pengembangan kurikulum pendidikan berwawasan lingkungan sosial
DESCRIPTION
dari downloadTRANSCRIPT
PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN BERWAWASAN LINGKUNGAN SOSIAL
Oleh: H. Moh. Yahya ObaidAbstrak.
Lingkungan merupakan salah satu faktor determinan dalam pendidikan, pemanfaatan lingkungan menjadi sumber belajar dan pendukung terlaksananya proses pendidikan menjadi satu keniscayaan yang harus dilakukan dalam pengembangan kurikulum madrasah. Terpisahnya kurikulum pendidikan dengan lingkungan sama artinya dengan tercabutnya pendidikan dari akar subtansinya. upaya untuk mengembangkan kurikulum berwawasan lingkungan adalah menjadikan lingkungan sebagai reference dalam perumusan tujuan, pengembangan isi dan bahan pelajaran, strategi pelaksanaan pembelajaran, pelibatan masyarakat sebagai kekuatan pendukung terselenggaranya pendidikan, dan penciptaan iklim keagamaan disekolah baik secara fisik, kegiatan maupun sikap dan perilaku Key Word. Kurikulum, pendidikan dan lingkungan sosial
BAB IPENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu instrumen kehidupan manusia yang sangat
strategis untuk mengembangkan sistem kehidupan yang multiple intelligent, multiple
competent dan moralitas tinggi serta bercita-cita membangun kultur pendidikan yang
memiliki dignity untuk kepentingan generasi yang akan datang.1 Dalam rangka
mewujudkan potensi diri menjadi multiple intelek dan kompetensi harus melewati
proses pendidikan yang diimplementasikan dalam proses pembelajaran.
Pendidikan merupakan kunci untuk semua kemajuan dan perkembangan yang
berkualitas, sebab dengan pendidikan manusia dapat mewujudkan semua potensi
dirinya baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat.
Ada tiga sifat penting dalam pendidikan. Pertama, pendidikan mengandung
nilai dan memberikan pertimbangan nilai. Kedua pendidikan diarahkan pada
kehidupan dalam masyarakat artinya pendidikan bukan hanya untuk pendidikan,
tetapi pendidikan juga bertugas menyiapkan anak untuk kehidupan dalam
1Ayu N. Andini, Membumikan Pendidikan Lingkungan Hidup http://one1thousand100 education.wordpress.com /2007/07/07/ Dwonlod tanggal 11-3-2012.
masyarakat. Ketiga, pelaksanaan pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh
lingkungan phisik yang ada disekitar masyarakat.2
Tujuan umum pendidikan sering dirumuskan untuk menyiapkan generasi
muda menjadi orang dewasa yang bertaqwa dan cerdas, anggota masyarakat yang
mandiri dan produktif, serta demokratis dan bertanggungjawab. Hal itu merefleksikan
konsep adanya tuntutan individual dan sosial orang dewasa kepada generasi muda.
Tuntutan individual termanifestasi pada harapan agar generasi muda dapat
mengembangkan diri sendiri, yaitu diharapkan dapat mengembangkan semua potensi
dan kemampuan yang dimilikinya seiring dengan perkembangan zaman. Sedangkan
tuntutan sosial adalah harapan orang dewasa agar anak mampu bertingkah laku,
berbuat dan hidup dengan baik dalam berbagai situasi dan lingkungan masyarakat.
Memasuki abad ke-21 kemajuan masyarakat dengan fasilitas yang dimiliki
telah sampai pada mainstrem kehidupan yang mengglobal. Hal ini disebabkan makin
tingginya pengetahuan masyarakat terhadap kemajuan teknologi, terutama teknologi
informasi dan transportasi, sehingga dengan mudah masyarakat dapat mengakses dan
meniru cara dan tatanan nilai yang terjadi di wilayah bahkan negara lain. Era ini
memiliki potensi sangat besar untuk ikut mengubah seluruh sistem kehidupan
masyarakat. Tapal batas negara dalam beberapa pengertianpun telah roboh, bahkan
dialog antar budaya progresif Barat dan ekspresif Timur berlangsung dalam skala
besar-besaran tanpa disadari.3
Dampak negatif globalisasi terhadap kehidupan bangsa Indonesia dari waktu
ke waktu nampak semakin jelas. Gaya hidup modern ala Barat dengan cepat diterima
oleh masyarakat Indonesia tanpa filter yang baik. Sehingga nilai-nilai modern Barat
sedikit demi sedikit merasuk ke dalam diri para generasi bangsa dan menggeser nilai-
nilai yang selama ini telah terinternalisasikan ke dalam diri mereka. Maraknya
2 Nanasyaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1997, hlm. 58-59
3 Marwah Daud Ibrahim, Teknologi Emansipasi dan Transendensi. (Bandung: Mizan, 1994),
h.78
penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat, disinyalir oleh banyak kalangan
sebagai akibat dari derasnya arus globalisasi yang tidak seimbang dari dunia Barat
dan Islam yang dianut mayoritas bangsa kita.
