pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap …
TRANSCRIPT
PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP SINTASAN DAN PERTUMBUHAN KEPITING BAKAU
(Scylla olivacea) YANG DIPELIHARA SISTEM SILVOFISHERY
OLEH
FACHRUDDIN L221 12 002
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
SKRIPSI
PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP SINTASAN DAN PERTUMBUHAN KEPITING BAKAU
(Scylla olivacea) YANG DIPELIHARA SISTEM SILVOFISHERY
Oleh: FACHRUDDIN L 221 12 002
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
DEPARTEMEN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2017
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan Terhadap Sintasan Dan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla olivacea) yang Dipelihara Sistem Silvofishery
Nama : Fachruddin
Stambuk : L221 12 002
Departemen : Perikanan
Fakultas : Ilmu Kelautan Dan Perikanan
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh:
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Ir. Muh. Yusri Karim, M. Si Dr. Ir Hasni Yulianti Azis, MP NIP. 196501081991031002 NIP. 196909011993032003
Mengetahui:
Dekan Ketua Program Studi Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Budidaya Perairan
Dr. Ir. St. Aisjah Farhum, M.Si Dr. Ir. Siti Aslamyah, MP NIP. 196906051993032002 NIP. 196909011993032003
Tanggal Pengesahan : Makassar, November 2017
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Penatoi, Kota Bima, Privinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB). Lahir pada tanggal 20
Februari 1994 dan di beri nama FACHRUDDIN oleh
Ayahanda Muhammad saleh dan Salmah, sebagai
anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis memulai
jenjang pendidikan di SDN INPRES PENATOI
sekarang berganti nama menjadi SDN 40 KOTA
BIMA pada tahub 2000-2006. Pada tahun 2009
penulis menamatkan sekolah di SMP NEGERI 1 KOTA BIMA. Kemudian
dilanjutkan ke SMA NEGERI 2 KOTA BIMA hingga tamat tahun 2012. Ditahun
yang sama penulis diterima sebagai Mahasiswa di Universitas Hasanuddin,
Makassar, di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Departemen Perikanan,
Program Studi Budidaya Perairan. Dalam menjalani aktifitas sebagai mahasiswa,
penulis pernah aktif dalam organisasi kampus yakni pengurus Himpunan
Mahasiswa Jurusan (HMJ), Kordinartor Humas Majelis Pertimbangan Himpunan
(MPH), Pengurus LDF Lingkar Kajian Islam Bahari (LIKIB), Staf Unit Mobil dan
Perahu Karet di SAR UNHAS dan organisasi ekstra kampus pengurus Aquatic
Study Club of Makassar.
ABSTRAK FACHRUDDIN. L22112002. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan Terhadap Sintasan dan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla olivacea) yang Dipelihara Sistem Silvofishery. Di bawah bimbingan Muh. Yusri Karim dan Hasni Yulianti Azis.
Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi dan banyak mendapat permintaan dari pasaran lokal, regional maupun mancanegara. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan frekuensi pemberian pakan yang tepat terhadap sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau (S.olivacea) yang dipelihara sistem silvofishery. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2017 di kawasan mangrove pesisir Kecamatan Mandale, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Wadah penelitian yang digunakan adalah kurungan yang terbuat dari bambu berukuran panjang, lebar, dan tinggi masing-masing 1,0 x 1,0 x 1,0 m. yang ditempatkan di kawasan mangove. Pakan yang digunakan adalah ikan rucah berupa cincangan ikan mujair dengan dosis 10% dari biomassa kepiting. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan setiap perlakuan memiliki 3 ulangan. Adapun perlakuan yang diujikan yaitu 2 kali sehari, 1 kali sehari, 1 kali 2 hari dan 1 kali 3 hari. Data yang diperoleh dialanalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut W-Tuckey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi pemberian pakan memberikan pengaruh yang sangat nyata (p < 0,01) pada sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau yang dipelihara sistem silvofishery. Sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau tertinggi dihasilkan pada frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari, 1 kali sehari, dan 1 kali 2 hari menghasilkan dan terendah pada frekuensi pemberian pakan 1 kali 3 hari. Rata-rata sintasan yang dicapai pada perlakuan 2 kali sehari adalah (96,67 %), perlakuan 1 kali sehari (96,67%), perlakuan 1 kali 2 hari (93,33%) dan perlakuan 1 kali 3 hari (76,67%). Rata-rata Laju pertumbuhan harian kepiting bakau yang dicapai pada perlakuan 2 kali sehari adalah (1,05%), perlakuan 1 kali sehari (1,04%), perlakuan 1 kali 2 hari (0,99%) dan perlakuan 1 kali 3 hari (0,66%). Kata kunci : frekuensi pemberian pakan, kepiting bakau, pertumbuhan, sintasan.
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik ALLAH SWT, Dzat yang menciptakan segenap alam
raya dan seisinya. Shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, penyandang gelar AL-Amin yang membawa kita dari alam kegelapan
menuju ke alam yang terang benderang.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan penelitian
dan berhasil menulis skripsi dengan judul “ Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan
Terhadap Sintasan dan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla olivacea) Yang
Dipelihara System Silvofishery “
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Perikanan pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Dalam laporan ini penulis tak lupa pula mengucapkan banyak terima kasih
yang sebesar-besarnya yang telah memberikan bantuan serta saran dalam
perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyusunan skripsi dari awal sampai
akhir selama penelitian dilaksanakan. Dan penulis mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Kepada kedua orang Tua, kakak dan adik saya, Drs. Muhammad Saleh,
Salmah, Shuciati dan Nurahmania yang selalu memberikan dukungan
serta Doanya kepada saya.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Muh Yusri Karim, M.Si selaku Pembimbing Utama dan
Dr.Ir. Hasni Yulianti Azis, MP selaku pembimbing anggota, yang selama
ini dengan sabar mendukung, memberikan petunjuk dan mengarahkan
penulis dalam menyelesaikan penulisan laporan hasil penelitian ini.
3. Bapak Dr. Ir. Dody Dh. Trijuno, M.App. Sc selaku penasehat akademik
sekaligus penguji yang telah banyak memberikan dorongan dan motivasi
dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
4. Ibu Dr. Ir. Siti Aslamyah, M.P. Selaku Ketua Program Studi Budidaya
Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin
dan juga sebagai penguji yang banyak memberi masukan.
5. Bapak Dr. Ir. Edison Saade, M.Sc selaku Penguji yang telah memberikan
saran dalam pelaksanaan penelitian.
6. Seluruh Staf akademik Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas
Hasanuddin yang telah banyak membantu.
7. Muhammad Arham sebagai teman dekat yang selama ini selalu
memberikan do’a, motivasi, bantuan dan dukungan kepada penulis.
8. Kepada pak Muslimin dan Kak Mansura yang telah memberikan banyak
bantuan, masukkan dan saran selama penelitian.
9. Akbar Yanto, Dimas, Faizal, Nugrawangsa, Zainuddin, Ahmad Akbar,
Fadli, Rachmat Yuda, Saipul, Haidir, Umi Kalsum, Amriana, Oda, Ika,
Lia, Arini, Dila, Winda, Azwar dan BDP 2012 sebagai teman
seperjuangan, yang senantiasa sangat membantu memberikan ilmu dan
tenaga serta dukungan semangat nasehat dan doanya selama penelitian.
10. Kanda Syafaruddin S.pi, M.Si yang telah memberikan banyak bantuan,
masukkan dan saran selama penelitan.
11. Keluarga Besar KMP BDP FIKP UNHAS, Keluarga Besar ASCM (Aquatiq
Study Club of Makassar). Terima Kasih untuk dukungan dan motivasinya
selama ini.
Penulis sangat menyadari bahwa penyusunan laporan Skripsi ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan laporan kedepannya. Akhir
kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Makassar, November 2017
Fachruddin
ABSTRAK FACHRUDDIN. L22112002. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan Terhadap Sintasan dan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla olivacea) yang Dipelihara Sistem Silvofishery. Di bawah bimbingan Muh. Yusri Karim dan Hasni Yulianti Azis.
Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi dan banyak mendapat permintaan dari pasaran lokal, regional maupun mancanegara. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan frekuensi pemberian pakan yang tepat terhadap sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau (S.olivacea) yang dipelihara sistem silvofishery. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2017 di kawasan mangrove pesisir Kecamatan Mandale, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan setiap perlakuan memiliki 3 ulangan. Adapun perlakuan yang diujikan yaitu 2 kali sehari, 1 kali sehari, 1 kali 2 hari dan 1 kali 3 hari. Data yang diperoleh dialanalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut W-Tuckey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi pemberian pakan memberikan pengaruh yang sangat nyata (p < 0,01) pada sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau yang dipelihara sistem silvofishery. Sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau tertinggi dihasilkan pada frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari, 1 kali sehari, dan 1 kali 2 hari menghasilkan dan terendah pada frekuensi pemberian pakan 1 kali 3 hari. Rata-rata sintasan yang dicapai pada perlakuan 2 kali sehari adalah (96,67 %), perlakuan 1 kali sehari (96,67%), perlakuan 1 kali 2 hari (93,33%) dan perlakuan 1 kali 3 hari (76,67%). Rata-rata Laju pertumbuhan harian kepiting bakau yang dicapai pada perlakuan 2 kali sehari adalah (1,05%), perlakuan 1 kali sehari (1,04%), perlakuan 1 kali 2 hari (0,99%) dan perlakuan 1 kali 3 hari (0,66%). Kata kunci : frekuensi pemberian pakan, kepiting bakau, pertumbuhan, sintasan.
ABCTRACT
FACHRUDDIN. L22112002. The Effect of Feeding Frequency on Survival rate and Growth rate of mud crab (Scylla olivacea) Reased Silvofishery System. Under the guidance of Muh. Yusri Karim and Hasni Yulianti Azis.
Mangrove Crab is one of the fisheries commoditis that high economic and many get demand from local market, regional and foreign. This study aims to determine of feeding frequency on survival rate and growth rate of mangrove crab (S. olivacea) reased by silvofishery system. The research was conducted from July to Agusts 2017 in the coastal mangrove area of Mandale sub-district. Pangkep regency. South Sulawesi. This study used Completely Randomized Design (RAL) with 4 treatment is twice a day, 1 time a day, 1 time 2 days, and 1 time 3 days. The data obtainedwere analized by using variance analysis (ANOVA) and advance W-Tuckey test. The result showed that the frequency of feeding gave a very real effect ( p < 0,01) on survival rate and growth of mangrove crab maintained by silvofishery sistem. The highes mangrove crab passages are produced at feeding frequencies twice a day, 1 times daily, and 1 times 2 days yielding and lowest at feeding frequency1 times 3 days. The average survival rate obtained at the treatment twice a day is (96,67%), treatment 1 times daily (96,67%), treatment 1 time 2 day (93,33%) and treatment 1 times 3 day (76,67%), The average daily growth rate of mangrove crabs is highest in crabs fed with frequent feeding twice daily, once daily, and 1 time 2 days, while the lowest in crabs fed 1 times 3 day. The average daily growth rate of mangrove crab obtained at the treatment twice a day was (1.05%), treatment 1 times a day (1.04%), treatment 1 time 2 days (0.99%) and treatment 1 times 3 days (0.66%).
Keywords : feedeng frequency, mangrove crab, growth, survival
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................ i
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ iv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. v
I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................. 1
Tujuan dan Kegunaan ..................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4
Klasifikas dan Morfologi ................................................................... 4
Silvofishery ....................................................................................... 6
Pakan dan Kebiasaan Makan .......................................................... 8
Sintasan ........................................................................................... 8
Pertumbuhan ................................................................................... 9
Kualitas Air ...................................................................................... 10
III. METODE PENELITIAN ........................................................................ 12
Waktu dan Tempat .......................................................................... 12
Materi Penelitian .............................................................................. 12
Hewan uji ..................................................................................... 12
Wadah Penelitian ........................................................................ 12
Pakan Uji ..................................................................................... 13
Prosedur Penelitian ......................................................................... 12
Perlakuan Rancangan Percobaan ................................................... 14
i
Parameter yang Diamati .................................................................. 15
Sintasan ....................................................................................... 15
Pertumbuhan ............................................................................... 15
Fisika Kimia Air ........................................................................... 14
Analisis Data ................................................................................... 16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 17
Sintasan .......................................................................................... 17
Pertumbuhan .................................................................................. 18
Kualitas Air ..................................................................................... 20
V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 23
Kesimpulan ..................................................................................... 23
Saran .............................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 24
LAMPIRAN ............................................................................................ 27
ii
Sintasan ....................................................................................... 15
Pertumbuhan ............................................................................... 15
Kualitas Air .................................................................................. 15
Analisis Data ................................................................................... 16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 17
Sintasan .......................................................................................... 17
Pertumbuhan .................................................................................. 18
Kualitas Air ..................................................................................... 20
V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 23
Kesimpulan ..................................................................................... 23
Saran .............................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 24
LAMPIRAN ............................................................................................ 27
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kepiting bakau Scylla olivacea merupakan salah satu komoditas
perikanan bernilai ekonomis penting yang banyak dijumpai di perairan Indonesia
terutama perairan payau di sepanjang pantai yang banyak ditumbuhi tanaman
bakau. Kepiting bakau telah dikenal baik di pasaran dalam negeri maupun luar
negeri karena rasa dagingnya yang lezat dan bernilai gizi tinggi. Kebutuhan
konsumen terhadap kepiting bakau sebagian besar masih dipenuhi dari hasil
penangkapan di alam yang sifatnya fluktuatif (Karim, 2013).
Permintaan akan komoditas kepiting yang terus meningkat, baik di
pasaran dalam maupun luar negeri, sehingga menjadikan organisme ini
termasuk salah satu komoditas andalan untuk ekspor mendampingi komoditas
udang windu. Karena permintaan kepiting terus meningkat, baik untuk konsumsi
dalam negeri maupun untuk ekspor, maka penangkapan di alampun semakin
intensif pula, akibatnya terjadi penurunan populasi kepiting di alam. Untuk
mengatasi kebutuhan pangan yang semakin meningkat, maka sudah waktunya
diusahakan pelestarian dan perlu dilakukan budidayanya (Moosa et al., 1985).
Kalau dilihat dari sebaran dan siklus hidup kepiting bakau, dapat dijumpai di
daerah seperti estuaria, daerah hutan bakau dan pada daerah lepas pantai yang
mempunyai subtrat dasar perairan berlumpur (Rattanachote dan Dangwatanakul,
1991).
Hutan bakau bagi kepiting mempunyai fungsi sebagai daerah mencari
makan dan perlindungan sampai hewan tersebut dewasa. Kebiasaan makan
dari kepiting bakau adalah pemakan segala, pemakan bangkai dan pemakan
sesama jenisnya (Prasad et al., 1988). Dengan melihat potensi daerah
2
mangrove yang dapat digunakan sebagai usaha pembesaran kepiting dengan
syarat tanpa merusak mangrove, diantaranya menggabungkan budidaya di
hutan mangrove dengan tambak air payau, salah satunya adalah dengan
sistem silvofishery. Silvofishery merupakan salah satu bentuk pemanfaatan
hutan mangrove yang dikombinasikan dengan komoditas perikanan. Prinsip
dasar Silvofishery adalah perlindungan tanaman mangrove dengan
memberikan hasil dari sektor perikanan, sistem ini mampu menambah
pendapatan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan
mangrove.
Secara alamiah makanan kepiting bakau adalah jenis bangkai ikan dan
sesama jenis (kanibal). Pemberian pakan adalah hal yang mutlak dilakukan
dalam kegiatan budidaya. Afrianto dan Liviawati (1992) sebaiknya pakan
diberikan pada sore hari, sebab kepiting termasuk hewan yang aktif pada
malam hari, akan tapi ada juga beberapa petani yang melakukan pemberian
pakan sebanyak tiga kali yaitu pagi, siang dan sore hari.
