pengaruh konsentrasi medium dan varietas …
TRANSCRIPT
PENGARUH KONSENTRASI MEDIUM DAN VARIETAS
TERHADAP PERTUMBUHAN MURBEI MELALUI TEKNIK
KULTUR JARINGAN
THE EFFECTS OF THE MEDIUM CONCENTRATION AND
VARIETIES ON MULBERRY GROWTH THROUGH
THE TISSUE CULTURE TECHNIQUE
MASKUR
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
iii
PENGARUH KONSENTRASI MEDIUM DAN VARIETAS
TERHADAP PERTUMBUHAN MURBEI MELALUI TEKNIK
KULTUR JARINGAN
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Ilmu Kehutanan
Disusun dan Diajukan Oleh
MASKUR
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
iv
v
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Maskur
Nomor Induk : P3700212017
Program Studi : Ilmu Kehutanan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pangambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, Yang menyatakan
Maskur
vi
PRAKATA
Puji syukur yang setinggi-tingginya penulis panjatkan ke hadirat
Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala nikmat yang diberikan, hingga
penulis bisa menyelesaikan tesis ini.
Gagasan yang melatari tajuk permasalah ini muncul dari hasil
pengamatan penulis terhadap perkembangan industri persuteraan alam
yang masih rendah. Penulis bermaksud menyumbangkan beberapa
konsep sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas industri
persuteraan alam dengan menghasilkan bibit unggul melalui kultur
jaringan.
Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka
penyusunan tesis ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka
tesis ini selesai pada waktunya. Dalam kesempatan ini penulis dengan
tulus menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Muhammad Restu,
MP sebagai ketua Komisi Penasihat dan Prof. Dr. Ir. Samuel A.
Paembonan sebagai Anggota Komisi Penasihat atas bantuan dan
bimbingan yang telah diberikan mulai dari pengembangan minat terhadap
permasalahan penelitian ini, pelaksanaan penelitiannya sampai dengan
penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada istri kami tercinta, Lili Asmarani atas dukungan dan
doanya. Kepada putri kami, Aisyah Latifah Az Zahra dan Asma
Khairatunnisa yang senantiasa menjadi penyemangat bagi penulis untuk
vii
menyelesaikan tesis ini, dan yang terakhir ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada kepada mereka yang namanya tidak tercantum tetapi
telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberikan balasan yang jauh lebih baik. Amin.
Makassar, Juni 2015
Maskur
viii
ABSTRAK
MASKUR. Pengaruh Konsentrasi Medium dan Vaietas Terhadap Pertumbuhan Murbei Melalui Teknik Kultur Jaringan (Dibimbing Oleh Muhammad Restu dan Samuel A. Paembonan).
Kebutuhan untuk menghasilkan sutra dalam waktu cepat sangat dibutuhkan, sehingga harus diupayakan metode perbanyakan (kultur jaringan) tanaman murbei yang akan menjadi pakan ulat sutra. Penelitian terhadap propagasi beberapa varietas murbei melalui kultur jaringan bertujuan (1) untuk mengetahui konsentrasi Benzyl Amino Purin (BAP) yang tepat untuk perbanyakan murbei varietas Morus indica, Morus multicaulis, Morus catayana, Morus nigra, dan Morus alba, serta (2) menentukan kombinasi terbaik untuk dikembangkan.
Eksplan diperoleh dari pucuk aksilar yang disterilkan melalui metode celup bakar. Eksplan kemudian ditanam pada media MS (Murashige Skoog) selama 60 hari. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor. Faktor I adalah varietas murbei (Morus indica, Morus multicaulis, Morus catayana, Morus nigra, dan Morus alba). Faktor II adalah Konsentrasi BAP (2.5, 2.75, 3, 3.25, dan 3.5 mg/l) dan setiap perlakuan diulang 3 kali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Perlakuan yang tercepat menghasilkan tunas adalah pemberian konsentrasi BAP 2.5 mg/l pada Morus alba; (2) Jumlah tunas terbanyak pada pemberian konsentrasi BAP 3.5 mg/l pada Morus nigra dan 2.5 mg/l pada Morus indica; (3) Tunas tertinggi pada pemberian konsentrasi BAP 2.5 mg/l pada Morus nigra; (4) Perlakuan tercepat membentuk daun pada pemberian konsentrasi BAP 2.75 pada Morus multicaulis; (5) Jumlah daun terbanyak pada pemberian konsentrasi BAP 2.5 mg/l pada Morus nigra. Rekomendasi untuk kombinasi perlakuan yang paling sesuai adalah pemberian konsentrasi BAP 2.5 mg/l pada Morus indica dan Morus nigra. Kata Kunci: Konsentrasi BAP, Kultur Jaringan, Murbei, Propagasi,
Varietas.
ix
ABSTRACT
MASKUR. The Effect of the Medium Concentration and Varieties on Mulberry Growth through the Tissue Culture Technique (supervised by Muhammad Restu and Samuel A. Paembonan).
The demand to produce silk in short time is increasing. So method to produce mulberry as silkworm foods using tissue culture technique is required. A study of the propagation of some varieties of mulberry with tissue culture aimed (1) to investigate the right concentration of Benzyl Amino Purine (BAP) to multiply the varieties of mulberry: Morus indica, Morus multicaulis, Morus catayana, Morus nigra, and Morus alba; (2) to determine the best combination to be developed.
The explants obtained from the auxillary buds were sterilized by immersion and burning methods. The explants were then grown on Murishage Skoog (MS) medium for 60 days. The design used was the mulberry varieties (Morus indica, Morus multicaulis, Morus catayana, Morus nigra, and Morus alba). The second factor was the concentration of BAP (2.5, 2.75, 3, 3.25, and 3.5 mg/l), and each treatment was repeated 3 times.
The research result revealed that (1) the fastest treatment to produce buds was the treatment of BAP concentration of 2,5 mg/l at Morus alba; (2) the greatest number of buds was by BAP concentration of 3,5 mg/l at Morus nigra and 2,5 mg/l at Morus indica; (3) the highest buds was by the treatment of BAP concentration of 2,5 mg/l at Morus nigra; (4) the fastest treatment to form leaves was the treatment of BAP concentration of 2,75 mg/l at Morus multicaulis; (5) the greatest number of leaves was by the treatment of BAP concentration of 2,5 mg/l at Morus nigra. Thus, it is recommended that the most suitable treatment of BAP concentration of 2,5 mg/l at Morus indica and Morus nigra. Keywords: BAP Concentration, Tissue Culture, Mulberry, Propagation,
Varieties.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL................................................................................ i
HALAMAN JUDUL .................................................................................. ii
HALAMAN PENGAJUAN ....................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................... iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ........................................... v
PRAKATA ............................................................................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................... iix
ABSTRACT ............................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................. x
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………xiii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………….xiv
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang .............................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................ 3 C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 4 D. Kegunaan Penelitian ..................................................................... 4 E. Ruang Lingkup/Batasan Penelitian ............................................... 5 F. Kerangka Pikir Penelitian .............................................................. 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KULTUR JARINGAN ..................................................................... 7 1. Defenisi Kultur Jaringan ........................................................... 7 2. Medium dalam Kultur Jaringan ................................................. 11 3. Sterilisasi Bahan Eksplan ......................................................... 14 4. Zat Pengatur Tumbuh .............................................................. 16 5. Tahap-Tahap Kegiatan Kultur Jaringan .................................... 21 6. Metode Kultur Jaringan ............................................................ 23
B. BOTANI DAN KLASIFIKASI TANAMAN MURBEI ......................... 24 1. Taksonomi Tanaman Murbei .................................................... 24 2. Penyebaran Murbei .................................................................. 25 3. Karakteristik Tanaman Murbei ................................................. 25 4. Perkembangbiakan Tanaman Murbei ...................................... 27 5. Morfologi Beberapa Jenis Tanaman Murbei ............................. 28
xi
BAB III. MOTEDE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat ........................................................................ 33 B. Bahan dan Alat ............................................................................. 33 C. Prosedur Penelitian ....................................................................... 35
1. Sterilisasi Alat .......................................................................... 35 2. Pembuatan Media .................................................................... 36 3. Sumber Eksplan dan Sterilisasi Eksplan .................................. 44 4. Penanaman ............................................................................. 45
D. Alur Penelitian ............................................................................... 46 E. Rancangan Percobaan ................................................................. 47 F. Analisis Data ................................................................................. 48
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil dan Pembahasan ................................................................. 49 1. Kecepatan Pembentukan Tunas .............................................. 49 2. Jumlah Tunas .......................................................................... 53 3. Tinggi Tunas ............................................................................ 56 4. Kecepatan Pembentukan Daun ............................................... 60 5. Jumlah Daun ............................................................................ 63 6. Kecepatan Pembentukan Akar ................................................. 65 7. Jumlah Akar ............................................................................. 66 8. Persentase Tumbuh Eksplan ................................................... 67
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................... 70 B. Saran ............................................................................................ 70
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR ISTILAH
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Komposisi medium Murashige dan Skoog (MS) pada pH 5,6-5,8
34
2. Kombinasi perlakuan
47
3. Hasil uji lanjut rata-rata kecepatan pembentukan tunas
50
4. Rata-rata jumlah tunas yang terbentuk pada berbagai varietas
53
5. Rata-rata tinggi tunas yang terbentuk pada berbagai varietas
57
6. Rata-rata kecepatan pembentukan daun pada berbagai perlakuan
61
7 Rata-rata jumlah daun yang terbentuk pada berbagai varietas
64
8 Rata-rata persentase tumbuh eksplan pada interaksi antara konsentrasi medium dan varietas murbei
68
9 Rata-rata persentase tumbuh eksplan pada berbagai varietas
69
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Daun Morus nigra 29
2. Daun Morus alba 30
3. Daun Morus cathayana 31
4. Daun Morus multicaulis 32
5. Daun Morus indica 32
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil sidik ragam kecepatan rata-rata pembentukan tunas
79
2. Grafik kecepatan pembentukan tunas pada berbagai varietas.
80
3. Hasil sidik ragam kecepatan rata-rata jumlah tunas yang terbentuk
81
4. Hasil sidik ragam rata-rata tinggi tunas
82
5. Hasil sidik ragam kecepatan pembentukan daun 83
6 Grafik kecepatan pembentukan tunas pada berbagai varietas.
84
7. Hasil sidik ragam rata-rata jumlah daun 85
8. Hasil sidik ragam rata-rata persentase tumbuh 86
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persuteraan alam merupakan rangkaian kegiatan agroindustri yang
dimulai dari penanaman murbei (Morus sp.), pembibitan dan
pemeliharaan ulat sutera (Bombyx mori), pengolahan kokon menjadi
benang hingga menjadi kain. Komoditas ini diusahakan dan menjadi
bagian budaya dan kehidupan masyarakat di Sulawesi Selatan.
Nursyamsi (2012) menyebutkan bahwa potensi lahan yang cukup
luas di Sulawesi Selatan, yaitu sekitar 52 % lahan nasional digunakan
untuk pengembangan ulat sutera. Akan tetapi, tidak semua lahan
berpotensi mendukung pertumbuhan murbei secara maksimal, karena
pada umumnya lahan tanaman murbei terletak pada lereng bukit, tanah
masam, kesuburan rendah dan ketersediaan air terbatas sehingga dapat
menyebabkan rendahnya produktivitas kebun murbei.
Murbei berasal dari famili Moraceae dan genus Morus yang
merupakan tumbuhan perennial yang sangat penting dan bernilai ekonomi
tinggi, dan memegang peranan penting dalam industri serikultur
(Kavyashree, 2006). Daun dari Tanaman murbei sangat penting, karena
menjadi makanan bagi Bombyx mori sebagai binatang penghasil sutra
(Zaki et al., 2011; Vijayan et al., 2014). Purokit (1994) dalam Zaki et al.
2
(2011) menyebutkan bahwa sekitar 70 % sutera alam berasal dari ulat
sutera yang secara langsung diperoleh dari daun murbei.
Produktivitas kebun murbei di Indonesia masih rendah yaitu 8
ton/Ha/tahun dibandingkan produktivitas kebun murbei di RRC yang dapat
mencapai 22 ton/Ha/tahun (Nursyamsi, 2010). Upaya pengembangan
yang dapat dilakukan untuk peningkatan produktivitas dari persuteraan
adalah dengan menghasilkan varietas-varietas murbei yang unggul. Kultur
jaringan merupakan cara yang dapat digunakan untuk upaya
pengembangan tersebut melalui perbanyakan tanaman yang dapat
menghasilkan tanaman baru dalam jumlah yang banyak dan waktu yang
relatif singkat dengan karakteristik genetik yang sama dengan induknya.
Kultur jaringan tidak hanya untuk melakukan perbanyakan tanaman
secara cepat dan massal, akan tetapi juga untuk konservasi tanaman
yang penting dan langka (Zaki et al., 2011).
Kepentingan manusia dalam budidaya murbei berasal dari
pertumbuhan peradaban dan daya tarik untuk menghasilkan kain sutra
yang berkualitas. Daun Murbei menjadi satu-satunya makanan untuk ulat
sutra yang secara langsung mempengaruhi produktivitas sutra (Zaki et al.,
2011). Zaki et al. (2011) juga menyebutkan bahwa metode kultur jaringan
merupakan sebuah pendekatan tentang induksi/pengembangan
variabilitas genetika dan menghasilkan tanaman yang tahan secara biotik
terhadap adanya tekanan biotik dan abiotik. Metode ini juga digunakan
sebagai salah satu solusi untuk mempercepat hasil hibridisasi murbei,
3
sehingga transfer hasil-hasil pemuliaan ke pihak operasional tanaman di
lapangan dapat dipercepat (Hendaryono dan Ari, 1994).
Keberhasilan perbanyakan tanaman dengan kultur jaringan sangat
dipengaruhi oleh adanya peran zat pengatur tumbuh atau medium serta
perlakuan awalnya. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dilakukan
penelitian tentang pengaruh medium pada berbagai konsentrasi BAP
terhadap daya tumbuh propagasi murbei dari berbagai varietas melalui
kultur jaringan.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Apakah ada pengaruh perbedaan konsentrasi medium terhadap
pertumbuhan kultur jaringan tanaman murbei?
b. Apakah ada pengaruh varietas terhadap pertumbuhan kultur jaringan
tanaman murbei?
c. Apakah ada pengaruh interaksi medium dan varietas terhadap
pertumbuhan kultur jaringan tanaman murbei?
4
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Menentukan konsentrasi medium yang paling sesuai untuk kultur
jaringan tanaman murbei.
b. Menentukan jenis varietas murbei yang paling sesuai untuk
dikembangkan untuk mendukung industri persuteraan alam.
c. Menentukan kombinasi terbaik antara konsentrasi BAP dan varietas
murbei yang paling sesuai untuk dikembangkan melalui kultur jaringan.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Manfaat teoritis.
Hasil dari penelitian ini dapat memperkaya konsep/teori atau
menyokong perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam
bidang yang terkait dengan kultur jaringan.
b. Manfaat praktis.
Hasil dari penelitian ini dapat memberikan masukan dan rekomendasi
tentang jenis medium, perlakuan awal dan varietas murbei yang paling
menguntungkan untuk dikembangkan, secara tidak langsung juga
akan menguntungkan untuk bidang persuteraan alam.
5
E. Ruang Lingkup/Batasan Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi pengujian terhadap
kesesuaian medium dan varietas dalam kultur jaringan tanaman murbei.
