pengaruh penggunaan berbagai antibiotik dan probiotik
DESCRIPTION
ABSTRAKPenggunaan probiotik dan antibiotik masih banyak digunakan di unit pembenihan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan berbagai antibiotik dan probiotik dengan dosis berbeda terhadap pertumbuhan dan kualitas air pada larva udang windu (Penaeus monodon Fabricius). Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan hewan uji larva udang windu PL-5 dan mengaplikasikan penggunaan probiotik Bacillus dengan dosis 0,75 ppm, 1,0 ppm dan 1,25 ppm, serta antibiotik oxytetracyclin, dan erytromicin masing-masing sebesar 1 ppm. Hasil penelitian me-nunjukkan pertumbuhan larva tergolong masih rendah. Hal ini diduga karena salinitas air media pemeliharaan yang terlalu tinggi (35 ppt). Selanjutnya pertumbuhan larva udang windu tertinggi pada akhir penelitian diperoleh pada perlakuan probiotik 1,25 ppm dan erytromicin (C2) dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 0,0278 mg, menyusul perlakuan D (tanpa perlakuan) dengan berat rata-rata sebesar 0,0226 mg, perlakuan B2 (probiotik 1,00 ppm dan erytromicin) sebesar 0,0219 mg, dan perlakuan paling rendah adalah perlakuan C1 (probiotik 1,25 ppm dan oxytetracycline) sebesar 0,0166 mg. Secara keseluruhan kualitas air media pemeliharaan masih sesuai dengan kebutuhan larva udang windu, baik pH, suhu, dan oksigen, kecuali salinitas masih terlalu tinggi (35 ppt), demikian pula dengan sifat kimia air masih dalam batas toleransi untuk pertumbuhan larva udang windu.Kata kunci: Windu, pertumbuhan, antibiotik, dan probiotikABSTRACTThe use of probiotics and antibiotics are widely used in theTRANSCRIPT
-
Jurnal Agrisistem, Desember 2012, Vol. 8 No. 2 ISSN 1858-4330
77
PENGARUH PENGGUNAAN BERBAGAI ANTIBIOTIK DAN PROBIOTIK
DENGAN DOSIS BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN
KUALITAS AIR PADA LARVA UDANG WINDU
(Penaeus monodon Fabricius)
EFFECT OF THE USING OF ANTIBIOTICS AND PROBIOTICS WITH
VARIOUS DIFFERENT DOSE OF GROWTH AND WATER QUALITY
IN SHRIMP LARVA (Penaeus monodon Fabricius)
Patang
Politeknik Pertanian Negeri Pangkep
ABSTRAK
Penggunaan probiotik dan antibiotik masih banyak digunakan di unit pembenihan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan berbagai antibiotik dan
probiotik dengan dosis berbeda terhadap pertumbuhan dan kualitas air pada larva udang
windu (Penaeus monodon Fabricius). Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental
yang menggunakan hewan uji larva udang windu PL-5 dan mengaplikasikan penggunaan
probiotik Bacillus dengan dosis 0,75 ppm, 1,0 ppm dan 1,25 ppm, serta antibiotik
oxytetracyclin, dan erytromicin masing-masing sebesar 1 ppm. Hasil penelitian me-
nunjukkan pertumbuhan larva tergolong masih rendah. Hal ini diduga karena salinitas air
media pemeliharaan yang terlalu tinggi (35 ppt). Selanjutnya pertumbuhan larva udang
windu tertinggi pada akhir penelitian diperoleh pada perlakuan probiotik 1,25 ppm dan
erytromicin (C2) dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 0,0278 mg, menyusul perlakuan D
(tanpa perlakuan) dengan berat rata-rata sebesar 0,0226 mg, perlakuan B2 (probiotik 1,00
ppm dan erytromicin) sebesar 0,0219 mg, dan perlakuan paling rendah adalah perlakuan
C1 (probiotik 1,25 ppm dan oxytetracycline) sebesar 0,0166 mg. Secara keseluruhan
kualitas air media pemeliharaan masih sesuai dengan kebutuhan larva udang windu, baik
pH, suhu, dan oksigen, kecuali salinitas masih terlalu tinggi (35 ppt), demikian pula
dengan sifat kimia air masih dalam batas toleransi untuk pertumbuhan larva udang windu.