Salah satu fakktor penentu keberhasilan budidaya kepiting bakau
adalah ketersediaan pakan. Usaha budidaya kepiting bakau, pada umumnya
masih mencari sistem teknologi dan manajemen pakan yang efektif dan
efisien, dengan frekuensi pemberian pakan masih tidak menentu. Frekuesnsi
pemberian pakan yang tepat sangat penting dilakukan agar mengetahui kapan
waktu yang tepat untuk memberikan pakan sehingga pemberi pakan menjadi
efisien. Namun sampai saat ini belum ada acuan yang baku mengenai
frekuensi pemberian pakan untuk penggemukan kepiting bakau. Frekuensi
pemberian pakan berpengaruh pada ketersediaan pakan, pengambilan, dan
pemanfaatan pakan yang pada akhirnya berpengaruh pada sintasan dan
pertumbuhan kepiting.
3
Oleh sebab itu, penelitian mengenai frekuensi pemberian pakan
terhadap sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau untuk penggemukan yang
dipelihara sistem silvofishery perlu dilakukan.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan frekuensi pemberian
pakan yang tepat terhadap sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau (S.
olivacea) yang dipelihara sistem silvofishery.
Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
informasi dalam menentukan frekuensi pemberian pakan pada budidaya
kepiting bakau yang dipelihara sistem silvofishery. Selain itu sebagai bahan
acuan untuk penelitian selanjutnya.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi
Menurut keenan et al. (1998) kepiting bakau dalam bahasa inggris dikenal
dengan nama Mud Crab yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum
Arthropoda, Kelas : Crustacea, Ordo : Decapoda, Famili : Portunidae, Genus :
Scylilla serrata, S. Tranquebarica, S. Paramamosain, dan S.olivacea
Berdasarkan morfologinya, kepiting bakau jantan seperti terlihat pada Gambar 1 :
a. Kepiting bakau jantan memiliki sepasang capit yang lebih besar bila
dibandingkan dengan capit yang dimiliki kepiting betina.
b. Bagian perut (abdomen) kepiting jantan berbentuk segitiga dan agak
meruncing di bagian ujungnya. Organ kelamin kepiting jantan menempel
pada bagian perut ini (Kanna, 2002).
c. Ruas perut (abdomen) kepiting jantan lebih sempit dari pada kepiting
betina,sedangkan kepiting betina bentuknya cenderung lebih membulat yang
menjadikan ruas-ruas abdomennya lebih lebar (Kordi, 1997).
d.
Gambar 1. Kepiting bakau (S. olivacea) (jantan) (Dokumen Pribadi).
Secara Morfologi kepiting bakau memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
karapas berukuran lebih besar dari pada panjang, panjang karapas kurang lebih
5
pertiga dari lebarnya, permukaan karapas hampir licin kecuali adanya lekuk yang
bergranula halus di daerah branchial. Pada dahi terdapat empat buah gigi
tumpul tidak termasuk duri ruang mata sebelah dalam yang berukuran kurang
lebih sama. Tapi anterior dari karapas bergigi 9 buah, runcing dan kurang lebih
berukuan sama, sudut pasteriolateral melengkung dan pada bagian sambungan
ruasnya sedikit menebal. Cheliped atau kaki yang bercapit pada jantan dewasa
dapat mencapai panjang hampir dua kali panjang karapas, sedangkan pada
betina capitnya lebih pendek. Perut pada kepiting jantan berbentuk segitiga
meruncing sedangkan betina segitiga melebar keenan et al. (1998).
Kepiting bakau merupakan hewan berkulit keras dari kelas Crustacea,
ordo Decaphoda, familia Portunidae dan Genus Scylla. Crustacea merupakan
hewan berkulit keras sehingga pertumbuhannya dicirikan oleh proses ganti kulit
(moulting). Ordo Dechapoda ditandai dengan adanya 10 buah (lima pasang)
kaki, pasangan kaki pertama disebut capit yang berperan sebagai alat
penangkap/pemegang makanan, pasangan kaki kelima berbentuk seperti kipas
(pipih) berfungsi sebagai kaki renang dan pasangan kaki selebihnya sebagai kaki
jalan. Dengan capit dan kaki jalan, kepiting bisa berlari cepat di darat dan
berbekal kaki renang dapat berenang dengan cepat di air sehingga tergolong
Swimming Crab (Portunidae). Genus Scylla ditandai oleh bentuk carapace yang
oval dengan bagian depan memiliki 9 duri pada sisi kiri dan kanan serta 4 duri di
antara kedua matanya. Kepiting bakau memiliki karapas berwarna seperti lumpur
atau sedikit kehijauan, pada kiri kanannya terdapat sembilan buah duri tajam,
dan pada bagian depannya di antara kedua tangkai matanya terdapat enam
buah duri. Dalam keadaan normal capit kanannya lebih besar dari capit kirinya
dengan warna kemerahan pada masing-masing ujung capit. Kepiting bakau
memiliki tiga kaki pejalan dan kaki perenang. Kaki perenangnya terdapat pada
6
bagian ujung perutnya dan ujung kaki kaki perenang ini dilengkapi dengan alat
pendayung (Rangka, 2007).
Silvofishery
Silvofishery merupakan pola pemanfaatan hutan mangrove yang
dikombinasikan dengan dengan tambak/empang (Dewi, 1995 dalam Handayani,
2004). Pola ini dianggap paling cocok untuk pemanfatan hutan mangrove bagi
perikanan saat ini. Dengan pola ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat
ditingkatkan sedangkan hutan mangrove masih tetap terjamin kelestariannya.
Silvofishery atau tambak tumpangsari merupakan suatu bentuk “agroforestry”
yang pertama kali diperkenalkan di Birma dimana bentuk tersebut dirancang agar
masyarakat dapat memanfaatkan hutan bagi kegiatan perikanan tanpa merusak
hutan mangrove. Pada dasarnya prinsip tambak tumpangsari adalah
perlindungan hutan mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan.
Dewi (1995) dalam Handayani (2004) mendefinisikan tambak tumpangsari
sebagai suatu penanaman yang dipakai dalam rangka merehabilitasikan hutan
mangrove. Menggunakan sistem ini dapat diperoleh tiga keuntungan, yaitu :
a. mengurangi besarnya biaya penanaman, karena tanaman pokok
dilaksanakan oleh penggarap
b. meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan dengan hasil
pemeliharaan hutan.
c. menjamin kelestarian hutan mangrove.
Menurut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (2009) awal mula
penggarapan lahan mangrove di Blanakan menjadi daerah pertambakan dimulai
pada tahun 1960-an, hal tersebut dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi
nasional yang cukup parah, sehingga hutan mangrove yang ada digarap tanpa
7
ada pengendalian. Penggarapan hutan mangrove ini membuat sebagian
kawasan mangrove Blanakan berubah menjadi empang budidaya ikan dengan
sistem silvofishery.
Perkembangan Budidaya Kepiting Bakau sistem Sylvofishery adalah
salah satu konsep kuno dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang
mengintegrasikan konservasi mangrove dengan budidaya air payau (Qsoewardi,
1994 dalam Arifin, 2006). Ini adalah bentuk budidaya perikanan berkelanjutan
dengan input yang rendah. Pendekatan terintegrasi ini memungkinkan untuk
mengkonservasi dan memanfaatkan sumberdaya mangrove dengan
mempertahankan keutuhan mangrove yang relatif lebih tinggi dalam area
mangrove, ketika terjadi pembesaran nilai ekonomi pada budidaya air payau.
