pengaruh standar pelaporan keuangan dan sumber daya manusia terhadap akuntabilitas pelaporan...

Upload: hariyanto-had

Post on 07-Jan-2016

255 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENGARUH STANDAR PELAPORAN KEUANGAN DAN SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP AKUNTABILITAS PELAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DESA UNTUK MENDUKUNG UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

Disusun Oleh:

HARIYANTO

43212010126

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MERCU BUANA

2015BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu dampak adanya otonomi daerah di Indonesia adalah terjadinya reformasi dalam keuangan Negara. Sejak disahkannya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 1999 yang menggantikan UU Nomor 32 Tahun 1956 mengenai keuangan negara dan daerah, pemerintah telah berupaya untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam pengelolaan keuangan pemerintah selama ini. Menurut Andie Megantara,dkk dalam Taufeni Taufik (2009) mengatakan bahwa kelemahan yang mulai diatasi pemerintah saat itu adalah kelemahan di bidang perencanaan dan penganggaran, kelemahan di bidang perbendaharaan dan kelemahan di bidang pemeriksaan/audit. Kelemahan-kelemahan tersebut kemudian mulai berkurang dengan adanya pengajuan 3 paket RUU dari tim XIV kepada DPR pada tanggal 29 September 2000. Undang-Undang tersebut antara lain: UU No.17/2003 tentang UU Keuangan Negara, UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No.15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Tiga paket undang-undang tersebut kemudian menjadi cikal bakal lahirnya pengembangan dan perbaikan atas keberlangsungan pelaporan keuangan pemerintah di Indonesia. Salah satu undang-undang terbaru terkait dengan pengelolaan pemerintah adalah UU No 6 tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang tersebut bertujuan untuk memudahkan dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah desa, termasuk di dalamnya pelaksanaan pengelolaan keuangan desa. Dengan demikian desa dapat mewujudkan pengelolaan keuangan yang efektif dan efisien. Disamping itu diharapkan dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan desa yang baik, yang memiliki tiga pilar utama yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipatif.

Penelitian ini didasarkan pada bagian dari UU no 6 tahun 2014 tersebut, yaitu pasal 72 ayat (1) huruf b yang menyatakan bahwa salah satu sumber pendapatan desa berasal dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Menurut undang-undang tersebut terdapat aturan bahwa setiap desa akan mendapat alokasi dana yang jumlahnya bisa mencapai Rp.1 miliar per desa berdasarkan geografis, jumlah penduduk, dan angka kematian. Dalam dua tahun mendatang, estimasi jatah anggaran tersebut akan meningkat menjadi Rp1,4 miliar per desa. Dana itu nantinya akan langsung disalurkan ke seluruh desa di Indonesia melalui kabupaten, tanpa dipotong sepeser pun.

Selain menerima alokasi APBN, pemerintah desa juga mendapat alokasi dana yang bersumber dari APBD kabupaten/kota berupa dana bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah. Setidaknya, desa mendapat bagian sebesar 10 persen dari APBD. Selain itu sumber pendapatan pemerintah desa juga berasal dari bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD kabupaten/kota, pendapatan asli desa yang terdiri dari hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain serta hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga dan pendapatan lain yang sah.

Alokasi APBN yang cukup tinggi tersebut akan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan desa. Dengan semakin meningkatnya penerimaan desa yang berasal dari APBN, maka diperlukan laporan keuangan sebagai bentuk pertanggung jawaban dari desa kepada pemerintah dan masyarakat.

