pentingnya melatih keterampilan berpikir …forumkependidikan.unsri.ac.id/userfiles/artikel...

7
PENTINGNYA MELATIH KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SD Lambertus *) Abstract: There are many people who think that critical thinking is something difficult to do and is intended to those who study at college or those who study philosophy and for those who possess high IQ (genius). This view makes people do not give much attention toward critical thinking. In formal education especially at elementary level, critical thinking is not given much attention, whereas through this formal education, critical thinking skills can be developed. Mathematics is one of the subjects which is potential in developing critical thinking skills. This is due to the fact of the characteristic of mathematics itself; besides, mathematics can be understood through critical thinking, and critical thinking can be trained through learning mathematics. This article is aimed to reveal the importance of training critical thinking skill in mathematics learning at early ages (elementary school). In addition, this article also discusses how to learn it. Keywords: critical thinking skills, mathematical learning Pelajaran matematika dipandang sebagai bagian ilmu-ilmu dasar yang berkembang pesat baik isi maupun aplikasinya. Sehingga pengajaran mate- matika di sekolah merupakan prioritas dalam pembangunan pendidikan. Dalam Kurikilum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 di- nyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif (Panduan Lengkap KTSP 2006). John Dewey menganjurkan agar sekolah mengajarkan cara berpikir yang benar pada siswanya. Menurut Ruggiero (Johnson, 2007), berpikir merupakan segala aktivitas mental yang membantu merumuskan atau memecahkan masa- lah, membuat keputusan, memenuhi keinginan untuk memahami, sebuah pencarian jawaban, dan sebuah pencapaian makna. Pada jenjang pen- didikan dasar, siswa (anak-anak) harus melaku- kan langkah-langkah kecil dahulu sebelum akhir- nya terampil berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi. Salah satu hal yang paling menakjubkan dari anak-anak adalah keterbukaan mereka pada informasi baru dan kemauan mereka untuk ber- ubah. Apabila anak-anak diberi kesempatan untuk menggunakan pemikiran dalam tingkatan yang lebih tinggi di setiap tingkat kelas, maka mereka akan terbiasa membedakan antara ke- benaran dan ketidakbenaran, penampilan dan kenyataan, fakta dan opini, pengetahuan dan ke- yakinan. Secara alami, mereka akan membangun argumen dengan menggunakan bukti yang dapat dipercaya dan logika yang masuk akal. Dengan demikian, berarti kemampuan berpikir anak mulai berkembang karena anak mulai terbiasa membangun hubungan imajinatif antara hal-hal yang berbeda, melihat kemungkinan-kemungkin- an tak terduga, dan berpikir dengan cara baru mengenai masalah-masalah yang sudah lazim. Menggunakan keahlian berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi (berpikir tingkat tinggi) dalam konteks yang benar mengajarkan kepada siswa ’kebiasaan berpikir mendalam, kebiasaan menjalani hidup dengan pendekatan yang cerdas, seimbang, dan dapat dipertanggung jawabkan (Ziser dalam Johnson, 2007). Dalam pem-belajaran matematika, soal non rutin atau tugas-tugas yang berhubungan dengan dunia nyata dan terkait dengan hal-hal yang dialami siswa, sedikit demi sedikit akan membangkitkan kebiasaannya berpikir dengan baik dan melatih imajinasi. Keterampilan berpikir kritis perlu dikem- bangkan dalam pembelajaran matematika, sesuai dengan tujuan pendidikan matematika sekolah yang memberi penekanan pada penataan nalar anak serta pembentukan pribadi anak (Soedjadi, *) Lambertus adalah dosen Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unhalu, Kendari 136

Upload: phungnhi

Post on 06-Feb-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENTINGNYA MELATIH KETERAMPILAN BERPIKIR …forumkependidikan.unsri.ac.id/userfiles/Artikel Lambertus-UNHALU... · kepada siswa ’kebiasaan berpikir mendalam, kebiasaan menjalani

PENTINGNYA MELATIH KETERAMPILAN BERPIKIR

KRITIS DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SD

Lambertus*)

Abstract: There are many people who think that critical thinking is something difficult to do and

is intended to those who study at college or those who study philosophy and for those who possess

high IQ (genius). This view makes people do not give much attention toward critical thinking. In

formal education especially at elementary level, critical thinking is not given much attention,

whereas through this formal education, critical thinking skills can be developed. Mathematics is

one of the subjects which is potential in developing critical thinking skills. This is due to the fact

of the characteristic of mathematics itself; besides, mathematics can be understood through critical

thinking, and critical thinking can be trained through learning mathematics. This article is aimed to

reveal the importance of training critical thinking skill in mathematics learning at early ages

(elementary school). In addition, this article also discusses how to learn it.

