pengamalan pancasila dalam implementasi otonomi daerah

36
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH” PENDAHULUAN Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan dasar hukum pembentukan Pemeritahan Daerah,menghendaki pembagian Wilayah Indonesia atas daerah besar dan kecil,dengan bentuk dan susunan ditetapkan dengan Undang-undang.Dan pembentukan daerah besar dan kecil tersebut harus tetap memperhatikan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Prof. Soepomo menyatakan bahawa Otonomi Daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut riwayat adat dan sifat-sifat sendiri- sendiri,dalam kadar Negara kesatuan.Tiap daerah mempunyai histories dan sifat khusus yang berlainan dari riwayat dan sifat daerah lain.Karena itu,Pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu model. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,yang dimaksud daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah,adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 1

Upload: suli-gazatri

Post on 11-Aug-2015

265 views

Category:

Documents


31 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

Page 1: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

PENDAHULUAN

Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan

dasar hukum pembentukan Pemeritahan Daerah,menghendaki

pembagian Wilayah Indonesia atas daerah besar dan

kecil,dengan bentuk dan susunan ditetapkan dengan Undang-

undang.Dan pembentukan daerah besar dan kecil tersebut harus

tetap memperhatikan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah

yang bersifat istimewa.

Prof. Soepomo menyatakan bahawa Otonomi Daerah

sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut

riwayat adat dan sifat-sifat sendiri-sendiri,dalam kadar Negara

kesatuan.Tiap daerah mempunyai histories dan sifat khusus yang

berlainan dari riwayat dan sifat daerah lain.Karena itu,Pemerintah

harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud akan

menguniformisir seluruh daerah menurut satu model.

Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah,yang dimaksud daerah otonom yang

selanjutnya disebut daerah,adalah kesatuan masyarakat hukum

yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur

dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia.Sedangkan yang dimaksud Otonomi Daerah adalah

kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 1

Page 2: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

perundang-undangan.

Lebih lanjut Undang-undang Nomor 32 Tahun

2004,meletakan titik berat otonomi daerah pada Daerah

Kabupaten dan Daerah Kota,dengan prinsip otonomi seluas-

luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan

mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi

urusan Pemerintah. Peletakan otonomi daerah pada Pemerintah

Kabupaten dan Kota bertujuan lebih mendekatkan fungsi

pelayanan kepada msyarakat.Hal ini sejalan dengan konsepsi

Hatta,yang mengemukakan bahwa apabila kita mau

mendekatkan demokrasi yang bertanggung jawab kepada

rakyat,melaksanakan cita-cita lama yang tertanam dalm

pengertian “pemerintah yang diperintah”,maka sebaik-

baiknyalah titik berrat pemerintahan sendiri diletakan pada

Kabupaten.

Disamping itu juga prinsip otonomi yang nyata dan

bertanggung jawab.Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip

bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan

berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban senyatanya telah

ada dan berpotensi untuk tumbuh,hidup dan berkembang sesuai

dengan potensi dan kekhasan daerah.Sedangkan otonomi yang

bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam

penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan

dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk

memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan

rakyat yang merupakan bagian utama darai tujuan nasional.

Tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah

(desentralisasi) adalah,disatu pihak,membebaskan pemerintah

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 2

Page 3: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani

urusan domestic,sehingga ia berkesempatan untuk

mempelajari,memahami,merespon berbagai kecenderungan

global dan mengambil manfaat dari padanya pada saat yang

sama,pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi

pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat

strategis.Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan ke

daerah,maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan

yang signifikan.Kemampuan prakarsa dan kreativitas Kabupaten

dan Kota akan terpacu,sehingga kapabelitas dalam mengatasi

berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Desentralisasi

merupakan simbol “kepercayaan” dari pemerintah pusat, dalam

sitem yang sentralistik mereka tidak biasa berbuat banyak dalam

mengatasi berbagai masalah,dalam sistem otonomi mereka di

tantang untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi atas

berbagai masalah yang dihadapi.

Dengan titik berat otonomi pada Kabupaten dan

Kota,maka Indonesia telah melakukan transformasi dalam

hubungan antara pemerintah pusat,provinsi dan kabupaten/kota

yang menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 hanya

merupakan kepanjangan tangan pusat di daerah.Dalam Undang-

undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah telah dibuka saluran baru (kran) bagi pemerintah provinsi

dan kabupaten/kota untuk mengambil tanggung jawab yang lebih

besar dalam pelayanan umum kepada masyrakat setempat,untuk

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Penyesuaian kewenangan dan fungsi penyedian

pelayanan antara pemerintah pusat,provinsi, dan kabupaten/kota

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 3

Page 4: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

sudah memuat tujuan baik politis maupun teknis.Secara

politis,desentralisasi kewenangan pada masing-masing daerah

menjadi perwujudan dari tuntutan reformasi seperti direfleksikan

dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang selanjutnya

ditekankan kembali dalam Rencana Jangka Menengah

Nasional.Sedangkan secara teknis masih terdapat sejumlah besar

langkah-langkah yang harus dilaksanakan untuk menjamin

penyesuaian kewenangan dan fungsi-fungsi tersebut secara

eefektif.

Untuk menjamin proses desentralisasi berlangsung dan

berkesinambungan,pada prinsipnya acuan dasar dari otonomi

daerah telah diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan

perundangan lainnya.

