pengukuran nilai bod pada
TRANSCRIPT
pengukuran nilai BOD pada air
KEBUTUHAN OKSIGEN BIOKIMIAWI (BOD)
I. MAKSUD DAN TUJUAN
a. Maksud
Metode pengukuran ini dimaksudkan mengukur Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (KOB/BOD) dalam
air.
b. Tujuan
Tujuan metode pengukuran ini adalah untuk memperoleh kadar KOB/BOD dalam air.
II. PERALATAN DAN BAHAN
a. Peralatan
Peralatan yang digunakan terdiri atas:
1) Lemari pengeram KOB dengan kisaran suhu -10 hingga 50ºC dan stabilkan pada suhu 20ºC
pada saat pengukuran;
2) Botol KOB 300 mL;
3) Aerator;
4) Gelas ukur 1000 mL;
5) Gelas piala 2000 mL;
6) Peralatan untuk pengukuran oksigen terlarut sesuai dengan SNI 06-6989.14.2004
b. Bahan
Bahan kimia yang berkualitas p.a dan bahan lain yang digunakan pengukuran ini terdiri atas:
1) Larutan pengencer;
2) Larutan natrium hidroksida (NaOH) 0,1 N;
3) Larutan asam sulfat (H2SO4) 0,1 N;
4) Larutan natrium sulfit (Na2SO3) 0,025 N.
III. DASAR TEORI
Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh
organisme pada saat pemecahan bahan organik. Pada kondisi aerobic, pemecahan bahan organik
diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan
energinya diperoleh dari proses oksidasi (PESCOD,1973). Parameter BOD, secara umum banyak
dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. Sehingga makin banyak bahan
organik dalam air, makin besar BOD nya sedangkan DO akan makin rendah. Air yang bersih
adalah yang BOD nya kurang dari 1 mg/l atau 1 ppm, jika BOD nya di atas 4 ppm, air dikatakan
tercemar. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat hulu
ke muara. Sesungguhnya penentuan BOD merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut
pengukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh organisme selama organisme tersebut
menguraikan bahan organik yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang harnpir sama
dengan kondisi yang ada di alam. Selama pemeriksaan BOD, contoh yang diperiksa harus bebas
dari udara luar untuk rnencegah kontaminasi dari oksigen yang ada di udara bebas. Konsentrasi
air buangan/sampel tersebut juga harus berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu, Hal ini
untuk menjaga supaya oksigen terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting
diperhatikan mengingat kelarutan oksigen dalam air terbatas dan hanya berkisar ± 9 ppm pada
suhu 20°C. Penguraian bahan organik secara biologis di alam, melibatkan bermacam-macam
organisme dan menyangkut reaksi oksidasi dengan hasil akhir karbon dioksida (CO2) dan air
(H2O). Pemeriksaan BOD tersebut dianggap sebagai suatu prosedur oksidasi dimana organisme
hidup bertindak sebagai medium untuk menguraikan bahan organik menjadi CO2 dan H2O. Reaksi
oksidasi selama pemeriksaan BOD merupakan hasil dari aktifitas biologis dengan kecepatan
reaksi yang berlangsung sangat dipengaruhi oleh jumlah populasi dan suhu. Karenanya selama
pemeriksaan BOD, suhu harus diusahakan konstan pada 20°C yang merupakan suhu yang umum
di alam. Secara teoritis, waktu yang diperlukan untuk proses oksidasi yang sempurna sehingga
bahan organik terurai menjadi CO2 dan H2O adalah tidak terbatas. Dalam prakteknya
dilaboratoriurn, biasanya berlangsung selama 5 hari dengan anggapan bahwa selama waktu itu
persentase reaksi cukup besar dari total BOD. Nilai BOD 5 hari merupakan bagian dari total BOD
dan nilai BOD 5 hari merupakan 70 – 80% dari nilai BOD total (SAWYER & MC CARTY, 1978).
Penentuan waktu inkubasi adalah 5 hari, dapat mengurangi kemungkinan hasil oksidasi ammonia
(NH3) yang cukup tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa, ammonia sebagai hasil sampingan ini
dapat dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat, sehingga dapat mempengaruhi hasil penentuan BOD.
