pengantar penulis - repositori.ukdc.ac.id

75
Pengantar Penulis Saya bukan sepenuhnya seorang arsitek, mungkin hanya seperempat atau bahkan seperlima arsitek. Kalaulah masih mau menyebut dengan kata itu, sebut saja dengan arsiteks (dengan tambahan “s”), karena saya adalah arsitek yang lebih berkutat dengan teks (rangkaian tulisan). Saya tidak berarsitektur dengan garis, bidang, ruang, batang, lempeng atau pukal, juga tidak untuk diwujudkan dengan material semen, batu, baja, kaca, besi tulangan dan lain-lain untuk menjadi karya arsitektur. Saya hanya berarsitektur dengan kata-kata, yang bagi saya lebih mirip batu bata yang harus saya susun satu demi satu agar menjadi sebuah bangun tulisan yang utuh dan runtut. Dari situ terciptalah kolom, esai, feature, apresiasi maupun kritik arsitektur yang kadang-kadang (bahkan sering) bersinggungan dengan sastra dan filsafat, dua bidang yang sedikit-banyak turut mempengaruhi tulisan-tulisan saya. Bahkan teman saya yang seorang seniman nomaden bernama Amrizal (sekarang tinggal di Jogja), menyebut saya sebagai Malin Kundang karena sebagai lulusan dari jurusan arsitektur tetapi tidak berprofesi sebagai arsitek, justru lebih mendalami teks arsitektur. Bagi saya, itu sebuah julukan yang terhormat karena jalan Malin Kundang adalah jalan “durhaka” yang demikian menantang. Mungkin saya memang telah “durhaka” pada ibu arsitektur saya, dan justru dari situ saya ingin memaklumkan “kedurhakaan” itu: bahwa saya tak akan pernah berhenti mengangkat pena untuk saya bidikkan pada arsitektur. Arsitektur bukan hanya tumpukan bata-bata yang bisu belaka, tetapi juga selalu butuh kata-kata untuk dikomunikasikan, bukan? Tapi saya juga tahu, menggunakan (hanya) kata-kata untuk mendeskripsikan arsitektur seperti menggunakan silet untuk memotong kayu gelondongan, maka dari itulah saya mesti koprol dengan kata-kata, mencari alternatif-alternatif pemikiran yang lain agar bisa menjelma silet raksasa untuk mengimbangi besarnya kayu gelondongan tadi. Apa yang tersaji dalam buku ini adalah kumpulan tulisan-tulisan yang saya buat untuk artikel di koran/majalah, untuk penulisan divisi think tank di kantor dpavilion architects maupun untuk diskusi dan seminar dalam kurun waktu sekitar tiga tahun terakhir. Sebelumnya, naskah-naskah ini tercerai-berai di mana-mana dan hampir tak pernah terpikir oleh saya untuk mengumpulkannya menjadi sebuah buku. Hingga akhirnya datang tawaran dari pengurus Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jawa Timur yang pernah membaca tulisan-tulisan saya di Surabaya Post, lalu tertarik dan menawari untuk diterbitkan. Pucuk dicinta ulam tiba, saya merasa mongkog (baca: bangga) tulisan- tulisan saya diterbitkan oleh rekan-rekan dari bidang seni, sebuah lompatan besar bagi jalan kepenulisan saya. Pada awalnya agak canggung juga, mengingat yang diurus oleh Dewan Kesenian lazimnya adalah pure art atau seni murni, bukan practical art atau seni terapan seperti arsitektur. Tetapi dalam paradigma yang lebih luas, tentunya arsitektur masih gayut juga untuk disebut sebagai seni, yakni seni bangunan. Dengan penerbitan buku ini, saya berharap akan ada dialog yang lebih intens antara yang pure dan yang practical, tidak

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

Pengantar Penulis

Saya bukan sepenuhnya seorang arsitek, mungkin hanya seperempat atau bahkan

seperlima arsitek. Kalaulah masih mau menyebut dengan kata itu, sebut saja dengan

arsiteks (dengan tambahan “s”), karena saya adalah arsitek yang lebih berkutat dengan

teks (rangkaian tulisan). Saya tidak berarsitektur dengan garis, bidang, ruang, batang,

lempeng atau pukal, juga tidak untuk diwujudkan dengan material semen, batu, baja,

kaca, besi tulangan dan lain-lain untuk menjadi karya arsitektur. Saya hanya berarsitektur

dengan kata-kata, yang bagi saya lebih mirip batu bata yang harus saya susun satu demi

satu agar menjadi sebuah bangun tulisan yang utuh dan runtut. Dari situ terciptalah

kolom, esai, feature, apresiasi maupun kritik arsitektur yang kadang-kadang (bahkan

sering) bersinggungan dengan sastra dan filsafat, dua bidang yang sedikit-banyak turut

mempengaruhi tulisan-tulisan saya.

Bahkan teman saya yang seorang seniman nomaden bernama Amrizal (sekarang

tinggal di Jogja), menyebut saya sebagai Malin Kundang karena sebagai lulusan dari

jurusan arsitektur tetapi tidak berprofesi sebagai arsitek, justru lebih mendalami teks

arsitektur. Bagi saya, itu sebuah julukan yang terhormat karena jalan Malin Kundang

adalah jalan “durhaka” yang demikian menantang. Mungkin saya memang telah

“durhaka” pada ibu arsitektur saya, dan justru dari situ saya ingin memaklumkan

“kedurhakaan” itu: bahwa saya tak akan pernah berhenti mengangkat pena untuk saya

bidikkan pada arsitektur. Arsitektur bukan hanya tumpukan bata-bata yang bisu belaka,

tetapi juga selalu butuh kata-kata untuk dikomunikasikan, bukan? Tapi saya juga tahu,

menggunakan (hanya) kata-kata untuk mendeskripsikan arsitektur seperti menggunakan

silet untuk memotong kayu gelondongan, maka dari itulah saya mesti koprol dengan

kata-kata, mencari alternatif-alternatif pemikiran yang lain agar bisa menjelma silet

raksasa untuk mengimbangi besarnya kayu gelondongan tadi.

Apa yang tersaji dalam buku ini adalah kumpulan tulisan-tulisan yang saya buat

untuk artikel di koran/majalah, untuk penulisan divisi think tank di kantor dpavilion

architects maupun untuk diskusi dan seminar dalam kurun waktu sekitar tiga tahun

terakhir. Sebelumnya, naskah-naskah ini tercerai-berai di mana-mana dan hampir tak

pernah terpikir oleh saya untuk mengumpulkannya menjadi sebuah buku. Hingga

akhirnya datang tawaran dari pengurus Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jawa Timur

yang pernah membaca tulisan-tulisan saya di Surabaya Post, lalu tertarik dan menawari

untuk diterbitkan. Pucuk dicinta ulam tiba, saya merasa mongkog (baca: bangga) tulisan-

tulisan saya diterbitkan oleh rekan-rekan dari bidang seni, sebuah lompatan besar bagi

jalan kepenulisan saya.

Pada awalnya agak canggung juga, mengingat yang diurus oleh Dewan Kesenian

lazimnya adalah pure art atau seni murni, bukan practical art atau seni terapan seperti

arsitektur. Tetapi dalam paradigma yang lebih luas, tentunya arsitektur masih gayut juga

untuk disebut sebagai seni, yakni seni bangunan. Dengan penerbitan buku ini, saya

berharap akan ada dialog yang lebih intens antara yang pure dan yang practical, tidak

Page 2: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

lagi tersekat-sekat dalam kandang sempitnya masing-masing untuk mendapatkan

cakrawala pandang yang lebih luas.

Tulisan-tulisan dalam buku ini terdiri dari tiga bagian yang bertutur tentang

Surabaya, dpavilion architects dan juga tentang Jawa Timur. Masing-masing tulisan

dalam buku ini juga bisa dibaca secara sendiri-sendiri secara otonom tanpa

mengaitkannya dengan tulisan yang lain. Pembagian ini lebih mengacu pada kesamaan

tema di antara tulisan-tulisan yang saya kumpulkan. Bagian pertama menitikberatkan

pada konteks kota Surabaya dan “sedikit” permasalahannya, karena memang cuma ingin

“menyentil” dan bukan hendak “mengupas tuntas” semua hal. Bagian kedua adalah

tentang kiprah dpavilion architects, yang karya-karyanya telah dan masih terus

mengubah wajah obyek wisata Jawa Timur di dasawarsa pertama abad ke 21. Sedangkan

bagian ketiga mengulas tentang beberapa karya arsitektur dan peninggalan arsitektur di

beberapa kota di Jawa Timur, mulai dari masa Majapahit, masa kolonial Belanda hingga

ke masa kini.

Tak lupa saya ucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada beberapa

pihak yang telah membantu proses terbitnya buku ini, mas Nonot Sukrasmana dari dari

Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) yang memberi kesempatan

kepada saya untuk membukukan tulisan-tulisan ini, juga mas R.Giryadi dari Komite

Teater DKJT yang telah banyak membantu dan memberi saran demi lebih baiknya

tampilan tulisan dalam buku ini.

Kepada guru saya Profesor Josef Prijotomo yang telah memberi kata pengantar

(prolog) pada buku ini, saya haturkan terimakasih yang seagung-agungnya. Juga kepada

Edwin Nafarin, rekan sekaligus bos saya di dpavilion architects, yang selalu memberi

dorongan untuk menulis serta memberikan izin sehingga karya-karya dpavilion architects

bisa tersaji dalam buku ini, terimakasih juga atas foto-fotonya. Juga teman-teman di

dpavilion architects: Heksa, Anne, Nikko, Margie, Ciput, Carol, Dimas, Arifin, Ira,

Rahmad, Santo, Agus, Herry, Zaza, Fendy dan Michelle yang menjadi teman sehari-hari

yang menyenangkan.

Terimakasih pula kepada rekan MADcahyo yang darinya saya mendapatkan foto-

foto yang saya perlukan, juga kepada dua fotografer profesional yang karyanya saya

pakai sebagai ilustrasi: Mohammad Iqbal dan Ganny Gozaly. Tak lupa kepada 3 teman

saya yang meskipun jarang sekali bertemu tetapi masih selalu mendedahkan semangat di

batin saya: Peter Angelo Megantara, Mohammad Nanda Widyarta dan Pudji Pratitis

Wismantara. Peter yang dulu di awal tahun 2000-an bersama-sama penulis aktif di

komunitas ISU (Institut Studi Universal) yang terus “memprovokasi” untuk menulis

(Piet, suaramu masih terngiang). Nanda yang darinya (dan dari tulisan-tulisannya) saya

belajar untuk mencari esensi, keruntutan nalar serta kritik dan sejarah arsitektur. Juga

Pudji yang rajin membuat kajian-kajian dari sudut pandang “yang lain” (seperti

feminisme) yang membuat saya ingin juga mengkaji aspek “yang lain” dari arsitektur.

Buku ini saya persembahkan utamanya kepada Bapak H. Maksum dan Ibu Hj. Siti

Luluk Asma’, Papa Haryono (alm.) dan Mama Sulistyowati. Juga untuk istri tercinta Leli

Eko Hayuningwati dan adik-adik saya (Sigit & Yunes plus Angger, Iwan, Adi & Ratri,

Amir) dan seluruh keluarga besar di manapun berada.

Page 3: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

Semoga buku ini memberi manfaat kepada pembaca sekalian. Saya selalu terbuka

terhadap semua saran, kritik dan komentar dari pembaca sekalian, agar buku ini bisa

lebih baik dan lebih “koprol” lagi di masa mendatang.

Surabaya, Mei 2010

Page 4: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

Prolog

Oleh Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M.Arch.

Demi keteraturan, ketertiban dan demi obyektifitas ditetapkanlah aturan, rumusan

dan pedoman. Agar dapat dijamin kemantapan dari yang teratur, tertib dan obyektif itu,

bisa saja dibuat sederetan bakuan tatalaksana (standard operational procedures) serta

rincian-rincian yang demikian njlimet. Disadari atau tidak, tatalaku dan perilaku serta

tingkahlaku seperti itu lalu mengkristal menjadi tatapikir (mindset atau mental map)

seseorang maupun kelompok. Ilmu lalu diperlawankan dengan seni, ilmiah lalu

diperlawankan dengan ngelmu, prosedur lalu diperlawankan dengan ritual dan

sebagainya dan seterusnya.

Pada ujung-ujungnya, dunia kita ini lalu bagaikan demikian banyak peti yang

saling berbeda isinya. Peti yang satu bisa saja merupakan peti yang bolong-bolong

sehingga bisa saling terobos dengan sesama peti yang bolong-bolong; lalu ada peti yang

menganga pada salah satu bidangnya, sehingga bila dipertemukan dengan peti yang lain

akan memberi kesempatan bagi isi dari kedua peti itu untuk saling melebur menyatu;

namun, ada pula peti yang demikian rapat sehingga samasekali tidak memiliki

kesempatan dan kemungkinan kontak dengan peti yang lain.

Dengan kenyataan akan jutaan peti yang memenuhi dunia inilah, Anas Hidayat

menyelenggarakan perhelatan. Perhelatan yang sekaligus adalah wayang tapi juga bukan

wayang, ketoprak tapi juga bukan ketoprak, ludruk tapi juga bukan ludruk, dagelan tapi

juga bukan dagelan. Adapun muatan serta pelantunan dari perhelatan itu sekaligus

populer dan ilmiah, yang sekaligus puitik dan dogmatik, yang sekaligus rasional dan

klenik. Ciri-ciri perhelatan ini membuat kita berdecak kagum akan keberanian Anas

Hidayat dalam mengobrak-abrik peti tanpa menghancurkannya; atas kenekadan

mencampur yang hitam dengan yang putih menjadi hitam dan juga putih, bukan abu-abu

atau ambigu. Anas Hidayat telah mengubah peti-peti yang tertutup rapat menjadi gubahan

rusuk-rusuk peti yang berdinding kawat ayam. Yang rumit dan sulit lalu menjadi

gampang dicerna dan dipahami, sedang yang encer dan remeh lalu menjadi pekat dan

serius. Fatwa sang filsuf diramunya sehingga tersaji sebagai obrolan tukang becak; dan

sebaliknya, ngrumpinya satpam di gardu dikemasnya menjadi teori dan rumusan yang

filsafati.

Akhirnya, haruslah kita akui bahwa melalui tulisan ini Anas Hidayat mengajak

kita untuk mengganti tatapikir kita yang bagaikan peti yang tertutup rapat itu menjadi

sangkar burung yang semua sisinya memberi kesempatan untuk saling mengetahui dan

saling berbincang. Slogan masakini mengatakannya transparan, tepatnya tatapikir yang

transparan.

Di sinilah niatan baik dari Anas Hidayat itu bisa saja lalu menempatkan dirinya

sebagai lawan bagi siapa saja. Tetapi tidak perlu kita kuatir, karena kalau kepadanya

disampaikan konsekuensi itu, pastilah akan dia tanggapi dengan mengatakan: "ya tidak

apa-apa"; sebuah jawaban yang sangat pendek dan santai, namun sekaligus dalam dan

mantap.

Page 5: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

Daftar Isi

Halaman Judul………………………………………………………………..

Pengantar Penulis……………………………………………………………..

Prolog…………………………………………………………………………

Daftar Isi………………………………………………………………………

Bagian Satu; Sentil Surabaya

01. Genesis Kampung dan Genesis Kota Surabaya……………………………

02. Paradoks dan Juling Surabaya……………………………………………..

03. Arsitektur yang Bukan Arsitektur………………………………………….

04. Perkembangan Surabaya, antara Uang dan Ruang Kota…………………..

05. Surabaya, antara Idrus, Pram, Rendra dan Akhudiat………………………

06. Surabaya Tempo Doeloe, Lalu Apa?………………………………………

07. SDW 2008, Embrio Surabaya Kreatif…………………………………….

Bagian Dua; Gelitik Jawa Timur

08. Mengkinikan Nusantara……………………………………………………..

09. Majapahit dan Layer Sejarah………………………………………...………

10. Ketika Candi Jawa Timur Menjelma Gunungan……………………………

11. Hikayat Gereja Puhsarang, Kediri…………………………………….…….

12. Pondok Pesantren Turen, Malang; Arsitektur sebagai Laku…………………

Tentang Penulis…………………………………………………………………..

Indeks…………………………………………………………………………….

Page 6: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

01

Genesis Kampung dan Genesis Kota

Surabaya

aku mencarimu dalam buku-buku tebal dan berdebu

yang berserakan di lantai

yang kutemukan hanya nama-nama kota tempat kita pernah singgah

untuk kemudian bimbang

ke mana mesti pulang

(Dorothea Rosa Herliany, Nikah Ilalang)

Sebagai sebuah kota yang makin berkembang dari waktu ke waktu, Surabaya

tetap tidak bisa dipisahkan dari awal genesis-nya (kejadiannya) yang berupa kampung.

Bahkan dalam catatan sejarah disebutkan, bahwa Ujung Galuh yang merupakan cikal-

bakal Surabaya adalah perkampungan di atas air di muara Kalimas sejak jaman Kerajaan

Singosari. Kampung menjadi salah satu elemen pembentuk kota yang konsisten. Sejak

Surabaya disebut kota, kampung inilah yang setia menjadi penyangga utamanya, tersebar

dari pusat hingga pinggiran kota. Hingga saat ini, Surabaya masih memiliki identitas

sebagai hybrid (persilangan) antara kampung dan kota. Kampung sebagai genius loci

(kecerdasan local) yang sebetulnya cukup handal, sedangkan kota sebagai akibat

pengaruh global yang makin membesar, bahkan meraksasa. Persilangan antara keduanya

ini mestinya bisa menjadi sebuah perpaduan yang unik, yang khas Surabaya.

Akan tetapi, persilangan yang terjadi seringkali punya kecenderungan sepihak

untuk meminggirkan kampung. Kota yang makin menggurita tanpa ampun menghajar

kampung-kampung yang masih tersisa. Di Jakarta, kampung sudah lama kalah, mungkin

hanya tinggal nama-namanya saja yang bisa dijumpai. Jika kondisi di Surabaya dibiarkan

terus, bukan tidak mungkin kampung akan lenyap satu-persatu dan hanya tinggal sejarah.

Saat ini, kampung sudah menjadi entitas yang harus siap tertolak di dalam kota, seperti

ibu yang dikhianati anaknya sendiri. Kampung sepertinya ingin lebih di-beradab-kan

dengan dirubah menjadi kota, dan warga kampung yang belum beradab ala kota harus

siap-siap untuk minggir atau keluar.

Dalam pembuatan masterplan Surabaya, kampung ibarat mosaik yang bisa

dipindah dan digusur begitu saja. Masyarakat kampung tidak pernah diajak berembug

soal masterplan ini, karena tahu-tahu rencana induk itu sudah jadi dan disahkan, baru

kemudian disosialisasikan, kampung pun terkaget-kaget karena daerahnya harus tergusur

terkena proyek-proyek baru kota seperti ringroad (jalan lingkar), jalan tol, pelebaran

jalan, pembangunan perumahan baru, plasa dan mal, atau dituduh menempati lahan

secara ilegal. Seperti penggusuran kampung Simo Gunung Kramat Barat tahun 1995,

juga penggusuran “kampung liar” di sepanjang bantaran Kali Jagir tahun 2003 yang

memilukan. Meskipun Perda Stren Kali sudah disahkan DPRD Jawa Timur di tahun 2007

ini, ternyata masih juga menyisakan kontroversi. Kebijakan yang top-down (dari atas ke

bawah) seperti inilah yang seringkali sangat merugikan warga kota yang tinggal di

kampung-kampung.

Page 7: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

01

Posisi kampung sedikit-banyak digeser oleh perumahan-perumahan yang

bertebaran yang dibuat oleh para pengembang (developer). Kadang-kadang tampilan

perumahan hanya mengikuti trend yang berkembang secara global, tanpa ada upaya

untuk me-lokal. Wajah perumahan menjadi aneh untuk konteks Surabaya, karena tiba-

tiba saja ada wajah Mediteran, Spanyol, dan bahkan Yunani-Romawi yang tidak punya

akar sejarah di kota Surabaya. Coba lihat saja perumahan di jalan Kertajaya Indah dari

barat sampai ke ujung timur, atau di sepanjang Panjangjiwo-Tenggilis-Jemursari. Kita

sudah tidak bisa menemukan lagi identitas yang nyuroboyo, wajah kota sudah tenggelam

ditelan langgam arsitektur global yang menderas terus-menerus.

Karakter Kota

Selain wajah kota, karakter kota juga mengalami anomali karakter yang tak kalah

hebatnya. Karakter asli kampung yang egaliter, terbuka, kekeluargaan dan gotong-royong

sebagai masyarakat gemeinschaft (paguyuban) mulai terkikis. Jika anda memasuki

kawasan yang sudah dikuasai pengembang tertentu, anda pasti akan menjumpai portal

penghalang berikut satpam yang akan menginterogasi keperluan anda memasuki kawasan

itu. Juga semakin menjamurnya konsep gated community (komunitas tergerbangi yang

menyendiri) yang membuat perumahan menjadi teralienasi dari komunitas kota Surabaya

yang lain. Benarkah masyarakat Surabaya sudah paranoid (takut tetapi tidak tahu apa

yang ditakutkan), sehingga harus mengurung diri satu sama lain? Karakter asli Surabaya

lambat-laun akan hilang dan warga Surabaya menjadi “sakit jiwa”, karena masyarakat

kotanya sendiri sudah menutup diri dalam “bunker-bunker” tanpa alasan yang jelas.

Selain itu, di Surabaya terdapat juga beberapa bagian kota yang berkarakter

inferior (minder), yang merasa tidak percaya diri jika tidak meniru yang dari luar negeri.

Ada yang membikin patung Thomas Stamford Raffles dan Merlion Singapura persis

seperti yang di Singapura sana. Juga makin banyaknya pusat perbelanjaan “internasional”

dalam bentuk mall dan plaza dengan gaya bangunan yang tidak jauh berbeda dengan

bangunan serupa di kota-kota Eropa-Amerika, sementara pasar-pasar tradisional yang ada

justru terbakar (atau dibakar?) sehingga makin tergencet dan tinggal menunggu ajal satu

demi satu. Kota Surabaya memang sedang mengalami disorientasi, bingung memilih

karakter yang mana yang ingin diungkapkan, lalu melahap mentah-mentah apa yang ada

dari kota-kota yang lebih maju di negara lain. Mengapa tidak dibuat riset yang lebih

serius untuk menggali karakter asli kampung Surabaya?

Karakter Surabaya semestinya bisa menjadi seperti Nyai Ontosoroh dalam novel

Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer, yang memang mengambil setting di

Surabaya. Nyai Ontosoroh yang berasal dari kampung dan diperistri oleh seorang

Belanda kaya-raya Meneer Melemma, ternyata mampu menyerap budaya Barat secara

sempurna mulai bahasa sampai ke pola berpikirnya. Tetapi dia tetap sadar akan

keberadaanya sebagai pribumi, yang mengakar dan terjangkar di bumi Surabaya. Dia

berani melawan siapa saja jika merasa prinsipnya benar. Siapa menduga kalau Sanikem

gadis lugu desa yang buta huruf bisa menjadi Nyai Ontosoroh yang cerdas dan

pemberani? Punya karakter yang khas, kombinasi unik antara global dan lokal. Masih

terbuka kemungkinan, bahwa Surabaya bisa tetap mengglobal tanpa kehilangan sisi

kampung-nya.

Page 8: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

01

Nama-nama Tempat

Nama tempat (toponimi) sangat erat dengan sejarah tempat yang bersangkutan.

Contohnya nama-nama kampung di Surabaya, kampung Ampel yang berkaitan dengan

sejarah sunan Ampel. Nama kampung Wonokromo yang dihubungkan dengan legenda

Pangeran Situbondo yang membabat hutan atau wono Surabaya. Atau alun-alun contong

yang menjadi sisa alun-alun (pelataran besar) dari jaman Kadipaten Surabaya masa lalu.

Nama tempat juga berkaitan dengan “penguasa tempat” itu. Orang Belanda memberi

nama salah satu jalan di pusat kota Surabaya sebagai Palmenlaan (karena banyak pohon

palem), lalu oleh Pemerintah Republik Indonesia diganti menjadi Jalan Panglima

Sudirman. Juga gedung Belanda Simpangsche Societeit yang diubah menjadi Balai

Pemuda hingga sekarang.

Penamaan tempat yang terjadi saat ini sepertinya juga semakin menggusarkan

telinga kita sebagai warga Surabaya. Untuk menamai kawasan, ada beberapa

pengembang yang menggunakan nama city, sedikit sulit dipahami, apakah mau menjadi

kota di dalam kota Surabaya? Juga banyak kawasan perumahan yang memakai nama-

nama: housing, residence atau regency. Mengapa menggunakan nama yang meng-Inggris

seperti itu? Pengembang yang memiliki tanah itu memang bisa memberi nama sesuka

hatinya, tetapi seharusnya juga melihat dan mempertimbangkan nama asli tempat itu di

Surabaya. Sehingga nama tempat tidak rancu dengan branding perusahaan. Era industri

dengan kapitalnya sudah ikut mengembangkan kota, mestinya tidak turut membikin

kacau nama-nama tempat di Surabaya.