Sylvofishery mempunyai potensi dalam menangkap beberapa manfaat ekonomi
dari area mangrove dalam kerangka lingkungan yang sensitif dan aktivitas yang
berkelanjutan. Perbaikan dalam pengembalian ekonomik dalam sistem ini akan
menjadi faktor kunci dalam penerimaan metode ini secara luas sebagai aktivitas
yang berlanjut secara ekonomi dalam mangrove.
Adapun tipe-tipe silvofishery yaitu model empang parit dan model
mangrove yang berselang seling, Model empang parit menyajikan tingkatan yang
lebih besar dalam penanaman mangrove atau mempertahankan keberadaan
mangrove dalam area tambak. Adapun model berselang seling untuk
merekomendasikan untuk mepertahankan mangrove dengan rasio maksimum
yang sama, yaitu tiap 2 ha tambak harus dipertahankan 8 ha mangrove
disekeliling tambak tersebut. (Quarto,1999 dalam arifin, 2006)
Menurut Arifin (2006) menyatakan bahwa sistem tambak tidak
mengkonservasi dan mengelola lingkungan alami kepiting bakau, karena tambak
8
dikembangkan dengan membuka bersih area bakau, yang merupakan habitat
alami kepiting bakau. Sistem keramba lebih bersifat ramah lingkungan karena
tidak mengkonversi mangrove dan memungkinkan kepiting hidup dalam
lingkungan alaminya.
Pakan dan Kebiasaan Makan
Kasry (1996) dalam Wijaya (2011), menyatakan bahwa kepiting bakau
termasuk golongan hewan yang aktif pada malam hari (Nokturnal). Kepiting ini
bergerak sepanjang malam untuk mencari pakan bahkan dalam semalam
kepiting ini mampu bergerak mencapai 219 – 910 meter (Moosa et al., 1995
dalam Wijaya,
2011).
Kepiting bakau dewasa termasuk jenis hewan pemakan segala dan
bangkai (Omnivorous scavenger). Pada saat larva, kepiting bakau memakan
planton, dan pada saat juvenile menyukai detritus, sedangkan kepiting dewasa
menyukai ikan, udang, dan molusca terutama kekerangan. Kepiting juga
menyukai potongan daun terutama daun mangrove. Kepiting bakau termasuk
hewan nocturnal, yakni hewan yang aktif di malam hari. Mencari makan di malam
hari dan bersembunyi di lubang-lubang, dibawah batu dan sela-sela akar
bakau di siang hari (Fujaya et al., 2012).
Sintasan
Sintasan adalah persentase dari individu yang bertahan hidup setelah
beberapa waktu. Kelangsungan hidup merupakan persentase populasi
organisme yang hidup tiap periode waktu pemeliharaan tertentu. Kelangsungan
hidup sangat erat kaitanya dengan mortalitas yakni kematian yang terjadi pada
suatu populasi organisme sehingga jumlahnya berkurang (Sagala et al., 2013).
Tingkat kelangsungan hidup kepiting terutama dipengaruhi oleh parameter fisika-
9
kimia air. Pakan yang mencukupi dan tekanan osmotik dari media. Tingkat
kelangsungan hidup yang dihasilkan memberikan gambaran hasil interaksi
antara daya dukung lingkungan dan pakan (Karim, 2007).
Pertumbuhan
Pertumbuhan pada kepiting bakau merupakan pertambahan bobot badan
dan lebar karapaks yang terjadi secara berkala, setelah terjadi pergantian kulit
(Moulting) (Sheen dan Wu 1999, Mayrand et al., 2000 dalam Yasin, 2011).
Selanjutnya Fujaya (2008 dalam Yasin, 2011), menambahkan bahwa kepiting
tidak dapat tumbuh secara linear sebagaimana hewan lain karena kepiting
memiliki cangkang luar yang keras (karapaks) yang tidak dapat tumbuh,
karenanya agar kepiting dapat tumbuh maka, karapaks lama harus diganti
dengan yang baru dan lebih besar. Pertumbuhan pada kepiting bakau dicirikan
oleh perubahan bentuk dan ukuran yang disebabkan perbedaan kecepatan
pertumbuhan dari bagian-bagian tubuh yang berbeda. Menurut Sulaiman dan
Hanafi (1992), besarnya pertumbuhan yang dialami oleh kepiting tergantung
pertambahan lebar dan berat setiap kepiting berganti kulit. Frekuensi ganti kulit
bervariasi dipengaruhi oleh ukuran dan stadia kepiting. Secara umum frekuensi
pergantian kulit lebih sering terjadi pada stadia muda dibandingkan dengan
stadia dewasa.
Kepting Bakau dapat memakan segala jenis ikan rucah (Sulaeman &
Hanafi, 1992; Widjadmiko & Dharmadi in Trino Herlina et al (2010). Menurut
Kuntiyo in Trino et al (2001), laju pertumbuhan spesifik kepiting bakau yang diberi
pakan pelet udang dapat menyamai laju pertumbuhan kepiting yang diberi pakan
ikan rucah .Hasil penelitian Herlina et al. (2010) menunjukkan bahwa pemberian
pakan ikan rucah dengan pelet untuk pembesaran kepiting bakau memberikan
pertumbuhan yang terbaik dibandingkan dengan pakan yang hanya berupa pelet,
10
dan tidak berbeda nyata dari penggunaan pakan ikan rucah. Penelitian Muchlisin
et al. (2006) menunjukkan hasil yang sama, yaitu pakan ikan rucah memberikan
hasil yang terbaik untuk pembesaran kepiting bakau
Menurut Karim (2013), ada dua faktor yang mempengaruhi kecepatan
pertumbuhan kepiting yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi
ukuran jenis kelamin dan kelengkapan anggota tubuh, sedangkan faktor luar
yaitu ketersediaan pakan, suhu dan salinitas. Pada umumnya pertumbuhan
kepiting bakau tergantung pada energi yang tersedia, bagaimana energi tersebut
digunakan dalam tubuh dan pertumbuhan hanya akan terjadi apabila terdapat
kelebihan energi setelah kebutuhan energi terpenuhi.
Kualitas Air
Pada umumnya air merupakan komponen penting dalam kegiatan dalam
kegiatan budidaya, karena air akan berpengaruh langsung terhadap kondisi
fisiologis kultivan atau ikan baikdari segi pertumbuhan ikan. Dengan demikian,
agar air dalam kegiatan budidaya tetap baik dan terjaga kualitasnya, maka perlu
dilakukan manajemen kualitas air yang terdiri atas suhu, kandungan oksigen, pH,
salinitas dan amoniak. Salinitas merupakan konsentrasi total dari semua ion yang
larut dalam air, dan dinyatakan dalam bagian perseribu (ppt) yang setara dengan
gram per liter. Salinitas dapa mempengaruhi aktivitas fisiologis kepiting bakau.
Dalam hubungannya dangan salinitas, kepiting bakau termasuk organisme
akuatik euryhaline yaitu mampu hidup pada rentan salinitas yang lebar. Salinitas
yang masih dapat ditolerin kepting bakau yaitu 1 sampai 42 ppt (Karim, 2013).
Suhu merupakan faktor abiotik penting yang mempengaruhi aktivitas,
nafsu makan, konsumsi oksigen, laju metabolisme, kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan molting krustase (Kumlu dan Kir, 2005). Diantara faktor-faktor
11
lingkungan, suhu merupakan faktor yang paling berpengaruh pada pertumbuhan
dan molting. Perairan yang yang mempunyai suhu tinggi cenderung akan
meningkatkan pertumbuhan dan memperpendek masa interval molting
krustasea. Menurut Kuntiyo et al. (1994) suhu yang optimum untuk pertumbuha
kepiting bakau adalah 26-32oC.
Boyd (1990) mengemukakan bahwa pH yang didefenisikan sebagai
logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen (H+), merupakan indikator
keasaman serta kebebasan air. Menurut kuntiyo et al. (1994) dan Chistensen et
al. (2005) agar pertumbuhan maksimal, kepiting bakau sebaiknya dibudidayakan
pada media dengan pH berkisar 7,5-8,5.
Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat
esensial yang mempengaruhi proses fisiologis organisme akuatik (Warner,
1977); Cheng et al., 2003) Secara umum kandungan oksigen terlarut rendah (<3
ppm) akan menyebabkan nafsu makan organisme dan tingkat pemanfaatan
rendah, berpengaruh pada tingkah laku dan proses fisiologis seperti tingkat
kelangsungan hidup, pernafasan, sirkulasi, makan, metabolisme, molting, dan
pertumbuhan krustasea (Karim, 2005)
Amoniak dalam media budidaya dapat berasal dari buangan bahan
organik yang mengandung senyawa nitrogen seperti protein maupun sebagai
hasil eksresi. Kepiting bakau dapat hidup dangan baik dengan konsentrasi
amoniak tidak lebih dari 0.1 ppm (Kuntiyo et al., 1994).
12
III. METODE PENELITIAN
Waktu Dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2017 di
kawasan mangrove pesisir Desa Mandalle, Kecamatan Mandalle, Kabupaten
Pangkep.
Materi Penelitian
Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan adalah kepiting bakau (S. olivacea) jantan
dengan bobot rata-rata (200,19 ± 0,42 g/ekor) yang ditebar dengan kepadatan 10
ekor/kurungan. Kepiting bakau tersebut diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di
Kabupaten Pangkep.
Wadah Penelitian
Wadah yang digunakan adalah kurungan yang terbuat dari bambu
berukuran panjang, lebar, dan tinggi masing-masing 1,0 x 1,0 x 1,0 m. yang
ditempatkan di kawasan mangove (Gambar 2).
Gambar 2. Wadah pemeliharaan
13
Pakan Uji
Pakan yang digunakan adalah ikan rucah berupa cincangan ikan mujair
dengan dosis 10% dari biomassa kepiting. Ikan rucah tersebut diperoleh dari
hasil tangkapan nelayan di sekitar lokasi penelitian.
Prosedur Penelitian
Penelitian didahului dengan persiapan yang meliputi: penyediaan bahan
dan peralatan penelitian antara lain bambu, balok dan gergaji, pembuatan
kurungan, pemasangan kurungan di kawasan mangrove, dan pengadaan
kepiting. Mula-mula bambu dibersihkan kemudian dipotong dan dibelah-belah
menjadi beberapa bagian berukuran 4 cm. Belahan-belahan bambu dirangkai
secara teratur sehingga berbentuk keramba, selanjutnya dilekatkan dengan cara
memaku pada rangka kurungan yang terbuat dari balok kayu.
Untuk menjaga agar sirkulasi air pada kurungan berjalan lancar maka
antara belahan bambu yang satu dengan yang lainnya diberi jarak sekitar 1 cm.
Unuk memudahkan pemberian pakan dan pengontrolan kepiting pada bagian
atas kurungan diberi pintu yang dapat dibuka setiap saat. Pada bagian luar
kurungan dilapisi waring yang bertujuan untuk melindungi kurungan dari
sampah-sampah dan kotoran lainnya.
Sebelum kepiting uji ditebar terlebih dahulu diseleksi bobotnya dan
diadaptasikan dengan kondisi lingkungan pemeliharaan selama 2 hari.
Pengadaptasian dilakukan dengan cara merendam kepiting kedalam air di sekitar
kurungan. Penimbangan bobot awal juga dilakukan sebelum ditebar dengan
menggunakan timbangan duduk berketelitian 10 g.
Selama penelitian berlangsung kepiting uji diberi berupa ikan-ikan rucah
sesuai perlakuan. Untuk mengetahui kualitas air lingkungan pemeliharaan,
14
selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran beberapa parameter fisika
kimia lingkungan pemeliharaan kepiting.
Pada akhir penelitian dilakukan perhitungan jumlah kepiting yang hidup
dan penimbangan bobot tubuh.
Perlakuan Rancangan Percobaan
Penelitian dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yang terdiri atas 4 perlakuan dan setiap perlakuan memiliki 3 ulangan.
Dengan demikian, penelitian ini terdiri atas 12 satuan percobaan. Adapun
perlakuan yang diujikan yaitu perbedaan frekuensi pemberian pakan yaitu:
A. 2 x sehari
B. 1 x sehari
C. 1 x 2 hari
D. 1 x 3 hari
Penempatan wadah-wadah penelitian tersebut dilakukan secara acak
berdasarkan pola rancangan acak lengkap (Steel dan Torrie, 1993). Adapun tata
letak wadah-wadah percobaan setelah pengacakan disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Tata letak wadah percobaan setelah pengacakan
C1
D1
D3
A3
A1
D2
A2
B1
B3
C2
C3
B2
15
Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
Sintasan
Sintasan kepiting bakau pada akhir penelitian dihitung menggunakan
rumus Effendie (2003) sebagai berikut:
Nt S = x 100 No
Keterangan :
S = Sintasan (%); Nt = Jumlah kepiting yang hidup pada akhir penelitian (ekor). No = Jumlah kepiting yang hidup pada awal penelitian (ekor).
Pertumbuhan
Laju pertumbuhan harian kepiting bakau dihitung berdasarkan rumus
(Changbo et al., 2004) sebagai berikut:
In Wt – In Wo SGR = x 100 T
Keterangan : SGR = laju pertumbuhan harian (%/hari) Wt = Bobot rata-rata kepiting pada akhir penelitian (g) Wo = Bobot rata-rata kepiting uji pada awal penelitian (g)
t = Waktu penelitan hari
Fisika Kimia Air
Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran beberapa
parameter kualitas air meliputi: suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, dan amoniak.
Suhu diukur menggunakan termometer, salinitas dengan handrefraktometer, pH
dengan pH meter, oksigen terlarut dengan DO meter, dan amoniak dengan
16
spektrofotometer. Suhu, salinitas, pH, dan DO diukur 2 kali dalam sehari yakni
pagi hari (pukul 07.00 WITA) dan sore hari (pukul 17.00 WITA). Adapun amoniak
diukur 3 kali selama penelitian yakni pada awal, pertengahan, dan akhir
penelitian
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam
(ANOVA). Apabila terdapat pengaruh yang nyata dilanjutkan dengan uji lanjut
W-Tuckey. Sebagai alat bantu untuk uji statistik tersebut digunakan paket
program SPSS versi 22,0. Adapun parameter fisika kimia air dianalisis secara
deskriptif berdasarkan kelayakan hidup kepiting bakau.
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sintasan
Sintasan sangat erat kaitanya dengan mortalitas yakni kematian yang terjadi
pada suatu populasi organisme sehingga jumlahnya berkurang. Menurut Boer
(2000), kelangsungan hidup merupakan persentase populasi organisme yang
hidup tiap periode waktu pemeliharaan tertentu.
Sintasan kepiting bakau (S.olivacea) yang dipelihara sistem silvofishery
dengan frekuensi pemberian pakan berbeda disajikan pada Lampiran 1,
sedangkan nilai rata-ratanya disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata sintasan kepiting bakau (S. olivacea) yang dipelihara sistem silvofishery dengan frekuensi pemberian pakan berbeda
Frekuensi Pemerian Pakan Sintasan (%) ± SD
A 2 kali sehari 96,67 ± 5,77a
B 1 kali sehari 96,67 ± 11,55a
C 1 kali 2 hari 93,33 ± 11,55a
D 1 kali 3 hari 76,67 ± 5,77b
Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan
Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa frekuensi pemberian pakan
berpengaruh sangat nyata pada sintasan (Lampiran 2). Selanjutnya hasil uji
lanjut W-Tuckey (Lampiran 3) memperlihatkan bahwa antara perlakuan frekuensi
pemberian pakan 2 kali sehari, 1 kali sehari, dan 1 kali 2 hari tidak
memperlihatkan perbedaan yang nyata (p > 0,05) pada sintasan kepiting bakau
yang dipelihara sistem silvofishery, akan tetapi berbeda nyata dengan frekuensi
pemberian pakan 1 kali 3 hari (p < 0,05).