Reaksi kimia yang dapat terjadi adalah :
2NH3 + 3O2 2NO2 - + 2H+ + 2H2O
2NO2 + O2 2 NO3-
Oksidasi nitrogen anorganik ini memerlukan oksigen terlarut, sehingga perlu diperhitungkan.
Dalam praktek untuk penentuan BOD yang berdasarkan pada pemeriksaan oksigen terlarut (DO),
biasanya dilakukan secara langsung atau dengan cara pengenceran. Prosedur secara umum
adalah menyesuaikan sampel pada suhu 20°C dan mengalirkan oksigen atau udara kedalam air
untuk memperbesar kadar oksigen terlarut dan mengurangi gas yang terlarut, sehingga sampel
mendekati kejenuhan oksigen terlarut. Dengan cara pengenceran pengukuran BOD didasarkan
atas kecepatan degradasi biokimia bahan organik yang berbanding langsung dengan banyaknya
zat yang tidak teroksidasi pada saat tertentu. Kecepatan dimana oksigen yang digunakan dalam
pengenceran sampel berbanding lurus dengan persentase sampel yang ada dalam pengenceran
dengan anggaapan faktor lainnya adalah konstan. Sebagai contoh adalah 10 % pengenceran
akan menggunakan sepersepuluh dari kecepatan penggunaan sampel 100% (SAWYER & MC
CARTY, 1978). Dalam hal dilakukan pengenceran, kualitas aimya perlu diperhatikan dan secara
umum yang dipakai aquades yang telah mengalami demineralisasi. Untuk analisis air laut,
pengencer yang digunakan adalah standard sea water (SSW). Derajat keasaman (pH) air
pengencer biasanya berkisar antara 6,5 – 8,5 dan untuk menjaga agar pH-nya konstan bisa
digunakan larutan penyangga (buffer) fosfat. Untuk menentukan BOD, terlebih dahulu diukur DO
nya (DO 0 hari), sementara sampel yang lainnya diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20°C,
selanjutnya setelah 5 hari diukur DO nya (DO 5 hari). Kadar BOD ditentukan dengan rumus :
5 X [ kadar { DO(0 hari) - DO (5 hari) }] ppm
Selama penentuan oksigen terlarut, baik untuk DO maupun BOD, diusahakan seminimal mungkin
larutan sampai yang akan diperiksa tidak berkontak dengan udara bebas. Khusus untuk
penentuan BOD, sebaiknya digunakan botol sampel BOD dengan volume 250 ml dan semua
isinya dititrasi secara langsung. Perhitungan kadar DO nya :
DO,ml/L = B/B -2 x 5,6 x 10 x N x V
Dimana :
B = volume botol sampel BOD = 250 ml
B – 2 = volume air dalam botol sampel setelah ditambah 1 ml MnCl2 dan 1 ml NaOH-KI.
5,6 = konstanta yang sama dengan ml oksigen ~ 1 mgrek tiosulfat
10 = volume K2Cr2O7 0,01 N yang ditambahkan
N = normalitas tiosulfat
V = volume tiosulfat yang dibutuhkan untuk titrasi.
Berikut ini adalah tabel nilai DO dan BOD untuk tingkat pencemaran perairan
Tabel 1. Tingkat pencemaran
perairan berdasarkan nilai DO dan BOD
Sumber : WIROSARJONO (1974)
Berdasarkan PP no 82 tahun 2001 pasal 8 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, klasifikasi dan
kriteria mutu air ditetapkan menjadi 4 kelas yaitu:
Kelas 1 : yaitu air yang dapat digunakan untuk bahan baku air minum atau peruntukan lainnya
mempersyaratkan mutu air yang sama
Tingkat
pencemaran
Parameter
DO (ppm) BOD
Rendah >5 0 – 10
Sedang 0 – 5 10 – 20
Tinggi 0 25
Kelas 2 : air yang dapat digunakan untuk prasarana/ sarana rekreasi air, budidaya ikan air
tawar, peternakan, dan pertanian
Kelas 3 : air yang dapat digunakan untuk budidaya ikan air tawar, peternakan dan pertanian
Kelas 4 : air yang dapat digunakan untuk mengairi pertanaman/ pertanian
Beberapa parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas air diantaranya adalah :
- DO (Dissolved Oxygen)
- BOD (Biochemical Oxygen Demand)
- COD (Chemical Oxygen Demad), dan
- Jumlah total Zat terlarut
IV. PERSIAPAN DAN PENGUKURAN
a. Persiapan Contoh/sampel
1) Sample yang bersifat asam atau basa harus dinetralkan sampai pada pH 7,0 ± 0,1 dengan
menggunakan asam atau basa.
