pengelolaan risiko bencanan berbasis masyarakat

31
RISIKO BERBASIS MASYARAKAT Praktik Terbaik Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Pengurangan Risiko Bencana www.sheepindonesia.org M A L A Y S I A PENGELOLAAN BENCANA Yayasan Society for Health Education Environment and Peace (SHEEP) Indonesia-YSI adalah sebuah organisasi non pemerintah yang memposisikan diri untuk memberdayakan rakyat terpinggirkan, miskin dan tidak berdaya serta terabaikan hak-hak dasarnya sehingga memiliki kekuatan untuk perubahan sosial yang lebih manusiawi dan bermartabat. YSI dibangun berdasarkan komitmen atas pelayanan kemanusiaan, solidaritas social, kesetaraan, integritas, kesederhanaan, dan inklusivitas. Nilai-nilai tersebut berasal dari semangat melayani sesama dengan berpihak pada yang lemah dan miskin serta selalu terbuka untuk terbangunnya kerjasama dengan pihak lain yang memiliki kesamaan nilai. YSI menginternalisasikan nilai tersebut ke dalam kehidupan tersebut ke dalam kehdiupan sehari-hari, dengan selalau mengacu slogan Albert Einstein: “Only Live Lived for Others is a Life Worthwhile” (Hidup yang bermakna adalah hidup untuk sesama).

Upload: fathur-roziqin-fen

Post on 28-Mar-2016

226 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Praktik terbaik organisasi masyarakat sipil dalam pengurangan risiko bencana

TRANSCRIPT

Page 1: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

RISIKO

B E R B A S I S M A S Y A R A K A T

Praktik Terbaik Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Pengurangan Risiko Bencana

w w w. s h e e p i n d o n e s i a . o r gM A L A Y S I A

PENGELOLAAN

BENCANA Yayasan Society for Health Education Environment and Peace (SHEEP) Indonesia-YSI adalah sebuah organisasi non pemerintah yang memposisikan diri untuk memberdayakan rakyat terpinggirkan, miskin dan tidak berdaya serta terabaikan hak-hak dasarnya sehingga memiliki kekuatan untuk perubahan sosial yang lebih manusiawi dan bermartabat.

YSI dibangun berdasarkan komitmen atas pelayanan kemanusiaan, solidaritas social, kesetaraan, integritas, kesederhanaan, dan inklusivitas.

Nilai-nilai tersebut berasal dari semangat melayani sesama dengan berpihak pada yang lemah dan miskin serta selalu terbuka untuk terbangunnya kerjasama dengan pihak lain yang memiliki kesamaan nilai.

YSI menginternalisasikan nilai tersebut ke dalam kehidupan tersebut ke dalam kehdiupan sehari-hari, dengan selalau mengacu slogan Albert Einstein: “Only Live Lived for Others is a Life Worthwhile” (Hidup yang bermakna adalah hidup untuk sesama).

Page 2: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

iPengelolaan Risiko Bencana BeRBasis MasyaRakatPraktik Terbaik Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Pengurangan Risiko Bencana

Page 3: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

ii iiiPengelolaan Risiko Bencana BeRBasis MasyaRakat

Praktik Terbaik Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Pengurangan Risiko Bencana©2011

Penyunting: Timotius Apriyanto Adi Nugroho

Rancang Sampul dan Tata Letak: Fathur Roziqin Fen

Foto Sampul: Dokumentasi Yayasan SHEEP Indonesia

Diterbitkan oleh:Yayasan SHEEP Indonesia (YSI)Jl. Bimokurdo No. 11, Sapen, YogyakartaTelp/Fax: +62 274 542030www.sheepindonesia.org

Peran Organisasi Masyarakat Sipil dalam Pengurangan Risiko Bencana (PRB) semakin krusial. OMS adalah organisasi yang dekat dengan masyarakat, memahami budaya lokal dan bahasanya, serta membuat kegiatan-kegiatan yang berkesinambungan. Lebih penting lagi, OMS memahami pentingnya melibatkan masyarakat dalam seluruh proses manajemen proyek.

Pendekatan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (PRBBM) telah diterapkan di lapangan selama bertahun-tahun. Dalam sejarahnya, program PRBBM ini mengalami penganekaragaman yang membutuhkan penyesuaian pada beberapa aspek misalnya perubahan iklim, gender, dan risiko-risiko pembangunan perkotaan untuk menangani masalah ancaman bencana.

MERCY Malaysia dan SHEEP telah bekerjasama untuk peningkatan kapasitas pemangku kepentingan lokal dalam PRB sejak tahun 2009. Melalui kolaborasi bersama, MERCY Malaysia dan SHEEP Indonesia telah berjuang untuk menguatkan kesadaran dalam menjalankan peran dan tanggung jawab pemangku kepentingan lokal dalam PRB dengan melibatkan kelompok-kelompok yang relevan, membantu mereka membangun basis pengetahuan, serta membantu menumbuhkan kapasitas mereka untuk menghadapi kesulitan-kesulitan yang ada dalam PRB.

Buku ini menghadirkan praktik baik yang dilakukan OMS dari Indonesia sesudah mereka menghadiri lokakarya peningkatan kapasitas untuk OMS yang diorganisir MERCY Malaysia dan SHEEP Indonesia pada tahun 2009.

Kami berharap upaya seperti ini akan dilanjutkan pada semua tingkat untuk memastikan bahwa semuanya akan bisa bertanggung jawab untuk menjalankan aksi yang positif demi masa depan yang lebih aman bagi semua.

Takako IzumiPejabat Kepala Sekretariat / Manajer Umum untuk Operasional MERCY Malaysia

Sambutan

Page 4: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

iv v

“………..nang kene gak ana bencana. Mung banjir teko saben tahun. Terus sawah-sawah do

kelem. Petani gagal panen. Iku wes biasa. Ngko yen bar banjir nandur maneh…..”

(“……disini tidak ada bencana. Hanya saja banjir datang tiap tahun. Lalu sawah-sawah

terendam. Petani gagal panen. Itu sudah biasa. Nanti setelah banjir kami menanam lagi…”)

Pak Sugiyono, Petani Desa Karangrowo, Kec. Jakenan Kabupaten Pati, Jawa Tengah

Pernyataan di atas dapat dijadikan indikasi bahwa pemaknaan istilah “bencana” sangat beragam dan tergantung dengan kontek dan refrensi seseorang. Dinamika pemahaman masyarakat atas keberadaan suatu bencana di sekitarnya banyak dipengaruhi oleh interaksi mereka dengan pihak luar yang memiliki kepedulian. Persepsi tentang bencana tentu saja sangat mempengaruhi bagaimana mereka memaknai dan mesikapinya. Maka dalam setiap komunitas memiliki keunikan dalam memetakan actor penting yang menjadi korban maupun mereka yang dapat memberikan kontribusi untuk mengurangi beban atas dampak bencana.

LSM/ORNOP dan pemerintah beranggapan dirinya telah mengarusutamakan pengurangan risiko bencana sebagai agenda utama dalam penyelamatan asset dan kerentanan yang ada dalam bentuk kebijakan maupun program pembangunan. Namun seberapa jauh peran yang sudah diambil tersebut mampu mengurangi risiko bencana? dan seberapa besar peran para actor tersebut telah melibatkan secara aktif masyarakat dalam menemukenali risiko bencana yang terjadi disekitar mereka dengan tidak mengabaikan hak-hak dasarnya? Hasil pengalaman di lapangan belum memberi petunjuk bahwa intervensi atau program yang dilakukan dalam upaya mengurangi risiko bencana telah memberi perubahan yang berarti pada masyarakat. Banyak fakta menunjukan bahwa frekwensi bencana meningkat seiring dengan perencanaan pembangunan yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan kepentingan proyek bagi sekelompok orang dengan mengabaikan hak asasi manusia pada kelompok yang rentan.

Kata Pengantar

Page 5: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

vi vii

Praktik pengelolaan risiko bencana berbasis masyarakat yang telah dilakukan oleh komponen organisasi masyarakat sipil menjadi cermin bagi semua pihak dalam mendorong perubahan cara pandang bencana ditingkat masyarkat pinggiran dan pihak lain dalam pengurangan risiko bencana. Telah muncul kesadaran bahwa merespon bencana tidak cukup hanya mengirimkan bantuan logistic namun bagaimana masyarakat dan pemerintah mampu menemukenali risiko bencana dan mempunyai prioritas untuk membangun ketahanan masyarakat menghadapi bencana.

Catatan penting yang harus segera ditindaklanjuti adalah memaduserasikan pengetahuan masyarakat dalam pengurangan risiko bencana kedalam perencanaan pembangunan dengan melibatkan semua komponen masyarakat dalam suatu kebijakan pemerintah yang berkelanjutan. Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) sudah selayaknya kalau melakukan peran strategisnya untuk membantu melakukan perubahan paradigma bencana yang konservatif (orientasi bantuan bencana) menjadi komprehensif sehingga upaya pengurangan risiko bencana tidak menjadi jargon tetapi bukti bahwa masyarakat telah memiliki pengetahuan dalam menemukenali risiko bencana.

Yayasan SHEEP Indonesia merasa penting untuk mendokumentasikan praktik dan pembelajaran dalam pengurangan risiko bencana ditingkat masyarakat melalui pendekatan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (PRBBM). Dari berbagai keragaman pandangan yang dimiliki Mitra YSI dan masyarakat dampingan, tentu dapat memperkaya pemahaman kita atas ‘model PRBBM’ melalui keberagaman pendekatan dan strategi dalam pengurangan risiko bencana ditingkat masyarakat dan pemerintah lokal.

Akhirnya buku Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat; Praktik Terbaik dan Pembelajaran Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Pengurangan Risiko Bencana ini bisa menjadi cermin bersama dalam mencari bentuk Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat yang berguna bagi semua pihak.

Hormat saya,

Andreas Subiyono,Ketua Dewan Pengurus Yayasan Society for Health Education Environment and Peace (SHEEP) Indonesia

Kita mengetahui bersama bahwa bencana yang terjadi akhir-akhir ini, semakin menunjukkan kecenderungan peningkatan baik secara kualitas maupun kuantitas. Jumlah bencana di Indonesia tahun 2010 berdasarkan catatan pusat data, informasi, dan humas BNPB mencapai 644 kejadian bencana dengan jumlah orang meninggal mencapai 1711, menderita dan hilang sekitar 1.398.923 orang serta mengakibatkan 14.639 unit rumah rusak berat, 2.830 unit rusak sedang dan 25.030 unit rusak ringan. Sementara itu kerugian dan kerusakan bencana-bencana besar seperti banjir bandang Wasior mencapai Rp 208,6 miliar, Mentawai Rp 315 miliar dan Merapi lebih dari Rp 4,1 trilyun dengan estimasi total kerugian dan kerusakan akibat bencana tahun 2010 sebesar lebih dari Rp 15 trilyun rupiah.

Gambaran di atas menunjukkan betapa besar dampak yang harus dihadapi suatu negara akibat bencana terkait dengan permasalahan kemanusiaan, perekonomian, dan lingkungan hidup. Pengurangan risiko bencana merupakan strategi untuk memperkecil dampak tersebut dengan mengurangi kerugian secara siknifikan. Sementara itu, kita pahami bersama bahwa institusi Negara memiliki keterbatasan dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya untuk melindungi warga negara termasuk perlindungan dari ancaman bencana serta penjaminan pemenuhan hak-hak mereka. Dalam kondisi demikian, organisasi masyarakat sipil memiliki posisi dan

Pendahuluan

Page 6: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

viii ix

peran strategis untuk menjawab kesenjangan yang muncul atas berbagai permasalahan bencana.

Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat merupakan pendekatan yang efektif dalam mengurangi dampak bencana. Buku ini menampilkan inisiatif dan praxis Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat oleh Organisasi Masyarakat Sipil partisipan program Pengembangan Kapasitas Pengurangan Risiko Bencana yang didukung oleh Mercy Malaysia dan SHEEP Indonesia. Pembaca akan menemukan keanekaragaman model Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat sesuai dengan konteks sosial, geografis, budaya masyarakat yang dilakukan oleh Organisasi Masyarakat Sipil terdiri dari Organisasi Berbasis Iman, Organisasi Serikat, dan Organisasi Non Pemerintah.Organisasi Masyarakat Sipil yang berkontribusi dalam penulisan praktek baik dalam Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis masyarakat ini terdiri dari satu organisasi berbasis agama (Pokja PB Sinode GKJ), dua organisasi serikat (Serikat Petani Pasundan dan Jaringan Peduli Sungai Juwana), dan lima organisasi non pemerintah (Alharaka, LKTS, YAPHI, SPEKHAM dan SHEEP).

Tantangan terbesarnya adalah pengarusutamaan PRB dalam konteks keberanekaragaman konteks dan karakter OMS tanpa menghilangkan identitas dan mandat mereka. Masing-masing organisasi memiliki metode khusus dalam menerapkan PRBBM pada tingkat dan konteks yang berbeda-beda. Kami berharap tulisan dalam buku ini akan menjadi inspirasi bagi pengembangan model pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat kontekstual untuk masa depan yang lebih baik.

