pengetahuan dan kuasa dalam wacana pasung di … · 2017-12-17 · berharga buat saya untuk...
TRANSCRIPT
i
PENGETAHUAN DAN KUASA DALAM WACANA PASUNG DI SRI
GENTAN WRINGIN PUTIH MAGELANG JAWA TENGAH
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum) diProgram Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Oleh
Nur Izza Millati
096322011
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
Pengetahuan dan Kuasa dalam Wacana Pasung di Sri Gentan, WringinPutih, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah
Tesis
Oleh
Nur Izza Millati096322011
Telah disetujui oleh
Dr. St.SunardiPembimbing I Tanggal
Dr. Katrin BandelPembimbing II Tanggal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
Pengetahuan dan Kuasa Dalam Wacana Pasung di SriGentan, Wringin Putih, Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah
Tesis
Oleh
Nur Izza Millati086322011
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis dan dinyatakan telah memenuhisyarat
Tim Penguji
Ketua : Prof. Dr. A. Supratiknya ……………………….
Sekretaris/Moderator : Dr. G. Budi Subanar, S.J. ………………………
Anggota : 1. Dr. St. Sunardi ………………………
2. Dr.Katrin Bandel ……………………..
3. Prof. Dr.A.Supratiknya ………………………
Yogyakarta, 18 Juli 2014Direktur Program Pascasarjana
Prof. Dr. Agustinus .Supratiknya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang bernama Nur IzzaMillati (NIM: 096322011), menyatakan bahwa tesis dengan judul: Pengetahuan danKuasa Wacana Pasung di Sri Gentan, Wringin Putih, Magelang ini merupakanhasil karya dan penelitian saya sendiri.
Di dalam tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernah diajukan untukmemperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain. Pemakaian,peminjaman/pengutipan dari karya peneliti lain di dalam tesis ini saya pergunakanhanya untuk keperluan ilmiah, sesuai dengan peraturan yang berlaku, sebagaimana diacusecara tertulis dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 18 Juli 2014Yang membuat pernyataan,
Nur Izza Millati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUANPUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Nur Izza MillatiNIM : 096322011
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada PerpustakaanUniversitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
Pengetahuan dan Kuasa Dalam Wacana Pasung di Sri Gentan, Wringin Putih, Magelang,Jawa Tengah
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untukmenyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam bentuk pangkalan data,mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untukkepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepadasaya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : YogyakartaPada tanggal : 20 Maret 2015Yang membuat pernyataan:
Nur Izza Millati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
ABSTRAK
Hasrat orang untuk menghilangkan pasung sangat besar. Dari rakyat jelata hinggapejabat tertinggi di negeri ini satu suara yaitu tidak ingin ada pemasungan. hasrat itubisa dilihat dari berbagai produk hukum yang dibuat pemerintah hingga berbagaipernyataan individu melalui media-media konvensional hingga blog-blog pribadi.Namun, rupanya hasrat itu tampak kontradiktif jika kita lihat dari cara orangmembicarakan pemasungan. Banyak orang membicarakan pasung dengan melulumelabeli pinasung dengan stigma gila dan berbahaya.
Penelitian ini berusaha menganalisa cara orang membicarakan pemasungan itudengan membatasi pada cara warga Sri Gentan, Wringin, Putih Magelang JawaTengah membicarakan pemasungan pada Agung Tri Subagyo. Teori yang dipilihuntuk menganalisa adalah teori wacana Foucault dengan fokus mengetahui strukturdiskursif dan kuasa yang menopang struktur itu serta implikasi dari relasi kuasa itupada keluarga Agung.
Ada dua pengetahuan yang membatasi cara warga membicarakan pemasungan yaitupengetahuan magis dan pengetahuan medis. Melalui pengetahuan magis, wargamenyebut Agung edan dan gendheng yang kemudian menganggap kegendengan,keedanan itu sebagai sesuatu yang lekat dengan hantu, sesuatu yang menyeramkan,yang secara psikis membuat diri Agung tampak menyeramkan dan menakutkan.Implikasi sosialnya membuat masyarakat menjauhi dan menyingkiri Agung.Sedangkan melalui pengetahuan medis masyarakat menyebut Agung stres, yangberakibat pada perasaan tidak perlu menganalisa, apalagi berfikir tentang Agung.Status ilmiah pada pengetahuan medis membuat masyarakat merasa sah melabeliAgung sebagai orang yang sakit. Kedua pengetahuan ini saling membenarkan ideuntuk mengasingkan Agung dari masyarakat. Operasi kuasa yang paling mencolokyang beroperasi adalah mekanisme penaklukan ingatan tentang Agung. Kuasaberoperasi melalui pemaknaan, pembatasan dan penyeleksian ingatan tentangtindakan-tindakan Agung sebelum dipasung, yang kemudian mengarahkan oranguntuk selalu melihat Agung sebagai sebuah ancaman . Implikasi paling terlihat darirelasi kuasa pada keluarga Agung adalah histeria seorang ibu.
Kata-kata kunci : wacana, pengetahuan, kuasa, pasung, magis, medis, ingatan, histeria
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
ABSTRACT
Lately it seems there is a strong eagerness to eradicate the practice of pasung , i.e. a localpractice of physically restraining ‘mentally ill people in Indonesia. From commoners togovernment elite are calling for the abolishment of pasung. This can be seen in the form ofvarious legal regulations issued by government as well as in personal statements on the massmedia and personal blogs. However, it can be counterproductive because there is still a negativestigma toward the pinasung, or pasung patient. The pasung patient is believed to be ‘insane’and ‘highly dangerous’.
This research is an attempt to analyse people’s perception and understanding about thepractice of pasung in the area of Sri Gentan, Wringin Putih, Central Java, which involved onepasung patient named Agung Tri Subagyo. This research makes use Foucault’s Discourse Theorywith its focus to understand structure and power which underlies the practice of pasung, andhow it affect the way people see the pasung patient and his family.
There are two types of knowledge used by people to talk about the practice of pasung : magicalknowledge and medical knowledge. Through the perspective of magical knowledge, theneighbourhood called Agung as ‘edan’ and ‘gendeng’ which equate him with ‘a ghost’, aterrifying creature rather than human being. Consequently, Agung is alienated by his society. Heis no longer recognize as part of the community, properly speaking, he is expelled. Whilethrough the medical knowledge perspective, people short-sightedly called Agung as ‘stres’.Being stress his permanent identity. Medical labeling has been considered as a legitimation toregard Agung as a sick man. From both knowledge, the practice of pasung to Agung is justified.Furthermore, there was a control of memory about Agung. Power operates by giving meanings,imposing restriction, and selecting memories about Agung before he was physically restrainedthrough pasung. Then, this memory control makes people see Agung as a threat who should belocked, chained :silenced. The real implication of this power relation in Agung’s family is seenclearly through his mother hysteria.
Keywords : discourse, knowledge, power, pasung, magic, medical, memory, hysteria
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
KATA PENGANTAR
Pasung merupakan praktik hukuman yang dilaksanakan dengan mewacanakanpinasung sebagai orang gila dan berbahaya. Orang seringkali bersikap menduamenyikapi pemasungan. Banyak orang ingin menghapus pemasungan. Sebab,dianggap praktik ini tidak manusiawi. Namun, di sisi lain, banyak pula yang merasatidak dapat hidup berdampingan dengan orang yang dianggap gila dan berbahaya.Perasaan dilematis semacam itulah yang sering mengemuka saat orang berbicaratentang pemasungan.
Penelitian ini berusaha mengupas bagaimana wacana pasung beroperasi di dusun SriGentan. Di dusun yang terletak di kabupaten Magelang ini, ada satu orang yangdipasung bernama Agung Tri Subagyo. Untuk menstrukturkan wacana itu, penelitianmenggunakan teori Foucault yang berasumsi bahwa setiap tindakan itu selalu didasaripengetahuan serta kuasa tertentu yang menjadi latar belakangnya.
Dasar itulah yang kemudian menjadikan penelitian ini bertema pengetahuan dankuasa wacana pasung di Sri Gentan, Wringin Putih, Magelang, Jawa Tengah.Penelitian ini merupakan sebuah proses belajar. Ini merupakan penelitian lapanganindividual yang kali pertama saya lakukan. Sebagai proses belajar, tentu hasilnyamasih jauh dari sempurna.
Alhamdulillah, saya dapat menuntaskan penelitian ini. Banyak pihak yang telahmembantu saya menyelesaikan proses penelitian ini. Pertama dan terutama, sayahaturkan terima kasih pada bapak Dr. ST.Sunardi yang telah membimbing sayadengan sangat sabar. Banyak hal yang saya dapatkan dari arahan-arahan serta diskusi-diskusi yang mencerahkan yang beliau berikan selama proses penyelesaian tesis ini.Sekali lagi, matur nuwun pak Nardi…
Saya juga mengucapkan terima kasih pada Dr. Katrin Bandel, yang telah memberikanbanyak saran serta kritikan-kritikan tajam pada tesis ini. Terima kasih juga buatRomo Banar yang telah memberikan banyak data dan masukan-masukan berarti danmembuat saya semangat menyelesaikan tesis. Untuk Prof. Pratiknya, saya haturkanterima kasih banyak atas kesediaan membaca serta mencermati sekaligus mengkritisitesis ini. Saya juga mengucapkan terima kasih banyak pada seluruh pengajar IlmuReligi dan Budaya, yang telah memberikan banyak pengetahuan baru dan sangatberharga buat saya untuk merefleksikan ulang tentang banyak hal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
Terima kasih, Nuwun sanget pada ibu Rufiah beserta keluarga, yang telahmeluangkan waktu dan tenaga untuk wawancara, dan ngobrol-ngobrol. Banyakpelajaran serta kesabaran yang luar biasa yang saya dapatkan selama berinteraksidengan beliau dan keluarga. Harapan agar masyarakat dapat menerima danmemahami Agung mudah-mudahan terkabulkan dan mudah-mudahan segera. Sayajuga mengucapkan terima kasih pada warga dusun Sri Gentan yang telah meluangkanwaktu, di tengah kesibukan-kesibukan mereka untuk saya wawancarai. Terima kasihatas keramahan yang luar biasa saya dapatkan. Terutama, saya mengucapkan terimakasih pada keluarga Lia Amalia, Ibu dan bapak serta adik-adiknya, yang bersediamenerima saya dengan hangat dan menyenangkan sampai membuat saya begitubetah. Saya juga mengucapkan terima kasih pada keluarga Fiqoh, bapak, ibu dansuaminya, serta dua anaknya kecil mungil, yang telah menerima saya untukmenginap di rumahnya yang sangat hangat, sangat menyenangkan hingga membuatsaya sering enggan balik ke Yogya.
Terima kasih pada mbak Desy, yang sangat telaten mengingatkan saya untuk segeramerevisi tesis ini. Saya juga patut bersyukur selama kuliah di IRB mendapatkanteman-teman yang sangat menyenangkan dan membahagiakan, bersama kalian serasabersama keluarga sendiri. Terima kasih buat pak Titus, Herlin, Leo, Lusi, mbakLulud, pak Abed, pak Probo, Agus, Vita, Virus, Iwan, dan Anes, sungguh kalianmemang diciptakan untuk selalu memberi keceriaan sampai hilang segala gundahgulana.
Terima kasih tak terhingga buat bapak dan Ibuk yang selalu mensupport keputusan-keputusan yang saya ambil sendiri awalnya, baik materi maupun non materi. Maturnuwun ibuk,… bapak, ngapuntene nek sering damel deg-degan. Saya juga berterimakasih pada adik dan kakak-kakak, mbak-mbak saya, yang luar biasa mendukung sayauntuk menyelesaikan tesis ini.
Terakhir tak lupa pada keluarga di Jogja. Keluarga besar Wisma Citra, yang begitubanyak telah membuat saya dapat begitu nyaman betah berlama-lama di kos, tanpaperlu merasa harus keluar. Dedek yang selalu memijat kalau aku sakit atau kecapean,Tari yang sering mengajak saya jalan-jalan saat sedang suntuk dan selalumenawarkan masakan-masakannya yang lezat, Umi, yang juga menjadi chef handal,hingga membuat saya selalu tak dapat menahan diri untuk tidak nyicipi sepiringmasakannya, (he…he), Yanul, si hitam manis yang selalu berbagi cerita, ida yangselalu ceria, juga begitu mantab pijitannya, Anif dan Sisil yang bersedia kamarnyamenjadi tempat umum, untuk makan atau nonton televise, Sinta dan Isti yang begitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
senang berbagi pengetahuan kimia, begitu bahagia bisa bersama orang-orang sebaikkalian. Tak lupa buat Takmir dan Affan yang menjadi saudara sekaligus keluarga diJogja. Mbak Ifah dan Abang yang juga menjadi kakak-kakakku tercinta selama sayadi Jogja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI............................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................... vi
ABSTRACT.............................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR............................................................................................... viii
DAFTAR ISI............................................................................................................. XI
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian................................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ................................................................................................ 8
E. Tinjauan Pustaka.................................................................................................... 10
F. Kerangka Teori ..................................................................................................... 17
G. Metode Penelitian .................................................................................................. 25
H. Skema Penulisan .................................................................................................. 27
BAB II PEMBENTUKAN PENDERITA PENYAKIT
JIWA DI INDONESIA............................................................................................. 30
A. Lahirnya Penderita Penyakit Jiwa ........................................................................ 30
1. Penderita Penyakit Jiwa di Era Kolonial .......................................................... 32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
2. Penderita Penyakit Jiwa di Indonesia ............................................................... 38
B. Stigmatisasi Pinasung............................................................................................ 44
1. Pelabelan Penderita Penyakit Jiwa pada Pinasung ........................................... 44
2. Pelabelan Gila dan Berbahaya pada Pinasung .................................................. 50
BAB III WACANA PEMASUNGAN MASYARAKAT ATAS DIRI AGUNG TRI
SUBAGYO DAN DAMPKNYA BAGI KELUARGA ......................................... 57
A. Pengetahuan Kegilaan Pada Agung Tri Subagyo ................................................. 57
1. Praktik Wacana Kegilaan pada Agung Tri Subagyo .......................................... 59
2. Praktik Wacana Pasung pada Agung Tri Subagyo .............................................. 70
B. Jalinan Kuasa Masyarakat atas Tindakan Memasung Agung Tri Subagyo .......... 78
1. Penghakiman Massal terhadap Agung Tri Subagyo .......................................... 78
2. Pertanggunggjawaban Seorang Ibu atas Keselamatan Jiwa Seorang Anak ....... 82
C. Dampak yang diterima Keluarga atas Tindakan memasung Agung Tri Subagyo… 84
1. Jeritan Bahagia Seorang Ibu atas Tunainya Tanggung Jawab ………………….. 84
2. Jeritan Tangis Seorang Ibu atas Musibah Yang Harus Ia Pikul ......................... 88
BAB IV PRAKTIK WACANA MAGIS DAN MEDIS ......................................... 89
A. Mengetahui Agung melalui Yang Magis dan Medis …………………………… 89
1. Pengetahuan Magis: Hantuisasi Tubuh Agung .................................................. 92
2. Pengetahuan Medis: Medikalisasi Tubuh Agung............................................... 100
3. Hubungan Magis dan Medis ............................................................................. 109
B. Penaklukan Ingatan dan Wacana Ketakutan.......................................................... 113
C. Sisi Kelam Pasung; Histeria Seorang Ibu ............................................................ 127
Bab V PENUTUP ……………………………………………………………….. 140
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 147
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saat makan malam di rumah seorang teman di Magelang, terdengar
nyanyian seorang lelaki yang memecah kesunyian. Teman saya mengatakan
bahwa itu suara Agung, orang yang dipasung. Sontak saya kaget. Bagaimana
mungkin di jaman sekarang masih ada pemasungan? Saya pikir hukuman seperti
itu hanya ada pada abad pertengahan, saat hukuman langsung pada tubuh masih
menjadi hal lumrah. Ada rasa kasihan yang langsung menyembul yang membuat
saya merasa bahwa tidak patut hukuman semacam itu dikenakan.
Saat saya tanya alasan warga memasung Agung, teman saya, tanpa basa-
basi, menjawab “Dia itu kan gila dan membahayakan mbak,”. Pernyataan
semacam itu sungguh menggelitik rasa ingin tahu. Saya menangkap ada
perbedaan mencolok antara apa yang saya rasakan dengan perasaan yang saya
tafsirkan dari cara ia menuturkan ‘gila dan berbahaya’. Ada semacam perasaan
marah yang membuatnya membenarkan pemasungan itu. Apa gerangan yang
membuat teman saya merasa bahwa pemasungan itu sebagai sebuah kewajaran?
Relasi macam apa yang sudah terbangun antara Agung dengan tetangga-
tetangganya hingga membuat teman saya menganggap pasung itu wajar? Dua
pertanyaan itulah yang mendorong saya untuk meneliti wacana pasung di dusun
Sri Gentan, Wringin Putih Magelang ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Melongok dari segi kuantitas dan penyebaran wilayah, ternyata
pemasungan ini dikenakan pada banyak orang dan terjadi di banyak daerah.
Setidaknya di Magelang, selain di dusun Sri Gentan, terjadi juga di desa Wringin
Anom dan Bedilan. Praktik ini juga terjadi di banyak Provinsi di Indonesia; Jawa
timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera, Bali, Aceh, Kalimantan. Jumlah orang
yang dipasung (selanjutnya saya singkat dengan pinasung) juga mencengangkan.
Jakarta Post menyebutkan terdapat sekira 20.000-30.000 pinasung di Indonesia1.
Biasanya, pemasungan dilakukan dengan cara mengikat anggota tubuh;
kaki, tangan atau leher. Alat yang digunakan bermacam-macam. Ada yang
memakai kain2, rantai hingga kayu berlobang. Pemilihan alat tergantung
keputusan pemasung. Biasanya, menimbang efektifitasnya. Misalnya, kalau diikat
dengan kain sudah cukup membuat pinasung diam, tidak memberontak, maka
cukup menggunakan kain dan digembok. Tetapi kalau pinasung agresif dan
melawan, maka akan diikat dengan rantai atau dengan kayu yang berlobang.
Intinya, hingga pinasung lunak dan tidak bisa melepas ikatan.
Tempat pemasungan dilakukan di dalam rumah, di salah satu kamar yang
biasanya tertutup, di kebun, dibuatkan tempat sendiri seperti gubuk atau hanya
dibuatkan atap untuk berteduh. Tempat-tempat itu biasanya tertutup dari
pandangan orang luar.
Pasung sering digambarkan sebagai sebuah praktik memilukan,
menyedihkan. Karena itu mengundang banyak simpati. Di berbagai media kita
1A.Life in Chains, the Jakarta Post,Tuesday,04 May 20102 Metode ini lebih sedikit, jarang dipakai, saya hanya menjumpai dilakukan pada Etik,
warga gunung Kidul, Karangmojo, lihat Kedaulatan Rakyat, Selasa Kliwon 28 Desember 2010,h.3, kebanyakan menggunakan rantai lalu digembok. Secara visual kita dapat melihat teknik inidi google image.com
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
dapat menyaksikan, mendengar dan membaca berbagai deskripsi semacam itu. Isi
dari pesan-pesan itu berupa kondisi-kondisi memilukan pinasung, yang bertujuan
mengundang empati orang lain, dan tujuannya agar tidak ada lagi pemasungan.
Sayangnya, pada saat bersamaan, banyak juga yang melabeli pinasung dengan
aneka stigma. Seakan-akan dua hal itu dianggap sebagai sesuatu yang terpisah,
seolah-olah tidak ada kaitan antara labelisasi dengan pemasungan. Singkatnya,
kasihan dengan pinasung, tetapi tidak menolak dengan stigma yang ramai-ramai
ditempelkan pada pinasung.
Perasaan kasihan itu mungkin yang kemudian membuat banyak orang
menolak keras praktik ini. Salah satu alasannya adalah karena menyalahi hak asasi
manusia. Dasar yang diacu ialah resolusi PBB yang berbunyi:
"All persons with a mental illness... shall be treated with humanity andrespect for the inherent dignity of the human person." (semua penderitapenyakit jiwa harus diperlakukan secara manusiawi dan menghormatiharkat martabat orang tersebut). UN Resolution 46/119[1] 3
Minas dan Hervita merupakan dua peneliti yang menggunakan dasar itu
untuk membicarakan pasung. Mereka menyakini kalau pemasungan merupakan
bentuk hukuman yang tidak manusiawi, yang seharusnya tidak boleh dikenakan
pada manusia. Dipengaruhi pengetahuan psikiatri, mereka memvonis pinasung
menderita penyakit jiwa. Solusi yang mereka tawarkan ialah agar pemerintah
segera menyediakan pelayanan kesehatan mental di daerah-daerah. Sebab mereka
menganggap penyebab pemasungan itu ialah kurangnya fasilitas kesehatan jiwa.4
3 Dikutip dari Harry Minas dan Hervita Diatri, Pasung: Physical restraint andconfinement of the mentally ill in the community. 2008 ( Versi PDF diunduh dari www.ijmhs.com/content/2/1/8) h. 1.
4 Ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab pada pemasungan juga
membicarakan pasung dengan fokus sama yaitu mengobjekkan pinasung.
Pemerintah menyebut pinasung sebagai ODMK (orang dengan masalah
kejiwaan). Langkah yang dilakukan untuk memberantas praktik ini ialah dengan
memproduksi berbagai keppres, kepmen dan undang-undang.5 Wujud nyata dari
keinginan itu, salah satunya, ialah dengan membuat sebuah program yang dinamai
Indonesia bebas pasung 2014.
Nalini Muhdi Agung dari Departemen Kedokteran Jiwa Universitas
Airlangga, Surabaya, mengatakan pemasungan tidak saja melanggar hak asasi
manusia, tetapi juga melanggar metode penyembuhan yang tepat bagi penderita
gangguan jiwa. Ia berkata: “Seharusnya mereka diobati, bukan diisolasi.
Pemasungan dapat menjadikan penyakitnya kronis sehingga peluang untuk
sembuh menjadi lebih kecil,” katanya. Selain itu, pemasungan mengakibatkan
penderita mengalami sakit fisik, terutama di bagian tubuh yang diikat. Lambat
laun, organ itu bisa mengecil karena tidak pernah difungsikan.6
Dengan demikian, cara orang membicarakan pasung ialah meneguhkan
bahwa pemasungan itu tidak manusiawi, tidak sesuai dengan undang-undang
pemerintah, tetapi pada saat bersamaan, pembicaraan pasung juga melulu melabeli
pinasung dengan gila dan berbahaya atau penderita penyakit jiwa. Hampir semua
media yang saya baca dengan seenaknya melabeli pinasung sebagai penderita
5 Larangan terhadap pasung, secara resmi telah dikeluarkan pemerintah berupa surat menteri dalamnegeri no. PEM.29/15 tanggal 11 November 1977. Isinya berupa meminta seluruh gubernur untukaktif mengambil langkah-langkah mengatasi kasus pemasungan di daerahnya. Hal ini jugadidukung berbagai undang-undang kesehatan. Lebih lanjut tentang hal ini akan dibahas di bab II6 http://nasional.kompas.com/read/2013/08/22/1142335/Mereka.adalah.Korban.Kemiskinan padatanggal 23 Agustus 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
penyakit jiwa, terkena gangguan jiwa.7 Tetapi sekaligus mengatakan secara
implisit mengatakan ingin menghilangkan pemasungan. Singkatnya, ada sikap
mendua ketika orang membicarakan pasung. Di satu sisi banyak orang ingin
memberantasnya, tetapi di sisi lain juga beramai-ramai menuduh pinasung
sebagai orang gila yang berbahaya dan juga penderita penyakit jiwa. Kalau
menganggap pasung itu tidak manusiawi, konsekuensinya berarti ingin
melepaskan pasungan, tetapi pada saat bersamaan dengan mengatakan bahwa
pinasung itu mengidap penyakit, buat saya itu malah berlawanan dengan niat
untuk menghilangkan pemasungan.
Pernyataan-pernyataan itu mengabaikan kompleksitas masalah yang
timbul antara pinasung dengan tetangga-tetangganya. Hubungan antara pinasung
dan tetangga-tetanganya ini penting diungkap untuk memahami condition of
possibilities (situasi-situasi yang memungkinkan) yang mendorong orang untuk
memasung Agung dan mendiamkannya.
Dengan demikian, banyak orang membicarakan pemasungan dengan
berbagai macam pelabelan pada pinasung, sekaligus merasa bahwa labelisasi itu
tidak ada dampak untuk pemasungan. Hal itulah yang menurut saya membuat
orang terlena untuk selalu fokus memikirkan bagaimana caranya menyembuhkan
pinasung. Orang kemudian menjadi lupa kalau pemasungan itu dipengaruhi
berbagai macam kondisi yang memungkinkan terjadinya praktik itu.
7 Kadang wartawan menyebut Pinasung gila dan kadang juga penderita penyakit jiwa, dan jugagangguan jiwa, label-label itu dengan mudah disebarkan media, lihat misalnya, untuk menyebutdengan kikir, kompas, yang memberitakan pemasungan dengan judul 200 orang gila bebas daripasungan, kemudian didalam berita ditulis Pinasung sebagai penderita gangguan penyakit jiwa.Tempo memberitakan tentang Pinasung diantaranya dengan menjuluki Pinasung sebagai takwaras, bisa langsung terbaca dari judul pemuda tak waras dikerangkeng selama 12 tahun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Cara orang melihat pemasungan melulu sebagai praktik menindNas,
menyakiti pinasung. Bahwa pemasungan selalu dilihat sebagai sesuatu yang
berdampak buruk pada pinasung. Tentu saja pembicaraan semacam ini tidak
salah. Kita dapat melihat berbagai macam produk visual di google yang
menggambarkan betapa pedihnya apa yang dialami pinasung. Namun, kalau kita
selalu berkutat pada masalah itu, saya takut, jangan-jangan malah menjebak kita
pada arah wacana yang kontraproduktif dengan hasrat untuk menghilangkan
pemasungan.
Salah satu indikasi dari pra anggapan tersebut ialah bahwa cara
membicarakan pinasung selalu mengarah pada bagaimana caranya agar cepat
sembuh. Metode yang ditawarkan dan selalu dianggap sebagai metode yang tepat
ialah dengan menjalankan perawatan medis. Seakan-akan tidak ada hubungan
antara pemasungan dengan tumbuh suburnya institusi perawatan penderita
penyakit jiwa. Orang melihat dua praktik ini sebagai sesuatu yang terpisah, yang
tidak memiliki kaitan sama sekali, dengan menyatakan bahwa RSJ lebih
manusiawi ketimbang pasung. Dan model-model pembicaraan semacam itu
banyak orang kira bisa menyelesaikan pasung. Atau jangan-jangan sang
pembicara juga mengetahui bahwa cara mereka membicarakan pasung semacam
itu juga malah melanggengkan pemasungan?
Karena itu, kita bisa melihat pasung dari sisi lain, tidak melulu melihatnya
sebagai hal yang menindas orang-orang yang dipasung, tetapi bisa melihat fungsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
sosial dari praktik ini.8 Sebab tidak mungkin pasung dilakukan kalau tidak
didasari pemaknaan tertentu dan tidak memiliki tujuan tertentu pula.
Dengan demikian, saya tidak akan meneliti dari segi moralitas, dengan
mencari tahu atau membandingkan rumah sakit jiwa (selanjutnya saya singkat
dengan RSJ) dengan pasung hingga dapat membuat kesimpulan mana yang lebih
baik. Saya malah meragukan kebenaran dari keyakinan banyak orang itu. Bukan
berarti saya mengatakan kalau pasung itu lebih baik dari RSJ, tetapi saya
berasumsi kalau dua praktik ini saling berkaitan. Nah, hubungan-hubungan antara
pernyataan dengan praktik inilah yang menjadi minat saya dalam penelitian kali
ini. Karenanya, saya tidak bermaksud menawarkan solusi pemasungan. Malah,
penelitian ini akan mempertanyakan ide apa saja yang membentuk pola
masyarakat sehingga ketika membicarakan pasung selalu mengarah pada
pembicaraan-pembicaraan semacam itu.
Selanjutnya, saya berasumsi kalau ada struktur tertentu yang mengarahkan
orang untuk selalu membicarakan pasung dengan cara demikian. Bahwa pola
pembicaraan semacam itu bukan terjadi secara alamiah begitu saja. Pola hubungan
ketika orang membicarakan pasung dengan fokus pada transformasi diri pinasung,
tentu perlu diteliti ulang, sebab arah semacam ini menjadikan pinasung menjadi
objek pembicaraan.
8 Dalam discipline and punish, Foucault mengatakan do not concentrate the study of the punitivemechanisms on their repressive effect alone, on their punishment aspect alone, but situate them inwhole seriess of their possible positive effects, even if these seem marginal at first sight.As sconsequence, regard punishment as a complex social function. (jangan melulu berkonsentrasimembahas hukuman melulu dengan efek represif semata, meskipun itu awalnya tampakmemarjinalkan. Konsewensinya, pandanglah hukuman sebagai sebuah fungsi sosial yang sangatkompleks). Lihat, Michel Foucault Disipline and Punish, The birth of The Prison, USA: AlanSheridan, 1977, hlm.23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
B. Rumusan Masalah:
Berdasarkan latar belakang yang telah saya uraikan, penelitian ini akan
fokus mencari tahu tentang:
1. Pengetahuan apa yang mendorong warga dusun Sri Gentan
memasung Agung?
2. Relasi kuasa macam apa yang membentuk serta melanggengkan
pemasungan pada Agung?
3. Dampak semacam apa yang dirasakan keluarga Agung karena
pemasungan ini?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui bagaimana kondisi-kondisi yang memungkinkan
pemasungan dengan mengungkapkan struktur diskursif dari wacana
pasung.
2. Memahami relasi kuasa yang membentuk serta melanggengkan
pemasungan.
3. Memahami efek pemasungan pada keluarga Agung Tri Subagyo.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini membahas mengenai wacana pasung di dusun Sri Gentan,
Wringin Putih Magelang. Pemahaman masyarakat tentang diri Agung serta
bagaimana hubungan-hubungan yang selama ini terjadi yang dibentuk kuasa
tertentu akan menstrukturkan pola pemikiran masyarakat dalam melihat pasung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Jika selama ini penelitian-penelitian lebih fokus pada diri pinasung, kali
ini saya membaliknya. Saya meneliti orang-orang yang hidup dengan orang yang
dipasung. Bukan berarti saya pikir kesadaran pinasung tak perlu diteliti, tetapi
karena saya pikir akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk meneliti hal
itu, dan saya pikir pembicaraan tentang pasung selalu berkutat pada objektivikasi
pinasung melalui pengetahuan medis. Karenanya, mungkin akan lebih bermanfaat
mengetahui bagaimana pandangan-pandangan tetangga pinasung yang
membentuk dan kemudian melanggengkan pemasungan pada Agung. Dengan
begitu, saya berharap bisa mengungkap struktur pengetahuan yang membentuk
dan melanggengkan ide untuk mengeksklusi orang lain, yang tentu saya berharap
munculnya bentuk-bentuk relasi baru dalam berhubungan dengan sesama
manusia, khususnya pada mereka yang dilabeli sebagai ‘orang yang dianggap
gila’.
Bagi saya pribadi, penelitian ini berguna mengungkap ketakutan saya
sendiri pada pinasung. Praksisnya, penelitian ini dapat memberi pengalaman
personal tentang berkomunikasi langsung dengan pinasung, dengan harapan
mewujud relasi-relasi baru antara orang yang dianggap gila dengan yang
menamakan dirinya waras.
Bagi ilmu pengetahuan sosial, penelitian ini saya harap berguna
memahami sejarah sosial terbentuknya wacana pasung terutama dalam
menstrukturkan subjektivitas masyarakat tentang pinasung. Bagi masyarakat luas,
saya berharap penelitian ini setidaknya akan membuka kesadaran mengenai
bagaimana batasan-batasan yang membentuk kesadaran kita dalam membicarakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
pinasung. Dan tentu saya berharap dapat digunakan masyarakat Sri Gentan
khususnya, untuk menimbang, merefleksikan ulang tentang pandangan-pandangan
mereka, yang bisa jadi juga pandangan kita, tentang pinasung. Harapannya, tentu
dapat kembali membuka ruang komunikasi antara warga dengan Agung.
E. Tinjauan Pustaka
Setidaknya terdapat dua penelitian mengenai pasung yang telah dilakukan
di Indonesia. Pertama adalah penelitian Hervita Diatri dan Minas yang membahas
pasung dari perspektif psikiatri. Kedua, penelitian Tri Hayuning Tyas dengan
memakai perspektif budaya dan pskiatri.
Minas dan Hervita Diatri menulis sebuah artikel yang berjudul Pasung:
Physical restraint and confinement (pasung) by communities. Artikel ini
diterbitkan dalam sebuah jurnal online bio medio central, sebuah jurnal yang lebih
banyak memuat perspektif psikiatri dalam memandang kegilaan.
Minas dan Hervita Diatri yang menjadi tim peneliti di Pasung Group
Research di Melbourne University Australia, mengambil sampel penelitian di
pulau Samosir, Sumatera. Ada dua fokus penelitian mereka, yaitu mengetahui
kondisi klinis para pinasung serta mengetahui alasan keluarga dan komunitas
memasung. Penelitian ini mereka lakukan sekaligus dengan menerapkan
pengetahuan psikiatri mereka selama enam bulan di tempat tersebut. Asumsinya
adalah bahwa pemasungan merupakan praktik yang tidak manusiawi, tindakan
yang tidak boleh dilakukan pada manusia. Karenanya, pemerintah, LSM, RSJ dan
pihak-pihak terkait harus melakukan upaya-upaya untuk mengatasi dan mencegah
terjadi pemasungan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Ada 15 pinasung yang mereka teliti; delapan lelaki dan tujuh perempuan.
Setelah mengunjungi dan meneliti kondisi para pinasung di pulau tersebut,
keduanya menyimpulkan bahwa para pinasung itu kebanyakan menderita
Shizofrenia. Dengan rincian, 13 pinasung menderita shizofrenia, dua orang
menderita personality change and temporal hallucination dan dementia of
unknown aetiology with behavioural disturbance. Rata-rata mereka dipasung
selama 2-25 tahun. Hasilnya, setelah enam bulan melakukan pengobatan pada
para pinasung, akhirnya 13 orang tidak dipasung lagi.9
Kebanyakan pemasungan dilakukan setelah keluarga melakukan
pengobatan medis. Fakta ini sempat membuat kedua peneliti kaget, dengan
menggunakan kata surprisingly. Mungkin mereka mengira kalau pinasung itu
biasanya orang yang tidak mendapatkan perawatan medis sebelumnya, atau
karena mereka berdua memercayai kalau seharusnya orang yang dirawat secara
medis itu selalu dapat sembuh melalui perawatan medis. Sayangnya, mereka tidak
mengelaborasi kekagetan itu lebih dalam.
Keluarga adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam pasung.
Alasan keluarga memasung adalah karena takut pinasung akan kabur dari rumah,
takut melakukan kekerasan, takut kalau pinasung bunuh diri serta keluarga tidak
mampu merawat. Dari 15 pinasung, tujuh orang dipasung dengan alasan yang
sama yaitu ketakutan keluarga, kalau pinasung melakukan kekerasan. Kekerasan
itu berupa trauma dengan pengalaman yang pernah warga alami ketika pinasung
masih bebas bergaul dengan masyarakat. Misalnya, ada seorang lelaki umur 26
9 Pasung: Physical restraint and confinement (pasung) by communities dalam www.pasungresearch group.com
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
tahun yang menyerang ayahnya dengan pisau, ada juga lelaki umur 36 tahun yang
berusaha menyerang pendeta, pemuda yang berumur 27 tahun membunuh 3 orang
dan berusaha membakar rumah dan sebuah gereja di desanya. Sayang, tidak ada
penjelasan tentang bagaimana peristiwa, bagaimana latar belakang para pinasung
dan sebagainya. Hal itu tidak terjawab, sebab kedua peneliti memang fokus untuk
mengklasifikasikan jenis penyakit jiwa yang diyakini keduanya diidap para
pinasung ini.
