penundaan pencatatan perkawinan di bawah umur...
TRANSCRIPT
PENUNDAAN PENCATATAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI
DESA PARAKAN MUNCANG BOGOR KECAMATAN NANGGUNG
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ZAINAL ARIFIN
NIM. 1111044100041
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H )
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H/2015 M
i
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “PENUNDAAN PENCATATAN PERKAWINAN DI BAWAH
UMUR DI DESA PARAKAN MUNCANG BOGOR KECAMATAN NANGGUNG”
telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi
Hukum Keluarga Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
19 Oktober 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Al Ahwal Al-Syakhsiyyah.
Jakarta, 19 Oktober 2015
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A
NIP. 196912161996031001
PANITIA UJIAN MUNAQASAH
Ketua : Dr. H. Abdul Halim, M.Ag (……….....….....)
NIP. 19670608 199403 1 005
Sekertaris : Arip Purkon, M.A (..……….…….....)
NIP. 19790427 200312 1 002
Pembimbing : Notnidah Nasution, M.Ag (………..…..…...)
NIP. 196003181991031001
Penguji I : Dr. Moh. Ali Wafa, S. Ag. M. Ag (..……................)
NIP. 150 321 584
Penguji II : H. M. Yasir, S.H M.H (.……......…..…)
iii
iv
ABSTRAK
Zainal Arifin. NIM 1111044100041. PENUNDAAN PENCATATAN
PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI DESA PARAKAN MUNCANG BOGOR.
Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. xi + 85
halaman + 19 lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor apa yang menjadi penyebab
penundaan pencatatan perkawinan dibawah umur di Desa Parakan Muncang Bogor,
bagaimana proses perkawinannya dan problematika apa yang muncul terhadap pasangan
yang menunda pencatatan perkawinan.
Metode yang dipergunakan adalah metode deskriptif eksploratif, adapun jenis
penelitiannya yaitu penelitian lapangan (Field Research) yang di padukan dengan
penelitian kepustakaan (Library Research). Kriteria dan sumber data yang digunakan yaitu
pertama, data primer seperti wawancara, dan dokumentasi. Kedua, data sekunder yang
diperoleh dari buku-buku dan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan tema. Adapun
teknik pengumpulan data diantaranya yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data
yang terkumpul selanjutnya di analisa dengan analisis deskriptif.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa banyaknya masyarakat Desa Parakan
Muncang Bogor yang melakukan penundaan pencatatan perkawinan. Dikarenakan
berbagai faktor salah satunya tidak terpenuhinya persyaratan usia dewasa yaitu bagi
mereka yang belum berusia 16 (enam belas) tahun bagi perempuan dan 19 (sembilan belas)
tahun bagi laki-laki, yang hendak menikah namun tidak melalui prosedur yang telah diatur
oleh pemerintah seperti halnya mengajukan izin permohonan dispensasi nikah terlebih
dahulu kepada Pengadilan Agama setempat, melainan mereka langsung melakukan
pernikahannya di hadapan seorang amil (penghulu) KUA untuk menikahkannya. Padahal
dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan Bab II pasal 7
menyebutkan “ perkawinanan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia
sekurang-kurangnya 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai usia sekurang-
kurangnya 16 tahun. dan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat 2
menegaskan “ bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
batas usia 21 tahun harus mendapat izin dari Peradilan Agama setempat.sudah jelas
undang-undang mengharuskan bagi pasangan muda (dibawah umur) yang hendak menikah
untuk mengajukan izin permohonan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama setempat,
namun masih banyak masyarakat yang tidak melakukan izin permohonan dispensasi nikah
dan beranggapan hal itu tidak penting hanya memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Kata Kunci : Penundaan, Pencatatan, perkawinan, Parakan, Muncang,
Pembimbing : Hotnidah Nasution, M.Ag.
Daftar Pustaka : Tahun 1974 s.d Tahun 2012
v
KATA PENGANTAR
م الرحمن االرحيبسم اهلل
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji semoga selalu tercurah kehadirat Ilahi Rabbi yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini tepat pada waktunya. Sholawat beriring salam selalu tercurahkan kepada
Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa darizaman kebodohan
menjadi zaman yang penuh kebaikan dalam kehidupan seluruh umat manusia.
Sudah empat tahun penulis bergabung di Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama itu pula penulis
belajar, berdiskusi, dan menimba ilmu dari para dosen. Suatu proses tolabul ilmi yang
mempunyai kesan suka maupun duka.
Penulis teringat akan sebuah syarat bagi seorang yang menuntut ilmu yang ada
didalam kitab Ta’lim al-muta’alim tentang enam hal yang harus ada dalam menuntut
ilmu yaitu; pandai, semngat, kerja keras, biaya, pengajaran guru, dan waktu yang
panjang. Dalam konteks ini dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan, yang penulis
merasa masih jauh dari harapan yang ideal tersebut.
Seyogyanya penulis merasakan bahwa cita-cita harus diraih melalui kerja keras.
Menempuh proses perjuangan yang panjang dan berbagai
halanganyang ada. Begitupun dalam penulisan skripsi ini memerlukan pengorbanan w
aktu, fikiran, tenaga dan harta. Alhamdulillah berkat ridho Allah akhirnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga merasakan selama proses penyusunan
vi
skripsi ini telah banyak pihak yang memberikan bantuan, bimbingan, dan motivasi
baik moril maupun materil. Dengan kerendahan hati izinkan penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saefudin Jahar. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim. Ketua Program Studi Akhwal Al-Syakhsiyyah.
3. Bapak Arif Purkon, M.A., selaku Sekretaris Program Studi Akhwal As-
Syakhsiyyah.
4. Ibu Hotnidah Nasution M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
mencurahkan waktu, pikiran, dan perhatian serta dengan penuh kesabaran
membimbing dalam proses penulisan skripsi.
5. Bapak Supriyadi Ahmad, selaku dosen pembimbing akademik yang selalu
memberikan motivasinya.
6. Kedua orang tua penulis, yang dengan kesabaran dan keresahannya memberikan
motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa kepada
kakakku dan adikku yang selalu berbagi canda tawa baik suka maupun duka.
7. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta yang telah mendidik
dan menberikan ilmunya kepada penulis selama menjadi mahasiswa.
8. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
yang telah meberikan fasilitas dan kemudahan dalam peminjaman buku
referensi.
vii
9. Keluarga Besar Guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 039 Tembilahan Riau
yang telah memberikan bekal ilmu keagamaan kepada penulis, semoga Allah
SWT memberikan balasan yang berlipat ganda.
10. Segenap Guru Pengajar di Sekolah Menengah Pertama (MTSN) Negeri 049
Tembilahan Riau, terima kasih atas pengalaman yang telah diberikan kepadaku
selama ini, sehingga penulis lebih bisa memahami arti dan makna dari
kesosialan.
11. Keluarga Besar Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan seluruh pihak yang membantu dalam
penyusunan skripsi ini.
12. Sahabat-sahabatku, Peradilan Agama Angkatan 2011 Azhar, Rafel, Faris, Rasit
Ridho, Rizal, Alimudin, wanda, zulfahmi, Zahra, Intan Juniarti Harahap dan
yang lain yang senantiasa memotivasi dan memberi semangat kepada penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini, serta teman-teman yang telah menemani
penulis dalam suka dan duka dalam mengarungi dinamika kehidupan kampus.
Terima kasih atas segala warna yang kalian berikan.
13. Teman-teman dekatku Asih Mulyanti, Elvin, Rizal, Fikri, Raja dan yang lain
yang senantiasa memotivasi dan memberi semangat kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini, yang telah menemani penulis dalam suka dan duka
dalam mengarungi dinamika kehidupan nyata ini.
14. Teman-temanku seperjuangan Gusti Rahmat, Servin Lubis, Ipul, Adi, Ari, Hanif
yang telah banyak membantu secara moral maupun materi dan tiada hentinya
dalam mensupport penulis dalam menyusun skripsi ini.
viii
15. Keluarga Besar Bapak angkat Imam Syarif Hidayatullah MA dan Ibu Tri, dan
para santri dan santri yayasan al-amanah nusantara Tercinta yang telah banyak
mengajarkan arti dari sebuah Kehidupan.
16. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala
bentuk kontribusi yang diberikan kepada penulis, semoga amal baik kalian
mendapat balasan dari Yang Maha Sempurna.
Semoga skripsi ini menjadi bahan berguna bagi penulis untuk berkiprah
dimasyarakat dan mengharumkan almamater tercinta Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini
masih jauh dari sempurna, penulis berharap kritik dan saran dari para pembaca,
sehingga berguna bagi penulis dimasa yang akan datang.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 25 Oktober 2015
Penulis
viii
DAFTAR ISI
PENGESAHAN PANITIAN UJIAN SKRIPSI ........................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................... ii
ABSTRAK ....................................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................ 5
C. Pembatasan Masalah ............................................................................... 6
D. Perumusan Masalah ................................................................................. 6
E. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 7
F. Manfaat Penelitian ................................................................................... 7
G. Review Studi Terdahulu .......................................................................... 8
H. Metode Penelitian .................................................................................... 8
I. Sistematika Penulisan .............................................................................. 12
BAB II PENCATATAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR.
A. Pengertian Perkawinan, Dasar Hukum Perkawinan, Syarat dan Rukun Perkawinan .................................................................................. 14
B. Perkawinan di bawah Umur Menurut Islam ........................................... 22 C. Perkawinan di bawah Umur Menurut Hukum Positif ............................. 26
D. Proses Pencatatan Perkawinan di Bawah Umur ...................................... 30 E. Dampak Perkawinan Tidak Tercatat ....................................................... 41
BAB III PROFIL DESA PARAKAN MUNCANG BOGOR
KECAMATAN NANGGUNG.
A. Sejarah Singkat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung ................................................................................................ 44
B. Letak dan Gambaran Kondisi Geografis ................................................. 45
C. Kondisi Keagamaan, Pekerjaan, Pendidikan, dan Sosial Masyarakat .............................................................................................. 50
BAB IV PENOMENA PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN
PENCATATN PERKAWINAN.
A. Proses Perkawinan di Bawah Umur dan Pencatatan perkawinan ........... 57 B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Penundaan Pencatatan
Perkawinan di Bawah Umur ..................................................................... 62 C. Akibat Penundaan Pencatatan Nikah Terhadap Pasangan
Perkawinan di Bawah Umur ..................................................................... 71
D. Penyelesaain Penundaan Pencatatan Perkawinan di Bawah Umur .......... 75
ix
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 80 B. Saran ........................................................................................................ 82
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 84
x
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kondisi Geografis Desa Parakan Muncang Bogor ................................... 46
Tabel 3.2 Orbitrasi (Jarak dari Pusat Kota Pemerintahan ke Desa) ......................... 46 Tabel 3.3 Batas-Batas Wilayah Desa Parakan Muncang Bogor .............................. 47
Tabel 3.4 Struktur Organisasi Desa Parakan Muncang Bogor ................................. 48 Tabel 3.5 Data Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin ...................................... 49 Tabel 3.6 Keadaan Jumlah Penduduk Menurut Agama ........................................... 51
Tabel 3.7 Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian ....................................... 52 Tabel 3.8 Jumlah Sarana Pendidikan di Desa Parakan Muncang Bogor .................. 53
Tabel 3.9 Keadaan Jumlah Penduduk Menurut Lulusan Pendidikan Umum ........... 54 Tabel 3.10 Sarana dan Prasarana di Desa Parakan Muncang Bogor .......................... 55
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Dosen Pembimbing Skripsi ....... 87
Lampiran 2 Surat Blanko Bimbingan Skripsi .............................................................. 88 Lampiran 3 Surat Permohonan Data/ Wawancara ....................................................... 89
Lampiran 4 Surat Keterangan Wawancara Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Parakan Muncang Bogor ................................................. 90 Lampiran 5 Surat Keterangan Wawancara Kepada Kepala Desa Parakan
Muncang Muncang Bogor untuk Profil Desa ........................................... 91 Lampiran 6 Pedoman Wawancara/ Instrumen Peneliti ................................................ 92
Lampiran 7 Hasil Wawancara dengan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Parakan Muncang Bogor .......................................................................... 97 Lampiran 8 Hasil Wawancara dengan Sekretaris Pencatat Nikah Parakan
Muncang Bogor ........................................................................................ 103 Lampiran 9 Hasil Wawancara dengan Amil/ Penghulu Kantor Urusan Agama
(KUA) Parakan Muncang Bogor .............................................................. 107 Lampiran 10 Hasil Wawancara dengan Tokoh Agama/ Tokoh Masyarakat ................. 110 Lampiran 11 Hasil Wawancara dengan Responden Pelaku Nikah Muda
(di bawah umur) ....................................................................................... 113 Lampiran 12 Lampiran Foto .......................................................................................... 128
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad yang sangat kuat atau
(mitsqan ghalizhan) untuk mentaati perintah Allah dan untuk mengikatkan diri
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menghalalkan hubungan
suami istri dengan dasar sukarela dan keridhaan kedua belah pihak dalam rangka
mewujutkankan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah
yang di ridhai oleh Allah.1
Menurut Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Undang-Undang No 1 Th 1974 menyebutkan suatu perkawinan dikatakan
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu, Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 Th 1974). Tiap-tiap
perkawinan harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No 1 Th 1974. Oleh karena itu,
pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif yang harus memenuhi
1 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h.10
2 Ahmad Azhar Basyir, Hukum perkawinan Islam, (Yogyaarta: UII Press, 1999), h. 14
2
ketentuuan hukum yang ada, yakni perkawinan dilakukan didepan pejabat yang
berwenang yang ditunjuk.3
Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum, sehingga menimbulkan
akibat hukum berupa hak dan kewajiban bagi kedua antara suami istri. Setiap
orang yang hendak melangsungkan perkawinan maka harus dilaksanakan secara
sah pula yaitu terpenuhi syarat dan rukunnya serta harus dicatat oleh Pegawai
Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam, dan Catatan
Sipil bagi mereka yang diluar Agama Islam. Akta Nikah yang di dapatkan setelah
aqad nikah merupakan bukti autentik untuk mendapatkan jaminan hukum, apabila
terjadi salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang
menyimpang.
Misalnya seorang suami tidak memberikan nafkah yang menjadi
kewajibannya, sementara kenyataannya dia mampu, atau seorang suami
melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibacanya, maka seorang istri yang
dirugikan dapat mengadukan dan mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan
Agama. Selain itu Akta Nikah juga berfungsi untuk mengajukan keabsahan
seorang anak dari sebuah perkawinan, apabila seorang anak dilahirkan diluar
perkawinan dan perkawinanya tidak tercatatkan maka selain dianggap anak tidak
sah juga hanya mempunyai hubungan keperdataan kepada ibu dan keluarga
ibunya (pasal 42 dan 43 Undang-Undang), sedangkan keperdata ayahnya tidak
ada.
3 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta: Media Grafika, 2007), h. 8
3
Sebagian masyarat muslim memahami bahwa ketentuan perkawinan itu
lebih menekankan kepada persefektif fiqih, menganggap perkawinan telah cukup
apabila syarat dan rukunnya telah terpenuhi tampa diikuti oleh pencatatan nikah.4
Padahal apabila sebuah perkawinan yang dicatatkan secara resmi tidak akan
terjamin keamanannya dari kemungkinan terjadi pemalsuan dan kecurangan
lainnya, misalnya seorang suami atau istri yang igin memalsukan nama mereka
yang terdapat dalam Akta Nikah untuk keperluaan yang menyimpang. Maka
keaslian Akta Nikah itu dapat dibandingkan dengan salinan Akta Nikah yang ada
di KUA tempat yang bersangkutan menikah.5
Indonesia merupakan negara hukum dimana segalanya yang bersangkut paut
dengan penduduk harus dicatat, seperti halnya kelahiran, kematian dan termasuk
perkawinan, perkawinan termasuk erat hubungannya dengan kewarisan maka
harus dicatat untuk menjaga kekuatan hukumnya. Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
mempunyai kedudukan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia (UU No.22 Th 1946 jo UU No.32 Th 1954)6, sampai sekarang (PPN)
adalah satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan menurut
hukum Agama Islam dalam wilayahnya. Untuk memenuhi ketentuan itu maka
setiap perkawinan harus dilakukan dan di bawah pengawasan PPN karena PPN
mempunyai tugas dan kedudukan yang kuat menurut hukum, ia adalah Pegawai
Negara yang diangkat oleh Mentri Agama pada tiap-tiap Kecamatan. Walaupun
4 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h.
107 5 Jenal Mutakin, Hukum Perkawinan, diakses pada tanggal 27 Oktober 2014 dari
http://www.pa-cibadak.go.id/artikel/baca/28 6 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 110
4
demikian namun pada kenyataannya masih banyak saja masyarakat yang belum
mencatatkan pernikahannya.
Suatu hal yang nyata bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
majemuk yang memiliki banyak ragam adat istiadat dan budaya yang berbeda
pula, yang salah satunya dapat dilihat dalam tradisi pernikahan di bawah umur
yang terjadi di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung yang sampai
saat ini masih menjadi kebiasaan masyarakat tersebut. Nikah diusia muda
merupakan solusi praktis untuk menghindari agar tidak terjerumus kedalam
pergaulan bebas yang ahirnya masuk ke dunia sex bebas, maka tidak ada jalan lain
selain melakukan pernikahan dini, kenapa demikian, karna kalau tidak maka akan
mencoreng nama baik keluarga mereka masing-masing terkhusus kepada keluarga
siperempuan itu. Dalam sebuah perkawinan sebenarnya sudah diatur batas
umurnya baik dalam Undang-Undang No. 1 Th 1974 tentang perkawinan maupun
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)7, apa bila perkawinan yang dilakukan di
bawah umur maka yang bersangkutan harus mengajukan dispensasi nikah atau
penetapan nikah di Pengadilan Agama setempat agar pernikahannya disahkan oleh
Kantor Urusan Agama (KUA).
Dari hasil pengamatan dan penelitian secara tidak langsung yang penulis
lakukan pada Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung ada
kesenjangan dalam Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam yang ada, dimana bagi pasangan yang melakukan
7 Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT Pradnya Paramita, 2006), h.
8
5
penikahan di bawah umur tidak dicatatkan dan diberi buku Akta Nikah hingga
mereka mencapai usia dewasa dan baru diberikan setelah mereka mencapai usia.
Dari latar belakang permasalahan diatas penulis ingin mengetahui lebih jauh
mengenai permasalahan yang ada di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan
Nanggung dalam sebuah skripsi yang berjudul “PENUNDAAN PENCATATAN
PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI DESA PARAKAN MUNCANG
BOGOR KECAMATAN NANGGUNG.”
B. Identifikasi Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi
permasalahan yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan di bawah umur,
antara lain:
1. Pada dasarnya perkawinan itu sah apabila memenuhi syarat serta
rukunnya menurut agama, dan harus dicatatkan sesuai dengan undang-
undang yang berlaku, tapi pada kenyataanya banyak perkawinan di Desa
Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung yang tidak tercatat.
2. Kurangnya pengawasaan orng tua terhadap anak dalam pergaulan bebas
menyebabkan terjadinya pernikahan muda (di bawah umur) sehingga
tidak tercatatkan pernikahannya
3. Perkawina di bawah umur yang dilakukan oleh masyarakat Desa Parakan
Muncang Bogor Kecamatan Nanggung sudah menjadi Tradisi kebiasaan.
4. Belum matangnya usia perkawinan akan menyebabkan berbagai resiko
dalam berumah tangga.
6
C. Pembatasan Masalah.
Pencatatan perkawinan yang dimaksud dalam tulisan ini dibatasi dalam
persefektif hukum positif. Pernikahan di bawah umur dalam tulisan ini di batasi
pada pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang berumur 19 tahun untuk
calon pasangan pria atau calon pengantin perempuan berusia di bawah 16 tahun.
D. Perumusan Masalah.
Menurut peraturan perundang-undangan perkawinan yang dilakukan di
bawah tangan atau nikah yang tidak dicatatkan di KUA, maka untuk mendapatkan
kepastian hukumnya adalah dengan mengajukan Isbat Nikah ke Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat tinggal para pihak. Berbeda dengan yang
dilakukan oleh pasangan di bawah umur yang menikah di bawah tangan di Desa
Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung, dimana mereka tidak
mengajukan Isbat Nikah Ke Pengadilan Agama untuk mendapatkan kepastian
hukumnya, akan tetapi mereka mendatangi KUA untuk dicatatkan pernikahannya
setelah mereka dewasa. Satu sisi pihak KUA Parakan Muncang Bogor juga
sengaja untuk menunda pencatatan pernikahan di bawah umur.
Berdasarkan masalah yang ada diatas tersebut, untuk memberi arah yang
jelas dalam penelitian ini, maka penulis rincikan dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut:
1. Bagaimana proses perkawinan di bawah umur di Desa Parakan Muncang
Bogor Kecamatan Nanggung?
7
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan penundaan pencatatan
perkawinan di bawah umur di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan
Nanggung?
3. Bagaimana problematika yang muncul dari pasangan yang menunda
pencatatan perkawinan?
E. Tujuan Penelitian.
1. Untuk mengetahui proses perkawinan di bawah umur di Desa Parakan
Muncang Bogor Kecamatan Nanggung
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab penundaan
pencatatan perkawinan di bawah umur di Desa Parakan Muncang
Bogor Kecamatan Nanggung.
