pengelolaan sampah dki jakarta

65
PENGELOLAAN SAMPAH DKI JAKARTA (DKIJ): ANTARA PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN Oleh : Kelompok 2/PSL Alex Abdi Chalik - Nrp : P - 062034084 Djoko Wijanto - Nrp : P - 062034234

Upload: jawwadhumam

Post on 24-Jun-2015

1.769 views

Category:

Documents


26 download

TRANSCRIPT

PENGELOLAAN SAMPAH DKI JAKARTA (DKIJ):

ANTARA PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN

 

 

 

 

Oleh :

Kelompok 2/PSL

 

 

Alex Abdi Chalik               -  Nrp    : P -

062034084

Djoko Wijanto                  -  Nrp   : P -

062034234

Kemas Fachrudin             -  Nrp   : P -

062034254

Lina Warlina                    -  Nrp   : P -

062034034

    Raymond Marpaung         -  Nrp   : P -

062034064

Sri Listyarini                     -  Nrp   : P –

062034024  [email protected]

 

Abstrak:

            Sebagaimana kota metropolitan lainnya DKI Jakarta mengalami berbagai masalah dalam pengelolaan sampah. Salah satu permasalahan yang ditemukenali adalah adanya inkosistensi pemerintah DKIJ dalam mengimplementasikan pelaksanaan dan kebijakan yang telah dirumuskan Makalah ini mengevaluasi  hal tersebut dari aspek kebijakan dan peraturan perundangan, aspek institusional, aspek teknis dan operasional, keuangan, dan partisipasi masyarakat.

 

I.                               PENDAHULUAN

 

Jakarta sebagai Kota Pusat Pemerintahan Negara Republik Indonesia merupakan kota

dengan jumlah penduduk terbesar diantara kota-kota metropolitan di seluruh Indonesia.

Pengaturan Kota Jakarta secara khusus diatur dalam UU NO. 34 / 1999 tentang Pemerintahan

Propinsi Daerah khusus Ibukota Negara Republik Indonesia dimana berdasarkan UU tersebut

DKIJ merupakan satu-satunya daerah otonomi tingkat Propinsi yang bagian-bagian

wilayahnya tidak mempunyai otonomi di dalam mengurus wilayahnya kecuali hanya

administrasi saja.

Sebagai Ibu Kota Negara dan dalam usaha menghadapi persaingan dengan kota-kota

lain di dunia, pemerintah Daerah DKIJ menetapkan sebuah visi Pembangunan Kota Jakarta

tahun 1998 – 2002 yaitu “ Terwujudnya Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia

yang sejajar dengan kota-kota Negara maju, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan

berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang berkelanjutan “ sedangkan misi yang diemban

adalah : “ Membangun Jakarta yang berbasis pada masyarakat (Community Base

Development : CBD), mengembangkan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan

(Sustainable Development), mengembangkan Jakarta sebagai kota jasa (service city) skala

nasional dan internasional.

Perkembangan kota Jakarta, yang dilandasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi

yang begitu pesat menimbulkan berbagai persoalan seperti sosial, politik dan ekonomi serta

lingkungan. Salah satu faktor dominan di dalam persoalan-persoalan tersebut adalah

pertumbuhan penduduk DKIJ yang begitu pesat akibat urbanisasi yang berdasarkan data dari

Badan Pusat Statistik (2000) pertumbuhan rata-rata penduduk Jakarta sebesar 2,24% per

tahun. Jika dalam tahun 1990 penduduk Jakarta baru mencapai 8.2 juta jiwa maka pada tahun

1999 penduduknya telah berkembang menjadi 9,9 juta jiwa, dengan tingkat kepadatan

penduduk mencapai 200 orang / Ha. Jumlah penduduk dan tingkat kepadatan yang begitu

besar menimbulkan permasalahan-permasalahan di dalam penanganan pemenuhan prasarana

dan sarana dasar perkotaan, dimana penyediaan prasarana dan sarana perkotaan yang saat ini

disediakan (supply), masih jauh dari kebutuhan nyata (demand) yang diperlukan masyarakat.

Di samping itu pertumbuhan dan perkembangan wilayah Jakarta dengan segala

aktifitas dan kegiatan masyarakatnya, menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan.

Salah satu persolalan yang dihadapi oleh pemerintah DKIJ adalah masalah pengelolaan

sampah, disamping biaya operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana yang begitu besar

juga pada akhir-akhir ini pemerintah DKIJ menghadapi komplain dari masyarakat yang

bertempat tinggal di sekitar wilayah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah 

Bantargebang yang menimbulkan dampak pencemaran lingkungan.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka timbul pertanyaan

sampai sejauh mana ketidaksesuaian antara perencanaan terhadap pelaksanaan dan kebijakan

pengelolaan sampah di DKIJ. Ketidak konsistenan ini menimbulkan berbagai dampak negatif

baik langsung maupun tidak langsung.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memaparkan adanya ketidak konsistenan

kebijakan maupun perencanaan pengelolaan sampah  DKIJ terhadap pelaksanaannya.

Dampak negatif akibat ketidak konsistenan kebijakan ini juga akan dibahas, terakhir

diberikan kesimpulan dan saran bagi pengelolaan sampah di DKIJ untuk masa yang akan

datang.

 

II.    TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sampah dan Dampak Pencemarannya

Sampah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang berwujud padat baik berupa zat

organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai maupun tidak terurai dan dianggap

sudah tidak berguna lagi sehingga dibuang ke lingkungan (Menteri Negara lingkungan

Hidup, 2003). Segala macam organisme yang ada di alam ini selalu menghasilkan sampah

atau bahan buangan. Sebagian besar sampah yang dihasilkan oleh organisme yang ada di

alam ini bersifat organik, kecuali sampah yang berasal dari aktifitas manusia yang dapat

bersifat organik maupun anorganik. Contoh sampah organik adalah: sisa-sisa bahan makanan

yang berasal dari tumbuhan atau hewan, kertas, kayu, bambu, dan lain-lain. Sedangkan

sampah anorganik misalnya plastik, logam, gelas, dan karet.

Tidak ada organisme di alam ini yang menghasilkan sampah sebanyak manusia.

Ditinjau dari kepentingan kelestarian lingkungan, sampah yang bersifat organik lebih

menguntungkan karena dengan mudah dapat didegradasi atau dipecah oleh mikroorganisme,

menjadi bahan yang mudah menyatu dengan alam tanpa menimbulkan pencemaran pada

lingkungan. Sebaliknya sampah anorganik relatif sukar didegradasi.

Pencemaran daratan umumnya berasal dari limbah berbentuk padat yang

dikumpulkan  pada suatu tempat penampungan yang disebut dengan Tempat Pembuangan

Akhir (TPA) atau Dump Station. Bahan buangan padat ini terdiri dari berbagai macam

komponen baik yang bersifat organik ataupun anorganik. Bahan buangan padat kota besar

berbeda dengan bahan buangan kota kecil ataupun daerah industri. Sebaiknya pewadahan

sampah dilakukan pemilahan-pemilahan berdasarkan sifat dan jenisnya untuk macam

buangan organik dan anorganik.  Ini dapat bermanfaat untuk membantu proses daur ulang

bahan buangan sehingga menjadi bermanfaat.

Penempatan TPA harus menghindari timbulnya dampak lingkungan. Oleh karena itu,

agar dipertimbangkan pula kemungkinan dampaknya. Namun dalam kenyataannya, sering

terjadi TPA tersebut menimbulkan permasalahan dengan masyarakat sekitarnya seperti kasus

TPA Bantargebang ataupun TPA di kota-kota metropolitan lainnya. Untuk itu perlu diketahui

dampak pencemaran sampah yang dapat dibagi dua yaitu dampak langsung dan tidak

langsung.

Dampak pencemaran sampah yang secara langsung dirasakan oleh manusia adalah

pembuangan limbah padat organik yang berasal dari kegiatan rumah tangga dan juga kegiatan

industri olahan bahan makanan. Limbah padat organik yang didegradasi oleh

mikroorganisme dalam kondisi anaerobik akan menimbulkan bau yang tidak sedap (busuk)

akibat penguraian limbah menjadi bagian-bagian yang kecil disertai dengan pelepasan gas.

Limbah organik yang mengandung protein akan lebih banyak  menghasilkan bau yang lebih

tidak sedap lagi, karena protein yang mengandung gugus amin akan terurai menjadi gas

ammonia. Dampak langsung lain adalah adanya timbunan limbah padat dalam jumlah besar

yang akan menimbulkan pemandangan yang tidak sedap, kotor dan kumuh. Kesan kotor ini

secara psikis akan mempengaruhi penduduk di sekitar TPA  tersebut.

            Untuk mengatasi bau busuk dan timbunan sampah ini, Jepang telah memanfaatkan

teknologi baru dalam pengolahan sampah yaitu dengan memanfaatkan natural zeolite.

