pengungkapan informasi kesehatan.doc

Upload: vian-aprilya

Post on 08-Jan-2016

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pengungkapan Informasi KesehatanGATOT SUHARTO,dr,SH,Mkes.

Pengungkapan informasi kesehatan seseorang pasien kepada pihak lain hanya dapat dilakukan apabila:

1. Dengan persetujuan atau kehendak pasien, misalnya informasi kesehatan untuk kepentingan asuransi kesehatan, perusahaan, pemberi kerja dan lain-lain. Dalam hal ini harus diingat prinsip minimal, relevan dan cukup, yaitu bahwa informasi kesehatan yang diberikan harus minimal tetapi harus relevan dengan yang dibutuhkan serta cukup dalam menjawab pertanyaan.

2. Dengan perintah undang-undang, misalnya:

a. UU wabah dan UU karantina

b. UU acara pidana: visum et repertum, surat/dokumen, keterangan ahli di persidangan, keterangan ahli di depan penyidik/ penuntut umum.

3. Untuk kepentingan pasien, misalnya pada waktu konsultasi medis antara tenaga kesehatan/medis, terutama dalam hal pasien berada dalam keadaan darurat dan tidak bisa memberikan consent.

Lebih lanjut dapat ditambahkan bahwa informasi kesehatan yang tidak mencantumkan ciri identitas pasien dapat dipergunakan untuk tujuan yang lebih luas, seperti kepentingan statistik kesehatan dan kesakitan, kepentingan audit medis/klinis dan audit utility, penelitian dan lain-lain. (Permenkes 749a).

Masalah dapat saja timbul pada saat keluarga pasien meminta informasi kesehatan pasien. Pada umumnya keluarga inti-terutama budaya timur, dianggap secara implied memiliki hak akses atas informasi kesehatan, namun menjadi tidak berlaku apabila pasien secara eksplisit melarangnya.

Pengecualian juga dapat diberlakukan, yaitu pada informasi tentang, psikoterapi, informasi yang dikumpulkan dalam rangka untuk kepentingan penyidik/pengadilan, informasi yang dapat membahayakan jiwa atau fisik pasien atau orang lain,yang dapat disimpan dengan lebih ketat sebagai rahasia, bahkan kadang juga bagi pasien itu sendiri.

Dalam upaya hal pembuatan surat-menyurat, pengiriman dokumen atau hal lain sebagaimana diuraikan di atas yang membutuhkan biaya, maka biaya tersebut dapat dibebankan kepada peminta informasi.

Penggunaan Informasi Kesehatan untuk Kepentingan Peradilan

Sebagaimana disebutkan diatas, UU Praktik Kedokteran memberikan peluang untuk mengungkapkan informasi kesehatan untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum. Dalam hal ini perlu digarisbawahi kata-kata dalam rangka penegakan hukum, yang berarti bahwa permintaan atas informasi kesehatan tersebut haruslah diajukan dengan mengikuti aturan yuridis-formiel.

Pasal 43 Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengisyaratkan bahwa rekam medis tidak dapat disita tanpa sepersetujuan sarana kesehatan atau orang yang bertanggung jawab atas rekam medis tersebut.

Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas ijin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa penggunaan IK untuk kepentingan peradilan dapat dilakukan, baik pada saat pemeriksaan oleh penyidik, penuntut umum maupun di depan sidang pengadilan. Namun demikian untuk menjaga agar dokumen rekam medis tidak hilang maka sebaiknya rekam medis hanya dikeluarkan dari sarana pelayanan kesehatan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Sebuah fotokopi rekam medis yang disahkan pimpinan sarana kesehatan dapat diserahkan atas permintaan resmi penyidik atau penuntut umum. Rekam medis asli dapat ditunjukkan untuk membuktikan orisinalitas rekam medik tersebut.

Selain itu, pemberi layanan kesehatan dapat saja menetapkan sebagian informasi kesehatan sebagai rahasia dan tidak menyampaikannya ke petugas penuntut umum, sepanjang informasi tersebut tidak relevan dengan perkaranya. Hak menjaga kerahasiaan informasi tertentu tersebut dilindungi oleh pasal 120 KUHAP.

