pengamalan al-quran dalam kehidupan...
TRANSCRIPT
8
Dalam UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab
II Pasal 4 ditegaskan bahwa salah satu ciri manusia Indonesia yang menjadi tujuan
Pendidikan Nasional ialah manusia yang beriman dan bertaqwa. Untuk
menjadikan manusia Indonesia beriman dan bertaqwa itulah, diperlukan
pendidikan keimanan dan ketaqwaan, yang kita kenal dengan pendidikan agama.
Keberadaan Taman Pendidikan Al-Quran ditopang oleh landasan yuridis
formal sebagai berikut: a) Undang-undang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas)
nomor 20 tahun 2003 dan b) SKB 2 menteri (Mendagri dan Menteri Agama)
Nomor 128 dan 44A tahun 1982, tentang "Usaha peningkatan kemampuan baca
tulis huruf al-Quran bagi umat Islam dalam rangka peningkatan penghayatan dan
pengamalan al-Quran dalam kehidupan sehari-sehari".
Taman pendidikan al-Quran, baik yang dikenal dengan nama TKA, TKQ,
TPA, TPQ, TQA dan bentuk lain yang sejenis, saat ini telah tersebar luas di tanah
air. Menurut Budiyanto (2010: 3) bahwa Taman Pendidikan Al-Quran adalah
institusi pendidikan non-formal yang relatif baru dalam dunia pendidikan di
Indonesia. Untuk itu upaya pembinaan dan pengembanganya memerlukan
penanganan serius dan terarah pada pengelolaan serta standar lulusan yang terukur
dan kualitatif.
Taman Pendidikan al-Qur'an (TPQ) adalah lembaga pendidikan dan
pengajaran al-Qur'an bagi anak usia 7 sampai 12 tahun (Gushafizh, 2010). Taman
Pendidikan Al-Qur'an adalah lembaga luar sekolah (nonformal) jenis keagamaan.
Oleh karena itu muatan pengajarannya lebih menekankan aspek keagamaan Islam
dengan mengacu pada sumber utamanya, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah. Hal itu
9
pun dibatasi dan disesuaikan dengan tarap perkembangan anak, yaitu kelompok
usia 4-12 tahun (usia TK/ SD/ MI). Dengan demikian, porsi pengajarannya tebatas
pada pemberian bekal dasar pengetahuan, sikap dan keterampilan keagamaan,
misalnya pengajaran baca tulis al-Qur'an, pengajaran sholat, hafalan surat, dan
ayat al-Qur'an serta do'a harian, penanaman aqidah dan akhlaq, dan lainnya.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31
ayat 3 berbunyi: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang menigkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa". Atas dasar amanat
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan
nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia,sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab. Dalam penjelasan umum Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa
strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional
adalah " pelakasanaan pendidikan agama dan akhlak mulia".
Dalam hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
Pasal 24 ayat 1 menyatakan bahwa: "tujuan pendidikan al-Qur'an adalah
meningkatakan kemampuan peserta didik membaca, menulis, memahami, dan
mengamalkan kandungan al-Qur'an". Pendidikan al-Qur'an terdiri dari:
10
a. Taman Kanak-kanak Al-Qur'an (TKQ)
b. Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPQ)
c. Ta'limul Qur'an lil Aulad (TQA).
d. Dan bentuk lain yang sejenis.
Sedangkan kurikulum pendidikan al-Qur'an adalah membaca, menulis, dan
menghafal ayat-ayat al-Qur'an, tajwid serta menghafal do'a-do'a utama yang
tertulis dalam pasal 24 ayat 5.
2.1.2 Tujuan Taman Pengajian Al-quran
Ridwan (2010: 4) mengemukakan bahwa taman pendidikan al-Quran
bertujuan menyiapkan terbentuknya generasi Qurani, yaitu generasi yang
memiliki komitmen terhadap al-Quran sebagai sumber perrilaku, pijakan hidup
dan rujukan segala urusannya. Hal ini ditandai dengan kecintaan yang mendalam
terhadap al-Quran sebagai sumber perilaku, pijakan hidup dan rujukan segala
urusannya. Hal ini ditandai dengan kecintaan yang mendalam terhadap al-quran,
mampu dan rajin membacanya, terus menerus mempelajari isi kandungannya, dan
memiliki kemauan yang kuat mengamalkannya secara kaffah dalam kehidupan
sehari-hari.
Taman Pendidikan al-Qur'an bertujuan menyiapkan anak didiknya agar
menjadi generasi muslim Qur'ani, yaitu generasi yang mencintai al-Qur'an sebagai
bacaan dan sekaligus pandangan hidupnya sehari-hari (Gushafiz, 2010).
Untuk mencapai tujuan ini, Taman Pendidikan al-Qur'an perlu
menentukan target operasionalnya yang meliputi target jangka pendek dan jangka
panjang, yaitu sebagai berikut:
11
a) Target Jangka Pendek (1-2 Tahun)
1. Anak dapat membaca al-Qur'an dengan benar sesuai dengan kaidah-
kaidah ilmu tajwid.
2. Anak dapat melakukan sholat dengan baik.
3. Anak hafal beberapa surat pendek, ayat pilihan dan do'a sehari-hari.
4. Anak dapat menulis huruf al-Qur'an (huruf Arab).
b) Target Jangka Panjang (3-4 Tahun)
1. Anak dapat menghatamkan al-Qur'an 30 juz.
2. Anak mampu mempraktekkan lagu-lagu dasar qiro'ah.
3. Anak mampu menjadikan dirinya sebagai teladan bagi teman segenerasi
(berakhlak mulia) .
2.1.3 Manfaat Taman Pengajian Al-quran
Pengajian mempunyai kedudukan yang sakral bagi umat muslim.