Dalam acuan dasar tersebut setiap daerah harus

membentuk suatu paket otonomi yang konsisten dengan

kapasitas dan kebutuhannya.Dalam Negara yang majemuk

seperti Indonesia ini, satu ukuran belum tentu cocok untuk

semua.Oleh karena itu dalam penyusunan paket otonomi

pemeritah daerah perlu melibatkan komunitas-komunitas

lokal,termasuk DPRD.

SEKILAS OTONOMI SAAT INI

Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, yang dimaksud daerah otonom yang

selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 4

Page 5: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur

dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Sedangkan yang dimaksud otonomi daerah adalah

kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Otonomi daerah merupakan kebijakan yang sangat bagus

untuk diterapkan agar supaya daerah-daerah mempunyai

peranan dalam mengatur rumah tangganya secara mandiri.

Kebijakan otonomi daerah dengan maksud awal untuk mengubah

orientasi pertumbuhan baik itu dibidang ekonomi, sosial budaya,

maupun politik ke arah orientasi pemerataan pembangunan antar

daerah seperti yang diungkapkan oleh Hadi (1993). Proyek ini

selanjutnya ditindaklanjuti dengan keluarnya repelita, namun

repelita saja tidak cukup sehingga keluarlah Undang-Undang

No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat

dan Daerah. Perundangan yang terbaru, Undang-Undang No. 32

tahun 2004 yang berisi pengaturan revisi otonomi daerah.

Pratikno dikutip oleh Karim (2003) menegaskan sangat

boleh jadi undang-undang tersebut bukan merupakan sebuah

pilihan final. Untuk menjadikannya final, diperlukan sebuah

penyepakatan komitmen untuk menjadikan desentralisasi itu

sebagai referensi utama dalam penataan hubungan pusat dan

daerah. Memang selama ini masih terjadi kebingungan

pemerintah untuk mengatur perimbangan kekuasaan tersebut,

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 5

Page 6: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

masing-masing daerah tidak seragam dan sangat heterogen.

Karim (2003) mengargumentasikan bahwa Indonesia senantiasa

kesulitan dalam mencari format ideal bagi desentralisasi politik

dan otonomi daerah. Derajat heterogenitas geografis maupun

sosial budaya yang cukup tinggi, maka daerah cenderung

menuntut kekuasaan yang lebih besar.

Padahal jika dirunut dalam manfaat, jika penerapan

desentralisasi melalui otonomi daerah dilaksanakan dengan baik

dan tanpa hambatan, akan memberikan keuntungan yang lebih

bagi daerah maupun pusat sebagai central government. Pratikno

(2007) memaparkan keuntungan kerjasama antar daerah dalam

konteks desentralisasi. Beberapa diantaranya yaitu manajemen

konflik antar daerah, efisiensi dan standardisasi pelayanan,

pengembangan ekonomi bersama, dan pengelolaan lingkungan

yang menjadi incaran negara-negara maju saat ini.

Namun dari manfaat yang akan didapat selama penerapan

desentralisasi, faktanya untuk saat ini masih banyak masyarakat

merasa kurang puas akan hasil yang dicapai otonomi daerah.

Pengaturan yang dilakukan hendaknya perlu penanganan khusus

dikarenakan kondisi Indonesia sangatlah kompleks. Sebagaimana

pendapat Ratnawati (1993), mengatur dan melaksanakan

desentralisasi di negara kesatuan seperti Indonesia tidaklah

semudah seperti pada negara-negara kecil yang wilayahnya tidak

begitu luas dengan kondisi sosial budaya yang relatif rendah

heterogenitasnya. Sepakat dengan pendapat tersebut, terlepas

dengan berbagai dugaan tentang keburukan otonomi daerah

yang lain, perlu digarisbawahi pada aspek sosial budaya

Indonesia.

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 6

Page 7: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

PEMBAHASAN

Permasalahan Pelaksanaan Otonomi Daerah

Proses implementasi otonomi daerah yang sudah

berjalan sejak 1 Januari 2000 yang lalu,dalam pelaksanaannya

tidaklah berjalan mulus dan masih menghadapi kendala-

kendala,baik itu pada tataran konsepsional maupun praktek-

praktek lapangan yang jika tidak dilakukan perbaikan segera

akan menghambat tujuan otonomi itu sendiri.

Berdasarkan evaluasi permasalaahan-permsalahan yang

muncul dalam implementasi otomi daerah tersebut dapat

dikemukakan sebagai berikut :

1. Masih ada anggapan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 adalah Undang-Undangnya Departemen Dalam

Negeri.Padahal Undang-Undang itu apabila sudah

diundangkan diperlakukan untuk semua warga Negara,untuk

semua institusi dan lembaga apapun.

2. Ada gejala cukup kuat dalam pelaksanaan otonomi

daerah,yaitu konflik horizontal yang terjadi antara pemerintah

provinsi dengan pemerntah kabupaten /kota,sebagai akibat

dari penekanan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang

menekankan bahwa tidak ada hubungan hierarkhis antara

pemerintah provinsi dengan pemerintah

kabupaten/kota,sehingga pemerintah kabupaten /kota

menganggap kedudukannya sama dan tidak ta’at kepada

pemerintah provinsi.Ada arogansi pemerintah kabupaten

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 7

Page 8: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

/kota,karena tidak ada sanksi apabila ada pelanggaran dari

pemerintah kabupaten /kota.

3. Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala etno-

sentrisme atau fenomena primordial kedaerahan semakin

kuat.Indikasi etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa

kebijakan di daearah yang menyangkut pemekaran

daerah,pemilihan kepala daerah,rekrumen birokrasi local dan

pembuatan kebijakan lainnya.

