pengembangan bionanokomposit film...

53
PENGEMBANGAN BIONANOKOMPOSIT FILM BERBASIS PATI TAPIOKA DAN NANOPARTIKEL ZnO DENGAN PLASTICIZER GLISEROL MUHAMAD WAHYU PAMUJI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Upload: tranbao

Post on 07-Feb-2018

228 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PENGEMBANGAN BIONANOKOMPOSIT FILM BERBASIS

PATI TAPIOKA DAN NANOPARTIKEL ZnO DENGAN

PLASTICIZER GLISEROL

MUHAMAD WAHYU PAMUJI

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan

Bionanokomposit Film Berbasis Pati Tapioka dan Nanopartikel ZnO dengan

Plasticizer Gliserol adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

Muhamad Wahyu Pamuji

NIM F24100137

ABSTRAK

MUHAMAD WAHYU PAMUJI. Pengembangan Bionanokomposit Film

Berbasis Pati Tapioka dan Nanopartikel ZnO dengan Plasticizer Gliserol.

Dibimbing oleh NUGRAHA EDHI SUYATMA.

Pati tapioka mampu membentuk lapisan transparan dan film yang fleksibel tanpa

menggunakan bahan kimia tambahan. Namun, film yang dibuat dari pati tapioka

masih memiliki berbagai macam kelemahan dalam hal sifat fungsional kemasan.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan sifat fungsional

kemasan film pati tapioka dengan menggunakan nanopartikel seng oksida (ZnO-

NP) sebagai agen perbaikan dan gliserol sebagai pemlastis (plasticizer). Pati

tapioka / ZnO film nanokomposit dibuat pada 4 tingkat konsentrasi ZnO-NP

(0,25, 0,5, 1,0, 3,0 % berat pati) dan 20% gliserol berat padat (pati singkong +

ZnO-NP). Dalam penelitian ini, film nanokomposit pati-ZnO dibuat melalui

teknik nanodispersi yang diikuti dengan metode perbaikan dan dianalisis untuk

menentukan sifat mekaniknya melalui uji kuat tarik, suhu transisi-gelas (Tg) oleh

differential scanning calorimetri (DSC) dan sifat antimikroba terhadap tiga strain

bakteri yang sering mencemari produk makanan, yaitu Escerichia coli, Bacillus

cereus dan Staphylococcus aureus. Peningkatan sifat mekanik dapat dicapai

dengan plastisisasi dan penggunaan komposit ZnO-NP. Penggunaan ZnO-NP 3 %

ternyata berpengaruh signifikan terhadap sifat antibakteri dari film pati tapioka

terhadap Escherichia coli, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus. Selain itu,

suhu transisi-gelas dari pati singkong meningkat dengan konsentrasi ZnO-NP

meningkat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa film pati tapioka yang

mengandung ZnO-NP dapat digunakan sebagai bahan kemasan makanan dengan

sifat antibakteri.

Kata kunci: film pati tapioka; film nanokomposit; nanopartikel ZnO; kemasan

antibakteri

ABSTRACT

MUHAMAD WAHYU PAMUJI. Development of Bionanocomposite Film Based

From Cassava Starch and Nanoparticle ZnO with Gliserol as Platicizer.

Supervised by NUGRAHA EDHI SUYATMA.

Cassava starch is able to form transparent coatings and flexible films without

using any chemical additives. However, films made from cassava starch only is

poor in functional packaging properties. The main objective of this study was to

enhance functional packaging properties of casava starch films by using zinc

oxide nanoparticles (ZnO-NPs) as reinforcing agent, and glycerol as plasticizer.

Cassava starch/ZnO nanocomposite films were prepared at 4 levels of ZnO-NPs

(0.25, 0.5, 1.0, 3.0 % by weight of starch) and 15 % of glycerol by weight of solid

(cassava starch + ZnO-NPs). In this study, plasticized starch-ZnO nano-composite

filmss were prepared by nanodispersion technique followed by solution casting

method, and were analysed to determine its mechanical properties by tensile tests,

the glass-transition temperature (Tg) by differential scanning calorimetry (DSC)

and antimicrobial properties against three bacterial strains that commonly

contaminate food products, e.g. Escerichia coli, Bacillus cereus and

Staphylococcus aureus. The improvement in mechanical properties could be

achieved with plasticization and ZnO-NPs incorporation. The incorporation of

ZnO-NPs 3 % significantly induced antibacterial activities of the cassava starch

films against Escherichia coli, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus. Moreover,

the glass-transition temperature of cassava starch increased with the increasing

ZnO-NPs concentrations. Our results suggest that cassava starch films containing

ZnO-NPs could be used as antibacterial food packaging material.

Keywords: cassava starch film; nanocomposite films; ZnO nanoparticles;

antibacterial packaging

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

MUHAMAD WAHYU PAMUJI

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PENGEMBANGAN BIONANOKOMPOSIT FILM BERBASIS

PATI TAPIOKA DAN NANOPARTIKEL ZnO DENGAN

PLASTICIZER GLISEROL

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga skripsi tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Tema

yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah

inovasi pengguanan nanopartikel pada komponen bionanokomposit film dengan

judul Pengembangan Bionanokomposit Film Berbasis Pati Tapioka dan ZnO

Nanopartikel dengan Plasticizer Gliserol. Atas terselesaikannya kegiatan

penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada

Bapak Dr. Nugraha Edhi Suyatma, S.TP, DEA, selaku dosen pembimbing yang

telah memberikan gagasan, ide, saran, pengarahan serta bimbingan selama kuliah,

penelitian dan hingga tersusunnya skripsi ini. Ibu Dr. Nancy Dewi Y, S.TP, M.Sc

dan Ibu Dr. Siti Nurjanah S.TP, M.Si selaku dosen penguji yang telah banyak

memberikan masukan kepada penulis. Bapak Suratno, Ibu Fathonah, Maratun S

dan M Farhan D selaku keluarga yang selalu memberi semangat, dukungan,

nasehat dan doa bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan studi pada tingkat

sarjana.

Terimakasih kepada drh. Ratih Pangestika yang banyak memberikan

masukan, saran serta semangat untuk penulis. Gunawan Sanjaya sebagai rekan

mahasiswa satu bimbingan penelitian, laboran ITP dan staf UPT serta Staff

Departemen yang telah banyak membantu dalam berbagai hal. Zeviara, Emilia,

Novandra, Arya, Doni, Haridil, Tomi, Dandi, Qobul, Norman, Dani, Rizki,

Dimas, Blas, Bach, Asad dan teman–teman ITP 47 yang tidak dapat saya sebutkan

satu persatu yang telah banyak membantu penelitian penulis.

Ucapan terima kasih kepada Dayat, Oli, Nanda, Rian, Zian, Arif dan Nirwan

selaku teman satu Kontrakan DR D 37 serta Wawan dan Fitrian selaku teman

INPA TOURS yang selalu memberikan semangat serta dukungan kepada penulis.

Bogor, Oktober 2014

Muhamad Wahyu Pamuji

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR DIAGRAM

DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Pati Tapioka 2

Edible Pati Tapioka 2

Nanopartikel ZnO 3

Plastisisasi 4

Film Antimikroba 5

METODOLOGI PENELITIAN 7

Pembuatan Film 7

Alat dan Bahan 8

Analisis 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

SIMPULAN DAN SARAN 26

Simpulan 26

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 30

RIWAYAT HIDUP 41

DAFTAR TABEL

1 Penelitian mengenai ZnO nanopartikel 4 2 Perbandingan kelemahan dan kelebihan antra gliserol dan sorbitol 5 3 Nilai ΔE film pada berbagai konsentrasi ZnO nanopartikel 15

4 Nilai tebal film pada berbagai konsentrasi ZnO nanopartikel 15 5 Suhu titik leleh, kristalisasi dan transisi gelas film 21

DAFTAR GAMBAR

1 Pati Tapioka 2

2 Edible Film 3 3 ZnO nanopartikel 4 4 Mekanisme sifat barrier dengan penambahan ZnO nanopartikel 4 5 Perbedaan Mekanisme film antimikroba dan food additive 6 6 Diagram alir proses pembuatan film 7

7 Diagram alir uji antibakteri film 11 8 Nilai viskositas film pada berbagai konsentrasi ZnO nanopartikel 12 9 Nilai aw film pada berbagai konsentrasi ZnO nanopartikel 13

10 Visualisasi film konsentrasi 0 % dan 3 % 14

11 Visualisasi film pada berbagai konsentrasi ZnO nanopartikel 14 12 Nilai kuat tarik film pada berbagai konsentrasi ZnO nanopartikel 16

13 Nilai elongasi film pada berbagai konsentrasi ZnO nanopartikel 17 14 Nilai water absorption film pada berbagai konsentrasi ZnO nanopartikel 18

15 Nilai Water Vapour Transmition Rate film pada berbagai konsentrasi

ZnO nanopartikel 19

16 Hasil uji DSC pada berbagai macam konsentrasi ZnO nanopartikel 20 17 Hasil uji DSC kristalisasi dan transisi gelas pada berbagai konsentrasi

ZnO nanopartikel 21

18 Hasil SEM konsentrasi 0 % ZnO nanopartikel 22 19 Hasil SEM konsentrasi 1 % ZnO nanopartikel 22 20 Hasil uji FTIR pada film pada berbagai konsentrasi ZnO nanopartikel 23

21 Nilai aktivitas antibakteri film pada berbagai konsentrasi ZnO

nanopartikel 24

22 Visualisasi aktivitas antibakteri film pada konsentrasi 0,25 % ZnO

nanopartikel 25

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil pengolahan data nilai viskositas 30

2 Hasil pengolahan data nilai aktifitas air 31

3 Hasil pengolahan data nilai intensitas warna 32

4 Hasil pengolahan data nilai tebal film 33

5 Hasil pengolahan data nilai kuat tarik 34

6 Hasil pengolahan data nilai elongasi 35

7 Hasil pengolahan data nilai WVTR 36

8 Hasil pengolahan data nilai water absorption 37

9 Hasil pengolahan data nilai aktifitas antibakteri 38

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini isu tentang lingkungan merupakan isu yang sangat penting, salah

satunya mengenai penggunaan pengemas berupa plastik. Penggunaan plastik

masyarakat Indonesia mencapai 4,3 juta ton pada tahun 2009 (Yusmarlela 2009).

Akan tetapi, kebanyakan plastik yang beredar merupakan plastik yang berasal dari

polimer sintetik pengolahan minyak bumi. Plastik jenis ini tidak dapat diurai

dengan mudah oleh alam, sehingga perlu adanya pengembangan plastik

biodegradabel yang bersifat ramah lingkungan. Plastik biodegradabel ini dapat

dihancurkan secara alami serta dibuat dari bahan baku yang terbarukan

(Yusmarlela 2009).

