk menstimulir pertumbuhan
pohon. Kelembaban tanah dapat
ditingkatkan dengan menanami
hamparan pasir dan abu dengan
tanaman penutup tanah (cover crops)
seperti Mucuna sp. dan Pueraria sp.)
atau rerumputan pakan ternak dan
penahan erosi.
Jenis-jenis tanaman lokal yang cepat
tumbuh dan dapat menjadi sumber
penghidupan bagi masyarakat sekitar
hutan perlu ditanam. Meskipun
pertumbuhannya lambat, jenis-jenis
pohon hutan perlu ditanam untuk
menahan erosi dan menyimpan serta
mel indungi sumber a i r mela lu i
perakarannya yang kuat. Jenis-jenis
pohon yang telah diuji coba pada lahan
terdampak erupsi gunung Merapi antara
lain : puspa (Schima wallichii), damar
(Agathis damara) dan pulai (Alstonia
scholaris), suren (Toona sureni).
Dengan jenis yang tepat dan pola tanam
yang sesuai kondisi pasca erupsi, maka
laju revegetasi akan cepat. Hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam melakukan
restorasi ekosistem Gunung Merapi
pasca erupsi diuraikan sebagai berikut.
1. Sifat Biofisik Tanah ErupsiUntuk memilih jenis-jenis yang
mampu hidup di dataran tinggi pasca
erupsi dengan tujuan konservasi perlu
diketahui terlebih dahulu kondisi
biofisik di area tersebut. Beberapa
jenis vegetasi lokal mampu bertahan
hidup atau bertunas kembali setelah
terkena dampak erupsi. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa
tanah hutan di sekitar Gunung Merapi
dengan fungsi habitat satwaliar,
misalnya penghasil buah yang dimakan
manusia, tidak dimakan oleh satwaliar,
penghasil daun pakan ternak bukan
merupakan pakan satwaliar.
Penanaman jenis-jenis yang memberikan
f ungs i s o s i a l - e konom i - budaya
masyarakat sebaiknya dilakukan di zona
khusus, misal zona pemanfaatan
tradis ional untuk memudahkan
penge lo laan, pengawasan dan
menghindarkan konf l ik dengan
satwaliar. Taman nasional tidak dapat
m e n g h i n d a r i k e t e r g a n t u n g a n
masyarakat terhadap hutan, oleh karena
itu dalam pengelolaannya, masyarakat
adalah bagian dari pengelolaan taman
nasional dan masyarakat merupakan
aktor penting dalam pengelolaan taman
nasional.
KETERANGAN :1 Jenis introduksi asal Australia2 Introduksi asal Guatemala3 Introduksi asal Amerika tropis4 Introduksi asal India bagian timur5 Introduksi asal region malesia
(Sumatera bagian utara)6 Introduksi di Merapi asal India dan
Asia Tenggara7 Introduksi di Merapi asal Asia Timur8 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan
dan Tenggara9 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan
dan Tenggara 10 Introduksi di Merapi asal Brasil
Daya A
daptasi Sem
akin Tinggi
Gambar 17.Frekuensi relatif anakan pohon di areal terdampak erupsi di TNGM.
Dari nilai-nilai parameter hasil analisis
vegetasi dapat disimpulkan bahwa jenis-
jenis pohon yang baik untuk dipilih
sebagai tanaman restorasi adalah jenis
asli yang memiliki nilai frekuensi relatif
tinggi dan kerapatan relatif tinggi atau
secara umum memiliki Indeks Nilai
Penting tinggi. Dengan nilai-nilai yang
tinggi tersebut diharapkan peluang
hidupnya juga tinggi, sehingga restorasi
ekosistem berpeluang tinggi untuk
berhasil.
30 31RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
E. Teknik Silvikultur
Erupsi Gunung Merapi mengakibatkan
kerusakan ekosistem hutan. Erupsi
menyisakan abu dan pasir di atas lapisan
tanah dengan ketebalan yang bervariasi.
Kondisi vegetasi yang rusak pasca
erupsi dapat dipercepat pemulihannya
melalui restorasi ekosistem, dengan
melakukan penanaman kembali jenis-
jenis tumbuhan yang dapat beradaptasi
dengan kondisi pasca erupsi. Untuk itu
diperlukan teknologi penanaman dan
pengelolaan yang sesuai dengan kondisi
ekologis dan sosial masyarakat
sekitarnya.
Pasca erupsi, abu dan pasir vulkanik
menutupi permukaan tanah mengubah
kondisi fisik lahan. Fraksi pasir sangat
tinggi berkisar antara 53.59-85.04%,
sehingga lahan bersifat porous dan tidak
mudah men je rap a i r . Ha l i n i
menyebabkan rendahnya kelembababan
tanah, sehingga untuk mendukung
pertumbuhan tanaman, perlu dibantu
dengan emulsi yang untuk menjaga
kelembaban tanah dan bahan-bahan
lainnya untuk menstimulir pertumbuhan
pohon. Kelembaban tanah dapat
ditingkatkan dengan menanami
hamparan pasir dan abu dengan
tanaman penutup tanah (cover crops)
seperti Mucuna sp. dan Pueraria sp.)
atau rerumputan pakan ternak dan
penahan erosi.
Jenis-jenis tanaman lokal yang cepat
tumbuh dan dapat menjadi sumber
penghidupan bagi masyarakat sekitar
hutan perlu ditanam. Meskipun
pertumbuhannya lambat, jenis-jenis
pohon hutan perlu ditanam untuk
menahan erosi dan menyimpan serta
mel indungi sumber a i r mela lu i
perakarannya yang kuat. Jenis-jenis
pohon yang telah diuji coba pada lahan
terdampak erupsi gunung Merapi antara
lain : puspa (Schima wallichii), damar
(Agathis damara) dan pulai (Alstonia
scholaris), suren (Toona sureni).
Dengan jenis yang tepat dan pola tanam
yang sesuai kondisi pasca erupsi, maka
laju revegetasi akan cepat. Hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam melakukan
restorasi ekosistem Gunung Merapi
pasca erupsi diuraikan sebagai berikut.
1. Sifat Biofisik Tanah ErupsiUntuk memilih jenis-jenis yang
mampu hidup di dataran tinggi pasca
erupsi dengan tujuan konservasi perlu
diketahui terlebih dahulu kondisi
biofisik di area tersebut. Beberapa
jenis vegetasi lokal mampu bertahan
hidup atau bertunas kembali setelah
terkena dampak erupsi. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa
tanah hutan di sekitar Gunung Merapi
cenderung memiliki kadar fosfor yang
lebih tinggi dibandingkan tanah hutan
yang mengalami dampak erupsi.
Kemasaman tanah hutan memiliki
kisaran yang sempit, sekitar 4-5.
Sedangkan tanah dari hutan terkena
erupsi cenderung sedikit lebih asam.
Selain itu, tanah hutan memiliki nilai
KTK yang lebih tinggi dari pada tanah
(termasuk abu dan pasir) dari hutan
yang terkena erupsi. Kandungan
bahan organik dalam tanah (C dan N)
pun relatif rendah, dengan nilai
jumlah basa (unsur hara makro)
berkisar antara 0.44-4.22 me/100 g.
K o n d i s i d e m i k i a n a k a n
mempengaruhi keberadaan mikroba
tanah. Hal ini terbukti bahwa
populasi mikroba (bakteri) tanah
hutan lebih tinggi dari pada di hutan
yang terkena dampak. Adapun
populasi fungi di tanah Merapi sangat
rendah, bahkan nol pada lapisan abu
dan pasir.
2. Pengadaan Bibit Ketersediaan bibit yang cukup baik
dalam jumlah maupun mutunya
merupakan salah satu faktor
keberhasilan penanaman restorasi.
Bibit dapat diperoleh dengan cara
membuat persemaian sendiri atau
membeli bibit siap tanam dari
p e n a n g k a r b i b i t . U n t u k
memberdayakan masyarakat sekitar
Gunung Merapi, pengadaan bibit
sebaiknya melibatkan masyarakat.
Pelibatan masyarakat dapat meliputi
pengadaan benih, pembuatan dan
pemeliharaan bibit di persemaian dan
penanaman di lapangan. Lokasi
persemaian sebaiknya tidak terlalu
jauh dari lokasi penanaman.
Bibit dapat diproduksi melalui
perbanyakan generatif (benih atau
cabutan/anakan) maupun vegetatif
(stek dan cangkok). Bibit yang akan
ditanam selain memenuhi kriteria
pemilihan bibit, juga harus sehat dan
dapat beradaptasi dengan kondisi
pasca erupsi terutama pada suhu
tanah yang masih relatif tinggi dan
k e l e m b a b a n y a n g r e n d a h .
Penggunaan mikroba seperti mikoriza
atau rhizobium dapat dilakukan di
persemaian supaya bibit lebih tahan
terhadap kekeringan dan serangan
penyakit serta dapat menyerap unsur
hara lebih banyak. Pada areal
penanaman yang timbunan pasirnya
masih tinggi, ukuran bibit dipilih
antara 50 cm – 100 cm untuk
mencegah bibit mati karena
tertimbun pasir.
3. Penyiapan LahanPenyiapan lahan lebih baik dilakukan
secara manual agar dapat melibatkan
masyarakat sekitar lebih banyak.
Untuk areal dengan lereng curam
dibuat terasering, memanjang
mengikuti arah kontur. Lubang
tanam dibuat pada teras dengan jarak
antar tanaman 4m x 4m dan tiap
lubang tanam diberi tanda/ajir.
Pembersihan lahan dilakukan secara
cemplongan yaitu lahan dibersihkan
pada radius 1 m sekitar lubang
tanam. Rumput dan semak pada
jalur tanaman dan antar jalur
tanaman dibiarkan tumbuh sebagai
penutup lahan untuk mencegah
terjadinya erosi dan menjaga
kelembaban tanah. Apabila pada jalur
tanam ataupun antar jalur tanam
tidak terdapat vegetasi, sebelum
dilakukan penanaman dengan jenis
tanaman berkayu, areal tersebut
terlebih dahulu dapat ditanami
dengan tanaman penutup (cover
crop).
Jenis cover crop dipilih yang tidak
menyaingi tanaman pokok dan tidak
bersifat invasif. Lubang tanam dibuat
dengan ukuran 30cmx30cmx30cm,
dimulai dari lapisan permukaan tanah
(tidak termasuk lapisan pasir).
Untuk menambah unsur hara dan
memperbaiki sifat fisik tanah setiap
lubang tanam diisi pupuk organik
(kompos atau pupuk kandang)
kurang lebih 1/3 volume lubang
tanam.
4. PenanamanLahan pasca erupsi umumnya dilapisi
pasir dan debu vulkanik yang menjadi
panas apabila terkena sinar matahari,
sehingga tanaman yang tidak tahan
panas akan layu bahkan mati
kekeringan. Oleh karena itu
penanaman dilakukan dengan cara
potting yaitu bibit ditanam bersama
dengan polybagnya untuk menjaga
kelembaban dan kekurangan hara
selama masa adaptasi dengan
kondisi pasca letusan. Untuk
memudahkan akar menembus ke
dalam tanah bagian bawah polybag
disobek.
Bibit diletakkan pada lubang tanam
yang telah diberi pupuk organik.
Untuk mencegah kekeringan dan
menjaga kelembaban tanah, tiap
lubang tanam diberi aquasorb atau
aquakeeper (sejenis jelly berfungsi
sebagai penahan a i r -ca i ran,
menye rap , meny impan dan
m e l e p a s k a n a i r ) . D e n g a n
menggunakan aquakeeper air akan
tersimpan di sekeliling akar sehingga
penyerapan air oleh akar tanaman
menjadi optimal. Produk ini biasanya
tersedia di toko-toko yang menjual
bahan-bahan pertanian,
Aquakeeper dapat diaplikasikan
dalam bentuk kering (berupa kristal)
atau bentuk basah berupa jelly
(direndam dalam air). Untuk aplikasi
kering, aquakeeper langsung
digunakan tanpa direndam lebih
dahulu. Bibit ditanam pada lubang
yang telah ditaburi
aquakeeper
aquakeeper)
Akar tanaman
ditempatkan di dasar lubang,
selanjutnya lubang diisi dengan
campuran media tadi kemudian
ditutup dengan tanah setebal 5 cm.
Aplikasi basah dilakukan dengan
me r e nd am t e r l e b i h d a hu l u
aquakeeper dalam air sebanyak 100-
200 kali berat aquakeeper, biarkan
selama 1 jam sampai jenuh.
Taburkan larutan ke dalam lubang
tanam sebanyak
Kemudian ditutup
3–5 gr
kering (akar bibit
diusahakan menyentuh ,
lalu ditutup dengan tanah tipis
( s e k i t a r 1 c m ) s e b e l u m
menambahkan pupuk, kemudian
ditimbun dengan tanah secukupnya
dan disiram sampai seluruh media
tanah (sampai di bagian dasar
lubang) cukup basah.
Aplikasi secara kering dapat juga
dilakukan dengan mencampur
langsung aquakeeper dengan tanah
atau media lain.
0.6 – 1 kg larutan/
lubang tanam.
32 33RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
cenderung memiliki kadar fosfor yang
lebih tinggi dibandingkan tanah hutan
yang mengalami dampak erupsi.
Kemasaman tanah hutan memiliki
kisaran yang sempit, sekitar 4-5.
Sedangkan tanah dari hutan terkena
erupsi cenderung sedikit lebih asam.
Selain itu, tanah hutan memiliki nilai
KTK yang lebih tinggi dari pada tanah
(termasuk abu dan pasir) dari hutan
yang terkena erupsi. Kandungan
bahan organik dalam tanah (C dan N)
pun relatif rendah, dengan nilai
jumlah basa (unsur hara makro)
berkisar antara 0.44-4.22 me/100 g.
K o n d i s i d e m i k i a n a k a n
mempengaruhi keberadaan mikroba
tanah. Hal ini terbukti bahwa
populasi mikroba (bakteri) tanah
hutan lebih tinggi dari pada di hutan
yang terkena dampak. Adapun
populasi fungi di tanah Merapi sangat
rendah, bahkan nol pada lapisan abu
dan pasir.
2. Pengadaan Bibit Ketersediaan bibit yang cukup baik
dalam jumlah maupun mutunya
merupakan salah satu faktor
keberhasilan penanaman restorasi.
Bibit dapat diperoleh dengan cara
membuat persemaian sendiri atau
membeli bibit siap tanam dari
p e n a n g k a r b i b i t . U n t u k
memberdayakan masyarakat sekitar
Gunung Merapi, pengadaan bibit
sebaiknya melibatkan masyarakat.
Pelibatan masyarakat dapat meliputi
pengadaan benih, pembuatan dan
pemeliharaan bibit di persemaian dan
penanaman di lapangan. Lokasi
persemaian sebaiknya tidak terlalu
jauh dari lokasi penanaman.
Bibit dapat diproduksi melalui
perbanyakan generatif (benih atau
cabutan/anakan) maupun vegetatif
(stek dan cangkok). Bibit yang akan
ditanam selain memenuhi kriteria
pemilihan bibit, juga harus sehat dan
dapat beradaptasi dengan kondisi
pasca erupsi terutama pada suhu
tanah yang masih relatif tinggi dan
k e l e m b a b a n y a n g r e n d a h .
Penggunaan mikroba seperti mikoriza
atau rhizobium dapat dilakukan di
persemaian supaya bibit lebih tahan
terhadap kekeringan dan serangan
penyakit serta dapat menyerap unsur
hara lebih banyak. Pada areal
penanaman yang timbunan pasirnya
masih tinggi, ukuran bibit dipilih
antara 50 cm – 100 cm untuk
mencegah bibit mati karena
tertimbun pasir.
3. Penyiapan LahanPenyiapan lahan lebih baik dilakukan
secara manual agar dapat melibatkan
masyarakat sekitar lebih banyak.
Untuk areal dengan lereng curam
dibuat terasering, memanjang
mengikuti arah kontur. Lubang
tanam dibuat pada teras dengan jarak
antar tanaman 4m x 4m dan tiap
lubang tanam diberi tanda/ajir.
Pembersihan lahan dilakukan secara
cemplongan yaitu lahan dibersihkan
pada radius 1 m sekitar lubang
tanam. Rumput dan semak pada
jalur tanaman dan antar jalur
tanaman dibiarkan tumbuh sebagai
penutup lahan untuk mencegah
terjadinya erosi dan menjaga
kelembaban tanah. Apabila pada jalur
tanam ataupun antar jalur tanam
tidak terdapat vegetasi, sebelum
dilakukan penanaman dengan jenis
tanaman berkayu, areal tersebut
terlebih dahulu dapat ditanami
dengan tanaman penutup (cover
crop).
Jenis cover crop dipilih yang tidak
menyaingi tanaman pokok dan tidak
bersifat invasif. Lubang tanam dibuat
dengan ukuran 30cmx30cmx30cm,
dimulai dari lapisan permukaan tanah
(tidak termasuk lapisan pasir).
Untuk menambah unsur hara dan
memperbaiki sifat fisik tanah setiap
lubang tanam diisi pupuk organik
(kompos atau pupuk kandang)
kurang lebih 1/3 volume lubang
tanam.
4. PenanamanLahan pasca erupsi umumnya dilapisi
pasir dan debu vulkanik yang menjadi
panas apabila terkena sinar matahari,
sehingga tanaman yang tidak tahan
panas akan layu bahkan mati
kekeringan. Oleh karena itu
penanaman dilakukan dengan cara
potting yaitu bibit ditanam bersama
dengan polybagnya untuk menjaga
kelembaban dan kekurangan hara
selama masa adaptasi dengan
kondisi pasca letusan. Untuk
memudahkan akar menembus ke
dalam tanah bagian bawah polybag
disobek.
Bibit diletakkan pada lubang tanam
yang telah diberi pupuk organik.
Untuk mencegah kekeringan dan
menjaga kelembaban tanah, tiap
lubang tanam diberi aquasorb atau
aquakeeper (sejenis jelly berfungsi
sebagai penahan a i r -ca i ran,
menye rap , meny impan dan
m e l e p a s k a n a i r ) . D e n g a n
menggunakan aquakeeper air akan
tersimpan di sekeliling akar sehingga
penyerapan air oleh akar tanaman
menjadi optimal. Produk ini biasanya
tersedia di toko-toko yang menjual
bahan-bahan pertanian,
Aquakeeper dapat diaplikasikan
dalam bentuk kering (berupa kristal)
atau bentuk basah berupa jelly
(direndam dalam air). Untuk aplikasi
kering, aquakeeper langsung
digunakan tanpa direndam lebih
dahulu. Bibit ditanam pada lubang
yang telah ditaburi
aquakeeper
aquakeeper)
Akar tanaman
ditempatkan di dasar lubang,
selanjutnya lubang diisi dengan
campuran media tadi kemudian
ditutup dengan tanah setebal 5 cm.
Aplikasi basah dilakukan dengan
me r e nd am t e r l e b i h d a hu l u
aquakeeper dalam air sebanyak 100-
200 kali berat aquakeeper, biarkan
selama 1 jam sampai jenuh.
Taburkan larutan ke dalam lubang
tanam sebanyak
Kemudian ditutup
3–5 gr
kering (akar bibit
diusahakan menyentuh ,
lalu ditutup dengan tanah tipis
( s e k i t a r 1 c m ) s e b e l u m
menambahkan pupuk, kemudian
ditimbun dengan tanah secukupnya
dan disiram sampai seluruh media
tanah (sampai di bagian dasar
lubang) cukup basah.
Aplikasi secara kering dapat juga
dilakukan dengan mencampur
langsung aquakeeper dengan tanah
atau media lain.
0.6 – 1 kg larutan/
lubang tanam.
32 33RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
dengan tanah untuk mencegah
aquakeeper terdegradasi oleh sinar
ultraviolet dan kubangan air di
permukaan.
5. Pemeliharaan tanamanPemeliharaan tanaman meliputi
penyulaman tanaman yang mati,
penyiangan, pendangiran dan
pemupukan. Penyulaman tanaman
d i l a kukan 1 bu l an se t e l ah
p e n a n a m a n . P e m e l i h a r a a n ,
penyiangan dilakukan pada umur 3,
6, dan 12 bulan setelah penanaman.
Apabila setelah satu tahun tanaman
terlihat kerdil maka dilakukan
pemupukan. Pupuk yang digunakan
diusahakan pupuk organik berupa
pupuk kandang dan kompos yang
banyak dihasilkan oleh peternak
setempat.
Persentase tumbuh tanaman di
demplot restorasi pasca eruspi pada
umur tanam 8 (delapan) bulan antara
lain Agathis (88,5%), Puspa
(83,3%), Suren (37.5%) dan Pulai
(77.8%). Pada umur 13 bulan persen
tumbuhnya menurun sedikit menjadi
Agathis (84,4%), Puspa (76,7%),
Suren (17,9%) dan Pulai (77 %).
F. Zonasi Restorasi
Karena tingkat kerusakan vegetasi yang
bervariasi maka untuk efisiensi kegiatan
restorasi perlu dibuat zonasi. Zonasi
restorasi dibuat berdasarkan tingkat
kerusakan vegetasi untuk menentukan
tingkat intensitas campur tangan
manusia dalam melakukan restorasi.
Dengan demikian kegiatan restorasi
menjadi efisien. Pembuatan zonasi
restorasi dibuat secara spasial
berdasarkan penafsiran citra satelit
pasca erupsi Gunung Merapi.
Hasil interpretasi citra ASTER tahun
2009 (sebelum erupsi) dan Landsat
2010 (pasca erupsi) yang kemudian
diklasifikasikan menjadi empat kelas
kerusakan (degradasi) vegetasi disajikan
pada Tabel 9 dan Gambar 18. Dari Tabel
9 tampak bahwa areal bervegetasi hutan
yang relatif tidak rusak oleh erupsi hanya
23,19% dari luas Taman Nasional
Gunung Merapi (TNGM). Sementara
sebagian besar kawasan TNGM
mengalami degradasi vegetasi dengan
berbagai intensitas.
Tabel 9. Luas areal TNGM yang terdampak erupsi Gunung Merapi.
Kelas Kerusakan Vegetation Luas (Ha)
Rusak Berat (Heavily degraded) 766,67 12,48
Rusak Sedang (Moderately degraded) 2.207,61 35,93
Rusak Ringan (Slightly degraded) 1.745,54 28,41
Tidak Terkena Erupsi (Intact) 1.425,22 23,19
Jumlah (Total) 6.145,05 100,00
Gam
bar
18.
Kla
sifikasi
tin
gkat
keru
sakan v
egeta
si h
uta
n d
i Tam
an N
asi
onal G
unung M
era
pi pasc
a e
rupsi
sebagai dasa
r zo
nasi
rest
ora
si.
34RESTORASI EKOSISTEM
Gunung Merapi Pasca Erupsi
Proporsi (%)
dengan tanah untuk mencegah
aquakeeper terdegradasi oleh sinar
ultraviolet dan kubangan air di
permukaan.
5. Pemeliharaan tanamanPemeliharaan tanaman meliputi
penyulaman tanaman yang mati,
penyiangan, pendangiran dan
pemupukan. Penyulaman tanaman
d i l a kukan 1 bu l an se t e l ah
p e n a n a m a n . P e m e l i h a r a a n ,
penyiangan dilakukan pada umur 3,
6, dan 12 bulan setelah penanaman.
Apabila setelah satu tahun tanaman
terlihat kerdil maka dilakukan
pemupukan. Pupuk yang digunakan
diusahakan pupuk organik berupa
pupuk kandang dan kompos yang
banyak dihasilkan oleh peternak
setempat.
Persentase tumbuh tanaman di
demplot restorasi pasca eruspi pada
umur tanam 8 (delapan) bulan antara
lain Agathis (88,5%), Puspa
(83,3%), Suren (37.5%) dan Pulai
(77.8%). Pada umur 13 bulan persen
tumbuhnya menurun sedikit menjadi
Agathis (84,4%), Puspa (76,7%),
Suren (17,9%) dan Pulai (77 %).
F. Zonasi Restorasi
Karena tingkat kerusakan vegetasi yang
bervariasi maka untuk efisiensi kegiatan
restorasi perlu dibuat zonasi. Zonasi
restorasi dibuat berdasarkan tingkat
kerusakan vegetasi untuk menentukan
tingkat intensitas campur tangan
manusia dalam melakukan restorasi.
Dengan demikian kegiatan restorasi
menjadi efisien. Pembuatan zonasi
restorasi dibuat secara spasial
berdasarkan penafsiran citra satelit
pasca erupsi Gunung Merapi.
Hasil interpretasi citra ASTER tahun
2009 (sebelum erupsi) dan Landsat
2010 (pasca erupsi) yang kemudian
diklasifikasikan menjadi empat kelas
kerusakan (degradasi) vegetasi disajikan
pada Tabel 9 dan Gambar 18. Dari Tabel
9 tampak bahwa areal bervegetasi hutan
yang relatif tidak rusak oleh erupsi hanya
23,19% dari luas Taman Nasional
Gunung Merapi (TNGM). Sementara
sebagian besar kawasan TNGM
mengalami degradasi vegetasi dengan
berbagai intensitas.
Tabel 9. Luas areal TNGM yang terdampak erupsi Gunung Merapi.
Kelas Kerusakan Vegetation Luas (Ha)
Rusak Berat (Heavily degraded) 766,67 12,48
Rusak Sedang (Moderately degraded) 2.207,61 35,93
Rusak Ringan (Slightly degraded) 1.745,54 28,41
Tidak Terkena Erupsi (Intact) 1.425,22 23,19
Jumlah (Total) 6.145,05 100,00
Gam
bar
18.
Kla
sifikasi
tin
gkat
keru
sakan v
egeta
si h
uta
n d
i Tam
an N
asi
onal G
unung M
era
pi pasc
a e
rupsi
sebagai dasa
r zo
nasi
rest
ora
si.
34RESTORASI EKOSISTEM
Gunung Merapi Pasca Erupsi
Proporsi (%)
Ekosistem hutan yang terdegradasi di
TNGM akibat erupsi Gunung Merapi
perlu direstorasi agar fungsi-fungsinya
dapat segera kembali, seperti fungsi
sebagai habitat satwa dan fungsi
sebagai pelindung sistem hidrologi.
Pengelompokan kelas-kelas kerusakan
merupakan upaya untuk menentukan
tingkat intensitas campur tangan
manusia yang diperlukan dalam
merestorasi kawasan tersebut. Hal ini
karena pada hakekatnya alam dapat
memulihkan dirinya sendiri pasca
gangguan melalui proses suksesi alami,
sehingga campur tangan manusia
semata-mata hanya membantu
mempercepat proses pemulihan,
mengendalikan jenis-jenis invasif dan
mengamankan kawasan agar tidak
dirambah.
Berdasarkan pengamatan langsung di
lapangan dan hasil analisis yang
disajikan pada Tabel 9 serta analisis
spasial citra satelit, maka terhadap
areal-areal yang mengalami degradasi
akibat erupsi dapat dilakukan intervensi
manusia dalam rangka restorasi sebagai
berikut:
(1) Pada areal terdegradasi berat,
diperlukan campur tangan manusia
secara penuh untuk merestorasi
vegetasi melalui penanaman pohon-
pohon asli Gunung Merapi.
(2) Pada areal terdegradasi sedang,
tampaknya pemulihan secara alami
masih dapat terjadi karena masih
tersedia pohon-pohon induk sumber
benih dan beberapa permudaan
(tiang, pancang dan anakan), tetapi
untuk mempercepat proses
pemulihan maka campur tangan
manusia bisa dilakukan, misalnya
dalam bentuk pemel iharaan
permudaan dan menstimulasi
pertumbuhan anakan alam dengan
pembebasan ruang dari persaingan
dengan tumbuhan lain. Selain itu,
apabila jumlah anakan tidak
mencukupi untuk menjamin proses
regenerasi maka dapat dilakukan
penanaman pengayaan dengan jenis
asli.
(3) Pada areal terdegradasi ringan,
kondisi vegetasi dari tingkat pohon
sampai anakan relatif masih baik
sehingga pemulihan secara alami
oleh vegetasi yang ters isa
diperkirakan akan berjalan dengan
baik, sehingga campur tangan
manusia mungkin tidak diperlukan
atau kalaupun diperlukan sangat
kecil perananya.
Dari Tabel 9 dapat diketahui bahwa
setidaknya terdapat 766,67 hektar
kawasan hutan yang terdegradasi berat
sehingga memerlukan campur tangan
manusia untuk membantu proses
restorasi ekosistem hutan. Luasan ini
sekal igus dapat menjadi dasar
penghitungan kasar jumlah bibit yang
diperlukan. Dengan jarak tanam awal
2 m x 2 m, maka luasan tersebut
memerlukan bibit sejumlah 1.916.615
atau sekitar dua juta bibit. Meskipun
demikian, tidak semua areal dengan
kategori terdegradasi berat harus
ditanami kembali, karena sebagian areal
merupakan jalur aliran lahar panas
berupa cadas dan bebatuan yang tidak
mungkin ditanami. Jalur aliran lahar
panas percuma ditanami karena akan
dilanda lahar panas bila terjadi erupsi
lagi. Areal terdegradasi sedang juga
memerlukan bibit untuk pengayaan, jika
diperlukan.
36
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
37
Konsekuensi lain dari kegiatan restorasi
adalah perlunya pelibatan masyarakat
sejak perencanaan, pelaksanaan hingga
pemeliharaan dan pengamanan. Pasca
erupsi Gunung Merapi, Balai Taman
Nasional Gunung Merapi menetapkan
kebijakan untuk merestorasi kawasan
hutan yang terdegradasi akibat erupsi.
Untuk mengetahui persepsi masyarakat
terhadap kegiatan restorasi dan
menyerap aspirasi mereka maka perlu
dilakukan survai wawancara dengan
masyarakat di sekitar TNGM.
Pasca erupsi, muncul pendapat berbagai
pihak bahwa areal rusak akibat erupsi
yang dihuni oleh masyarakat sebaiknya
dibebaskan atau masyarakatnya
direlokasi ke tempat lain yang lebih
aman. Pendapat tersebut telah dicoba
ditawarkan kepada 226 responden dari
tujuh resor di TNGM. Hasilnya hanya
35% yang bersedia direlokasi.
Sementara sebagian besar (65%)
menyatakan tidak bersedia direlokasi
F. Pelibatan Masyarakat
Gambar 19. Kesediaan masyarakat
terkena dampak erupsi untuk direlokasi.
Sehubungan dengan lahan-lahan
garapan dan kawasan yang menjadi
tempat beraktifitas masyarakat, ada
wacana untuk dihutankan dan
dibebasakan dari aktifitas manusia, 32%
responden menyatakan tidak setuju,
sedangkan 46% menyatakan setuju
dengan persyaratan ada kompensasi
atas kehilangan kesempatan mata
pencaha r i an . Sementa ra 22%
responden setuju tanpa syarat.
Perihal rencana restorasi ekosistem
Gunung Merapi yang terdegradasi akibat
erupsi, sebagian besar (94%) responden
menyatakan setuju dan tidak ada yang
menolak rencana tersebut. Restorasi
yang dimaksud juga diharapkan dapat
memulihkan vegetasi tanaman pertanian
atau tanaman pangan yang rusak
ak ibata e rups i . S isanya (6%)
menyerahkan kepada pemerintah untuk
menangani Gunung Merapi pasca erupsi.
Gambar 20.Persepsi masyarakat tentang sterilisasi
areal terkena dampak dari aktifitas manusia.
Gambar 21.Persepsi masyarakat tentang rencana restorasi areal terkena dampak erupsi.
38 39
Hampir separuh respondon (44%)
sudah berpartisipasi dalam kegiatan-
kegiatan TNGM, sedangkan 56%
merasa belum dilibatkan. Sejak TNGM
ditetapkan, pelibatan masyarakat sudah
dilaksanakan oleh pengelola, antara lain
dalam hal sosialisasi kegiatan,
pelatihan, penyuluhan, pemberdayaan,
dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Gambar 22.Keterlibatan masyarakat dalam berbagai
kegiatan di TNGM.
Dalam pengelolaan TNGM ke depan,
masyarakat menginginkan pola
kolaborasi antara pengelola TNGM
dengan masyarakat sekitarnya. Pada
umumnya masyarakat menyadari
pentingnya pelestarian dan pengamanan
ekosistem Gunung Merapi, namun
j a n g a n s a m p a i m e n g a b a i k a n
kesejahteraan masyarakat sekitar,
khususnya melalui pemanfaatan
tradisional hasil hutan bukan kayu yang
telah dilaksanakan secara turun
temurun, yaitu pakan ternak dan kayu
bakar. Dalam rangka peningkatan
kesejahteraan, masyarakat juga
berharap adanya pengembangan
ekowisata yang lebih luas yang
melibatkan banyak masyarakat.