Selama ini pemerintah desa hanya menyajikan laporan yang sangat sederhana kepada pemerintah daerah, yaitu berupa Laporan Realisasi Anggaran (APBDesa). Laporan tersebut melampirkan Buku Kas Umum Desa, Buku Kas Pembantu Perincian Objek Pengeluaran, Buku Kas Harian Pembantu, Laporan Realisasi Penerimaan ADD dan Laporan Realisasi Belanja ADD. Sayangnya semua laporan tersebut berbasis single-entry. Padahal apabila mengingat sumber pendapatan desa yang kini telah ditambah oleh APBN, maka pertanggung jawaban pemerintah desa akan menjadi lebih kompleks dalam hal penyampain laporan keuangan atau laporan sejenis yang terkait penggunaan dana APBN, sehingga penggunaan laporan single entry akan mengurangi esensi akuntabilitas pemerintah desa dalam menyajikan laporan pertanggung jawaban kepada pemerintah daerah.Akuntabilitas merupakan prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa proses penganggaran keuangan mulai dari proses perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Masyarakat tidak hanya memiliki hak untuk mengetahui anggaran tersebut tetapi juga berhak untuk menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut. Oleh karena itu, dengan adanya peningkatan keuangan desa yang bersumber dari APBN, maka perlu dilakukan kajian mengenai akuntabilitas pemerintah dalam pelaporan keuangan desa. Mengingat selama ini laporan yang disajikan oleh pemerintah desa sangat sederhana padahal pertanggungjawabannya kepada pemerintah pusat semakin meningkat.Permasalahan yang muncul seiring dengan diterapkannya UU No 6 tahun 2014 adalah kesiapan aparatur desa dalam menyiapkan laporan keuangan desa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Elsa (2014) menemukan bahwa dari 15 sampel desa di kabupaten/kota Bandung, hanya 2 desa saja yang menempatkan lulusan akuntansi sebagai aparatur desa yang bertanggung jawab dalam menyajikan laporan keuangan desa. Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan sumber daya manusia di desa dalam menyajikan laporan keuangan yang sesuai untuk mendukung UU no 6 tahun 2014 masih kurang. Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut, maka peneliti ingin melakukan kajian lebih lanjut dengan mengambil judul Analisis Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Desa Dalam Pelaporan Keuangan Desa Untuk Mendukung UU No.6 Tahun 2014B. Rumusan MasalahStandar pelaporan keuangan sangat dibutuhkan dalam menyusun laporan keuangan, baik di sektor private maupun sektor publik. Dalam hal ini adalah sektor pedesaan. Selama ini penyusunan laporan desa masih berpedoman pada Permendagri No 37 Tahun 2007 yang berbasis kas. Namun sejak berlakunya UU No 6 Tahun 2014, desa telah memenuhi persyaratan sebagai entitas pelaporan sehingga dalam menyajikan laporan keuangan harus mengacu kepada PP No 71 Tahun 2010 yang berbasis akrual. Disamping itu, permasalahan yang muncul seiring dengan adanya UU No 6 Tahun 2014 adalah kesiapan sumber daya aparatur desa yang masih rendah. Sampai saat ini, masih sedikit lulusan akuntansi yang menempati jabatan sebagai penyaji laporan keuangan desa.Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:1. Apakah standar pelaporan keuangan berpengaruh terhadap akuntabilitas pelaporan keuangan pemerintah desa?2. Apakah sumber daya manusia berpengaruh terhadap akuntabilitas pelaporan keuangan desa?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini memiliki tujuan utama yaitu:1. Untuk menguji secara empiris pengaruh standar pelaporan keuangan terhadap akuntabilitas pelaporan keuangan pemerintah desa

2. Untuk menguji secara empiris pengaruh sumber daya manusia terhadap akuntabilitas pelaporan keuangan pemerintah desa

D. Kontribusi Penelitian

Kontribusi yang diharapkan dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Bagi PemerintahPenelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pengelolaan keuangan desa sejak berlakunya UU nomor 6 tahun 2014 serta kendala-kendala yang terkait dengan pelaporan keuangan desa.2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai pelaksanaan pengelolaan keuangan desa untuk mewujudkan kelola pemerintahan desa yang transparatif, akuntabel serta partisipatif.

3. Bagi PenelitiPenelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman serta pengayaan ilmu akuntansi terutama dalam akuntansi sektor pedesaan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRANA. Entitas Pemerintah Desa1. Pengertian Desa

Desa menurut defenisi universal adalah sebuah anglomerasi pemukiman di area pedesaan (rural). Istilah desa merupakan pembagian wilayah administratif di bawah kecamatan yang dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, istilah desa dapat disebut dengan nama lain misalnya, nagari di Sumatera Barat, kampung di Papua dan Kalimantan, dan istilah-istilah lainnya di masing-masing daerah. Hal ini merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap asal-usul dan adat istiadat masyarakat (Syachbrani, 2012).Beberapa pengertian desa menurut beberapa ahli dalam Syachbrani (2012) adalah sebagai berikut;

1. Sutarjo Kartohadikusumo (1965), Desa merupakan kesatuan hukum tempat tinggal suatu masyarakat yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan pemerintahan terendah (di bawah kecamatan).

2. R. Bintarto (1977), Desa adalah perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, social, ekonomi-politik, dan kultural setempat dalam hubungan dan pengaruh timbal-balik dengan daerah lain.

3. Paul H. Landis, Desa adalah suatu wilayah yang jumlah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan cirri-ciri: pergaulan hidup yang saling kenal-mengenal antar penduduk; pertalian perasaan yang sama tentang suatu kesukaan dan kebiasaan; kegiatan ekonomi yang pada umumnya agraris dan masih dipengaruhi oleh alam sekitar, seperti iklim dan keadaan serta kekayaan alam.

Sedangkan menurut hukum/perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, desa didefinisikan sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa).

