pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap …

47
PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP SINTASAN DAN PERTUMBUHAN KEPITING BAKAU (Scylla olivacea) YANG DIPELIHARA SISTEM SILVOFISHERY OLEH FACHRUDDIN L221 12 002 PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN DEPARTEMEN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017 SKRIPSI

Upload: others

Post on 20-Mar-2022

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP SINTASAN DAN PERTUMBUHAN KEPITING BAKAU

(Scylla olivacea) YANG DIPELIHARA SISTEM SILVOFISHERY

OLEH

FACHRUDDIN L221 12 002

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN DEPARTEMEN PERIKANAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

SKRIPSI

Page 2: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP SINTASAN DAN PERTUMBUHAN KEPITING BAKAU

(Scylla olivacea) YANG DIPELIHARA SISTEM SILVOFISHERY

Oleh: FACHRUDDIN L 221 12 002

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

DEPARTEMEN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2017

Page 3: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan Terhadap Sintasan Dan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla olivacea) yang Dipelihara Sistem Silvofishery

Nama : Fachruddin

Stambuk : L221 12 002

Departemen : Perikanan

Fakultas : Ilmu Kelautan Dan Perikanan

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh:

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Prof. Dr. Ir. Muh. Yusri Karim, M. Si Dr. Ir Hasni Yulianti Azis, MP NIP. 196501081991031002 NIP. 196909011993032003

Mengetahui:

Dekan Ketua Program Studi Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Budidaya Perairan

Dr. Ir. St. Aisjah Farhum, M.Si Dr. Ir. Siti Aslamyah, MP NIP. 196906051993032002 NIP. 196909011993032003

Tanggal Pengesahan : Makassar, November 2017

Page 4: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Penatoi, Kota Bima, Privinsi Nusa

Tenggara Barat (NTB). Lahir pada tanggal 20

Februari 1994 dan di beri nama FACHRUDDIN oleh

Ayahanda Muhammad saleh dan Salmah, sebagai

anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis memulai

jenjang pendidikan di SDN INPRES PENATOI

sekarang berganti nama menjadi SDN 40 KOTA

BIMA pada tahub 2000-2006. Pada tahun 2009

penulis menamatkan sekolah di SMP NEGERI 1 KOTA BIMA. Kemudian

dilanjutkan ke SMA NEGERI 2 KOTA BIMA hingga tamat tahun 2012. Ditahun

yang sama penulis diterima sebagai Mahasiswa di Universitas Hasanuddin,

Makassar, di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Departemen Perikanan,

Program Studi Budidaya Perairan. Dalam menjalani aktifitas sebagai mahasiswa,

penulis pernah aktif dalam organisasi kampus yakni pengurus Himpunan

Mahasiswa Jurusan (HMJ), Kordinartor Humas Majelis Pertimbangan Himpunan

(MPH), Pengurus LDF Lingkar Kajian Islam Bahari (LIKIB), Staf Unit Mobil dan

Perahu Karet di SAR UNHAS dan organisasi ekstra kampus pengurus Aquatic

Study Club of Makassar.

Page 5: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

ABSTRAK FACHRUDDIN. L22112002. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan Terhadap Sintasan dan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla olivacea) yang Dipelihara Sistem Silvofishery. Di bawah bimbingan Muh. Yusri Karim dan Hasni Yulianti Azis.

Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi dan banyak mendapat permintaan dari pasaran lokal, regional maupun mancanegara. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan frekuensi pemberian pakan yang tepat terhadap sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau (S.olivacea) yang dipelihara sistem silvofishery. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2017 di kawasan mangrove pesisir Kecamatan Mandale, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Wadah penelitian yang digunakan adalah kurungan yang terbuat dari bambu berukuran panjang, lebar, dan tinggi masing-masing 1,0 x 1,0 x 1,0 m. yang ditempatkan di kawasan mangove. Pakan yang digunakan adalah ikan rucah berupa cincangan ikan mujair dengan dosis 10% dari biomassa kepiting. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan setiap perlakuan memiliki 3 ulangan. Adapun perlakuan yang diujikan yaitu 2 kali sehari, 1 kali sehari, 1 kali 2 hari dan 1 kali 3 hari. Data yang diperoleh dialanalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut W-Tuckey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi pemberian pakan memberikan pengaruh yang sangat nyata (p < 0,01) pada sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau yang dipelihara sistem silvofishery. Sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau tertinggi dihasilkan pada frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari, 1 kali sehari, dan 1 kali 2 hari menghasilkan dan terendah pada frekuensi pemberian pakan 1 kali 3 hari. Rata-rata sintasan yang dicapai pada perlakuan 2 kali sehari adalah (96,67 %), perlakuan 1 kali sehari (96,67%), perlakuan 1 kali 2 hari (93,33%) dan perlakuan 1 kali 3 hari (76,67%). Rata-rata Laju pertumbuhan harian kepiting bakau yang dicapai pada perlakuan 2 kali sehari adalah (1,05%), perlakuan 1 kali sehari (1,04%), perlakuan 1 kali 2 hari (0,99%) dan perlakuan 1 kali 3 hari (0,66%). Kata kunci : frekuensi pemberian pakan, kepiting bakau, pertumbuhan, sintasan.

Page 6: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …
Page 7: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik ALLAH SWT, Dzat yang menciptakan segenap alam

raya dan seisinya. Shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad

SAW, penyandang gelar AL-Amin yang membawa kita dari alam kegelapan

menuju ke alam yang terang benderang.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan penelitian

dan berhasil menulis skripsi dengan judul “ Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan

Terhadap Sintasan dan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla olivacea) Yang

Dipelihara System Silvofishery “

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Perikanan pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin,

Makassar.

Dalam laporan ini penulis tak lupa pula mengucapkan banyak terima kasih

yang sebesar-besarnya yang telah memberikan bantuan serta saran dalam

perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyusunan skripsi dari awal sampai

akhir selama penelitian dilaksanakan. Dan penulis mengucapkan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kepada kedua orang Tua, kakak dan adik saya, Drs. Muhammad Saleh,

Salmah, Shuciati dan Nurahmania yang selalu memberikan dukungan

serta Doanya kepada saya.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Muh Yusri Karim, M.Si selaku Pembimbing Utama dan

Dr.Ir. Hasni Yulianti Azis, MP selaku pembimbing anggota, yang selama

Page 8: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

ini dengan sabar mendukung, memberikan petunjuk dan mengarahkan

penulis dalam menyelesaikan penulisan laporan hasil penelitian ini.

3. Bapak Dr. Ir. Dody Dh. Trijuno, M.App. Sc selaku penasehat akademik

sekaligus penguji yang telah banyak memberikan dorongan dan motivasi

dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

4. Ibu Dr. Ir. Siti Aslamyah, M.P. Selaku Ketua Program Studi Budidaya

Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin

dan juga sebagai penguji yang banyak memberi masukan.

5. Bapak Dr. Ir. Edison Saade, M.Sc selaku Penguji yang telah memberikan

saran dalam pelaksanaan penelitian.

6. Seluruh Staf akademik Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas

Hasanuddin yang telah banyak membantu.

7. Muhammad Arham sebagai teman dekat yang selama ini selalu

memberikan do’a, motivasi, bantuan dan dukungan kepada penulis.

8. Kepada pak Muslimin dan Kak Mansura yang telah memberikan banyak

bantuan, masukkan dan saran selama penelitian.

9. Akbar Yanto, Dimas, Faizal, Nugrawangsa, Zainuddin, Ahmad Akbar,

Fadli, Rachmat Yuda, Saipul, Haidir, Umi Kalsum, Amriana, Oda, Ika,

Lia, Arini, Dila, Winda, Azwar dan BDP 2012 sebagai teman

seperjuangan, yang senantiasa sangat membantu memberikan ilmu dan

tenaga serta dukungan semangat nasehat dan doanya selama penelitian.

10. Kanda Syafaruddin S.pi, M.Si yang telah memberikan banyak bantuan,

masukkan dan saran selama penelitan.

