pengarah: deddy koespramoedyo - kementerian ppn/bappenas ... · perubahan kebijakan desentralisasi...
TRANSCRIPT
Pengarah: Deddy Koespramoedyo Tim Penyusun: Christian Dwi Prasetijaningsih Daryll Ikhwan Antonius Tarigan Pung Permadi Samsul Widodo Sudira Asep Saepudin Mohammad Roudo Bakat Supradono Jayadi Khusaini Tim Pendukung : Bakat Supradono Mira Berlian Tukirin Diterbitkan Oleh : Direktorat Otonomi Daerah Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta 10310 Telp/Fax : 021 – 31935289 http://www.bappenas.go.id
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
ii
KATA PENGANTAR
Perubahan kebijakan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 menjadi Undang-Undang
nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa implikasi
meningkatnya tugas dan beban provinsi sebagai daerah otonom, sebagai wakil
pemerintah pusat, serta koordinator pembangunan kabupaten/kota. Meningkatnya
tugas dan beban ini tentunya membutuhkan aparatur yang memadai baik dari sisi
jumlah maupun kompetensi. Karena, dengan jumlah aparatur yang ideal dan
kompetensi yang baik, maka aparatur pemerintah daerah provinsi akan mampu
meningkatkan layanan pemarintah kepada masyarakat.
Sebaliknya, jika jumlah aparatur terlalu banyak, maka akan banyak aparatur yang
menganggur dan mengakibatkan pemborosan anggaran negara. Dan jika kompetensi
aparatur rendah, maka pekerjaan tidak dapat diselesaikan dengan baik dan layanan
kepada masyarakat akan terhambat.
Hingga tahun 2006, data yang tercatat di BKN menunjukkan bahwa secara nasional
jumlah PNS di Indonesia mencapai 3.541.961 orang. Dari jumlah tersebut, masih
belum dapat memberikan informasi bahwa jumlah PNS secara nasional telah
berkecukupan atau masih berkekurangan atau telah berkelebihan. Jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk, jumlah PNS di Indonesia hanya 1,7 persen.
Persentase ini masih di bawah angka pegawai negeri yang ada di Thailand, yakni
2,81 persen, Singapura (3,67 persen), dan Brunei Darussalam sekitar 12,9 persen.
Atas dasar itulah, Direktorat Otonomi Daerah – Bappenas bermaksud melakukan
kajian tentang aparatur pemerintah daerah. Hasil kajian ini diharapkan dapat
memberikan masukan dan rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan aparatur
pemerintah daerah. Di samping itu, hasil kajian ini juga diharapkan memperoleh
formulasi jumlah optimal pegawai pemerintah daerah provinsi, sehingga
pemerintah dan pemerintah provinsi dapat menentukan jumlah pegawai yang ideal.
Kegiatan kajian ini tentunya tidak lepas dari kelemahan baik dari sisi penentuan
metodologi kajian, struktur penulisan, maupun analisis kajian. Untuk itu, kami
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
iii
berharap kepada semua pihak untuk memberikan masukan/ kritikan guna perbaikan
kegiatan kajian di masa yang akan datang.
Tak lupa ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
terseleseinya laporan kajian ini. Mudah-mudahan laporan kajian ini dapat
bermanfaat bagi perbaikan dan peningkatan profesionalisme aparatur dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, sehingga layanan yang diberikan lebih optimal.
Jakarta, 2007.
Direktur Otonomi Daerah,
Deddy Koespramoedyo
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. vii
BAB I Pendahuluan ........................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ............................................................... 1
1.2. Tujuan dan Sasaran ......................................................... 3
1.2.1. Tujuan ................................................................ 3
1.2.2. Sasaran ................................................................ 4
1.3. Ruang Lingkup Penelitian . ................................................. 4
1.4. Lingkup Program dan Kegiatan ............................................ 4
1.5. Manfaat Penelitian ........................................................... 5
BAB II Metodologi Kajian ................................................................. 7
2.1. Metode Penelitian. ........................................................... 7
2.2. Lokasi Studi ................................................................... 8
2.3. Data ........................................................................... 8
2.3.1. Data dan Sumber Data .............................................. 8
2.3.2. Teknik Pengumpulan Data ......................................... 9
2.4. Instrumen Penelitian......................................................... 11
2.4.1. Teknik Analisa Data ................................................. 13
2.4.2. Penerapan Balance Scorecard Dalam Analisis Kinerja
Sektor Publik ......................................................... 24
BAB III Tinjauan Pustaka dan Gambaran Umum Daerah Studi ..................... 33
3.1. Landasan Teoritis............................................................. 33
3.1.1. Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah ..................... 33
3.1.2. Pembagian Urusan Pemerintah Daerah Provinsi ................ 37
3.1.3. Manajemen Sumber Daya Manusia ................................ 39
3.2. Gambaran Umum Daerah Studi............................................. 61
3.2.1. Provinsi D.I. Yogyakarta ............................................ 61
3.2.2. Provinsi Sumatera Utara............................................ 64
3.2.3. Provinsi Banten ...................................................... 69
3.2.4. Provinsi Bangka Belitung ........................................... 73
v
3.2.5. Provinsi Riau.......................................................... 76
BAB IV Landasan Kebijakan ............................................................... 82
4.1. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 ....................................... 82
4.1.1. Pemerintahan Daerah............................................... 82
4.1.2. Kewenangan Daerah Provinsi ...................................... 88
4.1.3. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta
Antar Daerah ......................................................... 98
4.1.4. Hubungan dalam Bidang Kepegawaian ........................... 103
4.1.5. Organisasi Pemerintah Provinsi ................................... 104
4.2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ....................................... 108
4.2.1. Pemerintahan Daerah............................................... 108
4.2.2. Urusan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi............ 111
4.2.3. Organisasi Perangkat Pemerintah Daerah Provinsi ............. 115
4.2.4. Manajemen Kepegawaian Daerah................................. 117
BAB V Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah pada
Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi......................... 122
5.1. Identifikasi Tugas, Fungsi, dan Beban Kerja Pemerintah Daerah
Provinsi......................................................................... 122
5.2. Identifikasi Permasalahan Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah
Provinsi Akibat Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ......................... 126
5.3. Penentuan Jumlah Optimal Pegawai ...................................... 144
5.3.1. Pendekatan Penentuan Jumlah Optimal Pegawai Dengan
Beban Kerja .......................................................... 144
5.3.2. Pendekatan Estimasi ................................................ 150
5.4. Kompetensi Jabatan Struktural Eselon III dan IV ........................ 154
5.5. Implikasi Kebijakan Desentralisasi terhadap Beban Kerja, Jumlah
dan Kompetensi Pegawai Provinsi ......................................... 163
BAB VI Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan...................................... 167
6.1. Kesimpulan Studi. ............................................................ 167
6.2. Rekomendasi. ................................................................. 169
LAMPIRAN
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian ................................................... 14 Gambar 2.2. Empat Perspektif Dalam Analisa Balanced Scorecard .................. 17 Gambar 2.3. Penerapan Balanced Scorecard dalam Organisasi Publik............... 25 Gambar 2.4. Penjabaran Visi dan Misi Organisasi Publik ............................... 26 Gambar 2.5. Analisis Sektor Publik di Bidang Kesehatan............................... 26 Gambar 3.1. Faktor Internal dan Eksternal .............................................. 44 Gambar 3.2. Prosedur Seleksi .............................................................. 49 Gambar 3.3. Sistem Penilaian Prestasi Kerja ............................................ 53 Gambar 3.4. Analisis Kerja ................................................................ 57 Gambar 3.5. Sistem Model Pelatihan...................................................... 58 Gambar 3.6. Grafik Konstribusi Sektor Ekonomi terhadap PDRB Banten Tahun 2005 (%) ................................................................ 71 Gambar 5.1. Plotting Jumlah Penduduk dengan Jumlah Pegawai ...................... 151 Gambar 5.2. Plotting Luas Wilayah dengan Jumlah Pegawai ............................ 151 Gambar 5.3. Plotting PAD dengan Jumlah Pegawai ....................................... 151 Gambar 5.4. Plotting PDRB dengan Jumlah Pegawai ..................................... 151 Gambar 5.5. Pilihan Kompetensi Integritas Eselon III dan IV ............................ 156 Gambar 5.6. Pilihan Kompetensi Kepemimpinan Eselon III dan IV...................... 157 Gambar 5.7. Pilihan Kompetensi Manajerial Eselon III dan IV ........................... 158 Gambar 5.8. Pilihan Kompetensi Team Work Eselon III dan IV .......................... 159 Gambar 5.9. Pilihan Kompetensi Sosial Eselon III dan IV ................................. 160 Gambar 5.10 Pilihan Kompetensi Teknis Eselon III dan IV ................................ 161
vi
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1. Ukuran dan Sasaran Strategis dengan Balanced Scorecard .............. 27 Tabel 2.2. Batas-Batas Kontrol 6-Sigma .................................................. 30 Tabel 3.1. Jumlah Aparatur Provinsi D.I.Y ............................................... 63 Tabel 3.2. Target dan Realisasi Beberapa PDRB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2005 ........................................ 67 Tabel 3.3 Jumlah Aparatur Provinsi Sumatera Utara 2003 - 2007................... 68 Tabel 3.4. PDRB Banten Lapangan Usaha Utama Tahun 2005......................... 70 Tabel 3.5. Jumlah CPNS/PNS Provinsi Banten Tahun 2002-2005 ..................... 72 Tabel 3.6. Tabel 3.6 Jumlah CPNS/PNS Provinsi Banten Tahun 2005................ 72 Tabel 3.7. Hasil Kelautan dan Perikanan 2005 – 2006.................................. 75 Tabel 3.8. Potensi Perikanan Tahun 2006................................................ 75 Tabel 3.9. Jumlah Aparatur Provinsi Bangka Belitung 2003 – 2007 .................. 76 Tabel 3.10. Kontribusi (Share) Per-Sektor Terhadap Pembentukan PDRB
(2001 – 2005) ................................................................ 79 Tabel 3.11. Laju Pertumbuhan PDRB Tahun 2001-2005 ................................. 80 Tabel 3.12. Jumlah Aparatur Provinsi Kepulauan Riau 2005- 2007.................... 80 Tabel 5.1. Kekurangan Jabatan Struktural............................................... 135 Tabel 5.2. Hasil Estimasi Model Penentuan Jumlah Pegawai Dengan OLS .......... 152 Tabel 5.3. Kelebihan dan Kekurangan Jumlah Pegawai (Pendekatan OLS) ......... 153 Tabel 5.4. Jenis Kompetensi dan Skala Prioritas........................................ 155
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perwujudan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah berdasarkan UU No.
22/1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah, memberikan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahannya secara otonom. Penyerahan sebagian
kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ini dilakukan dalam
rangka meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakatnya. Selain itu,
perubahan kebijakan di dalam UU No 32 tahun 2004 khususnya di dalam pasal 37
dan 38, memberikan peran yang lebih besar kepada Pemerintah Propinsi sebagai
wakil dari Pemerintah Pusat dan koordinator dari pembangunan kabupaten/kota di
dalam propinsi tersebut.
Khususnya Bab V di dalam UU 32 Tahun 2004 mengenai kepegawaian daerah,
perlu dilihat sejauh mana perubahan peningkatan peran propinsi tersebut terhadap
aparatur pemerintah daerah, agar aparatur pemda yang ada dapat dioptimalkan
sesuai dengan kebutuhan yang ada. Peran aparatur pemerintah daerah yang
kompeten dan handal menjadi sebuah kebutuhan. Ironisnya, saat ini kemampuan
aparatur pemerintah daerah dirasakan belum optimal di dalam memberikan
pelayanan publik.
Belum optimalnya pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah diakibatkan oleh dua hal mendasar, yaitu perbedaan penafsiran
dan peletakan kewenangan. Perbedaan penafsiran terhadap terhadap kebijakan
yang mengatur kewenangan antara tiap level pemerintahan
(pusat/provinsi/kabupaten/ kota). Perbedaan penafsiran seringkali mengakibatkan
terjadinya tumpang-tindih (overlapping). Misalnya tumpang-tindih dalam
pembangunan gedung sekolah antara pemerintah kabupaten/kota dengan
pemerintah provinsi. Adapun peletakan kewenangan, misalnya dalam penetapan
kondisi KLB (Kejadian Luar Biasa). Kewenangan penetapan kondisi KLB masih
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Akibatnya manakala terjadi wabah
penyebaran penyakit yang meluas (lintas wilayah) tidak dapat ditangani lebih
efektif oleh pemerintah daerah. Penetapan KLB oleh daerah diperlukan untuk
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 2
kebijakan penggunaan dana tidak tersangka (keadaan darurat) dalam APBD melalui
persetujuan DPRD.
Di sisi lain, dalam proses pelimpahan tersebut ternyata berimplikasi langsung
terhadap meningkatnya tanggung jawab dan tantangan yang harus dipikul oleh
aparatur. Mengingat hasil temuan penelitian yang berkaitan dengan pengelolaan
aparatur pemerintah daerah yang dilakukan oleh Yappika (2005) menunjukkan
bahwa kurangnya jumlah dan kualifikasi SDM aparatur merupakan masalah utama
yang dihadapi oleh beberapa daerah. Di beberapa daerah bahkan pengisian jabatan
dilakukan dengan mengatrol kepangkatan seseorang, karena keterbatasan SDM yang
memenuhi persyaratan. Mekanisme Baperjakat (Badan Penilai Jabatan dan
Kepangkatan) seringkali terbentur pada keterbatasan jumlah dan kualifikasi SDM
yang tersedia, di samping juga politik afiliasi dan politik akomodasi.
Temuan tersebut sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Pusat Kajian
Sumber Daya Aparatur Lembaga Administrasi Negara (PKSDA LAN) 2006 yang
menunjukkan bahwa adanya pelimpahan pegawai dari instansi vertikal sebagai
dampak pelaksanaan otonomi daerah (Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 2000
dan perubahannya Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman
Organisasi Perangkat Daerah) menyebabkan pemerintah daerah mengalami
kesulitan dalam penataan pegawainya, khususnya dalam kegiatan perencanaan
kebutuhan pegawai. Distribusi pegawai dan penempatan pegawai sesuai kebutuhan
pegawai menjadi permasalahan dalam penataan pegawai karena kompetensi
pegawai limpahan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan.
Disamping itu, terkait dengan insentif, di semua daerah insentif diberikan
tidak berdasarkan kepada prestasi, melainkan lebih berdasarkan pangkat dan
jabatan seseorang. Karena insentif yang diberikan tidak berdasarkan kepada
kinerja dan prestasi, tetapi kepada pangkat dan jabatan, juga karena jumlah
insentif terlalu kecil, maka tidak terlihat dampak signifikan dari insentif terhadap
peningkatan kinerja pemerintahan daerah.
Dari studi tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah masih belum mampu mengubah tatanan dan pengelolaan aparatur
daerah semakin baik. Akibatnya kejelasan terhadap pengelolaan aparatur
pemerintah daerah propinsi, baik dari sisi karir maupun tunjangan yang memadai
sesuai dengan beban kerja belum terealisasi dan pembedaan secara spesifik dengan
aparatur yang hanya melaksanakan kegiatan di tingkat kabupaten/kota.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 3
Implikasinya, masalah yang timbul dengan pengelolaan aparatur daerah semakin
banyak baik yang sifatnya lintas kabupaten/kota maupun di tingkat propinsi itu
sendiri.
Bukti lain yang menunjukkan masih belum membaiknya aparatur daerah,
khususnya PNS adalah hasil penelitian UGM dan JICA yang dikutip oleh Thoha (2005)
menyebutkan bahwa PNS Indonesia yang produktif hanya 60% saja. Artinya 40%
sisanya tidak produktif dan hanya menerima gaji saja tanpa hasil yang berarti (LAN,
2006). Jadi rendahnya produktivitas pegawai tersebut diakibatkan oleh rendahnya
kompetensi dan kinerja aparatur daerah, akibatnya pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat tidak optimal.
Jadi, dengan banyaknya permasalahan yang lintas kabupaten/kota yang
memerlukan koordinasi seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 diperlukan pengelolaan aparatur pemerintah daerah propinsi.
Harapannya agar pengelolaan aparatur tersebut dapat lebih optimal dengan
mempertimbangkan antara kompetensi aparatur pemda yang ada dengan beban
kerja yang menjadi tugas pokok dan funginya.
1.2 Tujuan dan Sasaran
1.2.1 Tujuan
Kajian ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan pendukung
yang diperlukan terhadap pengelolaan aparatur pemerintah daerah propinsi, akibat
adanya perubahan UU 22 tahun 1999 menjadi UU 32 tahun 2004, khususnya yang
berkaitan dengan peran pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah serta sekaligus sebagai ”koordinator dan fasilitator” kabupaten/kota yang
ada di wilayahnya.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, maka secara rinci kajian ini diarahkan
untuk mengetahui dan menganalisis:
a. Tugas, fungsi dan beban kerja pemerintah provinsi pada urusan yang
merupakan skala provinsi (lintas kabupaten/kota) serta sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
b. Berbagai permasalahan pengelolaan aparatur pemerintah provinsi sejak
diberlakukannya perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 4
c. Jumlah/pola optimal aparatur pemda provinsi berdasarkan beban kerja serta
tugas dan fungsinya, termasuk kompetensi yang dibutuhkan untuk bidang-
bidang yang mewakili pemerintah pusat dari bidang/urusan yang berskala lintas
kabupaten/kota maupun yang berdampak lintas kabupaten/kota.
d. Rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan aparatur
pemerintah daerah (provinsi) agar dapat bekerja secara efektif, efisien, dan
sistematik, sebagai akibat perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah.
1.2.2 Sasaran
Sasaran dari kajian ini adalah:
a. Teridentifikasikannya tugas, fungsi dan beban kerja pemerintah provinsi pada
urusan yang merupakan skala provinsi (lintas kabupaten/kota) serta sebagai
wakil pemerintah pusat di daerah berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku.
b. Teridentifikasikannya berbagai permasalahan pengelolaan aparatur pemerintah
provinsi sejak diberlakukannya perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah.
c. Terumuskannya jumlah/pola optimal aparatur pemda provinsi berdasarkan
beban kerja serta tugas dan fungsinya, termasuk kompetensi yang dibutuhkan
untuk bidang-bidang yang mewakili pemerintah pusat dari bidang/urusan yang
berskala lintas kabupaten/kota maupun yang berdampak lintas kabupaten/kota.
d. Tersusunnya rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan
aparatur pemerintah daerah (provinsi) agar dapat bekerja secara efektif,
efisien, dan sistematik, sebagai akibat perubahan kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Untuk dapat menghasilkan kajian yang baik dan optimal sesuai dengan yang
diharapkan, maka kajian ini terbatas pada lingkup perubahan kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pengelolaan aparat. Pengelolaan
aparatur meliputi a) formasi PNS; b) pengadaan PNS; c) pengangkatan CPNS; d)
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 5
pengangkatan CPNS menjadi PNS; e) pendidikan dan latihan; f) kenaikan pangkat;
g) pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam dan dari jabatan; h)
perpindahan PNS antar instansi; i) pemberhentian sementara dari jabatan negeri; j)
pemberhentian PNS atau calon PNS; k) pemutakhiran data pengangkatan,
pemberhentian, dan pemindahan PNSD untuk penghitungan dan penyesuaian
alokasi dasar gaji dan tunjangan; dan l) pembinaan dan pengawasan manajemen
PNSD, serta rekomendasi pengelolaan aparatur pemerintah daerah yang efektif,
efisien, dan sistematis.
Adapun ruang lingkup kegiatan kajian secara rinci, meliputi:
a. Melakukan survey untuk mengidentifikasi jumlah/pola aparatur pemda propinsi,
dari segi kompetensi dan beban kerja.
b. Melakukan studi pustaka dan literatur mengenai peraturan perundang-
undangan, kebijakan, dan program mengenai pengelolaan aparatur Pemda
maupun kebijakan/peraturan sektoral yang mengatur kewenangan/peranan
pemerintah provinsi, khususnya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan
kaitannya dengan fungsi ”koordinasi dan fasilitasi” antar pemerintah daerah.
c. Melakukan diskusi dalam bentuk FGD (Focus Group Discussion) dengan tim ahli,
Pemerintah Pusat dan Daerah, serta Perguruan Tinggi sebagai masukan untuk
memformulasikan atau merumuskan rekomendasi kebijakan yang berkaitan
dengan pengelolaan aparatur Pemda yang efektif, efisien, dan sistematik.
d. Melakukan pengolahan data dan analisis data dengan metode yang telah
ditetapkan, serta merumuskan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan sebagai
hasil dari analisis kajian.
e. Menyusun laporan pendahuluan, pertengahan dan laporan akhir kajian, masing-
masing disampaikan 5 eksemplar.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
a. Masukan terhadap beberapa Peraturan Pemerintah yang saat ini sedang dalam
tahap penyusunan, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan aparatur
daerah;
b. Masukan terhadap rencana penyusunan ”Rencana Aksi Nasional” bidang
aparatur pemda sebagai salah satu penjabaran ”Grand Strategy” otonomi
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 6
daerah. Rencana aksi ini akan memberikan pedoman bagi pelaksanaan kerja
bagi kerja aparatur Pemda yang efektif, efisien, dan sistematis.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 7
BAB II METODOLOGI KAJIAN
2.1 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah yang
digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu
(Karsady: 2004:2). Cara ilmiah berarti bahwa kegiatan itu
dilandasi oleh metode keilmuan. Metode keilmuan ini
merupakan gabungan antara pendekatan rasional dan
empiris. Pendekatan rasional memberikan kerangka berpikir
yang koheren dan logis. Sedangkan pendekatan empiris
memberikan kerangka pengujian dalam memastikan suatu
kebenaran.
Dalam pelaksanaan penelitian, metode penelitian
menjadi bagian penting yang menentukan sukses tidaknya
suatu penelitian, sebab metode penelitian merupakan
panduan bagi peneliti sehingga gejala dari obyek yang diteliti
dapat dirumuskan secara obyektif, rasional dan sistematis.
Sebagaimana dikemukakan oleh Nawawi (1985:25) bahwa
untuk menjamin ditemukan adanya kebenaran ilmiah,
metode penelitian memberikan cara kerja yang sangat
cermat dan syarat-syarat yang sangat keras. Dengan
demikian berarti metode penelitian tidak saja bertujuan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 8
memberikan peluang sebesar-besarnya bagi penemuan
kebenaran yang objektif, tetapi juga untuk menjaga agar
pengetahuan dan pengembangannya memiliki nilai tambah
ilmiah yang tinggi.
Dengan demikian metode penelitian merupakan cara
ilmiah yang penulis gunakan untuk memperoleh data yang
dikehendaki sesuai dengan tujuan tertentu. Cara ilmiah di
sini berarti bahwa kegiatan penelitian yang dilakukan dengan
dilandasi oleh metode keilmuan yang telah teruji.
Berdasarkan pendapat diatas, maka jelaslah bahwa metode
penelitian memegang peranan penting bagi keberhasilan
pelaksanaan penelitian ilmiah.
Dikarenakan tujuan penelitian ini adalah untuk
merumuskan saran kebijakan (policy advice), maka
penelitian ini dapat dikelompokkan/dinyatakan pula sebagai
studi pengembangan (development studies). Studi
pengembangan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan suatu
masalah yang ada pada masa sekarang, dalam hubungannya
dengan kondisi waktu yang terus berjalan secara
kerkesinambungan. Kekurangan, kelemahan, kesenjangan,
kekeliruan dan lain-lain yang mejadi masalah dalam aspek
kehidupan tertentu, akan diungkapkan urutan atau
perkembangannya selama angka waktu tertentu (Nawawi,
1996 : 117). Pendapat lain menyatakan bahwa studi
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 9
pengembangan yaitu penelitian yang bertujuan
mengembangkan, yaitu menggali dan memperdalam suatu
gejala atau masalah dari suatu bidang ilmu pengetahuan.
Dapat diartikan pula sebagai penelitian yang mencari kaitan
dengan ilmu pengetahuan yang telah ada, atau yang sedang
digali perluasannya. Dapat pula diartikan sebagai penelitian
dimana masalahnya didudukperkarakan pada kerangka teori
yang telah ada (Ali, 1997 : 53).
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis.
Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk mendeskripsikan
gambaran suatu kondisi, karakteristik suatu fenomena atau
objek termasuk keadaan berbagai variabel yang saling
berkaitan. Sedangkan penelitian analitis dimaksudkan untuk
melihat hubungan antara keadaan variabel atau variabel yang
terjadi dengan faktor-faktor atau variabel-variabel lain yang
mempengaruhinya.
2.2 Lokasi Studi
Kegiatan studi lapangan ini dilakukan di 5 (lima)
provinsi, di mana 2 (dua) provinsi yang sudah lama terbentuk
dan merupakan provinsi yang diharapkan dapat memberikan
gambaran beban kerja, jumlah optimal pegawai, dan
komptensi aparatur pemda yang relatif baik dibandingkan
dengan wilayah lainnya. Adapun lokasi tersebut adalah: 1)
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 10
Provinsi DI Yogjakarta; dan 2) Provinsi Sumatera Utara.
Sedangkan 3 (tiga) provinsi lainnya mewakili propinsi yang
merupakan hasil pemekaran (Daerah Otonom Baru), yaitu: 1)
Provinsi Bangka Belitung; 2) Provinsi Kepulauan Riau; dan 3)
Provinsi Banten.
2.3 Data
2.3.1 Data dan Sumber Data
Jenis data dan informasi yang digunakan meliputi
data primer dan sekunder. Data primer akan dikumpulkan
melalui wawancara, daftar pertanyaan/kuesioner, FGD
daerah dan observasi yang memuat beberapa isu seperti
permasalahan pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan
otonomi, analisis pekerjaan, beban kerja, kompetensi
pegawai. Responden yang dibutuhkan sebagai sumber
informasi beban kerja adalah seluruh Dinas, Kantor, Badan,
dan Inspektorat Pemda Provinsi dengan jabatan struktural
minimal eselon III. Sedangkan responden yang dibutuhkan
sebagai sumber informasi kompetensi pegawai adalah
instansi Bappeda, Dinas Pendidikan, Biro Organisasi, Biro
Kepegawaian, dan Dinas Pekerjaan Umum.
Data sekunder akan dikumpulkan melalui studi
kepustakaan dan dokumentasi. Studi kepustakaan merupakan
pengumpulan data dan informasi melalui sumber data dalam
bentuk buku, hasil kajian, karya tulis, hasil seminar, jurnal,
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 11
dan lain-lain tentang pengelolaan aparatur pemerintah
pemerintah daerah provinsi. Sedangkan dokumentasi yang
dikumpulkan berupa arsip-arsip, data statistik dari institusi
formal seperti Badan Pusat Statistik (BPS), BAPPEDA, serta
institusi relevan lainnya. Dokumen data sekunder yang
digunakan adalah undang-undang dan peraturan pemerintah,
visi, misi, renstra, program pemerintah daerah, jumlah
pegawai, PDRB Provinsi, luas wilayah, jumlah penduduk, jam
kerja, dan APBD.
2.3.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data, hal yang harus
menjadi pertimbangan adalah data apa saja yang akan
dikumpulkan, bagaimana proses pengumpulannya, serta siapa
darimana data yang dibutuhkan akan diperoleh. Aspek jenis
data yang dibutuhkan pada dasarnya akan berkaitan dengan
subtansi kajian sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sub
bab 2.4.1. Sedangkan bagaimana proses pengumpulan data
bekaitan dengan teknis atau instrumen pengumpulan data
yang akan digunakan. Sedangkan aspek darimana data akan
diperoleh berkaitan dengan siapa yang menjadi responden
atau sumber data.
Sesuai dengan lingkup data yang dibutuhkan, maka
pengumpulan data dalam kerangka pelaksanaan studi
menggunakan pendekatan survey pengumpulan data primer
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 12
dan sekunder, baik untuk data kualitatif maupun data
kuantitatif. Pengumpulan data primer dilakukan melalui
teknis/instrumen pengumpulan data berupa pelaksanaan
diskusi kelompok terfokus (focus group discussion/FGD),
wawancara mendalam (in depth interview), dan penyebaran
angket/kuesioner. Sedangkan pengumpulan data sekunder
dilakukan melalui studi literatur. Proses pengumpulan bahan
kajian dilakukan dengan berbagai cara, sebagai berikut:
(1) Review Literature (Kajian Literatur).
Merupakan tahapan penelitian yang akan mencakup
beberapa kegiatan di dalamnya, yaitu:
a. Menggali dan menghimpun data dari berbagai sumber
tertulis mengenai informasi ilmiah tentang
kelembagaan pemerintah terutama pemerintah
propinsi dalam kaitan tugasnya sebagai wakil
Pemerintah Pusat dan sebagai koordinator dan
fasilitator bagi Kabupaten/Kota di wilayahnya ;
b. Menganalisa berbagai peraturan yang berkaitan
dengan pengaturan kelembagaan pemerintahan
daerah dan pengelolaan aparat pemerintah.
(2) Wawancara
Wawancara yang akan dilaksanakan menggunakan
tipe wawancara bebas terpimpin, dimana interviewer
membawa pedoman yang hanya berupa garis besar
tentang materi yang akan ditanyakan dari narasumber.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 13
Wawancara yang akan dilakukan Tim kajian akan
melakukan kegiatan wawancara dengan berbagai nara
sumber untuk memperoleh masukan mengenai
permasalahan organisasi pemerintah propinsi. Pihak-
pihak tersebut antara lain adalah :
a. Pihak praktisi yang meliputi pejabat di lingkungan
pemerintahan Propinsi pada seluruh SKPD meliputi
secretariat daerah, dinas dan badan daerah;
b. Komunitas dan Lembaga yang mempunyai komitmen
dalam bidang penataan kelembagaan organisasi
pemerintah, pihak akademisi, dalam hal ini adalah
pakar dari universitas dengan latar belakang
keilmuan administrasi negara dan hukum administrasi
Negara.
(3) Forum Diskusi Terarah (Focused Group
Discussion/FGD)
Forum diskusi terarah (Focused Group
Discussion/FGD) dilakukan untuk memperoleh masukan
secara menyeluruh tentang tugas, fungsi dan beban kerja
serta kinerja pemerintahan provinsi. Sebagai tindak
lanjut dari kegiatan pengumpulan data sebelumnya,
diadakan FGD dengan melibatkan berbagai narasumber,
terdiri wakil lembaga/instansi terkait yang berasal dari:
a. Sekretariat Daerah;
b. Pejabat dari lembaga/instansi pemerintah lain (Dinas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 14
maupun lembaga);
Dalam konteks penelitian kualitatif, FGD banyak
digunakan karena beberapa keuntungan:
a. Interaksi kelompok. Adanya interaksi di dalam
kelompok memungkinkan munculnya respons yang
lebih kaya dan juga memungkinkan timbulnya
pemikiran-pemikiran baru yang berharga.
b. Observasi. Peneliti akan dapat langsung mengamati
diskusi serta mendapatkan insight mengenai perilaku,
sikap, bahasa, dan perasaan responden.
c. Biaya dan waktu. DKT dapat diselesaikan lebih
cepat dan biasanya lebih mudah dibanding
wawancara mendalam (depth interview).
(4) Penyebaran Angket/Kuesioner
Angket/kuesioner disusun untuk membantu
pelaksanaan pengumpulan data primer pada aspek-aspek
kajian yang cenderung (sebagian besar) bersifat
kuantitatif (atau dapat dikuantitatifkan). Kuesioner juga
digunakan untuk menggali persepsi kualitatif responden
secara individual, yang mungkin belum terakomodasi
atau tersalurkan pada saat pelaksanaan FGD. Responden
yang bertindak sebagai narasumber pengisian
angket/kuesioner adalah stakeholder dari unsur
pemerintah propinsi dari seluruh SKPD dan dari unsur
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 15
pemerintah Kabupaten/Kota (yang ada di ibukota
Propinsi).
Penarikan sampel dilakukan secara simple
random sampling artinya cara pengambilan sample
dari semua anggota populasi di lakukan secara
tanpa memperhatikan strata yang ada dalam anggota
populasi itu (Sugiyono,2002:59). Sedangkan untuk
jumlah sampel sesuai pendapat Gay sebagaimana
dikutip Umar (1999:108) ukuran minimal sampel yang
dapat diterima untuk metode analisis deskriptif adalah
30 subjek dari jumlah populasi. Oleh karenanya
minimal dalam 1 Propinsi akan diambil 30 sampel
tergantung jumlah SKPD yang ada pada tiap
Propinsi.
(5) Form Dokumentasi
Instrumen ini digunakan untuk mengumpulkan
data sekunder, yang bisa diambil dari peraturan terkait,
dokumen-dokumen dari pemerintah propinsi, pemerintah
kabupaten/kota pada wilayah propinsi kajian, maupun
dari berbagai tulisan seperti; journal ilmiah, hasil
penelitian, dan majalah ilmiah popular.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 16
2.4 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian dalam bentuk kuesioner. Ada 4
kuesioner untuk mejawab pertanyaan studi dan mencapai
tujuan dari studi. Kuesioner terlampir pada lampiran laporan
ini.
Aspek yang termuat dalam kuesioner meliputi :
1) Formula Perhitungan Pegawai Optimal Pendekatan
Beban Kerja
• Rumus Penghasilan Jumlah Pegawai yang Optimal
Beban kerja pegawai Riel x Jumlah Pegawai yang riel
Beban kerja pegawai sesuai aturan
• Penghitungan Beban Kerja Pegawai Riel
Prakiraan Jumlah Pegawai yg melaksanakan pekerjaan x Prakiraan Rata-Rata Jam kerja Pegawai
• Penghitungan Beban Kerja Sesuai Aturan
Jumlah Pegawai yang Riel x Jam Kerja sesuai aturan
2) Perhitungan Pegawai Pendekatan Estimasi (Ekonometrik)
lnJP = β0 + β1lnPop + β2lnL + β3lnPAD + β4lnPDRB
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 17
3) Penetapan Standar Kompetensi Jabatan
Mengidentifikasi kompetensi yang dibutuhkan untuk
pejabat Eselon III dan IV dengan variabel identifikasi
meliputi (untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
kuesioner yang diampirkan) :
• aspek integritas
• aspek kepemimpinan
• aspek kemampuan manajerial
• aspek kemampuan team work
• aspek kemampuan social
• aspek kemampuan teknik
4) Permasalahan Manajemen Kepegawaian
Permasalahan manajemen kepegawaian menjadi
acuan bahasan dalam FGD dengan pejabat Eselon III
dan IV pada instansi terpilih. Aspek yang dikaji
meliputi:
• Formasi Pegawai
• Rekruitmen
• Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian
• Remunerasi
• Penegakan Disiplin dan Etika Pegawai
• Standard Kompetensi dan Penilaian Kinerja
• Permasalahan Umum Kepegawaian Umumnya
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 18
2.4.1 Teknik Analisa Data
Sesuai dengan data yang diperoleh, maka proses analisis
dalam kegiatan studi ini dilakukan dengan menggunakan
kombinasi pendekatan analisis kualitatif dan analisis
kuantitatif/analisis inferensial. Kedua pendekatan tersebut
tidak menjadikan hasil analisis akan bersifat saling terpisah,
melainkan bersifat saling melengkapi satu sama lainnya.
Anlisis dilakukan meliputi empat perspektif dalam Balanced
Scorecard meliputi perspektif kinerja keuangan, perspektif
kinerja pelayanan pelanggan, perspektif kinerja bisnis
internal dan perspektif kinerja pembelajaran dan
pertumbuhan yang varibelnya kajiannya telah dibahas pada
sub bab 2.4.1.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 19
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian
Laporan Rencana Kerja Lapo
Persiapan Umum Pelaksanaan Pekerjaan 1. Mobilisasi dan & Konsolidasi Personil 2. Mobilisasi Prasarana & Sarana Pendukung
Kegiatan 3. Koordinasi dengan Tim Teknis/Pemberi Kerja: 4. Studi Leteratur Pendukung 5. Penyusunan Rencana Kerja Komprehensif
Pembahasan Rencana Kerja & Metodologi
Pengembangan Metodologi & Survey & Analisis Identifikasi Kelembagaan & Komunitas: 1. Instrumen: Kuesioner, Wawancara, FGD, Data
Sekunder 2. Responden/nara Sumber 3. Metode Kualitatif: Deskriptif 4. Metode Analisis Kuantitatif: Balanced Scorecard,
Six Sigma, atau Beban Kerja dan Regresi
Survey Identifikasi Beban Kerja, Jumlah Optimal, dan Kompetensi Aparatur Pemerintah Daerah terhadap Dinas dan Lembaga Teknis Daerah n (2 Provinsi Lama: DIY dan Sumatera Utara; 3 Provinsi
Baru: Banten, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau
Kompilasi Data Hasil Survey Pembahasan Hasil Survey
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 20
a. Analisis Deskriptif Kualitatif
Analisis data secara kualitatif bersifat
memaparkan hasil temuan secara mendalam
melalui pendekatan bukan angka atau
nonstatististik. Analisis ini cenderung
mengakomodasi setiap data atau tanggapan
responden yang diperoleh selama pengumpulan
data agar mampu memperkaya wawasan (insight)
manajer (Istijanto, 2005: 85). Metode ini
digunakan untuk menjabarkan dan
menggambarkan secara sistematik dan
komprehensif data-data kualitatif diperoleh dari
FGD (Focus Group Discussion), wawancara
mendalam (depth interview), dan observasi.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 21
Analisis ini dilakukan untuk memperoleh deskripsi
utuh atas permasalahan yang menjawab tujuan
dan sasaran dari sebuah kajian.
Data atau kata-kata yang diungkapkan
oleh aparat selanjutnya dianalisis dengan
merangkum atau meringkas untuk menghasilkan
temuan yang lebih bermakna dan mudah
dipahami. Rangkuman/ringkasan dapat berupa
faktor-faktor yang melandasi variabel
pengelolaan aparat (SDM daerah), dugaan adanya
hubungan antar variabel pengelolaan aparatur,
atau komponen-komponen pembentuknya.
b. Analisis Kuantitatif
Metode analisis kuantitatif digunakan
untuk penentuan jumlah/pola optimal dalam
penentuan aparatur pemda propinsi dari
indikator-indikator yang bersifat kuantitatif.
Analisis ini diperlukan untuk menunjang dan
menajamkan narasi dari analisis deskriptif yang
bersifat kualitatif adalah Metode Balance
Scorecard, Metode Six Sigma, Analisis Multiple
Regression, atau metode lain yang dapat
digunakan untuk menganalisis sumberdaya
manusia (Human Resources Development).
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 22
Metode analisis tersebut sifatnya masih
alternatif, karena perlu dilakukan pengujian dan
kelayakan agar hasil kajian sesuai dengan
harapan.
1) Metode Balanced Scorecard
Balanced Scorecard system (sistem
pengukuran kinerja berimbang) merupakan
sistem pengukuran yang efektif yang menjadi
bagian integral proses manajemen yang
dapat memotivasi peningkatan dibidang-
bidang penting seperti produk, proses
produksi, kepuasan konsumen, serta
pengembangan pasar.
Dalam proses pengembangannya
Balanced Scorecard meliputi langkah-langkah
sebagai berikut:
a) Pada langkah pertama, yaitu persiapan
dimana suatu organisasi harus
menentukan dan mendefinisikan unit
bisnis yang sesuai dengan unit balanced
scorecard system yang akan
dikembangkan biasanya unit bisnis yang
memiliki sendiri konsumen, saluran
distribusi, fasilitas produksi dan tolok
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 23
ukur keuangan sendiri. Langkah
penentuan dan pengembangan visi, misi
dan strategi perusahaan. Visi perusahaan
ialah kemampuan atau daya perusahaan
untuk melihat atau mengimajinasikan
dirinya sendiri dimasa depan. Misi
perusahaan artinya tugas khusus yang
akan diemban oleh perusahaan dalam
mencapai tujuannya sehingga
memberikan arah dan fokus bagi
manajemen terhadap aktivitas-
aktivitasnya. Sedangkan strategi
perusahaan didefinisikan sebagai apa
yang sedang dan akan dikerjakan
organisasi;
b) Langkah selanjutnya, memformulasikan
balanced scorecard dimana dapat
mengintegrasikan tolok ukur keuangan
sebagai satu kesatuan tolok ukur kinerja.
Selanjutnya mengimplementasikan
balanced scorecard dengan cara
mengintegrasikannya kedalam filosofi
manajemen dan budaya perusahaan,
mengkomunikasikannya kepada karyawan
dan mengembangkan sistem informasi
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 24
yang mendukung pengukuran kinerja
menurut balanced scorecard system serta
mengimplementasikan balanced
scorecard kedalam aktivitas-aktivitas
perusahaan sehari-hari;
c) Langkah terakhir mengevaluasi balanced
scorecard pada setiap akhir suatu
periode yang telah ditetapkan sebagai
saat evaluasi misalnya bulanan,
semesteran atau tahunan dan
mendiskusikannya kepada seluruh
jenjang manajemen sebagai bagian dari
penetapan tujuan strategi perusahaan
dan proses alokasi sumber daya.
Fokus dari Balanced Scorecard adalah
untuk meningkatkan proses manajemen
dalam:
Klarifikasi dan translasi dari visi dan
strategi;
Komunikasi dan hubungan tujuan dan
ukuran strategi;
Rencana set target dan aliansi inisiatif
strategi;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 25
Mencapai dan mempelajari strategi
feedback.
Balance Scorecard melakukan
penilaian dalam penaksiran kinerja
perusahaan dengan 4 perspektif yaitu :
a) Perspektif Keuangan (finansial)
Perspektif keuangan tetap menjadi
perhatian dalam balanced scorecard
karena ukuran keuangan merupakan
ikhtisar dari konsekuensi ekonomi yang
terjadi akibat keputusan dan tindakan
Gambar 2.2
Empat Perspektif Dalam Analisis Balance
Scorecard
Sumber : Kaplan and Norton (1996)
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 26
ekonomi yang diambil. Tujuan pencapaian
kinerja keuangan yang baik merupakan
fokus dari tujuan-tujuan yang ada dalam
tiga perspektif lainnya. Sasaran-sasaran
perspektif keuangan dibedakan pada
masing-masing tahap dalam siklus bisnis
yang oleh Kaplan dan Norton dibedakan
menjadi tiga tahap:
Growth (Berkembang), dimana
berkembang merupakan tahap
pertama dan tahap awal dari siklus
kehidupan bisnis. Pada tahap ini
suatu perusahaan memiliki tingkat
pertumbuhan yang sama sekali atau
peling tidak memiliki potensi untuk
berkembang. Untuk menciptakan
potensi ini, kemungkinan seorang
manajer harus terikat komitmen
untuk mengembangkan suatu produk
atau jasa baru, membangun dan
mengembangkan fasilitas produksi,
menambah kemampuan operasi,
mengembangkan sistem,
infrastruktur dan jaringan distribusi
yang akan mendukung hubungan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 27
global, serta mengasuh dan
mengembangkan hubungan dengan
pelanggan. Perusahaan dalam tahap
pertumbuhan mungkin secara aktual
beroperasi dengan cash flow negatif
dan tingkat pengembalian atas modal
yang rendah. Investasi yang ditanam
untuk kepentingan masa depan
sangat memungkinkan memakai biaya
yang lebih besar dibandingkan
dengan jumlah dana yang mampu
dihasilkan dari basis operasi yang ada
sekarang, dengan produk dan jasa
dan konsumen yang masih terbatas.
Sasaran keuangan untuk growth stage
menekankan pada pertumbuhan
penjualan di dalam pasar baru dari
konsumen baru dan atau dari produk
dan jasa baru.
Sustain Stage (Bertahan), merupakan
tahap kedua yaitu suatu tahap
dimana perusahaan masih melakukan
investasi dan reinvestasi dengan
mempersyaratkan tingkat
pengembalian yang terbaik, Dalam
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 28
tahap ini perusahaan berusaha
mempertahankan pangsa pasar yang
ada dan mengembankannya apabila
mungkin. Investasi yang dilakukan
umumnya diarahkan untuk
menghilangkan kemacetan,
mengembangkan kapasitas dan
meningkatkan perbaikan operasional
secara konsisten. Pada tahap ini
perusahaan tidak lagi bertumpu pada
strategi-stratei jangka panjang.
Sasaran keuangan tahap ini lebih
diarahkan pada besarnya tingkat
pengembalian atas investasi yang
dilakukan.
Harvest (Panen), tahap ini
merupakan tahap kematangan
(mature), suatu tahap dimana
perusahaan melakukan panen
(harvest) terhadap investasi mereka.
Perusahaan tidak lagi melakukan
investasi lebih jauh kecuali hanya
untuk memelihara dan perbaikan
fasilitas, tidak untuk melakukan
ekspansi atau membangun suatu
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 29
kemampuan baru. Tujuan utama
dalam tahap ini adalah
memaksimumkan arus kas yang
masuk ke perusahaan. Sasaran
keuangan untuk harvest adalah cash
flow maksimum yang mampu
dikembalikan dari investasi dimasa
lalu.
b) Perspektif Pelanggan.
Pada masa lalu seringkali
perusahaan mengkonsentrasikan diri
pada kemampuan internal dan kurang
memperhatikan kebutuhan
konsumen. Sekarang strategi
perusahaan telah bergeser fokusnya
dari internal ke eksternal. Jika suatu
unit bisnis inin mencapai kinerja
keuangan yang superior dalam jangka
panjang, mereka harus menciptakan
dan menyajikan suatu produk atau
jasa yang bernilai dari biaya
perolehannya. Dan suatu produk akan
semakin bernilai apabila kinerjanya
semakin mendekati atau bahkan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 30
melebihi dari apa yang diharapkan
dan persepsikan konsumen (Heppy
Julianto, 2000). Tolok ukur kinerja
pelanggan dibagi menjadi dua
kelompok (Budi W. Soejtipto, 1997):
Kelompok Inti
Pangsa pasar: mengukur seberapa
besar pororsi segmen pasar
tertentu yang dikuasai oleh
perusahaan.
Tingkat perolehan para pelanggan
baru: mengukur seberapa banyak
perusahaan berhasil menarik
pelanggan-pelanggan baru.
Kemampuan mempertahankan para
pelanggan lama: mengukur
seberapa banyak perusahaan
berhasil mempertahankan
pelangan-pelanggan lama.
Tingkat kepuasan pelanggan:
mengukur seberapa jauh pelanggan
merasa puas terhadap layanan
perusahaan.
Tingkat profitabilitas pelanggan:
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 31
mengukur seberapa besar
keuntungan yang berhasil diraih
oleh perusahaan dari penjualan
produk kepada para pelanggan.
Kelompok Penunjang.
Atribut-atribut produk (fungsi,
harga dan mutu), dimana tolok
ukur atribut produk adalah tingkat
harga eceran relatif, tingkat daya
guna produk, tingkat pengembalian
produk oleh pelanggan sebagai
akibat ketidak sempurnaan proses
produksi, mutu peralatan dan
fasilitas produksi yang digunakan,
kemampuan sumber daya manusia
serta tingkat efisiensi produksi.