Teknologi ini dapat menghilangkan bau dan menyusutkan volume sampai dengan 70%

(Media Indonesia, 2002).

Dampak tak langsung akibat pencemaran sampah adalah dampak yang dirasakan oleh

manusia melalui media lain yang ditimbulkan akibat pencemaran tersebut. Jadi media lain

inilah yang merupakan dampak langsung pencemaran yang selanjutnya memberikan

dampaknya pada manusia. Sebagai contoh dampak tak langsung dari tempat pembuangan

sampah, baik tempat penimbunan sementara maupun tempat pembuangan akhir, akan

menjadi pusat berkembang biaknya tikus dan serangga yang merugikan manusia, seperti lalat

dan nyamuk. Tempat pembuangan sampah merupakan tempat yang kumuh namun

menyediakan makanan yang cukup bagi perkembangan tikus, yang berupa limbah organik

terutama sisa-sisa makanan yang dibuang ke tempat itu. Ruang yang ada dicelah-celah

sampah dapat berupa ban, kaleng bekas, kardus, dan lain-lain merupakan tempat yang ideal

bagi persembunyian dan perkembangbiakan tikus (Wardhana, 1995). Akibat banyaknya tikus

di areal TPA akan menyebabkan timbulnya penykit pes.

Lalat pada umumnya berkembangbiak pada sampah organik, terutama pada sampah

yang banyak mengandung protein, seperti sisa makanan. Proses degradasi sampah organik

menimbulkan panas yang dapat dipakai untuk menetaskan telur-telur lalat (Wardhana, 1995).

Banyaknya lalat di TPA akan menyebarkan penyakit desentri  dan kaki gajah.

 

2.2. Pengelolaan Sampah

            Ada tiga kemungkinan pengelolaan sampah, yaitu dikubur, dibakar, dan sanitary

landfill. Sistem dikubur yaitu dengan membuat galian pada kedalaman tertentu lalu diberi

penadah plastik dan diisi tanah setinggi 0,5 (setengah) meter. Resiko dari sistem ini adalah

hancurnya plastik oleh pelarut kimia (Noriko, 2003).

Sistem pembakaran dengan incenerator pada suhu 1100 oC. Lama pembakaran, suhu

dan pencampuran oksigen yang tepat dapat menghancurkan 99% sampah. Asap yang

terbentuk diolah lebih dahulu sebelum dibuang ke udara. Resiko sistem pembakaran yang

tidak mencapai tingkat suhu tersebut adalah timbulnya dioksin yang sangat beracun dan

menimbulkan berbagai jenis kanker.

Sistem sanitary landfill adalah metode pembuangan akhir sampah dengan metode

tertentu sehingga tidak menimbulkan pencemaran dan membahayaakan kesehatan. Sistem ini

membuang dan menumpuk sampah pada suatu lokasi yang cekung, memadatkan sampah

tersebut kemudian menutupnya dengan tanah. Metode ini dapat menghilangkan polusi udara,

sedangkan polusi di tanah dan air dapat diminimalisir dengan meletakan lapisan geotextile

untuk menjegah meresapnya air lindi ke air tanah. Gambar di bawah ini memperlihatkan

proses sanitary landfill yang terletak di atas air tanah dan  menimbulkan kontaminasi air

tanah.

 

Gambar 1. Proses sanitary landfill yang terletak di atas air tanah

 

 

 

Sumber: Kompas, 10 Januari 2004

      

III.  PENGELOLAAN SAMPAH DKIJ

3.1. Kebijakan Pengelolaan Sampah di DKIJ

Dalam usaha melakukan penglolaan sampah yang memperhatikan aspek lingkungan 

pemerintah daerah DKIJ menetapkan kebijakan penglolaan sampah yang dituangkan dalam

Peraturan Daerah DKIJ Nomor 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

DKI Jakarta 2010 yang mengemukakan pokok-pokok pengelolaan persampahan DKIJ

sebagai berikut :

a.          Pengembangan prasarana persampahan diarahkan untuk meminimalkan

volume sampah dan pengembangan prasarana pengolahan sampah dengan

teknologi yang berwawasan lingkungan hidup.

b.          Pengembangan prasarana persampahan ditujukan untuk mencapai tingkat

penanganan 90% dari total sampah, yang dilakukan baik pada sumbernya,

proses pengangkutannya maupun pengolahannya di TPA.

c.          Pengelolaan prasarana sampah dilakukan dengan teknologi tepat guna untuk

meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sampah.

d.          Pengembangan prasarana sampah bahan berbahaya dan beracun (B3) serta

pengelolaannya dilakukan dengan teknologi yang tepat.

Dalam pasal 71 mengenai pengembangan prasarana dan sarana persampahan di masing-

masing kotamadya secara keseluruhan ditetapkan sebagai berikut :

a.        Pengembangan penggunaan teknologi pengelolaan sampah, diantaranya

penggunaan incinerator yang ditempatkan pada kawasan permukiman padat di

sisi bantaran sungai yang belum sepenuhnya terlayani.

b.        Pengadaan lokasi penampungan sementara pada setiap kelurahan.

c.        Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan

penerapan konsep 3 R  (Reduce, Reused dan Recycling).

d.        Peningkatan kapasitas transfer station di Sunter dan pembangunan transfer

station di Pluit, Sunter Utara dan Cilincing.

e.        Penampungan sampah /limbah di perairan laut.

f.          Pembangunan transfer station di bagian selatan jalan lingkar luar.

g.        Peningakatn kapasitas transfer station di Cakung dan pembangunan transfer

station di bagian selatan lingkar luar.

 

Sebelum ditetapkannya Perda No. 6 / 97 ini, pada  tahun 1986 Pemerintah DKIJ telah

menyusun suatu Rencana Induk pengelolaan Sampah DKI dengan maksud :

a. Menetapkan konsep umum pengelolaan sampah yang akan dicapai oleh Pemda DKI

di masa yang akan datang.

b. Menetapkan konsep dasar strategi untuk mencapai tujuan.

c. Konsep langkah nyata yang dijabarkan dari konsep strategi.

d. Menetapkan target pencapaian tujuan secara kuantitatif.

 

Di dalam kajian ini ditetapkan kebijakan untuk membangun 2 (dua) lokasi sanitary landfill yang terletak di luar wilayah DKIJ yaitu: TPA Bantargebang di Kotamadya Bekasi yang dibangun pada tahun 1990 dan TPA Ciangir di Kabupaten Tangerang yang direncanakan dibangun pada tahun 1993, dimana Bantargebang akan melayani buangan sampah dari wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan Kota Bekasi. Sedangkan TPA Ciangir akan melayani buangan sampah dari wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Kota Tangerang.

Rencana jumlah sampah dan tempat pembuangan sampai dengan tahun 2005 adalah

sebagaimana tabel 1 berikut :

 

Tabel  1. Rencana jumlah sampah dan Tempat Pembuangan Akhir

 

Tahun

 

TPA Bantargebang

 

TPA Ciangir

 

Dibuang di dalam

Kota

 

Total  (ton / hari)

 

1988

1990

 

1995

 

-

3.430

 

4.165

 

-

-

 

3.525

 

5700

2730

 

-

 

5700

6160

 

7.690

 

2000

 

2005

 

4.960

 

6.050

 

4.320

 

5.380

 

-

 

-

 

9.250

 

11.430

Sumber :  JICA, 1987

 

Sedangkan proyeksi timbulan Sampah DKIJ sebagaimana ditunjukkan pada tabel 2 berikut :

Tabel  2. Proyeksi timbulan Sampah DKIJ

 

Wilayah

 

Timbulan Sampah (ton / hari)

 

1985

 

1995

 

2005

 

Jakarta Pusat

Jakarta Utara

Jakarta Barat

Jakarta Selatan

 

1.050

770

930

1.110

 

1.360

1.120

1.420

1.770

 

1.830

1.530

2.070

2.410

 

Jumlah DKIJ

 

4.930

 

7.360

 

10.120

Sumber :  JICA, 1987

 

3.2. Kondisi Saat ini dan Permasalahannya

3.2.1.  Penanganan Sampah DKIJ

Secara garis besar alur penanganan sampah di DKIJ  sejak dari sumber sampah

sampai ke TPA dapat dilihat pada bagan berikut :

 

Gambar 2. Alur penanganan sampah DKI Jakarta

                                                     Sumber sampah:

RUMAH TANGGA

51,22%

PASAR TEMPORER

(5,7%)

P.D. PASAR JAYA

11,20%

KOMERSIAL

16,71%

JALAN

0,95%

INDUSTRI

(15,22%)

 

TPS

DIPERGUNAKAN KEMBALI

TPA BANTARGE BANG: SISTEM

SANITARY LANDFILL

STASIUN PERALIHAN ANTARA

 

 

 

 

 

 

 

 

PENGOLAHAN SENDIRI

(PLI)

                                                                                                     B - 3

                                      

 

Sedangkan penanggung jawab dari jenis sampah dapat dilihat pada tabel berikut :

 

Tabel 3. Institusi Penanggung Jawab Sesuai dengan Sumber Sampah

 

SUMBER

SAMPAH

 

Pengumpulan Awal

 

Transporta

si

 

Pengolahan

dan

Pembuanga

n

Instansi 

yang

memutuska

n

(bertanggun

g jawab)

Sampah

Domestik

(R. Tangga)

Dinas K

RT / RW

RT / RW

Dinas K

Dinas K

RW

Dinas K

Dinas K

Tempat

Pemb.