4. Ada kelemahan dalam kaitan pelaksanaan otonomi daerah

yang memicu konflik dalam perspektif sosiologis.Pertama,

pemerintah belum memiliki Rencana Umum Pembangunan

Sosial Budaya.Kedua, pemerintah pusat kurang memberi

perhatian terhadap pengembangan kelembagaan dalam

bidang social budaya yang mampu membuat “critical analysis”

yang bersifat holistic dan societal mengenai dampak berbagai

macam kebijakan departemen yang bersifat sektoral maupun

kebijakan daerah terhadap integrasi nasional.Ketiga, guna

mencegah gerakan yang bersifat separatis perlu adanya

sosialisasi yang menetralisir gerakan tersebut.

5. Pelaksanaan otonomi daerah juga masih memunculkan

problematik seperti masalah kewenangan, kelembagaan,

kepegawaian, dan keungan daerah.Sebagai misal mengenai

kewenangan masih ada tarik ulur pemerintah pusat seperti

kewenangan pertanahan, keluarga berencana dan lain-

lain’bahkan ada upaya lembaga pusat yang menghendaki

sentralistik lagi dengan membentuk Unit Pelayanan Teknis

(UPT) di daerah.Mengenai kepegawaian karena

kewenangannya ada pada kabupaten/kota,maka kesulitan

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 8

Page 9: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

yang muncul untuk pemerataan,kareana ada sementara

daerah yang sumber daya manusianya belum

memadai.Sementara itu, karena pengaturan dan pemanfaatan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota

tergantung Bupati/Walikota,maka ada sementara daerah yang

Bupati/Walikota nya lebih mementingkan membeli kendaraan

dinas atau membiyai sepak bola dari pada untuk kepentingan

masyarakat banyak.

6. Kewenangan DPRD untuk mewujudkan demokrasi tingkat lokal

ternyata jauh dari harapan, karena para wakil rakyat lebih

banyak memikirkan kepentingan sendiri daripada kepentingan

masyarakat.Akibatnya partisipasi masyarakat yang semula

tinggi jadi mengendur.Disamping juga belum ada lembaga

kontrol DPR dan DPRD,sehingga meskipun sitem pemerintahan

kita menganut kabinet presidensiil tapi kenyataannya apabila

terjadi persengketaan yang menang selalu legislative.

7. Ada sementara orang yang melihat bahwa pelaksanaan

otonomi daerah justru memindahkan korupsi dari pusat ke

daerah dan menciptakan raja-raja kecil di daerah.Karena

banyak kasus Kepala Daerah atau anggota DPRD yang

belakangan terbukti menyalah gunakan kekuasaan.

8. Pelaksanaan otonomi daerah juga memunculkan kesulitan

pemerataan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan

kapasitas industri antar daerah yang antara yang satu dengan

lainnya.

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 9

Page 10: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

PENGAMALAN PANCASILA DALAM

IMPLEMENTASI OTODA

Berdasarkan pengalaman, terbukti bahwa pola sentralisasi

pemerintahan cenderung menimbulkan ekonomi biaya tinggi,

akibat lambannya birokrasi.Selain itu, pola sentralisasi tidak

mendorong kreativitas dan motivasi untuk membangun melalui

pola pembangunan yang bersifat partisipatif.Lagi pula, kondisi

geografis Indonesia dengan wilayah yang menyebar terpencar

membuat masalah pembangunan nasional demikian

kompleks.Dalam pada itu,pembangunan tidak hanya

diorientasikan pada dimensi optimalisasi dukungan dan

pengembangan sumber daya di daerah, tetapi juga pada dimensi

persatuan dan kesatuan.

Kedua dimensi inilah yang menjadi dasar dari peletakan

otonomi daerah pada kabupaten dan kota, melalui penyerahan

sebagian urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.Di

masa lalu, banyak masalah terjadi di daerah yang tidak

tertangani secara baik karena keterbatasan kewenangan

pemerintah daerah di bidang itu.Ini berkenaan antara lain dengan

konflik pertanahan, kebakaran hutan, pengelolaan

pertambangan, perijinan investasi, perusakan lingkungan, alokasi

anggaran dari dana subsidi pemerintah pusat, penetapan

prioritas pembangunan, penyusunan organisasi pemerintahan

yang sesuai dengan kebutuhan daerah, pengangkatan dalam

jabatan struktural, perubahan batas wilayah administrasi,

pembentukan kecamatan, kelurahan dan desa, serta pemilihan

kepala daerah.Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22

tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun

2004, kewenangan itu didesentralisasikan ke daerah. Artinya

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 10

Page 11: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus

rumah tangganya sendiri secara bertanggung jawab.Pemerintah

pusat tidak lagi mempatronase, apa lagi mendominasi

mereka.Peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi ini

adalah melakukan supervise, memantau, mengawasi dan

mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah.

