penggunaan metode template matching untuk mendeteksi cacat

5
1 Abstrakโ€”Quality control sangat dibutuhkan dalam bidang industri terutama dalam produksi peluru. Satu-satunya perusahaan industri dan manufaktur yang memproduksi peluru adalah PT. PINDAD. Proses identifikasi cacat pada produksi peluru yang dilakukan oleh PT. PINDAD masih menggunakan inspeksi secara manual atau dengan mengandalkan tenaga manusia. Oleh karena itu, diperlukan penelitian agar identifikasi menjadi lebih cepat dan efisien. Dalam penelitian ini, penulis melakukan akuisisi citra pada peluru sehingga didapatkan 11 data citra peluru yang baik dan 21 data citra peluru yang cacat. Selanjutnya dilakukan proses pengolahan citra yang dimulai dari pembacaan citra, cropping, grayscalling, resize, peningkatan mutu citra melalui penapisan serta pengambangan, hingga hasil akhir citra yang menunjukkan cacat tidaknya sebuah citra peluru. Dari 21 data citra peluru yang cacat terbagi atas 9 citra cacat tipe I (terlihat secara kasat mata) dan 12 citra cacat cacat tipe II (tidak terlihat secara kasat mata), didapatkan 7 citra peluru yang terdeteksi untuk cacat tipe I dengan prosentase 77,78% dan 5 citra peluru yang terdeteksi untuk cacat tipe II dengan prosentase 41,67%. Kata Kunciโ€”Deteksi Cacat, Template Matching, Cacat Peluru, Image Processing, Phase-Only Correlation (POC). I. PENDAHULUAN AAT ini, perusahaan senjata menjadi sektor yang sangat penting untuk pembuatan peluru. Satu-satunya perusahaan yang memproduksi peluru adalah PT. PINDAD. Secara garis besar, pembuatan peluru kaliber kecil dari kaliber 5,56 mm hingga 12,7 mm terbagi kedalam tiga bagian, yaitu pembuatan selongsong, pembuatan pelor, dan assembling atau penyelesaian [6]. Semua fase produksi yang dilakukan oleh PT. PINDAD secara teknis dipertahankan sampai tahap akhir dari proses manufaktur yang muncul. Kadang-kadang diperlukan juga untuk memeriksa hasil produksi yang dihasilkan agar mereka dapat melayani kebutuhan pelanggan, yaitu untuk mengetahui peluru yang cacat. Sehingga merupakan tugas penting untuk mengkategorikan peluru-peluru tersebut setelah produksi berdasarkan cacat permukaan. Metode manual dari inspeksi cacat bersifat padat karya, lambat dan subyektif. Meskipun otomatis dalam penyortiran dan pengepakan tidak menutup kemungkinan adanya peluru-peluru yang cacat. Penilaian manusia dipengaruhi oleh perkiraan dan pengetahuan sebelumnya. Di sisi lain, dalam kasus-kasus โ€œyang jelasโ€, sebagian besar peneliti setuju bahwa cacat tersebut ada, bahkan ketika mereka tidak dapat mengidentifikasi struktur. Seperti kasus pengawasan tentu saja membosankan, subyektif dan mahal. Untuk semua alasan ini tidak ada yang dapat menyangkal pentingnya suatu aplikasi untuk deteksi cacat [1]. Tuntutan dunia kerja yang serba cepat dan akurat ini, membuat orang mengembangkan proses pengolahan citra digital yang menawarkan waktu proses lebih cepat dan memungkinkan pemanfaatan yang seluas-luasnya. Sistem pengolahan citra digital sangatlah luas. Template matching dengan ciri khas sebagai patokan sebagai salah satu pengembangan dari pengolahan citra digital. Sistem template matching dapat mengidentifikasi cacat pada peluru. II. DASAR TEORI A. Pengolahan Citra Digital Citra digital dapat dinyatakan sebagai suatu fungsi dua dimensi (, ), dengan maupun adalah posisi koordinat sedangkan merupakan amplitudo pada posisi (, ) yang sering dikenal sebagai intensitas atau gray scale (Gonzales, 2002). Nilai dari intensitas bentuknya adalah diskrit mulai dari 0 sampai 255. Citra yang ditangkap oleh kamera dan telah dikuantisasi dalam bentuk nilai diskrit disebut sebagai citra digital (digital image). Sedangkan foto hasil cetak dari printer tidak dapat disebut sebagai citra digital, namun foto yang tersimpan pada file gambar (bmp, jpg, png atau format lainnya) pada komputer dapat disebut citra digital. Jadi citra digital tersusun dari sejumlah nilai tingkat keabuan yang dikenal sebagai piksel (pixel) pada posisi tertentu. Untuk melakukan pemrosesan citra digital, maka citra analog harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam bentuk citra digital. Proses scanning menggunakan scanner merupakan salah satu proses konversi dari suatu citra analog menjadi citra digital. Proses pengambilan atau penangkapan suatu objek menggunakan kamera digital akan langsung menghasilkan citra digital. Ada dua jenis citra digital, citra diam (still image) dan citra bergerak (moving image). Pada prinsipnya citra bergerak adalah sekumpulan citra diam dalam bentuk frame- Penggunaan Metode Template Matching Untuk Mendeteksi Cacat Pada Produksi Peluru. Amilia Khoiro Masruri dan Budi Setiyono Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail: [email protected] S

