distribusi spasial komunitas gastrop oda dan … · hasil pengukuran parameter fisika-kimia air...
TRANSCRIPT
DISTRIBUSI SPASIAL KOMUNITAS GASTROPODA DAN ASOSIASINYA DENGAN HABITAT LAMUN DI PESISIR
MANOKWARI PAPUA BARAT
SIMON PETRUS OKTOVIANUS LEATEMIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Distribusi spasial komunitas gastropoda dan asosiasinya dengan habitat lamun di pesisir Manokwari Papua Barat” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2010
Simon Petrus Oktovianus Leatemia NRP C252080404
ABSTRACT
SIMON PETRUS OKTOVIANUS LEATEMIA Spatial Distribution of Gastropod Community and it’s Association with Seagrass Habitat in Manokwari Coastal West Papua. Under direction of ISDRAJAD SETYOBUDIANDI and ETTY RIANI
Seagrass vegetation in Manokwari coastal waters was classified as mixed vegetation and gastropods featured as one major animal in the seagrass ecosystem. The purpose of this study were (1) to know and analyze the influence of physical-chemical water and substrat texture on the species competition, frequency, percent cover and density of seagrass, and (2) to determine and assess the effect of seagrass habitat complexity on the density, diversity, eveness and distribution of gastropods species. From four observation sites (Rendani, Wosi, Briosi, and Padarni), eight seagrass species were identified, i.e: Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halodule pinifolia H. uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, and Thalassia hemprichii, while Enhalus acoroides were founded at outside of quadrant at Rendani, Wosi and Padarni. Frequency, cover and density of individuals of each seagrass species showed a high value for C. rotundata, T. hemprichii in Rendani , Briosi, Padarni and H. uninervis, H. pinifolia in Wosi. A total of 229 gastropods species were observed, with Padarni as site with the highest gastropod abundance. Briosi featured the highest diversity of gastropod species, whilst Padarni the lowest, and gastropod community were generally in stable condition. Several species of gastropod showed clustered distribution, but most of species showed uniform
distribution. The analysis result of Correspondent Analysis (CA) showed correspondence between Nerita chameleon and Clithon oualaniensis with H. ovalis in Rendani and with C.rotundata and C.serrulata in Briosi. In Wosi, showing Hastula acumen corresponds to H. uninervis and H. pinifolia, while Nassarius (Plicarcularia) globosus dominant in Padarni corresponds to H. pinifolia on sandy mud substrates, which are influenced by high temperature and high organic materials.
Key words: gastropods, seagrass, physical-chemical parameters and substrate texture, diversity and abundance, distribution pattern.
RINGKASAN
SIMON PETRUS OKTOVIANUS LEATEMIA. Distribusi Spasial Komunitas Gastropoda dan Asosiasinya dengan Habitat Lamun di Pesisir Manokwari Papua Barat. Dibimbing oleh ISDRAJAD SETYOBUDIANDI dan ETTY RIANI
Ekosistem lamun yang ada di perairan pesisir pada daerah yang dangkal
merupakan ekosistem yang kompleks dan memiliki fungsi yang penting bagi berbagai organisme yang berasosiasi. Salah satu organisme yang berasosiasi dan dominan ditemukan dalam ekosistem lamun adalah gastropoda, yang sangat berperan dalam rantai makanan.
Saat ini keberadaan habitat lamun dan gastropoda di Perairan Pesisir Manokwari terancam karena degradasi lingkungan dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Hal tersebut yang melatarbelakangi penelitian ini, yang dilaksanakan pada empat lokasi yakni Pesisir Rendani, Pesisir Wosi, Pesisir Briosi dan Pesisir Padarni. Adapun tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengetahui dan menganalisis pengaruh parameter fisika-kimia perairan dan tekstur substrat terhadap komposisi spesies, frekuensi, persen tutupan dan kerapatan lamun, (2) Mengetahui dan mengkaji pengaruh kompleksitas habitat padang lamun terhadap kepadatan, keanekaragaman dan keseragaman serta distribusi spesies gastopoda.
Hasil pengukuran parameter fisika-kimia air menunjukkan nilai rata-rata suhu, kekeruhan, kecepatan arus, pH, DO, salinitas, BOD5
Karakteristik substrat pada lokasi Wosi adalah lumpur berpasir karena merupakan daerah muara dari Sungai Wosi. Lokasi Padarni didominasi substrat lumpur berpasir pada zona bagian tengah intertidal sedangkan zona bagian atas dan bagian bawah terdiri atas substrat berpasir. Lokasi Rendani dan Briosi memiliki tekstur substrat yang sama yaitu pasir berlumpur.
dan TOM pada keempat lokasi masih berada dalam kisaran nilai yang baik (KEPMEN Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004), bagi proses fotosintesis serta pertumbuhan dan perkembangan lamun maupun kelangsungan hidup gastropoda yang berasosiasi. Namun unsur nitrat, fosfat dan ammonia, menunjukkan kisaran nilai rata-rata yang lebih tinggi. Peningkatan ketiga unsur tersebut di lokasi Wosi disebabkan oleh limbah antropogenik dari pemukiman penduduk dan pasar Wosi.
Ekosistem lamun di perairan Pesisir Manokwari tergolong vegetasi campuran (mixed vegetation) yang terdiri atas 8 spesies yaitu Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii. dan Enhalus acoroides yang ditemukan di luar kuadrat pada lokasi Rendani, Wosi dan Padarni. Total frekuensi spesies paling tinggi terdapat di lokasi Rendani, dengan frekuensi C. rotundata dan T. hemprichii yang tinggi, sedangkan lokasi Padarni memiliki frekuensi spesies terendah dan didominasi oleh T. hemprichii dan S. isoetifolium. Kerapatan yang tinggi terdapat di lokasi Wosi, yang didominasi oleh H. uninervis dan H. pinifolia, sedangkan lokasi yang memiliki kerapatan spesies terendah terdapat di Padarni. Penutupan spesies paling tinggi ditemukan di Briosi, dengan tutupan paling tinggi dari C. rotundata dan T. hemprichii dan terendah ditemukan di Padarni..Nilai INP menunjukkan spesies C. rotundata dan T. hemprichii memiliki peranan yang lebih penting dibandingkan spesies lainnya pada lokasi
Rendani, Briosi dan Padarni (untuk T. hemprichii), sedangkan pada lokasi Wosi H. uninervis dan H. pinifoliai memiliki peranan yang lebih penting.
Komposisi spesies gastropoda pada keempat lokasi penelitian terdiri atas 93 famili, 170 genera dan 229 spesies, dengan total individu sebanyak 1.166 individu. Sebagian besar gastropoda yang ditemukan memiliki ukuran cangkang lebih kecil dari 1 cm, yang menunjukkan bahwa habitat lamun merupakan daerah asuhan (nursery ground) dalam daur hidup gastropoda.
Pola sebaran gastropoda terdiri atas pola sebaran mengelompok dan pola sebaran seragam. Spesies dengan pola sebaran mengelompok memiliki jumlah individu yang banyak, dan hanya ada 4 spesies yaitu Clithon oualaniensis (75 ind.) dan Nerita chamaeleon 63 ind.) yang ditemukan di Rendani, Hastula acumen (36 ind.) di Wosi, dan Nassarius (Plicarcularia) globosus (131 ind.) di Padarni. Spesies yang lain memiliki pola sebaran seragam atau terdistribusi secara merata, dengan jumlah individu yang relatif lebih sedikit.
Kelimpahan gastropoda paling tinggi terdapat di lokasi Padarni (302 ind.), yang ditandai dengan melimpahnya spesies Nassarius (Plicarcularia) globosus (131 ind.). Kelimpahan spesies terendah terdapat di lokasi Wosi, yang menandakan bahwa lokasi ini memiliki habitat yang kurang mendukung bagi kehidupan gastropoda, berkaitan dengan fluktuasi salinitas dan sedimentasi yang tinggi. Sehingga hanya spesies tertentu yang ditemukan dapat berasosiasi dengan baik di lokasi ini seperti kelompok spesies dari famili Terebridae, Costelariidae, Olividae dan Nassariidae yang memiliki jumlah spesies yang dominan.
Kisaran nilai indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi spesies menunjukkan bahwa komunitas gastropoda yang ada pada keempat lokasi masih berada dalam kondisi yang stabil. Kestabilan spesies dalam suatu komunitas terjadi jika nilai keanekaragaman spesies, dan keseragaman spesies tinggi (mendekati 1) serta dominansi spesies rendah (mendekati 0).
Sebaran karakteristik fisika-kima air dan tekstur sedimen dijelaskan menggunakan analisis komponen utama. Hasil analisis menunjukkan adanya pengelompokkan lokasi penelitian berdasarkan parameter fisika-kimia air dan tipe substrat. Lokasi Padarni pada sumbu utama 1 sangat dipengaruhi oleh kandungan total organic matter (TOM), Ammonia (NH3), pH, salinitas, suhu dan substrat debu yang tinggi, sebaliknya nitrat (NO5), kadar oksigen terlarut (DO) dan biochemical oxygen demand5 (BOD5) yang rendah. Kondisi yang sama ditemukan di Briosi. Sebaliknya pada lokasi Rendani, dan Wosi yang membentuk sumbu utama 2, tingkat kekeruhan, fosfat (PO4) dan substrat liat, mencirikan lokasi Wosi karena ketiga parameter tersebut memiliki nilai yang tinggi pada lokasi tersebut, sedangkan pada lokasi Rendani, parameter fisika-kimia air yang mencirikan lokasi ini adalah nitrat, BOD5
Sebaran spasial gastropoda berdasarkan sebaran lamun lamun dan habitat dianalisis menggunakan analisis faktorial koresponden. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada sumbu utama 1 dan 2 terbentuk 4 kelompok yang dicirikan oleh jenis lamun dan gastropoda tertentu. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara karakteristik habitat lamun dengan spesies gastropoda tertentu yang berasosiasi.
dan DO yang tinggi dan tipe substrat pasir,.
Kata kunci: gastropoda, lamun, fisika-kimia air dan tekstur substrat, keanekaragaman
dan kelimpahan, pola distribusi.
Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber acuan. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
DISTRIBUSI SPASIAL KOMUNITAS GASTROPODA DAN ASOSIASINYA DENGAN HABITAT LAMUN DI PESISIR
MANOKWARI PROVINSI PAPUA BARAT
SIMON PETRUS OKTOVIANUS LEATEMIA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
Dosen Penguji Luar: Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc
Judul Tesis : Distribusi Spasial Komunitas Gastropoda dan Asosiasinya dengan Habitat Lamun di Pesisir Manokwari Papua Barat
Nama Mahasiswa : Simon Petrus Oktovianus Leatemia Nomor Pokok : C252080404 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lauta
n
Disetujui: Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi, M.Sc Ketua Anggota
Dr. Ir. Etty Riani, M.S
Diketahui:
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 21 September 2010 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas
penyertaan dan perlindungan-Nya sehingga laporan penelitian yang berjudul “Distribusi Spasial Komunitas Gastropoda dan Asosiasinya dengan Habitat Lamun di Pesisir Manokwari Papua Barat” dapat diselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui dan menganalisis pengaruh parameter fisika-kimia perairan dan tekstur substrat terhadap komposisi spesies, frekuensi, persen tutupan dan kerapatan lamun, (2) Mengetahui dan mengkaji pengaruh kompleksitas habitat padang lamun terhadap kepadatan, keanekaragaman dan keseragaman serta distribusi spesies gastopoda. Hasil penelitian ini dapat mengungkap informasi tentang keberadaan ekologis gastropoda di padang lamun pada Perairan Pesisir Manokwari, sehingga khasanah pengetahuan ini dapat bermanfaat dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc dan Dr. Ir. Etty Riani, M.S selaku komisi pembimbing yang dengan kesabaran dan ketulusan hati telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.
Dalam studi dan penyusunan serta penyelesaian tesis ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu: - Rektor Universitas Negeri Papua (UNIPA) dan Dekan Fakultas Peternakan,
Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB.
- Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA beserta staf Pak Zaenal, Pak Ndindin, Ibu Ola dan Mas Adjie atas kesempatan, ilmu dan pelayanan yang tulus selama penulis mengikuti studi di IPB.
- Rektor Universität Bremen dan Pimpinan Leibniz Zentrum fûr Marine Tropenõkologie (ZMT) Prof. Dr. Venugopalan Ittekkot beserta staf, khususnya Dr. Claudia Schultz atas kerjasama dan pelayanan yang baik selama menempuh studi di Bremen.
- Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku koordinator program sandwich yang telah mengantar kami ke Bremen, terima kasih atas perhatian dan kerjasama yang baik. Selain itu selaku penguji luar komisi pada ujian tesis, yang telah memberikan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.
- Coral Reef Rehabilitation and Management Program II (COREMAP II) World Bank atas bantuan beasiswa.
- Istriku tercinta Astriet Y. Manangkoda atas cinta kasih, doa, kerjasama dan dorongan semangat yang luar biasa kepada penulis selama menempuh pendidikan dan menyelesaikan penyusunan tesis ini.
- Orang tuaku tercinta Papa Unu (Alm) dan Mama Ann yang selalu mendoakan dan memberikan semangat dan dorongan bagi penulis. Saudara-saudaraku tercintta Ona dan Asep, Emil dan Lona, Keci dan Valen, Meksen dan Cenny, Leo dan Yula, Valy dan Atha, Lisa dan keponakan-keponakanku atas doa dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan studi tepat waktu.
- Mertua yang terkasih Papi Frits (Alm) Mami Josphin dan saudara iparku Bu Yoppie, Abe dan Nancy yang selalu mendoakan dan memberikan semangat bagi penulis selama menempuh pendidikan.
- Bapak Prof. Dr. Ir. G.A. Wattimena, M.Sc (Om Olop), Ibu M.F.H. Wattimene-Alfons (Mami Ice), Bapak Marthin Wattimena (Om Ateng), Bapak Melkias L. Luhukay (Om Luky) dan Ibu Paulina Luhukay-Wattimena (Tante Pau), selaku keluarga dan orang tua, yang telah membantu dan mendoakan sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di IPB.
- Teman-teman S-2 SPL Sandwich COREMAP II-WB angkatan 2008 atas semangat, kerjasama, kekompakkan dan kebersamaan yang indah selama studi, khususnya Ralph, Herry, Adi, Barnabas, Imel dan Ivon.
- Teman-teman yang telah membantu kegiatan di lapangan maupun selama penulisan tesis ini, yaitu Emmanuel Manangkalangi, S.Pi, M.Si, Paskalina Lefaan, S.Si, M.Si, Rina Mogea, S.Ik, M.Si, Selvi Tebay, S.Pi, M.Si, Anggiat Sinaga S.Pi, Novi Lowoluntu, S.Pi, Agustinus Lebang, S.Pi, Frangkly Lahumeten S.Pi, Abram Rumfabe, S.Pi, Sem Marin, S.Pi, Rangga Namserna, S.Ik dan Mihel Aibekop atas segala bantuan dan kerjasama yang baik.
- Teman-teman persekutuan Oikumene IPB dan Saudara-saudari dari Full Time Trainer Indonesia (FTTI) Bogor yang selalu menguatkan dan mendukung dalam doa.
Akhir kata, penulis merasa tesis ini masih jauh dari sempurna, tapi ada seberkas harapan bahwa informasi yang ada dalam tesis ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir.
Bogor, September 2010
Simon Petrus Oktovianus Leatemia
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 4 Novenber 1974 dari Ayah
Junus Leatemia (Alm) dan Ibu Elisabeth Anna Lawalata. Penulis merupakan putra kelima dari tujuh bersaudara.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi Manado dan selesai pada tahun 2002. Semenjak Tahun 2005 Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan, Perikanan dan ilmu kelautan, Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari. Pada tahun 2008 penulis diberi kesempatan mengikuti program Magister Sains Sandwich Program di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakutas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Leibniz Zentrum fûr Marine Tropenõkologie (ZMT) Universität Bremen, yang didanai oleh COREMAP II-World Bank.
xix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...……………………………………………………… xxi DAFTAR GAMBAR ...…………………………………………………... xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ...………………………………………………… xxv 1. PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1
1.1. Latar Belakang ……………………………………………………. 1 1.2. Perumusan Masalah ………………………………………………. 3 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………… 3 1.4. Konsep Pemecahan Masalah ........................................................... 4 1.5. Hipotesis ………………………………………………………….. 5
2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………... 7 2.1. Fungsi Padang Lamun ..................................................................... 7 2.2. Habitat dan Sebaran Lamun ............................................................ 8 2.3. Parameter Fisika-Kimia Perairan ..................................................... 9 2.4. Asosiasi Gastropoda dan Organisme Lain di Dalam Ekosistem Lamun ............................................................................ 9 2.4.1. Asosiasi Gastropoda dengan Lamun .................................... 11 2.4.2. Asosiasi Organisme Lain dengan Padang Lamun ............... 12
3. METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………... 15 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………….. 15 3.2. Alat dan Bahan ................................................................................ 15 3.3. Metode Pengambilan Data .............................................................. 17 3.3.1. Pengambilan Contoh Lamun dan Gastropoda ……………. 18 3.3.2. Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Air dan Pengambilan Tekstur Substrat ............................................. 18 3.4. Analisis Data ……………………………………………………... 19 3.4.1. Tekstur Substrat .................. ………………………………. 19 3.4.2. Frekuensi, Kerapatan, Penutupan Spesies dan Indeks Nilai Penting Lamun ................................................ 19 3.4.3. Pola Penyebaran Lamun ...................................................... 22 3.4.4. Komposisi Spesies dan Kepadatan Gastropoda .................. 22 3.4.5. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Gastropoda .......................................................................... 23 3.4.6. Indeks Kesamaan Komunitas .............................................. 24 3.4.7. Karakteristik Habitat Berdasarkan Parameter Fisika-
Kimia Air dan Tekstur Substrat .......................................... 25 3.4.8. Pola Penyebaran dan Sebaran Spasial Gastropoda serta Asosiasinya dengan Karakteristik Habitat ........................... 27 3.4.9. Asosiasi Gastropoda dengan Lamun Berdasarkan Karakteristik Habitat ........................................................... 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………… 29 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ............................................................. 29
xx
4.1.1. Rendani ................................................................................ 29 4.1.2. Wosi ..................................................................................... 29 4.1.3. Briosi ................................................................................... 30 4.1.4. Padarni ................................................................................. 30 4.2. Struktur Komunitas Lamun ............................................................. 31 4.2.1. Komposisi Spesies dan Pola Penyebaran Lamun ................ 31 4.2.2. Frekuensi, Kerapatan, Penutupan dan Nilai Penting Spesies Lamun .................................................................... 33 4.3. Karakteristik Fisika-Kimia Air dan Tekstur Substrat ..................... 38 4.3.1. Suhu ..................................................……………………… 40 4.3.2. Salinitas ............. ………………………………………….. 40 4.3.3. Kecepatan Arus ............................………………………… 41 4.3.4. Kekeruhan ................……………………………………… 42 4.3.5. Derajat Keasaman (pH) ....................................................... 42 4.3.6. Oksigen Terlarut (Dissolved oxygen) .................................. 43 4.3.7. Ammonia, Nitrat dan Fosfat ............................................... 44 4.3.8. Biochemical Oxygen Demand 5 (BOD5) ............................. 45 4.3.9. Total organic Matter (TOM) ................................................ 46 4.3.10. Karakteristik Substrat dasar ................................................. 46 4.4. Struktur Komunitas Gastropoda …………………………………. 47 4.4.1. Komposisi Spesies dan Sebaran Gastropoda ....................... 47 4.4.2. Kelimpahan Gastropoda ...................................................... 50 4.4.3. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Gastropoda ........................................................................... 51 4.4.4. Indeks Kesamaan Komunitas …………………………….. 52 4.4.5. Sebaran Spasial Karakteristik Fisika-Kimia Perairan dan Tekstur Sedimen ………………………………………...... 54 4.5. Distribusi Spasial Lamun dan Gastropoda ……………………….. 56 4.5.1. Distribusi Spasial Lamun Berdasarkan Karakteristik Habitat ……………………………………………………. 56 4.5.2. Distribusi Spasial Lamun dan Gastropoda Berdasarkan Karakteristik Habitat………………………………………. 57 4.6. Pemanfaatan Gastropoda dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Manokwari ................................................................................... 60
4.6.1. Pemanfaatan Gastropoda oleh Masyarakat Lokal ............... 60 4.6.2. Pengelolaan Wilayah Pesisir Manokwari ............................ 63
5. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………… 67 5.1. Kesimpulan ……………………………………………………….. 67 5.2. Saran ……………………………………………………………… 67
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 68 LAMPIRAN ………………………………………………………………... 75
xxi
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Parameter yang diukur serta alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ……………………………………………………… 17
2 Komposisi spesies lamun pada lokasi penelitian ……………………….. 31
3 Pola sebaran lamun berdasarkan indeks Morisita (Id)…………………. 33 4 Frekuensi (Fi) dan frekuensi relatif (FRi) spesies lamun pada lokasi penelitian ................................................................................ 34 5 Kerapatan dan kerapatan relatif spesies lamun pada lokasi penelitian… 36 6 Penutupan spesies dan penutupan relatif spesies lamun pada lokasi penelitian ................................................................................................ 36 7 Nilai rata-rata parameter fisika-kimia air pada keempat lokasi penelitian........................................................................... …………… 39 8 Nilai Persentase tekstur substrat pada lokasi pengamatan...…………… 47 9 Pola sebaran gastropoda berdasarkan Indeks Morisita .......................... 49 10 Nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) spesies gastropoda .................................................. 52 11 Matriks nilai kesamaan (similarity value) komunitas gastropoda pada keempat lokasi penelitian berdasarkan indeks Sorenson (%)…………… 52 12.a Beberapa spesies gastropoda yang dimanfaatkan oleh masyarakat pada beberapa kampong di Kepulauan Kofiau Kabupaten Raja Ampat .......................................................................................... 61 12.b Informasi tambahan gastropoda yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Kabupaten Raja Ampat.................................................. 62
xxii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Bagan alir konsep pendekatan masalah.………………………………... 5
2 Organisme yang umum ditemukan berasosiasi dengan lamun maupun habitat lamun (Keough & Jenkins 1995)........................................... 10
3 Rantai makanan dalam ekosistem lamun (Fortes 1990), dimodifikasi in Rohmimohtarto & Juwana 2001.......................................................................... 13
4 Peta lokasi penelitian..................................................…………………… 16
5 Indeks nilai penting (INP) tiap spesies lamun pada lokasi penelitian ...... 38 6 Komposisi spesies dan jumlah individu pada tiap lokasi penelitian......... 48
7 Kelimpahan gastropoda pada keempat lokasi penelitian ........................ 51 8 Dendogram tingkat kesamaan komunitas berdasarkan kehadiran spesies gastropoda pada keempat lokasi penelitian …………………… 53 9 Analisis komponen utama antar lokasi penelitian dan parameter Fisika-Kimia perairan pada sumbu 1 dan 2. (a) antar lokasi penelitian (b) antar parameter fisika-kimia perairan (c) antara lokasi dan Parameter fisika-kimia perairan ……………………………………… 55 10 Diagram PCA biplot berbagai faktor fisika-kimia perairan (suhu, Kekeruhan, pH, DO, salinitas, ammonia (NH3), Nitrat (NO3), Fosfat (PO4), BOD5
, TOM, tekstur substrat pasir, lumpur (liat) dan debu dengan tutupan lamun (C. rotundata, C. serrulata, H. pinifolia, H. Uninervis, H. Ovalis, S. isoetifolium, T, hemprichii) dan lokasi penelitian (Rendani, Wosi, Briosi dan Padarni) ……………………….. 57 11 Diagram analisis koresponden antara spesies lamun dengan gastropoda dan keterkaitannya dengan habitat lamun pada sumbu utama 1 dan sumbu utama 2........................................................................................... 60
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Foto lokasi penelitian………….............……………………………… 77
2 Parameter fisika-kimia perairan yang diukur dan dianalisis .................... 79 3 Komposisi spesies gastropoda pada keempat lokasi penelitian…………. 80
4 Matriks korelasi (Pearson (n) antar faktor fisika-kimia perairan ………. 96 5 (a) Tabel data parameter fisika-kimia perairan dan tekstur substrat (b) Eigenvalues (c) Korelasi antara variabel dengan faktor, (d) Nilai kontribusi variabel (%), (e) Dendogram kesamaan lokasi berdasarkan parameter fisika-kimia perairan dan lokasi penelitian ………………….. 97 6 (a) Eigenvalues, (b) korelasi antara variabel dengan factor (c) Nilai kontribusi variabel (%) …………………………………………………. 99 7 Hasil analisis factorial koresponden; (a) Eigenvalue dan kumulatif (%) (b) Kualitas representasi, kosinus kuadrat (kolom) ……………………. 101 8 Foto beberapa spesies gastropoda yang ditemukan pada keempat lokasi penelitian ........................................................................................ 103
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Padang lamun merupakan sebuah ekosistem di wilayah pesisir yang
memiliki peran penting dalam menyokong kehidupan berbagai organisme yang
hidup dan berasosiasi dalam ekosistem ini. Peranan lamun itu sendiri telah
dirasakan oleh manusia, terutama dalam bidang ekonomi. Lamun dimanfaatkan
sebagai bahan makanan, bahan obat, bahan untuk pabrik kertas, bahan baku
kompos dan pupuk, pakan ternak, bahan kerajinan dan sebagai sumber bahan
kimia penting dalam bidang pengobatan (Phillip & Menez 1998). Di sisi lain,
padang lamun juga memiliki fungsi secara ekologis, sehingga dikatakan sebagai
ekosistem yang memiliki produktivitas yang tinggi. Fortes (1990); Tomascik et al.
(1997), menyatakan bahwa ekosistem lamun memiliki fungsi sebagai sumber
makanan dan tempat mencari makan (foods source and feeding ground), tempat
memijah (spawning ground), tempat asuhan (nursery ground), dan tempat ruaya
berbagai jenis ikan dan organisme laut.
Dalam ekosistem lamun, komposisi spesies dan kompleksitas habitat
sangat berpengaruh terhadap struktur dan komposisi fauna akuatik yang
berasosiasi, karena lamun berfungsi sebagai stabilisator substrat dan menghasilkan
sedimen yang membuat ekosistem lamun cocok bagi kehidupan fauna akuatik dan
sangat produktif (Scootfin 1970 in Creed 2000). Selain itu lamun juga berfungsi
sebagai sumber bahan organik bagi organisme (Parrish 1989 in Creed 2000).
Sumber bahan organik yang ada di habitat padang lamun berasal dari serasah yang
dihasilkan dan mengendap di substrat dasar perairan. Bahan organik ini
selanjutnya akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme dan membentuk rantai
makanan pada tingkatan yang lebih tinggi.
Salah satu organisme yang sangat berperan dalam rantai makanan di
ekosistem lamun adalah gastropoda (Bostrõm & Bonsdorff 1997 in Hemminga &
Duarte 2000; Hily et al. 2004). Gastropoda yang hidup dalam ekosistem lamun
biasanya ditemukan menempel di daun lamun maupun berada di substrat dasar
perairan yang kaya bahan organik. Gastropoda (keong) adalah salah satu kelas
dari moluska yang diketahui berasosiasi dengan baik dalam habitat lamun
2
(Underwood & Chapman 1995). Klump et al. (1992) menyatakan bahwa 20-60%
dari biomassa epifit yang ditemukan menempel di daun lamun di perairan
Pilliphina adalah gastropoda. Selain itu, gastropoda juga merupakan hewan dasar
pemakan detritus (detritivore) dan serasah dari daun lamun yang terendap dan
mensirkulasi bahan-bahan organik yang tersuspensi dalam kolom air guna
mendapatkan makanannya.