Sendiri

 

Dinas K

 

Sampah Pasar Dinas K

PD. Pasar

Dinas K

PD. Pasar

Dinas K

Dinas K

Dinas K

P.D. Pasar

Sampah

Komersial

Dinas K

Pengumpulan Sendiri

Persh Swasta

Dinas K

Diangkut

Sendiri

Persh

Swasta

Dinas K

Dinas K

 

Dinas K

 

Dinas K

Sampah Dinas K Dinas K Dinas K Dinas K

Industri

Pengumpulan sendiri Diangkat

Sendiri

Dinas K

Pembuanga

n sendiri

Pembuanga

n sendiri di

tempat

Masing-

masing

pabrik

Sampah

Saluran/Sung

ai

 

DPU

 

DPU

 

Dinas K

 

DPU

Sampah

Taman Kota

Dinas Pertamanan Dinas

Pertamana

n

Dinas K Dinas

Pertamanan

sumber  : JICA, 1987

 

Komposisi sampah yang dibuang ke TPA Bantargebang berdasarkan data dari Dinas

Kebersihan DKI (1999) terdiri dari sampah Organik 65,05% dan Sampah Non Organik

34,95%.

 

3.2.2.  Permasalahan Dalam Pengelolaan Sampah DKIJ

Pengelolaan sampah di DKIJ  saat ini menghadapi berbagai persoalan, mulai dari aspek teknis, operasional, institusi, keuangan, peraturan perundangan serta partisipasi masyarakat, secara ringkas masalah indikasi dan penyebabnya dapat dilihat pada tabel 4.

 

 

 

 

 

 

Tabel 4. Persoalan Pengelolaan Sampah di DKIJ

 

ASPEK

                       

                        PERMASALAHAN

 

PENYEBAB

 

 

UMUM

 

1. Masih timbulnya pengotoran  lingkunagn dan masalah estetika.

2.        Masih ada sampah yang belum tertampung

di beberapa tempat.

 

1.                                                                              

Tidak memadainya pengumpulan

dan pelayanan pembangunan

sampah.

2.                                                                              

Kerjasama / peran Swasta

masyarakat masih rendah.

ASPEK TEKNIS Pengumpulan di pengumpulan sampah belum

memadai

 

 

 

 

 

 

Penyapuan jalan

Masih terlihat kurang memuaskannya penyapuan

jalan

 

 

Tempat Pembuangan Akhir

Cara pembuangan dan pegolahan sampah tidak

sesuai dengan kaidah Sanitary Landfill

1.        Kurang efisien dalam

pengumpulan, masih terlihat

gerobak dan TPS-TPS kosong.

2.        Kurangnya peralatan pengumpul.

3.        System Pengumpulan yang

dilakukan oleh berbagai pihak

cenderung tidak effisien

 

1.        Kurangnya petugas.

2.        Tidak effisiennya cara penyapuan

jalan.

 

 

1.        Kurangnya pemahaman petugas dalam melakukan pengelohan secara Sanitary Landfill.

2.        Kurangnya biaya operasional

3.        Kurangnya tenaga teknis.

4.        Kurangnya alat berat

ASPEK

OPERASIONAL

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengumpulan

1.    Jumlah pengumpulan sampah yang dilakukan

oleh truk pengangkut rendah.

2.    Rendahnya frekuensi pengangkutan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Penyapuan Jalan

Waktu yang pendek dan produksifitasnya rendah

 

 

 

 

Tempat Pembuangan Akhir

1.                  Tidak adanya kontrol terhadap jumlah sampah di TPA.

2.                  Pembongkaran sampah di TPA

memakan waktu yang lama.

 

 

1.                    Waktu tempuh yang panjang

yang diakibatkan jarak yang jauh

serta kemacetan.

2.                    Kurang memadainya 

kontrol jam kerja.

3.                    Kurangnya kontrol

penimbangan sampah yang

dikumpulkan.

4.                    Kurangnya pemeliharaan

kendaraan.

5.                    Jangaka waktu pemeliharaan

kendaraan yang telah lama.

 

1.                    Kurangnya kontrol jam

kerja.

2.                    Kurangnya kendaraan 

pengangkut untuk effisiensi

penyapuan jalan.

 

 

 

1.        Kurang memadainya kontrol

terhadap kendaraan yang datang di

TPA.

2.        Kurangnya perlengkapan yang

diperlukan.

 

1.        Bagian Suku Dinas lemah,

diakibatkan oleh terkonsentrasinya

 

 

 

INSTITUSI

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Organisasi

1.    Suku Dinas tidak mampu mengatasi persoalan

sampah di wilayahnya (5 suku Dinas).

2.    Struktur Suku Dinas yang kurang memadai.

 

 

 

 

 

 

 

 

Personil

1.      Kurangnya pekerja.

2.      Kapasitas pekerja yang rendah

3.      Kekurangan tenaga teknis

 

 

 

 

Sumber

1.    Biaya Investasi yang kurang memadai untuk peralatan dan fasilitas.

2.    Retribusi

Rendahnya pengumpulan retribusi.

personil yang memiliki

kemampuan di Dinas.

2.        Kurangnya pendelegasian tugas

dan wewenang pada Suku Dinas

Kebersihan.

3.                      Masih adanya tugas yang

tumpang tindih antar seksi di

dalam Struktur Dinas Kebersihan.

 

1.       Kesenjangan tenaga kerja.

2.       Kesulitan mendapatkan tenaga

yang mumpuni akibat tidak adanya

kewenganan untuk pengadaan

karyawan.

 

 

 

1.         Pemerintah kota tidak

mempunyai kapasitas keuangan

yang cukup.

2.         Partisipasi masyarakat yang

rendah.

3.         Rendahnya motivasi

pengumpulan retribusi.

 

1.                                 Tidak jelasnya

tanggungjawab yang berkaitan

dengan pembuangan sampah.

2.                                 Tidak adanya

Standard atau pengaturan

KEUANGAN

 

 

 

 

 

 

 

PERATURAN

PERUNDANGAN

 

 

 

 

 

 

PARTISIPASI

MASYARAKAT

 

 

 

Peraturan

Tidak memadainya peraturan perundangan mengenai aktivitas sektor swasta dan pembuangan sampah.

 

 

 

 

Kurangnya partisipasi masyarakat dalam

pembuangan dan penyapuan sampah.

mengenai TPA milik Swasta.

 

1.        Rendahnya tingkat pemahaman

masyarakat tentang permasalahan

pembuangan sampah.

2.       Tidak adanya usaha baik dalam

pendidikan maupun pemberian

informasi mengenai sampah pada

masyarakat.

 

 

 

 

IV.              EVALUASI PENGELOLAAN SAMPAH DKIJ

4.1. Aspek Kebijakan dan Peraturan Perundangan

Penyusunan kebijakan dalam pengelolaan sampah di DKIJ nampaknya kurang selaras

dengan Master Plan Pengelolaan Sampah yang telah dibuat sebelumnya yaitu pada tahun

1987, hal ini nampak dengan tidak adanya sinkronisasi antara skenario yang ada di dalam

kebijakan pembangunan perkotaan yang tertuang dalam Peraturan Daerah No.6/1999 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKIJ-2010 dengan Master Plan Pengelolaan Sampah

DKIJ. Sebagai contoh di dalam Master Plan Pengelolaan Sampah dijelaskan bahwa sistem

pengolahan sampah dilakukan secara sanitary landfill yang biayanya jauh lebih murah dari

incenerator, namun di dalam kebijakan RTRW dijelaskan adanya upaya untuk

menyelenggarakan pengolahan sampah yang ditempatkan di  kawasan padat dengan

menggunakan incenerator.

Dari sisi perubahan lingkungan strategis penyusunan RTRW tidak memperhatikan

munculnya Undang-Undang No 22/1999 mengenai Pemerintahan Daerah, serta kurang

memperhatikan aspirasi masyarakat setempat yang menolak dioperasikannya TPA

Bantargebang. Hal ini nampak dalam penentuan TPA Sampah Pemerintah Daerah DKIJ yang

menganggap lokasi TPA Bantargebang dan Ciangir masih memungkinkan untuk dijadikan

TPA Sampah DKIJ.