11. Keluarga Besar KMP BDP FIKP UNHAS, Keluarga Besar ASCM (Aquatiq

Study Club of Makassar). Terima Kasih untuk dukungan dan motivasinya

selama ini.

Page 9: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

Penulis sangat menyadari bahwa penyusunan laporan Skripsi ini masih

banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan laporan kedepannya. Akhir

kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga laporan ini dapat

bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Makassar, November 2017

Fachruddin

Page 10: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

ABSTRAK FACHRUDDIN. L22112002. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan Terhadap Sintasan dan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla olivacea) yang Dipelihara Sistem Silvofishery. Di bawah bimbingan Muh. Yusri Karim dan Hasni Yulianti Azis.

Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi dan banyak mendapat permintaan dari pasaran lokal, regional maupun mancanegara. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan frekuensi pemberian pakan yang tepat terhadap sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau (S.olivacea) yang dipelihara sistem silvofishery. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2017 di kawasan mangrove pesisir Kecamatan Mandale, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan setiap perlakuan memiliki 3 ulangan. Adapun perlakuan yang diujikan yaitu 2 kali sehari, 1 kali sehari, 1 kali 2 hari dan 1 kali 3 hari. Data yang diperoleh dialanalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut W-Tuckey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi pemberian pakan memberikan pengaruh yang sangat nyata (p < 0,01) pada sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau yang dipelihara sistem silvofishery. Sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau tertinggi dihasilkan pada frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari, 1 kali sehari, dan 1 kali 2 hari menghasilkan dan terendah pada frekuensi pemberian pakan 1 kali 3 hari. Rata-rata sintasan yang dicapai pada perlakuan 2 kali sehari adalah (96,67 %), perlakuan 1 kali sehari (96,67%), perlakuan 1 kali 2 hari (93,33%) dan perlakuan 1 kali 3 hari (76,67%). Rata-rata Laju pertumbuhan harian kepiting bakau yang dicapai pada perlakuan 2 kali sehari adalah (1,05%), perlakuan 1 kali sehari (1,04%), perlakuan 1 kali 2 hari (0,99%) dan perlakuan 1 kali 3 hari (0,66%). Kata kunci : frekuensi pemberian pakan, kepiting bakau, pertumbuhan, sintasan.

Page 11: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

ABCTRACT

FACHRUDDIN. L22112002. The Effect of Feeding Frequency on Survival rate and Growth rate of mud crab (Scylla olivacea) Reased Silvofishery System. Under the guidance of Muh. Yusri Karim and Hasni Yulianti Azis.

Mangrove Crab is one of the fisheries commoditis that high economic and many get demand from local market, regional and foreign. This study aims to determine of feeding frequency on survival rate and growth rate of mangrove crab (S. olivacea) reased by silvofishery system. The research was conducted from July to Agusts 2017 in the coastal mangrove area of Mandale sub-district. Pangkep regency. South Sulawesi. This study used Completely Randomized Design (RAL) with 4 treatment is twice a day, 1 time a day, 1 time 2 days, and 1 time 3 days. The data obtainedwere analized by using variance analysis (ANOVA) and advance W-Tuckey test. The result showed that the frequency of feeding gave a very real effect ( p < 0,01) on survival rate and growth of mangrove crab maintained by silvofishery sistem. The highes mangrove crab passages are produced at feeding frequencies twice a day, 1 times daily, and 1 times 2 days yielding and lowest at feeding frequency1 times 3 days. The average survival rate obtained at the treatment twice a day is (96,67%), treatment 1 times daily (96,67%), treatment 1 time 2 day (93,33%) and treatment 1 times 3 day (76,67%), The average daily growth rate of mangrove crabs is highest in crabs fed with frequent feeding twice daily, once daily, and 1 time 2 days, while the lowest in crabs fed 1 times 3 day. The average daily growth rate of mangrove crab obtained at the treatment twice a day was (1.05%), treatment 1 times a day (1.04%), treatment 1 time 2 days (0.99%) and treatment 1 times 3 days (0.66%).

Keywords : feedeng frequency, mangrove crab, growth, survival

Page 12: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ................................................................................................ i

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iii

DAFTAR TABEL ........................................................................................ iv

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. v

I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

Latar Belakang ................................................................................. 1

Tujuan dan Kegunaan ..................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4

Klasifikas dan Morfologi ................................................................... 4

Silvofishery ....................................................................................... 6

Pakan dan Kebiasaan Makan .......................................................... 8

Sintasan ........................................................................................... 8

Pertumbuhan ................................................................................... 9

Kualitas Air ...................................................................................... 10

III. METODE PENELITIAN ........................................................................ 12

Waktu dan Tempat .......................................................................... 12

Materi Penelitian .............................................................................. 12

Hewan uji ..................................................................................... 12

Wadah Penelitian ........................................................................ 12

Pakan Uji ..................................................................................... 13

Prosedur Penelitian ......................................................................... 12

Perlakuan Rancangan Percobaan ................................................... 14

Page 13: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

i

Parameter yang Diamati .................................................................. 15

Sintasan ....................................................................................... 15

Pertumbuhan ............................................................................... 15

Fisika Kimia Air ........................................................................... 14

Analisis Data ................................................................................... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 17

Sintasan .......................................................................................... 17

Pertumbuhan .................................................................................. 18

Kualitas Air ..................................................................................... 20

V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 23

Kesimpulan ..................................................................................... 23

Saran .............................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 24

LAMPIRAN ............................................................................................ 27

Page 14: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

ii

Sintasan ....................................................................................... 15

Pertumbuhan ............................................................................... 15

Kualitas Air .................................................................................. 15

Analisis Data ................................................................................... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 17

Sintasan .......................................................................................... 17

Pertumbuhan .................................................................................. 18

Kualitas Air ..................................................................................... 20

V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 23

Kesimpulan ..................................................................................... 23

Saran .............................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 24

LAMPIRAN ............................................................................................ 27

Page 15: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kepiting bakau Scylla olivacea merupakan salah satu komoditas

perikanan bernilai ekonomis penting yang banyak dijumpai di perairan Indonesia

terutama perairan payau di sepanjang pantai yang banyak ditumbuhi tanaman

bakau. Kepiting bakau telah dikenal baik di pasaran dalam negeri maupun luar

negeri karena rasa dagingnya yang lezat dan bernilai gizi tinggi. Kebutuhan

konsumen terhadap kepiting bakau sebagian besar masih dipenuhi dari hasil

penangkapan di alam yang sifatnya fluktuatif (Karim, 2013).

Permintaan akan komoditas kepiting yang terus meningkat, baik di

pasaran dalam maupun luar negeri, sehingga menjadikan organisme ini

termasuk salah satu komoditas andalan untuk ekspor mendampingi komoditas

udang windu. Karena permintaan kepiting terus meningkat, baik untuk konsumsi

dalam negeri maupun untuk ekspor, maka penangkapan di alampun semakin

intensif pula, akibatnya terjadi penurunan populasi kepiting di alam. Untuk

mengatasi kebutuhan pangan yang semakin meningkat, maka sudah waktunya

diusahakan pelestarian dan perlu dilakukan budidayanya (Moosa et al., 1985).

Kalau dilihat dari sebaran dan siklus hidup kepiting bakau, dapat dijumpai di

daerah seperti estuaria, daerah hutan bakau dan pada daerah lepas pantai yang

mempunyai subtrat dasar perairan berlumpur (Rattanachote dan Dangwatanakul,

1991).

Hutan bakau bagi kepiting mempunyai fungsi sebagai daerah mencari

makan dan perlindungan sampai hewan tersebut dewasa. Kebiasaan makan

dari kepiting bakau adalah pemakan segala, pemakan bangkai dan pemakan

sesama jenisnya (Prasad et al., 1988). Dengan melihat potensi daerah

Page 16: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

2

mangrove yang dapat digunakan sebagai usaha pembesaran kepiting dengan

syarat tanpa merusak mangrove, diantaranya menggabungkan budidaya di

hutan mangrove dengan tambak air payau, salah satunya adalah dengan

sistem silvofishery. Silvofishery merupakan salah satu bentuk pemanfaatan

hutan mangrove yang dikombinasikan dengan komoditas perikanan. Prinsip

dasar Silvofishery adalah perlindungan tanaman mangrove dengan

memberikan hasil dari sektor perikanan, sistem ini mampu menambah

pendapatan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan

mangrove.