Tadi telah disampaikan bahwa meskipun otonomi daerah

telah dilaksanakan lebih dari sepuluh tahun namun masih

dijumpai kendala-kendala dalam implementasinya.Pemecahan

terhadap permasalahan implementasi otonomi daerah tadi, sudah

barang tentu harus di dasarkan pada norma dasar, sebagaimana

teori Hans Kelsen “Stufenbau des Recht- nya”(Zainudi Ali: 2005),

yang di Indonesia adalah Pancasila.Ideologi Pancasilla ini,

tentunya tidak bias dipisahkan dari UUD 1945,NKRI dan Bhinika

Tunggal Ika,karena keempat-empatnya adalah merupakan pilar-

pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Adapun langkah-langkah pemecahan permasalahan

implementasi otonomi tersebut, dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Permasalahan adanya anggapan bahwa UU No 32 Tahun

2004,sebagai UU Departaman Dalam Negeri

Sebagaimana diketahui, undang-undang dibuat dalam

suatu Negara di berlakukan secara universal, berlaku untuk

semua warga Negara,bukan untuk golongan atau institusi

tertentu.Karenanya adalah tidak benar adanya anggapan bahwa

UU No 32 tahun 2004, adalah sebagai UU nya Departemen Dalam

Negeri, tetapi merupakan UU nya seluruh warga Negara dan

lembaga yang ada di Indonesia, sehingga ada kewajiban untuk

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 11

Page 12: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

melaksanakan dan mematuhinya.

Untuk itu sebenarnya ada pula kewajiban Departemen dan

Lembaga Non Departemen yang ada di tingkat pusat untuk ikut

mensosialisasikan keberadaan UU No 32 tahun 2004 ini kepada

jajarannya, sehingga otonomi daerah dapat berjalan seperti yang

diharapkan.Pada kenyataannya adanya anggapan ini sangat

mengganggu penyelenggaraan otonomi daerah, karena ada

sebagian Departemen dan Lembaga Non Departemen yang

belum menyerahkan sebagian kewenangannya.Terhadap hal ini

diperlukan adanya ketegasan dari pemerintah pusat kepada

Departemen dan Lembaga Non Departemen yang belum

menyerahkan kewenangan kepada daerah, bila perlu dengan

pemberian sanksi kepada Menteri atau Pimpinannya,sehingga

dapat ditegakan Negara Keatuan Republik Indonesia.

 

2. Permasalahan, Konflik antara Pemerintah Provinsi dengan

Pemerintah Kabupaten/Kota

Permasalahan ini berpangkal pada penekanan UU No 22

tahun 1999 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan

hierarkhis antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah

Kabupaten/Kota.Hal ini pada kenyataannya menimbulkan

arogansi pemerintah kabupaten/kota tidak ta’at asas dengan

pemerintah provinsi, sebagai misal undangan rapat oleh

Gubernur jarang yang dihadiri oleh Bupati/Walikota secara

pribadi, Bupati /Walikota sering ke pemerintah pusat tanpa

melapor kepada Gurbernur.Bahkan ada seorang Bupati yang

tidak mau diperiksa oleh Gubernur.Meskipun UU 22 tahun 1999

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 12

Page 13: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

telah diubah dengan UU No 32 tahun 2004, keadaan semacam ini

masih terjadi, sehingga muncul pandangan bahwa saat itu

pemerintah provinsi di dzolimi oleh pemerintah

kabupaten/kota.Kondisi ini terdukung oleh, tidak diaturnya sanksi

yang oleh UU No 32 tahun 2004 bagi Bupati/Walikota yang

kinerjanya tidak baik serta tidak ta’at asas terhadap pemerintah

provinsi.

Permasalahan ini telah diupayakan pemecahannya oleh

pemerintah pusat denga dikeluarkannya Peraturan Pemerintah

Nomor 19 tahun 2010 tentang “Tata Cara Pelakanaan Tugas Dan

Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil

Pemerintah Di Wilayah Propinsi”,

Dalam pasal 3 PP 19 tahun 2010 tersebut disebutkan

bahwa Gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki tugas

melaksanakan urusan pemerintahan meliputi antara lain ;

koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah

daerah provinsi dengan instansi vertikal dan antar instasi vertikal,

koordinasi penyelenggaraan pemerintah antara pemerintah

daerah provinsi dengan pemerintah daerah

kabupaten/kota,pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan

pemerintahan daerah kabupaten/kota,menjaga kehidupan

berbangsa dan bernegara serta memelihara keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia,menjaga dan mengamalkan ideologi

Pancasila dan kehidupan demokrasi,dan lain sebagainya.

Pasal 4 PP 19 tahun 2010 tersebut,menyebutkan Gubernur

sebagai wakil Pemerintah memiliki wewenang : mengundang

rapat Bupati/Walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan

instansi vertikal,meminta kepada Bupati/Walikota beserta

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 13

Page 14: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

perangkat daearah dan pimpinan instansi vertikal untuk segera

menangani permasalahan penting dan/atau mendesak yang

memerlukan penyelesaian cepat,memberikan penghargaan atau

sanksi kepada Bupati/Walikota terkait dengan kinerja,

pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran sumpah

janji,menetapkan sekretaris daerah Kabupaten/Kota sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,mengevaluasi

rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah – pajak daerah – retribusi daerah – dan tata ruang

wilayah kabupaten/kota, memberikan persetujuan tertulis

terhadap penyidikan anggota DPRD kabupaten/kota,dan lainnya.

Namun demikian,PP ini sampai sekarang belum ada

peraturan pelaksanaannya, sehingga pelaksanaannya belum

efektif seperti yang diharapkan

 

3. Permasalahan Munculnya Gejala Etno-Sentrisme atau

Fenomena Kedaerahan

Fenomena etnosentrisme mulai berkembang, sejak awal

tahun 2000 waktu pemilihan Kepala Daerah berdasarkan

ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mulai

ditetapkan.Masyarakat daerah setempat ramai-ramai menuntut

calon gubernur,bupati dan walikota beserta para wakilnya berasal

dari “PAD” (Putra Asli Daerah).Mereka menekan DPRD agar

memenuhi aspirasi tersebut, sehingga ada DPRD yang

kebablasan mencantumkan persyaratan Putra asli Daerah dalam

Tata Tertib Pemilihan. Padahal dalam Undang-Undang

Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1999 hanya diatur “sang

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 14

Page 15: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

calon mengenal daerahnya dan dikenal masyarakat di

daerahnya” (Pasal 33 huruf j).