Pengajian yang dimaksudkan adalah membaca Al Qur’an sebagai kitab suci umat
Islam yang secara ruitin dilaksanakan oleh TPA. Mengaji kitab suci Al Qur’an
merupakan sesuatu yang diwajibkan Allah SWT. Menurut Yusran (2011:1) bahwa
membaca al-Qur’an merupakan ibadah yang paling utama dan dicintai Allah.
Dalam hal ini para ulama sepakat, bahwa hukum membaca al-Qur’an adalah wajib
‘ain.
Maknanya, setiap individu yang mengaku dirinya Muslim harus mampu
baca al-Qur’an dengan baik dan benar. Kalau tidak, maka ia berdosa. Karena
bagaimana mungkin kita mengamalkan al-Qur’an tanpa mau membaca dan
12
memahaminya. Beriman terhadap al-Qur’an bukan sekedar percaya saja, namun
mesti dibuktikan dengan implementasi yang nyata sebagai tuntutan dari iman
tersebut yaitu membaca, memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Yusran (2011:1) bahwa mengemukakan bahwa Al-Qur’an merupakan
pedoman, konsep, dan aturan hidup manusia. Dalam konteks hablum minallah, al-
Qur’an mengatur relasi hamba dengan khaliqnya. Hubungan vertikal ini dalam
bahasa syariat disebut ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji.Sedangkan
dalam konteks hablum minan naas, al-Qur’an menjelaskan tata cara pergaulan
dan hubungan manusia dengan dirinya, manusia lain dan makhluk Allah lainnya.
Hubungan horizontal ini dikenal dengan sebutan muamalah.
Yusran (2011:3-4) mengemukakan bahwa sungguh banyak keutamaan dan
keuntungan yang diperoleh bagi orang yang membaca al-Qur’an. Keuntungan
tersebut tidak dimiliki oleh bacaan lainnya seperti surat kabar, majalah dan buku.
Diantara keutamaan dan keuntungan orang yang membaca al-Qur’an yaitu;
Pertama: orang yang membaca Al-Qur’an akan mendapatkan syafaat
(pertolongan) pada hari Kiamat nantinya berdasarkan sabda Rasulullah saw
bersabda: ”Bacalah al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat
nanti memberi syafaat bagi orang yang membacanya.” (H. R. Muslim). Tentunya
tidak hanya sekedar membaca, juga mengamalkannya. Namun demikian, tanpa
membaca al-Qur’an maka tidak mungkin kita mengamalkannya. Selain Rasulllah
saw, tidak seorangpun yang mampu memberikan pertolongan kepada seseorang
pada hari hisab, kecuali al-Qur’an yang dibaca selama ia hidup di dunia.
13
Kedua, Rasulullah saw menegaskan bahwa orang yang terbaik di antara manusia
adalah orang yang mau mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an, sesuai dengan
sabdanya, ”Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan yang
mengajarkannya” (H.R. Bukhari). Oleh karena itu, orang yang terbaik di dunia ini
bukanlah orang yang punya memiliki harta yang melimpah, jabatan maupun
pangkat yang tinggi. Namun, disisi Allah Swt orang terbaik itu adalah orang yang
mau belajar al-Qur’an dan mengajarkan kepada orang lain. Ketiga, orang yang
pandai membaca Al-Qur’an akan disediakan tempat yang paling istimewa di surga
bersama para malaikat yang suci. Sedangkan orang yang membaca terbata-bata
(belum pandai), maka ia akan diberi dua pahala yaitu pahala mau belajar dan
kesungguhan membaca, Keempat, kejayaan suatu umat Islam itu dengan membaca
al-Qur’an dan mengamalkannya. Namun sebaliknya, musibah yang menimpa
umat ini disebabkan karena sikap acuh tak acuh kepada al-Qur’an dan
meninggalkannya. Kelima, orang yang membaca dan mendengar al-Qur’an akan
mendapatkan sakinah, rahmah, doa malaikat dan pujian dari Allah. Oleh karena
itu, ketenangan tidaklah diperoleh dengan harta yang banyak, pangkat dan jabatan,
namun diperoleh dengan sejauh mana interaksi kita dengan al-Qur’an.
Keenam, mendapat pahala yang berlipat ganda. Rasulullah Saw
bersabda: ”Barangsiapa yang membaca satu huruf Kitabullah maka ia mendapat
satu kebaikan, dan satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Aku
tidak mengatakan alif laam miim itu satu huruf, tapi alif itu satu huruf." (H.R at-
Tirmizi) Bahkan, membaca “alif lam mim” saja kita mendapatkan pahala
sebanyak 30 kebaikan, maka bagaimana dengan membaca sejumah ayat-ayat yang
14
dalam satu halaman al-Qur’an. Bahkan berapa jumlah pahala yang kita peroleh
bila kita mampu membaca 1 juz dengan jumlah huruf ribuan atau ratusan ribu.
Tentu pahalanya sangat banyak, bahkan kita tidak sanggup menghitungnya.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa kegiatan pengajian yang
dilaksanakan di TPA memberikan berbagai keutamaan dan keuntungan bagi
orang yang mengaji al-Qur’an tersebut. Terkait dengan hal ini maka kebiasaan
positif yang dilakukan dengan mengaji di TPA perlu terus dimasyarakatkan.
Dampak positif tersebut memberikan wawasan kepada masyarakat
manfaat keberadaan TPQ di lingkungannya. Paling tidak, manfaatlain yang
didapatkan melalui keberadaan TPQ ini adalah membangkitkan minat anak-anak
yang hidup di suatu masyarakat terhadap quran dengan mempelajarinya secara
bertahap dan mudah.