Keywords: critical thinking skills, mathematical learning

Pelajaran matematika dipandang sebagai bagian

ilmu-ilmu dasar yang berkembang pesat baik isi

maupun aplikasinya. Sehingga pengajaran mate-

matika di sekolah merupakan prioritas dalam

pembangunan pendidikan. Dalam Kurikilum

Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 di-

nyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu

diberikan kepada semua peserta didik mulai dari

sekolah dasar untuk membekali peserta didik

dengan kemampuan berpikir logis, analitis,

sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan

bekerja sama. Kompetensi tersebut diperlukan

agar peserta didik dapat memiliki kemampuan

memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan

informasi untuk bertahan hidup pada keadaan

yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif

(Panduan Lengkap KTSP 2006).

John Dewey menganjurkan agar sekolah

mengajarkan cara berpikir yang benar pada

siswanya. Menurut Ruggiero (Johnson, 2007),

berpikir merupakan segala aktivitas mental yang

membantu merumuskan atau memecahkan masa-

lah, membuat keputusan, memenuhi keinginan

untuk memahami, sebuah pencarian jawaban,

dan sebuah pencapaian makna. Pada jenjang pen-

didikan dasar, siswa (anak-anak) harus melaku-

kan langkah-langkah kecil dahulu sebelum akhir-

nya terampil berpikir dalam tingkatan yang lebih

tinggi. Salah satu hal yang paling menakjubkan

dari anak-anak adalah keterbukaan mereka pada

informasi baru dan kemauan mereka untuk ber-

ubah. Apabila anak-anak diberi kesempatan

untuk menggunakan pemikiran dalam tingkatan

yang lebih tinggi di setiap tingkat kelas, maka

mereka akan terbiasa membedakan antara ke-

benaran dan ketidakbenaran, penampilan dan

kenyataan, fakta dan opini, pengetahuan dan ke-

yakinan. Secara alami, mereka akan membangun

argumen dengan menggunakan bukti yang dapat

dipercaya dan logika yang masuk akal. Dengan

demikian, berarti kemampuan berpikir anak

mulai berkembang karena anak mulai terbiasa

membangun hubungan imajinatif antara hal-hal

yang berbeda, melihat kemungkinan-kemungkin-

an tak terduga, dan berpikir dengan cara baru

mengenai masalah-masalah yang sudah lazim.

Menggunakan keahlian berpikir dalam

tingkatan yang lebih tinggi (berpikir tingkat

tinggi) dalam konteks yang benar mengajarkan

kepada siswa ’kebiasaan berpikir mendalam,

kebiasaan menjalani hidup dengan pendekatan

yang cerdas, seimbang, dan dapat dipertanggung

jawabkan (Ziser dalam Johnson, 2007). Dalam

pem-belajaran matematika, soal non rutin atau

tugas-tugas yang berhubungan dengan dunia

nyata dan terkait dengan hal-hal yang dialami

siswa, sedikit demi sedikit akan membangkitkan

kebiasaannya berpikir dengan baik dan melatih

imajinasi.

Keterampilan berpikir kritis perlu dikem-

bangkan dalam pembelajaran matematika, sesuai

dengan tujuan pendidikan matematika sekolah

yang memberi penekanan pada penataan nalar

anak serta pembentukan pribadi anak (Soedjadi,

*) Lambertus adalah dosen Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unhalu, Kendari

136

Page 2: PENTINGNYA MELATIH KETERAMPILAN BERPIKIR …forumkependidikan.unsri.ac.id/userfiles/Artikel Lambertus-UNHALU... · kepada siswa ’kebiasaan berpikir mendalam, kebiasaan menjalani

FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009

137

1995). Materi matematika dan keterampilan ber-

pikir kritis merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan, karena materi matematika dipahami

melalui berpikir kritis, dan berpikir kritis dilatih

melalui belajar matematika. Namun kenyataan-

nya, pelaksanaan pembelajaran matematika di

sekolah cenderung kurang memperhatikan ke-

terampilan berpikir kritis. Sebagian kalangan

menganggap berpikir ktitis hanya diperuntukkan

kelompok tertentu saja, yaitu mereka yang bel-

ajar filsafat dan yang memiliki IQ tinggi

(genius). Permasalahan yang muncul adalah:

Apakah keterampilan berpikir kritis dalam

pembelajaran matematika dapat dilatih/diajarkan

di SD? Bagaimana pembelajarannya?

Berfikir Kritis

Kata kritis berasal dari bahasa Yunani

yaitu kritikos dan kriterion (Paul, Elder, &

Bartell, 1995; dalam Suriadi, 2006). Kata kritikos

berarti ‘pertimbangan’ sedangkan kriterion

mengandung makna ‘ukuran baku’ atau

‘standar’. Sehingga secara etimologi, kata ’kritis’

mengandung makna ‘pertimbangan yang didasar-

kan pada suatu ukuran baku atau standar’.

Dengan demikian secara etimologi berpikir kritis

mengandung makna suatu kegiatan mental yang

dilakukan seseorang untuk dapat memberi per-

timbangan dengan menggunakan ukuran atau

standar tertentu.

