pengaruh kebijakan dan program uso

32
PENGARUH KEBIJAKAN DAN PROGRAM KERJA TERHADAP KINERJA BADAN LAYANAN UMUM PENYEDIAN DAN PENGELOLA PEMBIAYAAN TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA 1. KEBIJAKAN 1.1 MODEL PENGADAAN 1.2 KONTRIBUSI KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM/USO Pembiayaan penyediaan akses telekomunikasi dan informatika perdesaan dari kontribusi kewajiban pelayanan universal (KKPU) para operator t yang memperoleh ijin penyelenggaraan telekomunikasi dari Depkominfo. Sebelum kontribusi KKPU ditetapkan sebesar 0,75% dari pendapatan kotor para penyelen telekomunikasi dan disetor setiap triwulan I s/d IV ke rekening Be BPPPTI. Namun pada tanggal 16 Januari 2009 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nom Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Berlaku pada Departemen Komunikasi dan Informatika yang diantaranya mengatur Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal Telekomunikasi/Universal Service Ob (USO) sebesar 1,25% dari pendapatan kotor penyelenggaraan telekomunik tahun buku. Tabel Penyelenggara Telekomunikasi wajib bayar KKPU

Upload: indra7n

Post on 21-Jul-2015

134 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

PENGARUH KEBIJAKAN DAN PROGRAM KERJA TERHADAP KINERJA BADAN LAYANAN UMUM PENYEDIAN DAN PENGELOLA PEMBIAYAAN TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA 1. KEBIJAKAN 1.1 MODEL PENGADAAN 1.2 KONTRIBUSI KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM/USO Pembiayaan penyediaan akses telekomunikasi dan informatika perdesaan diperoleh dari kontribusi kewajiban pelayanan universal (KKPU) para operator telekomunikasi yang memperoleh ijin penyelenggaraan telekomunikasi dari Depkominfo. Sebelumnya, kontribusi KKPU ditetapkan sebesar 0,75% dari pendapatan kotor para penyelenggara telekomunikasi dan disetor setiap triwulan I s/d IV ke rekening Bendahara Penerima BPPPTI. Namun pada tanggal 16 Januari 2009 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor : 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Komunikasi dan Informatika yang diantaranya mengatur tariff Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal Telekomunikasi/Universal Service Obligation (USO) sebesar 1,25% dari pendapatan kotor penyelenggaraan telekomunikasi per tahun buku. Tabel Penyelenggara Telekomunikasi wajib bayar KKPU

Realisasi penerimaan KKPU/USO tahun 2009 mencapai 78,81% dari target. Tidak tercapainya target penerimaan KKPU/USO tahun 2009 antara lain dikarenakan: a. Pendapatan KKPU/USO triwulan I tahun 2009 diperoleh dari triwulan IV 2008 dengan tarif masih 0,75% dari pendapatan kotor para operator telekomunikasi. b. Diberlakukannya tarif interkoneksi berbasis biaya pada bulan April 2008, terutama biaya terminasi ke selluler dan biaya transit turun sampai dengan 40% hal ini mengakibatkan rata rata tarif selluler dan SLJJ turun 40%. c. Perang tarif layanan on net dan off net antar operator selluler d. Tingkat percakapan ARPU yang cenderung semakin menurun setiap tahun disebabkan oleh tingginya persaingan dalam industry telekomunikasi dengan bertambahnya pemain baru yang menggunakan teknologi baru serta munculnya layanan dan paket layanan yang ditawarkan.

1.3 PEMBENTUKAN SATUAN KERJA OPERASIONAL DENGAN POLA PPK BLU BPPPTI sebelumnya bernama BPPPTI (Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan), pada tanggal 3 September 2009 BPPPTI ditetapkan menjadi BLU penuh berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 350/KMK.05/2009. Dengan itu maka BPPPTI diberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor: 23 tahun 2005. Perubahan BPPPTI menjadi BPPPTI ditetapkan berdasarkan PM Kominfo No. 18 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika. Peraturan Menteri tersebut juga mengatur perluasan tugas dan fungsi BPPPTI yang diharapkan dapat terwujudnya layanan telekomunikasi dan informatika yang adil dan merata, cepat dan murah, serta bermartabat, tidak hanya terbatas jaringan akses saja. Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika yang selanjutnya disebut BPPPTI adalah Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika yang menerapkan PPK-BLU berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika. BPPPTI sebagaimana dimaksud secara administratif dibina oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika dan secara teknis operasional dibina oleh Direktur Telekomunikasi Khusus, Penyiaran Publik, dan Kewajiban Universal dan BPPPTI dipimpin oleh seorang Kepala. BPPPTI mempunyai tugas melaksanakan penyediaan dan pengelolaan, pembiayaan Information and Communications Technology (ICT), serta aksesibilitas dan layanan telekomunikasi dan informatika. BPPPTI terdiri atas: a. Subbagian Tata Usaha; Subbagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian, rumah tangga, dan tata usaha, serta pengelolaan website dan publikasi kegiatan kepada para stakeholder BPPPTI. b. Seksi Perencanaan dan Pengembangan; Seksi Perencanaan dan Pengembangan mempunyai tugas melakukan penyusunan rencana dan program, rencana strategis dan RBA penyediaan dan atau pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan, ICT, akses dan layanan telekomunikasi dan informatika pelayanan universal, serta pengembangan pelaksanaan KPU/USO, monitoring dan evaluasi pelaksanaan rencana program, rencana strategis bisnis, RBA

dan penyusunan laporan pertanggungjawaban kinerja operasional BPPPTI. c. Seksi Bisnis dan Keuangan; Seksi Operasi dan Monitoring KPU/USO mempunyai tugas melakukan uji fungsi dan monitoring sarana dan prasarana operasional KPU/USO, pengelolaan sistem informasi manajemen, pengembangan sistem monitoring KPU/USO, penanganan pengaduan masyarakat dan lembaga/instansi, pencocokan dan penelitian (rekonsiliasi) data KPU/USO, serta monitoring dan evaluasi pelaksanaan KPU/USO. d. Seksi Operasi dan Monitoring KPU/USO; dan Seksi Bisnis dan Keuangan mempunyai tugas melakukan intensifikasi penerimaan kontribusi kewajiban pelayanan universal, pembiayaan penyediaan dan atau pembangunan akses dan layanan telekomunikasi dan informatika pelayanan universal, investasi dan diversifikasi usaha, pengelolaan kas dan sistem manajemen keuangan, penyusunan pertanggungjawaban keuangan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah dan Standar Akuntansi Keuangan, dan urusan keuangan. e. Kelompok Jabatan Fungsional. Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai dengan Jabatan Fungsional masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kelompok Jabatan Fungsional terdiri dari sejumlah tenaga fungsional yang terbagi dalam berbagai kelompok sesuai dengan bidang keahliannya. Kelompok Jabatan Fungsional sebagaimana dimaksud dikoordinasikan oleh seorang fungsional senior yang ditunjuk oleh Kepala BPPPTI. Jumlah tenaga fungsional sebagaimana dimaksud ditentukan berdasarkan kebutuhan dan sesuai dengan beban kerja Satuan Kerja tersebut. 2. OPTIMALISASI PROGRAM KERJA DAN ANGGARAN 2.1 RKAKL

