pengaruh perkawinan di bawah umur terhadap...
TRANSCRIPT
PENGARUH PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TERHADAP
PEMBENTUKAN KELUARGA SAKINAH
(STUDI PADA KECAMATAN CAKUNG JAKARTA TIMUR)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
RIANA MARUTI
NIM : 104044201479
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKSHIYAH
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
PENGARUH PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TERHADAP
PEMBENTUKAN KELUARGA SAKINAH
(STUDI PADA KECAMATAN CAKUNG
JAKARTA TIMUR)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
RIANA MARUTI
NIM : 104044201479
Di bawah bimbingan:
Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
NIP. 150 210 422
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKSHIYAH
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PENGARUH PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TERHADAP
PEMBENTUKAN KELUARGA SAKINAH (STUDI PADA KECAMATAN CAKUNG
JAKARTA TIMUR) telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 23 September 2008 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Al-Ahwal
As-Syakhsiyyah.
Jakarta, 23 September 2008
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M.
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA
(..........................)
NIP. 150 169 102
2. Sekretari: Kamarusdiana, S.Ag., M.H
(..........................)
NIP. 150 285 972
3. Pembimbing: Prof. Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM
(..........................)
NIP.150 210 422
4. Penguji I: DR.Yayan Sopyan, M.Ag
(..........................)
NIP. 150 277 991
5. Penguji II: Drs. Noryamin Aini, MA
(.........................)
NIP. 150 247 330
ـــ�� اا� ا���� ا�����
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah seru sekalian alam, yang telah memberikan
rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Sholawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad SAW, pembawa syari’ah-Nya yang universal bagi
semua manusia dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis jumpai, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya,
kesungguhan, kerja keras dan kerja cerdas disertai dukungan dan bantuan
dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan
akhirnya dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
Atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak dalam
menyelesaikan skripsi ini, penulis secara khusus mempersembahkan
ungkapan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor Univarsitas Islam Negri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang telah
mendidik, membina serta membimbing, selama penulis menyusun skripsi
ini.
3. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag.,
M.H., selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Al-Ahwal
Al-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Segenap bapak dan ibu dosen atau staf pengajar pada lingkungan
Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di
bangku kuliah.
5. Segenap jajaran staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan
Hukum, Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Bapak H. Achmad Fauzi, SH selaku Kepala KUA Cakung Jakarta Timur dan
seluruh jajarannya staf dan karyawan KUA Cakung Jakarta Timur.
7. Terkhusus penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang
tak terhingga sebagai ucapan rasa sayang Kepada Ayahanda
Sugiyatno dan Ibunda Lia Suliyati yang telah mendidik penulis dari kecil
hingga dewasa dengan penuh pengorbanan, serta memberikan Do’a,
motivasi, semangat dengan penuh kasih sayang, kesabaran dan
perhatian yang begitu tulusnya di setiap langkahku, sehingga penulis
dapat menyelesaikan pendidikan di UIN Jakarta.
8. Kakak-kakak dan adikku, Kukuh Hudiri, SE, dan istri Eridani Adara ST,
Martanti liesuatika dan suami Andriyadi, adikku Margo subakti serta
keponakanku yang aku cintai Muhamad Dafa Rajendra, Karla Naifa
yang dengan segala upaya dan kemampuan yang ada kalian telah
memberikan dorongan kepadaku untuk menyelesaikan studi di
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Kakanda Agus Sulistiono S,St,Pi. yang telah setia memberikan
do’a,semangat, perhatian dan kasih sayang yang tulus di setiap langkah
penulis baik suka maupun duka hingga penulis menemukan kembali
semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Sahabat-sahabatku Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam
Angkatan 2004, Andy, Eni,Bari, Zarkasih, Puji, Hana, Diah, lilis, Ade, Dede
terima kasih atas doa kerjasama dan kekompakanya dan tidak lupa
penulis mengucapkan terima kasih kepada Kakak Amarullah yang telah
meminjamkan buku-bukunya.
11. Semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan baik berupa materil maupun spirituil yang sangat
berharga didalam menyusun skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa segala bantuan dan motivasi yang penulis
peroleh tidak akan dapat terbayar oleh apapun, hanya do’a yang dapat
penulis panjatkan semoga pahala berlipat ganda dilimpahkan Allah SWT
kepada kita semua. Amin ya robbal alamin. Jakarta, 03 Juni 2008
Riana Maruti
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Pembatasan Masalah ...................................................................... 4
C. Perumusan Masalah .......................................................................... 5
D. Tujuan Penelitian ............................................................................... 6
E. Metode Penelitian.............................................................................. 6
F. Review Studi Terdahulu ..................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan.........................................................................10
BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan...................................... 12
B. Rukun dan Syarat Perkawinan.......................................................... 17
C. Hikmah Perkawinan ........................................................................... 23
BAB III TINJAUAN TERHADAP PERKAWINAN
DI BAWAH UMUR DAN KELUARGA SAKINAH
A. Perkawinan Di Bawah Umur.............................................................. 26
B. Keluarga Sakinah ............................................................................... 39
BAB IV PENGARUH PERKAWINAN DIBAWAH UMUR
TERHADAP PEMBENTUKAN KELUARGA SAKINAH
PADA MASYARAKAT CAKUNG JAKARTA TIMUR
A. Kondisi Umum Kecamatan Cakung Jakarta Timur ......................... 47
B. Analisa Perkawinan Di Bawah Umur Di Kecamatan Cakung
Jakarta Timur ...................................................................................... 51
C. Analisa Pengaruh Perkawinan Di Bawah Umur terhadap
Pembentukan keluarga sakinah....................................................... 60
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan ......................................................................................... 65
B. Saran-saran......................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 68
LAMPIRAN-LAMPIRAN.......................................................................................... 70
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Sudah menjadi kodrat manusia diciptakan dan dilahirkan ke dunia ini
terdiri dari dua jenis yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan. Antara
kedua jenis manusia ditakdirkan hidup saling berpasang-pasangan antara
individu yang kemudian menimbulkan dorongan untuk mengadakan
hubungan antara ikatan suami istri yang kekal serta membangun rumah
tangga yang bahagia dan sejahtera dalam suatu ikatan yang kokoh yang
disebut dengan perkawinan.
Perkawinan menjadi bagian yang penting bagi kehidupan manusia
karena menyangkut hubungan antar manusia. Karena menyangkut
hubungan antar manusia, maka perkawianan juga merupakan perbuatan
hukum yang menimbulkan akibat-akibat hukum yang berupa hak-hak dan
kewajiban bagi mereka yang melangsungkan perkawinan. Oleh karena itu
sudah menjadi tugas penguasa negara dalam hal ini pemerintah untuk
mengatur norma-norma hukum bagi perkawinan diantara warga untuk
kebutuhan masing-masing masyarakat.1
1A. Mukthie Fadjar, Tentang dan Sekitar Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet. Ke-1, (Malang: Fakultas Pedagang/Wiraswasta Hukum Universitas Brawijaya, 1994), hal.1
Selain itu alasan mengapa perkawinan mempunyai arti penting bagi
kehidupan manusia yaitu menyangkut harga diri, sebagaimana dikatakan
oleh Sayuti Thalib:
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang
umum ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga
mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak
kawin.2
Oleh karena itu perkawinan menjadi sangat penting bagi kehidupan
seorang individu dalam suatu masyarakat. Masalah perkawinan di Indonesia
telah ada yang mengatur yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan (Lembaran negara No1 Tahun 1974), sebagai realisasi dari
kebutuhan adanya peraturan tentang perkawinan secara nasioanal.
Penetapan umur sesuai dengan salah satu asas yang dianut Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan:
Undang-Undang perkawinan menganut prinsip bahwa calon
suami istri masak jiwa dan raganya. Hal ini sangat perlu untuk
mewujudkan tujuan perkawinan, ialah agar anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut merupakan anak yang sehat.
Disamping itu batas umur rendah mengakibatkan laju kelahiran
yang lebih tinggi hal mana adalah bertentangan dengan usaha
pemerintah untuk membatasi kelahiran dengan
menyelenggarakan Program Keluarga Berencana Nasional.
Walaupun batasan umur telah tegas-tegas diatur, dalam
kenyataannya masih banyak terjadi pernikahan dibawah umur. Masalah ini
2 Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia. Cet. Ke-5, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1986), hal. 48
tidak lepas dari soal pola budaya masyarakat yang telah dianut sejak
dahulu, faktor ekonomi, faktor psikologis, dikarenakan rasa malu akibat
kehamilan yang terjadi lebih dulu sehingga untuk mengatasinya dilakukan
perkawinan walaupun secara biologis maupun psikologis mereka belum
cukup siap. Namun perkawinan di bawah umur ini dimungkinkan oleh pasal
7 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang
mengatur tentang dispensasi untuk melangsungkan pernikahan di bawah
umur, dimana izin untuk itu diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjukkan oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
Walaupun pelaksanaan perkawinan di bawah umur ini telah tegas-
tegas diatur dalam undang-undang namun pada pelaksanaanya masih
banyak orang yang melakukan manipulasi data calon pengantin misalnya
dengan menuakan tahun kelahiran dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP),
mereka dapat melangsungkan perkawinan dan perkawinan tersebut dapat
dicatatkan di Kantor Urusan Agama tanpa adanya pemberian izin dispensasi
dari Pengadilan Agama.
Dengan demikian sudah jelas kiranya petugas pencatat perkawinan
dalam hal ini mempunyai peranan yang sangat penting, karena lembaga ini
yang memeriksa segala persyaratan bagi calon mempelai yang ingin
menikah.
Disamping itu pernikahan di bawah umur dinilai dapat menimbulkan
berbagai dampak yang kurang baik karena mereka dinilai belum memiliki
kesiapan dan kematangan fisik dan mental, karena kematangan fisik dan
mental sebelum menikah merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Berlangsungnya perkawinan yang sama-sama dewasa dinilai akan
membantu dampak yang baik bagi perkembangan rumah tangga, dengan
adanya kedewasaan kedua belah pihak baik fisik maupun mental akan
membuat rumah tangga tentram dan damai sehingga apa yang dicita-
citakan dalam kehidupan berumah tangga dapat tercapai.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menganalisa
permasalahan ini. Dengan segala keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan, penulis ingin menulis skripsi dengan judul: “PENGARUH
PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TERHADAP PEMBENTUKAN KELUARGA
SAKINAH” (STUDI PADA KECAMATAN CAKUNG JAKARTA TIMUR).
Pembatasan Masalah
Agar penelitian dan penulisan skripsi ini menjadi fokus dalam
pembahasanya, maka penulis memberikan batasan. Batasan yang
digariskan adalah sebagai berikut:
1) Penelitian hanya membahas masalah pernikahan di bawah umur yaitu
yang melakukan pernikahan yang tidak sesuai dengan pasal 7 ayat 1
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yakni calon
suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-
kurangnya berumur 16 tahun yang terjadi di lingkungan hukum KUA
Cakung Jakarta Timur.
2) Keluarga yang penulis maksud adalah masyarakat terkecil sekurang-
kurangnya terdiri dari pasangan suami istri sebagai sumber intinya berikut
anak-anak yang lahir dari mereka. Jadi, setidak-tidaknya keluarga
adalah pasangan suami istri, baik mempunyai anak atau tidak
mempunyai anak.
Sakinah yang penulis maksud adalah rasa tentram, aman damai.
Seorang akan merasa sakinah apabila terpenuhi unsur-unsur hajat hidup
spiritual dan material secara layak dan seimbang.
Dengan demikian dapat dirumuskan pengertian Keluarga Sakinah yang
penulis maksud adalah keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah,
mampu memenuhi hajat hidup spritual dan material secara layak dan
seimbang, diliputi suasana kasih sayang antar anggota keluarga dan
lingkungannya dengan selaras, serasi, serta mampu mengamalkan,
menghayati dan memperdalam nilai-nilai keimanan, ketaqwaaan dan
akhlaq mulia.
3) Hukum Islam yang penulis maksud adalah Hukum Islam yang membahas
masalah perkawinan.
Perumusan Masalah
Pelaksanaan Perkawinan di bawah umur tidak sesuai dengan KHI
pasal 15 Ayat I yaitu: “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,
perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah
mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun
1974 tentang perkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19
tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. Namun dalam
Islam sendiri tidak ada ketegasan secara konseptual dalam pembatasan
usia perkawinan, Maka kerawanan perkawinan di bawah umur sering terjadi.
Akibatnya banyak sekali kegagalan dalam perkawinan hal ini dikarenakan
antara kematangan calon suami istri baik dari aspek fisik maupun psikis calon
suami istri, yang diwujudkan dalam pembatasan usia minimal perkawinan
sangatlah penting bagi kebahagiaan dan kesejahteraan perkawinan itu
sendiri.
Dengan melihat hal tersebut di atas, maka ada beberapa hal yang
perlu untuk diangkat kepermukaan sebagai rumusan masalah dalam skripsi
ini yaitu :
1) Apa yang mempengaruhi terbentuknya keluarga sakinah?
2) Ada atau tidak korelasi antara tinggi rendahnya usia perkawinan dengan
pembentukan keluarga sakinah?
3) Ada atau tidak pengaruh perkawinan di bawah umur terhadap
pembentukan keluarga sakinah?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang mempengaruhi terbentuknya keluarga
sakinah.
2. Untuk mengetahui ada atau tidak korelasi antara tinggi rendahnya usia
perkawinan dengan pembentukan keluarga sakinah.