Ada juga nama bangunan yang salah tempat (atau salah nama?). Di lahan bekas

Pasar Wonokromo yang dulu terbakar dibangun sebuah bangunan baru dan diberi nama

Darmo Trade Center (DTC), padahal semua orang Surabaya tahu bahwa gedung itu tidak

terletak di kawasan Darmo. Mungkin untuk mengubah image, karena Wonokromo punya

image negatif dan dianggap kampungan, lalu dipakailah nama Darmo yang terdengar

lebih elit dan bergengsi. Jika gejala ini berkembang, betapa semakin rancu dan kacaunya

nama-nama tempat di Surabaya. Mungkin sudah mendesak untuk mengatur penamaan

tempat-tempat di Surabaya yang silang-sengkarut seperti ini.

Epilog

Hibriditas Surabaya adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari, sebagai suatu

pertemuan antara Surabaya dan bukan-Surabaya, sehingga terus-menerus menjadi

“Surabaya baru” yang berubah, yang tumbuh dan berkembang dari masa ke masa. Jika

Surabaya menutup diri dari pengaruh luar, jelas akan tamat riwayatnya dan menjadi kota

yang statis. Tetapi, toh kampung-kampung tidak harus dipaksa menjadi kota, kota juga

tidak harus mencaplok kampung yang ada di dalamnya. Meski pada prakteknya,

benturan-benturan antara kampung dan kota masih terus terjadi dan bisa meletup setiap

saat. Kampung dan kota di metropolis Surabaya, selalu berada dalam hubungan pasang-

surut, seperti sebuah poci dalam sajak Gunawan Mohamad: sesuatu yang kelak retak, dan

kita membikinnya abadi.

Page 9: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

01

Tulisan ini disajikan dalam diskusi “Surabaya Kampung Besar” di ruang Salle France

Pusat Kebudayaan Perancis (CCCL) Surabaya, 13 Nopember 2007.

Page 10: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

02

Paradoks dan Juling

Surabaya

- Apakah anda tuli?

+ Benar

Paradoks

Paradoks, sebuah istilah yang bisa kita tarik jauh ke masa Yunani Kuno, ketika

filsuf dari Kreta bernama Epimenides menyatakan: semua orang Kreta adalah

pembohong. Lalu berbondong-bondonglah orang Kreta mengecam sang filsuf yang

dianggap ngawur itu. Dengan tenang Epimenides menjelaskan: jika yang saya katakan itu

benar, maka apa yang saya katakan adalah sekaligus bohong juga, karena saya juga orang

Kreta, bukan? Gerombolan pengecam itu lalu bubar dengan agak bingung: kok bisa ya

benar dan bohong terjadi dalam sekali ucap.

Ribuan tahun kemudian, paradigma yang berdasar pada paradoks bisa menjadi

trend dalam kajian-kajian ilmiah. John Naisbitt di tahun 1994 menulis buku yang

berjudul Global Paradox, yang menunjukkan bagaimana masyarakat modern mengalami

guncangan-guncangan kemajuan yang dahsyat. Salah satu contoh misalnya, kemajuan

ekonomi dan teknologi secara umum dianggap semakin melemahkan negara-bangsa yang

tradisional. Tetapi Naisbitt berpendapat sebaliknya, justru kemajuan itu memperkuat

negara-bangsa tradisional, dibuktikan dengan runtuhnya Uni Sovyet atau Yugoslavia

menjadi negara-negara kecil yang sedikit-banyak berbasis tribal tradisional. Kita kembali

menemukan ada negara Bosnia-Herzegovina atau kota St. Petersburg di Rusia, yang

pernah hilang beberapa dekade dari peta dan sejarah dunia.

Paradoks adalah sebuah pernyataan atau realitas yang di dalamnya terkandung

kontradiksi atau perlawanan, persis seperti kalau anda bertanya pada seseorang: apakah

anda tuli? Lalu dia menjawab: benar. Demikian pula dalam perkembangan sebuah kota,

tidak bisa lepas dari paradoks-paradoks yang terjadi di dalamnya. Termasuk kota

Surabaya sebagai metropolis yang terus berkembang, akan muncul paradoks yang

beraneka macam. Paradoks ini menjadi sebuah realitas aktual yang sekaligus sebagai

otokritik, bahwa dari hal yang paradoksal itu akan didapatkan sebuah solusi atas masalah-

masalah yang dihadapi sebuah kota besar seperti Surabaya ini.

Anak-anak yang bermain bola di jalanan adalah pemandangan yang sering kita

jumpai di Surabaya, terutama di gang-gang kampung karena tidak adanya lapangan atau

taman terbuka yang bisa mereka gunakan untuk menyalurkan kegemaran mereka bermain

bola. Lalu jalanan umum yang berbahaya pun mereka gunakan sebagai lapangan. Ini

adalah paradoks, sebuah kota yang makin maju dengan pembangunan sarana kota yang

makin lengkap, justru melupakan kebutuhan anak-anaknya sendiri dan membiarkan

mereka “menciptakan” sendiri tempat bermainnya di jalanan. Ini sebuah peringatan tak

langsung bahwa kota ini kekurangan ruang terbuka dan ruang publik bagi warganya.

Juga gedung-gedung jangkung nan indah yang tersebar di seantero Surabaya tidak

semuanya benar-benar cantik secara menyeluruh, seringkali hanya sebagai kosmetik

Page 11: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

02

belaka. Kadang-kadang hanya bagian depannya yang terlihat bagus dari jalan besar.

Tetapi cobalah sekali-sekali menengok ke belakangnya, bisa kita temukan pemandangan

yang berbeda sama sekali. Bisa saja kita dapatkan permukiman atau perkampungan yang

kumuh, kotor dan berhimpitan, atau pasar tradisional yang berkembang tak terkendali. Ini

sebuah paradoks juga, bahwa semakin berkembang wajah bagus kota, tidak ketinggalan

berkembang juga wajah “buruk” di sisi yang lain. Ibarat pepatah: semakin tinggi pohon,

maka semakin keras angin menghempasnya. Agaknya bisa menjadi sebuah himbauan

juga, jangan hanya mengejar image sebagai kota metropolis, lalu yang “buruk”, yang

“kumuh”, yang “dekil” ditutup-tutupi, ini seperti menyimpan bom waktu di balik jaket

Gucci. Justru yang dekil itu yang harus didandani agar semakin bermartabat.

Selain itu masih ada paradoks lagi, halte bis yang ada di pinggir-pinggir jalan di

Surabaya dibuat untuk tempat calon penumpang menunggu kedatangan bis atau angkot

sesuai dengan ke mana tujuannya. Namun apa yang terjadi? Beberapa halte ada yang

“dibajak” oleh PKL (Pedagang Kaki Lima) dan digunakan untuk berjualan. Justru calon

penumpang tidak mendapat tempat di situ. Ini adalah paradoks kehidupan urban, orang

harus menyerobot hak orang lain untuk bertahan hidup. Tetapi, apakah harus seperti itu?

sebuah paradoks di mana urusan perut sudah mulai mengikis empati.

Kemudian paradoks yang berkaitan dengan jembatan penyeberangan. Jembatan

penyeberangan merupakan fasilitas yang dibuat oleh pengelola kota Surabaya agar

pejalan kaki bisa aman menyeberang dan lalu lintas di bawahnya tidak terganggu oleh

orang yang menyeberang. Tetapi pemandangan keseharian bisa berbicara lain, kita sering

mendapati orang yang menyeberang tepat di bawah jembatan penyeberangan. Karena

malas atau karena tidak tahu? Ya, ini sebuah paradoks yang berkaitan dengan sikap.

Bagaimana mungkin, sudah tersedia jembatan penyeberangan yang aman, tetapi justru

memilih membahayakan diri menyeberang di tengah ramainya lalu lintas?

Juling

Juling adalah gejala yang mirip paradoks juga, ini merupakan istilah umum bagi

kelainan mata yang dalam bahasa formalnya disebut strabismus convergence. Orang

yang matanya juling, fokus penglihatannya tidak lurus di depan sebagaimana orang

normal, melainkan agak serong ke kiri atau kanan. Sehingga orientasi pandangnya sering

membingungkan, kelihatannya memandang ke arah kita, tetapi yang dituju sebenarnya

justru tempat lain.

Jika kita amati perkembangan desain arsitektur di kota-kota di Indonesia dan di

Surabaya khususnya, pola orientasinya mirip dengan mata juling seperti yang dijelaskan

di atas. Kita berkoar-koar ingin mencari jatidiri, mencari akar sejarah dan lain-lain, tetapi

pada praksisnya (baca: prakteknya) kita masih sering melenceng dari hal itu. Lihat saja,

kita justru sibuk membuat replika Jakarta, replika Singapura atau replika New York di

Surabaya. Bukankah ini bisa dikatakan fenomena rancangan kota yang juling?

Akar dari kejulingan desain kita memang bukan hanya satu, tetapi merupakan

akumulasi dari banyak sebab. Salah satunya adalah kebiasaan kita “melirik” yang dari

luar, lalu menirunya secara mentah-mentah di sini. Karena hanya “melirik”, maka yang

tertangkap bukan esensinya, tetapi hanya permukaannya yang banal (dangkal) yang

hanya berkisar pada kulit luarnya. Kita tidak perlu gengsi belajar dari tempat lain untuk

menangkap spirit, melacak esensi, dan memburu hal-hal baru.

Page 12: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

02

Menjamurnya ruko-ruko, munculnya trend minimalis tanpa diadaptasi dengan

aspek lokal, adalah contoh-contoh kejulingan arsitektural kita. Itu adalah hasil “melirik”

tempat lain. Kadang kita memang terbius, karena mental kita yang masih inferior

(minder), sehingga milik orang lain terlihat lebih wah, lebih bagus dan lebih hebat. Lalu

kita ingin menirunya begitu saja.

Padahal Surabaya sendiri punya potensi dan sumber-sumber ide desain yang

cukup kaya. Surabaya punya sejarah yang panjang, penduduknya punya watak khas yang

blakasuta atau blak-blakan, juga tidak mudah ditaklukkan. Kejulingan rancang kota ini

tidak bisa disembuhkan oleh dokter mata, tetapi harus dimulai dengan kepercayaan diri

bahwa kita mampu membuat desain dengan berpijak pada bumi Surabaya, tidak lagi

dengan “melirik” tempat lain.

Lalu Bagaimana?

Masih banyak contoh paradoks yang lain di Kota Surabaya. Sebut saja misalnya,

masih banyak kendaraan yang parkir di dekat tanda dilarang parkir. Juga banyak

pedagang yang berjualan persis di depan tanda dilarang berjualan, atau orang yang

membuang sampah seenaknya padahal sudah disediakan tempat sampah. Belum lagi

mereka yang menyerobot lampu merah, menyerobot giliran karena tidak mau mengantri

dan masih banyak lagi.

Kejulingan lain juga masih ada. Surabaya Kota Pahlawan ini, yang pada bulan

Nopember 1945 menjadi ajang perjuangan arek-arek Suroboyo dalam melawan Inggris

yang diboncengi NICA Belanda. Tetapi mengapa bangunan yang dijadikan cagar budaya

adalah bangunan-bangunan kolonial saja? Mengapa bukan kampung? Mengapa bukan

rumahnya pak Cokro yang dulu menjadi tempat kosnya Bung Karno? Atau rumahnya

Bung Tomo? Sudah ada upaya yang bagus dari Surabaya Heritage Track untuk

menawarkan perjalanan menjejak kembali Pecinan misalnya, tidak melulu yang kolonial

saja.

Dengan belajar dari beberapa paradoks dan gejala juling tadi, nampaknya

Surabaya harus terus berbenah untuk menjadi kota yang maju dan konsisten, dengan

penduduk yang berkesadaran tinggi dan bertanggung-jawab. Bukan hanya menjadi

sebuah kampung besar belaka: bercitra metropolis, tapi bermental kampung(an).

Memang, di seluruh dunia tak ada kota yang sepenuhnya terkendali. Selalu ada yang tak

terkoordinasi dan tak terkontrol dalam perkembangan sebuah kota. Tapi, kita harus

berusaha terus untuk mengurangi paradoks dan kejulingan yang ada.

- Sampeyan tinggal di mana, cak?

+ Surabaya, tapi di kampungnya (dengan tersipu)

Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Wastu Surabaya Post 14 Juni 2009

berjudul “Paradoks Surabaya” dan kolom Regol Surabaya Post 28 Juni 2009 berjudul

“Juling”.

Page 13: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

03

Arsitektur yang Bukan Arsitektur

Kau tak bernama

Kau tak dikenal

(Abdul Hadi WM, dari buku puisi

Pembawa Matahari, 2002)

Pemikiran Modern dimulai oleh filsuf Perancis bernama Rene Descartes yang

ingin mencari kebenaran filosofis yang sekuat matematika, percaya pada satu kebenaran

tunggal. Jika yang satu benar, maka yang lain (harus) salah. Demikian juga dengan

arsitektur Modern yang muncul dengan berpijak pada pemikiran Modern: jika yang ini

adalah arsitektur, maka yang lain jelas bukan arsitektur. Sebuah definisi kaku yang

diterapkan pada semua hal, maka “yang lain” menjadi kelimpungan karena terusir dari

orbit tunggal yang sewenang-wenang.

Pemikiran inilah yang kemudian meluas ke seluruh dunia dan mendasari

pemahaman kita dalam melihat arsitektur, dan juga (masih) diajarkan di sekolah-sekolah

arsitektur. Kita terlanjur dibentuk dengan prasangka bahwa yang disebut arsitektur itu

adalah harus berpondasi, harus permanen, harus sebuah gedung, harus memiliki sentuhan

ala Le Corbusier, Rem Koolhaas, atau Jean Nouvel, juga memiliki taste estetika seni

mutakhir. Jika tidak demikian, berarti bukan arsitektur.

Sehingga ketika melihat bangunan yang tak berpondasi, yang tak permanen,

bukan berupa gedung, tidak memiliki sentuhan ala arsitek terkenal dan tak punya taste

seni masa kini, maka bangunan tersebut tidak layak disebut arsitektur. Bangunan seperti

itu tidak bisa dimasukkan ke dalam ranah arsitektur karena menjadi “aneh” jika dilihat

dengan kriteria tunggal yang tak dapat diganggu-gugat itu.

Meskipun pemikiran Modern tersebut akhirnya menjadi luluh-lantak di jaman

kontemporer saat ini (kebenaran bukan lagi kebenaran tunggal yang hegemonik), tetapi

pemikiran hegemonik tadi ternyata masih ada dan banyak bercokol dalam pikiran para

arsitek dan para pengambil kebijakan kota. Sehingga ada semacam kontradiksi yang

demikian ganjil: jamannya sudah plural, tetapi masih memakai tolok ukur pemikiran

tunggal (singular).

Bangunan Pinggir Kali

Bangunan liar atau biasa disingkat bangli yang berdiri berderet di sepanjang

pinggiran Kali Jagir, Surabaya ini jika dilihat dari kacamata pemikiran tunggal jelas tak

layak disebut arsitektur. Pertama, bangunan itu dibangun tidak permanen dengan bahan

seadanya dan jelas tidak dirancang oleh arsitek. Kedua, ini yang lebih parah lagi, bangli

tersebut dibangun di tempat yang terlarang, karena lahan itu bukan milik mereka. Kalau

mau menelisik lebih jauh ke tingkat ekonomi dan kedudukan mereka di dalam kehidupan

kota Surabaya, mereka yang membangun itu adalah golongan tak berpunya (the have not)

yang tersingkir dalam percaturan politik, ekonomi, sosial dan budaya kota. Mereka

seperti segerombolan makhluk asing yang datang dari planet lain untuk mengadu nasib di

Page 14: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

03

Surabaya dan kemudian “kalah”, maka arsitektur yang mereka bikin juga arsitektur yang

asing dan harus bersiap-siap untuk “kalah”.

Padahal, jika kita amati secara lebih seksama, sebenarnya arsitektur yang dibuat

oleh “pendatang haram” itu sungguh kontekstual dengan kondisi girli (pinggir kali).

Konstruksi vernakuler ala pinggir kali itulah yang paling tepat menjawab kebutuhan

desain arsitektur di tempat “kritis” seperti itu. Dibuat berkonstruksi panggung sehingga

seperti mengangkangi tebing sungai dengan kaki-kakinya. Bahan penutup dinding dan

atapnya terbuat dari bahan ringan, tipis dan kadang-kadang dari bahan bekas pula.

Tutupan dinding dan atapnya itu tidak benar-benar rapat, tetapi masih memungkinkan

celah bagi angin dan cahaya untuk masuk ke ruang dalam.

Desain yang marjinal itu masih sering juga disebut kumuh, tak layak, merusak

pemandangan serta mengganggu lingkungan. Tetapi mengapa solusinya justru selalu

dengan menghancurkannya lewat penggusuran? Mengapa bukan dengan memperbaikinya

dan membuatnya lebih layak, lebih nyaman dan indah seperti yang dilakukan Romo

Mangun di Kali Code Jogja? Kita masih sering berpikiran secara modern yang satu jalur,

seperti bulldozer yang tak kenal ampun. Meskipun katanya sudah jaman plural yang

mengakomodasi perbedaan, kita masih berarsitektur dengan tangan besi, belum dengan

pikiran terbuka.

Stigma, Kata yang Mendakwa

Di sini, kuasa bahasa menjadi penentunya. Karena sudah dicap dengan stigma

sebagai bangli (bangunan liar) dan girli (pinggir kali), maka bangunan itu sah dan benar

untuk dirobohkan sewaktu-waktu oleh mereka yang berkepentingan. Ketika masa Orde

Lama Sukarno, stigma “kontra-revolusioner”, “setan kota” dan “setan desa” menjadi

momok yang menakutkan bagi mereka yang berseberangan dengan pemerintah.

Kemudian di masa Orde Baru Suharto, stigma “komunis” atau “terlibat G-30-S” menjadi

senjata yang mengerikan untuk membungkam lawan. Di sini juga demikian, stigma

bangli, girli, pendatang tanpa keahlian, kawasan kumuh dan lain-lain cukup akrab bagi

telinga kita, dan mereka tak bisa berbuat apa-apa selain “patuh” pada kekuatan besar

yang tak mungkin mereka lawan.

Di kota-kota modern saat ini, stigma “bangli” (bangunan liar) pada permukiman

di bantaran sungai atau pinggiran rel KA menjadi senjata pamungkas bagi pemerintah

untuk menghancurkannya atas nama penertiban umum. Mereka (manusia dan bangunan

liar) itu menjadi seperti penyakit bagi keindahan dan kenyamanan kota. Yang janggal,

cara pengobatannya hanya satu: amputasi (padahal toh hanya sakit panu).

Sebetulnya, jika dipikir lebih kritis dan mendalam, tak sedikit pula “bangli” yang

berupa gedung-gedung megah atau bangunan yang tinggi. Lihat saja, banyak

pengembang (developer) yang justru menimbulkan masalah. Mulai masalah lingkungan

dengan meninggikan lahannya sendiri dan membiarkan air mengalir ke wilayah sekitar

dan menimbulkan banjir. Juga masalah sosial dengan membangun gated community

(komunitas tergerbangi) yang eksklusif dan tak mau bergaul (dan berbaur) dengan

masyarakat sekitar. Banyak juga bangunan dengan style impor yang “merusak mata”,

tetapi karena mereka bergerak secara legal, maka tak ada yang mempermasalahkan.

Mengapa hingga saat ini, sesuatu “yang lain” dan “bersuara lain” dianggap tidak

boleh ada dan harus disikat. Apakah kita terus meniru kota-kota model Barat yang belum

Page 15: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

03

tentu bisa membuat bahagia masyarakat di sini? Jika kita membangun kota dengan sistem

amputasi dan hantam kromo seperti itu, kita hanya akan mendapatkan kota yang buntung,

kota yang satu masa depan, tanpa pilihan lain. Jika itu yang dipilih, tunggulah Surabaya

menjadi necropolis (kota mati), yang terlihat gemerlap, berbudaya dan beradab, tetapi

dihuni oleh zombie-zombie yang hanya punya “taring” tanpa “hati”.

Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Wastu Surabaya Post 28 Juni 2009

Page 16: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

04

Perkembangan Surabaya

antara Uang dan Ruang Kota

Dari sepatah kata tak boleh ada satu huruf pun dirampas

(Mephisto dalam Faust, Goethe 1999)

Dari sebuah kota tak boleh ada satu ruang pun dirampas

(alih-konteks untuk Surabaya)

Melihat perkembangan kota Surabaya akhir-akhir ini, yang menjadi masalah

utama dan banyak dibicarakan publik adalah tentang penataan dan pengaturan ruang kota.

Mulai dari heboh soal reklame, pemanfaatan jalur hijau, isu pengalih-gunaan Yani Golf

(sebelumnya, Lapangan Tenis Embong Sawo sudah jadi korban), obrakan para PKL yang

dianggap mendiami tempat ilegal, soal rumah-rumah yang memakan brandgang/jalur

pemadam kebakaran, kemacetan yang makin lama makin parah, perlindungan terhadap

cagar budaya, kurangnya taman kota dan jalur pedestrian untuk pejalan kaki, dan saat ini

kita menyambut musim banjir tahunan yang di beberapa tempat sudah mulai “menyapa”

kita lagi.

Jika kita perhatikan kebijakan Pemkot Surabaya dalam mengatasi masalah-

masalah ini, kebanyakan bersifat reaktif setelah ada pengaduan atau protes dari

masyarakat. Bahkan seringkali sudah terlanjur membikin kesalahan yang kemudian baru

direvisi seperti kasus SPBU yang bertempat di jalur hijau yang kemudian diperintahkan

dibongkar, atau pembongkaran Stasiun KA Semut yang harus dihentikan karena ternyata

termasuk bangunan cagar budaya. Juga ada beberapa masalah akut yang selalu membelit

seakan tanpa henti, seperti PKL yang akan terus muncul walaupun telah dirazia

sepanjang tahun, kemacetan di jalan-jalan utama pada jam berangkat dan pulang kerja,

banjir yang selalu datang tiap tahun meskipun saluran air sudah dibenahi.

Sebagai sebuah metropolis yang terbesar di Indonesia Timur, kota Surabaya

memang menjadi magnet bagi penduduk kawasan timur Indonesia. Tidak heran jika

ruang kota Surabaya semakin penuh sesak dan semakin kompleks permasalahannya. Oleh

sebab itulah, pengelolaan dan penataan ruang kota tidak bisa lagi menggunakan cara-cara

yang konvensional. Kita jangan mengulangi lagi kebijakan lama yang mengatur tata

ruang dengan uang. Gara-gara kebijakan macam itu, dulu kita kehilangan separuh Kebun

Bibit Bratang sebagai paru-paru kota dan berubah menjadi pertokoan. Di saat ini pun,

dalam pembangunan pusat-pusat perbelanjaan besar yang banyak bertebaran di Surabaya,

Pemkot masih lebih banyak mementingkan sisi “uang”nya (baca: investasi) dibanding

protes masyarakat sekitar yang terganggu oleh proyek tersebut.

Memang, investasi merupakan salah satu penggerak ekonomi agar kota Surabaya

semakin maju dan berkembang ke depan, Jembatan Suramadu butuh investasi, proyek

jalur lingkar tengah dan lingkar luar kota Surabaya juga perlu investasi, demikian juga

sarana-prasarana lain, karena anggaran Pemerintah saja tidak akan mencukupi tanpa andil

investor swasta. Tetapi di sisi lain kita juga harus tetap memperhatikan karakter asli arek

Suroboyo yang guyub, egaliter (merakyat), tenggang rasa dan akrab dengan sesama.

Page 17: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

04

Apakah kita ingin meniru jejak Jakarta? Ibukota negara yang sudah terlanjur hilang

identitasnya, penuh polusi, bising, banjir sangat parah yang bulan lalu terjadi, kemacetan

yang luar biasa, angka kejahatan yang tinggi, banyak orang paranoid sehingga takut dan

curiga dengan orang lain. Jakarta sudah terlalu jauh menjadi “kota uang” yang silang-

sengkarut tata-ruangnya karena hanya mementingkan investasi, menjadi megalopolis

(kota superbesar) yang meraksasa, tetapi wagu karena tanpa “karakter”, tanpa “hati”, kota

yang hampir kehilangan roh humanisnya.

Tentunya kita tidak ingin Surabaya menjadi kota yang demikian, kota Surabaya

harus memiliki masa depan sendiri, tidak hanya meniru alias membebek kepada kota lain

yang lebih besar. Oleh sebab itulah, dalam penataan ruang kota tentunya Pemkot tidak

hanya bekerja dengan “otak” saja, tetapi juga dengan “hati”. Bagaimanapun juga,

reklame tetap harus ditata dan dibatasi agar warga tidak sakit mata memelototi iklan

ilegal di setiap sudut kota. PKL harus di-orang-kan (di-wongke), mereka juga manusia

yang berhak atas penghidupan yang layak di masa krisis seperti saat ini. Sepertinya

Pemkot juga sudah mulai memper-hati-kan pejalan kaki dengan memperbaiki dan

memperlebar pedestrian di Jalan Basuki Rahmat, Jalan Panglima Sudirman dan

sekitarnya. Juga mengatur PKL di Jalan Urip Sumoharjo dengan dibuatkan foodcourt

sebagai tempat berjualan yang lebih layak dan tertib, kemudian penertiban bangunan liar

di stren Kalimas yang rencananya sepanjang 12 kilometer. Ini menjadi sebuah gebrakan

di awal tahun ini yang bisa dibanggakan. Mudah-mudahan bisa berlanjut secara kontinyu

dan tidak menjadi kebijakan rog-rog asem (setengah-setengah) yang cuma bagus di

awalnya saja

Untuk ke depannya, Pemkot juga harus membuat terobosan-terobosan baru untuk

mencari pemecahan masalah-masalah klasik seperi banjir dan kemacetan lalu-lintas.