Terdapat berbagai macam sumber bahan baku untuk membuat plastik

biodegradabel, salah satu alternatif yang bisa digunakan adalah penggunaan pati

tapioka. Pati tapioka mengandung 83 % amilopektin dan 17 % amilosa (Liu et al

2005). Penelitian mengenai pembuatan edible film yang berbahan baku pati

tapioka telah banyak dilakukan sebelumnya. Dalam pembuatan edible film, perlu

adanya penambahan plasticizer karena edible film dari pati tapioka bersifat rapuh.

Salah satu jenis plasticizer yang dapat digunakan adalah gliserol. Edible film yang

dibuat dari pati tapioka dengan plasticizer gliserol memiliki sifat higroskopis yang

tinggi (Harris 2001). Sifat higroskopis ini menyebabkan film yang dihasilkan

menjadi kurang baik dari sifat mekanis serta sifat barrier kemasan.

Untuk memperbaiki berbagai kelemahan yang terdapat pada edible film,

maka diperlukan adanya penambahan bahan aditif. Salah satu alternatif bahan

aditif yang dapat digunakan adalah ZnO nanopartikel. Penambahan ZnO

nanopartikel sebagai filler dalam film berbahan baku pati tapioka disebut

nanokomposit. Nanokomposit sendiri merupakan merupakan suatu material yang

menyisipkan komponen nanopartikel kedalamnya yang berfungsi sebagai filler

dalam sebuah matriks. Pati digunakan sebagai suatu material sedangkan

nanopartikel ZnO sebagai filler. Nanokomposit memperlihatkan sifat-sifat baru

yang lebih unggul dibandingkan dengan material asal (Park et al 2003). Pasalnya,

komposit akan mempunyai kekuatan dan kekakuan spesifik dengan bahan yang

lebih tinggi dari bahan konvensional. ZnO merupakan salah satu senyawa

golongan oksida yang banyak dimanfaatkan sebagai sumber unsur nanopartikel.

Senyawa ini dapat memperbaiki sifat fungsional dan sifat mekanis dari edible film

serta merupakan sumber fortifikasi Zn dan juga memiliki sifat antibakteri

(Brayner et al 2006).

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat film nanokomposit berbasis pati

tapioka dan ZnO nanopartikel yang mempunyai derajat miscibilitas yang baik dan

homogen, serta dapat meningkatkan sifat fungsional kemasan seperti sifat

mekanis, barrier dan ketahanan terhadap kelembaban. Potensi antibakteri dari

film nanokomposit yang dihasilkan juga akan diuji terhadap beberapa bakteri

patogen yang sering menjadi kontaminan bahan pangan.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pati Tapioka

Tapioka merupakan pati yang diperoleh dari singkong. Singkong memiliki

kandungan pati tertinggi dibandingkan dengan sumber pati lainnya yaitu

mencapai 90 % (Liu et al 2005). Kandungan amilopektin pati tapioka adalah 83 %

dan 17 % adalah amilosa. Pati adalah salah satu jenis polisakarida yang

mempunyai ikatan glikosidik. Ikatan glikosidik ini dapat terurai dengan adanya air

panas yang memisahkan dua fraksi yaitu fraksi tidak larut yaitu amilopektin dan

fraksi terlarut yaitu amilosa. Fraksi amilosa memiliki struktur lurus ikatan α-(1,4)-

D-glukosa. Amilopektin terdiri dari struktur bercabang dengan ikatan α-(1,4)-D-

glukosa. Perbedaan diantara keduanya adalah amilopektin memiliki titik

percabangan berupa ikatan α-(1,6), sedangkan amilosa tidak memiliki titik

percabangan.

Gambar 1. Pati Tapioka

Data FAO terbaru tahun 2007 yang dikeluarkan pada bulan Desember 2009

menunjukkan bahwa Indonesia berada pada ranking keempat sebagai penghasil

pati tapioka yang mencapai 20.834.241 ton. Proses pembuatan pati tapioka

diperoleh dari proses pengolahan singkong. Singkong segar yang telah

dibersihkan kemudian diparut atau digiling halus. Setelah itu singkong yang telah

halus ditambahkan air lalu disaring serta dipres sehingga diperoleh air serta

ampas. Komponen air diendapkan sedangkan ampasnya dibuang ataupun dapat

dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Setelah mengendap, air dibuang dan pati yang

berada di bawah kemudian ditiriskan. Komponen pati lalu dikeringkan dengan

penjemuran ataupun dapat menggunakan dryer.

2.2 Edible Film dari Pati Tapioka

Edible coating adalah suatu lapisan tipis yang rata, terbuat dari bahan yang

dapat dimakan dan dibentuk di atas makanan (coating) atau diletakan diantara

komponen makanan (film) yang dapat berfungsi sebagai penahan (barrier) dalam

perpindahan masa dan sebagai pembawa (carrier) bahan tambahan pangan

(Krochta 1992). Penggunaan edible coating ternyata dapat memperpanjang masa

simpan dari bahan pangan serta dapat digunakan sebagai pembawa komponen

makanan seperti vitamin, mineral, antioksidan, antimikroba, pengawet dan warna

3

produk yang dikemas. Edible coating yang dikeringkan dan dibuat sebagai

lembaran disebut edible film. Fungsi dari edible film adalah sebagai pengemas dan

pelapis makanan yang dapat dimakan bersama produk yang dikemas. Edible film

dapat dibuat dari tiga komponen utama yaitu hidrokoloid, lipid dan kombinasi

hidrokoloid lipid (komposit) (Prihatiningsih 2000).

Salah satu komponen yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan utama

pembuatan edible film adalah pati tapioka. Penelitian yang dilakukan oleh Harris

tahun 2001 menunjukan bahwa pati tapioka mampu dibuat sebagai edible film

yang baik serta dapat diaplikasikan pada dodol durian. Pati tapioka memiliki

keunggulan yaitu bahan yang mudah diperoleh serta harga yang murah, sehingga

memiliki prospek yang baik apabila nantinya akan dilakukan produksi dalam

skala industri (Matsui et al 2004). Keunggulan lain yang dimilki pati tapioka

adalah dapat digunakan sebagai termoplastik yang bersifat aman dan mudah

didegradasi sehingga bersifat ramah lingkungan (Ma et al 2004). Pembentukan

film berasal dari pati tapioka memiliki sifat tidak berbau, tidak berasa, tidak

berwarna, tidak beracun, dan dapat diurai secara biologi dan memiliki tingkat

kejernihan yang tinggi (Krochta 1992).

Gambar 2. Edible film

Karakteristik edible film yang dibuat dari pati tapioka sangat dipengaruhi

oleh kandungan amilopektin dan amilosa. Pati yang memiliki kadar amilosa tinggi

akan membentuk edible film yang kuat, karena struktur amilosa memungkinkan

pembentukan ikatan hidrogen antar molekul glukosa penyusun. Pemanasan pati

tapioka akan membentuk jaringan tiga dimensi yang dapat memerangkap air

sehingga menghasilkan gel yang kuat. Sedangkan pati yang memiliki kadar

amilopektin yang tinggi akan menghasilkan edible film yang bening serta elastis

(Thirathumthavorn 2007).

2.3 Nanopartikel ZnO

Nanoteknologi merupakan platform baru teknologi pada saat ini. Teknologi

ini memiliki berbagai macam manfaat dalam berbagai bidang, terutama dalam

bidang elektronika, medis dan pangan. Bidang pangan terdapat berbagai macam

aplikasi nanoteknologi, seperti nanoemulsi, nanokomposit komponen pangan dan

nanoenkapsulasi. Pada bidang pangan penggunaan nanopartikel terdiri atas

berbagai macam golongan salah satunya adalah golongan oksida. Golongan

oksida ini terdiri atas alumunium oksida, silikon dioksida, titanium dioksida dan

4

seng oksida. Seng oksida (ZnO) merupakan senyawa dalam bentuk nanopartikel

yang paling banyak diproduksi dan digunakan oleh berbagai industri pangan.

Gambar 3. ZnO nanopartikel

Tabel 1. Penelitian mengenai ZnO nanopartikel

Sitasi Penjelasan

Nebukina et al

2010

Pengamatan terhadap struktur dan karakteristik spektral

dari ZnO nanopartikel

Cae dan Kim 2005 Pengamatan terhadap karakteristik nanokomposit dari

Polistirena dan ZnO nanopartikel

Singh 2011 Karakteristik biologi struktur ZnO nanopartikel

Seng Oksida (ZnO) banyak diaplikasikan pada bidang pangan karena

sifatnya yang aman dimakan (GRASS) dan mudah terurai menjadi ion-ion setelah

masuk kedalam tubuh. Selain itu, ZnO merupakan sumber fortifikasi Zn yang

banyak diaplikasikan pada produk tepung terigu. ZnO nanopartikel memiliki

kemampuan antibakteri. Mekanisme antibakteri pada ZnO nanopartikel adalah

dengan menghancurkan membran sel bakteri sehingga sitoplasma dan berbagai

organ sel keluar dari sel (Brayner et al 2006). ZnO nanopartikel bila diaplikasikan

pada edible film ternyata dapat memperbaiki sifat barrier dan mekanis dari film

dengan cara menghambat laju transmisi uap serta memberi struktur padatan pada

film sehingga akan meningkatkan kuat tarik. Beberapa penelitian terdahulu

mengenai struktur dan karakteristik ZnO nanopartikel dapat dilihat pada tabel 1.

Gambar 4. Mekanisme sifat barrier film dengan penambahan ZnO nanopartikel

(Suyatma 2014)

5

2.4 Plastisisasi

Pembuatan edible film dari pati tapioka bersifat rapuh dan mudah retak.

Untuk mengatasi hal ini maka perlu adanya penambahan bahan aditif yang dapat

meningkatkan sifat mekanis edible film sehingga menjadi lunak, ulet dan kuat.

Proses peningkatan sifat plastis dari edible film disebut dengan plastisisasi,

sedangkan bahan aditif yang ditambahkan disebut pemlastis atau plasticizer.

Plasticizer didefinisikan sebagai bahan non volatil, bertitik didih tinggi jika

ditambahkan pada material lain dapat merubah sifat material tersebut.

Penambahan plasticizer dapat menurunkan kekuatan intermolekuler,

meningkatkan fleksibilitas film dan menurunkan sifat barrier film. Edible film

yang memiliki tingkat elastisitas yang cukup akan memilki sifat tidak mudah

sobek. Mekanisme proses plastisasi polimer sebagai akibat penambahan

plasticizer berdasarkan Guilbert et al 1999 diawali dengan pembasahan dan

adsorpsi dari polimer kemudian penetrasi molekul pada permukaan. Selanjutnya

terjadi absorpsi serta difusi pada bagian dalam polimer dan pemutusan pada

bagian amorf serta pemotongan struktur yang menyebabkan elastisitas meningkat.