3. Untuk mengetahui ada atau tidak pengaruh perkawinan di bawah umur
terhadap pembentukan keluarga sakinah.
Metode Penelitian
Untuk mengkaji permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini,
Penulis mempergunakan suatu kombinasi antara dua bentuk penelitian,
yaitu penelitian kuantitatif dan kualitatif, sedangkan metode yang
digunakan adalah metode deskriptif analisis, yang penulis peroleh melalui:
1. Sumber Data
Menurut Sugiono bila dilihat dari sumber data, maka pengumpulan
data dapat menggunakan sumber primer dan sekunder.3
a. Data Primer, merupakan data yang diperoleh langsung dari
responden melalui Quesioner dan wawancara baik dengan pelaku
pernikahan di bawah umur maupun pihak lain yang bersangkutan
dengan judul skripsi ini.
b. Data Sekunder, yaitu data yang tidak langsung memberikan data
kepada pengumpul data. Data sekunder ini diperoleh dari para
informan dan dari buku-buku melalui kajian kepustakaan yang
berhubungan dengan skripsi ini.
2. Populasi dan Sampel
3 Sugiono, Metode Penelitian Bisnis (CV. Arkabeka Bandung 2007), h.139
a. Populasi dari studi ini adalah masyarakat kecamatan cakung yang
sudah menikah baik pernikahan yang sudah lama maupun yang
baru, dengan jumlah populasi sebesar 217236 jiwa.
b. Sampel dari studi ini diambil 100 orang, dengan menggunakan
random sampling.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi, yaitu penulis mengadakan pengamatan langsung
kelapangan untuk melihat dan meneliti pengaruh perkawinan di
bawah umur terhadap pembentukan keluarga sakinah yang terjadi
pada masyarakat Kecamatan Cakung Jakarta Timur.
b. Wawancara, Mengadakan tanya jawab langsung secara terbuka
dengan warga kecamatan cakung yang melakukan perkawinan di
bawah umur, guna mendapatkan hasil yang sesuai untuk
menyelesaikan skripsi ini.
4. Teknik Pengolahan Data
Seluruh data yang penulis peroleh dari wawancara, angket, dan
pustaka diseleksi dan disusun, setelah itu penulis melakukan klasifikasi
data, yaitu usaha menggolong-golongkan data berdasarkan kategori
tertentu. Setelah data-data yang ada di klasifikasikan, lalu diadakan
analisa data, dalam hal ini, data yang di kumpulkan penulis adalah data
kualitatif kemudian diolah menjadi data kuantitatif, maka teknik yang
digunakan adalah metode statistik deskriptif yang akan di sajikan dalam
bentuk uraian dan tabel.
Metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang
tepat, tujuannya adalah untuk membuat deskriftif, gambaran atau
lukisan yang sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-
sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki
Data yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan
jawaban yang diterima kejelasanya konsistensinya atau informasi yang
biasa disebut editing, kemudian data-data tersebut di tabulasi, yakni
disusun kedalam bentuk tabel dengan menggunakan statistic persentase
sebagai berikut :
P = N
F x 100 %
Keterangan:
P = Besar persentase
F = Frekuensi ( jumlah jawaban responden)
N = Jumlah responden
Besar persentase dari rumus diatas akan dijelaskan dengan beberapa
criteria:
100 % : Seluruhnya
82 – 93 % : Hampir seluruhnya
67 – 81 % : Lebih dari setengah
50 % : Setengahnya
34 – 49 % : Hampir setengahnya
18 – 33 % : Sebagian kecil
12- 17 % : Sedikit sekali
Sedangkan dalam penyusunan skripsi ini teknik penulisa berpedoman
pada buku pedoman penulisan skripsi fakultas syariah dan hukum UIN
Syarif Hidayatullah.
Review Studi Terdahulu
Selama penelusuran penulis, bahwa pembahasan Pengaruh Perkawinan Di
Bawah Umur Terhadap Pembentukan Keluarga Sakinah, telah ada yang membahas
masalah tersebut diantaranya adalah “ Pernikahan Usia Muda Terhadap Pembentukan
Keluarga Sakinah “ oleh Ahmad Hidayat, namun masih terdapat beberapa
kekurangan di antaranya tidak memberikan contoh kasus pasangan yang melakukan
perkawinan usia muda yang dapat membentuk keluarga sakinah. Sedangkan dalam
skripsi yang penulis bahas yaitu “ Pengaruh Perkawinan Di Bawah Umur Terhadap
Pembentuka Keluarga Sakinah “ Studi Pada Kecamatan Cakung Jakarta Timur,
penulis memberikan contoh pasangan yang melakukan perkawinan di bawah umur
yang dapat membentuk keluaraga sakinah.
Skripsi yang kedua “ Pemberiam Dispensasi Kawin Di Bawah Umur Oleh
Pengadilan Agama “, yang di bahas oleh Ayatullah. Skripsi ini membahas
bagaimana Prosudur permohonan dispensasi kawin di bawah umur yang
terjadi di Pengadilan Agama denagan nomor ( 003/pdt. P/ 1996 /PA ) yang
mana pemohon meminta dispensasi karena pemohon telah melakukan
hubungan intim dengan kekasihnya sehingga orang tuanya mengharuskan
untuk segera menikah.Namun skripsi ini masih memiliki beberapa kekurangan
diantaranya adalah dalam skripsi ini tidak dibahas dampak yang timbul
setelah pernikahan terjadi.
Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk penulisan skripsi Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan skripsi ini terdiri
dari lima bab. Adapun perincianya sebagai berikut:
BAB 1 Pendahuluan, memuat: Latar Belakang Masalah, Perumusan
dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Metodelogi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Tinjauan Umum Perkawinan, pada bab ini penulis akan
mengulas Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan, Rukun dan
Syarat Perkawinan, Hikmah perkawinan.
BAB III Tinjauan Terhadap Perkawinan Di Bawah Umur dan Keluarga
Sakinah. Pada bab ini penulis membahas Perkawinan Di Bawah
Umur, yang dibagi menjadi dua yaitu: Pengertian Perkawinan
Di Bawah Umur dan Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Perkawinan Di Bawah Umur. Kemudian Keluarga Sakinah dan di
bagi menjadi tiga yaitu: Pengertian Keluarga Sakinah,
Karakteristik Keluarga Sakinah, Tujuan dan Hakikat Keluarga
Sakinah.
BAB IV Pengaruh Perkawinan Di Bawah Umur terhadap Pembentukan
Keluarga Sakinah Pada Masyarakat Kecamatan Cakung
Jakarta Timur. Pada bab ini penulis akan menjelaskan Kondisi
Umum Kecamatan Cakung Jakarta Timur,Analisa Perkawinan Di
Bawah Umur di Kecamatan Cakung Jakarta timur, Analisa
Pengaruh perkawinan Di bawah Umur Terhadap Pembentukan
Keluarga Sakinah.
BAB V Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, Untuk
itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian,
disamping itu penulis mengetengahkan beberapa saran yang
dianggap perlu.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Pernikahan merupakan Sunnatullah yang umum dan berlaku pada
semua mahluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi mahluk-
Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.4
Allah SWT, berfirman dalam Surat An-Nisa (4): 1 yang berbunyi sebagai
berikut:
�� ����� ا��ي ر��� ا���ا ا���س ��أ���� ����� و��% وا#"ة ن�
1� �0�ء��ن ا��ي ا��1 وا���ا ون�0ء آ-,+ا ر&��� ���(� و�) زو&��
)1:4 /ا��90 (.ر�7,8 6�,�� آ�ن ا��1 إن وا�4ر#�م
Artinya:” Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak.”
4 Abidin Slamet, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Cet Ke-1, h. 9
Adapun tentang makna pernikahan itu secara dedfinitif, masing-
masing ulama fikih berbeda dalam mengemukakan pendapatnya, antara
lain sebagai berikut: 2
1. Ulama Hanafiah, mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang
berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya seorang laki-
laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badanya
untuk mendapatkan kesenanganya atau kepuasaan.
2. Ulama Syafi’iyah, menyebutkan bahwa pernkahan adalah suatu
akad dengan menggunakan lafal nikah atau zauj yang menyimpan
arti memiliki wati. Artinya dengan pernikahan seseorang dapat
memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya.
3. Ulama Malikyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad
yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan, dengan
tidak mewajibkan adanya harga.
4. Ulama Hanabilah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad
dengan menggunakan lafal Inkah untuk mendapatkan kepuasan,
artinya seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang
perempuan dan sebaliknya.
Dari beberapa pengertian nikah tersebut di atas maka dapat penulis
kemukakan bahwa pernikahan adalah suatu akad antara seorang pria
dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah
pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang
2 Djama’an Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), Cet Ke-1, h.. 2
telah ditetapkan syara untuk menghalalkan pencampuran antara
keduanya, sehingga satu sama lain saling saling membutuhkan menjadi
sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga.3
Para ulama Mutaakhirin dalam mendefinisikan nikah telah
memasukkan unsur hak dan kewajiban suami-istri kedalam pengertian nikah,
Muhammad Abu Ishrah mendefinisikan nikah sebagai:
"Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan
mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan
mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hakekat bagi
pemiliknya dan pemenuhan kebutuhan masing-masing".4
Dari pengertian ini berarti perkawinan mengandung akibat hukum
yaitu saling mendapat hak dan kewajiban. Serta bertujuan mengadakan
pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Oleh karena itu perkawinan
termasuk dalam pelaksanaan syari’at agama, maka di dalamnya
terkandung tujuan dan maksud.
"Perkawinan menurut Islam adalah suatu perjanjian suci yang kuat
dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang pria dengan
seoang wanita membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih
mengasihi, aman tentram, bahagia dan kekal”.5
3 Ibid, h.. 12
4 Ibid, h. 4
5 A. Zuhdi Muhdlur, Hukum Perkawinan, (ttp, Al-Bayan, 1997), Cet ke-1, h. 6.
Arti "perkawinan" menurut Undang-undang Republik Indonesia No. I
Tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal I dikatakan bahwa perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan mengandung unsur-unsur:
1. Keagamaan /Kepercayaan /rohani, dalam arti bahwa perkawinan itu
hanya dilangsungkan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan
pelaksanaanya dilangsungkan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan.
2. Biologis, seperti dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun
1974 tentang perkawinan yang menentukan bahwa
ketidakmampuan istri dalam melahirkan keturunan alasan untuk
berpoligami.
3. Psikologis, dalam arti bahwa seseoang yang akan melangsungkan
perkawinan harus sudah benar-benar dewasa. Penentuan batasan
umur untuk kawin dikaitkan dengan laju pertumbuhan penduduk.
4. Unsur hukum adat, yaitu mengenai pengaturan harta benda
perkawinan yang mengambil alih azas dalam hukum adat.
5. Yuridis, yang dapat disimpulkan dari ketentuan bahwa perkawinan
yang dilakukan secara sah adalah jika perkawinan tersebut
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut
prinsip bahwa calon suami istri telah masak jiwa dan raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan
secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan
yang baik dan sehat. Seperti disyaratkan dalam pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, seorang pria diperbolehkan
melangsungkan perkawinan jika telah mencapai umur 19 tahun sedang
seorang wanita telah berusia 16 tahun.
Selain itu perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat, sebab perkawinan itu tidak hanya
menyangkut wanita dan pria yang bakal mempelai saja, tetapi juga orang
tua. Kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka
masing-masing. Dengan tidak mengesampingkan unsur-unsur yang terlibat
dalam lingkupnya, karena satu sama lain saling ikut melengkapi demi
terciptanya keharmonisan hidup.
“Oleh karena peristiwa perkawinan mempunyai arti yang begitu
penting, maka pelaksanaannya senantiasa dimulai dan seterusnya disertai
dengan berbagai upacara lengkap dengan adat istiadat yang ada
dilingkungan tersebut”.6
2. Dasar Hukum Perkawinan
6 Surojo Nigo Jodipuro, Pengantar Dan Azaz-azaz Hukum Adat, (Jakarta: CV Haji Masagung,
1987), Cet Ke-6, h. 122
Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Al-Qur'an QS. Ar-Rum (30):
21
������ ������ ��� ���� ������
����� ����� ����� !�"�� #☯���&'��
(�)*,�� �.�/� 0�1&2��34
56�7�8�� �!9�,�:�� ,;<2�*<�
=�☺��?�� @ <�34 A3B �C���D
EF�� G� HI�*�4�/� ���JK�⌧��� ا�+وم ( /21:30(
Artinya: "Dan di antara landa-tanda kekuasaan-Nya ialah. Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar• terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir ".
QS An- Nahl (16): 72
MN0��� 56�7�8 ����� �����
����� !�"�� #☯���&'�� 56�7�8��
����� ����� �!9�8��&'�� �BO�,��
,;�P⌧���� ����#�'�?�� Q����
�F��9STKU�0� @ V6�U��9&�0039�W��
��*,���� �F�☺�7�,3��� XN0�
��7Y ���J!��� )72:16/ا��<=(
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu Isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari istrei-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-
cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik. Maka mengapakah
mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari ni'mat
Allah?".
QS An-Nisa (4): 3
��34�� �[�\&��Q ]^�� (�*�U� &47 A3B
@?�`���T&�0� (�*���"00�W 0��
Qb0� ����� Q���� ��N0d ��e�0�
@f;8�g�� �h���7i�� �j���k?�� ( ��3l�W i.&��Q ]^�� (�*���P�7�
n;�P���*�W ���� 0�� �F������
����e��☺� �� @ �C���D �A;o�2��
]^�� (�*��*7� )90��3:4 /ا(
Artinya : “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.”