Dengan demikian, Hervita dan Minas melihat kondisi para pinasung
melalui kacamata psikiatri tanpa meneliti bagaimana pengetahuan sosial
masyarakat yang hidup dengan pinasung. Penelitian tentang pengetahuan
masyarakat juga hanya mengetahui alasan mereka memasung tanpa ada
penjelasan tentang bagaimana pembentukan kesadaran yang membentuk pola
berpikir masyarakat untuk memasung anggota warganya.
Dengan lokasi penelitian di Bireun, Aceh, Hayuning Tyas (2008) meneliti
pasung dari sudut pandang kultural-medis. Ia meneliti pendapat keluarga, orang
yang dipasung serta perawat. Ia menanyakan bagaimana keluarga serta pinasung
menjelaskan perilaku pinasung, alasan keluarga memasung dan cara keluarga
mengevaluasi keefektifan pasung. Hasilnya, Tyas menemukan bahwa para
pinasung ada yang sukarela menerima hukuman pasung itu, tetapi ada juga yang
tidak. Mereka yang tidak suka ini biasanya menyalahkan keluarga yang
memasung. Tekhnik penolakan para pinasung dengan cara tidak bersedia ketika
diberi makan atau tidak mau minum obat. Ia fokus pada apa arti pasung buat
keluarga serta apa arti pasung bagi pinasung dengan menghubungkan tindakan-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
tindakan pinasung dalam proses ‘menyembuhkan diri’. Jadi, Tyas masih fokus
pada tindakan-tindakan medis serta persepsi masyarakat tentang pengobatan
medis.
Pasung biasanya digunakan keluarga sebagai cara terakhir yang ditempuh
setelah mereka mengusahakan pengobatan medis maupun dari dukun. Bagi
keluarga, pasung berarti menyelamatkan dari kekejaman atau ketidakpastian hidup
di luar.10 Artinya, keluarga sendiri menyadari bahwa pasung itu tidak terkait untuk
penyembuhan, hanya berfungsi sebagai pengendalian hasrat pinasung untuk tidak
melakukan aksi-aksi yang membahayakan lingkungannya. Dengan begitu, Tyas
memandang bahwa pasung juga semacam hukuman pada pinasung karena
melanggar aturan-aturan masyarakat. Dalam relasi sosial berarti di sini keluarga
adalah agent yang berperan untuk menertibkan dengan cara menghukum anggota
keluarga yang menyalahi aturan yang berlaku di masyarakat.
Secara medis Tyas meneliti tentang bagaimana ambigunya pemikiran
perawat dalam merawat pinasung. Pengetahuan medis yang perawat pelajari
selama ini berbeda dengan keyakinan mereka. Para perawat menyakini kalau
kegilaan yang terjadi pada diri pinasung itu disebabkan kemasukan roh, jin, syetan
dan sebagainya. Tetapi mereka tidak percaya dengan tekhnik sembur yang
dilakukan dukun dalam menyembuhkan orang gila. Mereka lebih percaya dengan
kekuatan obat. Meskipun psikiater memandang bahwa ada dua penyebab penyakit
gila yaitu dari sudut pandang spiritual serta sudut pandang bio-medis. Agama
islam mempercayai adanya kekuatan supranatural seperti seorang dukun yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
dapat mengirim penyakit pada orang lain, maupun dimanfaatkan untuk
menyembuhkan orang lain. Menurut Tyas, CMHN di Aceh salah kaprah dan
gagal mengakomodir pengetahuan lokal dalam treatment mereka. Artinya, adanya
dua dasar pengetahuan yaitu medis dan non medis bukan an sich kesalahan
psikiater karena selama pelatihan di Biren juga tidak ada materi pengetahuan
lokal tentang penyakit mental itu. Di akhir penelitiannya, Tyas memberi saran
pemerintah untuk segera menyediakan fasilitas kesehatan untuk para pinasung,
serta mengakomodir pengetahuan budaya yang diyakini perawat. Kalau begitu,
dalam hubungan ini Tyas telah meneliti produksi pengetahuan medis di Biren
sekaligus mendeskripsikan pengetahuan masyarakat tentang kegilaan dengan
masih berpaku pada wacana psikopatologi. Maksud saya, penelitian ini berpaku
pada tindakan-tindakan keluarga serta pinasung yang terkait dengan tekhnik
pengobatan.
Penelitian hampir sama dengan Hervita dan Minas dilakukan Sa'ad B.
Malik and Iram Z. Bokharey (2001). Dalam artikelnya berjudul breaking the
chain, keduanya menceritakan bagaimana pengalaman mereka dalam menangani
penduduk yang dipasung di Shrine Pakistan. Karena hasrat keduanya untuk
menyembuhkan pinasung secara massal di sebuah institusi pengobatan untuk
yang dianggap gila, keduanya melakukan serangkaian aktifitas psikiatri untuk
menyembuhkan para pinasung. Orang-orang itu mereka vonis sebagai penderita
penyakit jiwa dengan berbagai macam klasifikasi penyakit jiwa. Diantaranya
adalah shizofrenia, epilepsy, bipolar effective disorder dan sebagainya. Sebanyak
100 pasien yang berada di tempat yang disebut keduanya sebagai human zoo ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
kemudian mereka rawat dengan menggunakan tekhnik psikiatris dan akhirnya 100
pasien itu dapat ‘membaik’ perlahan-lahan, dalam arti secara medis.
Kevin O Browne menulis buku yang berjudul Landscape of Desire and
Violence; Storied Selves and Mental Affliction in Central Java, Indonesia
diterjemahkan penerbit Jendela dengan “Lanskap Hasrat dan Kekerasan”. Dari
segi wilayah, agak rancu penelitian ini, karena dari judul aslinya central java
(Jawa Tengah), tetapi data yang ia ungkapkan sebenarnya lebih banyak tentang
Yogyakarta, meskipun ada sedikit yang ia lakukan di RSJ Magelang.
Ia meneliti mengenai pengetahuan masyarakat tentang kegilaan dikaitkan
dengan pengetahuan medis. Fokus penelitiannya ialah tentang persepsi dan
praktik-praktik yang berkaitan dengan kesehatan dan penyakit jiwa di Yogyakarta
kontemporer,dan bagaimana kisah-kisah tentang hal itu mengungkapkan
pandangan tentang politik dan puitika penderitaan diri dan sosial.
Ia berasumsi bahwa krisis ekonomi 1997 menyebabkan banyak orang
mengalami guncangan jiwa. Merosotnya pendapatan keluarga, otomatis terjadi
tekanan sosial hebat pada anggota-anggotanya, kondisi-kondisi inilah yang
menurutnya memicu suburnya penyakit jiwa.
Masyarakat Jogja memahami kejiwaan melalui pengetahuan medis
maupun kultural. Dua pengetahuan itu berkelindan dan menginternalisasi
kesadaran masyarakat jogja. Hasilnya, Pertama, Kevin menemukan bahwa
klasifikasi psikiatri tentang penyakit jiwa yang paling dikenal masyarakat ialah
stress. Kedua, adanya pengetahuan kultural seperti jin, syetan, dedemit di
Yogyakarta, yang telah menjadi pengetahuan umum masyarakat, sama sekali tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
diakomodir dalam pengetahuan medis di Indonesia. Jadi, ia berkutat pada
bagaimana pengetahuan medis digunakan di Yogya, dan sekaligus mengungkap
tentang pengetahuan masyarakat tentang kegilaan yang terkait dengan
pengetahuan medis, tetapi tidak ada analisis Foucaultdian dalam
mengungkapkannya. Saya baca malah cenderung deskriptif dan ada condong
potitifistik.
Lorna Rhodes meneliti tentang produksi sosial sebuah lembaga yang selain
berfungsi sebagai penjara juga lembaga terapi di HMP Grendon Amerika Serikat.
Penelitian Lorna berangkat dari pertanyaan bagaimana beroperasinya rezim
institusi Grendon dengan niat mendisiplinkan penghuni-penghuni di dalamnya.
Kedua adalah bagaimana strategi Grendon dalam memperlakukan para penghuni
penjara tersebut. Dalam penelitian ini Lorna menggunakan kerangka teori
Foucault dengan meneliti relasi kuasa yang terdapat di institusi Grendon.
Selama satu bulan dia mewawancarai 17 penghuni yang tinggal ditempat
tersebut selama lima tahun ke atas dan juga terhadap tujuh staff yang bekerja di
sana. Dari wawancara tersebut, menggunakan konsep kekuasaan Foucault, Lorna
menyimpulkan bahwa relasi kuasa yang beroperasi di Grendon memang tidak
seimbang. Tubuh para penghuni didisplinkan sedemikian rupa untuk mengikuti
apa yang diingini staffnya. Salah satu strategi yang diterapkan ialah dengan
membuat jadwal tetap apa yang harus dilakukan para penghuni tersebut.
Sehingga antara orang yang direhabilitasi dengan pengelola terdapat hubungan
yang tak sebanding. Banyak peraturan yang dibuat di lembaga tersebut tidak
memerhatikan keinginan penghuni-penghuni di dalamnya. Hasrat pengelola dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
menertibkan penghunilah yang berperan. Sehingga hasrat penghuni
ditenggelamkan dan model institusi semacam ini sama dengan model penjara pada
umumnya. Di sini Lorna menunjukkan bahwa kuasa yang beroperasi adalah kuasa
sang pengelola yang telah disebarkan melalui berbagai peraturan dengan
mendisiplinkan tubuh para penghuni di dalamnya. 11
Dari kelima penelitian itu, penelitian saya lebih mirip dengan penelitian
Lorna dalam hal kerangka teori yang digunakan yaitu kerangka teori Foucault.
Jika dibandingkan dengan penelitian Tyas, penelitian saya berbeda kerangka teori
yang digunakan dengan konteks yang berbeda tentunya. Jika Tyas berpusat pada
masalah bagaimana pandangan keluarga serta orang dipasung terhadap pasung itu
sendiri, serta bagaimana perawat mengobati orang-orang yang dipasung dengan
paradoks yang terjadi antara pengetahuan medis perawat dengan pengetahuan
kultural mereka, maka penelitian saya akan berkutat pada pembentukan objek
kegilaan melalui kacamata masyarakat. Bagaimana wacana pasung beroperasi
membentuk satu suara kebenaran berupa legitimasi pasung. Jika saya
memfokuskan diri untuk meneliti pembentukan objek kegilaan yang selama ini
terjadi, maka tentu berbeda dengan fokus penelitian Hervita dan juga Minas, serta
Karim yang berusaha memahami praktik pasung melalui kacamata psikiatri.
F. Kerangka Teori
Pasung merupakan sebuah praktik sosial. Sebagai sebuah tindakan sosial
tentu tidak terjadi begitu saja. Selalu ada pemaknaan-pemaknaan tertentu dengan
11 Lorna A.Rhodes, 2008, This Can't be Real : Continuity at HMP Grendon, USA:University of Washington, makalah tidak diterbitkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
tujuan-tujuan khusus yang mendorong tindakan itu. Sebab tidak mungkin
masyarakat memasung tanpa ada kepentingan-kepentingan tertentu yang
mendasari serta mengarahkan tindakan itu.
Di sini saya membatasi menganalisa pasung dengan wacana Foucauldian.
Foucault menyebut praktik sosial sebagai praktik diskursif.12 Implikasi melihat
pasung sebagai praktik diskursif adalah pasung akan dibaca sebagai sebuah
tindakan yang dilakukan berdasarkan pengetahuan-pengetahuan serta kekuasaan
yang menjadi dasar sekaligus pendorong tindakan itu. Jadi, ketika seseorang
memasung, ia terperangkap dalam pengetahuan serta kekuasaan tertentu yang
mengarahkan, mendorong dan akhirnya membuatnya memutuskan memasung.
Wacana di sini berarti sebuah pernyataan yang mempunyai implikasi langsung
pada perbuatan.13
Berdasarkan hal itu, yang menjadi fokus kajian bukan pinasung, tetapi
pernyataan-pernyataan masyarakat sekitar tentang Agung. Bagaimana
pengetahuan serta kuasa mempengaruhi serta membentuk cara mereka memahami
Agung? Di sini Agung dilihat sebagai subjek sosial yang dihasilkan dari efek-
efek diskursif dan relasi kuasa.14 Masyarakat melakukan sesuatu bukan
berdasarkan pengetahuan maupun kuasa yang secara sadar mereka bentuk sendiri.
Di sini mereka terperangkap dalam sebuah wacana yang mengarahkan cara
berpikir hingga bertindak. Jadi, subjek di sini bukan subjek Cartesian “Aku
12 Norman Fairelough, Discourse and Social Change.Cambridge: Polity Press in associationwith Blackwell Publishing Ltd; 2006. hlm 41.
13 Ibid14 Alex Machoul &Wendy Grace, A Foucoult Primer, Discourse, Power and Subject , London andNew York; 1992, hlm. 91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
berpikir maka aku ada” yang diandaikan secara sadar subjek melakukan sesuatu,
tetapi subjek Foucault ialah subjek yang terbelenggu, subjek yang menyerahkan
ke-adaan-nya pada sebentuk wacana tertentu.
Pengetahuan dan kuasa itu merupakan dua elemen penting yang dijadikan
titik utama kajian dalam wacana Foucauldian. Wacana bukan saja hal-hal yang
membatasi, tetapi juga sesuatu yang memungkinkan untuk menulis, berbicara,
serta berpikir dalam batas-batas historis. Foucault lebih tertarik bertanya tentang
pertanyaan-pertanyaan politis mengenai kontrol, manajemen, pengawasan, dan
teknik politik, serta lebih banyak fokus perhatiannya pada wacana dan
pengetahuan tentang tubuh dan politisasi tentangnya.15
1. Pengetahuan
Pada dasarnya jika kita mengetahui sesuatu berarti kita mengkonsumsi ide-
ide tertentu yang telah diproduksi seseorang. Itu berarti bahwa Ide-ide itu adalah
buatan manusia. Dalam menciptakannya tentu ada sejarah tertentu yang
memungkinkan ide-ide itu bisa diproduksi atau dalam bahasa Foucault conditions
of possibility16. Saat kita melihat pasung, itu berarti ide-ide tertentu yang
mendorong masyarakat melakukannya.
Secara rinci Foucault mendefinisikan pengetahuan itu sebagai apa saja
yang dapat diucapkan seseorang dalam sebuah praktek diskursif dan hanya
ditujukan untuk fakta tersebut; wilayahnya terbentuk dari objek-objek berbeda
yang akan atau tidak mendapat status ilmiah (pengetahuan psikiatri di abad ke-19
bukan sebuah kesimpulan mengenai kebenaran yang dapat dipikirkan, tetapi
15 Ibid. hlm.3016 Norman Fairelough.. h.38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
terdiri dari seluruh praktik, keistimewaan-keistimewaan dan penyimpangan-
penyimpangan yang bisa orang bicarakan dalam wacana psikiatri); pengetahuan
juga sebuah ruang di mana subjek mendapat posisi dan berbicara tentang sebuah
objek dalam wacana yang ia bicarakan. Jadi, pengetahuan masyarakat Sri Gentan
tentang Agung berarti meliputi pernyataan-pernyataan mereka tentangnya.
Yang penting diingat, pengetahuan itu merupakan produk manusia. Dalam
arti ia bukan sesuatu yang sudah dari ‘sananya’ seperti itu. Tetapi pengetahuan-
pengetahuan itu memiliki konteks yang membentuk serta memungkinkannya ada
(conditions of possibilities). Keberadaannya terkait dengan sebentuk kuasa
tertentu. Lebih lanjut, Foucault mengatakan pengetahuan itu merupakan ladang
atau wilayah koordinasi dan subordinasi pernyataan di mana lahirnya konsep-
konsep dan koordinasi maupun subordinasi itu dibatasi, diterapkan, dan
ditranformasi. (dalam level ini, pengetahuan sejarah alam pada abad ke-19, bukan
ringkasan apa yang telah dikatakan, tetapi seluruh tipe-tipe dan tempat konsensus
yang dapat berintegrasi antara yang sudah dinyatakan dengan yang baru
dinyatakan). Terakhir, pengetahuan itu dibatasi oleh kegunaan kemungkinan-
kemungkinan dan apropriasi yang ditawarkan wacana. (Karenanya, pengetahuan
politik ekonomi di era klasik yang menopangnya bukan tesis-tesis berbeda-beda
tetapi ditopang oleh totalitas artikulasi dalam wacana dan praktik-praktik non
diskursif) . 17
Untuk mengetahui bagaimana aturan-aturan dalam pengetahuan itu,
Foucault menyebutnya Archeology of Knowledge. Secara lebih rinci tentang
17 Michel Foucault,The Archeology of Knowledge, Terj. A.M Sheridan Smith, 1972:Lavistock Publication. Hal. 182
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
metode ini telah diuraikan Norman Faireclough dalam sebuah buku berjudul
Discourse and Social Change.
Arkheologi merupakan metode yang fokus mengkaji pernyataan-
pernyataan. Foucault menyamakan statement sebagai pernyataan-pernyataan yang
karena status dan posisi pengucap tertentu memberikan konteks ilmiah di mana
statement itu berada. Statement sebagai suatu unit terkecil yang menandakan
adanya distribusi suatu format diskursif, itu merupakan hasil dari kondisi- kondisi
yang memungkinkan adanya sebuah wacana terhadap ‘aturan-aturan formasi’
yang menentukan yaitu: objek-objek, enunciative modalities, subjek-subjek,
konsep-konsep, dan strategi-strategi. Berikut penjelasannya :
a. The formation of objects
Yang dimaksud objek di sini ialah objek pengetahuan. Itu berarti
sesuatu yang dibicarakan dalam pengetahuan. Objek yang diomongkan
itu berubah-ubah menyesuaikan struktur diskursif. Objek-objek itu
dibentuk wacana-wacana tertentu. Perubahan-perubahan itu terbentuk
dari hubungan antara praktik-praktik diskursif dan praktik non
diskurisf. Ia dibatasi dengan sangat ketat melalui pola-pola tindakan,
sistem-sistem norma, tekhnik-tekhnik,tipe-tipe klasifikasi,model-model
pengkarakterisasian; hubungan yang membentuk aturan-aturan struktur
bagi objek.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
b. The Formation of Enunciative Modalities
Enunciative Modalities ialah gaya bertutur, cara orang membicarakan
sesuatu. Pembicaraan seseorang itu terbatas. Ia tidak bicara dengan
bebas. Pembicaraan itu dibatasi ruang sosial, identitas sosial. Ketika
orang itu berbicara bukan hanya memilih kata tetapi juga mengambil
posisi aman. Dalam arti pilihan-pilihan itu menjelaskan dan
melanggengkan identitas sosialnya. Karena itu sifatnya sangat
subjektif.
Subjek sosial tidak terpisah dari wacana-wacana yang membentuknya,
tidak bebas, tetapi dialah fungsi statement itu. Fungsi itu tidak dilihat
dari orang yang yang mengatakan dan apa yang ia katakan, tetapi dari
penentuan posisi apa yang harus diambil subjek tersebut serta
laksanakan, jika ia menjadi subjek sosial statement tersebut. Jadi,
otoritas orang di masyarakat menentukan arti pernyataan-pernyataan
itu bagi pendengarnya. Misalnya, ketika saya mengatakan bahwa
Agung itu tidak apa-apa, tidak berbahaya, orang-orang yang mendengar
tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang berarti. Tetapi kalau
misalnya pernyataan itu dikatakan seorang dokter jiwa, barulah orang
akan mempercayainya. Jadi, bukan nilai dari pernyataan itu yang selalu
diperhatikan, namun siapa yang mengatakan yang sangat berpengaruh
pada nilai pernyataan tersebut.
c. The Formation of Concepts
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Yang dimaksud konsep di sini adalah kategori-kategori, elemen-
elemen inti yang dipakai untuk menamai sesuatu. Misalnya;
kategori-kategori inti yang orang bicarakan tentang kegilaan itu selalu
memakai konsep eksklusi, penjara, dan sebagainya. Foucault
menyatakan bahwa dalam pembentukan konsep-konsep dalam formasi
diskursif melalui deskripsi bagaimana “field statement” berhubungan
dengan formasi diskursif, di mana konsep-konsepnya “nampak dan
bersirkulasi”, tergorganisir.
d. The Formation of strategies
Yang dimaksud strategi di sini ialah langkah-langkah yang disarankan
untuk mengatasi masalah-masalah yang diajukan. Dalam penelitian ini
misalnya, akhirnya setelah orang-orang menetapkan kategori-kategori
lalu mau diapakan orang gila. Strategi-strategi itu memungkinkan
tema atau teori itu ada, juga dapat memungkinkan berbagai realitas itu
hadir. Aturan-aturan formasi diskursif itu menentukan tema dan teori-
teori mana yang dapat terlihat dan yang disembunyikan.
2. Kekuasaan
Foucault mengatakan bahwa kekuasaan pertama harus dipahami sebagai
bermacam hubungan kekuatan, yang imanen dalam bidang hubungan kekuatan itu
berlaku, dan yang merupakan unsur-unsur pembentuk dan organisasinya.
Hubungan-hubungan kekuatan itu tidak stabil, tetapi labil. 18
18 Michel Foucault, Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, Terj.Rahayu S. Hidayat. Jakarta : YayasanObor Indonesia dan FIB Universitas Indonesia Forum Jakarta-Paris, 2008, h. 121
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Kekuatan-kekuatan itu dihubungkan melalui sebuah lingkaran kebenaran
yang dianut masyarakat dan tidak ditanyakan ulang. Di sini kebenaran dipahami
sebagai sesuatu yang sengaja diproduksi kuasa untuk mendukung serta menopang
keberadaannya. Jadi, kebenaran itu merupakan fungsi (a function) dari sesuatu
yang dapat ditulis, dikatakan dan dipikirkan.19 Kebenaran dapat diartikan sebagai
sistem prosedur-prosedur yang sudah ditentukan atau diatur bagi produksi,
regulasi, distribusi, sirkulasi, dan operasi pernyataan. Kebenaran terhubung dalam
sebuah relasi sirkular dengan sistem-sistem kekuasaan yang memproduksi dan
menopangnya, dan berimplikasi pada kekuasaan yang telah memproduksi dan
meluaskannya ‘regime of truth’. 20
Tekhnik yang menambahkan kekuasaan dalam analisis disebut genealogi.
Genealogi ini fokusnya pada hubungan-hubungan yang saling menguntungkan
antara sistem kebenaran dan modalitas kekuasaan. Genealogi merepresentasikan
sebuah pusat wacana. Kejelasan sistem pengetahuan dan kebenaran dilengkapi
aturan-aturan wacana yang dipahami bersifat otonom-dan akhirnya hubungan
praktik non-diskursif dengan praktik diskursif rupanya diregulasikan aturan-aturan
tersebut.
Pengaruh kekuasaan itu dapat dengan mudah terlihat dalam diri kita.
Karenanya, kekuasaan itu menyebar, tidak terpusat tetapi berkembang dari bawah
melalui tekhnik-tekhnik mikro (misalnya, ‘examination’ secara medis atau
pendidikan), yang berkembang dalam institusi-institusi misalnya di RSJ, penjara,
19 Alex Machoul &Wendy Grace, A Foucoult Primer, Discourse, Power and Subject , London andNew York; 1992 h. 9120 Norman Fairclough. h.51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
dan sekolah-sekolah dalam periode modern awal. Tekhnik-tekhnik itu
memasukkan pengetahuan dan kuasa dalam masyarakat modern.
Lebih jelas tentang hubungan kekuasaan itu dari bawah itu dijelaskan
Foucault yaitu tidak ada-dalam asas hubungan kekuasaan, ataupun sebagai
matriks umum-suatu oposisi biner dan global antara pendominasi dan yang
didominasi; dualitas itu berulang-ulang dari atas ke bawah, dan pada kelompok
yang semakin lama semakin terbatas sampai ke bagian terdalam dari masyarakat.
Sebaiknya dianggapkan bahwa berbagai hubungan kekuatan yang terbentuk dan
berfungsi dalam perangkat produksi, keluarga, kelompok terbatas, lembaga,
digunakan sebagai landasan-landasan perbedaan, yang dampaknya luas dan
merasuki seluruh masyarakat. Perbedaan-perbedaan itu membentuk serangkaian
garis merah yang merasuki berbagai pertentangan lokal, dan mengaitkannya
kembali; tentu saja, pada gilirannya, semuanya itu menghasilkan distribusi ulang,
penyetaraan, homogenisasi, penataan deret, pengkonvergensian. Dominasi
dominasi besar adalah dampak hegemonis yang dihasilkan secara berkelanjutan
oleh intensitas segala pertentangan.21
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode arkeologi dan genealogi, yang
operasinya telah dijelaskan di atas.
1. Sumber Data
21 Michel Foucault,. Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, Terj.Rahayu S. Hidayat. Jakarta : YayasanObor Indonesia dan FIB Universitas Indonesia Forum Jakarta-Paris, 2008, h. 122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Saya membagi sumber data dalam penelitian ini menjadi dua yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah
serangkaian data yang telah saya kumpulkan mengenai pemasungan di
dusun Sri Gentan, Wringin Putih, Magelang. Sedangkan data sekunder
penelitian ini berupa sumber-sumber kepustakaan yang dapat
membantu memetakan dan membaca pasung. Dalam hal ini data
sekunder berupa undang-undang kesehatan pemerintah RI, data
tentang sejarah lahirnya penderita penyakit jiwa di Indonesia, serta
buku-buku teoritis yang dapat membantu menganalisa hasil penelitian,
khususnya buku-buku karangan Foucault, dalam penelitian ini akan
banyak menggunakan wacana Foucauldian, seperti yang diuraikan
Norman Faireclough dalam Discourse and Social Changes.
2. Tekhnik Pengumpulan Data
a. Wawancara: saya mewawancarai beberapa orang yang saya anggap
merepresentasikan ‘kelas sosial’, seperti kelas sosial Pinasung,
orang-orang yang terlibat pemasungan, sesepuh desa, pemimpin
struktural seperti lurah desa pada saat Agung dipasung, keluarga
dan Agung. Saya memilih tekhnik wawancara ini secara fleksibel,
santai, tidak kaku. Dalam arti saya berbicara dengan responden
dengan tidak kaku dengan sejumlah pertanyaan yang telah saya
siapkan dengan kertas. Tetapi saya mewawancarai seperti ngobrol-
ngobrol biasa. Khusus ngobrol dengan Agung, saya mengikuti dari
cara ia menjawab. Menyesuaikan dengan dirinya. Kalau saya tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
paham, maka saya lebih banyak diam. Wawancara kadang saya
lakukan dengan alat perekam, tetapi kadang saya ingat-ingat hasil
wawancara dan langsung saya catat setelah wawancara.
b. Observasi; Observasi ini fokus pada aktifitas warga sehari-hari, cara
mereka berelasi, serta mengamati aktifitas Ibu dan Agung selama
dipasung. Pengamatan-pengamatan tentang hal itu kemudian saya
catat dan dokumentasikan dalam sebuah catatan lapangan serta
kadang-kadang saya abadikan dalam sebuah gambar.
3. Tekhnik Pengolahan Data
Semua data yang telah saya kumpulkan saya pilah sesuai dengan
kebutuhan. Data itu saya klasifikasikan sesuai dengan rumusan
masalah yang telah saya jabarkan. Model pengklasifikasian
menyesuaikan sub bab-sub bab yang saya rancang. Setelah itu data-
data tersebut dianalisa dengan paradigma wacana Foucauldian
dengan metode yang telah diuraikan Norman Fairclough.
H. Skema Penulisan
Bab Pertama berisi Pendahuluan. Bab ini menjelaskan kegelisahan
akademik yang menjadi latar belakang penelitian ini. Hal itu meliputi:
permasalahan apa saja yang ingin saya gali selama penelitian, kerangka teori apa
yang saya gunakan untuk melihat praktik pasung, apa manfaat dan tujuan yang
saya jadikan acuan, serta metode yang saya pakai untuk menjawab permasalahan
tersebut. Bagian ini menjadi bab yang paling krusial dalam melihat arah penelitian
dan menentukan seluruh isi tesis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Bab kedua mengkaji tentang pembentukan penderita penyakit jiwa. Bab ini
merupakan deskripsi mengenai pembentukan penderita penyakit jiwa di
Indonesia. Pertanyaan dasar dari bab ini adalah bagaimana pembentukan ide
subjek penderita penyakit jiwa, serta bagaimana keberadaan itu dilanggengkan
serta bagaimana pengaruh pembentukannya pada labelisasi pinasung. Bab ini
dibagi menjadi dua bagian. Pertama, lahirnya penderita penyakit jiwa, yang
terbagi menjadi dua sub bagian yaitu penderita penyakit jiwa di era kolonial dan
dilanggengkannya subjek itu di Indonesia. Kedua, stigmatisasi pinasung yang
terbagi menjadi dua yaitu pelabelan penderita penyakit jiwa dan gila dan
berbahaya.
Bab ini mendeskripsikan hasil penelitian lapangan. Poros pertanyaan pada
bab ini bagaimana beroperasinya wacana pasung pada masyarakat Sri Gentan
serta bagaimana praktik pasung pada Agung Tri Subagyo berlangsung. Untuk itu
bab ini dibagi menjadi dua bagian. Pertama, detail mengenai bagaimana Agung
menjalani hidup dalam pemasungan, yang kemudian saya bagi lagi menjadi dua
sub bagian yaitu tentang fakta bahwa ternyata tidak ada tetangga yang menemui
Agung, sehingga hanya ibu Agung yang setiap hari merawatnya dan beberapa
orang yang datang padanya, sub bab kedua yaitu tentang pengalaman saya
menemui Agung selama di pasungan, untuk mendeskripsikan bagaimana
pengaruh wacana ketakutan yang ditanamkan pada diri saya memengaruhi cara
saya bersikap pada Agung dan pertemuan dengan Agung itu akhirnya membuat
saya memiliki pandangan yang ‘berbeda’ dalam melihat pinasung. Kedua, saya
mendeskripsikan relasi sosial sebelum Agung dipasung. Bagian ini saya bagi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
menjadi tiga sub bagian yaitu Agung yang seram, kondisi keluarga dan
lingkungan dan siapa saja yang mempunyai otoritas memasung.
Bab empat berisi analisa pengetahuan dan kuasa. Bab ini merupakan
analisa pengetahuan dan kuasa dalam wacana pasung. Di Sri Gentan ternyata ada
dua pengetahuan yang mempengaruhi cara orang membicarakan Agung yaitu
pengetahuan magis dan medis, lalu membaca hubungan keduanya. Selanjutnya,
dianalisa kuasa apa yang melanggengkan struktur kuasa tersebut.
Terakhir bab V berupa kesimpulan dari seluruh penelitian yang telah
dijabarkan dari bab I hingga bab IV. Selain itu juga berisi saran untuk penelitian
selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
BAB II
PEMBENTUKAN PENDERITA PENYAKIT JIWA DI INDONESIA
Dari segi bentuk hukuman yang digunakan, pasung mengingatkan orang
pada model hukuman abad pertengahan. Banyak yang menganggap bahwa
hukuman dengan menjadikan tubuh sebagai objek hukuman itu sudah tidak layak
dilakukan di era sekarang. Karenanya, banyak orang menilai model eksklusi
Rumah Sakit Jiwa lebih baik dan lebih manusiawi daripada pasung. Dengan
begitu, ide mengeksklusi orang yang dianggap gila tidak dihilangkan dengan
adanya RSJ, malah diawetkan.
Saya tidak akan membandingkan dua model tekhnik hukuman itu dengan
sudut pandang moral, dengan menilai mana yang lebih baik atau mana yang
buruk. Tetapi bab ini akan menguraikan tentang asal mula terbentuk dan
dilanggengkannya ide memindahkan pinasung ke RSJ. Bagian ini akan diawali
dengan menelusuri akar terbentuknya subjek penderita penyakit jiwa di era
kolonial, kemudian dibentuk dan dilanggengkannya subjek itu di Indonesia.
Setelah itu akan dibahas stigmatisasi dengan melabeli pinasung sebagai
penderita penyakit jiwa serta gila dan berbahaya.
A. Lahirnya Penderita Penyakit Jiwa
Saat ini cara kita memandang kegilaan kuat dipengaruhi pengetahuan
medis. Pengaruh itu melalui proses panjang. Indikasinya, dapat kita cermati dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
persepsi umum yang bisa kita baca dari beberapa media, orang-orang di sekitar
dalam membicarakan kegilaan yang lebih banyak menggunakan perspektif medis
daripada sudut pandang sosial, budaya, politik dan sebagainya. Selain itu, kita
juga dapat mencermati dari berbagai lembaga yang didirikan yang dianggap
memiliki otoritas berbicara tentang kegilaan semisal Rumah Sakit Jiwa, perguruan
tinggi-perguruan tinggi patologi, psikiatri dan sebagainya, yang membuat kita
melulu berfikir tentang kegilaan dari perspektif medis.
Kaitan pandangan medis terhadap pemasungan adalah pada umumnya
orang membicarakan pemasungan sering fokus pada pinasung, dan dari banyak
sudut pandang yang dapat ditelisik dari pinasung itu, banyak yang menstigma
mereka sebagai orang gila. Sedikit dari stigma itu bisa kita baca di beberapa
media misalnya, Tempo menyebut pinasung sebagai pemuda tak waras22,
penderita penyakit jiwa23, Sindo menyebut pinasung dengan keterbelakangan
mental24, Kompas menyebut orang gila25, mengalami gangguan jiwa26 dan
sebagainya.
Ada dua era secara legal formal yang akan dibahas di bawah ini tentang
pembentukan subjek penderita penyakit jiwa yaitu pembentukan penderita
penyakit jiwa di era kolonial dan tumbuh serta diawetkannya subjek itu di
Indonesia.
22 www.tempointeraktif.com pada tanggal 08 Februari 201123 http://www.tempo.co/read/news/2012/11/24/140443744/Mengerem-Laju-Penderita-Gangguan-Jiwa pada tanggal 11 Juli 201424 www. sindonews.com pada tanggal 9 Januari 201225 www.kompas.com 10 Juni 201026 www.kompas.com pada tanggal 28 Juni 2010
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
1. Penderita Penyakit Jiwa di Era Kolonial
Kebiasaan mengatakan pinasung menderita penyakit jiwa itu melalui
proses panjang, tidak begitu saja ada. Untuk mengetahui asal usul kebiasaan itu,
yang begitu mudah menyebut pinasung sebagai penderita sakit jiwa, terkena
gangguan, dapat kita telisik melalui akar pembentukan penyakit jiwa di era
pemerintah kolonial.
Cikal bakal lahirnya subjek penderita sakit jiwa di era kolonial bisa kita
telusuri dari penempatan ruang khusus buat orang-orang yang dianggap gila.
Ruang eksklusi itu dibentuk oleh Pemerintah Agung Belanda, yang pada awalnya
menempatkan orang-orang yang dianggap gila bersama dengan orang-orang
miskin nasrani di sebuah panti asuhan fakir miskin. Saat itu hanya orang Eropa
yang diasingkan di panti itu. Mereka adalah pegawai kompeni baik negeri maupun
swasta yang dianggap melanggar aturan-aturan pemerintah. Saat itu, kaum
pribumi yang dianggap gila masih dapat berjalan-jalan bebas di tempat umum,
belum ada keinginan pemerintah mengeksklusi mereka.