Terdapat beberapa definisi tentang berpikir

kritis yang dikemukakan para ahli, di antaranya

Chaffee (Suriadi, 2006) mendefinisikan berpikir

kritis adalah berpikir untuk menyelidiki secara

sistematis proses berpikir itu sendiri. Maksud-

nya, tidak hanya memikirkan dengan sengaja,

tetapi juga meneliti bagaimana kita dan orang

lain menggunakan bukti dan logika. Lebih lanjut,

Chaffee mengatakan bahwa hanya berpikir kritis,

berpikir secara terorganisasi mengenai proses

berpikir diri sendiri dan proses berpikir orang

lain yang akan membekali anak untuk sebaik

mungkin menghadapi informasi yang mereka

dengar dan baca, kejadian yang mereka alami,

dan keputusan yang mereka buat setiap hari. Hal

ini berarti dengan berpikir kritis memungkinkan

anak menganalisis pemikiran sendiri untuk me-

mastikan bahwa ia telah menemukan pilihan dan

menarik kesimpulan cerdas.

Norris (Fowler, 1996) mendefinisikan ber-

pikir kritis sebagai pengambilan keputusan

secara rasional apa yang diyakini dan dikerjakan.

Sedang menurut Ennis (2000), berpikir kritis

adalah berpikir rasional dan reflektif yang di-

fokuskan pada apa yang diyakini dan dikerjakan.

Rasional berarti memiliki keyakinan dan

pandangan yang didukung oleh bukti standar,

aktual, cukup, dan relevan. Sedang reflektif ber-

arti mempertimbangkan secara aktif, tekun dan

hati-hati segala alternatif sebelum mengambil

keputusan. Proses pengambilan keputusan ter-

sebut, menurut Moore dan Parker (Fowler, 1996)

hendaknya dilakukan secara hati-hati dan tidak

tergesa-gesa. Ini berarti berpikir kritis menuntut

penggunaan berbagai strategi untuk dapat meng-

hasilkan suatu keputusan sebagai dasar pengam-

bilan tindakan atau keyakinan.

Definisi berpikir kritis di atas paling se-

dikit memuat tiga hal. Pertama, berpikir kritis

merupakan proses pemecahan masalah dalam

suatu konteks interaksi dengan diri sendiri, dunia

orang lain dan atau lingkungannya. Kedua, ber-

pikir kritis merupakan proses penalaran reflektif

berdasarkan informasi dan kesimpulan yang

telah diterima sebelumnya yang hasilnya ter-

wujud dalam penarikan kesimpulan. Ketiga, ber-

pikir kritis berakhir pada keputusan apa yang

diyakini dan dikerjakan.

Ennis dan Morris (Nitko, 1996) menyata-

kan bahwa dalam berpikir kritis terdapat dua

komponen, yaitu kemampuan penguasaan penge-

tahuan dan disposisi. Komponen kemampuan

penguasaan pengetahuan dalam berpikir kritis

sering disebut sebagai keterampilan berpikir

kritis. Sedangkan komponen disposisi disebut se-

bagai disposisi berpikir kritis. Istilah keteram-

pilan berpikir kritis mengacu pada kemampuan

khusus yang diperoleh melalui pengalaman atau

latihan untuk melakukan tugas tertentu secara

baik, dan mengacu pada sesuatu yang ada dalam

individu. Keterampilan berpikir kritis inipun me-

nekankan pada kinerja aktual dalam melaksana-

kan tugas serta kualitas kinerjanya. Dengan

demikian, istilah keterampilan dipahami sebagai

kemampuan yang ada dalam diri (innerability)

dan sebagai sesuatu operasi yang dapat diidenti-

fikasi.

Ennis dan Norris (Nitko, 1996) membagi

kompenen kemampuan penguasaan pengetahuan

menjadi lima keterampilan, yang selanjutnya di-

sebut keterampilan berpikir kritis, yaitu:

(1) Klarifikasi elementer (elementary clarificat-

ion), meliputi: memfokuskan pertanyaan,

menganalisis argumen, bertanya dan men-

Page 3: PENTINGNYA MELATIH KETERAMPILAN BERPIKIR …forumkependidikan.unsri.ac.id/userfiles/Artikel Lambertus-UNHALU... · kepada siswa ’kebiasaan berpikir mendalam, kebiasaan menjalani

FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009

138

jawab pertanyaan yang membutuhkan pen-

jelasan atau tantangan.

(2) Dukungan dasar (basic support), meliputi:

mempertimbangkan kredibilitas sumber dan

melakukan pertimbangan observasi.

(3) Penarikan kesimpulan (inference), meliputi:

melakukan dan mempertimbangkan deduksi,

melakukan dan mempertimbangkan induksi,

melakukan dan mempertimbangkan nilai ke-

putusan.

(4) Klarifikasi lanjut (advanced clarification),

meliputi: mengidentifikasi istilah dan mem-

pertimbangkan definisi, dan mengidentifikasi

asumsi.

(5) Strategi dan taktik (strategies and tactics),

meliputi: menentukan suatu tindakan, ber-

interaksi dengan orang lain.