Timotius ApriyantoEditor - Deputi Direktur SHEEP IndonesiaAnggota Eksekutif Board ADRRN (Jaringan Pengurangan Risiko dan Respon Bencana Asia)

daftar ISI

Sambutan .................................................................................................................Kata pengantar ..........................................................................................................Pendahuluan .............................................................................................................

Memperkuat Kesadaran Pengurangan Risiko Bencana Bagi Pemerintah Desa Dan Masyarakat di Desa Mojowarno, Jombang, Jawa Timur ALHA-RAKA Jombang Jawa Timur .....................................................................

Pemetaan Kawasan Risiko Bencana Gunung Papandayan, Garut, Jawa BaratSerikat Petani Pasundan .............................................................................................

Sinode Gereja Kristen Jawa Membangun Kesadaran Pengurangan Risiko BencanaKelompok Kerja Penanggulangan Bencana (Pokja) Sinode Gereja Kristen Jawa (GKJ) ....

Peningkatan Kewaspadaan Terhadap Risiko Bencana Bagi MasyarakatSepanjang Sungai JuwanaJaringan Masyarakat Peduli Sungai Juwana (Jampi Sawn) ..........................................

Peningkatan Kesadaran Kelompok Swadaya Masyarakat atas Pengurangan Risiko Bencana Bagi Organisasi Masyarakat Basis di Boyolali, Jawa TengahLembaga Kajian Transformasi Sosial (LKTS), Boyolali, Jawa Tengah ..........................

Peningkatan Kesadaran Masyarakat Atas Pengurangan Risiko Bencana Sepanjang Bantaran Sungai Bengawan Solo, Kota Solo, Jawa Tengah Lembaga Pelayanan Hukum - Yekti Angudi Pangadeging Hukum Indonesia(LPH YAPHI) Solo ....................................................................................................

Peningkatan Kesadaran Masyarakat Atas Pengurangan Risiko Bencana di Kelurahan Sewu Dan Joyosuran, Solo, Jawa TengahSolidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Azasi Manusia -SPEK-HAM .......

Penguatan Organisasi Masyarakat Basis Dalam Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat Pada Bantaran Sungai Juwana, Pati, Jawa TengahYayasan SHEEP Indonesia - Jawa Tengah ...................................................................

Selayang Pandang; Organisasi Masyarakat Sipil dalam Praktik Terbaik Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat ...........................................................................

iiivvii

11

15

21

27

31

37

43

49

55

Page 7: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

10 11

Tujuan

Pemerintah desa dan masyarakat memiliki kapasitas dalam pengurangan risiko Bencana (PRB)

Hasil yang diharapkan

Pemerintah Desa dan Masyarakat memiliki Pengetahuan dan Keterampilan dalam Analisa Pengurangan Risiko Bencana

Sasaran

Pemerintah Desa dan Masyarakat Desa Mojowarno, Jombang, Jawa Timur

Memperkuat Kesadaran Pengurangan Risiko Bencana Bagi Pemerintah Desa Dan Masyarakat di Desa Mojowarno, Jombang, Jawa Timur

ALHA-RAKA Jombang, Jawa Timur

Page 8: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

12 13

Konteks

Bahaya banjir yang disebabkan dari luapan air sungai dan kejadian tanah longsor di wilayah perbukitan dan pada aliran sungai masih menjadi ancaman bagi masyarakat Jombang. Disisi lain masih ada anggapan masyarakat bahwa kejadian banjir merupakan musibah yang harus diterima. Begitu pihak pemerintah yang belum memiliki strategi dalam pencegahan dan penanganan bencana banjir.

Sebagian besar wilayah Kabupaten Jombang merupakan dataran rendah, yakni 90% wilayahnya berada pada ketinggian kurang dari 500 meter diatas permukaan laut (dpl). Secara umum Kabupaten Jombang dapat dibagi menjadi 3 bagian Bagian utara, terletak di sebelah utara Sungai Brantas, merupakan daerah perbukitan kapur yang landai dengan ketinggian maksimum 500 m dpl. Perbukitan ini merupakan ujung timur Pegunungan Kendeng bagian Selatan Pulau Jawa. Bagian tengah berada di sebelah selatan Sungai Brantas, merupakan dataran rendah dengan tingkat kemiringan hingga 15%. Daerah ini merupakan kawasan pertanian dengan jaringan irigasi yang ekstensif serta kawasan permukiman penduduk yang padat. Pada bagian selatan, meliputi Kecamatan Wonosalam dan sebagian Kecamatan Bareng dan Mojowarno, merupakan daerah pegunungan dengan kondisi wilayah yang bergelombang. Dan semakin ke tenggara, semakin tinggi. Hanya sebagian Kecamatan Wonosalam yang memiliki ketinggian di atas 500 m. Selain Pegunungan Kendheng Bagian Selatan, kabupaten Jombang juga terlewat oleh Sungai Brantas, yang merupakan sungai terbesar di Jawa Timur, “membelah” Kabupaten Jombang menjadi dua bagian: bagian utara (24%) dan bagian selatan (76%), sepanjang ±44 km.

Inisiatif

Pengorganisasian berbasis komunitas dilakukan sebagai upaya untuk melakukan penyadaran dan membangun solidaritas rakyat dalam sebuah komunitas untuk menciptakan tatanan yang adil dan kehidupan yang sejahtera.

Program utama 1. Melakukan upaya penguatan kepada organisasi-organisasi rakyat melalui

pendidikan2. Melakukan advokasi kebijakan agar berpihak kepada rakyat3. Melakukan penguatan secara internal kepada organisasi ALHA-RAKA

Untuk mengurangi ancaman akibat dari luapan sungai tersebut, masyarakat desa Mojowarno, terutama yang memiliki lahan pertanian di aliran sungai

melakukan upaya-upaya pencegahan, dengan melakukan:1. Penanaman pohon, terutama pohon bambu di pinggiran aliran sungai2. Membuat saluran irigasi pertanian dan drainage di perkampungan dengan

dana pembangunan desa.3. Kerja bakti pada drainage dan saluran irigasi pertanian secara bergotong-

royong

Pengetahuan dan keterampilan mengenai Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (PRBBM/Community Based Disaster Risk Management) Alharakat difasilitasi oleh Yayasan SHEEP Indonesia dan Mercy Malaysia dalam program pelatihan PRBBM. Sebagai wujud aksinya di masyarakat, ALHARAKA bersama masyarakat dan pemeirntah Desa melakukan analisa risiko bencana melalui pertemuan rutin pada pemangku kepentingan desa maupaun dengan tokoh kunci organisasi masyarakat basis, Pengajar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Desa, Pemuda, dan Kelompok Tani.

Hasil

ALHARAKA melalui pengorganisasian masyarakat telah mampu memfasilitasi kurang lebih 100 organisasi masyarakat basis di wilayah desa atau di kota yang tergabung dalam forum aliansi ditingkat kabupaten, baik dalam Konsorsium Rakyat Jombang (KRJB) maupun Kabupaten lain seperti Serikat Rakyat Kediri Berdaulat (SRKB) di kabupaten Kediri dan Serikat Perjuangan Rakyat Mojokerto (SPRM) di Kabupaten Mojokerto.

Pembelajaran

Masyarakat Desa Mojowarno telah mampu menemukenali risiko bencana banjir dari sungai yang meluap dari pembelajaran turun menurun, seperti:1. Tanaman pertanian terendam air, yang berakibat pada gagalnya panen.2. Tanah pinggiran sungai tergerus dan menjadi bagian dari sungai, yang

berakibat berkurangnya lahan tanah milik petani karena menjadi aliran sungai

Dari pembelajaran tersebut masyarakat Desa Mojowarno, melakukan:1. Diseminasi informasi dalam analisa risiko bencana melalui pendekatan

PRBBM pada wilayah-wilayah yang terancam risiko banjir dan tanah longsor.

2. Mendesakkan dan mempengaruhi kebijakan (pemerintahan desa dan kabupaten) perspektif PRBBM dalam penanganan bencana

3. Mempengaruhi organisasi sosial dan jaringan lain untuk berpartisipasi dalam penanganan bencana perspektif PRBBM.

Page 9: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

14 15

Tujuan

Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat di Desa Cipaganti, Garut, Jawa Barat

Hasil Yang Diharapkan • Anggota Serikat Petani pasundan memiliki pengetahuan tentang

Pengurangan Risiko Bencana (PRB) • Pemetaan wilayah risiko bencana dan pengembangan sumber daya alam

oleh organisasi masyarakat basis

Sasaran

Desa Cipaganti, Garut, Jawa barat

Pemetaan Kawasan Risiko Bencana Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat

Serikat Petani Pasundan (SPP)

Page 10: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

16 17

Konteks

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan 30 kecamatan di Kabupaten Garut terancam longsor akibat pergerakan tanah.

Sesuai surat PVMBG yang diterima Pemkab Garut Nomor 590/45/ BGL.V/2010 bahwa di wilayah Garut berpotensi terjadi pergerakan tanah yang dapat menimbulkan longsor. Ke-30 kecamatan tersebut adalah Selaawi, Leuwigoong, Malangbong, Cibatu, Kadungora, Sukawening, Cibiuk, Leles,Wanaraja, Tarogong, Banyuresmi, Karangpawitan, Garut Kota, Samarang dan Cilawu. Selanjutnya Kecamatan Cisurupan, Bayongbong, Pamulihan, Cibalong, Pakenjeng, Peundeuy, Cisewu,Pameungpeuk, Cikelet, Cikajang, Bungbulang,Banjarwangi, Singajaya, Talegong, dan Cisompet1.

Dari ke 30 kecamatan tersebut terbagi dua kategori potensi pergerakan tanah, tingkat sedang dan tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh faktor keadaan tanah, jika curah hujan di atas normal,terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalur, atau lereng yang mengalami gangguan. Selain itu, dapat pula berpotensi tinggi untuk gerakan tanah jika curah hujan di atas normal dan gerakan tanah lama dapat aktif kembali.

Di Garut saja pasca gempa dahsyat 12 September 2009 yang lalu, terhitung dalam kurun waktu “bulan Februari 2010” telah terjadi 39 frekuansi kejadian bencana alam, jenis bencana tanah longsor, banjir, angin kencang dan kebakaran. Frekwensi bencana tertinggi adalah tanah longsor. Lebih dari 7.800 orang menderita akibat bencana tersebut, kehilangan rumah, mengungsi, tergerus longsor, rumah hancur berat, harus direlokasi, dan lain-lain. (terlampir data: Dinas Tenaga Kerja Sosial dan Transmigrasi Kabupaten Garut, 2010)

Kecamatan Cisompet berada di selatan Kabupaten Garut Jawa Barat. Jarak dari kota kabupaten sejauh 65 km. Terdiri dari 11 desa, dimana hampir setiap tahunnya banyak desa mengalami bencana longsor.

Ada berbagai kasus Pergerakan Tanah yang selalu mengancam 53.985 jiwa penduduk Cisompet. Dari mulai ancaman longsoran material pada wilayah perkampungan hingga wilayah desa. Keterancaman longsor pada wilayah sawah – sawah, kebun – kebun, perkampungan pemukiman sampai dengan sekolah tempat belajar serta jalan yang menghambat jalur transportasi dan berimplikasi terganggunya aktifitas kehidupan dan kebutuhan masyarakat setempat.

1 www.garutkab.go.id/pub/news/detail/4230-30-kecamatan-di-garut-terancam-longsor.html

Berikut adalah Proporsi Wilayah Menurut Kemiringan Lahan

Tabel 1. Proporsi Wilayah Menurut Kemiringan Lahan

Kemiringan Proporsi0-2% 2%2-5% 3%

15-40% 44%40% 52%

Profil Kecamatan Cisompet, 2009

Dari tabel 1, kita bisa melihat, begitu luasnya wilayah kemiringan di Kecamatan Cisompet sehingga patut terjadinya bencana pergerakan tanah yang cukup tinggi.

Seluruh wilayah ini semakin terancam dengan adanya Gempa Bumi berkekuatan 7,3 Skala Ricther pada 12 September 2009 yang lalu, membuat sebagian wilayah perkampungan telah tertimpa bencana tanah longsor dan terkikis banjir lumpur serta batu. Luas wilayah Kecamatan Cisompet terdiri dari 17.225 Ha.

Berikut adalah tabel yang memperlihatkan proporsi wilayah menurut penggunaan lahan sebagai berikut :

Tabel 2. Proporsi Wilayah Menurut Penggunaan Lahan

Penggunaan ProporsiPerkampungan 5%

Industri 0%Pertambangan 0%

Pesawahan 7%Tegalan/Kering Semusim 9%

Kebun Campuran 15%Perkebunan 27%

Padang Semak 5%Hutan 29%

Perairan Darat 1%Lain – lain 1%

Profil Kecamatan Cisompet, 2009

Hampir semua perkampungan di Kecamatan Cisompet berada diwilayah kemiringan 15-40% dan 40%. Kondisi ini terjadi dikarenakan wilayah

Page 11: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

18 19

perkampungan terdesak oleh Perkebunan PTPN VIII yang telah menggunakan lahan dengan luas 27% disamping luas lahan hutan 29% yang tidak bisa diganggu. Keterancaman masyarakat semakin tinggi, ketika mereka lebih banyak berdiam dilahan – lahan kemiringan 15-40% dan >40%.