2.2 KONTRAK KERJA 2.3 ANGGARAN BELANJA = ANGGARAN PENDAPATAN 2.4 PENGELOLAAN ANGGARAN 2.5 MODEL BISNIS PENYEDIA Di Indonesia bagian barat terdapat jaringan tulang punggung yang menyambung semua provinsi. Industri telekomunikasi sudah menggelar kabel serat-optik, dan investasi lebih lanjut masih dalam perencanaan. Misalnya di Jawa ada sedikitnya

empat serat yang berbeda jaringan-jaringan optik yang menyambung semua kota utama. Dengan nilai investasi sebesar US$ 31 juta kabel (XL, Bakrie, PGAS Telekomunikasi Nusantara dan Mora Telematika) 554 km, Sumatra+West Java kepada Kalimanatan, Bawean dan East-Java sudah dalam kontrak pengerjaan. Internasional connectivity disediakan oleh beberapa serat optic kabel bawah laut: ke Singapura, Malaysia dan Australia. Industri telekomunikasi juga membangun rute baru, termasuk kabel optik baru sebesar US$ 200 juta sepanjang 2.000 km dari Surabaya ke Hong Kong.

Gambar. Eksisting Infrastructure Backbone + Palapa Ring East di Indonesia

Hal utama yang menjadi Gap jaringan tulang punggung utama adalah: Jaringan Tulang Punggung Utama untuk Indonesia Timur (12.000 km kabel serat-optik yang diperlukan untuk Palapa Ring diwilayah timur, kabel bawah laut yang akan menyambung semua kota utama di Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Papua); Koneksi tulang punggung serat-optik ke daerah (kabupaten) ibukota di Indonesia Barat: dengan tambahan sepanjang 10.520 km dengan rute seratoptik untuk Kalimantan Sumatra dan Sulawesi Selatan sendiri (85% land cable); Koneksi tulang punggung serat-optik ke ibu kota daerah di seluruh Indonesia Timur dengan satu kali pembanguan Palapa Ring diwilayah. Akses jaringan. Proyeksi permintaan akses jaringan broadband sebagaimana yang telah dilakukan oleh World Bank pada 2007 secara spesifik untuk negara Indonesia menyarankan bahwa permintaan untuk broadband tertentu Internet akan melayani 2,2 juta orang pelanggan menjelang 2010, dan akan bertumbuh menjadi 44 juta pada 2020. Dengan jumlah pelanggan saat ini sebanyak 1,32

juta pelanggan. Gap persediaan untuk broadband tertentu antara saat ini dan 2010 sekitar 900.000. Gap penyediaan layanan akses jaringan broadband antara saat ini dengan estimasi permintaan pada 2020 adalah di atas 40 juta koneksi. Investasi industri telekomunikasi secara signifikan pada infrastruktur baru dan mengupgrade fasilitas eksisting, sebagaimana ditunjukkan pada table : Tabel . Ongoing and Planned Investments in Telecommunications Infrastructure in Indonesia

Tugas Pemerintah pada sektor telekomunikasi adalah merumuskan kebijakan dan pengaturan. Pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk memudahkan perkembangan Internet broadband: a. Memajukan pendirian Palapa Ring dengan pembangunan dimulai pada wilayah timur. Pembentukan konsorsium beranggotakan 3 operator (PT Telkom, PT Indosat dan PT Bakrie Telecom). PT Telkom mulai melakukan pembanguan Palapa Ring wilayah pada Oktober 2009; b. Pemerintah sudah menyelesaikan lelang WiMAX spektrum. Delapan perusahaan sudah memperoleh blok spektrum di 2,3 GHz dalam satu atau lebih region. Tambahan spektrum di 2,1 GHz sudah dibuat tersedia untuk operator 3G untuk memberikan lebih banyak kapasitas broadband yang lebih untuk mobile broadband pada quarter ke-3 2009; c. Pemerintah sudah memulai proses konsultasi atas unified access licensing,untuk mendukung konvergensi teknologi.

Gambar 4. Rencana Pembangunan Infrastructure Backbone di Indonesia Timur

Rencana Kebijakan ke Depan Berkaitan dengan inventasi pada layanan akses broadband di atas, serta mengacu pada pola kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah, maka hal lain yang diperlukan untuk mempercepat akselerasi pembangunan jaringan tulang punggung, serta mengatasi gap pada akses broadband di Indonesia, maka diperlukan kombinasi gap analisis sebagai berikut: a. Menambah investasi jaringan tulang punggung/transmission network: terutama dari sektor swasta tetapi dengan pendanaan umum yang selektif untuk menstimulus proyek yang secara komersial lebih kecil, misalnya di wilayah rendah density; b. Menambah investasi di jaringan akses broadband seperti jaringan tetap (ADSL), jaringan serat optik (FTTH), mobile bradband, wireless broadband, dan

lainnya. Investasi seperti ini juga terjadi pada sektor swasta. Pemerintah mengalokasikan pembiayaan pada area layanan yang tidak terlalu komersial seperti lokasi terpencil dan terbelakang. c. Melakukan pembangunan dan mengeluarkan peraturan yang spesifik untuk mendukung pada jaringan tulang punggung jaringan tetap agar lebih kompetitif. Hal ini merupakan prioritas utama Pemerintah pusat untuk memberikan stimulus akan mendorong pertumbuhan investasi dari pihak swasta. Pemerintah pusat dan perimtah daerah, juga dapat memberikan kemudahan fasilitas investasi, seperti memberikan akses kepada Pemerintah menggunakan infrastruktur yang ada didaerah, menjamin prosedur perijinan pelaksanaan pembangunan yang sederhana dan cepat, memberikan lokasi sesuai untuk pembangunan kabel bawah laut di kota pantai; d. Menambah penggunaan broadband Internet bagi komunikasi pemerintah. Pemerintah berfungsi sebagai pihak utama yang akan menggunakan layanan broadband akses internet. Hal tersebut dapat dilakukan melalui program internet disekolah-sekolah, rumah sakit daerah dan puskesmas, dan kantor pemerintahan lainnya, serta dapat digunakan sebagai layanan e-Government. Pengembangan Investasi pada Backbone Identifikasi terhadap keperluan pokok dalam investasi jaringan tulang punggung: Infrastruktur Utama tulang punggung diwilayah Indonesia Timur menghubungkan kota- kota besar seperti Ternate, Ambon, Sorong, Manokwari, Nabire, Biak, Sarmi, Jayapura, Fak-Fak, Kaimana, Mimika, Merauke di provinsi Maluku dan Papua serta Kendari di Sulawesi dan Kupang di NTT. Dengan estimasi biaya investasi sebesar US$186 juta untuk rute ke Kupang dan lingkar Manado-Sorong- Ambon Makassar. Adapun untuk lingkar yang lebih panjang dari Sorong ke Jayapura dan Sorong ke Merauke memerlukan investasi senilai US$145 juta. Jaringan tulang punggung untuk menyambung daerah Indonesia Barat yang tak dilayani. Panjang kabel untuk wilayah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi Selatan memerlukan jaringan sepanjang10.520 km (85% land cable) dengan estimasi biaya sebesar US$120 juta. Dari nilai investasi tersebut, sekitar US$ 31 juta diharapkan digunakan untuk proyek yang non komersial, semisal, koneksi kabel bawah laut sampai pulau kecil atau daerah terpencil dengan density jumalh penduduk yang sedikit. Jaringan tulang punggung menuju kabupaten di wilayah Indonesia Timur. Perkiraan biaya, dengan asumsi pembangunan jalan yang