Mulai tahun 2000 aroma etnosentrisme juga merebak ke

arena Laporan Pertanggung-jawaban (LPJ) Kepala

Daerah.Kelompok etnik dibawa-bawa orang politik untuk

mendukung atau menolak LPJ yang menimbulkan efek jelek

terhadap kualitas kehidupan bersama kelompok masyarakat,

seperti tampak jelas dari kasus penyerangan Forum Betawi

Rempuk (FBR) yang pro Gubernur Stiyoso terhadap kelompok

Urban Poor Concortium (UPC) yang anti Gubernur Sutiyoso di

Ibukota Jakarta akhir Maret 2002.

Perkembangan penyakit etnosentrisme semakin meruyak

manakala otonomi daerah dilaksanakan secara efektif terhitung 1

Januari 2001.Sebagian Pegawai Negeri Sipil (PNS) eks Kantor

Wilayah (Kanwil) dan Kantor Departemen (Kandep) yang

dilikwidasi ditolak pengalihannya oleh Pemda, gara-gara mereka

bukan berasal dari etnik daerah yang bersangkutan.Atau kalau

toh diterima, mereka menjadi PNS “kelas dua”.Misalnya ,jika

Dana Alokasi Umum (DAU) kurang mereka lah yang pertama-

tama diancam akan dikorbankan.Yang lebih parah lagi, setelah

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Daerah (Pemda)

ditetapkan, pejabat-pejabat yang dipromosikan yang

dipromosikan menduduki struktur organisasi Pemda tersebut

lebih diutamakan Putra Asli Daerah, kendatipun qualifikasi

mereka belum mencukupi.Mereka yang memiliki kompetensi

tetapi bukan Putra Asli Daerah tidak mendapat jabatan strategis

atau bahkan di-non-job-kan.Begitu pula dalam penerimaan

pegawai baru, orang-orang di daerah tersebut menuntut calon

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 15

Page 16: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

PNS harus berasal dari etnik daerah itu.

Belakangan ini “wabah” etnosentrisme melanda pula

wilayah lembaga legislative daerah kita. Mulai terdengar suara

agar DPRD dipimpin dan diisi oleh anggota-anggota dari kalangan

Putra Asli Daerah.Mereka yang bukan PAD harus

disingkirkan.Walaupun suara itu belum cukup kencang,tetapi

kalau dicermati asal-usulnya terlihat dari rasa frustrasi

masyarakat daerah setempat yang calonnya dari kalangan PAD

tidak gol menjadi KDH,karena lemahnya dukungan anggota

dewan.Maka guna memenangi pemilihan KDH, jumlah anggota

DPRD dari PAD harus dilipatgandakan.

Selain itu , juga muncul fenomena anggota DPRD dari PAD

juga mencuat pada waktu pengisian anggota dewan di daerah

pemekaran.Sesuai Undang-Undang Pembentukan Daerah

Otonom, anggota DPRD Daerah Induk yang berasl dari daerah

pemekara harus “pulang kandang”ke DPRD daerah pemekaran

tempat di mana yang bersangkutan dicalonkan dalam Pemilihan

Umum.Ada banyak kasus anggota dewan tersebut bukan PAD.

Mereka ini kemudian ditolak pulang menjadi anggota dewan di

daerah pemekaran oleh masyarakat setempat.Di beberapa

tempat pemerintah terpaksa mengalah, supaya DPRD segera

terbentuk.

Sejak tahun 2000 daerah mulai otonom membuat kebijakan

sesuai kewenangannya yang lumayan besar. Perda dapat dibuat

dan dilaksanakan, tanpa menunggu pengesahan Pemerintah

Pusat.Keputusan KDH biasa dijalankan tanpa menunggu Petunjuk

Pelaksanaan dari berbagai instansi pemerintah tingkat atas.

Mereka lalu tancap gas menjalankan fungsi pengaturan itu, tanpa

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 16

Page 17: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

bimbinga dan pengawasan pemerintahan yang memadai.

Akibatnya, lahirlah kebijakan aneh-aneh yamg berbau etnis atau

daerahisme seperti pengaturan tentang pendatang, persyaratan

PAD bagi calon KDH, larangan perempuan keluar malam,

pengambil alihan BUMN, dan pembatalan kontrak investasi

asing.Dengan otonomi seluas-luasnya, daerah provinsi seolah-

olah telah merdeka dari pusat atau bagi kabupaten/kota merdeka

dari pengendalian provinsi, karena itu mereka merasa bebas

berbuat apa saja.