3. Untuk mengidentifikasikan problematika yang muncul terhadap
pasangan yang menunda pencatatan perkawinan.
F. Manfaat Penelitian.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk kepentingan pihak-pihak
sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para petugas KUA
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan peraturan
perndang-undangan yang ada di Indonesia.
2. Memberikan wawasan dan pemahaman bagi masyarakat luas untuk
mengetahui pentingnya memiliki buku Akta Nikah.
3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian
selanjutnya.
8
G. Review Studi Terdahulu.
Dalam pembahasan penelitian ini penulis melakukan tela’ah studi terdahulu
pada hasil penelitian yang pembahasanya menyerupai dengan pembahasan yang
akan diangkat oleh penulis yaitu :
Ade Uswatul Jamiliyah, dalam skripsinya berjudul Upaya Preventif
Penghulu dalam mengurangi pelaku perkawinan nikah sirri dan di bawah umur.
Berbeda dengan penulis, disini penulis hanya akan membahas masalah penundaan
pencatatan pertkawinan bagi pasangan yang menikah di bawah umur.
M. Andi Hakim Tahun 2008, Fakultas Syari’ah dan Hukum dalam skripnya
berjudul, Tingginya Biaya Pencatatan Perkawinan, yang menjelaskan tingginya
biaya pencatatan sebagai satu-satunya alasan tidak dicatatkannya perkawinan,
bedanya disini penulis akan membahas maslah penundaan pencatatan perkawinan
bagi pasangan yang menikah di bawah umur.
M. Fadli, Tahun 2007, Fakultas Syari’ah dan Hukum dalam skripsinya
berjudul, Problematika Nikah di bawah Tangan dan Urgensi Pencatatan Nikah
KUA Tentang Nikah, yang menjelaskan permasalahan pernikahan di bawah
tangan dan pentingnya pencatatan pernikahan dikantor urusan agama, bedanya
disini penulis akan membahas masalah penundaan pencatatan perkawinan bagi
pasangan yang menikah di bawah umur.
H. Metode Penelitian.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah:
a. Penelitian Kualitatif
9
Penelitian Kuaulitatif yaitu meneliti langsung pada objek
penelitian dengan melakukan wawancara langsung secara pribadi.
Dalam skripsi ini penulis menemui Informal yang melakukan
pernikahan dibawa umur dan menemui KUA yang melakukan
penundaan pencatatn pernikahan di bawah umur tersebut secara
langsung.
b. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan
mengkaji, menganalisa serta merumuskan dari buku-buku, tulisan-
tulisan, literatur dan yang lainnya yang masih relevan dengan judul
ini.
2. Pendekatan Penelitian
Sedangkan pendekatan penelitian yang digunakan dalam penyusunan
skripsi ini antara lain:
a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approch), yaitu
pendekatan dengan melakukan pengajian terhadap peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral
penelitian skripsi ini.8
b. Pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuridis sosiologis adalah
suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan
fenomena atau kejadian yang terjadi dilapangan.
8 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Pubhlishing, 2008), h. 294
10
3. Sumber Data
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunankan dua jenis
sumber data yaitu:
a. Data primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri
selama penelitian berlangsung. Hal ini berarti bahwa pada waktu awal
penelitian dimulai, data masih belum ada, dan data tersebut baru ada
setelah penelitian berjalan.9 Adapun data primer berasal dari observasi
langsung yang akan penulis lakukan berupa mewawancarai para pihak
yang berkaitan, seperti Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Parakan
Muncang Bogor, Sekretaris Kantor Urusan Agama (KUA) Parakan
Muncang Bogor, Penghulu atau Amil, tokoh masyarakat dan tokoh
agama dan Informal pelaku pernikahan di bawah umur Desa Parakan
Muncang Bogor Kecamatan Nanggung.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah merupakan data yang berisikan informasi
tentang bahan primer, diperoleh dari bahan kepustakaan10. Bahan
hukum yang terdiri dari buku-buku hukum, media cetak, artikel-artikel
baik yang di ambil dari internet maupun berupa data digital. Dan
arsip-arsip yang mendukung.
9 Yayan Sopyan, Metode Penelitian untuk Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum,
(Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 57. 10
Soejorno Soekarto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h. 51
11
4. Teknik Pengumpulan data
Untuk metode pengumpulan data penyusun berupaya mengumpulkan
data yang diperlukan, digunakan metode sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data dimana peneliti atau
kolaboratornya mencatat informasi selama penelitian, yakni penulis
mengamati langsung kelapangan dalam hubungannya dengan masalah
yang akan diteliti untuk dianalisa dan di kumpulkan.
b. Metode Wawancara (Interview)
Metode Wawancara (interview) adalah sebuah dialok yang
dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari
terwawancara.11 Dalam penulisan skripsi ini penulis akan melakukan
wawancara kepada KUA yang melakukan penundaaan pencatatan
perkawinan di bawah umur dan pada pihak-pihak yang terkait lainnya.
c. Studi dokumentasi
Metode dokumentasi yaitu cara pengumpulan data dengan
dokunen-dokumen yang berkaitan dengan skripsi ini, baik berupa
makalah, catatan, majalah, rapat, agenda, surat kabar, media online,
dan maupun data yang lainnya.
d. Studi Pustaka
Studi kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan
mengkaji, menganalisa serta merumuskan dari buku-buku, tulisan-
11
Suharsismi Arikunto, Prosedor Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 205
12
tulisan, literatur dan yang lainnya yang masih relevan dengan judul ini
untuk mendapat data tentang pencatatan perkawinan.
5. Metode Analisis Data
Dalam metode analisis data Teknik yang digunakan adalah dengan
menggunakan metode:
a. Metode induktif, yaitu mengelolah pola pikir yang berangkat dari
hal yang bersifat khusus kemudian diambil kesimpulan yang
bersifat umum.12
b. Metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah suatu cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa
yang dinyatakan oleh respon den secara tertulis serta lisan dan
juga perilaku yang nyata diteliti sebagai sesuatu yang utuh.13
I. Sistematika Penulisan.
Sistem penulisan dalam skripsi ini berdasarkan buku “Pedoman Penulisan
Skripsi” Fakultas Syariah dan Hukum Univesitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Yang saling berhubungan dan merupakan suatu masalah
yang akan diteliti oleh penulis. Adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai
berikut:
Pertama Merupakan pendahuluan yang berisikan, Latar Belakang Masalah,
Idintifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Studi Review Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
12
Sutrisno Hadi, metodogi Research (Yogyakarta: andi Offset, 1989), h. 142. 13
Soerjono Soekanto, PengantarPenelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1984), h. 13.
13
Kedua Membahas tentang masalah pengertian perkawinan dalam hukum
Islam, yaitu mulai dari Pengertian, Dasar Hukum Perkawinan, Syarat dan Rukun
Perkawinan, Perkawinan di bawah Umur Menurut Islam, Perkawinan di Bawah
Umur Menurut HuKum Positif, Proses Pencatatan Perkawinan di Bawah Umur,
Dampak Perkawinan Tidak Tercatat.
Ketiga Mmembahas tentang Gambaraan Lapangan Tempat Penelitian
mengenai, Sejarah Singkat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung,
Letak dan Gambaran kondisi Giografis, Kondisi Keagamaan, Pekerjaan,
pendidikan dan Sosial Masyarakat.
Keempat Membahas mengenai, Proses, Fakto penyebab, dan Problematika
yang Timbul Akibat Penundaan Pencatatan Perkawinan Terhadap Pasangan
Perkawinan di Bawah Umur Pada Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan
Nanggung, serta Analisis Penulis.
Kelima Merupakan penutup yang berisi tentang Kesimpulan dan Saran.
Kesimpulan tersebut diperoleh setelah menganalisis data yang diperoleh dan
merupakan jawaban dari rumusan masalah, sedangkan saran adalah harapan
penulis terhadap jalan keluar pada pokok permasalahan ini.
14
BAB II
PENCATATAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR
A. Pengertian Perkawinan, Dasar Hukum Perkawinan, Syarat dan Rukun
Perkawinan.
1. Pengertian Perkawinan.
Istilah perkawinan dalam Islam disebut dengan pernikahan, nikah
secara bahasa berasal dari kata nakaha, yang artinya adalah menikahi
seorang perempuan.1
Selain kata nakaha digunakan kata az-zawaj/az-ziwaj dari kata
zawwaja yang berakti “perkawinan” untuk memaknai sebuah pernikahan.
Ini karena pernikahan menjadikan seseorang mempunyai ikatan dalam
perkawinan. Dan kata-kata tersebut memiliki implikasi hukum dalam
kaitannya dengan ijab qabul (serah terima) pernikahan.2
Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt dalam Qs al-Dzariyat (51): 49
Artinya: “dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” [QS. Al- al-Dzariyat (51):
49]. Selanjutnya disebut dalam Qs Yasin (36): 36
.
1 Syaikh Humaidhy, bin Abdul-Aziz, Kawin Campur dalam Syari’at Islam, (Jakarta : Darul
Humaidhy, 1991), h.13. 2 Muhammad. Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005) h.43.
15
Artinya: “Maha Suci Allah yang telah menciptakan berpasang-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak ketahui.” [QS. Yasin (36): 36].
Arti kata nikah menurut bahasa adalah Mengumpulkan, Saling
Memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Adapun menurut
ahli ushul terdapat tiga pendapat, golongan pertama dari ahli ushul Abu
Hanafi mengartikan kata nikah secara bahasa adalah “bersetubuh”,
sedangkan secara majazi nikah diartikan suatu „akad” yang dapat
menghalalkan suatu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan.
Sedangkan menurut ahli ushul Syafi‟iyah mengartikan sebaliknya, yaitu
nikah memiliki arti asal “akad” sedangkan secara majazi adalah
“bersetubuh”. Adapun pendapat ahli ushul Hambali adalah suatu “akad “
yang membolehkan dan menghalalkan antara laki-laki dan perempuan
bercampur.3
Namun jika dicermati secara mendalam, pada hakikatnya tidak ada
perbedaan yang jauh antara ulama fikih terhadap definisi nikah, perbedaan
diantara mereka hanya terdapat pada redaksinya saja. Jadi para ulama fikih
sepakat bahwa nikah itu adalah suatu akad yang diatur oleh agama untuk
memberikan kehalalan kepada laki-laki untuk memiliki penggunaan faraj
(kemaluan) perempuan dan seluruhya untuk penikmatan sebagai tujuan
primer.4
3 A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Persefiktif Fikih Dan Kompilasi
Hukum Islam, (Jakarta: Qalbun Salim, 2006), h. 33-34. 4 Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Msalah Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003), h. 116.
16
Peraturan perundang-undangan yang berlaku di indonesia yaitu
Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Th 1974 Tentang Perkawinan,
mejelaskan:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”5
Pengertian perkawinan juga disebutkan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yaitu:
“Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupkan ibadah.”6
Jika kedua rumusan perkawinan dalam peraturan perundang-
undangan diatas dicermati dengan seksama, tentu terdapat perbedaan yang
cukup signifikan meskipun tidak bersifat konfrontatif. Perbedaan-perbedaan
tersebut adalah:
Pertama dalam Undang-Undang Perkawinan seperti yang tercantum
dalam baris kalimat ada kata “Ikatan Lahir Batin” hal ini menjelaskan
adanya keharusan ucapan Ijab Qabul didalamnya, sedangkan menurut KHI
meskipun menyatakan “Akad yang sangat kuat” namun lebih
mengengisyaratkan kepada kata-kata Misaqan Ghalizan yang tidak
5 Muhammad Amin Summa, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia , (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h.
522. 6 M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, (Yogyakarta: UIN-Malang, 2008), h. 54.
17
menggambarkan pengertian akad pernikahan, namun lebih kepada sebutan
akad nikah.7
Kedua, dalam Undang-Undang Perkawinan disebutkan “antara
seorang pria dengan seorang wanita” hal ini menafikan adanya
kemungkinan antara sesama jenis di neraga Indonesia, seperti halnya yang
terjadi di negara-negara luar seperti Belanda, Belgia dan sebagian negara
Kanada, sedangkan dalam KHI tidak menyebutkan dua pihak yang berakad
meskipun sebenarnya KHI mendukung ketiadaan kemungkinan terjadi
pernikahan antara sesama jenis yang dilarang oleh Undang-Undang.8
Ketiga, Undang-Undang Perkawinan menyebutkan tujuan perkawinan
yaitu “Membentuk keluarga (rumah tangga) kekal dan bahagia”.
Sedangkan KHI lebih mengisyaratkan kepada nilai-nilai perkawinan itu
seperti dalam anak kalimatnya “untuk melaksanakan perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”. Hal ini menunjukan bahwa aspek
muamalah dalam suatu perkawinan jauh lebih menonjol dari pada aspek
ibadah, sungguhpun di dalamnya memang mengandung nilai-nilai ibadah
yang cukup sakral dalam perkawinan.9
7 M. Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draf
KHI yang Kontoversial itu, (Jakarta: Graha Cipta, 2005), h. 23. 8 M. Nur Yamin, Hukum Perkawinan Islam Sasak , h. 257.
9 Muhammad. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 45.
18
2. Dasar Hukum Perkawinan.
Pernikahan dalam Islam adalah sebagi landasan pokok dalam
pembentukan keluarga. Nikah harus dilakukan oleh manusia dalam tujuan
ibadah dan syari‟at untuk kemaslahatan dalam kehidupan.10
Oleh karena itu dijelaskan dalam persefektif fikih nikah disyariatkan
dalam Islam berdasarkan al-Qur‟an, as-Sunnah dan Ijma. Ayat yang
menunjukan disyari‟atkan nikah adalah firman Allah Swt dalam Qs. al-
Nisa‟ (4): 3 berikut :
Artinya: “... Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangiatau
empat” [QS. Al-Nisa (4): 3].
Selanjutnya disebutkan dalam Qs al-Nur (24): 32
Artinya: ”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan” [QS.
al-Nur (24) :32].
Adapun hadis Nabi Saw yang menerangkan masalah ini adalah riwayat
Bukhari Muslim:
”Wahai pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan dan lebih memelihara faraj (kehormatan dan kemaluan) dan barang siapa tidak
sanggup, maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa itu dapat melemahkan
10
A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, (Jakarta: Qalbun Salim,
2007), h. 86.
19
syahwat”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).11
Dari segi Ijma’, para ulama sepakat mengatakan bahwa nikah itu
disyariatkan.12 Namun meskipun demikian masih terdapat perbedaan
pendapat dikalangan para golongan Fuqaha yakni Jumhur (mayoritas
ulama) tentang hukum pernikahan bahwa nikah itu hukumnya sunah, tetapi
golongan Zhahiriaya berpendapat bahwa hukum menikah itu wajib,
sedangkan menurut golongan Malikiyah Mutaakhirin berpendapat bahwa
menikah itu wajib untuk sebahgian orang, sunnah untuk sebahagian orang
yang lainya, mubah untuk segolongan yang lainya.
Selain hukum asal pernikahan tersebut, para ulama juga memperinci
hukum nikah ditinjau dari kondisi seseorang. Sehingga hukum asal
pernikahan yang awalnya mubah bisa beralih menjadi wajib, sunah, haram,
dan makruh.
Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
a. Wajib hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang telah
mampu untuk menikah (baik dari segi fisik, mental maupun biaya)
dan dikhawatir akan melakukan perbuatan zina kalau tidak menikah.
Alasannya, dia wajib menjaga diri agar terhindar dari perbuatan
haram.
b. Sunnah hukumya menurut jumhur ulama bagi orang yang tidak
menikah, namum dirinya sanggup untuk tidak melakukan perbuatan
haram, dan apabila menikah ia yakin tidak akan menzalimi dan
11
M. Nur Yamin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, h. 56. 12
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa—fatwa Masalah Pernikahan dan keluarga , (Jakarta:
Elsas, 2008), h. 4-6.
20
membawa mudarat kepada isterinya.
c. Haram hukumnya bagi seorang yang yakin mengetahui akan dirinya
tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai suami,
(memberikan nafkah lahir maupun batin) dan dikhawatirkan membuat
istrinya menderita.
d. Makruh hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang ingin
menikah, namun tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya
seperti belum ada biaya untuk hidup sehingga apabila ia menikah
hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi isteri dan anak
anaknya. Apabila ia melaksanakannya, maka tidak berdosa dan tidak
pula mendapat pahala, sedangkan apabila ia tidak menikah dengan
pertimbangan tersebut, maka ia akan mendapatkan pahala.
e. Mubah hukumnya bagi orang yang tidak memiliki dorongan untuk
menikah, dan tidak pula memiliki hal-hal yang mencegahnya untuk
menikah.13
3. Syarat dan Rukun Perkawinan.
Syarat dan Rukun perkawinan merupakan hal yang serius di kalangan
para ulama dan imam mazhab. Sehingga terjadi perbedaan pendapat. Pada
dasarnya perbedaan tentang syarat dan rukun nikah merupakan masalah
yang berkenaan dengan apa yang termasuk rukun dan mana yang tidak
termasuk rukun, dan mana pula yang termasuk syarat dalam perkawinan.
13
Hasanuddin, Perkawinan dalam Persefektif Al-Qur’an Nikah, Talak, Cerai, Ruju’,
(Jakarta: Nusantara Damai Press, 2011), h. 10-11.
21
Biasa jadi sebagian ulama menyebutnya rukun dan sebagian lain
menyebutnya syarat14
Adapun rukun dan syarat perkawinan yang diterima oleh sebahagian
besar para ulama, meskipun pada penerapannya masih ada perbedaan karena
pada dasarnya perlunya pengaturan syarat dan rukun adalah untuk
merealisasikan pernikahan yang sakinah, mawaddah, warahmah agar tujuan
disyari‟atkannya perkawinan dapat tercapai.
Adapun rukun perkawinan yang disertai syarat-syarat tertentu adalah
sebagai berikut:15
1. Adanya calon Mempelai pria
2. Adanya calon mempelai wanita
3. Adanya Wali
4. Adanya Saksi Nikah
5. Ijab Qabul
Adapun Undang-Undang Perkawinan menetapkan syarat-syarat
perkawinan diatur dalam Pasal 6 s.d Pasal 11 Undang-Undang No. 1 Th
1974 tentang perkawinan yaitu16 :
1. Adanya persetujuan kedua belah pihak
2. Mendapat izin dari orang tua/wali bagi yang belum berumur 21 (dua
puluh satu) tahun.
14
Amir Nurddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Stadi
Krisis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang-Undang No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup), h. 60. 15
M. Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draf
KHI yang Kontoversial itu, (Jakarta: Graha Cipta, 2005), h. 56. 16
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 12.
22
3. Usia calon pria sudah harus mencapai 19 (sembilan belas) tahun dan
wanita 16 (enam belas) tahun.
4. Antara kedua belah mempelai tidak ada hubungan darah yang melarang
menikah
5. Tidak terikat hubungan perkawinan dengan orang lain
6. Tidak dalam bercerai untuk kedua kali dengan suami atau istri yang
sama, yang hendak di kawini.
7. Bagi seorang wanita (janda) tidak dapat menikah sebelum masa
tunggunya berahir.
B. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Islam.
Dalam ajaran Agama Islam yang universal, fleksibel dan rasional yang
mana ajarannya sesuai perkembangan zaman dan mudah untuk diterima oleh
kalangan masyarakat luas, baik yang berkaitan dengan masalah ibadah, ahlak,
muamalah, maupun yang berkaitan dengan aturan (hukum) diantaranya yaitu
masalah pernikahan (munakahat).
Seperti yang terdapat dalam hukum Islam yaitu maqasidul syari’ah yang
isinya itu mengandung lima unsur perlindungan diantaranya perlindungan
terhadap agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Dari lima unsur Islam itu satu
diantaranya adalah menjaga jalur keturunan (hifdzul al nash) agar jalur nasab tetap
terjaga. Pada dasarnya, dalam hukum Islam (kitab fiqih) mengenai pengertian
perkawinan di bawah umur tidak di temukan pembahasan maupun dalilnya secara
khusus baik itu dari al-Qur‟an maupun Hadis Nabi Saw.
23
Karena tidak terdapat adanya dalil yang membatasi secara jelas pada usia
berapa seorang itu boleh menikah, maka masalah batasan umur seorang untuk
melaksanakan perkawinan ini termasuk kedalam Ijitihadiyyah.17
Dalam fiqih menyebutkan pernikahan di bawah umur adalah pernikahan
antara laki-laki dan perempuan yang belum baligh, ketentuan baligh antara laki-
laki dan perempuan berbeda, pada laki-laki ketentuan baligh itu di tandai dengan
ihtilam, yaitu mimpi yang mengakibatkan keluarnya sperma (air mani),
sedangkan anak perempuan ketentuan baligh tersebut ditandai dengan mentruasi
atau (haid). Namun apabila batasan baligh itu yang ditentukan dengan hitungan
Tahun, maka perkawinan di bawah umur adalah perkawinan dibawah usia 15
tahun bagi perempuan menurut manyoritas ahli Fiqih, dan di bawah usia 17 tahun
bagi laki-laki.18
Dari penjelalasan diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwasanya
perkawinan di bawah umur adalah perkawinan antara seorang mempelai yang
salah satu atau keduanya belum mencapai umur 19 tahun bagi laki-laki dan 16
tahun bagi perempuan, namun meskipun demikian tetap perkawinannya dianggap
sebagai perkawinan yang sah dan layak.
