pengembangan strategi akuisisi teknologi otomotif (1)
TRANSCRIPT
Lima Kekuatan dalam Kompetisi Industri
PENGEMBANGAN STRATEGI AKUISISI TEKNOLOGI OTOMOTIF
Pendahuluan
Perkembangan teknologi khususnya pada industri otomotif telah matang dan jauh berkembang dengan laju yang pesat. Dengan adanya motivasi pengembangan teknologi di dalam negeri perlu dialokasikan sumber daya ekonomi dalam mengakuisisi teknologi, khususnya teknologi otomotif.�Contoh nyata yang dapat dilihat pada beberapa industri manufaktur nasional adalah tumbuhnya peran terintegrasi antara ”marketing‐engineering‐production”. Inti dari semua perubahan ini adalah semakin besarnya tuntutan untuk memenuhi harapan pelanggan, dan dengan sendirinya telah mengubah tatanan daya saing industri, khususnya dalam kolaborasi yang bersifat global yang dikenal sebagai “global supply and value chain”.
Berbagai industri, termasuk otomotif, elektronika dan alat berat, telah menerapkan hal tersebut yang ditunjukkan dengan adanya jaringan kolaborasi produksi di beberapa negara. Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi nasional, sektor industri nasional terkait harus didorong agar mampu berkontribusi pada kolaborasi global tersebut dengan menghasilkan nilai‐tambah yang tinggi.
Sejalan dengan globalisasi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga berlangsung cepat dalam beberapa dekade terakhir dan berdampak luas pada berbagai bidang kehidupan. Dalam kaitannya dengan perekonomian, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah salah satu faktor penentu bagi pembentukan daya saing dan modernisasi industri. Hal ini bersumber pada peran ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam peningkatan kemampuan inovasi di bidang perancangan produk dan proses produksi. Persaingan dalam suatu sektor industri ditentukan oleh lima faktor kekuatan (Porter, 1980), yaitu (1) ancaman dari pendatang baru, (2) ancaman dari produk atau jasa substitusi, (3) kekuatan tawar dari pemasok, (4) kekuatan tawar dari konsumen, dan (5) persaingan antar pesaing yang ada.
Kekuatan dari kelima faktor persaingan tersebut bervariasi antar industri dan menentukan profitabilitas industri dalam jangka panjang. Semakin tinggi tekanan dari kelima faktor tersebut, semakin tinggi tingkat persaingan dalam industri, maka semakin rendah tingkat
perolehan (return) yang dapat diraih oleh para pelaku dalam industri tersebut. Kondisi yang demikian
tidak menarik bagi pelaku industri untuk melakukan investasi yang diperlukan untuk mendorong perkembangan industri tersebut. Pelaku industri akan lebih tertarik untuk berinvestasi dalam industri dimana tingkat tekanan dari kelima faktor tersebut tidak terlalu tinggi.
Kelima faktor kekuatan tersebut menentukan profitabilitas industri melalui pengaruhnya terhadap tingkat harga yang dapat ditawarkan kepada konsumen, biaya produksi yang harus ditanggung, dan investasi yang diperlukan untuk berkompetisi dalam industri terkait. Ancaman dari pendatang baru membatasi potensi laba dalam industri secara keseluruhan. Pendatang baru dalam industri membawa kapasitas baru dan mengambil pangsa pasar, sehingga menurunkan margin keuntungan yang dapat diraih. Pembeli atau pemasok dengan kekuatan tawar yang tinggi akan menawar keuntungan bagi mereka sendiri. Kompetisi yang berlebihan akan mereduksi tingkat keuntungan melalui peningkatan biaya kompetisi (seperti biaya periklanan, biaya penjualan, atau biaya penelitian dan pengembangan) atau pembagian keuntungan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih murah. Adanya substitusi yang kuat untuk produk yang ditawarkan akan membatasi harga yang dapat dibebankan pada konsumen tanpa mendorong konsumen untuk memilih produk substitusi yang akan mereduksi volume industri.