Medium yang akan digunakan adalah Benzil Amino Purin (BAP) antara
lain BAP2,5, BAP2,75, BAP3, BAP3,25, dan BAP3,5. Pemilihan konsentrasi ini
didasarkan dari penelitian yang telah dilakukan oleh Nursyamsi (2012)
terhadap tiga varietas murbei menunjukkan bahwa konsentrasi BAP 3
mg/l adalah yang terbaik untuk pertumbuhan tunas murbei. Sehingga
untuk pengujian kesesuaian penggunaan konsentrasi BAP dengan
pertumbuhan beberapa varietas murbei yang lainnya melalui teknik kultur
jaringan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Metode sterilisasi eksplan
akan dilakukan dengan metode celup bakar.
Tanaman murbei yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian
ini sebanyak 5 varietas yaitu Morus catayana, Morus alba, Morus indica,
Morus multicaulis, dan Morus nigra, yang diperoleh dari Balai Persuteraan
Alam Bili-Bili, Kecamatan Marannu, Kabupaten Gowa. Selanjutnya
pengujian akan dilakukan di Laboratorium Bioteknologi, Fakultas
Kehutanan, Universitas Hasanuddin. Pemilihan ke lima jenis murbei
tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain:
a. Ketersediaan sumber eksplan atau spesies murbei.
b. Jenis murbei tersebut merupakan jenis murbei yang banyak
dikembangkan dan ditanam oleh masyarakat, khususnya di Sulawesi
Selatan.
6
F. Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pikir dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Potensi lahan yang luas
- Usaha produktif
masyarakat
- Metode pengembangan
yang tepat
- Prospek produktivitas
pengembangan sutra
Pengembangan jenis murbei
yang unggul
Ketersediaan pakan ulat sutra
Kultur
Jaringan
Keberadaan
bibit unggul
Peningkatan produksi
persuteraan alam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Kultur Jaringan
1. Defenisi Kultur Jaringan
Winata (1987) dalam Zulkarnain (2011) menyebutkan bahwa kultur
jaringan tanaman adalah suatu teknik isolasi bagian-bagian tanaman,
seperti jaringan, organ, ataupun embrio, lalu dikultur pada medium buatan
yang steril sehingga bagian-bagian tanaman tersebut mampu
beregenerasi dan berdeferensiasi menjadi tanaman lengkap. Pada
tanaman Morus spp., beberapa bagian yang biasa digunakan untuk kultur
jaringan adalah pada bagian tunas adventif yang terbentuk pada
kotiledon, daun, hipokotil, ujung tunas, segmen nodal, atau aksila dan
tunas yang terbentuk di musim dingin atau pohon dewasa (Hossain et al.,
1992; Ivanicka, 1987; Kim et al., 1985; Mhatre et al., 1985; Ponchia dan
Gardiman, 1992 dalam Ma et al., 1996).
Suryowinoto (1991) dalam Prasetyo (2009) menyebutkan bahwa
dasar teori yang digunakan dalam pelaksanaan teknik kultur jaringan
adalah teori totipotensi, yang dikemukakan oleh Schleiden dan Schwann
yang menyatakan bahwa setiap sel mempunyai kemampuan totipotensi.
Totipotensi merupakan kemampuan internal sel untuk berdiferensiasi
(Zulkarnain, 2011). Kemudian istilah totipotensi digunakan untuk
menunjukkan kapasitas genetik dari sel-sel tanaman yang berada pada
8
tahap perkembangan uninucleate untuk beregenerasi menjadi tanaman
lengkap, baik secara langsung maupun melalui fase kalus. Sementara itu,
fenomena tumbuhnya tanaman dari sel-sel jaringan, organ, meristem,
atau embrio zigot yang dikulturkan secara in vitro diistilahkan sebagai
regenerasi (Zulkarnain, 2011).
Perbanyakan tanaman secara in vitro atau yang lebih dikenal
dengan kultur jaringan terbukti dapat meningkatkan ketersediaan bibit
tanaman dalam jumlah besar dan seragam dalam waktu relatif singkat
(Oktafiani et al., 2010). Dhawan (1986) dalam Zaki et al. (2011) juga
menyebutkan bahwa keunggulan lain dari teknik ini adalah mampu
menghasilkan tanaman yang bebas penyakit. Selain itu, kultur jaringan
juga dapat memudahkan untuk konservasi berbagai jenis tanaman yang
penting, mahal, dan langka serta dapat mendukung pengembangan
varietas genetika dan menghasilkan tanaman yang tahan terhadap
tekanan biotik dan abiotik (Zaki et al., 2011).
Aplikasi teknologi ini telah banyak dilakukan terhadap berbagai
spesies tanaman, di antaranya seperti yang dilakukan oleh Zaki et al.
(2011) untuk mikropropagasi untuk Morus nigra, Ma et al. (1996) untuk
kultur jaringan Morus alba, Vijayan (2014) untuk kultur jaringan tanaman
murbei, Prasetyo (2009) untuk kultur jaringan tanaman anggrek,
Nursyamsi (2012) untuk kultur jaringan tiga jenis verietas murbei, dan
masih banyak yang lainnya.
9
Teknik kultur jaringan tanaman memiliki prospek yang lebih baik
daripada metode perbanyakan tanaman secara vegetatif konvensional
dikarenakan keuntungan-keuntangan berikut ini. Pertama, jutaan klon
dapat dihasilkan dalam waktu setahun hanya dari sejumlah kecil material
awal. Dengan metode vegetatif konvensional dibutuhkan waktu bertahun-
tahun untuk menghasilkan dalam jumlah yang sama dan jumlah bahan
awal yang diperlukan pun lebih besar. Kedua, teknik kultur jaringan hanya
menawarkan suatu alternatif bagi spesies-spesies yang resistan terhadap
sistem perbanyakan vegetatif konvensional dengan melakukan manipulasi
terhadap faktor-faktor lingkungan, termasuk penggunaan zat pengatur
tumbuh. Ketiga, kemungkinan untuk mempercepat pertukaran bahan
tanaman di tingkat internasional. Apabila ditangani secara hati-hati, status
aseptic dari bahan tanaman mengurangi kemungkinan bagi interoduksi
ataupun penyebaran penyakit tanaman. Keempat, teknik kultur jaringan
tidak tergantung pada musim. Stok tanaman dapat segera diperbanyak
pada sembarang waktu setelah pengiriman ataupun penyimpanan, karena
semua proses dilakukan di bawah kondisi lingkungan yang terkendali di
laboratorium atau rumah kaca (Zulkarnain, 2011).
Menurut Prasetyo (2009), terdapat beberapa tipe kultur jaringan,
antara lain:
a. Kultur biji (seed culture), kultur yang bahan tanamannya menggunakan
biji.
10
b. Kultur organ (organ culture), merupakan budidaya yang bahan
tanamnya menggunakan organ, seperti: ujung akar, pucuk aksilar,
tangkai daun, helaian daun, bunga, buah muda, inflorescentia, buku
batang, akar, dan lain-lain.
c. Kultur kalus (callus culture), merupakan kultur yang menggunakan
jaringan (sekumpulan sel) biasanya berupa jaringan parenkim sebagai
bahan eksplannya.
d. Kultur suspensi sel (suspension culture) adalah kultur yang
menggunakan media cair dengan pengocokan yang terus-menerus
menggunakan shaker dan menggunakan sel atau agregat sel sebagai
bahan eksplannya, biasanya eksplan yang digunakan berupa kalus
atau jaringan meristem.
e. Kultur protoplasma. Eksplan yang digunakan adalah sel yang telah
dilepas bagian dinding selnya menggunakan bantuan enzim. Protoplas
diletakkan pada media padat dibiarkan agar membelah diri dan
membentuk dinding selnya kembali. Kultur protoplas biasanya untuk
keperluan hibridisasi somatik atau fusi sel soma (fusi 2 protoplas baik
intraspesifik maupun interspesifik).
f. Kultur haploid adalah kultur yang berasal dari bagian reproduktif
tanaman, yakni: kepala sari/anther (kultur anther/mikrospora), tepung
sari/pollen (kutur pollen), ovule (kultur ovule), sehingga dapat
dihasilkan tanaman haploid.
11
2. Medium dalam Kultur Jaringan
Media kultur jaringan adalah suatu media dimana bahan tanam
ditempatkan agar dapat tumbuh menjadi tanaman baru melalui proses
pertumbuhan kalus, differensiasi dan organogenesis. Media kultur jaringan
dapat berupa media padat dan cair. Media padat berupa padatan gel
seperti agar, dimana nutrisi dicampurkan pada agar. Media cair adalah
nutrisi yang dilarutkan ke dalam air.
Nursyamsi (2010) menyatakan bahwa keberhasilan dalam
penggunaan media kultur jaringan sangat bergantung pada media yang
digunakan. Media kultur jaringan membutuhkan persyaratan kandungan
unsur-unsur hara berupa garam organik, bahan organik, vitamin dan zat
pengatur tumbuh. Garam organik terdiri atas unsur-unsur hara yang
esensial. Unsur hara esensial adalah unsur hara yang diperlukan oleh
tanaman untuk menyelesaikan siklus hidupnya, fungsi unsur hara tersebut
tidak dapat digantikan oleh unsur yang lain, dan diperlukan dalam proses
metabolisme tanaman sebagai komponen molekul anorganik atau sebagai
kofaktor dalam reaksi enzim.
Komposisi media yang digunakan tergantung pada jenis tanaman
yang akan diperbanyak dan tidak ada satupun media yang berlaku
universal untuk semua jenis jaringan dan organ, misalnya media dasar
Vacin dan Went biasanya digunakan untuk kultur jaringan anggrek, media
dasar B5 untuk kultur alfafa, kedelai, dan legum lainnya. Pertumbuhan
kultur in vitro yang optimal berbeda untuk masing-masing spesies dan
12
varietas. Bahkan, Zulkarnain (2011) menyatakan bahwa jaringan yang
berasal dari bagian tanaman yang berbeda pun akan berbeda kebutuhan
nutrisinya. Media Woody Plant Media (WPM) biasanya digunakan untuk
tanaman kehutanan. Sementara media Murashige dan Skoog (MS) sering
digunakan karena cukup memenuhi unsur hara makro, mikro, dan vitamin
untuk pertumbuhan tanaman (Marlina, 2004).
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam medium kultur
jaringan adalah sebagai berikut:
1. Matriks medium
Selain dikulturkan pada medium cair, eksplan dapat pula
dikulturkan pada matriks padat atau setengah padat. Kontaminan yang
berasal dari matriks dapat pula menjadi bahan bagi sumber nutrisi bagi
bahan yang dikulturkan. Kebanyakan kultur statis menggunakan
matriks agar-agar.
Bahan pemadat sintetik diketahui dapat menumbulkan hiperhidrasi
(vitrifikasi) yaitu suatu kelainan fisiologis yang terjadi pada planlet
selama masa kultur. Untuk mengatasi hal tersebut, Sigma (produsen
bahan-bahan kimia) mengembangkan suatu produk baru yang disebut
Agargel. Produk tersebut dibuat dengan mencampurkan agar-agar
dengan pemadat sintetik dan telah terbukti dapat mengurangi
terjadinya vitrifikasi. Produk yang serupa Agargel dapat dibuat dengan
mencampurkan 1 g Gerlite (Phytagel) dengan 4 g agar-agar di dalam 1
l medium (Zulkarnain, 2011).
13
2. Keasaman medium
Keasaman medium adalah salah satu hal yang mempengaruhi
keberhasilan kultur jaringan tanaman. Pada umumnya, keasaman
medium ditetapkan antara 5,6 – 5,8. Pierik (1997) dalam Zulkarnain
(2011) menyebutkan bahwa medium yang terlalu asam (pH ˂ 4,5) atau
terlalu basa (pH ˃ 7,0) dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan eksplan. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh
tidak tersedianya sejumlah unsur hara pada kisaran pH tertentu, unsur-
unsur seperti besi, seng, mangan, tembaga, dan boron mengalami
presipitasi sebagai hidroksida sehingga tidak tersedia bagi jaringan
yang dikulturkan. Sedangkan pada pH yang rendah, unsur-unsur
seperti magnesium, kalsium, belerang, fosfor, dan molibdat menjadi
tidak tersedia. Selain mempengaruhi ketersediaan unsur-unsur hara,
pH mempengaruhi pula proses pemadatan medium. Menurut Taji et
al., (1997) dalam Zulkarnain (2011), medium akan menjadi terlalu
keras apabila pH ˃ 6,0, sedangkan pada pH ˂ 5,2 medium akan sulit
untuk menjadi padat.
3. Pemilihan komposisi medium dasar
Kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kultur in vitro yang optimal
bervariasi antarspesies maupun antarvarietas. Bahkan jaringan yang
berasal dari organ tanaman yang berbeda pun akan berbeda
kebutuhan nutrisinya. Oleh karena itu, tidak ada satupun media dasar
yang berlaku universal untuk semua jenis jaringan dan organ.
14
Meskipun demikian, medium dasar MS yang direvisi adalah yang
paling luas penggunaannya dibandingkan dengan media dasar lainnya
(Zulkarnain, 2011).
Taji et al. (1995) dalam Zulkarnain (2011) menambahkan bahwa
medium MS yang direvisi banyak digunakan, terutama pada
mikropagansi tanaman dikotil dengan hasil yang memuaskan. Hal itu
dikarenakan medium MS memiliki kandungan garam-garam yang lebih
tinggi daripada media lain, disamping kandungan nitratnya yang tinggi.
Penelitian terhadap pengaruh komposisi medium kultur dapat dimulai
misalnya menggunakan medium dasar MS dengan mencoba berbagai
taraf unsur-unsur makro, seperti ¼, ½, ¾, atau konsentrasi penuh (full
strength). Apabila telah diperoleh hasil yang memuaskan maka dapat
dilihat pula formulasi unsur-unsur makro dan komposisi ion dari
medium lain dan dicoba untuk melihat perbedaannya (Zulkarnain,
2011).
3. Sterilisasi Bahan eksplan
Sterilisasi bahan eksplan merupakan salah satu bagian yang
sangat penting dalam kultur jaringan. Proses sterilisasi atau pra perlakuan
sangat mempengaruhi keberhasilan kultur yang akan dilakukan. Pada
eksplan yang akan dikulturkan terdapat mikroorganime yang akan tumbuh
dengan cepat dan dalam waktu yang singkat akan mampu menginfeksi
medium dan eksplan yang ditanam (Zulkarnain, 2011). Infeksi kadang
15
terjadi pada eksplan melalui luka akibat pemotongan. Infeksi yang terjadi
dapat menyebabkan kematian pada eksplan. Sehingga, untuk mencegah
terjadinya kematian pada eksplan, maka hal yang sangat penting untuk
diperhatikan dalam kultur jaringan adalah proses sterilisasi.
Zulkarnain (2011) menyebutkan bahwa ada beberapa sumber
kontaminasi mikroorganisme pada sistem kultur jaringan, antara lain:
a. Medium sebagai akibat dari proses sterilisasi yang tidak sempurna.
b. Lingkungan kerja dan penanaman yang kurang hati-hati dan kurang
teliti.
c. Eksplan.
d. Serangga atau hewan kecil yang masuk ke dalam botol kultur.
Kegiatan sterilisasi dalam kultur jaringan pada hakikatnya memiliki
ketentuan umum, namun sulit untuk menentukan sebuah pola sterilisasi
yang berlaku untuk semua jenis tanaman. Pola sterilisasi biasanya akan
didapatkan dari proses trial and error. Penanganan pada tanaman dengan
struktur lunak akan berbeda dengan tanaman yang keras.