B. Rukun dan Syarat Perkawinan
Berbicara mengenai hukum perkawinan sebenarnya kita
membicarakan berbagai aspek kehidupan masyarakat, bahwa bentuk
masyarakat ditentukan atau sekurang-kurangnya banyak dipengaruhi oleh
bentuk dan sistem perkawinan, sebelum kita membicarakan syarat dan
rukun perkawinan tersebut alangkah lebih baik kita melihat perkawinan dari
tiga sudut, yaitu:
Pertama, dari sudut hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian
antara pria dan wanita agar dapat melakukan hubungan kelamin secara
sah dalam waktu yang tidak tertentu9 (lama, kekal, abadi) kedua, Dari sudut
agama perkawinan itu dianggap sebagai suatu lembaga yang suci dimana
antara suami istri agar hidup tentram, saling mencintai, santun menyantuni
dan kasih mengasihi antara satu terhadap yang lain dengan tujuan
mengembangkan keturunan.10
Pekawinan adalah suatu jalan yang halal untuk melanjutkan
keturunan dan dengan perkawinan itu akan terpelihara agama, kesopanan
dan kehormatan. Banyak penyakit jiwa yang sembuh setalah melakukan
perkawinan umpamanya penyakit kurang darah (anemia), dengan
demikian perkawinan dapat menimbulkan keunggulan, keberanian dan rasa
tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat dan negara. Perkawinan
juga dapat menyambung tali silaturrahmi, persaudaraan dan kegembiraan
dalam menghadapi perjuangan hidup dalam kehidupan masyarakat dan
sosial. Ketiga, dari sudut kemasyarakatan bahwa orang-orang telah kawin
atau berkeluarga telah memenuhi salah satu bagian syarat dari kehendak
9 Nazwar Syamsu, A1-Qur'an Tentang Manusia dan Masyarakat, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1983), Cet. Ke-1, h. 159.
10 1bid, h. 159
masyarakat, serta mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih
dihargai dari mereka yang belum kawin.11
Rukun dan syarat dalam Islam merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan antara satu dan lainnya, karena kebanyakan dari setiap aktifitas
ibadah yang ada dalam agama Islam ada yang namanya rukun dan syarat,
sehingga bisa dibedakan dari pengertian keduanya adalah: syarat
merupakan suatu hal yang harus ada atau terpenuhi sebelum suatu
perbuatan dilaksanakan, sedangkan rukun merupakan suatu hal yang harus
ada atau dipenuhi pada saat perbuatan dilaksanakan. Seperti dalam shalat
misalnya, wudhu merupakan suatu perbuatan yang dilakukan sebelum
shalat yang kemudian menjadi syarat sah shalat, adapun rukun shalat
adalah niat, membaca takbiratul ikhram, membaca fatihah dan lain-lain
yang merupakan suatu perbuatan yang merupakan satu perbuatan yang
dilakukan pada saat shalat berlangsung.
Kaitannya pada bidang perkawinan adalah bahwa rukun perkawinan
merupakan sebagian dari hakikat perkawinan, seperti harus adanya laki-laki
dan perempuan, wali, akad nikah dan sebagainya. Semua itu adalah
bagian dari hakikat perkawinan, dan tidak dapat terjadi suatu perkawinan
11 Ibid, h. 106
kalau tidak ada salah satu dari rukun perkawinan di atas. Maka yang
demikian dinamakan rukun perkawinan.12
Adapun syarat merupakan sesuatu yang harus ada dalam
perkawinan tetapi tidak termasuk salah satu sebagian dari hakikat
perkawinan itu, misalnya syarat wali itu adalah laki-laki, baligh, berakal dan
sebagainya. Lebih lanjut penulis akan menjelaskan lebih rinci mengenai
rukun dan syarat perkawinan sebagai berikut:
1. Rukun Perkawinan
Rukun perkawinan merupakan hal-hal yang harus di penuhi pada saat
melangsungkan perkawinan. Dalam Islam sebenarnya banyak perbedaan
pendapat yang terjadi antara Imam mazhab, akan tetapi pada kali ini
penulis hanya akan mengemukakan pendapat yang berkembang di
Indonesia yang juga telah menjadi hukum tertulis di Indonesia, diantaranya:
a. Adanya calon suami dan calon isteri yang akan melakukan
perkawinan.
b. Adanya wali dari pihak calon wanita.
Akad nikah dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakil yang
akan menikahkannya.
c. Adanya dua orang saksi.
12 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1996),
Cet. Ke-15, h. 15
Pelaksanan perkawinan, akan sah apabila dua orang saksi yang
menyaksikan akad nikah tersebut.
d. Sighat akad nikah, yaitu ijab qabul yang di ucapkan oleh wali atau
wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh pengantin laki-laki.13
2. Syarat Perkawinan
Syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Jika
syarat-syaratnya terpenuhi maka perkawinanya adalah sah dan
menimbulkan segala adanya kewajiban dan hak-hak perkawinan.14 Dalam
Islam syarat-syarat nikah di perinci ke dalam syarat-syarat untuk mempelai
wanita dan syarat-syarat untuk mempelai laki-laki, syarat-syarat nikah ini
digolongkan ke dalam syarat materil dan harus di penuhi agar dapat
melangsungkan perkawinan.
Dikarenakan syarat merupakan kepanjangan tangan dari rukun
perkawinan, rukun di atas, diantaranya sebagai berikut:
a. Syarat calon mempelai laki-laki:
1) Calon suami beragama Islam,
2) Laki-laki,
3) Jelas orangnya,
4) Tidak dipaksa (dengan kemauan sendiri),
13 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor : Kencana, 2003), Cet. Ke-l, h.46-47
14 Hasanudin, Diktat kuliah Mukaranah Al-Mazahib Fit Munakahat, 2002
5) Tidak beristri lebih dari empat orang,
6) Bukan mahramnya bakal isteri,
7) Tidak mempunyai isteri dan haram dinikahi,
8) Mengetahui bakal isterinya tidak haram dinikahi,
9) Tidak dalam ihram haji atau umrah.
b. Syarat calon mempelai wanita:
1) Beragama Islam,
2) Perempuan,
3) Jelas orangnya,
4) Tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah,
5) Telah memberi izin kepada wali untuk mengawinkannya,
6) Bukan mahrom bakal suami,
7) Belum pernah di Wan (sumpah li'an) oleh bakal suaminya,
8) Tidak dalam ihram haji atau umroh.
c. Syarat bagi wali nikah:
1) Laki-laki,
2) Beragama Islam,
3) Dewasa,
4) Mempunyai hak perkawinan,
5) Tidak terdapat halangan perkawinan,
d. Syarat bagi saksi nikah:
1) Dua orang laki-laki,
2) Beragama Islam,
3) Baligh,
4) Berakal,
5) Melihat,
6) Mendengar,
7) Mengerti tentang maksud akad nikah,
8) Hadir dalam ijab qabul.
e. Syarat ijab dan gabul:
1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali,
2) Adanya pernyatan penerimaan dari calon mempelai pria,
3) Memakai kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau
tazwij,
4) Antara ijab dan qabul bersambung,
5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya,
6) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji
dan umrah,
7) Majlis ijab dan qabul itu harus di hadiri minimum empat orang, yaitu:
calon mempelai pria dan wakilnya, wali dari mempelai wanita atau
wakilnya, dan dua orang saksi.
Syarat-syarat perkawinan di atas wajib dipenuhi, jika tidak terpenuhi
syarat di atas, maka berakibat batal atau tidak sah (fasik) perkawinannya.
Selain syarat-syarat tersebut di atas masih ada satu syarat lagi yang harus di
perhatikan oleh umat Islam dalam hal akan melaksanakan perkawinan yaitu
syarat tidak melanggar larangan perkawinan.
C. Hikmah Perkawinan
Sebagaimana telah dijelaskan diatas pada hal 9 sampai halaman 11
tentang sikap agama islam terhadap perkawinan, maka jelaslah bahwa
Islam menganjurkan dan memberika kabar gembira kepada orang yang
mau kawin. Dengan perkawinan orang tersebut diharapkan menjadi baik
perilakunya, masyarakatpun menjadi baik bahkan seluruh umat manusia
menjadi baik15.
Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rasul, hikmah nikah ini
antara lain: Menyalurkan seks, jalan mendapatkan keturunan yang sah,
penyaluran naluri kebapakan dan keibuan, dorongan untuk bekerja keras,
pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan menghubungkan
silaturahmi antara dua keluarga besar (suami dan istri). 16
1. Sesungguhnya naluri seks adalah naluri yang paling kuat dan keras yang
selamanya menuntut jalan keluar, maka banyaklah manusia yang
mengalami kegoncangan dan kekacauan. Oleh karena itu dia akan
mencari jalan keluar yang jahat. Kawin adalah jalan yang paling alami
dan paling sesuai untuk menyalurkan naluri seks. Dengan perkawinan
Insya Allah badan orang tersebut menjadi sehat, segar dan jiwanya
menjadi tenang, matanya terpelihara dari melihat yamg haram,
perasaan menjadi tenang dan dia dapat menikmati barang yang halal,
sesuai dengan firman Allah dalam surat Ar-Rum (30) ayat 21:
15 Nur, Djaman, fiqh Munakahat, , h. 10 16 Ibid., h.11
������ ������ ��� ���� ������
����� ����� ����� !�"��
#☯���&'�� (�)*,�� �.�/�
0�1&2��34 56�7�8�� �!9�,�:��
,;<2�*<� =�☺��?�� @ <�34 A3B
�C���D EF�� G� HI�*�4�/�
���JK�⌧��� )21:30/ا�+وم (
Artinya: "Dan di antara landa-tanda kekuasaan-Nya ialah. Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu banar-banar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir "
2. Kawin adalah jalan yang terbaik untuk mendapatkan keturunan menjadi
mulia, keturunan menjadi banyak dan sekaligus melestarikan hidup
manusia serta memelihara keturunanya. Orang yang telah mendapatkan
keturunan berarti dia telah mendapatkan buah hati sibiran tulang bagi
orang tuanya dan menambah semarak dan bahagia dalam rumah
tangganya.
3. Orang yang telah kawin dan memperoleh anak, maka naluri kebapakan,
naluri keibuan akan tumbuh saling lengkap melengkapi dalam suasaan
hidup kekeluargaan yang menimbulkan perasaan ramah, perasaan
saling mencintai dan saling menyayangi antara satu dengan yang lain.
4. Orang yang telah kawin dan memperoleh anak akan mendorong yang
bersangkutan melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya
dengan baik, sehingga ia akan bekerja keras untuk melaksanakan
kewajibanya itu.
5. Melalui perkawinan akan timbul hak dan kewajiban suami istri secara
seimbang, menimbulkan adanya pembagian tugas antara suami istri. Istri
mengatur dan mengurus rumah tangga, memelihara dan mendidik
anak-anak, menciptakan suasana yang sehat dan serasi bagi suami
untuk beristirahat melepas lelah dari bekerja keras mencari nafkah.
6. Melalui perkawinan akan timbul rasa persaudaraan dan kekeluargaan
serta memperteguh rasa saling cinta-mencintai antara keluarga yang
satu dengan keluarga yang lain. Hal ini juga berarti memperkuat
hubungan kemasyarakatan yang baik menuju masyarakat Islam yang
diridhai Allah SWT17
17 Ibid., 12
BAB III
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN
KELUARGA SAKINAH
A. Perkawinan Di Bawah Umur.
1. Pengertian Perkawinan Di Bawah Umur
Dalam pasal 1 Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa.5
Pengertian perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1
tersebut perlu dipahami benar-benar oleh masyarakat. Oleh karena itu
landasan pokok dan aturan hukum lebih lanjut baik yang terdapat dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun peraturan
lainnya yang mengatur tentang perkawinan seperti KHI.
Dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, seorang pria diperbolehkan melangsungkan perkawinan jika
5 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Adat Hukum
Agama, (Bandung: Mundur Maju, 1990), cet. Ke-1, hal. 7.
telah mencapai umur 19 tahun sedang seorang wanita telah berusia 16
tahun.
Namun apabila dianalisis lebih lanjut, Kondisi perkawinan di Indonesia
secara umum dapat dikategorikan mempunyai pola perkawinan muda. Usia
muda secara global dimulai umur 12 sampai sekitar umur 21 tahun.6 Jadi
perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilaksanakan dimana
kedua mempelai atau salah satunya berusia 12 tahun dan yang berakhir
sampai 21 tahun.
Dalam Hukum Islam sendiri tidak menetapkan dengan tegas batas
umur dari seorang yang telah sanggup untuk melangsungkan perkawinan.
Al-Quran dan Hadits hanyalah menetapkan dengan isyarat-isyarat dan
tanda-tanda saja. Terserah kepada kaum muslimin untuk menetapkan batas
umur yang sebaiknya untuk melangsungkan perkawinan sesuai pula dengan
isyarat-isyarat dan tanda-tanda yang telah ditentukan itu, dan disesuaikan
pula dengan keadaan setempat dimana hukum itu akan di undangkan,
diantara syarat-syarat dan tanda-tanda yang dimaksud ialah:7
Kitab, dalam Al-quran dan hadist ditunjukan kepada orang-orang mukallaf,
termasuk didalamnya Kitab yang berhubungan dengan perkawinan. Tanda-
6 Siti Rahayu Haditono, Psikolog Perkembangan dan Bagian-bagianya, (Yogyakarta: Gajah
Mada, 1989), h. 219.