Garnison, Anderson, dan Archer (2001)

membagi empat keterampilan berpikir kritis,

yaitu: (1) Trigger event (cepat tanggap terhadap

peristiwa), yaitu mengidentifi-kasi atau menge-

nali suatu isu, masalah, dilema dari pengalaman

seseorang, yang diucapkan instruktur, atau siswa

lain, (2) Exploration (eksplorasi), memikirkan

ide personal dan sosial dalam rangka membuat

persiapan keputusan, (3) Integration (integrasi),

yaitu mengkonstruksi maksud/arti dari gagasan,

dan mengintegrasikan informasi relevan yang

telah ditetapkan pada tahap sebelumnya, dan (4)

Resolution (mengusulkan), yaitu mengusulkan

solusi secara hipotetis, atau menerapkan solusi

secara langsung kepada isu, dilema, atau masalah

serta menguji gagasan dan hipotesis.

Facione (Suriadi, 2006) menjelaskan

bahwa masih ada beberapa rumusan keterampil-

an dalam berpikir kritis yang dikemukakan oleh

para ahli, walaupun menggunakan istilah ber-

beda-beda sesuai dengan sudut pandang dan

fokus perhatian yang dianutnya, namun banyak

memiliki kesamaan makna. Oleh karena itu para

ahli memiliki konsensus mengenai keterampilan

berpikir kritis. Dalam konsensusnya disebutkan

bahwa ada enam keterampilan dalam berpikir

kritis yang dianggap sebagai pusat atau inti

berpikir kritis, yakni interpretasi, analisis, evalu-

asi, penarikan kesimpulan, eksplanasi dan

pengaturan diri.

Disposisi sering dianggap sebagai sikap

(Giancarlo, Facione, 1995) atau motivasi

(Thisman & Andrade, 1999). Disposisi adalah

kecendrungan atau kebiasaan untuk berpikir

dalam cara dan kondisi tertentu. Seseorang yang

memiliki disposisi berpikir kritis akan cenderung

berpikir kritis ketika ada situasi atau kondisi

yang menghadirkan stimulus untuk berpikir

kritis. Disposisi berpikir kritis merupakan sifat

yang melekat pada diri seseorang yang berpikir

kritis. Contoh: menunjukkan sikap positif jika

diperhadapkan dengan persoalan yang berhubu-

ngan dengan matematika.

Perkins, Jay, dan Tishman (Suriadi, 2006)

mengajukan konsep disposisi berpikir kritis yang

disebut konsep berpikir kritis tigaan (triadic

disposition). Ketiga unsur disposisi tigaan ber-

pikir kritis tersebut adalah kepekaan (sensiti-

vitas), kecenderungan (inklinasi), dan kemampu-

an. Kepekaan adalah ketajaman perhatian se-

seorang pada kesempatan untuk berpikir kritis.

Kecenderungan adalah dorongan yang dirasakan

oleh seseorang untuk melakukan suatu tingkah

laku tertentu untuk menggunakan berpikir kritis.

Sedangkan kemampuan adalah keterampilan-

keterampilan yang diperlukan untuk melakukan

berpikir kritis.

Orang yang memiliki disposisi berpikir

kritis adalah orang yang sensitif terhadap momen

berpikir kritis, merasa terdorong untuk berpikir

kritis, dan memiliki kemampuan dasar untuk

berpikir kritis. Walaupun dimasukkan unsur ke-

mampuan dalam konsep disposisinya, Perkins

(Suriadi, 2006) menyebutkan bahwa pada ke-

nyataannya yang digunakan dalam disposisi ber-

pikir kritis hanya unsur kecenderungan dan

kepekaan saja. Sedang unsur kemampuan hanya

menjadi petunjuk bahwa orang yang memiliki

disposisi berpikir kritis harus pula memiliki

kemampuan (keterampilan kognitif). Oleh sebab

itu, pemikir kritis yang baik selalu berusaha

untuk melengkapi diri dengan disposisi berpikir

kritis, tidak hanya keterampilan kognitif saja.

Berpikir kritis dalam setiap disiplin ilmu ber-

beda-beda. Poedjadi (1999) menyatakan bahwa

agar dapat melaksanakan berpikir kritis dalam

disiplin ilmu tertentu, harus terlebih dahulu me-

nguasai terminologi, konsep-konsep, dan meto-

dologi ilmu tersebut.

Berpikir Kritis dalam Matematika

Matematika sebagai suatu disiplin ilmu

memiliki karakteristik yang berbeda dengan

disiplin ilmu lainnya. Matematika mempelajari

tentang pola, struktur, keteraturan yang ter-

organisasi, yang dimulai dari unsur-unsur yang

tidak terdefinisikan kemudian ke unsur-unsur

Page 4: PENTINGNYA MELATIH KETERAMPILAN BERPIKIR …forumkependidikan.unsri.ac.id/userfiles/Artikel Lambertus-UNHALU... · kepada siswa ’kebiasaan berpikir mendalam, kebiasaan menjalani

FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009

139

yang terdefinisikan, terus ke aksioma atau

postulat sampai ke dalil-dalil atau teorema.