Inisiatif

Upaya pengurangan risiko bencana gerakan tanah merupakan masalah yang kompleks. Kondisi tersebut tidak hanya dipicu oleh kondisi geologi saja, tetapi juga oleh berbagai permasalahan sosial, psikologi, ekonomi, hukum dan lingkungan.

Dalam mengatasi krisis kehidupan di masa mendatang karena bencana ekologi harusnya menjadi sebuah pembelajaran yang baik dalam penciptaan sistem berkehidupan yang lebih baik. Rakyat sebagai pihak yang memiliki kepentingan langsung terhadap alam dan ekosistemnya, serta memiliki kedaulatan penuh dalam menentukan arah gerak layanan alam bersama para pemangku kebijakan dalam hal ini adalah pemerintah, yang harus bertanggungjawab.

Menurut Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D berbagai upaya teknik untuk pengendalian dan pencegahan gerakan tanah menjadi tidak efektif dan berkelanjutan jika masyarakat setempat tidak turut memahami permasalahan ini. Terlebih bila masyarakat tidak peduli terhadap teknologi ataupun upaya

untuk pencegahan dan pengendalian.

Untuk itu diperlukan pemahaman pendidikan yang sesuai dengan yang diterapkan oleh masyarakat. Temu kenali wilayah kebencanaan di wilayah sekitar dimana masyarakat hidup, diterapkan oleh Serikat Petani Pasundan secara konprehensif.

Masyarakat Desa Jatisari terdiri dari 16 ke-RW-an, Desa Sindangsari 10 RW dan Neglasari 16 RW, sebagian dari masyarakat di desa – desa ini adalah anggota SPP yang cukup terdidik dalam melakukan respon terhadap ancaman bahaya Pergerakan Tanah. Mereka (anggota SPP) tinggal di kampung yang dipimpin oleh seorang ketua Organisasi Tani Lokal.

Menghadapi bahaya Pergerakan Tanah, masyarakat juga telah mempersiapkan “Pemetaan Bahaya Gerakan Tanah Berbasis Partisipasi Masyarakat”.

Pemetaan ini bertujuan agar masyarakat memahami dan mengetahui area aman dan terancam bahaya longsor di wilayah dimana mereka tinggal, sehingga masyarakat secara sadar terus mengupayakan pemeliharaan lingkungan agar area yang berbahaya tidak lagi menjadi ancaman bagi mereka.

Hasil

Pemetaan wilayah bermanfaat pula untuk penyusunan rencana pengembangan wilayah atau penataan lahan desa sehingga potensi sumber daya lahan dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa, sekaligus meminimalkan terhadap potensi kejadian longsor.

Pemetaan wilayah inipun kemudian menjadi “Rencana Strategis – RENSTRA Serikat Petani Pasundan, yang disahkan melalui Musayawarah Besar Organisasi Tani Lokal, serta menjadi kesepakatan dalam Forum Musyawarah Pimpinan dan Pengurus Organisasi Tani Lokal (OTL) -Refleksi dan Evaluasi bulanan, yang sealu dilakukan oleh semua OTL.

Tenggat waktu enam bulan satu kali, perkembangan hasil dari Pemetaan setiap wilayah diperiksa bersama secara bergiliran dengan memakai sistem pengawasan oleh Forum Musyawarah Pimpinan dan Pengurus Organisasi Tani Lokal serta berbagai pertemuan Forum OTL.

Salah satu kesepakatan yang dibangun adalah para anggota melakukan perjanjian tertulis dihadapan Musawarah Besar Organisasi Tani Lokal untuk melakukan pemeliharaan lereng curam yang berpotensi terhadap bencana longsor, yang menjadi tanggung jawab wilayah kelola mereka.

Page 12: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

20 21

Sanksi juga diterapkan apabila tidak melakukan pemeliharaan wilayahnya dengan tidak dilibatkannya atau dicabutnya keanggotaan dari Serikat Petani Pasundan. Perjanjian diatas ini dibuat dan disepakati bersama secara sadar oleh semua anggota SPP.

Sementara sumber ekologi lain seperti sumber mata air dan hutan, dipelihara bersama secara kolektif.

Pembelajaran

Dengan memakai bambu, Serikat Petani Pasundan mencoba untuk mencari jalan keluar. Hampir disetiap lahan garapan ditanami oleh pohon bambu. Secara sadar para anggota menanam bambu sebagai bagian dari upaya pengurangan risiko bencana.

Telah ratusan hektar lahan ditanami oleh anggota Serikat Petani Pasundan, sebagai upaya tanggung jawab sosial rakyat atas kondisi struktur tanah yang dari waktu ke waktu mengalami kerusakan akibat kondisi alam dan tindakan perusakan terhadap alam yang tidak mengindahkan aspek lingkungan.

Serikat Petani Pasundan telah melakukan berbagai tindakan yang berbasis pada penyadaran pentingnya menjaga lingkungan, memelihara dan memulihkan lingkungan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara penuh. Berbagai tindakan pemeliharaan dan pengurangan risiko bencana Pergerakan Tanah, dilakukan berbasis pada keswadayaan dan kemandirian. Masyarakat bekerja tanpa ketergantungan berbagai pihak.

Aktifitas yang telah dilakukan Serikat Petani Pasundan patut dijadikan tempat belajar bagi penggiat lingkungan dan bencana yang memiliki perhatian terhadap persoalan pengurangan risiko bencana.

Tujuan

Gereja Anggota dan Jemaat Gereja memiliki pengetahuan dan mampu melakukan Analisa risiko bencana

Hasil Yang Diharapkan • Gereja Anggota dan Jemaat Gereja memiliki pengetahuan tentang

Pengurangan Risiko Bencana (PRB) • Gereja Anggota dan Jemaat Gereja mampu melakukan analisa risiko

bencana pada wilayah dampingannya

Sasaran

Anggota Sinode Gereja Kristen Jawa, Sekolah Dasar di Klaten, dan Masyarakat di Klaten

Gerakan Menanam Bambu, Salah Satu Upaya

Pengurangan Risiko Bencana Gerakan Tanah

Sinode Gereja Kristen Jawa Membangun Kesadaran Pengurangan Risiko Bencana

Kelompok Kerja Penanggulangan Bencana (Pokja) Sinode Gereja Kristen Jawa (GKJ)

Page 13: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

22 23

Konteks

Kelompok Kerja Penanggulangan Bencana Sinode GKJ yang berkaitan lagnsung dengan upaya pengurangan risiko bencana selalu melibatkan Bidang Kesaksian dan Pelayanan serta Bidang Pembinaan Masyarakat Gereja Sinode GKJ. Disamping gereja sebagai lembaga yang tercermin dalam Sinode GKJ, gereja juga dimengerti sebagai persekutuan orang percaya. Dalam cara pandang ini, gereja berarti manusia yang ada didalamnya, yang sering didebut sebagai anggota gereja.

Dengan jumlah anggota masyarakat gereja 222.273 orang maka sinode GKJ mempunyai potensi besar. Anggota masyarakat gereja yang juga adalah anggota masyarakat juga banyak yang ambil bagian dalam pekerjaan kemanusiaan dan tidak sedikit yang menjadi pemangku kebijakan ditempat tugasnya.

Inisiatif

Sinode GKJ telah mengikuti pelatihan dan terlibat aktif dalam Lokakarya Pengarusutamaan Risiko Bencana yang difasilitasi oleh SHEEP dan ADRRN melalui program Selamat tahun 2008. Pada tahun 2009, Sinode GKJ juga menerima pelatihan dan lokakarya mengenai Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis masyarakat-Community Based Disaster Risk Management (PRBBM-CBDRM) yang diselenggarakan oleh SHEEP dan Mercy Malaysia. Dalam melaksanakan PRBBM Sinode GKJ bekerja sama dengan YTBI (Yayasan Tanggul Bencana Indosesia) untuk melakukan pendampingan masyarakat dengan isu pengelolaan risiko bencana. Kerja sama itu melahirkan tim yang disebut dengan Mitra Penanggulanan Bencana (MPB) yang mendampingi enam dusun di wilayah kabupaten Klaten. Langkah yang pertama dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan kembali dengan dusun-dusun yang dimasa tanggap darurat (emergency) sampai pada tahap rekontruksi didampingi. Setelah kurang lebih setahun tidak bersama-sama melakukan kegiatan dan kemudian datang kembali serta menyampaikan maksud tujuan untuk melakukan pendampingan bagi penyadaran baru untuk mengurangi risiko bencana. Mendengar maksud tersebut, dari masyarakat yang banyak ditanyakan adalah soal bantuan berupa bantuan materi.

Itulah kesan yang muncul pertama kali ketika kami melakukan assessment awal. Tawaran kerja sama selalu dimengerti dengan bantuan dalam hal materi oleh karena itu pembicaraan berkaitan dengan peningkatan kapasitas bagi masyarakat harus diupayakan terus menerus. Namun syukurlah dalam kurun waktu hampir setahun cukup memberikan perubahan yang berarti

tentang arti kerjasama dan peran lembaga seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam kehidupan bermasyarakat. Walaupun kesan selalu ingin didampingi masih terasa saat acara perpisahan.

Di enam dusun yang didampingi, MPB berusaha memberikan kesadaran baru tentang arti ancaman, kerentana dan kapasitas. Bersama dengan seluruh masyarakat berjuang untuk menemukenali apa yang termasuk dalam acaman, kerentanan dan kapasitas dilingkungan mereka masing-masing. Masyarakat sendirilah yang bisa menemukanali semuanya itu. Dengan tersusunnya dokuman mengenai ketiga hal tersebut, pembuatan peta dilingkungan serta penambahan fasilitas yang diperlukan membuat pendampingan yang dilakukan terasa memberikan arti. Diakhir masa pendampingan, komunitas berhasil membentuk dua paguyuban bagi keberlangsungan penyadaran PRB bagi masyarakat. Yang pertama adalah Paguyuban PRB dan Radio Kumunitas Siaga Bencana.

Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Sekolah

MPB juga melakukan pendampingan dan penyadaran bagi guru dan murid sekolah dasar di enam dusun yang dilayani. Penyadaran bagi guru dilakukan dengan mereka dalam pelatihan mengenai pengurangan risiko bencana. Dari pelatihan-pelatihan yang dilakukan bermuara pada penyusunan kurikulum bagi anak-anak untuk pendidikan PRB. Ini menjadi monumen penting

bagi pengarusutamaan PRB berbasis sekolah. Kegiatan lain yang dilakukan adalah dengan penamanan pohon di lingkungan sekolah.

Disamping guru yang dilatih dan terlibat langsung dalam pelatihan tentang pengurangan risiko bencana, para murid

Page 14: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

24 25

sekolah dasar juga terlibat dalam hal tersebut. Anak-anak sekolah ini belajar untuk mengenal lingkungan sekolah mereka sendiri, mereka juga belajar tentang kemungkian bencana yang bisa terjadi dan tahu bagaimana meraka harus bersikap bisa hal itu terjadi. Anak juga berlatih melakukan evakuasi.

Mereka juga membentuk tim siaga cilik. Cara penyampaian pesan penting mengenai PRB dilakukan dengan menggunakan media lagu, menjadi sangat menarik bagi anak. Mereka bisa menyanyikannya dengan ceria dan media lagu dan dakapt diingat dalam jangka waktu panjang.

Siaran Radio

Satu hal yang membagakan dalam proses pendampingan yang dilakukan oleh MPB adalah bersama-sama masyarakat berhasil mendirikan radio kamunitas yang diberi nama RASABA (Radio Siaga Bencana). Siaran radio yang bisa menjangkau beberapa dusun menjadi cara efektif bagi tersebarnya isu-isu pendidikan mengenai ancaman yang ada disekitar lingkungan masyarakat. Demikian juga penyiaran materi-materi yang lain tentang peningkatan kapasitas masyarakat untuk menghadapai ancaman bencana. Diselingi dengan lagu-lagu untuk anak-anak muda dan lagu campursari bagi pendengar orang tua membuat penyiaran tersebut lebih menarik. Anak-anak muda terlibat dalam penyiaran yang dilakukan dari jam 4 sore sampai dengan malam hari menjadikan media atau ajang pengembangan bakat yang positif.

Hasil

Di enam dusun yang didampingi, teman-teman MPB berusaha memberikan kesadaran baru tentang arti ancaman, kerentanan dan kapasitas. Bersama dengan seluruh masyarakat berjuang untuk menemukenali acaman, kerentanan dan kapasitas di wilayahnya. Masyarakat sendirilah yang bisa

menemukanali semuanya itu.