Kalau perlu misalnya dengan membuat maket raksasa seperti yang dibuat di kota

Shanghai (Cina), sehingga masyarakat bisa melihat langsung ke mana dan bagaimana

arah perkembangan kotanya, sekaligus bisa mengawasi jika ada penyimpangan dan

penyalahgunaan. Di situ semua warga bisa memberikan usulan, pertimbangan ataupun

sanggahan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kota. Di era informasi seperti saat

ini, pengambilan kebijakan kota bisa dilakukan secara lebih interaktif dengan masyarakat

warga kota, agar warga jadi lebih merasa handarbeni (memiliki) terhadap kotanya.

Ruang kota Surabaya yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita, tentunya

harus diatur dan dimanfaatkan untuk kebaikan warga kota semuanya, tidak hanya

menyangkut kepentingan ekonomis semata yang berdasarkan “uang”, tetapi juga dengan

mempertimbangan kelangsungan ekologis (kawasan hijau, resapan air, habitat binatang

liar), historis (bangunan bersejarah, kawasan bernilai nostalgia kota), sosial (tempat untuk

para PKL, PSK, perbaikan kampung), budaya (ruang untuk berkesenian, ekspresi

budaya), rekreatif (taman kota, tempat wisata dan rekreasi untuk warga kota) dan lain

sebagainya.

Dengan demikian, kota Surabaya kita harapkan menjadi kota yang lebih baik,

maju dan berkembang pesat tetapi tetap punya ciri khas, berkarakter dan humanis (baca:

berperikemanusiaan). Senyampang kota Surabaya masih dalam tahap berkembang, belum

terlalu semrawut dan karut-marut seperti Jakarta. Kita masih punya kesempatan untuk

membuat aturan-aturan dan tatanan agar perkembangan kota ini lebih terencana dan

terarah, tidak tersasar ke arah yang salah. Dan yang paling penting, peraturan yang dibuat

Page 18: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

04

harus ditaati dengan sepenuh hati. Jangan sampai dilanggar atau diubah-ubah hanya

untuk kepentingan pribadi dan ambisi, apalagi hanya demi uang. Bravo Surabaya!!!

Tulisan ini pernah dimuat di Forum Kompas Jawa Timur 8 Maret 2007

Page 19: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

05

Surabaya, antara

Idrus, Pram, Rendra dan Akhudiat

Ketika kota dibungkam, sastra harus bicara!

Ada kata-kata yang sangat terkenal berkaitan dengan dunia pers dan sastra,

bunyinya: “ketika pers dibungkam, sastra harus bicara!”. Selama ini, kata-kata itu

menjadi ruh bagi gerakan kritis di banyak negara, terutama di negara dengan sistem

totaliter yang membelenggu kebebasan. Di Indonesia saja, ketika masa Sukarno dan

Suharto yang membelenggu pers sehingga tak berkutik, muncullah sastra-sastra

perlawanan yang mengugat penindasam dan ketidakadilan. Sampai-sampai penyair Widji

Thukul harus membayarnya dengan nyawa dan tubuhnya sekaligus, lenyap tak berbekas.

Tapi harus diingat pula, kota juga tak bisa dipisahkan dengan sastra, atau

sebaliknya, sastra tak bisa dipisahkan dengan kota. Sehingga kalimat perlawanan di atas

tadi bisa dialih-konteks-kan menjadi: “ketika kota dibungkam, sastra harus bicara!” Ya,

kota hampir sama dengan pers, sebuah “tempat” bagi ekspresi kreatif dan kebebasan yang

membutuhkan otokritik agar bisa membangun kota menuju keadaan yang lebih baik di

masa yang akan datang.

Dalam perkembangan kota Surabaya, banyak sastrawan yang mengamatinya juga.

Meskipun tidak secara langsung mempengaruhi perkembangan kota, tetapi gambaran

sastrawan tentang kota sedikit-banyak juga merupakan sebuah gambaran kritis, humor,

sindiran, atau bahkan ironi yang bisa menjadi bahan bagi kita untuk merenungkan

sejenak: apakah kota yang kita bangun ini sudah berada di jalur yang benar? Ataukah

sedikit melenceng? Atau benar-benar melenceng terlalu jauh?

Idrus

Dalam salah satu cerpennya yang berjudul Surabaya, Idrus menyoroti kondisi

Surabaya di seputar pertempuran 10 Nopember 1945. Dia menggambarkan bagaimana

pada saat itu Surabaya luluh lantak dihajar sekutu (Inggris), mengakibatkan mental dan

karakter manusianya juga luluh lantak. Kita menjadi tahu, meskipun di masa itu arek-

arek Suroboyo bertempur dengan gagah-berani dan tak kenal menyerah, tetapi jiwa-jiwa

mereka sebenarnya sangat terguncang. Meninggalkan rumah, meninggalkan istri dan

kekasih, kehilangan orang-orang tercinta, berebut makanan, membuat jiwa mereka

tertekan hebat.

Dalam buku-buku sejarah tentang pertempuran 10 Nopember 1945, biasanya

selalu diceritakan suasana yang heroik, nasionalis dan patriotik, bahwa arek-arek

Suroboyo bertempur tak kenal takut. Namun dari cerpen Idrus ini kita sedikit bisa lebih

obyektif melihat karakter arek-arek Suroboyo dari sisi lain: yang hampir hancur, putus

asa dan menjadi agresif. Arek-arek Suroboyo juga manusia biasa yang punya sisi positif

dan negatif sekaligus.

Cerpen Idrus masih juga relevan untuk membaca Surabaya saat ini dari sisi tinjau

lain. Ketika kita melihat keberhasilan Surabaya menjadi kota dengan masyarakat yang

Page 20: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

05

lebih sejahtera, lebih beradab dan berbudaya, ada kemungkinan yang berlawanan di balik

kondisi yang ideal tersebut. Mungkin saja kondisi orang-orang Surabaya ini demikian

rapuh, rentan dan putus asa. Kota ini selalu berkoar menuju kemajuan, tetapi bungkam

terhadap kondisi real yang sebaliknya, siapa yang berani bicara?

Pramudya Ananta Toer

Pramudya Ananta Toer, sastrawan realisme-sosialis yang juga akrab dengan

Surabaya karena pernah menetap di kota ini. Dalam novel Bumi Manusia dan seri

tetralogi Buru, Pram menjadikan Surabaya sebagai latar cerita, yang secara detail

menceritakan kondisi Surabaya di awal abad ke 20. Sedangkan dalam buku Jalan Raya

Pos, Jalan Daendels, Pram membahas Surabaya sebagai salah satu kota di Jawa yang

dilalui oleh groote postweg Daendels.

Dalam Jalan Raya Pos, Pram melihat Surabaya sebagai sebuah “mesin” yang

terus berkembang dengan pesat. Bukan mesin yang mati, tetapi mesin yang hidup.

Kemajuan di Surabaya adalah sebuah hal tak terelakkan. Mulai dari sebuah kampung

kecil, berikutnya menjadi kerajaan, lalu menjadi kadipaten, berubah lagi menjadi kota

benteng dan akhirnya menjelma menjadi kota modern yang dinobatkan sebagai ibukota

Propinsi Jawa Timur, juga menjadi kota terbesar di Indonesia setelah Jakarta.

Pram mengingatkan, sebuah kota harus tetap berpegang pada kemanusiaan. Tetapi

agaknya justru hal inilah yang (agak) terlupakan dalam proses pembangunan Surabaya.

Sisi kemanusiaan semakin terpinggirkan, digantikan oleh semangat pragmatisme yang

mirip hukum rimba: siapa yang kuat, dia menang.

Rendra

Masuknya Rendra dalam tulisan ini bukan karena Rendra menyoroti Surabaya

seperti sastrawan yang lain. Rendra mengkritisi masalah kota di Jogjakarta dan secara

umum di Indonesia, sehingga bisa juga digunakan untuk menyoroti Surabaya saat ini.

Di dalam sebuah essai di majalah Prisma (Juni 1980) dengan judul Kota “Kasur

Tua”, Rendra berpendapat bahwa kota-kota di Indonesia masih ditata dengan cara seperti

menata desa. Dengan kata lain, kota yang metropolis malah dikelola secara agraris.

Bahkan dia mengusulkan hal yang ekstrem, yaitu pembangunan di kota sebaiknya

dihentikan saja. Pemerintah harus membangun desa-desa agar memiliki posisi yang kuat,

setara dengan kota. Kota-kota hanya menjadi distributor produk-produk multinasional

yang melemahkan perekonomian kita.

Mungkin masalah utama kota-kota secara umum di Indonesia adalah bagaimana

menyadarkan masyarakat dan pemegang tampuk pemerintahan kota bahwa mereka

berada di kota, bukan di desa. Lihatlah bagaimana jalanan digali seenaknya tanpa

mempedulikan kemacetan, pemerintah kota yang menggusur semau-maunya (lebih

pantas jika dilakukan di jaman Mataram, bukan di masa kini), pemimpin sebagai satu-

satunya penentu (warisan feodal). Juga bagaimana orang-orang membuang sampah

seenaknya di sungai atau berjualan di badan jalan sehingga mengganggu lalu-lintas. Itu

hanya contoh kecil budaya agraris yang masih hidup di kota-kota di Indonesia.

Page 21: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

05

Jika dibawa ke dalam konteks Surabaya, sepertinya pendapat Rendra ini masih

cukup mengena. Kita harus siap berbudaya kota dalam hidup dan berkehidupan di kota

Surabaya, bukan mengelolanya secara agraris.

Akhudiat

Sastrawan satu ini cukup intens mengamati perkembangan Surabaya. Pada tahun

2008 yang lalu, dia menulis buku Masuk Kampung Keluar Kampung yang diterbitkan

Henk Publica Surabaya. Dalam buku itu, Akhudiat blusukan dari kampung ke kampung

untuk mencari jejak-jejak Surabaya masa lalu yang makin lama makin terkikis.

Kampung, sebagai salah satu pembentuk kota, harus dijaga agar tidak menjadi wilayah

“lain” di kotanya sendiri.

Tidak hanya itu, Akhudiat juga sering menyinggung Surabaya dalam karya-karya

yang lain. Seperti dalam salah satu puisinya berjudul Kotaku dalam buku Pesta Penyair;

Antologi Puisi Jawa Timur (2009), Akhudiat menuliskan:

Surabayaku terbuat dari baja, beton, kaca

Alangkah ramahnya

Juga dalam pisinya yang lain berjudul Surabaya 700 Tahun, ada kata-kata: Surabayamu

jadi bergairah tapi gerah. Ya, puisi Akhudiat menyoroti gejala kontradiktif yang cukup

kuat. Surabaya yang menurutnya terbuat dari baja, beton, kaca mestinya terlihat kaku,

keras dan dingin. Tapi Akhudiat menyindirnya dengan kata-kata yang tajam: alangkah

ramahnya. Akhudiat menyanjung Surabaya sebagai kota yang bergairah, lalu disentilnya

dengan kata: tapi gerah. Nampaknya Akhudiat masih punya harapan besar pada kota

Surabaya ini, seperti dituliskan di akhir puisinya ini:

Kamu, Surabaya, dengan ruang & waktu

mengalirlah!

Surabaya, Mei 2010

Page 22: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

06

Surabaya Tempo Doeloe, Lalu Apa?

Tanjung Perak, tepi laut

Siapa suka, boleh ikut

Ketika kita membuka kembali topik Surabaya Tempo Doeloe, yang sering

menjadi acuan adalah nostalgia (ingatan ke masa lalu yang manis) yang antara lain berisi

pelestarian kota lama, kawasan lama, langgam arsitektur lama. Dengan pendekatan itu,

kota Surabaya menjadi kota yang sendirian, yang soliter, meskipun yang muncul di

permukaan adalah idiom: khas, unik, orosinil (original). Sejarah menjadi seperti anak

panah yang arahnya diputar-balik ke masa lalu, hanya segitu.

Mengapa tidak dicari acuan sejarah yang lain? Sejarah juga bisa dilihat seperti

kembang api yang memancar maneka warna, atau seperti balapan Formula 1 yang salip-

menyalip. Contohnya adalah studi sejarah arsitektur yang bersifat antar-kota atau lintas-

kota, seperti yang dilakukan Timoticin Kwanda, yang membandingkan perkembangan

Surabaya dan Batavia di masa lalu (di masa kolonial). Dengan demikian, sejarah

Surabaya menjadi bertaut dan gayut dengan konteks sejarah yang lebih luas, bukan

sejarah yang menyendiri.

Masih terbuka kemungkinan untuk melakukan studi sejarah baru untuk

membandingkan Surabaya dengan kota-kota yang lain. Atau “menabrakkan” sejarah

Surabaya dengan sejarah Indonesia dan bahkan dunia, atau “menjungkirkan” sejarah

Surabaya sehingga menjadi sejarah yang lebih berwarna, bukan sejarah hitam-putih

belaka seperti yang sering kita baca.

Spirit, bukan Desire

Sejarah yang kita pelajari lazimnya berasal dari kaidah history Barat yang

berpijak kepada Ada (Being). Kita terlalu terpukau oleh hasrat (desire) konservasi dari

Barat yang melestarikan benda-benda nyata, yang harus dijaga seperti aslinya, yang tak

boleh diubah tanpa peduli konteks kemajuan dan perkembangan pemikiran historis

manusia. Mestinya, yang dilestarikan juga termasuk semangatnya, spirit yang menjiwai

dan melatari bangunan bersejarah.

Pelestarian yang berdasar pada desire seperti itu hanya akan menjadi pelestarian a

la Lenin di Rusia atau Mao di Cina, yang terus dilestarikan jasadnya, wujud fisiknya,

tetapi semangatnya sudah musnah entah ke mana. Komunisme sudah tak laku lagi di

Rusia dan Cina. Apakah kita ingin melestarikan kota dengan cara seperti itu? Surabaya

yang lestari fisiknya, tapi jiwanya kosong seperti karung jebol.

Mungkin perlu pendekatan spirit a la Jayabaya, di mana raja Kadiri ini jasadnya

sudah lenyap, musnah, mhoksa, tetapi jiwanya masih mempengaruhi orang di jaman kini,

beratus-ratus tahun setelah meninggalnya. Bagi kepercayaan Jawa dan Nusantara,

kematian, kelenyapan dan kehilangan adalah hal yang biasa. Manusia jelas bisa mati, dan

hilang dari peredaran kehidupan mengikuti hukum alam. Demikian juga bangunan atau

arsitektur, justru pelesrtarian spirit itu yang lebih urgen, yang lebih mengena.

Page 23: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

06

Hal-hal yang non-fisik (baca: jiwa) Surabaya dalam arsitektur yang egaliter,

lugas, terbuka dengan tetangga dalam iklim komunal itulah yang perlu didalami juga. Ini

menjadi dasar paradigma sejarah arsitektur yang “berani melawan” dalam konteks

arsitektur tanding (paralel dengan budaya tanding), berani menentang dominasi trend dan

style dunia yang datang bertubi-tubi. Selama ini (sejak jaman kolonial), Surabaya

menjadi makelar trend dan style, mengikuti yang Jakarta (Jakarta sendiri mengikut

Singapura atau Hongkong), lalu Surabaya menyebarkannya ke Malang, Madiun, Jember,

Kediri dan seterusnya. Apa yang bisa dibanggakan dari makelar trend dan style seperti

itu? Toh sama saja dengan tidak punya sejarah sendiri.

Sejarah juga bisa ditinjau sebagai fragmen-fragmen yang terpisah, yang masing-

masing memiliki sejarah sendiri. Seperti mempreteli sebuah kalimat menjadi kata demi

kata, lalu mencari asal-usul kata itu, sejarahnya dan bagaimana perkembangannya. Atau

gampangnya seperti isi rumah kita: lemari punya sejarahnya sendiri, radio punya

sejarahnya sendiri, vas bunga punya sejarahnya sendiri. Masing-masing punya cerita

sendiri yang bisa dipisahkan dari sejarah induk rumah kita.

Jejak-jejak Sejarah

Surabaya, kota yang kita diami ini, selalu dalam keadaan in between (di antara)

dan becoming (menjadi). Surabaya masa lalu berbeda dengan Surabaya kini, dan akan

berbeda lagi dengan Surabaya masa depan. Surabaya menurut pejabat Pemkot pasti

berbeda dengan Surabaya menurut tukang becak atau tukang tambal ban. Nah, jika kita

mencari keaslian yang tunggal dan abadi, sungguh suatu hal yang sia-sia.

Surabaya terdiri dari jejak-jejak sejarah yang berseliweran, yang saling

bersinggungan atau bahkan bertubrukan satu sama lain. Jejak-jejak itu bisa berasal dari

waktu yang lain dan bisa juga dari tempat yang lain yang jumlahnya sangat banyak.

Perhatikan salah satu foto Surabaya Tempo Doeloe ini, sebuah pemandangan di Kampung

Arab, sekitar Ampel pada tahun 1920.

Dalam foto ini, kita melihat ada beberapa jejak yang membentuk Kampung Arab

dalam foto itu. Jejak-jejak itu antara lain:

Pertama adalah cikar, kereta yang ditarik dua lembu ini merupakan sebuah

kendaraan yang multifungsi pada jamannya. Tidak hanya di kota seperti Surabaya,

bahkan di pelosok desa-desa seperti di Kediri juga ada cikar sebagai alat angkut (foto

sejaman di tahun 1920-an). Jadi, cikar menjadi sebuah kendaraan yang “universal” di

Jawa Timur (mungkin juga di Jawa) pada masa itu.

Kedua adalah rel trem yang tampak di pinggir jalan, bisa ditarik ke jaman pasca

Revolusi Industri di Eropa. Penemuan trem telah mengubah wajah urban kota-kota dunia

sebagai alat transportasi yang penting. Seperti antara lain di kota Sunderland, Inggris

yang sudah menggunakan trem pada tahun 1880. Bahkan masih banyak kota di Eropa

yang masih mengoperasikan trem, sementara di Surabaya sendiri sekarang sudah punah.

Ketiga adalah bangunan beraksen Arab dengan menara sebuah masjid yang cukup

mencolok, ini bisa dibawa ke perkembangan awal Islam ketika agama ini mulai keluar

dari Jazirah Arab dan menyebar ke seluruh penjuru dunia dan membawa serta

arsitekturnya, seperti permukiman Arab di Kairo dengan Masjid Amr pada tahun 641

sudah memiliki minaret “sederhana” seperti itu.

Page 24: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

06

Keempat adalah bangunan di bagian kiri foto yang bernuansa kolonial,

membuktikan bahwa ada kemauan warga kampung Arab ini untuk meniru Belanda. Ada

kolom-kolom Doric, sebuah jejak dari Masa Yunani pada periode Hellenic sejak tahun

500 SM. Rumah kampung itu meniru bangunan bergaya Indische Empire yang nge-trend

pada masa itu di Indonesia (yang masih bernama Hindia-Belanda).

Akhiran

Jadi, dari analisa sekilas terhadap sebuah foto itu saja, kita menjadi tahu bahwa

Surabaya bukanlah sebuah kota yang “ada pada dirinya”, tetapi banyak pengaruh dari

luar yang ikut masuk dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kota ini. Jika kita mau

menganalisa dan mempreteli secara lebih teliti dan detail dalam konteks yang lebih luas,

mungkin bisa ditemukan realitas-realitas sejarah yang lebih berwarna dan bahkan

mengejutkan.

Surabaya telah menjadi tempat “persinggungan” antar beberapa elemen sejarah

yang sungguh berbeda-beda. Cikar punya sejarah sendiri, trem punya sejarah sendiri,

minaret punya sejarahnya sendiri, kolom Doric Yunani punya sejarahnya sendiri.

Persinggungan itu tak lantas menjadi penjumlahan ragawi semata seperti penjumlahan

matematis, ada unsur “jiwa” yang berbicara di situ, dari “jiwa” itulah kita bisa

menangkap makna Kampung Arab ini, yang hanya ada di Surabaya dan tak bisa ditemui

di tempat lain. Hanya di sebuah “pojok” Surabaya di tahun 1920, kita melihat ada cikar,

rel trem, minaret dan kolom Doric bertemu dalam satu frame, padahal masing-masing

berasal dari dunia yang saling terpisah jauh. Hal itu membentuk keunikan khas Surabaya

yang masih bisa kita lihat jejaknya lewat foto tempo doeloe.

Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Wastu Surabaya Post 1 Nopember

2009 berjudul “Surabaya, Persinggungan Jejak-jejak Sejarah”

Page 25: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

07

Mewarnai Surabaya Sebuah Interpretasi Imajinatif

Dunia indah karena berwarna

Bukan hitam-putih belaka

Kota Surabaya, yang setiap hari kita lihat dan amati ketika berjalan-jalan atau pergi-

pulang bekerja, makin lama bukannya makin muda, jelas makin tua, lelah dan muram. Dan tentu

saja, kita juga semakin bosan melihatnya karena hampir setiap saat kita melaluinya. Terutama

gedung-gedungnya, yang tetap itu-itu saja. Apa yang awalnya tampak baru, luar biasa dan indah-

mempesona, lama-kelamaan menjadi hal yang biasa, sudah menjadi memori yang tertanam

dalam pikiran kita. Kita tak lagi merasa ada yang baru dan mempesona di sana, lalu tidak

menjadi pusat perhatian lagi. Dengan kata lain: dilihat tapi diabaikan.

Dalam proses itu, tak bisa dipungkiri bahwa bangunan atau gedung yang ada di kota ini

makin kentara juga ke-monoton-annya. Monoton dalam arti hanya diwarnai dengan satu warna

warisan modernitas yang menginginkan tampilan yang simple dan smooth, hanya putih saja, atau

abu-abu saja. Dengan satu warna netral itu, gedung-gedung lama akan terlihat makin tua, dingin,

hambar, dengan ekspresi yang turut memudar seiring berjalannya waktu.

Oleh sebab itulah, arsitek-arsitek di dpavilion architects kemudian berinisiatif untuk

membuat eksperimen imajinatif dengan mewarnai beberapa gedung di Surabaya dengan warna-

warna yang baru. Eksperimen ini bisa membuat beberapa gedung terlihat menjadi baru lagi dan

tampilannya lebih ekspresif. Meskipun ini hanya upaya virtual dan tak ada (atau belum ada)

dalam kenyataan, tetapi kita bisa berimajinasi mendapat pemandangan kota yang berbeda, yang

lebih ceria dan berwarna. Eksperimen ini berawal dari tugas yang diberikan oleh Profesor Josef

Prijotomo ketika memberi seri kuliah di dpavilion architects dengan tema: arsitektur Posmodern

dan Nusantara.

Gedung eks Surabaya Post, Garden Palace Hotel

Salah satunya adalah gedung eks Surabaya Post di Jalan panglima Sudirman ini. Gedung

yang cukup legendaris ini sudah memiliki bentuk yang unik, hanya saja warna tembok luarnya

menggunakan dua warna. Kemudian, gedung itu “dirombak” dari gedung dua warna menjadi

gedung dengan banyak warna (mancawarna), dengan irama yang “acak tapi rancak”, seakan

gedung itu mengalami reinkarnasi dan lahir kembali sebagai karya arsitektur yang baru. Terlihat

lebih “segar” dan “menyala”, bukan?

Hotel Garden Palace yang terletak tak jauh di sebelah utara gedung eks Surabaya Post

juga tak luput dari “serangan” pewarnaan ini. ada bermacam-macam alternatif yang ditawarkan.

Ada yang memberi pewarnaan dengan kotak-kotak yang membuat bangunan tunggal ini seakan-

akan merupakan susunan dari balok-balok lego. Jadi, persepsi orang akan lain sama sekali.

Sebelum diwarnai, façade bangunan ini merupakan bidang besar dengan satu warna, tampak

sebagai sebuah bidang tunggal. Setelah diwarnai, menjadi seperti tumpukan balok-balok dengan

bermacam-macam warna. Kesan tiga dimensionalnya semakin mencolok. Ada kesan “tidak

Page 26: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

07

selesai” atau “belum selesai” juga, yang dengan bantuan gestalt psychology, pengamat

dibebaskan untuk menyelesaikannya sendiri dalam imajinasinya.

Ada pula yang memberi motif garis-garis vertikal berwarna biru, dengan latar belakang

berwarna biru muda dan hijau lumut. Dindingnya menjadi seperti colonnade (barisan kolom)

yang berada di depan dinding, padahal sebenarnya menempel pada dinding. Bahkan, wajah

depan bangunan ini diberi frame (bingkai) berwarna merah jambu (pink) yang penampilannya

terlihat lebih “muda”. Ada lagi yang memberi warna yang bisa berpendar pada malam hari.

Ketika hari sudah gelap, dinding hotel ini menjadi bisa menyala. Motof dari pewarnaan juga

cukup menarik, dengan motif lengkung dan electric colors (warna elektrik) yang memberi kesan

seperti warna pelangi yang menghiasi dinding hotel ini.