2) Sampel yang diduga mengandung sisa klor aktip (yang dapat menghalangi proses
mikrobiologi) harus ditentukan konsentrasi klor aktipnya. Per mol klor aktip yang dikandung
sampel, dibutuhkan satu mol zat pereaksi seperti Na2SO3
3) Sampel yang diduga mengandung zat beracun.
4) Sampel yang mengandung oksigen melebihi kejenuhannya (terlalu jenuh), misalnya lenih
dari 9 mg O2 / l pada 20ºC, perlu diturunkan kadar oksigennya dengan cara pengocokan. Keadaan
tersebut dapat terjadi pada sampel yang ditumbuhi ganggang.
5) Pengenceran sampel:
Oleh karena jumlah oksegen dalam botol terbatas, maksimum 9 mg/L tersedia, dan sebaiknya
oksigen terlarut pada masa akhir masa inkubasi antara 3-6 mg O2/L, maka sampel perlu
diencerkan.
b. Cara Pengukuran
Pengukuran kadar KOB/BOD dengan tahapan sebagai berikut:
a. Mengambil sampel air sebanyak 500 mL diencerkan di beaker glass dengan air suling yang
sudah diaerasi selama 2 jam sehihingga volumenya menjadi 2000 mL.
b. Membagi sample menjadi 6 botol winkler dan botol winkler diberi nama. Misalnya BOD hari ke
0, BOD hari ke 1 dan seterusnya sampai hari ke 5.
c. Menambahkan 1 ml MnSO4 dan 1 ml alkali iodide azida ke dalam botol winkler BOD hari ke 0,
sementara itu ke 5 botol winkler lainnya dimasukkan ke dalam inkubator.
d. Menutup botol winkler BOD hari ke 0 dan menghomogenkan hingga terbentuk gumpalan
yang sempurna.
e. Membiarkan gumpalan mengendap 5 menit sampai 10 menit.
f. Menambahkan 5 ml H2SO4 pekat, menutup dan menghomogenkan hingga endapan larut
sempurna.
g. Mengambil 50 ml sampel dengan pipet dan memasukkannya ke dalam Erlenmeyer 150 ml
h. Meneteskan indikator amilum/ kanji berwarna biru kemudian menitrasi sampel dengan
Na2SO3 sampai warna biru tepat hilang dan mencatan volume Na2SO3 yang terpakai.
i. Botol winkler selanjutnya diukur nilai DO nya seperti tahapan d-h.
V. PENGOLAHAN DATA
Data yang didapat dari praktikum ini adalah volume natrium thiosulfat dari hari ke 0 sampai hari ke
5 disajikan dalam table berikut :
hari
ke
volume
Na2SO3
0 0.4 mL
1 0.3 mL
2 0.25 mL
3 0.2 mL
4 0.3 mL
5 0.15 mL
V1N1 = V2N2
N1 =
= 6,44 gr/mL
Untuk nilai DO1 sampai DO4 dapat dilihat pada table dibawah dan dihitung menggunakan rumus
yang sama dengan DO0
DO T v c ln c
0 1 0.4 6.44 1.863
1 2 0.3 4.83 1.575
2 3 0.25 4.03 1.394
3 4 0.2 3.22 1.169
4 5 0.3 4.83 1.575
5 6 0.21 3.39 1.221
7 8 0.15 2.42 0.884
Dari tabel perhitungan diatas maka didapat grafik seperti dibawah ini
Perhitungan DO5
Maka, nilai k = 0,0982 dan ln c0 = 1,8098
VI. Analisa
a. Analisa Praktikum
Praktikum ini bertujuan untuk mengukur kebutuhan oksigen biokimiawi dari suatu sampel air.
Sebelum memulai praktikum, praktikan diharuskan untuk mempersiapkan alat. Alat yang
digunakan harus benar-benar bersih dan tidak terdapat sisa-sisa zat lain.
