penggunaan metode kisah dan penanaman nilai …etheses.iainponorogo.ac.id/3065/1/julia...
TRANSCRIPT
PENGGUNAAN METODE KISAH DAN PENANAMAN NILAI
KETELADANAN DALAM MENINGKATKAN MINAT BELAJAR
SISWA KELAS X PADA MATA PELAJARAN PAI DI SMKN 1
JENANGAN PONOROGO
SKRIPSI
OLEH:
JULIA INDA
NIM: 210314165
OLEH
JULIA INDAH PRATIWI
NIM: 210314165
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
JULI 2018
ABSTRAK
Pratiwi, Julia Indah, 2018. Penggunaan Metode Kisah dan Penanaman Nilai Keteladanan dalam
Meningkatkan Minat Belajar Siswa Kelas X Pada Mata Pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan
Ponorogo. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Institut Agama Islam Negeri Ponorogo. Pembimbing Muhamad Nurdin, M.Ag.
Kata Kunci: Metode Kisah, Penanaman Nilai Keteladanan, Minat Belajar, PAI
Penggunaan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan merupakan metode yang penting dalam
menanamkan nilai-nilai kepada siswa serta menumbuhkan minat belajar siswa. Hal ini dilakukan karena
pendidikan kurang dalam menyadarkan nilai secara bermakna. Dimana pemaknaan pendidikan yang
syarat dengan penanaman nilai bergeser pada pemaknaan pengajaran yang berkonotasi sebagai transfer
pengetahuan. Sehingga menjadikan tantangan para pendidik dalam menanamkan nilai-nilai keteladanan.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui alasan menggunakan metode kisah dan penanaman
nilai keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran PAI kelas X di SMKN 1
Jenangan Ponorogo. (2) mengetahui jenis metode kisah dan penanaman nilai keteladanan bagi siswa kelas
X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo. (3) mengetahui hasil penerapan metode kisah
dan penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran PAI kelas
X di SMKN 1 Jenangan Ponorogo.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis
penelitian studi kasus. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik
analisis data model interaktif (alur) Miles dan Huberman yang meliputi data reduction, data display, dan
conclusion/verivication.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa (1) Latar belakang penggunaan metode kisah dan
penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di
SMKN 1 Jenangan Ponorogo, karena dengan kisah dapat menyentuh hati, sehingga siswa senang akan
adanya kisah dan siswa suka meniru serta meneladani guru, sehingga dengan rasa suka minat belajar
mereka terbangun. (2) Jenis metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat
belajar siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo, belum menggunakan
metode cerita menurut Moeslichatoen, melainkan menggunakan bentuk metode cerita tanpa alat peraga
dengan bercerita secara langsung menggunakan lisan yang dibawakan secara humor. Menggunakan bentuk
metode keteladanan disengaja dengan menceritakan kisah Rasulullah dan pengalaman hidup serta kisah
moral, membawa anak ke masjid untuk sholat dhuha, pemberian contoh menjadi imam sholat dan ikut
dalam kegiatan bakti sosial. Sedangkan bentuk metode keteladanan tidak disengaja, dari sikap guru yang
ramah, baik, humoris, sering menasehati, pemberian amalan, doa-doa dan sunah rasul, serta pembiasaan
sholat dhuha dan pembacaan asma>ul h}usna. (3) Hasil penerapan metode kisah dan penanaman nilai
keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1
Jenangan Ponorogo, siswa lebih mudah memahami isi materi dan menerapkan ilmu yang dipelajarinya. Hal
tersebut telah dilaksanakan dalam bentuk pembiasaan sholat dhuha dan membaca asma>ul h}usna, amalan-
amalan, doa-doa, serta sunah rasul. Hasil terhadap minat belajar siswa meningkat, karena siswa lebih suka
dan memiliki perhatian lebih dalam belajar, sehingga mengalami peningkatan hasil belajar dengan rata-rata
siswa mendapatkan nilai 90, sedangkan sebelumnya rata-rata siswa hanya mendapatkan nilai 80.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rendahnya mutu Pendidikan Nasional tidak hanya disebabkan oleh
kelemahan pendidikan dalam membekali kemampuan akademis kepada peserta didik.
Lebih dari itu ada hal lain yang tidak kalah penting, yaitu kurangnya penyadaran nilai
secara bermakna. Dimana pemaknaan pendidikan yang syarat dengan penanaman
nilai bergeser pada pemaknaan pengajaran yang berkonotasi sebagai transfer
pengetahuan.1
Hal ini merupakan tantangan para pendidik untuk dapat menanamkan nilai
sebagai suatu kebiasaan berperilaku dari nilai-nilai yang diperoleh siswa di sekolah.
Dimana penanaman nilai merupakan salah satu pendekatan dari pendidikan nilai yang
perlu diaktualisasikan kepada peserta didik.
Pendidikan nilai itu sendiri dalam ranah ilmu pengetahuan merupakan
aksiologi pendidikan, sejauh mana pendidikan memunculkan dan menerapkan nilai
kepada peserta didik. Inilah kajian pendidikan nilai yaitu meneliti, menelaah dan
menemukan kaidah kebermanfaatan ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Menurut
Sastraprateja pendidikan nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada
diri seseorang.2
1 Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung: Alfabeta, 2011), 146-
147.
2 Ibid., 11-12.
Penanaman nilai yang diambil peneliti di sini ialah penanaman nilai
keteladanan. Keteladanan adalah perbuatan yang patut ditiru dan dicontoh.
Penanaman nilai keteladanan ini sendiri harus diemban oleh para pendidik serta
menjadikan figur kepribadian pendidik sebagai panutan bagi peserta didik, agar
peserta didik tidak hanya mendapatkan suapan ilmu pengetahuan secara kognitif,
melainkan juga menempatkan sisi afektif untuk menerapkan nilai tersebut menjadi
suatu kebiasaan dalam hidupnya. Hal ini penting diterapkan agar peserta didik benar-
benar dapat mengambil nilai dari pendidikan yang diajarkan di sekolah. Oleh karena
itu, guru maupun pendidik harus dapat mempertimbangkan dan memilih metode
pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dengan melihat
ketertarikan/minat belajar peserta didik itu sendiri agar diperoleh pembelajaran yang
efektif.
Penggunaan metode-metode yang sering dipakai, seperti metode ceramah,
metode diskusi, dan metode tanya jawab. Metode yang dapat diambil peneliti untuk
mengatasi masalah tersebut ialah dengan menggunakan metode kisah dan penanaman
nilai keteladanan. Dengan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan,
pembelajaran dapat berjalan menyenangkan serta dapat menanamkan nilai
keteladanan dari para tokoh dalam kisah tersebut untuk dijadikan panutan dalam
berperilaku siswa.
Guru PAI dalam proses pembelajaran di kelas dapat menerapkan proses
penanaman nilai dengan memanfaatkan keungulan nilai dalam cerita Islam yang
terdapat dalam kandungan ayat Al-Quran atau Hadis, melalui cerita nabi, sahabat,
tabiin, atau orang sholeh yang porsi pengungkapannya lebih sedikit dibandingkan
dengan hafalan dan olah pikir tentang dalil.3
Metode kisah merupakan salah satu metode pendidikan Islam menurut Al-
Nahlawi. Kisah atau cerita sebagai suatu metode pendidikan mempunyai daya tarik
yang menyentuh perasaan hati seseorang. Islam menyadari sifat alamiah manusia
untuk menyenangi cerita, dan menyadari pengaruhnya sangat besar terhadap
perasaan. Oleh karena itu, Islam menyuguhkan kisah-kisah untuk dijadikan salah satu
metode dalam proses pendidikan sehingga dapat diambil hikmah dan pelajaran dari
kisah tersebut.4 Metode kisah atau cerita merupakan suatu faktor pendidikan yang
penting untuk menumbuhkan sikap, mengubah nilai-nilai, menyeru kepada kebaikan,
serta menghias diri dengan akhlak dan sifat-sifat yang mulia, karena cerita
mempunyai daya kekuatan, pengaruh dan bimbingan.5
Dengan metode kisah pun lebih mudah untuk dipahami dibandingkan dengan
wacana yang sering kaku dan sulit untuk dicerna peserta didik. Tentu ini merupakan
tantangan guru PAI, bagaimana mengemas kisah menarik untuk peserta didik, yang
diharapkan peserta didik lebih memahami materi terkait, selain itu dapat mengambil
nilai keteladanan dari kisah yang diceritakan. Muhammad Ihsan, mengatakan bahwa
pemahaman siswa dengan adanya metode kisah dapat lebih memahamkan siswa. Jika
3 Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, 157.
4 Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2014), 262.
5 Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Rineka
Cipta, 2008), 66.
kisah tersebut ditayangkan, siswa dapat mengetahui fakta kebenarannya, karena
dengan metode cerita dapat menggali sejauh mungkin tentang sejarah terutama
dibuktikan dengan peninggalan sejarah yang nyata. Maka Penanaman nilai dapat
dilakukan dengan pembiasaan.6
Melihat latar belakang penelitian mengenai banyaknya peserta didik yang
memiliki minat membaca dan belajar rendah. Maka guru PAI harus benar-benar
mempertimbangkan faktor pemilihan metode pengajaran yang tepat, diantara salah
satunya faktor peserta didik, hal ini melihat latar belakang diantarannya kecerdasan,
bakat, minat, hobi.7 Sehingga guru harus jeli terhadap kebutuhan peserta didiknya
salah satunya dalam menggunakan metode pembelajaran.
Membangkitkan minat belajar peserta didik juga merupakan tugas guru, yang
mana guru harus benar-benar bisa menguasai semua ketrampilan yang menyangkut
pengajaran, terutama keterampilan dalam bervariasi, keterampilan ini sangat
mempengaruhi minat belajar siswa seperti halnya bervariasi dalam gaya mengajar,
jika seorang guru tidak menggunakan variasi tersebut, siswa akan cepat bosan dan
jenuh terhadap materi pelajaran. Untuk hal tersebut hendaklah menggunakan variasi
dalam gaya mengajar, agar semangat dan minat siswa dalam belajar meningkat, jika
sudah begitu hasil belajar pun sangat memuaskan dan tujuan pembelajaran akan
6 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 01/W/18-01/2018.
7 Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008), 199.
tercapai dengan maksimal.8 Muhammad Ihsan, mengatakan mengenai respon peserta
didik terhadap pembelajaran dengan menggunakan metode kisah ialah sangat senang
dan sangat antusias. Rata-rata peserta didik mau diulang-ulang dalam bentuk cerita.
Ini merupakan kemauannya peserta didik terhadap materi cerita/kisah. Dengan
adanya metode kisah minat belajar meningkat, siswa senang jika kisah dapat
ditampilkan melalui monitor, sehingga mereka dapat mengetahui bukti nyata secara
langsung. Begitupun dengan Anwarudin, mengatakan dengan menggunakan metode
kisah anak lebih suka apalagi jika ditambah penyampaian lewat media (LCD) semisal
tentang Nabi, jadi ada bukti fakta kebenarannya.9
Melihat kembali terhadap pentingnya metode kisah dan penanaman nilai
keteladanan, serta minat belajar peserta didik yang perlu ditingkatkan. Peneliti
tertarik mengangkat judul Penggunaan Metode Kisah dan Penanaman Nilai
Keteladanan dalam Meningkatkan Minat Belajar Siswa Kelas X Pada Mata Pelajaran
PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo.
B. Fokus Penelitian
Maka Fokus Penelitian terbatas dengan penggunaan metode kisah dan
penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata
pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo.
8 Muhammad Fathurrohman dan Sulistyorini, Belajar dan Pembelajaran Membantu
Meningkatkan Mutu Pembelajaran sesuai Standar Nasional (Yogyakarta: Teras, 2012), 175-176.
9 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 01/W/18-01/2018 dan
02/W/18-01/2018.
C. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang di atas, maka penulis rumuskan beberapa
rumusan yang akan dibahas yaitu:
1. Apa latar belakang penggunaan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan
dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran PAI kelas X di
SMKN 1 Jenangan Ponorogo?
2. Apa jenis metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan
minat belajar siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan
Ponorogo?
3. Bagaimana hasil penerapan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam
meningkatkan minat belajar siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1
Jenangan Ponorogo?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dalam penelitian ini ada beberapa
tujuan yang hendak dicapai yaitu:
1. Untuk mengetahui alasan menggunakan metode kisah dan penanaman nilai
keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran PAI
kelas X di SMKN 1 Jenangan Ponorogo.
2. Untuk mengetahui jenis metode kisah dan penanaman nilai keteladanan bagi siswa
kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo.
3. Untuk mengetahui hasil penerapan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan
dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran PAI kelas X di
SMKN 1 Jenangan Ponorogo.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Secara Teoretis
Diharapkan dapat berguna dalam menambah wawasan dan memperkaya
pengetahuan di bidang pendidikan berkaitan dengan metode yang efektif, salah
satunya metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan
minat belajar siswa.
Bagi penulis sendiri yaitu untuk menambah wawasan dan pengalaman dalam
menerapkan metode pembelajaran menarik yang dapat menarik minat belajar
peserta didik.
2. Secara Praktis
Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi guru di SMKN 1 Jenangan
dalam meningkatkan minat belajar siswa melalui metode kisah dan penanaman
nilai yang dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran dan dalam kehidupan
sehari-hari.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan penyusunan dalam penelitian kulitatif ini sistematika
pembahasan secara keseluruhan terdiri dari enam bab, yang disusun sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan yang di dalamnya memuat latar belakang masalah
yang memaparkan tentang kegelisahan peneliti. Fokus penelitian sebagai batasan
masalah yang akan diteliti. Rumusan masalah berupa pertanyaan yang akan
menjawab permasalahan dalam penelitian. Tujuan penelitian merupakan sesuatu yang
diperoleh setelah penelitian selesai. Manfaat penelitian merupakan dampak dari
tercapainya tujuan dan terjawabnya rumusan masalah secara akurat. Sistematika
pembahasan yang merupakan gambaran dari seluruh isi skripsi.
Bab II berisi tentang telaah pustaka untuk menentukan posisi penelitian ini
terhadap penelitian terdahulu. Serta kajian teoretik yang membahas tentang metode
kisah, penanaman nilai keteladanan, PAI, minat belajar.
Bab III berisi tentang metode penelitian yang terdiri dari Pendekatan dan Jenis
Penelitian, Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian, Data dan Sumber Data, Prosedur
Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Temuan, Tahapan-
tahapan Penelitian.
Bab IV berisi data umum dan data khusus. Data umum berisi tentang latar
objek penelitian yang meliputi: sejarah berdiri, keadaan guru, siswa, sarana prasarana.
Data khusus memaparkan penggunaan metode kisah terhadap penanaman nilai
keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran PAI Kelas
X di SMKN 1 Jenangan Ponorogo.
Bab V berisi analisis data dengan menggunakan teori-teori yang ada pada bab
II yang menghasilkan temuan penelitian tentang penggunaan metode kisah terhadap
penanaman nilai keteladanan bagi siswa.
Bab VI berisi penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Bab ini
mempermudah pembaca dalam mengambil intisari hasil penelitian.
BAB II
TELAAH HASIL PENELITIAN TERDAHULU
DAN KAJIAN TEORI
A. Telaah Hasil Penelitian Terdahulu
Pada bagian ini, peneliti akan mendeskripsikan penelitian terdahulu yang ada
relevansinya dengan judul skripsi ini. Adapun karya skripsi tersebut adalah:
Lailatus Salamah dalam penelitiannya dengan judul Efektivitas Metode Kisah
dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah Aliyah Almaarif Singosari Malang.
Hasil penelitian ini menunjukkan metode kisah dalam pembelajaran aqidah akhlak di
madrasah Aliyah Almaarif Singosari Malang sebagai salah satu bentuk variasi
metode yang diharapkan dapat membantu pendidik dalam proses belajar mengajar
agar lebih memudahkan dalam menyampaikan materi dan menumbuhkan hasil yang
maksimal. Penerapan metode kisah tersebut sangat efektif karena membuat siswa
lebih antusias dan lebih mudah memahami materi pelajaran serta dapat memberikan
tauladan dalam bersikap dan bertingkah laku.10
Tri Isnaini dalam penelitiannya dengan judul Implementasi Metode Cerita
Islami dalam Menanamkan Moral Keagamaan di TK Islam Terpadu Permata Hati
Ngaliyan Semarang. Penelitian ini mengatakan bahwa Implementasi metode cerita
10 Lailatus Salamah, Efektivitas Metode Kisah dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak di
Madrasah Aliyah Almaarif Singosari Malang (Skripsi, UIN Malang, Malang, 2008).
Islami dalam menanamkan moral keagamaan di TK Islam Terpadu Permata Hati
Ngaliyan Semarang diklasifikasikan pada persiapan, materi, penyampaian, alat peraga
dan evaluasi yang semuanya baik. Kemudian hal tersebut dipengaruhi faktor
penunjang dan penghambat. Faktor penunjang diantaranya pendidik, lingkungan dan
sumber belajar. Faktor penghambat diantarannya hambatan waktu, hambatan
pengelolaan kelas, dan hambatan alat untuk bercerita.11
Firman Hakim dalam penelitiannya dengan judul Nilai-Nilai Keteladanan
dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Bagi Siswa di SMK NU Ungaran,
Kab. Semarang, Jawa Tengah Tahun 2011. Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk
pelaksanaan nilai keteladanan dalam proses pembelajaran di SMK NU Ungaran
dilaksanakan dua cara yaitu keteladanan disengaja meliputi, guru menceritakan
tentang kegigihan dan kesabaran para Nabi dalam berjuang menyiarkan agama Islam,
berkerudung bagi guru perempuan dan berpeci untuk guru pria, memberikan
motivasi, menahan amarah, sabar, memilih perkataan yang baik dan berdoa sebelum
proses belajar mengajar. Keteladanan tidak disengaja meliputi adil terhadap semua
siswa di dalam kelas, tidak telat masuk kelas, dan lain-lain. Kemudian tahap
pembentukan nilai dengan tahap menyimak, menanggapi, memberi nilai,
mengorganisasikan nilai, tahap karakteristik nilai, siswa mempraktekan sholat jamaah
dzuhur, menghormati guru, membuang sampah pada tempatnya dan lain-lain, siswa
11 Tri Isnaini, Implementasi Metode Cerita Islami dalam Menanamkan Moral Keagamaan di
TK Islam Terpadu Permata Hati Ngaliyan Semarang (Skripsi, UIN Walisongo, Semarang, 2015).
mampu menangkap nilai keteladanan tidak hanya sekedar perilaku saja, siswa sudah
mampu membentuk kepercayaan kebenaran terkait dengan keyakinan yang mereka
tangkap dan mampu mengembangkan nilai menjadi prinsip yang melandasi setiap
tingkah lakunya setiap hari. Implikasi pelaksanaan nilai keteladanan meliputi
komponen kognisi, kompenen afeksi, dan komponen psikomotorik prinsip yang
sudah melekat pada siswa seperti sholat dzuhur berjamaah bersama guru,
mengucapkan salam ketika bertemu, dan lain-lain.12
Dari telaah pustaka yang telah dilakukan, penulis ingin mengemukakan bahwa
penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah disebutkan di atas dan belum ada
yang mengulasnya. Persamaannya ialah sama-sama mengulas mengenai penggunaan
metode kisah dalam pembelajaran, yang membedakan ialah dalam penelitian ini ingin
mengetahui bagaimana metode kisah dan penanaman nilai keteladanan bagi siswa
dapat meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran PAI kelas X di SMKN 1
Jenangan Ponorogo. Sedangkan, penelitian terdahulu mengulas efektivitas metode
kisah dalam pembelajaran, penanaman moral keagamaan melalui cerita, dan nilai-
nilai keteladanan dalam pembelajaran PAI.