Indonesia dan Pengembangan Teknologi
Ketika suatu negara menetapkan di jalan pembangunan, harus mencari cara untuk membangun ekonominya dalam rangka meningkatkan taraf hidup warganya, atau paling tidak, untuk meningkatkan total produksi barang dan jasa. Ekonomi mengajarkan kita bahwa komponen kunci dari produksi ekonomi adalah modal, tenaga kerja, dan teknologi. Modal menyediakan bahan baku, tenaga kerja menggunakan bahan‐bahan untuk menciptakan produk, dan teknologi menyediakan konfigurasi metode untuk penggunaan tenaga kerja modal. Negara‐negara berkembang umumnya mulai perkembangan mereka dengan menghasilkan sumber daya atau dengan memproduksi barang padat karya, sedangkan negara maju seperti Amerika Serikat memiliki ekonomi yang sangat dikapitalisasi dan sangat berteknologi canggih secara keseluruhan.
Dengan asumsi semua faktor produksi dianggap sama, tingkat teknologi jelas menentukan tingkat output suatu negara. Oleh karena itu, jika suatu negara ingin meningkatkan output, harus meningkatkan tingkat teknologi. Suatu negara dapat meningkatkan tingkat teknologi baik oleh penelitian dan pengembangan atau melalui akuisisi. Tentu, negara dapat menggunakan strategi yang berbeda untuk akuisisi, baik koersif, komersial, atau ilegal. Begitu sebuah negara telah memperoleh teknologi baru, juga harus menentukan metode yang optimal untuk menerapkan dan menggunakan teknologi. Sebagai penerapan teknologi seringkali sangat bergantung pada lingkungan domestik dari negara di mana ia diciptakan, penerapan teknologi tertentu di negara lain dapat menimbulkan masalah, pengentasan yang membutuhkan biaya waktu dan energi. Faktor‐faktor seperti infrastruktur yang buruk, kurangnya bakat manusia cukup terdidik, dan perlindungan hak kekayaan intelektual yang lemah semua berkontribusi terhadap pelaksanaan akuisisi teknologi yang diimpor di negara berkembang menjadi lebih lambat.
Indonesia, menjadi negara berkembang besar, memberikan banyak contoh bagaimana teknologi telah diadaptasi serta masalah yang terkait dengan mengadaptasi teknologi dari luar negeri. Banyak contoh pencurian teknologi oleh perusahaan di Indonesia. Juga, beberapa perusahaan di Indonesia mungkin ingin teknologi, atau masyarakat Indonesia mungkin membutuhkan teknologi, tetapi dalam kenyataannya kebutuhan teknologi tidak terpenuhi dengan baik kehendak, insentif, atau kemampuan untuk membayar teknologi tersebut.
Usulan akuisisi teknologi di Indonesia antara lain menarik ko‐operator internasional melalui menggunakan model pertumbuhan ekspor yang dipimpin yang telah membantu negara‐negara Macan Asia mencapai 'Keajaiban Ekonomi Asia'. Perusahaan internasional akan mampu datang ke Indonesia dan menikmati pajak yang lebih rendah, dan tenaga kerja murah. Sebagai gantinya, investor internasional akan berbagi teknologi dan keahlian dengan mitra bisnis lokal mereka. Model ini diasumsikan bahwa semacam jangka panjang efek spin‐off akan dicapai melalui kemitraan lokal‐asing tersebut. Tetapi, model ini belum benar‐benar efektif karena beberapa alasan sebagai berikut.
1. Lemahnya penegakan kekayaan intelektual perlindungan dan sistem pengadilan tidak efektif di Indonesia telah sangat memperlambat pertumbuhan teknologi negara. Sementara standar hukum telah membaik, masih sangat sulit untuk mendapatkan pengadilan yang adil jika pengadilan adalah di daerah pedesaan atau jika counterparty memiliki pengaruh politik yang signifikan, sehingga investor harus berhati‐hati ketika memindahkan operasi mereka ke Indonesia.
2. Di Indonesia, di mana tenaga kerja murah dan bahan yang murah, keahlian teknik dan desain masih cukup sulit didapat. Namun, seperti perlindungan IP lemah, dalam banyak kasus, barang‐barang yang dapat dengan mudah disalin akan disalin, dari barang‐barang sederhana seperti film‐film Amerika, hingga segala cara untuk sesuatu yang kompleks seperti sebuah mobil. Tentu, pemerintah Indonesia memiliki kepentingan dalam melindungi pasar domestik untuk perusahaan domestik sendiri, kehilangan pangsa pasar untuk perusahaan domestik dapat menyebabkan sentimen publik untuk memiringkan terhadap pemerintah karena kegagalan pemerintah dianggap untuk melindungi perusahaan domestik. Seperti fenomena perlindungan pasar terjadi tidak hanya di pasar berkembang seperti Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat dan negara‐negara lain.