Penggunaan Rekam Medis untuk Peningkatan Mutu

Dalam audit medis, umumnya sumber data yang digunakan adalah rekam medis pasien, baik yang rawat jalan maupun yang rawat inap. Rekam medis adalah sumber data yang paling baik di rumah sakit, meskipun banyak memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan rekam medis adalah sering tidak adanya beberapa data yang bersifat sosial-ekonomi pasien, seringnya pengisian rekam medis yang tidak lengkap, tidak tercantumnya persepsi pasien, tidak berisi penatalaksanaan pelengkap seperti penjelasan dokter dan perawat, seringkali tidak memuat kunjungan kontrol pasca perawatan inap, dan lain-lain.

Dampak dari audit medis yang diharapkan tentu saja adalah peningkatan mutu dan efektifitas pelayanan medis di sarana kesehatan tersebut. Namun di samping itu, kita juga perlu memperhatikan dampak lain, seperti dampaknya terhadap perilaku para profesional, tanggung jawab manajemen terhadap nilai dari audit medis tersebut, seberapa jauh mempengaruhi beban kerja, rasa akuntabilitas, prospek karier dan moral, dan jenis pelatihan yang diperlukan.

Aspek legal terpenting dari audit medis adalah penggunaan informasi medis pasien, yang tentu saja terkait dengan kewajiban menyimpan rahasia kedokteran. Pada Permenkes RI tentang rekam medik disebutkan bahwa salah satu tujuan dari rekam medis adalah untuk riset dan sebagai data dalam melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan medis. Permenkes ini juga memberikan peluang pembahasan informasi medis seseorang pasien di kalangan profesi medis untuk tujuan rujukan dan pengembangan ilmiah. Demikian pula Asosiasi dokter sedunia (WMA Oktober 1983) menyatakan bahwa penggunaan informasi medis untuk tujuan riset dan audit dapat dibenarkan.

It is not a breach of confidentiality to release or transfer confidential health care information required for the purpose of conducting scientific researchs, management audits, financial audits, program evaluation, or similar studies, provided the information released does not identify, directly or indirectly, any individual patient in any report or such research, audit or evaluation, or otherwise disclose patient identities in any manner (Statement of World Medical Association, 1983)

Ketentuan model yang diajukan oleh the American Medical Record Association menyatakan bahwa informasi medis dapat dibuka dalam hal: (a) memperoleh otorisasi tertulis dari pasien, (b) sesuai dengan ketentuan undang-undang, (c) diberikan kepada sarana kesehatan lain yang saat ini menangani pasien, (d) untuk evaluasi perawatan medis, (e) untuk riset dan pendidikan sesuai dengan peraturan setempat. (2)Di pihak lain, audit medis yang mereview rekam medis dapat saja menemukan kesalahan-kesalahan orang, kesalahan prosedur, kesalahan peralatan dan lain-lain, sehingga dapat menimbulkan rasa kurang nyaman bagi para profesional (dokter, perawat, dan profesi kesehatan lain). Oleh karena itu perlu diingat bahwa audit medis bertujuan untuk mengevaluasi pelayanan medis dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan bukan untuk mencari kesalahan dan menghukum seseorang. Tindakan manajemen yang diusulkan oleh panitia untuk mengoreksi perilaku dan atau kapasitas perorangan harus dilakukan secara bijaksana sehingga tidak terkesan sebagai sanksi hukuman. Boleh dikatakan bahwa audit medis tidak mencari pelaku kesalahan (liable person/parties), melainkan lebih ke arah menemukan risiko yang dapat dicegah (avoidable risks) sehingga arahnya benar-benar menuju peningkatan kualitas dan safety.Dengan demikian dalam melaksanakan audit medis perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Semua orang/staf yang turut serta dalam audit medis adalah mereka yang telah disumpah untuk menjaga kerahasiaan kedokteran, dikenal memiliki integritas yang tinggi dan memperoleh penunjukan resmi dari direksi.

2. Semua formulir data yang masuk dalam rangka audit medis tetap memiliki tingkat kerahasiaan yang sama dengan rekam medis, termasuk seluruh fotokopi dan fax.