12 Firman Hakim, Nilai-Nilai Keteladanan dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Bagi Siswa di SMK NU Ungaran, Kab. Semarang, Jawa Tengah Tahun 2011 (Skripsi, STAIN
Salatiga, Salatiga, 2011).
B. Kajian Teori
1. Metode Kisah
a. Pengertian Metode Kisah
Metode pembelajaran didefiniskan sebagai cara yang digunakan guru
dalam menjalankan fungsinya dan merupakan alat untuk mencapai tujuan
pembelajaran.13
Metode kisah mengandung arti suatu cara dalam menyampaikan
materi pelajaran dengan menuturkan secara kronologis tentang bagaimana
terjadinya sesuatu hal baik yang sebenarnya terjadi ataupun hanya rekaan
saja. Dalam mengaplikasikan metode ini pada proses belajar mengajar,
metode kisah merupakan salah satu metode pendidikan yang mashur dan
terbaik, sebab kisah itu mampu menyentuh jiwa jika didasari oleh ketulusan
hati yang mendalam.14
An-Nahlawi mengungkapkan bahwa dalam Al-Quran
dan as-Sunnah dapat ditemukan berbagai metode pendidikan Islam yang
sangat menyentuh perasaan, mendidik jiwa dan membangkitkan semangat
peserta didik. Metode tersebut diantara salah satunya adalah metode
mendidik dengan kisah-kisah Qurani dan Nabawi.15
Metode kisah Qurani
dan Nabawi adalah penyajian bahan pembelajaran yang menampilkan cerita-
13
Hamzah B. dan Nurdin Mohamad, Belajar dengan Pendekatan Pembelajaran, Aktif,
Inofatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, Menarik (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 7.
14 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), 160.
15 Janawi, Metodologi dan Pendekatan Pembelajaran (Yogyakarta: Ombak, 2013), 143.
cerita yang terdapat dalam Al-Quran dan hadits Nabi. Kisah Qurani bukan
semata-mata karya seni yang indah, tetapi juga cara mendidik umat agar
beriman kepada-Nya. Dalam pendidikan Islam, kisah merupakan metode
yang sangat penting karena dapat menyentuh hati manusia. Kisah
menampilkan tokoh dalam konteks yang menyeluruh sehingga pembaca atau
pendengar dapat ikut menghayati, seolah-olah ia sendiri yang menjadi
tokohnya.16
Metode kisah diisyaratkan dalam Al-Quran:
ا نحا إلحيكح هحذح ي إن كنتح من ق حبله نحن ن حقص عحلحيكح أححسحنح القحصحص بحا أحوحح القرآنح وح لحمنح الغحافلي
Artinya:
“Kami menceriterakan kepadamu kisah yang paling baik dengan
mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum
(Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum
mengetahui.” (Q.S. Yusuf: 3).
Kemudian diperkuat oleh ayat lain yang berbunyi:
رح ة وو ا لبحاا لحقح كحانح قحصحص عب
Artinya:
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal.”(Q.S. Yusuf:111).
16 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta Teoretis-Filosofis dan Aplikatif-Normatif
(Jakarta: Amzah, 2013), 142.
Al-Qis}a<s} berarti kisah atau peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di
masa yang lalu.17
Secara epistimologis lafaz} qas}a>s} merupakan bentuk jamak
qis}as} merupakan bentuk masdar dari kata qas}a> ya qus}u> dapat berarti
menceritakan, juga dapat mengandung arti menelusuri/mengikuti jejak.
Makna Qas}a>s} dalam sebagian besar ayat-ayat beratikan kisah atau cerita.
Secara terminologis Qas}a>s berarti:18
1) Menurut Abdul Karim al-Khatib, kisah-kisah al-Quran adalah berarti al-
Quran tentang umat terdahulu.
2) Kisah-kisah dalam al-Quran yang menceritakan ih}wal umat-umat
terdahulu dan nabi-nabi mereka serta peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada masa lampau, masa kini, dan masa yang mendatang.
b. Kelebihan dan Kekurangan Metode Kisah
Kelebihan metode kisah diantaranya sebagai berikut:19
1) Kisah dapat mengaktifkan dan membangkitkan semangat siswa. Karena
setiap anak didik akan senantiasa merenungkan makna dan mengikuti
berbagai situasi kisah, sehingga anak didik terpengaruh oleh tokoh dan
topik kisah tersebut.
2) Mengarahkan semua emosi hingga menyatu pada satu kesimpulan yang
menjadi akhir cerita.
17 Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ombak, 2013), 157.
18 M. Munir, Metode Dakwah (Jakarta: Kencana, 2003), 300.
19 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, 162.
3) Kisah selalu memikat, karena mengundang pendengaran untuk
mengikuti peristiwannya dan merenungkan maknanya.
4) Dapat mempengaruhi emosi, seperti takut, perasaan diawasi, rela,
senang, sungkan, atau benci sehingga bergelora dalam lipatan cerita.
Kekurangan Metode Kisah diantarannya sebagai berikut:20
1) Pemahaman siswa menjadi sulit ketika kisah itu telah terakumulasi oleh
masalah lain.
2) Bersifat monolog dan dapat menjenuhkan siswa.
3) Sering terjadi ketidakselarasan isi cerita dengan konteks yang dimaksud,
sehingga pencapaian tujuan sulit diwujudkan.
Maka alternatif yang ditawarkan untuk mengatasi kekurangan metode
kisah diantarannya sebagai berikut:21
1) Guru harus mengetahui dan paham benar alur cerita yang disampaikan.
2) Guru harus menyelaraskan tema materi dengan cerita atau tema cerita
dengan materi.
3) Anak didik harus lebih berkonsentrasi terhadap cerita sehingga
menimbulkan sugesti untuk mengikuti alur cerita itu sampai selesai.
20 Ibid., 162.
21 Ibid., 163.
c. Tujuan adanya kisah dan Fungsi Kisah
Maksud dan tujuan Kisah menurut Manna al-Qathan:22
1) Menjelaskan prinsip dakwah agama Allah SWT. dan keterangan pokok-
pokok shari>at yang dibawa oleh masing-masing nabi dan rasul.
2) Memantapkan hati Rasulullah serta umatnya serta memperkuat
keyakinan kaum muslimin terhadap kebenaran yang benar dan
kehancuran yang fatal.
3) Mengoreksi pendapat para ahlul Kitab yang suka menyembunyikan
keterangan dan petunjuk kitab sucinya dan membantahnya dengan
argumentasi-argumentasi yang terdapat pada kitab-kitab sucinya
sebelum dirubah mereka sendiri.
4) Lebih meresapkan pendengaran dan memantapkan keyakinan dalam
jiwa pendengarnya, karena kisah-kisah itu merupakan salah satu dari
bentuk peradaban.
5) Untuk memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran dan kebenaran
Rasulullah di dalam dakwah.
6) Menanamkan pendidikan akhla>qul kari>mah, karena kisah yang baik
dapat meresap ke dalam hati nurani dengan mudah, serta mendidik
dalam meneladani perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk.
22
M. Munir, Metode Dakwah, 304-305.
Fungsi atau Peranan Kisah:23
1) Memberikan pelajaran untuk dijadikan teladan yang baik.
2) Menggugah hati untuk memahami hal-hal yang bersifat maknawi.
3) Merupakan bagian dari kesenangan manusia.
d. Macam-macam Metode kisah
Terdapat berbagai macam metode kisah menurut Moeslichatoen
diantarannya sebagai berikut:
1) Membaca langsung dari buku cerita.
2) Bercerita dengan menggunakan ilustrasi gambar dari buku.
3) Menceritakan dongeng.
4) Bercerita dengan menggunakan papan flanel.
5) Bercerita dengan menggunakan media boneka.
6) Bercerita sambil memainkan jari-jari tangan.24
Bentuk-bentuk metode bercerita dibagi menjadi dua macam:
1) Bercerita tanpa alat peraga, bentuk cerita yang mengandalkan
kemampuan pencerita dengan menggunakan ekspresi muka, gerak
tubuh, dan vokal pencerita sehingga yang mendengarkan dapat
menghidupkan kembali dalam fantasi dan imajinasinya.
23 Ibid., 306.
24 Taranindya Zulhi Amalia dan Zaimatus Sa’diyah, “Bercerita sebagai Metode Mengajar bagi
Guru Raudlatul Athfal dalam Mengembangkan Kemampuan Dasar Bahasa Anak Usia Dini di Desa
Ngambalrejo Bae Kudus,” Thufula, vol 03 (Juli-Desember, 2015), 341.
2) Bercerita dengan alat peraga, bentuk cerita yang menggunakan alat
peraga bantu untuk menghidupkan cerita.25
Manna Khalil al-Qathan, macam-macam Kisah dibagi menjadi
tiga:26
1) Kisah para nabi menyangkut dakwah mereka dan tahapan-tahapan serta
perkembangannya, mukjizat mereka, posisi para penentang, akibat
orang-orang yang percaya dan yang mendustakan mereka.
2) Kisah peristiwa pada masa lalu dan pribadi-pribadi yang tidak diketahui
secara pasti apakah mereka nabi/bukan, misalnya kisah Thalut vs Jalut.
3) Kisah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw seperti perang
Badar, Uhud, Khandak dan lain-lain.
Selain itu ada pembagian kisah ditinjau dari segi waktu, ditinjau dari
segi materi diantarannya sebagai berikut:27
1) Ditinjau dari segi waktu:
a) Kisah hal-hal gha>ib pada masa lalu, yaitu kisah yang menceritakan
kejadian-kejadian gha>ib yang sudah tidak bisa ditangkap panca indra
yang terjadi pada masa lampau. Contohnya kisah-kisah Nabi Nuh,
Nabi Musa, dan kisah Maryam.
25 Nining. 20 Mei 2016. Metode Bercerita, (online), (http://catatannining.wordpress.com,
diakses 8 Juli 2018)
26 M. Munir, Metode Dakwah,301.
27 Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2013), 306-311.
b) Kisah hal-hal gha>ib pada masa kini yaitu kisah yang menerangkan
hal-hal gha>ib pada masa sekarang. Contohnya tentang Allah dengan
segala sifat-sifat-Nya, para malaikat, jin, setan, kenikmatan surga,
dan sebagainya.
c) Kisah hal-hal gha>ib pada masa yang akan datang, yaitu kisah-kisah
yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum
terjadi pada waktu turunya al-Quran, kemudian peristiwa itu benar-
benar terjadi. Contohnya seperti kemenangan bangsa Romawi atas
Persia, yang diterangkan ayat 1-4 surat Ar-Rum, dan sebagainya.
2) Ditinjau dari segi materi:
a) Kisah para nabi, mukjizat mereka, fase-fase dakwah mereka, dan
penentang serta pengikut mereka. Contohnya kisah Nabi Adam, Nabi
Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad SAW dan
lain-lain.
b) Kisah orang-orang yang belum tentu Nabi dan kelompok-kelompok
manusia tertentu. Contohnya kisah Lukmanul Hakim, Qarun, Ashabul
Khahfi, Ashhabus Sabti, dan lain-lain.
c) Kisah peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian zaman Rasulullah.
Contonya kisah Perang Badar, Perang Uhud, Perang Hunain, Perang
Tabuk, Perang Ahzab, Hijrah, dan lain-lain.28
28
Ibid., 306-311.
e. Penerapan Penggunaan Metode Kisah
Dalam penggunaan metode kisah, perlu adanya strategi penerapan
metode kisah diantaranya sebagai berikut:
1) Penggalan kisah dapat dijadikan pengantar untuk membawa murid pada
suatu pemikiran, penghayatan, terhadap nilai-nilai tertentu.
2) Penggalan kisah Qurani dapat dijadikan sebagai materi pokok dalam
topik bahasan yang disampaikan.
3) Penggalan kisah dapat dijadikan sebagai alat untuk memancing
perhatian murid terhadap materi yang disampaikan.
4) Penggalan kisah dapat dijadikan alat untuk memancing emosi.
5) Potongan kisah dijadikan alat untuk memancing rasa ingin tahu murid
hingga muncul motivasi untuk mengetahui kisah secara lengkap.
6) Potongan kisah dijadikan sebagai titik kulminasi penghayatan murid
terhadap penanaman suatu nilai-nilai tertentu seperti menumbuhkan
keberanian, kejujuran, keikhlasan, kesabaran.29
Kisah sebagai metode pendidikan amat penting karena dalam kisah
terdapat berbagai keteladanan dan edukasi. Hal ini karena terdapat beberapa
alasan yang mendukungnya yaitu: kisah senantiasa memikat karena
mengundang pembaca/pendengar untuk mengikuti peristiwanya dan
merenungkan maknanya, kisah dapat menyentuh hati manusia, karena kisah
29
Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Quran, 104.
menampilkan tokoh dalam konteksnya secara menyeluruh sehingga
pembaca/pendengar dapat menghayati dan merasakan isi kisah tersebut,
kisah qurani mendidik keimanan dengan cara membangkitkan perasaan
sehingga terlibat secara emosional.30
Dengan Kisah dapat menyetuh hati para
peserta didik, sehingga mereka tertegun hatinya dan diharapkan mereka
dapat menjadikan para tokoh kisah tersebut sebagai model keteladanan
dalam berperilaku. Kisah-kisah penuh hikmah akan senantiasa menggugah
hati setiap orang. Tidak banyak orang yang menyadari, bahwa sesungguhnya
kisah-kisah hikmah merupakan media yang sangat efektif dalam
menyampaikan pesan moral dan keagamaan. Bahkan, bisa jadi kisah-kisah
hikmah akan jauh lebih efektif dalam membentuk karakter dan kesadaran
seseorang, ketimbang ajaran moral yang disajikan secara kaku dan tekstual.31
Kisah yang termuat dalam Al-Quran dan Hadis mempunyai banyak
nilai-nilai yang penting yang bisa diambil untuk dijadikan pelajaran bagi
manusia.32
Dimana kisah yang dimaksudkan dalam metode sangat
bermanfaat untuk menyampaikan informasi dan pelajaran.33
30 Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, 263.
31 Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah bagi Perjuangan Para Da’i (Jakarta:
Amzah, 2008), 101.
32 M. Munir, Metode Dakwah, 299.
33 Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Quran (Jakarta:
Rineka Cipta, 2007), 209.
2. Pendidikan Nilai
a. Pengertian Nilai dan Pendidikan Nilai
Nilai adalah suatu seperangkat keyakinan atau perasaan yang
identitas diyakini sebagai suatu yang memberikan corak yang khusus kepada
pola pemikiran, perasaan, ketertarikan maupun perilaku.34
Definisi-definisi nilai dalam buku Mengartikulasikan Pendidikan
Nilai diantarannya sebagai berikut: 35
1) Nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar
pilihannya.
2) Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam
menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif.
Kesimpulannya nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam
menentukan pilihan. Sedangkan menurut Zaim Elmubarok nilai secara garis
besar dibagi menjadi dua:36
1) Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian
berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain.
Nilai nurani adalah kejujuran keberanian, cinta damai, keandalan diri,
potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian dan kesesuaian.
34 Abu Ahmadi dan Noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Bumi
Aksara, 2004), 202.
35 Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, 9-11.
36 Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai Mengumpulkan yang Terserak,
Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai (Bandung: Alfabeta, 2009), 7.
2) Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu dipraktikan/diberi yang
kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada
kelompok nilai memberi adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta
kasih sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah hati.
Pengertian Pendidikan Nilai, menurut beberapa ahli diantarannya
sebagai berikut:37
1) Kosasih Jahiri, pendidikan nilai mengacu pada aksiologi pendidikan,
sejauh mana pendidikan itu memunculkan dan menerapkan nilai/moral
kepada peserta didik.38
2) Sastraprateja, pendidikan nilai adalah penanaman dan pengembangan
nilai-nilai pada seseorang.
3) Pendidikan nilai mencakup keseluruhan aspek sebagai pengajaran atau
bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai kebenaran,
kebaikan, dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat
dan pembiasaan bertindak yang konsisten.
b. Pendekatan Pendididikan Nilai
Menurut Superka ada lima pendekatan pendidikan nilai diantarannya
dijelaskan sebagai berikut: 39
37 Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, 9-11.
38 Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai Mengumpulkan yang Terserak,
Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai, 12.
39 Ibid., 60-73.
1) Pendekatan penanaman nilai
Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan yang memberi
penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Menurut
Superka tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah:
diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa, berubahnya nilai-nilai
siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan.
Metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran diantarannya
keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peran.
Menurut Superka pendekatan ini digunakan secara meluas oleh
masyarakat, terutama dalam penanaman nilai-nilai agama dan budaya.40
2) Pendekatan perkembangan kognitif
Pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek kognitif dan
perkembangannya untuk mendorong siswa berperan aktif tentang
masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral.
3) Pendekatan analisis nilai
Pendekatan ini menekankan pada perkembangan kemampuan siswa
untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang
berhubungan dengan nilai-nilai sosial.
40
Ibid., 61.
4) Pendekatan klarifikasi nilai
Pendekatan ini menekankan pada usaha membantu siswa dalam
mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri untuk meningkatkan
kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri.41
5) Pendekatan pembelajaran berbuat
Pendekatan ini menekankan pada usaha memberikan kesempatan
kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral baik secara
perseorangan maupun secara bersama-sama dalam satu kelompok.42
3. Metode Penanaman Nilai Keteladanan
a. Pengertian Metode Penanaman Nilai Keteladanan
Penanaman nilai merupakan pendekatan yang memberi penekanan
pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Tujuan dari penanaman
nilai ini adalah diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa, berubahnya
nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan.43
Sedangkan keteladanan dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan
bahwa, ”Keteladanan” dasar katanya “teladan” yaitu perbuatan yang patut
ditiru dan dicontoh.44
Jadi keteladanan adalah hal-hal yang dapat ditiru atau
dicontoh. Kata keteladanan dalam bahasa arab diungkapkan dengan kata
u>s}wa>h} dan qudwah}, berarti pengobatan dan perbaikan. Sedangkan menurut
41 Ibid., 71.
42 Ibid., 73.
43 Ibid., 61.
44 Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, 117.
Al-Ashfahani, al-u>s}wa>h} dan al-i>s}wa>h} sebagaimana kata al-qu>dwah} dan al-
qi>dwah } berarti suatu keadaan ketika seorang manusia yang mengikuti manusia
lain, terlepas yang diikuti itu dalam kebaikan, kejelekan, kejahatan atau
kemurtda>n. Menurut Ibn Zakaria mendefinisikan, bahwa u>s}wa>h berarti qu>dwah
yang artinya ikutan, mengikuti yang diikuti. Dengan demikian keteladanan
adalah hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh oleh seseorang dari orang
lain.45
Metode Penananaman nilai keteladanan adalah merupakan metode
yang lebih efektif dan efisien dalam penanaman nilai-nilai keislaman kepada
peserta didik terutama siswa pada usia pendidikan dasar dan menengah, yang
pada umumnya cenderung meneladani dan meniru guru.46
Keteladanan sangat efektif untuk Internalisasi, karena murid secara
psikologis senang meniru, dan karena sanksi-sanksi sosial, yaitu seseorang
akan merasa bersalah bila ia tidak meniru orang-orang di sekitarnya. Dalam
islam bahwa peneladanan ini sangat diistemawakan dengan menyebut bahwa
nabi itu teladan yang baik u>s}wah} h}as}anah}.47
Oleh karena itu Allah SWT. mengutus Nabi Muhammad SAW. agar
menjadi teladan bagi seluruh manusia dalam merealisasikan sistem
45 Ibid., 117.
46 Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2014), 265.
47Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu
Memanusiakan Manusia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 230.
pendidikan Islam tersebut. Dengan kepribadian, sifat tingkah laku dan
pergaulannya bersama manusia, Rasulullah SAW, benar-benar merupakan
interpretasi praktis yang manusiawi dalam menghidupkan h}aki>kat, ajaran,
‘adab, dan tash}ri Al-Quran, yang melandasi perbuatan pendidikan Islam serta
penerapan metode pendidikan Qurani yang terdapat di dalam ajaran tersebut.48
Keteladanan dalam pendidikan adalah metode influentif yang paling
meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk anak di
dalam moral, spritual dan sosial. Hal ini karena pendidik adalah contoh
terbaik dalam pandangan anak, yang akan ditirunya dalam tindak-tanduknya,
dan tata santunya, disadari ataupun tidak, bahkan tercetak dalam jiwa dan
perasaan suatu gambaran pendidik tersebut, baik dalam ucapan atau
perbuatan, baik material atau spritual, diketahui atau tidak diketahui.49
Oleh
karena itu, guru perlu memberikan keteladanan yang baik kepada peserta
didik agar dalam proses penanaman nilai-nilai karakter Islami menjadi lebih
efektif dan efisien.50
b. Tahap-tahap Penanaman Nilai Keteladanan
Pendekatan Internalisasi ini merupakan teknik penanaman nilai yang
sasarannya sampai pada tahap kepemilikan nilai yang menyatu ke dalam
48 Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, 291.
49 Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam (Semarang: Asy Syifa,
1981), 2.
50 Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, 267.
kepribadian siswa, atau sampai pada tahap karakterisasi atau mewatak.
Tahap-tahap dari teknik internalisasi ini adalah:51
1) Tahap transformasi nilai: pada tahap ini guru sekedar menginformasikan
nilai-nilai yang baik dan yang kurang baik kepada siswa, yang semata-
mata merupakan komunikasi verbal.
2) Tahap tranksaksi nilai, dalam tahap ini guru tidak hanya
menginformasikan nilai yang baik dan buruk, tetapi juga terlihat untuk
melaksanakan dan memberikan contoh amalan yang nyata, dan siswa
diminta untuk memberikan tanggapan yang sama, yakni menerima dan
mengamalkan nilai tersebut.
3) Tahap transinternalisasi, tahap ini jauh lebih dalam dari sekedar
transaksi. Dalam tahap ini penampilan guru dihadapan siswa bukan lagi
sosoknya, tetapi lebih pada sikap mentalnya (kepribadian).
Demikian pula sebaliknya, siswa merespon kepada guru bukan hanya
gerakan atau penampilan fisiknya saja, melainkan sikap mental dan
kepribadiannya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam
transinternalisasi ini adalah komunikasi dua kepribadian yang masing-
masing terlibat secara aktif. Proses dari transinternalisasi itu mulai dari yang
sederhana sampai yang kompleks, yaitu mulai dari:52
51 Muhaimin M.A., et.al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 178.
52 Ibid., 179.
1) Menyimak (receiving), ialah kegiatan siswa untuk bersedia menerima
adanya stimulus yang berupa nilai-nilai baru yang dikembangkan dalam
sikap afektifnya.
2) Menanggapi (responding), yakni kesediaan siswa untuk merespon nilai-
nilai yang ia terima dan sampai ke tahap memiliki kepuasan untuk
merespon nilai tersebut.
3) Memberi nilai (valuing), yakni sebagai kelanjutan dari aktivitas merespon
nilai menjadi siswa mampu memberikan makna baru terhadap nilai-nilai
yang muncul dengan kriteria nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.
4) Mengorganisasi nilai (organisasi of value) ialah aktivitas siswa untuk
mengatur berlakunya sistem nilai yang diyakini sebagai kebenaran dalam
laku kepribadiannya sendiri, sehingga ia memilki satu sistem nilai yang
berbeda dengan yang lain.
5) Karakteristik nilai (characterization by a value or value complex), yakni
dengan membiasakan nilai-nilai yang benar yang diyakini, dan yang telah
diorganisir dalam laku pribadinya sehingga nilai tersebut sudah menjadi
watak (kepribadianya).
Dalam pendekatan penanaman nilai yang dapat digunakan guru dalam
proses pembelajaran antara lain yaitu: pengalaman, pembiasaan, emosional,
rasional, fungsional, dan keteladanan. Penjelasannya sebagai berikut:53
53 Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, 130-134.
1) Pendekatan pengalaman merupakan proses penanaman nilai-nilai kepada
siswa melalui pemberian pengalaman langsung.
2) Pendekatan pembiasaan adalah suatu tingkah laku tertentu yang sifatnya
otomatis tanpa direncanakan terlebih dahulu dan berlaku begitu saja tanpa
dipikirkan lagi. Dengan pembiasaan pembelajaran memberikan
kesempatan kepada peserta didik terbiasa mengamalkan konsep ajaran
agamanya, baik secara individual maupun secara berkelompok dalam
kehidupan sehari-hari.
3) Pendekatan emosional adalah upaya untuk menggugah perasaan dan
emosi siswa dalam meyakini konsep ajaran Islam serta dapat merasakan
mana yang baik dan mana yang buruk.
4) Pendekatan rasional merupakan suatu pendekatan mempergunakan rasio
(akal) dalam memahami dan menerima kebesaran dan kekuasaan Allah.
5) Pendekatan fungsional adalah usaha menanamkan nilai-nilai yang
menekankan pada segi kemanfaatan bagi siswa dalam kehidupan sehari-
hari, sesuai dengan tingkatan perkembangannya.
6) Pendekatan keteladanan adalah memperlihatkan keteladanan, baik yang
berlangsung melalui penciptaan kondisi pergaulan yang akrab antara
personal sekolah, perilaku pendidik dan tenaga kependidikan lain yang
mencerminkan sikap dan perilaku yang terpuji, maupun yang tidak
langsung melalui suguhan ilustrasi berupa kisah-kisah keteladanan.
c. Kelebihan dan Kekurangan Metode Keteladanan
1. Kelebihan dari metode keteladanan adalah:
a. Akan memudahkan anak didik dalam menerapkan ilmu yang
dipelajarinya di sekolah.
b. Akan memudahkan guru dalam mengevaluasi hasil belajarnya.
c. Agar tujuan pendidikan lebih terarah dan tercapai dengan baik.
d. Tercipta hubungan harmonis antara guru dan siswa.
e. Mendorong guru untuk selalu berbuat baik karena akan dicontoh oleh
siswanya.54
2. Kekurangan dari metode keteladanan adalah:
a. Jika figur yang mereka contoh tidak baik, maka mereka cenderung
untuk mengikuti yang tidak baik.
b. Jika teori tanpa praktek akan menimbulkan verbalisme.55
d. Bentuk Metode Keteladanan
Bentuk metode keteladanan terbagi menjadi dua macam yaitu:56
1) Keteladanan Disengaja
Keteladanan kadang kala diupayakan dengan cara disengaja, yaitu
pendidik sengaja memberikan contoh yang baik kepada para peserta
didiknya supaya mereka dapat menirunya. Umpamanya pendidik
54
Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh,122-123.
55 Ibid., 123.
56 Heri Jauhari Muchtar, Fiqih Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 224.
memberikan contoh bagaimana cara membaca yang baik agar para
peserta didik menirunya. Dalam proses belajar mengajar, keteladanan
yang disengaja dapat berupa pemberian secara langsung kepada peserta
didiknya melalui kisah-kisah Nabi yang di dalam kisah tersebut terdapat
beberapa hal yang patut dicontoh oleh para peserta didik.
2) Keteladanan Tidak Disengaja
Keteladanan ini terjadi ketika pendidik secara alami memberikan
contoh-contoh yang baik dan tidak ada unsur sandiwara di dalamnya.
Dalam hal ini, pendidik tampil sebagai figur yang dapat memberikan
contoh-contoh yang baik di dalam maupun di luar kelas. Bentuk
pendidikan semacam ini keberhasilannya banyak bergantung pada
kualitas kesungguhan dan karakter pendidikan yang diteladani, seperti
kualitas keilmuannya, kepemimpinannya, keikhlasannya, dan
sebagainya. Dalam kondisi pendidikan seperti ini, pengaruh teladan
berjalan secara langsung tanpa disengaja. Oleh karena itu, setiap orang
yang diharapkan menjadi pendidik hendaknya memelihara tingkah
lakunya, disertai kesadaran bahwa ia bertanggungjawab dihadapan Allah
dan segala hal yang diikuti oleh peserta didik sebagai pengagumnya.
Semakin tinggi kualitas pendidik akan semakin tinggi pula tingkat
keberhasilan pendidiknya.
4. Pendidikan Agama Islam
a. Pengertian PAI
PAI merupakan subjek pelajaran yang berisi materi dan
pengalaman tentang ajaran agama Islam, yang pada umumnya tersusun
secara sistematis dalam ilmu-ilmu keislaman.57
b. Pendekatan PAI
Pendekatan Pembelajaran PAI: Keimanan, pengamalan,
pembiasaan, rasional, emosional, fungsional, keteladanan. Penjelasannya
sebagai berikut:58
1) Keimanan, yang memberikan peluang kepada peserta didik untuk
mengembangkan pemahaman adanya Allah SWT sebagai sumber
kehidupan.
2) Pengamalan, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil pengamalan keyakinan
akidah dan akhlak dalam menghadapi tugas-tugas dan masalah dalam
kehidupan.
3) Pembiasaan, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
membiasakan sikap dan perilaku yang baik yang sesuai dengan ajaran
Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi masalah kehidupan.
57 Erwin Yudi Prahara, Materi Pendidikan Agama Islam (Ponorogo: STAIN Po Press,
2009), 8.
58 Ibid., 18-19.
4) Rasional, usaha memberikan peranan kepada rasio (akal) peserta
didik dalam memahami dan membedakan berbagai materi serta
perilaku yang baik dengan perilaku yang buruk dalam kehidupan
duniawi.
5) Emosional, upaya menggugah perasaan (emosi) peserta didik dalam
menghayati perilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya
bangsa.
6) Fungsional, menyajikan materi PAI dari segi manfaatnya bagi peserta
didik dalam kehidupan sehari-hari dalam arti luas.
7) Keteladanan, yaitu menjadikan figur pribadi-pribadi teladan dan
sebagai cerminan dari manusia yang memiliki keyakinan tauh}id yang
teguh dan berperilaku mulia.
5. Minat Belajar
a. Pengertian Minat Belajar
Secara sederhana minat berarti kecenderungan dan kegairahan
yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.59
Minat adalah
kecenderungan jiwa yang relatif menetap kepada diri seseorang dan
biasannya disertai dengan perasaan senang. Menurut Behard, minat timbul
atau muncul tidak secara tiba-tiba, melainkan timbul akibat dari partisipasi,
pengalaman, kebiasaan pada waktu belajar, dengan kata lain minat dapat
59
Bisri Mustofa, Psikologi Pendidikan (Yogyakarta: Parama Ilmu, 2015), 185.
menjadikan penyebab kegiatan dan penyebab partisipasi dalam kegiatan.
Sedangkan pengertian belajar adalah suatu kegiatan yang menimbulkan
suatu perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan perubahan itu dilakukan
lewat kegiatan atau usaha yang disengaja. Jadi minat belajar adalah aspek
psikologi seseorang yang menampakan diri dalam beberapa gejala seperti:
gairah, keinginan, perasaan suka untuk melakukan proses perubahan
tingkah laku melalui beberapa kegiatan yang meliputi mencari pengetahuan
dan pengalaman, dengan kata lain minat belajar adalah perhatian, rasa suka,
ketertarikan siswa terhadap belajar yang ditujukan melalui keantusiasan,
partisipasi dan keaktifan dalam belajar.60
Sedangkan minat membaca adalah kecenderungan jiwa yang aktif
untuk memahami pola bahasa untuk memperoleh informasi yang erat
hubunganya dengan kemauan, aktivitas dan perasaan senang yang secara
potensial memungkinkan individu untuk memilih, memperhatikan, dan
menerima sesuatu yang datang dari luar dirinya.61
60 Muhammad Fathurrohman dan Sulistyorini, Belajar dan Pembelajaran Membantu
Meningkatkan Mutu Pembelajaran sesuai Standar Nasional (Yogyakarta: Teras, 2012), 173-174.
61 Ibid., 171.
b. Faktor yang mempengaruhi minat belajar
Menurut Slameto ada dua faktor yang mempengaruhi:62
1. Faktor Intern, terdiri dari faktor jasmaniah (seperti faktor kesehatan dan
cacat tubuh) dan faktor psikologi (seperti intelegensi, perhatian, bakat,
kematangan dan kesiapan).
2. Faktor Ekstern, terdiri dari faktor keluarga (seperti cara orang tua
mendidik, relasi antar keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi
keluarga, pengertian orang tua dan latar belakang kebudayaan), dan faktor
sekolah (seperti metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan peserta
didik, relasi peserta didik dengan peserta didik, disiplin sekolah, alat
pelajaran, waktu sekolah, standar penilaian diatas ukuran, keadaan
gedung, metode mengajar dan tugas rumah).
c. Usaha Pendidik dalam Meningkatkan Minat Belajar Peserta Didik
Minat selama ini dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil
belajar siswa. Seorang siswa akan menaruh minat besar dan akan
memusatkan perhatian lebih banyak daripada siswa lainnya. Guru dalam
kaitan ini seyogyanya berusaha membangkitkan minat siswa untuk
menguasai pengetahuan yang terkandung dalam bidang studinya dengan cara
membangun sikap positif.63
62 Donni Juni Priansa, Kinerja dan Profesionalisme Guru Fokus pada Peningkatan Kualitas
Sekolah, Guru, dan Proses Pembelajaran (Bandung: Alfabeta, 2014), 284.
63 Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 152.
Jika terdapat siswa kurang berminat terhadap belajar, dapatlah
diusahakan agar ia mampu mempunyai minat yang lebih besar dengan cara
menjelaskan hal-hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan serta hal-hal
yang berhubungan dengan cita-cita serta kaitannya dengan bahan pelajaran
yang dipelajari itu.64
Selain itu, cara yang efektif untuk membangkitkan
minat pada suatu subjek yang baru adalah dengan menggunakan minat-minat
yang telah ada disesuaikan dengan minat siswa, kemudian diarahkan ke
materi pelajaran. Di samping itu, pengajar juga berusaha membentuk minat-
minat baru pada diri siswa dengan jalan memberikan informasi pada siswa
mengenai hubungan antara suatu bahan pengajaran yang akan diberikan
dengan bahan pengajaran yang lalu, menguraikan kegunaannya bagi siswa di
masa yang akan datang.65
Untuk mengembangkan minat belajar maka pendidik dituntut
untuk memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi siswa. Cara
yang dilakukan adalah dengan mengajar yang menyenangkan melalui
pemberian kebebasan pada siswa, perlakuan dan memahami pada siswa
sehingga terjalin komunikasi yang baik, pujian-hadiah, serta metode belajar
yang menyenangkan, dimana metode mengajar harus tepat, efisien dan
efektif sehingga peserta didik dapat memahami dan menguasai, dan
64 Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinnya (Jakarta: Rineka Cipta,
2015), 57.
65 Ibid., 181
mengembangkan bahan pelajaran. Kepribadian guru juga menjadi sorotan
bagi siswa untuk memperoleh pengamalan belajar yang menyenangkan.66
Dalam melakukan kegiatan belajar mengajar, beberapa
kepribadian guru yang berperan adalah: penghayatan nilai-nilai kehidupan,
motivasi kerja, sifat dan sikap. Dengan kepribadian guru yang positif, siswa
akan merasa senang, puas dan gembira, kegembiraan yang dirasakan akan
mampu menimbulkan pengalaman yang dapat meningkatkan minat belajar.
Jadi, peningkatan minat belajar siswa membutuhkan peran aktif pendidik
dengan cara berkepribadian yang baik. Selain itu, ketika siswa di luar
lingkungan sekolah atau di rumah, kondisi tempat tersebut juga harus
mampu meningkatkan minat siswa dalam melakukan kegiatan belajar.67
Selain itu untuk menambah minat siswa, guru dapat membawakan
cerita secara humor. Menggunakan humor di ruang kelas memberikan banyak
manfaat mencakup mengurangi stres, meningkatkan motivasi, mengurangi
jarak secara psikologis antara guru-siswa, dan meningkatkan kreativitas.68
66 Ibid., 182.
67 Ibid., 182.
68 Darmansyah, Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor (Jakarta: Bumi Aksara,
2011, 80.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini akan mengkaji dan mendeskripsikan bagaimana penggunaan
metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat belajar
siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo, yang
menjadi fokusnya adalah untuk membangun minat belajar siswa melalui metode
kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam mata pelajaran PAI. Maka penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Bogdan dan Taylor mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dan
perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar belakang individu
tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan
individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya
sebagai bagian dari suatu keutuhan.69
Sedangkan menurut Kirk dan Miller mendefinisikan bahwa penelitian
kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
69
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), 4.
fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan
berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasa peristilahannya.70
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus
yaitu strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitiaan berkenaan
dengan how atau why, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol
peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki dan bilamana fokus penelitiannya terletak
pada fenomena-fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan
nyata.71
B. Kehadiran Peneliti
Sesuai dengan pendekatan yang digunakan maka instrumen yang dipakai
untuk mengumpulkan data adalah peneliti sendiri. Lexy J. Moleong menyebutkan
bahwa peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit. Ia berperan sebagai
perencana, pelaksana pengumpul data, penganalisa daftar, penafsir data dan pada
akhirnya menjadi pelapor hasil penelitiannya.72
Kehadiran peneliti di lokasi penelitian mutlak diperlukan, karena sebagai
instrumen utama penelitian dalam pengumpulan data. Peneliti juga harus
menciptakan hubungan yang baik dengan subjek penelitian, antara Kepala Sekolah
SMKN 1 Jenangan beserta jajaranya, para guru, dan para siswa. Hubungan baik
70 Ibid., 4.
71 Andi Prastowo, Memahami Metode-Metode Penelitian : Suatu Tinjauan Teoritis dan
Praktis (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 127-128.
72 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 168.
diciptakan sejak penjajakan awal tahap setting penelitian, selama penelitian, dan
setelah penelitian, sebab hal itu menjadi kunci utama dalam kesuksesan penelitian.
C. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti memilih lokasi penelitian di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 1 Jenangan yang beralamat di Jalan Niken Gandini 98
Setono, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Web/E-
mail: www.smkn1jenpo.sch.id/[email protected]. Telpon/Fax: 0352-481236.
Peneliti memilih SMK Negeri 1 Jenangan Ponorogo karena sewaktu
melaksanakan kegiatan PPLK telah menemui siswa-siswa kelas X yang terlihat minat
membaca dan belajar rendah, terbukti dengan sulitnya untuk membuka buku, mereka
lebih suka mendengarkan, apalagi jika pembelajaran disisipi dengan kisah.
D. Data dan Sumber Data
Data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan
selebihnya adalah data tambahan seperti data tertulis, foto, dan sejenisnya.73
Sumber
data terbagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.