Hotel Bumi dan Siola

Surabaya juga memiliki beberapa ikon arsitektur yang cukup dikenal, terutama di bagian

pusat kota. Antara lain eks Hotel Hyatt (sekarang Hotel Bumi) Surabaya di jalan Basuki Rahmat

dan Siola di pojok jalan Tunjungan. Kedua karya arsitektur ini juga ingin diwarnai secara virtual

oleh arsitek-arsitek dari dpavilion architects. Dengan memberi warna yang berbeda dengan yang

sebelumnya, maka gedung yang diwarnai itu akan memiliki tampilan baru yang lebih unik dan

menarik.

Eks Hotel Hyatt yang sebelumnya hanya punya satu warna tak luput dari sasaran, diberi

banyak macam warna-warna cerah dan menyolok, sehingga mengingatkan kita pada lapisan

demi lapisan dari kue lapis yang biasa kita makan. Jendela-jendela pada towernya pun diberi

beraneka warna pula, tingkat demi tingkat bangunan bangunan menjadi lebih terlihat bedanya

antara satu dengan yang lain. Lalu ada juga yang mengubah dinding polos eks Hotel Hyatt

dengan motif ranting dan dedaunan lengkap dengan kupu-kupunya. Dinding itu jadi lebih mirip

sebuah lukisan mural raksasa yang cukup menarik bagi yang melihatnya. Jika dibandingkan

dengan banyaknya iklan yang menjamur di jalan protokol ini, maka gambar di dinding ini seakan

menjadi oase bagi mata yang sudah “pedih” dengan sorotan iklan di sana-sini.

Zaman Casing, Zaman Kemasan

Di jaman ketika handphone bisa gonta-ganti casing seperti saat ini, mengapa gedung-

gedung tidak gonta-ganti warna, gonta-ganti make-up? Boleh-boleh saja. Sekarang adalah jaman

imagologi, segala sesuatu bisa diubah image-nya. Benda yang biasa bisa menjadi luar biasa,

benda yang murah bisa menjadi sangat mahal, benda yang tadinya diabaikan orang bisa membuat

mata kagum terbelalak.

Arsitektur di jaman kontemporer sangat berbeda dengan arsitektur di masa lalu. Ketika

masa arsitektur Modern, warna dibuat tunggal dan netral, tidak boleh diasosiasikan dengan

rujukan benda lain. Sekarang, warna bisa dibuat sesuka hati dan bahkan bisa diganti-ganti setiap

kali dibutuhkan. Ini memberi keuntungan juga, bangunan tetap bisa meng-kini tanpa harus

merombak struktur dan konstruksi bangunan yang jelas berbiaya mahal dan makan waktu lama,

tetapi cukup dengan mengubah warna dan motif wajah bangunannya saja. Pewarnaan seperti ini

juga bisa disesuaikan dengan tema-tema tertentu, misalnya Hari Ulang Tahun Kota Surabaya,

peringatah Hari Pahlwan dan lain-lain.

Sekarang jaman make-up bung, bangunan pun butuh “bedak dan gincu”.

Page 27: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

07

Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Reka Surabaya Post 21 Desember2008, 28

Desember 2008 dan 4 Januari 2009.

Page 28: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

08

Surabaya Design Week 2008

Embrio Surabaya Kreatif

Jenius = 1% ide + 99% kerja keras

(Thomas Alva Edison)

Menanggapi tulisan saudara Tjahja Tribinuka di Jawa Pos Sabtu, 25 Oktober

2008 yang bertajuk “Mendiskusikan Desain Dengan Masyarakat”, cukup menarik. Saya

sangat setuju dengan apa yang dijabarkan oleh Tjahja Tribinuka bahwa desain tidak bisa

dipisahkan dari masyarakat sehingga harus dikomunikasikan dan didiskusikan, agar

masyarakat juga melek desain, tidak hanya jadi penonton pasif belaka. Di sini saya hanya

ingin melihat dari sudut pandang yang berbeda saja, terutama menjelang digelarnya

Surabaya Design Week 2008 (SDW08) mulai tanggal 3 sampai 9 Nopember 2008.

Sebulan yang lalu, Obed Bima Wicandra (Jawa Pos 24 September 2008) juga

sudah mengulas tentang tantangan Surabaya untuk menjadi kota kreatif. Ya, sebuah kota

kreatif memang tidak dibangun dalam semalam atau hanya dengan membalikkan telapak

tangan, tetapi memerlukan “iklim kreatif” yang tidak mudah untuk dirintis dan

diwujudkan, apalagi membuatnya untuk terus berkelanjutan. Nah, di sinilah SDW08

menjadi sebuah momentum yang cukup tepat untuk mendobrak dunia kreatif di Surabaya.

Dunia kreatif, dan juga industri kreatif di Surabaya sudah waktunya unjuk gigi, berani

memamerkan karya-karyanya untuk dilihat oleh publik, agar bisa mengukur: seberapa

kreatif dan seberapa tidak kreatifkah para desainer di Surabaya?

Ajang SDW08 ini awalnya dimotori oleh anak-anak muda yang tergabung di

deMaya (Desainer Muda Surabaya) yang kemudian didukung oleh beberapa dosen dan

para mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Surabaya. Mereka ingin menunjukkan

eksistensi mereka di percaturan desain di Surabaya khususnya dan di Indonesia

umumnya. Jika Surabaya dianggap sebagai pinggiran (marjinal) dalam dunia desain di

Indonesia, hal itu justru menjadi sebuah potensi yang bagus untuk digali. Justru dari

pinggiran, kita bisa menunjukkan gerak maju yang lebih signifikan agar menjadi oposan

yang diperhitungkan. Sejak jaman Pangeran Pekik, Adipati Jayengrono, Sawunggaling

hingga jaman heroik 10 Nopember 1945, Surabaya adalah pinggiran yang kuat dan tidak

gampang ditaklukkan, bukan?

Industri Kreatif, Kota Kreatif

Industri kreatif adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan aktifitas

entrepreneur di mana nilai-nilai ekonomis digabungkan dengan muatan kultural. Di

jaman yang katanya post-industrial seperti saat ini, industri kreatif menjadi sebuah sektor

yang cukup menjanjikan di dalam perputaran ekonomi global. Banyak kota-kota di

berbagai belahan dunia mulai melirik sektor yang satu ini, seperti St Petersburg di Rusia

dan Helsinki di Finlandia, yang ingin menyusul Berlin atau Milan yang punya 50.000

industri kreatif skala kecil sebagai local industry, yang mampu meningkatkan daya saing

kultural dan sekaligus ekonomisnya.

Page 29: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

08

Salah satu unsur di dalam industri kreatif adalah desain, termasuk di dalamnya

advertising, arsitektur, kerajinan, fashion, desain produk, grafis hingga interior. Di

Surabaya ada banyak sekali institusi pendidikan dan profesional yang bergerak di bidang

desain tersebut. Tetapi, perkembangan desain di Surabaya tampaknya lebih banyak

sebagai epigon (pengekor) dibandingkan sebagai creator (pencipta). Ini dengan mudah

kita cermati pada iklan-iklan di sepanjang jalan, bentuk-bentuk arsitektur yang merajalela

di berbagai sudut kota, produk fashion yang dijual di gerai-gerai mall dan lain-lain.

Nah, di dalam SDW08 inilah kita bisa menilai kedigdayaan para desainer

Surabaya, apakah lebih berkelas pengekor ataukah kreator? Saya tidak menghakimi, ini

adalah wadah yang tepat untuk mawas diri dan menera “iklim kreatif” yang tumbuh di

Surabaya. Iklim kreatif hanya muncul jika para desainer bermental kreator, bukan

pengekor. SDW08 adalah embrio untuk menumbuhkan iklim kreatif di Kota Surabaya

tercinta ini. Sebagai embrio, masih panjang waktunya untuk terus tumbuh dan

berkembang agar benar-benar menjadi kota kreatif yang sebenanrnya.

Terbentuknya kota kreatif memerlukan strategi yang jitu juga, apa yang dilakukan

setelah SDW08? Hanya even selayang pandang ataukah even yang kontinyu dan ada

keberlanjutannya? Jika SDW08 adalah pemicu, tentunya akan ada gerakan yag lebih

besar sesudahnya, yang melibatkan lebih banyak lagi bidang-bidang lain di industri

kreatif seperti: film, televisi, radio, video, fotografi, musik, seni pertunjukan, permainan

interaktif, layanan dan peranti lunak komputer, riset dan pengembangan, penerbitan,

galeri seni, museum hingga cagar budaya (heritage). Jika semuanya bisa bergerak dalam

irama yang pas sebagai kreator, maka terciptanya Surabaya Kreatif bukan lagi mimpi di

siang bolong.

Jangan Tinggalkan Masyarakat

Di dalam sebuah kota seperti Surabaya, masyarakat merupakan elemen yang

sangat penting dalam perkembangan desain dan industri kreatif. Kita selama ini sering

memosisikan masyarakat sebagai pihak lain, sehingga ada pihak kami sebagai “desainer

yang kreatif”, dan pihak mereka sebagai “bukan desainer, tidak kreatif”. Pemosisian ala

oposisi biner inilah yang membuat desain justru teralienasi (terasing) dari masyarakat dan

kotanya. Jika kita berangkat dari premis yang demikian, masyarakat hanya akan jadi

penonton, jadi obyek penderita, jadi bulan-bulanan perkembangan desain yang kadang

tidak mereka mengerti.

Apakah kita akan membiarkan desain dan kreatifitas meluncur deras sendirian dan

masyarakat Surabaya tertinggal di belakang? Jika ingin mewujudkan Surabaya sebagai

kota kreatif, desainer harus menyatu dan bersinergi dengan masyarakat. Pada dasarnya

setiap orang adalah desainer, sehingga masyarakat juga harus dilibatkan dalam setiap

proses desain, terutama untuk desain fasilitas publik di mana masyarakat sebagai

penggunanya. Masyarakat harus diberi akses dan kesempatan untuk memberi masukan,

memberi kritik dan bahkan menentang desain yang dibuat. Surabaya kreatif bukan hanya

berarti desainer yag kreatif, tetapi juga masyarakat yang kreatif.

SDW08 juga dimaksudkan untuk memasyarakatkan desain dan mendesainkan

masyarakat. Jika desain menjadi sebuah proses dan aktifitas yang inklusif di kota

Surabaya, maka tidak sukar untuk menjadikan kota Surabaya menjadi kota kreatif.

Page 30: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

08

Desainer menjadi motor penggerak, masyarakat menjadi bahan bakarnya, maka akan

berjalanlah Surabaya sebagai kota yang bergerak dengan kekuatan kreatifnya.

Jika ditinjau dari ilmu hermeneutika (penafsiran), sebenarnya desainer di

Surabaya itu hanyalah penafsir dari permasalahan masyarakat dan kota Surabaya.

Penafsir yang peka bukanlah penafsir yang buta dan tuli, melainkan harus membuka mata

dan telinga untuk bisa menangkap permasalahan desain di kotanya. Jadi, desainer bisa

diumpamakan sebagai bidan, dia hanya membantu melahirkan bayi dari dalam

kandungan sang ibu. Demikian juga untuk kota Surabaya, jika kota dan masyarakat

Surabaya tidak “hamil” dengan permasalahan dan ide-ide desain, maka desainer juga

tidak mungkin untuk membantu melahirkan desain yang baik. Dalam SDW08 nanti, kita

akan bisa melihat sejauh mana pemahaman timbal-balik antara desainer dan masyarakat

Surabaya.

Industri kreatif, di sisi lain, harus kita sikapi dengan hati-hati juga. Industri

biasanya memosisikan masyarakat sebagai obyek, sebagai pasar, bukan sebagai pihak

yang ingin dirangkul dan ingin dibelajarkan. Desain sebagai industri yang bersifat

kapitalistik memang tidak dapat dihindari, tetapi seharusnya juga menoleh kepada

masyarakat pinggiran, yang mau mencari sesuap nasi saja susah. Justru golongan the

have not (tak berpunya) itulah yang lebih memerlukan kreatifitas para desainer. Apa

yang dilakukan Romo Mangun di bantaran Kali Code Jogjakarta adalah salah satu contoh

solusi desain arsitektural yang berpihak pada mereka yang lemah, yang terpinggirkan.

Desain bukan cuma urusan produk dan jasa yang harus dipasarkan, tetapi

bagaimana membuat solusi tepat bagi masalah kota dengan cara yang lebih elegan,

manusiawi dan bermartabat, dengan mengikutsertakan masyarakat kota sebagai subyek.

Mungkin ini yang dinamakan masyarakat convivial, yang bisa mengidentifikasi

masalahnya sendiri dan mencari pemecahannya dengan bantuan “bidan-bidan” desainer

dari industri kreatif. Hidup Surabaya Kreatif!

Tulisan ini pernah dimuat di Ruang Publik Metropolis Jawa Pos 7 Nopember 2008

Page 31: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

09

balada theme park dari dpavilion architects

Re

ada apa dengan re?

ada reconstruction, reaction, reposition

yang kita alih-lidahkan menjadi: rekonstruksi, reaksi dan reposisi

ada juga istilah yang agak “serem”

seperti: revolusi, reformasi dan juga preman, he he

tulisan ini memang ada hubungannya dengan “re”

sekaligus membawa re ke dalam permainan

anggap saja seperti main kelereng

toh theme park juga main-main dengan architecture

“architecture” tidak lebih mulia dari “nasi goreng” ataupun “koreng”

karena sama-sama mengandung “re”.

tulisan ini adalah gubahan mantra dengan guru lagu re

biarkan re bermain re!

Re Architecturecalcitrant

sering kita dengar kata “republik”

dari bahasa Yunani: res-kembali dan publica-orang banyak

tapi republik sudah identik dengan istilah tata negara

maka di sini ditulis dengan re-publik.

theme park tentunya tidak bisa direnggangkan dari publik

Jatim Park, WBL dan BNS rek!

untuk semua strata sosial, kaum berpunya bisa refreshing

kere pun bisa hore

theme park memang dari genre Disneyland Amerika

yang direproduksi di kantong-kantong budaya besar dunia

riuh-rendah mulai Eropa hingga Jepang dan Hongkong

bagaimana dengan mereka yang jauh di pinggiran?

Jatim Park, WBL dan BNS representasi theme park dunia ketiga

rakyat makin butuh rehat, liburan dan hiburan

apalagi di negeri yang sedang resesi bernama Indonesia

perlu rehabilitasi jiwa-raga, lahir-batin

Meminjam kata-kata Rendra:

kita boleh miskin – bahkan sampai sampai remuk

tapi masih punya kebanggaan sebagai representasi keberadaan

ini realitas bung!

Page 32: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

09

Tiga theme park ini jadi semacam reproduksi hiperrealitas

Menjual mimpi, dream

Biarkan rakyat kecil-gurem menikmati hiburan a la Barat

Meski kadang masih gemeinschaft makan lesehan bareng

Atau tempat sare dan cangkrukan

Mereka mencari-cari ruang (re)-publik

Yang semakin hilang karena digusur-gusur

dan Negara masih merem, tak peduli dengan manusia-manusia

Golongan Gareng-Petruk lihai membuat re-visi

Bisa mimikri seperti reptil bunglon

theme park yang literer, yang steril, netral, beku

Mereka bikin jadi ruang rekalsitran, ruang perlawanan

Meski mereka belum pernah membaca Henri Levebvre

theme park memang harus selalu multi-interpretasi

agar bisa merengkuh semua golongan

sekaligus melawan reduksi makna ruang

ketika ruang literer bicara ukuran, bakuan, angka dan hitam-putih

ruang rekalsitran bicara waktu, hidup, isyarat, ingatan dan trauma

di ruang literer, kebenaran digenggam rapat

di ruang rekalsitran, kebenaran selalu lepas alias mrucut

biarkan re memaknai re!

Re Architecturebellion

Disneyland adalah kiblat tren theme park global

Jatim Park, WBL dan BNS memang repetisi dari arsitektur global

repetisi yang mengandung rebellion (pemberontakan)

pinjam dan rekam punya mereka, dan direka

dikorelasikan dengan konteks tempatnya berada

Jatim Park dengan rentangan dan kepingan temanya

Tidak beda kerennya dengan theme park negeri lain

Ada jetcoaster, rumah pipa, labirin dan arena game zone

Dunia fantasi mini, perahu terbang yang bisa dinaiki serempak

Lalu arena gokart, bahkan science center

Bird park, Fish park, Reptile park menampilkan kekayaan nature kita

Di sini tidak ada Mickey Mouse atau Cinderella

Tak resah meski tanpa Pocahontas dan Puteri Salju

Yang ada justru sejarah lokal Jawa Timur mulai jaman pre-histori

Dari jaman batu hingga cerita keris patrem Empu Gandring

Ternyata yang lokal pun tak kalah menterengnya

Sebuah nurture, nguri-uri kekayaan budaya dan alam lokal

Page 33: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

09

WBL dengan tema laut dan dan area pesisirnya

Banyak rekan menyebutnya Jatim park kedua

Memang mirip, meretas jalan yang sama

Memunculkan theme park lokal yang representatif

WBL punya Arena ketangkasan, Bioskop 3D, Video game

Arena gokart, moto-cross, Boom-boom car dan lain-lain

Rumah Sakit Hantu dan arena permainan lain

Tak lupa merekatkan diri dengan konteks baharinya

Ada wahana relung-relung Sarang Bajak Laut,

Space-Shuttle, perahu terbangyang meregang nadi

Galeri keong dan kapal, playground anak dan remaja dengan tema laut

Juga game room yang direka bagaikan istana bawah laut

Bahkan ada Dunia Air dan kolam renang air laut juga

Di depan regol WBL ada souvenir shops yang menjual produk lokal

Serta makanan lokal yang murah-meriah, tidak mahal, beres lah!

Tak ketinggalan konteks religius setempat

Maka dibuat anjungan re-touring wali songo

Mulai Gresik hingga Cirebon

Meski ada pula yang agak anakronistik, agak tidak relevan

Seperti deretan kampung koboi dan rumah sakit hantu

Biarkan re men-dialektik re!

Re architecturecreation

Kata “rekreasi” lazim diartikan sebagai bersenang-senang

lepas diri dari centang perenang rutinitas

satu rel dengan piknik atau berwisata

padahal akar katanya re-kreasi, mencipta kembali

seperti reinkarnasi, menuju paras yang lebih kreatif

arsitek dalam merancang dan merencanakan theme park

harus bisa mencipta kreasi dan re-kreasi yang lebih baik lagi

Untuk bisa menjadi aresitek, resi yang mampu mencipta karya

yang bisa dibanggakan, sekaligus rejuvenasi ide-ide baru

agar bisa menjadi kreator, bukan epigon

hasrat mencipta yang baru tak boleh diredam

Gitu aja kok repot!

Biarkan re mencipta re!

Re

Page 34: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

10

Jatim Park Goyang Jawa Timuran

Tim Arsitek:

Edwin Nafarin (principal)

Kamawardhana Heksa Putra

Iwan Setiono

Rahmad Nuryanto

Susanto

Guntaryono

inilah kisah tentang Jatim Park

yang berslogan: “Taman Bermain dan Belajar”

di dalamnya lengkap wahana bermain dan belajar

untuk anak-anak sampai dewasa

dari yang ringan hingga yang menguras adrenalin

Jatim Park di Kota Batu ini

salah satu masterpiece dari dpavilion architects

theme park adalah model hiburan yang lahir di Barat

dan kemudian menjadi trend di seluruh dunia

Jatim Park tidak ingin meneruskan proses itu

tapi justru ingin membaliknya

jadi, tidak berangkat dari tema global

melainkan dari tema sangat lokal/setempat

berpijak pada lokalitas akan menemukan penjangkaran

terikat dengan bumi tempatnya berdiri

dengan kata lain: tidak ngambang!

Goyang Candi Candi Jawa Timur punya sosok yang khas

yang berbeda dengan Candi Jawa Tengah yang “gendut”

Candi Jawa Timur memiliki bentuk yang lebih “langsing”

dari bagian kaki ke bagian badannya mengecil

kemudian dari badan ke bagian kepala melebar lagi

dan bagian kepala ke atas mengecil dan meninggi

sampai ke puncaknya

Bentuk itulah yang kemudian di-sekarang-kan dalam perancangan gerbang masuk

(main entrance) taman wisata Jatim Park. Meskipun proses pengambilan bentuk itu

menghasilkan tampilan yang agak “berbeda”, tetapi secara umum masih terlihat jelas

jejak-jejak bentuk candinya, masih memberi image “kepala-badan-kaki” yang kuat.

Sebagai gerbang theme park, tentunya warna-warna yang dipakai juga disesuaikan

dengan tempatnya, maka dipakailah warna-warna biru-kuning yang menyolok, cerah

dan riang. Tetapi toh sentuhan warna terakota batu-bata candi Candi Jawa Timur juga

masih melekat, yakni di bagian “kaki” dan bingkai bovenlight kecil di atas pintu.

Page 35: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

10

Goyang Lingga-Yoni Lingga-Yoni merupakan artefak

yang biasanya terletak di lokasi candi

kelengkapan simbolik yang melambangkan kesuburan

simbol penyatuan antara laki-laki dan perempuan

laki-laki dilambangkan dengan phallus

yang menjulang ke atas sebagai lingga

sedangkan perempuan dilambangkan sebuah ampuan

yang berlubang sebagai yoni

di mana lingga bisa masuk ke dalamnya

atau ditegakkan di atasnya

Artefak lingga-yoni memang artefak yang jelas-jelas non-arsitektural, tetapi kemudian

dikinikan dalam tampilan arsitektural. Artefak yang tidak meruang dijadikan

bangunan yang meruang. Yoni-nya ditransformasi dan direpetisi menjadi bangunan-

bangunan kecil di Pasar Seni dalam kompleks Jatim Park, sedangkan lingga-nya

diwujudkan dengan julangan atap yang berbentuk silinder dan berdiri tegak

“menantang” langit. Jika diperhatikan, atapnya yang menggunakan ijuk juga sangat

berciri Nusantara, seperti honai Papua, dengan sudut yang cukup besar dan

sosoran/overstek yang menaungi ruang di bawahnya.

Goyang Punden Berundak punden berundak merupakan artefak juga

peninggalan yang lebih tua dari candi

ini merupakan perlengkapan upacara keagamaan

yang “asli” di Jawa/Nusantara

sebelum kedatangan agama Hindu

Candi Sukuh di Jawa Tengah

yang dibangun pasca-Majapahit

mungkin punya hubungan dengan punden berundak ini

Kemudian punden berundak tersebut dipakai untuk perancangan wahana Rumah

Hantu di kompleks Jatim Park. Sebuah pilihan yang tepat, biasanya lokasi punden

berundak dianggap wingit (keramat) oleh masyarakat sekitar, sehingga sangat cocok

bila di sini dipakai untuk wahana angker Rumah Hantu. Jika dilihat sepintas, memang

ini sebuah punden berundak yang ukurannya diperbesar menjadi “raksasa”. Tetapi

bukan hanya itu, pembesaran itu memiliki konsekuensi, yakni munculnya bidang-

bidang yang besar pada tembok bangunan. Bidang-bidang itu tentunya “menuntut”

untuk diisi dengan sesuatu, maka dihiaslah dengan ornamen-ornamen seperti relief

pada dinding candi, atau seperti ukiran pada gebyog omah Jawa. Bukankah arsitektur

Nusantara kaya dengan ornamen?

Goyang Ken Arok kebanyakan theme park di seantero dunia

dibuat dengan tema modern

agar orang mudah menangkap apa yang ditampilkan

misalnya dengan mengambil tokoh-tokoh superhero

Page 36: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

10

atau tokoh kartun yang sudah terkenal

seperti Superman, Mickey Mouse dan lain-lain

namun Jatim park ini tidak demikian

malah mengambil tema dari sejarah yang sangat lokal

kita tahu bahwa daerah sekitar Malang itu dahulunya

adalah pusat Kerajaan Singosari

yang didirikan oleh Ken Arok

yang terkenal dengan cerita Keris Empu Gandring-nya

Maka, sejarah pendirian kerajaan oleh Ken Arok dengan cerita keris Empu Gandring

menjadi latar belakang utama taman rekreasi ini. Problem dalam proses ini adalah

bagaimana merubah yang intangible menjadi tangible. Selama ini, belum ada

peninggalan atau artefak yang dengan jelas menggambarkan bagaimana sosok Ken

Arok, Ken Dedes, Empu Gandring dan sebagainya. Oleh karena itu, diperlukan intuisi

yang kuat dari tim arsitek, untuk mewujudkan statue besar Ken Arok yang menjadi

latar belakang area rekreasi dan belajar ini. Ken Arok yang berwatak keras, pemberani

dan cenderung kasar digambarkan dengan wajah yang “sangar” dan rambut terurai

panjang, tangan kanannya seperti mau mencengkeram dan tangan kirinya memegang

keris Empu Gandring.