Gambar 23.Pendapat masyarakat tentang pengelolaan Gunung Merapi ke depan.
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Herbarium secara umum memiliki dua
pengertian, yaitu “herbarium” sebagai
instansi atau bangunan yang menyimpan
koleksi spesimen herbarium, dan
“herbarium” sebagai koleksi spesimen
tumbuh-tumbuhan kering yang disusun
berdasarkan cara klasifikasi tertentu
atau secara sistimatik/alfabetik.
Herbarium sebagai koleksi spesimen
tumbuhan kering merupakan barang
bukti atau dokumen ilmiah yang dapat
menggambarkan bahwa jenis-jenis
tumbuhan terkoleksi terdapat di suatu
kawasan. Selain itu spesimen herbarium
juga sebagai bahan acuan dalam
identifikasi, determinasi, dan validasi
untuk mendapatkan ketepatan nama
botani. Data-data yang tercantum dalam
label atau katalog dapat sebagai sumber
informasi ilmu pengetahuan maupun
penelitian.
Pada bidang kehutanan, pengetahuan
tentang flora pohon hutan sangatlah
TEKNIK KOLEKSI HERBARIUM
penting diketahui. Dalam pengelolaan
hutan, salah satu kegiatan yang biasa
dilakukan adalah inventarisasi flora
pohon. Pada kegiatan ini diperlukan bukti
berupa data lapangan dan jenis pohon
yang dirisalah (berupa material
herbarium). Dengan material herbarium
akan dilakukan identifikasi yang
selanjutnya diperoleh ketepatan nama
botaninya.
Pengumpulan atau pengkoleksian
material herbarium pada umumnya
jarang dilakukan, sehingga pada
kegiatan pengelolaan hutan maupun
penelitian sering tidak disertai barang
bukti material herbarium. Padahal untuk
mendapatkan nama botani, tidak dapat
hanya berdasarkan pada nama
lokal/nama daerah. Oleh karena itu
dipandang perlu untuk menyajikan
uraian tentang teknik pengkoleksian
herbarium pohon hutan sebagai bahan
identifikasi secara ringkas.
1. Bahan dan Peralatan
Label gantung berukuran 5x3 cm,
terbuat dari kertas manila putih yang
mudah ditulisi dengan pensil.
Kantong plastik transparan tebal
berukuran 60x80 cm, 40x60 cm,
20x40 cm dan 10x20 cm.
Karung plastik, untuk membawa
material.
Tali rafia atau tali pengikat.
A.Pengambilan Material Herbarium
Alat tulis antara lain pensil 2B,
penghapus , sp i do l , buku
lapangan/buku catatan/blangko
isian.
Ga l ah d engan p emo tong
d i u j u n g n y a , p a n j a n g n y a
disesuaikan dengan ketinggian
material yang akan diambil (+ 5
m) . Untuk mempermudah
membawanya, galah dibuat
38 39
Hampir separuh respondon (44%)
sudah berpartisipasi dalam kegiatan-
kegiatan TNGM, sedangkan 56%
merasa belum dilibatkan. Sejak TNGM
ditetapkan, pelibatan masyarakat sudah
dilaksanakan oleh pengelola, antara lain
dalam hal sosialisasi kegiatan,
pelatihan, penyuluhan, pemberdayaan,
dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Gambar 22.Keterlibatan masyarakat dalam berbagai
kegiatan di TNGM.
Dalam pengelolaan TNGM ke depan,
masyarakat menginginkan pola
kolaborasi antara pengelola TNGM
dengan masyarakat sekitarnya. Pada
umumnya masyarakat menyadari
pentingnya pelestarian dan pengamanan
ekosistem Gunung Merapi, namun
j a n g a n s a m p a i m e n g a b a i k a n
kesejahteraan masyarakat sekitar,
khususnya melalui pemanfaatan
tradisional hasil hutan bukan kayu yang
telah dilaksanakan secara turun
temurun, yaitu pakan ternak dan kayu
bakar. Dalam rangka peningkatan
kesejahteraan, masyarakat juga
berharap adanya pengembangan
ekowisata yang lebih luas yang
melibatkan banyak masyarakat.
Gambar 23.Pendapat masyarakat tentang pengelolaan Gunung Merapi ke depan.
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Herbarium secara umum memiliki dua
pengertian, yaitu “herbarium” sebagai
instansi atau bangunan yang menyimpan
koleksi spesimen herbarium, dan
“herbarium” sebagai koleksi spesimen
tumbuh-tumbuhan kering yang disusun
berdasarkan cara klasifikasi tertentu
atau secara sistimatik/alfabetik.
Herbarium sebagai koleksi spesimen
tumbuhan kering merupakan barang
bukti atau dokumen ilmiah yang dapat
menggambarkan bahwa jenis-jenis
tumbuhan terkoleksi terdapat di suatu
kawasan. Selain itu spesimen herbarium
juga sebagai bahan acuan dalam
identifikasi, determinasi, dan validasi
untuk mendapatkan ketepatan nama
botani. Data-data yang tercantum dalam
label atau katalog dapat sebagai sumber
informasi ilmu pengetahuan maupun
penelitian.
Pada bidang kehutanan, pengetahuan
tentang flora pohon hutan sangatlah
TEKNIK KOLEKSI HERBARIUM
penting diketahui. Dalam pengelolaan
hutan, salah satu kegiatan yang biasa
dilakukan adalah inventarisasi flora
pohon. Pada kegiatan ini diperlukan bukti
berupa data lapangan dan jenis pohon
yang dirisalah (berupa material
herbarium). Dengan material herbarium
akan dilakukan identifikasi yang
selanjutnya diperoleh ketepatan nama
botaninya.
Pengumpulan atau pengkoleksian
material herbarium pada umumnya
jarang dilakukan, sehingga pada
kegiatan pengelolaan hutan maupun
penelitian sering tidak disertai barang
bukti material herbarium. Padahal untuk
mendapatkan nama botani, tidak dapat
hanya berdasarkan pada nama
lokal/nama daerah. Oleh karena itu
dipandang perlu untuk menyajikan
uraian tentang teknik pengkoleksian
herbarium pohon hutan sebagai bahan
identifikasi secara ringkas.
1. Bahan dan Peralatan
Label gantung berukuran 5x3 cm,
terbuat dari kertas manila putih yang
mudah ditulisi dengan pensil.
Kantong plastik transparan tebal
berukuran 60x80 cm, 40x60 cm,
20x40 cm dan 10x20 cm.
Karung plastik, untuk membawa
material.
Tali rafia atau tali pengikat.
A.Pengambilan Material Herbarium
Alat tulis antara lain pensil 2B,
penghapus , sp i do l , buku
lapangan/buku catatan/blangko
isian.
Ga l ah d engan p emo tong
d i u j u n g n y a , p a n j a n g n y a
disesuaikan dengan ketinggian
material yang akan diambil (+ 5
m) . Untuk mempermudah
membawanya, galah dibuat
40 41
bersambung.
Parang, gunting ranting, pisau.
Ketapel dan tali senar untuk
membantu mengambil material
herbarium untuk jenis pohon
beranting dan berdaun relatif
kecil.
Sarung tangan, untuk melindungi
tangan dari duri atau getah.
Alat pelengkap, teropong, lensa
pembesar (hand lens), altimeter,
kompas, pita ukur, peta lokasi, dll.
2. Teknik pengambilan
Pemilihan material yang akan
diambil tergantung dari tujuannya.
Untuk koleksi spesimen herbarium
sebagai dokumen ilmiah atau
kepentingan taksonomi, diambil
seranting daun yang lengkap
(“herbarium fertil”) terdiri dari:
ranting, kuncup daun, daun,
bunga dan buah. Jumlah
pengambilan usahakan sebanyak
5 ranting, untuk duplikat.
Material herbarium sebagai
spesimen bukti atau contoh
pohon/tumbuhan (misalnya pada
kegiatan inventarisasi, ekologi,
dsb.) dapat diambil material
seranting daun tanpa bunga atau
buah yang disebut “herbarium
steril”.
Sebelum mengambil, pastikan
dulu ranting mana yang dipilih.
Untuk lebih jelas, pergunakan
teropong.
Pengambilan material pada pohon
yang tidak terlalu tinggi, dapat
dilakukan dengan menggunakan
galah.
Untuk pohon besar dan tinggi atau
pohon tinggi, pengambilan
material herbarium dilakukan
dengan cara memanjat pohon
bersangkutan atau memanjat
pohon disebelahnya. Dapat pula
menggunakan ketapel dan tali
senar dengan melempar ke arah
ranting kemudian tarik sampai
patah.
Di Sumatra ( Sumatra Barat, Riau,
Jambi, Bengkulu) pengambilan
mater ia l he rbar ium dapat
dilakukan dengan bantuan beruk
(Macaca nemestrina).
Akan l e b i h mudah l a g i ,
dilaksanakan bersamaan dengan
kegiatan penebangan (Logging).
Potong seranting daun lengkap
(fertil atau steril), dengan panjang
kurang lebih 40 cm.
Untuk jenis pohon berdaun besar,
potong ranting dengan 3-4 helai
daun.
Potongan ranting diberi label
gantung, tulis menggunakan
pensil (tulisan menggunakan
pensil jika terkena alkohol atau
spirtus tidak akan luntur): nama
kolektor (bisa disingkat, tapi jika
untuk dikirim ke herbarium yang
b e s a r m i s a l : H e r b a r i u m
Bogoriense usahakan tidak
disingkat), nomor koleksi, tanggal
pengambilan, nama daerah/nama
lokal. Material dengan bunga atau
buahnya terlepas, pada label
diberi keterangan berbunga/
berbuah.
Bunga dan buah yang terlepas dari
rantingnya diberi label gantung
(keterangan pada label sama
dengan rantingnya), masukkan
dalam kantong plastik sesuai
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
ukuran (diberi sedikit lubang)
kemudian ditutup dan diikat.
Material herbarium dengan nomor
koleksi sama dimasukkan dalam
satu kantong plastik tertutup, agar
tidak tercampur dengan nomor
koleksi lain.
Setiap pengambilan material
herbarium, dicatat pada buku
lapangan keterangan yang
penting-penting, antara lain: nama
kolektor, nomor koleksi, tanggal
pengambilan, nama daerah nama
lokal (sesuai dengan label
gantungnya), tinggi total pohon,
tinggi batang bebas cabang,
diameter batang, ciri-ciri batang,
kulit batang, warna getah, warna
daun muda, warna dan bau bunga
atau buah, dan ciri-ciri khas
lainnya. Lengkapi dengan data
tempat tumbuh seperti: lahan
kering/lahan basah, dataran
rendah/dataran tinggi, tinggi
tempat dari permukaan laut (dpl.).
Semua mater ia l terkoleksi
dimasukkan dalam karung plastik,
selanjutnya dibawa ke tempat
pemrosesan.
Material herbarium yang sudah
terkumpul langsung diproses
(diawetkan) dalam keadaan segar,
untuk menghindari kerontokan
daun /bunga /buah , he l a i an
daun/bunga yang menggulung dan
adanya pembusukan.
1. Bahan dan peralatan
Material herbarium
Alkohol 70% atau spirtus.
Kertas koran
Kantong plastik transparan
berukuran 60x40 cm.
Sasak bambu atau sasak kayu
berukuran 45x35 cm.
K a r t o n d a n a l u m u n i u m
bergelombang kecil
Tali rafia atau tali pengikat, karung
plastik/kardus
Gunting ranting/gunting daun
Tungku
Alat tulis dan hekter.
2. Pemrosesan di lapangan
Pemrosesan material herbarium di
lapangan atau di lokasi pengumpulan
dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
B.Teknik Pemrosesan
a. Pemrosesan basah
Pemrosesan basah merupakan
pemrosesan material herbarium
dengan menggunakan alkohol atau
spirtus. Keuntungannya pengerjaan
praktis karena pengeringan dapat
dilakukan beberapa hari hingga
beberapa minggu. Sedangkan
kerugiannya dari segi biaya lebih
mahal karena menggunakan alkohol
atau spirtus. Mengenai tahapan
kerjanya ialah:
Lipat setengah lembar halaman
koran menjadi 2.
Buka lipatan koran tersebut untuk
meletakkan seranting daun (1
material herbarium), disusun yang
r a p i d e n g a n h e l a i a n
daun/bunga/buah menghadap dua
muka (permukaan atas dan bawah
harus ditampilkan), diusahakan
40 41
bersambung.
Parang, gunting ranting, pisau.
Ketapel dan tali senar untuk
membantu mengambil material
herbarium untuk jenis pohon
beranting dan berdaun relatif
kecil.
Sarung tangan, untuk melindungi
tangan dari duri atau getah.
Alat pelengkap, teropong, lensa
pembesar (hand lens), altimeter,
kompas, pita ukur, peta lokasi, dll.
2. Teknik pengambilan
Pemilihan material yang akan
diambil tergantung dari tujuannya.
Untuk koleksi spesimen herbarium
sebagai dokumen ilmiah atau
kepentingan taksonomi, diambil
seranting daun yang lengkap
(“herbarium fertil”) terdiri dari:
ranting, kuncup daun, daun,
bunga dan buah. Jumlah
pengambilan usahakan sebanyak
5 ranting, untuk duplikat.
Material herbarium sebagai
spesimen bukti atau contoh
pohon/tumbuhan (misalnya pada
kegiatan inventarisasi, ekologi,
dsb.) dapat diambil material
seranting daun tanpa bunga atau
buah yang disebut “herbarium
steril”.
Sebelum mengambil, pastikan
dulu ranting mana yang dipilih.
Untuk lebih jelas, pergunakan
teropong.
Pengambilan material pada pohon
yang tidak terlalu tinggi, dapat
dilakukan dengan menggunakan
galah.
Untuk pohon besar dan tinggi atau
pohon tinggi, pengambilan
material herbarium dilakukan
dengan cara memanjat pohon
bersangkutan atau memanjat
pohon disebelahnya. Dapat pula
menggunakan ketapel dan tali
senar dengan melempar ke arah
ranting kemudian tarik sampai
patah.
Di Sumatra ( Sumatra Barat, Riau,
Jambi, Bengkulu) pengambilan
mater ia l he rbar ium dapat
dilakukan dengan bantuan beruk
(Macaca nemestrina).
Akan l e b i h mudah l a g i ,
dilaksanakan bersamaan dengan
kegiatan penebangan (Logging).
Potong seranting daun lengkap
(fertil atau steril), dengan panjang
kurang lebih 40 cm.
Untuk jenis pohon berdaun besar,
potong ranting dengan 3-4 helai
daun.
Potongan ranting diberi label
gantung, tulis menggunakan
pensil (tulisan menggunakan
pensil jika terkena alkohol atau
spirtus tidak akan luntur): nama
kolektor (bisa disingkat, tapi jika
untuk dikirim ke herbarium yang
b e s a r m i s a l : H e r b a r i u m
Bogoriense usahakan tidak
disingkat), nomor koleksi, tanggal
pengambilan, nama daerah/nama
lokal. Material dengan bunga atau
buahnya terlepas, pada label
diberi keterangan berbunga/
berbuah.
Bunga dan buah yang terlepas dari
rantingnya diberi label gantung
(keterangan pada label sama
dengan rantingnya), masukkan
dalam kantong plastik sesuai
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
ukuran (diberi sedikit lubang)
kemudian ditutup dan diikat.
Material herbarium dengan nomor
koleksi sama dimasukkan dalam
satu kantong plastik tertutup, agar
tidak tercampur dengan nomor
koleksi lain.
Setiap pengambilan material
herbarium, dicatat pada buku
lapangan keterangan yang
penting-penting, antara lain: nama
kolektor, nomor koleksi, tanggal
pengambilan, nama daerah nama
lokal (sesuai dengan label
gantungnya), tinggi total pohon,
tinggi batang bebas cabang,
diameter batang, ciri-ciri batang,
kulit batang, warna getah, warna
daun muda, warna dan bau bunga
atau buah, dan ciri-ciri khas
lainnya. Lengkapi dengan data
tempat tumbuh seperti: lahan
kering/lahan basah, dataran
rendah/dataran tinggi, tinggi
tempat dari permukaan laut (dpl.).
Semua mater ia l terkoleksi
dimasukkan dalam karung plastik,
selanjutnya dibawa ke tempat
pemrosesan.
Material herbarium yang sudah
terkumpul langsung diproses
(diawetkan) dalam keadaan segar,
untuk menghindari kerontokan
daun /bunga /buah , he l a i an
daun/bunga yang menggulung dan
adanya pembusukan.
1. Bahan dan peralatan
Material herbarium
Alkohol 70% atau spirtus.
Kertas koran
Kantong plastik transparan
berukuran 60x40 cm.
Sasak bambu atau sasak kayu
berukuran 45x35 cm.
K a r t o n d a n a l u m u n i u m
bergelombang kecil
Tali rafia atau tali pengikat, karung
plastik/kardus
Gunting ranting/gunting daun
Tungku
Alat tulis dan hekter.
2. Pemrosesan di lapangan
Pemrosesan material herbarium di
lapangan atau di lokasi pengumpulan
dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
B.Teknik Pemrosesan
a. Pemrosesan basah
Pemrosesan basah merupakan
pemrosesan material herbarium
dengan menggunakan alkohol atau
spirtus. Keuntungannya pengerjaan
praktis karena pengeringan dapat
dilakukan beberapa hari hingga
beberapa minggu. Sedangkan
kerugiannya dari segi biaya lebih
mahal karena menggunakan alkohol
atau spirtus. Mengenai tahapan
kerjanya ialah:
Lipat setengah lembar halaman
koran menjadi 2.
Buka lipatan koran tersebut untuk
meletakkan seranting daun (1
material herbarium), disusun yang
r a p i d e n g a n h e l a i a n
daun/bunga/buah menghadap dua
muka (permukaan atas dan bawah
harus ditampilkan), diusahakan
42 43
tidak ada daun/bunga yang
tergulung atau terlipat.
Untuk helaian daun yang besar
dapat dilipat disesuaikan ukuran
koran, atau dipotong setengah
helaian daunnya pada salah satu
sisi ranting (tidak semua helaian
daun dipotong).
Sebelum memotong helaian daun,
ukur dahulu panjang dan lebarnya.
Buat sketsa bentuk daun atau
diambil gambarnya.
Bunga dan buah yang terlepas
masukkan dalam lipatan koran
tersendiri, diberi label gantung dan
ditumpuk dengan mater ia l
daunnya.
Setiap lipatan koran hanya berisi 1
spesimen lengkap dengan label
gantungnya.
Tumpuk lipatan-lipatan koran
tersebut hingga setinggi sekitar
30 cm, ikat rapi dan kuat.
Masukkan tumpukan material
herbarium dalam kantong plastik
dan siram dengan alkohol atau
spirtus sampai basah semua.
Tutup kantong plastik rapat-rapat
(dihekter atau diikat) agar
alkohol/spirtus tidak cepat
mengering.
Masukkan kantong-kantong plastik
berisi material herbarium ke dalam
karung plastik atau kardus, untuk
dibawa ke tempat herbarium/koleksi.
Gambar 24. Material herbarium berlebel dalam lipatan Koran.
Gambar 25. Tumpukan material herbarium dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disiram dengan alkohol/spirtus.
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
a. Pemrosesan kering :
Pemrosesan material herbarium
tanpa menggunakan alkohol atau
spirtus. Keuntungannya hemat biaya
dan material kering lebih ringan
membawanya, kerugiannya proses
pengeringan harus cepat dikerjakan.
Tahapan kerjanya sebagai berikut :
Tumpukan koran berisi material
herbarium setinggi 40 cm, dipres
dalam sasak bambu/kayu dan
diikat kuat.
Sasak diberi label (tulis dengan
pensil) nama kolektor dan tanggal
pengeringan.
Susunan pengepresan dengan
urutan: sasak, a lumunium
b e r g e l o m b a n g , k a r t o n
bergelombang, lipatan koran yang
berisi material herbarium, karton,
alumunium, material herbarium
dalam lipatan koran, karton,
alumunium, dan seterusnya.
Susun di atas rak dengan posisi
tegak lurus memanjang atau
vertikal, jangan ditumpuk.
Keringkan di atas tungku dengan
panas yang diatur, usahakan
panas merata keseluruh material.
Bolak-balik material dengan selang
waktu 1 sampai 2 jam.
Material yang sudah kering
pisahkan dan diambil.
Gambar 26.Tungku pengeringan yang terdiri dari : tempat bara, rak, dan atap.
( sumber : Bridson dan Forman, 1992).
a. Bahan dan Peralatan
Kertas koran
Sasak bambu atau sasak kayu
berukuran 45x35 cm
Alumunium bergelombang kecil
Karton bergelombang keci l
berukuran 45x35 cm
Tali pengikat
Label gantung, pensil.
b. Teknik Pemrosesan :
Maksud pemrosesan disini adalah
khusus untuk material herbarium
basah, meliputi pengepresan dan
pengeringan. Teknik pemrosesan dan
pengeringan mengacu Herbarium
Bogoriense (Djarwaningsih et al.,
1999).
3. Pemrosesan di tempat penyimpanan herbarium
Pengepresan :
Teknik pengepresan sama dengan
pemrosesan kering di lapangan
Material herbarium basah dari
lapangan dikeluarkan dari kantong
plastik.
Susun alat dan bahan pengepresan
dengan urutan:
(1) Sasak
(2) Alumunium bergelombang
(3) Karton bergelombang
(4) Lipatan kertas koran, buka
lembarannya
(5) Susun material herbarium
basah pada kertas koran
tersebut, dengan menampilkan
permukaan atas dan bawah
42 43
tidak ada daun/bunga yang
tergulung atau terlipat.
Untuk helaian daun yang besar
dapat dilipat disesuaikan ukuran
koran, atau dipotong setengah
helaian daunnya pada salah satu
sisi ranting (tidak semua helaian
daun dipotong).
Sebelum memotong helaian daun,
ukur dahulu panjang dan lebarnya.
Buat sketsa bentuk daun atau
diambil gambarnya.
Bunga dan buah yang terlepas
masukkan dalam lipatan koran
tersendiri, diberi label gantung dan
ditumpuk dengan mater ia l
daunnya.
Setiap lipatan koran hanya berisi 1
spesimen lengkap dengan label
gantungnya.
Tumpuk lipatan-lipatan koran
tersebut hingga setinggi sekitar
30 cm, ikat rapi dan kuat.
Masukkan tumpukan material
herbarium dalam kantong plastik
dan siram dengan alkohol atau
spirtus sampai basah semua.
Tutup kantong plastik rapat-rapat
(dihekter atau diikat) agar
alkohol/spirtus tidak cepat
mengering.
Masukkan kantong-kantong plastik
berisi material herbarium ke dalam
karung plastik atau kardus, untuk
dibawa ke tempat herbarium/koleksi.
Gambar 24. Material herbarium berlebel dalam lipatan Koran.
Gambar 25. Tumpukan material herbarium dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disiram dengan alkohol/spirtus.
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
a. Pemrosesan kering :
Pemrosesan material herbarium
tanpa menggunakan alkohol atau
spirtus. Keuntungannya hemat biaya
dan material kering lebih ringan
membawanya, kerugiannya proses
pengeringan harus cepat dikerjakan.
Tahapan kerjanya sebagai berikut :
Tumpukan koran berisi material
herbarium setinggi 40 cm, dipres
dalam sasak bambu/kayu dan
diikat kuat.
Sasak diberi label (tulis dengan
pensil) nama kolektor dan tanggal
pengeringan.
Susunan pengepresan dengan
urutan: sasak, a lumunium
b e r g e l o m b a n g , k a r t o n
bergelombang, lipatan koran yang
berisi material herbarium, karton,
alumunium, material herbarium
dalam lipatan koran, karton,
alumunium, dan seterusnya.
Susun di atas rak dengan posisi
tegak lurus memanjang atau
vertikal, jangan ditumpuk.
Keringkan di atas tungku dengan
panas yang diatur, usahakan
panas merata keseluruh material.
Bolak-balik material dengan selang
waktu 1 sampai 2 jam.
Material yang sudah kering
pisahkan dan diambil.
Gambar 26.Tungku pengeringan yang terdiri dari : tempat bara, rak, dan atap.
( sumber : Bridson dan Forman, 1992).
a. Bahan dan Peralatan
Kertas koran
Sasak bambu atau sasak kayu
berukuran 45x35 cm
Alumunium bergelombang kecil
Karton bergelombang keci l
berukuran 45x35 cm
Tali pengikat
Label gantung, pensil.
b. Teknik Pemrosesan :
Maksud pemrosesan disini adalah
khusus untuk material herbarium
basah, meliputi pengepresan dan
pengeringan. Teknik pemrosesan dan
pengeringan mengacu Herbarium
Bogoriense (Djarwaningsih et al.,
1999).
3. Pemrosesan di tempat penyimpanan herbarium
Pengepresan :
Teknik pengepresan sama dengan
pemrosesan kering di lapangan
Material herbarium basah dari
lapangan dikeluarkan dari kantong
plastik.
Susun alat dan bahan pengepresan
dengan urutan:
(1) Sasak
(2) Alumunium bergelombang
(3) Karton bergelombang
(4) Lipatan kertas koran, buka
lembarannya
(5) Susun material herbarium
basah pada kertas koran
tersebut, dengan menampilkan
permukaan atas dan bawah
44 45
pada satu ranting, dirapikan
jangan ada yang tergulung.
(6) Pada daun berukuran besar
dapat dilipat, diantara lipatan
disisipkan potongan kertas
koran supaya tidak melekat.
(7) Bunga dan buah kecil-kecil yang
terlepas, dimasukkan dalam
kantong koran.
(8) Periksa ada tidaknya label
gantung, label yang lepas atau
rusak dapat diperbaru dan
disesuaikan dengan label lama.
(9) Lipatan koran yang terbuka
ditutup kembali.
(10) Material herbarium yang
terdapat buah tebal, tambahkan
lipatan koran disekitar buah
pada kartonnya, sehingga
ketebalan permukaan sama. Hal
i n i u n t u k m e m b a n t u
pengeringan yang merata
antara buah dan daun.
(11) Tutup dengan karton
bergelombangAlumunium bergelombang
Karton bergelombang
Lipatan koran berisi material
herbarium
Karton bergelombang
Alumunium bergelombang,
demikian seterusnya sampai
tumpukan setinggi sekitar
40 cm.
(12) Tutup dengan sasak, ikat kuat
dan siap dikeringkan.
(13) Pada sasak diberi label
gantung, bertuliskan nama
k o l e k t o r d a n t a n g g a l
pengepresan.
(14) Untuk material herbarium
berupa buah besar dan sulit
dipres, dapat dimasukkan ke
d a l a m k a l e n g ( u n t u k
dikeringkan) dan diberi label
(disebut koleksi karpologi).
(15) Bunga atau buah berukuran
besar yang berdaging, dapat
diawetkan tanpa dikeringkan
menjadi koleksi basah (koleksi
yang direndam dalam zat
p e n g a w e t ) . M a s u k k a n
b u n g a / b u a h d a l a m
stoples/botol, rendam dengan
alkohol 70% atau FAA, diberi
label dan tutup rapat ( tutup
olesi parafin supaya tidak
menguap).
(16) Material herbarium kering yang
memiliki koleksi karpologi atau
koleksi basah, pada label diberi
keterangan/tulisan ada koleksi
basah/karpologi.
Gambar 27. Pengepresan material herbarium terdiri
dari (paling bawah): alumunium bergelombang – karton – material herbarium dalam lipatan koran – karton –
alumunium bergelombang.
Gambar 28.Susunan material herbarium yang
sudah dipres dengan sasak ( bagian paling bawah sasak dan paling atas ditutup dengan sasak).
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Pengeringan :
Pengeringan pada material herbarium yang sudah dipres tersebut dapat dilakukan
dengan cara:
Pengeringan di bawah panas matahari, dilakukan bila matahari sangat terik dan
umumnya memerlukan waktu cukup lama :
Jemur sasak dengan posisi sasak tegak lurus/ vertikal
Bolak-balik, agar semua material terjemur.
Pengeringan di atas tungku, cara mengerjakannnya sama dengan pemrosesan
kering di lapangan (lihat gambar 30) .
Pengeringan dengan pemanas bolam listrik:
Letakkan sasak dengan posisi sasak tegak lurus/ vertikal di atas rak.
Pada bagian bawah rak dipasang 2 buah bolam listrik 100 W.
Bolak-balik agar pengeringan merata.
Gambar 29.Pengeringan dengan menggunakan bolam listrik, terdiri dari kotak papan penempel
bolam dan rak besi. (Sumber: Afriastini, 1997).
Pengeringan dalam oven :
Letakkan sasak dengan posisi sasak tegak lurus/ vertikal di atas rak dalam
oven.
Periksa setiap hari, bolak-balik dan pisahkan material herbarium yang sudah
kering.
Pada umumnya material herbarium kering selama 3-4 hari.
Pengaturan panas dalam oven dilakukan secara tahap demi tahap, tergantung 0tebak tipisnya materia (+ 60 C).
44 45
pada satu ranting, dirapikan
jangan ada yang tergulung.
(6) Pada daun berukuran besar
dapat dilipat, diantara lipatan
disisipkan potongan kertas
koran supaya tidak melekat.
(7) Bunga dan buah kecil-kecil yang
terlepas, dimasukkan dalam
kantong koran.
(8) Periksa ada tidaknya label
gantung, label yang lepas atau
rusak dapat diperbaru dan
disesuaikan dengan label lama.
(9) Lipatan koran yang terbuka
ditutup kembali.
(10) Material herbarium yang
terdapat buah tebal, tambahkan
lipatan koran disekitar buah
pada kartonnya, sehingga
ketebalan permukaan sama. Hal
i n i u n t u k m e m b a n t u
pengeringan yang merata
antara buah dan daun.
(11) Tutup dengan karton
bergelombangAlumunium bergelombang
Karton bergelombang
Lipatan koran berisi material
herbarium
Karton bergelombang
Alumunium bergelombang,
demikian seterusnya sampai
tumpukan setinggi sekitar
40 cm.
(12) Tutup dengan sasak, ikat kuat
dan siap dikeringkan.
(13) Pada sasak diberi label
gantung, bertuliskan nama
k o l e k t o r d a n t a n g g a l
pengepresan.
(14) Untuk material herbarium
berupa buah besar dan sulit
dipres, dapat dimasukkan ke
d a l a m k a l e n g ( u n t u k
dikeringkan) dan diberi label
(disebut koleksi karpologi).
(15) Bunga atau buah berukuran
besar yang berdaging, dapat
diawetkan tanpa dikeringkan
menjadi koleksi basah (koleksi
yang direndam dalam zat
p e n g a w e t ) . M a s u k k a n
b u n g a / b u a h d a l a m
stoples/botol, rendam dengan
alkohol 70% atau FAA, diberi
label dan tutup rapat ( tutup
olesi parafin supaya tidak
menguap).
(16) Material herbarium kering yang
memiliki koleksi karpologi atau
koleksi basah, pada label diberi
keterangan/tulisan ada koleksi
basah/karpologi.
Gambar 27. Pengepresan material herbarium terdiri
dari (paling bawah): alumunium bergelombang – karton – material herbarium dalam lipatan koran – karton –
alumunium bergelombang.
Gambar 28.Susunan material herbarium yang
sudah dipres dengan sasak ( bagian paling bawah sasak dan paling atas ditutup dengan sasak).
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Pengeringan :
Pengeringan pada material herbarium yang sudah dipres tersebut dapat dilakukan
dengan cara:
Pengeringan di bawah panas matahari, dilakukan bila matahari sangat terik dan
umumnya memerlukan waktu cukup lama :
Jemur sasak dengan posisi sasak tegak lurus/ vertikal
Bolak-balik, agar semua material terjemur.
Pengeringan di atas tungku, cara mengerjakannnya sama dengan pemrosesan
kering di lapangan (lihat gambar 30) .
Pengeringan dengan pemanas bolam listrik:
Letakkan sasak dengan posisi sasak tegak lurus/ vertikal di atas rak.
Pada bagian bawah rak dipasang 2 buah bolam listrik 100 W.
Bolak-balik agar pengeringan merata.
Gambar 29.Pengeringan dengan menggunakan bolam listrik, terdiri dari kotak papan penempel
bolam dan rak besi. (Sumber: Afriastini, 1997).
Pengeringan dalam oven :
Letakkan sasak dengan posisi sasak tegak lurus/ vertikal di atas rak dalam
oven.
Periksa setiap hari, bolak-balik dan pisahkan material herbarium yang sudah
kering.
Pada umumnya material herbarium kering selama 3-4 hari.