Dasar hukum perkawinan di bawah umur dalam hukum islam adalah al-
Qur‟an dan Hadis, namun dalam memaknainya para ulama berbeda pendapat, ada
yang membolehkan ada pula yang tidak membolehkan, dengan masing-masing
saling memberikan dalil argumennya. Para ulama yang membolehkan perkawinan
17
Muhammad Husein, Fikih Perempuan, Refleksi Kyai atas wawancara Agama dan
Gender, (Yogyakarta: LkiS, 2009), h.89. 18
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, tinjau antar
mazhab, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 223.
24
di bawah umur berdalil dengan beberapa ayat al-Qur‟an yang menjelaskan
mengenai masalah perkawinan.
Berikut dalil dasar yang membolehkan perkawinan di bawah umur yang
dkemukakan oleh ulama yang membolehkannya yakni:
Firman Allah SWT dalam Qs al-Thalak (65) : 4
Artinya: “Bagi mereka pempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menoupose) dianatara perempuan-perempuan jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu
pula perempuan-perempuan yang belum haid.” [QS. al-Thalaq (65): 4].
Pada dasarnya dalam ayat ini menjelaskan mengenai masa iddah (masa
menunggu) bagi mereka perempuan-perempuan yang sudah menoupuse dan bagi
perempuan yang belum haid, masa iddah bagi keduanya itu adalah 3 (tiga) bulan.
Maka secara tidak langsung ayat ini juga dapat dipahami bahwa mengandung
makna bahwa perkawinan dapat di langsungkan pada perempuan belia (belum
baligh) karena iddah hanya bisa di kenakan kepada mereka yang sudah menikah
dan bercerai.19
Pada ayat lain lain di jelaskan Qs al-Nur (24) :32
.....
Artinya: “ dan kawinkanlah orang yang sendirian diantara kamu.” [Qs. An-Nur (24): 32].
19
Muhammad Husein, Fikih Perempuan, Refleksi Kyai atas wawancara Agama dan
Gender (Yogyakarta: LkiS, 2009), h. 91.
25
Kata al-ayyama dalam ayat ini meliputi perempuan dewasa dan perempuan
belia yang masih muda, maka secara eksplisit memperkenakan kepada wali untuk
menikahkan mereka. Selain itu ada juga hadis yang di tuturkan oleh Aisyah yang
diriwayatkan oleh Bukhari Muslim.
زوجىن رسول اهلل صلى اهلل علىو وسلم تزوجها وىى بنت حد يث ها قالت : ت عاءشة رضى اهلل عن ست سنىن وادجانت عاىو وىى بنت تسع سنىن ومكست عنده تسغا
Artinya: “dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah Saw menikahinya sedangkan ia masih berusia 6 (enam) tahun, ia diserahkan kepada Rasulullah ketika berusia 9 (sembilan) Th dan tinggal bersama Rasulullah selama 9
(sembilan) tahun [HR. Bukhari Muslim].
Pada Hadis ini menunjukan bahwa sahnya perkawinan di bawah umur, yaitu
umur 6 (enam) tahun yang belum dewasa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah
SAW. Selain itu diantara para sahabat Nabi Muhammad SAW, ada juga yang
mengawinkan para putrinya atau keponakannya seperti Ali bin Abi Thalib yang
mengawinkan anak perempuannya yang bernama Ummi Kultsum ketika itu juga
masih muda. Selain itu ada golongan ahli Fiqih yang melarang dan tidak
memperbolehkan perkawinan usia muda seperti Ibnu Syubrumah, dengan
berdalilkan sebagai berikut:
1) Sadduz Al-Dzari’at, artinya menutup jalan yang bisa membawa
malapetaka, karena perkawinan di bawah umur dapat membawa
malapetaka bagi kedua pasangan tersebut dan akibat-akibat yang
negatif, maka dari itu wajib dengan menunda jalannya perkawinan.
2) Kaidah-kaidah Fiqihiyah
26
.(Mudharat atau Malapetaka itu harus dihilangkan) الضررىزال
Walaupun perkawinan di bawah umur terdapat manfaat dan
maslahatanya, namun mudharat dan resikonya jauh lebih besar dari
pada manfaat dan kemaslahatannya. Oleh karena itu sudah seharusnya
perkawinan di bawah umur itu ditunda hingga orang tersebut
mencapai usia dewasa matang baik secara fisik, psikis maupun
mentalnya.20 Dengan memperhatikan argumen-argumen yang telah
disampaikan oleh para ulama tersebut, baik yang memperbolehkan
perkawinan di bawah umur maupun yang tidak memperbolehkannya,
maka penulis lebih condong kepada para pendapat ulama yang tidak
memperbolehkan perkawinan bagi gadis yang masih berusia muda
atau yang belum baligh yang dikenal perkawinan di bawah umur
dengan alasan bahwa perkawinan diusia muda dapat mengarah kepada
kegagalan dalam membina rumah tangga yang sejahtera. Dimana
kegagalan tersebut sangat bertentangan dengan tujuan perkawinan
untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah bagi
kedua belah pihak tersebut.
C. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Hukum Positif.
Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang perkawinan mempunyai hubungan
yang erat dengan masalah kependudukan. Dengan adanya pembatasan umur
perkawinan 19 (enam belas) tahun bagi pria 16 (sembilan belas) tahun bagi
wanita diharapkan lajunya angka kelahiran dapat ditekan seminimal mungkin,
20
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqih, secarah kaidah-kaidah Azasi, (Jakarta: PT. Gaja Grafindo
Persada, 2002), h. 105.
27
dengan demikian program Keluarga Berencana Nasional dapat berjalan seiring
sejalan dengan Undang-Undang ini.21
Sehubungan dengan hal itu, maka perkawinan di bawah umur sesungguhnya
dilarang keras dan harus dicegah kegiatannya. Pencegahan ini semata-mata
didasarkan agar kedua belah pihak mempelai dapat memenuhi tujuan luhur dari
perkawinan yang mereka langsungkan itu sebagaimana yang tertulis dalam pasal 1
Undang-Undang No 1 Th 1974 yang mengatakan bahwa “ perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia atau kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”22
Pengertian perkawinan sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 1 tersebut
perlu difahami benar-benar oleh masyarakat, karena itu merupakan landasan
pokok dari aturan hukum lebih lanjut baik yang terdapat dalam Undang-Undang
No 1 Th 1974 maupun dalam peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan.
Apabila ditelusuri lebih lanjut, maka kondisi perkawina di Indonesia secara umum
dapat dikatagorikan mempunyai pola perkawinan usia muda. Sehingga
perkawinan diusia muda menyebabkan tingkat kematian ibu dan bayi meningkat
semakin tahun, maka dari itu beberapa negara muslim juga membatasi perkawinan
usia muda. secara global usia muda dimulai sejak umur 12 (dua belas) tahun dan
berakhir sampai 21 (dua puluh satu) tahun.23
21
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
202. 22
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia , (Jakarta: Putra
Grafika, 2006), h. 11. 23
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
205.
28
Menurut seorang Sarlito Wirawan Sarwono dalam bukunya melihat bahwa
usia kedewasaan untuk siapnya seorang memasuki hidup berumah tangga maka
seorang wanita harus berusia 20 (dua puluh) tahun sedangkan untuk pria itu 25
(dua puluh lima) tahun.24 Hal ini di perlukan karena zaman moderen menuntut
untuk mewujutkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi
kesehatan maupun tanggung jawab sosial.
Sedangkan perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang
dilangsungkan oleh salah satu calon mempelai atau keduanya yang belum
memenuhi syarat umum yang ditentukan secara Undang-Undang yang berlaku,
dalam hal ini pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang perkawinan
menyebutkan batasan usia perkawinan itu adalah “perkawinan diizinkan hanya
jika pihak pria telah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan jika pihak
wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
Namun dalam pelaksanaan pasal tersebut tidak terdapat keharusan mutlak
karena dalam ayat yang lain yaitu ayat (2) menerangkan seandainya terjadi hal-hal
yang tidak diduga, misalnya mereka yang belum mencapai usia 19 (sembilan
belas) tahun bagi pria dan belum mencapai 16 (enam belas) tahun bagi wanita
karena pergaulan bebas (kumpul kebo dan sebagainya), sehingga wanita tersebut
hamil sebelum perkawinan, dalam hal ini Undang-Undang No 1 Th 1974 masih
memberikan keringanan dengan meminta dispensasi kepada Pengadilan atau
Pejabat lain yang berkompeten dalam hal ini.
24
Helmi Karim, Kedewasaan Untuk Menikah, Problematika Hukum Islam Kontemporer,
(Jakarta: Pustaka Perdaus 1989), h. 70.
29
Sedangkan didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan “untuk
dapat melangsungkan Perkawinan bagi seorang calon mempelai yang belum
mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi
wanita maka harus mendapat izin kedua orang tua”. Namun jika orang tua tidak
mampu menyatakan kehendaknya maka dapat dilakukan oleh wali, atau orang
yang merawatnya atau keluarga sedarah dalam garis keturunan ke atas pasal 7
ayat (3) UU No. 1 Th 1974.25
Sebenarnya berapapun usia seseorang untuk melangsungkan perkawinan,
pada dasarnya harus memiliki kematangan fisik dan psikis sebelum mengarungi
bahtera rumah tangga, karena didalam rumah tangga pasti akan ada cobaan, ujian
yang nantinya akan menguras emosi dan keegoisan dari masing-masing
pasangan. Untuk itu tampa kematangan dan kedewasaan maka rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, warahmah tampak akan sulit terwujut.
Selain itu ada juga asas-asas dalam Undang-Undang Perkawinan yang
mengharuskan setiap pasangan yang melangsungkan perkawinan harus adanya
kematangan dari Calon Mempelai, sebagai mana yang terdapat dalam asas-asas
Undang-Undang Perkawinan yaitu :
a) Asas Sukarela.
b) Asas Partisipasi keluarga.
c) Asas Perceraian di persulit.
d) Asas Poligami dibatasi dengan ketat.
e) Asas Kematangan calon mempelai.
25
Hilman Hadikusuma. Hukum Perkawina Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju,1990), h. 7.
30
f) Asas Memperbaiki derajat kaum wanita.
g) Asas Legalitas.26
Maka apabila disederhanakan, asas perkawinan ini mengandung arti bahwa :
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal.
b. Sahnya Perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama
dan kepercayaan masing-masing.
c. Asas Monogami
d. Calon suami dan istri harus dewasa jiwa dan raganya.
e. Mempersulit perceraian
f. Hak dan Kedudukan Kewajiban suami istri harus seimbang.27
Maka dalam hal ini, masalah usia perkawinan terdapat pada poin ke empat
yakni “ bahwa calon suami dan istri harus matang jiwa dan raganya” bahwa
calon suami dan istri harus matang jiwa dan raganya untuk dapat mewujutkan
tujuan perkawinan yang baik tampa berahir dengan perceraian.28 Kematangan
yang dimaksud adalah kematangan umur perkawinan, kematangan berfikir dan
kematangan bertindak.
D. Proses Pencatatan Perkawinan di Bawah Umur.
Perkawinan adalah merupakan kebutuhan hidup manusia sejak zaman dulu,
sekarang, dan masa yang akan datang, Islam memandang ikatan perkawinan
sebagai ikatan yang kuat (mitsaqan ghalidza), ikatan yang suci (transeden), suatu
26
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia , h. 6. 27
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 173. 28
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Pranada Media Kencana, 2007), h. 27.
31
perjanjian yang mengandung makna magis, suatu ikatan yang bukan saja
hubungan atau kontrak keperdataan biasa, tetapi juga hubungan menghalalkan
terjadinya hubungan badan antara suami istri sebagai penyaluran libido seksual
manusia yang terhormat, oleh kaena itu, hubungan tersebut dipandang sebagi
ibadah.29
Perkawinan merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum,
maka tentu saja menimbulkan hukum berupa hak dan kewajiban bagi kedua antara
suami istri. Setiap orang yang hendak melangsungkan perkawinan maka harus
dilaksanakan secara sah pula yaitu terpenuhi syarat dan rukunnya serta harus
dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama bagi yang Beragama
Islam, dan Catatan Sipil bagi mereka yang diluar Agama Islam.
1. Pengertian Pencatatan Perkawinan.
Pencatatan perkawinan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat
yang ditunjuk oleh negara terhadap peristiwa perkawinan itu. Dalam hal ini
Pegawai Pencatat Nikah yang melakukan pencatatan ketika akan melangsungkan
suatu akad perkawinan antara seorang calon suami dan calon istri.30
Kegiatan pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujutkan suatu
ketertiban perkawinan didalam masyarakat. Hal ini merupakan suatu upaya yang
dilakukan pemerintah yang diatur dalam perundang-undangan, ini untuk
melindungi harkat, martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi
untuk melindungi perempuan dalam rumah tangga. Dari itu melalui pencatatan
29
Yayan Sopyan, Islam Negara, Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 127. 30
M. Zain dan Mukhtar Ashodiq, Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draf KHI
yang Kontoversial itu, (Jakarta: Graha Cipta, 2005), h. 26.
32
perkawinan yang dibuktikan melalu Akta Nikah atau Akta Perkawinan adalah
suatu akta yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama sebagai bukti bahwa telah
terjadi suatu peristiwa perkawinan berdasarka laporan Pegawai Pencatat Nikah.
Dengan dicatatkannya perkawinan seseorang itu sangat penting, misalkan
saja jika terjadi perselisihan atau pertengkaran diantara mereka atau salah satu
tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum untuk
memperoleh hak-haknya masing-masing, karena dengan akta tersebut suami istri
memeliki bukti otentik sebagai perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.31
Dengan itu dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu bertujuan
untuk menjadikan peristiwa perkawinan menjadi jelas baik buat yang bersangutan
maupun bagi orang lain dan masyarakat disamping itu memiliki kekuatan hukum
yang kuat.32 Yang mana dapat digunakan jika diperlukan, terutama sebagai alat
bukti tertulis, dengan adanya surat bukti itu maka dapatlah dibenarkan secara
hukum.
2. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan Menurut Islam.
Pencatatan perkawinan pada dasarnya tidak disyariatkan dalam agama Islam
akan tetapi dilihat dari segi kemanfaatannya, maka pencatatan perkawinan
sangatlah diperlukan.33 al-Quran dan Hadis tidak mengatur secara rinci mengenai
31
Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam Persepektif BW, (Bandung : Nuansa Aulia,
2012), h.56-57. 32
Shaleh K. Wantjik, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978),
h. 17. 33
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media,
2003), h. 123.
33
pencatatan perkawinan, namun dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya
adanya pencatatan perkawinan.34
Kalau dilihat dalam Qs. al-Baqarah ayat: (282) isinya mengisyaratkan
bahwa adanya bukti otentik sangat diperlukan untuk menjaga kepastian hukum,
bahkan dijelaskan bahwa pencatatan didahulukan dari pada kesaksian, yang dalam
perkawinan merupakan salah satu rukun.
Firman Allah dalam Qs al-Baqarah ayat (2): 282:
....
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.” [QS. Al-Baqarah (2): 282].
Sampai saat ini belum di temukan sumber-sumber fiqih yang menyebutkan
mengapa dalam hal pencatatan perkwawinan dan pembuktian dengan Akata Nikah
tidak dianalogikan kepada ayat tesebut. Kalau ditinjau pencatatan perkawinan
dizaman Nabi, Sahabat, dan Tabi‟in secara detail maka tidak akan ditemukan,
karena memang landasan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawianan
pada sumber hukum Islam yaitu al-Qur‟an maupun Hadis serta Ijitihad pendapat
34
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia , h. 26.
34
ulama dalam kitab-kitab klasik secara eksplisit tidak mengatur atau menyinggung
terkait pencatatan perkawinan. Adapun kenapa pada zaman Nabi perkawinan
tidak dicatat adalah:
1. Budaya tulis-baca khususnya di kalangan orang arab Jahiliyyah masih
jarang, oleh karena itu, orang arab lebih mengandalkan pada daya
ingatannya (hafalan) ketimbang tulisan.
2. Perkawinan bukan syariat baru dalam islam, ia merupakan syariat Nabi-
nabi terdahulu yang secara terus menerus diturunkan. Setelah Islam
datang maka secara perlahan-lahan Islam membenahi hal-hal yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
3. Pada masyarakat zaman dahulu budaya nilai-nilai kejujuran dan
ketulusan dalam menjalankan kehidupan masih sangat kuat.
4. Problematika yang timbul pada zaman dahulu belum begitu luas
sekomlpeks dan serumit zaman sekarang, akan tetapi masih
sederhana.35
3. Dasar Hukum Menurut Undang-Undang No. 1 Th 1974.
Dari penjelasan yang ada diatas, dapat diketahui bahwa didalam fikih tidak
membicarakan secara jelas adanya pencatatan perkawinan. Hal ini tentu berbeda
dengan ketentuan Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang perkawinan, tidak saja
menempatkan soal pencatatan perkawinan sebagai suatu hal yang sangat penting,
akan tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan perkawinan itu
dilaksanakan.
35
Yayan Sopyan, Islam Negara, Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, h. 131.
35
Undang-Undang Perkawinan menempatkan pencatatan perkawinan pada
suatu tempat yang penting sebagai pembuktian telah diadakannya peristiwa
perkawinan. Hal tersebut diatur oleh Undang-Undang Perkawinan tentang
Pencatatan Perkawinan pada pasal 2 ayat (2), yang berbunyi : (2) “Tiap-tiap
Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”36
Adapun formalitas yang diperlukan untu melangsungkan perkawinan diataur
dalam pasal 3-11 PP No. 9 Th 1975, yaitu :
a. Memeberitahukan kehendak untuk melangsungkan perkawinan kepada
pegawai pencatat di tempat perkawinan yang akan di langsungkan,
Pasal (3).
b. Adanya pengumuman yang diselenggarakan oleh pegawai pencatat di
kantor pencatatan perkawinan tentang kehendak untuk melangsungkan
perkawinan itu, Pasal (8).
c. Perkawinan harus dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat yang di
hadiri oleh dua orang saksi dengan mengindahkan tata cara perkawinan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, Pasal
(9).
d. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai
diharuskan menandatangani akta perkawinan, yang diikuti oleh kedua
saksi, pegawai pencatat, dan wali nikah atau wakilnya bagi mereka
yang beragama Islam, Pasal (10).
36
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Islam, (Jakarta: UI, 1974), h. 73.
36
e. Untuk memberikan kepastian hukum tentang adanya perkawinan,
kepada mempelai diserahkan kutipan akta nikah/perkawinan sebagai
alat bukti, Pasal (11).37
Bagi yang tidak mendaftarkan perkawinan atau yang enggan
melangsungkan perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah, maka akan
menanggung resiko yuridis, perkawinan akan dikualifikasikan sebagai perkawinan
liar dalam kumpul kebo atau compassionate marriage.
Sedangkan soal sahnya perkawinan telah dijelaskan dalam Undang-Undang
Perkawinan pada pasal 2 ayat (1) yang berbunyi, “ Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.
Jadi apabila rukun nikah telah lengkap, akan tetapi tidak didaftarkan maka
nikah tersebut tetap sah, namun yang bersangkutan dapat dikenakan denda karena
tidak mendaftarkan perkawinannya.
4. Dasar Hukum Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pencatatan perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Th 1974 sebenarnya sudah lama disosialisasikan yaitu hampir
selama 27 Th lebih, namun sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala-
kendala, akan tetapi masyarakat dianggap sudah tahu karena sudah dimasukan
kedalam Undang-Undang No. 52 Th 2009 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pengembangan Keluarga (Lembaga Negara Republik Indonesia 2009). Upaya
ini harus ada pensosialisasian oleh umat Islam dan Negara Republik Indonesia
agar adanya kesinambungan.
37
Abd Shomat, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Islam, (Jakarta:
Kencana, 2010), h. 294-295.
37
Pada dasarnya dalam masyarakat sebenarnya sudah ada pemahaman fikih
dari Imam Syafi‟i yang telah membudaya, sehingga menurut paham mereka,
perkawinan itu sudah dianggap sah dan cukup apabila syarat dan rukunnya sudah
terpenuhi, walaupun tampa diikuti adanya pencatatan. kondisi seperti ini masih
terjadi dalam masyarakat sampai sekarang, sehingga masih banyak ditemukan
perkawinan di bawah umur. kenyataan yang terjadi dalam masyarat seperti ini
merupakan suatu hambatan dalam pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan.
Berdasarkan Instruksi Presiden RI No. 1 Th 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam(KHI) masalah pencatatan ini diatur dalam Pasal 5-7 yaitu:
Pasal 5
1. Agar terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam setiap perkawinan
harus dicatat.
2. Pencatatan perkawinan pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah sebagaimana yang telah diatur oleh Undang-Undang No. 22 Th
1946 jo, Undang-Undang No. 32 Th 1954
Pasal 6
1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah.
2. Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.38
Pasal 7
38
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, “Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU. No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana
2004), h. 123-124.
38
1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat
oleh Pegawai Pencatat Nikah.