Akhir Goyangan demikianlah goyang Jawa Timur

yang di-kini-kan dalam arsitektur

di Jatim Park kebanggaan Kota Batu

jika sudi, mampirlah dulu

kami setia menunggu

Surabaya, akhir Februari 2009

Page 37: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

11

WBL - Wisata Bahari Lamongan Tanjung Kodok yang Melompat Jauh

Tim Arsitek:

Edwin Nafarin (Pricipal)

Kamawardhana Heksa Putra

Iwan Setiono

Nikko Lendra Herriyanto

Rahmad Nuryanto

Susanto

Deskripsi Awal

Wisata Bahari Lamongan (WBL) merupakan karya dpavilion architects yang

terletak di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Indonesia. Sebelum tahun 2000, daerah

Lamongan lebih dikenal sebagai daerah yang terbelakang jika dibanding daerah-daerah

lain yang ada di Jawa Timur. Ketika musim kemarau, Lamongan mengalami kekeringan,

dan ketika musim hujan mengalami banjir. Di masa lalu, sepertinya sulit bagi Lamongan

untuk bisa maju seperti daerah-daerah lain. Bahkan, Lamongan identik dengan

kemiskinan, sehingga banyak warganya yang merantau ke daerah lain untuk mencari

penghidupan yang lebih baik.

WBL ini merupakan sebuah theme park yang banyak mengeksplorasi konsep-

konsep lokal di Lamongan, seperti tema pantai karena theme park ini terletak di pantai

yang dulunya dikenal sebagai Tanjung Kodok. Juga tema Islam, karena Lamongan tidak

bisa dipisahkan dari sejarah penyebaran Islam di Jawa di masa lalu. Hampir semua kota

di pantai utara Jawa (mulai dari Surabaya sampai Banten) punya jejak penyiaran Islam

dan menjadi daerah kantong muslim tradisional, termasuk salah satunya adalah

Lamongan.

WBL sama sekali bukan tiruan Disneyland yang sudah mendunia, atau Dufan

(Dunia Fantasi) di Jakarta (ibukota Indonesia), tetapi WBL adalah sebuah theme park

seluas 17 hektar dengan 50 lebih wahana permainan yang berdasar pada kere bisa hore

(rakyat kecil bisa bergembira). Selain menggali konsep lokal, juga tetap memberikan

hiburan permainan seperti di tempat-tempat wisata lain di dunia, dengan harga tiket

masuk yang terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah. WBL juga menyediakan

stan-stan (kios) bagi masyarakat sekitar untuk berjualan. WBL juga mampu mengangkat

PAD (Pendapatan Asli Daerah) Lamongan, sehingga Lamongan menjadi daerah yang

cukup maju dan disegani di Jawa Timur.

Proyek ini bermula ketika Pemerintah Kabupaten Lamongan merasa perlu untuk

mengembangkan obyek wisata yang ada di daerahnya. Banyak obyek wisata yang

sebetulnya potensial, tetapi masih dikelola secara konvensional sehingga belum menjadi

andalan untuk meningkatkan perekonomian daerah. Salah satunya adalah wisata Tanjung

Kodok, sebelumnya hanya wisata pantai biasa saja dengan pengunjung yang minim

karena tidak adanya fasilitas penunjang yang memadai. Kemudian dengan menggandeng

pihak swasta, obyek wisata ini disulap menjadi sebuah theme park besar seluas hampir 17

hektar.

Page 38: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

11

Memasuki kompleks WBL, anda akan disambut sebuah patung kepiting raksasa

di bagian depan, kemudian anda bisa masuk ke lobby yang dikelilingi oleh toko-toko

souvenir yang dikelola oleh masyarakat sekitar WBL. Selanjutnya anda bisa masuk ke

dalam wahana demi wahana yang ada di dalamnya. Sebagian besar wahana

diperuntukkan bagi semua umur, sehingga keluarga-keluarga yang datang bisa menikmati

obyek wisata ini bersama-sama.

Material, Struktur dan Konstruksi

Material yang dipakai di Wisata Bahari Lamongan ini yang dominan adalah

material beton bertulang. Sebenarnya strukturnya adalah struktur konvensional dengan

kolom dan balok biasa, tetapi ada beberapa bagian bangunan yang diselubungi beton

dengan tulangan kawat kassa untuk menampilkan bentuk-bentuk yang lebih atraktif dan

menarik. Sehingga kesan konvensional tadi menjadi tersamarkan dengan selubung

atraktif yang ada di luarnya itu.

Dengan cara itu, biaya untuk membuat bentuk-bentuk yang “aneh” bisa ditekan

seminimal mungkin karena tidak membutuhkan material yang mahal dan sulit didapat.

Juga dengan permainan warna di berbagai tempat yang membuat kompleks ini memiliki

nuansa imajinasi yang tinggi. Jadi, material, struktur dan konstruksinya memang

diarahkan ke tujuan ini. Jelas bahwa imajinasi adalah tulang punggung keberhasilan

sebuah theme park.

Ada juga beberapa wahana yang dibuat dengan cara “letting be”. Seperti ketika di

lokasi ini secara tak sengaja ditemukan gua bawah tanah. Maka gua tersebut dibuat

menjadi sebuah wahana bernama insectarium yang berisi ribuan serangga awetan yang

disimpan dalam kotak-kotak kaca, untuk memperkenalkan dunia serangga (insecta)

kepada masyarakat. Di sekitar WBL ini juga ada industri lokal berupa penambangan batu

putih atau batu kapur yang diambil dari gunung-gunung kapur di sekitar Paciran, maka di

sini juga memakai material lokal dalam pembuatan karya arsitektur ini. Material lokal ini

lebih cocok dengan kondisi geografis di pesisir ini yang panas dengan hembusan angin

laut yang kencang.

Pengaruh dan Pentingnya WBL

WBL terletak di jalur Daendels (Jalan Raya Pos) di pantura (pantai utara Jawa),

jalur ini sekaligus juga sebagai jalur wisata ziarah Wali Songo (sembilan wali) bagi

sebagian besar masyarakat muslim di Jawa. Sembilan wali penyebar Islam di Tanah Jawa

dimakamkan di kota-kota pesisir utara Jawa, salah satunya adalah Sunan Drajad yang

makamnya terletak sekitar 3 kilometer di sebelah timur WBL.

Theme park a la WBL ini memiliki salah satu wahana yang unik, yaitu: Anjungan

Wali Songo, wahana ini merupakan wahana pendidikan untuk memberi gambaran tentang

penyebaran Islam di Jawa dan juga jalur legendaris wisata ziarah Wali Songo di Jawa,

yang dilengkapi dengan miniatur peninggalan Islam dan miniatur makam-makam dari

sembilan wali tersebut.

Di halaman parkir WBL ini terdapat sebuah masjid yang cukup besar, sebagai

sebuah penanda bahwa meskipun WBL ini merupakan sarana hiburan publik, tetapi tetap

Page 39: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

11

memiliki ciri religius sebagai daerah mayoritas muslim yang kuat, sehingga masjid tetap

menjadi titik orientasi religius yang penting.

WBL membuat masyarakat Lamongan menjadi terbuka terhadap kemajuan.

Dalam arti lebih terbuka terhadap perkembangan baru dari pariwisata modern yang

memberikan keuntungan bagi mereka untuk menangkap peluang, ada beberapa penduduk

sekitar yang menyewa kios cindera mata atau kios makanan di area WBL, banyak juga

yang bekerja di kompleks Hotel Tanjung Kodak Beach Resort yang merupakan sarana

penunjang WBL. Masyarakat juga menjadi terbuka terhadap perbedaan, karena

wisatawan yang datang tentunya berasal dari daerah-daerah lain yang berbeda adat,

agama maupun kebiasaan dengan warga setempat.

Tulisan ini sempat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dikirim ke Jenewa-Swiss,

untuk melengkapi dokumen ketika WBL masuk menjadi nominasi dalam Aga Khan Award

for Architecture tahun 2009.

Page 40: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

12

BNS Sang Pemicu yang Spektakuler

Tim Arsitek:

Edwin Nafarin (Principal)

Iwan Setiono

Wandoko

M. Arifin

Susanto

BNS atau Batu Night Spectacular rancangan dpavilion architects ini merupakan

obyek wisata yang termasuk baru di kota Batu – Jawa Timur yang dibuka (soft opening)

pada 30 Nopember 2008. Obyek wisata yang unik ini memiliki spesialisasi malam hari

(night), ini merupakan suatu hal yang baru juga, karena kebanyakan wisata sejenis hanya

buka pada pagi hingga sore saja. Dengan mengeksplorasi unsur-unsur cahaya dan warna,

sehingga ketika malam hari BNS benar-benar mandi cahaya yang berwarna-warni,

berkerlap-kerlip, menjadi pemandangan spektakuler dan tentu saja sangat mencolok di

gelapnya malam kawasan Oro-oro Ombo di kota Batu. Dengan adanya obyek wisata

malam ini, Kota Batu menjadi lebih “hidup” dan “bergairah” di malam hari.

Konsep dan Sajian

Konsep yang diambil dalam perancangan BNS ini adalah “dari gelap menuju

terang”, sehingga sajian yang ada di dalamnya sangat berkaitan dengan cahaya, yang

dibuat seterang mungkin untuk menaklukkan gelapnya malam. Pintu masuk atau

entrance di BNS ini diletakkan di tengah-tengah dari areanya yang memanjang. Untuk

menarik pengunjung agar menikmati semua wahana yang ada, maka sajian yang paling

menarik diletakkan di ujung-ujung area. Di bagian paling kiri ada Taman Lampion, yang

sangat menarik pemandangannya pada malam hari. Sedangkan di paling kanan ada Air

Mancur Menari, yang bisa mengikuti irama musik yang berganti-ganti, mulai dangdut,

pop hingga reggae.

Di BNS ini ada banyak macam hiburan yang ditawarkan, mulai hiburan untuk

anak-anak hingga orang dewasa. Ada foodcourt besar dengan atap berupa layar raksasa

yang memanjang yang bisa berubah-ubah tampilannya, di situ juga ada air mancur

menari dan berwarna-warni untuk menghibur para pengunjung. Ada juga lampion garden

(taman lampion) yang berisi lampion dengan berbagai macam bentuk, mulai bentuk

hewan yang lucu-lucu, bunga, boneka, mobil hingga menara yang bercahaya. Banyak

juga permainan-permainan untuk anak-anak, mulai dari mandi bola, bom-bom car,

karousel atau komidi putar, serta masih banyak bentuk permainan atau game yang lain.

Di sini juga terdapat sebuah pasar wisata malam bagi pengunjung yang ingin membeli

barang-barang kerajinan atau cindera mata.

Page 41: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

12

Pemicu Wisata

BNS nampaknya benar-benar akan menjadi menjadi trigger (pemicu)

perkembangan wisata di kota Batu. Nantinya, Batu bukan hanya menjadi Kota Wisata

seperti yang selama ini kita kenal, tetapi akan dikembangkan menjadi sebuah Sentra

Wisata (Pusat Wisata) yang spektakuler. Sentra Wisata memiliki maksud bahwa ketika

wisatawan berkunjung ke Batu, mau wisata model apa pun tersedia, mulai wisata yang

artificial (buatan) hingga wisata alam, mulai wisata santai berleha-leha hingga yang

menguras adrenalin. Sehingga pada saatnya nanti, berkunjung ke Batu menjadi keharusan

yang tak terelakkan bagi setiap orang. Membuat orang terobsesi: “Jangan bilang pernah

berwisata jika belum pernah datang ke Batu, apalagi selalu ada sajian wisata baru setiap

tahun”.

BNS ini merupakan sebuah terobosan baru. Sebelumnya, di kota Batu hanya ada

beberapa obyek wisata yang buka pada pagi sampai sore hari. Sedangkan pada malam

hari hampir tidak ada obyek wisata representatif yang buka. Sehingga jika malam hari

kota Batu layaknya“kota mati”, hanya ada beberapa spot yang menjadi pusat keramaian

orang-orang pada malam hari seperti di sekitar Alun-alun di pusat kota dan di Payung,

berupa jajaran warung-warung kecil di tebing-tebing yang berada di antara Batu dan

Pujon, Kabupaten Malang.

Harapan

Dengan adanya BNS, Kota Batu diharapkan bisa menggeliatkan potensi

wisatanya pada malam hari juga, agar lebih banyak wisatawan yang datang ke kota Batu

dan lebih lama tinggal. Sebagai trigger (pemicu), tentunya nanti akan ada banyak lagi

obyek wisata yang akan dibangun di kota Batu untuk menjadikannya sebagai Sentra

Wisata. Dalam hal ini, Batu akan berbenah dengan penyebaran obyek wisata yang merata

di seluruh kota, menjadi node-node (simpul-simpul keramaian) baru dan bahkan

landmark-landmark (penanda-penanda tempat) baru. Hal itu masih sangat

memungkinkan, mengingat kota Batu masih berusia sangat muda, dan perkembangannya

ke depan masih punya banyak kemungkinan.

Seperti halnya karya-karya dpavilion yang lain yang bertema wisata, BNS ini juga

sangat kental dengan image “kere bisa hore”, maksudnya: rakyat kecil pun bisa

bergembira. Dengan tiket masuk yang terjangkau oleh siapa pun, semua kalangan bisa

menikmati obyek wisata ini. Jadi, masyarakat golongan atas sampai golongan menengah

ke bawah pun masih bisa menikmati wisata malam yang spektakuler di kota Batu ini,

sebuah landmark baru bernama BNS - Batu Night Spectacular. Apakah anda sudah

mengunjunginya?

Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Wastu Surabaya Post 7 Desember

2008

Page 42: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

13

Museum Satwa yang Mengguncang dan Mengejutkan

Tim Arsitek:

Edwin Nafarin (principal)

Kamawardhana Heksa Putra

Margaretha Lukmanto

Lily Ferina

Rahmad Nuryanto

Museum Satwa dan Jatim park 2

Kota Batu semakin mengukuhkan keberadaannya sebagai Kota Wisata yang

tersohor di Indonesia. Makin hari wahana wisata yang ada di kota ini makin bertambah

dan makin lengkap. Setelah ada Jatim Park, dan akhir tahun 2008 muncul BNS (Batu

Night Spectacular), sekarang di awal 2010 muncul objek wisata baru Jatim Park 2 yang

dimulai dengan pembukaan Museum Satwa. Museum ini merupakan salah satu sajian

utama dari Jatim Park 2 yang nantinya masih akan terus dilengkapi dengan bangunan-

bangunan yang lain juga.

Museum merupakan institusi permanen yang melayani kebutuhan publik dan

bersifat terbuka, dengan melakukan kegiatan koleksi, konservasi, riset dan komunikasi

terhadap bidang ilmu tertentu. Selain itu, museum juga memamerkan benda nyata kepada

masyarakat untuk keperluan studi, pendidikan dan kesenangan (wisata, hiburan). Di sini,

Museum Satwa menampilkan segala hal yang berhubungan dengan seluk-beluk dunia

satwa. Mulai dari hewan kecil hingga yang raksasa, mulai yang hidup jutaan tahun yang

lalu hingga di masa kini.

Tampak luar museum ini mengingatkan kita pada bangunan ala Yunani Kuno,

seperti Parthenon di Athena. Ini sebuah upaya parodik dengan meminjam image klasik

Barat sebagai sebuah “ke-masalalu-an”, yang menunjukkan bahwa museum merupakan

gedung untuk menyimpan kekayaan masa lalu. Tetapi juga bisa banyak tafsiran atas hal

ini, bisa sebagai jejak bahwa asal museum memang dari Barat (yang awalnya dibuat oleh

orang Barat), bisa juga sebagai sindiran bahwa kita belum bisa melepaskan diri dari

bayang-bayang arsitektur Barat dan juga pengetahuan Barat..

Ragam Sajian

Sajian yang disuguhkan kepada pengunjung di dalam Museum Satwa ini sangat

beragam, di dalamnya ada sekitar 84 diorama satwa dari berbagai penjuru dunia, ada

yang dari dalam negeri maupun luar negeri. Diorama tersebut dibuat berukuran besar,

sehingga pengunjung bisa mengamati dan melihat diorama ini dengan puas. Diorama ini

memberi gambaran yang seakan-akan nyata tentang kehidupan satwa di habitatnya di

alam liar dengan menggunakan hewan awetan murni. Jadi, hewan awetan dibuat agar

“hidup lagi” dengan membuat rekaan persis seperti habitat alaminya.

Juga terdapat insektarium di sini, yang berisi kurang-lebih 5000 jenis serangga

yang didapatkan dari berbagai tempat seperti Peru, Papua Nugini, Kolumbia, Malaysia

dan bahkan dari Pulau Madagaskar di pantai timur Afrika, tak ketinggalan juga dari hutan

Page 43: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

13

Indonesia. Pengunjung juga bisa menikmati fish diorama berupa diorama kehidupan

bawah air. Baik kehidupan di air tawar seperti sungai, danau maupun rawa, juga di air

laut di beberapa kedalaman yang berbeda-beda. Di sini pengunjung seperti dibawa di

kedalaman air dan melihat langsung ikan di habitatnya.

Tak ketinggalan, terdapat diorama pemandangan alam dari berbagai tempat yang

berbeda di berbagai belahan benua. Seperti diorama pemandangan alam yang berbatu,

bersalju, hutan yang sedang terbakar dan lain-lain. Sajian lain yang cukup menarik adalah

koleksi fosil, fosil yang dipamerkan di sini adalah fosil tiruan dari bahan fiberglass yang

dibuat dengan memberdayakan seniman-seniman lokal Batu sendiri. Fosil-fosil buatan ini

akan memberi pengetahuan kepada pengunjung bagaimana bentuk fosil itu dan

bagaimana para ahli satwa purbakala merekonstruksi gambaran satwa yang hidup di masa

jutaan tahun yang lalu agar bisa dinikmati oleh orang di masa kini.

Museum Satwa juga dilengkapi fasilitas pendukung seperti Teater, yang secara

periodik menyajikan film-film tentang satwa dan kehidupannya di alam liar, ditambah

dengan pelengkap lain seperti simulasi anatomi satwa agar pengunjung bisa mengetahui

seluk-beluk satwa dengan lebih baik, bahkan sampai ke organ dalam dan sistem

kehidupannya. Jika masih kurang puas dengan penjelasan tentang satwa, maka para guide

yang profesional siap memandu wisatawan untuk menerangkan dan memberi informasi

yang dibutuhkan oleh pengunjung.

Akhiran

Museum Satwa ini dirancang oleh dpavilion architects dari Surabaya. Selama ini,

dpavilion architects memang banyak merancang bangunan yang ada kaitannya dengan

wisata dan theme park, sehingga lama-kelamaan hal itu menjadi salah satu spesialisasi

yang khusus karena sudah sering menangani rancangan yang berbau theme park seperti

Museum Satwa ini.

Dari hasil wawancara dengan principal dpavilion, yaitu Edwin Nafarin, Museum

Satwa ini merupakan tahap awal dari pengembangan Jatim Park 2 secara keseluruhan,

nantinya di bagian tengah kompleks ini akan ada pula Hotel dan Resto berbentuk pohon

yang sangat besar. Sedangkan di sisi paling kanan ada Secret Zoo, kebun binatang dengan

konsep kontemporer. Kita tunggu saja kejutan-kejutan berikutnya di Kota Batu.

Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Wastu Surabaya Post 7 Pebruari 2010

Page 44: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

14

Mengkinikan Nusantara

Pada Mulanya adalah Gazebo Tanpa Paku Menurut petuah bijak, membuat sebuah gebrakan sebaiknya dimulai dari hal-hal

yang kecil. Hal yang kecil itu nantinya akan menggelinding bagai bola salju dan menjadi

besar. Mungkin petuah itulah yang menjiwai bahasan tentang karya arsitektur yang

berupa gazebo ini. Gazebo memang bukanlah bangunan besar, tapi hanya bangunan kecil

saja yang lebih sering menjadi tambahan, bisa diletakkan di halaman atau di taman.

Dengan berangkat dari bangunan kecil gazebo inilah kemudian bisa dilakukan sebuah

penggalian khazanah arsitektur Nusantara yang “subversif” terhadap bakuan arsitektur

Barat.

Seorang aktivis di forum deMAYA (desainer muda Surabaya) yang juga seorang

arsitek bernama Mohammad Cahyo Novianto, biasa dipanggil MADcahyo, memulai dari

gazebo di belakang sebuah rumah di daerah Rungkut, Surabaya untuk menelisik kembali

ke-Nusantara-an arsitektur di masa kini. Terinspirasi oleh konstruksi pada arsitektur Jawa

(juga arsitektur Nusantara) yang tanpa paku, MADcahyo berusaha melacak kembali

konstruksi purus-bolongan yang di masa lalu pernah menjadi sebuah trend kosmopolit

yang membentang di jagat Nusantara kita.

Meskipun yang dirancang hanya sebuah gazebo dengan dimensi yang begitu

kecil, tetapi logika yang dipakai untuk membuatnya tidak main-main. Konstruksi purus-

bolongan yang mengandalkan kuncian antar elemen kayu yang tanpa paku, sebenarnya

lebih cocok untuk kondisi geologis di Nusantara kita yang buminya “tidak stabil”. Karena

ketika terkena guncangan, konstruksi ini justru merapatkan kunciannya. Kalau pun ada

yang longgar, bisa dengan mudah dikencangkan kembali.

Jika ditinjau dari kacamata “modern”, mungkin yang dilakukan MADcahyo ini

dianggap kurang gaweyan (kurang kerjaan). Ketika teknik konstruksi memakai paku

sudah jamak dipakai karena lebih cepat dan efisien, mengapa malah “melarikan diri” dan

kembali ke masa lalu? Ketika paku melimpah-ruah dan murah, mengapa mencari-cari

sesuatu yang lebih rumit dan sulit dibuat?

Sebenarnya ini bukan masalah kembali ke masa lalu atau mencari kerumitan,

tetapi berupaya untuk menguak bagaimana agar kecerdasan masa lalu yang lokal (genius

loci) itu tidak hilang begitu saja, tetapi bisa dikinikan sebagai sebuah temuan mutakhir.

Dengan kata lain, bagaimana agar ilmu konstruksi yang Nusantara tidak hanya menjadi

bahan bacaan atau pengamatan di atas kertas, tetapi bisa dijadikan acuan juga untuk

merancang (mendesain) di dalam realitas arsitektural.

MADcahyo tidak membuat persis seperti konstruksi tajug Jawa (sebagai

rekonstruksi), tetapi mengambil “esensi” yang paling mendasar (kalau mau bisa disebut

dekonstruksi), yakni dengan purus-bolongan yang bisa dilogika dengan ilmu konstruksi

masa kini. Ini juga bukan sebuah rasionalisasi, tetapi sebuah aksi yang bisa menunjukkan

kebenaran logis konstruksi purus-bolongan.

Karena masih tahap awal, MADcahyo banyak melakukan trial and error, dan itu

justru memperkokoh proses penemuannya. Dia bisa tahu kelebihan dan kelemahan

konstruksi yang dia buat dan dibandingkan dengan konstruksi Nusantara. Dari situ

Page 45: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

14

sekaligus belajar untuk mengkombinasikan ke-Nusantara-an dan ke-kini-an, menjadi

sebuah konstruksi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Sekarang MADcahyo masih bereksperimen dengan gazebo, di masa mendatang

sangat mungkin dipakai untuk bangunan yang lebih besar, misalnya untuk rumah tinggal.

Jika itu bisa terwujud, konstruksi purus-bolongan akan menemukan jaman ke-kini-annya

secara lebih nyata.

Belajar dari Konstruksi Kayu Nusantara Setelah membahas tentang gazebo karya Mohammad Cahyo Novianto

(MADcahyo) yang dibuat tanpa paku, dengan menggunakan konstruksi purus-bolongan

yang diilhami dari konstruksi bangunan kayu Nusantara, sekarang kita selami lebih dalam

tentang konstruksi gazebo tersebut. Konstruksi purus-bolongan ini mengandalkan pen

(purus) dan lubang (bolongan) untuk mengikat antar-kayu, selain itu juga memakai

coakan (lubang yang tak sampai tembus). Penggunaan konstruksi kayu a la Nusantara ini

dapat dilihat dari beberapa aspek yang mengikutinya:

Aspek Stabilitas

Membuat sebuah konstruksi erat kaitannya dengan keamanan konstruksi itu

sendiri, bagaimana agar konstruksi itu bisa berdiri dan memberi rasa aman kepada orang

yang mendiami bangunan yang didirikan. Kata yang penting di sini adalah: kuncian, agar

kayu tersebut menjadi stabil (tidak meliuk atau merenggang), tidak bisa bergerak lagi

ketika diletakkan dalam sistem konstruksi.

Stabilitas konstruksi pada ikatan antar kayu ini bersifat elastis. Berbeda misalnya

dengan konstruksi beton bertulang yang rigid, yang jika retak serambut pun sudah tak

bisa disambung lagi. Jika konstruksi kayu ini terkena guncangan yang keras, ikatan antar

kayu hanya akan menjadi longgar saja, jadi bisa dengan mudah dikencangkan lagi dengan

memperketat pertemuan-pertemuan antar coakan atau antara purus dan bolongan.

Aspek Filosofis

Di dalam konstruksi purus-bolongan, penamaannya sering menggunakan metafor

pertemuan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, purus yang berupa pen agak besar

yang berlubang diberi nama purus wadon, sedangkan pasangannya yang berupa pen kecil

tanpa lubang disebut purus lanang. Penamaan tersebut jelas bukan penamaan asal-asalan.

Ada sebuah jejak filosofis di dalamnya. Purus-bolongan bisa ditarik ke filosofi lingga-

yoni, lambang penyatuan laki-laki dan perempuan, ibu bumi dan bapa akasa.