Dalam perspektif dunia pendidikan kondisi ini dapat dimaknai secara positif,
karena dapat menambah khasanah keilmuan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan,
manakala dapat diarahkan dan diinterpretasi secara benar dan wajar. Untuk itulah
maka kurikulum pendidikan yang digunakan harus dapat mewadahi antara keinginan
masyarakat terhadap kestabilan nilai yang dipedomani dengan tuntutan kehidupan
modern yang mengglobal. Untuk memenuhi kebutuhan ini tentu banyak tawaran yang
dapat dijadikan sebagai alternatif model penyusunan dan penyempurnaan terhadap
kurikulum pendidikan yang berlaku, salah satunya adalah model pengembangan
kurikulum yang berwawasan lingkungan.
Atas dasar pemikiran seperti itu, maka makalah ini akan membahas
permasalahan utama yaitu bagaimana pendidikan dapat mengantisipasi
perkembangan masyarakat melalui konsep pendidikan yang berwawasan lingkungan.
Permasalahan ini akan dijabarkan secara konkrit melalui rumusan masalah yaitu:
1. bagaimana gambaran hubungan kehidupan manusia dan lingkungannya
2. bagaimana konsep pendidikan dalam perspektif lingkungan
3. bagiamana mengembangkan kurikulum pendidikan berwawasan lingkungan
BAB II
KEHIDUPAN MANUSIA DAN LINGKUNGANNYA
Allah menciptakan manusia sebagai mahluk unggulan (makhluqun kariimun).
Dalam Al-Qur’an disebut ;
70. dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan. (AQ.S.17.Al-Isra.A;70)
Manusia juga merupakan mahluk istimewa yang di ciptakan Allah Swt.
Karena memiliki piranti yang multi deminsional, Sehingga secara sosial manusia
disebut homo socius, artinya kehidupan manusia tidak akan pernah bisa berdiri
sendiri dan akan membutuhkan pihak lain dalam keberlangungan dan upaya
mempertahankan hidupnya. Manusia juga makhluk individu, dimana dia memiliki
kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda sekaligus sebagai homo ecologus,
artinya manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari suatu ekosistem, sehingga
manusia memiliki kecenderungan untuk selalu memahami akan lingkungannya Oleh
karenanya hubungan manusia dengan lingkungan tidak dapat dipisahkan.
Meski manusia memilki potensi untuk peduli pada lingkungannya, tetapi pada
sisi aktualisasi kepedulian terhadap ekologis itu, berbenturan dengan akalnya. Pada
akhirnya lahirlah pola sikap dan pikir yang berbeda-beda sesuai dengan
kecenderungan hawa nafsunya. Maka muncullah sikap pro ekologis dan kontra
ekologis. Saat ini orang yang pro ekologis sangatlah sedikit, kalaupun ada mereka
baru sadar saat alam telah menujukan fenomena-fenomannya yang merugikan
kehidupan manusia. Lain halnya dengan yang kotra ekologis, mereka bisa berada di
kalangan masyarakat yang “belum maju” maupun yang sudah “maju”.
Menurut Mujoyono Abdilah, variasi prilaku manusia ini disebabkan oleh tiga
faktor. Pertama, faktor supra stuktur yang meliputi nilai dan simbol (biasanya
didapatkan dari sebuah masyarakat baik yang bersumber dari sistem nilai, ideologi,
agama dan lain-lain). Kedua, faktor stuktur (berupa pranata dan perilaku sosial).
Maksudnya bahwa masyarakat memiliki institusi sosial yang mendorong pada setiap
tindakan ekologis. Struktur sosial bisa terdiri dari keluarga, kekerabatan, lembaga
swadaya dan yang lainya. Ketiga, faktor infra stuktur. Ilmu pengetahuan dan
teknologi IPTEK adalah bagian yang mempunyai pengaruh sebagai faktor infra
stuktur terhadap sikap kontra ekologi masyarakat. Kesenjangan dan perbedaan
wawasan masyarakat terhadap IPTEK, berpengaruh terhadap perbedaan cara pandang
dan perilaku ekologis suatu masyarakat4
Dilihat dari substansinya, yang membuat manusia mendapat predikat
“makhluk unggulan”, bukan karena kesempurnaan fisik biologisnya seperti
perawakan, postur tubuh dan kelengkapan fisik. Akan tetapi lebih pada keseluruhan
kepribadiannya yang meliputi kemampuan intelektual, moral, spiritual, prakarsa,
merekayasa dan sebagainya, dan dengan keunggulan inilah yang menjadikan manusia
menduduki posisi terhormat.
Malaikatpun dalam banyak hal oleh Tuhan diletakkan di bawah derajat
manusia. Sebagai contoh, dari segi akal manusia mempunyai akal kreatif, sedangkan
malaikat mempunyai akal normative, karena Al-Qur’an tidak pernah menyebut
malaikat itu “yatafakkarun” (berfikir).