Upload: others

Post on 25-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penggunaan Metode Template Matching Untuk Mendeteksi Cacat

1

Abstrakโ€”Quality control sangat dibutuhkan dalam bidang industri terutama dalam produksi peluru. Satu-satunya perusahaan industri dan manufaktur yang memproduksi peluru adalah PT. PINDAD. Proses identifikasi cacat pada produksi peluru yang dilakukan oleh PT. PINDAD masih menggunakan inspeksi secara manual atau dengan mengandalkan tenaga manusia. Oleh karena itu, diperlukan penelitian agar identifikasi menjadi lebih cepat dan efisien.

Dalam penelitian ini, penulis melakukan akuisisi citra pada peluru sehingga didapatkan 11 data citra peluru yang baik dan 21 data citra peluru yang cacat. Selanjutnya dilakukan proses pengolahan citra yang dimulai dari pembacaan citra, cropping, grayscalling, resize, peningkatan mutu citra melalui penapisan serta pengambangan, hingga hasil akhir citra yang menunjukkan cacat tidaknya sebuah citra peluru.

Dari 21 data citra peluru yang cacat terbagi atas 9 citra cacat tipe I (terlihat secara kasat mata) dan 12 citra cacat cacat tipe II (tidak terlihat secara kasat mata), didapatkan 7 citra peluru yang terdeteksi untuk cacat tipe I dengan prosentase 77,78% dan 5 citra peluru yang terdeteksi untuk cacat tipe II dengan prosentase 41,67%.

Kata Kunciโ€”Deteksi Cacat, Template Matching, Cacat Peluru, Image Processing, Phase-Only Correlation (POC).

I. PENDAHULUAN AAT ini, perusahaan senjata menjadi sektor yang sangat penting untuk pembuatan peluru. Satu-satunya perusahaan yang memproduksi peluru adalah PT.

PINDAD. Secara garis besar, pembuatan peluru kaliber kecil dari kaliber 5,56 mm hingga 12,7 mm terbagi kedalam tiga bagian, yaitu pembuatan selongsong, pembuatan pelor, dan assembling atau penyelesaian [6]. Semua fase produksi yang dilakukan oleh PT. PINDAD secara teknis dipertahankan sampai tahap akhir dari proses manufaktur yang muncul. Kadang-kadang diperlukan juga untuk memeriksa hasil produksi yang dihasilkan agar mereka dapat melayani kebutuhan pelanggan, yaitu untuk mengetahui peluru yang cacat. Sehingga merupakan tugas penting untuk mengkategorikan peluru-peluru tersebut setelah produksi berdasarkan cacat permukaan. Metode manual dari inspeksi cacat bersifat padat karya, lambat dan subyektif. Meskipun

otomatis dalam penyortiran dan pengepakan tidak menutup kemungkinan adanya peluru-peluru yang cacat. Penilaian manusia dipengaruhi oleh perkiraan dan pengetahuan sebelumnya. Di sisi lain, dalam kasus-kasus โ€œyang jelasโ€, sebagian besar peneliti setuju bahwa cacat tersebut ada, bahkan ketika mereka tidak dapat mengidentifikasi struktur. Seperti kasus pengawasan tentu saja membosankan, subyektif dan mahal. Untuk semua alasan ini tidak ada yang dapat menyangkal pentingnya suatu aplikasi untuk deteksi cacat [1].