Tabel 2. Perbandingan kelemahan dan kelebihan antara gliserol dan sorbitol

Jenis

Plasticizer Kelemahan Kelebihan

Sorbitol

(Wijaya

2013)

Laju transmisi uap tinggi Elongasi tinggi

Kuat tarik kurang Kuat tarik

Ketahanan kurang

Gliserol

(Amalina

2013)

Kurang homogen Kuat tarik tinggi

Kuat Tarik Rendah Transparan

Elongasi

Bahan untuk plasticizer dapat berupa senyawa organik maupun anorganik

yang mempunyai berat molekul rendah. Plasticizer yang banyak diaplikasikan

berupa gliserol dan sorbitol. Perbandingan kelemahan dan kelebihan sorbitol

dapat dilihat pada tabel 2. Gliserol sendiri merupakan senyawa golongan alkohol

polihidrat yang memiliki 3 buah gugus hidroksil. Rumus kimia gliserol adalah

C₃H₈O₃, dengan nama kimia 1,2,3 propanatriol. Berat molekul gliserol adalah

92,1 massa jenis 1,23 g/cm² titik didihnya 209 °C kelarutan tinggi, yaitu 71 g/100

g air pada suhu 25 °C (Winarno 1997). Gliserol memiliki sifat mudah larut dalam

air, meningkatkan viskositas larutan, mengikat air, dan menurunkan aw.

Prinsip plasticizer adalah mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan

intramolekular (Jojo 2008). Peran gliserol sebagai plasticizer dan konsentrasinya

meningkatkan fleksibilitas film (Bertuzzi et al 2007). Gliserol efektif digunakan

sebagai plasticizer pada film hidrofilik, seperti pektin, pati, gelatin dan modifikasi

pati, maupun pembuatan edible film berbasis protein. Pada film yang terbuat dari

protein, gliserol yang merupakan molekul kecil dan mudah disisipkan diantara

rantai protein dan membentuk ikatan hidrogen yang gugus amida dan protein

gluten. Hal ini berakibat pada penurunan interaksi langsung dan kedekatan antar

rantai protein. Selain itu, laju transmisi uap air yang melewati film yang

dilaporkan meningkat seiring dengan peningkatan kadar gliserol dalam film akibat

dari penurunan kerapatan jenis protein (Gontard et al 1993).

6

2.5 Film Antimikroba

Kemampuan antimikroba adalah kemampuan yang dimiliki senyawa

biologis maupun kimia yang bersifat menghambat pertumbuhan atau membunuh

bakteri atau kapang. Kemampuan menghambat pertumbuhan disebut kemampuan

bakteriostatik untuk bakteri dan fungiostatik untuk fungi. Kemampuan membunuh

disebut bakteriosidal untuk bakteri dan fungisidal untuk fungi. Senyawa

antimikroba memiliki kemampuan menghambat berbagai jenis mikroba yang

berbeda-beda tergantung jenis maupun spesiesnya. Aktivitas antimikroba suatu

senyawa kimia tidak dapat ditentukan secara absolut karena dipengaruhi oleh

sifat-sifat serta mekanismenya sendiri serta konsentrasi senyawa yang terkandung

(Fardiaz 1988). Terdapat beberapa mekanisme kerja dari senyawa antimikroba

seperti merusak dinding sel, mengubah permeabilitas membran, denaturasi protein

di dalam sel dan menghambat kinerja enzim di dalam sel (Pelczar 1986).

Gambar 5. Perbedaan mekanisme film antimikroba dan food additive

(Suyatma 2014)

Senyawa inorganik seperti ZnO cenderung bersifat stabil dalam suhu dan

tekanan (Sawai 2003). Mekanisme antimikroba pada ZnO memiliki kemampuan

oksidasi pada membran sehingga akan merusak struktur membran. Setelah lubang

terbentuk pada membran maka sitoplasma dan organ sel akan keluar dari dalam

sel yang menyebabkan pertumbuhan sel terhambat atau bahkan mati (Brayner et

al 2006). Selain itu terdapat mekanisme lain yaitu kerusakan yang terjadi kerena

ZnO nanopartikel termasuk dalam golongan logam yang masuk melalui membran

lalu merusak jalur metabolisme sel dan dideteksi oleh sel sebagai kofaktor

ataupun koenzim dan merusak struktur stabilizer dari sel (Gaballa dan Helman

1998).

7

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pembuatan Film

Tahap pertama dari penelitian ini adalah pembuatan film menggunakan

bahan pati tapioka dengan penambahan ZnO nanopartikel dan gliserol sebagai

pemlastis atau plasticizer. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap sifat fisik,

sifat mekanis serta permeabilitas uap air dan pengujian aktivitas antibakteri.

Gambar 6. Diagaram alir proses pembuatan film

Film nanokomposit pati tapioka dan ZnO nanopartikel dibuat dengan cara

mendispersikan nanopartikel ZnO dengan 300 ml akuades. Langkah selanjutnya,

larutan ZnO tersebut dihomogenisasi selama 3 menit dengan kecepatan

maksimum pada homoginizer. Pati tapioka ditimbang sebanyak 8 gram kemudian

ditambahkan 500 ml akuades. Larutan pati tapioka ini kemudian dipanaskan dan

Zno : akuades

((0 : 0,02 : 0,04 : 0,08 :

0,24 gr) : 300 ml)

Pati : akuades

(8gr : 500ml)

Pengadukan, Homoginizer

14.000rpm

Pemanasan dan

pengadukan, steerer

Gliserol

1,6 ml Larutan Coating,

suhu 70 ºC

Pencetakan

Pengeringan, 45 ºC, 24 jam

Film

Penyimpanan, RH 75%,

suhu ruang

8

diaduk menggunakan magnetic stirrer. Gliserol ditambahkan pada larutan film

sebanyak 20 % dari berat pati dan ZnO (v/b), kemudian ditambahkan larutan ZnO

nanopartikel. Selanjutnya, larutan dipanaskan sampai berwarna jernih dengan

suhu berkisar 70 ºC. Suspensi ini dituang kedalam cetakan akrilik yang telah

disemprotkan etanol 95 % untuk selanjutnya dimasukan kedalam oven selama 24

jam pada suhu 45 ºC. Film yang sudah kering kemudian dilepas dari cetakan,

dibungkus dengan alumunium foil dan dimasukkan ke dalam desikator agar

terjaga kelembabannya untuk kemudian dilakukan pengamatan.

Film yang dihasilkan selanjutnya diamati viskositas larutan, Aw, warna, kuat

tarik, elongasi, WVTR, water absorbtion dan ketebalan film. Pengamatan

aktivitas antibakteri dilakukan menggunakan larutan edible coating melalui

metode difusi sumur dengan bakteri uji yang digunakan adalah Bacillus cereus,

Eschericia coli dan Staphylococcus aureus.

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan film adalah gelas piala 400 ml,

labu erlenmeyer 1000 ml, gelas ukur 1000 ml, sudip, neraca analitik, magnetic

stirrer, hot plate, cetakan acrilic, oven dan desikator. Sedangkan alat-alat yang

digunakan untuk analisis adalah aw meter, micrometer skrup, Tensile Strengthth

and Elongation Tester, Desikator, kaleng WVTR, JEOL Model JSM 5310 LV

Scanning Microscope, Differential Scanning Calorimetri, Fourrier Transorm

Infra Red, Brokefield Model DV III, Minolta chromatometer 300, refrigator,

cawan petri, ose, tabung reaksi, gunting, penggaris, erlenmeyer, pipet, botol

semprot, inkubator 37 oC, dan oven 45

oC.

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ZnO

nanopartikel dan pati tapioka dengan merek “Cap Gunung Mas”. Bahan kimia

yang digunakan antara lain akuades, gliserol, 𝐾2𝑆𝑂4, 𝐶𝑎𝐶𝑙2, etanol 95% dan

alumunium foil. Bahan-bahan yang digunakan untuk uji aktivitas antimikroba,

yaitu Plate Count Agar, Nutrient Broth, alkohol 70% dan kultur uji yang

merupakan koleksi SEAFAST CENTER IPB yaitu Bacillus cereus (ATCC

11778), Eschericia coli (ATCC 25922) dan Staphylococcus aureus (ATCC

25923).

3.3 Pengamatan

3.3.1 Viskositas

Viskositas diukur menggunakan viskometer brokfield model DV III.

Pengukuran viskositas dilakukan dengan menuangkan larutan coating ke dalam

gelas viskometer sampai mendekati bagian atas gelas kemudian diukur

menggunakan kecepatan 60. Spindel yang digunakan adalah spindel nomor 601

yang memiliki luas permukaan paling luas serta ditujukan untuk larutan yang

memiliki viskositas rendah.

3.3.2 Aktivitas Air

Aktivitas air dari film diukur dengan menggunakan Aw-meter Shibaura

WA-360. Sebelum dilakukan pengukuran, chamber Aw-meter terlebih dahulu

dibersihkan menggunakan tissue. Sampel yang digunakan dalam pengukuran

mempunyai luasan 2 x 2 cm. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.

9

3.3.3 Warna

Warna film diamati menggunakan alat Minolta CR 300 Chromatometer

yang bekerja berdasarkan prinsip pengukuran warna yang dipantulkan oleh

permukaan sampel. Hasil pengukuran chromatometer dikonversi dalam sistem

CIE LAB yang mempunyai lambang L*, a*, dan b*. Nilai skala L* a* b* ini dapat

dirubah menjadi nilai ∆E dengan rumus ∆E = (L*² + a*² + b*²)½.

3.3.4 Tebal

Tebal dari setiap film yang dihasilkan akan diukur menggunakan

mikrometer skrup. Cara pengukurannya adalah dengan memasukan lembaran film

kedalam celah diantara 2 ruas batang, kemudian ulir digerakan sampai tidak bisa

bergerak kembali.

3.3.5 Kuat Tarik dan Elongasi

Nilai kuat tarik dan elongasi dari film diukur menggunakan tensile strength

tester dari Comten Industries. Persiapan sampel dilakukan dengan menyiapkan

film selebar 2 cm dan panjang 8 cm kemudian dipotong dan dimasukan ke grip

pengunci. Alat kemudian dijalankan dan hentikan ketika film tepat putus dan

dapat diketahui gaya tarik ketika film putus. Nilai elongasi dapat dicari dengan

membagi panjang akhir dengan panjang awal lalu dikalikan seratus persen. Nilai

kuat tarik dari film dapat dihitung dengan membagi nilai gaya tarik yang

dihasilkan ketika film putus dibagi dengan luas film dikalikan satu per sepuluh

ribu.

𝐸𝑙𝑜𝑛𝑔𝑎𝑠𝑖 = 𝐿2 − 𝐿1

𝐿1 𝑥 100 %

L1 = panjang awal film (m)

L2 = panjang film ketika putus (m)

Kuat Tarik = 𝑁

𝐴

N = Gaya saat film putus (Newton)

A = Luas Penampang samping, lebar x tebal film (m²)

3.3.6 Water Absorption

Water absorption dapat diukur dengan teknik yang sederhana. Film yang

dihasilkan memang bersifat higroskopis sehingga akan mudah menyerap air. Film

terlebih dahulu dipersiapkan dengan luas 6 x 6 cm. Kemudian ditimbang pada

pukul 08.00 – 16.00 dengan interval waktu 2 jam selam 4 hari untuk mengetahui

jumlah air yang dapat terserap.

