pengertian kesehatan dan keselatan kerja
TRANSCRIPT
Pengertian Kesehatan dan Keselatan Kerja
Menurut Mangkunegara (2002, p.163) Keselamatan dan kesehatan kerja
adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan
baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan manusia pada
umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan makmur.
Menurut Suma’mur (2001, p.104), keselamatan kerja merupakan rangkaian
usaha untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para
karyawan yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
Menurut Simanjuntak (1994), Keselamatan kerja adalah kondisi
keselamatan yang bebas dari resiko kecelakaan dan kerusakan dimana kita bekerja
yang mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan,
dan kondisi pekerja .
Mathis dan Jackson (2002, p. 245), menyatakan bahwa Keselamatan adalah
merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap
cedera yang terkait dengan pekerjaan. Kesehatan adalah merujuk pada kondisi
umum fisik, mental dan stabilitas emosi secara umum.
Menurut Ridley, John (1983) yang dikutip oleh Boby Shiantosia (2000, p.6),
mengartikan Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu kondisi dalam
pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun
bagi masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut.
Jackson (1999, p. 222), menjelaskan bahwa Kesehatan dan Keselamatan
Kerja menunjukkan kepada kondisi-kondisi fisiologis-fisikal dan psikologis tenaga
kerja yang diakibatkan oleh lingkungan kerja yang disediakan oleh perusahaan.
Menurut Mangkunegara (2002, p.170), bahwa indikator penyebab keselamatan
kerja adalah:
a) Keadaan tempat lingkungan kerja, yang meliputi:
1. Penyusunan dan penyimpanan barang-barang yang berbahaya yang kurang
diperhitungkan keamanannya.
2. Ruang kerja yang terlalu padat dan sesak
3. Pembuangan kotoran dan limbah yang tidak pada tempatnya.
b) Pemakaian peralatan kerja, yang meliputi:
1. Pengaman peralatan kerja yang sudah usang atau rusak.
2. Penggunaan mesin, alat elektronik tanpa pengaman yang baik Pengaturan
penerangan.
Tujuan Penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja :
Secara umum, kecelakaan selalu diartikan sebagai kejadian yang tidak dapat
diduga. Kecelakaan kerja dapat terjadi karena kondisi yang tidak membawa
keselamatan kerja, atau perbuatan yang tidak selamat. Kecelakaan kerja dapat
didefinisikan sebagai setiap perbuatan atau kondisi tidak selamat yang dapat
mengakibatkan kecelakaan. Berdasarkan definisi kecelakaan kerja maka lahirlah
keselamatan dan kesehatan kerja yang mengatakan bahwa cara menanggulangi
kecelakaan kerja adalah dengan meniadakan unsur penyebab kecelakaan dan atau
mengadakan pengawasan yang ketat. (Silalahi, 1995)
Keselamatan dan kesehatan kerja pada dasarnya mencari dan
mengungkapkan kelemahan yang memungkinkan terjadinya kecelakaan. Fungsi ini
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mengungkapkan sebab-akibat suatu
kecelakaan dan meneliti apakah pengendalian secara cermat dilakukan atau tidak.
Menurut Mangkunegara (2002, p.165) bahwa tujuan dari keselamatan dan
kesehatan kerja adalah sebagai berikut:
a. Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan
kerja baik secara fisik, sosial, dan psikologis.
b. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-
baiknya selektif mungkin.
c. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.
d. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
gizi pegawai.
e. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.
f. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh
lingkungan atau kondisi kerja.
g. Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja
Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang
memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan ma-syarakat sekitar dari
bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang
wajib dipenuhi oleh perusahaan. K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan
menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero accident). Penerapan konsep ini tidak boleh
dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
yang menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan, melainkan harus dianggap
sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah
pada masa yang akan datang.
Bagaimana K3 dalam perspektif hukum? Ada tiga aspek utama hukum K3
yaitu norma keselamatan, kesehatan kerja, dan kerja nyata. Norma keselamatan
kerja merupakan sarana atau alat untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja yang
tidak diduga yang disebabkan oleh kelalaian kerja serta lingkungan kerja yang tidak
kondusif. Konsep ini diharapkan mampu menihilkan kecelakaan kerja sehingga
mencegah terjadinya cacat atau kematian terhadap pekerja, kemudian mencegah
terjadinya kerusakan tempat dan peralatan kerja. Konsep ini juga mencegah
pencemaran lingkungan hidup dan masyarakat sekitar tempat kerja.Norma
kesehatan kerja diharapkan menjadi instrumen yang mampu menciptakan dan
memelihara derajat kesehatan kerja setinggi-tingginya.