Beberapa kebijakan  yang dibuat oleh pemerintah DKIJ telah dirumuskan dengan

baik  artinya telah memperhatikan prinsip-prinsip dalam pengelolaan sampah, seperti

misalnya melakukan 3R (Reduce, Reuse dan Recycling) pada sumbernya. Namun

implementasi kebijakan tersebut yang tidak dilaksanakan. Hal ini nampak pada sistem

penempatan sampah yang dilakukan oleh seluruh masyarakat masih belum memperhatikan

prinsip 3R tersebut. Untuk melaksanakan proses 3R masyarakat melakukan pemilahan

sampah pada sumbernya yang harus didukung dengan peraturan perundangan.

Peraturan perundangan yang ada pada saat ini masih belum memadai untuk

melakukan pengelolaan sampah secara terintegrasi (Integrated Solid Waste Management)

yang melibatkan seluruh pemegang kepentingan (stakeholders). Kondisi ini mengakibatkan

tidak jelasnya hak dan kewajiban para pihak yang terkait dengan persampahan.

 

4.2.             Aspek Institusional

Salah satu persoalan di dalam pengelolaan persampahan adalah terjadinya

penanganan sampah yang dilakukan oleh beberapa institusi, Dinas Kebersihan, PD Pasar,

Dinas Taman dan Dinas pekerjaan Umum (lihat tabel 3), hal ini menimbulkan “Moral

Hazard” di dalam penanganan sampah, yaitu  terjadinya saling lempar tanggung jawab ketika

terjadi persoalan atau komplain dari masyarakat mengenai adanya sampah yang mengganggu

lingkungan permukiman.

 

 

4.3              Aspek Teknis dan Operasional

Dari tabel 4 dapat diketahui bahwa pengelolaan sampah yang dilakukan  belum

ditunjang dengan peralatan, petugas dan dana operasi yang memadai disamping kurang

efisiennya penanganan sampah oleh berbagai pihak sebagaimana terlihat pada tabel 3,

terdapat beberapa instansi yang menanagani persampahan yang bergantung pada jenis dan

asal sampah.

Dalam aspek operasional pengelolaan sampah DKIJ masih belum memadai dalam

melakukan kontrol terhadap beberapa kegiatan seperti penghitungan volume sampah yang

masuk ke TPA Bantargebang, kurangnya pemeliharaan peralatan-peralatan yang digunakan

terutama alat-alat berat yang rusak dan tidak dapat dipergunakan sebelum masa ekonomis

peralatan tersebut berakhir, yang pada gilirannya pengoperasian pengaangkutan dan

pengolahan sampah kurang effektif dilakukan.

 

4.4. Aspek Keuangan

Pemerintah DKIJ menghadapi permasalahan dalam menyediakan dana operasi dan

pemeliharaan prasarana persampahan. Dalam tahun Anggaran 96/97 Dinas Kebersihan

mengalami defisit biaya operasional sebesar Rp.27,2 milyar. Hal ini diakibatkan kurangnya

efisiensi pengumpulan biaya retribusi sampah.

 

4.5. Aspek Partisipasi Masyarakat

Masyarakat DKIJ umumnya tidak atau kurang memahami permasalahan yang

sesungguhnya terjadi dalam pengelolaan sampah mulai dari pengumpulan penempatan,

pemindahan, pengangkutan dan pengolahan sampah di TPA. Kurangnya pengertian

masyarakat mengenai pengelolaan sampah ini mengakibatkan kurangnya kesadaran

masyarakat terhadap pengelolaan sampah. Dalam aspek penempatan  dan pengumpulan

sampah timbul suatu sindrome yang disebut dengan NIMBY ( not in my back yard)

sindrome, yaitu suatu penyakit masyarakat yang tidak perduli terhadap sampah, yang

mempunyai pandanagan bahwa: ”yang penting asal sampah tidak berada di halaman

rumahnya persoalan sampah dipandang telah selesai”.

 

V.      KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari permasalahan dan persoalan yang timbul dalam pengelolaan sampah baik aspek

kebijakan, aspek teknis, keuangan, peraturan perundangan, serta peranserta masyarakat dapat

ditarik kesimpulan  sebagai berikut:

1. Kebijakan yang dibuat tidak cukup hanya sampai pada tersusunnya suatu kebijakan

sampai dengan diundangkannya kebijakan tersebut, namun implementasinya harus

dibarengi dengan rencana tindak (action plan) yang mengarah kepada dicapainya

tujuan akhir dari apa yang diinginkan.

2. Terdapat inkonsistensi pelaksanaan terhadap perencanaan yang dilakukan oleh

pemerintah DKIJ dalam pengelolaan sampah. Hal ini terlihat jelas dalam skenaraio

perencanaan dimana ditetapkannya 2 (dua) TPA yaitu Bantargebang dan Ciangir-

Tangerang, yang pada kenyataanya  DKIJ hanya membangun TPA Bantargebang saja.

3. Timbulnya keluhan masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Bantargebang

diakibatkan oleh Dinas Kebersihan DKIJ yang tidak mengoperasikan TPA tersebut

secara Sanitary Landfill, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan yang

berdampak pada  ditolaknya pembangunan TPA Ciangir oleh masyarakat.

4. Lemahnya aparatur yang menangani pengelolaan persampahan menimbulkan

minimnya kinerja pengelolaan sampah di DKIJ.

5. Adanya tumpang tindih antar institusi yang bertanggung jawab dalam menangani

masalah sampah.

 

5.2. Saran

Dari kesimpulan yang ada, disarankan kepada Pemerintah Daerah DKIJ untuk

melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan

kinerja pengelolaan persampahan DKIJ sebagai berikut:

1.          Melakukan peninjauan ulang terhadap kebijakan pengelolaan persampahan

sebagaimana yang tertuang dalam RTRW tahun 1999 khususnya mengenai 

penggunaan incenerator yang akan ditempatkan di wilayah-wilayah padat di tepi

bantaran sungai dengan melakukan tinjauan kembali apa yang telah dirumuskan di

dalam Master Plan Persampahan DKIJ oleh JICA pada tahun 1987.

2.          Melakukan sosialisasi mengenai pengelolaan persampahan kepada seluruh

stakeholders, khususnya masyarakat, secara kontinyu. Hal ini penting untuk

mendorong masyarakat sebagai elemen terbesar di dalam sistem persampahan agar

melakukan prinsip-prinsip 3R yang proses awalnya adalah pemilahan  sampah dalam

penempatan sampah. Masyarakat perlu diberdayakan agar memiliki komitmen di

dalam mengelola sampah, misalnya community organizer (CO) pada tingkat RW.

Sampah-sampah yang masuk ke TPA sebaiknya sudah dipisahkan menjadi sampah

organik dan anorganik.

3.          Konsisten terhadap hasil kajian yang telah dilakukan untuk menghindari timbulnya

keputusan-keputusan sesaat yang tidak berdasarkan kepada kajian secara ilmiah.

4.          Memberlakukan UU 22/99 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga Pemerintah DKI

harus melakukan pendekatan dan kerjasama yang baik dengan pemerintah daerah di

sekitarnya (Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi) untuk melakukan pembangunan

TPA bersama yang dapat diterima masyarakat.

5.          Mengubah paradigma TPA sebagai suatu pekerjaan sosial menjadi suatu industri

pengelolaan sampah yang berbasis manajemen industri secara profesional.

6.          Melaksanakan sinergi antar instansi yang terkait dalam mengambil keputusan

sehingga tidak terjadi tumpang tindih kebijakan yang pada akhirnya akan merugikan

semua stakeholders.

 

DAFTAR PUSTAKA

1. Chalik A. Alex, (2000), Tesis Magister ITB : Evaluasi Pengelolaan Sampah DKI

Jakarta pada TPA Sampah Bantargebang, Bandung.

2. JICA, (1987), Study on Solid Waste Managemnt System Improvment Project in the

City of Jakarta in Indonesia, Jakarta.

3. Kompas, (10 Januari 2004), Sampah dan Pemerintah, www.kompas.com/kompas-

cetak/0401/10/Fokus/791775.htm, dikunjungi 19/03/2004.

4. Media Indonesia, (2002), Jabotabek: Teratasi Bau Busuk Sampah di TPA Bantar

Gebang, http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2002090504345953,

dikunjungi 08/03/2004.

5. Menteri Negara Lingkungan Hidup, (2003), Japan International Cooperation Agency

(JICA): Draft Naskah Akademik Peraturan Pengelolaan Sampah, Yayasan Pesantren

Islam Al Azhar, Jakarta.

6. Noriko, Nita, (2003), Tinjauan Ekologis Tempat Pemusnahan Akhir Bantar Gebang,

Bekasi, http://www.rudyct.tripod.com/sem2_023/nita_noriko.htm, dikunjungi

08/03/2004.