Berdasarkan Tabel 1 di atas terlihat bahwa sintasan kepiting bakau
tertinggi dihasilkan pada frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari, 1 kali sehari,
18
dan 1 kali 2 hari, sedangkan terendah pada kepiting yang diberi pakan 1 kali 3
hari. Rata-rata Sintasan yang dicapai pada perlakuan 2 kali sehari adalah (96,67
%), perlakuan 1 kali sehari (96,67%), perlakuan 1 kali 2 hari (93,33%) dan
perlakuan 1 kali 3 hari (76,67%). Hal ini menggambarkan bahwa untuk efisiensi
pemberian pakan pada penggemukan kepiting bakau cukup 1 kali dalam sehari
atau 1 kali dalam 2 hari.
Secara umum nilai sintasan yang diperoleh pada penelitian ini berkisar
76,67-96,67%. Beberapa hasil penelitian tentang penggemukan kepiting bakau
dilakukan di tambak antara lain oleh Trino dan Rodrigues (2001) memperoleh
sintasan 47-56%, sedangkan Begum et al., (2009) memperoleh sintasan 86,25-
93,75%. Sementara itu penelitian tentang penggemukan kepiting bakau pola
silvofishery telah dilakukan mengunakan cages dan pens memperoleh sintasan
31,3-53,2% (David, 2009), Mirera dan Mtile (2009) 35,0-61,5%, sedangkan Karim
et al. (2015) memperoleh sintasan 61,67-93,33% yang dipelihara sistem
silvofishery sistem monosex dengan kepadatan berbeda.
Sintasan terendah diperoleh kepiting yang diberi pakan dengan frekuensi
1 kali dalam 3 hari. Hal ini disebabkan pemberian pakan berikutnya dalam
waktu 3 hari menyebabkan pakan yang ada menjadi rusak atau hancur sehingga
terbawa oleh pergerakan air. Selain itu terjadinya persaingan oleh organisme
mikro seperti bakteri ataupun organisme lainnya yang masuk melalui celah-
celah kurungan.
19
Pertumbuhan
Pertumbuhan kepiting bakau yang dipelihara sistem silvofishery dengan
frekuensi pemberian pakan yang berbeda disajikan pada Lampiran 4 sedangkan
nilai rata- rata nya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Laju pertumbuhan kepiting bakau (Scylla olivacea) yang dipelihara sistem silvofishery dengan frekuensi pemberian pakan berbeda
Frekuensi Pemberian Pakan Laju Pertumbuhan Harian (%/hari)
A 2 kali sehari 1,05 ± 0,02a
B 1 kali sehari 1,04 ± 0,02a
C 1 kali 2 hari 0,99 ± 0,03a
D 1 kali 3 hari 0,67 ± 0,00b
Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan
Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa frekuensi pemberian pakan
berpengaruh sangat nyata pada laju pertumbuhan (Lampiran 5). Selanjutnya
hasil uji lanjut W-Tuckey (Lampiran 6) memperlihatkan bahwa antara perlakuan
frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari, 1 kali sehari, dan 1 kali 2 hari tidak
memperlihatkan perbedaan yang nyata (p > 0,05) pada pertumbuhan kepiting
bakau yang dipelihara sistem silvofishery, akan tetapi berbeda nyata dengan
frekuensi pemberian pakan 1 kali 3 hari (p < 0,05).
Berdasarkan Tabel 2 juga terlihat bahwa laju pertumbuhan harian kepiting
bakau tertinggi pada kepiting yang diberi pakan dengan frekuensi pemberian 2
kali sehari, 1 kali sehari, dan 1 kali 2 hari, sedangkan terendah pada kepiting
yang diberi pakan 1 kali 3 hari. Rata-rata laju pertumbuhan haruian kepiting
bakau yang dicapai pada perlakuan 2 kali sehari adalah (1,05%), perlakuan 1 kali
sehari (1,04%), perlakuan 1 kali 2 hari (0,99%) dan perlakuan 1 kali 3 hari
20
(0,67%). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan kepiting bakau dipengaruhi
oleh frekuensi pemberian pakan. Frekuensi pemberian pakan yang sering akan
menyebabkan tersedianya pakan setiap saat sehingga kepiting dapat
memanfaatkan pakan tersebut sesuai kebutuhannya. Akan tetapi apabila
frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari yakni pagi dan sore hari mengahsilkan
pertumbuhan kepiting yang sama dengan 1 kali dalam 1 sampai 2 hari, maka
untuk efisiensi waktu pemberian pakan cukup 1 kali dalam 2 hari. Pemberian
pakan sebaiknya dilakukan pada sore hari mengingat aktivitas makan kepiting
meningkat pada malam hari.
Tingginya laju pertumbuhan kepiting bakau pada pemberian pakan 2 kali
sehari dan 1 kali 2 hari sehari diduga karena jumlah pemberian pakan sebesar
10% sudah mencukupi untuk pertumbuhan optimal. Hal isi sesuai sesuai dengan
penelitian Agus (2008) yang mengatakan bahwa dosis pemberian pakan sebesar
10%/BB/hr sudah mencukupi kebutuhan energi untuk pertumbuhan. Pemberian
pakan 1 kali 2 hari mencapai pertumbuhan optimal yang lebih cepat
dibandingkan pemberian pakan 1 kali 3 hari. Hal ini diduga karena pada
perlakuan pemberian pakan 1 kali 3 hari tingkat stres kepiting lebih tinggi
dibandingkan perlakuan pemberian 1 kali 2 hari dan 2 kali sehari, karena tingkat
pengosongan lambung lebih lama dengan tingkat stress. Suarsito (2005)
mengatakan bahwa ikan karnivora akan menimbun lemak lebih banyak dengan
tujuan untuk cadangan protein dalam pertumbuhan selama tidak ada makanan.
Nilai laju pertumbuhan harian kepiting bakau yang diperoleh pada
penelitian ini berkisar 0,67-1,05%/hari. Trino dan Rodriguez (2001)
mendapatkan laju pertumbuhan kepiting bakau sebesar 0,9%/hari, sedangkan
David (2009) mendapatkan1,3 dan 0,7%/hari yang dipelihara dengan
menggunakan cage dan pens.
21
Kualitas Air
Air merupakan media yang paling vital bagi kehidupan kepiting. Di dalam
budidaya kepiting, kualitas air yang memenuhi syarat merupakan salah satu
kunci keberhasilan budidaya penggemukan kepiting tersebut. Oleh sebab itu,
sejak pemilihan lokasi, kondisi lingkungan dan kualitas air sudah merupakan
salah satu yang dijadikan ukuran untuk menilai layak tidaknya suatu perairan
atau sumber air digunakan untuk budi daya kepiting dengan wadah tertentu.
Kisaran nilai kualitas air lingkungan pemeliharaan selama penelitian dapat
dilihat pada Tabel 3 berikut :
Tabel 3. Kisaran data pengukuran kualitas air lingkungan pemeliharaan selama penelitian
Parameter Nilai Kisaran Optimal
Suhu (oC) 25 – 30 26-32C (Kumlu dan Kir, 2005)
Salinitas (ppt) 23 – 27 16-34 ppt (Karim, 2013)
DO (PPM) 3,62 - 4,39 >3 ppm (Kuntiyo et al., 1993)
pH 7,11 - 7,93 7,2-7,8 (Fujaya et al., 2012)
Amonia (ppm) 0,005 - 0,009 <0,1 ppm (Kir et al., 2004)
Tabel 3 menunjukkan bahwa kisaran kualitas air selama pemeliharaan
berada pada kisaran yang optimal. Selama pemeliharaan berlangsung suhu
tercatat antara 25-30 OC. Menurut (Kumlu dan Kir 2005 dalam Rusdi dan Karim
2006), kisaran suhu yang optimum untuk kepiting bakau adalah 26-32OC. Suhu
merupakan faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan.
