kepala sekolah yang profesional · web viewdi sinilah letak pentingnya di setiap sekolah...
TRANSCRIPT
KEPALA SEKOLAH YANG PROFESIONAL
Oleh: Dra. Hj. Suharni, MM.
A. Latar Belakang
Era kesejagatan dan keterbukaan yang ditandai oleh kemajuan di bidang teknologi
informasi telah membawa pengaruh yang luar biasa bagi timbulnya berbagai tuntutan perubahan
di berbagai kehidupan, ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya, serta pendidikan.
Perkembangan teknologi informasi yang terjadi pada hampir setiap negara sudah merupakan ciri
global yang mengakibatkan hilangnya batas-batas negara (borderless). Karena itu, kejadian-
kejadian yang terjadi di belahan bumi sana, dalam hitungan menit sudah dapat diketahui di
belahan bumi lain, termasuk di Indonesia. Dalam kaitan ini George C. Lodge (1995: 1)
mengemukakan bahwa globalisasi merupakan proses, di mana penduduk dunia menjadi makin
saling terkait atau saling tergantung satu sama lain dalam semua bidang kehidupan, budaya,
ekonomi, politik, teknologi dan lingkungan, serta pendidikan.
Pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi saat ini merupakan dampak dari
semakin kompleksnya kebutuhan manusia akan informasi itu sendiri. Dekatnya hubungan antara
informasi dan teknologi jaringan komunikasi telah menghasilkan dunia maya yang amat luas
yang biasa disebut dengan teknologi cyberspace. Teknologi ini berisikan kumpulan informasi
yang dapat diakses oleh semua orang dalam bentuk jaringan-jaringan komputer yang disebut
jaringan internet.
Namun, di samping segala kelebihan dan manfaat dari kemajuan teknologi informasi
tersebut, maka kesiapan kita dalam beradaptasi. Tanpa adanya kemampuan untuk adaptasi
tersebut, justru kita sendiri yang akan menjadi korban dari kemajuan teknologi informasi. Untuk
keperluan itu, sebagaimana yang ditulis oleh Mulyasa (2005: 4) bahwa diperlukan sumber daya
manusia (SDM) berkualitas yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk senantiasa
meningkatkan kualitas secara terus menerus dan berkesinambungan.
Di bidang pendidikan, tuntutan akan kualitas SDM merupakan salah satu isu yang terus
bergulir, baik yang menyangkut tenaga pengajar (guru dan dosen) juga pimpinannya, karena itu
dalam salah satu amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
1
Pendidikan Nasional, yang memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial
yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang
menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman
yang selalu berubah. Adapun kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada
masa yang akan datang adalah yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan
bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu (Penjelasan Umum Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 157) tanggal 30 Desember 2005.
Kaitannya dengan tuntutan kualitas tersebut, maka Negara mempunyai tanggung jawab
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 2005 bahwa
“Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi
akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat”.
Sehubungan dengan itu, dalam setiap jenjang pendidikan sangat diperlukan seorang
pimpinan yang mampu menerjemahkan berbagai tuntutan tersebut. Di sinilah letak pentingnya di
setiap sekolah mempunyai kepala sekolah yang mempunyai visi dan misi pengembangan
sekolahnya sebagai salah satu upaya mengimplementasikan semangat sebagaimana diamanatkan
dalam konsideran Undang-undang No. 14 Tahun 2005: “bahwa pembangunan nasional dalam
bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas
manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan
beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”.
Untuk keperluan itu, maka memilih kepala sekolah sesuai dengan yang dikehendaki
sudah saatnya meninggalkan cara-cara tradisional dan konvensional, seperti asal tunjuk atau
yang dekat dengan kekuasaan. Dan, diganti dengan cara-cara yang dapat
dipertanggungjawabkan, yaitu seperti pemaparan visi dan misi di hadapan para guru dan
karyawan/I, dengan melakukan debat, sehingga akan didapat kepala sekolah yang benar-benar
berkualitas yang mampu membawa sekolahnya kepada kemajuan.