Kata kunci: Windu, pertumbuhan, antibiotik, dan probiotik
ABSTRACT
The use of probiotics and antibiotics are widely used in the hatchery. This study aimed to
determine the effect of the use of different antibiotics and probiotics with different doses
on growth and water quality in shrimp larvae (Penaeus monodon Fabricius). This study is
an experimental research using laboratory animals shrimp larval PL-5 and apply the use of
probiotic Bacillus with a dose of 0.75 ppml, 1.0 ppm and 1.25 ppm, and antibiotics
oxytetracyclin and erytromicin each amounting to 1 ppm. The results showed relatively
low larval growth. This is presumably due to the salinity of the water is too high
maintenance media (35 ppt). The next highest growth of shrimp larvae at the end of the
study obtained at 1.25 ppm and probiotic treatment erytromicin (C2) with a growth rate of
0.0278 mg, followed by treatment D (without treatment) with an average weight of 0.0226
mg, treatment B2 (1.00 ppm and erytromicin probiotics) of 0.0219 mg, and the low
-
Jurnal Agrisistem, Desember 2012, Vol. 8 No. 2 ISSN 1858-4330
78
treatment is treatment C1 (1.25 ppm probiotic and oxytetracycline) of 0.0166 mg. The
overall water quality maintenance media is still in accordance with the needs of tiger
shrimp larvae, either pH, temperature, and oxygen, but still too high salinity (35 ppt), as
well as the chemical properties of water still within tolerable limits for the growth of
shrimp larvae.
Keywords: Shrimp, growth, antibiotics and probiotics
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki potensi perikanan
yang baik dimana wilayahnya berupa
laut dengan luas sekitar 5,8 juta km2, lebih
17.500 pulau, memiliki garis pantai se-
panjang 81.000 km, merupakan daerah
tropis terpanjang kedua setelah Kanada
(Dahuri, 2004). Selanjutnya dinyatakan
oleh Manggabarani (2004) bahwa potensi
sumberdaya ikan di Indonesia mencapai
6,4 juta ton tahun-1
yang merupakan MSY
dengan tingkat keamanan 20%. Produkti-
vitas hasil tangkapan diperkirakan 4,5 juta
ton tahun-1
.
Sejak dimulainya budidaya udang pada
tahun 1980-an, adanya kematian udang di
tambak sesungguhnya dianggap sebagai
suatu hal yang wajar, sama halnya seperti
kegiatan akuakultur lainnya. Sintasan se-
lama masa budidaya (sampai panen size
30) lebih atau sama dengan 60% telah
menjadi semacam kewajaran baik dalam
tahap perencanaan ataupun operasional
budidaya, suatu nilai yang dapat diterima
baik oleh teknisi, pengusaha maupun per-
bankan (Dinas Perikanan Sulawesi Sela-
tan, 2004). Salah satu penyebab kegagalan
budidaya udang di tambak diduga selain
disebabkan karena kondisi lingkungan
yang kurang baik, juga dapat disebabkan
oleh kondisi benur yang kurang optimal.
Salah satu jenis penyakit yang merupakan
masalah serius dalam budidaya udang
windu di tambak dan panti pembenih ada-
lah vibriosis yang disebabkan oleh bakteri
Vibrio spp. Di antara kasus-kasus vibriosis
yang ada, penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Vibrio harveyi merupakan salah
satu penyakit yang cukup serius. Bakteri
ini menyerang baik larva udang dipanti-
panti pembenihan maupun udang di tam-
bak pembesaran (Atmomarsono, et al.,
1993). Selanjutnya penyakit yang ditim-
bulkan oleh bakteri ini dikenal dengan
nama penyakit kunang-kunang atau udang
berpendar.