Tuntutan dunia kerja yang serba cepat dan akurat ini, membuat orang mengembangkan proses pengolahan citra digital yang menawarkan waktu proses lebih cepat dan memungkinkan pemanfaatan yang seluas-luasnya. Sistem pengolahan citra digital sangatlah luas. Template matching dengan ciri khas sebagai patokan sebagai salah satu pengembangan dari pengolahan citra digital. Sistem template matching dapat mengidentifikasi cacat pada peluru.

II. DASAR TEORI

A. Pengolahan Citra Digital Citra digital dapat dinyatakan sebagai suatu fungsi dua

dimensi ๐‘“๐‘“(๐‘ฅ๐‘ฅ,๐‘ฆ๐‘ฆ), dengan ๐‘ฅ๐‘ฅ maupun ๐‘ฆ๐‘ฆ adalah posisi koordinat sedangkan ๐‘“๐‘“ merupakan amplitudo pada posisi (๐‘ฅ๐‘ฅ,๐‘ฆ๐‘ฆ) yang sering dikenal sebagai intensitas atau gray scale (Gonzales, 2002). Nilai dari intensitas bentuknya adalah diskrit mulai dari 0 sampai 255. Citra yang ditangkap oleh kamera dan telah dikuantisasi dalam bentuk nilai diskrit disebut sebagai citra digital (digital image). Sedangkan foto hasil cetak dari printer tidak dapat disebut sebagai citra digital, namun foto yang tersimpan pada file gambar (bmp, jpg, png atau format lainnya) pada komputer dapat disebut citra digital. Jadi citra digital tersusun dari sejumlah nilai tingkat keabuan yang dikenal sebagai piksel (pixel) pada posisi tertentu. Untuk melakukan pemrosesan citra digital, maka citra analog harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam bentuk citra digital. Proses scanning menggunakan scanner merupakan salah satu proses konversi dari suatu citra analog menjadi citra digital. Proses pengambilan atau penangkapan suatu objek menggunakan kamera digital akan langsung menghasilkan citra digital. Ada dua jenis citra digital, citra diam (still image) dan citra bergerak (moving image). Pada prinsipnya citra bergerak adalah sekumpulan citra diam dalam bentuk frame-

Penggunaan Metode Template Matching Untuk Mendeteksi Cacat Pada Produksi Peluru.

Amilia Khoiro Masruri dan Budi Setiyono Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh

Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111

E-mail: [email protected]

S

Page 2: Penggunaan Metode Template Matching Untuk Mendeteksi Cacat

2

frame. Suatu citra digital dapat dinyatakan dengan persamaan 2.1. ๐‘“๐‘“(๐‘ฅ๐‘ฅ,๐‘ฆ๐‘ฆ) =

โŽ

โŽœโŽœโŽœโŽœโŽœโŽ›

๐‘“๐‘“(1,1) ๐‘“๐‘“(1,2) ๐‘“๐‘“(1,3)๐‘“๐‘“(2,1) ๐‘“๐‘“(2,2) ๐‘“๐‘“(2,3)๐‘“๐‘“(3,1) ๐‘“๐‘“(3,2) ๐‘“๐‘“(3,3)

โ‹ฏ๐‘“๐‘“(1,๐‘š๐‘š)๐‘“๐‘“(2,๐‘š๐‘š)๐‘“๐‘“(3,๐‘š๐‘š)

๐‘“๐‘“(4,1) ๐‘“๐‘“(4,2) ๐‘“๐‘“(4,3)๐‘“๐‘“(5,1) ๐‘“๐‘“(5,2) ๐‘“๐‘“(5,3)

๐‘“๐‘“(4,๐‘š๐‘š)๐‘“๐‘“(5,๐‘š๐‘š)

โ‹ฎ โ‹ฑ โ‹ฎ๐‘“๐‘“(๐‘š๐‘š โˆ’ 1,1) ๐‘“๐‘“(๐‘š๐‘šโˆ’ 1,2) ๐‘“๐‘“(๐‘š๐‘š โˆ’ 1,3)๐‘“๐‘“(๐‘š๐‘š, 1) ๐‘“๐‘“(๐‘š๐‘š, 2) ๐‘“๐‘“(๐‘š๐‘š, 3) โ‹ฏ

๐‘“๐‘“(๐‘š๐‘šโˆ’ 1,๐‘›๐‘›)๐‘“๐‘“(๐‘š๐‘š,๐‘›๐‘›) โŽ 

โŽŸโŽŸโŽŸโŽŸโŽŸโŽž

Dari persamaan 2.1, citra digital dapat dinyatakan sebagai

matriks dengan tinggi citra = ๐‘š๐‘š dan lebar citra = ๐‘›๐‘›. Pengolahan citra juga merupakan bagian dari pengolahan

sinyal yang difokuskan kepada pengolahan yang berkaitan dengan gambar-gambar. Fungsinya adalah untuk meningkatkan kualitas citra untuk keperluan persepsi visual manusia ataupun komputer.

