pentingnya bk di sekolah
DESCRIPTION
A. Bimbingan dan Konseling di Sekolah DasarSekolah dasar bertanggung jawab memberikan pengalaman-pengalaman dasar kepada anak, yaitu kemampuan dan kecakapan membaca, menulis dan berhitung, pengetahuan umum serta perkembangan kepribadian, yaitu sikap terbuka terhadap orang lain, penuh inisiatif, kreatifitas, dan kepemimpinan, keterampilan serta sikap bertanggung jawab guru sekolah dasar memegang peranan dan memikul tanggung jawab untuk memahami anak dan membantu perkembangan sosial pribadi anak. Bimbingan itu sendiri dapat diartikan suatu bagian integral dalam keseluruhan program pendidikan yang mempunyai fungsi positif, bukan hanya suatu kekuatan kolektif. Proses yang terpenting dalam pentingnya bimbingan adalah proses penemuan diri sendiri. Hal tersebut akan membantu anak mengadakan penyesuaian terhadap situasi baru, mengembangkan kemampuan anak untuk memahami diri sendiri dan meerapkannya dalam situasi mendatang. Bimbingan bukan lagi suatu tindakan yang bersifat hanya mengatasi setiap krisis yang dihadapi oleh anak, tetapi juga merupakan suatu pemikiran tentang perkembangan anak sebagai pribadi dengan segala kebutuhan, minat dan kemampuan yang harus berkembang. Tuntutan untuk mengadakan identifikasi secara awal diakui kebenarannya oleh para ahli bimbingan karena:a. kepribadian anak masih luwes, belum menemukan banyak masalah hidup, mudah terbentuk dan masih akan banyak mengalami perkembangan. b. orang tua murid sering berhubungan dengan guru dan mudah dibentuk hubungan tersebut, orang tua juga aktif pendidikan anaknya di sekolah. c. masa depan anak masih terbuka sehingga dapat belajar mengenali diri sendiri dan dapat menghadapi suatu masalah di kemudian hari. Bimbingan tidak hanya pada anak yang bermasalah melainkan pandangan bimbingan dewasa ini yaitu menyediakan suasana atau situasi perkembangan yang baik,sehingga setiap anak di sekolah dapat terdorong semangat blejarnya dan dapat mengembangkan pribadinya sebik mungkin dan terhindar dari praktik-praktik yang merusak perkembangan anak itu sendiri. B. Bimbingan Konseling di Sekolah Mengah Tujuan pendidikan menengah acap kali dibiaskan oleh pandangan umum; demi mutu keberhasilan akademis seperti persentase lulusan, tingginya nilai Ujian Nasional, atau persentase kelanjutan siswa ke perguruan tinggi negeri. Kenyataan ini sulit dipungkiri, karena secara sekilas tujuan kurikulum menekankan penyiapan peserta didik (sekolah menengah umum/SMU) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau penyiapan peserta didik (sekolah menengah kejuruan/SMK) agar sanggup memasuki dunia kerja. Penyiapan peserta didik demi melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi sebagian besar hanya memperhatikan sisi materi pelajaran, agar para lulusannya dapat lolos tes masuk perguruan tinggi. Akibatnya, proses pendidikan di jenjang sekolah menengah akan kehilangan bobot dalam proses pembentukan pribadi sehingga pembentukan pribadi, pendampingan pribadi, pengasahan nilai-nilai kehidupan (values) dan pemeliharaan kepribadian siswa (cura personalis) terabaikan. Situasi demikian diperparah oleh kerancuan peran di setiap sekolah. Peran konselor dengan lembaga bimbingan konseling (BK) direduksi sekadar sebagai polisi sekolah. Bimbingan konseling yang sebenarnya paling potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi, ditempatkan dalam konteks tindakan-tindakan yang menyangkut disiplin siswa. Memanggil, memarahi, menghukum adalah proses klasik yang menjadi label BK di banyak sekolah. Dengan kata lain, BK diposisikan sebagai “musuh” bagi siswa bermasalah atau nakal. Merujuk pada rumusan Winkel untuk menunjukkan hakikat bimbingan konseling di sekolah yang dapat mendampingi siswa dalam beberapa hal. Pertama, dalam perkembangan belajar di sekolah (perkembangan akademis). Kedua, mengenal diri sendiri dan mengerti kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang maupun kelak. Ketiga, menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya, serta menyusun rencana yang tepat untuk mencapai tujuanTRANSCRIPT
A. Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar
Sekolah dasar bertanggung jawab memberikan pengalaman-pengalaman dasar
kepada anak, yaitu kemampuan dan kecakapan membaca, menulis dan
berhitung, pengetahuan umum serta perkembangan kepribadian, yaitu sikap
terbuka terhadap orang lain, penuh inisiatif, kreatifitas, dan kepemimpinan,
keterampilan serta sikap bertanggung jawab guru sekolah dasar memegang
peranan dan memikul tanggung jawab untuk memahami anak dan membantu
perkembangan sosial pribadi anak. Bimbingan itu sendiri dapat diartikan suatu
bagian integral dalam keseluruhan program pendidikan yang mempunyai fungsi
positif, bukan hanya suatu kekuatan kolektif. Proses yang terpenting dalam
pentingnya bimbingan adalah proses penemuan diri sendiri. Hal tersebut akan
membantu anak mengadakan penyesuaian terhadap situasi baru,
mengembangkan kemampuan anak untuk memahami diri sendiri dan
meerapkannya dalam situasi mendatang. Bimbingan bukan lagi suatu tindakan
yang bersifat hanya mengatasi setiap krisis yang dihadapi oleh anak, tetapi juga
merupakan suatu pemikiran tentang perkembangan anak sebagai pribadi dengan
segala kebutuhan, minat dan kemampuan yang harus berkembang. Tuntutan
untuk mengadakan identifikasi secara awal diakui kebenarannya oleh para ahli
bimbingan karena:
a. kepribadian anak masih luwes, belum menemukan banyak masalah hidup,
mudah terbentuk dan masih akan banyak mengalami perkembangan.
b. orang tua murid sering berhubungan dengan guru dan mudah dibentuk
hubungan tersebut, orang tua juga aktif pendidikan anaknya di sekolah.
c. masa depan anak masih terbuka sehingga dapat belajar mengenali diri sendiri
dan dapat menghadapi suatu masalah di kemudian hari. Bimbingan tidak hanya
pada anak yang bermasalah melainkan pandangan bimbingan dewasa ini yaitu
menyediakan suasana atau situasi perkembangan yang baik,sehingga setiap
anak di sekolah dapat terdorong semangat blejarnya dan dapat mengembangkan
pribadinya sebik mungkin dan terhindar dari praktik-praktik yang merusak
perkembangan anak itu sendiri.
B. Bimbingan Konseling di Sekolah Mengah
Tujuan pendidikan menengah acap kali dibiaskan oleh pandangan umum; demi mutu
keberhasilan akademis seperti persentase lulusan, tingginya nilai Ujian Nasional, atau
persentase kelanjutan siswa ke perguruan tinggi negeri. Kenyataan ini sulit
dipungkiri, karena secara sekilas tujuan kurikulum menekankan penyiapan peserta
didik (sekolah menengah umum/SMU) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
lebih tinggi atau penyiapan peserta didik (sekolah menengah kejuruan/SMK) agar
sanggup memasuki dunia kerja. Penyiapan peserta didik demi melanjutkan ke
pendidikan yang lebih tinggi sebagian besar hanya memperhatikan sisi materi
pelajaran, agar para lulusannya dapat lolos tes masuk perguruan tinggi. Akibatnya,
proses pendidikan di jenjang sekolah menengah akan kehilangan bobot dalam proses
pembentukan pribadi sehingga pembentukan pribadi, pendampingan pribadi,
pengasahan nilai-nilai kehidupan (values) dan pemeliharaan kepribadian siswa (cura
personalis) terabaikan. Situasi demikian diperparah oleh kerancuan peran di setiap
sekolah. Peran konselor dengan lembaga bimbingan konseling (BK) direduksi
sekadar sebagai polisi sekolah. Bimbingan konseling yang sebenarnya paling
potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi, ditempatkan dalam konteks
tindakan-tindakan yang menyangkut disiplin siswa. Memanggil, memarahi,
menghukum adalah proses klasik yang menjadi label BK di banyak sekolah. Dengan
kata lain, BK diposisikan sebagai “musuh” bagi siswa bermasalah atau nakal.