2
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut, maka permasalahan pokok terletak
pada kualifikasi atau kriteria seseorang yang cocok untuk menduduki jabatan sebagai kepala
sekolah. Karena di pundak seorang kepala sekolahlah, mereka menaruh harapan-harapan akan
perlunya perubahan sesuai dengan perkembangan terkini dan prospeksi untuk yang akan datang.
Tidak hanya itu, tuntutan-tuntutan perlunya seorang kepala sekolah yang berkualitas, profesional
selalu menggema.
C. Pembahasan
Pada bagian konsideran Undang-undang No. 14 Tahun 2005 dikemukakan: “bahwa
untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata
pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai
dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global perlu dilakukan pemberdayaan
dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah, dan berkesinambungan”; lebih
lanjut dikemukakan: “bahwa guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang
sangat strategis dalam pembangunan nasional dalam bidang pendidikan ….., sehingga perlu
dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat”
Untuk mengkonkretkan semangat tersebut, maka perlu adanya langkah evaluasi terhadap
paradigma manajemen pendidikan dewasa ini. Adapun yang dimaksud dengan manajemen
pendidikan adalah proses pengembangan kegiatan kerjasama sekelompok orang untuk mencapai
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Sedangkan proses pengendalian kegiatan kelompok
tersebut mencakup (Mulyasa: 7) :
1. Perencanaan (planning);
2. Pengorganisasian (organizing);
3. Penggerakan (actuating); dan
4. Pengawasan (controlling).
Bagi seorang kepala sekolah penguasaan terhadap unsur-unsur tersebut begitu
pentingnya, dapat dibayangkan misalnya, seorang kepala sekolah yang tidak mempunyai
perencanaan, akibatnya sekolah di mana kepala sekolah itu bertugas menjadi tidak mempunyai
arah. Akhirnya, bisa tersesat di jalan yang terang. Sementara itu tuntan-tuntan perlunya kepala
sekolah yang berkualitas, mumpuni dan sebagainya terus bergulir.
3
Karena itu, di samping unsur-unsur di atas, salah satu kualifikasi yang penting bagi
seorang kepala sekolah adalah apa yang disebut dengan superior intelligence dari bawahannya.
Hal itu penting, karena seorang yang memimpin sejumlah orang tertentu haruslah sanggup
memberikan bimbingan kepada bawahannya ke suatu arah tujuan tertentu. Pemberian bimbingan
tersebut akan dapat dilaksanakan dengan baik, bilamana memang orang yang menjadi pemimpin
itu mempunyai kecakapan relatif tinggi dari yang dibimbing. Dengan demikian, bagi seseorang
yang berkeinginan menjadi seorang kepala sekolah tentunya haruslah bisa melihat ke dirinya
sendiri, bertanya kepada dirinya sendiri: apakah misalnya, saya mampu menjadi kepala sekolah.
Seringkali yang terjadi, bukan visi dan misi untuk pengembangan sekolah, melainkan jabatan
kepala sekolah itulah yang dikejar.
Berikutnya, seorang kepala sekolah harus mempunyai kesanggupan untuk memimpin
atau leadership ability. Tanpa adanya kemampuan yang demikian itu, maka sulit bagi sekolah
untuk mencapai kemajuan. Seorang kepala sekolah harus sanggup menggerakkan berbagai
komponen di sekolah mulai dari wakil kepala sekolah (wakasek) sampai kepada guru-guru yang
merupakan suatu team yang kompak dan terkoodinir dalam upaya mencapai kemajuan sekolah
sebagaimana yang diinginkan. Jadi, berhasil tidaknya seorang kepala sekolah dalam
melaksanakan tugas-tugasnya amat tergantung pada kesanggupan kepala sekolah itu untuk
menanamkan suasana kerjasama yang sebaik-baiknya di antara bawahan.