3. Harus disepakati tentang saksi bagi pelanggaran atas rahasia kedokteran ini, misalnya penghentian penugasan/akses atas rekam medis, atau bahkan penghentian hubungan kerja.

4. Seluruh laporan audit tidak diperkenankan mencantumkan identitas pasien, baik secara langsung maupun tidak langsung.

5. Seluruh hasil audit medis ditujukan untuk kepentingan perbaikan pelayanan medis di rumahsakit tersebut, tidak dapat dipergunakan untuk sarana kesehatan lain dan tidak digunakan untuk menyalahkan atau menghukum seseorang atau satu kelompok orang.

6. Seluruh hasil audit medis tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan.

INFORMED CONSENT

Prinsip Moral Profesi Kedokteran

Sifat hubungan antara dokter dengan pasien berkembang dari sifat paternalistik hingga ke sifat kontraktual dan fiduciary. Pada masa sebelum tahun 1950-an paternalistik dianggap sebagai sifat hubungan yang paling tepat, dimana dokter menentukan apa yang akan dilakukan terhadap pasien berdasarkan prinsip beneficence (semua yang terbaik untuk kepentingan pasien, dipandang dari kedokteran). Prinsip ini telah mengabaikan hak pasien untuk turut menentukan keputusan. Sampai kemudian pada tahun 1970-an dikembangkanlah sifat hubungan kontraktual antara dokter dengan pasien yang menitikberatkan kepada hak otonomi pasien dalam menentukan apa-apa yang boleh dilakukan terhadapnya. Kemudian sifat hubungan dokter-pasien tersebut dikoreksi oleh para ahli etika kedokteran menjadi hubungan fiduciary (atas dasar niat baik dan kepercayaan), yaitu hubungan yang menitikberatkan nilai-nilai keutamaan (virtue ethics). Sifat hubungan kontraktual dianggap meminimalkan mutu hubungan karena hanya melihatnya dari sisi hukum dan peraturan saja, dan disebut sebagai bottom line ethics.Dalam profesi kedokteran dikenal 4 prinsip moral utama, yaitu:

1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination);

2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditunjukkan ke kebaikan pasien;

3. Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau do no harm;

4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).

Otonomi pasien dianggap sebagai cerminan konsep self governance, liberty rights, dan individual choices. Immanuel Kant mengatakan bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk memutuskan nasibnya sendiri, sedangkan Johns S Mills berkata bahwa kontrol sosial atas seseorang individu hanya sah apabila dilakukan karena terpaksa untuk melindungi hak orang lain.

Salah satu hak pasien yang disahkan dalam Declaration of Lisbon dari World Medical Association (WMA) adalah the rights to accept or to refuse treatment after receiving adequate information5. Secara implisit amandemen UUD 45 pasal 28G ayat (1) juga menyebutnya demikian Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, ...dst6. Selanjutnya UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan juga memberikan hak kepada pasien untuk memberikan persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hak ini kemudian diuraikan dalam Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis. Suatu tindakan medis terhadap seseorang pasien tanpa memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari pasien tersebut dapat dianggap sebagai penyerangan atas hak orang lain atau perbuatan melanggar hukum (tort).

Prinsip otonomi pasien ini dianggap sebagai dasar dari doktrin informed consent. Tindakan medis terhadap pasien harus mendapat persetujuan (otorisasi) dari pasien tersebut, setelah ia menerima dan memahami informasi yang diperlukan. Informed consent dapat dianggap sebagai a patient with substantial understanding and in substantial absence of control by others, intentionally authorizes a professional to do something.

Informed Consent

Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akandan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain:

Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu:

1. Treshold elements

Elemen ini sebenarnya tidak dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten. Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan (medis). Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suatu kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).

Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) adalah apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak dibawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila ia mempunyai penyakit mental sedemikian rupa atau perkembangan mentalnya terbelakang sedemikian rupa, sehingga kemampuan membuat keputusannya terganggu7.

2. Information elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu disclosure ( pengungkapan ) dan understanding (pemahaman).