Pengasingan pegawai pemerintah kolonial itu tepatnya terjadi pada tahun
1717. Pada tahun itu, pemerintah Agung mengeksklusi Joost Blondeel, pengemas
minuman dalam botol ke panti Asuhan. Blondeel dianggap gila karena terlalu
lama dan sering menenggak arak dalam jumlah yang sangat banyak. Sebagai
konsekuensi dari perbuatannya, pemerintah menyita seluruh hartanya. Hasil
penyitaan sebesar 587 ringgit dan delapan kelip, termasuk tujuh budaknya,
dengan seorang anak Batavia, diangkut ke panti Asuhan. Dewan Diakoni, yang
menjadi pengawas panti asuhan, juga menyita rumahnya. Konon penyitaan harta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
itu untuk membayar utang-utang Joost, serta membiayai perawatannya selama di
panti asuhan. Kisah yang hampir sama juga dialami Cornelis van Heusden. 27
Saat itu panti asuhan didirikan sebagai tempat mengontrol moral kaum
miskin. Mereka terdiri dari budak Asia yang beragama nasrani dan sudah tidak
dapat bekerja, mantan pegawai kompeni yang sudah tak berdaya, para pelayar
jompo dan jatuh miskin, pribumi nasrani yang miskin dan tak berdaya. Eksklusi
ini bertujuan menjaga iman orang-orang miskin nasrani agar tidak berpindah
agama. Karena itu, perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan moralitas
Kristen, seperti minum, melakukan hubungan seks di luar pernikahan, perilaku tak
senonoh dan sebagainya, akan mencabut hak-hak anggota mendapat santunan dari
panti asuhan. Untuk mengontrol anggota, dewan diakoni terus memantau dan
mengawasi perilaku sehari-hari para penghuni serta orang-orang yang dapat
tunjangan, supaya mereka selalu menjalankan ajaran-ajaran Kristen protestan.28
Di era itu, kegilaan dianggap sebagai takdir yang harus dipikul oleh yang
bersangkutan. Karena itu, yang dianggap cara terbaik menangani orang gila
adalah memasukkan ke bilik-bilik gelap. Dengan diasingkan dan diberi ruang
sendiri, diharapkan orang yang dianggap gila itu mengoreksi perbuatannya. Ada
anggapan umum bagi bangsa Eropa di Batavia saat itu bahwa kegilaan itu
merupakan akibat dari tindakan-tindakan individual seseorang, karenanya, orang
gila harus dieksklusi dengan menggunakan harta kekayaannya sendiri untuk
membayar perawatannya.
27 Hendrik Niemeijer E.2012. Batavia, masyarakat Kolonial Abad XVII, Jakarta : Corts Foundationdan Masup Jakarta, 2012, h. 335-336
28 Ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Jika yang dianggap gila itu pegawai negeri, maka keputusan memasukkan
ke panti asuhan sepenuhnya berada di tangan pemerintah Agung. Tetapi jika
pegawai swasta, harus berdasarkan pertimbangan pihak pengadilan golongan
swasta, yang kadang juga meminta pertimbangan dari ahli medis serta persetujuan
dari ketua lingkungan. Setelah masuk ke panti Asuhan, orang-orang yang
dianggap gila ini langsung berada di bawah“perwalian” (pengawasan) dewan
diakoni. Karena itu, orang-orang gila yang diasingkan hanyalah orang-orang
Eropa. Mereka dimasukkan ke panti asuhan lebih karena perasaan malu
pemerintah kolonial ketika itu terhadap pribumi serta etnis-etnis lain. Perasaan
malu ini timbul sebab sikap mereka dianggap merendahkan derajat bangsa Eropa
yang menempatkan dirinya sebagai ras paling tinggi diantara penduduk Pribumi,
China, Eurasia serta ras-ras lain yang ada di Batavia saat itu.29 Apalagi jika
perilaku tak senonoh bangsa Eropa, yang tidak sesuai dengan ajaran Kristen,
diketahui masyarakat luas. Hal itu dianggap dapat mencoreng citra baik yang
dikonstruk kompeni saat itu. Pengasingan ke Panti Asuhan merupakan usaha dari
pemerintah mengontrol para pegawai agar selalu menjaga dirinya bermoral
Kristen, yang intinya untuk menjaga citra baik kompeni. 30
Pada pertengahan abad ke-19, pemerintah kolonial Hindia Belanda
tumbuh menjadi kekuatan raksasa. Nusantara saat itu di bawah langsung
kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, pasca dikuasai Inggris dan VOC. Masa ini
ditandai dengan tumbuh suburnya modal para borjuis Eropa di hampir seluruh
29 Batavia sebelumnya dikenal sebagai Jacattra. Batavia di era itu merupakan pelabuhanperdagangan internasional. Para pedagang dari China, Portugis, termasuk VOC, India, Afrika dansebagainya.30 Ibid. h. 344
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
pulau jawa serta beberapa pulau luar jawa. Penemuan-penemuan teknologi baru
membuat kolonial memiliki kemudahan menguasai kekayaan alam Nusantara.
Pembangunan sarana-sarana untuk melancarkan eksploitasi, seperti rel kereta api,
jalan raya, kantor-kantor pemerintahan, bank-bank, masif dilakukan. Perusahaan-
perusahaan raksasa seperti pabrik gula, pertambangan, perkebunan, tumbuh pesat.
Karenanya, semakin banyak kaum borjuis Eropa berdatangan ke Nusantara untuk
meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
Sebagai cara melancarkan pembangunan korporasi, didirikanlah berbagai
institusi untuk mengatur penduduk. Sekolah-sekolah yang dapat memproduksi
ketrampilan tertentu, rumah sakit- rumah sakit untuk mengobati orang-orang
Eropa maupun Pribumi yang berduit mulai didirikan. Rumah Sakit Jiwa
(selanjutnya saya singkat RSJ) adalah satu dari sekian banyak institusi yang
diproduksi dalam rangka memuluskan “pembangunan manusia” itu. Inilah awal
industrialisasi nusantara, yang dilakukan dengan cara memandang masyarakat
sebagai sekumpulan tubuh yang harus diatur dan ditertibkan dengan memproduksi
orang-orang yang mau bekerjasama mendukung tumbuh kembangnya industri.
Kali pertama pemerintah Kolonial Belanda mendirikan RSJ pada tanggal 1
Juli tahun 188231 di Bogor ( Buitenzorg), kemudian pada tahun 1902 dibuat RSJ
di Lawang. Bentuk rumah sakit jiwa ini mengikuti praktik eksklusi yang
berkembang di Eropa ketika itu. Seperti dikatakan Foucault bahwa pembuatan
31 Tahun inilah tahun pembentukan konsep populasi dengan membuat statistik penduduk.Denys Lombard mencatat bahwa terjadi peningkatan drastis kehadiran orang-orang Eropa diIndonesia pada akhir abad ke-19. Bahkan jumlah mereka yang datang 20 kali lipat dari awal abadke-19. Sensus tahun 1882, penduduk Eropa yang di Indonesia pada tahun 1882,43.738 orang,jumlah itu rata-rata tersebar di pulau jawa. Lihat: Denys Lombard : Nusa Jawa Silang Budaya:Batas-batas Pembaratan ,Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi: 1996. Hal.78
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
ruang eksklusi khusus untuk orang-orang gila melalui tahapan medis ini terjadi
pada akhir abad ke-18, ketika pengobatan dilakukan dengan menggunakan
standar normality (kenormalan) dalam melihat penyakit. 32
Jika sebelumnya panti asuhan hanya diperuntukkan orang Eropa yang
dianggap gila, di RSJ-RSJ inilah pribumi yang dianggap gila mulai dieksklusi. Era
ini adalah masa-masa mulai penghapusan kerja paksa. Para penduduk yang jadi
buruh mulai mendapatkan upah, walau sangat sedikit.33 Lalu untuk penduduk
macam apa yang dimasukkan ke rumah sakit jiwa ini?
Awal mula penduduk pribumi yang diklasifikasikan sebagai penderita
penyakit jiwa, berdasarkan klasifikasi Psikiater Hindia Belanda di Batavia, kali
pertama tentang sindrom psikiatri ada empat yaitu: ngamuk, latah, koro34 dan
neurasthenia dunia tropis. Menariknya, dari klasifikasi yang dibuat, psikiater juga
mengkategorikan ras mana yang biasanya mengidap penyakit tersebut. Dari
keempat jenis penyakit itu ada dua yang ditujukan pada pribumi yaitu ngamuk dan
latah. Koro diidentikkan dengan orang-orang China, sedangkan Neurasthenia pada
orang-orang Eropa.35 Dari adanya tiga ras yang ditonjolkan, menunjukkan
pembedaan yang sengaja diproduksi pemerintah dalam memandang diri etnis-
etnis tersebut. Jika pribumi banyak menjadi buruh murah begitupun dengan
orang-orang China. Hubungan antara Pemerintah Agung dengan ras China
32 Foucault,1994:3533 Untuk gambaran tentang bagaimana kehidupan para buruh di kebun-kebun luar jawa pada awalabad ke-20 lihat Suyono. RP.Capt, Seks dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial, 2005, Jakarta:Grasindo.34 Pada pembahasan selanjutnya, saya tidak membahas Koro. Pertama karena koro ini dilekatkanpada orang-orang China, yang tidak berelasi langsung dengan bahasan pasung.35 javapost.com, diunduh pada tanggal 26 Februari 2013,Geestesziek in Nederland IndieTerj.Antonius Cahyadi Geestesziek/ in Nederlands-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
mengalami pasang surut, sama dengan hubungan Eropa dengan Jawa. Hubungan
antara orang-orang China dengan Eropa semakin tidak harmonis pasca 1740 yaitu
saat banyak orang China dibantai kompeni. Karena itulah, menurut Onghokam,
hubungan antar ras pada akhir abad ke-20 semakin panas. 36
Psikiater Hindia Belanda menggambarkan kegilaan orang-orang pribumi
sebagai jenis kegilaan yang tidak bermoral dan tidak rasional. Cara prikiater
mengklasifikasikan penyakit jiwa dengan bahasa yang peyoratif, tidak rasional,
primitif dan sebagainya. Tekhnik pengklasifikasian melalui justifikasi medis ini
adalah tekhnik kontrol kolonial pada pribumi agar tunduk, supaya para penduduk
tidak berani melawan terang-terangan pemerintah kolonial pada saat itu.
Berbeda dengan penggambaran penyakit jiwa pada orang-orang Eropa,
cara psikiater mendeskripsikan neurasthenia dunia tropis secara biologis.
Penyebabnya karena ada pergantian cuaca pada tubuh mereka. Secara biologis hal
yang alamiah, kalau tubuh orang-orang Eropa itu sulit menerima cuaca yang baru
yaitu cuaca tropis. Untuk kesembuhan penyakit neurasthenia ini, para psikiater
menyarankan untuk "naik", mengunjungi sebuah sanatorium di pegunungan yang
sejuk di Jawa atau latihan fisik atau pergi cuti ke Belanda. Saran ini diikuti dengan
keputusan Pemerintah Kolonial Belanda membangun RSJ di daerah yang dingin
yaitu Bogor dan Malang. Selain itu, obat-obat yang diproduksi menyembuhkan
penyakit neuratanasia juga banyak tersebar saat itu. Di koran-koran Hindia
36 Onghokam, 37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Belanda, promosi obat itu berbunyi “Basmilah gangguan saraf, insomnia dan
kelelahan, mengatasi gangguan-gangguan suhu tropis. Kamu juga dapat secara
singkat menjadi kuat dan lebih energik dengan sanatogen”.37 Bisa jadi ketika itu
pembangunan RSJ, dengan niat penyembuhan, memang dikonsentrasikan untuk
bangsa Eropa. Sementara yang pribumi hanya dengan isolasi atau bahkan kita
tidak tahu apa yang dilakukan para dokter Belanda. Yang jelas tujuannya adalah
untuk mengontrol cara berfikir orang-orang pribumi agar memandang diri
mereka sendiri sebagai etnis yang rendah, yang primitif, tidak rasional.
Sementara bangsa Eropa tetaplah bangsa yang tinggi.
Model-model mengklasifikasi dan mengontrol penduduk dengan
mengelompokkan pada dua kelompok berdasarkan kejiwaannya itu diteruskan
pemerintah Indonesia. Kebijakan untuk meneruskan model-model gaya
pemerintah kolonial dalam mengontrol penduduk itu dapat kita cermati dari
Undang-Undang kesehatan yang dibuat pemerintah Indonesia.
2. Penderita Penyakit Jiwa di Indonesia
Cara-cara yang digunakan pemerintah kolonial seperti di atas diteruskan
Pemerintah Indonesia. Dalam masalah memandang kegilaan, saya tidak
menjumpai perubahan-perubahan pada cara pengaturan Penduduk di era Indonesia
yang berbeda dengan cara-cara yang dibentuk kolonial. Orang-orang yang
dianggap gila terus diklasifikasikan sebagai penderita penyakit jiwa yang harus
diasingkan dalam ruang-ruang yang tidak dikehendaki para penderita itu.
37 javapost.com, diunduh pada tanggal 26 Februari 2013,Geestesziek in Nederland IndieTerj.Antonius Cahyadi Geestesziek/ in Nederlands-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Dalam hubungannya dengan pembangunan, pemerintah selalu melihat
rakyat secara ambivalen. Di satu sisi pemerintah melihat rakyat sebagai penggerak
pembangunan, karena hanya dengan kemampuan serta kecakapan penduduk,
pemerintah dapat menjalankan agenda-agenda pembangunan, hanya melalui
keahlian-keahlian serta dukungan dari penduduklah pembangunan dapat
dijalankan. Di sisi lain, pemerintah sering memandang penduduk sebagai
penghambat pembangunan, karena tidak semua penduduk diikutsertakan dalam
proses-proses pembangunan yang melulu memandang pembangunan dari segi
pertumbuhan ekonomi. Dan, orang-orang yang merupakan korban dari
pembangunan pemerintah yang selalu mengedepankan pertumbuhan ekonomi ini,
malah sering dipandang sebagai penghambat.
Pandangan pemerintah tentang pembangunan seringkali berseberangan
dengan kehendak orang-orang terpinggirkan atau kelas bawah yang seringkali
menjadi korban dari pembangunan pemerintah. Perselisihan itu tampak mencolok
dalam kasus penggusuran. Penduduk yang tinggal di tanah-tanah yang
dikehendaki pemerintah untuk dibangun sarana-sarana yang diinginkan
pemerintah, entah itu untuk kepentingan pemodal maupun atas nama sarana
umum, dipandang menghambat keinginan pemerintah membangun. Wacana
pembangunan seringkali dipakai pemerintah untuk meneror penduduk-penduduk
yang tidak memiliki legalitas formal atau kelompok rentan. Tetapi juga atas nama
pembangunan pemerintah membuat berbagai sarana pendidikan, kesehatan dan
sebagainya, yang dikatakan bertujuan membangun penduduk agar lebih maju. Di
sinilah paradoks pembangunan. Atas nama pembangunan rakyat difasilitisasi,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
dibentuk, dijaga kesehatannya, namun atas nama pembangunan juga banyak
penduduk yang menjadi korban, dimiskinkan dan sebagainya.
Orang-orang yang diklasifikasikan sebagai penghambat pembangunan itu
di antaranya adalah para pengemis, anak-anak jalanan, serta orang-orang gila di
jalanan.38 Pemerintah menginginkan jalan raya bersih dari orang-orang semacam
itu. Kehendak itu dapat kita lihat dari maraknya razia terhadap para pengemis,
orang-orang gila, PKL-PKL di jalanan. Pemerintah memasukkan mereka sebagai
kelompok yang bermasalah psiko-sosial. Mereka dianggap sebagai kelompok
yang perlu ditertibkan, didisiplinkan, serta diarahkan. Undang-undang kesehatan
merupakan medium untuk mengatur penduduk-penduduk yang dianggap
menghambat pembangunan itu.
Secara legal formal pembentukan subjek penderita penyakit jiwa melalui
tahapan-tahapan panjang. Pada tahun 1960, pemerintah Indonesia secara resmi
baru mengganti undang-undang kesehatan "Het Reglement of de Dienst der
Volksgezondheid" (Staatsblad 1882 No. 97) yang dibuat pemerintah kolonial. Di
dalamnya hanya disebutkan tentang pentingnya sehat rohani (mental) dan tidak
ada pembahasan lebih lanjut tentang siapa orang yang sehat rohani. Di dalamnya,
baru dibentuk pemahaman agar penduduk memandang tubuh mereka melalui ilmu
kesehatan barat, dengan mengarahkan orang agar menjadikan institusi medis
sebagai rujukan untuk melihat dan memandang tubuhnya.39 Lalu, baru pada
38 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 220 /MENKES / SK / III / 200239 Lihat Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 1960
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
tahun 1966 dimunculkan secara eksplisit subjek penderita penyakit jiwa. Dalam
undang-undang inilah mulai dibuat pembatasan bahwa acuan yang dipakai
pemerintah menetapkan penderita penyakit jiwa itu ialah pengetahuan medis. Dan,
juga ruang eksklusi penderita penyakit jiwa swasta mendapat legitimasi untuk
didirikan di Republik ini. Sejak itu ruang eksklusi buat penderita penyakit jiwa
tidak melulu harus di bawah pemerintah. Pihak swasta juga mempunyai ruang
untuk ikut andil dalam ‘merawat’ orang-orang yang telah divonis menderita
penyakit jiwa.40 Secara rinci undang-undang ini juga mengatur pihak-pihak mana
yang dimintai pertimbangan untuk memasukkan penderita ke ruang eksklusi.
Mulailah penderita penyakit jiwa menjadi subjek yang dimasukkan dalam ruang
keluarga, pengadilan dan sistem keamanan atau kepolisian.41 Tubuh dan diri
orang yang dimasukkan sebagai penderita penyakit jiwa ini lalu menjadi otoritas
keluarga, hukum serta dilekatkan dengan wacana keamanan. Orang-orang yang
divonis menderita penyakit jiwa semakin dilekatkan dengan ruang eksklusi,
pengadilan, keluarga, yang berarti mencabut kedirian orang-orang itu untuk
dimasukkan dalam wilayah medis.
Mengatur orang-orang yang divonis menderita penyakit jiwa kemudian
dianggap sebagai hal yang lumrah, yang sah. Sejak dibentuknya berbagai macam
ruang eksklusi, baik negeri maupun swasta, obat-obatan, dinas-dinas kesehatan,
serta perguruan- perguruan tinggi yang menopang serta melanggengkan ide
mengatur orang-orang yang dianggap menderita penyakit jiwa, keberadaan
40 Undang-undang Republik Indonesia nomor 3 tahun 1966
41 Ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
penderita penyakit jiwa tampak semakin nyata. Pengaturan, pengontrolan pada
tubuh-tubuh penderita penyakit jiwa lalu menjadi sah. Salah satu contoh yang
disebutkan dalam Undang-undang Kesehatan Jiwa adalah pengaturan terhadap
harta benda mereka.42 Orang-orang yang dianggap sehatpun mempunyai
legitimasi untuk mengatur serta menentukan arah orang-orang yang dianggap
menderita penyakit jiwa.
Setelah semakin kokoh keberadaan subjek penderita penyakit jiwa,
Undang-Undang Kesehatan no.23 tahun 1992 mulai mendefinisikan secara
eksplisit kriteria siapa saja orang yang digolongkan sebagai orang yang sehat
jiwanya. Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomis. 43 Karena itulah dalam pengetahuan
kedokteran jiwa ada salah satu terapi yang terkenal sejak dulu yaitu terapi kerja.44
42 BAB IV
HARTA-BENDA MILIK PENDERITA
Pasal 9
(1) Hakim Pengadilan Negeri setempat menetapkan, bahwa sipenderita tidak mampu
mengelola sendiri harta-benda yang ada padanya miliknya dan/atau yang diserahkan
kepadanya.
(2) Hakim yang dimaksudkan dalam ayat (1) menetapkan siapa yang berhak mengelola
dan/atau mengurus harta-benda sipenderita tersebut dalam ayat (1).
(3) Penetapan Hakim yang dimaksudkan dalam ayat (1) dapat dikeluarkan atas
permohonan mereka yang disebut dalam Pasal 5 ayat (1) sub a, b, c dan d.43 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIANOMOR : 220 / MENKES / SK / III / 200244 Model-model “terapi kerja” ini sudah ada sejak abad ke-17 di Eropa yaitu ketika kebutuhanakan buruh murah semakin meningkat, sehingga orang-orang miskin, gelandangan yang dikurung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Artinya, salah satu kriteria yang dipakai acuan para ahli medis untuk menilai
orang itu sakit jiwa atau tidak ada dua yaitu kemampuan orang itu bersosialisasi
serta kemampuan orang tersebut dalam memproduksi atau bekerja untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dua kriteria itulah yang kemudian membuat
RSJ sedari dibentuk membuat teknik terapi kerja dalam mendisiplinkan penderita
penyakit jiwa. Jadi, ada tuntutan pada penduduk untuk menjadi orang-orang yang
melakukan sesuatu yang dapat diterima lingkungannya dan menjadi orang-orang
yang produktif secara ekonomis.
Undang-undang Kesehatan selanjutnya direvisi pada tahun 2009. Dalam
Undang-Undang ini tidak disebutkan secara eksplisit tentang aturan-aturan bagi
penderita penyakit jiwa, tetapi secara implisit termaktub di dalamnya. Pemerintah
menyatakan bahwa menjaga kesehatan masyarakat itu merupakan bagian dari
investasi berharga dalam menjalankan pembangunan, karena penduduk yang sehat
dianggap dapat melancarkan pembangunan pemerintah. 45
Undang-undang kesehatan, seperti yang telah saya uraikan di atas menjadi
pedoman cara orang membicarakan pinasung. Legalitas ini memberi ruang seluas-
luasnya bagi pendirian institusi-institusi kesehatan seperti Rumah Sakit Jiwa,
kemudian diarahkan untuk bekerja. Misalnya : di Jerman masing-masing tempat pengurunganmemiliki spesialisasi pekerjaan. Di Bremen, Brunswick,Munich, Breslau dan Berlin tempatpemintalan, sedangkan di Hanover itu para tahanan disuruh untuk menenun. Baca : (Foucault,1977:51), Model seperti ini juga dianut di rumah sakit Lawang Malang sejak kali pertama rumahsakit jiwa ini dibentuk. Lihat profil rumah sakit lawang di www.rumahsakitjiwa Dr. RadjimanWediodiningrat Lawang.45 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANGKESEHATAN. Undang-undang Khusus Kesehatan Jiwa baru saja dibuat lagi dan disahkan padabulan Juli 2014, sampai tesis ini ditulis belum bisa diakses materi undang-undang tersebut.Sebelumnya hanya ada pada tahun 1966, setelah itu dicampur dengan undang-undang kesehatansecara umum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Panti Rehabilitasi Mental,46 perguruan-perguruan tinggi jurusan patologi, psikiatri
dan psikologi. Di ruang-ruang inilah keberadaan penderita penyakit jiwa dibentuk
dan dikukuhkan.
B. Stigmatisasi Pinasung
1. Pelabelan Penderita Penyakit Jiwa
Secara resmi Pemerintah menanggapi tentang pemasungan ini pada tahun
1977 dengan diterbitkannya surat menerti dalam negeri no. PEM.29/6/15 tanggal
11 November 1977. Surat ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
seluruh Indonesia, yang meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan
pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran
masyarakat untuk menyerahkan perawatan penderita di Rumah Sakit Jiwa. Surat
tersebut juga berisi instruksi untuk para Camat dan Kepala Desa agar secara aktif
mengambil prakarsa dan langkah-langkah dalam penanggulangan pasien yang ada
di daerah mereka.47
Lalu pada tahun 2002 masalah pasung secara eksplisit menjadi masalah
kesehatan dengan dimasukkannya kebijakan-kebijakan untuk mengatasi
pemasungan melalui dinas kesehatan. Surat keputusan KEPUTUSAN MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 220 / MENKES / SK / III /
2002 memasukkan pemasungan sebagai masalah kesehatan Jiwa dalam rumpun
46 www.arif.rahmawan.blogspot. Com pada tanggal 26 September 2010 mencatat terdapat sekira54 Rumah Sakit Jiwa di Indonesia baik yang swasta maupun negeri.47 Sayang, saya belum dapat menemukan sejauh mana penanganan atau langkah-langkah yangdiambil para gubernur pada tahun itu untuk mengatasi masalah ini, juga belum saya temukan, viainternet tentang keputusan pemerintah dalam negeri ini. Keterangan ini saya dapat dari depkes.htm. Dengan artikel berjudul Menuju Indonesia Bebas Pasung. diunduh pada tanggal 09/03/2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
masalah psiko-sosial. Psiko sosial didefinisikan sebagai masalah psikis atau
kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial. Perkembangan
inilah yang kemudian membuat dan mengarahkan orang-orang untuk
membicarakan pasung melulu melalui wilayah medis. 48
Pemerintah menjadi terbiasa mengkaitkan pemasungan dengan kesehatan
jiwa, bahkan melulu begitu. Pemerintah menyebut pinasung sebagai ODMK
(orang dengan masalah kejiwaan) Karenanya, mereka memberi otoritas para
dokter jiwa dengan pengetahuannya untuk “menyembuhkan” pinasung. Melalui
departemen kesehatan dan para dokter jiwa, pinasung disebut sebagai orang
dengan masalah kejiwaan (yang disingkat ODMK) yang terlantar,49 karena tidak
“dirawat” di RSJ. Berdasarkan Undang-undang kesehatan, orang-orang yang telah
divonis mengidap penyakit jiwa itu akan dirawat pemerintah.
Berbagai progam dibuat pemerintah dalam rangka agar tidak ada lagi
pemasungan. Diantaranya adalah program Indonesia bebas pasung. Awalnya
program ini dicetuskan dengan menyebut Indonesia bebas pasung 2010, lalu
ternyata karena masih belum dapat dilaksanakan dengan maksimal dalam arti
masih banyaknya orang yang dipasung maka pemerintah mengeluarkan program
berupa Indonesia bebas pasung 2014. Program ini dilakukan dengan cara, selain
melalui seminar-seminar, diskusi-diskusi, cara yang terekspos di media yang
diterapkan pemerintah dengan cara dinas kesehatan mengambil langsung
48 Baca KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIANOMOR : 220 / MENKES / SK / III / 2002, masalah kesehatan dalam point b yang dimasukkandalam masalah psiko-sosial.49 www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=1242 pada tanggal 09 Maret 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
pinasung dari rumahnya lalu ditempatkan ke rumah sakit jiwa.50 Cara seperti itu
dianggap efektif mengeliminir pemasungan.
Dasar itulah yang dipakai berbagai media untuk memberitakan pinasung.
Hampir semua media mengikuti stigma dengan menyatakan kalau pinasung itu
orang yang menderita penyakit jiwa, penderita gangguan jiwa, gila, tak waras.
Efeknya, kita menjadi terbiasa dan merasa bahwa yang menjadi masalah dalam
pemasungan itu memang diri pinasung, bukan lainnya.
Undang-undang kesehatan jiwa menjadi dasar media dalam memberitakan
pasung. Banyak media yang melihat pasung dari sisi tidak bertanggungjawabnya
pemerintah pada pinasung. Padahal pemerintah wajib menjaga serta melindungi
kesehatan warga. Ini berasal dari keyakinan para awak media kalau pinasung itu
orang yang jiwanya sakit, karena itu yang perlu dianggap serius adalah bagaimana
caranya supaya pinasung itu segera diatasi dengan menuntut pemerintah
bertanggung jawab untuk segera memindahkan pinasung dari kurungan di
rumahnya ke RSJ.
Setelah melabeli pinasung sebagai orang yang menderita penyakit, maka
ukuran yang dipakai dalam menilai pinasungpun menggunakan kriteria yang
dibuat pemerintah. Dengan melekatkan berbagai definisi tentang pinasung melalui
ukuran-ukuran yang telah dibuat pemerintah dalam Undang-undang Kesehatan.
50 www.antara.com. Judul berita, Akhir 2009, Aceh Bebas Orang Terpasung, pada tanggal 15November 2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Cara pandang pemerintah itu diikuti media-media, para dokter dan akhirnya
menjadi persepsi umum dalam membaca pemasungan.
Cara dokter memandang pinasung sama dengan pandangan pemerintah.
Hanya tentu dokter menggunakan kosa kata medis dalam mengklasifikasikan
pinasung, yang tidak mudah dipahami orang-orang yang tidak belajar
pengetahuan itu. Dalam pandangan dokter jiwa, pinasung adalah orang yang
menderita Shizofrenia dan Gangguan Bipolar. Kedua penyakit itu disebut sebagai
jenis penyakit jiwa berat. “Ciri-ciri orang yang diklasifikasikan menderita
penyakit jiwa berat itu adalah orang mengalami gangguan dalam fungsi sosial
dengan orang lain, serta dalam hal fungsi kerja sehingga tidak produktif," kata Dr
Tun Kurniasih Bastaman, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa
Indonesia. Pernyataan tersebut sama dengan bunyi Undang –undang Kesehatan
2009 yang menyebutkan bahwa orang yang sehat jiwanya adalah orang yang sehat
secara sosial dan produktif secara ekonomi.
Para dokter jiwa kemudian memiliki legitimasi untuk menjadikan
pinasung sebagai objek pengetahuan medis. Diantaranya, pernyataan Dr. Tun
yang menyebut pinasung terkena gangguan Jiwa Berat, dengan gejala biasanya
juga diikuti gejala dengan efek kuat misalnya Delusi, Halusinasi, Paranoid,
ketakutan berat, yang biasanya disebut gejala psikosis. Untuk mengatasi orang
dengan gangguan itu, pemerintah membuat obat, yang disebut three in one pils:
CPZ (chlorpromazine), Halo (haloperidol) and THF (Trihexiphenidyl) (Tyas,
2008: 44).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Untuk membentuk pribadi yang sehat dari segi ekonomi maupun sosial,
pemerintah bertugas memproduksi para ahli di bidang ini. Karena itulah, sekolah-
sekolah kedokteran, RSJ terus dibangung. Para psikiater, psikolog juga terus
diproduksi melalui institusi-institusi pendidikan kesehatan. Sebab itu, posisi
dokter adalah sebagai medium pemerintah untuk merawat serta menyembuhkan
pinasung agar dapat diterima masyarakat dan bekerja. Bahkan pemerintah
memberikan otoritas penuh pada sang dokter untuk melakukan intervensi pada
orang gila yang didiagnosis dokter telah menderita penyakit jiwa berat. Jika
pasien menolak tindakan dokter, dokter berhak memaksa pasien tersebut. Karena
pinasung dimasukkan dalam kategori OMDK yang berat, maka dokter berhak
memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan padanya.51
Alasan pemerintah memasukkan seseorang ke rumah sakit jiwa selalu,
dikatakan, demi kepentingan ketertiban dan keamanan umum. Jika masyarakat
merasa ada orang gila seperti itu, maka pihak berwenang di desa, pejabat
keamanan berhak memasukkan orang-orang tersebut ke rumah sakit jiwa.52
Ada tiga institusi kesehatan yang telah disiapkan pemerintah untuk
melaksanakan tugas melayani pinasung. Institusi ini dirancang secara legal formal
untuk menjalankan visi pemerintah menjamin kesehatan jiwa penduduk. Pertama
adalah Puskesmas. Puskesmas merupakan institusi kesehatan yang pertama
menjadi rujukan penduduk untuk mendeteksi serta mengobati jiwa pinasung. Diah
Setia Utami, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan,
51 Undang-undang Kesehatan 2009, pasal 56
52 Lihat Undang-undang kesehatan 1992 pasal 26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
mengungkapkan Kemenkes telah memberikan pelatihan kepada para dokter di
puskesmas agar siap dan berani menangani kasus-kasus skizofrenia dan gangguan
jiwa lainnya termasuk kondisi gawat darurat. "Mereka sudah dilatih dalam waktu
lima hari, bagaimana penanganan dan tanggap darurat terhadap kondisi-kondisi
tersebut," kata Diah.53 Jika puskesmas masih belum mampu menangani, maka
pasien dibawa ke Rumah Sakit Umum. Tetapi jika RSU tidak mampu, maka akan
dirujuk ke rumah sakit jiwa.
Pemerintah membuat program yang diberi nama Indonesia Bebas Pasung
yang awalnya telah dibuat sejak 2010, kemudian karena masih banyak
ketidakmampuan pemerintah maka kemudian diperpanjang dengan program
Indonesia bebas pasung 2014.54 Program ini dijalankan dengan cara dinas
kesehatan masing-masing daerah menjemput langsung pinasung, lalu melepaskan
pasungan, kemudian membawa pinasung ke rumah sakit jiwa.55 Aksi ini berarti
memindahkan otoritas penanganan. Saat dipasung, pinasung sepenuhnya di bawah
pengawasan dan kontrol keluarga, ketika dibawa ke RSJ berada dalam
pengawasan dan kontrol dokter jiwa.
Metode mekanik yang ditawarkan dan selalu dijadikan solusi dalam
masalah pasung ini ialah dengan cara mendisiplinkan pemasung ke RSJ. Ini
berawal dari keyakinan pemerintah bahwa penyebab utama orang dipasung itu
karena ketidakmampuan keluarga membiayai biaya RSJ. Banyak media yang
53 health.liputan6.com/read/654297/apa-pun-yang-terjadi-pasung-penderita-gangguan-jiwa. padatanggal 03 September 201354 Kegiatan ini dilakukan telah dimulai sejak tahun 2009, yaitu ketika Indonesia menjadi tuanrumah55 www.depkes. htm
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
mengikuti pandangan itu. Ini manandakan bahwa tanggung jawabkesehatan itu
dianggap sebagai tanggung jawab individual. Karena komodifikasi penyakit jiwa
itu berakibat pada keharusan mengakses RSJ dengan hanya menggunakan uang,
maka pemerintah berdiri seolah sebagai pihak yang melindungi yang miskin ini.
Caranya, membuat proyek yang diberi nama program jamkesmas (Jaminan
Kesehatan Masyarakat) dan Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah). Khusus untuk
pinasung yang tidak memiliki Jamkesmas maupun Jamkesda, pemerintah
menetapkan memberi kemudahaan pelayanan dengan cara keluarga
memperlihatkan, KK, KTP serta keterangan miskin dan pinasung, katanya, maka
orang itu akan mendapatkan pelayanan gratis.56 Bukan pemiskinannya yang
diselesaikan, tetapi masalah yang diakibatkan pemiskinan yang seolah
diselesaikan dengan proyek-proyek.
2. Pelabelan Gila dan Berbahaya
Banyak orang melabeli pinasung dengan gila dan berbahaya. Jika gila
sering disebut gangguan jiwa, penderita penyakit jiwa, maka berbahaya sering
dikaitkan dengan perbuatan pinasung sebelum dipasung, yang sering disebut
ngamuk.
Peristiwa yang selalu dikaitkan dengan pemasungan adalah tindakan
pinasung yang disebut ngamuk. Ngamuk sering disebut sebagai alasan pembenar
memasung. Ngamuk lalu sering orang katakan sebagai tindakan yang berbahaya,
mengganggu keamanan, karenanya, orang-orang merasa sah memasung orang
56 Profil Rumah Sakit Jiwa Dr.Radjiman Wediodiningrat lihatwww.rumahsakitjiwaradjimanwediodiningrat.com
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
lain, alasannya untuk menjaga keamanan, sebab dianggap akan membahayakan
orang-orang sekitar jika tidak dipasung.
TV berita.com57 menarasikan ngamuk sebagai berikut :
“Ujang endah, berumur 25 tahun adalah warga Pusaka Sari kecamatanCipaku, kabupaten Ciamis Jawa Barat ini, sudah 2 bulan harus tinggal disebuah gubuk dengan perut diikat dengan rantai besar. Ujang terpaksadiasingkan akibat sering mengamuk dan menyerang beberapa warga.Bahkan pernah juga menyerang beberapa orang dengan menggunakansebilah golok. Ujang yang terkena gangguan jiwa, yang ibunya meninggaldua tahun silam ini, setiap hari kondisinya semakin memburuk, terusmembuat warga semakin khawatir. Bahkan beberapa bulan kebelakang,Ujang semakin bringas dan tak terkendali. Warung dan rumah wargabanyak yang rusak jika Ujang sedang ngamuk. Yang membuat khawatir,jika mengamuk Ujang mulai berani menyerang warga bahkan hinggamenggunakan senjata tajam”.
Cara orang menafsirkan ngamuk sebagai sebuah tindakan yang berbahaya
dan menganggu keamanan sosial itu memiliki sejarah panjang. Sebagai sebuah
tindakan, pemaknaan kolektif mengenai ngamuk berubah-ubah sesuai dengan
kepentingan kuasa pada periode tertentu. Cara kita memaknai orang yang ngamuk
juga besar dipengaruhi pemaknaan kolonial.
Menarik mengetahui bahwa ngamuk adalah salah satu kata melayu yang
diadopsi dalam bahasa barat. Dalam bahasa inggris Amok diartikan sebagai
kondisi seseorang yang out of control. Ada kaitan erat adopsi kata ini dengan
kolonialisasi Eropa.