Gambar 2.1 Proses Pengolahan Citra Digital

B. Peningkatan Mutu Citra Peningkatan mutu citra dilakukan untuk memperoleh

keindahan citra, kepentingan analisis citra, serta mengoreksi citra dari segala gangguan yang terjadi pada waktu perekaman data. Peningkatan mutu citra dilakukan sampai citra siap dianalisis. Sebelum memasuki proses identifikasi cacat pada peluru, dilakukan operasi pengolahan citra digital, yaitu penapisan citra (filtering) dan pengambangan citra (thresholding).

1. Penapisan citra (Filtering) Penapisan citra dilakukan bila citra yang akan

dianalisis memiliki derau sehingga perlu dihaluskan dengan tapis citra. Perancangan tapis dengan memanipulasi piksel-piksel tetangga membuat citra lebih halus, bentuk sudut dan tepi citra tetap terjaga. Pada proses perekaman, citra digital bersifat frekuensi rendah dimana terjadi proses pemerataan intensitas cahaya pada suatu titik sampel dengan titik-titik tetangganya. Gangguan lain yang sering terjadi pada proses perekaman citra digital adalah terjadinya gangguan berbentuk garis-garis akibat adanya kerusakan pada sebagian detektor sensor. High-Pass Filter akan memperkuat komponen yang berfrekuensi tinggi dan menurunkan komponen berfrekuensi rendah.

2. Pengambangan citra (Thresholding) Pengambangan citra (thresholding) merupakan salah

satu teknik segmentasi yang baik digunakan untuk citra dengan perbedaan nilai intensitas yang signifikan antara latar belakang dan objek utama (Katz, 2000). Dalam pelaksanaannya, thresholding membutuhkan suatu nilai yang

digunakan sebagai nilai pembatas antara objek utama dengan latar belakang dan nilai tersebut dinamakan dengan threshold.

C. Template Matching Template matching merupakan salah satu teknik dalam

pengolahan citra digital yang berfungsi untuk mencocokkan tiap-tiap bagian dari suatu citra dengan citra yang akan diuji (template). Teknik ini banyak digunakan dalam bidang industri sebagai bagian dari quality control [2]. Metode ini juga sering digunakan untuk mengidentifikasi citra karakter huruf, angka, sidik jari (fingerprint) dan aplikasi-aplikasi pencocokan citra lainnya.

Prinsip metode ini adalah membandingkan antara citra acuan yang akan dikenali dengan citra template. Citra acuan yang akan dikenali mempunyai tingkat kemiripan sendiri terhadap masing-masing citra template. Pengenalan dilakukan dengan melihat nilai tingkat kemiripan tertinggi dan nilai batas ambang pengenalan dari citra objek tersebut. Bila nilai tingkat kemiripan berada di bawah nilai batas ambang maka citra objek tidak dikenal [3]. Adapun hal-hal yang mempengaruhi dalam identifikasi cacat pada peluru adalah sebagai berikut:

1. Posisi Citra peluru bisa berbeda-beda tergantung pada

keadaan waktu diambil oleh kamera, bisa karena pergeseran, perpindahan dan perputaran posisi. Oleh karena itu, posisi citra perlu diperbaiki apabila posisi citra tidak tepat, sebelum citra menuju ke proses template matching.

2. Kondisi Citra Ketika sebuah citra dibentuk, faktor seperti

pencahayaan dan karakteristik kamera mempengaruhi citra peluru.

D. Phase-Only Correlation (POC) Phase-Only Correlation (POC) merupakan fungsi teknik

registrasi gambar dengan akurasi tinggi. Registrasi gambar dengan menggunakan POC memungkinkan memprediksi letak antara gambar dengan ketelitian subpiksel [5].