Pengertian berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi ( disclosure ) sedemikian rupa agar pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat.

Dalam hal ini, seberapa baik informasi harus diberikan kepada pasien dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :

Standar praktek profesi

Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria keadekuatan informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis ( constumary practices of a professional community Faden and Beauchamp, 1986 ). Standar ini telah terlalu mengacu pada nilai nilai yang ada dalam komunitas kedokteran tanpa memperhatikan keingin tahuan dan kemampuan pemahaman individu yang di harapkan menerima informasi tersebut.

Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut diatas tidak sesuai dengan nilai nilai sosial setempat, misalnya : resiko yang tidak bermakna menurut medis tidak diinformasikan,padahal mungkin bermakna dari sisi sosial/pasien.

Standar Subyektif

Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut didalam membuat keputusan. Sebaliknya dari standar sebelumnya, standar ini agak sulit dilaksanakan atau hampir mustahil. Adalah mustahil bagi tenaga medis untuk memahami nilai nilai yang secara individual dianut oleh pasien. Standar pada reasonable person

Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pada umumnya orang awam.Sub-elemen pemahaman (understanding) dipengaruhi oleh penyakitnya, irrasionalis dan imaturitas.

Banyak ahli yang mengatakan bahwa apabila elemen ini tidak dilakukan maka dokter dianggap telah lalai melaksanakan tugasnya memberi informasi yang adekuat.

3. Consent elements

Elemen ini juga terdiri dari dua bagian, yaitu : voluntariness ( kesukarelaan, kebebasan ) dan authorization ( persetujuan ). Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari tekanan yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah olah akan dibiarkan apabila tidak menyetujui tawarannya.

Banyak ahli masih berpendapat bahwa melakukan persuasi yang tidak berlebihan masih dapat dibenarkan secara moral. Consent dapat diberikan :

a. Dinyatakan ( expressed )

Dinyatakan secara lisan

Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila diperklukan bukti dikemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi kesehatan pasien secara bermakna. Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.

b. Tidak dinyatakan ( implied )

Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku ( gerakan ) yang menunjukan jawabannya.

Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti namun, consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan didalam praktek sehari hari.

Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya.

Informed consent memiliki lingkup terbatas pada hal hal yang telah dinyatakan sebelumnya, tidak dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua tindakan yang akan dilakukan. Dokter dapat bertindak melalui yang telah disepakati hanya apabila gawat darurat dan keadaan tersebut membutuhkan waktu yang singkat untuk mengatasinya.

Proxy-consent adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien apabila ia mampu memberikannya ( baik buat pasien, bukan baik untuk orang banyak ). Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy-consent adalah suami/istri,anak, orang tua, saudara kandung, dll 8.

Proxy-consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat. Suatu kasus telah membuka mata orang Indonesia betapa riskannya proxy-consent ini, yaitu ketika seorang kakek kakek menurut dokter yang telah mengoperasinya hanya berdasarkan persetujuan anaknya, padahal ia tidak pernah dalam keadaan tidak sadar atau tidak kompeten.

Hak menolak terapi lebih sukar diterima oleh profesi kedokteran daripada hak menyetujui terapi. Banyak ahli yang mengatakan bahwa hak menolak terapi bersifat tidak absolut, artinya masih dapat ditolak atau tidak diterima oleh dokter. Hal ini karena dokter akan mengalami konflik moral dengan kewajiban menghormati kehidupan, kewajiban untuk mencegah perbuatan yang bersifat bunuh diri atau self inflicted, kewajiban melindungi pihak ketiga, dan integritas etis profesi dokter.

Pengaruh konteks

Doktrin informed consent tidak berlaku pada lima keadaan, yaitu: (1) keadaan darurat medis, (2) ancaman terhadap kesehatan masyarakat, (3) pelepasan hak memberikan consent (waiver), (4) clinical privilege, dan (5) pasien yang tidak kompeten memberikan consent9. May menambahkan bahwa penggunaan clinical previlege hanya bisa dilakukan pada pasien yang melepaskan haknya memberi consent.