Gastropoda dapat ditemukan di seluruh perairan pesisir Indonesia, pada
karakteristik dasar perairan yang berbeda seperti berbatu, berpasir, maupun
berlumpur. Demikian halnya dengan perairan pesisir Manokwari yang merupakan
teluk semi terbuka dengan perairan yang relatif tenang dan terdapat dua pulau
kecil yaitu Pulau Mansinam dan Pulau Lemon (Gambar 2). Dasar perairan teluk
ini tidak terlalu curam dan merupakan tempat bermuaranya beberapa sungai besar
dan kecil. Pada beberapa lokasi dengan dasar perairan yang landai dapat
ditemukan hamparan lamun yang terdiri dari beberapa spesies dalam area yang
tidak terlalu luasdan tidak membentuk padang lamun. Umumnya hamparan lamun
yang ada berasosiasi pada rataan terumbu, dengan substrat dasar perairan berpasir,
pasir berlumpur, maupun pasir bercampur pecahan karang.
Saat ini aktivitas pembangunan dan pengembangan wilayah Manokwari
lebih mengarah ke wilayah pesisir, yang tentunya akan berdampak terhadap
ekosistem pesisir yang ada. Dampak pembangunan dan aktivitas manusia telah
terlihat pada keberadaan habitat lamun dan gastropoda di Perairan Pesisir
Manokwari. Kenyataan ini telah diungkapkan oleh Lefaan (2008) bahwa beberapa
lokasi habitat lamun seperti di wilayah Pesisir Andai, Pesisir Wosi dan Pesisir
Biriosi telah mengalami degradasi lingkungan akibat aktivitas manusia, seperti
penambangan pasir di Sungai Andai serta buangan limbah pasar dan rumah tangga
di pesisir Wosi dan Briosi. Dampak aktivitas manusia tersebut menyebabkan
degradasi habitat lamun yang terlihat dari penurunan frekuensi, kerapatan dan
persen tutupan (percent cover) lamun, yang selanjutnya akan memberikan dampak
yang besar pula bagi kehidupan organisme yang berasosiasi, termasuk gastropoda.
Mengingat begitu pentingnya habitat lamun bagi kelangsungan hidup berbagai
organisme yang berasosiasi maupun bagi produktivitas perairan dan keragaman
ekosistem di wilayah Perairan Pesisir Manokwari.
3
Berdasarkan gambaran tentang kondisi komunitas lamun di atas, maka
perlu dilakukan penelitian tentang keberadaan gastropoda yang diduga merupakan
kelompok moluska yang dominan berasosiasi dengan lamun di Perairan Pesisir
Manokwari. Asosiasi yang terjadi antar gastropoda dengan lamun maupun dengan
organisme lain dalam ekosistem lamun dapat memberikan gambaran betapa
pentingnya peranan ekosistem ini bagi kelangsungan hidup berbagai organisme di
wilayah pesisir, yang perlu dijaga kelestariannya.
` 1.2 Perumusan Masalah
Adanya degradasi lingkungan yang menyebabkan penurunan kualitas air
maupun gangguan terhadap substrat dasar perairan, akan berdampak pula terhadap
berkurangnya frekuensi, kerapatan dan tutupan lamun di Pesisir Manokwari.
Akibatnya keberadaan organisme penghuni padang lamun terutama gastropoda
akan terancam dan dapat menurunkan keanekaragaman spesies dan kelimpahan
gastropoda.
Menurut Lefaan 2008, Perairan Pesisir Wosi dan Briosi tergolong tercemar
berat, sedangkan Perairan Pesisir Rendani tergolong tercemar sedang.
Penggolongan ini didasarkan pada hasil pengukuran fisika-kimia air yang
dibandingkan dengan Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN Lingkungan
Hidup no 51 tahun 2004) dan dianalisis dengan metode STORET. Gambaran
permasalahan tersebut menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian tentang
distribusi spasial komunitas gastropoda dan asosiasinya dengan habitat lamun di
Perairan Pesisir Manokwari Papua Barat. Selain itu, penelitian tentang distribusi
gastropoda di padang lamun khususnya di Perairan Pesisir Manokwari belum
pernah dilakukan sehingga penelitian ini sangat penting untuk dilaksanakan.
1.3 Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:
1. Mengetahui dan menganalisis pengaruh parameter fisika-kimia perairan dan
tekstur substrat terhadap komposisi spesies, frekuensi, persen tutupan dan
kerapatan lamun.
2. Mengetahui dan mengkaji pengaruh kompleksitas habitat padang lamun
terhadap kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman dan distribusi spesies
gastropoda.
4
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk lebih memahami fungsi
dan peranan ekologis padang lamun yang merupakan habitat gastropoda.
Disamping itu juga diharapkan untuk mengungkap informasi tentang
keberadaan ekologis gastropoda di padang lamun pada perairan pesisir
Manokwari, sehingga khasanah pengetahuan ini dapat bermanfaat dalam
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.
1.4 Konsep Pemecahan Masalah
Semakin meningkatnya aktivitas manusia di wilayah Pesisir Perairan
Manokwari tidak terelakkan lagi, yang berdampak pada berkurangnya
frekuensi, kerapatan, tutupan dan luasan habitat lamun serta degradasi
populasi gastropoda. Pemanfaatan dan pengambilan gastropoda yang
dilakukan oleh masyarakat, sebagian besar dijadikan sebagai hiasan maupun
asesoris yang digunakan saat acara-acara adat masyarakat setempat Hal ini
merupakan masalah yang terjadi saat ini dan perlu suatu bentuk pengelolaan
untuk mengurangi kerusakan ekosistem di wilayah pesisir, khususnya
ekosistem lamun.
Langkah awal untuk melakukan pengelolaan lingkungan adalah
perencanaan. Dalam perencanaan diperlukan data dan informasi yang akurat
dan terbaru untuk mengetahui kondisi lingkungan, sehingga diperlukan suatu
penelitian. Berdasarkan pernyataan ini maka penulis mencoba untuk
mendekati permasalahan di atas dengan mengetahui keberadaan spesies
lamun berdasarkan frekuensi ditemukannya spesies lamun, persen tutupan
lamun, kerapatan tiap tegakan lamun dan pola sebaran tiap spesies lamun.
Sebaran dan kelimpahan spesies lamun sangat dipengaruhi oleh tekstur
substrat dasar, faktor fisika-kimia air dan aktivitas manusia, sehingga sangat
perlu mengetahui faktor-faktor tersebut. Keberadaan gastropoda yang
berasosiasi dengan lamun dapat ditelusuri dengan mengetahui komposisi
spesies, kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman, dominansi spesies dan
pola sebaran gastropoda. Dalam pembahasan, akan dibandingkan kondisi
komunitas lamun pada tiap lokasi penelitian sehingga dapat diketahui lokasi
mana yang memiliki kondisi ekosistem lamun yang masih baik dan lokasi
mana yang telah mengalami degradasi.
5
Gambar 1. Bagan alir pemecahan .masalah.
Berdasarkan pada permasalahan yang ada, penulis membuat suatu
skema pendekatan masalah, sebagai acuan dalam melaksanakan penelitian
dan pengelolaan ekosistem lamun. Pendekatan masalah tersebut, secara
ringkas digambarkan dalam bagan alir pemecahan masalah pada Gambar 1.
Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu
Keterangan:
. = Hubungan balik = Hubungan saling mempengaruhi
1.5 Hipotesa
Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah parameter fisika-kimia air dan tekstur substrat mempengaruhi
komposisi, frekuensi, persen tutupan dan kerapatan spesies lamun.
2. Apakah kompleksitas habitat lamun, parameter fisika-kimia air dan
tekstur substrat mempengaruhi keanekaragamann dan kelimpahan spesies
gastropoda.
Komunitas gastropoda: - Komposisi spesies - Kelimpahan - Keanekaragaman - Dominansi - Sebaran spasial
gastropoda
Parameter fisika dan kimia lingkungan perairan
Komunitas lamun: - Frekuensi - Penutupan - Kerapatan - Pola Sebaran
lamun
Ekosistem Lamun
Tekstur substrat dasar perairan
Antropogenik (limbah rumah tangga dan pasar)
dan Aktivitas Manusia (Pemanfaatan gastropoda)
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fungsi Padang Lamun
Padang lamun memiliki fungsi sebagai suatu komunitas yang terdiri atas
tumbuhan dan hewan serta unsur abiotik yang saling berinteraksi. Interaksi yang
terjadi antara tumbuhan dan hewan merupakan interaksi tunggal dan dikendalikan
oleh berbagai faktor fisika-kimia perairan (Rohmimohtarto & Juwana 2001).
Gambaran tentang fungsi padang lamun sebagai ekosistem, dijabarkan oleh Wood
(1969) in Phillips & Menez (1988); Wood et al. (1969) in Ongkers (1990),
sebagai berikut :
1. Akar dan rhizome lamun melekat kuat pada substrat dasar sehingga dapat
menstabilkan dan menahan sedimen serta dapat mengurangi kuatnya hempasan
ombak saat badai.
2. Daun-daun lamun dapat memperlambat kecepatan arus, yang menyebabkan
terjadinya sedimentasi bahan-bahan organik dan mencegah resuspensi dari
bahan-bahan organik dan anorganik. Selain itu daun lamun yang cukup besar
(seperti Enhalus acoroides) dapat dimanfaatkan oleh organisme epifit sebagai
tempat hidup.
3. Lamun berperan sebagai naungan bagi ikan-ikan yang menetap dan ikan-ikan
yang hanya sementara (beruaya) berada dalam habitat lamun, baik pada stadia
dewasa maupun pada stadia juvenil.
4. Padang lamun berfungsi sebagai tempat mencari makan, berupa detritus dan
epifit yang menempel di daun lamun, maupun organisme avertebrata kecil
seperti moluska, krustasea maupun ekinodermata.
5. Tumbuhan lamun yang mati selanjutnya didekomposisi oleh bakteri menjadi
serasah dan dapat berfungsi sebagai bahan-bahan organik yang dimanfaatkan
oleh organisme sebagai bahan makanan.
Fortes (1990) menyatakan bahwa di lingkungan laut dangkal lamun dapat
berperan paling tidak sebagai produsen primer, habitat biota, perangkap sedimen
dan pendaur zat hara. Dalam ekosistem lamun, proses dekomposisi merupakan hal
yang penting. Proses ini menghasilkan material yang langsung dapat dikonsumsi
oleh fauna bentik, sedangkan partikel-partikel serasah dalam air merupakan
8
makanan hewan avertebrata dengan tipe pemakan penyaring. Pada gilirannya
nanti hewan-hewan tersebut akan menjadi mangsa dari tipe pemakan karnivora
yang terdiri dari berbagai jenis ikan dan hewan avertebrata lainnya. Selain itu
ekosistem lamun merupakan tempat asuhan, perlindungan dari predator dan
sumber pakan bagi ikan, hewan avertebrata dan dugong.
2.2 Habitat dan Sebaran Lamun
Dinamika perairan seperti pasang surut, kedalaman air, dan tekstur substrat
sangat mempengaruhi zonasi sebaran spesies lamun dan bentuk pertumbuhannya.
Spesies lamun yang sama dapat tumbuh pada habitat yang berbeda dengan bentuk
pertumbuhan yang berbeda pula. Selain itu spesies lamun juga dapat membentuk
zonasi vegetasi, yang terdiri atas satu jenis maupun berasosiasi dengan jenis
lainnya (Erina 2006).
Lamun memerlukan tekstur substrat dasar yang cocok agar dapat tumbuh
dengan baik. Tekstur substrat dasar perairan yang dijumpai pada padang lamun
adalah tipe dasar perairan yang terdiri atas lumpur, pasir, maupun pasir yang
bercampur dengan pecahan karang, yang mudah ditembusi oleh akar dan rimpang
lamun guna menyokong tegakannya (Kirkman 1990).
Secara umum vegetasi lamun yang berada di perairan tropis terdiri atas
tiga tipe vegetasi (Tomascik et al. 1997), yaitu (1) padang lamun dengan tipe
vegetasi tunggal (monospecific seagrass beds), yaitu padang lamun yang terdiri
atas satu spesies lamun, (2) padang lamun dengan tipe campuran, namun hanya
terdiri atas dua atau tiga spesies lamun, (3) padang lamun dengan tipe vegetasi
campuran (mixing seagrass beds), yang umumnya terdiri atas spesies lamun
seperti Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, C.
rotundata, Syringodium isoetifolium, Halodule uninervis, dan Halophila ovalis.
Tipe vegetasi lamun yang ketiga ini merupakan tipe vegetasi yang umum di
temukan di perairan Indonesia (Nienhuis et al. 1989). Hampir di seluruh perairan
di Indonesia dapat dijumpai lamun, terutama pada tipe substrat dasar perairan
seperti telah disebutkan di atas, dan berdasarkan beberapa kajian (Fortes 1990;
Cappenberg 1996; Tomascik et al. 1997), padang lamun di Indonesia terdapat di
Selat Flores, Teluk Kotania, Teluk Jakarta, Lombok, Selat Sunda, Kepulauan
Seribu, Teluk Banten dan Kepulauan Riau. Spesies lamun yang berasosiasi yaitu:
9
Halodule pinifolia, H. uninervis, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata,
C. rotundata, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis, dan Enhalus acoroides.
2.3 Parameter Fisika-Kimia Perairan
Distribusi spasial dan pertumbuhan lamun ditentukan oleh berbagai
parameter fisika-kimia air seperti suhu, salinitas, kekeruhan, kecepatan arus, nilai
pH, kandungan oksigen terlarut, unsur hara, sedimen dasar, cahaya dan kedalaman
perairan (Abal & Dennison 1996; Lefaan 2008). Bagi gastropoda yang hidup di
padang lamun, faktor fisika-kimia perairan yang sangat berperan bagi
kelangsungan hidup adalah suhu dan kekeringan (Nybakken 1997). Kedua faktor
ini sangat berpengaruh ketika air surut dan padang lamun terpapar karena kering,
maka suhu akan meningkat secara drastis. Pengaruh kedua faktor ini secara
bersamaan dapat mematikan gastropoda maupun lamun (Manginsela 1998).
2.4 Asosiasi Gastropoda dan Organisme Lain Dalam Ekosistem Lamun Organisme yang berasosiasi dengan padang lamun memiliki
keanekaragaman dan kelimpahan yang tinggi dibandingkan dengan habitat yang
tidak ditutupi lamun (Kikuchi & Peres 1977; Keough & Jenkins 1995). Habitat
lamun tergolong habitat yang sangat produktif, selain itu habitat lamun juga
memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai jenis hewan dan
tumnuh-tumbuhan (mikroalga). Habitat lamun juga berfungsi sebagai daerah
asuhan dan mencari makan berbagai jenis ikan herbivora (herbivory fishes),
dugong, penyu (Valentine & Heck Jr. 1999) dan ikan-ikan karang (coral fishes)
(Kikuchi & Peres 1977; Keough & Jenkins 1995). Berbagai asosiasi yang terjadi
antara hewan dan tumbuhan dengan lamun maupun habitat lamun dapat
dikategorikan dalam beberapa kelompok ekologi (sebagian asosiasi tersebut
ditunjukkan pada Gambar 2) (Howard et al. in Keough & Jenkins 1995), sebagai
berikut:
a. Perifiton, yaitu lapisan tebal mikroorganisme yang berukuran mikroskopis
seperti bakteri dan tumbuhan satu sel, yang dengan cepat menkolonisasi setiap
area yang terbuka dari lamun.
b. Epifit, yaitu sekumpulan mikroalga yang tumbuh pada permukaan daun.
c. Infauna, yaitu hewan yang hidup dalam sedimen, di antara rhizome lamun.
10
d. Epifauna yang bergerak bebas (mobile epifauna), yaitu hewan berukuran kecil
yang dapat bergerak bebas dan berasosiasi pada bagian permukaan sedimen.
Kelompok fauna ini selalu ditemukan berada di antara tegakan lamun atau pada
daun maupun akar lamun.
e. Epifauna yang menetap (sessile epifauna), yaitu hewan yang secara permanen
menempel pada akar atau daun lamun.
f. Fauna epibenthic, yaitu hewan berukuran besar, bergerak bebas, yang
berasosiasi secara bebas dengan habitat lamun daripada secara langsung
dengan lamun.
Gambar 2 Organisme yang umum ditemukan berasosiasi dengan lamun maupun habitat lamun (Keough & Jenkins 1995).
Ketertarikan berbagai hewan maupun tumbuhan untuk berasosiasi dengan
habitat lamun maupun lamun itu sendiri disebabkan karena banyak tersedia
makanan, selain itu sangat baik sebagai tempat berlindung dan sebagai daerah
asuhan dalam siklus hidup kelompok hewan maupun tumbuhan tersebut
(Tomascik et al. 1997).
11
2.4.1 Asosiasi Gastropoda Dengan Lamun
Moluska merupakan salah satu kelompok hewan yang diketahui
berasosiasi dengan baik dengan lamun di perairan Indonesia (Tomascik et al.
1997). Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa moluska merupakan
komponen yang sangat penting dalam habitat lamun, baik yang berhubungan
dengan biomassa maupun peranannya di dalam aliran energi. Sebanyak 20-60%
biomassa epifit padang lamun di Philipina dimanfaatkan oleh epifauna yang
didominasi oleh gastropoda (Klumpp et al. 1992). Umumnya moluska di padang
lamun bersifat pemakan detritus (detritivore) dan sangat sedikit yang langsung
memakan bagian tubuh lamun. Seperti halnya ekosistem terumbu karang, di
dalam ekosistem lamun terjadi siklus makan dan dimakan sehingga menjadikan
padang lamun sebagai sumber plasma nutfah yang sangat potensial (Mann 1972 in
Mudjiono & Sudjoko 1994).
Penelitian untuk mengetahui berapa banyak tegakan lamun yang hilang
akibat dimanfaatkan oleh organisme pemakan tumbuhan (herbivory) telah
dilakukan oleh Cebrian et al. (1996). Mereka menyatakan bahwa lamun jenis
Cymodocea nodosa (Ucria) secara nyata berperan sebagai sumber makanan bagi
organisme herbivory di daerah littoral, Laut Tengah. Para peneliti ini juga
memperkirakan densitas tegakan lamun yang hilang karena aktivitas organisme
herbivory berkisar 30 gr berat kering/m3
Menurut Peristiwady (1994), pada penelitiannya di Pesisir Lombok Selatan
menemukan sedikitnya 4.99 % dari seluruh jenis makrofauna yang berasosiasi
dengan padang lamun adalah moluska. Pada tiga Teluk yang ada di Pantai Selatan
Lombok, ditemukan sebanyak 70 spesies moluska yang berasosiasi dengan
padang lamun dan beberapa diantaranya bernilai ekonomis penting (Mudjiono &
Sudjoko 1994). Dikatakan pula bahwa spesies gastropoda yang memiliki
kelimpahan yang tinggi adalah Pyrene versicolor, Strombus labiatus, S. luhuanus
dan Cymbiola vespertilio.
/tahun. Menurut Aziz (1994), aktivitas
pemangsaan (grazing) lamun oleh bulu babi jenis Tripneustes gratilla, sekitar
1.01 gr berat kering/individu/hari di Teluk Aan Lombok Selatan, sedangkan di
Teluk Kuta Lombok Selatan berkisar 1.33 gr berat kering /individu/hari.
12
Penelitian Aswandy dan Hutomo (1984), menemukan ada 10 jenis
moluska yang hidup berasosiasi dcngan padang lamun di Teluk Banten, dan
komunitas tersebut didominasi oleh gastropoda spesies Columbella sp. Selain itu
Cappenberg (1996), dari hasil penelitiannya di Teluk Kotania Seram Barat
menemukan 26 famili yang termasuk dalam Kelas Gastropoda, dan Famili
Cerithiidae, Pyrenidae dan Strombidae merupakan kelompok Famili yang
dominan ditemukan.
2.4.2 Asosiasi Organisme Lain dengan Padang Lamun
Di padang lamun, asosiasi antara lamun dengan organisme lain yang
menghuni padang lamun terjadi dalam beberapa bentuk yang umum (Nakaoka
2005). Sebagai contoh, lamun menyokong kelimpahan dan kekayaan spesies
organisme melalui karakteristik fisik habitatnya yang menunjang kehidupan
kelompok fauna bentik (Orth et al. 1984; Hemminga & Duarte 2000). Selain itu
bagi kelompok organisme pemakan tumbuhan (herbivory) sangat jarang yang
makan lamun, melainkan memakan epifit (mikroalga) sebagai sumber makanan
pengganti (Kikuchi & Peres 1977; Klumpp et al. 1989; Brawley 1992 dan
Jernakoff et al. 1996 in Nakaoka 2005). Sehingga dapat dikatakan padang lamun
merupakan habitat yang baik dan nyaman bagi berbagai organisme seperti
komunitas mikroba, mikro alga, makro alga, serta hewan avertebrata berukuran
kecil sampai vertebrata yang berukuran besar. Kelompok organisme ini sangat
beragam dalam menempati padang lamun, beberapa jenis alga dan hewan
menempati permukaan daun lamun (epiflora dan epifauna) atau pada bagian
permukaan substrat dasar (organisme epibenthic) atau tinggal dalam sedimen
(infauna), nekton serta plankton.
Menurut Keough dan Jenkins (1995), tumbuhan lamun secara khusus
menyokong kekayaan berbagai perifiton, epifit dan epifauna yang sifatnya
menetap (sessile). Epifit dan perifiton yang merupakan kelompok mikro alga juga
melakukan fotosintesis dan memberikan kontribusi yang signifikan seperti lamun
pada keseluruhan produksi primer dalam komunitas lamun (Pollard & Morriatty
1991). Daun lamun merupakan habitat yang nyaman bagi perifiton, epifit dan
larva infauna yang sessile, dimana daun muda dengan segera akan dikolonisasi
oleh bakteri dan alga mikroskopis, yang selanjutnya diikuti oleh spora epifit dan
13
larva dari epifauna yang sessile, yang terbawa arus air ke daun lamun. Secara
khusus perifiton dan epifit yang menempati daun lamun yang muda, akan menetap
sampai daun tersebut tua dan luruh. Selengkapnya asosiasi yang terjadi antara
lamun dengan organisme lain dan membentuk rantai makanan dalam ekosistem
lamun, ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Rantai makanan dalam ekosistem lamun (Fortes 1990), dimodifikasi in Rohmimohtarto & Juwana 2001.
1. Akar mengikat sedimen 14. Juvenil udang dan ikan 2. Detritus 15. Bulu babi 3. Teripang 16. Ikan buntal 4. Kepiting 17. Penyu laut 5. Infauna penyaring deposit 18. Dugong 6. Partikel bahan organik 19. Ikan beronang 7. Rumput laut 20. Menyimpan dan mengeluarkan 8. Menyimpan dan mengeluarkan 21. Tenggelam dan membusuk 9. Bahan organik terlarut 22. Potongan-potongan daun 10. Fitoplankton 23. Burung pantai 11. Zooplankton 24. Pupuk untuk tanah pertanian 12. Epizoon penyaring bahan terlarut 25. Terumbu karang, mangrove 13. Produksi primer tinggi dan tumbuh
13
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini berlokasi di perairan Pesisir Manokwari Provinsi Papua
Barat, pada empat lokasi yaitu Pesisir Perairan Rendani, Wosi, Briosi dan Padarni
(Gambar 4). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Mei 2010 (2 bulan),
yang meliputi kegiatan pengambilan data lapangan serta pengolahan data.
Pengambilan data lapangan hanya dilakukan satu kali pada tiap lokasi.
Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada beberapa asumsi, yaitu
Pesisir Perairan Rendani merupakan lokasi dengan kondisi lingkungan yang
masih alami karena cukup jauh dari pemukiman penduduk dan berada dalam area
Bandar Udara Rendani. Lokasi Wosi merupakan lokasi dengan tingkat gangguan
yang tinggi (Lefaan 2008), karena tingginya sedimentasi, adanya masukkan
limbah antropogenik yang berasal dari pemukiman penduduk yang cukup padat
dan Pasar Wosi, serta salinitas yang berfluktuasi karena merupakan daerah muara
Sungai Wosi. Lokasi Briosi merupakan daerah dengan tingkat gangguan yang
sedang, karena dekat dengan Pasar Sanggeng dan berhadapan dengan Pelabuhan
Manokwari serta pemukiman yang cukup padat. Lokasi Padarni merupakan
daerah dengan tingkat gangguan yang sedang karena gangguan berasal dari
limbah antropogenik rumah tangga dan aktivitas manusia.
3.2 Alat dan Bahan
Dalam penelitian ini terdapat dua kegiatan yang dilakukan yakni
kegiatan di lapangan yang meliputi pengambilan contoh lamun dan
gastropoda, pengukuran beberapa parameter fisika-kimia air secara in situ
dan pengambilan contoh substrat. Kegiatan selanjutnua dilaksanakan di
laboratorium meliputi identifikasi lamun dan gastropoda, analisis fisika-
kimia air dan analisis tekstur substrat. Kegiatan analisis laboratorium
dilakukan di Laboratorium Perikanan dan Laboratorium Kimia UNIPA serta
Laboratorium Produktivitas Lingkungan IPB. Adapun parameter fisika-kimia
air yang diukur dan dianalisis serta alat atau bahan yang digunakan seperti
ditunjukkan dalam Tabel 1.
16
Gambar 4 Peta lokasi penelitian
17
Tabel 1 Parameter yang diukur serta alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian
Parameter Satuan Alat/bahan Keterangan
Fisika
Suhu o Termometer C In situ Kekeruhan NTU Turbidity meter Laboratorium Kecepatan arus m/detik Current meter In situ Tekstur Substrat mm Ayakan
bertingkat Laboratorium
Kimia
pH air pH meter In situ Salinitas ‰ Refraktometer In situ Nitrat mg/ l Spektrofotometer Laboratorium Ammonia mg/ l Spektrofotometer Laboratorium Fosfat mg/ l Spektrofotometer Laboratorium Oksigen Terlarut (DO)
mg/l DO meter In situ
Biochemical Oxygen Demand 5 (BOD5
mg/l )
Spektrofotometer Laboratorium
Total Organic Matter (TOM)
mg/l Spektrofotometer Laboratorium
Biologi Gastropoda ind/cm Kuadrat 50 x 50 cm dan roll meter
2 In situ Lamun ind/cm In situ 2
Data pendukung
Kedalaman air saat sampling
cm Tongkat berskala In situ
Posisi lokasi sampling Derajat (o
Global Positioning System (GPS)
) In situ
3.3 Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan contoh lamun dan gastropoda mrnggunakan
metode transek garis. Pada tiap lokasi pengamatan terdiri atas 3 garis transek
dengan jarak antara garis transek satu dengan yang lain 50 m dan panjang
garis transek disesuaikan dengan luasan padang lamun ke arah laut di lokasi
pengambilan data. Garis transek diletakkan tegak lurus dengan garis pantai,
Dalam satu garis transek terdiri atas 10 kuadrat dengan jarak setiap kuadrat
tergantung dari panjang garis transek, dengan perhitungan panjang garis
transek/9, sehingga diperoleh jarak antar kuadrat. Pengambilan contoh
dimulai dari kuadrat dekat garis pantai ke arah laut yang ditumbuhi lamun.
Kuadrat pertama dan kuadrat terakhir ditandai dengan GPS untuk
memudahkan jika akan dilakukan pengecekan kembali.
18
Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah metode rancagan
acak berlapis, dengan garis transek sebagai ulangan. Metode ini digunakan
berdasarkan asumsi bahwa padang lamun yang diamati tergolong vegetasi
campuran, yang terdiri atas lebih dari satu jenis lamun.
3.3.1 Pengambilan Contoh Lamun dan Gastropoda
Pengambilan contoh lamun dan gastropoda dilakukan pada tiap kuadrat
dari setiap garis transek, sehingga jumlah kuadrat yang diamati sebanyak 30
kuadrat pada masing-masing lokasi (Dennison 1990; English et al. 1997).
Setelah meletakkan kuadrat, dilakukan pengamatan terlebih dahulu terhadap
gastropoda yang berada di daun lamun maupun di substrat. Jika ditemukan,
gastropoda tersebut langsung dimasukkan ke dalam plastik sampel dan diberi
keterangan. Kemudian dihitung persen tutupan tiap spesies lamun. Selanjutnya
dilakukan pengerukan substrat sedalam ± 5 cm dengan asumsi bahwa terdapat
spesies gastropoda yang membenamkan diri dalam substrat (bersifat infauna)
untuk menghindari kekeringan, mengingat pengambilan sampel dilakukan saat
surut terendah. Kemudian lamun dan gastropoda dipisahkan dari substrat,
dimasukkan ke dalam plastik sampel dan diberi keterangan.