2. Agency Theory Dalam Pemerintahan Desa

Menurut Mack Ryan (2006) menjelaskan bahwa hubungan formal akuntabilitas dalam private sector ataupun public sector salah satunya adalah hubungan principal dengan agent, dimana agent memegang tanggung jawab untuk melakukan sesuatu dan mendapat arahan dari principal.Senada dengan Mack Ryan, Halim Abdullah (2006) menegaskan bahwa dalam literatur ilmiah, baik dalam disiplin ilmu ekonomi (termasuk akuntansi), politik maupun keuangan, hubungan seperti itu disebut hubungan keagenan. Dalam hubungan keagenan terdapat dua pihak yang melakukan kesepakatan atau kontrak, yakni yang memberikan kewenangan (disebut prinsipal) atau dalam sektor publik adalah legislatif dan pihak yang menerima kewenangan (agen) atau eksekutif.Halim juga menjelaskan, principal membuat kontrak dengan agen, baik secara implisit maupu eksplisit, dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh principal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang). Permasalahan pada teori keagenan dijelaskan oleh Scott (1997) dalam Lestari dan Atmadja (2014) bahwa dalam hubungan antara agen dan prinsipal (Agency Theory), kemungkinan akan timbul suatu masalah apabila terdapat informasi asimetri yang menyebabkan agen melakukan tindakan yang menyimpang, seperti pemanipulasian data, sehingga laporan keuangan terlihat lebih bagus dan memenuhi harapan prinsipal meskipun tidak menggambarkan kondisi perusahaan yang seutuhnya.

Latifah (2010) juga menambahkan bahwa akibat yang ditimbulkan dari penerapan teori keagenan dapat menimbulkan hal positif dalam bentuk efisiensi, tetapi lebih banyak yang menimbulkan hal negatif dalam bentuk perilaku opportunistik (opportunistic behaviour). Hal tersebut terjadi karena pihak agensi memiliki informasi keuangan yang lebih daripada pihak prinsipal (keunggulan informasi), sedangkan dari pihak prinsipal memanfaatkan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri (self-interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan (discretionary power). Masalah keagenan yang timbul di kalangan eksekutif cenderung memaksimalkan utiliti (self-interest) dalam pembuatan atau penyusunan anggaran APBD, karena memiliki keunggulan informasi (asimetri informasi). Akibatnya eksekutif cenderung melakukanbudgetary slack. Hal ini terjadi disebabkan pihak eksekutif akan mengamankan posisinya dalam pemerintahan di mata legislatif dan masyarakat/rakyat, bahkan untuk kepentingan pilkada berikutnya, tetapi budgetary slack APBD lebih banyak untuk kepentingan pribadi kalangan eksekutif (self interest) daripada untuk kepentingan masyarakat.

3. Pemerintahan Desa Sebagai Sebuah Entitas PelaporanSecara kelembagaan, desa telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa yang menjadi landasan yurisdisnya. Dalam peraturan tersebut diantaranya telah pula diatur tentang keuangan desa, mulai dari ketentuan umum, sumber pendapatan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) dan pengelolaannya, hingga pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Secara spesifik, pengelolaan keuangan desa telah pula diatur dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Tata Cara Pelaporan dan Pertanggungjawaban Penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagai pelaksanaan PP Nomor 72 Tahun 2005 tersebut.

Dari kedua ketentuan tersebut, maka secara garis besar dapat disimpulkan bahwa desa merupakan sebuah entitas yang mandiri. Syachbrani (2012) membenarkan bahwa desa memiliki otoritas yang otonom untuk mengatur perencanaan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban keuangannya dimana kepala desa berperan sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan di desa.Hoesada (2014) menambahkan bahwa desa memenuhi syarat sebagai entitas ekonomi. Entitas ekonomi berarti sekelompok entitas yang terdiri atas entitas pengendali dan satu atau lebih entitas kendalian yaitu beberapa dusun yang beroperasi bersama-sama untuk mencapai sasaran yang konsisten dengan sasaran entitas pengendali.