K3 dapat melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit akibat kerja,
misalnya kebisingan, pencahayaan (sinar), getaran, kelembaban udara, dan lain-lain
yang dapat menyebabkan kerusakan pada alat pendengaran, gangguan pernapasan,
kerusakan paru-paru, kebutaan, kerusakan jaringan tubuh akibat sinar ultraviolet,
kanker kulit, kemandulan, dan lain-lain. Norma kerja berkaitan dengan manajemen
perusahaan. K3 dalam konteks ini berkaitan dengan masalah pengaturan jam kerja,
shift, kerja wanita, tenaga kerja kaum muda, pengaturan jam lembur, analisis dan
pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain. Hal-hal tersebut mempunyai korelasi
yang erat terhadap peristiwa kecelakaan kerja.
Eksistensi K3 sebenarnya muncul bersamaan dengan revolusi industri di
Eropa, terutama Inggris, Jerman dan Prancis serta revolusi industri di Amerika
Serikat. Era ini ditandai adanya pergeseran besar-besaran dalam penggunaan
mesin-mesin produksi menggantikan tenaga kerja manusia. Pekerja hanya berperan
sebagai operator. Penggunaan mesin-mesin menghasilkan barang-barang dalam
jumlah berlipat ganda dibandingkan dengan yang dikerjakan pekerja sebelumnya.
Revolusi IndustriNamun, dampak penggunaan mesin-mesin adalah pengangguran
serta risiko kecelakaan dalam lingkungan kerja. Ini dapat menyebabkan cacat fisik
dan kematian bagi pekerja. Juga dapat menimbulkan kerugian material yang besar
bagi perusahaan. Revolusi industri juga ditandai oleh semakin banyak ditemukan
senyawa-senyawa kimia yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan
fisik dan jiwa pekerja (occupational accident) serta masyarakat dan lingkungan
hidup.
Pada awal revolusi industri, K3 belum menjadi bagian integral dalam
perusahaan. Pada era in kecelakaan kerja hanya dianggap sebagai kecelakaan atau
resiko kerja (personal risk), bukan tanggung jawab perusahaan. Pandangan ini
diperkuat dengan konsep common law defence (CLD) yang terdiri atas contributing
negligence (kontribusi kelalaian), fellow servant rule (ketentuan kepegawaian), dan
risk assumption (asumsi resiko) (Tono, Muhammad: 2002). Kemudian konsep ini
berkembang menjadi employers liability yaitu K3 menjadi tanggung jawab
pengusaha, buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada di luar lingkungan
kerja.Dalam konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3 sebenarnya sudah ada sejak
pemerintahan kolonial Belanda. Misalnya, pada 1908 parlemen Belanda mendesak
Pemerintah Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda yang ditandai dengan
penerbitan Veiligheids Reglement, Staatsblad No. 406 Tahun 1910. Selanjutnya,
pemerintah kolonial Belanda menerbitkan beberapa produk hukum yang
memberikan perlindungan bagi keselamatan dan kesehatan kerja yang diatur secara
terpisah berdasarkan masing-masing sektor ekonomi. Beberapa di antaranya yang
menyangkut sektor perhubungan yang mengatur lalu lintas perketaapian seperti
tertuang dalam Algemene Regelen Betreffende de Aanleg en de Exploitate van
Spoor en Tramwegen Bestmend voor Algemene Verkeer in Indonesia (Peraturan
umum tentang pendirian dan perusahaan Kereta Api dan Trem untuk lalu lintas
umum Indonesia) dan Staatblad 1926 No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling
1940 (Ordonansi Kecelakaan Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids
Reglement (Peraturan Keamanan Kerja di Pabrik dan Tempat Kerja), dan
sebagainya. Kepedulian Tinggi Pada awal zaman kemerdekaan, aspek K3 belum
menjadi isu strategis dan menjadi bagian dari masalah kemanusiaan dan keadilan.
Hal ini dapat dipahami karena Pemerintahan Indonesia masih dalam masa transisi
penataan kehidupan politik dan keamanan nasional. Sementara itu, pergerakan
roda ekonomi nasional baru mulai dirintis oleh pemerintah dan swasta nasional.