Hubungan dengan pelanggan, tolok
ukur yang termasuk sub kelompok
ini, tingkat fleksibilitas perusahaan
dalam memenuhi keinginan dan
kebutuhan para pelanggannya,
penampilan fisik dan mutu layanan
yang diberikan oleh pramuniaga
serta penampilan fisik fasilitas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 32
penjualan.
Citra dan reputasi perusahaan
beserta produk-produknya dimata
para pelanggannya dan masyarakat
konsumen.
c) Perspektif Proses Bisnis Internal.
Menurut Kaplan dan Norton
1996, dalam proses bisnis internal,
manajer harus bisa mengidentifikasi
proses internal yang penting dimana
perusahaan diharuskan melakukan
dengan baik karena proses internal
tersebut mempunyai nilai-nilai yang
diinginkan konsumen dan dapat
memberikan pengembalian yang
diharapkan oleh para pemegang
saham. Tahapan dalam proses bisnis
internal meliputi:
Inovasi, dimana inovasi yang
dilakukan dalam perusahaan
biasanya dilakukan oleh bagian
riset dan pengembangan. Dalam
tahap inovasi ini tolok ukur yang
digunakan adalah besarnya
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 33
produk-produk baru, lama waktu
yang dibutuhkan untuk
mengembangan suatu produk
secara relatif jika dibandingkan
perusahaan pesaing, besarnya
biaya, banyaknya produk baru
yang berhasil dikembangkan.
Proses Operasi, tahapan ini
merupakan tahapan dimana
perusahaan berupaya untuk
memberikan solusi kepada para
pelanggan dalam memenuhi
kebutuhan dan keinginan
pelanggan. Tolok ukur yang
digunakan antara lain
Manufacturing Cycle
Effectiveness (MCE), tingkat
kerusakan produk pra penjualan,
banyaknya bahan baku terbuang
percuma, frekuensi pengerjaan
ulang produk sebagai akibat
terjadinya kerusakan, banyaknya
permintaan para pelanggan yang
tidak dapat dipenuhi,
penyimpangan biaya produksi
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 34
aktual terhadap biaya anggaran
produksi serta tingkat efisiensi
per kegiatan produksi.
Proses Penyampaian Produk atau
Jasa pada Pelanggan, aktivitas
penyampaian produk atau jasa
pada pelanggan meliputi
pengumpulan, penuimpanan dan
pendistribusian produk atau jasa
serta layanan purna jual dimana
perusahaan berupaya
memberikan manfaat tambahan
kepada pelanggan yang telaah
membeli produknya seperti
layanan pemeliharaan produk,
layanan perbakan kerusakan,
layanan penggantian suku
cadang, dan perbaikan
pembayaran.
d) Perspektif Pembelajaran dan
Pertumbuhan.
Perspektif keempat dalam
balanced scorecard mengembangkan
pengukuran dan tujuan untuk
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 35
mendorong organisasi agar berjalan
dan tumbuh. Tujuan dari perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan
adalah menyediakan infrastruktur
untuk mendukung pencapaian tiga
perspektif sebelumnya. Perspektif
keuangan, pelanggan dan sasaran
dari proses bisnis internal dapat
mengungkapkan kesenjangan antara
kemampuan yang ada dari orang,
sistem dan prosedur dengan apa yang
dibutuhkan untuk mencapai suatu
kinerja yang handal. Untuk
memperkecil kesenjangan tersebut
perusahaan harus melakukan
investasi dalam bentuk reskilling
employes. Adapun faktor-faktor yang
harus diperhatikan adalah (Kaplan
dan Norton, 1996):
Karyawan, hal yang perlu
ditinjau adalah kepuasan
karyawan dan produktivitas
kerja karyawan. Untuk
mengetahui tingkat kepuasan
karyawan perusahaan perlu
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 36
melakukan survei secara
reguler. Beberapa elemen
kepuasan karyawan adalah
keterlibatan dalam
pengambilan keputusan,
pengakuan, akses untuk
memperoleh informasi,
dorongan untuk melakukan
kreativitas dan inisiatif serta
dukungan dari atasan.
Produktivitas kerja merupakan
hasil dari pengaruh agregat
peningkatan keahlian moral,
inovasi, perbaikan proses
internal dan tingkat kepuasan
konsumen. Di dalam menilai
produktivitas kerja setiap
karyawan dibutuhkan
pemantauan secara terus
menerus.
Kemampuan Sistem Informasi,
perusahaan perlu memiliki
prosedur informasi yang mudah
dipahami dan mudah
dijalankan. Tolok ukur yang
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 37
sering digunakan adalah bahwa
informasi yang dibutuhkan
mudah diperoleh, tepat dan
tidak memerlukan waktu lama
untuk mendapat informasi
tersebut
Balanced Scorecard merupakan
sistem yang dipakai untuk pengukuran
kinerja perusahaan yang mampu
menyediakan informasi bagi manajemen dan
pemegang saham untuk memberikan jawaban
atas empat pertanyaan pokok, yaitu :
a) Bagaimana pandangan pemegang saham
atas kinerja perusahaan? (financial
perspective);
b) Bagaimana pandangan customers
terhadap perusahaan? (customers
perspective);
c) Apa yang dapat diunggulkan perusahaan?
(internal perspective);
d) Dapatkah manajemen melakukan
perbaikan dan menciptakan value secara
berkesinambungan? (learning and growth
perspective).
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 38
Sistem pengukuran yang menyajikan
informasi dari empat perspektif yang
berbeda tersebut dapat memaksimalkan
informasi yang diperlukan oleh top
management. Keempat perspektif tersebut
harus diberikan cakupan yang seimbang
(balanced) dan terjadinya suboptimalisasi
pada satu perspektif harus dihindarkan.
Ada 4 langkah yang harus dilalui
untuk menggunakan Balanced Scorecard
dalam perencanaan strategi jangka panjang
yang terintegrasi dan proses budget
operasional antara lain :
1) Set stretch targets; target yang
ditetapkan harus mencerminkan
discontinuity dalam kinerja unit bisnis.
Bila target tersebut telah dicapai maka
dimplementasikan dalam marketing
untuk inovasi dan untuk jasa pelanggan
yang diikuti oleh profit yang besar.
Sebagai driver kinerja Balanced sorecard
akan membantu manajer untuk
mengindentifikasi driver utama yang
dapat memicu ukuran kinerja hasil,
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 39
dalam faktor operasional seperti strategi
investasi, market research, inovasi
produk dan jasa, reskilled employees dan
penggunaan sistem informasi yang akan
menciptakan target keuangan yang
ambisius yang akan dicapai serta
pelanggan.
2) Identify and rationalize strategic
initiative; dalam balanced scorecard
inisiatif akan terfokus untuk mencapai
tujuan organisasi, ukuran dan target yang
menyempurnakan channel kreativitas
meliputi program ukuran yang hilang,
penyempurnaan program yang kontinu
dihubungkan dengan rate of change
metrics dan inisiatif strategi seperti
reengineering dan program transformasi
yang dihubungkan dengan
penyempurnaan yang radikal dalam
kinerja kunci dari driver.
3) Identify critical cross-business initiative;
perusahaan dapat menggunakan Balanced
sorecard untuk mendorong fungsi
corporate level sehingga semakin efisien
dan terfokus pada pelanggan dan dapat
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 40
mengidentifikasi inisiatif yang akan
memberikan keuntungan kepada strategi
unit bisnis.
4) Link to annual resources allocations and
budgets; strategi dijalankan dengan
menghubungkan 3 atau 5 tahun rencana
strategi ke discreationary expense dan
kinerja budget untuk tahun mendatang
dan kemudian menelusurinya kembali ke
unit bisnis sesuai dengan perjalanan
strategi
Dalam aplikasinya, balanced
scorecard diciptakan untuk menetapkan goals
dan selanjutnya mengukur pencapaian goals
tersebut, sehingga sistem ini dapat
membantu perusahaan dalam menetapkan
strategi yang akan dipakai. Balanced
Scorecard bukan merupakan suatu pola yang
dapat diaplikasikan pada semua perusahaan
secara umum. Situasi pasar, produk/jasa dan
kompetisi yang berbeda akan menyebabkan
penatapan, scorecard yang berbeda.
Perusahaan seharusnya menciptakan
scorecard yang disesuaikan dengan misi,
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 41
teknologi serta budaya masing-masing
perusahaan. Sistem baru ini lebih dari
sekedar alat ukur kinerja, karena sistem
manajemen ini dapat menumbuhkan motivasi
untuk perbaikan dalam pengembangan
produk, proses, customers dan lainnya.
Dengan mengkombinasikan empat perspektif,
yaitu financial, customers, internal process
dan learning and growth, balanced scorecard
akan membantu manajemen dalam hal
pembuatan dan pengambilan keputusan,
dengan lebih melihat masa depan dibanding
kejadian yang telah terjadi.
2.4.2. Penerapan Balance Scorecad Dalam Analisis
Kinerja Sektor Publik
Secara umum, penerapan konsep balanced
socrecard dalam organisasi publik dapat dilakukan
mulai dari proses pembelajaran dibidang keahlian,
pengetahuan, data, maupun masyarakat. Proses
pembelajaran ini akan mempengaruhi proses internal
organisasi. Proses internal akan mewarnai mutu
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat maupun
para wakil rakyat, mempengaruhi nilai dan manfaat,
serta mempengaruhi keuangan dan biaya sosial, dan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 42
secara keseluruhan akan bermuara pada misi organisasi
yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Secara diagram,
dapat dijelaskan pada gambar berikut.
Gambar 2.3 Penerapan Balanced Scorecard
dalam Organisasi Publik
Beberapa pertanyaan pokok yang perlu dijawab
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 43
dalam menjabarkan misi organisasi menjadi strategi
dalam empat perspektif balance scorecard dapat
dijabarkan berikut ini.
1) Misi :
Apa misi organisasi?
Jasa pelayanan dan program apa saja yang
dipersyaratkan dan dibutuhkan?
2) Pelanggan dan Pihak Berkepentingan :
Bagaimana organisasi mencipta nilai?
Manfaat apa saja yang dibutuhkan untuk
penyediaan jasa tersebut?
3) Karyawan dan Kapasitas Organisasi:
Bagaimana kita merubah dan
mengembangkan kemampuan?
4) Proses Bisnis Internal:
Untuk memuaskan para pembayar pajak,
wakil rakyat dan pihak berkepentingan
lainnya, proses bisnis mana yang harus
ditonjolkan?
5) Finansial:
Untuk kehati-hatian pengelolaan sumber
daya publik, bagaimana cara mengalokasikan
dana dan mengontrol belanja?
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 44
Gambar 2.4 Penjabaran Visi dan Misi Organisasi Publik
Berdasarkan alur pertanyaan tersebut.
Selanjutnya dapat disusun bagan analisis dari Balance
sorecard. Sebagai contoh adalah dalam konteks analisis
sektor publik di bidang kesehatan, dijelaskan pada
gambar 2.5.
Gambar 2.5: Analisis Sketor Publik di Bidang Kesehatan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 45
Sedangkan sasaran dan ukuran strategik dari
penerapan metode ini, dapat dilihat pada taabel berikut:
Tabel 2.1 Ukuran dan Sasaran Strategis dengan Balanced
Scorecard
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 46
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 47
2) Metode Six Sigma
Six Sigma merupakan sebuah metodologi
terstruktur untuk memperbaiki proses yang
difokuskan pada usaha mengurangi variasi proses
(process variances) sekaligus mengurangi cacat
(produk/jasa yang diluar spesifikasi) dengan
menggunakan statistik dan problem solving tools
secara intensif.
Secara harfiah, Six Sigma (6σ) adalah
suatu besaran yang bisa kita terjemahkan secara
gampang sebagai sebuah proses yang memiliki
kemungkinan cacat (defects opportunity)
sebanyak 3.4 buah dalam satu juta
produk/jasa. Ada banyak kontroversi di sekitar
penurunan angka Six Sigma menjadi 3.4 dpmo
(defects per million opportunities). Namun bagi
kita, yang penting intinya adalah Six Sigma
sebagai metrics merupakan sebuah referensi
untuk mencapai suatu keadaan yang nyaris bebas
cacat. Dalam perkembangannya, 6σ bukan hanya
sebuah metrics, namun telah berkembang
menjadi sebuah metodologi dan bahkan strategi
bisnis.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 48
Peter S. Pande & Larry Holpp (2003:3)
menyatakan Six Sigma (6σ) adalah cara mengukur
proses, tujuan mendekati sempurna, disajikan
dengan 3,4 DMPO (defect per million
opportunities); mengubah budaya organisasi.
Atau lebih tepat six sigma difinisikan sebagai
sebuah system yang luas dan komprehensif untuk
membangun dan menopang kinerja, sukses, dan
kepimpinan bisnis.
Masish menurut Peter Pande,dkk, dalam
bukunya The Six Sigma Way: Team Fieldbook,
ada enam komponen utama konsep Six Sigma
sebagai strategi bisnis:
1. Benar-benar mengutamakan layanan pada
masyarakat: seperti kita sadari bersama,
masyarakat bukan hanya penerima layanan,
tapi bisa juga berarti mitra kerja aparat,
kelompok yang menerima hasil kerja aparat,
masyarakat lainnya pengguna jasa, dll.
2. Manajemen yang berdasarkan data dan fakta:
bukan berdasarkan opini, atau pendapat
tanpa dasar.
3. Fokus pada proses, manajemen dan
perbaikan: Six Sigma sangat tergantung
kemampuan kita mengerti proses yang
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 49
dipadu dengan manajemen yang bagus untuk
melakukan perbaikan.
4. Manajemen yang proaktif: peran pemimpin
dan manajer sangat penting dalam
mengarahkan keberhasilan dalam melakukan
perubahan.
5. Kolaborasi tanpa batas: kerja sama antar tim
yang harus mulus.
6. Selalu mengejar kesempurnaan.
Six Sigma adalah suatu metode yang
sangat terstruktur yang terdiri dari terdiri dari
lima tahapan yang disingkat DMAIC (Define,
Analyze, Improve, Control). Define: pada tahap
ini team pelaksana mengidentifikasikan
permasalahan, mendefiniskan spesifikasi
pelanggan, dan menentukan tujuan (pengurangan
cacat/biaya dan target waktu). Measure: tahap
untuk memvalidasi permasalahan,
mengukur/menganalisis permasalahan dari data
yang ada.
Analyze: menentukan faktor-faktor yang
paling mempengaruhi proses; artinya mencari
satu atau dua faktor yang kalau itu diperbaiki
akan memperbaiki proses kita secara dramatis.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 50
Improve: nah, di tahap ini kita mendiskusikan
ide-ide untuk memperbaiki sistem kita
berdasarkan hasil analisa terdahulu, melakukan
percobaan untuk melihat hasilnya, jika bagus lalu
dibuatkan prosedur bakunya (standard
operating procedure-SOP). Control: di tahap ini
kita harus membuat rencana dan desain
pengukuran agar hasil yang sudah bagus dari
perbaikan team kita bisa berkesinambungan.
Dalam tahap ini kita membuat semacam metrics
untuk selalu dimonitor dan dikoreksi bila sudah
mulai menurun ataupun untuk melakukan
perbaikan lagi.
Langkah-langkah penggunaan pendekatan
Six Sigma dalam Pengelolaan Aparatur Pemda:
1. Identifikasi kualitas pengelolaan aparatur
yang efektif dan efisien
2. Mengklasifikasi karakteristik kualitas
pengelolaan aparatur
3. Menentukan kendali (part dan/ proses)
4. Toleransi maksimum karakteristik kualitas
5. Menentukan variasi proses untuk
karakteristik yang telah diklasifikasi
6. Penentukan Indeks kapabilitas CP lebih besar
dari sama dengan 2.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 51
Tabel 2.2: Batas-Batas Kontrol 6σ
Peta Kontrol X-Bar (Batas-Batas Kontrol 6-Sigma atau 6σ)
Peta Kontrol S (Batas-B6σ)
CL = nilai target (T)
UCL= T + 1,5σ
LCL= T – 1,5 σ
UCL = SMaksimal
LCL = 0
Sumber: Gaspersz (2001)
Keterangan: T = target yang diinginkan
Adapun keuntungan menggunakan DMAIC
sebagai analisis adalah:
1) membuat awal yang baik
2) memberikan konteks yang baru terhadap
alat-alat yang familiar
3) menciptakan sebuah pendekatan yang
konsisten
4) memprioritaskan pelanggan dan pengukuran
5) menawarkan jalur proses dan perancangan
ulang untuk perbaikan perbaikan.
Tabel 2.3: Komponen dan Indikator 6σ
Komponen 6σ Perusahaan Pengelpeme
Fokus yang sungguh kepada pelanggan
Kinerja pelanggan, kepuasan pelanggan, dan nilai pelanggan
Kinerja (kuakehandalan, pengembang
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 52
perencanaanjumlah) layalayanan publ
Manajemen digerakkan oleh data fakta
Pengukuran kinerja perusahaan dan menganalisis variabel-variabel kunci
Kinerja penganalisis varia
Fokus proses, manajemen, dan perbaikan
Fokus proses, manajemen, dan perbaikan
Proses pengepengembangaparat, dan aparat, komjumlah aparamotivasi apa
Proaktif Manajamen proaktif Kepekaan apdaerah
Kolaborasi tanpa batas Kerja sama antara kelompok internal dengan para pelanggan, pemasok, mitra rantai persediaan.
Kerja sama ainternal dan horizontal, r
Dorongan untuk sempurna, tetapi teleransi terhadap pelanggan
Mengelola resiko dan belajar dari kesalahan
Pengelolaan mengurangi
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Pengukuran instrumen; skala interval dan ordinal.
Dalam Six Sigma, konsep Variance dan Standar Deviasi
memegang peran yang sangat penting dalam analisis. Ini
karena dari pengalaman pada proses-proses produksi barang
dan jasa, variasi adalah MUSUH. Fokus Six Sigma adalah
mengurangi variasi. Kenapa? Karena setiap
individu/organisasi yang menjadi pelanggan kita ‘merasakan’
variasi itu, bukan merasakan rata-rata.
Tabel 2.4: Kriteria Konversi 6σ
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 53
Sumber: Pande & Holpp (2003) dalam Rahman (2005)
3) Metode Regresi Linier
Teknik regresi adalah pendekatan yang
digunakan untuk mendefinisikan relasi matematis
antara variabel output (y) dan satu atau lebih
variabel input (x). Diantara banyak model
regresi, analisis yang paling umum digunakan
dalam statistik oleh masyarakat luas adalah
regresi linear. Analisis ini memang sangat luas
aplikasinya karena hubungan antara dua variabel
merupakan sesuatu yang jamak dalam hidup
sehari-hari. Dalam kajian ini, teknik regresi
dapat digunakan untuk mengestimasi besarnya
jumlah optimal pegawai dengan mengetahui
jumlah beban kerja pegawai. Beban kerja
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 54
pegawai sebagai variabel bebas (X) dan jumlah
pegawai adalah variabel terikat (Y).
Dalam regresi linear, ada dua komponen
yang mendasari analisis-nya:
- pasangan dua variabel
- perkiraan alasan tentang hubungan antara
dua variabel
tersebut.
Konsep regresi sendiri walaupun sangat
lazim digunakan, namun tidak banyak yang
menyadari bahwa konsep ini sangat dekat dengan
hypothesis test dalam menentukan apakah dua
variabel yang kita analisa saling berkaitan.
Menentukan bentuk regresi dapat dilakukan
dengan beberapa cara. Cara yang paling
sederhana adalah membuat grafik dalam diagram
scatter, atau dengan cara operasi matematis.
Dengan menggunakan diagram scatter, data yang
telah di-plot secara sederhana dapat dilihat
kumpulan apakah kumpulan data dapat
dinyatakan berada pada suatu garis lurus (linier)
atau tidak lurus (non linier). Sedangkan dengan
cara matematis dapat untuk mengetahui data
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 55
dengan bermacam-macam diantaranya Ordinary
Least Square (OLS).
Persamaan umum untuk regresi linear
sederhana dapat dituliskan sebagai berikut:
dimana:
iY adalah nilai perkiraan dari variabel output
iY
b0
adalah titik singgung persamaan dengan
sumbu y ( nilai y jika x = 0)
b1
adalah koefisien yang menunjukkan
gradien persamaan tersebut
xi adalah nilai variabel input
ei
adalah nilai residual, nilai yang
menunjukkan perbedaan antara nilai actual
(Y) dan nilai perkiraan ( iY ) yang dihasilkan
oleh model tersebut.
Harga bo dihitung dengan rumus:
22
2
)(.)(
0XXn
XYYXYbΣ−Σ
ΣΣ−ΣΣ=
Harga b1 dihitung dengan rumus:
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 56
221 )(.XXn
YXXYnbΣ−ΣΣΣ−Σ
=
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
BAB III TINJAUAN PUSTAKA DAN
GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI
3.1 Landasan Teoritis
Dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya pada bab
I, maka pada bagian ini akan diuraikan konsep dan kebijakan desentralisasi dan
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM). Dengan menguraikan kedua hal tersebut,
diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang kompetensi pegawai, analisis
pekerjaan, beban kerja pegawai, sjumlah/pola optimal pegawai, serta tentang
pengelolaan kepegawaian.
3.1.1 Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Definisi desentralisasi dan otonomi daerah merupakan dua istilah yang
berbeda tetapi merupakan satu kesatuan. Menurut Undang-Undang nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah adalah:
- Desentralisasi adalah penyerahan wewenang oleh Pemerintah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
a. Konsep Desentralisasi
Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu
tujuan bernegara, yaitu memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan
menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis.
Beberapa wujud pelaksanaan desentralisasi adalah adanya pelimpahan
kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk
melakukan pembelanjaan dan kewenangan untuk memungut pajak (taxing
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 34
power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang
dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah
Pusat.
Konsep desentralisasi menurut PBB (1962) didefinisikan sebagai:
1. Dekonsentrasi yang disebut juga sebagai desentralisasi birokrasi atau
administrasi, dan
2. Devolusi yang sering disebut juga sebagai desentralisasi demokrasi atau
politik, yang mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada
badan perwakilan yang dipilih melalui pemilihan lokal.
Sedangkan menurut penjelasan Pasal 18 UUD 1945, desentralisasi
mengandung makna bahwa penyelenggaraan pemerintah di daerah harus
melibatkan rakyat. Untuk itu dalam realisasinya pemerintah daerah harus
mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Tujuan penerapan asas desentralisasi di dalam negara kesatuan adalah agar
tidak terjadi pemusatan (sentralisasi) kekuasaan di tangan pemerintah pusat
dan agar kebijakan pemerintah lebih sesuai dengan kondisi wilayah dan
aspirasi masyarakat di daerah.
Secara umum, alasan mengapa desentralisasi itu penting yaitu:
1. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi
dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak
saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
2. Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai
tindakan pendemokrasian untuk mengikutsertakan rakyat di dalam
pemerintahan.
3. Dari sudut teknis organisatoris pemerintahan, adalah semata-mata untuk
mencapai suatu pemerintahan yang efisien.
4. Dari sudut kultural, desentralisasi diperlukan supaya perhatian dapat
sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan sesuatu daerah, seperti
geografis, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi atau latar belakang
sejarahnya.
5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi
diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara
langsung membantu pembangunan tersebut.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 35
Pada akhir abad ini, desentralisasi telah dilakukan oleh banyak negara,
demikian dinyatakan oleh Bank Dunia dalam Decentralization Briefing Notes,
seperti yang dilakukan oleh negara-negara Amerika Latin, Afrika dan Asia.
Masing-masing negara mempunyai tujuan yang sama namun demikian mereka
mempunyai alasan dan motivasi yang berbeda untuk melakukan desentralisasi
itu.
1. Alasan ekonomi yang pertama dari desentralisasi adalah alokasi
efisiensi. Di mana, keputusan tentang pengeluaran publik yang dibuat
oleh pemerintah lebih dekat dan lebih bertanggunggjawab dengan
permintaan dari daerah, oleh karenanya desentralisasi labih rasional
dari pada desentralisasi.
2. Alasan ekonomi yang kedua adalah untuk meningkatkan kemampuan
bersaing pemerintah dan mendorong inovasi, oleh karenanya pemerintah
daerah akan selalu berusaha untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan
penduduknya. Keuntungan yang lain adalah penduduk menjadi lebih
suka untuk membayar kewajiban-kewajibannya untuk prioritas
kemauannya, sehingga masyarakat ikut berpartisipasi memberikan
pelayanan.
Effendi (2002) mengatakan bahwa untuk mendefinsikan istilah
desentralisasi tidaklah mudah, karena menyangkut berbagai bentuk dan
dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik,
perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial
dan ekonomi. Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas Desentralisasi
Politik (Political Decentralization); Desentralisasi Administratif
(Administrative Decentralization); Desentralisasi Fiskal (Fiscal
Decentralization); dan Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market
Decentralization).
Dalam hal ini hanya akan dikemukakan pengertian desentralisasi
administratif. Effendi (2002) mendefinisikan Desentralisasi Adminitratif,
yaitu pelimpahan wewenang yang dimaksudkan untuk mendistribusikan
kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan untuk
menyediakan pelayanan publik. Pelimpahan tanggung jawab tersebut
terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan
manajemen fungsi–fungsi pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 36
aparatnya di Daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan
otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu.
Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi akan sangat tergantung
pada desain, proses implementasi, dukungan politis baik pada tingkat
pengambilan keputusan di masing-masing tingkat pemerintahan, maupun
masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi pemerintahan,
pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme
koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem
nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat
khususnya dalam pelayanan sektor publik.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 1
ayat 7 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Konsep desentralisasi menurut Undang-undang
sudah mencakup aspek fiskal, politik, administrasi dan sistem
pemerintahan, dan pembangunan sosial ekonomi.
Jadi dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa desentralisasi dapat diartikan sebagai penyerahan wewenang dari
pemerintah Pusat ke pemerintah daerah otonom dengan tujuan agar daerah
dapat mengatur dan mengelola pemerintahan dengan alasan sosial,
ekonomi, politik, maupun administrasi dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
b. Konsep Otonomi Daerah
UU 5 tahun 1974 memperkenalkan sistem pemerintahan daerah
otonomi bertingkat dengan titik berat Otonomi Daerah diletakan pada
Daerah Tingkat II. Daerah Tingkat I adalah menjadi atasan Derah Tingkat II
dan selanjutnya. Pusat adalah menjadi atasan Daerah Tingkat I. Penyerahan
urusan (desentralisasi) yang menjadi tanggung jawab daerah ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah (PP). Urusan yang telah diserahkan dapat
ditarik kembali dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat.
Terlambatnya penyerahan urusan oleh Pusat pada Daerah Otonom
merupakan masalah utama dalam pelaksanaan Otonomi Daerah.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 37
Keterlambatan ini dipengaruhi pula oleh kesulitan penentuan urusan yang
akan diserahkan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut dan atas desakan dari
berbagai daerah dibentuklah undang-undang tentang sistem pemerintahan
daerah yang lebih komprehensif yang dikenal dengan UU 22 tahun 1999 yang
mulai berlaku tahun 2001. Seiring dengan undang-undang ini, diterbitkan
pula UU 25 tahun 1999 yang mengatur hubungan keuangan Pusat-Daerah.
Dengan diterbitkannya kedua undang-undang ini berarti pelaksanaan sistem
desentralisasi semakin jelas, baik ditinjau dari sisi administrasi
pemerintahan maupun dilihat dari segi pembiayaan yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan Otonomi Daerah.
Untuk mengakomodasi kelemahan peraturan dan perundang-undangan
yang lama dan aspirasi dari masyarakat bahwa otonomi daerah harus lebih
mengutamakan pelayanan menjadi mudah, kesejahteraanm masyarakat
meningkat, maka perlu dilakukan revisi undang-undang. Di samping itu perlu
ada kejelasan tentang pembagian urusan pemerintahan yang jelas agar
otonomi dapat dijalankan sesuai dengan tujuan semula dan semangat NKRI.
Maka lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yang mengatur
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 pasal pasal 1 ayat 5, bahwa yang
dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
3.1.2 Pembagian Urusan Pemerintah Daerah Provinsi
Restrukturisasi urusan pemerintahan daerah merupakan salah satu unsur
terpenting yang perlu segera ditangani (melalui UU 32/2004 dan peraturan
pelaksananya). Pembagian urusan belum dilakukan secara jelas bagi pemerintahan
kabupaten/kota dalam reformasi desentralisasi tahun 1999. Bahkan jika pembagian
urusan telah jelas, beberapa departemen Lembaga Pemerintah Non Departemen
(LPND) lainnya masih berkeberatan dalam menyerahkan sejumlah urusan strategis,
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 38
maupun urusan yang dapat menjadi sumber pendapatan daerah, yang selanjutnya
akan menyebabkan ketegangan antar tingkatan pemerintahan.
Berbeda jauh dengan UU 22 tahun 1999, UU 32 tahun 2004 mencoba
menghilangkan urusan sisa (residu) kepada pemerintah daerah (kabupaten/kota).
Undang-undang ini kemudian mencantumkan ”positive list” dari urusan wajib bagi
propinsi dan kabupaten/ kota, dengan rincian dilanjutkan di dalam Peraturan
Pemerintah. Undang-undang ini membedakan antara ”urusan wajib” dan ”urusan
pilihan”. Urusan wajib yang ditentukan dalam UU 32/2004 bentuknya kurang
konsisten; ada yang berbentuk sektor dan yang bersifat urusan dengan ruang
lingkup sempit. Daftar untuk propinsi hampir sama dengan daftar kabupaten/kota,
hanya ada tambahan urusan lintas kabupaten/kota. Lebih lagi, penentuan apa yang
menjadi urusan wajib maupun pilihan ditentukan atas serangkaian sektor, daripada
penentukan yang berdasar hakekat urusan itu sendiri.
Dalam Penjelasan PP 38 Tahun 2007 diuraikan bahwa penyelenggaraan
desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah
dengan Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan
pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan
pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan pemerintah adalah urusan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama. Urusan
pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan
pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah.
Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren
tersebut secara proporsional antara Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Penggunaan
ketiga kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif sebagai satu kesatuan dengan
mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antar tingkatan dan susunan
pemerintahan.
Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan
pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 39
(basic services) bagi masyarakat. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah
urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk
diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core
competence) yang menjadi kekhasan daerah. Urusan pemerintahan di luar urusan
wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah,
sepanjang menjadi kewenangan daerah yang bersangkutan tetap harus
diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan.
Adapun urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi adalah seperti yang
tertulis pada PP No. 38 Tahuan 2007, pasal 7 ayat (2) adalah terdiri dari 32 sektor
yang terdiri dari dari: pendidikan; kesehatan; lingkungan hidup; pekerjaan umum;
penataan ruang; perencanaan pembangunan; perumahan; kepemudaan dan
olahraga; penanaman modal; koperasi dan usaha kecil dan menengah;
kependudukan dan catatan sipil; ketenagakerjaan; ketahann pangan;
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; keluarga berencana dan
keluarga sejahtera; perhubungan; komunikasi dan informatika; pertanahan;
kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, otonomi daerah, pemerintahan umum,
administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
pemberdayaan masyarakat dan desa; sosial; kebudayaan; statistik; kearsipan; dan
perpustakaan.
Sedangkan yang menjadi urusan pilihan pemerintah daerah provinsi adalah
sesuai dengan PP No 38 Tahun 2007 pasal 7 ayat (4) antara lain adalah: kelautan
dan perikanan; pertanian; kehutanan; energi dan sumber daya mineral; pariwisata;
industri; industri; perdagangan; dan ketransmigrasian.
3.1.3 Manajemen Sumber Manusia
a. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) mempunyai peran dalam
menentukan keberhasilan sebuah organisasi guna mencapai tujuannya.
Menurut Kinggudu dalam Suharyanto dan Heruanto (2005) bahwa definisi
MSDM adalah:
Human resource management ... is the development and utulization
of personnel for effective achievement of individual, organizational,
community, national and international goals and objectives.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 40
Sementara Irawan (1997) menyebutkan bahwa manajemen sumber
daya manusia adalah ilmu untuk mengatur atau mengelola sumber daya
manusia yang ada dalam organisasi sehingga dapat berkinerja maksimal dan
optimal untuk pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Sedangkan
pendapat Tulus yang lebih melihat dari definisi mikro menyatakan bahwa
manajemen sumber daya manusia adalah perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengawasan atau pengadaan, pengembangan, pemberian
kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pemutusan hubungan
tenaga kerja dimaksud membantu mencapai tujuan organisasi, individu, dan
masyarakat.
Dari berbagai definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
manajemen sumber daya manusia adalah suatu ilmu untuk memberdayakan
sumber daya manusia agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam
mencapai tujuan organisasi.
Definsi di atas juga menyebutkan kegiatan atau fungsi manajemen
sumber daya manusia yang mengarahkan pada sebuah organisasi untuk
melaksanakan seluruh kegiatan pengelolaan kepegawaian. Fungsi utama
MSDM yaitu mengatur hubungan antara kebutuhan manusia dengan
kebutuhan organisasi yang selaras dan seimbang. Menurut Flippo
sebagaiamana dikutip oleh Prasetya (1997) menyebutkan terdapat 10 fungsi
MSDM, yaitu; (1) planning; (2) organizing; (3) directing; (4) controlling; (5)
procurement; (6) development; (7) compensation; (8) integration; (9)
maintenance; dan (10) separation.
Sedangkan Yoder dalam Prasetya (1997) membagi fungsi MSDM
kedalam 6 fungsi, yaitu: (1) staffing, terdiri dari recruitment, selection,
promotion, dan placement; (2) employee development and training; (3)
labour relation; (4) wage and salary administration; (5) employee benefit
service; dan (6) research.
Sementara itu Mondy (1990) menyebutkan adanya 7 fungsi dalam
human resource management (HRM), yaitu (1) human resource planning; (2)
recruitment and selection; (3) human resource development; (4)
compensation and benefits; (5) safety and health; (6) employee and labour
relation; and (7) human resource research. Hal yang menarik dari pendapat
Mondy adalah dimasukkannya keselamatan dan kesehatan kerja, karena
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 41
pekerja/pegawai yang bekerja membutuhkan kondisi yang aman dan
terjamin kesehatan maupun keselamatannya. Hal ini dapat berakibat pada
meningkatnya produktivitas kerja yang akhirnya dapat meningkatkan
keuntungan organisasi.
Menurut Eugene F. McKenna dan Nic Beech (1995) menyebut fungsi
MSDM dengan personnel management function. Mereka membagi fungsi
personnel management kedalam 9 (sembilan) fungsi, yaitu : human resource
planning, recruitment, selection, performance appraisal, training, reward,
industrial relation, employee communications and participation dan
personnel records (1995; 5-7). Beragamnya fungsi-fungsi yang didefinisikan
oleh para pakar tersebut merupakan penekanan yang diberikan sesuai
kepakaran masing-masing, dan apabila dikaji dalam keragaman tersebut
terdapat tujuh (7) fungsi utama yang selalu muncul dalam pembahasan
MSDM, yaitu : (1) perencanaan pegawai, (2) seleksi dan orientasi pegawai,
(3) pengembangan pegawai, (4) manajemen karier, (5) penilaian prestasi
kerja, (6) kompensasi dan (7) pemutusan hubungan kerja. Fungsi-fungsi ini
diyakini dapat mewakili semua fungsi yang diberikan oleh para pakar
sebagaimana telah dijelaskan.
Dari fungsi dan ruang lingkup MSDM yang beragam di atas menunjukkan
bahwa masalah pengelolaan kepegawaian sangat kompleks. Untuk itu, jika
ditarik kesimpulan bahwa fungsi-fungsi MSDM mencakup; (1) perencanaan
pegawai; (2) seleksi dan orientasi pegawai; (3) pengembangan pegawai; (4)
manajemen karir; (5) penilaian prestasi kerja; (6) kompensasi; dan (7)
pemutusan kerja. Fungsi-fungsi ini diyakini dapat mewakili semua fungsi
yang dikemukakan oleh para ahli sebagai mana telah dijelaskan
sebelumnya. Dalam kajian ini fungsi yang dibahas dibatasi pada fungsi
perencanaan pegawai dan pengembangan pegawai dengan tidak mengurangi
pentingnya fungsi yang lain.
b. Perencanaan Pegawai
Pegawai adalah sumber daya yang dimiliki oleh organisasi, yang
digunakan untuk menggerakkan atau mengelola sumber daya lainnya
sehingga harus benar-benar dapat digunakan secara efektif dan efisien
sesuai dengan kebutuhan riil organisasi. Dalam hal ini perlu dilakukan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 42
perencanaan kebutuhan pegawai secara tepat sesuai beban kerja yang ada
dengan didukung adanya proses rekruitmen yang tepat dan sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan organisasi. Sebagaimana dijelaskan oleh
Suharyanto dan Heruwanto (2005): Perencanaan pegawai dimaksudkan
untuk menjamin bahwa kebutuhan pegawai bagi organisasi tetap terpenuhi
secara konstan dan dalam jumlah dan kualitas yang memadai.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam melakukan perencanaan pegawai
harus mengacu pada isu-isu strategis sebagai hasil penelaahan lingkungan
internal dan eksternal organisasi. Dari telaahan ini akan dapat diketahui
kekuatan dan kelemahan SDM yang dimiliki dalam sebuah organisasi,
sehingga dapat diambil langkah-langkah yang tepat dalam menghadapi
berbagai peluang dan tantangan yang ada. Dengan dilakukannya
perencanaan kepegawaian atau analisis kebutuhan SDM, naka
perusahaan/organisasi dapat meningkatkan kinerjanya dan memanfaatkan
sumber daya yang dimilikinya dengan lebih efektif dan efisien.
Prasetya (1997) menyatakan bahwa dalam melakukan perencanaan
pegawai atau sumber daya manusia perlu dipahami beberapa hal, yaitu:
makna dan cakupan perencanaan pegawai, metode-metode perencanaan,
analisis pekerjaan/ jabatan, perhitungan beban kerja, dan perhitungan
angkatan kerja (jumlah pegawai). Amstrong (2003) menyebutkan dalam
merencanakan kebutuhan pegawai berkaitan dengan: mendapatkan dan
mempertahan jumlah dan mutu pegawai yang diperlukan, mengidentifikasi
tuntunan keterampilan dan cara memenuhinya, menghadapi kelebihan atau
kekurangan pegawai, mengembangkan tatanan kerja yang fleksibel dan
meningkatkan pemanfaatan pegawai.
Dalam bukunya The Essence of Human Resource Management (1995;
78), Eugene F. McKenna dan Nic Beech menulis :
Employee resourcing, the process of acquiring and utilizing human
resources in the organization, consist of a number of specialist activities
which need to act in harmony to ensure that human resources of the
quantity and quality are available to meet the overall objectives of the
company.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 43
Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa tujuan dari
perencanaan pegawai adalah menyeimbangkan antara kebutuhan dan
persediaan akan tenaga kerja agar tujuan organisasi dapat tercapai secara
efektif, efisien dan maksimal. Sementara itu, definisi perencanaan pegawai
yang diberikan oleh Bernardin adalah sebagaimana berikut :
HR planning is the forecasting of HR needs in the context of
strategic business planning. The HR planning process of the past was
typically reactive in nature, with business needs defining personnel needs.
However, with major changes in the business environment and increasing
uncertainty, many organizations have adopted a longer-term perspective
and integrating HR planning with strategic business planning centered on a
concideration of core business competencies. Sementara itu, recruitment is
the process of attracting applicants for the positions needed. (2003; 82).
Menurut Bernardin, proses ini haruslah terintegrasi dengan proses
perencanaan pegawai dan kegiatan manajemen kepegawaian lainnya,
terutama kegiatan seleksi. Kegiatan-kegiatan dalam manajemen
kepegawaian, misalnya rekrutmen, seleksi atau kegiatan lainnya adalah
saling tergantung atau terkait secara erat. Misalnya rekrutmen yang sukses
akan menyebabkan proses seleksi yang sukses dan demikian pula sebaliknya.
Bernardin memberikan bagan yang menjelaskan proses rekrutmen dengan
memperhatikan faktor internal dan eksternal sebagaimana digambarkan
berikut.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 44
Gambar 3.1 Faktor Internal dan Eksternal
Dari bagan tersebut nampak bahwa dalam melakukan perencanaan
rekrutmen pegawai harus dikaitkan dengan faktor-faktor internal dan
faktor-faktor eksternal. Perencanaan pegawai yang efektif seharusnya
mencakup 6 (enam) kegiatan, yaitu (1) environmental scanning, (2) labor
demand forecast, (3) labor supply forecast, (4) gap analysis, (5) action
programming, dan (6) control and evaluation.
Sedangkan Syafri Mangkuprawira (2004) mengistilahkan perencanaan
kepegawaian dengan istilah analisis kebutuhan SDM. Menurut Syafri,
manfaat analisis kebutuhan SDM sebagai organisasi meliputi: (1) optimalisasi
system manajemen informasi, utamanya tentang data karyawan; (2)
memanfaatkan SDM secara optimal; (3) mengembangkan system
perencanaan SDM secara efisien dan efektif; (4) mengkoordinasikan fungsi-
Simplified Model of External and Internal Factors that Influence Recruitment
External Factors
Legal Environment
Internal Factors
Business Environment
Labor Markets
Strategic Business Planning
Operational Planning
Human Resource Planning
Recruitment Planning
Sumber : Human Resource Management by Bernardin, John, 2003; 82
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 45
fungsi manajemen SDM secara optimal; dan (5) membuat perkiraan
kebutuhan SDM secara akurat dan cermat.
c. Job Analysis dan Beban Kerja Pegawai
Dalam setiap organisasi terdapat sejumlah jabatan yang harus diisi
oleh orang yang tepat. Job analysis merupakan prosedur untuk menentukan
tugas dari jabatan-jabatan tadi dan jenis orang yang mengisi tersebut. Job
analysis menghasilkan job description dan job spesification. Informasi yang
digunakan untuk menulis uraian tugas (job description). Job description
merupakan salah satu produk dari job analysis yang merupakan daftar
mengenai suatu pekerjaan. Job description adalah daftar tugas dari suatu
jabatan/pekerjaan, tanggung jawab, hubungan pelapor, kondisi kerja dan
tanggung jawab supervisi.
Tujuan dari rekruitmen, seleksi dan penempatan adalah mencocokkan
(to match) antara karaketristik individu (pengetahuan, keterampilan,
pengalaman, dan lain-lain) dengan persyaratan jabatan yang harus dimiliki
individu tersebut dalam memegang suatu jabatan. Kegagalan dalam
mencocokkan kedua hal tersebut dapat menyebabkan kinerja karyawan
tidak optimal dan kepuasan kerja sangat rendah, sehingga tidak jarang hal
ini membuat individu dan organisasi menjadi frustasi. Dalam usaha mencari
individu yang tepat dan sesuai untuk jabatan tertentu maka pihak
manajemen harus melakukan pengukuran (assesment) terhadap tuntutan-
tuntutan (demands) dan persyaratan-persyaratan (requirements) dari
jabatan tersebut. Proses pengukuran kegiatan-kegiatan yang ada dalam
suatu jabatan tersebut dinamakan analisis jabatan (Robbin, 1993).
Analisis jabatan merupakan hal mendasar dalam proses pengembangan
sumber daya manusia. Tanpa adanya data yang akurat tentang profil dari
masing-masing jabatan, jenis-jenis kemampuan dan keterampilan yang
dibutuhkan, serta pengalaman dan pendidikan yang dipersyaratkan untuk
menduduki jabatan tersebut, maka proses pengembangan SDM akan menjadi
sulit. Rekruitmen seleksi, dan penempatan akan ditimpang karena tidak
diimbangi informasi yang memadai dan akurat, pengembangan dan
pelatihan mungkin tidak dapat mencapai tujuan, begitu juga halnya dengan
manajemen penilaian kinerja.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 46
Secara umum analisis jabatan merupakan suatu proses untuk
mengidentifikasi dan menentukan secara rinci tugas-tugas (duties) dan
persyaratan dari suatu jabatan tertentu. Robbin (1993) mendefinisikan
analisis jabatan sebagai suatu bentuk pengembangan uraian terperinci dari
tugas-tugas yang harus dilakukan dalam suatu jabatan, penentuan hubungan
dari satu jabatan dengan jabatan lain yang ada, dan penentuan tentang
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan-kemapuan lain yang
diperlukan karyawan untuk melakukan pekerjaan secara efisien dan efektif.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis
jabatan merupakan suatu proses pengumpulan dan pencatatan informasi
terpercaya dan sahih dengan suatu prosedur tertentu terhadap suatu
jabatan terteentu dan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh si
pemegang jabatan. Termasuk disini adalah:
1. Semua tugas, kegiatan dan tanggung jawab;
2. Pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan karakter-karakter lain
yang dibutuhkan oleh si pemegang jabatan agar dapat bekerja dengan
efektif;
3. Alasan terhadap adanya suatu jabatan tertentu dan apa yang
membuatnya berbeda dari jabatan yang lain;
4. Standar kerja atau target yang dapat dijadikan dasar untuk mengukurb
kinerja.
Suatu konsep yang penting dalam analisis jabatan adalah bahwa
analisis dilakukan terhadap jabatan (the job), bukan terhadap orang
(person). Meskipun data diperoleh dari si pemegang jabatan (incumbent)
melalui pengamatan, wawancara ataupun kuesioner/angket, produk yang
menjadi hasil analisis jabatan adalah berupa uraian jabatan (job
description) atau spesifikasi jabatan (spesification of the job), bukan suatu
uraian tentang orang (description of the person).
Uraian jabatan adalah suatu pernyataan tertulis yang berisi uraian
atau gambaran tentang apa saja yang harus dilakukan oleh si pemegang
jabatan (job holder/incumbent), bagaiamana suatu pekerjaan dilakukan
dan alasan-alasan mengapa pekerjaan tersebut dilakukan. Uraian tersebut
berisi tentang hubungan antara suatu posisi tertentu dan poisisi lainnya di
dalam dan di luar organisasi dan ruang lingkup pekerjaan di mana si
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 47
pemegang pekerjaan diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
memberikan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan oleh divisi/unit kerja
atau tujuan organisasi secara keseluruhan.
Spesifikasi jabatan adalah suatu pernyataan tentang kemampuan,
keterampilan, pengetahuan dan sikap-sikap yang dibutuhkan agar dapat
bekerja secara efektif, lengkap dengan kualifikasi khusus, pengalaman atau
hal-hal yang lain yang berhubungan dengan pekerjaan yang harus dimiliki
oleh seseorang sebelum menduduki jabatan tertentu. Spesifikasi jabatan
sangat berguna dalam mencocokkan seseorang dengan posisi atau jabatan
tertentu, dan mengidentifikasi pelatihan dan pengembangan yang
dibutuhkan.
d. Rekruitmen dan Seleksi Pegawai
Stoner, et. El (1995) mendefinisikan rekruitmen sebagai suatu proses
pengumpulan calon pemegang jabatan yang sesuai dengan rencan sumber
daya manusia untuk menduduki suatu jabatan tetentu. Tujuan dari
rekruitmen adalah mendapatkan calon karyawan sebanyak mungkin
sehingga memungkinkan pihak manajemen untuk memilih atau menyeleksi
calon sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh perusahaan.