7 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), Cet ke-3,h. 40-41
tanda orang mukalaf itu ialah sebagai mana yang disebutkan dalam hadits
Nabi di bawah ini8:
E�,F0� G و : م .�8ل رس�ل ا@ صF# �H�رLM ا���� 6� ثJث 6� ا�� %,�� GF# �ن�N)�و�6 ا ��F>� GF# O7P�ا�� داود (�6 ا Rروا
)OHوا�� ��&1 و ا���0
Artinya: Bersabda rasulullah saw : diangkat hukum dari tiga perkara yaitu dari
orang tidur hingga bangun, dari anak-anak hingga
bermimpi/baliqh, dan orang yang gila hingga sembuh (H.R. Abu
Daud, Ibnu Majah, dan Nasa’i)
Menurut hadits di atas ada tiga macam tanda-tanda orang mukalaf
yaitu orang yang bangun, orang yang telah baligh, dan orang sehat atau
gila dan sebagainya. Bahwa individu yang diperintahkan kawin ialah orang
yang telah berumur sedemikian rupa sehingga sanggup melakukan
hubungan suami istri, memperoleh keturunan dan telah memiliki tanggung
jawab.
Hadits di atas dapat dijadikan dasar oleh pemerintah untuk
menetapkan yang paling tepat untuk melaksanakan perkawinan, sehingga
perkawinan itu mencapai tujuannya.
Sedangkan yang dimaksud dengan perkawinan di bawah umur
adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh satu calon mempelai atau
keduanya belum memenuhi syarat umur yang ditentukan oleh undang-
8 Ibid., h. 42
undang yang berlaku. Dalam hal ini pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan, yaitu perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria telah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun.9
Apabila dihubungkan antara pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawian, maka pengertian tersebut dapat diuraikan menjadi
beberapa unsur:
1. Perkawinan merupakan ikatan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang kekal dan bahagia
2. Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin.
3. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia
4. Perkawinan harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
5. Perkawinan itu dapat dilangsungkan setelah berusia 16 tahun bagi calon
mempelai wanita dan 19 tahun bagi calon mempelai pria
6. Dispensasi dari pengadilan.
Dari uraian diatas dapat diambil satu pengertian bahwa perkawian di
bawah umur adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh salah satu pihak
atau kedua mempelai yang belum mencapai 16 tahun bagi calon
mempelai wanita dan bagi calon mempelai pria belum mencapai 19 tahun
sehingga diperlukan dispensasi kawin dari pengadilan agama. Dispensasi
9 Ibid., h. 220
menurut kamus Hukum:10 “Dispensasi adalah penyimpangan atau
pengecualian dari suatu peraturan.
Sedangkan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan artinya penyimpangan terhadap batas minimum usia kawin
yang telah ditetapkan oleh Undang-undang yaitu 19 tahun untuk pria dan 16
tahun untuk wanita. Oleh karena itu jika laki-laki maupun perempuan belum
mencapai usia kawin hendak melangsungkan perkawinan, maka
pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua pihak dapat
memberikan penetapan dispansasi usia kawin, tentu saja permohonannya
itu telah memenuhi syarat yang ditentukan dan serta harus melalui
beberapa tahap dalam pemeriksaan.
Adanya pembatasan usia pernikahan sangat perlu karena
perkawinan usia muda tentulah membawa dampak yang tidak sedikit,
terbagi menjadi 3 yaitu:11
1) Kesehatan
Meskipun dalam usia 10-16 tahun pertumbuhan sudah memberikan
kemampuan untuk melakuka hubungan seksual, namun dibalik itu dijumpai
efek yang membahayakan bagi pasangan usia muda. Kawin pada usia ini
memberikan peluang kepada wanita belasan tahun untuk hamil dengan
10 R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1996), hal.
36.
11 Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Memasuk Dunia Perkawinan: Sebuah Ikhtiar Mewujudkan
Keluarga Sakinah, (Jakarta: Kencana Mas Publishing House, 2005), cet. Ke-1, h.80
resiko tinggi. Pada kehamilan usia belasan tahun komplikasi pada ibu dan
anak seperti pendarahan yang banyak, kurang darah, keracunan, hamil
prelamsia dan ekslamsia lebih sering terjadi pada ibu yang melahirkan di
bawah usia 20 tahun dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pada umur
20-30 tahun.12
2) Demografi
Pada akhir-akhir ini muncul suatu kekhawatiran pemerintah terhadap
pesatnya laju pertumbuhan pendudu, sedang lahan yang tersedia tetap,
tidak bertambah, terutama di perkotaan. Akibatnya muncullah beberapa
masalah kehidupan seperti kepadatan penduduk, banyaknya
pengangguran, timbulnya kenakalan remaja karena banyaknya anak putus
sekolah, dan lain-lain. Ledakan penduduk juga mempengaruhi system
perekonomian dan kesejahteraan hidup. Lebih jauh dari itu, secara makro
akan menghambat proses pembangunnan bangsa.13
3) Sosio Kultural.
Usia remaja merupakan masa yang paling indah bagi setiap orang.
Pada usia remaja ini umumnya orang sedang melampaui masa penuh
idealisme, penuh harapan dan angan-angan tinggi. Bila tiba-tiba seorang
remaja terpaksa atau membatasi kebebasan pribadi, di manamseseorang
12 Ibid., h. 81
13 Charil, Tinjauan Batas Minimal Usia Kawin, h. 76
tidak dapat seperti ketika masih sendirian karena perubahan status yang
disandang, menjadi suami atau istri.
Bila ditinjau dari sudut sosiokulturalpada umumnya perubahan status
ini, khususnya bagi seorang istri harus dintisipasi dengan baik pada saat
memasuki lingkungan social perkawinan seprti mengurus rumah tangga da
membesarkan anak-anak. Usia yang terlalu muda bias mengakibatkan tidak
hadirnya unsure yang disebutkan dalam al Quran, yaitu hidup dalam
ketentraman (sakan).14
2. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Di bawah Umur.
Sebenarnya agama Islam tidak memberikan batasan usia minimal
dan maksimal untuk menikah, kedewasaan untuk menikah termasuk
masalah ijtihad. Dalam arti kata diberikan kesempatan untuk berijtihad pada
usia berapa seseorang pantas menikah. Karena umur atau kedewasaan
tidak termasuk dalam syarat rukun nikah, maka apabila suatu perkawinan
sudah memenuhi syarat dan rukun nikah, maka hukumnya sah.15
Namun para ulama dalam hal ini masih berbeda pendapat dalam
menghadapi masalah ini, karena faktor kedewasaan atau umur merupakan
14 Abd. Al Rahim Umran, Islam dan KB, (Jakarta: Lentera, 1997), cet. Ke-1, h. 18
15 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 93.
kondisi yang amat penting, kendatipun tidak termasuk kedalam rukun dan
syarat nikah.
Kebanyaka Ulama berpendapat bahwa wali selain ayah dan kakek
tidak boleh mengawinkan wanita-wanita yang masih anak-anak.
Seandainya terjadi, maka hukumnya tidak sah. Tetapi Abu Hanifah dan
segolongan ulama salaf membolehkan dan perkawinannya sah, Tetapi Abu
Hanifah dan segolongan ulama salaf membolehkan dan perkawinanya sah,
akan tatapi si perempuan setelah baligh berhak khiyar. Inilah pendapat
yang kuat, karena ada riwayat dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau
mengawinkan Umamah Binti Hamzah yang masih kecil dan kemudian
setelah dewasa beliau memberikan hak khiyar kepadanya. 16
Kemudian menurut Ibnu Syabrumah ayah tidak boleh mengawinkan
anak yang belum baligh (belum dewasa). Sekalipun pernah terjadi antara
Aisyah dengan Rasulullah, tetapi hal ini merupakan kekhususan bagi
Rasulullah SAW.17
Menurut Para Ulama, masalah usia dalam pernikahan sangat erat
hubungannya dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat dimengerti
karena perkawinan merupakan perbuatan hukum yang meminta tanggung
jawab dan dibebani kewajiban-kewajiban tertentu. Maka setiap orang yang
16 Ibid., h. 93
17 Ibid., h. 94.
berumah tangga (keluarga) diminta kemampuanya secara utuh. Menurut
Bahasa Arab, “kemampuan” disebut Ahlun yang berarti “layak atau
pantas”.18 Para Ulama selalu mendefinisikan kemampuan itu dengan
“kepantasan seseorang untuk menerima hak-hak dan memenuhi kewajiban-
kewajiban yang diberikan oleh syara”
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 6:
�G واF���ا�F,�ا GF# ا إذا�T�� ��حV��9ن اM �F0ءان ���� �Mد�XMا رW"ا
]�,�Z آ�ن و�� 7��+وا أن و�"ارا إس+ا�M 4�آ��ه� و�� أ��ا��� إ�,��
\�XF0,�M �� أ��ا��� إ�,�� د9M �FXMذا ���(X+وف آ=M 4,�M�,+ا آ�ن و
)6:4/ا��90 (�7,0# ����1 وآ�W4M ��,�6 G�"وا
Artinya : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai
memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-
hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari
batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di
antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri
(dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang
miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka,
Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan
itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas
persaksian itu).”
18 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 20
Ketika menafsirkan ayat di atas, Muhammad Rasyid Ridho
mengatakan bahwa Bulughh al-nikah berarti sampainya seorang
kepadanya umur untuk menikah, yakni sampai bermimpi. Pada umur ini,
dikatakannya seseorang telah bisa melahirkan anak dan menurunkan
keturunan sehingga tergerak hatinya untuk menikah. Pada umur ini
kepadanya telah dibebankan hukum-hukum agama, seperti ibadah dan
muamalah serta hudud. 19
Tanda-tanda fisik yang dimaksud dinyatakan oleh ulama Ushul Fiqh
dan Fiqh seperti : telah mengalami haid bagi wanita dan mengalami mimpi
seksual bagi anak laki-laki karena pengalaman-pengalaman tersebut
menunjukkan bahwa mereka telah mampu menikah dalam pengertian.20
Dan dewasa disini maksudnya cukup umur untuk berketurunan dan
muncul tanda-tanda kedewasaan, misalnya pada anak laki-laki terjadi
perubahan pada suaranya besar, tumbuh bulu ketiak dan lain-lain. Ini
adalah tanda-tanda kedewasaan yang wajar dan alamiah, yang akan
dialami oleh setiap orang. Dan kalau untuk wanita, yaitu telah mengalami
menstruasi. Biasanya bagi laki-laki ketika menginjak umur 15 tahun dan bagi
wanita sekitar umur 9 tahun.
19 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, juz. IV, (Mesir, 1325), h. 387.
20 Abu Zahrah, Ushul Al Fiqh. (Kairo: Dar Al Fikr al Arabi, tt), h. 336.
Kemudian seandainya anak sudah melewati usia ini tetapi belum
nampak gejala-gejala yang menunjukkan bahwa ia sudah dewasa, maka
baik putra maupun putri, kedua-duanya sama sama ditunggu sampai
mereka berumur 15 tahun, Menurut pendapat Abu Yusuf dan Muhammad
ibn Hasan, kemudian 18 tahun untuk putra dan 17 untuk putri, ini menurut
Abu Hanifah. Ketentuan ini diambil dari hadits yang diriwayatkan oleh
Abdullah Ibnu Umar, katanya: “Saya menghadap kapada Rasulullah SAW
untuk mendaftar perang Uhud dan pada waktu itu saya berumur 14 tahun,
lalu beliau tidak memperbolehkan ikut”.21
Peristiwa Abdulah ibnu Umar ini oleh jumhur ulama dijadikan alasan,
bahwa lima belas adalah ukuran umur untuk dewasa dan ukuran ini sama
bagi laki-laki dan wanita, laki-laki dianggap cukup kuat turut berjuang.
Dan Abu Hanifah mengambil alasan dari firman Allah SWT dalam surat
Al-An’am ayat 152:
5^�� (�*��J&4� �p0�� qi2�`�2&�0�
]^34 fq[K�003� r?�Y �d ���
@fs[� ⌧�7��C� t�uP�K�� ( (�*7W������ 56&T⌧9&�0�
����vJ�☺&�0��� �w q4&�003� ( 5^ ��x���" 0y &��" ]^34 0�1�7z� (
��D34�� i.W�7# (�*���P�00�W
�*���� ��#5{ ��D @A�|�J7# ( �P�1�73��� XN0� (�*7W���� @
21 Ahmad Zakariya Al-barry, Hukum Anak-anak dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977),
h. 155
��!9���D ���}~��� ��3� ����M��7��
���JK�⌧T� )م�X152:6/ا^ن(
Artinya: ” Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan
cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. kami tidak
memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar
kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah
kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan
penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat.”
.
Beliau mengatakan, ��أ� bahwa yang diterjemahkan dewasa ini
maksudnya dewasa dan matang, yaitu pada umur 18 tahun bagi anak laki-
laki dan untuk anak perempuan lebih cepat dewasa, maka usia dewasanya
lebih rendah dari anak laki-laki.