K3 baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan semakin
ramainya investasi modal dan pengadopsian teknologi industri nasional
(manufaktur). Perkembangan tersebut mendorong pemerintah melakukan regulasi
dalam bidang ketenagakerjaan, termasuk pengaturan masalah K3. Hal ini tertuang
dalam UU No. 1 Tahun 1070 tentang Keselamatan Kerja, sedangkan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan sebelumnya seperti UU Nomor 12 Tahun
1948 tentang Kerja, UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja tidak menyatakan secara eksplisit konsep K3 yang
dikelompokkan sebagai norma kerja.Setiap tempat kerja atau perusahaan harus
melaksanakan program K3. Tempat kerja dimaksud berdimensi sangat luas
mencakup segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan tanah,
dalam air, di udara maupun di ruang angkasa.
Pengaturan hukum K3 dalam konteks di atas adalah sesuai dengan
sektor/bidang usaha. Misalnya, UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkerataapian, UU
No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15 Tahun
1992 tentang Penerbangan beserta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.
Selain sekor perhubungan di atas, regulasi yang berkaitan dengan K3 juga dijumpai
dalam sektor-sektor lain seperti pertambangan, konstruksi, pertanian, industri
manufaktur (pabrik), perikanan, dan lain-lain.Di era globalisasi saat ini,
pembangunan nasional sangat erat dengan perkembangan isu-isu global seperti
hak-hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, dan buruh. Persaingan
global tidak hanya sebatas kualitas barang tetapi juga mencakup kualitas pelayanan
dan jasa. Banyak perusahaan multinasional hanya mau berinvestasi di suatu negara
jika negara bersangkutan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan
hidup. Juga kepekaan terhadap kaum pekerja dan masyarakat miskin. Karena itu
bukan mustahil jika ada perusahaan yang peduli terhadap K3, menempatkan ini
pada urutan pertama sebagai syarat investasi.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Perkantoran
PENDAHULUAN
Di era golbalisasi menuntut pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3) di setiap tempat kerja termasuk di sektor kesehatan. Untuk itu kita perlu
mengem-bangkan dan meningkatkan K3 disektor kesehatan dalam rangka menekan
serendah mungkin risiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan
kerja, serta meningkatkan produktivitas dan efesiensi.
Dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari karyawan/pekerja di sektor kesehatan
tidak terkecuali di Rumah Sakit maupun perkantoran, akan terpajan dengan resiko
bahaya di tempat kerjanya. Resiko ini bervariasi mulai dari yang paling ringan
sampai yang paling berat tergantung jenis pekerjaannya.
Dari hasil penelitian di sarana kesehatan Rumah Sakit, sekitar 1.505 tenaga
kerja wanita di Rumah Sakit Paris mengalami gangguan muskuloskeletal (16%) di
mana 47% dari gangguan tersebut berupa nyeri di daerah tulang punggung dan
pinggang. Dan dilaporkan juga pada 5.057 perawat wanita di 18 Rumah Sakit
didapatkan 566 perawat wanita adanya hubungan kausal antara pemajanan gas
anestesi dengan gejala neoropsikologi antara lain berupa mual, kelelahan,
kesemutan, keram pada lengan dan tangan.
Di perkantoran, sebuah studi mengenai bangunan kantor modern di
Singapura dilaporkan bahwa 312 responden ditemukan 33% mengalami gejala Sick
Building Syndrome (SBS). Keluhan mereka umumnya cepat lelah 45%, hidung
mampat 40%, sakit kepala 46%, kulit kemerahan 16%, tenggorokan kering 43%,
iritasi mata 37%, lemah 31%.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23
mengenai kesehatan kerja disebutkan bahwa upaya kesehatan kerja wajib diseleng-
garakan pada setiap tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai resiko
bahaya kesehatan yang besar bagi pekerja agar dapat bekerja secara sehat tanpa
membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya, untuk memperoleh
produktivitas kerja yang optimal, sejalan dengan program perlindungan tenaga
kerja.
HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN PELAKSANAAN K3 PERKANTORAN
Ada beberapa hal penting yang harus mendapatkan perhatian sehubungan
dengan pelaksanaan K3 perkantoran, yang pada dasarnya harus memperhatikan 2
(dua) hal yaitu indoor dan outdoor, yang kalau diurai seperti dibawah ini :
a. Konstruksi gedung beserta perlengkapannya dan operasionalisasinya
terhadap bahaya kebakaran serta kode pelaksanaannya.
b. jaringan elektrik dan komunikasi.
c. kualitas udara.
d. kualitas pencahayaan.
e. Kebisingan.
f. Display unit (tata ruang dan alat).
g. Hygiene dan sanitasi.
h. Psikososial.
i. Pemeliharaan dan Penggunaan Komputer.
PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI
Konstruksi gedung :
Disain arsitektur (aspek K3 diperhatikan mulai dari tahap perencanaan).
Seleksi material, misalnya tidak menggunakan bahan yang membahayakan seperti
asbes dll.
Seleksi dekorasi disesuaikan dengan asas tujuannya misalnya penggunaan
warna yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Tanda khusus dengan pewarnaan kontras/kode khusus untuk objek penting
seperti perlengkapan alat pemadam kebakaran, tangga, pintu darurat dll. (peta
petunjuk pada setiap ruangan/unit kerja/tempat yang strategis misalnya dekat lift
dll, lampu darurat menuju exit door).
Kualitas Udara :
Kontrol terhadap temperatur ruang dengan memasang termometer ruangan.
Kontrol terhadap polusi
a. Pemasangan "Exhaust Fan" (perlindungan terhadap kelembaban udara).
b. Pemasangan stiker, poster "dilarang merokok".
c. Sistim ventilasi dan pengaturan suhu udara dalam ruang (lokasi udara
masuk, ekstraksi udara, filtrasi, pembersihan dan pemeliharaan secara
berkala filter AC) minimal setahun sekali, kontrol mikrobiologi serta
distribusi udara untuk pencegahan penyakit "Legionairre Diseases ".
Kontrol terhadap linkungan (kontrol di dalam/diluar kantor).
Misalnya untuk indoor: penumpukan barang-barang bekas yang
menimbulkan debu, bau dll.
Outdoor: disain dan konstruksi tempat sampah yang memenuhi syarat
kesehatan dan keselamatan, dll.
Perencanaan jendela sehubungan dengan pergantian udara jika AC mati.
Pemasangan fan di dalam lift.
Kualitas Pencahayaan (penting mengenali jenis cahaya) :
Mengembangkan sistim pencahayaan yang sesuai dengan jenis pekerjaan
untuk membantu menyediakan lingkungan kerja yang sehat dan aman. (secara
berkala diukur dengan Luxs Meter)
Membantu penampilan visual melalui kesesuaian warna, dekorasi dll.
Menegembangkan lingkungan visual yang tepat untuk kerja dengan
kombinasi cahaya (agar tidak terlalu cepat terjadinya kelelahan mata).
Perencanaan jendela sehubungan dengan pencahayaan dalam ruang.
Penggunaan tirai untuk pengaturan cahaya dengan memperhatikan warna
yang digunakan.
Penggunaan lampu emergensi (emergency lamp) di setiap tangga.
Jaringan elektrik dan komunikasi (penting agar bahaya dapat dikenali) :
a. Internal
b. Over voltage
c. Hubungan pendek
d. Induksi
e. Arus berlebih
f. Korosif kabel
g. Kebocoran instalasi
h. Campuran gas eksplosif
i. Eksternal
j. Faktor mekanik.
k. Faktor fisik dan kimia.
l. Angin dan pencahayaan (cuaca)
m. Binatang pengerat bisa menyebabkan kerusakan sehingga terjadi hubungan
pendek.
Manusia yang lengah terhadap risiko dan SOP.
n. Bencana alam atau buatan manusia.
Rekomendasi
Penggunaan central stabilizer untuk menghindari over/under voltage.
Penggunaan stop kontak yang sesuai dengan kebutuhan (tidak berlebihan)
hal ini untuk menghindari terjadinya hubungan pendek dan kelebihan beban.
Pengaturan tata letak jaringan instalasi listrik termasuk kabel yang sesuai
dengan syarat kesehatan dan keselamatan kerja.
Perlindungan terhadap kabel dengan menggunakan pipa pelindung.
Kontrol terhadap kebisingan :
a. Idealnya ruang rapat dilengkapi dengan dinding kedap suara.
b. Di depan pintu ruang rapat diberi tanda " harap tenang, ada rapat ".
c. Dinding isolator khusus untuk ruang genset.
d. Hak-hal lainnya sudah termasuk dalam perencanaan konstruksi gedung dan
tata ruang.
Display unit (tata ruang dan letak) :
Petunjuk disain interior supaya dapat bekerja fleksibel, fit, luas untuk
perubahan posisi, pemeliharaan dan adaptasi. Konsep disain dan dan letak furniture
(1 orang/2 m²). Ratio ruang pekerja dan alat kerja mulai dari tahap perencanaan.
