penggunaan metode kisah dan penanaman nilai …etheses.iainponorogo.ac.id/3065/1/julia...

104
PENGGUNAAN METODE KISAH DAN PENANAMAN NILAI KETELADANAN DALAM MENINGKATKAN MINAT BELAJAR SISWA KELAS X PADA MATA PELAJARAN PAI DI SMKN 1 JENANGAN PONOROGO SKRIPSI OLEH: JULIA INDA NIM: 210314165 OLEH JULIA INDAH PRATIWI NIM: 210314165 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO JULI 2018

Upload: others

Post on 04-Sep-2019

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENGGUNAAN METODE KISAH DAN PENANAMAN NILAI

KETELADANAN DALAM MENINGKATKAN MINAT BELAJAR

SISWA KELAS X PADA MATA PELAJARAN PAI DI SMKN 1

JENANGAN PONOROGO

SKRIPSI

OLEH:

JULIA INDA

NIM: 210314165

OLEH

JULIA INDAH PRATIWI

NIM: 210314165

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

JULI 2018

ABSTRAK

Pratiwi, Julia Indah, 2018. Penggunaan Metode Kisah dan Penanaman Nilai Keteladanan dalam

Meningkatkan Minat Belajar Siswa Kelas X Pada Mata Pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan

Ponorogo. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

Institut Agama Islam Negeri Ponorogo. Pembimbing Muhamad Nurdin, M.Ag.

Kata Kunci: Metode Kisah, Penanaman Nilai Keteladanan, Minat Belajar, PAI

Penggunaan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan merupakan metode yang penting dalam

menanamkan nilai-nilai kepada siswa serta menumbuhkan minat belajar siswa. Hal ini dilakukan karena

pendidikan kurang dalam menyadarkan nilai secara bermakna. Dimana pemaknaan pendidikan yang

syarat dengan penanaman nilai bergeser pada pemaknaan pengajaran yang berkonotasi sebagai transfer

pengetahuan. Sehingga menjadikan tantangan para pendidik dalam menanamkan nilai-nilai keteladanan.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui alasan menggunakan metode kisah dan penanaman

nilai keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran PAI kelas X di SMKN 1

Jenangan Ponorogo. (2) mengetahui jenis metode kisah dan penanaman nilai keteladanan bagi siswa kelas

X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo. (3) mengetahui hasil penerapan metode kisah

dan penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran PAI kelas

X di SMKN 1 Jenangan Ponorogo.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis

penelitian studi kasus. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik

analisis data model interaktif (alur) Miles dan Huberman yang meliputi data reduction, data display, dan

conclusion/verivication.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa (1) Latar belakang penggunaan metode kisah dan

penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di

SMKN 1 Jenangan Ponorogo, karena dengan kisah dapat menyentuh hati, sehingga siswa senang akan

adanya kisah dan siswa suka meniru serta meneladani guru, sehingga dengan rasa suka minat belajar

mereka terbangun. (2) Jenis metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat

belajar siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo, belum menggunakan

metode cerita menurut Moeslichatoen, melainkan menggunakan bentuk metode cerita tanpa alat peraga

dengan bercerita secara langsung menggunakan lisan yang dibawakan secara humor. Menggunakan bentuk

metode keteladanan disengaja dengan menceritakan kisah Rasulullah dan pengalaman hidup serta kisah

moral, membawa anak ke masjid untuk sholat dhuha, pemberian contoh menjadi imam sholat dan ikut

dalam kegiatan bakti sosial. Sedangkan bentuk metode keteladanan tidak disengaja, dari sikap guru yang

ramah, baik, humoris, sering menasehati, pemberian amalan, doa-doa dan sunah rasul, serta pembiasaan

sholat dhuha dan pembacaan asma>ul h}usna. (3) Hasil penerapan metode kisah dan penanaman nilai

keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1

Jenangan Ponorogo, siswa lebih mudah memahami isi materi dan menerapkan ilmu yang dipelajarinya. Hal

tersebut telah dilaksanakan dalam bentuk pembiasaan sholat dhuha dan membaca asma>ul h}usna, amalan-

amalan, doa-doa, serta sunah rasul. Hasil terhadap minat belajar siswa meningkat, karena siswa lebih suka

dan memiliki perhatian lebih dalam belajar, sehingga mengalami peningkatan hasil belajar dengan rata-rata

siswa mendapatkan nilai 90, sedangkan sebelumnya rata-rata siswa hanya mendapatkan nilai 80.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rendahnya mutu Pendidikan Nasional tidak hanya disebabkan oleh

kelemahan pendidikan dalam membekali kemampuan akademis kepada peserta didik.

Lebih dari itu ada hal lain yang tidak kalah penting, yaitu kurangnya penyadaran nilai

secara bermakna. Dimana pemaknaan pendidikan yang syarat dengan penanaman

nilai bergeser pada pemaknaan pengajaran yang berkonotasi sebagai transfer

pengetahuan.1

Hal ini merupakan tantangan para pendidik untuk dapat menanamkan nilai

sebagai suatu kebiasaan berperilaku dari nilai-nilai yang diperoleh siswa di sekolah.

Dimana penanaman nilai merupakan salah satu pendekatan dari pendidikan nilai yang

perlu diaktualisasikan kepada peserta didik.

Pendidikan nilai itu sendiri dalam ranah ilmu pengetahuan merupakan

aksiologi pendidikan, sejauh mana pendidikan memunculkan dan menerapkan nilai

kepada peserta didik. Inilah kajian pendidikan nilai yaitu meneliti, menelaah dan

menemukan kaidah kebermanfaatan ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Menurut

Sastraprateja pendidikan nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada

diri seseorang.2

1 Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung: Alfabeta, 2011), 146-

147.

2 Ibid., 11-12.

Penanaman nilai yang diambil peneliti di sini ialah penanaman nilai

keteladanan. Keteladanan adalah perbuatan yang patut ditiru dan dicontoh.

Penanaman nilai keteladanan ini sendiri harus diemban oleh para pendidik serta

menjadikan figur kepribadian pendidik sebagai panutan bagi peserta didik, agar

peserta didik tidak hanya mendapatkan suapan ilmu pengetahuan secara kognitif,

melainkan juga menempatkan sisi afektif untuk menerapkan nilai tersebut menjadi

suatu kebiasaan dalam hidupnya. Hal ini penting diterapkan agar peserta didik benar-

benar dapat mengambil nilai dari pendidikan yang diajarkan di sekolah. Oleh karena

itu, guru maupun pendidik harus dapat mempertimbangkan dan memilih metode

pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dengan melihat

ketertarikan/minat belajar peserta didik itu sendiri agar diperoleh pembelajaran yang

efektif.

Penggunaan metode-metode yang sering dipakai, seperti metode ceramah,

metode diskusi, dan metode tanya jawab. Metode yang dapat diambil peneliti untuk

mengatasi masalah tersebut ialah dengan menggunakan metode kisah dan penanaman

nilai keteladanan. Dengan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan,

pembelajaran dapat berjalan menyenangkan serta dapat menanamkan nilai

keteladanan dari para tokoh dalam kisah tersebut untuk dijadikan panutan dalam

berperilaku siswa.

Guru PAI dalam proses pembelajaran di kelas dapat menerapkan proses

penanaman nilai dengan memanfaatkan keungulan nilai dalam cerita Islam yang

terdapat dalam kandungan ayat Al-Quran atau Hadis, melalui cerita nabi, sahabat,

tabiin, atau orang sholeh yang porsi pengungkapannya lebih sedikit dibandingkan

dengan hafalan dan olah pikir tentang dalil.3

Metode kisah merupakan salah satu metode pendidikan Islam menurut Al-

Nahlawi. Kisah atau cerita sebagai suatu metode pendidikan mempunyai daya tarik

yang menyentuh perasaan hati seseorang. Islam menyadari sifat alamiah manusia

untuk menyenangi cerita, dan menyadari pengaruhnya sangat besar terhadap

perasaan. Oleh karena itu, Islam menyuguhkan kisah-kisah untuk dijadikan salah satu

metode dalam proses pendidikan sehingga dapat diambil hikmah dan pelajaran dari

kisah tersebut.4 Metode kisah atau cerita merupakan suatu faktor pendidikan yang

penting untuk menumbuhkan sikap, mengubah nilai-nilai, menyeru kepada kebaikan,

serta menghias diri dengan akhlak dan sifat-sifat yang mulia, karena cerita

mempunyai daya kekuatan, pengaruh dan bimbingan.5

Dengan metode kisah pun lebih mudah untuk dipahami dibandingkan dengan

wacana yang sering kaku dan sulit untuk dicerna peserta didik. Tentu ini merupakan

tantangan guru PAI, bagaimana mengemas kisah menarik untuk peserta didik, yang

diharapkan peserta didik lebih memahami materi terkait, selain itu dapat mengambil

nilai keteladanan dari kisah yang diceritakan. Muhammad Ihsan, mengatakan bahwa

pemahaman siswa dengan adanya metode kisah dapat lebih memahamkan siswa. Jika

3 Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, 157.

4 Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2014), 262.

5 Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Rineka

Cipta, 2008), 66.

kisah tersebut ditayangkan, siswa dapat mengetahui fakta kebenarannya, karena

dengan metode cerita dapat menggali sejauh mungkin tentang sejarah terutama

dibuktikan dengan peninggalan sejarah yang nyata. Maka Penanaman nilai dapat

dilakukan dengan pembiasaan.6

Melihat latar belakang penelitian mengenai banyaknya peserta didik yang

memiliki minat membaca dan belajar rendah. Maka guru PAI harus benar-benar

mempertimbangkan faktor pemilihan metode pengajaran yang tepat, diantara salah

satunya faktor peserta didik, hal ini melihat latar belakang diantarannya kecerdasan,

bakat, minat, hobi.7 Sehingga guru harus jeli terhadap kebutuhan peserta didiknya

salah satunya dalam menggunakan metode pembelajaran.

Membangkitkan minat belajar peserta didik juga merupakan tugas guru, yang

mana guru harus benar-benar bisa menguasai semua ketrampilan yang menyangkut

pengajaran, terutama keterampilan dalam bervariasi, keterampilan ini sangat

mempengaruhi minat belajar siswa seperti halnya bervariasi dalam gaya mengajar,

jika seorang guru tidak menggunakan variasi tersebut, siswa akan cepat bosan dan

jenuh terhadap materi pelajaran. Untuk hal tersebut hendaklah menggunakan variasi

dalam gaya mengajar, agar semangat dan minat siswa dalam belajar meningkat, jika

sudah begitu hasil belajar pun sangat memuaskan dan tujuan pembelajaran akan

6 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 01/W/18-01/2018.

7 Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2008), 199.

tercapai dengan maksimal.8 Muhammad Ihsan, mengatakan mengenai respon peserta

didik terhadap pembelajaran dengan menggunakan metode kisah ialah sangat senang

dan sangat antusias. Rata-rata peserta didik mau diulang-ulang dalam bentuk cerita.

Ini merupakan kemauannya peserta didik terhadap materi cerita/kisah. Dengan

adanya metode kisah minat belajar meningkat, siswa senang jika kisah dapat

ditampilkan melalui monitor, sehingga mereka dapat mengetahui bukti nyata secara

langsung. Begitupun dengan Anwarudin, mengatakan dengan menggunakan metode

kisah anak lebih suka apalagi jika ditambah penyampaian lewat media (LCD) semisal

tentang Nabi, jadi ada bukti fakta kebenarannya.9

Melihat kembali terhadap pentingnya metode kisah dan penanaman nilai

keteladanan, serta minat belajar peserta didik yang perlu ditingkatkan. Peneliti

tertarik mengangkat judul Penggunaan Metode Kisah dan Penanaman Nilai

Keteladanan dalam Meningkatkan Minat Belajar Siswa Kelas X Pada Mata Pelajaran

PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo.

B. Fokus Penelitian

Maka Fokus Penelitian terbatas dengan penggunaan metode kisah dan

penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata

pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo.

8 Muhammad Fathurrohman dan Sulistyorini, Belajar dan Pembelajaran Membantu

Meningkatkan Mutu Pembelajaran sesuai Standar Nasional (Yogyakarta: Teras, 2012), 175-176.

9 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 01/W/18-01/2018 dan

02/W/18-01/2018.

C. Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang di atas, maka penulis rumuskan beberapa

rumusan yang akan dibahas yaitu:

1. Apa latar belakang penggunaan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan

dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran PAI kelas X di

SMKN 1 Jenangan Ponorogo?

2. Apa jenis metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan

minat belajar siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan

Ponorogo?

3. Bagaimana hasil penerapan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam

meningkatkan minat belajar siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1

Jenangan Ponorogo?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dalam penelitian ini ada beberapa

tujuan yang hendak dicapai yaitu:

1. Untuk mengetahui alasan menggunakan metode kisah dan penanaman nilai

keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran PAI

kelas X di SMKN 1 Jenangan Ponorogo.

2. Untuk mengetahui jenis metode kisah dan penanaman nilai keteladanan bagi siswa

kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo.

3. Untuk mengetahui hasil penerapan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan

dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran PAI kelas X di

SMKN 1 Jenangan Ponorogo.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara Teoretis

Diharapkan dapat berguna dalam menambah wawasan dan memperkaya

pengetahuan di bidang pendidikan berkaitan dengan metode yang efektif, salah

satunya metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan

minat belajar siswa.

Bagi penulis sendiri yaitu untuk menambah wawasan dan pengalaman dalam

menerapkan metode pembelajaran menarik yang dapat menarik minat belajar

peserta didik.

2. Secara Praktis

Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi guru di SMKN 1 Jenangan

dalam meningkatkan minat belajar siswa melalui metode kisah dan penanaman

nilai yang dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran dan dalam kehidupan

sehari-hari.

F. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan penyusunan dalam penelitian kulitatif ini sistematika

pembahasan secara keseluruhan terdiri dari enam bab, yang disusun sebagai berikut:

Bab I berisi pendahuluan yang di dalamnya memuat latar belakang masalah

yang memaparkan tentang kegelisahan peneliti. Fokus penelitian sebagai batasan

masalah yang akan diteliti. Rumusan masalah berupa pertanyaan yang akan

menjawab permasalahan dalam penelitian. Tujuan penelitian merupakan sesuatu yang

diperoleh setelah penelitian selesai. Manfaat penelitian merupakan dampak dari

tercapainya tujuan dan terjawabnya rumusan masalah secara akurat. Sistematika

pembahasan yang merupakan gambaran dari seluruh isi skripsi.

Bab II berisi tentang telaah pustaka untuk menentukan posisi penelitian ini

terhadap penelitian terdahulu. Serta kajian teoretik yang membahas tentang metode

kisah, penanaman nilai keteladanan, PAI, minat belajar.

Bab III berisi tentang metode penelitian yang terdiri dari Pendekatan dan Jenis

Penelitian, Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian, Data dan Sumber Data, Prosedur

Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Temuan, Tahapan-

tahapan Penelitian.

Bab IV berisi data umum dan data khusus. Data umum berisi tentang latar

objek penelitian yang meliputi: sejarah berdiri, keadaan guru, siswa, sarana prasarana.

Data khusus memaparkan penggunaan metode kisah terhadap penanaman nilai

keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran PAI Kelas

X di SMKN 1 Jenangan Ponorogo.

Bab V berisi analisis data dengan menggunakan teori-teori yang ada pada bab

II yang menghasilkan temuan penelitian tentang penggunaan metode kisah terhadap

penanaman nilai keteladanan bagi siswa.

Bab VI berisi penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Bab ini

mempermudah pembaca dalam mengambil intisari hasil penelitian.

BAB II

TELAAH HASIL PENELITIAN TERDAHULU

DAN KAJIAN TEORI

A. Telaah Hasil Penelitian Terdahulu

Pada bagian ini, peneliti akan mendeskripsikan penelitian terdahulu yang ada

relevansinya dengan judul skripsi ini. Adapun karya skripsi tersebut adalah:

Lailatus Salamah dalam penelitiannya dengan judul Efektivitas Metode Kisah

dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah Aliyah Almaarif Singosari Malang.

Hasil penelitian ini menunjukkan metode kisah dalam pembelajaran aqidah akhlak di

madrasah Aliyah Almaarif Singosari Malang sebagai salah satu bentuk variasi

metode yang diharapkan dapat membantu pendidik dalam proses belajar mengajar

agar lebih memudahkan dalam menyampaikan materi dan menumbuhkan hasil yang

maksimal. Penerapan metode kisah tersebut sangat efektif karena membuat siswa

lebih antusias dan lebih mudah memahami materi pelajaran serta dapat memberikan

tauladan dalam bersikap dan bertingkah laku.10

Tri Isnaini dalam penelitiannya dengan judul Implementasi Metode Cerita

Islami dalam Menanamkan Moral Keagamaan di TK Islam Terpadu Permata Hati

Ngaliyan Semarang. Penelitian ini mengatakan bahwa Implementasi metode cerita

10 Lailatus Salamah, Efektivitas Metode Kisah dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak di

Madrasah Aliyah Almaarif Singosari Malang (Skripsi, UIN Malang, Malang, 2008).

Islami dalam menanamkan moral keagamaan di TK Islam Terpadu Permata Hati

Ngaliyan Semarang diklasifikasikan pada persiapan, materi, penyampaian, alat peraga

dan evaluasi yang semuanya baik. Kemudian hal tersebut dipengaruhi faktor

penunjang dan penghambat. Faktor penunjang diantaranya pendidik, lingkungan dan

sumber belajar. Faktor penghambat diantarannya hambatan waktu, hambatan

pengelolaan kelas, dan hambatan alat untuk bercerita.11

Firman Hakim dalam penelitiannya dengan judul Nilai-Nilai Keteladanan

dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Bagi Siswa di SMK NU Ungaran,

Kab. Semarang, Jawa Tengah Tahun 2011. Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk

pelaksanaan nilai keteladanan dalam proses pembelajaran di SMK NU Ungaran

dilaksanakan dua cara yaitu keteladanan disengaja meliputi, guru menceritakan

tentang kegigihan dan kesabaran para Nabi dalam berjuang menyiarkan agama Islam,

berkerudung bagi guru perempuan dan berpeci untuk guru pria, memberikan

motivasi, menahan amarah, sabar, memilih perkataan yang baik dan berdoa sebelum

proses belajar mengajar. Keteladanan tidak disengaja meliputi adil terhadap semua

siswa di dalam kelas, tidak telat masuk kelas, dan lain-lain. Kemudian tahap

pembentukan nilai dengan tahap menyimak, menanggapi, memberi nilai,

mengorganisasikan nilai, tahap karakteristik nilai, siswa mempraktekan sholat jamaah

dzuhur, menghormati guru, membuang sampah pada tempatnya dan lain-lain, siswa

11 Tri Isnaini, Implementasi Metode Cerita Islami dalam Menanamkan Moral Keagamaan di

TK Islam Terpadu Permata Hati Ngaliyan Semarang (Skripsi, UIN Walisongo, Semarang, 2015).

mampu menangkap nilai keteladanan tidak hanya sekedar perilaku saja, siswa sudah

mampu membentuk kepercayaan kebenaran terkait dengan keyakinan yang mereka

tangkap dan mampu mengembangkan nilai menjadi prinsip yang melandasi setiap

tingkah lakunya setiap hari. Implikasi pelaksanaan nilai keteladanan meliputi

komponen kognisi, kompenen afeksi, dan komponen psikomotorik prinsip yang

sudah melekat pada siswa seperti sholat dzuhur berjamaah bersama guru,

mengucapkan salam ketika bertemu, dan lain-lain.12

Dari telaah pustaka yang telah dilakukan, penulis ingin mengemukakan bahwa

penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah disebutkan di atas dan belum ada

yang mengulasnya. Persamaannya ialah sama-sama mengulas mengenai penggunaan

metode kisah dalam pembelajaran, yang membedakan ialah dalam penelitian ini ingin

mengetahui bagaimana metode kisah dan penanaman nilai keteladanan bagi siswa

dapat meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran PAI kelas X di SMKN 1

Jenangan Ponorogo. Sedangkan, penelitian terdahulu mengulas efektivitas metode

kisah dalam pembelajaran, penanaman moral keagamaan melalui cerita, dan nilai-

nilai keteladanan dalam pembelajaran PAI.