4Mujoyono Abdilah : Antara Manusia, Lingkungan Hidup dan Perilakunya http://langitbiru89 .multiply.com/journal/ Dwonlod 07-10-2011
Kedudukan terhormat yang dimiliki oleh manusia, menjadi sebab Allah
kemudian menciptakan alam semesta sebagai fasilitas bagi manusia, sehingga fungsi
hidup manusia selain fungsi ibadah juga berfungsi sebagai khalifah Allah untuk
menata dan memberdayakan alam sebagai lingkungan kehidupannya. Dengan kata
lain, manusia hidup di dunia ini untuk mengabdi kepada Tuhan (‘abdullah) dan
menjadi mandataris Tuhan di bumi (khalifatullah).
Hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya menurut pandangan Islam
terdapat tiga peran utama, 5 yaitu:
Pertama, hubungan al-intifa’u bih, hubungan utility, yaitu mengambil manfaat.
Manusia diperintahkan untuk mengambil manfaat sebesarnya dari sumberdaya
lingkungannya sebagai karunia yang telah Allah sengaja ciptakan bagi manusia,
apakah manfaat yang bersifat langsung atau manfaat yang bersifat tidak langsung.
Kedua, hubungan I’tibar, mengambil pelajaran. Hubungan manusia dengan
lingkungan merupakan hubungan point of view, bahwa lingkungan dapat menambah
pandangan, wawasan dan menambah pelajaran bagi manusia. Pelajaran (I’tibar)
berarti mengambil hikmah, dalam arti tidak sampai mendekat barang karena
membahayakan atau menjaga agar tidak membahayakan, atau lingkungan bisa
digunakan sebagai pelajaran dengan cara mengambil temuan-temuan yang dapat
dijadikan teori dan menjadi pengetahuan secara umum. Jadi, dengan I’tibar
lingkungan merupakan sumber pengetahuan bagi manusia.
Ketiga adalah hubungan al-ihtifadh atau hubungan untuk pelestarian lingkungan,
konservasi atau saving (menyelamatkan alam). Jika manusia hidup di tengah
lingkungan semesta alam dengan segala kekuatan dan kekayaannya maka sebagai
manusia seharusnya bisa menempatkan diri dalam hubungan mengambil manfaat,
5 Abujamin Roham, Peranan Masjid Pada Lingkungan Hidup, (Jakarta: Media Da’wah, 1997), h. 11
mengambil pelajaran dan melestarikan alam. Al-Qur’an banyak sekali menunjukkan
maksud ini, misalnya, apa yang ada disekitarmu itu merupakan mata’an lakum wa
li’an’amikum, “ yang berarti suatu kenikmatan, kesenangan fasilitas bagimu” (Lih,
AQ.S.An-Nazi’at (79). A-33 & S.’Abbasa (80). A-32)
Tiga macam hubungan manusia dengan lingkungan ini oleh Prof. Dr. Quraish
Shihab disebut konsep taskhir atau penundukan. Artinya Tuhan memberi konsesi
kepada manusia bahwa semua kekuatan, kekayaan alam dan sekitarnya untuk
kepentingan manusia.6 Jadi, semua kekuatan alam dan segala yang ada dilingkungan
manusia ini pada prinsipnya bisa dikendalikan manuisa karena Tuhan telah
memberikan konsesi penundukan, atau kekuasaan bagi manusia. Kalimat dalam Al-
Qur’an berbunyi, sakhara lakum (Tuhan menundukkan kekuatan alam ini untuk
kepentinganmu). Lih, AQ.S.Al-Haj(22). A-65 ; S.Luqman(31), A-20 ; S.Al-
Jatsiyah(45), A-12).
Kemampuan untuk menundukkan (menguasaai, mengatur, memanfaatkan dan
mengembangkan) tentu tidak serta merta dapat dilakukan manusia secara mandiri
tetapi, ia membutuhkan lingkungan sebagai wahana pemrosesan diri menuju
kedewasaan. Manusia membutuhkan bantuan berupa pengetahuan dan pengalaman
baik melalui pendidikan formal maupun non formal serta suasana yang melingkupi
kehidupannya seperti situasi lingkungan phisik maupun lingkungan manusia, system
kemasyarakatan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi sebagai
bagian dinamika hidup bermasyarakat, Sebab kehidupan manusia tidak terlepas dari
tempat masyarakat ia berada. Masalah tempat menyangkut lingkungan alam, gografis
dan sosial. Ketiga kondisi ini sangat besar pengaruhnya terhadap cara pandang, cara
sikap dan cara tidak masyarakat. Kehidupan masyarakat juga dapat dipengaruhi oleh
tingkat kemajuan yang telah dicapai. Masyarakat yang telah mencapai kemajuan
tinggi dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, sosial-budaya dan segi-
6 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996) h. 272
segi lainnya, akan memiliki sistem dan fasilitas yang lebih mapan dibandingkan
dengan masyarakat yang kemajuannya rendah.
Berbagai asumsi yang telah dipaparkan menggambarkan dinamika yang
terjadi dilingkungan merupakan gerak dari dinamika kehidupan dan manusia
memiliki andil besar dalam merubah tatanan hidup menuju keperilaku positif ataupun
perilaku negatif.