Langkah selanjutnya praktikan mengambil 500 mL air sample dan memasukkan sampel ke dalam
beaker glass kemudian sampel dicampurkan dengan 1500 mL air suling yang telah diaerasi
selama 2 jam dan dihomogenkan agar air sampel dan air suling yang sudah diaerasi bercampur
sempurna. Setelah itu, sample dalam beaker glass dibagi ke dalam 6 winkler yang diisi sampai
penuh. Hal ini bertujuan agar tidak ada udara yang masuk ke dalam tabung winkler yang
nantinya akan mempengaruhi besarnya DO dalam air. 6 botol winkler yang sudah diisi dengan
sample diberi label bertuliskan BOD hari ke 0 sampai BOD hari ke 5.
Sampel pada botol winkler BOD hari ke 0 dihitung nilai DO nya dan 5 botol winkler lain
dimasukkan ke dalam inkubator yang suhunya dijaga sebesar 20ºC. Pada botol winkler hari ke 0
dimasukkan 1ml MnSO4 dan 1 ml alkali iodida azida langsung ditutup agar oksigen dalam botol
winkler tidak terpengaruh oleh udara luar dan dihomogenkan. Setelah itu, larutan sampel
ditunggu sampai gumpalan dalam sampel mengendap sempurna dalam waktu 5 – 10 menit.
Penambahan iodide azida akan menhasilkan endapan coklat yang berarti bahwa oksigen dalam
sample telah terikat sehingga dapat diukur besarnya. Oksigen yang terdapat didalam larutan
sampel akan mengoksidasi MnSO4 yang ditambahkan ke dalam larutan, sehingga di dalam
larutan akan terjadi endapan MnO2. Setelah itu dimasukkan 1 mL H2SO4 dan dihomogenkan
sampai semua gumpalan dalam botol winkler menghilang. Penambahan asam sulfat ke dalam
larutan sampel dan kalium iodide akan membebaskan iodine yang ekuivalen dengan oksigen
terlarut di dalam larutan sampel. Iodine yang dibebaskan akan dianalisa dengan titrasi iodometris
yaitu dengan larutan standar thiosulfat.
Langkah selanjutnya mengambil 50 mL sampel dan dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer
dan ditambahkan beberapa tetes indikator amilum sampai sample berwarna biru. Warna biru ini
menunjukkan bahwa di dalam sampel terdapat oksigen terlarut. Setelah itu, sample dititrasi
menggunakan natruim thiosulfat Na2SO3 sampai warna biru tepat hilang dan kemudian praktikan
mencatat volume thiosulfat yang digunakan. Volume thiosulfat yang digunakan dalam titrasi
inilah yang dianggap sebagai volume oksigen terlarut dalam sampel tersebut.
Pada hari-hari selanjutnya yaitu hari ke 1 sampai hari ke 5, botol winkler dikeluarkan dari dalam
inkubator dan praktikan mengukur nilai DO dari botol ini. Tahapan kerja yang dilakukan sama
halnya dengan yang dilakukan pada botol winkler hari ke 0. Kemudian praktikan mencatat
volume thiosulfat yang digunakan pada saat titrasi untuk mendapatkan nilai BOD dari sampel ini.
Reaksi pada percobaan pengukuran BOD ini tidak berbeda dengan yang terjadi pada percobaan
DO. Sehinggan reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
(1) MnSO4 + 2KOH Mn(OH)2 + K2SO4
(2) Mn(OH)2 + ½ O2 MnO2 + H2O
(3) MnO2 + KI + 2 H2O Mn(OH)2 + I2 + 2KOH
(4) I2 + 2S2O32- S4O6
- + 2I-
b. Analisa hasil
Volume titrasi larutan thiosulfat yang didapat dari hari ke 0 sampai hari ke 5 dapat dilihat dari table
berikut ini
hari
ke
volume
Na2SO3
0 0.4 mL
1 0.3 mL
2 0.25 mL
3 0.2 mL
4 0.3 mL
7 0.15 mL
Setelah dari perhitungan maka didapat nilai BOD dengan menggunakan rumus
Dan didapat besarnya nilai BOD sebesar 3.05 gr/mL
Menurut tabel tingkat pencemaran perairan berdasarkan nilai DO dan BOD, air sampel yang
memiliki nilai BOD sebesar 3.05 gr/mL ini dapat dikategorikan sebagai air dengan tingkat
pencemaran yang rendah. Mungkin pada tempat dimana sampel ini diambil belum banyak
pencemaran yang terjadi sehingga nilai BOD pun berkisar antara 0-10 gr/Ml.