12 Firman Hakim, Nilai-Nilai Keteladanan dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Bagi Siswa di SMK NU Ungaran, Kab. Semarang, Jawa Tengah Tahun 2011 (Skripsi, STAIN

Salatiga, Salatiga, 2011).

B. Kajian Teori

1. Metode Kisah

a. Pengertian Metode Kisah

Metode pembelajaran didefiniskan sebagai cara yang digunakan guru

dalam menjalankan fungsinya dan merupakan alat untuk mencapai tujuan

pembelajaran.13

Metode kisah mengandung arti suatu cara dalam menyampaikan

materi pelajaran dengan menuturkan secara kronologis tentang bagaimana

terjadinya sesuatu hal baik yang sebenarnya terjadi ataupun hanya rekaan

saja. Dalam mengaplikasikan metode ini pada proses belajar mengajar,

metode kisah merupakan salah satu metode pendidikan yang mashur dan

terbaik, sebab kisah itu mampu menyentuh jiwa jika didasari oleh ketulusan

hati yang mendalam.14

An-Nahlawi mengungkapkan bahwa dalam Al-Quran

dan as-Sunnah dapat ditemukan berbagai metode pendidikan Islam yang

sangat menyentuh perasaan, mendidik jiwa dan membangkitkan semangat

peserta didik. Metode tersebut diantara salah satunya adalah metode

mendidik dengan kisah-kisah Qurani dan Nabawi.15

Metode kisah Qurani

dan Nabawi adalah penyajian bahan pembelajaran yang menampilkan cerita-

13

Hamzah B. dan Nurdin Mohamad, Belajar dengan Pendekatan Pembelajaran, Aktif,

Inofatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, Menarik (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 7.

14 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers,

2002), 160.

15 Janawi, Metodologi dan Pendekatan Pembelajaran (Yogyakarta: Ombak, 2013), 143.

cerita yang terdapat dalam Al-Quran dan hadits Nabi. Kisah Qurani bukan

semata-mata karya seni yang indah, tetapi juga cara mendidik umat agar

beriman kepada-Nya. Dalam pendidikan Islam, kisah merupakan metode

yang sangat penting karena dapat menyentuh hati manusia. Kisah

menampilkan tokoh dalam konteks yang menyeluruh sehingga pembaca atau

pendengar dapat ikut menghayati, seolah-olah ia sendiri yang menjadi

tokohnya.16

Metode kisah diisyaratkan dalam Al-Quran:

ا نحا إلحيكح هحذح ي إن كنتح من ق حبله نحن ن حقص عحلحيكح أححسحنح القحصحص بحا أحوحح القرآنح وح لحمنح الغحافلي

Artinya:

“Kami menceriterakan kepadamu kisah yang paling baik dengan

mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum

(Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum

mengetahui.” (Q.S. Yusuf: 3).

Kemudian diperkuat oleh ayat lain yang berbunyi:

رح ة وو ا لبحاا لحقح كحانح قحصحص عب

Artinya:

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi

orang-orang yang mempunyai akal.”(Q.S. Yusuf:111).

16 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta Teoretis-Filosofis dan Aplikatif-Normatif

(Jakarta: Amzah, 2013), 142.

Al-Qis}a<s} berarti kisah atau peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di

masa yang lalu.17

Secara epistimologis lafaz} qas}a>s} merupakan bentuk jamak

qis}as} merupakan bentuk masdar dari kata qas}a> ya qus}u> dapat berarti

menceritakan, juga dapat mengandung arti menelusuri/mengikuti jejak.

Makna Qas}a>s} dalam sebagian besar ayat-ayat beratikan kisah atau cerita.

Secara terminologis Qas}a>s berarti:18

1) Menurut Abdul Karim al-Khatib, kisah-kisah al-Quran adalah berarti al-

Quran tentang umat terdahulu.

2) Kisah-kisah dalam al-Quran yang menceritakan ih}wal umat-umat

terdahulu dan nabi-nabi mereka serta peristiwa-peristiwa yang terjadi

pada masa lampau, masa kini, dan masa yang mendatang.

b. Kelebihan dan Kekurangan Metode Kisah

Kelebihan metode kisah diantaranya sebagai berikut:19

1) Kisah dapat mengaktifkan dan membangkitkan semangat siswa. Karena

setiap anak didik akan senantiasa merenungkan makna dan mengikuti

berbagai situasi kisah, sehingga anak didik terpengaruh oleh tokoh dan

topik kisah tersebut.

2) Mengarahkan semua emosi hingga menyatu pada satu kesimpulan yang

menjadi akhir cerita.

17 Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ombak, 2013), 157.

18 M. Munir, Metode Dakwah (Jakarta: Kencana, 2003), 300.

19 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, 162.

3) Kisah selalu memikat, karena mengundang pendengaran untuk

mengikuti peristiwannya dan merenungkan maknanya.

4) Dapat mempengaruhi emosi, seperti takut, perasaan diawasi, rela,

senang, sungkan, atau benci sehingga bergelora dalam lipatan cerita.

Kekurangan Metode Kisah diantarannya sebagai berikut:20

1) Pemahaman siswa menjadi sulit ketika kisah itu telah terakumulasi oleh

masalah lain.

2) Bersifat monolog dan dapat menjenuhkan siswa.

3) Sering terjadi ketidakselarasan isi cerita dengan konteks yang dimaksud,

sehingga pencapaian tujuan sulit diwujudkan.

Maka alternatif yang ditawarkan untuk mengatasi kekurangan metode

kisah diantarannya sebagai berikut:21

1) Guru harus mengetahui dan paham benar alur cerita yang disampaikan.

2) Guru harus menyelaraskan tema materi dengan cerita atau tema cerita

dengan materi.

3) Anak didik harus lebih berkonsentrasi terhadap cerita sehingga

menimbulkan sugesti untuk mengikuti alur cerita itu sampai selesai.

20 Ibid., 162.

21 Ibid., 163.

c. Tujuan adanya kisah dan Fungsi Kisah

Maksud dan tujuan Kisah menurut Manna al-Qathan:22

1) Menjelaskan prinsip dakwah agama Allah SWT. dan keterangan pokok-

pokok shari>at yang dibawa oleh masing-masing nabi dan rasul.

2) Memantapkan hati Rasulullah serta umatnya serta memperkuat

keyakinan kaum muslimin terhadap kebenaran yang benar dan

kehancuran yang fatal.

3) Mengoreksi pendapat para ahlul Kitab yang suka menyembunyikan

keterangan dan petunjuk kitab sucinya dan membantahnya dengan

argumentasi-argumentasi yang terdapat pada kitab-kitab sucinya

sebelum dirubah mereka sendiri.

4) Lebih meresapkan pendengaran dan memantapkan keyakinan dalam

jiwa pendengarnya, karena kisah-kisah itu merupakan salah satu dari

bentuk peradaban.

5) Untuk memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran dan kebenaran

Rasulullah di dalam dakwah.

6) Menanamkan pendidikan akhla>qul kari>mah, karena kisah yang baik

dapat meresap ke dalam hati nurani dengan mudah, serta mendidik

dalam meneladani perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk.

22

M. Munir, Metode Dakwah, 304-305.

Fungsi atau Peranan Kisah:23

1) Memberikan pelajaran untuk dijadikan teladan yang baik.

2) Menggugah hati untuk memahami hal-hal yang bersifat maknawi.

3) Merupakan bagian dari kesenangan manusia.

d. Macam-macam Metode kisah

Terdapat berbagai macam metode kisah menurut Moeslichatoen

diantarannya sebagai berikut:

1) Membaca langsung dari buku cerita.

2) Bercerita dengan menggunakan ilustrasi gambar dari buku.

3) Menceritakan dongeng.

4) Bercerita dengan menggunakan papan flanel.

5) Bercerita dengan menggunakan media boneka.

6) Bercerita sambil memainkan jari-jari tangan.24

Bentuk-bentuk metode bercerita dibagi menjadi dua macam:

1) Bercerita tanpa alat peraga, bentuk cerita yang mengandalkan

kemampuan pencerita dengan menggunakan ekspresi muka, gerak

tubuh, dan vokal pencerita sehingga yang mendengarkan dapat

menghidupkan kembali dalam fantasi dan imajinasinya.

23 Ibid., 306.

24 Taranindya Zulhi Amalia dan Zaimatus Sa’diyah, “Bercerita sebagai Metode Mengajar bagi

Guru Raudlatul Athfal dalam Mengembangkan Kemampuan Dasar Bahasa Anak Usia Dini di Desa

Ngambalrejo Bae Kudus,” Thufula, vol 03 (Juli-Desember, 2015), 341.

2) Bercerita dengan alat peraga, bentuk cerita yang menggunakan alat

peraga bantu untuk menghidupkan cerita.25

Manna Khalil al-Qathan, macam-macam Kisah dibagi menjadi

tiga:26

1) Kisah para nabi menyangkut dakwah mereka dan tahapan-tahapan serta

perkembangannya, mukjizat mereka, posisi para penentang, akibat

orang-orang yang percaya dan yang mendustakan mereka.

2) Kisah peristiwa pada masa lalu dan pribadi-pribadi yang tidak diketahui

secara pasti apakah mereka nabi/bukan, misalnya kisah Thalut vs Jalut.

3) Kisah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw seperti perang

Badar, Uhud, Khandak dan lain-lain.

Selain itu ada pembagian kisah ditinjau dari segi waktu, ditinjau dari

segi materi diantarannya sebagai berikut:27

1) Ditinjau dari segi waktu:

a) Kisah hal-hal gha>ib pada masa lalu, yaitu kisah yang menceritakan

kejadian-kejadian gha>ib yang sudah tidak bisa ditangkap panca indra

yang terjadi pada masa lampau. Contohnya kisah-kisah Nabi Nuh,

Nabi Musa, dan kisah Maryam.

25 Nining. 20 Mei 2016. Metode Bercerita, (online), (http://catatannining.wordpress.com,

diakses 8 Juli 2018)

26 M. Munir, Metode Dakwah,301.

27 Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2013), 306-311.

b) Kisah hal-hal gha>ib pada masa kini yaitu kisah yang menerangkan

hal-hal gha>ib pada masa sekarang. Contohnya tentang Allah dengan

segala sifat-sifat-Nya, para malaikat, jin, setan, kenikmatan surga,

dan sebagainya.

c) Kisah hal-hal gha>ib pada masa yang akan datang, yaitu kisah-kisah

yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum

terjadi pada waktu turunya al-Quran, kemudian peristiwa itu benar-

benar terjadi. Contohnya seperti kemenangan bangsa Romawi atas

Persia, yang diterangkan ayat 1-4 surat Ar-Rum, dan sebagainya.

2) Ditinjau dari segi materi:

a) Kisah para nabi, mukjizat mereka, fase-fase dakwah mereka, dan

penentang serta pengikut mereka. Contohnya kisah Nabi Adam, Nabi

Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad SAW dan

lain-lain.

b) Kisah orang-orang yang belum tentu Nabi dan kelompok-kelompok

manusia tertentu. Contohnya kisah Lukmanul Hakim, Qarun, Ashabul

Khahfi, Ashhabus Sabti, dan lain-lain.

c) Kisah peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian zaman Rasulullah.

Contonya kisah Perang Badar, Perang Uhud, Perang Hunain, Perang

Tabuk, Perang Ahzab, Hijrah, dan lain-lain.28

28

Ibid., 306-311.

e. Penerapan Penggunaan Metode Kisah

Dalam penggunaan metode kisah, perlu adanya strategi penerapan

metode kisah diantaranya sebagai berikut:

1) Penggalan kisah dapat dijadikan pengantar untuk membawa murid pada

suatu pemikiran, penghayatan, terhadap nilai-nilai tertentu.

2) Penggalan kisah Qurani dapat dijadikan sebagai materi pokok dalam

topik bahasan yang disampaikan.

3) Penggalan kisah dapat dijadikan sebagai alat untuk memancing

perhatian murid terhadap materi yang disampaikan.

4) Penggalan kisah dapat dijadikan alat untuk memancing emosi.

5) Potongan kisah dijadikan alat untuk memancing rasa ingin tahu murid

hingga muncul motivasi untuk mengetahui kisah secara lengkap.

6) Potongan kisah dijadikan sebagai titik kulminasi penghayatan murid

terhadap penanaman suatu nilai-nilai tertentu seperti menumbuhkan

keberanian, kejujuran, keikhlasan, kesabaran.29

Kisah sebagai metode pendidikan amat penting karena dalam kisah

terdapat berbagai keteladanan dan edukasi. Hal ini karena terdapat beberapa

alasan yang mendukungnya yaitu: kisah senantiasa memikat karena

mengundang pembaca/pendengar untuk mengikuti peristiwanya dan

merenungkan maknanya, kisah dapat menyentuh hati manusia, karena kisah

29

Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Quran, 104.

menampilkan tokoh dalam konteksnya secara menyeluruh sehingga

pembaca/pendengar dapat menghayati dan merasakan isi kisah tersebut,

kisah qurani mendidik keimanan dengan cara membangkitkan perasaan

sehingga terlibat secara emosional.30

Dengan Kisah dapat menyetuh hati para

peserta didik, sehingga mereka tertegun hatinya dan diharapkan mereka

dapat menjadikan para tokoh kisah tersebut sebagai model keteladanan

dalam berperilaku. Kisah-kisah penuh hikmah akan senantiasa menggugah

hati setiap orang. Tidak banyak orang yang menyadari, bahwa sesungguhnya

kisah-kisah hikmah merupakan media yang sangat efektif dalam

menyampaikan pesan moral dan keagamaan. Bahkan, bisa jadi kisah-kisah

hikmah akan jauh lebih efektif dalam membentuk karakter dan kesadaran

seseorang, ketimbang ajaran moral yang disajikan secara kaku dan tekstual.31

Kisah yang termuat dalam Al-Quran dan Hadis mempunyai banyak

nilai-nilai yang penting yang bisa diambil untuk dijadikan pelajaran bagi

manusia.32

Dimana kisah yang dimaksudkan dalam metode sangat

bermanfaat untuk menyampaikan informasi dan pelajaran.33

30 Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, 263.

31 Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah bagi Perjuangan Para Da’i (Jakarta:

Amzah, 2008), 101.

32 M. Munir, Metode Dakwah, 299.

33 Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Quran (Jakarta:

Rineka Cipta, 2007), 209.

2. Pendidikan Nilai

a. Pengertian Nilai dan Pendidikan Nilai

Nilai adalah suatu seperangkat keyakinan atau perasaan yang

identitas diyakini sebagai suatu yang memberikan corak yang khusus kepada

pola pemikiran, perasaan, ketertarikan maupun perilaku.34

Definisi-definisi nilai dalam buku Mengartikulasikan Pendidikan

Nilai diantarannya sebagai berikut: 35

1) Nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar

pilihannya.

2) Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam

menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif.

Kesimpulannya nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam

menentukan pilihan. Sedangkan menurut Zaim Elmubarok nilai secara garis

besar dibagi menjadi dua:36

1) Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian

berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain.

Nilai nurani adalah kejujuran keberanian, cinta damai, keandalan diri,

potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian dan kesesuaian.

34 Abu Ahmadi dan Noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Bumi

Aksara, 2004), 202.

35 Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, 9-11.

36 Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai Mengumpulkan yang Terserak,

Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai (Bandung: Alfabeta, 2009), 7.

2) Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu dipraktikan/diberi yang

kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada

kelompok nilai memberi adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta

kasih sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah hati.

Pengertian Pendidikan Nilai, menurut beberapa ahli diantarannya

sebagai berikut:37

1) Kosasih Jahiri, pendidikan nilai mengacu pada aksiologi pendidikan,

sejauh mana pendidikan itu memunculkan dan menerapkan nilai/moral

kepada peserta didik.38

2) Sastraprateja, pendidikan nilai adalah penanaman dan pengembangan

nilai-nilai pada seseorang.

3) Pendidikan nilai mencakup keseluruhan aspek sebagai pengajaran atau

bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai kebenaran,

kebaikan, dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat

dan pembiasaan bertindak yang konsisten.

b. Pendekatan Pendididikan Nilai

Menurut Superka ada lima pendekatan pendidikan nilai diantarannya

dijelaskan sebagai berikut: 39

37 Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, 9-11.

38 Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai Mengumpulkan yang Terserak,

Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai, 12.

39 Ibid., 60-73.

1) Pendekatan penanaman nilai

Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan yang memberi

penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Menurut

Superka tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah:

diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa, berubahnya nilai-nilai

siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan.

Metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran diantarannya

keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peran.

Menurut Superka pendekatan ini digunakan secara meluas oleh

masyarakat, terutama dalam penanaman nilai-nilai agama dan budaya.40

2) Pendekatan perkembangan kognitif

Pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek kognitif dan

perkembangannya untuk mendorong siswa berperan aktif tentang

masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral.

3) Pendekatan analisis nilai

Pendekatan ini menekankan pada perkembangan kemampuan siswa

untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang

berhubungan dengan nilai-nilai sosial.

40

Ibid., 61.

4) Pendekatan klarifikasi nilai

Pendekatan ini menekankan pada usaha membantu siswa dalam

mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri untuk meningkatkan

kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri.41

5) Pendekatan pembelajaran berbuat

Pendekatan ini menekankan pada usaha memberikan kesempatan

kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral baik secara

perseorangan maupun secara bersama-sama dalam satu kelompok.42

3. Metode Penanaman Nilai Keteladanan

a. Pengertian Metode Penanaman Nilai Keteladanan

Penanaman nilai merupakan pendekatan yang memberi penekanan

pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Tujuan dari penanaman

nilai ini adalah diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa, berubahnya

nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan.43

Sedangkan keteladanan dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan

bahwa, ”Keteladanan” dasar katanya “teladan” yaitu perbuatan yang patut

ditiru dan dicontoh.44

Jadi keteladanan adalah hal-hal yang dapat ditiru atau

dicontoh. Kata keteladanan dalam bahasa arab diungkapkan dengan kata

u>s}wa>h} dan qudwah}, berarti pengobatan dan perbaikan. Sedangkan menurut

41 Ibid., 71.

42 Ibid., 73.

43 Ibid., 61.

44 Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, 117.