BAB III
KONSEP PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF LINGKUNGAN
Pendidikan bagi manusia dapat diibaratkan “jalan” yang harus dilalui anak
untuk menuju tercapainya keinginan yang dicita-citakan, jalan yang bertolak dari
ketidak tahuan tentang apa-apa ketika ia dilahirkan dari rahim ibunya kemudian Allah
memeberikan fitrah pendengaran penglihatan dan penghayatan sehingga ia dapat
beriqra' terhadap lingkungan disekelilingnya,7 sebagaimana difirmankan oleh Allah :
Artinya: Dan Allah mnegeluarkan kalian dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui Sesutu, dan Allah memeberikan kalian penglihatan dan
pendengaran serta hati agar kalian dapat bersyukur.
Melihat dan mendengar Alam sekitar tidak akan membawa hasil apa-apa
kalau ia tidak memikirkannya, menyimak maknanya dan menempatkan dalam
kerangka pandangan yang lebih komprehensip integral. Anak tentu tidak melakukan
ini semua pada saat dilahirkan, ia butuh bantuan secara prinsipil, ia berada dalam
suasana percaya, "Sense of turst" ini mengundang tanggung jawab dari orang dewasa
untuk mendidiknya baik secara informal, formal maupun non formal.
Dalam kaitan inilah kita memandang pendidikan ibarat komunikasi,
komunikasi anak dengan orang tua, dengan guru ataupun dengan alam/lingkungan
7 H.M.D. Dahlan, dkk. Khutbah Jum;ah dan Idain dari Kampus, seri 2, (Bandung: Diponegoro, 1995), h.268
sekitarnya. Komunikasi yang tidak sekedar diartikan dengan hubungan timbal balik,
akan tetapi yang mengandung bobot amanah dan tanggung jawab.
Realitas sosial menunjukkan bahwa “pendidikan" tidak bisa dipisahkan dari
keadaan lingkungan, mengingat dari sejak dilahirkannya manusia telah berinteraksi
dan membutuhkan lingkungan hingga tumbuh dan berkembang menjadi dewasa.
Pondasi bangunan pemikiran, sikap, tindakan manusia dan lain sebagainya dikonstruk
sedemikian rupa oleh hal-hal yang terjadi dilingkungan sekitarnya. Oleh karena itu,
walau bagaimana pun keberadaan lingkungan merupakan kewajiban kita bersama
untuk mempertahankan potensi yang ada dilingkungan itu sendiri, bahkan Nabi-pun
sudah lebih awal memberikan gambaran pada kita semua untuk menjadi rahmat bagi
alam semesta.
Setiap lingkungan (lingkungan sosial) memiliki karakteristik dan tata nilai
yang ingin dipertahankan kelestariannya, kegiatan-kegiatan kemasyarakatan termasuk
pendidikan harus diselaraskan dengan nilai-nilai yang terjadi dilingkungan itu sendiri,
agar disatu sisi pendidikan mampu menjawab dan memberikan sebuah solusi
terhadap perbagai persoalan yang terjadi dalam lingkungan tersebut di sisi lain dapat
mewujudkan tujuan pendidikan yang telah dirancangnya Namun bukan berarti kita
harus terjebak dengan fenomena lingkungan yang tidak mencerminkan nilai-nilai
pendidikan itu sendiri, bahwa pendidikan berorientasi dan mempunyai tujuan untuk
“memanusiakan manusia”.8
Karena manusia dilahirkan kemuka bumi ini menyandang predikat sebagai
khalifah fil ard. Hal ini tidak mungkin dapat diaplikasikan oleh seorang manusia
ditengah-tengah kehidupan ini tanpa ditopang dengan pengetahuan yang mumpuni,
sebut saja pendidikan. Jika memang demikian betapa besar peranan pendidikan bagi
kehidupan manusia dalam menjalankan tugas kekhalifahan melalui pemeliharaan
lingkungan. Lingkungan sekitar yang merupakan tempat kita berpijak, bahkan
merupakan tempat kita untuk mengasah diri, baik secara sikap, intelektual maupun
8 Idris Saleh, Pendidikan Berbasis Lingkungan, http://tabloid_info.sumenep.go.id/index/ 09/10/2007, Dwonlod 9-10-2011
tindakan memaksa manusia untuk meninggalkan rasa emuh (cuek), apalagi tidak mau
tau dengan persoalan yang terjadi di Lingkungan sekitar kita.
Hari ini telah banyak kita jumpai para intelektual dengan pemahaman yang
sangat mendalam mengenai dunia pendidikan, akan tetapi tak jarang pula kita jumpai
orang-orang semacam ini merasa enggan untuk pulang ke kampung halamannya.
Padahal seandainya kita menyadari bahwa lingkungan merupakan tempat kita
pertama kali dibesarkan dan dikenalkan dengan sesuatu yang sebelumnya tidak
pernah kita kenal, dengan demikian, melihat persoalan semacan ini pendidikan
mempunyai peranan penting untuk menciptakan sistem dan kurikulum yang bisa
mengantarkan peserta didik pada sebuah kesadaran akan makna penting perjuangan
ketika kembali ke lingkungannya.