Komponen-komponen matematika ini memben-

tuk suatu sistem yang saling berhubungan dan

terorganisir dengan baik. Menurut Suriasumantri

(1998), dalam matematika kebenaran dibuktikan

dengan jalan memeriksa konsistensi suatu

konsep dengan konsep-konsep sebelumnya yang

telah dianggap benar. Kebenaran matematika

tidak tergantung pada pembuktian secara empiris

melainkan pada pembuktian secara deduktif.

Berpikir deduktif dipergunakan untuk me-

nentukan agar kerangka pemikiran itu koheren

dan logis. Matematika yang logis itu dapat

menentukan pengetahuan baru dari pengetahuan

sebelumnya yang sudah diketahui. Dalam

penalaran deduktif, kesimpulan yang ditarik me-

rupakan akibat logis dari alasan-alasan yang

bersifat umum menjadi bersifat husus. Penerapan

cara berpikir deduktif ini akan menghasilkan

teorema-teorema. Teorema-teorema inilah yang

selanjutnya dipergunakan untuk menyelesaikan

masalah-masalah baik dalam matematika itu

sendiri maupun ilmu-ilmu yang lain.

Mengingat karakteristik matematika yang

tidak sama dengan disiplin ilmu-ilmu lain, maka

berpikir kritis dalam matematika tentunya harus

sesuai dengan konsep dan metodologi matema-

tika. Glazer (Ibrahim, 2007) menyatakan berpikir

kritis dalam matematika adalah keterampilan

kognitif dan disposisi untuk menggabungkan

pengetahuan, penalaran, serta strategi kognitif

dalam membuat generalisasi, membuktikan, dan

mengevaluasi situasi matematik yang tidak di-

kenali dengan cara replektif. Selanjutnya Glazer

menyebutkan syarat-syarat untuk berpikir kritis

dalam matematika.

(1) Adanya situasi yang tidak dikenal atau akrab

sehingga seorang individu tidak dapat secara

langsung mengenali konsep matematika atau

mengetahui bagaimana menentukan solusi

suatu masalah.

(2) Menggunakan pengetahuan yang telah di-

milikinya, penalaran matematika dan strategi

kognitif.

(3) Menghasilkan generalisasi, pembuktian dan

evaluasi.

(4) Berpikir reflektif yang melibatkan peng-

komunikasian suatu solusi, rasionalisasi

argumen, penentuan cara lain untuk men-

jelaskan suatu konsep atau memecahkan

suatu masalah, dan pengembangan studi lebih

lanjut.

Berpikir kritis dalam belajar matematika

merupakan suatu proses kognitif atau tindakan

mental dalam usaha memperoleh pengetahuan

matematika berdasarkan penalaran matematik.

Penalaran matematik (Sumarmo, 2005) meliputi

menarik kesimpulan logis; memberikan penjelas-

an dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat,

dan hubungan; memperkirakan jawaban dan

proses solusi; menggunakan pola dan hubungan

untuk menganalisis situasi matematik; menarik

analogi dan generalisasi; menyusun dan menguji

konjektur; memberikan lawan contoh (counter

example); mengikuti aturan inferensi; memeriksa

validitas argumen; menyusun argumen yang

valid; menyusun pembuktian langsung, pembuk-

tian tak langsung dan menggunakan induksi

matematik. Kemampuan seperti ini dapat me-

ngembangkan kemampuan intelektual siswa,

yang selanjutnya dapat digunakan untuk meng-

atasi berbagai permasalahan yang dihadapi masa

kini, dan juga memungkinkan untuk mengatasi

ketidak pastian di masa depan.

Dalam mengembangkan keterampilan ber-

pikir kritis, dibutuhkan strategi-trategi tertentu.

Fisher (Launch Pad, 2001) mengurai-kan tiga

jenis strategi berpikir kritis yang saling

bergantung (1) Strategi afektif adalah

kemampuan untuk berpikir bebas dari yang lain.

Ini termasuk mengambil pandangan orang lain;

(2) Kemampuan makro adalah kemampuan

untuk memanfaatkan, dan mempunyai pemaham-

an mekanis atau ketrampilan lain yang sedang

digunakan untuk sebarang tugas, dan (3)

Keterampilan mikro adalah menekankan belajar

bagaimana cara untuk bertanya, kapan untuk

bertanya, apa yang akan ditanyakan ; dan belajar

bagaimana cara memberi alasan, kapan untuk

memberikan alasan, apa metoda yang digunakan.

Selanjutnya Fisher menekankan pada indi-

kator keterampilan berpikir kritis yang penting

meliputi: (1) mengatakan kebenaran pertanyaan/

pernyataan; (2) menganalisis pertanyaan/per-

nyataan; (3) berpikir logis; (4) mengurutkan,

misalnya secara temporal, secara logis, secara

sebab-akibat; (5) mengklasifikasi, misalnya

gagasan-gagasan, objek-objek; (6) memutuskan,

misalnya apakah cukup bukti; (7) memprediksi

(termasuk membenarkan prediksi); (8) berteori;

dan (9) memahami orang lain dan dirinya.