Merujuk pada rumusan Winkel untuk menunjukkan hakikat bimbingan konseling di
sekolah yang dapat mendampingi siswa dalam beberapa hal. Pertama, dalam
perkembangan belajar di sekolah (perkembangan akademis). Kedua, mengenal diri
sendiri dan mengerti kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang
maupun kelak. Ketiga, menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya, serta
menyusun rencana yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Keempat, mengatasi
masalah pribadi yang mengganggu belajar di sekolah dan terlalu mempersukar
hubungan dengan orang lain, atau yang mengaburkan cita-cita hidup. Empat peran di
atas dapat efektif, jika BK didukung oleh mekanisme struktural di suatu sekolah.
Proses cura personalis di sekolah dapat dimulai dengan menegaskan pemilahan peran
yang saling berkomplemen. Bimbingan konseling dengan para konselornya
disandingkan dengan bagian kesiswaan. Wakil kepala sekolah bagian kesiswaan
dihadirkan untuk mengambil peran disipliner dan hal-hal yang berkait dengan
ketertiban serta penegakan tata tertib. Siswa yang membolos, berkelahi, pakaian tidak
tertib, bukan lagi konselor yang menegur dan memberi sanksi. Reward dan
punishment, pujian dan hukuman adalah dua hal yang mesti ada bersama-sama.
Pemilahan peran demikian memungkinkan BK optimal dalam banyak hal yang
bersifat reward atau peneguhan. Jika tidak demikian, BK lebih mudah terjebak dalam
tindakan hukum-menghukum. Mendesak untuk diwujudkan, prinsip keseimbangan
dalam pendampingan orang-orang muda yang masih dalam tahap pencarian diri.
Orang-orang muda di sekolah menengah lazimnya dihadapkan pada celaan, cacian,
cercaan, dan segala sumpah-serapah kemarahan jika membuat kekeliruan. Namun,
jika melakukan hal-hal yang positif atau kebaikan, kering pujian, sanjungan atau
peneguhan. Betapa ketimpangan ini membentuk pribadi-pribadi yang memiliki
gambaran diri negatif belaka. Jika seluruh komponen kependidikan di sekolah
bertindak sebagai yang menghakimi dan memberikan vonis serta hukuman, maka
semakin lengkaplah pembentukan pribadi-pribadi yang tidak seimbang. BK dapat
diposisikan secara tegas untuk mewujudkan prinsip keseimbangan. Lembaga ini
menjadi tempat yang aman bagi setiap siswa untuk datang membuka diri tanpa
waswas akan privacy-nya.
Di sana menjadi tempat setiap persoalan diadukan, setiap problem dibantu untuk
diuraikan, sekaligus setiap kebanggaan diri diteguhkan. Bahkan orangtua siswa dapat
mengambil manfaat dari pelayanan bimbingan di sekolah, sejauh mereka dapat
ditolong untuk lebih mengerti akan anak mereka. Tantangan pertama untuk memulai
suatu proses pendampingan pribadi yang ideal justru datang dari faktor-faktor
instrinsik sekolah sendiri. Kepala sekolah kurang tahu apa yang harus mereka perbuat
dengan konselor atau guru-guru BK. Ada kekhawatiran bahwa konselor akan
memakan “gaji buta”. Akibatnya, konselor mesti disampiri tugas-tugas mengajar
keterampilan, sejarah, jaga kantin, mengurus perpustakaan, atau jika tidak demikian
hitungan honor atau penggajiannya terus dipersoalkan jumlahnya. Sesama staf
pengajar pun mengirikannya dengan tugas-tugas konselor yang dianggapnya
penganggur terselubung. Padahal, betapa pendampingan pribadi menuntut proses
administratif dalam penanganannya. BK yang baru dilirik sebelah mata dalam proses
pendidikan tampak dari ruangan yang disediakan. Bisa dihitung dengan jari, berapa
jumlah sekolah yang mampu (baca: mau!) menyediakan ruang konseling memadai.
Tidak jarang dijumpai, ruang BK sekadar bagian dari perpustakaan (yang disekat
tirai), atau layaknya ruang sempit di pojok dekat gudang dan toilet. Betapa mendesak
untuk dikedepankan peran BK dengan mencoba menempatkan kembali pada posisi
dan perannya yang hakiki. Menaruh harapan yang lebih besar pada BK dalam
pendampingan pribadi, sekarang ini begitu mendesak, jika mengingat kurikulum dan
segala orientasinya tetap saja menjunjung supremasi otak. Untuk memulai
mewujudkan semua itu, butuh perubahan paradigma para kepala sekolah menengah
dan semua pihak yang terlibat didalam proses kependidikan