Dalam grafik yang disajukan dalam perhitungan, seharusnya nilai DO makin lama makin kecil dan
ketika perhitungan nilai DO pada hari ke 5 nilai oksigen terlarutnya sudah tetap. Hal ini
disebabkan oleh aktifitas bakteri yang yang menurun setiap harinya dan berhenti pada hari ke 5
c. Analisa kesalahan
Dalam praktikum ini kesalahan yang mungkin terjadi antara lain:
Kesalahan dalam mengambil volume sampel, kurang teliti dalam membaca volume dari larutan yang akan dimasukkan ke dalam sampel dan juga kuranh teliti dalam membaca volume thiosulfat yang digunakan dalam titrasi.
Kesalahan praktikan dalam melakukan titrasi thiosulfat sehingga volume yang tercatat bisa berlebih dari yang seharusnya.
VII. KESIMPULAN
Untuk menghitung besarnya nilai BOD dari suatu sampel air dilakukan dengan mengitung besarnya nilai DO dari hari ke 0 sampai hari ke 5. Kemudian mengurangi nilai DO hari ke 0 denagn nilai DO hari ke 5
Besar nilai BOD yang didapat dari pengukuran sampel ini sebesar 3.05 gr/mL.
Menurut tabel tingkat pencemaran perairan berdasarkan nilai DO dan BOD, air sampel yang memiliki nilai BOD sebesar 3.05 gr/mL ini dapat dikategorikan sebagai air dengan tingkat pencemaran yang rendah.
VIII. REFERENSI
www.wikipedia.org diunduh pada tanggal 6 April 2010
www.lipi.com diunduh pada tanggal 6 April 2010
http://go.microsoft.com/fwlink/?LinkId=30857&clcid=0x409
pengukuran nilai cod
Standar Nasional Indonesia (SNI) ini merupakan revisi dari SNI 06-6989.2-2004, Air dan air limbah – Bagian
2: Cara uji kebutuhan oksigen kimiawi (KOK) dengan refluks tertutup secaraspektrofotometri. SNI ini
menggunakan referensi dari metode standar internasional yaitu Standard Methods for the Examinatioan of
Water and Wastewater, 21st Edition, editor L.S Clesceri, A.E. Greenberg, A.D. Eaton, APHA, AWWA and
WEF, Washington DC, 2005, Methods 5220 D (Closed Reflux, Colorimetric Methods).
SNI ini telah melalui uji coba di laboratorium pengujian dalam rangka validasi dan verifikasi metode serta
dikonsensuskan oleh Subpanitia Teknis 13-03-S1, Kualitas Air dari Panitia Teknis 13-03,Kualitas
Lingkungan dan Manajemen Lingkungan dengan para pihak terkait.
Metode ini digunakan untuk pengujian kebutuhan oksigen kimiawi (COD) dalam air dan air limbahdengan
reduksi Cr2O72- secara spektrofotometri pada kisaran nilai COD 100 mg/L sampai dengan 900 mg/L
pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 600 nm dan nilai COD lebih kecil atau sama dengan 90 mg/L
pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 420 nm.Metode ini digunakan untuk contoh uji dengan kadar
klorida kurang dari 2000 mg/L.