Perhatikan adanya bahaya radiasi, daerah gelombang elektromagnetik. Ergonomik
aspek antara manusia dengan lingkungan kerjanya. Tempat untuk istirahat dan
shalat. Pantry dilengkapi dengan lemari dapur. Ruang tempat penampungan arsip
sementara. Workshop station (bengkel kerja).
Hygiene dan Sanitasi :
Ruang kerja
a. Memelihara kebersihan ruang dan alat kerja serta alat penunjang
kerja.
b. Secara periodik peralatan/penunjang kerja perlu di up grade.
Toilet/Kamar mandi
a. Disediakan tempat cuci tangan dan sabun cair.
b. Membuat petunjuk-petunjuk mengenai penggunaan closet duduk, larangan
berupa gambar dll.
b. Penyediaan bak sampah yang tertutup.
c. Lantai kamar mandi diusahakan tidak licin.
Kantin
a. Memperhatikan personal hygiene bagi pramusaji (penggunaan tutup kepala,
celemek, sarung tangan dll).
b. Penyediaan air mengalir dan sabun cair.
c. Lantai tetap terpelihara.
d. Penyediaan makanan yang sehat dan bergizi seimbang. Pengolahannya tidak
menggunakan minyak goreng secara berulang.
e. Penyediaan bak sampah yang tertutup.
f. Secara umum di setiap unit kerja dibuat poster yang berhubungan dengan
pemeliharaan kebersihan lingkungan kerja.
Psikososial
a. Petugas keamanan ditiap lantai.
b. Reporting system (komunikasi) ke satuan pengamanan.
c. Mencegah budaya kekerasan ditempat kerja yang disebabkan oleh :
d. Budaya nrimo.
e. Sistem pelaporan macet.
f. Ketakutan melaporkan.
g. Tidak tertarik/cuek dengan lingkungan sekitar.
h. Semua hal diatas dapat diatasi melalui pembinaan mental dan spiritual
secara berkala minimal sebulan sekali.
i. Penegakan disiplin ditempat kerja.
j. Olah raga di tempat kerja, sebelum memulai kerja.
k. Menggalakkan olah raga setiap jumat.
Pemeliharaan
Melakukan walk through survey tiap bulan/triwulan atau semester, dengan
memperhitungkan risiko berdasarkan faktor-faktor konsekuensi, pajanan dan
kemungkinan terjadinya.
Melakukan corrective action apabila ada hal-hal yang tidak sesuai dengan
ketentuan.
Pelatihan tanggap darurat secara periodik bagi pegawai.
Pelatihan investigasi terhadap kemungkinan bahaya
bom/kebakaran/demostrasi/ bencana alam serta Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan (P3K) bagi satuan pengaman.
Aspek K3 perkantoran (tentang penggunaan komputer)
Pergunakan komputer secara sehat, benar dan nyaman :
Hal-hal yang harus diperhatikan :
a. Memanfaatkan kesepuluh jari.
b. Istirahatkan mata dengan melihat kejauhan setiap 15-20 menit.
c. Istirahat 5-10 menit tiap satu jam kerja.
d. Lakukan peregangan.
e. Sudut lampu 45º.
f. Hindari cahaya yang menyilaukan, cahaya datang harus dari belakang.
g. Sudut pandang 15º, jarak layar dengan mata 30 – 50 cm.
h. Kursi ergonomis (adjusted chair).
i. jarak meja dengan paha 20 cm
j. Senam waktu istirahat.
Rekomendasi
a. Perlu membuat leaflet/poster yang berhubungan dengan penggunaan
komputer disetiap unit kerja.
b. Mengusulkan pada Pusat Promosi Kesehatan untuk membuat poster/leaflet.
c. komputer yang bebas radiasi (Liquor Crystal Display).
PENUTUP
Dalam pelaksanaan K3 perkantoran perlu memperhatikan 2(dua) hal penting
yakni indoor dan outdoor. Baik perhatian terhadap konstruksi gedung beserta
perlengkapannya dan operasionalisasinya terhadap bahaya kebakaran serta kode
pelaksanannya maupun terhadap jaringan elektrik dan komunikasi, kualitas udara,
kualitas pencahayaan, kebisingan, display unit (tata ruang dan alat), hygiene dan
sanitasi, psikososial, pemeliharaan maupun aspek lain mengenai penggunaan
komputer.
Hal diatas tidak hanya meningkatkan dari sisi kesehatan maupun sisi
keselamatan karyawan/pekerja dalam melakukan pekerjaan di tempat kerjanya.