Contextual circumstances juga seringkali mempengaruhi pola perolehan informed consent. Seorang yang dianggap sudah pikun, orang yang dianggap memiliki mental yang lemah untuk dapat menerima kenyataan, dan orang yang dalam keadaan terminal seringkali tidak dianggap cakap menerima informasi yang benar- apalagi membuat keputusan medis. Banyak keluarga pasien melarang para dokter untuk berkata benar kepada pasien tentang keadaan sakitnya.

Pengaruh budaya Indonesia atau budaya timur pada umumnya sangat terasa dalam praktek informed consent. Sebagaimana dituliskan oleh Kazumasa Hoshino bahwa orang Jepang cenderung untuk menyerah kepada pendapat umum dalam kelompoknya. Umumnya keputusan medis dipahami sebagai proses dalam keluarga, pasien sendiri umumnya mendesak untuk berkonsultasi dahulu dengan keluarganya untuk menjaga keharmonisan keluarga. Budaya sebagian besar suku bangsa di Indonesia tampaknya sangat sesuai dengan budaya Jepang diatas. Persetujuan tindakan medis umumnya diberikan oleh keluarga dekat pasien oleh karena pasien cenderung untuk menyerahkan permasalahan medisnya kepada keluarga terdekatnya. Nilai yang lebih bersifat kolektif seperti ini juga terlihat dalam rahasia kedokteran.

Budaya, kebiasaan dan tingkat pendidikan juga mempengaruhi cara dan keadekuatan berkomunikasi antara dokter dan pasien. Penelitian dilakukan oleh Cassileth menunjukkan bahwa dari 200 pasien pengidap kanker yang ditanyai sehari sesudah dijelaskan, hanya 60% yang memahami tujuan dan sifat tindakan medis, hanya 55% yang dapat menyebut komplikasi yang mungkin timbul, hanya 40% yang membaca formulir dengan cermat, dan hanya 27% yang dapat menyebut tindakan alternatif yang dijelaskan10. Bahkan Grunder menemukan bahwa dari lima rumah sakit yang ditelitinya, empat diantaranya membuat penjelasan tertulis yang bahasamya ditujukan untuk dapat dimengerti oleh mahasiswa tingkat atas atau sarjana, dan satu lainnya berbahasa setingkat majalah akademis spesialis.11

Keluhan pasien tentang proses informed consent adalah:

Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis.

Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk tanya-jawab.

Pasien sedang stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi.

Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.

Sebaliknya dokter juga mengeluhkan hal-hal dibawah ini:

Pasien tidak mau diberitahu

Pasien tidak mampu memahami

Risiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi

Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.

UPAYA PREVENTIFBerbicara mengenai langkah-langkah tindakan profesi kedokteran dalam menghadapi kemungkinan adanya tuntutan hukum, seharusnya dimulai langkah pencegahan terjadinya medical accident atau adverse event.

Penyebab dan pencegahannya

Perlu diingat bahwa suatu kecelakaan tidak terjadi sebagai akibat dari suatu sebab (single cause), melainkan merupakan hasil dari banyak sebab (multiple cause atau kemudian disebut sebagai multiple factors). Suatu kesalahan manusia (human error) yang terlihat pada waktu terjadi kecelakaan sebenarnya hanyalah merupakan active error, yang mungkin kita sebut sebagai faktor penyebab ataupun pencetus/presipitasi. Sementara itu terdapat faktor-faktor kontribusi penyebab lain merupakan latent errors atau yang biasa kita sebut sebagai predisposisi, underlying dan lain-lain.

Alangkah lebih baik apabila kita mencari faktor penyebab yang tergolong ke dalam predisposisi, yang lebih bersifat sistematik, organisasi dan manajerial, sehingga kita dapat melakukan langkah-langkah pencegahannya, juga secara sistematik. Dalam diskusi internal Ikatan Dokter Indonesia dimunculkan beberapa akar penyebab tersebut, yaitu:

1. Pemahaman dan penerapan etika kedokteran yang rendah. Hal ini diduga merupakan akibat dari sistem pendidikan di Fakultas Kedokteran yang tidak memberi materi etika kedokteran sebagai materi yang juga mencakup efektif- tidak hanya kognitif.