2.2 Kecerdasan Spiritual
2.2.1 Pengertian Kecerdasan Spiritual
Tasmara (dalam Thontowi) kecerdasan Spiritual adalah kemampuan atau
kapasistas seseorang untuk pengunaan nilai-nilai agama baik dalam berhubungan
secara vertikal atau hubungan dengan Allah SWT (Hab lum minallah) dan
hubungan secara horizontal atau hubungan sesama manusia (Hab lim min‟nan
nas) yang dapat dijadikan pedoman suatu perbuatan yang bertangung jawab
didunia maupun diakhirat. Dengan kata lain Kecerdasan Spritual dimana kondisi
seseorang yang telah dapat mendengar suara hati karena pada dasarnya suara hati
manusia masih bersifat universal, tapi apa bila seseorang telah mampu
15
memunculkan beberapa sifat-sifat dari Allah yang telah diberikan-Nya kepada
setiap jiwa manusia dalam bentuk yang fitrah dan suci maka akan memunculkan
sifat takwa.
Kecerdasan spiritual atau yang biasa dikenal dengan spiritual quotient
adalah kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya
secara utuh melalui penciptaan kemungkinan untuk menerapkan nilai-
nilai positif. Spiritual quotient merupakan fasilitas yang membantu seseorang
untuk mengatasi persoalan dan berdamai dengan persoalannya itu. (Agustian,
2001:1)
Menurut Oxan, (2010:1) bahwa kecerdasan spritual tersusun dalam dua
kata yaitu “kecerdasan” dan “spiritual”. Kecerdasan adalah kemampuan seseorang
untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, terutama masalah yang menuntut
kemampuan fikiran. Berbagai batasan-batasan yang dikemukakan oleh para ahli
didasarkan pada teorinya masing – masing. Selanjutnya Oxan menyebutkan
bahwa Intelegen dapat pula diartikan sebagai kemampuan yang berhubungan
dengan abstraksi – abstraksi, kemampuan mempelajari sesuatu, kemampuan
menangani situasi – situasi baru. Spiritual adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri,
nilai – nilai, moral, dan rasa memiliki. Ia memberi arah dan arti bagi kehidupan
kita tentang kepercayaan mengenai adanya kekuatan non fisik yang lebih besar
dari pada kekuatan diri kita; Suatu kesadaran yang menghubungkan kita langsung
dengan Tuhan, atau apa pun yang kita namakan sebagai sumber keberadaan kita.
Spiritual juga berarti kejiwaan, rohani, batin, mental, moral. (Oxan, 2010:1)
16
Pendapat tersebut menujukkan bahwa kecerdasan spiritual dapat diartikan
sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi dan memecahkan masalah yang
berhubungan dengan nilai, batin, dan kejiwaan. Kecerdasan ini terutama berkaitan
dengan abstraksi pada suatu hal di luar kekuatan manusia yaitu kekuatan
penggerak kehidupan dan semesta.
2.2.2 Ciri-ciri Kecerdasan Spiritual
Ahmad Thontowi, dalam web kemenag menjelaskan tentang aspek-aspek
kecerdasan Spiritual yaitu sebagai berikut.
a. Shiddiq
Salah satu dimensi kecerdasan ruhaniah terletak pada nilai kejujuran yang
merupakan mahkota kepribadian orang-orang mulia yang telah dijanjikan
Allah akan memperoleh limpahan nikmat dari-Nya. Seseorang yang cerdas
secara ruhaniah, senantiasa memotivasi dirinya dan berada dalam lingkungan
orang-orang yang memberikan makna kejujuran, sebagai mana firmanNya :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah danhendaklah kamu bersamaorang-orang yangbenar( jujur)”. (At-Taubah:119)
Shiddiq adalah orang benar dalam semua kata, perbuatan, dan keadaan
batinya. Hati nuraninya menjadi bagian dari kekuatan dirinya karena dia sadar
bahwa segala hal yang akan mengganggu ketentraman jiwanya merupakan
dosa. Dengan demikian, kejujuran bukan datang dari luar, tetapi ia adalah
bisikan dari qalbu yang secara terus menerus mengetuk-ngetuk dan
memberikan percikan cahaya Ilahi. Ia merupakan bisikan moral luhur yang
17
didorong dari hati menuju kepada Ilahi (mahabbah lilllah). Kejujuran bukan
sebuah keterpaksaan, melainkan sebuah pangilan dari dalam (calling from
withim) dan sebuah keterikatan (commitment, aqad, i‟tiqad). Perilaku yang
jujur adalah prilaku yang diikuti dengan sikap tanggung jawab atas apa yang
diperbuatnya, karena dia tidak pernah berfikir untuk melemparkan tanggung
jawab kepada orang lain, sebab sikap tidak bertanggung jawab merupakan
pelecehan paling azasi terhadap orang lain, serta sekaligus penghinaan
terhadap dirinya sendiri.
Kejujuran dan rasa tanggung jawab yang memancar dari qalbu,
merupakan sikap sejati manusia yang bersifat universal, sehingga harus
menjadi keyakinan dan jati diri serta sikapnya yang paling otentik, asli, dan
tidak bermuatan kepentingan lain, kecuali ingin memberikan keluhuran makna
hidup. Dalam usaha untuk mencapai spiritual, sifat shiddiq seseorang harus
melalui beberapa hal diantaranya adalah :
1. Jujur pada diri sendiri
Salah satu contoh jujur pada diri sendiri adalah pada saat seseorang
melakukan sholat, begitu taat dan bersungguh-sungguh untuk mengikuti
seluruh proses sejak dari takbir samSpiritual salam, ritual sholat telah
melahirkan nuansa kejujuran dan melaksanakan seluruh kewajiban
dengan penuh tanggung jawab, bagi orang-orang yang shiddiq, esensi
sholat tidak berhenti sampai ucapan assalamu‟alaikum, tetapi justru
ucapan itu merupakan awal bagi dirinya untuk membuktikan hasil
sholatnya dalam kehidupan secara aktual dan penuh makna manfaat.