Jika terdapat 2 citra berukuran ๐‘๐‘1 ร— ๐‘๐‘2, yaitu ๐‘“๐‘“(๐‘›๐‘›1,๐‘›๐‘›2) dan ๐‘”๐‘”(๐‘›๐‘›1,๐‘›๐‘›2), untuk penyederhanaan diasumsikan bahwa ๐‘›๐‘›1 = โˆ’๐‘€๐‘€1 โ€ฆ .๐‘€๐‘€1 dan ๐‘›๐‘›2 = โˆ’๐‘€๐‘€2 โ€ฆ .๐‘€๐‘€2, karena itu ๐‘๐‘1 =2๐‘€๐‘€1 + 1 dan ๐‘๐‘2 = 2๐‘€๐‘€2 + 1. Bentuk Transformasi Fourier Diskrit dari kedua gambar tersebut dinyatakan dengan [5]:

๐น๐น(๐‘˜๐‘˜1, ๐‘˜๐‘˜2) = โˆ‘ ๐‘“๐‘“(๐‘›๐‘›1,๐‘›๐‘›2)๐‘›๐‘›1๐‘›๐‘›2 ๐‘Š๐‘Š๐‘๐‘1

๐‘˜๐‘˜1๐‘›๐‘›1๐‘Š๐‘Š๐‘๐‘2

๐‘˜๐‘˜2๐‘›๐‘›2 = ๐ด๐ด๐น๐น(๐‘˜๐‘˜1, ๐‘˜๐‘˜2)๐‘’๐‘’๐‘—๐‘—๐œƒ๐œƒ๐น๐น(๐‘˜๐‘˜1,๐‘˜๐‘˜2)

๐บ๐บ(๐‘˜๐‘˜1, ๐‘˜๐‘˜2) = โˆ‘ ๐‘”๐‘”(๐‘›๐‘›1,๐‘›๐‘›2)๐‘›๐‘›1๐‘›๐‘›2 ๐‘Š๐‘Š๐‘๐‘1

๐‘˜๐‘˜1๐‘›๐‘›1๐‘Š๐‘Š๐‘๐‘2

๐‘˜๐‘˜2๐‘›๐‘›2 = ๐ด๐ด๐บ๐บ(๐‘˜๐‘˜1,๐‘˜๐‘˜2)๐‘’๐‘’๐‘—๐‘—๐œƒ๐œƒ๐บ๐บ (๐‘˜๐‘˜1,๐‘˜๐‘˜2)

dengan ๐‘˜๐‘˜1 = โˆ’๐‘€๐‘€1 โ€ฆ .๐‘€๐‘€1, ๐‘˜๐‘˜2 = โˆ’๐‘€๐‘€2 โ€ฆ .๐‘€๐‘€2, ๐‘Š๐‘Š๐‘๐‘1 = ๐‘’๐‘’โˆ’๐‘—๐‘—2๐›ฑ๐›ฑ๐‘๐‘1 ,

๐‘Š๐‘Š๐‘๐‘2 = ๐‘’๐‘’โˆ’๐‘—๐‘—2๐›ฑ๐›ฑ๐‘๐‘2 dan operator โˆ‘๐‘›๐‘›1๐‘›๐‘›2 mendefinisikan

โˆ‘ โˆ‘๐‘€๐‘€2๐‘›๐‘›2=โˆ’๐‘€๐‘€2

๐‘€๐‘€1๐‘›๐‘›1=โˆ’๐‘€๐‘€1

. ๐ด๐ด๐น๐น(๐‘˜๐‘˜1, ๐‘˜๐‘˜2) dan ๐ด๐ด๐บ๐บ(๐‘˜๐‘˜1,๐‘˜๐‘˜2) adalah

(2.1)

Citra Awal (Citra yang

belum diolah)

Citra Akhir (Citra yang

sudah diolah)

Pengolahan Citra (Proses pengolahan

Citra Awal)

(2.2)

(2.3)

Page 3: Penggunaan Metode Template Matching Untuk Mendeteksi Cacat

3

komponen amplitude dan ๐‘’๐‘’๐‘—๐‘—๐œƒ๐œƒ๐น๐น(๐‘˜๐‘˜1,๐‘˜๐‘˜2) dan ๐‘’๐‘’๐‘—๐‘—๐œƒ๐œƒ๐บ๐บ (๐‘˜๐‘˜1,๐‘˜๐‘˜2) adalah komponen fase.