Istilah dan definisi
blind sample, larutan dengan kadar analit tertentu yang diperlukan seperti contoh uji
Chemical Oxygen Demand (COD), jumlah oksidan Cr2O72- yang bereaksi dengan contoh uji dan
dinyatakan sebagai mg O2 untuk tiap 1000 mL contoh uji
kurva kalibrasi, kurva yang menyatakan hubungan kadar larutan kerja dengan hasil pembacaan
absorbansi yang merupakan garis lurus
larutan blanko atau air suling bebas organik, air suling yang tidak mengandung senyawa organik
atau mengandung senyawa organik dengan kadar lebih rendah dari batas deteksi atau perlakuannya
sama dengan contoh uji
larutan induk, larutan baku kimia yang dibuat dengan kadar tinggi dan akan digunakan untuk
membuat larutan baku dengan kadar yang lebih rendah
larutan baku, larutan induk yang diencerkan dengan air suling bebas organik, sampai kadar tertentu
larutan kerja, larutan baku yang diencerkan dengan air suling bebas organik, digunakan untuk
membuat kurva kalibrasi
spike matrix, contoh uji yang diperkaya dengan larutan baku dengan kadar tertentu
Cara uji
Prinsip : Senyawa organik dan anorganik, terutama organik dalam contoh uji dioksidasi oleh Cr2O72-dalam
refluks tertutup menghasilkan Cr3+. Jumlah oksidan yang dibutuhkan dinyatakan dalam ekuivalen oksigen (O2
mg/L) diukur secara spektrofotometri sinar tampak. Cr2O72- kuat mengabsorpsi pada panjang gelombang 420
nm dan Cr3+ kuat mengabsorpsi pada panjang gelombang 600 nm.
Untuk nilai COD 100 mg/L sampai dengan 900 mg/L kenaikan Cr3+ ditentukan pada panjang gelombang 600
nm. Pada contoh uji dengan nilai COD yang lebih tinggi, dilakukan pengenceran terlebih dahulu sebelum
pengujian. Untuk nilai COD lebih kecil atau sama dengan 90 mg/L penurunan konsentrasi Cr2O72- ditentukan
pada panjang gelombang 420 nm.
Bahan. Sebaiknya larutan ini dipersiapkan setiap 1 minggu
1. air bebas organik;
2. digestion solution pada kisaran konsentrasi tinggi.Tambahkan 10,216 g K2Cr2O7 yang telah dikeringkan
pada suhu 150 °C selama 2 jam ke dalam 500 mL air suling. Tambahkan 167 mLH2SO4 pekat dan 33,3 g
HgSO4. Larutkan dan dinginkan pada suhu ruang dan encerkan sampai 1000 mL.
3. digestion solution pada kisaran konsentrasi rendah. Tambahkan 1,022 g K2Cr2O7 yang telah dikeringkan
pada suhu 150 °C selama 2 jam kedalam 500 mL air suling. Tambahkan 167 mLH2SO4 pekat dan 33,3 g
HgSO4. Larutkan, dan dinginkan pada suhu ruang dan encerkan sampai 1000 mL.
4. larutan pereaksi asam sulfat
5. Larutkan 10,12 g serbuk atau kristal Ag2SO4 ke dalam 1000 mL H2SO4 pekat. Aduk hingga
larut. CATATAN Proses pelarutan Ag2SO4 dalam asam sulfat dibutuhkan waktu pengadukan selama
2 (dua) hari, sehingga digunakan magnetic stirer untuk mempercepat melarutnya pereaksi.
6. asam sulfamat (NH2SO3H). Digunakan jika ada gangguan nitrit. Tambahkan 10 mg asam sulfamat
untuk setiap mg NO2-N yang ada dalam contoh uji.
7. larutan baku Kalium Hidrogen Ftalat (HOOCC6H4COOK, KHP) ? COD 500 mg O2/L Gerus
perlahan KHP, lalu keringkan sampai berat konstan pada suhu 110 °C. Larutkan 425 mg KHP ke
dalam air bebas organik dan tepatkan sampai 1000 mL. Larutan ini stabil bila disimpan dalam kondisi
dingin pada temperatur 4 °C ± 2 °C dan dapat digunakan sampai 1 minggu selama tidak ada
pertumbuhan mikroba CATATAN Larutan baku Kalium Hidrogen Ftalat digunakan sebagai
pengendalian mutu kinerja pengukuran.
8. Bila nilai COD contoh uji lebih besar dari 500 mg/L, maka dibuat larutan baku KHP yang mempunyai
nilai COD 1000 mg O2/L.
9. Larutan baku KHP dapat menggunakan larutan siap pakai.
Peralatan
1. spektrofotometer sinar tampak (400 nm sampai dengan 700 nm);
2. kuvet;
3. digestion vessel, lebih baik gunakan kultur tabung borosilikat dengan ukuran 16 mm x 100 mm; 20
mm x 150 mm atau 25 mm x 150 mm bertutup ulir. Atau alternatif lain, gunakan ampul borosilikat
dengan kapasitas 10 mL (diameter 19 mm sampai dengan 20 mm);
4. pemanas dengan lubang-lubang penyangga tabung (heating block); CATATAN Jangan menggunakan
oven.