Dengan tersusunnya dokuman mengenai ketiga hal tersebut, pembuatan peta dilingkungan serta penambahan fasilitas yang diperlukan membuat pendampingan yang dilakukan terasa menolong. Di akhir masa pendampingan, komunitas berhasil membentuk dua paguyuban yang penting bagi keberlangsungan penyadaran akan PRB bagi masyarakat. Yang pertama adalah Paguyuban Pengurangan Risiko Bencana dan Radio Kumunitas Siaga Bencana. Selain telah mengupayakan PRB sebagai perspektif dalam pelayanan Gereja, Sinode GKJ juga sudah memiliki kesadaran tentang pentingnya integrasi PRB dengan Adaptasi Perubahan Iklim. Sehubungan dengan hal tersebut maka Sinode GKJ juga telah menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan Asian Ecumenical Consultation on Climate Change.

Pembelajaran

Semua untaian manik tersebut telah membuat dinamika PRB dilingkup Sinode GKJ menjadi semakin berwarna. Berwarna dari berbagai model pelaksanaan di lapangan maupun juga kekayaan cerita yang tersusun dalam narasi kehidupan yang bisa memperkaya kehidupan dan warisan berharga bagi anak cucu dikemudian hari. Dari semua manik-manik yang tersusun tentu masih banyak bagian yang belum terangkai dalam benang kenangan, namun tetap akan mengambang diudara yang terhirup oleh mereka yang bermain di halaman terbuka. Dan setiap manik yang teruntai akan menjadi bagian kekayaan kehidupan ini.

Kesulitan dalam pembiayaan operasional dan mendapatkan ijin dari pemerintah masih menjadi kendala tersendiri bagi RASABA. Dari Forum PRB yang terbentuk sudah berusaha untuk mengatasi masalah pendanaan itu dengan melibatkan masyarakat dan pemerintah ditingkat desa, walaupun memang disadari bahwa itu masih terus diperjuangkan. Dan berkaitan dengan perijinan sudah diusahkan dan masih dalam proses.

Page 15: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

26 27

Tujuan

Peningkatan kapasitas masyarakat dalam Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

Hasil Yang Diharapkan

Masyarakat mempunyai pengetahuan dan keahlian atas konsep PRB dan pendekatan Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat

Sasaran

Kelompok Tani Bantaran Sungai Juwana, Pati, Jawa Tengah

Peningkatan Kewaspadaan Terhadap Risiko Bencana Bagi Masyarakat Sepanjang Sungai Juwana Jaringan Masyarakat Peduli Sungai Juwana (Jampi Sawan)

Page 16: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

28 29

Konteks

Bencana banjir di kabupaten Pati biasanya datang dalam kurun waktu lima (5) tahunan atau delapan (8) tahunan karena luapan dari sungai Juwana yang mengalami pendangkalan dan hutan yang gundul, akhi-akhir ini banjir datang tiap tahun dan berkali-kali dalam beberapa bulan. Petaka yang masih segar dalam ingatan adalah bencana banjir tahun 2008-2009 yang merendam ribuan hektar tanaman padi, tanaman tebu, peternakan lele, tambak udang, maupun banding dan ratusan rumah. Masyarakat yang hidup di sepanjang sungai Juwana selalu mengalami keterpurukan. Para petani tambak selalu terancam gagal panen, para nelayan kecil tidak bisa melaut karena banjir dan para petani yang terus diintimidasi oleh kegagalan (pada musim penghujan terancam kebanjiran dan musim kemarau terancam kekeringan karena air sungai menjadi asin sehingga tidak dapat dimanfaatkan petani).

Kondisi yang semacam ini rupanya kurang mendapat tanggapan dari pemerintah daerah. Yang dilakukan pemerintah ketika terjadi banjir lebih pada memberikan bantuan logistik dibanding memikirkan menanggulangi banjir. Masyarakat sepanjang sungai Juwana juga resah dengan dibuatnya Jalan Lingkar Selatan (JLS) dan ditinggikannya jalan pantura sehingga mempersempit ruang gerak air sehingga meningkatkan risiko bencana banjir.

Dengan ditinggikannya jalan pantura yang merupakan jalan nasional yang menghubungkan Jawa Tengah dan Jawa Timur, berarti jalan raya menjadi lancar dan masalah bencana banjir di wilayah Pati dikhawatirkan tidak menjadi perhatian lagi baik di pemerintah daerah maupun pusat.

Mensikapi kenyataan itu, sekelompok masyarakat yang tinggal disepanjang sungai Juwana yang terdiri dari petani dan nelayan pada tanggal 20 Mei 2009 bersepakat membangun jaringan dan membuat sebuah organisasi bernama Jampi Sawan (Jaringan Masyarakat Peduli Sungai Juwana).

Inisiatif

Pelatihan tersebut yang diadakan pada tanggal 12-15 Mei 2009 oleh Mercy Malaysia dan SHEEP memberikan dasar yang kuat tentang kesadaran tentang PRB di sepanjang Sungai Juwana, Pati, Jawa Tengah. Beberapa anggota

komunitas bantaran sungai Juwana mengambil inisiatif untuk membangun jaringan yang lebih kuat dalam pengawasan Sungai Juwana yang di dukung oleh perwakilan dari kelompok tani, nelayan dan pimpinan desa. Jaringan yang dibentuk sejak 20 Mei 2009 yang kemudian dinamakan Jampi Sawan (Jaringan Masyarakat Peduli Sungai Juwana).

Jampi Sawan sangat aktif dalam peningkatan kesadaran dalam PRB dengan mengadakan pertemuan rutin dan diskusi PRB seperti mengadakan pertemuan dengan pejabat daerah pada tanggal 22 Juli 2009.

Anggota Jampi Sawan juga mengadakan kajian awal (pre-assesment) pada kondisi Sungai Juwana yang selalu menyebabkan banjir setiap tahun. Jaringan ini telah melakukan advokasi dalam bernegoisasi dengan pemerintah daerah untuk memperbaiki sistem pengelolaan sungai dan mendukung upaya PRB. Beberapa pertemuan dan diskusi telah diadakan pada tanggal 8-11 September 2009. Mereka berdiskusi dengan anggota DPRD dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang bersangkutan mengenai upaya PRB disepanjang sungai Juwana. Pertemuan dilanjutkan pada tanggal 21 Oktober 2009 dan dihadiri pimpinan daerah, anggota DPRD, Badan Pengelola Sungai Juwana dan SKPD yang terkait.

Meskipun sebagian masyarakat yang rentan terhadap bencana banjir di sepanjang Sungai Juwana hanya bersikap pasrah, namun ada juga sebagian kecil masyarakat yang mencoba untuk tangguh menghadapi bencana.

Jampi Sawan berpendapat jika hanya pasrah maka kerentanan tidak akan berkurang, justru akan naik dan bertambah. Jampi Sawan juga sadar bila

Page 17: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

30 31

tidak berjuang menurunkan kerentanan mereka, siapa yang berjuang memikirkan hak ekonomi sosial budaya nelayan dan petani sepanjang bantaran sungai Juwana. Meskipun demikian Jampi Sawan tetap sadar bahwa jaringan ini bukanlah SKPD yang memikirkan kondisi itu. Sehingga Jampi Sawan berupaya untuk melakukan advokasi Sungai Juwana dalam program kerjanya.

Hasil

1. Organisasi masyarakat basis disepanjang Sungai Juwana telah membangun komunitas yang kuat untuk PRB.

2. Anggota Jampi Sawan telah memiliki pengetahuan tentang PRBBM dan memiliki kemampuan dalam bernegoisasi dan advokasi mengenai PRB.

Pembelajaran

Jampi Sawan merupakan jaringan masyarakat yang terdiri dari masyarakat sipil yang merasakan dampak langsung bencana banjir. Mereka berupaya tidak pasrah terhadap bencana banjir tetapi melakukan upaya yang bisa mengurangi tingkat risiko bencana melalui advokasi atas normalisasi Sungai Juwana.

Tujuan

Meningkatkan kapasitas Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dalam pengurangan risiko bencana di Boyolali, Jawa Tengah

Hasil Yang Diharapkan

Peningkatan kesadaran PRB dan penilaian risiko dan kerentanan pada 20 KSM di Boyolali, Jawa Tengah.

Sasaran

Staf dan Anggota, 20 KSM di Boyolali, Jawa Tengah

Peningkatan Kesadaran Kelompok Swadaya Masyarakat atas Pengurangan Risiko Bencana Bagi Organisasi Masyarakat Basis di Boyolali, Jawa Tengah

Lembaga Kajian Transformasi Sosial (LKTS), Boyolali, Jawa Tengah

Page 18: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

32 33

Konteks

Kabupaten Boyolali adalah salah satu Kabupaten dari 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Letak geografis Kabupaten Boyolali adalah 110° 22’ - 110° 50’ BT antara 7° 36’ - 7° 7’ LS memiliki wilayah seluas 101.510,10 Ha. Secara administratif Kabupaten Boyolali terdiri dari 19 Kecamatan yang dibagi dalam 263 desa dan 4 kelurahan. Pada tahun 2007 jumlah penduduk Kabupaten Boyolali mencapai 947.026 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 463.295 jiwa (48,9%) dan perempuan sebanyak 483.731 jiwa (51,1%) dengan rata-rata kepadatan penduduk sebesar 933 jiwa/Km2

Kabupaten Boyolali merupakan wilayah yang cukup rentan terhadap bencana. Kondisi alam, baik kondisi geografis, kondisi geologis dan iklim Kabupaten Boyolali yang dapat menjadi ancaman bencana. Beberapa ancaman bencana yang nyata dan telah berulang kali hampir dipastikan setiap tahun terjadi antara lain :

adalah erupsi gunung merapi, banjir, kekeringan, tanah longsor dan gempa bumi. Sedangkan ancaman bencana lain seperti, angin ribut dan kebakaran juga perlu mendapatkan perhatian dan penanganan. Selain itu wabah penyakit, kerusakan lingkungan dan konflik sosial juga menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat di Kabupaten Boyolali, walau sekarang ini intensitasnya mungkin belum terlampau signifikan.

Kabupaten Boyolali tepat terletak di sebelah timur Gunung Merapi. Oleh karena itu bahaya utama bagi Kabupaten Boyolali adalah ancaman erupsi dari Gunung Merapi yang merupakan salah satu gunung api teraktif di dunia. Dalam sejarahnya erupsi Gunung Merapi lebih mengarah ke barat dan barat laut dan mengancam Kabupaten Magelang dan Sleman dan akhir-akhir ini pindah arah ke Selatan, Tenggara dan Timur (sebagian Kecamatan Musuk dan Kecamatan Cepogo). Ancaman primer yang paling berbahaya yakni Radiasi Awan Panas akibat Erupsi G. Merapi meliputi : (1) Kecamatan Selo ; Desa Jrakah, Klakah, Tlogolele. (2) Kecamatan Cepogo meliputi ; Desa Wonodoyo dan Desa Jombong. (3) Kecamatan Musuk; Desa Jemowo, Cluntang, Lanjaran.

Gerakan tanah atau tanah longsor dapat diakibatkan oleh kondisi tanah yang tidak stabil, yang disebabkan oleh gabungan beberapa faktor seperti tekanan atau beban berlebihan yang dihadapi tanah dari benda/ bangunan di atasnya, kemiringan tanah yang curam, curah hujan yang tinggi dan tidak adanya vegetasi yang menahan luncuran air. Data kejadian bencana tanah longsor di Kabupaten Boyolali menunjukkan bahwa antara tahun 2005-2008

telah terjadi lebih dari 20 kali kejadian tanah longsor.

Di Kabupaten Boyolali masyarakat yang rentan terhadap bencana yang berasal dari lingkungan adalah masyarakat yang tinggal di dekat lokasi penambangan bahan galian golongan C yang terancam bahaya longsor karena penambangannya tidak melakukan kaidah penambangan yang baik seperti penambangan berjenjang, tinggi tebing tidak terlalu tinggi, jauh dari pemukiman, dan reklamasi setelah penambangan selesai dilakukan.

Inisiatif

LKTS telah aktif pada isu bencana sejak terlibat dalam program tanggap darurat dan rehabilitasi pada gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Mereka memiliki strategi dan kebijakan organisasi yang diarusutamakan pada PRB melalui kemampuan yang dibutuhkan dan pengetahuan mengenai pengarusutamaan pada PRB di “Proyek Selamat 2008”.

Pada tahun 2009, LKTS mendapatkan fasilitasi peningkatan kapasitas dari Mercy Malaysia dan SHEEP mengenai PRBBM. LKTS aktif dalam melakukan lobby dan advokasi di kabupaten Boyolali dan berhasil untuk meningkatkan kesadaran mengenai PRB didalam pemerintahan lokal. Pemerintah kabupaten saat ini telah memiliki tim untuk rencana aksi pada PRB untuk tingkat kabupaten. Salah satu kegiatannya adalah simulasi evakuasi erupsi gunung merapi. Simulasi ini didukung oleh 500 orang dari masyarakat, OMS, palang merah dan badan pemerintahan yang terkait. Program PRB dilanjutkan dengan mendistribusikan 1000 pohon untuk masyarakat dan ditanam dibukit sekitar gunung merapi sebagai salah satu bagian aktifitas dari PRB.

LKTS juga meningkatkan kapasitas PRB untuk target kelompok mereka melalui kelompok perembuan mandiri. Mereka memasukan isu PRB sebagai sesi tambahan dalam setiap regular meeting mereka dengan berbeda jadwal setiap bulannya. Kelompok perempuan mandiri juga menyetujui mengalokasikan dana mereka sebesar 2,5% untuk persiapan bencana.