W. F Casio memberikan pengertian bahwa seleksi adalah proses untuk
memperoleh pegawai/karyawan baru dengan menetapkan diterima atau
ditolak untuk mengisi jabatan/pekerjaan yang kosong. Di smping itu, W. B.
Wertber dan Keith Davis mendefinisikan bahwa seleksi adalah rangkaian
kegiatan dan langkah-langkah khusus yang dilakukan untuk menetapkan
pegawai yang direkrut atau ditolak dan berhak memproleh gaji/upah.
Sebelum karyawan dapat direkrut untuk mengisi jabatan tertentu,
pihak yang mempekerjakan (recruiter) harus memiliki gambaran yang jelas
tentang tugas-tugas dan kewajiban yang dipersyaratkan untuk mengisi
jabatan yang ditawarkan. Oleh sebab itu analisis jabatan merupakan
langkah pertama dalam proses rekruitmen dan seleksi. Sekali suatu jabatan
telah dianalisis, maka uraian atau pernyataan tertulis tentang jabatan dan
posisi jabatan tersebut dalam perusahaan/oerganisasi akan tertuang dengan
jelas. Uraian atau pernyataan tertulis tersebut dinamakan uraian jabatan.
Jika uraian jabatan telah tersusun dengan baik, maka spesifikasi jabatan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 48
atau disebut juga hiring spesification akan dikembangkan. Hiring
spesification didefinisikan sebagai suatu uraian tertulis tentang pendidikan,
pengalaman, dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat mengisi suatu
jabatan tertentu sehingga dapat berfungsi dengan efektif. Job description
dan hiring spesification inilah yang seharusnya dijadikan informasi dasar
untuk memulai rekruitmen dan seleksi dan penempatan.
Metode atau prosedur yang digunakan dalam melakukan seleksi untuk
menyaring pegawai menurut Prasetya (1997; 74) meliputi beberapa tahap,
yaitu : (1) penerimaan pendahuluan, (2) tes penerimaan, terdiri dari tes
pengetahuan (TPA/Tes Potensi Akademik), tes psikologi, tes pelaksanaan
pekerjaan, (3) wawancara seleksi, (4) pemeriksaan referensi, (5) evaluasi
medis (tes kesehatan), (6) wawancara oleh calon atasan langsung
(supervisor), dan (7) keputusan penerimaan. Sementara menurut Eugene F.
McKenna dan Nic Beech (1995; 103) ada 7 (tujuh) teknik yang dapat
digunakan dalam melakukan seleksi, yaitu : (1) interviews, (2) psychological
tests, (3) work-based test, (4) assessment centres, (5) biodata, (6)
references dan (7) graphology. Sementara David A. DeCenso dan Stephen P.
Robbins mengidentifikasi 8 (delapan) steps, yaitu : (1) initial screening
interview, (2) completing the application form, (3) employment tests, (4)
comprehensive interview, (5) background investigation, (6) a conditional
job offer, (7) medical or psysical examinitation, dan (8) the permanent job
offer.
Bernardin (2003) memberikan suatu tahapan dalam melakukan
prosedur seleksi sebagaimana dapat dicermati dalam bagan berikut ini :
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 49
Gambar 3.2 Prosedur Seleksi
Setelah pegawai berhasil diseleksi, biasanya mereka tidak langsung
dipekerjakan, tetapi dilakukan orientasi terlebih dahulu dengan pembekalan
berbagai pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan tugas
pekerjaannya. Seperti dijelaskan oleh Prasetya (1997; 80), orientasi adalah
program yang dirancang untuk menolong pegawai baru (yang baru lolos
seleksi) untuk mengenal pekerjaan dan organisasi tempatnya bekerja.
Orientasi ini sangat bermanfaat untuk memperkenalkan peranan dan
kedudukan baru yang diperoleh pegawai baru, menambah wawasan mereka
serta memperkenalkan dengan organisasi dan rekan kerja sehingga dapat
cepat beradaptasi dalam dunia kerja. Orientasi dapat berjalan singkat
(dalam beberapa hari) tapi bisa juga berjalan lama (beberapa minggu atau
bulan), selain dapat meliputi satu unit organisasi atau beberapa unit
organisasi.
Steps in the Development and Evaluation of a Selection Procedure
Job Analysis/HR Planning Identify knowledge, abilities, skills and others characteristics (KASOCs)
Sumber : Human Resource Management by Bernardin, John, 2003; 112
Recruitment Strategy: Selection/Develop Selection Procedures Review options for assessing applicants on each of the KASOCs: standardized test (cognitive, personality, motivational, psychomotor), Applicants blanks, biographical data, Performance test, assessment center, interview Determine Validity for Selection Methods Criterion-related validation, Expert judgment (content validity), Validity generalization Determine Weighting System for Selection Methods and Resultant Data
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 50
e. Jumlah/Pola Optimal Pegawai
Seperti dijelaskan sebelumnya, Amstrong (2003) menyatakan bahwa
perencanaan pegawai merupakan kegiatan menentukan jumlah karyawan
yang diperlukan. Dalam kegiatan penentuan jumlah inilah perlu dilakukan
peramalan jumlah penawaran dan permintaan jumlah pegawai. Dalam
melakukan peramalan kebutuhan atau permintaan jumlah pegawai ada
beberapa teknik yang bisa dipakai, yaitu: kepetusan manajerial, analisi
rasio kecenderungan dan teknik studi kerja. Sementara untuk melakukan
peramalan ketersediaan atau penawaran jumlah pegawai, dilakukan dengan
beberapa pertanyaan berikut ini:
1. Berapa jumlah pegawai yang ada saat ini, dan apa keterampilan /
kompetensi yang dimiliki?
2. Berapa perkiraan angka turn over (keluar masuk) pegawai saat ini dan di
masa datang?
3. Berapa perkiraan angka ketidak-hadiran pegawai saat ini dan di masa
datang?
4. Dari pegawai yang ada saat ini, berapa jumlah pegawai yang mempunyai
keterampilan/kompetensi yang sesuai kebutuhan? Berapa jumlah yang
mempunyai potensi untuk dikembangkan keterampilan/kompetensinya?
5. Berapa perkiraan jumlah pegawai yang dibutuhkan dengan
keterampilan/kompetensi yang dibutuhkan?
6. Dari mana pegawai-pegawai baru tersebut dapat direkrut?
Mondy (1990) memberikan beberapa teknik yang dipergunakan untuk
meramalkan atau merencanakan kebutuhan pegawai, yaitu: (1) zero-base
forecasting, yang menggunakan kondisi organisasi saat ini sebagai dasar
perhitungan kebutuhan pegawai di masa depan. Berapa jumlah pegawai
yang dimiliki saat ini, berapa yang akan memasuki usia pensiun, berapa
yang akan keluar, berapa posisi yang lowong merupakan gambaran kondisi
yang harus diperhatikan dalam pendekatan zero-base forecasting; (2)
bottom up approach, pendekatan ini mendasarkan pada pemikiran bahwa
manajer di masing-masing unit adalah yang paling paham mengenai
kebutuhan pegawainya.
Manajer dari unit yang paling bawah merencanakan kebutuhan
pegawainya yang selanjutnya dikumpulkan menjadi kebutuhan organisasi;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 51
(3) use of predictor variable, dalam penetapan ini digunakan beberapa
variabel untuk menentukan kebutuhan pegawai di masa depan. Salah satu
contoh variabel yang kerap digunakan untuk melakukan perencanaan
kebutuhan pegawai adalah jumlah penjualan atau permintaan barang.
Kedua variabel ini berhubungan positif artinya setiap ada kenaikan
permintaan barang maka jumlah pegawai juga naik sehingga dengan
menggunakan regression analysis akan dapat diperkirakan kebutuhan
pegawai di masa depan selain permintaan barang dimungkinkan juga
memasukkan variabel-variabel lain menjadi dependent variable atau
variabel pengaruh dari jumlah pegawai. Untuk keperluan maka yang
dipergunakan sebagai alat analisis adalah multiple regression.
f. Penilaian Prestasi Kerja
Developing an effective performance appraisal system is most
difficult (Mondy, 1990; 382). Meskipun ada kesulitan dalam melakukan
penilaian atau pengukuran kinerja pegawai karena terkait dengan kombinasi
dari kemampuan, usaha dan kesempatan, tapi tetap dapat diukur dengan
melihat pada output atau hasil produksi. Kinerja atau performance menurut
Bernardin (2003; 143) adalah the record of outcomes produced on specified
job functions or activities during a specified time period. Penilaian prestasi
kerja menurut Prasetya (1997; 188) adalah suatu cara dalam melakukan
evaluasi terhadap prestasi kerja para pegawai dengan serangkaian tolok
ukur tertentu yang objektif dan berkaitan langsung dengan tugas seseorang
serta dilakukan secara berkala.
Prestasi kerja pegawai harus selalu dievaluasi secara
berkesinambungan dan hasilnya dapat dipergunakan untuk berbagai,
beberapa diantaranya diidentifikasi oleh Prasetya (2003; 189), yaitu : untuk
peningkatan imbalan (dengan sistem merit), feed back atau umpan balik
bagi pegawai yang bersangkutan, promosi, PHK atau pemberhentian
sementara, melihat potensi kinerja pegawai, rencana suksesi,
transfer/mutasi pegawai, perencanaan pengadaan pegawai baru, pemberian
bonus, perencanaan karier, evaluasi dan pengembangan diklat, komunikasi
internal, kriteria untuk validasi prosedur suksesi dan kontrol pengeluaran.
Dalam melakukan penilaian kinerja pegawai beberapa hal yang harus
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 52
dipahami adalah mengenai pengertian dan tujuan penilaian kinerja
pegawai, metode dan instrumen penilaian yang digunakan, serta kendala-
kendala yang ada dalam pelaksanaan penilaian kinerja pegawai.
Manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya data kinerja pegawai
adalah untuk keperluan penggajian (compensation), pengembangan kinerja
(performance improvement), selain itu juga dapat dipergunakan untuk
keperluan pengembangan pegawai, seperti mutasi, promosi, demosi, diklat,
evaluasi dan lain sebagainya. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan
penilaian kinerja pegawai khususnya dalam mendesain sistem penilaian
kinerja adalah adanya keterlibatan berbagai pihak, yaitu pimpinan,
pegawai, bagian kepegawaian, serta pelanggan internal dan eksternal.
Keterlibatan ini mencakup kegiatan dalam mendesain konten/substansi
pengukuran, proses pengukuran, menentukan ukuran, menentukan level,
menentukan teknis administrasi dan lain sebagainya. Paling tidak ada 6
(enam) kriteria yang ditawarkan oleh Bernardin (2003; 147) yang harus
diukur atau dinilai dalam kinerja, yaitu : (1) Quality, (2) Quantity, (3)
Timeliness, (4) Cost-effectiness, (5) Need for supervision, dan (6)
Interpersonal impact.
Prasetya (1997; 193) memberikan suatu bagan yang menjelaskan
sistem penilaian prestasi kerja pegawai. Dalam bagan ini terlihat adanya
hubungan yang erat antara tujuan organisasi dengan tujuan pegawai serta
penilaian prestasi kerja pegawai. Secara lengkap digambarkan sebagai
berikut:
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 53
Gambar 3.3 Sistem Penilaian Prestasi Kerja
Dalam melakukan penilaian prestasi kerja seringkali terjadi bias yang
menyebabkan tidak validnya suatu hasil penilaian. Beberapa bias yang
berhasil diidentifikasi oleh Mondy (1990; 406-408) adalah : halo error,
leniency, strictness, central tendency, recent behavior bias, personal bias,
judgmental role of the evaluator. Untuk meminimalisir bias-bias tersebut
maka perlu disusun suatu instrument penilaian prestasi kerja yang baik,
valid dan transparan yang dapat mengukur kinerja riil seorang pegawai
selama periode tertentu.
g. Kompetensi Pegawai
Banyak pengertian mengenai kompetensi yang dikemukakan oleh para
ahli maupun institusi. Beberapa pakar manajemen SDM berpendapat bahwa
SDM yang berkualitas adalah SDM yang minimal memiliki empat karakteristik
yaitu (1) memiliki kompetensi (knowledge, skill, abilities dan experience)
yang memadai; (2) komitmen pada organisasi; (3) selalu bertindak cost -
effectiveness dalam setiap aktivitasnya, dan (4) congruence of goals yaitu
Sistem Penilaian Prestasi Kerja
Tujuan Organisasi
Sumber : Manajemen Sumber Daya Manusia, Prasetya Irawan, 1997, 193
Standar Kinerja
dibangun dari uraian kerja &
tujuan organisasi
Tujuan Individu
Penilaian Prestasi Kerja
merupakan evaluasi terhadap kemampuan & motivasi pegawai
Penggunaan :
- perencanaan SDM, - kompetensi, upah, bonus,
- program diklat, - motivasi
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 54
bertindak selaras antara tujuan pribadinya dengan tujuan organisasi (Lako
dan Sumaryati, 2002 : 37).
Konsep kompetensi merupakan kelanjutan dari konsep behavioral
objective yang bersumber dari pemikiran para pendidik seperti Benjamin
Bloom pada Tahun 1950 di Amerika (Susanto, 2002). Konsep behavioral
objective ini menjelaskan bahwa spesifikasi tujuan sebagai perilaku yang
dapat diobservasi secara langsung dan dapat dicatat. Pada hakikatnya
konsep ini menggunakan pendekatan melakukan observasi dan menarik
kesimpulan yang dapat dipercaya dengan prinsip operasional, observasi yang
dapat dipercaya, dan tidak ada tenggang waktu interpretasi.
Kemudian sejak akhir Tahun 1960, konsep kompetensi mulai
diterapkan di Amerika Serikat untuk program pendidikan guru. Pada Tahun
1970, dikembangkan untuk program pendidikan profesional lainnya, untuk
program pelatihan kejuruan di Inggris dan Jerman pada Tahun 1980 serta
untuk pelatihan kejuruan dan pengenalan keterampilan profesional di
Australia pada Tahun 1990. Konsep kompetensi mulai menjadi trend dan
banyak dibicarakan sejak Tahun 1993 dan saat ini menjadi sangat populer
terutama di lingkungan perusahaan multinasional dan nasional yang modern.
Definisi kompetensi dari Spencer & Spencer tersebut banyak dianut
oleh para praktisi manajemen SDM. Termasuk praktisi di Indonesia, salah
satunya adalah The JakartaConsulting Group (Susanto, 2002) memberikan
batasan bahwa kompetensi adalah segala bentuk perwujudan, ekspresi, dan
representasi dari motif, pengetahuan, sikap, perilaku utama agar mampu
melaksanakan pekerjaan dengan sangat baik atau yang membedakan antara
kinerja rata-rata dengan kinerja superior. Pendekatan ini dilihat dari sudut
pandang individual (BKN, 2004)
Sementara itu, dalam Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara
Nomor 46A Tahun 2003 Tanggal 21 Nopember 2003 ditentukan bahwa
kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki seorang
Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku
yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga Pegawai
Negeri Sipil tersebut dapat melaksanakan tugasnya secara professional,
efektif, dan efisien.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 55
Berdasarkan definisi kompetensi di atas, dapat disimpulkan bahwa
komponen-komponen atau karakteristik mengenai kompetensi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik meliputi unsur-unsur
sebagai berikut; 1) pendidikan; 2) pengetahuan; 3) keahlian; 4)
keterampilan; dan 5) sikap profesional.
g. Pengembangan Pegawai
Pengembangan pegawai identik dengan kegiatan pendidikan dan
pelatihan (diklat) atau training and development. Fungsi ini merupakan
fungsi yang tidak kalah penting dengan fungsi lainnya dalam MSDM. Fungsi
ini sangat penting karena pada tahap inilah pegawai ditingkatkan dan
dikembangkan kemampuannya sehingga dapat memberikan kinerja yang
optimal bagi organisasi. Istilah training dan development sering digunakan
secara bergantian, ada yang menggunakannya secara bersama tapi ada juga
yang membedakannya. Menurut Eugene F. McKenna dan Nic Beech (1995;
156) ada perbedaan antara istilah training dan development. Development
was seen as an activity normally associated with managers with the future
firmly in mind, and training has more immediate concern and has been
associated with improving the knowledge and skill of non-managerial
employees in their present job. Development atau pengembangan berkaitan
dengan pengembangan kemampuan manajerial pimpinan organisasi,
sementara training atau pelatihan berkaitan dengan upaya pengembangan
keterampilan dan pengetahuan mereka dalam pekerjaannya.
Mondy (1990; 270) mendefinisikan human resource development
(HRD) is planned, continous effort by management to improve employee
competency levels and organizational performance through training,
education and development program. Ada tiga aspek penting dalam definisi
HRD menurut Mondy, yaitu (1) training yang meliputi kegiatan-kegiatan
untuk mengembangkan kinerja pegawai dalam melaksanakan suatu
pekerjaan, misalnya kurus atau lainnya, (2) education meliputi kegiatan-
kegiatan untuk meningkatkan pemahaman pegawai dalam melaksanakan
suatu pekerjaan, misalnya melalui seminar atau lainnya, dan (3)
development meliputi kegiatan-kegiatan pengembangan yang bersifat lebih
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 56
umum yaitu untuk menghadapi berbagai perubahan yang terjadi sekarang
atau di masa depan.
Sementara itu, Prasetya (1997; 91) menyebutkan bahwa
pengembangan pegawai merupakan suatu proses merekayasa perilaku kerja
pegawai sedemikian rupa sehingga pegawai dapat menunjukkan kinerja yang
optimal dalam pekerjaannya. Kata kunci dalam pengembangan pegawai ini
adalah rekayasa perilaku (behaviour engineering) dari pegawai, artinya
perilaku kerja tersebut diubah dari yang buruk menjadi baik, dan dari baik
menjadi lebih baik. Kegiatan merubah perilaku ini dilakukan secara sadar
dan tanpa tekanan artinya pegawai secara sukarela mau untuk diubah atau
dikembangkan perilaku kerjanya.
Ada beberapa tujuan dari pengembangan pegawai yang diberikan
oleh Prasetya, yaitu : (1) Memberi orientasi pekerjaan kepada pegawai
baru; (2) Mempersiapkan pegawai untuk menggunakan peralatan baru; (3)
Mempersiapkan pegawai bekerja di sistem baru; (4) Mempersiapkan pegawai
agar mampu mencapai standar kualitas kerja baru; (5) Menyegarkan
(refreshing) ilmu dan keterampilan yang dimiliki pegawai; (6) Meningkatkan
kualitas kinerja pegawai; dan (7) Menyiapkan pegawai menghadapi
pekerjaan baru. Untuk meningkatkan efektivitas dari pengembangan
pegawai, Prasetya (1997; 93) menyatakan perlunya dilakukan analisis
kinerja. Analisis kinerja ini perlu dilakukan untuk mendapatkan gap
kemampuan pegawai, yaitu antara standar kinerja dengan kompetensi riil
yang dimiliki pegawai. Proses analisis kinerja dapat dicermati dalam bagan
berikut :
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 57
Gambar 3.4 Analisis Kerja
Sejalan dengan pemikiran Mondy dan Prasetya tersebut, Amstrong
mencatat ada 4 (empat) aspek yang dapat diubah dalam rangka
mengembangkan pegawai, yaitu (1) pengetahuan, (2) keterampilan, (3)
kemampuan dan (4) sikap (Amstrong, 2003; 274). Pengetahuan berkaitan
dengan ha-hal yang harus diketahui oleh pegawai agar dapat melakukan
pekerjaan dengan baik. Keterampilan berkaitan dengan apa yang harus bisa
dilakukan pegawai agar tujuan yang ditetapkan bisa dicapai dan
pengetahuan yang dimiliki bisa digunakan secara efektif. Sementara
kemampuan adalah kompetensi berbasis kerja atau kompetensi perilaku
yang diperlukan untuk mencapai tingkatan kinerja yang ditetapkan dan
sikap adalah disposisi untuk berperilaku atau untuk bekerja sesuai dengan
persyaratan kerja.
Dalam melakukan kegiatan pengembangan pegawai ada 3 (tiga)
kegiatan utama yang harus dilakukan secara baik, yaitu perencanaan
Analisis Kinerja
Standar Kinerja
Diklat
Sumber : Manajemen Sumber Daya Manusia, Prasetya Irawan, 1997, 93
G A P
Masalah
Kinerja
Non Diklat
Bukti Masalah
Penyebab Masalah
Solusi
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 58
pengembangan pegawai, implementasi dan evaluasi. Bernardin menawarkan
suatu sistem model training yang efektif sebagaimana digambarkan dalam
bagan berikut :
Gambar 3.5 Sistem Model Pelatihan
A System Model of Training
Needs Assessment
Identify needs for training by conducting needs analysis: - Organization, - Task or job, - Person
Development
Design a learning environment by examining: - Characteristics of adult learners
- Learning Principles
Derive instructional objectives
Identity or develop criteria to evaluate training outcomes: - Reactions, - Learning, - Behavior change, - Organization result
Choose evaluation design
Identify or develop training materials and methods
Sumber : Human Resource Management by Bernardin, John, 2003; 166
Evaluation
Conduct training
Conduct evaluation and cost-effectiveness of
training program
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 59
h. Kompensasi
Hal yang penting bagi pegawai dalam bekerja adalah adanya
kompensasi (imbalan) yang mereka terima atas apa yang telah mereka
lakukan untuk organisasi. Pegawai telah mencurahkan tenaga, pikiran dan
keterampilan yang mereka miliki untuk kemajuan dan upaya pencapaian
tujuan-tujuan organisasi, sehingga wajar apabila mereka memperoleh
kompensasi atas usaha mereka tersebut. Besar kecilnya kompensasi yang
diberikan oleh organisasi sangat mempengaruhi kinerja dan kepuasan
pegawai sehingga organisasi harus membuat suatu pola perencanaan
pemberian kompensasi yang adil, transparan sesuai kinerja pegawai.
Seringkali masalah kompensasi ini menimbulkan berbagai masalah, misalnya
pegawai yang melakukan pemogokan karena merasa tidak mendapat
kompensasi yang sebanding dengan usaha dan kerja keras mereka.
Untuk menghindari berbagai persoalan tersebut, maka perlu adanya
suatu sistem dalam pemberian kompensasi yang disebut dengan sistem
penggajian. Menurut Amstrong, sistem penggajian adalah :
Pengaturan dalam organisasi mengenai apa dan bagaimana karyawan
harus dibayar atas pekerjaan yang mereka lakukan. Sistem penggajian
mengatur imbalan berdasarkan seberapa baik karyawan sebagai individu,
tim atau organisasi bekerja, dan juga mengatur imbalan berdasarkan
kontribusi, tingkat kemampuan (kompetensi) atau keterampilan yang telah
mereka capai. (2003; 303).
Ketidakpuasan atas kompensasi yang diterima pegawai disebabkan
karena adanya perbedaan antara yang diterima oleh pegawai dengan yang
diterima oleh pegawai lainnya. Menurut riset yang dicatat Bernardin (2003;
216), kepuasan atas kompensasi merupakan fungsi perbandingan atau rasio
input-outcome seseorang dengan persepsinya terhadap input-outcome orang
lain. Artinya mereka membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain
dalam dua hal, yaitu input dan outcome. Input meliputi karakteristik pribadi
(pendidikan, pengalaman kerja dan lain sebagainya), usaha (bagaimana
usaha mereka dalam memecahkan suatu masalah dan lain sebagainya) dan
kinerja. Sementara outcome adalah apa yang mereka peroleh dari
pekerjaan mereka (pembayaran, promosi, tunjangan dan lain sebagainya).
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 60
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian
kompensasi yang dicatat oleh Amstrong (2003; 303-304), yaitu :
a. Kesamaan pencapaian hasil – besarnya gaji/kompensasi yang diberikan
kepada pegawai sesuai dengan besarnya kontribusi relatif mereka
kepada organisasi;
b. Konsistensi – menggaji/memberikan kompensasi kepada pegawai secara
konsisten sesuai level jabatan dan tingkat kinerjanya;
c. Keadilan - memastikan bahwa keputusan penggajian/pemberian
kompensasi bersifat adil dalam arti tidak mendiskriminasi pegawai.
Penggajian dibuat berdasarkan keputusan yang objektif dan tidak bias
serta mencerminkan tingkat kontribusi pegawai;
d. Transparansi - sistem penggajian/pemberian kompensasi terbuka bagi
pegawai sehingga mereka mengetahui dasar pemberian imbalan kepada
mereka; dan
e. Tingkat gaji/kompensasi yang berlaku di pasar kerja - apakah
gaji/kompensasi yang diberikan dibawah/sama/diatas rata-rata tingkat
gaji/kompensasi yang berlaku di pasar kerja.
Kompensasi menurut Bernardin dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :
a. Direct compensation, is used to describe the cash received in the form
of base salary, overtime pay, shift differentials, bonuses, sales
commissions and so on. Direct compensation divided in two
components: (1) the wage and salary program (base salary, overtime
pay, shift differentials, etc); (2) pay that is contingent on performance
(merit increases, bonuses, gainsharing pay, commissions, etc);
b. Indirect compensation refers to the general category of employee
benefit programs. Indirect compensation divided in two types: (1)
legally required program (social security, workers compensation); (2)
discretionary program (medical coverage, paid time off). (2003; 216).
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 61
3.2 Gambaran Umum Daerah Studi
Pada bagian ini akan diuraikan uraian singkat atau gambaran umum
lokasi studi yang ditinjau dari aspek letak geografis, struktur ekonomi, dan
kepegawaian. Gambaran umum diuraikan dengan harapan dapat mengetahui
karakteristik dari masing-masing lokasi studi.
3.2.1 Provinsi DI Yogjakarta
a. Letak Geografis
Daerah Istimewa Yogyakarta
(atau Yogyakarta) dan seringkali
disingkat DIY adalah sebuah provinsi di
Indonesia yang terletak di bagian
selatan Pulau Jawa dan berbatasan
dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah
utara. Secara geografis Yogjakarta
terletak di pulau Jawa bagian Tengah. Dengan luas wilayah 3.185,80
km2, provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta mempunyai 4 kebupaten dan 1
kota dengan tingkat kepadatan penduduk 13.687/km2.
Letak Astronomi Daerah Istimewa Yogyakarta pada 7o15- 8o15
Lintang Selatan dan garis 110o5- 110o4 Bujur Timur, dengan batas
wilayah:
• Sebelah Barat Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah
• Sebelah Barat Laut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
• Sebelah Timur Laut Kabupaten Klaten, Jawa Tengah
• Sebelah Timur Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah
• Sebelah Selatan Samudera Indonesia.
• Sebelah Utara G. Merapi.
Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta dipimpin oleh seorang
gubernur yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan ibukota provinsi di
Yogjakarta. Sebagai daerah yang berada di tengah-tengah pulau Jawa
ternyata di provinsi ini dihuni oleh berbagai suku dan agama, yaitu Suku
Jawa, Suku Sunda, Suku Melayu, Tionghoa, Suku Batak, Suku Minang,
Suku Bali, Suku Madura. Sedangkan agama yang ada di provinsi ini
adalah Islam (92.1%), Katolik (4.9%), Protestan (2.7%), Lain-lain (0.2%).
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 62
Penduduk sebagai sumberdaya pembangunan, merupakan modal
dasar pembangunan, juga merupakan pelaku dan menjadi subyek
sekaligus obyek bagi pembangunan. Menurut sensus yang dilakukan oleh
Pemerintah, jumlah penduduk di wilayah Propinsi DIY pada tahun 1990
berjumlah 2.913.054 orang dan pada tahun 2000 berjumlah 3.121.701
orang. Ini berarti laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 0,72 %
per tahun.
Sedangkan pada tahun 2002 sebanyak 3.166.229 jiwa dan
meningkat lagi pada tahun 2003 menjadi 3.207.385 jiwa atau bertumbuh
sebasar 1,30%. Pada tahun 2004, pertumbuhan penduduk provinsi
Yogjakarta tumbuh sebesar 0,40%. Jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya pertumbuhan ini mengalami penurunan sebesar 0,90.
Selanjutnya tahun 2005, pertumbuhan penduduk meningkat lagi menjadi
3,83% atau menjadi 3.343.651 jiwa, hal ini diakibatkan oleh
pertambahan penduduk alamiah dan migrasi penduduk dari daerah lain.
b. Perekonomian Daerah
Kemampuan ekonomi suatu wilayah dapat dilihat laju pertumbuhan
ekonominya. DIY Yogyakarta dalam kurun waktu 1998-2002
pertumbuhan ekononominya cenderung fluktuatif, terjadi kontraksi
sangat tajam pada tahun 1998 yaitu sebesar 11,18% namun pada tahun
1999 mulai membaik menjadi 0,99% kemudian pada tahun 2000
meningkat menjadi 4,01%, akan tetapi pada tahun 2001 terjadi
perlambatan sehingga pertumbuhannya sebesar 3,29%. Upaya-upaya
pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah sudah nampak pada
tahun 2002 yaitu dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi menjadi
sebesar 3,38%.
Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain: pengeluaran pemerintah, investasi, dan konsumsi masyarakat.
Dengan asumsi bahwa kondisi sosial, ekonomi, politik, dan keamanan
berlangsung secara normal baik di dalam negeri maupun di luar negeri,
maka proyeksi pertumbuhan ekonomi Propinsi DIY diprakirakan rata-rata
sebesar 4,00% per tahun selama kurun waktu 5 tahun mendatang atau
akhir tahun 2007.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 63
c. Kepegawaian
Jumlah jabatan struktural sebelum penataan organisasi 1.345
jabatan, setelah penataan organisasi 779 jabatan. Jumlah Pegawai
Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Propinsi DIY sampai bulan April 2003
sejumlah 13.007 orang, yang terdiri dari pejabat struktural 693 orang,
pejabat fungsional 1.101 orang dan staf sebanyak 11.213 orang.
Penataan staf non struktural didasarkan pada Surat Keputusan
Gubernur Nomor 117 Tahun 2001 tentang Kualifikasi Jabatan Non
Struktural. Formasi pegawai yang tersedia berdasarkan SK Gubernur
tersebut di atas adalah sejumlah 6.214 orang PNS. Jumlah staf non
struktural secara keseluruhan baik yang berada di instansi induk, di
UPTD maupun yang bekerja di Pemda Kabupaten/Kota berjumlah 11.210
orang PNS. PNS yang sudah ditata di instansi induk (Dinas, Lembaga
Teknis, Setda dan Setwan) sebanyak 5.193 orang PNS, ditata di UPTD
sebanyak 1.684 orang PNS dan yang bekerja di Pemda Kabupaten/Kota
sebanyak 4.332 orang PNS. PNS Propinsi yang bekerja di Pemda
Kabupaten/Kota yang sudah diserahkan ke Pemda Kabupaten/Kota
sebanyak 1.820 orang PNS. Sisanya sebanyak 2.512 orang PNS setelah
ada kesepakatan dengan Pemda Kabupaten/Kota juga akan diserahkan
ke Pemda Kabupaten/Kota.
Tabel 3.1 Jumlah Aparatur Provinsi DIY 2003 - 2007
Tahun Jumlah Perubahan (%) 2003 8600 - 2004 8501 -1.15 2005 8657 1.84 2006 8178 -5.53
2007)* 8059 -1.46 Sumber: Data Base Otonomo Daerah (2007), BPS Yogja (2006) )* Hingga Juni 2007
Hingga tahun 2006 jumlah aparatur pemerintah provinsi Daerah
Istimewa Yogjakarta mencapai 8.178 orang. Jumlah ini lebih rendah
5,53% dibandingkan dengan tahun 2005 yang mencapai 8.657 orang.
Sementara jumlah aparatur provinsi hingga akhir tahun Juni 2007 juga
mengalami penurunan 1,46%. Penurunan jumlah aparatur tersebut
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 64
diakibatkan oleh adanya aparatur yang pensiun, sementara
penambahannya tidak sebanding dengan penurunannya.
3.2.2 Provinsi Sumatera Utara
a. Letak Geografis
Propinsi Sumatera Utara terletak
pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100°
Bujur Timur, yang pada tahun 2004
memiliki 18 Kabupaten dan 7 kota, dan
terdiri dari 328 kecamatan, secara
keseluruhan Provinsi Sumatera Utara
mempunyai 5.086 desa dan 382
kelurahan. Luas daratan Propinsi
Sumatera Utara 71.680 km2. Sumatra Utara pada dasarnya dapat dibagi
atas:
• Pesisir timur
• Pegunungan Bukit Barisan
• Pesisir barat
• Kepulauan Nias.
• Kepulauan Batu.
• Pulau Samosir di danau Toba.
Pesisir timur merupakan wilayah di dalam provinsi yang paling pesat
perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif lebih
lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan
wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah
lainnya. Di daerah tengah provinsi berjajar Pegunungan Bukit Barisan. Di
pegunungan ini ada beberapa dataran tinggi yang merupakan kantong-
kantong konsentrasi penduduk. Daerah di sekitar Danau Toba dan Pulau
Samosir juga menjadi tempat tinggal penduduk yang menggantungkan
hidupnya kepada danau ini.
Di pesisir barat relatif tertinggal dan merupakan titik berat
pembangunan sejak pemerintahan Gubernur Raja Inal Siregar dengan
program pembangunannya yang terkenal, Marsipature Hutana Be disingkat
Martabe atau MHB. Pesisir barat biasa dikenal sebagai daerah Tapanuli.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 65
Terdapat 419 pulau di propisi Sumatera Utara. Pulau-pulau terluar adalah
pulau Simuk (kepulauan Nias), dan pulau Berhala di selat Malaka. Kepulauan
Nias terdiri dari pulau Nias sebagai pulau utama dan pulau-pulau kecil lain
di sekitarnya.
Kepulauan Nias terletak di lepas pantai pesisir barat di Samudera
Hindia. Pusat pemerintahan terletak di Gunung Sitoli. Kepulauan Batu
terdiri dari 51 pulau dengan 4 pulau besar: Sibuasi, Pini, Tanahbala,
Tanahmasa. Pusat pemerintahan di Pulautelo di pulau Sibuasi. Kepulauan
Batu terletak di tenggara kepulauan Nias. Pulau-pulau lain di Sumatera
Utara: Imanna, Pasu, Bawa, Hamutaia, Batumakalele, Lego, Masa, Bau,
Simaleh, Makole, Jake, dan Sigata, Wunga.
Provinsi ini merupakan kampung halaman suku bangsa Batak, yang
hidup di pegunungan dan suku bangsa Melayu yang hidup di daerah pesisir
timur. Selain itu juga ada suku bangsa Nias di pesisir Barat Sumatera,
Mandailing, Jawa dan Tionghoa. Provinsi ini tersohor karena luas
perkebunannya, hingga kini, perkebunan tetap menjadi primadona
perekonomian provinsi. Perkebunan tersebut dikelola oleh perusahaan
swasta maupun negara. Sumatera Utara menghasilkan karet, coklat, teh,
kelapa sawit, kopi, cengkeh, kelapa, kayu manis, dan tembakau.
Perkebunan tersebut tersebar di Deli Serdang, Langkat, Simalungun,
Asahan, Labuhan Batu, dan Tapanuli Selatan.
Komoditas tersebut telah diekspor ke berbagai negara dan
memberikan sumbangan devisa yang sangat besar bagi Indonesia.
Selain komoditas perkebunan, Sumatera Utara juga dikenal sebagai
penghasil komoditas holtikultura (sayur-mayur dan buah-buahan); misalnya
Jeruk Medan, Jambu Deli, Sayur Kol, Tomat, Kentang, dan Wortel yang
dihasilkan oleh Kabupaten Karo, Simalungun dan Tapanuli Utara. Produk
holtikultura tersebut telah diekspor ke Malaysia dan Singapura.
Pemerintah Propinsi (Pemprop) Sumatera Utara juga sudah
membangun berbagai prasarana dan infrastruktur untuk memperlancar
perdagangan baik antar kabupaten di Sumatera Utara maupun antara
Sumatera Utara dengan provinsi lainnya. Sektor swasta juga terlibat dengan
mendirikan berbagai properti untuk perdagangan, perkantoran, hotel dan
lain-lain. Tentu saja sektor lain, seperti koperasi, pertambangan dan energi,
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 66
industri, pariwisata, pos dan telekomunikasi, transmigrasi, dan sektor sosial
kemasyarakatan juga ikut dikembangkan. Untuk memudahkan koordinasi
pembangunan, maka Sumatera Utara dibagi kedalam empat wilayah
Pembangunan.
Sumatera Utara merupakan propinsi yang keempat terbesar jumlah
penduduknya di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa
Tengah. Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990
penduduk Sumatera Utara pada tanggal 31 Oktober 1990 (hari sensus)
berjumlah 10,81 juta jiwa, dan pada tahun 2002, jumlah penduduk
Sumatera Utara diperkirakan sebesar 11,85 juta jiwa. Kepadatan penduduk
Sumatera Utara tahun 1990 adalah 143 jiwa per km 2 dan tahun 2002
meningkat menjadi 165 jiwa per km 2 , sedangkan laju pertumbuhan
penduduk Sumatera Utara selama kurun waktu tahun 1990-2000 adalah 1,20
persen per tahun.
b. Perekonomian Daerah
Pencapaian pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara pada tahun 2005
lebih rendah dibandingkan keadaan tahun 2004. Dari hasil perhitungan
sangat sementara, pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara pada tahun 2005
mencapai 5,48 %. Pertumbuhan ekonomi ini lebih rendah dibandingkan
tahun 2004 yang mencapai 5,74%. Angka ini bahkan lebih rendah
dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,60%.
Hasil sementara perhitungan PDRB menunjukkan sebagian besar nilai
PDRB Sumatera Utara pada tahun 2005 merupakan sumbangan dari sektor
industri pengolahan yaitu sebesar 24,72%, diikuti sektor pertanian 24,69%
dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 18,38%. Selanjutnya
sektor yang memberikan konstribusi terkecil diberikan oleh sektor listrik,
gas dan air bersih sebesar 0,88%. Akan tetapi lebih separuh (50,76%) PDRB
Provinsi Sumatera Utara digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga, yaitu makanan (30,63%) dan non makanan 21,09%. Sedangkan
penggunaan PDRB untuk pembentukan modal tetap bruto (PMBT) sebesar
18,56%.
Walaupun pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara di tahun 2005 lebih
rendah dari tahun 2004, PDRB Perkapita ADHB Sumatera Utara tahun 2005
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 67
berhasil mencapai 11,106 juta rupiah, lebih tinggi dari tahun 2004 sebesar
9,74 juta rupiah.
Untuk dipahami bersama, pada tahun 2005, telah dilakukan
pergeseran tahun dasar perhitungan PDRB dengan mengganti tahun 1993
menjadi tahun 2000. Hal iuni dilakukan didasarkan atas pertimbangan
perkembangan ekonomi dunia dalam kurun waktu 1993-2000 yang diwarnai
oleh globalisasi yang berpengaruh kepada perekonomian domestik. Dalam
priode yang sama, juga telah terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997, yang
berdampak pada perubahan struktur ekonomi Indonesia. Disamping itu
ketersediaan data (raw data) baik harga maupun volume (quantum) tahun
2000 secara rinci pada masing-masing sektor ekonomi relatif lebih lengkap
dan berkelanjutan dibandingkan kondisi pada tahun 1993.
Pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara pada tahun 2005 diperkirakan
mencapai 5,48 persen dan perkiraan pada tahun 2006 mencapai 6,49 persen
dan pada tahun 2007 diharapkan mencapai 7,02 persen, PDRB berdasarkan
harga berlaku pada tahun 2005 diperkirakan sebesar Rp. 136,90 trilyun, dan
angka ini diperkirakan semakin meningkat pada tahun 2006 mencapai Rp.
152,70 trilyun sedangkan tahun 2007 mencapai Rp. 175,26 trilyun, demikian
halnya PDRB per kapita berdasarkan harga berlaku untuk tahun yang sama
berturut sebesar Rp. 11,11 juta tahun 2005 dan 2006 Rp. 12,11 juta serta
tahun 2007 mencapai Rp. 13,73 juta.
Tabel 3.2 Target dan Realisasi Beberapa PDRB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2005
No. Indikator Satuan Target 2005
Realisasi 2005
Selisih (5)-(4)
1. Pertumbuhan Ekonomi 1) Persen 5.95 5.48 -0.47 2. PDRB – Berlaku Triliun Rp. 121,88 136,903 15,023 3. PDRB - Konstan 2) Triliun Rp. 30,39 87,895 57,505
4. PDRB Perkapita Harga Berlaku Juta Rp. 9,98 11,11 1,13
Sumber: www.sumutprop.go.id
Kalau dilihat berdasarkan sektor usaha dalam struktur ekonomi masih
tetap didominasi oleh 3 sektor yakni industri pengolahan, diikuti sektor
pertanian dan Perdagangan Hotel serta Restauran kemudian baru diikuti
oleh sektor lainnya. Pada tahun 2005 masing-masing mencapai 25,97
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 68
persen, 23,44 persen, dan 18,09 persen berturut-turut, dan angka ini akan
mengalami perubahan sejalan dengan semakin membaiknya sektor riil,
kondisi tersebut mendorong perbaikan pada sektor Perdagangan, Hotel serta
Restauran dan diperkirakan akan mengalami peningkatan sehingga untuk
tahun 2006 diperkirakan industri pengolahan mencapai 25,03 persen,
Pertanian 23,42 persen dan Perdagangan hotel dan restauran mencapai
18,84 persen. Sedangkan tahun 2007 diharapkan mencapai masing-masing
25,14 persen, 23,14 persen, dan 18,90 persen.
Sementara itu, volume dan nilai ekspor akan terus dipacu dan
diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Sekalipun terjadi
peningkatan namun diperkirakan kenaikan volume dan nilai ekspor akan
terjadi namun dalam nilai yang tidak begitu signifikan. Perkiraan volume
ekspor tahun 2005 dan 2006 sebesar 8,17 dan 8,00 juta ton, dengan nilai
ekspor sebesar 4,56 dan 4,37 Milyar US$, demikian halnya pada tahun 2007
diperkirakan volume ekspor tahun sebesar 8,39 juta ton, dengan nilai ekspor
sebesar 4,45 Milyar US$. Sedangkan laju inflasi pada tahun 2005 mencapai
angka yang sangat tinggi 22,41 persen dan 2006 diperkirakan sebesar 7,00
persen, pada tahun 2007 diperkirakan sebesar 6,50 persen.
c. Kepegawaian
Sumatera Utara memiliki jumlah penduduk sebanyak 12.450.911 jiwa
pada tahun 2005. Sementara jumlah aparatur yang harus memberikan
palayanan kaopada penduduk provinsi ini tahun 2005 mencapai 12.013
orang. Jumlah aparatur ini lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah
aparatur provinsi Sumatera Utara pada tahun 2006 yang hanya mencapai
11.124 atau turun sebanyak 7,40%.
Tabel 3.3 Jumlah Aparatur Provinsi Sumatera Utara 2003 - 2007
Tahun Jumlah Perubahan (%) 2003 12124 - 2004 11961 -1.34 2005 12013 0.43 2006 11124 -7.40
2007)* 11276 1.37 Sumber: Data Base Otonomo Daerah (2007), BPS Sumatera Utara (2006) )* Hingga Juni 2007
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 69
Menurunnya jumlah aparatur ini diakibatkan oleh makin meningkatnya
jumlah aparatur pemeritah yang sudah mencapai usia pensiun,
diberhentikan dengan tidak hormat, atau dengan secara sukarela
mengundurkan diri dengan hormat, serta meninggal dunia. Sementara
penambahan jumlah aparatur tidak sebanding dengan penurunnnya.
Hingga Juni 2007, jumlah pegawai di provinsi Sumatera Utara
mengalami kenaikan sebanyak 1,37% dari tahun 2006, yakni menjadi 11.276
orang. Kenaikan jumlah pegawai disebabkan oleh penambahan jumlah CPNS
tahun 2006 yang berasal dari tenaga kontrak. Dengan penambahan ini,
diharapkan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah provinsi kepada
masyarakat semakin baik dan optimal karena penambahan ini diiringi
dengan peningikatan kapasitas pegawai.
3.2.3 Provinsi Banten
a. Letak Geografis
Wilayah Banten berada pada batas
astronomi 5º 7’ 50” - 7º 1’ 11” Lintang
Selatan dan 105º 1’ 11” - 106º 7’ 12”
Bujur Timur, dengan luas wilayah
daratan 8.800,83 km² dan lautan (12
mil) seluas 11.487,12 km² . Secara
wilayah pemerintahan Provinsi
Banten terdiri dari 2 Kota, 4 Kabupaten, 140 Kecamatan, 262 Kelurahan,
dan 1.242 Desa.
Provinsi Banten mempunyai batas wilayah:
Sebelah Utara : Laut Jawa
Sebelah Timur : Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat
Sebelah Selatan : Samudera Hindia
Sebelah Barat : Selat Sunda
Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial, Selat
Sunda merupakan salah satu jalur yang dapat dilalui kapal besar yang
menghubungkan Australia, Selandia Baru, dengan kawasan Asia Tenggara
misalnya Thailand, Malaysia dan Singapura. Disamping itu Banten
merupakan jalur perlintasan/penghubung dua pulau besar di Indonesia,
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 70
yaitu Jawa dan Sumatera. Bila dikaitkan posisi geografis dan pemerintahan
maka wilayah Banten terutama Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang
merupakan wilayah penyangga bagi Ibukota Negara. Secara ekonomi wilayah
Banten mempunyai banyak industri. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki
beberapa pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai antisipasi untuk
menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di Jakarta dan sangat
mungkin menjadi pelabuhan alternatif dari Singapura.
Kondisi topografi Banten adalah sebagai berikut :
1. Wilayah datar (kemiringan 0 - 2 %) seluas 574.090 Ha
2. Wilayah bergelombang (kemiringan 2 - 15%) seluas 186.320 Ha
3. Wilayah curam (kemiringan 15 - 40%) seluas 118.470,50 Ha
Kondisi penggunaan lahan yang perlu dicermati adalah menurunnya
wilayah hutan dari 233.629,77 Ha pada tahun 2004 menjadi 213.629,77 Ha.
b. Perekonomian Daerah
Komposisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam tahun 2005
kontribusi yang paling besar adalah sektor industri pengolahan sebesar
49,75%, diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 17,13%,
pengangkutan dan komunikasi 8,58% dan pertanian 8,53%.