2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah dapat
diajukan Isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
3. Yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau istri,
anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan
perkawinan itu.
5. Prosedur Pencatatn Perkawinan.
Secara singgkat sebenarnya sudah jelas, apa yang tertulis dari buku
pendoman Kantor Urusan Agama sudah sangat mudah dicerna oleh masyarakat,
maka penulis cantumkan secara keseluruhan dan singgkat tentang prosedur
pencatatan perkawinan, yaitu:
a. Persyaratan secara Umum
1. Adanya Calon Pengantin yang Beragama Islam.
2. Usia minimal harus 19 tahun bagi pria dan 16 tahun untuk wanita.
3. Adanya persetujuan kedua calon mempelai pengantin.
4. Tidak ada hubungan darah (saudara) atau yang dilarang agama antara
kedua calon mempelai pengantin.
5. Calon pengantin wanita tidak sedang terkait perkawinan dengan orang
lain.
6. Seorang janda harus sudah habis masa iddahnya.
7. Wali dan saksi harus beragama islam dan sudah baligh.
39
8. Calon pengantin, wali dan saksi harus sehat Akal.39
b. Persyaratan Secara Administrasi
1. Foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang sah.
2. Foto copy Kartu Keluarga (KK) yang masih berlaku.
3. Foto copy Ijazah atau Akta Kelahiran.
4. Foto copy Buku Nikah orang tua bagi wanita.
5. Pas foto bwarna ukuran 2x3 = 4 lembar.
6. Surat keterangan Model NI, N2, N4 ditanda tangani oleh Rt atau Kepala
Desa atau Kelurahan.
7. Surat Persetujuan dari mempelai (Model N3).
8. Adanya Izin Orang Tua (Model N5) jika di bawah usia 19 tahun.
9. Surat Pernyatan Jejaka/Perawan bagi calon pengantin yang berumur 25
keatas, bermatrai Rp. 6000,.
10. Surat Rekomendasi Nikah bagi calon pengantin yang berada diluar
wilayah.
11. Izin Pengadilan Agama jika pria berusia kurang dari 19 tahun dan
wanita kurang dari 16 tahun.
12. Izin Pengadilan Agama bagi yang bepoligami.
13. Rekomendasi Camat untuk pendaftaran kurang dari 10 hari.
14. Surat Kematian Suami/Istri bagi Janda/duda yang ditanda tangani oleh
Rt,/Kepala Desa atau Kelurahan.40
39
Buku Pedoman Nikah “Prosedur-pencatatan-perkawinan” diakses pada tanggal 3 Mei
2015 dari http:// http://gubuk hukum.blogspot.com. 40
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan “Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk”,
(Bandung : Al-Bayan, 2009), h. 47
40
Setelah terpenuhinya dan adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak
wanita untuk melangsungkan perkawinan, yang kemudian kesepakatan itu
diumumkan oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah dan tidak ada keberatan dari
pihak-pihak yang terkait dengan rencana yang dimaksud, maka perkawinan dapat
dilangsungkan.41
Adapun tata caranya, yaitu surat pengumuman tersebut ditempel menurut
formulir yang ditetapkan oleh Kantor Pencatat Perkawinan pada suatu tempat
yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
1. Pegawai Pencatat Nikah yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan
sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut
undang-undang.
2. selain meneliti terhadap hal-hal yang dimaksud, Pegawai Pencata Nikah
juga memeriksa pula Kutipan Akta Kelahiran atau surat kenal lahir.
3. Memerisa keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan
dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.
4. Izin tertulis/izin Pengadilan apabila salah seorang belum mencapai usia
21 tahun
5. Mengisi Formulir Pendaftaran Nikah yang telah disediakan oleh Kantor
Urusan Agama.
6. Pendaftaran harus sudah diterima Kantor Urusan Agama sekurang-
kurangnya 10 hari masa kerja sebelum akad nikah dilangsungkan.
41
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia , h. 28.
41
7. Membayar Biaya Pencatatn Nikah.42
Adapun Pemeriksaan dan Pembinaan Calon Mempelai Pengatin
1. Setelah pendaftaran di terima oleh Kantor Urusan Agama, kedua calon
pengantin dan Wali Nikah, diberi pembinaan dan kursus Calon
Pengantin.
2. Penghulu atau Kepala Kantor Urusan Agama melakukan pemeriksaan
tentang ada tidaknya halangan untuk menikah, dan memberikan
bimbingan mengenai tata cara Ijab Qabul kepada calon pengantin pria.
3. Penghulu atau Kepala Kantor Urusan Agama dilarang melangsungkan,
atau membantu melangsungkan, mencatat, menyaksikan pernikahan
yang tidak terpenuhi persaratannya.43
Sedangkan Pelaksanan Akad Nikah yakni :
1. Akad Nikah dilangsungkan dihadapan Penghulu atau Petugas Kantor
Urusan Agama.
2. jika dilakukan oleh Wali Nikah, maka wali nikah dapat mewakilkan
ijab qabul kepada orang lain yang memenuhi persyaratan atau kepada
Penghulu.44
E. Dampak Perkawinan Tidak Tercatat.
Perkawinan yang tidak tercatat itu bertentangan dengan Undang-Undang
Perkawinan yang disebutkan dalam pasal 2 ayat (2) yang menyatakan, “bahwa
setiap perkawinan harus di catatkan”. oleh karena itu meskipun secara agama
42
H. Abdul Manan, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 14-15. 43
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h.
116-117. 44
Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam Persepektif BW, h. 54.
42
dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan diluar pengetahuan dan
pengawasan pencatatan nikah tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan
dianggap tidak sah dimata hukum, maka tentulah akibat hukum perkawinan
tersebut sangat berdampak negatif, sangat merugikan khususnya bagi pihak istri
dan perempuan umumnya.
Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri yang sah, ia tidak
berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika terjadi perceraian hidup atau di
tinggal mati, selain itu istri tidak berhak atas harta gono-gini atau harta bersama
jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak
pernah terjadi. Disamping itu bagi setatus anak yang dilahirkan dianggap sebagai
anak tidak sah menurut hukum, dan hanya mempunyai hubungan keperdataan
pada ibu dan keluarga ibunya saja.45
Anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan
dari ayahnya, perkawinan yang tidak tercatat sangat berdampak merugikan. Ada
beberapa dampak negatif dari pada perkawinan yang tidak tercatat menurut
undang-undang yaitu:
1. Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun
dimata negara perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara jika belum
dicatat oleh Kantor Urusan Agama.
2. Akan mengalami kesulitan dalam hal administratif.
3. Tidak memiliki sebuah dokumentasi resmi (akta nikah) yang bisa
dijadikan sebagai alat bukti dihadapan majelis peradilan, ketika ada
45
Mardani, Hukum Perkawinan di Dunia Islam Moderen, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011),
h. 17.
43
sengketa yang berkaitan dengan perkawinan, maupun sengketa yang
lahir akibat perkawinan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian,
nafkah dan lainya.
4. Hak asuh anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan
maka hak asuhnya jatuh kepada istri jika terjadi perceraian.
5. Nafkah dan warisan terhadap perkawinan yang tidak tercata
diselesaikan secara kekeluargaan, akan tetapi biasanya ketika terjadi
perceraian suami tidak memberikan nafkah kepada istri.46
46
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa—fatwa Masalah Pernikahan dan keluarga , h. 151.
44
BAB III
PROFIL DESA PARAKAN MUNCANG BOGOR KECAMATAN
NANGGUNG
A. Sejarah Singkat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung.
Pada tahun 2011, Kabupaten Bogor menambahkan dua desa yang
dimekarkan. Kedua desa tersebut adalah Desa Parakan Muncang di Kecamatan
Nanggung, dengan bentukan baru Desa Batu Tulis dan yang kedua bernama Desa
Gunung Mulya yang berada di Kecamatan Tenjolaya, dengan adanya bentukan
baru Desa Gunung Mulya tersebut maka Pemekaran di Kabupaten Bogor
bertambah jumlah menjadi 4131.
Pada saat ini Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung dipimpin
oleh seorang Lurah Ahmad Yani sejak tahun 2011 hingga kini, dalam masa
kepemimpinannya, beliau membangun berbagai sarana-prasarana sosial atau
umum secara bergotong-royong dengan masyarakat seperti halnya membangun
Kantor Lurah, Pos Yandu, Pos Keamanan dan lainnya. disamping itu beliau juga
mengembangkan berbagai sektor pertanian dan perternakan. sehingga desa
tersebut mampu bersaing terhadap desa-desa yang lain.2
Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung memiliki wilayah
sekitar kurang lebih 354.874Ha, dengan jumlah penduduk sekitar 6.368 jiwa dan
terdiri dari 1.661 kepala keluarga (KK) yang memiliki 9 kampung dan terbagi ke
1 Desa Parakan Muncang Bogor, “ Sejarah Desa Parakan Muncang Bogor” diakses pada
tanggal 8 April 2015 dari http://desa-parakanmuncang.blogspot.com/. 2 Data diambil dari Data Buku Profil Desa Parakan Muncang Bogor Tahun 2011.
45
dalam 9 RW (Rukun Warga) dan 31 RT (Rukun Tetangga). Adapun kampung-
kampung tersebut sebagai berikut:3
1. Kampung Baru
2. Kampung Cogreg
3. Kampung Pasir Saga
4. Kampung Parakan Muncang
5. Kampung Pakapuran 1
6. Kampung Pakapuran 2
7. Kampung Pasir Ahad 1
8. Kampung Pasir Ahad 2
9. Kampung Lukut
B. Letak dan Gambaran Kondisi Geografis.
1. Letak Kondisi Geografis.
Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung adalah salah
satu Kecamatan yang berada di Propinsi Jawa Barat, secara geografis
wilayah Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung memililiki
luas wilayah kurang lebih 354.874Ha berada pada 50 M diatas permukaan
laut dengan curah hujan rata-rata mencapai 100/600 mm/tahun dan suhu
udara rata-rata 260-300 C.4 Seperti yang dapat kita lihat pada tabel sebagai
berikut:
3 Ahmad Yani, Wawancara, Bogor di Kantor Lurah (Kamis, 16 April 2015 pukul 10.15
Wib). 4 Data diambil dari Laporan Data Monografi Desa Parakan Muncang Bogor Tahun 2011.
46
Tabel 3.1
Kondisi Geografis Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung
N0 Kondisi Georafis Keterangan
1 Ketinggian Tanah di Atas Permukaan Laut 50 M2
2 Rata-Rata Curah Hujan 100/600 mm/thn
3 Suhu Udara 260_300 C
Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung dapat ditempuh
dengan Orbitasi dan jarak tempuh sebagai berikut :
Tabel 3.2 Orbitrasi (jarak dari pusat kota pemerintahan ke desa)
NO Orbitasi dan Jarak Tempuh Keterangan
1 Jarak dari pusat Kecamatan 2 Km
2 Jarak dari pusat Kota/Kabupaten 61 Km
3 Jarak dari Ibu Kota ke Propinsi 156 Km
4 Jarak dari Ibu Kota ke Negara 95 Km
Adapun batas-batas wilayah Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan
Nanggung dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
47
Tabel 3.3
Batas-Batas Wilayah Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung
NO Batas Wilayah Keterangan
1 Sebelah Utara Berbatasan dengan Kecamatan Desa Batu Tulis
2 Sebelah Timur Berbatasan dengan Kecamatan Desa Kalongliud
3 Sebelah Selatan Berbatasan dengan Kecamatan Desa Nanggung
4 Sebelah Barat Berbatasan dengan Kecamatan Desa Sukaraksa
2. Letak Demografis.
Untuk melaksanakan fungsi pemerintahan di Desa Parakan Muncang
Bogor Kecamatan Nanggung, maka Bupati bogor mengangkat seorang
Pejabat Kepala Desa dan dibantu oleh beberapa staf kelurahan, Desa
Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung terdiri dari 9 RW (Rukun
Warga) 9 Kampung, dan 31 RT (Rukun Warga) dengan gambaran sebagai
berikut:
48
Tabel 3.4
Organisasi Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung
Kepala Kelurahan
Staf Kelurahan
RW 01 RW 02 RW 03 RW 04 RW 05 RW 06 RW 07 RW 08 RW 09
KP.
Baru
KP.
Cogreg
KP.
Pasir
Saga
KP.
Parakan
Muncang
KP.
Pakapuran 1
KP.
Pakapuran 2
KP.
Pasir Ahad 1
KP.
Pasir Ahad 2
KP.
Lukut
RT
0 1
RT
02
RT
01
RT
02
RT
01
RT
02
RT
01
RT
02
RT
03
RT
01
RT
02
RT
01
RT
02
RT
01
RT
02
RT
01
RT
02
RT
01
RT
02
RT
03
RT
03
RT
04
RT
03
RT
04
RT
05
RT
06
RT
03
RT
04
RT
03
RT
03
RT
04
49
Dari data di atas dapat kita lihat bahwa Desa Parakan Muncang Bogor
Kecamatan Nanggung terdiri dari 9 RW (Rukun Warga) dan 9 Kampung
yaitu : Kampung Baru terdiri dari 3 RT, Kampung Cogreg terdiri dari 4 RT,
Kampung Pasir Saga terdiri dari 3 RT, Kampung Parakan Muncang terdiri
dari 6 RT, Kampung Pakapuran 1 terdiri dari 4 RT, Kampung Pakapuran 2
terdiri dari 3 RT, Kampung Pasir Ahad 1 terdiri dari 2 RT, Kampung Ahad
2 terdiri dari 2 RT dan Kampung Lukut terdiri dari 4 RT. Sehingga jumlah
RT di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung tersebut ada 31
RT (Rukun Tetangga), disamping itu dapat juga diketahui bahwa Kampung
Parakan Muncang merupakan kampung yang mempunyai banyak RT dan
merupakan yang terluas diantara kampung-kampung yang lainnya5.
Berdasarkan data yang di peroleh dari buku laporan tahunan jumlah
penduduk Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung adalah
6.368 jiwa dengan jumlah 1.661 kepala keluarga (KK) dengan spesifikasi
sebagai berikut :
Tabel 3.5
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
NO Jenis Kelamin Keterangan
1 Laki-Laki 3337 Jiwa
2 Perempuan 3031 Jiwa
Jumlah 6368 Jiwa
5 Data Monografi Desa Parakan Muncang Bogor Tahun 2011.
50
C. Kondisi Keagamaan, Pekerjaan, Pendidikan dan Sosial Masyarakat.
Kondisi sosial masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan
Nanggung sejak lama sangat memegang teguh pada adat istiadat daerah dengan
ciri-ciri budaya sunda yang masih terlihat kental pada saat pelaksanaan kerja
bakti, tolong-menolong, kesopanan dan budaya-budaya luhur lainnya. maka
dengan adanya kondisi sosial inilah yang selalu dijadikan dasar dan modal dalam
melaksanakan segala pembangunan yang senantiasa dijaga, dipelihara dan
dikembangkan.
1. Keadaan Menurut Agama.
Mayoritas penduduk Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung
merupakan pemeluk Agama Islam, adapun Agama lainnya yaitu, Kristen Katolik,
Kristen Prostestan, Budha dan Hindu hanya berkisar 1 0/0. Namun kehidupan
beragama di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung ini berjalan
sangat harmonis dimana sampai sekarang belum pernah ada terdapat laporan
adanya kerusuhan atara Agama, Suku Bangsa maupun Golongan yang lain,
Kondisi masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung ini
berjalan dengan baik.
Dengan adanya berbagai pemeluk agama maka banyak sekali kegiatan-
kegiatan yang sering dilakukan secara terbuka oleh masyarakat tersebut yang
mana lebih mengarah kepada unsur-unsur keagamaan, dimana setiap tahun itu
selalu diadakan kegiatan Maulid Nabi Saw yang selalu dihadiri oleh kiai, pejabat,
tokoh-tokoh Agama dan banyak masyarakat. Selain itu ada juga kegiatan yang
51
lain yang selalu dilakukan oleh para ibu-ibu dan bapak-bapak dalam suatu
pengajian, baik pengajian harian, mingguan maupun bulanan.
Tabel 3.6 Keadaan Jumlah Penduduk Menurut Keagamaan
NO Agama Jumlah Keterangan
1 Islam 6.346 orang
2 Kristen Katolik 12 orang
3 Kristen Prostestan 5 orang
4 Budha 3 orang
5 Hindu 2 orang
Jumlah 6.368 orang
Adapun Prasaran dan dan Pribadatan di Desa Parakan Muncang Bogor
Kecamatan Nanggung ini dapat di temui jumlah Mesjid ada 6 (enam) buah,
Musholah ada 9 (sembilan) buah, dan ada 2 (dua) buah Pesantren. Kebanyakan
masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung ini memahami
Islam dengan pemahaman Klasik yang dilakukan oleh orang-orang zaman dulu.
2. Keadaan Menurut Mata Pencaharian.
Sebahagian besar masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan
Nanggung ini adalah Petani Sawah dan Petani kebun, pembudidaya ikan emas,
selain itu ada juga buruh kuli pembuat batu bata, penambang emas dan perak,
pengusah industri kecil (wiraswasta) dan pedagang. sedangkan sisanya yaitu
Karyawan Swasta, PNS, PNS POLRI, PNS TNI, Pensiunan PNS/POLRI/TNI.
52
Tabel 3.7
Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencarian
No Mata Pencarian Jumlah Keterangan
1 Petani Sawah 350 Orang
2 Petani Kebun 325 Orang
3 Pedagang 450 Orang
4 Pembudidaya Ikan Emas 10 Orang
5 Buruh/Kuli 250 Orang
6 Karyawan Swasta 657 orang
7 Wiraswasta 500 Orang
8 PNS 35 Orang
9 PNS POLRI 4 Orang
10 PNS TNI 2 Orang
11 Pensiuna PNS/POLRI/TNI 4 Orang
Jumlah 2.587 Orang
Melalui data diatas maka dapat dilihat dan diketahui kegiatan ekonomi
masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung masih sangat
lemah sekali, Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung ini adalah
desa yang sebahagian besar masyarakatnya rata-rata yang berusia 20 Tahun keatas
itu bekerja sebagai Karyawan Swasta dan Kuli pembuat batu bata dan kuli-kuli
tambang emas yang ada di perusahaan ANTAM, sedangkan yang berusia diatas
53
25 tahun bekerja sebagai petani sawah dan petani kebun dan sebahagian lagi
menjadi buruh bangunan.
3. Sarana Pendidikan.
Melalui dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis kepada
Ramdhani selaku Sekretaris Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung
mengenai pendidikan, beliau mengatakan bahwa pendidikan di desa ini sudah
lumayan bagus dan memadai, karena sudah terdapat sekolah TK, SD, SLTP,
SLTA, , dan PESANTREN.
Namun hanya saja masih banyak terdapat masyarakat yang tidak bersekolah,
hal ini dikarenakan berbagai faktor penyebabnya ada yang memang karena
keterbatasan ekonominya, ada karena desakan orang tua untuk membantu
pekerjaannya, dan faktor utama lemahnya pendidikan di desa ini adalah
dikarenakan masyarakatnya belum begitu menyadari akan pentingnya
pendidikan.6
Tabel 3.8 Jumlah Sarana Pendidikan di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan
Nanggung
NO Sarana Pendidikan Banyak Keterangan
1 TK/PAUT/TPA 6 Buah
2 SD 4 Buah
3 MI 1 Buah
4 SMP 1 Buah
6 Ramdhani, Wawancara Seketaris Desa Parakan Muncang Bogor di Kantor Balai Desa
(Senin 13 April 2015 pukul 9.30).
54
5 SMA 1 Buah
6 MA 1 Buah
7 PESANTREN 2 Buah
Tabel 3.9 Keadaan Jumlah Penduduk Menurut Lulusan Pendidikan Umum/Formal
NO Lulusan Banyak Keterangan
1 TK/TPA/PAUD 125 Orang
2 SD/MI/(Paket A) 1675 Orang
3 SMP/SLTA/(Paket B) 636 Orang
4 SMA/SLTA/(Paket C) 335 Orang
5 Pon-Pes 315 Orang
6 Akademis/D1-D3 144 Orang
7 Sarjanah/S1 28 Orang
8 Sarjanah/S2 20 Orang
9 Sarjanah/S3 23 Orang
Jumlah 3.300 Orang
Dari data di atas dapat dilihat sebahagian besar masyarakat Desa Parakan
Muncang Bogor Kecamatan Nanggung kebanyakan mereka hanya menyelesaikan
pendidikannya sampai SD/MI saja, dan hanya beberapa orang saja yang
melanjutkan pendidikan sampai keperguruan tinggi.
55
4. Sarana Kebutuhan Masyarakat.
Untuk mampu bersaing dengan desa-desa yang ada maka Lurah Desa
Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung Ahmad Yani berupaya
melakukan pembangunan yang dibutuhkan melalui anggaran dana APBD Kab.
Bogor maupun APB Desa untuk membangun sarana-prasarana yang diantaranya
adalah membangun jalan-jalan lingkungan yang menghubungkan desanya ke desa
yang lain agar roda perekonomian dapat berjalan dengan baik dan meningkat,
selain itu juga melakukan perbaikan jalan-jalan umum yang rusak agar
memudahkan para pengendara yang berlalu lintas, membangun Kantor Desa, Pos
Kesehatan Masyarakat, Poskamdes, Pos Yandu, dan Poskamling/Pos Ronda.