Bila ditinjau dari perspektif Standar Akuntansi Pemerintah, desa merupakan entitas pelaporan. Hal ini tidak lepas dari karakteristik yang dimiliki desa, antara lain; dibentuk dengan peraturan perundang-undangan, memperoleh anggaran dari APBN dan atau ABPD, dan adanya kewajiban kepala desa untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada BPD sebagai lembaga yang merepresentasikan rakyat didesa terkait. Karakteristik ini sesuai dengan ciri entitas pelaporan sebagaimana yang dimaksud dalam paragrap 11 Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Nomor 11 (PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan).Selain itu, Hoesada juga senada dengan pernyataan di atas bahwa UU 6 tahun 2014 berhasil menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, sehingga desa memenuhi syarat entitas pelaporan, karena mempunyai bentuk umum desa menurut peraturan per-undang-undangan berciri pemisahan kekuasaan desa dari kabupaten/kota, pembentukan desa dari proses politik, memiliki karakteristik otonomi secara memadai, mempunyai kekayaan desa yang tidak termasuk dalam kekayaan kabupaten, menerima alokasi APBN dan APBD kabupaten, mempunyai sistem kepemerintahan dengan perangkat kepala desa dan kelembagaan setara DPRD, menggunakan sistem anggaran mandiri terlepas dari APBD Kabupaten sesuai Paragraf 7 Lampiran I.01 Kerangka Konseptual-PP 71 tahun 2010 namun tidak disebut sebagai sebuah bentuk pemerintahan otonomi diluar pemerintah kabupaten/kota pada paragraf 10 Lampiran I.01 Kerangka Konseptual-PP 71 tahun 2010. Perlu dicatat entitas pelaporan BLU vide PSAP BLU juga tidak disebut-sebut oleh paragraf tentang entitas pelaporan tersebut.4. Pengelolaan Keuangan DesaDalam Permendagri Nomor 37 Tahun 2007 dijelaskan bahwa, keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang behubungan dengan hak dan kewajiban desa tersebut. Sumber keuangan desa pada umunya berasal dari Pendapatan Asli Desa (PAD), dana dari Pemerintah, dan hasil dari BUMDes. Adapun pelaksanaan urusan pemerintah daerah oleh pemerintah desa akan didanai dari APBD, sedangkan pelaksanaan urusan pemerintah pusat yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai oleh APBN.

Seiring dengan adanya UU No. 6 Tahun 2014, maka keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa. Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2014, bersumber dari:

a. Pendapatan Asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;

b. Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

c. Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;

d. Alokasi Dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;

e. Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran

f. Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;

g. Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; danh. Lain-lain pendapatan Desa yang sah.

Dalam pelaksanaan pemerintahan, pemerintah desa wajib mengelola keuangan desa secara transparan, akuntabel, dan partisipatif. Transparan berarti dikelola secara terbuka, akuntabel berarti dipertanggungjawabkan secara hukum, dan partisipatif bermakna melibatkan masyarakat dalam prosesnya. Disamping itu, keuangan desa harus dibukukan dan dilaporkan sesuai dengan kaidah sistem Akuntansi keuangan pemerintahan.

Kepala desa sebagai kepala pemerintahan desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa yang mewakili pemerintah dalam kepemilikan kekayaan desa. Tugas dan kewenangan kepala desa dalam kaitan pengelolaan keuangan antara lain; menetapkan kebijakan pengelolaan barang desa, dan menetapkan kebijakan pelaksanaan APBDesa, dan menetapkan Bendahara Desa. Kepala desa dibantu oleh sekertaris desa sebagai koordinator pelaksana pengelolaan keuangan desa dan pelaksana teknis pengelolaan keuangan desa lainnya.

5. Laporan Keuangan DesaPada akhir periode anggaran setiap tahunnya, kepala desa wajib membuat atau menyusun Laporan Keuangan Desa. Laporan keuangan tersebut merupakan bagian dari laporan kinerja pemerintahan desa selama periode anggaran pemerintahan desa terkait. Laporan tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah desa kepada pemerintah dan masyarakat.

Komposisi laporan keuangan pemerintah desa sejatinya juga mengikuti Laporan Keuangan Pemerintah sesuai PSAP Nomor 01 paragraf 14 yang menyatakan bahwa laporan keuangan terdiri atas:

1. Laporan Pelaksanaan Anggaran; a. Laporan Realisasi Anggaran (LRA)

b. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih

2. Laporan Finansial; a. Neraca

b. Laporan Operasional (LO)

c. Laporan Arus Kas (LAK)

d. Laporan Perubahan Ekuitas (LPE)

e. Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK)

Namun, karena keterbatasan sumber daya manusia yang pada umumnya dimiliki pemerintahan desa, pemerintah kemudian hanya menetapkan laporan wajib yang sangatlah sederhana karena hanya berupa Laporan Realisasi Anggaran (APBDesa) yang kemudian turut serta dilampirkan:

1. Buku Kas Umum Desa; 2. Buku Kas Pembantu Perincian Objek Pengeluaran; 3. Buku Kas Harian Pembantu; 4. Laporan Realisasi Penerimaan ADD; 5. Laporan Realisasi Belanja ADD; 6. Tujuan Penyusunan Laporan Keuangan DesaSecara umum, tujuan laporan keuangan disusun adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban entitas ekonomi atas penggunaan dan pengelolaan sumber daya yang dimiliki dalam suatu periode tertentu. Oleh karena itulah laporan keuangan desa berfungsi sebagai alat evaluasi karena menyediakan informasi posisi keuangan entitas tersebut serta menunjukkan kinerja yang telah dilakukan sehingga nantinya akan menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan bagi kepala desa sendiri maupun pemangku kepentingan lainnya (Pemerintah, BPD, dan masyarakat).