Untuk mencegah berkembangya bibit etnosentrisme lebih

jauh, seyogyanya dilakukan upaya-upaya sebagai berikut :

a. Perlu dilakukaan pemantapan dan perluasan wawasan

kebangsaan para tokoh masyarakat, tokoh agama, para elit

politik, serta tokoh organisasi masyarakat secara

berkesinambungan.

b. Pemerintah pusat perlu meempermantap rambu-rambu yang

jelas, rinci, dan lengkap dalam mengatur otonomi daerah.

c. Pemerintah pusat harus tegas dan tidak ragu-ragu dalam

mengawasi pelaksanaan otonomi daerah.Setiap pelanggaran

harus dikoreksi, dan standar ganda tidak boleh terjadi

d. Peningkatan peran Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat

sesuai PP Nomor 19 Tahun 2010, perlu segera dikeluarkan

aturan pelaksanaannya.

e. Sanksi bagi politisi yang melakukan tindakan tidak terpuji

seyogyanya diperberat, supaya yang lainnya jera.

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 17

Page 18: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

f. Masyarakat setempat beserta berbagai lembaga yang

dimilikinya perlu dilibatkan dan diberdayakan.Kegiatan

sosialisasi dan konsultasi dalam pembuatan kebijakan daerah

wajib mengajak mereka.

g. Pendidikan anti-kekerasan perlu dipromosikan kepada warga

daerah kita, disamping itu Forum lintas budaya perlu

dihidupkan dalam komunitas lokal, di mana berbagai suku

ketemu mendiskusikan masalah daerah.

4. Permasalahan, munculnya Konflik Sosiologis

Berdasarkan pengamatan, bila dianatomi sumber konflik

di Indonesia adalah ;

Dari dimensi budaya antara lain : masih berkembangnya

ideology primordialisme (suku, agama, ras), masyarakat

masih melihat dengan kaca mata stereotype

(menggeneralisasikan sifat-sifat suatu suku, bangsa, agama

dsb. Tanpa landasan yang rasional), stock of knowledge

sebagian masyarakat kita sudah teranjur terbentuk melalui

sosialisasi di dalam keluarga, tempat ibadah, sekolah dsb.-

bila stock of knowledge ini merugikan perlu dilakukan

gerakan “ de-edukasi” secara meluas dan medasar,system

kepercayaan (agama, kepercayaan) sering merupakan

sumber konflik – tetapi sering pula merupakan basis moral

“anti konflik dan kekerasan”, ideologi Negara – sejak

runtuhnya Orde Baru kita juga melupakan ideologi

Pancasila – padahal ideologi ini penting untuk menjadi

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 18

Page 19: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

landasan solidaritas bangsa.

Dimensi sosial meliputi : sistem sosialisasi di berbagai

pranata sosial seperti rumah, sekolah, tempat ibadah,

media massa, ormas & orsospol yang masing-masing

menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai “ non

integrative” secara disadari maupun tidak; kesenjangan

sosial bukan saja antar individu, tetapi juga golongan dan

daerah.Hal ini menyulitkan terbentuknya solidaritas yang

berskala nasional ; hukum yang tidak adil cenderung

menciptakan situasi anomic (tidak jelas mana yang benar

mana yang salah) ; matinya lembaga adat karena

pemerintah terlalu menyeragamkan kelembagaan

pembangunan. Otonomi daerah tidak dengan mudah bias

memperbaiki situasi yang ada ; pengangguran menciptakan

sekelompok orang tidak memiliki status jelas dan tanggung

jawab. Kelompok ini bias menjadi “rumput kering” yang

siap dibakar oleh siapa saja; lemahnya kontrol sosial baik

pada masyarakat maupun aparat; pembentukan sikap

“fanatisme” terus berlangsung di masyarakat; terdapatnya

gejala berkembangnya sifat agresifitas, frustasi dsb. karena

kondisi sosial ekonomi yang merosot; ketidakpercayaan

meluas baik pada tingkat individual, posisional,

organisasional, institusional bahkan ontological.

Dimensi Biologis meliputi : berkembangnya kondisi biologis

yang semakin tak tertahankan (rasa lapar, rasa sakit) di

kalangan kelompok-kelompok amat miskin; rangsangan

obat bius yang secara biologis tak dapat tertahankan lagi

oleh orang-orang yang menjadi korban.

Untuk memecahkan maslah tersebut perlu diupayakan

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 19

Page 20: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

langkah-langkah sebagai berikut :

a. Di setiap daerah perlu dibentuk Forum Kewaspadaan Dini

Masyarakat, sehingga dapat dideteksi secara dini

permasalahan-permasalahan di daerah,

b. Perlu dikembangkan agen sosialisasi yang mampu

menetralisasi pola sosialisasi yang bersifat separatis (misalnya

Gelanggang Remaja, Media massa, dan sebagainya),

c. Setiap daerah (Kabupaten/Kota) sebaiknya memiliki dokumen

Rencana Umum Pembangunan Sosial Budaya, agar

permasalahan sosial budaya dapat lebih teridentifikasi dan

tujuan lebih terumuskan,

d. Pemerintah pusat perlu mengembangkan kelembagaan untuk

pembangunan sosial-budaya yang mampu membuat “critical

analysis” yang bersifat holistic dan societal mengenai dampak

berbagai macam kebijakan departemen yang bersifat sektoral

maupan kebijakan daerah terhadap integrasi nasional,

e. Para ahli Ilmu Politik harus lebih memperhatikan analisis

sosiologis dalam memikirkan pengembangan politik

nasional,jangan terlalu berorientasi pada tokoh atau golongan

saja.

5. Permasalahan Kewenangan,Kelembagaan,Kepegawaian

dan Keuangan

Dari dimensi kewenangan sebenarnya masih terdapat

permasalahan yang perlu mendapat pemecahan. Apabila dalam

UU Nomor 32 Tahun 2004, pasal 10 (3) disebutkan bahwa urusan

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 20

Page 21: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah adalah politik

luar negeri, pertahanan, keamanan,yustisi, moneter dan fiscal

nasional, serta agama, namun pada kenyataan masih ada

departemen dan lembaga non departemen yang masih belum

mau menyerahkan urusannya ke daerah, sebagai misal urusan

pertanahan, urusan keluarga berencana dan lain sebagainya.