Dalam memperkenalkan PRBBM selalu bersama Tim RAD-PRB Kab. Boyolali sampai pada tingkat Kecamatan dan kelompok mitra LKTS yang berada di kawasan tersebut melalui sosialisasi dan simulai kontigensi erupsi gunung merapi di wilayah kecamatan Selo yang melibatkan kecamatan cepogo dan musuk yang masuk dalam KRB I (wilayah berisiko tinggi) CBDRM dilakukan dengan dua cara:

1. Bersama Tim RAD-PRB Kab. Boyolali melakukan koordinasi yang difasilitasi Pemerintah Daerah untuk membentuk Tim pelaksanaan

Page 19: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

34 35

simulasi kontigensi erupsi gunung merapi. Koordinator Tim adalah Danramil Kecamatan Selo beserta Camat Selo dan Kepala Desa di KRB I melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan mendesign simulasi. Dengan peserta 500 orang yang terdiri dari masyarakat, NGO, PMI, ORARI dan Instansi Pemerintah terkait Kab. Boyolali melakukan simulasi dari kondisi Gunung Merapi Awas dilakukan dengan melakukan evakuasi dari lokasi ke tempat evakuasi yang telah disediakan, kemudian ditutup dengan pembagian 1.000 pohon pada masyarakat untuk ditanam di lahannya masing-masing sebagai salah satu partisipasi mayarakat dalam mengurangi risiko bencana.

2. LKTS melakukan sosialisasi Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat kepada KSM mitra LKTS dalam pertemuan rutinnya, dan setiap anggota KSM diwajibkan mensosialisasikan kepada keluarga dan tetangganya. Saat ini KSM sudah memiliki aturan bahwa 2,5 % dari Kas untuk siap siaga bencana.

Dalam melakukan penilaian Risiko Bencana Erupsi Gunung Merapi melibatkan semua komponen masyarakat dan Tim RAD-PRB Kab. Boyolali yang membagi dalam 3 kawasan terhadap risiko erupasi gunung merapi: 1. Tingkat Risiko Tinggi, yang Jarak luncur awan panas : < 4 Km, atau 4 – 7 Km (masuk dalam KRB I) yang terdiri dari 5 desa di kecamatan Selo dan 1 desa di kecamatan Cepogo. 2. Tingkat Risiko Sedang, yang Jarak luncur awan panas : 4 – 7 Km (masuk dalam KRB II) yang terdiri dari 6 desa di kecamatan Selo, 1 desa di kecamatan Cepogo dan 2 desa di kecamatan Musuk. 3. Tingkat Risiko Rendah, yang Jarak luncur awan panas : > 7 Km (masuk dalam KRB III) yang terdiri dari 5 desa di kecamatan Selo dan 3 desa di kecamatan Cepogo.

Sedangkan dalam penilaian risiko bencana kekeringan, LKTS bersama KSM melakukan penilaian risiko di kecamatan Musuk dan Wonosegoro. Dua kecamatan tersebut memiliki risiko yang tinggi terhadap bencana kekeringan dibandingkan dengan daerah lain dikarenakan sumber air yang kecil dan sedikit sehingga pada saat musim kemarau menjadi bahaya laten kekeringan.

Hasil1. Masyarakat memiliki pemahaman dan ketrampilan dalam melakukan

penilaian dan pengelolaan risiko bencona sesuai dengan konteks setempat. 2. KSM mampu mengalokasikan dana siap siaga bencana 2,5 % dari Kas

KSM dan melakukan sosialisasi PRBBM kepada keluarga dan tetangga terdekat.

3. Pasag-Merapi mampu menjadi garda depan dalam sosialisasi PRBBM

pada masyarakat sekitar Gunung Merapi4. Lebih dari 25 % KK diwilayah Kec. Selo, Musuk dan Cepogo yang

mengikuti wajib latih tentang kebencanaan5. Tim RAD-PRB Kab. Boyolali mampu menjadi fasilitator dalam melakukan

PRBBM di tingkat Kabupaten.

Pembelajaran

Program PRBBM sangat penting dilakukan di wilayah Kabupaten Boyolali karena secara geografis rawan terhadap ancaman bencana sehingga perlu menguatkan kapasitas termasuk penguatan masyarakat, kelembagaan dan kebijakan pemerintah daerah.

Page 20: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

36 37

Tujuan

Meningkatkan kapasitas masyarakat pada Bantaran Sungai Bengawan Solo dalam memahami Pengurangan Risiko Bencana

Hasil Yang Diharapkan

Masyarakat Bantaran Sungai Bengawan Solo memiliki pengetahuan PRB dan kemampuan analisa risiko bencana

Aktifitas

Lokakarya Pelatihan PRB, Risiko dan Penilaian Kerawanan

Sasaran

Masyarakat Korban Ketidakadilan Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Bantaran Sungai Bengawan Solo

Peningkatan Kesadaran Masyarakat Atas Pengurangan Risiko Bencana Sepanjang Bantaran Sungai Bengawan Solo, Kota Solo, Jawa Tengah Lembaga Pelayanan Hukum - Yekti Angudi Pangadeging Hukum Indonesia (LPH YAPHI) Solo

Page 21: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

38 39

Konteks

Ancaman dan kerentanan masyarakat bantaran sungai Bengawan Solo adalah risiko bencana banjir yang diakibatkan luapan air sungai. Tetapi menurut masyarakat di bantaran Sungai Bengawan Solo, meskipun setiap tahun mereka mengalami genangan air namun mereka tidak menyebut atau menganggapnya sebagai bencana.

Setelah kejadian akhir tahun 2007 mereka menyebutnya sebagai bencana banjir karena rumah mereka mengalami rusak berat akibat tingginya muka air dan debit air sungai yang menggenangi rumah hingga mereka harus meninggalkan tempat tinggalnya atau mengungsi (masyarakat menyebut sebagai bencana banjir hanya kejadian yang terjadi pada tahun 1937, 1966, dan 2007). Artinya, kondisi yang alami rutin setiap tahun bukanlah bencana sebab bagi mereka tetapi bencana banjir itu bisa dikurangi risikonya, bisa ditanggulangi, bisa diantisipasi, bisa diatasi oleh masyarakat, dan telah mereka memiliki pengalaman (adaptive). Jika orang diluar anggota masyarakat bantaran menganggap mereka mengalami bencana, mereka menyebutnya bukan bencana tetapi kebiasaan yang mampu diselesaikan sendiri. Banjir akhir tahun 2007 pun tidak membuat mereka menyerah, mereka tetap bertahan (survive) untuk bertahan di tempat tinggalnya. Dari sisi kerentanan mereka merasa tidak lebih rentan dibandingkan wilayah lain yang bukan bantaran (menunjuk sebuah wilayah yang tidak jauh dengan mereka yaitu daerah Kalangan – Jagalan Kota Solo) yang setahun bisa mengalami 1 hingga 3 kali banjir dengan ketinggian banjir hingga mencapai dada orang dewasa. Sedangkan masyarakat yang berada di bantaran sungai, hanya sekali setahun dan sebatas masuknya air ke lantai rumah mendapatkan ancaman banjir.

Kondisi riil inilah yang menjadi salah satu alasan mereka untuk bertahan dan menolak desakan pemindahan tempat (relokasi). Masyarakat juga juga

menolak tuduhan terhadap mereka karena dianggap sebagai penyebab banjir oleh kelompok lain bahkan pemerintah daerah.

Masyarakat bantaran telah mampu menemukenali ancaman dan kerentanan terhadap banjir melalui beberapa tanda yaitu terjadinya perubahan suhu udara di lingkungannya.

Masyarakat memantau dan mewaspadai perubahan suhu di sekitar bantaran tiap beberapa menit. Saat suhu kian memanas menjadi pertanda akan datang banjir atau air sungai akan mengalami kenaikan. Tanda lain diindikasikan dengan titik pantau yang masyarakat sebagai pundhung (bagian tanah yang lebih menonjol ke permukaan) yang dijadikan ukuran oleh masyarakat untuk menunjukkan jumlah debit air pada batas tertentu, sebagai pertanda bahwa masyarakat harus segera berpindah (evakuasi) ke tanggul.

Upaya masyarakat dalam mengurangi kerentanan menghadapi ancaman adalah membangun kesadaran diri dengan menyebut komunitas mereka sebagai ”anak-anak sungai”. Hal ini menjadi penguatan masyarakat untuk tangguh menghadapi ancaman dan kerentanan sebagai penghuni bantaran sungai. Selain itu, internalisasi kebijakan-kebijakan lokal berbentuk tradisi dalam menemukenali kerentanan dan ancaman, dikembangkan menjadi budaya dalam masyarakat, juga membangun perilaku-perilaku ramah terhadap sungai dan menjaga pemeliharaan sungai dan lingkungan sekitarnya. Pengurangan kerentanan selama ini masih bersifat individual, kalaupun terkonsolidasi baru sebatas setiap sekitar 5 hingga 10-an keluarga melakukan kerjasama, berbagi tugas melakukan pemantauan dan koordinasi mengantisipasi banjir, tetapi secara luas koordinasi di tingkat seluruh komunitas belum ada dalam gerakan tersebut, apalagi di tingkat kebijakan pemerintahan di lokal maupun daerah belum ada sama sekali. Setiap tahun pun situasi ini tidak pernah menjadi persoalan bagi pemerintah lokal, baru ketika banjir akhir tahun 2007 pemerintah merancang program untuk wilayah bantaran sungai tetapi belum mendasarkannya pada kebutuhan riil masyarakat.

Inisiatif

Bencana banjir di Solo pada Desember 2007 berakibat 1.571 rumah yang berada di bantaran Sungai Bengawan Solo mengalamai rusak berat. Kedatangan LPH YAPHI yang bermula dengan bantuan tanggap darurat akhirnya berlanjut hingga saat ini dengan advokasi hukum dalam bentuk pendampingan pengajuan gugatan class action terhadap dana bantuan bencana banjir yang belum mereka terima hingga saat ini.

Page 22: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

40 41

Proses pendampingan yang cukup panjang dan intensif ini memungkinkan bagi LPH YAPHI untuk menerapkan rencana pengembangan Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (PRBBM).

PRBBM sebagai sebuah konsep, belum dikenali oleh masyarakat bantaran meski mungkin secara praktis sudah dilakukan. LPH YAPHI bersama masyarakat bantaran sedang merencanakan program PRBBM bersamaan dengan sedang berprosesnya peradilan gugatan class action terhadap bantuan dana bencana banjir yang belum masyarakat (40 penyintas banjir) terima. Hal pertama yang perlu dibangun dalam implementasi program adalah membangun hubungan baik untuk menumbuhkan rasa percaya (trust building) diantara masyarakat dengan LPH YAPHI. Setelah terbangun hubungan baik dilakukan penjajagan kebutuhan (need assessment). Hal terpenting lain dalam implementasi program PRBBM adalah prinsip partisipatif, yaitu masyarakat harus dilibatkan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan PRBBM, dengan demikian PRBBM sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Masyarakat bantaran sedang didampingi untuk menjalankan sebuah program yang dinamakan ”Penataan Kawasan Berbasis Masyarakat” diawali dengan membuat peta wilayah.

Peta wilayah menjadi konsep untuk penataan area pemukiman bagi masyarakat yang menempati wilayah bantaran tersebut, termasuk penataan bangunan dengan tidak membelakangi sungai, nilai filosofi dari bangunan yang menghadap sungai memiliki arti “bersikap apresiatif ”, menikmati keberadaan sekaligus menjadi penjaga sungai.

Sedangkan lahan kosong yang tersedia juga dijadikan sarana umum termasuk rencana mereka untuk membuat lahan out bound dari lahan terbuka yang tersisa. Sejalan dengan inisiatif pemerintah untuk menjadikan bantaran sebagai kawasan hijau sebenarnya masyarakat bantaran cukup siap mendukung program tersebut. Namun masyarakat bantaran menolak program tersebut ketika digunakan alasan untuk mendesakkan upaya relokasi yang akan menggusur tempat tinggal mereka.

Masyarakat mendukung program pengembangan kawasan hijau tanpa harus

kehilangan hak atas tempat tinggal mereka di kawasan tersebut, bahkan masyarakat bersedia menjadi komunitas pemelihara sungai pada kawasan hijau tersebut. Sehingga rencana program ”Penataan Kawasan Berbasis Masyarakat” akan terwujud sebuah kawasan hijau di bantaran sungai yang dikelola oleh masyarakat bantaran tanpa menyingkirkan keberadaan tempat tinggal yang dimiliki mayarakat.