Beberapa jenis antibiotik yang umum di-
gunakan pada hatchery adalah oxytetra-
cyclin, erytromicin dan elbasin. Antibiotik
ini dapat berperan sebagai bakteriostatik
terhadap perkembangan dan pertumbuhan
bakteri Vibrio harveyi yang menyerang
larva udang windu pada media pemeliha-
raan (Bakhtiar, 2004). Lebih lanjut dinya-
takan pula bahwa Antibiotik secara se-
lektif menghambat, membunuh dan meru-
sak organisme-organisme patogenik tanpa
membahayakan organisme yang diperla-
kukan (Bakhtir, 2004).
Penelitian tentang pemanfaatan probiotik
telah dilakukan oleh Galugu (2008) yang
mengaplikasikan probiotik Bacillus Plus-1
terhadap udang vannamei (PL-10), demi-
kian pula dengan penelitian penggunaan
antibiotik telah diaplikasikan terhadap
post larva udang (Bakhtiar, 2004). Berda-
sarkan hal tersebut, dalam penelitian ini
dilakukan aplikasi antibiotik dan probiotik
dengan dosis berbeda. Penelitian ini ber-
tujuan untuk mengetahui pengaruh peng-
gunaan berbagai antibiotik dan probiotik
dengan dosis berbeda terhadap pertum-
buhan dan kualitas air pada larva udang
windu (Penaeus monodon Fabricius).
-
Jurnal Agrisistem, Desember 2012, Vol. 8 No. 2 ISSN 1858-4330
79
BAHAN DAN METODE
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian ekspe-
rimental (experimental research) yang
akan menggunakan rancangan acak ke-
lompok untuk mengkaji dosis penggunaan
probiotik Bacillus dan penggunaan ber-
bagai antibiotik yang berbeda dalam men-
jaga kualitas air, penekanan bakteri me-
rugikan, khususnya bakteri Vibrio harveyi
serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan
post larva udang windu (Penaeus mono-
don Fabricius) pada panti pembenihan.
Selanjutnya hewan uji yang digunakan
terdiri atas post larva udang windu (PL-3),
probiotik Bacillus diaplikasikan dengan
dosis 0,75 mg L-1
, 1,0 mg L-1
dan 1,25 mg
L-1
(Galugu, 2008). Kegiatan penelitian
ini dilaksanakan di Hatchery Mini Poli-
teknik Pertanian Negeri Pangkep pada
bulan September sampai November 2011.
Prosedur Penelitian
Hewan dan Bahan Uji
Hewan uji yang digunakan dalam peneli-
tian ini adalah post larva udang windu
(PL-5), probiotik Bacillus Plus-1 dan bak-
teri Vibrio harveyi resisten rifamvicin 6
mg L-1
. Padat penebaran yang diaplikasi-
kan adalah 10 ekor L-1
(Galugu, 2008).
Benur PL-5 sebagai hewan uji diperoleh
dari panti pembenihan udang (hatchery) di
Palie Kabupaten Barru.
Bahan uji yang diaplikasikan adalah pro-
biotik Bacillus Plus-1 dengan dosis 0,75
mg L-1
, 1,0 mg L-1
dan 1,25 mg L-1
(Galugu, 2008), bakteri Vibrio harveyi
resisten rifamvicin 6 mg L-1
, serta anti-
biotik Oxytetracyclin, dan Erytromicin
masing-masing sebesar 1 mg L-1
.
Wadah dan Media Pemeliharaan
Air laut dari bak penampungan dipompa
ke dalam bak filter dan diberi perlakuan
kaporit 35 ppm selama 24 jam tanpa di-
aerasi. Selanjutnya dinetralkan dengan
Natrium thiosulfat dengan aerasi kuat.
Setelah netral, air dimasukkan ke dalam
wadah plastik volume 60 L, masing-ma-
sing diisi 50 L untuk setiap satuan per-
cobaan (Galugu, 2008).
Peralatan Aerasi.