2. Paham materialisme yang semakin menguat di masyarakat pada umumnya dan di dalam pelayanan kedokteran khususnya.

3. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin akuntabilitas profesi kedokteran. Saat ini UU Praktik Kedokteran beserta peraturan dan standar yang dimandatkannya, diharapkan dapat mengatur praktek kedokteran yang akuntabel.

4. Belum adanya good clinical governmance di dalam pelayanan kedokteran di Indonesia, yang terlihat dari belum ada atau kurangnya standar (kompetensi, perilaku dan pelayanan) dan pedoman (penatalaksanaan kasus), serta tidak tegasnya penegakan standar dan pedoman tersebut.Diduga masih banyak penyebab-penyebab lain atau derivat dari penyebab-penyebab di atas yang dapat diajukan, seperti peraturan yang membolehkan para dokter bekerja di banyak tempat praktek (sarana kesehatan) dengan risiko menipisnya mutu hubungan dokter-pasien, mahalnya pendidikan kedokteran terutama PPDS, sistem pembiayaan yang membebankan sebagian besar keputusan kepada dokter, dan lain-lain.

Dengan melihat faktor-faktor penyebab diatas maka pencegahan terjadinya kelainan medis harus dilakukan dengan melakukan perbaikan sistem, mulai dari pendidikan hingga ke tatalaksana praktek kedokteran. Pendidikan etika kedokteran dianjurkan dimulai lebih dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apbila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.

Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy, beneficence, non maleficence, dan justice, serta sikap altruisme. Diyakini bahwa hal ini adalah bagiantersulit dari upaya sistemik pencegahan malpraktek, oleh karena diperlukan kemauan politis yang besar dan serempak dari masyarakat profesi kedokteran untuk mau bergerak ke arah tersebut. Perubahan besar harus dilakukan.

Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan menjadi wahana yang dapat membawa kita ke arah tersebut, sepanjang penerapannya dilakukan dengan benar. Standar pendidikan ditetapkan guna mencapai standar kompetensi, kemudian dilakukan registrasi secara nasional dan pemberian lisensi bagi mereka yang akan berpraktek. Konsil harus berani dan tegas dalam melaksanakan peraturan, sehingga akuntabilitas profesi kedokteran benar-benar dapat ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang lebih konkrit dan dapat ditegakkan daripada sekedar kode etik. Demikian pula standar pelayanan harus diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok dalam praktek, sedangkan ketentuan rinci agar diatur dalam pedoman-pedoman. Keseluruhannya akan memberikan rambu-rambu bagi praktek kedokteran, menjadi aturan disiplin profesi kedokteran, yang harus diterapkan, dipantau dan ditegakkan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Profesional yang kotor dibersihkan dan mereka yang busuk dibuang dari masyarakat profesi.

Ketentuan yang mendukung good clinical govermance harus dibuat dan ditegakkan. Dalam hal ini peran sarana kesehatan sangat diperlukan. Sarana kesehatan harus mampu mencegah praktek kedokteran tanpa kewenangan atau diluar kewenangan, mampu memaksa para profesional bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta mampu memberikan suasana dan budaya yang kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti (EBM).

Pencegahan di tingkat rumah sakit dan individuDalam upaya pencegahan harus dimasukkan perspektif safety di setiap langkah prosedur atau tindakan medis dengan juga melibatkan proses manajemen resiko. Dengan prespektif safety berarti meyakini bahwa faktor-faktor yang berkontribusi dalam keberlangsungan layanan medis, baik perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software), maupun sumber daya manusia (liveware atau brainware) sudah berorientasi kepada keselamatan.

Pada umumnya dokter dan tenaga kesehatan lainnya paham benar tentang perlunya memperhatikan keselamatan pasien, tetapi sedikit diantara mereka yang mampu mengaplikasikannya dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Memperhatikan keselamatan pasien berarti bertindak etis, berarti memperhatikan quality assurance dan risk management serta berarti pula mematuhi segala peraturan dan standar yang berlaku.