Tabel 3.4 PDRB Banten Lapangan Usaha Utama Tahun 2005
No. Jenis Lapangan Usaha Jumlah % 1. Pertanian 731.827 21,14 2. Pertambangan dan Penggalian 41.346 1,19 3. Industri 799.962 23,11 4. Listrik dan Air Minum 13.553 0,39 5. Konstruksi / Bangunan 137.519 3,97 6. Perdagangan 721.494 20,84 7. Transportasi dan Komunikasi 328.990 9,50 8. Keuangan 125.577 3,63 9. Jasa-jasa 58.261 1,68 J U M L A H 3.461.508 100
Sumber: BPS, Banten Dalam Angka 2005
Apabila dikaitkan penduduk yang bekerja berdasarkan klasifikasi
sektor pada PDRB, maka terlihat mata pencaharian pada sektor industri
23,11%, pertanian 21,14%, perdagangan 20,84% dan transportasi serta
komunikasi 9,50%. Untuk sektor pertanian dengan penyerapan tenaga kerja
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 71
yang banyak (21,14%) ternyata memberikan kontribusi PDRB sebesar 8,58%,
sedangkan sektor industri dengan penyerapan 23,11% tenaga kerja mampu
memberikan kontribusi sebesar 49,75%.
Perekonomian wilayah Provinsi Banten dalam kurun waktu 2001-2005
bergerak dengan laju pertumbuhan ekonomi (LPE) rata-rata 4,93% per tahun
(3,95% pada tahun 2001 dan 5,88% pada tahun 2005) Sejalan dengan
peningkatan LPE tersebut PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun 2005
telah mencapai Rp. 84,62 Trilyun dan PDRB atas dasar harga konstan (2000)
sebesar Rp. 58,11 Trilyun. Sedangkan PDRB per kapita Banten meningkat
dari Rp. 8,07 Juta pada tahun 2004 menjadi Rp. 9,09 Juta pada tahun 2005.
Gambar 3.6
Grafik Konstribusi Sektor Ekonomi terhadap PDRB Banten Tahun 2005 (%)
Sumber: BPS, Banten Dalam Angka 2005
Pola perkembangan perekonomian wilayah Provinsi Banten dalam
kurun waktu 2001-2005 dicirikan dengan pergeseran peranan sektoral,
dimana penguatan peran sektor tersier (service) ditunjukkan oleh
peningkatan yang pada tahun 2001 baru mencapai 30,98% meningkat
menjadi 34,02% pada tahun 2005. Sektor sekunder yang memuat sektor
industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih memberikan konstribusi
terhadap PDRB mengalami penurunan dari 59,27% (2001) menjadi 57,34%
(2005). Penurunan ini disebabkan oleh semakin turunnya peranan sektor
industri dalam perekonomian Banten. Sama halnya dengan kelompok sektor
sekunder, sektor primer juga mengalami penurunan dari 9,74% pada tahun
2001 menjadi 8,64% pada tahun 2005.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 72
c. Kepegawaian
Pemerintahan Provinsi Banten selama tahun 2005 didukung oleh 2.768
orang Pegawai Negeri Sipil (PNS), dimana 1997 orang laki-laki dan 771 orang
perempuan. Apabila dilihat dari pendidikan, maka 1.461orang atau 52,78
persen PNS berpendidikan sarjana (Strata I/II/III), sedangkan sisanya 47,22
persen hanya berpendidikan non gelar (Sarjana Muda/D3 atau yang lebih
rendah). Dari 26 instansi pemerintah yang ada di lingkungan Provinsi
Banten, hanya Sekretariat Daerah yang mempunyai jumlah PNS yang cukup
besar, yaitu 622 orang atau 22,47 persen dari seluruh PNS yang ada.
Tabel 3.5 Jumlah CPNS/PNS Provinsi Banten
Tahun 2002-2005
Tahun Jumlah CPNS/PNS Perubahan (%) 2002 2762 - 2003 2664 -3,55 2004 2768 3,90 2005 2768 0%
Sumber: Banten Dalam Angka (2005)
Berdasarkan data yang tercatat dalam data base Biro Kepegawaian
(2005) menunjukkan bahwa jumlah CPNS/PNS di provinsi Banten
didominasi oleh lulusan S1 dan SMA dan sederajat yaitu sebesar 69% dari
total pegawai (CPNS/PNS) atau sebesar 1910 orang. Dari 69% tersebut
yang tamatan SMA dan sederajat mencapai 29,01% atau 803 orang.
Tabel 3.6 Jumlah CPNS/PNS Provinsi Banten Tahun 2005
Jenis Pendidikan
PNS CPNS Jumlah Share (%)
SD 26 26 0.94 SMP dan sederajat 9 9 0.33 SMA dan Sederajat 801 2 803 29.01 Diploma I 53 53 1.91 Diploma II 27 27 0.98 Diploma III/Sarjana Muda 350 350 12.64 Diploma IV 39 39 1.41 S1 1106 1 1107 39.99 S2 348 348 12.57 S3 6 6 0.22
Jumlah 2765 3 2768 100.00 Sumber: Banten Dalam Angka (2005)
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 73
Secara umum dari tabel di atas, menunjukkan bhawa jumlah
aparatur pemerintah provinsi Banten sekitar 30% adalah tamatan
SMA/sederajat ke bawah. Sedangkan yang telah menamatkan S2
mencapai 12,57% atau 348 orang dan tamatan S3 sebanyak 0,22% atau
hanya 6 orang. Jadi masih banyak aparatur pemerintah daerah provinsi
Banten yang masih perlu diingkatkan kualifikasi akademiknya atau
kompetensi akademik agar tugas-tugas layanan yang diberikan oleh
aparatur lebih baik lagi.
3.2.4 Provinsi Bangka Belitung
a. Letak Geografis
Kepulauan Bangka Belitung adalah
sebuah provinsi Indonesia yang terdiri dari
Pulau Bangka dan Belitung serta beberapa
pulau kecil yang terletak di bagian timur
Sumatra, dekat dengan Provinsi Sumatra
Selatan. Ibu kota provinsi ini ialah Pangkal
Pinang. Provinsi ini disahkan pada tanggal 9
Februari 2002.
Selat Bangka memisahkan Sumatra dan Bangka, sedangkan Selat
Gampar memisahkan Bangka dan Belitung. Di bagian utara provinsi ini
terdapat Laut Tiongkok Selatan, bagian selatan adalah Laut Jawa dan Pulau
Kalimantan di bagian timur yang dipisahkan dari Belitung oleh Selat
Karimata. Kepulauan Bangka Belitung merupakan bekas Provinsi Sumatra
Selatan, namun menjadi provinsi sendiri bersama Banten dan Gorontalo
pada tahun 2000. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung didirikan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 tanggal 4 Desember 2000. Propinsi
Kepulauan Bangka Belitung berasal dari sebagian wilayah Provinsi Sumatera
Selatan.
Luas wilayah 81.725,14 Km2 dengan luas daratan sebesar 16.424,14
Km2 atau 20,10%. Sedangkan luas perairan adalah mencapai 65.301 Km2
atau 79,90%. Artinya daerah ini lebih banyak daerah perairan disbanding
dengan daratan. Hal ini menujukkan bahwa kehidupan masyarakat Bangka
Belitung banyak tergantung pada potensi dan kekayaan laut. Kondisi wilayah
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 74
administratif meliputi dua pulau besar yaitu Pulau Bangka dan Pulau
Belitung dengan panjang pantai 1200 Km dengan jumlah kabupaten
sebanyak 6 dan 1 Kota, sedangkan jumlah kecamatan meliputi 36
kecamatan dengan 54 kelurahan, dan 267 desa.
b. Perekonomian Daerah
Struktur ekonomi di Kepulauan Bangka Belitung tahun 2005 meliputi
pertanian komoditas utama seperti produksi panen padi sawah 9.772 ton
dari luas panen 2.743 ha, padi ladang 8.955 ton dari luas panen 3.844 ha,
jagung 2.715 ton dari luas panen jagung 935 ha, ubi jalar 4.080 ton dengan
luas panen 528 ha, ketela pohon 19.000 ton dari luas panen 1.419 ha,
kacang tanah 389 ton dari luas panen 422 ha. Hasil produksi buah-buahan di
Kepulauan Bangka Belitung tahun 2005 adalah; alpukat 354,30 ton, mangga
1.982,8 ton, rambutan 1.798,10 ton, duku 1.525,10 ton, durian 2.804,9 ton,
jeruk siam 39.482 ton, nenas 1.615,5 ton, nangka 4.289,7 ton, salak 1.083,5
ton, pisang 15.329,3 ton dan manggis 640,70 ton.
Hasil sayur-sayuran yang menonjol adalah ketimun 3.644,80 ton,
terong 2.795 ton, kacang panjang 1.914,30 ton bayam 1.005,80 ton dan
kangkung 2.338 ton. Di luar komoditas itu, Kepulauan Bangka Belitung
menghasilkan bawang merah, lombok, kubis, petai, buncis, labu siam.
Disamping itu, terdapat Kepulauan ini terkenal dengan lada putihnya.
Hampir setengah penduduknya mencari nafkah dengan berkebun lada.
Dengan hamparan perkebunan lada yang luas para pengunjung dapat
melihat langsung bagaimana lada putih ini diproses pemetikan, pengolahan
dan pemasaran.
Kebun nanas Toboali yang terkenal dengan buahnya yang besar dan
manis. Para pengunjung dapat membeli dengan dengan memetik langsung
dikebun. Lokasinya berdekatan dengan ibukota kecamatan Toboali sebelah
selatan Pulau Bangka. Terdapat juga perkebunan jeruk yang indah ini di
Desa Rias, Toboali. Pengunjung juga dapat menikmati buahnya saat
menikmati keasrian alam sekitar.
Sementara itu, hasil laut di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dapat
dilihat pada tabel berikut:
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 75
Tabel 3.7 Hasil Kelautan dan Perikanan 2005 - 2006
Tahun
No. Uraian 2005 (Ton) 2006 (Ton)
1. Budidaya Laut 23,51 27,68
2. Budidaya Tambak 152,22 122,99
3. Budidaya Kolam 535,97 751,24
4. Budidaya Keramba 5,96 2,87
5. Budidaya Jaring Apung 6,66 27,69 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Sedangakan untuk potensi laut yang dapat dikembangkan di provinsi
Kepulauan Bangka Belitung guna mendorong peningkatan kesejahetaraan
masyarakat dapat dlihat tabel berikut:
Tabel 3.8 Potensi Perikanan 2006 Potensi Kelaut Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Sektor diatas, adalah yang memberikan konstribusi besar terhadap
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Karena karakteristik daerah ini adalah kepulauan, maka sektor perikanan
dan pertambangan mempunyai peran yang tiak kecil dalam menyumbang
PDRB provinsi.
c. Kepegawaian
Jumlah aparatur pemerintah provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada
tahun 2004 mengalami penurunan sebanyak 0,80% dibandingkan tahun 2003.
No. Uraian Luas Areal Potensi Produksi
(Ton)
Nilai Ekonomi (Rp.1000)
1. Perikanan Tangkap 499.500 2.497.500.000
a. Perairan Teritorial 65.301 Km² 282.100 1.410.500.000
b. Perairan ZEE 217.400 1.087.000.000
2. Perikanan Budidaya 1.316.000/th 245.160.000.000
a. Budidaya Air Laut 120.000 Ha 1.200.000/th 240.000.000.000
b. Budidaya Air Payau 250.000 Ha 100.000/th 5.000.000.000
c. Budidaya Air Tawar 1.602 Ha 16.000/th 160.000.000
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 76
Sedangkan tahun 2005 meningkat sebesar 8,63% dari tahun sebelumnya.
Penmabhan jumlah pegawai ini berlajut hingga tahun 2006 dan 2007. Pada
tahun 2006 bertambah sebanyak 5 orang sehingga berjumlah 1491 orang.
Jumlah tersebut belum termasuk pegawai yang honorer ataupun Tenaga
Kontrak. Dibandingkan dengan provinsi yang menjadi lokasi studi, jumlah
aparatur di Bangka Belitung ini mengalami peningkatan.
Tabel 3.9 Jumlah Aparatur Provinsi Bangka Belitung 2003 - 2007
Tahun Jumlah Perubahan (%) 2003 1379 - 2004 1368 -0.80 2005 1486 8.63 2006 1491 0.34
2007)* 1565 4.96 Sumber: Data Base Otonomo Daerah (2007), BPS Bangka Belitung (2006) )* Hingga Juni 2007
Faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan jumlah aparatur
adalah bahwa provinsi ini merupakan daerah otonomi baru, merupakan
daerah kepulauan, ada limpahan aparatur dari provinsi induk, serta
pengangkatan CPNS baru. Namun jumlah tersebut belum termasuk jumlah
CPNS hasil pengangkatan tahun 2006.
3.2.5 Provinsi Kepulauan Riau
a. Letak Geografis
Provinsi Kepulauan Riau terbentuk
berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun
2002 merupakan Provinsi ke-32 di Indonesia
yang mencakup Kota Tanjungpinang, Kota
Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun,
Kabupaten Natuna, dan Kabupaten
Lingga.
Secara keseluruhan Wilayah Kepulauan Riau terdiri dari 4 Kabupaten dan 2
Kota, 42 Kecamatan serta 256 Kelurahan/Desa dengan jumlah 2.408 pulau
besar dan kecil dimana 40% belum bernama dan berpenduduk. Adapun
luas wilayahnya sebesar 252.601 Km2, di mana 95% - nya merupakan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 77
lautan dan hanya 5% merupakan wilayah darat, dengan batas wilayah
sebagai berikut :
- Utara dengan Vietnam dan Kamboja
- Selatan dengan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Jambi
- Barat dengan Singapura, Malaysia, dan Provinsi Riau
- Timur dengan Malaysia, Brunei, dan Provinsi Kalimantan Barat
Dengan letak geografis yang strategis (antara Laut Cina Selatan,
Selat Malaka dengan Selat Karimata) serta didukung potensi alam yang
sangat potensial, Provinsi Kepulauan Riau dimungkinkan untuk menjadi
salah satu pusat pertumbuhan ekonomi bagi Republik Indonesia dimasa
depan. Apalagi saat ini pada beberapa daerah di Kepulauan Riau (Batam,
Bintan, dan Karimun) tengah diupayakan sebagai pilot project
pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui kerjasama dengan
Pemerintah Singapura.
Penerapan kebijakan KEK di Batam-Bintan-Karimun, merupakan
bentuk kerjasama yang erat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, dan partisipasi dunia usaha. KEK ini nantinya merupakan simpul-
simpul dari pusat kegiatan ekonomi unggulan, yang didukung baik fasilitas
pelayanan prima maupun kapasitas prasarana yang berdaya saing
internasional. Setiap pelaku usaha yang berlokasi di dalamnya, akan
memperoleh pelayanan dan fasilitas yang mutunya dapat bersaing dengan
praktik-praktik terbaik dari kawasan sejenis di Asia-Pasifik.
b. Perekonomian Daerah
Dalam periode lima tahun terakhir (2001-2005) Perekonomian Provinsi
Kepulauan Riau didominasi oleh sektor industri pengolahan yang
memberikan kontribusi (share) rata-rata sebesar 65,65% terhadap
pembentukan PDRB (Atas Dasar Harga Konstan). Sedangkan pada tahun
2005 sektor industri pengolahan memberikan kontribusi (share) sebesar
Rp.20,249 triliun atau sebesar 67,24% terhadap pembentukan PDRB Provinsi
Kepulauan Riau. Sementara itu sektor perdagangan, hotel dan restoran pada
tahun 2005 merupakan sektor kedua terbesar dalam memberikan kontribusi
terhadap pembentukan PDRB yaitu sebesar Rp.2,491 triliun atau sebesar
8,20%. Kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran dalam lima tahun
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 78
terakhir menunjukkan trend yang menaik dengan kontribusi rata-rata
sebesar 7,99%.
Sektor ketiga yang memberikan kontribusi terbesar terhadap
pembentukan PDRB adalah sektor pertambangan dan penggalian yaitu
sebesar Rp.2,082 triliun atau sebesar 6,86%. Kontribusi sektor
pertambangan dan penggalian dalam lima tahun terakhir cenderung
mengalami penurunan, karena pada tahun 2001 sektor ini memberikan
kontribusi sebesar 13,68% dan pada tahun 2004 kontribusinya menurun
sehingga menjadi 7,40% terhadap pembentukan PDRB Provinsi Kepulauan
Riau.
Sedangkan sektor keempat yaitu sektor pertanian, pada tahun 2005
memberikan kontribusi (share) sebesar Rp.1,46 triliun atau sebesar 4,82%.
Sub sektor perikanan merupakan penyumbang terbesar terhadap
pembentukan sektor ini yaitu sebesar Rp.1,056 triliun dan memberikan
kontribusi sebesar 3,48% terhadap pembentukan PDRB. Kontribusi sektor
pertanian pada tahun 2005 ini menurun apabila dibandingkan tahun 2004.
Selama periode tahun 2001-2004 kontribusi sektor pertanian cenderung
menaik dimana pada tahun 2001 adalah sebesar 4,72% dan pada tahun 2004
kontribusi adalah sebesar 4,87%.
Sektor kelima yang memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap
PDRB daerah ini adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
dimana pada tahun 2005 memberikan kontribusi (share) sebesar Rp.1,335
triliun atau sebesar 4,40%. Kontribusi sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan dalam lima tahun terakhir menunjukkan trend yang menaik
dimana pada tahun 2001 kontribusi sektor ini baru mencapai 3,93%. Sektor-
sektor lainnya pada tahun 2005 rata-rata memberikan kontribusi dibawah 4%
terhadap pembentukan PDRB dan dalam lima tahun terakhir kontribusi
sektor-sektor tersebut juga memiliki kecendrungan (trend) yang menaik.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 79
Tabel 3.10 Kontribusi (Share) Per-Sektor Terhadap Pembentukan PDRB (2001 – 2005)
LAPANGAN USAHA 2001 2002 2003 2004 2005 Rata- Rata
1. Pertanian 4,72 4,86 4,91 4,87 4,82 4,83 2. Pertambangan & Penggalian 13,68 9,56 8,24 7,40 6,86 9,15 3. Industri 62,63 65,60 66,04 66,72 67,24 65,65 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,22 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 5. Bangunan & Konstruksi 2,48 2,58 2,64 2,63 2,61 2,59 6. Perdag., Hotel & Restoran 7,48 7,89 8,19 8,19 8,20 7,99 7. Pengangkutan & Komunikasi 3,04 3,30 3,48 3,65 3,72 3,44 8. Keu. Persewaan & Jasa Perusahaan
3,93 4,06 4,35 4,38 4,40 4,22
9. Jasa-Jasa 1,82 1,92 1,94 1,93 1,93 1,91 PDRB (Dengan Migas) 100 100 100 100 100 -
Sumber : BPS Tahun 2006, BPS Kepri (2006)
Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2005
adalah sebesar 6,57%. Angka laju pertumbuhan tersebut merupakan angka
yang tertinggi dalam periode lima tahun kebelakang karena pada tahun 2001
(empat tahun setelah krisis ekonomi) laju pertumbuhan ekonomi daerah ini
berkontraksi minus 1,34%. Namun secara perlahan-lahan perekonomian
Kepulauan Riau mulai bangkit, apalagi setelah daerah ini ditetapkan sebagai
daerah provinsi otonom pada tahun 2002 membawa pengaruh yang cukup
signifikan terhadap pertumbuhan perekonomian daerah.
Sektor-sektor yang tumbuh dengan baik (lebih cepat dari pertumbuhan
total PDRB) pada tahun 2005 antara lain sektor pengangkutan dan
komunikasi (8,51%), sektor industri pengolahan (7,41%), sektor keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan (6,89%), sektor jasa (6,77%), serta sektor
perdagangan, hotel dan restoran (6,69%).
Sementara itu sektor lainnya masih tumbuh di bawah laju
pertumbuhan PDRB. Berturut-turut sektor tersebut adalah sektor listrik, gas
dan air bersih (6,62%), sektor bangunan dan konstruksi (5,61%), sektor
pertanian (5,40%), dan sektor pertambangan dan penggalian (-1,23%).
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 80
Tabel 3.11 Laju Pertumbuhan PDRB Tahun 2001-2005
LAPANGAN USAHA 2001 2002 2003 2004 2005
1. Pertanian 7,71 5,67 5,79 5,70 5,40 2. Pertambangan & Penggalian -33,06 -28,34 -9,63 -4,45 -1,23 3. Industri 8,46 7,44 5,52 7,57 7,41 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 8,12 6,74 7,12 6,46 6,62 5. Bangunan & Konstruksi 5,95 6,73 7,14 6,27 5,61 6. Perdag., Hotel & Restoran 7,89 8,20 8,70 6,52 6,69 7. Pengangkutan & Komunikasi 9,75 11,55 10,35 11,72 8,51 8. Keu. Persewaan & Jasa Perusahaan -18,94 5,98 12,22 7,39 6,89 9. Jasa-Jasa 7,08 7,83 5,95 6,17 6,77
Laju Pertumbuhan PDRB (Dengan Migas) -1,34 2,57 4,82 6,47 6,57
Sumber : BPS Tahun 2006, BPS Kepri (2006)
c. Kepegawaian
Sebagai daerah otonomi baru, tentunya jumlah aparatur yang ada di
provinsi ini masih relatif sedikit dengan jumlahnya dibandingkan dengan
daerah otonomi baru yang lain. Manurut data yang tercatat di BKN dan Data
Base Otonomi Daerah Bappenas (2007) dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.12 Jumlah Aparatur Provinsi Kepulauan Riau 2005- 2007
Tingkat Pendidikan Tahun < SLTA Diploma S-1 S-2 S-3
Jumlah
2005 79 78 202 24 - 383 2006 79 78 202 24 - 383
2007)* 192 203 357 30 - 782 Sumber: Data Base Otonomo Daerah (2007), BPS Kepri (2006) )* Hingga Juni 2007
Jumlah aparatur yang harus melayani penduduk sebesar 1.274.848
jiwa pada tahun 2005 di provinsi Kepualuan Riau adalah sebanyak 383
orang. Minimnya jumlah aparatur ini disebabkan karena daerah ini
merupakan daerah otonomi baru dan belum dimasukkannya jumlah
pengangkatan pegawai baru tahun 2006. Akibatnya layanan yang diberikan
aparatur kepada masyarakat relatif kurang optimal. Mengingat daerah ini
adalah daerah kepulauan, maka diwaktu yang akan datang diperlukan
jumlah aparatur yang lebih besar lagi. Sehingga dapat memberikan layanan
yang optimal kepada wargannya.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 81
Bila dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh pegawai
hingga Juni 2007 adalah pegawai yang berpendidikan S1 paling banyak
disusul tamatan diploma sebanyak 203 orang. Hal ini mengindikasikan
bahwa para pegawai yang memiliki tingkat kapasitas yang relatif lebih baik.
Bahkan dengan jumlah pegawai yang lulus S2 sebanyak 30 orang semakin
menunjukkan bahwa pagawai di provinsi ini adalah baik, meskipun masih
ada pegawai yang masih lulusan SMA masih ada, tetapi jumlah tersebut
relatif sedikit.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
BAB IV LANDASAN KEBIJAKAN
4.1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 4.1.1 Pemerintahan Daerah
Tatanan organisasi pemerintahan daerah dalam NKRI tidak terlepas dari
ketentuan mengenai pemerintahan daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD
1945 sebagai sumber hukum tertinggi yang mengatur garis besar penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Hal-hal lain yang berkenaan dengan pemerintahan daerah
seperti hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan pengaturan mengenai
keberadaan satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa serta kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionilnya dapat disimak pada Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945.
Lebih lanjut mengenai pemerintahan daerah ini, termasuk satuan organisasi
perangkat Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dapat
ditelaah dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Khusus
mengenai perangkat Pemerintah Daerah diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No. 84 Tahun 2000 yang kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi
berdasarkan PP No.8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Pemerintahan Daerah sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Umum UU
No. 22 Tahun 1999 adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi. Daerah otonom
dimaksud adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah
tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI.
Sedangkan desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom dalam kerangka NKRI. Daerah otonom
dalam konteks ini meliputi Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 83
1. Prinsip-Prinsip
a. Prinsip Pemberian Otonomi Daerah
Dasar pemikiran prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah adalah
memperhatikan pengalaman pelaksanaan Undang-Undang yang berkenaan dengan
penyelenggaraan otonomi daerah pada masa lampau, terakhir diatur dalam UU
No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, yang menganut
prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada
otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak. Namun dalam UU No.22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pemberian kewenangan otonomi kepada
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja
dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan Daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama, serta kewenangan bidang
lainnya yang meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian
pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem
administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional. Adapun
yang dimaksud dengan moneter dan fiskal adalah kebijakan makro ekonomi. Khusus
di bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh Pemerintah Pusat
kepada Daerah sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan Daerah dalam
menumbuhkembangkan kehidupan beragama. Di samping itu keleluasaan otonomi
mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan sampai dengan pengendalian dan evaluasi.
Otonomi nyata sebagaimana dimaksud di atas, adalah keleluasaan Daerah
untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara
nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di Daerah.
Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah
perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan
kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul
oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 84
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan
kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan
yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah dalam rangka menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi untuk Daerah Provinsi diberikan secara terbatas yang meliputi
kewenangan lintas Kabupaten dan Kota, dan kewenangan yang tidak atau belum
dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, serta kewenangan bidang
pemerintahan tertentu lainnya.
Atas dasar pemikiran di atas, prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah yang
dijadikan pedoman dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
adalah sebagai berikut:
1) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah;
2) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan
bertanggung jawab;
3) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakan pada Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota, sedang otonomi daerah Provinsi merupakan
otonomi yang terbatas;
4) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga
tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta Antar-
Daerah;
5) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah
Otonom, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada
lagi Wilayah Administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang
dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan
pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan,
kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru,
kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan Peraturan Daerah
Otonom;
6) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan
maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 85
7) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Provinsi dalam
kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat;
8) Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah
Pusat kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah Pusat dan Daerah kepada
Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber
daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
b. Prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Prinsip penyelenggaraan pemerintahan Daerah sebagaimana dinyatakan
dalam penjelasan umum UU No.22 Tahun 1999 adalah:
1) Digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan:
a) Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
Pusat kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b) Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dan/atau perangkat pusat di
Daerah;
c) Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah
dan Desa dan dari Daerah ke Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang
disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia
dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan.
2) Penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di
Kabupaten dan Kota;
3) Penyelenggaraan asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di Provinsi,
Kabupaten, Kota dan Desa.
2. Pembagian Daerah
Pembagian Daerah dalam NKRI ditetapkan berdasarkan Pasal 18 ayat (1)
UUD 1945 yang ketentuannya berbunyi:
“ Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah-Daerah Provinsi
dan Daerah Provinsi di bagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap Provinsi,
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 86
Kabupaten dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
Undang-Undang ”.
Undang-Undang yang dimaksud diatas dan saat ini masih berlaku adalah UU
No.22 Tahun 1999. Pokok-pokok pikiran yang melandasi pembagian daerah ini
sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian
kewenangan berdasarkan asas dekonsentrasi dan desentralisasi dalam kerangka
NKRI;
b. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah
Daerah Provinsi, sedangkan Daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi adalah Kabupaten dan Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas
desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat;
c. Pembagian Daerah di luar Daerah Provinsi dibagi habis ke dalam Daerah
Otonom. Dengan demikian, Wilayah Administrasi yang berada dalam Kabupaten
dan Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus;
d. Kecamatan yang menurut UU No. 5 Tahun 1974 sebagai Wilayah Administrasi
dalam rangka dekonsentrasi, menurut Undang-Undang ini kedudukannya diubah
menjadi perangkat Kabupaten atau Kota.
Berdasarkan pokok-pokok pikiran tersebut, pembagian daerah yang merujuk pada
ketentuan Pasal 2 UU No.22 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
a. Wilayah NKRI dibagi dalam Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang bersifat otonom;
b. Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai Wilayah Administrasi.
3. Pembentukan dan Susunan Daerah
Dalam rangka pembentukan dan susunan pemerintahan daerah, Pasal 18
ayat (2),(3),(4),(5), (6) dan (7) UUD 1945 menetapkan hal-hal sebagai berikut :
a. Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Daerah Kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan;
b. Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota memiliki Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum;
c. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 87
d. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat;
e. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan;
f. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
Undang-Undang.
Mengenai pembentukan dan susunan daerah, Pasal 4 UU No.22 Tahun 1999
menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi dibentuk dan
disusun Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat. Daerah-daerah sebagaimana dimaksud, masing-masing berdiri
sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama lain. Hal ini mengandung
pengertian bahwa:
1) Daerah Provinsi tidak membawahkan Kabupaten dan Kota, tetapi dalam praktek
penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan koordinasi, kerja sama,
dan/atau kemitraan dengan Kabupaten dan Kota dalam kedudukan masing-
masing sebagai Daerah Otonom. Sementara itu, dalam kedudukan sebagai
Wilayah Administrasi, Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat melakukan
hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap Kabupaten dan Kota;
2) Daerah Provinsi berkedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah
Administrasi, yang melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat yang
didelegasikan kepada Gubernur. Daerah Provinsi bukan merupakan Pemerintah
atasan dari Kabupaten dan Kota.
Pembentukan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota didasarkan pada
pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial-budaya, sosial-politik,
jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan
terselenggaranya otonomi daerah. Selain itu Daerah yang tidak mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan/atau digabung dengan
Daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari 1 (satu) Daerah
4. Kewenangan Daerah
Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945 dibentuk untuk: (a)
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 88
Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan; dan (b) Menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan
Pusat.
Dalam rangka otonomi daerah, kepada Daerah diberikan kewenangan yang
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan dengan pengecualian
bidang-bidang tertentu yang masih menjadi wewenang Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No.22 Tahun 1999 dan
perundang-undangan lainnya, sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian
tentang prinsip pemberian otonomi daerah. Pada hakekatnya setiap Daerah
berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan
bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Termasuk dalam hal ini adalah kewenangan di wilayah laut :
a) Bagi Daerah Provinsi, meliputi :
a) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas
wilayah laut tersebut;
b) Pengaturan kepentingan administratif;
c) Pengaturan tata ruang;
d) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau
yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
e) Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
b) Bagi Daerah Kabupaten dan Kota, adalah sejauh sepertiga dari batas laut
Daerah Provinsi.
4.1.2 Kewenangan Daerah Provinsi
Kewenangan Provinsi berdasarkan Pasal 9 UU No.22 Tahun 1999 jo Pasal 3
PP No.25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
sebagai Daerah Otonom, sebagai Daerah Otonom dan Daerah Administratif,
menyangkut hal-hal sebagai berikut:
a. Sebagai Daerah Otonom
Kewenangan Provinsi sebagai Daerah otonom mencakup kewenangan
dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota, kewenangan
dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya, kewenangan melaksanakan
kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota,
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 89
dan kewenangan melaksanakan kewenangan Kabupaten/Kota di bidang tertentu
dan bagian tertentu dari kewenangan wajib dengan kesepakatan antar
Kabupaten/Kota dan Provinsi.
1) Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas
Kabupaten/Kota, seperti kewenangan di bidang pekerjaan umum,
perhubungan, kehutanan, dan perkebunan.
2) Kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya, yakni:
a) Perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro;
b) Pelatihan bidang tertentu;
c) Alokasi sumber daya manusia potensial;
d) Penelitian yang mencakup wilayah Provinsi;
e) Pengelolaan pelabuhan regional;
f) Pengendalian lingkungan hidup;
g) Promosi dagang dan budaya/pariwisata;
h) Penanganan penyakit menular dan hama tanaman, dan
i) Perencanaan tata ruang Provinsi.
Kewenangan dimaksud dapat dikelompokkan dalam berbagai bidang sebagai
berikut:
(1) Bidang Pertanian:
(a) Penetapan standar pelayanan minimal dalam bidang pertanian yang
wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten/Kota;
(b) Penetapan standar pembibitan/perbenihan pertanian;
(c) Penetapan standar teknis minimal rumah potong hewan, rumah sakit
hewan, dan satuan pelayanan peternakan terpadu;
(d) Penyelenggaraan Diklat sumber daya manusia aparat pertanian
teknis fungsional, ketrampilan dan diklat kejuruan tingkat
menengah;
(e) Promosi ekspor komoditas pertanian unggulan Daerah Provinsi;
(f) Penyediaan dukungan kerja sama antar Kabupaten/Kota dalam
bidang pertanian;
(g) Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan
penyakit menular di bidang pertanian lintas Kabupaten/Kota;
(h) Pengaturan penggunaan bibit unggul pertanian;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 90
(i) Penetapan kawasan pertanian terpadu berdasarkan kesepakatan
dengan Kabupaten/Kota;
(j) Pelaksanaan penyidikan penyakit di bidang pertanian lintas
Kabupaten/Kota;
(k) Penyediaan dukungan pengendalian eradikasi organisme pengganggu
tumbuhan, hama dan penyakit di bidang pertanian;
(l) Pengaturan penggunaan air irigasi;
(m) Pemantauan, peramalan dan pengendalian serta penanggulangan
eksplosi organisme pengganggu tumbuhan dan penyakit di bidang
pertanian;
(n) Penyediaan dukungan pengembangan perekayasaan teknologi
perikanan serta sumber daya perairan lainnya;
(o) Pengendalian terhadap pelaksanaan pemberantasan penyakit ikan di
darat;
(p) Pengendalian eradikasi penyakit ikan di darat.
(2) Bidang Kelautan:
(a) Penataan dan pengelolaan perairan di wilayah laut Provinsi;
(b) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut
sebatas wilayah laut kewenangan Provinsi;
(c) Konservasi dan pengelolaan plasma nutfah spesifik lokasi serta suaka
perikanan di wilayah laut kewenangan Provinsi;
(d) Pelayanan izin usaha pembudidayaan dan penangkapan ikan pada
perairan laut di wilayah laut kewenangan Provinsi;
(e) Pengawasan pemanfaatan sumber-daya ikan di wilayah laut
kewenangan Provinsi.
(3) Bidang Pertambangan dan Energi:
(a) Penyediaan dukungan pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya
mineral dan energi serta air bawah tanah;
(b) Pemberian izin usaha inti pertambangan umum lintas
Kabupaten/Kota yang meliputi ekplorasi dan eksploitasi;
(c) Pemberian izin usaha inti listrik dan distribusi lintas Kabupaten/Kota
yang tidak disambung ke grid nasional;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 91
(d) Pengelolaan sumberdaya mineral dan energi non migas kecuali bahan
radio aktif pada wilayah laut dari 4 (empat) sampai dengan dua belas
mil;
(e) Pelatihan dan penelitian di bidang pertambangan dan energi di
wilayah Provinsi.
(4) Bidang Kehutanan dan Perkebunan:
(a) Pedoman penyelenggaraan inventarisasi dan pemetaan hutan/kebun;
(b) Penyelenggaraan penunjukan dan pengamanan batas hutan produksi
dan hutan lindung;
(c) Pedoman penyelenggaraan tata batas hutan, rekonstruksi dan
penataan batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung;
(d) Penyelenggaraan pembentukan dan perwilayahan areal perkebunan
lintas Kabupaten/Kota;
(e) Pedoman penyelenggaraan pembentukan wilayah dan penyediaan
dukungan pengelolaan taman hutan raya;
(f) Penyusunan perwilayahan, desain, pengendalian lahan dan industri
primer bidang perkebunan lintas Kabupaten/Kota;
(g) Penyusunan rencana makro kehutanan dan perkebunan lintas
Kabupaten/Kota;
(h) Pedoman penyelenggaraan pengurusan erosi, sadimentasi,
produktivitas lahan pada daerah aliran sungai lintas Kabupaten/Kota;
(i) Pedoman penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan produksi
dan hutan lindung;
(j) Penyelenggaraan perizinan lintas Kabupaten/Kota meliputi
pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan flora dan fauna yang
tidak dilindungi, usaha perkebunan, dan pengolahan hasil hutan;
(k) Pengawasan perbenihan, pupuk, pestisida, alat dan mesin di bidang
kehutanan dan perkebunan;
(l) Pelaksanaan pengamatan, peramalan organisme tumbuhan
pengganggu dan pengendalian hama terpadu tanaman kehutanan dan
perkebunan;
(m) Penyelenggaraan dan pengawasan atas rehabilitasi, reklamasi,
sistem silvikultur, budidaya, dan pengolahan;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 92
(n) Penyelenggaraan pengelolaan taman hutan raya lintas
Kabupaten/Kota;
(o) Penetapan pedoman untuk penentuan tarif pungutan hasil hutan
bukan kayu lintas Kabupaten/Kota;
(p) Turut serta secara aktif bersama Pemerintah Pusat dalam
menetapkan kawasan serta perubahan fungsi dan status hutan dalam
rangka perencanaan tata ruang Provinsi berdasarkan kesepakatan
antara Provinsi dan Kabupaten/Kota;
(q) Perlindungan dan pengamanan hutan pada kawasan lintas
Kabupaten/Kota;
(r) Penyediaan dukungan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
teknis, penelitian dan pengembangan terapan bidang kehutanan.
(5) Bidang Perindustrian dan Perdagangan:
(a) Penyediaan dukungan pengembangan industri dan perdagangan;
(b) Penyediaan dukungan kerjasama antar Kabupaten/Kota dalam
bidang industri dan perdagangan;
(c) Pengelolaan laboratorium kemetrologian.
(6) Bidang Perkoperasian:
Penyediaan dukungan pengembangan koperasi.
(7) Bidang Penanaman Modal:
Melakukan kerjasama dalam bidang penanaman modal dengan
Kabupaten dan Kota.
(8) Bidang Ketenagakerjaan:
(a) Penetapan pedoman jaminan kesejahteraan purnakerja;
(b) Penetapan dan pengawasan atas pelaksanaan upah minimum.
(9) Bidang Kesehatan:
(a) Penetapan pedoman penyuluhan dan kampanye kesehatan;
(b) Pengelolaan dan pemberian izin sarana dan prasarana kesehatan
khusus seperti rumah sakit jiwa, rumah sakit kusta, dan rumah sakit
kanker;
(c) Sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi;
(d) Survailans epidemiologi serta penanggulangan wabah penyakit dan
kejadian luar biasa;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 93
(e) Penempatan tenaga kesehatan strategis, pemindahan tenaga
kesehatan tertentu antar Kabupaten/Kota serta penyelenggaraan
pendidikan tenaga dan pelatihan kesehatan.
(10) Bidang Pendidikan dan Kebudayaan:
(a) Penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa
dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan atau tidak mampu;
(b) Penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul
pendidikan untuk taman kanak-kanak, pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan luar sekolah;
(c) Mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain
pengaturan kurikulum, akreditasi dan pengangkatan tenaga
akademis;
(d) Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi;
(e) Penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/atau
penataran guru;
(f) Penyelenggaraan museum Provinsi, suaka peninggalan sejarah,
kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai tradisional serta
pengembangan bahasa dan budaya daerah.
(11) Bidang Sosial:
(a) Mendukung upaya pengembangan pelayanan sosial;
(b) Mendukung pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan dan
kejuangan, serta nilai-nilai kesetiakawanan sosial;
(c) Pengawasan pelaksanaan penempatan pekerja sosial profesional
dan fungsional panti sosial swasta.
(12) Bidang Penataan Ruang:
(a) Penetapan tata ruang Provinsi berdasarkan kesepakatan antara
Provinsi dan Kabupaten/Kota;
(b) Pengawasan atas pelaksanaan tata ruang.
(13) Bidang Permukiman:
Penyediaan bantuan/dukungan penerapan hasil penelitian dan
pengembangan teknologi, arsitektur bangunan dan jatidiri kawasan.
(14) Bidang Pekerjaan Umum:
(a) Penetapan standar pengelolaan sumber daya air permukaan lintas
Kabupaten/Kota;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 94
(b) Pemberian izin pembangunan jalan bebas hambatan lintas
Kabupaten/Kota;
(c) Penyediaan dukungan/bantuan untuk kerjasama antar
Kabupaten/Kota dalam pengembangan prasarana dan sarana
wilayah yang terdiri atas pengairan, bendungan/dam, jembatan
dan jalan beserta simpul-simpulnya serta jalan bebas hambatan;
(d) Penyediaan dukungan/bantuan untuk pengelolaan sumber daya air
permukaan, pelaksanaan eksploitasi dan pemeliharaan jaringan
irigasi dan drainase lintas Kabupaten/Kota beserta bangunan-
bangunan pelengkapnya mulai dari bangunan pengambilan sampai
kepada saluran percontohan sepanjang lima puluh meter dari
bangunan sadap;
(e) Perizinan untuk mengadakan perubahan dan atau pembongkaran
bangunan-bangunan dan saluran jaringan dan prasarana dan sarana
pekerjaan umum yang lintas Kabupaten/Kota;
(f) Perizinan untuk mendirikan, mengubah ataupun membongkar
bangunan-bangunan lain, selain dari yang dimaksud pada butir (e)
termasuk yang berada di dalam, di atas, maupun yang melintasi
saluran irigasi;
(g) Pelaksanaan pembangunan dan perbaikan jaringan utama irigasi
lintas Kabupaten/Kota beserta bangunan pelengkapnya;
(h) Penyusunan rencana penyediaan air irigasi.
(15) Bidang Perhubungan:
(a) Penetapan alur penyeberangan lintas Kabupaten/Kota di wilayah
Provinsi;
(b) Penetapan tarif angkutan darat lintas Kabupaten/Kota untuk
penumpang kelas ekonomi;
(c) Penetapan lokasi pemasangan dan pemeliharaan alat pengawasan
dan alat pengamanan (rambu-rambu) lalu lintas jalan Provinsi,
danau dan sungai lintas Kabupaten/kota serta laut dalam wilayah
diluar 4 (empat) mil sampai dengan dua belas mil;
(d) Penetapan kebijakan tatanan dan perizinan pelabuhan Provinsi;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 95
(e) Pengelolaan pelabuhan dan bandar udara Provinsi yang dibangun
atas prakarsa Provinsi dan atau pelabuhan dan bandar udara yang
diserahkan oleh Pemerintah kepada Provinsi;
(f) Penyusunan dan penetapan jaringan transportasi jalan Provinsi;
(g) Pengaturan dan pengelolaan SAR Provinsi;
(h) Perizinan, pelayanan dan pengendalian kelebihan muatan dan
tertib pemanfaatan jalan Provinsi;
(i) Perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan jalan Provinsi;
(j) Penetapan standar batas maksimum muatan dan berat kendaraan
pengangkutan barang dan tertib pemanfaatan antar
Kabupaten/Kota;
(k) Penetapan lintas penyeberangan antar Provinsi;
(l) Penetapan lokasi dan pengelolaan jembatan timbang;
(m) Perencanaan dan pembangunan Jaringan Jalan Kereta Api lintas
Kabupaten/Kota.
(16) Bidang Lingkungan Hidup:
(a) Pengendalian lingkungan hidup lintas Kabupaten/Kota;
(b) Pengaturan pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber
daya laut 4 (empat) mil sampai dengan dua belas mil;
(c) Pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumber daya air
lintas Kabupaten/Kota;
(d) Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) bagi
kegiatan-kegiatan yang potensial berdampak negatif pada
masyarakat luas yang lokasinya meliputi lebih dari 1 (satu)
Kabupaten/Kota;
(e) Pengawasan pelaksanaan konservasi lintas Kabupaten/ Kota;
(f) Penetapan baku mutu lingkungan hidup berdasarkan baku mutu
lingkungan hidup nasional.
(17) Bidang Politik Dalam Negeri dan Administrasi Publik:
(a) Penegakan hak asasi manusia;
(b) Pemeliharaan ketentraman dan ketertiban umum;
(c) Penyediaan dukungan administrasi kepegawaian dan karir
pegawai;
(d) Membantu penyelenggaraan pemilihan umum;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 96
(e) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penjenjangan dan
teknis fungsional tertentu yang mencakup wilayah Provinsi;
(f) Penyelesaian perselisihan antar Kabupaten/Kota;
(g) Fasilitasi penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan sistem
politik;
(h) Alokasi dan pemindahan pegawai/tenaga potensial antar Daerah
Kabupaten/Kota dan dari Kabupaten/Kota ke Provinsi dan
sebaliknya;
(i) Penetapan tanda kehormatan/jasa selain yang telah diatur dan
menjadi kewenangan Pemerintah.
(18) Bidang Pengembangan Otonomi Daerah:
Penyelenggaraan otonomi daerah di wilayah Provinsi.
(19) Bidang Perimbangan Keuangan:
(a) Mengatur realokasi Pendapatan Asli Daerah yang terkonsentrasi
pada Kabupaten/Kota tertentu untuk keseimbangan
penyelenggaraan pembangunan guna kesejahteraan masyarakat
di Provinsi;
(b) Menyediakan alokasi anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) bagi kebutuhan belanja PNS Daerah yang
diangkat oleh Provinsi di luar kebijakan Pemerintah.
(20) Bidang Hukum dan Perundang-undangan:
Penetapan Peraturan Daerah untuk mendukung Pemerintahan
Provinsi sebagai daerah otonom.
b) Melaksanakan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh
Kabupaten/Kota
Kewenangan dalam hal ini adalah kewenangan Kabupaten dan Kota
yang ditangani oleh Provinsi setelah ada pernyataan dari Kabupaten dan
Kota. Kewenangan dimaksud dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota, dengan
ketentuan sebagai berikut:
(1) Kabupaten/Kota yang tidak atau belum mampu melaksanakan salah satu
atau beberapa kewenangan dapat melaksanakan kewenangan tersebut
melalui kerja sama antar-Kabupaten/Kota, kerja sama antar-
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 97
Kabupaten/Kota dengan Provinsi, atau menyerahkan kewenangan
tersebut kepada Provinsi;
(2) Pelaksanaan kewenangan melalui kerja sama atau penyerahan suatu
kewenangan kepada Provinsi harus didasarkan pada Keputusan Kepala
Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota.
Bupati/Walikota wajib menyampaikan keputusan mengenai penyerahan
kewenangan kepada Provinsi kepada Gubernur dan Presiden dengan
tembusan kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD);
(3) Presiden setelah memperoleh masukan dari Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah dapat menyetujui atau tidak menyetujui penyerahan
kewenangan tersebut;
(4) Dalam hal Presiden tidak memberikan persetujuannya, kewenangan
tersebut harus dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota;
(5) Apabila Presiden memberikan persetujuannya, pelaksanaan kewenangan
tersebut diserahkan kepada Provinsi;
(6) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan Presiden tidak memberikan
tanggapan, maka penyerahan kewenangan tersebut dianggap disetujui;
(7) Sebagai akibat dari penyerahan tersebut, Provinsi sebagai Daerah
Otonom harus melaksanakan kewenangan dimaksud dengan pembiayaan
yang dialokasikan dari dana perimbangan keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Apabila Provinsi tidak mampu melaksanakan
kewenangan tersebut, maka Provinsi menyerahkannya kepada
Pemerintah Pusat dengan mekanisme yang sama sebagaimana tersebut
pada butir (1) sampai dengan (5);
(8) Apabila Kabupaten/Kota sudah menyatakan kemampuannya menangani
kewenangan tersebut, Provinsi atau Pemerintah Pusat wajib
mengembalikannya kepada Kabupaten/Kota tanpa persetujuan Presiden.
b. Sebagai Daerah Administratif
Kewenangan Provinsi sebagai Wilayah Administratif dalam rangka
dekonsentrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang
dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat. Penyelenggaraan
wewenang dimaksud dilaksanakan oleh Dinas Provinsi.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 98
4.1.3 Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta Antar Daerah
Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah sangat
terkait erat dengan prinsip-prinsip dan tujuan pemberian Otonomi Daerah, baik
pemberian Otonomi kepada Daerah Provinsi, maupun kepada Kabupaten dan Kota
berdasarkan asas desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan UU No.22
Tahun 1999 .
