pengaruh pengeluaran pemerintah paper.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam ekonomi makro ada beberapa keadaan ekonomi yang menjadi
idaman kebanyakan pemerintah dan masyarakat di negara-negara di bumi ini
seperti tingkat kesempatan kerja/tingkat empoloyment yang tinggi, peningkatan
kapasitas produk nasional yang tinggi, tingkat pendapatan nasional yang tinggi,
keadaan perekonomian yang stabil, neraca pembayaran luar negeri yang
seimbang, dan distribusi pendapatan yang lebih merata. Namun sebagaimana yang
diketahui bahwa dari tujuan-tujuan kebijakan ekonomi makro seperti yang
disebutkan di atas ada yang usaha pencapaiannya mempunyai arah yang
berlawanan satu dengan yang lainnya.
Secara umum, para pakar ekonomi menilai kinerja perekonomian makro
dengan melihat beberapa variabel kunci, dan yang dianggap paling penting antara
lain adalah produk domestik bruto, tingkat pengangguran dan inflasi (Samuelson,
1995) Pembangunan ekonomi suatu daerah pada hakekatnya merupakan suatu
rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara sadar dan terus menerus untuk
mewujudkan keadaan yang lebih baik secara bersama-sama dan
berkesinambungan. Pembangunan ekonomi juga dilakukan untuk memacu
pemerataan pembangunan dan hasil yang dicapai bisa meningkatkan
kesejahteraan rakyat secara adil dan merata.
Salah satu tolak ukur penting dalam menentukan keberhasilan
pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang menggambarkan suatu
dampak dari kebijakan pembangunan yang dilaksanakan. Pertumbuhan ekonomi
berkaitan erat dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam
kegiatan ekonomi masyarakat. Dalam pertumbuhan ekonomi biasanya melihat
produksi dengan sarana dan prasarana yang digunakan.
1
Pertumbuhan ekonomi yang baik memperlihatkan trend yang meningkat
dari tahun ke tahun, karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan guna
mempercepat perubahan struktur perekonomian daerah menuju perekonomian
yang berimbang dan dinamis.Pertumbuhan ekonomi juga diperlukan untuk
menggerakan dan memacu pembangunan di bidang-bidang lainnya sekaligus
sebagai kekuatan utama pembangunan dalam rangka meningkatkan pendapatan
masyarakat dan mengatasi ketimpangan sosial ekonomi.
Pentingnya peran pemerintah dalam suatu sistem perekonomian telah
banyak dibahas dalam teori ekonomi publik. Yang menjadi perdebatan adalah
seberapa jauh peranan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Hal itu
dikarenakan setiap orang berbeda dalam menilai mengenai biaya keuntungan yang
diperoleh dari program yang direncanakan dan dijalankan oleh pemerintah.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan masyarakat selama ini sangat
bergantung pada jasa yang pemerintah sediakan. Banyak pihak mendapat
keuntungan dari aktivitas dan pengeluaran pemerintah.
Kestabilan harga juga merupakan salah satu tujuan dari kebijakan ekonomi
makro. Pemerintah diharapkan bisa mencegah terjadinya kenaikan atau penurunan
yang terjadi secara cepat pada overall price. Ini dikarenakan perubahan harga
secara cepat dan drastis bisa mengganggu pengambilan keputusan ekonomi baik
oleh perusahaan maupun individu.
Keadaan perekonomian tidak selalu sesuai dengan apa yang dikehendaki
oleh pemerintah maupun masyarakat. Tingkat inflasi yang tinggi, pengangguran,
neraca pembayaran luar negeri yang terus menerus defisit merupaakan beberapa
gejala ekonomi makro yang tidak dikehendaki bangsa manapun di bumi ini.
Dalam menghadapai kenyataan seperti ini usaha untuk menghilangkan atau
mencegah timbulnya gejala-gejala tersebut diperlukan. Oleh karena masalh
tersebut secara langsung menyangkut variabel-variabel ekonomi agregatif dan lagi
hanya dapat diatasi dengan mengendalikan jalannya perekonomian sebagai suatu
keseluruhan, maka kebijaksanaan yang diperlukan adalah kebijaksanaan ekonomi
2
makro, dalam hal ini adalah tindakan pemerintah untuk mempengaruhi jalannya
perekonomian dengan maksud agar supaya keadaan perekonomian tidak terlalu
menyimpang dari keadaan yang diinginkan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dengan latar belakang maka yang menjadi pertanyaan dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pertumbuhan Produk Domestik Bruto di Indonesia tahun 1991-
2012?
2. Bagaimana perkembangan Pengeluaran Pemerintah di Indonesia tahun
1991-2012?
3. Bagaimana perkembangan Inflasi di Indonesia tahun 1991-2012?
4. Bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah dan inflasi terhadap Produk
Doestik Bruto di Indonesia (1991-2012)?
Maka perlu dilakukan penelitian untuk permasalahan ini dengan judul
“Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi terhadap Produk Domestik
Bruto di Indonesia (1991-2012)”
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah serta rumusan masalah di atas, maka
tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
perkembangan Pengeluaran Pemerintah, Inflasi dan untuk mengetahuai Pengaruh
Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi terhadap Produk Domestik Bruto di
Indonesia. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari jumlah barang
dan jasa yang dihasilkan di negara tersebut.
3
1.4 Manfaat Penelitian
Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :
1. Bahan masukan dan sumbang saran bagi pembuat dan pengambil kebijakan
yang berkaitan dengan pengeluaran pemerintah dan inflasi yang dapat
mempengaruhi Produk Domestik Bruto
2. Bahan referensi dan perbaikan redaksi untuk penelitian lebih lanjut yang ada
kaitannya dengan penelitian ini.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 LANDASAN TEORI
2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDB)
Produk Domestik Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator penting
untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu,
baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDB pada
dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha
dalam suatu negara tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir
yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi pada suatu negara.
PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa
yang dihitung menggunakan harga pada tahun berjalan, sedang PDB atas dasar
harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung
menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar.
PDB menurut harga berlaku digunakan untuk mengetahui kemampuan sumber
daya ekonomi, pergeseran, dan struktur ekonomi suatu negara.
Sementara itu, PDB konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan
ekonomi secara riil dari tahun ke tahun atau pertumbuhan ekonomi yang tidak
dipengaruhi oleh faktor harga.
PDB juga dapat digunakan untuk mengetahui perubahan harga dengan
menghitung deflator PDB (perubahan indeks implisit). Indeks harga implisit
merupakan rasio antara PDB menurut harga berlaku dan PDB menurut harga
konstan.
5
1. Manfaat Penghitungan PDB
PDB yang disajikan dengan harga konstan akan bisa menggambarkan
tingkat pertumbuhan ekonomi di negara itu, dan apabila ini dibagi dengan jumlah
penduduk akan mencerminkan tingkat perkembangan produk per kapita.
Dari penghitungan PDB akan diperoleh Pendapatan Nasional suatu negara.
Jika Pendapatan Nasional ini dibagi dengan jumlah penduduk akan mencerminkan
tingkat perkembangan pendapatan per kapita yang dapat digunakan sebagai
indikator untuk membandingkan tingkat kemakmuran materiil suatu negara
terhadap negara lain.
Penyajian atas dasar harga konstan bersama-sama dengan harga berlaku
antara lain dapat dipakai sebagai indikator untuk melihat tingkat inflasi atau
deflasi (inflasi negatif) yang terjadi.
Penyajian PDB secara sektoral dapat memperlihatkan struktur ekonomi di
wilayah itu. Bila angka PDB dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja, atau
jumlah input yang digunakan, akan dapat menggambarkan tingkat produktifitas
secara sektoral maupun menyeluruh.
Penyajian dalam bentuk input-output dapat menggambarkan hubungan
fungsional antara sektor satu dengan sektor lain, dan bagaimana kenaikan output
suatu sektor mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kepada
sektor-sektor lain.
Dengan demikian PDRB berfungsi sebagai :
1. Indikator tingkat pertumbuhan ekonomi;
2. Indikator tingkat pertumbuhan national income per kapita;
3. Indikator tingkat kemakmuran;
4. Indikator tingkat inflasi;
5. Indikator struktur perekonomian;
6
6. Indikator hubungan antar sektor.
7. Untuk bahn evaluasi pembangunan dimasa lalu secara keseluruhan
8. Untuk membandingkan peranan masing-masing sektor diwilayah;
9. Untuk bahan perencanaan investasi dimasa yang akan datang
10. Untuk memantau proyeksi perkembangan perekonomian dimasa yang akan
datang; dan
11. Jika penghitungan PDB dihubungkan dengan banyak tenaga kerja, maka
dapat mencerminkan produktivitas tenaga kerja masing-masing sektor.