Al-Ashfahani, al-u>s}wa>h} dan al-i>s}wa>h} sebagaimana kata al-qu>dwah} dan al-

qi>dwah } berarti suatu keadaan ketika seorang manusia yang mengikuti manusia

lain, terlepas yang diikuti itu dalam kebaikan, kejelekan, kejahatan atau

kemurtda>n. Menurut Ibn Zakaria mendefinisikan, bahwa u>s}wa>h berarti qu>dwah

yang artinya ikutan, mengikuti yang diikuti. Dengan demikian keteladanan

adalah hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh oleh seseorang dari orang

lain.45

Metode Penananaman nilai keteladanan adalah merupakan metode

yang lebih efektif dan efisien dalam penanaman nilai-nilai keislaman kepada

peserta didik terutama siswa pada usia pendidikan dasar dan menengah, yang

pada umumnya cenderung meneladani dan meniru guru.46

Keteladanan sangat efektif untuk Internalisasi, karena murid secara

psikologis senang meniru, dan karena sanksi-sanksi sosial, yaitu seseorang

akan merasa bersalah bila ia tidak meniru orang-orang di sekitarnya. Dalam

islam bahwa peneladanan ini sangat diistemawakan dengan menyebut bahwa

nabi itu teladan yang baik u>s}wah} h}as}anah}.47

Oleh karena itu Allah SWT. mengutus Nabi Muhammad SAW. agar

menjadi teladan bagi seluruh manusia dalam merealisasikan sistem

45 Ibid., 117.

46 Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2014), 265.

47Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu

Memanusiakan Manusia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 230.

pendidikan Islam tersebut. Dengan kepribadian, sifat tingkah laku dan

pergaulannya bersama manusia, Rasulullah SAW, benar-benar merupakan

interpretasi praktis yang manusiawi dalam menghidupkan h}aki>kat, ajaran,

‘adab, dan tash}ri Al-Quran, yang melandasi perbuatan pendidikan Islam serta

penerapan metode pendidikan Qurani yang terdapat di dalam ajaran tersebut.48

Keteladanan dalam pendidikan adalah metode influentif yang paling

meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk anak di

dalam moral, spritual dan sosial. Hal ini karena pendidik adalah contoh

terbaik dalam pandangan anak, yang akan ditirunya dalam tindak-tanduknya,

dan tata santunya, disadari ataupun tidak, bahkan tercetak dalam jiwa dan

perasaan suatu gambaran pendidik tersebut, baik dalam ucapan atau

perbuatan, baik material atau spritual, diketahui atau tidak diketahui.49

Oleh

karena itu, guru perlu memberikan keteladanan yang baik kepada peserta

didik agar dalam proses penanaman nilai-nilai karakter Islami menjadi lebih

efektif dan efisien.50

b. Tahap-tahap Penanaman Nilai Keteladanan

Pendekatan Internalisasi ini merupakan teknik penanaman nilai yang

sasarannya sampai pada tahap kepemilikan nilai yang menyatu ke dalam

48 Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, 291.

49 Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam (Semarang: Asy Syifa,

1981), 2.

50 Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, 267.

kepribadian siswa, atau sampai pada tahap karakterisasi atau mewatak.

Tahap-tahap dari teknik internalisasi ini adalah:51

1) Tahap transformasi nilai: pada tahap ini guru sekedar menginformasikan

nilai-nilai yang baik dan yang kurang baik kepada siswa, yang semata-

mata merupakan komunikasi verbal.

2) Tahap tranksaksi nilai, dalam tahap ini guru tidak hanya

menginformasikan nilai yang baik dan buruk, tetapi juga terlihat untuk

melaksanakan dan memberikan contoh amalan yang nyata, dan siswa

diminta untuk memberikan tanggapan yang sama, yakni menerima dan

mengamalkan nilai tersebut.

3) Tahap transinternalisasi, tahap ini jauh lebih dalam dari sekedar

transaksi. Dalam tahap ini penampilan guru dihadapan siswa bukan lagi

sosoknya, tetapi lebih pada sikap mentalnya (kepribadian).

Demikian pula sebaliknya, siswa merespon kepada guru bukan hanya

gerakan atau penampilan fisiknya saja, melainkan sikap mental dan

kepribadiannya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam

transinternalisasi ini adalah komunikasi dua kepribadian yang masing-

masing terlibat secara aktif. Proses dari transinternalisasi itu mulai dari yang

sederhana sampai yang kompleks, yaitu mulai dari:52

51 Muhaimin M.A., et.al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan

Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 178.

52 Ibid., 179.

1) Menyimak (receiving), ialah kegiatan siswa untuk bersedia menerima

adanya stimulus yang berupa nilai-nilai baru yang dikembangkan dalam

sikap afektifnya.

2) Menanggapi (responding), yakni kesediaan siswa untuk merespon nilai-

nilai yang ia terima dan sampai ke tahap memiliki kepuasan untuk

merespon nilai tersebut.

3) Memberi nilai (valuing), yakni sebagai kelanjutan dari aktivitas merespon

nilai menjadi siswa mampu memberikan makna baru terhadap nilai-nilai

yang muncul dengan kriteria nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.

4) Mengorganisasi nilai (organisasi of value) ialah aktivitas siswa untuk

mengatur berlakunya sistem nilai yang diyakini sebagai kebenaran dalam

laku kepribadiannya sendiri, sehingga ia memilki satu sistem nilai yang

berbeda dengan yang lain.

5) Karakteristik nilai (characterization by a value or value complex), yakni

dengan membiasakan nilai-nilai yang benar yang diyakini, dan yang telah

diorganisir dalam laku pribadinya sehingga nilai tersebut sudah menjadi

watak (kepribadianya).

Dalam pendekatan penanaman nilai yang dapat digunakan guru dalam

proses pembelajaran antara lain yaitu: pengalaman, pembiasaan, emosional,

rasional, fungsional, dan keteladanan. Penjelasannya sebagai berikut:53

53 Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, 130-134.

1) Pendekatan pengalaman merupakan proses penanaman nilai-nilai kepada

siswa melalui pemberian pengalaman langsung.

2) Pendekatan pembiasaan adalah suatu tingkah laku tertentu yang sifatnya

otomatis tanpa direncanakan terlebih dahulu dan berlaku begitu saja tanpa

dipikirkan lagi. Dengan pembiasaan pembelajaran memberikan

kesempatan kepada peserta didik terbiasa mengamalkan konsep ajaran

agamanya, baik secara individual maupun secara berkelompok dalam

kehidupan sehari-hari.

3) Pendekatan emosional adalah upaya untuk menggugah perasaan dan

emosi siswa dalam meyakini konsep ajaran Islam serta dapat merasakan

mana yang baik dan mana yang buruk.

4) Pendekatan rasional merupakan suatu pendekatan mempergunakan rasio

(akal) dalam memahami dan menerima kebesaran dan kekuasaan Allah.

5) Pendekatan fungsional adalah usaha menanamkan nilai-nilai yang

menekankan pada segi kemanfaatan bagi siswa dalam kehidupan sehari-

hari, sesuai dengan tingkatan perkembangannya.

6) Pendekatan keteladanan adalah memperlihatkan keteladanan, baik yang

berlangsung melalui penciptaan kondisi pergaulan yang akrab antara

personal sekolah, perilaku pendidik dan tenaga kependidikan lain yang

mencerminkan sikap dan perilaku yang terpuji, maupun yang tidak

langsung melalui suguhan ilustrasi berupa kisah-kisah keteladanan.

c. Kelebihan dan Kekurangan Metode Keteladanan

1. Kelebihan dari metode keteladanan adalah:

a. Akan memudahkan anak didik dalam menerapkan ilmu yang

dipelajarinya di sekolah.

b. Akan memudahkan guru dalam mengevaluasi hasil belajarnya.

c. Agar tujuan pendidikan lebih terarah dan tercapai dengan baik.

d. Tercipta hubungan harmonis antara guru dan siswa.

e. Mendorong guru untuk selalu berbuat baik karena akan dicontoh oleh

siswanya.54

2. Kekurangan dari metode keteladanan adalah:

a. Jika figur yang mereka contoh tidak baik, maka mereka cenderung

untuk mengikuti yang tidak baik.

b. Jika teori tanpa praktek akan menimbulkan verbalisme.55

d. Bentuk Metode Keteladanan

Bentuk metode keteladanan terbagi menjadi dua macam yaitu:56

1) Keteladanan Disengaja

Keteladanan kadang kala diupayakan dengan cara disengaja, yaitu

pendidik sengaja memberikan contoh yang baik kepada para peserta

didiknya supaya mereka dapat menirunya. Umpamanya pendidik

54

Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh,122-123.

55 Ibid., 123.

56 Heri Jauhari Muchtar, Fiqih Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 224.

memberikan contoh bagaimana cara membaca yang baik agar para

peserta didik menirunya. Dalam proses belajar mengajar, keteladanan

yang disengaja dapat berupa pemberian secara langsung kepada peserta

didiknya melalui kisah-kisah Nabi yang di dalam kisah tersebut terdapat

beberapa hal yang patut dicontoh oleh para peserta didik.

2) Keteladanan Tidak Disengaja

Keteladanan ini terjadi ketika pendidik secara alami memberikan

contoh-contoh yang baik dan tidak ada unsur sandiwara di dalamnya.

Dalam hal ini, pendidik tampil sebagai figur yang dapat memberikan

contoh-contoh yang baik di dalam maupun di luar kelas. Bentuk

pendidikan semacam ini keberhasilannya banyak bergantung pada

kualitas kesungguhan dan karakter pendidikan yang diteladani, seperti

kualitas keilmuannya, kepemimpinannya, keikhlasannya, dan

sebagainya. Dalam kondisi pendidikan seperti ini, pengaruh teladan

berjalan secara langsung tanpa disengaja. Oleh karena itu, setiap orang

yang diharapkan menjadi pendidik hendaknya memelihara tingkah

lakunya, disertai kesadaran bahwa ia bertanggungjawab dihadapan Allah

dan segala hal yang diikuti oleh peserta didik sebagai pengagumnya.

Semakin tinggi kualitas pendidik akan semakin tinggi pula tingkat

keberhasilan pendidiknya.

4. Pendidikan Agama Islam

a. Pengertian PAI

PAI merupakan subjek pelajaran yang berisi materi dan

pengalaman tentang ajaran agama Islam, yang pada umumnya tersusun

secara sistematis dalam ilmu-ilmu keislaman.57

b. Pendekatan PAI

Pendekatan Pembelajaran PAI: Keimanan, pengamalan,

pembiasaan, rasional, emosional, fungsional, keteladanan. Penjelasannya

sebagai berikut:58

1) Keimanan, yang memberikan peluang kepada peserta didik untuk

mengembangkan pemahaman adanya Allah SWT sebagai sumber

kehidupan.

2) Pengamalan, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk

mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil pengamalan keyakinan

akidah dan akhlak dalam menghadapi tugas-tugas dan masalah dalam

kehidupan.

3) Pembiasaan, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk

membiasakan sikap dan perilaku yang baik yang sesuai dengan ajaran

Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi masalah kehidupan.

57 Erwin Yudi Prahara, Materi Pendidikan Agama Islam (Ponorogo: STAIN Po Press,

2009), 8.

58 Ibid., 18-19.

4) Rasional, usaha memberikan peranan kepada rasio (akal) peserta

didik dalam memahami dan membedakan berbagai materi serta

perilaku yang baik dengan perilaku yang buruk dalam kehidupan

duniawi.

5) Emosional, upaya menggugah perasaan (emosi) peserta didik dalam

menghayati perilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya

bangsa.

6) Fungsional, menyajikan materi PAI dari segi manfaatnya bagi peserta

didik dalam kehidupan sehari-hari dalam arti luas.

7) Keteladanan, yaitu menjadikan figur pribadi-pribadi teladan dan

sebagai cerminan dari manusia yang memiliki keyakinan tauh}id yang

teguh dan berperilaku mulia.

5. Minat Belajar

a. Pengertian Minat Belajar

Secara sederhana minat berarti kecenderungan dan kegairahan

yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.59

Minat adalah

kecenderungan jiwa yang relatif menetap kepada diri seseorang dan

biasannya disertai dengan perasaan senang. Menurut Behard, minat timbul

atau muncul tidak secara tiba-tiba, melainkan timbul akibat dari partisipasi,

pengalaman, kebiasaan pada waktu belajar, dengan kata lain minat dapat

59

Bisri Mustofa, Psikologi Pendidikan (Yogyakarta: Parama Ilmu, 2015), 185.

menjadikan penyebab kegiatan dan penyebab partisipasi dalam kegiatan.

Sedangkan pengertian belajar adalah suatu kegiatan yang menimbulkan

suatu perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan perubahan itu dilakukan

lewat kegiatan atau usaha yang disengaja. Jadi minat belajar adalah aspek

psikologi seseorang yang menampakan diri dalam beberapa gejala seperti:

gairah, keinginan, perasaan suka untuk melakukan proses perubahan

tingkah laku melalui beberapa kegiatan yang meliputi mencari pengetahuan

dan pengalaman, dengan kata lain minat belajar adalah perhatian, rasa suka,

ketertarikan siswa terhadap belajar yang ditujukan melalui keantusiasan,

partisipasi dan keaktifan dalam belajar.60

Sedangkan minat membaca adalah kecenderungan jiwa yang aktif

untuk memahami pola bahasa untuk memperoleh informasi yang erat

hubunganya dengan kemauan, aktivitas dan perasaan senang yang secara

potensial memungkinkan individu untuk memilih, memperhatikan, dan

menerima sesuatu yang datang dari luar dirinya.61

60 Muhammad Fathurrohman dan Sulistyorini, Belajar dan Pembelajaran Membantu

Meningkatkan Mutu Pembelajaran sesuai Standar Nasional (Yogyakarta: Teras, 2012), 173-174.

61 Ibid., 171.

b. Faktor yang mempengaruhi minat belajar

Menurut Slameto ada dua faktor yang mempengaruhi:62

1. Faktor Intern, terdiri dari faktor jasmaniah (seperti faktor kesehatan dan

cacat tubuh) dan faktor psikologi (seperti intelegensi, perhatian, bakat,

kematangan dan kesiapan).

2. Faktor Ekstern, terdiri dari faktor keluarga (seperti cara orang tua

mendidik, relasi antar keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi

keluarga, pengertian orang tua dan latar belakang kebudayaan), dan faktor

sekolah (seperti metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan peserta

didik, relasi peserta didik dengan peserta didik, disiplin sekolah, alat

pelajaran, waktu sekolah, standar penilaian diatas ukuran, keadaan

gedung, metode mengajar dan tugas rumah).

c. Usaha Pendidik dalam Meningkatkan Minat Belajar Peserta Didik

Minat selama ini dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil

belajar siswa. Seorang siswa akan menaruh minat besar dan akan

memusatkan perhatian lebih banyak daripada siswa lainnya. Guru dalam

kaitan ini seyogyanya berusaha membangkitkan minat siswa untuk

menguasai pengetahuan yang terkandung dalam bidang studinya dengan cara

membangun sikap positif.63

62 Donni Juni Priansa, Kinerja dan Profesionalisme Guru Fokus pada Peningkatan Kualitas

Sekolah, Guru, dan Proses Pembelajaran (Bandung: Alfabeta, 2014), 284.

63 Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 152.

Jika terdapat siswa kurang berminat terhadap belajar, dapatlah

diusahakan agar ia mampu mempunyai minat yang lebih besar dengan cara

menjelaskan hal-hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan serta hal-hal

yang berhubungan dengan cita-cita serta kaitannya dengan bahan pelajaran

yang dipelajari itu.64

Selain itu, cara yang efektif untuk membangkitkan

minat pada suatu subjek yang baru adalah dengan menggunakan minat-minat

yang telah ada disesuaikan dengan minat siswa, kemudian diarahkan ke

materi pelajaran. Di samping itu, pengajar juga berusaha membentuk minat-

minat baru pada diri siswa dengan jalan memberikan informasi pada siswa

mengenai hubungan antara suatu bahan pengajaran yang akan diberikan

dengan bahan pengajaran yang lalu, menguraikan kegunaannya bagi siswa di

masa yang akan datang.65

Untuk mengembangkan minat belajar maka pendidik dituntut

untuk memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi siswa. Cara

yang dilakukan adalah dengan mengajar yang menyenangkan melalui

pemberian kebebasan pada siswa, perlakuan dan memahami pada siswa

sehingga terjalin komunikasi yang baik, pujian-hadiah, serta metode belajar

yang menyenangkan, dimana metode mengajar harus tepat, efisien dan

efektif sehingga peserta didik dapat memahami dan menguasai, dan

64 Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinnya (Jakarta: Rineka Cipta,

2015), 57.

65 Ibid., 181

mengembangkan bahan pelajaran. Kepribadian guru juga menjadi sorotan

bagi siswa untuk memperoleh pengamalan belajar yang menyenangkan.66

Dalam melakukan kegiatan belajar mengajar, beberapa

kepribadian guru yang berperan adalah: penghayatan nilai-nilai kehidupan,

motivasi kerja, sifat dan sikap. Dengan kepribadian guru yang positif, siswa

akan merasa senang, puas dan gembira, kegembiraan yang dirasakan akan

mampu menimbulkan pengalaman yang dapat meningkatkan minat belajar.

Jadi, peningkatan minat belajar siswa membutuhkan peran aktif pendidik

dengan cara berkepribadian yang baik. Selain itu, ketika siswa di luar

lingkungan sekolah atau di rumah, kondisi tempat tersebut juga harus

mampu meningkatkan minat siswa dalam melakukan kegiatan belajar.67

Selain itu untuk menambah minat siswa, guru dapat membawakan

cerita secara humor. Menggunakan humor di ruang kelas memberikan banyak

manfaat mencakup mengurangi stres, meningkatkan motivasi, mengurangi

jarak secara psikologis antara guru-siswa, dan meningkatkan kreativitas.68

66 Ibid., 182.

67 Ibid., 182.

68 Darmansyah, Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor (Jakarta: Bumi Aksara,

2011, 80.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini akan mengkaji dan mendeskripsikan bagaimana penggunaan

metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat belajar

siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo, yang

menjadi fokusnya adalah untuk membangun minat belajar siswa melalui metode

kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam mata pelajaran PAI. Maka penelitian

ini menggunakan pendekatan kualitatif.

Bogdan dan Taylor mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dan

perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar belakang individu

tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan

individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya

sebagai bagian dari suatu keutuhan.69

Sedangkan menurut Kirk dan Miller mendefinisikan bahwa penelitian

kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara

69

Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), 4.

fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan

berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasa peristilahannya.70

Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus

yaitu strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitiaan berkenaan

dengan how atau why, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol

peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki dan bilamana fokus penelitiannya terletak

pada fenomena-fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan

nyata.71

B. Kehadiran Peneliti

Sesuai dengan pendekatan yang digunakan maka instrumen yang dipakai

untuk mengumpulkan data adalah peneliti sendiri. Lexy J. Moleong menyebutkan

bahwa peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit. Ia berperan sebagai

perencana, pelaksana pengumpul data, penganalisa daftar, penafsir data dan pada

akhirnya menjadi pelapor hasil penelitiannya.72

Kehadiran peneliti di lokasi penelitian mutlak diperlukan, karena sebagai

instrumen utama penelitian dalam pengumpulan data. Peneliti juga harus

menciptakan hubungan yang baik dengan subjek penelitian, antara Kepala Sekolah

SMKN 1 Jenangan beserta jajaranya, para guru, dan para siswa. Hubungan baik

70 Ibid., 4.

71 Andi Prastowo, Memahami Metode-Metode Penelitian : Suatu Tinjauan Teoritis dan

Praktis (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 127-128.

72 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 168.

diciptakan sejak penjajakan awal tahap setting penelitian, selama penelitian, dan

setelah penelitian, sebab hal itu menjadi kunci utama dalam kesuksesan penelitian.

C. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti memilih lokasi penelitian di Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Negeri 1 Jenangan yang beralamat di Jalan Niken Gandini 98

Setono, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Web/E-

mail: www.smkn1jenpo.sch.id/[email protected]. Telpon/Fax: 0352-481236.