Tabel 3.10 Sarana dan Prasarana Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung
NO Sarana dan Prasarana Banyak Buah
1 Kantor Desa 1 Buah
2 Kantor KUA 1 Buah
3 Puskesmas 1 Buah
4 Pos Yandu 8 Buah
5 Pos Kamdes 1 Buah
6 Poskamling 31 Buah
56
Adapun masalah-masalah lain yang selama ini masih menjadi kendala bagi
masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung secara umum
adalah sebagai berikut:
Banyaknya jumlah masyarakat yang tidak melanjutkan pendidikan
mereka kejenjang yang lebih tinggi sehingga menghambat sumber daya
pengetahuan terhadap kemajuan desa dan banyaknya masyarakat yang
tidak memiliki pekerjaan karena rendahnya tingkat pendidikan.
Masih lemahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya suatu
pendidikan yang ditanamkan kepada anak-anak mereka.
Sulitnya mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, yang
mana kebutuhan air tersebut diambil dari gunung yang jaraknya jauh
sekali melalui selang-selang yang dialirkan kerumah warga. yang
sampai sekarang belum ada bantuan dari pemerintah.7
Kurang memadainya sarana dan prasarana pelayanan kesehatan yang
ada sehingga menyulitkan masyarakat dalam berobat, tidak adanya
MCK dan Pemandian umum yang disediakan pemerintah untuk
kebutuhan masyarakat sehingga masyarakat harus mandi di sungai yang
terkadang airnya tidak bersih, dan tidak adanya pasar umum yang
menyulitkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
banyaknya kerusakan sarana dan prasarana umum (Transportasi,
kesehatan, pendidikan dan lainnya) yang dikarenakan usianya yang
sudah lama sehingga menghambat kemajuan desa tersebut.
7 Ipul, Wawancara Ketua RT Desa Parakan Muncang Bogor, (Senin 13 April 2015 pukul
9.30).
57
BAB IV
PENOMENA PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PENCATATAN
PERKAWINAN
A. Proses Perkawinan di bawah Umur dan Pencatatan Perkawinan.
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa perkawinan menurut Pasal 1
Undang-Undang Perkawnan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Pernikahan adalah sebuah
pilihan, pilihan hidup yang akan dilalui oleh setiap orang, pilihan hidup untuk
segera mengakhiri masa lajang atau gadis karena sudah bertemu dengan orang
yang dianggap cocok dan siap untuk menikah. Menikah diusia yang masih muda
terjadi pada masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung.
Pernikahan seperti ini sudah menjadi suatu tradisi turun-temurun.
Praktek/proses perkawinan diusia muda (di bawah umur) yang dilakukan
oleh masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung sedikit
berbeda dari proses perkawinan pada umumnya. Perbedaan tersebut terletak pada
proses pencatatan pernikahannya. Setiap pasangan yang menikah di bawah umur
perkawinannya tetap dilangsungkan oleh KUA Desa Parakan Muncang Bogor
Kecamatan Nanggung, namun tidak mencatatkan secara resmi pada saat itu,
sehingga menjadikan perkawinan tersebut tidak sah menurut negara. Proses
pencatatan secara resmi ini akan dilakukan ketika pasangan muda (di bawah
1 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradya
Paramita, 1996) h. 10.
58
umur) tersebut telah mencapai usia dewasa. Proses ini dilakukan dengan cara
memberitahukan kepada amil yang menikahkan pada saat itu, kemudian amil
mendatangi Kantor Urusan Agama (KUA) dengan membawa persyaratan yang
telah ditentukan beserta pasangan muda (di bawah umur) yang menikah, wali, dan
saksinya, namun perkawinannya tidak diulang kembali.2
Berdasarkan dari hasil wawancara langsung penulis kepada Sekretaris KUA
, masyarakat yang ingin menikahkan anaknya diusia muda (di bawah umur) harus
melalui berbagai tahapan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pendahuluan.
Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian apakah
mereka saling mencintai atau tidak, dan apakah kedua orang tua mereka
menyetujui dan merestuinya. Hal ini erat hubungannya dengan surat-surat
persetujuan kedua calon mempelai dan surat izin orang tua bagi mereka yang
belum berusia 16 (enam belas) tahun bagi perempuan dan 19 (sembilan belas)
tahun bagi laki-laki. Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan
perkawinan baik menurut hukum munakahat ataupun menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku, (untuk mencegah terjadinya penolakan atau
pembatalan perkawinan).3
Kedua calon mempelai disarankan untuk mempelajari ilmu tentang
pembinaan rumah tangga, hak, dan kewajiban suami istri dan lainnya. Dalam
rangka meningkatkan kualitas keturunan yang akan dilahirkan, kepada calon
mempelai supaya memeriksakan kesehatannya masing-masing.
2 Asnawi, Wawancara, Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 14.15 Wib)
3 Yaswirman, Karakteristik dan Prospek Dokrin Islam dan Adat dalam Masyarakat
Matrilineal Minang Kabau(Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 188.
59
2. Pemeriksaan Kehendak Menikah.
Setelah persiapan pendahuluan dilakukan secara matang, maka calon
mempelai yang hendak menikah, wali (orang tua) atau wakilnya segera
memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang
mewilayahi tempat di mana akan dilangsungkannya akad nikah sekurang-
kurangnya 11 hari masa kerja sebelum akad nikah dilangsungkan. Pegawai
Pencatat Nikah yang menerima pemberitahuan kehendak untuk melangsungkan
perkawinan, meneliti persyaratan-persyaratan perkawinan yang berisikan data
keterangan tentang nama kedua calon mempelai, hari dan tanggal pelaksanaan
akad nikah, mahar atau mas kawin. Tempat pelaksanaan upacara akad nikah bisa
dilakukan di Kantor KUA atau di rumah calon mempelai. Pemberitahuan
kehendak nikah tersaebut dapat dilakukan oleh orang tua atau amil dengan
membawa persyaratanya berupa surat-surat yang diperlukan. Adapun persyaratan
yang harus dilengkapi adalah:4
1. Menyediakan fotocopy KTP dan Kartu Keluarga (KK) dan Akta
Kelahiran untuk kedua calon pengantin masing-masing 1 (satu) lembar.
2. Menyertakan surat pernyataan bahwa belum pernah menikah (masih
gadis bagi calon istri dan jejaka bagi calon suami) di atas segel atau
materai Rp. 6000,- (enam ribu rupiah) yang diketahui oleh RT, RW,
dan Lurah setempat.
3. Menyertakan surat keterangan hendak menikah dari kelurahan setempat
yaitu Surat Keterangan untuk menikah (Model N1), Surat Keterangan
4 Anwar Sajili, Wawancara, Bogor, (selasa,12 Mei 2015 pukul 9.15 Wib)
60
tentang asal-usul (Model N2), dan surat keterangan tentang orang tua
(Model N4), baik bagi calon suami maupun calon istri.
4. Menyertakan pas foto berukuran 2x3 masing-masing sebanyak 4
(empat) lembar dengan background biru dan 3x4 sebanyak 2 (dua)
lembar.
5. Menyertakan surat izin dari orang tua baik dari calon perempuan
maupun calon laki-laki.
6. Menyertakan surat pengantar dari dokter atau puskesmas tentang
pemeriksaan kesehatan masing-masing.5
7. Bagi calon yang tempat tinggalnya bukan berdomisili di wilayah Desa
Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung, harus menyertakan
surat pengantar pemberitahuan nikah dari KUA sesuai domisilinya.
8. Bagi calon pengantin perempuan harus menyertakan fotocopy surat
nikah orang tuanya.
9. Membanyar biaya perkawinan Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
10. Menyertakan surat keterangan tidak mampu dari lurah atau kepala desa
bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya perkawinan (prodio).
3. Pengumuman Kehendak Menikah.
Setelah semua persyaratannya terpenuhi dan tidak ada halangan untuk
melangsungkan pernikahan, maka tahap selanjutnya adalah Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) memberitahukan pengumuman kehendak nikah. Pegawai Pencatat
Nikah menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak
5 Yaswirman, Karakteristik dan Prospek Dokrin Islam dan Adat dalam Masyarakat
Matrilineal Minang kabau, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 189.
61
melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman
menurut formulir yang ditetapkan pada kantor pencatatan perkawinan pada suatu
tempat yang sudah ditentukan dan mudah untuk dibaca oleh umum.
4. Pelaksanaan Akad Nikah.
Pelaksanaan perkawinan dilangsungkan setelah hari ke 11 (kesebelas) sejak
pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Bilamana dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak pengumuman
kehendak kawin, jika perkawinan tersebut tidak dilangsungkan, maka perkawinan
tersebut tidak boleh dilangsungkan kembali kecuali diulangi kembali
pendaftarannya.
5. Penandatanganan Akta Nikah dan Pembuatan Akta Nikah.
Tahap selanjutnya adalah:
a. PPN membuatkan Kutipan Akta Nikah (model NA) rangkap dua dengan
kode dan nomor yang sama.
b. Kutipan Akta Nikah tersebut diberikan kepada suami dan istri
c. Nomor di tengah pada model NB (Daftar Pemeriksaan Nikah) diberi
nomor yang sama dengan Akta Nikah.
d. Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah harus ditandatangani hari itu setelah
pengucapan ijab qabul selesai.
e. PPN berkewajiban mengirimkan Akta Nikah kepada Pengadilan Agama
yang mewilayahinya.
Menurut penulis, proses perkawinan di bawah umur yang terjadi pada
masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung tidak sesuai
62
aturan Undang-Undang Perkawinan No 1 Th 1974. Hal ini terjadi karena
masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung menikahkan
anak-anak mereka yang belum cukup umur untuk menikah. Sedangkan menurut
Undang-Undang, batas usia untuk menikah bagi perempuan 16 (enam belas)
tahun dan laki-laki 19 (sembilan belas) tahun. Akibatnya pernikahan tersebut
belum bisa dicatatkan secara resmi di Kantor Urusan Agama.
B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Penundaan Pencatatan
Perkawinan di bawah Umur.
Apabila kita perhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang
pencatatan perkawinan, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No 1 Th
1974 pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaan” dalam ayat (2) menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan harus
dicatatkan. Ketentuan-ketentuan hukum tentang pencatatan perkawinan diatur dalam
Undang-Undang No 1 Th 1974 pasal 1 ayat 1 dan 2, yaitu:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaan (1), Tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan (2).”
Jika merujuk pada aturan Undang-Undang tentang pencatatan nikah, maka
perkawinan di bawah umur di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan
Nanggung bisa dikatakan tidak sah menurut negara, meskipun perkawinan itu
tetap sah menurut aturan agama. Perkawinan yang tidak sesuai aturan Undang-
Undang tidak langsung dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Padahal pencatatan
63
adalah bukti bahwa dirinya telah melakukan perkawinan. Salah satu bukti yang
dianggap sah adalah dokumentasi resmi yang dikeluarkan oleh negara. Jadi
pernikahan dianggap benar-benar sah apabila sesuai dengan aturan agama dan
aturan negara.
Pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA) adalah sebagai
bukti dan dokumentasi resmi. Dokumentasi tersebut dapat digunakan dihadapan
majelis jika sewaktu-waktu atau terjadi sengketa yang berkaitan dengan
perkawinan, waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan hal lainnya yang
berkaitan dengan masalah perkawinan. Pencatatan ini juga menjadikan
perkawinan mempunyai kekuatan hukum, sehingga apabila salah satu pihak
melalaikan kewajibannya, maka pihak lain dapat melakukan upaya hukum, karena
memiliki bukti-bukti yang sah dan otentik dari perkawinan yang terdaftar.6
Menurut penulis, pencatatan mempunyai peranan yang sangat penting untuk
menentukan diakuinya perkawinan tersebut oleh undang-undang. Bilamana suatu
perkawinan ditunda atau tidak dicatat di Lembaga Pencatatan Sipil, maka
perkawinan tersebut tentulah tidak diakui oleh negara. Selain itu akan
menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi istri dan anak dikemudian
hari.
Penulis menemukan adanya penundaan pencatatan perkawinan di bawah
umur di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung, dan penundaan
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor berikut ini:
6 Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dan Jaenal Arifin, Hukum Keluarga, Pidana dan
Bisnis (Kajian dalam Perundang-Undangan Indonesia, Fiqih, dan Hukum Internasional) , (Jakarta:
Kencana, 2013), h. 27.
64
1. Tidak Terpenuhinya Persyaratan.
Berdasarkan dari hasil penelitian wawancara penulis kepada kepala KUA
Ketua KUA Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung, beliau
menjelaskan bahwa dalam melaksanakan pencatatan perkawinan banyak sekali
hambatan-hambatan yang dilalui, salah satunya adalah masalah usia yang belum
dewasa yaitu bagi mereka yang belum berusia 16 (enam belas) tahun bagi
perempuan dan 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki, yang hendak menikah
namun tidak melalui prosedur yang telah diatur oleh pemerintah seperti halnya
melakukan permohonan despensasi nikah terlebih dahulu kepada Pengadilan
Agama setempat, melainan mereka langsung melakukan pernikahannya di
hadapan seorang amil (penghulu) KUA untuk menikahkannya.7
Akan tetapi pernikahan seperti ini tidak dicatatkan pada saat itu, namun
pernikahan tersebut tetap sah menurut agama dan hal tersebut tidak melanggar
hukum Islam. Perkawinan muda (di bawah umur) yang dilakukan oleh amil
(penghulu) KUA Desa Parakan Muncang tersebut menyebabkan pernikahan
mereka ditunda pencatatannya di Kantor Urusan Agama (KUA).
Selain permasalahan yang telah disebutkan di atas, terdapat hambatan lain
dalam pelaksanaan perkawinan di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan
Nanggung. Permasalahan ini membuat pelaksanaan pencatatan nikah di KUA
tidak terlaksana dengan baik, di antara permasalahan tersebut ialah:
a. Hambatan Adat dan Budaya
7 Agus Hasanudin, Wawancara, Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 9.00 Wib)
65
Adat dan budaya sudah ada sejak dahulu di Desa Parakan Muncang
Bogor Kecamatan Nanggung dan berlangsung secara turun-temurun dari
nenek moyang sampai keturunannya, begitu pula dengan adat perkawinan
yang sudah ada sejak dahulu dan diwariskan secara turun-temurun dari
generasi kegenerasi.
Perkawinan muda (di bawah umur) terlebih dahulu dilakukan secara
sirri dihadapan seorang amil (penghulu) KUA dan hal ini membuat tidak
tercatatnya perkawinan tersebut di KUA. H. Bajri selaku tokoh agama di
Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung menyatakan bahwa
adat dan budaya perkawinan muda (di bawah umur) semacam ini
merupakan salah satu faktor tidak terlaksananya pencatatan nikah di KUA,
karena masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung
lebih mementingkan pernikahan yang sah menurut agama.8
b. Faktor Pendidikan
Sejak dahulu sampai hari ini, orang tak pernah selesai membicarakan
masalah pendidikan. Hal ini terjadi karena pendidikan merupakan satu sendi
yang paling esensial dalam kehidupan manusia. Pada umumnya orang akan
mengetahui potensi yang dimilikinya karena dijembatani oleh pendidikan.
Maka dari itu dapat dipahami bahwa pendidikan adalah suatu sarana
pengendali potensi dan sumbar daya manusia.
Jika ditelusuri banyak remaja perempuan dan laki-laki yang berusia
belasanTHdi pedesaan sudah tidak bersekolah atau bahkan putus sekolah,
8 Bajri, Wawancara, Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 11.30 Wib)
66
terlebih lagi perempuan. Perempuan yang bersekolah dipandang sebagai
sebuah kesia-siaan, sebab pada akhirnya hanya akan bermuara di dapur saja.
Dengan demikian mereka memandang bahwa wanita lebih baik belajar
memasak, mencuci, dan sebagainya. Kondisi masyarakat seperti inilah yang
mendorong mereka untuk menikahkan anak-anak mereka diusia yang relatif
muda. Pada akhirnya kehidupan bermasyarakat semarak dengan perkawinan
muda (di bawah umur) tanpa memikirkan resiko yang akan dihadapi.
Pernikahan ini terjadi juga dikarenakan adanya dorongan dan kekawatiran
orang tua terhadap anak gadisnya yang menjadi perawan tua atau perjaka
tua, sedangkan sebutan perawan tua dan perjaka tua merupakan aib bagi
keluarga.9 Maka dapat dipahami bahwa salah satu faktor yang menjadi
penghambat pemerintah untuk melakukan pencatatan pernikahan di KUA
adalah faktor pendidikan yang rendah.
c. Faktor Perjodohan
Perkawinan harus dilakukan berdasarkan persetujuan kedua orang tua
calon mempelai (pasal 6 UU. No 1 Th 1974) sebagaimana penjelasan
maksudnya, agar suami istri yang akan menikah itu kelak dapat membentuk
keluarga kekal dan bahagia, hal ini sesuai pula dengan hak asasi manusia,
maka tentulah perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang akan
melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak mana
pun.
9 Asnawi, Wawancara, Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul: 14.15 Wib)
67
Kata persetujuan kedua calon mempelai dimaksud berarti orang
tua/wali atau keluarga/kerabat tidak boleh memaksakan anak-anak mereka
untuk melakukan perkawinan jika mereka tidak setuju terhadap
pasangannya, atau belum bersedia untuk menikah.10
Akan tetapi berdasarkan dari hasil penelitian yang penulis temukan di
Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung masih saja ada orang
tua yang memaksakan keinginannya untuk menikahkan anaknya yang
masih muda (di bawah umur) dengan alasan untuk kebahagian anaknya,
agar tidak menjadi perawan atau perjaka tua yang menjadi cemoohan
masyarakat dan aib dalam keluarga.11
Dengan demikian dapat diketahui faktor yang melatarbelakangi
terhambatnya pelaksanan pencatatan perkawinan di KUA Desa Parakan
Muncang Bogor Kecamatan Nanggung, yaitu karena adanya perjodohan
anak-anak mereka yang masih di bawah umur oleh orang tuanya.
d. Faktor Agama atau Norma yang Dianut
Pada umumnya orang tua ingin cepat-cepat menikahkan atau
mengawinkan anaknya, karena takut anaknya terjerumus kepada pergaulan
bebas sehingga berbuat zina yang dilarang oleh agama yang juga
menyebabkan malu keluarga. Berdasarkan pada hasil penelitian yang
penulis lakukan di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung,
penulis menemukan kebiasaan orang tua mereka yang bila melihat prilaku
anak-anakanya yang sudah terlalu akrab dengan lawan jenisnya dan orang
10
Yaswirman, Karakteristik dan Prospek Dokrin Islam dan Adat dalam Masyarakat
Matrilineal Minang kabau, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 193. 11
Bajri, Wawancara¸ Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 11.30 Wib)
68
tua berasumsi bahwa perbuatan anaknya dianggap melanggar norma agama,
maka orang tua tersebut mengambil satu solusi dengan mengawinkannya
meskipun usia anak masih muda, bahkan di samping itu juga orang tua
merasa malu kalau anak gadisnya tidak cepat-cepat dikawinkan dan
khawatir dicemooh oleh tetangga sekiranya punya anak gadis tidak laku dan
akan menjadi perawan tua.12
Dengan demikian faktor penghambat tidak terlaksanaan pencatatan
perkawinan di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung adalah
karena alasan paham agama dan norma yang berlaku, meskipun demikian
perkawinan tersebut dapat ditotelir kendatipun berlawanan dengan peraturan
perundang-undangan yang ada lebih baik menikahkan anak gadisnya diusia
muda (di bawah umur) daripada mendapat cemoohan dari masyarakat.
e. Kurangnya Sosialisai Mengenai Manfaat Pencatatan Perkawinan
Rocoe Pound menyatakan:
“Proses hukum pada hakikatnya adalah suatu proses rekayasa sosial,
hukum itu pada hakikatnya adalah sarana yang dapat digunakan untuk mengontrol dan merekayasa masyarakat, hukum diselenggarakan dengan
tujuan untuk mengoptimalkan pemuasan kebutuhan dan kepentingan.”13
Melalui sarana sosialisai tentunya akan menumbuhkan kesadaran
hukum dalam masyarakat untuk melaksanakan pencatatan perkawinan,
dengan kata lain, sosialisasi merupakan sarana atau corong penyampaian
diskresi sebagai suatu kaidah hukum. Sosialisasi mengenai pentingnya
pencatatan perkawinan yang penulis temukan di Desa Parakan Muncang
12
Bajri, Wawancara, Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 11.30 Wib) 13
Faktor Penghambat Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan”, diakses pada 29 Mei dari
http://appehutauruk.blogspot.com/2012/11/pelaksanaan-pencatatan-perkawinan-di.html.
69
Bogor Kecamatan Nanggung masih belum dilakukan secara optimal, bahkan
dapat dikatakan bahwa KUA Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan
Nanggung belum bersungguh melakukan sosialisasi dengan metode yang
tepat dan benar kepada masyaraat mengenai pencatatan perkawinan.
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan pada kasus nikah muda,
penulis mendapati pengakuan dari Informal bahwa mereka tidak pernah
mendapatkan sosialisasi mengenai pentingnya pencatatan perkawinan.