Di samping itu, kesanggupan untuk mengadakan komunikasi (communication ability)
merupakan hal yang sangat perlu dimiliki oleh seorang kepala sekolah. Dalam pekerjaannya
sehari-hari seorang kepala sekolah harus dapat mengadakan hubungan yang baik dengan semua
pihak. Hubungan yang baik harus dibangun dan dipelihara tidak saja terhadap bawahannya,
atasannya, tetapi juga kepada orang tua murid. Seorang kepala sekolah harus dapat dan mempu
mengkomunikasikan ide-idenya dan dapat menjamin pengertian yang baik antara kepala sekolah
dengan semua pihak. Adanya jaminan pengertian yang baik akan memudahkan untuk
mendapatkan keadaan sekitar penentuan apa yang harus dikerjakan, bagaimana mengerjakannya
dan lain sebagainya. Kesanggupan kepala sekolah untuk mengadakan komunikasi yang baik
dengan semua pihak, memegang peranan penting bagi berhasil tidaknya seorang kepala sekolah
dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Dalam mengambil keputusan, seorang kepala sekolah harus menggunakan pendekatan
keilmuan, bukan perasaan. Dalam pengambilan keputusan, kepala sekolah harus berdasarkan
4
data-data, dengan begitu suatu keputusan yang diambil benar-benar merupakan suatu keputusan
yang logis dan objektif. Sifat-sifat yang demikian, harus merupakan kualifikasi seorang kepala
sekolah, karena tanpa kualifikasi yang demikian, maka kepala sekolah yang bersangkutan akan
mengambil keputusan dengan cara serampangan. Hal demikian akan berakibat tidak baik dalam
realisasi tujuan sekolah yang dipimpinnya.
Menurut Salusu (1996: 44-45) pengambilan keputusan merupakan pekerjaan sehari-hari
dari manajemen, kehidupan sehari-hari seorang kepala sekolah, misalnya, sesungguhnya
merupakan kehidupan yang selalu bergumul dengan keputusan. Sebagian besar dari waktunya
harus dicurahkan pada penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Seringkali seorang
kepala sekolah merasa hampa apabila dalam satu hari tidak mengambil satu keputusan, tidak
menjadi soal apakah keputusan itu benar atau mengandung kelemahan. Oleh karena itu, banyak
pemimpin yang berpendapat bahwa lebih baik membuat enam kesalahan dari keputusan yang ia
buat daripada sama sekali tidak membuat keputusan. Pengambilan keputusan mempunyai arti
penting bagi maju-mundurnya suatu sekolah, terutama karena masa depan sekolah banyak
ditentukan oleh pengambilan keputusan sekarang.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi pertanyaan: apakah pengambilan
keputusan itu? Menurut Salusu (1996: 47) pengambilan keputusan adalah proses memilih suatu
alternative cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai situasi. Proses itu untuk
menemukan dan menyelesaikan masalah organisasi yang bernama sekolah.
Pernyataan ini menegaskan bahwa mengambil keputusan memerlukan satu seri tindakan,
membutuhkan beberapa langkah. Dapat saja langkah-langkah itu terdapat dalam pikiran
seseorang yang sekaligus mengajaknya berpikir sistematis. Dalam dunia manajemen
sebagaimana yang digambarkan oleh Salusu (1996: 47-48) bahwa manajemen atau dalam
kehidupan organisasi, baik swasta maupun pemerintah (termasuk sekolah negeri) proses atau seri
tindakan itu lebih banyak tampak dalam berbagai diskusi. Karena itu, kata kunci dalam
pengambilan keputusan adalah: sekali kerangka yang tepat sudah diselesaikan, keputusan harus
dibuat”. Dan, sekali keputusan dibuat, harus diberlakukan dan kalau tidak, sebenarnya ia bukan
keputusan, melainkan lebih tepat dikatakan suatu hasrat, niat yang baik.
Selain sifat-sifat yang dissebut di atas, maka seorang kepala sekolah haruslah mempunyai
sifat-sifat memiliki nilai-nilai moral. Hal itu disebabkan karena sesungguhnya kepala sekolahlah
yang harus bertanggungjawab akan kesejahteraan bawahannya. Karena pada umumnya, kepala
5
sekolah yang memiliki nilai moral demikian itu, kelak akan dicontoh oleh bawahannya, bahkan
juga oleh anggota masyarakat lainnya di dalam lingkungannya.