Pengaturan panas dalam oven dilakukan secara tahap demi tahap, tergantung 0tebak tipisnya materia (+ 60 C).
46 47RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Gambar 30.Pengeringan material herbarium dalam oven.
C. Identifikasi Material Herbarium
Material herbarium yang sudah menjadi
material kering atau basah diidentifikasi
untuk mendapatkan nama botaninya.
Pada umumnya identifikasi dilakukan
dengan cara membandingkan sifat
morfologi material herbarium (yang akan
d i ident i f ikas i ) dengan mater ia l
(spesimen) herbarium yang sudah
teridentifikasi, dan pekerjaan ini
dilakukan di herbarium. Bagi pemula,
pengerjaan identifikasi dapat dilakukan
dengan bantuan pakar botani/pakar
identifikasi. Untuk flora pohon hutan
khususnya dan flora hutan pada
umumnya, Herbarium Botani dan Ekologi
Hutan, Pusat Litbang Hutan dan
Konservasi Alam, Bogor memberikan
layanan identifikasi.
Adapun urutan kerja identifikasi yang
dilakukan di ruang herbarium adalah
sebagai berikut :
Sebelum masuk ruang herbarium,
material herbarium kering harus
bebas dari hama/serangga.
Sebagai pencegahan awal masukkan
material kedalam kantong plastik,
lalu semprot dengan obat pembasmi
hama misalnya Baygon.
Tutup kantong plastik rapat-rapat,
diamkan minimum 30 menit
(diharapkan hama/serangga akan
mati)
Keluarkan material dari kantong
plastik, masukkan kembali ke dalam
lipatan koran.
Identifikasi dengan melihat sifat
morfologi dan bandingkan dengan
sifat morfologi pada spesimen
herbarium yang telah teridentifikasi
y a n g d i l e n g k a p i d e n g a n
penyelusuran pustaka taksonomi
flora pohon. Biasanya secara
berturut-turut mendapatkan nama
suku, marga, kemudian nama jenis.
Tulis dengan pensil nama marga dan
nama jenis pada label identifikasi,
serta nama kolektor dan nomor
koleksi.
Apabila Identifikasi dikerjakan oleh
bukan kolektor, maka nama orang
yang mengidentifikasi ditulis pada
label identif ikasi atau label
determinasi (penulisan dapat
mengunakan komputer ) dan
seandainya ada pakar yang
mengesahkan kebenaran hasil
identifikasi/determinasi maka ditulis
pada label pengesahan. Di bawah ini
contoh label determinasi dan label
pengesahan di Herbarium Botani
Hutan.
Conf.
Uhaedi Sutisna 06/05/2007
HERBARIUM BOTANI HUTAN (BZF)
Shorea leprosula Miq.
Det. Marfu'ah Wardani 05/06/2007
Gambar 31.
Label koleksi hebarium.
Label determinasi Herbarium Bogoriense (Det.)
Label pengesahan ( Conf.)
46 47RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Gambar 30.Pengeringan material herbarium dalam oven.
C. Identifikasi Material Herbarium
Material herbarium yang sudah menjadi
material kering atau basah diidentifikasi
untuk mendapatkan nama botaninya.
Pada umumnya identifikasi dilakukan
dengan cara membandingkan sifat
morfologi material herbarium (yang akan
d i ident i f ikas i ) dengan mater ia l
(spesimen) herbarium yang sudah
teridentifikasi, dan pekerjaan ini
dilakukan di herbarium. Bagi pemula,
pengerjaan identifikasi dapat dilakukan
dengan bantuan pakar botani/pakar
identifikasi. Untuk flora pohon hutan
khususnya dan flora hutan pada
umumnya, Herbarium Botani dan Ekologi
Hutan, Pusat Litbang Hutan dan
Konservasi Alam, Bogor memberikan
layanan identifikasi.
Adapun urutan kerja identifikasi yang
dilakukan di ruang herbarium adalah
sebagai berikut :
Sebelum masuk ruang herbarium,
material herbarium kering harus
bebas dari hama/serangga.
Sebagai pencegahan awal masukkan
material kedalam kantong plastik,
lalu semprot dengan obat pembasmi
hama misalnya Baygon.
Tutup kantong plastik rapat-rapat,
diamkan minimum 30 menit
(diharapkan hama/serangga akan
mati)
Keluarkan material dari kantong
plastik, masukkan kembali ke dalam
lipatan koran.
Identifikasi dengan melihat sifat
morfologi dan bandingkan dengan
sifat morfologi pada spesimen
herbarium yang telah teridentifikasi
y a n g d i l e n g k a p i d e n g a n
penyelusuran pustaka taksonomi
flora pohon. Biasanya secara
berturut-turut mendapatkan nama
suku, marga, kemudian nama jenis.
Tulis dengan pensil nama marga dan
nama jenis pada label identifikasi,
serta nama kolektor dan nomor
koleksi.
Apabila Identifikasi dikerjakan oleh
bukan kolektor, maka nama orang
yang mengidentifikasi ditulis pada
label identif ikasi atau label
determinasi (penulisan dapat
mengunakan komputer ) dan
seandainya ada pakar yang
mengesahkan kebenaran hasil
identifikasi/determinasi maka ditulis
pada label pengesahan. Di bawah ini
contoh label determinasi dan label
pengesahan di Herbarium Botani
Hutan.
Conf.
Uhaedi Sutisna 06/05/2007
HERBARIUM BOTANI HUTAN (BZF)
Shorea leprosula Miq.
Det. Marfu'ah Wardani 05/06/2007
Gambar 31.
Label koleksi hebarium.
Label determinasi Herbarium Bogoriense (Det.)
Label pengesahan ( Conf.)
51
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Antidesma auritum Tul. , Antidesma blumei Tul., Antidesma salaccense Zoll. & Moritzi
Nama lokal: buni ande-ande, ki seuheur, huni peucang
Pertelaan:
Pohon dengan tingginya 3-19 m, dengan diameter batang 6-49 cm; daunnya
berseling berbentuk elips dengan ujung memanjang bisa mencapai 7x20 cm; bunga
betina majemuk tandan (racemes) yang panjang
Distribusi: Jawa
Habitat:
Hutan campuran, semak-semak, mulai ketinggian 100- 2.400 m dpl, terutama di atas
700 m dpl
Kegunaan:
Kayunya digunakan sebagai gagang kapak. Kulit Batangnya digunakan sebagai obat
dan buahnya dikonsumsi.
Perbanyakan: biji
Antidesma tetrandrum Blume(Phyllanthaceae)
52 53
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Arenga saccharifera
Nama lokal: aren, kawung (Sunda), irang (Jawa), bak juk (Aceh)
Pertelaan:
Pohon tingginya mencapai 10-20 m dengan diameter 30-65 cm. Batangnya
diselubungi dengan serabut hitam (ijuk). Daun majemuk dengan panjang 6-12 m,
panjang tangkai daun 1-2,5 m. Bunga majemuk bertandan dengan banyak malai.
Buah kuning kecoklatan ketika matang dengan 1-3 biji berwarna hitam.
Distribusi: Asia Tenggara sampai kepulauan Ryukyu di Jepang dan menyebar ke
Vietnam hingga Himalaya Bagian Timur.
Habitat:
Tumbuh liar di lereng-lereng atau tebing sungai sampai ketinggian 2.000 m dpl
Kegunaan:
Bagian tengah batang (empulur) menghasilkan sagu halus, batangnya sebagai bahan
ukiran, kulit batangnya mengandung bahan tonikum. Akar mudanya untuk obat batu
ginjal dan sakit gigi. Daun muda/ janur bisa dijadikan bahan rokok (rokok daun
kawung). Niranya sebagai bahan baku gula aren, buah mudanya dikenal dengan
kolang kaling. Ijuknya banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan pelapis
dinding yang kedap air. Aren juga merupakan pakan satwa, habitat satwa (musang,
luwak dan babi)
Perbanyakan: biji.
Arenga pinnata (Wurmb) Merr.( Arecaceae)
Sinonim :
Bischofia cummingiana Decne, Bischofia oblongifolia Decne, Bischofia roperiana
Decne, Bischofia toui Decne, Bischofia trifoliata Hook, Microelus roeperianus Wight
& Arn., Stylodiscus trifoliastus Benn.
Nama lokal: gintungan
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 12-18 m, dengan diameter batang 95-150 cm. Daun berseling
dengan 3 anak daun yang panjangnya 15-20 cm. Bunga kecil kuning kehijauan,
bunga jantan dan betina terpisah pada pohon yang berbeda. Buah berdaging coklat
kemerahan atau biru kehitaman dengan diameter 9 mm. Biji coklat dengan diameter
5 mm.
Distribusi: Indonesia, Semenanjung Malaya, New Guinea, China, India, Jepang.
Habitat: Tahan kekeringan; ditemukan pada ketinggian 900-1.800 m dpl.
Kegunaan:
Tempat cakaran macan tanda teritorial, daun pakan ternak, kayu konstruksi,
kerajinan, pulp, arang. Tanaman ini banyak digunakan sebagai tanaman hias dan
obat.
Perbanyakan: biji
Bischofia javanica Blume(Phyllanthaceae)
52 53
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Arenga saccharifera
Nama lokal: aren, kawung (Sunda), irang (Jawa), bak juk (Aceh)
Pertelaan:
Pohon tingginya mencapai 10-20 m dengan diameter 30-65 cm. Batangnya
diselubungi dengan serabut hitam (ijuk). Daun majemuk dengan panjang 6-12 m,
panjang tangkai daun 1-2,5 m. Bunga majemuk bertandan dengan banyak malai.
Buah kuning kecoklatan ketika matang dengan 1-3 biji berwarna hitam.
Distribusi: Asia Tenggara sampai kepulauan Ryukyu di Jepang dan menyebar ke
Vietnam hingga Himalaya Bagian Timur.
Habitat:
Tumbuh liar di lereng-lereng atau tebing sungai sampai ketinggian 2.000 m dpl
Kegunaan:
Bagian tengah batang (empulur) menghasilkan sagu halus, batangnya sebagai bahan
ukiran, kulit batangnya mengandung bahan tonikum. Akar mudanya untuk obat batu
ginjal dan sakit gigi. Daun muda/ janur bisa dijadikan bahan rokok (rokok daun
kawung). Niranya sebagai bahan baku gula aren, buah mudanya dikenal dengan
kolang kaling. Ijuknya banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan pelapis
dinding yang kedap air. Aren juga merupakan pakan satwa, habitat satwa (musang,
luwak dan babi)
Perbanyakan: biji.
Arenga pinnata (Wurmb) Merr.( Arecaceae)
Sinonim :
Bischofia cummingiana Decne, Bischofia oblongifolia Decne, Bischofia roperiana
Decne, Bischofia toui Decne, Bischofia trifoliata Hook, Microelus roeperianus Wight
& Arn., Stylodiscus trifoliastus Benn.
Nama lokal: gintungan
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 12-18 m, dengan diameter batang 95-150 cm. Daun berseling
dengan 3 anak daun yang panjangnya 15-20 cm. Bunga kecil kuning kehijauan,
bunga jantan dan betina terpisah pada pohon yang berbeda. Buah berdaging coklat
kemerahan atau biru kehitaman dengan diameter 9 mm. Biji coklat dengan diameter
5 mm.
Distribusi: Indonesia, Semenanjung Malaya, New Guinea, China, India, Jepang.
Habitat: Tahan kekeringan; ditemukan pada ketinggian 900-1.800 m dpl.
Kegunaan:
Tempat cakaran macan tanda teritorial, daun pakan ternak, kayu konstruksi,
kerajinan, pulp, arang. Tanaman ini banyak digunakan sebagai tanaman hias dan
obat.
Perbanyakan: biji
Bischofia javanica Blume(Phyllanthaceae)
54 55
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Calophyllum kiong Lauterb. & K.Schum.,
Nama lokal: bintangur, sulatri
Pertelaan:
Pohon yang tingginya sampai 30 m, dengan diameter batang 70 cm, bundar lurus
tanpa banir. Daun tunggal oval sampai lonjong dengan getah putih. Bunga majemuk
dengan bunga jantan dan betina. Buahnya berdiameter 2 cm.
Distribusi: India, Sri Lanka sampai kepulauan Solomon
Habitat:
Ditemukan pada tanah miskin miskin berpasir dan tanah ultrabasic, tetapi juga pada
batu kapur. Di hutan sekunder biasanya hadir sebagai pohon sida-sisa
Kegunaan: Kayu konstruksi, pohon obat, biofuel.
Perbanyakan: biji.
pragangguan
pada ketinggian 700 m dpl. Di hutan dataran ditemukan sampai dengan ketinggian
300 m dpl.
Calophyllum soulattri Burm. F(Calophyllaceae)
Sinonim: Uvaria odorata Lam. Fitzgeraldia mitrastigma F.Muell.
Nama lokal: kenanga
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 10-40 m dan dengan diameter batang 1 m, halus berwarna
putih kelabu. Daun tunggal berseling berbentuk jorong (elips) atau membulat,
permukaan daun hijau tua mengkilat. Bunga majemuk payung (umbellate) dengan 4-
12 bunga, harum berwarna kuning kehijauan. Buah berwarna hijau kehitaman. Biji
coklat.
Distribusi: Indonesia dan Malaysia
Habitat:
Ditemukan di hutan tropis, memerlukan cahaya penuh atau sebagian, menyukai
tanah masam, hidup di dataran rendah sampai ketinggian 1.200 m dpl.
Kegunaan: Kayu akustik, minyak kenanga, dan tanaman hias.
Perbanyakan: biji dan stek.
Cananga odorata (Lam.) Hook.f. & Thomson(Annonaceae)
54 55
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Calophyllum kiong Lauterb. & K.Schum.,
Nama lokal: bintangur, sulatri
Pertelaan:
Pohon yang tingginya sampai 30 m, dengan diameter batang 70 cm, bundar lurus
tanpa banir. Daun tunggal oval sampai lonjong dengan getah putih. Bunga majemuk
dengan bunga jantan dan betina. Buahnya berdiameter 2 cm.
Distribusi: India, Sri Lanka sampai kepulauan Solomon
Habitat:
Ditemukan pada tanah miskin miskin berpasir dan tanah ultrabasic, tetapi juga pada
batu kapur. Di hutan sekunder biasanya hadir sebagai pohon sida-sisa
Kegunaan: Kayu konstruksi, pohon obat, biofuel.
Perbanyakan: biji.
pragangguan
pada ketinggian 700 m dpl. Di hutan dataran ditemukan sampai dengan ketinggian
300 m dpl.
Calophyllum soulattri Burm. F(Calophyllaceae)
Sinonim: Uvaria odorata Lam. Fitzgeraldia mitrastigma F.Muell.
Nama lokal: kenanga
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 10-40 m dan dengan diameter batang 1 m, halus berwarna
putih kelabu. Daun tunggal berseling berbentuk jorong (elips) atau membulat,
permukaan daun hijau tua mengkilat. Bunga majemuk payung (umbellate) dengan 4-
12 bunga, harum berwarna kuning kehijauan. Buah berwarna hijau kehitaman. Biji
coklat.
Distribusi: Indonesia dan Malaysia
Habitat:
Ditemukan di hutan tropis, memerlukan cahaya penuh atau sebagian, menyukai
tanah masam, hidup di dataran rendah sampai ketinggian 1.200 m dpl.
Kegunaan: Kayu akustik, minyak kenanga, dan tanaman hias.
Perbanyakan: biji dan stek.
Cananga odorata (Lam.) Hook.f. & Thomson(Annonaceae)
56 57
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Fagus argentea Blume , Castanea argentea (Blume) Blume
Nama lokal: berangan, ki hiur, sarangan, saninten, wrakas
Pertelaan:
Pohon yang tingginya mencapai 35 m dan dengan diameter batang 80-100 m.
Batang bercabang tanpa banir. Daun berwarna hijau-perak. Bunga majemuk dengan
anak bunga berbentuk lonceng. Buah capsul berdiameter 3-4 cm, berambut dan
berduri.
Distribusi: Jawa, Sumatera, New Guinea, Myanmar dan Malaysia
Habitat:
Hutan primer dan sekunder, tumbuh baik di ketinggian 200-1.600 m dpl.
Kegunaan: Kayu bangunan, lantai, papan, jembatan, bak kayu, rangka pintu dan
jendela, genting; biji sebagai bahan makanan dengan cara direbus atau dibakar.
Pohon sebagai habitat burung dan mamalia, untuk mencari pakan, beristirahat,
dan bersarang.
Perbanyakan: biji
Castanopsis argentea (Blume) A.DC.(Clusiaceae)
Cinnamomum iners Reinw. ex Blume(Lauraceae)
Sinonim:
Cinnamomum eucalyptoides T. Nees, Cinnamomum nitidum Blume, Cinnamomum
paraneuron Miq.
Nama lokal:
kayumanis alam, medangteja, sintok, huru gading, ki teja, ki amis
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 20-35 m dan dengan diameter batang 50-80 cm. Daun
berhadapan, berbentuk elips hingga lonjong, teksturnya seperti kulit dengan 3 tulang
daun. Bunga berwarna putih ukuran 5-7 mm. Buah lonjong berukuran 1-1.5 cm.
Distribusi: India dan Wilayah Malesiana
Habitat:
Hutan tropis, tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 2000 m dpl. Ditemukan
juga di hutan campuran conifer dan hutan sekunder.
Kegunaan:
Kayunya untuk bahan konstruksi, kulit dan daun sebagai bahan rempah dan obat.
Perbanyakan: biji
56 57
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Fagus argentea Blume , Castanea argentea (Blume) Blume
Nama lokal: berangan, ki hiur, sarangan, saninten, wrakas
Pertelaan:
Pohon yang tingginya mencapai 35 m dan dengan diameter batang 80-100 m.
Batang bercabang tanpa banir. Daun berwarna hijau-perak. Bunga majemuk dengan
anak bunga berbentuk lonceng. Buah capsul berdiameter 3-4 cm, berambut dan
berduri.
Distribusi: Jawa, Sumatera, New Guinea, Myanmar dan Malaysia
Habitat:
Hutan primer dan sekunder, tumbuh baik di ketinggian 200-1.600 m dpl.
Kegunaan: Kayu bangunan, lantai, papan, jembatan, bak kayu, rangka pintu dan
jendela, genting; biji sebagai bahan makanan dengan cara direbus atau dibakar.
Pohon sebagai habitat burung dan mamalia, untuk mencari pakan, beristirahat,
dan bersarang.
Perbanyakan: biji
Castanopsis argentea (Blume) A.DC.(Clusiaceae)
Cinnamomum iners Reinw. ex Blume(Lauraceae)
Sinonim:
Cinnamomum eucalyptoides T. Nees, Cinnamomum nitidum Blume, Cinnamomum
paraneuron Miq.
Nama lokal:
kayumanis alam, medangteja, sintok, huru gading, ki teja, ki amis
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 20-35 m dan dengan diameter batang 50-80 cm. Daun
berhadapan, berbentuk elips hingga lonjong, teksturnya seperti kulit dengan 3 tulang
daun. Bunga berwarna putih ukuran 5-7 mm. Buah lonjong berukuran 1-1.5 cm.
Distribusi: India dan Wilayah Malesiana
Habitat:
Hutan tropis, tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 2000 m dpl. Ditemukan
juga di hutan campuran conifer dan hutan sekunder.
Kegunaan:
Kayunya untuk bahan konstruksi, kulit dan daun sebagai bahan rempah dan obat.
Perbanyakan: biji
58 59
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Nama lokal: mampat dadu, marong
Pertelaan:
Pohon yang tingginya dapat mencapai 45 m dengan diameter batang 90 cm memiliki
getah kuning. Daun tunggal, berhadapan, berbentuk jorong (elips), membundar telur
(ovate) atau membundar telur sungsang (obovate). Bunga majemuk terdiri dari 1-6
bunga terbatas (cymes). Bunga berwarna merah muda hingga ungu dengan diameter
1.5 cm. Biji berukuran 1.5 cm berwarna coklat, pipih dan bersayap.
Distribusi:
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Myanmar, Cina, Kamboja, Thailand,
Semenanjung Malaya dan Filipina.
Habitat:
Tumbuh di hutan primer dan sekunder. Ditemukan juga di daerah savana, mangrove,
lembah, sepanjang aliran sungai dan rawa-rawa hingga ketinggian tempat 1.200 m
dpl.
Cratoxylum formosum (Jacq.) Benth. & Hook.f.ex Dyer(Hypericaceae)
Kegunaan:
Sebagai tanaman hias, kayunya digunakan
sebagai bahan bangunan, buahnya dapat
dikonsumsi.
Perbanyakan: biji
Sinonim:
Croton budopensis Gagnep. Croton maieuticus Gagnep., Croton tawaoensis
Croizat
Nama lokal: parengpeng, tapen kebo
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 15-20 m dan dengan diameter batang 30-50 cm, terkadang
tinggi 27 m dengan diameter batang 170 cm. Bunga majemuk putih.
Distribusi:
Indonesia, Cina, Jepang, Vietnam, Myanmar, Laos, Thailand, Semenanjung
Malaya dan Filipina.
Habitat:
Dapat hidup di lereng bukit, tanah liat berpasir sampai ketinggian 1.500 m dpl.
Kegunaan:
Sebagai tanaman peneduh dan pelindung karena dapat menyerap dan menjerap
(intersepsi) debu dan unsur pencemar udara
Perbanyakan: biji
Croton argyratus Blume(Euphorbiaceae)
58 59
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Nama lokal: mampat dadu, marong
Pertelaan:
Pohon yang tingginya dapat mencapai 45 m dengan diameter batang 90 cm memiliki
getah kuning. Daun tunggal, berhadapan, berbentuk jorong (elips), membundar telur
(ovate) atau membundar telur sungsang (obovate). Bunga majemuk terdiri dari 1-6
bunga terbatas (cymes). Bunga berwarna merah muda hingga ungu dengan diameter
1.5 cm. Biji berukuran 1.5 cm berwarna coklat, pipih dan bersayap.
Distribusi:
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Myanmar, Cina, Kamboja, Thailand,
Semenanjung Malaya dan Filipina.
Habitat:
Tumbuh di hutan primer dan sekunder. Ditemukan juga di daerah savana, mangrove,
lembah, sepanjang aliran sungai dan rawa-rawa hingga ketinggian tempat 1.200 m
dpl.
Cratoxylum formosum (Jacq.) Benth. & Hook.f.ex Dyer(Hypericaceae)
Kegunaan:
Sebagai tanaman hias, kayunya digunakan
sebagai bahan bangunan, buahnya dapat
dikonsumsi.
Perbanyakan: biji
Sinonim:
Croton budopensis Gagnep. Croton maieuticus Gagnep., Croton tawaoensis
Croizat
Nama lokal: parengpeng, tapen kebo
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 15-20 m dan dengan diameter batang 30-50 cm, terkadang
tinggi 27 m dengan diameter batang 170 cm. Bunga majemuk putih.
Distribusi:
Indonesia, Cina, Jepang, Vietnam, Myanmar, Laos, Thailand, Semenanjung
Malaya dan Filipina.
Habitat:
Dapat hidup di lereng bukit, tanah liat berpasir sampai ketinggian 1.500 m dpl.
Kegunaan:
Sebagai tanaman peneduh dan pelindung karena dapat menyerap dan menjerap
(intersepsi) debu dan unsur pencemar udara
Perbanyakan: biji
Croton argyratus Blume(Euphorbiaceae)
60 61
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim:
Alliaria Kuntze, Cambania Comm. ex M.Roem., Didymocheton Blume, Dysoxylon
(orth. var.), Epicharis Blume, Goniocheton Blume, Hartighsea A.Juss., Macrocheton
(Blume) M.Roem. , Macrochiton M.Roem. (orth. var.)
Nama lokal:
kedoya, kapinango, maranginan, pingku (sunda), kraminan, cempaga, cepaga
(Jawa), ampeuluh, kheuruh (Minahasa), majegau (Bali)
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 30-40 m, dengan diameter batang 100-120 cm.
Kayunya halus berwarna coklat-kuning muda hingga merah muda atau coklat-merah
muda mengkilat. Daun berseling. Bunga berwarna kuning-putih dengan diameter 1
cm, harum, berupa bunga majemuk tandan (racemes) di cabang-cabangnya.
Buah berbentuk kapsul berwarna hijau-kelabu atau hijau kekuningan, berambut.
Biji berwarna merah terang.
Distribusi: Myanmar, Thailand dan Wilayah Malesiana.
Habitat:
Hutan campuran dipterocarp dan hutan sub-montane dataran rendah sampai
ketinggian 1.700 m dpl
Kegunaan:
Kayunya digunakan sebagai tiang utama bangunan suci (pura) di Bali, Kayunya yang
berat, padat dan halus baik digunakan sebagai bahan ukiran. Banyak juga digunakan
untuk membuat kapal, roda pedati dan jembatan. Tanaman ini bisa digunakan
sebagai bahan pestisida.
Perbanyakan: biji.
Dysoxylum densiflorum (Bl.) Miq.(Meliaceae)
Nama lokal: kalipapa, lipapa, sowo, mersawa, kukrup, ki hujan
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi 35-36 m. Daun majemuk pinnate dengan warna kehitaman.
Anak daun berjumlah 4-14 berbentuk elips, elips-lanceolate atau elips-ovate dengan
ujung runcing. Buah berukuran 3-6 mm bersayap.
Distribusi:
India, Cina Selatan, Myanmar, Indochina, Thailand, Semenanjung Malaya, Indonesia
(Jawa) dan Filipina.
Habitat: Hutan primer dan pegunungan dengan ketinggian 1.200-2.500 m dpl.
Kegunaan:
Sebagai bahan kerajinan, buahnya makanan lutung. Sebagai habitat lutung
Perbanyakan: biji
Engelhardia spicata Lechen ex Blume(Juglandaceae)
60 61
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim:
Alliaria Kuntze, Cambania Comm. ex M.Roem., Didymocheton Blume, Dysoxylon
(orth. var.), Epicharis Blume, Goniocheton Blume, Hartighsea A.Juss., Macrocheton
(Blume) M.Roem. , Macrochiton M.Roem. (orth. var.)
Nama lokal:
kedoya, kapinango, maranginan, pingku (sunda), kraminan, cempaga, cepaga
(Jawa), ampeuluh, kheuruh (Minahasa), majegau (Bali)
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 30-40 m, dengan diameter batang 100-120 cm.
Kayunya halus berwarna coklat-kuning muda hingga merah muda atau coklat-merah
muda mengkilat. Daun berseling. Bunga berwarna kuning-putih dengan diameter 1
cm, harum, berupa bunga majemuk tandan (racemes) di cabang-cabangnya.
Buah berbentuk kapsul berwarna hijau-kelabu atau hijau kekuningan, berambut.
Biji berwarna merah terang.
Distribusi: Myanmar, Thailand dan Wilayah Malesiana.
Habitat:
Hutan campuran dipterocarp dan hutan sub-montane dataran rendah sampai
ketinggian 1.700 m dpl
Kegunaan:
Kayunya digunakan sebagai tiang utama bangunan suci (pura) di Bali, Kayunya yang
berat, padat dan halus baik digunakan sebagai bahan ukiran. Banyak juga digunakan
untuk membuat kapal, roda pedati dan jembatan. Tanaman ini bisa digunakan
sebagai bahan pestisida.
Perbanyakan: biji.
Dysoxylum densiflorum (Bl.) Miq.(Meliaceae)
Nama lokal: kalipapa, lipapa, sowo, mersawa, kukrup, ki hujan
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi 35-36 m. Daun majemuk pinnate dengan warna kehitaman.
Anak daun berjumlah 4-14 berbentuk elips, elips-lanceolate atau elips-ovate dengan
ujung runcing. Buah berukuran 3-6 mm bersayap.
Distribusi:
India, Cina Selatan, Myanmar, Indochina, Thailand, Semenanjung Malaya, Indonesia
(Jawa) dan Filipina.
Habitat: Hutan primer dan pegunungan dengan ketinggian 1.200-2.500 m dpl.
Kegunaan:
Sebagai bahan kerajinan, buahnya makanan lutung. Sebagai habitat lutung
Perbanyakan: biji
Engelhardia spicata Lechen ex Blume(Juglandaceae)
62 63
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim:
Erythrina glauca Willd., Erythrina ovalifolia Roxb., Erythrina atrosanguinea Ridley,
E. ovatifolia Roxb.
Nama lokal: dadap cangkring
Pertelaan:
Pohon berukuran sedang dengan mahkota membundar. Batang pendek, berduri,
kadang-kadang berbanir sampai 2 m; pepagan abu-abu kecoklatan atau coklat
kehijauan. Dahan menyebar, berduri. Ranting tidak berduri. Daun berseling, berdaun
3; pinak daun membundar telur sampai menjorong, Perbungaan tandan, di terminal
dengan bunga merah bata muda atau salmon (jarang putih). Buah polong. Biji
menjorong-melonjong, coklat tua atau hitam.
Distribusi:
Asia tropis, Kepulauan Pasifik, Amerika Tengah, Afrika, Karibia dan Amerika Selatan
tropis.
Habitat:
Tumbuh di tepi pantai, toleran rendaman air dan kadar garam. Ditemukan pula di
daerah tropis sampai 700 m dpl. menyukai daerah litoral dengan tanah berdrainase
tidak bagus seperti rawa-rawa dan aliran tepi sungai dan rawa-rawa sungai di dataran
tinggi.
Kegunaan:
Bunga dan daun mudanya dapat dikonsumsi, tanaman hias dan tanaman obat. Jenis
ini merupakan tumbuhan pionir setelah letusan gunung berapi Krakatau. Tumbuhan
ini merupakan habitat satwa, yaitu tempat tidur primata.
Perbanyakan: biji dan stek
Erythrina fusca Lour.(Leguminosae)
Synonim : Erythrina variegate LINN.
Nama lokal: deris, blendung (Sunda) dadap ayam, dadap Laut (Jawa)
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 15-20 m dan diameter batang 40-50 cm,
Distribusi: Afrika Timur, India, Asia Tenggara, Pasifik, Australia
Habitat:
Tumbuh terutama di tanah pasir lembab, terbuka. Di Jawa tumbuhan ini ditemukan di
dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian tempat sampai 2.100 m dpl.
Termasuk jenis cepat tumbuh.
Kegunaan:
Pohon ini bisa digunakan sebagai penahan Erosi, kayunya sebagai bahan pembuat
peti kemas. Rebusan daunnya bisa meningkatkan ASI serta melancarkan haid.
Tumbuhan ini juga sebagai habitat tempat tidur monyet.
Perbanyakan: biji dan stek.
Erythrina orientalis (L.) Merr.(Leguminosae)
62 63
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim:
Erythrina glauca Willd., Erythrina ovalifolia Roxb., Erythrina atrosanguinea Ridley,
E. ovatifolia Roxb.
Nama lokal: dadap cangkring
Pertelaan:
Pohon berukuran sedang dengan mahkota membundar. Batang pendek, berduri,
kadang-kadang berbanir sampai 2 m; pepagan abu-abu kecoklatan atau coklat
kehijauan. Dahan menyebar, berduri. Ranting tidak berduri. Daun berseling, berdaun
3; pinak daun membundar telur sampai menjorong, Perbungaan tandan, di terminal
dengan bunga merah bata muda atau salmon (jarang putih). Buah polong. Biji
menjorong-melonjong, coklat tua atau hitam.
Distribusi:
Asia tropis, Kepulauan Pasifik, Amerika Tengah, Afrika, Karibia dan Amerika Selatan
tropis.
Habitat:
Tumbuh di tepi pantai, toleran rendaman air dan kadar garam. Ditemukan pula di
daerah tropis sampai 700 m dpl. menyukai daerah litoral dengan tanah berdrainase
tidak bagus seperti rawa-rawa dan aliran tepi sungai dan rawa-rawa sungai di dataran
tinggi.
Kegunaan:
Bunga dan daun mudanya dapat dikonsumsi, tanaman hias dan tanaman obat. Jenis
ini merupakan tumbuhan pionir setelah letusan gunung berapi Krakatau. Tumbuhan
ini merupakan habitat satwa, yaitu tempat tidur primata.
Perbanyakan: biji dan stek
Erythrina fusca Lour.(Leguminosae)
Synonim : Erythrina variegate LINN.
Nama lokal: deris, blendung (Sunda) dadap ayam, dadap Laut (Jawa)
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 15-20 m dan diameter batang 40-50 cm,
Distribusi: Afrika Timur, India, Asia Tenggara, Pasifik, Australia
Habitat:
Tumbuh terutama di tanah pasir lembab, terbuka. Di Jawa tumbuhan ini ditemukan di
dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian tempat sampai 2.100 m dpl.