Sumber data primer disini diantarannya para guru mata pelajaran PAI, yakni:
Bapak Muhammad Ihsan, Bapak M. Qomaruddin, Bapak Anwaruddin, Bapak Shokib, Bapak
Ahmad Muzakky. Dan perwakilan siswa-siswa kelas X TBSM.B (Gogharty, Surya,
Krishna, Baqi, Sulton, Redian, Rifai, Nurzaini, Habib, Ikhsan), X EI.A (Anisa, Asraf,
Geri, Erdian, Cholid), X DPIB.A (Devy, Bella, Afifa, Afisa, Jsmin, Bryan, Diky), X
73
Ibid., 157.
OI.A (Silvia, Liyana, Rifad, Yoga, Zakaria), X EI.B (Choirul, Putri, Izma, Sulis,
Rifky), X LAS A (Andrian, Angga, Guntur, Dilan, Kevin, Farhan, Fahmi).
Sedangkan sumber data sekunder adalah seperti dokumen, dan arsip-arsip
dokumentasi yang berkaitan dengan penelitian.
E. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut:
1. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu bentuk teknik pengumpulan data yang
banyak digunakan dalam penelitian deskriptif kualitatif dan deskripsi kuantitatif,
dilaksanakan secara lisan dalam pertemuan tatap muka secara individual.74
Macam-macam wawancara dibedakan menjadi tiga macam yaitu
penjelasannya sebagai berikut:75
a. Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila
peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi
yang akan diperoleh.
b. Wawancara semiterstruktur, jenis wawancara ini sudah termasuk dalam
kategori in-dept interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila
dibandingkan dengan wawancara terstruktur.
74 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2013), 216.
75 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D (Bandung: Alfabeta,
2013), 233-234.
c. Wawancara tak berstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak
menggunakan pedoman wawancara secara lengkap, hanya berupa garis-garis
besar permasalahan yang akan ditanyakan.76
Dalam hal ini peneliti menggunakan wawancara terstruktur. Orang-orang
yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah para guru mata pelajaran PAI,
dan para siswa kelas X yang sudah disebutkan dalam sumber data.
2. Observasi
Observasi menurut Nana Syaodih Sukmadinata adalah suatu teknik atau cara
mengumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan
yang sedang berlangsung.77
Observasi dapat dilakukan secara partisipatif ataupun non partisipatif. Dalam
observasi partisipatif, pengamat ikut serta dalam kegiatan yang sedang
berlangsung. Dalam observasi non partisipatif pengamat tidak ikut serta dalam
kegiatan, dia hanya berperan mengamati kegiatan.78
Peneliti menggunakan observasi non partisipatif untuk mengamati cara
mengajar guru menggunakan metode kisah di kelas X, serta perilaku siswa dalam
proses pengajaran tersebut.
76 Ibid., 234.
77 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, 220.
78 Ibid., 220.
3. Dokumentasi
Teknik dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan
menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar
maupun elektroinik (rekaman), dan dokumen-dokumen yang dihimpun, dipilih
yang sesuai dengan tujuan dan fokus masalah.79
Metode dokumentasi ini digunakan peneliti untuk memperoleh data
mengenai profil sekolah, data guru, kariyawan, data siswa, data sarana prasarana,
proses belajar mengajar di SMKN 1 Jenangan Ponorogo.
F. Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan, bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, dan memilah-milah data menjadi satuan yang
dapat dikelola, mengintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa
yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan
kepada orang lain.80
Teknik analisis data kualitatif, mengikuti konsep yang diberikan Miles &
Huberman. Miles dan Huberman, mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data
kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus pada
setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas, dan datanya sampai jenuh. Aktivitas
dalam analisis data, meliputi: data reduction, data display, dan
conclusion/verivication.
79 Ibid., 221.
80 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 248.
a. Reduksi data
Dalam konteks penelitian yang dimaksud adalah merangkum, memilih hal-
hal yang pokok, menfokuskan pada hal-hal yang penting, dan membuat kategori.
Dengan demikian data yang telah direduksikan memberikan gambaran yang lebih
jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.
Dalam penelitian ini, setelah seluruh data terkumpul, maka untuk
memudahkan analisis, data-data yang masih kompleks dipilih dan difokuskan
sesuai dengan penggunaan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam
meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan
Ponorogo.
b. Penyajian Data
Mendisplaykan atau menyajikan data ke dalam pola yang dilakukan dalam
bentuk uraian singkat, bagan, grafik, matrik, network, dan chart. Bila pola-pola
yang ditemukan telah didukung oleh data, maka pola tersebut menjadi baku dan
akan didisplaykan pada laporan akhir penelitian. Pada penelitian ini, setelah
seluruh data dikumpulkan dan direduksi, selanjutnya data disusun secara sistematis
agar lebih mudah dipahami.
c. Penarikan Kesimpulan
Langkah terakhir dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan
verifikasi.81
Koleksi data Display data
Reduksi data
Pemaparan kesimpulan
G. Pengecekan Keabsahan Temuan
Moleong mengatakan bahwa penelitian diperlukan suatu teknik pemeriksaan
keabsahan data. Sedangkan untuk memperoleh keabsahan temuan perlu diteliti
kredibilitasnya dengan menggunakan teknik sebagai berikut:82
1. Persitent Observation (ketekunan pengamatan).
Menurut Moleong yang dimaksud Persitent Observation adalah mengadakan
observasi secara terus menerus terhadap objek penelitian guna memahami gejala
lebih mendalam terhadap berbagai aktivitas yang sedang berlangsung di lokasi
penelitian.
81 Tim Penyusun, Buku Pedoman Penulisan Skripsi Kuantitatif, Kualitatif, Library, dan PTK
(Ponorogo: Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Ponorogo, 2017), 50-51.
82 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 329-333.
2. Triangulasi
Menurut Moleong yang dimaksud triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan
pengecekan atau pembanding terhadap data-data itu. Triangulasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber data dengan cara membandingkan
dan mengecek balik derajad kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.
3. Pengecekan sejawat melalui diskusi
Teknik ini dilakukan peneliti dengan cara mengekspos hasil sementara atau
hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan sejawat. Hal
ini dilakukan dengan maksud untuk membuat agar peneliti tetap mempertahankan
sikap terbuka dan kejujuran serta memberikan kesempatan awal yang baik untuk
memulai menjajaki dan menguji hipotesis yang muncul dari pemikiran peneliti.
H. Tahapan-Tahapan Penelitian
Tahapan-tahapan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tahap Pra Lapangan
Tahap Pra Lapangan meliputi: menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan
penelitian, mengurus perizinan, penelusuran awal, dan menilai keadaan lapangan
penelitian, memilih dan memanfaatkan informan, menyiapkan peralatan penelitian,
dan yang menyangkut persoalan upaya guru dalam menggunakan metode kisah
dan penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa.
2. Tahap Pekerjaan Lapangan
Tahap Pekerjaan lapangan ini meliputi: memahami latar penelitian dan persiapan
diri, memasuki lapangan dan berperan serta sambil mengumpulkan data.
3. Tahap Analisis Data
Tahap ini meliputi analisis selama dan setelah pengumpulan data.
4. Tahap Penulisan Hasil Laporan
Pada tahap ini penulis menuangkan hasil penelitian yang sistematis sehingga dapat
dipahami dan diikuti alurnya oleh pembaca.
BAB IV
DESKRIPSI DATA
A. Data Umum
1. Profil Sekolah
SMK Negeri 1 Jenangan berdiri tahun 1964 hasil prakarsa pemerintah
daerah dan dunia usaha/industri di Ponorogo pada saat itu disebut STM Persiapan
Negeri Ponorogo. Secara resmi lembaga ini menjadi STM Negeri Ponorogo
berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 148/Diprt/BI/66
tanggal 1 Pebruari 1966. Perubahan STM Negeri Ponorogo menjadi SMK Negeri
1 Jenangan berdasarkan SK Mendikbud nomor 036/0/1997 tanggal 7 Maret 1997.
SMK Negeri 1 Jenangan beralamat di Jalan Niken Gandini 98, Setono, Kec.
Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Telpon/FAX: 0352-481236.
Dengan web/E-mail www.smkn1jenpo.sch.id/[email protected]. Dan
dikepalai oleh Drs. MUSTARI, MM.
SMK Negeri 1 Jenangan sejak tahun 1964 sampai 2005 merupakan SMK di
bidang Teknologi dan Rekayasa dengan tiga program studi yakni : (1) Konstruksi
Bangunan, (2) Teknik Listrik Instalasi dan (3) Teknik Mesin. Jumlah siswa dalam
kurun waktu sampai dengan tahun 2005 adalah 972 yang terdiri dari 27
rombongan belajar. Secara bertahap mulai tahun 2006 sampai sekarang program
studi/Kompetensi keahlian yang dikembangkan di SMK Negeri 1 Jenangan
menjadi delapan Kompetensi Keahlian meliputi : (1) Teknik Gambar Bangunan,
(2) Teknik Konstruksi kayu, (3) Teknik Pemesinan, (4)Teknik Pengelasan, (5)
Teknik Sepeda Motor, (6) Teknik Elektronika Industri, (7) Rekayasa Perangkat
Lunak, (8) Teknik Otomasi Industri.83
2. Data Guru dan Data Karyawan
Rencana pengembangan kapasitas di SMK Negeri 1 Jenangan selama lima
tahun dari tahun 2013 sampai dengan 2018 dengan jumlah Guru 126 terdiri
dari 104 guru PNS dan 22 guru Non PNS. 84
3. Data Siswa
Data siswa di SMKN 1 Jenangan meliputi kelas X-XII, kelas X ada 20 kelas,
kelas XI ada 19 Kelas, dan Kelas XII ada 18 kelas. Dengan jumlah siswa secara
keseluruhan kelas X-XII tahun ajaran 2018 adalah 1994. 85
4. Data Sarana dan Prasarana
SMK Negeri 1 jenangan, berada di lingkungan yang secara kondusif dengan
luas (3,5 Ha). Fasilitas kegiatan akademis berupa ruang teori, ruang gambar,
perpustakaan, digital library & layanan Internet, laboratorium komputer &
jaringan, laboratorium sistem kontrol, laboratorium motor listrik & elektronika
daya, work bench, bengkel kerja mesin, bengkel kerja plat & las, sarana olah raga
terpadu (joging track, lap. volley, lap. basket, dll).86
83
Lihat pada transkip dokumentasi dalam lampiran penelitian ini, Kode 01/D/24-03/2018.
84 Lihat pada transkip dokumentasi dalam lampiran penelitian ini, Kode 02/D/24-03/2018.
85 Lihat pada transkip dokumentasi dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/D/24-03/2018.
86 Lihat pada transkip dokumentasi dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/D/24-03/2018.
B. B. Data Khusus
1. Latar Belakang Penggunaan Metode Kisah dan Penanaman Nilai
Keteladanan dalam Meningkatkan Minat Belajar Siswa pada Mata Pelajaran
PAI Kelas X di SMKN 1 Jenangan Ponorogo
Dalam penggunaan metode pembelajaran pada mata pelajaran PAI di
SMKN 1 Jenangan Ponorogo, selain menggunakan metode sesuai kurikulum 2013,
tidak jarang juga menyisipkan metode kisah dalam pembelajaran. Hal ini sependapat
dengan hasil wawancara yang diungkapkan oleh Bapak Shokib: “Metode yang digunakan sesuai
dengan kurikulum 2013, artinya punya pegangan yang tertera pada rpp, untuk lebih memperjelas
selalu menggunakan metode ceramah yang isinya adalah gambaran kisah, kenyataan sosial,
berangkat dari situ kita kaitkan dengan tema pembelajaran yang ada baik itu hukum, aqidah, dst”.87
Dari data hasil wawancara siswa terhadap enam kelas yang diteliti, rata-
rata guru PAI menggunakan metode ceramah, cerita, diskusi, dan hafalan. Seperti
pada kelas X DPIB.A yakni: Devy, Bella, Afifa, Afisa, Jasmin, Bryan, Diky, yang
merupakan kelas dari Bapak Shokib dalam mengajar sering menggunakan
ceramah dan cerita. Mereka mengatakan bahwa: “Lebih sering ceramah dan cerita, kalau
diskusi jarang”.88
87
Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.
88 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 11/W/31-03/2018.
Hal ini juga diungkapkan dari hasil wawancara siswa kelas X EI.A,
yakni: Anisa, Asraf, Geri, Erdian, Cholid. Mereka mengatakan bahwa metode yang sering
digunakan Bapak Ahmad Muzakky adalah: “Cerita pengalaman pribadi, hafalan, diskusi”.89
Hal itu sepadan dengan data wawancara kelas X TBSM.B, yakni:
Gogharty, Surya, Krishna, Baqi, Sulton, Redian, Rifai, Nurzaini, Habib, Ikhsan.
Kelas ini juga merupakan kelas dari Bapak Ahmad Muzakky. Mereka mengatakan
bahwa: “Cerita, ceramah, hafalan, membaca. Yang paling sering itu cerita mbak sama ceramah”.90
Begitu juga dengan Kelas X EI.B: Choirul, Putri, Izma, Sulis, Rifky dari
kelas Bapak Muhammad Ihsan. Mereka mengatakan bahwa: “Cerita dan ceramah, sering
cerita mbak”.91
Begitu pun juga dengan responden kelas X OI.B, yakni: Silvia, Liyana,
Rifad, Yoga, Zakaria dari kelas Bapak M. Qomaruddin. Mereka mengatakan bahwa:
“Ceramah, cerita, sering nasehatin mbak, terus cara mengajarnya itu per blok yang ditanya ya yang
disitu, tapi berpindah-pindah, kadang di depan, tengah, belakang”.92
Hal ini juga sepadan dengan yang diungkapkan oleh responden dari kelas
X LAS A, yakni: Andrian, Angga, Guntur, Dilan, Kevin, Farhan, Fahmi. Ini
merupakan kelas dari Bapak Anwarudin, mereka mengatakan bahwa: “Ceramah, cerita, diskusi.
Sering ceramah dan cerita. Cerita yang lucu tidak membuat bosan mbak, jadi mudah diterima”.93
89
Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05/W/23-03/2018.
90 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.
91 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 10/W/28-03/2018.
92 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 09/W/28-03/2018.
93 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 12/W/6-04/2018.
Tidak hanya data wawancara guru dan siswa tetapi juga diperkuat dengan
observasi peneliti beserta dokumentasi mengenai penggunaan metode kisah dalam
pembelajaran PAI. Hal ini lebih jelasnya terdapat pada lampiran-lampiran transkip
observasi dan dokumentasi yang telah terlampir.94
Latar belakang adanya penggunaan metode kisah dan penanaman nilai
keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa dari hasil wawancara
menurut Bapak Ahmad Muzakky mengungkapkan bahwa:
Dalam mengajar semua metode dipakai. Dalam teori mengajar salah satunya
menggunakan cerita. Karena siswa senang akan cerita dan dengan cerita pun dapat
menyentuh perasaan manusia. Jadi minat siswa sudah sangat senang jika guru
menggunakan metode kisah. Sedangkan dengan metode penanaman nilai keteladanan
adalah untuk menyampaikan nilai-nilai yang ada di dalam cerita kepada anak-anak
tentang kesederhanaan, kerja keras, hal tersebut mendorong guru untuk selalu berbuat
baik kepada siswa, karena secara psikologis anak suka meniru apa yang dilihatnya.95
Hal ini juga sependapat dengan hasil wawancara yang diungkapkan oleh
Bapak Shokib:
Yang melatarbelakangi adalah pengalaman hidup saya sendiri dari latar belakang hidup
saya masa kecil, arah pemikiran dari latarbelakang tadi adalah gambaran kehidupan yang
nyata, kehidupan sederhana dalam bahagia yaitu dengan syukur. Tentu dengan cerita
dapat menggungah dan menyentuh hati manusia untuk mengikuti konteks cerita secara
menyeluruh. Itu sebabnya saya menggunakan metode kisah dalam pembelajaran. Selain
itu dalam metode penanaman nilai keteladanan siswa lebih mudah menerapkan ilmu
yang dipelajari.96
Latar belakang penggunaan metode kisah dan penanaman nilai
keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa menurut Bapak Muhammad
Ihsan, dari hasil wawancara tersebut juga mengungkapkan bahwa:
94 Lihat pada transkip observasi dan dokumentasi dalam lampiran penelitian ini.
95 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/6-03/2018.
96 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.
Anak-anak lebih senang dengan adanya kisah, jadi minat mereka lebih terbangun.
Selain itu untuk mengingatkan sejarah kepada anak didik, agar mereka tahu sejarah
nabi, dan peninggalan-peninggalan nabi.97 Sedangkan dengan metode penanaman nilai
keteladanan untuk mendorong guru selalu berbuat baik karena akan dicontoh oleh
siswanya. Hal itu dengan cara pakaian, sikap guru, guru harus menjadi barometer
peserta didiknya untuk bertindak. 98
Begitu juga dengan pendapat Bapak M. Qomaruddin, bahwa dalam
menggunakan cerita lebih dapat memahamkan, mengetahui sejarah. Dan dalam
penanaman nilai keteladanan siswa mengetahui nilai keteladanan yang diambil, hal
ini seperti yang diungkapkan:
Kalau alasan menggunakan ceritanya, iya tapi tidak hanya cerita, nanti jemu anak, jadi
metode campuran. Metode ceramah nanti di depan, di tengah atau pun di belakang
tergantung pembahasannya. Misalnya, yang ada kaitannya dengan tokoh itu, manfaat
Islam Nusantara, misal Walisongo saya gandengkan dengan tokoh yang di daerah,
misalnya Batoro Katong dan Ki Ageng Besari. Tokoh Babad Ponorogo. Alasanya itu
dijelaskan tokoh tersebut, kalau tidak diceritakan tidak bisa. Anak tidak tahu fokusnya
kalau tidak diceritakan. Kalau itu tadi tokohnya ada di keilmuan menerangkan Ki Ageng
Besari bertanding dengan Raja Wengker. Harus digiringkan ke keilmuannya, biar nanti
ada perhatiannya pada siswa bahwa dari cerita itu, masih muda bisa mengalahkan raja
karena ilmunya. Sedangkan dalam metode penanaman nilai keteladanan karena anak
didik dapat lebih mudah menerapkan ilmu yang dipelajarainya, yaitu dapat mengambil nilai keteladanan dari penanaman nilai-nilai keteladanan yang diberikan guru. 99
Sedangkan latar belakang penggunaan metode kisah dan penanaman nilai
keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa, menurut Bapak Anwarudin,
senada dengan Bapak M. Qomaruddin, dan Bapak Muhammad Ihsan:
Dengan metode kisah, karena guru menyesuaikan dengan minat atau kesukaan mereka,
anak-anak lebih berminat dan menyukai pembelajaran menggunakan kisah, selain itu
Biar tahu sejarahnya, asal-usulnya, tahu urutannya. Sedangkan dalam metode
penanaman nilai keteladanan hal ini dikarenakan agar terciptanya hubungan harmonis
antara guru dan siswa, dan siswa dapat lebih mudah menerapkan ilmu yang
dipelajarinya.100
97 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/24-04/2018.
98 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/23-03/2018.
99 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.
100 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.