Dari tujuan umum tersebut, dapat disimpulkan beberapa manfaat pentingnya laporan keuangan bagi pemerintah desa, antara lain:

1. Mengetahui tingkat efektivitas, efisiensi dan kebermanfaatan pengelolaan sumber daya ekonomi oleh pemerintah desa dalam satu tahun anggaran.

2. Mengetahui nilai kekayaan bersih yang dimiliki desa sampai dengan posisi terakhir periode pelaporan.

3. Sebagai alat evaluasi yang lebih informatif tentang kinerja aparatur desa utamanya kepala desa.

4. Sebagai sarana pengendalian terhadap kemungkinan terjadinya praktik penyalahgunaan ataupun penyimpangan sumber-sumber ekonomi yang dimiliki desa.

5. Sebagai wujud riil implementasi azas transparansi dan akuntabilitas yang diamanatkan peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan model praktis bagi entitas lain.

Manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan laporan keuangan pemerintah desa sebenarnya tidak hanya terbatasa pada lima poin diatas, karena masih banyak hal-hal yang positif lainnya yang secara tidak langsung berdampak pada masyarakat dan pemerintahan itu sendiri, misalnya sebagai bahan pertimbangan bagi pihak luar (donator, investor dan lainnya) agar dapat perperan dalam mengembangkan desa.B. Akuntabilitas

1. Konsep Akuntabilitas

Akuntabilitas (accountability) secara harfiah dapat diartikan sebagai pertanggung jawaban (Akbar, 2011). Namun penerjemahan secara sederhana ini dapat mengaburkan arti kata accountability itu sendiri bila dikaitkan dengan pengertian akuntansi dan manajemen. Governmental Accounting Standard Board (GASB) di Amerika Serikat mendefinisikan istilah accountability sebagai the requirement for government to answer to the citizenry to justify the raising of public resources and the purposes for which they used, artinya GASB mendefiniskan akuntabilitas sebagai bentuk pertanggung jawaban pemerintah kepada masyarakat atas pemanfaatan sumber daya yang dimiliki publik.

Menurut keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) No.589/IX/6/Y/99, akuntabilitas diartikan sebagai kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menjelaskan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak/berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Oleh karena itu, pemberlakuan undang-undang otonomi daerah harus dapat meningkatkan daya inovatif dari pemerintah daerah untuk dapat memberikan laporan pertanggung jawaban mengenai pengelolaan keuangan daerah dari segi efisiensi dan efektivitas kepada DPRD maupun masyarakat luas.Lebih lanjut, Osborne (1992) dalam Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa Akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan pelayanan apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan jawaban tersebut antara lain, apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa pertanggungjawaban diserahkan, siapa yang bertanggung jawab terhadap berbagai bagian kegiatan dalam masyarakat, apakah pertanggungjawaban berjalan seiring dengan kewenangan yang memadai, dan lain sebagainya. Konsep pelayanan ini dalam akuntabilitas belum memadai, maka harus diikuti dengan jiwa eterpreneurship pada pihak-pihak yang melaksanakan akuntabilitas.

Akuntabilitas dibedakan dalam beberapa macam atau tipe, sebagaimana dijelaskan oleh Sadu Wasistiono dalam Akbar (2014) mengemukakan adanya lima perspektif akuntabilitas yaitu;

1. Akuntabilitas administratif/organisasi adalah pertanggungajwaban antara pejabat yang berwenang dengan unit bawahanya dalam hubungan hierarki yang jelas.

2. Akuntabilitas legal. Akuntabilitas jenis ini merujuk pada domain publik dikaitkan dengan proses legislatif dan ydikatif. Bentuknya dapat berupa peninjauan kembali kebijakan yang telah diambil oleh pejabat publik maupun pembatalan suatu peraturan oleh institusi yudikatif. Ukuran akuntabilitas legal adalah peraturan perundang undangan yang berlaku

3. Akuntabilitas politik. Dalam tipe ini terkait dengan adanya kewenangan pemegang kekuasaan politik untuk mengatur, menetapkan prioritas dan pendistribusian sumber sumber dab menjamain adanya kepatuhan melaksanakan tanggungjawab administrasi dan legal. Akuntabilitas ini memusatkan pada tekanan demokratik yang dinyatakan oleh administrasi publik

4. Akuntabilitas professional. Hal ini berkaitan dengan pelaksnaan kinerja dan tindakan berdasarkan tolak ukur yang ditetapkan oleh orang profesi yang sejenis. Akuntabilitas ini lebih menekankan pada aspek kualitas kinerja dan tindakan.