Jika dicermati dengan baik, kebutuhan yang paling mendasar bagi masyarakat bantaran yang bisa dilaksanakan oleh pemerintah adalah mengoptimalkan program pemeliharaan sungai yaitu dengan pengerukan sungai untuk mengatasi sedimentasi (pendangkalan) dan membangun talud (membuat dinding sepanjang bantaran sungai) untuk mencegah terjadinya pengikisan tanah oleh air sungai, seperti yang terjadi selama ini tanah di daerah bantaran semakin terkikis oleh air sungai. Dua hal inilah yang menjadi kebutuhan mendasar masyarakat bantaran jika pemerintah akan mengembangkan upaya pengurangan risiko bencana banjir di bantaran Sungai Bengawan Solo. Tetapi sebaliknya, masyarakat bantaran justru dianggap sebagai penyebab bencana banjir, padahal penyebab banjir adalah belum maksimalnya pengelolaan sungai oleh pemerintah. Relokasi tidak menyelesaikan persoalan dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat bantaran, sementara ada kawasan (bukan bantaran) yang mungkin lebih membutuhkan relokasi justru luput dari perhatian rencana tersebut oleh pemerintah.

Program PRBBM diawali dengan proses pengorganisasian masyarakat bantaran dengan membentuk Solidaritas Korban Bencana Banjir (SKoBB) melalui pengorganisasian, proses implementasi PRBBM diharapkan lebih efektif terutama dalam mengedepankan gerakan komunal dalam program tersebut sehingga pengurangan kerentanan yang semula bersifat individu bisa lebih terkonsolidasi secara komunal termasuk dalam penyadaran, pendidikan dan perencanaan serta pelaksanaan program.

Membangun kesadaran masyarakat atas hak dan partisipasi masyarakat adalah langkah terpenting dalam memulai program PRBBM. Setelah terbangun kesadaran, LPH YAPHI melakukan pendidikan bagi masyarakat bantaran tentang PRBBM, materi hukum dan pengetahuan lain terkait persoalan yang mereka alami. Pengorganisasian juga penting untuk membangun komunikasi dan konsolidasi di antara masyarakat, antara masyarakat dengan mitra jaringan, dan masyarakat dengan LPH YAPHI.

Terlebih proses pendampingan litigasi saat ini yang membutuhkan komunikasi yang sangat intensif. Sebagai upaya meningkatkan kapasitas masyarakat bantaran terkait maslah hukum LPH YAPHI melakukan intervensi dalam

Page 23: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

42 43

bentuk pelatihan advokasi bagi masyarakat bantaran.

Proses penilaian risiko bencana bersama masyarakat dilakukan dalam bentuk pertemuan kampung dengan berbagi pengalaman yang dialami oleh masyarakat bantaran, investigasi lapangan, dokumentasi tentang kondisi lapangan dan pembuatan peta bencana.

Selain itu juga pernah diinisiasi pertemuan bertajuk Forum Rakyat bagi masyarakat bantaran yang melibatkan kelompok masyarakat dari Kali Code Yogyakarta untuk berbagi pengalaman tentang problematika sebagai masyarakat bantaran sungai. Hal ini dilakukan guna menjadi bahan perbandingan, berbagi pengalaman dan penguatan perjuangan masyarakat SKoBB.

Hasil

Masyarakat dampinan YAPHI menunjukkan kemajuan dalam upaya menciptakan ketahanan masyarakat menghadapi risiko bencana. Kemampuan dalam mengahadapi risiko bencana tersebut terejewantahkan dalam melalui organisasi yang dibangun oleh masyarakat, yaitu Solidaritas Korban Bencana Banjir (SKoBB). Organisasi melakukan melakukan studi banding ke komunitas sungai Code di Yogyakarta. SKoBB juga sudah melakukan kajian kerentanan dan risiko bencana sebelum menjalankan program pengelolaan bencana berbasis masyarakat. Komunitas dampingan memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan resiko bencana berbasis masyarakat.

Pembelajaran

PRBBM tidak akan memiliki arti jika dilakukan tanpa partisipasi masyara-kat. Sedangkan fakta menunjukkan masyarakat menjadi obyek dari berbagai program pemerintah termasuk pengelolaan risiko bencana. Artinya, berbagai program kebencanaan yang dijalankan oleh pemerintah tersebut belum ber-basis masyarakat. Jika diperhatikan dengan baik, masyarakat lebih memiliki kapasitas dalam mereduksi ancaman dan kerentanan terhadap bencana me-lalui tradisi lokal yang berlaku di masyarakat. Kearifan tersebut seharusnya dijaga atau dipakai sebagai pijakan pemerintah daerah dalam pengurangan risiko bencana yang terintegrasi pada perencanaan pembangunannya.

Tujuan

Peningkatan kapasitas komunitas pada PRB di Kelurahan Kampung Sewu dan Joyosuran, Solo, Jawa Tengah

Hasil Yang Diharapkan

Masyarakat memiliki pengetahuan mengenai PRB, PRBBM dan Analisa Risiko Bencana

Sasaran

Desa Pacing Klaten dan Kelurahan Sewu Solo

Peningkatan Kesadaran masyarakat atas Pengurangan Risiko Bencana di Kelurahan Sewu dan Joyosuran, Solo, Jawa TengahSolidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Azasi Manusia -SPEK-HAM

Page 24: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

44 45

Konteks

SPEK-HAM memiliki 2 (dua) pengalaman yang berharga dalam membangun partisipasi masyarakat untuk tanggap bencana di Desa Pacing Klaten dan Kelurahan Sewu Solo.

Awalnya SPEK-HAM merasa tidak berkompeten dalam hal merespon bencana. Namun melihat realita korban banyak terjadi dan berdampak pada perempuan, maka rasa kemanusiaan tergerak melakukan tanggap darurat.

Program tanggap darurat bencana ini menjadi pintu masuk pengorganisasian masyarakat, sehingga SPEK-HAM berupaya membangun keberlanjutan program.

Pendistribusian bantuan (tanggap darurat) sebagai momentum pendorong untuk membangkitkan nilai gotong royong, keswadayaan serta kemandirian masyarakat untuk mempercepat pemulihan masyarakat.

Pemahaman atas ancaman dan kerentanan yang dapat dilihat di kelurahan Sewu, paska terjadinya bencana cukup baik dan menjadikan masyarakat juga sadar bahwa tempat tinggal mereka sangat rentan terjadinya banjir.

Selama kurun waktu 5 tahun terakir telah terjadi 3 kali banjir. Tetapi, banjir yang terjadi pada akhir tahun 2007 dirasakan paling besar selama mereka tinggal di Kelurahan Sewu karena mereka terbiasa dengan banjir yang datang setiap tahun sehingga mereka terasa kurang kritis untuk mendiskusikan kondisi ini. Selama ini mereka hidup di kawasan dekat dengan Sungai Bengawan solo yang setiap saat bisa meluap jika curah hujan tinggi dan juga kiriman dari Waduk Gajah Mungkur (jika pintu bendungan di buka).

Selama ini, masyarakat mampu menemukenali ancaman dan kerentanan bencana dengan belajar sejarah bencana dimana masyarakat sering diceritakan bahwa risiko bencana banjir terjadi jika curah hujan tinggi dan kiriman air dating dari kawasan Boyolali, Klaten dan juga Wonogiri.

Selain itu, kondisi pemukiman penduduk yang padat menyebabkan saluran dan selokan air mampet karena karena terhambat oleh sampah yang timbul.

Dilain pihak masyarakat mempercayai keberadaan “orang pintar” dalam menemukenali risiko bencana

yang merupakan bentuk budaya lokal dalam memahami risiko bencana. Berikut upaya yang dilakukan oleh individu maupun kelompok untuk mengurangi terjadinya bencana di Kampung Sewu, yaitu :

Individu: Kesadaran diri dalam mengelola sampah yang ada di rumah merekasendiri. Hal ini diharapkan di lingkungan tinggal mereka tidak ada sampah yang di khawatirkan akan bisa menyumbat selokan, aliran sungai dan lain sebagainya. Selain itu mereka lebih peka dan juga waspada akan tanda-tanda alam yang ada di sekitar mereka.

Kelompok: Masyarakat Kelurahan Sewu banyak sekali forum diskusi untuk penguatan dan identifikasi sebab banjir dan upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah adanya banjir, pengelolaan risiko bencana, sehingga pada setiap kegiatan ini bisa menjadi budaya untuk bisa lebih paham tentang perkembangan di lingkungan mereka. Kebijakan masyarakat degnan menyusun kalender musim, sehingga bisa menjadi tanda-tanda bencana banjir.

Pemerintah: Kecenderungan pemerintah mengabaikan masyarakat mendapatkan hak atas hidup yang aman dan terlindung dari ancaman banjir. Relokasi bukan menjadi satu-satunya kebijakan yang solutif terhadap ancaman banjir, tapi memastikan masyarakat mampu menghadapi risiko banjir lebih penting dari pada relokasi.

Inisiatif

1. Pengalaman Pengelolaan Bencana di Desa Pacing, Klaten

Desa Pacing menjadi wilayah yang dipilih sebagai pos tanggap darurat ketika terjadi bencana gempa bumi di Jateng dan DIY pada Mei 2006. Desa ini dipilih karena wilayah terpencil dan jauh dari akses kota, kerusakan yang parah, dan belum tersentuh oleh bantuan dari pihak luar. Masyarakat sangat kooperatif yang ditunjukkan dengan keterlibatan aktif Karang Taruna dan Kader Posyandu dalam mengelola bersama segala bantuan. Beberapa aksi kemanusiaan SPEK-HAM bersama masyarakat di Desa Pacing dalam rangka tanggap darurat adalah membuat Posko Kemanusiaan sebagai pusat koordinasi bagi masyarakat setempat untuk mengelola dan mendistribusikan semua bantuan. SPEK-HAM bekerjasama pihak ketiga dalam memberikan distribusi bantuan seperti: OXFAM, UNFPA dan beberapa donor kecil. Tidak hanya melakukan distribusi bantuan/logistik tetapi melakukan aktivitas yang bertujuan menghilangkan trauma, membangun partisipasi, pembangunan

Page 25: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

46 47

sekolah Taman Kanak-Kanak, pemberdayaan ekonomi perempuan, dan memperkuat kemandirian masyarakat paska gempa.

Distribusi logistik merupakan salah satu pintu masuk untuk melakukan aktivitas pengorganisasian masyarakat paska bencana. Distribusi logistik dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang secara pelan tapi pasti, membangun kemandirian dan solidaritas antar masyarakat dalam mengelola secara swadaya segala bantuan kemanusiaan.

Paska masa tanggap darurat masyarakat (terutama perempuan) berinisiatif untuk mengadakan pertemuan rutin setiap minggu sebagai wadah untuk saling berbagi menghilangkan trauma, mendiskusikan berbagai berbagai persoalan, dan upaya ekonomi mikro seperti arisan dan simpan pinjam. Dari rutinitas tersebut terbangun kelompok perempuan bersama kelompok belajar Pacing melakukan respon terhadap isu Kekeresan terhadap Perempuan dan Anak (KtPA).

SPEK-HAM juga memfasilitasi respon tersebut dengan mendorong pertemuan aktif RT. Pertemuan tidak hanya memberikan laporan keuangan dan arisan tetapi menjadi sebuah forum rembug bagi masyarakat. Hasilnya, mereka mulai mampu menyusun rencana sederhana untuk pengembangan masyarakat secara mandiri.

2. Pengalaman Pengelolaan Bencana di Kelurahan Sewu, Kota Surakarta

Pengalaman mengelola bencana di Desa Pacing sangat menginspirasi SPEK-HAM dalam mengidentifikasi kebutuhan perempuan di wilayah bencana lainnya, seperti ketika kejadian banjir bandang di Eks-Karesidenan Surakarta pada akhir tahun 2007. SPEK-HAM membangun tenda untuk distribusi bantuan dengan koordinasi bersama instansi terkait dan aparat pemerintah setempat dengan mencoba melakukan pemetaan dan kebutuhan dasar pada saat banjir. Kampung Sewu kami pilih sebagai lokasi sentral karena kondisinya yang mengalami kerusakan parah dan terbatas untuk mengakses bantuan.

Beberapa temuan SPEK-HAM diantaranya adalah pendapatan

minim, pemukiman yang tidak layak huni, ketersediaan air bersih yang sangat terbatas dari segi kuantitas maupun kualitas. Kebutuhan air bersih ini tidak bisa dipenuhi semua oleh PDAM karena banyak diantaranya merupakan hunian tidak resmi. Dari temuan ini SPEK-HAM melakukan koordinasi dengan pihak kelurahan dan menyepakati adanya ketentuan-ketentuan mendapatkan air bersih yang berupa saluran pipa atau tandon-tandon air oleh PDAM, dan adanya rencana untuk melakukan relokasi khusus untuk beberapa pemukiman di sekitar bantaran sungai oleh pemerintah kota.

Hasil

Dari berbagai aktifitas yang mendukung program ini, menjadikan masyarakat mampu memahami dan mengetahui bahwa bencana tidak bisa diduga tetapi masyarakat mampu merubah perlikau kehidupannya dalam menjaga lingkungannya melalui pengelolaan sampah yang baik, pembangunan yang humanis terhadap lingkungan, membuat resapan-resapan air, pengelolaan air buangan limbah rumah tangga maupun industri yang mengancam keseimbangan alam dan berbagai cara yang mempengatuhi upaya pengurangan risiko bencana.