Hal yang melatarbelakangi penggunaan metode kisah itu sendiri juga bisa
dilihat dari fungsi metode kisah itu sendiri, serta kelebihan dan kelemahan metode
kisah. Fungsi Metode Kisah dalam penggunaan metode kisah menurut hasil wawancara dengan
Bapak Shokib adalah: “Fungsinya ia mampu menggambarkan berbagai macam kenyataan dalam
pikiran dan pandangannya yang sering terjadi di lingkungan masyarakat. Jadi anak dapat lebih
menyerap dan tergugah hatinya untuk memahami melalui cerita”.101
Fungsi metode kisah menurut hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Muzakky adalah:
“Menanamkan pendidikan ah}la>qul kari}mah dari kisah-kisah, kemudian dengan kisah tersebut dapat
diambil nilai keteladanan, dengan kisah juga merupakan bagian dari kesenangan anak, sehingga
dapat lebih mudah memahami dan menggugah hati mereka dari kisah yang diceritakan”.102
Hal ini juga sependapat dengan hasil wawancara menurut Bapak M. Qomaruddin adalah:
“Daya tarik siswa, karena kalau mau jujur orang itu dari TK-SMA atau besar pun suka namanya
cerita, suka kalau diceritakan dan untuk penanaman nilai melalui kisah”.103
Sedangkan fungsi metode kisah menurut hasil wawancara dengan Bapak Muhammad
Ihsan adalah: “Untuk mengingatkan sejarah, menambah semangat siswa, dapat diambil pelajaran
dari cerita”.104
Hal lain juga diungkapkan dari hasil wawancara mengenai fungsi metode kisah dengan
Bapak Anwaruddin beliau mengatakan bahwa: “Mempercepat dan meresapkan daya ingat anak,
agar mudah dicerna dari kisah tersebut maupun dari pelajaran agama yang dikisahkan”.105
101 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.
102 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/6-03/2018.
103 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.
104 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/23-03/2018.
105 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.
Berkaitan dengan kapan dan bagaimana penerapan adanya metode kisah
dan penanaman nilai keteladanan dari hasil wawancara menurut Bapak Ahmad
Muzakky adalah:
Saya sering menggunakan kisah di awal sebelum masuk ke materi pelajaran, setelah
absensi saya maunya cerita kepada anak-anak tentang pengalaman hidup saya atau
tentang berita yang berkaitan dengan moral dikaitkan dengan pelajaran. Penanaman nilai
keteladanannya ya melalui contoh dan cerita tersebut. Penerapannya dengan adanya
kisah dapat dijadikan pengantar untuk membawa murid pada suatu pemikiran,
penghayatan, terhadap nilai-nilai tertentu, sehingga murid dapat menanamkan nilai-nilai
yang diambil dari cerita tersebut. Penerapan penanamannya ya agar anak dapat meniru
apa yang diambil dari cerita maupun contoh tersebut, sehingga anak lebih mudah
menerapkan ilmu yang diperolehnya. 106
Sedangkan menurut hasil wawancara menurut Bapak Muhammad Ihsan, mengenai
kapan dan bagaimana penerapan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan adalah: “Ya,
ketika materi yang berkaitan dengan sejarah, tentang dakwah nabi. Penerapannya, ya agar anak-
anak mengerti akan sejarah dan dapat menerapkan apa yang diambil dari nilai keteladanan dari
cerita tersebut”. 107
Pendapat lain dari hasil wawancara menurut Bapak M. Qomaruddin, mengenai kapan
dan bagaimana penerapan metode kisah adalah: “Terkait dengan pembahasannya, kadang di awal,
ditengah ataupun akhir, penanaman keteladanannya ya mengikuti cerita dan penjelasan materi lebih
lanjut”. Penerapannya harus menguasai sejarah dulu, kalau tidak ya tidak bisa, kalau kita bisa
menguasai materi/cerita, anak-anak itu suka meniru pun dapat mempraktekan nilai keteladanan
yang diberikan guru.108
106 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/6-03/2018.
107 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/23-03/2018.
108 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.
Pendapat Bapak M. Qomaruddin, selaras dengan apa yang diungkapkan
oleh Bapak Anwarudin, mengenai waktu dan penerapan metode kisah dari hasil
wawancara tersebut bahwasanya:
Tidak bisa diprediksi, terkadang di awal, di tengah, dan akhir. Tergantung anak itu mau
meneladani atau tidak, terkadang cerita selesai iya selesai hilang sudah. Selain itu
tergantung keluarga dan pergaulan, jika berada di keluarga Agamis ya lebih cepat
penerapannya. Kalau jangka pendek sedikit sulit, tapi jika jangka panjang siswa
terkadang menerapkan, ya rahasia Ilahi mbak.109
Hal lain juga diungkapkan dari hasil wawancara menurut Bapak Shokib,
beliau mengatakan bahwa:
Tidak tentu selalu kisah, ketika semisal mengenai hukum bacaan Quran harus
menampilkan pengertian, contoh dan sebab akibatnya. Kalau penanaman nilai
keteladanan bisa kapan saja saat pelajaran disisipi lewat kisah ataupun contoh-contoh
faktual sesuai dengan materi yang dibahas. Kalau siswa, semisal tentang menghormati
orang tua dan guru. Saya meminta mereka membuat konsep ceramah atau pidato mengenai bagaimana penghormatan kepada orangtua dan guru, seberapa besar
kemampuan standar penghormatan orang tua dan guru.110
2. Jenis Metode Kisah dan Penanaman Nilai Keteladanan dalam
Meningkatkan Minat Belajar Siswa kelas X pada Mata Pelajaran PAI di
SMKN 1 Jenangan Ponorogo
Pada pembelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo, guru tidak
jarang menyisipkan kisah-kisah pada materi PAI, baik berkaitan tentang ibadah,
akidah, syariah, sejarah, akhlak. Selain itu juga menanamkan nilai keteladanan
melalui kisah dan contoh amalan nyata, maupun dari kepribadian guru. Cara
bercerita guru-guru PAI SMKN 1 Jenangan Ponorogo, yakni Bapak Muzakky,
Bapak Shokib, dan Bapak Qomar, mereka bercerita secara langsung maupun
109 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.
110 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.
secara lisan, tanpa adanya media maupun peraga. Bapak Ahmad Muzakky, mengatakan
dalam bercerita secara langsung tanpa media: “Secara langsung/lisan”.111
Hal ini juga setara dengan yang diungkapkan oleh Bapak Shokib, beliau mengatakan
bahwa: “Kalau Pak Shokib cenderung langsung, karena kejadian nyata. Semisal penanaman
keimanan tentang doa/Allah maka saya akan ceritakan itu. Cerita tidak perlu dipersiapkan yang
penting menguasainya serta kelebihan-kelebihannya anak sudah memperhatikan, secara spontan
mbak saya”.112
Sedangkan Bapak Muhammad Ihsan dan Bapak Anwarudin dalam
bercerita pada saat peneliti melakukan pengamatan pembelajaran di kelas,
bercerita secara langsung. Hal ini sesuai observasi pengamat yang telah terlampir
pada penelitian ini.113
Hal ini juga diperkuat dengan hasil wawancara terhadap perwakilan lima responden
kelas X EI.B yang diungkapkan mereka bahwa: “Secara langsung mbak, lisan, lebih kecontoh
siswanya dan memakai bahasa jawa beliau, jadi lucu mbak”.114
Hal ini juga setara dengan hasil wawancara dari perwakilan 7 responden di kelas X Las
A, mengatakan bahwa: “Secara langsung/lisan”.115
Sedangkan tiga empat kelas lainnya yaitu X EI.A, X TBSM.B, X
DPIB.A, X OI.B. Mereka mengatakan bahwa guru bercerita secara langsung
maupun lisan tanpa adanya peraga maupun media.
Secara langsung/lisan. Ceritanya dibawakan secara santai dan humor.116
111 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/6-03/2018.
112 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.
113 Lihat pada transkip observasi dalam lampiran penelitian ini.
114 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 10/W/28-03/2018.
115 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 12/W/6-04/2018.
Secara langsung/lisan tanpa media. Secara langsung, biasanya keluar dari topik yang
dibicarakan mbak, terus dibawakan secara bercanda/humor, ceritanya masih dikaitkan
dengan pelajaran.117
Langsung cerita mbak.118
Caranya cerita itu, modelnya menceramahi tapi per orangan. Iya mbak tidak
keseluruhan per orangan, karena suaranya Pak Qomar juga tidak keras. Secara lisan
sama ditulis di papan tulis mbak.119
Jenis kisah yang diceritakan menurut hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Muzakky
ialah: “Cerita yang berkaitan dengan materi juga, tapi saya seringnya cerita faktual berupa
pengalaman hidup seperti, cerita pengalaman dalam belajar, cerita pengalaman dalam bekerja.
Cerita fakta berupa pengalaman hidup saya sendiri”.120
Hal ini juga diperkuat dengan data observasi peneliti dalam pembelajaran
di kelas X TBSM.B. Sabtu, 24 Maret 2018 pada pukul 09.30-11.40 WIB, beliau
menceritakan pengalaman hidup mengenai penyesalan beliau belum bisa
membahagiakan ibunya sebelum meninggal dunia. Cerita ini dikaitkan dengan
materi PAI pada Bab bab 8 “Menghormati Guru dan Orang tua”. Penjelasan lebih
detail mengenai cara mengajar guru maupun cara bercerita guru terdapat pada
lampiran transkip observasi yang telah terlampir.121
Selain data wawancara guru dan observasi, data tersebut diperkuat juga
dengan data hasil wawancara siswa kelas X EI.A dan X TBSM.B yang merupakan
kelas dari Bapak Ahmad Muzakky. Mereka mengatakan bahwa jenis kisah yang sering
diceritakan adalah: “Nabi-nabi, Rasul, pengalaman hidup, kisah-kisah hidup, kuatnya iman seorang
116 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05/W/23-03/2018.
117 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.
118 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 11/W/31-03/2018.
119 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 09/W/28-03/2018.
120 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/6-03/2018.
121 Lihat pada transkip observasi dalam lampiran penelitian ini.
laki-laki (kisah tentang bab zina), sunah rasul”. 122 “Cerita pengalaman hidup, nabi, dakwah nabi,
malaikat, rasul, sunah rasul, doa-doa. Ya tergantung materinya juga mbak”.123
Jenis kisah yang sering diceritakan itu sepadan dengan hasil wawancara menurut Bapak
Shokib, beliau mengatakan bahwa: “Pengalaman hidup dan kisah-kisah sosial”.124
Hal ini juga diungkapkan dari data hasil wawancara siswa kelas X
DPIB.A yakni: Devy, Bella, Afifa, Afisa, Jasmin, Bryan, Diky. Mereka mengatakan
bahwa: “Biasanya ceritanya dilampiaskan ke lingkungan, kisah nabi-nabi, malaikat”.125
Sedangkan Bapak Muhammad Ihsan dalam pembelajaran sering
menggunakan jenis kisah nabi, rasul, sejarah. Seperti yang beliau ungkapkan bahwa:
“Nabi, rasul, sejarah. Untuk kelas X: Iman kepada Allah, terutama dalam bentuk ciptaan Allah, ya
kita menggaris bawahi satu contoh bagaimana terjadinya angin, petir, asal mulanya tumbuh-
tumbuhan. Tidak hanya itu kelas X, Iman kepada malaikat Allah, menceritakan tentang malaikat
Jibril menyampaikan wahyu”.126
Menurut data wawancara siswa kelas X EI.B yakni, Choirul, Putri, Izma, Sulis, Rifky
yang merupakan kelas dari Bapak Ihsan mengatakan bahwa: “Nabi-nabi”.127
Hal ini juga selaras dengan hasil wawancara menurut Bapak Anwarudin,
yang mengatakan bahwa:
Tergantung materinya, kalau materi rasul tentang nabi dan rasul. Etos kerja, ya cerita
kisah para nabi ketika bekerja. Kerusakan alam, ya tentang alam. Kalau kelas X asmaul
122 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05/W/23-03/2018.
123 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.
124 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.
125 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 11/W/31-03/2018.
126 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 01/W/18-01/2018.
127 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 10/W/28-03/2018.
husna iman kepada Allah, ada tayangan ilustrasinya alam semesta, pelangi sehingga
anak akan tertarik.128
Kisah tentang masalah Agama.129
Hal tersebut sepadan dengan data wawancara siswa kelas X LAS A: yakni Andrian,
Angga, Guntur, Dilan, Kevin, Farhan, Fahmi. Mereka mengatakan bahwa: “Tergantung
topiknya/bab, biasanya nabi-nabi”.130
Hal yang sepadan juga diungkapkan dari hasil wawancara menurut Bapak M.
Qomaruddin mengatakan bahwa: “Jenis kisahnya tergantung dengan bab, jika babnya rasul ya para
rasul, misal Nabi Musa dengan tongkatnya”.131
Hal tersebut sepadan dengan data wawancara siswa kelas X OI.B, yakni: Silvia,
Liyana, Rifad, Yoga, Zakaria. Mereka mengatakan bahwa: “Tergantung materi mbak, cerita
tentang nabi-nabi pasti mbak setiap pembelajaran, kadang juga cerita tentang kisah Ponorogo
mbak”.132
Cara guru-guru PAI di SMKN 1 Jenangan dalam menanamkan
keteladanan kepada siswa melalui dua bentuk keteladanan: yaitu keteladanan
disengaja dan keteladanan tidak disengaja.133
Dalam bentuk keteladanan disengaja
melalui suguhan kisah dan pemberian contoh secara langsung, sehingga siswa
dapat menerapkan nilai keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan
128 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 02/W/18-01/2018.
129 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.
130 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 12/W/06-04/2018.
131 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.
132 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 09/W/28-03/2018.
133 Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam (Semarang: Asy Syifa,
1981), 2.
bentuk keteladanan tidak sengaja pada kepribadian guru, siswa mencontoh tindak
tanduk, ucapan dan tingkah laku guru.
Hal ini seperti diungkapkan oleh bapak Ahmad Muzakky bahwa bentuk keteladanan
disengaja melalui kisah. “Setiap orang mentransformasikan nilai-nilai hidup yang baik. Maka lebih
dalam cerita faktual berupa pengalaman hidup. Maka jika saya menceritakan pengalaman hidup
saya, hal itu agar anak-anak itu bisa seperti saya pekerja keras, mereka bisa ikut merasakan dan
mengalami melalui cerita tersebut”.134
Pendapat tersebut juga selaras dengan hasil wawancara menurut Bapak Shokib yang
mengatakan bahwa: “Seperti contoh saya bawa anak ke masjid untuk sholat dhuha, untuk
menjadikan karakter dan kebiasaan bahkan dimanapun berada, betapa indahnya. Insya Allah ada
korelasinya varibelnya juga nyambung”.135
Hal tersebut diperkuat dengan pengamatan peneliti di kelas X DPIB.A,
pada hari Rabu, 28 Maret 2018, pukul 08.20 WIB. Guru menyuruh murid untuk
sholat dhuha berjamaah, setelah sholat dhuha guru sedikit memberikan ceramah
kepada peserta didik sampai berakhir pukul 09.00 WIB.136
Hal tersebut juga sepadan dengan data hasil wawancara menurut Bapak Anwarudin yang
mengungkapkan bahwa: “Tingkah laku kita, agar anak tahu. Semisal jadi imam sholat agar anak-
anak tahu, atau ketika baksos agar mereka bisa mengikuti”.137
Sedangkan hasil wawancara menurut Bapak Muhammad Ihsan mengatakan bahwa:
“Caranya membiasakan, yang namanya cerita harus menggali sejauh mungkin tentang sejarah,
terutama kalau bisa dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan yang nyata”.138
134 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/06-03/2018.
135 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.
136 Lihat pada transkip observasi dalam lampiran penelitian ini.
137 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.
Hal lain juga diungkapkan oleh Bapak M. Qomaruddin yang mengatakan bahwa:
“Caranya setelah diceritakan tadi ditarik kesimpulan kamu bisa jadi orang hebat tadi, kamu bisa
dengan cara ini-ini, syaratnya kuat tirakat, suruh mengurangi kotakannya (hp)”.139
Bentuk keteladanan tidak sengaja yaitu pada tahap transiternalisasi yang
berkaitan dengan kepribadian guru sebagai tauladan murid. Dalam tahap ini siswa
menjadi guru panutan dalam bertindak dan bertingkah laku. Hal ini sesuai dengan hasil
wawancara Bapak M. Qomaruddin, mengatakan bahwa: “Kalau mengukur sendiri ya tidak bisa,
kalau gr ya bisa saja begitu. Kalau penilaian diri dikaitkan sama siswa, kalau anak yang nakal
dikasih tahu pak Qomar jadi sembuh, dan itu dari guru lain bilang sama pak Qomar untuk
membantu guru menghadapi anak nakal. Kalau meneladani saya iya atau tidak saya ya tidak
tahu”.140
Hal ini dibandingkan dengan data wawancara siswa mengenai figur
Bapak Qomar pada siswa-siswi kelas X OI.B. Mereka yakni: Silvia, Liyana,
Rifad, Yoga, Zakaria mengatakan bahwa figur bapak Qomar itu.
Silviana: Sabar, tidak pernah marah sama siswa, tapi justru dinasehatin. Liyana: Ramah, baik.
Rifad: Baik, asyik, mudah dimengerti
Yoga: Baik, lemah lembut, tidak suka memarahi
Zakaria: Guru yang baik, orangnya enak mbak, suka cerita.141
Menurut mereka mengenai apakah beliau sudah dapat dijadikan guru tauladan atau
belum pada data wawancara mengatakan bahwa: “Silviana, Liyana, Zakaria, Sudah bisa, Rifad,
138 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 01/W/18-01/2018.
139 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.
140 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.
141 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 09/W/28-03/2018.
Belum. Yoga, belum. Karena sudah tua, cara mengajarnya, suaranya sudah tidak sampai,
suaranya tidak bisa didengar jelas”.142
Sedangkan menurut Bapak Ahmad Muzakky, M.Pd mengatakan bahwa: “Jika
dikatakan guru tauladan ya belum juga, tapi saya berusaha sebaik mungkin memberikan ilmu
kepada peserta didik, ya dari cerita pengalaman hidup saya setidaknya dengan hal baik itu mereka
bisa meniru perjuangan saya akan kerja keras”.143
Hal ini juga dibandingkan dengan data wawancara siswa kelas X EI.A
dan Kelas X TBSM.B mengenai figur Bapak Muzakky. Mereka mengatakan
bahwa:
Baik, santai, sabar, tegas, bijaksana, bisa diajak berkembang, suka memberi inspirasi,masukan, motivasi dari cerita pengalamanya.144
Gogharty: Guru yang sabar.
Surya: Guru yang humoris mbak, juga santai kalau pelajaran.
Krishna: Guru yang baik, bisa akrab pada murid-muridnya, dan kalau kurang jelas pasti
dijelaskan kembali.
Baqi: Guru yang baik, sabar, dan ulet.
Sulthon: Guru yang baik.
Ikhsan: Ya baik, tegas, kalau serius-serius, kalau bercanda-bercanda begitu kak
Habib: Guru yang baik, pintar, bisa dijadikan suri tauladan.
Redian: Seorang guru agama yang tabah, ramah, suka bercerita, bisa serius bisa santai.
Rifai: Seorang guru yang baik, bisa dicontoh.
Nurzaini: Baik, enak kalau mengajar, bisa dicontoh.145
Menurut mereka mengenai apakah beliau sudah dapat dijadikan guru tauladan atau
belum pada data wawancara mengatakan bahwa: “Bisa mbak”.146
Begitu juga dengan Bapak Muhammad Ihsan yang mengatakan bahwa:
“Bisa, karena saya berhasil membuat mereka menerapkan hal tersebut”.147
142 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 09/W/28-03/2018.