Untuk mempertahankan kelarutan oksigen
dalam media pemeliharaan agar tetap ba-
ik, maka setiap wadah dilengkapi dengan
batu aerasi yang dihubungkan selang dan
aerator (Bakhtiar, 2004).
Kultur Bakteri Vibrio harveyi Resisten
Rifamvicin 6 mg L-1
Biakan murni bakteri Vibrio harveyi di-
tumbuhkan pada media TCBS pale selama
24 jam. Bakteri yang tumbuh diinokulasi-
kan pada media pepton 1% utuk diper-
banyak. Setelah 24 jam ditumbuhkan kem-
bali ke media TCBS agar untuk meng-
hitung densitas Vibrio harveyi dengan
metode Total Plate Count menggunakan
coloni counter. Pembuatan bakteri Vibrio
harveyi resisten rifamvicin 6 mg L-1
di-
lakukan dengan menumbuhkan bakteri
pada media Pepton 1% rifamvicin 6 mg L-
1 (Galugu, 2008).
Perlakuan Probiotik Bacillus Plus-1
dan Antibiotik
Ke dalam setiap wadah satuan percobaan
diisi air laut bersih yang telah disaring
dengan saringan filter bag 15 mikron dan
diberi perlakuan (treatment), dimasukkan
benur PL-3 sebanyak 500 ekor (kepadatan
10 ekor L-1
) (Galugu, 2008). Benur di-
adaptasikan selama 24 jam dan beri pakan
komersil sesuai bukaan mulut udang se-
banyak 6 kali hari-1
sebanyak 1 ppm. Pe-
meliharaan selanjutnya dilakukan dengan
pemberian probiotik Bacillus Plus-1 untuk
setiap percobaan berdasarkan dosis yang
dicobakan serta pemberian antibiotik
oxytetracyclin dan erytromicin masing-
masing 1 ppm.
-
Jurnal Agrisistem, Desember 2012, Vol. 8 No. 2 ISSN 1858-4330
80
Setelah 5 hari pemeliharan dilakukan pe-
ngambilan sampel (5 hari setelah perla-
kuan probiotik dan antibiotik) (Galugu,
2008). Untuk menjaga kualitas air, dila-
kukan pergantian air sebanyak 50%, dan
kembali diberi perlakuan probiotik dan
antibiotik pada setiap perlakuan yang di-
cobakan dan pemeliharaan dilanjutkan
kembali. Pada hari ke-9 kembali dilaku-
kan pengambilan sampel dan dilakukan
pergantian air sebanyak 50%, dan kembali
diberi perlakuan probiotik dan antibiotik
sampai hari ke-14 (PL-14). Selama peme-
liharaan diberikan aerasi dan penyiponan
sisa pakan dan kotoran dilakukan setiap
hari. Setiap selesai melakukan pergantian
air dilakukan penimbangan larva udang
untuk mengetahui berat dan pertumbuh-
annya.
Pakan
Pakan yang sehat diberikan pada stadia
pasca larva udang windu yaitu artemia
salina dengan kepadatan 25 ekor mL-1. Frekuensi pemberian pakan 45 kali hari-1 yaitu pukul 07.
00; 11.
00; 15.
00;18.
00; dan
22.00
(Bakhtiar, 2004).
1) Pengukuran Kualitas Air
Selama pemeliharaan dengan perlakuan
probiotik dan antibiotik, dilakukan pengu-
kuran kualitas air yang mencakup para-
meter fisika dan kimia air seperti ter-
cantum dalam Tabel 1. Pengukuran kua-
litas air pertama kali dilakukan pada H0
(sebelum perlakuan probiotik dan anti-
biotik), H1 (1 hari setelah perlakuan pro-
biotik dan antibiotik.