Dengan keselamatan pasien sama sekali bukan berarti harus ada risiko sama sekali agar suatu tindakan medis dapat dilakukan. Safety berarti menjunjung tinggi prinsip bahwa risiko tersebut haruslah dalam katagori acceptable bagi dunia kedokteran dalam situasi dan kondisi saat itu. Adalah benar apabila dikatakan bahwa pada umumnya risiko yang dapat diterima adalah risiko yang sangat kecil, baik probabilitas terjadinya maupun derajat keparahannya, sehingga dapat diantisipasi dan dikendalikan. Namun di dalam dunia kedokteran dikenal jenis risiko lain yang juga masih acceptable, yaitu risiko yang tidak terduga dan tidak dapat diprediksi sebelumnya (unforeseeable) dan risiko yang cukup besar tetapi harus diambil oleh karena tindakan tersebut adalah satu-satunya cara / metode penyembuhan atau penyelamatannya.

Seorang dokter yang melihat adanya risiko pada tindakan medis yang akan dilakukannya, maka ia wajib berupaya menghilangkannya (eliminasi) atau setidaknya menguranginya (reduksi). Apabila hal tersebut tidak dapat dilakukan dengan tepat waktu maka wajib baginya menginformasikan risiko tersebut secara jelas kepada pasien atau keluarganya, dan memberi peluang bagi pasien untuk menentukan pilihannya (ingat proses informed consent). Persetujuan pasien atas kemungkinan terjadinya risiko mengakibatkan terbebasnya dokter dari tanggung jawab apabila risiko tersebut benar terjadi, sepanjang dokter telah melakukan tindakan medisnya sesuai dengan standar dan telah melakukan upaya untuk encegah timbulnya, mengurangi kemungkinan timbulnya, mengantisipasi dan mengendalikan timbulnya risiko (volenti non fit ijuria).

Ditinjau dari sisi perspektif patient safety, suatu kecelakan medis (medical mishap) pada dasarnya merupakan akibat kumulatif dari kesalahan manajemen di berbagai tingkatan (lihat model James Reason).

Pembuat keputusan (direktur) mungkin membuat keputusan yang memberi peluang untuk terjadinya kesalahan, misalnya mempekerjakan dokter yang kualifikasinya tidak sesuai, dokter yang tidak memiliki ijin praktek, dokter yang memiliki ikatan buruk berulang, atau mempekerjakan dokter tanpa ikatan perjanjian tertulis. Kesalahan ini kita sebut sebagai latent failure, dan pada umumnya tidak mengakibatan kecelakaan medis secara langsung.

Pada tingkat manajemen madya dapat pula terjadi kesalahan yang mendukung kesalahan pada tingkat pembuat keputusan, misalnya saja tidak memberikan pengawasan khusus kepada para dokter tersebut diatas, membebaskannya bekerja tanpa jadwal yang pasti dsb. Latent failure ini pun juga tidak secara langsung mengakibatkan kecelakaan medis.

Kecelakaan hanya terjadi apabila kesalahan-kesalahan latent tersebut bersinergi dengan situasi-kondisi (preconditions) yang tertentu, dan defense yang ada tidak memadai.

Secara umum pengendalian risiko membutuhkan komitmen dari semua staf rumah sakit dan budaya tidak saling menyalahkan. Pelaporan kejadian (incident report) dan review kasus bukan ditujukan untuk mencari siapa yang bersalah untuk kemudian dianalisa guna menemukan cara-cara pencegahan agar tidak terjadi di kemudian hari. Tindakan korektif yang diperlukan adalah melakukan pembuatan atau revisi software (peraturan, standar), atau perbaikan prasarana dan sarana.

Penghukuman tentu saja tetap dibutuhkan bagi mereka yang mengulang kesalahan yang sama tanpa upaya memperbaikinya, atau melakukan kesalahan secara sengaja atau secara nyata-nyata melanggar peraturan atau standar akibat dari tindakan yang indisipliner. Pencegahan sebagai perlindungan hukum

UU Kesehatan dan UU Praktik Kedokteran telah menyebutkan bahwa para tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum apabila mereka melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum hanya dapat diperoleh oleh para tenaga kesehatan apabila mereka bertindak di dalam koridor yang dibatasi dengan rambu-rambu yang dibuat oleh profesi mereka sendiri.