Salah satu prinsip pemberian otonomi daerah menyatakan bahwa
pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap
terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta Antar-Daerah.
Pada hakekatnya tujuan pemberian otonomi daerah, adalah untuk:
1) Meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik;
2) Mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan;
3) Memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta
antar-Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Hubungan dimaksud dalam prakteknya terkait dengan pemberian otonomi
kepada Kabupaten dan Kota berdasarkan asas desentralisasi dalam wujud otonomi
bertanggung jawab. Otonomi daerah ditinjau dari segi hubungan kerja juga
merupakan perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak
dan kewenangan kepada Daerah. Otonomi daerah tersebut harus dijabarkan dalam
pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan
pemberian otonomi seperti tersebut diatas.
Mengacu pada ketentuan Pasal 18A dan 18 B UUD 1945, mengenai hubungan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah dapat diidentifikasi
beberapa aspek hubungan sebagai berikut:
1) Hubungan wewenang, yang pelaksanaannya dengan memperhatikan kekhususan
dan keragaman daerah;
2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya, yang dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undang-undang; dan
3) Hubungan dalam hal pengakuan pembentukan Daerah.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 99
Dalam pada itu bila ditelaah secara cermat, pada berbagai peraturan
perundangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka
dalam kaitan dengan aspek kelembagaan, terdapat hubungan yang berkenaan
dengan: (1) Hubungan Pengakuan Pembentukan Daerah; (2) Hubungan Kewenangan;
(3) Hubungan Keuangan; (4) Hubungan dalam Bidang Kepegawaian; (5) Hubungan
Pembinaan dan Pengawasan; (6) Hubungan Pelaporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah; dan (7) Hubungan Kerjasama dan Penyelesaian Perselisihan.
1. Hubungan Kewenangan
a. Distribusi Wewenang
Untuk memahami hubungan kewenangan antara Pusat dan Daerah, perlu
dikemukakan terlebih dahulu mengenai distribusi kewenangan yang bersumber yang
bersumber dari Pemerintah Pusat sebagai institusi penyelenggara kekuasaan
pemerintahan dalam NKRI.
Deskripsi mengenai kewenangan Pemerintah Pusat dalam bagian ini antara
lain untuk memberikan informasi tentang urusan pemerintahan apa yang masih
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sebagai dasar untuk mengetahui urusan-
urusan pemerintahan yang seyogyanya menjadi kewenangan Pemerintah Daerah
dalam rangka pelaksanaan hubungan kewenangan.
Pembagian wewenang Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota mengacu pada ketentuan Pasal 7 hingga 12 UU No.22 Tahun 1999
beserta peraturan pelaksanaannya yang berlaku, seperti PP No.25 Tahun 2000.
1) Kewenangan Pemerintah Pusat
Kewenangan Pemerintah Pusat dimaksud secara terperinci sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 2 dan 7 PP No.25 Tahun 2000, sebagai berikut:
a) Kewenangan Pemerintah Pusat mencakup kewenangan dalam bidang/urusan
pemerintahan berikut:
(1) Politik luar negeri;
(2) Pertahanan dan keamanan;
(3) Peradilan;
(4) Moneter dan fiskal;
(5) Agama;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 100
(6) Kewenangan bidang lain, yang meliputi :
(a) Kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian
pembangunan nasional secara makro;
(b) Dana perimbangan keuangan;
(c) Sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara;
(d) Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia;
(e) Pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang
strategis;
(f) Konservasi;
(g) Standardisasi nasional.
b) Kewenangan Pemerintah Pusat yang berlaku di berbagai bidang selain
kewenangan sebagaimana dimaksud pada butir a), meliputi:
a. Penetapan kebijakan untuk mendukung pembangunan secara makro;
b. Penetapan pedoman untuk menentukan standar pelayanan minimal dalam
bidang yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota;
c. Penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan/lahan
dalam rangka penyusunan tata ruang;
d. Penyusunan rencana nasional secara makro;
e. Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga
profesional/ahli serta persyaratan jabatan;
f. Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang
meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi;
g. Penetapan pedoman pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam;
h. Pengelolaan dan penyelenggaraan perlindungan sumber daya alam di
wilayah laut di luar dua belas mil;
i. Pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang
disahkan atas nama Negara;
j. Penetapan standar pemberian izin oleh Daerah;
k. Pengaturan ekspor impor dan pelaksanaan perkarantinaan;
l. Penanggulangan wabah dan bencana yang berskala nasional;
m. Penetapan arah dan prioritas kegiatan riset dan teknologi termasuk
penelitian dan pengembangan teknologi strategis dan berisiko tinggi;
n. Penetapan kebijakan sistem informasi nasional;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 101
o. Penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa;
p. Pengaturan sistem lembaga perekonomian Negara.
c) Kewenangan Pemerintah Pusat untuk mengambil tindakan administratif
terhadap Daerah Otonom dalam hal terjadi kelalaian dan/atau pelanggaran
atas penegakan peraturan perundang-undangan yang berlaku, berdasarkan
ketentuan Pasal 7 PP No.25 Tahun 2000.
Penentuan kewenangan Pemerintah Pusat dimaksud pada dasarnya
merupakan upaya untuk membatasi kewenangan Pemerintah Pusat dan kewenangan
Daerah Provinsi sebagai Daerah Otonom, karena Pemerintah Pusat dan Provinsi
hanya diperkenankan menyelenggarakan kegiatan otonomi sebatas yang ditetapkan
dalam PP No.25 Tahun 2000. Sedangkan Kewenangan Kabupaten/Kota tidak diatur
dalam PP No.25 Tahun 2000 karena pada dasarnya UU No.22 Tahun 1999 telah
meletakkan semua kewenangan Pemerintahan pada Kabupaten/Kota, kecuali
kewenangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah dimaksud.
2) Kewenangan Daerah Provinsi
Kewenangan Daerah Provinsi berdasarkan ketentuan Penjelasan Umum PP
No.25 Tahun 2000, disesuaikan dengan kedudukannya sebagai daerah otonom
meliputi penyelenggaraan kewenangan pemerintahan otonom yang bersifat Lintas
Kabupaten/Kota dan kewenangan pemerintahan bidang lainnya. Sedangkan
kewenangan Provinsi sebagai wilayah administrasi merupakan pelaksanaan
kewenangan Pemerintah yang didekonsentrasikan kepada Gubernur. Mengenai
kewenangan Daerah Provinsi ini telah diuraikan dimuka.
3) Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota
Sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 7, 9 dan 11 UU No.22 Tahun 1999
serta Keppres No.5 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan
Kabupaten/Kota, Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri telah
mengeluarkan Surat Keputusan No.130-67 Tahun 2002 Tanggal 20 Februari 2002
tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota.
Pada prinsipnya, Pemerintah Pusat mengakui seluruh kewenangan yang telah ada
dan dilaksanakan Daerah Kabupaten/Kota dan/atau penyerahan urusan berdasarkan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 102
peraturan perundangan yang ditetapkan sebelum berlakunya UU No.22 Tahun 1999
dan PP No.25 Tahun 2000. Dengan tidak mengurangi hakekat pengakuan dimaksud,
pengakuan kewenangan Pemerintah Pusat tidak bertujuan untuk membatasi atau
mengurangi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota.
b. Pelaksanaan Hubungan Kewenangan
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 dan 13 UU No.22 Tahun 1999, pelaksanaan
hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
1) Hubungan Dalam Rangka Pelaksanaan Desentralisasi
Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka
desentralisasi selanjutnya menjadi urusan rumah tangga Daerah yang bersangkutan.
Pelaksanaan penyerahan kewenangan itu harus disertai dengan penyerahan dan
pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai
dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
2) Hubungan Dalam Rangka Pelaksanaan Dekonsentrasi
Kewenangan Pemerintah Pusat yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam
rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan
yang dilimpahkan tersebut. Pelaksanaan dekonsentrasi diatur lebih lanjut dalam PP
No.39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi, yang antara lain
menetapkan bahwa pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah
Provinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi NKRI untuk
melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada
Gubenur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Konstruksi perwilayahan yang diatur UU No. 22 Tahun 1999, menempatkan
Provinsi sebagai Wilayah Administrasi sekaligus sebagai Daerah Otonom, Kabupaten
dan Kota semata-mata Daerah Otonom. Pengaturan sedemikian ini mengandung arti
bahwa sekalipun antara Daerah Provinsi dengan Kabupaten dan Kota tidak ada
hubungan hirarkis, namun tetap ada keterkaitan fungsional satu sama lain.
Keterkaitan ini baik dalam arti status kewilayahan (teritorial) maupun dalam sistem
dan prosedur penyelenggaraan pemerintahan, mengingat penyusunan Kabupaten
dan Kota dilandasi oleh Wilayah Negara, yang diikat sebagai Wilayah Provinsi.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 103
Pemikiran bahwa Daerah Provinsi dengan Kabupaten dan Kota terlepas satu
sama lain, mengingkari prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD
1945, yang secara jelas mengatur secara sistemik antara masing-masing tingkat
pemerintahan. Gubernur yang berfungsi sebagai wakil Pemerintah Pusat sekaligus
sebagai Kepala Daerah Otonom dalam rangka aktualisasi prinsip-prinsip NKRI,
menerima pelimpahan wewenang urusan pemerintahan umum dari Pemerintah
Pusat yang harus dilaksanakannya dalam konteks pembinaan dan pengawasan
terhadap Kabupaten/Kota di wilayahnya.
Provinsi sebagai Daerah Otonom yang juga sekaligus Wilayah Administrasi,
sebagai wilayah kerja Gubernur adalah arena untuk melaksanakan fungsi-fungsi dan
kewenangan yang dilimpahkan kepadanya. Berkaitan dengan itu, maka selain
sebagai Kepala Daerah Provinsi, Gubernur juga berfungsi sebagai Kepala Wilayah
Administrasi dan sekaligus sebagai wakil Pemerintah Pusat. Gubernur selain
pelaksana asas desentralisasi juga pelaksana asas dekonsentrasi.
Pertimbangan dan tujuan diselenggarakannya asas dekonsentrasi adalah:
(a) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraaan pemerintahan,
pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum;
(b) Terpeliharanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam
sistem administrasi negara;
(c) Terpeliharanya keserasian pelaksanaan pembangunan nasional;
(d) Terpeliharanya keutuhan NKRI.
Besaran dan isi dekonsentrasi harus mempunyai sifat dekat dengan
kepentingan masyarakat dan bermakna sebagai upaya mempertahankan dan
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan wilayah NKRI.
Disamping itu juga untuk meningkatkan pemberdayaan, menumbuhkan prakarsa,
dan kreativitas masyarakat serta kesadaran nasional. Oleh sebab itu Gubernur
memegang peranan yang sangat penting sebagai unsur perekat Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
4.1.4 Hubungan dalam Bidang Kepegawaian
Hubungan dalam bidang kepegawaian antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, sebagaimana diatur dalam UU No.22 Tahun 1999 menganut
kebijakan yang mendorong pengembangan Otonomi Daerah sehingga kebijakan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 104
kepegawaian di Daerah yang dilaksanakan oleh Daerah Otonom sesuai dengan
kebutuhannya, baik pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan mutasi maupun
pemberhentian sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kepegawaian Daerah secara khusus diatur dalam Pasal 75 sampai dengan 77
UU No.22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa norma, standar, dan prosedur
mengenai pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan, penetapan
pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak, dan kewajiban, serta kedudukan
hukum PNS di Daerah dan PNS Daerah, ditetapkan dengan peraturan perundang-
undangan.
Daerah mempunyai kewenangan dalam hal: pengangkatan, pemindahan,
pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, dan kesejahteraan
pegawai, serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Pemindahan pegawai antar Daerah Provinsi atau
antara Daerah Provinsi dan Pusat serta pemindahan pegawai Daerah antara
Kabupaten/Kota dan Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi lainnya ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat setelah berkonsultasi dengan Kepala Daerah. Pemerintah Wilayah
Provinsi melakukan pengawasan pelaksanaan administrasi kepegawaian dan karir
pegawai di wilayahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hubungan
kepegawaian antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah Provinsi, diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
4.1.5 Organisasi Pemerintah Provinsi
a. Pemerintah Daerah Provinsi sebagai Badan Eksekutif Daerah Provinsi
Pemerintah Daerah Provinsi sebagai badan eksekutif daerah )Provinsi terdiri
dari Kepala Daerah beserta Perangkat Pemerintah Daerah lainnya.
1) Kepala Daerah
Mengacu pada ketentuan Pasal 30 dan 31 UU No.22 Tahun 1999, setiap
Daerah dipimpin oleh seseorang Kepala Daerah sebagai kepala eksekutif yang
dibantu oleh seseorang Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah Provinsi disebut
Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai wakil Pemerintah Pusat
yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai Kepala Daerah,
Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Provinsi. Dalam kedudukan sebagai
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 105
wakil Pemerintah Pusat, Gubernur berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
2) Wakil Kepala Daerah
Pengaturan tentang Wakil Kepala Daerah berdasarkan Pasal 56 dan 57 UU
No.22 Tahun 1999, diantaranya menyatakan bahwa di setiap Daerah terdapat
seorang Wakil Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah dilantik oleh Presiden atau
pejabat lain yang ditunjuk, bersamaan dengan pelantikan Kepala Daerah.
Wakil Kepala Daerah Provinsi disebut Wakil Gubernur, yang mempunyai
tugas :
a) Membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan kewajibannya;
b) Mengkoordinasikan kegiatan instansi pemerintahan di Daerah;dan
c) Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah.
Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dan dapat
melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah apabila Kepala Daerah
berhalangan.
3) Perangkat Daerah
Berdasarkan ketentuan Pasal 60 sampai dengan 68 UU No.22 Tahun 1999,
Perangkat Daerah terdiri dari Sekretaris Daerah, Dinas Daerah dan Lembaga Teknis
Daerah lainnya, sesuai dengan kebutuhan Daerah.
Susunan organisasi Perangkat Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah
sesuai dengan pedoman yang ditetapkan Pemerintah. Formasi dan persyaratan
jabatan Perangkat Daerah ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai
dengan pedoman yang ditetapkan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang berlaku
saat ini adalah PP No.8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Perangkat Daerah adalah organisasi/lembaga pada Pemerintah Daerah yang
bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan Daerah.
a) Pembentukan dan Kriteria Organisasi Perangkat Daerah Provinsi
Mengacu pada ketentuan Pasal 2 PP No.8 Tahun 2003, Organisasi Perangkat
Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan :
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 106
(1) Kewenangan pemerintah yang dimiliki oleh Daerah;
(2) Karakteristik, potensi, dan kebutuhan Daerah;
(3) Kemampuan keuangan Daerah;
(4) Ketersediaan sumber daya Aparatur;
(5) Pengembangan pola kerja sama antar Daerah dan/atau dengan pihak ketiga.
Organisasi Perangkat Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai
dengan pedoman sebagaimana ditetapkan dalam PP No.8 Tahun 2003 tersebut.
Peraturan Daerah dimaksud menetapkan pembentukan, kedudukan, tugas, fungsi
dan struktur Organisasi Perangkat Daerah, yang penjabarannya ditetapkan dengan
Keputusan Kepala Daerah.
Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah didasarkan pada kriteria
penataan Organisasi Perangkat Daerah, yang ditentukan berdasarkan faktor-faktor
sebagaimana tercantum dalam Lampiran PP No.8 Tahun 2003.
b) Kedudukan, Tugas dan Fungsi
Kedudukan, tugas dan fungsi Perangkat Daerah Provinsi adalah sebagai
berikut:
(1) Sekretariat Daerah Provinsi
Sekretariat Daerah Provinsi merupakan unsur pembantu pimpinan
Pemerintah Provinsi dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah yang berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada Gubernur.
Lembaga ini mempunyai tugas membantu Gubernur dalam melaksanakan
tugas penyelenggaraan pemerintahan, administrasi, organisasi dan tata laksana
serta memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh Perangkat Daerah
Provinsi.
Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretariat Daerah Provinsi
menyelenggarakan fungsi :
• Pengkoordinasian perumusan kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi;
• Penyelenggaraan administrasi pemerintahan;
• Pengelolaan sumber daya aparatur, keuangan, prasarana dan sarana
Pemerintahan Daerah Provinsi;
• Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengan tugas dan
fungsinya.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 107
(2) Dinas Daerah Provinsi
Dinas Daerah Provinsi merupakan unsur pelaksana Pemerintah Provinsi
dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Gubernur melalui Sekretaris Daerah.
Dalam melaksanakan tugasnya, Dinas Daerah Lembaga ini mempunyai tugas
melaksanakan kewenangan desentralisasi dan dapat ditugaskan untuk
melaksanakan penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat
kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat dalam rangka dekonsentrasi.
Tugas dekonsentrasi dimaksud dilaksanakan oleh Dinas yang bersesuaian.
Provinsi menyelenggarakan fungsi:
• Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;
• Pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum;
• Pembinaan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya.
Dinas Daerah Provinsi sebanyak-banyaknya terdiri dari sepuluh Dinas. Perlu
dicatat bahwa terdapat pengecualian bagi Pemerintah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta jumlah dinasnya sebanyak-banyaknya terdiri dari empat belas
Dinas.
Untuk melaksanakan kewenangan Provinsi di Daerah Kabupaten/Kota dapat
dibentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah yang wilayah kerjanya meliputi 1
(satu) atau beberapa Daerah Kabupaten/Kota. Unit Pelaksana Teknis Dinas
Daerah tersebut menyelenggarakan fungsi :
• Pelaksanaan kewenangan Provinsi yang masih ada di Kabupaten/Kota;
• Pelaksanaan kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pada Provinsi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;
• Pelaksanaan kewenangan pemerintah yang dilimpahkan kepada Provinsi
dalam rangka dekonsentrasi.
Unit Pelaksana Teknis dimaksud merupakan bagian dari Dinas Daerah
Provinsi.
(3) Lembaga Teknis Daerah Provinsi
Lembaga Teknis Daerah Provinsi merupakan unsur pelaksana tugas tertentu,
dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Gubernur melalui Sekretaris Daerah.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 108
Lembaga ini mempunyai tugas melaksanakan tugas tertentu yang karena
sifatnya tidak tercakup oleh Sekretariat Daerah dan Dinas Daerah dalam lingkup
tugasnya. Tugas tertentu tersebut, meliputi bidang penelitian dan pengembangan,
perencanaan, pengawasan, pendidikan dan pelatihan, perpustakaan, kearsipan dan
dokumentasi, kependudukan, dan pelayanan kesehatan.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Lembaga Teknis Daerah
Provinsi menyelenggarakan fungsi:
• Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;
• Penunjang penyelenggaraan pemerintahan Daerah.
Lembaga Teknis tersebut dapat berbentuk Badan, Kantor dan Rumah Sakit
Daerah, yang berjumlah sebanyak-banyaknya 8 (delapan). Pada Lembaga Teknis
Daerah Provinsi, dapat dibentuk Unit Pelaksana Teknis tertentu untuk
melaksanakan sebagian tugas Lembaga Teknis Daerah dimaksud yang wilayah
kerjanya dapat meliputi lebih dari 1 (satu) Kabupaten/Kota.
(4) Satuan Polisi Pamong Praja
Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah.
Lembaga ini mempunyai tugas menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban
umum serta untuk menegakkan Peraturan Daerah Provinsi. Organisasi dan tata
kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi
sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
4.2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 4.2.1 Pemerintahan Daerah
Penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan bagian integral dari
penyelenggaraan pemerintahan negara yang mencakup pula hubungan kerja dan
koordinasi antara dan antar Aparatur Pemerintah Pusat dan Aparatur Pemerintah
Daerah. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam NKRI tidak terlepas dari
ketentuan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi. Dalam Pasal 18 UUD 1945
diatur tentang garis besar penyelenggaraan pemerintahan daerah. Demikian pula
mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, keberadaan satuan-
satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, serta
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 109
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dapat
disimak pada Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945. Lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan pemerintahan daerah ini, diatur berdasarkan UU No. 32 Tahun
2004 Daerah beserta peraturan pelaksanaanya. Undang-Undang dimaksud telah
diubah dengan UU No. 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang, yang
dalam uraian selanjutnya disebut sebagai UU No.32 Tahun 2004.
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945. Artinya, pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah
dapat diselenggarakan secara langsung oleh pemerintahan daerah itu sendiri dan
dapat pula dilakukan penugasan oleh Pemerintah Daerah Provinsi ke Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dan Desa, atau penugasan dari Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota ke Desa.
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat, dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, pemberdayaan dan
peran serta masyarakat, dan daya saing daerah dalam sistem NKRI.
Di sisi lain, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian
hubungan antara Daerah dengan Daerah lainnya, yang berarti mampu
membangun kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama
dan mencegah ketimpangan antar Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah juga
harus mampu menjamin hubungan yang serasi antara Daerah dengan Pemerintah
Pusat demi tegaknya NKRI.
Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan
yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
otonomi daerah, pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah Pusat dan dengan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 110
pemerintahan daerah lainnya. Hubungan dimaksud meliputi hubungan wewenang,
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya
lainnya. Penyelenggaraan hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam, dan sumber daya lainnya, dilaksanakan secara adil dan selaras.
Sedangkan penyelenggaraan hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, menimbulkan hubungan
administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.Di samping itu, perlu
diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan
memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penyelenggaraan otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-
luasnya. Artinya, Daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur
semua urusan pemerintahan selain yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang
ditetapkan dalam UU No.32 Tahun 2004. Dalam hal ini, Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan
peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip di atas, dilaksanakan pula prinsip otonomi nyata
dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata mengandung arti bahwa pengelolaan
urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban
yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang
sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi
bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud
dengan prinsip otonomi yang bertanggungjawab mengandung arti bahwa dalam
penyelenggaraan otonomi daerah harus sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan
nasional.
Pemerintah Pusat wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian
pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan.
Di samping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi,
pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Di saat bersamaan,
Pemerintah Pusat wajib memfasilitasi pemberian peluang kemudahan, bantuan,
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 111
dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan
secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan
pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah Otonom. Pembagian urusan
pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran masih terdapat berbagai urusan
pemerintahan yang sepenuhnya atau tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
Urusan pemerintahan dimaksud menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup
bangsa dan negara secara keseluruhan.
4.2.2 Urusan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi
Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah
Pusat.
a) Urusan Pemerintahan Pusat
Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat, meliputi
bidang : (1) politik luar negeri; (2) pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisi; (5)
moneter dan fiskal nasional; dan (6) agama.
Di samping itu, terdapat bagian urusan Pemerintah Pusat yang bersifat
concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau
bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Dengan demikian, dalam setiap urusan yang bersifat
concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi, serta ada pula
bagian urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota.
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara
proporsional antara Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan
Kota, disusun kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi
dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan
antar tingkat pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria dimaksud, terdiri
atas :
(1) Urusan wajib, yaitu urusan yang sangat mendasar berkaitan dengan hak dan
pelayanan dasar warganegara, antara lain: perlindungan hak konstitusional;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 112
perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan
ketertiban umum dalam rangka menjaga keutuhan NKRI; dan pemenuhan
komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi
internasional. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang
berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan
ditetapkan oleh Pemerintah Pusa
(2) Urusan pilihan, yaitu urusan yang secara nyata ada di Daerah dan berpotensi
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan
dan potensi unggulan daerah.
Dalam pelaksanaannya, urusan pemerintahan yang diserahkan kepada
Daerah harus disertai pula dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan
prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.
Sedangkan, Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai
dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.
b) Urusan Daerah Provinsi
Urusan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi, meliputi Urusan Wajib
dan Urusan yang Bersifat Pilihan.
(1) Urusan wajib Daerah Provinsi sebagai Daerah Otonom dan Daerah Administratif
merupakan urusan dalam skala Provinsi yang meliputi :
(a) perencanaan dan pengendalian pembangunan;
(b) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
(c) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
(d) penyediaan sarana dan prasarana umum;
(e) penanganan bidang kesehatan;
(f) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi SDM potensial;
(g) penanggulangan masalah sosial lintas Kabupaten/Kota;
(h) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas Kabupaten/Kota;
(i) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk
lintas Kabupaten/Kota;
(j) pengendalian lingkungan hidup;
(k) pelayanan pertanahan termasuk lintas Kabupaten/Kota;
(l) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
(m) pelayanan administrasi umum pemerintahan;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 113
(n) pelayanan administrasi penanaman modal, termasuk lintas Kabupaten/Kota;
(o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan
oleh Kabupaten/Kota; dan
(p) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan.
(2) Urusan pemerintahan Daerah Provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan Daerah Provinsi yang bersangkutan.
UU 32 Tahun 2004 pada pasal 11 menyebutkan: Penyelenggaraan urusan
pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi
dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan
pemerintahan.Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
tersebut merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan
daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem
pemerintahan.
Selanjutnya pada pasal 13 diatur kewenangan wajib dan pilihan bagi
Pemerintah Propinsi. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
(1) perencanaan dan pengendalian pembangunan;
(2) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
(3) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
(4) penyediaan sarana dan prasarana umum;
(5) penanganan bidang kesehatan;
(6) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
(7) penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
(8) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
(9) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota;
(10) pengendalian lingkungan hidup;
(11) pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 114
(12) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
(13) pelayanan administrasi umum pemerintahan;
(14) pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
(15) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan
oleh kabupaten/kota; dan
(16) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.
UU 32/2004 ditetapkan sebagai perubahan atas UU 22/1999 yang
sebelumnya merupakan dasar hukum pelaksanaan Otonomi Daerah. Kewenangan
Pemerintah Propinsi pada UU 22/1999 adalah meliputi :
(1) Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam
bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta
kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya, termasuk juga
kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota.
(2) Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan
dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah.
Sedangkan Hubungan hirarki pemerintahan pada UU 22/1999 dijelaskan
sebagai berikut: Dalam rangka Pelaksanaan asas Desentralisasi dibentuk dan
disusun Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah-daerah masing-masing berdiri
sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama lain
Apabila melihat perubahan kebijakan dalam pengaturan kewenangan
Pemerintah Propinsi maka ketentuan yang diatur dalam UU 32 Tahun 2004
memberikan peran yang lebih besar kepada Pemerintah Propinsi. Pemerintah
Propinsi sebagai wakil dari Pemerintah Pusat dan koordinator dari pembangunan
kabupaten/kota di dalam propinsi tersebut.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 115
4.2.3 Organisasi Perangkat Pemerintah Daerah Provinsi
Pada hakekatnya, pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
kerangka sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Bentuk
dan susunan pemerintahan daerah tersebut diatur berdasarkan UU No.32 Tahun
2004.
Pemerintah Daerah adalah Gubernur, yang berkedudukan sebagai Kepala
Daerah; dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
1. Kepala Daerah
Setiap Daerah dipimpin oleh Kepala Pemerintah Daerah yang disebut Kepala
Daerah yang untuk Provinsi disebut Gubernur mempunyai tugas dan wewenang :
a) memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan bersama DPRD;
b) mengajukan Rancangan Perda (Raperda);
c) menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d) menyusun dan mengajukan Raperda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas
dan ditetapkan bersama;
e) mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f) mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
g) melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Gubernur dibantu oleh seorang Wakil Gubernur, yang dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.Pengaturan
tentang tugas dan tanggung jawab Wakil Gubernuradalah sebagai berikut :
a) membantu Kepala Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;
b) membantu Kepala Daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal
di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat
pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 116
mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan
hidup;
c) memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten dan
Kota bagi;
d) memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Daerah dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;
e) melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh
Kepala Daerah; dan
f) melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah apabila berhalangan.
Dalam melaksanakan tugas di atas, Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab
kepada Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah menggantikan Kepala Daerah sampai
habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama enam bulan
secara terus menerus dalam masa jabatannya.
2. Perangkat Pemerintah Daerah
Perangkat Pemerintah Daerah Provinsi adalah sebagai berikut :
a) Sekretariat Daerah;
b) Sekretariat DPRD;
c) Dinas Daerah; dan
d) Lembaga Teknis Daerah.
Mengacu pada uraian di atas, secara rinci dikemukakan beberapa hal sebagai
berikut :
a) Sekretariat Daerah Provinsi
(1) Sekretariat Daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah, yang mempunyai tugas
dan kewajiban membantu Kepala Daerah dalam menyusun kebijakan dan
mengkoordinasikan Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah. Sekretaris
Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Apabila berhalangan,
pelaksanaan tugas Sekretaris Daerah dilaksanakan oleh Pejabat yang
ditunjuk oleh Kepala Daerah.
(2) Sekretaris Daerah diangkat dari PNS yang memenuhi persyaratan. Untuk
Provinsi, Sekretaris Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas
usul Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Karena
kedudukannya tersebut, Sekretaris Daerah menjadi Pembina PNS di
daerahnya.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 117
b) Sekretariat DPRD Provinsi
(1) Sekretariat DPRD dipimpin oleh Sekretaris DPRD, yang diangkat dan
diberhentikan oleh Gubernur dengan persetujuan DPRD. Sekretaris DPRD
mempunyai tugas :
(a) menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRD;
(b) menyelenggarakan administrasi keuangan DPRD;
(c) mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD; dan
(d) menyediakan dan mengkoordinasi tenaga ahli yang diperlukan oleh
DPRD dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan
keuangan daerah. Dalam hal ini, Sekretaris DPRD wajib meminta
pertimbangan Pimpinan DPRD.
Sekretaris DPRD dalam melaksanakan tugasnya, secara teknis
operasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Pimpinan
DPRD, sedangkan secara administratif bertanggung jawab kepada
Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.
b) Susunan organisasi Sekretariat DPRD ditetapkan dalam Perda yang
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
c) Dinas Daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
(1) Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah, yang dipimpin
oleh Kepala Dinas yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Daerah dari
PNS yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah.
(2) Kepala Dinas bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris
Daerah.
d) Lembaga Teknis Daerah Provinsi merupakan unsur pendukung tugas Kepala
Daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat
spesifik. Lembaga ini berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah,
dipimpin oleh Kepala yang diangkat oleh Kepala Daerah dari PNS yang
memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah. Kepala Lembaga Teknis Daerah
bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.
4.2.4 Manajemen Kepegawaian Daerah
Hubungan dalam bidang kepegawaian antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 menganut
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 118
kebijakan yang mendorong pengembangan otonomi daerah, sehingga kebijakan
kepegawaian di Daerah yang dilaksanakan oleh Daerah Otonom dapat terselenggara
sesuai dengan kebutuhannya, baik pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan
mutasi maupun pemberhentian pegawai berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
Kepegawaian Daerah secara khusus diatur dalam Pasal 129 sampai dengan
Pasal 135 UU No. 32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa norma, standar, dan
prosedur mengenai pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan,
penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak, dan kewajiban, serta
kedudukan hukum PNS di Daerah dan PNS Daerah, ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan.
Daerah mempunyai kewenangan dalam hal: pengangkatan, pemindahan,
pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, dan kesejahteraan
pegawai, serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Pemindahan pegawai antar Daerah Provinsi atau
antara Daerah Provinsi dan Pusat serta pemindahan pegawai Daerah antara
Kabupaten/Kota dan Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi lainnya ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat setelah berkonsultasi dengan Kepala Daerah. Pemerintah Wilayah
Provinsi melakukan pengawasan pelaksanaan administrasi kepegawaian dan karir
pegawai di wilayahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Di dalam UU 32 Tahun 2004 pada Pasal 129 Ayat (1) disebutkan :
“Pemerintah melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil daerah
dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil secara
nasional” . Berdasar pada pasal tersebut maka manajemen kepegawaian daerah
masih mengacu pada manajemen PNS secara nasional. Meskipun ada beberapa
urusan yang bisa ditangani oleh Kepala Daerah tetapi tetap harus memperoleh
pertimbangan dari Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan). Misal : perpindahan PNS antar
Kabupaten Kota baik dalam satu Propinsi maupun antar Propinsi dan penetapan
formasi PNS Daerah setiap tahun anggaran dilaksanakan oleh Menpan atas usul
Gubernur. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun UU tentang Pemerintahan Daerah
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 119
telah terbit tetapi belum tentu semua urusan bisa diserahkan langsung kepada
daerah.
Sebelum membahas secara mendalam tentang SDM Aparatur Daerah perlu
kita ketahui beberapa hal yang mendasari pelaksanaan Otonomi Daerah. Sesuai
dengan Pasal 2 Ayat (3) bahwa : “Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan
tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing
daerah”. Salah satu tujuannya adalah pelayanan umum yang dilakukan oleh pihak
pemberi pelayanan (pemerintah, BUMD, swasta) kepada klien/ penerima
pelayanan. Permasalahan yang kemudian muncul adalah, apakah pelayanan yang
diberikan selama ini sudah memenuhi standar minimum pelayanan dan sesuai
dengan keinginan masyarakat atau tidak.
Momentum Otonomi Daerah ini bisa menjadi tonggak peningkatan kualitas
pelayanan kepada masyarakat. Peningkatan kualitas di sini lebih pada pemenuhan
standar pelayanan minimal dan adanya upaya bagaimana memberikan pelayanan
yang terbaik kepada masyarakat. Untuk dapat memberikan pelayanan yang baik
terhadap masyarakat, selayaknya perlu diketahui terlebih dahulu persoalan-
persoalan yang dihadapi masyarakat. Pelayanan pelanggan dapat diartikan sebagai
suatu sistem manajemen, diorganisir untuk menyediakan hubungan pelayanan yang
berkesinambungan antara waktu pemesanan dan waktu barang atau jasa itu
diterima dan digunakan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan/ harapan
pelanggan dalam jangka panjang. Pelayanan merupakan usaha apa saja yang
mempertinggi kepuasan pelanggan. Tujuan dari pelayanan publik adalah
memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan masyarakat/ pelanggan pada
umumnya.
Ada tiga level pembahasan dalam kerangka meningkatkan pelayanan publik.
Pertama : Kebijakan, apakah kebijakan dalam pemberian pelayanan memang sudah
benar-benar ditujukan untuk kepentingan masyarakat.
Kedua : Kelembagaan, apakah lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemda sesuai
dengan kebutuhan masyarakat atau hanya berdasar pada kebutuhan eksistensi
lembaga-lembaga di daerah agar tidak dilakukan likuidasi terhadap lembaganya,
termasuk juga kepentingan-kepentingan politis yang sangat kental terutama ketika
masuk dalam pembahasan di tingkat legislatif.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 120
Ketiga : Sumber Daya Manusia (SDM), apakah SDM yang memberikan pelayanan
juga memerlukan kecakapan-kecakapan tertentu, karena saat ini telah terjadi
perubahan-perubahan di mana masyarakat juga memiliki hak untuk mendapatkan
pelayanan yang lebih baik, maka birokrasi tidak bisa bertindak hanya berdasar pada
perintah atasan, namun tuntutan masyarakat juga menjadi bagian penting.
Berdasar pada hal di atas Sumber Daya Manusia sebagai
pelaksana/implementasi kebijakan yang menyangkut pelaksanaan pelayanan
mempunyai peran sangat penting. Sebagai pelaksana dari kebijakan yang ada, SDM
yang bertugas memberikan pelayanan dalam menerjemahkan kebijakan harus
fleksibel, dalam arti bisa menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Sehubungan
dengan hal tersebut di atas, pelayanan yang berhubungan dengan masyarakat
secara langsung harus bisa memenuhi harapan dan keinginan. Sesuai dengan tujuan
penulisan ini maka SDM pelayanan yang harus dibahas lebih mendalam adalah SDM
Aparatur yang ada di Propinsi, Kabupaten/ Kota sebagai pelayan masyarakat.
Selanjutnya, pada Penjelasan Pasal demi Pasal, pada Pasal 2 Ayat (2) Huruf
b disebutkan : ‘Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai
Negeri Sipil Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota yang gajinya dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan bekerja pada Pemerintah Daerah,
atau dipekerjakan di luar instansi induknya”. PNS Daerah bekerja di daerah dan
berkedudukan di daerah, meskipun ada PNS Daerah yang tinggal di Jakarta (Pusat
Pemerintahan) yang mengurusi keperluan Daerah sebagai penghubung antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (Kantor Penghubung).
Jadi, sebagai salah satu unsur yang turut membangun pemerintahan daerah
adalah aparatur pemerintah daerah. PNS Daerah/Aparatur Daerah mempunyai
peranan yang besar dalam membangun daerahnya. Setelah UU 22 Tahun 1999 yang
kemudian direvisi dengan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terbit
maka tanggungjawab pemerintah daerah demi mensukseskan daerahnya lebih
besar.
Hal ini ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah yang bersifat
desentralisasi, tidak lagi sentralisasi. Permasalahan yang sering muncul adalah :
Aparatur Daerah yang sebelum adanya UU tentang Pemerintahan Daerah muncul
dalam bekerja lebih pada menerima “perintah” sekarang harus bisa mandiri dalam
mengatur rumah tangganya sendiri karena adanya perubahan dari sentralisasi
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 121
menjadi desentralisasi. Mandiri di sini lebih pada dalam mengambil keputusan dan
membuat kebijakan. Melihat kondisi yang ada, pertanyaan yang kemudian muncul,
apakah aparatur daerah siap dan mampu untuk mengemban tugas dan
tanggungjawab yang lebih besar dan berat. Apalagi segala sesuatu yang dilakukan
harus melayani seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, harus ada jalan keluar yang
terbaik supaya aparatur daerah siap untuk melaksanakan tugas tersebut.
Tiga pilar dilihat dari sisi SDM yang ikut mensuskseskan pembangunan
daerah adalah : SDM Aparatur Pemerintah Daerah, Swasta, Masyarakat. Dalam
menjalankan roda pemerintahan, SDM Aparatur Pemerintah Daerah memegang
peranan penting sebagai penentu arah akan di bawa ke mana daerahnya. Oleh
karena itu, SDM Aparatur dituntut kompeten sesuai dengan bidang tugasnya dan
mempunyai tanggungjawab dalam menjalankan tugasnya. Tanggungjawab yang
diemban Aparatur Daerah sangat berat dan mempunyai konsekuensi, karena
sebagai pelaksana/implementasi kebijakan peraturan dari pusat dan daerah dalam
menerjemahkan harus hati-hati dan harus berpijak pada kepentingan masyarakat.
Artinya, tidak boleh mendahulukan kepentingan pribadi tetapi lebih berorientasi
pada kepentingan masyarakat secara umum.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
BAB V PERUBAHAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI
DAN OTONOMI DAERAH PADA PENGELOLAAN APARATUR PEMERINTAH
DAERAH PROVINSI
5.1 Identifikasi Tugas, Fungsi, dan Beban Kerja Pemerintah Provinsi
Provinsi sebagai daerah otonom mempunyai tugas, fungsi, dan beban kerja
pemerintah provinsi. Tugas, fungsi, dan beban kerja akan sangat tergantung pada
garis yang telah ditetapkan pada peraturan yang berlaku, yakni kewenangan
provinsi. Seperti pada pasal 9 Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 menyebutkan
bahwa Kewenangan provinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam
bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota serta kewenangan
dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Semnetara itu kewenangan bidang
tertentu adalah perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara
makro, pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial,
penelitian yang mencakup wilayah Provinsi, pengelolaan pelabuhan regional,
pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata,
penanganan penyakit menular dan hama tanaman dan perencanaan tata ruang
provinsi.
Selain kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas
Kabupaten/Kota dan pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/
Kota, Provinsi dapat melaksanakan kewenangan yang tidak atau belum dapat
dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Kewenangan Kabupaten/Kota di bidang
tertentu dan bagian tertentu dari kewenangan wajib dapat dilaksanakan oleh
Propinsi dengan kesepakatan antar Kabupaten/Kota dan Propinsi.
Ketentuan kewenangan tersebut, menurut persepsi dari aparatur pemerintah
provinsi dipandang sebagai bentuk desaentralisasi yang sangat terbatas dan
mengandung ketidakjelasan tugas yang harus diselesaikan oleh provinsi. Di samping
itu, otoritas dan kontrol terhadap aset, kegiatan pelayanan publik, dan tugas lintas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 123
kabupaten kota seringkali mengalami hambatan dan kendala, karena memang tidak
terdapat hubungan hirarki dengan kabupaten/kota.
Di samping itu, provinsi mempunyai tugas yang harus dilaksanakan dalam upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan bagian dari penyelenggaraan
otonomi, yakni dekonsentrasi. Dekonsentrasi ini merupakan pelimpahan wewenang
dari pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
perangkat pusat di daerah. Sebagai wakil pemerintah pusat, pemerintah provinsi
mempunyai tugas administratif tertentu yang didelegasikan oleh presiden kepada
Gubernur.
Sementara itu, pada Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 pada pasal 11
menyebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan
kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan
keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan
pemerintahan sebagaimana dimaksud tersebut merupakan pelaksanaan hubungan
kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan
kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis
sebagai satu sistem pemerintahan.
Selanjutnya pada pasal 13 diatur kewenangan wajib dan pilihan bagi Pemerintah
Provinsi. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
(1) perencanaan dan pengendalian pembangunan;
(2) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
(3) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
(4) penyediaan sarana dan prasarana umum;
(5) penanganan bidang kesehatan;
(6) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
(7) penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
(8) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
(9) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota;
(10) pengendalian lingkungan hidup;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 124
(11) pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
(12) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
(13) pelayanan administrasi umum pemerintahan;
(14) pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
(15) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan
oleh kabupaten/kota; dan
(16) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan
yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan.
UU 32/2004 ditetapkan sebagai perubahan atas UU 22/1999 yang sebelumnya
merupakan dasar hukum pelaksanaan Otonomi Daerah. Kewenangan Pemerintah
Provinsi pada UU 22/1999 adalah meliputi :
(1) Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam
bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta
kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya, termasuk juga
kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota.
(2) Kewenangan Provinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan
dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah.
Sedangkan Hubungan hirarki pemerintahan pada UU 22/1999 dijelaskan sebagai
berikut: dalam rangka Pelaksanaan asas Desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah
Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat. Daerah-daerah masing-masing berdiri sendiri dan tidak
mempunyai hubungan hirarki satu sama lain
Berdasarkan uraian singkat di atas, Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan
provinsi mempunyai status dan peran ganda, yakni sebagai kepala daerah sekaligus
wakil pemerintah pusat. Dengan status ganda inilah, gubernur berperan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 125
melaksanakan otonomi daerah pada tingkat provinsi sekaligus mewakili presiden di
daerah untuk menjamin agar visi dan misi pemerintah dapat dilaksanakan hingga
level pemerintahan paling bawah. Peran yang diemban gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat, terutama terkait tugas-tugas pemerintahan umum seperti
menjamin stabilitas, integrasi nasional, koordinasi pemerintahan dan
pembangunan, serta pengawasan penyelenggaraan pemerinrahan daerah yang
dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Menurut Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 32 tahun
2004 tentang pemerintahan Daerah, gubernur sebagai kepala daerah
menyelenggarakan otonomi daerah yang terbatas, yakni urusan yang bersifat lintas
kabupaten/kota dan yang tidak dapat diselenggarakan oleh kabupaten/kota.
Dalam paraktek penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-
Undang nomor 22 tahun 1999, status dan peran gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat mengalami distorsi karena dalam Pasal 4 Ayat (2) disebutkan,
kabupaten/kota sebagai daerah otonom tidak memiliki hirarki dengan provensi
sebagai daerah otonom. Pemutusan hirarki antara provinsi dan kabupaten/kota
dalam kapasitasnya sebagai daerah otonom menimbulkan implikasi mendalam,
karena dalam praktek para bupati/wali kota tidak dapat tidak dapat memisahkan
antara fungsi gubernur dengan sebagai kepala daerah otonomi dan sebagai wakil
pemerintah pusat.
Kondisi ini menurut staf atau aparatur pemerintah daerah mengakibatkan bahawa
penyelenggaraan pemerintahan daerah terjadi fragmented administration
(administrasi yang terfrgamnetasi) dan uncoordinated development (pembangunan
yang tidak terkoordinasi). Para bupati dan walikota lupa bahwa dalam kapasitasnya
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur tetap berwenang melakukan
pengawasan dan koordinasi terhadap pelaksanaan kewenangan oleh
kabupaten/kota. Tidak mengherankan jika visi, misi, dan strategi pembangunan di
tingkat nasional tidak dapat dicapai pada tingkat kabupaten/kota.
Sebaliknya, sector-sektor di tingkat pusat (departemen dan lembaga pemerintah
non departemen tidak memiliki lagi kantor di tingkat kabupaten/kota. Akumulasi
lemahnya peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan ketiadaan kantor
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 126
departemen ternyata memberikan kontribusi terjadinya masalah nasional, seperti
bususng lapar, polio, kelangkaan pupuk, serta buruknya kualitas pendidikan dan
kesehatan. Di samping itu, karena urusan yang diserahkan kepada provinsi menurut
peraturan yang berlaku merupakan urusan lokalitas, yang seharusnya
diselenggarakan oleh kabupaten/kota.
Untuk itu ke depan perlu diberikan penguatan kelembagaan bagi gubernur dengan
tujuan agar pelaksanaan pemerintahan sebagai wakil pemerintah pusat dapat
berjalan dengan baik. Peran gubernur lebih pada pengawasan dan koordinasi
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Dampak dari
penguatan peran gubernur ini akan menghilangkan status otonomi penyelenggaraan
pemerintahan provinsi dan wilayah provinsi tentunya hanya akan menjadi wilayah
administrasi saja.
Namun upaya penghilangan status otonomi ini akan memberikan implikasi yang
besar terhadap penyelenggaraan pemerintahan baik pada level provinsi maupun
kabupaten. Bagi provinsi, akan memudahkan untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan sebagai wakil pemerintah pusat dan gubernur akan memiliki
wewenang yang kuat dalam penyelenggaraan pembangunan kabupaten/kota.
Sedangkan bagi kabupaten/kota dapat menyelenggarakan otonomi daerah dan focus
pada upaya untuk meningkatkan pelayanan publik dalam rangkan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, bupati dan walikota sudah barang tentu
akan tunduk pada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
5.2 Identifikasi Permasalahan Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah
Provinsi Akibat Perubahan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 menjadi
Undang-Undang nomor 32 tahun 2004
Diberlakukakannya Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 sebagai penyempurnaan
Undang-Undang nomor 2 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa
angin perubahan terhadap pengelolaan aparatur pemerintah daerah provinsi.