Termasuk jenis cepat tumbuh.
Kegunaan:
Pohon ini bisa digunakan sebagai penahan Erosi, kayunya sebagai bahan pembuat
peti kemas. Rebusan daunnya bisa meningkatkan ASI serta melancarkan haid.
Tumbuhan ini juga sebagai habitat tempat tidur monyet.
Perbanyakan: biji dan stek.
Erythrina orientalis (L.) Merr.(Leguminosae)
64 65
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Erythrina subumbrans (Hassk.) Merr.(Leguminosae)
Synonim: Erythrina lithosperma Miq. non Bl
Nama lokal:
dadap rangrang, dadap lenga, dadap minyak. dadap lesang, dadap dadap limit
(Sunda), dadap lisah, dadap lenga, dadap srep (Jawa)
Pertelaan:
Pohon yang menggugurkan daunnya (deciduous) dengan tinggi dapat mencapai 35
m. Daun berseling dengan 3 (tiga) anak daun. Bunga majemuk tandan (racemes),
anak bunga banyak. Biji hitam
Distribusi: India, Sri Lanka sampai Asia Tenggara, Fiji, Samoa.
Habitat: Tempat tumbuh hutan campuran, kebun, semak. Hidup di ketinggian
2.200 m dpl
Kegunaan:
Akarnya mengandung bintil nitrogen, tanaman ini dapat meningkatkan produksi
teh jika ditanam di kebun teh. Kayunya sebagai bahan peti kemas, tunas dan daun
mudanya sebagai obat wanita melahirkan. Tanaman ini juga sebagai
habitat tempat tidur monyet
Perbanyakan: biji dan stek.
Sinonim:
Ficus balabacensis Quisumb., Ficus flavescens Blume, Ficus valida Blume,
Urostigma annulatum (Blume) Miq., Urostigma biverrucellum Miq., Urostigma
conocarpum Miq., Urostigma depressum Miq., Urostigma flavescens (Blume) Miq.,
Urostigma validum (Blume) Miq.
Nama lokal:
kiyara koneng (Sunda), benda oyod, karet bulu, grasak,yuyang, panggang,
wiyuyang (Jawa).
Pertelaan:
Tumbuhan epifit raksasa. Kulit batang berwarna coklat, kasar dan bergetah. Daun
tunggal, lonjong (panjang 12-25 cm dan lebar 5-10 cm ), berwarna hijau di bagian
atas dan keputihan di bagian bawah, ujung dan pangkalnya meruncing. Berbunga
majemuk berbentuk malai, menempel di batang, mahkota berwarna kuning. Buah
buni, berwarna hijau, sebesar 2-4 cm dan bijinya berwarna coklat.
Distribusi:
Asia Tenggara (Indo China, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan
dan Sulawesi).
Ficus annulata Blume(Moraceae)
Habitat:
Hutan tropis. Di daerah Gunung Merapi
ditemukan hingga ketinggian < 1.500 m
dpl
Kegunaan:
Kayunya sebagai bahan bangunan
sedangkan kulit kayunya bisa dibuat
tambang. Daun mentahnya bisa
dikonsumsi sebagai lalapan, buahnya
merupakan pakan burung dan monyet.
64 65
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Erythrina subumbrans (Hassk.) Merr.(Leguminosae)
Synonim: Erythrina lithosperma Miq. non Bl
Nama lokal:
dadap rangrang, dadap lenga, dadap minyak. dadap lesang, dadap dadap limit
(Sunda), dadap lisah, dadap lenga, dadap srep (Jawa)
Pertelaan:
Pohon yang menggugurkan daunnya (deciduous) dengan tinggi dapat mencapai 35
m. Daun berseling dengan 3 (tiga) anak daun. Bunga majemuk tandan (racemes),
anak bunga banyak. Biji hitam
Distribusi: India, Sri Lanka sampai Asia Tenggara, Fiji, Samoa.
Habitat: Tempat tumbuh hutan campuran, kebun, semak. Hidup di ketinggian
2.200 m dpl
Kegunaan:
Akarnya mengandung bintil nitrogen, tanaman ini dapat meningkatkan produksi
teh jika ditanam di kebun teh. Kayunya sebagai bahan peti kemas, tunas dan daun
mudanya sebagai obat wanita melahirkan. Tanaman ini juga sebagai
habitat tempat tidur monyet
Perbanyakan: biji dan stek.
Sinonim:
Ficus balabacensis Quisumb., Ficus flavescens Blume, Ficus valida Blume,
Urostigma annulatum (Blume) Miq., Urostigma biverrucellum Miq., Urostigma
conocarpum Miq., Urostigma depressum Miq., Urostigma flavescens (Blume) Miq.,
Urostigma validum (Blume) Miq.
Nama lokal:
kiyara koneng (Sunda), benda oyod, karet bulu, grasak,yuyang, panggang,
wiyuyang (Jawa).
Pertelaan:
Tumbuhan epifit raksasa. Kulit batang berwarna coklat, kasar dan bergetah. Daun
tunggal, lonjong (panjang 12-25 cm dan lebar 5-10 cm ), berwarna hijau di bagian
atas dan keputihan di bagian bawah, ujung dan pangkalnya meruncing. Berbunga
majemuk berbentuk malai, menempel di batang, mahkota berwarna kuning. Buah
buni, berwarna hijau, sebesar 2-4 cm dan bijinya berwarna coklat.
Distribusi:
Asia Tenggara (Indo China, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan
dan Sulawesi).
Ficus annulata Blume(Moraceae)
Habitat:
Hutan tropis. Di daerah Gunung Merapi
ditemukan hingga ketinggian < 1.500 m
dpl
Kegunaan:
Kayunya sebagai bahan bangunan
sedangkan kulit kayunya bisa dibuat
tambang. Daun mentahnya bisa
dikonsumsi sebagai lalapan, buahnya
merupakan pakan burung dan monyet.
66 67
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim:
Ficus comosa Roxb., Ficus cuspidatocaudata Hayata, Ficus haematocarpa Blume ex
Decne . , F icus luc ida Aiton, F icus neglecta Blume ex Decne.
Ficus nepalensis Blanco, Ficus nitida Thunb., Ficus nuda (Miq.) Miq., Ficus papyrifera
Griff., Ficus parvifolia Oken, Ficus pendula Link, Ficus pyrifolia Salisb., Ficus reclinata
Desf., Ficus striata Roth, Ficus umbrina Elmer, Ficus xavieri Merr., Urostigma
benjaminum (L.) Miq., Urostigma nudum Miq. Ficus retusa L.
Nama lokal: beringin, ipik
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 35 m. Akar udara banyak menggantung dari batang
utamanya. Kulit batang berwarna coklat terang hingga kelabu bahkan kehitaman.
Daun dalam rangkaian berbentuk spiral berbentuk elips atau membulat. Buah tunggal
atau berpasangan.
Distribusi:
Sumatera, Jawa, Bali, India, Myanmar, Thailand, Cina Selatan, Semenanjung Malaya
dan Kepulauan Solomon.
Ficus benjamina L(Moraceae)
Habitat:
Hutan tropis sampai ketinggian 1.300 dpl.
Kegunaan:
Sebagai tanaman peneduh dan baik untuk
konservasi air. Buah dan daun sebagai
pakan satwa, pohonnya merupakan
habitat berbagai jenis satwa seperti
burung dan primata.
Perbanyakan: biji
Sinonim:
Covellia subopposita Miq., Covellia tuberculata Miq., Ficus condensa King, Ficus
curranii Merr., Ficus fistulosa var. angustifolia Miq., Ficus grandidens Merr., Ficus
harlandii Benth., Ficus lucbanensis Elmer, Ficus millingtonifolia Griff., Ficus
polysyce Ridl., Ficus repandifolia Elmer, Ficus rubrovenia Merr., Ficus tengerensis
Miq., Ficus tuberculata (Miq.) Miq.
Nama lokal: wilodo, ara kujajing, ara batang kuning
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 20 m. Daun lonjong namun sering tidak simetris. Buah
menempel di batang utama atau cabang.
Distribusi:
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Kepulauan Nicobar, Thailand, Semenanjung Malaya
dan Filipina.
Habitat: Hutan dan sepanjang daerah aliran sungai hingga ketinggian 2.000 m dpl.
Kegunaan:
Buah dan daun pakan satwa; pohonnya merupakan habitat berbagai jenis satwa.
Getahnya dioles pada luka teriris benda tajam, sebagai obat 1-2 kali sehari sampai
mengering. Untuk obat cacingan, ara ditumbuk dan direbus. Buah ara dimakan
banyak satwa seperti burung, kelelawar, monyet, lutung. Daunnya dimakan
beberapa jenis serangga, terutama ulat. Karena peran pentingnya, jenis ara menjadi
spesies kunci di ekosistem hutan tropis
Perbanyakan: biji.
Ficus fistulosa Reinw. ex Blume(Moraceae)
66 67
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim:
Ficus comosa Roxb., Ficus cuspidatocaudata Hayata, Ficus haematocarpa Blume ex
Decne . , F icus luc ida Aiton, F icus neglecta Blume ex Decne.
Ficus nepalensis Blanco, Ficus nitida Thunb., Ficus nuda (Miq.) Miq., Ficus papyrifera
Griff., Ficus parvifolia Oken, Ficus pendula Link, Ficus pyrifolia Salisb., Ficus reclinata
Desf., Ficus striata Roth, Ficus umbrina Elmer, Ficus xavieri Merr., Urostigma
benjaminum (L.) Miq., Urostigma nudum Miq. Ficus retusa L.
Nama lokal: beringin, ipik
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 35 m. Akar udara banyak menggantung dari batang
utamanya. Kulit batang berwarna coklat terang hingga kelabu bahkan kehitaman.
Daun dalam rangkaian berbentuk spiral berbentuk elips atau membulat. Buah tunggal
atau berpasangan.
Distribusi:
Sumatera, Jawa, Bali, India, Myanmar, Thailand, Cina Selatan, Semenanjung Malaya
dan Kepulauan Solomon.
Ficus benjamina L(Moraceae)
Habitat:
Hutan tropis sampai ketinggian 1.300 dpl.
Kegunaan:
Sebagai tanaman peneduh dan baik untuk
konservasi air. Buah dan daun sebagai
pakan satwa, pohonnya merupakan
habitat berbagai jenis satwa seperti
burung dan primata.
Perbanyakan: biji
Sinonim:
Covellia subopposita Miq., Covellia tuberculata Miq., Ficus condensa King, Ficus
curranii Merr., Ficus fistulosa var. angustifolia Miq., Ficus grandidens Merr., Ficus
harlandii Benth., Ficus lucbanensis Elmer, Ficus millingtonifolia Griff., Ficus
polysyce Ridl., Ficus repandifolia Elmer, Ficus rubrovenia Merr., Ficus tengerensis
Miq., Ficus tuberculata (Miq.) Miq.
Nama lokal: wilodo, ara kujajing, ara batang kuning
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 20 m. Daun lonjong namun sering tidak simetris. Buah
menempel di batang utama atau cabang.
Distribusi:
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Kepulauan Nicobar, Thailand, Semenanjung Malaya
dan Filipina.
Habitat: Hutan dan sepanjang daerah aliran sungai hingga ketinggian 2.000 m dpl.
Kegunaan:
Buah dan daun pakan satwa; pohonnya merupakan habitat berbagai jenis satwa.
Getahnya dioles pada luka teriris benda tajam, sebagai obat 1-2 kali sehari sampai
mengering. Untuk obat cacingan, ara ditumbuk dan direbus. Buah ara dimakan
banyak satwa seperti burung, kelelawar, monyet, lutung. Daunnya dimakan
beberapa jenis serangga, terutama ulat. Karena peran pentingnya, jenis ara menjadi
spesies kunci di ekosistem hutan tropis
Perbanyakan: biji.
Ficus fistulosa Reinw. ex Blume(Moraceae)
68 69
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Ficus glomerata Roxb
Nama lokal: elo, lowa, karet kebo, bulu, bunut, gondang putih
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 40 m, berbanir. Daun dalam rangkaian melingkar
(spirally), berbentuk lonjong sampai lanset. Buah menempel di batang dalam cluster
hingga sepanjang 25 cm berwarna hijau sampai merah.
Distribusi:
Indonesia, Cina Selatan, Sri Lanka, Myanmar, Vietnam, Thailand, Semenanjung
Malaya, New Guinea dan Australia
Habitat:
Banyak ditemukan di daerah aliran sungai dan hutan dataran rendah hingga
pegunungan sampai ketinggian 2.500 m dpl.
Kegunaan:
Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, buahnya dapat dikonsumsi. Buah
tanaman ini juga biasa dimakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan
lutung. Pohonnya merupakan habitat berbagai jenis satwa termasuk lutung.
Perbanyakan: biji
Ficus racemosa L.(Moraceae)
Sinonim:
Ficus alba Reinw. ex Blume, Ficus bicolor Hook. ex Miq., Ficus chloroleuca Miq.,
Ficus gossypina Wall. ex Miq., Ficus gossypina forma integrifolia Miq.
Ficus gossypina forma lobata Miq., Ficus hunteri Miq., Ficus lobata Hunter ex Ridl.,
Ficus mappan Miq., Ficus nivea Blume, Ficus palmata Roxb.
Nama lokal: hamerang, ki ciat, sehang
Pertelaan:
Pohon kecil dengan tinggi dapat mencapai 10 m. Buahnya bulat, menempel pada
batang dan cabang, berwarna merah ketika masak. Buah merupakan suatu rongga
yang mengandungi bunga jantan dan betina. Sejenis serangga penyengat biasanya
masuk ke daalam buah membantu pembungaan, Daun berbentuk hati bergetah
dengan ukuran 20-35 x 10-25 cm. Buah bulat dengan diameter 1,2 cm berwarna
kuning jika matang kemudian berangsur-angsur menjadi coklat dan akhirnya merah
tua.
Distribusi: Wilayah Malesia Bagian barat, Semenanjung Malaya hingga Jawa
Habitat: Hutan pegunungan; 1.700 m dp. Hidup di daerah tropis. Tumbuh baik di
tempat terbuka tetapi tahan di tempat teduh. Di Merapi tumbuh sampai
ketinggian 1.700 m dpl.
Kegunaan:
Buah dimakan primata dan burung. Getahnya berwarna putih dan digunakan
untuk industri batik sebagai bahan pengawet kain batik
Perbanyakan: biji.
Ficus grossularioides Bum.f.(Moraceae)
68 69
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Ficus glomerata Roxb
Nama lokal: elo, lowa, karet kebo, bulu, bunut, gondang putih
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 40 m, berbanir. Daun dalam rangkaian melingkar
(spirally), berbentuk lonjong sampai lanset. Buah menempel di batang dalam cluster
hingga sepanjang 25 cm berwarna hijau sampai merah.
Distribusi:
Indonesia, Cina Selatan, Sri Lanka, Myanmar, Vietnam, Thailand, Semenanjung
Malaya, New Guinea dan Australia
Habitat:
Banyak ditemukan di daerah aliran sungai dan hutan dataran rendah hingga
pegunungan sampai ketinggian 2.500 m dpl.
Kegunaan:
Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, buahnya dapat dikonsumsi. Buah
tanaman ini juga biasa dimakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan
lutung. Pohonnya merupakan habitat berbagai jenis satwa termasuk lutung.
Perbanyakan: biji
Ficus racemosa L.(Moraceae)
Sinonim:
Ficus alba Reinw. ex Blume, Ficus bicolor Hook. ex Miq., Ficus chloroleuca Miq.,
Ficus gossypina Wall. ex Miq., Ficus gossypina forma integrifolia Miq.
Ficus gossypina forma lobata Miq., Ficus hunteri Miq., Ficus lobata Hunter ex Ridl.,
Ficus mappan Miq., Ficus nivea Blume, Ficus palmata Roxb.
Nama lokal: hamerang, ki ciat, sehang
Pertelaan:
Pohon kecil dengan tinggi dapat mencapai 10 m. Buahnya bulat, menempel pada
batang dan cabang, berwarna merah ketika masak. Buah merupakan suatu rongga
yang mengandungi bunga jantan dan betina. Sejenis serangga penyengat biasanya
masuk ke daalam buah membantu pembungaan, Daun berbentuk hati bergetah
dengan ukuran 20-35 x 10-25 cm. Buah bulat dengan diameter 1,2 cm berwarna
kuning jika matang kemudian berangsur-angsur menjadi coklat dan akhirnya merah
tua.
Distribusi: Wilayah Malesia Bagian barat, Semenanjung Malaya hingga Jawa
Habitat: Hutan pegunungan; 1.700 m dp. Hidup di daerah tropis. Tumbuh baik di
tempat terbuka tetapi tahan di tempat teduh. Di Merapi tumbuh sampai
ketinggian 1.700 m dpl.
Kegunaan:
Buah dimakan primata dan burung. Getahnya berwarna putih dan digunakan
untuk industri batik sebagai bahan pengawet kain batik
Perbanyakan: biji.
Ficus grossularioides Bum.f.(Moraceae)
70 71
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Ficus merrillii Elmer, Ficus serraria Miquel, Ficus staphylosyce Ridley.
Nama lokal: ara walen, preh, amis mata, kopeng
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 20 m. Daun lanset hingga lonjong. Buah menempel
di batang dalam rangkaian yang panjangnya bisa mencapai 1 m.
Distribusi:
Sumatera, Jawa, Sulawesi, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya, Filipina
dan New Guinea.
Habitat: Banyak ditemukan di hutan pegunungan hingga ketinggian 2.000 m dpl.
Kegunaan: Sebagai tanaman obat, buahnya dimakan satwa.
Perbanyakan: biji.
Ficus ribes Reinw ex. Blume(Moraceae)
Sinonim:
Ficus cordifolia, Ficus subracemosa, Ficus amboinensis, Ficus racemifera, Ficus
laevigata, Ficus subopaca, Ficus chlorocarpa, Ficus sycomoroides, Ficus
ilangoides, Ficus ehretioides, Ficus integrifolia, Ficus latsoni, Ficus paucinervia,
Ficus garciae, Ficus konishii, Ficus glochidiifolia, Ficus polysyce, Sycomorus
capensis, Sycomorus gummiflua, Urostigma javanicum
Nama lokal: gondang putih, ara merabiasa, ara kondang.
Pertelaan:
Pohon yang tinggi mencapai 40 m, berbanir. Daun dalam rangkaian spirally berbentuk
oval, elips sampai lonjong. Buah menempel di batang.
Distribusi:
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, India, Cina Selatan, Kepulauan Ryukyu,
Myanmar, Indochina, Thailand, Kepulauan Solomon dan Australia (Queensland).
Habitat: Hutan dataran rendah sampai pegunungan hingga ketinggian 1500 m dpl.
Kegunaan:
Jenis tanaman ini baik untuk konservasi tanah dan air. Kayunya sebagai bahan
bangunan, tanaman ini juga sebagai habitat lutung (buahnya dimakan lutung).
Perbanyakan: biji
Ficus variegata Bl.(Moraceae)
70 71
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Ficus merrillii Elmer, Ficus serraria Miquel, Ficus staphylosyce Ridley.
Nama lokal: ara walen, preh, amis mata, kopeng
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 20 m. Daun lanset hingga lonjong. Buah menempel
di batang dalam rangkaian yang panjangnya bisa mencapai 1 m.
Distribusi:
Sumatera, Jawa, Sulawesi, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya, Filipina
dan New Guinea.
Habitat: Banyak ditemukan di hutan pegunungan hingga ketinggian 2.000 m dpl.
Kegunaan: Sebagai tanaman obat, buahnya dimakan satwa.
Perbanyakan: biji.
Ficus ribes Reinw ex. Blume(Moraceae)
Sinonim:
Ficus cordifolia, Ficus subracemosa, Ficus amboinensis, Ficus racemifera, Ficus
laevigata, Ficus subopaca, Ficus chlorocarpa, Ficus sycomoroides, Ficus
ilangoides, Ficus ehretioides, Ficus integrifolia, Ficus latsoni, Ficus paucinervia,
Ficus garciae, Ficus konishii, Ficus glochidiifolia, Ficus polysyce, Sycomorus
capensis, Sycomorus gummiflua, Urostigma javanicum
Nama lokal: gondang putih, ara merabiasa, ara kondang.
Pertelaan:
Pohon yang tinggi mencapai 40 m, berbanir. Daun dalam rangkaian spirally berbentuk
oval, elips sampai lonjong. Buah menempel di batang.
Distribusi:
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, India, Cina Selatan, Kepulauan Ryukyu,
Myanmar, Indochina, Thailand, Kepulauan Solomon dan Australia (Queensland).
Habitat: Hutan dataran rendah sampai pegunungan hingga ketinggian 1500 m dpl.
Kegunaan:
Jenis tanaman ini baik untuk konservasi tanah dan air. Kayunya sebagai bahan
bangunan, tanaman ini juga sebagai habitat lutung (buahnya dimakan lutung).
Perbanyakan: biji
Ficus variegata Bl.(Moraceae)
72 73
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Flacourtia euphlebia Merr.
Nama lokal: rukem, jambon
Pertelaan:
Pohon sedang dengan tinggi mencapai 20 m. Batang dan cabangnya berduri dengan
panjang duri 10 cm. Daun berbentuk oval-lonjong atau elips-lonjong bahkan lanset,
teksturnya halus berwarna hijau tua mengkilap atau merah kecoklatan. Bunga kuning
kehijauan tanpa kelopak bunga. Buah buni (berry) berdiameter 2-2,5 cm berwarna
hijau muda sampai merah muda berdaging buah masam. Bijinya pipih berjumlah 4-7
per buah.
Distribusi:
Wilayah Malesiana, Maluku (jarang) , New Guinea.
Habitat:
Banyak ditemukan di hutan primer atau sekunder yang lembab. Sering juga tumbuh di
sepanjang aliran sungai hingga ketinggian 2.100 m dpl.
Kegunaan:
Sebagai tanaman obat dan buahnya biasa dikonsumsi serta pakan satwa. Kayunya
bisa digunakan untuk bahan perabot rumah tangga
Perbanyakan: biji
Flacourtia rukam Zoll.& Moritzi(Salicaceae)
Sinonim:
Antidesma filiforme Blume, Bennettia filiformis (Blume) Müll.Arg. Cremostachys
filiformis (Blume) Tul., Galearia pedicellata Zoll. & Moritzii, Galearia sessilis Zoll. &
Moritzi .
Nama lokal: jebukan, jebugan, galearia Sumatera, balung kaja.
Pertelaan:
Pohon kecil dengan tinggi mencapai 10 m. Batangnya kokoh namun halus tanpa
percabangan hingga 3m. Daun berbentuk oval sampai elips, permukaan bagian
atasnya pipih berambut, berwarna coklat kehijauan ketika masih muda namun
umumnya hijau terang. Bunga mejemuk di ujung (terminal) dengan panjang mencapai
52 cm berwarna hijau serta berambut. Buah pelok (drupe) kadang-kadang berambut.
Galearia filiformis (Blume) Boerl.(Pandaceae)
Distribusi: Sumatera dan Jawa
Habitat:
Ditemukan di hutan tropis, hutan
sekunder serta daerah riparian dengan
ketinggian tempat 600-2.200 m dpl.
Kegunaan:
P o h o n p e l i n d u n g . K a y u n y a
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan,
pucuknya dimakan satwa.
Perbanyakan: biji
72 73
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Flacourtia euphlebia Merr.
Nama lokal: rukem, jambon
Pertelaan:
Pohon sedang dengan tinggi mencapai 20 m. Batang dan cabangnya berduri dengan
panjang duri 10 cm. Daun berbentuk oval-lonjong atau elips-lonjong bahkan lanset,
teksturnya halus berwarna hijau tua mengkilap atau merah kecoklatan. Bunga kuning
kehijauan tanpa kelopak bunga. Buah buni (berry) berdiameter 2-2,5 cm berwarna
hijau muda sampai merah muda berdaging buah masam. Bijinya pipih berjumlah 4-7
per buah.
Distribusi:
Wilayah Malesiana, Maluku (jarang) , New Guinea.
Habitat:
Banyak ditemukan di hutan primer atau sekunder yang lembab. Sering juga tumbuh di
sepanjang aliran sungai hingga ketinggian 2.100 m dpl.
Kegunaan:
Sebagai tanaman obat dan buahnya biasa dikonsumsi serta pakan satwa. Kayunya
bisa digunakan untuk bahan perabot rumah tangga
Perbanyakan: biji
Flacourtia rukam Zoll.& Moritzi(Salicaceae)
Sinonim:
Antidesma filiforme Blume, Bennettia filiformis (Blume) Müll.Arg. Cremostachys
filiformis (Blume) Tul., Galearia pedicellata Zoll. & Moritzii, Galearia sessilis Zoll. &
Moritzi .
Nama lokal: jebukan, jebugan, galearia Sumatera, balung kaja.
Pertelaan:
Pohon kecil dengan tinggi mencapai 10 m. Batangnya kokoh namun halus tanpa
percabangan hingga 3m. Daun berbentuk oval sampai elips, permukaan bagian
atasnya pipih berambut, berwarna coklat kehijauan ketika masih muda namun
umumnya hijau terang. Bunga mejemuk di ujung (terminal) dengan panjang mencapai
52 cm berwarna hijau serta berambut. Buah pelok (drupe) kadang-kadang berambut.
Galearia filiformis (Blume) Boerl.(Pandaceae)
Distribusi: Sumatera dan Jawa
Habitat:
Ditemukan di hutan tropis, hutan
sekunder serta daerah riparian dengan
ketinggian tempat 600-2.200 m dpl.
Kegunaan:
P o h o n p e l i n d u n g . K a y u n y a
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan,
pucuknya dimakan satwa.
Perbanyakan: biji
74 75
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim:
B r ad l e i a r ub r a ( B l ume ) S t eud . , G l o ch i d i on co r ona t um Hook . f .
Glochidion diversifolium (Miq.) Merr., Glochidion leiostylum Kurz, Glochidion
penangense (Mull.Arg) Airy Shaw, Glochidion rubrum var. longistylus J.J.Sm.,
Glochidion thorelii Beille, Phyllanthus diversifolius Miq., Phyllanthus penangensis
Mull.Arg.
Nama lokal: dempul lelet, lamer (Jawa), ki pare, ki timbul, mareme (Sunda)
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 2-18 m dan dengan diameter batang 2-45 cm. Daun berbentuk
oblique-oblong-ovate) dengan ujung meruncing
panjang 4-12,5 cm lebar 2-4,5 cm dengan pangkal daun (petiole) 2-4 cm, daun kaku
tidak berambut. Buah menggantung 3-6 dengan diameter 8-15 mm. Daun tunggal,
berseling. Bunga berdiameter 4mm berwarna putih kekuningan. Buah panjangnya
sekitar 5 mm berwarna merah mudah, biji memiliki aril yang berwarna kuning.
Distribusi:
Jepang, Fujian, Taiwan, Indo China, China bagian selatan, India, Thailand, Myanmar,
Kamboja, Vietnam, Semenanjung Malaya, SIngapura, Sumatera, Jawa Borneo,
Philipina, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi dan Maluku (Pulau Tanimbar).
Habitat:
Hutan dataran rendah sampai pegunungan.
Kegunaan: Daunnya obat batuk, Buah dimakan satwa.
Perbanyakan: biji.
menyerong lonjong bundar telur (
Di kawasan Gunung Merapi ditemukan
pada ketinggian 1.500-2.400 m dpl, lebih menyukai tanah berpasir.
Glochidion rubrum Blume (Phyllanthaceae,)
Sinonim:
Glochidion brunneum J. D. Hooker, Glochidion canaranum (Müller Argoviensis)
Beddome, Glochidion glaberrimum Ridley, Glochidion hongkongense Müller
Argoviensis, Glochidion lanceolatum Hayata var. liukiuense (Hayata) Hurusawa;
Glochidion littorale Bentham, Glochidion liukiuense Hayata, Glochidion nitidum
(Roxburgh) Voigt, Glochidion obliquum (Willdenow) Decaisne, Glochidion
pedunculatum Merrill, Glochidion perakense J. D. Hooker, Glochidion subscandens
Zollinger & Moritzi, Glochidion sumatranum Miquel
Nama lokal:
dempul seilon, mareme (sunda), dempul, kinjeng, lamer, semut, cabuk (Jawa).
Pertelaan :
Pohon yang tingginya 12-15 m dengan diameter batang 20-40 cm. Daun berbentuk
lonjong (oblong) berukuran 6-8 x 4-8 cm tekstur seperti kulit. Berbunga majemuk
terbatas (cymes) dengan cabang-cabang yang kecil, bunga jantan di bagian bawah
sedangkan bunga betina di bagian atas; bunga berwarna hijau kekuningan, buah
berbentuk kapsul berukuran 8-10 x 5 mm terdiri dari 8-12 cuping (lobe), biji berwarna
merah.
Distribusi :
Sri Lanka, Indian Subcontinent, Asia Tenggara sampai Jepang dan Kepulauan
Solomon.
Glochidion zeylanicum (Gaertn.) A.Juss.(Phyllanthaceae)
Habitat:
Hutan sekunder daerah rendah pada ketinggian
100 - 900 m dpl.
Kegunaan:
Kayunya digunakan sebagai bahan bangunan,
kulit batangnya sebagai bahan pewarna kayu
anyaman atau jala. Buahnya dimakan satwa,
daunnya sebagai tanaman obat
Perbanyakan: biji dan cangkok.
74 75
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim:
B r ad l e i a r ub r a ( B l ume ) S t eud . , G l o ch i d i on co r ona t um Hook . f .
Glochidion diversifolium (Miq.) Merr., Glochidion leiostylum Kurz, Glochidion
penangense (Mull.Arg) Airy Shaw, Glochidion rubrum var. longistylus J.J.Sm.,
Glochidion thorelii Beille, Phyllanthus diversifolius Miq., Phyllanthus penangensis
Mull.Arg.
Nama lokal: dempul lelet, lamer (Jawa), ki pare, ki timbul, mareme (Sunda)
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 2-18 m dan dengan diameter batang 2-45 cm. Daun berbentuk
oblique-oblong-ovate) dengan ujung meruncing
panjang 4-12,5 cm lebar 2-4,5 cm dengan pangkal daun (petiole) 2-4 cm, daun kaku
tidak berambut. Buah menggantung 3-6 dengan diameter 8-15 mm. Daun tunggal,
berseling. Bunga berdiameter 4mm berwarna putih kekuningan. Buah panjangnya
sekitar 5 mm berwarna merah mudah, biji memiliki aril yang berwarna kuning.
Distribusi:
Jepang, Fujian, Taiwan, Indo China, China bagian selatan, India, Thailand, Myanmar,
Kamboja, Vietnam, Semenanjung Malaya, SIngapura, Sumatera, Jawa Borneo,
Philipina, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi dan Maluku (Pulau Tanimbar).
Habitat:
Hutan dataran rendah sampai pegunungan.
Kegunaan: Daunnya obat batuk, Buah dimakan satwa.
Perbanyakan: biji.
menyerong lonjong bundar telur (
Di kawasan Gunung Merapi ditemukan
pada ketinggian 1.500-2.400 m dpl, lebih menyukai tanah berpasir.
Glochidion rubrum Blume (Phyllanthaceae,)
Sinonim:
Glochidion brunneum J. D. Hooker, Glochidion canaranum (Müller Argoviensis)
Beddome, Glochidion glaberrimum Ridley, Glochidion hongkongense Müller
Argoviensis, Glochidion lanceolatum Hayata var. liukiuense (Hayata) Hurusawa;
Glochidion littorale Bentham, Glochidion liukiuense Hayata, Glochidion nitidum
(Roxburgh) Voigt, Glochidion obliquum (Willdenow) Decaisne, Glochidion
pedunculatum Merrill, Glochidion perakense J. D. Hooker, Glochidion subscandens
Zollinger & Moritzi, Glochidion sumatranum Miquel
Nama lokal:
dempul seilon, mareme (sunda), dempul, kinjeng, lamer, semut, cabuk (Jawa).
Pertelaan :
Pohon yang tingginya 12-15 m dengan diameter batang 20-40 cm. Daun berbentuk
lonjong (oblong) berukuran 6-8 x 4-8 cm tekstur seperti kulit. Berbunga majemuk
terbatas (cymes) dengan cabang-cabang yang kecil, bunga jantan di bagian bawah
sedangkan bunga betina di bagian atas; bunga berwarna hijau kekuningan, buah
berbentuk kapsul berukuran 8-10 x 5 mm terdiri dari 8-12 cuping (lobe), biji berwarna
merah.
Distribusi :
Sri Lanka, Indian Subcontinent, Asia Tenggara sampai Jepang dan Kepulauan
Solomon.