Tabel 1. Parameter, satuan dan alat ukur/metode kualitas air
Parameter Alat Ukur/Metode Frekuensi
Pengukuran
Suhu (oC)
Salinitas (ppt)
pH
Oksigen terlarut (ppm)
Bahan organik total (ppm)
Nitrit (ppm)
Nitrat (ppm)
Amoniak (ppm)
Termometer
Refraktometer
pH meter
DO meter
Titrimetrik
Spektrofotometer/Sulfanilamide
Spektrofotometer/Brucine
Spektrofotometer/Phenate)
Setiap hari
Setiap lima hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap lima hari
Setiap lima hari
Setiap lima hari
Setiap lima hari
Pengukuran Pertumbuhan
Pertumbuhan dihitung dengan mengguna-
kan rumus pertumbuhan mutlak (Idris,
2010) sebagai berikut:
W = Wt - Wo
Dimana :
W = Pertumbuhan mutlak (g)
Wo = Berat ikan uji (biomassa) ikan
pada awal penelitian (g)
Wt = Berat ikan uji (biomassa) ikan
pada akhir penelitian (g)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan
Pertumbuhan dalam istilah sederhana da-
pat dirumuskan sebagai suatu pertam-
bahan ukuran panjang atau bobot dalam
waktu tertentu. Sari (1999) mengatakan
bahwa pertumbuhan udang dapat diduga
berdasarkan peningkatan ukuran pada
waktu dan frekuensi pergantian kulit. Na-
mun cara ini mempunyai kelemahan ka-
rena pada crustacea meskipun pertum-
buhan berhubungan langsung dengan per-
gantian kulit, dapat saja terjadi tanpa
-
Jurnal Agrisistem, Desember 2012, Vol. 8 No. 2 ISSN 1858-4330
81
adanya pertumbuhan (Wickins, 1976) Di
samping itu, pengukuran pertumbuhan di-
persulit karena seringnya terjadi kematian,
dimana udang yang mati biasanya tidak
utuh lagi atau hilang sama sekali akibat
dimakan sesamanya.
Tabel 2. Pertumbuhan larva udang windu selama pemeliharaan
Unit Percobaan Berat awal H-5 H-9 H-14
A1 0.0001 0.0004 0.0052 0.0209
A2 0.0001 0.0003 0.0085 0.0265
B1 0.0001 0.0011 0.0113 0.0183
B2 0.0001 0.0004 0.0067 0.0219
C1 0.0001 0.0018 0.0060 0.0166
C2 0.0001 0.0011 0.0066 0.0278
D 0.0001 0.0011 0.0075 0.0226
Sumber: Data primer setelah diolah, 2011
Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa per-
tumbuhan tertinggi pada akhir penelitian
diperoleh pada perlakuan probiotik 1,25
ppm dan arytromicin (C2) dengan pertum-
buhan rata-rata sebesar 0,0278 mg, me-
nyusul perlakuan D (tanpa perlakuan) de-
ngan berat rata-rata sebesar 0,0226 mg,
perlakuan B2 (probiotik 1,00 ppm dan
erytromicin) sebesar 0,0219 mg, dan
perlakuan paling rendah adalah perlakuan
C1 (probiotik 1,25 ppm dan oxytetra-
cycline) sebesar 0,0166 mg.
Kualitas Air
Kualitas air secara luas dapat diartikan
sebagai setiap faktor fisik, kimia dan bio-
logi yang mempengaruhi manfaat penggu-
naan air bagi manusia baik langsung mau-
pun tidak langsung. Jadi, segala karakte-
ristik air yang mempengaruhi sintasan,
pertumbuhan maupun pengelolaan suatu
organisme termasuk alam variabel kualitas
air (Asni, 2001). Kualitas air media
pemeliharaan selama penelitian dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kualitas air media pemeliharaan
Kode Unit
Percobaan
Kualitas Air
pH sore pH pagi suhu
sore
(0C)
suhu
pagi (0C)
O2 sore
(ppm)
O2 pagi
(ppm)
Salinitas
(ppt)
A1 7,38 7,41 30.6 30,49 5,87 5,82 35
A2 7,43 7,42 30.91 30,71 5,57 5,69 35
B1 7,42 7,44 31.46 31,14 6,05 6,19 35
B2 7,38 7,38 30.71 30,58 5,54 5,59 35
C1 7,41 7,41 30.69 30,78 5,50 5,63 35
C2 7,41 7,41 30.78 30,92 5,78 5,73 35
D 7,4 7,41 30.87 30,56 5,49 5,56 35
Sumber: Data primer setelah diolah, 2011
-
Jurnal Agrisistem, Desember 2012, Vol. 8 No. 2 ISSN 1858-4330
82
Salinitas
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
kualitas air media pemeliharaan secara
umum masih dalam batas yang cocok
untuk pemeliharaan larva udang windu,
kecuali salinitas, dimana salinitas masih
tergolong tinggi (Tabel 3). Salinitas me-
rupakan konsentrasi rata-rata garam yang
terdapat di dalam air laut (Asni, 2001).