3.3.7 Water Vapour Transmition Rate

Nilai WVTR dapat diukur berdasarkan prinsip perbedaan RH suatu

lingkungan sehingga dapat diketahui kemampuan daya lewat uap. Film digunakan

sebagai penutup pada kaleng. Nilai WVTR dapat diketahui dengan melihat

10

perbedaan berat kaleng yang telah diisi CaCl₂ pada kondisi RH tinggi seperti

desikator yang telah diberi 𝐾2𝑆𝑂4. CaCl₂ yang bersifat higroskopis akan mampu

menyerap uap air dari luar sehingga beratnya akan bertambah. Semakin rapat film

maka penambahan beratnya akan semakin sedikit. Adapun rumus untuk mencari

WVTR adalah

WVTR =24

𝐴 x Slope

WVTR = water vapour transmition rate (gram/jam/m²)

Slope = fungsi linier penambahan berat dan waktu

(gram/jam)

A = luas Edible film (m²)

3.3.8 Analisis Sifat Termal menggunakan Differential Scanning Calorimetri

(DSC)

Sampel ditimbang sebesar 10 mg kemudian dimasukan kedalam pen

tempat sampel kemudian dilakukan pengepresan lalu dimasukan kedalam tempat

pen. Analisis dilakukan pada suhu -30 ºC sampai dengan 230 ºC dengan

percepatan suhu 10 ºC per menit. Analisis sifat termal ini menggunakan DSC

yang dimiliki oleh Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Dramaga,

Bogor.

3.3.9 Pengamatan Mikrostruktur menggunakan Scanning Electron

Microscope (SEM)

Scanning Electron Mikroscope (SEM) adalah salah satu jenis mikroskop

elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambarkan profil

permukaan benda. Sampel beberapa miligram yang telah disiapkan terlebih

dahulu dilakukan coating dengan emas agar lebih tahan terhadap panas lalu

diamati permukaannya. Adapun energi yang digunakan dalam pengamatan adalah

10 kV. Pengamatan dilakukan menggunakan SEM yang terdapat pada Balai

Penelitan Kehutanan, Gunung Batu, Bogor.

3.3.10 Pengamatan Spektra Infrared menggunakan Fourier Transform

Infrared (FTIR)

Sampel berupa film ditempatkan di dalam tempat sampel kemudian

spektrum hubungan bilangan gelombang dengan persen transmitan ditentukan

pada panjang gelombang 4000-650 cm⁻¹. Pengamatan dilakukan menggunakan

FTIR yang berada di Laboratorium Biofarmaka IPB, Taman Kencana, Bogor.

3.3.11 Uji Antibakteri Metode Difusi Sumur

Langakah awal yang dilakukan untuk uji antibakteri adalah persiapan

media bakteri yaitu PCA (Plate Count Agar) yang telah diinokulasikan bakteri uji

sebanyak 5 ose dengan jumlah sebesar 0,1 mL. Media yang telah siap ini

kemudian dituangkan kedalam cawan petri secara aseptis dan ditunggu sampai

memadat. Setelah memadat, dilakukan pembuatan lubang sumur menggunakan

cone khusus dari pipet dan dilakukan penuangan larutan coating yang akan diuji

11

aktivitas antibakterinya. Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu 37 ºC,

langkah selanjutnya dilakukan pengamatan untuk melihat aktivitas antibakteri.

Bakteri yang digunakan telah dihitung terlebih dahulu jumlah awal yaitu

Bacillus cereus 4,7 x 10⁶ CFU/ml (ATCC 11778), Eschericia coli 1,2 x 10⁸ CFU/ml (ATCC 25922) dan Staphylococcus aureus 9,2 x 10⁷ CFU/ml (ATCC

25923). Perhitungan zona hambat diukur berdasarkan jari-jari penghambatan

berupa area bening di sekeliling sumur uji. Pengukuran dilakukan menggunakan

jangka sorong pada beberapa sisi sumur uji lalu diambil rata-ratanya. Adapun

rumus yang digunakan adalah

r′ =r1 + r2+. . . +rn

𝑛

r’ = jari-jari rata-rata

r1 = jari-jari sisi ke 1

r2 = jari-jari sisi ke 2

rn = jari-jari sisi ke n

n = banyaknya pengukuran

Gambar 7. Diagram alir uji antibakteri film

Inokulasi pada 10 ml NB

Inkubasi 37 °C, 24 jam

Inokulasi pada 300 ml PCA

Kultur Bakteri

Kultur Uji

Penuangan pada cawan, 15 mL

Pendinginan

Pembuatan dan penuangan 0,1 mL pada sumur

Inkubasi 37 °C, 24 jam

Pengamatan

12

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Viskositas

Viskositas larutan coating diukur untuk mengetahui tingkat kekentalan

dari masing-masing larutan coating. Hasil pengukuran menunjukan, kenaikan

viskositas ternyata seiring dengan naiknya konsentrasi ZnO nanopartikel pada

larutan coating. Hasil pengukuran viskositas dapat dilihat pada gambar 8.

Viskositas larutan coating yang dihasilkan berkisar pada angka 3–6 CpA. Larutan

yang terlalu encer akan menghasilkan coating yang terlalu tipis sedangakan

larutan yang terlalu kental akan menghasilkan coating yang terlalu tebal. Nilai

viskositas ini juga akan mempengaruhi nilai aktivitas air dari film yang dibuat,

karena semakin besar viskositas maka jumlah air yang terikat akan semakin

banyak yang menyebabkan aktivitas air menurun.

Gambar 8. Nilai viskositas larutan coating pada berbagai konsentrasi ZnO

nanopartikel

Hasil uji sidik ragam menggunakan SPSS dengan uji lanjut Duncan dapat

dilihat pada lampiran 1. Hasil yang diperoleh ternyata viskositas dipengaruhi

secara nyata oleh konsentrasi. Peningkatan viskositas disebabkan adanya

penambahan komponen solid terlarut yang ada pada larutan coating, yaitu berupa

serbuk ZnO nanopartikel. Penambahan komponen solid ini akan menghambat

gaya puntir dari spindel viskometer sehingga nilai viskositas akan naik. Selain itu,

reaksi kimia juga terjadi akibat molekul air akan terikat secara kimia dengan ZnO

yang akan membentuk gugus OH⁻ menjadi Zn(OH)₂ (Baurmenn dan Bill 2006).

4.2 Aktivitas Air

Aktivitas air atau aw adalah jumlah air bebas yang tersedia dan dapat

digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme dalam pangan. Setiap mikroba

5,58 ± 0,31

5,69 ± 0,24

5,81 ± 0,21

5,97 ± 0,15

6,03 ± 0,20

5,3

5,4

5,5

5,6

5,7

5,8

5,9

6

6,1

0% 0,25% 0,50% 1% 3%

13

memiliki jumlah aw minimum yang dapat digunakan untuk hidup, seperti kapang

mampu tumbuh pada aw 0,7 khamir pada aw 0,8-0,9 dan bakteri pada aw 0,9.

Menurut Wianarno (1997) suatu bahan pangan yang memilki aw diatas 0,7 akan

dapat ditumbuhi mikroorganisme yang bersifat berbahaya sehingga menjadikan

produk rusak, busuk atau bahkan beracun. Nilai aw film sangat menentukan

kualitas dari bahan pengemas yang nantinya akan diaplikasikan. Nilai aw yang

dibawah 0,7 akan mampu menghambat pertumbuhan jumlah mikroba sehingga

mempunyai potensi yang baik dalam melindungi makanan yang nanti akan

dikemas.

Gambar 9. Nilai aw film pada berbagai konsentrasi ZnO nanopartikel

Aktivitas air yang terukur pada sampel film mengalami penurunan dengan

bertambahnya jumlah konsentrasi ZnO nanopartikel yang digunakan. Dapat

dilihat pada gambar 9, pada konsentrasi 0 % aktivitas air yang terukur sebesar

0,72 ± 0,00, lalu menurun sampai 0,67 ± 0,01 pada konsentrasi 1 % dan 3 %.

Hasil pengolahan uji sidik ragam menggunakan SPSS dilanjutkan uji lanjut

Duncan dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil yang diperoleh nilai aktivitas air

dipengaruhi secara nyata oleh nilai konsentrasi ZnO nanopartikel. Penurunan nilai

aw ini diakibatkan adanya reaksi kimia yang terjadi antara pati yang terglatinisasi

dengan ZnO nanopartikel. Reaksi kimia yang terjadi menghasilkan senyawa baru

yaitu Zn(OH)₂ yang mengikat air secara kimia sehingga menurunkan nilai aw (Ma

et al 2013). Proses glatinisasi selain menghasilkan pH yang rendah serta

bertambahnya nilai viskositas, ternyata juga mampu menurunkan nilai aw akibat

hidrolisis komponen pati yang mampu mengikat air. ZnO nanopartikel yang

berfungsi sebagai filler akan terdispersi keseluruh bagian yang menyebabkan

matriks akan terisi sehingga menurunkan kemampuan penyerapan air pada film

yang berakibat pada nilai aktivitas air yang menurun. Gambar 10 juga

menunjukan bahwa pada konsentrasi 0 % ditumbuhi kapang setelah 2 hari

penyimpanan dan untuk konsentrasi 3 % masih belum terlihat adanya jamur

sampai 60 hari penyimpanan.

0,72 ± 0,00

0,70 ± 0,01

0,69 ± 0,00

0,67 ± 0,01 0,67 ± 0,00

0,64

0,65

0,66

0,67

0,68

0,69

0,7

0,71

0,72

0,73

0% 0,25% 0,50% 1% 3%

14

Gambar 10. Visualisasi film konsentrasi ZnO nanopartikel 0 % dan 3 %

4.3 Warna

Pengukuran terhadap komponen warna menggunakan sistem CIE yang

dinyatakan dalam notasi L*a*b. Notasi ini menggunakan 3 dimensi ruang dalam

menentukan arah perubahan warna (Suyatma dalam Handayani 2010). Sistem CIE

ini dapat dikonversi menjadi ∆E yang merupakan nilai toleransi perbedaan warna.

Nilai ∆E ini merupakan cerminan dari warna yang sesungguhnya. Perbedaan nilai

∆E pada sampel dapat dilihat pada tabel 1.

Gambar 11. Visualisasi film pada berbagai konsentrasi ZnO nanopartikel

Sampel film yang dihasilkan tidak bisa dilihat secara jelas perbedaannya

apabila menggunakan mata telanjang. Namun setelah dilakukan pengukuran

menggunakan chromatometer maka dapat terlihat perbedaannya. Uji sidik ragam

menggunakan SPSS dilanjutkan uji lanjut Duncan terdapat pada lampiran 3.