Sejarah perubahan pemaknaan ngamuk atau amok menjadi sebuah
tindakan individual yang mengancam atau berbahaya secara sosial mulai
terbentuk pada abad ke-17. Abad ini adalah awal mula kompeni menaklukkan
57 Lihat TV berita.com, diunduh pada tanggal 28 maret 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Batavia. Sebagai pelabuhan internasional, penguasaan terhadap Batavia memiliki
arti penting bagi para pedagang Belanda itu. Banyak pedagang dari berbagai
bangsa datang ke Batavia untuk berdagang, bisa membeli atau menjual. Artinya,
orang-orang yang dapat menguasai Batavia, mereka dapat pula menguasai
perdagangan. Karenanya, jika kelompok tertentu ingin menguasai perdagangan,
maka harus menaklukkan penguasa yang ada di tempat itu.58
Yang masih memberontak kompeni ketika itu adalah orang-orang jawa.
Mereka adalah pasukan dari Mataram, Banten dan sejumlah hinterland di
Krawang dan Cirebon, yang tidak mengakui kawasan Batavia sebagai kawasan
mandiri orang barat dan mengobarkan perang gerilya melawan VOC. Perlawanan
orang-orang jawa itu disebut amok. Dari sisi pribumi, tindakan itu bermakna
sebagai strategi perang. Sedangkan pihak kolonial memaknainya sebagai sebuah
tindakan subversif. Tindakan ini tentu mengganggu perdagangan VOC yang saat
itu sedang membangun struktur untuk menguasai pelabuhan perdagangan
internasional. Ketika itu, bagi para prajurit Mataram, Banten dan sebagainya,
ngamuk itu berarti melawan sekelompok orang yang sedang merebut wilayah
kekuasaan mereka. Jadi, tafsir amok saat itu berarti tindakan heroik, sebagai
tindakan perlawanan.59
Baru pada abad ke-20, ngamuk dimasukkan dalam wilayah medis. Adalah
Dr Van Wulfften Palthe, profesor psikiatri dan neurologi di Batavia yang
58 Hendrik Niemeijer E.2012. Batavia, masyarakat Kolonial Abad XVII, Jakarta : CortsFoundation dan Masup Jakarta.
59 Ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
melegitimasi ngamuk sebagai penyakit jiwa. Ini adalah awal mula pemaknaan
ngamuk sebagai sebuah patologi sosial. Pemaknaan itu bukan saja dibentuk
melalui peraturan-peraturan yang dibuat dalam wilayah territorial khusus, tetapi
karena dianggap pentingnya mencegah ngamuk, Pemerintah Kolonial hingga
merasa perlu memasukkan Amok dalam wilayah medis, agar kuat legitimasinya.
Amok yang awal mulanya berarti strategi perang dengan banyak orang
yang terlibat dengan pengetahuan yang rasional dan logis, diubah menjadi sebuah
patologi individual. Tidak lagi sebagai taktik penyerangan. Berikut narasi
Psikiater Belanda itu tentang seorang pelayan yang ngamuk, Ali Musa :
"Tiba-tiba, tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, tanpa ada isyarat yangmencurigakan, ia melompat, meraih senjata, klewang atau pisau danberjalan dalam keadaan gila dari rumahnya ke jalan. Ia memilikiketerampilan yang mengagumkan dan dia tahu mematikan orang; menusukdan memukul dan tidak jarang mengamuk dalam waktu yang sangatsingkat. Yang menyebabkan lima orang tewas atau cedera serius”. 60
Cara psikiater Hindia Belanda menarasikan orang ngamuk ini, jika kita
perhatikan,ada unsur sama dengan cara wartawan, seperti telah saya uraikan di
atas, dalam menggambarkan ngamuk. Pertama, tindakan itu digambarkan sebagai
sesuatu yang tiba-tiba saja terjadi. Seakan-akan tidak ada faktor-faktor tertentu
yang menjadi latar belakang tindakan orang tersebut. Kedua, tindakan itu selalu
dideskripsikan dengan gambaran orang tersebut membawa senjata tajam dengan
menyerang warga. Ketiga, efek buruk tindakan itu. Jika pada kasus Ujang
60 javapost.com, diunduh pada tanggal 26 Februari 2013,Geestesziek in Nederland Indie, Sakitjiwa di zaman hindia Belanda Terj.Antonius Cahyadi Geestesziek/ in Nederlands-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
digambarkan tindakan-tindakan itu membuat orang lain takut dan merasa
terancam hingga menyebabkan kematian.
Dari sudut pandang saya, seorang pelayan yang marah karena perlakuan
majikannya adalah hal yang wajar. Bisa saja anggota keluarga majikannya itu
memperlakukan Ali Musa dengan sangat buruk. Apalagi di era itu, posisi pelayan
jauh lebih direndahkan daripada sekarang. Lalu saat ada kesempatan, pelayan itu
membalasnya. Singkatnya, ngamuknya Ali adalah tindakan balas dendam, dan
semua orang bisa melakukannya. Saat itu memang hal yang tabu ketika ada
pelayan yang dapat ngamuk hingga berani membunuh tuannya.
Trauma Pemerintah Kolonial Belanda pada penduduk jawa di Batavia
masih juga berlanjut, meskipun Mataram, Banten sudah tunduk pada Pemerintah
Kolonial Belanda. Karena itu, salah satu cara untuk mengamankan perasaan takut
kolonial pada orang-orang jawa tersebut, dilakukan dalam bentuk keamanan
kolektif dengan menangkap ramai-ramai orang yang ngamuk. Salah satu cara
adalah dengan mengatur para penjaga gardu61 agar membunyikan kentongan
sebanyak tiga kali sebagai tanda bahaya kolektif ketika ada penduduk yang
ngamuk. 62 Ketika itulah, masyarakat mulai mengartikan ngamuk sebagai sesuatu
61 Di sini fungsi Gardu tidak hanya untuk mengamankan penduduk dari ancaman luartetapi juga ‘ancaman’ dari dalam . Mengenai tindakan apa yang dianggap mengancam sosial itutentu sangat subjektif, tergantung kepentingan pemerintah kolonial hindia belanda saat itu.Menurut Abidin Kusno, Gardu merupakan tempat yang juga berfungsi memproduksi siapa yangdisebut patologi, yaitu orang-orang luar kampung, dengan orang-orang normal, termasuk anggotakampung itu. lihat, Abidin Kusno, Penjaga Gardu di Perkotaan Jawa, Januari, , Guardian ofMemories: Gardu in Urban Java, Terj. Chandra Utama. Yogyakarta: Ombak, 2007.
62 Vries J.J de. Jakarta Tempo Doeloe, Tr dan disusun: Abdul Hakim, Jakarta: PustakaAntar kota1989; 111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
yang dapat mengancam diri mereka. Ngamuk bergeser artinya. Tidak lagi
dipandang sebagai sebuah tindakan subversif pada kekuatan jahat, tetapi
dianggap sebagai kegilaan yang membahayakan. Untuk orang-orang semacam ini,
pemerintah kolonial akan ‘mengurung’ dan menahannya, atau kadang dengan
terapi kerja. 63
Dengan demikian, klasifikasi itu jelas-jelas menguntungkan para borjuis.
Di sinilah kesehatan menjadi alat efektif untuk mengontrol tubuh kelas bawah.
Dengan mengklasifikasikan ngamuk sebagai patologi individual, berarti
melanggengkan kekuasaan kaum borjuis kolonial untuk mengontrol penduduk
pribumi agar tidak memberontak, baik pemberontakan kolektif maupun
individual.
Definisi jiwa yang sehat berdasarkan undang-undang kesehatan adalah
jiwa yang sehat dari segi ekonomi dan sosial. Orang-orang yang tidak bekerja,
yang tidak diterima oleh lingkungannya, (tidak ada penjelasan kenapa tidak
diterima, yang penting masyarakat tidak menerimanya) berarti sah disebut sebagai
orang yang jiwanya sakit. Untuk orang-orang dengan kriteria semacam itu,
menurut pemerintah, harus diobati. Tidak perlu penjelasan dari orang yang
divonis itu, ketika ada dua kriteria itu berarti dimasukkan pada orang-orang yang
menderita penyakit jiwa. Bahkan ketika individu sudah divonis menderita
penyakit jiwa berat maka pemerintah memberi kuasa pada dokter untuk
63 Kevin O Browne. 2001. Lanskap Hasrat dan Kekerasan. Terj. Apri Danarto, SigitDjatmiko, Ekandari. Yogyakarta: Jendela Grafika.220.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
melakukan tindakan apapun pada orang tersebut. Seorang yang gila itu tidak
punya hak untuk menolak. 64
64 Undang-undang kesehatan 2009 , Pasal 56 bagian C
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
BAB III
WACANA PEMASUNGAN MASYARAKAT
ATAS DIRI AGUNG TRI SUBAGYO DAN DAMPAKNYA BAGI
KELUARGA
Bab ini terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama memaparkan pengetahuan
pada diri Agung. Sub bab kedua mendeskripsikan jalinan kuasa pada diri Agung.
Sedangkan Sub-bab ketiga menggambarkan dampak yang keluarga terima atas
tindakan memasung Agung.
Di setiap sub-bab terdiri atas dua sub-sub bab. Sub-bab pertama membahas
praktik wacana kegilaan dan praktik wacana pasung pada Agung Tri Subagyo.
Sementara sub bab kedua menggambarkan jalinan kuasa pada diri Agung di
masyarakat yang dijabarkan dalam dua hal, pertama tentang penghakiman massal
masyarakat pada Agung, kedua mengenai pertanggungjawaban seorang ibu atas
keselamatan anaknya. Terakhir, sub bab ketiga memaparkan jerit tangis dan
bahagia yang dialami seorang Ibu atas tindakan memasung Agung Tri Subagyo.
A. Pengetahuan Kegilaan Pada Agung Tri Subagyo
Agung Tri Subagyo lahir antara tahun 1978-1979 di dusun Sri Gentan,
desa Wringin Putih, kecamatan Borobudur, kabupaten Magelang, provinsi Jawa
Tengah. Ia adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara, tiga laki-laki dan enam
perempuan, dari pasangan Sobari dan Rufiah. Dari delapan saudaranya, ada satu
yang telah meninggal. Tujuh lainnya sudah berumah tangga. Hanya satu yang
tinggal di Magelang, lainnya memilih hidup di kota lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Saat ini ia dirantai di kebun rumahnya. Rantai itu melingkari perut,
diikatkan di pohon dan digembok. Panjangnya sekira satu meter. Besinya
berkarat, penanda sudah sangat lama pasungan. Supaya tidak melukai tubuhnya,
rantai itu dilapisi selang berwarna hijau.
Tidak ada yang mengetahui kapan tepatnya ia dipaksa menjalani hidup
seperti itu. Ingatan para tetangga serta keluarga selalu berbeda. Dewi, kakak
Agung, mengatakan pemasungan itu terjadi saat ia mengandung Desky, yang
sekarang berumur sebelas tahun.65 Muhajari mengatakan lima tahun.66 Triyani
menuturkan delapan tahun67.
Agung dipasung di sebuah ‘gubuk’ sekira 4X4 meter persegi. Gubuk itu
beratap terpal, bertiang kayu dengan tembok batu bata setengah tiang. Terletak di
sebuah kebun, belakang rumah ibunya. Tepat di samping sebuah sumur dan kamar
mandi yang jarang dipakai.
Kebun itu selalu terlihat bersih. Saya selalu melihat tanah bekas sapu lidi.
Duduk-duduk di situ terasa sejuk meski matahari menyengat. Aneka pohon seperti
singkong, kelapa, pepaya, pisang, pohon-pohon besar hijau rindang, membuat
Deski dan Dimas, dua keponakan Agung, sering main ayunan atau melatih burung
dara terbang di situ.
Sebelum dipasung di kebun, warga mengikat tubuhnya di dalam kamar,
dengan dibuatkan bak mandi serta WC di dalamnya. Saat itu Agung marah-marah,
meraung-raung, sampai menggempur tembok hingga roboh. Melihat hal itu,
65 Wawancara dengan Dewi, kakak Agung di Rumahnya di Dusun Sri Gentan, bersebelahandengan rumah Agung, pada tanggal 05 Mei 201366 Wawancara dengan Muhajari, tetangga Agung, pada tanggal 05 Mei 201367 Wawancara dengan Triyani, tetangga Agung pada tanggal 28 Juli 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Rufiah meminta para tetangga membuatkan tempat pasung di kebunnya. Lalu
para tetanggga membuat sebuah tempat, semacam gubuk, tanpa tembok. Sejak
dipasung di tempat terbuka, ia tak lagi marah-marah. “Mungkin ngerasa ndak
sumpek lagi, bisa liat luar.” kata Rufiah.68
Masyarakat menyebut Agung sebagai wong edan. Lalu bagaimana Agung
disebut sebagai wong edan. Apa arti edan Agung bagi masyarakat Sri Gentan?
Gambar I. Perut Agung dirantai dan rantai itu diikat di sebuah pohon
1. Praktik Wacana Kegilaan pada Agung Tri Subagyo
Edan itu bahasa jawa. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan gila.
Warga Sri Gentan menyebut Agung edan, gendeng melalui ingatan-ingatan
mereka tentangnya sebelum dipasung dan dari kondisi fisik saat Agung di
pasungan.
68 Wawancara dengan Rufiah, ibunya Agung, pada tanggal 20 Juli 2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Saya awali bagaimana masyarakat menyebut Agung edan dari kenangan
tentangnya saat masih kecil. Muhajari, tetangga sekaligus saudara jauh,
mengenang saat Agung kecil sebagai “ Maaf…itu mbak, seperti itu lho…anak
‘IQnya rendah..kayak itu...anak idiot” katanya. Ia mengatakannya sebab sewaktu
kecil Agung tidak lulus SD dan MI. Ia sekolah hingga kelas dua SD. Sedangkan
sekolah MI hanya sampai kelas empat. Kala itu anak-anak sebayanya mengikuti
dua sistem pendidikan yaitu SD (sekolah dasar) dan MI (Madrasah ibtidaiyah),
SD pagi hari, MI siangnya. Konon yang menyebabkannya tak bisa lulus adalah
karena tidak bisa membaca dan menulis.69
Ada dua hal yang Muhajari pandang sebagai penyebab Agung menjadi
seperti itu. Pertama, karena kurangnya perhatian keluarga. Ketidakharmonisan
hubungan orang tua, membuat Agung tak terurus sampai kemudian membuatnya
tak bisa melanjutkan sekolah. Kedua, ia menganggap bahwa ada yang salah
dengan syaraf otak Agung. 70
Syaraf otak
Hal lain yang membuat Muhajari memandang Agung edan adalah
kenangan saat Agung berumur sekira sembilan tahun. Konon, Agung sering
duduk-duduk sendirian di jalan gang desa berjam-jam. Biasanya, ia duduk dari
pagi hingga siang, menunggu adiknya, Ika, pulang sekolah. Sambil duduk-duduk,
ia celingukan, melihat kiri kanan, seperti orang gelisah menunggu. Barulah setelah
adiknya terlihat dari jauh, ia akan lega dan senang. Kemudian ia akan berjalan
69 Wawancara dengan Muhajari pada 05 Mei 201370 Wawancara dengan Muhajari pada 05 Mei 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
mengikuti adiknya dari belakang menuju rumah. Jarak jalan yang ditempati
Agung duduk-duduk dengan rumahnya tidak begitu jauh, hanya sekira 300
meter.71
Sejak kecil Agung sering ke kuburan. Ketika anak-anak lain
menghabiskan waktu untuk sekolah dan bermain, kadang ia ke kuburan, setelah
sholat di Masjid. Biasanya ia menyapu dan membersihkan kuburan. Intensitasnya
lebih sering pasca ayahnya meninggal. Keduanya meninggal saat ia masih
berumur sekira 10 tahun. Sesudah adik dan bapaknya meninggal, kuburan seperti
rumah keduanya, bisa seharian penuh di sana; dari pagi hingga pagi lagi. Jika
sebelumnya ia sholat di Masjid yang hanya berjarak sekira 50 meter dari kuburan,
lama-lama ia juga sholat di atas pusara. Setelah menyapu pusara, ia melebarkan
sajadah di atasnya dan setelah itu sholat. Sajadah itu juga ia pakai sebagai alas
tidur.72
Hal itu nampak aneh jika dilihat dari kebiasaan umum. Biasanya,
masyarakat hanya datang ke kuburan pada saat-saat tertentu. Misalnya, mereka ke
kuburan saat mengantarkan jenazah atau ziarah ke kuburan keluarganya
menjelang lebaran. Biasanya, mereka hanya sebentar berada di tempat itu, berdoa
untuk arwah keluarganya, paling lama dua jam. Dalam masyarakat jawa,
fenomena orang lebih sering ke kuburan juga dilakukan orang-orang yang tirakat.
Orang-orang yang tirakat itu biasanya ke kuburan lebih lama dari orang-orang
biasanya.
Ika menduga kebiasaan Agung ke kuburan itu terkait dengan ‘ngangsu
71 Wawancara dengan Muhajari pada 05 Mei 201372 Wawancara dengan Dewi pada 07 Mei 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
ilmu’ yang sedang dijalankannya. Menurutnya, kakaknya itu sering ke orang
pintar untuk menuntut ilmu. Ia pernah mendapat laporan dari tetangganya, kalau
kakaknya itu sering pergi dengan teman-temannya untuk menuntut ilmu ke orang
pintar.73
Tingkah laku yang menandakan edan itu semakin mencolok saat Agung
mengoleksi bunga orang yang meninggal. Ia mengambil bunga yang diletakkan di
atas keranda. Seluruh bunga yang diletakkan di atas keranda itu ia ambil. Lalu, ia
membawa pulang bunga setaman, yang berwarna merah, hijau, kuning, dengan
daun pandan dan digantungkan di ruang tamu rumahnya. Dewi menceritakan,
“Jadi…bunga yang dilonce (dirangkai) yang ditaruk di atas peti itu yang diambil.
[seberapa banyak yang diambil?), sangat banyak mbak. Itu… semuanya.”
Biasanya, Agung membiarkan bunga itu mengering hingga ada bunga baru dari
mayit yang baru saja dimakamkan. Keluarga mendiamkan hal itu. Dewi tidak
berani bertanya pada Agung tentang alasan tindakan Agung tersebut. “Emang
Agung aneh,” tutur Dewi. 74
Masyarakat juga mengenali keedanan Agung dari tindakan-tindakan
‘kriminal’ yang pernah dilakukannya. Dulu, ia pernah mengambil sepeda motor
Mega Pro di depan kantor polisi Borobudur. Cara mengambil dengan mendorong,
tidak dinaiki. Belum luput dari jarak pandang polisi, sang pemilik sudah
memergoki dan melaporkannya ke polisi. Lalu, polisipun mengintrogasinya.
Hasilnya, ketika polisi bertanya siapa komplotan atau rombongannya, ia menyebut
hampir semua tetangga lelaki yang dikenalnya. Sumaryanta mengisahkan
73 Wawancara dengan Ika, adik Agung, tanggal 19 Juli 201174 Wawancara dengan Dewi, kakak Agung, tanggal 07 Mei 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
peristiwa itu sebagai sebuah peristiwa yang memalukan. Begini ceritanya:
“Agung waktu itu nyuri motor, tapi ya…mencurinya kayak gitu, karenadia itu wong edan jadi cara mencurinya ya seperti itu, itu mbak ditenteng(didorong) sepeda motornya. Ya…ndak jauh dari kantor polisi. Ya..ketauan. Sayaingat, waktu itu polisi datang ke desa dan kami semua dipanggil. Kami yanglelaki, diangkut semua. Itu mbak pakek tepak (mobil bak terbuka), Wong waktuitu… mobil polisi sampai penuh. Kami semua dibawa ke kantor polisi. Bikinmalu aja.”75
Agung juga pernah mencuri mic di Masjid. Jarak antara rumah Agung
dengan masjid sekira 500 meter. Konon, ia sering adzan subuh di Masjid itu. Ia
mengambil mic pada malam hari ketika orang sedang tidur. Keluarga Agung tidak
mengetahui saat ia mengambil mic. Saat takmir masjid mau adzan subuh (sholat
subuh dilakukan pada pagi hari pukul 04.00 WIB) dan tidak mendapatkan mic di
tempat, ia segera tahu kalau yang mencuri mic itu Agung. Karenanya, ia langsung
ke rumah Agung. Dewi menceritakan, Agung sendiri yang memberikan mic itu
pada takmir masjid. Agung memberikan mic itu tanpa marah. Biasa saja.76
Ia juga pernah mencuri kelapa dan pepaya para tetangga.77 Dia mengambil
saat rumah orang yang diambil itu sedang sepi. Tetapi bukan berarti orang lain
tidak ada yang tahu. Karena mengambil pada siang hari, saat orang bisa melihat
dengan gamblang, dengan mata kepala mereka sendiri. Emy menuturkan Agung
mengambil pepaya itu dengan getek (kayu panjang untuk mengambil buah
pepaya), buah kelapa ia ambil sendiri dengan memanjat. Tinggi pohon kelapa
sekira 20 meter, orang-orang di desa Agung sudah terbiasa memanjat pohon
kelapa yang sangat tinggi semacam itu. Ia mengambil buah itu dengan
75 Wawancara dengan Sumaryanta, tetangga Agung, pada tanggal 18 Juli 201176 Wawancara dengan Triyani pada 28 Juli 201377 Hampir semua rumah memiliki pohon kelapa dan pepaya di rumahnya. Kedua tanaman iniseperti menjadi tanaman wajib yang harus ditanam di rumah warga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
memanjatnya. Setelah itu, membawa buah kelapa dan pepaya itu dengan
ngenteng-ngenteng, membawa tanpa ditutupi plastik atau tidak disembunyikan
dari orang lain. Jadi, para tetangga juga bisa melihat ketika Agung mengambil
pepaya dan kelapa tersebut dan juga tahu saat dia membawanya. Di dusun Sri
Gentan, hampir setiap rumah mempunyai pohon kelapa dan pepaya. Pemilik juga
tahu saat Agung mengambil buah pohon tersebut. Triyani mengisahkan saat itu
orang-orang terusik dengan tindakan Agung tersebut, tetapi tidak ada yang
menegur langsung, hanya diam. Beberapa orang mengambil pepaya dan kelapa ke
rumahnya. Dan, meski Agung tahu orang-orang itu mengambil pepaya dan kelapa
itu, dia diam saja. Ia hanya mengambil beberapa untuk dijual di pasar Gayu. Hasil
penjualan digunakan untuk membeli ikan sebagai bahan makan kucing
kesayangannya. Dewi mengisahkan Agung menyimpan ikan itu di slorokan (
semacam laci meja), diberikan ke kucing kesayangannya sedikit demi sedikit.
Saat itu Rufiah protes dan melarang Agung mencuri. Ia takut tetangga-
tetangganya menyangka kalau dia yang menyuruh Agung melakukannya.
Sayangnya, saat dia bertanya alasan mencuri itu, Agung menjawab “ Koyok onok
wong wedok seng ngongkon (seperti ada seorang perempuan yang menyuruhku
mencuri)” Rufiah menyebut sosok itu dengan jin. Dan, saat Agung menjawab
seperti itu, ia tak bisa mengucapkan apa-apa lagi. 78
Bukan hanya tindakan mencuri semacam itu yang membuat warga
menganggap Agung semakin edan, saat usianya sudah beranjak dewasa, Agung
sering ngoyak (mengejar dengan mengikuti dari belakang) perempuan muda,
78 Wawancara dengan Rufiah, ibunya Agung, pada tanggal 20 Juli 2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
tetangganya. Menurut Lia, dulu sewaktu Agung dewasa, ada dua perempuan yang
sering dioyak atau diikuti Agung dari belakang. Perempuan yang dioyak itu ajeg
(tetap orang-orang tertentu), hanya itu-itu saja. Dua perempuan yang diingat Lia
pernah dikejar Agung, satu sudah meninggal dan satunya lagi merantau. “Medeni
mbak…lek Agung ngoyak. Apalagi lek iku lho…lek peteng. Itu nakutin mbak
(menakutkan kalau ngejar-ngejar seperti itu, apalagi pada malam hari. Itu
menakutkan)”. Kata Lia. Konon perempuan itu sampai lari terbirit-birit jika
Agung kejar. Bahkan seringkali perempuan itu harus ngumpet di rumah orang lain
supaya Agung tak melihatnya.
Puncaknya, orang-orang semakin yakin bahwa Agung itu edan lan
nyamari (gila dan menakutkan) saat membawa golok sambil mengumpat-ngumpat
dengan menyebut semua nama binatang. Misalnya, umpatan-umpatan itu seperti;
asu, babi dan sebagainya. Di dusun Sri Gentan tidak ada orang yang berani
berteriak-teriak mengumpat-ngumpat. Bahkan ketika berbicara dengan orang lain,
yang lebih tua atau untuk menghormati orang lain, penduduk selalu menggunakan
bahasa kromo. Agung bahkan berteriak-teriak sambil membawa golok dan
mengancam akan membunuh ibunya. Lia mengenang ketika itu semua orang
menutup rumahnya. Semua anggota keluarga yang perempuan dan anak kecil
tidak berani keluar rumah.
Ibu Agung yang dikejar-kejar, dengan Ika yang tinggal serumah
dengannya saat itu harus mengungsi di rumah tetangga-tetangga terdekat.
Muhajari mengatakan keduanya pernah menginap di rumahnya, ketika Agung
marah-marah seperti itu. Tidak ada yang berani keluar rumah. Ketika Agung tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
teriak-teriak dan marah-marah lagi barulah orang berani keluar rumah, itupun
mereka harus memastikan tidak akan berpapasan dengan Agung. Tetapi ketika
Agung kumat, berteriak-teriak dan mengumpat-ngumpat orang dengan nada keras,
orang-orang akan cepat-cepat menutup pintu dan jendela rapat-rapat. Mereka akan
memasang telinga dari dalam rumah, untuk mengetahui bagaimana kondisi
Agung. Tindakan Agung berteriak-teriak sambil mengumpat-ngumpat itu bukan
hanya sekali dilakukannya, sudah beberapa kali hal itu ia lakukan. Tetapi yang
membawa golok, sambil mengancam ibunya memang baru sekali.
Tingkah Agung yang dibahasakan masyarakat sebagai keedanan juga
disimpulkan warga dari kondisi Agung selama di pasungan. Keluarga dan
beberapa orang yang tak sengaja melihat Agung dari jalan mengatakan bahwa
Agung terlihat segar bugar, tidak sakit sama sekali. Padahal ia tinggal di luar,
tanpa selimut dengan baju seadanya. Cuaca di dusun Sri Gentan masih semilir di
siang hari, malam hari suhunya juga masih sangat dingin, bahkan masih ada
kabut di pagi hari. Karenanya, orang-orang tidur dengan selimut tebal. Tetapi
bertahun-tahun sudah Agung tidur di atas tanah tanpa sehelaipun selimut. Karpet
karet yang diletakkan di gubuk untuknya sudah sobek-sobek, hingga bertahun-
tahun ia tidur tanpa alas. Baru tahun 2013 ada alas tidur, itupun terbuat dari
semen, yang untuk ukuran orang biasa tentu sangat dingin. Nyatanya, yang
keluarga lihat, Agung tetap segar bugar. Ia tetap gemuk dan sehat. Ini disimpulkan
keluarga karena Agung tidak pernah mengeluh tubuhnya sakit.
Ada beberapa faktor yang tetangga maupun keluarga sebut sebagai
penyebab Agung edan. Irfan, kakak Agung, menyebut penyebabnya adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
karena terlalu tinggi nama Agung. Nama lengkap Agung adalah Agung Tri
Subagyo. Nama itu artinya anak laki-laki ketiga yang Agung dan bahagia.
Pemberian nama orang tua pada anaknya adalah sebuah harapan. Irfan memaknai
bahwa pemberian nama pada Agung itu terlalu tinggi, sehingga Agung ‘kabotan
jeneng’ (kebesaran nama).
Dalam masyarakat jawa, nama seseorang biasanya menunjukkan strata
sosial. Misalnya, kelas bawah atau rakyat jelata memakai nama seperti Paimin,
Paijo. Sedangkan keturunan ningrat menggunakan nama yang lebih panjang, yang
diartikan lebih tinggi. Misalnya, keturunan ningrat akan mendapatkan nama yang
memiliki arti kebesaran atau menunjukkan keagungan seseorang dibandingkan
dengan orang lainnya. Nama Agung merujuk pada orang yang memiliki strata
tinggi. Nama itu memang sesuai dengan strata keluarga Agung di dusun Sri
Gentan.
Secara sosial, posisi keluarga Agung di desa Sri Gentan adalah keturunan
kelas dhuwur (atas). Konon kelas Dhuwur berasal dari garis keturunan orang-
orang ningrat. Mereka adalah keturunan tuan tanah di desa tersebut. Mereka
keturunan mbah Abdurrahman, sang pemilik tanah yang luas.
Secara geografis, kelas atas merujuk pada mereka yang tinggal di dataran
lebih atas daripada kelas bawah. Dari segi ekonomi, kelas atas, sesuai namanya,
rata- rata berpenghasilan lebih tinggi. Mereka bekerja sebagai guru, pegawai
negeri sipil di departemen pemerintah. Mereka juga memiliki tanah yang cukup
luas dengan kebun-kebun serta pekarangan maupun sawah yang diwarisi secara
turun temurun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Kentalnya perbedaan kelas ini mencolok dari cara kelas bawah memanggil
anak-anak kelas atas. Orang-orang kelas bawah akan memanggil mas pada anak-
anak kelas atas, baik lelaki maupun perempuan, tua, muda, kecil. Jika bertamu ke
rumah kelas atas, kelas bawah datang lewat pintu belakang, tidak berani melalui
pintu depan. Di rumah-rumah kelas atas, biasanya memiliki dua pintu. Satu pintu
depan langsung menuju ke ruang tamu, sedangkan pintu belakang dekat dengan
dapur.
Banyak rumah di kelas atas ini yang tertutup pintu depannya. Aktifitas
keluarga sering dilakukan di ruang tengah, untuk menonton TV ataupun di dapur
yang biasanya terletak di belakang dari struktur bangunan rumah. Ruang depan
hanya akan dibuka jika ada tamu. Antara ruang depan dengan ruang tengah
terpisah dan sulit dipantau dari tengah apalagi dari belakang. Ada ketakutan jika
tiba-tiba ada orang masuk. Pengontrolan orang keluar masuk dilakukan melalui
pintu depan.
Sedangkan kelas ngisor, selain letak tempat tinggalnya yang lebih rendah
datarannya dari kelas atas, dari modal ekonomi, jarang dari kelas bawah yang
memiliki sawah maupun kebun yang luas. Karenanya, letak rumah mereka saling
berdekatan, bahkan berdempetan. Kelas bawah bekerja sebagai buruh-buruh
pabrik, pekerja rumah tangga, buruh tani, maupun pembuat batu bata. Ada
beberapa orang dari kelas bawah yang bekerja sebagai buruh tani atau pekerja
rumah tangga pada kelas atas. Yang lelaki biasanya sebagai buruh tani dari kelas
atas dan yang perempuan menjadi pembantu rumah tangga di kelas atas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Pembedaan strata semacam itu juga terlihat dengan sangat jelas kalau kita
perhatikan dari nama-nama kelas masing-masing. Misalnya, nama kelas ngisor itu
misalnya; Markisah, Pariah, Triyani, sedangkan nama kelas Dhuwur misalnya;
Dewi Sri Utami, Nurul Mariatul Khusniah, Emi Lestari Handayani dan
sebagainya.
Faktor lain yang dianggap menyebabkan Agung edan adalah karena
kemasukan makhluk halus. Makhluk halus itu bersemanyam dalam tubuhnya.
Dewi, kakak Agung, menyebut roh itu lelembut, Rufiah menyebutnya jin, syetan,
atau berdasarkan pernyataan Agung sendiri seorang perempuan, seorang
perempuan yang bernama Ruwatinin. Triyani menyebut mahluk itu ingon-ingonan
bapake.
Sejak kecil, Agung telah kehilangan sosok ayah. Ayahnya meninggal
ketika ia masih seumuran anak SD. Emy, tetangga Agung, menuturkan ayah
Agung memiliki ingon-ingonan. Katanya, sebelum meninggal, bapaknya
berpesan kalau Agung tidak boleh ke pusaranya hingga empat puluh hari pasca
meninggal. Tetapi titah itu dilanggar. “Sopo seng iso nglarang Agung?”. kata
Emy. Peristiwa pelanggaran itulah, yang disangka menyebabkan ingon-ingonan
itu masuk ke dalam tubuh Agung dan mewujud dalam tindakan-tindakan yang
jahat.79
Dewi menyatakan kalau suatu hari, melihat Agung seperti tengah
bersemedi di dalam kamarnya. Agung diam saja. Kemudian saat ia berjalan ke
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
dapur tiba-tiba melihat kaki seribu berwarna orange bersih. Dewi merasa ada
yang aneh dengan warna kaki seribu itu, sebab biasanya kaki seribu berwarna
merah gelap, lalu ia menjeri dan, tanpa basa basi, Agung membunuh kaki seribu
itu. “Kata ibu, kaki seribu itu ingon-ingonane bapak.” tutur Dewi. 80 Ingon-
ingonan bapak Agung inilah yang dianggap Dewi masuk ke dalam tubuh Agung.
Senada dengan pernyataan itu, Triyani juga menyakini kalau Agung itu
keblonan (kemasukan), ingon-ingonan ayah dan mbahnya. Kakek Agung adalah
seorang yang hebat. Ia ramempan dibacok (tidak terluka meski dilukai dengan
benda tajam) dan bisa ngilang (menghilang tiba-tiba). Cerita tentang
kehebatannya terjadi di era kolonial. Pada saat tentara kolonial mengepung
kakeknya Agung, ia bisa ngilang. Kalau ada musuh yang mengepung, langsung
bisa ngilang (menghilang).81
2. Praktik Wacana Pasung Pada Agung Tri Subagyo
Banyak warga mengatakan bahwa Agung dipasung karena
membahayakan. “Kalau tidak dipasung itu berbahaya mbak,” kata Lia. Pernyataan
serupa juga dikatakan Triyani, Emy, Dewi, Sumaryanto dan warga Sri Gentan
lainnya. Dengan serempak, tanpa berfikir panjang mereka menyatakan bahwa
Agung dipasung itu karena ia membahayakan.
Tindakan yang paling ditakuti ialah ketika Agung membawa golok, sambil
keliling desa dan teriak-teriak mengumpat. Lia mengingat ketika itu Agung
keliling desa sambil membawa golok. Orang-orang yang melihatnya lalu menutup
80 Wawancara dengan Emy, tetangga Agung, pada tanggal 29 Juli 201381 Wawancara dengan Triyani, tetangga Agung, pada tanggal 28 Juli 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
pintu dan jendela rumahnya rapat-rapat. Lia bercerita tentang hal itu. Ketika itu
Lia pulang dari sekolah, orang-orang lalu berteriak “Agung ngamuk Agung
ngamuk,” mendengar itu, ia langsung lari masuk ke rumah. Di dalam rumah sudah
ada ibu dan adiknya. Setelah Lia masuk, ibu dan adiknya lalu mengunci pintu. Di
luar, ia mendengar suara Agung yang mengumpat-ngumpat, berteriak-teriak,
menyebut semua nama binatang. “ Di dalam rumah ia, adik dan ibunya hanya
diam, tidak berani berbicara apapun, hanya diam dalam kesunyian. Bulu
kuduknya merinding mendengar teriakan Agung dari luar. Ketika itu desa
sungguh sunyi. Semua orang menutup rapat-rapat pintu rumahnya.
“Ya… itu mbak, waktu itu kan, Agung bawa golok terus teriak-teriak, takbunuh kowe, tak bunuh kowe, kan ya…nggak tahu itu, ndak ada apa-apa, marah-marah, waktu itu ngejar-ngejar ibunya …wong neng kene barang (di sekelilingrumah ). Lha yo podo wedi (pada ketakutan), dia marah-marah terus. Ngomongsemua nama binatang keluar. (maksudnya nama binatang?). Ya..itu mbak, maafya..kayak asu…sama teman-temannya.. terus..dah kayak gitu.. lari-lari kelilingkampung. Waktu itu orang-orang takut semua. Pada takut keluar rumah. Langsungpada nutup rumah. (Kenapa begitu?)..Ya… Itu mbak..ndak ngerti, tiba-tiba ajagitu… kayak gitu…bahaya mbak kalau dibiarin…” cerita Lia.82
Tindakan Agung marah-marah dengan nada keras itu ditujukan pada
banyak orang, bukan hanya ibunya. Salah satu orang yang sering Agung umpat
adalah Muhajari. Menurut Lia, Muhajari adalah sesepuh desa yang dipercaya
keluarga Agung untuk menasehati dan menyelesaikan masalah-masalah yang
timbul antara Agung dengan tetangga-tetangganya. Agung sering ngumpat-
ngumpat Muhajari beberapa kali, “Yo..pak Muh itu juga sering diumpat
Agung..wah lek ngunek-ngunekne sak penak-penake (Kalau mengumpat itu
82 Wawancara dengan Lia Amalia pada 05 Mei 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
semaunya sendiri)”. Tetapi yang membuat orang menutup pintu dan jendela
memang ketika Agung membawa golok sambil berkeliling dan mengancam akan
membunuh ibunya.