Sedang dewasa dengan istilah “Rusyada” maksudnya adalah
sanggup bertindak dengan baik dalam mengurus harta dan menafkahkan
harta itu sesuai dengan akal yang sehat, tindakan yang bijaksana dan sesuai
dengan peraturan agama. Dan hal ini berbeda-beda menurut keadaan
anak serta: perkembangan masa. Apa yang ditetapakn oleh para ulama itu
hanyalah standar yang relatif dan pelaksananya diserahkan kepada
kebijaksanan hakim disuatu daerah.22
22 Ibid., h. 11.
Oleh karena itu menurut pendapat para fuqoha, bahwa soal umur itu
adalah termasuk soal yang boleh diatur manusia sendiri dengan
memperhatikan segi manfaat dan kebaikannya di tengah-tengah
masyarakat. Lagipula berdasarkan penelitian bahwa ibu-ibu muda yang
belum mencukupi umur perkawinan itu amat menderita dan berkeluh kesah
melaksanakan tugasnya, karena belum waktunya, mereka telah melahirka
atau melakukan tugas-tugas rumah tangga lainnya. 23
Berdasarkan pembahasan ini, jelaslah bahwa orang tua memikul
amanat yang amat berat untuk tidak menjerumuskan putera putrerinya
yang belum matang ke dalam kesengsaraan dan bahaya. Allah berfirman
surat Al-Baqarah (2):195)
)192:2/ا��7+ة( ر#,� ]��ر ا��9M 1ن انF��ا 9Mن
Artinya: ”Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam
kebinasaan”.
Pada masa dahulu, memang belum begitu memperhatikan tentang
persoalan umur calon mempelai dalam perkawinan, karena kondisi pada
masa dahulu tidak seperti sekang, seperti jumlah penduduk tidak sepadat
sekarang, dahulu orang sekolah sampai tingkat yang tinggi masih jarang,
tapi sekarang sudah banyak, sehingga memerlukan perhatian, demi
tercapainya kemaslahatan bersama.
23 Ibid., h. 14.
Kemudian mengenai alasan tidak dapat dilakukan perkawinan anak
di bawah umur itu karena akan membawa pengaruh akibat yang luas, baik
terhadap sosial ekonomi masyarakat pada umumnya maupun kebutuhan
rumah tangga, kualitas kesehatan terhadap ibu dan anak pada khususnya.24
Perkawinan di bawah umur tentulah membawa dampak yang tidak
sedikit pula bagi pasangan tersebut, keluarga mereka juga bagi
lingkungan,diantaranya adalah:
1. Mengakibatkan pertumbuhan penduduk yang karena panjangnya masa
kelahiran (reproduksi bagi wanita).
2. Pertumbuhan penduduk yang tinggi mempersulit usaha peningkatan
pemerataan kesejahteraan rakyat, lapangan kerja, pendidikan dan
pelayanan kesehatan dan perumahan.
3. Perkawinan di usia muda mengakibatkan keburukan bagi kesehatan ibu
dan anak, karena faktor gizi ibu kurang terpenuhi.
4. Resiko kesakitan dan kematian ibu dan anak, pada ibu yang melahirkan
masih muda.
5. Hambatan kehamilan ibu usia muda ialah pendarahan, kurang darah,
persalinan lama dan sulit, keracunan hamil berkumpul pada usia muda
merupakan faktor utama untuk bangkitnya kanker mulut rahim
dikemudian hari.
24 Ahmad Zakaria Al-barry, Hukum anak-anak dalam Islam, h. 167
6. Bayi yang baru lahir dari ibu usia muda sering terjadi prematur atau bayi
tersebut keluar sebelum waktunya, sehingga berat badan kurang dan
akan membawa cacat bawaan baik fisik maupun mental, misalnya
kejang-kejang, idiot, kebutaan, ketulian pada anak.
7. Bila ditinjau dari segi ekonomi, bahwa perkawinan di usia muda pada
umumnya belum mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang
cukup, sehingga tidak mendapatkan penghasilan yang dapat
memenuhi kebutuhan karena penghasilannya rendah, maka
menyebabkan kurangnya fasilitas kebutuhan keluarga berupa sandang,
pangan, papan atau perumahan.
8. Akan membawa pula kepada keretakan rumah tangga, karena tidak
terpenuhi kebutuhan keluarga, sehingga meningkatkan jumlah
perceraian.25
Dalam hal ini Maslahah Mursalah sebagai salah satu alternative
dalam menetapkan hukum tentang batasan usia pernikahan di Indonesia.
Maslahah mursalah ialah kemaslahatan yang tidak disyariatkan oleh syar’I
dalam wujud hukum dalm rangka menciptakan kemaslahatan, disamping
tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan dan diakui
adanya karena timbul peristiwa-peristiwa baru setelah nabi wafat. Misalnya
perkawinan anak-anak di bawah umur dilarang agama dan sah jika
dilakukan oleh walinya yang berwenang. Namun ternyata data-data statistik
25 Zaki Fuad Chalil, Tinjauan Batas Minimal Usia Kawin: Studi Perbandingan Antara Kitab
Fiqh dan UU Perkawinan di Negara-negara Muslim, Mimbar Hukum, No.26 Tahun VII, (Jakarta:
Alhikmah & DITBINBAPERA Islam, 1996), cet. Ke 1, h. 74
menunjukan bahwa perkawinan anak-anak banyak membawa akibat
kepada terjadinya perceraian, karena anak-anak belum siap fisik dan
mentalnya untuk menghadapi tugas-tugas sebagai suami istri, apalagi
sebagai bapak dan ibu rumah tangga.26 Maka atas dasar maslahah
mursalah ini pemerintah dibenarkan melarang perkawinan anak-anak dan
membuat peraturan tentang batasan umur bagi calon suami istri
sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Demikianlah penetapan batas usia perkawinan yang disahkan
oleh pemerintah dalam bentuk perundang-undangan.
B KELUARGA SAKINAH
1. Pengertian Keluarga Sakinah
Keluarga sakinah terdiri dari dua kata, yaitu kata keluarga dan
sakinah. Keluarga dalam istilah fiqh disebut Usrah atau Qirabah yang telah
menjadi bahasa indonesia yakni kerabat.27 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia keluarga adalah sanak saudara.28 Sementara dalam buku
Membina Keluarga Sakinah, keluarga adalah masyarakat terkecil sekurang-
kurangnya terdiri dari pasangan suami istri sebagai sumber intinya berikut
anak-anak yang lahir dari mereka. Jadi, setidak-tidaknya keluarga adalah
26 Msjfud Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, (Jakarta: Gunung Agung, 1995), cet. Ke-3, h. 83
27 Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu Fiqh, (Jakarta :
Departemen Agama, 1984/1985), Jilid II, Cet. Ke-2, h. 156
28 Muhamad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Modern, (Jakarta: Pustaka Amani, tt), h. 175
pasangan suam istri, baik mempunyai anak atau tidak mempuyai anak. 29
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Sakinah adalah damai, tempat yang
aman dan damai.30
Ditinjau dari sebab terjadinya hubungan keluarga, dapat dilihat sbb:
a. Hubungan mahram,
b. Hubungan waris mewarisi,
c. Hubungan susuan,
d. Terjadi perkawinan .31
Keluarga dapat terbentuk baik oleh karena hubungan mahram,
hubungan waris-mewarisi, hubungan susuan ataupun karena terjadi
perkawinan. Dalam hal ini lebih difokuskan hubungan keluarga yang
disebabkan terjadinya perkawinan, dimana ikatan suami-istri melalui
perkawinan telah membentuk sebuah keluarga yang pada intinya terjadi
dari ayah ibu dan anak.
Sakinah secara etimologi adalah ketenangan, kedamaian, dari akar
kata sakan menjadi tenang, damai, merdeka, hening, tinggal.32 Dalam Islam
kata sakinah menandakan ketenangan dan kedamaian secara khusus,
29 Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Propinsi DKI Jakarta 2005,
Membina Keluaraga Sakinah, (Jakarta: 1991), h. 4
30 Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h.851
31 Ibid
32 Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Penerjemah Ghuron A. Mas’adi, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1991), Cet. Ke-2, h.351
yakni kedamaian dari Allah, yang berada dalam qalbu. Sakinah adalah
kedamaian, ketentraman, ketenangan dan kebahagian.33
Secara terminologi, keluarga sakinah adalah keluarga yang tenang
dan tentram, rukun, damai. Dalam keluarga itu terjalin hubungan mesra dan
harmonis, diantara semua anggota keluarga dengan penuh kelembutan
dan kasih sayang.34
Keluarga sakinah adalah keluarga yang mendapatkan limpahan
rahmat dan berkat dari Allah, menjadi dambaan dan idaman setiap insan
sejak merencanakan pernikahan serta merupakan tujuan utama dari
pernikahan itu sendiri.35
Keluarga sakinah adalah keluarga yang dibina atas perkawinan yang
sah, mampu memenuhi hajat hidup spiritual dan materil secara layak dan
seimbang, diliputi suasana kasih sayang antara anggota keluarga dan
lindunganya dengan selaras, serasi, serta mampu mengamalkan,
menghayati dan memperdalam nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, dan ahlak
mulia.36
2. Karakteristik Keluarga Sakinah
33 Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, h. 863
34 Hasan Basri, Keluarga Sakinah “membina Keluarga Sakinah”, (Jakarta: Pustaka Antara,
1996), Cet. Ke-4, h.16 35 Ibid
36 Badan Penasehatan Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4), Membina Keluarga Sakinah
“Menuju Keluarga Bahagia”, (Jakarta: BP4, 2002), h. 15
Yang menjadi karakteristik dari keluarga sakinah antara lain:37
a. Adanya ketenangan jiwa yang ditandai dengan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa,
b. Adanya hubungan yang harmonis antara individu dengan individu lain
dan antara individu dengan masyarakat,
c. Terjamin kesehatan jasmani dan rohani serta social,
d. Cukup sandang,pangan, dan papan,
e. Adanya jaminan hukum terutama hak asasi manusia,
f. Tersedianya pelayanan pendidikan yang wajar,
g. Adanya jaminan dihari tua,
h. Tersedianya fasilitas rekreasi yang wajar.
Berdasarkan pengertian yang dirumuskan oleh BP4, maka dapat
diuraikan bahwa ciri-ciri keluarga sakinah itu adalah:
a. Keluarga dibina atas perkawinan yang sah,
b. Keluarga mampu memenuhi hajat hidup baik secara materil maupun
spiritual dengan layak,
c. Keluarga mampu menciptakan suasana cinta kasih dan kasih sayang
antar sesama anggota,
d. Keluarga mampu menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai keimanan,
ketaqwaan, amalsholeh dan akhlakul karimah,
37 Danuri, Pertambahan Penduduk Dan Kehidupan Keluarga, (Yogyakarta: LPPK IKIP,
11976), h.19
e. Keluarga mampu mendidik anak dan remaja minimal sampai dengan
sekolah menengah umum,
f. Kehidupan sosial ekonomi keluarga mampu mencapai tingkat yang
memadai sesuai dengan ukuran masyarakat yang maju dan mandiri.
Keluarga sakinah terdiri dari beberapa tingkatan yang memiliki
karakter tersendiri/ khusus, yaitu:38
1) Keluarga sakinah I :
a. Tidak ada penyimpangan terhadap peraturan syariat dan UUP no.
1/74,
b. Keluarga memiliki surat nikah,
c. Mempunyai perangkat sholat,
d. Terpenuhinya kebutuhan makanan pokok,
e. Keluarga memiliki buku agama,
f. Memiliki Alqur’an,
g. Memiliki ijazah SD,
h. Tersedia tempat tinggal sekalipun kontrak,
i. Memiliki dua pasang pakaian yang pantas.
2) Keluarga Sakinah II:
a. Menurunkan angka perceraian,
b. Meningkatkan penghasilan keluarga melebihi kebutuhan pokok,
c. Memiliki ijazah SLTP,
38 Ahmad Sutarmadi, Memberdayakan Keluarga Sakinah Menuju Indonesia 2020, (Surabaya:
BP4, 1997), h. 25-27
d. Banyaknya keluarga yang memiliki rumah sendiri meskipun sederhana,
e. Banyaknya keluarga yang ikut kegiatan sosial kemasyarakatan dan
sosial dan keagamaan,
f. Dapat memenuhi empat sehat lima sempurna.
3) Keluarga Sakinah III:
a. Meningkatnya keluarga dan gairah keagamaan di masjid maupun di
keluarga,
b. Keluarga aktif menjadi pengaruh pengaruh kegiatan keagaman dan
sosial kemasyarakatan,
c. Meningkatnya kesehatan masyarakat,
d, Keluarga utuh tidak cerai,
e. Memiliki ijazah SLTA,
f. Meningkatnya pengeluaran shadaqoh,
g. Meningkatnya pengeluaran korban.
4) Keluarga Sakinah IV:
a. Banyaknya anggota keluarga yang telah melaksanakan haji,
b. Makin meningkatnya tokoh agama dan tokoh organisasi dalam
keluarga,
c. Makin meningkatnya jumlah wakif,
d. Makin meningkatnya kemampuan masyarakat dalam memehami
ajaran agama,
e. Keluarga mampu mengembangkan ajaran agama,
f. Banyaknya anggota keluarga yang memiliki ijazah sarjana,
g. Masyarakat berakhlakul karimah,
h. Tumbuh berkembangnya perasaan cinta dan kasih sayang dalam
anggota masyarakat,
i. Keluarga yang didalamnya tumbuh cinta kasih sayang.
3. Tujuan dan Hakikat Keluarga Sakinah
Keluarga sakinah yang penuh diliputi suasana kasih sayang, cinta
mencintai antar sesama anggota keluarga adalah menjadi idaman setiap
orang yang menikah. Dimana hal itu akan tercapai jika masing-masing pihak
suami maupun istri dapat melaksanakan kewajiban dan hak secara
seimbang, serasi dan selaras. Selain dalam menjalani kehidupan rumah
tangga dilandasi nilai-nalai agama dan dapat menerapka akhlakul karimah.