Peneliti memilih SMK Negeri 1 Jenangan Ponorogo karena sewaktu

melaksanakan kegiatan PPLK telah menemui siswa-siswa kelas X yang terlihat minat

membaca dan belajar rendah, terbukti dengan sulitnya untuk membuka buku, mereka

lebih suka mendengarkan, apalagi jika pembelajaran disisipi dengan kisah.

D. Data dan Sumber Data

Data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan

selebihnya adalah data tambahan seperti data tertulis, foto, dan sejenisnya.73

Sumber

data terbagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

Sumber data primer disini diantarannya para guru mata pelajaran PAI, yakni:

Bapak Muhammad Ihsan, Bapak M. Qomaruddin, Bapak Anwaruddin, Bapak Shokib, Bapak

Ahmad Muzakky. Dan perwakilan siswa-siswa kelas X TBSM.B (Gogharty, Surya,

Krishna, Baqi, Sulton, Redian, Rifai, Nurzaini, Habib, Ikhsan), X EI.A (Anisa, Asraf,

Geri, Erdian, Cholid), X DPIB.A (Devy, Bella, Afifa, Afisa, Jsmin, Bryan, Diky), X

73

Ibid., 157.

OI.A (Silvia, Liyana, Rifad, Yoga, Zakaria), X EI.B (Choirul, Putri, Izma, Sulis,

Rifky), X LAS A (Andrian, Angga, Guntur, Dilan, Kevin, Farhan, Fahmi).

Sedangkan sumber data sekunder adalah seperti dokumen, dan arsip-arsip

dokumentasi yang berkaitan dengan penelitian.

E. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara merupakan salah satu bentuk teknik pengumpulan data yang

banyak digunakan dalam penelitian deskriptif kualitatif dan deskripsi kuantitatif,

dilaksanakan secara lisan dalam pertemuan tatap muka secara individual.74

Macam-macam wawancara dibedakan menjadi tiga macam yaitu

penjelasannya sebagai berikut:75

a. Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila

peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi

yang akan diperoleh.

b. Wawancara semiterstruktur, jenis wawancara ini sudah termasuk dalam

kategori in-dept interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila

dibandingkan dengan wawancara terstruktur.

74 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya,

2013), 216.

75 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D (Bandung: Alfabeta,

2013), 233-234.

c. Wawancara tak berstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak

menggunakan pedoman wawancara secara lengkap, hanya berupa garis-garis

besar permasalahan yang akan ditanyakan.76

Dalam hal ini peneliti menggunakan wawancara terstruktur. Orang-orang

yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah para guru mata pelajaran PAI,

dan para siswa kelas X yang sudah disebutkan dalam sumber data.

2. Observasi

Observasi menurut Nana Syaodih Sukmadinata adalah suatu teknik atau cara

mengumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan

yang sedang berlangsung.77

Observasi dapat dilakukan secara partisipatif ataupun non partisipatif. Dalam

observasi partisipatif, pengamat ikut serta dalam kegiatan yang sedang

berlangsung. Dalam observasi non partisipatif pengamat tidak ikut serta dalam

kegiatan, dia hanya berperan mengamati kegiatan.78

Peneliti menggunakan observasi non partisipatif untuk mengamati cara

mengajar guru menggunakan metode kisah di kelas X, serta perilaku siswa dalam

proses pengajaran tersebut.

76 Ibid., 234.

77 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, 220.

78 Ibid., 220.

3. Dokumentasi

Teknik dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan

menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar

maupun elektroinik (rekaman), dan dokumen-dokumen yang dihimpun, dipilih

yang sesuai dengan tujuan dan fokus masalah.79

Metode dokumentasi ini digunakan peneliti untuk memperoleh data

mengenai profil sekolah, data guru, kariyawan, data siswa, data sarana prasarana,

proses belajar mengajar di SMKN 1 Jenangan Ponorogo.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan, bekerja

dengan data, mengorganisasikan data, dan memilah-milah data menjadi satuan yang

dapat dikelola, mengintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa

yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan

kepada orang lain.80

Teknik analisis data kualitatif, mengikuti konsep yang diberikan Miles &

Huberman. Miles dan Huberman, mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data

kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus pada

setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas, dan datanya sampai jenuh. Aktivitas

dalam analisis data, meliputi: data reduction, data display, dan

conclusion/verivication.

79 Ibid., 221.

80 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 248.

a. Reduksi data

Dalam konteks penelitian yang dimaksud adalah merangkum, memilih hal-

hal yang pokok, menfokuskan pada hal-hal yang penting, dan membuat kategori.

Dengan demikian data yang telah direduksikan memberikan gambaran yang lebih

jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.

Dalam penelitian ini, setelah seluruh data terkumpul, maka untuk

memudahkan analisis, data-data yang masih kompleks dipilih dan difokuskan

sesuai dengan penggunaan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam

meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan

Ponorogo.

b. Penyajian Data

Mendisplaykan atau menyajikan data ke dalam pola yang dilakukan dalam

bentuk uraian singkat, bagan, grafik, matrik, network, dan chart. Bila pola-pola

yang ditemukan telah didukung oleh data, maka pola tersebut menjadi baku dan

akan didisplaykan pada laporan akhir penelitian. Pada penelitian ini, setelah

seluruh data dikumpulkan dan direduksi, selanjutnya data disusun secara sistematis

agar lebih mudah dipahami.

c. Penarikan Kesimpulan

Langkah terakhir dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan

verifikasi.81

Koleksi data Display data

Reduksi data

Pemaparan kesimpulan

G. Pengecekan Keabsahan Temuan

Moleong mengatakan bahwa penelitian diperlukan suatu teknik pemeriksaan

keabsahan data. Sedangkan untuk memperoleh keabsahan temuan perlu diteliti

kredibilitasnya dengan menggunakan teknik sebagai berikut:82

1. Persitent Observation (ketekunan pengamatan).

Menurut Moleong yang dimaksud Persitent Observation adalah mengadakan

observasi secara terus menerus terhadap objek penelitian guna memahami gejala

lebih mendalam terhadap berbagai aktivitas yang sedang berlangsung di lokasi

penelitian.

81 Tim Penyusun, Buku Pedoman Penulisan Skripsi Kuantitatif, Kualitatif, Library, dan PTK

(Ponorogo: Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Ponorogo, 2017), 50-51.

82 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 329-333.

2. Triangulasi

Menurut Moleong yang dimaksud triangulasi adalah teknik pemeriksaan

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan

pengecekan atau pembanding terhadap data-data itu. Triangulasi yang digunakan

dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber data dengan cara membandingkan

dan mengecek balik derajad kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui

waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.

3. Pengecekan sejawat melalui diskusi

Teknik ini dilakukan peneliti dengan cara mengekspos hasil sementara atau

hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan sejawat. Hal

ini dilakukan dengan maksud untuk membuat agar peneliti tetap mempertahankan

sikap terbuka dan kejujuran serta memberikan kesempatan awal yang baik untuk

memulai menjajaki dan menguji hipotesis yang muncul dari pemikiran peneliti.

H. Tahapan-Tahapan Penelitian

Tahapan-tahapan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tahap Pra Lapangan

Tahap Pra Lapangan meliputi: menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan

penelitian, mengurus perizinan, penelusuran awal, dan menilai keadaan lapangan

penelitian, memilih dan memanfaatkan informan, menyiapkan peralatan penelitian,

dan yang menyangkut persoalan upaya guru dalam menggunakan metode kisah

dan penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa.

2. Tahap Pekerjaan Lapangan

Tahap Pekerjaan lapangan ini meliputi: memahami latar penelitian dan persiapan

diri, memasuki lapangan dan berperan serta sambil mengumpulkan data.

3. Tahap Analisis Data

Tahap ini meliputi analisis selama dan setelah pengumpulan data.

4. Tahap Penulisan Hasil Laporan

Pada tahap ini penulis menuangkan hasil penelitian yang sistematis sehingga dapat

dipahami dan diikuti alurnya oleh pembaca.

BAB IV

DESKRIPSI DATA

A. Data Umum

1. Profil Sekolah

SMK Negeri 1 Jenangan berdiri tahun 1964 hasil prakarsa pemerintah

daerah dan dunia usaha/industri di Ponorogo pada saat itu disebut STM Persiapan

Negeri Ponorogo. Secara resmi lembaga ini menjadi STM Negeri Ponorogo

berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 148/Diprt/BI/66

tanggal 1 Pebruari 1966. Perubahan STM Negeri Ponorogo menjadi SMK Negeri

1 Jenangan berdasarkan SK Mendikbud nomor 036/0/1997 tanggal 7 Maret 1997.

SMK Negeri 1 Jenangan beralamat di Jalan Niken Gandini 98, Setono, Kec.

Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Telpon/FAX: 0352-481236.

Dengan web/E-mail www.smkn1jenpo.sch.id/[email protected]. Dan

dikepalai oleh Drs. MUSTARI, MM.

SMK Negeri 1 Jenangan sejak tahun 1964 sampai 2005 merupakan SMK di

bidang Teknologi dan Rekayasa dengan tiga program studi yakni : (1) Konstruksi

Bangunan, (2) Teknik Listrik Instalasi dan (3) Teknik Mesin. Jumlah siswa dalam

kurun waktu sampai dengan tahun 2005 adalah 972 yang terdiri dari 27

rombongan belajar. Secara bertahap mulai tahun 2006 sampai sekarang program

studi/Kompetensi keahlian yang dikembangkan di SMK Negeri 1 Jenangan

menjadi delapan Kompetensi Keahlian meliputi : (1) Teknik Gambar Bangunan,

(2) Teknik Konstruksi kayu, (3) Teknik Pemesinan, (4)Teknik Pengelasan, (5)

Teknik Sepeda Motor, (6) Teknik Elektronika Industri, (7) Rekayasa Perangkat

Lunak, (8) Teknik Otomasi Industri.83

2. Data Guru dan Data Karyawan

Rencana pengembangan kapasitas di SMK Negeri 1 Jenangan selama lima

tahun dari tahun 2013 sampai dengan 2018 dengan jumlah Guru 126 terdiri

dari 104 guru PNS dan 22 guru Non PNS. 84

3. Data Siswa

Data siswa di SMKN 1 Jenangan meliputi kelas X-XII, kelas X ada 20 kelas,

kelas XI ada 19 Kelas, dan Kelas XII ada 18 kelas. Dengan jumlah siswa secara

keseluruhan kelas X-XII tahun ajaran 2018 adalah 1994. 85

4. Data Sarana dan Prasarana

SMK Negeri 1 jenangan, berada di lingkungan yang secara kondusif dengan

luas (3,5 Ha). Fasilitas kegiatan akademis berupa ruang teori, ruang gambar,

perpustakaan, digital library & layanan Internet, laboratorium komputer &

jaringan, laboratorium sistem kontrol, laboratorium motor listrik & elektronika

daya, work bench, bengkel kerja mesin, bengkel kerja plat & las, sarana olah raga

terpadu (joging track, lap. volley, lap. basket, dll).86

83

Lihat pada transkip dokumentasi dalam lampiran penelitian ini, Kode 01/D/24-03/2018.

84 Lihat pada transkip dokumentasi dalam lampiran penelitian ini, Kode 02/D/24-03/2018.

85 Lihat pada transkip dokumentasi dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/D/24-03/2018.

86 Lihat pada transkip dokumentasi dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/D/24-03/2018.

B. B. Data Khusus

1. Latar Belakang Penggunaan Metode Kisah dan Penanaman Nilai

Keteladanan dalam Meningkatkan Minat Belajar Siswa pada Mata Pelajaran

PAI Kelas X di SMKN 1 Jenangan Ponorogo

Dalam penggunaan metode pembelajaran pada mata pelajaran PAI di

SMKN 1 Jenangan Ponorogo, selain menggunakan metode sesuai kurikulum 2013,

tidak jarang juga menyisipkan metode kisah dalam pembelajaran. Hal ini sependapat

dengan hasil wawancara yang diungkapkan oleh Bapak Shokib: “Metode yang digunakan sesuai

dengan kurikulum 2013, artinya punya pegangan yang tertera pada rpp, untuk lebih memperjelas

selalu menggunakan metode ceramah yang isinya adalah gambaran kisah, kenyataan sosial,

berangkat dari situ kita kaitkan dengan tema pembelajaran yang ada baik itu hukum, aqidah, dst”.87

Dari data hasil wawancara siswa terhadap enam kelas yang diteliti, rata-

rata guru PAI menggunakan metode ceramah, cerita, diskusi, dan hafalan. Seperti

pada kelas X DPIB.A yakni: Devy, Bella, Afifa, Afisa, Jasmin, Bryan, Diky, yang

merupakan kelas dari Bapak Shokib dalam mengajar sering menggunakan

ceramah dan cerita. Mereka mengatakan bahwa: “Lebih sering ceramah dan cerita, kalau

diskusi jarang”.88

87

Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.

88 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 11/W/31-03/2018.

Hal ini juga diungkapkan dari hasil wawancara siswa kelas X EI.A,

yakni: Anisa, Asraf, Geri, Erdian, Cholid. Mereka mengatakan bahwa metode yang sering

digunakan Bapak Ahmad Muzakky adalah: “Cerita pengalaman pribadi, hafalan, diskusi”.89

Hal itu sepadan dengan data wawancara kelas X TBSM.B, yakni:

Gogharty, Surya, Krishna, Baqi, Sulton, Redian, Rifai, Nurzaini, Habib, Ikhsan.

Kelas ini juga merupakan kelas dari Bapak Ahmad Muzakky. Mereka mengatakan

bahwa: “Cerita, ceramah, hafalan, membaca. Yang paling sering itu cerita mbak sama ceramah”.90

Begitu juga dengan Kelas X EI.B: Choirul, Putri, Izma, Sulis, Rifky dari

kelas Bapak Muhammad Ihsan. Mereka mengatakan bahwa: “Cerita dan ceramah, sering

cerita mbak”.91

Begitu pun juga dengan responden kelas X OI.B, yakni: Silvia, Liyana,

Rifad, Yoga, Zakaria dari kelas Bapak M. Qomaruddin. Mereka mengatakan bahwa:

“Ceramah, cerita, sering nasehatin mbak, terus cara mengajarnya itu per blok yang ditanya ya yang

disitu, tapi berpindah-pindah, kadang di depan, tengah, belakang”.92

Hal ini juga sepadan dengan yang diungkapkan oleh responden dari kelas

X LAS A, yakni: Andrian, Angga, Guntur, Dilan, Kevin, Farhan, Fahmi. Ini

merupakan kelas dari Bapak Anwarudin, mereka mengatakan bahwa: “Ceramah, cerita, diskusi.

Sering ceramah dan cerita. Cerita yang lucu tidak membuat bosan mbak, jadi mudah diterima”.93

89

Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05/W/23-03/2018.

90 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.

91 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 10/W/28-03/2018.

92 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 09/W/28-03/2018.

93 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 12/W/6-04/2018.

Tidak hanya data wawancara guru dan siswa tetapi juga diperkuat dengan

observasi peneliti beserta dokumentasi mengenai penggunaan metode kisah dalam

pembelajaran PAI. Hal ini lebih jelasnya terdapat pada lampiran-lampiran transkip

observasi dan dokumentasi yang telah terlampir.94

Latar belakang adanya penggunaan metode kisah dan penanaman nilai

keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa dari hasil wawancara

menurut Bapak Ahmad Muzakky mengungkapkan bahwa:

Dalam mengajar semua metode dipakai. Dalam teori mengajar salah satunya

menggunakan cerita. Karena siswa senang akan cerita dan dengan cerita pun dapat

menyentuh perasaan manusia. Jadi minat siswa sudah sangat senang jika guru

menggunakan metode kisah. Sedangkan dengan metode penanaman nilai keteladanan

adalah untuk menyampaikan nilai-nilai yang ada di dalam cerita kepada anak-anak

tentang kesederhanaan, kerja keras, hal tersebut mendorong guru untuk selalu berbuat

baik kepada siswa, karena secara psikologis anak suka meniru apa yang dilihatnya.95

Hal ini juga sependapat dengan hasil wawancara yang diungkapkan oleh

Bapak Shokib:

Yang melatarbelakangi adalah pengalaman hidup saya sendiri dari latar belakang hidup

saya masa kecil, arah pemikiran dari latarbelakang tadi adalah gambaran kehidupan yang

nyata, kehidupan sederhana dalam bahagia yaitu dengan syukur. Tentu dengan cerita

dapat menggungah dan menyentuh hati manusia untuk mengikuti konteks cerita secara

menyeluruh. Itu sebabnya saya menggunakan metode kisah dalam pembelajaran. Selain

itu dalam metode penanaman nilai keteladanan siswa lebih mudah menerapkan ilmu

yang dipelajari.96

Latar belakang penggunaan metode kisah dan penanaman nilai

keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa menurut Bapak Muhammad

Ihsan, dari hasil wawancara tersebut juga mengungkapkan bahwa:

94 Lihat pada transkip observasi dan dokumentasi dalam lampiran penelitian ini.

95 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/6-03/2018.

96 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.

Anak-anak lebih senang dengan adanya kisah, jadi minat mereka lebih terbangun.

Selain itu untuk mengingatkan sejarah kepada anak didik, agar mereka tahu sejarah

nabi, dan peninggalan-peninggalan nabi.97 Sedangkan dengan metode penanaman nilai

keteladanan untuk mendorong guru selalu berbuat baik karena akan dicontoh oleh

siswanya. Hal itu dengan cara pakaian, sikap guru, guru harus menjadi barometer

peserta didiknya untuk bertindak. 98

Begitu juga dengan pendapat Bapak M. Qomaruddin, bahwa dalam

menggunakan cerita lebih dapat memahamkan, mengetahui sejarah. Dan dalam

penanaman nilai keteladanan siswa mengetahui nilai keteladanan yang diambil, hal

ini seperti yang diungkapkan:

Kalau alasan menggunakan ceritanya, iya tapi tidak hanya cerita, nanti jemu anak, jadi

metode campuran. Metode ceramah nanti di depan, di tengah atau pun di belakang

tergantung pembahasannya. Misalnya, yang ada kaitannya dengan tokoh itu, manfaat

Islam Nusantara, misal Walisongo saya gandengkan dengan tokoh yang di daerah,

misalnya Batoro Katong dan Ki Ageng Besari. Tokoh Babad Ponorogo. Alasanya itu

dijelaskan tokoh tersebut, kalau tidak diceritakan tidak bisa. Anak tidak tahu fokusnya

kalau tidak diceritakan. Kalau itu tadi tokohnya ada di keilmuan menerangkan Ki Ageng

Besari bertanding dengan Raja Wengker. Harus digiringkan ke keilmuannya, biar nanti

ada perhatiannya pada siswa bahwa dari cerita itu, masih muda bisa mengalahkan raja

karena ilmunya. Sedangkan dalam metode penanaman nilai keteladanan karena anak

didik dapat lebih mudah menerapkan ilmu yang dipelajarainya, yaitu dapat mengambil nilai keteladanan dari penanaman nilai-nilai keteladanan yang diberikan guru. 99

Sedangkan latar belakang penggunaan metode kisah dan penanaman nilai

keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa, menurut Bapak Anwarudin,

senada dengan Bapak M. Qomaruddin, dan Bapak Muhammad Ihsan:

Dengan metode kisah, karena guru menyesuaikan dengan minat atau kesukaan mereka,

anak-anak lebih berminat dan menyukai pembelajaran menggunakan kisah, selain itu

Biar tahu sejarahnya, asal-usulnya, tahu urutannya. Sedangkan dalam metode

penanaman nilai keteladanan hal ini dikarenakan agar terciptanya hubungan harmonis

antara guru dan siswa, dan siswa dapat lebih mudah menerapkan ilmu yang

dipelajarinya.100

97 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/24-04/2018.