2. Metode Penghitungan PDB
Dalam menyajikan data statistik pendapatan regional terdapat dua metode yang
digunakan:
1. Metode langsung
Metode langsung adalah metode penghitungan dengan menggunakan data
yang bersumber dari negara yang bersangkutan, tidak termasuk data yang
diperoleh dari angka nasional atau daerah lain. Perhitungan Produk
Domestik Bruto secara konseptual menggunakan tiga macam pendekatan,
yaitu: pendekatan produksi, pendekatan pengeluaran dan pendekatan
pendapatan.
Pendekatan Produksi:
Produk Domestik Bruto adalah jumlah nilai tambah atas barang dan
jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu
negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit
produksi dalam penyajian ini dikelompokkan dalam 9 lapangan usaha
(sektor), yaitu: (1) pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, (2)
pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan, (4) listrik, gas
dan air bersih, (5) konstruksi, (6) perdagangan, hotel dan restoran, (7)
pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan, real estate dan jasa
perusahaan, (9) jasa-jasa (termasuk jasa pemerintah).
Pendekatan Pengeluaran:
7
Produk Domestik Bruto adalah semua komponen permintaan akhir
yang terdiri dari : (1) Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga
swasta nirlaba, (2) konsumsi pemerintah, (3) pembentukan modal tetap
domestik bruto, (4) perubahan inventori dan (5) ekspor neto
(merupakan ekspor dikurangi impor).
Pendekatan Pendapatan:
Produk Domestik Bruto merupakan jumlah balas jasa yang diterima
oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di
suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas
jasa yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan
keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak
langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDB mencakup juga penyusutan
dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi).
Dari ketiga pendekatan diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah nilai produk
barang dan jasa akhir yang dihasilkan pada suatu wilayah, sama dengan jumlah
pendapatan faktor produksinya dan harus sama pula dengan jumlah pengeluaran
untuk berbagai keperluan. PDB di atas selanjutnya disebut sebagai PDB atas
dasar harga pasar karena masih mencakub pajak tak langsung neto.
2. Metode tidak langsung
Metode tidak langsung merupakan penghitungan dengan cara
menggunakan data yang bersumber dari daerah lain yang bersangkutan, seperti
data nasional. Perkiraan dilakukan berdasarkan alokasi, dengan mengalokasikan
data tersebut ke negara yang bersangkutan, yaitu menggunakan alokator yang
cocok dengan sektor masing-masing metode tidak langsung ini sedapat mungkinn
dihindari, karena dalam praktek penghitungan PDB, metode ini sangat jarang
dilakukan oleh karena mengandung banyak kelemahan.
2.1.2 Pengeluaran Pemerintah
Ungkapan lainnya yang dapat menggantikan variabel ekonomi agregatif
ini antara lain ialah pengeluaran pemerintah untuk barang dan jasa atau
8
government purchase of goods an services, yang sering juga hanya disingkat
pengeluaran pemerintah atau government expenditure yang sering disimbolkan
dengan G. Dari istilah-istilah tersebut jelas bahwa pengeluaran- pengeluaran
pemerintah di mana pemerintah secara langsung memperoleh balas jasa atas
pengeluaran tersebut sajalah yang dapat kita masukan ke dalam kategori variabel
ekonomi agregatif G. Namun pengeluaran-pengeluaran seperti pembayaran
pensiun, beasiswa, subsidi dalam berbagai bentuk dan berbagai macam bantuan
finansial yang diberikan kepada sektor swasta tidak dapat dimasukan kedalam
kategori ini karena harus dimasukan ke dalam kategori transfer pemerintah
(Reksoprayitno, 2000).
1. Teori Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran Pemerintah (goverment expenditure) adalah bagian dari
kebijakan fiskal (Sadono Sukirno, 2000), yaitu suatu tindakan pemerintah untuk
mengatur jalannya perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan
dan pengeluaran pemerintah setiap tahunnya, yang tercermin dalam dokumen
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk nasional dan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk daerah atau regional. Tujuan dari
kebijakan fiskal ini adalah dalam rangka menstabilkan harga, tingkat output,
maupun kesempatan kerja dan memacu atau mendorong pertumbuhan ekonomi. .
Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap
diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas,
namun pada tahap ini peranan investasi investasi swasta sudah semakin
membesar. Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan,
investasi swasta dalam persentase terhadap GDP semakin besar dan persentasi
investasi pemerintah dalam persentasi terhadap GNP akan semakin kecil. Pada
tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow menyatakan bahwa pembangunan
ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke
pengeluaranpengeluaran untuk aktivitas sosial seperti halnya program
kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan masyarakat, dan sebagainya.
9
Teori perkembangan peranan pemerintah yang dikemukakan oleh Musgrave dan
Rostow adalah suatu pandangan yang ditimbulkan dari pengamatan berdasarkan
pembangunan ekonomi yang dialami oleh banyak negara, tetapi tidak didasarkan
oleh suatu teori tertentu. Selain itu, tidak jelas apakah tahap pertumbuhan
ekonomi terjadi tahap demi tahap, ataukah beberapa tahap dapat terjadi secara
simultan.
Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran
pemerintah yang semakin besar dalam persentasi terhadap GNP yang juga
didasarkan pula pada pengamatan di negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan
Jepang pada abad ke-19. Wagner mengemukakan pendapatnya dalam bentuk
suatu hukum, akan tetapi dalam pandangannya tersebut dijelaskan apa yang
dimaksud dengan pertumbuhan pengeluaran pemerintah dan GNP, apakah dalam
pengertian pertumbuhan secara relatif ataukah secara absolut. Apabila yang
dimaksud Wagner adalah perkembangan pengeluaran pemerintah secara relatif
sebagaimana teori Musgrave, maka hukum Wagner adalah sebagai berikut
Wagner menyadari bahwa dengan bertumbuhnya perekonomian hubungan
antara industri dengan industri, hubungan industri dengan masyarakat, dan
sebagainya menjadi semakin rumit atau kompleks. Dalam hal ini Wagner
menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, yang terutama
disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam
masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya.
Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan
pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan
pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah
yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari
anggota masyrakat yang lainnya.
Peacock dan Wiseman adalah dua orang yang mengemukan teori
mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang terbaik. Teori mereka
didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk
10
memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak
yang besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar
tersebut, sehingga teori Peacock dan Wiseman merupakan dasar dari teori
pemungutan suara. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu
teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu
tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang
dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi
masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai
aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai suatu tingkat kesediaan
masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat kesediaan ini merupakan kendala
bagi pemerintah untuk menaikan pemungutan pajak secara semena-mena.