7. Soekmadi, Budihardjo, (2003), Pengalaman memimpin DKI Jakarta di Era

Reformasi, paper, Jakarta.

8. Wardhana, Wisnu Arya, (1995), Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Offset,

Yogyakarta.

 

PENGELOLAAN SAMPAH DKI JAKARTA (DKIJ):

ANTARA PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN

 

 

 

 

Oleh :

Kelompok 2/PSL

 

 

Alex Abdi Chalik               -  Nrp    : P -

062034084

Djoko Wijanto                  -  Nrp   : P -

062034234

Kemas Fachrudin             -  Nrp   : P -

062034254

Lina Warlina                    -  Nrp   : P -

062034034

    Raymond Marpaung         -  Nrp   : P -

062034064

Sri Listyarini                     -  Nrp   : P –

062034024  [email protected]

 

Abstrak:

            Sebagaimana kota metropolitan lainnya DKI Jakarta mengalami berbagai masalah dalam pengelolaan sampah. Salah satu permasalahan yang ditemukenali adalah adanya inkosistensi pemerintah DKIJ dalam mengimplementasikan pelaksanaan dan kebijakan yang telah dirumuskan Makalah ini mengevaluasi  hal tersebut dari aspek kebijakan dan peraturan perundangan, aspek institusional, aspek teknis dan operasional, keuangan, dan partisipasi masyarakat.

 

I.                               PENDAHULUAN

 

Jakarta sebagai Kota Pusat Pemerintahan Negara Republik Indonesia merupakan kota

dengan jumlah penduduk terbesar diantara kota-kota metropolitan di seluruh Indonesia.

Pengaturan Kota Jakarta secara khusus diatur dalam UU NO. 34 / 1999 tentang Pemerintahan

Propinsi Daerah khusus Ibukota Negara Republik Indonesia dimana berdasarkan UU tersebut

DKIJ merupakan satu-satunya daerah otonomi tingkat Propinsi yang bagian-bagian

wilayahnya tidak mempunyai otonomi di dalam mengurus wilayahnya kecuali hanya

administrasi saja.

Sebagai Ibu Kota Negara dan dalam usaha menghadapi persaingan dengan kota-kota

lain di dunia, pemerintah Daerah DKIJ menetapkan sebuah visi Pembangunan Kota Jakarta

tahun 1998 – 2002 yaitu “ Terwujudnya Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia

yang sejajar dengan kota-kota Negara maju, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan

berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang berkelanjutan “ sedangkan misi yang diemban

adalah : “ Membangun Jakarta yang berbasis pada masyarakat (Community Base

Development : CBD), mengembangkan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan

(Sustainable Development), mengembangkan Jakarta sebagai kota jasa (service city) skala

nasional dan internasional.

Perkembangan kota Jakarta, yang dilandasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi

yang begitu pesat menimbulkan berbagai persoalan seperti sosial, politik dan ekonomi serta

lingkungan. Salah satu faktor dominan di dalam persoalan-persoalan tersebut adalah

pertumbuhan penduduk DKIJ yang begitu pesat akibat urbanisasi yang berdasarkan data dari

Badan Pusat Statistik (2000) pertumbuhan rata-rata penduduk Jakarta sebesar 2,24% per

tahun. Jika dalam tahun 1990 penduduk Jakarta baru mencapai 8.2 juta jiwa maka pada tahun

1999 penduduknya telah berkembang menjadi 9,9 juta jiwa, dengan tingkat kepadatan

penduduk mencapai 200 orang / Ha. Jumlah penduduk dan tingkat kepadatan yang begitu

besar menimbulkan permasalahan-permasalahan di dalam penanganan pemenuhan prasarana

dan sarana dasar perkotaan, dimana penyediaan prasarana dan sarana perkotaan yang saat ini

disediakan (supply), masih jauh dari kebutuhan nyata (demand) yang diperlukan masyarakat.

Di samping itu pertumbuhan dan perkembangan wilayah Jakarta dengan segala

aktifitas dan kegiatan masyarakatnya, menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan.

Salah satu persolalan yang dihadapi oleh pemerintah DKIJ adalah masalah pengelolaan

sampah, disamping biaya operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana yang begitu besar

juga pada akhir-akhir ini pemerintah DKIJ menghadapi komplain dari masyarakat yang

bertempat tinggal di sekitar wilayah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah 

Bantargebang yang menimbulkan dampak pencemaran lingkungan.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka timbul pertanyaan

sampai sejauh mana ketidaksesuaian antara perencanaan terhadap pelaksanaan dan kebijakan

pengelolaan sampah di DKIJ. Ketidak konsistenan ini menimbulkan berbagai dampak negatif

baik langsung maupun tidak langsung.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memaparkan adanya ketidak konsistenan

kebijakan maupun perencanaan pengelolaan sampah  DKIJ terhadap pelaksanaannya.

Dampak negatif akibat ketidak konsistenan kebijakan ini juga akan dibahas, terakhir

diberikan kesimpulan dan saran bagi pengelolaan sampah di DKIJ untuk masa yang akan

datang.

 

II.    TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sampah dan Dampak Pencemarannya

Sampah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang berwujud padat baik berupa zat

organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai maupun tidak terurai dan dianggap

sudah tidak berguna lagi sehingga dibuang ke lingkungan (Menteri Negara lingkungan

Hidup, 2003). Segala macam organisme yang ada di alam ini selalu menghasilkan sampah

atau bahan buangan. Sebagian besar sampah yang dihasilkan oleh organisme yang ada di

alam ini bersifat organik, kecuali sampah yang berasal dari aktifitas manusia yang dapat

bersifat organik maupun anorganik. Contoh sampah organik adalah: sisa-sisa bahan makanan

yang berasal dari tumbuhan atau hewan, kertas, kayu, bambu, dan lain-lain. Sedangkan

sampah anorganik misalnya plastik, logam, gelas, dan karet.

Tidak ada organisme di alam ini yang menghasilkan sampah sebanyak manusia.

Ditinjau dari kepentingan kelestarian lingkungan, sampah yang bersifat organik lebih

menguntungkan karena dengan mudah dapat didegradasi atau dipecah oleh mikroorganisme,

menjadi bahan yang mudah menyatu dengan alam tanpa menimbulkan pencemaran pada

lingkungan. Sebaliknya sampah anorganik relatif sukar didegradasi.

Pencemaran daratan umumnya berasal dari limbah berbentuk padat yang

dikumpulkan  pada suatu tempat penampungan yang disebut dengan Tempat Pembuangan

Akhir (TPA) atau Dump Station. Bahan buangan padat ini terdiri dari berbagai macam

komponen baik yang bersifat organik ataupun anorganik. Bahan buangan padat kota besar

berbeda dengan bahan buangan kota kecil ataupun daerah industri. Sebaiknya pewadahan

sampah dilakukan pemilahan-pemilahan berdasarkan sifat dan jenisnya untuk macam

buangan organik dan anorganik.  Ini dapat bermanfaat untuk membantu proses daur ulang

bahan buangan sehingga menjadi bermanfaat.

Penempatan TPA harus menghindari timbulnya dampak lingkungan. Oleh karena itu,

agar dipertimbangkan pula kemungkinan dampaknya. Namun dalam kenyataannya, sering

terjadi TPA tersebut menimbulkan permasalahan dengan masyarakat sekitarnya seperti kasus

TPA Bantargebang ataupun TPA di kota-kota metropolitan lainnya. Untuk itu perlu diketahui

dampak pencemaran sampah yang dapat dibagi dua yaitu dampak langsung dan tidak

langsung.

Dampak pencemaran sampah yang secara langsung dirasakan oleh manusia adalah

pembuangan limbah padat organik yang berasal dari kegiatan rumah tangga dan juga kegiatan

industri olahan bahan makanan. Limbah padat organik yang didegradasi oleh

mikroorganisme dalam kondisi anaerobik akan menimbulkan bau yang tidak sedap (busuk)

akibat penguraian limbah menjadi bagian-bagian yang kecil disertai dengan pelepasan gas.

Limbah organik yang mengandung protein akan lebih banyak  menghasilkan bau yang lebih

tidak sedap lagi, karena protein yang mengandung gugus amin akan terurai menjadi gas

ammonia. Dampak langsung lain adalah adanya timbunan limbah padat dalam jumlah besar

yang akan menimbulkan pemandangan yang tidak sedap, kotor dan kumuh. Kesan kotor ini

secara psikis akan mempengaruhi penduduk di sekitar TPA  tersebut.

            Untuk mengatasi bau busuk dan timbunan sampah ini, Jepang telah memanfaatkan

teknologi baru dalam pengolahan sampah yaitu dengan memanfaatkan natural zeolite.

Teknologi ini dapat menghilangkan bau dan menyusutkan volume sampai dengan 70%

(Media Indonesia, 2002).