Salinitas selama penelitian berkisar 23–27 ppt. Menurut kuntiyo et al.
(1994); Karim (2013) salinitas yang layak untuk budidaya budidaya kepiting
bakau berkisar 15-30 ppt.
Nilai oksigen terlarut selama penelitian berkisar 3,62 hingga 4,39 ppm.
Keperluan organisme terhadap oksigen bervariasi tergantung pada jenis, stadia
22
dan aktivitasnya (Wardoyo, 1981). Menurut Kuntiyo et al (1993) oksigen terlarut
yang memenuhi persyaratan untuk budidaya kepiting adalah lebih dari 3 ppm.
Nilai pH selama penelitian berkisar 7,11-7,93. Menurut Fujaya et al (2012)
nilai pH air yang ideal bagi kepiting berkisar antara 7,2-7,8. Karim (2013)
mengemukakan bahwa nilai pH ini penting untuk dipertimbangkan, karena dapat
mempengaruhi proses dan kecepatan reaksi kimia di dalam air serta reaksi
biokimia di dalam tubuh kepiting bakau.
Adapun kandungan amoniak selama penelitian berlangsung 0,005-0,009
ppm. Nilai kisaran amoniak tersebut masih layak bagi kehidupan kepiting bakau.
Selanjutnya Kuntyo et al. (1994) mengemukakan bahwa agar pertumbuhan
kepiting maksimal maka kandungan amoniak < 0,1 ppm.
23
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan. Sintasan dan
pertumbuhan tertinggi kepiting bakau dihasilkan pada perlakuan 2 kali, 1 kali
sehari dan 1 kali 2 hari masing-masing 96,67%, 96,67%, dan 96,33% dan
pertumbuhan 1,05, 1,04, dan 0,99%/hari, sedangkan sintasan dan pertumbuhan
harian terendah di lihat pada frekuensi pemberian pakan 1 kali 3 kali hari yaitu
76,67% dan 0,67%/hari.
Saran
Budidaya penggemukan kepiting bakau yang dipelihara pada kawasan
sistem silvofishery disarankan frekuensi pemberian pakan cukup 1 kali dalam 2
hari sangat baik untuk sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau.
24
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Z. 2006. Carring Capacity Assessment on Mangrove Forest with Special
Emphasize on mud crab Sylvofishery Sytem: A Case Studi in Tanjung Jabung Timur District Jambi Province. Thesis. Post Graduate schoo. Bogor Agricultural University, Bogor.
Begum, M., M. M. R. Shah, A.A. Mamun and M. J. Alam. 2009. Comparative Study of Mud Crab (Scylla serrata) Fattening Practices Between Two Different Systems in Bangladesh. J. Bangladesh Agril. Univ. 7(1): 151–156.
Boer, 2000. Studi Pendahuluan Penyakit Kunang-kunang pada kepiting Bakau (Scylla serrata). Jurnal Penelitian Budidaya Pantai.
Boyd, C. E. 1990. Water Quality in Ponds For Aquaculture. Birmingham
Publishing Co., Alabama.
Cheng W, Liu CH, Kuo CM. 2003. Effect of Dissolved Oxygen on Hemolymph Parameters of Freshwater Giant Prawn Macrobrachium rosenbergii (de Man). Aquaculture, 220: 843-856.
Christensen, S. M., D. J. Macintoch and N. T. Phoung. 2005. Pond Production of the Mud Crab Scylla paramamosain (Estampodar) and S. olivacea (Herbts) in The Mekong Delta, Vietnam, Using Two Different Supplementary diets. Aqua. Res., 35: 1013-1024.
David, M. H. O. 2009. Mud Crab (Scylla serrata) Culture: Understanding the Technology in a Silvofisheries Perspective. Western Indian Ocean J. Mar. Sci. Vol. 8 (1): 127-137.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta.
Fujaya Y. S. Aslamyah, L. Fudjaja, dan N. Alam. 2012. Budidaya dan Bisnis
Kepiting Lunak Stimulasi Molting dengan Ekstrak Bayam. Brilian Internasional. Surabaya
Fujaya, Y. 2008. Kepiting Komersil Di Dunia (Biologi, Pemanfaatan, dan Pengelolaannya). Citra Emlusi. Makassar
Fujaya, Y. E. Suryanti, E. Nurcahyono, dan N. Alam. 2008. Titer Ekdisteriod Hemolimph dan Ciri Morfologi rajungan (Furtunus pelegicus) Selama Fase Molting dan Reproduksi. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. 18 (3) : 266-274.
Herlinah, Sulaiman & A Tenriulo. 2010. Pembesaran kepiting bakau (Scylla
serrata) di tambak dengan pemberian pakan berbeda Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur.p. 169-174.
25
Jayanti. 2010. Pengaruh frekuensi terhadap pertumbuhan kepiting bakau (Scylla Paramamosain). Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga. http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile /4539828306_abs. pdf [20 Juni 2012]..
Kanna, I. 2002. Budi Daya Kepiting Bakau Pembesaran dan Pembenihan. Kanisius. Yogyakarta. 80 hlm.
Karim M. Y. Rusdi I.,2006. Salinitas Optimum bagi Sintasan dan Pertumbuhan Crablet Kepiting Bakau (Scylla paramamosain). Sains & Teknologi, Vol.6 No.3 : 149-157. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Makasar.
Karim, M. Y. 2013. Kepiting Bakau (Bioekologi, Budidaya dan Pembenihannya). Penerbit Yarsif Watanpone, Jakarta.
Karim. M. Y. 2007. Pengaruh Osmotik pada Berbagai Tingkat Salinitas Media terhadap Vitalitas Kepiting Bakau (Scylla olivacea)Betina. Jurnal Protein. 14(1): 65-72.
Kasry. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Bhratara. Jakarta.
Keenan, C.P., P.J.F. Davie., and D.L Mann. 1998. A Revision of the Genus Scylla serrata de Haan (Crustacea : Decapoda : Branchyura : Portunidae). The Raffles Buletin of Zoology, 46 (1) : 217 - 245.
Kordi K. 2007. Budidaya Kepiting Bakau (Pembenihan, Pembesaran, dan Penggemukan). Aneka Ilmu. Semarang.
Kumlu, M. Kir. 2005. Food Consumption, Moulting, and Survival of Penaeus semiculatus During Over-Wintering. Aqua.Res., 366:137:143
Kuntiyo, A. Zainal, dan Supratno . 1993. Pedoman budidaya Kepiting Bakau
(Scylla serrata) Di Tambak Balai Budidaya Air Payau. Jepara. Kuntiyo, Arifin Z, Supratomo T. 1994. Pedoman Budidaya Kepiting Bakau (Scylla
serrata) di tambak. Direktorat Jenderal Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara.
Mirera, D.O. and M. Mtile. 2009. A Preliminary Study on The Response of Mangrove Mud Crab (Scylla serrata) to Different Feed Types Under Drive-in Cage Culture System. Journal of Ecology and Natural Environment Vol. 1(1): 7-14.
Moosa, M.K, I. Aswandy dan A. Kasry. 1985. Kepiting Bakau, Scylla serrata Muchilisin AZ, E Rusdi, Muhammad & I Setiawan 2006. Pengaruh perbedaan
spesies pakan dan ransum harian terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau. Ilmu Kelautan, 11(4): 227-233.
26
Prasad, P.N., Sudharshana, R. And Noelakata, B. 1988. Feeding ecology of mud crab (Scylla serrata) from Sankari Brackhiswater. J. Bombay Not. Hist. Soc, 85 (1): 79 – 89.
Rangka, N.A.2007. Status usaha kepiting bakau ditinjau dari aspek peluang dan
prospeknya. Jurnal Neptunus,14(1):90-100. Sagala. L. S. M. Idris, dan M. N. Ibrahim. 2013. Perbandingan Pertumbuhan
Kepiting Bakau (Scylla serrata) Jantan dan Betina Pada Metode Kurungan Dasar. Jurnal Mina Laut Indonesia. 12(3): 46-58.