5. buret;
6. labu ukur 50,0 mL; 100,0 mL; 250,0 mL; 500,0 mL dan 1000,0 mL;
7. pipet volumetrik 5,0 mL; 10,0 mL; 15,0 mL; 20,0 mL dan 25,0 mL;
8. gelas piala;
9. magnetic stirrer; dan
10. timbangan analitik dengan ketelitian 0,1 mg.
Persiapan dan pengawetan contoh uji
Persiapan contoh uji
a. homogenkan contoh uji; CATATAN Contoh uji dihaluskan dengan blender bila mengandung padatan
tersuspensi.
b. cuci digestion vessel dan tutupnya dengan H2SO4 20 % sebelum digunakan;
Pengawetan contoh uji
Bila contoh uji tidak dapat segera diuji, maka contoh uji
diawetkan dengan menambahkan H2SO4 pekat sampai pH lebih kecil dari 2 dan disimpan dalam pendingin
pada temperatur 4 °C ± 2 °C dengan waktu simpan maksimum yang direkomendasikan 7 hari.
Pembuatan larutan kerja
Buat deret larutan kerja dari larutan induk KHP dengan 1 (satu) blanko dan minimal 3 kadar yang berbeda
secara proporsional yang berada pada rentang pengukuran.
Prosedur
proses digestion
a. pipet volume contoh uji atau larutan kerja, tambahkan digestion solution dan tambahkan larutan pereaksi
asam sulfat yang memadai ke dalam tabung atau ampul, seperti yang dinyatakan dalam tabel berikut:
Tabel 1 – Contoh uji dan larutan pereaksi untuk bermacam-macam digestion vessel
Digestion VesselContohuji (mL)
Digestionsolution (mL)
Larutanpereaksi asamsulfat (mL)
Total volume(mL)
Tabung kultur
16 x 100 mm 2,50 1,50 3,5 7,5
20 x 150 mm 5,00 3,00 7,0 15,0
25 x 150 mm 10,00 6,00 14,0 30,0
Standar Ampul:
10 mL 2,50 1,50 3,5 7,5
b. tutup tabung dan kocok perlahan sampai homogen;
c. letakkan tabung pada pemanas yang telah dipanaskan pada suhu 150 °C, lakukan refluks selama 2
jam. CATATAN Selalu gunakan pelindung wajah dan sarung tangan untuk melindungi dari panas dan
kemungkinan menyebabkan ledakan tinggi pada suhu 150 °C.
Pembuatan kurva kalibrasi
Kurva kalibrasi dibuat dengan tahapan sebagai berikut:
1. hidupkan alat dan optimalkan alat uji spektrofotometer sesuai petunjuk penggunaan alat untuk
pengujian COD. Atur panjang gelombangnya pada 600 nm atau 420 nm;
2. ukur serapan masing-masing larutan kerja kemudian catat dan plotkan terhadap kadar COD;
3. buat kurva kalibrasi dari data pada butir 3.7.1 .b) di atas dan tentukan persamaan garis lurusnya;
4. jika koefisien korelasi regreasi linier (r) < 0,995, periksa kondisi alat dan ulangi langkah pada butir
3.7.1 a) sampai dengan c) hingga diperoleh nilai koefisien r ? 0,995.
Pengukuran contoh uji
Untuk contoh uji COD 100 mg/L sampai dengan 900 mg/L
1. dinginkan perlahan-lahan contoh yang sudah direfluks sampai suhu ruang untuk mencegah
terbentuknya endapan. Jika perlu, saat pendinginan sesekali tutup contoh dibuka untuk mencegah
adanya tekanan gas;
2. biarkan suspensi mengendap dan pastikan bagian yang akan diukur benar-benar jernih;
3. ukur serapan contoh uji pada panjang gelombang yang telah ditentukan (600 nm);
4. hitung kadar COD berdasarkan persamaan linier kurva kalibrasi;
5. lakukan anal isa duplo.