Bahan-bahan yang digunakan untuk proses sterilisasi merupakan
bahan yang sifatnya umum, misalnya larutan hipoklorit, deterjen,
fungisida, alkohol dan lain sebagainya. Namun Bhojwani dan Razdan
(1993) dalam Zulkarnain (2011) mengingatkan bahwa bahan sterilisasi
tersebut juga bersifat racun bagi jaringan tanaman, sehingga tingkat
konsentrasi dan lamanya perlakuan harus benar-benar diperhatikan untuk
mengurangi resiko kematian pada jaringan eksplan.
16
Pengamatan terhadap pertumbuhan eksplan murbei dalam
penelitian ini akan menggunakan metode celup bakar sebagai proses
sterilisasinya. Secara rinci proses sterilisasi eksplan dijelaskan pada Bab
berikutnya. Bhojwani (1980) dalam Zulkarnain (2011) menyebutkan bahwa
dalam kegiatan sterilisasi, setelah dilakukan perendaman dalam alkohol,
maka sebelum dilakukan penanaman ke dalam medium, maka terlebih
dahulu eksplan harus dikeringkan dengan cara diangin-anginkan atau
dapat dibakar.
4. Zat Pengatur Tumbuh
Pierik (1997) dalam Zulkarnain (2011) mengemukakan bahwa
fitohormon adalah senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh tanaman
tingkat tinggi secara endogen. Senyawa tersebut berperan merangsang
dan meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan sel, jaringan, dan
organ tanaman menuju arah diferensiasi tertentu. Senyawa-senyawa lain
yang memiliki karakteristik yang sama dengan hormon, tetapi diproduksi
secara eksogen, dikenal sebagai zat pengatur tumbuh (ZPT).
Di dalam teknik kultur jaringan, zat pengatur tumbuh ini sangat
berpengaruh. Bahkan Pierik (1997) dalam Zulkarnain (2011) menyebutkan
bahwa sangat sulit untuk menerapkan teknik kultur jaringan pada upaya
perbanyakan tanaman tanpa melibatkan zat pengatur tumbuh. Namun,
Nisak et al. (2012) menyebutkan bahwa penggunaan ZPT tersebut bila
digunakan dengan konsentrasi yang rendah akan merangsang dan
mempercepat proses pertumbuhan tanaman, dan sebaliknya bila
17
digunakan dalam jumlah besar/konsentrasi yang tinggi maka akan
menghambat pertumbuhan dan bahkan dapat menyebabkan kematian
pada tanaman.
1. Auksin.
Auksin adalah sekelompok senyawa yang fungsinya
merangsang pemanjangan sel-sel pucuk yang spektrum aktivitasnya
menyerupai IAA (indole-3-acetic acid). Pada umumnya auksin
meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel, dan pembentukan
akar adventif. Sementara itu, Wattimena (1992) dalam Ardiana dan
Ida (2010) menyatakan bahwa auksin juga berperan dalam
differensiasi jaringan xylem dan floem. Auksin berpengaruh pula untuk
menghambat pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar, namun
kehadirannya dalam medium kultur dibutuhkan untuk meningkatkan
embryogenesis somatik pada kultur suspensi sel. Konsentrasi auksin
yang rendah akan meningkatkan pembentukan akar adventif,
sedangkan auksin konsentrasi tinggi akan merangsang pembentukan
kalus dan menekan morfogenesis (Smith, 1992 dalam Zulkarnain,
2011).
Jenis-jenis zat pengatur tumbuh yang banyak beredar dari jenis
auksin dapat berupa Indole-3-Acetic Acid (IAA), α-Napthalene Acetic
Acid (NAA), dan 2,4 Dichlorophenoxyacene Acid (2,4.D). Jenis-jenis
auksin yang lain seperti 2,4,5-tricholorophenoxyacetic acid (2,4,5-T),
indole-3-butyric acid (IBA), dan p-cholorophenoxyacetic acid (4-CPA)
18
juga merupakan senyawa yang efektif, tetapi penggunaan sebanyak
tiga jenis auksin yang disebutkan di awal. 2,4,5-T dapat meningkatkan
pembentukan kalus pada kultur in vitro tanaman biji-bijian, sedangkan
IBA sangat efektif untuk menginduksi perakaran. IAA merupakan
auksin yang disintesis secara alamiah di dalam tubuh tanaman, namun
senyawa ini mudah mengalami degradasi akibat pengaruh cahaya dan
oksidasi enzimatik. Oleh karena itu IAA biasanya diberikan pada
konsentrasi yang relatif tinggi (1-30 mg/l). Sementara itu, α-NAA yang
merupakan auksin sintetik, tidak mengalami oksidasi enzimatik seperti
halnya IAA. Senyawa tersebut dapat diberikan pada medium kultur
pada konsentrasi yang lebih rendah, berkisar antara 0,1-2,0 mg/l.
Pemberian 2,4-D pada konsentrasi 10-7 – 10-5 M tanpa sitokinin sangat
efektif untuk induksi poliferasi kalus pada perbanyakan kultur. Pierik
(1997) dalam Zulkarnain (2011) menganjurkan untuk membatasi
penggunaan 2,4-D pada kultur in vitro karena 2,4-D dapat
meningkatkan peluang terjadinya mutasi genetik dan menghambat
fotosintesis pada tanaman yang diregenerasikan. Salah satu jenis
auksin sintetik yang sering digunakan adalah NAA karena NAA
mempunyai sifat lebih stabil dari pada IAA (Fitrianti, 2006).
2. Sitokinin.
Sitokinin adalah senyawa yang dapat meningkatkan
pembelahan sel pada jaringan tanaman serta mengatur pertumbuhan
dan perkembangan tanaman, sama halnya dengan kinetin (6-
19
furfurylaminopurine). Peran auksin dan sitokinin sangat nyata dalam
pengaturan pembelahan sel, pemanjangan sel, differensiasi sel, dan
pembentukan organ (Zulkarnain, 2011).
Pemberikan sitokinin ke dalam medium kultur jaringan penting
untuk menginduksi perkembangan dan pertumbuhan eksplan. Smith
(1992) dalam Zulkarnain (2011) menyatakan bahwa senyawa tersebut
dapat meningkatkan pembelahan sel, poliferasi pucuk, morfogenesis
pucuk. Narayan et al. (1989) dalam Zaki et al. (2011) juga
menyebutkan bahwa BAP adalah jenis sitokinin yang banyak
digunakan untuk regenerasi tunas. Namun, pemberian sitokinin dalam
jumlah yang banyak atau relatif tinggi menurut Hendaryono dan Ari
(1994) justru akan menyebabkan diferensiasi cenderung ke arah
primordial batang dan tunas. Akan tetapi, apabila jaringan tersebut
disubkulturkan pada medium dengan kandungan sitokinin yang
memadai maka pembelahan sel akan berlangsung secara sinkron.
Sitokinin biasanya tidak digunakan untuk tahap mikropropagansi
karena aktivitasnya dapat menghambat pembentukan akar,
menghalangi pertumbuhan akar, dan menghambat pengaruh auksin
terhadap inisiasi akar pada kultur jaringan sejumlah spesies tertentu
(George dan Sherrington, 1984 dalam Zulkarnain, 2011). Untuk
meningkatkan pembelahan sel dan inisiasi pucuk, sitokinin terlibat pula
dalam kontrol perkecambahan biji, mempengaruhi absisi daun dan
20
transport auksin, memungkinkan bekerjanya giberilin dengan
menghilangkan penghambat tumbuh, serta menunda penuaan.
Sitokinin yang banyak digunakan pada kultur in vitro adalah
kinetin, benziladenin (BA atau BAP), dan zeatin. Zeatin adalah sitokinin
yang disintesis secara alamiah, sedangkan kinetin dan BA adalah
sitokinin sintetik. Salah satu sitokinin alamiah yang secara ekonomis
lebih murah daripada zeatin adalah 6-[γ,γ-dimethylally lamino]purine
atau N6-[∆2-isopentenil]-adenin atau 2iP. Disamping itu, air kelapa yang
disterilkan dengan otoklaf dapat pula ditambahkan ke dalam medium
kultur pada konsentrasi 10-15% (v/v) sebagai salah satu sumber
sitokinin alamiah (Zulkarnain, 2011).
Di dalam aplikasi kultur jaringan, terdapat interaksi yang luas
antara auksin dan sitokinin. Jika konsentrasi auksin lebih besar
daripada sitokinin, maka akar akan tumbuh, dan bila konsentrasi
sitokinin lebih besar daripada auksin maka tunas akan tumbuh.
Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan
dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen,
menentukan arah perkembangan suatu kultur. Sebagaimana penelitian
yang telah dilakukan oleh Zaki et al. (2011) terhadap kultur jaringan
murbei yang menunjukkan bahwa ketika konsentetasi sitokinin yang
diberikan lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi auksin, maka
tunas menjadi tumbuh. Demikian juga yang ditunjukkan dari penelitian
Anis et al. (2003) yang menunjukkan kombinasi medium 2 mg/l BAP +
21
0,2 mg/l NAA dan zat lainnya yang paling efektif untuk menghasilkan
tunas. Rao et al. (2010) juga menunjukkan hasil yang sama, kombinasi
BAP yang lebih besar dibandingkan dengan IAA pada kultur murbei
menunjukkan diferensiasi maksimum dan akar yang paling banyak
pada penggunaan 2 mg/l BAP dan 0,15 mg/l IAA. Narayan et al. (1989)
juga menyatakan bahwa tunas pada planlet dihasilkan dari konsentrasi
0,5 – 3,0 BAP dan akar dihasilkan pada konsentrasi 0,5 mg/l IAA.
Zaki et al. (2011) juga menyebutkan dalam penelitiannya bahwa
salah satu masalah yang muncul pada saat proses kultur adalah
pembentukan akar yang terjadi sebelum pembentukan tunas. Karena
ketika terjadi pembentukan akar, maka pembentukan tunas akan
menjadi sulit. Sehingga, manipulasi untuk pengaruh sitokinin tidak
boleh lebih kecil dibandingkan dengan auksin pada tahap awal
organogenesis.
5. Tahap-Tahap Kegiatan Kultur Jaringan
Nursyamsi (2010) menyebutkan bahwa terdapat 4 tahapan dalam
kegiatan kultur jaringan, antara lain:
a. Tahap Inisiasi
Tahap iniasiasi adalah tahap awal kultur yang bertujuan untuk
mendapatkan eksplan yang bebas mikroorganisme serta iniasiasi
pertumbuhan baru. Hasil pengamatan pada tahap inisiasi tunas bitti
menunjukkan eksplan yang menghasilkan tunas adalah yang berasal
dari pucuk dan kotiledon. Eksplan pucuk lebih banyak menghasilkan
22
tunas dibandingkan dengan kotiledon. Rata-rata jumlah tunas yang
dihasilkan pada tahap ini adalah empat tunas. Hal ini disebabkan
karena pucuk merupakan kuncup terminal yang mempunyai
kemampuan membelah diri untuk membentuk tunas baru dan semakin
tinggi tunas maka tunas yang terbentuk juga semakin banyak. Tunas
yang baru pada umumnya terbentuk dari tunas aksilar.
b. Tahap Multiplikasi
Pada tahap multiplikasi atau tahap perbanyakan, tunas-tunas
yang tumbuh dari hasil induksi diperbanyak dengan cara memotong
setiap ruas dan menanamnya pada media perbanyakan. Media
perbanyakan ini umumnya lebih banyak mengandung sitokinin.
c. Tahap Perakaran
Tujuan dari tahap perakaran adalah untuk pembentukan akar
dan pembentukan flantlet yang mandiri serta pucuk tanaman yang
cukup kuat hingga dapat bertahan hidup sampai saat dipindahkan dari
lingkungan in vitro ke lingkungan alamiahnya. Tunas-tunas hasil
multiplikasi yang belum mempunyai akar dipindahkan ke media yang
mengandung lebih banyak auksin.
d. Tahap Aklimatisasi
Tahap akhir dari kultur jaringan adalah tahap aklimatisasi yang
dapat didefenisikan sebagai proses penyesuaian suatu organisme
untuk beradaptasi pada suatu lingkungan yang baru. Proses ini sangat
23
penting karena akan menentukan apakah tanaman yang berasal dari
in-vitro dapat beradaptasi atau tidak pada kondisi in-vivo.
Planlet hasil kultur jaringan sering masih sulit untuk dipelihara
sesuai dengan kondisi alamiahnya/lapangan, karena masih sangat
peka sehingga dibutuhkan proses aklimatisasi. Tanaman tersebut
perlu dipersiapkan untuk masa transisi dari media agar ke media tanah
yang lebih baik serta lebih kokoh.
Aklimatisasi merupakan kegiatan memindahkan eksplan ke luar
dari ruangan aseptik ke rumah kaca. Pemindahan dilakukan secara
hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup
digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama
penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap
serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu
beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap
sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara
yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif.
6. Metode Kultur Jaringan
Metode perbanyakan tanaman secara in vitro dapat dilakukan
melalui tiga cara, yaitu melalui perbanyakan tunas dari mata tunas apikal,
melalui pembentukan tunas adventif, dan embriogenesis somatik, baik
secara langsung maupun melalui tahap pembentukan kalus (Gunawan,
1987). Ada beberapa tipe jaringan yang digunakan sebagai eksplan dalam
24
pengerjaan kultur jaringan (Pierik, 1999). Pertama adalah jaringan muda
yang belum mengalami diferensiasi dan masih aktif membelah
(meristematik) sehingga memiliki kemampuan regenerasi yang tinggi.
Jaringan tipe pertama ini biasa ditemukan pada tunas apikal, tunas
aksiler, bagian tepi daun, ujung akar, maupun kambium batang (Evert et
al., 2006). Tipe jaringan yang kedua adalah jaringan parenkima, yaitu
jaringan penyusun tanaman muda yang sudah mengalami diferensiasi dan
menjalankan fungsinya. Contoh jaringan tersebut adalah jaringan daun
yang sudah berfotosintesis dan jaringan batang atau akar yang berfungsi
sebagai tempat cadangan makanan (Evert et al., 2006).
b. Botani dan Klasifikasi Tanaman Murbei
1. Taksonomi Tanaman Murbei
Adapun taksonomi tanaman murbei adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Urticalis
Famili : Moraceae
Genus : Morus
Species : Morus sp.
25
2. Penyebaran Murbei
Tanaman murbei dipercayai sebagai tanaman yang berasal dari
India dan China di kaki pegunungan Himalaya. Dari wilayah tersebut
kemudian Tanaman murbei tersebar hingga ke beberapa wilayah seiring
dengan perkembangan pengusahaan persuteraan alam. Selain itu,
penyebaran Tanaman murbei ke beberapa wilayah juga didukung oleh
kemudahan Tanaman murbei yang dapat tumbuh dari daerah sub tropis
hingga ke daerah tropis.
Beberapa negara yang telah mengembangkan Tanaman murbei
diantaranya : Jepang, China, Korea, Rusia, India, Brazil, Italia, Perancis,
Spanyol, Yunani, Yugoslavia, Hungaria, Rumania, Polandia, Bulgaria,
Turki, Mesir, Syria, Cyprus, Sri Lanka, Iran, Bangladesh, Afghanistan,
Lebanon, Thailand, Myanmar, Vietnam, Indonesia dan Kamboja. Vijayan
et al. (2014) menyebutkan bahwa pada saat ini murbei tumbuh pada
Negara yang berada pada 500 LU dan 100 LS yang mencakup Asia, Eropa,
Amerika Utara dan Selatan.