Kehidupan rumah tangga sakinah memiliki tujuan mulia disisi Allah,
yakni untuk mendapatkan rahmat dan ridho dari Allah, sehingga dapat
hidup bahagia di dunia dan lebih-lebih diakhirat.
Untuk mendapatkan limpahan rahmat dan ridho Allah, maka rumah
tangga atau kaluarga tersebut setidaknya memenuhi lima syarat, yakni:
1) Anggota keluarga itu taat menjalankan agamanya.
2) Yang muda menghormati yang tua, dan yang tua menyayangi yang
muda.
3) Pembiayaan keluarga itu harus berasal dari rizki yang halal
4) Hemat dalam pembelanjaan dan penggunaan harta
5) Cepat mohon ampun dan bertaubat bila ada kesalahan dan kehilafan
serta saling maaf memaafkan sesama manusia.39
Rumah tangga yang Islami adalah rumah tangga yang laksana surga
bagi setiap penghuninya, tempat istirahat melepas lelah, tempat bersenda
gurau, yang diliputi rasa bahagia, aman dan tentram.40
Rumah tangga yang sakinah, baik secara lahir maupun batin dapat merasakan
ketentraman, kedamaian dimana segala hajat lahir dan batin terpenuhi secara
seimbang, serasi dan selaras.
Kebutuhan batin yaitu dengan adanya suasana keagamman dalam
keluarga serta pengamalan akhlakul karimah oleh setiap anggota keluarga,
komunikasi yang baik antara suami istri dan anak-anak. Kebutuhan lahir,
terpenuhi materi baik sandang, pangan, papan dll.
39 Hasan Basri, Keluarga Sakinah, h. 24-24
40 Ibid
BAB IV
PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMBENTUKAN
KELUARGA SAKINAH DI KUA CAKUNG
JAKRTA TIMUR
A. Kondisi Umum KUA Cakung Jakarta Timur
Kecamatan Cakung wilayah hukumnya meliputi 7 Kelurahan, yaitu,
Kelurahan Jatinegara, Kelurahan Rawaterate, Kelurahan Penggilingan,
Kelurahan Cakung Barat, Kelurahan Cakung Timur, Kelurahan Ujung
Menteng, Kelurahan Pulogebang.41
Jumlah Penduduk Di Kecamatan Cakung terdiri dari 217236 jiwa dan
200654 jiwa beragama Islam, 5753 jiwa beragama Kristen Protestan, 8560 jiwa
beragama Katolik, 1374 jiwa beragama Hindu dan 895 jiwa beragama
Budha. Jadi disini terlihat bahwa masyarakat Kecamatan Cakung mayoritas
beragama Islam, penganut agama lain dalam jumlah minoritas.42
Searah dengan kebijakan bahwa sector pendidikan mengupayakan
perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang
41 Abdul kodir Kordinator Tata Usaha KUA Kecamatan Cakung, Wawancara Langsung,
Cakung, 6 juni 2008.
42 Perangkat Kecamatan Cakung, Data Monografi Kecamatan Cakung, 2008
bermutu. Secara umum dapat dilihat tingkat pendidikan suami/ kepala
keluarga yaitu:
Tabel 1. Data Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga Kecamatan Cakung
Jakarta Timur
No Pendidikan Jumlah
1 SD/sederajat 141
2 SMP/Sederajat 515
3 SLTA/Sederajat 1904
4 Akademi 114
5 Sarjana 170
Sumber data: Laporan Pelaksanaan Nikah Menurut Usia Kawin K.
DEPAG Jakarta Timur KUA Cakung 2007.
Tabel diatas memberikan petunjuk bahwa tingkat pendidikan
Penduduk Cakung terbanyak adalah SLTA yaitu berjumlah 1904 jiwa atau
66,9%, terbanyak ke dua adalah SMP yaitu berjumlah 515 atau 18,1%,
terbanyak ke tiga adalah sarjana yaitu berjumlah 170 atau 5,97%, terbanyak
ke empat adalah SD yaitu berjumlah 141 atau 4,9%, dan yang terakhir
adalah Akademi yaitu berjumlah 114 atau 4,0% dari 2844 jumlah penduduk
seluruh Kecamatan Cakung. Data diatas menunjukan bahwa masih
kurangnya Sumber Daya Manusia yang Profesional dalam menghadapi
dunia kerja.
Untuk mengetahui gambaran sumber penghasilan masyarakat
Cakung, maka dapat dilihat dari jenis pekerjaan sebagaimana tertera di
bawah ini :
Tabel 2. Data Jenis Pekerjaan Warga Cakung Jakarta Timur
No Pekerjaan Jumlah
1 Tani / Nelayan / Buruh 170
2 Pegawai / Karyawan 1892
3 ABRI 41
4 Pedagang / Wiraswasta 687
Sumber Data : Laporan Pelaksaan Nikah Menurut Usia Kawin K.DEPAG
Jakarta Timur KUA Cakung 2007.
Tabel di atas memberi petunjuk bahwa jenis pekerjaan Penduduk
Cakung yang dominan adalah Pegawai / Karyawan, yaitu sebanyak 1892
keluarga atau 67,8%, menyusul pedagang / wiraswasta 687 keluarga atau
24,6%, serta tani / nelayan, buruh sebanyak 170 keluarga atau 6,1 %.
Sedangkan ABRI sebanyak 41 keluarga 1,5%.
Fasilitas dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang ada di wilayah
Cakung cukup baik, berarti itu dapat mencirikan masyarakatnya
mempunyai pengetahuan agama. Disamping itu, seiring berjalannya waktu
dan pengaruh yang datang melalui berbagai cara yang dapat menurunkan
akhlak para remaja sehingga ajaran agama ditinggalkan sedikit demi sedikit
yang menyebabkan krisis iman dalam diri mereka.
Kecamatan Cakung memiliki Sarana dan prasarana diantaranya
adalah seperti:
Tabel 3. Data Saranan dan Prasarana di Kecamatan Cakung Jakarta Timur
No Sarana dan Prasarana Jumlah
1 Masjid 105
2 Musollah 11
3 Pelabuhan 2
4 Bangunan Kantor 8
5 Sekolah SD/SMP/SMU 88
6 Asarama ABRI 5
7 Tempat sosial 7
Sumber Data : Kantor DEPAG Jaktim KUA Cakung 2007.
Dalam bidang kesehatan sarana serta fasilitas yang ada di
Kecamatan Cakung meliputi puskesmas, apotik, posyandu, klinik dan rumah
sakit. Namun masyarakat sendiri lebih memilih berobat di puskesmas karena
biayanya yang murah, sehingga terjangkau oleh kalangan menengah ke
bawah.
Secara umum kondisi politik serta ketentraman dan ketertiban dan
ketentraman di Wilayah Kecamatan Cakung cukup terkendali dan aman.
Adapun jumlah anggota Pertahanan sipil (Hansip) tercatat sebanyak 50
orang. Dalam kehidupan politik warga masyarakat dapat tersalurkan sesuai
dengan aspirasinya seiring dengan bergulirnya reformasi dan banyaknya
partai politik yang berkembang saat ini.43
Sedangkan di KUA Cakung itu sendiri Penulis melihat bahwa seluruh
petugas KUA telah berusaha menjalankan tugasnya dengan baik. Hal ini bisa
terlihat dari masing-masing aparat KUA yang berusaha menjalankan tugas
sesuai dengan tugasnya masing-masing, seperti BP-4 yang telah
menjalankan tugasnya sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga yang
bertugas memberikan pembinaan serta nasihat yang berkaitaan dengan
pelestarian perkawinan dapat terlaksana maka apa yang dicita-citakan
dalam perkawinan dapat terealisasi dengan baik.
Berdasarkan hasil wawancara langsung penulis dengan H. Abdul Azis
selaku penghulu KUA cakung, beliau mengatakan masih ada kendala yang
dihadapi bagi aparat Kantor Urusan Agama Jakarta Timur bahwa masih
kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadap Undang-undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, terbatasnya SDM yang professional dan
berkualitas karena 66,9% masyaratnya hanya lulusan SLTA/Sederajat.44
Kendatipun seperti hal tersebut di atas, pihak KUA Kecamatan
Cakung dan instansi terkait setempat tidak henti-hentinya mengupayakan
untuk memberikan penyuluhan-penyuluhan perkawinan sehingga
43 .Acmad Fauzi Kepala KUA Kecamatan Cakung, Wawancara Langsung Cakung , 6 juni
2008 44 Abdul Azis Penghulu KUA Cakung, Wawancara langsung, Cakung 6 juni 2008
masyarakat paham terhadap Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, dan berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.45
B. Analisis Perkawinan Di Bawah Umur Di Kecamatan Cakung Jakarta Timur
Agama mengajarkan kepada manusia untuk segera menikah apabila
telah sanggup untuk melaksanakannya. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa
manusia diciptakan berpasang-pasangan, hal ini yang menjadi
permasalahanya adalah pada usia berapa dan bagaimana manusia
dipandang layak untuk menikah.
Lalu apa yang menjadi dasar hukum untuk dapat melegitimasi
perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang usia muda atau di bawah
umur, yaitu yang belum mencapai usia 16 tahun untuk wanita dan 19 untuk
pria.
Sahnya perkawinan adalah harus memenuhi ketentuan-ketentuan
agama dan para pihak yang akan melangsungkan perkawinan harus
memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam Undang-Undang
perkawinan beserta penjelasannya.46
45 Ibid
46 Instruksi Presiden RI No 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
Departemen Agama RI, 2001, h 14.
Selanjutnya tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-
undangan yang berlaku. Pencatatan ini merupakan suatu keharusan dan
diperlukan untuk mendapatkan kepastian hukum. Artinya pencatatan ini
merupakan bukti tertulis bahwa pasangan tersebut telah menikah secara
sah di mata hukum dan Undang-Undang.
Adapun syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan di bawah
umur adalah sama dengan perkawinan yang telah mencapai umur dewasa
atau batas usia minimal menurut Undang-Undang. Akan tetapi dalam hal ini
ada penambahan berupa penetapan dispensasi dari Pengadilan Agama.47
Kenyataan yang terjadi di masyarakat menunjukan masih ada
pasangan yang melakukan perkawinan di bawah umur, di Kantor Urusan
Agama Cakung sendiri masih ada yang menikah di bawah umur minimal
yang telah ditentukan oleh Undang-undang, namun pelaksanaannya tidak
sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa prosedur pengajuan
dispensasi ke Pengadilan Agama membutuhkan waktu lama dan
menghabiskan biaya yang tidak sedikit pula. Maka mereka lebih memilih
jalan pintas yang mereka anggap lebih cepat, praktis dan murah, seperti
dengan memanipulasi data dengan cara menuakan umur di KTP bagi
mereka yang ingin melakukan perkawinan di bawah umur. Seperti hasil
47 Bhakti A. Rahman dan Ahmad Suardja, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam,
Undang-Undang perkawinan dan Hukum Perdata (BW), Jakarta : PT Hidia Karya Agung, 1981, h. 31.
wawancara yang penulis lakukan dengan Ucu Suharto selaku ketua RT
008/04 sebagai berikut:
Apakah di wilayah bapak masih ada yang melakukan perkawinan di
bawah umur? ”Masih ada, walupun jumlahnya hanya sedikit”. Menurut
Bapak apa yang melatar belakangi perkawinan di bawah umur?” Hamil di
luar nikah akibat terpengaruh oleh pergaulan bebas, kemudian juga faktor
adat bagi sebagian kecil masyarakat yang menganggap bila anaknya
sudah menikah itu merupakan kebanggaan tersendiri, dan sebaliknya bila
belum menikah menjadi celaan dalam lingkungan keluarga”.48
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pihak Kantor Urusan
Agama Kecamatan Cakung Jakarta Timur dalam hal ini Pegawai Pencatat
Nikah pada tanggal 6 juni 2008, bahwa jumlah pasangan yang melakukan
pernikahan terhitung semenjak bulan Januari 2007 sampai dengan
Desember 2007 adalah 2844 berarti ada 100-230 pasang setiap bulan.
Angka tertinggi terjadi di bulan Januari mencapai 436 pasang yang
melakukan pernikahan. Hal ini menunjukan begitu tingginya angka
perkawinan Di Kantor Urusan Agama Kecamatan Cakung Jakarta timur.
Untuk usia pengantin, lebih jelasnya dapat dilihat sebagaimana
dalam tabel di bawah ini:
Tabel 4. Data Usia Suami saat Kawin di Kecamatan Cakung tahun 2007
Tahun Usia < 19 Usia 19-24 Usia 25-30 Usia > 31 Jumlah
48 Ucu Suharto Ketu RT 008/04 Cakung Jakarta Timur, Wawancara Langsung, Cakung 1 Juni
2008
2007 7 1410 1236 191 2844
Sumber Data:Buku Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk di Kecamatan Cakung
Jakarta Timur tahun 2007
Tabel 5. Data Usia Istri saat Kawin di Kecamatan Cakung tahun 2007
Tahun Usia
<16
Usia
16-18
Usia
20-24
Usia
25-30
Usia
>31
Jumlah
2007 - 368 1748 622 106 2844
Sumber Data:Buku Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk di Kecamatan Cakung
Jakarta Timur tahun 2007
Tabel di atas menunjukan adanya perkawinan di bawah batas usia
bagi pria yaitu terdapat 7 orang, dan bagi wanita tidak ada yang
melakukan perkawinan di bawah umur, namun menurut data perkawinan
berdasarkan Buku Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR) tersebut diatas
menunjukan jumlah perkawinan usia muda cukup besar dalam
pembentukan keluarga baru yang merupakan struktur masyarakat Cakung
Jakarta Timur.