Glochidion zeylanicum (Gaertn.) A.Juss.(Phyllanthaceae)
Habitat:
Hutan sekunder daerah rendah pada ketinggian
100 - 900 m dpl.
Kegunaan:
Kayunya digunakan sebagai bahan bangunan,
kulit batangnya sebagai bahan pewarna kayu
anyaman atau jala. Buahnya dimakan satwa,
daunnya sebagai tanaman obat
Perbanyakan: biji dan cangkok.
76 77
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Helicia robusta (Roxb.) R.Br. ex Blume
Pohon yang tingginya mencapai 17 m dengan diameter batang 28 cm. Tanpa daun penumpu, daun tunggal berseling mengkilap. Bunga majemuk tandan (racemes), berdiameter sekitar 13 mm, berwarna putih kekuningan. Buah pelok (drupe) berwarna hijau ungu dengan diameter sekitar 34 mm.
Nama lokal: kendung
Pertelaan:
Distribusi: Jawa
Habitat: Hutan pegunungan, ditemukan pada 2.000 m dpl.
Kegunaan:
Pohon pelindung/ penghijauan, daun mudanya sebagai lalapan. Buah dimakan satwa
Perbanyakan: biji
Helicia javanica Bl.(Proteaceae)
Nama lokal: waru lanang, waru gunung, tisuk
Pertelaan:
Pohon yang tingginya mencapai 25 m dengan diameter batang 50 cm, kulit kayu
kelabu-putih. Daun bundar menjantung (orbicular cordate) dengan diameter 15-35
cm. Bunga berbentuk lonceng bermahkota kuning dan ungu di bagian tengahnya
dengan diameter bunga 6 cm. Buah kapsul (capsule) lonjong (oblong) sepanjang 2-
2,5 cm. Biji berukuran 3 mm.
Distribusi:
Sumatra, Jawa, Kalimantan, India, Bangladesh, Indochina, Thailand dan
Semenanjung Malaya.
Habitat: Hutan sekunder dengan ketinggian 800-1.700 m dpl.
Kegunaan:
Pohon pelindung/ penghijauan; kayunya untuk bahan bangunan atau perahu, roda
pedati, gagang perkakas, ukiran, serta kayu bakar.
Hibiscus macrophyllus Roxb. Ex Hornem(Malvaceae)
76 77
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Helicia robusta (Roxb.) R.Br. ex Blume
Pohon yang tingginya mencapai 17 m dengan diameter batang 28 cm. Tanpa daun penumpu, daun tunggal berseling mengkilap. Bunga majemuk tandan (racemes), berdiameter sekitar 13 mm, berwarna putih kekuningan. Buah pelok (drupe) berwarna hijau ungu dengan diameter sekitar 34 mm.
Nama lokal: kendung
Pertelaan:
Distribusi: Jawa
Habitat: Hutan pegunungan, ditemukan pada 2.000 m dpl.
Kegunaan:
Pohon pelindung/ penghijauan, daun mudanya sebagai lalapan. Buah dimakan satwa
Perbanyakan: biji
Helicia javanica Bl.(Proteaceae)
Nama lokal: waru lanang, waru gunung, tisuk
Pertelaan:
Pohon yang tingginya mencapai 25 m dengan diameter batang 50 cm, kulit kayu
kelabu-putih. Daun bundar menjantung (orbicular cordate) dengan diameter 15-35
cm. Bunga berbentuk lonceng bermahkota kuning dan ungu di bagian tengahnya
dengan diameter bunga 6 cm. Buah kapsul (capsule) lonjong (oblong) sepanjang 2-
2,5 cm. Biji berukuran 3 mm.
Distribusi:
Sumatra, Jawa, Kalimantan, India, Bangladesh, Indochina, Thailand dan
Semenanjung Malaya.
Habitat: Hutan sekunder dengan ketinggian 800-1.700 m dpl.
Kegunaan:
Pohon pelindung/ penghijauan; kayunya untuk bahan bangunan atau perahu, roda
pedati, gagang perkakas, ukiran, serta kayu bakar.
Hibiscus macrophyllus Roxb. Ex Hornem(Malvaceae)
78 79
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Hibiscus hastatus L.f. , Hibiscus similis Blume, Hibiscus celebicus Koord.
Nama lokal:
waru, waru gunung (Sunda), waru gombong, waruk Kopek, waru rangkang (Jawa).
Pertelaan:
Pohon bengkok yang tingginya 10-15 m dan dengan diameter batang 40-50 cm.
Kayunya ringan namun padat berwarna kelabu kecoklatan. Tajuknya rimbun,
kemampuan bertahannya tinggi karena toleran terhadap kondisi masin dan kering.
Distribusi: Asia Tenggara.
Habitat: Tumbuh liar, sering di sekitar sungai.
Kegunaan:
Pohon pelindung/ penghijauan; kayunya banyak digunakan sebagai gagang kapak/
perkakas serta ukiran.
Perbanyakan: biji dan stek
Sinonim:
Carumbium populneum (Geiseler) Mull.Arg., Carumbium populifolium Reinw. ex
Blume , Excoecaria laevis Blanco, Homalanthus leschenaultianus A.Juss.,
Homalanthus sulawesianus Airy Shaw, Stillingia populnea Geiseler
Pohon yang tingginya mencapai 12 m dengan diameter batang sekitar 12 cm. Daun
tunggal berseling mengkilap dengan permukaan bawah daun berwarna keputihan.
Bunga mejemuk tandan (racemes) berwarna kekuningan. Buah hijau dengan
diameter sekitar 5 mm. Biji memiliki salut biji (aril).
Nama lokal:
kareumbi, kareumbi badak (Sunda), jarak pati, karumbi, mruwu, tutup abang, tutup
sapi (Jawa)
Pertelaan:
Distribusi: Asia Tenggara, Australia.
Habitat:
Pada lahan sangat terganggu, terbuka tempat-tempat seperti semak-semak atau
pinggir jalan dengan ketinggian 100-3.000 m dpl. Mungkin pohon pionir setelah
kebakaran karena banyak tumbuh di bekas kebakaran .
Kegunaan:
Kayunya jelek tapi cocok untuk penghutanan kembali. Kulit batangnya bisa
digunakan untuk bahan cat hitam. Buah, akar dan daun dipakai sebagai bahan obat.
Daunnya sebagai pakan satwa.
Perbanyakan: biji
Hibiscus tiliaceus L(Malvaceae)
Homalanthus populneus (Geiseler) Pax(Euphorbiaceae)
http://w
ww
.bota
nic
kate
plic
e.c
z
78 79
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Hibiscus hastatus L.f. , Hibiscus similis Blume, Hibiscus celebicus Koord.
Nama lokal:
waru, waru gunung (Sunda), waru gombong, waruk Kopek, waru rangkang (Jawa).
Pertelaan:
Pohon bengkok yang tingginya 10-15 m dan dengan diameter batang 40-50 cm.
Kayunya ringan namun padat berwarna kelabu kecoklatan. Tajuknya rimbun,
kemampuan bertahannya tinggi karena toleran terhadap kondisi masin dan kering.
Distribusi: Asia Tenggara.
Habitat: Tumbuh liar, sering di sekitar sungai.
Kegunaan:
Pohon pelindung/ penghijauan; kayunya banyak digunakan sebagai gagang kapak/
perkakas serta ukiran.
Perbanyakan: biji dan stek
Sinonim:
Carumbium populneum (Geiseler) Mull.Arg., Carumbium populifolium Reinw. ex
Blume , Excoecaria laevis Blanco, Homalanthus leschenaultianus A.Juss.,
Homalanthus sulawesianus Airy Shaw, Stillingia populnea Geiseler
Pohon yang tingginya mencapai 12 m dengan diameter batang sekitar 12 cm. Daun
tunggal berseling mengkilap dengan permukaan bawah daun berwarna keputihan.
Bunga mejemuk tandan (racemes) berwarna kekuningan. Buah hijau dengan
diameter sekitar 5 mm. Biji memiliki salut biji (aril).
Nama lokal:
kareumbi, kareumbi badak (Sunda), jarak pati, karumbi, mruwu, tutup abang, tutup
sapi (Jawa)
Pertelaan:
Distribusi: Asia Tenggara, Australia.
Habitat:
Pada lahan sangat terganggu, terbuka tempat-tempat seperti semak-semak atau
pinggir jalan dengan ketinggian 100-3.000 m dpl. Mungkin pohon pionir setelah
kebakaran karena banyak tumbuh di bekas kebakaran .
Kegunaan:
Kayunya jelek tapi cocok untuk penghutanan kembali. Kulit batangnya bisa
digunakan untuk bahan cat hitam. Buah, akar dan daun dipakai sebagai bahan obat.
Daunnya sebagai pakan satwa.
Perbanyakan: biji
Hibiscus tiliaceus L(Malvaceae)
Homalanthus populneus (Geiseler) Pax(Euphorbiaceae)
http://w
ww
.bota
nic
kate
plic
e.c
z
80
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Nama lokal: kayu batu, langit lawe (Jawa).
Pertelaan:
Tumbuhan semak, jarang terlihat seperti pohon, berbunga dan berbuah, batangnya
gelap tinggi dapat mencapai 3-11 m. Daun majemuk dengan panjang 50-100 cm
dan anak daun berukuran 6-21 x 1.5-9 cm
Distribusi:
Semenanjung Malaya, Jawa, Sumatra, dan Kalimantan, Indo China, Australia.
Kepulauan Pasifik, India
Habitat:
Ditemukan di hutan sampai ketinggian 600 m dpl. Umum tumbuh sebagai penutup
tanah di hutan sekunder atau terganggu.
Kegunaan:
Pohon pelindung/ penghijauan, kayu bangunan yang kuat. Bunganya didatangi
berbagai jenis serangga penyerbuk seperti lalat, lebah, kumbang, kupu-kupu.
Akarnya digunakan untuk ramuan obat diare, dan disentri kronis. Pucuk daunnya
antara lain untuk obat vertigo, diare, disentri, kolik dan penyakit kulit.
Perbanyakan: biji
Homalium grandifolium Benth.(Flacourtiaceae)
81
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Leea sambucina Willd., Staphylea indica Burm. f.
Nama lokal:
girang, saradan, kayu tuwa, tirah (Jawa), ki tuwa, silangkar, sulangkar (Sunda).
Pertelaan: Pohon perdu yang tingginya 3-11 m, berakar tunggang.
Distribusi: Asia Tenggara.
Habitat:
Tumbuh terpencar di tanah kering atau kering sekali sampai ketinggian 1.300 m dpl.
Kegunaan: Sebagai tanaman obat, buahnya banyak dimakan satwa.
Perbanyakan: biji
Leea indica (Burm.F.) MerrLeeaceae
htt
p://k
eys.
trin
.org
.au/k
ey-s
erv
er
82 83
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Malapoenna javanica Kuntze, Malapoenna javanica Kuntze
Nama lokal: wuru teja, huru batu, huru gambir, huru hiris, wuru teja.
Pertelaan: Pohon dengan tinggi mencapai 24 m dan diameter 40 cm.
Distribusi: Jawa
Habitat: Di Jawa ditemukan di atas ketinggian 1.500 m dpl.
Kegunaan: Pohon pelindung/ penghijauan, buahnya dimakan satwa.
Perbanyakan: biji
Litsea javanica BL.(Lauraceae)
Sinonim:
Macaranga blumeana Müll.Arg, Tanarius rhizinoides (Blume) Kuntze, Zanthoxylum
rhizinoides Blumei
Nama lokal: mara, tutup awu, calik angin.
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi 15-40 m. Daun berbentuk segitiga hingga oval dengan panjang
mencapai 20 cm, permukaan bagian bawah ditutupi rambut-rambut putih. Bunga
majemuk tandan (racemes) dimana bunga jantan dan betina terpisah. Anak bunga
berukuran kecil dalam cluster. Buah membulat (globose) dengan diameter mencapai
4,5 mm. Biji bulat dan halus permukaannya.
Distribusi: Sumatera dan Jawa.
Habitat: Hutan pegunungan dengan ketinggian 700-2.400 m dpl.
Kegunaan: Pohon pelindung dan sebagai tanaman obat.
Perbanyakan: biji.
Macaranga rhizinoides (Blume) Mull. Arg.Euphorbiaceae
82 83
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Malapoenna javanica Kuntze, Malapoenna javanica Kuntze
Nama lokal: wuru teja, huru batu, huru gambir, huru hiris, wuru teja.
Pertelaan: Pohon dengan tinggi mencapai 24 m dan diameter 40 cm.
Distribusi: Jawa
Habitat: Di Jawa ditemukan di atas ketinggian 1.500 m dpl.
Kegunaan: Pohon pelindung/ penghijauan, buahnya dimakan satwa.
Perbanyakan: biji
Litsea javanica BL.(Lauraceae)
Sinonim:
Macaranga blumeana Müll.Arg, Tanarius rhizinoides (Blume) Kuntze, Zanthoxylum
rhizinoides Blumei
Nama lokal: mara, tutup awu, calik angin.
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi 15-40 m. Daun berbentuk segitiga hingga oval dengan panjang
mencapai 20 cm, permukaan bagian bawah ditutupi rambut-rambut putih. Bunga
majemuk tandan (racemes) dimana bunga jantan dan betina terpisah. Anak bunga
berukuran kecil dalam cluster. Buah membulat (globose) dengan diameter mencapai
4,5 mm. Biji bulat dan halus permukaannya.
Distribusi: Sumatera dan Jawa.
Habitat: Hutan pegunungan dengan ketinggian 700-2.400 m dpl.
Kegunaan: Pohon pelindung dan sebagai tanaman obat.
Perbanyakan: biji.
Macaranga rhizinoides (Blume) Mull. Arg.Euphorbiaceae
84 85
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Mallotus conchinchinense Lour.
Nama lokal: tutup putih, malotusi balikangin, tutup kancil.
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 20 m dan diameter 15 cm. Daun berseling berwarna
hijau. Bunga majemuk jantan dan betina memiliki panjangnya 20-45 cm sering
bercabang. Bunga jantan dalam cluster sebanyak 5-7 bunga berwarna ungu pucat
dengan ukuran 5 mm. Bunga betina berwarna cream kecoklatan berukuran 4 mm.
Buah berambut berbentuk kapsul (capsule) berukuran 12x14 mm memiliki 3 cuping
(lobed). Biji membulat (globose) berwarna hitam dengan diameter 3 mm.
Distribusi:
India, Myanmar, Indochina, Cina Selatan, Taiwan, Thailand, Wilayah Malesiana
(kecuali paparan Sunda Kecil) dan Australia Utara.
Mallotus paniculatus (Lam.) Mull.Arg.(Euphorbiaceae)
Habitat:
Tempat terbuka dan terganggu
di padang rumput dan vegetasi
semak hingga ketinggian 1.700
m dpl.
Kegunaan:
Kayunya sebagai bahan
bangunan, daunnya dimakan
lutung.
Perbanyakan: biji dan stek
Sinonim: Morella javanica (Blume) I.M.Turner
Nama lokal: wuru ketek, mangkoan, picisan (Jawa), ki teke (Sunda)
Pertelaan:
Pohon sedang dengan tinggi mencapai 15 m dan diameter 35 cm.
Distribusi: Asia Tenggara
Myrica javanica BL.(Myricaceae)
Habitat: Tumbuh berkelompok di hutan
sampai ketinggian 1.500 m dpl.
Kegunaan:
Sebagai tanaman pelindung di lereng
gunung yang gundul. Kayunya sebagai
bahan kayu bakar, buahnya dikonsumsi
oleh penduduk di pegunungan serta
sebagai pakan satwa.
Perbanyakan: biji
84 85
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Mallotus conchinchinense Lour.
Nama lokal: tutup putih, malotusi balikangin, tutup kancil.
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 20 m dan diameter 15 cm. Daun berseling berwarna
hijau. Bunga majemuk jantan dan betina memiliki panjangnya 20-45 cm sering
bercabang. Bunga jantan dalam cluster sebanyak 5-7 bunga berwarna ungu pucat
dengan ukuran 5 mm. Bunga betina berwarna cream kecoklatan berukuran 4 mm.
Buah berambut berbentuk kapsul (capsule) berukuran 12x14 mm memiliki 3 cuping
(lobed). Biji membulat (globose) berwarna hitam dengan diameter 3 mm.
Distribusi:
India, Myanmar, Indochina, Cina Selatan, Taiwan, Thailand, Wilayah Malesiana
(kecuali paparan Sunda Kecil) dan Australia Utara.
Mallotus paniculatus (Lam.) Mull.Arg.(Euphorbiaceae)
Habitat:
Tempat terbuka dan terganggu
di padang rumput dan vegetasi
semak hingga ketinggian 1.700
m dpl.
Kegunaan:
Kayunya sebagai bahan
bangunan, daunnya dimakan
lutung.
Perbanyakan: biji dan stek
Sinonim: Morella javanica (Blume) I.M.Turner
Nama lokal: wuru ketek, mangkoan, picisan (Jawa), ki teke (Sunda)
Pertelaan:
Pohon sedang dengan tinggi mencapai 15 m dan diameter 35 cm.
Distribusi: Asia Tenggara
Myrica javanica BL.(Myricaceae)
Habitat: Tumbuh berkelompok di hutan
sampai ketinggian 1.500 m dpl.
Kegunaan:
Sebagai tanaman pelindung di lereng
gunung yang gundul. Kayunya sebagai
bahan kayu bakar, buahnya dikonsumsi
oleh penduduk di pegunungan serta
sebagai pakan satwa.
Perbanyakan: biji
86 87
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Bancalus affinis (Miq.) Kuntze, Nauclea lanceolata Blume
Nama lokal:
klepu pasir, picis, picisan, pundungan, wesen (Jawa), ki anggrit, cangcaratan,
cengeh caah (Sunda)
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 30 m dan dengan diameter batang 75 cm. Pohon yang
tingginya mencapai 25 m, kadang-kadang berbanir pendek. Kulit batang coklat atau
kelabu dengan permukaan yang kasar. Daun tunggal berhadapan berwarna hijau tua
sedangkan permukaan bawah daun hijau pucat. Bunga majemuk berwarna kuning.
Buah coklat muda berbentuk kapsul dengan biji 1 setiap kapsulnya. Biji berdiameter 1-
10 mm.
Distribusi: Asia Tenggara
Habitat: Ditemukan tersebar di hutan hingga ketinggian 1.500 m dpl.
Kegunaan: Kayu bangunan yang kuat.
Perbanyakan: biji.
Neonauclea lanceolata (Blume) Merr.(Rubiaceae)
Sinonim: Albizia montana (Jungh.) Benth.
Nama lokal:
ki haruman (sunda), kelantara, kelandingan, kemilandingan, kemilandingan gunung,
mandingan, pulungan, selantara (Jawa) pulung (Madura).
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 5-8 m dengan diameter batang 10 cm jenis ini mampu menyebar
dengan cepat karena buah polongnya jika telah tua akan meletus dan bijinya menyebar.
Distribusi: Asia Tenggara
Habitat: Hutan pegunungan sampai 3.100 m dpl,
Kegunaan:
Daunnya untuk pakan ternak, akarnya untuk penyubur dan pengikat tanah,
kayunya untuk kayu bakar dan konstruksi ringan.
Perbanyakan: biji.
Paraserianthes lophantha (Willd.) I.C.Nielsen ssp. montana (Jungh.) I.C. Nielsen(Mimosaceae)
86 87
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Bancalus affinis (Miq.) Kuntze, Nauclea lanceolata Blume
Nama lokal:
klepu pasir, picis, picisan, pundungan, wesen (Jawa), ki anggrit, cangcaratan,
cengeh caah (Sunda)
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 30 m dan dengan diameter batang 75 cm. Pohon yang
tingginya mencapai 25 m, kadang-kadang berbanir pendek. Kulit batang coklat atau
kelabu dengan permukaan yang kasar. Daun tunggal berhadapan berwarna hijau tua
sedangkan permukaan bawah daun hijau pucat. Bunga majemuk berwarna kuning.
Buah coklat muda berbentuk kapsul dengan biji 1 setiap kapsulnya. Biji berdiameter 1-
10 mm.
Distribusi: Asia Tenggara
Habitat: Ditemukan tersebar di hutan hingga ketinggian 1.500 m dpl.
Kegunaan: Kayu bangunan yang kuat.
Perbanyakan: biji.
Neonauclea lanceolata (Blume) Merr.(Rubiaceae)
Sinonim: Albizia montana (Jungh.) Benth.
Nama lokal:
ki haruman (sunda), kelantara, kelandingan, kemilandingan, kemilandingan gunung,
mandingan, pulungan, selantara (Jawa) pulung (Madura).
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 5-8 m dengan diameter batang 10 cm jenis ini mampu menyebar
dengan cepat karena buah polongnya jika telah tua akan meletus dan bijinya menyebar.
Distribusi: Asia Tenggara
Habitat: Hutan pegunungan sampai 3.100 m dpl,
Kegunaan:
Daunnya untuk pakan ternak, akarnya untuk penyubur dan pengikat tanah,
kayunya untuk kayu bakar dan konstruksi ringan.
Perbanyakan: biji.
Paraserianthes lophantha (Willd.) I.C.Nielsen ssp. montana (Jungh.) I.C. Nielsen(Mimosaceae)
88 89
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Phoebe macrophylla, Machilus macrophylla Hemsl.
Nama lokal:
wuru payung, huru dapung, huru huya, huru leksa, huru meuhmal, huru munding,
huru payung, huru sikijeng, huru tangkalak (Sunda)
Pertelaan:Pohon dengan tinggi mencapai 20m dan diameter 30 cm.
Distribusi: Asia Tenggara
Habitat:Hutan dengan ketinggian tempat 700- 1.200 m dpl.
Kegunaan:Kayunya dimanfaatkan untuk bahan bangunan (papan).
Perbanyakan: biji.
Phoebe chinensis Chun(Lauraceae)
Sinonim: Dacrycarpus imbricatus (Blume)
Nama lokal:
bintami, cemara pandak, ki jamuju, ki putri, ki camara (Sunda), aru, taji, tekik,
cemara tikung (Jawa)
Pertelaan:
Pohon besar dengan tinggi mencapai 50 m dengan diameter mencapai 2 m.
Batangnya yang lurus tanpa percabangan bisa mencapai 20 m. Kulit batang merah-
coklat. Daun meruncing. Biji merah mengkilat dengan ukuran 0.5-0.6 cm.
Distribusi: Cina Selatan, Asia Tenggara dan Kepulauan Pasific.
Habitat: Hutan pegunungan 1.400-1.750 m dpl.
Kegunaan:
Sebagai tanaman hias, kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan buahnya
dimakan lutung.
Perbanyakan: biji.
Podocarpus imbricatus Blume.(Podocarpaceae)
88 89
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim: Phoebe macrophylla, Machilus macrophylla Hemsl.
Nama lokal:
wuru payung, huru dapung, huru huya, huru leksa, huru meuhmal, huru munding,
huru payung, huru sikijeng, huru tangkalak (Sunda)
Pertelaan:Pohon dengan tinggi mencapai 20m dan diameter 30 cm.
Distribusi: Asia Tenggara
Habitat:Hutan dengan ketinggian tempat 700- 1.200 m dpl.
Kegunaan:Kayunya dimanfaatkan untuk bahan bangunan (papan).
Perbanyakan: biji.
Phoebe chinensis Chun(Lauraceae)
Sinonim: Dacrycarpus imbricatus (Blume)
Nama lokal:
bintami, cemara pandak, ki jamuju, ki putri, ki camara (Sunda), aru, taji, tekik,
cemara tikung (Jawa)
Pertelaan:
Pohon besar dengan tinggi mencapai 50 m dengan diameter mencapai 2 m.
Batangnya yang lurus tanpa percabangan bisa mencapai 20 m. Kulit batang merah-
coklat. Daun meruncing. Biji merah mengkilat dengan ukuran 0.5-0.6 cm.
Distribusi: Cina Selatan, Asia Tenggara dan Kepulauan Pasific.
Habitat: Hutan pegunungan 1.400-1.750 m dpl.
Kegunaan:
Sebagai tanaman hias, kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan buahnya
dimakan lutung.
Perbanyakan: biji.
Podocarpus imbricatus Blume.(Podocarpaceae)
90 91
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim : Lithocarpus korthalsii (Endl.) Soepadmo
Nama lokal:
pasang balung, pasang kapur (Jawa), pasang abu, pasang batu, bodas, pasang susu,
pasang tangogo, pasang celeng, tangogo (Sunda).
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 30 m dan diameter 1 m. Kayu berwarna coklat
tua hingga coklat kemerahan.
Distribusi: Asia Tenggara
Habitat:
Tumbuh di hutan yang banyak naungan, ditemukan pada ketinggian 2.300 m dpl.
Kegunaan:
Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan sedangkan buahnya makanan
lutung.
Perbanyakan: biji
Quercus teysmannii Bl.(Fagaceae)
Sinonim:
Quercus abbreviata Vuk., Quercus acutiloba Borbás, Quercus acutiloba Borbás,
Quercus altissima Petz. & G.Kirchn, Quercus argentea Morogues, Quercus
atrosanguinea K.Koch
Nama lokal:
pasang jambe, butaruwa, pasang hiris, pasang tangogo, pasang celeng (Sunda)
Pertelaan:
Pohon besar dengan tinggi mencapai 50 m dan diameter 1,25 m. Kayunya kasar
berwarna coklat kemerahan bergaris halus.
Distribusi: Asia Tenggara
Habitat:Ditemukan di hutan dengan ketinggian tempat 200- 2.000 m dpl.
Kegunaan:.Kayunya sebagai bahan bangunan sedangkan buahnya makanan lutung
Perbanyakan: biji.
Quercus robur subsp. Robur(Fagaceae)
90 91
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim : Lithocarpus korthalsii (Endl.) Soepadmo
Nama lokal:
pasang balung, pasang kapur (Jawa), pasang abu, pasang batu, bodas, pasang susu,
pasang tangogo, pasang celeng, tangogo (Sunda).
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 30 m dan diameter 1 m. Kayu berwarna coklat
tua hingga coklat kemerahan.
Distribusi: Asia Tenggara
Habitat:
Tumbuh di hutan yang banyak naungan, ditemukan pada ketinggian 2.300 m dpl.
Kegunaan:
Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan sedangkan buahnya makanan
lutung.
Perbanyakan: biji
Quercus teysmannii Bl.(Fagaceae)
Sinonim:
Quercus abbreviata Vuk., Quercus acutiloba Borbás, Quercus acutiloba Borbás,
Quercus altissima Petz. & G.Kirchn, Quercus argentea Morogues, Quercus
atrosanguinea K.Koch
Nama lokal:
pasang jambe, butaruwa, pasang hiris, pasang tangogo, pasang celeng (Sunda)
Pertelaan:
Pohon besar dengan tinggi mencapai 50 m dan diameter 1,25 m. Kayunya kasar
berwarna coklat kemerahan bergaris halus.
Distribusi: Asia Tenggara
Habitat:Ditemukan di hutan dengan ketinggian tempat 200- 2.000 m dpl.
Kegunaan:.Kayunya sebagai bahan bangunan sedangkan buahnya makanan lutung
Perbanyakan: biji.
Quercus robur subsp. Robur(Fagaceae)
92 93
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim:
Schima bancana Miq., Schima crenata Korth., Schima khasiana Dyer., Schima mollis
Dyer, Schima noronhae Reinw. ex Blume
Nama lokal: puspa
Pertelaan:
Pohon yang tingginya mencapai 47 m dan dengan diameter batang 125 cm. Batang
lurus tanpa percabangan hingga setinggi 25 m. Memiliki banir hingga setinggi 1,8
m.Kulit batang berwarna merah kecoklatan atau abu-abu tua. Daun tunggal oblong
hingga elips. Bunga putih. Buah kapsul. Biji berjumlah 2-30 bersayap.
Distribusi: Asia Tenggara, Himalaya, Cina Selatan, Jepang Selatan.
Habitat:
Hidup pada berbagai kondisi tanah, iklim, dan habitat. Sering ditemukan tumbuh
melimpah di hutan primer dataran rendah hingga pegunungan, pohon ini juga umum
dijumpai di hutan-hutan sekunder dan wilayah yang terganggu, bahkan juga di
padang ilalang. Bisa hidup hingga ketinggian 3.900 m dpl., puspa tidak memilih-milih
kondisi tekstur dan kesuburan tanah. Meski lebih menyukai tanah yang berdrainase
baik, pohon puspa diketahui mampu tumbuh baik di daerah berawa dan tepian
sungai.
Schima wallichii (DC.) Korth.(Theaceae)
Kegunaan:
Sebagai tanaman obat, kayunya banyak
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan.
Tanaman penghasil tanin serta racun
ikan.
Perbanyakan: biji
Sinonim:
Symplocos ferruginea Roxb, Symplocos ferruginifolia Kaneh, Symplocos javanica
(Blume) Kurz
Berupa semak atau pohon kecil dengan diameter batang 20 cm. Tangkai daun 1-2 cm
dengan tulang daun bagian tengah berwarna merah kecoklatan. Bunga majemuk
berwarna putih kekuningan.
Nama lokal: jirak, putihan, jirak sapi, sasah (Sunda)
Pertelaan:
Distribusi: Asia Tenggara
Habitat: Ditemukan pada ketinggian 1.700 m dpl sampai 2.200 m dpl.
Kegunaan:
Kulitnya bisa digunakan sebagai bahan cat. Pohonnya sebagai habitat satwa,
daunnya pakan rusa.
Perbanyakan: biji
Symplocos cochinchinensis var. cochinchinensis (Symplocaceae)
htt
p://w
ww
.cuhkacs.
org
/~m
ath
ew
/
92 93
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim:
Schima bancana Miq., Schima crenata Korth., Schima khasiana Dyer., Schima mollis
Dyer, Schima noronhae Reinw. ex Blume
Nama lokal: puspa
Pertelaan:
Pohon yang tingginya mencapai 47 m dan dengan diameter batang 125 cm. Batang
lurus tanpa percabangan hingga setinggi 25 m. Memiliki banir hingga setinggi 1,8
m.Kulit batang berwarna merah kecoklatan atau abu-abu tua. Daun tunggal oblong
hingga elips. Bunga putih. Buah kapsul. Biji berjumlah 2-30 bersayap.
Distribusi: Asia Tenggara, Himalaya, Cina Selatan, Jepang Selatan.
Habitat:
Hidup pada berbagai kondisi tanah, iklim, dan habitat. Sering ditemukan tumbuh
melimpah di hutan primer dataran rendah hingga pegunungan, pohon ini juga umum
dijumpai di hutan-hutan sekunder dan wilayah yang terganggu, bahkan juga di
padang ilalang. Bisa hidup hingga ketinggian 3.900 m dpl., puspa tidak memilih-milih
kondisi tekstur dan kesuburan tanah. Meski lebih menyukai tanah yang berdrainase
baik, pohon puspa diketahui mampu tumbuh baik di daerah berawa dan tepian
sungai.
Schima wallichii (DC.) Korth.(Theaceae)
Kegunaan:
Sebagai tanaman obat, kayunya banyak
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan.
Tanaman penghasil tanin serta racun
ikan.
Perbanyakan: biji
Sinonim:
Symplocos ferruginea Roxb, Symplocos ferruginifolia Kaneh, Symplocos javanica
(Blume) Kurz
Berupa semak atau pohon kecil dengan diameter batang 20 cm. Tangkai daun 1-2 cm
dengan tulang daun bagian tengah berwarna merah kecoklatan. Bunga majemuk
berwarna putih kekuningan.
Nama lokal: jirak, putihan, jirak sapi, sasah (Sunda)
Pertelaan:
Distribusi: Asia Tenggara
Habitat: Ditemukan pada ketinggian 1.700 m dpl sampai 2.200 m dpl.
Kegunaan:
Kulitnya bisa digunakan sebagai bahan cat. Pohonnya sebagai habitat satwa,
daunnya pakan rusa.
Perbanyakan: biji
Symplocos cochinchinensis var. cochinchinensis (Symplocaceae)
htt
p://w
ww
.cuhkacs.
org
/~m
ath
ew
/
94 95
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim:
Myrtus cumini L., Eugenia jambolana Lamk, Syzygium jambolanum (Lamk) DC.,
Eugenia cumini (L.) Druce
Nama lokal: duwet, jamblang (Jawa)
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 6-20 m, tajuk tidak beraturan dengan banyak
percabangan. Kulit kayu berwarna coklat atau abu-abu tua dengan ketebalan
mencapai 2.5 cm. Daun berhadapan, tebal, licin. Bunga majemuk berwarna putih
atau merah muda dengan panjang 7 mm, harum lembut. Buah berry berbentuk
lonjong, jumlahnya banyak dalam cluster, berwarna merah muda atau ungu
kehitaman saat masak. Biji banyak, bentuk tidak beraturan dengan ukuran 1-1,5 mm.