Dampak tak langsung akibat pencemaran sampah adalah dampak yang dirasakan oleh

manusia melalui media lain yang ditimbulkan akibat pencemaran tersebut. Jadi media lain

inilah yang merupakan dampak langsung pencemaran yang selanjutnya memberikan

dampaknya pada manusia. Sebagai contoh dampak tak langsung dari tempat pembuangan

sampah, baik tempat penimbunan sementara maupun tempat pembuangan akhir, akan

menjadi pusat berkembang biaknya tikus dan serangga yang merugikan manusia, seperti lalat

dan nyamuk. Tempat pembuangan sampah merupakan tempat yang kumuh namun

menyediakan makanan yang cukup bagi perkembangan tikus, yang berupa limbah organik

terutama sisa-sisa makanan yang dibuang ke tempat itu. Ruang yang ada dicelah-celah

sampah dapat berupa ban, kaleng bekas, kardus, dan lain-lain merupakan tempat yang ideal

bagi persembunyian dan perkembangbiakan tikus (Wardhana, 1995). Akibat banyaknya tikus

di areal TPA akan menyebabkan timbulnya penykit pes.

Lalat pada umumnya berkembangbiak pada sampah organik, terutama pada sampah

yang banyak mengandung protein, seperti sisa makanan. Proses degradasi sampah organik

menimbulkan panas yang dapat dipakai untuk menetaskan telur-telur lalat (Wardhana, 1995).

Banyaknya lalat di TPA akan menyebarkan penyakit desentri  dan kaki gajah.

 

2.2. Pengelolaan Sampah

            Ada tiga kemungkinan pengelolaan sampah, yaitu dikubur, dibakar, dan sanitary

landfill. Sistem dikubur yaitu dengan membuat galian pada kedalaman tertentu lalu diberi

penadah plastik dan diisi tanah setinggi 0,5 (setengah) meter. Resiko dari sistem ini adalah

hancurnya plastik oleh pelarut kimia (Noriko, 2003).

Sistem pembakaran dengan incenerator pada suhu 1100 oC. Lama pembakaran, suhu

dan pencampuran oksigen yang tepat dapat menghancurkan 99% sampah. Asap yang

terbentuk diolah lebih dahulu sebelum dibuang ke udara. Resiko sistem pembakaran yang

tidak mencapai tingkat suhu tersebut adalah timbulnya dioksin yang sangat beracun dan

menimbulkan berbagai jenis kanker.

Sistem sanitary landfill adalah metode pembuangan akhir sampah dengan metode

tertentu sehingga tidak menimbulkan pencemaran dan membahayaakan kesehatan. Sistem ini

membuang dan menumpuk sampah pada suatu lokasi yang cekung, memadatkan sampah

tersebut kemudian menutupnya dengan tanah. Metode ini dapat menghilangkan polusi udara,

sedangkan polusi di tanah dan air dapat diminimalisir dengan meletakan lapisan geotextile

untuk menjegah meresapnya air lindi ke air tanah. Gambar di bawah ini memperlihatkan

proses sanitary landfill yang terletak di atas air tanah dan  menimbulkan kontaminasi air

tanah.

 

Gambar 1. Proses sanitary landfill yang terletak di atas air tanah

 

 

 

Sumber: Kompas, 10 Januari 2004

      

III.  PENGELOLAAN SAMPAH DKIJ

3.1. Kebijakan Pengelolaan Sampah di DKIJ

Dalam usaha melakukan penglolaan sampah yang memperhatikan aspek lingkungan 

pemerintah daerah DKIJ menetapkan kebijakan penglolaan sampah yang dituangkan dalam

Peraturan Daerah DKIJ Nomor 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

DKI Jakarta 2010 yang mengemukakan pokok-pokok pengelolaan persampahan DKIJ

sebagai berikut :

a.          Pengembangan prasarana persampahan diarahkan untuk meminimalkan

volume sampah dan pengembangan prasarana pengolahan sampah dengan

teknologi yang berwawasan lingkungan hidup.

b.          Pengembangan prasarana persampahan ditujukan untuk mencapai tingkat

penanganan 90% dari total sampah, yang dilakukan baik pada sumbernya,

proses pengangkutannya maupun pengolahannya di TPA.

c.          Pengelolaan prasarana sampah dilakukan dengan teknologi tepat guna untuk

meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sampah.

d.          Pengembangan prasarana sampah bahan berbahaya dan beracun (B3) serta

pengelolaannya dilakukan dengan teknologi yang tepat.

Dalam pasal 71 mengenai pengembangan prasarana dan sarana persampahan di masing-

masing kotamadya secara keseluruhan ditetapkan sebagai berikut :

a.        Pengembangan penggunaan teknologi pengelolaan sampah, diantaranya

penggunaan incinerator yang ditempatkan pada kawasan permukiman padat di

sisi bantaran sungai yang belum sepenuhnya terlayani.

b.        Pengadaan lokasi penampungan sementara pada setiap kelurahan.

c.        Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan

penerapan konsep 3 R  (Reduce, Reused dan Recycling).

d.        Peningkatan kapasitas transfer station di Sunter dan pembangunan transfer

station di Pluit, Sunter Utara dan Cilincing.

e.        Penampungan sampah /limbah di perairan laut.

f.          Pembangunan transfer station di bagian selatan jalan lingkar luar.

g.        Peningakatn kapasitas transfer station di Cakung dan pembangunan transfer

station di bagian selatan lingkar luar.

 

Sebelum ditetapkannya Perda No. 6 / 97 ini, pada  tahun 1986 Pemerintah DKIJ telah

menyusun suatu Rencana Induk pengelolaan Sampah DKI dengan maksud :

a. Menetapkan konsep umum pengelolaan sampah yang akan dicapai oleh Pemda DKI

di masa yang akan datang.

b. Menetapkan konsep dasar strategi untuk mencapai tujuan.

c. Konsep langkah nyata yang dijabarkan dari konsep strategi.

d. Menetapkan target pencapaian tujuan secara kuantitatif.

 

Di dalam kajian ini ditetapkan kebijakan untuk membangun 2 (dua) lokasi sanitary landfill yang terletak di luar wilayah DKIJ yaitu: TPA Bantargebang di Kotamadya Bekasi yang dibangun pada tahun 1990 dan TPA Ciangir di Kabupaten Tangerang yang direncanakan dibangun pada tahun 1993, dimana Bantargebang akan melayani buangan sampah dari wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan Kota Bekasi. Sedangkan TPA Ciangir akan melayani buangan sampah dari wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Kota Tangerang.

Rencana jumlah sampah dan tempat pembuangan sampai dengan tahun 2005 adalah

sebagaimana tabel 1 berikut :

 

Tabel  1. Rencana jumlah sampah dan Tempat Pembuangan Akhir

 

Tahun

 

TPA Bantargebang

 

TPA Ciangir

 

Dibuang di dalam

Kota

 

Total  (ton / hari)

 

1988

1990

 

1995

 

-

3.430

 

4.165

 

-

-

 

3.525

 

5700

2730

 

-

 

5700

6160

 

7.690

 

2000

 

2005

 

4.960

 

6.050

 

4.320

 

5.380

 

-

 

-

 

9.250

 

11.430

Sumber :  JICA, 1987

 

Sedangkan proyeksi timbulan Sampah DKIJ sebagaimana ditunjukkan pada tabel 2 berikut :

Tabel  2. Proyeksi timbulan Sampah DKIJ

 

Wilayah

 

Timbulan Sampah (ton / hari)

 

1985

 

1995

 

2005

 

Jakarta Pusat

Jakarta Utara

Jakarta Barat

Jakarta Selatan

 

1.050

770

930

1.110

 

1.360

1.120

1.420

1.770

 

1.830

1.530

2.070

2.410

 

Jumlah DKIJ

 

4.930

 

7.360

 

10.120

Sumber :  JICA, 1987

 

3.2. Kondisi Saat ini dan Permasalahannya

3.2.1.  Penanganan Sampah DKIJ

Secara garis besar alur penanganan sampah di DKIJ  sejak dari sumber sampah

sampai ke TPA dapat dilihat pada bagan berikut :

 

Gambar 2. Alur penanganan sampah DKI Jakarta

                                                     Sumber sampah:

RUMAH TANGGA

51,22%

PASAR TEMPORER

(5,7%)

P.D. PASAR JAYA

11,20%

KOMERSIAL

16,71%

JALAN

0,95%

INDUSTRI

(15,22%)

 

TPS

DIPERGUNAKAN KEMBALI

TPA BANTARGE BANG: SISTEM

SANITARY LANDFILL

STASIUN PERALIHAN ANTARA

 

 

 

 

 

 

 

 

PENGOLAHAN SENDIRI

(PLI)

                                                                                                     B - 3

                                      

 

Sedangkan penanggung jawab dari jenis sampah dapat dilihat pada tabel berikut :

 

Tabel 3. Institusi Penanggung Jawab Sesuai dengan Sumber Sampah

 

SUMBER

SAMPAH

 

Pengumpulan Awal

 

Transporta

si

 

Pengolahan

dan

Pembuanga

n

Instansi 

yang

memutuska

n

(bertanggun

g jawab)

Sampah

Domestik

(R. Tangga)

Dinas K

RT / RW

RT / RW

Dinas K

Dinas K

RW

Dinas K

Dinas K

Tempat

Pemb.