5. Akuntabilitas moral. Akunatabilitas ini berkaitan dengan tata nilai yang berlaku di kalagan masyarakat. Hal ini lebih banyak berbicara tentang baik atau buruknya suatu kinerja atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif berdasarkan ukuran tata nilai yang berlaku setempat.

2. Akuntabilitas Keuangan Desa

Syachbrani (2012) menjelaskan dalam penelitiannya tentang Akuntasi Dan Akuntabilitas Pemerintahan Desa, bahwa sistem pemerintahan dewasa ini membuat desa mempunyai peran yang strategis dalam membantu pemerintah daerah dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, termasuk pembangunan. Semua itu dilakukan sebagai langkah nyata pemerintah daerah mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Implementasi otonomi bagi desa akan menjadi kekuatan bagi pemerintah desa untuk mengurus, mengatur dan menyelenggarakan rumah tangganya sendiri sekaligus bertambah pula beban tanggung jawab dan kewajiban desa, namun demikian penyelenggaraan pemerintahan tersebut tetap harus dipertanggungjawabkan.

Senada dengan pernyataan tersebut, Subroto (2009) menjelaskan bahwa pemerintah memberikan kesempatan pada masyarakat untuk belajar. Dengan diberikan kesempatan ini, pemerintah desa dapat belajar pengelolaan pembangunan di daerahnya sehingga dapat berpatisipasi aktif dalam menentukan pilihan pembangunan yang akan dilaksanakan dan mengelola pembangunan secara mandiri di desanya masing-masing.

Subroto (2009) juga menambahkan bahwa pemberian kewenangan kepada desa dalam mengelola dana secara mandiri dimaksudkan dengan tujuan:1. Meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan pelayanan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan sesuai kewenangannya;

2. Meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan desa dalam menyusun rencana melaksanakan, mengendalikan, memanfaatkan dan memelihara, serta mengembangkan pembangunan secara partisipatif sesuai dengan potensi desa;

3. Meningkatkan pemerataan pendapatan, kesempatan kerja, dan kesempatan berusaha bagi masyarakat desa;

4. Menumbuhkembangkan dinamika masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat;

5. Menggerakkan dan mengembangkan partisipasi, gotong royong, dan swadaya masyarakat

Di sisi lain, Syachbrani (2012) menjelaskan bahwa dalam usaha untuk mewujudkan tujuan pemerintah dalam pemberian kesempatan mandri bagi pemerintah desa, maka dalam proses pengelolaan dana desa sangat diperlukan adanya akuntabilitas agar semua kegiatan pemerintahan desa dapat berhasil.

Syachbrani (2012) juga menambahkan bahwa masyarakat tidak hanya memiliki hak untuk mengetahui anggaran tersebut tetapi juga berhak untuk menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut. Oleh karena itu, dengan adanya akuntabilitas dalam pengelolaan dana desa maka penyerapan anggaran dapat terjadi secara maksimal karena mendapat pengawasan langsung dari masyarakat.

Tingkat akuntabilitas dalam implementasi pengelolaan dana desa dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Secara umum, pengelolaan keuangan desa harus berpedoman pada minimal prinsip-prinsip berikut:

a. Pengelolaan keuangan direncanakan secara terbuka melalui musyawarah perencanaan pembangunan desa yang hasilnya dituangkan dalam Perdes tentang APBDesa, serta dilaksanakan dan dievaluasi secara terbuka dan melibatkan seluruh unsur masyarakat desa.

b. Seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan secara administrasi, teknis, dan hukum.

c. Informasi tentang keuangan desa secara transparan dapat diperoleh oleh masyarakat.

d. Pengelolaan keuangan dilaksanakan dengan prinsip hemat, terarah, dan terkendali.

e. Masyarakat baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan dapat melakukan pengawasan atas pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh pemerintah desa.C. Implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014