98 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/23-03/2018.

99 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.

100 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.

Hal yang melatarbelakangi penggunaan metode kisah itu sendiri juga bisa

dilihat dari fungsi metode kisah itu sendiri, serta kelebihan dan kelemahan metode

kisah. Fungsi Metode Kisah dalam penggunaan metode kisah menurut hasil wawancara dengan

Bapak Shokib adalah: “Fungsinya ia mampu menggambarkan berbagai macam kenyataan dalam

pikiran dan pandangannya yang sering terjadi di lingkungan masyarakat. Jadi anak dapat lebih

menyerap dan tergugah hatinya untuk memahami melalui cerita”.101

Fungsi metode kisah menurut hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Muzakky adalah:

“Menanamkan pendidikan ah}la>qul kari}mah dari kisah-kisah, kemudian dengan kisah tersebut dapat

diambil nilai keteladanan, dengan kisah juga merupakan bagian dari kesenangan anak, sehingga

dapat lebih mudah memahami dan menggugah hati mereka dari kisah yang diceritakan”.102

Hal ini juga sependapat dengan hasil wawancara menurut Bapak M. Qomaruddin adalah:

“Daya tarik siswa, karena kalau mau jujur orang itu dari TK-SMA atau besar pun suka namanya

cerita, suka kalau diceritakan dan untuk penanaman nilai melalui kisah”.103

Sedangkan fungsi metode kisah menurut hasil wawancara dengan Bapak Muhammad

Ihsan adalah: “Untuk mengingatkan sejarah, menambah semangat siswa, dapat diambil pelajaran

dari cerita”.104

Hal lain juga diungkapkan dari hasil wawancara mengenai fungsi metode kisah dengan

Bapak Anwaruddin beliau mengatakan bahwa: “Mempercepat dan meresapkan daya ingat anak,

agar mudah dicerna dari kisah tersebut maupun dari pelajaran agama yang dikisahkan”.105

101 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.

102 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/6-03/2018.

103 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.

104 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/23-03/2018.

105 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.

Berkaitan dengan kapan dan bagaimana penerapan adanya metode kisah

dan penanaman nilai keteladanan dari hasil wawancara menurut Bapak Ahmad

Muzakky adalah:

Saya sering menggunakan kisah di awal sebelum masuk ke materi pelajaran, setelah

absensi saya maunya cerita kepada anak-anak tentang pengalaman hidup saya atau

tentang berita yang berkaitan dengan moral dikaitkan dengan pelajaran. Penanaman nilai

keteladanannya ya melalui contoh dan cerita tersebut. Penerapannya dengan adanya

kisah dapat dijadikan pengantar untuk membawa murid pada suatu pemikiran,

penghayatan, terhadap nilai-nilai tertentu, sehingga murid dapat menanamkan nilai-nilai

yang diambil dari cerita tersebut. Penerapan penanamannya ya agar anak dapat meniru

apa yang diambil dari cerita maupun contoh tersebut, sehingga anak lebih mudah

menerapkan ilmu yang diperolehnya. 106

Sedangkan menurut hasil wawancara menurut Bapak Muhammad Ihsan, mengenai

kapan dan bagaimana penerapan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan adalah: “Ya,

ketika materi yang berkaitan dengan sejarah, tentang dakwah nabi. Penerapannya, ya agar anak-

anak mengerti akan sejarah dan dapat menerapkan apa yang diambil dari nilai keteladanan dari

cerita tersebut”. 107

Pendapat lain dari hasil wawancara menurut Bapak M. Qomaruddin, mengenai kapan

dan bagaimana penerapan metode kisah adalah: “Terkait dengan pembahasannya, kadang di awal,

ditengah ataupun akhir, penanaman keteladanannya ya mengikuti cerita dan penjelasan materi lebih

lanjut”. Penerapannya harus menguasai sejarah dulu, kalau tidak ya tidak bisa, kalau kita bisa

menguasai materi/cerita, anak-anak itu suka meniru pun dapat mempraktekan nilai keteladanan

yang diberikan guru.108

106 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/6-03/2018.

107 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/23-03/2018.

108 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.

Pendapat Bapak M. Qomaruddin, selaras dengan apa yang diungkapkan

oleh Bapak Anwarudin, mengenai waktu dan penerapan metode kisah dari hasil

wawancara tersebut bahwasanya:

Tidak bisa diprediksi, terkadang di awal, di tengah, dan akhir. Tergantung anak itu mau

meneladani atau tidak, terkadang cerita selesai iya selesai hilang sudah. Selain itu

tergantung keluarga dan pergaulan, jika berada di keluarga Agamis ya lebih cepat

penerapannya. Kalau jangka pendek sedikit sulit, tapi jika jangka panjang siswa

terkadang menerapkan, ya rahasia Ilahi mbak.109

Hal lain juga diungkapkan dari hasil wawancara menurut Bapak Shokib,

beliau mengatakan bahwa:

Tidak tentu selalu kisah, ketika semisal mengenai hukum bacaan Quran harus

menampilkan pengertian, contoh dan sebab akibatnya. Kalau penanaman nilai

keteladanan bisa kapan saja saat pelajaran disisipi lewat kisah ataupun contoh-contoh

faktual sesuai dengan materi yang dibahas. Kalau siswa, semisal tentang menghormati

orang tua dan guru. Saya meminta mereka membuat konsep ceramah atau pidato mengenai bagaimana penghormatan kepada orangtua dan guru, seberapa besar

kemampuan standar penghormatan orang tua dan guru.110

2. Jenis Metode Kisah dan Penanaman Nilai Keteladanan dalam

Meningkatkan Minat Belajar Siswa kelas X pada Mata Pelajaran PAI di

SMKN 1 Jenangan Ponorogo

Pada pembelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo, guru tidak

jarang menyisipkan kisah-kisah pada materi PAI, baik berkaitan tentang ibadah,

akidah, syariah, sejarah, akhlak. Selain itu juga menanamkan nilai keteladanan

melalui kisah dan contoh amalan nyata, maupun dari kepribadian guru. Cara

bercerita guru-guru PAI SMKN 1 Jenangan Ponorogo, yakni Bapak Muzakky,

Bapak Shokib, dan Bapak Qomar, mereka bercerita secara langsung maupun

109 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.

110 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.

secara lisan, tanpa adanya media maupun peraga. Bapak Ahmad Muzakky, mengatakan

dalam bercerita secara langsung tanpa media: “Secara langsung/lisan”.111

Hal ini juga setara dengan yang diungkapkan oleh Bapak Shokib, beliau mengatakan

bahwa: “Kalau Pak Shokib cenderung langsung, karena kejadian nyata. Semisal penanaman

keimanan tentang doa/Allah maka saya akan ceritakan itu. Cerita tidak perlu dipersiapkan yang

penting menguasainya serta kelebihan-kelebihannya anak sudah memperhatikan, secara spontan

mbak saya”.112

Sedangkan Bapak Muhammad Ihsan dan Bapak Anwarudin dalam

bercerita pada saat peneliti melakukan pengamatan pembelajaran di kelas,

bercerita secara langsung. Hal ini sesuai observasi pengamat yang telah terlampir

pada penelitian ini.113

Hal ini juga diperkuat dengan hasil wawancara terhadap perwakilan lima responden

kelas X EI.B yang diungkapkan mereka bahwa: “Secara langsung mbak, lisan, lebih kecontoh

siswanya dan memakai bahasa jawa beliau, jadi lucu mbak”.114

Hal ini juga setara dengan hasil wawancara dari perwakilan 7 responden di kelas X Las

A, mengatakan bahwa: “Secara langsung/lisan”.115

Sedangkan tiga empat kelas lainnya yaitu X EI.A, X TBSM.B, X

DPIB.A, X OI.B. Mereka mengatakan bahwa guru bercerita secara langsung

maupun lisan tanpa adanya peraga maupun media.

Secara langsung/lisan. Ceritanya dibawakan secara santai dan humor.116

111 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/6-03/2018.

112 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.

113 Lihat pada transkip observasi dalam lampiran penelitian ini.

114 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 10/W/28-03/2018.

115 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 12/W/6-04/2018.

Secara langsung/lisan tanpa media. Secara langsung, biasanya keluar dari topik yang

dibicarakan mbak, terus dibawakan secara bercanda/humor, ceritanya masih dikaitkan

dengan pelajaran.117

Langsung cerita mbak.118

Caranya cerita itu, modelnya menceramahi tapi per orangan. Iya mbak tidak

keseluruhan per orangan, karena suaranya Pak Qomar juga tidak keras. Secara lisan

sama ditulis di papan tulis mbak.119

Jenis kisah yang diceritakan menurut hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Muzakky

ialah: “Cerita yang berkaitan dengan materi juga, tapi saya seringnya cerita faktual berupa

pengalaman hidup seperti, cerita pengalaman dalam belajar, cerita pengalaman dalam bekerja.

Cerita fakta berupa pengalaman hidup saya sendiri”.120

Hal ini juga diperkuat dengan data observasi peneliti dalam pembelajaran

di kelas X TBSM.B. Sabtu, 24 Maret 2018 pada pukul 09.30-11.40 WIB, beliau

menceritakan pengalaman hidup mengenai penyesalan beliau belum bisa

membahagiakan ibunya sebelum meninggal dunia. Cerita ini dikaitkan dengan

materi PAI pada Bab bab 8 “Menghormati Guru dan Orang tua”. Penjelasan lebih

detail mengenai cara mengajar guru maupun cara bercerita guru terdapat pada

lampiran transkip observasi yang telah terlampir.121

Selain data wawancara guru dan observasi, data tersebut diperkuat juga

dengan data hasil wawancara siswa kelas X EI.A dan X TBSM.B yang merupakan

kelas dari Bapak Ahmad Muzakky. Mereka mengatakan bahwa jenis kisah yang sering

diceritakan adalah: “Nabi-nabi, Rasul, pengalaman hidup, kisah-kisah hidup, kuatnya iman seorang

116 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05/W/23-03/2018.

117 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.

118 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 11/W/31-03/2018.

119 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 09/W/28-03/2018.

120 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/6-03/2018.

121 Lihat pada transkip observasi dalam lampiran penelitian ini.

laki-laki (kisah tentang bab zina), sunah rasul”. 122 “Cerita pengalaman hidup, nabi, dakwah nabi,

malaikat, rasul, sunah rasul, doa-doa. Ya tergantung materinya juga mbak”.123

Jenis kisah yang sering diceritakan itu sepadan dengan hasil wawancara menurut Bapak

Shokib, beliau mengatakan bahwa: “Pengalaman hidup dan kisah-kisah sosial”.124

Hal ini juga diungkapkan dari data hasil wawancara siswa kelas X

DPIB.A yakni: Devy, Bella, Afifa, Afisa, Jasmin, Bryan, Diky. Mereka mengatakan

bahwa: “Biasanya ceritanya dilampiaskan ke lingkungan, kisah nabi-nabi, malaikat”.125

Sedangkan Bapak Muhammad Ihsan dalam pembelajaran sering

menggunakan jenis kisah nabi, rasul, sejarah. Seperti yang beliau ungkapkan bahwa:

“Nabi, rasul, sejarah. Untuk kelas X: Iman kepada Allah, terutama dalam bentuk ciptaan Allah, ya

kita menggaris bawahi satu contoh bagaimana terjadinya angin, petir, asal mulanya tumbuh-

tumbuhan. Tidak hanya itu kelas X, Iman kepada malaikat Allah, menceritakan tentang malaikat

Jibril menyampaikan wahyu”.126

Menurut data wawancara siswa kelas X EI.B yakni, Choirul, Putri, Izma, Sulis, Rifky

yang merupakan kelas dari Bapak Ihsan mengatakan bahwa: “Nabi-nabi”.127

Hal ini juga selaras dengan hasil wawancara menurut Bapak Anwarudin,

yang mengatakan bahwa:

Tergantung materinya, kalau materi rasul tentang nabi dan rasul. Etos kerja, ya cerita

kisah para nabi ketika bekerja. Kerusakan alam, ya tentang alam. Kalau kelas X asmaul

122 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05/W/23-03/2018.

123 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.

124 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.

125 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 11/W/31-03/2018.

126 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 01/W/18-01/2018.

127 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 10/W/28-03/2018.

husna iman kepada Allah, ada tayangan ilustrasinya alam semesta, pelangi sehingga

anak akan tertarik.128

Kisah tentang masalah Agama.129

Hal tersebut sepadan dengan data wawancara siswa kelas X LAS A: yakni Andrian,

Angga, Guntur, Dilan, Kevin, Farhan, Fahmi. Mereka mengatakan bahwa: “Tergantung

topiknya/bab, biasanya nabi-nabi”.130

Hal yang sepadan juga diungkapkan dari hasil wawancara menurut Bapak M.

Qomaruddin mengatakan bahwa: “Jenis kisahnya tergantung dengan bab, jika babnya rasul ya para

rasul, misal Nabi Musa dengan tongkatnya”.131

Hal tersebut sepadan dengan data wawancara siswa kelas X OI.B, yakni: Silvia,

Liyana, Rifad, Yoga, Zakaria. Mereka mengatakan bahwa: “Tergantung materi mbak, cerita

tentang nabi-nabi pasti mbak setiap pembelajaran, kadang juga cerita tentang kisah Ponorogo

mbak”.132

Cara guru-guru PAI di SMKN 1 Jenangan dalam menanamkan

keteladanan kepada siswa melalui dua bentuk keteladanan: yaitu keteladanan

disengaja dan keteladanan tidak disengaja.133

Dalam bentuk keteladanan disengaja

melalui suguhan kisah dan pemberian contoh secara langsung, sehingga siswa

dapat menerapkan nilai keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan

128 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 02/W/18-01/2018.

129 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.

130 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 12/W/06-04/2018.

131 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.

132 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 09/W/28-03/2018.

133 Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam (Semarang: Asy Syifa,

1981), 2.

bentuk keteladanan tidak sengaja pada kepribadian guru, siswa mencontoh tindak

tanduk, ucapan dan tingkah laku guru.

Hal ini seperti diungkapkan oleh bapak Ahmad Muzakky bahwa bentuk keteladanan

disengaja melalui kisah. “Setiap orang mentransformasikan nilai-nilai hidup yang baik. Maka lebih

dalam cerita faktual berupa pengalaman hidup. Maka jika saya menceritakan pengalaman hidup

saya, hal itu agar anak-anak itu bisa seperti saya pekerja keras, mereka bisa ikut merasakan dan

mengalami melalui cerita tersebut”.134

Pendapat tersebut juga selaras dengan hasil wawancara menurut Bapak Shokib yang

mengatakan bahwa: “Seperti contoh saya bawa anak ke masjid untuk sholat dhuha, untuk

menjadikan karakter dan kebiasaan bahkan dimanapun berada, betapa indahnya. Insya Allah ada

korelasinya varibelnya juga nyambung”.135

Hal tersebut diperkuat dengan pengamatan peneliti di kelas X DPIB.A,

pada hari Rabu, 28 Maret 2018, pukul 08.20 WIB. Guru menyuruh murid untuk

sholat dhuha berjamaah, setelah sholat dhuha guru sedikit memberikan ceramah

kepada peserta didik sampai berakhir pukul 09.00 WIB.136

Hal tersebut juga sepadan dengan data hasil wawancara menurut Bapak Anwarudin yang

mengungkapkan bahwa: “Tingkah laku kita, agar anak tahu. Semisal jadi imam sholat agar anak-

anak tahu, atau ketika baksos agar mereka bisa mengikuti”.137

Sedangkan hasil wawancara menurut Bapak Muhammad Ihsan mengatakan bahwa:

“Caranya membiasakan, yang namanya cerita harus menggali sejauh mungkin tentang sejarah,

terutama kalau bisa dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan yang nyata”.138

134 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/06-03/2018.

135 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.

136 Lihat pada transkip observasi dalam lampiran penelitian ini.

137 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.

Hal lain juga diungkapkan oleh Bapak M. Qomaruddin yang mengatakan bahwa:

“Caranya setelah diceritakan tadi ditarik kesimpulan kamu bisa jadi orang hebat tadi, kamu bisa

dengan cara ini-ini, syaratnya kuat tirakat, suruh mengurangi kotakannya (hp)”.139

Bentuk keteladanan tidak sengaja yaitu pada tahap transiternalisasi yang

berkaitan dengan kepribadian guru sebagai tauladan murid. Dalam tahap ini siswa

menjadi guru panutan dalam bertindak dan bertingkah laku. Hal ini sesuai dengan hasil

wawancara Bapak M. Qomaruddin, mengatakan bahwa: “Kalau mengukur sendiri ya tidak bisa,

kalau gr ya bisa saja begitu. Kalau penilaian diri dikaitkan sama siswa, kalau anak yang nakal

dikasih tahu pak Qomar jadi sembuh, dan itu dari guru lain bilang sama pak Qomar untuk

membantu guru menghadapi anak nakal. Kalau meneladani saya iya atau tidak saya ya tidak

tahu”.140

Hal ini dibandingkan dengan data wawancara siswa mengenai figur

Bapak Qomar pada siswa-siswi kelas X OI.B. Mereka yakni: Silvia, Liyana,

Rifad, Yoga, Zakaria mengatakan bahwa figur bapak Qomar itu.

Silviana: Sabar, tidak pernah marah sama siswa, tapi justru dinasehatin. Liyana: Ramah, baik.

Rifad: Baik, asyik, mudah dimengerti

Yoga: Baik, lemah lembut, tidak suka memarahi

Zakaria: Guru yang baik, orangnya enak mbak, suka cerita.141

Menurut mereka mengenai apakah beliau sudah dapat dijadikan guru tauladan atau

belum pada data wawancara mengatakan bahwa: “Silviana, Liyana, Zakaria, Sudah bisa, Rifad,

138 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 01/W/18-01/2018.

139 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.

140 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.

141 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 09/W/28-03/2018.

Belum. Yoga, belum. Karena sudah tua, cara mengajarnya, suaranya sudah tidak sampai,

suaranya tidak bisa didengar jelas”.142

Sedangkan menurut Bapak Ahmad Muzakky, M.Pd mengatakan bahwa: “Jika

dikatakan guru tauladan ya belum juga, tapi saya berusaha sebaik mungkin memberikan ilmu

kepada peserta didik, ya dari cerita pengalaman hidup saya setidaknya dengan hal baik itu mereka

bisa meniru perjuangan saya akan kerja keras”.143

Hal ini juga dibandingkan dengan data wawancara siswa kelas X EI.A

dan Kelas X TBSM.B mengenai figur Bapak Muzakky. Mereka mengatakan

bahwa:

Baik, santai, sabar, tegas, bijaksana, bisa diajak berkembang, suka memberi inspirasi,masukan, motivasi dari cerita pengalamanya.144

Gogharty: Guru yang sabar.

Surya: Guru yang humoris mbak, juga santai kalau pelajaran.

Krishna: Guru yang baik, bisa akrab pada murid-muridnya, dan kalau kurang jelas pasti

dijelaskan kembali.

Baqi: Guru yang baik, sabar, dan ulet.

Sulthon: Guru yang baik.

Ikhsan: Ya baik, tegas, kalau serius-serius, kalau bercanda-bercanda begitu kak

Habib: Guru yang baik, pintar, bisa dijadikan suri tauladan.