Sudah barang tentu permasalahan cukup mengganggu dalam

penyelenggaraan otonomi daerah, utamanya masalah

pertanahan, karena kendala utama pembangunan di daerah

adalah tanah.

Permasalahan berikutnya adalah masalah kelembagaan,

yang muncul sebagai dampak belum diserahkannya beberapa

urusan ke daerah serta perbedaan persepsi mengenai urgensi

urusan di daerah tersebut yang membawa dampak terhadap

penentuan esselonering suatu lembaga pada tiap-tiap daerah.

Selanjutnya masalah keuangan,terutama terjadi karena

euforia otonomi seluas-luasnya berdampak pada otoriterisme

Bupati/Walikota yang menenentukan penggunaan APBD

semaunya sendiri, sehingga ada yang terjadi lebih diutamakan

pembelian kendaraan dinas atau pembangunan kantor Pemda,

bahkan membiayai sepak bola daripada untuk kepentingan

rakyat miskin.

Masalah berikutnya adalah masalah kepegawaian, yang

antara daerah satu dengan lainnya tidak sama tingkat

kemampuan dan jumlahnya, disamping permasalahan mutasi

antar daerah, sehingga mempengaruhi kinerja Pemda setempat.

Permasalahan ini sudah mendapat perhatian secara

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 21

Page 22: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

khusus, dengan mengupayakan langkah-langkah :

1.          Pemerinta pusat perlu menekankan kepada

Departemen atau Lembaga non Departemen yang belum

menyerahkan urusannya ke daerah segera menyerahkan

urusan tersebut ke daerah,mengingat urusan tersebut

bukan urusan pangkal pemerintah pusat,

2.         Perlu ada bimbingan dan pembinaan secara mantap

dari pemerintah lebih atas kepada Pemda Kab/Kota dalam

pembentukan kelembagaan di daerah,

3.         Evaluasi rancangan Perda APBD dari Pemerintah

atasan kepada Pemda Kab/Kota harus secara ketat dan

tegas, bila perlu diberi sanksi, sehingga APBD benar-benar

untuk rakyat,

4.         Untuk pemerataan sumber daya manusia di

Pemerintah Kabupaten/Kota, seyogyanya urusan

kepegawaian diserahkan kepada Gubernur.

6. Permasalahan Kewenangan DPRD yang Jauh Dari

Harapan

Ada sejumlah kasus yang menunjukkan kepada kita

bahwa sebagian anggota dewan kita jauh dari harapan,

diantaranya adalah:

Pertama, belum mempunyai kemampuan (SDM) yang

dapat diandalkan untuk mengemban tugas

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 22

Page 23: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

perwakilan/kelegislatifan. Kalau seorang anggota dewan yang

tidak punya kemampuan, bagaimana mungkin dia biasa

berargumentasi tentang suatu masalah untuk memperjuangkan

aspirasi masyarakat yang diwakilinya itu.

Kedua, anggota dewan saat ini juga sangat akrab

dengan berita money politics mulai dari proses pemilihan kepala

daerah, proyek-proyek, meloloskan Perda sampai minta kenaikan

gaji.Ada sejumlah pengamat menilai bahwa DPRD tidak

memperjuangkan aspirasi rakyat.Dewan dinilai egois karena

hanya memperjuangkan kepentingan parpol dan kepentingan

pribadi.Sementara itu ada sebagian anggota dewan yang disoroti

sebagai telah memperkaya diri secara menyolok dan kurang

masuk akal.

Ketiga, anggota dewan juga sering kali mengecewakan

masyarakat karena dinilai kurang biasa menyelesaikan konflik

internal maupun eksternal.

Keempat,masyarakat menilai anggota dewan kita

malas,sebagai contoh pemberitaan banyak anggota dewan kita

yang absen.Hal ini menunjukan secara transparan, bahwa

sebagai anggota dewan tidak serius karena banyak yang

absen,kalau toh hadir banyak yang tidur selama rapat-rapat

berlangsung.

Disamping keempat permasalahan tersebut, muncul

permasalahan siapa yang mengontrol anggota dewan, karena

sampai saat ini belum ada lembaga yang dapat mengontrol

perilaku dan kinerja anggota dewan, sehingga akhir-akhir ini

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 23

Page 24: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

banyak kasus dilakukan anggota dewan.

Sudah barang tentu permasalahan ini harus dicarikan

pemecahannya, antara lain dengan upaya-upaya sebagai berikut:

1. Kemampuan anggota dewan perlu ditingkatkan melalui

pelatihan-pelatihan baik yang dilakukan oeleh partai induknya

maupun oleh pemerintah daerah seketika setelah dilantik,

2. Dewan yang hanya mementingkan dirinya sendiri perlu

mendapat kontrrol dan kritikan msyarakat daerah

pemilihannya. Anggota dewan seperti ini jangan dipilih untuk

periode berikutnya,

3. Dewan yang melakukan pelanggaran, termasuk yang tingkat

absensi tinggi perlu diberi sanksi yang berat, sehingga dapat

membuat jera yang bersangkutan dan yang lainya tidak

meniru,

4. Kontrol dan pengawasan oleh masyarakat harus dilakukan

secara ketat, bekerja sama dengan penegak hukum.