Sosialisasi hanya pernah dilakukan di balai desa saja, itu pun hanya
mengundang sebagian tokoh agama. Padahal sosialisasi ini sangat penting
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar taat dan patuh pada hukum
dan peraturan perundang-undangan.14
Maka penulis berpendapat kurangnya sosialisasi yang dilakukan pihak
KUA menyebabkan kebanyakan masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor
Kecamatan Nanggung tidak mengetahui tentang pentingnya manfaat
pencatatan perkawinan.
2. Sebagai Suatu Kebijakan.
Pemerintah memberikan solusi bagi perkawinan yang tidak tercatat atau
perkawinan yang tidak terdaftar, yaitu dengan mengajukan permohonan Isbat
Nikah atau pengesahan nikah. Isbat Nikah tersebut diajukan ke Pengadilan Agama
kabupaten atau kota setempat. Dengan adanya Isbat Nikah ini, maka status
perkawinan menjadi jelas, baik dimata agama maupun dimata hukum.
14
Hasil Wawancara Pribadi dengan Ibu Dede Sukaisi, Pelaku Nikah Muda Desa Parakan
Muncang Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 14.30 Wib) di rumah Ibu Dede Sukaisi.
70
Dasar hukum yang menyatakan bahwa permohonan Isbat Nikah menjadi
kewenangan Pengadilan Agama diatur dalam UU No 1 Th 1974 tentang
perkawinan. Pasal 49 ayat (2) butir 22 UU No.7 Th 1989 menjelaskan bagi
pernikahan yang tidak tercatat dapat dimintakan permohonan untuk diisbatkan
pernikahannya di Pengadilan Agama. Setelah melakukan Isbat Nikah, maka
secara otomatis pernikahan tersebut akan sah secara agama dan diakui juga
menurut ketentuan hukum negara.15
Lain halnya yang penulis temukan dilapangan berdasarkan dari hasil
wawancara kepada kepala KUA Agus Hasanudin Ketua KUA Desa Parakan
Muncang Bogor Kecamatan Nanggung. Beliau menjelaskan bahwa adanya
penundaan pencatatan perkawinan tersebut merupakan suatu solusi kebijakan
yang diambil oleh pihak KUA kepada pasangan muda yang menikah tanpa
meminta despensasi kepengadilan agama setempat. Dari data yang didapatkan
oleh penulis dari kantor KUA Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan
Nanggung ada hampir 1.600 (seribu enam ratus) jumlahnya kepala keluarga (KK)
pada masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung yang tidak
mempunyai buku nikah yang mana salah satunya bagi pasangan muda (di bawah
umur) yang tidak mencatatkan kembali perkawinannya.
Sedangkan pihak KUA telah mengajukan permohonan untuk di isbatkan
pernikahan mereka tersebut, bahkan dari pihak KUA juga sudah memanggil dari
pihak pengadilan untuk datang ke KUA agar dilakukannya isbat nikah bagi
mereka yang belum mempunyai buku nikah dan belum diakui perkawinannya
15
Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dan Jaenal Arifin, Hukum Keluarga, Pidana
dan Bisnis (Kajian dalam Perundang-Undangan Indonesia, Fiqih, dan Hukum Internasional) ,
(Jakarta: Kencana, 2013), h. 57.
71
menurut ketentuan negara, namun hal tersebut tidak ada tanggapan yang positif
yang diberikan oleh pihak Pengadilan Agama dan tidak terlaksana, sehingga pihak
KUA melakukan pencatatan ulang kembali bagi pasangan muda yang tidak
memenuhi persyaratannya, khususnya bagi mereka yang menikah muda (di bawah
umur) yang disebabkan berbagai faktor.16
Meskipun demikian pihak KUA Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan
Nanggung selalu menghimbau kepada masyarakat agar pasangan yang hendak
melakukan pekawinan untuk dapat memenuhi persyaratannya baik secara agama
maupun secara negara.
C. Akibat Penundaan Pencatatan Nikah Terhadap Pasangan Perkawinan
di Bawah Umur.
Penundaan pencatatan nikah muda (di bawah umur), meski secara agama
dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan diluar pengetahuan dan
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap,
dianggap tidak sah dimata hukum negara, akibat hukum perkawinan tersebut
adalah berdampak negatif sangat merugikan bagi istri dan perempuan pada
umumnya.
Berdasarkan hasil wawancara penulis kepada pelaku nikah muda (di bawah
umur) Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung, dengan adanya
penundaan pencatatan tersebut menimbulkan dampak negatif, Adapun dampak
16
Agus Hasanudin, Wawancara, Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 9.00 Wib)
72
negatif yang dirasakan oleh pelaku nikah muda (di bawah umur) yang diantaranya
adalah:
a. Kegelisahan
Berhubung karna kami tidak memenuhi persyaratan dalam menikah
sehingga pencatatkan perkawinan kami terpaksa harus ditunda, tentu hal ini
sangat membuat kami gelisah karna perkawinan kami belum mendapat kekuatan
hukum yang pasti dan belum disahkan oleh negara walaupun hal itu disahkan oleh
agama.
Selain merasa gelisah kami juga dihantui rasa bersalah karena kami
merasa tinggal di negara yang taat hukum namun kami melanggar Undang-
Undang yang telah ditentuan oleh negara yaitu tidak memenuhi persyaratan
administratif pada saat melangsungkan perkawinan. Dilain hal kami merasa
khawatir jika hendak bepergian jauh karenakan jika ada suatu razia terhatap tuna
susila kami tidak dapat menunjukan bukti bahwa kami suami istri17
b. Sulitnya ber urusan dengan pemerintahan
Karna tertundanya pencatatan perawinan yang kami lakukan hal tersebut
membuat tekanan batin yang begitu dalam yang kami rasakan, sebab disaat ada
hal-hal yang berkenaan dengan urusan pemerintah seperti halnya untuk
pembuatan akta kelahiran anak yang terlahir sebelum dicatatkannya perawinan,
pembuatan Kartu Keluarga (KK) maka kami harus membawa Akta Nikah untuk
17
Siti Aisyah, Wawancara, Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 15 : 10 wib)
73
membuatnya sedangkan kami belum mempunyai itu, tentu urusan kami sangat
dipersulit dalam memenuhi persyaratan birogarsi tersebut.18
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan, tujuan dari pencatatan
nikah yang dilakukan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah adalah untuk terjaminannya ketertiban perkawinan dan dengan tegas
menyatakan bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan tidak mempunyai kekuatan
hukum.19
Berdasarkan hasil wawancara penulis kepada kepala KUA Agus Hasanudin
Ketua KUA Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung, dengan adanya
penundaan pencatatan perkawinan tersebut menimbulkan akibat-akibat di
antaranya adalah:
a. Terhadap Istri
Wanita yang dinikahi secara sirri atau di bawah umur dianggap sebagai istri
yang tidak sah. Akibatnya istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami
jika terjadi perceraian hidup atau ditinggal mati. Selain itu, istri juga tidak berhak
atas harta bersama atau yang sering disebut dengan harta gono gini. Hal ini
disebabkan karena pernikahan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Penulis
memandang secara sosialpun hal itu akan membuat perempuan sulit bersosialisasi,
karena perkawaninan di bawah umur sering sekali dipandang sebagai akibat dari
hubungan gelap.
Akibatnya tentu akan merugikan hak-hak istri dan rentan untuk
dipermainkan oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab karena tidak memiliki
18
Siti Rodhiah, Wawancara, Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 13.00 Wib) 19
Khoiruddin Nasotion, Stataus Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap Undang-
Undang Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malayisa, (Jakarta: 2002), h. 149.
74
kekuatan hukum untuk menggugat, mudah ditelantarkan, tidak diberi nafkah
dengan cukup dan tidak ada kepastian setatus dari suami.
b. Terhadap Anak
Anak-anak yang berasal dari hasil perkawinan yang tidak dicatatkan, maka
tidak dicatatkan pula secara hukum. Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai
anak yang tidak sah. Akibatnya anak yang dilahirkan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.
Selain itu, anak yang lahir dari perkawinan tidak tercatat, tidak akan
memperoleh akte kelahiran. Hal ini akan menyulitkan anak tersebut untuk
mendaftarkan diri pada sekolah negeri. Jika pun akta kelahiran itu dikeluarkan,
maka nama orang tua yang dicantumkan adalah nama ibunya, bukan nama
ayahnya.
Dampak negatif lainnya adalah anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan
pendidikan. Secara sosial tentu hal ini tentu akan menimbulkan kerugian bagi
anak dan ibunya. Disisi lain, sang ayah bisa saja tidak mengakui atau bahkan
menyangkal anak tersebut sebagai anak kandungnya, kecuali jika siibu dapat
mengusahakan perkawinan yang sah.
c. Untuk Suami
Perkawinan yang tidak dicatatkan bisa dikatakan mengutungkan bagi suami.
Hal ini disebabkan karena suami bebas untuk menikah lagi. Selain itu, perceraian
pun mudah terjadi dan dilakukan oleh suami kepada istrinya.
Menurut dari penjelasan kepala KUA Bapak Agus Hasanudin selaku Ketua
KUA Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung, dengan adanya
75
penundaan pecatatan perkawinan tersebut sering kali perceraian berujung tidak
sampai di muka Pengadilan Agama, karena perkawinannya dianggap tidak sah
menurut Undang-Undang yang berlaku, namun perceraiannya hanya sampai
antara keluarga saja sehingga tidak sedikit perempuan yang masih kecil ditinggal
suaminya entah kemana tampa kabar dan menjadi janda.20
Agus Hasanudin menyatakan bahwa sering kali terjadi perceraian yang
tidak sampai pada pengadilan, karena perkawinan yang tidak sah menurut
Undang-Undang. Perceraian hanya samapai antara keluarga saja. Tidak sedikit
perempuan yang masih kecil ditinggal suaminya tanpa kabar dan menjadi janda.
Jadi perkawinan yang tidak dicatatkan hanya akan menguntungkan bagi suami,
akan tetapi sangat merugikan bagi istri.
D. Penyelesaain Penundaan Pencatatan Perkawinan di Bawah Umur.
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa perkawinan menurut Pasal 1
Undang-Undang Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan adalah sebuah pilihan, pilihan hidup yang akan dilalui oleh
setiap orang, pilihan hidup untuk segera mengakhiri masa lajang atau gadis karena
sudah bertemu dengan orang yang dianggap cocok dan siap untuk menikah.
Menikah diusia yang masih muda terjadi pada masyarakat Desa Parakan Muncang
Bogor Kecamatan Nanggung sudah menjadi suatu tradisi turun-temurun.
20
Agus Hasanudin, Wawancara, Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 9.00 Wib)
76
Praktek/proses perkawinan diusia muda (di bawah umur) yang dilakukan
oleh masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung sedikit
berbeda dari proses perkawinan pada umumnya. Dimana perbedaan tersebut
terletak pada proses pencatatan pernikahannya. Setiap pasangan yang menikah di
bawah umur perkawinannya tetap dilangsungkan oleh pihak KUA Desa Parakan
Muncang Bogor Kecamatan Nanggung, namun tidak mencatatkan secara resmi
pada saat itu, sehingga menjadikan perkawinan tersebut tidak sah menurut negara.
Proses pencatatan secara resmi ini akan dilakukan ketika pasangan muda (di
bawah umur) tersebut telah mencapai usia dewasa. Proses ini dilakukan dengan
tata cara memberitahukan kepada amil (penghulu) yang menikahkan pada saat itu,
kemudian amil (penghulu) mendatangi Kantor Urusan Agama (KUA) dengan
membawa persyaratan yang telah ditentukan beserta pasangan muda (di bawah
umur) yang menikah, wali, dan saksinya, namun perkawinannya tidak di ulang
kembali.
Pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan dalam
suatu perkawinan karena pencatatan perkawinan merupan suatu syarat diakui dan
tidaknya perkawinan seseorang oleh peraturan perundang-undangan, bila mana
suatu perkawinan tersebu ditunda pencatatannya, maka perkawinan tersebut
tentunya tidak mempunya kepastian hukum yang tetap.
Apabila suatu perawinan dilakukan secara sirri atau ditunda pencatatannya
di Kantor Urusan Agama (KUA) maka untuk mendapatkan kepastian hukum yang
tetap dan dapat diakui secara negara, perkawinannya tersebut harus melakukan
Isbat nikah kekantor urusan agama setempat.
77
Lain halnya yang penulis temukan dilapangan berdasarkan dari hasil
wawancara kepada kepala KUA Agus Hasanudin Ketua KUA Desa Parakan
Muncang Bogor Kecamatan Nanggung, bagi pasangan muda (di bawah umur)
yang hendak melangsungkan pernikahannya seharusnya terlebih dahulu meminta
despensasi nikah ke Pengadilan Agama setempat untuk memberikan izin kepada
mereka pasangan muda (di bawah umur), namun kenyataanya mereka tidak
melakukan hal tersebut dengan alasan selain merasa sulit birokrasinya juga jauh
dari tempat pengadilan agama tersebut sehingga mereka lebih memilih untuk
menunda pencatatan perkawinan hingga mencapai usia dewasa yang telah
ditentukan menurut undang-undang.21
Disatu sisi seharusnya mereka yang tertunda pencatatan perkawinannya itu
melakukan isbat nikah kekantor urusan agama untuk mensahkan perkawinan
mereka secara negara, namun disini pihak KUA Desa Parakan Muncang malah
mencatatkan ulang kembali perkawinannya, bukan melakukan isbat nikah yang
telah ditenukan oleh negara, hal ini dilakukan sebagai langkah kebijakkan KUA
Desa Parakan Muncang untuk mengurangi jumlah masyarakat yang tidak
mempunyai buku nikah.
Apabila dilihat dari ranah fikih, praktek nikah di bawah umur yang hingga
kini masih menjadi fenomena, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-
sembunyi hal ini tidak dapat dipisahkan dari suatu pemahaman masyarakat
terhadap teks-teks agama yang berisi anjuran untuk menikah dan keberadaan
kitab-kitab fikih klasik yang masih tetap menjadi bahan rujukan dan pedoman
21
Agus Hasanudin, Wawancara, Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 9.00 Wib)
78
bagi sebahagian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat pedesaan atau
pesantren yang sampai saat ini memegang kuat nilai-nilai tradisi dalam
lingkungannya.
Boleh jadi sikap masyarakat yang seperti itu menganggap bahwa Undang-
Undang Perkawinan bukan mewakili dari hukum Islam. Sedangkan ajaran kitab-
kitab fikih kelasik dipandang sebagai ajaran yang benar-benar islami dan harus
sepenuhnya diterapkan.22 Menurut pandangan penulis, jika memperhatikan
pandangan ahli fiqih mengenai pernikahan di bawah umur tentunya perkawinan
tersebut suatu hal yang kurang baik sebab hal itu banyak menimbulkan dampak
negatif bagi pasangan yang melakukan perkawinan tersebut khususnya bagi pihak
perempuan dimana seorang gadis maupun laki-laki mereka belum mampu untuk
melaksanakan kewajiban sebagai suami istri dalam kehidupan rumah tangga.
Sedangkan tujuan perkawinan adalah sebagai wujud untuk kemaslahatan atau
kebaikan semua pihak dan menghindari mudharat terhadap orang lain, oleh karena
itu pekawinan yang baik adalah tentunya terpenuhinya persyaratan yang telah
ditentukan baik secara Hukum Agama maupun Hukum Undang-Undang No 1 Th
1974 tentang Perkawinan.
22
Ibrahim Hoesen, Fiqih Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003), h.73.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Berdasarkan dari pemaparan dan pembahasan tentang Penundaan Pencatatan
Perkawinan di Bawah Umur di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung
pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Praktek/proses perkawinan diusia muda (di bawah umur) yang dilakukan oleh
masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung sedikit
berbeda dari proses perkawinan pada umumnya. Perbedaan tersebut terletak
pada proses pencatatan pernikahannya. Setiap pasangan yang menikah di bawah
umur perkawinannya tetap dilangsungkan oleh KUA Desa Parakan Muncang
Bogor Kecamatan Nanggung, namun tidak mencatatkan secara resmi pada saat
itu, sehingga menjadikan perkawinan tersebut tidak sah menurut negara. Proses
pencatatan secara resmi ini akan dilakukan ketika pasangan muda (di bawah
umur) tersebut telah mencapai usia dewasa.
2. Penundaan pencatatan perkawinan dibawah umur yang dilakukan oleh
masyarakat Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu:
81
a. Tidak terpenuhinya persyaratan, Bagi pasangan yang hendak
melaksanakan perkawinan tidak memenuhi persyaratan yang ada salah
satunya adalah masalah usia yang belum dewasa yaitu bagi mereka yang
belum berusia 16 (enam belas) tahun bagi perempuan dan 19 (sembilan
belas) tahun bagi laki-laki, yang hendak menikah namun tidak melalui
prosedur yang telah diatur oleh pemerintah seperti halnya melakukan
permohonan dispensasi nikah terlebih dahulu kepada Pengadilan Agama
setempat, melainan mereka langsung melakukan pernikahannya di
hadapan seorang amil (penghulu) KUA untuk menikahkannya. Selain itu
faktor lain adalah
b. Faktor Hambatan Adat dan Budaya.
c. Faktor Pendidikan
d. Faktor Perjodohan.
e. Faktor Agama atau Norma yang Dianut dan
f. Faktor Kebijakan
3. Problematika yang muncul akibat dari pasangan yang menunda pencatatan
perkawinan diantaranya:
a. Kegelisahan, karena perkawinan tersebut belum mendapat kekuatan
hukum yang pasti dan belum disahan oleh negara.
b. Sulitnya dalam berurusan dengan pemerintahan, karena jika ada hal-hal
yang berkenaan dengan urusan pemerintahan yang harus menyertakan
82
akta nikah, namun tidak bisa menunjukannya maka urusannya menjadi
dipersulit.
c. Istri tidak mendapatkan nafkah ketika terjadi perceraian
d. Setatus anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah, sehingga
tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan.
e. Suami sering mengucapkan kata talak terhadap istri.
B. Saran.
Dalam hal menanggulangi banyaknya terjadi perkawinan muda (dibawah umur
sehingga terjadi penundaan pencatatan perkawinan mereka maka penulis memberikan
saran-saran sebagai berikut:
1. Untuk para perempuan Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung
khususnya, dan untuk semua perempuan pada umumnya, agar tidak menikah
dalam usia yang masih muda, sehingga dapat memenuhi segala persyaratan
dalam melangsungkan pernikahan.
2. Karena kurang tahunya masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan
maka diharapkan kepada pemerintah, khususnya dari pihak Kantor Urusan
Agama (KUA) dan para tokoh masyarakat harus senantiasa mensosialisasikan
tentang pentingnya pencatatan perkawinan, baik melalui seminar-seminar,
khotbah jum’at, ceramah agama dan lain sebagainya, baik diselenggarakan
dibalai desa maupun di Kantor Urusan Agama (KUA).
83
3. Alangkah baiknya antara masyarakat dengan pihak KUA dapat bekerja sama
agar bisa menerapkan Undang-Undang Perkawinan dalam pemerintahan
indonesia.
4. Bagi masyarakat untuk senantiasa peduli dengan setatus perkawinan, karena hal
tersebut berdampak bagi kelangsungan kehidupan anak cucunya dengan dengan
merasakan betapa pentingnya pencatatan perkawinan dan memiliki akta niah
sebagai bukti yang otentik dalam setiap urusan.
84
DAFTAR PUSTAKA
Aditono, Siti Rahayu. Psikologi Perkembangan dan Bagian-bagiannya, Yogyakarta:
Gajah Mada Press, 1989.
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Media Grafika, 2007. Alshodiq, Mukhtar dan M. Zain. Membangun Keluarga Humanis Counter Legal
Draf KHI yang Kontoversial itu, Jakarta : Graha Cipta, 2005.
Arikunto, Suharsismi. Prosedor Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Hukum-Hukum Fiqih Islam, tinjau
antar mazhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum perkawinan Islam, Yogyaarta: UII Press, 1999. Buku Pedoman Nikah “Prosedur-pencatatan-perkawinan” diakses pada tanggal 3
Mei 2015 dari http:// http://gubuk hukum.blogspot.com.
Djalil, A. Basiq. Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, Jakarta: Qalbun Salim, 2007.
Ghazali, Abdul Rahman. Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana Media Group, 2008.
Hadi, Sutrisno. metodogi Research,Yogyakarta: andi Offset, 1989. Hadikusuman, Helman. Hukum Perkawina Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 1990.
Hasan, M. Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Hasanuddin, Perkawinan dalam Persefektif Al-Qur’an Nikah, Talak, Cerai, Ruju’, Jakarta: Nusantara Damai Press, 2011.
Hosen, Ibrahim. Fikih Perbandingan Masalah Perkawinan, jakarta : Pustaka
Firdaus, 2003.
Ibrahim, Johny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Pubhlishing, 2008.
85
Karim, Helmi. Kedewasaan Untuk Menikah, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Jakarta: Pustaa Perdaus 1989. Kharlie, Tholabi Ahmad. Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Putra
Grafika, 2006. Mardani, Hukum Perkawinan di Dunia Islam Moderen, Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011.
Meliala, S Djaja. Hukum Perdata dalam Persepektif BW, Bandung: Nuansa Aulia, 2012.