3. Namun, sementara pemerintah Indonesia kadang‐kadang terlibat dalam perilaku proteksionis atas nama perusahaan domestik, di lain waktu memegang perusahaan bergerak kembali dari layanan mereka maju. Yang paling penting memungkinkan penyedia jasa bisnis Indonesia untuk menghindari biaya lisensi paten untuk penggunaan teknologi diciptakan di luar Indonesia. Masalah pengendalian muncul tidak hanya di bidang‐bidang seperti standar telepon seluler, tetapi juga di sektor IT, di bidang‐bidang seperti layanan portal web dan mesin pencari. Ini semacam proteksionisme mencerminkan jenis pemikiran yang telah menjadi populer di kalangan kepemimpinan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, gagasan bahwa pemerintah Indonesia harus membuat 'juara nasional di semua industri, yang bertentangan dengan model sebelumnya kolaborasi dalam rangka untuk mendapatkan keahlian. Gagasan memiliki 'juara nasional berpotensi meluas ke semua bidang ekonomi, dan merupakan bahaya baik untuk
perdagangan bebas dan kerjasama internasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kasus perekonomian Indonesia, negara bekerja sama parapihak dalam kegiatan ekonomi, sehingga sebagian besar perusahaan akan memiliki beberapa jenis hubungan pemerintah. Keterkaitan ini membuat menentukan apakah mitra bisnis tertentu dapat dianggap aman, sangat bermasalah atau tidak relevan.
4. Masalah terakhir yang sangat mempengaruhi transfer teknologi ke negara berkembang seperti Indonesia adalah harga. Dengan populasi 250 juta orang dan PDB per kapita hanya sekitar $ 4000 Pemerintah Indonesia sering harus siap menderita untuk membawa teknologi yang dapat menguntungkan masyarakat. Secara khusus, konsep eksternalitas belum tuntas disebarluaskan di Indonesia, yang berarti bahwa jika ekonomi tumbuh pada kecepatan 6 – 10% per tahun, maka jelas negara ini telah melakukan pembangunan dengan sangat baik, terlepas dari fakta bahwa kondisi masalah social dan lingkungan hidup telah meningkat tajam. Pemikiran picik seperti itu juga menyebabkan pasar Indonesia menganggap investasi jangka panjang dalam teknologi lingkungan sebagai pemborosan, karena tidak memaksimalkan keuntungan dalam jangka pendek. Meskipun pemerintah Indonesia bekerja menuju mempromosikan standar lingkungan yang lebih baik, penerapan pengawasan lingkungan yang sempurna masih menjadi tantangan.
5. Pemikiran terakhir berkaitan dengan kurva belajar bagi Indonesia untuk bergerak dalam rantai produksi. Idealnya, kemakmuran ekonomi awal akan mengakibatkan investasi yang lebih tinggi di bidang pendidikan, yang kemudian akan memicu lingkaran pembangunan berbudi pekerti luhur. Namun, tanpa pendidikan yang tepat, negara ini hanya mampu bersaing biaya. Secara keseluruhan, Indonesia perlu lebih fokus pada pengembangan sumber daya tenaga kerja dan teknologi di masa depan jika berharap untuk menyelesaikan masalah – masalah daya saing dalam pembangunan.
Strategi Pengembangan Akuisisi Teknologi
Kekuatan dari setiap faktor persaingan industri tersebut merupakan fungsi dari struktur industri, atau karakteristik ekonomi dan teknis dari suatu industri. Setiap industri adalah unik dan memiliki strukturnya yang unik. Dalam industri farmasi, misalnya, hambatan masuk (barriers to entry) ke industri tersebut tinggi karena kebutuhan biaya penelitian dan pengembangan yang tinggi serta ekonomi dari skala (economy of scale) dalam menjual produknya ke dokter. Substitusi untuk suatu obat relatif lambat dikembangkan, dan pembeli tidak sensitif terhadap harga. Pemasok, yang mensuplai bahan memiliki pengaruh yang relatif kecil.
Inovasi merupakan kunci perkembangan industri. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, inovasi berfungsi menciptakan dan menyampaikan produk dan jasa baru ke pasar untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Aspek penting dari inovasi adalah bahwa inovasi memerlukan hubungan sinergi yang erat dengan pengembang teknologi dan penggunanya. Inovasi yang berhasil secara komersial memerlukan rangkaian kemampuan ilmiah (scientific), rekayasa, kewirausahaan dan manajerial dengan pemahaman yang baik tentang kebutuhan konsumen. Secara bersama‐sama rangkaian kemampuan tersebut merupakan rantai inti proses inovasi (central chain of innovation).