Jadi, di dalam konstruksi purus-bolongan itu terkandung sebuah pepenget

(pengingat) tentang asal dan tujuan semua ciptaan (sangkan paraning dumadi). Bahwa

mendirikan sebuah griya (termasuk gazebo ini) tidak hanya berhubungan dengan ilmu

konstruksi an sich, tetapi berhubungan juga awal mula dan akhir penciptaan. Gazebo itu

bukan barang mati, tetapi “benda hidup” yang “senafas” dengan kehidupan manusia.

Aspek Filologis

Ketika membuat gazebo tanpa paku, MADcahyo secara sadar atau tidak telah

melestarikan bahasa arsitektur (Nusantara) pula. Jika sebuah sistem konstruksi tidak

pernah atau jarang digunakan, maka otomatis terminologi (peristilahan) di dalamnya juga

Page 46: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

14

menjadi jarang terpakai. Apalagi, kalangan arsitektur di Indonesia sering mengalami

linguistic laziness, lebih suka dengan istilah yang mentereng dari luar. Misalnya, istilah

“site plan” jauh lebih popular dibanding “rencana tapak”.

Di dalam gazebo yang mengambil ide dari konstruksi Jawa ini, maka MADcahyo

juga memakai nama-nama elemen kayu sesuai dengan nama-nama dalam konstruksi kayu

Jawa. Jadi tetap memakai istilah dada peksi, sirah gada, saka guru, sunduk kili, sunduk

bandang dan lain-lain. Meskipun masing-masing elemen itu telah mengalami lompatan

kontemporarisasi yang demikian jauh, tetapi masih tetap bisa dinamai dengan nama-nama

tradisionalnya.

Aspek Ekologis

Dalam perancangan gazebo, MADcahyo menggunakan bahan kayu bekas

bongkaran rumah, dengan kata lain menggunakan material kayu daur ulang. Ini

merupakan sisi positif, kayu bongkaran masih bisa dimanfaatkan kembali untuk membuat

bangunan baru. Ini bisa dikategorikan sebagai ecological architecture, memanfaatkan

bahan yang sudah “dibuang”.

Kadang-kadang keterbatasan seperti ini justru memicu kreatifitas. Misalnya, di

dalam kayu bongkaran itu MADcahyo tidak menemukan kayu yang cukup besar untuk

saka guru, maka dibuatlah saka guru dari dua buah kayu yang disikukan tegak lurus.

Atau ketika MADcahyo kesulitan menemukan kayu yang cukup panjang untuk membuat

bentang sesuai lebar sisi gazebo, maka posisi saka guru diputar 45º agar bentang antar

saka guru tidak terlalu lebar, tetapi tetap mendapat luasan ruang yang sama.

Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Wastu Surabaya Post 26 April 2009

dan 3 Mei 2009

Page 47: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

15

Majapahit dan Layer Sejarah

Bumi ini adalah sebuah bola maharaksasa yang dihuni manusia sejak puluhan ribu tahun

yang lalu. Dari silih-bergantinya generasi manusia yang tumpang-tindih di atas bumi, maka bumi

ini sebenarnya dilingkupi oleh lapis demi lapis sejarah. Secara fisik pun, bumi ini dibentuk oleh

lapisan-lapisan yang dimuntahkannya sendiri, seperti lewat peristiwa gunung meletus atau

semburan lumpur seperti yang terjadi di Porong Sidoarjo. Jadi, tanah yang kita injak ini di

dalamnya ada layer (lapisan) yang secara vertikal menunjukkan sejarah bumi itu sendiri,

termasuk sejarah manusia yang pernah mendiaminya yang kita ketahui dari peninggalan

peradaban dan kebudayaan masa lalu.

Dari sudut pandang ini, jelas bahwa tempat atau place itu tidak satu, melainkan

bertingkat-tingkat. Misalnya, ada layer Surabaya masa Kahuripan, Kediri, Singosari dan

Majapahit, lalu layer Surabaya masa Demak sampai Mataram, layer Surabaya masa Kolonial

Belanda dan Jepang, ada layer Surabaya masa Kemerdekaan hingga kini. Layer-layer tersebut

bukan seperti lapisan kertas dalam buku yang tertata dan teratur, layer sejarah bumi itu saling

silang-menyilang, saling menembus, campur-aduk dan tak teratur. Jadi bisa dianggap sebagai

buku dengan kertas-kertas yang transparan, halaman-halamannya bisa saling menembus dan

tulisannya bercampur antara satu dan yang lain.

Ketika Balai Pemuda yang dari layer Kolonial bertemu dengan Garden Palace Hotel dari

layer Modern di seberangnya, di situ kita bisa menikmati dialog layer yang bagus. Masalahnya

bukan antara masa lalu, saat ini dan nanti, melainkan kesekarangan (presentness). Balai Pemuda

bisa menyekarang ketika bangunan seusianya yang lain sudah musnah, lalu menyapa kita di

generasi kini, bersama-sama dengan bangunan yang baru. Apakah Balai Pemuda adalah masa

lalu? Sama sekali bukan, dia adalah ke-kini-an bagi kita. Yang menganggap Balai Pemuda

adalah bangunan masa lalu adalah golongan nostalgik yang alur-pikirnya bergerak ke belakang,

bukan ke depan.

Balai Pemuda adalah layer lama yang mampu menembus masa kini. Sejenak kita

kesampingkan ke-masalalu-annya sebagai bangunan Kolonial. Jika kita tengok kegunaannya

masa sekarang, bangunan ini dijadikan sebagai pusat kegiatan seni dan budaya di kota Surabaya

mulai seni-budaya yang tradisional hingga kontemporer, sama sekali tak tampak kegunaan masa

lalunya, meski masih ada jejaknya. Tak lagi ada sinyo dan noni Belanda yang dansa-dansi atau

bersantai, tak ada lagi tulisan “verbodden voor inlaander”, layer lama itu sudah tertutup oleh

layer baru.

Majapahit, Mojokerto

Media massa akhir-akhir ini cukup gencar menguak kasus seputar situs Majapahit di

Trowulan Mojokerto, di mana pembangunan PIM (Pusat Informasi Majapahit) dianggap sebagai

aksi perusakan situs. Banyak pihak, terutama dari kalangan ilmiah, yang menentang

pembangunan PIM karena pembangunannya yang cenderung “pragmatis” dan dikhawatirkan

justru makin memperparah rusaknya keberadaan situs Majapahit yang masih ada di bawahnya.

Pondasi PIM ternyata bertabrakan dengan pondasi bangunan lama dan sumur dari era Majapahit.

Ada yang mengusulkan agar lokasi pembangunan PIM dipindahkan diluar situs agar tidak

Page 48: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

15

“membahayakan” peninggalan historis yang ada. Dengan kata lain, situs harus dijaga

kemurniannya, bangunan baru yang dibangun di atasnya lebih dianggap sebagai “pencemar”

yang tak boleh mengotori “kesucian” situs yang dimaksud.

Gampangnya saja, jika sejarah kita baca sebagai sejarah yang lintas waktu, maka waktu

yang berlalu jelas tak akan pernah kembali (dari sudut sejarah model Barat yang kita pakai).

Namun, jika sejarah kita baca sebagai lintas layer yang berlapis-lapis di atas bumi, maka kita

bisa sedikit berpikir bahwa sebenarnya di dalam tanah ini tersimpan ke-masalalu-an yang bisa

dimunculkan untuk menyekarang, persis seperti kasus Balai Pemuda yang saya uraikan di atas.

Apakah bijak jika Balai Pemuda kita netralkan dari kegiatan apapun untuk menjaga

kemurniannya? Lalu kita kosongkan saja dan kita jadikan monumen yang “mati”?

Mestinya, Majapahit juga bisa diperlakukan sebagai sebuah kota kerajaan yang

menyekarang, seperti halnya Balai Pemuda itu. Majapahit dan segala peninggalannya bukanlah

masa lalu, terbukti dia mampu menembus layer-layer setelahnya dan “hidup” di tengah-tengah

kita, ada di antara kita saat ini. Dalam konteks Trowulan, Majapahit hadir di tengah-tengah

kehidupan warga Mojokerto saat ini, jelas-jelas sebagai masa kini. Kolam Segaran misalnya,

tidak hanya menjadi alun-alun air di masa Majapahit, tetapi juga tetap menjadi alun-alun air di

masa sekarang.

Dialog Anter Layer

Sebuah dialog antar layer bukan berarti layer yang lama dilestarikan secara kaku dan

tidak boleh ada layer baru di atasnya. Bukan pula berarti layer baru boleh didirikan seenaknya

dan semaunya di atas layer lama. Yang terpenting adalah bagaimana layer-layer yang ada bisa

sama-sama menyekarang (menjadi sekarang), dikelola sehingga terjadi dialog antar layer yang

toleran dan elegan. Tidak masalah misalnya layer rumah Gajah Mada berada di belakang rumah

penduduk, tidak perlu rumah penduduk itu direlokasi atau dipindahkan ke tempat lain. Ini

namanya dialog layer, bukan penindasan layer. Tidak pula menjadi soal jika layer sebuah pura

dari masa Majapahit berada di halaman sebuah masjid, tidak perlu ada Tuhan atau Dewa yang

diungsikan.

Jadi, tidak ada pemujaan pada masa lalu yang picik, dan tidak ada arogansi masa kini

yang berlebihan. Ada seorang nenek yang masih hidup ketika cucu perempuannya melahirkan,

ada bayi yang meninggal sesaat setelah lahir, semua itu wajar dalam kehidupan. Kita juga bisa

belajar dari “sejarah” pewayangan Jawa, bagaimana seorang ksatria kera bernama Hanuman

yang berasal dari cerita Ramayana bisa hidup sampai masa Mahabharata yang berjarak ratusan

tahun? Karena Hanuman tidak mempersoalkan waktu, dia adalah sosok yang selalu mengkini,

menjadi sekarang.

Nah, pengetahuan tentang konservasi dan pelestarian situs yang sudah puluhan tahun kita

pelajari dari khazanah pengetahuan Barat sudah sepatutnya kita tinjau kembali. Tidak perlu lagi

kita memperlakukan situs seperti nenek-nenek yang kita kirim ke Panti Jompo, yang jelas hanya

dilokalisasi dan “disingkirkan” untuk menunggu mati. Mengapa nenek-nenek tidak itu kita ajak

menjadi satu rumah, agar bisa melihat cucu-cicitnya tumbuh menjadi dewasa, bukankah itu akan

memperkuat kembali daya hidupnya dan menjadikannya merasa lebih dihargai dan dihormati?

Lalu bagaimana dengan situs Majapahit? Perlakuan kitalah yang akan menentukan

keberadan situs itu selanjutnya. Apakah akan kita lokalisasi menjadi situs “panti jompo” dengan

merelokasi rumah-rumah penduduk yang ada di atas situs? Ataukah kita terima sebagai entitas

masa kini, kita kelola sebagai bagian dari kehidupan kita dalam dialog antar layer? Keduanya

Page 49: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

15

berangkat dari prasangka yang berbeda, dan tentunya akan menghasilkan output yang berbeda

pula.

Semoga peninggalan Majapahit tidak meramal nasib dari namanya sendiri: buah maja

yang pahit. Jika pihak yang berkompeten bisa mendialogkan layer-layer yang ada, bukan tak

mungkin nantinya akan berbuah manis. Mudah-mudahan.

Tulisan ini merupakan pengembangan dari kolom Regol Surabaya Post 11 Januari 2009

Page 50: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

16

Ketika Candi Jawa Timur

Menjelma Gunungan

Di dalam banyak literatur mengenai candi di Jawa, biasanya candi dibedakan ke

dalam dua bagian besar, yakni candi Jawa Tengah dan candi Jawa Timur. Jawa Tengah

dan Jawa Timur di sini lebih pada pembagian era, bukan pada pembagian wilayah

administratif. Dalam banyak literatur tersebut juga dipaparkan perbedaan-perbedaan yang

prinsipil antara dua model candi itu. Salah satu ciri utama yang membedakan itu adalah

postur candi Jawa Tengah lebih tambun, sedangkan candi Jawa Timur lebih langsing.

Pembedaan itu sepertinya sudah mendarah-daging bagi mereka yang secara intens

mempelajari candi-candi di Jawa, terutama yang bergerak di bidang sejarah, antroplogi

dan arkeologi.

Setelah era kerajaan Jawa Timur tamat, secara otomatis candi model Jawa Timur

pun tidak pernah dibangun lagi (hanya ada beberapa sempalan seperti Candi Sukuh

dengan model tak lazim bagi sebuah candi), terutama dimungkinkan karena era sejarah

kerajaan Hindu di Jawa sudah berakhir, ditandai dengan bubarnya kerajaan Majapahit

dan munculnya kerajaan Islam Demak. Candi, sebagai bangunan khas masa Hindu,

kehilangan pamornya yang cemerlang selama berabad-abad sebelumnya.

Terdapat sebuah paradoks sejarah di sini: Ketika candi Jawa Timur yang banyak

mengaktualkan kembali kecerdasan lokal Jawa dalam posisi yang setanding dengan yang

dari India dan mulai menemukan jalan menuju keemasannya, tiba-tiba saja harus terhenti

perkembangannya secara mendadak. Lalu ke mana larinya kecemerlangan yang didapat

melalui proses yang panjang itu? Apakah langsung hilang seperti ditelan bumi begitu

saja?

Berbicara tentang kecerdasan lokal Jawa, lepas dari perkembangan agama dan

politik, rasanya tidak mungkin jika sebuah pencapaian yang demikian tingginya seperti

candi-candi Jawa Timur tiba-tiba terhenti tanpa ada “saluran kreatif” lain untuk

melanjutkannya (atau paling tidak mengawetkannya agar tidak hilang). Jika candi Jawa

Timur katakanlah dianggap sebagai collective memory (ingatan kolektif), tentunya masih

ada memori yang tertanam dalam pikiran orang Jawa sebagai cetak biru yang tak akan

hilang dalam penciptaan-penciptaan yang mereka buat di era berikutnya, meskipun

eranya sudah berganti dengan era Islam.

Sebuah proses kreatif tidak mengenal perbedaan agama. Hal itu akan selalu

muncul untuk disesuaikan dengan konteks jamannya. Seperti tradisi slametan (syukuran)

misalnya, sudah ada sejak jaman pra-Hindu. Ketika agama Hindu masuk dan

berkembang, slametan bisa dicantolkan dalam tatacara keagamaan Hindu. Begitu pula

ketika Islam masuk, slametan menjadi tradisi yang bisa gayut dengan perkembangan

agama Islam. Demikian juga dengan masuknya agama Nasrani, slametan juga bisa masuk

ke dalam ritual keagamaan yang Kristiani. Ini merupakan sebuah contoh, bagaimana

orang Jawa secara kretif mampu meng-konteks-kan adat budayanya ke dalam konsep-

konsep baru yang datang dari luar.

Page 51: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

16

Jejak Pohon

Jika diamati secara lebih mendalam, perbedaan postur candi Jawa Tengah dan

Jawa Timur sebetulnya tidak sekedar berbeda antara tambun dan langsing belaka. Secara

lebih spesifik, candi Jawa Timur memiliki jejak sebagai sebuah pohon besar. Bagian

bawah kepala candi melebar dulu ke samping melebihi bagian badannya dan kemudian

baru mengerucut ke atas hingga puncaknya, sama seperti pohon yang bagian batangnya

langsing, lalu rimbunan daunnya melebar jauh melebihi batangnya dan kemudian

mengecil lagi ke atas.

Di dalam dunia wayang kulit purwo Jawa, kita bisa menemukan bentukan yang

serupa candi Jawa Timur, tetapi dalam wujud yang 2 dimensi. Bentuk yang dinamakan

gunungan, karena mengerucut ke atas seperti gunung. Disebut juga kayon karena

menggambarkan pepohonan hutan lengkap dengan binatang-binatangnya. Gunungan ini

sebetulnya sudah muncul sejak adanya wayang beber, yakni pertunjukan wayang yang

digemari oleh orang-orang Majapahit. Wayang beber ini seperti komik yang setiap

adegan berupa beberan yang dilanjutkan ke beberan berikutnya. Gunungan wayang beber

itu masih berupa bentukan yang mengerucut yang dihiasi motif bunga-bunga dan sulur-

suluran.

Baru setelah era Majapahit berpindah ke era Islam, muncul ide membuat wayang

personal, di mana setiap tokoh bisa digerakkan sendiri, tak lagi berupa beberan. Dan

gunungan pun juga harus berdiri sendiri. Dan baru pada tahun 1737, Susuhunan

Pakubuwono II memerintahkan para seniman kraton untuk menciptakan jenis gunungan

baru yang dilengkapi dengan gapuran (gapura), ditandai dengan sengkalan “gapura lima

retuning bumi” yang melambangkan tahun Jawa 1659 atau 1737 Masehi.

Yang jelas, bentukan gunungan gapuran atau kayon ini juga langsing di bagian

bawah, kemudian melebar ke samping dan meruncing ke atas. Selain itu, elemen-

elemennya serupa dengan candi Jawa Timur. Di gunungan ada tangga menuju ke pintu,

juga ada pintu dengan penjaganya. Kemudian bagian atas (kepala) diolah dengan ukiran

yang lebih rumit daripada bagian yang bawah. Jika di atas pintu candi ada kalamakara,

maka di gunungan kepala kala itu dilukis di bagian belakang gunungan dengan wujud

menyeramkan dan berambut api merah menyala. Bandingkan gambar candi Jawa Timur

dengan gambar gunungan.

Simpanan Genetik

Gunungan jelas bukan candi, tapi dalam hal ini gunungan bisa dianggap sebagai

sebuah bentukan 2 dimensional yang menjadi penyimpan “gen” candi Jawa Timur yang 3

dimensional. Jika candi-candi Jawa Timur kebanyakan sudah beralih fungsi menjadi

tempat wisata dan kehilangan rohnya, maka gunungan, meskipun “cuma” dalam cerita

wayang, masih menyimpan roh candi itu. Dia menjadi pembuka jagad pewayangan,

menjadi pintu gerbang, menjadi gunung, menjadi pohon, menjadi air, menjadi angin,

menjadi awan, menjadi api, dan juga menjadi penutup jagad pakeliran ketika pertunjukan

wayang usai. Gunungan adalah lambang jagad, sebuah simpanan pengetahuan candi Jawa

Timur yang masih menyapa kita hingga kini.

Bukan tidak mungkin simpanan genetik ini akan bisa diwujudkan lagi menjadi

sebuah bentuk arsitektur kembali yang bersifat 3 dimensional. Atau bahkan berevolusi

Page 52: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

16

untuk menjadi wujud yang lain lagi. Kenangan orang Jawa akan pohon memang

demikian kuatnya, sehingga menjadi gen tersembunyi yang selalu menunggu untuk

dimunculkan kembali.

Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Wastu Surabaya Post 26 Juli 2009

Page 53: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

17

Contertainer Arsitektur yang Menghindar

Tim Arsitek:

Edwin Nafarin (Principal)

Kamawardhana Heksa Putra

Kartika Ciputera

Bukaan

Contertainer, yang dirancang oleh biro konsultan dpavilion architects dari

Surabaya ini, sebenarnya merupakan gabungan dari dua kata, yakni container dan

entertainer, yang bisa diartikan sebagai: sebuah wadah sekaligus penghibur. Dari

tampilan luarnya secara sekilas saja kita bisa melihat sebuah wujud arsitektural dari

beberapa container yang dicat mencolok dengan warna-warna merah, kuning, biru dan

hijau muda, dengan posisi dan komposisi yang atraktif, membentuk sebuah contertainer.

Principal architects di dpavilion, Edwin Nafarin, pernah berujar: “Saya ingin

menciptakan arsitektur yang menyenangkan banyak orang”. Nah, contertainer ini

menjadi salah satu karya yang membuktikan kredo arsitekturnya itu.

Contertainer ini terletak di Kota Batu, Jawa Timur. Batu adalah kota yang relatif

masih baru, dengan suasana agraris yang masih sangat kental. Bisa dianggap sebagai kota

bersuasana desa. Contertainer ini merupakan bangunan publik (fasilitas umum), yaitu

sebuah poliklinik yang juga sekaligus perpustakaan, di mana masyarakat yang datang

tidak dipungut biaya alias gratis. Munculnya contertainer di kota ini bisa dilihat dari

banyak sudut pandang, karena kemunculan sebuah karya arsitektur niscaya diikuti

dengan banyak efek yang ditimbulkannya.

Contertainer Sosial

Dengan makin majunya kota-kota di Indonesia pada umumnya, selain

meningkatkan kemakmuran, ternyata juga menciptakan gap yang makin menganga antara

kalangan berpunya (the have) dan tak-berpunya (the have not). Kalangan tak-berpunya

makin terpinggirkan, akses mereka ke pelayanan kesehatan dan pendidikan makin sukar

karena semakin mahal. Ini adalah dampak dari perekonomian global yang mekanismenya

lebih mirip hukum rimba. Berdirinya contertainer ini adalah sebuah upaya sosial untuk

meng-entertain masyarakat bawah dengan layanan kesehatan dan bacaan yang tidak perlu

membayar, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan mereka dalam

perkembangan pesat dunia saat ini.

Kata entertain yang diartikan sebagai menghibur, biasanya lebih sering

dikonotasikan dengan hiburan yang gemerlap di kota-kota besar, katakanlah: diskotik,

pub, bioskop, theme park, game zone dan lain-lain, cenderung sebagai hiburan

“artificial”. Tapi di sini, di kota ndeso yang bernama Batu, kata “entertain” tersebut agak

“diselewengkan”, ini sebuah hiburan nyata untuk rakyat kecil. Mereka lebih

Page 54: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

17

membutuhkan pelayanan kesehatan yang layak dan akses kepada bacaan yang bermutu

untuk bisa menjadikan mereka lebih percaya diri sebagai manusia seutuhnya.

Di pihak lain, pada tahun 1960-an, seorang sastrawan Indonesia bernama Rendra

sudah pernah mengingatkan: “Di negeri kita, kota tumbuh sebagai penyalur hasil

produksi asing”. Dan contertainer ini seakan menjadi perwujudan kritik rendra itu. Hasil

produksi asing yang membanjiri negeri kita biasanya diangkut dengan container-

container yang mungkin puluhan ribu jumlahnya. Jadi, selain meng-entertain masyarakat

bawah, contertainer ini juga menyindir tajam: “Jangan jadikan kota-kota kita hanya

menjadi penyalur produk-produk asing, hentikan, kita pakai saja container-containernya

jadi karya arsitektur!”.

Contertainer Arsitektural

Ada sebuah pertanyaan yang cukup penting untuk diungkap: mengapa dpavilion

architects, sebagai perancang poliklinik dan perpustakaan ini, mengawali idenya dari

container? Kemungkinan memang ada beberapa alasan. Pertama, alasan logis: bahwa

container adalah sebuah wadah kokoh yang sudah meruang dengan skala manusia

(meskipun untuk mengangkut barang), sehingga cukup praktis, cepat dan murah untuk

ditransformasikan menjadi wadah kegiatan arsitektural. Kedua, alasan morfologis:

container sudah memiliki ciri khas dan unik, berbentuk balok besar berongga berukuran

standar tertentu yang sangat potensial untuk dibuat desain dengan tatanan yang ekstrem

dan provokatif. Ketiga, alasan simbolis: beberapa container yang dipakai untuk membuat

poliklinik dan perpustakaan ini pastilah pernah mengelilingi dunia, bergerak dari kota

yang satu ke kota yang lain. Sebetulnya, sebuah container adalah layaknya “seorang

petualang sejati”.

Container atau peti kemas yang digunakan dalam perancangan poliklinik dan

perpustakaan ini adalah container bekas pakai, yang sudah berkeliling ke berbagai negara

di dunia, sehingga sangat cocok bila “disulap” menjadi perpustakaan. Buku sebagai

“jendela dunia” diletakkan di dalam container yang sudah berkeliling dunia, sebuah

konsep “kolaborasi” yang cukup tepat, bukan? semoga menjadi penyemangat bagi anak-

anak pengguna perpustakaan ini untuk selalu memelihara rasa ingin tahu dan kemauan

untuk menjelajah ranah-ranah yang belum dikenal (terra incognita).

Di samping itu, container merupakan wadah yang nature-nya dinamis, bergerak,

berpindah tempat, tapi kemudian diubah menjadi sebuah wujud arsitektural yang statis,

tidak bergerak dan tak bisa berpindah. Menjadi sebuah keanehan, di mana container

“dipaksa” untuk tidak ke mana-mana. Tapi hal itu disiasati oleh perancangnya dengan

membuat komposisi yang dinamis, antara lain dengan perletakan antar container yang

tidak sepenuhnya tegak lurus, tetapi saling melenceng. Apalagi dengan kaki-kaki

penyangga yang centang perenang dan “kacau”, menjadikan contertainer ini tidak

kehilangan sisi gerak dinamisnya.

Juga, contertainer ini menjadi parodi. Di dalam dikotomi antara arsitektur sebagai

wadah kegiatan (yang memperhatikan ukuran manusia) dan sebagai ekspresi arsitektural

(sebagai curahan rasa seperti halnya seni), di sini justru menampilkan wadah barang

untuk mewadahi manusia. Membuat kita boleh sedikit merenung: seberapa pentingkah

manusia bagi arsitektur? Seberapa tidak pentingkah manusia bagi arsitektur?