Benar kiranya apa yang diuangkapkan oleh Ali Sahbana, bahwa keberhasilan
manusia dalam dunia pendidikan tidak hanya bisa dilihat dari kemampuan intelektual
dan keilmuan saja, namun sejauh mana komitmen dan kepeduliannya untuk
membangun lingkungannya sendiri, agar benar-benar menjadi lingkungan aman,
damai, sejahtera demi terciptanya situasi lingkungan yang kondusip dan edukatif.
Kesadaran seperti ini sangat sulit diraih oleh seorang manusia tanpa ada upaya yang
sungguh-sungguh dari dunia pendidikan, utamanya mungkin pengelolaannya sebagai
subyek dari pendidikan itu sendiri untuk menumbuh kembang kan kesadaran yang
benar-benar tertanam dalam hati peserta didik.9
Lebih dari itu, pendidikan tidak hanya sekedar bisa melahirkan kaum
intelektual dan para ilmuan yang hanya sekedar menyadari adanya berbagai persoalan
yang terjadi di lingkungannya, sementara aplikasi ditengah kehidupan lingkungan
tidak ada, namun harus mampu melahirkan peserta didik yang benar-benar siap
dengan disertai tekat kuat untuk pulang dan berjuang di lingkungannya sendiri, sebab
sudah sekian banyak out put pendidikan yang bertebaran dimana-mana, tetapi masih
menimbulkan pertanyaan besar dalam benak setiap pemerhati lingkungan, karena
9 Alisyahbana. Values as Integrating Forces in Personality, society and curture. (Kualalumpur: Malaya University Press, 1974), h. 21
peserta didik yang menjadi satu-satunya harapan masyarakat pada umumnya masih
belum bisa memberikan apa-apa terhadap kehidupan lingkungannya, bahkan
terkadang tidak jarang menjadi penyakit yang sangat meresahkan bagi kehidupan
masyarakat dan lingkungannya.
Munculnya persoalan-persoalan semacam ini, kira-kira apa ada yang salah
dalam dunia pendidikan atau kesadaran dari manusianya yang tidak ada ?. Jika
memang demi kian, kegagalan pada masa-masa sebelumnya jangan sampai terulang
kembali pada saat sekarang ini, agar hal-hal yang tidak kita inginkan tidak terulang
kembali. Namun upaya-upaya cerdas harus terus dilakukan, agar keinginan untuk
melahirkan peserta didik yang betul-betul sadar akan peran dan tanggung jawabnya
dapat terwujud.Karena pendidikan dinilai merupakan satu-satunya wahana yang bisa
diharapkan oleh masyarakat pada umumnya harus mampu melahirkan kader-kader
bangsa yang profesional yang mempunyai tekat bulat sebagai jawaban terhadap
berbagai problem yang terjadi di masyarakat dan lingkungan secara umum
Diakui atau tidak yang terjadi selama ini adalah terpisahnya dunia pendidikan
dengan lingkungannya. Padahal pendidikan dilakukan pada sebuah lingkungan
tertentu sehingga sudah seharusnya bercermin, dan berkiblat pada kondisi yang ada di
lingkungannya bukan berdiri sendiri. Tetapi, kenyataannya masih cukup banyak
pendidikan yang tercerabut dengan paksa dari kehidupan lingkungannya.
Mengingat hal tersebut, maka penerapan pendidikan berwawasan lingkungan
perlu digalakkan sebagai sebuah kebersamaan sehingga setiap apa yang dilakukan di
dunia pendidikan merupakan penyerapan dari dunia lingkungannya dan apa yang
terjadi di lingkungan merupakan implementasi dari apa yang diperlajari di
sekolah/dunia pendidikan.
BAB IV
MENGEMBANGKAN KURIKULUM PENDIDIKAN BERWAWASAN
LINGKUNGAN SOSIAL
Kebutuhan dan tuntutan masyarakat dibidang pendidikan, mendorong
munculnya harapan dan permintaan yang harus dipenuhi oleh penyelenggara
pendidikan, berdasarkan hasrat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut,
perencana kurikulum berusaha memilih bahan-bahan dan pengalaman-pengalaman
yang akan diberikan kepada peserta didik yang relevan dengan mengkondisikan
antara kebutuhan masyarakat dan sumber daya lingkungan masyarakat.
Lingkungan masyarakat, tidak sebatas apa yang disebut physical-setting,
tetapi melintasi batas-batas keragaman pengalaman dan penampilan manusia
(different of human experience and performance). Sedangkan keseluruhan
pengalaman dan penampilan manusia itu dikemas ke dalam apa yang disebut
kebudayaan, yaitu suatu keseluruhan pengalaman hasil belajar sebagai suatu atribut
yang esensial bagi makhluk manusia. Kebudayaan sebagai karakteristik yang
membuat manusia menjadi “mampu” misalnya; mampu mengadaptasi panasnya
gurun pasir dan dinginnya padang tundra; mampu mengolah bentangan-bentangan
lahan untuk sejumlah kebutuhan, mampu membangun suatu sistem kehidupan di
perkotaan, mampu pula mendorong manusia untuk melakukan perjalanan ke luar
angkasa, mampu melakukan eksplorasi di daratan, lautan dan udara untuk memenuhi
hasrat hidupnya, dan sebagainya. Lebih jauh lagi, manusia dengan atribut kebudayaan
itu, ia mampu juga berinteraksi dengan dunia di sekelilingnya.