3. Karakteristik Tanaman Murbei
Murbei berasal dari famili Moraceae dan genus Morus yang
merupakan tumbuhan perennial yang sangat penting dan bernilai ekonomi
khususnya dalam bidang serikultur.Yang penting dari murbei ini adalah
daunya, yang menjadi bahan atau sumber penghasil sutra yang dihasilkan
26
oleh Bombix mori. Sekitar 60 % dari produksi kokon ulat sutera
dipengaruhi oleh produksi daun dari Tanaman murbei (Zaki et al., 2011).
Tanaman murbei merupakan tanaman perdu, tingginya dapat
mencapai 6 meter dengan tajuk yang jarang, bercabang banyak, daunnya
berwarna hijau tua dengan bentuk mulai dari bulat, berlekuk dan bergerigi
dengan permukaan kasar atau halus tergantung jenisnya.
Pertumbuhan Tanaman murbei sangat dipengaruhi oleh keadaan
tanah dan iklim setempat. Di Daerah tropis seperti di Indonesia, meskipun
Tanaman murbei tidak mengalami masa istirahat, tetapi terdapat
perbedaan pertumbuhan pada saat musim hujan dan musim kemarau.
Penyebabnya adalah faktor kandungan air tanah. Perbedaan
pertumbuhan yang nyata terlihat antara musim hujan dan musim kemarau.
Waktu pertumbuhan yang paling baik bagi Tanaman murbei adalah
diantara musim hujan dan musim kemarau, saat curah hujan mulai
berkurang sedangkan temperatur udara masih cukup tinggi.
Tanaman murbei merupakan jenis tanaman yang tahan pangkasan
dan mudah bertunas kembali. Tanaman ini bila dipangkas secara berkala
tidak menjadi tinggi dan tetap menghasilkan daun, tetapi apabila tidak
dipangkas dapat menjadi tanaman yang berbentuk pohon. Oleh karena
itu, Tanaman murbei dapat berfungsi sebagai tanaman penguat teras,
batas areal dan penghasil kayu bakar.
Tanaman murbei dapat bertunas ± 7 hari setelah pemangkasan
dan selanjutnya pertumbuhannya berjalan dengan cepat selama 30 – 60
27
hari setelah pemangkasan. Pada bagian batang akan tumbuh cabang
setelah 90 hari kemudian, dan pada saat yang sama daun bagian bawah
akan rontok. Dari segi pertumbuhan batang, saat yang paling baik untuk
memulai panen adalah antara 60 – 90 hari setelah mulai bertunas.
Buah Tanaman murbei pada waktu muda berwarna putih kehijau-
hijauan kemudian berubah menjadi merah muda dan rasanya asam. Pada
saat buah telah matang, warna buah Murbei menjadi merah tua agak
kehitaman dan rasanya manis. Buah murbei dapat dijadikan sebagai obat
tradisional untuk disentri, sembelit, hypogliacenna, avulsi gigi dan juga
kaya akan asam phenolic dan plavonoids (Zaki et al., 2011).
Tanaman murbei dapat ditanam bersama dengan tanaman lainnya
dengan sistem tumpang sari. Apabila ditanam dengan tanaman lainnya,
perlu diperhatikan bahwa tanaman murbei tidak tahan terhadap naungan
berat.
4. Perkembangbiakan Tanaman Murbei
Tanaman murbei dapat dikembangbiakkan dengan 2 cara yaitu
secara generatif (dengan biji) dan secara vegetatif (dengan bagian
tanaman).
a. Secara Generatif
Di Indonesia cara memperbanyak tanaman murbei dengan biji
sampai saat ini belum dilakukan, selain karena memerlukan keahlian
28
khusus, juga memerlukan waktu yang lama dan biaya yang cukup
mahal.
b. Secara Vegetatif
Cara memperbanyak tanaman murbei dengan menggunakan
bagian tanaman merupakan cara yang biasa dilakukan untuk daerah
tropis. Cara ini lebih praktis dan ekonomis dan relatif mudah
dilaksanakan.
5. Morfologi Beberapa Jenis Tanaman Murbei
Jenis-jenis tanaman murbei yang telah dikenal sangat banyak.
Penggolongan jenis tanaman murbei ke dalam spesies, sub
spesies/varietas dilakukan berdasarkan struktur bunga, daun dan cabang.
Sebagai perbandingan, di Jepang pada saat ini tercatat terdapat lebih dari
1.000 varietas murbei, dari jumlah tersebut terdapat lebih kurang 10
varietas saja yang populer dan banyak digunakan petani sutera. Di
Indonesia sendiri terdapat berbagai macam jenis tanaman murbei, namun
yang banyak ditanam oleh petani sebanyak 6 varietas murbei saja.
Varietas murbei tersebut antara lain : Morus nigra, Morus alba, Morus
australis, Morus cathayana, Morus multicaulis dan Morus macroura. Ciri-
ciri morfologis tanaman murbei tersebut adalah sebagai berikut :
a. Morus nigra
Dikenal dengan nama “murbei hitam”. Berupa perdu yang dapat
mencapai ketinggian sampai 1,5 meter. Warna batang hijau kecoklat-
29
coklatan, adakalanya coklat hitam jika sudah tua. Bentuk daun lonjong
dan ujungnya lancip, dengan panjang antara 5 – 10 cm atau lebih,
tergantung dari daerah tumbuhnya. Daun berwarna hijau tua dengan
permukaan halus dan adakalanya bercelah/berlekuk dalam. Morus
nigra memiliki cabang yang banyak. Stek yang berusia 9 – 12 bulan
mempunyai 10 cabang atau lebih apalagi jika sudah dipangkas. Jarak
antar mata ± 6 cm. Buah berwarna merah jambu, ketika masih muda,
dan berwarna hitam apabila telah berumur tua. Bunga dan buah akan
banyak apabila tanaman telah mencapai umur lebih dari 8 bulan
(langsung dari stek) atau lebih dari 2 bulan setelah pemangkasan.
Sumber:Balai Persuteraan Alam, 2007. Gambar 1. Daun Morus nigra
b. Morus alba
Dikenal dengan nama “Murbei buah”, karena pada umumnya
ditanam untuk diambil buahnya. Sifat yang sangat mencolok dari jenis
ini adalah tentang buku atau ruas batangnya yang pendek-pendek dan
pertumbuhannya yang tidak ke atas melainkan ke samping. Bentuk
daunnya seperti jenis Nigra, atau Australis tetapi lebih kecil lagi.
30
Ukuran daunnya dengan rata-rata panjang 2,5 – 20 cm dan lebar 1,5 –
12 cm. Tinggi pohon mampu mencapai 1,5 meter apabila tumbuh di
daerah dingin dengan cabang yang banyak.
Salah satu fungsi dari tanaman murbei, khususnya Morus alba
adalah sebagai tanaman konservasi. Sebagaimana yang dilakukan di
bagian dataran tinggi utara Cina yang dijadikan sebagai tanaman
konservasi untuk konservasi tanah dan air (Ma et al., 1996).
Sumber: Balai Persuteraan Alam, 2007.
Gambar 2. Daun Morus alba
c. Morus catayana
Morus catayana memiliki bentuk daun 3 skepsis dengan ketebalan
daun tipis berwarna hijau muda. Percabangan berwarna coklat tua
berukuran sedang, perakarannya baik dan dalam. Pertumbuhan
batang lurus ke atas dengan sedikit percabangan, cabang mulai
tumbuh pada bagian tengah dari cabang utama. Ketahanan terhadap
musim kemarau cukup kuat, demikian pula ketahanan terhadap
serangan penyakit.
31
Sumber:Balai Persuteraan Alam, 2007.
Gambar 3. Daun Morus catayana
d. Morus multicaulis
Dikenal dengan nama “murbei multi” atau “murbei besar”. Berupa
perdu yang cepat besar dan tinggi. Warna batang coklat, atau coklat
kehijau-hijauan. Daunnya sangat besar, membulat dan permukaannya
bergelombang, sedangkan penggiran daun bergerigi. Cabang tidak
banyak, jumlah cabang 2 – 4 cabang. Setiap cabang cepat memanjang
dan membesar. Buahnya berwarna merah, yang keluar pada waktu
stek ditanam atau batang baru dipangkas. Buah jarang didapat pada
cabang atas. Pada saat ini Morus multicaulis banyak ditanam untuk
makanan ulat, karena bentuk daunnya yang besar dan kecepatan
tumbuhnya. Tetapi sangat disayangkan bahwa pucuk-pucuknya
mudah dan cepat sekali diserang hama serangga atau penyakit
bakteria, virus dan jamur sehingga bentuknya menggulung dan rusak.
32
Sumber: Balai Persuteraan Alam, 2007.
Gambar 4. Daun Morus multicaulis
e. Morus indica
Morus indica merupakan jenis murbei yang berasal dari India,
memiliki bentuk daun skepsis. Daunnya lebar dan berwarna hijau, dengan
cabang yang lurus. Memiliki batang yang berwarna coklat. Buahnya keluar
pada waktu stek ditanam atau batang baru dipangkas. Jenis murbei ini
memiliki kandungan protein yang tinggi pada daunnya, sehingga sangat
menguntungkan ketika dijadikan sebagai pakan ulat sutra.
Sumber: anonym, 2014 Gambar 5. Daun Morus indica
33
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan dimulai pada bulan
September sampai November 2014, meliputi kegiatan pembuatan sampel
dan penelitian laboratorium. Sampel penelitian di ambil dari Balai
Persuteraan Alam Bili-Bili, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa.
Pengujian laboratorium dilakukan di laboratorium Bioteknologi dan
Pemuliaan Pohon Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar.
B. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sumber
eksplan murbei (Morus catayana, Morus alba, Morus multicaulis, Morus
indica, dan Morus nigra). Menurut Zulkarnain (2011), bahan yang
dibutuhkan untuk media MS adalah sebagai berikut:
34
Tabel 1. Komposisi Medium Murshige dan Skoog (MS) pada pH 5,6-5,8
Stok Senyawa Per liter
stok
Pemakaian
Stok Per liter medium
A NH4NO3 82,500 g 20,00 ml 1.650,000 mg
B KNO3 95,000 g 20,00 ml 1.900,000 mg
C KH2PO4 34,000 g 5,00 ml 170,000 mg
H3BO3 1,240 g 6,200 mg
Kl 0,166 g 0,830 mg
Na2MoO4.2H2O 0.050 g 0,250 mg
CoCl2. 6H2O 0,005 g 0,025 mg
D CaCl2. 2H2O 88,000 g 5,00 ml 440,000 mg
E MgSO4. 7H2O 74,000 g 5,00 ml 370,000 mg
MnSO4. 4H2O 4.460 g 22,300 mg
ZnSO4. 4H2O 1,720 g 8,600 mg
CuSO4. 7H2O 0,005 g 0,025 mg
F Na2EDTA 7,460 g 5,00 ml 37,300 mg
FeSO4. 7H2O 5,560 g 27,800 mg
Myo-inositol 10,000 g 10,00 ml 100,000 mg
Glisin 0,200 g 2,000 mg
Niasin 0,050 g 0,500 mg
Pridoksin-HCl 0,050 g 0,500 mg
Tiamin-HCl 5,560 g 0,100 mg
Sukrosa 30.000,000 mg
Agar 7.000,000 mg
Alat-alat yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Pengukur keasaman medium (pH meter)
b. Otoklaf
c. Laminar Air Flow Cabinet (LAFC)
35
d. Neraca analitik
e. Hotplate dengan pengaduk bermagnet
f. Meja penggojok
g. Inkubator
h. Gelas piala, cawan petri, handsprayer, gelas ukur, erlenmeyer dan alat
laboratorium lainnya.
C. Prosedur Penelitian
1. Sterilisasi alat
Alat-alat seperti pinset, scalpel, petridish, botol kultur dan gunting
disterilkan terlebih dahulu sebelum digunakan. Sterilisasi alat dilakukan
sebagai berikut:
a. Alat-alat tersebut dicuci bersih dengan detergen, dikeringanginkan
dan dibungkus dengan kertas (kecuali botol kultur).
b. Alat-alat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam autoklaf pada
suhu 121 oC dan tekanan 1,5 BAR selama 1 jam.
c. Apabila alat-alat tidak langsung digunakan maka dapat disimpan di
dalam oven pada suhu 70 oC.
d. Laminar Air Flow Cabinet sebelum digunakan terlebih dahulu
dibersihkan dengan alkohol 70% dan disinari dengan lampu ultra
violet selama 1 jam.
36
2. Pembuatan media
Pembuatan media tanam yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah pembuatan media Murashige dan Skoog dengan pH 5,6 - 5,8.
Adapun langkah-langkah pembuatan media tanamnya adalah sebagai
berikut:
a. Pembuatan larutan stok
1. Stok A: NH4NO3 82,5 g/l
a) NH4NO3 ditimbang pada neraca analitik sebanyak 82,5 g;
b) Hasil timbangan dimasukkan pada gelas piala 600 ml yang
bersih dan telah dibilas dengan aquades;
c) Aquades ditambahkan secukupnya kemudian diaduk sampai
larut;
d) Larutan tersebut ke labu takar 1000 ml yang sudah dibilas
dengan aquades;
e) Aquades ditambahkan sampai hampir mencapai tanda tera;
f) Bagian atas tanda tera dikeringkan dengan kertas tisu;
g) Aquades ditambahkan dengan pipet sampai meniskus
bawah mencapai tanda tera;
h) Larutan dicampur sampai merata dengan membolak-
balikkan labu takar;
i) Larutan dipindahkan ke dalam botol reagen berwarna gelap
yang bersih dan kering, lalu ditutup;
37
j) Botol tersebut diberi label dengan keterangan sebagai
berikut:
- Nama stok : A
- Nama zat : NH4NO3
- Volume pipet untuk 1 l medium : 20 ml
- Tanggal pembuatan : 4 Oktober 2014
2. Stok B: KNO3 95 g/l
a) KNO3 ditimbang pada neraca analitik sebanyak 95 g;
b) Tahap selanjutnya sama dengan Stok A [(2)-(9)];
c) Botol reagen tersebut diberi label dengan keterangan
sebagai berikut:
- Nama stok : B
- Nama zat : KNO3
- Volume pipet untuk 1 l medium : 20 ml
- Tanggal pembuatan : 4 Oktober 2014
3. Stok C: KH2PO4 34 g/l
H3BO3 1,24 g/l
Kl 0,166 g/l
NaMoO4.2H2O 0,05 g/l
CoCl2.6H2O 0,005 g/l
b) Zat-zat di atas ditimbang secara terpisah;
c) Semua komponen dicampur dalam gelas piala yang sama;
d) Tahap selanjutnya sama dengan stok A [(3)-(9)];
38
e) Botol reagen tersebut diberi label dengan keterangan
sebagai berikut:
- Nama Stok : C
- Nama Zat : KH2PO4, H3BO3,
Kl, NaMoO4.2H2O, CoCl2.6H2O
- Volume pipet untuk 1 l medium : 5 ml
- Tanggal pembuatan : 4 Oktober 2014
4. Stok D: CaCl2.2H2O 88 g/l
a) CaCl2.2H2O ditimbang pada neraca analitik sebanyak 88 g;
b) Tahap selanjutnya sama dengan stok A [(2)-(9)];
c) Botol reagen tersebut diberi label dengan keterangan
sebagai berikut:
- Nama Stok : D
- Nama Zat : CaCl2.2H2O
- Volume pipet untuk 1 l medium : 5 ml
- Tanggal pembuatan : 4 Oktober 2014
5. Stok E: MgSO4.7H2O 74 g/l
MnSO4.H2O 3,38 g/l
ZnSO4.7H2O 1,72 g/l
CuSO4.5H2O 0,005 g/l
a) Zat-zat di atas ditimbang secara terpisah;
b) Semua zat-zat tersebut dicampur dalam gelas piala 600 ml;
c) Tahap selanjutnya sama dengan stok A [(3)-(9)];
39
d) Botol reagen tersebut diberi label dengan keterangan
sebagai berikut:
- Nama stok : E
- Nama zat : MgSO4.7H2O,
MnSO4.H2O, ZnSO4.7H2O dan CuSO4.5H2O.