Secara alamiah makanan kepiting bakau adalah jenis bangkai ikan dan

sesama jenis (kanibal). Pemberian pakan adalah hal yang mutlak dilakukan

dalam kegiatan budidaya. Afrianto dan Liviawati (1992) sebaiknya pakan

diberikan pada sore hari, sebab kepiting termasuk hewan yang aktif pada

malam hari, akan tapi ada juga beberapa petani yang melakukan pemberian

pakan sebanyak tiga kali yaitu pagi, siang dan sore hari.

Salah satu fakktor penentu keberhasilan budidaya kepiting bakau

adalah ketersediaan pakan. Usaha budidaya kepiting bakau, pada umumnya

masih mencari sistem teknologi dan manajemen pakan yang efektif dan

efisien, dengan frekuensi pemberian pakan masih tidak menentu. Frekuesnsi

pemberian pakan yang tepat sangat penting dilakukan agar mengetahui kapan

waktu yang tepat untuk memberikan pakan sehingga pemberi pakan menjadi

efisien. Namun sampai saat ini belum ada acuan yang baku mengenai

frekuensi pemberian pakan untuk penggemukan kepiting bakau. Frekuensi

pemberian pakan berpengaruh pada ketersediaan pakan, pengambilan, dan

pemanfaatan pakan yang pada akhirnya berpengaruh pada sintasan dan

pertumbuhan kepiting.

Page 17: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

3

Oleh sebab itu, penelitian mengenai frekuensi pemberian pakan

terhadap sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau untuk penggemukan yang

dipelihara sistem silvofishery perlu dilakukan.

Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan frekuensi pemberian

pakan yang tepat terhadap sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau (S.

olivacea) yang dipelihara sistem silvofishery.

Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu

informasi dalam menentukan frekuensi pemberian pakan pada budidaya

kepiting bakau yang dipelihara sistem silvofishery. Selain itu sebagai bahan

acuan untuk penelitian selanjutnya.

Page 18: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Morfologi

Menurut keenan et al. (1998) kepiting bakau dalam bahasa inggris dikenal

dengan nama Mud Crab yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum

Arthropoda, Kelas : Crustacea, Ordo : Decapoda, Famili : Portunidae, Genus :

Scylilla serrata, S. Tranquebarica, S. Paramamosain, dan S.olivacea

Berdasarkan morfologinya, kepiting bakau jantan seperti terlihat pada Gambar 1 :

a. Kepiting bakau jantan memiliki sepasang capit yang lebih besar bila

dibandingkan dengan capit yang dimiliki kepiting betina.

b. Bagian perut (abdomen) kepiting jantan berbentuk segitiga dan agak

meruncing di bagian ujungnya. Organ kelamin kepiting jantan menempel

pada bagian perut ini (Kanna, 2002).

c. Ruas perut (abdomen) kepiting jantan lebih sempit dari pada kepiting

betina,sedangkan kepiting betina bentuknya cenderung lebih membulat yang

menjadikan ruas-ruas abdomennya lebih lebar (Kordi, 1997).

d.

Gambar 1. Kepiting bakau (S. olivacea) (jantan) (Dokumen Pribadi).

Secara Morfologi kepiting bakau memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

karapas berukuran lebih besar dari pada panjang, panjang karapas kurang lebih

Page 19: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

5

pertiga dari lebarnya, permukaan karapas hampir licin kecuali adanya lekuk yang

bergranula halus di daerah branchial. Pada dahi terdapat empat buah gigi

tumpul tidak termasuk duri ruang mata sebelah dalam yang berukuran kurang

lebih sama. Tapi anterior dari karapas bergigi 9 buah, runcing dan kurang lebih

berukuan sama, sudut pasteriolateral melengkung dan pada bagian sambungan

ruasnya sedikit menebal. Cheliped atau kaki yang bercapit pada jantan dewasa

dapat mencapai panjang hampir dua kali panjang karapas, sedangkan pada

betina capitnya lebih pendek. Perut pada kepiting jantan berbentuk segitiga

meruncing sedangkan betina segitiga melebar keenan et al. (1998).

Kepiting bakau merupakan hewan berkulit keras dari kelas Crustacea,

ordo Decaphoda, familia Portunidae dan Genus Scylla. Crustacea merupakan

hewan berkulit keras sehingga pertumbuhannya dicirikan oleh proses ganti kulit

(moulting). Ordo Dechapoda ditandai dengan adanya 10 buah (lima pasang)

kaki, pasangan kaki pertama disebut capit yang berperan sebagai alat

penangkap/pemegang makanan, pasangan kaki kelima berbentuk seperti kipas

(pipih) berfungsi sebagai kaki renang dan pasangan kaki selebihnya sebagai kaki

jalan. Dengan capit dan kaki jalan, kepiting bisa berlari cepat di darat dan

berbekal kaki renang dapat berenang dengan cepat di air sehingga tergolong

Swimming Crab (Portunidae). Genus Scylla ditandai oleh bentuk carapace yang

oval dengan bagian depan memiliki 9 duri pada sisi kiri dan kanan serta 4 duri di

antara kedua matanya. Kepiting bakau memiliki karapas berwarna seperti lumpur

atau sedikit kehijauan, pada kiri kanannya terdapat sembilan buah duri tajam,

dan pada bagian depannya di antara kedua tangkai matanya terdapat enam

buah duri. Dalam keadaan normal capit kanannya lebih besar dari capit kirinya

dengan warna kemerahan pada masing-masing ujung capit. Kepiting bakau

memiliki tiga kaki pejalan dan kaki perenang. Kaki perenangnya terdapat pada

Page 20: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

6

bagian ujung perutnya dan ujung kaki kaki perenang ini dilengkapi dengan alat

pendayung (Rangka, 2007).

Silvofishery

Silvofishery merupakan pola pemanfaatan hutan mangrove yang

dikombinasikan dengan dengan tambak/empang (Dewi, 1995 dalam Handayani,

2004). Pola ini dianggap paling cocok untuk pemanfatan hutan mangrove bagi

perikanan saat ini. Dengan pola ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat

ditingkatkan sedangkan hutan mangrove masih tetap terjamin kelestariannya.

Silvofishery atau tambak tumpangsari merupakan suatu bentuk “agroforestry”

yang pertama kali diperkenalkan di Birma dimana bentuk tersebut dirancang agar

masyarakat dapat memanfaatkan hutan bagi kegiatan perikanan tanpa merusak

hutan mangrove. Pada dasarnya prinsip tambak tumpangsari adalah

perlindungan hutan mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan.

Dewi (1995) dalam Handayani (2004) mendefinisikan tambak tumpangsari

sebagai suatu penanaman yang dipakai dalam rangka merehabilitasikan hutan

mangrove. Menggunakan sistem ini dapat diperoleh tiga keuntungan, yaitu :

a. mengurangi besarnya biaya penanaman, karena tanaman pokok

dilaksanakan oleh penggarap

b. meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan dengan hasil

pemeliharaan hutan.

c. menjamin kelestarian hutan mangrove.

Menurut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (2009) awal mula

penggarapan lahan mangrove di Blanakan menjadi daerah pertambakan dimulai

pada tahun 1960-an, hal tersebut dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi

nasional yang cukup parah, sehingga hutan mangrove yang ada digarap tanpa

Page 21: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

7

ada pengendalian. Penggarapan hutan mangrove ini membuat sebagian

kawasan mangrove Blanakan berubah menjadi empang budidaya ikan dengan

sistem silvofishery.

Perkembangan Budidaya Kepiting Bakau sistem Sylvofishery adalah

salah satu konsep kuno dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang

mengintegrasikan konservasi mangrove dengan budidaya air payau (Qsoewardi,

1994 dalam Arifin, 2006). Ini adalah bentuk budidaya perikanan berkelanjutan

dengan input yang rendah. Pendekatan terintegrasi ini memungkinkan untuk

mengkonservasi dan memanfaatkan sumberdaya mangrove dengan

mempertahankan keutuhan mangrove yang relatif lebih tinggi dalam area

mangrove, ketika terjadi pembesaran nilai ekonomi pada budidaya air payau.