Bila dibandingkan dengan data dari hasil angket yang penulis
sebarkan di Kecamatan Cakung sebanyak 100 angket dari 217236 jiwa yang
penulis ambil secara acak, 50 angket pada RT 008 Rw 04 dan 50 angket
pada RT 009 Rw 04, maka yang menjadi responden sebanyak 100 orang.
Hasil angket tertera dalam tabel berikut:
Tabel 6.Data Usia Suami saat kawin
Tahun Usia < 19 Usia 19-21 Usia 22-30 Usia > 31 Jumlah
2007 16 % 32 % 40 % 12 % 100%
Sumber Data: Hasil Angket Yang di sebarkan Pada 100 Warga Cakung
Jakarta Timur Tahun 2007
Tabel 7.Data Usia Istri saat kawin
Tahun < 16 16-21 22-25 25-30 > 31 Jumlah
2007 13 % 48 % 21% 16 % 2 % 100 %
Sumber Data: Hasil Angket Yang di sebarkan Pada 100 Warga Cakung
Jakarta Timur Tahun 2007
Tabel 6 di atas menunjukan bahwa pada perkawinan di bawah umur
yang terjadi di Kecamatan Cakung, sebanyak 16 orang (16%) pengantin pria
masih di bawah umur minimum untuk melangsungkan perkawinan seperti
yang diizinkan pasal 7 ayat 1 undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan yaitu umur 19 tahun bagi pria dan terdapat 32 orang (32%)
pengantin pria yang di haruskan mendapat izin orang tua untuk
melangsungkan perkawinan sesuai pasal (6) ayat 2 Undang-undang No.1
Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu jika belum mencapai umur 21 tahun.
Sedangkan tabel 7 di atas menunjukan bahwa pada perkawinan di
bawah umur yang terjadi di Kecamatan Cakung sebanyak 13 orang (13%)
pengantin wanita yang masih di bawah umur minimum untuk
melangsungkan perkawinan seperti yang di izinkan dalam pasal 7 ayat (1)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu umur 16 tahun
bagi wanita dan terdapat sebanyak 58 orang (58%) pengantin wanita yang
diharuskan mendapat izin orang tua untuk melangsungkan perkawinan
sesuai pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yaitu jika belum mencapai umur 21 tahun.
Berdasarkan data-data tersebut di atas, data yang berasal dari Buku
Nikah Talak Cerai Rujuk tidak ada pasangan wanita yang melakukan
perkawinan di bawah umur, sedangkan bagi pasangan pria terdapat 7
orang yang melakukan perkawinan di bawah umur. Kemudian berdasarkan
angket yang diedarkan kepada pasangan perkawinan di kecamatan
Cakung, menunjukkan adanya perkawinan di bawah umur walaupun dalam
jumlah yang kecil yaitu 16 orang untuk pria dan 13 orang untuk wanita.
Tabel 8. Data keadaan Rumah Tangga Hingga saat ini.
Keadaan
Rumah
Tangga
Hingga Saat
Ini
Bahagia Cerai Masih Tapi
Tidak
Harmonis
Jumlah
Jumlah 84 % 7% 9% 100%
Sumber Data: Hasil Angket Yang di sebarkan Pada 100 Warga Cakung
Jakarta Timur Tahun 2007
Tabel di atas menunjukan rumah tangga hingga saat ini, jumlah
keluarga yang bahagia berjumlah 84 %, Rumah tangga yang bercerai
Berjumlah 7 % dan Rumah tangga yang Tidak harmonis berjumlah 9 %.
Menurut wawancara penulis langsung dengan ibu Tati pelaku
pernikahan di bawah umur yang menjadi alasan untuk bercerai adalah
sebagai berikut :
Bagaimana keadaan rumah tangga ibu saat ini ? “Saya sudah
bercerai dengan suami saya”. Apa yang menjadi alasan ibu untuk bercerai
? “Karena saya merasa sudah tidak ada kecocokan lagi dengan suami
saya, saya sering bertengkar hanya gara-gara hal sepele, mungkin ini karena
umur saya dengan suami masih sama-sama muda49”.
Table 9. Data pendidikan terakhir Suami dan Istri saat menikah
Data SD SMP SMA PT Tidak
Sekolah
Jumlah
Suami 9 % 22 % 42 % 19 % 8 % 100 %
Istri 16 % 22 % 36 % 11 % 15 % 100 %
Sumber Data: Hasil Angket Yang di sebarkan Pada 100 Warga Cakung
Jakarta Timur Tahun 2007
Tabel di atas menunjukan data pendidikan terakhir saat menikah,
jumlah pendidikan terakhir suami SD berjumlah 9 %, SMP berjumlah 22 %, SMA
49 Tati Suamiati, Wawancara Langsung, Cakung 10 Juni 2008
berjumlah 42 %, Perguruan Tinggi berjumlah !9 % dan yang tidak bersekolah
berjumlah 9 %, Sedangkan hasil angket pendidikan terakhir istri saat menikah
adalah SD berjumlah 16 %, SMP berjumlah 22 %, SMA berjumlah 36 %,
Perguruan Tinggi 11 % dan yang tidak bersekolah berjumlah 15 %.
Tabel 10. Data Alasan Yang mendorong Untuk Menikah
Alasan yang
mendorong
untuk
Menikah
Perintah
Agama
Cukup usia Dijodohkan Hamil di luar
nikah
Jumlah 46 % 39 % 12 % 3 %
Sumber Data: Hasil Angket Yang di sebarkan Pada 100 Warga Cakung
Jakarta Timur Tahun 2007
Tabel di atas menunjukan alasan yang mendorong untuk menikah
Karena perintah Agama berjumlah 46 %, karena telah cukup usia berjumlah
39 %, karena di jodohkan 12 % dan karena hamil diluar nikah berjumlah 3 %.
Berdasarkan data-data tersebut di atas, data yang berasal dari Buku
Nikah Talak Cerai Rujuk tidak ada pasangan wanita yang melakukan
perkawinan di bawah umur, sedangkan bagi pasangan pria terdapat 7
orang yang melakukan perkawinan di bawah umur. Kemudian berdasarkan
angket yang diedarkan kepada pasangan perkawinan di kecamatan
Cakung, menunjukkan adanya perkawinan di bawah umur walaupun dalam
jumlah yang kecil yaitu 16 orang untuk pria dan 13 orang untuk wanita.
Pembatasan usia nikah dengan cara metode maslahah mursalah,
sangatlah jelas mendatangkan kemaslahatan dan manfaat bagi tegaknya
rumah tangga yang sejahtera.
Memang secara formal tidak ada ketentuan ayat / hadis yang
menjelaskan secara langsung tentang pembatasan usia nikah, tetapi
kandungan maslahatnya sejalan dengan tindakan syara (agama) yang
ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Namun demikian jika kita
perhatikan ayat di bawah ini, firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 9:
a,�و ����� �+آ�ا �� ا� ����� b�Vذر �M�Xc ا�M�� ��,�6 ��اF,�M 1 ا��
)9:4 /ا��90( .س"�"ا 8��� و�,����ا
Artinya: ”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar”.
Ayat tersebut memang bersifat umum tidak secara langsung
menunjukkan bahwa perkawinan di bawah umur menghasilkan keturunan
yang dikhawatirkan kesejahteraannya. Akan tetapi berdasarkan realita yang
ada perkawinan di bawah umur yang dilakukan oleh masyarakat Cakung
rendahnya usia kawin, lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tak sejalan
dengan misi dan tujuan perkawinan yaitu terwujudnya ketentraman dalam
rumah tangga berdasarkan kasih sayang.
C. Analisa Pengaruh Perkawinan Di Bawah Umur Terhadap Pembentukan
Keluarga Sakinah
Kasus I
Ibu Nur, 23 tahun. Ibu seorang anak ini menikah untuk yang pertama
kalinya pada usia 13 tahun dengan suaminya yang saat itu berumur 15
tahun ibu yang tidak bisa baca dan tulis ini melangsungkan pernikahan di
bawah tangan pada tahun 1999 atas kehendak orang tua mereka, mereka
dijodohkan karena mereka masih memiliki ikatan persaudaraan. Namun
perkawinan mereka hanya berjalan 7 bulan dan belum dikaruniai anak.
Menurut pengakuan Ibu Nur perceraian mereka dipicu karena mereka sering
mengalami pertengkaran yang timbul karena perbedaan pendapat dan
pemikiran diantara mereka. Akhirnya mereka memutuskan bercerai dari
pada meneruskan rumah tangganya tersebut. Kini ibu Nur telah menikah lagi
dan dikaruniai seorang anak dari suami keduanya.
Kasus II
Ibu Dewi, 29 tahun. Ibu dua orang anak yang tidak pernah
merasakan bangku sekolah menikah pada tahun 1994 pada usia 15 tahun.
Beliau menikah karena pada usia tersebut telah menjalin hubungan selama
1 tahun dengan seorang pria yang berusia 19 tahun dan atas dorongan dari
orang tua mereka akhirnya merekapun menikah. Diawal tahun perkawinan
mereka telah banyak menghadapi berbagai masalah, khususnya masalah
ekonomi, dan puncaknya ketika sang suami tanpa sepengetahuannya
memiliki banyak hutang. Akhirnya sang suami meninggalkanya karena tidak
sanggup membayar hutang-hutangnya, dan mereka akhirnya bercerai
ketika memasuki 6 tahun usia perkawinan mereka pada tahun 2000. Kini Ibu
Dewi telah menikah lagi dengan seorang duda beranak satu dan kini Ibu
Dewi telah dikaruniai seorang anak dari suami keduanya
Kasus III
Ibu Gita, 23 tahun. Ibu dua orang anak ini menikah pada tahun 2000.
Ibu Gita menikah pada usia 15 tahun ketika sedang duduk di kelas 1 SMU.
Suaminya juga saat itu masih duduk di kelas 2 STM. Pernikahan mereka
berlangsung karena Ibu Gita hamil di luar nikah, maka mereka mumutuskan
menikah sebagai jalan keluarnya. Pernikahan mereka masih berlangsung
hingga saat ini. Namun Ibu gita mengaku mereka sering mengalami
pertengkaran biasanya pertengkaran mereka dipicu oleh perilaku suami
yang sering mabuk dan berselingkuh. Namun Ibu Gita masih
mempertahankan rumah tangganya dengan alasan masih mencintai
suaminya dan ia tidak mau mengorbankan anaknya, dan ibu Gita berharap
prilaku suaminya bisa berubah demi anaknya yang kini duduk di kelas 2 SD.
Kasus IV
Ibu Tati, 19 tahun. Menikah pada tahun 2005 setelah tamat SMP, ibu
Tati dijodohkan orang tuanya dengan alasan tidak ada biaya untuk
melanjutkan ke SMA. Perkawinan tersebut dilakukan secara sirri (tidak
dicatatkan di KUA setempat). Ibu Tati lebih memilih tinggal di rumah orang
tuanya dari pada dengan suaminya, hal ini disebabkan ibu Tati tidak bisa
mencintai suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai pada
tahun 2007. Kini ibu Tati telah menikah lagi dengan suami pilihannya sendiri.
Kasus V
Ibu Nia, 25 tahun. Pertama kali menikah pada usia 15 tahun karena
pada waktu itu telah memiliki kekasih dan sang kekasih telah memiliki
pekerjaan, akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan perkawinan
pada tahun 1998. Namun setelah 5 tahun usia perkawinan mereka, sang
suami menikah lagi dengan seorang janda. Namun Ibu Nia tetap
mempertahankan rumah tangganya demi anaknya, walaupun ia tidak
merasakan kebahagiaan dalam rumah tangganya.
Kasus VI
Ibu Rosi 39 tahun menikah dengan bapak Marjuki 48 tahun, dan kini
mereka telah memasuki 27 tahun usia perkawinan mereka. Mereka di
karunia 5 orang anak dan 2 anaknya kini telah memperoleh gelar sarjana.
Kehidupan ekonomi keluarganya pun kini bisa dikatakan mapan, mereka
tidak memungkiri memang diawal-awal perkawinan mereka sering terjadi
perselisihan namun itu dinilai masih dalam hal yang wajar, sehingga
perselisihan tersebut dapat diselesaikan.
Kasus VII
Ibu Nina 20 tahun menikah dengan bapak Fajar 22 tahun, mereka
menikah 4 tahun yang lalu atas keinginan mereka berdua, hal ini
dikarenakan mereka telah berpacaran dan takut berbuat dosa maka
mereka memutuskan untuk menikah. Keadaan ekonomi mereka memang
belum mapan tetapi mereka juga tidak merasa kekurangan. Kini mereka
telah dikaruniai seorang putra yang telah berumur 3 tahun. Mereka merasa
bahagia dengan perkawinan mereka walaupun perkawinan mereka
dilakukan di bawah umur
Tujuh kasus di atas yang terjadi di masyarakat menunjukkan bahwa
perkawinan di bawah umur belum tentu membawa dampak negatif dalam
membentuk rumah tangga yang sakinah. Apa yang dicita-citakan dalam
sebuah perkawinan yaitu membentuk keluarga sakinah mawaddah
warohmah masih mungkin terbentuk, walaupun salah satu syarat dapat
terbentuknya keluarga sakinah mawaddah warohmah ditentukan oleh
kematangan dalam berfikir, bertindak, dan mempertanggungjawabkan
dalam bertindak atau cakap dalam hukum sangat ditentukan oleh usia.