Kelemahan-kelemahan pengaturan kepegawaian daerah provinsi telah diakomodasi
dalam undang-undang baru. Namun, bukan berarti permasalahan aparatur dapat
segera dapat diselesaikan secara cepat. Dari hasil FGD dengan aparatur pemerintah
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 127
provinsi di lokasi studi, yakni provinsi DIY, provinsi Banten, provinsi Kepulauan Riau,
provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan provinsi Sumatera Utara diuraikan di
bawah ini. Yang perlu digarisbawahi dalam hasil pengumpulan data ini adalah
berdasarkan pada persepsi aparatur pemerintah daerah provinsi sebagai informan
yang terlibat dalam FGD, yakni masing-masing provinsi diwakili oleh 5 SKPD
diantaranya adalah Biro Organsiasi, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas
Perkim, Bappeda. Dipilihnya SKPD ini, karena pertimbangan bahwa SKPD
mempunyai keterkaitan dengan peran provinsi untuk melaksanakan tugas yang
bersifat lintas kabupaten/kota.
1. Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta
Secara umum perubahan dari UU no 22 tahun 1999 ke UU no 32 tahun 2004
menimbulkan hal yang positif dalam arti penyelerasan kebijakan kepegawaian di
daerah dan Pusat. Pengelolaan kepegawaian tidak bersifat ekslusif kedaerahan.
Sayangnya UU no 32 tahun 2004 tidak disertai dengan peraturan pelaksananya yang
secara tegas memberi kewenangan hirarkis bagi provinsi sehingga dapat
memberikan sangsi bila diperlukan jika ternyata kabupaten/kota yang
dikoordinirnya melakukan pelanggaran dalam hal kepegawian. Dengan keterbatasan
kewenangan Provinsi dalam koordinasi kepegawaian antar Kabupaten/Kota,
provinsi tidak dapat berbuat banyak dalam masalah distribusi pegawai negeri sipil
daerah baik antar kabupaten/kota tetapi juga antara provinsi dan kabupateb/kota.
Dahulu pada masa UU no 5 tahun 1974 provinsi diberikan wewenang untuk
mengatur pembagian SDM di Kabupaten/Kota sesuai kebutuhan. Hal ini sekarang
tidak lagi dapat dilakukan karena provinsi dan kabupaten tidak lagi bersifat
hirarkis. Bagi provinsi DIY hal ini menjadi masalah tersendiri ketika tahun 2000
harus menerima pelimpahan pegawai dari berbagai Kanwil sebagai konsekuensi
kebijakan UU no 22 tahun 1999. Para pegawai pusat dengan berbagai jenis latar
belakang pendidikan dan pengalaman mau tidak mau harus ditampung dalam
organisasi provinsi. Sementara itu dengan kelebihan tersebut provinsi tidak dapat
menyalurkannya ke Kabupaten. Kelebihan pegawai ini menimbulkan masalah dalam
hal pembinaannya. Oleh sebab itu saat ini di lingkungan Provinsi DIY meskipun
dirasakan sudah kelebihan pegawai namun justru terasa kurang tenaga untuk
menyelesaikan beban kerja sehingga hari kerja masih 6 hari. Keadaan ini
disebabkan oleh pengetahuan dan keterampilan pegawai yang bersifat umum untuk
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 128
menangani hal hal yang bersifat manual administratif. Sementara itu dengan
kebijakan Bapak Gubernur yang menginginkan provinsi menekankan pada peran
steering, ungkapan yang dipakai dalam visi DIY, sangat memerlukan dukungan
kompetensi khusus yang bersifat analitis atau konseptual dan spesifik.
Diakui bahwa kelemahan dalam bidang kepegawaian saat ini banyak disebabkan
oleh paradigma pengelolaan kepegawaian yang masih berorientasi pada peraturan,
bukan kebutuhan riil organisasi. Dengan sistem kebijakan kepegawaian yang diatur
menurut UU no 32 tahun 2004 pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam
menetapkan norma standard yang harus diikuti oleh daerah. Namun sayangnya
peraturan peraturan tersebut seringkali berubah ubah dan tidak jelas. Mestinya
pemerinta pusat mendelegasikan kewenangan lebih besar kepada provinsi untuk
menetapkan peraturan pelaksanaan kebijakan kepegawaian terutama dalam bidang
pengawasan dan pembinaan kepegawaian di kabupaten/kota yang berada dalam
wilayahnya.
Formasi
Orientasi kepada peraturan tersebut menghambat proses perencanaan yang
rasional di daerah. Penetapan formasi pegawai hanya didasarkan pada ketentuan
pemerintah pusat, sedangkan di daerah sendiri keputusan untuk mengisi formasi itu
sendiri didasarkan hanya perkiraan saja tanpa ada prakiraan beban kerja dan
pemahaman yang akurat tentang jenis kompetensi yang dibutuhkan. Disamping itu
terdapat kesan bahwa UU no 32 tahun 2004 memberikan dasar bagi pusat untuk
melakukan intervensi dan kontrol yang terlalu besar dalam urusan formasi.
Pemerintah pusat sendiri formasi sebagai bagian dari perencanaan pegawai selama
ini lebih banyak berorientasi pada ketersediaan anggaran pemerintah. Padahal
mestinya pegawai adalah sumber daya yang harus dipertimbangkan pertama kali
sebelum sumber daya keuangan. Di tingkat daerah sendiri, tidakrasionalnya formasi
disebabkan oleh adanya pegawai pegawai titipan yang harus ditampung. Untuk
menolak pegawai semacam ini sullit dilakukan karena biasanya mereka sudah
dipersenjatai dengan SK Gubernur.
Beberapa jenis pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, kebijakan
formasi dihadapkan pada masalah khusus dalam pengisian formasi jabatan. Banyak
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 129
kandidat menolak untuk ditempatkan di daerah pelosok karena tidak disertai
dengan tunjangan jabatan yang memperhitungkan masalah resiko ketidaknyamanan
pelaksanaan pekerjaan. Untuk mengatasi jumlah pegawai yang naik turun, dan
berbagai tingkat kesulitan dalam pengadaan pegawai negeri maka sebaiknya perlu
direkrut pegawai dengan sistem kontrak dengan kompetensi yang jelas dan
diberikan imbalan yang memadai. Untuk efisiensi penggunaan pegawai perlu
dipertimbangkan pengembangan pemanfaatan teknologi terutama di bidang
otomatisasi dan informatika. Dengan cara ini maka pegawai tidak perlu banyak
banyak sehingga para pegawai dapat diberikan tunjangan yang memadai.
Rekrutmen
Penerapan UU no 32 tahun 2004 menciptakan masalah kepegawaian bagi daerah
terutama terkait dengan kebutuhan spesifik daerah dalam rekrutmen pegawai.
Sejak tahun 2005, tahapan dan mekanisme perekrutan yang ada setelah otonomi
hanya satu tahap dan ditentukan oleh Pusat. Sebaiknya ada perubahan mekanisme,
daerah diberi kewenangan untuk menyaring lagi personil yang sudah lulus tes,
missal 10 besarnya saja atau hasil tes bisa diolah sendiri oleh pemerintah daerah.
Dengan adanya kebebasan daerah untuk menambah tahapan seleksi akan
memudahkan daerah memperoleh pegawai sesuai dengan kompetensinya.
Karena penilaian kompetensi hanya berdasarkan kualifikasi pendidikan dan tes
pengetahuan umum, maka dimensi kompetensi teknis, sosial dan etika yang terkait
dengan perilaku tidak tampak. Dari hasil rekruitmen sering terjadi disiplin ilmu
kandidat sudah sesuai tapi perilakunya kurang baik. Hal ini karena kewenangan
daerah untuk menentukan pegawainya sendiri kurang.
Pola karir
Mutasi pada era perubahan ke UU 32 TAHUN 2004 sangat berbelit dan lama,
terutama untuk memindahkan atau menerima pegawai dari daerah lain. Untuk
merotasi pegawai Pemprop DIY telah melakukan persiapan staf terkait dengan
jenjang karier. Permasalahan dalam mutasi apabila ada pegawai yang dikirim
belajar ketika pulang dipindah ke bagian lain sehingga tidak dapat berfungsi sesuai
yang diharapkan, dan sertifikat belajarnya sering jadi tidak terpakai. Permasalahan
lain terkadang ada pihak yang tidak mau dimutasi apabila sudah berada pada
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 130
wilayah yang dianggap ‘basah’ seperti BPKD Banyak orang-orang pintar di Provinsi
tapi kemampuannya tidak tersalurkan karena posisi jabatan terbatas dan untuk
mutasi terhambat.
Untuk menjamin adanya pola karir yang berasas meritokrasi saat ini DIY telah
menyusun draft poal dasar karir. Namun karena hingga kini keppres turunan PP 101
tahun 2000 belum kunjung dibuat maka konsep perda pola dasar karir tersebut ini
masih disimpan di Biro Hukum. Belum terbitnya keppres pola dasar karir tersebut
menunjukkan adanya ketidakseriusan pusat dalam menata masalah kepegawaian.
Masalah masalah kepegeawaian di daerah pada dasarnya lebih banyak disebabkan
oleh kebijakan pusat yang tidak jelas.
Dalam pengembangan karir di Provinsi DIY ada perbedaan tertentu pada tingkatan
dan jabatan tertentu. Khusus untuk Eselon 2 rekruitmen dilakukan dengan uji
kompetensi oleh assessment center. Latar belakang pendidikan, pengalaman dan
etika telah menjadi standar kompetensi. Dengan jumlah pegawai yang dirasakan
berlebihan saat ini, DIY memanfaatkan penerapan PP 41 tahun 2007 tentang
organisasi perangkat daerah untuk “menyaring” pejabat yang ada melalui fit dan
proper test, sehingga akan tinggal 40% saja yang menduduki jabatan karena jumlah
jabatan yang menjadi berkurang.
Remunerasi
Dengan otonomi daerah kebijakan remunerasi tidak mengalami perbaikan signifikan
untuk mendukung perbaikan motivasi kerja dan profesionalisme pegawai. Bahkan
untuk DIY, otonomi menciptakan kebijakan yang tidak menguntungkan pegawai.
Misalnya banyak uang yang sifatnya insidentil seperti uang sidang sekarang sudah
tidak ada, karena tidak diperbolehkan. Mestinya hal ini dilakukan dengan
kompensasi perbaikan dalam tunjangan pegawai yang disesuaikan dengan prestasi
kerja dan beban kerja. Dalam rangka menilai secara obyektif beban kerja pegawai,
saat ini Biro Organisasi dan Biro kepegawaian sedang menyusun analisis beban
kerja, kinerja dan jabatan, tujuannya untuk penempatan pegawai secara efisien
dan efektif sesuai kompetensinya termasuk jumlah yang dibutuhkan. Hasilnya nanti
dipakai untuk menetukan sistem reward and punishment pegawai yang lebih
rasional.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 131
Penegakan Disiplin dan Etika Pegawai
Penegakan disiplin secara langsung kurang signifikan memberikan dampak
perbaikan sikap. Pegawai negeri cenderung merasa aman karena proses
penerimaan hukuman berlangsung lama. Proses yang terlalu lama menjadikan
oknum merasa tidak bersalah, proses pemecatan juga sangat sulit, terkadang
memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan sampai tahunan.
PP 30 jelas mengatur hak dan kewajiban pegawai tapi tidak pernah dibaca
pegawai, disamping itu ada PP tentang kode etik, dari isi kedua peraturan ada
banyak hal yang bertentangan. PP 30 untuk umum PP sedangkan PP yang lain
mengatur secara instansional. Keduanya memuat sanksi moral dan administrasi
masing-masing instansi karena mempunyai tugas dan fungsi berbeda, kode etik
mestinya dirumuskan sesuai karakteristik tiap instansi secara spesifik.
2. Provinsi Banten
Dalam kebijakan kepegawaian pemerintah provinsi Banten banyak mendapat
tekanan dari masyarakat. Oleh karenanya pemerintah Provinsi menjadi berhati-hati
dan transparan dalam penentuan kebijakan kepegawaian. Dengan tuntutan
pelaksanaan tugas tugas otonomi daerah, sebagai provinsi muda Banten mengalami
kelebihan pegawai di beberapa SKPD dan kekurangan pegawai di tempat yang lain.
Ketidakmerataan ini disebabkan karena beban kerja yang tidak sama di tiap SKPD.
Perspesi atas kelebihan pegawai tersebut banyak disebabkan kesulitan dalam
menerjemahkan fungsi koordinasi yang harus dilakukan provinsi karena peraturan
pelaksanaan pembagian urusan turunan UU no 32 tahun 2004 belum dapat
dijalankan.
Dalam bidang pengelolaan kepegawaian, peran koordinasi yang harus dilakukan
oleh provinsi sangat sulit dilakukan karena kerumitan berurusan dengan pemerintah
pusat. Berbeda dengan masa lalu dimana urusan kepegawaian jelas berada di
tangan BKN saat ini pemerintah provinsi merasa ada dua induk yang harus
dihubungi untuk masalah kepegawaian yaitu BKN dan Depdagri. Keadaan ini sering
menciptakan ketidakpastian dalam pengelolaan kepegawaian.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 132
Peralihan dari UU no22 tahun 1999 ke UU no 32 tahun 2004 menggambarkan adanya
penguatan kontrol pemerintah pusat dalam penyelengggaraan pemerintahan
daerah. Hal ini memiliki sisi positif dalam arti menciptakan keselarasan dalam
manajemen kepegawaian. Namun tanpat dukungan kebijakan pusat yang jelas dan
pendelegasian kewenangan kepada provinsi yang memadai, maka sekarang ini
provinsi seolah dalam posisi “tergencet” antara pusat dan kabupaten/kota. Provinsi
diharapkan mampu berperan terutama dalam hal koordinasi dan pembinaan (pasal
135 uu no 32 tahun 2004) kepegawaian tetapi pusat memiliki kebijakan yang tidak
jelas. Sedangkan disisi lain, kabupaten/kota bertindak leluasa untuk melanggar
peraturan kepegawaian.
Formasi dan rekrutmen
Jumlah pegawai dirasakan kurang tetapi banyak jabatan. Satu eselon 4 idealnya
membawahi 4 staf sedangkan di Banten saat ini baru membawahi 2 staf. Karena
tekanan dari kelompok kelompok masyarakat Banten dalam urusan kepegawaian,
penetapan formasi dan rekrutmen dilakukan setransparan mungkin. Dalam
rekrutmen telah dilakukan kerjasama dengan pihak ketiga untuk menjaga agar ada
penilaian yang obyektif. Untuk penetapan formasi, saat ini kebijakan pusat
sebagaimana diatur dalam UU no 2004 dianggap menghambat otonomi daerah.
Formasi jabatan seolah “dijatah” oleh MENPAN tanpa melihat kebutuhan yang ada
didaerah. Mestinya pemerintah pusat hanya memberikan pedoman dan system
audit pegawai untuk melihat apakah formasi dilakukan dengan asas efisiensi dan
efektifitas sesuai kebutuhan dan kemampuan pegawai. Mestinya urusan
pengendalian dalam formasi cukup dilakukan oleh Depdagri saja atau BKN, karena
MENPAN seharusnya focus kepada masalah strategis yaitu mengkoordinir reformasi
kebijakan kebijakan bidang kepegawaian yang saat ini masih banyak bermasalah.
Pola karir dan Mutasi
UU no 32 tahun 2004 menciptakan masalah dalam hal mutasi dan karir. Dalam UU
kepegawaian disebutkan adanya system terbuka dimana perpindahan antar daerah
dimungkinkan dalam rangka memenuhi pemerataan kebutuhan pegawai. Namun
kenyataannya hal ini sangat sulit dilakukan. Perpindahan antara kabupaten/kota
satu ke tempat yang lain sangat sulit dilakukan apalagi antar provinsi. Masalah
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 133
mutasi antar daerah ini menggambarkan lemahnya posisi provinsi dalam hal
koordinasi pengelolaan kepegawaian daerah.
Ketidakmampuan provinsi ini juga disebabkan oleh konteks era otonomi dimana
politisasi birokrasi sangat menonjol. Provinsi tidak dapat berbuat banyak jika setiap
selesai pilkada selalu terjadi penggusuran pejabat karir di kabupaten/kota. Banyak
pejabat karir yang di non jobkan karena dianggap tidak senafas dengan kepala
daerah yang baru. Sebaliknya tim sukses kepala daerah Bupati/walikota baru akan
menduduki posisi posisi kunci. Semua ini merupakan kewenanagn Bupati/walikota.
Bagi provinsi sendiri masalah ini juga selalu terjadi. Untuk membangun system karir
yang berdasar meritokrasi sebagaimana yang dikehendaki UU no 32 tahun 2004
Banten telah menyiapkan pola dasar karir. Bahkan saat ini Banten telah memiliki
standard kompetensi jabatan yang dikuatkan dengan perda. Disamping itu sebagai
salah satu sarana penunjang system karir yang obyektif tengah dipersiapkan
assessment center. Berbeda dengan yogya, Banten sudah punya assessor tetapi
belum punya prasarananya. Namun kembali kendala utama untuk mewujudkan
system karir yang jelas adalah ketidakjelasan kebijakan pemerinta pusat. Saat ini
keppres tentang pola dasar karir sebagaimana dijanjikan oleh PP 100 tahun 2000
belum juga dibuat.
Remunerasi
Berbeda dengan masa lalu dimana gaji dan tunjangan dipegang pusat, saat ini
Kabupaten/kota menguasai sumber daya keuangan untuk gaji dan tunjangan
pegawai daerah sehingga tidak pernah merasa takut bila melanggar ketentuan
kepegawaian akan diberi sangsi berupa tidak diberikannya gaji atau tunjangan. Jika
pusat saja tidak mampu berbuat apa apa terhadap pelanggaran pegawai, provinsi
juga dihadapkan masalah yang sama. Provinsi dan kabupaten yang memiliki
kedudukan yang sama seolah berjalan sendiri sendiri.
Dalam hal remunerasi masih dikenal istilah tempat basah dan kering. Penghasilan
tambahan sayangnya tidak terkait dengan prestasi kerja, tetapi lebih banyak
terkait dengan proyek yang dikelola sehingga setiap orang berorientasi untuk
mengejar proyek. Orientasi ini tentu saja sangat merugikan pelayanan kepada
masyarakat dan profesionalisme pegawai karena yang dikejar adalah banyaknya
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 134
proyek. Sudah saatnya pemerintah menciptakan kebijakan system remunerasi yang
dikaitkan dengan tingkat kinerja terutama pelayanan. Tanpa ini maka otonomi
daerah tidak akan membawa perubahan positif terhadap perbaikan pelayanan
kepada masyarakat.
3. Provinsi Bangka Belitung
Permasalahan utama dalam menajamen kepegawaian di Babel adalah kurangnya
pegawai terutama dari segi kuantitas dan kualitas. Hal ini berakibat pada
penempatan pegawai terutama dalam jabatan struktural yang tidak sesuai dengan
kualifikasi jabatan yang dituntut oleh peraturan perundangan. Kelemahan tersebut
terutama sangat kentara di tingkat Kabupaten/Kota pemekaran. Sebagai misal
terdapat kasus dimana jabatan eselon III dijabat oleh seorang Calon Pegawai Negeri
Sipil (CPNS). Keadaan di babel mungkin menggambarkan suatu paradoks dari
kepegawaian daerah di Indonesia. Di satu sisi banyak kritik dimana pegawai
pemerintah banyak menganggur dan memanfaatkan waktu kerja untuk melakukan
hal hal yang tidak terkait bidang pekerjaannya. Namun disisi lain pemerintah
daerah sendiri merasa kekurangan pegawai dalam menjalankan fungsi fungsi
organisasi.
Menurut sumber yang diperoleh dari FGD, keadaan paradoks tersebut disebabkan
oleh ketidakseimbangan antara tenaga administratif dan tenaga teknis fungsional.
Apa yang disebut dengan tenaga administratif tersebut pada dasarnya adalah
tenaga fungsional umum. Ketidakseimbangan ini terutama dirasakan di unit unit
teknis di lingkungan pemerintahan provinsi. Di Dinas Kesehatan misalnya,
kekuarangan tenaga medis dan para medis dirasakan sangat menganggu kelancaran
pelayanan bidang kesehatan. Karena kekuarangan tersebut, pihak Dinas kesehatan
sangat berharap adanya dokter PTT dari pusat. Namun demikian harapan tersebut
sulit untuk dipenuhi karena banyak dokter PTT yang enggan untuk ditugaskan ke
Babel karena alasan tingginya biaya hidup di Babel. Tunjangan yang diberikan
kepada dokter PTT dirasa jauh dari standar hidup layak.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga fungsional teknis dengan kompetensi khusus
Biro Kepegawaian bekerjasama dengan BKN telah berusaha mengidentifikasi
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 135
kebutuhan tenaga fungsional yang diperlukan oleh provinsi Babel. Namun demikian
dalam pengadaannya pemerintah provinsi dihadapkan pada kendala utama yaitu
masalah pendidikan khusus untuk mendidik tenaga fungsional teknis. Kedua adalah
kendala budaya dimana sebagian besar pegawai masih berorientasi pada jabatan
struktural. Jabatan teknis fungsional dianggap sebagai jabatan ”kelas dua” yang
kurang bergensi dan kurang menguntungkan secara finansial. Hal ini dapat
dimengerti karena kenyataan jabatan fungsional, di luar dokter, memiliki
tunjangan jabatan yang kecil. Bagi Babel yang memiliki tingkat biaya hidup relatif
tinggi, kecilnya tunjangan tersebut merupakan menjadi alasan yang paling
signfikan.
Orientasi kepada jabatan struktural tersebut merupakan ancaman potensial untuk
jenis pelayanan tertentu. Misalnya dalam bidang pelayanan pendidikan, semenjak
pemekaran terjadi migrasi cukup signifikan dari para guru ke dalam jabatan
struktural di birokrasi pemerintah daerah. Hal ini terutama dilakukan oleh para
guru senior golongan IVa. Keadaan ini sulit dibendung terutama karena kenyataan
pemerintah provinsi maupun kabupaten dan kota memang sedang menghadapi
kekurangan pegawai untuk menduduki jabatan jabatan struktural. Namun demikian
jika hal ini dibiarkan maka penyelenggaraan pelayanan pendidikan akan dapat
terancam.
Kekurangan pegawai tersebut sementara ini belum dapat dipenuhi karena pengisian
formasi masih jauh dari yang dibutuhkan. Dari usulan tahun 2006 yang dapat
dipenuhi hanya sekitar sepuluh persen. Sebagaimana diketahui pengisian formasi
selama ini ditetapkan berdasarkan ketersediaan anggaran dari pemerintah. Padahal
untuk daerah pemekaran seperti Babel sangat membutuhkan pengadaan pegawai
ekstra untuk mengejar ketertinggalannya. Namun selama ini tidak ada kebijakan
khusus dari pemerintah dalam hal pengadaan pegawai bagi daerah pemekaran.
Jabatan struktural yang belum terisi sementara ini adalah sebagai berikut :
Tabel 5.1 Kekuarangan Jabatan Struktural
No Jabatan Kekurangan
1 Eselon I 0
2 Eselon II 1
3 Eselon III 22
4 Eselon IV 24
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 136
Gambaran tersebut di samping menunjukkan urgensi kekurangan pegawai di babel.
Kekurangan tersebut dapat disebabkan oleh dua alasan. Pertama adalah alasan
obyektif dan teknis. Alasan yang pertama disebabkan oleh ketidaksesuaian antara
formasi jabatan dan pegawai yang memenuhi kualifikasi jabatan. Alasan yang
kedua dapat disebabkan oleh desain organisasi yang terlalu besar yang tidak
disesuaikan dengan kemampuan dalam supply kepegawaian. Sebagaimana kita
ketahui desain organisasi yang ditetapkan menurut PP no 38 tahun 2003 telah
mendorong pemerintah daerah untuk membuat struktur organisasi dengan pola
maksimal. Di lihat dari kebutuhan yang ada hal ini mungkin dapat dibenarkan.
Tetapi tentu saja kebutuhan tersebut juga harus diimbangi dengan kemampuan
yang tersedia. Kekurangan pegawai tersebut dapat saja diatasi jika pemerintah
provinsi Babel menerapkan prinsip pengembangan organisasi incremental. Artinya
dimulai dengan pola minimal sesuai dengan kemampuan yang ada. Desain
organisasi secara gradual dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan
perkembangan tugas riil yang bukan potensial yang harus ditangani. Faktor kedua
yang menjadi penyebab persepsi mengenai kurangnya pegawai dikarenakan oleh
pola pengorganisasian tugas yang belum optimal.
Kekurangan tenaga fungsional teknis juga sangat dirasakan oleh Dinas Pendidikan.
Dengan permasalahan yang sedikit berbeda, Dinas tersebut dihadapkan pada
ancaman migrasi dari para guru ke dalam birokrasi. Guru guru senior memilih hijrah
ke birokrasi karena dua sebab. Pertama untuk golongan IVa mengalami kesulitan
kenaikan pangkat karena harus menulis paper ilmiah. Kedua adalah kekosongan di
birokrasi akan tenaga terampil. Perpindahan guru ini akan mengancam mutu
pendidikan di daerah dan kekacauan di tubuh birokrasi sendiri. Para guru yang
tidak pernah melakukan tugas tugas manajerial dan mengenal administrasi
penyelenggaraan pemerintahan tetapi mendapatkan kedudukan jabatan struktiural
mengalami kesulitan untuk menjalankan tugasnya dalam birokrasi.
Guna merangsang motivasi pegawai, provinsi Babel merancang sistem remunerasi
yang disesuaikan dengan jabatannya. Tunjangan jabatan sesuai dengan Golongan,
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 137
seperti golongan III 650 Ribu, golongan II 500 ribu, eselon I sebesar 5 juta dan
eselon II 3,5 juta. Namun tunjangan ini bisa dikurangi atau dihapus bila absennya
lebih dari 10 hari kerja. Disamping itu sistem karir pegawai juga sedang disusun.
Hal ini dilakukan disamping itu memacu motivasi kerja juga menjamin sistem karir
yang obyektif. Setiap pilkada selalu ada pejabat yang di non jobkan bukan karena
kesalahannya tetapi selera pimpinan. Semestinya para pejabat politik diberikan hak
untuk merekrut staff khusus sehingga tidak perlu mencampuri terlalu dalam urusan
karir dalam birokrasi.
Dalam rangka membangun sistem kepegewaian daerah yang baik diperlukan adanya
dukungan kebijakan pemerintah pusat yang jelas. Sayangnya hal ini masih jauh dari
harapan. Depdgari, BKN, LAN dan MENPAN seolah olah memiliki kebijakan sendiri
sendiri yang tidak harmonis. Demikian juga dengan instansi pemerintah yang lain.
Setiap kali mereka menerbitkan kebijakan kebijakan yang seolah tumpang tindih
dan tidak ada koordinasi satu sama lain.
4. Provinsi Kepulauan Riau
Kendala umum dalam manajemen kepegawaian adalah bahwa dengan adanya UU
32 tahun 2004 ada satu langkah tambahan, semua musti lewat Depdagri. Dalam UU
22 tahun 1999 urusan kepegawaian cukup melalui Menpan dan BKN. Hal ini juga
menjadi indikasi seolah Pemda adalah bawahan Depdagri. Jika pemprop meminta
pegawai salah satu Departemen/LPND untuk pindah ke KEPPRI, maka hal ini harus
dilakukan melalui fit & proper test di Depdagri. Hal ini seringkali tidak sesuai
dengan standard yang dibutuhkan padahal yang mengetahui kebutuhan sebenarnya
adalah provinsi. Pelaksanaan wewenang Depdagri seringkali dirasakan hanya
menambah panjang birokrasi dan biaya. Pemerintah Provinsi KEPPRI mengharapkan
adanya penyederhaanaan fungsi koordinasi yang dilaksanakan oleh Depdagri
sehingga pelaksanaan otonomi khususnya bagi daerah yang baru dapat terlaksana
secara cepat dan efisien.
Formasi
Sebelum setiap SKPD menyusun formasi, didahului dengan bimtek yang dilakukan
oleh MENPAN, BKN dsb mengenai apa formasi, bagaimana menyusun, bagaimana
menghitung beban kerja. Setelah itu kemudian SKPD ditugaskan untuk menyusun
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 138
usulan, dikoordinasikan dengan BKD dan disusun. Sayangnya kebijakan formasi dari
Menpan tidak mendukung pemenuhan kebutuhan riil daerah. Provinsi yang jumlah
pegawainya banyak mendapat tambahan pegawai sama dengan Kepri yang
pegawainya hanya 1000 yang bekerja sampai 7 hari dalam seminggu. Budget 1,5
trilyun ditambah APBN hampir mencapai 2 trilyun dirasa kurang adil jika
disamakan dengan daerah lainnya yang memiliki banyak pegawai seperti Jawa
tengah dan Jawa Timur. Pemerintah KEPPRI juga menganggap bahwa kebijakan
formasi di pusat belum berjalan secara obyektif karena masih banyak “kompromi di
balik pintu”.
Rekruitmen
Rekruitmen diserahkan pemprop menangani sampai Kab/kota. Prop menyiapkan
bahan seleksi sesuai formasi yang telah ditetapkan. Kendalanya adalah luas wilayah
kabupaten yang dilayani untuk sampainya materi ujian tepat waktu sulit karena
sangat jauh, pemenuhan waktu sesuai jadwal terkendala pencetakan materi yang
bisa cepat karena listrik masih sering mati dan kapasitas mesin cetak terbatas
pernah terpaksa menggandakan memakai photo copy yang disewa dan selama
sebulan tidak pulang. Soal apabila harus dikerjakan di daerah belum mampu, tahun
lalu kerjasama dengan BKN. Tahun 2004 semua dikoordinasikan Provinsi, dan tahun
2006 mulai diserahkan Kab/Kota untuk menyelenggarakan sendiri dengan koordinasi
Provinsi dan Pengawas dari Provinsi. Penjadwalan sangat perlu dikoordinasikan
antar daerah. Kendala lain adalah Kabupaten/Kota kurang menyadari pentingnya
Surat Keputusan (SK) sehingga banyak yang ditunjuk dan bekerja tanpa SK.
Sehingga ketika ada pendataan sesuai peraturan timbul banyak kendala.
Promosi dan Mutasi
PP 9/2003 kewenangan diberikan penuh dari pengangkatan sampai pemberhentian,
sdgkn dalm UU 32 Depdagri ikut menentukan dalam mutasi (perpindahan). PP 9
disebut batal demi hukum karena ada uu 32/2004 oleh Depdagri, berarti ada
kekosongan peraturan untuk pengangkatan dan pemberhentian. Keluarnya
Peraturan Mendagri no 10/2005 sebagai turunan UU 32 tahun 2004 menambah
birokrasi, apabila PNS dari Kab/Kota ingin pindah harus ada ijin dari mendagri.
Prosesnya bila ingin pindah mengajukan ke mendagri untuk di fit & proper tes
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 139
setelah itu dikembalikan ke daerah setelah ada persetujuan diusulkan kembali ke
Mendagri dan diteruskan ke kepala BKN dan kemudian turun kembali ke daerah
untuk terus dikembalikan ke Mendagri guna mendapatkan SK. Prosesnya bisa
sampai setahun padahal kebutuhan pegawai maksimal satu bulan. Dulu dengan
hanya mengusulkan ke BKN setelah lulus tes dari provinsi yang dituju, asal rasional
dan wajar, selalu langsung mendapat persetujuan tinggal dimintakan SK Mendagri
saja. Sejauh teknis dan administrasinya sudah diurus BKN pasti setuju, kecuali bagi
yang punya kasus besar. Bukan kita tidak setuju dengan proses baru tapi hanya
karena prosesnya menjadi lambat. Dan timbul kecurigaan apakah di Depdagri ada
criteria jelas yang mau dipindahkan, jangan-jangan menjadi permainan, orang yang
mutasi harus bolak-balik sehingga menghabiskan uang.
Dalam hal penempatan KEPPRI sudah berusaha menempatkan pegawai sesuai
kompetensi dilihat dari pendidikan, keahlian pengalaman dan masa kerja. Jabatan
terutama di Dinas sudah cukup sesuai. Perlu diingat untuk level staf sangat tinggi
intervensinya dari para pejabat politik atau sehingga seringkali tidak dapat dijamin
kompetensinya. Oleh sebab itu saat ini sedang disusun pola dasar karir dan analisis
jabatan serta standar kompetensi.
Dalam hal promosi saat ini KEPPRI bekerjasama dengan assessment center dari
psikologi UI melakukan tes, hasilnya teridentifikasi staf2 yang potensial dan yang
perlu perhatian. Umumnya yang kinerja kurang baik adalah staf yang sudah akan
memasuki masa pensiun. Penempatan untuk promosi sebagian besar sudah
berdasarkan hasil dengan UI, walau demikian masih ada yang sifatnya pesanan dan
yang dari pindahan kita hanya melakukan wawncara bahkan ada yang tidak kita
baru tahu kompetensinya setelah pengangkatan. Namun hal tersebut diupayakan
seminimal mungkin, karenanya perlu adanya standar kompetensi yang utamanya
penting bila ada mutasi, karena banyak Kabupaten/Kota yang ingin pindah ke
provinsi karena tunjangan lebih tinggi, dengan adanya formasi agak enak untuk
menolak apalagi klo sudah ada standar kompetensi, kecuali bila sesuai kualifikasi
bisa diterima. Selain itu pindahan dicek juga apakah pernah terkena kasus. Yang
pasti intervensi politik masih ada, karena bagaimanapun dengan gubernur yang
dipilih langsung maka aka nada konstituen yang terdiri dari para tokoh yang
bagaimanapun pengaruhnya cukup besar pengaruhnya terhadap kebijkan gubernur.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 140
Remunerasi
Runemerasi pegawai provinsi lebih tinggi karena memiliki sejarah tersendiri. Pada
awal pembentukan Provinsi Kepri hanya mempunyai anggaran 300 milyard sehingga
sulit untuk mengadakan perekrutan sendiri sehingga banyak menarik pegawai dari
Kab/Kota dengan penambahan remunerasi. Setelah anggaran semakin besar maka
Keppri merekrut pegawai dari Otorita Batam yang gajinya sudah tinggi. Oleh sebab
itu Keppri membuat system remunerasi sendiri yang nilainya lebih kurang sama
dengan Otorita Batam, ada tunjangan kemahalan disamping tunjungan kesra.
Sehingga tahun 2005 banyak dari Kab/Kota bahkan Departemen yang bersedia
pindah ke Kepri.
Sejak tahun 2006 remunerasi meningkat lagi cukup besar untuk level PNS sama
dengan swasta. Untuk golongan 1 dan 2 pemprop jauh lebih tinggi dari Batamindo.
Untuk anak PTT bisa memperoleh kurang lebih 2juta gaji dan tunjangan masih
ditambah honor-honor lain. Hal ini berdampak kurang bagus sehingga orang
berlomba masuk untuk menjadi pegawai Pemprop baik secara halal maupun haram.
Untuk golongan 3 dan 4 relatif sama dengan swasta. Akhirnya 2007 dilakukan
rasionalisasi terutama untuk golongan 1 dan 2 sehingga sekarang tunjangan sedikit
turun tapi masih jauh lebih tinggi dibanding dengan pusat. Tunjangan disatukan
menjadi tunjangan kinerja selain tunjangan jabatan. Karena SOT masih berubah2
belum dpat diterapkan dengan baik sehingga perlu dibahas lebih lanjut. Untuk unit-
unit tertentu selain tunjangan kinerja ada tunjangan kelebihan beban kerja.
Tunjangan akan disesuaikan dengan perpres meliputi tunjungan fungsional sesuai
lingkungan kerja seperti dokter. Di masa yang akan datang ssistem ini seyogyanya
dibuat lebih sederhana sehingga kaitannya dengan kinerja menjadi lebih jelas.
Dalam hal unit cost untuk kegiatan tidak mengikuti aturan pusat kecuali untuk yang
APBN. Karena bila mengikuti aturan pusat sulit untuk jujur karena SPPD 3 hari
hanya cukup sehari, sehingga SPPD lebih besar tapi jumlah hari didasarkan waktu
riil pelaksanaan kegiatan dan tidak ada mark up.
Secara Internasional untuk belanja pegawai masih dibawah 30% dari APBD dianggap
masih normal, Kepri 23%. Kenapa dengan runemerasi besar tapi hanya 23% karena
kita tidak obral untuk merekrut pegawai, selektif dalam perekrutan. Kita
melakukan control yang ketet dalam penambahan pegawai. Pegawai secukupnya
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 141
karena banyak pekerjaan yang bisa outsourcing. Outsoucing tidak masuk dalam
belanja pegawai tapi masuk dalam kegiatan proyek, konsultan yang membayarkan.
Penegakan Disiplin dan Etika Pegawai
Bila ada pengaduan diperiksa BKD baru diteruskan ke Bawasda bila memang ada
kasus, rekomendasi Bawasda yang akan dipakai BKD untuk menjatuhkan hukuman,
bisa teguran lisan, tertulis, pencopotan, penurunan jabatan, dll bahkan ada yang
sampai ada yang menunggu keputusan pengadilan.
Apabila ada kasus sementara pegawai di non jobkan dulu sampai ada keputusan
pengadilan. Apabila dinyatakan tidak bersalah dan dipulihkan nama baiknya maka
akan dilantik lagi pada jabatan semula.
Penegakan disiplin dengan memanfaatkan alat absensi jari, dan kewajban ikut apel
pagi. Peraturan untuk pegawai yang tinggal di Batam tidak ada dispensasi jam
masuk kerja, sehingga pegawai harus bisa memilih untuk pindah kerja atau pindah
rumah. Belum ada Perda khusus disiplin pegawai hanya aturan gubernur .
Penilaian Kinerja
Formulir khusus penilaian kinerja tidak ada. Namun penilaian dalam pelayanan
diserahkan langsung kepada masyarakat, dimana saat ini terdapat pelayanan sms
center yang langsung ke Gubernur. Misal ada keluhan masyarakat melalui sms
kemungkinan adanya pungli maka akan langsung ditindaklanjuti oleh gubernur
untuk diklarifikasi.
Dari SMS center yang menilai kinerja bukan hanya internal atau gubernur tapi juga
dari masyarakat walaupun terkadang indikatornya juga kurang jelas dan tidak
berdasarkan aturan yang ada. SMS center cukup efektif untuk melihat kinerja staf
pemprov.
Usulan terkait managemen kepegawaian
Sebaiknya peraturan apapun yang akan diterbitkan lebih mengutamakan pada
pelayanan. Pada UU 32 tahun 2004 muatan pengaturannya terlalu besar sehingga
menciptakan ketidakjelasan dalam bidang kepegawaian. Dengan adanya UU 32
terjadi tarik menarik peraturan seperti pada aturan mutasi. Oleh sebab itu dalam
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 142
pelaksanaan UU no 32 tahun 2004 sebaiknya Peraturan pusat yang akan mengatur
daerah didahului dengan tukar pendapat dengan Daerah. Tanpa konsultasi tersebut
maka terjadi generalisasi yang menciptakan ketidakjelasan dalam pelaksanaannya.
5. Provinsi Sumatera Utara
Penerapan UU no 32 tahun dirasakan jauh lebih baik daripada UU no 22 tahun 1999
dimana koordinasi penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya masalah
kepegawaian menjadi lebih jelas. Namun undang undang tersebut memberikan
kewenangan pusat yang sangat besar dalam pengaturan kepegawaian. Hal ini
mestinya dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk memacu inovasi kepegawaian
di seluruh daerah. Otonomi daerah selalu diasosiasikan dengan kemunculan raja
raja kecil dan primordialisme. Dengan UU no 32 tahun 2004 dapat dibangun sistem
kepegawaian yang inovatif di tiap daerah asal pemerintah mengakomodir
ketentuan yang mengharuskan setiap daerah mendesain apa yang disebut
infrastruktur kepegawaian yaitu standard kompetensi, penilaian kinerja yang
obyektif, pola dasar karir, dan sistem informasi kepegawaian terpadu. Infrastruktur
tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU non43 tahun 1999, sehingga
tidak pernah dianggap sebagai keharusan. Padahal tanpa infrastruktur itu, sistem
kepegawaian hanya akan berjalan sekedar menjalankan peraturan saja. Kekurangan
dalam UU no 43 tahun 1999 semestinya dapat dipenuhi di UU no 32 tahun 2004.
Sebagaimana sistem pemilihan yang mengatur secara rinci pilkada, dalam bidang
kepegawaian mestinya juga dijabarkan secara lebih lugas ”keharusan keharusan”
bagi daerah dalam membangun infrastruktur kepegawaian yang mendukung
profesionalisme pegawai daerah. Namun sayangnya justru saat ini pemerintah
pusat yang seringkali menciptakan kebijakan kepegawaian yang bertentangan
dengan wacana reformas i birokrasi dan profesionalisme pelayanan di daerah. Hal
ini misalnya terlihat dari kebijakan pengangkatan tenaga honorer yang memiliki
kompetensi tidak jelas dan mengacaukan perencanaan kepegawaian. Contoh lain
Kebijakan pemerintah pusat yang dilakukan dalam pengangkatan pegawai oleh
depdagri khususnya dirjen PMD adalah masalah sekretaris desa menjadi pegawai
negeri sipil, bukan didahului menjadi Calon PNS sehingga pengurusan masalah
kepegawaian tidak terumuskan dengan jelas. Seharusnya daerah dilibatkan untuk
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 143
merumuskan reformasi kebijakan kepegawaian, usulan mana kemudian perlu
ditampung dalam UU no 32 tahun 2004.
Provinsi juga sebagaimana pasal 135 UU no 32 tahun 2004, seharusnya diberikan
wewenang yang lebih besar dalam manajemen kepegawaian. Sebagai koordinator
dan pengawas pengelolaan kepegawaian tingkat kabupaten kota di wilayahnya
provinsi tidak punya cukup power. Demokrasi di daerah seringkali menciptakan
tindakan sefihak dan pelanggaran oleh kepala daerah di kabupaten/kota. Dalam
rangka mengisi jabatan setda atau strategis lainnya, Bupati/walikota sering
mempromosikan pegawai yang secara kepangkatan belum memenuhi. Provinsi
hanya dipaksa untuk memberikan rekomendasi. Jika ditolak kabupaten tetap akan
menjalankan keputusannya karena tahu tidak ada sangsi yang jelas jika aturan
kepegawaian dilanggar. Karena pertimbangan untuk menyelematkan wibawa
provinsi rekomendasi ini kemudian akan diberikan. Permasalahannya kemudian
adalah jika bupati yang berkuasa tersebut diganti pada pilkada yang lain maka
pejabat birokrasi yang ”dikarbit” tadi biasanya juga akan dicopot karena dianggap
tidak kompeten dan terlalu loyal pada pimpinan yang lalu. Sebagai akibatnya
pejabat karbitan tersebut akan di non jobkan dan provinsi akan disalahkan karena
memberikan rekomendasi bagi pejabat karbitan yang dianggap tidak mampu
tersebut. Lebih buruk lagi, karena provinsi yang memberikan rekomendasi maka
provinsi semacam dituntut tanggun jawabnya dengan menampung pejabat yang
telah di non jobkan tersebut. Kejadian ini terus berlangsung hingga saat ini. Jika ini
dibiarkan terus menerus maka provinsi akan menjadi pusat penampungan eks
pejabat pejabat yang bermasalah. Dengan kata lain pembinaan kepegawaian di
tingkat provinsi yang sampai saat ini sudah dibebani dengan pegawai yang terlalu
banyak akan semakin berat. Para pejabat tadi pada umumnya akan melalukan
manuver manuver politik di DPRD provinsi untuk mencari jabatan baru di
lingkungan organisasi provinsi.
Dalam bidang pengembangan kepegawaian provinsi dapat memainkan peran
strategis. Hal ini dimulai dari penyelenggaraan diklat, dimana pusat diklat diadakan
di provinsi saja, sehingga kabupaten/kota untuk efisiensinya tidak perlu
membangun pusdiklat sendiri. Dalam hal perencanaan karir misalnya, porpinsi
dapat menyediakan assesment center untuk kabupaten/kota. Bentuk koordinasi
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 144
provinsi juga perlu didukung dengan kemampuan memberikan sangsi misalnya di
provinsi diberikan kewenanga untuk memberikan rekomendasi mengenai
penganggaran bidang kepegawaian di kabupaten/kota sehingga provinsi menjadi
memiliki makna dalam koordinasi dan pengawasan.
Dalam bidang perencanaan dan pengadaan pegawai provinsi juga seharusnya
diberikan kewenangan lebih besar dalam hal pemindahan pegawai dari satu
kabupaten/kota satu kepada yang lain dalam wilayahnya dan provinsi ke
kabupaten/kota dan sebaliknya untuk mengisi jabatan jabatan kosong. Untuk
mendukung tugasnya tersebut, seharusnya ada peraturan yang memaksa setiap
daerah untuk membangun sistem informasi kepegawaian yang akurat dan
terhubung satu sama lain secara solid sehingga pembinaan kepegawaian dalam satu
provinsi dalam dilakukan dengan lebih baik.
5.3 Penentuan Jumlah Optimal Pegawai
5.3.1 Pendekatan Penentuan Jumlah Optimal Pegawai dengan Beban Kerja
a. Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta.
Berdasarkan data yang diperoleh gambaran adanya kelebihan pegawai di hampir
setiap Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD). Hanya lima SKPD yaitu Dinas
Pendidikan, Badan Diklat, Badan Pengawas Daerah, Arsip Daerah, dan Kantor
Pemberdayaan Perempuan, dimana dirasakan kekuarangan pegawai. Kelebihan
pegawai berdasarkan hasil wawancara dengan para pejabat pembina kepegawaian
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama sebagai implikasi penerapan UU no 22
tahun 1999 yang efektif diberlakukan sejak tahun 2000. Kebijakan tersebut
menyebabkan ”pembubaran” instansi instansi vertikal yang ada di DIY. Sebagai
akibatnya para pegawai yang berasal dari berbagai Kantor Wilayah Departemen -
selain yang dimiliki oleh Departemen Agama, Departemen Keuangan, Kehakiman –
digabungkan ke dalam dinas provinsi. Jumlah kelebihan terbanyak adalah di Dinas
Kimpraswil, dimana dinas tersebut menerima limpahan pegawai dari Kantor
Wilayah Pekerjaan Umum. Hal ini dapat dipahami mengingat pada tahun 1990-an
DIY merupakan salah satu daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang tertinggi di
Indonesia sehingga membutuhkan pembangunan infrastruktur yang cukup besar
terutama di bidang pekerjaan jaringan jalan raya dan prasarana pertanian. Kedua
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 145
bidang ini sangat erat sebagai upaya untuk menjamin akses pemasaran yang besar
dari sentra sentra produksi pertanian di Kabupaten Sleman, Kulon Progo dan
Gunung Kidul ke kota Yogyakarta.