Dalam sejumlah kasus, proses inovasi dapat distimulasi oleh munculnya kebutuhan baru konsumen dan difomulasikan dalam bentuk konsep produk baru yang diumpanbalikan ke proses pengembangan di bagian hulu untuk pengembangan lebih lanjut. Oleh karenanya, inovasi memerlukan interaksi vertikal yang kuat dan aliran komunikasi yang cepat. Dengan adanya faktor ketidak pastian, proses belajar (learning), dan siklus produk yang pendek diperlukan sistem organisasi yang dapat secara efektif memfasilitasi proses umpan balik secara tepat waktu, koreksi di tengah proses, desain ulang, dan komersialisasi secara cepat. Keterkaitan dan hubungan umpan balik yang diperlukan dalam proses inovasi tersebut diringkas pada Gambar berikut.
Proses Pengembangan Industri
Keterkaitan dan hubungan umpan balik tersebut dapat terjadi di dalam perusahaan, antar perusahaan, atau antara perusahaan dengan organisasi lain, seperti universitas. Tingkat integrasi vertikal perusahaan menentukan batasan perusahaan dan letak keterkaitan dan hubungan umpan balik yang diperlukan, apakah di dalam perusahaan, antar perusahaan, atau antara perusahaan dengan organisasi lain. Melalui interaksi vertikal, baik dalam proses inovasi maupun kegiatan ekonomi, inovasi berfungsi sebagai penggerak kemajuan industri melalui daya tarik atau daya dorongnya dalam penciptaan dan komersialisasi produk atau jasa baru ke pasar.
Kompetisi pasar global
Karakteristik suatu negara
Lingkungan kompetitif lokal
Internal perusahaan
Dengan pendekatan QFD (Quality Function Deployment) dan pencitraan juara nasional/regional/internasional (national/regional/world champion) maka strategi pengembangan dapat disusun berdasarkan metode yang atraktif, implementatif dan fleksibel sesuai kebutuhan dan perkembangan industri. Skema pengembangan dikelola secara sistematik sebagai dasar pencapaian produktivitas yang melingkupi :
1. Kualitas, tingkat pemenuhan kebutuhan dan/atau kepuasan pengguna/pelanggan dalam bentuk spesifikasi, ketepatan dan harga.
2. Manajemen Produksi, tingkat optimalisasi dalam menghantarkan waktu kelola menjadi produk yang sesuai rencana kualitas yang ditetapkan dengan biaya ekonomis yang serendah‐rendahnya.
3. Ketepatgunaan Teknologi, tingkat akuisisi teknologi tepat guna dalam peralatan, personel dan proses yang diadaptasikan pada lantai produksi
Berdasarkan peta rencana (roadmap) yang disusun untuk industri, maka pendekatan lanjutan pada Strategi Pengembangan Akuisisi Teknologi akan diproses lebih lanjut menjadi strategi komprehensif dan dapat ditindaklanjuti menjadi cetak biru (blueprint) pengembangan akuisisi industri.
Pengembangan Akuisisi Teknologi Otomotif
Saat ini terdapat lebih dari 20 perusahaan industri perakit Kendaraan bermotor roda empat yang merakit sebanyak 76 tipe kendaraan dari berbagai merek dan didukung oleh sekitar 250 perusahaan industri komponen yang memproduksi berbagai jenis komponen mulai dari komponen universal sampai komponen utama seperti engine dan transmisi. Jumlah merek Kendaraan bermotor roda empat yang dipasarkan didalam negeri sebanyak 40 merek dan yang diproduksi/dirakit didalam negeri sebanyak 12 merek. Dengan mulai banyak diberlakukannya perjanjian perdagangan internasional baik regional maupun bilateral, memberikan kesempatan kepada pemegang merek untuk memilih suatu negara sebagai pusat produksinya, dan negara‐ negara lain sebagai pasarnya.
Khusus untuk regional ASEAN pemegang merek Kendaraan bermotor Jepang menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi Kendaraan bermotor jenis/type MPV (Multi Purpose Vehicle) dan Thailand sebagai pusat produksi Kendaraan bermotor jenis Sedan dan SUV (Sport Utility Vehicle). Kebijakan regional tersebut menyebabkan beberapa perakitan mobil sedan di Indonesia menghentikan produksi mobil sedannya dan mengimpor secara built‐up untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Indonesia, namun masih banyak juga mempertahankan perakitannya di Indonesia, tetapi pendalaman strukturnya tetap kecil.