Page 55: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

17

Contertainer Kultural

Di kota Batu, budaya kosmopolis dan agraris bertemu. Seperti sudah disinggung

di atas, kota yang bernuansa desa. Sedikit ambigu: disebut kota, tetapi suasananya desa,

disebut desa, tetapi sudah bernama kota. Kota ini memang masih sedang dalam proses

tumbuh dan berkembang, sehingga benturan antara budaya kosmopolis dan agraris masih

sering terjadi. Misalnya: ada yang masih menggarap sawah sebagai sumber penghidupan

dan kehidupan seperti yang sudah dilakukan sejak nenek moyang, tetapi ada yang sudah

melihat sawah itu sebagai investasi industri atau properti di masa depan.

Contertainer ini menjadi perwujudan arsitektural dari pertemuan antara budaya

kosmopolis dan agraris tersebut. Contertainer dibuat dari container sebagai cermin

budaya kosmopolis yang terbuka, bebas, lugas yang kemudian “ditanam” secara agraris

di atas sebuah site yang tetap dalam jangka waktu yang lama. Di samping itu,

contertainer ini memperlihatkan bahwa container tidak hanya punya satu fungsi yang

tetap, tetapi juga punya guna yang lain yang lebih bervariasi. Container ternyata bisa

dibuat menjadi sebuah bangunan, sehingga bisa merangsang kreatifitas masyarakat agar

tidak hanya terpaku pada satu sudut pandang, satu cara penyelesaian dalam membuat atau

menciptakan bangunan. Mereka bisa belajar untuk menggali kecerdasan lokalnya dalam

berarsitektur.

Contertainer Komoditas

Jika kita mencermati banyak diskusi tentang posisi arsitektur dalam kaitannya

dengan pasar, selalu muncul perdebatan tentang komodifikasi arsitektur. Ada yang

berpendapat bahwa arsitektur adalah komoditas, sebagai barang dagangan yang diperjual-

belikan. Sedangkan di pihak lain ada yang mati-matian membela diri bahwa arsitektur

bukan komoditas, melainkan sebuah karya tunggal yang unik dan kontekstual yang tidak

bisa dibangun di tempat lain. Dalam arus besar pendidikan dan profesi arsitektur,

biasanya pendapat arsitektur sebagai komoditas dianggap sebagai pendapat yang

marjinal, arsitektur itu harus “murni”, jangan sampai dikotori oleh virus komodifikasi.

Contertainer ini seperti ingin melawan pendapat “murni” tersebut: “Arsitektur

sebagai komoditas, mengapa tidak?”. Masalah yang sebenarnya adalah bagaimana

membuat arsitektur menjadi komoditas yang bermutu tinggi, bukan komoditas yang

bermutu rendah alias murahan. Di masa sekarang ini, komodifikasi adalah sebuah

keniscayaan yang tak bisa dihindari. Contertainer secara terang-terangan memakai

container sebagai simbol komoditas, sehingga secara tidak langsung mengatakan: “Ini

arsitektur komoditas, tetapi ini komoditas yang bermutu, bukan?”.

Tutupan

Contertainer rancangan dpavilion architects ini adalah contertainer yang bisa

dilihat dari banyak sudut pandang. Sebuah karya arsitektur yang menghindar, yang selalu

berkelit dari satu pandangan ke pandangan yang lain. Yang sekaligus menunjukkan

bahwa sebuah karya arsitektur selalu multiinterpretasi, semua orang boleh menafsirkan

sesuai dengan titik berangkat yang dipilihnya.

Page 56: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

17

Lalu, apakah contertainer ini sah sebagai sebuah arsitektur? Jangan berpikir

tentang container, entertainer, budaya, ekonomi dan semacamnya, lihat saja. Lihatlah

seakan-akan tubuh anda hanya terdiri dari mata saja, dia akan menunjukkan dirinya dan

sekaligus bersembunyi. Arsitektur yang menghindar. Lepas dari benar-salah, baik-buruk

ataupun bagus-jelek, contertainer masih tetap atraktif dan provokatif. Mau beli?

Page 57: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

18

Alun-alun Generasi Ketiga

Di kota-kota di Jawa, terutama di kota bekas kadipaten dari jaman dahulu

(terutama jaman Mataram) hampir bisa dipastikan akan ditemui alun-alun. Yang

paling terkenal tentu saja alun-alun di dua pusat kerajaan Jawa Islam, yakni kraton

Kasultanan Jogjakarta dan Kasunanan Surakarta, dengan dua alun-alun besar di utara

(alun-alun lor) dan di selatan (alun-alun kidul) lengkap dengan beringin kembarnya.

Sebagai pusat dari tata ruang kota di masa lalu (bahkan juga sampai sekarang), alun-

alun telah mengalami masa demi masa perubahan dan perkembangan kota, sehingga

perkembangan alun-alun juga tidak lepas dari dinamika kota itu sendiri.

Jika sesuatu mengalami perkembangan yang terus-menerus seturut waktu,

maka akan lebih mudah memahaminya jika kita memilahnya menjadi beberapa

tahapan yang berbeda karakteristiknya, seperti biasa kita temui dalam ilmu sejarah

(historiografi). Demikian juga alun-alun, di sini bisa dipilah dalam tiga tahap

perkembangan. Pemilahan ini memang belum berdasar pada observasi yang

mendalam, tetapi dengan mencermati “fenomena” yang penulis ketahui selama

mengamati keberadaan alun-alun.

Generasi Pertama

Alun-alun generasi pertama bisa disebut alun-alun kosmologis. Alun-alun ini

menggambarkan kepercayaan kosmik Jawa yang berkaitan dengan empat arah mata

angin, yang disebut keblat papat limo pancer, yang artinya: empat penjuru mata

angin, yang kelima adalah pusatnya (pancer = pusat). Alun-alun kosmologis ini masih

terlihat jejaknya antara lain di Alun-alun Jogjakarta. Alun-alun menjadi halaman

besar dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, di mana di sisi baratnya selalu ada

masjid Jami’ (Masjid Besar), dan di sisi-sisi lain ada pasar dan penjara.

Di tengah alun-alun juga ada sepasang beringin (mandira) yang disebut

dengan waringin kurung (beringin yang dikurung atau dipagari) bernama Kyai

Dewadaru dan Kyai Janadaru. Dua beringin itu menggambarkan makrokosmos (jagad

gede) dan mikrokosmos (jagad cilik) dalam kepercayaan filosofis Jawa. Hal itu

menggambarkan hubungan manusia dengan alam semesta seluruhnya dan juga

dengan manusia sesamanya.

Dalam kasus alun-alun Kraton Jogjakarta, ada sumbu kosmik antara Gunung

Merapi, Tugu, Alun-alun Utara, Keraton, Alun-alun Selatan, Panggung Krapyak dan

Laut Selatan, di mana ketujuhnya berada pada satu garis lurus. Hal itu memperjelas

bahwa alun-alun menjadi bagian dari kepercayaan kosmologis Jawa, yang

menempatkan alun-alun sebagai bagian dari tata-ruang kosmik alam raya. Jadi, alun-

alun bukan sekedar lapangan rumput besar berbentuk segiempat belaka, di balik itu

ada makna keterkaitan kosmologis yang berkaitan dengan asal-usul atau genesis dari

raja dan seluruh warga negara. Oleh sebab itulah, alun-alun juga disakralkan dan

dimitoskan dalam berbagai cerita.

Generasi Kedua

Alun-alun generasi kedua adalah alun-alun ontologis. Sebelumnya, ketika

masa kolonial, alun-alun berada di persimpangan antara generasi pertama dan kedua.

Page 58: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

18

Baru ketika masa kemerdekaan, ketika jabatan bupati di kota-kota di Jawa menjadi

jabatan karir dan bukan lagi turun-temurun, maka unsur kosmologis menjadi agak

terpinggirkan. Bupati bukan lagi junjungan yang mendapatkan wahyu dari langit

untuk menjadi penguasa, maka halaman kediaman bupati (baca: alun-alun) juga ikut

kehilangan tuahnya. Alun-alun diposisikan (sekadar) sebagai taman kota, sehingga

unsur-unsur yang berkaitan dengan kepercayaan mistis tidak diperhatikan lagi

meskipun masih ada jejak-jejaknya, seperti masih adanya beringin kembar, masih

adanya bekas kadipaten, masjid, pasar dan lain-lain.

Selain sebagai taman, di beberapa kota alun-alun yang luas juga dipakai untuk

tempat upacara bendera. Upacara bendera merupakan kegiatan masal (kadang-kadang

kolosal) untuk menghormati simbol-simbol negara (bendera, dasar negara). Ketika

masa Orde Baru, upacara bendera dijadikan alat untuk mengindoktrinasi masyarakat

(juga anak-anak sekolah) agar menjadi pendukung pemerintah yang patuh dan

disiplin, dan beberapa alun-alun dijadikan sarana untuk kegiatan itu.

Alun-alun menjadi open space, bukan public space. Dianggap “keramat”

bukan karena kekuatan kosmologisnya seperti dulu, tetapi lebih karena kekuatan

negara yang menjadikannya sebagai “tameng” penguasa. Kadang muncul hal-hal

“lucu”, seperti jumlah tiang bendera di alun-alun yang jumlahnya disesuaikan dengan

sila dalam dasar negara, atau jumlah pohon di sekeliling alun-alun yang jumlahnya

sama dengan tanggal kemedekaan. Selain ada proses desakralisasi, sekaligus ada

semacam politisasi di situ.

Generasi Ketiga

Alun-alun generasi ketiga adalah alun-alun populis, atau alun-alun yang

kembali merakyat, yaitu alun-alun yang benar-benar menjadi public space (ruang

publik), bisa digunakan oleh masyarakat umum. Sebagai generasi ketiga, bukan

berarti kemudian menghapus jejak-jejak yang sudah ada dari alun-alun generasi

sebelumnya. Alun-alun justru menjadi semacam tumpukan dari beberapa layer, di situ

kita masih bisa melihat jejak-jejak generasi sebelumnya, baik yang bersifat

kosmologis maupun ontologis (sepanjang belum dihilangkan).

Sebetulnya, alun-alun di masa lalu juga memiliki sifat populis juga, meskipun

kecil. Misalnya, di masa kerajaan dulu alun-alun menjadi tempat pepe (berjemur)

ketika ada rakyat yang tak puas dengan kinerja raja/kerajaan. Dengan pepe, dia

berharap bisa dilihat oleh sultan atau raja yang biasanya kemudian memanggilnya

menghadap. Di situ dia mengungkapkan masalah yang dihadapinya kepada raja secara

langsung. Semacam demokrasi kecil di lingkungan yang jelas-jelas sangat feudal di

masa itu.

Gambar-gambar yang melengkapi tulisan ini adalah usulan dpavilion

architects untuk Alun-alun Lamongan di tahun 2007. Alun-alun (baru) Lamongan ini

adalah contoh dari alun-alun generasi ketiga, di mana kegiatan-kegiatan dalam alun-

alun ini didasarkan pada kebutuhan populis masyarakat Lamongan. Antara lain: bisa

menampung seluruh PKL yang berada di sekitar alun-alun, sarana olahraga yang

memadai (terutama untuk sepak bola dan bola basket), playground untuk anak-anak,

taman bertema Islam (Islamic Garden) yang gayut dengan Masjid Jami’ di sisi

baratnya, taman baca untuk masyarakat, ada juga sculpture Joko Tingkir (dengan

membuat selubung pada menara air peninggalan Belanda) yang berdasar pada sejarah

lokal Lamongan yang mempercayai Joko Tingkir sebagai guru bagi masyarakat

Lamongan dan sekitarnya.

Page 59: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

18

Catatan Akhir

Pertanyaannya: Adakah yang berani menciptakan alun-alun generasi keempat,

kelima dan seterusnya? Kita tunggu saja perkembangan alun-alun berikutnya, karena

masih akan terus menemui peran baru di dalam tata ruang kota yang juga terus

berubah dan berkembang.

Yang jelas, alun-alun kita bukan alun-alun yang mandheg (berhenti), tetapi

alun-alun yang bisa menyesuaikan dengan perubahan. Alun-alun kita niscaya

kontekstual.

Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Wastu Surabaya Post 1 Maret

2009

Page 60: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

19

Multi-Komentar Imajiner Alun-alun (Baru) Lamongan

Seandainya..!

Seandainya Ronggowarsito menyaksikan alun-alun Lamongan

dia mengulang sabdanya: “Amenangi jaman edan, alun-alun melu edan.” (mengalami

jaman edan, alun-alun ikut edan)

Seandainya Hamengkubuwono I tahu akan alun-alun Lamongan,

akan geleng-geleng kepala: “Jelas bukan alun-alun! Siapa sih yang bikin?”

Seandainya Diogenes datang ke alun-alun Lamongan,

dia menetap di situ dan berteriak lantang ketika didatangi Bupati: “Jangan menghalangi

matahari!”

Seandainya Karl Marx tanpa sengaja ada di alun-alun Lamongan,

bisa jadi akan bermanifesto: “Kaum PKL di seluruh dunia, bersatulah!”

Seandainya Epicurus iseng-iseng mampir ke alun-alun Lamongan,

tentu akan mengajak kita: “ Ayo, bersenang-senang, kalau perlu sampai mampus!”

Seandainya Mbah Maridjan jadi juru kunci alun-alun Lamongan:

dia meramal: “Merapi tidak meletus, tapi alun-alun ini nampaknya akan “meledak”!”

Seandainya Agustinus Sutanto berteori-desain soal alun-alun Lamongan

begini: “ini lho contohnya everyday architecture, 63,4 persen bolehlah..”

Seandainya Didi Kempot mau show di alun-alun Lamongan,

dia akan bertanya: “ada panggungnya gak? Saya mau nyanyi “sewu kutho”.

Seandainya Bambang Sukosrono berniat memindah alun-alun Lamongan,

agak bingung juga: “Mas Mantri, ini mau diboyong ke mana? Ke Maespati?”

Seandainya Arsitek abad ke 23 merekonstruksi reruntuhan alun-alun Lamongan,

mungkin akan geli: “alun-alun jaman dulu lucu ya? Sederhana sekali.”

Seandainya Jose Mourinho berkunjung ke alun-alun Lamongan,

berujar dengan pongah: “bagus, ada lapangan bolanya, boleh disewa buat latihan

Chelsea?”

Seandainya Maria Sharapova melihat-lihat alun-alun Lamongan,

menangislah ia karena sedih: “ Lapangan tenisnya kok dibongkar? saya kecewa berat!”

Seandainya Ki Slamet Gundono kesasar ke alun-alun Lamongan,

girang bukan kepalang: “wayang suket pasti sukses, neng kene akeh sukete!” (di sini

banyak rumputnya)

Page 61: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

19

Seandainya Sutiyoso habis mengadakan kunjungan kerja ke Lamongan,

langsung akan menginstruksikan: “Bongkar Monas, tiru alun-alun Lamongan!”

Seandainya Chairil Anwar menengok alun-alun Lamongan,

bisa-bisa keseleo lidah: “Alun-alun binatang jalang, dari kumpulannya terbuang..”

Seandainya Josef Prijotomo diminta komentar soal alun-alun Lamongan,

kira-kira begini bunyinya: “Ini alun-alun, tapi juga bukan alun-alun. Nah..!”

Seandainya Nia Ramadhani berakting di alun-alun Lamongan,

berkata pada temannya: “Syuting sinetron di sini asyik ya, romantis bangeeed gitu loh..”

Seandainya Asmuni suatu ketika lewat alun-alun Lamongan,

komentarnya singkat: “Gak lucu!”, tapi sambil tertawa: “Ha ha ha...”

Seandainya Inul Daratista diundang ke alun-alun Lamongan:

dia heran: “Alun-alun kok ya bisa ngebor kayak aku ya? Gemesss…”

Seandainya Derrida ingin pergi ke alun-alun Lamongan,

Menggerutu tanpa henti: “Kok gak pernah nyampe sih? Selalu hampir nyampe, dasar..!”

Seandainya Immanuel Kant meluangkan waktu ke alun-alun Lamongan,

dia berjanji: “Aku akan datang ke sini setiap hari di jam yang sama, demi Tuhan.”

Seandainya Edwin Nafarin berkata tentang karyanya, alun-alun Lamongan,

terlontar: “Biar karya saya yang berbicara, dengarkan bisikannya, desahannya…”

Seandainya Heraklitos mengamati dengan jeli alun-alun Lamongan,

dia menyimpulkan: “Alun-alun ini tidak pernah sama setiap hari, sungguh!”

Seandainya Sumanto diberitahu tentang alun-alun Lamongan,

dia mengaku: “Aku sudah pernah makan orang, tapi belum pernah makan alun-alun.”

Seandainya Ki Manteb Sudarsono mengiklankan alun-alun Lamongan,

ditayangkan di televisi: “Alun alun Lamongan pancen o yeee….”

Seandainya Sigmund Freud menganalisa alun-alun Lamongan,

niscaya berteori: “Secara psikonalitis, alun-alun ini akan jadi superego-nya Lamongan.”

Seandainya Junichiro Koizumi berziarah ke alun-alun Lamongan,

dengan ragu dia masuk: “mudah-mudahan ini bukan semacam Kuil Yasukuni.”

Seandainya Michael Polanyi mencoba menafsirkan alun-alun Lamongan,

berguman pasrah: “Hmmm… akan selalu ada yang tak terkatakan….!”

Page 62: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

19

Seandainya Gunawan Mohamad mencatat perihal alun-alun Lamongan,

muncul di Catatan Pinggir: “Terus-menerus sebuah beda, sebuah ambiguitas.”

Seandainya Gus Mus mengingatkan dampak sosial alun-alun Lamongan,

petuah bijaknya: “Ingat, ada yang atas nama rakyat, menindas rakyat.”

Seandainya Kumbakarna jadi warga patriotik Lamongan,

dia akan bersumpah: “Baik atau buruk gak peduli, pokoknya ini alun-alunku…!”

Seandainya Sisipus membawa batu besar bulatnya ke alun-alun Lamongan,

bakal marah: “Demi Artemis, konturnya payah, sulit untuk menggelindingkan batu!”

Seandainya Sutrisno Murtiyoso menilai alun-alun Lamongan,

mungkin berujar: “Mas, yang beginian sudah banyak di luar negeri.”

Seandainya Pangeran Pekik dari Surabaya melihat alun-alun Lamongan,

dia tersenyum: “saya sangat suka sesuatu yang baru, tapi orang Mataram selalu iri.”

Seandainya Prabu Joyoboyo mengetahui ada alun-alun Lamongan,

buru-buru minta maaf: “sori ya cucu, gak ada dalam kitab ramalan saya.”

Seandainya Peter Eisenman membahas alun-alun Lamongan,

ngomongnya: “superimposisi, superimpossible atau supermie? Aku pusing.”

Seandainya Mohammad Nanda Widyarta berpendapat tentang alun-alun,

dengan rendah hati: “saya cuma tahu dikit, yang jelas saya Marxist, insya Allah”

Seandainya Rene Descartes tiba-tiba berada di alun-alun Lamongan,

heran sekali teorinya tak terbukti: “Alun-alun ini tidak berpikir, tapi kok ada ya?”

Seandainya Gus Dur berkelakar soal alun-alun Lamongan,

fatwanya: “Kalo bikin alun-alun yang bener, jangan seperti Taman Kanak-kanak.”

Seandainya saya Anas Hidayat, saya tentunya lulusan S1 dan S2 (Perancangan dan Kritik

Arsitektur) di ITS Surabaya, dan pasti seorang konseptor freelance (di konsultan

arsitektur d_pavillion Surabaya), dosen freelance (di Universitas Katolik Darma Cendika

Surabaya), kartunis freelance (kadang-kadang saja) dan petani freelance (di bumi Kediri

Selatan). Semboyan yang sepertinya paling disukai: Umwertung Aller Werte (penjungkir-

balikan semua nilai) dari Nietzsche.

Tulisan ini pernah dimuat di majalah Indonesia Design Vol. 3 No. 17 tahun 2006

Page 63: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

20

Habitat Sebuah ”Alun-alun” Vertikal

Tim Arsitek:

Edwin Nafarin (Principal)

Kamawardhana Heksa putra

Sekilas

Habitat, karya dpavilion architects ini merupakan sebuah landmark yang terletak

di tengah-tengah roundabout (bundaran jalan) di kawasan Kahuripan Nirwana Village

(KNV) di Sidoarjo dengan lahan seluas 3 hektar. Seperti dijelaskan Edwin Nafarin

(principal architect) bahwa rencana awalnya adalah membuat sebuah gigantic sculpture

sebagai penanda utama kawasan ini, sekaligus sebagai ikon yang memberi nilai lebih

pada area sekitarnya. Kemudian muncul gagasan: mengapa tidak dibuat habitable

sculpture (sculpture yang bisa didiami) sekalian? yang bisa menjadi tempat berkegiatan

bagi masyarakat sekitar, dan bukan sekadar monumen pajangan untuk dilihat belaka.

Dari ide habitable sculpture inilah lahir nama: Habitat, tempat berdiam yang

selaras dengan kehidupan manusia, menyesuaikan dengan nama Kahuripan yang berarti

kehidupan. Nama ini juga berkaitan dengan konsep habitus dari seorang sosiolog

Perancis, Pierre Bourdieu, yang menyatakan bahwa manusia selalu hidup terikat dengan

masyarakat di ruang dan waktu tertentu. Meskipun namanya sama dengan habitat-nya

Moshe Safdie, toh itu memang sebuah iterasi, pengulangan untuk ”menguras” makna.

Habitat adalah sebuah sculpture-architecture yang bisa dihuni dan digunakan untuk

aktifitas masyarakat, di dalamnya ada fasilitas publik seperti perpustakaan (library),

museum, plaza, gallery, serta entertainment and commercial space.

Tatanan/Order

Tatanan dari habitat ini didasarkan pada konsep habitat klasik Jawa dalam

mengatur dan menata ruang, yakni: keblat papat limo pancer. Orang Jawa meyakini

bahwa setiap arah mata angin punya watak dan sifat yang berbeda, bahkan punya ”dewa”

penguasa yang berlainan pula. Dalam arsitektur Jawa yang asli, hal ini masih dipercaya.

Keblat papat (empat arah mata angin) di habitat ini ditafsir ulang dan diwujudkan dalam

bentukan empat massa bangunan yang berdiri di empat arah, sedangkan plaza yang

berada di tengah sebagai pancer (pusat), yang merengkuh empat massa bangunan di

sekitarnya.

Konsep tatanan massa ini juga dipakai dalam Alun-alun Jawa masa lalu. Di mana

ada sebuah lapangan besar yang dikelilingi oleh empat bangunan penting di

sekelilingnya. Alun-alun berada di depan Kabupaten/Kraton sebagai halamannya,

sedangkan di sebelah barat Alun-alun ada Masjid Besar/Masjid Jami’. Di sisi-sisi yang

lain ada Pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi dan juga Penjara. Di tengah alun-alun

yang luas itu, biasanya terdapat Waringin Kurung (beringin kembar yang

dikurung/dipagari), melambangkan jagad gede (macrocosmos) dan jagad cilik

(microcormos) dalam kepercayaan Jawa.

Page 64: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

20

Alun-alun, umumnya hampir identik dengan hamparan horisontal berupa

lapangan luas dengan rumput hijau yang menutupi permukaannya, dengan bangunan di

sekelilingnya yang cenderung horisontal pula. Tapi di habitat ini, kawasan alun-alun

”dijungkir-balikkan”, dengan dijadikan sebuah bentukan yang vertikal, namun tetap

mengambil prinsip keblat papat limo pancer yang diwujudkan dalam massa-massa

bangunannya yang berdiri di keempat penjuru mata angin. Dengan demikian, habitat

sekaligus menjadi ”alun-alun yang bukan alun-alun”.

Lapangan besar alun-alun dijelmakan menjadi plaza yang terletak di pusat/pancer,

letaknya yang strategis di tengah-tengah membuat plaza ini begitu instimewa, menjadi

pusat orientasi sekaligus halaman dari keempat massa bangunan di sekelilingnya. Dan

keempat massa bangunannya yang berformasi konsentris berupa museum, gallery,

entertainment center dan library (perpustakaan), masing-masing dilengkapi dengan

commercial spaces. Sedangkan Waringin Kurung di-stretch (ditarik memanjang) menjadi

dua buah jembatan (jembatan kaca dan beton) yang bersilangan di tengah-tengah plasa.

Bentuk/Form

Menurut arsitek senior di dpavilion architects Kamawardhana Heksa Putra, ide

massa bangunannya diambil dari bunga teratai (lotus, padma). Hal ini mengingat habitat

ini berada di tengah buzem/kolam penampungan air di kawasan ini, sehingga ide bunga

teratai (yang berhabitat di air) ini menjadi pilihan yang cukup tepat. Bunga teratai (yang

akarnya berada di dalam air) terdiri dari daun yang melebar di atas air sebagai pelampung

agar tidak tenggelam, dan tangkai bunganya muncul dari antara daun-daun, sedangkan

bunganya mekar mengembang di atas daun. Dengan metafora dari teratai tersebut, maka

lahirlah empat buah lempeng sculptural sebagai metafor dari mahkota/corolla bunga

teratai yang tumbuh menjulang ke atas. Julangannya tidak lurus, melainkan agak

melengkung untuk memberi aksen natural (tidak geometrik).