Hasilnya menunjukan bahwa nilai ∆E dipengaruhi secara nyata oleh tiga

kelompok konsentrasi. Penambahan ZnO dalam konsentrasi yang berbeda

ternyata akan mempengaruhi warna dari film. Semakin tinggi konsentrasi warna

yang dihasilkan semakin putih dan keruh. Fenomena ini akibat adanya ZnO

nanopartikel yang merupakan sumber pigmen pemutih, sehingga menjadi lebih

putih seiring dengan konsentrasi ZnO nanopartikel yang digunakan. Film sendiri

memiliki salah satu kriteria yaitu transparan. Hal ini dikarenakan pangan yang

telah mengalami proses coating harus terlihat secara jelas dan nyata sesuai warna

15

yang sebenarnya. Apabila larutan coating tidak transparan maka warna yang akan

terlihat adalah warna coating bukan warna bahan pangan sebenarnya.

Tabel 3. Nilai ∆E film pada berbagai konsentrasi ZnO nanopartikel

Konsentrasi ZnO (%) ∆E

0 88,48ᵃ ± 0,88

0,25 88,82ᵃ ± 0,63

0,5 89,57ᵇ ± 0,48

1 90,34ᶜ ± 0,48

3 90,37ᶜ ± 0,31

4.4 Tebal

Tebal setiap film dipengaruhi oleh total padatan yang ada pada cetakan.

Selain itu, ketebalan juga dipengaruhi oleh luas cetakan dan tinggi larutan (Park et

al 2003). Apabila dalam pembuatan film menggunakan cetakan yang sama akan

diperoleh hasil tebal yang berbeda ketika volumenya berbeda. Semakin besar

volume yang digunakan akan menghasilkan film yang semakin tebal. Total

padatan dalam penelitian pada setiap perlakuan adalah sama yaitu sebesar 1 %

(b/v). Tebal dari setiap film yang dihasilkan akan mempengaruhi sifat barrier dan

mekanis film yang dihasilkan. Sifat ini seperti WVTR, absorbsi air, kuat tarik dan

elongasi.

Nilai tebal dari masing-masing film dapat dilihat pada tabel 4. Nilai tebal

film dilakukan analisis uji sidik ragam menggunakan SPSS dilanjutkan uji lanjut

Duncan dapat dilihat pada lampiran 4. Hasil yang diperoleh menunjukan tebal

masing-masing film tidak dipengaruhi secara nyata oleh nilai konsentrasi. Film

yang dibuat memilki rataan tebal yang sama yaitu 0,09 ± 0,01 mm. Film yang

memiliki ketebalan seragam ini merupakan salah satu indikator yang baik karena

dianggap tidak akan mempengaruhi secara nyata berbagai uji mekanis yang akan

dilakukan.

Tabel 4. Nilai tebal film pada berbagai konsentrasi ZnO nanopartikel

Konsentrasi ZnO (%) Tebal (mm)

0 0,09ᵃ ± 0,01

0,25 0,09ᵃ ± 0,01

0,5 0,09ᵃ ± 0,01

1 0,09ᵃ ± 0,01

3 0,09ᵃ ± 0,01

4.5 Kuat Tarik

Kuat tarik adalah besarnya gaya maksimum yang dapat diterima oleh suatu

material sampai material tersebut putus. Salah satu karakteristik film yang baik

16

adalah mempunyai nilai kuat tarik yang memenuhi standar. Nilai kuat tarik

standar yang harus dimiliki oleh film yaitu berkisar 10-100 Mpa (Krochta 1992).

Nilai kuat tarik yang semakin besar menandakan semakin kuat film yang

dihasilkan, apabila nilai kuat tarik semakin kecil menandakan semakin rapuh film.

Gambar 12. Nilai Kuat Tarik film pada berbagai konsentrasi ZnO nanopartikel

Data yang diperoleh disajikan pada gambar 12. Pada konsentrasi 0 % nilai

yang diperoleh adalah 52,72 ± 7,19 Mpa dan pada konsentrasi 3 % kuat tarik yang

dimiliki sebesar 55,39 ± 8,93 Mpa. Uji sidik ragam menggunakan SPSS

dilanjutkan uji lanjut Duncan disajikan pada lampiran 8. Adapun hasil yang

diperoleh ternyata nilai kuat tarik film tidak dipengaruhi secara nyata oleh nilai

konsentrasi. Hal ini menunjukan bahwa penambahan ZnO nanopartikel tidak

memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kuat tarik film. Seharusnya

penambahan ZnO nanopartikel akan meningkatkan nilai kuat tarik karena sifat

fisik yang dimilikinya. ZnO yang merupakan komponen solid yang terdispersi

keseluruh bagian film sehingga akan memberikan struktur yang kuat lalu

meningkatkan nilai kuat tarik. Akan tetapi disisi lain, adanya gliserol justru

menurunkan nilai kuat tarik karena gliserol menurunkan gaya kohesi antar rantai

polimer. Data yang diperoleh menunjukan adanya keseragaman pada nilai kuat

tarik, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya ZnO nanopartikel mampu

memperbaiki sifat kuat tarik yang kurang baik karena adanya gliserol tetapi belum

mampu meningkatakan performa film dari segi kuat tarik.

4.6 Elongasi

Elongasi atau persentase pemanjangan adalah perbandingan panjang awal

dengan panjang akhir ketika bahan putus atau dapat dikatakan sebagai

kemampuan maksimal perbandingan panjang awal dengan panjang akhir bahan

yang dapat diterima suatu bahan sampai tepat putus. Elongasi pada film dikaitkan

dengan fleksibilitas dan keplastisan yang merupakan salah satu karakteristik

penting film. Tingkat keplstisan yang tinggi merupakan salah satu karakteristik

52,72 ± 7,1950,39 ± 6,88

58,46 ± 10,9754,42 ± 9,56 55,57 ± 8,93

0

10

20

30

40

50

60

70

0% 0,25% 0,50% 1% 3%

17

yang kurang baik, hal ini dikarenakan film yang plastis sulit untuk diputus dengan

gaya yang rendah akan tetapi disisi lain memiliki kelebihan yaitu kemapuan

menyesuaikan bentuk kemasan dengan bahan pangan yang dikemas.

Gambar 13. Nilai elongasi film pada berbagai konsentrasi ZnO nanopartikel

Data yang diperoleh pada pengukuran karakteristik elongasi menunjukan

pada konsentrasi 0 % nilai elongasi yang diperoleh adalah 117,72 ± 50,65 %

semakin meningkat sampai 122,97 ± 38,07 % pada konsentrasi 1 % dan turun

kembali pada konsentrasi 3 % yaitu sebesar 119,94 ± 36,85 %. Uji sidik ragam

pada SPSS menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada lampiran 7, hasilnya

bahwa elongasi tidak dipengaruhi secara nyata oleh nilai konsentrasi. Penambahan

gliserol sangat mempengaruhi nilai elongasi dari film, seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya adanya penambahan zat ini akan mampu mengganggu

ikatan hidrogen intermolekul dan intramolekul sehingga akan menambah jarak

antar molekul dan menjadikannya lebih elastis (Krochta 1992). Efek sebaliknya

ditimbulkan oleh ZnO nanopartikel yaitu dengan menurunkan mobilitas polimer

karena bersifat solid dan terdispersi keseluruh bagian film. Nilai elongasi yang

diperoleh tidak berbeda nyata, hal ini menunjukan bahwa adanya ZnO

nanopartikel mampu menutupi efek yang ditimbulkan oleh gliserol, akan tetapi

belum bisa meningkatan performa film yang ditujukan terhadap penurunan

elongasi film.

4.7 Water Absorption

Kemampuan film dalam menyerap air dikenal sebagai water absorption.

Film yang dihasilkan bersifat higroskopis karena terbuat dari hidrokoloid. Selain

itu penambahan gliserol yang bersifat hidrofilik juga akan meningkatkan

higroskopis film. Sifat higroskopis ini menyebabkan matrik yang terdapat pada

film akan dengan mudah menyerap air sehingga akan mempengaruhi beberapa

sifat lain seperti elongasi dan kuat tarik. Sifat higroskopis membuat film menjadi

kurang baik, karena film yang dihasilkan akan memiliki kemampuan menyerap air

yang berlebih sehingga nantinya akan meningkatkan nilai aw dari film yang justru

117,72 ± 50,65122,19 ± 45,86 122,84 ± 46,08 122,97 ± 38,07 119,94 ± 36,85

0

20

40

60

80

100

120

140

0% 0,25% 0,50% 1% 3%

18

akan menurunkan kemampuan film sebagai pengemas yang baik (Krochta et al

1992).

Gambar 14. Nilai water absorption film pada berbagai konsentrasi ZnO

nanopartikel

Hasil pengukuran nilai water absorption dari film dapat dilihat pada

gambar 14. Hasil yang diperoleh pada 0 % diperoleh nilai water absorption

sebesar 0,0974 ± 0,06 gram/m²/jam kemudian naik menjadi 0,0980 gram/m²/jam

pada konsentrasi 0,25 % kemudian turun sampai konsentrasi 3 % sebesar 0,0959 ±

0,02 gram/m²/jam. Uji sidik ragam menggunakan SPSS dilanjutkan uji lanjut

Duncan dapat dilihat pada lampiran 7, diperoleh hasil bahwa nilai water

absorption tidak dipengaruhi secara nyata oleh nilai konsentrasi. Hal ini

menunjukan bahwa adanya ZnO nanopartikel tidak memberikan pengaruh yang

nyata terhadap nilai water absorption. Kemampuan absorbsi air ini sangat erat

kaitannya dengan bahan utama pembuatan film yaitu hidrokoloid yang memiliki

sifat higroskopis. Selain itu gliserol sendiri bersifat hidrofilik sehingga

mempunyai kemampuan dalam menyerap air. Disisi lain ZnO sendiri bersifat

hidrofobik (Baurmann dan Bill 2006) yang seharusnya dengan adanya ZnO

nanopartikel, nilai water absorption dari film akan berkurang. Selain itu adanya

ZnO nanopartikel ini berfungsi sebagai filler yang akan terdispersi keseluruh

bagian film sehingga akan menurunkan kemampuan dalam penyerapan air. Hal ini

bisa terjadi karena konsentrasi ZnO nanopartikel yang digunakan masih dirasa

kurang.

4.8 Water Vapour Transmition Rate

Laju transmisi uap air (WVTR) merupakan salah satu parameter penting

dalam penentuan kualitas film. Laju transmisi uap air ini berprinsip pada

penghambatan uap air yang akan masuk kedalam bahan pangan yang dikemas

oleh film. Pengahambatan berbagai komponen seperti uap air, oksigen, karbon

dioksida, aroma dan komponen rasa akan meningkatkan umur simpan produk

0,0974 ± 0,06 0,0980 ± 0,02 0,0965 ± 0,02 0,0966 ± 0,01 0,0959 ± 0,02

0

0,02

0,04

0,06

0,08

0,1

0,12

0% 0,25% 0,50% 1% 3%

19

pangan (Suyatma 2004). Film yang dihasilkan menggunakan bahan pati tapioka

yang merupakan salah satu komponen hidrokoloid. Komponen hidrokoloid ini

memiliki sifat permeabilitas terhadap uap air yang tinggi. Gliserol sendiri

memiliki sifat hidrofilik yang menyebabkan film bersifat higroskopis sehingga

menyerap air. Sifat higroskopis ini akan meningkatkan laju transmisi uap air.