Sebaliknya untuk jenis/type MPV yang diproduksi di Indonesia diekspor, utamanya ke pasar regional ASEAN, karena sudah merupakan kesatuan pasar. Dengan dipusatkannya produksi jenis/type MPV di Indonesia, maka terjadi pendalaman struktur industri untuk Kendaraan bermotor jenis tersebut, sehingga merupakan peluang tumbuhnya industri komponen.
Melalui upaya pengembangan akuisisi teknologi, industri otomotif diharapkan dapat mencapai kemajuan yang signifikan dalam penguasaan teknologi, baik dalam skema end‐to‐end maupun co‐generation. Hal ini bersesuaian dengan perspektif bisnis industri otomotif yang sedang berkembang pesat pada saat ini. Skema end‐to‐end business dikembangkan atas platform teknologi keseluruhan sistem otomotif yang telah eksis saat ini pada skala inkubasi yang protektif hingga industri yang matang.
Sedangkan skema co‐generation dikembangkan atas platform teknologi terpilih sesuai seleksi pencitraan yang sesuai pada skala kemitraan minoritas OEM hingga industri berkelas tinggi.
Berdasarkotomotif
kan pendekatdapat disusun
tan dan meton dengan tah
ode generik apan berikut
di atas maka :
a strategi pengembangan
akuisisi tekn
nologi
Selanjutnya didapatkan dasar pemodelan yang akan dipergunakan dalam mengelola program pengembangan akuisisi teknologi otomotif yang diterapkan pada skala industri. Gambaran pemodelan dalam perspektif internal maupun eksternal dapat dilihat dalam gembar berikut :
Dengan mengacu hal – hal tersebut di atas maka dapat disusun gambaran awal strategi pengembangan akuisisi tenologi pada industri otomotif adalah sebagai berikut :
Automotive Technology Acquisition
End-to-end Business
Co-generation Business
Partnership
Selection
Incubator
ProtectionTechnology Availability
Automotive Market & Industry Structure
Skema inkubator melibatkan paten dan pengembangan usaha berbasis produk secara utuh, baik produk antara hingga produk akhir. Paten di sini dimaksudkan pada paten sederhana hingga paten kompleks yang merupakan fungsi dampak terobosan dan tingkat inovasinya, baik dari pengembangan paten yang telah ada aksesnya di seluruh dunia maupun pengembangan iptek di lembaga riset dalam negeri. Peneliti dan perekayasa sebagai actor pelaku lembaga riset berdaya guna untuk meningkatkan kemampuan industri otomotif didorong menghasilkan temuan berpotensi paten. Paten sebagai modal potensial dalam menambah daya ekonomi masyarakat dan Negara, baik dalam bentuk royalti lisensi maupun pajak dampak produktivitas dan daya saing paten tersebut. Untuk itu maka seyogyanya dikembangkan upaya pengembangan usaha berbasis paten yang dikelola secara professional dan
sistemik. Skema umum yang digunakan adalah skema inkubasi bisnis dengan dukungan proteksi menjadi pola akuisisi teknologi yang dikembangkan secara berkelanjutan.
Skema kemitraan dimaksud adalah pengembangan usaha secara bersama – sama calon mitra yang berpotensi mengembangkan produk hingga di lantai produksi/fabrikasi. Mitra dimaksud adalah industri pemegang paten, hak pengembangan ataupun hak intelektual lain yang dapat diajak bekerja sama mengembangkan industri dalam negeri. Kemitraan yang akan dikembangkan hasus diseleksi dengan seksama berdasarkan availabilitas teknologi baik dari aspek Keselamatan, Kesehatan dan Keamanan, Kelestarian Lingkungan serta kerawanan moral (K3LM) dan kebutuhan struktur pasar dan industri otomotif nasional.
Kedua skema perlu dioptimalisasi di lantai produksi baik pada tahap awal hingga tahap matang, dengan pendekatan akuisisi teknologi otomotif yang implementatif dan efektif. Hasil dan manfaat yang diperoleh adalah perkembangan industri otomotif dan komponen kendaraan bermotor dengan platform usaha yang kokoh dan berdaya saing tinggi.
Eksplorasi & Eksploitasi Lisensi Produk
Pengembangan Usaha berbasis lisensi produk
Implementasi inkubasi usaha produk otomotif