Contoh lamun dan gastropoda selanjutnya dibawa ke laboratorium
untuk diidentifikasi. Lamun diidentifikasi berdasarkan acuan dari Phillips &
Menez (1998), McKenzie et al. (2003) dan Lanyon (1986). Gastropoda
diidentifikasi berdasarkan buku karangan Habe (1964); Dharma (1988;
1992; 2005); Lindner (2000); Oliver (2004) dan Kusnaedi et al. (2008).
3.3.2 Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Air dan Pengambilan Tekstur
Substrat
Parameter fisika-kimia air diambil dengan alat dan metode seperti
yang tertera dalam Tabel 1. Pengukuran parameter fisika-kimia air menurut
Fonseca (1990), meliputi: suhu, kecepatan arus, pH air, salinitas dan oksigen
terlarut (DO), yang dilakukan secara in situ. Sedangkan kekeruhan,
ammonia, nitrat, fosfat, biochemical oxygen demand 5 (BOD5), total
organic matter (TOM) dan tekstur substrat analisisnya dilakukan di
Laboratorium.
19
Pengambilan contoh substrat dasar untuk analisis tekstur, diambil
sebanyak 100 gr contoh sedimen. Pengambilan hanya dilakukan pada
kuadrat pertama, kuadrat kelima dan kuadrat ke sepuluh pada masing-
masing garis transek. Sampel sedimen selanjutnya dibawa ke laboratorium,
dibilas dengan air tawar untuk mengeluarkan serasah maupun kotoran yang
dapat membuat bias data yang diperoleh.
3.4 Analisis Data
3.4.1 Tekstur Substrat
Sampel substrat yang telah dicuci selanjutnya dikeringkan di bawah
terik matahari selama ± 3-4 hari (sinar matahari penuh) sampai kering dan
beratnya konstan. Cara lain, sampel dapat dikeringkan dalam oven pada
suhu 105 o
3.4.2 Frekuensi, Kerapatan, Penutupan Spesies dan Indeks Nilai Penting Lamun
C selama 24 jam sampai beratnya konstan. Selanjutnya sedimen
diayak berdasarkan ukuran mesh size ayakan. Pengolahan contoh sedimen
ini menggunakan metode kering (Holme & McIntyre 1984). Hasil
penyaringan berdasarkan mesh size ayakan (ayakan bertingkat), kemudian
ditimbang dan dicatat hasilnya dalam tabel dan selanjutnya dihitung persen
kumulatif dari setiap mesh size ayakan. Hasil perhitungan persen kumulatif
ini selanjutnya disesuaikan dengan nilai phi (Ø) menurut skala Wenworth.
Sebaran butiran tekstur substrat (%) dapat diketahui berdasarkan hasil
analisis ini (Holme & McIntyre 1984).
Frekuensi Spesies Lamun
Frekuensi spesies lamun yaitu peluang ditemukannya lamun spesies
ke-i dalam suatu petak contoh yang dibatasi dan dibandingkan dengan jumlah
petak contoh yang diamati. Perhitungan spesies lamun dihitung menggunakan
rumus sebagai berikut (Brower et al. 1990):
20
Keterangan: Fi = frekuensi spesies ke-i PijP = jumlah total kuadrat contoh
= jumlah kuadrat contoh ke-j ditemukan spesies ke-i
Frekuensi Relatif Lamun
Frekuensi relatif lamun (FRi), yaitu perbandingan antara frekuensi
spesies-i (Fi
) dengan jumlah total frekuensi seluruh spesies. Perhitungan
frekuensi relatif lamun dihitung menggunakan rumus sebagai berikut
(Brower et al. 1990):
Keterangan: FRi = frekuensi relatif spesies ke-i Fi = frekuensi spesies ke-i
F = jumlah frekuensi untuk seluruh spesies i=1
Kerapatan Mutlak Lamun
Kerapatan mutlak lamun adalah jumlah total individu lamun dalam
suatu unit area yang diukur. Kerapatan mutlak lamun dihitung menggunakan
rumus sebagai berikut (Brower et al. 1990):
Keterangan: Ki n
= kerapatan mutlak spesies ke-i ij
A = luas total area pengambilan contoh (m = jumlah total individu dari spesies ke-i di unit area ke-j
2
)
Kerapatan Relatif Lamun
Kerapatan relatif lamun merupakan perbandingan antara jumlah
individu spesies lamun dan jumlah total individu seluruh spesies lamun.
Kerapatan relatif lamun dihitung menggunakan rumus sebagai berikut
(Brower et al. 1990) :
21
Keterangan: KRin
= kerapatan relatif spesies ke-i i
n = jumlah individu tiap spesies ij
Penutupan Spesies Lamun
= jumlah total individu seluruh spesies
Penutupan spesies lamun yaitu luas area yang di tutupi oleh
lamun dalam setiap kuadrat (Saito & Atobe 1990 in English et al. 1997).
Persen tutupan spesies lamun tertentu dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
Keterangan: PiM
= penutupan spesies lamun ke-i i
f = frekuensi (jumlah sub kuadrat yang memiliki nilai tengah yang sama) = nilai tengah persen dari kelas ke-i
Penutupan Relatif Lamun
Penutupan relatif lamun yaitu perbandingan antar tutupan individu
spesies ke-i dengan total jumlah tutupan seluruh spesies. Perhitungan
penutupan relatif lamun dihitung dengan menggunakan rumus (Brower et al.
1990), sebagai beriku:
Keterangan: PRiP
= penutupan relatif spesies lamun ke-i i
P = penutupan spesies ke-i
ij
= total jumlah penutupan seluruh spesies
Indeks Nilai Penting
Indeks nilai penting (INP), dlgunakan untuk menghitung dan menduga
keseluruhan dari peranan satu spesies di dalam satu komunitas. Semakin tinggi
nilai INP suatu spesies, relatif terhadap spesies lainnva maka semakin tinggi
peranan spesies tersebut dalam komunitas. Rumus yang digunakan untuk
menghitung INP (Brower et al. 1990), sebagai berikut:
22
INPi = KRi + FRi + PR
Keterangan:
i
INPiKR
= indeks nilai penting spesies ke-i i
FR = kerapatan Relatif spesies ke-i
iPR
= frekuensi Relatif spesies ke-i i
= penutupan Relatif spesies ke-i
3.4.3 Pola Penyebaran Lamun
Pola penvebaran individu lamun, dapat dihitung dengan menggunakan
analisis Indeks Morisita. Perhitungan pola penyebaran lamun dihitung
dengan menggunakan rumus (Brower et al. 1990), sebagai berikut:
Keterangan: Id = indeks Morisita n = jumlah kuadrat pengambilan contoh N = jumlah individu dalam n kuadrat xi
Indeks Morisita (Id) memiliki kriteria penilaian sebagai berikut:
= Jumlah individu spesies ke-i pada setiap kuadrat
Id = 1, pola penyebaran merata Id < 1, pola penyebaran seragam Id > 1, pola penyebaran mengelompok
Kebenaran nilai indeks di atas, dapat diuji menggunakan sebaran Chi-
kuadrat dengan persamaan (Brower et al. 1990), sebagai berikut:
Nilai Chi-kuadrat dari perhitungan di atas dibandingkan dengan nilai
Chi-kuadrat tabel dengan selang kepercayaan 95 % (α = 0,05). Jika nilai X2
hitung lebih kecil dari nilai X2
3.4.4 Komposisi Spesies dan Kelimpahan Gastropoda
tabel berarti tidak ada perbedaan yang nyata
dengan penyebaran acak.
Komposisi spesies gastropoda diperoleh dengan mencatat setiap
spesies yang ditemukan dalam setiap kuadrat berdasarkan stasiun pengamatan
dan diidentifiasi. Selanjutnya tiap individu gastropoda disusun berdasarkan
23
famili, genera dan spesies yang ditemukan dalam tiap kuadrat contoh, ke
dalam tabel. Agar mempermudah dalam penelusuran spesies, maka nama
famili, genera dan spesies diurutkan menurut abjad. Kemudian masing-
masing famili, genera dan spesies dijumlah sesuai dengan banyaknya individu
spesies tersebut.
Kelimpahan spesies (A) didefinisikan sebagai jumlah individu per satuan
luas atau volume (Brower et al. 1990), yang dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan: Ain
= kelimpahan spesies i ij
A = luas total area pengambilan contoh = jumlah total individu dari spesies i di unit area ke-j
3.4.5 Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Gastropoda
Keanekaragaman spesies gastropoda diartikan sebagai banyaknya spesies
gastropoda yang ditemukan dalam tiap kuadrat pada setiap garis transek.
indeks keanekaragaman yang digunakan untuk menentukan keanekaragaman
spesies gastropoda adalah indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H') (Cox
2002), dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan: H' = indeks keanekaragaman jenis pi = ni/N sebagai proporsi spesies ke-i ni = jumlah individu spesies ke-i N = jumlah total individu spesies ke-i
Indeks keseragaman (equitability) adalah rasio antara indeks
keanekaragaman terhadap keanekaragaman maksimumnya. Indeks ini digunakan
untuk menggambarkan keseimbangan penyebaran spesies dalam suatu komunitas.
Indeks keseragaman yang digunakan menurut Krebs (1989), sebagai berikut:
24
Keterangan E = indeks keseragaman H’ = indek Keanekaragam Shannon-Wiener H’maks = 3,322 log2
Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1 (Setyobudiandi et al.
2009). Jika nilai indeks keseragaman mendekati 0, menunjukkan adanya
konsentrasi jumlah individu pada spesies tertentu, atau terdapat spesies
tertentu yang memiliki jumlah individu relatif banyak. Sebaliknya jika nilai
indeks keseragaman mendekati 1, menunjukkan jumlah individu di setiap
spesies hampir sama atau merata.
S (S= jumlah spesies)
Dominansi spesies merupakan suatu gambaran bahwa jumlah suatu
spesies lebih banyak/dominan terhadap spesies yang lain dalam suatu
komunitas. Dominansi spesies dinyatakan dalam indeks dominansi Simpson
(Brower et al. 1990), sebagai berikut :
Keterangan: D = indeks dominansi Simpson ni = jumlah individu spesies ke-i N = jumlah total individu dari selruh spesies
3.4.6 Indeks Kesamaan Komunitas
Indeks kesamaan komunitas digunakan untuk mengetahui tingkat
kesamaan komunitas berdasarkan kesamaan spesies gastropoda antar lokasi
penelitian. Indeks kesamaan komunitas yang digunakan adalah indeks Sorenson
(Maguran 1988), sebagai berikut:
Keterangan: CSj = jumlah spesies yang ditemukan dalam plot kuadrat di dua lokasi penelitian
= indeks Sorenson
a = jumlah spesies yang ditemukan di lokasi A b = jumlah spesies yang ditemukan di lokasi B
25
3.4.7 Karakteristik Habitat Berdasarkan Parameter Fisika-Kimia air dan Tekstur Substrat
Penilaian terhadap parameter fisika-kimia perairan disesuaikan
dengan standar baku mutu air laut berdasarkan KEPMEN Lingkungan
Hidup No 51 tahun 2004, pada lampiran II (baku mutu air laut untuk biota
laut). Karakteristik lokasi penelitian dapat dinilai berdasarkan parameter
fisika-kimia perairan yang telah diukur melalui pendekatan analisis statistik
multivariate. yaitu analisis komponen utama (principal component
analysis, PCA) (Legendre & Legendre 1983).
Analisis komponen utama bertujuan untuk mempresentasi-kan
beberapa variabel dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud
terdiri atas lokasi penelitian sebagai individu (baris) dan variabel peubah
habitat kuantitatif (kolom). Data karakteristik habitat (parameter fisika-
kimia perairan dan tekstur substrat), tidak memiliki satuan ukuran dan
ragam yang sama dari data, sehingga sebelum melakukan analisis
komponen utama data-data ini harus dinormalisasikan lebih dahulu melalui
pemusatan dan pereduksian (Setyobudiandi et al. 2009). Dengan demikian
nilai-nilai analisis komponen utama tidak direalisasikan dari nilai-nilai
parameter inisial, tetapi dari indeks simetrik yang diperoleh dari kombinasi
linier nilai-nilai parameter inisial (Legendre & Legendre 1983).
Pemusatan adalah selisih antara nilai parameter dengan nilai rataan
parameter, dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan: C = nilai pusat
Pereduksian adalah hasil bagi antara nilai parameter yang telah
dipusatkan dengan nilai simpangan baku parameter tersebut.
26
Keterangan: R = nilai reduksi C = nilai pusat Sd = nilai simpangan baku karakteristik habitat
Langkah selanjutnya adalah menentukan hubungan antara dua
peubah. Pendekatan yang digunakan adalah matriks korelasi yang dihitung
dari indeks sintetik (Ludwig & Reynolds 1988), dengan rumus sebagai
berikut:
Keterangan:
= matriks korelasi r = matriks indeks sintetik a
ij
= matriks transpose Aij
Korelasi linier antara dua parameter yang dihitung dari indeks sintetik
adalah peragam dari kedua parameter tersebut yang telah dinormalisasikan.
sxn
Di antara semua indeks sintetik yang mungkin, analisis komponen
utama mencari terlebih dahulu mencari indeks yang menunjukkan ragam
yang maksimum dari lokasi penelitian. Indeks ini merupakan komponen
utama pertama yang merupakan sumbu utama 1 (F1). Suatu proporsi
tertentu dari ragam total lokasi penelitian dijelaskan oleh komponen utama
ini. Selanjutnya dicari komponen utama kedua (F2) yang memiliki korelasi
nihil dengan komponen utama pertama. Proses ini berlanjut terus hingga
memperoleh komponen utama ke-p, yang merupakan bagian informasi
yang paling kecil (Setyobudiandi et al. 2009).
Pada prinsipnya analisis komponen utama menggunakan jarak
Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan karakteristik fisika-kimia perairan
dan tekstur sedimen antar lokasi penelitian yang berkoresponden) pada
data. Jarak Euclidean didasarkan pada rumus sebagai berikut:
Keterangan:
j = indeks pada kolom (bervariasi dari 1 hingga p)
27
Semakin kecil jarak Euclidean antar 2 lokasi, maka semakin mirip
karakteristik fisika-kimia perairan antar kedua lokasi tersebut. Demikian
pula sebaliknya, semakin besar nilai Euclidean antar dua lokasi, maka
semakin berbeda karakteristik fisika-kimia perairan antar dua lokasi
tersebut (Legendre & Legendre 1983).
3.4.8 Pola Penyebaran dan Sebaran Spasial Gastropoda serta Asosiasinya dengan Karakteristik Habitat
Dalam menentukan pola penyebaran gastropoda pada tiap transek
pengamatan, dapat dianalisis dengan menggunakan indeks penyebaran
Morisita (Id) dengan rumus sebagai berikut (Brower et al. 1990) :
Keterangan: Id = Indeks Morisita n = Jumlah kuadrat pengambilan contoh N = Jumlah individu dalam n kuadrat xi
= Jumlah individu pada setiap kuadrat
Pola penyebaran gastropoda ditentukan berdasarkan kriteria dari
Indeks Morisita (Id) dengan penilaian sebagai berikut:
Id = 1, pola penyebaran acak Id < 1, pola penyebaran seragam/merata Id > 1, pola penyebaran mengelompok
Kebenaran nilai indeks Morisita (Id) dapat diuji menggunakan sebaran Chi-
kuadrat (x2
) (Brower et al. 1983) dengan persamaan:
Nilai Chi-kuadrat dari perhitungan di atas dibandingkan dengan nilai
Chi-kuadrat tabel, dengan selang kepercayaan 95% (α = 0,05). Jika nilai x2
hitung lebih kecil dari nilai x2
tabel maka tidak ada perbedaan vang nyata
dengan penyebaran acak.
28
3.4.9 Asosiasi Gastropoda dengan Lamun Berdasarkan Karakteristik Habitat
Asosiasi gastropoda dengan karakteristik habitat dapat dijelaskan
menggunakan analisis faktoriai korespondens (Correspondence Analysis,
CA) (Legendre & Legendre 1983). Analisis ini didasarkan pada matriks data I
baris (gastropoda) dan J kolom (lokasi pengamatan atau karakteristik habitat),
dimana ditemukan pada baris ke i dan kolom ke j kelimpahan organisme pada
lokasi pengamatan atau modalitas karakteristik habitat ke j untuk organisme ke
i. Matriks data ini merupakan tabel kontigensi organisme X lokasi pengamatan
atau spesies organisme modalitas karakteristik habitat tersebut.
Peranan i dan j dalam tabel kontigensi yaitu membandingkan unsur-
unsur I (untuk tiap J), sama dengan membandingkan hukum probabilitas
bersyarat. Pengukuran kemiripan antar 2 unsur yaitu unsur I1 dan unsur I2
Keterangan:
dari
I dilakukan melalui pengukuran jarak chi-kuadrat dengan rumus sebagai
berikut:
D2
x = jarak chi-kuadrat
iX
= jumlah baris i untuk semua kolom j
= jumlah kolom j untuk semua baris
Pengolahan data correspondence analysis (CA) untuk mengetahui sebaran
spasial gastropoda, menggunakan program XLSTAT versi 1.02. 2009.
29
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Wilayah pesisir Manokwari merupakan wilayah perairan semi tertutup,
yang terdiri atas teluk-teluk kecil, dan salah satunya adalah Teluk Doreri (Gambar
4). Wilayah pesisir perairan ini memiliki tiga ekosistem yang penting, yaitu
ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang, dengan
berbagai organisme yang berasosiasi. Di lain sisi penduduk Manokwari sangat
dominan menempati wilayah pesisir yang relatif landai sebagai pemukiman,
pasar, pusat perbelanjaan dan perekonomian serta hotel daripada wilayah daratan
yang memiliki lahan yang berbukit.
4.1.1 Rendani
Wilayah pesisir Rendani terdiri atas ekosistem mangrove, ekosistem lamun
dan ekosistem terumbu karang. Di lokasi ini juga terdapat sungai mati yang
ditumbuhi pohon mangrove. Tipe substrat dasar perairan pesisir Rendani
merupakan tipe carbonat, yang terdiri atas pasir dan pecahan karang.
Lokasi pengambilan contoh di Rendani relatif jauh dari pemukiman
penduduk karena masih berada dalam wilayah Bandar Udara Rendani. Di sekitar
titik pengambilan contoh ditumbuhi oleh pohon magrove dengan tegakan yang
tidak terlalu rapat dan hanya terdiri atas beberapa jenis mangrove. Padang lamun
yang ada di perairan ini tidak terlalu luas ke arah laut, namun memanjang secara
horizontal searah garis pantai. Sisi luar dari padang lamun berbatasan dengan
terumbu karang yang membentuk barrier, yang menjadikan daerah ini dangkal.
Gambar lokasi dapat dilihat pada Lampiran 1a.
4.1.2 Wosi
Profil lokasi pengambilan contoh di Wosi dicirikan oleh daerah yang
landai karena terletak di muara Sungai Wosi. Tipe substrat dasar perairan di lokasi
ini tergolong tipe terrigenous yang terdiri atas pasir dan lumpur. Selain itu di
lokasi ini juga terdapat Pasar Wosi dan pemukiman penduduk yang padat.
Masyarakat setempat juga memanfaatkan daerah pesisir pantai sebagai tempat
membuang sampah, karena terdapat tumpukan sampah dekat titik sampling.
30
Hamparan lamun yang ada di lokasi Wosi cukup luas dibandingkan ketiga
lokasi lainnya dan agak jauh dari bibir pantai. Saat air surut, dasar perairan yang
kering cukup luas karena dasar perairannya landai. Kondisi perairan di lokasi ini
selalu keruh karena pengaruh sedimen yang terbawa oleh aliran Sungai Wosi dan
terendap di wilayah ini. Gambar lokasi Wosi dapat dilihat dalam Lampiran 1b.
4.1.3 Briosi
Pesisir Perairan Briosi merupakan daerah yang cukup dekat dengan pasar
Sanggeng dan berhadapan dengan pemukiman penduduk dan pelabuhan kapal
penumpang maupun kapal barang. Lokasi pengambilan data terletak di mulut
Teluk Doreri. Kondisi perairan di lokasi ini tidak terlalu jernih karena ada
masukan sedimen yang berasal dari aliran sungai kecil yang ada di bagian dalam
teluk dan buangan dari pasar Sanggeng.
Tipe substrat yang ada di lokasi ini merupakan tipe carbonat yang terdiri
atas pasir dan pecahan karang. Padang lamun yang ada di lokasi ini tidak terlalu
luas, dan saat surut terendah, bagian lamun yang berada pada zona bagian bawah
intertidal akan terdedah karena kering. Sisi bagian luar ke arah laut dari padang
lamun berbatasan dengan terumbu karang. Gambar lokasi Briosi dapat dilihat
dalam Lampiran 1c.
4.1.4 Padarni
Pesisir Perairan Padarni merupakan lokasi yang cukup padat penduduk. Di
pesisir perairan ini masyarakat setempat banyak memelihara ternak babi dengan
kandang sistem gantung (berada di atas air). Kondisi perairan di lokasi tidak
terlalu jernih. Hal ini disebabkan oleh sedimen lumpur berpasir yang terdapat
pada zona bagian tengah intertidal. Hamparan lamun yang terdapat di lokasi ini
tidak terlalu luas dibandingkan dengan tiga lokasi lainnya, dengan vegetasi yang
berasosiasi dengan makroalga Halimeda sp dan Padina sp.
Tipe subatrat dasar perairan pada zona intertidal bagian bawah didominasi
oleh tipe substrat carbonat yang terdiri atas pasir bercampur dengan pecahan
karang, sedangkan pada zona bagian atas intertidal didominasi oleh substrat pasir.
Pada zona bagian tengah intertidal memiliki tipe substrat lumpur berpasir. Lebih
jelas gambaran lokasi Padarni ditunjukkan dalam Lampiran 1d.
31
4.2 Struktur Komunitas Lamun
4.2.1 Komposisi Spesies dan Pola Penyebaran Lamun
Vegetasi lamun yang ada di empat lokasi penelitian termasuk dalam
vegetasi campuran (mixed vegetation), yang terdiri atas lebih dari satu spesies
lamun. Komposisi lamun yang teridentifikasi pada keempat lokasi, terbagi dalam
dua famili yaitu Cymodoceaceae dan Hydrocharitaceae, yang terdiri atas 8
spesies, yaitu Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halodule pinifolia, H.
uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii, dan
Enhalus acoroides. Spesies E. acoroides. teridentifikasi di lokasi Rendani, Wosi
dan Padarni, tapi tidak ditemukan dalam kuadrat. Komposisi lamun yang
ditemukan memiliki kesamaan dengan komposisi lamun yang ditemukan Lefaan
(2008), kecuali H. pinifolia dan S. isoetifolium yang tidak ditemukan di Rendani.
Komposisi spesies lamun pada tiap lokasi penelitian ditunjukkan dalam Tabel 2.
Tipe vegetasi yang ditemukan pada keempat lokasi penelitian sangat
umum ditemukan di perairan tropis, termasuk di Indonesia (Kiswara 1994a in
Erina 2006). Umumnya komposisi spesies lamun yang terbentuk terdiri dari
empat sampai tujuh spesies, seperti Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halodule
uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii, dan
Enhalus acoroides. Biasanya padang lamun tersebut didominasi oleh E. acoroides
dan T. hemprichii (Nienhuis et al. 1989).
Tabel 2 Komposisi spesies lamun pada lokasi penelitian
Takson Lokasi Rendani Wosi Briosi Padarni
Cymodoceaceae Cymodocea rotundata + + + - Cymodocea serrulata + + + + Halodule pinifolia (-)* + + + Halodule uninervis + + + + Syringodium isoetifolium + - (-)* +
Hydrocharitaceae
Enhalus acoroides (+) (+) - (+) Halophila ovalis + + + + Thalassia hemprichii + - + +
Keterangan = Tanda - = Tidak ditemukan dalam kuadrat. + = Ditemukan dalam kuadrat. (+) = Ditemukan di luar kuadrat.
* = Ditemukan berdasarkan laporan Lefaan (2008)
32
Pola sebaran lamun pada tiap lokasi penelitian berdasarkan hasil
perhitungan indeks Morisita dan diuji menggunakan uji chi-kuadrat, dengan
selang kepercayaan 95%, membentuk dua pola sebaran yaitu mengelompok dan
seragam. Spesies C. rotundata dan T. hemprichii terlihat mengelompok di lokasi
Rendani dan Briosi, serta Padarni (untuk T. hemprichii). Pola sebaran
mengelompok yang ditunjukkan oleh kedua spesies ini disebabkan oleh jumlah
tegakan yang banyak (dominan). Pada lokasi Rendani dan Briosi tipe substrat
pasir yang bercampur pecahan karang serta berada pada rataan terumbu,
merupakan tipe substrat yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan kedua
jenis lamun tersebut. Di Padarni T. hemprichii ditemukan dominan pada zona
intertidal bagian bawah, dengan tipe substrat yang sama yaitu pasir bercampur
puing karang mati. Menurut Kiswara (1992), dalam penelitiannya di Pulau Pari
menemukan spesies C. rotundata tumbuh di dekat pantai yang terbuka dan jauh
dari genangan air saat surut, pada substrat pasir dan tumbuh bersama T.
hemprichii. Sebaran C. rotundata juga dapat ditemukan pada substrat pasir
berlumpur pada daerah yang terlindung seperti teluk, goba, muara sungai dan
terumbu karang, yang berasosiasi dengan H. ovalis, H. uninervis, H. pinifolia, S.
isoetifolium, C. serrulata, E. acoroides (Den Hartog 1970 in Kiswara 1992).
Penyataan ini juga sekaligus menjawab mengapa C. rotundata dapat tumbuh di
lokasi Wosi dengan substrat lumpur berpasir dan merupakan daerah muara sungai.
Spesies T. hemprichii merupakan spesies yang ditemukan dominan pada
substrat pasir bercampur puing karang mati. Hal ini terlihat pada lokasi Rendani,
Briosi dan Padarni, dimana T. hemprichii ditemukan berada pada zona intertidal
bagian bawah dan berada pada rataan terumbu dengan tipe substrat yang sama.
Pada tipe substrat demikian, T. hemprichii dapat tumbuh dominan dan berasosiasi
dengan H. ovalis, H. uninervis, dan C. serrulata (Kiswara 1992).
Pada lokasi Wosi spesies H. uninervis dan H. pinifolia terlihat
mengelompok dengan jumlah tegakan yang lebih dominan dibandingkan dengan
spesies lainnya yang memiliki pola sebaran seragam (Tabel 3). Kedua spesies ini
merupakan spesies pioneer yang mampu tumbuh dengan baik pada substrat yang
tidak stabil atau selalu teraduk. Hal ini berkaitan dengan kemampuan adaptasi
kedua spesies tersebut pada kondisi substrat atau lingkungan yang terganggu
(Phillips & Menez 1988).