Adanya ZnO seharusnya mampu mengurangi laju transmisi uap karena berbentuk

solid serta bersifat hidrofobik. Selain itu penggunaan ZnO sebagai filler akan

memiliki sifat barrier yang menahan laju transmisi uap pada film.

Gambar 15.Nilai Water Vapour Transmition Rate film pada berbagai konsentrasi

ZnO nanopartikel

Dapat dilihat pada hasil pengukuran bahwa nilai WVTR dari film yang

dihasilkan mengalami peningkatan dari konsentrasi 0 % sampai konsentrasi 3 %.

Konsentrasi 0 % memiliki nilai WVTR sebesar 247,92 ± 77,59 gram/m²/24 jam

dan konsentrasi 3 % sebesar 254,41 ± 17,91 gram/m²/24 jam. Uji sidik ragam

menggunakan SPSS dilanjutkan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada lampiran 8,

diperoleh hasil nilai WVTR tidak dipengaruhi secara nyata oleh nilai konsentrasi.

Hal ini dikarenakan adanya ZnO nanopartikel belum mampu menutupi efek yang

ditimbulkan gliserol. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini dirasa cukup baik,

karena setelah dibandingkan dengan penelitian Riswanto 2011 nilai WVTR yang

dihasilkan film sebesar 268 gram/m²/24 jam. Penelitian tersebut juga menjumpai

masalah yang sama yaitu naiknya nilai WVTR ketika terjadi penambahan suatu

zat yang bertujuan untuk memperbaiki sifat fisik film.

4.9 Analisis sifat Termal menggunakan Differential Scanning Calorimetri

(DSC)

Differential Scanning Calorimetri (DSC) adalah alat yang berfungsi untuk

mengetahui sifat termal dari bahan yang akan diujikan. Alat ini berprinsip

mengukur energi yang diserap atau diemisikan oleh sampel sebagai fungsi waktu

atau suhu. Suhu transisi gelas dan evolusi dari struktur kristalin film selama

247,92 ± 77,59 245,42 ± 60,15 253,22 ± 70,57245,14 ± 62,48

254,41 ± 17,91

0

50

100

150

200

250

300

0% 0,25% 0,50% 1% 3%

20

penyimpanan dapat dievaluasi menggunakan DSC (Garcia et al 2009). Komponen

yang diamati melalui penggunaan DSC ini adalah suhu titik leleh, suhu transisi

gelas dan suhu kristalisasi. Titik leleh merupakan suhu dimana film tepat mulai

berpindah fase dari padat menuju cair. Suhu transisi gelas didefinisikan sebagai

suhu dimana polimer mengalami perubahan dari kondisi glassy ke kondisi

ruberry. Suhu kristalisasi sendiri adalah suhu dimana partikel padat didalam film

mengalami perubahan menjadi padat. Suhu transisi gelas dan kristalisasi sangat

dipengaruhi oleh kelembaban relatif dari polimer yang akan diuji, sedangkan suhu

titik leleh sangat dipengaruhi oleh bahan penyusun. Selain itu, pemlastis akan

meningkatkan volume bebas polimer atau mobilitas molekular molekul polimer

dan menurunkan perbandingan bagian kristalin terhadap bagian amorf sehingga

menyebabkan menurunnya suhu transisi gelas dan titik leleh (Krochta 1992).

Untuk mengatasi masalah tersebut maka ditambahkan ZnO nanopartikel pada film

yang diharapkan akan mampu meningkatkan suhu titik leleh, transisi gelas dan

kristalisasi dari film.

Gambar 16. Hasil uji DSC pada berbagai macam konsentrasi ZnO nanopartikel

Hasil pengamatan titik leleh film menggunakan DSC dapat dilihat pada

gambar 16, adapun hasilnya menunjukan adanya ZnO nanopartikel ternyata

mampu menaikan titik leleh dari film. Hal ini terbukti pada konsentrasi 0 % (tanpa

penambahan ZnO nanopartikel) suhu dimana mulai leleh (onset) adalah 117,54 °C

dan mengalami puncak pelelehan tertinggi (peak) pada suhu 139 °C. Pola naiknya

suhu titik leleh seiring dengan perubahan konsentrasi ZnO nanopartikel sesuai

dengan teori yang dikemukakan oleh Singh (2010) yang menyatakan bahwa

adanya nanopartikel ZnO dalam suatu zat akan menaikan titik leleh karena ZnO

dalam bentuk nanopartikel mempunyai struktur yang stabil. Naiknya titik leleh

film ini akan berpengaruh terhadap ketahanan terhadap panas yang merupakan

salah satu karakteristik pengemas yang baik.

21

Tabel 5. Suhu titik leleh, suhu kristalisasi dan suhu transisi gelas film pada

berbagai konsentrasi ZnO nanopartikel

Konsentrasi Suhu Titik Leleh Suhu

Kristalisasi

°C

Suhu

Transisi

Gelas °C On Set °C Peak °C

0% 120,79 139,18 57,39 101,02

0,25% 168,65 176,26 63,78 108,73

0,50% 180,17 183,69 73,94 112,96

1% 179,39 181,99 61,27 104,98

3% 182,83 185,1 63,73 108,69

Suhu transisi gelas sangat erat kaitannya dengan keawetan dan stabilitas

bahan pangan (Soekarto dan Adawiyah 2011). Suhu transisi gelas ini sangat

dipengaruhi oleh plasticizer, senyawa kimia dan kadar air. Nilai suhu transisi

gelas dapat digeser turun dengan adanya plasticizer. Nilai suhu transisi gelas

sangat erat kaitannya dengan nilai aw suatu bahan pangan. Kaitan antar suhu

transisi gelas dengan nilai aw suatu produk pangan adalah semakin tinggi nilai aw

maka suhu transisi gelas semakin turun. Dari hasil pengamatan dapat diketahui

bahwa terdapat korelasi sesuai dengan teori antara suhu transisi gelas dan aktivitas

air. Korelasi tersebut adalah semakin tinggi aktivitas air maka akan semakin

rendah suhu transisi gelas.

Gambar 17. Hasil Uji DSC kristalisasi dan transisi gelas film pada berbagai

konsentrasi ZnO nanopartikel

Suhu kristalisasi adalah suhu dimana partikel padat dalam suatu zat

terlarut berpindah menjadi fase padat. Suhu kristalisasi ini menujukan adanya

perubahan fase pati tapioka menjadi fase padat. Suhu kristalisasi ini erat kaitannya

dengan bentuk dari edible film. Ketika suhu edible film melebihi suhu kristalisasi

maka akan diperoleh film yang telah tidak teratur sehingga kurang baik untuk

22

dijadikan pengemas. Penambahan ZnO nanopartikel ternyata akan menaikan suhu

kristalisasi yang membuat kemasan memiliki daya tahan terhadap panas yang

lebih besar.

4.10 Pengamatan Mikrostruktur menggunakan Scanning Electron Microscop

(SEM)

Nanopartikel merupakan partikel yang sangat kecil berukuran < 100 nm

sehingga diperlukan suatu alat yang bisa melihat adanya nanopartikel di dalam

kemasan film. Adapun SEM yang dapat digunakan memiliki perbesaran samapai

dengan 3.000.000 kali. Akan tetapi untuk mengetahui adanya nanopartikel

perbesaran yang dapat digunakan berkisar 15.000 – 40.000 kali sudah cukup dan

dapat mengetahui ukuran partikel.

Gambar 18. Hasil SEM konsentrasi 0 % ZnO nanopartikel

Gambar 19. Hasil SEM konsentrasi 1 % ZnO nanopartikel

Terdapat dua buah edible film yang diujikan pada scanning electron

microscop ini yaitu konsentrasi 0 % dan 1 %. Pemilihan dua konsentrasi ini untuk

membandingkan adanya nanopartikel ZnO. Konsentrasi 0 % tidak terlihat adanya

nanopartikel ZnO yang terlihat hanyalah butiran putih yang diduga sebagai pati

yang terglatinisasi. Adapun hasil yang diperoleh pada konsentrasi 1 % belum

terlihat jelas adanya nanopartikel ZnO, akan tetapi struktur putih memanjang

tersebut diduga sebagai nanopartikel. Kekurangakuratan hasil pada pengamatan

mikrostruktur ini diakibatkan alat bekerja kurang maksimal.

23

4.11 Pengamatan Spektra Infrared menggunakan Fourier Transform

Infrared (FTIR)

Penggunaan FTIR dilakukan untuk mengetahui adanya ZnO pada film.

Alat ini bekerja berdasarkan prinsip mengumpulkan sinar inframerah yang disebar

pada permukaan sampel untuk mengetahui frekuensi gelombang yang diserap.

Selanjutnya dari frekuensi yang terbaca ini kemudian akan diartikan untuk

mengetahui gugus spesifik dari film. Range gelombang yang dideteksi FTIR

adalah 4000–650 cm⁻¹ untuk golongan fungsional pada range 4000–1000 cm⁻¹ dan <1000 cm⁻¹ untuk golongan aromatik, asam karboksil, amida, amin dan

halida (fingerprint) (Craig et al 2012). Panjang gelombang khas yang dimilki oleh

ikatan Zn-O pada film bisa dideteksi pada 460 cm⁻¹.

Gambar 20. Hasil uji FTIR pada film pada berbagai konsentrasi ZnO nanopartikel

Data diperoleh dari tiga macam konsentrasi ZnO dalam bentuk

nanopartikel yang berbeda. Konsentrasi yang digunakan adalah 0 %, 1 %, dan 3

%. Hasil pengujian menunjukan adanya perubahan peak dari grafik yang

dihasilkan. Garfik diperbesar pada range 600–400 cm⁻¹ yang dapat dilihat bahwa

terjadi perubahan nilai transmitan pada ketiga konsentrasi. Nilai transmitan yang

semakin besar menandakan semakin banyak jumlah ikatan Zn-O pada panjang

gelombang 460 cm⁻¹. Konsentrasi 3 % memiliki transmitan lebih besar

dibandingkan 1 %, yang berarti jumlah ZnO yang dimiliki lebih banyak.

4.12 Antibakteri

Difusi sumur adalah metode yang digunakan untuk mengetahui kapasitas

antibakteri dari film. Adapun komponen yang dipakai berupa film yang belum

dikeringkan yaitu berupa coating. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,

komponen nanopartikel memiliki kemampuan antibakteri. Hal ini dibuktikan

dengan hasil yang diperoleh yaitu pada konsentrasi 0 % tidak terjadi zona

penghambatan bakteri. Diameter zona penghambatan terus naik ketika konsentrasi

diperbesar sampai konsentrasi 3 % zona penghambatan mencapai sekitar 2,5 mm.