Distribusi: Asia Selatan dan Asia Tenggara sampai Amerika Selatan.
Syzygium cumini (L.) Skeels(Myrtaceae)
Habitat:
Hutan sekunder, lahan basah dan daerah
aliran sungai dengan ketinggian tempat 100-
1.200 m dpl.
Kegunaan:
Sebagai tanaman pelindung dengan perakaran
yang baik. Kulit batang, daun, buah dan biji
tanaman ini juga banyak dimanfaatkan sebagai
bahan obat, buahnya banyak dikonsumsi.
Buah, bunga dan daun juga sebagai pakan
satwa.
Perbanyakan: biji, stek dan cangkok.
Sinonim:
Eugenia polyantha Wight, Eugenia nitida Duthie, Eugenia balsamea Ridley
Nama lokal: salam
Pertelaan:
Pohon dengan ketinggian dapat mencapai 30 m. Tajuknya besar dengan kulit batang
coklat abu-abu. Daun tunggal berhadapan halus berbentuk lonjong atau lanset
dengan panjang tangkai daun 12 mm. Bunga majemuk muncul dari bawah daun-daun
berwarna putih harum. Buah berry berwarna merah tua atau ungu kehitaman ketika
matang.
Distribusi: Indonesia, Indochina, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya dan
Brunei.
Habitat:
Tumbuh di bawah tegakan pohon hutan dataran rendah atau hutan sekunder.
Ditemukan juga di hutan bambu hingga ketinggian 1.800 m dpl.
Syzygium polyanthum (Wight) Walp.(Myrtaceae)
Kegunaan:
Sebagai tanaman hias dan tanaman
obat. Kayunya banyak dimanfaatkan
sebagai bahan bangunan dan perabot
rumah tangga. Daunnya sebagai bumbu
masak, sedangkan buahnya banyak
dikonsumsi serta sebagai pakan satwa.
Perbanyakan: biji dan stek
94 95
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim:
Myrtus cumini L., Eugenia jambolana Lamk, Syzygium jambolanum (Lamk) DC.,
Eugenia cumini (L.) Druce
Nama lokal: duwet, jamblang (Jawa)
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 6-20 m, tajuk tidak beraturan dengan banyak
percabangan. Kulit kayu berwarna coklat atau abu-abu tua dengan ketebalan
mencapai 2.5 cm. Daun berhadapan, tebal, licin. Bunga majemuk berwarna putih
atau merah muda dengan panjang 7 mm, harum lembut. Buah berry berbentuk
lonjong, jumlahnya banyak dalam cluster, berwarna merah muda atau ungu
kehitaman saat masak. Biji banyak, bentuk tidak beraturan dengan ukuran 1-1,5 mm.
Distribusi: Asia Selatan dan Asia Tenggara sampai Amerika Selatan.
Syzygium cumini (L.) Skeels(Myrtaceae)
Habitat:
Hutan sekunder, lahan basah dan daerah
aliran sungai dengan ketinggian tempat 100-
1.200 m dpl.
Kegunaan:
Sebagai tanaman pelindung dengan perakaran
yang baik. Kulit batang, daun, buah dan biji
tanaman ini juga banyak dimanfaatkan sebagai
bahan obat, buahnya banyak dikonsumsi.
Buah, bunga dan daun juga sebagai pakan
satwa.
Perbanyakan: biji, stek dan cangkok.
Sinonim:
Eugenia polyantha Wight, Eugenia nitida Duthie, Eugenia balsamea Ridley
Nama lokal: salam
Pertelaan:
Pohon dengan ketinggian dapat mencapai 30 m. Tajuknya besar dengan kulit batang
coklat abu-abu. Daun tunggal berhadapan halus berbentuk lonjong atau lanset
dengan panjang tangkai daun 12 mm. Bunga majemuk muncul dari bawah daun-daun
berwarna putih harum. Buah berry berwarna merah tua atau ungu kehitaman ketika
matang.
Distribusi: Indonesia, Indochina, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya dan
Brunei.
Habitat:
Tumbuh di bawah tegakan pohon hutan dataran rendah atau hutan sekunder.
Ditemukan juga di hutan bambu hingga ketinggian 1.800 m dpl.
Syzygium polyanthum (Wight) Walp.(Myrtaceae)
Kegunaan:
Sebagai tanaman hias dan tanaman
obat. Kayunya banyak dimanfaatkan
sebagai bahan bangunan dan perabot
rumah tangga. Daunnya sebagai bumbu
masak, sedangkan buahnya banyak
dikonsumsi serta sebagai pakan satwa.
Perbanyakan: biji dan stek
96 97
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim:
Eupatorium javanicum Blume, Flustula tomentosa Raf. Gymnanthemum
acuminatum Steetz, Gymnanthemum arboreum (Buch.-Ham.) H.Rob., Strobocalyx
arborea (Buch.-Ham.) Sch.Bip., Strobocalyx javanica (Blume) Sch.Bip., Vernonia
javanica (Blume) DC., Vernonia vaniotii H.Lév.
Nama lokal: sembung, sembung dedek, medang, gambong merembung
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 30 m dan dengan diameter batang 80-100 cm. Daun tunggal
berseling biasanya tidak simetris. Bunga majemuk panicle berwarna ungu dengan
diameter bunga 2 mm. Buah coklat tua tidak mengkilap tidak berdaging berukuran
panjang 5 mm. Biji 1, sangat kecil tidak bersayap.
Distribusi: Asia Tropis
Habitat:
Hidup di hutan maupun daerah terganggu. Ditemukan di berbagai habitat, mulai dari
rawa-rawa, daerah aliran sungai, lembah hingga ketinggian 2.500 m dpl.
Kegunaan:
Sebagai tanaman obat. Kayunya lunak tidak digunakan untuk bangunan, baik
untuk batang korek api.
Perbanyakan: biji
Vernonia arborea Buch.-Ham. Ex Buch.-Ham(Compositae)
Sinonim: Plerandropsis R.Vig.
Nama lokal: gorang, gurang, jurang, burang, panggang
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 8 m dan dengan diameter batang 15 cm, memiliki ranting
berduri. Daun majemuk menjari. Bunga majemuk berbentuk payung muncul
diantara atau di bawah daun.
Distribusi: Sumatera, Jawa, Lombok.
Habitat: Tumbuh di Hutan Pegunungan sampai ketinggian 1.500 m dpl.
Kegunaan: Sebagai tanaman hias, biasa digunakan untuk tanaman pagar.
Perbanyakan: biji
Trevesia sundaica Miq.(Araliaceae)
96 97
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Sinonim:
Eupatorium javanicum Blume, Flustula tomentosa Raf. Gymnanthemum
acuminatum Steetz, Gymnanthemum arboreum (Buch.-Ham.) H.Rob., Strobocalyx
arborea (Buch.-Ham.) Sch.Bip., Strobocalyx javanica (Blume) Sch.Bip., Vernonia
javanica (Blume) DC., Vernonia vaniotii H.Lév.
Nama lokal: sembung, sembung dedek, medang, gambong merembung
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 30 m dan dengan diameter batang 80-100 cm. Daun tunggal
berseling biasanya tidak simetris. Bunga majemuk panicle berwarna ungu dengan
diameter bunga 2 mm. Buah coklat tua tidak mengkilap tidak berdaging berukuran
panjang 5 mm. Biji 1, sangat kecil tidak bersayap.
Distribusi: Asia Tropis
Habitat:
Hidup di hutan maupun daerah terganggu. Ditemukan di berbagai habitat, mulai dari
rawa-rawa, daerah aliran sungai, lembah hingga ketinggian 2.500 m dpl.
Kegunaan:
Sebagai tanaman obat. Kayunya lunak tidak digunakan untuk bangunan, baik
untuk batang korek api.
Perbanyakan: biji
Vernonia arborea Buch.-Ham. Ex Buch.-Ham(Compositae)
Sinonim: Plerandropsis R.Vig.
Nama lokal: gorang, gurang, jurang, burang, panggang
Pertelaan:
Pohon yang tingginya 8 m dan dengan diameter batang 15 cm, memiliki ranting
berduri. Daun majemuk menjari. Bunga majemuk berbentuk payung muncul
diantara atau di bawah daun.
Distribusi: Sumatera, Jawa, Lombok.
Habitat: Tumbuh di Hutan Pegunungan sampai ketinggian 1.500 m dpl.
Kegunaan: Sebagai tanaman hias, biasa digunakan untuk tanaman pagar.
Perbanyakan: biji
Trevesia sundaica Miq.(Araliaceae)
Sinonim : Windmannia blumei Kuntze
Nama lokal:
cantigi, manis rejo, damaran, gringging, ringgit, tembagan (Jawa), ki merak,
ki papatong, ki ringgit (Sunda)
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 25 m dan diameter 75 cm. Kayunya berwarna merah
kecoklatan.
Distribusi: Asia Tenggara
Habitat:Di Jawa ditemukan di hutan pegunungan pada ketinggian 2.200 m dpl.
Kegunaan:
Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan (oleh suku Batak) dan bahan
perabot rumah tangga. Kulit kayu nya diduga memiliki khasiat obat.
Perbanyakan: biji.
Weinmannia blumei Planch(Cornaceae)
98 99
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Synonim: Oreocnide rubescens (Blume) Miq.
Nama lokal: nangsi
Pertelaan:
Pohon kecil dengan tinggi 8 m. Kulit batang berwarna abu-abu atau kelabu
kecoklatan, sedangkan cabangnya berwarna coklat atau coklat keunguan. Daun
berbentuk bundar telur (ovale) berwarna hijau tua mengkilap di bagian atas
sedangkan permukaan bawah daun berwarna hijau muda. Bunga majemuk
pedunculate muncul di cabang yang tua terlebih dahulu. Buah berukuran kecil dengan
jumlah yang banyak berwarna kuning.
Distribusi: Sumatera, Jawa dan India
Habitat: Hutan tropis dengan ketinggian hingga 1.500 m dpl.
Kegunaan: Sebagai tanaman obat
Perbanyakan: biji.
Villebrunea rubescens (Blume) Blume(Urticaceae)
Sinonim : Windmannia blumei Kuntze
Nama lokal:
cantigi, manis rejo, damaran, gringging, ringgit, tembagan (Jawa), ki merak,
ki papatong, ki ringgit (Sunda)
Pertelaan:
Pohon dengan tinggi mencapai 25 m dan diameter 75 cm. Kayunya berwarna merah
kecoklatan.
Distribusi: Asia Tenggara
Habitat:Di Jawa ditemukan di hutan pegunungan pada ketinggian 2.200 m dpl.
Kegunaan:
Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan (oleh suku Batak) dan bahan
perabot rumah tangga. Kulit kayu nya diduga memiliki khasiat obat.
Perbanyakan: biji.
Weinmannia blumei Planch(Cornaceae)
98 99
PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Synonim: Oreocnide rubescens (Blume) Miq.
Nama lokal: nangsi
Pertelaan:
Pohon kecil dengan tinggi 8 m. Kulit batang berwarna abu-abu atau kelabu
kecoklatan, sedangkan cabangnya berwarna coklat atau coklat keunguan. Daun
berbentuk bundar telur (ovale) berwarna hijau tua mengkilap di bagian atas
sedangkan permukaan bawah daun berwarna hijau muda. Bunga majemuk
pedunculate muncul di cabang yang tua terlebih dahulu. Buah berukuran kecil dengan
jumlah yang banyak berwarna kuning.
Distribusi: Sumatera, Jawa dan India
Habitat: Hutan tropis dengan ketinggian hingga 1.500 m dpl.
Kegunaan: Sebagai tanaman obat
Perbanyakan: biji.
Villebrunea rubescens (Blume) Blume(Urticaceae)
PUSTAKA
BUKU
101
Adisoemarto, S. dan M. A. Rifai (editor). 1994. Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KLH) dan Konsorsium untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (KONPHALINDO). Jakarta.
Afriastini, J.J. 1997. Latihan pengumpulan, pembuatan dan penyimpanan material herbarium. Latihan Mengenal Pohon Hutan : Kunci Identifikasi dan Fakta Jenis. PROSEA Indonesia – Yayasan PROSEA Bogor. Pp:2-8.
Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor.
Bailey, J.A. 1984. Principles of Wildlife Management. John Wiley and Sons. New York.
Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2009a. Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Tidak diterbitkan
Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2009b. Statistik Balai Taman Nasional Gunung Merapi Tahun 2009. Tidak diterbitkan
Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2010. Penataan Zonasi Taman Nasional Gunung Merapi Setelah Erupsi Tahun 2010. Tidak diterbitkan.
BAPPENAS. 1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia. BAPPENAS. Jakarta.
Blockhus, J.M., M. Dillenbeck, J.A. Sayer and P. Wegge (eds). 1992. Conserving Biological Diversity in Managed Tropical Forests. IUCN. Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
Bridson, D. and Leonard Forman. 1992. The Herbarium Handbook. Royal Botanic Gardens, Kew.
Burley, J. and I. Gauld. 1995. Measuring and Monitoring Forest Biodiversity: A Commentary. Pp. 19 – 46 in Boyle, T.J.B. and B. Boontawee (eds). Measuring and Monitoring Biodiversity in Tropical and Temperate Forests.
thProceedings of IUFRO Symposium, Chiang Mai, Thailand, August 27 – ndSeptember 2 , 1994. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Daryono. 2010. Skenario Penataan Ruang Permukiman Lereng Merapi Pasca Erupsi. Bahan Presentasi Pada Workshop Gagasan Tata Ruang Wilayah Merapi (pasca erupsi 2010), Grha Sabha Pramana UGM, 4 Desember 2010. Yogyakarta.
Departemen Kehutanan. 1994. Pengelolaan Hutan Lestari (Booklet). Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2004. Data Strategis Kehutanan 2004. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Castanopsis argentea (Blume) A.DC.Koleksi Kebun Raya Cibodas - LIPI
PUSTAKA
BUKU
101
Adisoemarto, S. dan M. A. Rifai (editor). 1994. Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KLH) dan Konsorsium untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (KONPHALINDO). Jakarta.
Afriastini, J.J. 1997. Latihan pengumpulan, pembuatan dan penyimpanan material herbarium. Latihan Mengenal Pohon Hutan : Kunci Identifikasi dan Fakta Jenis. PROSEA Indonesia – Yayasan PROSEA Bogor. Pp:2-8.
Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor.
Bailey, J.A. 1984. Principles of Wildlife Management. John Wiley and Sons. New York.
Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2009a. Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Tidak diterbitkan
Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2009b. Statistik Balai Taman Nasional Gunung Merapi Tahun 2009. Tidak diterbitkan
Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2010. Penataan Zonasi Taman Nasional Gunung Merapi Setelah Erupsi Tahun 2010. Tidak diterbitkan.
BAPPENAS. 1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia. BAPPENAS. Jakarta.
Blockhus, J.M., M. Dillenbeck, J.A. Sayer and P. Wegge (eds). 1992. Conserving Biological Diversity in Managed Tropical Forests. IUCN. Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
Bridson, D. and Leonard Forman. 1992. The Herbarium Handbook. Royal Botanic Gardens, Kew.
Burley, J. and I. Gauld. 1995. Measuring and Monitoring Forest Biodiversity: A Commentary. Pp. 19 – 46 in Boyle, T.J.B. and B. Boontawee (eds). Measuring and Monitoring Biodiversity in Tropical and Temperate Forests.
thProceedings of IUFRO Symposium, Chiang Mai, Thailand, August 27 – ndSeptember 2 , 1994. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Daryono. 2010. Skenario Penataan Ruang Permukiman Lereng Merapi Pasca Erupsi. Bahan Presentasi Pada Workshop Gagasan Tata Ruang Wilayah Merapi (pasca erupsi 2010), Grha Sabha Pramana UGM, 4 Desember 2010. Yogyakarta.
Departemen Kehutanan. 1994. Pengelolaan Hutan Lestari (Booklet). Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2004. Data Strategis Kehutanan 2004. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Castanopsis argentea (Blume) A.DC.Koleksi Kebun Raya Cibodas - LIPI
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi102 103RESTORASI EKOSISTEM
Gunung Merapi Pasca ErupsiRESTORASI EKOSISTEM
Gunung Merapi Pasca Erupsi
Departemen Kehutanan. 2007. Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.
Djarwaningsih, T., S. Sunarti dan Kartini K. 1999. Panduan Pengelolaan Material Herbarium dan Pengendalian Hama Terpadu di Herbarium Bogoriense. Herbarium Bogoriense-Balitbang Botani. Pusat Litbang Biologi-LIPI. Bogor.
Ecological Census Techniques : A Handbook. Cambridge University Press. Cambridge, UK.
ESRI. 1998. ArcView GIS. ESRI Press. Redlands, California.
Gibbons, D.W., D. Hill dan W.J. Sutherland. 2004. Birds. Pp. 227-259 dalam Sutherland, W.J. (ed). Ecological Census Techniques : A Handbook. Cambridge University Press. Cambridge, UK.
Gunawan, H. 2010. Habitat Dan Penyebaran Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) Di Lansekap Terfragmentasi Di Jawa Tengah. Disertasi Program Doktor, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Gunawan, H., A.F. Mas'ud dan Sutiyono. 2011. Manajemen Habitat dan Populasi Satwaliar Langka Pasca Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan Insentif Riset Terapan 2011. Tidak diterbitkan.
Gunawan, H., A.F. Mas'ud, E. Subiandono, H. Krisnawati dan N.M. Heriyanto. 2012. Manajemen Habitat dan Populasi Satwaliar Langka Pasca Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan Insentif Riset Terapan 2012. Tidak diterbitkan.
Gunawan, H., M. Bismark dan H. Krisnawati. 2010. Pemanfaatan Zona Penyangga Taman Nasional Untuk Mendukung Ketahanan Pangan : Studi Kasus Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan Program Insentif Ristek Tahun 2010. Tidak diterbitkan.
Gunawan, H., M. Bismark dan M. Takandjandji. 2010. Laporan Penilaian Cepat (Rapid Assessment) Dalam Rangka Penyelamatan Satwaliar Pasca Erupsi Gunung Merapi. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Konservasi Dan Rehabilitasi, Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Tidak diterbitkan.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I, II dan III. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.
Hutagalung, RA. 2010. Ekologi Dasar. Erlangga. Jakarta.
Indriyanto 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Infront. 2012. Final Report : Project on Capacity Building for Restoration of Ecosystem in Conservation Areas Mt. Merapi National Park Phase II Juni 2011 – Maret 2012. Tidak diterbitkan.
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). 2005. Forest Landscape Restoration : Broadening the vision of west African forests. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
IUCN-WCU. 2001. IUCN Red List Categories and Criteria Version 3.1. IUCN-The World Conservation Union. Gland, Switzerland.
King, B., E.C. Dickinson & M. Woodcock. 1975. A Filed Guide to the Birds of South East Asia. Collins. London.
Kochert, M.N. 1986. Raptors. Pp. 313–349 in Inventory And Monitoring of Wildlife Habitat. Cooperrider, A.Y., R.J. Boyd and H.R. Stuart. US Department of Interior Bureau of Land Management.
Kusmana & Istomo, 1995. Ekologi Hutan : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kusmana, C. 1997. Metode Survei Vegetasi. IPB Press. Bogor.
Ledec, G. and R. Goodland. 1992. Harmonising Sustainable Development With Conservation of Wildlands. In Vijay, P.K. and J. White (eds). Conservation Biology. The Commonwealth Science Council. London.
Lee RJ, Riley J, Merril R. 2001. Keanekaragaman Hayati & Konservasi di Sulawesi Bagian Utara. Jakarta: Wildlife Conservation Society dan Natural Resources Management.
MacKinnon, J. 1991. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-Burung di Jawa dan Bali. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
MacKinnon, J., K. Phillips dan B. van Balen. 1992. Panduan Lapangan Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Birdlife International - Indonesia Program. Bogor.
Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm. London.
Marell, A. And O. Laroussinie. 2006. Scientific Issues Related to Sustainable Forest Management in an Ecosystem and Landscape Perspective. Tecnical Report No.1. European Network for long-term Forest Ecosystem and Landscape Research (ENFORS). http:/ifff.boku.ac.at/enfors. Diakses 20 Maret 2006.
Marhaento, H., L. Rahayu, M.T.T. Hernawan, K.F. Wianti. 2010. Penataan Kawasan Koridor Taman Nasional Gunung Merapi dan Gunung Merbabu dengan Pendekatan Analisis Resiko Bencana. Prodi Konservasi Sumberdaya hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakartas.
Mittermeier, R., P. Gill dan C. Goettsch-Mittermeier. 1997. Megadiversity : Earth's Biologically Wealthiest Nations. Cemex. Prado Norte.
MoF/FAO. 1991. Indonesian Tropical Forest Action Programme. Ministry of Forestry/UN Food and Agricultur Organisation. Jakarta.
Newman, M.F., P.F. Burgess dan T.C. Whitmore. 1999. Manual of Dipterocarps Series (Sumatra, Kalimantan, Jawa to Nugini). Prosea-Indonesia. Bogor.
Odum, E.P. 1994. Fundamentals of Ecology, Third Edition. T. Samingan (terj.). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 607p.
Peraturan Pemerintah RI No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency. Bogor.
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi102 103RESTORASI EKOSISTEM
Gunung Merapi Pasca ErupsiRESTORASI EKOSISTEM
Gunung Merapi Pasca Erupsi
Departemen Kehutanan. 2007. Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.
Djarwaningsih, T., S. Sunarti dan Kartini K. 1999. Panduan Pengelolaan Material Herbarium dan Pengendalian Hama Terpadu di Herbarium Bogoriense. Herbarium Bogoriense-Balitbang Botani. Pusat Litbang Biologi-LIPI. Bogor.
Ecological Census Techniques : A Handbook. Cambridge University Press. Cambridge, UK.
ESRI. 1998. ArcView GIS. ESRI Press. Redlands, California.
Gibbons, D.W., D. Hill dan W.J. Sutherland. 2004. Birds. Pp. 227-259 dalam Sutherland, W.J. (ed). Ecological Census Techniques : A Handbook. Cambridge University Press. Cambridge, UK.
Gunawan, H. 2010. Habitat Dan Penyebaran Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) Di Lansekap Terfragmentasi Di Jawa Tengah. Disertasi Program Doktor, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Gunawan, H., A.F. Mas'ud dan Sutiyono. 2011. Manajemen Habitat dan Populasi Satwaliar Langka Pasca Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan Insentif Riset Terapan 2011. Tidak diterbitkan.
Gunawan, H., A.F. Mas'ud, E. Subiandono, H. Krisnawati dan N.M. Heriyanto. 2012. Manajemen Habitat dan Populasi Satwaliar Langka Pasca Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan Insentif Riset Terapan 2012. Tidak diterbitkan.
Gunawan, H., M. Bismark dan H. Krisnawati. 2010. Pemanfaatan Zona Penyangga Taman Nasional Untuk Mendukung Ketahanan Pangan : Studi Kasus Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan Program Insentif Ristek Tahun 2010. Tidak diterbitkan.
Gunawan, H., M. Bismark dan M. Takandjandji. 2010. Laporan Penilaian Cepat (Rapid Assessment) Dalam Rangka Penyelamatan Satwaliar Pasca Erupsi Gunung Merapi. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Konservasi Dan Rehabilitasi, Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Tidak diterbitkan.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I, II dan III. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.
Hutagalung, RA. 2010. Ekologi Dasar. Erlangga. Jakarta.
Indriyanto 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Infront. 2012. Final Report : Project on Capacity Building for Restoration of Ecosystem in Conservation Areas Mt. Merapi National Park Phase II Juni 2011 – Maret 2012. Tidak diterbitkan.
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). 2005. Forest Landscape Restoration : Broadening the vision of west African forests. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
IUCN-WCU. 2001. IUCN Red List Categories and Criteria Version 3.1. IUCN-The World Conservation Union. Gland, Switzerland.
King, B., E.C. Dickinson & M. Woodcock. 1975. A Filed Guide to the Birds of South East Asia. Collins. London.
Kochert, M.N. 1986. Raptors. Pp. 313–349 in Inventory And Monitoring of Wildlife Habitat. Cooperrider, A.Y., R.J. Boyd and H.R. Stuart. US Department of Interior Bureau of Land Management.
Kusmana & Istomo, 1995. Ekologi Hutan : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kusmana, C. 1997. Metode Survei Vegetasi. IPB Press. Bogor.
Ledec, G. and R. Goodland. 1992. Harmonising Sustainable Development With Conservation of Wildlands. In Vijay, P.K. and J. White (eds). Conservation Biology. The Commonwealth Science Council. London.
Lee RJ, Riley J, Merril R. 2001. Keanekaragaman Hayati & Konservasi di Sulawesi Bagian Utara. Jakarta: Wildlife Conservation Society dan Natural Resources Management.
MacKinnon, J. 1991. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-Burung di Jawa dan Bali. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
MacKinnon, J., K. Phillips dan B. van Balen. 1992. Panduan Lapangan Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Birdlife International - Indonesia Program. Bogor.
Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm. London.
Marell, A. And O. Laroussinie. 2006. Scientific Issues Related to Sustainable Forest Management in an Ecosystem and Landscape Perspective. Tecnical Report No.1. European Network for long-term Forest Ecosystem and Landscape Research (ENFORS). http:/ifff.boku.ac.at/enfors. Diakses 20 Maret 2006.
Marhaento, H., L. Rahayu, M.T.T. Hernawan, K.F. Wianti. 2010. Penataan Kawasan Koridor Taman Nasional Gunung Merapi dan Gunung Merbabu dengan Pendekatan Analisis Resiko Bencana. Prodi Konservasi Sumberdaya hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakartas.
Mittermeier, R., P. Gill dan C. Goettsch-Mittermeier. 1997. Megadiversity : Earth's Biologically Wealthiest Nations. Cemex. Prado Norte.
MoF/FAO. 1991. Indonesian Tropical Forest Action Programme. Ministry of Forestry/UN Food and Agricultur Organisation. Jakarta.
Newman, M.F., P.F. Burgess dan T.C. Whitmore. 1999. Manual of Dipterocarps Series (Sumatra, Kalimantan, Jawa to Nugini). Prosea-Indonesia. Bogor.
Odum, E.P. 1994. Fundamentals of Ecology, Third Edition. T. Samingan (terj.). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 607p.
Peraturan Pemerintah RI No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency. Bogor.
104 105RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Pomeroy, D. 1992. Counting Birds. African Wildlife Foundation. Nairobi, Kenya.
Reid, W.V. 1992. How Many Species Will There Be ?. In Whitmore, T.C. and J.A. Sayer (eds). Tropical Deforestation and Species Extinction. Chapman & Hall. London.
Richard & Steven, 1988. Forest Ecosystem : Academic Press. San Diego. California. Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.
Samingan, T. 1997. Kondisi Ideal Aspek Vegetasi Suatu Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah di Hutan Produksi. Laboratorium Ekologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sastrapradja, S., S. Adisoemarto, K. Kartawinata, D.S. dan M. Rifai. 1989. Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan hidup Bangsa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi LIPI. Bogor.
Shaw, J. 1985. Introduction to Wildlife Management. McGraw-Hill Book Company. New York.
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya.
Soerianegara, I & A. Indrawan. 1980. Ekologi Hutan. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Soerianegara, I. 1978. Diktat Ekologi Hutan. Pusat Pendidikan Kehutanan Cepu. Direksi Perum Perhutani. Cepu.
Steenis, CGGJ van. 1981. Flora, untuk sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Steenis, C.G.G.J. Van. 2006. Flora Pegunungan Jawa. Pusat Penelitian Biologi – LIPI. Bogor, Indonesia.
Sutherland, W.J. 2004. Mammals. Pp. 260 – 280 In Sutherland, W.J. (ed). Ecological Census Techniques, A Hanbook. Cambridge University Press. Sambridge, UK.
Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency. Bogor.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 tentang ratifikasi Konvensi PBB untuk Keanekaragaman Hayati (Convension on Biodiversity).
UNEP. 2001. Indicators And Environmental Impact Assessment. UNEP/CBD/SBSTTA/7/13. Seventh meeting Montreal, 12-16 November 2001
Universitas Gajah Mada [UGM]. 2011. Survey Kondisi Tumbuhan Dan Satwa Liar Taman Nasional Gunung Merapi Paska Erupsi Tahun 2010. Kerjasama Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Yogyakarta.
Van Lavieren, L.P. 1983. Wildlife Management in The Tropics, II. School of Environmental Conservation management. Bogor.
Wiersum, K.F. 1973. Syllabus Wildlife Utilization and Management in Tropical Regions. Nature Conservation Department, Agricultural University, Wageningen.
104 105RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Pomeroy, D. 1992. Counting Birds. African Wildlife Foundation. Nairobi, Kenya.
Reid, W.V. 1992. How Many Species Will There Be ?. In Whitmore, T.C. and J.A. Sayer (eds). Tropical Deforestation and Species Extinction. Chapman & Hall. London.
Richard & Steven, 1988. Forest Ecosystem : Academic Press. San Diego. California. Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.
Samingan, T. 1997. Kondisi Ideal Aspek Vegetasi Suatu Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah di Hutan Produksi. Laboratorium Ekologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sastrapradja, S., S. Adisoemarto, K. Kartawinata, D.S. dan M. Rifai. 1989. Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan hidup Bangsa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi LIPI. Bogor.
Shaw, J. 1985. Introduction to Wildlife Management. McGraw-Hill Book Company. New York.
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya.
Soerianegara, I & A. Indrawan. 1980. Ekologi Hutan. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Soerianegara, I. 1978. Diktat Ekologi Hutan. Pusat Pendidikan Kehutanan Cepu. Direksi Perum Perhutani. Cepu.
Steenis, CGGJ van. 1981. Flora, untuk sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Steenis, C.G.G.J. Van. 2006. Flora Pegunungan Jawa. Pusat Penelitian Biologi – LIPI. Bogor, Indonesia.
Sutherland, W.J. 2004. Mammals. Pp. 260 – 280 In Sutherland, W.J. (ed). Ecological Census Techniques, A Hanbook. Cambridge University Press. Sambridge, UK.
Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency. Bogor.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 tentang ratifikasi Konvensi PBB untuk Keanekaragaman Hayati (Convension on Biodiversity).
UNEP. 2001. Indicators And Environmental Impact Assessment. UNEP/CBD/SBSTTA/7/13. Seventh meeting Montreal, 12-16 November 2001
Universitas Gajah Mada [UGM]. 2011. Survey Kondisi Tumbuhan Dan Satwa Liar Taman Nasional Gunung Merapi Paska Erupsi Tahun 2010. Kerjasama Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Yogyakarta.
Van Lavieren, L.P. 1983. Wildlife Management in The Tropics, II. School of Environmental Conservation management. Bogor.
Wiersum, K.F. 1973. Syllabus Wildlife Utilization and Management in Tropical Regions. Nature Conservation Department, Agricultural University, Wageningen.
106 107RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
BACAAN ON LINE
PUSTAKA
[SER Primer ] The SER International Primer on Ecological Restoration. 2004. Society for Ecological Restoration International Science & Policy Working Group (Version 2, October, 2004) (1). http://www.ser.org/content/ ecological_restoration_primer.asp. Diakses tanggal 20 Maret 2006.
BI Rilis Data Kerugian Ekonomi Akibat Merapi. Senin, 15 November 2010 | 19:25 WIB. http://www.tempo.co/read/news/2010/11/15/087292088/BI-Rilis-Data-Kerugian-Ekonomi-Akibat-Merapi
Biodiversity Inclusive Impact Assessment. Information document in support of the CBD Guidelines on Biodiversity in EIA and SEA. Version July 2005. http://www.cbd.int/doc/reviews/impact/information-guidelines.pdf.
Clewell, A., J. Rieger, and J. Munro. 2005. Society for Ecological Restoration International: Guidelines for Developing and Managing Ecological Restoration Projects, 2nd Edition. http://www.ser.org/pdf/SER_International_Guidelines.pdf. Diunduh Tanggal 5 Maret 2011.
Dierben, K. 2006. Sustainability, Landscape Services, Ecosystem Health, Ecological Integrity and Ecosystem Management. http://www.ecology.uni-kiel.de. Diunduh Tanggal 20 Maret 2006.
Endangered Wildlife Trust And Regenesis. 2006 Biodiversity And The Eia Process : Considering Biodiversity In The Eia Process. http://www.eiatoolkit.ewt.org.za/process. Diakses 11 April 2008.
Erupsi Merapi 2010 Hampir Menyamai Erupsi 1872. Sabtu, 06 November 2010 | 14:07 WIB. http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/11/06/brk, 20101106-289866,id.html. Diunduh Tanggal 17-11-2010.