Sylvofishery mempunyai potensi dalam menangkap beberapa manfaat ekonomi

dari area mangrove dalam kerangka lingkungan yang sensitif dan aktivitas yang

berkelanjutan. Perbaikan dalam pengembalian ekonomik dalam sistem ini akan

menjadi faktor kunci dalam penerimaan metode ini secara luas sebagai aktivitas

yang berlanjut secara ekonomi dalam mangrove.

Adapun tipe-tipe silvofishery yaitu model empang parit dan model

mangrove yang berselang seling, Model empang parit menyajikan tingkatan yang

lebih besar dalam penanaman mangrove atau mempertahankan keberadaan

mangrove dalam area tambak. Adapun model berselang seling untuk

merekomendasikan untuk mepertahankan mangrove dengan rasio maksimum

yang sama, yaitu tiap 2 ha tambak harus dipertahankan 8 ha mangrove

disekeliling tambak tersebut. (Quarto,1999 dalam arifin, 2006)

Menurut Arifin (2006) menyatakan bahwa sistem tambak tidak

mengkonservasi dan mengelola lingkungan alami kepiting bakau, karena tambak

Page 22: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

8

dikembangkan dengan membuka bersih area bakau, yang merupakan habitat

alami kepiting bakau. Sistem keramba lebih bersifat ramah lingkungan karena

tidak mengkonversi mangrove dan memungkinkan kepiting hidup dalam

lingkungan alaminya.

Pakan dan Kebiasaan Makan

Kasry (1996) dalam Wijaya (2011), menyatakan bahwa kepiting bakau

termasuk golongan hewan yang aktif pada malam hari (Nokturnal). Kepiting ini

bergerak sepanjang malam untuk mencari pakan bahkan dalam semalam

kepiting ini mampu bergerak mencapai 219 – 910 meter (Moosa et al., 1995

dalam Wijaya,

2011).

Kepiting bakau dewasa termasuk jenis hewan pemakan segala dan

bangkai (Omnivorous scavenger). Pada saat larva, kepiting bakau memakan

planton, dan pada saat juvenile menyukai detritus, sedangkan kepiting dewasa

menyukai ikan, udang, dan molusca terutama kekerangan. Kepiting juga

menyukai potongan daun terutama daun mangrove. Kepiting bakau termasuk

hewan nocturnal, yakni hewan yang aktif di malam hari. Mencari makan di malam

hari dan bersembunyi di lubang-lubang, dibawah batu dan sela-sela akar

bakau di siang hari (Fujaya et al., 2012).

Sintasan

Sintasan adalah persentase dari individu yang bertahan hidup setelah

beberapa waktu. Kelangsungan hidup merupakan persentase populasi

organisme yang hidup tiap periode waktu pemeliharaan tertentu. Kelangsungan

hidup sangat erat kaitanya dengan mortalitas yakni kematian yang terjadi pada

suatu populasi organisme sehingga jumlahnya berkurang (Sagala et al., 2013).

Tingkat kelangsungan hidup kepiting terutama dipengaruhi oleh parameter fisika-

Page 23: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

9

kimia air. Pakan yang mencukupi dan tekanan osmotik dari media. Tingkat

kelangsungan hidup yang dihasilkan memberikan gambaran hasil interaksi

antara daya dukung lingkungan dan pakan (Karim, 2007).

Pertumbuhan

Pertumbuhan pada kepiting bakau merupakan pertambahan bobot badan

dan lebar karapaks yang terjadi secara berkala, setelah terjadi pergantian kulit

(Moulting) (Sheen dan Wu 1999, Mayrand et al., 2000 dalam Yasin, 2011).

Selanjutnya Fujaya (2008 dalam Yasin, 2011), menambahkan bahwa kepiting

tidak dapat tumbuh secara linear sebagaimana hewan lain karena kepiting

memiliki cangkang luar yang keras (karapaks) yang tidak dapat tumbuh,

karenanya agar kepiting dapat tumbuh maka, karapaks lama harus diganti

dengan yang baru dan lebih besar. Pertumbuhan pada kepiting bakau dicirikan

oleh perubahan bentuk dan ukuran yang disebabkan perbedaan kecepatan

pertumbuhan dari bagian-bagian tubuh yang berbeda. Menurut Sulaiman dan

Hanafi (1992), besarnya pertumbuhan yang dialami oleh kepiting tergantung

pertambahan lebar dan berat setiap kepiting berganti kulit. Frekuensi ganti kulit

bervariasi dipengaruhi oleh ukuran dan stadia kepiting. Secara umum frekuensi

pergantian kulit lebih sering terjadi pada stadia muda dibandingkan dengan

stadia dewasa.

Kepting Bakau dapat memakan segala jenis ikan rucah (Sulaeman &

Hanafi, 1992; Widjadmiko & Dharmadi in Trino Herlina et al (2010). Menurut

Kuntiyo in Trino et al (2001), laju pertumbuhan spesifik kepiting bakau yang diberi

pakan pelet udang dapat menyamai laju pertumbuhan kepiting yang diberi pakan

ikan rucah .Hasil penelitian Herlina et al. (2010) menunjukkan bahwa pemberian

pakan ikan rucah dengan pelet untuk pembesaran kepiting bakau memberikan

pertumbuhan yang terbaik dibandingkan dengan pakan yang hanya berupa pelet,

Page 24: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

10

dan tidak berbeda nyata dari penggunaan pakan ikan rucah. Penelitian Muchlisin

et al. (2006) menunjukkan hasil yang sama, yaitu pakan ikan rucah memberikan

hasil yang terbaik untuk pembesaran kepiting bakau

Menurut Karim (2013), ada dua faktor yang mempengaruhi kecepatan

pertumbuhan kepiting yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi

ukuran jenis kelamin dan kelengkapan anggota tubuh, sedangkan faktor luar

yaitu ketersediaan pakan, suhu dan salinitas. Pada umumnya pertumbuhan

kepiting bakau tergantung pada energi yang tersedia, bagaimana energi tersebut

digunakan dalam tubuh dan pertumbuhan hanya akan terjadi apabila terdapat

kelebihan energi setelah kebutuhan energi terpenuhi.

Kualitas Air

Pada umumnya air merupakan komponen penting dalam kegiatan dalam

kegiatan budidaya, karena air akan berpengaruh langsung terhadap kondisi

fisiologis kultivan atau ikan baikdari segi pertumbuhan ikan. Dengan demikian,

agar air dalam kegiatan budidaya tetap baik dan terjaga kualitasnya, maka perlu

dilakukan manajemen kualitas air yang terdiri atas suhu, kandungan oksigen, pH,

salinitas dan amoniak. Salinitas merupakan konsentrasi total dari semua ion yang

larut dalam air, dan dinyatakan dalam bagian perseribu (ppt) yang setara dengan

gram per liter. Salinitas dapa mempengaruhi aktivitas fisiologis kepiting bakau.

Dalam hubungannya dangan salinitas, kepiting bakau termasuk organisme

akuatik euryhaline yaitu mampu hidup pada rentan salinitas yang lebar. Salinitas

yang masih dapat ditolerin kepting bakau yaitu 1 sampai 42 ppt (Karim, 2013).

Suhu merupakan faktor abiotik penting yang mempengaruhi aktivitas,

nafsu makan, konsumsi oksigen, laju metabolisme, kelangsungan hidup,

pertumbuhan dan molting krustase (Kumlu dan Kir, 2005). Diantara faktor-faktor

Page 25: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

11

lingkungan, suhu merupakan faktor yang paling berpengaruh pada pertumbuhan

dan molting. Perairan yang yang mempunyai suhu tinggi cenderung akan

meningkatkan pertumbuhan dan memperpendek masa interval molting

krustasea. Menurut Kuntiyo et al. (1994) suhu yang optimum untuk pertumbuha

kepiting bakau adalah 26-32oC.