Sedangkan spektrum silang (cross spectrum) ๐‘…๐‘…๏ฟฝ(๐‘˜๐‘˜1,๐‘˜๐‘˜2) antara ๐น๐น(๐‘˜๐‘˜1, ๐‘˜๐‘˜2) dan ๐บ๐บ(๐‘˜๐‘˜1, ๐‘˜๐‘˜2) ditunjukkan dengan rumus:

๐‘…๐‘…(๐‘˜๐‘˜1,๐‘˜๐‘˜2) = ๐น๐น(๐‘˜๐‘˜1,๐‘˜๐‘˜2)๐บ๐บ(๐‘˜๐‘˜1,๐‘˜๐‘˜2)๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ

๐น๐น(๐‘˜๐‘˜1,๐‘˜๐‘˜2)๐บ๐บ(๐‘˜๐‘˜1,๐‘˜๐‘˜2)๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ

= ๐‘’๐‘’๐‘—๐‘—๐œƒ๐œƒ (๐‘˜๐‘˜ ,๐‘˜๐‘˜21 ) dengan ๐บ๐บ(๐‘˜๐‘˜1, ๐‘˜๐‘˜2) menyatakan konjungsi kompleks dari ๐œƒ๐œƒ(๐‘˜๐‘˜1,๐‘˜๐‘˜2) = ๐œƒ๐œƒ๐น๐น(๐‘˜๐‘˜1, ๐‘˜๐‘˜2) โˆ’ ๐œƒ๐œƒ๐บ๐บ(๐‘˜๐‘˜1,๐‘˜๐‘˜2) dan ๐บ๐บ(๐‘˜๐‘˜1, ๐‘˜๐‘˜2). Fungsi POC ๏ฟฝฬ‚๏ฟฝ๐‘Ÿ(๐‘›๐‘›1,๐‘›๐‘›2) merupakan invers transformasi fourier diskrit 2D dari ๐‘…๐‘…๏ฟฝ(๐‘˜๐‘˜1, ๐‘˜๐‘˜2) dan dirumuskan sebagai berikut:

๏ฟฝฬ‚๏ฟฝ๐‘Ÿ(๐‘›๐‘›1,๐‘›๐‘›2) = 1๐‘๐‘1๐‘๐‘2

โˆ‘ ๐‘…๐‘…๏ฟฝ(๐‘˜๐‘˜1,๐‘˜๐‘˜2)๐‘˜๐‘˜1,๐‘˜๐‘˜2 ๐‘Š๐‘Š๐‘๐‘1

โˆ’๐‘˜๐‘˜1๐‘›๐‘›1๐‘Š๐‘Š๐‘๐‘2

โˆ’๐‘˜๐‘˜2๐‘›๐‘›2 dengan โˆ‘๐‘˜๐‘˜1๐‘˜๐‘˜2 mendefinisikan โˆ‘ โˆ‘๐‘€๐‘€2

๐‘˜๐‘˜2=โˆ’๐‘€๐‘€2๐‘€๐‘€1๐‘˜๐‘˜1=โˆ’๐‘€๐‘€1

.

Gambar 2.2 Contoh Fungsi POC ๏ฟฝฬ‚๏ฟฝ๐‘Ÿ (๐‘›๐‘›1,๐‘›๐‘›2)๐‘“๐‘“๐‘”๐‘” dan Fungsi Korelasi

Biasa ๐‘Ÿ๐‘Ÿ (๐‘›๐‘›1,๐‘›๐‘›2)๐‘“๐‘“๐‘”๐‘” : (a) Citra ๐‘“๐‘“(๐‘›๐‘›1,๐‘›๐‘›2), (b) Citra ๐‘”๐‘”(๐‘›๐‘›1,๐‘›๐‘›2), (c) Fungsi POC antara 2 citra identik (citra ๐‘“๐‘“(๐‘›๐‘›1,๐‘›๐‘›2)), (d) Fungsi POC antara ๐‘“๐‘“(๐‘›๐‘›1,๐‘›๐‘›2) dan ๐‘”๐‘”(๐‘›๐‘›1,๐‘›๐‘›2), (e) Fungsi korelasi biasa antara 2 citra identik (citra ๐‘“๐‘“(๐‘›๐‘›1,๐‘›๐‘›2)), (f) Fungsi korelasi antara ๐‘“๐‘“(๐‘›๐‘›1,๐‘›๐‘›2)

dan ๐‘”๐‘”(๐‘›๐‘›1,๐‘›๐‘›2).

Dari fungsi POC, dapat diperoleh besaran perpindahan secara translasi dan derajat kesamaan dari dua citra berdasarkan posisi dan ketinggian puncak korelasi (correlation peak).

Pada gambar 2.2 menunjukkan contoh matching dengan menggunakan fungsi POC. Apabila kedua gambar tersebut sama maka fungsi POC akan menghasilkan perbedaan puncak yang jelas, sebaliknya jika kedua gambar tersebut tidak sama maka puncak akan turun secara signifikan. Sehingga fungsi POC menunjukkan semakin tinggi perbedaan dibandingkan fungsi korelasi pada umumnya.