Kehidupan masyarakat tidak terlepas dari tempat masyarakat itu berada.
Masalah tempat menyangkut lingkungan alam, gografis dan sosial. Ketiga kondisi ini
sangat besar pengaruhnya terhadap cara pandang, cara sikap dan cara tidak
masyarakat. Kehidupan masyarakat juga dapat dipengaruhi oleh tingkat kemajuan
yang telah dicapai. Masyarakat yang telah mencapai kemajuan tinggi dibidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, ekonomi, sosial-budaya dan segi-segi lainnya, akan
memiliki sistem dan fasilitas yang lebih mapan dibandingkan dengan masyarakat
yang kemajuannya rendah.
Setiap lingkungan masyarakat memiliki sistem sosial dan system budaya yang
berbeda. Sistem sosial-budaya ini mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar
anggota masyarakat, antara masyarakat dengan lembaga dan antara lembaga dengan
lembaga.10
Salah satu aspek yang cukup penting dalam sistem sosial budaya adalah
tatanan nilai. Tatanan nilai merupakan seperangkat ketentuan, peraturan, hukum,
moral yang mengatur cara berkehidupan dan berprilaku para warga masyarakat.11
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dimasyarakat
juga selalu berkembang, dan pada saat-saat tertentu perkembangan dapat terjadi secra
drastis, sehingga tidak jarang menimbulkan perbedaan bahkan konflik nilai.
Kementrian agama sebagai penanggungjawab atas pembinaan dan
pengembangan pendidikan agama sadar akan adanya tantangan besar terhadap nilai-
nilai agama yang selama ini dijunjung tinggi sebagai nilai luhur dalam berbangsa dan
negara. Kesadaran Kementrian Agama itu diwujudkan dalam berbagai bentuk upaya
penyempurnaan pendidikan, karena lembaga pendidikan selain berfungsi sebagai
transfer of knolidge juga berfungsi sebagai konversi nilai dari masa kemasa, diantara
usaha konkritnya adalah melalui peyempurnaan kurikulum.
Penyempurnaan kurikulum pendidikan oleh Kementrian Agama yang terkait
dengan lingkungan pendidikan dimulai sejak kurikulum madrasah tahun 1994 yang
kemudian diikuti dengan KBK 2004 dan KTSP 2006 yang berisikan selain memuat
materi pelajaran umum sebagaimana pada kurikulum sekolah umum, memuat materi
pelajaran keagamaan yang dijabarkan dari pendidikan Agama di sekolah, juga upaya
10 Emil Salim, Membangun Masyarakat Indonesia Abad XXI, Makalah (Jakarta: ICMI, 1991) h. 24
11 Azyumardi Azra Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), h. 21
menciptakan suasana keagamaan dilingkungan pendidikan.12 Dimasukkannya
penciptaan suasana keagamaan di lingkungan sekolah dimaksudkan sebagai wahana
internalisasi nilai-nilai Islam dan benteng bagi masuknya nilai-nilai Barat modern
yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Iklim keagamaan di lingkungan sekolah dapat diwujudkan dalam berbagai
bentuk. Dirjen Binbaga Islam Kementrian agama RI (semula masih Departemen
Agama RI). menjelaskan bahwa iklim keagamaan sebagai ciri khas pendidikan Dasar
dan Menengah dapat diwujudkan dengan cara: 1) menciptakan suasana kehidupan
pendidikan yang agamis, 2) adanya sarana Ibadah, 3) penggunaan metode pendekatan
yang agamis dalam penyajian bahan pelajaran bagi setiap mata pelajaran yang
memungkinkan dan 4) kualifikasi guru yaitu guru harus beragama Islam dan
berakhlak mulia. Proses penciptaan keagamaan dilingkungan pendidikan dengan
demikian adalah proses realisasi hal-hal tersebut di lingkungan sekolah.13
Huda (dalam Fuaduddin dan Bisri) memilah wujud suasana keagamaan dalam
tiga bentuk, yaitu: 1) bentuk fisik, 2) bentuk kegiatan dan 3) bentuk sikap serta
perilaku.14
Dari segi fisik, wujud suasana keagamaan sebagai aktualisasi nilai agama
dapat berupa sarana ibadah (masjid/Musallah), perpustakaan, tulisan-tulisan (spanduk
dan pamflet-pamflet), dan perangkat lunak seperti buku, kaset, dan peraturan-
peraturan. Dalam bentuk kegiatan suasana keagamaan dapat berupa pelaksanaan
ibadah (shalat berjama’ah), pertemuan (diskusi, seminar, pengajian, kursus, training,
dan sebagainya). Dan dalam bentuk sikap serta perilaku, suasana keagamaan dapat
nampak pada hubungan antar sesama dalam bentuk salam, sapaan, kunjungan,
santunan, dan penampilan (pakaian).