Redian: Seorang guru agama yang tabah, ramah, suka bercerita, bisa serius bisa santai.

Rifai: Seorang guru yang baik, bisa dicontoh.

Nurzaini: Baik, enak kalau mengajar, bisa dicontoh.145

Menurut mereka mengenai apakah beliau sudah dapat dijadikan guru tauladan atau

belum pada data wawancara mengatakan bahwa: “Bisa mbak”.146

Begitu juga dengan Bapak Muhammad Ihsan yang mengatakan bahwa:

“Bisa, karena saya berhasil membuat mereka menerapkan hal tersebut”.147

142 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 09/W/28-03/2018.

143 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/06-03/2018.

144 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05/W/23-03/2018.

145 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.

146 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05 dan kode 06.

147 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/24-03/2018.

Hal ini juga dibandingkan dengan data wawancara siswa kelas X EI.B mengenai figur

Bapak Ihsan. Mereka mengatakan bahwa: “Lebih menonjol humorisnya kak”.148

Menurut mereka mengenai apakah beliau sudah dapat dijadikan guru tauladan atau

belum pada data wawancara mengatakan bahwa: “Choirul, Putri, Izma, Sulis: Belum mbak, ya

hampirlah kak. Rifky: Sudah kak, tapi humorisnya harus sedikit dikurangi biar punya wibawa”.149

Bapak Shokib juga mengatakan bahwa beliau belum dapat dijadikan guru tauladan.

Seperti yang diungkapkan beliau bahwa: “Belum. Punya motif kepada siswa seperti ini rendah

diri, keseimbangan, kedamaian dunia”.150

Hal ini juga dibandingkan dengan data wawancara siswa kelas X

DPIB.A mengenai figur Bapak Shokib. Mereka mengatakan bahwa:

Devy: Asyik, ada galaknya.

Bella: Tegas, humoris.

Afifa: Seperti ,orangtua mbak bisa dekat begitu mbak.

Afisa: Guru yang bisa lebih dekat sama siswa.

Jasmin: Enak mbak, humoris.

Bryan: Baik, sopan, orangnya sederhana, suka memotivasi, supaya bisa berubah menjadi

lebih baik.

Diky: Kalau menurut saya, pak Shokib itu sangat baik untuk dicontoh, dalam hal beliau rajin beribadah, dalam hal cara beliau ramah dengan sesama umat muslim, satu yang

saya tidak suka, karena beliau terkadang berbicara kotor.151

Menurut mereka mengenai apakah beliau sudah dapat dijadikan guru tauladan atau

belum pada data wawancara mengatakan bahwa: “Hampir mbak. Bisa mbak, cuma cara bicaranya

yang kurang bisa jadi panutan”.152

148 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 10/W/24-03/2018.

149 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 10/W/28-03/2018.

150 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.

151 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 11/W/31-03/2018.

152 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 11/W/31-03/2018.

Hal yang dikatakan Bapak Shokib sepadan dengan yang dikatakan oleh Bapak Anwar,

beliau mengatakan: “Belum jauh sekali dari keteladanan, ya kita berusaha menjadi teladan

mbak”.153

Hal ini juga dibandingkan dengan data wawancara siswa kelas X LAS A

mengenai figur Bapak Anwar. Mereka mengatakan bahwa:

Guntur: Beda dari guru-guru lain, karena tidak pernah pakai media LCD, mengandalkan

cerita tapi kita bisa masuk, tegas, lucu, bisa serius ya bisa santai.

Dilan: Baik, sering bercanda, jarang marah-marah.

Farhan: Guru yang mengajarnya metode salafiyah, sederhana, tradisional, mudah

dipahami, sabar, asyik.

Kevin: Humoris, mudah dikenang mbak hukumanya Fahmi: Sederhana, lucu, menyenangkan, pandai menyenangkan muridnya.

Angga: Guru yang baik.

Andrian: Lucu mbak, guru yang enak mengajarnya.154

Menurut mereka mengenai apakah beliau sudah dapat dijadikan guru tauladan atau

belum pada data wawancara mengatakan bahwa: “Masih belum mbak, 80-90 %. Karena cerita

yang sebelum kita harus tahu, itu bisa menimbulkan hal-hal negatif”.155

Jadi kesimpulan bentuk keteladanan tidak sengaja pada tahap

transinternalisasi, guru-guru PAI di SMKN 1 Jenangan menurut hasil wawancara

siswa, belum sepenuhnya dapat dijadikan guru tauladan.

Adanya penggunaan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan

dalam mata pelajaran PAI mengandung nilai-nilai keteladanan. Nilai Keteladanan

tersebut bermacam-macam tergantung pembahasan pada mata pelajaran PAI dari

153 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.

154 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 12/W/06-04/2018.

155 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 12/W/06-04/2018.

kisah yang diceritakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bapak Shokib mengatakan bahwa:

“Nilai keimanan jika yang dibahas mengenai pupuk keimanan”.156

Hal lain juga diungkapkan dari hasil wawancara menurut Bapak M. Qomaruddin, beliau

mengatakan bahwa: “Tergantung kisah apa mbak, kalau perjuangan ya nilai keteladanannya seperti

bab tadi itu persaudaraan kaum Ansor dan Muhajirin. Kalau bab Kejujuran, ya kejujuran”.157

Hal tersebut sepadan dengan hasil wawancara menurut Bapak Anwaruddin yang

mengatakan bahwa: “Nilai keimanan, nilai berbagi. Ya tergantung cerita dan babnya mbak”.158

Sedangkan Bapak Muhammad Ihsan, S.Ag, MM mengatakan bahwasanya nilai yang

didapat itu sendiri ialah: ”Nilainya, ya anak-anak mengerti sejarah”.159

Dalam menceritakan kisah, seringkali beliau bercerita mengenai pengalaman hidup

beliau sendiri. Hal tersebut diungkapkan oleh Bapak Ahmad Muzakky yang mengatakan bahwa

nilai yang dapat diambil adalah: “Keserdahanaan, kerja keras. Ya, tergantung materinya”.160

3. Hasil Penerapan Metode Kisah dan Penanaman Nilai Keteladanan dalam

Meningkatkan Minat Belajar Siswa Kelas X Pada Mata Pelajaran PAI di

SMKN 1 Jenangan Ponorogo

Hasil penerapan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan adalah

agar siswa dapat menanamkan nilai-nilai dari kisah yang diceritakan, selain itu

juga meniru segala tingkah laku guru sebagai panutan bertindak siswa. Hal ini sesuai

dengan hasil wawancara menurut Bapak Ahmad Muzakky yang mengatakan bahwa: “Diharapkan

156 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.

157 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.

158 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.

159 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/24-03/2018.

160 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/24-03/2018.

siswa dapat mengambil nilai keteladanan dari cerita dan menerapkannya di kehidupan sehari-

hari”.161

Hasil penerapan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan melalui

suguhan kisah, siswa dapat mengetahui nilai keteladanan dari kisah yang

diceritakan, selain itu mereka berusaha untuk mengamalkan nilai tersebut di

kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan data dari hasil wawancara siswa

kelas X EI.A, yaitu Anisa, Asraf, Geri, Erdian, Cholid.

Kuatnya Iman laki-laki untuk tidak berzina, nilai yang diambil yaitu tidak semua laki-

laki mempunyai iman yang kuat.

Dakwah Nabi Muhammad di Mekah, nilai yang diambil yaitu: Percaya kepada Allah,

kesabaran, ketaatan, keimanan, ketekunan, percaya diri, ketaatan.

Sudah, diberi hafalan doa untuk membuka rezeki, doa-doa dilindungi dari hal-hal buruk,

doa rezeki lancar.162

Hal tersebut sepadan dengan yang diungkapkan oleh responden kelas X

TBSM.B yang juga merupakan kelas dari Bapak Ahmad Muzakky dalam

pembelajaran PAI sering juga mendapatkan tambahan materi tentang doa-doa,

amalan-amalan, serta sunah rasul. Maka hasilnya, mereka dapat menerapkan hal

tersebut di kehidupan sehari-hari, seperti yang diungkapkan oleh Gogharty,

Surya, Krishna, Baqi, Sulton, Redian, Rifai, Nurzaini, Habib, Ikhsan.

Sunah Rasul: Membaca sholawat, menjalankan kewajiban, mengamalkan.

Dakwah Nabi, nilai yang dapat diambil: Kesabaran, suri tauladan, keikhlasan, pantang

menyerah, tidak boleh putus asa, senang mengamalkan, tahu sejarahnya. Sudah mbak, yaitu masuk masjid menggunakan kaki kanan, makan dan minum

menggunakan tangan kanan, makan dan minum sambil duduk, doa-doa.163

161 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/24-03/2018.

162 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05/W/23-03/2018.

163 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.

Begitu juga sepadan dengan hasil wawancara menurut Bapak Shokib,

yang lebih memfokuskan pada pengamalan dan pembiasaan bagi siswa, sehingga

diharapkan siswa dapat konsisten untuk menerapkan pembiasaan beribadah di

kehidupan sehari-hari. Bapak Shokib mengatakan bahwa: “Anak menerapkan hal tersebut

yakni doa, asma>ul h}usna>, sholat dhuha”.164

Hal tersebut dapat diperkuat dengan observasi pertama di kelas X

DPIB.A, peneliti benar-benar mengamati anak-anak berdoa, asma>ul h}usna, dan

menjalankan solat dhuha berjamaah.165

Dalam penerapannya pun mereka sudah berusaha untuk membiasakan

sholat dhuha dan asma>ul h}usna. Hal tersebut diungkapkan dengan data wawancara kelas X

DPIB.A yakni: Devy, Bella, Afifa, Afisa, Jasmin, Bryan, Diky, yang dijawab berdasarkan

prosentase: “InsyaAllah sudah mbak, 80 % kalau cerita, 50-60 % jika keteladanan dari guru seperti

asma>ul h}usna dan sholat dhuha”.166

Sedangkan melaui cerita dengan membicarakan keutamaannya dikaitkan

dengan pembiasaan beribadah. Siswa diharapkan dapat mengambil nilai

keteladanan untuk menerapkan ibadah/sholat dhuha dengan kesadaran mereka

sendiri di kehidupan sehari-hari. Hal ini seperti diungkapkan oleh Bapak Drs. M.

Qomaruddin, M.Pd.

Hasil keteladanan: Anak rajin mau sholat, itu wujud penanaman kita. Mereka sendiri

sholat untuk dapat memperlancar rezeki, jika mereka mau sholat dhuha, kemudahan

dalam berfikir agar jadi juara, pikiran jernih banyak sholat dhuha. Hal itu saya

164 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.

165 Lihat pada transkip observasi dalam lampiran penelitian ini.

166 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 11/W/31-03/2018.

sampaikan juga tidak harus di kelas, kalau anak-anak kumpul-kumpul duduk disitu, saya

ya ikut kesitu, mereka bercerita dan mereka tanya lalu saya jawab.167

Hal lain diungkapkan terkait respon peserta didik dalam menerima nilai

keteladanan dari cerita tersebut. Bapak Anwarudin mengatakan bahwa: “Kalau

jangka pendek tidak respect anak, tahu cerita begitu saja. Kalau jangka panjang tergantung

lingkunganya terkadang bisa berhasil”.168

Begitupun dengan penerapan peserta didik dari nilai keteladanan melalui

kisah sudah sedikit dilaksanakan siswa kelas X Las A yakni: Guntur, Andrian,

Angga, Fahmi, Kevin, Dilan, Farhan. Hal ini mereka jawab dalam bentuk

prosentase: “Guntur 20 %, Andrian 25 %, Angga dan Fahmi serta Kevin 30 %, Dilan 15 %,

Farhan 10 %”. 169

Sedangkan Bapak Muhammad Ihsan juga mengatakan bahwa hasil pemberian

keteladanan bagi siswa itu sendiri ialah: “Hasilnya, ya 50 % anak menerima”.170

Begitupun dengan penerapannya terhadap peserta didik dari nilai

keteladanan melalui kisah, hasilnya sudah sedikit dilaksanakan siswa kelas X EI.B

yakni: Choirul, Putri, Izma, Sulis, Rifky. Mereka mengatakan dalam bentuk prosentase:

“Choirul, Putri, Izma, Sulis ya sekitar 50-60 % an kak. Rifky, Sudah mbak, 80 %”.171

167 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.

168 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.

169 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 12/W/06-04/2018.

170 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 01/W/18-01/2018.

171 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 10/W/28-03/2018.

Penanaman nilai itu sendiri meliputi tiga tahap yaitu: tahap transformasi

nilai, tahap tranksaksi nilai, tahap transinternalisasi.172

Pada tahap transformasi

nilai ini, guru PAI mengajarkan dan menuntun siswa dalam menerapkan nilai

moral yang seharusnya dimiliki siswa, sehingga mereka mengetahui mana nilai

yang baik dan buruk. Hal ini diungkapkan dari hasil wawancara menurut Bapak

Shokib, beliau mengatakan bahwa:

Moral siswa itu tidak lepas dari keteladanan, artinya saya harus menunjukan kepada

anak terutama dalam aspek peribadatan, ucapan, tingkah laku. Di samping ada materi

yang ada kaitannya dengan kepemimpinan. Seperti contoh baginda Rasulullah mengasihi

dan berbuat baik pada orang yang memusuhinya, dan bertutur kata baik ketika dimarahi.

Anak sering saya berikan satu kepercayaan, agar anak-anak menyampaikan ke depan,

seperti, tugas berceramah di depan, aku diteladani atau aku dilihat. Ketika di depan harus

bisa mengondisikan.173

Hal lain juga diungkapkan oleh Bapak Ahmad Muzakky: “Cara menuntunnya ya saya

ceritakan kasus-kasus moral yang sedang terjadi sekarang, serta saya beri contoh realnya agar

siswa dapat menjadikan pelajaran dan menghindari hal tersebut”.174

Sedangkan Bapak M. Qomaruddin mengatakan bahwa: “Menuntun nilai moral, ya

saya kaitkan sama kasus alam, seperti Banaran”.175

Kemudian menurut hasil wawancara Bapak Anwarudin mengatakan bahwa: “Kita beri

contoh begitu saja tindakanya, jangan sampai dihadapan anak saat ketika di warung, tidur di

masjid, jangan sampai tahu, itu bisa saja jadi contoh yang buruk bagi anak”.176

172 Muhaimin M.A., et.al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan

Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 178.

173 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.

174 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/06-03/2018.

175 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.

176 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.

Hal tersebut sepadan dengan yang diungkapkan oleh Bapak Muhammad Ihsan yang

mengatakan bahwa: “Dengan cara pakaian, sikap guru, guru harus menjadi barometer peserta

didiknya untuk bertindak”. 177

Pada tahap transaksi nilai, guru tidak hanya mentransformasikan nilai,

tetapi guru juga memberikan contoh amalan nyata kepada siswa. Hal ini sesuai

dengan hasil wawancara menurut Bapak M. Qomaruddin.

Seperti bencana di Banaran itu saya bertanya, “Tahu tidak?

“Ya pak.”

“Semalam suntuk di Banaran ada apa aja? “

“Judi pak,”

“ Nanti ya segera meninggal kalau mendirikan tempat judi dan minum langsung di kubur

mereka.”

Dengan kasus itu lalu mereka mudah menangkap dan menerapkan.178

Hal lain juga diungkapkan oleh Bapak Drs. Shokib, yang mengatakan bahwa: “Bertutur

kata yang halus, kepercayaan. Menyampaikan anak-anak adanya tugas ceramah di depan kelas

sehingga ia menunjukan dirinya, aku diteladani dan dilihat”.179

Begitu juga menurut hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Muzakky yang

mengatakan bahwa: “Ya contohnya, kasus anak membunuh ibunya, dan kemudian bapaknya

membunuh anaknya. Kasus remaja yang pergaulannya bebas narkoba, rokok, berkata kasar,

dsb.180

Hal lain juga diungkapkan oleh Bapak Anwarudin, S.Ag, yang mengatakan bahwa:

“Memberikan peringatan untuk mau sholat jumat berjamaah, yang tidak sholat jumat di rumah,

177 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/24-04/2018.

178 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.

179 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.

180 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/06-03/2018.

maka sholat jumat berjamaah di sekolah, guru mengecek kehadiran mereka. Kemudian

membiasakan bersama-sama membaca asma>ul h}usna sebelum pembelajaran agama dimulai”.181

Hal ini diperkuat dengan data Observasi kedua di kelas Las A, bahwa

sebelum pelajaran dimulai mereka setelah berdoa lalu membaca asma>ul h}usna

bersama-sama.182

Begitu juga menurut hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Ihsan yang

mengatakan bahwa: “Saya pernah mencontohkan untuk mengamalkan pembangunan masjid,

dengan saya memasukan uang 10.000, ternyata hasilnya uang terkumpul 60-70, ini menunjukan

mereka juga mau menerapkan nilai moral”.183

Dalam tahap transinternalisasi, penampilan guru dihadapan siswa bukan

lagi sosoknya, tetapi lebih pada sikap mentalnya (kepribadian). Tahapan dari

trasnsiternalisasi dari buku berjudul Paradigma Pendidikan Islam Upaya

Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, meliputi tahap menyimak,

menanggapi, memberi nilai, mengorganisasi nilai, karakteristik nilai.184

Dari hasil

data penelitian lapangan pada poin-poin sebelumnya, mengatakan bahwa tahapan

ini siswa sudah sampai pada tahap karakteristik nilai yaitu meniru segala tingkah

laku, ucapan dari gurunya, membiasakan sholat dhuha dan membaca asma>ul

181 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.

182 Lihat pada transkip observasi dalam lampiran penelitian ini.

183 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/24-03/2018.

184 Muhaimin M.A., et.al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan

Agama Islam di Sekolah, 179.

h}usna, sholat jumat berjamaah, menerapkan nilai keteladanan dari kisah-kisah,

menerapkan amalan-amalan doa dan sunah rasul.185

Hasil penggunaan metode kisah terhadap minat belajar siswa itu sendiri

dipengaruhi faktor rasa suka terhadap cerita. Apalagi jika dibawakan dengan santai

dan humor, pembelajaran akan lebih mudah dipahami. Hal ini diungkapkan dari

hasil wawancara siswa kelas X EI.A yakni : Anisa, Asraf, Geri, Erdian, Cholid

mereka berpendapat mengenai adanya penggunaan metode kisah terhadap mata

pelajaran PAI:

Anisa: Sangat baik, saya bisa lebih memahami pelajaran karena terjadi di kehidupan

sehari-hari.

Asraf: Mudah diingat, mudah dilaksanakan perintahnya

Geri: Mudah dihafal, tidak bosan, tidak mengantuk.

Erdian: Kesanya lebih menarik, tidak jenuh, tidak bosan, dapat menambah minat dan

semangat siswa.

Cholid: Sangat bagus, karena kita menjadi lebih paham. Tidak bosan mbak.

Mereka semua mengatakan: Iya mudah dipahami.186

Hal tersebut juga diungkapkan pendapat mereka mengenai adanya metode

kisah dalam pembelajaran PAI seperti yang diungkap kelas X TBSM.B.

Gogharty: Ya enak mbak, tidak jenuh mbak.

Surya: Suka mbak lebih seru begitu mbak.

Krishna: Cukup bagus mbak, cerita tentang Agama, tapi sedikit ada canda agar tidak

tegang. Suka mbak dengan materi disisipi kisah.

Baqi: Menurut saya bagus, karena disitu kita tidak hanya mendapat materi atau ilmu

pengetahuan saja. Hal tersebut bisa membuat siswa tidak bosan, juga bisa menghibur

dan menginspirasi dari kisah yang diceritakan oleh guru tentang pengalaman hidup.