Sedangkan menurut Martosudarmo dan
Ranoemihardjo (1980), batas yang layak
untuk pertumbuhan larva udang windu
berada pada kisaran salinitas 2732 ppt. Namun demikian salinitas air media pe-
meliharaan selama penelitian sebesar 35
ppt, meskipun telah dilakukan pergantian
air sebesar 50% dengan air media peng-
ganti memiliki salinitas sebesar 32 ppt.
Tingginya salinitas media pemeliharaan
selama penelitian diduga dapat menyebab-
kan rendahnya tingkat pertumbuhan larva
udang karena menurut (Bakhtiar, 2004)
salinitas dapat mempengaruhi fungsi fisio-
logi organisme antara lain total osmo-
regulasi, perimbangan ion dalam cairan
tubuh, koefisien absorbsi, kejenuhan gas-
gas terlarut serta kekentalan cairan sel.
Salinitas air juga berpengaruh terhadap
tekanan osmotik air dimana semakin ting-
gi salinitas semakin besar pula tekanan
osmotiknya.
Derajat keasaman (pH)
Derajat kemasaman air berperan penting
bagi kehidupan udang, karena dapat mem-
pengaruhi proses dan kecepatan reaksi
kimiawi di dalam air serta reaksi biokimia
didalam tubuh udang. Nilai pH suatu
perairan mencirikan keseimbangan antara
basa dengan asam dalam air dan meru-
pakan pengukuran konsentrasi ion hidro-
gen dalam larutan. Adanya karbonat, hid-
roksida akan meningkatkan kebasaan air,
sedangkan adanya asam-asam mineral be-
bas dan asam karbonat, akan meningkat-
kan kemasaman (Saeni, 1989).
7.35
7.36
7.37
7.38
7.39
7.4
7.41
7.42
7.43
7.44
A1 A2 B1 B2 C1 C2 D
pH Sore
pH Pagi
Gambar 1. pH air media pemeliharaan
Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa pH
air media pemeliharaan berkisar antara
7,357,44. pH air media antara pagi dan sore hari untuk semua perlakuan tidak
jauh berbeda dan perbedaannya tidak le-
bih dari 0,5. pH air media tertinggi terjadi
pada perlakuan B1 dengan pH 7,42 pada
sore hari dan 7,44 pada pagi hari, dan pH
air media terendah pada perlakuan B2
dengan pH pada sore dan pagi hari sebesar
-
Jurnal Agrisistem, Desember 2012, Vol. 8 No. 2 ISSN 1858-4330
83
7,38. pH air media selama pemeliharaan
masih termasuk nilai pH yang cocok un-
tuk pemeliharaan larva udang karena
menurut Poernomo (1999), jika nilai pH
6,4, pertumbuhan udang menyusut hingga
60% karena nafsu makan menurun. Nilai
pH
-
Jurnal Agrisistem, Desember 2012, Vol. 8 No. 2 ISSN 1858-4330
84
Oksigen Air Media Pemeliharaan
(ppm)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa oksi-
gen air media pada pagi hari rata-rata
sebesar 5,74 ppm, sedangkan pada sore
hari rata-rata sebesar 5,69 ppm (Gambar
3). Dengan demikian kandungan oksigen
pada pagi hari masih lebih besar diban-
dingkan dengan sore hari, namun perbe-
daannya tidak signifikan. Kandungan ok-
sigen media pemeliharaan selama peneli-
tian masih tergolong kandungan oksigen
yang sesuai dengan pertumbuhan larva
udang. Karena menurut Darmono (1991),
batas kandungan kadar oksigen terlarut
yang paling baik untuk pertumbuhan
udang adalah 3,7 ppm.