Erupsi Merapi Rugikan Sektor Peternakan Rp149 Miliar. Jumat, 26 November 2010 01:02 WIB. http://www.antaranews.com/news/235055/erupsi-merapi-rugikan-sektor-peternakan-rp149-miliar
Erupsi Merapi Rusak 867 Hektare Hutan. Selasa, 9 November 2010 02:31 WIB. http://www.antaranews.com/berita/1289244701/erupsi-merapi-rusak-867-hektare-hutan. Diunduh Tanggal 17-11-2010.
Erupsi Merapi Tahun Ini Terburuk dalam100 Tahun Terakhir. Kamis, 4 November 2010 19:14 WIB. http://nasional.tvone.co.id/berita/view/45313/ 2010/11/04/erupsi_merapi_tahun_ini_terburuk_dalam100_tahun_terakhir. Diunduh Tanggal 17-11-2010.
Hill, D., M. Fasham, G. Tucker, M. Shewry and P. Shaw (eds). 2005. Handbook of Biodiversity Methods: Survey, Evaluation and Monitoring. Cambridge University Press. www. Cambrisdge.org. Diakses tanggal 11-12-2008.
http://artikata.com/arti-87894-herbarium.html
http://bisniskeuangan.kompas.com . Percepat Restorasi Kawasan http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/01/28/05205961/Percepat.Restorasi.Kawasan. Jumat, 28 Januari 2011. Diakses tanggal 10 November 2011
http://dictionary.reference.com/browse/exotic
http://duniagil.wordpress.com/2011/03/06/suksesi/
http://en.wikipedia.org/wiki/Ecological_succession
http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat
http://en.wikipedia.org/wiki/Indigenous_%28ecology%29
http://en.wikipedia.org/wiki/Vegetation
http://id.termwiki.com/ID:stakeholder_%E2%82%83
http://id.wikipedia.org. Letusan Merapi 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Letusan_ Merapi_2010. Diakses tanggal 10 November 2011.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ekosistem
http://id.wikipedia.org/wiki/Spesies. Diakses tanggal 20-03-2008.
http://istilahkata.com/herbarium.html
http://konselingnur.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_25.html
http://merbabu.com. Satwa Merapi pindah ke Merbabu. http://merbabu.com. November 11, 2010. Diakses tanggal 10 November 2011
http://nationalgeographic.co.id. Pemulihan Ekosistem Merapi Pascaerupsi. http://nationalgeographic.co.id/lihat/berita/1668/pemulihan-ekosistem-merapi-pascaerupsi. 28-07-2011. Diakses tanggal 10 November 2011
http://news.solowebspace.com/ update-jumlah-korban-letusan-gunung-merapi.html. Update Jumlah Korban Letusan Gunung Merapi
http://oxforddictionaries.com/definition/english/exotic
http://pengertian-definisi.blogspot.com/2010/10/definisi-suksesi-primer.html
http://science.yourdictionary.com/habitat
http://suaramerdeka.com . Satwa Dilindungi Dievakuasi dari Lereng Merapi. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/11/01/69340/Satwa-Dilindungi-Dievakuasi-dari-Lereng-Merapi. Diakses tanggal 10 November 2011
http://tipswisatamurah.blogspot.com . Macan Tutul Merapi Turun Gunung. http://tipswisatamurah.blogspot.com/2010/11/macan-tutul-merapi-turun gunung.html. Diakses tanggal 10 November 2011
http://wartaonline.com . Macan Kumbang Masih ada di Merapi http://wartaonline.com/news/macan-kumbang-masih-ada-di-merapi-1469/. November 19, 2010. Diakses tanggal 10 November 2011.
http://www.answers.com/topic/indigenous
http://www.antaranews.com. Ratusan Satwa Merapi Bermigrasi. http://www.antaranews.com/berita/1289721859/ratusan-satwa-merapi-bermigrasi. Minggu, 14 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011
http://www.biology-online.org/dictionary/Indigenous
http://www.biology-online.org/dictionary/Trophic_level
http://www.biology-online.org/dictionary/Trophic_pyramid
http://www.biology-online.org/dictionary/Trophic_pyramid
http://www.iucn.org/themes/business/ mining/paperrobert.pdf. Integrating
106 107RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
BACAAN ON LINE
PUSTAKA
[SER Primer ] The SER International Primer on Ecological Restoration. 2004. Society for Ecological Restoration International Science & Policy Working Group (Version 2, October, 2004) (1). http://www.ser.org/content/ ecological_restoration_primer.asp. Diakses tanggal 20 Maret 2006.
BI Rilis Data Kerugian Ekonomi Akibat Merapi. Senin, 15 November 2010 | 19:25 WIB. http://www.tempo.co/read/news/2010/11/15/087292088/BI-Rilis-Data-Kerugian-Ekonomi-Akibat-Merapi
Biodiversity Inclusive Impact Assessment. Information document in support of the CBD Guidelines on Biodiversity in EIA and SEA. Version July 2005. http://www.cbd.int/doc/reviews/impact/information-guidelines.pdf.
Clewell, A., J. Rieger, and J. Munro. 2005. Society for Ecological Restoration International: Guidelines for Developing and Managing Ecological Restoration Projects, 2nd Edition. http://www.ser.org/pdf/SER_International_Guidelines.pdf. Diunduh Tanggal 5 Maret 2011.
Dierben, K. 2006. Sustainability, Landscape Services, Ecosystem Health, Ecological Integrity and Ecosystem Management. http://www.ecology.uni-kiel.de. Diunduh Tanggal 20 Maret 2006.
Endangered Wildlife Trust And Regenesis. 2006 Biodiversity And The Eia Process : Considering Biodiversity In The Eia Process. http://www.eiatoolkit.ewt.org.za/process. Diakses 11 April 2008.
Erupsi Merapi 2010 Hampir Menyamai Erupsi 1872. Sabtu, 06 November 2010 | 14:07 WIB. http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/11/06/brk, 20101106-289866,id.html. Diunduh Tanggal 17-11-2010.
Erupsi Merapi Rugikan Sektor Peternakan Rp149 Miliar. Jumat, 26 November 2010 01:02 WIB. http://www.antaranews.com/news/235055/erupsi-merapi-rugikan-sektor-peternakan-rp149-miliar
Erupsi Merapi Rusak 867 Hektare Hutan. Selasa, 9 November 2010 02:31 WIB. http://www.antaranews.com/berita/1289244701/erupsi-merapi-rusak-867-hektare-hutan. Diunduh Tanggal 17-11-2010.
Erupsi Merapi Tahun Ini Terburuk dalam100 Tahun Terakhir. Kamis, 4 November 2010 19:14 WIB. http://nasional.tvone.co.id/berita/view/45313/ 2010/11/04/erupsi_merapi_tahun_ini_terburuk_dalam100_tahun_terakhir. Diunduh Tanggal 17-11-2010.
Hill, D., M. Fasham, G. Tucker, M. Shewry and P. Shaw (eds). 2005. Handbook of Biodiversity Methods: Survey, Evaluation and Monitoring. Cambridge University Press. www. Cambrisdge.org. Diakses tanggal 11-12-2008.
http://artikata.com/arti-87894-herbarium.html
http://bisniskeuangan.kompas.com . Percepat Restorasi Kawasan http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/01/28/05205961/Percepat.Restorasi.Kawasan. Jumat, 28 Januari 2011. Diakses tanggal 10 November 2011
http://dictionary.reference.com/browse/exotic
http://duniagil.wordpress.com/2011/03/06/suksesi/
http://en.wikipedia.org/wiki/Ecological_succession
http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat
http://en.wikipedia.org/wiki/Indigenous_%28ecology%29
http://en.wikipedia.org/wiki/Vegetation
http://id.termwiki.com/ID:stakeholder_%E2%82%83
http://id.wikipedia.org. Letusan Merapi 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Letusan_ Merapi_2010. Diakses tanggal 10 November 2011.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ekosistem
http://id.wikipedia.org/wiki/Spesies. Diakses tanggal 20-03-2008.
http://istilahkata.com/herbarium.html
http://konselingnur.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_25.html
http://merbabu.com. Satwa Merapi pindah ke Merbabu. http://merbabu.com. November 11, 2010. Diakses tanggal 10 November 2011
http://nationalgeographic.co.id. Pemulihan Ekosistem Merapi Pascaerupsi. http://nationalgeographic.co.id/lihat/berita/1668/pemulihan-ekosistem-merapi-pascaerupsi. 28-07-2011. Diakses tanggal 10 November 2011
http://news.solowebspace.com/ update-jumlah-korban-letusan-gunung-merapi.html. Update Jumlah Korban Letusan Gunung Merapi
http://oxforddictionaries.com/definition/english/exotic
http://pengertian-definisi.blogspot.com/2010/10/definisi-suksesi-primer.html
http://science.yourdictionary.com/habitat
http://suaramerdeka.com . Satwa Dilindungi Dievakuasi dari Lereng Merapi. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/11/01/69340/Satwa-Dilindungi-Dievakuasi-dari-Lereng-Merapi. Diakses tanggal 10 November 2011
http://tipswisatamurah.blogspot.com . Macan Tutul Merapi Turun Gunung. http://tipswisatamurah.blogspot.com/2010/11/macan-tutul-merapi-turun gunung.html. Diakses tanggal 10 November 2011
http://wartaonline.com . Macan Kumbang Masih ada di Merapi http://wartaonline.com/news/macan-kumbang-masih-ada-di-merapi-1469/. November 19, 2010. Diakses tanggal 10 November 2011.
http://www.answers.com/topic/indigenous
http://www.antaranews.com. Ratusan Satwa Merapi Bermigrasi. http://www.antaranews.com/berita/1289721859/ratusan-satwa-merapi-bermigrasi. Minggu, 14 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011
http://www.biology-online.org/dictionary/Indigenous
http://www.biology-online.org/dictionary/Trophic_level
http://www.biology-online.org/dictionary/Trophic_pyramid
http://www.biology-online.org/dictionary/Trophic_pyramid
http://www.iucn.org/themes/business/ mining/paperrobert.pdf. Integrating
108 109RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
DAFTAR ISTILAH
Kawasan Suaka Alam (KSA) :
Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah
sistem penyangga kehidupan.
Kawasan Pelestarian Alam (KPA) :
Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang
mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Suaka Margasatwa (SM) :
Kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman
dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat
dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Cagar Alam (CA) :
Kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan
tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu
dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
Taman Nasional (TN) :
Kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan
sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Taman Hutan Raya (TAHURA) :Kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang
alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi
kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
budaya, pariwisata, dan rekreasi.
Taman Wisata Alam (TWA):
Kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan
rekreasi alam.
Keanekaragaman hayati (Biodiversity) :
Keanekaragaman organisme hidup dari berbagai sumber termasuk antara lain
daratan, lautan serta ekosistem perairan lainnya, di mana di dalamnya
merupakan bagian sistem ekologi yang kompleks. Keanekaragaman hayati
mencakup keanekaragaman dalam spesies, antar spesies dan keanekaragaman
ekosistem
Biodiversity Surveys and Assessment into Environmental Impact Assessments /Statements. Diakses Tanggal 13-02-2008.
http://www.kabarbisnis.com. Kerugian erupsi Merapi capai Rp3,56 triliun. http://www.kabarbisnis.com/read/2819637. Senin, 18 April 2011. Diakses tanggal 10 November 2011
http://www.mediaindonesia.com. ProFauna Kesulitan Evakuasi Macan Tutul di Gunung Merapi http://www.mediaindonesia.com/ . Jumat, 12 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011
http://www.merriam-webster.com/dictionary/exotic
http://www.merriam-webster.com/dictionary/habitat
http://www.republika.co.id.. Letusan Merapi 2010 Terburuk Sejak 1870. Republika, Jumat, 05 November 2010 06:12 WIB http://www.republika.co.id. Diakses tanggal 10 November 2011
http://www.sabili.co.id . Macan Merapi Turun Ke Perkampungan . Rabu, 17 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011.
http://www.slemankab.go.id/category/update-data-korban-bencana-erupsi-gunung-merapi-2010. update Data Korban Bencana Erupsi Gunung Merapi 2010.
http://www.tempointeraktif.com . Dampak Merapi, Macan Tutul dan Monyet Turun ke Pemukiman. TEMPO Interaktif, Kamis, 11 November 2010. http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/11/11/brk,20101111-291275,id.html. Diakses tanggal 10 November 2011
http://www.theebi.org/pdfs/practice.pdf. Diakses tanggal 20-03-2008
http://www.thefreedictionary.com/colonization
http://www.thefreedictionary.com/ecological+succession
http://www.thefreedictionary.com/exotic
http://www.thefreedictionary.com/habitat
http://www.thefreedictionary.com/vegetation
Maginnis, A. And W. Jackson. 2006. Restoring Forest Landscapes. http://www.iucn.Org/themes/fcp/publication/files/restoring_forest_landscapes. pdf. Diakses tanggal 20 Maret 2006.
Meret, J. 2007. Habitat Fragmentation and Wildlife Corridors. http://www.science. mcmaster.ca.htm. Diakses Tanggal 02-11-2007.
Sulfiantono, A. 2011. Pengelolaan Kawasan TNGM Pasca Erupsi. Kedaulatan Rakyat, 26/10/2011 http://www.kr.co.id/web/. Diakses tanggal 10 November 2011
The Energy and Biodiversity Initiative. Integrating Biodiversity into Environment and Social Impact Assessment Processes. The Center for Environment Leadership in Business. Conservation International. Washington, USA. www.TheEBI.org. Diakses tanggal 10 November 2011
Total Kerugian Erupsi Merapi Rp 7,3 T. Jumat, 28 Januari 2011, 13:43 WIB. http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/11/01/28/161187-total-kerugian-erupsi-merapi-rp-7-3-t
108 109RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
DAFTAR ISTILAH
Kawasan Suaka Alam (KSA) :
Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah
sistem penyangga kehidupan.
Kawasan Pelestarian Alam (KPA) :
Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang
mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Suaka Margasatwa (SM) :
Kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman
dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat
dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Cagar Alam (CA) :
Kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan
tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu
dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
Taman Nasional (TN) :
Kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan
sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Taman Hutan Raya (TAHURA) :Kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang
alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi
kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
budaya, pariwisata, dan rekreasi.
Taman Wisata Alam (TWA):
Kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan
rekreasi alam.
Keanekaragaman hayati (Biodiversity) :
Keanekaragaman organisme hidup dari berbagai sumber termasuk antara lain
daratan, lautan serta ekosistem perairan lainnya, di mana di dalamnya
merupakan bagian sistem ekologi yang kompleks. Keanekaragaman hayati
mencakup keanekaragaman dalam spesies, antar spesies dan keanekaragaman
ekosistem
Biodiversity Surveys and Assessment into Environmental Impact Assessments /Statements. Diakses Tanggal 13-02-2008.
http://www.kabarbisnis.com. Kerugian erupsi Merapi capai Rp3,56 triliun. http://www.kabarbisnis.com/read/2819637. Senin, 18 April 2011. Diakses tanggal 10 November 2011
http://www.mediaindonesia.com. ProFauna Kesulitan Evakuasi Macan Tutul di Gunung Merapi http://www.mediaindonesia.com/ . Jumat, 12 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011
http://www.merriam-webster.com/dictionary/exotic
http://www.merriam-webster.com/dictionary/habitat
http://www.republika.co.id.. Letusan Merapi 2010 Terburuk Sejak 1870. Republika, Jumat, 05 November 2010 06:12 WIB http://www.republika.co.id. Diakses tanggal 10 November 2011
http://www.sabili.co.id . Macan Merapi Turun Ke Perkampungan . Rabu, 17 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011.
http://www.slemankab.go.id/category/update-data-korban-bencana-erupsi-gunung-merapi-2010. update Data Korban Bencana Erupsi Gunung Merapi 2010.
http://www.tempointeraktif.com . Dampak Merapi, Macan Tutul dan Monyet Turun ke Pemukiman. TEMPO Interaktif, Kamis, 11 November 2010. http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/11/11/brk,20101111-291275,id.html. Diakses tanggal 10 November 2011
http://www.theebi.org/pdfs/practice.pdf. Diakses tanggal 20-03-2008
http://www.thefreedictionary.com/colonization
http://www.thefreedictionary.com/ecological+succession
http://www.thefreedictionary.com/exotic
http://www.thefreedictionary.com/habitat
http://www.thefreedictionary.com/vegetation
Maginnis, A. And W. Jackson. 2006. Restoring Forest Landscapes. http://www.iucn.Org/themes/fcp/publication/files/restoring_forest_landscapes. pdf. Diakses tanggal 20 Maret 2006.
Meret, J. 2007. Habitat Fragmentation and Wildlife Corridors. http://www.science. mcmaster.ca.htm. Diakses Tanggal 02-11-2007.
Sulfiantono, A. 2011. Pengelolaan Kawasan TNGM Pasca Erupsi. Kedaulatan Rakyat, 26/10/2011 http://www.kr.co.id/web/. Diakses tanggal 10 November 2011
The Energy and Biodiversity Initiative. Integrating Biodiversity into Environment and Social Impact Assessment Processes. The Center for Environment Leadership in Business. Conservation International. Washington, USA. www.TheEBI.org. Diakses tanggal 10 November 2011
Total Kerugian Erupsi Merapi Rp 7,3 T. Jumat, 28 Januari 2011, 13:43 WIB. http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/11/01/28/161187-total-kerugian-erupsi-merapi-rp-7-3-t
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Ekosistem :
Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto, 1983). Ekosistem bisa
dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara
segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi (Hutagalung,
2010). Contoh ekosistem hutan hujan tropis, ekosistem sabana, ekosistem
gurun, ekosistem hutan gugur, dll.
Komunitas :
Kumpulan berbagai populasi dalam suatu wilayah tertentu
Populasi :
Kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang saling
berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan waktu
tertentu
Spesies (jenis) :
Suatu takson yang dipakai dalam taksonomi untuk menunjuk pada satu atau
beberapa kelompok individu (populasi) yang serupa dan dapat saling membuahi
satu sama lain di dalam kelompoknya (saling membagi gen) namun tidak dapat
dengan anggota kelompok yang lain
Spesies kunci (Keystone species) :
Merupakan spesies yang memiliki pengaruh besar pada lingkungannya,
mempengaruhi banyak organisme lain dalam ekosistem dan menentukan tipe
dan jumlah berbagai speises dalam suatu komunitas. Banyak hewan
pemangsa merupakan spesies kunci, seperti macan tutul di jawa
Invasive Alien Species :
Spesies asing (bukan asli) yang keberadaannya sudah mengganggu dan
mengancam keberadaan spesies asli dan endemik
Satwa atau Tumbuhan dilindungi :
Satwa dan tumbuhan yang dilindungi berdasarkan PP no. 7 tahun 1990.
Daerah jelajah (home range) :
Kegiatan yang dimaksudkan untuk memulai atau mempercepat pemulihan
ekosistem dengan tujuan kesehatan, integritas dan kelestarian ekosistem.
Kegiatannya meliputi banyak aspek seperti pengendalian erosi, gulma dan
spesies asing invasif, penghutanan kembali, penggunaan spesies asli,
revegetasi, reintroduksi dan pembinaan habitat satwa target.
Daerah Aliran Sungai (DAS) :
Suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan
anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara
alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut
sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. (PP
No 37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1)
110 111RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Rantai makanan :
Perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri
organisme atau melalui jenjang makan (Tumbuhan – Herbivora karnivora –
Omnivora).
Trophic level :
Suatu posisi dalam suatu rantai makanan yang ditempati oleh kelompok
organisme yang memiliki makanan yang serupa, bisanya digambarkan sebagai
piramida untuk menggambarkan hubungan makan-memakan dari beberapa
kelompok organisme dan distribusi biomasa atau energinya di antara trophic
level pada suatu ekosistem.
Vegetasi :
Istilah umum untuk menyebut komunitas tumbuh-tumbuhan dari suatu
wilayah, misalnya vegetasi mangrove, vegetasi pantai, vegetasi kebun
budidaya dll.; seluruh tumbuh-tumbuhan penutup (cover) tanah.
Habitat :
Suatu areal atau lingkungan dimana suatu organisme atau komunitas ekologi
secara alami hidup dan berkembang. Habitat merupakan wilayah atau
lingkungan ekologis yang dihuni oleh spesies atau populasi (tumbuhan, hewan
atau mikroorganisme).
Daya lenting ekosistem :
Kemampuan ekosistem untuk memulihkan dirinya sendiri menuju keadaan
seimbang setelah mengalami perubahan atau gangguan
Kolonisasi vegetasi :
Suatu proses dimana satu atau lebih spesies tumbuhan menempati atau
mendiami suatu wilayah membentuk koloni atau komunitas tumbuhan
Suksesi Ekologi :
Proses perubahan sturktur spesies tumbuhan secara bertahap dan teratur
dalam suatu komunitas ekologi dari waktu ke waktu menuju satu arah yaitu
keseimbangan klimaks.
Suksesi Primer :
Suksesi pada areal yang belum pernah ada vegetasinya atau sudah pernah ada
vegetasinya, kemudian terganggu yang menyebabkan komunitas yang ada
hilang total dan terbentuk habitat baru sehingga pada substrat yang baru ini
akan berkembang suatu komunitas yang baru.
Suksesi Sekunder :
Suksesi pada habitat yang pernah ada vegetasinya kemudian terganggu namun
tidak merusak total organisme sehingga dalam komunitas tersebut, substrat
lama dan kehidupan masih ada.
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Ekosistem :
Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto, 1983). Ekosistem bisa
dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara
segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi (Hutagalung,
2010). Contoh ekosistem hutan hujan tropis, ekosistem sabana, ekosistem
gurun, ekosistem hutan gugur, dll.
Komunitas :
Kumpulan berbagai populasi dalam suatu wilayah tertentu
Populasi :
Kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang saling
berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan waktu
tertentu
Spesies (jenis) :
Suatu takson yang dipakai dalam taksonomi untuk menunjuk pada satu atau
beberapa kelompok individu (populasi) yang serupa dan dapat saling membuahi
satu sama lain di dalam kelompoknya (saling membagi gen) namun tidak dapat
dengan anggota kelompok yang lain
Spesies kunci (Keystone species) :
Merupakan spesies yang memiliki pengaruh besar pada lingkungannya,
mempengaruhi banyak organisme lain dalam ekosistem dan menentukan tipe
dan jumlah berbagai speises dalam suatu komunitas. Banyak hewan
pemangsa merupakan spesies kunci, seperti macan tutul di jawa
Invasive Alien Species :
Spesies asing (bukan asli) yang keberadaannya sudah mengganggu dan
mengancam keberadaan spesies asli dan endemik
Satwa atau Tumbuhan dilindungi :
Satwa dan tumbuhan yang dilindungi berdasarkan PP no. 7 tahun 1990.
Daerah jelajah (home range) :
Kegiatan yang dimaksudkan untuk memulai atau mempercepat pemulihan
ekosistem dengan tujuan kesehatan, integritas dan kelestarian ekosistem.
Kegiatannya meliputi banyak aspek seperti pengendalian erosi, gulma dan
spesies asing invasif, penghutanan kembali, penggunaan spesies asli,
revegetasi, reintroduksi dan pembinaan habitat satwa target.
Daerah Aliran Sungai (DAS) :
Suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan
anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara
alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut
sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. (PP
No 37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1)
110 111RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
Rantai makanan :
Perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri
organisme atau melalui jenjang makan (Tumbuhan – Herbivora karnivora –
Omnivora).
Trophic level :
Suatu posisi dalam suatu rantai makanan yang ditempati oleh kelompok
organisme yang memiliki makanan yang serupa, bisanya digambarkan sebagai
piramida untuk menggambarkan hubungan makan-memakan dari beberapa
kelompok organisme dan distribusi biomasa atau energinya di antara trophic
level pada suatu ekosistem.
Vegetasi :
Istilah umum untuk menyebut komunitas tumbuh-tumbuhan dari suatu
wilayah, misalnya vegetasi mangrove, vegetasi pantai, vegetasi kebun
budidaya dll.; seluruh tumbuh-tumbuhan penutup (cover) tanah.
Habitat :
Suatu areal atau lingkungan dimana suatu organisme atau komunitas ekologi
secara alami hidup dan berkembang. Habitat merupakan wilayah atau
lingkungan ekologis yang dihuni oleh spesies atau populasi (tumbuhan, hewan
atau mikroorganisme).
Daya lenting ekosistem :
Kemampuan ekosistem untuk memulihkan dirinya sendiri menuju keadaan
seimbang setelah mengalami perubahan atau gangguan
Kolonisasi vegetasi :
Suatu proses dimana satu atau lebih spesies tumbuhan menempati atau
mendiami suatu wilayah membentuk koloni atau komunitas tumbuhan
Suksesi Ekologi :
Proses perubahan sturktur spesies tumbuhan secara bertahap dan teratur
dalam suatu komunitas ekologi dari waktu ke waktu menuju satu arah yaitu
keseimbangan klimaks.
Suksesi Primer :
Suksesi pada areal yang belum pernah ada vegetasinya atau sudah pernah ada
vegetasinya, kemudian terganggu yang menyebabkan komunitas yang ada
hilang total dan terbentuk habitat baru sehingga pada substrat yang baru ini
akan berkembang suatu komunitas yang baru.
Suksesi Sekunder :
Suksesi pada habitat yang pernah ada vegetasinya kemudian terganggu namun
tidak merusak total organisme sehingga dalam komunitas tersebut, substrat
lama dan kehidupan masih ada.
Jenis Asli (Indignuous) :
Jenis asli dari suatu wilayah atau ekosistem jika kehadirannya merupakan hasil
proses alami tanpa campur tangan manusia. Jenis yang hidup di dalam daerah
sebaran alaminya sendiri. Jenis asli tidak harus (tidak selalu) merupakan jenis
endemik. Jenis asli suatu lokasi, mungkin juga ditemukan di tempat lain, tetapi
merupakan jenis asli di tempat ia ditemukan.
Jenis Asing (Exotic or Alien Species) :
Jenis asing yang berada di luar daerah sebaran alaminya; jenis yang berasal dari
tempat lain yang jauh; bukan merupakan jenis asli di tempat ia ditemukan;
memiliki asal dan karakter asing; jenis yang diintroduksi atau didatangkan dari
negara lain tetapi tidak sepenuhnya mengalami naturalisasi atau aklimatisasi
Jenis endemik (Endemic) :
Jenis yang secara ekslusive merupakan jenis asli dari suatu tempat tertentu.
Ekosistem referensi :
Ekosistem yang menjadi acuan dalam restorasi ekosistem. Struktur dan komposisi
vegetasinya menjadi acuan dalam pemilihan jenis tanaman dan pola
penanamannya.
Stakeholder :
Atau sering diterjemahkan “para pihak” atau “pemangku kepentingan” adalah
individu atau organisasi yang secara aktif terlibat dalam suatu kegiatan atau
proyek; atau yang memiliki minat sangat signifikan, kepentingan, pengaruh atau
dipengaruhi oleh kegiatan (proyek) tersebut baik positif maupun negatif
Herbarium :
Sekumpulan contoh tumbuhan yg dikeringkan (diawetkan), diberi nama,
disimpan, dan diatur berdasarkan sistem klasifikasi, digunakan dl penelitian
botani
Kolaborasi :
Bentuk kerjasama, interaksi, kompromi beberapa elemen yang terkait baik
individu, lembaga dan atau pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak
langsung yang menerima akibat dan manfaat. Nilai-nilai yang mendasari sebuah
kolaborasi adalah tujuan yang sama, kesamaan persepsi, kemauan untuk
berproses, saling memberikan manfaat, kejujuran, kasih sayang serta berbasis
masyarakat. (cifor/pili, 2005)
Hutan pegunungan :
Hutan yang tumbuh dan berkembang pada daerah pegunungan pada ketinggian
antara 1200 s/d 3350 meter di atas permukaan laut (Van Steenis, 1950).
Daya dukung ekosistem :
Kemampuan ekosistem dalam mendukung kehidupan berbagai makhluk hidup
di dalamnya
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
INDEX
112 113RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
AAcacia 5, 21, 22, 23Agathis 5, 31, 34Albizia 22Alien 2, 21Alluvial 6Ande-ande 51Andosol 6Aquakeeper 33, 34Aquasorb 33Aren 52Arenga 52Artocarpus 22, 23
BBabi hutan 6, 10, 11, 16Balikangin 84Benih 20, 29, 32, 36Beringin 22, 26, 66Bibit 28, 29, 32Bintami 89Bintangur 54Bischofia 53Buni 51, 65
CCabutan 32Calliandra 22, 23Calophyllum 54Cananga 55Cangcaratan 86Cangkok 32, 75, 94Cangkring 62Cantigi 99Castanopsis 56Cempaga 60Cemplongan 32Cinnamomum 5, 57Cover crops 31, 33Cratoxylum 58Croton 59
DDadap 22, 26, 63, 64Dalbergia 22, 23Daya lenting 20, 21, 25Degradasi 2, 21, 22, 23, 34, 36, 37
Dominansi 27, 29Duwet 94Dysoxylum 60
EEksotik 5, 21, 22, 23Elo 69, 72Endemik 4, 15Endemisitas 28Engelhardia 61Erosi 31, 32, 63, 110Erythrina 4, 22, 62, 63, 64
FFeces 20Ficus 4, 21, 22, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71Flacourtia 72Frekuensi 16, 27, 29, 30, 31
GGalearia 73Generatif 32Gintungan 26, 53Girang 81Glochidion 74, 75Gondang 22, 71Gorang 96
HHabitat 15, 16, 17, 21, 26, 27, 29, 30, 36Hamerang 68Helicia 22, 76Herbarium 28, 39Hibiscus 77, 78
Dempul 74
Jenis Asli (Indignuous) :
Jenis asli dari suatu wilayah atau ekosistem jika kehadirannya merupakan hasil
proses alami tanpa campur tangan manusia. Jenis yang hidup di dalam daerah
sebaran alaminya sendiri. Jenis asli tidak harus (tidak selalu) merupakan jenis
endemik. Jenis asli suatu lokasi, mungkin juga ditemukan di tempat lain, tetapi
merupakan jenis asli di tempat ia ditemukan.
Jenis Asing (Exotic or Alien Species) :
Jenis asing yang berada di luar daerah sebaran alaminya; jenis yang berasal dari
tempat lain yang jauh; bukan merupakan jenis asli di tempat ia ditemukan;
memiliki asal dan karakter asing; jenis yang diintroduksi atau didatangkan dari
negara lain tetapi tidak sepenuhnya mengalami naturalisasi atau aklimatisasi
Jenis endemik (Endemic) :
Jenis yang secara ekslusive merupakan jenis asli dari suatu tempat tertentu.
Ekosistem referensi :
Ekosistem yang menjadi acuan dalam restorasi ekosistem. Struktur dan komposisi
vegetasinya menjadi acuan dalam pemilihan jenis tanaman dan pola
penanamannya.
Stakeholder :
Atau sering diterjemahkan “para pihak” atau “pemangku kepentingan” adalah
individu atau organisasi yang secara aktif terlibat dalam suatu kegiatan atau
proyek; atau yang memiliki minat sangat signifikan, kepentingan, pengaruh atau
dipengaruhi oleh kegiatan (proyek) tersebut baik positif maupun negatif
Herbarium :
Sekumpulan contoh tumbuhan yg dikeringkan (diawetkan), diberi nama,
disimpan, dan diatur berdasarkan sistem klasifikasi, digunakan dl penelitian
botani
Kolaborasi :
Bentuk kerjasama, interaksi, kompromi beberapa elemen yang terkait baik
individu, lembaga dan atau pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak
langsung yang menerima akibat dan manfaat. Nilai-nilai yang mendasari sebuah
kolaborasi adalah tujuan yang sama, kesamaan persepsi, kemauan untuk
berproses, saling memberikan manfaat, kejujuran, kasih sayang serta berbasis
masyarakat. (cifor/pili, 2005)
Hutan pegunungan :
Hutan yang tumbuh dan berkembang pada daerah pegunungan pada ketinggian
antara 1200 s/d 3350 meter di atas permukaan laut (Van Steenis, 1950).