- Volume pipet untuk 1 l medium : 5 ml
- Tanggal pembuatan : 4 Oktober 2014
6. Stok F: Na2EDTA.2H20 3,72 g/l
FeSO4.7H2O 2,78 g/l
a) Zat-zat di atas ditimbang secara terpisah
b) Na2EDTA.2H2O dimasukkan ke dalam gelas piala 600 ml,
lalu ditambahkan sedikit air;
c) Larutan dipanaskan sampai hampir mendidih;
d) FeSO4.7H2O ditambahkan secara perlahan-lahan sambil
diaduk sampai larut dan larutan menjadi kuning;
e) Larutan didinginkan dengan sendirinya;
f) Tahap selanjutnya sama dengan stok A [(4)-(9)];
g) Botol reagen tersebut diberi label dengan keterangan
sebagai berikut:
- Nama stok : F
- Nama zat : Na2EDTA.2H20
Dan FeSO4.7H2O
- Volume pipet untuk 1 l medium : 5 ml
40
- Tanggal pembuatan : 4 Oktober 2014
h) Stok disimpan dalam lemari pendingin.
7. Stok myo-inositol 10 g/l
a) Myo-inositol ditimbang sebanyak 1 g;
b) myo-inositol tersebut dilarutkan ke dalam 100 ml aquades;
c) Botol reagen tersebut diberi label dengan keterangan
sebagai berikut:
- Nama stok : myo-inositol
- Nama zat : myo-inositol
- Volume pipet untuk 1 l medium : 10 ml
- Tanggal pembuatan : 4 Oktober 2014
8. Stok vitamin: Tiamin-HCl 0,01 g/l
Piridoksin-HCl 0,05 g/l
Niasin 0,05 g/l
Glisin 0,2 g/l
a) Zat-zat tersebut di atas ditimbang secara terpisah;
b) Semua zat tersebut dicampur dan dilarutkan dalam aquades
100 ml;
c) Botol reagen tersebut diberi label dengan keterangan
sebagai berikut:
- Nama stok : vitamin
- Nama zat : Tiamin-HCl,
piridoksin-HCl, niasin, dan glisin.
41
- Volume pipet untuk 1 l medium : 10 ml
- Tanggal pembuatan : 4 Oktober 2014
9. Stok zat pengatur tumbuh
a) BAP dan Kinetin ditimbang masing-masing 50 mg secara
terpisah;
- BAP dan kinetin dilarutkan dengan HCl 1 N secara
terpisah;
b) Zat pengatur tumbuh tersebut dipindahkan ke dalam labu
takar 100 ml;
c) Aquades ditambahkan ke dalam masing-masing labu takar
hingga volumenya mencapai 100 ml;
d) Zat pengatur tumbuh tersebut disimpan dalam wadah
Erlenmeyer 100 ml dan di tutup dengan aluminium foil serta
diberikan label;
e) Semua stok zat pengatur tumbuh disimpan dalam lemari
pendingin.
Catatan:
a. Cara melarutkan semua zat pengatur tumbuh selain yang
dikemukakan di atas adalah dengan menggunakan alkohol atau
pelarut organik lain. Jika cara ini digunakan, jumlah pelarut
jangan terlalu banyak, untuk menghindarkan efek meracuni
terhadap media.
42
b. Stok zat pengatur tumbuh sebaiknya digunakan dalam kondisi
masih baru.
c. Stok yang akan dipakai diperiksa setelah disimpan lama karena
harus bebas dari mikroorganisme.
d. Pada stok yang pekat, mungkin terjadi kristalisasi sehingga
perlu dipanaskan untuk melarutkan kembali senyawa yang
mengkristal tersebut.
b. Pembuatan medium
Untuk membuat medium MS cari sebanyak 1000 ml, tahap yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Jumlah NH4NO3 yang diperlukan adalah 1650 mg, sehingga
volume stok A yang perlu dipipet adalah
1650
82,5× 1000 = 20 𝑚𝑙
b) Dengan cara perhitungan yang sama dengan stok A, di dapat
volume pipet untuk stok B, C, D, E, dan F masing-masing 20 ml,
5 ml, 5 ml, 5 ml, dan 10 ml.
c) Myo-inositol diambil dari stok myo-inositol sebanyak 10 ml.
d) Tiamin-HCl, piridoksin-HCl, niasin, dan glisin diambil dari stok
vitamin sebanyak 10 ml.
e) Jika medium yang dibuat perlu zat pengatur tumbuh maka
volume pipet yang diambil berdasarkan kebutuhan. Misalnya,
akan dibuat medium MS dengan BAP 2 ppm (2 mg/l):
43
a. Jumlah BAP yang diperlukan 2 mg dan jumlah NAA 4
mg;
b. Volume pipet dari stok BAP 500 ppm adalah:
2
500× 1000 = 4 𝑚𝑙
f) Semua larutan stok yang telah di pipet dimasukkan ke dalam
labu takar 1000 ml yang telah diisi aquades kira-kira 200 ml;
g) Gula ditimbang sebanyak 30 g, kemudian dilarutkan dengan
aquades secukupnya dalam gelas piala, lalu dipindahkan
secara kuantitatif ke dalam labu takar;
h) Aquades ditambahkan sampai volumenya mencapai 1000
ml;
i) larutan diaduk dengan menggunakan hot plate dan magnetic
stirrer;
j) setelah semua larutan stok dan konsentrasi BAP
dimasukkan dan tercapur rata, kemudian dimasukkan Agar.
k) Setelah tercampur rata pH media diatur menjadi 5,6-5,8
menggunakan HCl atau KOH;
l) Larutan kemudian dipanaskan didalam micro wave;
m) Setelah dipanaskan, larutan dibagi ke dalam botol kultur
kira-kira 20 ml setiap botol kultur;
n) Botol tersebut ditutup rapat dengan aluminium foil dan diberi
label sesuai dengan perlakuan;
44
o) Botol tersebut kemudian dimasukkan ke dalam otoklaf dan
disterilkan selama 15 menit pada tekanan 17,5 kPa.
3. Sumber Eksplan dan Sterilisasi Eksplan.
Sumber eksplan adalah pucuk yang di ambil dari tanaman yang
telah ditumbuhkan sebelumnya. Eksplan diperoleh dari pucuk tanaman
murbei sebelum ditanam ke dalam media terlebih dahulu disterilisasi.
Pucuk yang telah di ambil tersebut kemudian disterilkan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
Tahap 1
a. Pucuk dipotong dan dibilas dengan air mengalir selama 30 menit.
b. Eksplan kemudian direndam ke dalam deterjen selama 10 menit.
c. Eksplan lalu dibilas dengan aquades steril sebanyak 2 kali.
d. Eksplan direndam ke dalam dithane M-45 (fungisida) selama 1 jam.
e. Eksplan lalu dibilas dengan aquades steril sebanyak 3 kali.
Tahap 2
a. Eksplan direndam ke dalam larutan NaCl2 1,0 % selama 10 menit.
b. Eksplan dibilas dengan aquades steril sebanyak 4-5 kali.
c. Eksplan dibilas kembali dengan NaOCl2 1,0 % yang ke dua selama
10 menit.
d. Eksplan kemudian dibilas dengan aquades steril sebanyak 4 kali.
e. Eksplan direndam ke dalam alkohol 70 % selama 5 menit.
f. Eksplan tersebut dibilas dengan aquades steril sebanyak 4 kali.
45
g. Pada bagian akhir, eksplan dikeringkan dengan diapi-apikan
sebanyak 5 kali dengan menggunakan lilin atau sejenisnya.
4. Penanaman
Langkah selanjutnya adalah eksplan yang telah disterilkan
kemudian ditanam ke dalam medium MS dan disimpan dalam ruang
inkubasi untuk selanjutnya mengamati respon akibat perlakuan.
46
D. Alur Penelitian
Alur dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Tanaman Murbei
Pengambilan Stek
Penanaman dan
Penumbuhan Stek
Pucuk Tanaman
Murbei
Eksplan
Sterilisasi Eksplan
Sterilisasi Alat Pembuatan Media
Dasar MS
Penanaman Eksplan ke
Dalam Botol Kultur
Pengamatan respon eksplan
terhadap perlakuan
Pertumbuhan Tunas - Kecepatan pembentukan tunas - Jumlah tunas
Persentase
Tumbuh
Rekomendasi konsentrasi BAP dan varietas murbei
Pertumbuhan Daun - Kecepatan pembentukan
daun - Jumlah daun
Pertumbuhan Akar - Kecepatan
pembentukan akar - Jumlah akar
47
E. Rancangan Percobaan
Rancangan eksperimental ini menggunakan Rancangan Faktorial
dalam Racangan Acak Lengkap (RAL). Faktor pertama adalah
konsentrasi BAP dan faktor kedua adalah varietas murbei.
Faktor I adalah konsentrasi BAP (B) yang terdiri atas:
b1 = BAP konsentrasi 2,5 mg/l
b2 = BAP konsentrasi 2,75 mg/l
b3 = BAP konsentrasi 3 mg/l
b4 = BAP konsentrasi 3,25 mg/l
b5 = BAP konsentrasi 3,5 mg/l
Faktor II adalah varietas murbei (V) yang terdiri atas:
v1 = Varietas Morus catayana
v2 = Varietas Morus alba
v3 = Varietas Morus indica
v4 = Varietas Morus nigra
v5 = Varietas Morus multicaulis
Jumlah kombinasi perlakuan ada 25 dan setiap perlakuan diulang 3
kali. Tabel kombinasi perlakuan disajikan dalam Tabel berikut:
Tabel 2. Kombinasi perlakuan
Kombinasi Varietas
Konsentrasi BAP v1 v2 v3 v4 v5
b1 b1v1 b1v2 b1v3 b1v4 b1v5
b2 b2v1 b2v2 b2v3 b2v4 b2v5
b3 b3v1 b3v2 b3v3 b3v4 b3v5
b4 b4v1 b4v2 b4v3 b4v4 b4v5
b5 b5v1 b5v2 b5v3 b5v4 b5v5
48
Parameter yang diamati adalah sebagai berikut:
a. Kecepatan pembentukan tunas.
b. Jumlah tunas
c. Tinggi tunas
d. Kecepatan pembentukan daun
e. Jumlah daun
f. Kecepatan pembentukan akar
g. Jumlah akar
h. Persentase tumbuh eksplan
F. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan analisis varian dari Rancangan
Acak Lengkap menggunakan dua faktor untuk menguji keterkaitan dan
pengaruh dari faktor tersebut. Jika hasil sidik ragam berpengaruh nyata
maka dilakukan uji lanjutan yaitu Uji Beda Jarak Berganda Duncan
(DMRT). Model uji statistik untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:
𝑌𝑖𝑗𝑘 = 𝜇 + 𝛼𝑖 + 𝛽𝑗 + (𝛼𝛽)𝑖𝑗 + 𝜀𝑖𝑗𝑘
Dimana:
Yijk : Nilai pengamatan pada faktor I taraf ke i, faktor II taraf kej, dan
ulangan ke k.
µ, αi, βj : Komponen aditif dari rataan, pengaruh utama faktor I dan II.
(α, β)ij : Komponen interaksi dari faktor I dan II.
εijk : Pengaruh acak yang menyebar normal.
49
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
G. Hasil dan Pembahasan
1. Kecepatan Pembentukan Tunas
Hasil analisis sidik ragam kecepatan rata-rata pembentukan tunas
(Lampiran 1) pada eksplan menunjukkan adanya pengaruh yang nyata
pada interaksi antara konsentrasi BAP dengan varietas murbei terhadap
kecepatan pembentukan tunas, sedangkan perlakuan tunggal varietas
dan konsentrasi BAP berpengaruh tidak nyata.
Hasil uji lanjut DMRT interaksi antara konsentrasi BAP dan varietas
terhadap kecepatan pembentukan tunas disajikan pada Tabel 3. Hasil uji
DMRT menunjukkan bahwa pembentukan tunas yang paling cepat adalah
varietas Morus alba dengan pemberian 2,5 mg/l BAP pada medium
tumbuh, yaitu dengan masa tumbuh tunas 1,3 hari setelah tanam.
Sedangkan yang paling lambat membentuk tunas adalah pada Morus alba
dengan pemberian 3,5 mg/l BAP, yaitu waktu 7,3 hari setelah tanam.
Eksplan yang tidak menghasilkan tunas adalah pada Morus multicaulis
dengan konsentrasi BAP 3,5 mg/l.
50
Tabel 3. Hasil uji lanjut rata-rata kecepatan pembentukan tunas
No. Perlakuan Rata-Rata (hst)
1 b5v5 0,0 a
2 b1v2 1,3 a
3 b1v5 1,7 a
4 b2v1 1,7 a
5 b2v2 2,0 a
6 b1v3 2,3 a
7 b4v2 2,3 a
8 b3v3 2,7 a
9 b4v3 3,0 a
10 b5v3 3,0 ab
11 b3v2 3,3 abc
12 b5v1 3,7 abc
13 b2v3 3,7 abc
14 b1v4 4,0 abc
15 b4v4 4,0 abc
16 b1v1 4,0 abc
17 b2v5 4,3 bc
18 b3v1 4,3 bc
19 b4v1 4,7 bc
20 b3v4 5,0 bc
21 b3v5 5,0 bc
22 b4v5 5,0 bc
23 b2v4 5,3 bc
24 b5v4 5,3 bc
25 b5v2 7,3 c
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 0,05.
Pengamatan yang telah dilakukan selama 60 hari terhadap
pengaruh pertumbuhan pada beberapa konsentrasi BAP dan varietas
murbei melalui kultur jaringan menunjukkan hasil bahwa teknik ini sesuai
untuk mengembangkan tanaman murbei, guna mendukung ketersediaan
pakan ulat sutra. Hasil yang telah diperoleh menunjukkan bahwa untuk
51
Morus nigra, konsentrasi BAP 2,5 - 3,5 mg/l sesuai untuk menumbuhkan
tunas. Dari data diperoleh bahwa Morus nigra secara keseluruhan,
menunjukkan waktu yang relatif cepat untuk membentuk tunas, yaitu
antara 4 - 5,3 hari setelah dilakukan penanaman pada medium kultur.
Morus multicaulis memperlihatkan hasil bahwa konsentrasi BAP
yang sesuai adalah 2,5 – 3,25 mg/l yang membentuk tunas pada rentang
antara 1,7 – 5 hari setelah penanaman. Konsentrasi yang paling baik
adalah pada konsentrasi 2,5 mg/l yang membentuk tunas rata-rata 1,7
hari setelah dilakukan penanaman pada media. Morus catayana secara
keseluruhan menunjukkan hasil bahwa varietas ini dapat dikultur pada
media dengan konsentrasi BAP antara 2,5 – 3,5 mg/l dengan kecepatan
pertumbuhan tunas antara 1,7 – 4,7 hari setelah penanaman. Namun,
yang paling sesuai untuk varietas ini adalah konsentrasi BAP sebesar
2,75 mg/l yang membentuk tunas rata-rata pada 1,7 hari setelah tanam.