Sulthon: Suka, ya enak mbak.

Ikhsan: Makin asyik, maksudnya tidak jenuh atau bosan gitu low kak, terus pasti kalau

ceritanya lucu-lucu, anak-anak pasti ketawa kak, kalau tidak disisipi cerita pasti anak-anak sudah bosan terus ditinggal tidur kak

Habib: Kalau saya malah lebih suka disispi cerita mbak, soalnya lebih mudah paham

dengan pelajaranya terus kalau cuma pelajaran terus mudah bosan dan mengantuk

Redian: Enak mbak, pelajarannya bisa serius tapi santai kalau pakai cerita

185 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini.

186 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05/W/23-03/2018.

Rifai: Bisa lebih cepat dipahami.

Nurzaini: Materi bisa lebih cepat diserap, dapat lebih dekat dengan guru.

Mereka semua mengatakan mudah dipahami dengan adanya kisah.187

Begitu juga dengan kelas X EI.B, mereka juga mengungkapkan mengenai

adanya metode kisah dalam pembelajaran PAI.

Sulis: Akan mengantuk, bosan, akan cerita sendiri, tidur.

Putri: Ceritanya itu tidak membosankan mbak, lucu beliau itu humoris jadi

memperhatikan begitu mbak.

Choirul: Lumayan bisa dipahami, kalau langsung materi, langsung sulit dipahami.

Izma: Tidak mudah dipaham mbak

Rifky: Bagus kak, soalnya saya suka cerita.

Mereka semua mengatakan: Mudah dipahami, asal jangan terlalu panjang.188

Berkaitan dengan pendapat dari tiga kelas yang lain yakni X OI.B, X

DPIB.A, dan X LAS A lebih jelasnya dapat dilihat dalam lampiran transkip

wawancara penelitian ini.

Hasil dari penggunaan metode kisah dapat menambah minat siswa, hal

imi diungkapkan dari hasil wawancara enam kelas yakni: X EI.A, X TBSM.B, X

OI.B, X EI.B, X DPIB.A, X LAS A.

Minat bertambah, karena ada humoris ceritanya dan tidak meninggalkan materi, tidak

bosan sama materi itu, bisa serius tapi santai.189

Iya sangat menambah, karena dibawakan secara santai dan humor.190

Bisa mbak.191

Ya lumayan kak, bisa menambah kak, karena ya ceritanya humoris mbak, jadi materi

itu santai dan tidak tegang, lebih enak begitu kira-kira 70-80 % kak.192

Iya bisa mbak193

Bisa menambah mbak.194

187 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.

188 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 10/W/28-03/2018.

189 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05/W/23-03/2018.

190 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.

191 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 09/W/28-03/2018.

192 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 10/W/28-03/2018.

193 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 11/W/31-03/2018.

Pengaruh guru dalam mengajar berdampak besar terhadap minat siswa

dalam pelajaran tersebut, serta dapat menambah semangat siswa dalam belajar.

Dari hasil wawancara 6 kelas tersebut, rata-rata dengan cara guru mengajar dan

bercerita, hasilnya cukup dapat menambah minat dan semangat siswa. Hal ini

lebih detail dapat dilihat pada transkip wawancara yang telah terlampir. Misalnya

dari hasil wawancara di kelas X TBSM.B dan X EI.A mengatakan bahwa: “Dapat, karena secara

hati sudah senang sama gurunya. Iya mbak jadi semangat”.195 “Jika pembalajaran menggunakan

cerita itu menambah minat, wawasan, semangat, tidak jenuh.Iya nambah semangat”.196

Namun dengan adanya cerita saja dalam pembelajaran, siswa merasa

tidak cukup, diperlukannya materi, serta adanya tugas ataupun kompetensi. Salah

satu contohnya pada kelas X TBSM.B mengatakan bahwa: “Belum, kalau tidak dipelajari tidak

cukup, ya teori ya praktek, diskusi. Ditambah dengan soal dan catatan, jadi kalau lupa biar mudah

mengingatnya, ya harus dituliskan agar lebih paham”.197

Begitu pun dengan kemampuan peserta didik dapat menangkap materi

melalui cerita dari enam kelas yang diteliti, hasilnya ada yang cukup baik dengan

prosentase rata-rata 30-70 %, serta sangat baik dengan prosentase 75-90 %. Hal

tersebut dapat dilihat pada transkip wawancara yang telah terlampir. Seperti salah

satu contohnya di kelas X LAS A mengatakan bahwa: “Farhan dan Andrian 60 %, Guntur 75 %,

Angga 50 % , Dilan, Fahmi, Kevin: 90 %.”.198

194 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 12/W/06-04/2018.

195 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.

196 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05/W/23-03/2018.

197 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.

198 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.

Sedangkan minat belajar yang berpengaruh pada hasil belajar pada mata

pelajaran PAI dikatakan bagus, karena rata-rata kelas mendapatkan nilai lebih dari

80. Hal ini dapat dilihat pada transkip wawancara yang terlampir.

Melihat minat membaca dan belajar masih rendah. Maka dari itu perlu

adanya upaya guru PAI mengatasi hal tersebut. Dari hasil wawancara dengan Bapak

Ahmad Muzakky mengatakan: “Dengan menyuruh siswa uji kompetensi mengerjakan LKS, setelah

diberikan cerita, dan catatan penjelas materi”.199

Sedangkan Bapak Shokib, untuk mengatasi hal tersebut, berpendapat: “Dengan

menceritakan kisah dan cerita, atau mengajak anak-anak belajar di perpus.200

Begitu juga dengan Bapak Anwaruddin dalam mengatasi hal tersebut, beliau

mengatakan bahwa: “Dari awal siswa harus sudah siap/minat belajar, buku sudah dikeluarkan

sebelum pembelajaran dimulai. Menunjuk siswa secara acak untuk membaca dari bagian materi

yang dibahas”.201

Hal lain juga diungkapkan oleh Bapak Muhammad Ihsan: “Caranya memotivasi siswa

biar semangat dalam belajarnya, guru harus menjadi barometer. Dari gayanya, dari tindakanya itu

seakan-akan meyakinkan peserta didik”.202 “Dengan menggunakan internet, karena siswa memang

sulit untuk membaca, ya saya kasih tugas untuk didiskusikan dan dicari di internet”.203

199 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/06-03/2018.

200 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.

201 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.

202 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 01/W/18-01/2018.

203 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/24-03/2018.

Hal lain juga diungkapkan oleh Bapak Drs. M. Qomaruddin, M.Pd. beliau mengatakan

bahwa: “Dengan doktrin di awal tadi mbak siswa suruh menulis syarat ilmu bermanfaat, jadi kalau

tidak bisa, harus ada catatan dimasukan hafalan”.204

204

Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.

BAB V

ANALISIS DATA

A. Analisis Data tentang Latar Belakang Penggunaan Metode Kisah dan

Penanaman Nilai Keteladanan dalam Meningkatkan Minat Belajar Siswa kelas

X pada Mata Pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo

Latar belakang penggunaan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan

dalam meningkatkan minat belajar siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN

1 Jenangan Ponorogo dari data penelitian lapangan dikatakan bahwa dengan

menggunakan metode kisah dapat menyentuh hati manusia, dan secara pribadi siswa

senang akan adanya kisah, sehingga minat mereka terbangun dengan adanya kisah.

Sedangkan latar belakang penanaman nilai keteladanan adalah menanamkan nilai-

nilai kepada peserta didik, sehingga guru harus terdorong untuk berbuat baik, karena

segala tingkah lakunya akan ditiru oleh peserta didik, selain itu melalui penanaman

nilai keteladanan, siswa lebih mudah menerapkan ilmu yang dipelajarinya.

Hal tersebut sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa: Kisah sebagai

metode pendidikan amat penting karena dalam kisah terdapat berbagai keteladanan

dan edukasi. Hal ini karena terdapat beberapa alasan yang mendukungnya yaitu:

kisah senantiasa memikat karena mengundang pembaca/pendengar untuk mengikuti

peristiwannya dan merenungkan maknanya, kisah dapat menyentuh hati manusia,

karena kisah menampilkan tokoh dalam konteksnya secara menyeluruh sehingga

pembaca/pendengar dapat menghayati dan merasakan isi kisah tersebut, kisah Qurani

mendidik keimanan dengan cara membangkitkan perasaan sehingga terlibat secara

emosional.205

Selain juga diperkuat teori yang mengatakan bahwa kelebihan dari

metode keteladanan adalah: akan memudahkan anak didik dalam menerapkan ilmu

yang dipelajarinya di sekolah dan mendorong guru untuk selalu berbuat baik karena

akan dicontoh oleh siswanya.206

Fungsi atau peranan kisah dalam Buku Heri Gunawan, Pendidikan Islam

Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh yakni: memberikan pelajaran untuk dijadikan

teladan yang baik, menggugah hati untuk memahami hal-hal yang bersifat maknawi,

merupakan bagian dari kesenangan manusia. 207

Fungsi adanya metode kisah pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan

Ponorogo, menurut data penelitian lapangan adalah :

1. Mampu menggambarkan berbagai macam kenyataan dalam pikiran dan pandangan

dia yang sering terjadi di lingkungan masyarakat.

2. Dapat lebih menyerap dan tergugah hatinya untuk memahami melalui cerita.

3. Menanamkan pendidikan akhlakul karimah dari kisah-kisah.

4. Dapat diambil nilai keteladanan.

5. Merupakan bagian dari kesenangan anak, sehingga dapat lebih mudah dipahami.

6. Daya tarik siswa.

7. Untuk penanaman nilai.

205 Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, 263.

206 Ibid., 122-123.

207 Ibid., 306.

8. Untuk mengingatkan sejarah.

9. Dapat diambil nilai pelajaran dan menambah semangat siswa

10. Mempercepat dan meresapkan daya ingat anak, agar mudah dicerna dari kisah

tersebut maupun dari pelajaran agama yang dikisahkan.

Penerapan metode kisah diantarannya sebagai berikut: 1) Penggalan kisah

dapat dijadikan pengantar untuk membawa murid pada suatu pemikiran,

penghayatan, terhadap nilai-nilai tertentu. 2) Penggalan kisah Qurani dapat dijadikan

sebagai materi pokok dalam topik bahasan yang disampaikan. 3) Penggalan kisah

dapat dijadikan sebagai alat untuk memancing perhatian murid terhadap materi yang

disampaikan. 4) Penggalan kisah dapat dijadikan alat untuk memancing emosi.

5) Potongan kisah dijadikan alat untuk memancing rasa ingin tahu murid hingga

muncul motivasi untuk mengetahui kisah secara lengkap. 6) Potongan kisah

dijadikan sebagai titik kulminasi penghayatan murid terhadap penanaman suatu

nilai-nilai tertentu seperti menumbuhkan keberanian, kejujuran, keikhlasan,

kesabaran.208

Penerapan metode kisah bagi siswa di SMKN 1 Jenangan Ponorogo

menurut data penelitian lapangan adalah:

1. Penerapannya dengan adanya kisah dapat dijadikan pengantar untuk membawa

murid pada suatu pemikiran, penghayatan, terhadap nilai-nilai tertentu, sehingga

murid dapat menanamkan nilai-nilai yang diambil dari cerita tersebut.

208 Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Quran (Bandung: Alfabeta, 2009),

104.

2. Penerapannya agar anak-anak mengerti akan sejarah.

3. Penerapannya dari guru harus menguasai sejarah dulu dari kisah yang akan

diceritakan kepada siswa.

4. Tergantung faktor anak itu sendiri, selain itu tergantung keluarga dan pergaulan.

Penerapannya lebih berhasil dalam jangka waktu lama.

5. Penerapannya dengan pemberian tugas praktek pidato kepada siswa.

B. Analisis Data tentang Jenis Metode Kisah dan Penanaman Nilai Keteladanan

dalam Meningkatkan Minat Belajar Siswa kelas X pada Mata Pelajaran PAI di

SMKN 1 Jenangan Ponorogo

Terdapat berbagai macam metode kisah menurut Moeslichatoen

diantarannya sebagai berikut:

1) Membaca langsung dari buku cerita.

2) Bercerita dengan menggunakan ilustrasi gambar dari buku.

3) Menceritakan dongeng.

4) Bercerita dengan menggunakan papan flanel.

5) Bercerita dengan menggunakan media boneka.

6) Bercerita sambil memainkan jari-jari tangan.209

209 Taranindya Zulhi Amalia dan Zaimatus Sa’diyah, “Bercerita sebagai Metode Mengajar

bagi Guru Raudlatul Athfal dalam Mengembangkan Kemampuan Dasar Bahasa Anak Usia Dini di

Desa Ngambalrejo Bae Kudus,” Thufula, vol 03 (Juli-Desember, 2015), 341.

Bentuk-bentuk metode bercerita dibagi menjadi dua macam:

1) Bercerita tanpa alat peraga, bentuk cerita yang mengandalkan kemampuan

pencerita dengan menggunakan ekspresi muka, gerak tubuh, dan vokal

pencerita sehingga yang mendengarkan dapat menghidupkan kembali dalam

fantasi dan imajinasinya.

2) Bercerita dengan alat peraga, bentuk cerita yang menggunakan alat peraga

bantu untuk menghidupkan cerita.210

Macam metode kisah yang digunakan guru di SMKN 1 Jenangan Ponorogo

yakni dengan bercerita secara langsung tanpa adanya alat peraga. Dari teori di atas,

guru SMKN 1 Jenangan Ponorogo belum menggunakan macam metode cerita yang

sepadan melainkan ada sedikit perbedaan, seperti pada bagian satu yang mengatakan

membaca langsung dari buku cerita, pada data lapangan guru SMKN 1 Jenangan

bercerita secara langsung dengan lisan sesekali dibawakan secara humor. Selain itu

pada poin ketiga yaitu menceritakan dongeng, sedangkan guru-guru bukan

menceritakan dongeng tetapi kisah sejarah, kisah nabi-nabi, keimanan, kisah moral

dan sosial, serta kisah pengalaman hidup. Jadi dapat disimpulkan bahwa guru

SMKN 1 Jenangan belum menggunakan metode cerita seperti teori, melainkan

menggunakan bentuk metode cerita tanpa alat peraga.

Macam-macam kisah ditinjau dari segi waktu, ditinjau dari segi materi

diantarannya sebagai berikut:211

210 Nining. 20 Mei 2016. Metode Bercerita, (online), (http://catatannining.wordpress.com,

diakses 8 Juli 2018)

1) Ditinjau dari segi waktu: a) Kisah hal-hal gha>ib pada masa lalu, contohnya kisah-

kisah Nabi Nuh, Nabi Musa, dan kisah Maryam. b) Kisah hal-hal gha>ib pada masa

kini, contohnya tentang Allah dengan segala sifat-sifat-Nya, para malaikat, jin,

setan, kenikmatan surga, dan sebagainya. c) Kisah hal-hal gha>ib pada masa yang

akan datang, contohnya seperti kemenangan bangsa Romawi atas Persia, yang

diterangkan ayat 1-4 surat Ar-Rum, dan sebagainya.

2) Ditinjau dari segi materi: a) Kisah para nabi, mukjizat mereka, fase-fase dakwah

mereka, dan penentang serta pengikut mereka. Contohnya kisah Nabi Adam,

Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad SAW dan lain-

lain. b) Kisah orang-orang yang belum tentu Nabi dan kelompok-kelompok

manusia tertentu. Contohnya kisah Lukmanul Hakim, Qarun, Ashabul Khahfi,

Ashhabus Sabti, dan lain-lain. c) Kisah peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian

zaman Rasulullah. Contonya kisah Perang Badar, Perang Uhud, Perang Hunain,

Perang Tabuk, Perang Ahzab, Hijrah, dan lain-lain.212

Dari hasil penelitian lapangan, jenis kisah yang disampaikan guru PAI

SMKN 1 Jenangan Ponorogo ialah sebagai berikut:

a. Nabi-nabi: Nabi Musa, Nabi Yusuf, Nabi Khidir, Nabi Muhammad, Dakwah

nabi Muhammad di Mekah dan Madinah. Hal ini senada dengan teori macam

kisah ditinjau dari segi waktu poin (a) yaitu kisah hal-hal gha>ib pada masa lalu,

dan ditinjau dari segi materi poin (a) yaitu kisah para nabi, mukjizat mereka,

211 Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2013), 306-311.

212 Ibid., 306-311.

fase-fase dakwah mereka, dan penentang serta pengikut mereka, seperti Nabi

Musa dan Nabi Muhammad. Dan tidak menggunakan macam kisah ditinjau dari

segi waktu poin (c) yaitu kisah hal-hal gha>ib pada masa yang akan datang. Dan

tidak juga menggunakan macam kisah ditinjau dari segi materi poin (b) yaitu

kisah orang-orang yang belum tentu Nabi dan kelompok-kelompok manusia

tertentu.

b. Keimanan kepada Allah. Hal ini senada dengan teori tentang macam kisah

ditinjau dari segi waktu poin (a) yaitu kisah hal-hal gha>ib pada masa kini.

c. Malaikat. Hal ini senada dengan teori tentang macam kisah ditinjau dari segi

waktu poin (a) yaitu kisah hal-hal gha>ib pada masa kini.

d. Perang-perang: Perang Badar, Perang Uhud, Perang Tabuk, Perang Khandaq. Ini

senada dengan teori macam-macam kisah menurut Manna Khalil al-Qathan poin

(c) Kisah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw dan macam kisah

ditinjau dari segi materi poin (c) Kisah peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian

zaman Rasulullah.

e. Kisah moral yang masih dikaitkan dengan materi Agama.

f. Kisah sosial yang masih dikaitkan dengan materi Agama.

g. Kisah pengalaman hidup yang masih dikaitkan dengan materi Agama.

h. Kisah sejarah Ponorogo (Babad Ponorogo).

Sedangkan bentuk metode keteladanan dibagi menjadi dua jenis yaitu:

keteladanan disengaja dan keteladanan tidak sengaja. Keteladanan disengaja,

pendidik sengaja memberikan contoh yang baik kepada para peserta didiknya selain

itu berupa pemberian secara langsung kepada peserta didiknya melalui kisah-kisah

Nabi yang di dalam kisah tersebut terdapat beberapa hal yang patut dicontoh oleh

para peserta didik. Keteladanan tidak disengaja, keteladanan ini terjadi ketika

pendidik secara alami memberikan contoh-contoh yang baik dan tidak ada unsur

sandiwara di dalamnya. Dalam hal ini, pendidik tampil sebagai figur yang dapat

memberikan contoh-contoh yang baik di dalam maupun di luar kelas.213

Dari data penelitian lapangan bentuk keteladanan disengaja daiantaranya

sebagai berikut: Bapak Muzakky memberikah kisah pengalaman hidup dan kisah

moral. Bapak Shokib dengan membawa anak ke masjid untuk sholat dhuha. Bapak

Anwarudin dengan menjaga tingkah lakunya agar ditiru siswa, seperti menjadi imam

sholat, dan kegiatan bakti sosial. Bapak Muhammad Ihsan membiasakan memberikan

cerita dengan menggali sejauh mungkin tentang sejarah. Bapak M. Qomaruddin

dengan menarik kesimpulan dari cerita yang dikisahkan mengenai pesan keteladanan

yang dapat diambil. Sedangkan bentuk keteladanan tidak disengaja, dari data

wawancara siswa dikatakan bahwa guru-guru PAI di SMKN 1 Jenangan sudah

hampir dapat dijadikan guru tauladan dari sikap guru yang ramah, baik, humoris,

sering menasehati, pemberian ilmu mengenai amalan, doa-doa dan sunah rasul, serta

pembiasaan sholat dhuha dan pembacaan asma>ul h}usna.