Sendiri

 

Dinas K

 

Sampah Pasar Dinas K

PD. Pasar

Dinas K

PD. Pasar

Dinas K

Dinas K

Dinas K

P.D. Pasar

Sampah

Komersial

Dinas K

Pengumpulan Sendiri

Persh Swasta

Dinas K

Diangkut

Sendiri

Persh

Swasta

Dinas K

Dinas K

 

Dinas K

 

Dinas K

Sampah Dinas K Dinas K Dinas K Dinas K

Industri

Pengumpulan sendiri Diangkat

Sendiri

Dinas K

Pembuanga

n sendiri

Pembuanga

n sendiri di

tempat

Masing-

masing

pabrik

Sampah

Saluran/Sung

ai

 

DPU

 

DPU

 

Dinas K

 

DPU

Sampah

Taman Kota

Dinas Pertamanan Dinas

Pertamana

n

Dinas K Dinas

Pertamanan

sumber  : JICA, 1987

 

Komposisi sampah yang dibuang ke TPA Bantargebang berdasarkan data dari Dinas

Kebersihan DKI (1999) terdiri dari sampah Organik 65,05% dan Sampah Non Organik

34,95%.

 

3.2.2.  Permasalahan Dalam Pengelolaan Sampah DKIJ

Pengelolaan sampah di DKIJ  saat ini menghadapi berbagai persoalan, mulai dari aspek teknis, operasional, institusi, keuangan, peraturan perundangan serta partisipasi masyarakat, secara ringkas masalah indikasi dan penyebabnya dapat dilihat pada tabel 4.

 

 

 

 

 

 

Tabel 4. Persoalan Pengelolaan Sampah di DKIJ

 

ASPEK

                       

                        PERMASALAHAN

 

PENYEBAB

 

 

UMUM

 

1. Masih timbulnya pengotoran  lingkunagn dan masalah estetika.

2.        Masih ada sampah yang belum tertampung

di beberapa tempat.

 

1.                                                                              

Tidak memadainya pengumpulan

dan pelayanan pembangunan

sampah.

2.                                                                              

Kerjasama / peran Swasta

masyarakat masih rendah.

ASPEK TEKNIS Pengumpulan di pengumpulan sampah belum

memadai

 

 

 

 

 

 

Penyapuan jalan

Masih terlihat kurang memuaskannya penyapuan

jalan

 

 

Tempat Pembuangan Akhir

Cara pembuangan dan pegolahan sampah tidak

sesuai dengan kaidah Sanitary Landfill

1.        Kurang efisien dalam

pengumpulan, masih terlihat

gerobak dan TPS-TPS kosong.

2.        Kurangnya peralatan pengumpul.

3.        System Pengumpulan yang

dilakukan oleh berbagai pihak

cenderung tidak effisien

 

1.        Kurangnya petugas.

2.        Tidak effisiennya cara penyapuan

jalan.

 

 

1.        Kurangnya pemahaman petugas dalam melakukan pengelohan secara Sanitary Landfill.

2.        Kurangnya biaya operasional

3.        Kurangnya tenaga teknis.

4.        Kurangnya alat berat

ASPEK

OPERASIONAL

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengumpulan

1.    Jumlah pengumpulan sampah yang dilakukan

oleh truk pengangkut rendah.

2.    Rendahnya frekuensi pengangkutan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Penyapuan Jalan

Waktu yang pendek dan produksifitasnya rendah

 

 

 

 

Tempat Pembuangan Akhir

1.                  Tidak adanya kontrol terhadap jumlah sampah di TPA.

2.                  Pembongkaran sampah di TPA

memakan waktu yang lama.

 

 

1.                    Waktu tempuh yang panjang

yang diakibatkan jarak yang jauh

serta kemacetan.

2.                    Kurang memadainya 

kontrol jam kerja.

3.                    Kurangnya kontrol

penimbangan sampah yang

dikumpulkan.

4.                    Kurangnya pemeliharaan

kendaraan.

5.                    Jangaka waktu pemeliharaan

kendaraan yang telah lama.

 

1.                    Kurangnya kontrol jam

kerja.

2.                    Kurangnya kendaraan 

pengangkut untuk effisiensi

penyapuan jalan.

 

 

 

1.        Kurang memadainya kontrol

terhadap kendaraan yang datang di

TPA.

2.        Kurangnya perlengkapan yang

diperlukan.

 

1.        Bagian Suku Dinas lemah,

diakibatkan oleh terkonsentrasinya

 

 

 

INSTITUSI

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Organisasi

1.    Suku Dinas tidak mampu mengatasi persoalan

sampah di wilayahnya (5 suku Dinas).

2.    Struktur Suku Dinas yang kurang memadai.

 

 

 

 

 

 

 

 

Personil

1.      Kurangnya pekerja.

2.      Kapasitas pekerja yang rendah

3.      Kekurangan tenaga teknis

 

 

 

 

Sumber

1.    Biaya Investasi yang kurang memadai untuk peralatan dan fasilitas.

2.    Retribusi

Rendahnya pengumpulan retribusi.

personil yang memiliki

kemampuan di Dinas.

2.        Kurangnya pendelegasian tugas

dan wewenang pada Suku Dinas

Kebersihan.

3.                      Masih adanya tugas yang

tumpang tindih antar seksi di

dalam Struktur Dinas Kebersihan.

 

1.       Kesenjangan tenaga kerja.

2.       Kesulitan mendapatkan tenaga

yang mumpuni akibat tidak adanya

kewenganan untuk pengadaan

karyawan.

 

 

 

1.         Pemerintah kota tidak

mempunyai kapasitas keuangan

yang cukup.

2.         Partisipasi masyarakat yang

rendah.

3.         Rendahnya motivasi

pengumpulan retribusi.

 

1.                                 Tidak jelasnya

tanggungjawab yang berkaitan

dengan pembuangan sampah.

2.                                 Tidak adanya

Standard atau pengaturan

KEUANGAN

 

 

 

 

 

 

 

PERATURAN

PERUNDANGAN

 

 

 

 

 

 

PARTISIPASI

MASYARAKAT

 

 

 

Peraturan

Tidak memadainya peraturan perundangan mengenai aktivitas sektor swasta dan pembuangan sampah.

 

 

 

 

Kurangnya partisipasi masyarakat dalam

pembuangan dan penyapuan sampah.

mengenai TPA milik Swasta.

 

1.        Rendahnya tingkat pemahaman

masyarakat tentang permasalahan

pembuangan sampah.

2.       Tidak adanya usaha baik dalam

pendidikan maupun pemberian

informasi mengenai sampah pada

masyarakat.

 

 

 

 

IV.              EVALUASI PENGELOLAAN SAMPAH DKIJ

4.1. Aspek Kebijakan dan Peraturan Perundangan

Penyusunan kebijakan dalam pengelolaan sampah di DKIJ nampaknya kurang selaras

dengan Master Plan Pengelolaan Sampah yang telah dibuat sebelumnya yaitu pada tahun

1987, hal ini nampak dengan tidak adanya sinkronisasi antara skenario yang ada di dalam

kebijakan pembangunan perkotaan yang tertuang dalam Peraturan Daerah No.6/1999 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKIJ-2010 dengan Master Plan Pengelolaan Sampah

DKIJ. Sebagai contoh di dalam Master Plan Pengelolaan Sampah dijelaskan bahwa sistem

pengolahan sampah dilakukan secara sanitary landfill yang biayanya jauh lebih murah dari

incenerator, namun di dalam kebijakan RTRW dijelaskan adanya upaya untuk

menyelenggarakan pengolahan sampah yang ditempatkan di  kawasan padat dengan

menggunakan incenerator.

Dari sisi perubahan lingkungan strategis penyusunan RTRW tidak memperhatikan

munculnya Undang-Undang No 22/1999 mengenai Pemerintahan Daerah, serta kurang

memperhatikan aspirasi masyarakat setempat yang menolak dioperasikannya TPA

Bantargebang. Hal ini nampak dalam penentuan TPA Sampah Pemerintah Daerah DKIJ yang

menganggap lokasi TPA Bantargebang dan Ciangir masih memungkinkan untuk dijadikan

TPA Sampah DKIJ.