Hasil pada Morus indica tidak jauh berbeda, dimana konsentrasi
2,5 – 3,5 mg/l juga mampu menumbuhkan tunas pada eksplan murbei,
yaitu 2,3 - 3,7 hari setelah tanam. Yang terbaik adalah pada konsentrasi
2,5 mg/l yang membentuk tunas pada 2,3 hari setelah tanam. Demikian
juga pada Morus alba, konsentrasi BAP yang digunakan menumbuhkan
tunas pada rentang antara 1,3 - 7,3 hari setelah tanam. Varietas ini
memperlihatkan hasil rata-rata yang paling cepat membentuk tunas, yaitu
1,3 hari setelah tanam dengan konsentrasi BAP 2,5 mg/l.
52
Keseluruhan varietas membentuk tunas rata-rata dalam waktu
seminggu. Hal ini menunjukkan pada varietas murbei yang diamati sesuai
untuk dikembangkan melalui kultur jaringan. Pembentukan tunas yang
terjadi adalah akibat dari adanya konsentrasi BAP yang sesuai, sehingga
eksplan membentuk tunas dalam waktu yang relatif singkat. Hasil ini sama
dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Nursyamsi (2012) yang telah
melakukan pengujian pada varietas murbei Kl 14, Kl 29, dan Kl 41. Hasil
penelitiannya menunjukkan pada ketiga varietas tersebut juga
menumbuhkan tunas dalam jangka waktu rata-rata seminggu setelah
dilakukan penanaman dengan menggunakan konsentrasi BAP 2 – 3 mg/l.
Hasil pengamatan terhadap eksplan memperlihatkan adanya
perbedaan kecepatan eksplan dalam membentuk tunas. Hal tersebut
diduga terjadi karena masing-masing varietas membutuhkan konsentrasi
BAP yang berbeda untuk mendukung pertumbuhan maksimalnya. Hal ini
sesuai dengan Zulkarnain (2011) yang menyatakan bahwa pertumbuhan
dan perkembangan tunas dalam kultur jaringan sangat ditentukan oleh
ketepatan konsentrasi dan jenis sitokinin yang diberikan. Pemberian
sitokinin ke dalam media dapat membentuk pucuk aksillar melalui
pengurangan dominasi apikal. Sitokinin penting untuk menginduksi
perkembangan dan pertumbuhan eksplan, mempengaruhi pembelahan
sel, poliferasi pucuk, dan morfogenesis pucuk. Perangsangan
pembentukan tunas dapat dilakukan dengan memberikan konsentrasi
sitokinin yang tinggi dan pengurangan auksin atau bahkan tidak
53
memberikan auksin ke dalam media (Pierik, 1987 dalam Nursyamsi,
2012).
2. Jumlah Tunas
Hasil sidik ragam terhadap rata-rata jumlah tunas (Lampiran 3)
memperlihatkan bahwa interaksi antara pemberian konsentrasi BAP pada
berbagai varietas murbei berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah tunas
yang terbentuk. Akan tetapi, perlakuan tunggal varietas berpengaruh
nyata terhadap rata-rata jumlah tunas yang terbentuk, sedangkan
konsentrasi BAP berpengaruh tidak nyata.
Adapun hasil uji DMRT untuk jumlah tunas yang terbentuk pada
berbagai varietas disajikan pada Tabel 3. Data menunjukkan bahwa
varietas yang memiliki rata-rata jumlah tunas tertinggi sebanyak 1,4 tunas
adalah Morus indica yang berbeda nyata dengan varietas yang lainnya
kecuali pada Morus nigra.
Tabel 4. Rata-rata jumlah tunas yang terbentuk pada berbagai varietas
Perlakuan Varietas Jumlah Tunas
Morus indica 1,4 c
Morus nigra 1,2 bc
Morus alba 1,0 ab
Morus multicaulis 0,8 ab
Morus catayana 0,6 a
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 0,05.
54
Pengamatan terhadap jumlah tunas yang dihasilkan oleh interaksi
antara konsentrasi BAP dan varietas murbei menunjukkan bahwa semua
varietas rata-rata menghasilkan tunas. Morus nigra rata-rata
menghasilkan 0,7 – 2 tunas, di mana konsentrasi BAP yang paling banyak
menumbuhkan tunas adalah 3,5 mg/l dan yang paling sedikit pada
konsentrasi BAP 2,5 mg/l.
Morus multicaulis menghasilkan rata-rata jumlah tunas antara 0,3 –
1,3 tunas. Tunas paling sedikit dihasilkan pada konsentrasi 2,75 mg/l dan
3,5 mg/l yang hanya menghasilkan 0,3 tunas. Data yang diperoleh
menunjukkan bahwa konsentrasi BAP yang paling sesuai untuk
menghasilkan jumlah tunas pada varietas ini adalah 3 dan 3,25 mg/l.
Sama halnya dengan Morus catayana yang menunjukkan bahwa
pada konsentrasi 3 mg/l menghasilkan jumlah rata-rata tunas terbanyak,
yaitu 1 tunas. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa untuk
penggunaan konsentrasi BAP 3,25 dan 3,5 mg/l tidak sesuai dengan
varietas ini. Hasil yang didapatkan memperlihatkan adanya penurunan
jumlah rata-rata tunas yang terbentuk, yaitu hanya 0,3 tunas.
Morus indica menunjukkan hasil yang cukup seragam dengan rata-
rata jumlah tunas yang cukup tinggi, yaitu antara 1 – 2 tunas. Data
pengamatan menunjukkan bahwa pada penggunaan konsentrasi BAP 2,5
mg/l menghasilkan jumlah tunas tertinggi. Ketika dilakukan penambahan
jumlah konsentrasi BAP, maka hasil pengamatan menunjukkan adanya
55
penurunan jumlah tunas yang terbentuk. Data tersebut menunjukkan
bahwa untuk varietas ini, yang paling sesuai untuk menumbuhkan tunas
adalah konsentrasi BAP 2,5 mg/l.
Morus alba menunjukkan bahwa konsentrasi BAP yang paling
sesuai adalah 3 dan 3,25 mg/l, di mana jumlah rata-rata yang dihasilkan
sebanyak 1,7 tunas. Pada pemberian 2,5 mg/l BAP jumlah tunas yang
dihasilkan kurang maksimal, yaitu hanya 0,3 tunas. Sehingga penggunaan
konsentrasi BAP yang rendah pada varietas ini tidak direkomendasikan.
Konsentrasi yang tinggi juga tidak menguntungkan. Dari data hasil
pengamatan diperoleh hasil bahwa dengan peningkatan kadar konsentrasi
BAP menjadi 3,5 mg/l justru menurunkan nilai rata-rata jumlah tunas yang
terbentuk. Sehingga untuk varietas ini yang direkomendasikan adalah
penggunaan konsentrasi BAP 3 – 3,25 mg/l.
Berdasarkan hasil uji DMRT untuk jumlah tunas pada berbagai
varietas (Tabel 4) menunjukkan bahwa secara keseluruhan, yang paling
banyak menghasilkan tunas adalah Morus indica dengan nilai rata-rata 1,4
tunas dan yang paling rendah adalah pada Morus catayana, yaitu
sebanyak 0,6 tunas. Data tersebut menunjukkan bahwa varietas yang
paling sesuai untuk menumbuhkan tunas adalah pada Morus indica.
Namun, hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh BAP yang diberikan ke
dalam medium. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi BAP
2,5 – 3,5 mg/l sesuai untuk menumbuhkan eksplan murbei. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Haring (2014) terhadap Talas
56
Safira, yang menyatakan bahwa pemberian BAP 4 mg/l menghasilkan
tunas yang pendek, pemberian BAP 3 mg/l membentuk tunas yang
banyak dan tinggi tunas normal, dan pemberian BAP 2 mg/l menghasilkan
tunas yang sedikit. Pemberian konsentrasi BAP yang terlalu tinggi akan
menghasilkan tunas yang banyak, tetapi lemah dan kualitasnya kurang
baik.
Kandungan sitokinin atau BAP yang ada dalam medium
merangsang pertumbuhan dan jumlah tunas yang terbentuk pada eksplan.
Jumlah sitokinin yang sesuai pada varietas tertentu tidak hanya
merangsang cepatnya pembentukan tunas, akan tetapi juga merangsang
jumlah tunas yang dihasilkan. Sitokinin dalam kultur jaringan berpengaruh
terhadap pembelahan sel dan bersama-sama dengan auksin berpengaruh
terhadap diferensiasi jaringan. Auksin mempengaruhi diferensiasi yang
cenderung ke arah akar, sedangkan sitokinin dalam konsentrasi yang
relatif tinggi akan cenderung melakukan diferensiasi ke arah primordial
batang dan tunas (Hendaryono dan Ari, 1994).
3. Tinggi Tunas
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa
interaksi antara konsentrasi BAP dan varietas murbei berpengaruh tidak
nyata terhadap tinggi tunas. Perlakuan tunggal pada konsentrasi BAP juga
berpengaruh tidak nyata, sedangkan perlakuan tunggal terhadap varietas
berpengaruh nyata terhadap tinggi rata-rata tunas yang terbentuk.
57
Hasil uji DMRT terhadap tinggi tunas pada berbagai varietas
disajikan pada Tabel 5. Data tersebut memperlihatkan bahwa tunas
tertinggi pada Morus nigra yaitu 1,1 cm yang berbeda tidak nyata dengan
varietas yang lainnya, kecuali pada Morus multicaulis.
Tabel 5. Rata-Rata tinggi tunas yang terbentuk pada berbagai varietas
Perlakuan Varietas Tinggi Tunas (cm)
Morus nigra 1,1 b
Morus indica 1,1 b
Morus alba 0,9 b
Morus catayana 0,8 b
Morus multicaulis 0,4 a
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 0,05.
Pengamatan terhadap rata-rata tinggi tunas yang dihasilkan
menunjukkan bahwa pada Morus nigra, rata-rata tinggi tanaman yang
terbesar adalah pada pemberian 2,5 mg/l konsentrasi BAP dengan rata-
rata tinggi sebesar 1,4 cm. Sedangkan yang terendah pada pemberian 3
mg/l BAP ke dalam medium yang hanya menghasilkan tinggi 0,9 cm.
Morus multicaulis memperlihatkan jumlah yang tertinggi pada pemberian
3,25 mg/l konsentrasi BAP yang menghasilkan tinggi rata-rata 1 cm.
pemberian konsentrasi BAP 3,5 mg/l menunjukkan bahwa tunas yang
muncul tidak tumbuh dan hanya membentuk mata tunas. Sehingga,
penggunaan konsentrasi BAP ini tidak direkomendasikan untuk varietas
Morus multicaulis.
58
Morus catayana memperlihatkan bahwa tanaman yang tertinggi
dengan nilai rata-rata 1,2 cm pada pemberian konsentrasi BAP 3,5 mg/l.
Namun, untuk varietas ini memperlihatkan hasil yang cukup seragam
pada semua konsentrasi BAP yang dicampurkan ke dalam medium.
Begitupun dengan Morus indica yang menunjukkan bahwa tinggi yang
dihasilkan cenderung seragam. Rata-rata tinggi tanaman berkisar antara
0,6 – 1,3 cm.
Morus alba menunjukkan bahwa konsentrasi BAP yang sesuai
untuk menghasilkan tinggi tanaman yang baik adalah pada konsentrasi
2,75 – 3,5 mg/l. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada varietas ini
menghasilkan rata-rata tinggi tunas 0,5 cm pada konsentrasi BAP 2,5 mg/l
dan juga rata-rata jumlah tunasnya sedikit, hanya 0,3. Sehingga
penggunaan konsentrasi BAP 2,5 mg/l kurang sesuai untuk digunakan
dalam media kultur pada Morus alba. Pemberian konsentrasi BAP antara
2,75 – 3,5 mg/l menghasilkan rata-rata tinggi tanaman yang cenderung
seragam, yaitu 0,7 – 1,2 cm.
Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa Morus nigra adalah
varietas yang menghasilkan nilai rata-rata tinggi yang paling besar, yaitu
1,14 cm. Kemudian diikuti oleh Morus indica dengan nilai rata-rata tinggi
sebesar 1,11 cm. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh Nursyamsi (2012) yang menyatakan bahwa rata-rata tinggi tunas
yang besar ada pada varietas dengan jumlah tunas yang sedikit.
Nursyamsi dan Santoso (2002) dalam Nursyamsi (2012) menyebutkan
59
bahwa semakin banyak jumlah tunas yang dihasilkan, maka tinggi
tanaman akan semakin rendah, begitupun sebaliknya. Hal ini disebabkan
oleh ketersediaan unsur-unsur hara yang ada dalam media kultur. Pada
tanaman yang memiliki banyak tunas, akan melakukan distribusi hara
pada masing-masing tunas, sehingga rata-rata tinggi tunasnya akan
cenderung rendah. Berbeda dengan eksplan yang memiliki jumlah tunas
yang sedikit, unsur hara yang tersedia akan dimanfaatkan untuk
menambah tinggi tunas.
Akan tetapi, pada penelitian ini didapatkan bahwa rata-rata jumlah
tunas terbanyak dan rata-rata tinggi tunas terbesar adalah pada Morus
indica dan Morus nigra. Hasil ini berbeda dengan teori yang disebutkan
sebelumnya. Hal ini diduga disebabkan oleh kesesuaian pemberian
konsentrasi BAP pada masing-masing varietas dan kemampuan kedua
varietas ini untuk memaksimalkan hara yang ada pada medium. Sehingga
didapatkan hasil bahwa meskipun jumlah tunasnya yang terbanyak, tidak
mutlak menjadikan eksplan hanya memiliki nilai rata-rata tinggi yang
rendah.
Data rata-rata tinggi tunas memperlihatkan bahwa konsetrasi BAP
2,5 – 3,5 mg/l sesuai untuk digunakan, di mana tunas yang dihasilkan dan
tinggi tunas yang terbentuk normal. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Haring (2014) terhadap Talas Safira, yang menyatakan
bahwa pemberian BAP 3 mg/l membentuk tunas yang banyak dan tinggi
tunas normal. Pemberian konsentrasi BAP yang tinggi ke dalam medium
60
akan menghasilkan tunas yang banyak, akan tetapi pertumbuhan dari
masing-masing tunas akan terhambat (George dan Sherrington, 1984;
Wattimena, 1988 dalam Haring, 2014). Sehingga dalam upaya kultur
tanaman murbei harus dilakukan penyesuaian pemberian konsentrasi
BAP untuk menghasilkan tinggi tunas yang baik.
4. Kecepatan Pembentukan Daun
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa
interaksi antara konsentrasi BAP dan varietas murbei berpengaruh tidak
nyata terhadap kecepatan pembentukan daun pada tanaman murbei.
Demikian juga dengan perlakuan tunggal pada varietas dan konsentrasi
BAP berpengaruh tidak nyata terhadap pembentukan daun pada eksplan.
Pembentukan daun tercepat dengan rata-rata 2,3 hari setelah
tanam pada Morus multicaulis dengan pemberian konsentrasi BAP
sebanyak 2,75 mg/l. Sedangkan rata-rata terlama pada hari ke 23,7 hari
setelah tanam pada Morus catayana dengan pemberian konsentrasi BAP
2,75 mg/l. Keseluruhan data kecepatan pembentukan daun dapat dilihat
pada Tabel 6.