Dikenal 4 upaya agar profesi kedokteran aman dari tuntutan pasien yang tidak puas, yaitu:

1. Upaya mencegah terjadinya pelanggaran kewajiban

Dalam bidang ini para tenaga medis harus memiliki kompetensi yang memadai dan melakukan praktek medis dengan setidaknya sesuai standar minimal. Untuk itu mereka harus menjalankan isi sumpah, etik dan standar profesi mereka termasuk mengikuti pendidikan kedokteran berkelanjutan di bidangnya. Sikap profesional harus dibudayakan sehingga kebebasan profesi dapat diterapkan secara adekuat, tanpa harus dipengaruhi pertimbangan yang tidak relevan.

Dalam upayanya memastikan agar hanya dokter yang bermutu saja (safe doctors) yang memberikan layanan kepada masyarakat, maka masyarakat profesi kedokteran harus mampu melakukan self goverming, self regulating dan self disciplining, dengan secara aktif melakukan pengaturan, pengawasan, dan koreksi atas pelaksanaan praktek medis.

Biasanya kata kunci yang sering digunakan dalam menganalisis adalah (1) bahwa kewajiban profesi dokter adalah memberi layanan dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan yang normalnya diharapkan akan dimiliki oleh rata-rata dokter pada situasi-kondisi yang sama (reasonable competence), (2) bahwa tindakan dokter adalah sesuai standar atau layak, dan didukung oleh alasan penalaran yang benar (reasonable care), (3) bahwa dokter harus memperoleh informed consent untuk tindakan diagnostik/ terapi yang ia lakukan (reasonable communication), dan (4) bahwa dokter harus membuat rekam medis yang baik.2. Upaya mencegah terjadinya risiko/ meningkatkan mutu

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, resiko sekecil apapun harus dikelola dengan layak ( risk management ); apakah harus dengan dihilangkan, dikurangi kemungkinan terjadinya, diperkecil dampaknya, atau dihindari. Di sisi lain, mutu pelaksanaan praktek medis juga dijaga atau bila mungkin di tingkatkan. Produk ( makanan, obat, alat, gas ) yang digunakan harus pula diyakini tidak akan menimbulkan masalah hukum. Untuk itu pengadaan produk medis harus melalui prosedur yang sah.3. Upaya mempersiapkan pembelaan hukumPembelaan hukum yang paling penting adalah lengkapnya dokumen yang menjelaskan tentang semua das sollen dan das sein nya. Das sollen kita peroleh dari lafal sumpah, kode etik, standar-standar, petunjuk petunjuk, dan lain lain ; sedangkan das sein adalah rekam medik.Seorang dokter mungkin saja telah bersikap dan berkomunikasi dengan baik, membuat keputusan medik dengan cemerlang dan atau telah melakukan tindakan diagnostik dan terapi yang sesuai standar; namun kesemuanya tidak akan memiliki arti dalam pembelaannya apabila tidak ada rekam medis yang baik. Rekam medis yang baik adalah rekam medis yang memuat semua informasi yang di butuhkan, baik yang diperoleh dari pasien, pemikiran dokter, pemeriksaan dan tindakan dokter, komunikasi antara medis atau kesehatan, informed consent dan informasi lain yang dapat menjadi bukti dikemudian hari yang disusun secara berurutan kronologis. Sebuah adagium mengatakan good record good defence, bad record bad defence, and no record no defence 4. Upaya mengalihkan risikoUpaya ini adalah upaya yang tidak kalah penting. Perlu diingat bahwa kelalaian bukanlah suatu kesengajaan, sehingga tidak dapat dipastikan akankah terjadi ataupun diprediksikan kapan terjadinya. Oleh karena itu risiko dituntut oleh pasien untuk memberi ganti rugi atas kelalaian medik yang dilakukannya sebaiknya dialihkan kepada pihak lain, yaitu asuransi profesi. Asuransi profesi yang liberal mungkin dapat meningkatkan biaya pelayanan kedokteran, namun sistem asuransi profesi yang terkendali diyakini dapat mencegahnya.