5
5.2
5.4
5.6
5.8
6
6.2
A1 A2 B1 B2 C1 C2 D
O2 Sore
O2 Pagi
Gambar 3. Oksigen (ppm) air media pemeliharaan
Air sebagai media hidup bagi organisme
perairan yang membutuhkan kualitas air
sesuai dengan kebutuhan organisme pe-
meliharan untuk menjamin hidupnya dan
pertumbuhannya. Parameter kimia, fisika
dan biologi yag sangat menentukan kua-
litas air media pemeliharaan seperti Sali-
nitas, suhu, pH, oksigen terlarut dan
amoniak (Bakhtiar, 2004).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-
rata NH3 air media adalah sebesar 0,51
ppm, nitrit rata-rata sebesar 0,03 ppm,
nitrat rata-rata sebesar 3,96 ppm dan BOT
rata-rata 40,68 ppm.
Tabel 4. Sifat kimia air media pemeliharaan
Unit
Percobaan NH3 Nitrit (NO
2) Nitrat (NO
3) BOT
A1 0,43 0,02 3,37 38,91
A2 0,65 0,02 4,08 45,60
B1 0,30 0,03 3,97 35,79
B2 0,52 0,02 3,99 44,86
C1 0,52 0,04 4,30 36,92
C2 0,54 0,02 2,81 46,42
D 0,63 0,03 5,19 36,23
Sumber: Data primer setelah diolah, 2011
-
Jurnal Agrisistem, Desember 2012, Vol. 8 No. 2 ISSN 1858-4330
85
Kandungan amoniak di dalam media pe-
meliharaan berasal dari penguraian bahan
organik berkadar nitrogen, baik yang ber-
asal dari feces maupun urine udang. Am-
moniak dalam air, biasanya terdapat da-
lam dua bentuk yaitu: (1) ammoniak (NH3)
yang bersifat racun, umumnya dominan
pada pH tinggi dan (2) ion ammonium
(NH4+) yang tidak beracun pada pH ren-
dah. Ion ammonium dianggap tidak be-
racun karena tidak mampu menembus
membran sel udang, sebaliknya konsen-
trasi ammoniak yang tinggi di dalam air
dapat menurunkan permeabilitas membran
sel sehingga dapat meracuni udang. Per-
meabilitas membran sel, menghambat ke-
lancaran ganti kulit serta mengurangi efi-
siensi pemanfaatan pakan.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan pertumbuh-
an larva tergolong masih rendah. Hal ini
diduga karena salinitas air media peme-
liharaan yang terlalu tinggi (35 ppt). Se-
lanjutnya pertumbuhan larva udang windu
tertinggi pada akhir penelitian diperoleh
pada perlakuan probiotik 1,25 ppm dan
arytromicin (C2) dengan pertumbuhan
rata-rata sebesar 0,0278 mg, menyusul
perlakuan D (tanpa perlakuan) dengan be-
rat rata-rata sebesar 0,0226 mg, perlakuan
B2 (probiotik 1,00 ppm dan erytromicin)
sebesar 0,0219 mg, dan perlakuan paling
rendah adalah perlakuan C1 (probiotik
1,25 ppm dan oxytetracycline) sebesar
0,0166 mg.
Secara keseluruhan kualitas air media pe-
meliharaan masih sesuai dengan kebutuh-
an larva udang windu, baik pH, suhu, dan
oksigen, kecuali salinitas masih terlalu
tinggi (35 ppt), demikia pula dengan sifat
kimia air masih dalam batas toleransi
untuk pertumbuhan larva udang windu.