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqih, secarah kaidah-kaidah Azasi, Jakarta: PT. Gaja Grafindo Persada, 2002.
Muhammad, Husein. Fikih Perempuan, Refleksi Kyai atas wawancara Agama dan
Gender, Yogyakarta: LkiS, 2009.
Muhdlor, Zuhdi A. Memahami Hukum Perkawinan “Nikah, Talak, Cerai dan
Rujuk”, (Bandung: Al-Bayan, 2009. Nurddin, Amir dan Taringan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
Stadi Krisis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang-Undang No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008.
Rafiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.
Shaleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan di Indonesia, Jaarta: Ghalia Indonesia, 1978.
Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa—fatwa Masalah Pernikahan dan keluarga, Jakarta: Elsas, 2008.
Shomat, Abd. Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2010.
Soekanto,Soerjono. PengantarPenelitianHukum, Jakarta: UI Press, 1984.
Sopyan, Yayan. Islam Negara, Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
86
Subekti. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta : PT Pradnya Paramita,
2006. Summa, Muhammad Amin. Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan
Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004.
Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Pranada Media Kencana, 2007. Taringan, Azhari Akmal dan Amiur Nuruddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia,
“Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU. No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta; Kencana 2004.
Thalib, Syayuti. Hukum Kekeluargaan Islam, Jakarta: UI, 1974.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perawinan.
Wizaroh al-Auqafwa al-Syu’um al-Islamiyah. Al-Mausu’at Al- Fiqhiyyah, Kuwait: Wizaroh al Auqof wa al-Syu’un an-Islamiyah, 2002.
Yasin, M Nur. Hukum Perkawinan Islam Sasak, Yogyakarta: UIN-Malang, 2008.
Zain, M dan Alshodiq, Mukhtar. Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draf KHI yang Kontoversial itu, Jakarta: Graha Cipta, 2005.
87
87
88
89
90
91
92
PEDOMAN WAWANCARA
Pertanyaan Wawancara Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
1. Kapan KUA Parakan Muncang Bogor ini berdiri?
2. Selain menangani perkawinan, pelayanan apa sajakah yang dilakukan oleh KUA
kepada masyarakat?
3. bagaimanakah proses perkawinan yang dilakukan oleh masyarak Desa Parakan
Muncang Bogor?
4. Bagaimana pendapat bapak mengenai adanya perkawinan dibawah umur
khususnya yang ada di Parakan Muncang Bogor ini?
5. Menurut bapak bagaimana perkawinan di bawah umur itu, sah atau tidak?
6. Menurut bapak bagaimana kedudukan perkawinan tersebut di pandang dari sudut
hukum Islam dan hukum Positif?
7. Menurut bapak, jika dilihat dari berbagai kasus yang terjadi, apa sajakah yang
melatar belakangi terjadinya menikah di bawah umur?
8. Menurut bapak faktor-faktor apakah yang menyebabkan ditundanya pencatatan
perkawinan
9. Menurut Bapak apa problematika yang timbul akibat penundaan pencatatn
perkawinan itu?
10. Apakah KUA memiliki kebijakan sendiri dalam melaksanakan penundaan
pencatatan perkawinan
93
11. berapakah biaya pencatatan perkawinan yang harus dibayar oleh pasangan yang
menikah?
12. Apakah dari pihak KAU pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang
pentingnya pencatatan perkawinan dan pentingnya memiliki buku nikah?
Pertanyaan Wawancara Kepala Sekretaris Kantor Urusan Agama Parakan
Muncang Bogor Kantor Urusan Agama (KUA)
1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah umur?
2. menurut bapak bagaimana hukumnya perkawinan di bawah umur itu, sah kah atau
tidak?
3. Apaka bapak tahu tentang UU Perkawinan?
4. menurut bapak bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dipandang dari sudut
hukum Islam dan hukum Positif?
5. Mengapa masih banyak saja orang yang melakukan perkawinan dibawah umur,
faktor-faktor apakah yang melatar belakangi mereka sehingga melakukan
perkawinan dibawah umur?
6. apakah masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor tahu tentang pentingnya
pencatatan perkawinan dan memiliki buku nikah?
7. Pernahkah dari pihak Desa bekerja sama dengan pihak KUA dalam
mensosialisasikan tentang pentingnya pencatatan perkawinan dan memiliki buku
nikah?
8. Menurut bapak faktor-faktor apakah yang menyebabkan ditundanya pencatatan
perkawinan tersebut?
94
9. Kebijakan apakah yang diberikan oleh KUA bagi mereka yang ingin yang
menikah di bawah umur?
Pertanyaan Wawancara Amil/Penghulu Desa Parakan Muncang Bogor
1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah umur?
2. menurut bapak bagaimana hukumnya perkawinan di bawah umur itu, sah kah
atau tidak?
3. Apaka bapak tahu tentang UU Perkawinan?
4. menurut bapak bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dipandang dari
sudut hukum Islam dan hukum Positif?
5. Mengapa masih banyak saja orang yang melakukan perkawinan dibawah
umur, faktor-faktor apakah yang melatar belakangi mereka sehingga
melakukan perkawinan dibawah umur?
6. apakah masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor tahu tentang pentingnya
pencatatan perkawinan dan memiliki buku nikah?
7. Pernahkah dari pihak Desa bekerja sama dengan pihak KUA dalam
mensosialisasikan tentang pentingnya pencatatan perkawinan dan memiliki
buku nikah?
8. Apakah ada solusi yang diberikan oleh pihak KUA bagi mereka yang terlanjur
menikah dibawah umur dan tidak memiliki akta nikah?
95
Pertanyaan Wawancara Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama Desa Parakan
Muncang Bogor
1. Menurut pendapat bapak bagaimana mengenai perkawinan dibawah umur,
apakah perkawinan itu sah atau tidak?
2. Apaka bapak tahu tentang UU Perkawinan?
3. Bagaimana kedudukan perkawinan di bawah umur tersebut di pandang dari
sudut hukum Islam dan hukum Positif yang bapak ketahui?
4. apakah bapak tahu faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat melakukan
pernikahan di bawah umur?
5. Apakah bapak tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang perkawinan?
6. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatn perkawinan dan
memiliki buku nikah?
7. bagaimana pandangan masyarakat terhadap mereka yang melakukan
perkawinan dibawah umur?
Pertanyaan Wawancara Pelaku Perkawinan di Bawah Umur Desa Parakan
Muncang Bogor
1. Anda anak keberapa dari berapa saudara?
2. Apakah pendidikan terahir anda?
3. Pada usia berapakah anda menikah?
4. Apakah sebabnya anda melakukan perkawinan dibawah umur?
96
5. Apakah dalam perkawinan anda terdapat paksaan dari orang tua atau yang
lainya?
6. Dimanakah pernikahan anda dilangsungkan?
7. Apakah ketika anda menikah anda melakukan pemberitahuan kepada KUA?
8. Syarat-syarat apa sajakah yang harus anda penuhi ketika memberitahukan
menikah kepada amil/KUA?
9. siapa sajakah yang menjadi saksi dan menghadiri perkawinan anda?
10. Apakah setelah anda menikah anda mendapatkan buku nikah?
11. Kapan anda diberi atau mendapatkan buku nikah tersebut?
12. Bagaimana prosedur anda untuk mendapatkan buku nikah?
13. sudah seberapa lama anda menikah?
14. Bagaimana keadaan rumah tangga anda sekarang?
15. Apakah dampak akibat yang anda rasakan ketika perkawinan anda ditunda
atau belum dicatatkannya dan belum memiliki buku nikah
16. Apakah anda tahu mengenai UU Perkawinan?
17. apakah perkawinan anda tercatat dan memiliki akta nikah?
18. Setahu anda Pernahkah dari pihak Desa bekerja sama dengan pihak KUA
dalam mensosialisasikan/penyuluhan tentang pentingnya pencatatan
perkawinan dan memiliki buku nikah di daerah ini?
19. Apakah anda tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang?
20. Bagaimana pandangan masyarakat lingkungan dan sekitarnya terhadap
perkawinan yang anda lakukan?
97
HASIL WAWANCARA
Nama : Agus Hasanudin, S.Hi
Jabatan : Kepala Kantor Urusan Agama Parakan Muncang Bogor
Tempat : Kantor Urusan Agama Parakan Muncang Bogor
Waktu : 12 Mei 2015
Pukul : 9.00 WIB
.............................................................................................................................................
1. Kapan KUA Parakan Muncang Bogor ini berdiri?
Kantor Urusan Agama Parakan Muncang Bogor ini berdiri sejak tahun 1982,
sesudah kemerdekaan.
2. Selain menangani perkawinan, pelayanan apa sajakah yang dilakukan oleh
KUA kepada masyarakat?
Selain mengurusi masalah perkawinan, Kantor Urusan Agama Parakan Muncang
Bogor, juga mengurusi masalah tentang wakaf, zakat, kemesjidtan, pengajian
rutin bulanan, dan manasiq haji dan lainnya
3. bagaimanakah proses perkawinan yang dilakukan oleh masyarak Desa
Parakan Muncang Bogor?
yaitu pertama dilakukannya pendaftaran lalu pendatataan, setelah itu memeriksa
kelengkapannya sudah terpenuhikah, lalu diadakanlah pembinaan N4 lalu kita
reset ulang antara data dengan yang sebenarnya dengan dihadirkannya pengantin
dan dicocokan dengan data N1, N2, N3, N4 betul ga tanggal lahirnya, tempat
tinggalnya dan identitasnya serta walinya, lalu ditentukanlah jadwal hari H nya
98
pernikahan itu dengan tenggang waktu 11 hari kerja. Sebelum diadakannya
pernikahan diadakannya dulu pembinaan itu kalau usianya mencukupi laki-laki 19
tahun dan perempuan 16 tahun. Namun jika usianya kurang dari pada 16 tahun
bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki pernikahannya tetap kami laksanakan
namun untuk pencatatannya kami pending dahulu sampai usianya mencukupi,
setelah usianya mencukupi maka kami meminta pihak pengantin atau yang
bersangkutan untuk datang membawa wali dan saksi untuk pencatatan nikah dan
pemberian buku akta nikah yang saat itu harus ditanda tangani oleh pihak kedua
mempelai dan disaksikan oleh wali dan saksinya serta petugas pencatat nikah,
namun pernikahannya tidak di ulang hanya saja pencatatannya dilakukan pada
hari itu.
4. Bagaimana pendapat bapak mengenai adanya perkawinan dibawah umur
khususnya yang ada di Parakan Muncang Bogor ini?
Saya menanggapi hal itu suatu hal yang positif yang artinya itu suatu hal yang
baik karena didalam koredhor ketentuan islam secara syar’i baik dalam Al-qur’an
maupun Hadist tidak disebutkan secara jelas berapa batasan usia seseorang
asalkan dia baliq maka bolehlah untuk di nikahkan, dan kita ketahui jika mana
seseorng itu sudah ada jalur untuk dinikahkan dari pada mereka berbuat zina
maka tentulah sebaikanya di nikahkan, untuk itu berangkat dari hal ini saya selalu
tangani setiap pernikahan dibawah umur khususnya di desa parakan muncang
bogor ini walaupun secara Undang-Undang Perkawinan itu menyalahi dan
bertentangan, hal ini merupakan kebijakan yang saya lakukan untuk masyakat
dalam mengurangi kemaksiatan khususnya perzinahan walaupun hal ini tidak ada
99
ketentuannya dalam Undang-Undang, namun saya rasa ini merupakan anjuran
dalam Islam.
5. Menurut bapak bagaimana perkawinan di bawah umur itu, sah atau tidak?
Menurut saya secara agama itu sah karena rukun dan syaratnya sudah terpenuhi
semua, dan adapun usia dibawah umur yang ditentukan menurut Undang-Undang
itu bukan merupakan rukun dan syarat yg ada dalam Islam. Sedangkan menurut
Negara tentu hal itu tidak sah karena belum memenuhi batas usia minimal yang di
tentukan Undang-Undang Perkawinan.
6. Menurut bapak bagaimana kedudukan perkawinan tersebut di pandang
dari sudut hukum Islam dan hukum Positif?
Menurut hukum islam itu sah, asalkan terpenuhi rukun dan syaratnya, sedangkan
menurut hukum positif tentu tidak sah karena itu menyalahi aturan hukum
Undanng-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang di buat oleh negara
yang mana dalam pasal 2 disebutkan bahwa “setiap perkawinan harus dicatatkan”
7. Menurut bapak, jika dilihat dari berbagai kasus yang terjadi, apa sajakah
yang melatar belakangi terjadinya menikah di bawah umur?
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat menikahkan anaknya di
bawah umur, pertama adalah dari pihak orang tua yang mana disini rata-rata
orang tuanya beragama islam dan kuat agamanya, dan mereka takut menyimpang
dari khoridor norma-norma agama di luar ketentuan Islam maka lebih baik dia
menikahkan anaknya itu walaupun masih di bawah umur yang ditentukan oleh
Undang-Undang Perkawinan, selain itu juga ada faktor lingkungan yang mana
untuk menyelamatkan setatus sosial wilayah lingkunganya
100
8. Menurut bapak faktor-faktor apakah yang menyebabkan ditundanya
pencatatan perkawinan?
Karena usianya kurang 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki yang
mana tidak memenuhi batasan usia yang di tentukan di dalam Undang-Undang
Perkawinan. Selain itu tidak terpenuhinya persyaratannya baik persyaratan
Materil maupun persyaratan Formil seperti identitasnya kurang jelas, walinya
kurang jelas sedangkan dia sudah harus dinikahkan karena ada sebab sesuatu.
Selain itu hal ini kami lakukan sebagai kebijakan untuk mengatasi masyarak kami
yang mana hampir seribu enam ratus (1.600) tidak mempunyai buku nikah,
sedangkan kami sudah mengajukan untuk isbat nikah, bahkan memanggil untuk
datang ke KUA kami namun hingga sekarang tidak ada tanggapan yang positif,
sehingga kami melakukan pencatatan ulang kembali bagi pasangan yang tidak
memenuhi persyaratannya. Selain dua hal itu juga karena faktor ekonomi, tidak
dapat membanyar biaya pencatatan nikah. Kurang sadarnya masyarakat
terhadapap pentingnya memiliki buku nikah yang biasanya setelah ada hal
kesulitan dalam hal urusan kenegaraan baru mendatangi KUA untuk di catatkan
pernikahannya.
9. Menurut Bapak apa problematika yang timbul akibat penundaan pencatatn
perkawinan itu?
Yaitu berdampak pada kelahiran anaknya, dimana untuk pembuatan akta
kelahirannya mengalami kesulitan kareana belum tercatat penikahannya, selain itu
juga berdampak pada mudahnya perceraian yang sering sekali terjadi, perceraian
tidak sampai di muka pengadilan namun hanya sampai antara keluarga saja
101
sehingga tidak sedikit perempuan yang masih kecil ditinggal suaminya entah
kemana tampa kabar dan menjadi janda, selain hal diatas juga berdampak pada
harta bersama, kewarisan karena ditundanya pencatatan pernikahan itu, disamping
itu kami juga pihak KUA merasa takut terjerat Undang-Undang Pidana karena
menyalahi aturan pemerintah dalam melakukan praktek hal tersebut namun dirasa
hal ini sangat penting buat kemaslahatan masyarakat maka kami lakukan hal
kebijakan tersebut buat menyelamatkan masyarakat yang khususnya Desa
Parakan Muncang Bogor ini.
10. Apakah KUA memiliki kebijakan sendiri dalam melaksanakan penundaan
pencatatan perkawinan?
Ia kami memiliki kebijakan sendiri dalam melakukan penundaan pencatatan ini
karena disebabkan untuk melindungi masyarak kami yang mana hampir 1.600
kepala keluarga (KK) yang sudah di data tidak memiliki buku nikah yang mana
sudah lama hal ini kami ajukan kepada pemerintah untuk di isbatkan namun
hingga sampai saat ini belum di peroses sama sekali, bahkan kami juga sudah
melakukan jalan lain untuk melakukan isbat nikah tersebut dengan mendatangi
Kantor Pengadilan diundang isbatnya oleh KUA yang mana pelaksaanaannya di
Kantor Urusan Agama di Parakan Muncang Bogor ini,dan siap dengan
membanyar biaya isbat tersebut namun pada kenyataannya sampai saat ini belum
ditanggapi dan belum ada pihak pengadilan yang mau melaksanakannya, maka
agar tidak semakin banyak mereka yang tidak memiliki buku nikah khususnya
mereka yang menikah di bawah umur dan tidak memenuhi perlengkapan
persyaratannya maka kami tunda dan kami lakukan pencatatan ulang
102
pernikahannya setelah mereka mencapai usia yang ditentuka Undang-Undang
Perkawinan dengan melengkapi persyaratannya dan menghadirkan saksi dan
walinya, bukan melakukan isbat nikah lagi.
11. berapakah biaya pencatatan perkawinan yang harus dibayar oleh pasangan
yang menikah?
Untuk biaya pencatatan perkawinan yang harus di bayar oleh pasangan yang
menikah itu erkisar sebesar Rp. 500 - Rp. 700.000 ribu, dan kalau jauh bisa
bertambah ongkosnya buat tranfortasi. Dan uang itu di setorkan melalui bank
BNI, BTPN, BRI dan Mandiri.
12. Apakah dari pihak KAU pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat
tentang pentingnya pencatatan perkawinan dan pentingnya memiliki buku
nikah?
Ia, bahkan kami selalu mengadakan pengajian 3 bulan sekali dengan mengundang
tokoh-tokoh masyarakat, alim ulama, amil dan ibu-ibu pengajian dan pejabat
lainya disitulah kami menyampaikan sosialisasinya, namun hal ini tetap saja tidak
menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk lebih memahami Undang-Undang
Perkawinan dan masih banya banyak yang tidak mencatatkan perkawinannya.
103
HASIL WAWANCARA
Nama : Anwar Sajili, S.Ag
Jabatan : Sekretaris Kantor Urusan Agama Parakan Muncang Bogor
Tempat : Kantor Urusan Agama Parakan Muncang Bogor
Waktu : 12 Mei 2015
Pukul : 9.15 WIB
.............................................................................................................................................
1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah umur?
Menurut saya pribadi perkawinan di bawah umur itu sah-sah saja menurut
agama sebagaimana perkawinan pada umumnya jika memang rukun dan
syaratnya sudah terpenuhi secara Islam.
2. menurut bapak bagaimana hukumnya perkawinan di bawah umur itu,
sah kah atau tidak?
Menurut saya pribadi hukumnya itu tergantung bisa saja sah bisa juga tidak
karena banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang hal itu, namun
secara negara tentulah tidak karena tidak memenuhi persyaratannya.
3. Apaka bapak tahu tentang UU Perkawinan?
Ia saya tahu dan saya paham karna saya bekerja di bidang itu.
4. menurut bapak bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dipandang
dari sudut hukum Islam dan hukum Positif?
Menurut saya pribadi tergantung niatnya dan hal itu tentu kurang baik, karena
anak tersebut masih labil jiwanya mudah terpengaruh tapi yang namanya
104
jodoh apa boleh buat, akan tetapi menurut hukum Islam kalau rukun dan
syaratnya sudah terpenuhi tentulah sah-sah saja, namun jika dipandang dari
sudut hukum positif tentu tidak sah karena pernikahannya tidak tercatat, yang
membedakannya menurut saya itu pada pencatatannya saja kalau dalam islam
tidak ada aturan secara jelas harus ada pencatatan perkawinan itu, namun
dalam negara sudah di atur secara jelas mengenai pencatatan itu dalam
Undang-Undang Perkawinan bahwa “ setiap perkawinan harus di catatkan”.
5. Mengapa masih banyak saja orang yang melakukan perkawinan
dibawah umur, faktor-faktor apakah yang melatar belakangi mereka
sehingga melakukan perkawinan dibawah umur?
Faktor yang paling dominan adalah faktor pendidikan yang sangat rendah
sekali, faktor ekonomi, lingkungan yang hal itu sudah biasa serta pergaulan
bebas
Menurut pengamatan saya banyak sekali fakto-faktor penyebabnya
diantaranya itu
6. apakah masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor tahu tentang
pentingnya pencatatan perkawinan dan memiliki buku nikah?
yang saya amati hingga sampai saat ini masih banyak yang belum begitu
mengerti dan memahami tentang hal tersebut meskipun kita selalu
menyampaikan sosialisasi pada mereka saat sebelum pelaksanaan pernikahan,
namun ada juga yang sudah memahami khususnya masyarakat yang
berpendidikan tinggi namun hanya sedikit.
105
7. Pernahkah dari pihak Desa bekerja sama dengan pihak KUA dalam
mensosialisasikan tentang pentingnya pencatatan perkawinan dan
memiliki buku nikah?
Pernah yaitu setiap 3 bulan sekali dengan mengundang tokoh-tokoh
masyarakat, alim ulama dan lainya.
8. Menurut bapak faktor-faktor apakah yang menyebabkan ditundanya
pencatatan perkawinan tersebut?
Faktor penyebabnya adalah Kurang memenuhi persyaratan secara Undang-
Undang yang telah ditentukan oleh negara baik persyaratan Materil maupun
persyaratan Formil.