2. Macam-macam Pengeluaran Pemerintah
Macam-macam Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah mempunyai beberapa jenis antara lain:
a. Jenis-jenis Pengeluaran Pemerintah Menurut Organisasi
1. Pengeluaran Pemerintah Pusat
Dalam APBN, pengeluaran Pemerintah Pusat dibedakan menjadi:
a. Pengeluaran untuk Belanja
o Belanja Pemerintah Pusat
o Belanja Pegawai
o Belanja Barang
o Belanja Modal
o Pembayaran Bunga Utang
o Subsidi
o Belanja Hibah
o Bantuan Sosial
o Belanja Lain-lain
b. Dana yang dialokasikan ke Daerah
11
o Dana Pengembangan
o Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian
c. Pengeluaran untuk Pembiayaan
o Pengeluaran untuk Obligasi Pemerintah
o Pembayaran Pokok Pinjaman Luar Negeri
o Pembiayaan lain-lain
2. Pengeluaran Pemerintah Provinsi
Dalam APBD Propinsi, pengeluaran negara dibedakan menjadi:
a. Pengeluaran untuk Belanja
Belanja Operasi, yang terdiri dari:
1. Belanja Pegawai
2. Belanja Barang dan jasa
3. Belanja Pemeliharaan
4. Belanja perjalanan Dinas
5. Belanja Pinjaman
6. Belanja Subsidi
7. Belanja Hibah
8. Belanja Bantuan Sosial
9. Belanja Operasi Lainnya
Belanja Modal, terdiri dari:
1. Belanja Aset Tetap
2. Belanja aset lain-lain
3. Belanja tak tersangka
b. Bagi hasil pendapatan ke kabupaten/ kota/ desa, terdiri dari:
1. Bagi hasil pajak ke Kabupaten/Kota
2. Bagi hasil retribusi ke Kabupaten/Kota
3. Bagi hasil pendapatan lainnya ke Kabupaten/ Kota
c. Pengeluaran untuk Pembiayaan, terdiri dari:
1. Pembayaran Pokok Pinjaman
2. Penyertaan modal pemerintah
3. Belanja investasi Permanen
12
4. Pemberian pinjaman jangka panjang
3. Pengeluaran Pemerintah Kabupaten/Kota
Dalam APBD Kabupaten/Kota, pengeluaran negara dibedakan menjadi:
a. Pengeluaran untuk Belanja
Belanja Operasi, yang terdiri dari
1. Belanja Pegawai
2. Belanja Barang dan jasa
3. Belanja Pemeliharaan
4. Belanja perjalanan Dinas
5. Belanja Pinjaman
6. Belanja Subsidi
7. Belanja Hibah
8. Belanja Bantuan Sosial
9. Belanja Operasi Lainnya
Belanja Modal, terdiri dari:
1. Belanja Aset Tetap
2. Belanja aset lain-lain
3. Belanja tak tersangka
b. Bagi hasil pendapatan ke desa/ kelurahan, terdiri dari
1. Bagi hasil pajak ke Desa/ Kelurahan
2. Bagi hasil retribusi ke Desa/ Kelurahan
3. Bagi hasil pendapatan lainnya ke Desa/ Kelurahan
c. Pengeluaran untuk Pembiayaan, terdiri dari
1. Pembayaran Pokok Pinjaman
2. Penyertaan modal pemerintah
3. Pemberian pinjaman kepada BUMD/ BUMN/ Pemerintah Pusat/ Kepala
Daerah otonom Lainnya
b. Jenis-jenis Pengeluaran Pemerintah Menurut Sifatnya
1. Pengeluaran Investasi
13
Pengeluaran yang ditujukan untuk menambah kekuatan dan ketahanan
ekonomi di masa datang.
Misalnya, pengeluaran untuk pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara,
satelit, peningkatan kapasitas SDM, dll
2. Pengeluaran Penciptaan Lapangan Kerja
Pengeluaran untuk menciptakan lapangan kerja, serta memicu peningkatan
kegiatan perekonomian masyarakat
3. Pengeluaran Kesejahteraan Rakyat
Pengeluaran yang mempunyai pengaruh langsung terhadap kesejahteraan
masyarakat, atau pengeluaran yang dan membuat masyarakat menjadi
bergembira.
Misalnya pengeluaran untuk pembangunan tempat rekreasi, subsidi,
bantuan langsung tunai, bantuan korban bencana, dll
4. Pengeluaran Penghematan Masa Depan
Pengeluaran yang tidak memberikan manfaat langsung bagi negara, namun
bila dikeluarkan saat ini akan mengurangi pengeluaran pemerintah yang
lebih besar di masa yang akan datang.
Misalnya pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan masyarakat,
pengeluaran untuk anak-anak yatim, dll
5. Pengeluaran Yang Tidak Produktif
Pengeluaran yang tidak memberikan manfaat secara langsung kepada
masyarakat, namun diperlukan oleh pemerintah.
Misalnya pengeluaran untuk biaya perang
2.1.3 INFLASI
1. Pengertian Inflasi
Inflasi adalah gejala yang menunjukan kenaikan tingkat harga umum yang
berlangsung terus menerus. Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau
dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau
menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain. Hal itu juga
14
tidak berarti bahwa harga berbagai macam barang itu naik dengan persentase yang
sama. Mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidak dalam besaran bersamaan.
Yang penting terdapat kenaikan harga umum barang secara terus menerus selama
suatu periode tertentu. Dari pengertian tersebut maka apabila terjadi kenaikan
harga hanya bersifat sementara, maka kenaikan harga yang sementara sifatnya
tidak dapat dikatakan inflasi. Kenaikan yang terjadi hanya sekali saja (meskipun
dengan persentase yang cukup besar) bukanlah merupakan inflasi.
Inflasi adalah suatu peristiwa ekonomi yang ketika harga barang naik
secara umum atau bersama-sama dan berlangsung secara terus-menerus. Inflasi
juga menunjukan gejala menurunnya nilai uang rupiah terhadap barang dan jasa.
Dengan peningkatan tingkat harga secara umum maka masyarakat cuma dapat
membeli barang dalam jumlah yang lebih kurang dibandingkan dengan pembelian
sebelum terjadinya kenaikan harga akan suatu barang tersebut. Oleh karena itu,
inflasi mencerminkan penurunan dalam kuasa beli uang.
Inflasi yang terjadi dalam suatu negara dapat dijadikan tolak ukur untuk
mengetahui banyak atau tidaknya uang yang beredar dalam masyarakat karena
biasanya jika harga barang naik secara terus-menerus dan secara umum di
masyarakat maka dikatan sebagai inflasi. Tetapi tingkat harga yang dianggap
tinggi belum tentu menunjukan inflasi karena kadang harga akan suatu barang ada
yang mengalami kenaikan harga dalam waktu yang relative singkat. Seperti yang
kita ketahui bahwa suatu hal dapat dikatakan sebagai inflasi jika proses kenaikan
harga naik secara terus-menerus dan dapat memberikan suatu pengaruh bagi
kestabilan perekonomian. Inflasi dapat menyebabkan perubahan yang sangat luas
terhadap kegiatan ekonomi masyarakat. Inflasi mencerminkan stabilitas harga,
semakin rendah nilai suatu inflasi berarti semakin besar adanya kecenderungan ke
arah stabilitas harga. Namun masalah inflasi tidak hanya berkaitan dengan
melonjaknya harga suatu barang dan jasa. Inflasi juga sangat berkaitan dengan
purchasing power atau daya beli dari masyarakat.
15
Tingkat inflasi yang tinggi akan menurunkan daya beli masyarakat akan
suatu produk. Untuk bisa bertahan pada tingkat daya beli seperti sebelumnya, para
pekerja atau masyarakat harus mendapatkan gaji paling tidak sebesar tingkat
inflasi. Kalau tidak, rakyat tidak lagi mampu membeli barang-barang yang
diproduksi. Jika barang-barang yang diproduksi tidak ada yang membeli maka
akan banyak perusahaan yang berkurang keuntungannya.
2. Penyebab Terjadinya Inflasi Dalam Perekonomian
Seiring dengan berjalannya perkembangan zaman disuatu negara maka
semakin banyak perubahan dan masalah yang terjadi di suatu negara itu. Seperti
yang dirasakan sekarang ini, jumlah uang yang beredar dimasyarakat semakin
banyak sehingga menyebabkan terjadinya kenaikan harga secara terus menerus
atau secara umum akan barang yang di namakan dengan inflasi. Inflasi sangat
rentan terjadi dimasyarakat. Menurut penyebabnya inflasi dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis yaitu sebagai berikut :
1. Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation)
Inflasi permintaan berpuncak karena ketidak seimbangan antara jumlah
permintaan dengan jumlah penawaran barang. Jika terjadi jumlah peningkatan
permintaan yang tinggi dengan jumlah penawaran, maka inflasi akan terjadi.
Keadaan ini terjadi apabila peningkatan permintaan berlaku pada masa pada masa
ekonomi negara yang berada pada tingkat guna tenaga penuh, dimana baruh
bekerja dengan cepat guna menampung permintaan yang melambung
besar. Inflasi ini terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan sehingga
terjadi perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya permintaan terhadap barang
dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor
produksi. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian
menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena
suatu kenaikan dalam permintaan total yang sewaktu-waktu perekonomian bisa
berada dalam situasi atau keadaan full employment.
Permintaan masyarakat akan suatu produk atau barang yang sangat
banyak menyebabkan suatu perusahaan memproduksi barang yang banyak pula
tentu dengan menaikan harga produksi yang cukup tinggi dibandingkan dengan
16
harga sebelumnya. Dan juga inflasi ini bisa di sebabkan oleh permintaan yang
berlebihan akan suatu produk dipasar sertamembanjirnya likuiditas di pasar juga
disebabkan oleh kemampuan bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah
uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi spekulasi yang
terjadi di sektor industri keuangan.
2. Inflasi desakan biaya (cost push inflation)
Inflasi desakan biaya terjadi akibat meningkatnya biaya produksi (input)
sehingga mengakibatkan harga produk-produk (output) yang dihasilkan ikut naik.