DAFTAR PUSTAKA
Asni, 2001. Analisis bakteri patogen pada
air, sedimen dan kerang dara
(Anadara corne) di Perairan Teluk
Pare-pare. Tesis. Program Pasca
sarjana Universitas hasanuddin,
Makassar
Atmomarsono, M., M. I. Madeali., A.
Tompo, dan Muliani, 1993. Bakteri
penyebab penyakit pada udang
windu di perairan tambak Sulawesi
Selatan. Balai Penelitian Perikanan
Budidaya Pantai, Maros.
Bakhtiar, 2004. Efektivitas penggunaan
antibiotik untuk mengontrol penya-
kit bakteri vibrio harveyi pada pasca
larva udang windu Penaeus mono-
don Fabricius. Tesis. Program
Pascasarjana. Universitas Hasanud-
din, Makassar.
Dahuri, R., 2004. Pelaksanaan Gerakan
Nasional Pembangunan Kelautan
dan Perikanan (Gerbang Mina
Bahari). Disampaikan pada Rapat
Kordinasi Terbatas (Rakortas)
Tigkat Menteri di Kementerian
Kordinator Bidang Perekonomian
pada Tanggal 12 Mei 2004, Jakarta.
Darmono, 1991. Budidaya Udang Pe-
naeus. Kanisius, Yogyakarta
Galugu, 2008. Pengaruh probiotik Bacil-
lus-Plus pada dosis berbeda terhadap
kualitas air, bakteri Vibrio harveyi,
sintasan dan total Haemocyte post
larva udang Vannamei
Idris, A. P. S., 2010. Pengaruh pengguna-
an limbah rumput laut Kappaphycus
Alvarezii industri sebagai binder
terhadap kualitas pakan, pertumbuh-
an dan sintasan ikan nila gift
(Oreochromis Niloticus). Tesis.
Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin. Makassar.
-
Jurnal Agrisistem, Desember 2012, Vol. 8 No. 2 ISSN 1858-4330
86
Manggabarani, H., 2004. Strategi aksele-
rasi pengembangan perikanan tang-
kap dalam mendukung Gerakan
Mina Bahari (GMB). Disampaikan
pada Seminar Nasional Akselerasi
Pembangunan Sektor Kelautan dan
Perikanan di Sulawesi Selatan
Dalam Mendukung GMB pada
Tanggal 21 Juli 2004. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Direktorat
Jenderal Perikanan Tangkap.
Makassar.
Manik, R dan K, Mintardjo, 1983. Kolam
Impukan. Direktorat Jenderal Per-
ikanan. Departemen Pertanian,
Jakarta
Martosudarmo, B dan B. S. Ranoemi-
hardjo, 1980. Biologi Udang
Penaeid. Pedoman Pembenihan
Udang Penaeid. Direktorat Jenderal
Perikanan. Departemen Pertanian,
Jakarta
Mujiman, S dan S. R. Suyanto, 1989.
Budidaya Udang Windu. PT.
Penebar Swadaya. Jakarta
Dinas Perikanan Sulawesi Selatan, 2004.
Laporan Tahunan Dinas Perikanan
Propinsi Sulawesi Selatan.
Makassar.
Monoarfa, W., 2000. Karakterisasi dan
pengelolaan residu organik pada
tanah dasar tambak udang intensif.
Disertasi. Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Poernomo, A 1999. Faktor Lingkungan
Dominan Pada Budidaya Udang
Intensif. In: Alfred Birner (ed.)
Budidaya Air. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Saeni, M.S., 1989. Kimia Lingkungan.
DEPDIKBUD. Dirjen Pendidikan
Tinggi, PAU Ilmu Hayat. IPB,
Bogor.
Sari, A.P., 1999. Pengaruh penambahan
berbagai bahan attraktan pada pakan
terhadap pertumbuhan dan sintasan
udang windu (Penaeus monodon
Fabricius) Skripsi. Program Eksten-
si. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan,. Universitas Hasanuddin.
Makassar
Wickins, J.F., 1976. The tolerance of wam
water prawns to recerculated water.
Aquaculture, 9: 1937.