Beberapa kebijakan  yang dibuat oleh pemerintah DKIJ telah dirumuskan dengan

baik  artinya telah memperhatikan prinsip-prinsip dalam pengelolaan sampah, seperti

misalnya melakukan 3R (Reduce, Reuse dan Recycling) pada sumbernya. Namun

implementasi kebijakan tersebut yang tidak dilaksanakan. Hal ini nampak pada sistem

penempatan sampah yang dilakukan oleh seluruh masyarakat masih belum memperhatikan

prinsip 3R tersebut. Untuk melaksanakan proses 3R masyarakat melakukan pemilahan

sampah pada sumbernya yang harus didukung dengan peraturan perundangan.

Peraturan perundangan yang ada pada saat ini masih belum memadai untuk

melakukan pengelolaan sampah secara terintegrasi (Integrated Solid Waste Management)

yang melibatkan seluruh pemegang kepentingan (stakeholders). Kondisi ini mengakibatkan

tidak jelasnya hak dan kewajiban para pihak yang terkait dengan persampahan.

 

4.2.             Aspek Institusional

Salah satu persoalan di dalam pengelolaan persampahan adalah terjadinya

penanganan sampah yang dilakukan oleh beberapa institusi, Dinas Kebersihan, PD Pasar,

Dinas Taman dan Dinas pekerjaan Umum (lihat tabel 3), hal ini menimbulkan “Moral

Hazard” di dalam penanganan sampah, yaitu  terjadinya saling lempar tanggung jawab ketika

terjadi persoalan atau komplain dari masyarakat mengenai adanya sampah yang mengganggu

lingkungan permukiman.

 

 

4.3              Aspek Teknis dan Operasional

Dari tabel 4 dapat diketahui bahwa pengelolaan sampah yang dilakukan  belum

ditunjang dengan peralatan, petugas dan dana operasi yang memadai disamping kurang

efisiennya penanganan sampah oleh berbagai pihak sebagaimana terlihat pada tabel 3,

terdapat beberapa instansi yang menanagani persampahan yang bergantung pada jenis dan

asal sampah.

Dalam aspek operasional pengelolaan sampah DKIJ masih belum memadai dalam

melakukan kontrol terhadap beberapa kegiatan seperti penghitungan volume sampah yang

masuk ke TPA Bantargebang, kurangnya pemeliharaan peralatan-peralatan yang digunakan

terutama alat-alat berat yang rusak dan tidak dapat dipergunakan sebelum masa ekonomis

peralatan tersebut berakhir, yang pada gilirannya pengoperasian pengaangkutan dan

pengolahan sampah kurang effektif dilakukan.

 

4.4. Aspek Keuangan

Pemerintah DKIJ menghadapi permasalahan dalam menyediakan dana operasi dan

pemeliharaan prasarana persampahan. Dalam tahun Anggaran 96/97 Dinas Kebersihan

mengalami defisit biaya operasional sebesar Rp.27,2 milyar. Hal ini diakibatkan kurangnya

efisiensi pengumpulan biaya retribusi sampah.

 

4.5. Aspek Partisipasi Masyarakat

Masyarakat DKIJ umumnya tidak atau kurang memahami permasalahan yang

sesungguhnya terjadi dalam pengelolaan sampah mulai dari pengumpulan penempatan,

pemindahan, pengangkutan dan pengolahan sampah di TPA. Kurangnya pengertian

masyarakat mengenai pengelolaan sampah ini mengakibatkan kurangnya kesadaran

masyarakat terhadap pengelolaan sampah. Dalam aspek penempatan  dan pengumpulan

sampah timbul suatu sindrome yang disebut dengan NIMBY ( not in my back yard)

sindrome, yaitu suatu penyakit masyarakat yang tidak perduli terhadap sampah, yang

mempunyai pandanagan bahwa: ”yang penting asal sampah tidak berada di halaman

rumahnya persoalan sampah dipandang telah selesai”.

 

V.      KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari permasalahan dan persoalan yang timbul dalam pengelolaan sampah baik aspek

kebijakan, aspek teknis, keuangan, peraturan perundangan, serta peranserta masyarakat dapat

ditarik kesimpulan  sebagai berikut:

1. Kebijakan yang dibuat tidak cukup hanya sampai pada tersusunnya suatu kebijakan

sampai dengan diundangkannya kebijakan tersebut, namun implementasinya harus

dibarengi dengan rencana tindak (action plan) yang mengarah kepada dicapainya

tujuan akhir dari apa yang diinginkan.

2. Terdapat inkonsistensi pelaksanaan terhadap perencanaan yang dilakukan oleh

pemerintah DKIJ dalam pengelolaan sampah. Hal ini terlihat jelas dalam skenaraio

perencanaan dimana ditetapkannya 2 (dua) TPA yaitu Bantargebang dan Ciangir-

Tangerang, yang pada kenyataanya  DKIJ hanya membangun TPA Bantargebang saja.

3. Timbulnya keluhan masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Bantargebang

diakibatkan oleh Dinas Kebersihan DKIJ yang tidak mengoperasikan TPA tersebut

secara Sanitary Landfill, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan yang

berdampak pada  ditolaknya pembangunan TPA Ciangir oleh masyarakat.

4. Lemahnya aparatur yang menangani pengelolaan persampahan menimbulkan

minimnya kinerja pengelolaan sampah di DKIJ.

5. Adanya tumpang tindih antar institusi yang bertanggung jawab dalam menangani

masalah sampah.

 

5.2. Saran

Dari kesimpulan yang ada, disarankan kepada Pemerintah Daerah DKIJ untuk

melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan

kinerja pengelolaan persampahan DKIJ sebagai berikut:

1.          Melakukan peninjauan ulang terhadap kebijakan pengelolaan persampahan

sebagaimana yang tertuang dalam RTRW tahun 1999 khususnya mengenai 

penggunaan incenerator yang akan ditempatkan di wilayah-wilayah padat di tepi

bantaran sungai dengan melakukan tinjauan kembali apa yang telah dirumuskan di

dalam Master Plan Persampahan DKIJ oleh JICA pada tahun 1987.

2.          Melakukan sosialisasi mengenai pengelolaan persampahan kepada seluruh

stakeholders, khususnya masyarakat, secara kontinyu. Hal ini penting untuk

mendorong masyarakat sebagai elemen terbesar di dalam sistem persampahan agar

melakukan prinsip-prinsip 3R yang proses awalnya adalah pemilahan  sampah dalam

penempatan sampah. Masyarakat perlu diberdayakan agar memiliki komitmen di

dalam mengelola sampah, misalnya community organizer (CO) pada tingkat RW.

Sampah-sampah yang masuk ke TPA sebaiknya sudah dipisahkan menjadi sampah

organik dan anorganik.

3.          Konsisten terhadap hasil kajian yang telah dilakukan untuk menghindari timbulnya

keputusan-keputusan sesaat yang tidak berdasarkan kepada kajian secara ilmiah.

4.          Memberlakukan UU 22/99 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga Pemerintah DKI

harus melakukan pendekatan dan kerjasama yang baik dengan pemerintah daerah di

sekitarnya (Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi) untuk melakukan pembangunan

TPA bersama yang dapat diterima masyarakat.

5.          Mengubah paradigma TPA sebagai suatu pekerjaan sosial menjadi suatu industri

pengelolaan sampah yang berbasis manajemen industri secara profesional.

6.          Melaksanakan sinergi antar instansi yang terkait dalam mengambil keputusan

sehingga tidak terjadi tumpang tindih kebijakan yang pada akhirnya akan merugikan

semua stakeholders.

 

DAFTAR PUSTAKA

1. Chalik A. Alex, (2000), Tesis Magister ITB : Evaluasi Pengelolaan Sampah DKI

Jakarta pada TPA Sampah Bantargebang, Bandung.

2. JICA, (1987), Study on Solid Waste Managemnt System Improvment Project in the

City of Jakarta in Indonesia, Jakarta.

3. Kompas, (10 Januari 2004), Sampah dan Pemerintah, www.kompas.com/kompas-

cetak/0401/10/Fokus/791775.htm, dikunjungi 19/03/2004.

4. Media Indonesia, (2002), Jabotabek: Teratasi Bau Busuk Sampah di TPA Bantar

Gebang, http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2002090504345953,

dikunjungi 08/03/2004.

5. Menteri Negara Lingkungan Hidup, (2003), Japan International Cooperation Agency

(JICA): Draft Naskah Akademik Peraturan Pengelolaan Sampah, Yayasan Pesantren

Islam Al Azhar, Jakarta.

6. Noriko, Nita, (2003), Tinjauan Ekologis Tempat Pemusnahan Akhir Bantar Gebang,

Bekasi, http://www.rudyct.tripod.com/sem2_023/nita_noriko.htm, dikunjungi

08/03/2004.

7. Soekmadi, Budihardjo, (2003), Pengalaman memimpin DKI Jakarta di Era

Reformasi, paper, Jakarta.

8. Wardhana, Wisnu Arya, (1995), Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Offset,

Yogyakarta.