143 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/06-03/2018.
144 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05/W/23-03/2018.
145 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.
146 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05 dan kode 06.
147 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/24-03/2018.
Hal ini juga dibandingkan dengan data wawancara siswa kelas X EI.B mengenai figur
Bapak Ihsan. Mereka mengatakan bahwa: “Lebih menonjol humorisnya kak”.148
Menurut mereka mengenai apakah beliau sudah dapat dijadikan guru tauladan atau
belum pada data wawancara mengatakan bahwa: “Choirul, Putri, Izma, Sulis: Belum mbak, ya
hampirlah kak. Rifky: Sudah kak, tapi humorisnya harus sedikit dikurangi biar punya wibawa”.149
Bapak Shokib juga mengatakan bahwa beliau belum dapat dijadikan guru tauladan.
Seperti yang diungkapkan beliau bahwa: “Belum. Punya motif kepada siswa seperti ini rendah
diri, keseimbangan, kedamaian dunia”.150
Hal ini juga dibandingkan dengan data wawancara siswa kelas X
DPIB.A mengenai figur Bapak Shokib. Mereka mengatakan bahwa:
Devy: Asyik, ada galaknya.
Bella: Tegas, humoris.
Afifa: Seperti ,orangtua mbak bisa dekat begitu mbak.
Afisa: Guru yang bisa lebih dekat sama siswa.
Jasmin: Enak mbak, humoris.
Bryan: Baik, sopan, orangnya sederhana, suka memotivasi, supaya bisa berubah menjadi
lebih baik.
Diky: Kalau menurut saya, pak Shokib itu sangat baik untuk dicontoh, dalam hal beliau rajin beribadah, dalam hal cara beliau ramah dengan sesama umat muslim, satu yang
saya tidak suka, karena beliau terkadang berbicara kotor.151
Menurut mereka mengenai apakah beliau sudah dapat dijadikan guru tauladan atau
belum pada data wawancara mengatakan bahwa: “Hampir mbak. Bisa mbak, cuma cara bicaranya
yang kurang bisa jadi panutan”.152
148 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 10/W/24-03/2018.
149 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 10/W/28-03/2018.
150 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.
151 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 11/W/31-03/2018.
152 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 11/W/31-03/2018.
Hal yang dikatakan Bapak Shokib sepadan dengan yang dikatakan oleh Bapak Anwar,
beliau mengatakan: “Belum jauh sekali dari keteladanan, ya kita berusaha menjadi teladan
mbak”.153
Hal ini juga dibandingkan dengan data wawancara siswa kelas X LAS A
mengenai figur Bapak Anwar. Mereka mengatakan bahwa:
Guntur: Beda dari guru-guru lain, karena tidak pernah pakai media LCD, mengandalkan
cerita tapi kita bisa masuk, tegas, lucu, bisa serius ya bisa santai.
Dilan: Baik, sering bercanda, jarang marah-marah.
Farhan: Guru yang mengajarnya metode salafiyah, sederhana, tradisional, mudah
dipahami, sabar, asyik.
Kevin: Humoris, mudah dikenang mbak hukumanya Fahmi: Sederhana, lucu, menyenangkan, pandai menyenangkan muridnya.
Angga: Guru yang baik.
Andrian: Lucu mbak, guru yang enak mengajarnya.154
Menurut mereka mengenai apakah beliau sudah dapat dijadikan guru tauladan atau
belum pada data wawancara mengatakan bahwa: “Masih belum mbak, 80-90 %. Karena cerita
yang sebelum kita harus tahu, itu bisa menimbulkan hal-hal negatif”.155
Jadi kesimpulan bentuk keteladanan tidak sengaja pada tahap
transinternalisasi, guru-guru PAI di SMKN 1 Jenangan menurut hasil wawancara
siswa, belum sepenuhnya dapat dijadikan guru tauladan.
Adanya penggunaan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan
dalam mata pelajaran PAI mengandung nilai-nilai keteladanan. Nilai Keteladanan
tersebut bermacam-macam tergantung pembahasan pada mata pelajaran PAI dari
153 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.
154 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 12/W/06-04/2018.
155 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 12/W/06-04/2018.
kisah yang diceritakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bapak Shokib mengatakan bahwa:
“Nilai keimanan jika yang dibahas mengenai pupuk keimanan”.156
Hal lain juga diungkapkan dari hasil wawancara menurut Bapak M. Qomaruddin, beliau
mengatakan bahwa: “Tergantung kisah apa mbak, kalau perjuangan ya nilai keteladanannya seperti
bab tadi itu persaudaraan kaum Ansor dan Muhajirin. Kalau bab Kejujuran, ya kejujuran”.157
Hal tersebut sepadan dengan hasil wawancara menurut Bapak Anwaruddin yang
mengatakan bahwa: “Nilai keimanan, nilai berbagi. Ya tergantung cerita dan babnya mbak”.158
Sedangkan Bapak Muhammad Ihsan, S.Ag, MM mengatakan bahwasanya nilai yang
didapat itu sendiri ialah: ”Nilainya, ya anak-anak mengerti sejarah”.159
Dalam menceritakan kisah, seringkali beliau bercerita mengenai pengalaman hidup
beliau sendiri. Hal tersebut diungkapkan oleh Bapak Ahmad Muzakky yang mengatakan bahwa
nilai yang dapat diambil adalah: “Keserdahanaan, kerja keras. Ya, tergantung materinya”.160
3. Hasil Penerapan Metode Kisah dan Penanaman Nilai Keteladanan dalam
Meningkatkan Minat Belajar Siswa Kelas X Pada Mata Pelajaran PAI di
SMKN 1 Jenangan Ponorogo
Hasil penerapan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan adalah
agar siswa dapat menanamkan nilai-nilai dari kisah yang diceritakan, selain itu
juga meniru segala tingkah laku guru sebagai panutan bertindak siswa. Hal ini sesuai
dengan hasil wawancara menurut Bapak Ahmad Muzakky yang mengatakan bahwa: “Diharapkan
156 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.
157 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.
158 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.
159 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/24-03/2018.
160 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/24-03/2018.
siswa dapat mengambil nilai keteladanan dari cerita dan menerapkannya di kehidupan sehari-
hari”.161
Hasil penerapan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan melalui
suguhan kisah, siswa dapat mengetahui nilai keteladanan dari kisah yang
diceritakan, selain itu mereka berusaha untuk mengamalkan nilai tersebut di
kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan data dari hasil wawancara siswa
kelas X EI.A, yaitu Anisa, Asraf, Geri, Erdian, Cholid.
Kuatnya Iman laki-laki untuk tidak berzina, nilai yang diambil yaitu tidak semua laki-
laki mempunyai iman yang kuat.
Dakwah Nabi Muhammad di Mekah, nilai yang diambil yaitu: Percaya kepada Allah,
kesabaran, ketaatan, keimanan, ketekunan, percaya diri, ketaatan.
Sudah, diberi hafalan doa untuk membuka rezeki, doa-doa dilindungi dari hal-hal buruk,
doa rezeki lancar.162
Hal tersebut sepadan dengan yang diungkapkan oleh responden kelas X
TBSM.B yang juga merupakan kelas dari Bapak Ahmad Muzakky dalam
pembelajaran PAI sering juga mendapatkan tambahan materi tentang doa-doa,
amalan-amalan, serta sunah rasul. Maka hasilnya, mereka dapat menerapkan hal
tersebut di kehidupan sehari-hari, seperti yang diungkapkan oleh Gogharty,
Surya, Krishna, Baqi, Sulton, Redian, Rifai, Nurzaini, Habib, Ikhsan.
Sunah Rasul: Membaca sholawat, menjalankan kewajiban, mengamalkan.
Dakwah Nabi, nilai yang dapat diambil: Kesabaran, suri tauladan, keikhlasan, pantang
menyerah, tidak boleh putus asa, senang mengamalkan, tahu sejarahnya. Sudah mbak, yaitu masuk masjid menggunakan kaki kanan, makan dan minum
menggunakan tangan kanan, makan dan minum sambil duduk, doa-doa.163
161 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/24-03/2018.
162 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05/W/23-03/2018.
163 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.
Begitu juga sepadan dengan hasil wawancara menurut Bapak Shokib,
yang lebih memfokuskan pada pengamalan dan pembiasaan bagi siswa, sehingga
diharapkan siswa dapat konsisten untuk menerapkan pembiasaan beribadah di
kehidupan sehari-hari. Bapak Shokib mengatakan bahwa: “Anak menerapkan hal tersebut
yakni doa, asma>ul h}usna>, sholat dhuha”.164
Hal tersebut dapat diperkuat dengan observasi pertama di kelas X
DPIB.A, peneliti benar-benar mengamati anak-anak berdoa, asma>ul h}usna, dan
menjalankan solat dhuha berjamaah.165
Dalam penerapannya pun mereka sudah berusaha untuk membiasakan
sholat dhuha dan asma>ul h}usna. Hal tersebut diungkapkan dengan data wawancara kelas X
DPIB.A yakni: Devy, Bella, Afifa, Afisa, Jasmin, Bryan, Diky, yang dijawab berdasarkan
prosentase: “InsyaAllah sudah mbak, 80 % kalau cerita, 50-60 % jika keteladanan dari guru seperti
asma>ul h}usna dan sholat dhuha”.166
Sedangkan melaui cerita dengan membicarakan keutamaannya dikaitkan
dengan pembiasaan beribadah. Siswa diharapkan dapat mengambil nilai
keteladanan untuk menerapkan ibadah/sholat dhuha dengan kesadaran mereka
sendiri di kehidupan sehari-hari. Hal ini seperti diungkapkan oleh Bapak Drs. M.
Qomaruddin, M.Pd.
Hasil keteladanan: Anak rajin mau sholat, itu wujud penanaman kita. Mereka sendiri
sholat untuk dapat memperlancar rezeki, jika mereka mau sholat dhuha, kemudahan
dalam berfikir agar jadi juara, pikiran jernih banyak sholat dhuha. Hal itu saya
164 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.
165 Lihat pada transkip observasi dalam lampiran penelitian ini.
166 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 11/W/31-03/2018.
sampaikan juga tidak harus di kelas, kalau anak-anak kumpul-kumpul duduk disitu, saya
ya ikut kesitu, mereka bercerita dan mereka tanya lalu saya jawab.167
Hal lain diungkapkan terkait respon peserta didik dalam menerima nilai
keteladanan dari cerita tersebut. Bapak Anwarudin mengatakan bahwa: “Kalau
jangka pendek tidak respect anak, tahu cerita begitu saja. Kalau jangka panjang tergantung
lingkunganya terkadang bisa berhasil”.168
Begitupun dengan penerapan peserta didik dari nilai keteladanan melalui
kisah sudah sedikit dilaksanakan siswa kelas X Las A yakni: Guntur, Andrian,
Angga, Fahmi, Kevin, Dilan, Farhan. Hal ini mereka jawab dalam bentuk
prosentase: “Guntur 20 %, Andrian 25 %, Angga dan Fahmi serta Kevin 30 %, Dilan 15 %,
Farhan 10 %”. 169
Sedangkan Bapak Muhammad Ihsan juga mengatakan bahwa hasil pemberian
keteladanan bagi siswa itu sendiri ialah: “Hasilnya, ya 50 % anak menerima”.170
Begitupun dengan penerapannya terhadap peserta didik dari nilai
keteladanan melalui kisah, hasilnya sudah sedikit dilaksanakan siswa kelas X EI.B
yakni: Choirul, Putri, Izma, Sulis, Rifky. Mereka mengatakan dalam bentuk prosentase:
“Choirul, Putri, Izma, Sulis ya sekitar 50-60 % an kak. Rifky, Sudah mbak, 80 %”.171
167 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.
168 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.
169 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 12/W/06-04/2018.
170 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 01/W/18-01/2018.
171 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 10/W/28-03/2018.
Penanaman nilai itu sendiri meliputi tiga tahap yaitu: tahap transformasi
nilai, tahap tranksaksi nilai, tahap transinternalisasi.172
Pada tahap transformasi
nilai ini, guru PAI mengajarkan dan menuntun siswa dalam menerapkan nilai
moral yang seharusnya dimiliki siswa, sehingga mereka mengetahui mana nilai
yang baik dan buruk. Hal ini diungkapkan dari hasil wawancara menurut Bapak
Shokib, beliau mengatakan bahwa:
Moral siswa itu tidak lepas dari keteladanan, artinya saya harus menunjukan kepada
anak terutama dalam aspek peribadatan, ucapan, tingkah laku. Di samping ada materi
yang ada kaitannya dengan kepemimpinan. Seperti contoh baginda Rasulullah mengasihi
dan berbuat baik pada orang yang memusuhinya, dan bertutur kata baik ketika dimarahi.
Anak sering saya berikan satu kepercayaan, agar anak-anak menyampaikan ke depan,
seperti, tugas berceramah di depan, aku diteladani atau aku dilihat. Ketika di depan harus
bisa mengondisikan.173
Hal lain juga diungkapkan oleh Bapak Ahmad Muzakky: “Cara menuntunnya ya saya
ceritakan kasus-kasus moral yang sedang terjadi sekarang, serta saya beri contoh realnya agar
siswa dapat menjadikan pelajaran dan menghindari hal tersebut”.174
Sedangkan Bapak M. Qomaruddin mengatakan bahwa: “Menuntun nilai moral, ya
saya kaitkan sama kasus alam, seperti Banaran”.175
Kemudian menurut hasil wawancara Bapak Anwarudin mengatakan bahwa: “Kita beri
contoh begitu saja tindakanya, jangan sampai dihadapan anak saat ketika di warung, tidur di
masjid, jangan sampai tahu, itu bisa saja jadi contoh yang buruk bagi anak”.176
172 Muhaimin M.A., et.al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 178.
173 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.
174 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/06-03/2018.
175 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.
176 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.
Hal tersebut sepadan dengan yang diungkapkan oleh Bapak Muhammad Ihsan yang
mengatakan bahwa: “Dengan cara pakaian, sikap guru, guru harus menjadi barometer peserta
didiknya untuk bertindak”. 177
Pada tahap transaksi nilai, guru tidak hanya mentransformasikan nilai,
tetapi guru juga memberikan contoh amalan nyata kepada siswa. Hal ini sesuai
dengan hasil wawancara menurut Bapak M. Qomaruddin.
Seperti bencana di Banaran itu saya bertanya, “Tahu tidak?
“Ya pak.”
“Semalam suntuk di Banaran ada apa aja? “
“Judi pak,”
“ Nanti ya segera meninggal kalau mendirikan tempat judi dan minum langsung di kubur
mereka.”
Dengan kasus itu lalu mereka mudah menangkap dan menerapkan.178
Hal lain juga diungkapkan oleh Bapak Drs. Shokib, yang mengatakan bahwa: “Bertutur
kata yang halus, kepercayaan. Menyampaikan anak-anak adanya tugas ceramah di depan kelas
sehingga ia menunjukan dirinya, aku diteladani dan dilihat”.179
Begitu juga menurut hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Muzakky yang
mengatakan bahwa: “Ya contohnya, kasus anak membunuh ibunya, dan kemudian bapaknya
membunuh anaknya. Kasus remaja yang pergaulannya bebas narkoba, rokok, berkata kasar,
dsb.180
Hal lain juga diungkapkan oleh Bapak Anwarudin, S.Ag, yang mengatakan bahwa:
“Memberikan peringatan untuk mau sholat jumat berjamaah, yang tidak sholat jumat di rumah,
177 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/24-04/2018.
178 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.
179 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.
180 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/06-03/2018.
maka sholat jumat berjamaah di sekolah, guru mengecek kehadiran mereka. Kemudian
membiasakan bersama-sama membaca asma>ul h}usna sebelum pembelajaran agama dimulai”.181
Hal ini diperkuat dengan data Observasi kedua di kelas Las A, bahwa
sebelum pelajaran dimulai mereka setelah berdoa lalu membaca asma>ul h}usna
bersama-sama.182
Begitu juga menurut hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Ihsan yang
mengatakan bahwa: “Saya pernah mencontohkan untuk mengamalkan pembangunan masjid,
dengan saya memasukan uang 10.000, ternyata hasilnya uang terkumpul 60-70, ini menunjukan
mereka juga mau menerapkan nilai moral”.183
Dalam tahap transinternalisasi, penampilan guru dihadapan siswa bukan
lagi sosoknya, tetapi lebih pada sikap mentalnya (kepribadian). Tahapan dari
trasnsiternalisasi dari buku berjudul Paradigma Pendidikan Islam Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, meliputi tahap menyimak,
menanggapi, memberi nilai, mengorganisasi nilai, karakteristik nilai.184
Dari hasil
data penelitian lapangan pada poin-poin sebelumnya, mengatakan bahwa tahapan
ini siswa sudah sampai pada tahap karakteristik nilai yaitu meniru segala tingkah
laku, ucapan dari gurunya, membiasakan sholat dhuha dan membaca asma>ul
181 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.
182 Lihat pada transkip observasi dalam lampiran penelitian ini.
183 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/24-03/2018.
184 Muhaimin M.A., et.al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, 179.
h}usna, sholat jumat berjamaah, menerapkan nilai keteladanan dari kisah-kisah,
menerapkan amalan-amalan doa dan sunah rasul.185
Hasil penggunaan metode kisah terhadap minat belajar siswa itu sendiri
dipengaruhi faktor rasa suka terhadap cerita. Apalagi jika dibawakan dengan santai
dan humor, pembelajaran akan lebih mudah dipahami. Hal ini diungkapkan dari
hasil wawancara siswa kelas X EI.A yakni : Anisa, Asraf, Geri, Erdian, Cholid
mereka berpendapat mengenai adanya penggunaan metode kisah terhadap mata
pelajaran PAI:
Anisa: Sangat baik, saya bisa lebih memahami pelajaran karena terjadi di kehidupan
sehari-hari.
Asraf: Mudah diingat, mudah dilaksanakan perintahnya
Geri: Mudah dihafal, tidak bosan, tidak mengantuk.
Erdian: Kesanya lebih menarik, tidak jenuh, tidak bosan, dapat menambah minat dan
semangat siswa.
Cholid: Sangat bagus, karena kita menjadi lebih paham. Tidak bosan mbak.
Mereka semua mengatakan: Iya mudah dipahami.186
Hal tersebut juga diungkapkan pendapat mereka mengenai adanya metode
kisah dalam pembelajaran PAI seperti yang diungkap kelas X TBSM.B.
Gogharty: Ya enak mbak, tidak jenuh mbak.
Surya: Suka mbak lebih seru begitu mbak.
Krishna: Cukup bagus mbak, cerita tentang Agama, tapi sedikit ada canda agar tidak
tegang. Suka mbak dengan materi disisipi kisah.
Baqi: Menurut saya bagus, karena disitu kita tidak hanya mendapat materi atau ilmu
pengetahuan saja. Hal tersebut bisa membuat siswa tidak bosan, juga bisa menghibur
dan menginspirasi dari kisah yang diceritakan oleh guru tentang pengalaman hidup.
Sulthon: Suka, ya enak mbak.