Uji sidik ragam menggunakan SPSS dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan dapat

24

dilihat pada lampiran 9, hasilnya data yang diperoleh berbeda nyata pada dua

kelompok konsentrasi yaitu kelompok 1 (0 %, 0,25 % dan 0,50 %) dan kelompok

2 (1 % dan 3 %). Bila dilihat dari grafik zona hambat dapat diperoleh hasil bahwa

aktivitas antibakteri film untuk berbagai macam mikroba berbeda. Film lebih

mampu menghambat pertumbuahan Bacillus cereus dan Staphylococcus aureus

dibandingkan Escerichia coli.

Gambar 21. Nilai aktivitas antibakteri film pada berbagai konsentrasi ZnO

nanopartikel

Senyawa inorganik seperti ZnO cenderung bersifat stabil dalam suhu dan

tekanan (Sawai 2003). Mekanisme antimikroba pada ZnO karena pada sekitar 977

dan 1453 pada X-Ray akan mendeformasi rantai C=C dan C-H₂ yang ada pada

lemak serta menyekresi protein golongan fenilalanin. Selain itu, kerusakan juga

terjadi kerena ZnO termasuk dalam golongan logam yang masuk melalui

membran lalu merusak jalur metabolisme sel dan dideteksi oleh sel sebagai

kofaktor ataupun koenzim dan merusak struktur stabilizer dari sel (Gaballa dan

Helman 1998).

ZnO dapat bekerja pada bakteri gram positif dan gram negatif dengan hasil

yang tidak berbeda jauh (Sawai 2003). Penelitian yang dilakukan Li et al pada

tahun 2009 menunjukan hasil bahwa sifat antimikroba terbaik dihasilkan dalam

bentuk film yang mampu menghambat pertumbuhan E coli dan S aureus. Menurut

Yamamoto (1998) sifat antimikroba pada ZnO sangat dipengaruhi oleh besaran

konsentrasi dan luas paparan. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Xu dan

Xie (2006) menjelaskan adanya interaksi kimia yang dihasilkan dengan adanya

cahaya bahwa terjadi penambahan elektron serta H⁺ yang menjadikan semakin

asam dan reaktif. Terdapat perbedaan hasil antara bakteri gram positif dan negatif

yaitu untuk gram positif seperti S aureus dan B cereus membran sel terbanyak

dihasilkan dari peptidoglikan sekitar 80 % dan sisanya yaitu 20 % merupakan

protein dan liposakarida (Blake et al 1999). Membran sel yang ada pada baktreri

gram negatif seperti E. coli mempunyai kompleksitas yang lebih tinggi (Liu dan

0 ± 0

1,16 ± 0,38

1,83 ± 0,422,19 ± 0,33

2,28 ± 0,34

0 ± 0

1,72 ± 0,28

2,03 ± 0,30

2,31 ± 0,48

2,53 ± 0,40

0 ± 0

1,97 ± 0,23

2,24 ± 0,19

2,39 ± 0,312,69 ± 0,24

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

0% 0,25% 0,50% 1% 3%

E Coli S aureus B cereus

25

Yang 2003) hal ini dibuktikan dengan peptidoglikan yang hanya 10 % dan sianya

50 % berupa lipopolisakarida, 35 % pospolipid serta 15% lipoprotein serta

ketebalan membran yang lebih tinggi. Liposakarida sendiri tersusun atas beberapa

komponen glukosa pada sisi terluar membaran yang akan menahan laju penetrasi

ZnO nanopartikel kedalam sel. Hal ini menunjukan bakteri gram positif lebih

resisten terhadap ZnO nanopartikel (Li et al 2009).

Gambar 22. Visualisasi aktivitas antibakteri film pada konsentrasi 0,25 % ZnO

nanopartikel

26

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Secara umum penambahan ZnO dalam bentuk nanopartikel pada berbagai

macam konsentrasi mampu mengubah berbagai macam sifat fisik dan

mikrobiologi dari film dibandingakan dengan perlakuan kontrol. Perlakuan

penambahan ZnO dalam bentuk nanopartikel sendiri menghasilkan film yang

paling optimum dengan penambahan konsentrasi 3 % ZnO nanopartikel. Film

yang diamati mengalami kenaikan nilai viskositas, aktivitas antibakteri, suhu titik

leleh, suhu transisi gelas dan suhu kristalisasi seiring peningkatan konsentrasi

ZnO nanopartikel yang digunakan. Pengujian nilai aw mengalami penurunan

seiring peningkatan konsentrasi ZnO nanopartikel yang digunakan. Pengujian

terhadap warna, ketebalan, kuat tarik, elongasi, WVTR, water absorption

menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata, artinya tidak terjadi pengaruh yang

nyata terhadap sifat fisik tersebut seiring penambahan jumlah masing-masing

konsentrasi ZnO nanopartikel. Analisis FTIR diperoleh hasil bahwa film yang

diuji ternyata memilki interaksi kimia ZnO nanopartikel. Analisis SEM dilakukan

untuk uji validasi adanya nanopartikel di dalam film, hasil yang diperoleh

menunjukan adanya nanopartikel dalam film akan tetapi kurang jelas terlihat.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan untuk pengembangan bionanokomposit film

yang berbasis pati tapioka dan ZnO nanopartikel adalah :

1. Penggunaan ZnO nanopartikel tanpa plasticizer untuk melihat efek

penambahan ZnO nanopartikel yang sebenarnya.

2. Aplikasi pada komoditas hortikultura seperti buah salak dan mangga.

3. Perlu dicoba penambahan konsentrasi ZnO nanopartikel yang lebih tinggi

untuk mengimbangi efek plastisisasi dari gliserol.

27

DAFTAR PUSTAKA

Amalina Y N. 2013. Edible Film Pati Tapioka Terplastisasi Gliserol Dengan

Penambahan Agar. [Skripsi]. Bogor (ID): IPB

Blake D M, Maness P C, Huang Z, Wolfrum E J, Huang J. 1999. Application of

The Photocatalytic Chemistry of Titanium Dioxide to Disinfection and

Killing of Cancer Cell. Di dalam: Li X, Xing Y, Jiang Y, Ding Y, Li W.

2009. Antimicrobial Activities of ZnO Powder-Coated PVC Film to

Inactive Food Pathogens. International Jurnal of Food Science and

Technology. 2161-2168

Baurmen L P, Bill J, Aldinger F. 2006. Bio-friendly Synthesis of ZnO

Nanoparticles in Aqeous Solution at Near-Neutral pH and Low

Temperature. Journal Physic Chemistry, 110. 5182-5185.

Brayner R, Iliou R F, Brivois N, Djediat S, Benedetti M F, Fievet F. 2006.

Toxicological Impact Studies Based on Escherichia coli Bacteria in

Ultarafine ZnO Nanoparticles Colloidal Medium. Nano let. 6: 866-870.

Bertuzzi M A, E F C Vidaurre, M Armada dan J C Gottifredi. 2007. Water Vapor

Permeability of Edible starch based films. J. Food Enggineering. 80 :

972-978 doi : 10.1016/J.J Foodeng. 2006.07.016

Chae D W dan Kim B C. 2005. Characterization on polystyrene/zinc oxide

nanocomposites prepared from solution mixing. Polym Adv Technol.

2005. 16: 846–850.

Craig A P, Franca A S, Oliveira L S. 2012. Evaluation of The Potential of FTIR

and Chemometrics For Separation Between Defective and Non-defective

Coffes. Journal of Food Chem. 132: 1368-137.

FAO. 2007. Agriculture Product of Tropic Area. Di dalam: Amalina Y N. 2013.

Edible Film Pati Tapioka Terplastisasi Gliserol Dengan Penambahan

Agar. [Skripsi]. Bogor (ID): IPB

Fardiaz S. 1988. Mikrobiologi Pangan. Di dalam: Fenny S. 2010. Pengembangan

Edible Film Komposit Pektin/Kitosan Dengan Polietilen Glikol (PEG)

Sebagai Plasticizer. [SKRIPSI]. Bogor (ID): IPB.

Garcia M A, Pinotti A, Martino M N, Zaritzky N E. 2009. Characterization of

Strach and Composite Edible Films and Coating. Di dalam: Milda E E,

Kerry C H.Edible Coating For Food Aplication, Journal of FST. PP: 169-

210.

Gaballa A, Helman J D. 1998. Identification of A Zinc Spesific Metalloregulatory

Protein, Zur, Controlling Zinc Transport Operon in Bacillus subtilis.

Journal Bacteriol. 180: 5815-5821.

Gontard N, Guilber S, dan Cuq J L. 1993. Water and Glyserol as Plasticizer Afect

Mechanical and Water Barrier Properties of an Edible Wheat Gluten

Film. J. Food Science. 58(1): 206 - 211.

Guilbert S. 1999. “Use of Superficial Edible Layer to Protect Intermadiet

Mouister Food : Application to The Protection of Tropical Fruit

Dehydrated by Osmosis,” in Food Preservation by Mouister Control, C.

C Seow, ed., London : Elsevier Applied Science Publisher.

Harris H. 2001. Kemungkinan Penggunaan Edible Film dari Pati Tapioka untuk

Pengemas Lempuk. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. 3 (2): 99-106.

28

Jojo. 2008. Sejarah Pengemasan Makanan dan Edible Film.

http://blufame.com/index.php/showtopic=13463. [7 Juni 2014]

Krochta J M. 1992. Control of Mass Transfer in Food With in Edible Coating and

Film. Di dalam: Singh R P, Wiratakusumah M A. Advance In Food

Enginering, pp. 517-538.

Liu H L, Yang T C K. 2003. Photocatalytic Inactivation of Escherichia coli and

Lactobacillus helvictus by ZnO and TiO₂ Activated with Ultraviolet

Light. Process Biochemsitry. 39: 475-481.

Liu L, J F Kennedy, dan P K Joseph. 2005. Selection of Optimum Extraction

Technology Parameters in The Manufacture of Edible/Biodegradable

Packaging film Derivated from Food. Journal of Agriculture and

Environment: Volume 3.

Matsui T, Ebuchi S, Matsugano K, Terahara N, Matsumoto K. 2004.

Caffeoylsophore, a New Natural α-Glucocidase Inhibitor, from Red

Vinegar by Fermented Purple- Fleshed Sweet Potato, Biosci. Biotechnol

Biochem 6: 2239-2246.

Ma H, Brennan A, Diamond S A, 2012. Phototoxicity of TiO₂ Nanoparticle Under

Solar Radiation to Two Aquatic Species: Daphnia magna and Japanese

medaka. Enviromental Toxicology and Chemistry. 31 (7): 1621-1629.

