efektifitas larangan pernikahan di bawah umur

33
A. Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinaan (studi di Kota Praya Lombok Tengah) B. Latar Belakang Manusia dalam proses perkembangannya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dimaksudkan, bahwa perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahwa Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara sosial biologis, psikologis maupun secara sosial. Kematangan emosi merupakan aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan perkawinan. Keberhasilan rumah tangga sangat banyak di tentukan oleh kematangan emosi, baik suami maupun istri. Dengan dilangsungkannya perkawinan maka status sosialnya

Upload: adepramudia

Post on 23-Jun-2015

1.066 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

A. Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur Menurut Undang-

Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinaan (studi di Kota Praya

Lombok Tengah)

B. Latar Belakang

Manusia dalam proses perkembangannya membutuhkan pasangan

hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang

diinginkannya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu

keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Hal ini dimaksudkan, bahwa perkawinan itu hendaknya

berlangsung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Pembentukan

keluarga yang bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.

Bahwa Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena

dengan sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup

baik secara sosial biologis, psikologis maupun secara sosial. Kematangan

emosi merupakan aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan

perkawinan. Keberhasilan rumah tangga sangat banyak di tentukan oleh

kematangan emosi, baik suami maupun istri. Dengan dilangsungkannya

perkawinan maka status sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat diakui

sebagai pasangan suami-istri, dan sah menurut hukum.

Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak

memandang pada profesi, agama, suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal di

desa atau di kota. Namun tidak sedikit manusia yang sudah mempunyai

kemampuan baik fisik maupun mental akan mencari pasangannya sesuai

dengan apa yang diinginkannya. Dalam kehidupan manusia perkawinan

bukanlah bersifat sementara tetapi untuk seumur hidup. Namun tidak semua

orang tidak bisa memahami hakekat dan tujuan dari perkawinan yang

seutuhnya yaitu mendapatkan kebahagiaan yang sejati dalam berumah-tangga.

Meskipun batas umur perkawinan telah ditetapkan dalam pasal 7 ayat

(1) UU No. 1 Tahun 74, yaitu perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria

Page 2: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16

tahun. Namun dalam prakteknya masih banyak kita jumpai perkawinan pada

usia muda atau di bawah umur. Padahal perkawinan yang sukses pasti

membutuhkan kedewasaan tanggung jawab secara fisik maupun mental, untuk

bisa mewujudkan harapan yang ideal dalam kehidupan berumah tangga.

Bahwa untuk dapat menunjang hakekat dan tujuan perkawinan itu

sendiri, batas usia untuk melangsungkan perkawinan adalah sangat penting.

Hal ini disebabkan karena didalam perkawinan menghendaki kematangan

psikologis. Usia perkawinan yang terlalu muda dapat memicu meningkatnya

kasus perceraian karena kurangnya kematangan emosi/ kesadaran untuk

bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri.

Pernikahan yang sukses ditandai dengan kesiapan memikul tanggung-

jawab. Begitu memutuskan untuk menikah, mereka siap menanggung segala

beban yang timbul akibat adanya pernikahan, baik yang menyangkut

pemberian nafkah, pendidikan anak, maupun yang berkait dengan

perlindungan, pendidikan, serta pergaulan yang baik. Dengan perkawinan pada

usia yang terlalu muda mustahil akan memperoleh keturunan yang berkualitas.

Karena faktor kedewasaan kedua orang tuanya sangat berpengaruh terhadap

perkembangan anak, karena baik ibu maupun bapaknya yang telah dewasa

secara psikologis akan lebih terkendali emosi maupun tindakannya, bila

dibandingkan dengan orang tua yang relatif usianya lebih muda.

Selain mempengaruhi aspek fisik, umur ibu juga mempengaruhi aspek

psikologi anak, ibu usia remaja sebenarnya belum siap untuk menjadi ibu

dalam arti keterampilan mengasuh anaknya. karena Ibu muda ini lebih

menonjolkan sifat keremajaannya daripada sifat keibuannya.

Zakiyah Daradjat (1975) mendefinisikan remaja sebagai anak yang ada

pada masa peralihan dari masa anak-anak menuju usia dewasa pada masa

peralihan ini biasanya terjadi percepatan pertumbuhan dalam segi fisik

maupun psikis. Baik ditinjau dari bentuk badan, sikap, cara berpikir dan

bertindak mereka bukan lagi anak-anak. Mereka juga belum dikatakan

manusia dewasa yang yang memiliki kematangan pikiran.

2

Page 3: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

Sifat keremajaan ini seperti : emosi belum stabil, belum memiliki

kemampuan yang matang untuk menyelesaikan konflik-konflik yang dihadapi,

serta belum memiliki tentang masa depan yang baik. Perkawinan usia muda

juga membawa pengaruh yang tidak baik bagi anak-anak mereka. Biasanya

anak-anak kurang kecerdasannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Azis

Muslim Ms yaitu:

Anak-anak yang dilahirkan oleh ibu-ibu remaja mempunyai tingkat

kecerdasan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan anak yang dilahirkan

oleh ibu-ibu yang lebih dewasa. Rendahnya angka kecerdasan anak-anak

tersebut karena si ibu belum memberi stimulasi mental pada anak-anak

mereka. Hal ini disebabkan karena ibu-ibu yang masih remaja belum

mempunyai kesiapan untuk menjadi ibu. Perkembangan bahasa si anak sangat

tergantung pada cara si ibu berbicara pada anaknya. Aspek kecerdasan non

bahasa berkembang bila si ibu dapat memberikan permainan atau stimulan

mental yang baik. Ibu remaja biasanya kurang mampu memberikan stimulan

mental itu.

Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh gambaran bahwa

kedewasaan seorang ibu baik secara fisik maupun mental mempuyai peranan

sangat penting, karena hal itu akan berpengaruh terhadap pertumbuhan anak

kelak dikemudian hari. Oleh sebab itulah maka sangat penting untuk

memperhatikan umur pada anak yang akan menikah.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk

mengangkat permasalahan tentang “ Efektifitas Larangan Pernikahan

Dibawah Umur Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Studi Di Kota

Praya Lombok Tengah)”

3

Page 4: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

C. Pokok Permasalahan

Dari ulasan latar belakang diatas, telah memberikan gambaran

pemikiran yang masih bias. Agar permasalahan ini lebih terarah, maka penulis

makalah ini merumuskan merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah Larangan pernikahan di bawah umur menurut Undang-undang

No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dapat berlaku efektif pada

masyarakat Praya Lombok Tengah ?

2. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya perkawinan di bawah umur

di kota Praya Lombok Tengah?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setelah merumuskan rumusan masalah dan mengetahui ruang lingkup

pembahasan maka selanjutnya adalah merumuskan tujuan dan kegunaan

penulisan yang di rumuskan secara deskriptif dan merupakan pernyataan-

pernyataan apa yang hendak dicapai dengan penelitian yang akan di lakukan.

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui apakah larangan pernikahan di bawah umur menurut

Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dapat berlaku

efektif pada masyarakat Praya Lombok Tengah .

2. Untuk mengetahui Faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya

perkawinan di bawah umur di kota Praya Lombok Tengah.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

ataupun secara praktis sebagai berikut:

1.Secara Teoritis

Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka

mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang perkawinan .

2.Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat umum, khususnya para masyarakat luas.

4

Page 5: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

E. Ruang Lingkup Penelitian.

Sesuai dengan latar belakang permasalahan dan perumusannya dan

untuk menjaga agar tidak menimbulkan penafsiran yang terlalu luas mengenai

masalah yang dibahas, maka dalam penelitian ini perlu diberikan suatu

pembatasan-pembatasan yang membatasi ruang lingkup kajiannya. Adapun

ruang lingkup penelitian ini adalah tentang efektifitas larangan pernikahan

dibawah umur menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 di kota Praya

Lombok Tengah.

F. Landasan Teoritik

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1,

perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai seorang suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perkawinan adalah pertalian

yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu

yang lama. Perkawinan menurut hukum adat suatu perkawinan merupakan

urusan kerabat/urusan masyarakat, urusan pribadi satu sama lain dalam

hubungan yang berbeda-beda, atau merupakan salah satu cara untuk

menjalankan upacara-upacara yang banyak corak ragamnya menurut tradisi

masing-masing tradisi.

Hukum agama adalah suatu perbuatan yang suci (sakramen, samskara)

yaitu perkawinan adalah suatu perikatan antara dua belah pihak yaitu pihak

pria dan pihak wanita dalam memenuhi perintah dan anjuran Yang Maha Esa,

agar kehidupan keluarga dan berumah-tangga serta berkerabat bisa berjalan

dengan baik sesuai dengan anjuran agamanya.

Hukum Islam perkawinan adalah akad atau persetujuan antara calon

suami dan calon istri karenanya berlangsung melalui ijab dan qobul atau serah

terima. Apabila akad nikah tersebut telah dilangsungkan, maka mereka telah

5

Page 6: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

berjanji dan bersedia menciptakan rumah-tangga yang harmonis, akan hidup

semati dalam menjalani rumah-tangga bersama-sama (Thoha Nasruddin,

1976:10).

Menurut wiryono, perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-

laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu (wiryono,

1978:15). Subekti mengartiakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang syah

antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

2. Perkawinan Menurut Perundang-Undangan

Hidup bersama dalam suatu perkawinan mempunyai akibat yang sangat

penting di dalam maysarakat. Akibat paling dekatnya adalah bahwa dalam hidup

bersama antara dua orang manusia., ini berarti bahwa meraka memisahkan yang

lebih jauh ialah kalau dikemudian hari mereka itu mempunyai anak-anak

keturunan maka dengan anak keturunannya itu mereka merupakan suatu keluarga

tersendiri.

Berhubung dengan akibat yang sangat penting dari hidup bersama ini

maka masyarakat membutuhkan suatu peraturan dari hidup bersama tersebut. Dari

peraturan inilah pada akhirnya menimbulkan pengertian perkawinan dan

pengertaian perkawinan ini ditentukan oleh hukum yang berlaku di tiap-tiap

negara.

Di dalam KUH Perdata (BW) tidak memberikan definisi tentang

perkawinan. Istilah perkawinan digunakan digunankan dalam dua arti yaitu :

1. Sebagai suatu perbuatan yaitu perbuatan melangsungkan perkawinan.

2. Sebagi suatu keadaan hukum yaitu keadaan bahwa seorang pria dan wanita

terikat oleh suatu hubungan perkawinan. Jadi keadaan hukum ini adalah

sebagai suatu akibat dari perbuatan melangsungkan perkawinan.

Menurut pasal 26 KUH Perdata dikatakan bahwa “Undang-undang

memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata”. Hal ini berarti

terlepas dari peraturan-peraturan tentang perkawinan yang mungkin diadakan oleh

suatu agama tertentu dan di dalam pasal 81 KUH Perdata disebutkan bahwa “

Tiada suatu upacara keagamaan boleh dilakukan, sebelum kedua belah pihak

6

Page 7: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

kepada pejabat agama mereka membuktikan bahwa perkawinan dihadapan

Pegawai Catatan Sipil telah berlangsung”.

Pasal 81 KUH Perdata ini diperkuat oleh pasal 530 ayat 1 KUH Pidana

yang menyatakan bahwa :

Seorang petugas agama yang melakukan upacara perkawinan, yang hanya

dapat dilangsungkan dihadapan Pejabat Catatan Sipil, sebelum dinyatakan

kepadanya bahwa pelangsungan dihadapan pejabat itu sudah dilakukan, diancam

dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Menurut Hilman Hadikusuma dalam kalimat yang menyatakan bahwa

“ang” hanya dapat dilangsungan dihadapan pejabat catatan sipil tersebut

menunjukan bahwa peraturan itu tidak berlaku bagi mereka yang mengunakan

Hukum Islam, Hukum Agama Hindu Budha dan Hukum Adat”

Jadi jelaslah bahwa di dalam KUH Perdata Perkawinan itu hanya dilihat

dari segi keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan. Sehingga hal ini

bertentangan dengan falsafah negara Pancasila yang menempatkan ajaran

Ketuhanan Yang Maha di atas segala-galanya. Apalagi menyangkut masalah yang

merupakan perbuatan suci yang mempunyai hubungan erat sekali dengan agama,

sehingga perkawianan bukan saja mempunyai unsure lahiriah/ jasmani tetapi juga

unsurr batin/ rohani mempunyai peranan sangat penting.

Sedangkan perkawinaan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak

hanya sebagai ikatan perdata tatapi juga merupakan ikatan perkawinan. Hal ini

dapat dilihat dalam tujuan pekawinan yang terdapat dalam pasal 1 Undang-

undang No.1 Tahun 1974 bahwa “ Perkawinan bertujuan membentuk keluarga

(rumah tangga ) yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa “. Dan kalimat seperti ini tidak akan dijumpai dalam KUH Perdata (BW).

Pengertian perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 Undang-

undang No.1 Tahun 1974 perlu dipahami bener-benar oleh masyarakat Indonesia

karena hal ini merupakan landasan pokok dari aturan hukum perkawinan lebih

lanjut yang terdapat dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 maupun dalam

peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan.

7

Page 8: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

Di dalam pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 disebutkan bahwa “

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dari definisi perkawinan yang telah disebutkan di atas berarti bahwa

dengan melakukan perkawinan maka pada masing-masing pihak telah terkandung

maksud untuk hidup bersama secara abadi dengan memenuhi hak-hak dan

kewajiban yang telah ditetapkan oleh Undang-undang maupun hukum agama atau

kepercayaan masing-masing untuk mencapai keluarga yang bahagia.

Disamping itu pengertian perkawianan bukan berati bahwa perkawinan

sebagai suatu perjanjian dengan alasan karena persamaan antara kedua hal

tersebut yaitu sama-sama dibutuhkannya suatu persetujuan dari kedua belah

pihak. Namun seperti kita ketahui bahwa unsur pokok dari suatu perjanjian adalah

adanya kehendak bebas dari masing-masing pihak untk menetapkan isi perjanjian,

sedangkan dalam perkawinan para pihak yang bersangkutan harus tunduk pada

ketentuan yang telah ditetapkan dalam hokum positif.

Mengenai hal tersebut Wirjono Prodjodikiro menyatakan : Kalau

dipandang sepintas lalu saja, maka suatu perkawinan agak merupakan suatu

persetujuan belaka dalam masyarakat antara seorang laki-laki dan seorang

prempuan, seperti misalnya persetujuan jual beli, tukar menukar, sewa menyewa

dan lain-lain sebagainya. Dalam persetujuan biasa para pihak adalah para

pokoknya penuh merdeka untuk menentukan isi janji-janji sesuka hatinya, asal

saja janji-janji itu tidak bertentangan dengan dengan undang-undang, kesusilaan

dan ketertiban umum. Sebaliknya dalam suatu perkawinan sejak semula

ditentukan oleh hukum, isi persetujuan antara suami istri itu. Kalau seorang

prempuan dan seorang laki-laki bersepakat untuk melakukan perkawinan suatu

sama lain, ini berarti mereka saling berjanji akan taat kepada peraturan-peraturan

hukum yang berlaku mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing

pihak selama dan sesudah hidup itu berlangsung, dan mengenai kedudukan dalam

masyarakat dari anak-anak keturunannya. Juga dalam hal menghentikan

perkawinan suami dan istri tidak leluasa penuh untuk menentukan sendiri syarat-

8

Page 9: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

syarat untuk menghentikan perkawinan itu melainkan terikat juga pada peraturan

hukum prihal itu.

Apabila di atas dinyatakan bahwa pengertian perkawinan tidak dapat

dipandang lepas dari hukum perkawinan yang berlaku di dalam suatu negara,

maka hal ini tidak berati bahwa seluruh sifat dari suatu perkawinan dapat terlihat

semua dalam peraturan hukum perkawinan hanya meliputi pokok-pokok saja dari

persoalan-persoalan yang timbul dalam perkawinan.

Dari rumusan pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 dapat

disimpulkan bahwa suatu perkawinan harus mengandung unsur-unsur :

1. Ikatan lahir batin, maksudnya ialah bahwa ikatan itu tidak hanya cukup

dengan ikatan itu cukup dengan ikatan lahir saja atau ikatan batin saja

akan tetapi kedua-keduanya harus terpadu erat. Suatu ikatan yang dapat

dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria

dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Sedangkan

ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal, yaitu suatu ikatan

yang tidak nampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirsakan oleh pihak-

pihak yang bersangkutan.

2. Antara seorang pria dan seorang wanita, maksudnya adalah bahwa ikatan

perkawinan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan

wanita. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam unsur kedua ini

terkandung azas monogamy.

3. Sebagai suami istri, maksudnya ialah ikatan antara seorang pria dengan

seorang wanita dapat dipandang sebagai suami istri, apabila ikatan mereka

didasarkan pada suatu perkawinan yang sah. Suatu perkawinan adalah sah

apabila memenuhi syarat-syarat yang ditenentukan oleh undang-undang.

4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, maksudnya

adalah bahwa membentuk keluarga yang bahagia dan kekal merupakan

tujuan dari perkawinan. Sedangkan yang dimaksud dengan keluarga

adalah suatu kesatuan yang terdiri atas ayah, ibu dan anak. Kesejahteraan

9

Page 10: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

dan kebahgiaan keluarga sanggat penting artinya dalam mewujudkan

kesejahteraan masyarakat.

5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maksudnya sebagai negara yang

berdasarkan Pancasila., yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang

Maha Esa maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan

agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur

lahir/ jasmani tetapi unsur batin/ rohani mempunyai peranan yang sangat

penting.

Di samping itu dalam penjelasan umum Undang-undang No.1 Tahun 1974

point ke empat ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan

dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuikan

dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Adapun prinsip-prinsip atau asas-asas

tersebut pada intinya adalah sebagai berikut :

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

2. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah

suatu perkawinan yang sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya

dan kepercayaannya.

3. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki

oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama yang bersangkutan

mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.

4. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami istri itu harus

telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan.

5. Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya

percereaian.

6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan dan kedudukan suami

baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.

3. Perkawinan Menurut Hukum Agama.

Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang

suci yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran

Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga

10

Page 11: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan anjuran agama masing-

masing.

Jika perkawinan dilihat dari segi keaagamaan adalah suatu perikatan jasmani

dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon

mempelai beserta keluarga kerabatnya.

Perkawinan dalam arti ikatan jasmani dan rohani berarti suatu ikatan untuk

mewujudkan kehidupan yang selamat bukan saja di dunia tetapi juga di akhirat,

bukan saja lahiriah tetapi juga batiniah, bukan saja gerak langkah yang sama

dalam karya tetapi juga gerak langkah yang sama dalam do’a. Sehingga

kehidupan dalam rumah tangga itu rukun dan damai karena suami dan istri serta

anggota keluarga berjalan seiring bersama pada arah dan tujuan yang sama.

Menurut Hilman Hadikusuma bahwa” perkawinan menurut hukum Islam

adalah akad atau suatu perikatan antara wali calon istri dengan pria calon

suaminya”.

Jadi perkawinan menurut hokum Islam adalah perikatan antara wali

prempuan (calon istri) dengan calon suami prempuan itu. Kata “wali” berati

bukan saja bapak termasuk juga kakek, saudara-saudara pria, anak pria dari

saudara pria, paman dari bapak, anak laki-laki paman dan semua menurut garis

keturunan pria yang beragama Islam.

Sedangkan akad nikah harus diucapkan oleh wali si wanita dengan jelas

yang berupa ijab (serah) dan diterima (Kabul) oleh calon suami dilaksanakan

dihadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat.

Menurut Warden Amir bahwa” perkawinan menurut hokum Islam adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga sejahtera lahir batin yang kekal sesuai dengan

tuntutan zaman.

Selain itu Soetojo Prawirohamidjojo mengatakan bahwa” Nikah adalah

suatu perjanjian untuk mensahkan hubungan kelamin antara seorang pria dengan

seorang wanita untuk melanjutkan keturunan”.

Di dalam hukum Islam tidak menetapkan dengan tegas suatu upacara agama

yang khusus untuk perkawinan, juga tidak ada pejabat yang ditentukan untuk itu

11

Page 12: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

serta tidak ada formalitas yang menyulitkan. Sehingga nikah secara hukum Islam

hukum dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan yaitu dilaksanakan ketentuan-

ketentuan yaitu melasanakan ikatan persetujuan (akad) antara seorang pria dan

seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang

dilakukan oleh wali pihak wanita menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur

oleh agama.

Dari pengertian nikah menurut hukum agama Islam tersebut di atas dapat

disimpulkan bahwa :

1. Nikah adalah persetujuan atau suatu perjanjian ataupun suatu akad antara

seorang pria dengan seorang wali pihak wanita.

2. Untuk terjadinya nikah harus ada kerelaan dan kesukaan dari kedua

belah pihak yang akan melakukan nikah.

3. Nikah dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh

agama.

Di dalam agama Kristen terdapat pengertian yang berbeda-beda mengenai

perkawinan. Hal ini disebabkan karena pengaruh keputusan-keputusan yang

bersifat kekitap sucian, juga dipengaruhi oleh pandangan-pandangan yang bersifat

filosofis dan biologis.

Menurut orang-orang Kristen bahwa “ perkawinan adalah persekutuan hidup

pria dan wanita yang monogami, yang diarahkan kepembiakan sebagai tata cara

Tuhan memperoleh arti khusus.

Sedangkan pengertian perkawinan yang diberikan oleh hukum Kristen

Katolik yaitu bahwa perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita

atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keduanya

yang tidak dapat ditarik kembali.

Jadi perkawinan menurut agama Kristen Katolik adalah perbuatan

yang bukan saja merupakan perikatan cinta antara kedua suami istri, tetapi juga

harus juga mencerminkan sifat Allah yang penuh kasih dan kesetian yang tidak

dapat diceraikan.

Menurut hukum agama Hindu perkawinan adalah ikatan antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk mengatur hubungan

12

Page 13: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

sex yang layak guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan

arwah orang tuanya dari neraka, yang dilangsungkan dengan upacara spiritual

menurut agama hindu.

Menurut Perkawinan Hukum Agama Budha (HPAB) perkawinan

adalah suatu ikatan lahir batin antara seoarang pria sebagai suami dan seorang

wanita sebagai istri yang berlandaskan cinta kasih, kasih saying, rasa

sepenaggungan dengan tujuan membentuk sutu keluarga bahagia yang diberkahi

oleh Syangyang Adi Budha atau Tuhan Yang Maha Esa.

4. Asas-Asas Perkawinan

Menurut Hilman Hadikusuma, S.H., asas-asas perkawinan menurut hukum

adat adalah sebagai berikut:

1. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga, rumah-tangga dan

hubungan kerabat yang rukun, damai, bahagia dan kekal.

2. Perkawinan tidak saja harus syah dilaksanakan menurut agama atau

kepercayaan, tetapi juga harus mendapat persetujuan dari para anggota

kerabat.

3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita

sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut

hukum adat setempat.

4. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan orang tua dan anggota

kerabat, masyarakat adat dapat menolak kedudukan istri atau suami yang

tidak diakui oleh masyarakat adat setempat.

Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 adalah:

1. Asas suka rela

Menurut pasal 6 ayat 1 menentukan bahwa perkawinan harus

didasari persetujuan kedua calon mempelai. Perkawinan disini mempunyai

maksud bahwa dalam suatu perkawinan harus mendapat persetujuan dari

kedua calon suami-istri atau dengan kata lain tidak ada pihak yang

memaksa dari manapun.

13

Page 14: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

2. Partisipan Keluarga.

Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam

kehidupan seseorang untuk membentuk keluarga yang bahagia, maka

peran orang tua atau partisipasi keluarga sangat dibutuhkan terutama

dalam hal pemberian ijin untuk melaksanakan perkawinan.

3. Perceraian dipersulit

Ketentuan Undang-Undang yang mengatur tentang perceraian

terdapat dalam pasal 39 dan 41 UU No 1 tahun 1974, disini dijelaskan

bahwa pasangan suami-istri yang hendak bercerai tidak begitu saja

dilakukan karena ada akibat-akibat yang harus dipertimbangkanh baik bagi

diri masing-masing dan juga bagi anak-anaknya, bagi yang sudah

mempunyai anak.

4. Asas monogami

Penegasan asas monogami ini terdapat pada pasal 27 yang

berbunyi: “Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya boleh

mempunyai seorang istri, dan seorang perempuan hanya seorang suami”.

Dengan demikian bahwa perkawinan menurut UU mempunyai asas

monogami, namun demikian tidak menutup tidak menutup kemungkinan

bagi suami untuk mempunyai lebih dari satu istri, hal ini harus mendapat

persetujuan dahulu dari pihak-pihak yang bersangkutan.

5. Kematangan calon suami.

Undang-Undang No 1 tahun 1974 telah menetapkan batas umur

suatu perkawinan yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk

wanita, maka dari itu perkawinan yang masih di bawah umur tidak

diperbolehkan, karena perkawinan memerlukan kematangan dari kedua

calon mempelai tersebut baik jiwa dan raga agar tercipta suatu keluarga

yang bahagia.

6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami.

14

Page 15: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

5. Syarat-syarat Perkawinan

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 syarat-syarat perkawinan tercantum

pada pasal 6 dan pasal 7 adalah sebagai berikut:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur

21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin

dimaksud ayat (2) pasal ini cukup memperoleh dari orang tua yang masih

hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak

mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali

orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah

garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam

keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam

ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah satu orang atau lebih diantara

mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam hukum

tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas

permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu

mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), (4) pasal ini.

6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari

yang bersangkutan tidak menentukan lain.

6. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah

membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.

Dari kalimat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:

15

Page 16: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

1. Perkawinan itu adalah untuk membentuk keluarga yaitu mendapatkan

keturunan, karena suatu keluarga tentunya terdiri dari suami istri dan anak-

anaknya.

2. Perkawinan itu untuk selama-lamanya, hal ini dapat kita tarik dari kata

“kekal”.

3. Perkawinan itu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan.

Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 bila kita rasakan adalah sangat ideal karena tujuan perkawinan itu

tidak hanya melihat dari segi lahiriah saja tetapi sekaligus terdapat adanya

suatu pertautan batin antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina

suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan

yang sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

Bahwa dengan melangsungkan perkawinan akan diperoleh

kebahagiaan, baik materiil maupun spirituil. Kebahagiaan yang ingin dicapai

bukanlah kebahagiaan yang sifatnya sementara saja, tetapi kebahagiaan yang

kekal, karenanya perkawinan yang diharapkan juga adalah perkawinan yang

kekal, yang dapat berakhir dengan kematian (Asmin, 1986: 20).

Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk memenuhi

hajat dan tabiat kemanusiaan berhubungan antara laki-laki dan perempuan

dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta

kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan

mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam syariat. Dalam hukum

Islam perkawinan juga bertujuan menuruti perintah Allah untuk memperoleh

keturunan yang sah dalam masyarakat yang mendirikan suatu rumah tangga

yang damai dan teratur (Thoha Nashruddin, 1967: 16).

Sedangkan tujuan perkawinan menurut Hukum Adat adalah untuk

melahirkan generasi muda, melanjutkan garis hidup orang tua,

mempertahankan derajat memasuki inti sosial dalam masyarakat dan untuk

memenuhi kebutuhan hidup secara individu. Menurut Bambang Suwondo

mengatakan bahwa tujuan perkawinan menurut Hukum Adat ialah secara

16

Page 17: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

sosiologi untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat setempat (Bzn Haar

Ter, 1960:158-159).

G. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Sehubungan dengan upaya memperoleh data mengenai masalah yang

diteliti maka dalam hal ini metode yang digunakan, yaitu :

a. Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang berorientasi pada

gejala-gejala hukum yang bersifat normatif melalui studi kepustakaan

artinya dengan pendekatan ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan dan

menganalisis hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan yang

diteliti.

b. pendekatan Sosiologis yaitu berusaha untuk mengetahui keberlakuan atau

penerapan aturan-aturan hukum dengan kenyataan yang ada ditengah

masyarakat.

2. Sumber dan Jenis Data.

Adapun data yang diperlukan dalam penyusunan proposal ini adalah

sebagai berikut :

a. Data Sekunder atau data yang diperoleh dari berbagai literatur.