Ikhsan: Makin asyik, maksudnya tidak jenuh atau bosan gitu low kak, terus pasti kalau
ceritanya lucu-lucu, anak-anak pasti ketawa kak, kalau tidak disisipi cerita pasti anak-anak sudah bosan terus ditinggal tidur kak
Habib: Kalau saya malah lebih suka disispi cerita mbak, soalnya lebih mudah paham
dengan pelajaranya terus kalau cuma pelajaran terus mudah bosan dan mengantuk
Redian: Enak mbak, pelajarannya bisa serius tapi santai kalau pakai cerita
185 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini.
186 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05/W/23-03/2018.
Rifai: Bisa lebih cepat dipahami.
Nurzaini: Materi bisa lebih cepat diserap, dapat lebih dekat dengan guru.
Mereka semua mengatakan mudah dipahami dengan adanya kisah.187
Begitu juga dengan kelas X EI.B, mereka juga mengungkapkan mengenai
adanya metode kisah dalam pembelajaran PAI.
Sulis: Akan mengantuk, bosan, akan cerita sendiri, tidur.
Putri: Ceritanya itu tidak membosankan mbak, lucu beliau itu humoris jadi
memperhatikan begitu mbak.
Choirul: Lumayan bisa dipahami, kalau langsung materi, langsung sulit dipahami.
Izma: Tidak mudah dipaham mbak
Rifky: Bagus kak, soalnya saya suka cerita.
Mereka semua mengatakan: Mudah dipahami, asal jangan terlalu panjang.188
Berkaitan dengan pendapat dari tiga kelas yang lain yakni X OI.B, X
DPIB.A, dan X LAS A lebih jelasnya dapat dilihat dalam lampiran transkip
wawancara penelitian ini.
Hasil dari penggunaan metode kisah dapat menambah minat siswa, hal
imi diungkapkan dari hasil wawancara enam kelas yakni: X EI.A, X TBSM.B, X
OI.B, X EI.B, X DPIB.A, X LAS A.
Minat bertambah, karena ada humoris ceritanya dan tidak meninggalkan materi, tidak
bosan sama materi itu, bisa serius tapi santai.189
Iya sangat menambah, karena dibawakan secara santai dan humor.190
Bisa mbak.191
Ya lumayan kak, bisa menambah kak, karena ya ceritanya humoris mbak, jadi materi
itu santai dan tidak tegang, lebih enak begitu kira-kira 70-80 % kak.192
Iya bisa mbak193
Bisa menambah mbak.194
187 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.
188 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 10/W/28-03/2018.
189 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05/W/23-03/2018.
190 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.
191 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 09/W/28-03/2018.
192 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 10/W/28-03/2018.
193 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 11/W/31-03/2018.
Pengaruh guru dalam mengajar berdampak besar terhadap minat siswa
dalam pelajaran tersebut, serta dapat menambah semangat siswa dalam belajar.
Dari hasil wawancara 6 kelas tersebut, rata-rata dengan cara guru mengajar dan
bercerita, hasilnya cukup dapat menambah minat dan semangat siswa. Hal ini
lebih detail dapat dilihat pada transkip wawancara yang telah terlampir. Misalnya
dari hasil wawancara di kelas X TBSM.B dan X EI.A mengatakan bahwa: “Dapat, karena secara
hati sudah senang sama gurunya. Iya mbak jadi semangat”.195 “Jika pembalajaran menggunakan
cerita itu menambah minat, wawasan, semangat, tidak jenuh.Iya nambah semangat”.196
Namun dengan adanya cerita saja dalam pembelajaran, siswa merasa
tidak cukup, diperlukannya materi, serta adanya tugas ataupun kompetensi. Salah
satu contohnya pada kelas X TBSM.B mengatakan bahwa: “Belum, kalau tidak dipelajari tidak
cukup, ya teori ya praktek, diskusi. Ditambah dengan soal dan catatan, jadi kalau lupa biar mudah
mengingatnya, ya harus dituliskan agar lebih paham”.197
Begitu pun dengan kemampuan peserta didik dapat menangkap materi
melalui cerita dari enam kelas yang diteliti, hasilnya ada yang cukup baik dengan
prosentase rata-rata 30-70 %, serta sangat baik dengan prosentase 75-90 %. Hal
tersebut dapat dilihat pada transkip wawancara yang telah terlampir. Seperti salah
satu contohnya di kelas X LAS A mengatakan bahwa: “Farhan dan Andrian 60 %, Guntur 75 %,
Angga 50 % , Dilan, Fahmi, Kevin: 90 %.”.198
194 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 12/W/06-04/2018.
195 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.
196 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 05/W/23-03/2018.
197 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.
198 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/24-03/2018.
Sedangkan minat belajar yang berpengaruh pada hasil belajar pada mata
pelajaran PAI dikatakan bagus, karena rata-rata kelas mendapatkan nilai lebih dari
80. Hal ini dapat dilihat pada transkip wawancara yang terlampir.
Melihat minat membaca dan belajar masih rendah. Maka dari itu perlu
adanya upaya guru PAI mengatasi hal tersebut. Dari hasil wawancara dengan Bapak
Ahmad Muzakky mengatakan: “Dengan menyuruh siswa uji kompetensi mengerjakan LKS, setelah
diberikan cerita, dan catatan penjelas materi”.199
Sedangkan Bapak Shokib, untuk mengatasi hal tersebut, berpendapat: “Dengan
menceritakan kisah dan cerita, atau mengajak anak-anak belajar di perpus.200
Begitu juga dengan Bapak Anwaruddin dalam mengatasi hal tersebut, beliau
mengatakan bahwa: “Dari awal siswa harus sudah siap/minat belajar, buku sudah dikeluarkan
sebelum pembelajaran dimulai. Menunjuk siswa secara acak untuk membaca dari bagian materi
yang dibahas”.201
Hal lain juga diungkapkan oleh Bapak Muhammad Ihsan: “Caranya memotivasi siswa
biar semangat dalam belajarnya, guru harus menjadi barometer. Dari gayanya, dari tindakanya itu
seakan-akan meyakinkan peserta didik”.202 “Dengan menggunakan internet, karena siswa memang
sulit untuk membaca, ya saya kasih tugas untuk didiskusikan dan dicari di internet”.203
199 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 03/W/06-03/2018.
200 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 08/W/28-03/2018.
201 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 13/W/13-04/2018.
202 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 01/W/18-01/2018.
203 Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 04/W/24-03/2018.
Hal lain juga diungkapkan oleh Bapak Drs. M. Qomaruddin, M.Pd. beliau mengatakan
bahwa: “Dengan doktrin di awal tadi mbak siswa suruh menulis syarat ilmu bermanfaat, jadi kalau
tidak bisa, harus ada catatan dimasukan hafalan”.204
204
Lihat pada transkip wawancara dalam lampiran penelitian ini, Kode 07/W/26-03/2018.
BAB V
ANALISIS DATA
A. Analisis Data tentang Latar Belakang Penggunaan Metode Kisah dan
Penanaman Nilai Keteladanan dalam Meningkatkan Minat Belajar Siswa kelas
X pada Mata Pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo
Latar belakang penggunaan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan
dalam meningkatkan minat belajar siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN
1 Jenangan Ponorogo dari data penelitian lapangan dikatakan bahwa dengan
menggunakan metode kisah dapat menyentuh hati manusia, dan secara pribadi siswa
senang akan adanya kisah, sehingga minat mereka terbangun dengan adanya kisah.
Sedangkan latar belakang penanaman nilai keteladanan adalah menanamkan nilai-
nilai kepada peserta didik, sehingga guru harus terdorong untuk berbuat baik, karena
segala tingkah lakunya akan ditiru oleh peserta didik, selain itu melalui penanaman
nilai keteladanan, siswa lebih mudah menerapkan ilmu yang dipelajarinya.
Hal tersebut sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa: Kisah sebagai
metode pendidikan amat penting karena dalam kisah terdapat berbagai keteladanan
dan edukasi. Hal ini karena terdapat beberapa alasan yang mendukungnya yaitu:
kisah senantiasa memikat karena mengundang pembaca/pendengar untuk mengikuti
peristiwannya dan merenungkan maknanya, kisah dapat menyentuh hati manusia,
karena kisah menampilkan tokoh dalam konteksnya secara menyeluruh sehingga
pembaca/pendengar dapat menghayati dan merasakan isi kisah tersebut, kisah Qurani
mendidik keimanan dengan cara membangkitkan perasaan sehingga terlibat secara
emosional.205
Selain juga diperkuat teori yang mengatakan bahwa kelebihan dari
metode keteladanan adalah: akan memudahkan anak didik dalam menerapkan ilmu
yang dipelajarinya di sekolah dan mendorong guru untuk selalu berbuat baik karena
akan dicontoh oleh siswanya.206
Fungsi atau peranan kisah dalam Buku Heri Gunawan, Pendidikan Islam
Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh yakni: memberikan pelajaran untuk dijadikan
teladan yang baik, menggugah hati untuk memahami hal-hal yang bersifat maknawi,
merupakan bagian dari kesenangan manusia. 207
Fungsi adanya metode kisah pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan
Ponorogo, menurut data penelitian lapangan adalah :
1. Mampu menggambarkan berbagai macam kenyataan dalam pikiran dan pandangan
dia yang sering terjadi di lingkungan masyarakat.
2. Dapat lebih menyerap dan tergugah hatinya untuk memahami melalui cerita.
3. Menanamkan pendidikan akhlakul karimah dari kisah-kisah.
4. Dapat diambil nilai keteladanan.
5. Merupakan bagian dari kesenangan anak, sehingga dapat lebih mudah dipahami.
6. Daya tarik siswa.
7. Untuk penanaman nilai.
205 Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, 263.
206 Ibid., 122-123.
207 Ibid., 306.
8. Untuk mengingatkan sejarah.
9. Dapat diambil nilai pelajaran dan menambah semangat siswa
10. Mempercepat dan meresapkan daya ingat anak, agar mudah dicerna dari kisah
tersebut maupun dari pelajaran agama yang dikisahkan.
Penerapan metode kisah diantarannya sebagai berikut: 1) Penggalan kisah
dapat dijadikan pengantar untuk membawa murid pada suatu pemikiran,
penghayatan, terhadap nilai-nilai tertentu. 2) Penggalan kisah Qurani dapat dijadikan
sebagai materi pokok dalam topik bahasan yang disampaikan. 3) Penggalan kisah
dapat dijadikan sebagai alat untuk memancing perhatian murid terhadap materi yang
disampaikan. 4) Penggalan kisah dapat dijadikan alat untuk memancing emosi.
5) Potongan kisah dijadikan alat untuk memancing rasa ingin tahu murid hingga
muncul motivasi untuk mengetahui kisah secara lengkap. 6) Potongan kisah
dijadikan sebagai titik kulminasi penghayatan murid terhadap penanaman suatu
nilai-nilai tertentu seperti menumbuhkan keberanian, kejujuran, keikhlasan,
kesabaran.208
Penerapan metode kisah bagi siswa di SMKN 1 Jenangan Ponorogo
menurut data penelitian lapangan adalah:
1. Penerapannya dengan adanya kisah dapat dijadikan pengantar untuk membawa
murid pada suatu pemikiran, penghayatan, terhadap nilai-nilai tertentu, sehingga
murid dapat menanamkan nilai-nilai yang diambil dari cerita tersebut.
208 Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Quran (Bandung: Alfabeta, 2009),
104.
2. Penerapannya agar anak-anak mengerti akan sejarah.
3. Penerapannya dari guru harus menguasai sejarah dulu dari kisah yang akan
diceritakan kepada siswa.
4. Tergantung faktor anak itu sendiri, selain itu tergantung keluarga dan pergaulan.
Penerapannya lebih berhasil dalam jangka waktu lama.
5. Penerapannya dengan pemberian tugas praktek pidato kepada siswa.
B. Analisis Data tentang Jenis Metode Kisah dan Penanaman Nilai Keteladanan
dalam Meningkatkan Minat Belajar Siswa kelas X pada Mata Pelajaran PAI di
SMKN 1 Jenangan Ponorogo
Terdapat berbagai macam metode kisah menurut Moeslichatoen
diantarannya sebagai berikut:
1) Membaca langsung dari buku cerita.
2) Bercerita dengan menggunakan ilustrasi gambar dari buku.
3) Menceritakan dongeng.
4) Bercerita dengan menggunakan papan flanel.
5) Bercerita dengan menggunakan media boneka.
6) Bercerita sambil memainkan jari-jari tangan.209
209 Taranindya Zulhi Amalia dan Zaimatus Sa’diyah, “Bercerita sebagai Metode Mengajar
bagi Guru Raudlatul Athfal dalam Mengembangkan Kemampuan Dasar Bahasa Anak Usia Dini di
Desa Ngambalrejo Bae Kudus,” Thufula, vol 03 (Juli-Desember, 2015), 341.
Bentuk-bentuk metode bercerita dibagi menjadi dua macam:
1) Bercerita tanpa alat peraga, bentuk cerita yang mengandalkan kemampuan
pencerita dengan menggunakan ekspresi muka, gerak tubuh, dan vokal
pencerita sehingga yang mendengarkan dapat menghidupkan kembali dalam
fantasi dan imajinasinya.
2) Bercerita dengan alat peraga, bentuk cerita yang menggunakan alat peraga
bantu untuk menghidupkan cerita.210
Macam metode kisah yang digunakan guru di SMKN 1 Jenangan Ponorogo
yakni dengan bercerita secara langsung tanpa adanya alat peraga. Dari teori di atas,
guru SMKN 1 Jenangan Ponorogo belum menggunakan macam metode cerita yang
sepadan melainkan ada sedikit perbedaan, seperti pada bagian satu yang mengatakan
membaca langsung dari buku cerita, pada data lapangan guru SMKN 1 Jenangan
bercerita secara langsung dengan lisan sesekali dibawakan secara humor. Selain itu
pada poin ketiga yaitu menceritakan dongeng, sedangkan guru-guru bukan
menceritakan dongeng tetapi kisah sejarah, kisah nabi-nabi, keimanan, kisah moral
dan sosial, serta kisah pengalaman hidup. Jadi dapat disimpulkan bahwa guru
SMKN 1 Jenangan belum menggunakan metode cerita seperti teori, melainkan
menggunakan bentuk metode cerita tanpa alat peraga.
Macam-macam kisah ditinjau dari segi waktu, ditinjau dari segi materi
diantarannya sebagai berikut:211
210 Nining. 20 Mei 2016. Metode Bercerita, (online), (http://catatannining.wordpress.com,
diakses 8 Juli 2018)
1) Ditinjau dari segi waktu: a) Kisah hal-hal gha>ib pada masa lalu, contohnya kisah-
kisah Nabi Nuh, Nabi Musa, dan kisah Maryam. b) Kisah hal-hal gha>ib pada masa
kini, contohnya tentang Allah dengan segala sifat-sifat-Nya, para malaikat, jin,
setan, kenikmatan surga, dan sebagainya. c) Kisah hal-hal gha>ib pada masa yang
akan datang, contohnya seperti kemenangan bangsa Romawi atas Persia, yang
diterangkan ayat 1-4 surat Ar-Rum, dan sebagainya.
2) Ditinjau dari segi materi: a) Kisah para nabi, mukjizat mereka, fase-fase dakwah
mereka, dan penentang serta pengikut mereka. Contohnya kisah Nabi Adam,
Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad SAW dan lain-
lain. b) Kisah orang-orang yang belum tentu Nabi dan kelompok-kelompok
manusia tertentu. Contohnya kisah Lukmanul Hakim, Qarun, Ashabul Khahfi,
Ashhabus Sabti, dan lain-lain. c) Kisah peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian
zaman Rasulullah. Contonya kisah Perang Badar, Perang Uhud, Perang Hunain,
Perang Tabuk, Perang Ahzab, Hijrah, dan lain-lain.212
Dari hasil penelitian lapangan, jenis kisah yang disampaikan guru PAI
SMKN 1 Jenangan Ponorogo ialah sebagai berikut:
a. Nabi-nabi: Nabi Musa, Nabi Yusuf, Nabi Khidir, Nabi Muhammad, Dakwah
nabi Muhammad di Mekah dan Madinah. Hal ini senada dengan teori macam
kisah ditinjau dari segi waktu poin (a) yaitu kisah hal-hal gha>ib pada masa lalu,
dan ditinjau dari segi materi poin (a) yaitu kisah para nabi, mukjizat mereka,
211 Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2013), 306-311.
212 Ibid., 306-311.
fase-fase dakwah mereka, dan penentang serta pengikut mereka, seperti Nabi
Musa dan Nabi Muhammad. Dan tidak menggunakan macam kisah ditinjau dari
segi waktu poin (c) yaitu kisah hal-hal gha>ib pada masa yang akan datang. Dan
tidak juga menggunakan macam kisah ditinjau dari segi materi poin (b) yaitu
kisah orang-orang yang belum tentu Nabi dan kelompok-kelompok manusia
tertentu.
b. Keimanan kepada Allah. Hal ini senada dengan teori tentang macam kisah
ditinjau dari segi waktu poin (a) yaitu kisah hal-hal gha>ib pada masa kini.
c. Malaikat. Hal ini senada dengan teori tentang macam kisah ditinjau dari segi
waktu poin (a) yaitu kisah hal-hal gha>ib pada masa kini.
d. Perang-perang: Perang Badar, Perang Uhud, Perang Tabuk, Perang Khandaq. Ini
senada dengan teori macam-macam kisah menurut Manna Khalil al-Qathan poin
(c) Kisah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw dan macam kisah
ditinjau dari segi materi poin (c) Kisah peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian
zaman Rasulullah.
e. Kisah moral yang masih dikaitkan dengan materi Agama.
f. Kisah sosial yang masih dikaitkan dengan materi Agama.
g. Kisah pengalaman hidup yang masih dikaitkan dengan materi Agama.
h. Kisah sejarah Ponorogo (Babad Ponorogo).
Sedangkan bentuk metode keteladanan dibagi menjadi dua jenis yaitu:
keteladanan disengaja dan keteladanan tidak sengaja. Keteladanan disengaja,
pendidik sengaja memberikan contoh yang baik kepada para peserta didiknya selain
itu berupa pemberian secara langsung kepada peserta didiknya melalui kisah-kisah
Nabi yang di dalam kisah tersebut terdapat beberapa hal yang patut dicontoh oleh
para peserta didik. Keteladanan tidak disengaja, keteladanan ini terjadi ketika
pendidik secara alami memberikan contoh-contoh yang baik dan tidak ada unsur
sandiwara di dalamnya. Dalam hal ini, pendidik tampil sebagai figur yang dapat
memberikan contoh-contoh yang baik di dalam maupun di luar kelas.213
Dari data penelitian lapangan bentuk keteladanan disengaja daiantaranya
sebagai berikut: Bapak Muzakky memberikah kisah pengalaman hidup dan kisah
moral. Bapak Shokib dengan membawa anak ke masjid untuk sholat dhuha. Bapak
Anwarudin dengan menjaga tingkah lakunya agar ditiru siswa, seperti menjadi imam
sholat, dan kegiatan bakti sosial. Bapak Muhammad Ihsan membiasakan memberikan
cerita dengan menggali sejauh mungkin tentang sejarah. Bapak M. Qomaruddin
dengan menarik kesimpulan dari cerita yang dikisahkan mengenai pesan keteladanan
yang dapat diambil. Sedangkan bentuk keteladanan tidak disengaja, dari data
wawancara siswa dikatakan bahwa guru-guru PAI di SMKN 1 Jenangan sudah
hampir dapat dijadikan guru tauladan dari sikap guru yang ramah, baik, humoris,
sering menasehati, pemberian ilmu mengenai amalan, doa-doa dan sunah rasul, serta
pembiasaan sholat dhuha dan pembacaan asma>ul h}usna.