Undang-Undang No 6 Tahun 2014 (UU Desa) mengatur materi mengenai Asas Pengaturan, Kedudukan dan Jenis Desa, Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat sebagaimana diatur dalam Bab XIII.Salah satu poin yang paling krusial dalam pembahasan UU Desa menurut Aliansyah (2013) adalah terkait alokasi anggaran untuk desa. Di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang Keuangan Desa. Jumlah alokasi anggaran yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah. kemudian dipertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, kesulitan geografi. Ini dalam rangka meningkatkan masyarakat desa. Diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar 1.4 miliar berdasarkan perhitungan dalam penjelasan UU desa yaitu, 10 persen dari dan transfer daerah menurut APBN untuk perangkat desa sebesar Rp. 59, 2 triliun, ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10 persen sekitar Rp. 45,4 triliun. Total dana untuk desa adalah Rp. 104,6 triliun yang akan dibagi ke 72 ribu desa se Indonesia.Selain itu desa memiliki beberapa masalah yang perlu diperhatikan saat nantinya dana alokasi APBN tersebut diberikan kepada desa. Seperti yang diungkapkan oleh Robert Endi Jaweng dalam diskusi Prospek Implementasi UU Nomor. 6/2014 yang dikutip dari ekonomi.kompasiana.com menyebutkan bahwa terdapat masalah dalam kapasitas administrasi dan tata kelola aparat pemerintah desa yang masih minim. Kemudian sistem akuntabilitas dan pranata pengawasan yang masih lemah, termasuk belum kritisnya masyarakat atas pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja desa.

Disisi lain permasalahan yang muncul yaitu penempatan posisi sumber daya manusia yang tidak sesuai dengan keahlian ataupun dengan kompetensinya pada posisi bendahara ataupun bagian keuangan dari desa tersebut. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Oktaviana (2014) di 15 desa yang dipilih berdasarkan sample acak di wilayah kabupaten/kota Bandung, menemukan bahwa hanya 2 desa yang menempatkan posisi bendahara ataupun bagian keuangannya dengan orang yang sesuai dengan kompetensinya, yaitu lulusan akuntansi. Sedangkan 13 desa lainnya menempatkan orang yang tidak memiliki kompetensi akuntansi di bagian bendahara ataupun bagian keuangan.D. Kerangka PemikiranDalam lingkungan pemerintahan Indonesia mengacu pada sebuah standar, yaitu Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Standar tersebut di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 2005 mengenai Standar Akuntansi Pemerintah yang saat ini telah berubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor. 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang perubahan standar akuntansi dari yang sebelumnya akuntansi berbasis kas menuju akrual menjadi full akrual. Standar akuntansi pemerintahan tersebut merupakan prinsip-prinsip akuntansi dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan pemerintah. Sistem akuntansi pemerintahan disusun berdasarkan standar akuntansi pemerintahan. Sistem akuntansi pemerintahan diartikan sebagai serangkaian prosedur pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, dan pelaporan posisi serta operasi keuangan negara.Sejak berlakunya UU No. 6 Tahun 2014 di tahun 2015, desa mendapatkan porsi dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Hal ini semakin memberikan bukti nyata bahwa kini desa menjadi entitas pelaporan sehingga pemerintah desa harus menyusun laporan keuangan sebagai bentuk akuntabilitas publiknya.Namun dalam menerapkan UU Nomor 6 Tahun 2014, Pemerintah desa masih berpacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 yang menggunakan metode pencatatan akuntansi single entry yang berbasis pada kas. Selain itu, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut bahwa hasil dokumen yang harus digunakan dalam pengelolaan keuangan desa tersebut meliputi:

1. Buku kas umum;

2. Buku kas pembantu perincian obyek penerimaan;

3. Buku kas pembantu perincian obyek pengeluaran;

4. Buku kas harian pembantu.Laporan pertanggung-jawaban tersebut kurang akuntabel dan transparan. Terlebih lagi dengan akan diterapkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 di mana setiap desa akan mendapatkan alokasi dana dari APBN sebesar sepuluh persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/ kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK), desa akan dituntut untuk melakukan pencatatan dan memberikan pertanggung-jawaban pengelolaan keuangannya dengan mengikuti standar akuntansi yang terkandung dalam peraturan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010.Berdasarkan pemaparan di atas, kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan pada bagan beikut:

Gambar 1.Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian Astri Furqani (2010) dalam Anwar dan Bambang tentang kontribusi dan peran pengelolaan keuangan desa untuk mewujudkan anggaran pendapatan dan belanja desa yang transparan dan akuntabel menemukan bahwa akuntabilitas sangat rendah di desa Kalimo Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep karena tanggung jawab tidak melibatkan masyarakat dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa/Badan Permusyawaratan Desa).

Selain itu, Julian Chandra (2009) menjelaskan bahwa sistem pencatatan transaksi pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Indagiri Hulu telah dilaksanakan namun belum sesuai dengan Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.Disisi lain desa memiliki beberapa masalah yang perlu diperhatikan saat nantinya dana alokasi APBN tersebut diberikan kepada desa. Seperti yang diungkapkan oleh Robert Endi Jaweng dalam diskusi Prospek Implementasi UU Nomor. 6/2014 yang dikutip dari ekonomi.kompasiana.com menyebutkan bahwa terdapat masalah dalam kapasitas administrasi dan tata kelola aparat pemerintah desa yang masih minim. Kemudian sistem akuntabilitas dan pranata pengawasan yang masih lemah, termasuk belum kritisnya masyarakat atas pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja desa.