18
2. Jujur pada orang lain
Sikap jujur pada orang lain berarti sangat prihatin melihat penderitaan
yang dialami oleh mereka. Sehingga, seseorang yang shiddiq mempunyai
sikap dan mempunyai jiwa pelayanan yang prima (sense of
steweardship). Maka, tidak mungkin seseorang merasa gelisah berada
bersama-sama dengan kaum shiddiqiin karena mereka adalah
sebaikbaiknya teman yang penyantun dan penyayang serta
direkomendasikan Allah. Tidak mungkin para shiddiqiin itu akan
mencelakakan orang lain karena di dalam jiwanya hanya ada kepedulian
yang amat sangat untuk memberikan kebaikan.
3. Jujur terhadap Allah
Jujur terhadap Allah berarti berbuat dan memberikan segala-galanya atau
beribadah hanya untuk Allah, hal ini sebagaimana didalam doa iftitah,
seluruh umat Islam menyatakan ikrarnya bahwa sesungguhnya sholat,
pengorbanan, hidup, dan mati mereka hanya diabadikan kepada Allah
Yang Maha Mulia, penyataan ini merupakan komitmen yang secara
terus-menerus harus diperjuangkannya agar tidak keluar atau
menyimpang dari arah yang sebenarnya. Itulah sebabnya didalam Al-
Qur’an banyak ditemukan kata shirath, syai‟ah, thariqah, sabil, dan
minhaj, yang semuanya memberikan makna dasar” jalan “.
4. Menyebarkan salam
Salam tidak hanya memberikan pengertian selamat, tetapi mempunyai
kandungan bebas dari segala ketergantungan dan tekanan, sehingga
19
hidupnya terasa damai, tenteram dan selamat, karena itu setiap muslim
akan mengucapkan salam setiap akhir sholat, seakan-akan mereka ingin
membuktikan bahwa hasil audensinya dengan Allah akan
dinyatakannyan secara nyata dan aktual dalam kehidupnya, yaitu ikut
berpartisipasi dari dirnya sendiri merupakan bagian dari salam tersebut.
Dengan demikian, makna salam merupakan benang merah dan indentitas
paling monumental yang menjadi misi dan hiasan kepribadian serta sikap
dan prilaku seorang muslim.
b. Istiqamah
Istiqamah diterjemahkan sebagai bentuk kualitas batin yang melahirkan sikap
konsisten (taat azas) dan teguh pendirian untuk menegakkan dan membentuk
sesuatu menuju pada kesempurnaan atau kondisi yang lebih baik, sebagai
mana kata taqwin merujuk pula pada bentuk yang sempurna(qiwam). Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu
dan (juga) orang yang Telah Taubat beserta kamu dan janganlah kamu
melampaui batas. Abu Ali ad-Daqqaq (Tasmara, 2001) berkata ada tiga
derajat pengertian istiqamah, yaitu menegakkan atau membentuk sesuatu
(taqwim), menyehatkan dan meluruskan (iqamah), dan berlaku lurus
(istiqamah), takwim menyangkut disiplin jiwa, Iqamah berkaitan dengan
penyempurnaan, dan istiqamah berhubungan dengan tindakan
pendekatan diri kepada Allah. Sikap istiqamah menunjukkan kekuatan iman
yang merasuki seluruh jiwanya, sehingga dia tidak mudah goncang atau cepat
menyerah pada tantangan atau tekanan, mereka yang memiliki jiwa istiqamah
20
itu adalah tipe manusia yang merasakan ketenangan luar biasa (iman, aman,
muthmainah) walau penampakannya diluar bagai orang yang gelisah. Dia
meresa tenteram karena apa yang dia lakukan merupakan rangkaian ibadah
sebagai bukti “yakin” kepada Allah SWT.dan Rasul-Nya. Sikap
istiqamah ini dapat terlihat pada orang-orang :
1. Mempunyai Tujuan
Sikap istiqamah hanya mungkin merasuki jiwa seseorang bila mereka
mempunyai tujuan atau ada sesuatu yang ingin dicapainya. Mereka
mempunyai visi yang jelas dan dihayatinya sebagai penuh
kebermaknaan, mereka pun sadar bahwa pencapaian tujuan tidaklah
datang begitu saja, melainkan harus diperjuangkan dengan penuh dengan
kesabaran, kebijakan, kewaspadaan, dan perbuatan yang memberikan
kebaikan semata.
2. Kreatif
Orang yang memilki sifat istiqamah akan tanpak dari kretivitasnya, yaitu
kemampuan untuk mengahasilkan sesuatu melalui gagasan-gagasannya
yang segar, mereka mampu melakukan deteksi dini terhadap
permasalahan yang dihadapinya, haus akan imformasi, dan mempunyai
rasa ingin tahu yang besar (curiousity) serta tidak takut pada kegagalan.
3. Menghargai Waktu
Waktu adalah aset Ilahiyah yang paling berharga, bahkan merupakan
kehidupan itu yang tidak dapat disia-siakan, Sungguh benar apa yang
21
difirmankan Allah agar kita memperhatikan waktu („ashar). Rasulullah
saw. Bersabda:
“Jangan mencerca waktu karena Allah pemilik waktu.” (HR Ahmad).