Faktor kedua dari kelebihan pegawai disebabkan oleh pergeseran orientasi pemda
DIY dalam rangka menciptakan pemerintahan yang katalistik. Sebagaimana
dicantumkan dalam visi dan misi DIY yang disebut di atas, pemerintah provinsi DIY
berusaha menekankan pada peran pembuat dan pengendali kebijakan atau disebut
dalam visinya dengan istilah Steering. Hal ini dilakukan sebagai konsekuensi dari
penerapan kebijakan otonomi daerah dimana operasionalisasi pelayanan lebih
banyak dilakukan di Kabupaten/Kota di lingkungan DIY. Konsep steering ini
sayangnya tidak disertai dengan kebijakan transisional dalam pengelolaan
kepegawaian yang mampu mengalihkan kelebihan pegawai tersebut ke dalam
bidang atau organisasi lain diluar struktur organisasi provinsi. Tidak adanya rencana
transisi sendiri ini disebabkan karena rigiditas sistem kepegawaian semenjak
otonomi daerah seperti misalnya kesulitan dalam pemindahan pegawai provinsi ke
Kabupaten/Kota, keengganan para pegawai menjadi tenaga fungsional karena
dianggap tidak menarik atau pengalihan pegawai dalam BUMD.
b. Provinsi Banten
Penduduk Banten berdasarkan data hasil Sensus Penduduk, menunjukkan jumlah
yang terus bertambah. Pada tahun 2005, jumlah penduduk tersebut berdasarkan
hasil Sensus Penduduk 2000 (SP2000) adalah sebanyak 9.308.944 jiwa. Luas wilayah
Provinsi Banten adalah 8.800, 83 km2. Secara administratif Provinsi Banten terbagi
dalam 4 (empat) kabupaten (Pandeglang, Lebak, Tangerang dan Serang) dan 2
(dua) kota (Tangerang dan Cilegon). Pemerintahan Provinsi Banten selama tahun
2005 didukung oleh 2.768 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS), dimana 1997 orang
laki-laki dan 771 orang perempuan. Apabila dilihat dari pendidikan, maka
1.461orang atau 52,78 persen PNS berpendidikan sarjana (Strata I/II/III), sedangkan
sisanya 47,22 persen hanya berpendidikan non gelar (Sarjana Muda/D3 atau yang
lebih rendah). Dari 26 instansi pemerintah yang ada di lingkungan Provinsi Banten,
hanya Sekretariat Daerah yang mempunyai jumlah PNS yang cukup besar, yaitu 622
orang atau 22,47 persen dari seluruh PNS yang ada.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 146
c. Provinsi Bangka Belitung
Luas wilayah Provinsi Bangka Belitung adalah 81.724,74 km2, yang sebagian besar
wilayahnya merupakan perairan, yaitu seluas 65.301 km2, sedangkan daratannya
seluas 16.423,74 km2. Hingga tahun 2003 jumlah penduduk di Kabupaten Bangka
berjumlah 217.545 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki 107.213 (49,28%) dan
perempuan 110.337 jiwa (50,72%) dengan kepadatan rata-rata 74 jiwa/km2.
Konsentrasi penduduk terpadat berada di wilayah kecamatan Sungailiat (379,13
jiwa/km2) yang juga merupakan ibukota Kabupaten Bangka sedangkan yang
terendah di Kecamatan Bakam (30,81 jiwa/km2).
Dari hasil perhitungan jumlah optimal pegawai menunjukkan bahwa sebagai
provinsi muda BABEL mengalami kekurangan pegawai. Kekurangan ini sebagian
besar dialami oleh SKPD yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Hal ini disebabkan oleh keterbatasan dalam pengadaan pegawai pada saat
pembentukan provinsi BABEL. Para pegawai banyak direkrut dari provinsi lama.
Usaha untuk mencari tenaga yang memiliki kualifikasi teknis yang dibutuhkan oleh
dinas dalam menjalankan tugas pelayanan langsung kepada masyarakat ini sulit
untuk dipenuhi. Menurut nara sumber di Bappeda, tenaga dengan kualifikasi teknis
yang bagus biasanya ditahan oleh provinsi induk. Sementara itu untuk mendidik
yang baru akan memerlukan waktu yang cukup lama. Kebutuhan akan pendidikan
dan latihan yang besar ini tergambar dari kurangnya tenaga pegawsai yang
dirasakan oleh Badan Diklat.
Menurut pimpinan Badan tersebut untuk lima tahun yang akan datang, kebutuhan
akan pegawai yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan organisasi belum dapat
dipenuhi. Kekurangan pegawai di unit unit pelayanan juga menunjukkan besarnya
kebutuhan akan pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat. Berbagai program
pembangunan yang disiapkan dalam rangka memaju perekonomian provinsi muda
ini menciptakan kebutuhan masyarakat akan dukungan pelayanan publik yang lebih
memadai. Diantara unit unit SKPD, badan pemberdayaan masyarakat desa
merupakan unit mengalami deficit paling tinggi. Keadaan ini banyak disebabkan
oleh program pemerintah provinsi untuk mendorong perbaikan kesejahteraan dan
potensi masyarakat desa. Yang menjadi masalah dalam hal ini adalah tersebarnya
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 147
desa desa di BABEL di wilayah yang banyak berupa pulau pulau yang tersebar dan
terkadang sulit dijangkau.
Disisi lain, data di atas menunjukkan adanya kelebihan pegawai terutama di unit
unit SKPD yang memiliki fungsi sebagai penunjang yaitu badan badan baik di
lingkungan sekretariat maupun badan pelayanan teknis di lingkungan provinsi.
Kelebihan ini dapat dijelaskan dari sifat tugas di badan badan tersebut yang
cenderung banyak didukung dengan kompetensi yang bersifat umum. Tanpa job
description yang jelas kini seringkali menciptakan “pengangguran tidak ketara”.
d. Provinsi Kepulauan Riau
Visi Provinsi Kepulauan Riau dirumuskan adalah sebagai salah satu pusat
pertumbuhan perekonomian nasional dengan payung Budaya Melayu dan memiliki
masyarakat yang sejahtera, cerdas dan berakhlak mulia. Untuk mencapai visi
tersebut misi provinsi muda sempalan dari provinsi Riau adalah :
1) Mendorong terciptanya pusat pusat pertumbuhan ekonomi di seluruh wilayah
Kepulauan Riau yang akan menumbuh kembangkan kegiatan industri dan
pariwisata yang berbasis kelautan.
2) Meningkatkan kualitas hidup masyarakat menuju kehidupan yang makmur,
sejahtera, sehat, berbudaya dan berkeadilan.
3) Menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) pelaku pembangunan yang unggul dan
berakhlak mulia.
Adapun strategi yang ditempuh dalam mewujudkan ketiga misi tersebut adalah :
1) Mengupayakan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru (growth-pole) dan
mendorong pegembangan keserasian antar center-periphery agar dapat
menyeimbangkan kegiatan perekonomian.
2) Melaksanakan penataan dan pengembangan di bidang administrasi
pemerintahan.
3) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang lebih maju, sejahtera, sehat,
serta berkualitas melalui peningkatan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan
sosial, budaya, kepemudaan, dan imtaq.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 148
4) Mengupayakan agar kegiatan ekonomi terus ditingkatkan baik dari segi
kuantitas maupun kualitas
5) Melaksanakan pembangunan fisik dan non fisik yang seimbang secara bertahap
dan berkelanjutan.
Hasil perhitungan jumlah pegawai optimal menunjukkan adanya permasalahan
kekurangan pegawai yang dialami oleh provinsi Kepulauan Riau (KEPPRI). Secara
sekilas terlihat bahwa kekurangan tersebut banyak dialami oleh SKPD yang
diberikan tanggung jawab terkait dengan program pembangunan ekonomi KEPPRI.
Di antar SKPD tersebut yang paling banyak mengalami kekuarangan pegawai adalah
DInas PU, DInas Kelautan dan Perikanan serta badan promosi dan investasi daerah.
Dinas PU diberikan tanggung jawab dalam memacu pembangunan infrastruktur
pendukung sarana transport laut dan darat sebagai prasarana penting bagi strategi
pertumbuhan ekonomi KEPPRI. Bagi dinas kelautan tantangan berasal dari
karakteristik KEPPRI dimana wilayah ini terdiri atas 96 % lautan (untuk lebih jelas
hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran ini).
Kondisi ini sangat mendukung bagi pengembangan usaha budidaya perikanan mulai
usahapembenihan sampai pemanfaatan teknologi budidaya maupun penangkapan.
Di Kabupaten Karimun terdapat budidaya Ikan kakap, budidaya rumput laut,
kerambah jaring apung. Kota Batam, Kabupaten Bintan, Lingga dan Natuna juga
memiliki potensi yang cukup besar dibidang perikanan. Selain perikanan tangkap di
keempat Kabupaten tersebut, juga dikembangkan budidaya perikanan air laut dan
air tawar. Di kota Batam tepatnya di Pulau Setoko, bahkan terdapat pusat
pembenihan ikan kerapu yang mampu menghasilkan lebih dari 1 juta benih
setahunnya. Dibanding BABEL, KEPPRI dapat dibilang mengalami kekuarangan
pegawai yang sangat signifikan. Hal ini dapat dijelaskan dari dinamisme ekonomi
KEPPRI sebagaimana terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi.
Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2005 adalah
sebesar 6,57%. Sektor-sektor yang tumbuh dengan baik (lebih cepat dari
pertumbuhan total PDRB) pada tahun 2005 antara lain sektor pengangkutan dan
komunikasi (8,51%), sektor industri pengolahan (7,41%), sektor keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan (6,89%), sektor jasa (6,77%), serta sektor
perdagangan, hotel dan restoran (6,69%). Sementara itu sektor lainnya masih
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 149
tumbuh di bawah laju pertumbuhan PDRB. Berturut-turut sektor tersebut adalah
sektor listrik, gas dan air bersih (6,62%), sektor bangunan dan konstruksi (5,61%),
sektor pertanian (5,40%), dan sektor pertambangan dan penggalian (-1,23%).
Berbeda dengan unit unit SKPD dengan tugas pokok yang bersifat eksternal
services, KEPPRI mengalami kelebihan pegawai di unit unit dengan tugas pokok
internal supporting services terutama unit unit organisasi di lingkungan secretariat
daerah dan DPRD. Biro Umum adalah unit yang paling dirasakan adanya kelebihan
pegawai. Kedua unit tersebut mempunyai jenis pekerjaan yang bersifat fluktuatif
bergantung kepada volume pekerjaan secretariat.
e. Provinsi Sumatera Utara
Sumatera Utara merupakan provinsi yang keempat terbesar jumlah penduduknya di
Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Menurut hasil
pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk Sumatera Utara pada
tanggal 31 Oktober 1990 (hari sensus) berjumlah 10,81 juta jiwa, dan pada tahun
2002, jumlah penduduk Sumatera Utara diperkirakan sebesar 11,85 juta jiwa.
Kepadatan penduduk Sumatera Utara tahun 1990 adalah 143 jiwa per km 2 dan
tahun 2002 meningkat menjadi 165 jiwa per km 2 , sedangkan laju pertumbuhan
penduduk Sumatera Utara selama kurun waktu tahun 1990-2000 adalah 1,20 persen
per tahun. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Sumatera Utara setiap
tahunnya tampak berfluktuasi. Pada tahun 2000. TPAK di daerah ini sebesar 57,34
persen, tahun 2001 naik menjadi 57,70 persen, tahun 2002 naik lagi menjadi 69,45
persen
Secara administratif, Sumut terdiri dari 14 Kabupaten dan 7 Kota, yang terbagi
atas 283 Kecamatan dan 5.412 Kelurahan/Desa. Kabupaten/Kota tersebut adalah :
Nias, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Mandailing Natal, Toba
Samosir, Labuhan Batu, Asahan, Simalungun, Dairi, Karo, Deli Serdang, Serdang
Bedagai, Langkat, Kota Sibolga, Kota Tanjung Balai, Kota Pematang Siantar, Kota
Tebing Tinggi, Kota Medan, Kota Binjai, dan Kota Padang Sidempuan.
Gambaran beban kerja pegawai di provinsi Sumatera Utara (SUMUT) memiliki
kemiripan dengan keadaan di DIY. Secara provinsi SUMUT mengalami kelebihan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 150
pegawai sebanyak 217 orang. Kelebihan tersebut disebabkan, sebagaiamanya
halnya DIY oleh kebijakan pada masa penerapan UU no 22 tahun 1999. Unit
organisasi yang merasakan kelebihan pegawai yang paling signifikan adalah BKD.
Unit ini sering disebut dengan unit penampungan sementara bagi pegawai yang
belum jelas akan ditempatkan dimana.
Menurut nara sumber dari BAPPEDA, persepsi adanya kelebihan pegawai juga
diakibatkan oleh belum jelasnya tugas dan fungsi provinsi dikarenakan peraturan
pemerintah yang mengatur pembagian kewenangan belum terbit (pada saat
penelitian dilakukan PP tentang pembagian kewenangan baru saja diterbitkan
namun belum operasional secara penuh). Yang mungkin lebih membingungkan
adalah konsep pembagian urusan secara concurrent. Konsep ini sering menimbulkan
ketidakpastian mengingat tugas provinsi banyak bersifat koordinasi lintas
kabupaten/kota.
Disisi lain, table hasil perhitungan beban kerja pegawai di atas menunjukkan
adanya kekurangan di terutama unit yang berfungsi untuk mendukung pelayanan
internal. Kekurangan yang paling signifikan terdapat di lingkungan inspektorat
daerah. Keadaan menggambarkan adanya konsekuensi logis dari persepsi kelebihan
pegawai di sebagian besar unit organisasi SKPD provinsi SUMUT. Kelebihan disini
berarti bahwa ada sebagian besar pegawai yang dianggap tidak terserap dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi. Sebagai kapasitas organisasi yang tidak
terpakai kelebihan pegawai tersebut menciptakan masalah control dalam organisasi
seperti tindakan membolos, melakukan kegiatan kegiatan di luar kantor, disfungsi
koordinasi, sumber pemborosan dan sebagainya.
5.3.2 Pendekatan Estimasi
Dalam pendekatan ini akan dilakukan estimasi dengan menggunakan pendekatan
OLS terlebih dahulu untuk mengetahui sejauh mana pengaruh karakteristik daerah
terhadap jumlah optimal pegawai. Selanjutnya memasukkan variabel karakteristik
daerah tersebut ke dalam persamaan hasil estimasi, sehingga didapat jumlah
pegawai yang seharusnya. Sebelum melakukan estimasi, berikut ini akan dilakukan
plotting masing-masing variabel untuk mengetahui dugaan awal keterkaitan antar
variabel. Meskipun hasil plotiing dengan scatter diagram ini sangat lemah untuk
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 151
diajadikan argumentasi, tetapi minimal kita mengetahui bahwa apakah karakteristik
daerah dapat menentukan atau menjelaskan jumlah pegawai di daerah. Dengan
jumlah n = 33, maka hasil plotting dapat dilihat di bawah ini:
5.6
6.0
6.4
6.8
7.2
7.6
8.0
2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0
JP
POP
POP vs. JP
2
3
4
5
6
7
2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0
JP
LUAS
LUAS vs. JP
4.0
4.5
5.0
5.5
6.0
6.5
7.0
2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0
JP
PAD
PAD vs. JP
6.0
6.4
6.8
7.2
7.6
8.0
8.4
8.8
2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0
JP
PDR
B
PDRB vs. JP
Sumber: Hasil Olahan Tim Kajian (2007)
Berdasarkan hasil plotting pada gambar 5.1 menunjukkan bahwa variabel jumlah
penduduk mampu menjelaskan variabel jumlah pegawai. Hal ini menujukkan bahwa
jumlah penduduk dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengurangi
jumlah pegawai di provinsi. Jadi jika jumlah penduduk bertambah maka jumlah
pegawai juga bertambah dengan asumsi ceteris paribus. Sementara gambar 5.2
menggambarkan bahwa daerah yang memiliki luas wilayah lebih besar cenderung
jumlah pegawainya sedikit, baik di provinsi induk maupun provinsi hasil pemekaran
Gambar 5.1: Plotting Jumlah Penduduk dengan Jumlah Pegawai
Gambar 5.3: Plotting PAD dengan Jumlah Pegawai
Gambar 5.4: Plotting PDRB dengan Jumlah Pegawai
Gambar 5.2: Plotting Luas Wilayah dengan Jumlah Pegawai
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 152
(daerah otonomi baru). Karena hasil dari plotting menunjukkan arah garis yang
negatif.
Sedangkan pada gambar 5.3 menujukkan hubungan yang positif antara pendapatan
asli daerah dengan jumlah pegawai. Hal ini mengidikasikan bahwa apabila jumlah
PAD meningkat, maka jumlah aparatur harus ditambah, dengan asumsi ceteris
paribus. Sementara gambar 5.4 juga mengidikasikan bahwa kemampuan ekonomi
suatu daerah memberikan pengaruh terhadap jumlah aparatur pemerintah daerah,
dengan asumsi ceteris paribus. Semakin tinggi PDRB suatu daerah, maka jumlah
aparatur akan semakin meningkat.
Dari gambar diatas jelaslah, bahwa untuk menetukan jumlah aparatur pemerintah
daerah harus mempertimbangkan karakteristik daerah. Untuk membuktikan hasil
plotting di atas, maka akan diuraikan hasil estimasi dengan menggunakan OLS,
sehingga dapat memberikan gambaran bahwa karakteristik daerah berpengaruh
atau harus menjadi pertimbangan penentuan jumlah optimal pegawai. Hasil
estimasi dengan menggunkan persamaan yang telah ditulis pada bab sebelumnya
adalah sebagai berikut:
Tabel 5.2 Hasil Estimasi Model Penentuan Jumlah Pegawai
dengan OLS
Coefficient Variabel Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5 Model 6
Konstanta 0.542895 (0.736340)
0.012017 (0.015906)
0.508824 (0.673210)
0.674171 (1.272549)
0.667839 (1.058656)
0.739515 (0.968660)
lnPOP 0.354651 (1.857860)*
0.514952 (3.079735)**
0.493910 (2.868746)**
- - -
lnLUAS -0.125897 (-1.733986)*
-0.123528 (-1.752249)*
-0.173843 (-2.587158)**
- - -
lnPAD 0.222027 (1.532359)
0.164481 (1.151185)
- 0.542272 (5.793241)**
0.452231 (3.747850)**
-
lnPDRB 0.030711 (0.213080)
- 0.111141 (0.673210)
- 0.074460 (0.603465)
0.410268 (3.994413)**
R-squared 0.665193 0.649454 0.633746 0.519839 0.580979 0.362990 Adjusted R-square 0.611624
0.613190 0.591486 0.504350 0.549941 0.340239
F-statistik 12.41746 17.90933 14.99633 33.56164 18.71799 15.95534 Prob (F-statistik) 0.000011 0.000001 0.000007 0.000002 0.000008 0.000427
Catatan: )** siginifikan pada level 5% dan )* signifikan pada level 10%. Dari hasil estimasi model 1, model 2, dan model 3 menunjukkan bahwa jumlah
penduduk dan luas wilayah provinsi menjadi faktor yang menentukan jumlah
aparatur pemerintah daerah provinsi dengan asumsi ceteris paribus dengan tingkat
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 153
signifikansi sebesar 5% dan 10%. Sementara kemampuan ekonomi, yakni PAD dan
PDRB kurang memberikan konstribusi yang signfikan terhadap penentuan jumlah
pegawai. Semakin besar jumlah jumlah penduduk, maka semakin banyak jumlah
pegawai yang dibutuhkan dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai koefisien penduduk yang positif. Sedangkan, berdasarkan hasil
estimasi model 1, 2, dan 3 menunjukkan bahwa jumlah pegawai di wilayah yang
luas cenderung jumlahnya sedikit dibandingkan dengan jumlah pegawai di wilyah
provinsi yang lebih kecil.
Jika estimasi dilakukan secara terpisah teryata PAD mempuanyai kontribusi dalam
penentuan jumlah pegawai di provinsi, hal ini dapat dilihat pada model 4 dan 5.
Sedangkan pada model 6 menunjukkan bahwa semakin tinggi PDRB suatu provinsi,
maka jumlah pegawai yang dibutuhkan semakin besar dengan asumsi ceteris
paribus dengan tingkat siginifikansi sebesar 5%.
Dari hasil estimasi ini semakin memperjelas bahwa penentuan jumlah aparatur
pemerintah daerah provinsi yakni penambahan atau pengurangan jumlah pegawai
harus mempertimbangkan karakateristik daerah jumlah penduduk, luas wilayah,
serta kemampuan ekonomi. Karena selama ini penambahan atau pengurangan
jumlah pegawai hanya didasarkan pada jumlah penduduk.
Untuk mengetahui seberapa besar jumlah optimal pegawai di 5 lokasi sampel dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.3 Kelebihan dan Kekurangan Jumlah Pegawai
(Pendekatan OLS)
Keterangan Pegawai
No
Provinsi
Jumlah Pegawai Saat ini
Jumlah Pegawai Optimal Kelebihan Kekurangan
1 DI Yogyakarta 7077 4408 2669
2 Kep. Riau 1.171 2272 1101
3 Sumatra Utara 10.928 10200 728
4 Bangka Belitung 2.142 1967 175
5 Banten 2.649 8365 5716 Sumber: Hasil survey dan data diolah (2007)
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 154
Jika penentuan jumlah optimal menggunakan pendekatan estimasi dengan
memasukkan karaketeristik daerah menurut jumlah penduduk, luas wilayah, PAD,
dan PDRB, maka hasil estimasi dapat ditunjukkan bahwa provinsi Daerah Istimewa
Yogjakarta terdapat kelebihan pegawai 2669 orang, provinsi Sumatera Utara
kelebihan pegawai sebanyak 728 orang. Sedangkan provinsi Kepulauan Bangka
Belitung terdapat kelebihan pegawai sebanyak 175 orang. Sementara itu, provinsi
Banten terdapat kekurangan pegawai hingga 5716 pegawai, karena jumlah optimal
pegawai seharusnya sebanyak 8365 orang dan provinsi Kepulauan Riau sebagai
provinsi baru terjadi kekurangan pegawai sebanyak 1101 orang dari jumlah
seharusnya 2272 orang.
Kelemahan menggunakan pendekatan ini adalah tidak mampu menunjukkan secara
detail jumlah pegawai di setiap SKPD dalam satu provinsi tentang jumlah optimal
pegawai yang seharusnya ada di setiap SKPD. Di samping itu, pendekatan ini sangat
agregat, karena perhitungannya didasarkan pada data kuantitatif setiap provinsi
dan sangat tergantung pada perilaku data yang ada di setiap wilayah provinsi.
Namun demikian, pendekatan ini dapat digunakan sebagai pendekatan alternatif
dalam menentkan jumlah optimal pegawai, serta mampu memberikan informasi
tentang kelebihan dan kekurangan jumlah pegawai.
5.4 Kompetensi Jabatan Struktural Eselon III dan IV
Kompetensi jabatan adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seseorang
dalam rangka menjalankan tugas-tugas yang sesuai dengan tanggung jawab
jabatannya. Kompetensi jabatan dalam hal ini dibedakan menjadi lima bidang yaitu
kemampuan etik atau integritas, kepimpinan, manajerial, team work, sosial, dan
profesional atau teknik.
Dalam menentukan jenis kompetensi yang paling dibutuhkan oleh jabatan
struktural, terlebih dahulu diadakan jajak pendapat dari para responden yang
terdiri dari para pejabat struktural di provinsi yang diteliti. Dari 35 jenis
kompetensi yang dianggap perlu untuk mendukung tugas sebagai pejabat struktural
didapat 6 jenis kompetensi yang dipilih sebagai syarat mutlak. Hal ini sebagaimana
didapat dari hasil skoring awal, dimana item yang terkait dipilih ”secara aklamasi”
oleh para responden.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 155
Tabel 5.4 Jenis Kompetensi dan Skala Prioritas
No Jenis Kompetensi Skala Prioritas
1. Integritas 20
2. Kepemimpinan 20
3. Perencanaan dan pengorganisasian 14
4. Kerjasama 17
5. Fleksibilitas 15
6. Orientasi pada pelayanan 17
7. Orientasi kepada kualitas 16
8. Berpikir analitis 14
9. Berpikir konseptual 15
10. Memotivasi orang 17
11. Inisiatif 18
12. Kompetensi (Keahlian) teknik 20
13. Kesadaran berorganisasi 16
14. Komitmen terhadap organisasi 15
15. Komunikasi 14
16. Kreatif dan inovasi 17
17. Kemampuan mengelola tugas dalam organisasi (manajerial) 20
18. Mengatasi konflik 13
19. Membangun hubungan kerja dalam team work 20
20. Membangun hubungan kerja stratejik 14
21. Membimbing 18
22. Memimpin kelompok 17
23. Memimpin rapat 15
24. Mencari informasi 14
25. Mengambil resiko 11
26. Mengembangkan kemampuan orang lain 16
27. Pembelajaran yang berkelanjutan 17
28. Pendelegasian wewenang 16
29. Pengambilan keputusan 19
30. Pengaturan kerja 17
31. Perbaikan terus menerus 18
32. Perhatian terhadap keteraturan 12
33. Proaktif 16
34. Tanggap terhadap budaya 18
35. Kemampuan dalam memlihara hubungan baik dengan orang lain (kemampuan sosial) 20
Sumber: Hasil Olahan Tim Kajian (2007)
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 156
Selanjutnya dari enam bidang kompetensi tersebut yang telah dipilih responden,
kemudian dipilah menjadi dua yaitu untuk tingkat eselon III dan IV. Deskripsi
masing masing dari enam bidang kompetensi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Integritas
Bertindak konsisten sesuai dengan nilai nilai dan kebijakan organisasi serta kode
etik profesi dengan mempertahankan norma-norma sosial dan organisasi,
walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukannya sehingga terdapat satu
kesatuan antara kata dan perbuatan. Dalam setiap keadaan dapat
mengkomunikasikan maksud, ide serta perasaan secara terbuka, jujur dan
langsung
Variabel yang ditanyakan:
b. Memahami dan mengenali perilaku sesuai dengan kode etik, yaitu dengan
mengikuti norma sosial, etika dan organisasi, serta yakin bahwa yang
dilakukan tidak melanggar berbagai aturan yang telah ditetapkan
c. Melakukan tindakan yang konsisten dengan nilai dan keyakinannya, serta
jujur dalam berhubungan dengan orang lain.
d. Bertindak berdasarkan nilai walaupun sulit untuk melakukannya
e.
Gambar 5.5 Pilihan Kompetensi Integritas Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 157
Gambaran di atas menunjukkan adanya persepsi rata rata dari responden
bahwa integritas moral merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh
pejabat eselon III dan IV. Antara dua kelompok pejabat tersebut, eselon III
dan IV, perbedaan disini terlihat dalam derajat kemutlakan. Eselon III
diharapkan memiliki integritas moral yang lebih tinggi daripada eselon IV.
Dari hasil wawancara yang dilakukan, terdapat anggapan bahwa tegak
tidaknya etika dalam suatu organisasi sangat bergantung kepada pimpinan.
Seorang pimpinan dianggap sebagai sumber tauladan perilaku anggota
organisasi yang lain.
2. Kepemimpinan
Kemampuan untuk memimpin orang lain melalui tindakan
mempengaruhi/meyakinkan orang lain, memberikan arah petunjuk, mendorong
motivasi/komitmen orang lain untuk melakukan rencana kerja dalam organisasi
Variabel yang ditanyakan:
a. Menyakinkan orang lain secara langsung dalam diskusi atau presentasi
mengenai rencana kerja unit organisasi
b. Memberikan arahan yang jelas mengenai tugas yang diharapkan
c. Membangun motivasi orang lain untuk dalam mencapai tujuan organisasi.
Gambar 5.6 Pilihan Kompetensi Kepemimpinan Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
Sebagaimana penilaian dalam bidang integritas, kompetensi kepemimpinan juga
dinilai dengan tingkat gradasi yang berbeda antara eselon III dan eselon IV.
Eselon III diharapkan menguasai kompetensi kepemimpinan yang lebih tinggi
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 158
ketimbang eselon IV. Eselon III merupakan unsur pimpinan yang bertanggung
jawab dalam mengkoordinir, memberikan arah dan menggerakkan bawahan.
Oleh sebab itu pejabat eselon III diharapkan memiliki kemampuan
kepemimpinan yang lebih tinggi ketimbang pejabat eselon IV.
3. Kemampuan Manajerial
Kemampuan untuk merencanakan dan mengatur pelaksanaan pekerjaan di unit
kerjanya. Variabel yang ditanyakan :
a. Membuat prioritas, untuk mengenali kegiatan dan penugasan yang lebih
penting dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada dan jadwal
waktu kegiatan
b. Menentukan penugasan dan sumber dayanya, yaitu dengan menguraikan ke
dalam tugas-tugas yang lebih kecil, serta melakukan koordinasi dengan
mitra kerja internal dan eksternal
c. Tetap terfokus, menggunakan waktu secara efektif dan mencegah gangguan
yang menyimpang agar tidak menggannggu penyelesaian pekerjaan.
Gambar 5.7 Pilihan Kompetensi Manajerial Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
Kompetensi manajerial pada dasarnya merupakan kemampuan seseorang
untuk menggerakkan orang lain menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan
target atau sasaran yang telah ditetapkan. Kemampuan ini sangat
menekankan adanya pengetahuan, keterampilan dan sikap seseorang dalam
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 159
menetapkan prioritas dan membagi tugas dalam organisasi. Dari
pemahaman tersebut, para responden bahwa kompetensi manajerial wajib
menjadi syarat untuk menduduki jabatan eselon III dan IV. Perbedaan
persyaratan bagi kedua jabatan tersebut adalah dalam gradasi atau tingkat
pentingnya. Pejabat eselon III diharapkan menguasi tingkat kompetensi
manajerial yang lebih tinggi daripada eselon IV yang dipimpinnya.
4. Kemampuan Team Work
Deskripsi : Kemampuan membangun kerjasama dengan orang lain dan menjadi
bagian dari kelompok dalam melaksanakan tugas
Variabel yang ditanyakan :
a. Berpartisipasi dalam kelompok, mendukung keputusan tim dan
menyelesaikan tugasnya dalam tim serta membagi informasi yang berguna
dan relevan bagi anggota tim
b. Meminta dan menghargai pendapat orang lain dalam rangka menentukan
keputusan
c. Membangun semangat dan kelangsungan hidup tim
Gambar 5.8 Pilihan Kompetensi Team Work Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
Dari hasil penilaian diatas didapatkan gambaran bahwa eselon III dan eselon
IV diharapkan menguasai kompetensi dalam mengelola kehidupan
kelompok.. Kompetensi ini merupakan salah satu kunci yang dibutuhkan
dalam menjalankan fungsi fungsi organisasi. Dalam penilaian DP3,
kompetensi ini dinilai dari aspek kerjasama pegawai. Meskipun berlaku
untuk kedua jenis eselon, kompetensi teamwork lebih ditekankan pada level
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 160
eselon III. Hal ini menggambarkan suatu penekanan dimana pejabat eselon
III diharapkan lebih mampu menjadi inisiator dan stabilisator dinamika
teamwork dalam organisasi. Keberhasilan dalam membentuk teamwork
ditentukan oleh kemampuan pimpinan yang lebih tinggi untuk menciptakan
rasa kepercayaan sesama anggota organisasi dalam lingkungan kerja,
menanamkan nilai nilai kerjasama, memperkuat koordinasi dan kohesi antar
anggota.
5. Kemampuan Sosial
Deskripsi : Kemampuan untuk membangun hubungan kerja yang harmonis dan
menyesuaikan diri dengan situasi kerja yang beragam dan berubah ubah
(dinamis)
Variabel yang ditanyakan :
a. Mendengarkan dan menghargai pendapat orang untuk kelancaran tugas.
b. Kemampuan menyampaikan ide, gagasan secara jelas baik secara tertulis
maupun lisan kepada orang lain
c. Keluwesan bertindak dan mampu menanggapi perubahan baik di dalam
maupun di luar organisasi.
Gambar 5.9 Pilihan Kompetensi Sosial Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
Kemampuan sosial atau sosial competence merupakan kemampuan seseorang
dalam mengelola hubungan sosial yang harmonis dengan orang orang di
lingkungannya. Hasil jajag persepsi responden menunjukkan bahwa baik eselon
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 161
III dan eselon IV memiliki persyaratan kompetensi sosial yang cukup tinggi.
Perbedaan disini adalah bahwa eselon III diharapkan menguasi kompetensi
sosial yang lebih tinggi daripada jabatan eselon IV. Meskipun dalam kenyataan
sehari hari, eselon IV harus berhubungan dengan lebih banyak orang daripada
eselon IV hal ini tidak berarti eselon III boleh memiliki tingkat kompetensi sosial
yang lebih rendah. Hal ini disebabkan eselon III merupakan pimpinan yang
bertanggungjawab dalam mengelola anggota organisasi baik secara langsung
maupun tidak langsung, Disamping itu juga eselon III juga diberikan tanggung
jawab besar dalam mengelola hubungan dengan pengguna layanan dari luar
organisasi.
6. Kemampuan Teknis
Deskripsi : TIngkat penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan
dalam melaksanakan tugas
Variabel yang ditanyakan :
a. Ketertarikan terhadap bidang keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan
b. Menguasai keterampilan dan pengetahuan teknik/profesional
c. Menjelaskan dan menerapkan pengetahuan yang dimiliki
Gambar 5.10 Pilihan Kompetensi Teknis Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
Dari hasil persepsi di atas diperoleh gambaran bahwa eselon III dan IV dituntut
untuk memiliki kompetensi teknik yang cukup tinggi. Penguasaan kompetensi
teknik dibutuhkan untuk menjalankan tugas tugas pokok organisasi. Namun
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 162
berbeda dengan profil kompetensi sebelumnya, eselon III pada umumnya
diberikan tugas yang lebih menekankan pada fungsi koordinasi dan manajerial.
Sementara itu tugas dengan bobot teknis lebih dibebankan pada pejabat yang
lebih rendah karena harus berhadapan langsung dengan obyek yang dikelola
oleh organisasi. Namun hasil jajag persepsi diatas menunjukkan hal yang
berbeda dengan asumsi umum tersebut. Para responden berpendapat bahwa
eselon III harus menguasai kompetensi teknis yang lebih tinggi daripada eselon
IV. Hal ini tentunya harus diartikan bahwa eselon III bukan menangani porsi
pekerjaan teknis yang lebih besar, tetapi memiliki kompetensi teknis yang lebih
tinggi agar ia mampu membina dan mengarahkan pekerjaan bawahnya. Oleh
sebab itu sebagai pejabat eselon III, ia diharapkan mempunyai pengalaman yang
cukup matang di dalam bidang tugas/jenis pekerjaan yang ditanganinya.
Secara keseluruhan hasil dari penilaian mengenai kompetensi yang dibutuhkan
oleh jabatan struktural adalah pada umumnya untuk semua kompetensi terdapat
jenjang kompetensi yang sesuai dengan asumsi teori mengenai pemilahan
kompetensi seperti gambar di bawah. Dari hasil pendapat responden diperoleh
gambaran bahwa semakin tinggi jabatan seseorang dalam organisasi, maka
integritas, kemampuan memimpin, kemampuan manajerial, kemampuan
manajerial dan kemampuan sosial harus semakin tinggi. Jenjang kompetensi
Gambar 5.11 Profil Kompetensi Jabatan Eselon III dan Eselon IV
Sumber: Hasil Olahan Tim Kajian (2007)
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 163
(competency grade) seperti ini tidak berlaku untuk bidang kompetensi teknis.
Tabel di atas menunjukkan bahwa responden menganggap kemampuan teknis
dibutuhkan dan dikuasasi dikuasai secara baik oleh eselon III ketimbang eselon IV.
Sebagai konsekuensinya eselon III dituntut menguasai kompetensi teknis yang baik.
Oleh sebab itu, perlu dipertimbangkan bahwa dalam menyusun pola karir maka
faktor pengalaman dalam rumpun jabatan harus menjadi pertimbangan dalam
menentukan career path. Terkait dengan hal ini maka Diklat teknis seyogyanya
dijadikan sebagai syarat untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.
5.5 Implikasi Kebijakan Desentralisasi terhadap Beban Kerja, Jumlah dan
Kompetensi Pegawai Provinsi.
Perubahan dari UU no 22 tahun 1999 kepada UU no 32 tahun 2004 telah mengubah
peran dan kedudukan provinsi dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia.
Dengan adanya Undang undang yang baru tersebut maka pembagian urusan antara
tingkat daerah dan nasional tidak lagi bersifat ekslusif melainkan bersifat
concurent. Pelaksanaan urusan secara concurent didasarkan pada tiga kriteria yaitu
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. kewenangan menjadi memberikan
kewenangan yang lebih besar kepada provinsi. Ekstenalitas artinya bahwa
penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran,
dan jangkauan dampak yang timbul aikibat penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan. Yang dimaksud dengan, kriteria akuntabilitas adalah
penanggungjawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan
berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan jaugkauan dampak yang
ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Yang dimaksud
dengan kriteria efisiensi adalah penyelenggara suatu urusan pemerintahan
ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang
dapat diperoleh.
Ketiga kriteria tersebut pada dasarnya merupakan pengejawantahan prinsip dasar
subsidiaritas. Prinsip ini merupakan suatu cara dalam penyelenggaraan
pemerintahan dimana pemerintah hanya akan mengerjakan bidang bidang
pekerjaan yang tidak mampu dikerjakan oleh masyarakat atau tingkat
pemerintahan yang lebih rendah. Sebaliknya, dalam rangka menjamin efektifitas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 164
pelayanan kepada masyarakat dan pengembangan potensi masyarakat, pemerintah
harus mendorong agar pelaksanaan tugas tugas pemerintahan sejauh mungkin
didelegasikan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah yang sesuai dengan
sifat sifat pekerjaan itu sendiri. Dalam hal ini pelayanan yang bersifat langsung
kepada masyarakat (proximity services) seyogyanya dikerjakan oleh
Kabupaten/Kota. Sedangkan tugas tugas pelayanan yang bersifat lintas
Kabupaten/Kota dibebankan kepada provinsi.
Dari hasil penelitian di lima provinsi diperoleh gambaran bahwa penerapan UU no
32 tahun 2004 pada dasarnya menciptakan beban kerja yang lebih tinggi kepada
pemerintah provinsi. Keadaan ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama adalah
belum dirumuskannya peraturan pelaksanaan UU no 32 tahun 2004. Keadaan ini
menciptakan ketidakjelasan pengorganisasian kerja di organisasi pemerintah
provinsi. Hal ini terlihat terutama dalam provinsi yang baru terbentuk yaitu Bangka
Belitung dan Riau Kepulauan. Sesuai dengan prinsip subsidiaritas, maka kedua
provinsi ini menanggung tugas tugas koordinasi dan residual yang belum dapat
dikerjakan oleh Kabupaten/Kota. Hal ini membawa konsekuensi dalam bidang
kepegawaian dimana provinsi yang bersangkutan mengalami kekurangan pegawai
terutama untuk jenis jenis organisasi yang mempunyai tugas pokok dalam
pelayanan baik yang bersifat kesejahteraan maupun yang bersifat ekonomis dalam
rangka mendukung pengembangan potensi daerah. Sementara itu bagi provinsi
yang telah lama terbentuk, ketidakjelasan ini terlihat dari tidakmeratanya persepsi
beban kerja, dimana sebagian unit organisasi mengalami kelebihan sedangkan unit
unit yang lain mengalami kekurangan pegawai.
Kedua, khususnya menyangkut bidang kepegawaian, pemberian porsi kewenangan
yang lebih besar kepada pemerintah provinsi belum disertai dengan rumusan yang
jelas mengenai tanggung jawab dan fungsi di bidang pengelolaan kepegawaian.
Dalam UU no 32 tahun 2004 pemerintah provinsi memiliki kedudukan dan tanggung
jawab sebagai wakil pemerintah pusat dalam membina pengelolaan kepegawaian di
Kabupaten/Kota. Namun dalam kenyataan pengelolaan kepegawaian masih
berjalan sebagaimana diatur oleh UU no 22 tahun 1999 dimana Kabupaten/Kota
memiliki kewenangan yang ekslusif, dan sebaliknya pemerintah provinsi memiliki
kedudukan yang lemah. Keadaan ini menciptakan ketidakberaturan dan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 165
pelanggaran dalam pengelolaan kepegawaian di tingkat Kabupaten/Kota. Disisi lain
kewenanangan pemerintah provinsi dalam bidang kepegawaian seolah hanya
bersifat simbolik saja.
Ketiga, implementasi UU no 32 tahun 2004 memberikan kewenangan yang bersifat
koordinasi dan pembinaan (dalam arti promotion and development) bagi
penyelenggaraan otonomi di tingkat Kabupaten/Kota. Hal ini membawa
konsekuensi dimana para pejabat di provinsi diharapkan menguasi kompetensi
teknis yang memadai sesuai dengan bidang tugasnya. Dari hasil deskripsi data
bidang kompetensi di atas diperoleh gambaran bahwa eselon III diharapkan
menguasi kompetensi teknis yang lebih tinggi daripada eselon IV. Hal ini
disebabkan bahwa pejabat eselon III merupakan pejabat yang bertanggung jawab
langsung dalam menerjemahkan kebijakan kebijakan pimpinan di lingkungan SKPD
provinsi terkait dengan tugas koordinasi dan pembinaan kepada Kabupaten/Kota.
Dengan pengaturan kepegawaian yang ada saat ini, hal ini akan menciptakan
masalah dalam pembinaan kepegawaian di tingkat provinsi. Untuk memahami tugas
tugas teknis yang diselenggarakan pada tingkat Kabupaten/Kota, secara ideal
pejabat eselon III ke atas seyogyanya mengenal betul dan mempunyai pengalaman
yang cukup di tingkat Kabupaten/Kota.
Namun dengan sistem kepegawaian yang terpisah terutama dalam sistem karir
maka sangat sulit untuk bicara mengenai akses promosi pejabat dari
Kabupaten/Kota ke tingkat provinsi. Terlebih lagi, Kabupaten/Kota dengan
tuntutan pelayanan yang dihadapinya mereka merasa kekurangan pegawai.
Sehingga besar kemungkinan mereka tidak akan melepas pegawainya yang
potensial untuk meneruskan karirnya di tingkat provinsi. Melihat keadaan ini maka
perlu kiranya dipertimbangkan mekanisme karir yang memudahkan mobilitas dari
Kabupaten/Kota ke Provinsi dan juga antar Provinsi. Aspek yang kedua tersebut
didasarkan pada hasil pengamatan di lapangan bahwa terdapat sebagian provinsi
yang mengalami kelebihan jumlah pegawai dengan kualifikasi yang cukup tinggi
seperti di DIY dan disisi lain terdapat provinsi yang mengalami kekurangan pegawai
yang sangat signifikan.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 166
Masalah kepegawaian dalam konteks UU no 32 tahun 2004 merupakan kunci bagi
keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh sebab itu perlu pengaturan
bersama terutama antar pemerintah daerah untuk memungkinkan adanya transfer
pegawai guna memenuhi kekurangan pegawai baik dalam kualitas dan
kuantitasnya. Namun demikian inisiatif ini belum menjadi agenda kebijakan,
karena dominasi yang besar dari pemerintah pusat dalam pengaturan kepegawaian.
Lebih dari itu dominasi tersebut belum diikuti dengan harmonisasi kebijakan antar
instansi instansi yang berkompeten dalam pengaturan bidang kepegawaian dan
pemerintahan umum.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
KEBIJAKAN
Berdasarkan dari hasil analisis yang telah dipaparkan pada bab III dan hasil diskusi
dengan berbagai stakeholders yang terkait di studi ini, maka dapat dirumuskan
suatu kesimpulan dan rekomendasi strategi dan rencana tindak pengelolaan
aparatur pemerintah daerah provinsi di masa yang akan datang.
6.1 Kesimpulan Studi
Dari hasil studi yang dilakukan oleh tim tentang ”Perubahan Kebijakan
Desentralisasi dan Otonomi Pada Pengelolaan Aparatur Daerah Provinsi” dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Pola pembagian urusan tersebut bagi pemerintah provinsi yang baru akan
memberi beban ekstra sehingga menyebabkan beban pekerjaan yang tinggi.
Disamping itu peraturan pembagian urusan yang belum jelas (sampai saat
selesainya penelitian dilakukan) menyebabkan kesulitan bagi pemerintah
provinsi untuk menata distribusi pembagian pekerjaan di antara pegawai.
Sebab lain dari masalah beban kerja adalah kecenderungan pemerintah daerah
untuk menciptakan organisasi yang besar tanpa definisi fungsi dan lingkup
kewenanangan yang jelas. Peran dan status ganda pemeritah provinsi juga
menyebabkan terhambatnya pelaksanaan tugas-tugas pelayanan, khususnya
yang menyangkut kabupaten/kota. Dualisme otonomi antara provinsi dengan
kabupaten juga ternyata menghambat tugas dan peran provinsi sebagai wakil
pemerintah pusat dalam melakukan koordinasi dan pengawasan pembangunan
lintas kabupaten/kota.
b. Setelah kebijakan desetralisasi dan otonomi daerah, ternyata menimbulakn
permasalahan kepegawaian yang semakin kompleks baik berkaitan dengan
formasi, rekruitmen, promosi dan mutasi, pengembangan pegawai, kompetensi
pegawai, maupun remunerasi. Hal ini disebabkan oleh adanya tarik ulur antara
penguasa dan pejabat-pejabat yang bekepentingan. Di samping itu, munculnya
banyak regulasi yang dapat membingungkan aparatur pemerintah di daerah.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 168
Posisi provinsi tidak diuntungkan karena ketidakjelasan peraturan pelaksanaan
UU no 32 tahun 2004 khususnya terkait dengan bidang kepegawaian. Disatu sisi,
pengaturan kepegawaian antara instansi pemerintah pusat yang terkait dengan
kebijakan kepegawaian belum memiliki pola koordinasi yang cukup jelas yang
berorientasi pada pemberdayaan daerah, sehingga seringkali kebijakan
pemerintah pusat sering dirasa berbelit belit dan tidak responsive dengan
masalah masalah di daerah. Disisi lain, pemerintah provinsi tidak cukup dibekali
dengan wewenang yang memadai dalam menjalankan fungsinya di bidang
urusan kepegawaian.
c. Dengan dua pendekatan dalam mennetukan jumlah optimal pegawai
menunjukkan bahwa terdapat kelebihan pegawai pada provinsi lama dan
kekurangan pada pegawai pada provinsi baru. Untuk menentukan jumlah
pegawai, tidak cukup dengan memperhitungkan jumlah penduduk, tetapi perlu
memperhatikan aspek lainnya, misalnya kemampuan ekonomi daerah, luas
wilayah, dan sebagainya.