61
Tabel 6. Rata-rata kecepatan pembentukan daun pada berbagai
perlakuan
No Perlakuan Rata-Rata (hst)
1 b2v5 2,3
2 b1v5 3,7
3 b4v1 4,7
4 b2v2 4,7
5 b3v2 5,0
6 b4v2 5,0
7 b4v4 5,3
8 b3v4 6,7
9 b2v3 6,7
10 b3v1 7,3
11 b3v3 7,3
12 b4v3 7,3
13 b2v4 7,7
14 b5v3 7,7
15 b3v5 8,0
16 b4v5 8,3
17 b5v2 8,3
18 b1v3 8,7
19 b5v5 9,7
20 b5v4 11,0
21 b5v1 13,3
22 b1v2 14,3
23 b1v4 16,3
24 b1v1 19,0
25 b2v1 23,7
Pengamatan terhadap kecepatan pembentukan daun pada Morus
nigra menunjukkan bahwa daun yang paling cepat terbentuk pada
pemberian konsentrasi BAP 3,25 mg/l yaitu dengan rata-rata 5,3 hari
setelah penanaman. Hanya berselang beberapa hari saja setelah
62
terbentuknya tunas. Sedangkan pemberian konsentrasi BAP 2,5 mg/l
menunjukkan waktu terlama terbentuknya daun, yaitu rata-rata 16,3 hari
setelah tanam. Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsentrasi
BAP yang sesuai untuk membentuk daun pada murbei adalah 2,75 – 3,25
mg/l dengan nilai rata-rata 5,3 -7,7 hari setelah tanam.
Morus multicaulis menunjukkan bahwa daun terbentuk dalam
jangka waktu 2,3 hari setelah tanam pada pemberian konsentrasi BAP
2,75 mg/l. Hal tersebut disebabkan oleh adanya mata tunas yang muncul
pada eksplan sebelum di lakukan penanaman, sehingga eksplan langsung
melakukan pembentukan daun setelah penanaman. Namun juga muncul
tunas yang baru setelah beberapa hari kemudian.
Pembentukan daun tercepat pada Morus catayana terjadi pada
pemberian konsentrasi BAP 3,25 mg/l pada media tanam, yaitu rata-rata
4,7 hari setelah tanam. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa
konsentrasi BAP yang paling sesuai untuk menumbuhkan daun adalah
konsentrasi BAP 3 dan 3,25 mg/l. Pemberian konsentrasi BAP 2,5 mg/l,
2,75 mg/l dan 3,5 mg/l menunjukkan bahwa pembentukan daun baru
terjadi pada 13,3 – 23,7 hari setelah tanam. Sehingga untuk penggunaan
konsentrasi BAP ini tidak direkomendasikan.
Morus indica membentuk daun tercepat pada pemberian 2,75 mg/l
konsentrasi BAP ke dalam media, yang menghasilkan daun rata-rata 6,7
hari setelah tanam. Namun, secara umum konsentrasi BAP 2,5 – 3,25
63
mg/l sesuai untuk varietas ini. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
rata-rata eksplan membentuk daun antara 6,7 – 8,7 hari setelah tanam.
Pemberian konsentrasi BAP 2,75 mg/l pada varietas Morus alba
menunjukkan pembentukan daun yang tercepat, yaitu rata-rata 4,7 hari
setelah tanam. Yang paling lama membentuk daun adalah pada
pemberian konsentrasi BAP 2,5 mg/l. Data yang diperoleh menunjukkan
bahwa pada varietas ini membentuk daun kurang dari seminggu dengan
pemberian konsentrasi BAP 2,75 - 3,25 mg/l. Kecepatan pembentukan
daun ini diduga dipengaruhi oleh kandungan konsentrasi BAP yang
ditambahkan ke dalam media. Sitokinin yang menyebabkan pertumbuhan
daun lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan akar. Sebagaimana
teori yang disebutkan sebelumnya bahwa sitokinin yang diberikan
kedalam media dapat mempengaruhi atau mempercepat pembentukan
daun pada eksplan.
5. Jumlah Daun
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa
interaksi antara konsentrasi BAP dan varietas murbei berpengaruh tidak
nyata terhadap jumlah daun yang terbentuk. Demikian juga dengan
konsentrasi BAP yang berpengaruh tidak nyata. Akan tetapi, varietas
berpengaruh nyata terhadap jumlah daun yang terbentuk pada eksplan.
Adapun hasil uji DMRT untuk jumlah daun pada berbagai varietas
disajikan dalam Tabel 7. Data menunjukkan bahwa jumlah daun terbanyak
64
pada Morus nigra dengan rata-rata sebanyak 10,5 lembar daun, yang
berbeda nyata dengan varietas yang lainnya.
Tabel 7. Rata-rata jumlah daun yang terbentuk pada berbagai varietas
Perlakuan Varietas Jumlah Daun
Morus nigra 10,5 c
Morus indica 7,5 b
Morus alba 3,8 a
Morus catayana 2,8 a
Morus multicaulis 2,5 a
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 0,05.
Pengamatan terhadap interaksi antara pemberian konsentrasi BAP
pada medium kultur Morus nigra menunjukkan bahwa jumlah rata-rata
daun yang paling banyak pada konsentrasi BAP 2,5 mg/l yaitu 12,3
lembar daun. Yang paling sedikit pada konsentrasi 3,25 mg/l yang hanya
membentuk rata-rata 8 daun. Sedangkan untuk varietas Morus multicaulis
menunjukkan rata-rata jumlah daun yang paling banyak adalah pada
pemberian 3,25 mg/l konsentrasi BAP yang mampu menghasilkan rata-
rata jumlah daun sebanyak 6,7 lembar. Data pengamatan menunjukkan
bahwa untuk varietas ini yang sesuai hanya konsentrasi BAP 3 ,25 mg/l.
pemberian konsentrasi yang lainnya menunjukkan jumlah daun yang
kurang dari 3 lembar.
Jumlah daun terbanyak yang terbentuk pada Morus catayana
adalah pada pemberian 3,5 mg/l konsentrasi BAP dengan rata-rata daun
65
yang dihasilkan adalah 3,7 lembar. Hasil pengamatan pada varietas ini
menunjukkan hasil yang cukup seragam antara 2,3 – 3,7 lembar daun.
Sedangkan pada Morus indica menunjukkan bahwa daun terbanyak yang
terbentuk adalah pada pemberian 3,5 mg/l konsentrasi BAP. Daun yang
terbentuk rata-rata 10,7 lembar. Data menunjukkan bahwa semakin tinggi
pemberian konsentrasi BAP juga semakin meningkatkan jumlah daun
yang terbentuk.
Data pengamatan pada Morus alba menunjukkan bahwa
pemberian konsentrasi BAP antara 3 – 3,5 mg/l menghasilkan rata-rata
jumlah daun yang sama, yaitu 4,7 lembar daun. Data yang diperoleh pada
varietas ini juga memperlihatkan bahwa seiring dengan penambahan
konsentrasi BAP mempengaruhi peningkatan jumlah daun yang terbentuk.
Semakin tinggi konsentrasi BAP yang diberikan juga semakin
meningkatkan jumlah daun yang terbentuk.
6. Kecepatan Pembentukan Akar
Pengamatan terhadap interaksi antara konsentrasi BAP dengan
varietas murbei menunjukkan bahwa dalam 60 hari pengamatan, eksplan
belum membentuk akar. Hal tersebut diakibatkan oleh pemberian sitokinin
atau konsentrasi BAP yang dapat menghambat diferensiasi jaringan ke
arah akar (Zulkarnain, 2011). Hasil pengamatan ini sama dengan yang
telah dilperoleh oleh Nursyamsi (2012) yang juga menunjukkan bahwa
eksplan dengan pemberian konsentrasi BAP yang cukup tinggi pada
66
varietas murbei, hanya menghasilkan tunas dan tidak membentuk akar.
Data menunjukkan bahwa pertumbuhan yang terjadi lebih kepada
pembentukan tunas dan daun. Sehingga perlu dilakukan penelitian yang
lebih lanjut untuk mengamati pengaruh penambahan konsentrasi auksin
yang diberikan ke dalam medium yang akan merangsang pembentukan
akar pada eksplan.
Abidin (1985) dalam Nursyamsi (2011) menyebutkan bahwa
penambahan zat pengatur tumbuh dari luar dapat menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan salah satu bagian tanaman dan merangsang
pertumbuhan bagian tanaman yang lainnya. Meskipun pada hakikatnya
ada zat tumbuh sitokinin dan auksin yang diproduksi secara endogen
dalam tanaman yang tidak bekerja sediri-sendiri tetapi berinteraksi dalam
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Akan tetapi,
dengan adanya pengaruh penambahan dari luar dapat mempengaruhi
interaksi tersebut. Hal tersebut diduga mengakibatkan terhambatnya kerja
auksin untuk membentuk akar pada eksplan murbei.
7. Jumlah Akar
Sama dengan pembahasan yang sebelumnya, yang menjelaskan
tentang sebab tidak terbentuknya akar dalam penelitian ini. Sehingga
perlu dilakukan peneltian lebih lanjut untuk mengetahui medium atau
kombinasi perlakuan yang paling sesuai untuk menumbuhkan akar pada
eksplan murbei. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Haring
67
(2014), pada proses multiplikasi dengan mengamati pengaruh antara
media MS dengan BAP, kinetin, dan 2iP yang menunjukkan terjadinya
pembentukan akar pada ekplan talas safira, menunjukkan perlunya
dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap proses penumbuhan akar pada
ekplan murbei. Selain itu juga, perlu dilakukan penelitian lanjutan dari
penlitian ini untuk mengamati pembentukan akar pada proses sub kultur
dengan menggunakan media yang ditambahkan auksin atau kinetin atau
yang lainnya.
8. Persentase Tumbuh Eksplan
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8) terhadap pengaruh interaksi
antara konsentrasi BAP dengan varietas murbei menunjukkan adanya
pengaruh nyata. Demikian juga dengan varietas yang memperlihatkan
adanya pengaruh nyata. Akan tetapi, konsentrasi BAP berpengaruh tidak
nyata terhadap rata-rata persentase tumbuh eksplan.
Hasil uji DMRT interaksi antara konsentrasi BAP dengan varietas
disajikan pada Tabel 8, sedangkan untuk pengaruh tunggal varietas
terhadap pertumbuhan eksplan pada berbagai varietas disajikan pada
Tabel 9.
68
Tabel 8. Rata-rata persentase tumbuh eksplan pada interaksi antara konsentrasi BAP dan varietas murbei
No. Perlakuan Persentase
Tumbuh (x 100 %)
1 b1v5 0,3 a
2 b5v5 0,3 a
3 b4v1 0,3 a
4 b2v5 0,7 a
5 b5v1 0,7 a
6 b3v2 0,7 a
7 b4v2 0,7 a
8 b1v4 1,0 b
9 b2v4 1,0 b
10 b2v4 1,0 b
11 b4v4 1,0 b
12 b5v4 1,0 b
13 b3v5 1,0 b
14 b4v5 1,0 b
15 b1v1 1,0 b
16 b2v1 1,0 b
17 b3v1 1,0 b
18 b1v3 1,0 b
19 b2v3 1,0 b
20 b3v3 1,0 b
21 b4v3 1,0 b
22 b5v3 1,0 b
23 b1v2 1,0 b
24 b2v2 1,0 b
25 b5v2 1,0 b
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 0,05.
69
Tabel 9. Rata-rata persentase tumbuh eksplan pada berbagai varietas
Perlakuan Varietas Persentase Tumbuh (x100 %)
Morus indica 1,0 b
Morus nigra 1,0 b
Morus alba 0,9 b
Morus catayana 0,8 ab
Morus multicaulis 0,7 a
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 0,05.
Hasil uji lanjut terhadap persentase tumbuh eksplan pada berbagai
varietas menunjukkan bahwa persentase tumbuh tertinggi (100 %) pada
Morus nigra dan Morus indica dan berbeda tidak nyata dengan varietas
yang lainnya kecuali pada Morus muticaulis.
Data pengamatan menunjukkan bahwa persentase tumbuh eksplan
murbei melalui kultur jaringan cukup berhasil. Hanya ada 3 eksplan yang
hanya menumbuhkan satu tanaman dari tiga ulangan yang dilakukan. Hal
tersebut diakibatkan oleh ketidaksesuaian antara konsentrasi BAP yang
diberikan ke dalam medium. Rata-rata keseluruhan persentase tumbuh
eksplan sebesar 86,7 %. Data tersebut menunjukkan bahwa tanaman
murbei cocok dan mudah untuk dikembangkan melalui teknik kultur
jaringan. Namun, besarnya pertumbuhan eksplan murbei ini juga
dipengaruhi oleh metode sterilisasi eksplan yang digunakan.
70
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Konsentrasi BAP terbaik untuk kultur jaringan tanaman murbei adalah
2,5 mg/l yang menghasilkan nilai rata-rata tinggi untuk tiap variabel.
b. Varietas yang terbaik untuk dikembangkan melalui kultur jaringan
adalah Morus indica dan Morus nigra yang menunjukkan nilai yang
tinggi pada setiap variabel.
c. Interaksi terbaik antara konsentrasi BAP dan varietas murbei adalah
pemberian konsentrasi BAP 2,5 mg/l pada Morus nigra.
B. Saran
Beberapa saran yang penulis berikan adalah sebagai berikut:
a. Sebaiknya pada penelitian yang serupa, diberikan IAA dan kinetin
pada medium kultur, guna menumbuhkan akar pada eksplan.
b. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk proses sub kultur pada
medium dengan penambahan IAA dan kinetin untuk mengamati proses
pengakaran eksplan.
71
c. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengamati kadar protein
daun yang dihasilkan melalui kultur jaringan sehingga memberikan
rekomendasi yang lebih pasti untuk pengembangan varietas murbei.
72
DAFTAR PUSTAKA
Anis, M., Faisal, M. dan Singh, S. K. 2003. Michropropagation of Mulberry (Morus alba L.) Through In Vitro Culture of Shoot Tip and Nodal Eksplants. Plant Tissue Cult. 13(1): 47-51.
Ardiana, D. W. dan Fitrianti, I. 2010. Teknik Kultur Jaringan Tunas Pepaya dengan Menggunakan Beberapa Konsentrasi IBA. Buletin Teknik Pertanian Vol. 15, N0. 2:52-55.
Balai Persuteraan Alam. 2007. Petunjuk Teknis Budidaya Tanaman Murbei (Morus spp), Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Balai Persuteraan Alam.
Evert, R.F., Esau, K. & Eichhorn, S.E. 2006. Esau's Plant anatomy: meristems, cells, and tissues of the plant body: their structure, function, and development. 3rd edition. John Willey & Sons. New Jersey. Hal. 67-79.
Fitrianti, A. 2006. Efektivitas Asam 2,4-Diklorofenoksiasetat (2,4-D) dan Kinetin pada Medium MS dalam Induksi Kalus Sambiloto dengan Eksplan Potongan Daun. Skripsi. Biologi FMIPA UNS: Semarang
Gunawan. L.W. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan PAU Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Haring, F. 2014. Multiplikasi Tunas dan Umbi Mikro Talas Safira (Colocasia esculenta var. antiqourum) secara In Vitro pada media Modifikasi. Disertasi. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Hendaryono, D.P.S. dan Ari, W. 1994. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif-Modern. Kanisius: Yogyakarta
Kavyashree, R., 2006. A Repeatable Protocol Of In Vitro Michropropagation Of Mulberry Variety S54. Indian Journal of Biotechnology. Vol 6, pp 385-388.
Ma, F., Guo, C., Liu, Y., Li, M., Ma, T. & Mei, L. 1996. In Vitro Shoot-Apex Grafting of Mulberry (Morus alba L.). Hort Science 31 (3): 460-462.
Marlina, N. 2004. Teknik modifikasi media Murashige dan Skoog (MS) untuk konservasi in vitro. Buletin Teknik Pertanian 9(1):4-6.