Demikian juga halnya dengan sifat keadilan, harus pula menjadi kualifikasi dari setiap
kepala sekolah, kualifikasi yang demikian itu pada umumnya dapat tercipta bilamana kepala
sekolah mempunyai pendidikan yang luas, wawasan yang luas, kecakapan yang tinggi,
pengalaman praktis yang lumayan. Dan, dewasa ini seorang pimpinan termasuk kepala sekolah
harus mempunyai networking yang luas, jika tidak maka ibarat “katak dalam tempurung”
Kemudian, seorang kepala sekolah harus mempunyai kualifikasi inisiatif. Ini berarti,
seorang kepala sekolah harus berani memulai suatu pekerjaan tertentu yang tidak atau belum
ditugaskan atasannya dalam usahanya untuk melaksanakan apa yang menjadi tugasnya. Jadi kata
kuncinya, bekerjalah sebelum diperintah. Jadi, seorang kepala sekolah harus mempunyai inisiatif
agar apa yang menjadi tugas-tugasnya benar-benar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Dalam pada itu, seiring dengan munculnya paradigma baru manajemen pendidikan, maka
kepala sekolah perlu memperhatikan pilar-pilar manajemen pendidikan, yaitu (Ravik Karsidi,
2005: 1-4) :
1. Mutu
Secara luas mutu dapat diartikan sebagai agregat karakteristik dari produk atas jasa yang
memuaskan kebutuhan konsumen/pelanggan. Karakteristik mutu dapat diukur secara
kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses dan
hasil belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan. Setiap orang selalu
mengharapkan bahkan menuntut mutu dari orang, sebaliknya orang lain juga selalu
mengharapkan dan menuntut dari diri kita. Dengan demikian, mutu adalah paduan sifat-sifat
dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan
pelanggan, baik kebutuhan yang dinyatakan maupun yang tersirat. Adapun cirri-ciri mutu
ditandai dengan :
a. Ketepatan waktu pelayanan;
b. Akurasi pelayanan;
c. Kesopanan dan keramahan;
d. Bertanggungjawab atas segala keluhan pelanggan;
e. Kelengkapan pelayanan
f. Kemudahan mendapatkan pelayanan;
6
g. Variasi layanan;
h. Pelayanan pribadi;
i. Kenyamanan
j. Ketersediaan atribut pendukung.(Slamet, 1999).
2. Otonomi
Otonomi dapat dimengerti sebagai bentuk pendelegasian kewenangan seperti dalam
penerimaan dan pengelolaan peserta didik dan staf pengajar/staf non akademik,
pengembangan kurikulum dan materi ajar, serta penentuan standar akademik. Dalam
penerapannya di sekolah, paling tidak bahwa guru semestinya diberikan hak-hak profesi
yang mempunyai otoritas di kelas, dan tak sekedar sebagai bagian kepanjangan tangaan
birokrasi di atasnya.
3. Akuntabilitas
Akuntabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan output dan outcome yang
memuaskan pelanggan. Akuntabilitas menuntut kesepadanan antara tujuan lembaga
pendidikan tersebut dengan kenyataan dalam hal norma, etika dan nilai termasuk semua
program dan kegiatan yang dilaksanakannya. Hal ini memerlukan transparansi dari semua
fihak yang terlibat dan akuntabilitas untuk penggunaan semua sumberdaya.
4. Akreditasi
Akreditasi merupakan suatu pengendalian dari luar melalui proses evaluasi tentang
pengembangan mutu lembaga pendidikan tersebut. Hasil akreditasi perlu diketahui oleh
masyarakat yang menunjukkan posisi lembaga pendidikan yang bersangkutan dalam
menghasilkan produk atau jasa yang bermutu. Pelaksanaan akreditasi dilakukan oleh suatu
badan independen yang berwenang. Di Indonesia pelaksanaan akreditasi pendidikan untuk
sekolah-sekolah menengah ke bawah oleh Badan Akreditasi Sekolah (BAS).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu upaya sistematis untuk mengumpulkan dan memproses informasi
yang menghasilkan kesimpulan tentang nilai, manfaat, serta kinerja dan lembaga pendidikan
atau unit yang dievaluasi, kemudian menggunakan hasil evaluasi tersebut dalam proses
pengambilan keputusan dan perencanaan. Evaluasi bisa dilakukan secara internal atau
eksternal. Suatu evaluasi akan lebih bermanfaat bila dilakukan secara berkesinambungan.