Catatan penting dari aktifitas masyarakat dampingan lakukan akan berdampak langsung, seperti :1. Masyarakat bisa melakukan evakuasi cepat jika terjadi bencana, apa dan

siapa prioritas yang akan diselamatkan, dimana tempat yang aman dan siapa saja yang bisa dimintai bantuan setelah ada pelatihan dari KSR, PMI dan lembaga kemanusiaan lainnya.

2. Masyarakat (kader) bisa melakukan trauma healing/shock tyerapy pada masyarakat baik anak, lansia serta masyarakat lain setelah mendapatkan pelatihan dari Fasilitator dari TK Kamila.

3. Dalam setiap pertemuan dan diskusi di komunitas selalu diusahakan menguatkan dan menambah informasi sehingga masyarakat bisa dan terbiasa kritis terhadap segala perubahan di komunitasnya.

4. Ada kemauan keras untuk program ketahanan pangan dengan berbagai aktifitas tersebut diatas sehingga masyarakat lebih berdaya dan mandiri

5. Ada perhatian khusus dari pemerintah khususnya di bidang kesehatan, usaha peningkatan ekonomi dan pangan melalui kegiatan koperasi, usaha

Setiap aktivitas distribusi logistik,

SPEK-HAM mempertimbangkan

partisipasi dan peran aktif perempuan.

Kelompok perempuan menjadi pendorong bagi kaum laki-laki terlibat dalam setiap aktifitas bersama.

SPEK-HAM berpikir untuk

memastikan keberlangsungan hidup masyarakat

di bantaran Sungai Bengawan

Solo agar terpenuhi hak-haknya sebagai

penyintas.

Page 26: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

48 49

rumahan (home industry) serta peningkatan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk produksi tanaman pangan.

Dalam melakukan aktifitas program tidak selamanya akan berjalan dengan lancar. Terdapat berbagai faktor yang menjadi kendala serta tantangan. Dengan kondisi ini diharapkan masyarakat semakin kritis. Beberapa hal yang menjadi tantangan dari program ini antara lain di kawasan Kelurahan Sewu terdapat sebagian keluarga yang masih tinggal di bantaran sungai dan sebagian tidak memiliki izin resmi (sertifikat) sehingga proses-proses upaya untuk membuat wilayah rawan terhadap risiko banjir.

Tantangan lain adalah kondisi masyarakat yang masih banyak pada kategori miskin sehingga masih banyak terfokus pada permasalahan ekonomi kondisi ini mengakibatkan pertemuan yang dilakukan masih kurang maksimal.

Pembelajaran

Kejadian bencana bukan sesuatu yang diinginkan, tetapi melihat pengalaman 3 tahun terakhir ini begitu banyak bencana terjadi seperti bencana tsunami, banjir bandang, gempa bumi, lumpur lapindo, angin kencang, gunung meletus yang meskipun tidak kita harapkan tetapi kedatanganya tidak bisa di tolak. Meskipun demikian, ada upaya yang dapat kita lakukan untuk meminimalisir risiko bencana selain kesiapsiagaan untuk meminimalkan terjadinya korban jiwa.

Dalam upaya melaksanakan program ini, peran masyarakat di wilayah sasaran sangat penting sehingga kesiapan dan juga kemandirian utuk bisa mengatasi terjadinya bencana menjadi prioritas. Semua potensi yang ada diharapkan mampu menjadi modal utama untuk ketahanan masyarakat menghadapi bencana.

Tantangan tersebut menjadi dinamika program yang berjalan dengan baik meskipun hanya didukung kemauan dan kesadaran masyarakat di wilayah sasaran program berkaitan dengan kondisi, latar belakang budaya, kondisi wilayah yang di kelilingi dan dialiri sungai bengawan solo dan pencemqaran air rumah tangga maupun industry serta kegagalan pengelolan sampah, dapat mengancam kehidupan masyarakat.

Tantangan lain adalah kebijakan pemerintah atas aturan penertiban tempat tinggal, izin resmi untuk masyarakat pendatang, serta relokasi yang lebih humanis melihat potensi dan ketrampilan masyarakat dan bukan direlokasi.

Tujuan

Meningkatkan ketahanan komunitas terhadap risiko bencana pada Bantaran Sungai Juwana

Hasil Yang Diharapkan • Organisasi Masyarakat Basis dan Organisasi Masyarakat Sipil memiliki

kapasitas dalam Analisa Risiko Bencana • Pemerintah lokal menyokong mengenai inisiatif PRBBM dan memiliki

kebijakan mengenai PRB

Sasaran

OMB dan OMS Pati, Jawa Tengah

Penguatan Organisasi Masyarakat Basis Dalam Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat pada Bantaran Sungai Juwana, Pati, Jawa Tengah

Yayasan SHEEP Indonesia - Jawa Tengah

Page 27: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

50 51

Konteks

Langganan banjir adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat untuk menjelaskan bahwa kepastian datangnya banjir di wilayah mereka sudah terjamin. Setiap musim penghujan datang, banjir akan menyertainya. Kepastian datangnya banjir pada musim penghujan di pemukiman dan lahan pertanian serta tambak masyarakat di bantaran Sungai Juwana selanjutnya menghasilkan beberapa adaptasi dan ketahanan bagi masyarakat.

Berbagai bentuk adaptasi masyarakat dapat ditemukan dengan tingginya pondasi dan halaman rumah dibanding jalan desa, adanya kemampuan masyarakat untuk bertahan di pemukiman yang tergenang dengan berbagai macam cara baik untuk keluarganya, harta bendanya hingga binatang ternaknya; mulai dari membuat “ranggon”, menyambung kaki meja, kursi, tempat tidur lebih tinggi dari genangan air sehingga masih tetap bisa digunakan hingga membuat dan membeli perahu sebagai bentuk kesiapsiagaan dalam hal transportasi ketika banjir datang.

Adapun bentuk ketahanan yang bisa kita lihat dan rasakan secara umum adalah bahwa masyarakat menganggap banjir merupakan hal yang sudah biasa; sebagian bahkan banjir merupakan takdir Tuhan entah itu dimaknai sebagai peringatan atau bahkan laknat-Nya. Ketahanan masyarakat ini bahkan membuat masyarakat mengabaikan atau setidaknya terjadi apatisme di masyarakat tentang posisi pemerintah dalam konteks menyelesaikan persoalan bencana banjir. Pemerintah selanjutnya diposisikan sebagai bagian terkecil dari proses pengurangan risiko bencana yang dilakukan masyarakat; yakni sebagai lembaga yang menjalankan fungsi respon kegawat-daruratan pada saat terjadi banjir.

Diluar situasi itu, dinamika budaya makro yang terjadi di Indonesia juga sudah menggejala di masyarakat. Budaya makro yang dimaksud disini adalah situasi dimana masyarakat tidak mampu menyeimbangkan antara pengetahuan dengan tindakan yang dilakukan. Misalnya; masyarakat mengetahui secara pasti bahwa praktik illegal logging, alih fungsi lahan dan kerusakan lingkungan menjadi faktor yang memiliki kontribusi besar terhadap intensitas bencana banjir. Akan tetapi perilaku hidup yang dipraktikkan dalam keseharian justru mengarah pada fakta diatas baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi; secara sadar maupun tidak sadar.

Ransum sebagai “pintu masuk”

“Ransum” adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat lokal yang tinggal di sepanjang bantaran Sungai Juwana dalam menyebut bantuan logistik.

Pada saat banjir, ransum ini menjadi diskusi yang menarik bagi masyarakat. Ransum bisa menjadi tema obrolan di warung kopi, pasar bahkan di angkutan kota, termasuk juga di kantor kepala desa. Pertemuan antar buruh pabrik, pedagang, pekerja kasar yang berasal dari desa-desa yang tergenang banjir membicarakan soal situasi pendapatan hingga pengelolaan ransum di desanya. Antar pemerintah desa saling berkomunikasi untuk saling berbagi informasi soal mekanisme dan peluang-peluang dalam mengusahakan ransum bagi masyarakatnya. Ditingkat pemerintah desa, bahkan situasi ini terkesan mirip kompetisi dalam mengusahakan agar masyarakat desanya mendapatkan ransum sebanyak-banyaknya dari berbagai kalangan.

Bagi para pemberi dan penyalur ransum baik pemerintah, organisasi masyarakat, partai politik hingga pribadi-pribadi yang peduli, ransum dimaknai sebagai tindakan karitas; tindakan memberikan bantuan atas dasar belas kasihan. Oleh karena tindakan memberi bantuan lebih didorong oleh faktor belas kasihan, maka tindakan yang dilakukan hanya berhenti pada praktik memberi bantuan atas dasar kesukarelaan atau keikhlasan. Masalah-masalah tentang pengelolaan bantuan, prioritas kebutuhan masyarakat, ketercukupan atas bantuan yang diberikan selanjutnya menjadi tanggung jawab pemerintah desa atau tim pengelola bantuan yang dibentuk oleh pemerintah desa. Ransum selanjutnya sering menjadi bencana susulan di masyarakat. Bentuknya beraneka ragam; mulai dari persoalan pemerataan pembagian hingga penyelewengan yang dilakukan oleh pengelola.

Inisiatif

Yayasan SHEEP Indonesia (YSI), menggunakan pintu masuk ransum dalam proses pengembangan Pengelolaan risiko Bencana Berbasis Masyarakat (PRBBM) di masyarakat bantaran Sungai Juwana. Oleh karena ransum menjadi entry point, maka ransum diposisikan sebagai strategi, bukan sebagai bentuk bantuan kemanusiaan murni.

Proses pelaksanaan pemberian ransum dimulai dari assasment keterpaparan yang selanjutnya diteruskan dengan menentukan prioritas kelompok sasaran atau desa. Ada minimal tiga (3) pertimbangan dalam menentukan prioritas ini; yakni (1) pertimbangan tingkat keterpaparan, sebaran wilayah sebagai (2) pertimbangan representasi dan (3) pertimbangan peluang keberlanjutan hubungan pasca pembagian ransum.

Selanjutnya, ransum diberikan dengan pola-pola partisipatif. Dilakukan pertemuan bersama masyarakat sebelum ransum diberikan untuk membicarakan soal prioritas kebutuhan, mekanisme pembangian dan pengelolaan di tingkat masyarakat, sambil memulai memberikan wacana

Page 28: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

52 53

tentang optimalisasi pengelolaan ransum agar memiliki keberlanjutan.

Berawal dari ransum itu proses pengorganisasian mulai dilakukan, staf penggerak masyarakat (community organizing-CO) melakukan monitoring atas mekanisme pendistribusian bantuan seperti yang telah disepakati bersama, memetakan para tokoh, pemetaan organisasi-organisasi masyarakat basis (OMB) di desa dan lain-lain melalui kunjunga-kunjungan lapangan. Proses ini bermuara pada pemilihan prioritas organisasi masyarakat yang akan dijadikan mitra kerja YSI dalam implementasi program MRBBM.

Seiring dengan proses surutnya banjir, pengorganisasian terus berjalan. Pemilihan prioritas OMB sudah dilakukan. Staf CO selanjutnya berproses bersama OMB; mendiskusikan berbagai hal tentang kebencanaan, melakukan penguatan kapasitas masyarakat tentang persoalan kebencanaan dan lain sebagainya untuk mendorong OMB mampu berfikir kritis dalam konteks strategi pengurangan risiko bencana. Berbagai strategi digunakan dalam proses ini; diskusi terfokus, wawancara mendalam bersama masyarakat hingga pemetaan partisipatif. Akhir dari proses ini adalah terbentuknya OMB yang kuat dan memahami PRBBM, profil desa berbasis analisis PRBBM, sketsa dan peta desa berbasis analisis PRBBM dan lahirnya program kerja OMB berprespektif PRBBM.

Keberagaman latar belakang OMB dan perspektif yang diberikan oleh YSI berdampak pada beragamnya program kerja OMB terkait dengan PRBBM. Ragam itu minimal bisa diklasifikasikan menjadi dua strategi; yakni penguatan kapasitas masyarakat dan advokasi kebijakan pemerintah atas PRBBM. Dua strategi itu selanjutnya diwujudkan dalam tiga prioritas kerja utama; yakni (1) penguatan kapasitas masyarakat bidang kesehatan, (2) penguatan kapasitas masyarakat bidang ekonomi, (3) advokasi kebijakan kebencanaan di tingkat pemerintah dan advokasi tersumbatnya akses OMB pada pemerintah.

Pengembangan program kerja di tingkat OMB dilakukan sesuai bidang dan fokus kerja. OMB yang berbasis pertanian mengembangkan program kerja pertanian yang ramah lingkungan, pertanian yang mempertimbangkan aspek kesehatan serta pertanian yang memiliki daya kemampuan untuk menghadapi ancaman bencana, sehingga muncul program kerja pertanian organik, pertanian terpadu, lumbung, bank benih dan lain sebagainya. OMB yang berbasis nelayan tradisional mencoba mengatasi ancaman paceklik dengan cara melakukan penguatan kapasitas dalam menjalankan aktivitas kesehariannya sebagai nelayan tangkap melalui penambahan jenis jaring, membuat program tabungan paceklik dan melakukan diversifikasi mata

pencaharian dengan mengembangkan perikanan budi daya. OMB yang berbasis kesehatan seperti Relawan Kesehatan Desa (RKD) melakukan proses penguatan kapasitasnya dengan program-program pelatihan pertolongan pertama, kegiatan pemanfaatan

pekarangan untuk tanaman obat keluarga, budidaya ikan lele sebagai usaha pemenuhan gizi keluarga dan lain-lain.