Daya dukung ekosistem :
Kemampuan ekosistem dalam mendukung kehidupan berbagai makhluk hidup
di dalamnya
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
INDEX
112 113RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
AAcacia 5, 21, 22, 23Agathis 5, 31, 34Albizia 22Alien 2, 21Alluvial 6Ande-ande 51Andosol 6Aquakeeper 33, 34Aquasorb 33Aren 52Arenga 52Artocarpus 22, 23
BBabi hutan 6, 10, 11, 16Balikangin 84Benih 20, 29, 32, 36Beringin 22, 26, 66Bibit 28, 29, 32Bintami 89Bintangur 54Bischofia 53Buni 51, 65
CCabutan 32Calliandra 22, 23Calophyllum 54Cananga 55Cangcaratan 86Cangkok 32, 75, 94Cangkring 62Cantigi 99Castanopsis 56Cempaga 60Cemplongan 32Cinnamomum 5, 57Cover crops 31, 33Cratoxylum 58Croton 59
DDadap 22, 26, 63, 64Dalbergia 22, 23Daya lenting 20, 21, 25Degradasi 2, 21, 22, 23, 34, 36, 37
Dominansi 27, 29Duwet 94Dysoxylum 60
EEksotik 5, 21, 22, 23Elo 69, 72Endemik 4, 15Endemisitas 28Engelhardia 61Erosi 31, 32, 63, 110Erythrina 4, 22, 62, 63, 64
FFeces 20Ficus 4, 21, 22, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71Flacourtia 72Frekuensi 16, 27, 29, 30, 31
GGalearia 73Generatif 32Gintungan 26, 53Girang 81Glochidion 74, 75Gondang 22, 71Gorang 96
HHabitat 15, 16, 17, 21, 26, 27, 29, 30, 36Hamerang 68Helicia 22, 76Herbarium 28, 39Hibiscus 77, 78
Dempul 74
114RESTORASI EKOSISTEM
Gunung Merapi Pasca Erupsi
Hidrologi 2, 3, 7, 9, 11, 25, 29, 36Homalanthus 22, 79Homalium 80Huru 57, 75, 80, 82, 88Hystrix 16
IIdentifikasi 2, 3, 24, 25, 28, 29, 39, 46, 47Indikator 14, 17Intensitas 34, 36Intervensi 2, 25, 36Invasi 20, 21Invasif 20, 23, 33, 36, 110Inventarisasi 17, 28, 39, 40Ipik 66
JJamblang 94Jamuju 89Jebugan 73Jenis asing 23Jenis pohon asli 3, 21, 23, 25, 28, 29Jirak 93Jurang 96
KKareumbi 79Karnivora 10, 15, 17, 18Kawung 52Kayu batu 80Kedoya 60Kemilandingan gunung 87Kenanga 55Kendung 22, 76Keragaman 13, 14, 19, 27Kerapatan 14, 15, 21, 22, 27, 29, 31Keseragaman 13, 27Ki teja 57Kijang 6, 10, 11, 16, 17Klasifikasi 12, 34, 35, 39Klepu 86Kolonisasi 20, 21, 22, 23Kompos 33, 34Kucing hutan 6, 16
LLandak 10, 11, 16Lanskap 2, 3, 24, 25Leea 81Leucaena 22, 23Litosol 6Litsea 82Lubang tanam 32, 33Lutung 6, 10, 11, 16, 17, 26, 61, 67, 69, 71, 84, 89, 90, 91Luwak 16, 26, 62
MMacaca 6, 16, 40Macan 6, 11, 15, 16Macaranga 21, 22, 83Mallotus 22, 84Mangifera 22, 23Manis rejo 99Mara 83, 89Mareme 74, 75Marong 58Masyarakat 10, 24, 25, 28, 29, 37, 38Migrasi 15Mikoriza 32Mikroba 32Monyet 6, 10, 11, 16, 26Muntiacus 6, 16, 17Myrica 85
NNangsi 98Nauclea 4, 86Neonauclea 86Nilai Penting 27, 29, 31
OOperasi spasial 20Organik 32, 33, 34
PPanggang 65, 96Panthera 6, 15Paradoxurus 6, 16Paraserianthes 5, 21, 87Parengpeng 59
Pasir 13, 16, 21, 22, 31, 32, 33Pasang 22 26, 90, 91Pembersihan lahan 32Pemeliharaan 3, 25, 29, 32, 34, 37Penanaman 25, 28, 29, 30, 31,32, 33, 36Penyiapan lahan 32Persemaian 32Persepsi 37Phoebe 88Picisan 85, 86Pinus 5, 22, 23Podocarpus 89Polybag 33Populasi 17,32Porous 31Potting 33Predator 10, 15, 29 Preh 70Prionailurus 6, 16Psidium 22, 23Pupuk 33, 34Puspa 21, 22, 29, 31, 34, 92
QQuercus 22, 90, 91
RRantai makanan 8, 10, 11Regosol 6Rekolonisasi 20, 21, 22, 23Resiliensi 24Restorasi 2, 3, 20, 22, 24, 25, 28, 29, 31, 32, 34, 35Revegetasi 25, 31Rhizobium 32Rukem 72
SSalam 22, 95Saninten 26, 56Saradan 81Sarangan 56Satwaliar 15, 23, 30Schima 4, 21, 22, 29, 31, 92Sesbania 22, 23
Sembung 97Seuheur 51Silvikultur 31Sowo 61Stakeholder 25Stek 32, 55, 62, 63, 64, 78, 84, 93, 95 Suksesi 3, 17, 19, 20, 23, 25, 36Sus scrofa 6, 16Symplocos 93Syzygium 22, 94, 95
TTapen kebo 59Tectona 22, 23Tembagan 99Terasering 32Tisuk 77Trachypithecus 16, 17Trema 5, 21, 22Trevesia 96Tutup 21, 22, 79, 83, 84Tutup abang 79Tutup awu 83Tutup putih 22, 84
VVegetasi 3, 4, 12, 13, 14, 16, 19, 20, 21, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 33, 34, 35, 36, 37Vegetatif 32Vernonia 97Villebrunea 4, 98Vulkanik 6, 12, 14, 17, 20, 21, 23, 31
WWaru 77, 78Weinmannia 99Wilodo 21, 22, 67Wuru payung 88Wuru teja 82
ZZona 30Zonasi 34, 35
114 115RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
114RESTORASI EKOSISTEM
Gunung Merapi Pasca Erupsi
Hidrologi 2, 3, 7, 9, 11, 25, 29, 36Homalanthus 22, 79Homalium 80Huru 57, 75, 80, 82, 88Hystrix 16
IIdentifikasi 2, 3, 24, 25, 28, 29, 39, 46, 47Indikator 14, 17Intensitas 34, 36Intervensi 2, 25, 36Invasi 20, 21Invasif 20, 23, 33, 36, 110Inventarisasi 17, 28, 39, 40Ipik 66
JJamblang 94Jamuju 89Jebugan 73Jenis asing 23Jenis pohon asli 3, 21, 23, 25, 28, 29Jirak 93Jurang 96
KKareumbi 79Karnivora 10, 15, 17, 18Kawung 52Kayu batu 80Kedoya 60Kemilandingan gunung 87Kenanga 55Kendung 22, 76Keragaman 13, 14, 19, 27Kerapatan 14, 15, 21, 22, 27, 29, 31Keseragaman 13, 27Ki teja 57Kijang 6, 10, 11, 16, 17Klasifikasi 12, 34, 35, 39Klepu 86Kolonisasi 20, 21, 22, 23Kompos 33, 34Kucing hutan 6, 16
LLandak 10, 11, 16Lanskap 2, 3, 24, 25Leea 81Leucaena 22, 23Litosol 6Litsea 82Lubang tanam 32, 33Lutung 6, 10, 11, 16, 17, 26, 61, 67, 69, 71, 84, 89, 90, 91Luwak 16, 26, 62
MMacaca 6, 16, 40Macan 6, 11, 15, 16Macaranga 21, 22, 83Mallotus 22, 84Mangifera 22, 23Manis rejo 99Mara 83, 89Mareme 74, 75Marong 58Masyarakat 10, 24, 25, 28, 29, 37, 38Migrasi 15Mikoriza 32Mikroba 32Monyet 6, 10, 11, 16, 26Muntiacus 6, 16, 17Myrica 85
NNangsi 98Nauclea 4, 86Neonauclea 86Nilai Penting 27, 29, 31
OOperasi spasial 20Organik 32, 33, 34
PPanggang 65, 96Panthera 6, 15Paradoxurus 6, 16Paraserianthes 5, 21, 87Parengpeng 59
Pasir 13, 16, 21, 22, 31, 32, 33Pasang 22 26, 90, 91Pembersihan lahan 32Pemeliharaan 3, 25, 29, 32, 34, 37Penanaman 25, 28, 29, 30, 31,32, 33, 36Penyiapan lahan 32Persemaian 32Persepsi 37Phoebe 88Picisan 85, 86Pinus 5, 22, 23Podocarpus 89Polybag 33Populasi 17,32Porous 31Potting 33Predator 10, 15, 29 Preh 70Prionailurus 6, 16Psidium 22, 23Pupuk 33, 34Puspa 21, 22, 29, 31, 34, 92
QQuercus 22, 90, 91
RRantai makanan 8, 10, 11Regosol 6Rekolonisasi 20, 21, 22, 23Resiliensi 24Restorasi 2, 3, 20, 22, 24, 25, 28, 29, 31, 32, 34, 35Revegetasi 25, 31Rhizobium 32Rukem 72
SSalam 22, 95Saninten 26, 56Saradan 81Sarangan 56Satwaliar 15, 23, 30Schima 4, 21, 22, 29, 31, 92Sesbania 22, 23
Sembung 97Seuheur 51Silvikultur 31Sowo 61Stakeholder 25Stek 32, 55, 62, 63, 64, 78, 84, 93, 95 Suksesi 3, 17, 19, 20, 23, 25, 36Sus scrofa 6, 16Symplocos 93Syzygium 22, 94, 95
TTapen kebo 59Tectona 22, 23Tembagan 99Terasering 32Tisuk 77Trachypithecus 16, 17Trema 5, 21, 22Trevesia 96Tutup 21, 22, 79, 83, 84Tutup abang 79Tutup awu 83Tutup putih 22, 84
VVegetasi 3, 4, 12, 13, 14, 16, 19, 20, 21, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 33, 34, 35, 36, 37Vegetatif 32Vernonia 97Villebrunea 4, 98Vulkanik 6, 12, 14, 17, 20, 21, 23, 31
WWaru 77, 78Weinmannia 99Wilodo 21, 22, 67Wuru payung 88Wuru teja 82
ZZona 30Zonasi 34, 35
114 115RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
HENDRA GUNAWAN dilahirkan pada 3 April 1964
di Kabupaten Banjarnegara. Putera keempat dari pasangan Alimah (Ibu) dan Aswowikarto (ayah) menyelesaikan pendidikan SD (1976) dan SMP (1980) di Kabupaten Banjarnegara dan SMA di SMAN 1 Kota Cirebon (1980). Meraih gelar sarjana kehutanan (1980), Magister Sains Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (2000) dan Doktor Ilmu Kehutanan (2010) di Institut Pertanian Bogor.
Pria pecinta alam ini pernah bekerja sebagai manajer pembinaan hutan di sebuah HPH (1989-1991), kemudian menjadi Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Kehutanan sejak 1992 dengan profesi sebagai peneliti di bidang konservasi sumberdaya alam. Saat ini jabatannya adalah
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Peneliti Utama di Bidang Konservasi Sumberdaya Alam di Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kementerian Kehutanan.
Peneliti yang senang fotografi ini aktif menulis dan mengikuti seminar dan telah menghasilkan lebih dari 110 karya tulis ilmiah dan populer. Selain meneliti, penggemar jungle travelling ini juga sering diminta sebagai konsultan, narasumber, pembimbing mahasiswa, pengajar diklat dan tenaga ahli di berbagai tim dan kelompok kerja. Menjadi anggota Dewan Riset Badan Litbang Kehutanan, Dewan Redaksi di beberapa jurnal dan majalah, anggota Pokja Konservasi Badak Indonesia dan Pokja Restorasi Ekosistem Kawasan Konservasi merupakan kesibukannya akhir-akhir ini.
Pehobi birdwatching ini menaruh perhatian pada dampak lingkungan, baik akibat pembangunan maupun bencana alam. Di sela kesibukannya sebagai peneliti, masih menyempatkan diri menjadi penyusun AMDAL dan telah mendapatkan sertifikasi kompetensi Ketua Tim Penyusun AMDAL (KTPA) dengan bidang keahlian dampak ekologis.
Penggemar pecel dan gado-gado ini menikah dengan Retno Widianingsih dan telah dikaruniai tiga anak yaitu Priyahita Adhika Putera Rendra (Apoteker); Pradnya Paramarta Raditya Rendra (Geologis) dan Sistha Anindita Pinastika Heningtyas yang masih kuliah di Fakultas Farmasi UNPAD.
Buku-buku yang pernah ditulis sebagai bahan ajar dan diklat (belum diterbitkan secara komersial) antara lain : Dasar-Dasar Pengenalan Dan Identifikasi Satwaliar (2008), Ekologi dan Konservasi karnivora (2007), dan Fragmentasi Hutan : Aplikasi Teori Biogeografi Pulau dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati (2007).
Kegiatan yang sedang disibukinya saat ini antara lain melanjutkan penelitian Restorasi Ekosistem Gunung Merapi, penelitian Sebaran Macan Tutul Di Jawa Barat, penyusunan buku Bioekologi dan Konservasi Badak Indonesia, buku Restorasi Ekosistem Pegunungan Pasca Perambahan Di Gunung Ciremai dan buku Penanganan Satwaliar Pasca Erupsi Gunung Merapi.
SUGIARTI lahir di Sukabumi tanggal 6 Juli 1968 adalah
puteri dari pasangan Anna Mulyana Rodiah (ibu) dan Abdulrachim Kertowitjitro (ayah). Puteri pertama dari dua bersaudara ini menamatkan pendidikan dasarnya di Kota Bandung yaitu di SDN Merdeka V (1981), SMPN 5 (1984) dan SMAN 3 (1987).
Setamat SMA melanjutkan pendidikan tinggi di UNPAD dan mendapatkan gelar sarjana pertanian (1992) di bidang agronomi. Selain itu juga mendapatkan pendidikan keahlian di Study Oleaceae University Pertanian Malaysia (1995) dan Masterclass in Research Communication, Canberra University (2000)
Berkarir sebagai Pegawai Negeri Sipil di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor – LIPI tahun 1994, ia pernah menjabat sebagai Kepala seksi Jasa Ilmiah (1998-2000) dan Kepala Subbagian Jasa dan Informasi (2000-2007). Saat ini jabatannya adalah Humas Program Pembangunan Kebun Raya Indonesia. Disamping itu juga aktif menjadi Pengurus Forum Pranata Humas LIPI dan Ketua Bidang Humas Perhimpunan Biologi Indonesia.
Pengalaman lainnya diantaranya menjadi tenaga ahli dan pendamping pembangunan kebun raya, panitia Hari Cinta Puspa & Satwa Nasional, Konservasi Tumbuhan dan Pendidikan Lingkungan dengan UNESCO (2003-2006), Koordinator children club di Ecopark dengan Botanic Gardens Conservation International (2005). Karya monumentalnya adalah menjadi Koordinator pembangunan Ecology Park Cibinong Science Center, LIPI (2003-2011). Saat ini Ibu dua orang anak ini sedang sibuk dengan proyek Sosialisasi Pembangunan 21 Kebun Raya Baru di Indonesia.
Fungsional Humas yang gemar fotografi ini pernah terlibat dalam penulisan berbagai buku, baik sebagai tim penulis maupun kontributor. Ia antara lain menjadi kontributor buku The Flora of Bukit Tigapuluh National Park, Kerumutan Sanctuary and Mahato Protective Reserve, Riau Indonesia (1998), Seri Koleksi Tanaman Air Kebun Raya Bogor vol.1 no.5 (2004), dan Diversitas Ekosistem Alami Indonesia – ungkapan singkat dengan sajian foto dan gambar (2013).
Sebagai anggota tim penulis buku antara lain : Manual Pembangunan Kebun Raya (2006), Flora dan Fauna Dalam Perangko (2007), Sekolahku Peduli, Ayo Kita Menanam (2009), Penetapan Prioritas Kawasan Untuk Pembangunan Kebun Raya Baru di Indonesia (2010), Ensiklopedia Flora (2010), Pesona Warna Alami Indonesia (2011), Rencana Pengembangan Kebun Raya Indonesia (2012) dan sebagai penulis pertama Buku saku: Keluarga Dipterocarpaceae di Ecopark Cibinong Science Center LIPI (2012).
Wanita karir yang penyayang keluarga ini menikah dengan Ahmad Zaky Budiman dan telah dikarunia sepasang putera-puteri yaitu Ahmad Faza (masih kuliah) dan Adelia Anjani (kelas 6 SD).
RIWAYAT HIDUP PENULIS
116 117RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
HENDRA GUNAWAN dilahirkan pada 3 April 1964
di Kabupaten Banjarnegara. Putera keempat dari pasangan Alimah (Ibu) dan Aswowikarto (ayah) menyelesaikan pendidikan SD (1976) dan SMP (1980) di Kabupaten Banjarnegara dan SMA di SMAN 1 Kota Cirebon (1980). Meraih gelar sarjana kehutanan (1980), Magister Sains Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (2000) dan Doktor Ilmu Kehutanan (2010) di Institut Pertanian Bogor.
Pria pecinta alam ini pernah bekerja sebagai manajer pembinaan hutan di sebuah HPH (1989-1991), kemudian menjadi Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Kehutanan sejak 1992 dengan profesi sebagai peneliti di bidang konservasi sumberdaya alam. Saat ini jabatannya adalah
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Peneliti Utama di Bidang Konservasi Sumberdaya Alam di Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kementerian Kehutanan.
Peneliti yang senang fotografi ini aktif menulis dan mengikuti seminar dan telah menghasilkan lebih dari 110 karya tulis ilmiah dan populer. Selain meneliti, penggemar jungle travelling ini juga sering diminta sebagai konsultan, narasumber, pembimbing mahasiswa, pengajar diklat dan tenaga ahli di berbagai tim dan kelompok kerja. Menjadi anggota Dewan Riset Badan Litbang Kehutanan, Dewan Redaksi di beberapa jurnal dan majalah, anggota Pokja Konservasi Badak Indonesia dan Pokja Restorasi Ekosistem Kawasan Konservasi merupakan kesibukannya akhir-akhir ini.
Pehobi birdwatching ini menaruh perhatian pada dampak lingkungan, baik akibat pembangunan maupun bencana alam. Di sela kesibukannya sebagai peneliti, masih menyempatkan diri menjadi penyusun AMDAL dan telah mendapatkan sertifikasi kompetensi Ketua Tim Penyusun AMDAL (KTPA) dengan bidang keahlian dampak ekologis.
Penggemar pecel dan gado-gado ini menikah dengan Retno Widianingsih dan telah dikaruniai tiga anak yaitu Priyahita Adhika Putera Rendra (Apoteker); Pradnya Paramarta Raditya Rendra (Geologis) dan Sistha Anindita Pinastika Heningtyas yang masih kuliah di Fakultas Farmasi UNPAD.
Buku-buku yang pernah ditulis sebagai bahan ajar dan diklat (belum diterbitkan secara komersial) antara lain : Dasar-Dasar Pengenalan Dan Identifikasi Satwaliar (2008), Ekologi dan Konservasi karnivora (2007), dan Fragmentasi Hutan : Aplikasi Teori Biogeografi Pulau dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati (2007).
Kegiatan yang sedang disibukinya saat ini antara lain melanjutkan penelitian Restorasi Ekosistem Gunung Merapi, penelitian Sebaran Macan Tutul Di Jawa Barat, penyusunan buku Bioekologi dan Konservasi Badak Indonesia, buku Restorasi Ekosistem Pegunungan Pasca Perambahan Di Gunung Ciremai dan buku Penanganan Satwaliar Pasca Erupsi Gunung Merapi.
SUGIARTI lahir di Sukabumi tanggal 6 Juli 1968 adalah
puteri dari pasangan Anna Mulyana Rodiah (ibu) dan Abdulrachim Kertowitjitro (ayah). Puteri pertama dari dua bersaudara ini menamatkan pendidikan dasarnya di Kota Bandung yaitu di SDN Merdeka V (1981), SMPN 5 (1984) dan SMAN 3 (1987).
Setamat SMA melanjutkan pendidikan tinggi di UNPAD dan mendapatkan gelar sarjana pertanian (1992) di bidang agronomi. Selain itu juga mendapatkan pendidikan keahlian di Study Oleaceae University Pertanian Malaysia (1995) dan Masterclass in Research Communication, Canberra University (2000)
Berkarir sebagai Pegawai Negeri Sipil di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor – LIPI tahun 1994, ia pernah menjabat sebagai Kepala seksi Jasa Ilmiah (1998-2000) dan Kepala Subbagian Jasa dan Informasi (2000-2007). Saat ini jabatannya adalah Humas Program Pembangunan Kebun Raya Indonesia. Disamping itu juga aktif menjadi Pengurus Forum Pranata Humas LIPI dan Ketua Bidang Humas Perhimpunan Biologi Indonesia.
Pengalaman lainnya diantaranya menjadi tenaga ahli dan pendamping pembangunan kebun raya, panitia Hari Cinta Puspa & Satwa Nasional, Konservasi Tumbuhan dan Pendidikan Lingkungan dengan UNESCO (2003-2006), Koordinator children club di Ecopark dengan Botanic Gardens Conservation International (2005). Karya monumentalnya adalah menjadi Koordinator pembangunan Ecology Park Cibinong Science Center, LIPI (2003-2011). Saat ini Ibu dua orang anak ini sedang sibuk dengan proyek Sosialisasi Pembangunan 21 Kebun Raya Baru di Indonesia.
Fungsional Humas yang gemar fotografi ini pernah terlibat dalam penulisan berbagai buku, baik sebagai tim penulis maupun kontributor. Ia antara lain menjadi kontributor buku The Flora of Bukit Tigapuluh National Park, Kerumutan Sanctuary and Mahato Protective Reserve, Riau Indonesia (1998), Seri Koleksi Tanaman Air Kebun Raya Bogor vol.1 no.5 (2004), dan Diversitas Ekosistem Alami Indonesia – ungkapan singkat dengan sajian foto dan gambar (2013).
Sebagai anggota tim penulis buku antara lain : Manual Pembangunan Kebun Raya (2006), Flora dan Fauna Dalam Perangko (2007), Sekolahku Peduli, Ayo Kita Menanam (2009), Penetapan Prioritas Kawasan Untuk Pembangunan Kebun Raya Baru di Indonesia (2010), Ensiklopedia Flora (2010), Pesona Warna Alami Indonesia (2011), Rencana Pengembangan Kebun Raya Indonesia (2012) dan sebagai penulis pertama Buku saku: Keluarga Dipterocarpaceae di Ecopark Cibinong Science Center LIPI (2012).
Wanita karir yang penyayang keluarga ini menikah dengan Ahmad Zaky Budiman dan telah dikarunia sepasang putera-puteri yaitu Ahmad Faza (masih kuliah) dan Adelia Anjani (kelas 6 SD).
RIWAYAT HIDUP PENULIS
116 117RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
MARFUAH WARDANI dilahirkan di Klaten pada tanggal 15 Maret 1958 dari
pasangan Yatimah (Ibu) dan Darto Wardoyo (ayah) . Menamatkan pendidikan dasarnya di Kota Ungaran yaitu di SDN 1 (1970)m SMPN 1 (1973) dan SMAN 1 (1976). Memperoleh gelar sarjana biologi (1982) dan Magister Pertanian (1995) di Universitas Gadjah mada. Selain itu juga mendapatkan pelatihan Pengenalan jenis pohon dan pengelolaan herbarium dari FRIM, Malaysia (1984) dan Herbarium Bogoriense (1995)
Berkarir sebagai PNS di Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi sejak tahun 1985 sebagai peneliti di bidang botani hutan dan saat ini jabatannya adalah Peneliti Madya. Kesibukannya sehari-hari adalah menjadi Kurator Herbarium Botani Hutan, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (1986 s/d sekarang). Selain aktif melakukan penelitian di bidang konservasi tumbuhan, juga sering diminta mengajar pengenalan jenis pohon dan pembuatan koleksi herbarium di lingkup Kementerian Kehutanan. Proyek yang sedang ditangani saat ini adalah penelitian fitokimia jenis Shorea spp. sebagai bahan obat.
Buku yang pernah ditulisnya bersama peneliti lain diantaranya : Check List Tree Flora of Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku , Papua) (1986-1990), Vandemecum Dipterokarpa (1986), Medicinal Plant (1997), Atlas Kayu Indonesia Vol.4 (siap cetak).
Menikah dengan Sutiyono, seorang peneliti utama di bidang bambu, mereka dikaruniai tiga orang anak yaitu Yuldhastiya Rahmanda, Nomarhinta Solehah dan Binagusto Mochammad.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RIWAYAT HIDUP PENULIS
118 119RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
M. HESTI LESTARI TATA dilahirkan di Denpasar
pada Tanggal 25 Mei 1970. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya, ia melanjutkan pendidikan Sarjananya di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Ia memperoleh gelar Sarjana Biologi pada tahun 1993 dengan mayor Genetika, Mikologi dan Bioteknologi. Mengawali karirnya sebagai calon peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Samarinda tahun 1994 hingga 1996, kemudian pindah ke Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Bogor sejak tahun 1996 hingga sekarang.
Pada tahun 1998 mendapatkan beasiswa dari Tropenbos untuk melanjutkan studinya ke jenjang pascasarjana (S2) di Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar Magister Sains (M.Si.) dengan mayor Ekologi, Fisiologi dan Mikoriza pada tahun 2001. Pada tahun 2004 kembali mendapatkan beasiswa dari DELTA Utrecht University Netherlands untuk pendidikan Doktoral dan mendapatkan gelar Doktor di bidang Ekologi Tumbuhan dan Mikoriza pada tahun 2008.
Penulis pernah mendapatkan pelatihan di bidang GIS (2006), Fungal Biodiversity (2004) dan Leadership and Adaptive Management in Forest Environments (2002). Menjadi counter part Tropenbos Kalimantan Programme pada tahun 1995-1996 dan peneliti di ICRAF-South East Asia di Bogor tahun 2004-2008. Sejak tahun 1998 menjadi peneliti yang tergabung dalam Kelompok Peneliti Silvikultur pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi sampai sekarang. Hingga saat ini telah menghasilkan sekitar 20 karya tulis ilmiah yang terbit di jurnal internasional dan nasional. Karya tulisnya antara lain mengenai Mikoriza, Silvikultur dan Agroforesty.
Penulis aktif di beberapa organisai profesi antara lain International Society of Tropical Forester, International Mycorrhizae Society, Indonesian Association of Mycorrhizae dan The British Mycological Society. Penulis pernah mendapatkan hibah penelitian dari NFP (Netherlands Fellowship Programme) dan Freezailah Fellowship - ITTO (International Tropical Timber Organization). Penulis aktif mengikuti seminar dan workshop di dalam dan luar negeri.
Kesibukannya akhir-akhir ini adalah melakukan penelitian restorasi ekosistem terdegradasi dan rehabilitasi lahan kritis. Untuk berkomunikasi dengannya dapat melalui email : [email protected]
MARFUAH WARDANI dilahirkan di Klaten pada tanggal 15 Maret 1958 dari
pasangan Yatimah (Ibu) dan Darto Wardoyo (ayah) . Menamatkan pendidikan dasarnya di Kota Ungaran yaitu di SDN 1 (1970)m SMPN 1 (1973) dan SMAN 1 (1976). Memperoleh gelar sarjana biologi (1982) dan Magister Pertanian (1995) di Universitas Gadjah mada. Selain itu juga mendapatkan pelatihan Pengenalan jenis pohon dan pengelolaan herbarium dari FRIM, Malaysia (1984) dan Herbarium Bogoriense (1995)
Berkarir sebagai PNS di Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi sejak tahun 1985 sebagai peneliti di bidang botani hutan dan saat ini jabatannya adalah Peneliti Madya. Kesibukannya sehari-hari adalah menjadi Kurator Herbarium Botani Hutan, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (1986 s/d sekarang). Selain aktif melakukan penelitian di bidang konservasi tumbuhan, juga sering diminta mengajar pengenalan jenis pohon dan pembuatan koleksi herbarium di lingkup Kementerian Kehutanan. Proyek yang sedang ditangani saat ini adalah penelitian fitokimia jenis Shorea spp. sebagai bahan obat.
Buku yang pernah ditulisnya bersama peneliti lain diantaranya : Check List Tree Flora of Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku , Papua) (1986-1990), Vandemecum Dipterokarpa (1986), Medicinal Plant (1997), Atlas Kayu Indonesia Vol.4 (siap cetak).
Menikah dengan Sutiyono, seorang peneliti utama di bidang bambu, mereka dikaruniai tiga orang anak yaitu Yuldhastiya Rahmanda, Nomarhinta Solehah dan Binagusto Mochammad.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RIWAYAT HIDUP PENULIS
118 119RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi
M. HESTI LESTARI TATA dilahirkan di Denpasar
pada Tanggal 25 Mei 1970. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya, ia melanjutkan pendidikan Sarjananya di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Ia memperoleh gelar Sarjana Biologi pada tahun 1993 dengan mayor Genetika, Mikologi dan Bioteknologi. Mengawali karirnya sebagai calon peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Samarinda tahun 1994 hingga 1996, kemudian pindah ke Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Bogor sejak tahun 1996 hingga sekarang.
Pada tahun 1998 mendapatkan beasiswa dari Tropenbos untuk melanjutkan studinya ke jenjang pascasarjana (S2) di Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar Magister Sains (M.Si.) dengan mayor Ekologi, Fisiologi dan Mikoriza pada tahun 2001. Pada tahun 2004 kembali mendapatkan beasiswa dari DELTA Utrecht University Netherlands untuk pendidikan Doktoral dan mendapatkan gelar Doktor di bidang Ekologi Tumbuhan dan Mikoriza pada tahun 2008.
Penulis pernah mendapatkan pelatihan di bidang GIS (2006), Fungal Biodiversity (2004) dan Leadership and Adaptive Management in Forest Environments (2002). Menjadi counter part Tropenbos Kalimantan Programme pada tahun 1995-1996 dan peneliti di ICRAF-South East Asia di Bogor tahun 2004-2008. Sejak tahun 1998 menjadi peneliti yang tergabung dalam Kelompok Peneliti Silvikultur pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi sampai sekarang. Hingga saat ini telah menghasilkan sekitar 20 karya tulis ilmiah yang terbit di jurnal internasional dan nasional. Karya tulisnya antara lain mengenai Mikoriza, Silvikultur dan Agroforesty.
Penulis aktif di beberapa organisai profesi antara lain International Society of Tropical Forester, International Mycorrhizae Society, Indonesian Association of Mycorrhizae dan The British Mycological Society. Penulis pernah mendapatkan hibah penelitian dari NFP (Netherlands Fellowship Programme) dan Freezailah Fellowship - ITTO (International Tropical Timber Organization). Penulis aktif mengikuti seminar dan workshop di dalam dan luar negeri.
Kesibukannya akhir-akhir ini adalah melakukan penelitian restorasi ekosistem terdegradasi dan rehabilitasi lahan kritis. Untuk berkomunikasi dengannya dapat melalui email : [email protected]
RIWAYAT HIDUP PENULIS
120RESTORASI EKOSISTEM
Gunung Merapi Pasca Erupsi
SUKAESIH PRAJADINATA dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada tanggal
6 Maret 1958. Pendidikan dasarnya diselesaikan di Ciamis. Setelah lulus dari SMA Negeri I Ciamis, penulis melanjutkan pendidikannya di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Setelah berhasil meraih Sarjana Kehutanan pada tahun 1984 penulis bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, bagian Budi Daya Hutan (Silvikultur).
Pada tahun 1996 meraih gelar Master of Science di University of Stirling, Scotland – United Kingdom. Penelitian yang ditekuninya berkaitan dengan tanam menanam, khususnya restorasi ekosistem terdegradasi dan rehabilitasi lahan kritis. Penulis aktif bekerjasama dengan pemegang konsesi IUPHKA untuk kegiatan restorasi hutan rawa gambut melalui penanaman jenis-jenis lokal di Rokan Hilir Sumatera dan rehabilitasi lahan bekas tambang di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah. Kegiatan rehabilitasi juga pernah dilakukan pada kawasan hutan perladangan berpindah dengan jenis-jenis pohon hutan penghasil buah dilakukan di areal kerja IUPHKA–HTI di Kalimantan Tengah. Di Kalimantan Tengah, penulis juga pernah bergabung dengan Barito Ulu Project – Cambridge University untuk melakukan pengamatan dan penelitian mengenai biodiversity dan regenerasi hutan.
Pasca meletusnya Gunung Merapi tahun 2011 sampai dengan tahun 2012 penulis diberi kesempatan untuk melakukan penelitian dan uji coba penanaman di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang terkena dampak erupsi.