7
Salah satu evaluasi terpenting dalam pendidikan adalah evaluasi diri (self evaluation) yang
dilakukan bertahap dan terus menerus atas seluruh komponen-komponen pendidikan.
Di samping pilar-pilar tersebut, seorang kepala sekolah harus pula memperhatikan hal-
hal sebagai berikut sebagai suatu konsep manajemen pendidikan untuk dapat didesentralisasikan
ke sekolah-sekolah, yaitu (Mulyasa, 2005: 20-23) :
1. Perencanaan dan evaluasi
Dalam paradigm baru manajemen pendidikan , sekolah memiliki kewenangan untuk
melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya, untuk meningkatkan mutu,
sekolah harus melakukan analisis kebutuhan, kemudian mengembangkan rencana
peningkatan mutu berdasarkan hasil analisis kebutuhan.
Sekolah juga memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi secara internal untuk
memantau proses pelaksanaan dan hasil program-program yang dilaksanakan. Evaluasi
harus dilakukan secara jujur, adil, dan transparan, agar dapat mengungkap informasi yang
sebenar-benarnya.
2. Kurikulum
Kurikulum yang dibuat oleh pemerintah pusat merupakan standar yang berlaku secara
nasional. Dalam implementasinya, daerah dan sekolah diberi kewenangan untuk
mengembangkan silabus, namun tetap berada dalam koridor isi kurikulum yang berlaku
secara nasional. Daerah dan sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan silabus
mata pelajaran keterampilan pilihan, yang merupakan unggulan daerah (muatan lokal)
3. Pembelajaran
Pembelajaran merupakan kegiatan utama sekolah, yang dalam pelaksanaannya sekolah
diberi kebebasan memilih strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang
paling efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, peserta didik, guru, serta kondisi
nyata sumberdaya yang tersedia dan siap didayakan di sekolah.
4. Ketenagaan
Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen,
pengembangan, hadiah dan sanksi, hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga
kependidikan dapat dilakukan oleh sekolah dan daerah sesuai dengan kemampuan masing-
masing, kecuali yang menyangkut imbal jasa (gaji), dan rekrutmen pegawai negeri masih
ditangani oleh pusat.
8
5. Fasilitas
Dalam paradigma baru manajemen pendidikan, pengelolaan fasilitas yang mencakup
pengadaan, pemeliharaan, perbaikan, dan pengembangan merupakan kewenangan sekolah.
Pelimpahan kewenangan tersebut perlu dilakukan, karena sekolah yang paling mengetahui
secara pasti fasilitas yang diperlakukan dalam operasional sekolah, terutama fasilitas
pembelajaran untuk memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik.
6. Keuangan
Pengelolaan keuangan,terutama pengalokasian, dan penggunaan uang sudah sepantasnya
dilakukan oleh sekolah di bawah pimpinan dan koordinasi kepala sekolah. Hal itu perlu
dilakukan, karena sekolah yang paling memahami kebutuhannya, sehingga desentralisasi
pengalokasian, dan penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah
juga perlu diberi kebebasan untuk mencari dana melalui berbagai kegiatan yang dapat
mendatangkan hasil, agar dalam upaya pengembangan tidak semata-mata bergantung pada
dana pemerintah. Dalam kaitan ini kepala sekolah juga dituntut mempunyai jiwa
kewirausahaan.
7. Peserta didik
Dalam paradigma baru manajemen pendidikan, pengelolaan dan pengembangan peserta
didik perlu lebih diintensifkan, melalui jalinan kerja sama antara sekolah dengan masyarakat
dan dunia kerja.
8. Hubungan sekolah dengan masyarakat
Dalam era demokrasi, masyarakat merupakan partner sekolah dalam melaksanakaan
pendidikan dan pembelajaran, karena sekolah merupakan bagian integral dari masyarakat.
Kerjasama tersebut penting untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan
dukungan operasional, baik moral maupun financial.