Sheen, S.S. and S.W. Wu. 1999. The effect of dietary lipid levels on the growth
response of juvenil mud crab Scylla serrata. Aquaculture 175: 143–153. Silvofishery. Com. 2001 . Budidaya Kepiting Bakau Pola Silvofishery. Diakses 29
Juni 2017
Steel, R. G. D. Dan J. H. Torrie., 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika (Pendekatan Biometrik) Penerjemah B. Sumatri.
Sulaiman & Hanafi, 1992. Pengaruh pemotongan tangkai mata terhadap kematangan gonad dan pertumbuhan kepiting bakau (Scylla serrata). J. Pen. Budidaya Pantai, 8(4): 55-62.
Tim Peneliti Balitbang Jawa Tengah. 2005. Pembuatan Demplot Budidaya
Kepiting Soft Cell sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat Pesisir.
Trino, A.T. and E.M. Rodriguez. 2002. Pen culture of mud crab Scylla serrata in tidal flats reforested with mangrove trees. Aquaculture 211: 125-134.
Wardoyo, S.T.H.1981. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian Dan Perikanan. Training Analisis Dampak Lingkungan. IPB. Bogor.
Warner, G.F. 1977. The Biology of Crabs. London: Elek Science. Yasin H. 2011. Pengaruh pemberian berbagai kadar karbohidrat dan lemak
pakan bervitamolt terhadap efisiensi pakan dan pertumbuhan kepiting bakau (Scylla sp.). Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan perikanan Jurusan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. 19 pp.
27
Lampiran 1. Sintasan kepiting bakau (Scylla olivacea) yang dipelihara sistem silvofishery dengan frekuensi pemberian pakan berbeda
Frekuensi pemberian pakan Nt N0 SR (%)
2 kali sehari (1)
10 9 90
2 kali sehari (2)
10 10 100
2 kali sehari (3) 10 10 100 Rataan
96,67± 5,77
1 kali sehari (1) 10 10 100
1 kali sehari (2) 10 9 90
1 kali sehari (3) 10 10 100 Rataan
96,67±5,77
1 kali 2 hari (1) 10 9 90
1 kali 2 hari (2) 10 10 100 1 kali 2 hari (3) 10 9 90
Rataan
93,33±11,77
1 kali 3 hari (1) 10 8 80
1 kali 3 hari (2) 10 8 80 1 kali 3 hari (3) 10 7 70
Rataan 76,67±5,77 Lampiran 2. Hasil analisis ragam sintasan kepiting bakau (Scylla olivacea) yang
dipelihara sistem silvofishery dengan frekuensi pemberian pakan berbeda
Sumber keragaman
JK db KT F Sig.
Perlakuan 825,000 3 275,000 8,250** 0,008 Galat 266,667 8 33,333 Total 1091,667 11
Keterangan : Berpengaruh sangat nyata (p < 0,01)
28
Lampiran 3. Uji lanjut W-Tuckey sintasan kepiting bakau yang dipelihara sistem silvofishery dengan frekuensi pemberian pakan berbeda
(I)
Perlakuan (J)
Perlakuan Selisih
(I-J) Std. Error
Sig. 95% Convidence Interval Lower Bound Upper Bound
2 x sehari 1 x sehari 0,00000 4,71405 1,000 -15,0960 15,0960 1 x 2 hari 3,33333 4,71405 0,892 -11,7627 18,4294 1 x 3 hari 20,00000* 4,71405 0,012 4,9040 35,0960
1 x sehari 2 x sehari 0,00000 4,71405 1,000 -15,0960 15,0960 1 x 2 hari 3,33333 4,71405 0,892 -11,7627 18,4294 1 x 3 hari 20,00000* 4,71405 0,012 4,9040 35,0960
1 x 2 hari 2 x sehari -3,33333 4,71405 0,892 -18,4294 11,7627 1 x sehari -3,33333 4,71405 0,892 -18,4294 11,7627 1 x 3 hari 16,66667* 4,71405 0,031 1,5706 31,7627
1 x 3 hari 2 x sehari -20,00000* 4,71405 0,012 -35,0960 -4,9040 1 x sehari -20,00000* 4,71405 0,012 -35,0960 -4,9040 1 x 2 hari -16,66667* 4,71405 0,031 -31,7627 -1,5706
Keterangan : * Berpengaruh nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05) Lampiran 4. Laju pertumbuhan harian kepiting bakau yang dipelihara sistem
silvofishery dengan frekuensi pemberian pakan berbeda Frekuensi Pemberian
Pakan
Bobot Awal (g)
Bobot Akhir (g)
Laju Pertumbuhan Harian (%/hari)
2 kali sehari (1) 201,10 251,44 1,06 2 kali sehari (2) 200,60 250,60 1,06 2 kali sehari (3) 200,30 248,33 1,02 Rataan 200,7 ± 0,40 280,67 ± 2,08 1,05 ± 0,02 1 kali sehari (1) 200,40 248,40 1,02 1 kali sehari (2) 200,50 248, 55 1,02 1 kali sehari (3) 200,20 250,20 1,06 Rataan 200,37 ± 0,15 249,05 ± 0,99 1,04 ± 0,02 991 kali 2 hari (1) 200,00 245,00 0,98 1 kali 2 hari (2) 200,00 242,00 0,99 1 kali 2 hari (3) 200,10 241,89 0,99 Rataan 200,03 ± 0,06 242,96 ± 1,76 0,99 ± 0,03 1 kali 3 hari (1) 199,60 229,62 0,67 1 kali 3 hari (2) 199,70 229,75 0,67 1 kali 3 hari (3) 199,80 229,86 0,67 Rataan 250,33 ± 1,53 229,74 ± 0,12 0,67 ± 0,00
29
Lampiran 5. Hasil analisis ragam laju pertumbuhan spesifik harian kepiting bakau yang dipelihara sistem silvofishery dengan frekuensi pemberian pakan berbeda
Sumber keragaman
JK db KT F Sig.
Perlakuan 321,139 3 107,046 152,444** 0,000 Galat 5,618 8 0,702 Total 326,757 11
Keterangan : Berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) Lampiran 6 Uji lanjut W-Tuckey Laju Pertumbuhan spesifik harian yang dipelihara
pola silvofishery
(I) Perlakuan
(J) Perlakuan
Selisih (I-J)
Std. Error
Sig. 95% Convidence Interval Lower Bound Upper Bound
2 x sehari 1 x sehari 0,98333 0,68420 0,513 -1,2077 3,1744 1 x 2 hari 3,54667* 0,68420 0,004 1,3556 5,7377 1 x 3 hari 13,07667* 0,68420 0,000 10,8856 15,2677
1 x sehari 2 x sehari -0,98333 0,68420 0,513 -3,1744 1,2077 1 x 2 hari 2,56333* 0,68420 0,023 0,3723 4,7544 1 x 3 hari 12,09333* 0,68420 0,000 9,9023 14,2844
1 x 2 hari 2 x sehari -3,54667* 0,68420 0,004 -5,7377 -1,3556 1 x sehari -2,56333* 0,68420 0,023 -4,7544 -0,3723 1 x 3 hari 9,53000* 0,68420 0,000 7,3389 11,7211
1 x 3 hari 2 x sehari -13,07667* 0,68420 0,000 -15,2677 -10,8856 1 x sehari -12,09333* 0,68420 0,000 -14,2844 -9,9023 1 x 2 hari -9,53000* 0,68420 0,000 -11,7211 -7,3389
Keterangan : * Berpengaruh nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)
30
Lampiran 7. Foto-foto penelitian
Pembuatan Wadah Peneliitian
Penempatan Wadah Penelitian
31
Pemasangan Jaring
Memberi Tanda Kepiting
32
Penebaran Kepiting
Pemberian Pakan
33
Penimbangan Kepiting Bakau
Panen