menghubungkan wilayah pedalaman dan kabupaten dataran tinggi Papua dan Papua Barat, diperkirakan menghabiskan biaya sebesar US$ 225 juta. Pada kenyataannya jalan-jalan atau infrastruktur lainnya seperti kabel listrik atau pipa, belum ada di sebagian besar wilayah pedalaman kabupaten dan biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun kabel serat optik diwilayah pedalaman tersebut sangat tinggi dan rumit (antara microwave solusi yang mungkin dibutuhkan untuk mengurangi gap). Sebagian besar kabupaten di Sulawesi akan tetap layak secara komersial tetapi khususnya pedalaman Papua dan pulau-pulau terpencil di Maluku dan NTT. Jaringan akses broadband (fixed) dan mobile / wireless) akan berada di atas tulang punggung jaringan di tempat. Hal ini akan memerlukan investasi terbesar. Penggelaran ADSL di semua infrastruktur tembaga dapat dicapai pada tingkat biaya moderat. Secara khusus penyebaran lebih lanjut serat optik dalam jaringan akses akan menjadi investasi besar dalam infrastruktur pasif. Pada 8 juta layanan diperkirakan membutuhkan biaya sebesar US$ 800 per baris ini akan menghasilkan sekitar US $ 6.4 miliar untuk upgrade dari semua garis tembaga untuk memberikan kemampuan FTTH. Meningkatkan jumlah pelanggan untuk 40 juta rumah tangga dan lokasi bisnis ini akan meningkatkan lebih jauh menjadi US $ 32 miliar. Meskipun skala ekonomis akan membantu, jelas bahwa upgrade sebesar ini akan memakan waktu bertahun-tahun untuk mencapai dan penyebaran selektif ultra- broadband kecepatan tinggi. Jaringan akses broadband (mobile / wireless) setelah jaringan tulang punggung di tempat. Infrastruktur pasif untuk Mobile Broadband dan Wireless Broadband sudah berdiri dan tersedia berupa menara infrastruktur, tetapi skala besar infrastruktur dan investasi backhaul lokal akan tetap diperlukan. Sebuah roll out pedesaan mobile broadband ke semua sisa 17.000 menara GSM yang ada tanpa 3G akan mungkin sekali apabila kapasitas backhaul tersedia.

Selain investasi baru, pengaturan sharing infrastruktur antara berbagai perusahaan telekomunikasi akan menjadi penting, terutama untuk daerahdaerah komersial kurang layak. Paralel penyebaran terlalu mahal dan tidak efisien di daerah seperti ini [misalnya di Indonesia Timur, tetapi juga ekstensi untuk lebih terpencil kabupaten di Indonesia bagian Barat]. Namun bahkan dengan berbagi infrastruktur-pengaturan di tempat, kemungkinan besar akan menjadi bagian dari proyek tulang punggung ke ibu kota kabupaten [tersebut sebagai sub-kabel laut Pulau Simeuleu, Kepuluan Mentawai, Lingga, Pulau Selayar, dan Benteng (Sulawesi); panjang rute tanah di Kalimantan Tengah

untuk Buntok - Muara Taweh - Kuala Kurun - Tamiang-Purukcahu dan rute panjang untuk Sendawar di Kalimantan Timur yang membutuhkan pembiayaan publik untuk mengkatalisasi investasi swasta. Pemerintah dapat mendukung investasi infratstukrur dengan cara: Memastikan tepat waktu penerbitan izin dan hak-hak cara alokasi untuk sektor swasta; Memfasilitasi koordinasi antara badan yang bertanggung jawab untuk program investasi infrastruktur yang berbeda, misalnya memastikan bahwa pembangunan jalan baru, kereta api, listrik dan pipa menyediakan co-lokasi kabel serat optik. Praktik semacam itu tersebar luas di seluruh dunia untuk pembangunan infrastruktur baru; Insentif keuangan [seperti menawarkan subsidi minimum untuk perpanjangan tulang punggung yang lebih marjinal distrik (kabupaten) sebagai imbalan untuk membuka akses dan awal penyebaran]; Agregasi dari permintaan di lokasi tertentu, seperti kabupaten atau subdistrik kantor pemerintah, sekolah-sekolah menengah dan lain sebagainya.

Langkah Regulatory spesifik yang diperlukan adalah sebagai berikut: Infrastructure-sharing. Untuk menara peraturan ini telah ditetapkan. Namun hal ini harus diperluas ke saluran, tiang, dan pasif lain infrastruktur yang diperlukan untuk meletakkan kabel serat optik. Sebuah pendekatan konsorsium dapat menyediakan biayaefektif bersama-sama (pasif) infrastruktur sementara masih memungkinkan (aktif) infrastruktur persaingan antara pelaku pasar. Open access requirements. Peraturan diperlukan untuk membuka akses pada lapisan yang berbeda: Infrastruktur pasif dari saluran hingga serat gelap, pada dasarnya untuk komunikasi penting dan tidak mudah direplikasi infrastruktur; Lapisan aktif / layanan lapisan. Pada tingkat IP biasanya terdapat akses terbuka. Namun penyedia akses broadband dapat memanipulasi kinerja, Quality of Service (QoS), layanan tertentu, khususnya yang ditawarkan oleh pesaing di tingkat layanan. [seperti jenis jaring aturan netralitas]. Memungkinkan non-perusahaan telekomunikasi untuk membangun infrastruktur pasif, pada dasar akses terbuka.

Definisi ICT Fund ICT fund pada intinya merupakan suatu konsep pembiayaan pengembangan penggunaan ICT oleh masyarakat. Pembiayaan diarahkan untuk membiaya proyek-proyek pengembangan ICT agar lebih umum digunakan dan berdaya guna bagi pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dalam mengembangkan layanan ICT, tidak hanya mencakup pengembangan infratsruktur ICT saja, tetapi juga pengembangan teknologi, aplikasi dan terminal pelanggan. Pada umumnya pengembangan infrastruktur ICT dilakukan dengan mekanisme pasar, yaitu dengan mengandalkan para operator akan menciptakan nilai pasar dari kondisi yang ada suatu daerah sehingga layak dibangun infrastruktur. Dengan pola pengembangan infrastruktur yang sedemikian, maka dana yang terkumpul atau teralokasikan untuk ICT fund, digunakan fokus pada pembiayaan proyek perberdayaan masyarakan untuk penggunaan layanan ICT dan pengembangan aplikasi ICT. Pada suatu kondisi tertentu, mekanisme pasar tidak dapat diandalkan untuk membangun infrastruktur sehingga perlu campur tangan Pemerintah. Campur tangan tersebut dapat berupa kebijakan yang menjadikan pengembangan infrastruktur disuatu daerah tersebut memiliki skala bisnis yang memadai bagi operator. Untuk penyediaan infrastruktur akses biasanya diterapkan dengan menggunakan universal access obligation sebagai bagian dari universal service obligation. Dalam konsep ini, pemerintah membangun akses pada daerah rural yang tidak masuk dalam skala bisnis operator atau mensubsidi biaya pembangunan dan pengoperasian infrastruktur akses pada daerah rural dimaksud. Dalam penyediaan infrastruktur akses dengan mekanisme universal access obligation sebagai bagian dari universal service obligation, terdapat beberapa pendekatan, diantaranya dengan membangun sistem akses berbasis komunitas atau membangun akses sebagai kepanjangan dari sistem secara nasional. Dalam membangun sistem akses berbasis komunitas dengan memanfaatkan sistem switching skala kecil, tetap saja dibutuhkan infrastruktur backbone yang menghubungkan sistem akses berbasis komunitas tersebut dengan sistem jaringan diperkotaan. Penyediaan infrastruktur backbone, biasanya murni dengan pembiayaan sendiri oleh para operator. Dalam konteks ini, maka operator sendiri yang akan menentukan rute dan panjang serta teknologi infrastruktur backbone tersebut. Kondisi ini mengakibatkan distribusi infrastruktur backbone tidak akan merata tetapi hanya pada daerah yang memiliki skala bisnis yang memadai. Pengembangan infrastruktur backbone untuk daerah rural atau mencakup seluruh wilayah perlu dilakukan sebagai lompatan dalam menyiapkan infrastruktur secara keseluruhan untuk menyediakan layanan ICT. Untuk mengatasi kendala ini, maka perlu dilakukan campur tangan oleh pemerintah. Perubahan Konsep USO ke depan