Seperti harga bahan baku, bahan bakar, ataupun upah pekerja didalam suatu
perusahaan mengalami kenaikan. Naiknya biaya produksi mendorong perusahaan
untuk mengurangi jumlah barang yang di tawarkan. Akibatnya, penawaran secara
agregat berkurang dan tingkat harga secara umum menjadi naik. Kenaikan biaya
produksi ini di pengaruhi oleh berbagai faktor yaitu karena adanya peningkatan
harga komoditi yang diatur oleh pemerintah, dan juga karena menurunya nilai
tukar uang yang di sebabkan karena banyaknya uang yang beredar di masyarakat.
dan juga karena kenaikan atau peningkatan tingkat pendapatan jagi atau upah.
Pendapatan yang tinggi kecendrungan seseorang untuk berbelanja misalnya
pegawai-pegawai yang sudah menjadi PNS sehingga membuat perusahaan
menaikan harga barang yang di tawarkan kepada produsen terutama bagi usaha-
usaha swasta karena banyaknya pemintaan dalam sebuah ekonomi. Biasanya,
peningkatan pendapatan pembeli terjadi ketika ekonomi mengalami pertumbuhan
yang tinggi. Naiknya semua biaya produksi menyababkan sebuah perusahaan
menjual barang dengan harga yang relatif tinggi dari penjualan sebelumnya.
Inflasi dorongan biaya ini biasanya menyebabkan penawaran agregat
berkurang naiknya biaya produksi disebabkan oleh naiknya harga input pokok.
Misalnya kenaikan upah minimum provinsi (UPM) dan BBM akan menyebabkan
biaya produk barang output sektor industri menjadi mahal, sehingga mengurangi
penawaran agregat, sehingga inflasi akan disertai kontraksi ekonomi, sehingga
jumlah output (PDB) menjadi lebih kecil.
17
Ada juga beberapa hal lain yang dapat mempengaruhi terjadinya inflasi
yaitu peningkatan inflasi diimfor yaitu adanya peningkatan harga diluar negeri.
Dimana dalam sebuah negara melalui import terjadi kenaikan harga maka akan
memberikan kesan kepada harga dalam negeri. Dan juga bisa disebabkan karena
penurunan kadar pertukaran uang.
3. Dampak Inflasi Bagi Perekonomian Suatu Negara
Setiap masalah yang terjadi disuatu negara pasti memberikan dampak
bagi suatu negara itu baik dari segi positif dan negatifnya. Begitu juga dengan
inflasi, dampak dari inflasi itu tergantung pada tingkat inflasi yang terjadi yaitu
parah atau tidaknya. Apabila inflasi itu ringan, maka akan memberikan dampak
yang baik atau positif bagi masyarakat dalam arti dapat mendorong perekonomian
masyarakat menjadi lebih baik dimana masyarakat dapat meningkatkan
pendapatan nasional, dan membuat orang menjadi semangat untuk menabung,
bekerja, ataupun melakukan infestasi karena semakin mereka merasa jika semakin
banyak mereka bekerja semakin banyak uang yang akan mereka dapat untuk
kebutuhan hidupnya. Sebaliknya jika inflasi itu termaksud inflasi parah atau
inflasi tinggi maka akan menimbulkan atau menyebabkan berbagai masalah
sosial, bahkan keadaan perekonomian menjadi kacau dan terjadi ketidak stabilan
ekonomi. Terjadinya inflasi ini bisa membuat masyarakat menjadi merosot dan
terpuruk dari waktu ke waktu.
Adapun berbagai masalah sosial yang muncul dari inflasi yang tinggi adalah:
1. Menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat
Dimana tingkat kesejahteraan masyarakat ini dapat diukur dengan tingkat
daya beli masyarakat akan suatu barang sehingga mempengaruhi pendapatan yang
diperoleh. Inflasi menyebabkan daya beli pendapatan yang semakin rendah,
khususnya bagi masyarakat yang berpenghasilan kecil dan tetap. Misalnya
seorang yang berpenghasilan rendah maka orang tersebut tidak dapat
menyesuaikan antara penghasilan atau pendapatannya dengan laju inflasi. tingkat
18
harga akan suatu barang yang dari waktu kewaktu semakin tinggi. Maka makin
tinggi tingkat inflasi, maka makin cepat penurunan tingkat kesejahteraan
masyarakat.
2. Makin buruknya distribusi pendapatan
Dimana karena banyaknya kebutuhan masyarakat yang semakin banyak
diiringi juga dengan semakin tinggi harga akan suatu barang maka akan
menyababkan ketidak stabilan bagi msyarakat antara pendapatan dengan
kebutuhan yang harganya semakin meningkat secara terus menerus. Dampak
buruknya inflasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dihindari jika
pertumbuhan tingkat pendapatan lebih tinggi dari tingkat inflasi. Misalnya jika
tingkat inflasi mencapai angka 20% pertahun, maka pertumbuhan tingkat
pendapatan harus lebih besar dari 20% per tahun. Tetapi dilihat dari pendapatan
riil masyarakat semakin memburuk.
3. Terganggunya stabilitas ekonomi
Stabilitas ekonomi secara sederhana yaitu sangat kecilnya tindakan
spekulasi dalam perekonomian. Dimana produsen memproduksi barang pada
kapasitas optimal, dan konsumen memakai barang dan jasa secara optimal sesuai
dengan kebutuhan mereka. Kondisi ini mulai terganggu bila inflasi yang relatif
tinggi terjadi. Inflasi mengganggu kestabilan ekonomi dengan merusak perkiraan
tentang masa depan para pelaku ekonomi. Inflasi yang kronis atau besar
menumbuhkan perkiraan bahwa harga-harga akan suatu barang dan jasa akan
terus mengalami kenaikan. Karena makin tingginya nilai atau harga suatu barang
dan jasa maka penawaran akan barang dan jasa itu akan berkurang. Akibatnya,
akibatnya kelebihan permintaan membesar dan mempercepat laju inflasi. Dengan
handirnya kondisi ini maka tentu saja kondisi ekonomi akan menjadi semakin
memburuk.
Jadi secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di
suatu negara. Serta mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman
modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidak
19
stabilan ekonomi, serta merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat.
.
2.1.4 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi Terhadap Produk
Domestik Bruto
Produk Domestik Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator penting
untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu,
baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDB pada
dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha
dalam suatu negara tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir
yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi pada suatu negara. PDB , Pengeluaran
Pemerintah dan Inflasi sangat erat kaitannya dalam perekonomian. Ketiga variabel
tersebut memiliki hubungan tumbal balik dalam mempengaruhi perekonomian
suatu negara.
Terdapat hubungan kausalitas antara total pengeluaran pemerintah dengan
PDB. Pengeluaran rutin tidak signifikan mempengaruhi PDB karena lebih bersifat
konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat kontraktif seperti
belanja untuk pembayaran hutang bunga. Sementara pengeluaran pembangunan
memiliki hubungan kausalitas positif dan signifikan terhadap produk domestik
bruto hal ini dapat dijelaskan oleh pengaruh positif pengeluaran sektor pertanian,
infrastrujtur dan transportasi serta pendidikan terhadap pdb dan pengaruh positif
PDB terhadap pengeluaran pemerintah disektor infrastruktur dan transportasi.
PDB diperoleh dari jumlah nilai tambah dan balas jasa yang diterima
seluruh faktor kegiatan ekonomi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu
negara. Dengan adanya peningkatan pdb maka akan terjadi peningkatan
pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi. Maka akan terjadi
peningkatan daya beli masyarakat yang diikuti oleh peningkatan permintaan akan
barang dan jasa dan dapat terjadinya inflasi. Sama halnya dengan fenomena
terjadinya inflasi disuatu negara. Jika terjadi inflasi, maka harga-harga secara
20
umum akan meningkat, karena jumlah uang beredar dimasyarakat banyak. Maka
produsen akan meningkatkan produksi barang dan jasanya untuk mendapatkan
untung yang sebesar-besarnya. Peningkatan barang dan jasa tersebut juga akan
berpengaruh terhadap peningkatan pdb, karena pdb adalah jumlah barang dan jasa
yang dihasilkan suatu negara.
2.2 KERANGKA PEMIKIRAN
inflasi adalah kenaikan harga-harga umum barang-barang yang tinggi dan
terus-menerus.Menurut kaum moneteris, inflasi merupakan gejala moneter, yang
berarti bahwa laju pertumbuhan uang yang terus-menerus dapat menimbulkan
tingkat inflasi yang tinggi. Menurut teori kuantitas :
1. Inflasi hanya terjadi kalau ada penambahan dari volume uang yang beredar.
Tanpa ada kenaikan jumlah uang yang beredar, seperti kegagalan panen hanya
akan menaikkan harga-harga untuk sementara saja. Bila uang tidak bertambah,
inflasi akan berhenti dengan sendiri.