9. Iklim sekolah
Iklim sekolah yang kondusif-akademik, baik fisik maupun nonfisik merupakan landasan
bagi penyelenggaraan pembelajaran yang efektif dan produktif. Oleh karena itu, sekolah
perlu menciptakan iklim yang kondusif untuk menumbuhkembangkan semangat dan
merangsang nafsu belajar peserta didik. Disain-disain di lingkungan sekolah ditata
sedemikian rupa, misalnya pembangunan kantin sekolah harus teringrasi dengan upaya
pengembangan atmosfir akademik, penyediaan hotspot yang sekarang sudah umum.
9
Untuk itu semua, kreatifitas sekolah yang dikomandoi oleh kepala sekolah sangat
menentukan bagi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Karena itu, suara-suara yang
menghendaki perlunya kepala sekolah yang professional, sudah mulai menggema. Secara teoretis
(Ravik Karsidi, 2005: 8-9) pengertian professional dapat didekati dengan empat perspektif
pendekatan, yaitu orientasi filosofis, perkembangan bertahap, orientasi karakteristik, dan
orientasi non-tradisional.
1. Orientasi filosofi
Ada tiga pendekatan dalam orientasi filosofi, yaitu pertama lambang keprofesionalan adalah
adanya sertifikat, lisensi, dan akreditasi. Akan tetapi penggunaan lambang ini tidak diminati
karena berkaitan dengan aturan-aturan formal. Pendekatan kedua yang digunakan untuk
tingkat keprofesionalan adalah pendekatan sikap individu, yaitu pengembangan sikap
penting bahwa layanan individu memegang profesi diakui oleh dan bermanfaat bagi
penggunanya. Pendekatan ketiga: electic, yaitu pendekatan yang menggunakan prosedur,
teknik, metode dan konsep dari berbagai sumber, sistem dan pemikiran akademis. Proses
standar tertentu. Pendekatan ini berpandangan bahwa pandangan individu tidak akan lebih
baik dari pandangan kolektif yang disepakati bersama. Sertifikasi profesi memang
diperlukan, tetapi tergantung pada tuntutan penggunanya.
2. Oritasi Perkembangan
Orientasi perkembangan menekankan pada enam langkah pengembangan profesionalisasi,
yaitu :
a. Dimulai dari adanya asosiasi informal individu-individu yang memiliki minat terhadap
profesi.
b. Identifikasi dan adopsi pengetahuan tertentu.
c. Para praktisi biasanya lalu terorganisasi secara formal pada suatu lembaga.
d. Penyepakatan adanya persyaratan profesi berdasarkan pengalaman atau kualifikasi
tertentu.
e. Penentuan kode etik.
f. Revisi persyaratan berdasarkan kualifikasi tertentu (termasuk syarat akademis) dan
pengalaman dilapangan.
10
3. Orentasi Kekarakteristik
Profesionalisasi juga dapat ditinjau dari karakteristik profesi/pekerjaan. Ada delapan
karakteristik pengembangan profesionalisasi, satu dengan yang lain saling terkait :
a. Kode etik.
b. Pengetahuan yang terorganisir.
c. Keahlian dan kompetensi yang bersifat khusus.
d. Tingkat pendidikan yang dipersyaratkan.
e. Sertifikat keahlian.
f. Proses tertentu sebelum memangku profesi untuk bisa memangku tugas dan tanggung
jawab.
g. Kesempatan untuk menyebarluaskan dan pertukaran ide diantara anggota profesi.
h. Adanya tindakan disiplin dan batasan tertentu jika terjadi malpraktek oleh anggota
profesi.
4. Orientasi Non-Tradisional.
Perspektif pendekatan yang keempat yaitu perspektif non-tradisional yang menyatakan
bahwa seseorang dengan bidang ilmu tertentu diharapkan mampu melihat dan merumuskan
karakteristik yang unik dan kebutuhan dari sebuah profesi. Oleh karena itu perlu dilakukan
identifikasi elemen-elemen penting untuk sebuah profesi. Misalnya termasuk pentingnya
sertifikasi professional dan perlunya standarisasi profesi untuk menguji kela.yakannya
dengan kebutuhan lapangan.