Umpatan-umpatan dengan menyebut nama binatang seperti; asu, bajingan
dan sebagainya adalah ucapan yang sangat tabu di masyarakat. Di desa itu semua
orang selalu sebisa mungkin berbicara dengan suara lembut. Sesama tetangga,
terutama di kelas dhuwur, Agung bagian dari kelas ini, mereka selalu
menggunakan bahasa kromo. Anak-anak kecil selalu menggunakan bahasa kromo
dengan orang tuanya. Terutama di kelas dhuwur, setiap anak selalu menggunakan
bahasa kromo dengan orang tuanya. Tetapi saudara-saudara Agung saat berbicara
dengan ibunya menggunakan bahasa biasa, tidak kromo. Meski begitu, saudara-
saudara Agung juga selalu berbicara dengan nada sopan dan lembut. Dewi
mengisahkan, sebelum marah-marah membawa golok, Agung juga berbicara
dengan cara bicara seperti orang pada umumnya. Ia tak mengetahui pasti
bagaimana Agung bisa marah-marah sambil membawa golok seperti itu.
Tentang konflik antara Agung dengan ibunya, Dewi mengisahkan bahwa
ibunya pernah melarang Agung berhubungan dengan perempuan di desa tersebut.
Perempuan yang dekat dengan Agung itu di desa tersebut juga dianggap orang
gila. Agung sempat dekat dengan perempuan itu. Dewi menuturkan hubungan
mereka seperti orang ‘pacaran’. Ia pernah melihat Agung sedang petanan ( saling
mencari kutu di rambut mereka, secara bergantian). Ceritanya, suatu hari Agung
membawa termos dan roti ke rumah perempuan tersebut. Ibu Agung melihat hal
itu dari jauh. Sepulang dari rumah perempuan itu, Rufiah langsung marah pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Agung. Menurut Dewi, ibunya khawatir kalau Agung terlalu dekat dengan
perempuan itu lalu ingin menikahi perempuan tersebut. Rufiah khawatir kalau
sampai sangat dekat dan ingin menikah, padahal Agung tidak mandiri secara
ekonomis. Rufiah menyakini bahwa syarat utama menikah adalah orang itu harus
dapat bertanggung jawab secara ekonomis pada keluarga dan syarat itu tidak ada
pada Agung ketika itu. Karenanya, Rufiah melarang keras anaknya untuk
berhubungan dengan perempuan di desanya itu. Namun, Dewi tidak tahu persis
apakah konfllik itu yang memicu Agung hingga marah sambil membawa golok.83
Hasna, tetangga Agung, menuturkan proses pemasungan. Ketika itu
Agung dikejar beberapa orang lelaki. Mereka ada yang membawa pecut, sapu lidi,
tali dan sebagainya. Agung dikejar ramai-ramai. Banyak orang yang melihat
adegan itu. Pengejaran itu sampai mengelilingi kampung, hingga orang-orang
yang ada di dalam rumah keluar, untuk melihat adegan itu. Orang-orangpun
beramai-ramai menyaksikan adegan itu. Seingat Hasna, saat itu di pagi hari, saat
orang sedang bekerja. Ia juga melihat Agung dikejar bapak-bapak, sekira ada
delapan orang yang mengejarnya, lalu di sekolah SD, di mana saat itu Hasna
masih sekolah SD di Sri Gentan, jarak antara sekolahan dengan tempat tinggal
Agung sekira 600 meter. Di SD itulah orang-orang dapat menangkapnya. Mereka
beramai-ramai menakut-nakuti Agung agar mau melepaskan goloknya, setelah
menakut-nakuti dengan banyak orang yang akan menggeroyoknya, akhirnya
Agungpun melepaskan golok, dan mereka menggiring dengan sedikit memaksa,
setengah mendorong, sambil mengancam Agung jika tidak mengikuti keinginan
83 Wawancara dengan Dewi pada 05 Mei 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
mereka, dengan pecut.84 Orang-orang sudah ramai berkumpul di rumah Agung.
Mereka mengerumuni dan melihat prosesi Agung dipasung. “Waktu itu halaman
rumah sampai penuh.” Kenang Dewi.
Saat akan dipasung energi Agung sangat kuat. Orang-orang yang bertugas
mengikatnya harus mengeluarkan energinya sekuat tenaga. Bahkan mereka harus
berulang-ulang berusaha sekeras tenaga mengikat kaki Agung dengan rantai.
Radhin, orang yang ikut memasung Agung, menceritakan saat itu dia diminta ibu
Agung untuk membantu mengikatnya. “ Saya heran mbak waktu itu…orang satu
saja kok sampai 8-10 orang ndak mempan. (Saya saat itu terheran-heran
mbak..orang satu saja kok harus banyak orang yang ikut mengikat, ndak kuat). Itu
sampai nggak kuat.” Katanya. Ia sendiri ketika itu memegang tubuh Agung,
sampai berkeringat, menggos-menggos (sampai kehabisan nafas), dengan tujuh
orang yang harus membantunya, ada yang memegang tangan Agung, ada yang
memegang kakinya, ada yang memegang perutnya, satu kaki dua orang,
tangannya juga, dan ada bagian yang mengikatkan rantainya. “ Itu kuat sekali
mbak Agung, sampai orang-orang kewalahan, banyak orang yang harus
memegang” katanya.85
Rufiah menyatakan bahwa ia memasung Agung diantaranya karena ia
takut kalau Agung dibiarkan malah akan terlantar di jalan. Ia takut Agung kabur
dari rumah dan hidup menggelandang, karena banyak orang yang tidak senang
dengan keberadaannya. Untuk meletakkan Agung di rumah sakit jiwa dia sudah
84 Wawancara dengan Hasna, tetangga Agung, pada 04 September 201385 Wawancara dengan Radhin, orang yang ikut memasung Agung, pada 07 September 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
tidak bisa, karena sudah delapan kali ia ke rumah sakit jiwa dan dokter bilang
Agung sudah sembuh. Berdasarkan pengalamannya itu, ia sudah lelah mengurus
ke RSJ. Hasilnya, selalu saja Agung kumat (kembali gila) saat di rumah.
Sedangkan kalau tidak dipasung, ia khawatir anaknya itu akan lari dari rumah,
hidup menggelandang di rumah. Begini tuturnya, “ Daripada aku ra ngerti
mangan opo. Ben ranok seng ngece. Aku ki ngerti, wong-wong kuwi jahat, pernah
ngantem sirae..emange aku ra ngerti. Wong wes ngerti gendheng dikonokno
ngono. Mbok dimaklumi. Tapi aku meneng wae. Ben ra rame. (daripada aku ndak
tahu Agung makan apa. Biar tak ada lagi yang melecehkan. Saya tahu orang-
orang itu jahat. Mereka pernah menghantam kepala Agung. Orang-orang itu
mukul kepalanya,..saya tahu itu. Sudah tahu gila kok dibegitukan. Seharusnya kan
memaklumi. Saya diam saja. Biar tidak ada konflik)” tegas Rufiah.86
Rufiah melihat kenyataan banyaknya orang gila yang hidup di jalanan,
yang terlantar dan tidak diberi sandang, pangan yang cukup. Ia tidak tega
membayangkan Agung akan makan apa serta akan menjadi seperti apa jika
dibiarkan. Ia takut anaknya itu kabur, menghilang dari kampung hingga tak
diketahui kabarnya.
Dengan memasung anaknya ia bisa merawat dan memastikan kondisi
Agung baik-baik saja. Setiap hari ia menyediakan makanan untuk Agung. Kadang
ia masak sendiri, kadang beli. Tetapi lebih sering masak sendiri. Ia memberi
Agung makanan setiap hari, sebanyak tiga kali sehari; pagi, siang dan malam.
Setelah memberi makanan, tak lupa ia memberikan rokok. Selain itu ia juga
86 Wawancara dengan Rufiah pada 18 Juli 2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
membersihkan tempat Agung dipasung setiap hari dan rutin memandikannya
minimal dua minggu sekali. Ia mengatakan tak tega kalau membiarkan Agung di
jalanan.
Dibandingkan dengan perlakuan negara pada orang-orang gila yang
diambil di jalan, tentu perlakuan keluarga jauh lebih baik. Pemerintah
menempatkan orang-orang yang dianggap gila di panti asuhan-panti asuhan
dengan makanan sangat minim dan buruk, bahkan kurang serta dengan fasilitas
yang jauh dari memadai. Itulah alasan yang kali pertama diungkapkan Rufiah saat
saya bertanya tentang alasan memasung. Ia dan keluarga tidak dapat
membayangkan anaknya hidup di jalanan. Ia takut kalau membiarkan, akan ada
orang-orang yang berbuat jahat. Daripada tidak tahu makan apa, di mana serta
bagaimana orang lain memperlakukan Agung, lebih baik mengikatnya.87
Gambar V. Perlakuan pemerintah pada orang-orang gila dijalanan setelah diletakkan di pantiasuhan Cindelaras. Foto oleh John Stanmeyer 88
87 Wawancara dengan Rufiah, ibu Agung, pada tanggal 18 Juli 201188 Foto diambil dari website VII photo
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Tetangga yang terlibat langsung dengan pemasungan Agung, semisal
Radhin merasa takut kalau pasungan Agung dilepas akan balas dendam
dengannya. “ Ya….saya takut kalau dia dilepaskan itu kan dia bisa balas dendam
ke orang-orang yang memasung.” Hal senada disampaikan Ma’ruf. Ia khawatir
kalau pasungan Agung dilepas akan mencelakai orang-orang yang pernah
memasungnya atau orang yang ikut dalam proses pemasungan. Sebab,
menurutnya, Agung itu sewaktu ngamuk juga ngamuk-ngamuk dengan orang-
orang yang pernah dimintai tolong ibunya membawanya ke RSJ. Mengenai
kekhawatiran tentang kemungkinan Agung membalas dendam ini juga diteguhkan
Radhin. Ia mengisahkan bahwa ketika ia disuruh mengambil buah kelapa Rufiah,
ketika itu Agung melihatnya akan mengambil buah kelapa dan Agung langsung
berdiri dan melempari saya, “Saya dilempar itu lho…maaf itu lho
mbak…kotorannya yang dibungkus plastik.”89
Ingatan Agung terhadap orang-orang yang pernah ikut memasung atau
tidak menyenangkan buatnya itu memang masih melekat betul di benak Agung.
Rufiah mengatakan kalau Agung sering menyebut orang-orang yang dimusuhinya
itu sambil berteriak-teriak dan mengancam akan membunuh mereka. “Wong
koyok ngunu kuwi akeh dendame barang kok, (Orang seperti itu-Agung- banyak
dendam sama orang-orang)” Rufiah menjelaskan bahwa Agung banyak dendam
terhadap orang-orang yang dianggap Agung pernah berbuat jahat padanya.90
89 Wawancara dengan Radhin pada 07 September 201390 Wawancara dengan Rufiah pada 18 Juli 2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
B . Jalinan Kuasa Masyarakat atas tindakan Memasung Agung Tri Subagyo
1. Penghakiman Massal Terhadap Agung Tri Subagyo
Saat kali pertama mewawancarai masyarakat Sri Gentan, ketika saya
mengatakan niat meneliti Agung, banyak yang memperingatkan saya agar berhati-
hati. Bahkan, ada pula yang melarang saya meneliti. Bariroh misalnya
mengatakan bahwa baginya, membicarakan Agung berarti membicarakan aib
keluarga. Karenanya, ia tidak berani menguraikan secara detail tentang Agung.
“Untuk mendekati keluarga Agung sangat riskan. Saya takut, ndak berani kalau
mbak bertanya langsung ke keluarganya, karena hal itu sangat sensitif. ” Ketika
membicarakan Agung, ia melihat kiri-kanan, memastikan tidak ada orang lain
yang nguping (mendengarkan). Padahal saat itu kami ada di ruang tamu
rumahnya, yang berjarak sekira 100 meter dari rumah Agung. Karena sangat
khawatir dampak buat saya jika meneliti Agung, ia menyuruh saya berhati-hati
ketika berbicara Agung, terutama pada keluarganya. Ia tidak berani sedikitpun
menanyakan apalagi membahas Agung secara terbuka. Jika bertemu atau
berpapasan tak sengaja dengan Rufiah, ia hanya akan menyapa sewajarnya,
sebagai tanda baik dengan tetangga. Tetapi sedikitpun tak menanyakan kondisi
Agung.91
Tetangga-tetangga yang lain juga melakukan hal yang sama dengan
Rufiah. Mereka lebih sering diam dan berusaha menghindar dari pembicaraan
tentang Agung. Mereka khawatir apa yang mereka katakan akan menyakiti
91 Wawancara dengan Bariroh pada 06 April 2010
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
keluarga Agung. Membicarakan kegilaan dianggap sama dengan membicarakan
aib keluarga yang dianggap ‘gila’. Karenanya, sebelum berbicara, banyak yang
menyuruh saya berjanji untuk tidak mengatakannya pada keluarga Agung,
“Jangan bilang ya mbak…kalau saya yang bilang” begitu setiap kali mereka
memberi penjelasan tentang Agung.
Rufiah juga merasa tidak nyaman berlama-lama bertetangga. Buatnya,
bertetangga itu susah. Ia merasa tidak nyaman jika berkumpul atau sekedar
ngobrol-ngobrol dengan tetangganya. Ia memilih sibuk di rumah; membersihkan
rumah, memasak, berkebun atau jika sudah senggang menonton televisi. Kadang-
kadang saja ia bertemu tetangga, itupun karena ada keperluan yang sangat
penting. Misalnya, saat berbelanja di pasar gayu, yang jaraknya sekira 500 meter
dari rumahnya. Ia ‘terpaksa’ bertemu tetangga-tetangganya atau jika ada
tetangganya yang ‘gawe’ atau hajatan, misalnya acara pernikahan, maka ia akan
ikut ‘ngrewang’ membantu masak. 92
Sebelum dipasung, warga pernah melakukan kekerasan fisik maupun
psikis pada Agung. Markisah, tetangga Agung, mengisahkan ketika itu para
tetangga mengabarkan tentang sekelompok pemuda yang memukuli Agung. Ia
mengisahkan Agung dipukuli di gang jalan oleh pemuda-pemuda kampung, tetapi
para tetangganya juga tidak tahu penyebab peristiwa itu. Berita itu dibenarkan
Rufiah. Ia mengenang peristiwa itu sebagai peristiwa traumatik. Ia marah bukan
main. Bahkan saat bercerita ke saya, darahnya seperti mendidih. Matanya melotot
dengan nada kesal. Ia masih menyimpan amarah dengan orang-orang yang
92 Wawancara dengan Rufiah pada 18 Juli 2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
melakukan kekerasan pada anaknya itu. Saat itu, ia terkejut ketika melihat Agung
ke rumah dengan kepala berdarah-darah. “Saya bilang pada mereka, mbok jangan
dendam sama orang lain, wong koyok ngono (orang seperti itu), mbok dimaklumi
(Maklumi saja)” Melihat anaknya yang pulang babak belur, ia hanya mengelus
dada. Agung hanya diam saja. Rufiah membersihkan darah dan luka di pelipisnya.
Lalu, menasehati anaknya itu agar tidak berbuat macam-macam. Saat itu Agung
hanya diam. Sebenarnya, bukan sekali itu saja Agung dipukuli, ia juga pernah
melihat ada orang yang ‘ngantem’ (melempar) batu ke Agung. Tetapi saat saya
bertanya, siapa yang sering memukuli Agung, dia menjawab “Saya tahu…tetapi
saya tidak mau dendam, saya hanya berdoa pada Tuhan ben wong seng koyok
ngono iku (biar orang yang seperti itu) disepuro karo gusti Allah (dimaafkan
Allah)”.93 Katanya, lebih baik diam daripada menimbulkan masalah dengan
tetangga. Dalam hatinya ingin protes, tak dapat terima tindakan itu, tetapi ia
hanya mendiamkan saja. Dia memilih memendamnya dalam hati. Jika ia
mempermasalahkan hal itu, ia merasa malah akan memperumit posisinya dan
posisi anaknya.
Anak-anak kecil juga sering menjadikan Agung sebagai bahan ejekan.
Kala itu, sebelum Agung dipasung, Anak-anak kecil di desa Sri Gentan ketika itu
senang sekali menjadikan Agung sebagai objek ejekan. Saat melihat Agung seolah
menyaksikan mainan. Ketika melihat Agung dari jauh, mereka akan bergerombol.
Lalu, mengikutinya di belakang. Seperti pasukan yang dikomando, anak-anak itu
seakan sudah hafal betul apa yang harus mereka lakukan dan katakan. Sambil
93 Wawancara dengan Rufiah tanggal 18 Juli 2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
mengikuti Agung dari belakang, mereka mengolok-ngolok ‘ wong edan- onok
wong edan’. Olok-olokan itu akan berhenti jika Agung melihat mereka ke
belakang sambil melolot. Jika sudah seperti itu, mereka akan ngibrit, lari kocar-
kacir. Olok-olokan ‘Wong edan-wong edan itu seringkali dilakukan anak-anak
kecil, sebelum Agung membawa golok dengan mengelilingi kampung.94
Rufiah sering mendengar orang-orang membicarakan anaknya. Kadang,
saat ia berjalan ia mendengar orang-orang berbisik-bisik tentang ‘keedanan’
Agung. Ia pernah tak sengaja mendengar orang-orang berbisik ‘kenapa wong edan
koyok ngono ra dipasung wae? (kenapa orang gila seperti itu tidak dipasung
saja)” Menurutnya, tetangga-tetangga sering mengolok-ngolok dan menjelek-
jelekkan Agung di belakang.95
Saat Agung telah dicap sebagai wong edan, orang-orang banyak yang
tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. Dianggap apa yang dikatakan
Agung bukan sebuah kebenaran. Mereka enggan berbicara dengan Agung, sebab
dianggap tidak penting berbicara dengan wong edan. Ketika Agung berbicara
dengan mereka, mereka akan menganggap hal itu seperti angin lalu. Lia berkata
dia tidak pernah menyapa Agung. Perlakuan itu berbeda dengan perlakuannya
pada tetangga-tetangganya. Jika dengan tetangga-tetangga lain ia tersenyum dan
menyapa atau sekedar bertanya basa-basi, misalnya bertanya ‘bade teng pundi?
(mau kemana?)”, dengan Agung dipastikan dia hanya diam saja, bahkan tidak
melihatnya sama sekali. Mendiamkan Agung, tanpa menyapanya, apalagi sengaja
94 Wawancara dengan Markisah pada 05 Mei 201395 Wawancara dengan Rufiah pada 18 Juli 2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
mengajaknya bicara merupakan hal yang dianggap sebuah kewajaran di kampung
ini. Dulu, ketika Agung mulai sering ke kuburan dan bertingkah aneh, orang-
orang tidak ada yang menyapa Agung seperti mereka menyapa tetangga lainnya.96
2. Pertanggungjawaban Seorang Ibu Atas Keselamatan Jiwa Seorang
Anak
“Bagaimanapun jangan sampai memasung Agung, kalau tidak ada
persetujuan dari keluarganya, karena bagaimanapun itu tanggung jawab
keluarga,” Muhajari, sesepuh desa, menyatakan hal itu saat warga rapat
membahas tentang sikap apa yang akan mereka putuskan dalam menangani
masalah Agung. Ketika itu warga membahas kemungkinan memasung Agung,
dan Muhajari menyampaikan bahwa warga boleh memasung Agung berdasarkan
persetujuan keluarga. Ia menegaskan bahwa apa yang terjadi pada Agung adalah
tanggung jawab keluarga. Sesepuh desa itu menyakini bahwa keluargalah yang
harus bertanggung jawab jika ada anggotanya yang dianggap mengancam
keberadaan tetangga lain. Hadir dalam pertemuan itu adalah sesepuh desa, serta
ketua RT dan perangkat. Tidak ada bantahan dari yang hadir mengenai pendapat
sesepuh desa itu, alias sepakat bahwa keluargalah yang akan mereka jadikan
pegangan untuk bisa memasung Agung atau tidak.97
Hal senada juga disampaikan Guciadi, kepala desa pada saat Agung
dipasung. Ia menyatakan bahwa meskipun saat itu ia menjabat sebagai kepala
desa, namun ia tak berani cawe-cawe, tidak berani ikut campur dengan masalah
Agung. Menurutnya, yang punya hak memutuskan atas apa yang harus dilakukan
96 Wawancara dengan Lia Amelia pada 24 Juli 201197 Wawancara dengan Muhajari pada 05 Mei 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
pada Agung adalah keluarganya. “ Ketika itu sebagai perangkat desa, saya sudah
menyarankan agar dimasukkan ke rumah sakit jiwa, melalui Jamkesmas, tetapi
keluarga memutuskan untuk memasung, saya tidak berani ikut campur. Apalagi
mas Agung itu, saya memanggil itu mas Agung, untuk menghormati. Karena kan
masih kelas dhuwur. Sedangkan saya ini kelas ngisor. Makanya, saya tidak berani
apa-apa ketika keluarganya memutuskan memasung.” 98
Radhin menegaskan hal serupa. Ia menjelaskan bahwa sikap apa yang
harus dilakukan pada Agung merupakan tanggung jawab keluarga. Keluargalah
yang harus bertanggung jawab atas tindakan-tindakan Agung yang menganggu
orang lain. “Setiap anak adalah tanggung jawab kedua orang tua. Mau dijadikan
apa anak itu ya…tergantung keluarganya. Baik buruk anak itu tergantung
pendidikan keluarga.” tegasnya. Karenanya, setiap apa yang dilakukan anggota
keluarga merupakan tanggung jawab keluarganya.99
Atas dasar desakan semacam itulah Rufiah memutuskan memasung
Agung. Rufiah menyetujui saran Muhajari dan mantri (tenaga kesehatan desa)
memasung anaknya. Memasung merupakan cara yang ia dan keluarga tempuh
untuk bertanggung jawab terhadap anaknya. “Agung dirantai karena kami
bertanggung jawab untuk melindungi dan memberikan dia makan. Karena kami
tak tega kalau dibiarkan di jalan seperti orang-orang itu. Lebih baik melihatnya
diam di rumah, daripada keluyuran di jalan dan keluarga tidak tahu dia makan
apa dan bagaimana.” Kata Arifin, kakak pertama Agung. Menurutnya, jika
keluarga membiarkan anggota keluarganya di jalanan, itu artinya, keluarga telah
98 Wawancara dengan Guciadi pada 29 Juli 201399 Wawancara dengan Radhin pada 07 September 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
membuang orang tersebut. Ditambahkannya, jika hal itu benar-benar terjadi,
berarti keluarga malu punya anggota keluarga yang gila. “Karena kami tidak
malu mempunyai keluarga seperti Agung, maka kami memasungnya,”
ungkapnya.100
C. Dampak Yang Diterima Keluarga Atas Tindakan Memasung Agung Tri
Subagyo
Setelah Agung dipasung, tidak serta merta permasalahan yang dihadapi
keluarga Agung selesai. Tanggung jawab merawat serta memelihara Agung tetap
di tangan mereka. Begitu pula dengan memasung Agung, pemasungan pada
Agung di satu sisi membuat keluarga memenuhi tanggung jawabnya untuk
melindungi masyarakat dari perasaan terancam atas keberadaan Agung juga
melindungi Agung dari kemungkinan disakiti orang lain. Namun, di sisi lain
,pemasungan juga menimbulkan luka baru.
1. Jeritan Bahagia Seorang Ibu Atas Tunainya Tanggungjawab
Rufiah merupakan pihak keluarga yang dianggap masyarakat sebagai
orang yang harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Agung. Suaminya
telah meninggal sejak Agung masih kecil, sedangkan kakak-kakak Agung yang
lelaki telah merantau di luar kota mencari nafkah. Ketika masyarakat mendesak
Rufiah segera melakukan tindakan pada Agung atau mendesak memasung Agung,
saat itu dialah yang harus memutuskan. Sebab anak-anaknya, Dewi dan Ika, saat
itu masih muda. Mau tak mau, suka tak suka, dialah yang harus mengambil
100 Wawancara dengan Zainal Arifin, kakak pertama Agung, ketika ia sedang berkunjung kerumah ibunya. Ia tinggal di Semarang. Pada tanggal 24 Juli 2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
keputusan itu. Karenanya, para tetangga yang ikut memasung Agung mengatakan
bahwa mereka memasung Agung karena disuruh Rufiah. Radhin, yang ikut
memasung Agung berkata, “ Yo…aku iku manut karo wong dhuwur mbak. Kan
memang ibunya yang minta warga untuk memasung Agung. ( Ya…saya itu ikut
kata-kata orang atas bapak. Kan memang ibunya yang meminta bantuan warga
memasung Agung)”
Setelah Agung dipasung, Rufiah merasa lega. “Ben ngono wae
mbak..emang iku wes takdire Allah. Luwih apik dipasung daripada ngrusui wong-
wong. Misale dijarke, aku yo Isin mbak lek wong-wong jukuk krambil neng
umah, mengko do ngiro lek aku seng ngongkon Agung. ngisin-ngisini wae.
(Biarkan Agung seperti itu mbak. Memang sudah takdir Allah. Lebih baik
dipasung daripada mengganggu orang-orang. Kalau dibiarin-tidak dipasung- saya
malu. Misale kalau orang-orang mengambil kelapa di rumah itu saya malu, nanti
dikira saya yang nyuruh Agung)” dibandingkan dengan perasaan ketika Agung
belum dipasung, Rufiah merasa lebih lega . Karena dengan dipasung, ia tidak lagi
merasa tidak enak dengan tetangga akibat tindakan-tindakan Agung yang di luar
kebiasaan, seperti mencuri barang-barang milik tetangganya.
Sebagai seorang ibu, naluri melindungi anak-anaknya adalah hal yang tak
bisa ia hindari. Meskipun Agung kadang-kadang membuatnya jengkel, karena
tindakannya yang aneh-aneh tetapi tetap saja ia tak terima ketika anaknya
diperlakukan semena-mena pada tetangga-tetangga. Misalnya, ia tak bisa
menahan amarah dan tangis ketika mengingat Agung yang dilempar batu oleh
tetangganya atau dipukuli sampai babak belur oleh pemuda-pemuda di desanya. “
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Emang aku rangerti lek wong-wong kuwi jahat karo anakku, aku ngerti wong
ngantemi watu neng anakku (memang saya tidak tahu kalau orang-orang itu pada
jahat sama anak saya, saya tahu orang yang melempar batu ke anak saya)”
mukanya terlihat marah, dengan nada tinggi saat mengatakan hal itu, lalu dia
meneruskan “ Sopo seng tego delok anae disakiti mbak, sampai sirae berdarah-
darah ( siapa orang tua yang tega, melihat anaknya disakiti mbak, hinggga
kepalanya berdarah-darah lho)” kenang Rufiah. “Lek dicancang, aku kan ra perlu
kuatir. Wong-wong koyok ngono maneh (Kalau diikat saya tak perlu khawatir,
Agung akan diperlakukan buruk lagi)”
Selain itu, dengan memasung Agung berarti memudahkannya merawat
anaknya itu. Ia dapat memastikan bahwa Agung di tempat yang nyaman, tanpa
perlu was-was akan tindakan-tindakan Agung atau tindakan-tindakan orang lain
pada Agung. Dengan dipasung, ia dapat memastikan sandang dan pangan Agung.
Setiap hari ia bisa memberi makanan pada anaknya itu. Setidaknya, ia bisa
memastikan bahwa Agung bisa makan sehari tiga kali, bisa merokok, bisa minum
teh tiap hari, juga terjamin kebersihan tempat pemasungannya. Keinginannya
untuk merawat dan memastikan bahwa Agung sehat-sehat saja, baik-baik saja,
tanpa kekurangan sandang pangan itu ia ungkapkan pada Agung. Ketika itu
Agung mengatakan keinginannya untuk tidak dipasung, “ Jane aku ki yo pingin
macul-macul ngono..” Lalu dengan spontan Rufiah menjawab, “Wes gogok wae,
tak ragati ( sudah duduk saja, saya rawat)”
Untuk dirinya sendiri, dengan memasung Agung ia bisa nyaman tinggal di
rumah, tidak lagi perlu menginap atau bersembunyi ke rumah orang lain saat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Agung ngamuk. Jika sebelum Agung dipasung, Rufiah harus mencari tempat
persembunyiaan karena khawatir akan dicelakai, dalam bayangannya dibunuh
Agung, karena Agung pernah membawa golok sambil mengancam akan
membunuhnya, maka dengan memasung Agung ancaman itu ia dapat tidur pulas
di rumahnya sendiri. Ia tak lagi takut karena Agung sudah diikat. Dulu setiap
Agung kumat, ngamuk, dan memarahinya, ia akan bersembunyi di rumah warga.
2. Jeritan Tangis Seorang Ibu Atas ‘Musibah’ yang Harus Ia Pikul
Bagi Rufiah pemasungan juga menimbulkan luka baru. Meski ada
kelegaan tetap saja ada yang mengganjal. “Sopo seng pingin anae koyok ngono
(siapa yang mau anaknya diperlakukan seperti itu?)” Berkali-kali ketika saya
datang ke rumahnya, kata-kata tak berdaya semacam itu sering keluar.
Seringkali ia bernada tinggi ketika ada orang yang bertanya tentang
Agung. Perasaan tidak menentu, merasa tidak nyaman dengan kenyataan bahwa
anaknya dipasung seringkali hinggap, terutama ketika ada orang lain yang ia
anggap menyalahkan tindakan itu. Ia tak bisa menyembunyikan amarah ketika
seorang pemuda, yang memotret Agung saat itu, menasehatinya agar tidak
memasung Agung. Pernyataan orang lain yang melarang pemasungan itu benar-
benar mengusik dan membuatnya geram. “Wong kuwi rangerti wae masalae, ra
ngerti koyok piye aku, nasehati ben ra masung Agung emang sopo dee?” (Orang
itu tidak tahu masalah sebenarnya, tidak mengerti saya seperti apa, seenaknya
menasehati orang biar tidak memasung, memang siapa dia?), ia menceritakan hal
itu dengan nada tinggi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Setiap kali ia berbicara tentang Agung selalu dengan nada tinggi, seperti
orang yang tersinggung. Misalnya, ketika saya sudah berusaha semaksimal
mungkin bertanya dengan nada dan kata-kata halus tentang bagaimana kondisi
Agung, “Des pundi buk kabarnipun Agung? (bagaimana kabar Agung)” dia
langsung dengan nada tinggi berkata, “ Yo cah ra genah yo ngono kuwi, jenenge
wae cah ra genah. Jenenge wae wong gendeng. (Namanya juga orang nggak
bener, namanya aja orang gila, ya seperti itu), yo lek bar mangan iku karepku tak
suruh rapi, ora ngrusui (setelah makan itu inginku dia itu rapi, tidak
memperburuk.)
Memasung Agung juga membuatnya tidak dapat kemana-mana. Ia
mengatakan tidak dapat berkunjung ke rumah anak-anaknya yang lain karena
harus merawat Agung setiap hari. “Aku ki raiso neng ndi-neng ndi, jane yo pingin
dilii putu, nginep neng umae anakku, ( saya tak bisa kemana-mana, sebenarnya
saya ingin menengok cucu, nginep di rumah anak saya)” Keluh Rufiah. Ia tak
bisa meninggalkan Agung barang sehari saja, karena tidak ada yang bisa
mengganti merawat Agung. Ia juga akan selalu kepikiran anaknya itu jika
ditinggal pergi. Karena itu ia juga merasa terpenjara, “Raiso neng ndi-neng ndi
(tidak bisa kemana-mana)” begitu inginnya terlepas dari pekerjaan merawat
anaknya itu, ia bilang, “lek onok seng gelem ganteni ngurusi Agung, aku gelem
kok, (kalau ada yang bersedia mengganti saya merawat Agung, saya juga mau
kok?)” lalu ia lanjutkan, “Tapi sopo seng gelem ngurus cah ngono kuwi (tetapi
siapa yang bersedia merawat anak seperti itu?)”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
BAB IV
PRAKTEK WACANA MAGIS DAN MEDIS
Bab ini akan menganalisa pengetahuan serta kuasa pada wacana pasung di
desa Sri Gentan. Bagian ini akan diawali dengan menguraikan struktur diskursif
pengetahuan masyarakat Sri Gentan tentang Agung. Lalu, beranjak pada analisa
kuasa yang membentuk, menopang serta melanggengkan pasung, dan diakhiri
dengan analisa mengenai dampak psikologis paling kentara dari relasi kuasa itu
yaitu histeria seorang ibu.
A. Mengetahui Agung melalui yang Magis dan Medis
Pengetahuan membentuk cara kita berfikir mengenai banyak hal.
Beraneka kebutuhan, keinginan, hasrat, kepentingan dimunculkannya. Dari tiada
menjadi nyata. Pun sebaliknya, pengetahuan juga bisa mengendapkan banyak
yang ada, yang kita rasakan, yang kita maui, menjadi samar bahkan lenyap entah
kemana. Hal itu terjadi, sebab cara pengetahuan menciptakan sesuatu selalu
dengan membentuk batas-batas tentangnya.
Batasan-batasan 101 yang dibuat pengetahuan itu penting kita ketahui.
Sebab dari situ kita dapat membongkar kejumudan dalam memandang serta
mengenali sesuatu. Pembatasaan itu bisa kita perhatikan dari definisi-definisi yang
dibuat, hipotesa-hipotesa yang diciptakan dan solusi-solusi yang ditawarkan. Dan,
dalam kondisi itu, sebagai konsumen pengetahuan, bisa jadi kita tak menyadari
101 Ada empat batasan-batasan dan bentuk-bentuk yang merupakan seperangkat aturan yangterdapat dalam masyarakat tertentu pada periode tertentu yaitu; batasan-batasan dan bentuk-bentukyang dapat diekspresikan, batasan-batasan dan bentuk-bentuk percakapan, batasan-batasan danbentuk-bentuk memori dan batasan-batasan dan bentuk-bentuk pengaktifan kembali.Keempatnyabagian dari discursive formation lihat Alex Machoul &Wendy Grace, h.30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
bagaimana pengetahuan-pengetahuan itu menghegemoni, membatasi ruang gerak
dan mengungkung, menghimpit diri kita sedemikian rupa. Sebab terlalu rapi
struktur, tersamarnya motif-motif, hingga bisa jadi menjebak kita dalam sebuah
struktur yang menutupi ruang untuk merefleksikan tentang hal-hal yang
sebenarnya terbentang luas untuk direkonstruksi ulang.
Dalam produksi pengetahuan kegilaan, Foucault dalam Madness and
Civilization membongkar dan menguraikan struktur diskursif kegilaan. Melalui
karyanya itu, ia menguraikan batasan-batasan yang dibentuk wacana
psikopatologi dalam memproduksi kegilaan. Ia menunjukkan bagaimana
penciptaan objek kegilaan itu muncul dan kemudian dilanggengkan. Ia meneliti
sejarah pembentukan pengetahuan medis dalam memaknai dan membentuk
kesadaran kita tentang orang lain yang diklasifikasikan sebagai orang gila. Ia
menegaskan bahwa pengetahuan medis tentang kegilaan merupakan hasil
konstelasi berbagai kepentingan yang tidak murni sebagai hasil dari sejarah
penyelidikan pengetahuan medis, yang sudah dilakukan para dokter sejak dulu.