Sebuah bunga, selalu dimulai dari keadaan kuncup (bud), yang kemudian

berproses menuju kondisi mekar (blossom) yang merupakan fase sempurna sebuah

bunga. Dalam proses tersebut, bunga itu “bergerak” makin lebar, makin besar dan

mengembang. Bunga yang mekar sempurna memiliki kualitas dulce et utile (indah dan

berguna). Secara estetis indah dilihat dan menarik perhatian, dan secara fungsional

sebagai alat reproduksi atau perkembangbiakan demi kelangsungan hidup di masa

berikutnya. Jadi, proses blossom/mekarnya teratai di habitat ini sekaligus sebagai multi-

lambang, bisa berarti: hidup (life), tumbuh (growth), harapan (hope) serta masa depan

(future) yang lebih baik.

Deskripsi

Telah dijelaskan di atas, habitat terdiri atas empat massa bangunan yang

menjulang dan sedikit melengkung di bagian atasnya. Lempeng bagian luarnya dari beton

bertekstur rata, sedangkan bagian dalamnya berupa ruang-ruang terlingkup bidang-

bidang kaca yang ditata sebagai mozaik berpola cut-diamond (potongan berlian),

sehingga memiliki tampilan yang kontras dengan bagian luarnya.

Massa A merupakan massa yang terbesar, sebuah museum dengan 4 lantai.

Bangunan ini adalah museum geologi yang lebih mengkhususkan diri sebagai mud-

Page 65: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

20

volcano museum (museum lumpur vulkanis). Segala hal yang berkaitan dengan mud

volcano inilah yang akan ditampilkan di museum ini.

Setelah massa A, searah jarum jam adalah massa B terdiri dari 3 lantai. Lantai

pertama untuk commercial spaces, sedangkan lantai kedua dan ketiga untuk gallery.

Gallery ini bisa digunakan untuk kegiatan ekshibisi atau pameran yang ada hubungannya

dengan kebudayaan dan kesenian. Kita tahu, Surabaya masih sangat ketinggalan dalam

hal budaya dan seni jika dibandingkan dengan Jakarta, Bandung dan Jogjakarta. Dengan

adanya gallery ini, diharapkan bisa menarik minat masyarakat dalam hal berkesenian dan

berkebudayaan.

Searah jarum jam setelah massa B adalah massa C yang hanya terdiri dari 2 lantai.

Lantai pertama untuk commercial spaces, dan di lantai dua sebagai entertainment center.

Entertainmanet center merupakan pusat hiburan yang bisa digunakan oleh masyarakat

umum. Maksudnya, habitat ini tidak hanya ingin mendidik dan membelajarkan

masyarakat lewat museum atau perpustakaan, tetapi juga menghibur dan menyenangkan

masyarakat agar bisa bergembira. Selain untuk kegiatan ”serius”, habitat juga

menyediakan tempat untuk bersenang-senang dan bersantai.

Akhirnya massa D dengan 3 lantai. Lantai pertama sebagai commercial spaces,

dan dua lantai di atasnya adalah library (perpustakaan). Adanya perpustakaan ini

menegaskan bahwa habitat sebagai tempat bagi masyarakat untuk belajar dan menambah

wawasan pengetahuan. Akses buku bagi masyarakat Indonesia kebanyakan masih rendah

karena harganya yang mahal, maka di sini dibuat perpustakaan yang bukunya boleh

dibaca oleh siapa saja yang mengunjunginya.

Plasa (habitat plasa) berupa ruang terbuka yang terlingkupi oleh keempat massa

mulai massa A sampai D. Plasa ini adalah pancer/pusat sebagai titik orientasi dari massa-

massa di keempat sisinya. Jembatan kaca dan beton yang menyilang di atasnya ikut

memperkuat ke-pancer-an plasa. Plasa ini menjadi public space, yang bisa dipakai

masyarakat untuk jogging, berjalan-jalan, duduk-duduk, tempat anak-anak bermain-main

dan lain sebagainya.

Tulisan ini pernah dimuat di majalah Indonesia Design Vol. 5 No. 27 tahun 2008

Page 66: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

21

Hikayat Gereja Puhsarang, Kediri

Maclaine Pont alias Ndoro Klepon…

Sampeyan bukan Arsitek Kolonial

Gereja Puhsarang di Kediri, dirancang oleh Henri Maclaine Pont pada tahun 1936

dan selesai dibangun pada 1939. Maclaine Pont lahir di Meester Cornelis (Jatinegara)

Batavia pada 21 Juni 1884, pada umur 9 tahun kembali ke Belanda untuk memperoleh

pendidikan di sana. Pada tahun 1902, dia masuk ke Sekolah Tinggi Teknik Delft dan

lulus tahun 1909. Beberapa tahun menjadi pembantu arsitek di Belanda, lalu kembali ke

Jawa pada tahun 1911.

Menurut buku-buku teks sejarah asitektur, Maclaine Pont adalah arsitek Belanda

pada masa Kolonial, sehingga otomatis disebut sebagai arsitek Kolonial pula. Di sini,

saya ingin melihatnya dari sudut pandang lain, bahkan dengan sebutan lain untuk

Maclaine Pont, Ndoro Klepon, karena orang Jawa sering merubah lafal nama orang

Belanda atau orang asing yang sulit agar gampang diucapkan dengan lidah Jawa,

contohnya Jan Pieterzoon Coen menjadi Murjangkung, atau Herman Willem Daendels

menjadi Denmas Guntur Galak, juga Don Lopez Conte du Paris yang menjadi Holopis

Kuntul Baris. Sebuah simplifikasi lokal yang lebih akrab dan mengena.

Ndoro Klepon…

Sampeyan bukan arsitek Kolonial

Meskipun sampeyan bagian dari wong Londo yang menjajah

Tapi sampeyan tidak seperti mereka

Sampeyan seperti pohon asem di belakang rumah saya di desa

Yang tertancap makin kokoh dan makin dalam di buminya

Ndoro Klepon…

Sampeyan bukan arsitek Kolonial

Karena sampeyan tak pernah menjajah arsitektur Indonesia/Nusantara

Sampeyan justru ingin membebaskan

Meskipun sampeyan sendiri sakit-sakitan

Ndoro Klepon…

Sampeyan bukan arsitek Kolonial

Sampeyan bikin Gereja Puhsarang dari batu-batu

Yang tak pernah ada di Holland sana

Ini hanya ada di lereng Wilis, Kediri

Yang dulu pernah dibangun banyak candi-candi

Page 67: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

21

Ndoro Klepon…

Sampeyan bukan arsitek Kolonial

Sampeyan bikin Bunda Maria yang pake baju kebaya

Sepertinya rancangan Avantie (hehe…)

Sebuah kontemporerisasi yang bersahaja

Hmmmm… sampeyan bikin Ge-eR ibu-ibu di sini saja

Ndoro Klepon…

Sampeyan bukan arsitek Kolonial

Sampeyan bikin Gereja yang lesehan seperti di Masjid

Dengan background altar seperti ukiran Candi Hindu

Dengan iringan gamelan seperti pentas wayang orang

Sampeyan bukan hendak mencampur-aduk

Tetapi sampeyan memang jago sintesis-sinkretis

Seperti mencampur kopi, gula dan susu, enak tenan!

Ndoro Klepon…

Sampeyan bukan arsitek Kolonial

Sampeyan memburu sejarah lokal yang bukan sejarah sampeyan

Sampai ke akar-akarnya, sampai tulang-sumgsumnya

Hanya agar kami bisa ikut mengerti apa yang sebenarnya kami miliki

Lalu kami sekarang “merusaknya” lagi

Sekali lagi Ndoro, jika sampeyan tak berkenan, maafkan kami

Ndoro Klepon…

Sampeyan bukan arsitek Kolonial

Seandainya kami merdeka pun, tak masalah buat sampeyan

Karena sampeyan tak hendak memaksakan kehendak

Tapi tahukah sampeyan, kemerdekaan arsitektur kami masih semu

Kami masih terjajah dalam pola pikir dan pola desain

Banyak yang merayakannya di kampus-kampus, di biro-biro

Merantai dan memenjara diri sendiri dengan bangga

Ndoro Klepon…

Kalau saja sampeyan hidup di masa sekarang

Sampeyan akan disebut sebagai arsitek Poskolonial

Yang berani menyuarakan jeritan pihak yang dibungkam

Yang ditindas dan dipinggirkan, bahkan ingin ditiadakan

Sampeyan adalah suara “yang lain”

Mungkin saja akan menjadi pahlawan nasional

Page 68: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

21

Ndoro Klepon…

Dalam polemik sampeyan dengan Ndoro Klaker (Wolff Schoemaker)

Menunjukkan bahwa Ndoro Klaker lebih cenderung pada globalitas

Sedangkan sampeyan lebih condong pada lokalitas

Sampeyan memang ahlinya lokalisasi (proses pelokalan)

Hasilnya ya seperti Gereja Puhsarang ini

Lokalitas yang mengkini, tapi bukan meng-kuno

Ndoro Klepon…

Sampeyan tak bernafsu bikin bangunan besar

Yang monumental seperti istana raja-raja di Eropa

Tapi hanya membuat gereja desa yang kecil

Dengan “daya ledak” yang luar biasa

Hampir semua buku arsitektur Indonesia menyinggungnya

Hampir semua mahasiswa dan arsitek menziarahinya

Ndoro Klepon…

Sampeyan bukan arsitek Kolonial

Sampeyan itu seperti Douwwes Dekker

Tapi bukan di lapangan politik

Lapangan sampeyan adalah arsitektur

Dan sampeyan tak mendapat nama Indonesia yang mentereng

Tapi, semoga sampeyan lega saya sebut Ndoro Klepon saja

Maturnuwun

Kediri, Mei 2010

Page 69: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

22

Pondok Pesantren Turen, Malang Berarsitektur sebagai Laku

Pondok Pesantren yang terletak di Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Kabupaten

Malang ini memiliki nama yang panjang. Lengkapnya adalah Pondok Pesantren Bihaaru

Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah (Bi Ba’a Fadlrah). Artinya dalam bahasa Jawa:

Segarane, Segara, Madune, Fadhole Rohmat. Atau dalam bahasa Indonesia:

Samuderanya samudera, madunya, utamanya rahmat. Pondok ini didirikan oleh Romo

Kyai Ahmad Bahru untuk menyembuhkan penyakit hati para santri yang mondok di

pondok ini.

Menginjakkan kaki di pondok pesantren yang satu ini, pasti anda akan terkaget-

kaget dibuatnya. Bagaimana tidak, pondok ini dengan tampil dengan dekorasi yang

berbeda-beda motifnya dan juga ramai dengan warna-warni. Elemen-elemen bangunan

muncul dengan bentuk-bentuk yang “aneh”, janggal, ganjil, lucu dan kadang-kadang

seperti dilebih-lebihkan. Kita bahkan seperti dibawa ke alam imajinasi, dengan warna-

warna mencolok dan menyala di sana-sini, sepertinya sang empunya bangunan ingin

“menghipnotis” pengunjung yang datang. Ada semacam keanehan di sini, terutama

karena kita melihatnya dari kacamata arsitektur formal yang selama ini kita amini sebagai

arsitektur yang benar.

Jika kita melihat lebih jauh tentang proses berarsitektur di pondok pesantren ini,

kita akan tahu bahwa pondok itu dirancang tanpa seorang arsitek dan orang sipil satupun,

semua dikerjakan oleh orang yang awam dengan proses perancangan dan pendirian

bangunan. Dan itu berarti, pondok pesantren ini dibuat tanpa kaidah-kaidah perancangan

dan perencanaan arsitektur seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah arsitektur. Yang

lebih fantastis lagi, tanpa arsitek dan perhitungan struktur yang memadai, pondok

pesantren ini mampu mendirikan sebuah bangunan utama berupa tower setinggi sepuluh

lantai. Luar biasa! Bahkan sampai ada isu yang tak benar bahwa pembangunan pondok

pesantren ini dibantu oleh jin.

Ini sebuah arsitektur indigenous (asli) yang tak seperti arsitektur lain di mana pun

dan kapan pun, dan tidak mirip bangunan lain apapun. Di tempat lain, ada arsitektur

vernacular, arsitektur komunal, arsitektur tradisional, arsitektur adat dan lain-lain. Tapi

ini arsitektur yang sama sekali berbeda. Di sini, berarsitektur dijadikan sebagai laku,

sebagai terapi, sebagai ibadah, sebagai doa yang ditujukan untuk mengobati “penyakit

hati” seperti: iri, dengki, marah, cemburu, serakah, arogan, sombong dan lain-lain.

Bukankah ini juga sebuah metode yang belum ada di tempat lain?

Meski demikian, karya yang dibuat sungguh spektakuler, dengan menara-menara

yang mencuat di sana-sini. Perayaan ornamennya mirip dengan arsitektur Gothik yang

pernah berkembang di Eropa. Arsitektur Gothik erat kaitannya dengan dematerialisasi,

material dihias sedemikian rupa hingga hilang rasa materinya, seperti berubah menjadi

wujud lain. Di pondok pesantren ini, seakan-akan arsitektur Gothik dijadikan sebagai

laku. Jika di Eropa, bangunan Gothik dirancang oleh arsitek, di sini dirancang dan dibuat

berdasarkan petunjuk sang Kyai (Kyai sendiri mendapatkan dari Shalat Istikharah,

mohon petunjuk dari Allah langsung). Petunjuk tadi harus dijalani dengan ikhlas, sabar

dan tekun.

Page 70: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

22

Di sinilah, arsitektur tercipta dari penyerahan diri secara total kepada petunjuk

Yang Maha Kuasa, manusia hanya sebatas nglakoni (menjalani saja). Sajak Rumi yang

ini seperti menemukan dunianya:

but if you can break free (tapi jika kamu dapat memecah kebebasan)

from this dark prison named body (dari penjara gelap bernama tubuh)

soon you will see (segera kamu akan melihat)

you are the sage and the fountain of life (kamu adalah si bijak dan mata air kehidupan)

Bearsitektur a la Rumi

Jika Jalaluddin Rumi bersufi-ria dengan sajak-sajak yang digubahnya, yang mana

Tuhan diumpamakannya sebagai anggur yang memabukkan, yang membuat jiwanya

seperti melayang-layang, mengalamai ekstase yang luar biasa, yang setiap malam

diajaknya berasyik-masyuk dalam buaian rindu yang tak henti menabuh detak jantungnya

dan menggema terus-menerus di rongga hatinya. Keadaan inis sering disebut sebagai

“dimabuk Tuhan”.

Di pondok pesantren Turen ini, para santri juga mengalami seperti apa yang

dialami oleh Rumi, tetapi bukan dengan media puisi atau syair. Medianya tak tanggung-

tanggung, arsitektur, rancang-bangun gedung. Mereka setiap harinya merancang dan

mencetak detail-detail ornamen, membuat kolom dan balok sebagai struktur bangunan,

mengecat bagian yang perlu dicat, semua itu sebagai alat mendekatkan diri dengan

Tuhan, menghilangkan penyakit-penyakit hati yang menggerogoti manusia (iri, dengki,

marah dan lain-lain). Sedikit demi sedikti, penyakit hati itu dihilangkan dengan secara

khusyu’ berarsitektur. Rumi pernah menyatakan:

Your task is not to seek for love, but merely to seek and find all the barriers within

yourself that you have built against it.”

Artinya kurang lebih: “Tugasmu bukanlah mencari cinta, tetapi hanya mencari dan

menemukan semua penghalang dalam dirimu sendiri yang telah kamu bangun untuk

melawan cinta”.

Jadi, para santri itu berarsitektur bukan untuk menemukan keindahan atau

keelokan, tetapi untuk menghancurkan penghalang-penghalang dalam hati yang menutupi

keindahan dan keelokan itu. Keindahan dan keelokan yang terjadi adalah hasil dari

melawan penghalang-penghalang dalam hatinya itu, dan hasilnya adalah sebuah

penyingkapan yang begitu dahsyat dalam berarsitektur.

“When I am with you, we stay up all night.

When you're not here, I can't go to sleep.

Maka tak heran jika ada santri yang selama berhari-hari asyik membangun tanpa henti,

siang dan malam. Dengan berasitektur itu, dia mampu menemukan keindahan Tuhan

dalam hatinya, yang mampu membuatnya terus terjaga sepanjang siang dan malam.

Hatinya dipenuhi rasa syukur, ikhlas, pasrah dan sabar yang membuatnya tidak tidur.

Page 71: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

22

Melampaui Mies van Der Rohe

Ludwig Mies van Der Rohe, seorang tokoh arsitektur Modern pernah

menyatakan: God is in the details, Tuhan ada di dalam detail. Maksud dari Mies van der

Rohe adalah detail arsitektur harus dibuat dengan jujur, tidak mengada-ada, sesuai

dengan karakter material, efisien, fungsional dan tepat. Dari situlah akan memancar daya

kebenaran, yang dalam tingkat tertingginya bisa disebut sebagai Tuhan.

Apa yang dikatakan Mies di atas jelas berada dalam konteks Arsitektur Modern,

yang meletakkan kebenaran di atas segalanya. Dalam konteks arsitektur Modern ini,

arsitektur harus logis dan rasional, atau dengan kata lain: arsitektur mesti menggunakan

akal-pikiran, agar tercipta sebuah karya yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah,

tanpa ada mitos atau takhayul di dalamnya.

Sedangkan yang dilakukan oleh santri-santri di Pondok Pesantren Turen ini jauh

melampaui dari apa yang dinyatakan oleh Mies. Mereka tidak memperlakukan material

sebagai fungsi yang benar belaka. Mereka menjiwai material itu seperti seorang pemuda

yang mencintai kekasihnya, yang setiap malam diajaknya “berkencan” dengan mesra dan

penuh perhatian. Dari situlah jiwanya bisa mengikis kekuatan-kekuatan negatif yang

bercokol dalam hati dan bisa membuatnya menjadi bersih kembali.

Mereka menerima petunjuk dari Kyai bukan sebagai tugas, tetapi sebagai sebuah

jalan hidup yang mesti dijalani (laku), tanpa dialog, tanpa tanya-jawab. Bukankah selama

ini seperti itu juga hidup kita? Kita menerima apa yang yang digariskan oleh Tuhan,

karena apa yang diberikan adalah apa yang terbaik bagi kita. Dari sudut pandang ini (apa

yang kita terima adalah yang terbaik) menjadi energi positif untuk selalu optimis.

Sehingga ketika mereka (yang jelas-jelas awam tentang arsitektur dan ilmu bangun-

membangun gedung) mendapat petunjuk untuk membangun tower sepuluh lantai, mereka

menerima dan yakin bisa membangunnya. Dan akhirnya benar, bangunan itu benar-benar

terwujud. Siapa yang bisa melawan kekuatan hati yang bebas?

Page 72: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

22

Tentang Penulis

Anas Hidayat, seorang arsiteks (arsitek dengan teks) yang lahir pada Minggu

Wage tanggal 7 Oktober 1973. Pendidikan dasar hingga menengah diselesaikannya di

kota kelahirannya yang indah di Kediri, yang dibelah oleh Kali Brantas dan terletak di

antara Gunung Wilis dan Kelud. Kemudian menempuh pendidikan tinggi arsitektur di

Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya antara tahun 1992 – 1999,

pendidikan S2 (magister) ditempuh di ITS juga dengan mengambil bidang keahlian

Perancangan dan Kritik Arsitektur yang dirampungkan pada tahun 2002.

Menyukai studi-studi “bebas” tentang arsitektur, terutama yang berkaitan dengan

Arsitektur Nusantara (khususnya arsitektur Jawa) dan juga studi dengan metode-metode

yang non-konvensional dalam Sejarah Arsitektur dan (tentang) Perancangan Arsitektur.

Pada tesis magisternya mengangkat isu Primbon Jawa yang ditandingkan dengan

Hermenutik (filsafat penafsiran) dari filsuf Jerman Hans-Georg Gadamer. Semboyan

yang paling disukainya adalah umwertung aller werte (penjungkirbalikan semua nilai)

dari sang Uebermensch Friedrich Nietzsche.

Sehari-hari, Anas bekerja di dpavilion think tank, divisi riset dari dpavilion

architects sejak tahun 2007. Selain itu, juga menjadi Dosen Luar Biasa di jurusan

Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika (UKDC) Surabaya sejak tahun 2002 dan

di program studi Desain Komunikasi Visual/DKV Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” (UPN) Surabaya sejak tahun 2009.

Riwayat kepenulisan arsitekturnya dimulai dari menjadi editor rubrik Arsitekturia

di harian Suara Indonesia (2005-2006), lalu rubrik Wastu di harian Surabaya Post (2008-

2010). Tulisan-tulisannya juga pernah dimuat di Jawa Pos, Surya dan Kompas Jawa

Timur, juga di majalah arsitektur dan desain seperti Indonesia Design, Asri, Laras dan

lain-lain. Makalah seminarnya yang berjudul: Ruang Jawa, Ruang Sangkan-Paran

menjadi bagian dari buku Ruang di arsitektur Jawa; sebuah wacana yang diterbitkan

Wastu Lanas Grafika (2009). Selama di dpavilion think tank ikut membidani lahirnya 3

buku dpavilion architects, yakni Contemporaria (tidak diterbitkan), Arsitektur adalah

Kegelisahan (2008) dan Ubah (2010).

Anas Hidayat tinggal di Surabaya Timur, tepatnya di Jl. Wisma Permai V no 6

Surabaya, no hp: 081 2313 4293, email: [email protected]

Page 73: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

22

Indeks (Topik-Nomer Tulisan)

A

Agraris 05

Akhudiat 05

Arek Suroboyo 02, 05

Alun-alun 18, 19

Ampel 01

Arab, Kampung 06

Arsitek 10, 11, 12, 13

B

Balai Pemuda 15

Bangli, Bangunan Liar 03

Batavia 06, 21

Batu, Kota 12, 13

Belanda 02, 21

BNS Batu Night Spectacular 09, 12

C

Candi 15, 16

Cikar 06

Container-Contertainer 17

Convivial 08

D

Daendels 05, 21

DeMaya, Desainer Muda Surabaya 14

Desa 05

Desain 02, 08

Descartes, Rene 03

Desire 06

Developer 03

Diorama 13

Doric 06

Dpavilion 9, 10, 11, 12, 13

E

Ecological Architecture 14

Ekonomi 08

Elemen sejarah 06

F

Feodal 05

Fosil 13

G

Garden Palace Hotel 07, 15

Gazebo 14

Gunungan 16

Gereja 21

H

Halte 02

Hibrid 01

Hotel Bumi 07

I

Ide 08

Idrus 05

Indische Empire 06

Indonesia 05

Insectarium 11 13

Interpretasi 07

J

Jalan Raya Pos 05

Jatim Park 9, 10

Jawa 16, 18

Jawa Timur 09, 16

Jejak Sejarah 06

Jogjakarta 05

Jayabaya 06, 19

Juling 02

K

Kali Code 03

Kali Jagir 03

Kampung 01, 02

Kayon 16

Kayu 14

Ken Arok 10

Kere bisa Hore 09, 12

Kediri 21

Kolonial 06, 21

Komoditas 17

Kosmologis 18

Kota 01, 02, 05

Kraton 18

Kreatif 08

Kumuh 03

Kyai 22

Page 74: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

22

L

Lamongan 11, 18, 19

Lampion Garden 12

Layer Sejarah 15

Lingga-yoni 10

Lokal 15, 16, 21

M

Maclaine Pont, Henry 21

MADcahyo 14

Majapahit 15, 16

Maria, Bunda 21

Marjinal 03

Masterplan 01

Masyarakat 08

Merapi 18

Minaret 06

Modern 03

Mojokerto 15

Museum Satwa 13

N

Nafarin, Edwin 10, 11, 12, 13, 19

NICA 02

Nusantara 14, 21

Nyai Ontosoroh 01

O

Open Space 18

Orde Baru 18

P

Pakubuwono II 16

Paradoks 02

Paranoid 04

Parthenon 13

Pecinan 02

Perpustakaan 17

Pers 05

Pesantren 22

PIM Pusat Informasi Majapahit 15

PKL 02

Poliklinik 17

Poskolonial 21

Pramoedya Ananta Toer 01, 05

Prijotomo, Josef 07, 19

Public Space 18

Puhsarang, Gereja 21

Punden Berundak 10

R

Rendra 05, 09

Reklame 04

Romo Mangun 03

Ruang 04

Rumah 14

Rumi, Jalaluddin 22

S

Sastra 05

SDW Surabaya Design Week 08

Secret Zoo 13

Sejarah 06 10

Sekutu 05

Sidoarjo 20

Siola 07

Slametan 16

Spirit 06

Stigma 03

Sufi 22

Suharto 03, 05

Sukarno 03, 05

Sunan Drajad 11

Surabaya 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08

Surabaya Heritage 02

Surabaya Post 07

T

Tajug 14

Tanjung Kodok 11

Teratai 20

Theme Park 09, 10, 11, 12, 13

Toponimi 01

Trem 06

Trotoar 02

Turen 22

U

Ujung Galuh 01

Uang 04

Page 75: Pengantar Penulis - repositori.ukdc.ac.id

22

W

Warna 07

WBL Wisata Bahari Lamongan 11

Wonokromo 01

Y

Yani Golf 04

Z

Zaman 07

Ziarah 11, 21, 22