Disamping menunjukkan waktu ketika matahari telah melampaui
pertengahan atau menuju ke magrib, kata ashar berasal dari kata ashara
yang artinya memeras sesuatu sehingga tidak lagi ada yang tersisa dari
benda yang diperas tersebut’, Hal ini sebagaimana terdapat dalam surah
Yusuf ayat 36 :
Dan bersama dengan dia masuk pula ke dalam penjara dua orangpemuda. berkatalah salah seorang diantara keduanya:"Sesungguhnya Aku bermimpi, bahwa Aku memeras anggur." Danyang lainnya berkata: "Sesungguhnya Aku bermimpi, bahwa Akumembawa roti di atas kepalaku, sebahagiannya dimakan burung."berikanlah kepada kami ta'birnya; Sesungguhnya kami memandangkamu termasuk orang-orang yang pandai (mena'birkan mimpi).
4. Sabar
Sabar merupakan suasana batin yang tetap tabah, istiqamah pada awal dan
akhir ketika menghadapi tantangan, dan mengemban tugas dengan hati
yang tabah dan optimis, sehingga dalam jiwa orang yang sabar tersebut
terkandung beberapa hal yang diantaranya sebagai berikut, menerima dan
menghadapi tantangan dengan tetap konsisten dan berpengharapan,
berkeyakinan Allah tidak akan memberikan beban di luar kemampuanya.
Mereka tetap mengendalikan dirinya dan mampu melihat sesuatu dalam
perspektif yang luas, tidak hanya melihat apa yang tanpak, tetapi melihat
sesuatu dalam kaitanya dengan yang lain.
22
c. Fathanah
Fathanah diartikan sebagai kemahiran, atau penguasaan terhadap bidang
tertentu, pada hal makna fathanah merujuk pada dimensi mental yang sangat
mendasar dan menyeluruh. Seorang yang memilki sikap fathanah, tidak hanya
menguasai bidangnya saja begitu juga dengan bidang-bidang yang lain,
Keputusan-keputusanya menunjukkan warna kemahiran seorang profesional
yang didasarkan pada sikap moral atau akhlak yang luhur, memilki
kebijaksanaan, atau kearifan dalam berpikir dan bertindak.
d. Amanah
Amanah menjadi salah satu dari aspek dari ruhaniah bagi kehidupan manusia,
seperti halnya agama dan amanah yang dipikulkan Allah menjadi titik awal
dalam perjalanan manusia menuju sebuah janji. Janji untuk dipertemukan
dengan Allah SWT, dalam hal ini manusia dipertemukan dengan dua dinding
yang harus dihadapi secara sama dan seimbang antara dinding jama’ah
didunia dan dinding kewajiban insane diakhirat nanti. Sebagai mahluk yang
paling sempurna dari ciptaan Allah SWT dibandingkan dengan mahluk yang
lain, maka amanah salah satu sifat yang dimilki oleh manusia sebagai khalifah
dimuka bumi. Didalam nilai diri yang amanah itu ada beberapa nilai yang
melekat :
1. Rasa ingin menunjukkan hasil yang optimal.
2. Mereka merasakan bahwa hidupnya memiliki nilai, ada sesuatu yang
penting. Mereka merasa dikejar dan mengejar sesuatu agar dapat
menyelesaikan amanahnya dengan sebaik-baiknya.
23
3. Hidup adalah sebuah proses untuk saling mempercayai dan dipercayai.
e. Tablig
Fitrah manusia sejak kelahirannya adalah kebutuhan dirinya kepada orang
lain. Kita tidak mungkin dapat berkembang dan survive kecuali ada kehadiran
orang lain. Seorang muslim tidak mungkin bersikap selfish, egois, atau
ananiyah‟ hanya mementingkan dirinya sendiri’. Bahkan tidak mungkin
mensucikan dirinya tanpa berupaya untuk menyucikan orang lain.
Kehadirannya di tengah-tengah pergaulan harus memberikan makna bagi
orang lain bagaikan pelita yang berbinar memberi cahaya terang bagi mereka
yang kegelapan. Mereka yang memilki sifat tabliq mampu membaca suasana
hati orang lain dan berbicara dengan kerangka pengalaman serta lebih banyak
belajar dari pengalaman dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup.
Ciri utama dari spiritual quotient ini ditunjukkan dengan kesadaran
seseorang untuk menggunakan pengalaman sebagai bentuk penerapan nilai dan
makna. Kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik akan ditandai dengan
kemampuan seseorang untuk bersikap fleksibel dan mudah menyesuaikan diri
dengan lingkungan, memiliki tingkat kesadaran yang tinggi, mampu
menghadapi penderitaan dan rasa sakit, mampu mengambil pelajaran yang
berharga dari suatu kegagalan, mampu mewujudkan hidup sesuai
dengan visi dan misi, mampu melihat keterkaitan antara berbagai hal, mandiri,
serta pada akhirnya membuat seseorang mengerti akan makna hidupnya
24
Masaong, (2007:89) memperkenalkan istilah kecerdasan spiritual pertama
kalinya. Kecerdasan spiritual adalah landasan yang diperlukan untuk
memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional secara efektif.
Selanjutnya, dikatakan secara terpisah maupun bersama tidak cukup untuk
menjelaskan keseluruhan kompleksitas kecerdasan manusia, kekayaan jiwa, dan
imajinasinya. Pendapat di atas menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual sebagai
puncak kecerdasan. Kecerdasan spiritual tidak identik dengan agama formal,
karena itu kecerdasan ini tidak milik satu agama. Masaong, (2007:89)
menggambarkan kecerdasan spiritual sebagai wawasan pemikiran yang luas biasa
mengagumkan, dan sekaligus argumen pemikiran tentang betapa pentingnya
hidup sebagai manusia yang cerdas secara spiritual.
Sinotar (2001:1) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai pemikiran
yang terilhami. Kecerdasan ini diilhami oleh dorongan dan efektifitas, keberadaan
atau hidup keilahian yang mempersatukan kita sebagai bagian-bagiannya.
Kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi non material kita ruh manusia.
Kecerdasan spiritual memberi kita kemampuan membedakan kecerdasan spiritual
memberi kita rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku, dibarengi
dengan pemahaman dan cinta serta kemampuan setara untuk melihat kapan cinta
dan pemahaman sampai pada batasannya.
Agustian (2003:1) mengemukakan bahwa kecerdasan spiritual adalah
kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan,
melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang
25
seutuhnya dan memiliki pola pemikiran tauhid serta berprinsip hanya kepada
Allah SWT.
Agustian (2003:1) dalam bukunya menuliskan adanya 6 prinsip dalam
kecerdasan spiritual berdasarkan rukun iman, yaitu : a) Prinsip bintang
berdasarkan iman kepada Allah SWT. Yaitu kepercayaan atau keimanan kepada
Allah SWT. Semua tindakan hanya untuk Allah, tidak mengharap pamrih dari
orang lain dan melakukannya sendiri. b) Prinsip malaikat berdasarkan iman
kepada Malaikat. Semua tugas dilakukan dengan disiplin dan sebaik-baiknya
sesuai dengan sifat malaikat yang dipercaya oleh Allah untuk menjalankan segala
perintah-Nya. c) Prinsip kepemimpinan, berdasarkan iman kepada rasul. Seorang
pemimpin harus memiliki prinsip yang teguh, agar mampu menjadi pemimpin
yang sejati. Seperti halnya Rasullullah SAW, seorang pemimpin sejati yang
dihormati oleh semua orang. d) Prinsip pembelajaran berdasarkan iman kepada
kitab. Suka membaca dan belajar untuk menambah pengetahuan dan mencari
kebenaran yang hakiki. Berpikir kritis terhadap segala hal dan menjadikan Al-
Qur’an sebagai pedoman dalam bertindak. e) Prinsip masa depan berdasarkan
iman kepada hari akhir. Berorientasi terhadap tujuan, baik jangka pendek, jangka
menengah maupun jangka panjang. Semua itu karena keyakinan akan adanya hari
kemudian dimana setiap individu akan mendapat balasan terhadap setiap tindakan
yang dilakukan. f) Prinsip keteraturan berdasarkan iman kepada Qodlo dan
Qodar Setiap keberhasilan dan kegagalan, semua merupakan takdir yang telah
ditentukan oleh Allah. Hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh dan berdoa
kepada Allah.
26
Robin (2010:1) mengemukakan bahwa kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan yang membuat kita utuh, yang memberi kita integritas kita. Ini adalah
kecerdasan jiwa, kecerdasan diri dalam. Ini adalah kecerdasan yang kita
mengajukan pertanyaan mendasar dan dengan yang kita bingkai jawaban kita.
Robbin (2010:1) menegaskan lagu bahwa kecerdasan ini terdiri dari 4
karakteristik utama yaitu: 1) transendensi. Ini berarti hidup di luar jangkauan
persepsi biasa. Ini adalah tentang menjadi di atas dan independen terhadap alam
semesta material, 2) kesadaran Semakin tingginya. Hal ini sepenuhnya menyadari
sekeliling Anda dan orang lain. Hal ini untuk sepenuhnya hadir dalam apa yang
sedang terjadi, 3) kegiatan sehari-hari menganugrahkan begitu dengan rasa yang
ketuhanan. Tidak ada tindakan biasa, setiap tindakan harus memiliki arti dan
signifikansi dan 4) terlibat dalam perilaku berbudi luhur. Selalu ada
pengampunan, syukur, kerendahan hati, belas kasih, dan kebijaksanaan.
Mahayana (dalam Joelsafira, 2010:1) menyebutkan beberapa ciri orang
yang mempunyai kecerdasan spritual yang tinggi, antara lain :
1. Memiliki prinsip dan visi yang kuat
Prinsip adalah kebenaran yang dalam dan mendasar ia sebagai pedoman
berperilaku yang mempunyai nilai yang langgeng dan produktif. Prinsip manusia
secara jelas tidak akan berubah, yang berubah adalah cara kita mengerti dan
melihat prinsip tersebut. Semakin banyak kita tahu mengenai prinsip yang benar
semakin besar kebebasan pribadi kita untuk bertindak dengan bijaksana.
Paradigma adalah sumber dari semua tingkah laku dan sikap, dengan
menempatkan kita pada prinsip yang benar dan mendasar maka kita juga
27
menciptakan peta atau paradigma mendasar mengenai hidup yang benar, dan pada
ujung - ujungnya adalah hidup yang efektif.
2. Kesatuan dan keragaman
Orang yang mempunyai tingkat kecerdasan spiritual yang tinggi dia
memandang manusia itu sama. Dia memandang bahwa keberagaman itu yang
membuat kita menjadi satu. Tony Buzan (dalam Ieds, 2011) mengatakan bahwa
“kecerdasan spiritual meliputi melihat gambaran yang menyeluruh, ia termotivasi
oleh nilai pribadi yang mencakup usaha menjangkau sesuatu selain kepentingan
pribadi demi kepentingan masyarakat”.
3. Memaknai
Seorang yang memiliki spiritual quotient tinggi akan mampu memaknai
atau menemukan makna terdalam dari segala sisi kehidupan, baik karunia Tuhan
yang berupa kenikmatan atau ujian dari-Nya. Mengenai hal ini Covey (dalam
Joelsafira, 2010:2) meneguhkan tentang pemaknaan dan respon kita terhadap
hidup. Ia mengatakan ”cobalah untuk mengajukan pertanyaan terhadap diri
sendiri! Apa yang dituntut situasi hidup saya saat ini? Apa yang harus saya
lakukan dalam tanggung jawab saya? Apa tugas-tugas saya saat ini? Apa langkah
bijaksana yang akan saya ambil?