2. Laju inflasi ditentukan oleh penambahan uang yang beredar dan oleh harapan
masyarakat mengenai kenaikan harga-harga dimasa datang. Inflasi yang berasal
dari luar negeri dapat bersumber pada perubahan nilai tukar (kurs) dan impor.
depresiasi pada nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing akan memberikan
pengaruh positif terhadap laju inflasi yang merupakan pass trough effect dari
barang-barang dan bahan baku impor yang harganya meningkat, sehingga
meningkatkan biaya produksi dalam negeri. Artinya kurs mata uang dollar
terhadap rupiah memiliki pengaruh positif terhadap inflasi. Dari sisi dalam negeri,
inflasi bersumber dari perubahan jumlahan uang beredar di masyarakatdan
perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) harga konstan. Laju pertumbuhan
uang yang terus-menerus akan menimbulkan inflasi yang tinggi. Laju
pertumbuhan yang rendah pada akhirnya menyebabkan inflasi yang rendah
sedangkan inflasi yang tinggi tidak dapat berlangsung lama tanpa laju
pertumbuhan uang yang tinggi. Ini juga dapat terlihat pada teori Irving Fisher
yang menyatakan “perubahan dalam uang beredar akan menimbulkan perubahan
21
yang sama cepatnya ke atas harga-harga”. Kecepatan perputaran uang memiliki
pengaruh yang sama dengan jumlah uang beredar terhadap tingkat inflasi. Hal ini
karena, untuk mengetahui besarnya perputaran uang (V), Keynes dalam hal ini
membandingkan dengan “liquidity preference”.Menurutnya, apabila V
menyatakan berapa kali tiap-tiap rupiah adalah sesuatu jangka waktu tertentu
berpindah dari tangan yang satu ke tangan lainnya, maka liquidity preference
menunjukan kesukaan orang untuk menyimpan uang tunai untuk tidak
dibelanjakan.
Negara Indonesia belumlah mencapai keadaan full employment maka
pendapatan nasional dari sisi penawaran masih dapat ditingkatkan. Berdasarkan
pernyataan ahli diatas maka pendapatan nasional merupakan variable yang jelas
mempangaruhi tingkat inflasi di Indonesia. Pendapatan nasional yang digunakan
adalah Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan harga konstan. Dapat
disimpulkan PDB harga konstan berpengaruh negatif terhadap inflasi.
Maka kerangka pemikiran dalam penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 4. Kerangka Pemikiran
2.3 HIPOTESIS
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan kerangka pemikiran
sebagaimana dikemukakan sebelumnya, dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
22
INFLASI
JUMLAH UANG BEREDAR
NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP
DOLLAR ASDOMESTIK BRUTO
Diduga pengeluaran pemerintah dan inflasi berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan produk domestik bruto di Indonesia periode 1991-2012.
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 VARIABEL PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel dependen
dan variabel independen. Variabel dependen adalah variable yang dapat
dijelaskan atau dipegaruhi oleh variabel bebas. Variabel indipenden adalah
variable yang mempengaruhi variabel dependen, dimana pengaruhnya dapat
positif ataupun negatif.
Produk domstik bruto merupakan variabe dependen dalam penelitian ini,
sedangkan pengeluaran pemerintah dan inflasi merupakan variabel independen.
Definisi operasional dari variable-variabel yang digunakan dalam penelitian
ini adalah :
1. Produk Domestik Bruto
Produk domestik bruto adalah penghitungan nilai output produksi akhir
pasar semua barang dan jasa dalam perekonomian di Indonesia dalam
kurun waktu tertentu.
2. Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran Pemerintah yaitu suatu tindakan pemerintah untuk mengatur
jalannya perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan
dan pengeluaran pemerintah setiap tahunnya, yang tercermin dalam
dokumen Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk nasional
dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk daerah atau
regional.
3. Inflasi
Inflasi adalah gejala yang menunjukan kenaikan tingkat harga umum yang
berlangsung terus menerus. Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari
satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan
tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga
24
barang-barang lain. Hal itu juga tidak berarti bahwa harga berbagai
macam barang itu naik dengan persentase yang sama
3.2 JENIS DAN SUMBER DATA
Penelitian ini memiliki cakupan nasional yang menggunakan data sekunder
runtun waktu (time series). Data sekunder adalah data yang diperoleh dalam
bentuk jadi, sudah diolah, dikumpulkan dan diterbitkan secari resmi oleh pihak
lain, yang biasanya dalam bentuk publikasi.
Adapun data-data tersebut didapat dari berbagai instansi-instansi pemerintah
yaitu:
1. Badan Pusat Statistik
2. Bersumber dari iternet, dan
3. Penelitian terdahulu
4. BANK INDONESIA
3.3 METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan
cara melakukan studi pustaka dari berbagai laporan, literatur, penelitian, dan
dokumen secara resmi dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik dan artikel-artikel
dari internet yang berkaitan dengan penelitian.
3.4 METODE ANALISIS DATA
Metode analisi yang dilakukan dalam penelian ini adalah analisi data
kuantitatif yaitu nilai data yang dinyatakan dalam skala numerik. Untuk
mengetahui perubahan nilai variable dependen yaitu Produk Domestik Bruto yang
disebabkan karena adanya perubahan pada variable-variabel independen dalam
penelitian ini, maka metode analisi regresi yang digunakan adalah metode kuadrat
terkecil biasa (ordinary least squares/ OLS).
25
Data yang digunakan dianalisis secara Kuantitatif dengan menggunakan
analisis statistik yaitu persamaan Regresi lenier Berganda:
Yi = β1 + β2Pe + β3Inf + μi
Yi = produk domestik Bruto
β = koefisien regresi
Pe = pengeluaran pemerintah
Inf= Inflasi
μ = variabel penganggu
3.5 UJI KESESUAIAN
3.5.1 Uji t-statistik
Uji t-statistik merupakan pengujian yang bertujuan untuk
mengetahui apakah masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak
terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel lainnya konstan.
Nilai t-hitung diperoleh dengan rumus :
t-hitung (Ti) = βi/(Se (βi))
keterangan :
Ti = nilai t-hitung masing-masing variabel bebas
βi = koefisien regresi masing-masing variabel bebas
Se( βi) = simpangan koefisien regresi masing-masing variabel bebas
Pengambalian keputusan:
1. Jika t-hitung < t-tabel maka Ho diterima dan H1 ditolak, berarti bahwa
secara individu variabel X tidak berpengaruh terhadap variabel Y(variabel
independen tidak berpengaruh terhadap variabel dependen)
26
2. Jika t-hitung > t-tabel maka Ho ditolak dan H1 diterima, berarti bahwa
secara individu variabel X berpengaruh terhadap variabel Y (variabel
independen berpengaruh terhadap variabel dependen).
3.5.2 Uji f-statistik
Uji f-statistik adalah pengujian yang bertujuan untuk mengetahui seberapa
besar pengaruh variabel independen secara keseluruhan atau bersama-sama
terhadap variabel dependen.
Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai f-hitung dengan f-
tabel. Jika f-hitung > f-tabel maka Ho ditolak, yang berarti variabel independen
secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen. Nilai f-hitung dapat
diperoleh dengan rumus:
f-hitung = (R2/(k-1))/((1-R2)/(n-k))
dimana:
R2 = koefisien Determinasi
K = jumlah variabel
n = jumlah sampel
3.5.3 Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar kemampuan
variabel independen mampu memberi penjelasan terhadap variabel dependen.
Nilai R¬2 berkisar antara 0 sampai 1 (0≤R2≤1)
3.6 Uji Asumsi Klasik
3.6.1 Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah gejala yang diselidiki
mempunyai distibusi normal atau tidak. Uji ini menggunakan uji jarguebera atau
27
JB test membandingkan nilai J-Bhitung dengan nilai X² table. Apabila nilai J-B
hitung > nilai X² table maka hipotesis nol yang menyatakan bahwa residual
berdistribusi normal ditolak. Sebaliknya bila nilai J-B < X² table maka hipotesis
nol yang menyatakan bahwa residual berdistribusi normal diterima.