Tetapi produksi pembatasan kegilaan diartikan sebagai penyakit itu merupakan
hal yang benar-benar baru bagi pengetahuan medis. Pengetahuan itu didasari
berbagai kepentingan yang merangsang terbentuknya pengetahuan medis atas
kegilaan. Salah satu ide yang memproduksi pengetahuan itu adalah hasrat orang-
orang pada rasio, keinginan untuk menundukkan semua hal di bawah kontrol
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
rasio. Selain itu juga, persepsi moral yang sedang berkembang saat itu, juga
merangsang terbentuknya institusi eksklusi khusus bagi yang dianggap gila. 102
Berangkat dari pemahaman itu, yang saya maksud pengetahuan di sini
adalah pengetahuan sosial masyarakat Sri Gentan dalam memaknai kehadiran
Agung di tengah-tengah mereka. Bahwa hal itu berpengaruh pada cara mereka
menempatkan, menilai, memperlakukan hingga memasungnya. Dan, melalui
pemahaman struktur pengetahuan sosial itu, kita bisa mengetahui batasan-batasan
didalamnya. Sebab fungsi pengetahuan, selain membuat orang tahu sesuatu, juga
sekaligus melahirkan batas-batas mengetahui. Dalam arti ini, pasung dapat kita
tafsirkan sebagai efek dari batasan-batasan pengetahuan warga tentang Agung.
Ada dua pengetahuan yang membatasi pemikiran warga tentang Agung
yaitu pengetahuan magis dan pengetahuan medis. Dua pengetahuan itu memiliki
aturan-aturan struktur diskursif berbeda. Untuk memahami bagaimana struktur
diskursif kedua pengetahuan itu, saya akan memakai teori Archeology of
Knowledge Foucault, sebagaimana diuraikan Norman Fairelough dalam sebuah
buku berjudul Discourse and Social Change. Kondisi-kondisi yang
memungkinkan terbentuknya wacana itu ialah The Formation of Objects, The
Formation of Enunciative Modalities, The Formation of Concepts dan The
Formation of Strategies. 103
102 Foucault, Michel.1977. Madness And Civilization, A History Of Insanity in The Age of Reason.Tr. Richard Howard. USA: Tavistock.
103 Fairelough Norman. Discourse and Social Change.Cambridge: Polity Press inassociation with Blackwell Publishing Ltd, 2006 h.40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
1. Pengetahuan Magis: Hantuisasi Tubuh Agung
Saya membatasi pengetahuan magis sebagai tipe pengetahuan yang
diproduksi masyarakat setempat, bukan pemerintah. Pengetahuan itu menyebar
melalui tuturan-tuturan, cerita-cerita dari mulut ke mulut. Siapapun bisa menjadi
produsen sekaligus konsumen.
Edan adalah sebuah dunia yang masyarakat ciptakan untuk Agung.
Melalui anggapan ini, ia dilihat, dimaknai dan kemudian ditempatkan dalam
sebuah ruang khusus bernama edan. Dunia edan menciptakan serangkaian
penanda-penanda yang kemudian membatasi sekaligus meletakkannya dalam
sebuah kotak. Melalui penanda ini masyarakat memaknai apa yang ia lakukan,
katakan. Ruang itu bagai sebuah kotak yang meringkus lumus tubuhnya.
Warga mendefinisikan edan, gendheng sebagai kondisi seseorang yang tak
punya kesadaran sama sekali. Hilang kesadaran itu diartikan ketidakmampuan
seseorang memahami apa yang terjadi di sekelilingnya, tidak bisa mengontrol
dirinya sendiri, diandaikan bahwa dirinya benar-benar tercerabut dengan dunia
orang-orang kebanyakan. Wong edan berarti tidak dapat berkomunikasi, tidak
dapat diajak bicara, tidak mengetahui bahasa orang-orang pada umumnya serta
tidak sadar dengan apa yang ia lakukan, tercerabut dari realitas sekitar. Dunia
edan dianggap sebagai dunia asing, yang benar-benar berbeda seratus persen,
oposisi biner, dengan dunia waras.
Mereka yang pernah mengenal dan berelasi langsung dengan Agung,
sebelum dipasung, menyebutnya edan separo (gila setengah). Dalam arti, Agung
itu tidak 100% edan. Sesekali ia masih sadar, masih bisa diajak bicara. Sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
50% lainnya masih waras dan 50% edan. Ini yang membuat beberapa orang
ketika saya tanya bingung mengidentifikasi. Jika mereka mendefinisikan Agung
edan itu berarti tak tepat seratus persen. Tetapi kalau dimasukkan sebagai orang
normal juga kurang tepat, karena banyak tingkah laku yang tidak bisa diterima
secara sosial.104
Ada hubungan kausalitas antara dunia edan,gendheng dengan roh jahat.
Agung dianggap edan karena ada makhluk halus yang masuk ke tubuhnya. Roh
itu ditandai dengan lelembut105, jin, dan ingon-ingonan atau pegangan bapake
atau mbahe. Tidak ada definisi khusus yang dikatakan warga untuk membedakan
tiga tanda itu. Yang jelas, keberadaan makhluk-makhluk itu dianggap nyata saat
ia melakukan hal-hal di luar kebiasaan. Misalnya, saat ke kuburan hingga tidur di
sana, mencuri pepaya atau kelapa tapi semua orang tahu, membawa golok,
melawan dengan energi yang sangat kuat jauh melampaui tenaga orang-orang
pada umumnya.
Agung yang ke kuburan hingga tidur di sana, dimaknai sebagai pihak yang
begitu dekat dengan magis.
Makhluk-makhluk itu dibayangkan muncul begitu saja. Diandaikan tanpa
pemicu apapun Agung dapat melakukan hal-hal yang dapat mengancam orang
lain. Tak ada penjelasan bagaimana mekanisme makhluk itu hingga dapat masuk
atau keluar dari tubuhnya. Dari tiga jenis itu, satu makhluk yang memiliki narasi
104 Wawancara dengan Markisah, Pariah, Juminten , di depan rumah Juminten, pada tanggal 11Mei 2014 . Mereka tetangga Agung yang berasal dari kelas ngisor.105 Geertz mengatakan ada yang menyebut lelembut dengan gendruwo, setan, demit, atau jimyang didefinisikan sebagai jenis roh yang masuk dan membuat orang kesurupan, perjumpaandengan makhluk ini bisa berakhir dengan sakit, gila atau kematian. Lihat, Clifford Geertz,Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,Terj. Aswab Mahasin, Jakarta: PustakaJaya,1981. Hal.23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
lebih detail, yang dapat kita baca sebagai pola pikir masyarakat dalam
memandang dirinya dengan makhluk halus dan sebaliknya yaitu ingon-ingonan
bapake.
Masyarakat menyakini makhluk halus yang bersemanyam dalam tubuh
Agung itu milik bapak atau kakek Agung. Makhluk itu bisa membuat keduanya
hebat dan disegani. Kehebatan itu berupa pertahanan diri yaitu ra mempan
dibacok dan iso ngilang (tidak berdarah kalaupun disakiti tubuhnya dengan benda
tajam dan bisa menghilang). Saat berada dalam genggaman kedua orang itu, roh
tersebut dianggap sepenuhnya ada dalam kendali mereka. Untuk keperluan apa
dan dalam situasi apa makhluk halus itu dimanfaatkan tergantung empunya. Itu
artinya, mereka menjadi subjek, sedangkan roh itu objek. Hubungan itu ibarat
tuan dan budak. Masalahnya, setelah si empu meninggal harus ada yang mewarisi.
Dan, tidak ada penjelasan bagaimana mekanisme penunjukan pewaris. Yang jelas,
tiba-tiba saja makhluk itu ada dalam tubuh Agung.106
Sayang, saat masuk ke tubuh Agung, ingon-ingonan itu berubah. Bukan ia
yang mengendalikan, malah ingon-ingonan itu yang menyetir. Ia tidak punya
kuasa atas roh itu. Makhluk halus itu memakai tubuhnya untuk melakukan hal-hal
aneh.Terutama saat melakukan hal-hal yang dianggap buruk oleh masyarakat.
Perubahan fungsi dari membuat seseorang itu hebat menjadi gila terjadi
karena ada kesalahan prosedur. Dua kesalahan yang disebut Emy dan Dewi ialah
106 Sebagai catatan, roh yang menunjukkan kehebatan, kehormatan seseorang itu selaludilekatkan dengan lelaki, kalau tidak dengan bapak, ya dengan kakeknya. Ini menunjukkantumbuh suburnya pandangan patriarkhi yaitu menganggap bahwa lelaki itu lebih hebat, lebihdihormati daripada perempuan. Karenanya, tidak ada yang mengatakan bahwa roh itu berasal dariibu atau neneknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Agung pergi ke makam ayahnya sebelum genap empat puluh hari kematian dan
membunuh simbol eksistensi ingon-ingonan itu yaitu kaki seribu berwarna
orange. Pernyataan-pernyataan itu mau menunjukkan bahwa penyebab gila itu
diri Agung sendiri, tidak ada keterlibatan orang lain. Di sini terjadi proses
individualisasi penyebab, melokalisasi kesalahan hanya pada Agung semata, tidak
ada keterlibatan orang lain yang mempengaruhi tindakan-tindakan yang dianggap
buruk.
Perubahan posisi dari roh yang dikendalikan ke yang mengendalikan
mengubah arti status sosial seseorang. Ada pemaknaan sosial bahwa kesaktian
seseorang ditentukan kemampuan mengendalikan serta mengontrol hal-hal
“metafisik”. Konsep ini pula yang dapat menjelaskan strategi kuasa raja-raja Jawa
yang memproduksi pengetahuan bahwa dirinya dapat menguasai hal-hal
“metafisik”, yang hal itu tentu bisa kita maknai sebagai strategi mengokohkan dan
menegaskan kekuasaannya. Aksi ngedan yang ditampilkan pada pernikahan raja-
raja Jawa, seperti pada pernikahan Pakubuwono IX misalnya. Dengan
menampilkan wong ngedan, seorang raja mau menunjukkan kehebatannya dalam
menguasai yang metafisik.107 Cerita tentang kedekatan Hamengkubuwono dengan
Nyi Loro Kidul misalnya, adalah simbol keinginan raja-raja Jawa untuk
menunjukkan kebesaran dan kehebatannya dengan kemampuan menguasai
“metafisik”, bukan hanya fisik. Oposisi biner dari tipe manusia hebat, berkuasa itu
ialah orang-orang yang ditempatkan paling rendah yaitu manusia yang dikuasai
setan, mahkluk halus dan sebagainya.
107 John Pamberton, , On The Subject of Java, USA: Cornell University 1994, h. 105-107
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Dengan demikian, pengetahuan ini melahirkan hirearkhi khayali. Ada tiga
tipe manusia yang dibayangkan ada. Pertama, manusia hebat yaitu yang dapat
mengendalikan roh. Kedua, manusia biasa yaitu mereka yang tidak
mengendalikan maupun dikendalikan roh. Ketiga, derajat paling rendah ialah
manusia yang dikendalikan roh.
Agung dimasukkan dalam kategori ketiga yaitu manusia yang
dikendalikan makhluk halus. Ia masuk dalam struktur terendah. Tubuhnya bukan
miliknya lagi. Dia tak sadarkan diri. Ada yang mengatakan dia kerasukan setan,
keblonan jin, ono lelembut. Ia bukan manusia seutuhnya. Hanya jasadnya yang
berupa manusia, sedangkan pikiran, otak, jiwa dikuasai dan dikendalikan roh.
Wacana itu diproduksi tanpa proses rumit. Tidak ada prosedur khusus
yang harus dilalui. Siapapun dapat memproduksi. Pembentukannya sudah ada
sejak dulu kala, jauh sebelum Agung lahir. Modelnya turun temurun dari generasi
satu ke generasi selanjutnya. Masyarakat Sri Gentan sekarang, seolah-olah hanya
pewaris dari pengetahuan-pengetahuan yang diproduksi nenek moyang mereka.
Sejak kapan atau siapa yang memproduksi jenis pengetahuan ini, sulit
melacaknya. Penyebarannya melalui tuturan-tuturan, omongan-omongan dari
warga satu ke warga lainnya. Seakan tak perlu koreksi ulang kebenarannya.
Pengetahuan-pengetahuan ini mudah diterima, mudah dicerna. Diantaranya,
karena sering cerita-cerita kerasukan setan, keno angin, keblonan lelembut,jin dan
sebagainya sering masyarakat dengar dan ceritakan.
Membuktikan eksistensi roh itu secara empiris tidak penting dalam
pengetahuan ini. Semakin misterius semakin nyata kebenarannya. Detektor
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
keberadaan makhluk-makhluk itu berupa reaksi tubuh yaitu bulu merinding,
sebuah reaksi ketakutan. Saat mengatakan keberadaan makhluk-makhluk itu
dalam tubuh Agung, nadanya biasanya pelan, seakan-akan sungguh-sungguh
nyata ada makhluk itu, hingga saya, pada awalnya, sebelum sering bertemu
Agung, juga merinding ketakutan.
Efek narasi itu membuat Agung menjadi sosok menakutkan,
menyeramkan. Tubuhnya dipandang sebagai sumber ketakutan. Seakan-akan
melihat Agung seperti melihat hantu. Seolah-olah ingon-ingonan bapake,
lelembut, jin itu benar-benar bersemanyam dalam tubuhnya. Dirinya penuh teka-
teki. Sulit ditebak, sulit dirasionalisasi. Apa yang Agung lakukan seakan-akan
tidak ada hubungan sama sekali dengan apa yang orang lain lakukan.
Tindakannya selalu mengundang kecemasan, ketakutan, dan selalu dalam tanda
tanya. Di bawah kendali makhluk itu, masyarakat memercayai, sewaktu- waktu ia
bisa melakukan hal-hal di luar kendali, ‘nyamari’ ( khawatir membahayakan).
Sehingga tanpa pemicu apapun, ia seolah-olah akan berbuat sesuatu yang
membahayakan orang lain, seakan-akan ia tidak memiliki kontrol atas dirinya.
Seakan tidak ada logika di balik ucapan maupun tindakannya. Tindakannya
dianggap ngawur, semena-mena. Agung kemudian dianggap jenis manusia yang
berbeda yang tak mungkin bisa menyesuaikan diri dengan manusia biasa.
Diandaikan hanya dengan mengikat tubuhnya, makhluk jahat itu bisa dikontrol.
Tentu saja hal itu merupakan hal yang sangat aneh, bagaimana makhluk halus itu
dapat dikendalikan dengan rantai. Tetapi masalahnya, dalam narasi ini yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
terpenting bukan logika sebuah narasi. Tetapi yang penting adalah efek narasi
itu.
Dari orang dewasa sampai anak kecil, kala ia belum dipasung, lari terbirit-
birit hanya melihatnya. Seolah-olah dia adalah manusia bertubuh hantu. Sekadar
melihat saja sudah takut, apalagi mendekat. Lebih baik tak melihatnya, lebih enak
kalau dia tidak ada. Rasa takut itu bahkan masih tumbuh terus menerus, bahkan
semakin subur saat tubuhnya sudah diikat.Pemasungan semakin mendekatkan,
meleburkannya dengan makhluk-makhluk halus. Seolah pasung semakin
menjauhkan Agung dengan kemanusiaan dan mendekatkannya dengan makhluk-
makhluk halus. Perhatikan gambar ini:
Gambar VIII. Posisi Rufiah saat memberi makan
Lihat cara ibu Agung menuangkan teh. Ia berdiri, tidak duduk. Posisi ini
menunjukkan, dia tidak ingin berlama-lama, terburu-buru. Ia ketakutan, tidak
tenang, tidak nyaman berdekatan. Perhatikan juga peralatan makan. Piring berupa
daun dipincuk. Bukan piring kaca yang biasa dipakai warga setempat. Begitupun
gelas untuk tempat minum yang terbuat dari plastik. Pemilihan benda-benda itu
menunjukkan masih begitu kentalnya ketakutan. Jika pakai piring atau gelas kaca
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
dikhawatirkan akan dipecah atau digunakan untuk sesuatu yang membahayakan.
Jadi, pengetahuan ini justru membuat Agung terlihat seram, wingit, walaupun ia
dianggap ‘gila’.
Implikasi sosial pengetahuan itmu ialah membuat orang lain menyingkiri,
menghindar, menjauhi, kalau bisa jangan sampai bertemu Agung. Sekadar
melihatnya dari jauh saja sudah mbembuat bulu kuduk merinding, apalagi
berdekatan. Artinya, pengetahuan ini menghasilkan subjek wong edan yang
menyeramkan. Dan selanjutnya melegalkan eksklusi padanya. Ini berarti
penyingkiran Agung dari masyarakat itu implikasi dari perasaan takut yang terus
menerus dipelihara masyarakat.
Fungsi hirearkhi khayali itu ialah untuk mengoreksi kelompok terendah.
Kenapa yang harus dikoreksi dan dibetulkan orang-orang yang berada dalam
kendali makhluk halus? Tidak ada rasionalisasi. Kebenaran praktik koreksi atau
yang biasa disebut ‘pengobatan’ berhubungan dengan eksistensi orang-orang
pintar maupun orang-orang awam. Seakan harus diterima begitu saja siapa yang
harus menjadi tipe ideal dan siapa yang harus, bahkan kalau tidak mau orang itu
akan dipaksa, dikoreksi. Penjelasannya hanya bahwa tiga klasifikasi itu sengaja
diproduksi dengan tujuan melegitimasi penundukan pada orang-orang yang
dikelompokkan paling bawah yaitu orang-orang yang dikendalikan roh. Jadi,
klasifikasi itu memang sengaja dibentuk untuk membenarkan tindakan koreksi,
hanya untuk itu, bukan lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Dengan pemahaman semacam itu, lahirlah subjek sosial yang diberi
otoritas mengoreksi orang-orang yang dikategorikan dalam kelompok ketiga.
Mereka disebut dukun atau yang juga sering disebut orang-orang pintar. Biasanya
kelompok ini berasal dari kelompok pertama. Mereka dianggap mampu
mengeluarkan makhluk halus dari tubuh Agung. Fungsinya ialah mengubah
orang-orang yang dikendalikan roh halus agar menjadi orang-orang biasa.
Seorang dukun bertugas mengeluarkan roh halus dari tubuh orang gila. Dalam
arti serangkaian tindakan dan pernyataan dukun tentang kegilaan bukan untuk
menghilangkan hirearki khayali itu. Malah sebaliknya, fungsinya ialah
melanggengkan serta menegaskan bahwa hirearki itu memang benar-benar nyata
adanya.
Dengan begitu, keberadaan dukun menegaskan bahwa masyarakat tidak
bisa mempengaruhi Agung. Mereka diposisikan selalu membutuhkan perantara
untuk dapat mengerti kegilaan. Sehingga seolah-olah adanya roh dalam tubuh
Agung mengharuskan mereka menjauh, menyingkiri, jangan sampai dekat-dekat,
mereka hanya dapat berelasi langsung kalau dukun sudah berhasil mebngeluarkan
makhluk halus itu dari tubuh Agung.
2. Pengetahuan Medis: Medikalisasi Tubuh Agung
Di sini saya membatasi pengetahuan medis sebagai jenis pengetahuan
yang dipakai orang setempat yang dipinjam dari dokter. Pengetahuan ini
diproduksi melalui berbagai media, institusi-institusi yang menopang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
keberadaannya seperti Rumah Sakit Jiwa dengan berbagai praktik di dalamnya,
perguruan-perguruan tinggi jurusan patologi, psikologi, neurologi dan sebagainya.
Agung sering mendapat julukan sebagai orang stres. Stres merupakan
nama yang dipakai untuk menandai perubahan sikap seseorang. Dari bertingkah
laiknya orang kebanyakan, berubah di luar kebiasaan. “Tidak apa-apa kok dulu,”
kenang Markisah, lalu tanpa sebab yang jelas, tiba-tiba saja tingkah lakunya jadi
aneh.108 Masyarakat sudah sangat biasa menyebut stres untuk menandai berbagai
emosi atau perilaku seseorang. Tetapi, dalam konteks Agung, stres digunakan
warga Sri Gentan sebagai kata lain dari kegilaan.
Rufiah mengatakan penyebab Agung stres adalah karena ada syaraf yang
rusak. Jadi, stres dikaitkan dengan fungsi biologis tubuh. Ibarat mesin, ada kabel
putus atau rusak sebab bebannya melebihi kapasitas. Diandaikan setiap syaraf itu
mempunyai kuota. Karena terlalu tinggi keinginannya, melebihi kuota yang
dimiliki otaknya, dapat menyebabkan syarafnya jebol, rusak. Gejalanya terlihat
dari terlalu tinggi angan-angannya. Misalnya, ia ingin punya uang satu truk.
“Agung iku pernah kerjo sedino, teko isuk sampek bengi. Sampek turuneng kebon. Tak takoi to?ngopo kerjo koyok ngunu kuwi? Jarene, pinginduwe duit sak truk, yo…iku seng gawe stres. Angan-angane terlalu tinggi,raiso jangkau dewee dewe, makane lek punya angan-angan itu ndak usahyang tinggi-tinggi. Seng biasa-biasa wae. Rasah spaneng wae. Mengkostress.(Agung itu pernah kerja seharian, dari pagi sampai malam, hinggatidur di kebun. Saat itu saya tanyakan, kenapa kerja seperti itu? diamengatakan ingin punya uang satu truk, ya…itu yang menyebabkan stres.Keinginannya terlalu tinggi, tidak bisa dijangkau. Karena itu kalaubermimpi itu jangan tinggi-tinggi, yang biasa-biasa saja. Tidak usah
108 Wawancara dengan Markisah, tetangga Agung, pada tanggal 27 Juli 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
tinggi-tinggi, yang biasa-biasa saja, tidak usah terlalu ambisius) ” kenangRufiah109
Saat mengatakan hal itu, Rufiah ingin marah pada anaknya. Ia seperti
sedang marah pada khayalan anaknya yang terlalu tinggi. Angan-angan Agung itu
baginya terlalu mengada-ngada, terlalu dibuat-buat. Seakan-akan ia menyakini
kalau angan-angan Agung tidak tinggi, maka tidak mungkin stres.
Masyarakat memandang tingkah laku aneh, tidak sesuai dengan norma,
yang dianggap membahayakan, sebagai akibat dari kerusakan organ tubuh. Ada
kerusakan fungsional pada otak. Dan, meski warga tidak tahu persis bagian syaraf
mana yang rusak, mereka yakin betul bahwa hal itu memang benar adanya.
Tindakan-tindakan serta perilaku Agungpun dianggap salah. Seolah-olah setiap
pernyataan dan tindakannya tidak mengandung kebenaran sama sekali.110
Akibatnya, lahir pembedaan antara kualitas syaraf otak mereka dengan Agung.
Agung kemudian dibayangkan otaknya rusak sehingga tak berfungsi. Masyarakat
merasa bahwa otak merekalah yang dapat berfungsi dengan baik. Pemahaman
semacam ini melahirkan subjek sosial yaitu para dokter yang bertugas
menyembuhkan orang-orang yang sakit syarafnya itu.
Dalam bayangan masyarakat, metode penyembuhan medis jauh lebih
rumit daripada cara yang dilakukan para dukun. Media penyembuhan yang
109 Wawancara dengan Rufiah pada tanggal 06 Mei 2013110 Stereotype bahwa tindakan-tindakan dan pernyataan-pernyataan orang gila itu selalu dianggaptidak memiliki nilai kebenaran sama sekali, tentu berakibat buruk pada orang-orang yangdianggap gila. Kompas pernah memberitakan bahwa ada Pinasung diperkosa tetangganya, saat iamengadu ke orang tuanya, malah diacuhkan, baru saat kandungannya membesar, orang tuanyasadar kalau anaknya itu benar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
dipakai dukun, biasanya mudah ditemui sehari-hari, misalnya dengan
menggunakan air, kemenyan. Sementara para dokter menggunakan serangkaian
metode yang sifatnya eksklusif. Orang biasa, tanpa melalui serangkaian
pendidikan yang menghabiskan dana tak sedikit, dianggap tak mungkin dapat
melakukannya. Cara yang digunakan para dokter ini sulit dijangkau, bahkan
sekadar membayangkan saja, terlalu rumit bagi orang-orang awam. Kita ambil
salah satu contoh, proses produksi obat. Pembuatan obat ini hanya dapat
dilakukan para ahli, menggunakan dosis dengan ukuran-ukuran tertentu, bahan-
bahan diolah menggunakan peralatan canggih. Prosedur-prosedur semacam itu
tak bisa dilakukan orang-orang biasa. Meski sama juga, mereka tak dapat
melakukan sesuatu yang dilakukan dukun. Tetapi setidaknya lebih mudah
melakukan apa yang dilakukan para dukun daripada serangkaian metode yang
dilakukan para dokter. Dan pemahaman semacam ini, tumbuh dan terus
dikukuhkan, sebab mereka ditempatkan dan menempatkan diri sebagai orang
awam yang tidak dapat langsung memahami kegilaan. Jadi, adanya praktik
medis, yang eksklusif, semakin melebarkan jarak antara orang-orang yang
diklasifikasikan sebagai orang stres dan sehat. Bahkan dengan serangkaian
metode medis itu seakan-akan benar-benar nyata adanya sebuah kelompok yang
disebut orang waras dan kelompok orang-orang gila.
Kerumitan semacam itulah yang membuat orang-orang memercayai
dengan begitu saja atas kebenaran pengetahuan medis. Metode yang digunakan
para dokter membuat mereka yakin kebenaran yang mereka katakan tentang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Agung. Keyakinan bahwa Agung sakit diperkuat dengan metode-metode medis,
yang sebenarnya tidak persis diketahui warga.
Kebenaran pengetahuan medis itu bahkan diperkuat dengan aturan
pemerintah. Pemerintah telah menetapkan orang-orang yang divonis menderita
penyakit jiwa harus dirawat jiwa. Orang-orang yang stres harus melalui
serangkaian pengobatan medis untuk menjadi ‘normal’. Caranya, ialah dengan
membentuk undang-undang kesehatan untuk melegitimasi posisi orang-orang
yang berhak mengatur dan menentukan apa yang harus dilakukan pada orang-
orang yang divonis sebagai menderita penyakit jiwa. Undang-undang itu
menjamin tumbuhnya institusi-institusi kesehatan dan memberi otoritas para
dokter untuk mengintervensi langsung tubuh yang diidentifikasi menderita
penyakit jiwa. Pemerintah mengokohkan kebenaran struktur itu melalui pendirian
rumah sakit jiwa, perguruan tinggi jurusan psikiatri, patologi, psikologi, dengan
distribusi pengetahuan melalui berbagai media, dari media konvensional sampai
media-media lokal. Legitimasi pemerintah pada pengetahuan medis, menjadi
semacam raksasa, yang kemudian membentuk kebenaran umum. Pengetahuan ini
merupakan pengetahuan yang selalu diacu setiap orang membicarakan kegilaan.
Hampir semua berita yang saya baca tentang pasung selalu merujuk pengetahuan
ini untuk menilainya.
Tugas psikiater adalah memperbaiki orang-orang yang divonis menderita
penyakit jiwa. Para dokter adalah orang-orang yang diberi otoritas untuk
mengatakan, menganalisa selanjutnya memutuskan apa yang seharusnya
dilakukan oleh orang-orang yang divonis menderita penyakit jiwa. Psikiater
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
mempunyai kuasa menentukan apa yang harus dilakukan orang-orang yang
dianggap menderita penyakit jiwa. Lahirlah sebuah hubungan yang sekarang
sudah dianggap kebenaran umum yaitu hubungan antara dokter dan pasien. Para
dokter adalah orang yang mempunyai otoritas mengatur orang ‘gila’. Sedangkan
pasien ialah objek yang akan disembuhkan dan dikoreksi. Karena itu, serangkaian
tindakan, serta cara para dokter mengeluarkan pernyataan itu ditentukan posisi di
atas, ditentukan sepenuhnya oleh pola hubungan yang diproduksi pengetahuan
medis.
Para Psikiater memiliki otoritas yang jauh lebih besar dan dikukuhkan
otoritasnya daripada masyarakat pada umumnya. Mereka telah menjalani
serangkaian pendidikan, dengan waktu yang cukup lama serta biaya yang tidak
sedikit. Karenanya, masyarakat semakin menyakini kalau yang paling benar
berbicara tentang Agung itu hanya para psikiater, bahwa untuk mengetahui
kebenaran tentang kegilaan, mereka harus menjalani serangkaian proses
pendidikan, praktik-praktik klinis, tidak dapat langsung begitu saja memahami
dan mengerti Agung. Ada serangkaian latihan khusus yang harus dilalui seseorang
jika ingin berhubungan dengan orang-orang yang diklasifikasikan gila.
Dengan menggunakan keyakinan semacam itulah, Hervita dan Diatri
merasa mempunyai otoritas untuk melabeli para pinasung yang ditelitinya sebagai
penderita shizofrenia, personality change and temporal hallucination dan
dementia of unknown aetiology with behavioural disturbance.111 Hal ini sama
111 Minas ,Harry dan Diatri, Hervita. 2008. Pasung: Physical restraint and confinement ofthe mentally ill in the community. ( Versi PDF diunduh dari www.ijmhs. com/content/2/1/8)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
dengan yang dilakukan Saad B Malik dan Iram Z. Bokhaery yang
mengklasifikasikan orang-orang yang diikat di negaranya dengan berbagai macam
penyakit jiwa seperti shizofrenia, epilepsy, bipolar effective disorder dan
sebagainya.112 Mereka merasa memiliki otoritas untuk mengklasifikasikan tubuh
dan diri pinasung melalui pengetahuan medis. Karena sangat kuatnya pengaruh
pengetahuan ini dan sangat hegemonik, saya tidak menjumpai kata-kata yang
menyiratkan keraguan mereka dalam mengklasifikasi para pinasung pada wilayah
medis ini. Dalam melabeli para pinasung mereka menggunakan, apa yang disebut
Foucault, normality standard (standar kenormalan) dalam melihat penyakit.
Orang-orang yang dipasung dicermati, diperhatikan tingkah lakunya, lalu dinilai
dari cara dia berkata atau bertindak, di cari unsur-unsur yang berbeda dari tingkah
laku atau tuturan-tuturannya yang berbeda dengan orang pada umumnya.
Implikasi pengetahuan itu, Agung dipandang sebagai pasien abadi.
Diyakini bahwa benar-benar sakit tubuhnya. Ia adalah pasien yang tidak
disembuhkan, yang tidak tertangani. Ia sedang sakit dan tidak mungkin sembuh
tanpa perawatan dan pengobatan medis yang panjang untuk memperbaiki
syarafnya. Syarafnya tidak mungkin sembuh, malah kemungkinan lebih parah jika
dibiarkan. Pemasungan melegitimasi angggapan bahwa syarafnya rusak, bahkan,
seperti pernyataan Rufiah, “Syarafnya rusak parah.” Kerusakan syaraf inilah yang
dianggap mempengaruhi tindakan-tindakan yang tidak masuk di akal orang biasa.
112 Malik Sa'ad B. and Bokharey Iram Z., breaking the chain, diunduh dalam bentuk PDF darithe psychiatrist,formerly bulletin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Dengan semakin kokoh dominasi pengetahuan medis, maka membentuk
dua subjek yaitu kumpulan orang-orang yang jiwanya sehat, yang dianggap tipe
ideal dengan yang sakit jiwanya, yang dianggap harus mengikuti dan mengubah
dirinya menjadi subjek yang sehat jiwanya. Seolah-olah yang sehat ini sebagai
subjek tetap yang tidak perlu berubah.
Serangkaian proses yang dilakukan para dokter itu tak terjangkau
masyarakat, sehingga semakin sempitlah ruang komunikasi antara yang dianggap
gila dan waras, bahkan terpotong. Para tetangga Agung merasa dirinya sebagai
orang yang sehat jiwanya, yang tak butuh dikoreksi, tidak ada yang salah dengan
tindakan mereka. Yang perlu diteliti, dipandang, dikoreksi adalah orang-orang
yang divonis rusak syarafnya.
Melalui pengetahuan inilah, apa yang Agung alami sekarang; makan,
buang air besar dan kecil sering dinilai sebagai sesuatu yang menjijikkan. Sebab
tidak bersih, tidak sesuai dengan ukuran-ukuran cara hidup orang-orang biasa.
Lahirlah kata-kata ‘gilani’. Benar-benar tidak ada sedikitpun ketertarikan untuk
mengenal Agung. Sekadar membayangkan saja sudah jijik. Seolah tengah hadir
materi yang membuat tubuh merinding, perut mual. Hingga seorang menolak
melihat, apalagi mendekat. Kalau bisa, jangan sampai melihatnya. Tubuh seakan
membaui sesuatu yang busuk, mata seolah melihat materi-materi yang membuat
siapapun menjadi sangat jijik. Sehingga ketika mengatakan gilo, orang yang
mengatakan itu cepat-cepat ingin mengakhiri dan ingin segera cepat berlalu
bayangan itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Di sisi lain, selain jijik, pengetahuan ini juga membuat orang-orang heran,
mengagumi kekuatan fisik tubuh Agung. Tetapi kekaguman itu tidak membuat
mereka ingin meniru, malah cenderung menganggap hal itu sebagai sesuatu yang
aneh, sebagai sesuatu yang membuat mereka merasa bahwa ada yang janggal
dalam tubuh Agung.
Psikiter, pemerintah memposisikan masyarakat sebagai pihak yang tidak
dapat memikirkan, menganalisa, lalu mengambil langkah-langkah untuk kegilaan.
Kegilaan menjadi wilayah eksklusif medis, yang menjadi objek pengetahuan. Pun
pandangan ini membuat mereka merasa tidak memiliki kapasitas untuk menelaah,
memikirkan, serta mengambil tindakan terhadap kegilaan. Kegilaan kemudian
melekatkan mereka dengan institusi medis dengan perangkatnya, tubuh Agung
dibatasi dalam pengertian maupun penafsiran ruang semacam itu.
Pengetahuan medis melahirkan citra kemoderan. Sedangkan pengetahuan
magis dinilai primitif, ketinggalan zaman. Citra kemodernan mungkin terbentuk
dari anggapan bahwa pengetahuan medis itu lebih rasional, lebih dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, sedangkan pengetahuan
magis dianggap sebagai takhayyul belaka. Seakan ada anggapan bahwa
pengetahuan magis merupakan bagian masa lalu pengetahuan medis. Dan,
dibayangkan hubungan dua pengetahuan ini sebagai sejarah continue. Dalam arti
pengetahuan medis dianggap merupakan langkah maju dari yang magis.
Implikasinya, dua hal itu sering dilihat sebagai hal yang selalu beroposisi biner.
Yang magis jelek, perlu ditinggalkan, sedangkan yang medis merupakan sesuatu
yang baik, yang bahkan harus ditaati. Sehingga sering dianggap pemasungan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
sepenuhnya dipengaruhi pengetahuan magis. Sebab pemasungan dilihat sebagai
hukuman yang primitif, yang kuno, harus ditinggalkan. Padahal, kalau kita
perhatikan dari dua struktur diskursif di atas tidak ada perbedaan subtantif dalam
dua pengetahuan itu.
Tak terdengarnya protes pelabelan penderita penyakit jiwa pada pinasung,
bahkan beramai-ramai orang mengikutinya,merupakan bukti betapa kuatnya
pengaruh pengetahuan medis dalam membentuk cara berfikir kita tentang orang-
orang yang dianggap gila. Pun, begitu kuat pengaruh pengetahuan medis dalam
membentuk pola pikir masyarakat Sri Gentan. Realitas bahwa Agung berkali-kali
dimasukkan ke RSJ dan hasilnya sama saja, dalam arti masyarakat belum dapat
menerimanya, tidak dilihat sebagai kegagalan atau kesalahan pengetahuan medis.
Tetapi dilihat karena penyakitnya terlalu parah. Tubuh orang-orang gilalah yang
selalu dianggap biang kerok dari ketakutan dan tingkah laku orang lain padanya.
3. Hubungan Magis dan Medis
Dari dua struktur diskursif dua pengetahuan itu tampak bahwa keduanya
saling mempengaruhi, saling menopang satu dengan lain. Pengetahuan magis
mempengaruhi cara masyarakat berfikir tentang medis, dan sebaliknya. Dua
pengetahuan ini saling menopang serta memperkuat ide memasung Agung.