Keunggulan dari fungsi POC adalah hasil pencocokan tidak dipengaruhi oleh pergeseran gambar karena perubahan kecerahan, sehingga sangat kuat terhadap noise.

III. PERANCANGAN SISTEM Pada perancangan ini menggunakan bahasa pemrograman

Matlab yang mempunyai tombol perintah yang lengkap dan

berguna untuk merancang aplikasi yang memiliki tampilan seperti aplikasi lain berbasis Windows.

Algoritma identifikasi cacat pada peluru menggunakan metode template matching adalah sebagai berikut:

1. Membaca berkas citra berwarna yang akan digunakan sebagai citra acuan.

2. Melakukan proses cropping pada citra dengan tujuan untuk mengambil bagian objek peluru.

3. Melakukan proses pengubahan citra acuan dan citra template menjadi citra grayscale.

4. Melakukan penyamaan ukuran agar ukuran citra acuan dengan citra template sama besar.

5. Melakukan penapisan citra (filtering). 6. Menerapkan proses pengambangan citra (thresholding)

terhadap citra acuan dengan citra masukan. 7. Melakukan template matching antara citra acuan

dengan citra masukan.

Secara umum pembuatan aplikasi ini mengikuti blok diagram seperti gambar 3.1.

Gambar 3.1 Blok Diagram Identifikasi Cacat Pada Peluru Menggunakan Metode Template Matching

A. Pembacaan Citra Citra yang diolah adalah citra digital yang diperoleh dari

hasil pemotretan peluru. Citra tersebut dianggap sebagai citra

(2.4)

(2.5)

Citra peluru acuan

Membaca citra peluru

Cropping

Grayscaling

Penyamaan ukuran citra

Penapisan

Pengambangan

Template Matching

Citra peluru template

Hitung Nilai POC

Akuisisi Citra

Pre-processing untuk citra peluru acuan

Pembandingan nilai threshold

Page 4: Penggunaan Metode Template Matching Untuk Mendeteksi Cacat

4

acuan. Citra hasil pemotretan sudah dalam bentuk digital dengan berkas penyimpanan berekstensi *.jpg.

B. Proses Cropping Karena pada proses template matching dipengaruhi oleh

posisi dan kondisi citra, maka dilakukan proses cropping pada citra yang kemudian akan diambil bagian objeknya saja. Hal ini dilakukan untuk mempermudah proses template matching.

C. Pengubahan Citra Warna menjadi Citra Grayscale Citra yang dibaca adalah citra yang dikenali sebagai citra

warna (RGB). Proses pengolahan citra warna lebih sulit dilakukan karena citra warna mengandung tiga komponen warna utama (merah, hijau, biru) yang membutuhkan pengolahan lebih kompleks, sehingga citra perlu diubah dahulu menjadi citra grayscale untuk mempermudah pengolahan. Nilai warna Merah, Hijau dan Biru masing-masing dibagi tiga untuk mendapatkan citra grayscale.

D. Penyamaan Ukuran Citra (Resize) Proses ini dilakukan untuk menyamakan ukuran citra

acuan dengan citra template karena pada metode template matching selain dipengaruhi oleh posisi dan kondisi citra, metode ini juga sangat dipengaruhi oleh ukuran citra.

E. Penapisan Citra (Filtering) Dalam proses penapisan ini dilakukan dengan tapis

median karena tapis ini menghaluskan data sekaligus mempertahankan detail kecil dan tajam.

F. Pengambangan Citra (Thresholding) Pada proses pengambangan citra menggunakan metode

otsu. Metode otsu bertujuan untuk membagi histogram citra gray level ke dalam dua daerah yang berbeda secara otomatis tanpa membutuhkan bantuan pengguna untuk memasukkan nilai ambang [4]. Pendekatan yang dilakukan metode otsu adalah dengan melakukan analisis diskriminan yaitu menentukan suatu variabel yang dapat membedakan antara dua atau lebih kelompok yang muncul secara alami. Analisis diskriminan akan memaksimumkan variabel tersebut agar dapat membagi objek latar depan dan latar belakang.

G. Template Matching Proses template matching dalam identifikasi cacat peluru

menggunakan perhitungan POC (Phase-Only Correlation). Dalam proses ini akan didapatkan nilai POC (Phase-Only Correlation) antara bagian dari citra acuan dengan citra template.