Boyd (1990) mengemukakan bahwa pH yang didefenisikan sebagai

logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen (H+), merupakan indikator

keasaman serta kebebasan air. Menurut kuntiyo et al. (1994) dan Chistensen et

al. (2005) agar pertumbuhan maksimal, kepiting bakau sebaiknya dibudidayakan

pada media dengan pH berkisar 7,5-8,5.

Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat

esensial yang mempengaruhi proses fisiologis organisme akuatik (Warner,

1977); Cheng et al., 2003) Secara umum kandungan oksigen terlarut rendah (<3

ppm) akan menyebabkan nafsu makan organisme dan tingkat pemanfaatan

rendah, berpengaruh pada tingkah laku dan proses fisiologis seperti tingkat

kelangsungan hidup, pernafasan, sirkulasi, makan, metabolisme, molting, dan

pertumbuhan krustasea (Karim, 2005)

Amoniak dalam media budidaya dapat berasal dari buangan bahan

organik yang mengandung senyawa nitrogen seperti protein maupun sebagai

hasil eksresi. Kepiting bakau dapat hidup dangan baik dengan konsentrasi

amoniak tidak lebih dari 0.1 ppm (Kuntiyo et al., 1994).

Page 26: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

12

III. METODE PENELITIAN

Waktu Dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2017 di

kawasan mangrove pesisir Desa Mandalle, Kecamatan Mandalle, Kabupaten

Pangkep.

Materi Penelitian

Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan adalah kepiting bakau (S. olivacea) jantan

dengan bobot rata-rata (200,19 ± 0,42 g/ekor) yang ditebar dengan kepadatan 10

ekor/kurungan. Kepiting bakau tersebut diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di

Kabupaten Pangkep.

Wadah Penelitian

Wadah yang digunakan adalah kurungan yang terbuat dari bambu

berukuran panjang, lebar, dan tinggi masing-masing 1,0 x 1,0 x 1,0 m. yang

ditempatkan di kawasan mangove (Gambar 2).

Gambar 2. Wadah pemeliharaan

Page 27: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

13

Pakan Uji

Pakan yang digunakan adalah ikan rucah berupa cincangan ikan mujair

dengan dosis 10% dari biomassa kepiting. Ikan rucah tersebut diperoleh dari

hasil tangkapan nelayan di sekitar lokasi penelitian.

Prosedur Penelitian

Penelitian didahului dengan persiapan yang meliputi: penyediaan bahan

dan peralatan penelitian antara lain bambu, balok dan gergaji, pembuatan

kurungan, pemasangan kurungan di kawasan mangrove, dan pengadaan

kepiting. Mula-mula bambu dibersihkan kemudian dipotong dan dibelah-belah

menjadi beberapa bagian berukuran 4 cm. Belahan-belahan bambu dirangkai

secara teratur sehingga berbentuk keramba, selanjutnya dilekatkan dengan cara

memaku pada rangka kurungan yang terbuat dari balok kayu.

Untuk menjaga agar sirkulasi air pada kurungan berjalan lancar maka

antara belahan bambu yang satu dengan yang lainnya diberi jarak sekitar 1 cm.

Unuk memudahkan pemberian pakan dan pengontrolan kepiting pada bagian

atas kurungan diberi pintu yang dapat dibuka setiap saat. Pada bagian luar

kurungan dilapisi waring yang bertujuan untuk melindungi kurungan dari

sampah-sampah dan kotoran lainnya.

Sebelum kepiting uji ditebar terlebih dahulu diseleksi bobotnya dan

diadaptasikan dengan kondisi lingkungan pemeliharaan selama 2 hari.

Pengadaptasian dilakukan dengan cara merendam kepiting kedalam air di sekitar

kurungan. Penimbangan bobot awal juga dilakukan sebelum ditebar dengan

menggunakan timbangan duduk berketelitian 10 g.

Selama penelitian berlangsung kepiting uji diberi berupa ikan-ikan rucah

sesuai perlakuan. Untuk mengetahui kualitas air lingkungan pemeliharaan,

Page 28: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

14

selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran beberapa parameter fisika

kimia lingkungan pemeliharaan kepiting.

Pada akhir penelitian dilakukan perhitungan jumlah kepiting yang hidup

dan penimbangan bobot tubuh.

Perlakuan Rancangan Percobaan

Penelitian dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap

(RAL) yang terdiri atas 4 perlakuan dan setiap perlakuan memiliki 3 ulangan.

Dengan demikian, penelitian ini terdiri atas 12 satuan percobaan. Adapun

perlakuan yang diujikan yaitu perbedaan frekuensi pemberian pakan yaitu:

A. 2 x sehari

B. 1 x sehari

C. 1 x 2 hari

D. 1 x 3 hari

Penempatan wadah-wadah penelitian tersebut dilakukan secara acak

berdasarkan pola rancangan acak lengkap (Steel dan Torrie, 1993). Adapun tata

letak wadah-wadah percobaan setelah pengacakan disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Tata letak wadah percobaan setelah pengacakan

C1

D1

D3

A3

A1

D2

A2

B1

B3

C2

C3

B2

Page 29: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

15

Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

Sintasan

Sintasan kepiting bakau pada akhir penelitian dihitung menggunakan

rumus Effendie (2003) sebagai berikut:

Nt S = x 100 No

Keterangan :

S = Sintasan (%); Nt = Jumlah kepiting yang hidup pada akhir penelitian (ekor). No = Jumlah kepiting yang hidup pada awal penelitian (ekor).

Pertumbuhan

Laju pertumbuhan harian kepiting bakau dihitung berdasarkan rumus

(Changbo et al., 2004) sebagai berikut:

In Wt – In Wo SGR = x 100 T

Keterangan : SGR = laju pertumbuhan harian (%/hari) Wt = Bobot rata-rata kepiting pada akhir penelitian (g) Wo = Bobot rata-rata kepiting uji pada awal penelitian (g)

t = Waktu penelitan hari

Fisika Kimia Air

Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran beberapa

parameter kualitas air meliputi: suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, dan amoniak.

Suhu diukur menggunakan termometer, salinitas dengan handrefraktometer, pH

dengan pH meter, oksigen terlarut dengan DO meter, dan amoniak dengan

Page 30: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

16

spektrofotometer. Suhu, salinitas, pH, dan DO diukur 2 kali dalam sehari yakni

pagi hari (pukul 07.00 WITA) dan sore hari (pukul 17.00 WITA). Adapun amoniak

diukur 3 kali selama penelitian yakni pada awal, pertengahan, dan akhir

penelitian

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam

(ANOVA). Apabila terdapat pengaruh yang nyata dilanjutkan dengan uji lanjut

W-Tuckey. Sebagai alat bantu untuk uji statistik tersebut digunakan paket

program SPSS versi 22,0. Adapun parameter fisika kimia air dianalisis secara

deskriptif berdasarkan kelayakan hidup kepiting bakau.

Page 31: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sintasan

Sintasan sangat erat kaitanya dengan mortalitas yakni kematian yang terjadi

pada suatu populasi organisme sehingga jumlahnya berkurang. Menurut Boer

(2000), kelangsungan hidup merupakan persentase populasi organisme yang

hidup tiap periode waktu pemeliharaan tertentu.

Sintasan kepiting bakau (S.olivacea) yang dipelihara sistem silvofishery

dengan frekuensi pemberian pakan berbeda disajikan pada Lampiran 1,

sedangkan nilai rata-ratanya disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata sintasan kepiting bakau (S. olivacea) yang dipelihara sistem silvofishery dengan frekuensi pemberian pakan berbeda

Frekuensi Pemerian Pakan Sintasan (%) ± SD

A 2 kali sehari 96,67 ± 5,77a

B 1 kali sehari 96,67 ± 11,55a

C 1 kali 2 hari 93,33 ± 11,55a

D 1 kali 3 hari 76,67 ± 5,77b

Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan

Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa frekuensi pemberian pakan

berpengaruh sangat nyata pada sintasan (Lampiran 2). Selanjutnya hasil uji

lanjut W-Tuckey (Lampiran 3) memperlihatkan bahwa antara perlakuan frekuensi

pemberian pakan 2 kali sehari, 1 kali sehari, dan 1 kali 2 hari tidak

memperlihatkan perbedaan yang nyata (p > 0,05) pada sintasan kepiting bakau

yang dipelihara sistem silvofishery, akan tetapi berbeda nyata dengan frekuensi

pemberian pakan 1 kali 3 hari (p < 0,05).