 

7. Permaslahan, Otonomi Daerah Memindahkan Korupsi Dari

Pusat Ke Daerah

Ada sementara orang yang berpendapat bahwa

pelaksanaan otonomi daerah ternyata cenderung memindahkan

korupsi dari Pusat ke daerah dan menciptakan raja-raja kecil

didaerah.Ini dimungkinkan terjadi, karena kewenangan DPRD

yang besar itu tidak digunakan untuk kepentingan rakyat,

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 24

Page 25: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

melainkan untuk kepentingan diri sendiri.Praktek money politics

bukan lagi rahasia, sehingga pertanggungjawaban KDH seringkali

lolos mulus dihadapan DPRD.Perilaku “aji mumpung” di

kalangan anggota DPRD dilatar belakangi oleh rasa kurang

percaya diri, sehingga merasa tidak ada jaminan dirinya bakal

terpilih kembali dalam pemilu berikutnya.Akibatnya fungsi control

tidak berjalan,bahkan mereka bermain sendiri, sehingga clean

governance di daerah sulit diwujudkan.

Kondisi demikian ini memunculkan peluang korupsi baik

pada tataran eksekuttif maupan legislatif, terbukti akhir-akhir ini

terjadi banyak Bupati/Walikota dan aparatnya serta beberapa

anggota dewan yang dimejahijaukan.

Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya pemecahanya,

dengan langkah-langkah, antara lain :

1. Penegakan hukum perlu lebih ditingkatkan lagi, dengan

meningkatkan kerja sama masyarakat,lembaga pengawas

fungsional dan penegak hokum.

2. Pengawasan melekat, pengawasan fungsional dan

pengawasan oleh masyarakat perlu lebih ditingkatkan, dengan

memperluas jaringan dan informasi.

3. Perlu standart Pelayanan Minimal dan standart pengukuran

kinerja yang jelas baik untuk eksekutif maupun untuk

legislatif, sehingga capaian pelayanan dan kinerja setiap

setiap tahunnya dapat diukur dengan jelas.

 

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 25

Page 26: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

8. Permaslahan Kesulitan Pemerataan Pemanfaatan

Potensi

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa daerah di I

ndonesia ini potensinya tidak sama antara satu dengan lainnya,

sehingga dengan pelaksanaan otonomi daerah mucul

permasalahan pemerataan pemanfaatan potensi. Sebagai contoh

daerah-daerah di Pulau Jawa sudah barang tentu potensinya tidak

sama dengan daerah-daerah di Pulau Irian,

Sulawesi,Kalimantan,Sumatera dan lainnya. Di Jawa saja

potensinya berbeda antara kabupaten/kota yang satu dengan

lainnya. Kondisi ini tentunya memerlukan pemikiran pengaturan

secara sitematis dan terencana.

Sehubungan dengan itu kiranya langkah-langkah

pemecahan sebagai berikut :

1.Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya daerah perlu

diarahkan untuk kepentingan rakyat, sebagaimana ditekankan

pasal 33 UUD 1945, dengan meperhatikan persatuan dan

kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia,

2.Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dapat memfasilitasi

kerjasama anatar daerah dalam provinsi maupun antar darah di

luar provinsi, serta menarik kerja sama dengan investor,

3.Gubernur dapat membuat suatu kawasan pembangunan atau

pengembangan dengan melibatkan daerah-daerah yang

berbatasan.

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 26

Page 27: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

KESIMPULAN

Otonomi darah telah berjalan sekitar

sepuluh tahun. Banyak hasil yang dicapai, tetapi

juga banyak kendala-kendala yang harus

dipecahkan, mengingat adanya perbedaan kondisi

daerah,suku, ras, agama dan lainnya.

Untuk itu perlu langkah-langkah pemecahan secara

sistematis dengan berlandaskan pada pilar-pilar kehidupan

berbangsa dan bernegara di Negara Indonesia, yakni Pancasila,

UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.Melalui upaya-upaya itu

harapan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,dengan

pelaksanaan otonomi daerah Insya Alllah akan dapat terwujut.

 

DAFTAR PUSTAKA

www.google.co.id/otonomi daerah di indonesia.

www.google.co.id/implementasi pancasila dalam otoda.

www.google.co.id/permasalahan otonomi daerah.

Arli Fauzi,Renungan Tentang Desentralisasi dan Otonomi

Daerah,PT Revka Petra Media, Sidoarjo2009.

Afan Gafar,Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi,Pustaka

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 27

Page 28: Pengamalan Pancasila Dalam Implementasi Otonomi Daerah

“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH”

Pelajar, Yogyakarta 2006.

Nyoman Sumaryadi,Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi

Daerah, Citra Utama,Jakarta 2005.

Rozali Abdulah,Pelaksanaan Otonomi Daerah & Isu Federalisme

Sebagai Suatu Alternatif,PT Raja Grafindo, Jakarta 2003.

Suko Wiyono,Otonomi Daerah Dalam Negara Hukum

Indonesia,Faza Media, Jakarta 2006.

Soetandyo Wignjosubroto dkk,PASANG SURUT OTONOMI DAERAH

Sketsa Perjalanan 100 Tahun,Institut for Local

Development, Jakarta 2005.

Syamsudin Haris,Desentralisasi & Otonomi Daerah,Desentralisasi,

Demokrasi & Akuntabilitas Pemerintahan Daerah,LIPI

Press,Jakarta 2007.

KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 28