Ketika pengurus dan anggota OMB sudah memiliki pemahaman yang sama tentang PRBBM, secara hegemonik mereka merasa malu membicarakan ransum. Ide-ide kreatif dan pemberdayaan dilontarkan di forum-forum; baik forum masyarakat di tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten. Ada pergeseran mendasar terkait pemahaman mereka atas bencana yang selalu dihadapi; terutama terkait dengan peran pemerintah. Usulan tentang pentingnya pengurangan risiko bergema. Praktik baik OMBdalam pengelolaanr risiko bencana ini menjadikan masyarakat sadar bahwa kebutuhan mendasar dan jangka panjang adalah bagaimana usaha-usaha pengurangan risiko bencana dilakukan. Pemerintah yang hanya datang pada saat terjadi bencana dan kemudian memberikan bantuan logistik dikritik. Bagi pengurus atau anggota yang terlibat dalam proyek-proyek pembangunan di desa juga bergerak memasukkan pertimbangan pengurangan risiko bencana dalam proses merencanakan proyek pembangunan desa. OMB mendorong pemerintah desa untuk membuat peraturan desa khusus tentang pengurangan risiko bencana. Prioritas masyarakat melalui OMB menjadi bergeser “dari ransum ke PRBBM”.

Hasil

Seiring dengan perkembangan daya kritis masyarakat dan OMB, kebutuhan jaringan kerja mulai muncul. Jaringan kerja antar OMB dan masyarakat diharapkan bisa digunakan sebagai media untuk melakukan advokasi bersama untuk masalah bersama. Dalam konteks proyek MRBBM DAS Juwana ini, YSI kemudian memfasilitasi OMB dan masyarakat berjejaring dengan basis jaringannya adalah masyarakat yang bertempat tinggal di bantaran Sungai Juwana termasuk bagi yang mengandalkan Sungai Juwana sebagai pendukung utama penghidupan mereka. Maka kemudian lahirlah kelompok masyarakat Jampi Sawan (Jaringan Masyarakat Peduli Sungai Juwana).

Jaringan ini beranggotakan dari keterwakilan OMB dan masyarakat sipil lainnya yang peduli terhadap persoalan yang menjadi fokus organisasi.

Page 29: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

54 55

Jaringan ini berbentuk semacam organisasi masyarakat sipil (OMS) yang kemudian melakukan kerja-kerja advokasi dan loby dengan prioritas yang diamanatkan dari masyarakat dan OMB anggota. Salah satu prioritas utama kerja OMS Jampi Sawan adalah mendorong pemerintah untuk segera melakukan normalisasi Sungai Juwana sebagai bentuk usaha pengurangan risiko bencana. Kerja 1 (satu) tahun yang dilakukan OMS Jampi Sawan menghasilkan disetujuinya usulan OMS Jampi Sawan atas perencanaan normalisasi Sungai Juwana. Tahun 2010 pemerintah Kabupaten Pati mengalokasikan anggaran 750 juta rupiah untuk anggaran sosialisasi dan ganti rugi lahan sedangkan pemerintah pusat melalui Balai Besar Pemali Juwana mengalokasikan anggaran 7,2 miliar rupiah untuk pengerukan sungainya.

Pembelajaran

Fokus utama dari PRBBM adalah perubahan cara pandang dilanjutkan dengan perubahan perilaku. Ditingkat masyarakat perubahan perilaku dicerminkan pada dinamika kehidupan sehari-hari yang harus mempertimbangkan PRBBM. Di tingkat pemerintah perubahan perilaku bisa dilihat dari produk-produk kebijakan dan implementasinya yang mengarah ke PRBBM.Penguatan kapasitas masyarakat dan advokasi kebijakan pemerintah terkait PRBBM yang dilakukan oleh YSI di masyarakat bantaran Sungai Juwana bukan tanpa kendala. Minimal terdapat 2 hal penting yang menjadi kendala, yaitu:1. Dominasi keyakinan spiritual, dogma dan mitos yang ada di masyarakat

menjadi hambatan dalam konteks analisis persoalan secara logis. Sedangkan PRBBM membutuhkan informasi yang jelas dan perencanaan yang logis.

2. Dalam konteks mendorong terbentuk dan kuatnya OMB, kerja-kerja YSI terkendala oleh budaya dan pengalaman masyarakat dalam berorganisasi. Organisasi selama ini hanya digunakan sebagai jembatan untuk meraih kebutuhan-kebutuhan pragmatis; misalnya proyek bantuan, dan lain-lain yang sudah menghegemoni masyarakat.

3. Dalam konteks advokasi kebijakan, problem utama yang dihadapi adalah kurang adanya kemauan baik dan keseriusan pemerintah terkait dengan pesoalan PRBBM disamping persoalan kualitas sumber daya aparatur pemerintah yang masih rendah di bidang PRBBM.

Organisasi Non Pemerintah yang memiliki mandat pemberdayaan masyakarat di bidang Kesehatan, Pendidikan, Kelestarian Lingkungan Hidup dan Perdamaian. Yayasan SHEEP Indonesia dibangun berdasarkan pada komitmen pada masyarakat lemah dan miskin melalui pelayanan kemanusiaan dalam bentuk solidaritas sosial yang menjunjung tinggi nilai kesetaraan, integritas, kesederhanaan dan inklusivitas. Dengan menyadari atas kemampuan diri yang terbatas sehingga terbuka untuk membangun jaringan kerja dengan organisasi lain yang mempunyai kesamaan nilai. Yayasan SHEEP Indonesia berusaha menginternalisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengacu pada slogan Albert Einstein: "Only Life Lived for Others is a Life Worthwhile" (Hidup yang berharga adalah hidup untuk sesama). Yayasan SHEEP Indonesia menerapkan prinsip-prinsip: Transparansi, Akuntabilitas, Demo-krasi, Berkesinambungan dan tanpa Kekerasan dalam menjalankan pengelolaan organisasi pada setiap tingkatan dan wilayah kerja, baik personal, kolektif maupun bersama masyarakat.

Selayang PandangOrganisasi Masyarakat Sipil dalam Praktik Terbaik Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat

Yayasan SHEEP Indonesia (YSI) atau Society for

Health, Education, Environment and Peace

Page 30: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

56 57

Sebuah organisasi independent dan not profit yang didirikan pada tanggal 23 Januari 1995 di Boyolali Jawa Tengah. LKTS memiliki Visi ”Terwujudnya masyarakat warga yang kritis, bebas dari kemiskinan dan ketidakadilan, dimana setiap orang dapat memperoleh hak-hak dasarnya”. Dalam konteks penanggulangan bencanan, LKTS telah memiliki penglaman dalam menyusun Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana Kabupaten Boyolali, pelatihan evakuasi bencana erupsi merapi bagi relawan dan masyarakat, dan pernah melakukan aksi kemanusiaan untuk masyarakat korban bencana gempa bumi di Klaten dan bencana erupsi merapi di Boyolali.

Sebuah organisasi non pemerintah yang berdiri sejak tahun 1987 berkedudukan di Surakarta dengan wilayah pelayanan meliputi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdirinya LPH YAPHI merupakan tanggapan atas realitas ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat kecil, lemah, miskin dan tertindas akibat sistem yang tidak adil, dengan fokus pelayanan pada isu Hak Azasi Manusia (HAM) secara khusus pada bidang hukum. Dalam konteks kewajiban pemenuhan HAM (hak sipil, politik dan ekonomi, sosial, budaya) oleh negara, tidak dapat dilepaskan dari ranah hukum baik di tingkatan legislasi, pelaksanaan peraturan perundang-undangan, budaya hukum maupun dalam sistem peradilannya. Konteks penegakan HAM dalam pemenuhan hak sipol dan ekosob dalam pelayanan LPH YAPHI, salah satunya adalah melakukan advokasi kasus bencana. Selain pendampingan korban bencana banjir dan korban tanah longsor di wilayah Kudus, LPH YAPHI juga mendampingi korban bencana banjir bantaran sungai Bengawan Solo. Sesuai dengan prioritas utama pelayanan LPH YAPHI, pendampingan terhadap kasus tersebut dilakukan dalam aspek hukumnya tanpa mengabaikan aspek yang lainnya.

Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial

berbentuk Perhimpunan dengan nama Lembaga

Kajian untuk Transformasi Sosial (Institute for Social

Transformation Studies)

Lembaga Pelayanan Hukum Yekti Angudi Pangadeging Hukum

Indonesia (LPH YAPHI)

Organisasi masyarakat yang mensikapi bencana banjir disepanjang wilayah bantaran sungai Juwana Kabupaten Pati terjadi setiap lima tahun atau 8 tahun.

Menyikapi kenyataan itu, sekelompok masyarakat yang tinggal disepanjang sungai Juwana yang terdiri dari petani dan nelayan pada tanggal 20 Mei 2009 bersepakat membangun jaringan dan membuat sebuah organisasi bernama Jampi Sawan (Jaringan Masyarakat Peduli Sungai Juwana). Jampi Sawan yang merupakan organisasi yang dibentuk dan terdiri dari petani dan nelayan yang merupakan korban dari adanya bencana banjir, dan dipakai sebagai wadah untuk menyuarakan masalah bencana kepada pemerintah atau lembaga yang berwenang.

Merupakan organisasi non pemerintah yang memiliki tujuan “turut serta mewujudkan tatanan sosial yang demokratis, berkeadilan sosial dan gender, menjaga kelestarian lingkungan, menghormati dan menegakkan Hak Asasi Manusia, sehingga massa rakyat tertindas memiliki akses dan kontrol terhadap sumberdaya ekonomi, politik, dan budaya untuk menjamin kesejahteraannya”. ALHARAKA telah bekerja bersama masyarakat di kawasan Gunung Kelud dan bersama melakukan aksi kemanusiaan untuk Korban bencana gempa di Yogyakarta dan sekitarnya.

Organisasi non profit, independen, mandiri, yang merupakan kumpulan orang-orang dengan komitmen pada penegakan Hak Asasi Manusia khususnya Hak Asasi Perempuan. Organisasi ini didirikan pada tanggal 20 November 1998 dalam bentuk Yayasan. Sejak berdirinya SPEK-HAM telah melakukan berbagai upaya penguatan dan membangun kesadaran masyarakat sipil, khususnya pada isu ketidakadilan terhadap perempuan. Upaya-upaya ini dilakukan sebagai komitmen organisasi untuk ikut berkontribusi dalam proses perubahan sosial menuju

ALHARAKA

Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan

dan Hak Asasi Manusia (SPEK HAM)

Jaringan Masyarakat Peduli Sungai Juwana

(JAMPI SAWAN)

Page 31: Pengelolaan Risiko Bencanan Berbasis Masyarakat

58

tatanan masyarakat yang lebih adil dan bermartabat, dengan menggunakan perspektif gender, HAM, dan pluralisme sebagai landasan gerak organisasi dalam memperjuangkan visi dan tujuannya.

Merupakan bagian dari Sinode GKJ yang merupakan ikatan persekutuan Gereja-Gereja Kristen Jawa (GKJ) yang tersebar di Propinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Anggota Sinode GKJ (2010) berjumlah 302 gereja yang terhimpun dalam 32 klasis dengan jumlah warga 222.273 orang. Sinode GKJ juga telah berkerja sama dengan organisasi lain diluar Sinode GKJ, misalkan saja bekerjasama dengan YTBI (Yayasan Tanggul Bencana Indonesia), WVI (World Vision Indonesia), CWS (Christian World Service) dan mitra lainnya; d) Bidang Pembinaan Warga Gereja, bertugas untuk merancang serta menindaklanjuti bentuk-bentuk pembinaan warga gereja serta mendampingi Lembaga Pembinaan dan Pengkaderan Sinode yang menjadi milik sinode GKJ dan GKI Jateng.

Organisasi yang beranggotakan petani yang tersebar di berbagai kabupaten di wilayah Jawa Barat, di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Subang dan Bandung. Serikat Petani Pasundan (SPP) dideklarasikan di Garut pada 24 Januari 2000. Kelahiran SPP dimotori para aktivis dari berbagai kelompok dan organisasi masyarakat pemuda bernafaskan Islam di Garut yaitu Forum Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Islam Garut (FPPMIG), berubah menjadi Forum Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Garut (1989)dengan fokus pada isu lingkungan, buruh dan masyarakat miskin kota. Dari kerja pendampingan dan pengorgansasian (1991) beberapa basis gerakan petani antara lain dari Garut, Tasik, Ciamis, Sukabumi, Cianjur kemudian bersepakat membentuk Serikat Petani Jawa Barat (SPJB) yang kemudian berubah menjadi Serikat Petani Pasundan.

Kelompok Kerja Penanggulagan Bencana

Sinode Gereja Kristen Jawa (GKJ)

Serikat Petani Pasundan (SPP)