3.6.2 Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas suatu keadaan dimana satu atau lebih variabel bebas
dinyatakan sebagai kombinasi linier dari variabel bebas lainnya. Pengujian dalam
penelitian ini perhitungan rasio ini dihitung untuk koefisien determinasi yang
berbeda-beda diantara variabel independen. Setelah dilakukan regresi antar
variabel independen tersebut.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada atau
tidaknya multikolineaitas di dalam model yaitu dilihat dari R², F hitung, serta t
hitung. Kemungkinan ada multikolinearitas jika R² dan F hitung tinggi.
Sedangkan nilai t hitung banyak yang tidak signifikan.
3.6.3 Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah kondisi dimana varian dari variabel
pengganggu tidak sama untuk semua observasi, akibat yang timbul apabila terjadi
heteroskedastisitas dalam penaksiran OLS tetap tidak bisa dan tidak lagi efisien
baik dalam sampel besar maupun dalam sampel kecil, serta uji t-test dan uji F-test
akan menyebabkan kesimpulan yang salah.
Untuk menguji ada tidaknya heteroskedastisitas, maka salah satu cara yang
ditempuh dengan uji white. Jika variabel independen tidak signifikan secara
statistik tidak mempengaruhi variabel dependen, maka ada indikasi tidak terjadi
heteroskedastisitas.
3.6.4 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model
regresi linear ada korelasi antara kesalahan penggangu pada periode t dengan
28
kesalahan periode t-1. Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada problem
autokorelasi. Model regresi yang baik adalah yang bebas autokorelasi. Salah satu
pengujian yang umum digunakan untuk mengetahui adanya autokorelasi dengan
program Eviews adalah uji statistik Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test.
Jika dari hasil perhitungan menunjukkan nilai signifikansi > 0,05 maka dalam
model tidak terjadi autokorelasi (Widarjono, 2007).
29
BAB IV
ANALISIS DESKRIFTIF
4.1 PERTUMBUHAN PRODUK DOMETIK BRUTO
Pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi dari tahun ke tahun. Namun
pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya mampu disikapi sehingga tidak
lupa untuk menganalisis faktor-faktor apa yang menjadi pendorong utama
tingginya pertumbuhan ekonomi.
Tabel 4.1 Perkembangan PDB Indonesia(Milliar Rupiah) dan Pertumbuhan PDB Indonesia dalam Bentuk Persen
TAHUNPDB Atas Dasar Harga Berlaku (milliar rupiah)
Perkembangan PDB (%)
1990 54.362 -
1991 64.765 19,14
1992 73.516 13,51
1993 86.240 17,31
1994 101.443 17,63
1995 119.183 17,49
1996 144.253 21,04
1997 169.252 17,33
1998 257.106 51,91
1999 275.352 7,10
2000 366.143 32,97
2001 416.775 13,83
2002 462.082 10,87
2003 503.299 8,92
2004 599.478 19,11
2005 758.475 26,52
2006 873.403 15,15
2007 1.035.419 18,55
2008 1.290.541 24,64
2009 1.451.316 12,46
2010 1.681.580 15,87
2011 1.922.392 14,32
2012 2.092.379 8,84Sumber: BPS Indonesia (data diolah)
30
Pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh PDB atas dasar harga berlaku
merupakan gambaran mengenai pendapatan nasional indonesia yang diciptakan
oleh faktor-faktor produksi baik berupa barang maupun jasa. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel diatas.
Setiap tahum pertumbuhan PDB Indonesia selalu mengalami kenaikan dari
tahun 1990 – 2013. Pertumbuhan PDB terendah terjadi pada tahun 1999, yaitu
sebesar 7,10% dari tahun sebelumnya, sedangkan pertumbuhan tertinggi terjadi
pada tahun 1998, sebesar 51,91% dari tahun sebelumnya.
Pada tahun 1991 pertumbuhan PDB sebesar 19,14% kemudian pada tahun
1992 terjadi penurunan yaitu menjadi 13,51%. Pada tahun 1993, 1994, 1995 dan
1996 pertumbuhan PDB berturut-turut mengalami kenaikan yaitu menjadi
17,31%, 17,63%, 17,49% dan 21,04% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 1997,
pertumbuhan PDB Indonesia mengalami penurunan menjadi 17,33%, hal ini
dikarenakan negara Indonesia mengalami krisis yang mengakibatkan
perekonomian Indonesia menjadi terganggu.
Pada tahun 1998 pertumbuhan PDB Indonesia mengalami kenaikan yang
sangat tinggi menjadi 51,91% dari tahun sebelumnya. Dan pada tahun 1999
pertumbuhan PDB indonesia mengalami pemerosotan menjadi 7,10%. Pada tahun
berikutya pertumbuhan PDB Indonesia mengalami peningkatan menjadi 32,97%,
dan dalam 3 tahun berikutya pertumbuhan PDB Indonesia mengalami penurunan
menjadi 13,83, 10,87%, dan 8,92% dari tahun sebelumnya.
Pada tahun berikutya pertumbuhan PDB Indonesia selalu mengalami
fluktuasi, dimulai dari tahun 2004 hingga 2011 yaitu 19,11%, 26,52%, 15,15%,
18,55%, 24,64%, 12,46%, 15,87%, dan 14,32. Hingga puncaknya terjadi pada
tahun 2012 dimana pertumbuhan PDB Indonesia mengalami penurunan menjadi
8,84% dari tahun sebelumnya.
31
4.2 PERKEMBANGAN PENGELUARAN PEMERINTAH
Dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu negara, pengeluaran
pemerintah sangat penting untuk merangsang aktifitas-aktifitas perekonomian
selain menyediakan sarana dan infrastruktur yang dapat mempermudah
masyarakat dalam melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi.
Data tentang pengeluaran pemerintah dari tahun 1991-2012 dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
Tabel 4.2 Pengeluaran Pemerintah dalam Bentuk Persen
TAHUN PEP(%)1991 12,331992 20,461993 17,741994 10,711995 4,221996 14,741997 13,251998 6,581999 26,692000 33,472001 24,992002 24,942003 16,582004 23,812005 16,712006 17,762007 28,052008 14,472009 26,422010 27,962011 29,492012 32,42
Sumber: BI (data Diolah)
Pada tabel diatas dapat dilihat perkembangan pengeluaran pemerintah terjadi
fluktuasi. Ada kalanya pengeluaran pemerintah tinggi dan ada juga kalanya
32
pengeluaran pemerintah menurun. Pada tahun 1991 pertumbuhan pengeluaran
pemerintah sebesar 12,33%, kemudian pada tahun 1992 terjadi peningkatan
menjadi 20,46%. Pada tahun 1993, 1994 dan 1995 terjadi penurunan menjadi
17,74%, 10,71% dan 4,22% dari tahun sebelumnya.
Pada tahun 1996 pertumbuhan pengeluaran pemerintah mengalami kenaikan
dari tahun sebelumnya menjadi14,74%, dan tahun berikutnya mengalami sedikit
penurunan menjadi13,25%. Pada tahun 1998 pertumbuhan pengeluaran
pemerintah merosot hingga angka 6,58% dan ditahun 1999 serta 2000
pengeluaran pemerintah mengalami kenaikan menjadi26,69% dan 33,47%.
Ditahun 2001 dan 2002 perkembangan pengeluaran pemerintah cukup stabil
diangka 24,99 % dan 24,94% dan ditahun 2003 kembali mengalami peenurunan
menjadi16,58%. Pada tahun 2004 hingga 2009 perkembangan pengeluaran
pemerintah mengalami fluktuasi yaitu dengan nilai 23,81%, 16,71%, 17,76%,
28,05%, 14,47% dan 26,42%. Dan dari tahun 2010 hingga 2012 pertumbuhannya
selalu mengalami peningkatan menjadi 27,96%, 29,49% dan 32,42%.
4.3 PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi merupakan suatu gejolak moneter yang diakibatan karena adanya
pertambahan volume uang beredar lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan
output yang terjadi dalam perekonomian. Sehingga dibutuhkan pengawasan yang
ketat terhadap jumlah uang beredar agar tingkat inflasi dapat dikendalikan
sedemikian rupa.
Inflasi di negara-negara sedang berkembang yang sedang giat-giatnya
membangun dan meraup investasi modal asing diantaranya bersumber pada impor
besar-besaran bahan bagi industri yang belum dapat diproduksi dalam negeri.
Belum lagi pola kehidupan masyarakat yang konsumtif, terutama terhadap
Barang-barang konsumsi akibat dari keterbukaan ekonomi dan globalisasi pasar
33
membuat semakin parahnya kinerja perekonomian negara digerogoti inflasi
(Khalwaty, 2000).
Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan inflasi dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Tabel 4.3 inflasi di Indonesia tahun 1991-2012
TAHUN INFLASI
1991 9,52
1992 4,94
1993 9,77
1994 9,24
1995 8,6
1996 6,5
1997 11,1
1998 77,6
1999 2
2000 9,35
2001 12,55
2002 10,03
2003 5,06
2004 6,4
2005 17,11
2006 6,6
2007 6,59
2008 11,06
2009 2,78
2010 6,96
2011 3,79
2012 4,3
Sumber: BPS INDONESIA (data Diolah)
34
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa selama periode 1991-2012 kondisi
inflasi cenderung mengalami fluktuasi. Pada tahun 1991 ke 1992 perkembangan
inflasi mengalami penurunan dari 9,52 ke 4,94 lalu ditahun 1993 kembali
mengalami peningkatan.
Selama tahun 1994-1996 inflasi cenderung mengalami penurunan hingga ke
angka 6,5. Pada tahun 1998 merupakan tingkat inflasi tertinggi yaitu 77,6 dimana
pada tahun ini perekonomian sedang mengalami krisis disegala bidang terutama
ekonomi, ditambah lagi dengan gejolak moneter dunia, selain itu faktor plitik dan
keamanan, dimana sering terjadinya kerusuhan diberbagai wilayah.
Pada tahun 1999 inflasi kembali menurun di angka 2. Ini terjadi akibat telah
menurunnya gejolak moneter diindonesia dan angka ini merupakan angka
terendah yang pernah ada di Indonesia. Namun pada tahun 2000 inflasi kembali
mengalami pelonjakan menjadi 9,35. Ini disebabkan harga-harga dan jasa-jasa
mengalami tekanan lebih berat dari tahun sebelumnya.
Ditahun 2001, 2002 dan 2003 diketahui inflasi mengalami penurunan hingga
menjcapai angka 5,06. Menurunnya tingkat inflasi diharapkan memberikan
peluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2004 inflasi
indonesia meningkat walaupun tidak terlalu tinggime menjadi 6,07 dan pada
tahun 2005 inflasi kembali mengalami kenaikan yang cukup tinggi menjadi17,11.
Meningkatnya inflasi ini terjadi akibat dari kebijakan pemerintah menaikan harga
BBM sehingga harga-harga dipasar menjadi naik, selain itu nilai tukar Rupiah
juga mengalami depresiasi yanng cukup tinggi.
Pada tahun 29006 dan 2007 inflasi stabil diangka 6,6 dikarenakan kondisi
perekonomian indonesia sudah mulai stabil. Di tahun 2008 inflasi kembali naik
menjadi 11,06 dan tahun 2009 inflasi menurun menjadi 2,78.dari tahun 2010
hingga 2011 inflasi indonesia selalu mengalami penurunan dari angka 6,96 ke
angka 3,79. Dan diakhir tahun 2012 inflasi di Indonesia berada pada angka 4,3.
35
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 HASIL ESTIMASI
Dari hasil persamaan regresi berganda pengaruh pengeluaran pemerintah dan
inflasi terhadap produk domestik bruto di Indonesia periode 1991 – 2012, maka
akan didapat hasil estimasi fungsi tersebut dengan mengguakan program Eviews.
Dan dari hasil ini dapat dilihat koefisien regresi dan t hitung pada masing-masing
veriabel independent seperti tabel berikut ini:
Tabel 5.1 Nilai Koefisien regresi dan t-hitung dari variabel Independent
dalam fungsi pengaruh pengeluaran pemerintah dan inflasi terhadap produk
domestik bruto di Indonesia (1991-2012).
Dependent Variable: PDB
Method: Least Squares
Date: 01/06/15 Time: 20:29
Sample (adjusted): 1991 2012
Included observations: 22 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
PEP 0.140083 0.239660 0.584507 0.5658
INFLASI 0.498503 0.128668 3.874326 0.0010
C 11.68675 5.864303 1.992863 0.0608
R-squared 0.466198 Mean dependent var 19.99268
Adjusted R-squared 0.410008 S.D. dependent var 10.52326
S.E. of regression 8.083014 Akaike info criterion 7.143530
Sum squared resid 1241.367 Schwarz criterion 7.292309
Log likelihood -75.57883 Hannan-Quinn criter. 7.178578
F-statistic 8.296861 Durbin-Watson stat 1.288253
Prob(F-statistic) 0.002571
Sumber: Data diolah
36
Berdasarkan tabel diatas, maka dapat dituliskan persamaan regresinya yaitu
sebagai berikut:
PDB = 11.6867544326 + 0.14008261958*PEP + 0.498503277704*INFLASI + μ
Berdasarkan persamaan tersebut, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Nilai konstanta sebesar 11.68675 dapat diartikan apabila variabel
pengeluaran pemerintah dan inflasi dianggap konstan atau tidak
mengalami perubahan. Maka produk domestik bruto akan naik sebesar
11.68675 dengan asumsi yang lain adalah tetap dan sebaliknya.
b. Nilai koefisien regresi pada variabel pengeluaran pemerintah 0.140083
artinya setiap peningkataan variabel pengeluaran pemerintah sebesar satu
tingkat maka akan mengakibatkan kenaikan pada produk domestik bruto
sebesar 0.140083 dengan asumsi yang lain adalah tetap, dan sebaliknya.
c. Nilai koevisien regresi pada variabel inflasi sebesar 0.4985 artinya setiap
peningkatan variabel inflasi sebesar satu tingkat maka akan
mengakibatkan kenaikan pada produk domestik bruto sebesar 0.4985
dengan asumsi yang lain adalah tetap, dan sebaliknya.
5.2 PENGUJIAN HIPOTESIS
Untuk menjawab permasalahan dan pengujian hipotesis yang ada pada
penelitian ini perlu dilakukan analisis statistik terhadap data yang telah diperoleh.
Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi. Di
bawah ini akan dibahas hasil analisis regresi menggunakan uji t dan analisis
regresi berganda menggunakan uji F yang dilakukan dengan bantuan program
Eviews.
37
Berdasarkan hasil analisis regresi diatas, pengujian hipotesis yang meliputi
uji t dan uji f disajikan dibawah ini:
1. Uji t (secara parsial)
Uji t merupakan pengujian untuk menunjukkan pengaruh secara individu
variabel bebas yang ada di dalam model terhadap variabel terikat. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh satu variabel bebas
menjelaskan variasi variabel terikat. Apabila nilai t hitung lebih besar dari t tabel
dan nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (sig<0,05), maka dapat disimpulkan
bahwa variabel bebas secara parsialberpengaruh signifikan terhadap variabel
terikat. Penjelasan hasil uji t untuk masing-masing variabel bebas adalah sebagai
berikut:
a. Pengeluaran Pemerintah
Hasil uji t untuk variabel pertumbuhan ekonomi disajikan pada tabel
berikut ini.
Tabel 5.2 hasil uji t variabel pengeluaran pemerintah
Variabel Konstanta
Koefisien
Regresi t-hitung t-tabel Sign
Pengeluaran
Pemerintah11,68675 0.140083 0.5845 2.093 0,5658
Sumber: Data diolah
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa hasil uji t untuk variabel
pengeluaran pemerintah diperoleh nilai t hitung sebesar 0.5845 dan tingkat
signifikasi 0,5658. Jika dibandingkan dengan t tabel pada derajat bebas df=n-k
(22-3=19) sebesar 2,093; maka t-hitung lebih kecil dari t-tabel (0.5845<2.093)
atau t-hitung terletak didaerah penerimaan Ho dan nilai signifikasi sebesar 0,5658
38
pada α = 5%. Oleh karena nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 (sig>0,05), jadi
Ho diterima artinya pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan produk domestik bruto.
Dengan nilai signifikansi sebesar 0,5658 pada α = 5%. Oleh karena nilai
signifikansi lebih besar dari 0,05 (sig>0,05), dan koefisien regresi memiliki arah
positif sebesar 0.140083, maka hipotesis yang menyatakan “diduga pengeluaran
inflasi berpengaruh positif terhadap variabel produk domestik bruto” diterima.
b. Inflasi
Hasil uji t untuk variabel inflasi disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 5.3 hasil uji t variabel inflasi
Variabel
Konstant
a
Koefisien
Regresi t-hitung t-tabel Sign
Inflasi 11,68675 0.498503 3,8743 2.093 0.0010
Sumber: Data diolah
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa hasil uji t untuk variabel inflasi
diperoleh nilai t hitung sebesar 3,8743 dan tingkat signifikasi 0.0010. Jika
dibandingkan dengan t tabel pada derajat bebas df=n-k (22-3=19) sebesar 2,093;
maka t-hitung lebih besar dari t tabel (3,8743>2.093) atau t-hitung terletak
didaerah penolakan Ho, dan nilai signifikasi sebesar 0.0010 pada α = 5%. Oleh
karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (sig>0,05), jadi Ho ditolak artinya
Inflasi berpengeruh terhadap pertumbuhan produk domestik bruto.