Pola penggunaan dana USO untuk pengembangan ICT backbone juga searah dengan pola perubahan konsep USO secara global. Perubahan konsep USO dimaksud dapat dijelaskan dalam gambar berikut.

Gambar 5.

Evolusi Konsep USO

Sebagaimana digambarkan pada Gambar 1 di atas, terjadi perubahan pendekatan USO akibat perkembangan pasar, teknologi dan inovasi yaitu : a. Akses universal berevolusi dari penyediaan telepon umum di pedesaan kepada akses untuk pembentukan komunitas internet untuk menggunakan layanan ICT; b. Dari yang semula ditujukan kepada penyediaan akses universal dan layanan universal kepada akses ICT/broadband universal, cakupan daerah universal dan layanan ICT universal; c. Penambahan pendekatan cakupan daerah universal menunjukkan perubahan pendekatan dari poin area kepada poin populasi dan rumah tangga. Sumber dana pola insentif pembiayaan infrastruktur TIK di Indonesia (Usulan) Sumber Dana

Sumber dana insentif pembiayaan backbone di Indonesia diusulkan menggunakan sebagian dana yang terkumpul dari kontibusi USO yang diwajibkan kepada penyelenggara telekomunikasi. Pengguna dana KPU / USO mengingat pembangunan akses USO sudah hampir selesai, sementara dana kontribusi terus dikumpulkan. Dilain hal, pemerintah tidak akan menambah beban hutang / hibah untuk pembiayaan pembangunan backbone. Alokasi dana bagi pembangunan infrastruktur ICT backbone dari dana kontribusi USO dapat dengan menggunakan pendekatan yang dijelaskan dalam Tabel 8. Tabel 8. Jenis Pendekatan Priority on access Alternatif pengalokasian Dana Penjelasan

Dana yang dialokasikan merupakan sisa dana yang masih terdapat dalam rekening USO setelah digunakan dalam membangun akses pedesaan yang diamanatkan oleh peraturan yang berlaku. Integrated Dana yang dialokasikan merupakan bagian dana System dalam pembangunan akses pedesaan, yaitu dana yang digunakan untuk membangun jaringan backbone bagi akses yang dibangun. Jaringan backbone yang dibangun akan menggantikan sebagian backbone satelit yang Dana yang saat Simultaneous digunakan dialokasikan merupakan dana yang dibutuhkan Approach ini. untuk membangun infrastruktur backbone ICT pada daerah yang belum mempunyai infrastruktur FO. Besarnya dana yang dialokasikan merupakan sisa dana yang masih terdapat dalam rekening USO setelah digunakan dalam membangun akses pedesaan yang diamanatkan oleh peraturan yang berlaku ditambah dana yang dialokasikan dari anggaran pemerintah. Jadi secara simultan ada dua fokus yang Model Bisnis ICT Fund Infrastruktur Indonesia dikembangkan yaitu akses kepada pedesaan dan Berdasarkan model bisnisbackbone FO untuk, seluruhterdapat tiga kemungkinan yang diterapkan maka kawasan Indonesia model bisnis yaitu : Pertama : penyertaan modal pemerintah; Kedua : pinjaman dari pemerintah; Ketiga : subsidi dari Pemerintah; Ketiga alternative tersebut dikaji kelemahan dan kelebihannya untuk menentukan alternative mana yang terbaik untuk diterapkan di Indonesia. Kelemahan dan kelebihan dari ketiga alternative tersebut adalah sebagai berikut :

Alternatif Penyertaan modal pemerintah

Kelebihan Cocok untuk daerah yang marjinal dari pasar sebagai proyek perintis

Kekurangan Harus mendapat persetujuan Menkeu Penunjukan penyelenggara hanya BUMN Relatif lebih lama proses birokrasinya Tingkat efisiensi investasi harus dipantau Harus mendapat persetujuan Menkeu Dana akan bertumpuk akibat pengembalian pinjaman dan kontribusi tahun per tahun

Pinjaman Pemerintah

Cocok untuk daerah yang butuh pengembangan Penyelenggaraan terbuka

Subsidy

Relatif lebih cepat proses Dana tidak dikembalikan birokrasinya (habis pakai) Penyelenggaraan terbuka Cocok untuk proyek perintis dan pengembangan Dana USO dapat digunakan dengan optimal karena tidak akan menumpuk

Dengan analisa kelebihan dan kelemahan dari alternative di atas, maka model bisnis subsidy lebih tepat digunakan di Indonesia. Mekanisme pola subsidi yang ada Pada saat ini dengan konsep kebijakan Pemerintah dan pendirian Badan Layanan Umum yaitu badan yang pengelolaannya secara korporasi namun tidak untuk mencari keuntungan, terdapat beberapa pola subsidi yang dapat dipertimbangkan dapat diterapkan untuk pengembangan PALAPA RING dibagian timur dan ekstensinya ke kabupaten-kabupaten diseluruh Indonesia. Kebijakan Desa Berdering Kebijakan desa bordering merupakan bentuk dari subsidi biaya modal (capex) dan biaya operasi (opex), dimana pemerintah melalui BTIP mengalokasikan dana bagi

pembangunan telepon perdesaan didesa-desa yang telah ditetapkan. Dengan subsidi ini, BTIP membeli layanan telepon perdesaan dari penyelenggara selama masa periode waktu operasi yang ditetapkan dengan tariff dan kualitas yang ditetapkan.