Page 5: PENTINGNYA MELATIH KETERAMPILAN BERPIKIR …forumkependidikan.unsri.ac.id/userfiles/Artikel Lambertus-UNHALU... · kepada siswa ’kebiasaan berpikir mendalam, kebiasaan menjalani

FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009

140

Pentingnya Melatih Keterampilan Berpikir

Kritis di SD

Matematika adalah salah satu ilmu yang

diajarkan di setiap jenjang pendidikan, bahkan di

SD diajarkan sejak di kelas satu, merupakan ilmu

dasar yang banyak digunakan dalam kehidupan

sehari-hari, didalam ilmu-ilmu lain (terutama

sains dan teknologi), dan sebagai prasyarat untuk

studi lanjut. Dalam GBPP dinyatakan bahwa

salah satu tujuan pembelajaran matematika pada

jenjang pendidikan dasar adalah pengembangan

pola pikir praktis, logis, kritis, dan jujur dengan

berorientasi pada penerapan matematika dalam

menyelesaikan masalah (Puskur, 2002). Hal ini

mengindikasikan bahwa keterampilan berpikir

kritis dalam pembelajaran matematika harus

dikembangkan mulai dari tingkat pendidikan

dasar. Pengembangan keterampilan berpikir

kritis dalam pembelajaran matematika sangat

dimungkinkan, karena materi matematika dan

keterampilan berpikir kritis merupakan dua hal

yang tidak dapat dipisahkan. Materi matematika

dipahami melalui berpikir kritis, dan berpikir

kritis dilatih melalui belajar matematika.

Pembelajaran matematika di tingkat pen-

didikan dasar saat ini cenderung kurang melatih

keterampilan berpikir kritis. Padahal sebaiknya

pembelajaran matematika di SD mulai melatih

keterampilan berpikir kritis. Melatih keteram-

pilan berpikir kritis pada siswa SD sangat

dimungkinkan, karena siswa SD telah memiliki

pengalaman dan pengetahuan dasar, walaupun

dalam jumlah yang terbatas. Selain itu dalam

proses pembelajaran guru dapat pula mencipta-

kan konflik kognitif, agar dapat merangsang

siswa untuk berpikir. Melatih keterampilan

berpikir pada siswa, bertujuan agar secara per-

lahan siswa merasa terdorong untuk berpikir

kritis. Bila dorongan untuk berpikir kritis ini

terus menerus diciptakan, maka secara perlahan

pula akan terbentuk kemampuan dasar berpikir

kritis. Setelah memiliki kemampuan dasar

berpikir kritis, siswa akan sensitif terhadap

momen berpikir kritis. Dengan demikian siswa

telah memiliki disposisi berpikir kritis.

Sudah saatnya kita mengubah pandangan

masyarakat yang mengatakan bahwa berpikir

kritis hanya ada di dalam mata kuliah filsafat dan

retorika di perguruan tinggi. Dan bahwa berpikir

kritis adalah sesuatu yang sulit dan esoteris yang

hanya bisa dilakukan oleh mereka yang

memiliki IQ tinggi (genius). Padahal, berpikir

kritis dapat dilakukan oleh setiap orang dan

bukan merupakan sesuatu yang sulit. Salah satu

contoh: saat guru mengatakan bahwa nilai π =

22/7, mungkin siswa enggan menerima pen-

jelasan yang sederhana itu. Mereka bertanya

pada guru, mengapa nilai π = 22/7? Mereka ini

adalah pemikir kritis. Menyikapi situasi seperti

ini, guru harus tanggap dan memberi kesempatan

seluas-luasnya kepada siswa untuk bertanya,

memberi argumen, diskusi dengan teman agar

mereka dapat menilai pendapat teman, menerima

atau menolak pendapat temannya. Karena situasi

seperti inilah yang diharapkan dapat mengem-

bangkan potensi berpikir kritis dalam diri siswa.

Setiap orang dapat belajar untuk berpikir

kritis karena otak manusia secara konstan ber-

usaha memahami pengalaman. Pencariannya

yang terus menerus akan makna, otak dengan

tangkas menghubungkan ide abstrak dengan

konteksnya di dunia nyata. Dalam matematika,

pemberian soal-soal tidak rutin atau tugas-tugas

yang berhubungan dengan dunia nyata dan

berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, akan

membantu siswa melihat makna dari yang di-

pelajarinya karena ia dapat menghubungkan

informasi yang diterima dengan pengetahuan dan

pengalaman yang telah dimilikinya. Untuk siswa

SD, soal atau tugas yang diberikan harus di-

sesuaikan dengan tingkat kemampuan kognitif

anak.

Untuk meningkatkan keterampilan berpikir

kritis, dapat dilatih secara terus menerus. Karena

hanya dengan latihan, dapat membuat keteram-

pilan berpikir kritis menjadi suatu kebiasaan.

Berpikir kritis merupakan sebuah kebiasaan

berpikir yang seharusnya ditanamkan sejak usia

dini. Dan setiap orang memiliki kemampuan

untuk menjadi pemikir kritis yang handal.