Sehingga anak yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi akan
mengetahui hak dan kewajibannya hidup di dunia sebagai mahluk Tuhan. Hal ini
dicontohkan seperti anak yang melakukan peribadatan sebagai bentuk
kewajibannnya kepad Tuhannya. Sehingga dengan beribadah kepadaNya, anak
28
yakin bahwa haknya akan terpenuhi dengan jalan mendapat pahala atau
merasakan karunia dan nikmat yang diberikan olehNya.
4. Kesulitan dan penderitaan
Pelajaran yang paling berarti dalam kehidupan manusia adalah pada waktu
ia sadar bahwa itu adalah bagian penting dari substansi yang akan mengisi dan
mendewasakan sehingga ia menjadi lebih matang, kuat, dan lebih siap menjalani
kehidupan yang penuh rintangan dan penderitaan. Pelajaran tersebut akan
meneguhkan pribadinya setelah ia dapat menjalani dan berhasil untuk
mendapatkan apa maksud terdalam dari pelajaran tadi. Kesulitan akan mengasah
menumbuh kembangkan, hingga pada proses pematangan dimensi spiritual
manusia. spiritual quotient mentransformasikan kesulitan menjadi suatu medan
penyempurnaan dan pendidikan spiritual yang bermakna. spiritual quotient yang
tinggi mampu memajukan seseorang karena pelajaran dari kesulitan dan kepekaan
terhadap hati nuraninya.
Menurut Joelsafira, (2010:21) terdapat tiga bagian yang dapat kita lihat
untuk menguji tingkat kecerdasan spritual seseorang, seperti :
a. Dari sudut pandang spiritual keagamaan (relasi vertikal, hubungan dengan
yang Maha Kuasa). Sudut pandang ini akan melihat sejauh manakah tingkat
relasi spritual kita dengan Sang Pencipta, Hal ini dapat diukur dari “segi
komunikasi dan intensitas spritual individu dengan Tuhannya”.
Menifestasinya dapat terlihat dari pada frekwensi do’a, makhluq spritual,
kecintaan kepada Tuhan yang bersemayam dalam hati, dan rasa syukur
kehadirat-Nya. Khavari lebih menekankan segi ini untuk melakukan
29
pengukuran tingkat kecerdasan spritual, karena ”apabila keharmonisan
hubungan dan relasi spritual keagamaan seseorang semakin tinggi maka
semakin tinggi pula tingkat kualitas kecerdasan spritualnya”.
b. Dari sudut pandang relasi sosial keagamaan. Sudut pandang ini melihat
konsekwensi psikologis spritual-keagamaan terhadap sikap sosial yang
menekankan segi kebersamaan dan kesejahteraan sosial. Kecerdasan spiritual
akan tercermin pada ikatan kekeluargaan antar sesama, peka terhadap
kesejahteraan orang lain dan makhluk hidup lain, bersikap dermawan. Perilaku
marupakan manifestasi dari keadaan jiwa, maka kecerdasan spritual yang ada
dalam diri individu akan termanifestasi dalam perilakunya. Dalam hal ini
spiritual quotient akan termanifestasi dalam sikap sosial. Jadi kecerdasan ini
tidak hanya berurusan dengan ke-Tuhanan atau masalah spiritual, namun akan
mempengaruhi pada aspek yang lebih luas terutama hubungan antar manusia.
c. Dari sudut pandang etika sosial. Sudut pandang ini dapat menggambarkan
tingkat etika sosial sebagai manifestasi dari kualitas kecerdasan spiritual.
Semakin tinggi tingkat kecerdasan spritualnya semakin tinggi pula etika
sosialnya. Hal ini tercermin dari ketaatan seseorang pada etika dan moral,
jujur, dapat dipercaya, sopan, toleran, dan anti terhadap kekerasan. Dengan
kecerdasan spritual maka individu dapat menghayati arti dari pentingnya
sopan santun, toleran, dan beradap dalam hidup. Hal ini menjadi panggilan
intrinsik dalam etika sosial, karena sepenuhnya kita sadar bahwa ada makna
simbolik kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari yang selalu
mengawasi atau melihat kita di dalam diri kita maupun gerak-gerik kita,
30
dimana pun dan kapan pun, apa lagi kaum beragama, inti dari agama adalah
moral dan etika.
Kesimpulannya bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang
berasal dari dalam hati, menjadikan kita kreatif ketika kita dihadapkan pada
masalah pribadi, dan mencoba melihat makna yang terkandung di dalamnya, serta
menyelesaikannya dengan baik agar memperoleh ketenangan dan kedamaian hati.
Kecerdasan spiritual membuat individu mampu memaknai setiap kegiatannya
sebagai ibadah, demi kepentingan umat manusia dan Tuhan yang sangat
dicintainya.
Menurut Sinotar (2001:23) otoritas intuitif, yaitu kejujuran, keadilan,
kesamaan perlakuan terhadap semua orang, mampunyai faktor yang mendorong
kecerdasan spiritual. Suatu dorongan yang disertai oleh pandangan luas tentang
tuntutan hidup dan komitmen untuk memenuhinya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan spiritual menurut Agustina (200:13) adalah inner value
(nilai-nilai spiritual dari dalam) yang berasal dari dalam diri (suara hati), seperti
transparency (keterbukaan), responsibilities (tanggung jawab), accountabilities
(kepercayaan), fairness (keadilan) dan social wareness (kepedulian sosial). Faktor
kedua adalah drive yaitu dorongan dan usaha untuk mencapai kebenaran dan
kebahagiaan.