33
Tabel 3 Pola sebaran lamun berdasarkan indeks Morisita (Id)
Lokasi Spesies Id X Pola sebaran 2
Rendani
C. rotundata 7.361 44149.791 Mengelompok C. serrulata 0.004 -6880.797 Seragam H. ovalis 0.028 -6716.115 Seragam H. uninervis 0.365 -4372.923 Seragam S. isoetifolium 0.010 -6837.084 Seragam T. hemprichii 3.119 14723.562 Mengelompok
Wosi
C. rotundata 0.382 -8372.683 Seragam C. serrulata 0.017 -13340.503 Seragam H. pinifolia 1.976 13305.143 Mengelompok H. uninervis 10.450 128567.494 Mengelompok H. ovalis 0.004 -13518.278 Seragam
Briosi
C. rotundata 12.752 72670.933 Mengelompok C. serrulata -0.004 -6179.651 Seragam H. ovalis 0.023 -6012.302 Seragam H. uninervis 0.087 -5614.397 Seragam H. pinifolia 0.072 -5709.609 Seragam T. hemprichii 2.005 6241.164 Mengelompok
Padarni
C. serrulata 0.000 -5112.091 Seragam H. ovalis -0.001 -5116.074 Seragam H. uninervis -0.002 -5120.854 Seragam H. pinifolia 4.015 15448.364 Mengelompok S. isoetifolium 2.623 8322.333 Mengelompok T. hemprichii 3.150 11018.789 Mengelompok
Keterangan: X2
4.2.2 Frekuensi, Kerapatan, Penutupan dan Nilai Penting Spesies Lamun
tabel = 42.557
Frekuensi kehadiran spesies lamun pada keempat lokasi memiliki kisaran
nilai yang berbeda. Hal ini berarti bahwa jika nilai frekuensi baik nilai frekuensi
mutlak maupun frekuensi relatif rendah, maka spesies tersebut tidak ditemukan
pada setiap kuadrat. Sebaliknya jika nilai frekuensi mutlak maupun frekuensi
relatif tinggi, maka spesies tersebut ditemukan pada hampir setiap kuadrat. Pada
Tabel 4, T. hemprichii menunjukkan nilai frekuensi yang tinggi, namun spesies ini
tidak ditemukan di lokasi Wosi. Spesies T. hemprichii menyukai perairan dengan
tipe substrat carbonat (yang terdiri atas pasir dan pecahan karang) dan dapat
tumbuh dominan, seperti tipe substrat yang terdapat pada lokasi Rendani, Briosi
dan Padarni. Pada lokasi Wosi yang memiliki tipe substrat terrigenous (yang
terdiri atas lumpur dan pasir), tidak cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan
T. hemprichii, sehingga tidak ditemukan spesies ini di lokasi Wosi.
34
Tabel 4 Frekuensi dan frekuensi relatif tiap spesies lamun pada lokasi penelitian
Spesies Lamun
Lokasi Rendani Wosi Briosi Padarni
Fi Fri Fi FRi Fi FRi Fi FRi
C. rotundata 0.700 31.343 0.367 18.966 0.733 32.353 - - C. serrulata 0.133 5.970 0.200 10.345 0.033 1.471 0.067 4.255 H. pinifolia - - 0.467 24.138 0.300 13.235 0.233 14.894 H. uninervis 0.367 16.418 0.733 37.931 0.333 14.706 0.033 2.128
H. ovalis 0.233 10.448 0.167 8.621 0.200 8.824 0.100 6.383 S. isoetifolium 0.067 2.985 - - - - 0.300 19.149
T. hemprichii 0.733 32.836 - - 0.667 29.412 0.833 53.191 Total 2.233 100 1.933 100 2.267 100 1.567 100
Keterangan: Fi FR
= Frekuensi spesies ke-i i
= Frekuensi relatif spesies ke-i
Spesies H. ovalis, C. serrulata, H. uninervis yang ditemukan pada keempat
lokasi penelitian, namun nilai frekuensinya rendah. Hal ini diduga karena ketiga
spesies tersebut memiliki kemampuan untuk beradaptasi pada kondisi lingkungan
yang berbeda, namun tidak dapat tumbuh dominan. Kemampuan adaptasi lamun
terhadap kondisi lingkungan sangat berbeda antara satu spesies dengan spesies
lainnya (Keough & Jenkins 1995). Berdasarkan pada kemampuan tersebut maka
lamun dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu spesies climax dan spesies
pioneer. Spesies climax merupakan spesies dengan morfologi tubuh yang besar,
pertumbuhan lambat dan berumur panjang, contohnya spesies E. acoroides dan
T. hemprichii (Short et al. 2001). Spesies pioneer memiliki bentuk tubuh yang
relatif lebih kecil, pertumbuhan cepat dan berumur pendek, contohnya spesies H.
ovalis, H. uninervis, H. pinifolia.
Frekuensi kehadiran spesies lamun pada lokasi Rendani, Wosi dan Briosi
yang ditunjukkan pada Tabel 4, memiliki nilai frekuensi spesies yang tidak
berbeda jauh dengan hasil perhitungan frekuensi spesies lamun yang dilakukan
oleh Lefaan (2008) pada lokasi yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak
terjadi penurunan frekuensi tiap spesies lamun yang ditemukan. Satu hal yang
berbeda adalah spesies C. serrulata ditemukan pada semua lokasi penelitian,
sedangkan Lefaan (2008) hanya menemukan C. serrulata di lokasi Rendani
dengan frekuensi kehadiran yang sangat rendah (0.030).
35
Kehadiran lamun di suatu lokasi sangat berkaitan dengan ruang dan tipe
substrat dasar (Hemminga & Duarte 2000). Jika tipe substrat cocok untuk
pertumbuhan lamun, maka populasi lamun dapat berkembang dengan baik.
Kebanyakan spesies lamun sangat cocok dengan tipe substrat berpasir sampai
berlumpur, namun ada beberapa spesies yang mampu tumbuh di atas karang
seperti Phyllospadix spp, Thalassodendron spp dan Posidonia oceanica (Den
Hartog 1970 in Hemminga & Duarte 2000). Spesies-spesies ini mampu tumbuh di
atas karang karena memiliki akar yang dapat menembus masuk ke lapisan dalam
karang. Spesies T. hemprichii yang teramati di lokasi penelitian, juga ditemukan
tumbuh pada rataan terumbu yang terdiri atas pasir dan patahan karang, yang
berbatasan dengan terumbu karang. Menurut Short et al. (2001), T. hemprichii
seringkali berasosiasi dengan terumbu karang dan umumnya pada rataan terumbu
karang yang dapat membentuk hamparan yang padat. Spesies ini juga dapat
ditemukan membentuk koloni pada substrat berlumpur, pada zona yang dangkal
dalam kolom air saat surut.
Kerapatan spesies lamun yang ada di lokasi penelitian memiliki kisaran
nilai yang bervariasi, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5. Kerapatan spesies
tertinggi terdapat di lokasi Wosi, yaitu spesies H. uninervis (1070.533 tegakan/m2)
selanjutnya H. pinifolia (465.733 tegakan/m2
Nilai kerapatan dari C. rotundata paling tinggi terdapat di lokasi Briosi
yaitu 537.467 tegakan/m
). Nilai kerapatan spesies yang tinggi
pada lokasi Wosi sangat berkaitan dengan tekstur substrat yang cocok bagi
pertumbuhan dan penyebaran dari kedua spesies ini, yaitu tekstur substrat pasir
berlumpur (Tabel 5). Selain itu kedua spesies ini merupakan spesies pioneer yang
memiliki kemampuan beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang selalu
terganggu (Phillips & Menez 1988).
2, selanjutnya pada lokasi Rendani 458.267 tegakan/m2,
dan yang terendah ditemukan pada lokasi Wosi 204.533 tegakan/m2. Kerapatan
spesies C. rotundata umumnya ditemukan dominan pada lokasi dengan tipe
substrat carbonat yang terdiri atas pasir dan pecahan karang. Namun spesies ini
juga mampu hidup pada tipe substrat terigenous atau tipe substrat berlumpur
tetapi tidak membentuk hamparan dengan kerapatan yang tinggi (Kiswara, 1992),
seperti ditunjukkan dalam Tabel 5.
36
Tabel 5 Kerapatan dan kerapatan relatif tiap spesies lamun pada lokasi penelitian
Spesies Lamun
Lokasi Rendani Wosi Briosi Padarni
Ki Kri Ki KRi Ki KRi Ki KRi C. rotundata 458.267 56.123 204.533 11.1556 537.467 62.073 - - C. serrulata 14.133 1.731 46.000 2.5089 2.933 0.339 5.200 0.761 H. pinifolia - - 465.733 25.4018 41.600 4.804 249.867 36.587 H. uninervis 102.667 12.573 1070.533 58.3885 45.600 5.266 0.667 0.098 H. ovalis 30.133 3.690 46.667 2.5453 24.933 2.880 3.867 0.566 S. isoetifolium 20.267 2.482 - - - - 202.000 29.578 T. hemprichii 191.067 23.400 - - 213.333 24.638 221.333 32.409
Total 816.533 100 1833.467 100 865.867 100 682.933 100
Keterangan: Ki KR
= Kerapatan spesies ke-i i
= Kerapatan relatif spesies ke-i
Penilaian terhadap tutupan spesies lamun bertujuan untuk mengetahui
berapa besar spesies lamun menempati ruang yang tersedia dalam hamparan
lamun. Diharapkan nilai penutupan tiap jenis yang diperoleh dapat memberikan
gambaran tentang berapa luasan yang ditutupi oleh tiap spesies lamun dalam tiap
kuadrat (English et al. 1997). Nilai penutupan masing-masing spesies lamun
sangat berkaitan dengan ukuran morfologi dan jumlah tegakan masing-masing
spesies tersebut. Tabel 6 Penutupan spesies dan penutupan relatif tiap spesies lamun pada lokasi
penelitian
Spesies Lamun
Rendani Wosi Briosi Padarni Pi PRi Pi PRi Pi PRi Pi PRi
C. rotundata 11.882 0.260 8.049 0.239 22.735 0.483 C. serrulata 2.569 0.056 5.270 0.156 0.368 0.008 1.790 0.062
H. pinifolia - - 6.410 0.190 1.667 0.035 6.162 0.214 H. uninervis 2.948 0.065 12.837 0.380 1.773 0.038 0.274 0.010 H. ovalis 3.859 0.085 1.179 0.035 1.545 0.033 0.434 0.015 S. isoetifolium 3.527 0.077 - -
8.516 0.296
T. hemprichii 20.853 0.457
19.023 0.404 11.618 0.403 Total 45.638 1 33.744 1 47.111 1 28.794 1
Keterangan : Pi ```` PR
= Penutupan spesies lamun (%) i = Penutupan relatif spesies lamun
37
Hasil perhitungan penutupan lamun yang ditunjukkan pada Tabel 6,
terlihat bahwa T. hemprichii dan C. rotundata memiliki nilai tutupan yang relatif
lebih tinggi pada hampir seluruh lokasi penelitian. Kecuali pada lokasi Wosi,
spesies H. uninervis memiliki nilai tutupan yang lebih tinggi yang diikuti oleh H.
pinifolia. Tutupan lamun yang tinggi dari T. hemprichii dan C. rotundata.
disebabkan karena kedua spesies ini memiliki morfologi yang lebih besar
dibandingkan dengan spesies yang lain. Apabila nilai total pentupan pada tiap
lokasi disesuaikan dengan kriteria status padang lamun berdasarkan KEPMEN
Lingkungan Hidup nomor 200 tahun 2004, lokasi Wosi, Rendani dan Briosi
tergolong padang lamun yang kurang kaya atau kurang sehat, dan lokasi Padarni
tergolong padang lamun yang miskin.
Dalam pengamatan lamun, perlu juga mengetahui seberapa penting spesies
lamun tertentu terhadap komunitas lamun, yang dapat diketahui berdasarkan
indeks nilai penting (INP) tiap spesies lamun. Semakin besar INP suatu spesies
berarti semakin besar pula peranan spesies tersebut dalam komunitasnya.
Berdasarkan hasil perhitungan INP yang ditunjukkan pada Tabel 8, secara
keseluruhn C. rotundata dan T. hemprichii memiliki nilai INP yang relatif tinggi
di semua lokasi, kecuali pada lokasi Wosi. Nilai INP yang rendah dari C.
rotundata dan tidak ditemukannya T. hemprichii di Wosi berkaitan dengan tekstur
sedimen dan tingginya sedimentasi yang terjadi di lokasi tersebut. Menurut
Kiswara (1992) kedua spesies ini sangat dominan pada lokasi dengan tekstur
sedimen pasir yang bercampur dengan pecahan karang, atau pada daerah rataan
terumbu karang, Spesies C. rotundata yang ditemukan di pulau Pari, sangat
dominan terdapat pada substrat pasir, dan pada lokasi berlumpur tidak ditemukan.
C. rotundata juga dilaporkan berasosiasi dengan T. hemprichii dan membentuk
hamparan yang dominan.
Spesies H. uninervis yang memiliki nilai penting paling tinggi
dibandingkan spesies lainnya dan diikuti H. pinifolia pada lokasi Wosi,
menunjukkan bahwa kedua spesies ini sangat cocok hidup pada daerah dengan
tipe sedimen lumpur berpasir (liat). kedua spesies ini tergolong spesies pioneer
yang mampu mentolerir kondisi lingkungan yang selalu terganggu seperti
tingginya sedimentasi, yang ditunjukkan oleh nilai kekeruhan yang tinggi serta
38
suhu yang tinggi ketika terkspose saat air surut (Tabel 7). Kondisi tekstur substrat
yang sama juga ditemukan di zona bagian tengah intertidal pada lokasi Padarni,
sehingga nilai penting spesies H. pinifolia cukup tinggi di lokasi ini.
Gambar 5 Indeks nilai penting (INP) tiap spesies lamun pada lokasi penelitian.
4.3 Karakteristik Fisika-Kimia Air dan Tekstur Substrat
Pertumbuhan, kelimpahan, bentuk morfologi dan kemampuan reproduksi
lamun sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dalam lingkungannya
(Short et al. 2001). Sumber nutrien yang terdapat dalam ruang antara butiran
sedimen dan yang larut dalam kolom air merupakan penyokong utama bagi
peningkatan produksi primer lamun. Namun jika suatu perairan memiliki
kandungan unsur nutrien yang melimpah, dapat memberikan pengaruh pada
bloom mikroalga sehingga dapat mengurangi penetrasi cahaya sampai ke lamun.
Dampak yang akan terjadi pada lamun adalah pertumbuhan terhambat,
penyebaran sangat dibatasi oleh kedalaman air dan ketidakmampuan untuk
bertahan hidup (Short et al. 2001; Bach et al. 1998).
87,727
7,75729,056
14,223
5,924
56,313
Rendani
C. rotundataC. serrulataH. uninervisH. ovalisS. isoetifoliumT. hemprichii
94,908
1,81718,075
20,010
11,736
29,412
25,042
Briosi
C. rotundataC. serrulataH. pinifoliaH. uninervisH. ovalisS. isoetifolimT. hemprichii
30,36013,010
49,73096,700
11,166
Wosi
C. rotundataC. serrulataH. pinifoliaH. uninervisH. ovalis
5,07951,695
2,235
6,964
49,023
86,004
Padarni
C. rotundataC. serrulataH. pinifoliaH. uninervisH. ovalisS. isoetifolimT. hemprichii
39
Tabel 7 Nilai rata-rata dan standar deviasi parameter fisika-kimia air pada keempat lokasi penelitian
Keterangan: STDV = Standar deviasi
Parameter Kualitas Air Rendani Wosi Briosi Padarni Rata-Rata STDV Rata-Rata STDV Rata-Rata STDV Rata-Rata STDV
Fisika
suhu (o 31.10 C) 0.30 30.47 1.38 31.80 0.00 33.53 0.32 Kekeruhan (NTU) 4.67 0.02 5.97 0.39 4.25 0.12 3.59 0.49 Kecep Arus (m/s) 0.10 0.00 0.10 0.00 0.10 0.00 0.10 0.00
Kimia
pH air 7.81 0.07 7.83 0.13 7.91 0.00 7.94 0.01 Oksigen Terlarut (mg/l) 7.26 0.06 7.02 0.36 5.67 0.42 5.35 0.14 Salinitas (‰) 29.33 1.15 29.33 1.53 35.00 0.00 35.00 0.00 Nitrat (NO3 0.63 ) (mg/l) 0.06 0.50 0.10 0.27 0.06 0.13 0.06 Ammonia(NH3 0.45 -N) (mg/l) 0.02 0.66 0.01 0.46 0.05 1.06 0.03 Phosphat (PO4 0.26 ) (mg/l) 0.04 0.64 0.05 0.28 0.01 0.28 0.04 BOD5 12.35 (mg/l) 0.53 11.39 0.52 9.39 0.39 6.17 0.41 TOM (mgKMnO4 14.57 /l) 0.25 12.77 0.40 13.53 0.28 15.57 0.25
40
4.3.1 Suhu
Kisaran suhu air permukaan selama pengambilan sampel tergolong tinggi
dan berada di atas kisaran suhu optimum yang dibutuhkan oleh lamun, yaitu 28–
30oC (Dahuri 2003; KEPMEN Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004). Suhu
rata-rata air permukaan yang terukur berkisar antara 30.47–33.53 o
Berdasarkan nilai rata-rata suhu air permukaan dalam Tabel 7,
menunjukkan bahwa fluktuasi suhu berada dalam kondisi normal tidak dalam
kisaran suhu yang lebar. Hal ini berarti fluktuasi suhu yang ada tidak
menimbulkan pengaruh yang besar terhadap proses pertumbuhan lamun maupun
proses reproduksi gastropoda. Menurut Berwick (1983), kisaran optimum bagi
fotosintesis lamun berkisar antara 25-35
C (Tabel 7).
Suhu air permukaan yang rendah terdapat di Wosi dan yang tinggi terdapat di
Padarni. Kisaran suhu air permukaan yang tinggi ini disebabkan karena panas
yang berasal dari cahaya matahari yang menerpa permukaan perairan saat
pengukuran (terutama pada lokasi Briosi dan Padarni), mengingat pengambilan
data dilakukan pada jam 11.00-15.30 WIT. Selain itu pengukuran dilakukan pada
kedalaman air berkisar 0.50-1.00 m, sehingga pada kondisi demikian maka suhu
permukaan air berada pada level yang tinggi.
0
C pada saat cahaya matahari penuh,
sehingga kisaran suhu di Perairan Pesisir Manokwari berada dalam kisaran suhu
yang optimum bagi proses fotosintesis dan pertumbuhan lamun. Bagi gastropoda,
bentuk adaptasi untuk menghindari peningkatan suhu yang ekstrim adalah dengan
membenamkan diri ke dalam substrat, atau berlindung di bawah rebahan daun
lamun (Nybakken 1997).
4.3.2 Salinitas
Penyebaran lamun dan gastropoda di perairan intertidal sangat dipengaruhi
oleh sebaran salinitas. Daerah intertidal memiliki kisaran salinitas yang cepat
berubah, yang dipengaruhi oleh aliran air tawar yang berasal dari sungai maupun
air hujan. Kondisi ini membuat lamun maupun gastropoda harus mampu
beradaptasi dengan menyeimbangkan tekanan osmotik dalam tubuh dengan
tekanan osmotik lingkungannya (Nybakken 1997).
Pada keempat lokasi penelitian, salinitas berkisar antara 29.3-35‰
(Lampiran 3), kisaran terendah terdapat di Rendani dan Wosi sedangkan tertinggi
41
terdapat di Briosi dan Padarni. Salinitas yang rendah di Rendani disebabkan
adanya hujan saat pengambilan data, sedangkan salinitas yang rendah di Wosi
disebabkan adanya masukan air tawar yang berasal dari Sungai Wosi dekat lokasi
pengambilan data serta turun hujan saat pengambilan data. Sebaliknya salinitas
yang tinggi di Briosi dan Padarni disebabkan oleh teriknya cahaya matahari yang
menerpa permukaan air saat pengambilan data dilakukan dan kurangnya curah
hujan, serta kedua lokasi ini jauh dari aliran sungai.
Kisaran salinitas pada seluruh lokasi pengambilan data masih tergolong
dalam kisaran optimum bagi pertumbuhan lamun dan gastropoda. Dahuri (2003)
mengemukakan bahwa spesies lamun memiliki kemampuan mentolerir salinitas
yang berbeda-beda, namun sebagian besar memiliki kemampuan mentolerir
kisaran salinitas yang lebar yaitu antara 10-40 ‰.
4.3.3 Kecepatan Arus
Kecepatan arus memiliki peran yang sangat penting bagi biota yang
menghuni daerah intertidal. Dahuri (2003) mengemukakan bahwa produktivitas
padang lamun sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus perairan, yang berkaitan
dengan kecepatan pengendapan bahan-bahan tersuspensi (Oleson 1996) dan
ukuran butiran sedimen (Morrisey 1995). Nilai kecepatan arus pada lokasi
penelitian menunjukkan nilai yang sama, yaitu 0.10 m/det (Tabel 7), yang
tergolong dalam kategori arus sangat lambat. Kecepatan arus ini tidak jauh
berbeda dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Lefaan (2008) yang
berkisar antara 0.10-0.50 m/det pada lokasi yang sama.
Kecepatan arus sangat dipengaruhi oleh kecepatan angin yang dapat
menggerakkan permukaan air. Saat pengambilan data angin yang berhembus tidak
kencang sehingga menyebabkan kondisi permukaan air diam (stagnant). Selain
itu, arus yang lambat ini umumnya mencirikan arus yang terdapat dalam teluk,
karena keempat lokasi penelitian ini masih berada dalam teluk Manokwari yang
merupakan teluk semi tertutup (semi-enclosed coastal seas). Pada perairan yang
dangkal dan terdapat hamparan lamun, memiliki pengaruh dalam memperlambat
gerak arus. Menurut Ackerman (1983); Madsen & Warnke (1983); Carter et al.
(1988); Gambi et al. (1990); Rybicki et al. (1997) in Koch (2001), kecepatan arus
dalam hamparan lamun dapat berkurang 2 sampai 10 kali dibandingkan dengan
42
daerah yang tidak tertutupi lamun, karena lamun terbukti berperan dalam
memperlambat kecepatan arus.
4.3.4 Kekeruhan
Kekeruhan (turbidity) merupakan gambaran sifat optik dari suatu perairan
yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya) yang dipancarkan dan
diserap oleh partikel-partikel yang ada dalam kolom air (APHA 1989). Padatan
terlarut dan tersuspensi dalam kolom air mempengaruhi tingkat kekeruhan suatu
perairan. Sumber padatan terlarut yang ada di ekosistem lamun berasal dari
serasah lamun yang terurai, plankton dan organisme mikroskopis lainnya, maupun
dari lumpur, pasir dan material anorganik yang terbawa aliran sungai. Bagi lamun
tingkat kekeruhan sangat berpengaruh terhadap proses fotosintesis, dimana
kekeruhan yang tinggi akan meningkatkan kelimpahan plankton dan epifit, dan
menghalangi penetrasi cahaya matahari sampai ke lamun (Sand-Jansen & Borum
1991 in Oleson 1996). Kekeruhan sangat berpengaruh pula terhadap distribusi
lamun secara vertikal (berdasarkan kedalaman), berkaitan dengan rata-rata
intensitas cahaya yang dimanfaatkan oleh lamun untuk berfotosintesis (Duarte
1991).
Hasil pengukuran kekeruhan menunjukkan nilai rata-rata kekeruhan
berkisar antara 3.59-5.97 NTU (Tabel 7). Tingkat kekeruhan paling rendah
terdapat di Rendani dan paling tinggi terdapat di Wosi. Tingkat kekeruhan sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti masukkan material tersuspensi yang
berasal dari sungai ke perairan pesisir (merupakan penyebab kekeruhan terbesar
seperti di Wosi), dan kecepatan angin yang bertiup untuk meningkatkan kekuatan
velocity arus di perairan dangkal yang berada di bawah level kritis yang
mengangkat sedimen dari dasar perairan berlumpur (Oleson 1996). Tingkat
kekeruhan pun akan meningkat saat musim hujan dan berkurang pada musim
kemarau (Nakaoka et al. 2003).
4.3.5 Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH sangat ditentukan oleh konsentrasi ion H+ dalam kolom air. pH
air sangat berperan dalam mempengaruhi aktivitas biokimia dan perubahan dalam
sifat kimia alami perairan. Hasil pengukuran pH menunjukkan variasi nilai rata-
43
rata pH berada pada kisaran nilai pH yang tidak terlalu berbeda yaitu 7.81-7.94
(Tabel 7). Kisaran nilai pH ini tidak terlalu berbeda antara satu lokasi dengan
lokasi lainnya.
Mengacu pada nilai pH baku mutu air KEPMEN Lingkungan Hidup No.
51 Tahun 2004 (Lampiran 2), kisaran nilai pH pada lokasi penelitian masih
berada pada kisaran nilai yang optimal bagi perkembangan lamun maupun
kehidupan gastropoda. Pescod 1973, menyatakan bahwa toleransi organisme
perairan terhadap pH air bervariasi tergantung pada banyaknya faktor lain yang
mempengaruhi yaitu suhu, kadar oksigen terlarut,alkalinitas dan siklus dari
organism tersebut. Selain itu, sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap
perubahan pH dan menyukai nilai pH pada kisaran 7-8.5. Nilai pH ini sangat
berkaitan dengan proses biokimiawi perairan misalnya proses nitrifikasi, yang
akan terhenti jika nilai pH rendah. Bagi gastropoda, bivalvia dan hewan karang
serta organisme lain yang memiliki cangkang atau tubuhnya terdiri atas calcium
carbonat (CaCO3
), penurunan pH membuat kondisi perairan menjadi sangat asam
(acidification), sehingga dapat mengakibatkan hancurnya cangkang.
4.3.6 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut (DO) berperan sangat penting bagi kehidupan biota di
perairan. Sumber oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari hasil fotosintesis
tumbuhan maupun tumbuhan air, difusi dari udara (proses aerasi) dan oksidasi
limbah (APHA 1989).
Nilai kandungan rata-rata oksugen terlarut berdasarkan hasil pengukuran
berkisar antara 5.35-7.26 mg/l (Tabel 7). Kisaran nilai oksigen terlarut ini sesuai
dengan nilai oksigen terlarut baku mutu air untuk biota (KEPMEN Lingkungan
Hidup No. 51 Tahun 2004, pada Lampiran 2) yaitu >5 mg/l. Nilai rata-rata
oksigen terlarut paling tinggi terdapat di Rendani (7.26 mg/l) dan terendah di
Padarni (5.35 mg/l). Penyebab rendahnya nilai oksigen terlarut di Perairan Pesisir
Padarni disebabkan oleh suhu air permukaan dan kadar salinitas yang tinggi. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Chester (1990) bahwa semakin tinggi suhu
permukaan air laut dan salinitas maka semakin rendah kelarutan oksigen di
perairan. Peningkatan suhu sebesar 1oC akan meningkatkan konsumsi oksigen
sekitar 10% (Brown 1987). Selain itu dekomposisi bahan organik yang dilakukan
44
oleh bakteri dan oksidasi bahan anorganik juga dapat mengurangi kadar oksigen
terlarut hingga mencapai titik nol (anaerob). Faktor lain yang dapat menyebabkan
rendahnya nilai oksigen terlarut adalah adanya respirasi oleh tumbuhan maupun
hewan akuatik dan oksidasi yang dilakukan oleh mikroba untuk mengoksidasi
bahan organik seperti serasah lamun (Nakaoka 2005).
4.3.7 Ammonia, Nitrat dan Fosfat
Hasil pengukuran terhadap unsur ammonia (NH3-N), nitrat (NO3-N) dan
fosfat (PO4-
Di perairan laut, unsur ammonia (NH
P) dalam air pada lokasi penelitian memiliki nilai rata-rata yaitu nitrat
0.13-0.63 mg/l, fosfat 0.26-0.64 mg/l dan ammonia 0.45-1.06 mg/l (Tabel 7).
Kisaran nilai nitrat, fosfat dan ammonia secara keseluruhan pada keempat lokasi
penelitian berada di atas baku mutu air untuk biota berdasarkan KEPMEN
Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 (Lampiran 2).
3-N) merupakan senyawa inorganik
esensial terlarut yang berperan dalam fungsi metabolik biota laut, terutama untuk
kehidupan dan pertumbuhan fitoplankton yang berperan dalam produkktivitas
primer di perairan laut. Kandungan ammonia yang tinggi pada lokasi Padarni
diduga karena masukan bahan pencemar organik yang berasal dari limbah
domestik dan banyak babi yang dipelihara dengan kandang sistem gantung dan
faktor lingkungan seperti suhu, salinitas dan pH air. Menurut Sanusi (2006),
peningkatan suhu, salinitas dan pH air akan meningkatkan persentase ammonia
yang tidak mengalami ionisasi (unionized ammonium) membentuk NH4+ dan OH-.
Nitrat (NO
Ammonia yang tinggi di Wosi, diduga terjadi karena masukan bahan pencemar
yang bersumber dari limbah domestik dan limbah pasar yang masuk ke perairan
pesisir melalui aliran Sungai Wosi.