Dari hasil wawancara yang penulis lakukan langsung dengan
pasangan yang melakukan perkawinan di bawah umur dari tujuh kasus
tersebut perkawinan di bawah umur yang terjadi, dilatarbelakangi oleh
berbagai faktor diantaranya adalah rendahnya pendidikan, atas dasar
cinta, dijodohkan atau karena hamil di luar nikah.
Pendidikan merupakan suatu sendi yang paling esensial dalam
kehidupan manusia. Pada umumnya orang akan mengetahui potensi yang
dimilikinya karena dijembatani oleh pendidikan. Dapat dikatakan bahwa
pendidikan adalah sarana penggali potensi dan sumber daya manusia.
Dengan melihat fenomena yang terjadi di masyarakat penulis sangat
prihatin bahwa tujuan perkawinan seperti yang telah dipaparkan yaitu untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang sakinah dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Masa Esa. Dalam arti tujuan perkawinan adalah
membentuk rumah tangga sakinah mawaddah warohmah jauh dari yang
diharapkan, selama masyarakat belum sadar betapa besar dampak negatif
dari pernikahan usia muda dengan tanpa di dasari dengan pendidikan dan
mental yang matang.
Akan tetapi sebaliknya pernikahan usia muda yang didasari dengan
pendidikan dan kematangan mental serta memegang teguh terhadap
prinsip berumah tangga tentunya akan lebih baik. Contohnya ketika ada
suatu masalah yang dihadapi, apabila disertai dengan pendidikan yang
cukup dalam mengambil keputusan pun akan lebih hati-hati ini berarti akal
yang digunakan dalam bertindak dan mengambil keputusan bukan emosi.
Kemudian jika dilihat dari faktor ekonomi seharusnya pasangan tersebut
tidak terlalu sulit untuk mencari nafkah keluarga karena dilihat dari usia
mereka yang masih muda. Lain halnya dengan pasangan yang memang
keluarganya dari orang berkecukupan harta, mungkin untuk masalah
ekonomi bukanlah masalah yang berarti.
Namun dari hasil analisa penulis pernikahan usia sangat berpengaruh
dalam pembentukan keluarga sakinah, maka seharusnya perkawinan di
bawah umur sebisa mungkin dihindari demi terlaksananya KHI pasal 15 ayat
1 yaitu :
untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan
dalam pasal 7 Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yakni
calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-
kurangnya berumur 16 tahun.
BAB V
KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan dan uraian yang penulis kemukakan pada bab-
bab sebelumnya, baik dari kerangka teoritis melalui pendekatan
kepustakaan maupun dari temuan-temuan ilmiah di lapangan, penulis
dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974, seorang pria
diperbolehkan melangsungkan perkawinan jika telah mencapai umur 19
tahun sedang seorang wanita telah berusia 16 tahun. Sedangkan
menurut Hukum Islam sendiri tidak menetapkan dengan tegas batas
umur dari seorang yang telah sanggup untuk melangsungkan
perkawinan. Al-Quran dan Hadits hanyalah menetapkan dengan isyarat-
isyarat dan tanda-tanda saja. Terserah kepada kaum muslimin untuk
menetapkan batas umur yang sebaiknya untuk melangsungkan
perkawinan sesuai pula dengan isyarat-isyarat dan tanda-tanda yang
telah ditentukan itu
2. Usia sangat berpengaruh terhadap kematangan fisik maupun mental
dalam menghadapi perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menganut prinsip bahwa calon suami
telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan
agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
Seperti disyaratkan dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun
1974, seorang pria diperbolehkan melangsungkan perkawinan jika telah
mencapai umur 19 tahun sedang seorang wanita telah berusia 16 tahun.
Jelas bahwa Undang-undang tersebut menganggap orang di atas usia
tersebut bukan lagi anak-anak sehingga mereka sudah boleh menikah
(batas usia ini dimaksudkan untuk mencegah perkawinan dibawah
umur). Walaupun begitu, selama seseorang belum mencapai usia 21
tahun masih diperlukan izin orang tua untuk menikahkan orang tersebut.
Baru setelah ia berusia di atas 21 tahun ia boleh menikah tanpa izin orang
tua:
Untuk melangsungkan perkawinan, seseorang yang belum mencapai
umur 21 harus mendapat izin kedua orang tua. (UU No. 1/1974 Pasal 6
ayat(2))
3 Pengaruh Perkawinan dibawah umur terhadap pembentukan Keluarga
Sakinah itu sendiri, menurut hasil penelitian penulis yang didapat melalui
angket dan Wawancara langsung adalah mereka yang melakukan
perkawinan dibawah umur belum tentu tidak dapat membentuk
keluarga sakinah ini terbukti dari mereka yang melakukan perkawinan di
bawah umur yang sampai saat ini masih berlangsung dan telah dikarunia
beberapa anak dan mereka dapat membentuk keluarga sakinah..
B. SARAN-SARAN
Walaupun pengaruh perkawinan dibawah umur tidak mutlak
pengaruhnya terhadap pembentukan keluarga sakinah, alangkah baiknya
hal ini dapat diminimalisasi untuk mencegah banyaknya perceraian dan
dampak negatif perkawinan dibawah umur seperti yang telah penulis
paparkan pada bab-bab sebelumya. Untuk itu penulis akan memberikan
saran-saran sebagai berikut:
1. Kepada masyarakat, khususnya kepada orang tus dan anak muda, perlu
diketahui bahwa perkawinan adlah sesuatu yang sacral yang seharusnya
dilakukan sekali dalam seumur hidup. Oleh karena itu untuk mewujudkan
itu semua, hendaklah dalam melakukan perkawinan harus dipersiapkan
secara matangbaik jasmani maupun rohani agar apa yang dicita-
citakan dalam berumah tangga dapat terwujud.
2. Kepada tokoh masyarakat, para alim ulama, hendaklah pada saat
ceramah atau siraman rohani dalm sebuah kegiatan, hendaklah sedkit
demi sedikit membahas masalah pengaruh perkawinan dibawah umur
dan betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Sehingga masyarakat
tau seperti apakah rumah tangga yang baik yang dicintai dan diriddoi
Allah SWT.
3. Kepada aparat pemenrintah dalam hal ini petugas Kelurahan,
Kecamatan dan Kantor Urusan Agama. Hendaknya mereka lebih teliti
dan tegas mengenai umur bagi yang akan melakukan perkawinan agar
tidak terjadi manipulasi umur. Sehingga tercipta masyarakat dan rumah
tangga yang saknah.
DAFTAR PUSTAKA
al-Quran al-Karim.
Ali K, Muhammad. Kamus Lengkap Bahasa Modern. Jakarta : Pustaka Amani,
tth.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1975.
Badan Penasehat Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4). Membina
keluarga Sakinah "Menuju Keluarga bahagia". Jakarta: Pustaka
Antara, 1996, Cet. Ke-4.
Basri, Hasan. Keluarga Sakinah "Membina Keluarga Sakinah". Jakarta :
Pustaka Antara, 1996, Cet. Ke-4.
Danuri. Pertambahan Penduduk dan Kehidupan Keluarga. Yogyakarta : LPPK
IKIP, 1976.
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Ilmu Fiqh. Jakarta
: Departemen Agama, 1984/1985, Jilid II, Cet. Ke-2.
Hadikusum, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan
Adat Hukum Agama. Persada, Bandung : Mundur Maju, 1990, Cet.
Ke-1.
Haditono, Siti Rahayu. Psikolog Perkembangan dan Bagian-Bagianya.
Yogyakarta : Gajah Mada, 1989.
Hasanudin. Diklat Kuliah Mukaromah Al-Mazahib Fil Munakahat. 2002.
Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta : Bulan
Bintang, 1993, Cet. Ke-3.
Mukthie, Fadjar A. Tentang dan Sekitar Hukum Perkawinan Di Indonesia.
Malang : Fakultas Pedagang/wWiraswasta Hukum Universitas
Brawijaya, 1994. Cet. Ke-1.
Nigo Jodipuro, Surojo. Pengantar Dan Azas-Azas Hukum Adat. Jakarta : CV
Haji Masagung, 1987, Cet. Ke-6.
Nur, Dj'aman. Fiqh Munakahat. Semarang : Dini Utama, 1993, Cet. Ke-1.
Pasaribu, O.S dan Darmabrata, Wahyono. Himpunan Peraturan Perundang-
Undangan. Cet.Ke-1, Jakarta : Ind Hill-CD, 1987.
Pusat Penmbinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1991.
Rasyid Ridha, Muhammad. Tafsir Al-Manar. Jus IV, Mesir 1325.
Subekti, R. Dan Tjitrosoedibio, R. Kamus Hukum. Jakarta : Pradnya Paramitha,
1996.
Sutarmadi, Ahmad, Memberdayakan Keluarga Sakinah Menuju Indonesia
2020. Surabaya : BP 4, 1997.
Syamsu, Nazwar. Al-quran Tentang Manusia dan Masyarakat. Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1986.
Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta : PT Hidakarya
Agung, 1996, Cet. Ke-15.
Zahrah, Abu. Ushul Fiqh. Kairo : Dar al-Fikr al Arabi, tth.
Zakariya, al-Barry, Ahmad. Hukum Anak-Anak Dalam Islam. Jakarta : Bulan
Bintang, 1997.
Zuhdi, Muhdlur, A. Hukum Perkawinan. Ttp, al-Bayan, 1997, Cet. Ke-1.
Zuhdi, Mahfud, Pengantar Hukum Syariah. Jakarta : Gunung Agung, 1995.
Angket untuk Warga Cakung Rt 008 dan Rt 009 Rw 04
Mohon kesediaan Anda untuk mengisi angket ini, guna keperluan
akademik sebagai data penelitian.
Nama :
Umur :
Alamat :
Berilah tanda (X) pada jawaban yang anda pilih, dan andaoun dapat
menjawab dengan jawaban lain yang tidak ada dakam plihan.
1. Pada usia berapakah anda dan pasangan anda menikah?
Suami:
a.< 19 tahun b. 19-21 tahun c. 22-30 tahun
d. >31 tahun
Istri:
a. < 16 tahun b. 16-21 tahun c. 22-30 tahun
d. > 31 tahun
2. Bagaimana keadaan rumah tangga anda?
a. Bahagia b. Cerai c. masih, tapi tidak harmonis
3. Apa pendidikan terakhir anda saat menikah?
a. SD b. SMP c. SMA d. Perguruan Tinggi
4. Apa motifasi anda yang mendorong anda untuk menikah?
a. perintah agama b. usia cukup c. telah mapan
5. Menurut anda pada usia berapa seseorang harus menikah?
a. < 16 tahun b. > 16 tahun c. < 25 tahun d >
25 tahun
6. Menurut anda, faktor apa yang menyebabkan seseorang untuk menikah
di bawah umur?
a. Perintah Agama
b. Cukup Usia
c. Dijodohkan
d. Hamil di Luar Nikah
7. Jika anda tidak setuju, apa alasan anda?
a. karena dinilai belum matang fisik maupun mental
b. karena khawatir akan terjadi perceraian
c. karena khawatir akan menjadi beban oarng tua
d. karena mereka harus menyelesaikan sekolahnya terlebih dahulu
Panduan Pertanyaan Wawancara kepada Tokoh Masyarakat
Rt 008, 009 Rw 04
Nama : Ucu Suharto
Hari/Tgl : Minggu, 1 Juni 2008.
Waktu : pukul 17.00 s/d 17.30
Tempat : Di rumah
Jabatan : Ketua RT
Alamat : Jln. P.komarudin Rt 008 Rw 04 No.21
1. Apa pendapat anda tentag perkawinan dibawah umur?
Perkawinan yang dilakukan ketika seseorang belum menginjak umur
16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria.
2. Bagaimana pandangan masyarakat di deraah ini terhadap
perkawina di bawah umur?
Kurang setuju karena seharusnya mereka yang ingin menikah harus
cakap dalam hukum, telah memiliki tangung jawab, hal ini berkaitan
erat dengan kematangan usia seseorang. Sehingga apa yang di cita-
citakan dalam sebuah perkawinan dapat terwujud.
3. Menurut anda apa yang melatar belakangi seseorang melakukan
perkawinan dibawah umur?
Hamil di luar nikah akibat terpengaruh oleh pergaulan bebas,
kemudian juga faktor adat bagi sebagian kecil masyarakat yang
menganggap bila anaknya sudah menikah itu merupakan
kebanggaan tersendiri, dan sebaliknya bila belum menikah menjadi
celaan dalam lingkungan keluarga.
4. Adakah pasangan yang melakukian perkawinan di bawah umur di
lingkungan ini?
Masih ada, walaupun jumlahnya sedikit.
5. Menurut pendapat anda bagaimana pengaruh perkawinan di
bawah umur terhadap pembentukan keluarga sakinah?
Sulit untuk membentuk keluarga yang sakinah mawadah warohmah
karena mereka sama-sama belum dewasa sehingga mereka lebih
cenderum emosional dalam menghadapi masalah rumah tangga,
mereka juga belum memiliti tanggung jawab terhadap keluarga.
Pewawancara Yang
diwawancarai
Riana Maruti Ucu Suharto