Sinotar (2001:25) menuliskan beberapa aspek dalam kecerdasan spiritual,
yaitu :
b) Kemampuan seni untuk memilih, kemampuan untuk memilih dan menata
hingga ke bagian-bagian terkecil ekspresi hidupnya berdasarkan suatu visi
31
batin yang tetap dan kuat yang memungkinkan hidup mengorganisasikan
bakat.
c) Kemampuan seni untuk melindungi diri. Individu mempelajari keadaan
dirinya, baik bakat maupun keterbatasannya untuk menciptakan dan menata
pilihan terbaiknya.
d) Kedewasaaan yang diperlihatkan. Kedewasaan berarti kita tidak
menyembunyikan kekuatan-kekuatan kita dan ketakutan dan sebagai
konsekuensinya memilih untuk menghindari kemampuan terbaik kita.
e) Kemampuan mengikuti cinta. Memilih antara harapan-harapan orang lain di
mata kita penting atau kita cintai.
f) Disiplin-disiplin pengorbanan diri. Mau berkorban untuk orang lain, pemaaf
tidak prasangka mudah untuk memberi kepada orang lain dan selalu ingin
membuat orang lain bahagia.
Berdasarkan uraian tersebut di atas jelas menunjukkan bahwa Kecerdasan
Spiritual adalah kemampuan potensial setiap manusia yang menjadikan ia dapat
menyadari dan menentukan makna, nilai, moral, serta cinta terhadap kekuatan
yang lebih besar dan sesama makhluk hidup, karena merasa sebagai bagian dari
keseluruhan”. Sehingga membuat manusia dapat menempatkan diri dan hidup
lebih positif dengan penuh kebijaksanaan, kedamaian, dan kebahagiaan yang
hakiki.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual pada
dasarnya kecerdasan yang berkaitan dengan fitrah manusia sebagai hamba sang
pencipta. Kecerdasan ini menjadikan manusia menjadi kreatif dalam menghadapi
32
berbagai masalah pribadi, serta dapat menyelesaikannya dengan baik agar
memperoleh ketenangan dan kedamaian hati. Dengan kecerdasan spiritual maka
manusia akan semakin sadar bahwa kehidupannya akan berakhir dan manusia
akan selalu terdorong untuk beribadah kepada Allah sang Pencipta serta mampu
memaknai setiap kegiatannya sebagai ibadah, demi kepentingan umat manusia
dan Tuhan yang sangat dicintainya. Dengan cara seperti ini maka hidup manusia
akan lebih bermakna dan bermanfaat bagi alam semesta.
2.3.3. Implikasi Kecerdasan Spiritual Terhadap Perkembangan Anak
Adapun implikasi kecerdasan spiritual terhadap perkembangan anak dalam
antara lain, dapat membentuk generasi islami yang diwujudkan dalam bentuk
prilaku yang mulia dalam semua aktivitasnya, akan melahirkan anak-anak yang
jujur, istiqomah, amanah, fathonah, tabligh, bertanggungjawab (bertakwa),
melatih anak-anak memiliki keimanan kepada Allah yang kokoh, akan melahirkan
anak-anak yang percaya diri dan mengenal dirinya sendiri dan Allah sebagai
Tuhannya.
2.4 Kontribusi TPA dalam Meningkatkan Kecerdasan Spritual Anak
Kecerdasan spiritual anak dapat ditingkatkan melalui kegiatan praktik
pengajian. Taman pengajian al-Quran memiliki kontribusi yang sangat signifikan
dalam upaya meningkatkan kecerdasan spiritual anak. Menurut Darmawan (2010:
2) bahwa kontribusi dalam upaya meningkatkan kecerdasan spiritual anak dapat
dilihat dari tiga aspek, yaitu:
33
1. keterampilan dan kemampuan anak dalam membaca al-Quran
2. kemampuan anak dalam menghayati isi al-Quran
3. kemampuan anak dalam mengamalkan isi al-Quran
Terkait dengan kecerdasan spiritual, maka pendapat yang dikemukakan di
atas akan memberikan implikasi terhadap kehidupan spiritual anak sebagai berikut
1) Mempunyai kesadaran diri. Adanya tingkat kesadaran yang tinggi dan
mendalam sehingga bisa menyadari antuasi yang datang dan menanggapinya.
2) Mempunyai visi. Ada pemahaman tentang tujuan hidupnya, mempunyai
kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
3) Fleksibel. Mampu bersikap fleksibel, menyesuaikan diri secara spontan dan
aktif untuk mencapai hasil yang baik, mempunyai pandangan yang pragmatis
(sesuai kegunaan) dan efisien tentang realitas.
4) Berpandangan holistik. Melihat bahwa diri sendiri dan orang lain saling terkait
dan bisa melihat keterkaitan antara berbagai hal. Dapat memandang kehidupan
yang lebih besar sehingga mampu menghadapi dan memanfaatkan serta
melampaui, kesengsaraan dan rasa sehat serta memandangnya sebagai suatu
visi dan mencari makna dibaliknya.
5) Melakukan perubahan. terbuka terhadap perbedaan, memiliki kemudahan
untuk bekerja melawan konvensi dan status quo, menjadi orang yang bebas
merdeka.
6) Sumber inspirasi. Mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang lain,
mempunyai gagasan-gagasan yang segar dan aneh.
34
7) Refleksi diri, mempunyai kecenderungan apakah yang mendasar dan pokok.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh
melalui kegiatan pengajian di TPA sangat memberikan dukungan bagi
peningkatan kecerdasan spiritual anak. Oleh karena itu,kegiatan ini perlu
dioptimalkan dalam upaya untuk mengembangkan kecerdasan spiritual anak
secara berkelanjutan.