Harapannya rekomendasi ini dapat dijadikan sebagai acuan ataupun
perbandingan dalam rangka meningkatkan pelaksanaan K3 khususnya di
perkantoran
HSE
HSE (Health, Safety, Environment,) atau di beberapa perusahaan juga
disebut EHS, ES, SHE, K3LL (Keselamatan & Kesehatan Kerja dan Lindung
Lingkungan) dan SSHE (Security, Safety, Health, Environment). Semua itu adalah
suatu Departemen atau bagian dari Struktur Organisasi Perusahaan yang
mempunyai fungsi pokok terhadap implementasi Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (SMK3) mulai dari Perencanaan, Pengorganisasian, Penerapan
dan Pengawasan serta Pelaporannya. Sementara, di Perusahaan yang
mengeksploitasi Sumber Daya Alam ditambah dengan peran terhadap Lingkungan
(Lindungan Lingkungan).
Membicarakan HSE bukan sekedar mengetengahkan Issue seputar Hak dan
Kewajiban, tetapi juga berdasarkan Output, yaitu korelasinya terhadap Produktivitas
Keryawan. Belum lagi antisipasi kecelakaan kerja apabila terjadi Kasus karena
kesalahan prosedur ataupun kesalahan pekerja itu sendiri (naas).
Dasar Hukum
Ada minimal 53 dasar hukum tentang K3 dan puluhan dasar hukum tentang
Lingkungan yang ada di Indonesia. Tetapi, ada 4 dasar hukum yang sering menjadi
acuan mengenai K3 yaitu:
Pertama, dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1970 Tentang
Keselamatan Kerja, disana terdapat Ruang Lingkup Pelaksanaan, Syarat
Keselamatan Kerja, Pengawasan, Pembinaan, Panitia Pembina K-3, Tentang
Kecelakaan, Kewajiban dan Hak Tenaga Kerja, Kewajiban Memasuki Tempat Kerja,
Kewajiban Pengurus dan Ketentuan Penutup (Ancaman Pidana). Inti dari UU ini
adalah, Ruang lingkup pelaksanaan K-3 ditentukan oleh 3 unsur:
a. Adanya Tempat Kerja untuk keperluan suatu usaha,
b. Adanya Tenaga Kerja yang bekerja di sana
c. Adanya bahaya kerja di tempat itu.
Dalam Penjelasan UU No. 1 tahun 1970 pasal 1 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2918, tidak hanya bidang Usaha bermotif Ekonomi tetapi
Usaha yang bermotif sosial pun (usaha Rekreasi, Rumah Sakit, dll) yang
menggunakan Instalasi Listrik dan atau Mekanik, juga terdapat bahaya (potensi
bahaya tersetrum, korsleting dan kebakaran dari Listrik dan peralatan Mesin
lainnya).
Kedua, UU No. 21 tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81
Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (yang mana disahkan 19
Juli 1947). Saat ini, telah 137 negara (lebih dari 70%) Anggota ILO meratifikasi
(menyetujui dan memberikan sanksi formal) ke dalam Undang-Undang, termasuk
Indonesia (sumber: www.ILO.org). Ada 4 alasan Indonesia meratifikasi ILO
Convention No. 81 ini, salah satunya adalah point 3 yaitu baik UU No. 3 Tahun 1951
dan UU No. 1 Tahun 1970 keduanya secara eksplisit belum mengatur Kemandirian
profesi Pengawas Ketenagakerjaan serta Supervisi tingkat pusat (yang diatur dalam
pasal 4 dan pasal 6 Konvensi tersebut) – sumber dari Tambahan Lembaran Negara
RI No. 4309.
Ketiga, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Paragraf
5 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pasal 86 dan 87. Pasal 86 ayat
1berbunyi: “Setiap Pekerja/ Buruh mempunyai Hak untuk memperoleh
perlindungan atas (a) Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Aspek Ekonominya adalah Pasal 86 ayat 2: ”Untuk melindungi keselamatan
Pekerja/ Buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan
upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Sedangkan Kewajiban penerapannya ada dalam pasal 87: “Setiap
Perusahaan wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja yang terintegrasi dengan Sistem Manajemen Perusahaan.”
Keempat, Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1996 tentang
Sistem Manajemen K3. Dalam Permenakertrans yang terdiri dari 10 bab dan 12
pasal ini, berfungsi sebagai Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K-3 (SMK3),
mirip OHSAS 18001 di Amerika atau BS 8800 di Inggris.