Berdasarkan Tabel 1 di atas terlihat bahwa sintasan kepiting bakau

tertinggi dihasilkan pada frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari, 1 kali sehari,

Page 32: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

18

dan 1 kali 2 hari, sedangkan terendah pada kepiting yang diberi pakan 1 kali 3

hari. Rata-rata Sintasan yang dicapai pada perlakuan 2 kali sehari adalah (96,67

%), perlakuan 1 kali sehari (96,67%), perlakuan 1 kali 2 hari (93,33%) dan

perlakuan 1 kali 3 hari (76,67%). Hal ini menggambarkan bahwa untuk efisiensi

pemberian pakan pada penggemukan kepiting bakau cukup 1 kali dalam sehari

atau 1 kali dalam 2 hari.

Secara umum nilai sintasan yang diperoleh pada penelitian ini berkisar

76,67-96,67%. Beberapa hasil penelitian tentang penggemukan kepiting bakau

dilakukan di tambak antara lain oleh Trino dan Rodrigues (2001) memperoleh

sintasan 47-56%, sedangkan Begum et al., (2009) memperoleh sintasan 86,25-

93,75%. Sementara itu penelitian tentang penggemukan kepiting bakau pola

silvofishery telah dilakukan mengunakan cages dan pens memperoleh sintasan

31,3-53,2% (David, 2009), Mirera dan Mtile (2009) 35,0-61,5%, sedangkan Karim

et al. (2015) memperoleh sintasan 61,67-93,33% yang dipelihara sistem

silvofishery sistem monosex dengan kepadatan berbeda.

Sintasan terendah diperoleh kepiting yang diberi pakan dengan frekuensi

1 kali dalam 3 hari. Hal ini disebabkan pemberian pakan berikutnya dalam

waktu 3 hari menyebabkan pakan yang ada menjadi rusak atau hancur sehingga

terbawa oleh pergerakan air. Selain itu terjadinya persaingan oleh organisme

mikro seperti bakteri ataupun organisme lainnya yang masuk melalui celah-

celah kurungan.

Page 33: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

19

Pertumbuhan

Pertumbuhan kepiting bakau yang dipelihara sistem silvofishery dengan

frekuensi pemberian pakan yang berbeda disajikan pada Lampiran 4 sedangkan

nilai rata- rata nya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Laju pertumbuhan kepiting bakau (Scylla olivacea) yang dipelihara sistem silvofishery dengan frekuensi pemberian pakan berbeda

Frekuensi Pemberian Pakan Laju Pertumbuhan Harian (%/hari)

A 2 kali sehari 1,05 ± 0,02a

B 1 kali sehari 1,04 ± 0,02a

C 1 kali 2 hari 0,99 ± 0,03a

D 1 kali 3 hari 0,67 ± 0,00b

Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan

Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa frekuensi pemberian pakan

berpengaruh sangat nyata pada laju pertumbuhan (Lampiran 5). Selanjutnya

hasil uji lanjut W-Tuckey (Lampiran 6) memperlihatkan bahwa antara perlakuan

frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari, 1 kali sehari, dan 1 kali 2 hari tidak

memperlihatkan perbedaan yang nyata (p > 0,05) pada pertumbuhan kepiting

bakau yang dipelihara sistem silvofishery, akan tetapi berbeda nyata dengan

frekuensi pemberian pakan 1 kali 3 hari (p < 0,05).

Berdasarkan Tabel 2 juga terlihat bahwa laju pertumbuhan harian kepiting

bakau tertinggi pada kepiting yang diberi pakan dengan frekuensi pemberian 2

kali sehari, 1 kali sehari, dan 1 kali 2 hari, sedangkan terendah pada kepiting

yang diberi pakan 1 kali 3 hari. Rata-rata laju pertumbuhan haruian kepiting

bakau yang dicapai pada perlakuan 2 kali sehari adalah (1,05%), perlakuan 1 kali

sehari (1,04%), perlakuan 1 kali 2 hari (0,99%) dan perlakuan 1 kali 3 hari

Page 34: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

20

(0,67%). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan kepiting bakau dipengaruhi

oleh frekuensi pemberian pakan. Frekuensi pemberian pakan yang sering akan

menyebabkan tersedianya pakan setiap saat sehingga kepiting dapat

memanfaatkan pakan tersebut sesuai kebutuhannya. Akan tetapi apabila

frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari yakni pagi dan sore hari mengahsilkan

pertumbuhan kepiting yang sama dengan 1 kali dalam 1 sampai 2 hari, maka

untuk efisiensi waktu pemberian pakan cukup 1 kali dalam 2 hari. Pemberian

pakan sebaiknya dilakukan pada sore hari mengingat aktivitas makan kepiting

meningkat pada malam hari.

Tingginya laju pertumbuhan kepiting bakau pada pemberian pakan 2 kali

sehari dan 1 kali 2 hari sehari diduga karena jumlah pemberian pakan sebesar

10% sudah mencukupi untuk pertumbuhan optimal. Hal isi sesuai sesuai dengan

penelitian Agus (2008) yang mengatakan bahwa dosis pemberian pakan sebesar

10%/BB/hr sudah mencukupi kebutuhan energi untuk pertumbuhan. Pemberian

pakan 1 kali 2 hari mencapai pertumbuhan optimal yang lebih cepat

dibandingkan pemberian pakan 1 kali 3 hari. Hal ini diduga karena pada

perlakuan pemberian pakan 1 kali 3 hari tingkat stres kepiting lebih tinggi

dibandingkan perlakuan pemberian 1 kali 2 hari dan 2 kali sehari, karena tingkat

pengosongan lambung lebih lama dengan tingkat stress. Suarsito (2005)

mengatakan bahwa ikan karnivora akan menimbun lemak lebih banyak dengan

tujuan untuk cadangan protein dalam pertumbuhan selama tidak ada makanan.

Nilai laju pertumbuhan harian kepiting bakau yang diperoleh pada

penelitian ini berkisar 0,67-1,05%/hari. Trino dan Rodriguez (2001)

mendapatkan laju pertumbuhan kepiting bakau sebesar 0,9%/hari, sedangkan

David (2009) mendapatkan1,3 dan 0,7%/hari yang dipelihara dengan

menggunakan cage dan pens.

Page 35: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

21

Kualitas Air

Air merupakan media yang paling vital bagi kehidupan kepiting. Di dalam

budidaya kepiting, kualitas air yang memenuhi syarat merupakan salah satu

kunci keberhasilan budidaya penggemukan kepiting tersebut. Oleh sebab itu,

sejak pemilihan lokasi, kondisi lingkungan dan kualitas air sudah merupakan

salah satu yang dijadikan ukuran untuk menilai layak tidaknya suatu perairan

atau sumber air digunakan untuk budi daya kepiting dengan wadah tertentu.

Kisaran nilai kualitas air lingkungan pemeliharaan selama penelitian dapat

dilihat pada Tabel 3 berikut :

Tabel 3. Kisaran data pengukuran kualitas air lingkungan pemeliharaan selama penelitian

Parameter Nilai Kisaran Optimal

Suhu (oC) 25 – 30 26-32C (Kumlu dan Kir, 2005)

Salinitas (ppt) 23 – 27 16-34 ppt (Karim, 2013)

DO (PPM) 3,62 - 4,39 >3 ppm (Kuntiyo et al., 1993)

pH 7,11 - 7,93 7,2-7,8 (Fujaya et al., 2012)

Amonia (ppm) 0,005 - 0,009 <0,1 ppm (Kir et al., 2004)

Tabel 3 menunjukkan bahwa kisaran kualitas air selama pemeliharaan

berada pada kisaran yang optimal. Selama pemeliharaan berlangsung suhu

tercatat antara 25-30 OC. Menurut (Kumlu dan Kir 2005 dalam Rusdi dan Karim

2006), kisaran suhu yang optimum untuk kepiting bakau adalah 26-32OC. Suhu

merupakan faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan.