Alternatif Pola Subsidy Yang Diusulkan Untuk PALAPA RING bagian timur Model bisnis subsidy dapat diterapkan dengan beberapa pola penerapan yang dapat disesuaikan dengan keinginan pasar. Alternatif pola tersebut adalah sebagai berikut: Subsidi Biaya Investasi dan Pengoperasian Subsidi total investasi merupakan subsidi yang diberikan terhadap biaya investasi dan pengoperasian infrastruktur backbone selama masa operasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Subsidi diberikan dengan memperkirakan proyeksi biaya investasi dan pengoperasian selama masa operasi. Subsidi per tahun memperhitungkan biaya investasi dan pengoperasian per tahun dengan jumlah pendapatan yang diproyeksikan agar proyek mempunyai tingkat pengembalian yang wajar. Subsidi Biaya Investasi dan Pengoperasian Pemilihan Penyelenggara dengan total nilai subsidi biaya investasi dan pengoperasian terendah selama masa operasi dari infrastruktur backbone yang di Contoh kasus Program Desa Berdering Karakteristik proyek Proyek dengan pendapatan yang pesimistis; Proyek yang marjinal oleh pasar; Proyek perintis; Proyek dengan pengoperasian yang kompleks; Kesesuaian untuk Terdapat beberapa segmen dengan PALAPA RING bagian pendapatan pesimistis yang marjinal timur bagi pasar dan merupakan proyek perintis; Dengan belum meratanya akses antar kabupaten maka backbone merupakan proyek perintis bukan pengumpul; Dapat disesuaikan dengan jumlah dana yang dialokasikan;

Regulasi yang dibutuhkan untuk PALAPA RING bagian timur

Kebijakan yang dibutuhkan untuk PALAPA RING bagian timur

Proyeksi kebutuhan subsidi untuk PALAPA RING bagian timur

Penyelenggara backbone wajib memberikan kapasitas kepada penyelenggara untuk menghubungkan infrastrukturnya ke seluruh wilayah Indonesia (end-toend connectivity); Infrastruktur terbuka bagi penyelenggara manapun berdasarkan permintaan dan antrian; Koordinasi dengan pemda dalam melakukan agregasi demand dan right of way; Kementerian lain untuk penggunaan infrastruktur untuk keperluan kepemerintaan; Estimasi biaya capex sebesar 145 juta USD dan opex sebesar 15 juta per tahun USD (total 295 juta USD); Masa operasi 10 tahun; Pendapatan selama masa operasi diproyeksikan 100 juta USD (asumsi) Subsidi = (295 - 100 )= 195 juta USD = 19,5 juta USD per tahun

Subsidi Tarif Penggunaan Subsidi tariff penggunaan merupakan subsidi yang diberikan atas penggunaan infrastruktur oleh pengguna selama masa operasi infrastruktur yang ditetapkan. Jumlah pengguna yang disubsidi ditetapkan tahun per tahun, sehingga penyelenggara memperoleh jaminan pendapatan atau grated revenue dari pemerintah. Pemerintah akan melakukan sosialisasi kepada public atas pola subsidi ini dan BTIP akan melakukan pengawasan terhadap SLA. Untuk jumlah penggunaan pada infrastrktur backbone dapat ditetapkan dalam jumlah kapasitas bandwith tahun per tahun yang diproyeksikan berdasarkan asumsi pertumbuhan kebutuhan demand selama masa operasi. Permintaan diluar jumlah penggunaan yang ditetapkan, wajib dilayani dengan tariff yang sama. Proyeksi tarif dilakukan oleh pemerintah selama masa operasi infrastruktur. Subsidi Tarif Penggunaan Pemilihan Penyelenggara dengan total nilai subsidi tariff pengunaan terendah selama masa operasi dari infrastruktur backbone yang di Contoh kasus Subsidi BBM, RasKin, Jamkesmas

Karakteristik proyek

Kesesuaian dengan PALAPA RING bagian timur

Regulasi yang dibutuhkan untuk PALAPA RING

Kebijakan yang dibutuhkan untuk PALAPA RING

Proyek dengan pendapatan yang pesimistis; Proyek yang marjinal oleh pasar; Proyek perintis; Terdapat beberapa segmen dengan pendapatan pesimistis yang marjinal bagi pasar dan merupakan proyek perintis; Dapat disesuaikan dengan jumlah alokasi dana yang dimiliki; Penyelenggara backbone wajib memberikan kapasitas kepada penyelenggara untuk menghubungkan infrastrukturnya ke seluruh wilayah Indonesia(end-to-end connectivity); Infrastruktur terbuka bagi penyelenggara manapun berdasarkan permintaan dan antrian; Koordinasi dengan pemda dalam melakukan agregasi demand dan right of way;

Subsidi Sistem Penghargaan (Reward sistem) Subsidi diberikan sebagai penghargaan atas kemampuan penyelenggara dalam menyediakan layanan infrastruktur selama periode waktu yang ditetapkan oleh pemerintah. Pola subsidi ini menyerupai subsidi tariff penggunaan tetapi tidak dalam bentuk jaminan pendapatan. Subsidi akan diberikan atas pencapaian penyelenggara dalam menyediakan kapasitas atau jumlah layanan backbone kepada penggguna.Subsidi dalam bentuk penghargaan diberikan sebagai bonus atas jumlah layanan yang disediakan oleh penyelenggara. Jumlah bonus per jumlah kapasitas tertentu dikompetisikan dalam pemilihan penyelenggara pelaksana. Subsidi Sistem Penghargaan Pemilihan Penyelenggara dengan besaran bonus yang diinginkan per jumlah kapasitas yang ditetapkan Pemerintah. Contoh kasus Karakteristik proyek Proyek dengan pendapatan yang optimis; Proyek yang tidak terlalu marjinal oleh pasar; Proyek perintis atau peningkatan supply; Kesesuaian untuk Pada segmen tertentu terdapat PALAPA RING bagian segmen yang diproyeksikan timur memperoleh pendapatan yang optimis; Butuh proyeksi jumlah penggunaan yang tepat untuk menyediakan alokasi biaya; Regulasi yang Penyelenggara backbone wajib dibutuhkan untuk memberikan kapasitas kepada PALAPA RING bagian penyelenggara untuk . Kebutuhan Backbone di Indonesia Di masa mendatang kebutuhan kapasitas Backbone sangat besar dalam rangka untuk menyalurkan trafik ICT di masa mendatang. Hal tersebut bisa dilihat dengan adanya pertumbuhan pelanggan jasa layanan yang berbasis internet di Indonesia serta perkembangan jumlah pelanggan telekomunikasi seluler. Peningkatan trafik jasa layanan yang berbasis IP atau new waves tersebut disamping diperlukan ketersediaan jaringan akses yang memadai juga diperlukan ketersediaan jaringan backbone dalam kapasitas yang tinggi dan kualitas yang baik. Pada saat ini ketersediaan jaringan backbone masih relatif terkumpul di Indonesia Bagian Barat, sedangkan di Indonesia bagian Timur masih relatif kurang atau bahkan tidak ada. Pemerintah telah menggulirkan rencana pembangunan Palapa Ring yang akan menghubungkan beberapa kota di Indonesia bagian timur yang diikuti oleh beberapa operator besar di Indonesia, akan tetapi jadwal implementasinya mengalami kemunduran.