Berpikir kritis dapat membantu seseorang

memahami bagaimana ia menandang dirinya

sendiri, bagaimana ia memandang dunia, dan

bagaimana ia berhubungan dengan orang lain,

membantu meneliti prilaku diri sendiri, dan me-

nilai diri sendiri. Berpikir kritis memungkinkan

seseorang menganalisis pemikiran sendiri untuk

memastikan bahwa ia telah menentukan pilihan

dan menarik kesimpulan cerdas. Sedangkan

orang yang tidak berpikir kritis, ia tidak dapat

memutuskan untuk dirinya sendiri apa yang

harus dipikirkan, apa yang harus dipercaya, dan

bagaimana harus bertindak. Karena gagal

berpikir mandiri, maka ia akan meniru orang

Page 6: PENTINGNYA MELATIH KETERAMPILAN BERPIKIR …forumkependidikan.unsri.ac.id/userfiles/Artikel Lambertus-UNHALU... · kepada siswa ’kebiasaan berpikir mendalam, kebiasaan menjalani

FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009

141

lain, mengadopsi keyakinan dan menerima

kesimpulan orang lain dengan pasif. Contoh

dalam pembelajaran matematika, misalnya bagi

yang baru belajar perkalian mereka dapat men-

jawab dengan benar 3 x 4=12. Tetapi bila di-

tanya, mengapa 3 x 4 = 12? Mereka menjawab

itu sesuai tabel perkalian. Ini mungkin akibat dari

pembelajaran yang menyuruh anak menghapal

perkalian, sehingga mereka menjawab secara

otomatis, karena sudah dihafal.

Matematika adalah ilmu dasar yang dapat

membantu pengembangan ilmu-ilmu lain.

Sedangkan pengembangan keterampilan berpikir

kritis dapat pula dilakukan melalui pembelajaran

yang memberikan pemahaman epistemologis.

Pemahaman epistemologis adalah pemahaman

mengenai cara-cara mengembangkan pengetahu-

an. Dengan cara ini siswa diberi kesempatan

untuk melakukan eksplorasi dan memberikan

argumen dalam memperoleh suatu pengetahuan

yang objektif dan logis. Sehingga siswa dapat

menggunakan kemampuan intelektualnya seperti

analisis, evaluasi dan refleksi. Hal ini berarti

kemampuan intelektualnya dalam berpikir kritis

digunakan dalam pembelajaran yang memberi-

kan pengalaman epistemologi.

Pembelajaran Berpikir Kritis

Proses pembelajaran matematika yang ber-

pusat pada siswa, tampaknya berpotensi melatih

dan mengembangan keterampilan berpikir kritis.

Pada proses pembelajaran matematika yang

berpusat pada siswa, siswa aktif mengkonstruksi

pengetahuannya sendiri berdasarkan pengalaman

dan pengetahuan yang telah dimiliki, atas

bimbingan dan bantuan orang dewasa (guru).

Guru memberikan kebebasan berpikir dan ke-

leluasaan bertindak kepada siswa dalam me-

mahami pengetahuan dan memecahkan masalah.

Peran guru mengalami perubahan, tidak lagi

sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada

para siswanya, tetapi harus mampu menjadi

mediator dan fasilitator. Hadi (2005) menjabar-

kan fungsi mediator dan fasilitator dalam be-

berapa tugas sebagai berikut: (1) Menyediakan

pengalaman belajar yang memungkinkan siswa

bertanggung jawab dalam membuat rancangan,

proses, dan penelitian. (2) Menyediakan atau

memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang

keinginan siswa dan membantu mereka untuk

mengekspresikan gagasan-gagasannya dan

mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. (3) Me-

nyediakan sarana yang merangsang siswa

berpikir secara produktif. Ini dapat dilakukan

dengan cara menyediakan kesempatan dan pe-

ngalaman yang paling mendukung proses belajar

siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru

perlu menyediakan penga-laman konflik. (4)

Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan

apakah pemikiran siswa jalan atau tidak. Dalam

hal ini guru perlu menunjukkan dan memper-

tanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku

untuk menghadapi persoalan baru yang ber-

kaitan. Dan guru membantu mengevaluasi hipo-

tesis dan kesimpulan siswa.

Pembelajaran yang berpusat pada siswa

memungkinkan terjadinya diskusi. Diskusi me-

rupakan salah satu cara yang efektif dalam

melatih dan mengembangkan keterampilan ber-

pikir kritis, karena: (1) melalui diskusi, siswa

berbagi pendapat, berpikir perspektif, dan men-

dapat pengalaman; (2) melalui diskusi siswa

dapat mempertimbangkan, menolak atau me-

nerima pendapatnya sendiri maupun pendapat

siswa lain agar sesuai dengan jawaban atau

pendapat kelompok; dan (3) melalui diskusi pula,

siswa dapat melakukan penyesuaian atau

mengurangi hambatan-hambatan antara dirinya

dengan siswa lain sehingga ia bebas berpikir dan

bertindak. Interaksi antara sesama siswa, siswa

dan guru yang dilakukan dalam diskusi inilah

yang sangat berpengaruh terhadap tumbuh dan

berkembangnya disposisi berpikir kritis siswa.