3-N) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan
merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan lamun dan alga. Senyawa nitrat
dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Sanusi
2006). Kadar nitrat yang tinggi di Rendani dan Wosi diduga disebabkan oleh
kondisi lingkungan. Seperti di Rendani, saat air surut terjadi pencucuian (flushing)
bahan-bahan organik yang berada di ekosistem mangrove ke hamparan lamun
karena terbawa air dan diendapkan. Kondisi demikian diduga sebagai penyebab
45
tingginya nitrat. Di Wosi sumber nitrat berasal dari buangan antropogenik dari
aktivitas manusia dan tinja hewan yang dipelihara di sepanjang sungai Wosi.
Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan
(Riley & Chester 1971). Kandungan fosfat di perairan alami biasanya relatif
sedikit, dengan kadar yang lebih sedikit dari kadar nitrogen karena sumber fosfat
lebih sedikit dibandingkan sumber nitrogen di perairan. Sumber fosfat di perairan
alami adalah pelapukan batuan mineral di daratan dan dekomposisi bahan
organik, sedangkan sumber fosfat yang berasal dari antropogenik adalah limbah
industri dan limbah domestik (rumah tangga). Nilai fosfat yang tinggi di lokasi
Wosi diduga berasal dari limbah antropogenik rumah tangga dan pasar, serta
tempat pemotongan hewan yang limbahnya masuk ke sungai. Pada lokasi Briosi
dan Padarni di duga berasal dari limbah antropogenik, sedangkan pada lokasi
Rendani yang masih relatif alami, nilai fosfat yang tinggi diduga berasal dari
batuan mineral karena dasar perairannya terdiri atas tipe carbonat.
Nilai yang tinggi dari ammonia, nitrat dan fosfat di perairan dapat
menyebabkan ledakan pertumbuhan epifit (Keough & Jenkins 1995; Sand-Jensen
& Borum 1991, Duarte 1995 in Bach et al. 1998), yang pada akhirnya akan
berdampak pada kecepatan pertumbuhan lamun serta menurunnya penetrasi dan
pemencaran cahaya dalam kolom air (Kirk 1983, Onuf 1994 in Bach et al. 1998).
4.3.8 Biochemical Oxygen Demand (BOD5
Biochemical oxygen demand 5 (BOD
)
5) adalah ukuran banyaknya oksigen
terlarut yang digunakan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan
organik secara kimiawi dalam waktu 5 hari (APHA 1989). Nilai BOD5
Nilai rata-rata BOD
merupakan petunjuk menurunnya kadar oksigen terlarut yang disebabkan oleh
banyaknya limbah bahan organik yang masuk ke perairan dan mudah terurai.
5 yang terukur pada lokasi penelitian adalah 6.17-12.35
mg/l (Tabel 7). Nilai ini masih berada di bawah nilai baku mutu air untuk biota
dalam KEPMEN Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, yaitu 20 mg/l.
Rendahnya nilai BOD5 di lokasi penelitian diduga disebabkan oleh rendahnya
konsumsi oksigen oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi.
Hutagalung et al. (1997), mengemukakan bahwa banyaknya oksigen terlarut
46
yang dibutuhkan oleh mikroorganisme sangat tergantung pada jumlah dan
jenis bahan organik yang masuk ke perairan. Hal ini disebabkan karena bahan-
bahan organik yang dikonsumsi oleh mikroorganisme selama lima (5) hari
masa inkubasi merupakan bahan-bahan organik yang mudah terurai,
sedangkan bahan-bahan organik yang tidak mudah terurai memerlukan waktu
penguraian yang lebih lama.
4.3.9 Total Organic Matter (TOM)
Berdasarkan hasil pengukuran TOM pada Tabel 7, menunjukkan nilai rata-
rata paling tinggi terdapat di Padarni (15.57 mg/l) dan terendah di Wosi (12.77
mg/l). TOM dalam perairan laut sangat kompleks dan umumnya mudah terurai
(bersifat stabil) dan dimanfaatkan secara biologis (Chester 1990). Kelompok
organik terlarut ini penting secara biokimia terutama sangat penting sebagai
energi bagi mikroorganisme dan regenerasi nutrien.
Berdasarkan hasil pengukuran dan analisis parameter fisika-kimia air pada
keempat lokasi penelitian, menunjukkan bahwa Perairan Pesisir Manokwari masih
tergolong baik untuk kehidupan lamun maupun gastropoda. Kondisi ini perlu
dipertahankan agar keberadaan lamun dan gastropoda serta organisme lain yang
berasosiasi dalam habitat lamun tetap ada dan lestari (sustainable).
4.3.10 Karakteristik Substrat Dasar
Hasil analisis tekstur substrat menggunakan ayakan bertingkat, dengan
mesh size ayakan terdiri atas bukaan 2 mm, 1 mm, 0.5 mm, 0.25 mm, 0.125 mm,
0.063 mm, dan 0.038 mm, menunjukkan persentase dan kriteria substrat pada tiap
lokasi pengamatan (Tabel 8). Data tersebut menunjukkan bahwa fraksi pasir
sampai fraksi lumpur merupakan tipe substrat yang lebih dominan pada keempat
lokasi penelitian.
Tekstur substrat sangat berkaitan dengan sebaran spesies lamun maupun
gastropoda (Kiswara 1992; Puturuhu 2004). Menurut Pearson et al. (1977),
tekstur substrat merupakan perbandingan antara pasir, lumpur (liat) dan debu.
Selain itu tekstur substrat sangat menentukan kadar kandungan bahan organik
dalam sedimen, sehingga secara tidak langsung tekstur substrat sangat
menentukan komposisi, kelimpahan dan keanekaragaman gastropoda. Berkaitan
47
dengan tipe memakan, gastropoda yang bersifat pemakan deposit (detritivore),
menyukai tipe substrat pasir berlumpur karena kaya akan kandungan bahan
organik (Barnes 1987).
Tekstur substrat dasar juga sangat berkaitan dengan kandungan oksigen
dan ketersediaan nutrien dalam substrat. Jenis substrat berpasir, memiliki
kandungan oksigen relatif tinggi daripada jenis substrat yang lebih halus (lumpur,
maupun lempung atau debu). Pada substrat berpasir, terdapat rongga di antara
butiran yang memungkinkan terjadinya percampuran dengan air di atasnya,
namun sebaliknya kandungan nutrien tidak banyak. Pada substrat bertekstur
lumpur tidak memiliki rongga dan memiliki hambatan permukaan yang besar
sehingga mampu menahan air dan menyediakan unsur hara, tetapi kandungan
oksigen rendah (Hardjowigeno 1987 in Rangan 1996).
Tabel 8 Nilai persentase tekstur substrat pada lokasi pengamatan
Fraksi Butiran
Pasir Lumpur (Liat) Debu Tekstur Substrat 0.25 - 2
(mm) 0.063 - 0.125
(mm) < 0.038 - 0.038
(mm) Lokasi
Rendani 59.04 40.54 0.43 Pasir berlumpur Wosi 37.86 59.61 2.54 Lumpur berpasir Briosi 50.03 48.55 1.42 Pasir berlumpur Padarni 48.76 50.66 0.58 Lumpur berpasir
4.4 Struktur Komunitas Gastropoda
4.4.1 Komposisi Spesies dan Sebaran Gastropoda
Komposisi spesies gastropoda yang ditemukan pada keempat lokasi
penelitian terdiri atas 93 famili, 170 genera dan 229 spesies. Jumlah total individu
yang ditemukan pada keempat lokasi sebanyak 1.166 individu. Spesies gastropoda
sangat beragam, dengan jumlah spesies paling banyak ditemukan di Briosi (104
spesies) dan paling sedikit ditemukan di Wosi (66 spesies). Jumlah spesies yang
banyak di Briosi tidak menunjukkan jumlah individu yang banyak pula, karena
jumlah individu paling banyak ditemukan di Padarni (363 individu) dan jumlah
individu paling sedikit ditemukan di Wosi (206 individu). Jumlah spesies dan
jumlah individu pada masing-masing lokasi ditunjukkan pada Gambar 6.
48
Gambar 6 Komposisi spesies (sp) dan jumlah individu (ind) pada masing-masing lokasi penelitian.
Komposisi spesies gastropoda sangat dipengaruhi oleh kondisi fisika-
kimia perairan pada habitat lamun, seperti suhu, salinitas, tingkat kekeruhan,
kandungan oksigen terlarut, pergerakan arus dan tekstur substrat (Keough &
Jenskins 1995). Kondisi fisika lingkungan habitat lamun lebih berpengaruh
terhadap kelimpahan epifauna (gastropoda) dibandingkan pengaruh spesies lamun
dimana organisme tersebut ditemukan. Sehingga gastropoda yang berasosiasi
dengan spesies lamun yang berbeda pada tipe habitat yang sama, seringkali
ditemukan spesies gastropoda yang sama daripada gastropoda yang berasosiasi
dengan spesies lamun yang sama pada pada tipe habitat yang berbeda (Edgar
1990). Pernyataan ini juga didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan
komposisi spesies gastropoda yang ditemukan pada keempat lokasi penelitian
memiliki komposisi spesies yang bervariasi, namun komposisi spesies lamun yang
sama. Keseluruhan komposisi spesies gastropoda beserta ukuran cangkang
ditunjukkan pada Lampiran 3.
Pola sebaran gastropoda yang ada pada tiap lokasi penelitian dapat dilihat
pada Tabel 9. Sebaran gastropoda ini diketahui berdasarkan perhitungan Indeks
Morisita (Id), dan selanjutnya diuji dengan uji chi-kuadrat (X2) dan hasilnya
dibandingankan dengan nilai tabel chi kuadrat pada selang kepercayaan 95% (α =
0,05). Data gastropoda yang diambil merupakan data dari 10 spesies dengan
jumlah individu paling banyak (dominan) pada tiap lokasi. Hasil perhitungan
menunjukkan pola sebaran gastropoda terjadi secara mengelompok dan seragam.
95 sp,209 ind
66 sp,206 ind
104 sp,302 ind.
84 sp,363 ind
RendaniWosiBriosiPadarni
49
Tabel 9 Pola sebaran gastropoda berdasarkan Indeks Morisita dan uji chi kuadrat pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
Lokasi Spesies Pola Sebaran
Rendani
Clithon oualaniensis Mengelompok Nerita chamaeleon Mengelompok Bulla vernicossa Seragam Vexillium (Costellaria) virgo Seragam Strombus marginatus Seragam Melampus castaneus Seragam Famili Muricidae sp 2 Seragam Strombus (Canarium) urceus urceus Seragam Vexillum (Costellaria) exasperatum Seragam Nassarius (Telasco) reeveanus Seragam
Wosi
Hastula acumen Mengelompok Nassarius (Telasco) reeveanus Seragam Duplicaria duplicata Seragam Polinices tumidus Seragam Oliva (Oliva) caribaeensis Seragam Vexillum rugosum Seragam Architectonica perspectiva Seragam Nassarius coronatus Seragam Nassarius (Telasco) luridus Seragam Rhinoclavis aspera Seragam
Briosi
Vexillum (Costellaria) virgo Seragam Strombus (Canarium) ochroglottis betuleti Seragam Nerita chamaeleon Seragam Bulla vernicossa Seragam Strombus urceus Seragam Vexillum plicardium Seragam Conus monachus Seragam Conus sp 1 Seragam Hebra corticata Seragam Natica fasciata Seragam
Padarni
Nassarius (Plicarcularia) globosus Mengelompok Famili Muricidae sp 1 Seragam Strombus (Canarium) ochroglottis betuleti Seragam Famili Muricidae sp 2 Seragam Strombus marginatus Seragam Conus (Virroconus) coronatus Seragam Hebra corticata Seragam Trivia sp 1 Seragam Fulgoraria (Fulgoraria) hamillei Seragam Nassarius (Telasco) reeveanus Seragam
50
Spesies gastropoda dengan pola sebaran mengelompok, memiliki jumlah
individu yang banyak, seperti Clithon oualaniensis dan Nerita chamaeleon yang
ditemukan di Rendani. Kedua spesies ini masih tergolong stadia juvenile, dengan
ukuran cangkang relatif kecil 0.25-0.47 cm dan 0.19-0.88 cm. C. oualaniensis dan
N. chamaeleon yang ditemukan sebagian besar tersebar di substrat pasir dan
sebagian lagi menempel pada daun lamun C. rotundata serta patahan karang mati.
Spesies lainnya yaitu Hastula acumen yang ditemukan di Wosi, mengelompok
pada substrat lumpur berpasir. Spesies ini juga ditemukan di Padarni dan Rendani
pada tipe substrat pasir, namun dalam jumlah sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa
H. acumen lebih menyukai tipe substrat lumpur berpasir, dan spesies ini memiliki
kemampuan beradaptasi pada tipe substrat yang berbeda. Spesies lain yang
ditemukan mengelompok adalah Nassarius (Plicarcularia) globosus yang
ditemukan dominan pada lokasi Padarni, berasosiasi dengan lamun Halodule
pinifolia.. N. (Plicarcularia) globosus menyukai tipe substrat lumpur berpasir
(liat) yang terdapat pada zona bagian tengah daerah intertidal di Padarni. Menurut
Puturuhu (2004), N. (Plicarcularia) globosus merupakan spesies gastropoda
dengan pola sebaran mengelompok dan dominan ditemukan pada tipe substrat
pasir sampai pasir berlumpur pada daerah intartidal.
4.4.2 Kelimpahan Gastropoda
Kelimpahan spesies gastropoda yang ditemukan pada keempat lokasi
penelitian ditunjukkan pada Gambar 7. Nilai kelimpahan tertinggi terdapat pada
lokasi Padarni yaitu: 55.733 individu/m 2 dan terendah terdapat pada lokasi Wosi
yaitu: 26.133 individu/m2. Tingginya kepadatan gastropoda pada lokasi Padarni,
diduga karena beberapar faktor, seperti tekstur substrat yang cocok bagi
kehidupan gastropoda dan sumber makanan dalam bentuk bahan-bahan organik
yang melimpah. Habitat lamun menyokong kelimpahan dan kekayaan hewan yang
berasosiasi dengan memberikan struktur habitat secara fisik (Orth et al. 1984;
Hemminga & Duarte 2000) dan sebagian besar hewan avertebrata dengan tipe
memakan herbivora jarang mengkonsumsi lamun, dan sebagai pengganti,
kelompok organisme tersebut memanfaatkan alga epifit sebagai sumber makanan
utama (Kikuchi & Perez 1977; Klumpp et al. 1989; Brawley 1992, Jernakoff et al.
1996 in Nakaoka 2005).
51
Gambar 7 Kelimpahan gastropoda pada keempat lokasi penelitian.
Kelimpahan N. (Plicarcularia) globosus yang tinggi di Padarni berkaitan
juga dengan gradien daerah intertidal sebagai habitat lamun. Puturuhu (2004)
mengemukakan bahwa N. (Plicarcularia) globosus yang ditemukan di Arakan,
Sulawesi Utara memiliki kelimpahan paling tinggi pada zona bagian tengah dan
atas intertidal dengan ukuran cangkang (tubuh) dan biomassa yang lebih besar
dibandingkan yang ditemukan pada zona bagian bawah. Hal serupa ditemukan di
Padarni, N. (Plicarcularia) globosus dominan ditemukan pada zona bagian tengah
intertidal dengan tekstur subtrat lumpur berpasir. Saat sampling, gastropoda ini
terlihat menghindari kekeringan dengan masuk dalam genangan air dan
membungkus cangkangnya dengan lumpur untuk menghindar dari suhu yang
tinggi saat air surut. Diduga pula spesies ini mampu mentolerir kisaran suhu yang
lebar, mengingat di zona ini saat surut terendah kering dan terdapat kolam-kolam
kecil yang tergenang air dengan suhu yang tinggi. Selain N. (Plicarcularia)
globosus, juga terdapat gastropoda dari Famili Muricidae sp1 dan sp2 yang
ditemukan cukup melimpah di lokasi ini. Keberadaan kedua spesies gastropoda
ini disebabkan oleh tekstur substrat yang ada terutama pada zona bagian bawah,
yang bercampur dengan pecahan karang merupakan habitat utama kedua spesies
gastropoda tersebut.
4.4.3 Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Gastropoda
Hasil perhitungan nilai indeks keanekaragaman, keseragaman dan
dominansi spesies dapat dilihat pada Tabel 10. Nilai keanekaragaman (H’) paling
tinggi terdapat di Briosi (6.14), dan terendah di Padarni (4.77). Secara
keseluruhan, kisaran nilai keanekaragaman pada keempat lokasi tergolong tinggi.
0,000
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
Rendani Wosi Briosi Padarni
52
Sebaliknya indeks dominansi (C) menunjukkan nilai yang rendah (tidak
mendekati angka 1 pada keempat lokasi. Nilai indeks keseragaman (E) yang
tinggi terdapat di Briosi (0.91) dan yang terendah terdapat di Padarni (0.74),
kisaran nilai indeks keseragaman tergolong tinggi jika mendekati angka 1.
Tabel 10 Nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C)
spesies gastropoda
Kisaran nilai ketiga indeks menunjukkan bahwa komunitas gastropoda
yang ada pada keempat lokasi penelitian masih berada dalam kondisi yang stabil.
Kestabilan spesies dalam suatu komunitas terjadi jika nilai keanekaragaman
spesies tinggi, dominansi spesies rendah dan keseragaman spesies tinggi. Dadget
(1976) in Cappenberg (1996) menyatakan bahwa pada umumnya jika nilai
keseragaman mendekati 0.8, dapat dikatakan bahwa komunitas dari ekosistem
tersebut mendekati suatu keadaan yang stabil, yang mengindikasikan tekanan
yang rendah terhadap kestabilan komunitas (Nakaoka 2005).
4.4.4 Indeks Kesamaan Komunitas
Hasil perhitungan indeks kesamaan komunitas Sorenson (CS
) yang
didasarkan pada kesamaan spesies gastropoda (kesamaan kuantitatif) di empat
komunitas padang lamun, menunjukkan bahwa nilai indeks berada di bawah 75 %
(Tabel 11). Berarti bahwa spesies gastropoda yang ditemukan pada keempat
lokasi memiliki tingkat kesamaan yang rendah.
Tabel 11 Matriks nilai kesamaan (similarity value) komunitas gastropoda pada keempat lokasi penelitian berdasarkan indeks Sorenson (%)
Lokasi Rendani Wosi Briosi Padarni Rendani 1.0
Wosi 54.9 1.0
Briosi 50.4 38.4 1.0
Padarni 62.4 51.5 40.6 1.0
Indeks Lokasi
Rendani Wosi Biriosi Padarni Keanekaragaman 5.10 5.07 6.14 4.77
Keseragaman 0.78 0.84 0.91 0.74 Dominansi 0.07 0.06 0.02 0.11
60 – 79 %
40 – 59 %
< 40 %
53
Berdasarkan nilai kesamaan komunitas dalam Tabel 11, maka keempat
lokasi penelitian dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok komunitas. Lokasi
Briosi, Wosi dan Padarni merupakan satu kelompok komunitas dan lokasi
Rendani merupakan kelompok komunitas yang terpisah (Gambar 8).
Gambar 8 Dendogram tingkat kesamaan komunitas berdasarkan kehadiran spesies gastropoda pada keempat lokasi penelitian.
Kesamaan lokasi Briosi, Wosi, dan Padarni ditandai dengan kehadiran
spesies Fulgoraria sp1 pada ketiga lokasi ini. Selain itu juga terdapat beberapa
spesies yang ditemukan pada keempat lokasi ini, yaitu Fulgoraria (Fulgoraria)
hamilei, Vexillum (Costellaria) exasperatum, Vexillium (Costellaria) virgo,
Rhinoclavis aspera, Certhium rostratum, Nassarius (Niotha) albescens
gemmuliferus, Nassarius (Plicarcularia) globosus, Nassarius (Telasco) luridus,
Nassarius (Telasco) reeveanus, Nassarius (Niotha) sp1, Hastula acumen, Conus
(Chelyconus) monachus, Conus (Virroconus) musicus dan Conus coronatus.
Kelompok gastropoda ini diduga memiliki kemampuan beradaptasi pada habitat
lamun dengan tekstur substrat maupun fisika-kimia perairan yang berbeda.
Ren
dani
Pada
rni
Wos
i
Brio
si
-0,515
-0,315
-0,115
0,085
0,285
0,485
0,685
0,885
Kes
amaa
n K
omun
itas
54
4.4.5 Sebaran Spasial Karakteristik Fisika-Kimia Perairan dan Tekstur Substrat
Sebaran karakteristik fisika-kima perairan dan tekstur seubstrat dapat
dijelaskan dengan menggunakan analisis komponen utama atau principal
component analysis (PCA), yang ditunjukkan pada Gambar 9. Parameter fisika-
kimia perairan yang digunakan sebagai data input adalah suhu, kekeruhan, pH,
salinitas, ammonia, nitrar, fosfat, oksigen terlarut (DO), biochemical oksigen
demand 5 (BOD5
Beberapa parameter fisika-kimia perairan yang berperan membentuk
sumbu utama 1 adalah BOD
), total organic matter (TOM), dan tekstur substrat yang terdiri
atas persen pasir, persen lumpur (liat) dan persen debu (Lampiran 6a). Matriks
korelasi yang terbentuk memberikan gambaran hubungan antar parameter fisika-
kimia perairan sebagai variabel dengan titik atau lokasi penelitian sebagai faktor,
yang terpusat pada komponen utama (sumbu utama). Matriks data dapat dilihat
dalam Lampiran 4. Komponen utama dari parameter fisika-kimia perairan
menunjukkan adanya pemusatan pada sumbu utama, dimana masing-masing
parameter memberikan kontribusi sebesar 89.779 % dari ragam total, dimana pada
sumbu F1 = 67.998 % dan F2 = 21.781 % (Lampiran 5b).
5 (0.999), NO3 (0.961), DO (0.935), substrat pasir
(0.802), pH (-0.961), suhu (-0.952), substrat liat (-0,897), TOM (0.894). dan
salinitas (-0.872). Pada sumbu utama 2, parameter fifika-kimia perairan yang
berperan yaitu kekeruhan (0.974), PO4
Hasil analisis komponen utama menunjukkan adanya pengelompokkan
lokasi penelitian berdasarkan parameter fisika-kimia perairan antar lokasi
penelitian. Pengelompokkan ini disebabkan oleh parameter fisika-kimia perairan
yang membentuk sumbu utama 1 pada lokasi Padarni memiliki kandungan TOM,
ammonia (NH
(0.900) dan substrat debu (0.718). Data
selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran 5c. Berdasarkan penyebaran lokasi
penelitian pada sumbu 1 (F1) dan sumbu 2 (F2) yang ditunjukkan pada Gambar
9b, terlihat bahwa lokasi Rendani Briosi dan Wosi membentuk satu kelompok
sedangkan lokasi Padarni membentuk kelompok sendiri. Selanjutnya hasil analisis
komponen utama dikonfirmasikan dengan dendogram klasifikasi hirarki
menggunakan cluster analysis (CA) untuk melihat kesamaan lokasi berdasarkan
parameter fisika-kimia perairan (Lampiran 5e).
3), pH, salinitas, suhu, substrat debu yang tinggi, sebaliknya nitrat
55
(NO3), kadar oksigen terlarut (DO) dan BOD5 yang rendah. Kondisi yang hampir
sama juga ditemukan di Briosi. Kondisi ini berbanding terbalik dengan lokasi
Rendani, dan Wosi yang membentuk sumbu utama 2, kekeruhan, fosfat (PO4) dan
substrat liat, mencirikan lokasi Wosi karena ketiga parameter fisika kimia perairan
ini memiliki nilai yang tinggi. Pada lokasi Rendani, parameter fisika-kimia
perairan yang mencirikan lokasi ini adalah substrat berpasir, nitrat, BOD5
dan
oksigen terlarut (DO). Korelasi antara parameter fisika-kimia perairan dan lokasi
penelitian ditunjukkan pada Gambar 9c.
Gambar 9 Analisis komponen utama antar lokasi penelitian dan parameter fisika-
kimia perairan pada sumbu 1 dan 2. (a) antar parameter fisika-kimia perairan; (b) antara lokasi penelitian; (c) antara parameter fisika kimia perairan dan lokasi penelitian.
Suhu
Kekeruhan
pH DO
Salinitas NO3
NH3
PO4
BOD5
TOM
Pasir
Liat
Debu
-1
-0,75
-0,5
-0,25
0
0,25
0,5
0,75
1
-1 -0,75 -0,5 -0,25 0 0,25 0,5 0,75 1
F2 (2
1.78
%)
F1 (68.00 %)
Variables (axes F1 and F2: 89.78 %)
Rendani
Wosi
BriosiPadarni
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4
F2 (2
1.78
%)
F1 (68.00 %)
Observations (axes F1 and F2: 89.78 %)
Rendani
Wosi
BriosiPadarni Sh
Kkr
pH DOSal NO3
NH3
PO4
BOD5
TOM
Ps
La
Db
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4
F2 (2
1.78
%)
F1 (68.00 %)
Biplot (axes F1 and F2: 89.78 %)
(a) (b)
(c)
56
4.5 Distribusi Spasial Lamun dan Gastropoda
4.5.1 Distribusi Spasial Lamun Berdasarkan Karakteristik Habitat
Distribusi spasial lamun sangat dipengaruhi oleh parameter fisika-kimia
perairan, sehingga sangat penting untuk menjabarkan komponen parameter fisika-
kimia perairan tertentu yang memberikan pengaruh sangat besar terhadap
distribusi spasial lamun dalam habitatnya. Dalam menjabarkan keterkaitan antara
spesies lamun dengan beberapa parameter fisika-kimia perairan, digunakan
analisis komponen utama (principal component analysis), dimana data yang
dianalisis disusun menurut baris dan kolom. Baris merupakan lokasi penelitian
dan kolom merupakan parameter fisika-kimia perairan.
Komponen data parameter fisika-kimia perairan yang digunakan terdiri
atas suhu, kekeruhan, pH, DO, salinitas, ammonia (NH3), nitrat (NO3), fosfat
PO4), BOD5
Lokasi Rendani dicirikan oleh tingginya ammonia (NO
, TOM, tekstur substrat pasir, lumpur (liat) dan debu. Komponen data
lamun terdiri atas spesies C. rotundata, C. serrulata, H. pinifolia, H. uninervis, H.
ovalis, S. isoetifolium, T. hemprichii. Hasil analisis komponen utama
menunjukkan bahwa keempat lokasi tidak membentuk satu kelompok, namun
terpisah (Gambar 10). Hal ini berarti bahwa hampir di setiap lokasi dapat
ditemukan tiap spesies lamun, namun dengan nilai frekuensi kehadiran, kerapatan
dan tutupan yang berbeda-beda.
3, BOD5 dan
oksigen terlarut (DO), dengan tekstur substrat yang dominan adalah pasir, yang
memberikan pengaruh pada tingginya tutupan lamun C. rotundata T. hemprichii
dan H. ovalis. Lokasi Wosi dicirikan oleh tingginya unsur fosfat (PO4) dan
kekeruhan, dengan tekstur sedimen yang dominan adalah lumpur berpasir (liat),
yang memberikan pengaruh pada tutupan spesies lamun H. uninervis, H. pinifolia
dan C. serrulata yang tinggi. Lokasi Briosi dicirikan oleh suhu, salinitas dan pH
yang tinggi, dengan tekstur substrat yang dominan adalah pasir berlumpur, dengan
tutupan spesies lamun yang dominan adalah C. rotundata, T. hemprichii, dan H.
ovalis. Tutupan spesies lamun C. rotundata paling tinggi ditemukan di lokasi
Briosi dibandingkan lokasi lainnya, sedangkan T. hemprichii dan H. ovalis
memiliki tutupan yang paling tinggi pada lokasi Rendani. Pada lokasi Padarni,
dicirikan oleh tingginya pH air, suhu, salinitas, ammonia (NH3), dan total ogranic
57
matter (TOM), dengan tekstur substrat yang dominan adalah lumpur berpasir
bercampur dengan pecahan karang (coral rubber), yang memberikan pengaruh
pada tingginya tutupan lamun T. hemprichii, S. isoetifolium dan H. pinifolia. Pada
lokasi Padarni, S. isoetifolium memiliki frekuensi, tutupan dan krapatan yang
tinggi dibandingkan dengan lokasi yang lain, dan ditemukan pada substrat pasir
bercampur pecahan karang. Di lokasi ini tidak ditemukan spesies C. rotundata.
Gambar 10 Diagram PCA biplot parameter fisika-kimia perairan yang terdiri atas
suhu, kekeruhan, pH, DO, salinitas, ammonia (NH3), nitrat (NO3), fosfat (PO4), BOD5
, TOM, substrat pasir, substrat lumpur (liat) dan substrat debu, serta tutupan lamun (C. rotundata, C. serrulata, H. pinifolia, H. uninervis, H. ovalis, S. isoetifolium, T. hemprichii) dengan lokasi penelitian (Rendani, Wosi, Briosi dan Padarni).
4.5.2 Distribusi Spasial Lamun dan Gastropoda Berdasarkan Karakteristik
Habitat
Sebaran spasial lamun dengan gastropoda pada habitatnya ditunjukkan
pada Gambar 11. Data yang digunakan untuk analisis koresponden (Corresponden
Analysis) adalah penutupan spesies lamun dan kelimpahan spesies gastropoda.
Rendani
Wosi
Briosi
Padarni
Suhu
Kekeruhan
pHDO
Salinitas Nitrat
Ammonia
Fosfat
BOD5
TOM
Pasir
Liat
Debu
Cr
CsHp
Hu
HoTh
Si
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4
F2 (3
0.91
%)
F1 (52.75 %)
Biplot (axes F1 and F2: 83.67 %)
58
Perhitungan analisis ini dilakukan terhadap 6 jenis lamun dan 30 spesies
gastropoda yang ditemukan dominan pada masing-masing lokasi penelitian. Hasil
analisis koresponden yang diperoleh menunjukkan bahwa sebaran spasial
gastropoda dan lamun terpusat pada sumbu utama 1 dan 2, dimana masing-masing
sumbu faktorial menjelaskan 36.918 % dan 33.050%.
Pada Gambar 11, terlihat pada sumbu utama 1 dan 2 terbentuk 4 kelompok
yang dicirikan oleh jenis lamun dan gastropoda tertentu. Hal ini menunjukkan
bahwa ada keterkaitan yang erat antara habitat lamun dengan karakteristik tertentu
dengan spesies gastropoda tertentu.
Kelompok pertama pada lokasi Wosi, dicirikan oleh lamun jenis H.
uninervis, H. pinifolia dan C. serrulata, dan spesies gastropoda yang berasosiasi
dan menjadi penciri di lokasi ini adalah Architectonica perspective. Duplicaria
duplicate dan Oliva caribaensis. Ketiga gastropoda ini hanya ditemukan di lokasi
Wosi dan tidak ditemukan pada lokasi lainnya. Diduga spesies ini sangat
menyukai habitat dengan tipe substrat lumpur berpasir dan biasanya ditemukan
pada daerah muara sungai. Spesies Nassarius reeveanus dan Hastula acumen
merupakan spesies yang ditemukan dengan jumlah individu yang cukup banyak di
lokasi Wosi.
Kelompok kedua pada lokasi Padarni, dicirikan oleh spesies Nassarius
(Plicarcularia) globosus, Muricidae sp1, Conus coronatus, Trivia sp 1, Strombus
ochroglottis betuleti, Fulgoraria hamilei, Hebra corticata, Muricidae sp2, dan
Strombus marginatus. Pada lokasi Padarni spesies yang menjadi penciri di lokasi
ini atau spesies yang hanya ditemukan pada lokasi ini tidak dimasukkan sebagai
data dalam analisis karena jumlah individunya sedikit (Lampiran 3.4).
Kelompok ketiga pada lokasi Briosi, dicirikan oleh spesies lamun
Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata. Spesies gastropoda yang
menjadi penciri lokasi ini adalah Vexillum virgo, Strombus ochroglotis betuleti,
Nassarius chamaeleon, Bulla vermicosa, Strombus urceus, Vexillum plicardium,
Conus sp1, Conus monachus, Natica fasciata.
Kelompok keempat pada lokasi Rendani, dicirikan oleh lamun
Syringodium isoetifolium dan Halophila ovalis. Spesies gastropoda yang menjadi
penciri pada lokasi ini adalah Clithon oualaniensis dengan jumlah 75 individu
59
dalam satu kuadrat pada line transek 1 (Lampiran 3.1). C. oualaniensis yang
ditemukan membentuk kelompok, dan beberapa individu menempel pada daun C.
rotundata karena berukuran kecil (0,25–0,47 cm), dan sebagian menempel pada
permukaan pecahan karang (rubble). Hal ini menunjukkan bahwa spesies
gastropoda ini mamanfaatkan habitat lamun sebagai tempat memijah dan daerah
asuhan. Selain C.oualaniensis, terdapat beberapa spesies gastropoda yang
ditemukan di Rendani seperti Bulla vernicossa, Vexillum exasperatum, Nerita
chamaeleon, Vexillum virgo, Strombus urceus urceus, Melampus castaneum
dengan jumlah individu yang dominan.
Asosiasi gastropoda dengan lamun yang terlihat dalam Gambar 11
menunjukkan bahwa karakteristik habitat pada masing-masing lokasi penelitian
memberikan pengaruh terhadap kehadiran spesies gastropoda. Spesies Nassarius
(Plicarcularia) globosus yang ditemukan melimpah pada substrat lumpur berpasir
di zona bagian tengah intertidal dan berasosiasi dengan H. pinifolia di lokasi
Padarni, tetapi tidak ditemukan sama sekali di lokasi Wosi yang memiliki tipe
substrat dan spesies lamun yang sama. Menurut Puturuhu (2004), N.
(Plicarcularia) globosus tidak ditemukan pada lokasi penelitiannya di Likupang
yang berada di muara kali mati, sehingga diduga keberadaan N. (Plicarcularia)
globosus sangat berkaitan dengan fluktuasi salinitas. Spesies ini tidak mampu
mentolerir fluktuasi salinitas yang lebar.
Spesies N. (Plicarcularia) globosus tidak menempel di daun lamun,
namun melimpah pada substrat dasar lumpur berpasir, karena daun H. Pinifolia
tidak dapat menahan berat tubuh gastropoda ini. N. (Plicarcularia) globosus
memanfaatkan habitat padang lamun sebagai habitat utamanya. Hal ini sangat
berkaitan dengan sumber makanan yang tersedia dan spesies ini memiliki tipe
memakan scavenger yang memakan material yang membusuk seperti daun lamun
maupun mikroorganisme lainnya yang melimpah pada substrat lumpur berpasir.
Selain sebagai tempat mencari makan, habitat lamun merupakan daerah asuhan
bagi N. (Plicarcularia) globosus dalam siklus hidunya, hal ini dibuktikan dengan
ukuran cangkang yang relatif kecil (0.51-1.27 cm) serta jumlah individu yang
dominan dan memiliki ukuran yang hampir sama.
60
Keterangan: Cr = Cymodocea rotundata, Cs = C. serrulata, Hp = Halodule pinifolia, Hu = Halodule uninervis, Ho = Halophila ovalis, Si = Syringodium isoetifolium, Th = Thalassia hempricii, Cou = Clithon oualaniensis, Nch = Nerita chamaeleon, Bve = Bulla vernicossa, Vvi = Vexillum virgo, Sma = Strombus marginatus, Mca = Melampus castaneus, Ms2 = Muricidae sp 2, Suu = Strombus urceus, Vex = Vexillum exasperatum, Nre = Nassarius reeveanus, Hac = Hastula acumen, Ddu = Duplicaria duplicate, Ptu = Polinices tumidus, Oca = Oliva caribaensis, Vru = Vexillum rugosum, Ape = Architectonica perspectiva, Nco = Nassarius coronatus, Nlu = Nassarius luridus, Ras = Rhinoclavis aspera, Vvi = Vexillum virgo, Soc = Strombus orchroglottis betuleti, Nch = Nerita chamaeleon, Sur = Strombus urceus, Vpl = Vexillum plicardium, Cmo = Conus monachus, Cs1 = Conus sp 1, Hco = Hebra corticata, Nfa = Natica fasciata, Ngl = Nassarius globosus, Ms1 = Muricidae sp 1, Soc = Strombus orchroglotti betuleti, Cco = Conus coronatus, Ts1 = Trivia sp 1, Fha = Fulgoraria hamilei. Gambar 11 Diagram analisis koresponden antara spesies lamun dengan
gastropoda dan keterkaitannya dengan habitat lamun pada sumbu utama 1 dan sumbu utama 2.
4.5 Pemanfaatan Gastropoda dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Manokwari
4.5.1 Pemanfaatan Gastropoda Oleh Masyarakat Lokal
Masyarakat Manokwari secara khusus dan Papua secara umum telah
memanfaatkan gastropoda. Daging gastropoda dimanfaatkan sebagai bahan
makanan dan cangkangnya digunakan untuk membuat asesoris seperti mata
kalung, gelang, tusuk konde, tirai atau gorden, hiasan rumah, asbak dan guci serta
digunakan dalam upacara adat masyarakat setempat seperti di Kepulauan Kofiau
Kabupaten Raja Ampat (Tabel 12.a dan 12.b).
Cr
Cs
Hp
Hu
Ho
Si
Th
Cou
Nch
Bve
Vvi
Sma
Mca
Ms2
Suu Vex
Nre
HacDdu PtuOca
VruApe
NcoNlu
Ras
VviSob NchSur
Vpl
CmoCs1
Hco
Nfa
NglMs1
Sob
CcoTs1 Fha
Rendani
Wosi
Briosi
Padarni
-1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
-2,5 -2 -1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3
F2 (3
3.05
%)
F1 (36.92 %)
Plot Simetris(axis F1 dan F2: 69.97 %)
Columns Rows
61
Tabel 12. a Beberapa spesies gastropoda yang dimanfaatkan oleh masyarakat pada beberapa kampong di Kepulauan Kofiau Kabupaten Raja Ampat
Gastropoda Nama Lokal
Kampung (Desa) Bentuk Pemanfaatan Persentase Pemanfaatan Famili Spesies Deer Tolobi Dibalal Kofiau Bahan makanan
(daging) Lainnya
(Cangkang) Assimibidae Assiminaea brevicula Bia + + + + + 3 % Cassidae Cassis cornuta Bia + + + + + 3 % Chimatidae Charonia tritonis Triton + + + + + Upacara adat 3 %
Columbellidae Columbella scripta Bia + - - + Asbak & guci 6 % Pyrene ocelata Bia + - - + Asbak & guci
Cypraeidae Cypraea eburnea Bia + - - + Mata kalung 3 % Cypraea annulus Bia + - - + Tusuk rambut Ellobiidae Cassdula sp Bia + + + + + 3 % Haliotidae Hallotis sp Bia + + + + + 3 % Littorinidae Littoraria scabra Bia + + + + + 3 % Modulidae Modulus candidus Bia + - - + + 3 % Muricidae Thais echinulata Bia + - - + 3 % Nassaridae Nassarius sp Bia + - - + + 3 % Naticidae Natica trigina Bia + - - - Asbak & guci 3 %
Neritidae Clithon oualaniensis Bia + + + + + 6 % Nerita sp Bia + + + + + Noutilidae Nautilus pompilius Bia + + + + Hiasan rumah 3 % Natica trigina Bia + + + + +
Olividae
Oliva sp 1 Bia + + + + - Tirai (gorden)
11 % Oliva sp 2 Bia + - - + - Oliva sp 3 Bia + - - + - Anting-anting Oliva sp 4 Bia + - - + -
Planaxidae Planaxis sp Bia + - - + + 3 % Potamidae Telescopium telescopium Bia + - - + + 3 %
62
Keterangan : - Persentase pemanfaatan berdasarkan famili gastropoda + = dimanfaatkan
- = Tidak dimanfaatkan Sumber: Tebay (2007) Tabel 12b. Informasi tambahan gastropoda yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Kabupaten Raja Ampat
Famili Spesies Nama Lokal Pemanfaatan Cangkang Cassidae Casis cornuta Bia Pemberat jaring
Cypraeidae Cypraea clandestina Bia Gelang Cypraea sp Bia Tirai (gorden)
Terebriidae Conus consors Bia Tirai (gorden) Columbellidae Pyrene punctata Bia Tusuk Rambut
Gastropoda Nama Lokal
Kampung (Desa) Bentuk Pemanfaatan Prosentase
Pemanfaatan Famili Spesies Deer Tolobi Dibalal Kofiau Bahan makanan (daging
Lainnya (Cangkang)
Strombidae Lambis lambis Bia + + + + +
8% Strombus marginatus Bia + + + + + Strombus urceus Bia + + + + +
Terebriidae
Conus consors Bia + - - + Tirai (gorden)
14 % Conus eburneus Bia + + + + + Conus ebraeus Bia + - - + + Conus eximius Bia + - - + + Conus marmorius Bia + - - + +
Turbinidae Turbo burneus Birtoten + + + + + 3 %
Trochidae Monodonta labio Bia + - - + + 6 % Trochus maculates Kaduor + + + + + Tonnidae Tonna sulkosa Bia + + + + + 3 %
Volutidae Cymbius mello Bia + + + + + 6 % Melocornata umbilicatus Bia + + + + +
63
Pemanfaatan gastropoda yang dilakukan oleh masyarakat di Kepulaun
Kofiau, yang terdiri atas 4 Kampung yaitu Kampung Deer, Kampung Tolobi,
Kampung Tabalal dan Kampung Kofiau, masih dilakukan secara tradisional.
Menurut Tebay (2007), sebagai bahan makanan, masyarakat hanya mengambil
gastropoda seperlunya saja atau untuk dikonsumsi dalam sehari, tidak dilakukan
pengambilan dalam jumlah banyak. Gastropoda yang dimanfaatkan sebagai
asesoris, pembuatannya masih tergantung pesanan, tidak diproduksi secara massal
dan masih tergolong usaha sampingan yang dilakukan saat tidak ada pekerjaan
(Tebay 2007).
Pengelolaan terhadap sumberdaya gastropoda telah dilakukan oleh
masyarakat di Kepulauan Kofiau, yang dikenal dengan sistem sasi, dan
dilaksanakan berdasarkan musim (Tebay 2007). Sasi yang dilaksanakan di
Kepulauan Kofiau meliputi sasi laut dan sasi darat. Pada saat sasi laut
diberlakukan maka seluruh kegiatan di laut dihentikan. Sasi laut berkaitan dengan
musim, biasanya diberlakukan saat musim angin selatan yang terjadi pada bulan
Juli sampai Desember. Pada musim angin selatan dengan cuaca yang buruk
membuat perairan di kepulauan Kofiau bergelombang dan masyarakat tidak
berani melaut. Bagi masyarakat yang melanggar dikenakan denda, yaitu harus
membayar sejumlah uang kepada pihak Gereja apabila ia beragama Kristen dan
pihak Mesjid apabila ia beragama Islam.
Sistem pengelolaan ini merupakan kearifan lokal masyarakat di Kepulauan
Kofiau yang diterapkan untuk melindungi sumberdaya gastropoda maupun
sumberdaya perairan lainnya. Di Manokwari pengelolaan sumberdaya alam
berdasarkan kearifan lokal masyarakat seperti sasi tidak diterapkan sehingga
diharapkan dapat dilakukan suatu bentuk pengelolaan terhadap sumberdaya
pesisir yang sesuai dengan kearifan lokal masyarakat setempat.
4.5.2 Pengelolaan Ekosistem di Wilayah Pesisir Manokwari
Secara geografis wilayah pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam
konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan
lautan. Lebih jauh, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari
berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan dan
lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat
64
produktif, yang memberikan nilai ekonomi bagi manusia. Sejalan dengan
pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi,
menyebabkan "nilai" wilayah pesisir terus bertambah. Implikasi dari peningkatan
aktivitas manusia adalah terjadinya over exploitation terhadap sumberdaya
tersebut yang berujung pada degradasi lingkungan pesisir.
Saat ini degradasi lingkungan yang menyebabkan hilangnya ekosiatam
lamun di beberapa tempat seperti di bagian Barat Australia, khususnya di
Cockburn Sound sampai area dekat Sydney (Shepard et al. 1989 in Keough &
Jenkins (1995). Kecepatan Penurunan dan berkurangnya padang lamun bervariasi
pada beberapa lokasi dan tidak diketahui penyebab hilangnya padang lamun pada
beberapa lokasi tersebut. Namun pada daerah Adeleide di bagian Selatan
Australia, lamun yang berada dekat dengan pembuangan sampah mengalami
penurunan dan akhirnya hilang setelah 20 tahun. Penyebanya adalah nutrien yang
berasal dari sampah meningkatkan pertumbuhan epifit pada daun lamun dan
menghalangi cahaya matahari sehingga proses fotosintesis terhenti.
Contoh kasus seperti yang terjadi di Australia, dapat pula terjadi pada
beberapa habitat lamun yang berada di Pesisir Perairan Manokwari pada masa
mendatang. Mengingat tekanan lingkungan yang terjadi saat ini seiring dengan
perkembangan pembangunan Kota Manokwari yang lebih ditekankan pada
wilayah pesisir sehingga perlu dilakukan pengelolaan ekosistem lamun di wilayah
Pesisir Perairan Manokwari. Hal yang harus dilakukan dalam rangka pengelolaan
wilayah pesisir adalah membuat perencanaan dan pengelolaan lingkungan pesisir
secara terpadu, yang lebih memberikan kewenangan dan tanggung-jawab kepada
masyarakat dalam pengelolaannya
Salah satu konsep pengelolaan yang telah berkembang saat ini adalah
pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) atau community based management
(CBM) (Nikijuluw 2002). Konsep PBM, merupakan suatu bentuk pengelolaan
sumberdaya alam dimana masyarakat memegang wewenang dan tanggung-jawab
untuk mengelola sumberdaya alam di kawasan tertentu. Dalam PBM peranan
masyarakat lebih dominan karena masyarakat yang berada paling dekat dengan
sumberdaya alam tersebut dan kelangsungan hajat hidupnya tergantung pada
kelestarian sumberdaya alam tersebut.
65
Pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir berbasis
masyarakat dapat didahului dengan melakukan studi awal mengenai kondisi
ekologis dan sosio-ekonomi di wilayah pesisir perairan Manokwari oleh fasilitator
yang terdiri atas para peneliti dari perguruan tinggi setempat dan fasilitator dari
lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berkepentingan. Studi awal ini
bertujuan untuk mengetahui permasalahan-permasalahan ekologis maupun
ekonomi yang terjadi di wilayah pesisir. Hasil kajian ini selanjutnya di
sosialisasikan atau diinformasikan kepada masyarakat setempat maupun
pemerintah, khususnya dinas kelautan dan perikanan, yang memiliki tanggung-
jawab terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan aparat terkait pada tingkat
Provinsi, Kabupaten sampai Desa. Selanjutnya para fasilitator bersama
pemerintah menyelenggarakan pelatihan-pelatihan ketrampilan, yang meliput i
pelatihan fasilitasi (untuk memperkenalkan konsep partisipasi publik dalam
mengambil keputusan), penilaian (assessment) dan pemantauan (monitoring)
sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir (termasuk ekosistem lamun dan
gastropoda serta organisme lain yang berasosiasi), serta pengembangan kapasitas
kelembagaan di tingkat desa. Para fasilitator lapangan juga menmfasilitasi
koordinasi pengelolaan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir antara masyarakat
desa dan aparat terkait di tingkat Provinsi dan Kabupaten.
Salah satu kunci sukses pengembangan pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir berbasis masyarakat setempat adalah pengembangan komunikasi dan
pertukaran informasi antara para pemangku kepentingan (stakeholder), baik
secara horizontal maupun secara intensif (Nikijuluw 2002). Adanya komunikasi
dan saling tukar informasi sangat penting dalam menyatukan visi dan misi dalam
pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir. Kegiatan-kegiatan lain yang
dilakukan di wilayah pesisir, yang dibuat oleh para aparat desa termasuk
memberikan bantuan dana kepada masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan
seperti penyusunan profil sumberdaya wilayah pesisir desa, penyusunan rencana
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir desa dan membuat daerah perlindungan
laut desa serta penyusunan peraturan desa.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, dapat disimpulkan:
1. Komposisi spesies, frekuensi ditemukannya spesies, kerapatan tegakan dan
penutupan lamun sangat dipengaruhi oleh tekstur substrat dasar perairan dan
parameter fisika-kimia air yang meliputi kekeruhan, suhu, kecepatan arus dan
salinitas.
2. Kompleksitas habitat lamun memberikan pengaruh terhadap komposisi
spesies, keanekaragaman dan keseragaman serta kelimpahan individu dan
spesies gatropoda.
3. Pengelolaan lingkungan Perairan Pesisir Manokwari dapat dilakukan
berdasarkan konsep pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) yang lebih
memberikan wewenang dan tanggung-jawab kepada masyarakat dalam
pengelolaannya, mengingat fokus pembangunan wilayah Manokwari lebih
mengarah ke wilayah pesisir.
5.2 Saran
Beberapa hal yang menjadi saran dalam penelitian ini adalah:
(1) Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih spesifik terhadap asosiasi
gastropoda dengan jenis lamun dan tekstur substrat tertentu dengan waktu
pengamatan yang lebih lama dan dilakukan dalam laboratorium, sehingga
dapat diamati pengaruh tipe substrat terhadap spesies lamun dan gastropoda
tertentu.
(2) Perlu dilakukan monitoring secara berkala terhadap ekosistem lamun untuk
mengetahui kondisi ekosistem lamun dan keberadaan organisme yang
berasosiasi termasuk gastropoda, sehingga dapat diketahui dampak
antropogenik maupun aktivitas manusia terhadap ekosistem lamun dan
berbagai organisme yang berasosiasi.
(3) Perlu dilakukan pengelolaan terhadap sumberdaya pesisir di Perairan Pesisir
Manokwari termasuk di dalamnya ekosistem lamun dan gastropoda yang
berasosiasi serta tingkat pemanfaatan gastropoda oleh masyarakat setempat.
69
DAFTAR PUSTAKA Abal EG, Dennison WC. 1996. Seagrass Depth Range and Water Quality in
Southern Moreton Bay, Quensland, Australia. Marine and Freshwater research 47 (6): 763-771.
[KLH] Kementrian Lingkungan Hidup 2004. Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004, Lampiran III Tentang Baku Mutu Air untuk Biota Laut. Jakarta: KLH.
[KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004, Tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Jakarta: KLH.
[APHA] American Public Health Association 1989. Standart Method for the
Examination of Water and Wastewater. 17 ed. Washington DC: APHA, AWWA.
Aswandv I, Hutomo M. 1984. Komurutas Fauna Bentik pada Padang Lamun
(seagrass Beds) di Teluk Banten. in: Moosa MK, Praseno DP, Sukarno. (editor). Perairan Indonesia: Biologi Budidava, Kualitas Perairan dan Oseanografi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan lndonesia (LIPI).
Aziz A. 1994. Aktivitas "Grazing" Bulu Babi Jenis Tripneustes gratilla pada
Padang Lamun di Pantai Lombok Selatan. In: Kiswara W, Moosa MK, Hutomo M. (editor). Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun Di Pantai Selatan Lombok dan Kondisi Lingkungannya. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanology, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Bach SS, Borum J, Fortes MD, Duarte CM. 1998. Species Composition and Plant
Performance of Mixed Seagrass Beds along a Siltation Gradient at Cape Bolinao, the Philippines. Marine Ecology Progress Series 174: 147-156.
Barnes RD. 1987. Invertebrate Zoology. Ed ke-5. Philadelphia, London: WB
Saunders Company. Bostrijm C, Bonsdorff F. 1996. Community Structure and Spatial Variation of
Benthic Invertebrates Associated with Zostera marina (L.) Beds in the Northern Baltic Sea. Journal of Sea Research 37: 153-166.
Brower JE, Zar JH, Von Ende. 1990. General Ecologv, Field and Laboratory
Methods for General Ecology. Ed ke-3. Iowa: America WM. C. Brown Companv publisher Dubugue.
Cappenberg HAW. 1996. Komunitas Moluska di Padang Lamun Teluk Kotania
Seram Barat. Perairan Maluku dan Sekitarnya 11:19-33.
70
Cebrian J, Duarte CM, Marba N. 1996. Herbivory on the Seagrass Cymodocea nodosa (ucria) Arscherson in Contrasting Spanish Mediterranean Habitats. Experimental Marine Biology and Ecology 204:103-111.
Chester R. 1990. Marine Geochemistry. London: Unwin Hyman. Creed JC. 2000. Ephibiosis on Cerith Sheels in the Seagrass Bed: Correlation of
the Cells Occupant with Epizoite Distribution and Abundance. Marine Biology 137: 775-782.
Cox GW. 2002. General Ecology Laboratory Manual, Ed ke-8. New York: Mc
Graw-Hill Higher Education. Dharma B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia I (Indonesian Shells). Jakarta: PT
Sarana Graha. Dharma B. 1992. Siput dan Kerang Indonesia (Indonesian Shells II). Wiesbaden:
Verlag Christa Hemmen. Dharma B. 2005. Recent and Fossil Indonesian Shells. Hackenheim:
Coonchbooks. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut, Aset pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Duarte CM. 1991. Seagrass Depht Limits. Aquatic Botany 40: 363-377. Edgar GJ. 1992. The Influence of Plant Structure on the Species Richness,
Biomass and Secondary Production of Macrofaunal Assemblages Associated with Western Australian Seagrass Beds. Experimental Marine Biology Ecology 137: 215-240.
English S, Wilkinson C, Baker V (editor). 1997. Survey Manual for Tropical
Marine Resources. Ed ke-2. Townsville: Australian Institute of Marine Science.
Erina Y. 2006. Keterkaitan Antara Komposisi Perifiton pada Lamun Enhalus
acoroides (Linn. F) Royle dengan Tipe Substrat Lumpur dan Pasir di Teluk Banten. [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Fonseca MS. 1990. Phvsical Measurements. in Phillips RC, McRoy CP (editor).
Seagrass Research Methods. France: UNESCO. Fortes MD. 1990. Seagrass: A Resources Unknown in the ASEAN Region
ICLRAM Association of Southeast Asia Nations. Phillipines: United States Coastal Resources Management Project.
71
Hemminga MA, Duarte CM. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge: Cambridge University Press.
Hily C, Connan S, Raffin C, Wyllie-Echeverria S. 2004. In Vitro Experimental
Assessment of The Grazing Pressure of Two Gastropods on Zostera Marina L. Ephiphytic Algae. Aquatic Botany 78: 183-195.
Holme NA, McIntyre AD. 1984. Methods For the Study of Marine Benthos. IBP
Handbook No. 16. Ed ke-2. Oxford: Blackwell Scientific Publication. Hutagalung HP. 1988. Pengaruh Suhu Air Terhadap Organisme Laut. Oseana 13:
153-164. Kirkman H. 1990. Seagrass Distribution and Mapping. In: Phillips RC, McRoy CP (editor), Seagrass Research Methods. France: UNESCO. Kiswara W. 1992. Vegetasi Lamun (Seagrass) di Rataan Terumbu Pulau Pari,
Pulau-Pulau Seribu, Jakarta. Oseanology di Indonesia 25: 31-49. Klumpp DW, Salita-Espinosa JS, Fortes MD. 1992. The Role of Epiphytic,
Periphyton and Macroinvertebrate Grazeers in the Trophic Flux of a Tropical Seagrass Community. Aquatic Botany 43: 327-349.
Keough MJ, Jenkins GP. 1995. Seagrass Meadowns and Their Inhabitants. in:
Underwood AJ, Chapman MG (editor). Coastal Marine Ecology of Temperate Australia. Sydney: University of New South Walles Press LTD.
Kikuchi T, Perez JM. 1997. Faunal Relationship in Seagrass Beds. in: McRoy CP,
McMilan C (editor). Seagrass Ecosystem: A Scientific Perspective. Vol. 4. New York: Marine Science, Marcel Dekker Inc.
Koch EW. 2001. Beyond light: Physical, Geological, and Geochemical
Parameters as Possible Submersed Aquatic Vegetation Habitat Requirements. Estuaries 24:1-17.
Krebs CJ. 1989. Ecology Metodology. New York: Harper and Rows Publisher. Kusnaedi A, Hermawan UE, Triandiza T. 2008. Moluska Padang Lamun
Kepulauan Kei Kecil. Jakarta: LIPI Press. Lefaan PT. 2008, Kajian Komunitas Lamun di Pesisir Manokwari. [tesis]. Bogor:
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Legendre L, Legendre P. 1998. Numerical ecology. New Jersey: Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs.
Lindner G. 2000. Guide des Coquillages Marins. Paris: Delachaux et Niestle.
72
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology, A Primer on Methods and Computing. New York: A Willey-Interscience, John Willey and Sons.
Manginsela FB. 1998. Ekostruktur dan Sebaran Spasial Komunitas Gastropoda di
Kawasan Pasang Surut di Teluk Manado Sulawesi Utara. [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
McKenzie LJ, Campbell SJ, Roder CA. 2003. Seagrass-Watch, Manual for
Mapping Research. Queensland: The State of Queensland, Departement of Primary Industries.
Morrisey D. 1995. Estuaries. in: Underwood AJ, Chapman MG (editor). Coastal
Marine Ecology of Temperate Australia. Sydney: University of New South Walles Press LTD.
Mudjiono, Sudjoko B. 1994. Fauna Moluska Padang Lamun di Pantai Selatan
Lombok. In: Kiswara W, Moosa MK, Hutomo M (editor). Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Selatan Lombok dan Kondisi Lingkungannya. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanology, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Nakaoka M, Aioi K, Kouchi M, Omori Y, Tanaka N, Tatsukawa K. 2003.
Distribution, Productivity, Life History and Biodiversity of Seagrass Community along Sanriku Coast: A Review. Otsuchi Marine Science 28{ 31-38.
Nakaoka M. 2005. Plant-Animals Interaction in Seagrass Beds: ongoing and
Future Challenges for Understanding Population and Community Dynamics [revieuw]. Society of Population Ecology and Springer-Verlag 47: 167-177.
Nienhuis P, Coosen J, Kiswara W. 1989. Community Structure and Biomass
Distribution of Seagrass and Macrofauna in the Flores Sea, Indonesia. Netherlands Journal of Sea Research 23: 197-214.
Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta:
Diterbitkan atas kerjasama P3R dengan PT. Pustaka Cidesindo. Nybakken JW. 1997. Marine Biology; An Ecologycal Approach. Ed ke-4.
California: Addison-Wesley Education Publishers Inc. Oleson B. 1996. Regulation of Light Attenuation and Eelgrass Zostera marina
Depth Distribution in a Danish Embayment. Marine Ecology Progress Series 134: 187-194.
Oliver APH. 2004. Guide to Seashells of the World. London: Philip’s.
73
Ongkers TS. 1994. Studi Kelimpahan Ikan di Padang Lamun Tanjung Tiram Teluk Ambon Bagian Dalam. [tesis]. Fakultas Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Orth RJ, Kenneth L. Heck, Jr., Van Monfrans J. 1984. Faunal Communities in
Seagrass Bed; A Review of the influence of Plant Structure and Prey Charactheristic on Preadator-Prey Relationships. Estuaries 7: 339-350.
Pearson TR, Takashi M, Hargrave B. 1977. Biological Oceanographic Process.
Ed ke-2. Germany: Pergamon Press. Peristiwady T. 1994. Makanan Ikan-ikan Utama di Padang Lamun Lombok
Selatan. In: Kiswara, W., Moosa, MK. dan Hutomo M. (editor). Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Selatan Lombok dan Kondisi Lingkungannya. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Phillips CR, Menez EG. 1998. Seagrasses. Smithsonian Contributon to the
Marine Sciences. Number 34. Washington DC: Smithsonian Press.
Pollar PC, Morriarty DJW. 1991. Organic Carbon Decomposition, Primary and Bacterial Productivity, and Sulphate Reduction, in Tropical Seagrass Beds of the Gulf of Carpentaria, Australia. Marine Ecology Progress Series 69: 149-159.
Puturuhu L. 2004. Ecological Studies On Intertidal Dog Whelks (Gastropoda :
Nassariidae) of Northern Minahasa, Sulawesi, Indonesia. [disertasi]. Kiel: der Christian-Albrechts-Universität zu Kiel.
Rangan JK. 1996. Struktur dan Tipologi Komunitas Gastropoda pada Zona Hutan Mangrove Perairan Kulu Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Riley JP, Chester R. 1971. Introduction to Marine Chemistry. London: Academic Press. Rohmimohtarto K, Juwana S. 2001. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan dan Biota
Laut. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Sanusi HS. 2006. Kimia laut; Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan
Lingkungan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Setyobudiandi I, Sulistiono, Yulianda F, Kusmana C, Hariyadi S, DamarA,
Sembiring A, Bahtiar. 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan dan Kelautan, Terapan Metode Pengambilan Contoh di Wilayah Pesisir dan Laut. Bogor: Makaira-Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
74
Short FT, Coles RG, Short CA (editor). 2001. Global Seagrass Research Methods. Ed ke- 1. Amsterdam; Elsevier Science BV.
Tomaschik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The Ecology of the
Indonesian Seas. Part 2. Ecology Indonesia Series 8. VI. Singapore: Periplus Edition (HK) Ltd.
Valentine JF, Heck Jr, KL.1999. Seagrass Herbivory: Evidence for the Continued Grazing of Marine Grasses [Reviuw]. Marine Ecology Progress Series, 176: 291-302. Visser EP, Wolcott TG, Wolcott DL. 1996. Nursery Role of Seagrass Beds;
Enrichment Growth of Juvenile Blue Crab (Callinectess sapidus Rathbun). Experimental Marine Biology and Ecology 18: 155-173.
75
LAMPIRAN
76
77
Lampiran 1 Foto lokasi penelitian
(a) Lokasi pengambilan sampel di Rendani.
(b) Lokasi pengambilan sampel di Wosi.
78
Lampiran 1 (lanjutan)
(c) Lokasi pengambilan sampel di Briosi.
(d) Lokasi pengambilan sampel di Padarni.
79
Lampiran 2 Parameter fisika-kimia perairan yang diukur masing-masing sebanyak tiga kali dan dianalisis
Parameter Kualitas Air Rendani Wosi Briosi Padarni Baku mutu L1 L2 L3 L1 L2 L3 L1 L2 L3 L1 L2 L3
Fisika air
suhu (o 30.8 C ) 31.4 31.1 31 31.5 28.9 31.8 31.8 31.8 33.9 33.3 33.4 28-30 Kekeruhan (NTU) 4.59 4.65 4.68 5.72 5.78 6.42 4.37 4.14 4.25 4.08 3.11 3.57 < 5 Kecep Arus (m/s) 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 -
Kimia air
pH air 7.74 7.82 7.87 7.88 7.93 7.69 7.91 7.91 7.91 7.94 7.95 7.94 7-8.5 Oksigen Terlarut (DO) (mg/l) 7.2 7.3 7.29 6.86 6.77 7.44 5.2 5.78 6.02 5.48 5.2 5.36 > 5 Salinitas (‰) 28 30 30 31 29 28 35 35 35 35 35 35 33-34 Nitrat (NO3 0.6 ) (mg/l) 0.7 0.6 0.5 0.4 0.6 0.3 0.3 0.2 0.1 0.2 0.1 0.008 Ammonia(NH3 0.47 -N) (mg/l) 0.43 0.45 0.67 0.64 0.66 0.52 0.42 0.44 1.05 1.03 1.08 0.3 Phosphat (PO4 0.31 ) (mg/l) 0.25 0.23 0.6 0.62 0.69 0.29 0.28 0.28 0.27 0.32 0.24 0.015 BOD5 12.94 (mg/l) 12.19 11.92 11.48 11.86 10.83 9.07 9.28 9.82 6.58 5.76 6.17 20 TOM (mgKMnO4 14.75 /l) 1,54 14.39 13.21 12.64 12.45 13.82 13.27 13.51 15.3 15.8 15.6 -
Keterangan : - Baku mutu berdasarkan KEPMEN Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004, dalam lampiran III baku mutu air untuk biota laut. - (-) = tidak tercantum dalam lampiran III baku mutu air untuk biota
80
Lampiran 3 Komposisi spesies gastropoda pada keempat lokasi penelitian 1.1 Komposisi gastropoda yang ditemukan di Rendani
Famili Genera Spesies GT. 1
GT. 2
GT. 3 Jumlah Ukuran
Cangkang (cm) Achitectonicidae Milda ventricosa (Guerin, 1831) 1 1 1.2 Buccinidae Engine concinna (Reeve, 1846) 1 1 0.58 Buccinidae Euplica varians (Sowerby, 1830) 1 3 4 0.72-0.9 Bullidae Bulla vernicossa (Gould, 1859) 20 1 21 0.96-1.62 Cerithiidae Cerithium kobelti (Dunker,1877) 1 1 2.28 Cerithiidae Certhium rostratum (Sowerby, 1855) 1 1 1.27 Cerithiidae Clypeomorus zonata (Wood, 1828) 4 4 0.54-0.76 Cerithiidae Rhinoclavis aspera (Linnaeus, 1758) 1 2 3 0.20-0.85 Cerithiidae Rhinoclavis sinensis (Gmelin, 1791) 2 2 0.77 ; 1.25 Cerithiidae Clypeomorus pellucida (Hombron & Jacquinot, 1852) 1 1 1.48 Cerithiopsidae Ataxocerithium abnormale (Sowerby, 1903) 6 6 0.86-1.14 Cirridae Trochus stellatus (Gmelin, 1791) 1 1 1.12 Columbelldae Pyrene sp1 1 1 1.91 Columbellidae Pyrene testudinaria (Link. 1807) 1 1 0.9 Costellariidae Vexillum curviliratum (Sowerby, 1874) 1 1 0.75 Costellariidae Vexillum (Costellaria) exasperatum (Gmelin, 1791) 5 6 11 0.80-2.13 Costellariidae Vexillum (Pusia) leucodesmum (Reeve, 1845) 1 1 1.2 Costellariidae Vexillum (Pusia) patriarchalis (Gmelin, 1791) 1 1 1.10 Costellariidae Vexillum plicarium (Linnaeus, 1758) 1 4 5 0.50-1.47 Costellariidae Vexillum rugosum (Gmelin, 1791) 1 2 1 4 0.67-0.91 Costellariidae Vexillium (Costellaria) virgo (Linnaeus, 1769) 10 5 15 0.84-1.83 Cypraeidae Cypraea (Erosaria) annulus (Linnaeus, 1758) 3 1 4 0.73-1.85 Cypraeidae Cypraea (palmadusta) asselus (Linnaeus, 1758) 1 1 1.45 Cypraeidae Cypraea eburnea (Barnes, 1824) 3 3 0.57-0.78
81
Lampiran 3.1 (lanjutan) Famili Genera Spesies GT.
1 GT.
2 GT.
3 Jumlah Ukuran Cangkang (cm)
Cypraeidea Cypraea microdon (Gray, 1828) 1 1 1.94 Cypraeidae Cypraea sp1 1 1 1.85 Drillidae Clavus bilineatus (Reeve, 1845) 4 4 0.74-1.23 Ellobiidae Cassidula nucleus (Gmelin, 1791) 1 1 1.10 Ellobiidae Melampus castaneus (Von Muhlfeld, 1816) 12 12 0.55-1.33 Ellobiidae Melampus flavus (Gmelin, 1791) 1 1 1.38 Fasciolariidae Hemipoligona armata (A. Adams, 1854 ) 1 1 1.00 Haminoeidae Aliculastrum cylindricus (Hebling, 1779) 1 1 0.80 Littorinidae
sp1 1 1 0.76
Littorinidae Tectarius grandinatus (Gmelin, 1791) 1 1 2.07 Littorinidae Littoraria (Littorinopsis) intermedia (Philippi, 1846) 1 1 1.06 Littorinidae Littoraria (Littorinopsis) scabra (Linnaeus, 1758) 1 1 1 3 0.82-1.36 Mitridae Fulgoraria (Fulgoraria) hamillei (Crosse, 1869) 6 1 7 0.93-1.28 Mitridae Mitra (Nebularia) aurantia aurantia (Gmelin, 1791) 1 1 0.50 Mitridae Mitra (Strigatella) paupecula (Linnaeus, 1758) 2 2 1.04-1.49 Mitridae Mitra (Nebularia) tabanula (Lamarck, 1811) 1 1 1.44 Mitridae Mitra (Nebularia) turgida (Reeve, 1844) 1 1 0.6 Mitridae Mitra (Nebularia) vexillum (Reeve, 1844) 1 1 1.7 Mitridae Imbricaria punctata (Swainson, 1821) 1 1 0.99 Mitridae Neocancilla papilio papilio (Link,1807) 1 1 2 0.73 ; 1.07 Mitridae
sp1 1 1 2 1.12
Mitridae
sp2 3 1 4 0.24-1.07 Muricidae Morula musiva (Kiener, 1836) 1 1 0.77 Muricidae
sp1 4 1 2 7 0.09-1.65
Muricidae
sp2 7 3 1 11 0.50-1.27 Nassariidae Hebra corticata (A. Adams, 1852) 1 1 0.76
82
Lampiran 3.1 (lanjutan) Famili Genera Spesies GT.
1 GT.
2 GT.
3 Jumlah Ukuran Cangkang (cm)
Nassaridae Hebra subspinosa (Lamarck, 1822) 1 1 1.16 Nassaridae Nassarius (Niotha) albescens gemmuliferus (A.Adams, 1852) 2 2 0.53-0.74 Nassaridae Nassarius globosus (Quoy & Gaimard, 1833) 1 1 0.93
Nassariidae Nassarius (Telasco) luridus (Gould, 1850) 2 2 4 1.57-2.01 Nassariidae Nassarius (Telasco) reeveanus (Dunker, 1847) 8 2 10 0.60-1.85 Nassariidae Nassarius (Niotha) sp1 2 2 1.07 ; 1.15 Naticidae Polinices tumidus (Swainson, 1840) 7 1 8 0.31-1.49 Naticidae Polinices (Neverita) powisianus (Recluz, 1844) 1 1 1.01 Naticidae Polinices melanostomus (Gmelin, 1791) 1 1 1.01 Naticidae Natica sp1 3 2 5 0.62 - 0.84 Naticidae Natica vitellus (Linnaeus, 1758) 1 1 0.57-1.00 Naticidae Polinices sebae (Recluz, 1844) 2 2 1.03 ; 1.24 Neritidae Puperita siquijorensis (Recluz, 1814) 1 1 0.59 Neritidae Clithon oualaniensis (Lesson, 1831) 75 75 0.25-0.47 Neritidae Clithon sp1 2 2 0.45 ; 0.72 Neritidae Nerita albicilla (Linne, 1758) 1 1 0.30 Neritidae Nerita chamaeleon (Linnaeus, 1758) 64 64 0.19 - 0.88 Neritidae Clithon oualaniensis (Lesson, 1831) 1 1 0.54 Neritidae Neritopsis radula (Linnaeus, 1758) 1 1 1.46 Pyramidellidae Pyramidella sulcata (A.Adams, 1854) 1 1 1.16 Pyramidellidae Pyramidella acus (Gmelin, 1791) 1 1 1,02 Ranellidae Gyrineum cuspidatum (Reeve, 1844) 1 1 0.65 Ranellidae Gyrineum gyrinum (Linnaeus, 1758) 1 1 1.35 Strombidae Strombus (Canarium) urceus urceus (Linnaeus, 1758) 3 8 11 2.14-3.74 Strombidae Strombus (Canarium) labiatus labiatus (Roding, 1798) 4 4 2.74-3.73 Strombidae Strombus marginatus (Linnaeus, 1758) 2 10 2 14 0.66-2.48
83
Lampiran 3.1 (lanjutan)
Famili Genera Spesies GT. 1
GT. 2
GT. 3 Jumlah Ukuran
Cangkang (cm) Strombidae Strombus (Canarium) mutabilis (Swainson, 1821) 1 1 2 2.48 ; 2.73 Strombidae Strombus (Canarium) ochroglottis betuleti (Kronenberg, 1991) 1 1 1.49 Terebriidae Conus eburneus (Hwass,1792) 3 3 2.40-3.87 Terebriidae Conus (Virroconus) coronatus (Gmelin, 1791) 4 2 1 7 1.07-1.65 Terebridae Conus (Pionoconus) magus (Linnaeus, 1758) 1 1 4.98 Terebriidae Conus (Virroconus) musicus (Hwass in Bruguiere, 1792) 2 2 0.92 ; 1.04 Terebriidae Conus (Rhizoconus) rattus (Hwass in Bruguiere, 1792) 1 1 1.09 Terebriidae Conus (Dauciconus) striatellus (Link 1807) 2 2 0.56-0.59 Terebriidae Conus (Lividoconus) sanguinoientus (Quoy & Gaimard, 1834) 1 1 1.10 Terebriidae Conus (Virroconus) sponsalis (Hwass in Bruguiere, 1791) 1 1 0.73 Terebriidae Conus sp1 1 1 0.57 Terebriidae Hastula acumen (Deshayes, 1859) 3 2 5 0.65-1.75 Terebriidae Terebra kilburni (Burch, 1965) 1 1 1.50 Turridae Lovellona atramentosa (Reeve, 1849) 1 1 0.84 famili = 26 Genera = 48 Spesies = 92 227 47 21 295
Keterangan: GT = Garis Transek
84
1.2 Komposisi gastropoda yang ditemukan di Wosi
Famili Genera Spesies GT. 1
GT. 2
GT. 3 Jumlah Ukuran
Cangkang (cm) Architectonicidae Architectonica perspectiva (Linnaeus, 1758) 2 3 5 0.11-1.47 Bullidae Bulla vernicossa (Gould, 1859) 2 2 0.68 ; 0.80 Cerithiidae Ataxocerithium abnormale (Sowerby, 1903) 1 1 0.78 Cerithiidae Rhinoclavis aspera (Linnaeus, 1758) 3 2 5 0.34-1.10 Cerithiidae Cerithium rostratum (Sowerby, 1855) 1 1 1.49 Coralliophilidae Peristenia incarnata (Kiener, 1840) 1 1 2.98 Costelariidae Vexillum balteolatum ( Reeve, 1844) 1 1 1.45 Costelariidae Vexillum (Costellaria) exasperatum (Gmelin, 1791) 2 2 1.42 ; 1.42 Costelariidae Vexillum (Costellaria) funereum (Reeve, 1845) 1 1 1.05 Costellariidae Vexillum (Costellaria) michaul (Crosce & Fishcer, 1864) 2 2 1.00-1.10 Costellariidae Vexillum (Costellaria) mirabile (A. Adams, 1853) 1 1 1.71 Costelariidae Vexillum rugosum (Gmelin, 1791) 6 6 0.88-1.13 Costelariidae Vexillum curviliratum (Sowerby, 1874) 3 3 0.80-1.26 Costelariidae Vexillum sp1 1 1 1.02 Costellariidae Vexillum (Costellaria) virgo (Linnaeus, 1758) 2 2 4 0.53-1.48 Cymatiidae Cymatium (Monoplex) nicobaricum (Roding, 1798) 1 1 4.00 Driliidae Ptychobela suturalis (Gray, 1878) 1 1 1.58 Epitoniidae Epitonium lamellosa (Lamarck, 1822) 1 1 0.51 Haeminoeidae Aliculastrum cylindricus (Helbling, 1779) 3 3 0.64-0.88 Harpidae Harpa amouretta (Roding, 1798) 1 1 2.87 Hipponicidae Gyroscala lamellosa (Lamarck, 1822) 1 1 0.6 Mitridae Fulgoraria sp1 2 2 0.83-1.02 Mitridae Fulgoraria (Fulgoraria) hamillei (Crosse, 1869) 1 1 0.76 Mitridae Domiporta praestanttisima (Roding, 1798) 1 1 0.84 Mitridae Ziba bacillum (Lamarck, 1811) 1 1 1.25
85
Lampiran 3.2 (lanjutan) Famili Genera Spesies GT.
1 GT.
2 GT.
3 Jumlah Ukuran Cangkang (cm)
Muricidae Chicoreus brunneus (Linnaeus, 1807) 1 6.42 Muricidae sp 2 sp2 2 1 3 0.78-1.00 Nassariidae Hebra corticata (A. Adams, 1852) 1 1 0.5 Nassariidae Nassarius (Niotha) acuticostus (Montrouzier in sowerby &
Mountrouzier, 1864) 1 1 1.10 Nassariidae Nassarius (Niotha) albescens gemmuliferus (A. Adams, 1852) 1 1 0.66 Nassariidae Nassarius coronatus (Bruguiere, 1792) 5 5 1.75-1.92 Nassariidae Nassarius (Telasco) luridus (Gould, 1850) 4 1 5 1.37-1.65 Nassariidae Nassarius (Zeuxis) margaritiferus (Dunker, 1847) 1 1 0.75 Nassariidae Nassarius (Telasco) reeveanus (Dunker, 1847) 3 8 13 24 0.48-1.45 Nassariidae Nassarius sp1 1 2 2 0.71-0.75 Naticidae Natica arachnoidea (Gmelin, 1791) 1 1 0.7 Naticidae Natica vitellus (Linnaeus, 1758) 1 1 2 0.87 ; 1.13 Naticidae Natica fasciata (Roding, 1798) 1 1 1.66 Naticidae Natica sp1 1 1 0.34 Neritidae Nerita chamaeleon (Linnaeus, 1758) 2 2 4 0.50-2.51 Naticidae Polinices tumidus (Swainson, 1840) 1 1 7 9 0.46-1.81 Olividae Anazola nebulosa (Lamarck, 1811) 2 2 1.05-1.65 Olividae Oliva (Oliva) caribaeensis (Dall & Simpson, 1901) 7 1 8 1.13-2.23 Olividae Oliva oliva formstellata (Duclos, 1835) 1 1 1.27 Olividae Oliva (Miniaceoliva) irisans (Lamarck, 1811) 1 1 2.1 Olividae Oliva oliva oliva (Linnaeus, 1758) 3 2 5 1.30-2.09 Olividae Oliva oliva taeniata (Link, 1807) 1 1 2.23 Olividae Oliva tigridella (Duclos, 1835) 1 3 4 1.89-1.94 Olividae Oliva (Galeola) todosina (Duclos, 1840) 2 2 0.62-0.70 Olividae Oliva (Viduoliva) vidua (Roding, 1798) 2 2 0.70-2.68
86
Lampiran 3.2 (lanjutan)
Famili Genera Spesies GT. 1
GT. 2
GT. 3 Jumlah Ukuran
Cangkang (cm) Strombidae Strombus marginatus (Linnaeus, 1758) 4 4 0.66-1.34 Strombidae Strombus (Canarium) ochroglotis betuleti (Konenberg, 1991) 2 2 1.28 ; 1.98 Strombidae Strombus sp1 1 1 1.78 Terebridae Conus (Pioconus) magus (Linnaeus, 1758)
1
1 1.47
Terebridae Conus (Rhizoconus) mustelinus (Hwass in Bruguiere, 1792) 1 1 0.95 Terebridae Conus monacus (Linnaeus, 1758) 1 1 2 0.81-1.29 Terebridae Conus (Dauciconus) muriculatus (Sowerby, 1833) 1 1 1.47 Terebridae Conus (Virroconus) musicus (Hwass in Bruguiere, 1792) 2 2 0.69 ; 0.69 Terebridae Conus (Virroconus) sponsalis (Hwass in Bruguiere, 1792) 1 1 0.99 Terebridae Conus sp1 1 1 2 0.54 ; 0.75 Terebridae Conus sp3 1 1 0.85 Terebridae Duplicaria duplicata (Linnaeus, 1758) 6 10 16 1.21-3.35 Terebridae Hastula acumen (Deshayes, 1859) 8 19 9 36 032-1.33 Terebridae Terebra jenningsi (R.D. Burch, 1965) 1 1 1.45 Triviidae Trivia sp1 1 1 0.76 Famili = 19 Genera = 32 Spesies = 67 43 93 70 206
Keterangan: GT = Garis Transek
87
1.3 Komposisi gastropoda yang ditemukan di Briosi
Famili Genera Spesies GT. 1
GT. 2
GT. 3
Jumlah Total
Ukuran Cangkang (cm)
Buccinidae Cantharus (Pollia) Dorbignyi (Payraudeau, 1826) 2 2 1.95 ; 2.33 Buccinidae Cantharus(Pollia) undusus (Linnaeus, 1758) 2 2 1.61 ; 2.40 Buccinidae Phos senticosus (Linnaeus, 1758) 1 1 1.33 Buccinidae Phos (Strongylocera) textilis (A. Adams, 1851) 1 1 0.93 Bullidae Bulla ampula (Linnaeus, 1758) 2 2 4 1.10 ; 1.74 Bullidae Bulla sp1 5 5 0.14-0.30 Bullidae Bulla vernicossa (Gould,1859) 1 10 11 0.70-2.34 Cerihiidae Cerithium aluco (Linnaeus, 1758) 1 1 1.30 Cerithiidae Ischinocerithium rostratum (Sowerby, 1855) 2 4 6 0.64 ; 3.33 Cerihiidae sp1 1 1 1.45 Cerihiidae Cerithium kobelti (Dunker, 1877) 1 1 1.39 Cerithiidae Cerithium columnum (Sowerby, 1834) 2 2 0.72 ; 1.38 Cerithiidae Pseudovertagus (Cerithidea) aluco (Linnaeus, 1758) 1 5 6 4.07-5.58 Cerithiidae Rhinoclavis aspera (Linnaeus, 1758) 1 3 2 6 1.06-2.61 Columbellidae Pyrene ocellata (Link, 1807) 2 2 1.20 ; 1.67 Columbellidae Pyrene sp1 1 1 1.65 Columbellidae Pyrene testudinaria (Link. 1807) 1 1 1.02 Columbellidae sp1 1 1 1.80 Costellariidae Hebra corticata (A. Adams, 1852) 1 7 8 0.80-1.10 Costellariidae Thala mirifica (Reeve, 1845) 1 1 1.90 Costellariidae Vexillum (Costellaria) exasperatum (Gmelin, 1791) 1 1 2 0.96 ; 1.71 Costellariidae Vexillum plicardium (Linnaeus, 1758) 1 5 3 9 0.79 - 3.22 Costellariidae sp1 2 1 3 0.60 ; 1.31 Costellariidae Vexillum (Costellaria) virgo (Linnaeus, 1767)
2 13 15 0.80-1.61
Coralliophilidae sp1
1 1 1.05
88
Lampiran 3.3 (lanjutan) Famili Genera Spesies GT. 1
GT. 2
GT. 3
Jumlah Total
Ukuran Cangkang (cm)
Cypraeidae Cypraea cameola (Linnaeus, 1758) 1 1 2.10 Cypraeidae Cypraea cylindrica (Born, 1778) 1 1 1.10 Cypraeidae Cypraea eburnea (Barnes, 1824) 2 2 0.81; 0.72 Cypraeidae Cypraea eglantina (Duclos, 1833) 1 1 2.30 Cypraeidae Cypraea pallida (Gray, 1824) 1 1 2.18 Cypraeidae Cypraea punctata (Linne, 1771) 1 1 1.03 Cypraeidae Cypraea quadrimaculata (Gray, 1824) 2 2 0.74 ; 0.90 Cypraeidae Cypraea sp1 1 1 2.05 Cypraeidae sp1 3 3 0.77-0.83 Cypraeidae Erosaria eburnea (Barnes, 1824) 1 1 0.65 Eulimidae Melanella grandis (A. Adams, 1854) 1 1 1.25 Fasciolariidae Peristernis nassatula (Lamarck, 1822) 2 2 0.80-1.00 Littorinidae Littorina scabra (Linne, 1758) 1 1 0.82 Littorinidae Tectarius tectumpersicum (Linnaeus, 1758) 1 1 1.89 Marginellidae Marginella maginelloides (Reeve, 1848) 1 1 0.92 Mitridae Fulgoraria (Fulgoraria) hamilei (Crosse, 1869) 1 2 3 1.06-1.66 Mitridae Fulgoraria sp1 2 2 4 1.07-1.97 Mitridae Mitra (Nebularia) rosacea (Reeve, 1845) 1 1 1.20 Mitridae Mitra (Nebularis) tabanula (Lamarck, 1811) 1 1 0.67 Mitridae Mitra sp1 1 1 1.60 Muricidae Drupella rugosa (Born, 1778) 1 1 2.07 Muricidae Lataxiena fimbriata (Hinds, 1844) 1 1 2 1.06 ; 1.52 Muricidae Morula purpureocincta (Preston, 1909) 1 1 1.30 Muricidae Morula biconica (Blainville, 1832) 1 1 1.06 Muricidae sp2 1 1 0.94 Muricidae sp2 3 3 0.39-1.16
89
Lampiran 3.3 (lanjutan) Famili Genera Spesies GT.