Narayan, P., Chakraborty S., and Rao G.S. 1989. Regeneration of Planlets From The Callus of Stem Segments of Mature Plants of Morus alba L. Proc. Sci. Acad. B55 Nos 5 & 6 pp 469-472
73
Nisak, K., Nurhidayati, T. & Purwani, K. I. 2012. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi ZPT NAA dan BAP Pada Kultur Jaringan Tembakau Nicotiana tabacum var. Prancak 95. Jurnal Sains dan Seni Pomits Vol. 1, No. 1, 1-6.
Nursyamsi, 2010. Teknik Kultur Jaringan Sebagai Alternatif Perbanyakan Tanaman Untuk Mendukung Rehabilitasi Lahan. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Makassar.
Nursyamsi, 2012. Propagasi Tiga Varietas Murbei Melalui Teknik Kultur Jaringan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol.9, No. 2, Hal: 75-82.
Oktafiani, A., Puspitasri, M., Purbati, T. & Destiwarni, 2010. Pengaruh Beberapa Media Kultur Jaringan Terhadap Pertumbuhan Planlet Anggrek Phalaenopsis bellina, Balai Pengkajian Tekhnologi Pertanian, Kalimantan Barat.
Prasetyo, C. H., 2009. Teknik Kultur Jaringan Anggrek Dendrobium sp. Di Pembudidayaan Anggrek Widorokandang Yogyakarta. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Rao, J. S. V. V. N. H. P., Nuthan, D. & Krishna, K. S. 2010. Protocol for In Vitro Regeneration of Rained Mulberry Varieties Through Callus Phase. EJBS 2(1)
Vijayan, K., Raju, P. J., Tikader, A. & Sarachtnandra, B. 2014. Biotechnology of Mulberry (Morus L.). A reviews, Central Silk Board. BTM Layout. Madiwala. India. J. Food Agric. 26(6): 472-496.
Zaki M., Kaloo, Z.A. & Sofi, M.S. 2011. Micropropagation of Morus nigra L. from Nodal segments with axillary buds. World journal of agricultural sciences 7 (4) : 496-503.
Zulkarnain, H. 2011. Kultur Jaringan Tanaman, Solusi Perbanyakan Tanaman Budi Daya. Bumi Aksara. Jakarta
74
DAFTAR ISTILAH
2,4 D 2,4-dichlorophenoxyacetic acid.
Adventif Sifat yang menunjukkan perkembangan struktur dari
posisi yang tidak normal, misalnya pucuk yang keluar
dari akar atau daun dari kalus.
Agar Produk yang terbuat dari alga yang digunakan untuk
memadatkan medium kultur jaringan.
Aksillar Berkembang dari ketiak daun, misalnya tunas aksillar
Alkohol Etil alkohol (C2H5OH), disebut pula etanol.
Auksin Hormon yang menyebabkan perpanjangan sel,
dominansi pucuk, inisiasi akar; misalnya asam indol
asetat (IAA).
BA atau BAP benzyladenine atau 6-benzyaminopurin.
Deterjen Senyawa yang berfungsi menurunkan tegangan
permukaan larutan. Deterjen digunakan untuk
meningkatkan kontak antara bahan tanaman dengan
agen sterilisasi.
Diferensiasi Istilah yang digunakan untuk menggambarkan
pembentukan berbagai tipe sel, akar, pucuk, embrio,
ataupun organ lain yang berbeda di dalam kultur
kalus atau kultur sel.
EDTA Ethylene Diamine Tetra Acetic, yaitu suatu senyawa
pelekat yang mengikat besi, namun besi tersebut
masih tersedia bagi tanaman.
Eksplan Organ atau sepotong jaringan tanaman yang
digunakan untuk memulai kultur
Embrio Tanaman yang sangat muda, berkembang di dalam
gametofit betina dengan atau tanpa pembuahan.
75
Erlenmeyer Suatu wadah kultur berbentuk kerucut dengan bagian
bawahnya datar.
Giberilin Suatu kelompok hormon tanaman yang berperan
antara lain dalam pembelahan dan pemanjangan sel.
Hormon Senyawa organik yang dihasilkan di dalam tanaman,
dalam konsentrasi rendah dapat meningkatkan,
menghambat, atau secara kualitatif memodifikasi
pertumbuhan tanaman pada bagian yang berbeda
dari tempat sintesisnya.
IAA Indole-3-acetic acid (asam indol asetat)
IBA Indole-3-butyric acid (asam indol butirat)
In vitro Secara harfiah berarti dalam kaca, di dalam tabung
reaksi, botol, dan sebagainya. Dalam kultur jaringan,
diterapkan pada setiap proses yang dilakukan di
dalam kultur steril.
Inisiasi Pembentukan struktur suatu organ, seperti primordial
akar atau pucuk.
Inokulasi Meletakkan inoculum di dalam atau pada medium
nutrisi.
Kalus Jaringan yang tumbuh dari poliferasi sel-sel yang
belum terorganisasi-suatu kelompok sel tanaman
yang belum terdiferensiasi.
Kultur Menumbuhkan sel, jaringan, organ, maupun
keseluruhan tanaman di dalam medium steril dan
kondisi aseptik, misalnya kultur sel, kultur embrio,
kultur ujung pucuk, kultur antera, dan sebagainya.
Kultur jaringan Istilah umum yang mengacu pada semua bentuk
kultur aseptik jaringan tanaman ataupun hewan.
Kultur sel Upaya menumbuhkan sel-sel secara in vitro.
Labinar Air Flow
Cabinet (LACF)
Kotak yang digunakan untuk inokulasi eksplan, LAFC
harus selalu dijaga agar tetap steril dengan
76
mengalirkan udara steril secara teratur dengan arah
horizontal.
Magnetic stirrer Pengaduk bermagnet, yaitu suatu alat yang terdiri
atas pemanas dan magnet yang berputar, alat ini
digunakan untuk memanaskan, misalnya medium di
dalam gelas piala yang diletakkan diatasnya, dalam
gelas piala dimasukkan sebatang besi berselaput
plastik yang berputar mengaduk medium.
Berputarnya besi tersebut disebabkan oleh adanya
magnet yang berputar.
Medium Lihat medium nutrisi.
Medium cair Medium tanpa bahan pemadat, seperti agar, gelrite,
dan lain-lain.
Medium dasar Suatu medium yang mengandung hara organic dan
anorganik, namun tanpa zat aditif, seperti zat
pengatur tumbuh.
Medium nutrisi Kombinasi hara anorganik, organik, dan air dalam
bentuk cair maupun padat.
Medium padat Medium nutrisi yang dipadatkan, misalnya dengan
agar.
Mikropropagasi Perbanyakan tanaman seksual atau vegetative
secara in vitro.
MS Murashige dan Skoog (1962).
NAA Α-napthaleneacetic acid
oC Derajat Celcius
Organ Bagian tanaman yang memiliki fungsi spesifik.
Organogenesis Pembentukan organ.
Otoklaf Alat yang digunakan untuk mensterilkan medium,
gelas, dan lain-lain, dengan memanfaatkan uap
bertekanan tinggi.
Penggojok rotari Alat yang berputar dimana wadah Erlenmeyer berisi
77
medium cair diletakkan dan digojok.
pH Nilai logaritma negative dari konsentrasi ion-ion
hydrogen.
Planlet Pucuk kecil yang berakar atau embrio yang
berkecambah.
Ruang kultur Suatu ruangan yang berfungsi sebagai tempat
pemeliharaan kultur; ruangan tersebut dilengkapi
cahaya, suhu, dan kelembapan yang dapat diatur.
Sitokinin Hormone pertumbuhan yang menyebabkan
pemanjangan sel, diferensiasi sel, diferensiasi pucuk,
pecahnya dominansi pucuk, dan sebagainya;
sitokinin BAP adalah yang umum digunakan dalam
kultur jaringan.
Steril Media atau objek tanpa mikroorganisme yang viable
atau terlihat jelas, masih diperlukan pengujian
sterilitas untuk membuktikannya.
Subkultur Subdivisi suatu kultur untuk ditransfer ke medium
segar.
Totipotensi Sifat suatu sel untuk berkembang, membelah diri,
dan berdiferensiasi menjadi suatu organisme
lengkap. Sel-sel yang totipotent mengandung semua
informasi genetik untuk perkembangan tanaman yang
lengkap.
Unsur makro Kelompok unsur-unsur penting, seperti N, P, K, Ca,
dan Mg, yang biasanya diperlukan dalam jumlah
relatif besar (merupakan nutrisi anorganik pada
tanaman).
Unsur mikro Kelompok unsur, seperti Fe, B, Zn, Mo, Mn, dan lain-
lain yang berperan penting dalam jumlah yang
relative kecil sebagai nutrisi anorganik pada tanaman.
v/v Volume/volume (konsentrasi cairan dalam cairan).
78
Vitamin Kelompok senyawa organik yang kadang
ditambahkan ke dalam medium kultur, misalnya
vitamin B1, vitamin C, dan lain-lain.
Vitrifikasi Menggambarkan kultur yang terlihat, seperti
kelebihan air, tembus cahaya, atau bening seperti
kaca.
Zat pengatur Senyawa yang berperan dalam mengatur
pertumbuhan dan perkembangan sel, organ, dan
sebagainya.
Zeatin 6-(4-hydroxy-3-methyl-2-butenylamino) purine
zigot Sel yang terbentuk dari penyatuan dua gamet (sel
sperma dan sel telur)
79
Lampiran 1. Hasil sidik ragam kecepatan rata-rata pembentukan tunas
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
kuadrat
Kuadrat
Tengah F hitung
F. Tabel
0,05 0,01
Perlakuan
Konsentrasi BAP (B)
Varietas (V)
Interaksi (B x V)
Galat
Total
4
4
16
50
74
18,480
29,947
136,053
226
410,480
4,620
7,487
8,503
4,520
1,022
1,656
1,881*
2,557
2,557
1,850
3,719
3,719
2,382
Keterangan : * = Berpengaruh nyata
80
Lampiran 2. Grafik kecepatan pembentukan tunas pada berbagai varietas
2.52.75
33.25
3.5
2.52.75
33.25
3.5
2.52.75
33.25
3.5
2.52.75
33.25
3.5
2.52.75
33.25
3.5
4.0
5.35.0
4.0
5.3
1.7
4.3
5.0 5.0
0.0
4.0
1.7
4.34.7
3.7
2.3
3.7
2.73.0 3.0
1.3
2.0
3.3
2.3
7.3
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Mo
rus
nig
ra
Mo
rus
nig
ra
Mo
rus
nig
ra
Mo
rus
nig
ra
Mo
rus
nig
ra
Mo
rus
mu
ltic
aulis
Mo
rus
mu
ltic
aulis
Mo
rus
mu
ltic
aulis
Mo
rus
mu
ltic
aulis
Mo
rus
mu
ltic
aulis
Mo
rus
cata
yan
a
Mo
rus
cata
yan
a
Mo
rus
cata
yan
a
Mo
rus
cata
yan
a
Mo
rus
cata
yan
a
Mo
rus
ind
ica
Mo
rus
ind
ica
Mo
rus
ind
ica
Mo
rus
ind
ica
Mo
rus
ind
ica
Mo
rus
Alb
a
Mo
rus
Alb
a
Mo
rus
Alb
a
Mo
rus
Alb
a
Mo
rus
Alb
a
Grafik Kecepatan Pertumbuhan tunas pada berbagai varietas
Konsentrasi BAP (mg/l) kecepatan tunas
81
Lampiran 3. Hasil sidik ragam rata-rata jumlah tunas yang terbentuk
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
kuadrat
Kuadrat
Tengah F hitung
F. Tabel
0,05 0,01
Perlakuan
Konsentrasi BAP (B)
Varietas (V)
Interaksi (B x V)
Galat
Total
4
4
16
50
74
2,533
6
8,800
18,667
36
0,633
1,500
0,550
0,373
1,696
4,018**
1,473
2,557
2,557
1,850
3,719
3,719
2,382
Keterangan: ** = Berpengaruh sangat nyata
82
Lampiran 4. Hasil sidik ragam rata-rata tinggi tunas
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
kuadrat
Kuadrat
Tengah F hitung
F. Tabel
0,05 0,01
Perlakuan
Konsentrasi BAP (B)
Varietas (V)
Interaksi (B x V)
Galat
Total
4
4
16
50
74
0,735
4,850
4,829
8,480
18,894
0,184
1,212
0,302
0,170
1,084
7,149**
1,779
2,557
2,557
1,850
3,719
3,719
2,382
Keterangan : ** = Berpengaruh sangat nyata
83
Lampiran 5. Hasil sidik ragam kecepatan pembentukan daun
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
kuadrat
Kuadrat
Tengah F hitung
F. Tabel
0,05 0,01
Perlakuan
Konsentrasi BAP (B)
Varietas (V)
Interaksi (B x V)
Galat
Total
4
4
16
50
74
297,253
459,120
1027,547
2428
4211,920
74,313
114,780
64,222
48,560
1,530
2,364
1,323
2,557
2,557
1,850
3,719
3,719
2,382
84
Lampiran 6. Grafik kecepatan pembentukan daun pada berbagai varietas
2.52.75 3 3.253.52.52.75 3 3.253.5
2.52.75 3 3.253.52.52.75 3 3.253.5
2.52.75 3 3.253.5
16.3
7.76.7
5.3
11.0
3.72.3
8.0 8.39.7
19.0
23.7
7.3
4.7
13.3
8.7
6.77.3 7.3 7.7
14.3
4.7 5.0 5.0
8.3
0
5
10
15
20
25
Mo
rus
nig
ra
Mo
rus
nig
ra
Mo
rus
nig
ra
Mo
rus
nig
ra
Mo
rus
nig
ra
Mo
rus
mu
ltic
aulis
Mo
rus
mu
ltic
aulis
Mo
rus
mu
ltic
aulis
Mo
rus
mu
ltic
aulis
Mo
rus
mu
ltic
aulis
Mo
rus
cata
yan
a
Mo
rus
cata
yan
a
Mo
rus
cata
yan
a
Mo
rus
cata
yan
a
Mo
rus
cata
yan
a
Mo
rus
ind
ica
Mo
rus
ind
ica
Mo
rus
ind
ica
Mo
rus
ind
ica
Mo
rus
ind
ica
Mo
rus
Alb
a
Mo
rus
Alb
a
Mo
rus
Alb
a
Mo
rus
Alb
a
Mo
rus
Alb
a
Grafik Kecepatan pembentukan daun pada berbagai varietas
Konsentrasi BAP (mg/l) kecepatan daun
85
Lampiran 7. Hasil sidik ragam rata-rata jumlah daun
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
kuadrat
Kuadrat
Tengah F hitung
F. Tabel
0,05 0,01
Perlakuan
Konsentrasi BAP (B)
Varietas (V)
Interaksi (B x V)
Galat
Total
4
4
16
50
74
11,680
722,347
187,653
518,667
1440,347
2,920
180,587
11,728
10,373
0,281
17,409**
1,131
2,557
2,557
1,850
3,719
3,719
2,382
Keterangan : ** = Berpengaruh sangat nyata
86
Lampiran 8. Hasil sidik ragam rata-rata persentase tumbuh
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
kuadrat
Kuadrat
Tengah F hitung
F. Tabel
0,05 0,01
Perlakuan
Konsentrasi BAP (B)
Varietas (V)
Interaksi (B x V)
Galat
Total
4
4
16
50
74
0,187
1,253
2,480
4
7,920
0,047
0,313
0,155
0,080
0,583
3,917**
1,937*
2,557
2,557
1,850
3,719
3,719
2,382
Keterangan : * = Berpengaruh nyata
** = Berpengaruh sangat nyata