Pengembangan Backbone yang diantaranya adalah :

pada saat ini sudah diwilayah

diidentifikasi

a. Infrastruktur Utama tulang punggung menghubungkan kota- kota besar

Indonesia Timur

b. Jaringan tulang punggung untuk menyambung daerah Indonesia Barat yang tak dilayani. c. Jaringan tulang punggung menuju kabupaten di wilayah Indonesia Timur. Kebutuhan investasi untuk membangun backbonbe di atas memerlukan biaya investasi yang cukup tinggi karena backbone tersebut menghubungkan lokasi-lokasi yang berjauhan dan tidak bisa hanya dilakukan dengan membangun jaringan terresterial akan tetapi juga diperlukan jaringan bawah laut. Hal ini akan menyebabkan biaya yang tinggi untuk merealisasikanya, apalagi pada daerah tersebut potensi demand jasa layanan ICT masih kecil sehingga kalau dilakukan kajian kelayakan bisnis masih belum layak.Melihat kondisi di atas, pada ksempatan ini akan diformulasikan bentuk partisipasi pemerintah untuk pembiayaan jaringan backbone dimana pada saat ini belum terlihat commercially feaseible, oleh sebab itu harus dikerjakan secara bersama-sama. Pada saat ini pemerintah telah mengumpulkan dana dari para penyelenggara telekomunikasi di Indonesia melalui program USO sebesar 1,25 % (satu koma dua puluh lima persen) dari pendapatan kotor operator yang dikurangi faktor-faktor tertentu. Dana tersebut pada saat ini telah digunakan untuk pembangunan di daerah-daerah terpencil untuk menyediakan jasa layanan akses teleponi dan internet di daerah-daerah tersebut. Pembangunan tersebut telah dilakukan dan diharapkan pada tahun 2010 telah terlayani 25.000 desa di seluruh Indonesia sudah bisa menikmati jasa layanan telekomunikasi. Dana USO yang akan diterima oleh pemerintah di masa mendatang akan cenderung meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan dari seluruh penyelenggara telekomunikasi di Indonesia. Alokasi pendanaan USO sebagian dimungkinkan bisa digunakan untuk pembangunan jaringan backbone yang sangat diperlukan untuk terselenggaranya jasa layanan di seluruh wilayah Indonesia dan pada saat ini jika dievaluasi kelayakannya masih belum feasibel secara bisnis. Alokasi tersebut haruslah dapat digunakan secara optimal dengan memberdayakan sumber daya yang dimiliki oleh para stakeholder telekomunikasi di Indonesia. Beberapa aspek yang bisa diberdayakan dan hal ini sanagt erat kaitanya dengan rencana pola pembiayaan pembangunan jaringan backbone di Indonesia, daiantaranya adalah : Rencana pembangunan backbone yang akan menggunakan sumber pendanaan USO akan menjadi tanggung jawab pemerintah terkait dengan perencanaan lokasi, rute, kapasitas, jenis teknologi yang digunakan dan aspek teknis lainya. Pemerintah dalam hal ini akan diwakili oleh BTIP (Balai Telekomunikasi dan

Informasi Pedesaan) Ditjen Postel. Pada perencanaan tersebut, pemerintah sudah mempertimbangkan aspirasi dan masukan-masukan yang konstruktif dari seluruh penyelenggara telekomunikasi di Indonesia dan apabila permintaan kebutuhan bandwidth transmisi mengalami kenaikan dibandingkan dengan kapasitas yang ada, maka desain kapasitas transmisi yang ada tersebut harus bisa ditingkatkan kapasitasnya dengan mudah yang sesuai dengan peningkatan volume kebutuhan bandwidth transmisi dalam kurun waktu 5 tahun yang akan datang. Tarif sewa bandwidth transmisi backbone pada area tersebut akan diregulasi oleh pemerintah dengan menggunakan tarif yang termurah di pasaran, agar supaya para pengguna dapat memanfaatkan media transmisi backbone ini secara maksimal. Sebagai gambaran umum mengenai tarif sewa bandwidth transmisi backbone di area USO dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar.

Regulasi Tarif Sewa Bandwidth Transmisi di Area USO

Peran pemerintah BTIP hanyalah bersifat sebagai fasilitator yang menghubungkan antara operator backbone dan para pengguna dengan mengalokasikan sebagai dana USO untuk pembangunan dan pengoperasioan dalam kurun waktu tertentu, yang besarnya akan ditentukan lebih lanjut. Sebagai gambaran peran pemerintah BTIP dalam hubunganya dengan operator yang akan membangun & mengoperasikan dan users dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar Peran BTIP Ditjen Postel dalam proses pembangunan dan pengoperasian backbone transmisi di Area USO BTIP akan membeli layanan backbone broadband dari penyelenggara terpilih dalam kurung waktu yang ditetapkan dengan harga yang dihitung berdasarkan pola subsidi. Beberapa model bisnis pembangunan jaringan backbone transmisi yang dimaksud adalah sebagai berikut : Subsidi Capex Subsidi Capex dan Opex Jaminan Revenue Guaranted Revenue

Pola tersebut di atas, bisa diterapkan di beberapa rute, karena karakteristik rute antara lokasi satu dengan lokasi lainya berbeda, dan model bisnis yang digunakan disesuaikan.

Sebagai gambaran mengenai model bisnis yang akan diusulkan dalam naskah akademik ini dapat dilihat pada flowchart di bawah ini.

Gambar. Flowchart Proses Pengembangan Model Pendanaan Pembangunan dan Pengoperasian Jaringan Backbone Transmisi Alternatif 1 : model bisnis pembangunan jaringan backbone dengan Subsidi Capex Pada alternatif ini dana USO hanya akan diberikan di awal investasi dari total investasi yang telah disepakati antara BTIP dengan Operator pelaksana. Besarnya dana USO yang akan dialokasikan untuk subsidi capex dihitung dan ditentukan berdasarkan kesepakatan antar para pihak dengan berpegangan pada prinsip kelayakan bisnis penyelenggaraan jaringan backbone transmisi di area USO. Besar kecilnya dana subsidi antara area USO satu dengan yang lainya berbeda-beda sangat tergantung pada potensi demand, jenis teknologi yang digunakan, panjang rute transmisi yang akan

dibangun, kapasitas, dan aspek lain yang terkait. Secara umum, gambaran model bisnis pada alternatif ini dapat dilihat pada gambar berikut.

Alternatif 2 : model bisnis pembangunan jaringan backbone dengan Subsidi Capex dan Opex Pada alternatif ini dana USO hanya akan diberikan di awal investasi dari total investasi yang telah disepakati antara BTIP dengan Operator pelaksana, dan seanjutnya BTIP masih akan mengalokasikan dana USO untuk subsidi Opex. Besarnya dana USO yang akan dialokasikan untuk subsidi capex dan Opex dihitung dan ditentukan berdasarkan kesepakatan antar para pihak dengan berpegangan pada prinsip kelayakan bisnis penyelenggaraan jaringan backbone transmisi di area USO. Besar kecilnya dana subsidi antara area USO satu dengan yang lainya berbeda-beda sangat tergantung pada potensi demand, jenis teknologi yang digunakan, panjang rute transmisi yang akan dibangun, kapasitas, dan aspek lain yang terkait. Secara umum, gambaran model bisnis pada alternatif ini dapat dilihat pada gambar berikut.