Penerapan UU no 32 tahun 2004 yang mengatur pembagian urusan secara
concurrent menciptakan suatu keadaan dimana peran provinsi lebih dituntut
bersifat pembinaan dan koordinasi. Hal ini membawa konsekuensi bahwa
pejabat di tingkat provinsi terutama yang terkait dengan pelaksanaan teknis,
diharapkan menguasai kompetensi teknis yang cukup tinggi sehingga mampu
memberikan bimbingan dan bantuan kepada Dinas/SKPD yang bersangkutan di
Kabupaten/Kota. Hal ini menjadi alasan agar pejabat eselon III tidak saja
menguasai kompetensi manajerial yang lebih tinggi daripada eselon IV namun
juga diharapkan memiliki tingkat kompetensi teknis yang lebih tinggi. Saat ini
tuntutan tersebut dapat dipenuhi dengan adanya limpahan pegawai dari Kanwil
yang bergabung sejak tahun 2001. Namun pada masa yang akan datang tuntutan
ini akan sulit dipenuhi jika tidak didukung dengan keluwesan karir pegawai yang
memungkinkan mobilitas dari Kabupaten/Kota ke Provinsi. Hal ini disebabkan
tuntutan penguasaan kompetensi teknis yang tinggi diperlukan pengalaman di
lapangan. Sementara itu dengan UU no 32 tahun 2004 tugas provinsi lebih
banyak bersifat koordinasi dan penetapan kebijakan.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 169
6.2 Rekomendasi
Dalam rangka implementasi UU no 32 tahun 2004 yang menggantikan UU no 22
tahun 1999 diperlukan adanya penguatan peran provinsi dalam kebijakan
manajemen SDM daerah melalui upaya upaya sebagai berikut :
1. Pembinaan dalam penguatan infrastruktur manajemen kepegawaian provinsi
a. Guna mendukung profesionalisme pegawai dan mencegah intervensi
kepentingan politik dan primordial maka perlu adanya penyusunan pola
dasar karir di lingkungan pemerintah provinsi. Khususnya dalam kebijakan
pengembangan pegawai (termasuk karir dan pendidikan latihan) perlu
dibentuk adanya assesment center yang dapat melayani juga
Kabupaten/kota di satu provinsi.
b. Penyusunan sistem informasi kepegawaian terpadu tingkat provinsi dan
nasional. Sistem ini diperlukan untuk memahami secara akurat dan terpadu
keadaan dan kebutuhan kepegawian yang menjadi dasar bagi pembuatan
kebijakan kepegawaian secara cepat dan efektif. Dengan adanya system
informasi ini maka dimungkinkan adanya koordinasi yang lebih kuat antara
provinsi, kabupaten, dan pemerintah pusat.
c. Pembuatan klasifikasi jabatan yang memudahkan untuk pengukuran beban
kerja serta pengorganisasian dan distribusi pekerjaan sesuai dengan
kompetensi pegawai. Klasifikasi jabatan akan membantu untuk menentukan
nilai suatu jabatan dan karakteristik jabatan sehingga memudahkan dalam
pemberian ganjaran yang adil serta penentuan penempatan pegawai yang
tepat sesuai kompetensinya.
d. Penerapan kebijakan sistem karir terbuka antar daerah. Penerapan otonomi
daerah memilki resiko adanya sistem kepegawaian yang terkotak kotak
sehingga menyebabkan masalah yang sangat signifikan dalam pemerataan
kesejahteraan antar daerah. Oleh sebab itu kebijakan kepegawaian
seyogyanya mendorong adanya sistem karir terbuka antara provinsi atau
provinsi kabupaten/kota vice versa.
e. Penyusunan standard kompetensi jabatan yang mampu menjamin
pelaksanaan pembinaan kepegawaian secara obyektif dan bebas dari
politisasi dan primordialisme
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 170
2. Penguatan dalam koordinasi pelaksanaan kebijakan kepegawaian provinsi
Koordinasi dalam perencanaan bidang kepegawaian dengan
memperhatikan kebutuhan lintas kabupaten/kota dan antar provinsi.
Koordinasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dalam satu
provinsi
Koordinasi dan penyederhanaan mutasi kepegawaian antar
Kabupaten/kota dan antara Kabupaten/Kota ke Provinsi atau
sebaliknya.
3. Pengawasan dan pengendalian
Penguatan peran pengawasan yang harus dilakukan oleh provinsi terhadap
pelaksanaan peraturan kepegawaian. Penguatan ini perlu didukung dengan
wewenang dan sumber daya hokum (misalnya wewenang pemberian sangsi)
yang memadai. Pengawasan kepegawaian bidang mutasi, pengangkatan dan
pemberhentian pegawai perlu mendapatkan perhatian lebih besar karena
potensi politisasi dan primordialisme yang besar. Terkait dengan hal ini
karena pertimbangan efektifitas dan efisiensi perlu dipertimbangkan bahwa
proses rekrutmen perlu dipusatkan di tingkat provinsi.
4. Dukungan pusat dalam pembinaan kepegawaian.
Koordinasi instansi terkait dalam manajemen kepegawaian, Depdagri,
Depkeu, MENPAN, BKN, LAN. Berbagai masalah pelanggaran dan
penyimpangan kepegawaian terjadi akibat koordinasi yang lemah antara
instansi instansi pemerintah yang memiliki kewenangan terkait dengan
kebijakan kepegawaian. Oleh sebab itu sebagai langkah koordinasi antara
instansi tersebut diperlukan adanya komite interministerial pembinaan
kepegawaian sehingga setiap kebijakan. Disamping itu dalam rangka
merubah mindset pengelolaan kepegawaian yang masih berorientasi kepada
peraturan menjadi lebih berorientasi kepada prinsip manajemen sumber
daya manusia maka diperlukan penyusunan pedoman dan peraturan
pelaksanaan dalam penguatan infrastruktur kepegawaian. Infrastruktur
tersebut meliputi standard kompetensi, penilaian kinerja yang obyektif,
standard rumenerasi bagi pegawai yang berorientasi kepada kinerja dan
sistem informasi kepegawaian yang akurat dan bersifat nasional. Dalam
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 171
rangka menciptakan pengelolaan sumber daya manusia aparatur daerah
yang berorientasi pada kinerja pelayanan, diperlukan pula adanya sistem
terbuka kepegawaian antar provinsi sehingga kelebihan pegawai di satu
provinsi dapat dimanfaatkan oleh provinsi yang lain. Hal ini merupakan
agenda penting mengingat penyebaran penduduk dan pembangunan sendiri
saat ini belum merata. Sekitar 70 % penduduk Indonesia masih tinggal di
Jawa sehingga ketimpangan sumber daya manusia menjadi sangat signifikan.
DAFTAR PUSTAKA Amstrong, M. Joko. 2001. Dampak Penataan Organisasi Pemerintah Daerah.
Pusat Penelitian dan Pengembangan BKN. Jakarta Amstrong, Michael. 2003. The Art of HRD, Managing People, A Practical Guide
for Line Managers. PT. Gramedia. Jakarta BPS Provinsi DIY. 2006. Yogjakarta Dalam Angka 2006. BPS. Yogjakarta BPS Provinsi Banten. 2006. Banten Dalam Angka 2006. BPS. Banten BPS Provinsi Bangka Belitung. 2006. Bangka Belitung Dalam Angka 2006. BPS.
Bangka Belitung BPS Provinsi Kepulauan Riau. 2006. Kepulauan Riau Dalam Angka 2006. BPS.
Kepulauan Riau BPS Provinsi Sumatera Utara. 2006. Sumatera Utara Dalam Angka 2006. BPS.
Sumatera Utara Breyfogle III, Forrest W. 2003. Implementing Six Sigma: Smarter Solutions Using
Statistical Methods 2nd
ed. John Wiley & Sons. Federico, Mary, and Renee Beaty. Rath & Strong’s Six Sigma Team Pocket Guide.
McGraw-Hill, 2004. George, Michael L., Rowlands, David, Price, Mark and John Maxey. The Lean Six
Sigma Pocket Tool Book. McGraw-Hill 2005. Gitlow, PhD., Howard S., and David M. Levine, Ph.D. Six Sigma for Green Belts
and Champions. Prentice Hall, 2005. Gunawan, Barbara, 2000, Menilai Kinerja Dengan Balanced Scorecard,
Manajemen, No 145, September, Halaman 36-40. Green, William H. Econometric Analysis. 2nd ed. (New York: Macmilan Publishing
Co, 1993. Haris, R. Abdul, 2004, Pengaruh Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik
Terhadap Kinerja BUMD Serta Implikasinya dalam PAD Kota/Kabupaten di Jawa Timur, Disertasi Program Pasca Sarjana Merdeka Malang.
Irawan, Prasetya. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. STIA-LAN Press. Jakarta
______________. 2000. Pengembangan Sumber Daya Manusia. STIA-LAN Press. Jakrata
Julianto, Heppy, 2000, Mengukur Kepuasan Pelanggan, Manajemen, No 138, Februari, Halaman 34-35.
Kaplan, Robert S dan David P. Norton, 1996, Balanced Scorecard: Translating Strategy Into Action, Boston: Havard Business School Press.
Mangkuprawira, Safri. 2004. Manajemen Sumber Daya Strategik. Ghalia Indonesia. Jakarta
Morisawa, Toru, 2002, Building Performance Measurement System with the Balanced Scorecard Approach, NRI Papers. No. 45, 1 April 2002.
Mulyadi, 1999, Strategic Management System Dengan Pendekatan Balanced Scorecard (Bagian Pertama Dari Dua Tulisan), Usahawan, No 02, Tahun XXVIII, Februari, Halaman 39-46.
-------------------, Strategic Management System Dengan Pendekatan Balanced Scorecard (Bagian Akhir Dari Dua Tulisan), Usahawan, No 03, Tahun XXVIII, Maret,
Mardalis, 1989. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Bumi Aksara, Jakarta
Pande, Peter S., Neuman Robert P, dan Roland R. Cavanagh. The Six Sigma Way: Team Fieldbook, An Implementation Guide for Process Improvement Teams. McGraw-Hill, 2002.
Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur. 2006. Kajian Jumlah Pegawai Daerah dan Beban Pembiayaannya Dalam APBD. PKKSDA-LAN. Jakarta.
______________. 2006. Pengembangan Pegawai Berbasis Kompetensi Bagi Sumber Daya Manusia Aparatur Pusat. PKKSDA-LAN. Jakarta.
Sarwoko. Dasar-Dasar Ekonometrika. Andy. Yogjakarta. 2005. hal. 196 – 197 Sasongko, Nanang. 2004. BALANCE SCORECARD PERSPEKTIF PEMBELAJARAN DAN
PERTUMBUHAN (LEARNING AND GROWTH PERSPECTIVE ). Unjani. Bandung
Shermon, Ganesh. 2000. Competency Based HRM. Tata McGraw-Hill. New Delhi Spencer, Lyle M. Jr and Signe M. Spencer. 1993. Competence At Work Models for
Superior Performance. John Wiley & Sons. Inc. Thoha, Miftah. 2005. Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia. Prenada Media.
Jakarta. Peraturan-Peraturan: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian Negara Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang “Kewenangan Pemerintah dan
Pemerintah Provinsi Sebagai Daerah Otonom”
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Lampiran 1: Hasil Perhitungan Jumlah Pegawai Optimal
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Keterangan Pegawai
No Unit
Jumlah Pegawai
Riel
Jumlah Pegawai Optimal kelebihan Kekurangan
1 Biro Hukum 241 205 36 2 Biro Organisasi 50 33 17 3 Dinas Pertanian 586 455 131 4 Dinas Ketertiban 286 231 55 5 Biro Kepegawaian 105 86 19 6 Badan Pariwisata Daer. 114 73 41 7 Dinas Sosial 415 343 72 8 Perpustakaan 146 107 39 9 Dinas Perikanan 188 155 33
10 Dinas Kebudayaan 93 162 69 11 Bapeda 137 132 5 12 Biro Umum 176 148 28 13 Perhubungan 271 230 41 14 Biro Pemerintahan 121 85 36 15 Kimpraswil 984 829 155 16 Disperindankop 387 298 89 17 Badan Pengl.Keuangan 241 187 54 18 Bapeldalda 83 75 8 19 Badiklat 98 99 1 20 Kehutanan & Perkebunan 501 438 63 21 Badan Pengawas Daerah 89 98 9 22 Dinas Kesehatan 589 579 10 23 Dinaskentrans 289 251 38 24 RS Grahasia 315 280 35 25 DPRD 99 92 7 26 Dinas Pendidikan 241 205 36 27 Arsip Daerah 68 90 22
28 Kantor Pemberdayaan Perempuan 50 62 12
29 Biro Kerja Sama 47 38 9 30 Perwakilan DIY 35 31 4 31 Sekretariat KPU 32 33 1
Jumlah 6963 6028 1048 113 Total Kelebihan 935
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Provinsi Banten
Keterangan Pegawai No Unit Jumlah Pegawai
Riel
Jumlah Pegawai Optimal kelebihan Kekurangan
1 Dinas Pertambangan dan Energi 139 128 11
2 Biro Pemerintahan 47 40 7 3 Biro Organisasi 41 24 17
4 Dinas Sosial & Tenaga Kerja 190 143 47
5 Dinas PU 676 656 20 6 Biro Kepegawaian 69 50 19 7 Dinas Kebudayaan 89 78 11 8 KPPE 30 29 1 9 Biro Hukum 53 49 4
10 Dinas Kesehatan 115 102 13 11 Satpol PP 111 105 6 12 Dinas pariwisata 78 90 12 13 Biro Organisasi 41 24 17 14 BAWASDA 96 81 15 15 Sekretariat 41 61 20
16 Badan Pemberdayaan Masyarakat 80 67 13
17 Dinas Pendidikan 160 144 16 18 Kantor Penghubung 23 20 3 19 Biro keuangan 85 94 9 20 KPUD 12 8 4
21 Dinas Perikanan & Kelautan 33 32 1
22 Badan Kesbang Linmas 39 37 2 23 Badiklat 45 49 4 24 DIPENDA 130 134 4 25 Biro Ekonomi 24 27 3 26 Sekretariat DPRD 45 40 5 27 Dinas Perhubungan 47 53 6 28 BAPEDA 44 47 3 29 Bapedalda 29 28 1 30 Dinas Koperasi & UKM 22 19 3 31 Kantor Arsip Daerah 15 15
Jumlah 2649 2474 236 61 Total Kelebihan 175
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Propinsi Bangka Belitung
Keterangan Pegawai NO Unit Jumlah
Pegawai Riel
Jumlah Pegawai Optimal kelebihan Kekurangan
1 Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa 33 63 30
2 Dinas Pertambangan dan Energi 40 44 4
3 Dinas Perikanan dan kelautan 61 57 4
4 Biro Umum 129 135 6 5 Biro Pemerintahan 54 37 17 6 Badan Diklat 42 62 20 7 Biro Hukum 22 27 5 8 Biro Kesejahteraan Sosial 89 107 18 9 KPUD 26 16 10
10 Dinas Pendidikan 65 65 11 Biro kepegawaian 28 26 2 12 BAPEDA 83 85 2
13 Dinas Pertanian dan kehutanan 117 106 11
14 Dinas Kesehatan 91 82 9 15 Dinas PU 322 314 8 16 Dinas Pendapatan Daerah 140 126 14 17 Biro Organisasi 16 24 8 18 Sekretariat Daerah 53 52 1
19 Biro Ekonomi Pembangunan 24 29 5
20 Biro Keuangan 34 29 5 21 Sekretariat DPRD 63 63 0
22 Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi 42 55 13
23 Dinas Peerhubungan & Pariwisata 57 70 13
24 Dinas Perindagkop & UKM 54 57 3
25 Dinas kesejahteraan Sosial 50 56 6
26 BAPEDA 61 67 6 27 Badan Kesbang Linmas 41 48 7 28 BKPMD 35 40 5 29 Bapedalda 36 34 2 30 KPUD 16 18 2 31 Kantor Penghubung 16 13 3
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
32 RSJ Sungai Liat 137 144 7 33 DPP Korpri 9 7 2 34 Satpol PP 56 63 7
Jumlah 2008 2057 84 133 Total Kekurangan 49
Propinsi Kepulauan Riau
Keterangan Pegawai Unit
Jumlah Pegawai
Riel
Jumlah Pegawai Optimal
Kelebihan Kekurangan
1. Inspektorat Daerah 44 44 0 2. Badan Keuangan dan Kekayaan Daerah
40 47 7
3. Badan Promosi dan Investasi Daerah
20 36 16
4. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
25 35 10
5. Badan Kepegawaian Daerah 28 35 7
6. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
42 49 7
7. Badan Kesbang, Politik dan Linmas
21 27 6
8. Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa
19 15 4
9. Badan Pendidikan dan Latihan 12 19 7
10. Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan
36 46 10
11. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
19 25 6
12. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
29 25 4
13. Dinas Kesehatan 84 96 12 14. Dinas Pekerjaan Umum 61 89 28 15.Dinas Perhubungan, Pos dan Telekomunikasi
37 40 3
16. Dinas Kelautan dan Perikanan 57 79 22 17. Dinas Pendidikan 45 47 2
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
18. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
31 34 3
19. Dinas Perindustrian dan Perdagangan
30 44 14
20. Dinas Pendapatan Daerah 83 79 4 21. Dinas Pertambangan dan Energi
19 20 1
22. Dinas Sosial 16 25 9 23. Dinas Pemuda dan Olahraga 14 18 4 24.Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
12 29 17
24. Biro Humas dan Protokol 25 20 5 25.Biro Administrasi Perekonomian 16 14 2 26.Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat
15 12 3
27. Biro Pemberdayaan Perempuan 11 7 4 28. Biro Umum 47 5500 33 29. Biro Hukum dan Organisasi 17 1199 22 30. Biro Administrasi Pemerintahan 29 33 4
31. Biro Administrasi Pembangunan
21 19 2
32. Biro Perlengkapan 11 15 4
33. Satuan Polisi Pamong Praja 16 24 8
34.Sekretariat Komisi Penyiaran Indonesia Daerah
11 8 3
35. Sekretariat KORPRI 9 5 4 36. Sekretariat KPU 8 6 2 37. Sekretariat DPRD 96 61 35 38. Kantor Penghubung 4 6 22
39. Kantor Perpus & Arsip Daerah 11 17 66
Jumlah 920 1012 68 160 Total Kekurangan 92
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Propinsi Sumatera Utara
Keterangan Pegawai
No Unit
Jumlah Pegawai
Riel
Jumlah Pegawai Optimal kelebihan Kekurangan
1 BKD 126 101 25
2 Biro Pemberdayaan Perempuan 31 34 3
3 RS Jiwa 231 242 11 4 Dinas Pendidikan 538 510 28 5 Badan Kominfo 191 196 1
6 Badan Pemberdayaan Masyarakt 100 110 10
7 Biro Pemerintahan 64 56 8 8 Biro Otonomi Daerah 33 36 3
9 Biro Organisasi dan Tata Laksana 29 26 3
10 Biro Perekonomian 65 58 7 11 Biro Pembangunan 45 40 5 12 Biro Hukum 27 29 2 13 Biro Bina Sosial 54 57 3 14 Biro Umum 141 137 4 15 Biro Perlengkapan 57 53 4 16 Biro Keuangan 156 149 7 17 Sekretariat DPRD 59 62 3 18 Inspektorat Propinsi 122 145 23 19 BAPPEDA 115 112 3 20 BADIKLAT 99 102 3 21 BAPEDALDA 94 92 2
22 Badan Investasi dan Promosi 72 74 2
23 Badan Litbang 53 50 3 24 BangkesbangLinmas 98 93 5 25 Badan Ketahanan Pangan 80 76 4
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
26 Badan Perpustakaan & Arsip Daerah 123 117 6
27 Kantor PDE 34 36 2
28 Kantor Penghubung Daerah 34 32 2
29 Kantor Satpol PP 29 38 9
30 Komisi Penyiaran Indonesia 25 20 5
31 Dinas Tenaga kerja & Trans 411 398 13
32 Dinas Penataan ruang & Mukim 384 379 5
33 Dinas Kesehatan 1146 1129 17 34 Dinas Sosial 679 660 19
35 Dinas Kebudayaan & Pariwisata 251 249 2
36 Dinas Kehutanan 647 629 18
37 Dinas Pertambangan & Energi 150 139 11
38 Dinas Perhubungan 936 928 8
39 Dinas Perindustrian & Dagang 394 389 5
40 Dinas Koperasi & UKM 108 103 5 41 Dinas Jalan & Jembatan 560 547 13 42 Dinas Pengairan 809 796 13 43 Dinas Pendapatan 443 439 4 44 Dinas Pertanian 602 596 6 45 Dinas Pemuda & Olahraga 77 70 7 46 Dinas Perkebunan 155 150 5 47 Dinas Peternakan 102 99 3 48 Dinas Perikanan 149 147 2
Jumlah 8981 8834 186 39 Total Kelebihan 147
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Lampiran 2: Kuesioner Form A
KUESIONER PERUBAHAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI
DAN OTONOMI DAERAH PADA PENGELOLAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PROPINSI
INFORMASI UMUM BEBAN KERJA PROVINSI
PENGANTAR Kuisioner ini ini dimaksud untuk menjawab tujuan dari kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Pemerintah Daerah Propinsi. Kajian tersebut bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan pendukung yang diperlukan terhadap pengelolaan aparatur pemerintah daerah propinsi, akibat adanya perubahan UU 22 tahun 1999 menjadi UU 32 tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan peran pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah serta sekaligus sebagai "koordinator dan facilitator" kabupaten/kota yang ada di wilayahnya
Melalui kajian ini diharapkan adanya masukan mengenai pelaksanaan program pengembangan otonomi daerah pada masa mendatang. Khususnya untuk mengidentifikasi beban kerja Pemerintah Propinsi, jumlah optimal pegawai serta kompetensi yang dibutuhkan. Di samping itu juga untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi Pemerintah Propinsi dalam pengelolaan kepegawaian terkait dengan adanya perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Oleh karena itu, mohon kiranya Bapak/Ibu berkenan mengisi kuisioner dengan sebenar-benarnya. Atas perhatian dan partisipasi Bapak/Ibu, kami ucapkan terima kasih. Tim Kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Propinsi Bappenas 2007
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
FORM A - BAPPEDA
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
INFORMASI UMUM PROPINSI :
INSTANSI:
PERTANYAAN
No Aspek Secara
Umum Indikator Jumlah
1 Jumlah Penduduk Jumlah total penduduk Propinsi
2 Luas Wilayah Total luas wilayah Propinsi
3 Rentang Kendali Total jumlah Kabupaten/Kota dalam Propinsi
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
4 Kemampuan Ekonomi
Penerimaan daerah sendiri (PAD)
5 Dana Alokasi Khusus (DAK)
Jumlah rata-rata DAK yang diterima selama 3 tahun berturut-turut
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Lampiran 3: Kuesioner Form B
KUESIONER PERUBAHAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI
DAN OTONOMI DAERAH PADA PENGELOLAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PROPINSI
INFORMASI TUGAS DAN BEBAN KERJA
PENGANTAR Kuisioner ini ini dimaksud untuk menjawab tujuan dari kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Pemerintah Daerah Propinsi. Kajian tersebut bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan pendukung yang diperlukan terhadap pengelolaan aparatur pemerintah daerah propinsi, akibat adanya perubahan UU 22 tahun 1999 menjadi UU 32 tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan peran pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah serta sekaligus sebagai "koordinator dan facilitator" kabupaten/kota yang ada di wilayahnya
Melalui kajian ini diharapkan adanya masukan mengenai pelaksanaan program pengembangan otonomi daerah pada masa mendatang. Khususnya untuk mengidentifikasi beban kerja Pemerintah Propinsi, jumlah optimal pegawai serta kompetensi yang dibutuhkan. Di samping itu juga untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi Pemerintah Propinsi dalam pengelolaan kepegawaian terkait dengan adanya perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Oleh karena itu, mohon kiranya Bapak/Ibu berkenan mengisi kuisioner dengan sebenar-benarnya. Atas perhatian dan partisipasi Bapak/Ibu, kami ucapkan terima kasih. Tim Kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Propinsi Bappenas 2007
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
FORM B – SELURUH INSTANSI
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
INFORMASI UMUM PROPINSI :
INSTANSI:
DATA RESPONDEN Nama
Usia tahun
Jenis Kelamin L/P
Pendidikan Terakhir
No.Telp/Hp
Oganisasi SKPD
Unit (Setara Eselon III)
Jabatan
DATA INSTANSI Isilah jumlah pegawai yang mendukung semua pelaksanaan jenis pekerjaan dinas/kantor/unit dengan baik. Jumlah pegawai ini terdiri dari jumlah PNS dan Honorer Daerah.
Jumlah PNS orang
Jumlah Honda orang
PENJELASAN Kolom 1 Jenis Pekerjaan terdiri dari : Teknis Administrasi : Pekerjaan Teknis Administrasi merupakan pekerjaan
yang mendukung seluruh pelaksanaan kegiatan di dinas/unit/kantor sehingga dapat terselenggaraanya semua kegiatan. (sifatnya internal) Contoh : mengarsip surat, menyediakan ruang rapat, menyediakan peralatan kantor, menerima tamu, menjawab telepon, mengantar pimpinan, membersihkan ruangan kantor dll. Teknis Pelayanan : Pekerjaan Teknis Pelayanan merupakan pekerjaan yang sifatnya melayani secara langsung masyarakat pelanggan atau Stake holder terkait dengan pelaksanaan TUPOKSI dinas/unit/kantor. (sifatnya external)
Contoh :membuat KTP, sosialisasi kegiatan ke instansi lain, memberikan penyuluhan ke masyarakat, menyediakan sarana dan prasarana bagi kepentingan umum, dll.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Penyusunan Kebijakan : Pekerjaan penyusunan kebijakan merupakan kegiatan yang terkait dengan pengaturan bidang bidang yang menjadi kewenangan organisasi.
Contoh : penyusunan bahan perda, penyusunan bahan masukan perencanaan pembangunan daerah, pelaksanaan kajian dsb.
Tugas lainnya, kegiatan kegiatan tambahan yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi organisasi. Contoh : menghadiri rapat koordinasi, diklat, seminar dan sebagainya.
Kolom 2 : Prakiraan Prosentase pelaksanaan jenis pekerjaan/hari merupakan
prakiraan penghitungan pelaksanaan jenis pekerjaan yang dilaksanakan di unit/dinas/kantor dalam satu hari. Penghitungan ini harus memperhatikan 3 jenis pekerjaan yang dilaksanakan di dinas/unit/kantor. Total secara keseluruhan prosentase pelaksanaan jenis pekerjaan ini adalah : 100%
Contoh : pelaksanan pekerjaan untuk teknis administrasi adalah : 20%, Teknis Pelayanan : 50%, serta Penyusunan kebijakan: 30%, maka totalnya adalah: 100%
Ini berarti bahwa rata-rata pekerjaan yang dilakukan di dinas/unit/kantor selama satu hari untuk teknis administrasi : 20%, teknis Pelayanan 50% serta Penyusunan Kebijakan: 30%. (penentuan ini merupakan prakiraan rata-rata dalam melaksanakan pekerjaan selama satu hari di dinas/unit/kantor ini).
Kolom 3 : Prakiraan rata-rata jumlah pegawai dalam melaksanakan pekerjaan
adalah jumlah pegawai (PNS dan Honorer) yang melaksanakan jenis pekerjaan di dinas/kantor/unit selama satu hari. Dalam melakukan penghitungan harap diperhatikan bahwa pegawai di Dinas/Unit/Kantor ini dapat melakukan pelaksanaan pekerjaan lebih dari satu jenis pekerjaan.
Contoh : Misal Jumlah pegawai di dinas/unit/instansi : 3 orang maka ketiga orang ini dapat melaksanakan pekerjaan ke tiga jenis pekerjaan yaitu : Teknis Administrasi, Teknis Pelayanan serta Penyusunan Kebijakan. Sehingga akan ditulis : 3 pegawai di Teknis Administrasi; 3 pegawai di Teknis Pelayanan serta 3 pegawai di Penyusunan Kebijakan. Penghitungan ini dapat dibenarkan.
Kolom 4 : Prakiraan rata-rata waktu dalam melaksanakan jenis pekerjaan
merupakan penghitungan rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh seorang pegawai dalam melaksanakan jenis pekerjaan selama satu hari. Harap diperhatikan sesuai dengan peraturan maka maksimal waktu seorang pegawai dalam melaksanakan jenis pekerjaan dalam satu hari adalah: 7,5 jam, sehingga dalam menghitung prakiraan rata-rata satu orang pegawai tidak melebihi jumlah maksimal yang telah ditetapkan yaitu 7,5 jam/pegawai.
PERTANYAAN
Prakiraan Rata-Rata Jumlah Pegawai Serta Waktu dalam
melaksanakan Jenis Pekerjaan
No Jenis Pekerjaan Prakiraan Prosentase
Pelaksanaan Jenis
Pekerjaan/Hari Pegawai Waktu (jam)
1 2 3 4
1
Teknis
Administrasi
2
Teknis
Pelayanan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Prakiraan Rata-Rata Jumlah Pegawai Serta Waktu dalam
melaksanakan Jenis Pekerjaan
No Jenis Pekerjaan Prakiraan Prosentase
Pelaksanaan Jenis
Pekerjaan/Hari Pegawai Waktu (jam)
1 2 3 4
3
Penyusunan Kebijakan
4
Tugas Lainnya
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Lampiran 4: Kuesioner Form C
KUESIONER PERUBAHAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI
DAN OTONOMI DAERAH PADA PENGELOLAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PROPINSI
PENENTUAN STANDAR KOMPETENSI
JABATAN STRUKTURAL PENGANTAR Kuisioner ini ini dimaksud untuk menjawab tujuan dari kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Pemerintah Daerah Propinsi. Kajian tersebut bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan pendukung yang diperlukan terhadap pengelolaan aparatur pemerintah daerah propinsi, akibat adanya perubahan UU 22 tahun 1999 menjadi UU 32 tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan peran pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah serta sekaligus sebagai "koordinator dan facilitator" kabupaten/kota yang ada di wilayahnya
Melalui kajian ini diharapkan adanya masukan mengenai pelaksanaan program pengembangan otonomi daerah pada masa mendatang. Khususnya untuk mengidentifikasi beban kerja Pemerintah Propinsi, jumlah optimal pegawai serta kompetensi yang dibutuhkan. Di samping itu juga untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi Pemerintah Propinsi dalam pengelolaan kepegawaian terkait dengan adanya perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Oleh karena itu, mohon kiranya Bapak/Ibu berkenan mengisi kuisioner dengan sebenar-benarnya. Atas perhatian dan partisipasi Bapak/Ibu, kami ucapkan terima kasih. Tim Kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Propinsi Bappenas 2007
DATA RESPONDEN I. UMUM PROPINSI : INSTANSI* : BAPPEDA/BAGIAN ADM KEPEGAWAIAN/DINAS PU/
DINAS PENDIDIKAN
UNIT :
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
FORM C – BAPPEDA BAG.KEPEGAWAIAN DINAS PENDIDIKAN
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
*Coret yang tidak dipilih
II. PERSONAL Nama
Usia tahun
Jenis Kelamin L/P
Pendidikan Terakhir
No.Telp/Hp
Eselon** II/ III/ IV
Jabatan
**Beri tanda pada kotak jawaban yang dipilih
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Keterangan
Kompetensi jabatan adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seseorang dalam rangka menjalankan tugas tugas sesuai terkait dengan tanggung jawab jabatannya.Kompetensi jabatan dalam hal ini dibedakan menjadi lima bidang yaitu kemampuan etik atau integritas, kepimpinan, manajerial, team work, social, dan professional atau teknik.
Petunjuk Pengisian :
Responden diharuskan memilih salah satu angka 1(satu) sampai 5 (lima) dengan cara memberi tanda silang (X) sesuai dengan pilihannya pada setiap pernyataan di tabel standar kompetensi jabatan. Arti dari masing-masing angka tersebut bagi persyaratan jabatan adalah sebagai berikut : Angka 1(satu) berarti kompetensi tersebut sangat tidak dibutuhkan; Angka 2(dua) berarti kompetensi tersebut tidak dibutuhkan; Angka 3(tiga) berarti kompetensi tersebut cukup dibutuhkan; Angka 4(empat) berarti kompetensi tersebut dibutuhkan; Angka 5(lima) berarti kompetensi tersebut sangat dibutuhkan. Tabel Standar Kompetensi Jabatan adalah sebagai berikut :
Tabel Standar Kompetensi Jabatan
Pilih jawaban yang sesuai *)
NO
PERNYATAAN
1 2 3 4 5 A. INTEGRITAS
Deskripsi : Bertindak konsisten sesuai dengan nilai nilai dan kebijakan Organisasi serta kode etik profesi dengan mempertahankan norma norma social dan organisasi walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukannya sehingga terdapat satu kesatuan antara kata dan perbuatan. Dalam setiap keadaan dapat mengkomunikasikan maksud, ide serta perasaan secara terbuka, jujur dan langsung.
1 Memahami dan mengenali perilaku sesuai dengan kode etik, yaitu dengan mengikuti norma sosial, etika dan organisasi, serta yakin bahwa yang dilakukan tidak melanggar berbagai aturan yang telah ditetapkan.
2 Melakukan tindakan yang konsisten dengan nilai dan keyakinannya, serta jujur dalam berhubungan dengan orang lain.
3 Bertindak berdasarkan nilai walaupun sulit untuk melakukannya
Pilih jawaban yang sesuai *)
NO
PERNYATAAN
1 2 3 4 5
B. KEPEMIMPINAN
Deskripsi :
Kemampuan untuk memimpin orang lain melalui tindakan mempengaruhi/meyakinkan orang lain, memberikan arah
KUESIONER PENENTUAN STANDAR KOMPETENSI JABATAN
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
petunjuk, mendorong motivasi/komitmen orang lain untuk melakukan rencana kerja dalam organisasi
1 Menyakinkan orang lain secara langsung dalam diskusi atau presentasi mengenai rencana kerja unit organisasi.
2 Memberikan arahan yang jelas mengenai tugas yang diharapkan
3 Membangun motivasi orang lain untuk dalam mencapai tujuan organisasi.
C. KEMAMPUAN MANAJERIAL
Deskripsi :
Kemampuan untuk merencanakan dan mengatur pelaksanaan pekerjaan di unit kerjanya
1 Membuat prioritas, untuk mengenali kegiatan dan penugasan yang lebih penting dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada dan jadwal waktu kegiatan.
2 Menentukan penugasan dan sumber dayanya, yaitu dengan menguraikan ke dalam tugas-tugas yang lebih kecil, serta melakukan koordinasi dengan mitra kerja internal dan eksternal.
3 Tetap terfokus, menggunakan waktu secara efektif dan mencegah gangguan yang menyimpang agar tidak menggannggu penyelesaian pekerjaan.
D. KEMAMPUAN TEAM WORK
Deskripsi :
Kemampuan membangun kerjasama dengan orang lain dan menjadi bagian dari kelompok dalam melaksanakan tugas
1 Berpartisipasi dalam kelompok, mendukung keputusan tim dan menyelesaikan tugasnya dalam tim serta membagi informasi yang berguna dan relevan bagi anggota tim.
2 Meminta dan menghargai pendapat orang lain dalam rangka menentukan keputusan.
3 Membangun semangat dan kelangsungan hidup tim
Pilih jawaban yang sesuai *)
NO
PERNYATAAN
1 2 3 4 5
E. KEMAMPUAN SOSIAL
Deskripsi :
Kemampuan untuk membangun hubungan kerja yang harmonis dan menyesuaikan diri dengan situasi kerja yang beragam dan berubah ubah (dinamis)
1 Mendengarkan dan menghargai pendapat orang untuk
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
kelancaran tugas.
2 Kemampuan menyampaikan ide, gagasan secara jelas baik secara tertulis maupun lisan kepada orang lain.
3 Keluwesan bertindak dan mampu menanggapi perubahan baik di dalam maupun di luar organisasi.
F KEMAMPUAN TEKNIK
Deskripsi :
TIngkat penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas
1 Ketertarikan terhadap bidang keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan
2 Menguasai keterampilan dan pengetahuan teknik/professional
3 Menjelaskan dan menerapkan pengetahuan yang dimiliki
H KOMPETENSI LAINNYA..(Usulan dari responden).
1.....................................................
Indikatornya :
a.................................................................
b.................................................................
c.................................................................
2.................................................................
Indikatornya :
a........................................
b............................................. Catatan : Data ini kami harapkan bisa segera diisi dan disampaikan atau diserahkan pada saat FGD.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Lampiran 5: Kuesioner Form D
KUESIONER PERUBAHAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI
DAN OTONOMI DAERAH PADA PENGELOLAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PROPINSI
PEDOMAN WAWANCARA MANAJEMEN KEPEGAWAIAN
PENJELASAN Pedoman Wawancara Mendalam ini adalah merupakan alat pengumpul data yang digunakan pada saat melakukan wawancara mendalam dengan narasumber/key-informan di daerah wilayah yang telah ditetapkan. Pedoman Wawancara Mendalam bersifat prinsipil, yang penerapannya di lapangan dapat disesuaikan oleh Pewawancara/Pengumpul Data berdasarkan Teknik Wawancara Mendalam yang digunakan menurut situasi kondisi di lapangan. Hal penting perlu dikuasai oleh Pewawancara/Pengumpul Data adalah: 1. Sebelum Pelaksanaan Wawancara Mendalam
Persiapkan dan kuasai substansi pedoman Wawancara Mendalam, terutama variabel, dan indikatornya
Kuasai situasi kondisi lokasi maupun peluang hubungan komunikasi dengan interviewee (responden) untuk menentukan teknik wawancara yang paling tepat/efektif
Buat kesepakatan jadwal dan tempat wawancara dengan para responden. Perhitungkan bahwa waktu yang dibutuhkan cukup.
Persiapkan alat tulis, alat rekam yang memadai (disediakan oleh masing-masing Pewawancara)
2. Saat Pelaksanaan Wawancara Jelaskan maksud, tujuan, dan sasaran wawancara. Jelaskan scenario dan teknik wawancara yang akan dilakukan. Pastikan alat penunjang kerja, baik alat tulis maupun perekam tersedia dan
bekerja dengan baik Ciptakan kondisi bahwa pewawancara berbicara lebih sedikit (tidak
mendominasi) pembicaraan dibandingkan dengan para responden Penggunaan pertanyaan-pertanyaan eksploratif dan penelusuran sangat
disarankan bilamana saja diperlukan dan memungkinkan. 3. Setelah Pelaksanaan Wawancara
Periksa hasil pencatatan atau rekaman audio telah tercatat/terekam dengan sempurna
Buat transkrip data dari hasil pengumpulan data Buat eksekutif summary (catatan lapangan) hasil pengumpulan data.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
FORM D - PENELITI
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
DATA INFORMAN Nama
Usia tahun
Jenis Kelamin L/P Pendidikan Terakhir No.Telp/Hp Propinsi Instansi Oganisasi SKPD Unit (Setara Eselon III) Jabatan
DATA WAWANCARA Hari/Tanggal wawancara Lokasi wawancara Nama Pewancara PERTANYAAN No Pertanyaan I Umum 1 Menurut anda, permasalahan apa yang terjadi dalam pengelolaan PNS sejak diberlakukannya
desentralisasi dan otonomi daerah? 2 Bagaimakah implementasi pembagian urusan dalam bidang kepegawaian yang ada saat ini? 3 Permasalahan apa saja yang dihadapi dalam implementasi tersebut? II Formasi Pegawai 1 Apakah penetapan formasi pegawai saat ini telah mencerminkan beban kerja propinsi dan
kebutuhan nyata pegawai baik secara kualitas dan kuantitas yang sesungguhnya? 2 Mengapa demikian? 3 Menurut Bapak/ibu bagaimanakah penetapan formasi yang ideal sesuai dengan kebutuhan
nyata propinsi? • Kebijakan (perbaikan kebijakan apa yang diperlukan) • Prosedur (cara penghitungan yang seharusnya) • Mekanisme Kelembagaan (siapa bertanggung jawab, apa tugas dan kewenangannya)
4 Apakah tugas Propinsi dalam bidang koordinasi penetapan formasi di kabupaten/kota? REKRUTMEN 1 Bagaimanakah kebijakan rekrutmen pegawai propinsi sesuai dengan UU no 32 tahun 2004? 2 Masalah masalah apa sajakah yang dihadapi dalam kebijakan rekrutmen pegawai propinsi saat
ini? (misalnya masalah Politik, KKN, transparansi dsb) 3 Apa saja yang diperlukan bagi perbaikan kebijakan rekrutmen saat ini?
Kebijakan (perbaikan kebijakan apa yang diperlukan)
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
No Pertanyaan Prosedur (cara penghitungan yang seharusnya) Mekanisme Kelembagaan (siapa bertanggung jawab, apa tugas dan kewenangannya)
PENGANGKATAN, PEMINDAHAN DAN PEMBERHENTIAN 1 Apakah yang dilakukan oleh pemerintah propinsi dalam menjamin sistem karir yang
berdasarkan sistem meritokrasi? 2 Apakah pemerintah propinsi sudah memiliki pola dasar karir? 3 Sejauh mana peran Kepala Daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian dalam kebijakan
manajemen kepegawaian? • Apa orientasi kebijakan kepala daerah • Adakah bias politik
4 Permasalahan apa yang dihadapi dalam kebijakan pengangkatan pegawai saat ini? 5 Apakah penempatan pegawai selama ini dilakukan menurut kompetensi pegawai yang
bersangkutan? Mengapa demikian?
6 Bagaimanakah kebijakan promosi pegawai saat ini?
7 Apakah masalah yang dihadapi dalam kebijakan promosi? 8 Apa prinsip prinsip yang digunakan dalam kebijakan mutasi pegawai? 9 Dalam hal mutasi PNS antar Daerah Kabupaten/Kota dalam Provinsi, permasalahan apa yang
sering terjadi? 10 Dalam hal pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II
pada pemerintah daerah provinsi, permasalahan apa yang terjadi? 11 Terkait dengan pertanyaan di atas, bagaimanakah mekanisme koordinasi antara Pusat dan
Daerah Provinsi, serta apakah permasalahannya? REMUNERASI 1 Bagaimana sistem instentif/tunjangan yang ada dalam rangka mendorong prestasi atau kinerja
pegawai? Adakah kebijakan khusus yang diterapkan dalam propinsi ini?
2 Dalam hal gaji dan tunjangan yang dialokasikan dalam Dana Alokasi Umum, apakah telah sesuai dengan kebutuhan dan jumlah PNS Daerah Provinsi?
PENEGAKAN DISIPLIN DAN ETIKA PEGAWAI 1 Apa yang dilakukan oleh pemerintah propinsi dalam menegakkan etika dan kedisiplinan dan
etika pegawai? 2 Seberapa efektifkah mekanisme tersebut? 3 Kebijakan apa yang dipersiapkan guna meningkatkan efektifitas penegakkan etika dan
kedisiplinan pegawai? STANDARD KOMPETENSI DAN PENILAIAN KINERJA 1 Apakah pemerintah propinsi telah menetapkan standard kompetensi jabatan? 2 Bagaimana sistem penilaian prestasi kerja / kinerja saat ini? 3 Apa masalah yang dihadapi dan langkah penyempurnaan apa yang akan dilakukan?
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Lampiran 6: Hasil Estimasi Model OLS dengan Eviews 5.0
Dependent Variable: JP
Method: Least Squares
Date: 12/11/07 Time: 15:15
Sample: 1 33
Included observations: 33
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
POP 0.514952 0.167207 3.079735 0.0045
LUAS -0.123528 0.070497 -1.752249 0.0903
PAD 0.164481 0.142880 1.151185 0.2591
C 0.012017 0.755519 0.015906 0.9874
R-squared 0.649454 Mean dependent var 3.728345
Adjusted R-squared 0.613190 S.D. dependent var 0.426396
S.E. of regression 0.265193 Akaike info criterion 0.296496
Sum squared resid 2.039495 Schwarz criterion 0.477891
Log likelihood -0.892182 F-statistic 17.90933
Durbin-Watson stat 2.204334 Prob(F-statistic) 0.000001
Dependent Variable: JP Method: Least Squares Date: 12/11/07 Time: 16:00 Sample (adjusted): 1 32 Included observations: 30 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
POP 0.354651 0.190892 1.857860 0.0750LUAS -0.125897 0.072605 -1.733986 0.0952PAD 0.222027 0.144893 1.532359 0.1380
PDRB 0.030711 0.144129 0.213080 0.8330C 0.542895 0.737288 0.736340 0.4684
R-squared 0.665193 Mean dependent var 3.780217Adjusted R-squared 0.611624 S.D. dependent var 0.390760S.E. of regression 0.243521 Akaike info criterion 0.163784Sum squared resid 1.482561 Schwarz criterion 0.397317Log likelihood 2.543244 F-statistic 12.41746Durbin-Watson stat 1.734374 Prob(F-statistic) 0.000011
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Dependent Variable: JP Method: Least Squares
Date: 12/11/07 Time: 16:05 Sample: 1 33
Included observations: 33
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
PAD 0.542272 0.093604 5.793241 0.0000
C 0.674171 0.529780 1.272549 0.2126
R-squared 0.519839 Mean dependent var 3.728345
Adjusted R-squared 0.504350 S.D. dependent var 0.426396S.E. of regression 0.300193 Akaike info criterion 0.489913
Sum squared resid 2.793600 Schwarz criterion 0.580610Log likelihood -6.083557 F-statistic 33.56164
Durbin-Watson stat 2.152835 Prob(F-statistic) 0.000002
Dependent Variable: JP Method: Least Squares Date: 12/11/07 Time: 16:05 Sample (adjusted): 1 32 Included observations: 30 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
PAD 0.452231 0.120664 3.747850 0.0009PDRB 0.074460 0.123388 0.603465 0.5512
C 0.667839 0.630837 1.058656 0.2991
R-squared 0.580979 Mean dependent var 3.780217Adjusted R-squared 0.549941 S.D. dependent var 0.390760S.E. of regression 0.262147 Akaike info criterion 0.254816Sum squared resid 1.855466 Schwarz criterion 0.394935Log likelihood -0.822233 F-statistic 18.71799Durbin-Watson stat 1.898025 Prob(F-statistic) 0.000008
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Dependent Variable: JP
Method: Least Squares
Date: 12/11/07 Time: 16:06
Sample (adjusted): 1 32
Included observations: 30 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
PDRB 0.410268 0.102710 3.994413 0.0004
C 0.739515 0.763441 0.968660 0.3410
R-squared 0.362990 Mean dependent var 3.780217
Adjusted R-squared 0.340239 S.D. dependent var 0.390760
S.E. of regression 0.317397 Akaike info criterion 0.607015
Sum squared resid 2.820747 Schwarz criterion 0.700428
Log likelihood -7.105220 F-statistic 15.95534
Durbin-Watson stat 1.426627 Prob(F-statistic) 0.000427
Dependent Variable: JP Method: Least Squares Date: 12/11/07 Time: 16:06 Sample (adjusted): 1 32 Included observations: 30 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
POP 0.493910 0.172169 2.868746 0.0081LUAS -0.173843 0.067194 -2.587158 0.0156PDRB 0.111141 0.137667 0.807317 0.4268
C 0.508824 0.755817 0.673210 0.5068
R-squared 0.633746 Mean dependent var 3.780217Adjusted R-squared 0.591486 S.D. dependent var 0.390760S.E. of regression 0.249754 Akaike info criterion 0.186889Sum squared resid 1.621810 Schwarz criterion 0.373715Log likelihood 1.196663 F-statistic 14.99633Durbin-Watson stat 1.599652 Prob(F-statistic) 0.000007