9. Kebijakan apakah yang diberikan oleh KUA bagi mereka yang ingin
yang menikah di bawah umur?
Kebijakan yang kami lakukan yaitu kami tetap menikahkan bagi pasangan di
bawah umur yang hendak menikah walaupun itu bertentangan dengan
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun sebelum
dilaksanakan pernikahannya kami memberitahukan kepada pihak walinya dan
pihak pengantinnya ketika sampai usia yang di tentukan agar segera
melaporkan kembali dengan membawa persayaratan yang telah di tentukan
beserta wali dan saksinya untuk pencatatan nikahnya, jadi pencatatannya kami
pending dulu sampai mereka dewasa, dan pernikahannya tetap akan di
laksanakan hanya saja pencatatannya yang di tunda dan pemberian buku
nikah. Dan hal ini memang dilema bagi kami tidak kami laksanakan
penikahanya dan berikan pencatatannya maka semakin banyak masyarakat
106
warga kami yang tidak tercatat dan memiliki buku nikah, kami laksanakan hal
ini bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan. Namun dirasa ini untuk
memaslahatan maka kami rasa bijak lah apa yang kami lakukan untuk wilayah
kami.
107
HASIL WAWANCARA
Nama : Asnawi
Jabatan : Amil/Penghulu Parakan Muncang Bogor
Tempat : Di Rumah Beliau
Waktu : 12 Mei 2015
Pukul : 9.00 WIB
.............................................................................................................................................
9. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah umur?
Perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang belum mencukupi batas usia
yang telah di tentukan oleh Undang-Undang Perkawinan, dan menurut saya itu
suatu perkawinan yang tidak efektif.
10. menurut bapak bagaimana hukumnya perkawinan di bawah umur itu, sah
kah atau tidak?
Kalau untuk hukum pernikahannya menurut saya tentulah itu sah kalau emang
rukun dan syaratnya udah terpenuhin semua.
11. Apaka bapak tahu tentang UU Perkawinan?
Sebagai Amil yang diangkat oleh masyarakat sedikit banyak saya mengerti dan
paham tentang Undang-Undang Perkawinan, namun kalau di tanya mengenai pasal-
pasalnya saya kurang tau.
12. menurut bapak bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dipandang dari
sudut hukum Islam dan hukum Positif?
108
Menurut saya kalau dipandang dari sudut hukum Islam saya rasa itu sah-sah saja,
karna setau saya dalam Islam tidak ada batasan orang untuk menikah asalkan dia
baliq dan sehat akal itu boleh dan sah untuk menikah selama rukun dan syaratnya
juga terpenuhi seperti adanya calon pengantin, adanya wali, adanya saksi dan
adanya mahar. Sedangkan kalau di pandang dari sudut hukum positif setau saya itu
tidak sah karna usianya belum cukup dan belum boleh di nikahkan.
13. Mengapa masih banyak saja orang yang melakukan perkawinan dibawah
umur, faktor-faktor apakah yang melatar belakangi mereka sehingga
melakukan perkawinan dibawah umur?
Karena pergaulan bebas, kurangnya pengawasan orang tua terhadap anak-anak
mereka khususnya anak-anak perempuan sehingga sering terjadi kecelakaan atau
yang sering di sebut (hamil diluar nikah). Selain itu juga adanya perjodohan dari
orang tua, rendahnya pendidikan, kurangnya sosialisasi KUA pada masyarakat.
14. apakah masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor tahu tentang pentingnya
pencatatan perkawinan dan memiliki buku nikah?
Sebenarnya mereka tahu, Cuma hanya sedikit yang menyadari arti pentingnya
memiliki buku nikah, bahkan ada yang sama sekali tidak perduli terhadap
pencatatan dan memiliki buku nikah sehingga yang saya tau banyak mereka yang
menikahkan anak-anaknya di bawah tangan baik yang cukup umur maupun yang di
bawah umur.
15. Pernahkah dari pihak Desa bekerja sama dengan pihak KUA dalam
mensosialisasikan tentang pentingnya pencatatan perkawinan dan memiliki
buku nikah?
109
Setahu saya pernah sech cuma hanya dilakukan di balai desa saja dengan
mengundang tokoh-tokoh masyarakat dan itu pun jarang, namun yang saya amati
itu kurang efektif sebab pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang tidak
tau dan tidak mengerti terhadap hukum perkawinan.
110
HASIL WAWANCARA
Nama : H. Bajri
Jabatan : Kiayi/Tokoh Msyarakat
Tempat : Di Rumah Beliau
Waktu : 12 Mei 2015
Pukul : 11.30 WIB
.............................................................................................................................................
1. Menurut pendapat bapak bagaimana mengenai perkawinan dibawah
umur, apakah perkawinan itu sah atau tidak?
Perkawinan dibawah umur itu perkawinan yang sah, asalkan secara agama
pihak yang hendak menikah itu sudah baliq, akalnya sehat dan suka-sama
suka, dalam Islam kan baik dalam al-Quran maupun Hadist tidak
menyebutkan secara rinci dan jelas batasan usia menikah asal dia sudah baliq
maka boleh, pernikahan di bawah umur itu kan hanya suatu istilah dalam
Undang-Undang perkawinan
2. Apaka bapak tahu tentang UU Perkawinan?
saya tidak begitu mengerti dan paham terhadap Undang-Undang Perkawinan
3. Bagaimana kedudukan perkawinan di bawah umur tersebut di pandang
dari sudut hukum Islam dan hukum Positif yang bapak ketahui?
Menurut hukum Islam ya sudah pasti sah, karna sudah terpenuhi rukun dan
syaratnya, sedangkan menurut hukum positif itu tidak sah karena
perkawinannya tidak terpenuhi persyaratannya
111
4. apakah bapak tahu faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat
melakukan pernikahan di bawah umur?
Yang banyak itu rendanya suatu pendidikan pada mereka, pergaulan bebas,
dan faktor ekonomi dan beda faham agama.
5. Apakah bapak tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut
Undang-Undang Perkawinan?
Yang saya tau kalau kita langsung datang ke KUA nya itu sebesar Rp.500.000
ribu, kalau kerumah bisa mencapai Rp. 700 – 900 ratus ribu, itu katanya
tambahan buat biaya tranportasi.
6. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatn perkawinan dan
memiliki buku nikah?
Hanya sebahagian beberapa masyarakat saja yang tahu akan pentingnya
pencatatan perkawinan dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan dan
kurangnya sosialisasi KUA terhadap masyarakat.
7. bagaimana pandangan masyarakat terhadap mereka yang melakukan
perkawinan dibawah umur?
Masyarakat memandangnya biasa saja, tidak ada hal yang aneh, sebab
pernikahan di bahawah umur itu suatu hal yang wajar menurut mereka,
bahkan hal tersebut sudah menjadi suatu adat tradisi, yang mana jika ada anak
mereka yang telat menikah hingga usianya mencapai 20 tahun keatas itu
menjadi aib cemoohan tetangga sebab menjadi sebutan punya anak gadis ga
laku dan menjadi perawan tua.
112
HASIL WAWANCARA
Nama : Dede Sukaisih
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tempat : Di Rumah Ibu Dede Sukaisih
Waktu : 12 Mei 2015
Pukul : 14.30 WIB
.............................................................................................................................................
1. Anda anak keberapa dari berapa saudara?
Saya anak ke 3 (tiga) dari 4 (empat) saudara
2. Apakah pendidikan terahir anda?
Saya hanya tamatan SD
3. Pada usia berapakah anda menikah?
Saya menikah pada waktu itu usianya hampir 15 tahun
4. Apakah sebabnya anda melakukan perkawinan dibawah umur?
Karena kami sama-sama cinta dan kami sering jalan bareng, dan orang tua
kami khawatir terjerumus pergaulan bebas maka kami menikah
5. Apakah dalam perkawinan anda terdapat paksaan dari orang tua atau
yang lainya?
Tidak ada paksaan dari manapun, malah di dukung biar cepat-cepat nikah,
dari pada jadi perawan tua kan lebih baik menikah muda kata orang tua .
6. Dimanakah pernikahan anda dilangsungkan?
Pernikahan kami di langsungkan dirumah kami sendiri
113
7. Apakah ketika anda menikah anda melakukan pemberitahuan kepada
KUA?
Ia orang tua kami yang memberitahukan dan melaporkannya
8. Syarat-syarat apa sajakah yang harus anda penuhi ketika
memberitahukan menikah kepada amil/KUA?
Surat Keterangan Setatus (N1), Surat Keterangan Tempat Tinggal (N2), KTP,
KK, AKTA LAHIR, Pas Foto Warna 2X3= 4 Lembar, 3X6= 4 Lembar
9. siapa sajakah yang menjadi saksi dan menghadiri perkawinan anda?
Tetangga dan sodara dekat
10. Apakah setelah anda menikah anda mendapatkan buku nikah?
Belum mendapatkan buku nikah
11. Kapan anda diberi atau mendapatkan buku nikah tersebut?
Saya mendapatkan buku nikah setelah satu tahun kemudian
12. Bagaimana prosedur anda untuk mendapatkan buku nikah?
Yaitu amil memanggil amil terus amil membawa kami suami istri beserta
orang tua kami wali dan saksi pernikahan ke KUA untuk mencatatkan
pernikahan kami. Lalu KUA mencatatkannya dan kami menanda tangani akta
nikah dan di berilah kami akta nikah, begitulah prosedurnya.
13. sudah seberapa lama anda menikah?
Kami menikah sudah 2 tahun lamanya.
14. Bagaimana keadaan rumah tangga anda sekarang?
Alahamdullah keluarga kami baik-baik saja, hanya saja kehidupan rumah
tangga kami ekonominya pas-pasan.
114
15. Apakah dampak akibat yang anda rasakan ketika perkawinan anda
ditunda atau belum dicatatkannya dan memiliki buku nikah?
Yang saya rasakan yaitu saya belum bisa membuat akte kelahiran buat anak
saya, jadi terpaksa menunggu sampai perkawinan kami dicatatkan di KUA,
selain itu terkadang saya juga merasa takut sewaktu-waktu suami
meninggalkan saya, sebab kata orang saya tidak bisa menggugat perceraian,
oleh karna itu setiap kali suami marah saya hanya diam.
16. Apakah anda tahu mengenai UU Perkawinan?
saya tidak tahu dan tidak mengerti mengenai Undang-Undang Perkawinan
17. apakah perkawinan anda tercatat dan memiliki akta nikah?
Sekarang ia tercatat dan memiliki akta nikah
18. Setahu anda Pernahkah dari pihak Desa bekerja sama dengan pihak
KUA dalam mensosialisasikan/penyuluhan tentang pentingnya
pencatatan perkawinan dan memiliki buku nikah di daerah ini?
Pernah, tapi itu tempatnya jauh di balai desa dan saya tidak pernah datang saat
sosialisasi itu.
19. Apakah anda tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut
undang-undang?
saya kurang tahu, tapi kata orang tua saya itu sebesar Rp. 500.000 (lima ratus
ribu)
20. Bagaimana pandangan masyarakat lingkungan dan sekitarnya terhadap
perkawinan yang anda lakukan?
115
Biasa saja bukan hal yang aneh, sebab rata-rata perempuan disini seumuran
saya pada menikah, kalau tidak menikah malu sendiri di bilang perawan tua
tak laku.
116
117
HASIL WAWANCARA
Nama : Siti Aisyah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tempat : Di Rumah Ibu Dede Sukaisih
Waktu : 12 Mei 2015
Pukul : 14.30 WIB
.............................................................................................................................................
1. Anda anak keberapa dari berapa saudara?
Saya anak ke 4 (empat) dari 6 (enam) saudara
2. Apakah pendidikan terahir anda?
tamatan SD
3. Pada usia berapakah anda menikah?
Saya menikah pada waktu itu usianya hampir 15 tahun
4. Apakah sebabnya anda melakukan perkawinan dibawah umur?
Udah jodohnya sampai, dan di jodohin juga sama orang tua
5. Apakah dalam perkawinan anda terdapat paksaan dari orang tua atau
yang lainya?
Tidak sama sekali ada paksaan dari manapun, malah di dukung biar cepat-
cepat nikah, dan saya ga mau jdi perawan tua jadi perawan tua.
6. Dimanakah pernikahan anda dilangsungkan?
Pernikahan kami di langsungkan di Kantor Urusan Agama (KUA)
118
7. Apakah ketika anda menikah anda melakukan pemberitahuan kepada
KUA?
Ia orang tua kami yang memberitahukan dan melaporkannya
8. Syarat-syarat apa sajakah yang harus anda penuhi ketika
memberitahukan menikah kepada amil/KUA?
Surat Keterangan Setatus (N1), Surat Keterangan Tempat Tinggal (N2), KTP,
KK, AKTA LAHIR, Pas Foto Warna 2X3= 4 Lembar, 3X6= 4 Lembar
9. siapa sajakah yang menjadi saksi dan menghadiri perkawinan anda?
Tetangga dan sodara dekat
10. Apakah setelah anda menikah anda mendapatkan buku nikah?
Belum mendapatkan buku nikah
11. Kapan anda diberi atau mendapatkan buku nikah tersebut?
Saya mendapatkan buku nikah setelah satu tahun kemudian
12. Bagaimana prosedur anda untuk mendapatkan buku nikah?
Amil (penghulu) yang menikahkan kami waktu itu memanggil terus
membawa kami suami istri beserta orang tua kami wali dan saksi pernikahan
ke KUA untuk mencatatkan pernikahan kami. Lalu KUA mencatatkannya dan
kami menanda tangani akta nikah dan di berilah kami akta nikah, begitulah
prosedurnya.
13. sudah seberapa lama anda menikah?
Kami menikah sudah 3 tahun lamanya.
14. Bagaimana keadaan rumah tangga anda sekarang?
119
Alahamdullah keluarga kami baik-baik saja, Cuma emang terkadang susah ke
uangan, namun buat kami sudah biasa..
15. Apakah dampak akibat yang anda rasakan ketika perkawinan anda
ditunda atau belum dicatatkannya dan memiliki buku nikah?
Terkadang merasa bersalah tidak mematuhi peraturan pemerintah yang ada,
sehingga sulit dalam berurusaan yang bersangkutan dengan harus
menyertakan buku nikah, sedangkan kami waktu itu belum punya.
16. Apakah anda tahu mengenai UU Perkawinan?
saya hanya sedikit tahu dan tidak mengerti mengenai Undang-Undang
Perkawinan
17. apakah perkawinan anda tercatat dan memiliki akta nikah?
Sekarang ia tercatat dan memiliki akta nikah
18. Setahu anda Pernahkah dari pihak Desa bekerja sama dengan pihak
KUA dalam mensosialisasikan/penyuluhan tentang pentingnya
pencatatan perkawinan dan memiliki buku nikah di daerah ini?
Pernah, tapi itu tempatnya jauh di balai desa dan saya tidak pernah datang saat
sosialisasi itu karna saya pikir itu ga penting.
19. Apakah anda tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut
undang-undang?
tidak tahu, tapi orang tua saya bilang itu sebesar Rp. 600.000 (enam ratus
ribu)
20. Bagaimana pandangan masyarakat lingkungan dan sekitarnya terhadap
perkawinan yang anda lakukan?
120
Biasa saja bukan hal yang aneh, sebab rata-rata perempuan disini seumuran
saya pada menikah, kalau tidak menikah malu sendiri di bilang perawan tua
tak laku.
121
122
HASIL WAWANCARA
Nama : Siti Rodhia
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tempat : Di Rumah Ibu Siti Rodhia
Waktu : 12 Mei 2015
Pukul : 13.00 WIB
.............................................................................................................................................
1. Anda anak keberapa dari berapa saudara?
Saya anak ke 3 (tiga) dari 6 (enam) saudara
2. Apakah pendidikan terahir anda?
Saya hanya tamatan SD
3. Pada usia berapakah anda menikah?
Saya menikah pada waktu itu usianya hampir 15 tahun lebih 7 bulan
4. Apakah sebabnya anda melakukan perkawinan dibawah umur?
Karena saya sudah cinta dan kami sering jalan bareng, dan orang tua kami
khawatir terjerumus pergaulan bebas maka kami menikah
5. Apakah dalam perkawinan anda terdapat paksaan dari orang tua atau
yang lainya?
Tidak ada paksaan dari manapun, keluarga senang kami cepat nikah, dari pada
jadi perawan tua kan lebih baik menikah muda kata orang tua .
6. Dimanakah pernikahan anda dilangsungkan?
123
Pernikahan kami di langsungkan dirumah kami sendiri dengan memanggil
Penghulu dari KUA
7. Apakah ketika anda menikah anda melakukan pemberitahuan kepada
KUA?
Ia orang tua kami yang memberitahukan dan melaporkannya
8. Syarat-syarat apa sajakah yang harus anda penuhi ketika
memberitahukan menikah kepada amil/KUA?
Surat Keterangan Setatus (N1), Surat Keterangan Tempat Tinggal (N2), KTP,
KK, AKTA LAHIR, Pas Foto Warna 2X3= 4 Lembar, 3X6= 4 Lembar
9. siapa sajakah yang menjadi saksi dan menghadiri perkawinan anda?
Tetangga dan sodara dekat
10. Apakah setelah anda menikah anda mendapatkan buku nikah?
Belum mendapatkan buku nikah
11. Kapan anda diberi atau mendapatkan buku nikah tersebut?
Saya mendapatkan buku nikah setelah 6 bulan kemudian
12. Bagaimana prosedur anda untuk mendapatkan buku nikah?
Yaitu amil (penghulu) yang menikahkan kami waktu itu memanggil terus
membawa kami suami istri beserta orang tua kami wali dan saksi pernikahan
ke KUA untuk mencatatkan pernikahan kami. Lalu KUA mencatatkannya dan
kami menanda tangani akta nikah dan di berilah kami akta nikah, begitulah
prosedurnya.
13. sudah seberapa lama anda menikah?
Sampai saat ini kami menikah sudah 2 tahun lamanya.
124
14. Bagaimana keadaan rumah tangga anda sekarang?
Alahamdullah keluarga kami baik-baik saja, hanya saja kehidupan rumah
tangga kami terkadang sering ribut, yah mungkin karena kami belum begitu
dewasa cara menyikapi masalah.
15. Apakah dampak akibat yang anda rasakan ketika perkawinan anda
ditunda atau belum dicatatkannya dan memiliki buku nikah?
Yang saya rasakan yaitu saya belum bisa membuat akte kelahiran buat anak
saya, jadi terpaksa menunggu sampai perkawinan kami dicatatkan di KUA,
selain itu terkadang saya juga merasa khawatir saat bepergian jauh takut ada
razia tuna susila, sedangkan kami tidak punya bukti untuk menunjukan bahwa
kami adalah suami istri.
16. Apakah anda tahu mengenai UU Perkawinan?
saya tidak tahu dan tidak mengerti mengenai Undang-Undang Perkawinan
17. apakah perkawinan anda tercatat dan memiliki akta nikah?
Sekarang ia tercatat dan memiliki akta nikah setelah 6 (bulan) di tunda
18. Setahu anda Pernahkah dari pihak Desa bekerja sama dengan pihak
KUA dalam mensosialisasikan/penyuluhan tentang pentingnya
pencatatan perkawinan dan memiliki buku nikah di daerah ini?
Pernah, tapi itu tempatnya jauh di balai desa.
19. Apakah anda tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut
undang-undang?
tidak tahu, tapi kata orang tua saya itu sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu)
125
20. Bagaimana pandangan masyarakat lingkungan dan sekitarnya terhadap
perkawinan yang anda lakukan?
Biasa saja bukan hal yang aneh, sebab rata-rata perempuan disini seumuran
saya pada menikah, kalau tidak menikah malu sendiri di bilang perawan tua
tak laku.
126
127
128
Lampiran foto
Foto peneliti dengan Bapak Agus Hasanudin, S.HI, Kepala KUA Desa Parakan
Muncang Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul : 9.00 WIB) di Kantor Urusan Agama
Foto peneliti dengan Bapak Anwar Sajili, Sekretaris KUA sebagai pencatatat nikah
di Desa Parakan Muncang Bogor, (selasa,12 Mei 2015 pukul : 9.15 WIB) di Kantor
Urusan Agama
129
Lampiran foto
Foto peneliti dengan Bapak H. Bajri Tokoh Agama Desa Parakan Muncang Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 11.30) di rumah Bapak H. Bajri
F
Foto Peneliti dengan Bapak Asnawi Amil (penghulu) Kantor Urusan Agama Desa
Parakan Muncang Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul : 14.15)
130
Lampran foto
Foto Peneliti dengan respnden Ibu Siti Aisyah, Pelaku Nikah Muda Desa Parakan Muncang Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 14.30) di rumah Ibu Dede Sukaisi
131
Foto Peneliti dengan orang tua pelaku nikah di bawah umur yang tertunda
pencatatannya di Kantor Urusan Agama (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 16.45) di rumah kediaman beliau
Lampiran foto
Foto Peneliti dengan respnden Ibu Siti Aisyah, Pelaku Nikah Muda Desa Parakan Muncang Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 16.15) di rumah Ibu Siti Aisyah
132
Foto Peneliti dengan orang tua pelaku nikah di bawah umur yang tertunda
pencatatannya di Kantor Urusan Agama (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 17.00) di rumah kediaman beliau