Hubungan saling memengaruhi ini dapat kita cermati dari cara orang-
orang menyamakan edan, gendheng dengan sakit jiwa, terkena gangguan jiwa
dan sebagainya. Orang-orang menyebut wong gendeng, edan lalu dengan semena-
mena menyamakan dengan terkena sakit jiwa, gangguan jiwa dan sebagainya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Dari segi hubungan objek pengetahuan, Edan menjadi ruang yang
menutupi pandangan masyarakat untuk sebatas melihat diri Agung sebagai sosok
yang tidak ada sisi persamaan dengan orang lain. Edan menghapus persamaan-
persamaan antara Agung dengan orang lain dalam reaksi timbal baik, cara
menangkap pembicaraan, tingkah laku. Muncullah perasaan bahwa ada perbedaan
yang esensial antara masyarakat dengan Agung. Perbedaan itu dianggap bukan
sebuah akibat dari situasi sosial tertentu, tetapi dianggap sebagai pemberian, dari
sononya. Perbedaan ini bukan dianggap sebagai sesuatu yang harus dimaklumi,
apalagi dinikmati, malah mengandung makna hirearkhi yaitu memunculkan rasa
superior orang-orang yang dianggap waras pada orang-orang yang dianggap
sinting.
Dengan menganggap Agung stres berarti memandang bahwa sumber dari
tuturan maupun tingkah laku ‘aneh’ itu adalah biologis, bukan sosiologis apalagi
politis. Keberadaan otak yang dipandang dari pengetahuan biologi berfungsi
mengatur serta mencerna rangsangan dan memberi perintah bereaksi terhadap
rangsangan itu, kemudian ditafsirkan tidak dapat berfungsi, mandeg. Dan
kerusakan biologis inilah yang dianggap memunculkan tingkah laku maupun
tuturan yang berbeda.
Dua pengetahuan itu melihat tubuh Agung sebagai sumber kesalahan.
Tidak mengkaitkan tuturan maupun tindakan itu sebagai akibat dari tindakan-
tindakan orang lain pada Agung, atau sebagai sebuah pemaknaan-pemaknaan
personal diri Agung terhadap berbagai masalah yang sedang dihadapinya, tetapi
akibat dari sebuah kondisi yang sudah dari sononya, atau dalam bahasa Rufiah, “
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Iku memang takdir Allah ( apa yang terjadi pada Agung itu sudah ditentukan
Allah).” Keduanya menganggap ada perubahan bentuk secara biologis yang
menyebabkan kegilaan. Pengetahuan Magis menjustifikasi bahwa tubuh Agung
telah dibajak makhluk halus, sehingga yang masyarakat lihat bukan Agung yang
sebenarnya, tetapi jadi-jadian. Sedangkan pengetahuan medis menganggap bahwa
secara biologis ada kerusakan pada otak Agung, sehingga berimplikasi pada
tingkah laku nya yang ‘aneh’. Jadi, perubahan tubuh dari struktur semula, yaitu
dibayangkan ada standar tertentu pada tubuh manusia, mengubah ‘kemanusiaan’
seseorang. Ini seakan mau mengatakan bahwa manusia pada bentuknya yang asli
atau yang alamiah itu, bentuk tubuh manusia yang benar itu, akan membuat
orang-orang patuh pada norma-norma yang berlaku di masyarakat. Itu berarti pada
dasarnya, masyarakat mensyaratkan kepatuhan individu-individu jika ingin
dianggap bagian masyarakat. Ini berarti pembentukan dan pengawetan wong
gendeng, edan, penderita penyakit jiwa, merupakan strategi masyarakat menopang
dan mengawetkan sistem nilai yang berlaku.
Dengan demikian, kemampuan pengetahuan mendefinisikan realitas objek
itu berakibat mengubah konstelasi sosial.113 Dengan menyebut Agung gendheng,
edan, stres, yang kata-kata itu mengandung seperangkat definisi, maka kemudian
menempatkan Agung bukan bagian dari masyarakat, tetapi sebagai entitas lain,
yang harus didisiplinkan, diarahkan, dibentuk untuk dapat menjadi bagian dari
masyarakat.
113 Haryatmoko, Basis nomor 07-08, th ke-59, 2010
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
Ide untuk mengekslusi subjek penderita penyakit jiwa yang dikokohkan
dengan menjamurnya RSJ di kota-kota besar di Indonesia merupakan realitas
yang semakin meneguhkan dan membenarkan ide untuk mengeksklusi orang-
orang yang dianggap gila. Ide memasung wong edan lalu mendapat dukungan
dengan didirikannya RSJ-RSJ itu. Mengapa? kita lihat bahwa penyakit-penyakit
lain tidak begitu dilekatkan dengan ruang eksklusi kecuali penyakit jiwa ini.
hanya penyakit jiwa yang memiliki ruang khusus, yang mengumpulkan orang-
orang yang dianggap gila dalam satu ruang, untuk disingkirkan dari hiruk pikuk
masyarakat. Ide semacam itu tidak jauh dengan ide memasung yang membuat
ruang tersendiri bagi orang-orang yang dianggap gila. Malah jika memasung
keluarga dapat memastikan dan menjamin makanan untuk pinasung, sementara
jika di RSJ, tergantung pada kebaikan para perawat atau institusi di dalamnya.
Status ilmiah pada institusi RSJ memperkuat ide membenarkan mengeksklusi
pada yang disebut wong edan, gendheng.
Sedangkan dari subjek sosial yang dimunculkan, kita melihat bahwa para
dokter dengan para dukun merupakan orang-orang yang diberi otoritas untuk
mengatakan kebenaran tentang kegilaan. Yang itu berarti kegilaan bagi
masyarakat bukan sesuatu yang dapat difikirkan langsung, tetapi cara berfikir
tentang kegilaan itu mengikuti pendapat-pendapat yang dituturkan orang-orang
yang dianggap ahli tersebut, selalu melalui perantara. Secara subtantif ide
semacam ini kemudian membenarkan pengontrolan, pendisiplinan pada orang-
orang yang dianggap gila. Bahkan dianggap bahwa orang-orang gila itu memang
seharusnya dikontrol, didisiplinkan oleh orang-orang yang waras.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
B. Penaklukan Ingatan dan Wacana Ketakutan
Subbab ini merupakan analisa kuasa pasung. Yang saya maksud dengan
kekuasaan ialah kekuatan-kekuatan yang menopang sekaligus melanggengkan
pemasungan. Dalam konsep kekuasaan Foucault, seperti yang diuraikan Norman
Faireclough, dikatakan bahwa kekuatan-kekuatan itu dapat dicermati melalui
hubungan mutualisme antara sistem kebenaran dengan modalitas kekuasaan.
Kebenaran dipahami sebagai sistem prosedur-prosedur yang sudah ditentukan
atau diatur bagi produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi, dan operasi pernyataan
(statement). Kebenaran terhubung dalam sebuah relasi sirkular dengan sistem-
sistem kekuasaan yang memproduksi dan menopangnya, dan berimplikasi pada
kekuasaan yang telah memproduksi dan meluaskannya, ‘regime of truth’. 114
Dalam konteks penelitian ini, untuk melanggengkan pemasungan pada
Agung, melalui teori itu, saya berasumsi bahwa telah tersedia penalaran-penalaran
yang dipakai sebagai pembenar untuk memasungnya. Bentuk-bentuk penalaran itu
tidak diciptakan orang-orang yang memasung, tetapi sudah tersedia, sudah
dibentuk secara sistematis oleh kekuasaan, supaya subjek-subjek yang berada
dalam wacana itu dengan sukarela mengikuti yang dimaui kuasa. Masyarakat
secara tak sadar mengikuti penalaran-penalaran itu. Jadi, ada hubungan timbal
balik antara pengetahuan-pengetahuan dengan kuasa. Kekuasaan itu membentuk
pengetahuan-pengetahuan itu dalam rangka menopang dan melanggengkannya.
114 Norman Faireclough 2006;51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Berangkat dari cara berfikir itu, di sini saya tidak akan mencari tahu kuasa
pasung dengan menelisik siapa yang menguasai serta siapa yang dikuasai, pihak
mana yang mendominasi serta yang didominasi, dan bagaimana strategi
mendominasi. Yang akan saya cari adalah bentuk-bentuk penalaran yang
digunakan untuk membenarkan pandangan-pandangan masyarakat tentang Agung
yang kemudian pandangan-pandangan itu dipakai untuk melanggengkan
hubungan kuasa tertentu yang selanjutnya menopang dan melanggengkan
pemasungan padanya.
Hubungan kuasa yang saya maksud adalah hubungan antara kuasa tertentu
dengan nalar warga dalam memandang Agung. Kuasa itu beroperasi pada
anggapan-anggapan masyarakat tentang Agung. Fungsinya adalah membuat
anggapan-anggapan itu tampak alamiah, tidak dibuat-buat, bukan hasil
konstruksian, bukan bentukan, tetapi sebagai sesuatu yang dianggap memang
mewakili sebenar-benarnya diri Agung.
Banyak peristiwa yang terjadi antara Agung dengan tetangganya di masa
lalu. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu bukan hanya berkenaan dengan
bagaimana peristiwa itu terjadi, tetapi juga terkait dengan bagaimana peristiwa itu
diingat dan dilupakan. Abidin Kusno115 mengatakan bahwa keterbatasan ingatan,
baik pribadi maupun kolektif, membuat memori tergantung pada ingatan institusi
yang menjaga mekanisme pengingatan dan pelupaan kita. Ingatan kolektif itu
buatan. Tidak muncul tiba-tiba. Fakta-fakta yang terjadi di masa lalu dapat
115 Abidin Kusno, Ruang Publik, Identitas Dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto,Tr.Lilawati Kurnia,Yogyakarta : Ombak ,2009, h.15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
dipilih, dipilah dan ditafsirkan dengan beraneka cara, tergantung kepentingan
pembuatnya. Ada mekanisme mengingat dan melupa yang selalu melalui proses
pemaknaan, penyeleksian serta pembatasan.
Konsep di atas relevan untuk membaca hubungan masyarakat Sri Gentan
dengan Agung saat ini. Meskipun Agung masih hidup dan seharusnya tetangga-
tetangganya bisa langsung berkomunikasi dengannya, tanpa perantara,namun,
faktanya,tidak ada yang melakukannya. Pengetahuan-pengetahuan yang bercokol
dalam pikiran warga tentang Agung malah menopang dan melanggengkan
putusnya komunikasi itu. Karena itu, masyarakat menggunakan narasi-narasi yang
dituturkan dari mulut ke mulut sebagai medium untuk mengenal dan mengenang
Agung.
Ambil contoh peristiwa berikut: seorang bocah, Izza namanya, tergopoh-
gopoh menghampiri Lia yang sedang nonton film Korea, “Mbak Lia…mbak
Lia…ojo metu omah yo…mas Agung ucul (Mbak lia..mbak lia…jangan keluar
rumah ya..Agung lepas ikatannya).” Ia baru berumur sekira lima tahun.116 Ia
memperingatkan Lia agar tidak keluar rumah, karena dianggap akan berbahaya
kalau sampai bertemu Agung. Dengan kepolosannya, anak itu menempelkan label
begitu saja. Pasti orang-orang dewasa yang mengajarinya. Itu menunjukkan
bahwa orang-orang setempat merasa tidak penting memikirkan ulang apalagi
menyensor dalam mengenalkan Agung melalui streotipe itu pada anak-anak.
116 Cerita Lia, tetangga Agung, pada tanggal 11 Juni 2014. Ia menceritakan kalau beberapa bulansebelum saya datang pada tanggal 11 Juni 2014 itu, Agung pernah lepas dari pasungannya. Tetapiyang tahu hanya beberapa tetangga dekat, karena langsung diikat kembali. Dan mengetahui hal itudari Izza, tetangga dekat Agung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
Mereka menganggap hal itu bukan masalah besar, enteng saja melakukannya,
bahkan kesan yang saya tangkap, hal itu dianggap sepele.
Saya pernah bertanya pada anak-anak yang sedang duduk di depan rumah
Lia yang akan les. Mereka berasal dari desa Bedilan, di mana, kata Triyani, juga
ada orang yang dipasung, karena itu saya bertanya tentang pinasung. Begini
ceritanya;
“Ngerti wong seng dipasung ra?(tahu tidak tentang orang yangdipasung?)”
“Ngerti (tahu)”
“Onok ra, neng Bedilan seng dipasung (di Bedilan ada yang dipasung?)”
“Onok.(ada)”
“Sopo jenenge?( siapa namanya?)”
“Podhin. (Podhin)”
“Lha keneopo kok dipasung (Kenapa dipasung?)”
“He…he…edan… (he.. he…gila)”117
Cara mereka mengatakan edan, tanpa beban, bahkan tertawa-tawa itu
dapat kita maknai bahwa stereotipe itu sudah menjadi kebenaran yang dianggap
tak perlu difikirkan ulang. Dengan mudahnya, orang menyampaikan stereotipe
“‘wong edan seng nyamari (orang gila yang berbahaya)” seperti menjelaskan
warna hitam atau putih. Penuturan dari mulut ke mulut itulah yang kemudian
membuat orang-orang semakin meyakini kegilaan dan keberbahayaan Agung
tanpa merasa perlu konfirmasi pada yang dilabeli. Penuturan-penuturan itu
117 Hasil bincang-bincang santai dengan anak-anak yang akan les di tempat Lia di rumah Lia,tetangga Agung . Ada enam orang. Saya lupa tidak menanyakan nama mereka. Mereka berasaldari desa Bedilan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
merupakan medium, atau kalau saya lihat, satu-satunya medium yang dipakai
untuk menghubungkan para tetangga dengan Agung. Jadi, melalui penuturan-
penuturan yang diproduksi masyarakat setempat, dari anak kecil hingga orang
dewasa melakukannya, dimunculkan subjek edan seng nyamari (gila dan
berbahaya).
Imajinasi tentang Agungpun terbentuk sekaligus dibatasi berdasarkan
makna asosiatif yang terkait dengan stereotipe itu. Misalnya, kata edan selalu
diasosiasikan dengan kata-kata gendheng, gila, gangguan jiwa, dan sebagainya.
Lalu, kata-kata itu juga dapat dihubungkan dengan institusi RSJ, bukan institusi
lainnya, yang kemudian membuat orang membenarkan pengasingan pada yang
dianggap gila. Lalu, kata-kata berbahaya bisa diasosiasikan dengan tokoh-tokoh
antagonis dalam film-film, novel-novel atau media-media yang banyak
dikonsumsi masyarakat, bukan dengan tokoh-tokoh protagonis misalnya.
Bayangan-bayangan yang muncul kemudian membentuk sosok Agung yang
menakutkan, menyeramkan, yang selanjutnya menggugah hasrat orang untuk
menjauhinya.
Stereotipe semacam itu bukan hanya membentuk batas orang-orang untuk
mengenal Agung, tetapi juga membatasi ingatan warga yang pernah mengenal
Agung, yang membuat mereka meremehkan memori-memori lain yang pernah
terajut. Triyani misalnya, meskipun ia pernah punya kenangan baik bersama
Agung, misalnya, Agung pernah sering ke rumahnya dan berbincang-bincang,
tetapi ingatan-ingatan itu dianggap masa lalu yang tidak memiliki makna sama
sekali dalam memandang Agung sekarang. Diri Agung yang sekarang dilepaskan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
dari ingatan-ingatan hubungan baik yang pernah terjalin di masa lalu. Malah yang
ia rasakan sekadar perasaan takut. Kenangan-kenangan yang dianggap benar
merepresentasikan diri Agung sejak dipasung hingga sekarang adalah narasi
seperti yang dikatakan Lia di bawah ini.
Berikut narasi Lia saat saya tanya tentang alasan pemasungan:
“Ya… itu mbak, waktu itu kan, Agung bawa golok terus teriak-teriak, takbunuh kowe, tak bunuh kowe, kan ya…nggak tahu itu, ndak ada apa-apa,marah-marah, waktu itu ngejar-ngejar ibunya …wong neng kene barang(di sekeliling rumah Lia). Lha yo podo wedi (pada ketakutan), dia marah-marah terus. Ngomong semua nama binatang keluar. (maksudnya namabinatang?). Ya..itu mbak, maaf ya..kayak asu…sama teman-temannya..terus..dah kayak gitu.. lari-lari keliling kampung. Waktu itu orang-orangtakut semua. Pada takut keluar rumah. Langsung pada nutup rumah.(Kenapa begitu?)..Ya… Itu mbak..ndak ngerti, tiba-tiba aja gitu… kayakgitu…bahaya mbak kalau dibiarin…”
Efek narasi itu membuat Agung dipandang sebagai sebuah ancaman bagi,
meminjam istilah Foucault, eksistensi tubuh biologis masyarakat. Makna itu
dibentuk dengan melekatkan unsur-unsur tertentu yang mengarahkan pandangan
orang untuk melihatnya sebagai subjek yang mengancam dan membahayakan
orang lain.
Setidaknya ada tiga elemen yang ditonjolkan untuk membentuk
pemaknaan semacam itu yaitu; benda tajam yang dibawa, reaksi orang-orang
terhadap tindakannya serta tidak ada pemicu tindakannya. Ketiga elemen itu
dibangun dengan model penafsiran berikut:
Golok dalam kisah itu sering ditafsirkan sebagai simbol kekerasan. Alat
itu dimaknai akan digunakan untuk melukai sampai membunuh orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Dengan alat itu orang punya kuasa menentukan ajal orang lain. Warga merasa
kuasa itu bisa Agung kenakan pada siapa saja. Dengan begitu, kehadirannya di
tengah-tengah masyarakat dianggap sebuah gangguan. Bahkan dramatisasi
ketakutan itu diperkuat dengan menyatakan bahwa tidak ada orang yang dapat
mencegahnya melakukan kekerasan. Kesimpulan simplistiknya kira-kira begini,
“Kalau ibunya saja akan dibunuh, apalagi orang-orang yang tidak punya
hubungan kekerabatan dengannya”.
Untuk membuat keberbahayaan itu tampak menjadi semakin nyata, narasi
itu juga menggambarkan reaksi masyarakat. Lia menuturkan orang-orang ketika
itu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu untuk mencegah kemungkinan
Agung masuk ke rumah mereka. Orang sekampung, yang jumlahnya jauh lebih
banyak dari Agung itu, tak berdaya menghadapinya. Penonjolan reaksi semacam
itu seakan mau mengatakan bahwa saat itu Agung bagai binatang buas yang dapat
menerkam siapa saja yang ditemuinya. Kekuatannya dibayangkan jauh melampaui
kekuatan warga yang jumlahnya lebih banyak. Tujuan ditonjolkannya reaksi
semacam itu ialah untuk menunjukkan betapa bahayanya dampak yang
ditimbulkan kalau Agung dibiarkan. Bahkan ada wacana yang beredar bahwa
kalau dibiarkan ia benar-benar akan membunuh tetangga-tetangganya.
Elemen lain yang ditonjolkan adalah tindakan itu terjadi secara mendadak,
tiba-tiba. Ini mau menunjukkan kalau wong edan itu tidak punya dasar rasional
dalam setiap tindakannya. Lia seakan tahu betul kegilaan Agung, hingga ia
menyimpulkan bahwa tindakan itu tidak memiliki dasar rasional. Padahal
faktanya ia belum pernah berinteraksi dengan Agung. Tetapi ia yakin betul
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
dengan kebenaran yang ia katakan. Itu berarti ia tengah menjadi korban dari
pengetahuan-pengetahuan sosial kegilaan yang mendefinisikan wong edhan itu
tidak memiliki dasar rasional dalam tindakannya, atau yang banyak orang sebut
‘irasional’. Dampaknya, Agung dipandang dapat sembarangan, tanpa alasan
apapun, dapat membunuh siapa saja.
Orang bisa saja memilih peristiwa lain untuk mengenang Agung, tetapi itu
tidak terjadi. Yang terjadi adalah peristiwa semacam di atas yang telah dibumbui
dengan penafsiran seperti di atas yang dipakai. Sepertinya secara tak sadar, kita
memang diarahkan untuk mengingat pinasung, selalu melalui peristiwa-peristiwa
semacam itu dengan penafsiran semacam di atas. Penafsiran seperti di atas
dianggap sebuah tafsir tanpa pretensi, sebuah tafsir yang dianggap memang
merepresentasikan diri Agung sebenarnya. Tentu banyak cara penafsiran yang
dapat dipakai untuk memaknai tindakan Agung membawa golok, tetapi cara
memaknai semacam di ataslah yang menyebar dan populer di masyarakat.
Banyak warga yang emosinya meledak-ledak, marah-marah, saat
mengingat Agung melalui narasi itu. Kemarahan itu muncul karena ingatan itu
menghadirkan sosok yang tidak terkontrol, tidak dapat mengendalikan diri,
meledak-ledak. Narasi itu menyulut amarah. Kemarahan itu kemudian
memunculkan kebencian. Kemarahan itu muncul karena menghadirkan bayangan
Agung yang sedang misuh atau mengumpat. Kemarahan dan kebencian itulah
yang ditampung, diwadahi, kemudian dipasarkan ke masyarakat setempat dalam
bentuk narasi di atas. Ingatan semacam itu lalu membuat orang-orang hanya ingat
pada tindakan-tindakan Agung yang dianggap buruk saja, misalnya, mereka lalu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
mengingat saat Agung mencuri pepaya dan kelapa, mengambil mic di masjid dan
sebagainya. Lalu orang-orang melupakan bagaimana sikap-sikap tetangga-
tetangga mereka sendiri pada Agung selama ini. Misalnya, adanya beberapa orang
yang pernah memukul Agung, mengolok-ngolok dan sebagainya. Ini dapat
diartikan bahwa fungsi narasi itu ialah mereproduksi ingatan-ingatan buruk
tentang Agung, hingga memposisikannya sebagai seorang penjahat.
Dengan demikian, tipe narasi itu adalah mereproduksi dan mengekalkan
stereotipe. Caranya dengan menghilangkan, melenyapkan segala kompleksitas
hubungan yang pernah terjalin, dengan memfokuskan pembahasan pada tubuh
Agung semata. Fungsinya adalah mengkriminalisasi Agung. Agung kemudian
dibekukan dalam ingatan warga sebagai orang yang membahayakan dan
mengancam keselamatan tubuh masyarakat.
Proses penyeleksian,pembatasan serta pemaknaan ingatan semacam itu
dipopulerkan media-media konvensional, kita dapat melihat dari cara media
merepresentasikan pinasung serta cara bagaimana dokter ahli jiwa pada era
kolonial menarasikan orang ngamuk.Warga Sri Gentan bukan satu-satunya pihak
yang memproduksi narasi dengan bentuk pemaknaan seperti itu. Sebuah
pemaknaan, penyeleksian serta pembatasan memori yang ujungnya
menyimpulkan kalau pinasung itu mengancam keselamatan orang banyak itu
sudah lama terbentuk. Proses itu terjadi dengan menandai pinasung sebagai orang
ngamuk. Jadi, penafsiran orang ngamuk sebagai subjek yang mengancam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
eksistensi tubuh biologis masyarakat itu, meminjam istilah John Storey,118
terbentuk secara historis bukan sebagai esensi metafisis. Kita dapat mendengar
atau membaca dari berbagai media tentang pernyataan-pernyataan masyarakat,
yang dicomot begitu saja oleh wartawan, yang terus menerus melabeli pinasung
‘gila dan berbahaya’. Di sini, masyarakat Sri Gentan bisa kita artikan sebagai agen
kuasa yang mendistribusikan stereotipe-stereotipe itu.
Di era kolonial, subjek gila berbahaya itu dibentuk melalui aturan-aturan
pemerintah kolonial yang kemudian mendapatkan status ilmiah dari pengetahuan
medis.119 Secara politis, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengubah makna
ngamuk dari sebuah tindakan perlawanan masyarakat terhadap kebijakan-
kebijakan pemerintah saat itu atau prajurit-prajurit Jawa pada kolonial, menjadi
sebuah patologi sosial. Makna politis seperti itu dibuat dengan cara menangkap
ramai-ramai jika ada yang ngamuk. Tujuannya adalah untuk menegaskan pada
masyarakat bahwa orang ngamuk itu berbahaya. Orang ngamuk kemudian
dimaknai sebagai ancaman sosial, bukan orang yang sedang protes terhadap
penguasa. Dalam rangka menopang serta membenarkan anggapan itu, dibentuklah
ritual berupa penjaga gardu disuruh membunyikan kentongan sebanyak tiga kali
118 John Storey, pengantar Komprehensif Teori dan Metode, Cultural Studies dan Kajian BudayaPop Terj. Layli Rahmawati, Yogyakarta; Jalasutra, 2008, h. 55119 Berikut narasi Psikiater Hindia Belanda tentang orang ngamuk, yang memiliki pola narasisama dengan cara Lia menuturkan tentang Agung: “Tiba-tiba, tanpa ada tanda-tanda sebelumnya,tanpa ada isyarat yang mencurigakan, ia melompat, meraih senjata, klewang atau pisau danberjalan dalam keadaan gila dari rumahnya ke jalan. Ia memiliki keterampilan yang mengagumkandan dia tahu mematikan orang; menusuk dan memukul dan tidak jarang mengamuk dalam waktuyang sangat singkat. Yang menyebabkan lima orang tewas atau cedera serius”. Lebih jelasnya lihatdi bab II.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
sebagai penegasan keberbahayaan seseorang, lalu menangkap ramai-ramai orang
ngamuk. Pemaknaan itu kemudian semakin dikukuhkan dengan
mengklasifikasikan ngamuk sebagai penyakit jiwa. Tujuan pemaknaan semacam
itu adalah untuk menertibkan dan mencegah kemungkinan orang-orang Jawa,
yang saat itu mulai boleh menjadi pembantu di Batavia, melawan tuannya. Hal itu
dipakai sebagai strategi untuk meminimalisir kemungkinan tindakan-tindakan
yang dapat mengganggu pemerintah kolonial.
Dengan demikian, kalau kita kaitkan dengan cara warga Sri Gentang
memaknai Agung, itu berarti bahwa pengetahuan yang menghadirkan subjek gila
dan berbahaya itu telah dilakukan sejak era kolonial dan sampai sekarang masih
berdampak buruk bagi orang-orang yang dilabeli edan, gendheng. Dampak buruk
ini terjadi sebab ada pemaknaan ngamuk sebagai tindakan yang mengancam
eksistensi tubuh biologis masyarakat. Dengan demikian orang-orang Sri Gentan
bukan produser penafsiran itu, tetapi pengikut penafsiran itu. Jadi, mereka
terpengaruh dengan wacana kegilaan atau bisa jadi mereka adalah korban dari
pengetahuan-pengetahuan kegilaan. Karenanya, fakta bahwa Agung membawa
golok sambil mengumpat-ngumpat hanya menjadi bukti pembenaran, semacam
penguatan kebenaran pengetahuan yang sudah lama masyarakat percayai.
Dengan demikina, mengutip Budiawan, narasi historis dihadirkan sebagai
“masa lalu yang bicara”, alih-alih “masa lalu yang dibicarakan”. Hal ini
mengimplikasikan bahwa “masa lalu” tak dapat dipertanyakan, karena ia telah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
terjadi sebagaimana adanya.120 Di sini warga tidak lagi menganggap tindakan
Agung di masa lalu itu sebagai sesuatu yang perlu dibicarakan, tetapi masa lalu itu
seolah-olah bicara sendiri pada warga tentang kebenaran bahwa Agung itu
mengancam. Hasilnya, pernyataan-pernyatan yang tidak sesuai dengan stereotipe
itu akan dianggap tidak ada, sambil lalu, tidak perlu diperhatikan, bahkan cepat
disangkal. Sebagai gambaran, saya pernah menceritakan pada ibu Agung, kalau
Agung tak pernah melukai atau menyelakai saya, yang kemudian saya tafsirkan
sebagai tanda bahwa Agung tidak membahayakan orang lain. Pernyataan itu
langsung disangkalnya “Ngawur, aneh sampeyan iki, nyamari kok (sembarangan,
aneh kamu itu, ya…membahayakan dia itu)”. Ini menunjukkan sudah sangat
terinternalisasinya pengetahuan kegilaan beserta stereotipe yang dilekatkan pada
subjek gila di masyarakat, terbaca dari kuatnya resistensi kalau ada orang yang
berbeda pendapatnya.
Dalam wacana itu, banyak kenangan masa lalu yang pernah dirajut warga
dengan Agung yang kemudian terlupakan. Kenangan itu tentu jauh lebih banyak
dari penggalan peristiwa yang dipotong, yang diceritakan berulang-ulang dan
ditafsirkan dengan pemaknaan serupa seperti yang telah saya sebut di atas. Orang-
orang banyak yang melupakan, meremehkan pengalaman-pengalaman mereka di
masa lalu yang pernah terajut, hanya sedikit yang dapat mengingatnya dengan
rinci. Di antaranya adalah dua cerita berikut ini.
120 Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Wacana Anti Komunis dan Politik RekonsiliasiPasca Soeharto, Elsam, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jakarta ,2004. H.32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Markisah masih ingat betul, dulu, sebelum dipasung, Agung sering main
ke rumahnya. Ia sering membuatkan kopi dan menyediakan rokok. Saking
akrabnya, Agung sering memijit suaminya. Ia yakin Agung itu orang baik dan
tidak membahayakan “Sampai sekarang juga ndak papa, kalau kita ndak berbuat
jahat sama dia.” katanya. Ia menyakini setiap tindakan itu merupakan reaksi
tindakan-tindakan orang lain. Kalau orang lain pernah berbuat jahat, Agungpun
akan membalasnya, “Kalau tidak pernah jahat, ya..tidak apa apa.” jelasnya. Dari
kenangan personalnya itu ia ingat kalau pernah ada berita bahwa ada beberapa
orang yang pernah memukuli Agung, tetapi ia tak tahu siapa. Karenanya, ingatan
apa yang paling kuat tentang seseorang, membuat orang akan mengingat hal-hal
yang masih berhubungan dengan ingatan itu baik paradigmatik maupun
sintagmatik, kemudian akan mengarahkan pandangan orang, selanjutnya
menentukan bagaimana seseorang bersikap pada orang lain.
Cerita serupa juga saya dapatkan dari Ma’ruf. Ia mengenang Agung
sebagai anak yang rajin adzan ke Masjid. Agung juga biasa ikut yasinan setiap
malam jumat. Yang ia tahu Agung dulu seperti orang-orang desa pada umumnya.
Keyakinannya sama dengan Markisah, ia yakin kalau Agung itu tidak
membahayakan orang lain. “Kalau diam saja, juga ndak papa” katanya. Tanpa ada
alasan, tidak mungkin Agung berbuat jahat. Jadi, ia digambarkan sebagai orang
yang memiliki dasar rasional dalam setiap tindakannya.
Pemaknaan-pemaknaan berbeda seperti di atas, tidak mendapat tempat di
masyarakat. Ingatan-ingatan itu diendapkan sebagai kenangan personal, yang
dianggap sepele, bukan bagian penting yang perlu dipertimbangkan. Kenangan-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
kenangan itu dianggap sebagai masa lalu yang tidak ada hubungannya dengan
Agung sekarang.
Pemasungan menutup mata banyak orang untuk melihat Agung dari
berbagai segi. Pemasungan mengarahkan orang-orang untuk selalu memaknai,
menyeleksi serta membatasi ingatan kolektif mereka tentang Agung melalui
tindakan-tindakan di masa lalu yang sesuai dengan stereotipe yang dilekatkan
pada Pinasung.Tujuan stereotipe itu dibentuk adalah untuk melegitimasi dan
melanggengkan pemasungan.
Kealamiahan teknik membentuk dan membatasi ingatan itu terletak pada
fakta bahwa yang mereproduksi ingatan-ingatan itu adalah tetangga-tetangga
Agung sendiri, bukan institusi-institusi formal seperti rumah sakit, dinas
kesehatan atau pemerintah. Banyak orang secara tak sadar mengulang-ngulang
‘gila dan berbahaya’ tiap kali membicarakan pinasung. Karenanya, hal itu tidak
tampak sebagai sebuah kekuatan yang menekan, menindas. Bahkan dianggap
sebagai hal yang wajar dan memang begitu adanya. Seakan-akan hal itu
merupakan kesimpulan yang dibuat para tetangga dari pengalaman berelasi
langsung dengan Agung. Seakan-akan memang begitulah peristiwa itu terjadi,
seolah-olah kalau narasi itu datang dari orang-orang terdekat tidak mengandung
muatan politis, nampak sebagai sesuatu yang alamiah.
Pembekuan memori semacam itu melahirkan wacana ketakutan. Wacana
itu menghilangkan hasrat masyarakat untuk hidup berdampingan dengan Agung
“nyamari (khawatir Agung akan membahayakan)” kata warga. Wacana ketakutan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
inilah yang kemudian menopang sekaligus mengawetkan pengetahuan-
pengetahuan sosial tentang kegilaan. Masyarakat menganggap ruang dan waktu
tak memiliki arti apapun untuk Agung, seakan-akan gila dan berbahaya
merupakan esensi diri Agung sebenarnya.
C. Sisi Kelam Pasung : Histeria Seorang Ibu
Efek psikologis paling terlihat dari wacana pasung ialah pada ibunya
Agung. Bukannya saya menafikan dampak psikologis Agung, tetapi sangat sulit
buat saya untuk mengetahui kondisi mental Agung. Sangat sulit buat saya
menangkap apa yang dirasakan dan difikirkan Agung dari apa yang ia katakan
maupun lakukan. Tetapi hal itu sangat terlihat pada ibunya, yang hal itu langsung
terasa saat kali pertama menemuinya. Ada dampak psikologis yang sangat
menonjol, yang saya tangkap dari tuturan maupun tindakannya. Karenanya, di
bagian ini saya akan menguraikan tentang kondisi mental Ibu Agung.
Masyarakat menyebut kegilaan Agung sebagai aib keluarga. Di desa itu,
sistem kekerabatan menempatkan keluarga sebagai institusi yang selalu
dihubungkan dengan keberadaan individu, bahkan stereotipe-stereotipe tentang
Agung juga dikaitkan dengan keluarganya. Agung adalah anggota keluarga, dan
apapun yang terjadi padanya, masyarakat mewajibkan keluarga untuk
bertanggung Jawab.
Dalam ikatan sosial semacam itu, masyarakat memberi tugas keluarga
untuk mendidik para anggota memahami dan mengikuti norma-norma yang
berlaku. Istilahnya, masyarakat yang menetapkan norma-norma dan keluarga yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
harus memastikan setiap anggota keluarga untuk mengikutinya, karena itu selain
harus melaksanakan dan mematuhi semua norma-norma yang berlaku, keluarga
juga harus mengawasi setiap gerak-gerik anggotanya agar sesuai dengan aturan-
aturan yang berlaku.
Keluarga Agung diposisikan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas
ketakutan para tetangga yang dianggap hanya karena tindakan Agung. Tindakan
Agung yang dianggap membahayakan itu mau tak mau harus menjadi tanggung
jawab keluarga, bukan masyarakat. Masyarakat tidak mau tahu bagaimana
caranya, yang penting harus ada tindakan tegas untuk meredam rasa takut yang
menghantui mereka.
Ibu Agunglah yang harus bertanggung jawab atas segala keresahan dan
ketakutan warga. Sewaktu masyarakat menganggap tingkah laku Agung aneh, saat
itu ayahnya sudah meninggal, dan Rufiahlah kepala rumah tangga. Selain itu,
anak-anaknya yang lelaki juga merantau, bekerja di kota-kota besar dan di luar
Jawa. Yang di rumah saat itu hanya anak-anaknya perempuan, sehingga mau tak
mau ia harus menanggung keluhan-keluhan tetangga sendirian.
Dalam struktur ekonomi kapitalis, keluarga ditempatkan sebagai pihak
yang bertanggung jawab membiayai perawatan medis penderita penyakit jiwa.
Ibaratnya, keluarga adalah mesin ATM penggerak roda perekonomian institusi-
institusi kesehatan. Meski begitu, dalam pemahaman yang ditanamkan
masyarakat, sekarang ini posisinya telah dibalik. Seolah-olah yang membutuhkan,
benar-benar membutuhkan adalah individu-individu yang dianggap gila itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
Bahwa yang membutuhkan perawatan medis itu orang itu sendiri, bukan yang
lainnya. Seolah-olah para dokter merupakan pahlawan penyembuh penyakit yang
diderita.