1 GT.
2 GT.
3 Jumlah Total
Ukuran Cangkang (cm)
Naticidae Natica fasciata (Roding, 1798) 2
6 8 0.10-0.65 Naticidae Natica vitellus (Linne,1758) 6 1 7 0.66-1.49 Naticidae Polinices aurantius (Roding, 1798) 1 1 0.94 Naticidae Polinices didyma (Roding, 1798) 1 1 1.32 Naticidae Polinices (Mammilla) sp 1 1 1 2 0.66 ; 0.95 Naticidae Polinices melanostomus (Gmelin, 1791) 1 1 1.10 Naticidae Polinices sebae (Recluz, 1844) 2 2 1.33 ; 1.37 Naticidae Polinices sp 1 3 3 0.70-0.75 Naticidae Polinices tumidus (Swainson, 1840) 4 1 5 0.39-1.24 Nassariidae Nassarius albescens (Dunker, 1847) 1 1 1.17 Nassariidae Nassarius callopsira (Linnaeus, 1758) 1 1 1.10 Nassariidae Nassarius (Plicarccularia) globosus (Quoy & Gaimard, 1833) 3 4 7 0.85-1.25 Nassariidae Nassarius (Telasco) limnaeformis (Dunker, 1847) 1 1 1.84 Nassariidae Nassarius (Telasco) luridus (Gould, 1850) 3 3 1.07-1.81 Nassariidae Nassarius (Telasco) reeveanus (Dunker, 1847) 4 3 7 0.60-1.22 Nassariidae Nasarius sp 1 7 7 0.60-1.01 Neritidae Nerita albicilla (linnaeus, 1758) 3 3 0.40-0.70 Neritidae Nerita chamaeleon (linne, 1758) 12 12 0.30-0.67 Neritidae Nerita sp 1 2 2 0.25-0.30 Neritidae Neritopsis radula (Linnaeus, 1758) 1 1 1.14 Olividae Oliva annulata (Gmelin, 1791) 1 1 3.00 Olividae Oliva oliva (Linne, 1758) 1 1 2.62 Olividae Oliva sp 1 1 1 0.45 Pyramidellidae Pyramidella acus (Gmelin, 1791) 1 1 1.17 Pyramidellidae Pyramidella sulcata (A. Adams, 1854) 1 1 1.15 Strombidae Strombus (Canarium) eryhtrinus (Drilwyn, 1817) 3 3 2.55-2.83
90
Lampiran 3.3 (lanjutan) Famili Genera Spesies GT.
1 GT.
2 GT.
3 Jumlah Total
Ukuran Cangkang (cm)
Strombidae Strombus gibberulus gibbosus (Roding, 1798)
1 1 3.83 Strombidae Strombus minimus (Linnaeus, 1758)
1 1 0.94
Strombidae Strombus (Canarium) mutabilis (Swainson, 1821) 1 1 2.40 Strombidae Strombus (Canarium) ochroglottis betuleti (Konenberg, 1991) 2 11 13 1.21-2.59 Strombidae Strombus urceus (Linne, 1758) 4 5 9 1.62-3.50 Strombidae Strombus variab (Swainson,1870) 1 1 1.25 Strombidae Strombus (Doxander) vittatus vitattatus (Linn,1758) 1 1 2 2.49 ; 2.50 Terebriidae Hastula acumen (Deshayes, 1859) 2 2 0.60 ; 0.60 Terebriidae Conus cerus (Hwass in Bruguiere, 1792) 1 1 2.30 Terebridae Conus (Virroconus) coronatus (Gmelin, 1791) 3 1 2 6 0.63-1.60 Terebridae Conus distance (Hwass, 1792) 1 6 7 0.67-1.42 Terebriidae Conus eburneus (Hwass, 1792) 1 1 2.30 Terebridae Conus imperialis (Linnaeus, 1758) 1 1 1.14 Terebriidae Conus magus (Linnaeus, 1758) 1 1 1.17 Terebridae Conus miles (Linnaeus, 1758) 1 1 1.72 Terebriidae Conus monachus (Linne, 1758) 8 8 0.90-1.03 Terebriidae Conus planorbis (Born, 1778) 1 1 1.10 Terebridae Conus sp1 2 3 3 8 0.72-1.97 Terebridae Conus sp2 1 2 3 0.54-0.8 Terebriidae Conus sp3 3 3 0.90-1.02 Terebriidae Conus sugillatus (Reeve, 1844) 3 3 0.50-1.05 Terebridae Conus terebra (Born, 1778) 2 2 4 0.56-1.54 Triviidae Trivia sp1 1 1 2 0.74 ; 0.79 Turbinidae Astralium calcar (Linnaeus, 1758) 1 1 2.48 Turridae Pseudovertagus sp1 1 1 1.77 Turridae sp1 1 1 2 1.44 ; 1.70
91
Lampiran 3.3 (lanjutan)
Famili Genera Spesies GT. 1
GT. 2
GT. 3
Jumlah Total
Ukuran Cangkang (cm)
Turridae Turricula nelliae spurius (Hedley, 1922)
1
1 2.21 Turridae Turris babylonia (Linnaeus, 1758) 1 1 2.90 Vasidae Vasum ceramicum (Linnaeus, 1758) 1 1 2.57 Famili = 25 Genera = 46 Spesies = 106 47 77 178 302
Keterangan: GT = Garis Transek
92
1.4 Komposisi gastropoda yang ditemukan di Padarni
Famili Genera Spesies GT. 1
GT. 2
GT. 3 Jumlah Ukuran
Cangkang (cm) Buccinidae Bursa tuberosisa sixa (Reeve, 1844) 1 1 3.03 Buccinidae Engina zonalis (Lamarck, 1822) 1 1 1.12 Buccinidae Euplica turturina (Lamarck, 1822) 3 1 4 0.96-1.15 Cerithiidae Cerithium columnum (Sowerby, 1834) 1 1 1.24 Cerithiidae Cerithium rostratum (Sowerby, 1855) 1 2 3 1.39-2.25 Cerithiidae Rhinoclavis aspera (Linnaeus, 1758) 1 1 2 0.99-2.70 Cerithiidae Rhinoclavis sp 1 1 1 2.14 Cirridae Trochus sp 1 1 1 2.71 Columbellidae Pyrene sp 1 1 2 3 0.73-0,93 Costellariidae Vexillum (Pusia) caveum (Reeve, 1844) 1 1 1.08 Costellariidae Vexillum (Costeltaria) exasperatum (Gmelin, 1971) 1 1 2 4 0.90-1.34 Costellariidae Vexillum (Costellaria) michaul (Crosse & Fischer, 1864) 2 2 0,54-1,00 Costellariidae Vexillum plicarium (Linnaeus, 1758) 1 2 3 3.1-4.07 Costellariidae Vexillum sp 2 1 1 1.10 Costellariidae Vexillum (Costeltaria) virgo (Linnaeus, 1767) 2 6 8 0.92-1.63 Cypraeidae Cypraea cylindrica (Born, 1778) 1 1 2.02 Cypraeidae Cypraea (Erosaria) annulus (Linnaeus, 1758) 1 1 1.02 Cypraeidae Cypraea (Palmadusta) asellus (Linnaeus, 1758) 1 1 1.02 Cypraeidae Cypraea lynx (Linnaeus, 1758) 1 1 3.45 Cymatiidae Gyrineum cuspidatum (Reeve, 1844) 4 4 0.90-1.05 Drilliidae Clavus sp 1 1 1 1.31 Drilliidae Clavus bilineatus (Reeve, 1845) 1 1 1.26 Ellobiidae Melampus castaneus (Von Muhlfeld, 1816) 1 1 1.15
93
Lampiran 3.4 (lanjutan) Famili Genera Spesies GT.
1 GT.
2 GT.
3 Jumlah Ukuran Cangkang (cm)
Fasciolariidae Colubraria souverbii (Reeve, 1844)
1 1 1.04 Harpidae Harpa amouretta (Roding, 1798) 1 1 2 2.70 ; 2.93 Littorinidae Nodilittorina vidua (Gould, 1859) 1 1 1.33 Mitridae Fulgoraria (Fulgoraria) hamillei (Crosse, 1869) 2 6 8 0.84-1.57 Mitridae Fulgoraria sp 1 1 1 1.61 Mitridae "Ziba" insculpta (A. Adams, 1853) 1 1 1.00 Mitridae Mitra (Nebularia) aurantia aurantia (Gmelin, 1791) 2 2 1.34 ; 1.95 Mitridae Mitra (Nebularia) tabanula (Lamarck, 1811) 1 1 1.10 Mitridae Imbricaria conularis (Lamarck, 1811) 1 1 0.95 Muricidae Drupa ricinus (Linnaeus, 1758) 1 1 1.66 Muricidae sp 1 sp 1 5 12 5 22 0.34-1.70 Muricidae sp 2 sp 2 6 2 10 18 0.54-1.48 Muricidae sp 3 sp 3 2 2 1.29-1.52 Muricidae Maculotriton serriale (Deshayes, 1834) 1 2 3 1.02-1.17 Muricidae Lataxiena fimbriata (Hinds, 1844) 2 2 1.17 ; 1.80 Muricidae Morulina fusca (Kustler, ) 3 3 1.59-2.65 Muricidae Orania walkeri (Sowerby, 1903) 1 1 2.10 Modulidae Modulus tectus (Gmelin, 1791) 1 1 1.26 Nassariidae Hebra corticata (A. Adams, 1852) 2 10 12 0.70-1.13 Nassariidae Nassarius albescens (Dunker, 1847) 3 3 1.02-1.35 Nassariidae Nassarius (Niotha) acuticostrus (Montrouzier in Sowerby &
Montrouzier, 1864) 1 1 1.48
Nassariidae Nassarius coronatus (Bruguire, 1792) 2 2 1.95 ; 2.17 Nassariidae Nassarius (Plicarcularia) globosus (Quoy & Gaimard 1833) 20 111 131 0.51-1.27
94
Lampiran 3.4 (lanjutan) Famili Genera Spesies GT.
1 GT.
2 GT.
3 Jumlah Ukuran Cangkang (cm)
Nassariidae Nassarius (Telasco) luridus (Gould, 1850) 2 2 1.38-1.90 Nassariidae Nassarius (Niotha) sp 1
1 1 1.34
Nassariidae Nassarius (Zeuxis) olivaceus (Bruguiere, 1782) 4 4 1.40-1.52 Nassariidae Nassarius pullus (Linne, 1758) 1 1 1.8 Nassariidae Nassarius (Telasco) reeveanus (Dunker, 1847) 2 1 5 8 0.57-1.13 Naticidae Natica sp1 2 2 0.53-1.00 Naticidae Polinices tumidus (Swainson, 1840) 2 2 1.05 ; 1.14 Ovulidae Margovula tinctilis (Cate, 1973) 1 1 0.76 Ovulidae Capurnus verrucossus (Linn, 1758) 1 1 1.38 Pyramidellidae Milda ventricosa (Guirin, 1831) 1 2 3 1.91-2.00 Pyramidellidae Otopleura auriscati (Holten, 1802) 1 1 1.66 Pyramidellidae Pyramidella sulcata (A. Adams, 1854) 3 1 4 1.14-1.47 Ranellidae Cymatium (Ranularia) armatum (Sowerby, 1897) 5 5 0.85-1.02 Ranellidae Cymatium lotorium (Linnaeus, 1758) 2 2 0.85-1.87 Ranellidae Cymatium (Reticutriton) pfeifferianum (Reeve, 1844) 1 1 2.74 Ranellidae Gyrineum gyrinenum (Linnaeus, 1758) 1 1 2.67 Ranellidae Gyrineum lacunatum (Mighels, 1845) 1 1 0.77 Ranellidae Gyrineum narrator (Roding, 1798) 1 1 2.25 Strombidae Strombus (Gibberolus) giberullus gibbosus (Roding,1798) 5 5 2.34-4.15 Strombidae Strombus marginatus (Linneaeus, 1758) 5 7 7 17 0.80-3.03 Strombidae Strombus (Canarium) labiatus labiatus (Roding, 1798) 1 1 2 2.66 ; 2.96 Strombidae Strombus (Canarium) ochroglottis betuleti (Konenberg, 1991) 22 22 0.52-2.34 Strombidae Strombus (Canarium) urceus urceus (Linn, 1753) 2 2 1 5 2.04-3.33 Terebridae Conus (Strioconus) aurisiacus (Linnaeus, 1758) 1 1 0.74
95
Lampiran 3.4 (lanjutan)
Famili Genera Spesies GT. 1
GT. 2
GT. 3 Jumlah Ukuran
Cangkang (cm) Terebridae Conus (Virroconus) coronatus (Gmelin, 1791) 9 1 2 12 0.78-1.59 Terebridae Conus (Lividoconus) lividus (Hwass in Bruguiere, 1792) 2 2 0.63-1.27 Terebridae Conus monacus (Linnaeus, 1758)
1 1 0.76
Terebridae Conus (Dauciconus) muriculatus (Sowerby, 1833) 1 1 2 1.00 ; 1.26 Terebridae Conus (Virroconus) musicus (Hwass in Bruguiere, 1792) 4 4 0.73-1.10 Terebridae Conus (Rhizoconus) mustelinus (Hwass in Bruguiere, 1792) 2 2 0.84-0.87 Terebridae Conus nocturnus (Lightfoot, 1786) 1 1 1.69 Terebridae Conus (Virroconus) sponsalis (Hwass in Bruguiera, 1792) 1 1 1.64 Terebridae Conus sp1 6 1 6 0.65-1.69 Terebridae Conus sp2 3 1 2 6 0.60-1.10 Terebridae Hastula acumen (Deshayes, 1859) 1 1 0.65 Triviidae Trivia sp1 6 1 5 12 0.50-0.90 Turbinidae Astralium rhodustomum (Lamarck, 1822) 1 1 2.60 Turridae Ina Visitor intertincta (E.A. Smith, 1877) 1 1 2.61 Famili = 25 Genera = 44 Spesies = 84 55 107 201 363
Keterangan: GT = Garis Transek
96
Lampiran 4 Matriks korelasi Pearson (n) antar faktor fisika-kimia perairan dan tipe substrat
Variables Suhu Kekeruhan Kec.arus pH DO Salinitas NO NH3 PO3 BOD4 TOM 5 Pasir Debu Liat
Suhu 1 -0.232 0.884 0.879 -0.863 0.822 -0.855 0.741 -0.617 -0.940 0.730 -0.667 -0.830 0.897
Kekeruhan -0.232 1 -0.488 0.166 -0.130 0.050 -0.250 0.188 0.805 -0.113 0.495 -0.419 0.719 -0.033
Kec. arus 0.884 -0.488 1 0.772 -0.801 0.843 -0.710 0.342 -0.888 -0.737 0.459 -0.251 -0.841 0.592
pH 0.879 0.166 0.772 1 -0.995 0.964 -0.995 0.630 -0.398 -0.960 0.911 -0.678 -0.485 0.740
DO -0.863 -0.130 -0.801 -0.995 1 -0.985 0.984 -0.555 0.450 0.932 -0.875 0.604 0.482 -0.684
Salinitas 0.822 0.050 0.843 0.964 -0.985 1 -0.940 0.413 -0.541 -0.865 0.787 -0.460 -0.479 0.575
NO -0.855 3 -0.250 -0.710 -0.995 0.984 -0.940 1 -0.668 0.309 0.964 -0.946 0.731 0.428 -0.752
NH 0.741 3 0.188 0.342 0.630 -0.555 0.413 -0.668 1 0.015 -0.814 0.773 -0.968 -0.491 0.958
PO -0.617 4 0.805 -0.888 -0.398 0.450 -0.541 0.309 0.015 1 0.355 0.000 -0.169 0.828 -0.272
BOD -0.940 5 -0.113 -0.737 -0.960 0.932 -0.865 0.964 -0.814 0.355 1 -0.919 0.821 0.594 -0.898
TOM 0.730 0.495 0.459 0.911 -0.875 0.787 -0.946 0.773 0.000 -0.919 1 -0.872 -0.231 0.763
Pasir -0.667 -0.419 -0.251 -0.678 0.604 -0.460 0.731 -0.968 -0.169 0.821 -0.872 1 0.296 -0.889
Debu -0.830 0.719 -0.841 -0.485 0.482 -0.479 0.428 -0.491 0.828 0.594 -0.231 0.296 1 -0.701
Liat 0.897 -0.033 0.592 0.740 -0.684 0.575 -0.752 0.958 -0.272 -0.898 0.763 -0.889 -0.701 1
Values in bold are different from 0 with a significance level alpha=0.05
97
Lampiran 5 (a) Tabel data parameter fisika-kimia perairan dan tekstur substrat (b) Eigenvalues, (c) Korelasi antara variabel dengan faktor, (d) nilai kontribusi variabel (%), (e) Dendogram kesamaan lokasi berdasarkan parameter fisika-kimia perairan dan lokasi penelitian
(a) Tabel data parameter fisika-kimia perairan dan tekstur substrat
Parameter Fisika-Kimia
Satuan Pengukuran Rendani Wosi Briosi Padarni
Suhu o31.10 C 30.47 31.80 33.53
Kekeruhan NTU 1.55 5.97 4.25 3.59 pH 7.81 7.83 7.91 7.94 DO air (mg/l) 7.26 7.02 5.67 5.35 Salinitas ‰ 29.33 29.33 35.00 35.00 NO3 air (mg/l) 0.63 0.50 0.27 0.13 NH3 air (mg/l) 0,45 0.66 0.46 1.06 PO4 air (mg/l) 0.26 0.64 0.28 0.28 BOD5 (mg/l) 12.35 11.39 9.39 6.17 TOM air (mgKMnO4 9.71 /l) 12.77 13.53 15.57 Pasir % 59.04 37.86 50.03 19.85 Liat % 40.54 59.61 48.55 32.17 Debu % 0.43 2.54 1.42 29.68
(a) Eigenvalues
F1 F2 F3 Eigenvalue 8.840 2.832 1.329 Variability (%) 67.998 21.781 10.221 Cumulative % 67.998 89.779 100.000
(c) Tabel korelasi antara variabel (parameter fisika-kimia perairan) dengan
faktor (lokasi penelitian) Variabel F1 F2 F3 Suhu -0.952 -0.292 0.092 Kekeruhan -0.077 0.974 -0.214 pH -0.961 0.034 -0.276 DO 0.935 0.018 0.353 Salinitas -0.872 -0.122 -0.474 NO 0.961 3 -0.126 0.248 NH -0.803 3 0.249 0.542 PO 0.391 4 0.900 0.192 BOD 0.999 5 -0.039 -0.005 TOM -0.904 0.415 -0.104 Pasir 0.802 -0.452 -0.390 Debu 0.621 0.718 -0.315 Liat -0.897 -0.007 0.441
98
Lampiran 5 (lanjutan)
(d) Tabel Nilai kontribusi variabel (%) Variabel F1 F2 F3 Suhu 10.249 3.020 0.642 Kekeruhan 0.067 33.487 3.455 pH 10.438 0.040 5.729 DO 9.896 0.011 9.397 Salinitas 8.606 0.522 16.894 NO 10.439 3 0.563 4.613 NH 7.289 3 2.190 22.104 PO 1.727 4 28.619 2.786 BOD 11.295 5 0.053 0.002 TOM 9.244 6.078 0.808 Pasir 7.278 7.230 11.434 Debu 4.362 18.184 7.487 Liat 9.110 0.002 14.648
(e) Dendogram kesamaan lokasi berdasarkan parameter fisika-kimia perairan
dan lokasi penelitian
Pada
rni
Wos
i
Rend
ani
Brio
si
0,693694
0,743694
0,793694
0,843694
0,893694
0,943694
0,993694
Sim
ilari
ty
Dendrogram
99
Lampiran 6 (a) Eigenvalues, (b) Tabel korelasi antara variabel dengan faktor, (c) Tabel nilai kontribusi variabel (%) (a) Eigenvalue
(b) Tabel korelasi antara variabel (parameter fisika-kimia perairan) dengan faktor (spesies lamun)
Variabel F1 F2 F3 C. rotundata 0.465 3.817 29.946 C. serrulata 4.228 10.098 2.550 H. pinifolia 1.580 14.667 2.016 H. uninervis 4.073 10.891 1.362 H. ovalis 2.617 13.575 0.688 S. isoetifolim 1.739 6.412 19.639 T. hemprichii 6.427 3.677 8.780 Suhu 9.100 0.694 5.728 Kkr 0.191 13.726 9.095 pH 11.074 0.001 0.146 DO 10.899 0.081 0.597 Sal 10.128 0.764 1.872 NO3 10.953 0.194 0.154 NH3 4.906 3.600 14.429 PO4 1.920 14.459 1.253 BOD5 10.535 0.171 1.713 TOM 9.165 3.172 0.031
F1 F2 F3 Eigenvalue 8.997 5.505 2.498 Variability (%) 52.923 32.384 14.694 Cumulative % 52.923 85.306 100.000
100
Lampran 6 (lanjutan)
(c) Tabel nilai kontribusi variabel (%)
Variabel F1 F2 F3 C. rotundata 0.042 0.210 0.748 C. serrulata 0.380 0.556 0.064 H. pinifolia 0.142 0.807 0.050 H. uninervis 0.366 0.600 0.034 H. ovalis 0.235 0.747 0.017 S. isoetifolim 0.156 0.353 0.491 T. hemprichii 0.578 0.202 0.219 Suhu 0.819 0.038 0.143 Kekeruhan 0.017 0.756 0.227 pH 0.996 0.000 0.004 DO 0.981 0.004 0.015 Salinitas 0.911 0.042 0.047 NO 0.985 3 0.011 0.004 NH 0.441 3 0.198 0.360 PO 0.173 4 0.796 0.031 BOD 0.948 5 0.009 0.043 TOM 0.825 0.175 0.001
101
Lampiran 7 Hasil analisis faktorial koresponden; (a) Eigen value dan kumulatif (%), (b) Kualitas representasi, kosinus kuadrat (kolom)
a. Eigenvalue dan kumulatif (%)
F1 F2 F3 Eigenvalue 0.554 0.496 0.451 Inertia (%) 36.918 33.050 30.032 Cumulative % 36.918 69.968 100.000
b. Kualitas representasi, kosinus kuadrat (kolom) F1 F2 F3
Cr = C. rotundata 0.118 0.266 0.616 Cs = C. serrulata 0.643 0.119 0.238 Hp = H. pinifolia 0.124 0.863 0.013 Hu = H. uninervis 0.901 0.060 0.039 Ho = H. ovalis 0.082 0.898 0.020 Si = S. isoetifolium 0.205 0.241 0.554 Th = T. hemprichii 0.220 0.009 0.771 Cou = Clithon oualaniensis 0.025 0.654 0.321 Nch = Nerita chamaeleon 0.025 0.654 0.321 Be = Bulla vernicossa 0.028 0.970 0.002 Vvi = Vexillum virgo 0.025 0.654 0.321 Sma = Strombus marginatus 0.629 0.024 0.347 Mca = Melampus castaneus 0.025 0.654 0.321 Ms2 = Muricidae sp 2 0.641 0.104 0.256 Suu = Strombus urceus 0.025 0.654 0.321 Vex = Vexillum exasperatum 0.025 0.654 0.321 Nre = Nassarius reeveanus 0.601 0.151 0.248 Hac = Hastula acumen 0.819 0.141 0.040 Ddu = Duplicaria duplicata 0.819 0.141 0.040 Ptu = Polinices tumidus 0.819 0.141 0.040 Oca = Oliva caribaensis 0.819 0.141 0.040 Vru = Vexillum rugosum 0.819 0.141 0.040 Ape = Architectonica perspectiva 0.819 0.141 0.040 Nco = Nassarius coronatus 0.819 0.141 0.040 Nlu = Nassarius luridus 0.819 0.141 0.040 Ras = Rhinoclavis aspera 0.819 0.141 0.040 Vvi = Vexillum virgo 0.000 0.048 0.952 Soc = Strombus orchroglottis betuleti 0.000 0.048 0.952 Nch = Nerita chamaeleon 0.000 0.048 0.952 Sur = Strombus urceus 0.000 0.048 0.952 Vpl = Vexillum plicardium 0.000 0.048 0.952 Cmo = Conus monachus 0.000 0.048 0.952
102
Lampiran 7 (lanjutan)
Cs1 = Conus sp 1 0.000 0.048 0.952 Hco = Hebra corticata 0.430 0.325 0.244 Nfa = Natica fasciata 0.000 0.048 0.952 Ngl = Nassarius globosus 0.439 0.532 0.029 Ms1 = Muricidae sp 1 0.439 0.532 0.029 Soc = Strombus orchroglottis betuleti 0.439 0.532 0.029 Cco = Conus coronatus 0.439 0.532 0.029 Ts1 = Trivia sp 1 0.439 0.532 0.029 Fha = Fulgoraria hamilei 0.439 0.532 0.029
104
Lampiran 8 Foto beberapa spesies gastropoda yang ditemukan pada keempat lokasi penelitian
a. Beberapa spesies gastropoda yang ditemukan di Rendani
Melampus fasciatus (1.20 cm)
Cypraea (Palmadusta) asselus (1.45 cm)
Cypraea (Erosaria) annulus (1.24 cm)
Conus eburneus (3.61 (cm)
Conus (Pionoconus) magus (4.47 cm)
Polinices tumidus (0.49 cm)
Mitra (Nebularia) tabanula (1.44 cm)
Mitra (Strigatella) paupecula (1.49 cm)
Muricidae sp 1 (1.12 cm)
Strombus (Canarium) mutabilis (2.48 cm)
105
Lampiran 8 (lanjutan)
b. Beberapa spesies gastropoda yang ditemukan di Wosi
Architectonica perspectiva (1.47 cm)
Harpa amoureta (2.87 cm)
Nassarius reeveanus (1.76 cm)
Chicoreus bruneus (6.42 cm) Duplicaria duplicata
(3.02 cm)
Natica fasciata (1.66 cm)
Oliva (Miniaceoliva) irisans (2.1 cm)
Vexillum (Costellaria) mirabile (1.71 cm)
Nassarius coronatus (1.75 cm)
Oliva olive formasella (1.27 cm)
Oliva vidua (2.68 cm)
Oliva trigidella (1.89 cm)
106
Lampiran 8 (lanjutan)
c. Beberapa spesies gastropoda yang ditemukan di Briosi
Conus coronatus (1.60 cm)
Fulgoraria hamilei (1.23 cm)
Nassarius Telasco) luridus (1.64 cm)
Pyrene ocellata (1.28 cm) Vexillum virgo (1.96 cm)
Nassarius (Plicaccularia) globosus (1.10 cm)
Oliva coronatus (1.10 cm)
Cantharus (Pollici) undusus (2.40 cm)
Strombus marginatus (2.20 cm)
Bulla vermicosa (2.87 cm)
Pseudovertagus aluco (4.07 cm)
Conus cerus (2.30 cm)
107
Lampiran 8 (lampiran)
d. Beberapa spesies gastropoda yang ditemukan di Padarni
Cypraea lynx (3.25 cm)
Gyrineum narrator (2.25 cm)
Gyrineum gyrinenum (2.67 cm)
Nassarius coronatus (1.95 cm) Strombus gibberulus
gibbosus (2.96 cm)
Strombus ochroglottis betuleti (1.76 cm)
Trochus sp (2.71 cm)
Strombus (Canarium) urceus urceus (3.00 cm)
Nassarius (Zeuxis) olivaceus (1.50 cm)
Gyrineum cuspidatum (1.05 cm)
Milda ventricosa (1.91 cm)
Otopleura auricati (1.60 cm)
Drupa ricinus (1.66 cm)