12 Departemen Agama RI, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Sispenas, (Jakarta Dirjen Penais 2005), h. 21
13 Departemen Agama. RI. Landasan Program dan Pengembangan Kurikulum. (Jakrta: Dirjen Binbaga Islam, 1993), h. 21
14 Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri (ed). 1999. Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan
Tinggi; Wacana Tentang Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Logos, 1999). hal. 219
Aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengaturan isi bahan dan
tujuan pendidikan yang menjadikan lingkungan sosial kemasyarakatan sebagai
sumber aspirasi dan sasaran pencapaian ahir dari kegiatan pendidikan. Kebutuhan
masyarakat terhadap pelestarian nilai-nilai sosial kemasyarakatannya seperti tradisi,
adat istiadat, bahasa, falsafah hidup dan yang lainnya dapat dijadikan sebagai
reference dalam penyusunan conten pendidikan yang berwawasan lingkungan dengan
nuansa keagamaan, demikian halnya kebutuhan terhadap pelestarian lingkungan alam
sebagai ekosistem kehidupannya dapat diberi sentuhan dengan pendekatan doktrin
keagamaan bahwa semua itu karunia yang harus disyukuri dengan cara dipelihara,
difungsikan secara proforsional dan dikembangkan untuk menggapai kemanfaatan
sebesar-besarnya bagi manusia.
Penciptaan suasana keagamaan dalam wujud seperti di atas, bukan hal yang
sederhana. Penciptaan suasana keagamaan tidak cukup hanya dengan dukungan
konsep dan finansial, akan tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif semua pihak
yang terkait dengan bidang pendidikan.
Suasana keagamaan dilingkungan pendidikan dengan berbagai bentuknya,
sangat penting bagi proses internalisasi nilai agama pada peserta didik. Proses
internalisasi agama Islam pada peserta didik di lembaga pendidikan menjadi makin
intensif dengan suasana keagamaan dilingkungan pendidikan tersebut. Suasana
keagamaan yang berbentuk suasana kehidupan pendidikan yang islami, baik yang
nampak dalam kegiatan, sikap maupun perilaku mempertinggi intensitas proses
internalisasi nilai agama melalui mekanisme pembiasaan, penghayatan, pendalaman,
dan pelembagaan.
Penggunaan metode dan pendekatan yang agamis dalam penyajian bahan
pelajaran bagi setiap mata pelajaran yang memungkinkan, menambah intensitas
proses transinternalisasi nilai yang relevan dari setiap bahan pelajaran yang
disampaikan. Dan kualifikasi guru, yaitu guru harus beragama Islam dan berakhlak
mulia semakin mendukung terjadinya proses internalisasi nilai yang lebih intensif
melalui pendekatan kharismatik. Dengan pendekatan ini peserta didik akan
dihadapkan dengan kepribadian orang-orang (guru-guru) yang memiliki konsistensi
dan keteladanan yang dapat diandalkan untuk selalu dilihat dan diamati hingga
tumbuh kesadaran untuk menerima niali-nilai yang ditampilkan oleh para pendidik
(guru) sebagai nilai yang baik dan benar.
Suasana keagamaan di lingkungan sekolah yang berbentuk fisik, seperti
sarana ibadah, perpustakaan, tulisan-tulisan, dan perangkat lunak seperti buku, kaset,
dan peraturan-peraturan dapat memberikan kondisi yang kondusif bagi proses
internalisasi nilai agama melalui pendekatan emosional.
Keterpaduan antara bentuk fisik, kegiatan, sikap dan perilaku sebagai suasana
keagamaan yang utuh di lingkungan sekolah memungkinkan terjadinya proses
transinternalisasi nilai melalui langkah-langkah yang sesuai dengan alur berfikirnya
mulai dari kegiatan menyimak, responding, organization, dan characterization.
Pengembangan kurikulum berwawasan lingkungan melalui penciptaan
suasana keagamaan dilingkungan sekolah memang bukanlah hal yang sederhana,
untuk mewujudkannya memerlukan kebijakan dan strategi yang tepat, konsisten,
biaya yang cukup, dan partisipasi aktif dari semua pihak (terutama masyarakat),
disamping juga upaya untuk memotivisir peserta didik agar selalu berada dalam
proses pembudayaan dan internalisasi nilai agama hingga tidak ada celah dan
kesempatan sedikitpun bagi masuknya nilai lain yang bersifat distruktif.
Untuk mencapai atau mengkondisikan hal tersebut, maka salah satu cara yang
harus dilakukan adalah mensinergiskan antara sekolah dengan lingkungan secara
maksimal dan positif. Dengan upaya ini diharapkan adanya keterikatan moril antara
peserta didik dengan materi pembelajaran sebab materi yang dipelajari merupakan
bagian dari kehidupannya sehari-hari, dan yakin mereka mampu mengikutinya.
Dunia pendidikan memang merupakan dunia yang diharapkan mampu
membawa generasi muda pada kondisi maksimal sehingga keterpurukan yang selama
ini menjadikan negeri sebagai juru kunci dapat diatasi dan mengangkat kembali
perhatian bangsa internasional terhadap eksistensi bangsa dan negara ini dari
keberhasilan pengkondisian kehidupan berbasis lingkungannya.