213
Heri Jauhari Muchtar, Fiqih Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 224.
Jadi disimpulkan, bentuk keteladanan tidak disengaja di SMKN 1 Jenangan
Ponorogo diantarannya sebagai berikut: memberikah kisah pengalaman hidup dan
kisah moral, membawa anak ke masjid untuk sholat dhuha, menjaga tingkah laku
guru agar ditiru siswa seperti: menjadi imam sholat, dan kegiatan bakti sosial.
Membiasakan memberikan cerita dengan menggali sejauh mungkin tentang sejarah.
Menarik kesimpulan dari cerita yang dikisahkan mengenai pesan keteladanan yang
dapat diambil. Sedangkan bentuk keteladanan tidak disengaja, dari data wawancara
siswa dikatakan bahwa guru-guru PAI di SMKN 1 Jenangan sudah hampir dapat
dijadikan guru tauladan dari sikap guru yang ramah, baik, humoris, sering
menasehati, pemberian ilmu mengenai amalan, doa-doa dan sunah rasul, serta
pembiasaan sholat dhuha dan pembacaan asma>ul h}usna.
C. Analisis Data tentang Hasil Penerapan Metode Kisah dan Penanaman Nilai
Keteladanan dalam Meningkatkan Minat Belajar Siswa Kelas X Pada Mata
Pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo
Penanaman nilai dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu, tahap transformasi
nilai, tahap transaksi nilai, dan tahap transinternalisasi nilai:214
1) Tahap transformasi nilai: pada tahap ini guru sekedar mentransformasikan nilai-
nilai yang baik dan yang kurang baik kepada siswa, yang semata-mata
merupakan komunikasi verbal.
214 Muhaimin M.A., et.al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 178.
2) Tahap tranksaksi nilai, dalam tahap ini guru tidak hanya menginformasikan nilai
yang baik dan buruk, tetapi juga terlihat untuk melaksanakan dan memberikan
contoh amalan yang nyata, dan siswa diminta untuk memberikan tanggapan yang
sama, yakni menerima dan mengamalkan nilai tersebut.
3) Tahap transinternalisasi, tahap ini jauh lebih dalam dari sekedar transaksi. Dalam
tahap ini penampilan guru dihadapan siswa bukan lagi sosoknya, tetapi lebih
pada sikap mentalnya (kepribadian).
Dari data penelitian lapangan menunjukan bahwa guru-guru PAI di SMKN
1 Jenangan telah melakukan ketiga tahapan penanaman nilai seperti yang disebutkan
diatas. Dalam tahapan transformasi nilai, guru telah mengajarkan dan menuntun
nilai moral siswa, seperti yang dilakukan Bapak Shokib, dimana moral siswa itu
tidak lepas dari keteladanan, maka perlu menunjukan kepada anak didik aspek
peribadatan, ucapan, dan tingkah laku. Selain itu juga dengan menjadikan baginda
Rasulullah contoh atau suri tauladan dalam pembelajaran, agar anak dapat
mencontoh sikap serta kepemimpinannya.
Pada tahap transformasi nilai, cara Bapak Muzakky dalam mengajarkan
dan menuntun nilai moral siswa dilakukan melalui cerita/kisah, yakni dengan
menceritakan kasus-kasus moral yang sedang terjadi sekarang disertai pemberian
contoh nyata, agar siswa dapat menjadikan pelajaran dan menghindari perilaku
buruk tersebut. Sedangkan Bapak Qomarudin dalam tahap transformasi ini
menunjukan kasus alam, semisal bencana longsor di Banaran, lalu mengaitkan
perilaku warga Banaran sebelum terjadi longsor. Begitu pun dengan Bapak Anwar
dalam mengajarkan dan menuntun nilai moral siswa dengan memberikan contoh
tindakannya, lebih menjaga figur guru, karena setiap tindakannya bisa saja ditirukan
murid. Bapak Ihsan dalam mengajarkan dan menuntun nilai moral siswa dengan
cara guru harus menjadi barometer peserta didiknya untuk bertindak, serta cara
pakaian, dan sikap guru.
Pada tahap transaksi nilai, guru memberikan contoh/amalan nyata kepada
peserta didik, serta adanya tanggapan peserta didik melaksanakannya. Dalam tahap
ini guru-guru PAI SMKN 1 Jenangan sudah memberikan contoh/amalan nyata
kepada peserta didik, begitu pun peserta didik sedikit mampu menerapkannya.
Semisal pembiasaan sholat dhuha dan membaca asma>ul h}usna pada kelas bapak
Shokib dan bapak Anwar, selain itu adanya amalan-amalan, doa-doa, serta sunah
rasul yang diberikan Bapak Muzakky telah dijadikan pengamalan dan pembiasaan
siswa.
Pengamalan dan pembiasaan itu sendiri merupakan bagian dari pendekatan
penanaman nilai serta pendekatan PAI. Hal ini selaras dengan teori yang
mengatakan, dalam pendekatan penanaman nilai yang dapat digunakan guru dalam
proses pembelajaran antara lain yaitu: pengalaman, pembiasaan, emosional,
rasional, fungsional, dan keteladanan.215
Pendekatan Pembelajaran PAI: Keimanan,
pengamalan, pembiasaan, rasional, emosional, fungsional, keteladanan. 216
215
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), 130-134.
216 Erwin Yudi Prahara, Materi Pendidikan Agama Islam (Ponorogo: STAIN Po Press, 2009),
18-19.
Jadi dapat disimpulkan dalam tahap transaksi nilai, adannya contoh amalan
nyata dari guru sampai dengan tanggapan siswa untuk melakukannya merupakan
bagian dari pendekatan penanaman nilai serta pendekatan PAI, hal ini bertujuan
untuk melatih siswa dalam mengamalkan dan membiasakan dari ilmu yang
diperolehnya.
Pada tahap transinternalisasi, Dalam tahap ini penampilan guru dihadapan
siswa bukan lagi sosoknya, tetapi lebih pada sikap mentalnya (kepribadian). Hal ini
tidak jauh dengan keteladanan guru atau guru tauladan bagi siswa, dari hasil
penelitian lapangan menunjukan bahwa guru-guru PAI di SMKN 1 Jenangan sudah
hampir dapat dijadikan guru tauladan, walaupun sebagian masih ada yang kurang
dari sikap maupun ucapan guru. Hal ini sedikit banyak berpengaruh terhadap acuan
siswa dalam meniru segala sikap tingkah laku guru, baik guru memberikan contoh
melalui kisah maupun amalan nyata. Siswa akan secara psikologis lebih dapat
menerima, karena secara hati mereka sudah menghormati dan mencintai gurunya
sebagai guru tauladan, sehingga berpengaruh pada kemampuan dan pemahaman
siswa menangkap materi melalui kisah dari data lapangan enam kelas yang diteliti,
hasilnya ada yang cukup baik dengan prosentase rata-rata 30-70 %, serta sangat baik
dengan prosentase 75-90 %, siswa secara sadar akan berusaha membiasakan sholat
dhuha, membaca asma>ul h}usna, amalan-amalan, doa-doa, serta sunah rasul yang
diperoleh dari guru.
Menurut data lapangan berkaitan dengan minat siswa di SMKN 1 Jenangan
dengan adanya kisah/cerita dapat menambah minat dan semangat siswa. Dari
banyak siswa rata-rata menyukai cerita, karena dengan cerita tidak membosankan
dan materi bisa lebih mudah dipahami.
Faktor yang mempengaruhi minat siswa lebih pada cara guru mengajar, ada
sebagian siswa dari enam kelas yang diteliti mengatakan tidak suka dengan cara
mengajar guru, walaupun sebagian mengatakan suka dengan adanya cerita.
Hal tersebut diperkuat dengan teori, Faktor yang mempengaruhi minat
belajar menurut Slameto ada dua faktor yang mempengaruhi: 1) Faktor Intern,
terdiri dari faktor jasmaniah (seperti faktor kesehatan dan cacat tubuh) dan faktor
psikologi (seperti intelegensi, perhatian, bakat, kematangan dan kesiapan). 2) Faktor
Ekstern, terdiri dari faktor keluarga (seperti cara orang tua mendidik, relasi antar
keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua dan latar
belakang kebudayaan), dan faktor sekolah (seperti metode mengajar, kurikulum,
relasi guru dengan peserta didik, relasi peserta didik dengan peserta didik, disiplin
sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar penilaian diatas ukuran, keadaan
gedung, metode mengajar dan tugas rumah). 217
Dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi minat tinggi siswa-
siswa SMKN 1 Jenangan adalah faktor intern psikologi (perhatian dan kesiapan
siswa dalam menerima pelajaran), faktor sekolah (metode mengajar, relasi guru
217 Donni Juni Priansa, Kinerja dan Profesionalisme Guru Fokus pada Peningkatan Kualitas
Sekolah, Guru, dan Proses Pembelajaran (Bandung: Alfabeta, 2014), 284.
dengan peserta didik), sedangkan yang menghambat minat mereka ialah faktor
intern faktor jasmaniah (faktor kesehatan).
Dari enam kelas yang diteliti, empat diantarannya sangat menyukai adanya
cerita terlebih cara guru mengajar dengan membawakan cerita secara santai dan
humor membuat mereka suka terhadap gurunya dan mata pelajaran PAI.
Hal ini diperkuat dengan teori yang menyebutkan bahwa menggunakan
humor di ruang kelas memberikan banyak manfaat mencakup mengurangi stres,
meningkatkan motivasi, mengurangi jarak secara psikologis antara guru-siswa, dan
meningkatkan kreativitas. 218
Upaya guru untuk mengatasi minat membaca dan belajar rendah yang
dilakukan guru-guru PAI SMKN 1 Jenangan Ponorogo dari data penelitian lapangan
adalah:
1. Dengan menyuruh siswa uji kompetensi mengerjakan LKS, setelah diberikan
cerita, dan catatan penjelas materi.
2. Dengan menceritakan kisah dan cerita, atau mengajak anak-anak belajar di perpus.
3. Dari awal siswa harus sudah siap/minat belajar, buku sudah dikeluarkan sebelum
pembelajaran dimulai.
4. Menunjuk siswa secara acak untuk membaca dari bagian materi yang dibahas.
218
Darmansyah, Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor (Jakarta: Bumi
Aksara, 2011, 80.
5. Memotivasi siswa agar semangat dalam belajarnya, guru harus menjadi barometer.
Dari gayanya, dari tindakanya itu seakan-akan meyakinkan peserta didik.
6. Dengan menggunakan internet, karena siswa memang sulit untuk membaca, maka
diberikan tugas untuk didiskusikan dan dicari di internet.
7. Dengan doktrin pentingnya mencari ilmu termasuk menulis, jikalau tidak bisa
harus ada catatan dimasukan hafalan dengan membaca dari tulisan .
Hal ini diperkuat teori yang mengatakan, cara yang dilakukan adalah
dengan mengajar yang menyenangkan melalui pemberian kebebasan pada siswa,
perlakuan dan memahami pada siswa sehingga terjalin komunikasi yang baik,
pujian-hadiah, serta metode belajar yang menyenangkan.219
Dimana disimpulkan
bahwa guru telah melakukan upaya dari faktor siswa melalui metode pembelajaran
yang mereka suka yaitu dengan cerita yang dibawakan secara santai dan humor.
Kesimpulan secara keseluruhan bahwa penggunaan metode kisah dan
penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa dikatakan
cukup berhasil, karena dengan perumpamaan melalui kisah siswa dapat lebih mudah
memahami isi materi serta dapat lebih mudah menerapkan ilmu yang dipelajarinya.
Hasil terhadap minat siswa melalui kisah dikatakan tinggi, karena siswa menyukai
cerita, apalagi faktor guru dalam mengajar dan membawakan cerita secara santai
dan humor. Dan hasil terhadap minat belajar dikatakan baik, karena rata-rata siswa
mendapatkan hasil nilai diatas 80 dan mencapai nilai 90.
219 Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinnya (Jakarta: Rineka Cipta,
2015), 182.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang Penggunaan Metode Kisah dan
Penanaman Nilai Keteladanan dalam Meningkatkan Minat Belajar Siswa Kelas X
Pada Mata Pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo dapat disimpulkan:
1. Latar belakang penggunaan metode kisah penggunaan metode kisah dan
penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat belajar siswa kelas X
pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo karena dengan kisah
dapat menyentuh hati, sehingga siswa senang akan adanya kisah dan siswa suka
meniru serta meneladani guru. Sehingga dengan rasa suka minat belajar mereka
terbangun.
2. Jenis metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam meningkatkan minat
belajar siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1 Jenangan Ponorogo,
belum menggunakan metode cerita seperti teori menurut Moeslichatoen,
melainkan menggunakan bentuk metode cerita tanpa alat peraga dengan bercerita
secara langsung menggunakan lisan sesekali dibawakan secara humor
menceritakan kisah sejarah, kisah nabi-nabi, keimanan, kisah moral dan sosial,
serta kisah pengalaman hidup. Menggunakan bentuk metode keteladanan
mengunakan keteladanan disengaja dan dan tidak disengaja. Keteladanan
disengaja di SMKN 1 Jenangan Ponorogo diantarannya sebagai berikut:
menceritakan kisah Rasulullah, pengalaman hidup dan kisah moral, membawa
anak ke masjid untuk sholat dhuha, menjaga tingkah laku guru agar ditiru siswa
seperti: menjadi imam sholat, dan kegiatan bakti sosial. Sedangkan bentuk
keteladanan tidak disengaja, dari data wawancara siswa dikatakan bahwa guru-
guru PAI di SMKN 1 Jenangan sudah hampir dapat dijadikan guru tauladan dari
sikap guru yang ramah, baik, humoris, sering menasehati, pemberian ilmu
mengenai amalan, doa-doa dan sunah rasul, serta pembiasaan sholat dhuha dan
pembacaan asma>ul h}usna.
3. Hasil penerapan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam
meningkatkan minat belajar siswa kelas X pada mata pelajaran PAI di SMKN 1
Jenangan Ponorogo, siswa dapat lebih mudah memahami isi materi dan mudah
menerapkan ilmu yang dipelajarinya. Hal tersebut dilaksanakan dalam bentuk
pembiasaan sholat dhuha dan membaca asma>ul h}usna, amalan-amalan, doa-doa,
serta sunah rasul. Hasil terhadap minat belajar siswa meningkat, karena siswa lebih
suka dan memiliki perhatian lebih dalam belajar, sehingga mengalami peningkatan
dalam hasil belajar dengan rata-rata siswa mendapatkan nilai 90, sedangkan
sebelumnya rata-rata siswa hanya mendapatkan nilai 80.
B. Saran
1. Diharapkan guru konsisten dalam mengajar menggunakan metode kisah dan
penanaman nilai keteladanan, sehingga anak tidak hanya mendapat pengetahuan
saja tetapi ada kesadaran untuk melakukan.
2. Jenis metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam mata pelajaran PAI
yang disampaikan guru sebaiknya lebih banyak lagi ilmu yang diberikan yang
disampaikan dengan menggunakan metode yang bervariasi, yang tidak hanya
menggunakan lisan agar siswa lebih mudah menerapkan di kehidupan sehari-
hari.
3. Hasil penggunaan metode kisah dan penanaman nilai keteladanan dalam
meningkatkan minat belajar siswa, guru harus lebih kreatif dalam menggunakan
metode mengajar yang bervariasi dan diharapkan menjadi guru tauldan murid.
4. Sedangkan bagi peneliti selanjutnya diharapkan penelitian ini bisa dijadikan
sumber refrensi yang lebih baik lagi kedepanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdurrahman Saleh. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Quran. Jakarta:
Rineka Cipta, 2007.
Ahmad, Muhammad Abdul Qadir. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Rineka
Cipta, 2008.
An-Nabiry, Fathul Bahri. Meniti Jalan Dakwah bagi Perjuangan Para Da’i. Jakarta:
Amzah, 2008.
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers,
2002.
Budiyanto, Mangun. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ombak, 2013.
Darmansyah. Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor. Jakarta: Bumi Aksara,
2011.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tiga Bahasa. Depok: Al-Huda, 2011.
Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2013.
Elmubarok, Zaim. Membumikan Pendidikan Nilai Mengumpulkan yang Terserak,
Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai. Bandung: Alfabeta,
2009.
Gunawan, Heri. Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2014.
Hakim, Firman. Nilai-Nilai Keteladanan dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Bagi Siswa di SMK NU Ungaran, Kab. Semarang, Jawa Tengah Tahun 2011.
Skripsi, STAIN Salatiga, Salatiga, 2011.
Isnaini, Tri. Implementasi Metode Cerita Islami dalam Menanamkan Moral Keagamaan di
TK Islam Terpadu Permata Hati Ngaliyan Semarang. Skripsi, UIN Walisongo,
Semarang, 2015.
Janawi. Metodologi dan Pendekatan Pembelajaran. Yogyakarta: Ombak, 2013.
Minarti, Sri. Ilmu Pendidikan Islam Fakta Teoretis-Filosofis dan Aplikatif-Normatif.
Jakarta: Amzah, 2013.
Mohamad Nurdin dan Hamzah B. Belajar dengan Pendekatan Pembelajaran, Aktif,
Inofatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, Menarik. Jakarta: Bumi Aksara, 2012.
Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.
Muchtar, Heri Jauhari. Fiqih Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Muhaimin M.A., et.al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.
Mulyana, Rohmat. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta, 2011.
Munir, M. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana, 2003.
Mustofa, Bisri. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Parama Ilmu, 2015.
Nata, Abuddin. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008.
Nining. 20 Mei 2016. Metode Bercerita, (online), (http://catatannining.wordpress.com,
diakses 8 Juli 2018)
Prahara, Erwin Yudi. Materi Pendidikan Agama Islam. Ponorogo: STAIN Po Press,
2009.
Prastowo, Andi. Memahami Metode-Metode Penelitian: Suatu Tinjauan Teoritis dan
Praktis. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Priansa, Donni Juni. Kinerja dan Profesionalisme Guru Fokus pada Peningkatan Kualitas
Sekolah, Guru, dan Proses Pembelajaran. Bandung: Alfabeta, 2014.
Ramayulis. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2010.
Sa’diyah Zaimatus dan Taranindya Zulhi Amalia, “Bercerita sebagai Metode Mengajar
bagi Guru Raudlatul Athfal dalam Mengembangkan Kemampuan Dasar Bahasa
Anak Usia Dini di Desa Ngambalrejo Bae Kudus,” Thufula, vol 03 (Juli-
Desember, 2015), 341.
Salamah, Lailatus. Efektivitas Metode Kisah dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak di
Madrasah Aliyah Almaarif Singosari Malang. Skripsi. UIN Malang. Malang,
2008.
Salimi Noor dan Abu Ahmadi. Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Bumi
Aksara, 2004.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta, 2013.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013.
Sulistyorini dan Muhammad Fathurrohman. Belajar dan Pembelajaran Membantu
Meningkatkan Mutu Pembelajaran sesuai Standar Nasional. Yogyakarta: Teras,
2012.
Slameto. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinnya. Jakarta: Rineka Cipta, 2015.
Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
Syahidin. Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Quran. Bandung: Alfabeta, 2009.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islami Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu
Memanusiakan Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.
Tim Penyusun. Buku Pedoman Penulisan Skripsi Kuantitatif, Kualitatif, Library, dan PTK.
Ponorogo: Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Ponorogo, 2017.
Ulwan, Abdullah Nashih. Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. Semarang: Asy Syifa,
1981.