Simpulan

Berdasarkan uraian di atas disimpulkan

beberapa hal berikut.

Berpikir kritis adalah potensi yang dimiliki

oleh setiap orang, dapat di ukur, dilatih, dan

dikembangkan.

Bila berpikir kritis dilatih terus menerus,

maka dapat menjadi suatu kebiasaan. Ke-

biasaan ini akan menjadi sikap dasar, dan

pada akhirnya terbentuk disposisi berpikir

kritis.

Dalam pembelajaran matematika, keteram-

pilan berpikir kritis hendaknya dilatih/diajar-

kan sejak SD. Hal ini cukup beralasan,

karena: (1) siswa SD sudah memiliki penga-

laman dan pengetahuan dasar, walaupun

dalam jumlah terbatas; (2) dalam proses

pembelajaran di SD guru dapat menciptakan

Page 7: PENTINGNYA MELATIH KETERAMPILAN BERPIKIR …forumkependidikan.unsri.ac.id/userfiles/Artikel Lambertus-UNHALU... · kepada siswa ’kebiasaan berpikir mendalam, kebiasaan menjalani

FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009

142

konflik kognitif untuk merangsang berpikir

kritis.

Melatih keterampilan berpikir kritis dalam

pembelajaran matematika dapat dilakukan

dengan pembarian soal-soal tidak rutin atau

tugas-tugas yang berhubungan dengan dunia

nyata dan terkait dengan kehidupan sehari-

hari, asalkan penyajiannya disesuaikan

dengan perkembangan kognitif anak.

Pembelajaran yang berpusat pada siswa

berpotensi untuk melatih dan mengembang-

kan keterampilan berpikir kritis, karena siswa

diberi keleluasaan membangun pengetahuan-

nya sendiri, berdiskusi dengan teman, bebas

mengajukan pendapat, dapat menerima atau

menolak pendapat teman, dan atas bimbingan

guru merumuskan kesimpulan.

DAFTAR RUJUKAN

Ennis, R.H. 2000. A Super-Steamlined

Conception of Critical Thinking. Tersedia:

http://www.ed.uine.edu/EPS/PES-

yearbook/92.does/ennis.htm

Fowler, G. 2004. Critical Thinking Across the

Curriculum Project. Tersedia:

http://www.kcmetro.cc.mo.us/longview/eta

c/definition.htm.

Garnison. D. R., Anderson, T. & Archer, W.

2001. Critical Thinking and Computer

Conferencing: A Model and Tool to Assess

Cognitive Presence. Tersedia:

http://communitiesofinquiry.com/documen

ts/ CogPres_Final.pdf

Hadi, Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika

Realistik dan Implementasinya.

Banjarmasin.

Ibrahim. 2007. Pengembangan Kemempuan

Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP

dalam Matematika melalui Pendekatan

Advokasi dengan Pengajaran Masalah

Open-Ended. Tesis pada PPs UPI. tidak

dipublikasikan

Johnson, E.B. 2007. Contextual Teaching &

Learning (terjemahan Ibnu Setiawan).

Bandung: MLC.

Kapel, D. E. & Dejnozka, E.L. 1991. American

Educator’s. Enllycopedia. New York:

Greenwood Press

Launch, Pad. 2001. Thinking Skill. Oxford:

Brookes University.

Nitko, A.J. 1996. Educational Assesment of

Student. Englewuood Cliffs: Merril

Norris, S.P. & Ennis, R. 1989. Evaluating

Critical Thinking ( dalam R. J. Schwartz

& D. N. Perkins (Eds), The Practitioners'

Guide to Teaching Thinking Series. Pacific

Grove, California: Midwest Publications.

Olson, I. 1996. The Arts Critical Thinking and

Reform: Classroom of the Future. The

High School. Journal. 79(2). 159-163.

Puskur. 2002. Kurikulum dan Hasil Belajar.

Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Mate-

matika Sekolah Dasar dan Madrasah Ibti-

daiyah. Balitbang. Diknas

Poedjiadi, A. 1999. Pengantar Filsafat Ilmu Bagi

Pendidik. Bandung: Yayasan Cendrawasih

Soedjadi, R. 1995. Pendidikan, Penalaran,

Konsturktifisme, Kreativitas sajian dalam

Pembelajaran Matematika. Makalah tidak

dipublikasikan.

Sumarmo, U. 2005. Pengembangan Berfikir

Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan

SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1)

Melalui Berbagai Pendekatan

Pembelajaran. Laporan Penelitian Hibah

Pascasarjana Tahun Ketiga. UPI Bandung.

Suriadi. 2006. Pembelajaran dengan Pendekatan

Discovery yang Menekankan Aspek Ana-

logi Untuk Meningkatkan Pemahaman

Matematik dan Kemampuan Berpikir

Kritis Siswa SMA. Tesis pada PPs UPI.

Tidak dipublikasikan.

Suriasumantri, J.S. 1998. Filsafat Ilmu Sebuah

Pengantar Populer. Jakarta: Sinar

Harapan.