Alternatif 3 : model bisnis pembangunan jaringan backbone dengan pola Jaminan Revenue Guaranted Revenue Pada alternatif ini dana USO akan diberikan setiap tahun dalam rangka untuk menjamin revenue yang ditargetkan oleh operator pelaksanana. Operator pelaksana akan melakukan investasi dengan dana internal operator pelaksana demikian juga biaya operasinya. Pemerintah yang dalam hal ini BTIP menjamin bahwa revenue yang akan diterima oleh operator sesuai dengan proyeksi pendapatan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Gambar Model bisnis pembangunan jaringan backbone dengan pola Jaminan Revenue Guaranted Revenue

Model kerjasama BTIP dengan Operator Penyedia Backbone Kerjasama antara BTIP dengan operator Penyedia backbone adalah jangka panjang selama masa operasi yang telah disepakati, oleh sebab itu model kerjasama bisa berupa kontrak kerjasama multi years. Kontrak antara BTIP dengan penyelenggara adalah kontrak penyediaan layanan broadband pada rute backbone yang ditetapkan. Selama masa operasi tersebut, penyelenggara terpilih harus menyediakan layanan broadband dalam bentuk rute fisik baru dan layanan sewa jaringan serta landing point tertentu. Penyelenggara terpilih wajib menyediakan layanan broadband dalam bentuk rute fisik baru dan layanan sewa jaringan dimaksud pada rute yang ditetapkan dan menjualnya secara terbuka. Untuk penyediaan layanan tersebut BTIP akan membeli layanan dalam bentuk aktif ready to use bagi penyelenggara lain maupun pengguna. Penyelenggara lain dan pengguna peroroangan atau badan usaha juga akan menyewa ke penyelenggara terpilih dengan harga yang ditetapkan oleh BTIP.

2.6 MODEL PENGAWASAN Badan Pemeriksa KeuanganBerdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UndangUndang terkait lainnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah memeriksa Neraca Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) per 31 Desember 2009 dan 2008, serta Laporan Realisasi Anggaran untuk tahun yang berakhir pada tanggal-tanggal tersebut. Laporan Keuangan adalah tanggung jawab Kemkominfo. Tanggung jawab BPK terletak pada pernyataan pendapat atas laporan keuangan berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan. BPK melaksanakan pemeriksaan berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Standar tersebut mengharuskan BPK merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan agar memperoleh keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material. Suatu pemeriksaan meliputi eksaminasi, atas dasar pengujian, bukti-bukti yang mendukung jumlah-jumlah dan pengungkapan dalam laporan keuangan. Pemeriksaan juga meliputi penilaian atas Prinsip Akuntansi yang digunakan dan estimasi signifikan yang dibuat oleh Kemkominfo, serta penilaian terhadap penyajian laporan keuangan secara keseluruhan. BPK yakin bahwa pemeriksaan tersebut memberikan dasar memadai untuk menyatakan pendapat.

Komite Pemberantasan Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: 1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; 2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; 3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; 4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan 5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : 1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; 2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; 3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;

4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan 5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Selengkapnya mengenai tugas, wewenang, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat dilihat pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia Telekomunikasi mempunyai sifat yang berubah terus menerus, nyaris tidak bertepi dan mampu mengubah tatanan wajah dunia, merubah pola pikir manusia, mempengaruhi perilaku dan kehidupan umat manusia. Telekomunikasi saat ini sudah menjadi kebutuhan hidup yg disejajarkan dengan human right. Hampir satu dekade telekomunikasi Indonesia memasuki sejarah baru. Lewat Undangundang Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi, sektor ini resmi menanggalkan privilege monopolinya untuk segera bertransisi ke era kompetisi. Kompetitor baru pun diundang masuk menjadi operator jaringan maupun jasa di sektor ini. Banyak kalangan berlega hati menyambut lahirnya undang-undang telekomunikasi tersebut. Apalagi tahun itu lahir juga Undang-undang Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun ternyata kompetisi telekomunikasi jauh panggang dari api. Muncul banyak pihak meminta dibentuknya badan regulasi independen. Sebuah Badan Regulasi Mandiri (IRB-Independent Regulatory Body) yang diharapkan dapat melindungi kepentingan publik (pengguna telekomunikasi) dan mendukung serta melindungi kompetisi bisnis telekomunikasi sehingga menjadi sehat, efisien dan menarik para investor. Tanggal 11 Juli 2003 akhirnya pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perhubungan No. 31/2003 tentang penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). BRTI adalah terjemahan IRB versi pemerintah yang diharapkan pada akhirnya menjadi suatu Badan Regulasi yang ideal. Komentar yang banyak muncul kemudian adalah pemerintah dianggap setengah hati karena salah satu personel BRTI sekaligus menjadi Ketua adalah Dirjen Postel. Kepmenhub No. 31/2003 tersebut [telah diubah dengan Peraturan Menteri Kominfo No. 25/Per/M.Kominfo/11/2005 tentang Perubahan Pertama atas Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.31 tahun 2003 tentang Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia] juga tidak memberi wewenang eksekutor kepada BRTI. Hal tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 67 Tahun 2003 tentang Tata Hubungan Kerja antara Departemen Perhubungan dengan Badan Regulasi

Telekomunikasi Indonesia sehingga dipertanyakan efektivitas BRTI dalam mengawal kompetisi telekomunikasi. Namun terlepas dari polemik di atas, menjadi tugas bersama untuk mendorong agar BRTI yang sudah terbentuk ini dapat bekerja maksimal sehingga dapat memacu perkembangan industri telekomunikasi lewat iklim kompetisi, meningkatkan efisiensi dan memproteksi kepentingan publik secara de facto dan de jure. Dewan Pengawas Dewan Pengawas pada BTIP secara resmi telah ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 2009 berdasarkan Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 392/KEP/M.KOMINFO/10/2009 tentang Pembentukan Dewan Pengawas Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan pada Departemen Komunikasi dan Informatika sebagai Instansi Pemerintah yang Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Pembentukan Dewan Pengawas pada BTIP merupakan amanah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 109/PMK.05/2007 tentang Dewan Pengawas Badan Layanan Umum, dimana pada Pasal 2 ayat (1) PMK menyebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan pengawasan terhadap pengelolaan BLU dapat dibentuk Dewan Pengawas. Sebagai instansi pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum, BTIP yang telah berstatus BLU secara Penuh dan telah memenuhi persyaratan nilai omzet dan asset minimum sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut sehingga pembentukan Dewan Pengawas pada BTIP perlu untuk dilaksanakan. Sebagai tindak lanjut atas Peraturan Menteri Keuangan tersebut, pada tanggal 28 April 2009 Menteri Komunikasi dan Informatika telah mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan Nomor : 190/M.KOMINFO/4/2009 perihal Usulan Pembentukan Dewan Pengawas BLU BTIP. Pada surat tersebut diusulkan nama calon anggota Dewan Pengawas BTIP, sesuai dengan Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 109/PMK.05/2007 disebutkan bahwa anggota Dewan Pengawas untuk BLU dilingkungan Pemerintah Pusat terdiri dari unsur-unsur pejabat dari Kementerian Negara/Lembaga dan Kementerian Keuangan, serta tenaga ahli yang sesuai dengan kegiatan BLU. Nama-nama yang diusulkan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Nama: Dr. Ir. Titon Dutono, M. Eng. Jabatan: Direktur Telekomunikasi Ditjen Postel 2. Nama: Drs. Hari Utama Ribowo, MA. Jabatan : Direktur Pembinaan PPK BLU, Ditjen Perbendaharaan 3. Nama: Ir. Fatimah Dahlan, MM Jabatan: Asdep Urusan Infrastruktur Informasi dan Telekomunikasi Kementerian Negara Pembangunan daerah Tertinggal