Pewacanaan keluarga pinasung itu miskin merupakan efek dari
komodifikasi kesehatan jiwa. Miskin di sini diartikan sebagai sebuah situasi
dimana keluarga tak mampu membiayai perawatan medis pengidap penyakit jiwa,
bukan karena mahalnya biaya rumah sakit. Dengan memandang keluarga
pinasung sebagai keluarga yang miskin, itu berarti menempatkan orang-orang
miskin sebagai objek kuasa kepentingan ekonomi. Di benua Eropa, Foucault
menggambarkan pada awal abad ke-19 adanya keinginan pemerintah untuk
membuat masyarakat hygine, steril, dari segala penyakit sehingga membuat
orang-orang miskin menjadi objek pengawasan dan pengontrolan medis. Sebab
lingkungan-lingkungan orang miskin ini dianggap tidak steril, jadi harus terus
menerus dikontrol.
Dalam wacana pasung di Indonesia, kata miskin sering dijadikan alat
pemerintah untuk mengalihkan tanggung jawab. Maksud saya, kemiskinan
dijadikan sebagai sumber kesalahan dari tindakan-tindakan yang tidak
dikehendaki medis. Dengan mengatakan kalau pemasungan itu terjadi karena
keluarganya miskin, hal itu menafikan realitas kalau pemerintahlah sebenarnya
yang gagal dengan wacana medis yang dibentuknya sendiri. Maksudnya,
bukankah medikalisasi tubuh orang gila itu sedari awal yang membentuk institusi
yang membuat berbagai institusi pendukung itu pemerintah, dan bukankah hal itu
memang untuk kepentingan pemerintah? mengapa kemudian hal itu berubah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
menjadi kepentingan keluarga dan pinasung? sehingga yang harus bertanggung
jawab individu-individu sendiri, bukan pemerintah. Fatalnya lagi, atas nama
kemiskinan ini pula pemerintah mencitrakan diri sebagai sosok penolong. Seperti
yang dikatakan Foucault, dari permasalahan kesehatan berubah menjadi
pertolongan. Hal ini bisa dengan jelas kita lihat dari aksi pemerintah yang
membawa tubuh pinasung ke RSJ dengan mengundang para wartawan untuk
meliput. Seakan pemerintah mau berkata pada masyarakat bahwa dia sedang
menolong para pinasung dari rasa sakit, dari tindakan yang ‘tidak manusiawi’.
Aksi semacam itu bisa kita lihat sebagai strategi pencitraan pemerintah, sehingga
kemiskinan diwacanakan sebagai sesuatu yang buruk dalam dirinya sendiri dan
menjadi alat pencitraan pemerintah
Dalam situasi terhimpit pada relasi kuasa semacam itu, Ibu Agung tidak
punya pilihan. Sebab, ketika Agung menjadi pembicaraan intenstif masyarakat,
suaminya sudah meninggal dan anak-anaknya sedang merantau. Dalam sebuah
masyarakat yang patriarkhis, tidak ada yang mewakili keluarganya untuk
bernegosiasi. Rufiah terhimpit dalam hubungan kuasa. Dialah yang harus
menghadapi berbagai keluhan masyarakat tentang Agung, dan dia pula yang
dituntut masyarakat untuk mengambil sikap cepat mengatasinya. Dan sialnya lagi,
dia juga yang harus merawat Agung dalam waktu yang tak terbatas.
Posisi Rufiah sebagai istri dari seorang TNI, ia masuk dalam dominasi
aturan yang diproduksi orde baru yaitu sebagai istri illegal. Sebab ia istri kedua
dari PNS (pegawai negeri sipil). Posisi semacam itu ada karena orde baru
membuat peraturan yang tidak memperbolehkan PNS memiliki dua istri. Karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
itu, ia dikategorikan sebagai istri tidak sah. Secara sosial peraturan semacam itu
membuat masyarakat menstigmanya sebagai perempuan penggoda suami orang.
Dalam fungsi sosial itulah, aturan-aturan tentang tidak diperbolehkan beristri dua
membuatnya diposisikan atau ditempatkan sebagai perempuan yang tidak baik,
penggoda suami orang, sekaligus perempuan yang dapat merusak tatanan
perkawinan yang ideal.
Sebagai seorang ibu, ia harus merawat anak-anaknya. Fungsi perawatan
inilah yang membuatnya harus mengumpulkan lembar-lembar rupiah untuk
menghidupi anak-anaknya. Selain itu, dia juga harus membuat makanan,
membersihkan rumah, mencuci dan sebagainya. Dan sudah tentu fungsi semacam
itu berimplikasi pada posisinya di masyarakat. Secara sosial, jika anaknya
berhasil, dianggap memang sudah tugasnya. Wajar, memangsudah tugas
perempuan melakukannya. Malah masyarakat sering menghubungkan kesuksesan
itu dengan lelaki. Misalnya, ketika ada anak yang wisuda yang disebut selalu
ayahnya. Berbeda dengan kegagalan yang sering dikaitkan dengan tubuh
perempuan. Para perempuan ini sering dilihat sebagai ibu yang tak bisa merawat
anak ketika anak-anaknya gagal meraih kesuksesan.
Dengan pandangan semacam itu, Rufiah masih harus dibebani dengan
stigmatisasi masyarakat pada anaknya. Dia bukan hanya diposisikan sebagai
seorang ibu yang harus merawat anak-anaknya, tetapi juga seorang ibu yang
memiliki anak yang dianggap gila dan membahayakan. Hubungan dirinya dengan
anak-anaknya, terutama Agung dianggap masyarakat tidak bisa dipisahkan.
Masyarakat seolah menyamakan posisi Rufiah dengan anaknya itu. Banyak orang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
mengatakan kalau salah satu penyebab Agung gila itu adalah karena
ketidakharmonisan keluarga. Secara umum, di masyarakat ada mitos yang
menyatakan bahwa kesalahan yang dilakukan anak adalah cermin dari kesalahan
orang tuanya. Seorang anak adalah darah daging ibunya. Seorang anak juga
adalah sebuah karya dari kerja keras ibunya. Anggapan-anggapan buruk yang
disematkan pada Agung, juga seakan-akan dengan semena-mena dikaitkan
dengannya. Dia adalah Agung. Agung adalah dirinya.
Perasaan malu pada tetangga karena tindakan-tindakan anaknya itu dia
katakan, “Isin to mbak… dikiro aku seng ngongkon. Lek do jukuk klopo mrene
kan isin. Dikiro aku (malu kan mbak …dikira saya yang nyuruh. Kalau ada orang
ngambil kelapa ke sini kan saya malu. Nanti dikira saya..)” Pernyataan itu
menggambarkan betapa sulit ada di posisinya. Di antara seorang anak yang harus
ia rawat dan tetangga yang harus ia ikuti maunya. Dia hidup di antara dua dunia,
dunia subjek waras yang harus ia penuhi keinginannya, dan subjek gila yang harus
ia rawat, dua-duanya butuh kesabaran super ekstra.
Dari sistem kekerabatan yang dianut masyarakat, ia harus merawat
anaknya dan menjaganya jangan sampai disakiti orang lain. Dari kuasa produk
pengetahuan orde baru dia disemati sebagai seorang istri yang tidak sah.
Kemauan-kemauan masyarakat itu ia ketahui, ia tahu kalau masyarakat memang
menghendakinya bertanggung jawab atas dirinya, ia juga tahu kalau masyarakat
tidak suka dengan posisinya sebagai istri kedua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
Posisi itulah yang hingga sekarang membuatnya harus bersembunyi dari
masyarakat ‘living in hiding’. Dia mengatakan sengaja tidak sering bertetangga.
“Susah mbak nonggo kuwi, engko, …[sambil menggerakkan tangan, yang
menggambarkan orang yang sedang bicara banyak). Alasan itulah yang
membuatnya tidak pernah bermain ke tetangganya, kecuali kalau ada kepentingan
mendadak. Misalnya, membantu tetangga yang sedang punya hajat, acara
pernikahan misalnya. Dia seakan sendirian harus menanggung aneka macam
beban itu dipundaknya. Beraneka macam beban itu membuat dirinya harus
bekerja keras untuk memenuhi apa yang diinginkan masyarakat. Tetapi semakin ia
berusaha untuk menjadi yang diinginkan masyarakat, selalu saja ia gagal. Ia
merasa selalu gagal menafsirkan apa yang dimaui masyarakat padanya. Setiap hari
ia selalu bekerja dan merawat anak-anaknya. Tetapi, tetap saja statusnya sebagai
istri kedua begitu melekat di masyarakat. Ia tahu masyarakat tidak menghendaki
ada orang yang statusnya sebagai istri kedua. Selain itu, stereotipe-stereotipe
tentang Agung juga tak berhenti, meskipun ia sudah mengikuti apa yang dimaui
masyarakat. Pandangan-pandangan itu tidak dapat ditolaknya, meski sudah tentu,
ia tak menginginkannya. Namun itulah kondisinya. Ia tak punya pilihan lain.
Apapun yang ia lakukan akan selalu dianggap salah dan dia tahu tentang hal itu.
Dalam situasi yang tak bisa ia hindari. Sebuah situasi yang tak bisa ia tolak, harus
diterima begitu adanya. Ia dalam kondisi terbelah, sebuah situasi yang
menempatkan dirinya antara apa yang diinginkan masyarakat dan ia sendiri tidak
tahu apa yang diinginkannya. Di bawah sadarnya, ia merasakan ada sesuatu yang
kurang, ada hal yang mengganjal, ada sesuatu yang tak dapat ia terjemahkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
Dalam situasi di mana ia berada dalam aneka keinginan masyarakat itu, tetapi
keinginan itu tak dapat memenuhi apa yang ia butuhkan.
Dalam situasi yang menghimpit itu, kata-kata yang sering ia ulang,
sesudah sedikit menceritakan Agung ialah “aku ikhlas, Aku nrimo”. Seakan,
ketika mengatakannya, ia bertanya: keneopo awakku koyok ngene? (kenapa aku
seperti ini), opo salahku? opo seng dipingini wong-wong kuwi? (apa yang
diinginkan orang-orang itu?) Dia tidak dapat menerjemahkan apa yang ia rasakan,
tetapi ada yang mengganjal. Ada sesuatu yang ia rasakan, yang terasa sakit di
dada, tetapi tak dapat dikatakan. Ia tak tahu apa itu bentuknya. Tetapi ia benar-
benar merasa sakit, merasa bahwa perasaan itu terus menyembul, tetapi ia tak
dapat mengatakannya.
Rufiah histeris. Relasi kuasa yang menghimpit tubuhnya tak dapat
ditanggungnya. Situasi di mana individu tidak dapat menerjemahkan hasratnya
dan akhirnya yang bergerak atau mengatakan hasratnya itu tubuhnya sendiri.
Sebab tidak ada bahasa yang telah dikenal masyarakat untuk membahasakan
situasi yang dialaminya. Apa yang ia butuhkan tak dapat dipenuhi masyarakat.
Tubuhnya dengan jelas menandakan dirinya dalam situasi histeris.
Histeria tubuhnya itu tampil dengan nada tinggi, tatapan mata ke depan seperti
ingin marah pada sesuatu, dan emosi yang meledak-ledak. Antara yang terjadi
tidak sesuai dengan yang ia inginkan. Dirinya berada dalam situasi tak menentu.
Bahasa itu tidak terucap, tetapi tubuhnya tak dapat berbohong dengan apa yang ia
rasakan. Tubuhnya mengatakan dengan sejelas-jelasnya kalau ia sedang histeris,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
tidak bisa menerima realitas yang sedang dihadapi, tetapi tak bisa membahasakan
situasi yang tengah ia alami. Ruang artikulasi itu kosong. Karena sistem patriarkal
membuat dirinya dibebani dengan aneka tugas yang menghimpit dirinya dalam
situasi yang sangat sulit.
Setelah mengalami histeris berulang-ulang kali, terutama ketika ada yang
menyinggung anaknya atau ketika tidak ada sesuatu yang menghiburnya, ia pun
mulai berkompromi, ia tahu ada yang kurang, tetapi ia tak bisa mengelak, jalan
yang ia pilih adalah kompromi. Strategi yang ia pilih untuk menghindar dari
histeris itu ialah dengan mengasingkan diri dari masyarakat. Dia mengatakan
sengaja tidak banyak berbicara pada tetangganya, sebab akan banyak perkataan
tetangga tentang dirinya, yang pasti dapat melukainya lagi. Dia berusaha untuk
menerima keadaan sakit yang ia rasakan. Meski tubuhnya tak dapat menolak,
sehingga berkali-kali, dan terus-menerus tubuhnya histeris. Misalnya, hal itu
sangat terlihat ketika saya bertanya, meski dengan pertanyaan yang sangat hati-
hati, ia tetap menjawab dengan nada tinggi. Jantungnya berdebar lebih kencang
sepertinya, matanya tiba-tiba kosong, tidak memandang saya, tetapi memandang
di depan. Seakan kemarahan itu ia tujukan pada sesuatu dalam bayangannya.
Dia merasa terbebani dengan situasi semacam itu, dia tidak bisa lari dari
situasi semacam itu, karena itu dia hanya mengatakan kalau dirinya hanya ingin,
ia merelakan semua rasa sakit yang ia derita sebagai bentuk memenuhi keinginan
masyarakat atas dirinya, sebagai bentuk supaya ia diakui sebagai warga baik.
Merawat anaknya sebagai wujud dia berkompromi dengan apa yang diinginkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
masyarakat atas dirinya, sebagai bentuk bahwa ia ingin memenuhi keinginan
masyarakat untuk menjadi seorang ibu.
Ia merasakan rasa sakit itu, tetapi tidak ada solusi dari rasa sakitnya itu. Ia
tak punya pilihan lain, semua jalan seolah-olah buntu, karena itulah ia mengatakan
jika ada yang bersedia mengganti posisinya ia juga tak menolak.121 Seakan ia
mengetahui kalau tidak ada orang yang mau menerima kondisi semacam ini, tidak
ada orang yang bersedia dalam kondisi seperti yang ia alami ini. Di sini, ia
mengalami semacam perasaan bahwa ternyata orang lain juga akan sulit kalau
berada dalam situasinya.
Dalam situasi relasi kuasa yang membuatnya histeris itu, ia pun
mengambil langkah kompromi dengan kemauan masyarakat. Pertama kompromi
memasung anaknya dan kedua kompromi mau merawat Agung. Pemasungan
inilah yang kemudian menempatkannya sebagai orang yang mematuhi atau
menjalankan apa yang diinginkan dan dikehendaki masyarakat padanya. Selain
itu, untuk menyublimasi, mengalihkan dalam bentuk aktifitas yang diamini
masyarakat,122 untuk menjaga kewarasannya, ia lakukan dengan cara bersih-
bersih, menanam pohon-pohon, merawatnya di kebun. Hampir semua sudut di
rumahnya sangat bersih. Selalu ada bekas sapu lidi di kebun. Tempat Agung
121 Wawancara dengan Rufiah pada tanggal 18 Juli 2011122 Sunardi mengutip Kaufman mengatakan bahwa secara sederhana, istilah ini dapat didefinisikansebagai penyaluran dorongan-dorongan dan nafsu-nafsu ke dalam tindakan yang dapat diterimamasyarakat. Dorongan dan nafsu ini dapat menjadi perusak masyarakat kalau mereka disalurkansecara alamiah. Hanya melalui sublimasi, orang dapat hidup sesuai dengan moralitas yangberdasarkan pada prinsip kehendak untuk berkuasa. Hanya melalui sublimasi, orang dapat hidupsesuai dengan moralitas yang berdasarkan pada prinsip kehendak untuk berkuasa. Hanya dengansublimasi, orang dapat menjadi orang kuat dan berkuasa. Baca ST. Sunardi, Nietzsche,Yogyakarta; LKIS, 2006, h.102
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
dipasung juga bersih. Bersih-bersih merupakan cara yang ia pilih untuk
menyublimasi dirinya, untuk menjaga kewarasannya.
Tindakan kompromi ini bukan berarti diam dengan segala relasi kuasa,
tetapi sebagai strategi bertahan. Dengan memutuskan memasung anaknya itu
berarti ia sedang bertahan dari himpitan relasi kuasa. Kompromi tidak selalu
berarti mengalah. Kompromi juga bisa diartikan sebagai sebuah tindakan
resistensi. Ia tidak puas. Ia kesal dengan segala cara pandang masyarakat yang
selalu memandang negatif anaknya. Ia protes misalnya dengan pengetahuan
medis yang kata orang bisa menyembuhkan anaknya, tetapi tidak terbukti.
Kegagalan medis dalam menyembuhkan anaknya itu membuatnya bingung.
Bagaimana tidak, ketika di rumah sakit, dokter mengatakan anaknya itu sudah
sembuh, tetapi sewaktu di rumah. Padahal masyarakat tetap tidak dapat menerima
kehadiran anaknya itu. Tidak ada tindakan frontal yang dilakukannya. Tidak ada
ruang sosial yang disediakan untuk memprotes.
Ia memilih diam. Diam bukan berarti tunduk pada pandangan orang lain
atas dirinya. Diam merupakan ruang yang ia pilih mengingat begitu masifnya
serangan kuasa pada anak dan dirinya. Ia mengetahui posisinya di masyarakat,
dan dia memahami kalau tidak ada ruang sosial tersedia baginya untuk protes.
Karena itu ia diam. Diam merupakan pilihan terbaik yang bisa ia lakukan. Diam
membuat dirinya sedih sekaligus tenang. Sedih dengan segala prasangka buruk
serta realitas melihat anak yang dilahirkannya terikat. Tenang sebab tak lagi harus
meladeni dengan aktif terhadap berbagai pandangan atau tindakan buruk orang
lain pada anaknya. Dengan diam, ia menunjukkan kuasa untuk mengontrol orang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
lain supaya tidak mudah bicara tentang dirinya maupun anak-anaknya. Dalam
sikap diam itu, ia menghentikan para dokter untuk meneliti tubuhnya maupun
tubuh anaknya. Sekaligus ia membiarkan orang-orang berfikir tentang dirinya,
tanpa bicara. Dalam kediamannya itu ia membiarkan orang berkata seenaknya dan
berbicara tanpa ia afirmasi atau salahkan. Ia menekan dirinya untuk berbicara juga
sekaigus menekan orang lain dari bersikap atau berkata yang tidak menyenangkan
tentangnya. Ini berarti diam dapat kita artikan sebagai tindakan resistensi dari
kekuasaan.
Dengan demikian, bagi Rufiah pemasungan merupakan tindakan
perlindungan seorang ibu pada anaknya. Hal ini diteguhkan Rufiah dengan
mengatakan kalau ia memasung Agung agar tidak ada orang luar yang menganggu
anaknya itu. Ia ingin memastikan anaknya itu makan apa, memastikan bahwa
kondisi anaknya itu baik-baik saja, tidak ada orang yang dapat menyakiti anaknya
itu.
Tak seperti yang dikatakan dan diyakini banyak orang tentang
pemasungan yang menganggap pemasungan sebagai tindakan yang menindas,
yang menyalahi hak asasi manusia, perlakukan yang tidak manusiawi. Bagi
keluarga justru sebaliknya. Pemasungan merupakan sebentuk protes terhadap
pandangan-pandangan yang menganggap sebelah mata terhadap kegilaan.
Pemasungan merupakan strategi untuk menangkis segala tatapan mata dan tatapan
pengetahuan medis yang melulu melihat kegilaan sebagai penyakit, sebagai hal
yang buruk. Pemasungan merupakan bentuk perawatan seorang ibu pada
anaknya. Pemasungan merupakan strategi ibu melindungi anaknya dari gangguan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
pihak-pihak luar, dari ejekan-ejekan tetangga, dari sikap-sikap melecehkan,
mencemoohkan, dari berbagai pengetahuan medis yang ingin mendisiplinkan
tubuhnya dengan sebuah metode rahasia. Pemasungan juga bisa kita artikan
sebagai bentuk perlawanan keluarga pada wacana kegilaan yang selalu
menjadikannya objek untuk diatur, dipandang dan dikendalikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
BAB V
PENUTUP
Di Indonesia, subjek penderita penyakit jiwa mulai terbentuk di era
kolonial. Pembentukannya ditandai dengan mengasingkan orang-orang yang
dianggap gila dalam sebuah panti asuhan. Para penderita diasingkan bersama
orang-orang miskin nasrani, para pensiunan negeri yang bangkrut dan pelayar
jompo. Saat itu, subjek itu dibuat dalam rangka menjaga moralitas Kristen Bangsa
Eropa, dengan asumsi masih pentingnya moralitas kristen mengatur penduduk.
Orang-orang yang melanggar aturan-aturan agamapun dianggap sebagai individu
yang harus diasingkan. Hasrat menjaga moralitas kristiani itu terlihat dari kriteria
penderita penyakit jiwa yang dibuat, diantaranya: orang-orang yang minum arak
sangat banyak dan melakukan hubungan seks di luar nikah.
Pembentukan penderita penyakit jiwa ini semakin kokoh dengan
didirikannya ruang eksklusi khusus untuk orang-orang yang dianggap gila. Pada
tahun 1882 dibangun Rumah Sakit jiwa khusus yang diletakkan di Buitenzorg
(Bogor) dan Malang. Lama-lama, ruang ini berkembang dan terus menerus
diproduksi menjadi ruang yang lumrah, yang banyak dibangun. Orang-orang
mulai terbiasa menerima RSJ dan semacamnya, sebagai ruang untuk orang yang
diklasifikasikan menderita penyakit jiwa.
Keberadaan penderita penyakit jiwa kemudian dikokohkan dan
dilanggengkan di Indonesia dengan wacana pembangunan. Penduduk diatur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
menjadi subjek yang harus punya fungsi sosial, diterima masyarakat dan dapat
bekerja. Orang-orang yang ‘gagal’ secara sosial dan tidak bekerja diklasifikasikan
sebagai penduduk yang sakit jiwa. Yang normal adalah yang mempunyai fungsi
sosial dan bekerja, sedangkan yang tidak normal adalah yang dianggap tidak dapat
berfungsi di masyarakat dan tidak punya fungsi ekonomis. Standar yang dipakai
adalah yang dapat bermanfaat secara sosial dan punya fungsi secara ekonomis.
Tubuh dan diri orang-orang yang dianggap menderita penyakit jiwapun
menjadi objek sasaran tatapan medis. Para psikiater mempunyai hak menentukan
siapa yang diklasifikasikan sebagai penderita penyakit jiwa dan siapa yang tidak.
Secara eksplisit, hasrat melihat tubuh pinasung melalui ukuran normalitas
di wilayah medis ditegaskan pemerintah dengan dikeluarkannya surat kementrian
kesehatan yang memasukkan pemasungan sebagai masalah kesehatan jiwa,
khususnya masalah psiko-sosial. Pemerintah menggunakan undang-undang
kesehatan sebagai upaya menjaga kesehatan penduduk. Salah satunya ialah
dengan memproduksi undang-undang kesehatan jiwa.
Mulanya, subjek gila dan berbahaya terbentuk saat amok diklasifikasikan
sebagai penyakit jiwa. Pemaknaan ngamuk sebagai tindakan yang berbahaya itu
dibuat di era kolonial yaitu ketika wacana keamanan dan ketertiban menjadi
bagian penting melancarkan aktifitas-aktifitas industrial. Wacana ketertiban dan
keamaan sebuah wilayah penting dibuat dan dilanggengkan demi kelancaran
industrial. Sebelum diklasifikasikan sebagai penyakit jiwa, amok merupakan
tindakan perlawanan orang-orang jawa pada pemerintah kolonial. Karenanya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
ketika itu wacana memasukkan amok sebagai penyakit jiwa merupakan taktik
pemerintah kolonial meredam pemberontakan orang-orang jawa.
Sampai sekarang wacana bahwa pinasung itu adalah orang gila dan
berbahaya menyebar di masyarakat. Penyebaran ini bisa melalui media,
diteruskan para psikiatris, yang kemudian berlanjut pada para tetangga pinasung.
Pemasungan pada Agung Tri Subagyo adalah implikasi dari dibentuk dan
dilanggengkannya subjek penderita penyakit jiwa dan berbahaya itu. Melalui
standar normalitas, Agung termasuk subjek yang dipandang gagal secara sosial
dan tidak produktif. Dalam standar medis inilah Agung menjadi subjek yang tidak
normal karena dianggap tidak bermanfaat secara sosial, ditambah lagi ia tidak
bekerja.
Tingkah laku Agung yang berbeda dari orang-orang kebanyakan di dusun
Sri Gentan, dipotong pada kisah-kisah relasi sosial sebelum Agung dipasung,
yang hanya melulu untuk membenarkan bahwa Agung gila dan berbahaya.
Masyarakat terus menerus memproduksi wacana itu dengan mereproduksi kisah
masa lalu Agung, yang berimplikasi membentuk dan mengawetkannya sebagai
orang gila dan berbahaya, wong edan seng nyamari.
Wacana pasung beroperasi di masyarakat melalui dua pengetahuan yaitu
pengetahuan magis dan pengetahuan medis. Dua pengetahuan ini membentuk
sekaligus membatasi pandangan masyarakat dalam melihat, memaknai, dan
memperlakukan Agung. Pengetahuan magis memiliki akar kuat di Sri Gentan,
yang kemudian dikuatkan pengetahuan medis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
Pemasungan mengawetkan Agung menjadi subjek yang gila dan
berbahaya, wong edan seng nyamari. Pengawetan ini terjadi melalui wacana
ketertiban dan keamanan dengan standar normalitas.
Melalui pengetahuan magis masyarakat menamai Agung sebagai wong
edan, wong gendheng (orang gila). Masyarakat menganggap kegendengan,
keedaan itu akibat ada makhluk halus dalam tubuh Agung. Roh itu ada yang
menyebut jin, lelembut, ingon-ingonan atau pegangan bapake. Secara psikis,
implikasi dihadirkannya makhluk halus dalam tubuh Agung adalah membuatnya
dipandang sebagai seorang yang seram, wingit. Akibat sosialnya, orang-orang
menjauhi dan menyingkirinya. Pengetahuan lain, semisal keyakinan bahwa
kegilaan itu merupakan media menghubungkan antara dunia material dengan
supranaturalpun tidak populer, samar-samar.
Meminjam istilah medis, masyarakat menyebut Agung sebagai wong
stres. Stres dikaitkan dengan fungsi biologis otak Agung yaitu adanya anggapan
bahwa otak Agung rusak parah. Ini berarti adanya anggapan bahwa kegilaan itu
sesuatu yang alamiah, yang biologis. Dianggap stres itu dari sononya, bukan
buatan. Dari penafsiran terhadap sesuatu yang biologis itu membuat orang-orang
memfokuskan diri mengoreksi tubuh Agung. Memandang Agung melalui
pengetahuan ini dianggap seperti memeriksa seonggok tubuh dalam laboratorium.
Implikasinya, orang-orang merasa selalu membutuhkan medium untuk
berhubungan dengan Agung. Dengan meminjam pengetahuan dokter, seolah
menjadi benar seratus persen anggapan bahwa memang syaraf otak Agung rusak.
Otak Agung diyakini berbeda dengan otak orang pada umumnya. Sumber
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
kesalahan dianggap terletak secara biologis, ada dalam tubuh Agung. Implikasi
sosiologisnya, pernyataan-pernyataan, tindakan-tindakan Agung dimaknai dan
diprediksi selalu seperti itu.
Dalam praktik pasung, kedua pengetahuan ini saling memengaruhi, saling
menopang antar satu dengan lainnya. Tubuh Agung dibentuk dan diawetkan
sebagai wong edan, gendheng, stres. Dua pengetahuan itu lalu saling
membenarkan mengeksklusi Agung.
Dengan begitu, kedua pengetahuan itu berpengaruh langsung dalam relasi
sosial. Melalui dua pengetahuan itu orang-orang menciptakan sekaligus
membatasi dunia Agung. Tubuh dan diri Agungpun diringkus dalam kotak edan,
gendheng serta stres. Dominasi pengetahuan medis di dusun Sri Gentan tampak
dari banyaknya orang yang percaya atau taqlid buta dengan pengetahuan ini.
Kepercayaan pada kebenaran pengetahuan ini juga mendominasi kesadaran
masyarakat dalam memandang pinasung, ini dapat kita lihat dari banyaknya orang
yang mencomot begitu saja label penderita penyakit jiwa, penderita gangguan
jiwa dan sebagainya yang kemudian menghegemoni kesadaran banyak orang
dalam melihat pinasung.
Kedua pengetahuan itu diawetkan di Sri Gentan, sebab mempunyai peran
yang sangat penting yaitu mempertahankan norma-norma dan sistem nilai yang
dianut masyarakat. Karenanya, operasi wacana itu memiliki efek positif bagi
eksistensi masyarakat, dengan mensyaratkan kepatuhan pada individu-individu di
dalamnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
Strategi kuasa paling mencolok di dusun Sri Gentan dalam rangka
menopang dan membenarkan pengetahuan itu ialah dengan menaklukan ingatan
penduduk tentang diri Agung. Dengan hanya mengingat Agung melalui sepotong
peristiwa yaitu saat Agung membawa golok sambil teriak-teriak tak bunuh kowe,
tak bunuh kowe. Sepotong peristiwa itu lalu dibumbui dengan penafsiran
stereotipikal yang mengarahkan pandangan orang untuk selalu memandang
Agung sebagai ancaman. Kebenaran narasi itu terletak pada masifnya produksi
pengetahuan itu oleh masyarakat sekitar.
Sisi terkelam dari adanya pengetahuan dan kuasa semacam itu, secara
psikologis, yang nampak paling menonjol adalah histeria seorang ibu. Histeria itu
terbentuk dari keinginannya menjadi bagian dari masyarakat, selalu ingin menjadi
bagian masyarakat, tetapi selalu dianggap gagal. Berkali-kali mencoba menjadi
bagian masyarakat, sudah berkorban, ingin menjadi bagian masyarakat, saat
memasung menyangka sudah bisa menjadi bagian masyarakat, tetapi tetap saja ia
merasa gagal.
Tetapi dalam setiap kekuasaan selalu ada perlawanan. Dalam arti ini, bagi
ibu Agung, pemasungan merupakan sikap perlawanan seorang perempuan
terhadap relasi kuasa yang beroperasi pada tubuhnya dan tubuh anaknya. Melalui
pemasungan, seorang ibu bisa mencegah segala dampak buruk yang ditimbulkan
relasi kuasa. Jika secara umum orang mengartikan pemasungan sebagai sebuah
tindakan yang menindas, yang menyalahi hak asasi manusia, bagi ibu Agung,
pemasungan adalah aksi perlindungan serta perawatan seorang ibu pada anaknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
Penelitian ini masih jauh dari sempurna. Faktor utama mungkin karena
keterbatasan saya dalam memahami serta mengaplikasikan analisis wacana
Foucaultdian, sehingga terdapat banyak operasi wacana yang belum terungkap.
Banyak detail-detail yang sangat mungkin terlewatkan. Karenanya, penelitian-
penelitian lanjutan sangat penting dilakukan, sebab masih minimnya kajian
tentang pasung yang menggunakan perspektif cultural studies. Di sini, saya hanya
meneliti satu praktik pasung yang terjadi di dusun Sri Gentan Wringin Putih
Magelang, dengan analisa pengetahuan dan kekuasaan Foucaultdian.
Dengan banyaknya praktik pasung di Indonesia dan minimnya penelitian
tentangnya, tentu banyak pula hal yang belum terungkap dalam penelitian ini.
Karenanya, penelitian-penelitian lanjutan masih sangat diperlukan, mengingat
begitu masifnya produksi pengetahuan medis dalam memandang pemasungan.
Dengan banyaknya pisau bedah dalam Cultural Studies, dengan lebih
mengedepankan keperpihakan pada pinasung, saya pikir dapat membuka ruang
komunikasi antara orang-orang yang dianggap gila dengan yang waras yang
selama ini tersumbat. Salah satu contoh penelitian lanjutan itu misalnya, pisau
bedah wacana Lacanian yang dapat mengungkapkan subjektifitas dengan detail,
tentu akan membuka dapat memberi harapan baru untuk membuka komunikasi
antara yang dianggap gila dengan yang waras.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
DAFTAR PUSTAKA
Browne.O,Kevin. 2001. Lanskap Hasrat dan Kekerasan. Terj. Apri Danarto, Sigit
Djatmiko, Ekandari. Yogyakarta: Jendela Grafika.
Budiawan, 2004, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Wacana Anti Komunis dan
Politik Rekonsiliasi Pasca Soeharto, Elsam, Jakarta; Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat
Fairelough Norman. 2006. Discourse and Social Change.Cambridge: Polity Press
in association with Blackwell Publishing Ltd
Foucault, Michel.1977. Madness And Civilization, A History Of Insanity in The
Age of Reason. Tr. Richard Howard. USA: Tavistock.
-------------------------. 1977. Disipline and Punish, The birth of The Prison,Tr. Alan Sheridan, USA
--------------------.2008. Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, Tr.Rahayu S. Hidayat.Jakarta : Yayasan Obor Indonesia dan FIB Universitas IndonesiaForum Jakarta-Paris
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Tr.Aswab Mahasin. Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya.
Kusno Abidin. 2007.Penjaga Gardu di Perkotaan Jawa, Januari, Tr. ChandraUtama. Yogyakarta: Ombak.
-----------------.2009. Ruang Publik, Identitas Dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-
Suharto, Tr.Lilawati Kurnia,Yogyakarta : Ombak
Vries J.J de. 1989. Jakarta Tempo Doeloe, Tr dan disusun: Abdul Hakim,
Jakarta: Pustaka Antar kota
Hendrik Niemeijer E.2012. Batavia, masyarakat Kolonial Abad XVII, Jakarta :
Corts Foundation dan Masup Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
Lombard Denys.1996, Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan
, Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi
Pamberton , 1994, John, , On The Subject of Java, USA: Cornell University
Lorna A.Rhodes, 2008, This Can't be Real : Continuity at HMP Grendon, USA:University of Washington, makalah tidak diterbitkan.
Machoul Alex & Grace Wendy. 1992. A Foucoult Primer, Discourse, Power andSubject , London and New York
Storey John. 2008, Pengantar Komprehensif Teori dan Metode, Cultural Studies
dan Kajian Budaya Pop Terj. Layli Rahmawati, Yogyakarta; Jalasutra
Suyono. RP.Capt 2005, Seks dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial, Jakarta:
Grasindo.
Sunardi St. 2006, Nietzche, Yogyakarta; LKiS
Website
Malik Sa'ad B. and Bokharey Iram Z., breaking the chain, diunduh dalam bentukPDF dari the psychiatrist,formerly bulletin.
Minas, Harry dan Diatri, Hervita. 2008. Pasung: Physical restraint andconfinement of the mentally ill in the community. ( Versi PDF diunduhdari www.ijmhs. com/content/2/1/8)
No name. javapost.com. Geestesziek in Nederland Indie diunduh pada tanggal 26Februari 2013, Tr.Antonius Cahyadi
Tyas, Hayuning Tri, Family experience of dealing with “the deviant“ in Bireuen,Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia” tidak diterbitkan, AmsterdamMaster’s in Medical Anthropology.(Versi PDF diunduh darihttp://amma.socsci.uva.nl/theses/tyas.pdf. Pada bulan tanggal 16Agustus 2012)
www.arif.rahmawan.blogspot. com pada tanggal 26 September 2010
http://www.tempo.co/read/news/2012/11/24/140443744/Mengerem-Laju-Penderita-Gangguan-Jiwa pada tanggal 11 Juli 2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
www. health.liputan6.com/read/654297/apa-pun-yang-terjadi-pasung-penderita-gangguan-jiwa. pada tanggal 03 September 2013
www.rumahsakitjiwaradjimanwediodiningrat.com
WWW.BeritaTV.com diunduh pada November 2012
www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=1242 pada tanggal 09 Maret 2013
www.tempointeraktif.com pada tanggal 08 Februari 2011
www. sindonews.com pada tanggal 9 Januari 2012
www.kompas.com pada tanggal 10 Juni 2010
www.kompas.com pada tanggal 28 Juni 2010
www.antara. com pada tanggal 15 November 2008
UNDANG-UNDANG KESEHATAN
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :220 / MENKES / SK / III / 2002
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1960 Tentang Pokok-PokokKesehatan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1966TENTANG KESEHATAN JIWA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1992TENTANG K E S E H A T A N
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009TENTANG KESEHATAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI