lubuk larangan-3

29
1 LUBUK LARANGAN : REVIVALISASI SITUS KERAMAT ALAMI DI KABUPATEN MANDAILING NATAL (Community-based River Conservation: Reviving of the Natural Sacred Sites in Mandailing Natal Regency) Zulkifli B. Lubis Departemen Antropologi FISIP USU E-mail: [email protected] ABSTRACT Tulisan ini menggambarkan pengelolaan sumberdaya alam sungai yang dilakukan dengan model Lubuk Larangan. Model tersebut ditradisikan oleh puluhan komunitas desa di Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara, sejak seperempat abad lalu sebagai kesinambungan dan revivalisasi dari bentuk-bentuk situs keramat alami berbasis kepercayaan kepada kekuatan supra alami. Lubuk larangan adalah satu bagian dari aliran sungai yang di dalamnya terlarang untuk melakukan aktivitas penangkapan semua jenis ikan sungai dalam jangka waktu tertentu. Pengelolaan lubuk larangan melalui konservasi berjangka terhadap ikan sungai dilakukan sebagai upaya komunitas desa menghimpun modal untuk pembangunan desa. Rekayasa sosial budaya dibuat di tingkat komunitas sebagai basis ideologis terhadap tindakan konservasi melalui model lubuk larangan. Bahan untuk penulisan makalah ini bersumber dari penelitian yang dilakukan pada 15 komunitas desa pengelola lubuk larangan di tiga kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal pada tahun 2000-2001. Penelitian yang difasilitasi melalui program Riset Unggulan bidang Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (RUKK) Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi RI itu berfokus pada kajian resistensi dan persistensi modal sosial dalam pengelolaan sumberdaya milik bersama. Tulisan ini merupakan pengolahan kembali atas data-data primer yang diperoleh melalui penelitian tersebut sesuai dengan kebutuhan data yang relevan dengan tujuan penulisan. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan teknik utama pengumpulan data yaitu wawancara mendalam terhadap puluhan informan dan pengamatan langsung. Proses revivalisasi situs keramat alami melalui pengelolaan lubuk larangan di Mandailing Natal memunculkan tiga varian mekanisme kultural sebagai basis konservasi sumberdaya hayati, yaitu : (1) pelembagaan sistem kepercayaan terhadap kekuatan magis, (2) pelembagaan sanksi sosial, (3) pelembagaan sanksi hukum/denda. Temuan lapangan menunjukkan bahwa pilihan komunitas desa pengelola lubuk larangan terhadap satu atau kombinasi dari tiga varian tersebut adalah bentuk „local wisdom‟ yang dibuat oleh warganya atas dasar pertimbangan efektivitas pencapaian tujuan konservasi. Komunitas lokal mampu mengubah fungsi konservasi situs keramat alami dari dampak positif tak tersadari menjadi tujuan yang disengaja. Keywords : lubuk larangan, revivalisasi, mekanisme kultural, Mandailing Natal

Upload: chuwiee-wie

Post on 10-Sep-2015

253 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

lubuk laranag ==

TRANSCRIPT

  • 1

    LUBUK LARANGAN : REVIVALISASI SITUS KERAMAT ALAMI DI KABUPATEN MANDAILING NATAL

    (Community-based River Conservation: Reviving of the Natural Sacred Sites in Mandailing Natal Regency)

    Zulkifli B. Lubis Departemen Antropologi FISIP USU

    E-mail: [email protected]

    ABSTRACT

    Tulisan ini menggambarkan pengelolaan sumberdaya alam sungai yang dilakukan dengan model Lubuk Larangan. Model tersebut ditradisikan oleh puluhan komunitas desa di Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara, sejak seperempat abad lalu sebagai kesinambungan dan revivalisasi dari bentuk-bentuk situs keramat alami berbasis kepercayaan kepada kekuatan supra alami. Lubuk larangan adalah satu bagian dari aliran sungai yang di dalamnya terlarang untuk melakukan aktivitas penangkapan semua jenis ikan sungai dalam jangka waktu tertentu. Pengelolaan lubuk larangan melalui konservasi berjangka terhadap ikan sungai dilakukan sebagai upaya komunitas desa menghimpun modal untuk pembangunan desa. Rekayasa sosial budaya dibuat di tingkat komunitas sebagai basis ideologis terhadap tindakan konservasi melalui model lubuk larangan. Bahan untuk penulisan makalah ini bersumber dari penelitian yang dilakukan pada 15 komunitas desa pengelola lubuk larangan di tiga kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal pada tahun 2000-2001. Penelitian yang difasilitasi melalui program Riset Unggulan bidang Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (RUKK) Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi RI itu berfokus pada kajian resistensi dan persistensi modal sosial dalam pengelolaan sumberdaya milik bersama. Tulisan ini merupakan pengolahan kembali atas data-data primer yang diperoleh melalui penelitian tersebut sesuai dengan kebutuhan data yang relevan dengan tujuan penulisan. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan teknik utama pengumpulan data yaitu wawancara mendalam terhadap puluhan informan dan pengamatan langsung. Proses revivalisasi situs keramat alami melalui pengelolaan lubuk larangan di Mandailing Natal memunculkan tiga varian mekanisme kultural sebagai basis konservasi sumberdaya hayati, yaitu : (1) pelembagaan sistem kepercayaan terhadap kekuatan magis, (2) pelembagaan sanksi sosial, (3) pelembagaan sanksi hukum/denda. Temuan lapangan menunjukkan bahwa pilihan komunitas desa pengelola lubuk larangan terhadap satu atau kombinasi dari tiga varian tersebut adalah bentuk local wisdom yang dibuat oleh warganya atas dasar pertimbangan efektivitas pencapaian tujuan konservasi. Komunitas lokal mampu mengubah fungsi konservasi situs keramat alami dari dampak positif tak tersadari menjadi tujuan yang disengaja.

    Keywords : lubuk larangan, revivalisasi, mekanisme kultural, Mandailing Natal

  • 2

    1. Pendahuluan Perhatian ilmuwan sosial khususnya antropologi terhadap praktik-praktik pengelolaan sumberdaya alam oleh komunitas lokal sudah lama berkembang. Salah satu perspektif kajian yang pernah populer adalah perspektif fungsionalisme dan neo-fungsionalisme. Banyak kasus kajian yang memperlihatkan bahwa komunitas lokal mampu membangun suatu interaksi yang adaptif dengan lingkungan alam. Pada tahun 1980-an misalnya ada kajian dari R.N.H Bulmer (1982) mengenai praktik konservasi tradisional di Papua New Guinea. Bulmer mengemukakan bahwa kepercayaan dan pantangan ritual memungkinkan penduduk Papua New Guinea mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang ada di hutan (khusususnya binatang dan tumbuh-tumbuhan) sesuai asas-asas konservasi. Dalam kaitan ini, aspek religius dipandang sebagai faktor yang fungsional membatasi tindakan-tindakan eksploitasi dan kerusakan1.

    Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Pagarat Ratthakette (1984) dalam kasus hutan keramat di Thailand. Ia mengemukakan bahwa kepercayaan penduduk lokal dan aturan-aturan tabu berkenaan dengan hutan keramat (yang dipercayai sebagai tempat hunian makhluk halus pelindung desa/ phiputu sehingga terlarang untuk dieksploitasi) memberikan dampak positif untuk konservasi sumberdaya hutan tersebut. Dalam hal ini aspek kepercayaan penduduk dilihat sebagai variabel yang determinan terhadap perilaku mereka dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan. Contoh dari dalam negeri, misalnya seperti yang dikemukakan oleh Nengah B. Atmadja (1993) dalam kasus pengelolaan hutan wisata Sangeh di Bali. Variabel ekologi, institusi sosial, ekonomi dan kepercayaan (Hindu) yang dianut masyarakat terjalin sedemikian rupa sehingga mereka tetap dapat mengelola dan mengambil manfaat ekonomi dari sumberdaya tersebut tanpa harus melakukan pengrusakan terhadap hutan.

    Pengakuan terhadap pentingnya peranan kebudayaan dalam konteks konservasi sumberdaya alam terus menguat dalam dekade terakhir ini, sehingga banyak lembaga konservasi dunia yang menaruh perhatian terhadap aspek ini, dan lebih khusus kepada apa yang kini dikenal sebagai situs keramat alami (sacred natural sites). Thomas Shcaaf (2003) dari MAB UNESCO mengatakan bahwa dalam banyak kebudayaan di

    1 Namun Bulmer menyebutkan bahwa bukan konservasi yang menjadi tujuan utama sehingga orang PNG mengelola dan memanfaatkan sumberdaya secara demikian, tapi hal itu lebih sebagai akibat sampingan positif dari kepatuhan mereka pada kepercayaan dan ritual-ritualnya.

  • 3

    dunia, situs keramat alami merupakan area yang penting untuk konservasi lingkungan. Perhatian komunitas tradisional terhadap lingkungan dan pembatasan akses terhadap situs-situs keramat seringkali menentukan bagi terciptanya pemeliharaan yang baik terhadap kawasan dengan kekayaan keanekaragaman hayati.

    Upaya mengintegrasikan aspek kebudayaan dan komunitas pemilik kebudayaan itu di dalam kerangka konservasi sumberdaya hayati menjadi sesuatu yang urgen secara teoritik. Maurizio Farhan Ferrari (2002) dalam laporannya untuk IUCN bertajuk Community Conserved Areas in Southeast Asia mengemukakan bahwa sampai sejauh ini sudah diakui secara luas bahwa kebijakan-kebijakan dan proyek konservasi yang tidak mempertimbangkan hak-hak dan kebutuhan-kebutuhan dari penduduk pribumi (indigenous people) dan komunitas lokal akan membiakkan konflik dan dalam banyak kasus akan gagal. Badan-badan dunia seperti WCPA, IUCN dan WWF, kata Ferrari lebih lanjut, telah menerima prinsip-prinsip ini dan telah mengembangkan panduan internal untuk memberikan respek terhadap hak-hak komunitas pribumi itu. Namun, yang menjadi soal sejauh ini adalah lambannya proses untuk mewujudkan prinsip itu di dalam praktik nyata di lapangan.

    Berbagai forum internasional akhir-akhir ini terus menelurkan kesimpulan-kesimpulan dan rekomendasi mengenai pentingnya mengintegrasikan proses konservasi sumberdaya alam dengan sumberdaya kultural. Sebuah simposium internasional di Tokyo (2005) memberikan empat butir rekomendasi tentang posisi situs keramat alami, yaitu : (1) mempertimbangkan bahwa situs keramat alami dan lanskap kultural adalah unsur penting untuk melindungi keanekaragaman budaya dan biologi untuk generasi sekarang dan yang akan datang, (2) mengakui bahwa banyak situs keramat alami memiliki signifikansi yang penting bagi kehidupan spritual dari penduduk pribumi dan komunitas lokal, (3) mengingatkan pentingnya untuk mempromosikan kenakeragaman biologi dan budaya, khususnya dalam menghadapi proses homogenisasi pada era globalisasi; (4) mencamkan bahwa situs keramat alami, lanskap budaya dan sistem pertanian tradisional tidak dapat dipahami, dilindungi dan dikelola tanpa memper-hitungkan aspek budaya yang membentuknya dan akan terus membentuknya2.

    Sebuah dokumen panduan UNESCO dan IUCN tentang pengelolaan situs keramat alami menyimpulkan bahwa konservasi sumberdaya alam hanya dapat

    2 Lihat Bas Verschuuren et.al dalam Scred Natural Sites and Protected Areas. IUCN Commission on Protected Areas Task Force. IUCN.

  • 4

    berkelanjutan jika ia memiliki daya dukung/daya ungkit di dalam kebudayaan lokal. Situs keramat alami dapat memainkan peranan vital dalam memastikan konservasi berkelanjutan terhadap alam dan kebudayaan3. Ungkapan senada dapat pula disimak dalam tulisan Rob Soutter et.al. (2003) yang juga membahas efektivitas peran situs keramat alami terhadap konservasi biologi4. Deep Narayan Pandey (2003) secara lebih khusus melihat pentingnya peranan sistem pengetahuan tradisional untuk kelestarian sumberdaya hayati5.

    Tetapi patut dicatat bahwa situs keramat alami dapat memberikan pengaruh positif bagi konservasi sumberdaya alam sepanjang komunitas pendukungnya masih menjadikan sistem kepercayaan sebagai acuan tindakan. Ketika aspek kepercayaan yang menjadi basis pengkeramatan itu memudar atau hilang, maka kelestarian sumber daya hayati akan segera menghadapi ancaman jika tidak ada mekanisme budaya dan kelembagaan lain sebagai penggantinya. Hal seperti itu terlihat dalam pengelolaan sumberdaya alam di wilayah Kabupaten Mandailing Natal dalam beberapa dekade terakhir ini, baik terhadap sumberdaya alam di hutan maupun sungai.

    Kasus pengelolaan lubuk larangan di Mandailing Natal menarik untuk dibahas dalam forum ini mengingat bentuk pengelolaan baru terhadap sungai tersebut muncul sebagai bentuk revivalisasi yang lebih konseptual, sistematis dan terlembagakan. Dengan kata lain, memudarnya aspek kepercayaan terhadap kekuatan supra alami dalam pengelolaan sumberdaya sungai, kemudian secara kreatif direkayasa ulang oleh warga komunitasnya agar tujuan konservasi tetap signifikan. Tulisan ini akan mengulas bagaimana komunitas desa pengelola lubuk larangan di Kabupaten Mandailing Natal membuat proses revivalisasi dengan format dan landasan ideologis dan spritual yang berbeda. Pembahasan mengenai kasus ini dipandang dapat memberikan manfaat untuk menggugah pemahaman kita bahwa situs keramat alami dapat dimodifikasi secara

    3 Lihat dokumen IUCN-UNESCO dalam http://www.unesco.org/mab/biodiv/Cdiversity/

    symposium/ UNESCO_IUCN_guidelines.pdf 4 Lihat Rob Soutter et.al. dalam Recognizing the Contribution of Sacred Natural Sites for Biodiversity Conservation. Paper for Workshop Stream II Session I Part I at V World Park Congress. 5 Deep Narayan Pandey(2003) Traditional Knowledge System for Biodiversity Conservation. Sumber dokumen elektronik http://www.indianscience.org/ essays/t_es_pande_conserve.shtml. Pembahasan yang hampir serupa tentang peranan penting dari pengetahuan tradisional juga ditulis oleh A.S. Mishra dalam tulisan berjudul Traditional Knowledge and Management of Natural Resources, dalam dokumen elektronik http://ignca.nic.in/cd_07006.htm. .

  • 5

    kreatif dan inovatif oleh komunitas pemiliknya agar ia tetap bertahan, meskipun dengan bentuk yang tidak sepenuhnya sama dengan bentuk asal.

    2. Metodologi

    Bahan informasi atau data-data dasar untuk penulisan makalah ini berasal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis pada tahun 2000-2001 lalu. Ketika itu, atas fasilitas pendanaan dari Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi RI melalui skema Program RUKK (Riset Unggulan Kemasyarakatan dan Kemanusiaan) penelitian lapangan dilakukan di 15 desa pada 3 kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal, untuk menemukan jawaban bagaimana proses resistensi dan persistensi modal sosial terjadi dalam pengelolaan sumberdaya milik bersama yaitu lubuk larangan. Penelitian bertujuan untuk menjelaskan mengapa pengelolaan lubuk larangan yang berkembang pesat hampir di 70-an desa pinggiran sungai di daerah ini bisa bertahan (persisten) dalam kurun waktu lama (sekitar 20-an tahun) sementara ada pula desa yang gagal (resisten) dalam pendayagunaan modal sosial. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif, dan difokuskan di 15 desa terpilih, yang terbagi atas 9 kasus komunitas desa pengelola lubuk larangan yang bertahan lama (persisten) dan 6 kasus komunitas desa yang gagal dalam pengelolaan (resisten).

    Meskipun penelitian tersebut berfokus kepada aspek pendayagunaan modal sosial (social capital) sebagai rujukan teoritik yang sedang populer ketika itu6, data-data kualitatif tentang aspek sejarah dan konsepsi penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam khususnya aliran sungai, juga dikumpulkan. Bahan-bahan informasi dan data itulah, baik yang sudah maupun yang belum termuat dalam laporan penelitian, digunakan dan dianalisis kembali dalam rangka penulisan paper ini. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam kepada puluhan informan di 15 desa fokus maupun di desa-desa pengelola lubuk larangan lainnya, meliputi para pemimpin formal dan informal di setiap desa, personalia panitia pengelola lubuk larangan, juga warga biasa. Pengamatan lapangan dilakukan dalam berbagai fase pengelolaan situs, termasuk dalam kegiatan festival pembukaan lubuk larangan di sejumlah desa. Ketika penelitian lapangan dilakukan pada tahun 2000-2001 terdapat 56 desa dari 141 desa di tiga kecamatan (Muara Sipongi, Kotanopan dan Batang Natal) yang

    6 Lihat antara lain Francis Fukuyama (.

  • 6

    mengelola lubuk larangan, baik yang termasuk kategori persisten maupun yang resisten. Daftar lengkap dari desa-desa tersebut termuat dalam Lampiran 1, sedangkan 15 desa yang menjadi fokus penelitian utama termuat dalam Lampiran 2. Sesuai dengan keperluan penulisan paper ini, bahan-bahan yang relevan terutama dirujuk dari 9 kasus komunitas desa pengelola lubuk larangan yang persisten dan mampu bertahan lama, yaitu masing-masing tiga desa di setiap kecamatan. Kesembilan desa tersebut adalah Koto Baringin, Koto Tinggi/Bandar Panjang, Tanjung Larangan/Kampung Pinang (Kecamatan Muara Sipongi); Singengu, Husor Tolang, Hutarimbaru (Kecamatan Kotanopan); dan Muara Soma, Muara Parlampungan, Ranto Sore/Desa Simpang Gambir (Kecamatan Batang Natal).

    3. Hasil dan Pembahasan

    3.1. Sekilas gambaran wilayah studi7

    Kabupaten Mandailing Natal terletak di bagian paling selatan dari Propinsi Sumatera Utara, terletak di antara 010-150 LU dan 9850-10010 BT, berbatasaan langsung dengan Kabupaten Pasaman/Pasaman Barat Propinsi Sumatera Barat di sebelah timur dan selatan, dengan Kabupaten Tapanuli Selatan di sebelah utara, dengan Samudera Hindia di sebelah barat. Wilayah ini adalah pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan sejak tanggal 23 Nopember 1998, yang ditetapkan melalui UU Nomor 12 Tahun 1998. Luas wilayahnya adalah 6,620,70 km2 atau 662.070 Ha (sekitar 9,23 % dari wilayah Sumatera Utara).

    Topografi wilayah kabupaten ini terbagi atas tiga bagian, yaitu dataran rendah dengan kemiringan 0-2 di bagian pesisir pantai barat dengan luas daerah sekitar 160.500 Ha (24,24 %); daerah landai dengan kemiringan 2-15 seluas 36.385 Ha (5,49 %); dataran tinggi dengan kemiringan 7-40 yang terbagi atas dua yaitu daerah perbukitan dengan luas sekitar 112.000 ha (16,91%) dengan kemiringan 15-40, daerah pegunungan seluas 353.185 Ha (53,34 %) dengan kemiringan 7-40. Dengan topografi yang dominan dataran tinggi, pegunungan dan perbukitan, maka tidak mengherankan jika di daerah Mandailing Natal terdapat banyak aliran sungai besar dan kecil. Beberapa sungai yang besar di daerah ini adalah Batang Gadis, Batahan, Batang

    7 Bahan informasi mengenai hal ini sebagian besar dikutip dan disarikan dari Edi Ikhsan, Zulkifli Lubis, dkk (penyunting), Dari Hutan Rarangan ke Taman Nasional: Potret Komunitas Lokal di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis, diterbitkan oleh Bitra Konsorsium, 2005.

  • 7

    Natal, Kunkun, dan Parlampungan. Sungai Batang Gadis tercatat sebagai sungai terpanjang di daerah ini, dengan panjang 137,50 Km. Di aliran sungai-sungai besar inilah tradisi pengelolaan lubuk larangan berlangsung sejak puluhan tahun lampau. Di gususan Pegunungan Bukit Barisan yang melintasi wilayah Mandailing Natal terdapat sejumlah gunung, salah satu diantaranya adalah Gunung Sorik Marapi (2.145 dpl) sebagai gunung berapi yang masih aktif dan tercatat pernah meletus sebanyak delapan kali pada periode 1830-1987.

    Penduduk yang mendiami wilayah Kabupaten Mandailing Natal secara umum dikenal sebagai Orang Mandailing. Selain etnis Mandailing yang mayoritas dan dominan, wilayah ini juga menjadi hunian asli bagi etnis Ulu (biasa disebut Orang Muara Sipongi, dominan di Kecamatan Muara Sipongi) dan Lubu (biasa disebut Orang Siladang, bermukim di kaki bukit Tor Sihite, Kecamatan Panyabungan). Selain itu ada juga Orang Pesisir Natal yang bermukim di kawasan pesisir barat (Kecamatan Natal, Batahan dan Muara Batang Gadis). Sedikitnya ada empat kelompok penutur bahasa yang berbeda di Mandailing Natal, yaitu bahasa Mandailing, bahasa Lubu, bahasa Ulu dan bahasa Pesisir Natal. Hanya saja dengan penduduk yang mayoritas dari etnis Mandailing di kabupaten ini maka orientasi budaya masyarakatnya didominasi oleh budaya dan bahasa Mandailing.

    Jumlah penduduk Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan data statistik tahun 2003 adalah sebanyak 380.546 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 187.225 jiwa dan perempuan 193.321 jiwa. Mayoritas penduduknya beragama Islam. Agama Islam sudah dianut penduduk di daerah ini sebelum abad ke-19, namun proses Islamisasi yang masif dan puritan diperkirakan terjadi semasa perang Paderi (1830-an). Sebelum menganut agama Islam, penduduk di daerah ini menganut paham animisme si pelebegu (penyembah roh-roh nenek moyang) dan kekuatan-kekuatan supra alami lainnya berupa dewa (debata) dan makhluk-makhluk halus. Di wilayah ini juga terdapat bukti-bukti peninggalan arkeologis berupa candi Hindu (reruntuhan di Simangambat, Kecamatan Siabu, abad ke-9) dan candi Buddha (kompleks Saba Biara, Desa Pidoli Lombang, Kecamatan Panyabungan, abad ke-14). Selain itu terdapat peninggalan megalitikum berupa menhir di Padang Mardia (Kecamatan Panyabungan). Nama-nama tempat, istilah dalam adat-istiadat masyarakat Mandailing masih banyak mengandung kosa kata yang berasal dari bahasa Sanskerta.

  • 8

    Sebagian kawasan hutan di wilayah Kabupaten Mandailing Natal sudah sejak zaman kolonial ditetapkan sebagai hutan lindung. Enam kawasan hutan register yang berstatus hutan lindung dan hutan produksi, yaitu Hutan Lindung Register 4 Batang Gadis I, Register 5 Batang Gadis II, Register 27 Batang Natal I, Register 28 Batang Natal II, Register 29 Batahan Hulu, dan Register 36 Batang Parlampungan I , sejak 29 April 2004 telah ditingkatkan statusnya menjadi Kawasan Pelestarian Alam dengan Fungsi Taman Nasional, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.126/ Menhut-II/2004. Luas arealnya adalah 108.000 Ha. Inisiatif untuk membentuk taman nasional yang diberi nama Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) tersebut berasal dari masyarakat lokal, Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal dan lembaga swadaya masyarakat. Wilayah inti dan penyangga TNBG mencakup kawasan DAS Batang Gadis dan Batang Natal, dimana praktik pengelolaan situs keramat alami Lubuk Larangan yang dikelola oleh komunitas desa telah berlangsung lebih dari dua dasawarsa.

    3.2. Tradisi pengkeramatan sumberdaya alam di Mandailing Natal

    Jauh sebelum Taman Nasional Batang Gadis berdiri, bahkan sebelum praktik-praktik pengelolaan lubuk larangan dengan format baru berkembang pada awal tahun 1980-an, masyarakat lokal di Mandailing Natal sudah lama mengenal konsep konservasi sumber daya alam. Mereka sejak dahulu mengenal istilah yang pas untuk itu yaitu rarangan yang secara harfiah bermakna larangan. Ada beberapa objek yang masuk dalam kategori rarangan (larangan) yang dikenal, misalnya kawasan hutan disebut arangan rarangan, bagian aliran sungai yang dipantangkan untuk mengambil ikan dan beberapa aktivitas lain disebut lubuk rarangan. Istilah lain yang biasa juga digunakan untuk menunjuk suatu tempat atau kawasan yang dipantangkan untuk dimasuki, atau minimal harus berlaku hati-hati di dalamnya, disebut naborgo-borgo (secara harfiah berarti yang dingin-dingin, yang lembab-lembab). Orang tua biasanya menasihati anaknya untuk tidak memasuki suatu kawasan yang dipercaya merupakan hunian makhluk-makhluk halus atau kekuatan supra alami, yaitu tempat yang disebut naborgo-borgo tersebut.

    Kawasan hutan yang dipercaya sebagai tempat hunian makhluk halus itu biasa terdapat di bagian hulu-hulu sungai, di sekitar sumber mata air, di lereng atau puncak gunung, atau di kawasan hutan belantara (hutan primer) yang dalam bahasa Mandailing disebut dengan rubaton. Di kawasan seperti itu dipercayai merupakan wilayah yang

  • 9

    dikuasai oleh para makhluk halus, termasuk golongan jin, yang salah satunya disebut leso rubaton8. Ketika masyarakat Mandailing masih percaya kepada animisme, tempat tempat yang dihuni oleh makhluk-makhluk halus itu dikeramatkan dan menjadi objek sesembahan9. Di beberapa tempat lain di Tapanuli Selatan, misalnya di Gunung Dolok Batara Wisnu, masih ada kepercayaan dari penduduk setempat bahwa orang yang menebang kayu di lereng gunung itu untuk keperluan perabot rumah maupun untuk dijual akan mengakibatkan celaka bagi pelakunya. Kepercayaan seperti itu juga masih ada di kalangan penduduk yang memantangkan untuk menebang kayu sembarangan di sekitar Gunung Sorik Marapi.

    Di daerah aliran sungai juga ada tempat-tempat yang dikeramatkan. Tempat itu biasanya adalah lubuk-lubuk yang dalam dan di atasnya terdapat pohon-pohon besar yang berdaun rimbun. Di masa lalu anak-anak Mandailing dilarang oleh orang tuanya untuk mandi di sungai pada tengah hari ketika matahari beranjak naik, yaitu sekitar pukul 10.00-12.00, karena dipercaya pada waktu itu para makhluk halus yang berkuasa di sungai juga sedang mandi, salah satunya dikenal bernama sigulambak. Jika aktivitas mereka terganggu oleh manusia dipercaya akan dapat mengakibatkan orang tersebut sakit atau mati mendadak. Pantangan juga berlaku untuk menangkap jenis-jenis ikan tertentu di dalam lubuk, karena dipercaya ikan tersebut adalah peliharaan makhluk halus penguasa sungai.

    Keberadaan hutan larangan dan lubuk larangan, yang dilembagakan melalui mekanisme tabu dan kepercayaan akan kekuatan-kekuatan supra alami yang ada di sekitarnya, dalam kenyataan pada umumnya terdapat di tempat-tempat yang sangat signifikan bagi pemeliharaan kelestarian lingkungan. Kawasan hutan yang disebut naborgo-borgo tadi biasanya berasosiasi dengan sumber-sumber mata air atau daerah resapan air yang vital bagi pemeliharaan dan kesinambungan penataan pasokan air bagi penduduk yang bermukim di sekelilingnya. Demikian pula halnya bagian aliran sungai

    8 Dalam buku hikayat Turi-turian Ni Raja Gorga di Langit dohot Raja Suasa di Portibi yang disadur oleh Mangaraja Gunung Sorik Marapi (diterbitkan ulang oleh Depdikbud, Jakarta 1979), disebutkan bahwa leso rubaton adalah makhluk halus yang bisa menyerupai manusia katai dengan arah telapak kaki terbalik, dan berdiam di dalam hutan belantara. Orang yang akan memasuki kawasan hutan belantara tidak boleh berkata sembarang karena bisa membahayakan dirinya di dalam hutan. Bahkan bahasa Mandailing mengenal lima ragam bahasa dengan kosa-kata yang berbeda-beda untuk menyebut suatu hal yang sama, dan salah satu ragam bahasa itu disebut dengan hata parkapur, yaitu ragam bahasa yang khusus digunakan oleh peramu (parkapur) ketika meramu hasil-hasil hutan. 9 Kitab-kitab kuno dari kulit kayu yang disebut orang Mandailing dengan nama pustaha banyak berisi informasi-informasi tentang pelaksanaan ritual sesembahan di tempat-tempat yang dikeramatkan, antara lain sebagai bahagian dari proses penyembuhan dan penanggulangan penyakit.

  • 10

    yang disebut lubuk larangan, juga merupakan tempat-tempat dimana proses pembiakan ikan berlangsung. Oleh karena itu, konsep rarangan yang diselimuti suatu kepercayaan akan kekuatan supra alami yang tidak boleh terganggu, pada hakikatnya adalah mekanisme budaya yang mengatur praktik-praktik konservasi sumberdaya alam10.

    Di masa lampau keberadaan sumberdaya alam yang berstatus rarangan atau terlindungi itu juga dilembagakan melalui sistem sosial yang berlaku masa itu. Suatu kampung atau huta bahkan kerajaan atau banua yang dikenal di Mandailing Natal sebelum kemerdekaan memiliki kawasan khusus yang berstatus dilindungi, baik karena alasan spritual atau kepercayaan, maupun sebagai hutan cadangan. Setiap huta atau banua yang dipimpin oleh seorang Raja Pamusuk atau Raja Panusunan Bulung di masa lampau harus memiliki wilayah sendiri, yang tergambar dalam istilah ganop-ganop banua martano rura yang berarti setiap kerajaan memiliki wilayah tanah airnya sendiri11. Setiap huta (kampung) atau banua (kerajaan) harus memiliki dan ditopang oleh adanya sumber air, kawasan hutan dan juga padang penggembalaan. Sebagian dari kawasan itu ditetapkan oleh pimpinan komunitas sebagai kawasan rarangan atau kawasan konservasi menurut istilah sekarang12.

    Ketika pemerintahan berlandaskan struktur adat beralih menjadi kekuriaan pada masa kolonial, pemerintahan lokal yang dipimpin oleh kepala kuria13 ketika itu mulai pula menerapkan sejenis retribusi atas pemanfaatan sumberdaya alam. Di daerah Mandailing ketika itu terdapat beberapa jenis kutipan (retribusi) yang disebut bungo, yaitu bungo ni tano (retribusi atas hasil tanah pertanian), bungo ni hayu (retribusi atas hasil hutan kayu dan getah kayu), bungo ni pasir (retribusi atas bahan tambang di sungai), bungo ni aek (retribusi atas hasil tangkapan ikan di sungai), bungo ni padang (retribusi atas hasil penjualan binatang ternak), dan tulan adat (bagian daging binatang

    10 Lebih jauh mengenai tradisi rarangan dalam khasanah budaya Mandailing lihat Edi Ikhsan & Zulkifli Lubis, dkk (2005) Dari Hutan Rarangan ke Taman Nasional: Potret Komunitas Lokal di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis. Buku diterbitkan oleh Bitra Konsorsium. 11 Lebih rinci mengenai hal ini dapat dilihat dalam tulisan Z. Pangaduan Lubis (1987) berjudul Namora Natoras: Pemimpin Tradisional Mandailing. Skripsi sarjana antropologi FS USU, tidak diterbitkan. 12 Lebih jauh mengenai sistem penguasaan sumberdaya di Kabupaten Mandailing Natal dapat dilihat dalam tulisan Zulkifli Lubis (1998) berjudul Sistem Penguasaan Sumberdaya Alam di Mandailing Natal. Laporan penelitian, tidak dipublikasikan. 13 Pemerintahan kekuriaan adalah sistem adiminstrasi kolonial Belanda yang dilekatkan kepada struktur kepemimpinan berdasarkan adat, dan dalam banyak kasus pejabat yang diangkat Belanda sebagai Kepala Kuria adalah Raja yang berkuasa menurut struktur adat. Namun harus tetap diingat bahwa jabatan kepala kuria adalah jabatan administrasi kolonial, bukan jabatan adat.

  • 11

    hasil buruan di hutan). Besarnya bagian retribusi yang akan diserahkan kepada kerajaan masing-masing 10 %14.

    3.3. Lubuk Larangan, format baru sistem rarangan di aliran sungai Banyak hal yang berubah dalam kehidupan masyarakat Mandailing Natal dalam waktu hampir seabad terakhir ini. Kemerdekaan RI membuat sistem pemerintahan adat dan kekuriaan di masa kolonial digantikan dengan sistem baru. Struktur kepemimpinan lokal dan adat-istiadat juga ikut berubah. Sisa-sisa kekuatan struktur politik dan adat yang masih fungsional sampai pada batas-batas tertentu dalam penataan kehidupan komunitas huta dan banua di Mandailing pada dekade-dekade awal pasca kemerdekaan kemudian semakin melemah sejak tahun 1970-an. Penyeragaman sistem pemerintahan desa yang berlaku setelah terbitnya UU No. 5 Thn 1979 membuat landasan ideologis penataan kehidupan komunitas adat berdasarkan struktur tradisional hilang kekuatan dan signifikansinya. Pola pembangunan yang terpusat di masa Orde Baru membuat komunitas adat hampir tidak berdaya lagi.

    Di sisi lain, proses modernisasi yang berjalan seiring dengan program-program pembangunan nasional membuat warga masyarakat lebih rasional dalam melihat hubungannya dengan lingkungan alam. Semakin menguatnya rasionalitas warga di satu sisi dan kayakinan keagamaan (Islam) di sisi lain menjadikan basis-basis kepercayaan lama berbau animisme semakin melemah. Masyarakat Mandailing semakin kehilangan relasi mistis dengan sumberdaya alam yang di masa lampau dipercaya sebagai tempat naborgo-borgo yang pantang untuk diganggu apalagi dirusak.

    Pertambahan jumlah penduduk, peningkatan kebutuhan lahan, terbukanya pasar untuk produk-produk hutan, dan juga ekspansi aktor luar (terutama korporat) dalam mengeksploitasi sumberdaya alam di daerah Mandailing Natal membuat pantangan-pantangan yang dulu dikenal warga masyarakat jadi kehilangan signifikansi. Pada titik itu, memang tidak ada satu hal yang bisa dan perlu ditangisi, karena kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis, bisa berubah dari waktu ke waktu. Kepercayaan lama tidak bisa dipaksa terus lestari, dan karena itu, fungsi laten dari praktik pemeliharaan situs-situs keramat alami menjadi hilang. Itulah satu fase historis yang dapat digambarkan mengenai hubungan kultural orang Mandailing dengan sumberdaya alam dimana mereka hidup.

    14 Lihat Pandapotan Nasution (2001) Mandailing Natal: Peluang, Tantangan dan Harapan. Diterbitkan oleh Yayasan Parsarimpunan Ni Tondi, Medan.

  • 12

    Tetapi cukup menarik untuk mengamati fakta bahwa komunitas-komunitas desa di daerah Mandailing Natal justru mengembangkan sebuah mekanisme kultural baru dalam membangun relasinya dengan sumberdaya alam. Keyakinan terhadap ajaran Islam yang semakin merasuk seiring dengan hilangnya basis kepercayaan animistis kemudian memberi basis baru terhadap penataan hubungan mereka dengan sumberdaya alam, khususnya terhadap sumberdaya alam yang dikonsepsikan sebagai milik komunal atau milik bersama (communally owned resources). Menguatnya struktur desa sebagai kesatuan hidup dan kesatuan administratif paling rendah dalam struktur negara juga kemudian secara baik dimanfaatkan oleh komunitas lokal sebagai wadah kelembagaan dalam menata hubungan baru dengan sumberdaya alam. Kalau di masa lampu basis kelembagaan di tingkat komunitas adalah huta atau banua (gabungan beberapa huta), kini kelembagaan desa dimanfaatkan sebagai wadah baru reformasi relasi dengan lingkungan alam. Komunitas desa kemudian tampil sebagai inisiator dan pionir untuk membangun sistem konservasi baru. Paling tidak, hal itu sudah terbukti efektif dalam penyelenggaraan sistem pengelolaan lubuk larangan, untuk konservasi sumberdaya ikan sungai. Untuk konservasi sumberdaya hutan, kemunculan TNBG adalah sebuah ujian baru atas kemampuan masyarakat mempertahankan komitmen bagi program konservasi.

    Lubuk Larangan : tumbuhnya revivalisasi semangat konservasi

    Awal dekade 1980-an adalah tonggak baru bagi komunitas lokal di Mandailing Natal dalam menata hubungannya dengan sumberdaya sungai. Sebelum era 1980-an, aliran sungai dipandang sebagai sumberdaya dengan akses terbuka (open access), dimana setiap orang bebas mengambil dan memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalamnya. Aliran sungai yang melintasi perkampungan15 di seluruh kawasan Mandailing Natal dimaknai sebagai bukan milik pribadi dan bukan milik komunitas desa. Karena itu adalah hal biasa jika kita menemukan fakta bahwa orang dari berbagai kampung lain bisa datang dan masuk ke sungai dimana ia suka untuk menjala ikan, tanpa halangan dari siapapun16.

    15 Sudah menjadi tradisi bagi orang Mandailing untuk membangun perkampungan di dekat sumberdaya air, atau aliran sungai, sehingga nama-nama desa mereka juga banyak yang terkait dengan nama anak atau muara sungai, seperti Muara Soma (yaitu muara sungai Aek Soma), Muara Parlampungan, Muara Soro, Muara Pungkut, Muara Mais, dll. Keberadaan sumberdaya air di sekitar perkampungan penting untuk mendukung kehidupan ekonomi, sosial budaya dan religi mereka. 16 Di masa lalu orang-orang yang hobby menjala ikan akan berangkat secara berkelompok pada tengah malam ke suatu kawasan aliran sungai, lalu mereka menjala ikan dengan mengarah ke hilir sampai

  • 13

    Tradisi pemeliharaan berbagai jenis ikan di kolam atau empang (disebut tobat) sudah lama dikenal orang Mandailing. Bahkan di zaman lampau setiap huta yang dipimpin oleh seorang Raja Pamusuk memiliki areal kolam raya yang disebut dengan tobat bolak, sebagai sumber persediaan pasokan gizi untuk menjamu tamu raja dan pada waktu-waktu tertentu diberikan kepada rakyat17. Berbeda halnya dengan ikan di kolam, ikan sungai dianggap sebagai ikan liar tanpa upaya pemeliharaan.

    Awal terbentuknya lubuk larangan di beberapa komunitas desa yang menjadi pionir di Kabupaten Mandailing Natal sebenarnya mengadopsi gagasan dan praktik yang sudah berkembang sebelumnya di beberapa tempat di daerah Pasaman, Sumatera Barat. Di sana terdapat sejumlah desa yang menetapkan larangan untuk menangkap ikan di sungai untuk jangka waktu tertentu18. Ide itu dibawa oleh warga Mandailing ke kampung halamannya dan mulai diterapkan di beberapa desa. Dalam waktu beberapa tahun saja, sebagian besar desa-desa yang memiliki wilayah aliran sungai mengadopsi dan mempraktikkan pola pengelolaan lubuk larangan. Banyak yang berhasil dan banyak pula yang gagal. Tabel pada Lampiran 1 menyajikan nama-nama desa yang ketika penelitian lapangan dilakukan tercatat pernah atau masih memelihara lubuk larangan; dan pada Lampiran 2 dan 3 tertera nama desa, tahun mulainya lubuk larangan, panjang lokasi lubuk larangan, jumlah lokasi dan pengelolanya, pada 15 desa yang menjadi fokus penelitian lapangan. DAS Batang Gadis (khususnya di wilayah Kecamatan Muara Sipongi dan Kotanopan) dan DAS Batang Natal (khususnya Kecamatan Batang Natal) merupakan aliran sungai dimana terdapat lubuk larangan. Lampiran 4 dan 5 menggambarkan peta lokasi lubuk larangan di kedua DAS tersebut.

    Pada praktiknya, lubuk larangan di aliran sungai hampir identik dengan kolam yang dibangun di tengah sungai, karena di lubuk larangan format baru ini sudah ada perlakuan pemeliharaan. Di beberapa desa bahkan mereka biasa menyebut lubuk larangan yang ada di daerah itu dengan sebutan tobat rarangan. Kalau kolam ikan di

    beberapa kilometer jauhnya hingga tiba pagi hari. Hasil tangkapan mereka biasa dijual di pasar atau untuk dikonsumsi sendiri. 17 Di Desa Manambin, salah satu bekas pusat kerajaan yang dipimpin oleh klen Lubis di Kecamatan Kotanopan sekarang, ada tradisi untuk membuat kolam ikan atau empang di bawah dapur di bagian belakang rumah, tempat dimana berbagai jenis ikan seperti ikan mas, mujair, nila dan halu diperlihara. 18 Di beberapa tempat di Pasaman dan juga di sebuah desa di sekitar Danau Siais Kabupaten Tapanuli Selatan terdapat kolam ikan dan lubuk yang dipelihara selama bertahun-tahun tak boleh diambil hasilnya, sehingga kolam dan lubuk itu merupakan wadah pembiakan dan pelestarian plasma nutfah bibit ikan jurung yang sangat terkenal di daerah ini. Pemeliharaannya, konon, dilakukan dengan menggunakan semacam jimat dari seorang tokoh ulama, dan ikan hanya dapat diambil dengan aman jika ada izin darinya.

  • 14

    darat biasanya dimiliki secara pribadi, kolam ikan berupa lubuk larangan dimiliki bersama oleh komunitas desa (masuk kategori communally owned resources). Selain mengandalkan ikan sungai yang sudah biasa ada, pengurus lubuk larangan di setiap desa juga memasukkan bibit baru seperti ikan mas, nila, dan berbagai jenis ikan kolam lainnya. Beberapa jenis ikan yang dikonservasi di lubuk larangan adalah ikan jurung yang disebut secara lokal dengan nama mera atau garing, lelan, baung, haruting, incor, haporas, udang, ikan mas, nila, mujair, dll. Semua jenis ikan itu dipantangkan untuk ditangkap selama periode penutupan lubuk larangan.

    Jangka waktu penutupan lubuk larangan atau masa berlakunya larangan untuk menangkap ikan di lokasi lubuk larangan pada umumnya adalah satu tahun. Dalam jangka waktu itu, tiada seorang dan tiada satu haripun diizinkan untuk menangkap ikan di lokasi lubuk larangan. Larangan itu berlaku bukan hanya kepada warga desa pemilik lokasi lubuk larangan, tetapi berlaku untuk setiap orang darimanapun ia datang. Setiap komunitas desa menetapkan suatu kepanitiaan yang diberikan kewenangan untuk mengurus pengelolaan lubuk larangan. Tugas panitia tersebut antara lain adalah membentuk tim pengawas, penjaga, memberikan pakan, membuat tanda batas lokasi, membuat pengumuman, memasukkan benih ikan, mencari datu yang bisa membuat jimat untuk penjagaan secara gaib, menyiapkan dan menyelenggarakan festival pembukaan lubuk larangan sekali setahun, mengutip uang karcis masuk pada saat festival, memanfaatkan hasil lubuk larangan untuk tujuan yang sudah disepakati bersama, dan menyampaikan pertanggung-jawaban publik atas kinerjanya sebagai panitia.

    Tujuan pembentukan lubuk larangan Berbeda dengan konsep lubuk rarangan berbasis kepercayaan di masa lampau, model lubuk larangan yang tumbuh sejak tahun 1980-an dikelola dengan pendekatan rasional dan dengan satu tujuan yang jelas. Tujuan utamanya adalah pembiakan dan pembesaran ikan-ikan sungai dalam jangka waktu tertentu (sekitar setahun), sehingga pada akhir periode penutupan lubuk larangan sudah cukup baik untuk dipanen. Asumsinya, selama pemeliharaan satu tahun benih ikan di dalam sungai akan berkembang dengan baik dan bertambah banyak. Proses alamiah itu didukung dengan usaha pemeliharaan (misal dengan memberikan pakan) dan penjagaan (dengan regu jaga dan penjagaan secara gaib) oleh panitia agar terhindar dari aktivitas pencurian.

  • 15

    Lubuk larangan adalah sebuah upaya komunitas desa untuk menghimpun modal melalui pemeliharaan ikan di dalam sungai untuk jangkwa waktu tertentu, dan hasilnya akan dimanfaatkan untuk pembangunan sarana publik di desa. Dana yang diperoleh dari penjualan karcis masuk ketika festival pembukaan lubuk larangan dilakukan (biasanya pada peringatan hari-hari besar keagamaan/Idul Fitri, IdulAdha atau hari besar nasional/Hari Kemerdekaan) digunakan untuk pembangunan di desa. Setiap komunitas desa sudah menetapkan terlebih dahulu apa yang menjadi tujuan mereka, misalnya membangun mesjid, madrasah, membiayai honor guru di madrasah, untuk fasilitas jalan desa, untuk menyantuni anak yatim dan fakir miskin, dan keperluan lain yang disepakati bersama.

    Luas kawasan lubuk larangan

    Biasanya tidak seluruh bagian aliran sungai yang melintasi wilayah desa ditetapkan sebagai lokasi lubuk larangan. Seperti terlihat pada data Lampiran 3, panjang areal yang dilarangkan bervariasi antara 0,5 sampai 1 km. Pada bagian aliran sungai yang tidak termasuk lokasi lubuk larangan bebas untuk dimanfaatkan oleh warga untuk menangkap ikan. Aturan-aturan pengelolaan lubuk larangan hanya diterapkan secara ketat dan efektif di lokasi larangan. Namun biasanya, pilihan lokasi lubuk larangan sudah memperhitungkan tempat-tempat yang paling strategis untuk dilarangkan.

    Tipe pengelolaan lubuk larangan

    Secara umum lubuk larangan dikelola oleh panitia yang dibentuk oleh komunitas desa. Di daerah Muara Sipongi dan Kotanopan, panitia pada umumnya bukan aparat desa melainkan orang-orang yang dipercaya dan memiliki integritas dan kemampuan memimpin. Mereka bekerja berdasarkan mandat musyawarah desa, dan melakukan pengabdian untuk kepentingan masyarakat desa. Di daerah Batang Natal pengelolanya agak bervariasi, ada yang langsung dikelola oleh aparat desa dan LKMD, sehingga ada yang dikenal dengan lubuk larangan LKMD. Ada pula yang dikelola oleh kenaziran masjid, oleh pengurus madrasah, oleh persatuan pemuda, bahkan ada pula yang dikelola oleh pihak tertentu melalui sistem kontrak. Patut dicatat di sini bahwa DAS Batang Natal aliran sungainya cukup besar dan dalam serta banyak anak sungai, sehingga di beberapa desa seperti Muara Soma, Muara Parlampungan dan Simpang Gambir terdapat lebih dari satu lubuk larangan di tiap desa. Ada lubuk larangan yang

  • 16

    ditujukan untuk masyarakat secara umum, ada yang khusus untuk madrasah, dan ada pula yang khusus untuk menyantuni anak yatim dan fakir miskin.

    Tipe pengkeramatan

    Pengelolaan lubuk larangan format baru sangat kuat diwarnai oleh nuansa ajaran dan keyakinan agama Islam. Dari segi tujuan dan pemanfaatan hasil lubuk larangan yang paling dominan adalah untuk keperluan-keperluan yang terkait langsung dengan urusan keagamaan, misalnya pembangunan dan rehabilitasi bangunan mesjid, pembangunan madrasah, biaya operasional madrasah, untuk menyantuni anak yatim dan fakir miskin19. Alasan keagamaan ini ditemukan di semua lokasi lubuk larangan.

    Namun dalam proses penjagaan dan pengawasan terhadap tindakan pencurian ikan di lubuk larangan, terdapat variasi landasan ideasional yang digunakan oleh panitia. Komunitas desa pengelola lubuk larangan di Kecamatan Kotanopan misalnya lebih dominan menyandarkan pengkeramatan secara formal dengan menerapkan sistem denda yang tegas kepada orang yang terbukti mencuri ikan di lubuk larangan. Setiap desa sudah memiliki seperangkat aturan pengelolaan, termasuk pengaturan sanksi bagi pelanggar dengan membayar denda uang dalam jumlah cukup besar (berkisar Rp 500.000 untuk kasus pencurian ikan). Jika ada kasus pelanggaran akan diperoses bersama antara panitia dengan aparat desa untuk menemukan kebenaran, dan jika terbukti bersalah akan ditegakkan aturan secara tegas dan cepat. Panitia lubuk larangan di daerah Kotanopan melihat penegakan aturan yang tegas dan cepat lebih efektif untuk menangkal pelanggaran. Namun demikian, proses penjagaan diperkuat juga dengan pendekatan magis melalui jimat-jimat yang dipesan kepada datu (dukun). Di sejumlah komunitas pengelola lubuk larangan di Kecamatan Batang Natal terdapat tiga varian yang dominan, yaitu pengkeramatan secara sosial, magis dan agama. Pengkeramatan secara sosial dimaksud di sini adalah penerapan sanksi sosial bagi orang yang kedapatan mencuri ikan di lubuk larangan. Sanksi sosial itu bisa berupa pengusiran dari desa, pernyataan bersalah dan meminta maaf kepada publik secara terbuka di masjid serta meminta maaf secara adat kepada masyarakat melalui lembaga adat dengan membuat jamuan makan bersama. Dalam kasus yang pernah

    19 Komunitas desa pada umumnya bahkan berkonsultasi terlebih dahulu dengan ulama-ulama tentang status hukum penerapan lubuk larangan apakah sesuai atau bertentangan dengan hukum Islam. Di beberapa desa yang resisten terhadap lubuk larangan, seperti di Bangkelang Kecamatan Batang Natal, masyarakatnya masih lebih mengikuti paham bahwa praktik lubuk larangan adalah bertentangan dengan ajaran Islam sehingga mereka tidak pernah sepakat untuk membentuk lubuk larangan di desanya.

  • 17

    ditemukan di lapangan, sanksi sosial itu bahkan pernah diterapkan kepada seorang aparat desa yang terbukti menjala ikan di lokasi lubuk larangan. Khusus untuk lubuk larangan anak yatim yang terdapat di beberapa desa di Kecamatan Batang Natal, upaya pengkeramatan dilakukan dengan menggunakan ajaran agama. Seluruh hasil pengelolaan lubuk larangan anak yatim digunakan untuk menyantuni anak yatim yang ada di desa, sehingga diasumsikan bahwa lubuk larangan tersebut adalah milik anak-anak yatim di desa. Kepada warga masyarakat dipahamkan bahwa mencuri ikan di lokasi lubuk larangan anak yatim sama artinya dengan mencuri dan memakan harta anak yatim, dan menurut ajaran agama perbuatan demikian sangat tercela. Dengan demikian, orang yang berani mencuri ikan di lubuk larangan anak yatim adalah orang-orang tercela dan akan menanggung dosa.

    Selain tipe pengkeramatan di atas, penggunaan jasa orang pintar atau dukun untuk membuat jimat yang dipercaya dapat menangkal pencurian ikan di lubuk larangan sangat lazim dipraktikkan di daerah Batang Natal. Jimat penangkal pencurian ikan tersebut, menurut panitia, mulai dari yang paling ringan yaitu membuat orang tidak berminat untuk mencuri ikan di lubuk larangan, sampai yang paling berat yaitu menyebabkan orang yang mencuri sakit-sakitan atau bahkan mati secara mendadak. Panitia mengatakan ada dua alasan mengapa di daerah ini masih sangat dominan tipe pengkeramatan dengan menggunakan kekuatan magis, yaitu (a) lokasi lubuk larangan yang cukup panjang dan jauh dari pemukiman sehingga pengawasan oleh penjaga yang ditunjuk diperkirakan tidak akan efektif, (b) karena masyarakat di daerah ini masih sangat percaya kepada kekuatan-kekuatan magis.

    Status pengelolaan

    Pengelolaan lubuk larangan adalah bentuk pengelolaan sumberdaya alam berbasis komunitas (community-based resources management). Pengelola utamanya adalah masyarakat, meskipun secara teknis diserahkan kepada panitia yang dibentuk melalui musyawarah desa. Peran pemerintah dalam konteks pengelolaan lubuk larangan adalah memberikan payung hukum berupa penerbitan Peraturan Daerah (Perda). Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan (sebelum pemekaran wilayah Kabupaten Mandailing Natal ) menerbitkan Perda No. 19 Thn 1988 tentang Pengelolaan Lubuk Larangan. Pada tahun 1994 Bupati KDH Tk II Tapsel juga mengeluarkan Keputusan No.188.45/269/1994 tentang Pendelegasian Wewenang Penerbitan Persetujuan Izin

  • 18

    Pembentukan Lubuk Larangan Kepada Dinas Perikanan Daerah Tingkat II Tapanuli Selatan.

    Dari perspektif pemerintah, pembentukan lubuk larangan di desa-desa secara formal harus dialasi dengan izin resmi dari pemerintah daerah. Alasan utamanya adalah untuk penertiban, pengamanan, pembinaan dan yang tidak kalah penting adalah sebagai dasar untuk menarik retribusi dari panitia. Sebagian besar komunitas desa pengelola lubuk larangan memang mengurus izin tersebut pada awal pembentukan, meskipun tidak semua yang secara rutin mengurus perpanjangan pada tahun-tahun berikutnya. Pada era 1980-an Bupati KDH Tapsel yang waktu itu dijabat oleh A. Rasyid Nasution cukup gencar mendukung pembentukan lubuk larangan di berbagai daerah di Tapanuli Selatan, dan ia juga memberikan bantuan berupa bibit ikan dan pembinaan teknis. Dengan demikian, pengelolaan lubuk larangan boleh digolongkan sebagai pengelolaan berbasis komunitas yang mendapat dukungan formal dari pemerintah daerah.

    3.4. Potensi ancaman terhadap keberlanjutan Peenelitian yang dilakukan tidak sampai menyentuh aspek biofisik dari konservasi sumberdaya ikan sungai dengan model lubuk larangan. Fokus kajian waktu itu hanya pada aspek sosial budaya, khsusunya penilaian tentang kemampuan komunitas lokal dalam mendayagunakan modal sosial untuk mendukung sistem pengelolaan lubuk larangan. Sejauh mengenai topik tersebut, ditemukan fakta lapangan bahwa komunitas desa pengelola lubuk larangan di Kabupaten Mandailing Natal dapat melakukan proses rekayasa sosial budaya yang cukup baik untuk membangun sistem pengelolaan sumberdaya secara partisipatif, transparan, berkeadilan dan berkelanjutan. Namun satu hal yang dilihat sebagai potensi ancaman bagi kelestarian situs konservasi lubuk larangan adalah kemungkinan terjadinya degradasi sumberdaya hayati ikan yang menjadi fokus utama konservasi. Konservasi ikan di lubuk larangan memiliki sifat jangka pendek, sesuai dengan periode penutupan yang hanya berkisar satu tahun. Dengan periode pendek seperti ini akan dilakukan festival pembukaan lubuk larangan setiap tahun di satu lokasi. Pengalaman penyelenggaraan festival pembukaan lubuk larangan di beberapa desa di Kecamatan Kotanopan memperlihatkan kecenderungan adanya eksploitasi berlebihan pada hari H pembukaan. Jika pengunjung yang datang dan membeli tiket masuk untuk diberi izin menangkap ikan pada hari itu cukup banyak,

  • 19

    sangat mungkin terjadi pengurasan sumberdaya ikan yang ada di dalamnya. Dapat dibayangkan jika alat tangkap ikan yang digunakan berupa jala beroperasi sampai sebanyak ratusan unit pada hari itu, maka pasokan ikan yang ada di lubuk larangan akan terkuras, sehingga proses regenerasi akan membutuhkan waktu lebih panjang. Keberadaan ikan jurung (mera/garing) yang merupakan primadona di setiap lubuk larangan dari waktu ke waktu semakin berkurang dan semakin kecil ukurannya. Hal ini diperkirakan terjadi karena masa satu tahun tidak cukup bagi proses pembiakan ikan sampai mencapai ukuran terbaiknya. Patut dikemukakan di sini bahwa daya tarik utama bagi masyarakat penggemar lubuk larangan adalah keberadaan ikan jurung tersebut. Komunitas pengelola lubuk larangan sudah cukup maju dalam proses rekayasa kelembagaan dan sistem pengelolaan secara sosial budaya. Mereka mampu melakukan transformasi pengelolaan situs keramat alami berbasis kepercayaan animistik ke model pengelolaan yang lebih rasional, berbasis keyakinan agama, dan terlembagakan dengan baik. Namun mereka belum memiliki kapasitas yang memadai untuk mengintegrasikan sistem tersebut dengan prinsip-prinsip konservasi secara biologis, sehingga keduanya bisa berjalan secara sinergis. Sebaiknya kedua aspek itu harus berjalan selaras, karena ketimpangan pada satu aspek akan mengakibatkan sistem itu ambruk dalam jangka panjang.

    Kesimpulan

    1. Komunitas desa pengelola lubuk larangan di Kabupaten Mandailing Natal telah memiliki kemampuan untuk mentransformasikan dan merevivalisasi keberadaan situs keramat alami berbasis kepercayaan animistis ke format baru berbasis kepercayaan religius/Islami sehingga lebih adaptif dengan perkembangan sosial budaya masyarakat.

    2. Komunitas desa pengelola lubuk larangan di Kabupaten Mandailing Natal juga telah mampu membangun sistem pengelolaan yang lebih rasional, partisipatif, terbuka, terlembagakan dengan baik sehingga dari sudut sosial budaya model pengelolaan tersebut sudah memiliki basis keunggulan untuk tetap bertahan dalam jangka panjang. Bukti-bukti dari kasus-kasus pengelolaan yang persisten telah menunjukkan bahwa model pengelolaan lubuk larangan mampu bertahan lebih dari seperempat abad terakhir ini.

  • 20

    3. Komunitas pengelola lubuk larangan belum memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai untuk mempertahankan kesinambungan konservasi sumberdaya hayati di dalam sungai, sehingga dalam jangka panjang dapat menjadi faktor ancaman bagi keberlanjutan sistem tersebut.

    4. Diperlukan suatu upaya dan dukungan kongkrit bagi komunitas pengelola lubuk larangan di Mandailing Natal agar mereka memiliki kapasitas yang memadai untuk mengintegrasikan sistem pengelolaan yang sudah berkembang dengan baik (khsususnya dari aspek kelembagaan dan sosial budaya) dengan prinsip-prinsip konservasi biologis, agar kedua aspek tersebut dapat berjalan secara sinergis untuk menjamin keberlanjutan model pengelolaan lubuk larangan sebagai situs keramat alami yang dapat bertahan dalam jangka panjang.

    Daftar Pustaka

    Atmadja, Nengah B. 1993. Pengelolaan Hutan Wisata Kera Sangeh oleh Desa Adat Sangeh. Dalam EKONESIA I:1-22. Penerbit P2AE-UI, Jakarta.

    Bulmer, R.N.H. 1982. Traditional Conservation Practices in Papua New Guinea. Dalam L. Morauta et.al. (eds) Traditional Conservation in Papua New Guinea: Implication for Today. PNG Hal 59-77.

    Edi Ikhsan, Zulkifli Lubis, dkk (penyunting). 2005. Dari Hutan Rarangan ke Taman Nasional: Potret Komunitas Lokal di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis, Bitra Konsorsium, Medan.

    Ferrari, Maurizio Farhan. 2002. Community Conserved Areas in Southeast Asia. Final Report for IUCN.

    Lubis, Z. Pangaduan. 1987. Namora Natoras: Pemimpin Tradisional Mandailing. Skripsi sarjana Antropologi FS USU, tidak diterbitkan, Medan.

    Lubis, Zulkifli. 1998. Sistem Penguasaan Sumberdaya Alam di Mandailing Natal. Laporan penelitian, tidak dipublikasikan.

    Lubis, Zulkifli, dkk. 2001. Resistensi, Persistensi dan Model Transmisi Modal Sosial Dalam Pengelolaan Sumberdaya Milik Bersama: Kajian Antropologis Terhadap Pengelolaan Lubuk Larangan di Sumatera Utara. Laporan penelitian untuk Proyek Riset Unggulan Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (RUKK I). Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi RI. Laporan tidak dipublikasikan.

    Mangaraja Gunung Sorik Marapi. 1979. Turi-turian Ni Raja Gorga di Langit dohot Raja Suasa di Portibi. Diterbitkan ulang oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta.

    Nasution, Pandapotan. 2001. Mandailing Natal: Peluang, Tantangan dan Harapan. Penerbit Yayasan Parsarimpunan Ni Tondi, Medan.

  • 21

    Pandey, Deep Narayan .2003. Traditional Knowledge System for Biodiversity Conservation. Sumber dokumen elektronik http://www.indianscience.org/ essays/t_es_pande_conserve.shtml

    Ratthakette, Pagarat. 1984. Taboos and Tradition: their Influneces on the Conservation and Exploitation of Trees in Social Forestry Projects in Northern Thailand. Dalam Y.S. Rao et.al (ed) Community Forestry: Socio-economic Aspects. FAO-RAPA.

    Shcaaf, Thomas.2003. UNESCOs Experience with the Protection of Sacred Natural Sites for Biodiversity Conservation. Proceeding of the International Workshop on the Importance of Sacred Natural Sites for Biodiversity Conservation, held in Kunming and Xishuang Banna Biosphere Reserve. People Republic of China, 17-20 February 2003.

    Soutter, Rob et.al. 2003. Recognizing the Contribution of Sacred Natural Sites for Biodiversity Conservation. Paper for Workshop Stream II Session I Part I at V World Park Congress. Diakses melalui dokumen elektronik

    Verschuuren, Bas, Josep Maria Mallarach, Gonzalo Oviedo. 2007. Sacred Sites and Protected Areas. Proposal. IUCN World Commission on Protected Areas Task Force for Protected Areas Categories. Dalam dokumen elektronik http://www.iucn.org/themes/wcpa/theme/ categories/summit/ papers/papers/Sacredsites3.pdf

  • 22

    Lampiran

    Lampiran 1. Desa-desa Pengelola Lubuk Larangan di Kec. Muara Sipongi, Kotanopan dan Batang Natal (Tahun 2000-2001)

    NO

    KECAMATAN

    MUARA SIPONGI KOTANOPAN BATANG NATAL

    01 Huta Padang Tobang Gonting 02 Huta Toras Botung Tandikek 03 Pakantan Lombang Muara Botung Manisak 04 Ranjo Batu, 2 lokasi Tolang Rantona Linjang 05 Kampung Pinang, 2 lokasi Huta Rimbaru, SM Hutaraja 06 Koto Tinggi/Bandar Panjang Huta Pungkut Julu Muara Bangko/Torusan 07 Simpang Mandepo Huta Pungkut Tonga Simpang Gambir , 5 lokasi 08 Pasar Muara Sipongi Husor Tolang Tapus 09 Koto Baringin Huta Pungkut Jae Lancat Batu Gajah 10 Sibinail Tamiang Sikumbu 11 Huta Dangka Aek Garingging 12 Muara Pungkut Lobung 13 Padang Bulan Ampung Siala 14 Muara Siambak Muara Parlampungan, 3 lokasi 15 Tambang Bustak Muara Soma, 2 lokasi 16 Huta Baringin TB Ampung Padang 17 Muara Mais Tombang Kaluang 18 Singengu Julu Bangkelang (?) 19 Singengu Jae Aek Nangali 20 Saba Dolok Tarlola 21 Muara Mais Jambur Rantobi 22 Lumban Pasir Ampung Julu 23 Tambangan Jae Rantobi

    10 dari 16 Desa 23 dari 85 Desa 23 dari 40 Desa

    Sumber : Hasil wawancara dan pengamatan

    Lampiran 2. Desa fokus lokasi penelitian di tiga kecamatan

    NO

    KODE

    NAMA

    KOMUNITAS DESA PENGELOLA

    KECAMATAN

    KETERANGAN

    01 P1-KNP Singengu Julu & Singengu Jae

    Kotanopan Kasus persisten (P), komunitas pengelola LL gabungan dari dua desa

    02 P2-KNP Husor Tolang Kotanopan Kasus persisten (P) 03 P3-KNP Huta Rimbaru SM Kotanopan Kasus persisten (P) 04 P4-MSP Koto Baringin Muara Sipongi Kasus persisten (P) 05 P5-MSP Koto Tinggi/

    Desa Bandar Panjang Muara Sipongi Kasus persisten (P), bagian dari

    wilayah administrasi Desa Bandar Panjang

    06 P6-MSP Tanjung Larangan/ Desa Kampung Pinang

    Muara Sipongi Kasus persisten (P), bagian dari wilayah administrasi Desa Kampung Pinang

    07 P7-BTN Muara Soma Batang Natal Kasus persisten (P) 08 P8-BTN Muara Parlampungan Batang Natal Kasus persisten (P) 09 P9-BTN Ranto Sore/

    Desa Simpang Batang Natal Kasus persisten (P), bagian dari

    wilayah administrasi Desa

  • 23

    Gambir Simpang Gambir 10 R1-KNP Huta Baringin TB Kotanopan Kasus resisten (R ) 11 R2-KNP Muara Botung Kotanopan Kasus resisten (R ) 12 R3-MSP Pasar Muara Sipongi Muara Sipongi Kasus resisten (R )

    13 R4-MSP Kampung Pinang Muara Sipongi Kasus resisten (R ), dusun/bagian dari wilayah administrasi Kampung Pinang

    14 R5-BTN Tarlola Batang Natal Kasus resisten (R ) 15 R6-BTN Bangkelang Batang Natal Kasus resisten (R )

    Lampiran 6.

    Bilik 6 : Contoh daftar jaga malam di lokasi lubuk larangan

    DAFTAR : JAGA MALAM LUBUK LARANGAN DESA HUTARIMBARU SM MULAI BERLAKU TANGGAL 10 DESEMBER 1999 (MALAM SABTU) JAGA MALAM DIMULAI JAM 20.00 WIB s/d JAM 3.00 PAGI

    POS SABTU MINGGU SENIN SELASA RABU KAMIS JUMAT

    POS I

    Ali Atas Moncot Salam Ilham Sakti Japuli

    M. Nurdin AswinSakti Asroi Asrin Hidayat Sofwat

    Safawi AMutholib Syakban Ali Edi Irjon

    Ab Holad Jagairan Hamzah Madik Hatib Hasyim

    Gozalih Naswan Ishak Safar Pai Budi Johar

    Erli Dlt Parlindungan Makrum M. Nur Mukti

    Syamsir Rasoki Nasri Amat Kedan

    POS II

    Irsad Hasan Basri M. Rizal Pamilu Ali SAti

    Haris Ahmad Irsan/Sinso Tungkot Rahim Miswar

    Ramlan Torkis Zulkifli Jumidi Sahrul

    Dahlan Afsin Iskandar Pengpeng Ibrahim

    Sahmudin Samsyudin Fendi Buyung Ahmad

    Burhan Sangkot Bahrum Makruf Yusuf

    Habibulah M.Hakim Fai Boncel Khairul A Hidayat

    POS III

    Amron Lubis Abdullah Y. Simamora Lolotan Pijor

    Partomuan Muda Samsul Bahri Paisal Amrun

    Saleh Abd. Holid M. Taon Nasar Buyung

    Parlagutan Syahrial Kampung Darwin Ikhsan s. Pangulu

    Amiruddin M.Idris Hamdan Amir Hamzah Ridoan Nazar

    Memet Ramli Edy Faisal Parlindung Nasir Amid

    Bakhtiar Zulkarnain Ikhsan S A Hakim Marzuki Sakban

    Demikianlah Daftar Jaga Malam ini dibuat, diperhatikan, dipertimbangkan dan diputuskan oleh Panitia bersama Kepala Desa. Semoga saudara-saudara maklum. Perlu diingat : 1. Senter diambil pada Sdr Hamzah Lubis dan juga pengembaliannya pada pagi harinya 2. Pergantian Pos untuk jaga malam selanjutnya, yang jaga di Pos I pindah ke Pos II, yang jaga di Pos II pindah ke Pos III dan yang jaga di Pos III pindah ke Pos I dan seterusnya. 3. Kalau sadaura-saudara kurang cocok dengan malam jaganya, boleh bergantian asal dapat izin dari Komandan Regunya masing-masing.

    DITETAPKAN DI HUTARIMBARU PADA TANGGAL 4 DESEMBER 1999

    DISETUJUI OLEH PANITIA LUBUK LARANGAN DESA HUTARIMBARU SM KEPALA DESA HUTARIMBARU K E T U A SEKRETARIS

    HUSIN NASUTION SAFAWI LUBIS HAMZAH LUBIS

  • 24

    Lampiran 7

    Bilik 7 : Sanksi bagi pelaku pencurian & insentif bagi pelapor tindak pencurian

    NO

    LOKASI SANKSI DENDA

    (dlm Rupiah) SANKSI SOSIAL

    INSENTIF UTK PELAPOR/

    PENANGKAP 1 P1-KNP 500,000 umum

    1,000,000 (utk warga Desa Huta Padang) *

    100 % untuk pelapor

    2 P2-KNP 500,000 (warga biasa) 1,000,000 (utk panitia) + alat disita

    60 % utk penangkap, 20 % utk pelapor, 20 % kas

    3 P3-KNP 500,000 + alat disita 20 % utk pelapor, 80% kas

    4 P4-MSP 50,000 + alat disita Jika tdk dibayar, dikucilkan **)

    1/3 utk pelapor, 2/3 utk kas

    5 P5-MSP 250,000 + alat disita Jika tdk dibayar, dikucilkan

    6 P6-MSP 30,000 + alat disita Jika tak bayar 1 bln, 7 P7-BTN LL-LKMD : 250,000

    LL-Anak Yatim:50,000 + alat disita

    Dikucilkan

    8 P8-BTN LL-LKMD : 300,000 LL-MHI : 300,000 LL-Anak Yatim : belum diatur

    Dikucilkan

    9 P9-BTN LL-SD/Koramil: 100,000

    *) Sesuai perjanjian antara Desa Singengu dan Desa Huta Padang. Sanksi yang lebih besar diterapkan karena berdasarkan pengalaman banyak kasusa pencurian ikan di LL Singengu dilakukan oleh penduduk Desa Huta Padang **) Maksudnya dikucilkan dalam pergaulan masyarakat dan tidak dilayani dalam urusan adat.

  • 25

    Lampiran 8

    Bilik 8 : Beberapa pelanggaran terhadap aturan main

    1 Lokasi P1-KNP (1999). Seorang warga desa sendiri mencuri ikan pada siang hari di lokasi lubuk larangan tanpa alat, dilihat oleh seorang warga lain. Saksi tersebut melapor kepada panitia, kemudian pencuri ditangkap dan diproses oleh panitia bersama Kepala Desa. Sesuai aturan yang berlaku di Lubuk Larangan Singengu dia harus membayar denda Rp 500,000, dan harus dilunasi pada hari itu juga. Pelaku meminta kelonggaran waktu untuk membayar denda, tetapi ditolak oleh panitia, dan akhirnya harus dibayarkan hari itu juga. Uang denda itu kemudian diberikan sebagai insentif bagi saksi pelapor.

    2. Lokasi P3-KNP (1998). Seorang warga desa Sayur Maincat tertangkap melakukan pencurian di lubuk larangan Desa Huta Rimbaru. Pencuri ditangkap dan dibawa ke kepala desa dan diproses bersama panitia dan hatobangon (tokoh masyarakat). Sesuai aturan yang berlaku di desa Huta Rimbaru pencuri harus membayar denda Rp 500,000. Pelaku berjanji akan membayar denda tersebut seminggu kemudian, tetapi sampai batas waktu tersebut dia tidak dapat melunasi dendanya. Karena pelakunya tidak bisa membayar tunai maka atas persetujuan panitia dan kepala desa Huta Rimbaru yang bersangkutan menyerahkan sebidang tanah miliknya di Sayur Maincat berikut surat-surat bukti kepemilikannya kepada panitia sebagai ganti denda.

    3. Lokasi P3-KNP (1997). Seorang warga desa Huta Padang tertangkap mencuri ikan di lokasi lubuk larangan Huta Rimbaru, kemudian diproses dan diwajibkan membayar denda sebesar Rp 500,000. Karena pelakunya tidak mempunyai uang tunai untuk membayar denda tersebut, kepada panitia lalu diserahkannya dua ekor kambing miliknya senilai Rp 500,000,-. Pada tahun yang sama pernah juga terjadi kasus pencurian ikan di lubuk larangan desa Huta Rimbaru yang dilakukan oleh seorang warga desa tersebut. Karena ketahuan dan takut ditangkap oleh panitia, pelaku pencurian tersebut melarikan diri dari desa. Setahun kemudian yang bersangkutan pulang ke kampung ketika orangtuanya meninggal dunia. Tak lama sesudahnya kasus pencurian itu dibuka kembali dan diproses oleh panitia dan pelakunya dikenakan denda sesuai dengan aturan yang berlaku.

    4. Lokasi P2-KNP (2000). Seorang warga desa Huta Pungkut melakukan pencurian ikan di Lubuk Larangan Desa Husor Tolang. Ketika pelaku diminta panitia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dia menolak dan tidak mau mengakui perbuatannya. Karena itu Kepala Desa Husor Tolang bersama tokoh masyarakat dan panitia lubuk larangan mendatangi dan melaporkan kasus tersebut kepada Kepala Desa dari pelaku pencurian. Kemudian setelah pelaku mengakui perbuatannya, dia diharuskan membayar denda Rp 300,000, tunai dan senilai Rp 200,000,- dalam bentuk hutang selama seminggu yang dinyatakan di atas segel.

    5. Lokasi P7-BTN (1996). Seorang warga desa melakukan pencurian namun tidak mengaku. Karena laporan saksi cukup kuat yang bersangkutan dihukum dengan cara mengeluarkannya dari desa. Empat bulan kemudian dia mengaku dan diperbolehkan kembali ke desanya.

    6. Lokasi P7-BTN (1999). Seorang aparat desa ketahuan mencuri ikan di lubuk larangan Desa Muara Soma, disaksikan oleh seorang ibu rumah tangga yang kemudian melaporkannya kepada suaminya, dan sang suami kemudian melapor kepada Kepala Desa. Karena kesaksian datang dari seorang perempuan dan lebih dipercaya maka pelaku yang bersangkutan dikenakan denda Rp. 50.000,. Selain itu dia mendapatkan sanksi sosial berupa keharusan untuk meminta maaf kepada warga desa melalui pernyataan di mesjid setelah Sholat Jumat, dan juga diharuskan mengundang para hatobangon di desa ke rumahnya untuk mengadakan pernyataan maaf secara adat. Acara tersebut disertai dengan jamuan makan menggunakan pulut kuning sesuai dengan aturan adat setempat.

    7. Lokasi P5-MSP (1987). Seorang warga desa Muara Kumpulan tertangkap menjala ikan di lubuk larangan Koto Tinggi. Pelaku diharuskan membayar denda sebesar Rp 100,000, tetapi pada saat diproses oleh panitia baru mampu membayar separuhnya. Panitia

  • 26

    Lampiran 9

    Tabel 4. Sasaran Pemanfaatan Hasil Lubuk Larangann

    NO

    KODE

    NAMA KOMUNITAS DESA

    PENGELOLA

    SASARAN

    PEMANFAATAN HASIL

    01 P1-KNP Singengu Julu & Singengu Jae

    Pembangunan dan biaya operasional Madrasah Syariful Majlis

    02 P2-KNP Husor Tolang Guru madrasah, pembangunan masjid, dan sarana jalan desa

    03 P3-KNP Huta Rimbaru SM

    Pembangunan madrasah 2 lantai

    04 P4-MSP Koto Baringin Pembangunan masjid, sarana jalan, organisasi pemuda, klub sepak bola

    05 P5-MSP Koto Tinggi/ Desa Bandar Panjang

    Pembangunan masjid, organisasi pemuda

    06 P6-MSP Tanjung Larangan/ Desa Kampung Pinang

    Pembangunan masjid, organisasi pemuda

    07 P7-BTN Muara Soma Pembangunan masjid, bantuan anak yatim dan fakir miskin, organisasi pemuda

    08 P8-BTN Muara Parlampungan Pembangunan masjid, bantuan anak yatim dan fakir miskin, operasional madrasah MHI

    09 P9-BTN Ranto Sore/ Desa Simpang Gambir

    Biaya honor guru SDN, organisasi pemuda

    10 R1-KNP Huta Baringin TB

    Pembangunan masjid

    11 R2-KNP Muara Botung

    Pembangunan masjid, organisasi pemuda

    12 R3-MSP Pasar Muara Sipongi

    Organisasi pemuda

    13 R4-MSP Kampung Pinang

    Pembangunan masjid, organisasi pemuda

    14 R5-BTN Tarlola

    Pembangunan masjid

    15 R6-BTN Bangkelang

    Direncanakan utk pembangunan masjid

  • 27

    Lampiran 3 . Riwayat pengelolaan lubuk larangan di Komunitas Desa Lokasi Penelitian

    NO

    KODE

    NAMA KOMUNITAS DESA PENGELOLA

    KECAMATAN

    KETERANGAN

    TAHUN MULAI

    BERDIRI

    JLH

    LOKASI

    PANJANG

    LL (KM)

    KETERANGAN

    01 P1-KNP Singengu Julu & Singengu Jae

    Kotanopan Kasus persisten (P), komunitas pengelola LL gabungan dari dua desa

    1983 1 0,8

    02 P2-KNP Husor Tolang Kotanopan Kasus persisten (P) 1980 1 1,0

    03 P3-KNP Huta Rimbaru SM Kotanopan Kasus persisten (P) 1989 1

    04 P4-MSP Koto Baringin Muara Sipongi Kasus persisten (P) 1970an * 1980-an

    1 1,0 *) dikelola lembaga adat

    05 P5-MSP Koto Tinggi/ Desa Bandar Panjang

    Muara Sipongi Kasus persisten (P), bagian dari wilayah Desa Bandar Panjang

    1985 1 0,7

    06 P6-MSP Tanjung Larangan/ Desa Kampung Pinang

    Muara Sipongi Kasus persisten (P), bagian dari wilayah Desa Kampung Pinang

    1970-an* 1985

    1 1,0 *) dikelola lembaga adat

    07 P7-BTN Muara Soma Batang Natal Kasus persisten (P) 1984 1996

    2 2,0

    08 P8-BTN Muara Parlampungan Batang Natal Kasus persisten (P) 1984 1996 1997

    3 2,5

    09 P9-BTN Ranto Sore/ Desa Simpang Gambir

    Batang Natal Kasus persisten (P), bagian dari wilayah Desa Simpang Gambir

    1995 1996

    2 2,0

    10 R1-KNP Huta Baringin TB Kotanopan Kasus resisten (R ) 1991 1 0,9

    11 R2-KNP Muara Botung Kotanopan Kasus resisten (R ) 1988 1 1,0

    12 R3-MSP Pasar Muara Sipongi Muara Sipongi Kasus resisten (R ) 1992 1 0,4

    13 R4-MSP Kampung Pinang Muara Sipongi Kasus resisten (R ), bagian dari wilayah Kampung Pinang

    1970-an* 1980-an

    1 0,5 *) dikelola lembaga adat

    14 R5-BTN Tarlola Batang Natal Kasus resisten (R ) 1995 1 1,0

    15 R6-BTN Bangkelang Batang Natal Kasus resisten (R ) 1990-an* 0 *) tumbuh inisiatif, tapi gagal realisasi

  • 28

    ManisakGonting

    Tandikek

    Rantona LinjangHutaraja

    Muara Bangko(Torusan)

    Ranto SoreSp. Gambir

    Loncat Batu Gajah SikumbuAek Garingging

    Lobung

    Ampung Siala

    MuaraPerlampungan

    Ampung PadangBangkelang

    Aek Nangali

    Tarlola

    Rantobi

    MuaraSoma

    KEC. BATANG NATAL

    S. Bt.

    Natal

    S. B

    t. Ba

    ngk

    o B. B

    ang ko

    B. Rant au

    A. K

    olbu

    ng

    B.

    Bata

    han

    KEC.BATAHAN

    KEC.NATAL

    KEC. PANYABUNGAN

    KEC. KOTA NOPAN

    PROP. SUMATERA BARAT

    U

    B T

    S

    Hilir

    Hilir

    Hilir

    Batas Kecamatan

    Lubuk Larangan ResistenLubuk Larangan Persisten

    Jalan RayaSungai

    Batas Kabupaten Kota Kecamatan

    KETERANGAN :

    SKALA 1 : 224.000

    Desa Lokasi L. Larangan

    Lampiran 4. Peta lokasi lubuk larangan di daerah Kecamatan Batang Natal

  • 29

    Hutapadang

    Hutatoras

    Pakantan Lomban

    Tj, Larangan

    Kp. PinangRanjobatu

    Simpang Mendapo

    Koto Baringin

    Bandar Panjang

    Ps. Muara Sipongi

    Koto TinggiSibinail

    Muara Sipongi

    KEC.MUARASIPONGI

    Tobang

    Botung

    Muara BotungHusor Tolang

    Tamiang

    Huta Dangka

    Hutarimbaru

    Huta Baringin

    KotaNopan

    Padang Bulan

    Muara SiambakMuara Pungkut

    Huta Pungkut Tonga

    TolangHuta Pungkut JaeHuta Pungkut Julu

    TambangBustak

    SingenguSaba Dolok

    Muara MaisMuara MaisJambur

    Lumban PasirTambangan Jae

    KEC. PANYABUNGAN

    KEC.BATANG NATAL

    KEC.KOTA NOPAN

    KAB. LABUHAN BATU

    PROP. SUMATERA BARAT

    U

    B T

    SS. Bt. Gadis

    SKALA 1 : 260.000

    Batas Kecamatan

    Lubuk Larangan ResistenLubuk Larangan Persisten

    Jalan RayaSungai

    Batas Kabupaten Kota Kecamatan

    KETERANGAN :

    Jalan Lintas Sumatera

    Hilir

    Desa Lokasi L. Larangan

    Lampiran 5. Peta lokasi lubuk larangan di Kecamatan Muara Sipongi dan Kotanopan