Salinitas selama penelitian berkisar 23–27 ppt. Menurut kuntiyo et al.

(1994); Karim (2013) salinitas yang layak untuk budidaya budidaya kepiting

bakau berkisar 15-30 ppt.

Nilai oksigen terlarut selama penelitian berkisar 3,62 hingga 4,39 ppm.

Keperluan organisme terhadap oksigen bervariasi tergantung pada jenis, stadia

Page 36: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

22

dan aktivitasnya (Wardoyo, 1981). Menurut Kuntiyo et al (1993) oksigen terlarut

yang memenuhi persyaratan untuk budidaya kepiting adalah lebih dari 3 ppm.

Nilai pH selama penelitian berkisar 7,11-7,93. Menurut Fujaya et al (2012)

nilai pH air yang ideal bagi kepiting berkisar antara 7,2-7,8. Karim (2013)

mengemukakan bahwa nilai pH ini penting untuk dipertimbangkan, karena dapat

mempengaruhi proses dan kecepatan reaksi kimia di dalam air serta reaksi

biokimia di dalam tubuh kepiting bakau.

Adapun kandungan amoniak selama penelitian berlangsung 0,005-0,009

ppm. Nilai kisaran amoniak tersebut masih layak bagi kehidupan kepiting bakau.

Selanjutnya Kuntyo et al. (1994) mengemukakan bahwa agar pertumbuhan

kepiting maksimal maka kandungan amoniak < 0,1 ppm.

Page 37: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

23

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan. Sintasan dan

pertumbuhan tertinggi kepiting bakau dihasilkan pada perlakuan 2 kali, 1 kali

sehari dan 1 kali 2 hari masing-masing 96,67%, 96,67%, dan 96,33% dan

pertumbuhan 1,05, 1,04, dan 0,99%/hari, sedangkan sintasan dan pertumbuhan

harian terendah di lihat pada frekuensi pemberian pakan 1 kali 3 kali hari yaitu

76,67% dan 0,67%/hari.

Saran

Budidaya penggemukan kepiting bakau yang dipelihara pada kawasan

sistem silvofishery disarankan frekuensi pemberian pakan cukup 1 kali dalam 2

hari sangat baik untuk sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau.

Page 38: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

24

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z. 2006. Carring Capacity Assessment on Mangrove Forest with Special

Emphasize on mud crab Sylvofishery Sytem: A Case Studi in Tanjung Jabung Timur District Jambi Province. Thesis. Post Graduate schoo. Bogor Agricultural University, Bogor.

Begum, M., M. M. R. Shah, A.A. Mamun and M. J. Alam. 2009. Comparative Study of Mud Crab (Scylla serrata) Fattening Practices Between Two Different Systems in Bangladesh. J. Bangladesh Agril. Univ. 7(1): 151–156.

Boer, 2000. Studi Pendahuluan Penyakit Kunang-kunang pada kepiting Bakau (Scylla serrata). Jurnal Penelitian Budidaya Pantai.

Boyd, C. E. 1990. Water Quality in Ponds For Aquaculture. Birmingham

Publishing Co., Alabama.

Cheng W, Liu CH, Kuo CM. 2003. Effect of Dissolved Oxygen on Hemolymph Parameters of Freshwater Giant Prawn Macrobrachium rosenbergii (de Man). Aquaculture, 220: 843-856.

Christensen, S. M., D. J. Macintoch and N. T. Phoung. 2005. Pond Production of the Mud Crab Scylla paramamosain (Estampodar) and S. olivacea (Herbts) in The Mekong Delta, Vietnam, Using Two Different Supplementary diets. Aqua. Res., 35: 1013-1024.

David, M. H. O. 2009. Mud Crab (Scylla serrata) Culture: Understanding the Technology in a Silvofisheries Perspective. Western Indian Ocean J. Mar. Sci. Vol. 8 (1): 127-137.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta.

Fujaya Y. S. Aslamyah, L. Fudjaja, dan N. Alam. 2012. Budidaya dan Bisnis

Kepiting Lunak Stimulasi Molting dengan Ekstrak Bayam. Brilian Internasional. Surabaya

Fujaya, Y. 2008. Kepiting Komersil Di Dunia (Biologi, Pemanfaatan, dan Pengelolaannya). Citra Emlusi. Makassar

Fujaya, Y. E. Suryanti, E. Nurcahyono, dan N. Alam. 2008. Titer Ekdisteriod Hemolimph dan Ciri Morfologi rajungan (Furtunus pelegicus) Selama Fase Molting dan Reproduksi. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. 18 (3) : 266-274.

Herlinah, Sulaiman & A Tenriulo. 2010. Pembesaran kepiting bakau (Scylla

serrata) di tambak dengan pemberian pakan berbeda Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur.p. 169-174.

Page 39: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

25

Jayanti. 2010. Pengaruh frekuensi terhadap pertumbuhan kepiting bakau (Scylla Paramamosain). Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga. http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile /4539828306_abs. pdf [20 Juni 2012]..

Kanna, I. 2002. Budi Daya Kepiting Bakau Pembesaran dan Pembenihan. Kanisius. Yogyakarta. 80 hlm.

Karim M. Y. Rusdi I.,2006. Salinitas Optimum bagi Sintasan dan Pertumbuhan Crablet Kepiting Bakau (Scylla paramamosain). Sains & Teknologi, Vol.6 No.3 : 149-157. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Makasar.

Karim, M. Y. 2013. Kepiting Bakau (Bioekologi, Budidaya dan Pembenihannya). Penerbit Yarsif Watanpone, Jakarta.

Karim. M. Y. 2007. Pengaruh Osmotik pada Berbagai Tingkat Salinitas Media terhadap Vitalitas Kepiting Bakau (Scylla olivacea)Betina. Jurnal Protein. 14(1): 65-72.

Kasry. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Bhratara. Jakarta.

Keenan, C.P., P.J.F. Davie., and D.L Mann. 1998. A Revision of the Genus Scylla serrata de Haan (Crustacea : Decapoda : Branchyura : Portunidae). The Raffles Buletin of Zoology, 46 (1) : 217 - 245.

Kordi K. 2007. Budidaya Kepiting Bakau (Pembenihan, Pembesaran, dan Penggemukan). Aneka Ilmu. Semarang.

Kumlu, M. Kir. 2005. Food Consumption, Moulting, and Survival of Penaeus semiculatus During Over-Wintering. Aqua.Res., 366:137:143

Kuntiyo, A. Zainal, dan Supratno . 1993. Pedoman budidaya Kepiting Bakau

(Scylla serrata) Di Tambak Balai Budidaya Air Payau. Jepara. Kuntiyo, Arifin Z, Supratomo T. 1994. Pedoman Budidaya Kepiting Bakau (Scylla

serrata) di tambak. Direktorat Jenderal Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara.

Mirera, D.O. and M. Mtile. 2009. A Preliminary Study on The Response of Mangrove Mud Crab (Scylla serrata) to Different Feed Types Under Drive-in Cage Culture System. Journal of Ecology and Natural Environment Vol. 1(1): 7-14.

Moosa, M.K, I. Aswandy dan A. Kasry. 1985. Kepiting Bakau, Scylla serrata Muchilisin AZ, E Rusdi, Muhammad & I Setiawan 2006. Pengaruh perbedaan

spesies pakan dan ransum harian terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau. Ilmu Kelautan, 11(4): 227-233.

Page 40: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

26

Prasad, P.N., Sudharshana, R. And Noelakata, B. 1988. Feeding ecology of mud crab (Scylla serrata) from Sankari Brackhiswater. J. Bombay Not. Hist. Soc, 85 (1): 79 – 89.

Rangka, N.A.2007. Status usaha kepiting bakau ditinjau dari aspek peluang dan

prospeknya. Jurnal Neptunus,14(1):90-100. Sagala. L. S. M. Idris, dan M. N. Ibrahim. 2013. Perbandingan Pertumbuhan

Kepiting Bakau (Scylla serrata) Jantan dan Betina Pada Metode Kurungan Dasar. Jurnal Mina Laut Indonesia. 12(3): 46-58.