4. Nama: Ir. Koesmarihati, IPM Profesi: Ahli Telekomunikasi 5. Nama: Prof. Dr. Anna Erliyana, SH.,MH Jabatan: Ahli Hukum, Guru Besar Universitas Indonesia Atas usulan Menteri Komunikasi dan Informatika tersebut, Menteri Keuangan pada tanggal 21 Juli 2009 mengirimkan surat Nomor : SR-104/MK.01/2009 perihal Usulan Dewan Pengawas pada Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan (BTIP) dimana pada prinsipnya Menteri Keuangan dapat menyetujui susunan keanggotaan Dewan Pengawas pada BTIP yang diusulkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika. Akhirnya, berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan tersebut, pada tanggal 19 Oktober 2009 Menteri Komunikasi dan Informatika menetapkan Dewan Pengawas pada BTIP melalui Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 392/KEP/M.KOMINFO/10/2009 tentang Pembentukan Dewan Pengawas Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan pada Departemen Komunikasi dan Informatika sebagai Instansi Pemerintah yang Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. 1. Melakukan pengawasan terhadap pengelolaan teknis dan pengelolaan keuangan Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan pada Departemen Komunikasi dan Informatika sebagai instansi pemerintah yang menerapkan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum; 2. Memberikan pendapat dan saran kepada Menteri Komunikasi dan Informatika dan Menteri Keuangan terkait pengelolaan teknis dan pengelolaan keuangan Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan pada Departemen Komunikasi dan Informatika sebagai instansi pemerintah yang menerapkan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum; 3. Melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan pengawasan secara berkala, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) semester kepada Menteri Komunikasi dan Informatika dan Menteri Keuangan. Dengan dibentuknya Dewan Pengawas yang melaksanakan pembinaan teknis dan keuangan pada BTIP, diharapkan dari segi teknis operasional BTIP dalam menyediakan layanan jasa akses telekomunikasi dan informatika perdesaan kepada masyarakat dapat lebih ditingkatkan kualitasnya. Selain itu percepatan pemerataan serta kesinambungan layanan tersebut dapat diwujudkan sehingga memberikan manfaat yang maksimal kepada masyarakat. Sedangkan dari segi keuangan, diharapkan pengelolaan keuangan BTIP dapat lebih terarah, transparan dan akuntabel.

3. KINERJA BP3TI 3.1 PENYUSUNAN PROGRAM KERJA BPPPTI menyelenggarakan fungsi: a. penyusunan rencana dan program, serta laporan;

b. penyusunan dan pelaksanaan rencana strategis bisnis dan Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) penyediaan dan atau pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan, ICT, jaringan, akses dan layanan telekomunikasi dan informatika pelayanan universal; c. pelaksanaan intensifikasi penerimaan kontribusi kewajiban pelayanan universal; d. pelaksanaan pembiayaan penyediaan dan atau pembangunan ICT, jaringan, akses dan layanan telekomunikasi dan informatika pelayanan universal; e. pengembangan pelaksanaan KPU/USO; f. pengembangan sistem monitoring KPU/USO; g. uji fungsi dan pendataan sarana dan prasarana KPU/USO; h. pelaksanaan pengelolaan infrastruktur KPU/USO; i. pengelolaan sistem informasi manajemen; j. penanganan pengaduan masyarakat dan lembaga/instansi; k. pencocokan dan penelitian (rekonsiliasi) KPU/USO; l. monitoring dan evaluasi pelaksanaan KPU/USO; m. monitoring dan evaluasi pelaksanaan rencana dan program, strategi bisnis dan RBA; n. pelaksanaan investasi dan diversifikasi usaha; o. pengelolaan kas dan sistem manajemen keuangan; p. pengelolaan website dan publikasi BPPPTI; q. penyusunan pertanggungjawaban kinerja operasional dan keuangan BPPPTI; r. pelaksanaan urusan keuangan, kepegawaian, rumah tangga, dan tata usaha BPPPTI. 3.2 PELAKSANAAN PROGRAM KERJA Dalam rangka memberikan kepuasan kepada para pelanggan (Customer Satisfaction) maka perlu ditanamkan budaya kerja yang cocok untuk diterapkan dan diikuti oleh semua pegawai BPPPTI-BLU, sehingga pegawai termotivasi untuk menjaga citra dan meningkatkan mutu pelayanan. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka budaya-budaya serta nilai-nilai yang perlu dikembangkan adalah sebagai berikut: 1. Kebersamaan (bekerja dengan pendekatan tim) yang mengandung nilainilai: Menyadari bahwa pekerjaan tidak dapat diselesaikan sendiri Melalui kerjasama dan kebersamaan pekerjaan akan dapat diselesaikan dengan hasil yang memuaskan Mengutamakan kepentingan perusahaan dari pada kepentingan pribadi

2. Profesionalisme yang mengandung nilai: Bekerja sesuai dengan sistem dan prosedur yang berlaku Bersedia menghadapi pekerjaan yang penuh tantangan Bekerja keras dan bertanggung jawab Memiliki keyakinan atas kemampuan sendiri 3. Ramah dan Peduli mengandung nilai: Selalu memberikan senyum, salam dan sapa setiap memberikan pelayanan Selalu berusaha memberikan kepedulian dan tanggap 4. Jujur, Keterbukaan dan Disiplin mengandung nilai; Senantiasa menjunjung tinggi kejujuran Berani menyatakan kesalahan dan mengakui kebenaran dengan cara yang bertanggung jawab dan sesuai etika Terbuka dalam mengemukakan dan menerima pendapat Saling menghargai dan menghormati pendapat orang lain Selalu menegakkan disiplin dan mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Disamping budaya kerja tersebut dan dalam rangka mengubah budaya organisasi BPPPTI-BLU menjadi yang lebih, maka manajemen BPPPTI-BLU menanamkan 8 (delapan) keyakinan dasar kepada pegawainya. 8 (delapan) Keyakinan Dasar Pegawai BPPPTI-BLU adalah: 1. Organisasi adalah rumah kita 2. Kepentingan masyarakat adalah yang utama 3. Sinergi pelayanan, pendidikan dan penelitian 4. Insan pembelajar 5. Insan professional 6. Insan panutan 7. Bekerja dalam Kelompok Kerja (Team Work) 8. Mempersembahkan Kinerja Terbaik Perlu diperkenalkan budaya organisasi yang memakai falsafah kebudayaan masyarakat Indonesia pada organisasi yang bermakna melayani masyarakat seperti pelayanan apa yang mereka inginkan, saling berbagi (sharing), serta setia dalam suka dan duka. Falsafah ini diimplementasikan dalam hubungan kerja sesama pegawai, maupun kelompok profesi saling menghormati dan bekerja dalam kesetaraan serta bermakna kesetiaan pegawai yang diarahkan pada perilaku yang konstruktif dalam memajukan organisasi. Sehingga BPPPTI-BLU dalam mewujudkan Badan Layanan Umum yang unggul memiliki Motto As Pionneer in Rural Access with Partnerships

3.3 PENYERAPAN ANGGARAN

3.4 DAMPAK TERHADAP KINERJA SEKTOR