Disisi lain permasalahan yang muncul yaitu penempatan posisi sumber daya manusia yang tidak sesuai dengan keahlian ataupun dengan kompetensinya pada posisi bendahara ataupun bagian keuangan dari desa tersebut. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Elsa (2014) di 15 desa yang dipilih berdasarkan sample acak di wilayah kabupaten/kota Bandung, menemukan bahwa hanya 2 desa yang menempatkan posisi bendahara ataupun bagian keuangannya dengan orang yang sesuai dengan kompetensinya, yaitu lulusan akuntansi. Sedangkan 13 desa lainnya menempatkan orang yang tidak memiliki kompetensi akuntansi di bagian bendahara ataupun bagian keuangan. Berdasarkan kendala-kendala tersebut hipotesis kedua yang akan diuji adalah:BAB III

METODOLOGI PENELITIANA. Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan2015 sampai dengan.2015, dan tempat penelitian ini dilakukan di Desa Rowogempol Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan Provinsi Jawa Timur.B. Desain PenelitianDesain penelitian ini adalah penelitian deskriptif merupakan sebuah penelitian yang digunakan untuk mengetahui akuntabilitas pelaporan keuangan desa setelah diterapkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.C. Definisi dan Operasionalisasi Variabel

Akuntabilitas adalah

Pelaporan Keuangan Desa adalah

UU Nomor 6 Tahun 2014 adalah

D. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma interpretatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui teknik interview, observasi dan studi dokumentasi. Dalam penelitian ini, data dikumpulkan dari sumber primer yaitu data yang didapatkan langsung dari informan dilapangan, serta sumber sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, tulisan/artikel. Informan dalam penelitian ini ditunjuk secara purposive. Penunjukan ini ditentukan berdasarkan pertimbangan bahwa sejauh mana mereka memahami masalah yang dikaji sebagaimana yang dirumuskan dalam masalah penelitianDAFTAR PUSTAKA

Aliansyah Agil Muhammad. 2013. UU Desa Disahkan, Dana Sebesar Rp 104,6 Triliun Dikucurkan. http://www.merdeka.com/peristiwa/uu-desa-disahkan-dana-sebesar-rp-1046-triliun-dikucurkan.html. Diakses 19 Maret 2015

Halim Abdul & Abdullah Syukriy. 2006. Hubungan dan Masalah Keagenan di Pemerintah Daerah. Jurnal Akuntansi Pemerintah Vol.2, No.1, Hal 53-64Hoesada Jan Dr. CPA. 2014. Desa. http://www.ksap.org/sap/desa/. Diakses pada 19 Maret 2015.

Lestari Dewi K.A, Atmadja Tungga A. & Adiputra Pradana M.I. 2014. Membedah Akuntabilitas Praktik Pengelolaan Keuangan Desa Pakraman Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali (Sebuah Studi Interpretif Pada Organisasi Publik Non Pemerintahan). E-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 Vol:2 No:1Mack Janet & Ryan Christine. 2006. Reflections on the Theoretical Underpinnings of the General Purpose Financial Reports of Australian Government Departments. Accounting, Auditing and Accountability Journal 19(4):pp. 592-612. Oktaviana Elsa, Delima, dan Nisa Dwi Apriliani. 2014. Efektivitas & Produktivitas Kinerja Aparatur Desa Dalam Mewujudkan Pengelolaan Keuangan Negara yang Transparan, Akuntabel, Efektif dan Efisien. BandungMardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Cetakan Pertama. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Subroto, Agus. 2009. Akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa. Tesis tidak dipublikasikan. Semarang: Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Syachbrani, Warka. 2012. Akuntasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Desa. Tugas akhir tidak dipublikasikan. Yogyakarta : Magister Universitas Gadjah Mada.Taufik Taufeni.2009. Pengelolaan Keuangan Desa Dalam Sistem Keuangan Negara Republik Indonesia. Pekanbaru : Universitas Riau.

Yahya Idhar. Akuntabilitas dan Transparasi Pengelolaan Keuangan Daerah. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) No.589/IX/6/Y/99

PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan

UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan DesaUU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

PP Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja NegaraPP Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Permendagri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan DesaPEMERINTAH DESA

UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa

SEBAGAI ENTITAS PELAPORAN

Permendagri No 37 Tahun 2007

PP No 71 Tahun 2010

Akuntabilitas Pelaporan

20