Sheen, S.S. and S.W. Wu. 1999. The effect of dietary lipid levels on the growth

response of juvenil mud crab Scylla serrata. Aquaculture 175: 143–153. Silvofishery. Com. 2001 . Budidaya Kepiting Bakau Pola Silvofishery. Diakses 29

Juni 2017

Steel, R. G. D. Dan J. H. Torrie., 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika (Pendekatan Biometrik) Penerjemah B. Sumatri.

Sulaiman & Hanafi, 1992. Pengaruh pemotongan tangkai mata terhadap kematangan gonad dan pertumbuhan kepiting bakau (Scylla serrata). J. Pen. Budidaya Pantai, 8(4): 55-62.

Tim Peneliti Balitbang Jawa Tengah. 2005. Pembuatan Demplot Budidaya

Kepiting Soft Cell sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat Pesisir.

Trino, A.T. and E.M. Rodriguez. 2002. Pen culture of mud crab Scylla serrata in tidal flats reforested with mangrove trees. Aquaculture 211: 125-134.

Wardoyo, S.T.H.1981. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian Dan Perikanan. Training Analisis Dampak Lingkungan. IPB. Bogor.

Warner, G.F. 1977. The Biology of Crabs. London: Elek Science. Yasin H. 2011. Pengaruh pemberian berbagai kadar karbohidrat dan lemak

pakan bervitamolt terhadap efisiensi pakan dan pertumbuhan kepiting bakau (Scylla sp.). Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan perikanan Jurusan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. 19 pp.

Page 41: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

27

Lampiran 1. Sintasan kepiting bakau (Scylla olivacea) yang dipelihara sistem silvofishery dengan frekuensi pemberian pakan berbeda

Frekuensi pemberian pakan Nt N0 SR (%)

2 kali sehari (1)

10 9 90

2 kali sehari (2)

10 10 100

2 kali sehari (3) 10 10 100 Rataan

96,67± 5,77

1 kali sehari (1) 10 10 100

1 kali sehari (2) 10 9 90

1 kali sehari (3) 10 10 100 Rataan

96,67±5,77

1 kali 2 hari (1) 10 9 90

1 kali 2 hari (2) 10 10 100 1 kali 2 hari (3) 10 9 90

Rataan

93,33±11,77

1 kali 3 hari (1) 10 8 80

1 kali 3 hari (2) 10 8 80 1 kali 3 hari (3) 10 7 70

Rataan 76,67±5,77 Lampiran 2. Hasil analisis ragam sintasan kepiting bakau (Scylla olivacea) yang

dipelihara sistem silvofishery dengan frekuensi pemberian pakan berbeda

Sumber keragaman

JK db KT F Sig.

Perlakuan 825,000 3 275,000 8,250** 0,008 Galat 266,667 8 33,333 Total 1091,667 11

Keterangan : Berpengaruh sangat nyata (p < 0,01)

Page 42: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

28

Lampiran 3. Uji lanjut W-Tuckey sintasan kepiting bakau yang dipelihara sistem silvofishery dengan frekuensi pemberian pakan berbeda

(I)

Perlakuan (J)

Perlakuan Selisih

(I-J) Std. Error

Sig. 95% Convidence Interval Lower Bound Upper Bound

2 x sehari 1 x sehari 0,00000 4,71405 1,000 -15,0960 15,0960 1 x 2 hari 3,33333 4,71405 0,892 -11,7627 18,4294 1 x 3 hari 20,00000* 4,71405 0,012 4,9040 35,0960

1 x sehari 2 x sehari 0,00000 4,71405 1,000 -15,0960 15,0960 1 x 2 hari 3,33333 4,71405 0,892 -11,7627 18,4294 1 x 3 hari 20,00000* 4,71405 0,012 4,9040 35,0960

1 x 2 hari 2 x sehari -3,33333 4,71405 0,892 -18,4294 11,7627 1 x sehari -3,33333 4,71405 0,892 -18,4294 11,7627 1 x 3 hari 16,66667* 4,71405 0,031 1,5706 31,7627

1 x 3 hari 2 x sehari -20,00000* 4,71405 0,012 -35,0960 -4,9040 1 x sehari -20,00000* 4,71405 0,012 -35,0960 -4,9040 1 x 2 hari -16,66667* 4,71405 0,031 -31,7627 -1,5706

Keterangan : * Berpengaruh nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05) Lampiran 4. Laju pertumbuhan harian kepiting bakau yang dipelihara sistem

silvofishery dengan frekuensi pemberian pakan berbeda Frekuensi Pemberian

Pakan

Bobot Awal (g)

Bobot Akhir (g)

Laju Pertumbuhan Harian (%/hari)

2 kali sehari (1) 201,10 251,44 1,06 2 kali sehari (2) 200,60 250,60 1,06 2 kali sehari (3) 200,30 248,33 1,02 Rataan 200,7 ± 0,40 280,67 ± 2,08 1,05 ± 0,02 1 kali sehari (1) 200,40 248,40 1,02 1 kali sehari (2) 200,50 248, 55 1,02 1 kali sehari (3) 200,20 250,20 1,06 Rataan 200,37 ± 0,15 249,05 ± 0,99 1,04 ± 0,02 991 kali 2 hari (1) 200,00 245,00 0,98 1 kali 2 hari (2) 200,00 242,00 0,99 1 kali 2 hari (3) 200,10 241,89 0,99 Rataan 200,03 ± 0,06 242,96 ± 1,76 0,99 ± 0,03 1 kali 3 hari (1) 199,60 229,62 0,67 1 kali 3 hari (2) 199,70 229,75 0,67 1 kali 3 hari (3) 199,80 229,86 0,67 Rataan 250,33 ± 1,53 229,74 ± 0,12 0,67 ± 0,00

Page 43: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

29

Lampiran 5. Hasil analisis ragam laju pertumbuhan spesifik harian kepiting bakau yang dipelihara sistem silvofishery dengan frekuensi pemberian pakan berbeda

Sumber keragaman

JK db KT F Sig.

Perlakuan 321,139 3 107,046 152,444** 0,000 Galat 5,618 8 0,702 Total 326,757 11

Keterangan : Berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) Lampiran 6 Uji lanjut W-Tuckey Laju Pertumbuhan spesifik harian yang dipelihara

pola silvofishery

(I) Perlakuan

(J) Perlakuan

Selisih (I-J)

Std. Error

Sig. 95% Convidence Interval Lower Bound Upper Bound

2 x sehari 1 x sehari 0,98333 0,68420 0,513 -1,2077 3,1744 1 x 2 hari 3,54667* 0,68420 0,004 1,3556 5,7377 1 x 3 hari 13,07667* 0,68420 0,000 10,8856 15,2677

1 x sehari 2 x sehari -0,98333 0,68420 0,513 -3,1744 1,2077 1 x 2 hari 2,56333* 0,68420 0,023 0,3723 4,7544 1 x 3 hari 12,09333* 0,68420 0,000 9,9023 14,2844

1 x 2 hari 2 x sehari -3,54667* 0,68420 0,004 -5,7377 -1,3556 1 x sehari -2,56333* 0,68420 0,023 -4,7544 -0,3723 1 x 3 hari 9,53000* 0,68420 0,000 7,3389 11,7211

1 x 3 hari 2 x sehari -13,07667* 0,68420 0,000 -15,2677 -10,8856 1 x sehari -12,09333* 0,68420 0,000 -14,2844 -9,9023 1 x 2 hari -9,53000* 0,68420 0,000 -11,7211 -7,3389

Keterangan : * Berpengaruh nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)

Page 44: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

30

Lampiran 7. Foto-foto penelitian

Pembuatan Wadah Peneliitian

Penempatan Wadah Penelitian

Page 45: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

31

Pemasangan Jaring

Memberi Tanda Kepiting

Page 46: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

32

Penebaran Kepiting

Pemberian Pakan

Page 47: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP …

33

Penimbangan Kepiting Bakau

Panen