Dengan nilai signifikansi sebesar 0.0010 pada α = 5%. Oleh karena nilai
signifikansi lebih kecil dari 0,05 (sig>0,05), dan koefisien regresi memiliki arah
39
positif sebesar 0.498503, maka hipotesis yang menyatakan “diduga pengeluaran
inflasi berpengaruh positif terhadap variabel produk domestik bruto” diterima.
2. Uji F (Secara Simultan)
Uji F (Fisher) digunakan untuk menguji signifikansi model regresi. yaitu
untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh semua variabel bebas pertumbuhan
ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja secara bersama-sama terhadap
kemiskinan di Indonesia. Apabila nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (p<0,05)
maka model regresi signifikan secara statistik. Analisis regresi dilakukan dengan
menggunakan Eviews.
Hasil rangkuman analisis regresi berganda disajikan berikut ini
Tabel 5.2 hasil analisis Regresi Liniear Berganda
Variabel
Koefisie
n
Regresi
Konstant
aR2 F hitung sign
Pengeluaran
pemerintah
0.14008
311,68675
0.46619
8
8.29686
1
0.00257
1
Inflasi
0.49850
3
sumber: data diolah
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa hasil uji F diperoleh nilai F hitung
sebesar 8.296861 dengan nilai signifikansi sebesar 0.002571 pada α = 5%. Oleh
karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (sig<0,05), maka penelitian ini
berhasil membuktikan bahwa pengeluaran pemerintah dan inflasi secara bersama-
sama berpengaruh terhadap pertumbuhan produk domestik bruto di Indonesia
tahun 1991 – 2012.
40
3. Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi merupakan suatu alat untuk mengukur besarnya
persentase pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Besarnya koefisien
determinasi berkisar antara angka 0 sampai dengan 1, semakin mendekati nol
besarnya koefisien determinansi suatu persamaan regresi, maka semakin kecil
pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen. Sebaliknya
semakin besar koefisien determinasi mendekati angka 1, maka semakin besar pula
pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen.
Hasil uji R2 pada penelitian ini diperoleh nilai R2 sebesar 0.466198. Hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan produk domestik bruto di Indonesia
dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah dan inflasi sebesar 46,62%; sedangkan
sisanya sebesar 63,38% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk dalam
penelitian ini.
5.3 PENGUJIAN ASUMSI KLASIK
Pengujian asumsi klasik merupakan syarat utama dalam persamaan regresi.
Untuk itu, maka harus dilakukan pengujian terhadap 4 asumsi klasik berikut ini:
1. UJI Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui data variabel penelitian
berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas menggunakan teknik
analisis Jarque-Bera dan untuk perhitungannya menggunakan program Eviews.
Hasil uji normalitas variabel penelitian disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 5.3 Hasil Uji Normalitas
Variabel sign kesimpulan
41
Produk Domestik Bruto, Pengeluaran
Pemerintah, inlasi0.0000001 tidak normal
Sumber: Data diolah
Hasil uji normalitas dengan uji Jarque-Bera dapat diketahui bahwa residual
model penelitian mempunyai nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (sig>0,05),
sehingga dapat disimpulkan bahwa semua variabel penelitian berdistribusi tidak
normal.
2. Uji Multikolineritas
Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui apakah ada korelasi antar
variabel bebas (independen). Untuk pengujian ini dapat dilihat pada nilai R-square
pada setiap variabel independent nya. Apabila nilai R-square pada variabel
independent lebih kecil dari R-square pada hasil analisis regresi maka data pada
variabel independen tidak terjadi multikolinearitas. Hasil uji multikolinearitas
dengan program Eviews disajikan pada tabel berikut:
Tabel 5.4 Hasil Uji Multikolinearitas
Variable R-square R-square regresi Kesimpulan
PEP
INFLASI
Sumber: Data diolah
3. Uji Heteroskedastisitas
Pengujian heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidaksamaan varience dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang
lain. Model regresi yang baik adalah tidak terjadi heteroskedastisitas dan untuk
42
mengetahui adanya heteroskedastisitas dengan menggunakan uji White. Jika
variabel independen tidak signifikan secara statistik tidak mempengaruhi variabel
dependen, maka ada indikasi tidak terjadi heteroskedastisitas. Berikut ini adalah
hasil uji heteroskedastisitas terhadap model regresi pada penelitian ini.
Tabel 5.5 Hasil Uji Heteroskedastisitas
Obs*R-squared sign kesimpulan
4,10686 0.5341 Non Heteroskedastisitas
sumber: data diolah
Tabel di atas menunjukkan bahwa uji white menghasilkan kesimpulan tidak
ada masalah heteroskedastisitas, hal ini dibuktikan dengan nilai signifikansinya
sebesar 0.5341 lebih besar dari 0,05.
4. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi atau hubungan yang terjadi antara anggota-
anggota dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkaian waktu (data
time series) maupun tersusun dalam rangkaian ruang atau disebut data cross
sectional. Salah satu pengujian yang umum digunakan untuk mengetahui adanya
autokorelasi adalah uji statistik Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test.
Tabel 5.6 Uji Autokorelasi
Obs*R-squared sign kesimpulan
5,91952 0.0518 Non Autokorelasi
sumber: data diolah
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa hasil perhitungan nilai sig. sebesar
0.0518 yang berarti menunjukkan tidak terdapat autokorelasi.
43
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Produk Domestik Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator penting
untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu,
baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDB dapat
digunakan untuk mengetahui perubahan harga dengan menghitung deflator PDB
(perubahan indeks implisit). Indeks harga implisit merupakan rasio antara PDB
menurut harga berlaku dan PDB menurut harga konstan.
PDB diperoleh dari jumlah nilai tambah dan balas jasa yang diterima seluruh
faktor kegiatan ekonomi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara.
Dengan adanya peningkatan pdb maka akan terjadi peningkatan pendapatan yang
diterima oleh faktor-faktor produksi. Maka akan terjadi peningkatan daya beli
masyarakat yang diikuti oleh peningkatan permintaan akan barang dan jasa dan
dapat terjadinya inflasi.
Selain itu Inflasi yang terjadi dalam suatu negara dapat dijadikan tolak ukur
untuk mengetahui banyak atau tidaknya uang yang beredar dalam masyarakat
karena biasanya jika harga barang naik secara terus-menerus dan secara umum di
masyarakat maka dikatan sebagai inflasi, Namun masalah inflasi tidak hanya
berkaitan dengan melonjaknya harga suatu barang dan jasa. Inflasi juga sangat
berkaitan dengan purchasing power atau daya beli dari masyarakat. Inflasi
merupakan suatu gejolak moneter yang diakibatan karena adanya pertambahan
volume uang beredar lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan output yang
terjadi dalam perekonomian. Sehingga dibutuhkan pengawasan yang ketat
terhadap jumlah uang beredar agar tingkat inflasi dapat dikendalikan sedemikian
rupa.
44
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah disimpulkan, dapat kiranya diajukan
saran sebagai berikut :
1. Untuk menangulangi inflasi, maka pemerintah perlu menerapkan kebijakan
fiskal dan moneter yang tepat. Tujuan kebijakan tersebut untuk menjaga
kestabilan nilai tukar dan kestabilan harga dengan tepat. Bahwa pada dasarnya
tingkat inflasi di Indonesia cukup tinggi karena tingginya tingkat jumlah uang
beredar dan tekanan perekonomian, Pemerintah seharusnya tetap dan benar-benar
memegang teguh sikap yang penuh kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan
ekonomi. Hal ini ditujukan untuk menimbulkan dalam penyejukan terhadap
perkembangan kegiatan ekonomi.
2. Perlu dikaji ulang kebijakan perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), karena belajar dari negara-negara yang tax ratio pajak
secarakeseluruhannya sudah tinggi, mereka cenderung konservatif
dalamkebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini karena dimaklumibahwa
kebijakan tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terkait langsungdengan
kelancaran arus barang dan jasa yang merupakan prasyarat bergeraknya roda
perekonomian dan akan menciptakan multiplier effect yang pada gilirannya akan
meningkatkan potensi pajak secara keseluruhan.
45