213

Heri Jauhari Muchtar, Fiqih Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 224.

Jadi disimpulkan, bentuk keteladanan tidak disengaja di SMKN 1 Jenangan

Ponorogo diantarannya sebagai berikut: memberikah kisah pengalaman hidup dan

kisah moral, membawa anak ke masjid untuk sholat dhuha, menjaga tingkah laku

guru agar ditiru siswa seperti: menjadi imam sholat, dan kegiatan bakti sosial.

Membiasakan memberikan cerita dengan menggali sejauh mungkin tentang sejarah.

Menarik kesimpulan dari cerita yang dikisahkan mengenai pesan keteladanan yang

dapat diambil. Sedangkan bentuk keteladanan tidak disengaja, dari data wawancara

siswa dikatakan bahwa guru-guru PAI di SMKN 1 Jenangan sudah hampir dapat

dijadikan guru tauladan dari sikap guru yang ramah, baik, humoris, sering

menasehati, pemberian ilmu mengenai amalan, doa-doa dan sunah rasul, serta

pembiasaan sholat dhuha dan pembacaan asma>ul h}usna.

C. Analisis Data tentang Hasil Penerapan Metode Kisah dan Penanaman Nilai

Keteladanan dalam Meningkatkan Minat Belajar Siswa Kelas X Pada Mata

Pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo

Penanaman nilai dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu, tahap transformasi

nilai, tahap transaksi nilai, dan tahap transinternalisasi nilai:214

1) Tahap transformasi nilai: pada tahap ini guru sekedar mentransformasikan nilai-

nilai yang baik dan yang kurang baik kepada siswa, yang semata-mata

merupakan komunikasi verbal.

214 Muhaimin M.A., et.al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan

Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 178.

2) Tahap tranksaksi nilai, dalam tahap ini guru tidak hanya menginformasikan nilai

yang baik dan buruk, tetapi juga terlihat untuk melaksanakan dan memberikan

contoh amalan yang nyata, dan siswa diminta untuk memberikan tanggapan yang

sama, yakni menerima dan mengamalkan nilai tersebut.

3) Tahap transinternalisasi, tahap ini jauh lebih dalam dari sekedar transaksi. Dalam

tahap ini penampilan guru dihadapan siswa bukan lagi sosoknya, tetapi lebih

pada sikap mentalnya (kepribadian).

Dari data penelitian lapangan menunjukan bahwa guru-guru PAI di SMKN

1 Jenangan telah melakukan ketiga tahapan penanaman nilai seperti yang disebutkan

diatas. Dalam tahapan transformasi nilai, guru telah mengajarkan dan menuntun

nilai moral siswa, seperti yang dilakukan Bapak Shokib, dimana moral siswa itu

tidak lepas dari keteladanan, maka perlu menunjukan kepada anak didik aspek

peribadatan, ucapan, dan tingkah laku. Selain itu juga dengan menjadikan baginda

Rasulullah contoh atau suri tauladan dalam pembelajaran, agar anak dapat

mencontoh sikap serta kepemimpinannya.

Pada tahap transformasi nilai, cara Bapak Muzakky dalam mengajarkan

dan menuntun nilai moral siswa dilakukan melalui cerita/kisah, yakni dengan

menceritakan kasus-kasus moral yang sedang terjadi sekarang disertai pemberian

contoh nyata, agar siswa dapat menjadikan pelajaran dan menghindari perilaku

buruk tersebut. Sedangkan Bapak Qomarudin dalam tahap transformasi ini

menunjukan kasus alam, semisal bencana longsor di Banaran, lalu mengaitkan

perilaku warga Banaran sebelum terjadi longsor. Begitu pun dengan Bapak Anwar

dalam mengajarkan dan menuntun nilai moral siswa dengan memberikan contoh

tindakannya, lebih menjaga figur guru, karena setiap tindakannya bisa saja ditirukan

murid. Bapak Ihsan dalam mengajarkan dan menuntun nilai moral siswa dengan

cara guru harus menjadi barometer peserta didiknya untuk bertindak, serta cara

pakaian, dan sikap guru.

Pada tahap transaksi nilai, guru memberikan contoh/amalan nyata kepada

peserta didik, serta adanya tanggapan peserta didik melaksanakannya. Dalam tahap

ini guru-guru PAI SMKN 1 Jenangan sudah memberikan contoh/amalan nyata

kepada peserta didik, begitu pun peserta didik sedikit mampu menerapkannya.

Semisal pembiasaan sholat dhuha dan membaca asma>ul h}usna pada kelas bapak

Shokib dan bapak Anwar, selain itu adanya amalan-amalan, doa-doa, serta sunah

rasul yang diberikan Bapak Muzakky telah dijadikan pengamalan dan pembiasaan

siswa.

Pengamalan dan pembiasaan itu sendiri merupakan bagian dari pendekatan

penanaman nilai serta pendekatan PAI. Hal ini selaras dengan teori yang

mengatakan, dalam pendekatan penanaman nilai yang dapat digunakan guru dalam

proses pembelajaran antara lain yaitu: pengalaman, pembiasaan, emosional,

rasional, fungsional, dan keteladanan.215

Pendekatan Pembelajaran PAI: Keimanan,

pengamalan, pembiasaan, rasional, emosional, fungsional, keteladanan. 216

215

Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), 130-134.

216 Erwin Yudi Prahara, Materi Pendidikan Agama Islam (Ponorogo: STAIN Po Press, 2009),

18-19.

Jadi dapat disimpulkan dalam tahap transaksi nilai, adannya contoh amalan

nyata dari guru sampai dengan tanggapan siswa untuk melakukannya merupakan

bagian dari pendekatan penanaman nilai serta pendekatan PAI, hal ini bertujuan

untuk melatih siswa dalam mengamalkan dan membiasakan dari ilmu yang

diperolehnya.

Pada tahap transinternalisasi, Dalam tahap ini penampilan guru dihadapan

siswa bukan lagi sosoknya, tetapi lebih pada sikap mentalnya (kepribadian). Hal ini

tidak jauh dengan keteladanan guru atau guru tauladan bagi siswa, dari hasil

penelitian lapangan menunjukan bahwa guru-guru PAI di SMKN 1 Jenangan sudah

hampir dapat dijadikan guru tauladan, walaupun sebagian masih ada yang kurang

dari sikap maupun ucapan guru. Hal ini sedikit banyak berpengaruh terhadap acuan

siswa dalam meniru segala sikap tingkah laku guru, baik guru memberikan contoh

melalui kisah maupun amalan nyata. Siswa akan secara psikologis lebih dapat

menerima, karena secara hati mereka sudah menghormati dan mencintai gurunya

sebagai guru tauladan, sehingga berpengaruh pada kemampuan dan pemahaman

siswa menangkap materi melalui kisah dari data lapangan enam kelas yang diteliti,

hasilnya ada yang cukup baik dengan prosentase rata-rata 30-70 %, serta sangat baik

dengan prosentase 75-90 %, siswa secara sadar akan berusaha membiasakan sholat

dhuha, membaca asma>ul h}usna, amalan-amalan, doa-doa, serta sunah rasul yang

diperoleh dari guru.

Menurut data lapangan berkaitan dengan minat siswa di SMKN 1 Jenangan

dengan adanya kisah/cerita dapat menambah minat dan semangat siswa. Dari

banyak siswa rata-rata menyukai cerita, karena dengan cerita tidak membosankan

dan materi bisa lebih mudah dipahami.

Faktor yang mempengaruhi minat siswa lebih pada cara guru mengajar, ada

sebagian siswa dari enam kelas yang diteliti mengatakan tidak suka dengan cara

mengajar guru, walaupun sebagian mengatakan suka dengan adanya cerita.

Hal tersebut diperkuat dengan teori, Faktor yang mempengaruhi minat

belajar menurut Slameto ada dua faktor yang mempengaruhi: 1) Faktor Intern,

terdiri dari faktor jasmaniah (seperti faktor kesehatan dan cacat tubuh) dan faktor

psikologi (seperti intelegensi, perhatian, bakat, kematangan dan kesiapan). 2) Faktor

Ekstern, terdiri dari faktor keluarga (seperti cara orang tua mendidik, relasi antar

keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua dan latar

belakang kebudayaan), dan faktor sekolah (seperti metode mengajar, kurikulum,

relasi guru dengan peserta didik, relasi peserta didik dengan peserta didik, disiplin

sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar penilaian diatas ukuran, keadaan

gedung, metode mengajar dan tugas rumah). 217

Dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi minat tinggi siswa-

siswa SMKN 1 Jenangan adalah faktor intern psikologi (perhatian dan kesiapan

siswa dalam menerima pelajaran), faktor sekolah (metode mengajar, relasi guru

217 Donni Juni Priansa, Kinerja dan Profesionalisme Guru Fokus pada Peningkatan Kualitas

Sekolah, Guru, dan Proses Pembelajaran (Bandung: Alfabeta, 2014), 284.

dengan peserta didik), sedangkan yang menghambat minat mereka ialah faktor

intern faktor jasmaniah (faktor kesehatan).

Dari enam kelas yang diteliti, empat diantarannya sangat menyukai adanya

cerita terlebih cara guru mengajar dengan membawakan cerita secara santai dan

humor membuat mereka suka terhadap gurunya dan mata pelajaran PAI.

Hal ini diperkuat dengan teori yang menyebutkan bahwa menggunakan

humor di ruang kelas memberikan banyak manfaat mencakup mengurangi stres,

meningkatkan motivasi, mengurangi jarak secara psikologis antara guru-siswa, dan

meningkatkan kreativitas. 218

Upaya guru untuk mengatasi minat membaca dan belajar rendah yang

dilakukan guru-guru PAI SMKN 1 Jenangan Ponorogo dari data penelitian lapangan

adalah:

1. Dengan menyuruh siswa uji kompetensi mengerjakan LKS, setelah diberikan

cerita, dan catatan penjelas materi.

2. Dengan menceritakan kisah dan cerita, atau mengajak anak-anak belajar di perpus.

3. Dari awal siswa harus sudah siap/minat belajar, buku sudah dikeluarkan sebelum

pembelajaran dimulai.

4. Menunjuk siswa secara acak untuk membaca dari bagian materi yang dibahas.

218

Darmansyah, Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor (Jakarta: Bumi

Aksara, 2011, 80.

5. Memotivasi siswa agar semangat dalam belajarnya, guru harus menjadi barometer.

Dari gayanya, dari tindakanya itu seakan-akan meyakinkan peserta didik.

6. Dengan menggunakan internet, karena siswa memang sulit untuk membaca, maka

diberikan tugas untuk didiskusikan dan dicari di internet.

7. Dengan doktrin pentingnya mencari ilmu termasuk menulis, jikalau tidak bisa

harus ada catatan dimasukan hafalan dengan membaca dari tulisan .

Hal ini diperkuat teori yang mengatakan, cara yang dilakukan adalah

dengan mengajar yang menyenangkan melalui pemberian kebebasan pada siswa,

perlakuan dan memahami pada siswa sehingga terjalin komunikasi yang baik,

pujian-hadiah, serta metode belajar yang menyenangkan.219

Dimana disimpulkan

bahwa guru telah melakukan upaya dari faktor siswa melalui metode pembelajaran

yang mereka suka yaitu dengan cerita yang dibawakan secara santai dan humor.

Kesimpulan secara keseluruhan bahwa penggunaan metode kisah dan

penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa dikatakan

cukup berhasil, karena dengan perumpamaan melalui kisah siswa dapat lebih mudah

memahami isi materi serta dapat lebih mudah menerapkan ilmu yang dipelajarinya.

Hasil terhadap minat siswa melalui kisah dikatakan tinggi, karena siswa menyukai

cerita, apalagi faktor guru dalam mengajar dan membawakan cerita secara santai

dan humor. Dan hasil terhadap minat belajar dikatakan baik, karena rata-rata siswa

mendapatkan hasil nilai diatas 80 dan mencapai nilai 90.

219 Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinnya (Jakarta: Rineka Cipta,

2015), 182.

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang Penggunaan Metode Kisah dan

Penanaman Nilai Keteladanan dalam Meningkatkan Minat Belajar Siswa Kelas X

Pada Mata Pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo dapat disimpulkan:

1. Latar belakang penggunaan metode kisah penggunaan metode kisah dan

penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa kelas X

pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo karena dengan kisah

dapat menyentuh hati, sehingga siswa senang akan adanya kisah dan siswa suka

meniru serta meneladani guru. Sehingga dengan rasa suka minat belajar mereka

terbangun.

2. Jenis metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat

belajar siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo,

belum menggunakan metode cerita seperti teori menurut Moeslichatoen,

melainkan menggunakan bentuk metode cerita tanpa alat peraga dengan bercerita

secara langsung menggunakan lisan sesekali dibawakan secara humor

menceritakan kisah sejarah, kisah nabi-nabi, keimanan, kisah moral dan sosial,

serta kisah pengalaman hidup. Menggunakan bentuk metode keteladanan

mengunakan keteladanan disengaja dan dan tidak disengaja. Keteladanan

disengaja di SMKN 1 Jenangan Ponorogo diantarannya sebagai berikut:

menceritakan kisah Rasulullah, pengalaman hidup dan kisah moral, membawa

anak ke masjid untuk sholat dhuha, menjaga tingkah laku guru agar ditiru siswa

seperti: menjadi imam sholat, dan kegiatan bakti sosial. Sedangkan bentuk

keteladanan tidak disengaja, dari data wawancara siswa dikatakan bahwa guru-

guru PAI di SMKN 1 Jenangan sudah hampir dapat dijadikan guru tauladan dari

sikap guru yang ramah, baik, humoris, sering menasehati, pemberian ilmu

mengenai amalan, doa-doa dan sunah rasul, serta pembiasaan sholat dhuha dan

pembacaan asma>ul h}usna.

3. Hasil penerapan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam

meningkatkan minat belajar siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1

Jenangan Ponorogo, siswa dapat lebih mudah memahami isi materi dan mudah

menerapkan ilmu yang dipelajarinya. Hal tersebut dilaksanakan dalam bentuk

pembiasaan sholat dhuha dan membaca asma>ul h}usna, amalan-amalan, doa-doa,

serta sunah rasul. Hasil terhadap minat belajar siswa meningkat, karena siswa lebih

suka dan memiliki perhatian lebih dalam belajar, sehingga mengalami peningkatan

dalam hasil belajar dengan rata-rata siswa mendapatkan nilai 90, sedangkan

sebelumnya rata-rata siswa hanya mendapatkan nilai 80.

B. Saran

1. Diharapkan guru konsisten dalam mengajar menggunakan metode kisah dan

penanaman nilai keteladanan, sehingga anak tidak hanya mendapat pengetahuan

saja tetapi ada kesadaran untuk melakukan.

2. Jenis metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam mata pelajaran PAI

yang disampaikan guru sebaiknya lebih banyak lagi ilmu yang diberikan yang

disampaikan dengan menggunakan metode yang bervariasi, yang tidak hanya

menggunakan lisan agar siswa lebih mudah menerapkan di kehidupan sehari-

hari.

3. Hasil penggunaan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam

meningkatkan minat belajar siswa, guru harus lebih kreatif dalam menggunakan

metode mengajar yang bervariasi dan diharapkan menjadi guru tauldan murid.

4. Sedangkan bagi peneliti selanjutnya diharapkan penelitian ini bisa dijadikan

sumber refrensi yang lebih baik lagi kedepanya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdurrahman Saleh. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Quran. Jakarta:

Rineka Cipta, 2007.

Ahmad, Muhammad Abdul Qadir. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Rineka

Cipta, 2008.

An-Nabiry, Fathul Bahri. Meniti Jalan Dakwah bagi Perjuangan Para Da’i. Jakarta:

Amzah, 2008.

Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers,

2002.

Budiyanto, Mangun. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ombak, 2013.

Darmansyah. Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor. Jakarta: Bumi Aksara,

2011.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tiga Bahasa. Depok: Al-Huda, 2011.

Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2013.

Elmubarok, Zaim. Membumikan Pendidikan Nilai Mengumpulkan yang Terserak,

Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai. Bandung: Alfabeta,

2009.

Gunawan, Heri. Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh. Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2014.

Hakim, Firman. Nilai-Nilai Keteladanan dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Bagi Siswa di SMK NU Ungaran, Kab. Semarang, Jawa Tengah Tahun 2011.

Skripsi, STAIN Salatiga, Salatiga, 2011.

Isnaini, Tri. Implementasi Metode Cerita Islami dalam Menanamkan Moral Keagamaan di

TK Islam Terpadu Permata Hati Ngaliyan Semarang. Skripsi, UIN Walisongo,

Semarang, 2015.

Janawi. Metodologi dan Pendekatan Pembelajaran. Yogyakarta: Ombak, 2013.

Minarti, Sri. Ilmu Pendidikan Islam Fakta Teoretis-Filosofis dan Aplikatif-Normatif.

Jakarta: Amzah, 2013.

Mohamad Nurdin dan Hamzah B. Belajar dengan Pendekatan Pembelajaran, Aktif,

Inofatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, Menarik. Jakarta: Bumi Aksara, 2012.

Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.

Muchtar, Heri Jauhari. Fiqih Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.

Muhaimin M.A., et.al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan

Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.

Mulyana, Rohmat. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta, 2011.

Munir, M. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana, 2003.

Mustofa, Bisri. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Parama Ilmu, 2015.

Nata, Abuddin. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2008.

Nining. 20 Mei 2016. Metode Bercerita, (online), (http://catatannining.wordpress.com,

diakses 8 Juli 2018)

Prahara, Erwin Yudi. Materi Pendidikan Agama Islam. Ponorogo: STAIN Po Press,

2009.

Prastowo, Andi. Memahami Metode-Metode Penelitian: Suatu Tinjauan Teoritis dan

Praktis. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

Priansa, Donni Juni. Kinerja dan Profesionalisme Guru Fokus pada Peningkatan Kualitas

Sekolah, Guru, dan Proses Pembelajaran. Bandung: Alfabeta, 2014.

Ramayulis. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2010.

Sa’diyah Zaimatus dan Taranindya Zulhi Amalia, “Bercerita sebagai Metode Mengajar

bagi Guru Raudlatul Athfal dalam Mengembangkan Kemampuan Dasar Bahasa

Anak Usia Dini di Desa Ngambalrejo Bae Kudus,” Thufula, vol 03 (Juli-

Desember, 2015), 341.

Salamah, Lailatus. Efektivitas Metode Kisah dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak di

Madrasah Aliyah Almaarif Singosari Malang. Skripsi. UIN Malang. Malang,

2008.

Salimi Noor dan Abu Ahmadi. Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Bumi

Aksara, 2004.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta, 2013.

Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2013.

Sulistyorini dan Muhammad Fathurrohman. Belajar dan Pembelajaran Membantu

Meningkatkan Mutu Pembelajaran sesuai Standar Nasional. Yogyakarta: Teras,

2012.

Slameto. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinnya. Jakarta: Rineka Cipta, 2015.

Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.

Syahidin. Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Quran. Bandung: Alfabeta, 2009.

Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islami Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu

Memanusiakan Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.

Tim Penyusun. Buku Pedoman Penulisan Skripsi Kuantitatif, Kualitatif, Library, dan PTK.

Ponorogo: Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Ponorogo, 2017.

Ulwan, Abdullah Nashih. Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. Semarang: Asy Syifa,

1981.