Dalam data sekunder atau data kepustakaan mencakup tiga bahan

hukum, yaitu :

1) Bahan hukum Primer yaitu bahan pustaka yang mencakup norma atau

kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan perundangan seperti Kitab

17

Page 18: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

Undang-Undang Hukum Perdata,Undang-Undang No. 1 tahun 1974

tentang perkawinan, Peraturan perundang-undangan yang lain.

2) Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

bahan hukum primer seperti : Hasil penelitian, buku-buku literatur dan

pendapat para sarjana yang berkaitan dengan permasalahan yang

diteliti.

3) Bahan hukum Tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti

kamus dan ensiklopedia.

b. Data Primer yaitu data yang diperoleh dari studi lapangan melalui

wawancara dengan melakukan Tanya jawab secara lisan dengan informan

dan responden.

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Sesuai dengan sumber dan jenis-jenis data seperti yang disebutkan

diatas, maka untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian

ini, digunakan teknik-teknik dan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut :

Teknik Pengumpulan data yang dipergunakan adalah :

1. Data kepustakaan dikumpulkan dengan Studi dokumen, studi dokumen

merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik normatif

maupun yang sosiologis) karena penelitian hukum selalu bertolak dari

premis normatif.1

1 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. hal 68

18

Page 19: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

Untuk itu dalam penelitian ini penulis mencari dan mengumpulkan

bahan-bahan kepustakaan baik berupa peraturan perundang-undangan,

hasil-hasil penelitian hukum, serta bahan kepustakaan lainya yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti.

2. Data lapangan diperoleh dengan cara Wawancara (Interview) adalah

situasi peran antar pribadi bertatap muka (face-to-face), ketika seseorang

yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang

untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah

penelitian kepada seseorang responden. 2

Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada

responden dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang terlebih

dahulu telah disiapkan oleh peneliti. Daftar pertanyaan dalam penelitian

ini bersifat terbuka (tidak stuktur), yaitu setiap saat selalu berkembang

sesuai dengan situasi dan kondisi dilapangan.

Responden adalah para pihak yang langsung terlibat terutama yang

melakukan penikahan dini dan pihak-pihak yang dianggap membantu

dalam penyusunan ini.

Sedangkan alat Pengumpulan data yang digunakan yaitu :

1. Terhadap data kepustakaan, alat pengumpulan data yang dipergunakan

adalah Undang-Undang tentang ketenagakerjaan, Undang-Undang tentang

2 Freed N Kerlinger, Asas-asas Penelitian Behavioral, Edisi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1996 dalam ibid hal 83

19

Page 20: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

Kepailitan, buku-buku, serta bahan kepustakaan lainya yang berkaitan

dengan masalah yang diteliti.

2. Terhadap data lapangan, alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah

daftar pertanyaan, alat tulis, dan tape recorder.

4. Analisis Data.

Setelah data yang diperoleh dari hasil studi dokumen dan wawancara,

maka selanjutnya data tersebut diolah dan dianalisa secara kualitatif. Kualitatif

adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data diskriptif analitis,

yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis atau lisan dan juga prilaku

yang nyata diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh3. Untuk

memperoleh pemahaman atas masalah yang terjadi, digunakan metode kajian

Induktif. Data tersebut kemudian akan dipaparkan secara deskriptif (dengan

kata-kata).

H. Daftar Pustaka

Abdurrahman KHI di Indonesia, Akademi Pressindo, Jakarta, 1995

3 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-PRESS), 1986) hal. 250

20

Page 21: Efektifitas Larangan Pernikahan Di Bawah Umur

Fauzil Adhim, Mohammad. 2002. Indahnya Perkawinan Dini. Jakarta: Gema Insani.

Kerlinger, Freed N. 1996. Asas-asas Penelitian Behavioral, Edisi Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Mohammad, M. Dlori. 2005. jeratan nikah dini, wabah pergaulan. Jogjakarta : Media

Abadi.

Nasruddin, Thoha. 1967. Pedoman Perkawinan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Soemiyati, S.H. Hukum Perkawinan Islam Dan Undnag-Undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-PRESS).

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1982. Metode Penelitian Hukum, Bandung: Ghalia Indonesia.

21