BAB VKESIMPULAN
Dari paparan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa:
1. Manusia adalah mahluk yang mulia dan terhormat, disebabkan kedudukannya itu
Allah menfasilitasi alam semesta untuk dimanfaatkan, dijadikan I’tibar, dikuasai,
diatur dan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk menjalankan
tugas ini manusia membutuhkan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan
teknis yang dapat diperoleh melalui lingkungan kehidupannya, baik di lingkungan
fisik maupun lingkungan social budayanya.
2. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan, sebab objek pendidikan
adalah manusia yang sejak lahir telah berinteraksi dengan lingkungannnya, dan
setiap lingkungan social memiliki tata nilai yang ingin dipertahankan
kelestariannya, oleh karena itu tugas pendidikan tidak sekedar transfer of
knowledge tetapi juga konservasi nilai, sehingga keberhasilan pendidikan tidak
hanya dilihat dari kemampuan intelektual dan keilmuan saja, namun sejauh mana
komitmen dan kepeduliannya untuk membangun lingkungan sosial
kemasysrakatannya.
3. Penerapan pendidikan yang berwawasan atau berbasis pada lingkungan terus
digalakkan sebagai sebuah kebersamaan sehingga setiap apa yang dilakukan di
dunia pendidikan merupakan penyerapan dari dunia lingkungannya dan apa yang
terjadi di lingkungan merupakan implementasi dari kurikulum yang diperlajari di
sekolah/dunia pendidikan.
4. Pengembangan kurikulum berwawasan lingkungan di madrasah tidak terlepas
dari dua upaya pokok yaitu; pertama menjadikan lingkungan sebagai sumber
pendidikan dan pengajaran, mulai dari perumusan tujuan, pengembangan isi dan
bahan pelajaran, strategi pelaksanaan pembelajaran sampai pelibatan masyarakat
sebagai kekuatan pendukung terselenggaranya pendidikan, dan kedua penciptaan
iklim keagamaan disekolah baik secara fisik, kegiatan fisik maupun sikap dan
perilaku
DAFTAR PUSTAKA
Abdilah, Mujoyono. Antara Manusia, Lingkungan Hidup dan Perilakunya
http://langitbiru89.multiply.com/journal/ Dwonlod 07-10-2011
Alisyahbana. Values as Integrating Forces in Personality, society and curture.
Kualalumpur: Malaya University Press, 1974.
Allport, G.W. Pattern and Growth in Personality, New York: Holt Rinehart and
Winston. 1961
Amin, Ahmad. Etik, Jakarta: Unipress. 1975
Andini, Ayu, N. Membumikan Pendidikan Lingkungan Hidup http://one1thousand100 education.wordpress.com /2007/07/07/ Dwonlod tanggal 11-03-2012
Asyraf, Ali. Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press. 1989.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru,
Jakarta: Logos. 1999.
Barizi, Ahmad. Pendidikan Integratif, Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan
Pendidikan Islam, Malang: UIN Maliki Press, 2011
Danim, Sudarwan. Kepemimpinan Pendidikan, Kepemimpinan Jenius (IQ+EQ),
Etika, Perilaku Motivasional, dan Mitos, Bandung: Alfabeta, 2010.
Daradjad, Zakiyah. dkk. Dasar-Dasar Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Depag. RI. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Sispenas. Jakarta: Dirjen
Penais. 1992
------------- Landasan Program dan Pengembangan Kurikulum. Jakrta: Dirjen
Binbaga Islam. 1993.
Ghazalba, sidi. Sistematika Filsafat Bab IV, Teori Nilai. Jakarta: Bulan Bintang.1978.
Ghony, Djunaidi dan Almanshur, Fauzan. Politik Pengambilan Keputusan Tentang Kurikulum, Malang: UIN Maliki Press, 2010.
Hamalik, Oemar. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: Rosda Karya,
2008
Harahap, Syahrin (ed). Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi. Yogyakarta:
BPFE. 1998
Ibrahim, Marwah Daud. Teknologi Emansipasi dan Transendensi. Bandung: Mizan.
1994.
Ishomuddin. Sosiologi Agama, Pluralisme Agama dan Interpretasi Sosiologi,
Malang: Umi Press. 1996.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan. Jakarta: Yayasan
Waqaf Paramadina. 1992.
Maksum, H. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Ciputat-Jakarta: Logos,
1999.
Marimba, Ahmad,D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cet. X, Bandung: PT.
Alma’arif. 2004.
Mastuhu. Dinamika Sistem Pesantren, Jakarta: INIS. 1994.
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2001.
Poloma, Margaret, M. Sosiologi kontemporer, terj., Jakarta: Rajawali Press. 1994.
Purwanto, Ngalim. 1990. Psikhologi Pendidikan. Cetakan ke-5. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Roham, Abujamin. Peranan Masjid Pada Lingkungan Hidup, Jakarta: Media Da’wah, 1997.
Saleh, Idris. Pendidikan Berbasis Lingkungan, http://tabloid_info.sumenep.
go.id/index/ 09/10/2007, Dwonlod 9-10-2011
Salim, Emil. Membangun Masyarakat Indonesia Abad XXI, Makalah, Jakarta: ICMI,
1991
Soekanto, Soerjono.Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1994.