Untuk contoh uji COD lebih kecil dari atau sama dengan 90 mg/L
a) dinginkan perlahan-lahan contoh yang sudah direfluks sampai suhu ruang untuk mencegah terbentuknya
endapan. Jika perlu, saat pendinginan sesekali tutup contoh dibuka untuk mencegah adanya tekanan gas;
b) biarkan suspensi mengendap dan pastikan bagian yang akan diukur benar-benar jernih;
c) gunakan pereaksi air sebagai larutan referensi;
d) ukur serapannya contoh uji pada panjang gelombang yang telah ditentukan (420 nm);
e) hitung kadar COD berdasarkan persamaan linier kurva kalibrasi;
f) lakukan analisa duplo.
CATATAN Apabila kadar contoh uji berada di atas kisaran pengukuran, lakukan pengenceran.
Perhitungan
Nilai COD sebagai mg O2/L:
Kadar COD (mg O2/L) = C x f
Keterangan:
C adalah nilai COD contoh uji, dinyatakan dalam miligram per liter (mg/L); f adalah faktor pengenceran.
- Masukkan hasil pembacaan serapan contoh uji ke dalam regresi linier yang diperoleh dari kurva kalibrasi.
- Nilai COD adalah hasil pembacaan kadar contoh uji dari kurva kalibrasi.
Pengendalian mutu
1. Gunakan bahan kimia pro analisa (pa).
2. Gunakan alat gelas bebas kontaminasi.
3. Gunakan alat ukur yang terkalibrasi.
4. Gunakan air suling bebas organik untuk pembuatan blanko dan larutan kerja.
5. Dikerjakan oleh analis yang kompeten.
6. Lakukan analisis dalam jangka waktu yang tidak melampaui waktu simpan maksim
um 7 hari.
7. Perhitungan koefisien korelasi regresi linier (r) lebih besar atau sama dengan 0,995 dengan intersepsi
lebih kecil atau sama dengan batas deteksi.
8. Lakukan analisis blanko dengan frekuensi 5 % sampai dengan 10 % per batch (satu seri pengukuran)
atau minimal 1 kali untuk jumlah contoh uji kurang dari 10 sebagai kontrol kontaminasi.
9. Lakukan analisis duplo dengan frekuensi 5 % sampai dengan 10 % per satu seri pengukuran atau
minimal 1 kali untuk jumlah contoh uji kurang dari 10 sebagai kontrol ketelitian analisis. Jika
Perbedaan Persen Relatif (Relative Percent Difference/RPD) lebih besar atau sama dengan 10 %,
maka dilakukan pengukuran ketiga untuk mendapatkan RPD kurang dari 10 %.
10. Lakukan kontrol akurasi dengan larutan baku KHP dengan frekuensi 5 % sampai dengan 10 %
per batch atau minimal 1 kali untuk 1 batch. Kisaran persen temu balik adalah 85 % sampai dengan
115 %.
11. Persen temu balik (% recovery, % R):
Keterangan:
A adalah hasil pengukuran larutan baku KHP, dinyatakan dalam milligram per liter (mg/L);
B adalah kadar larutan baku KHP hasil penimbangan (target value), dinyatakan dalam milligram per liter
(mg/L).
Presisi dan bias
Standar ini telah melalui uji banding metode dengan peserta 7 laboratorium pada kadar 194 mg COD/L tanpa
klorida dengan tingkat presisi (%RSD) 4,3 % dan akurasi (bias metode) 2,4 %, sedangkan pada kadar 48,6 mg
COD/L tanpa klorida dengan peserta 8 laboratorium menghasilkan tingkat presisi (%RSD) 7,79 % dan akurasi
(bias metode) 8,43 %.
Rekomendasi
a) Lakukan analisis blind sample.
b) Buat control chart untuk akurasi dan presisi analisis.
Pelaporan
Catat pada buku kerja hal-hal sebagai berikut.
1. Parameter yang dianalisis.
2. Nama analis.
3. Tanggal analisis.
4. Rekaman hasil pengukuran duplo, triplo dan seterusnya.
5. Rekaman kurva kalibrasi.
6. Nomor contoh uji.
7. Tanggal penerimaan contoh uji.
8. Batas deteksi.
9. Rekaman hasil perhitungan.
10. Hasil pengukuran persen temu balik.
11. Kadar kebutuhan oksigen kimiawi (COD) dalam contoh uji.