Nebukina E G, Khokhlov E M, Zaporozhets M A, Vitukhnovskii A G dan Gubin

S A. 2011. A Comparative study of the structural and spectral

characteristics of ZnO nanoparticles dispersed in isopropanol and

polyethylene. Inorganic Materials 2011. 47 (2): 143–147.

Park H, Lee W, Park C, Cho W, Ha C. 2003. Enviromentally Friendly Polimer

Hybrid, Part 1. Mechanical, Thermal, Barrierr Properties of

Thermoplastic Strach Nanocomposite. Journal of Material Science. 38:

909-915.

Prihatiningsih N. 2000. Pengaruh Penambahan Sorbitol dan Asam Palmitat

Terhadap Ketebalan Film dan Sifat Mekanik Edible Film dari Zein.

[Skripsi]. Yogyakarta (ID): UGM.

Pelczar J, Michael, Chan E C S. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Di dalam:

Fenny S. 2010. Pengembangan Edible Film Komposit Pektin/Kitosan

Dengan Polietilen Glikol (PEG) Sebagai Plasticizer. [SKRIPSI]. Bogor

(ID): IPB.

Riswanto K. 2011. Pengaruh Penambahan Plasticizer dan Surfaktan pada Edible

Film Komposit Pektin–Asam Lemak Terhadap Karakteristik Mekanik

dan Laju Transmisi Uap Airnya. [SKRIPSI]. Bogor (ID): IPB.

Thirathumthavorn, D. and S. Charoenrein. 2007. Aging Effect On Sorbitol and

Non Crystallizing Sorbitol-Plasticized Tapioca Starch Films. Starch. 59:

493-497.

Sawai J. 2003. Quantitative Evaluation of Antibacterial Activities of Metallic

Oxide Powders (ZnO, MgO and CaO) by Conductometric Assay. Journal

Microbial Methods. 54: 177-182.

Singh R P, Shukla V K, Yadav R S, Sharma P K, Singh P K, Pandey A C. 2010.

Biological Approach of Zinc Oxide Nanoparticles Formation and Its

Characterization. Advanced Materials Letters. 2(4): 313-317.

29

Soekarto T S, Adawiyah D R. 2011. Keterkaitan Berbagai Konsep Interaksi Air

Dalam Produk Pangan. Journal Teknologi dan Industri Pangan. 23 (1):

201-209.

Suyatma N E, Copinet A, Tighzert. 2004. Mechanical and Barrier Properties of

Biodegradable Films Made From Kitosan and Polylactic Acid. Di dalam:

Handayani A. 2010. Pembuatan dan Karakterisasi Film Bio

Biodegradable dari Kitosan/Polylactic Acid (PLA) dengan Pemlatis

Polyetilen Glikol (PEG). [SKRIPSI]. Bogor (ID): IPB.

Suyatma N E. 2014. Bahan Ajar Mata Kuliah Pengemasan. Bogor (ID):

Departemen Ilmu Dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB.

Wijaya D R. 2013. Pencirian Edible Film Pati Tapioka Terplastisasi Sorbitol

Dengan Penambahan Natrium Alginat. [Skripsi]. Bogor (ID): IPB

Winarno F G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia.

Yamamoto O, Hotta M, Sawai J, Sasamoto J, Kojima H. 1998. Influence of Food

Powder Characteritic of ZnO on Antibacterial Activity: Effect of Spesific

Surface Area. Journal of The Ceramic Society of Japan. 106: 1007-1011.

Yusmarlela J. 2009. Studi Pemanfaatan Plastisizer Gliserol Dalam Film Pati Ubi

Dengan Pengisi Serbuk Batang Ubi Kayu. [Tesis]. Medan (ID):

Universitas Sumatra Utara.

30

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil pengolahan data nilai viskositas

ANOVA

Viskositas

Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups

1.244 4 .311 6.05

4

.001

Within

Groups

2.056 40 .051

Total 3.300 44

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Viskositas

Duncana

K

onsentr

asi

Subset for alpha =

0.05

N 1 2

1 9 5.583

3

2 9 5.694

4

3 9 5.805

6

5.805

6

4 9

5.972

2

5 9

6.027

8

S

ig.

.055 .055

Means for groups in homogeneous

subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size =

9,000.

31

Lampiran 2. Hasil pengolahan data nilai aktifitas air

ANOVA

AW

Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups

.016 4 .004 156.

214

.000

Within

Groups

.001 40 .000

Total .017 44

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

AW

Duncana

K

onsentr

asi

Subset for alpha = 0.05

N 1 2 3 4 5

5 9 .666

8

4 9

.673

1

3 9

.686

8

2 9

.699

9

1 9

.718

9

S

ig.

1.00

0

1.00

0

1.00

0

1.00

0

1.00

0

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.

32

Lampiran 3. Hasil pengolahan data nilai intensitas warna

ANOVA

Chromatometer

Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups

25.868 4 6.467 18.5

27

.000

Within

Groups

13.963 40 .349

Total 39.831 44

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Chromatometer

Duncana

K

onsentr

asi

Subset for alpha = 0.05

N 1 2 3

1 9 88.4

044

2 9 88.7

844

3 9

89.5

000

4 9

90.2

644

5 9

90.2

700

S

ig.

.180 1.00

0

.984

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.

33

Lampiran 4. Hasil pengolahan data tebal film

ANOVA

Tebal

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups

.000 4 .000 1.27

3

.297

Within

Groups

.003 40 .000

Total .003 44

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Tebal

Duncana

K

onsentr

asi

Subset for

alpha = 0.05

N 1

5 9 .0822

4 9 .0878

1 9 .0889

2 9 .0889

3 9 .0900

S

ig.

.078

Means for groups in

homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean

Sample Size = 9,000.

34

Lampiran 5. Hasil pengolahan data nilai kuat tarik

ANOVA

Kuat_Tarik

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups

4.482 4 1.121 .039 .997

Within

Groups

2448.169 85 28.802

Total 2452.651 89

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Kuat_Tarik

Duncana

K

onsentr

asi

Subset for

alpha = 0.05

N 1

2 18 24.9308

1 18 25.2123

3 18 25.2525

5 18 25.4011

4 18 25.6072

S

ig.

.742

Means for groups in

homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean

Sample Size = 18,000.

35

Lampiran 6. Hasil pengukuran dan pengolahan data nilai elongasi

ANOVA

Elongasi

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups

897.522 4 224.380 .125 .973

Within

Groups

152014.6

66

85 1788.408

Total 152912.1

88

89

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Elongasi

Duncana

K

onsentr

asi

Subset for

alpha = 0.05

N 1

2 18 114.6583

1 18 117.7228

5 18 119.9389

3 18 122.8360

4 18 122.9667

S

ig.

.608

Means for groups in

homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean

Sample Size = 18,000.

36

Lampiran 7. Hasil pengukuran dan pengolahan data nilai WVTR

ANOVA

WVTR

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups

460.120 4 115.030 .031 .998

Within

Groups

94219.89

1

25 3768.796

Total 94680.01

1

29

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

WVTR

Duncana

K

onsentr

asi

Subset for

alpha = 0.05

N 1

4 6 245.145050

2 6 245.421433

1 6 247.915000

3 6 253.220617

5 6 254.506467

S

ig.

.816

Means for groups in homogeneous

subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample

Size = 6,000.

37

Lampiran 8. Hasil pengolahan data nilai water abrobtion

ANOVA

Water_Absortion

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups

.000 4 .000 .004 1.00

0

Within

Groups

.024 25 .001

Total .024 29

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Water_Absortion

Duncana

K

onsentr

asi

Subset for

alpha = 0.05

N 1

5 6 .095900

3 6 .096500

4 6 .096650

1 6 .097367

2 6 .098050

S

ig.

.915

Means for groups in

homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean

Sample Size = 6,000.

38

Lampiran 9A. Hasil pengolahan dat aktifitas antibakteri pada

S Aureus

ANOVA

S_aureus

Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups

36.436 4 9.109 76.4

84

.000

Within

Groups

4.764 40 .119

Total 41.200 44

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

S_aureus

Duncana

K

onsentr

asi

Subset for alpha = 0.05

N 1 2 3 4

1 9 .000

0

2 9

1.72

22

3 9

2.02

78

2.02

78

4 9

2.30

56

2.30

56

5 9

2.52

78

S

ig.

1.00

0

.068 .095 .180

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

39

Lampiran 9B. Hasil pengolahan data aktifitas antibakteri pada E coli

ANOVA

E_coli

Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups

30.833 4 7.708 74.0

00

.000

Within

Groups

4.167 40 .104

Total 35.000 44

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

E_coli

Duncana

K

onsentr

asi

Subset for alpha = 0.05

N 1 2 3

1 9 .000

0

2 9

1.61

11

3 9

1.83

33

4 9

2.19

44

5 9

2.27

78

S

ig.

1.00

0

.152 .587

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

40

Lampiran 9C. Hasil pengolahan data aktifitas antibakteri pada B

cereus

ANOVA

B_cereus

Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups

39.703 4 9.926 189.

311

.000

Within

Groups

2.097 40 .052

Total 41.800 44

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

B_cereus

Duncana

K

onsentr

asi

Subset for alpha = 0.05

N 1 2 3 4

1 9 .000

0

2 9

1.77

78

3 9

1.97

22

4 9

2.38

89

5 9

2.69

44

S

ig.

1.00

0

.079 1.00

0

1.00

0

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000.

41

RIWAYAT HIDUP

Penulis memiliki nama lengkap Muhammad Wahyu Pamuji. Penulis

dilahirkan di Purbalingga pada tanggal 7 Mei 1992 dari ayah Suratno dan ibu

Fathonah. Penulis adalah putra pertama dari tiga bersaudara. Penulis

menyelesaikan jenjang pendidikan mulai dari TK Pembina Pemda Tebing Tinggi

(1997-1998), SD Negri 1 Bantarbarang (1998-2004), SMP Negri 1 Rembang

(2004-2007), SMA Negri 1 Purbalingga (2007-2010). Penulis kemudian

melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor (IPB), Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan (2010-2014) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan

Tinggi Negri (SNMPTN).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum

Biologi TPB (2011), Mikrobiologi Pangan (2013) dan Analisis Pangan (2014).

Penulis juga aktif dalam kegiatan Jurnalistik yaitu menjadi Anggota Staff

Produksi (2011-2012) dan menjadi kepala bagian produksi (2012-2013) pada

Majalah Peduli Pangan dan Gizi EMULSI. Penulis juga aktif dalam berbagai jenis

kegiatan kepanitian yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu dan

Teknologi Pangan (Himitepa), Badan Ekskutif Mahasiswa Fakultas dan Badan

Eksekutif Mahasiswa IPB. Penulis pernah mendapatkan pengalaman

kewirausahaan melaui Program Wirausaha Muda serta terjun lapang dalam

rangkaian IPB Goes To Field (IGTF) pada tahun 2012 di Klaten, Jawa Tengah.