IV. HASIL DAN PENGUJIAN Pada penelitian ini diperoleh hasil perhitungan nilai POC

yang menunjukkan bahwa peluru tersebut cacat atau tidak cacat.

A. Hasil Uji Coba dan Pembahasan Pada pengujian ini, data yang digunakan adalah citra

peluru yang diambil dengan posisi, pencahayaan dan jarak pengambilan yang sama untuk setiap peluru. Setelah itu dilakukan uji coba terhadap 11 data citra peluru yang baik untuk dicari citra acuannya. Citra acuan yang dipilih adalah citra yang memiliki nilai POC terkecil. Berikut adalah hasil

pengujian terhadap citra peluru yang baik dengan citra peluru yang cacat.

Tabel 1. Hasil Pengujian Citra Peluru yang Baik

Dari hasil pengujian pada tabel diatas diperoleh nilai POC

terkecil yaitu 0.0514 pada citra acuan Bagus5 sehingga dapat dijadikan nilai batas ambang serta citra acuan. Berikut ini adalah citra yang akan dijadikan acuan ditunjukkan pada gambar 4.1.

Gambar 4.1 Citra Acuan

Dari 21 data citra peluru yang cacat diklasifikasikan

menjadi 2 tipe, yaitu: โ€ข Tipe I: citra peluru yang cacatnya terlihat secara kasat

mata. โ€ข Tipe II: citra peluru yang cacatnya tidak terlihat

secara kasat mata.

Gambar 4.2 Citra Cacat Tipe I

Gambar 4.3 Citra Cacat Tipe II

Selanjutnya akan dilakukan uji coba terhadap 21 data citra

yang terdiri dari 9 citra cacat tipe I (terlihat secara kasat mata) dan 12 citra cacat tipe II (tidak terlihat secara kasat mata).

Page 5: Penggunaan Metode Template Matching Untuk Mendeteksi Cacat

5

Berikut adalah hasil pengujian identifikasi terhadap citra peluru yang cacat.

Tabel 2. Hasil Pengujian Identifikasi Citra Cacat Tipe I

Tabel 3. Hasil Pengujian Identifikasi Citra Cacat Tipe II

Dari hasil pengujian pada tabel di atas, citra cacat tipe I diperoleh 4 citra yang terdeteksi dari 9 data citra cacat tipe I sehingga prosentasenya mencapai 44,44%. Sedangkan untuk citra cacat tipe II diperoleh 4 citra yang terdeteksi dari 12 data citra cacat tipe II sehingga prosentasenya mencapai 33,33%.

V. KESIMPULAN 1. Untuk mendapatkan hasil akhir identifikasi yang

tepat maka kondisi atau lingkungan penangkap citra peluru harus sama antara citra peluru acuan dengan citra peluru template. Kondisi yang dimaksud diantaranya pencahayaan, ukuran, serta posisi objek citra.

2. Penambahan filter yang cocok digunakan dalam sistem ini adalah High-Pass Filter, karena dengan menggunakan High-Pass Filter tingkat keberhasilannya mencapai 44,44% untuk identifikasi cacat tipe I dan 33,33% untuk identifikasi cacat tipe II.

VI. DAFTAR PUSTAKA [1] Rahaman, G. M. A. and Hossain, Md. M. (2009, May). Automatic

Defect Detection and Classification Technique from Image: a Special Using Ceramic Tiles. (UCSIS) International Journal of Computer Science and Information Security, 1, 1, 0906-3770.

[2] Wardhana, A. W. dan Prayudi, Y. (2008, 21 Juni). Penggunaan Metode Template Matching Untuk Identifikasi Kecacatan Pada PCB. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2008 (SNATI 2008), 1907-5022.

[3] Ahmad, U. (2005). Pengolahan Citra Digital dan Teknik Pemrogramannya. Yogyakarta: Graha Ilmu.

[4] Gonzalez, R. C. and Woods, R. E. (2002). Digital Image Processing Second Edition. USA: Prentice Hall.

[5] Ito, K., Nakajima, H., Kobayashi, K., Aoki, T., Higuchi, T. (2004). A Fingerprint Matching Algorithm Using Phase-Only Correlation. IEICE Trans. Fundamentals E87-A.

[6] Fadillah, Ramadhian. 2008. Inilah Cara membuat Peluru dan Bom. http://news.detik.com/read/2008/11/03/100009/1030130/10/inilah-cara-membuat-peluru-dan-bom. Diakses 5 Maret 2014.