Paradikma pendidikan yang memberikan kewenangan luas kepada sekolah dalam
mengembangkan berbagai potensinya memerlukan peningkatan kemampuan kepala sekolah
dalam berbagai aspek manajerialnya, agar dapat mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misi
yang diemban sekolahnya. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan misalnya, kepala sekolah
dituntut memiliki kemampuan melakukan pengelolaan keuangan dengan sebaik-baiknya
disekolah. Kemampuan ini diperlukan, karena kalau dulu kepala sekolah diberi bantuan oleh
pemerintah dalam bentuk sarana dan prasarana pendidikan yang sering kurang bermanfaat bagi
sekolah, maka dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, bantuan langsung
diberiakan dalam bentuk uang, mau diapakan uang tersebut bergantung seluruhnya kepada
kepala sekolah, yang penting dia dapat mempertanggungjwabkannya secara professional.
11
Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam
meningkatkan kualitas pendidikan. Seperti diungkapkan Supriadi (1998-346) bahwa: “Erat
hubungannya antara mutu kepala sekolah dengan berbagai aspek kehidupan sekolah seperti
disiplin sekolah, iklim budaya sekolah dan menurunnya perilaku nakal peserta didik”. Dalam
pada itu, kepala sekolah bertanggung jawab atas manajemen pendidikan secara mikro, yang
secara langsung berkaitan dengan proses pembelajaran di sekolah.
Apa yang dikemukakan di atas, menjadi lebih penting sejalan dengan semakin
kompleksnya tuntutan tugas kepala sekolah, yang menghendaki dukungan kinerja yang semakin
efektif dan efisien. Disamping itu perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya
yang diterapkan dalam pendidikan di sekolah juga cenderung bergerak maju semakin pesat,
sehingga menuntut penguasaan secara professional. Menyadari hal tersebut, setiap kepala
sekolah dihadapkan pada tantangan untuk melaksanakan pengembangan pendidikan secara
terarah, berencana, dan berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Dalam kerangka inilah dirasakan perlunya peningkatan manajemen kepala sekolah secara
profesional untuk mensukseskan program-program pemerintah yang sedang digulirkan, yakni
otonomi daerah, desentralisasi pendidikan, manajemen berbasis sekolah, kurikulum berbasis
kopentensi, life skill, kontekstual learning dan Undang-Undang Sisdiknas, yang kesemuanya itu
menuntut peran efektif dan kinerja professional kepala sekolah.
D. Kesimpulan dan saran
Menjadi seorang kepala sekolah yang profesional tentu merupakan idaman bagi setiap
orang yang merasa memenuhi kriteria untuk itu, karenanya seiring dengan perubahan paradigma
dalam manajemen pendidikan, dan tuntutan-tuntutan yang berkaitan dengan kualitas, wawasan
yang luas, mempunyai jaringan yang luas, dan sebagainya, harus menjadi pertimbangan utama
dalam menentukan seorang kepala sekolah.
Ini berarti, untuk menjadi seorang kepala sekolah tidaklah semudah yang dibayangkan,
sehingga perlu instropeksi, bertanya kepada diri sendiri apakah mampu mengemban amanah,
karena menjadi seorang kepala sekolah, jangan jabatan kepala sekolah itu yang dikejar,
melainkan mampukah menunaikan amanah sebagai kepala sekolah yang profesional. Karena itu,
model atau cara pemilihan yang secara tradisional masih berlangsung sudah seharusnya diganti
dengan pendekatan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, yaitu melalui pemaparan visi dan misi dan
12
debat, sehingga dari situ akan didapat pilihan, mana yang layak. Hal itu dilakukan agar terhindar
dari ibarat “membeli kucing dalam karung”. Semoga.
E. Referensi
Karsidi, Ravik, 2000 Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Bahan Ceramah Dipondok
Assalam, Surakarta, 19 Februari.
Slamet, Margono, 1999 Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu Terpadu,
IPB Bogor.
Gilley, Jerry W. dan Steven A. Egglend,1989, Prinsiples of Human Resourches Development,
New York:Addison Wesley Pub.Campany. Inc.
Mulyasa, E. 2005 Menjadi Kepala Sekolah Profesional, PT Remaja Rosdakarya Offset,
Bandung.
Salusu, J.1996 Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi
Nonprofit, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Manulang, M. 1984 Managemen Personalia, Ghalia Indonesia.
Jalal, Fasli, dan Dedi Supriadi,(ed) 200, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah,
Yogyakarta: Adicipta.
13